PUTUSAN PUTUSAN Nomor 58/PUU-XIV/2016 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diajukan oleh: Nama : Yayasan Satu Keadilan Diwakili oleh Sugeng Teguh Santoso, S.H., dan Syamsul Alam Agus, S.H., dalam kedudukannya selaku Ketua dan Sekretaris Eksekutif Yayasan Satu Keadilan Alamat : Cibinong City Centre Blok D/10, Jalan Tegar Beriman Nomor 1, Cibinong Berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 9 Juli 2016 memberi kuasa kepada Heri Perdana Tarigan, S.H., C.L.A., Sahputra Tarigan, S.H., Prasetyo Utomo, S.H., Fajri Safii, S.H., Roy Valiant Sembiring S.H., para advokat dan konsultan hukum yang tergabung dalam “ The Law Office of Heri Perdana Tarigan ” yang beralamat di Office 8 Level 18A, Jalan Jenderal Sudirman Kavling 52-53, Sudirman Cetral Bussiness (SCBD), Jakarta Selatan, 12190, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa; Selanjutnya disebut sebagai -------------------------------------------------------- Pemohon; [1.2] Membaca permohonan Pemohon; Mendengar keterangan Pemohon; Mendengar dan membaca keterangan Presiden; Mendengar dan membaca keterangan Dewan Perwakilan Rakyat; Mendengar dan membaca keterangan ahli Pemohon; Mendengar dan membaca keterangan dari ahli Presiden SALINAN Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 2 Memeriksa bukti-bukti Pemohon; Membaca kesimpulan Pemohon dan Presiden;
DUDUK PERKARA [1] Menimbang Pemohon telah mengajukan permohonan dengan permohonan bertanggal 13 Juli 2016 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 13 Juli 2016 berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 117/PAN.MK/2016 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi pada tanggal 22 Juli 2016 dengan Nomor 58/PUU-XIV/2016, yang telah diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 9 Agustus 2016, menguraikan hal-hal sebagai berikut: I. Pendahuluan Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan Ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Adalah rangkaian dasar dari tujuan pembentukan suatu pemerintahan Republik Indonesia, yang terkualifikasi sebagai kewajiban Negara atau state obligation dimana realisasi atas konsep tersebut ditransformasikan melalui rangkaian perencanaan pembangunan, kebijakan publik dan konsep managemen anggaran. Penerimaan Negara yang signifikan dalam setiap tahunnya berasal dari Pajak. Pengertian Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 23A Undang-Undang Dasar, adalah pungutan yang memiliki sifat memaksa untuk keperluan Negara, dimana konteks atas keperluan dan pengeluaran Negara tersebut telah secara eksplisit dimaksudkan serta ditujukan dalam Alinea ke 4 Pembukaan Undang-Undang Dasar, yang meliputi upaya untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut menjaga ketertiban dunia, yang secara ekonomi dan akuntansi membutuhkan pembiayaan yang dibebankan kepada Negara dan dituangkan melalui Anggaran Pendapatan Belanja Negara yang berisikan rencana keuangan tahunan Pemerintahan dengan komposisi Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 3 Penerimaan Pajak, Kepabeanan dan Cukai, Hibah, serta Penerimaan Negara Bukan Pajak. Kontribusi determinan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara pada setiap tahunya berasal dari Penerimaan Pajak Negara. Data yang dirilis oleh Dirjen Pajak Kementerian Keuangan Republik Indonesia pada tahun 2014, menerangkan bahwa Penerimaan Pajak menyumbang 1072.4 Trilyun (65.5% Anggaran Pendapatan Belanja Negara) dari total Anggaran Pendapatan Belanja Negara yaitu 1635.4 Trilyun, diikuti pada tahun 2015 Penerimaan Pajak menyumbang 1201.7 Trilyun (66.9% Anggaran Pendapatan Belanja Negara) dengan total Anggaran Pendapatan Belanja Negara Tahun 2015 yaitu 1793.6 Trilyun atau terdapat kenaikan penerimaan pajak dari tahun 2014 sampai 2015 sekitar 129 Trilyun atau mengalami kenaikan 7.9%. Terhadap upaya peningkatan lebih lanjut Pemerintah Republik Indonesia hendak melakukan terobosan guna meningkatkan penerimaan pajak negara terutama Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas barang mewah serta harta kekayaan wajib pajak yang berada di luar wilayah Negara Republik Indonesia dengan mengundangkan Undang-Undang Pengampunan Pajak, yang dalam konsideran menimbang mendalilkan untuk memakmurkan seluruh masyarakat Indonesia dengan merata dan berkeadilan, melalui sebuah kebijakan Pengampunan pajak kepada wajib pajak yang tidak membayar pajak atau tidak melaporkan harta kekayaanya, dengan mendefinisikan pengampunan pajak adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara menggungkap harta dan membayar uang tebusan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Angka (7), Pasal 5 dan Pasal 4 Undang-Undang Pengampunan Pajak. Pengampunan pajak tersebut menyaratkan adanya uang tebusan atas harta yang diungkapkan dalam surat pernyataan baik pengampunan yang bersifat deklaratif maupun repatriasi, kedua cara pengampunan pajak tersebut harus diikuti dengan pembayaran uang tebusan dengan metode perhitungan yang berbeda dengan besaran sanksi Perpajakan pada Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 yang diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sehingga Pemerintah kehilangan konsistensi dalam penegakan hukum dan melahirkan sifat diskriminatif kepada warga negara; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 4 Pengampunan Pajak diprioritaskan untuk kalangan ekonomi eksklusif sehingga memposisikan Warga Negara tidak dalam posisi setara di hadapan hukum dan pemerintahan Penerimaan Negara berdasarkan perolehan Pajak dari tahun 2014 sampai 2015 meningkat sebesar 129 Trilyun atau mengalami kenaikan 7.9%. Fakta tersebut tidak berbanding lurus dengan deskripsi kesejahteraan masyarakat yang dapat dinilai melalui adanya kenaikan angka kemiskinan yang pada September 2014 sebanyak 27.73 juta jiwa dan pada Maret 2015 naik 10% dari 27.73 juta menjadi 28.95 juta Jiwa. Selain itu angka pengganguran pada tahun 2014 sebanyak 7.24 Juta Jiwa, naik pada tahun 2015 menjadi 7.56 Juta Jiwa atau mengalami kenaikan sebanyak 320.000 Jiwa. berdasarkan statistik tentang peningkatan penerimaan negara atas pajak di atas, terdapat deskripsi bahwa peningkatan penerimaan pajak tidak mempengaruhi penurunan angka kemiskinan dan tingkat kesejahteraan warga negara karena permasalahan utama dalam perpajakan adalah tata kelola perpajakan yang menjadi bagian inti dari keseluruhan kebijakan fiskal. Fakta naiknya angka kemisikinan dan tingkat pengganguran masyarakat Indonesia diatas, menerangkan adanya perbedaan dan interval kemampuan warga negara untuk mengakses pengampunan pajak. Ketidakmampuan tersebut bukan atas kehendak sendiri, tetapi karena struktur ekonomi yang berkembang pada saat ini, sehingga masyarakat Indonesia yang dikualifikasikan memiliki harta kekayaan di luar Negara Republik Indonesia atau yang belum melaporkan harta kekayaanya, bukanlah kalangan yang mendeskripsikan keadaan perekonomian masyarakat Indonesia pada umumnya, melainkan kalangan ekonomi ekslusif yang melalui Undang-Undang Pengampunan pajak mendapatkan perlakuan khusus dari Negara, dengan bentuk penghilangan asas kepastian hukum berupa penghapusan sanksi dan denda melalui uang tebusan. Sedangkan dalam sudut pandang berbeda warga negara yang taat dan jujur dalam membayar pajak, yang pajaknya telah dipergunakan untuk keberlangsungan Negara selama ini, peranya akan dikesampingkan karena dalam sistem Pengampunan Pajak, siapa yang punya uang tebusan akan memperoleh perlakukan khusus dalam bentuk pengampunan, sehingga dengan berlakunya Undang-Undang Pengampunan Pajak secara langsung telah membuat perbedaan kedudukan warga Negara di hadapan hukum dan pemerintahan yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 5 I. Kedudukan Hukum, Kepentingan dan Kerugian Konstitusional Pemohon. I.I. Kedudukan Pemohon Sebagai Badan Hukum Privat 1. Bahwa, Pemohon adalah Yayasan yang didirikan berdasarkan Undang- Undang No. 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan, dimana Pemohon merupakan badan hukum yang didirikan berdasarkan Akta Pendirian Yayasan Satu Keadilan No. 18 Tanggal 12 Januari Tahun 2015, dibuat dihadapan James Sinaga, S.H, M.Kn., Notaris di Tangerang Selatan, dan telah mendapat pengesahan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor AHU-0008666.AH.01.04 Tahun 2015, Tertanggal 22 Juni 2015, serta dilampirkan dalam Keputusan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU- 0008666.AH.01.04 Tahun 2015 Tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Yayasan Satu Keadilan;
Bahwa, sebagai badan hukum privat, Pemohon memiliki maksud dan tujuan pendirian sebagaimana diuraikan pada Pasal 2 Akta Pendirian Yayasan Satu keadilan, yaitu memiliki fokus kerja dalam bidang sosial dan kemanusiaan dengan (1) berperan aktif dalam upaya terwujudnya Negara dan pemerintahan yang memenuhi keadilan sosial dan menjamin keadilan hukum bagi segenap warga negara tanpa adanya diskriminasi, termasuk diskriminasi berbasis gender dengan menjunjung tinggi penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, (2) berperan aktif dalam upaya terwujudnya perilaku dan kebijakan penyelenggaraan negara dan pemerintahan dalam segenap usaha untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang dilakukan menurut tata kelola yang baik dan bersih, (3) berperan aktif dalam upaya terwujudnya kesadaran warga negara pada umumnya akan hak dan kewajibannya sebagai subyek hukum dalam rangka penegakan hukum dan memperjuangkan pengungkapan kebenaran yang berkeadilan, serta pemajuan demokrasi, pemenuhan dan perlindungan nilai-nilai hak asasi manusia;
Bahwa, memperhatikan ketentuan Pasal 51 Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 24 Tahun Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 6 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, diuraikan bahwa Pemohon adalah pihak yang mengganggap hak dan atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang , yaitu (a) Perorangan warga Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama), (b) kesatuan masyarakat adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang Undang, (c) Badan hukum publik atau privat , (d) lembaga negara;
Bahwa, sebagai Badan Hukum Privat, Pemohon baik secara langsung maupun melalui Perangkat Kerja telah memperjuangkan focus kerja dalam bidang sosial dan kemanusiaan, dan melaksanakan focus kerja tersebut melalui pendidikan, advokasi dan pembelaan hukum dalam upaya terwujudnya Negara dan pemerintahan yang memenuhi keadilan sosial serta menjamin keadilan hukum bagi segenap warga negara tanpa adanya diskriminasi. Realisasi dari Perjuangan Pemohon antara lain adalah Gugatan Perbuatan Melawan Hukum melawan Walikota Bogor Atas Surat Edaran mengenai himbauan larangan perayaan Asyura yang melanggar Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, melalui Perkara Nomor 160/Pdt.G/2015/PN Bgr (Vide Bukti P- 7) , mengajukan Gugatan Perkara Nomor: 620/Pdt G/2015/ Pn Jkt Pst sehubungan dengan ditutupnya sidang Majelis Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, tentang pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Setya Novanto yang telah diputus tanpa adanya amar putusan, yang bertentangan dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jo Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No. 2/2015 Tentang Tata Beracara Majelis Kehormatan Dewan (Vide Bukti P-8), Mengajukan Gugatan Atas Surat Keputusan Bupati Bogor Nomor:
3/051/Kpts/ESDM/2011 tentang izin perusahaan tambang yang mengakibatkan konflik sosial antar sesama warga masyarakat karena hilangnya sumber air bagi penghidupan warga di Desa Antajaya, Kabupaten Bogor melalui Perkara No. 155/G/2015/PTUN.BDG (Vide Bukti P-9), beberapa contoh realisasi focus kerja tersebut menempatkan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 7 bahwa Pemohon adalah badan hukum privat yang berhak, berwenang, dan diakui secara sah dalam menggunakan prosedur organization standing __ (legal standing), dan dalam perspektif kedudukan hukum dianggap sebagai rechtsperson, atau dianggap seperti pribadi, orang perorangan yang memiliki entitas hukum berupa hak dan kewajiban;
Bahwa, doktrin tentang legal standing atau Organization Standing yang Pemohon gunakan __ merupakan sebuah prosedur beracara yang tidak hanya dikenal dalam doktrin, akan tetapi juga telah dianut dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia, seperti Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang- Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, serta Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan serta tidak terbatas pada Pengujian Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar di Mahkamah Konstitusi;
Bahwa, secara empiris dalam praktik peradilan di Indonesia, legal standing __ telah diterima dan diakui menjadi mekanisme dalam upaya pencarian keadilan, yang mana dapat dibuktikan antara lain, (a) Dalam fakta hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 060/PUU-II/2004 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air terhadap UUD 1945, (b) Dalam fakta hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-III/2005 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang terhadap UUD 1945, (c) Dalam fakta hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021-022/PUU- I/2003 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan, (d) Dalam Fakta Hukum Putusan Mahkamah Konstusi Nomor 140/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama;
Bahwa, sebagaimana diuraikan pada Point (5) dan Point (6) maka organisasi dapat bertindak mewakili kepentingan publik dan atau umum, bilamana organisasi tersebut memenuhi persyaratan yang ditentukan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 8 dalam berbagai peraturan perundang-undangan maupun yurisprudensi, yaitu (a) Berbentuk badan hukum atau Yayasan, (b) Dalam anggaran dasar organisasi yang bersangkutan menyebutkan dengan tegas mengenai tujuan didirikannya organisasi tersebut, (c) Telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya. Dalam hal ini Pemohon adalah Organisasi Non Pemerintah yang tumbuh dan berkembang secara swadaya, atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat yang didirikan atas dasar kepedulian untuk dapat memberikan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia khususnya pemberlakukan persamaan hak warga Negara di hadapan hukum dan pemerintahan melalui bantuan hukum struktural serta berperan aktif dalam upaya terwujudnya Negara dan Pemerintahan, yang memenuhi keadilan sosial dan menjamin keadilan hukum bagi segenap warga negara tanpa adanya diskriminasi. Tugas dan peranan Pemohon dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan pemajuan, perlindungan dan penegakan hak asasi di Indonesia telah secara terus-menerus mendayagunakan lembaganya sebagai sarana untuk memperjuangkan realisasi focus kerja Pemohon. Sehingga Pemohon memiliki legal standing dalam mengajukan Permohonan Judicial Review di Mahkamah Konstitusi. Sebagai subjek hukum, Pengundangan Undang-Undang Pengampunan Pajak telah melanggar dan merugikan hak konstitusional Pemohon, sebagai badan hukum yang berjuang terhadap focus kerja Pemohon, yang mengakibatkan Pemohon secara langsung telah mengalami kerugian konstitusional sebagai berikut; I.II. Kepentingan dan Kerugian Konstitusional Pemohon 8. Bahwa, Pengertian tentang kerugian konstitusional Pemohon, telah distandarisasi dan dimaknai oleh Mahkamah Konstitusi dalam 5 (lima) syarat sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU- III/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007, sebagai berikut, (a) adanya hak dan atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (b) bahwa hak dan atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang- Undang yang diuji, (c) bahwa kerugian hak dan atau kewenangan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 9 konstitusional Pemohon yang di maksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran wajar dapat dipastikan terjadi, (d) adanya hubungan sebab akibat (causa verband) antara kerugian dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan dalam pengujian, dan (e) adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkanya Permohonan maka kerugian dan atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;
Bahwa, Indonesia sebagai Negara yang berdasarkan hukum sebagaimana dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar. Konstitusi telah membuat batas-batas kekuasaan Pemerintah dan jaminan atas hak politik rakyat. Tujuan Negara menurut Aristoteles adalah untuk mencapai kehidupan yang paling baik ( the best life possible ) yang dapat dicapai dengan supremasi hukum. Hukum adalah wujud kebijaksanaan kolektif warga Negara ( collective wisdom ), sehingga peran warga Negara diperlukan dalam pembentukannya, sebagai representasi dari bentuk kemerdekaan berserikat maka warga negara memiliki keberhakan untuk ikut menentukan kebijakan yang dikeluarkan oleh negara sebagai suatu kontrol pemerintah dalam pemenuhan pemerintahan yang diisi dengan system yang baik, bersih, tranparan, dan akuntabel dengan menjunjung nilai-nilai persamaan dalam tata kelola kehidupan berbangsa dan bernegara;
Bahwa, sebagai bagian dari control pemerintah yang berasal dari aspek masyarakat, Pemohon mengikatkan diri sebagai penyandang hak dan kewajiban bernegara dengan mendaftarkan diri sebagai subek Pajak ( Vide Bukti P-10 ) dan berupaya mengikuti ketentuan perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dengan melaporkan kewajiban perpajakan Pemohon ( Vide Bukti P-11 ). Dalam perjuangan untuk memenuhi segala kewajiban perpajakan Pemohon, Pemerintah mengeluarkan kebijakan perpajakan yang didasari landasan hukum formil melalui Undang-Undang Pengampunan Pajak, dimana Pengampunan Pajak didefinisikan sebagai Penghapusan Pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 10 sanksi pidana perpajakan, dengan cara mengungkap harta dan membayar Uang Tebusan sebagaimana di atur dalam undang-undang Pengampunan Pajak. Pemaknaan pengapusan pajak yang seharusnya terutang adalah bentuk penghindaran atas kewajiban negara ( state obligation ) dalam memberikan kepastian akan penerapan jangkauan hukum kepada para wajib pajak yang tidak taat terhadap pelaporan pajak serta tidak jujur terhadap harta yang dibebankan akan pajak. Penerapan hukum secara diskriminatif tersebut telah menempatkan Pemohon yang berkedudukan sebagai subjek hukum baik dalam pemerintahan maupun dalam perpajakan, mengalami kerugian secara konstitusional karena ditempatkan secara berbeda dihadapan hukum dan pemerintahan;
Bahwa, Pemohon yang memiliki focus kerja dalam pembelaan hukum yang memenuhi keadilan sosial dan menjamin keadilan hukum bagi segenap warga negara tanpa adanya diskriminasi, berpandangan bahwa penempatan subjek hukum yang dibentuk oleh Undang-Undang Pengampunan Pajak telah melanggar asas-asas konstitusi terutama dalam persamaan hak dan kewajiban warga negara dihadapan hukum dan pemerintahan. Perlakuan diskriminasi tersebut telah menggolongkan warga negara Indonesia menjadi warga negara pembayar pajak dan warga negara tidak taat pajak. Pemaknaan subjek dalam pengampunan pajak menempatkan pengampunan yang berisikan penghapusan pajak terutang ditujukan kepada warga negara tidak taat pajak, dalam perihal ini Pemohon sebagai pembela pemenuhan keadilan social dan jaminan keadilan hukum tanpa dikriminasi, beranggapan dengan diterapkanya Undang-Undang Pengampunan Pajak telah membuat dikriminasi terhadap warga negara Indonesia pada umumnya yang bertentangan dengan focus kerja yang diperjuangkan Pemohon sehingga membuat kerugian konstitusional bagi Pemohon;
Bahwa, selain daripada itu dengan diundangkanya Undang-Undang Pengampunan Pajak membuat kerugian konstitusional Pemohon sebagai subjek yang memperjuangkan hak-hak warga Negara melalui penegakan hukum yang berkeadilan secara subtantif dan prosedural. Dalam Pasal 20 Undang-Undang Pengampunan Pajak termasuk dalam Penjelasan Pasal 20, data dan informasi yang bersumber dari surat pernyataan tidak Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 11 bisa dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan atau penuntutan. Kekebalan hukum tersebut diperluas ruang lingkup kekebalanya dengan tidak terbatas pada pidana perpajakan melainkan termasuk dalam seluruh tindak pidana. Perluasan ruang lingkup pertanggung jawaban pidana tersebut mengesampingkan seluruh aspek penegakan hukum pidana termasuk pada semangat warga Negara dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana kemanusian, tindak pidana lingkungan, tindak pidana narkotika serta tindak pidana lainya yang harus dipertanggung jawabkan, serta atau tanpa diundangkanya Undang-Undang Pengampunan Pajak. Seharusnya dengan diundangkanya Undang-Undang Pengampunan Pajak adalah bagian yang mengikatkan dirinya sebagai satu kesatuan yang relevan dengan penegakan hukum tersebut, dan bukan menghancurkan dan berlaku sebaliknya dari penegakan hukum. Kekeliruan secara konseptual atas pengundangan Undang-Undang Pengampunan pajak, seharusnya bisa di bandingkan dengan Pemberlakuan Pengampunan Pajak di Belgia, karena Pemberlakuan Pengampunan Pajak di Belgia harta yang dinyatakan dalam pengampunan pajak tidak boleh berasal dari tindak pidana pencucian uang atau harta yang masih dalam tahapan investigasi pidana (Vide Bukti P-12);
Bahwa, selain daripada kerugian konstitusional yang diakibatkan oleh Pasal 20 dan Pejelasan Pasal 20, Pemohon juga mengalami kerugian konstitusional dengan adanya sifat impunitas hukum dalam penyelenggaraan Pengampunan Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Pengampunan pajak. Konten tersebut telah membuat adanya perbedaan kedudukan di hadapan hukum dan pemerintahan, dan menegasikan kekuasaan peradilan. Pemohon sebagai badan hukum private yang berjuang mewujudkan kebenaran atas pengelolaan anggaran pemerintahan guna berperan aktif dalam upaya terwujudnya perilaku dan kebijakan penyelenggaraan negara serta pemerintahan dalam segenap usaha untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dilakukan menurut tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih ( good corporate government ), sehingga terhadap pengundangan Undang- Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 12 Undang Pengampunan Pajak tersebut mengakibatkan kerugian konstitusional Pemohon;
Bahwa, Pemohon selaku Badan Hukum Privat yang mengalami kerugian hak konstitusionalnya akibat diundangkanya Undang-Undang Pengampunan Pajak, kerugian konstitusional tersebut antara lain, (a) Undang-Undang Pengampunan Pajak membuat Kedudukan Pemohon sebagai wajib pajak, diposisikan secara dikriminatif dihadapan hukum dan pemerintahan (b) Dengan diundangkanya Undang-Undang Pengampunan Pajak yang memberikan Kekebalan hukum yang diperluas ruang lingkupnya dengan tidak terbatas pada pidana perpajakan melainkan termasuk dalam seluruh tindak pidana telah bertentangan dengan perjuangan Pemohon dalam melakukan upaya perlindungan dan penegakan hukum serta hak asasi manusia di Indonesia (c) bahwa dengan diundangkanya Undang-Undang Pengampunan Pajak membuat kerugian konstitusional Pemohon, dimana Pemohon sebagai kontrol sosial terhadap pelaksanaan pemerintahan, tidak dapat memperoleh informasi dan kebenaran atas pengelolaan Pengampunan Pajak guna berperan aktif dalam upaya terwujudnya perilaku dan kebijakan penyelenggaraan negara dan pemerintahan menurut tata kelola pemerintahan yang baik dan akuntabel;
Bahwa, berdasarkan kerugian konstitusional yang dialami secara langsung oleh Pemohon, telah membuat kedudukan Pemohon memenuhi kualifikasi baik secara kualitas maupun kapasitas sebagai Pemohon pengujian Undang-Undang Pengampuan Pajak terhadap Undang- Undang Dasar sebagaimana ditentukan dalam Pasal 51 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Jo Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, maupun sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi yang memberikan penjelasan mengenai syarat- syarat untuk menjadi pemohon pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Karenanya, jelas pula keseluruhan Pemohon memiliki hak dan kepentingan hukum mewakili kepentingan publik untuk mengajukan permohonan Pemohon, maka dengan ini Pemohon mengajukan Permohonan Pengujian Materiil Pasal 1 Angka Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 13 (1), 1 Angka (7), Pasal 3 Ayat (1) Undang-Undang No. 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak Terhadap Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Pengujian Materiil Pasal 1 Angka (7), Pasal 4, dan Pasal 5 Undang-Undang No. 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak Terhadap Pasal 28D ayat (1) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Pengujian Materiil Pasal 20 dan Pejelasan Pasal 20 Undang-Undang No. 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak Terhadap Pasal 24 ayat (1) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan; Pengujian Materiil Pasal 22 Undang-Undang No. 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak Terhadap Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; II. Kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Bahwa, Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar menyatakan bahwa Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang di bawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, dan selanjutnya Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar menyatakan Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu;
Bahwa, berdasarkan ketentuan di atas, maka Mahkamah Konstitusi mempunyai hak atau kewenangannya untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar yang juga didasarkan pada Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk (a) menguji undang-undang terhadap Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;
Bahwa, oleh karena objek permohonan pengujian ini adalah Undang- Undang No. 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak Terhadap Undang-Undang Dasar, maka berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (2), Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 14 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Jo Pasal 10 ayat (1) Undang- Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, maka Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus permohonan judicial review ini; III. Fakta Hukum dan Alasan Permohonan Pengujian. Fakta Hukum Atas Pengujian 1. Bahwa, pada tanggal 1 Juli 2016, telah disahkan dan diundangkan Undang Undang No. 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak, sebagai suatu regulasi Pengampunan Pajak, dicatatkan pada lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 No. 131 serta dicatatkan pada Tambahan Lembaran Negara No. 5899 dan mulai berlaku secara efektif sejak di undangkan , antara lain pada 1 Juli 2016;
Bahwa, pada saat Undang Undang Pengampunan Pajak diundangkan, maka untuk pertama kalinya dikeluarkan dan disahkan peraturan perundang-undangan Tentang Pengampunan Pajak yang didasari oleh analisis permasalahan penerimaan Pajak Negara, sehingga dipandang perlu mengeluarkan suatu formulasi kebijakan publik berupa pengampunan pajak, sehingga ketika Undang Undang Tentang Pengampunan Pajak diundangkan, tidak bersifat menggugurkan dan atau mentidakberlakukan peraturan perundang undangan lainya yang ruang lingkup kepengaturanya bersifat sejenis;
Bahwa, Undang-Undang Pengampunan Pajak adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur upaya peningkatan penerimaan Negara dan pertumbuhan perekonomian dalam jangka pendek dan menengah serta ditargetkan dapat meningkatkan kesadaran dan kepatuhan dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan, sehingga dipandang perlu adanya penerbitan suatu kebijakan pengampunan pajak, sebagai suatu kebijakan Nasional melalui formulasi perundang-undangan dengan mempertimbangkan kegagalan Pengampunan Pajak serupa atau setidak tidaknya mendekati kebijakan tersebut sebagaimana telah dikeluarkan pada Tahun 1964 melalui Penetapan Presiden No. 5 Tahun 1964 Tanggal 9 September 1964 Tentang Peraturan Pengampunan Pajak ( Vide Bukti P-13 ) dan kegagalan Pengampunan Pajak Tahun Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 15 1984 melalui Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1984 Tentang Pengampunan Pajak ( Vide Bukti P-14 );
Bahwa, berdasarkan kegalalan Pelaksanaan Pengampunan Pajak Pada Tahun 1964 dan Tahun 1984, Pemerintah mengeluarkan Undang- Undang Pengampunan Pajak, dan memberikan fasilitas khusus kepada Peserta Pengampunan Pajak antara lain (1) Fasilitas khusus tersebut berupa sifat impunitas yang diberikan kepada pelaksana Pengampunan Pajak dari pertanggungjawaban hukum baik secara Pidana maupun secara Perdata, (2) Undang-Undang Pengampunan Pajak memberlakukan besaran uang tebusan lebih rendah dari Pengampunan Pajak pada tahun 1964 yang menetapkan uang tebusan sebesar 10 Persen dan Penetapan Uang tebusan pada tahun 1984 sebesar 10 Persen pada tahun 1984, dan (3) Undang-Undang Pengampunan Pajak tidak mengatur pembatasan harta kekayaan yang dapat dimohonkan sebagai objek pengampunan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Pengampunan Pajak, hal ini berbeda dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak pada Tahun 1984 yang menyatakan objek yang berhak untuk dimohonkan sebagai objek pengampunan pajak tidak termasuk objek yang telah diketahui besaranya oleh Pemerintah;
Bahwa, fasilitas khusus yang diberikan oleh Undang-Undang Pengampunan Pajak, tidak berjalan secara relevan dengan tujuan penegakan hukum di Indonesia dan telah menghalangi segala upaya penegakan hukum yang telah diperjuankan berbagai lembaga Negara dan masyarakat selama ini. Penghalangan tersebut telah bertentangan dengan Tujuan pembentukan Negara Republik Indonesia untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan Ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial sebagai amanat penderitaan rakyat; IV. Alasan Permohonan 1. Bahwa, Ketidaksamaan atas kesempatan ekonomi, sosial, budaya, politik, perdamaian, dan keamanan harus diatur sedemikian rupa Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 16 sehingga perlu diperhatikan asas atau prinsip the different principle , the principle of fair equality of karena dengan prinsip tersebut menjamin terwujudnya proporsionalitas pertukaran hak dan kewajiban warga negara, dengan memaksudkan penegasan hukum materiel berikut penegakanya. Bahwa, dengan di undangkanya Undang-Undang Pengampunan Pajak, maka terdapat perbedaan kedudukan warga negara yaitu kedudukan warga negara pembayar pajak dan warga negara tidak membayar pajak. Dimana terdapat kerugian yang signifikan dengan berkurangnya piutang dan estimasi penerimaan pajak negara karena adanya pergantian sistem pembayaran pajak melalui diundangkanya Undang-Undang Pengampunan Pajak;
Bahwa, visi negara dengan mengundangkan Undang-Undang Pengampunan Pajak adalah mengambil potensi penerimaan pajak dari harta kekayaan subjek pajak yang belum pernah dikenakan pajak terhutang, dimana subjek pajak diharapkan akan mendaftarkan objek pajak baru, dengan demikian negara beranggapan akan mendapatkan tambahan penerimaan pajak dari objek pajak baru yang didaftarkan subjek Pajak, sehingga terdapat keuntungan yang diperoleh oleh negara berdasarkan pendaftaran objek pajak baru oleh wajib pajak, dan keuntungan tersebut akan mengesampingkan beberapa norma hukum yang didalamnya terdapat bentuk pertanggungjawaban hukum baik secara pidana, perdata maupun administratif;
Bahwa, Anggapan Negara mendapatkan Potensi Penerimaan Pajak melalui objek pajak baru adalah anggapan yang bersifat ekstensif dan tidak bisa dibuktikan sifat kebenaranya terlebih dahulu, karena penerimaan pajak yang dimaksud tersebut amat tergantung dengan peran dan kesadaran masyarakat dalam membayar pajak, kegagalan Pengampunan Pajak pernah dialami Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1964 dan Tahun 1984 karena sistem tata kelola perpajakan dan peran dari masyarakat tidak mendukung diadakanya Pengampunan Pajak, selain kegagalan Pemerintah Republik Indonesia, terdapat beberapa Negara yang mengalami kegagalan dalam Penerapan Pengampunan Pajak antara lain, (1) Argentina pada tahun 1987 karena upaya pelaksanaan Pengampunan Pajak tersebut tidak diikuti dengan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 17 upaya penegakan hukum yang tegas, karena memberikan fasilitas khusus berupa pengesampingan pertanggungjawaban hukum (2) India, italia, irlandia, dan Prancis yang berulang kali menerapkan Pengampunan Pajak dengan beberapa penerapan metode perihal tarif uang tebusan tetapi tidak berbanding lurus dengan pencapaian yang ditargetkan, (3) Amerika, dari 43 Program Pengampunan Pajak di 35 Negara Bagian antara tahun 1982 sampai dengan tahun 1997 menunjukan bahwa presentase penerimaan pajak yang dihasilkan dari Pengampunan Pajak, paling besar tidak melibihi 2.6 Persen dari total penerimaan pajak;
Bahwa, berdasarkan kegagalan Pengampunan Pajak yang pernah diterapkan di Indonesia pada Tahun 1964 dan Tahun 1984, maupun diberbagai Negara di dunia, menunjukan bahwa bagian terpenting dari upaya peningkatan penerimaan Negara adalah persiapan system perpajakan yang terhubung secara langsung dengan system penegakan hukum yang di dukung oleh kepastian hukum serta integritas pelaksanaan tata kelola perpajakan. Bahwa, dengan memperhatikan potensi yang belum bisa dibuktikan kebenaranya terhadap efektisitas Pengampunan Pajak, Negara telah melakukan tindakan pembiaran atas kejahatan pajak yang telah dilakukan oleh penggelap dan penghindar pajak, yang seharunya ditindak secara ekstensif sesuai dengan filosofi dibentuknya sistem yang bersifat represif pada Penyidikan, Penuntutan, dan Pengadilan Pajak;
Bahwa, selain bertentangan dengan prinsip persamaan kedudukan warga Negara di hadapan hukum dan pemerintahan, Pengundangan Undang-Undang Pengampunan Pajak merupakan tindakan Pembiaran terhadap penggelap dan penghindar pajak yang dilakukan Pemerintah dan bertentangan dengan sifat dasar Perpajakan yang dirumuskan dalam Pasal 23A Undang-Undang Dasar, dengan sifat dasar memaksa pembayaran pajak atas dasar keperluan Negara, sehingga terdapat perbedaan makna antara memaksa dengan mengampuni, dimana secara filosofis telah terjadi pertentangan deferensiasi makna antara amanat Konstitusi tentang Perpajakan dengan Undang-Undang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 18 pengampunan Pajak, adapun alasan serta argumentasi pada permohonan aquo adalah sebagai berikut; A. Pengertian Frase “ Pengahapusan Pajak ” dalam Ketentuan Pasal 1 Angka (1) dan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang pengampunan Pajak serta mekanisme pengampunan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Angka (7) Juncto Pasal 5 dan Pasal 4 Undang-Undang Pengampunan Pajak, bertentangan dengan Pasal 23A Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan pelaksanaan perpajakan bersifat memaksa bukan mengampuni sebagaimana dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak;
Bahwa, ketentuan Pasal 1 Angka 1 yang berbunyi “Pengampunan Pajak adalah penghapusan Pajak yang seharusnya terutang , tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana perpajakan, dengan membayar Uang Tebusan sebagaimana di atur dalam undang-undang ini” dan ketentuan dalam Pasal 3 ayat 1 berbunyi “Setiap Wajib pajak berhak mendapatkan Pengampunan pajak” serta diimplikasikan pada Pasal 1 Angka 7 yang berbunyi “uang tebusan adalah sejumlah uang yang dibayarkan ke dalam kas negara untuk mendapatkan pengampunan Pajak” Jo Pasal 5 yang berbunyi “ (1) Besarnya Uang Tebusan dihitung dengan Mengalikan tarif sebagaimana dimaksud di dalam pasal 4 dengan dasar pengenaan Uang Tebusan , (2) Dasar Pengenaan Tebusan Sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dihitung berdasarkan nilai harta bersih yang belum seluruhnya dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir , (3) NIlai Harta Bersih sebagaimana dimaksud di dalam ayat 2 merupakan selisih antara nilai harta dikurangi nilai hutang serta Pasal 4 yang mengatur nilai uang tebusan berdasarkan estimasi waktu pernyataan objek pengampunan pajak, bertentangan dengan Pasal 23A Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang” karena terdapat kekeliruan interpretasi leksikal terhadap pemaknaan frase “memaksa” yang diterapkan kedalam frase “pengampunan pajak” sebagaimana dalam pasal 1 Angka (1) dan Pasal 2 Angka (2) Undang-Undang Pengapusan Pajak; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 19 2. Bahwa, hirarki norma hukum menurut Kelsen merupakan nilai yang bersifat berjenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, demikian seterusnya sampai kepada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis yaitu norma dasar (Kelsen 1945:
Bahwa selanjutnya secara terminologi pengertian frase “ memaksa ” dalam Pasal 23A Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah memperlakukan, menyuruh, meminta dengan paksa sedangkan pengertian frase “ Pengampunan ” pada Undang- Undang Pengampunan Pajak adalah pembebasan dari hukuman atau tuntutan;
Bahwa, dalam Pasal 23A Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 berbunyi “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”, dimana secara leksikal dimaknai bahwa paksaan kepada warga negara dalam penerapan pajak adalah paksaan yang digunakan untuk keperluan negara sebagaimana dimaksud dalam tujuan pembentukan pemerintahan yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan Ikut serta melaksanakan ketertiban dunia, norma tersebut adalah norma yang dihilangkan dalam Pasal 1 Angka (1) dan Pasal 3 Angka (1) Undang- Undang Pengampunan Pajak karena adanya penempatan Frase “pengampunan”, sehingga frase tersebut bertentangan dengan sifat dalam Frase “memaksa” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 Amandement;
Bahwa, secara subtansi pemaknaan frase pengampunan dalam Pasal 1 Angka (1) dan Pasal 3 Angka (1) Undang-Undang Pengampunan Pajak adalah “Pengampunan Pajak adalah penghapusan Pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana perpajakan, dengan membayar Uang Tebusan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini” atau secara harfiah dimaknai adanya tindakan khusus pemerintah dalam sistem perpajakan dimana dalam pelaporan Wajib Pajak yang memiliki daftar Objek Pajak Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 20 baru yang belum pernah di daftarkan sebelumnya diberikan kekhususan dengan dihapuskanya sanksi yang meliputi sanksi Administrasi dan Sanksi Pidana;
Bahwa, subtansi dan pemaknaan pengampunan pajak dalam Pasal 1 Angka (1) dan Pasal 3 Angka (1) Undang-Undang Tentang Pengampunan Pajak telah terjadi pergeseran makna dan maksud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23A Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 yang berbunyi “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang- undang” sehingga terjadi perbedaan baik secara leksikal maupun secara gramatikal terhadap pengertian “memaksa” dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Amandemen dengan Pengertian “Pengampunan Pajak” dalam Pasal 1 Angka (1) dan Pasal 3 Angka (1) Undang-Undang Tentang Pengampunan Pajak;
Bahwa, implikasi atas perbedaan makna antara Pasal 23A Undang- Undang Dasar dengan Pasal 1 Angka (1) dan Pasal 3 Angka (1) Undang-Undang Pengampunan Pajak sebagaimana diruaikan diatas adalah bergesernya system perpajakan yang semula secara filosofis memiliki sifat “memaksa” menjadi sistem perpajakan yang kompromis melalui sistem “pengampunan” sehingga menghilangkan potensi pemasukan negara secara pasti dalam penerimaan pajak Negara;
Bahwa, terminologi bahasa hukum setidaknya harus bisa mewakili sebuah argumentasi filosofis, yuridis, maupun sosiologis agar terciptanya keadilan, kebenaran dan kepastian hukum baik secara de jure maupun de facto terhadap perbedaan frase tersebut baik secara leksikal maupun secara gramatikal membuat Pasal 1 Angka (1) dan Pasal 3 Angka (1) Undang-Undang Pengampunan Pajak inkonstitusional karena bertentangan dengan Pasal 23A Undang-Undang Dasar, sehingga sudah seharusnya dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai Pengampunan pajak ialah Penghapusan Pajak yang seharusnya terutang tidak dikenai Sanksi Administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap harta dan membayar Uang Tebusan; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 21 B. Pengertian Frase “Uang Tebusan” dalam Ketentuan Pasal 1 Angka (7) yang direalisasikan pada Pasal 4 juncto Pasal 5 Undang-Undang pengampunan Pajak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang- Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum” 1. Bahwa, dalam ketentuan Pasal 1 Angka (7) Undang-Undang No. 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak, diuraikan bahwa Uang Tebusan adalah sejumlah uang yang dibayarkan ke kas negara untuk mendapatkan pengampunan pajak. Ketentuan tersebut secara implementatif dijelaskan dalam Pasal 4 ayat (1) yaitu Tarif Uang Tebusan atas Harta yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau Harta yang berada di luar Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dialihkan ke dalam Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan diinvestasikan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu paling singkat 3 (tiga tahun terhitung sejak dialihkan, adalah sebesar: __ (a) __ 2% (dua persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan pertama sampai dengan akhir bulan ketiga terhitung sejak undang- undang ini mulai berlaku; __ (b) 3 (tiga persen) untuk periode penyampaian Surat pada bulan keempat terhitung sejak undang-undang ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2016; __ (c) __ 5 (lima persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan terhitung sejak tanggal 1 Januari 2017 sampai dengan tanggal 31 Maret 2017; __ Atau untuk harta yang berada di luar wilayah Indonesia, tarif uang tebusan atas harta yang berada diluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebesar (a) 4% (empat persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan pertama sampai dengan akhir bulan ketiga terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku; (b) 6% (enam persen) untuk periode penyampaian surat pernyataan pada bulan keempat terhitung sejak undang-undang ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2016; __ (c) 10% (sepuluh persen) untuk periode penyampaian surat pernyataan terhitung sejak tanggal 1 Januari 2017 Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 22 sampai dengan tanggal 31 Maret 2017; __ Atau bentuk pengampunan ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Angka 3 menyatakan tarif uang tebusan bagi wajib pajak yang peredaran usahanya sampai dengan Rp. 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta), pada tahun pajak terakhir adalah sebesar : (a) 0.5% (nol koma lima persen) bagi wajib pajak yang mengungkapkan nilai harta sampai Harta sampai dengan Rp. 10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah) dalam surat pernyataan; atau __ (b) __ 2% (dua persen) bagi wajib pajak yang mengungkapkan nilai Harta lebih dari Rp. 10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah) dalam surat pernyataan , untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan pertama sejak Undang-Undang ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Maret 2017; __ 2. Bahwa, secara penjalanan “Uang Tebusan” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Angka (7) memiliki 2 (dua) implikasi yaitu pengampunan pajak sebesar 10% (sepuluh persen) terhadap objek wajib pajak yang diakui dan didaftarkan pertama kali oleh wajib pajak, kedua pengampunan pajak sebesar 10% (sepuluh persen) untuk pengalihan harta dari luar kedalam wilayah hukum Republik Indonesia, dimana uang tebusan yang dimaksud dalam Undang-Undang pengampunan pajak adalah bentuk perlakuan khusus pemerintah untuk penggelap dan penghindar pajak; __ 3. Bahwa, perlakuan khusus yang diberikan pemerintah kepada penggelap dan penghindar pajak telah menyebabkan kerugian untuk wajib pajak yang selama ini taat dalam melakukan pembayaran pajak dan Undang- Undang Pengampunan Pajak tersebut memberikan posisi berbeda antara peserta pengampunan pajak dengan wajib pajak yang selama ini taat membayar pajak, dimana wajib pajak yang membayarkan pajak tersebut, pajaknya telah dipergunakan untuk keperluan pemerintah yang dibukukan dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara pada tahun-tahun sebelumnya; __ 4. Bahwa, upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat Indonesia baik dalam tataran konsep maupun penerapan secara teknis secara keseluruhan telah diregulasikan dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, keseluruhan perangkat tersebut telah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 23 terintegrasi dengan sistem perekonomian serta sistem penegakan hukum di Indonesia yang telah didesain dan diperbaharui secara terus menerus sehingga iklim perekonomian serta kesadaran atas perpajakan tidak memerlukan perangkat diluar dari perangkat yang tidak terintegrasi dengan sistem keuangan dan sistem penegakan hukum di Indonesia. __ Pengaturan perpajakan yang diatur melalui Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan telah mengatur mengenai penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap warga Negara pengempalang/penghindar pajak. Pengundangan Undang-undang Pengampunan Pajak yang bersifat menegasi pengaturan perpajakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah justru kontraproduktif dengan mekanisme penegakan perpajakan di Indonesia; __ 5. Bahwa, nilai-nilai dalam demokrasi mengatur kedudukan dan kapasitas warga negara adalah setara di hadapan hukum dan pemerintahan sebagaimana dijelaskan pada dictum menimbang International Covenant on Civil and Political Rights, yang menjelaskan bahwa ”sesuai dengan prinsip-prinsip yang diproklamirkan dalam Piagam Perserikatan Bangsa- Bangsa, pengakuan atas harkat dan martabat serta hak-hak yang sama dan tak terpisahkan dari seluruh anggota umat manusia merupakan landasan dari kebebasan, keadilan dan perdamaian di dunia” . Selanjutnya Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang menjelaskan bahwa, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum” __ 6. Bahwa, dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas pembentukan dasar dari Peraturan Perundang- undangan yang terdiri dari Kejelasan tujuan, Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis dan materi muatan, Dapat dilaksanakan, Kedayagunaan dan kehasilgunaan, Kejelasan rumusan, dan Keterbukaan. __ Bahwa, dalam penerapan Pasal 1 Angka (7) Undang-Undang Pengampunan Pajak, pemerintah melakukan diskriminasi dengan memposisikan wajib pajak yang taat dengan yang tidak taat secara berbeda serta lebih cenderung kepada memberikan perlakuan khusus Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 24 kepada wajib pajak yang tidak taat dalam melakukan pembayaran pajak, perihal ini merupakan suatu pengaturan yang bersifat inkonstitusional karena bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar, sehinga sudah seharusnya dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai Uang tebusan adalah sejumlah uang yang dibayarkan ke kas negara untuk mendapatkan pengampunan pajak; __ C. Frase “Tidak Dapat” Pada Pasal 20 Undang-Undang No. 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak, serta Frase “Tindak Pidana Lain” pada penjelasan Pasal 20 Undang-Undang No. 11 Tahun 2016 Bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 Karena memberikan kekebalan penyelidikan, penyidikan, dan Penuntutan dalam tindak pidana perpajakan serta tindak pidana lain kepada Peserta Pengampunan Pajak sehingga mengintervensi kekuasaan kehakiman dalam penyelenggaraan penegakan hukum;
Bahwa, Kekuasaan Kehakiman adalah Kekuasaan yang bebas dan merdeka dalam menyelenggarakan peradilan (dalam memeriksa, mengadili, dan memutus) sebuah perbuatan pelanggaran terhadap hukum baik secara perdata, pidana maupun secara administratif guna menegakan hukum dan keadilan. Dalam melakukan upaya penegakan hukum tersebut, konstitusi menempatkan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang tidak dibatasi atau dikurangkan oleh kekuasaan eksekutif baik secara langsung maupun melalui kebijakan tertentu karena pencarian kebenaran hukum dan keadilan hukum adalah hak dasar yang tidak bisa dibatasi;
Bahwa, Pasal 20 Undang-Undang No. 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak mengatur bahwa Data dan informasi yang bersumber dari Surat Pernyataan dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang Undan ini tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak. Pemaknaan “Data dan informasi yang bersumber dari Surat Pernyataan dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan atau penuntutan pidana Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 25 terhadap Wajib Pajak” adalah peserta pengampunan pajak setelah membuat pernyataan kepada Kementrian Keuangan, dilepaskan dari pertanggungjawaban hukum baik secara pidana, perdata, maupun secara administratif sehingga memiliki kekebalan hukum terhadap perolehan dan atau sumber keuangan yang dinyatakan dan dilaporkan;
Bahwa, imunitas hukum berupa pelepasan pertanggungjawaban pidana secara Penyelidikan, Penyidikan, Penuntutan bagi Peserta Pengampunan Pajak diperluas oleh Penjelasan Pasal 20 Undang- Undang No. 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak, yang memberikan pemaknaan Frase tindak pidana dalam Pasal 20 Undang- Undang No. 11 Tahun 2016 sebagai, Tindak pidana yang diatur dalam pasal ini meliputi Tindak Pidana di Bidang Perpajakan dan tindak pidana lain. Perluasan pemaknaan tindak pidana, sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 20 Undang-Undang Pengampunan Pajak, membuat peserta pengampunan pajak tidak memiliki pertanggungjawaban hukum atas harta yang dinyatakan baik dalam pidana perpajakan maupun, dalam pidana umum;
Bahwa, kekebalan hukum atas pidana perpajakan serta pidana lain yang diperoleh peserta pengampunan pajak, secara langsung telah membuat pembatasan terhadap jangkauan kekuasaan kehakiman dalam penyelenggaraan pencarian kepastian dan keadilan hukum, pembatasan dan pengurangan kekuasaan kehakiman tersebut telah menyalahi dan bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945;
Bahwa, dalam konsep Negara Hukum semua alat-alat perlengkapan negara, khususnya alat perlengkapan dari pemerintah dalam tindakan- tindakannya baik terhadap para warga negara maupun dalam saling berhubungan masing-masing tidak boleh sewenang-wenang, melainkan harus memperhatikan peraturan-peraturan hukum yang berlaku, dan dalam konteks kekuasaan kehakiman maka tidak ada satu aturan yang berlaku dengan membeda bedakan warga Negara dihadapan hukum dan pemerintahan;
Bahwa, menurut Sudargo Gautama terdapat ciri Negara hukum antara lain meliputi (1) Pembatasan kekuatan negara terhadap perorangan , Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 26 maksudnya adalah negara tidak dapat bertindak sewenang-wenang, tindakan negara dibatasi oleh hukum, individu mempunyai hak terdapat negara atau rakyat mempunyai hak terhadap penguasa (2) Asas Legalitas, Setiap tindakan negara harus berdasarkan hukum yang telah diadakan terlebih dahulu yang harus ditaati juga oleh pemerintah atau aparatnya (3) Pemisahan Kekuasaan, pemisahan kekuasaan yang dimaksud terdiri dari Adanya jaminan atau hak dasar manusia, Adanya pembagian kekuasaan, Pemerintah berdasarkan peraturan hukum, Adanya peradilan administrasi Negara. Bahwa pemaknaan pemisahaan kekuasaan adalah penjalanan kekuasaan eksekutif tanpa mengintervensi kekuasaan legislative dan judikatif serta sebaliknya, dalam perihal ini Pemberlakukan Pasal 20 Undang-Undang No. 11 Tahun 2016 serta Penjelasan Pasal 20 Undang-Undang No. 11 Tahun 2016, secara langsung telah membuat batasan serta pengurangan terhadap sifat dan fungsi kemerdekaan kehakiman, pengurangan dan pembatasan ini telah membuat Pasal 20 serta Penjelasan Pasal 20 Undang-Undang Pengampunan Pajak bertabrakan dengan Undang- Undang 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang- Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian, Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 Tetang Kejaksaan Republik Indonesia, serta segala bentuk peraturan perundang-undangan yang peran dan fungsinya mendukung pelaksanaan pencarian kebenaran hukum dan keadilan;
Bahwa selanjutnya, pertentangan makna dan norma antara Pasal 20 dan Penjelasan Pasal 20 Undang-Undang Pengampunan Pajak dengan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar, karena menyalahi suatu sistem bermasyarakat dan bernegara, dengan cara pemerintah membatasi kewenangan yudikatif dalam menjalankan proses pencarian keadilan, dan mengintervensi penegakan hukum melalui Pasal 20 dan Penjelasan Pasal 20 Undang-Undang Pengampunan Pajak, dengan memberikan imunitas hukum pidana perpajakan dan pidana lain yang timbul kepada peserta Pengampunan Pajak, norma dan asas imunitas atau kekebalan hukum pada Pasal 20 dan Penjelasan Pasal 20 undang- Undang No. 11 Tahun 2016 tersebut bersifat inkonstitusional karena telah bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 27 Negara Tahun 1945, sehingga sudah seharusnya dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat sepanjang dimaknai tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan atau penuntutan pidana di bidang perpajakan dan tindak pidana lain terhadap wajib pajak; D. Frase “tidak dapat” dalam kalimat “tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam Pasal 22 Undang-Undang Pengampunan Pajak, Tidak Memiliki Landasan Norma dalam Konstitusi dan telah bertentangan dengan prinsip persamaan hak dan kedudukan dihadapan hukum dan pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Dasar Tahun 1945.
Bahwa, menurut Lord Acton: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely” . Karena itu, kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat ‘ checks and balances ’ sehingga kekuasaan yang dimiliki seseorang dalam jabatanya tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu subjek jabatan yang memungkinkan terjadinya kesewenang- wenangan, seseorang dalam jabatanya mutatis mutandis dapat bertindak sebagai subyek hukum, yakni pendukung hak dan kewajiban (suatu personifikasi), maka dengan sendirinya jabatan itu dapat melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum itu dapat diatur baik dalam jangkauan hukum public maupun jangkauan hukum hukum privat, serta tidak terbatas pada bentuk pertanggung jawabanya ( rechtelijke verantwording ) yang bersifat melekat pada subyek tersebut, karena tiada kewenangan tanpa pertanggung jawaban;
Bahwa, Memisahkan kekuasaan suatu subyek ke dalam cabang-cabang yang bersifat checks and balances sehubungan dengan pemerintahan yang bersih ( good governance ) merupakan rangkaian konsep yang kesemuanya bermuara pada partisipasi masyarakat, termasuk di dalamnya dalam aspek pengawasan sosial kontrol yang telah memberikan amanahnya kepada pemerintah untuk mengelola sumber daya Negara; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 28 3. Bahwa, dalam kedudukan dan jabatan serta dalam kewenanganya menjalankan Undang-Undang Pengampunan Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Pengampunan Pajak, Menteri Keuangan, pegawai kementerian keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan pengampunan pajak, adalah subyek hukum pendukung hak dan kewajiban yang terikat kepada ketentuan Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Dasar Tahun 1945, sehingga Menteri Keuangan, pegawai kementerian keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan pengampunan pajak memiliki hak yang sama dihadapan hukum dan pemerintahan dengan warga negara Indonesia lainya tanpa terkecuali;
Bahwa, dalam perihal tersebut Negara Kesatuan Republik Indonesia telah menjamin persamaan kedudukan warga Negara di hadapan hukum dan pemerintahan sebagaimana di tuangkan dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan “ Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya ”. Asas persamaan di hadapan hukum tersebut, dijalankan sebagai hak asasi yang melekat pada warga Negara Indonesia dengan tidak memandang pada suku, ras, agama dan golongan serta jabatan. Oleh karenanya, seluruh warga Negara Indonesia tanpa terkecuali mendapat jaminan dari Negara melalui konstitusi agar warga negara terhindar dari perlakuan diskriminatif dihadapan hukum dan pemerintahan;
Bahwa, berkaitan dengan perlakuan dikriminatif dihadapan hukum dan pemerintahan, Pasal 22 Undang-Undang Pengampunan pajak berbunyi “ Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikat baik dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan” . Pemaknaan pada kalimat “tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas” memiliki makna “imunitas” yaitu keadaan Menteri Keuangan, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 29 Pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak memiliki kekebalan hukum yang tidak dapat dituntut atau dimintai pertanggungjawaban hukum baik secara pidana maupun secara perdata, ketentuan imunitas tersebut tidak memiliki landasan norma konstitusi, Karena kepengaturan Norma mengenai imunitas hanya dimiliki oleh Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 20A ayat (3), dan bisa diberlakukan ekstensif melebihi jangkauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20A ayat (3) tersebut;
Bahwa, berkaitan dengan hak imunitas yang didasari Pasal 22 Undang- Undang Pengampunan pajak tersebut, sebelumnya pada Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Pengampunan Pajak telah mengatur bahwa “Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan dan atau pihak lain yang terkait pelaksanaan pengampunan pajak untuk menjaga kerahasiaan informasi yang diketahui atau diberitahukan data dan informasi wajib pajak kepada pihak lain”. Elaborasi antara Pasal 22 Tentang Imunitas, dan penutupan arus informasi dari Kementerian Keuangan sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (2), telah membuat Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan dan atau pihak lain yang terkait pelaksanaan pengampunan pajak memiliki, kewenangan absolut tanpa pengawasan serta evaluasi dari masyarakat dalam menjalankan kontrol sosialnya, sehingga dalam menjalankan kewenanganya Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan tidak dapat diawasi, dimana kondisi kondisi kewenangan tanpa pengawasan masyarakat akan cenderung akan menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan, dan tidak tertutup kemungkinan tumbuh budaya koruptif, mengingat objek dibalik kewenangan dan informasi yang tidak dapat diakses oleh masyarakat tersebut adalah sesuatu yang memiliki nilai;
Bahwa, imunitas dan penutupan akses informasi melalui kewenangan yang dimiliki Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan telah memperlakukan masyarakat secara tidak demokratis, dan menghilangkan peran masyarakat sebagai kontrol sosial yang terbukti paling efektif, sedangkan realisasi imunitas yang dimiliki Menteri, Wakil Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 30 Menteri, pegawai Kementerian Keuangan yang didasarkan dalam frase “tidak dapat” pada kalimat tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut baik secara perdata maupun pidana, tidak memilki dasar norma dan kaidah dalam konstitusi dan bertentangan dengan prinsip perlindungan hukum yang sama adilnya ( fairness ) dimata hukum dan pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Dasar, sehingga wajar apabila Mahkamah Konstitusi berkenan untuk menyatakan Pasal 22 Undang-Undang Pengampunan Pajak, telah bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), atau menyatakan frase “tidak dapat” tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat sepanjang dimaknai tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut baik secara perdata maupun pidana; V. Petitum Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan memutus Permohonan Pengujian ini sebagai berikut:
Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan pengujian ini;
Menyatakan Frase “Pengampunan Pajak” dalam Pasal 1 Angka (1), Pasal 1 Angka (7), dan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak bertentangan dengan Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945, sepanjang dimaknai Pengampunan pajak ialah Penghapusan Pajak yang seharusnya terutang tidak dikenai Sanksi Administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap harta dan membayar Uang Tebusan;
Menyatakan Frase “Uang tebusan” dalam Pasal 1 Angka (7), dan Pasal 4, serta Pasal 5 Undang-Undang No. 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak bertentangan dengan Pasal 28D a yat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, sepanjang dimaknai Uang Tebusan adalah sejumlah uang yang dibayarkan ke kas negara untuk mendapatkan pengampunan pajak;
Menyatakan Frase “Tidak Dapat” dalam Pasal 20 Undang-Undang No. 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak, bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 sepanjang dimaknai Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 31 tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan atau penuntutan pidana terhadap wajib pajak;
Menyatakan Frase “Tindak Pidana Lain” pada penjelasan Pasal 20 Undang-Undang No. 11 Tahun 2016, bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 sepanjang dimaknai tindak pidana yang diatur dalam Pasal ini meliputi tindak pidana di bidang perpajakan dan tindak pidana lain;
Menyatakan Frase “tidak dapat” dalam Pasal 22 Undang-Undang No. 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sepanjang dimaknai Menteri Keuangan, Pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lainya yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara secara perdata maupun pidana;
Menyatakan Frase “Pengampunan Pajak” dalam Pasal 1 Angka (1), Pasal 1 Angka (7) serta Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang dimaknai Pengampunan pajak ialah Penghapusan Pajak yang seharusnya terutang tidak dikenai Sanksi Administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap harta dan membayar Uang Tebusan;
Menyatakan Frase “Uang tebusan” dalam Pasal 1 Angka (7), dan Pasal 4, serta Pasal 5 Undang-Undang No. 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang dimaknai Uang Tebusan adalah sejumlah uang yang dibayarkan ke kas negara untuk mendapatkan pengampunan pajak;
Menyatakan Frase “Tidak Dapat” dalam Pasal 20 Undang-Undang No. 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyeledikan, penyidikan, dan atau penuntutan pidana terhadap wajib pajak;
Menyatakan Frase “Tindak Pidana Lain” pada penjelasan Pasal 20 Undang-Undang No. 11 Tahun 2016 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai tindak pidana yang diatur dalam Pasal ini meliputi tindak pidana di bidang perpajakan dan tindak pidana lain; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 32 11. Menyatakan Frase “tidak dapat” dalam Pasal 22 Undang-Undang No. 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai Menteri Keuangan, Pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lainya yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara secara perdata maupun pidana;
Memerintahkan Pemuatan Amar Putusan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang mengabulkan permohonan pengujian Pasal 1 Angka (1), Pasal 1 Angka (7), Pasal 3 ayat (1), Pasal 23A Undang- Undang Dasar 1945, dan pengujian Pasal 1 Angka (7), Pasal 4, Pasal 5 terhadap Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Pengujian Pasal 20 serta Penjelasan Pasal 20 Terhadap Pasal 24 ayat (1), Serta Pengujian Pasal 22 Undang-Undang No. 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak Terhadap Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, dicatatkan dalam Berita Negara Republik Indonesia, sebagaimana seharusnya; Jika Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ) [2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, Pemohon mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-14 sebagai berikut:
Bukti P-1: Fotokopi Akta Pendirian Yayasan Satu Keadilan Nomor 18, bertanggal 12 Januari 2015;
Bukti P-2: Fotokopi Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-0008666.AH.01.04 Tahun 2015 tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Yayasan Satu Keadilan, bertanggal 22 Juni 2015;
Bukti P-3: Fotokopi Lampiran Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-0008666.AH.01.04.Tahun 2015 tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Yayasan Satu Keadilan, bertanggal 22 Juni 2015; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 33 4. Bukti P-4: Fotokopi Kartu Tanda Penduduk Atas Nama Sugeng Teguh Santoso;
Bukti P-4A: Fotokopi Kartu Tanda Penduduk Atas Nama Syamsul Alam Agus;
Bukti P-5: Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Bukti P-6: Fotokopi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak;
Bukti P-7: Fotokopi Akta Perdamaian Antara Yayasan Satu Keadilan dengan Walikota Boogor, bertanggal 29 Maret 2016;
Bukti P-8: Fotokopi Surat Gugatan Perkara Nomor 620/Pdt G/2015/Pn Jkt Pst di Pengadilan Negeri jakarta Pusat, bertanggal 29 Desember 2015;
Bukti P-9: Fotokopi Pemberitaan Online berjudul, “ Update Gugatan Warga Antajaya di PTUN Bandung”, bertanggal 2 Februari 2016;
Bukti P-10: Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Nomor 75.348.479.9- 403.000, Atas Nama Yayasan Satu Keadilan;
Bukti P-11: Fotokopi Bukti Penerimaan SPT dari Yayasan Satu Keadilan kepada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Cibinong;
Bukti P-12: Fotokopi Petikan Karya Tulis Ilmiah Ria Eva Yuliana, Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Indonesia halaman 88;
Bukti P-13: Fotokopi Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1964 tentang Peraturan Pengampunan Pajak, bertanggal 9 September 1964;
Bukti P-14: Fotokopi Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1984 tentang Pengampunan Pajak, bertanggal 18 April 1984. Selain itu, Pemohon juga mengajukan tiga orang ahli bernama Muhammad Reza Syariffudin Zaki, S.H., M.A. yang didengar keterangannya di bawah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 34 sumpah dalam persidangan tanggal 28 September 2016, serta Ahli Drs. Basuki Widodo , dan DR. Eva Achjani Zulfa, S.H., M.H ., yang didengar keterangannya di bawah sumpah dalam persidangan tanggal 11 Oktober 2016. Selain itu Pemohon juga mengajukan keterangan tertulis seorang Ahli bernama Dr. Endang Kiswara , S.E., M.SI., Ak . yang keterangan tertulisnya diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 31 Oktober 2016, yang pada pokoknya masing-masing ahli menerangkan sebagai berikut:
Muhammad Reza Syariffudin Zaki, S.H., M.A. Sebagai Ahli yang menekuni Hukum Perdagangan Internasional akan menyoroti “Dampak UU Pengampunan Pajak ( Tax Amnesty ) bagi Indonesia di Komunitas Perdagangan Internasional”. INDE DATAE LEGES BE FORTIOR OMNIA POSSET – Law were made lest the stronger should have unlimited power (hukum diciptakan, jika tidak ada hukum, maka orang yang kuat akan mempunyai kekuasaan tidak terbatas). Mengapa Undang-undang ini lahir di tengah menggeliatnya fenomena Panama Papers? Hipotesis serta pertanyaan retoris Ahli adalah, apakah Undang- undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak menjadi langkah proteksi Pemerintah Indonesia bagi kelompok pengemplang pajak yang jelas- jelas merobek tenun kebangsaan kita dengan membuat negeri ini kekeringan modal serta menipisnya pembangunan yang berorientasi luas bagi kepentingan masyarakat? Kemudian bagaimana bisa dalam produk hukum rezim perpajakan memasukan unsur “Pidana Lain” sebagai upaya me legal kan praktik bisnis yang diduga berpotensi masuk ke dalam kejahatan luar biasa ( Extraordinary Crime )? Kajian Hukum Perdagangan Internasional adalah kajian keilmuan yang bersinggungan dengan aspek keilmuan lainnya termasuk dalam modus kejahatan bisnis yang memiliki konsekuensi yuridis terhadap batalnya perjanjian serta runtuhnya reputasi subjek hukum baik negara, korporasi, maupun individual. Menurut Clive M. Schmitthoff, hukum perdagangan internasional didefiniskan sebagai berikut: “ the body of rules governing commercial relationship of private law nature involving different nations ”. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 35 Dari definisi tersebut, beberapa unsur-unsur hukum perdagangan sebagai berikut:
Hukum perdagangan internasional adalah sekumpulan aturan yang mengatur hubungan-hubungan komersial yang sifatnya perdata.
Aturan-aturan hukum tersebut megatur transaksi-transaksi beda negara. Menurut Michelle Sanson yang merupakan sarjana Australia menyatakan bahwa hukum perdagangan internasional “ can be defined as the regulation of the conduct of parties involved in the exchange of goods, service and technology between nations ”. Public international trade law adalah hukum yang mengatur perilaku dagang antarnegara. Sementara itu private international trade law adalah hukum yang mengatur perilaku dagang secara orang perorangan di negara-negara yang berbeda. Meningkatnya penetrasi perdagangan global, semakin membuka perekonomian suatu negara. Sebagai perusahaan yang berorentasi laba, sudah barang tentu suatu perusahaan akan berusaha untuk mendapatkan keuntungan yang sebanyak-banyaknya melalui berbagai macam efisiensi biaya, termasuk efisiensi beban (biaya) pajak. Terkait dengan hal-hal tersebut di atas, yaitu semakin canggihnya skema- skema transaksi keuangan yang ada dalam dunia bisnis tentu juga akan menciptakan peluang bagi perusahaan untuk melakukan skema-skema transasksi penghindaran pajak dalam rangka mengurangi beban pajak mereka, apalagi jika terjadi kekosongan peraturan perundang-undangan terhadap skema-skema penghindaran pajak tersebut. Bagi perusahaan yang beroperasi secara internasional (perusahaan multinasional) kesempatan untuk melakukan penghindaran pajak lebih terbuka lagi yaitu dengan cara memanfaatkan perbedaan sistem perpajakan suatu negara ( international tax avoidance ). Dalam perdagangan internasional, perusahaan multinasional tersebut mempunyai peran sebesar 60 persen dari transaksi internasional. (Bruno Gilbert, 2005). Oleh karena besarnya sumbangan mereka terhadap perdagangan internasional maka wajar saja kalau perusahaan multinasional tersebut merupakan penyumbang pajak terbesar di banyak negara, tidak terkecuali juga Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 36 bagi Indonesia. Di Negara berkembang banyak ditemukan kontrak Internasional yang mengandung unsur KKN (Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme). Hal ini terjadi bisa karena adanya pertemuan penguasa dan pemilik modal (Huala Adolf, 2010). Prinsip internasional pertama di bidang bisnis adalah ” The Caux Round-Table Principles for Business ” yang disepakati pada tahun 1994 oleh eksekutif puncak dari berbagai perusahaan multinasional dari Jepang, Eropa dan Amerika Serikat (seperti Matsuhita, Philips, Ciba-Geigy, Cummins, 3M dan Honeywell). Prinsip Caux berakar pada dua nilai ideal dasar dalam etika, yaitu konsep Jepang “kyosei” yang berarti hidup dan bekerja bersama- sama demi kesejahteraan umum, dan konsep barat “ human dignity ” (martabat manusia), salah satu hal yang disepakati dari 7 poin tersebut adalah menghindari operasi-operasi yang tidak etis seperti money laundering (pencucian uang). Dalam konteks perpajakan internasional, ada berbagai skema yang biasa dilakukan oleh PMA untuk melakukan penghematan pajak yaitu dengan skema seperti (i) transfer pricing , (ii) thin capitalization , (iii) treaty shopping , dan (iv) controlled foreign corporation (CFC). Pada umumnya dalam melakukan penghematan pajak tersebut, wajib pajak dapat menjalankan dalam bentuk: (Paulus Merks, 2007).
Substantive Tax Planning , yang terdiri atas:
Memindahkan subjek pajak ( transfer of tax subject ) ke negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven atau negara yang memberikan perlakuan pajak khusus (keringanan pajak) atas suatu jenis penghasilan.
Memindahkan objek pajak ( transfer of tax object ) ke negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven atau negara yang memberikan perlakuan pajak khusus (keringanan pajak) atas suatu jenis penghasilan.
Memindahkan subjek pajak dan objek pajak ( transfer of tax subject and of tax object ) ke negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven atau negara yang memberikan perlakuan pajak khusus (keringanan pajak) atas suatu jenis penghasilan.
Formal Tax Planning Melakukan penghindaran pajak dengan cara tetap mempertahankan substansi ekonomi dari suatu transaksi dengan cara memilih berbagai Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 37 bentuk formal jenis transaksi yang memberikan beban pajak yang paling rendah. Di banyak negara, seperti di Israel dan Kanada, telah membuat suatu ketentuan untuk menangkal praktik unacceptable tax avoidance atau aggressive tax planning yang dilakukan oleh wajib pajak. Hal ini disebabkan karena tax planning yang dilakukan wajib pajak tidak lagi bersifat defensive tax planning lagi tetapi sudah semakin offensive yaitu dengan membuat suatu transaksi semu yang pada dasarnya tidak ada tujuan bisnisnya atau membuat suatu entitas usaha di negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven country . Pada Pasal 20 yang memasukan frasa “Pidana Lain” menciptakan inkonsistensi terhadap rezim UU Perpajakan, kemudian pada Pasal 21 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) menunjukan upaya tidak kooperatif dalam membangun transparansi untuk kepentingan perpajakan maupun perdagangan internasional dimana di hukum perdagangan internasional terdapat salah satu prinsip Transparency . Disamping itu, seharusnya pasal tersebut bertentangan dengan kesepakatan dari Negara-negara OECD bahwa di tahun 2018 akan ada upaya untuk merevisi prinsip kerahasiaan Bank ( Bank Sacrecy ) yang dianggap menghambat laju keterbukaan informasi. Serta Pasal 22 yang mengesankan imunitas hukum pejabat negara dalam hal pelaksanaan pengampunan pajak ini yang mencederai semangat equality before the law . Menteri Keuangan Republik Indonesia telah mengeluarkan aturan teknis yakni Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 142/PMK.010/2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 127/PMK.010/2016 tentang Pengampunan Pajak Berdasarkan Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak bagi Wajib Pajak Yang Memiliki Harta Tidak Langsung Melalui Special Purpose Vehicle (SPV) yang terdiri dari 8 (delapan) pasal hasil perubahan. PMK tersebut melaksanakan ketentuan Pasal 24 huruf a Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Mekanisme ini juga diatur di dalam Pasal 13 PMK Nomor 118/PMK.03/2016. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 38 Apa yang dimaksud dengan Special Purpose Vehicle ("SPV") dan mengapa pengusaha atau grup perusahaan menggunakan SPV? Lalu apakah SPV dapat disalahgunakan untuk melakukan pelanggaran hukum? Special Purpose Vehicle (SPV) diungkapkan pula oleh Robert L. Symonds, Jr., sebagai berikut : “ A Special Purpose Vehicle (SPV) is a company with a limited purpose or focus. It is created by a corporation to conduct a specific or temporary activity. It is normally, but not necessarily, owned almost entirely by the sponsoring corporation. It must be distanced from the sponsor both in terms of management and ownership (not 100%), because if the SPV were to be owned or controlled by the sponsor, there is no difference between a subsidiary and an SPV .” Special Purpose Vehicle (SPV) adalah sebuah perusahaan dengan tujuan atau fokus yang terbatas. Perusahaan ini dibentuk oleh suatu badan hukum untuk melakukan aktivitas khusus atau bersifat sementara. Perusahaan ini biasanya, walaupun tidak perlu, dikuasai hampir sepenuhnya oleh badan hukum yang menjadi sponsornya. Oleh sebab itu SPV ini harus dijauhkan dari sponsor baik dalam bidang manajemennya maupun pemilikannya (tidak 100%), karena jika SPV sudah dikuasai atau diatur oleh sponsor, maka tidak akan ada perbedaan antara cabang perusahaan dan SPV. SPV bukanlah objek hukum yang sering dikaji secara akademik di Indonesia, walaupun dalam praktik bisnis, penggunaannya tidaklah asing sama sekali bagi para pengusaha. SPV secara keuangan dan perdagangan mendapat garansi dari lembaga-lembaga keuangan independen yang terlibat seperti Finance Consultant , Appraisal, Tax Consultant dan lain-lain. Melalui kesempatan ini, saya berharap dapat memberikan penjelasan yang memadai bagi masyarakat awam mengenai keberadaan SPV dan bagaimana hukum di Indonesia sebaiknya menghadapi potensi positif dan negatif dari SPV melalui pendekatan ekonomi terhadap hukum (atau disebut juga sebagai pendekatan Hukum dan Ekonomi ( Law & Economics ). Lalu apa yang membedakan SPV dari Korporasi pada umumnya? SPV diciptakan dengan fungsi yang sangat khusus/terbatas, terutama untuk membatasi resiko finansial dari pemilik SPV yang bersangkutan (dan dalam Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 39 konteks tertentu, kepentingan kreditor SPV tersebut) (Pearce II dan Lipin, cukup mudah untuk diidentifikasi, antara lain: tidak memiliki karyawan, tidak memiliki lokasi fisik, dan tidak mengambil keputusan bisnis/ekonomi yang substantif (tidak menjalankan kegiatan usaha) (Tylor, 2009). Ciri-ciri di atas membedakan secara tegas peranan SPV dengan Korporasi yang pada prinsipnya menjalankan kegiatan usaha secara aktif untuk mencari keuntungan (Mueller, 2003). Dalam praktiknya, SPV dapat digunakan untuk menyamarkan identitas dari pemiliknya melalui konsep pemisahan pemilik dengan badan hukum Korporasi (OECD, 2001). Penyamaran identitas ini umumnya dilakukan dengan jalan mendirikan belasan, puluhan atau mungkin lebih banyak lagi SPV dan menciptakan struktur kepemilikan atas SPV-SPV tersebut yang berlapis-lapis di berbagai jurisdiksi (yang tentunya melibatkan banyak negara). Penyamaran identitas melalui SPV ini, ditambah dengan keberadaan konsep tanggung jawab terbatas, dapat memberikan insentif negatif kepada pihak- pihak tertentu untuk melakukan pelanggaran hukum termasuk dalam bentuk pencucian uang, korupsi, transaksi orang dalam, penggelapan pajak, dan sebagainya (OECD, 2001). Mengapa karakteristik SPV di atas dapat menimbulkan insentif negatif ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita harus kembali ke asumsi awal dalam pendekatan Hukum dan Ekonomi bahwa manusia adalah makhluk yang rasional. Sebagai makhluk rasional, seseorang akan melakukan kejahatan apabila keuntungan dari kejahatan tersebut melebihi biaya yang harus dikeluarkan olehnya sehubungan dengan kejahatan tersebut (Becker, 1974). Formula ini berlaku umum untuk segala jenis tindak pidana, baik pencurian, pembunuhan, pemerkosaan, sampai dengan korupsi dan pencucian uang. Mendirikan puluhan sampai ratusan lapisan kepemilikan yang rumit melalui SPV tidak membutuhkan modal yang besar. Dalam praktiknya, US$100 sudah cukup untuk mendirikan suatu Korporasi di berbagai negara tertentu yang memang mengkhususkan dirinya untuk berbisnis di bidang pendirian Korporasi (OECD, 2001). Selain itu, biaya operasional menjalankan SPV juga tidak besar Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 40 karena sesuai dengan fungsinya yang terbatas, SPV tidak memerlukan tenaga kerja, kantor fisik dan kegiatan usaha. Sekalipun proses pendiriannya mudah, melacak struktur kepemilikan SPV justru merupakan pekerjaan yang sulit, apalagi kalau sampai harus melibatkan otoritas multi jurisdiksi. Belum lagi fakta bahwa negara-negara yang khusus bergerak di bidang pendirian SPV juga memang umumnya sangat menjaga kerahasiaan identitas pemilik SPV tersebut (OECD, 2001). Kerumitan yang tidak perlu tersebut menambah biaya penegakan hukum, dan sesuai dengan hukum ekonomi, biaya penegakan hukum yang mahal akan menyebabkan proses penegakan hukum menjadi lebih sulit dan sebagai akibatnya, biaya untuk melakukan kejahatan akan menjadi berkurang. Kemudahan menciptakan struktur kepemilikan yang berlapis ditambah dengan tingkat kerahasiaan identitas yang tinggi memberikan sarana yang murah dan efektif bagi suatu pihak untuk menyamarkan keberadaannya. Tentu saja sebagai akibatnya terdapat insentif yang besar bagi pihak yang bersangkutan untuk melakukan tindak pidana karena ia dapat berlindung dari tanggung jawab hukum dengan jalan menciptakan lapisan kepemilikan SPV tersebut. Tidak lah mengherankan kalau hal di atas dapat memicu si pemilik SPV untuk membiarkan saja SPV-nya digunakan untuk melakukan pelanggaran hukum, atau menggunakan SPV untuk berinvestasi dalam kegiatan usaha yang berdampak buruk atau berbahaya bagi lingkungan/masyarakat (Hansmann dan Kraakmann, 1991,.1883). Laporan repatriasi yang terus melonjak jangan hanya dianggap sebagai laporan positif bagi pendapatan Negara yang tumbuh. Dalam praktik tax avoidance , kita mengenal istilah Integration atau bisa disebut dengan repatriation and integration atau spin dry . Pada tahap ini, uang yang telah dicuci dibawa kembali ke dalam sirkulasi dalam bentuk pendapatan yang bersih, bahkan merupakan objek pajak. Begitu uang tersebut dapat diupayakan sebagai uang halal melalui cara layering, maka uang yang dianggap halal tersebut dibelanjakan untuk kegiatan bisnis atau kegiatan operasi kejahatan atau organisasi kejahatan yang akan diualngi lagi oleh pelaku, dan para pelaku ini dapat memilih penggunaannya dengan cara Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 41 menginvestasikan dana tersebut ke dalam real estate (barang-barang maupun perusahaan). Menurut Pasal 1320 KUHPerdata harus memenuhi 4 syarat agar dapat memiliki kekuatan hukum dan mengikat para pihak yang membuatnya. Hal tersebut adalah:
Kesepakatan para pihak;
Kecakapan untuk membuat perikatan (misal: cukup umur, tidak dibawah pengampuan dll);
menyangkut hal tertentu;
adanya causa yang halal. Hal ini berlaku juga pada Hukum Perdata Internasional. Dua hal yang pertama disebut sebagai syarat subyektif dan dua hal yang terakhir disebut syarat obyektif. Suatu perjanjian yang mengandung cacat pada syarat subyektif akan memiliki konsekwensi untuk dapat dibatalkan ( vernietigbaar ). Dengan demikian selama, perjanjian yang mengandung cacat subyektif ini belum dibatalkan, maka ia tetap, mengikat para pihak layaknya, perjanjian yang sah. Sedangkan, perjanjian yang memiliki cacat pada syarat obyektif (hal tertentu dan causa yang halal), maka secara tegas dinyatakan sebagai batal demi hukum. (J.Satrio, 1992). Sehingga dalam kaitannya jual beli rumah tidak hanya rumah yang dijadikan objek hukum, melainkan juga uangnya. Asal-usul uang ini juga perlu untuk diketahui apakah berasal dari causa halal atau tidak. Disamping itu, menurut Konvensi Viena 1980 Covention on Contracts for The International Sales of Goods (CISG) yang terdiri dari 101 pasal. Terkait dengan hal keabsahan dari suatu perjanjian, ada dua hal yang dapat dikemukakan disini. Hal kedua berkaitan dengan objeknya, yaitu yang terkait dengan pelaksanaan perjanjian jual beli itu sendiri. Dalam permasalahan kedua ini, perlu diperhatikan bahwa dalam hal ketentuan hukum materiil mengenai pelaksanaan perjanjian jual beli yang diatur dalam CISG bertentangan dengan ketentuan hukum domestik yang berlaku di suatu Negara tertentu yang merupakan Negara salah satu pihak dalam perjanjian jual beli, maka hal ini dapat dijadikan sebagai alasan untuk menyatakan perjanjian jual beli menjadi tidak sah dan harus dibatalkan. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 42 Pada tahun 1995 sempat terjadi skandal pencucian uang besar yang dilakukan oleh Barings Bank, salah satu Bank tertua di Inggris, Bank of Credit & Commerce International (BCCI). Bank sebagai subjek hukum perdagangan internasional mewakili korporasi atau juga bisa disebut sebagai intermediary dalam transaksi bisnis internasional dengan pihak swasta lainnya. Kejadian tersebut mengakibatkan kekacauan sejumlah bisnis di dunia yang berasal dari berbagai Negara karena BCCI memiliki anak perusahaan di Timur Tengah, Afrika, Asia, dan Amerika Serikat. Bahkan BCCI juga terlibat dengan Luxemberg sebagai Tax Haven Country . IMF mencatat jumlah uang haram yang beredar di dunia mencapai 5 % dari Gross Domestic Product (GDP) Dunia. Pada Pasal 20 yang memasukan frasa “Pidana Lain” menciptakan inkonsistensi terhadap rezim UU Perpajakan, kemudian pada Pasal 21 ayat (2), ayat (3), dan ayat ( menunjukan upaya tidak kooperatif dalam membangun transparansi untuk kepentingan perpajakan maupun perdagangan internasional dimana di hukum perdagangan internasional terdapat salah satu prinsip Transparency . Di samping itu, seharusnya pasal tersebut bertentangan dengan kesepakatan dari Negara-negara OECD bahwa di tahun 2018 akan ada upaya untuk merevisi prinsip kerahasiaan Bank ( Bank Sacrecy ) yang dianggap menghambat laju keterbukaan informasi. Serta Pasal 22 yang mengesankan imunitas hukum pejabat Negara dalam hal pelaksanaan pengampunan pajak ini yang mencederai semangat equality before the law . Eksistensi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak serta PMK yang mengatur mengenai Special Purpose Ve hicle (SPV) memberikan ancaman serius bagi aktifitas perdagangan internasional. Perlu diingat bahwa perdagangan internasional terjadi baik antara pemerintah (G) dengan pemerintah (G), pemerintah (G) dengan swasta (B), atau bahkan swasta (B) dengan swasta (B). Produk hukum domestik yang tidak mendorong kesepakatan internasional dalam membangun harmonisasi perdagangan akan menyulut instabilitas perdagangan baik bilateral maupun multilateral. Konsekuensinya dapat terjadi Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 43 ketidakpastian perdagangan jika terbukti dalam perdagangan tersebut ditemukan aspek-aspek pelanggaran yang diatur di masing-masing Negara. Padahal, perdagangan diciptakan untuk mendorong nilai ekonomi pada suatu komunitas besar yang disebut negara. Masyarakat termasuk di dalamnya bisa ikut menikmati tumpahan ekonomi dari proses ini. Oleh karena itu, Ahli berharap, majelis hakim dapat mempertimbangkan keterangan ahli ini sebagai bagian untuk mencegah degradasinya perdagangan Indonesia di masa depan.
DR. Eva Achjani Zulfa.,S.H.,M.H. Di antara materi-materi yang dimohonkan untuk diuji, maka berdasarkan kompetensi dan pengetahuan yang Ahli miliki dan dimintakan kepada Ahli untuk dijelaskan terutama berkaitan dengan ketentuan dalam Pasal 20 Undang-Undang Pengampunan Pajak dimana rumusan dalam ketentuan tersebut adalah sebagai berikut: “ Data dan informasi yang bersumber dari Surat Pernyataan dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang ini tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak. ” Ketentuan ini memiliki dampak yang luas bukan hanya dalam penegakan hukum di bidang perpajakan tetapi penegakan hukum terutama hukum pidana secara keseluruhan. Harus disadari bahwa penegakan hukum dibidang perpajakan adalah terutama harus dimaknai sebagai bentuk penegakan hukum di bidang administrasi. Karena Undang-Undang Pajak adalah Undang-Undang administratif yang bersanksi pidana. Tujuan dari penegakan hukum pajak adalah untuk mendapatkan pendapatan negara semaksimal mungkin dari sektor pajak. Sehingga hal ini menjadi berbeda dari tujuan penegakan hukum utamanya dalam hukum pidana yaitu menjaga ketertiban umum dan ketentraman dalam masyarakat. Dalam konteks kebijakan tentang Tax Amnesty , maka hal ini dapat dimaklumi manakala adanya pembatasan kewenangan penuntutan oleh Jaksa penuntut umum. Filosofi dalam hukum pidana sebagai “ ultimum remedium ” sesungguhnya memberikan pesan bahwa penggunaan sarana hukum pidana Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 44 selayaknya digunakan dengan hati-hati. Pasal 8 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Pajak [ sic! ] pada dasarnya sudah memberikan jalan adanya mekanisme administratif yang dapat menyebabkan kewenangan penyidikan menjadi hapus manakala dengan itikad baik wajib pajak “dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan”, yang artinya tanpa suatu kebijakan tentang Tax Amnest y, sutau penghentian proses peradilan pidana dalam bidang perpajakan sudah merupakan mekanisme kebijakan yang dipilih dengan mengedepankan filosofi hukum pidana sebagai ultimum remedium . Akan tetapi, kebijakan ini agak menjadi suatu semangat yang “berlebihan, ketika dirumuskan dalam bentuk rumusan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 20 tersebut di atas. Harus dipahami bahwa sesungguhnya ranah penegakan hukum pidana dibidang perpajakan tidak hanya berjalan sendirian. Tindak pidana ini tidak jarang berhubungan juga dengan tindak pidana lainnya misalnya dengan pemalsuan surat atau dokumen (Pasal 263, Pasal 264 atau Pasal 266 KUHP ) atau dengan tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, illegal fishing, illegal loging , tindak pidana pertambangan atau tindak pidana lainnya. Oleh karenanya pembatasan status di mana dinyatakan bahwa status dokumen yang bersumber dari Surat Pernyataan dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain tidak dapat menjadi dasar dilakukannya penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana, membuat ketentuan ini berimbas pada kualitas dari dokumen yang akan menjadi alat bukti atau barang bukti dalam proses penyidikan atau penuntutan bukan hanya dalam tindak pidana perpajakan tetapi juga pada tindak pidana lainnya. Berkaitan dengan hal itu maka mohon kiranya kepada majelis hakim untuk menyatakan bahwa rumusan dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak dapat dinyatakan sebagai ketentuan yang “ unconstitutional condition ”, dan karenanya menjadi kewenangan dari Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan keberlakukan atas ketentuan tersebut. Menurut Ahli dalam kacamata hukum pidana dengan tidak diprosesnya secara administratif sesungguhnya sanksi pidana di bidang perpajakan dirumuskan secara berlebihan. Hukum pidana dipakai manakala mekanisme dalam hukum Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 45 lain tidak bekerja, filosofinya terbalik. Jika kemudian kita mengedepankan filosofi ultimum remedium dalam kacamata hukum pidana di dalam membaca rumusan Pasal 1 ayat (1) ini, sesungguhnya frasa mengenai sanksi pidana di bidang perpajakan menurut Ahli berlebihan. Menurut Ahli hal ini menunjukkan inkonsistensi sifat keterburu-buruan di dalam perumusan pasal ini. Pasal 20 harusnya dikatakan tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan. Tetapi ketika kita melakukan interpretasi secara sistematis terkait dengan Penjelasan Pasal 20, maka pertanyaannya adalah apa maksud pembuat undang-undang dengan mengatakan bahwa ini tidak hanya terhadap tindak pidana di bidang perpajakan, tapi juga tindak pidana lainnya? Ketentuan Pasal 20 ini pada hakikatnya adalah berkaitan dengan kepentingan individu yang berhadapan dengan kepentingan negara untuk mendapatkan pajak yang dibayarkan. Jika itu didapat dari hasil satu tindak pidana, kekayaan itu menjadi halangan bagi penyidik, apalagi jika terkait dengan tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi sangat kental nuansa administratifnya, alat bukti surat menjadi salah satu alat bukti yang sangat penting. Jika alat bukti yang penting ini kemudian dinihilkan dengan kualitasnya dengan ketentuan Pasal 20, Ahli mempertanyakan bagaimana KPK, PPATK, Mabes Polri, lembaga kejaksaan kemudian melakukan kerjanya? Sehingga akan berimplikasi sangat luas.
Drs. Basuki Widodo Dalam dunia internasional, ada satu slogan yang cukup popular “ Taxation without Representation is Robbery ”, yang memiliki makna bahwa pelaksanaan pajak tanpa ada Undang-Undang adalah perampokan. Kebijakan Tax Amnesty dibuat penuh dengan kontroversial. Hal inilah yang melatarbelakangi saya sebagai lulusan dari Jurusan Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia dan menekuni bidang pajak, akan menyoroti kebijakan Tax Amnesty dalam persepektif pembangunan sistem pajak Indonesia berdasarkan hasil penelitian pajak yang pernah Indonesian Tax care – INTAC lakukan pada tahun 2012. Pajak adalah pungutan oleh negara kepada rakyat berdasarkan Undang- Undang dengan tidak mendapat imbalan langsung kepada wajib pajak Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 46 (kontraprestasi). __ Pajak berfungsi membiayai keperluan penyelenggaraan kenegaraan dalam pelaksanaan pembangunan nasional untuk kesejahteraan bangsa dan Negara. (Prof Mansury, 1989) . Dalam rangka mengoptimalkan peran pajak sebagai pengganti turunnya penerimaan negara dari migas, maka pada tahun 1983 pemerintah melakukan reformasi perpajakan (tax reform) menjadi self assessment system . Pada sistem ini, wajib pajak diberi kepercayaan sepenuhnya untuk menentukan sendiri besarnya angsuran serta pajak yang sesungguhnya terhutang. Fiskus bersifat pasif, hanya memberikan penjelasan, pengawasan dan koreksi terhadap kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh wajib pajak (Drs. S. Munawir, Ak 1987). Dalam perkembangan selama dua dasawarsa, terbukti dengan prinsip self assessment system cukup berhasil menggali potensi pajak Indonesia. Pajak telah membuktikan perannya dalam penerimaan negara, dimana dari tahun ke tahun penerimaan pajak terus meningkat, bahkan kontribusinya dalam menunjang penerimaan negara semakin besar. Namun sejak tahun 2007 penerimaan pajak Indonesia tidak pernah mencapai target yang telah ditetapkan pemerintah. I. HASIL PENELITIAN PAJAK INTAC. Dari hasil penelitian menunjukan bahwa sistem pajak Indonesia yang dibangun selama ini sangat rapuh dan rentan terhadap berbagai macam masalah. Terdapat dua faktor yang menjadi indikasi sekaligus penyebab rapuhnya sistem pajak Indonesia, yaitu : terabaikannya prinsip-prinsip pemungutan self assesment system dan pembangunan pajak tidak mengarah pada cita-cita pajak Indonesia. Tidak adanya arah yang jelas menjadikan secara pragmatis pajak diartikan terbatas hanya pada target penerimaan. Pada akhirnya berbagai kepentingan masuk memanfaatkan lemahnya sistem yang terbangun selama ini, untuk kepentingan pribadi. Kepentingan tersebut saling tumpang tindih antara kepentingan negara, lembaga dan kepentingan pribadi. Oknum yang memanfaatkan kepentingan tersebut juga beragam, bisa dalam bentuk individu, kelompok bahkan yang mengatasnamakan lembaga. Korupsi pajak merupakan salah satu bentuk kepentingan pribadi yang mendompleng kepentingan lembaga bahkan negara. Korupsi pajak dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 47 pencapian prestasi target penerimaan pajak, menjadi dua hal yang saling melengkapi, untuk menutupi berbagai kecurangan yang terjadi di lingkungan pajak. Hal inilah yang seringkali menjadikan penyimpangan di lingkungan pajak sulit untuk dihapuskan. Korupsi pajak tidak pernah benar-benar hilang dan hanya berubah bentuk dari satu bentuk ke bentuk lainnya, menyesuaikan dengan kondisi dan arah kebijakan pemerintah. Kondisi ini memungkinkan terjadi karena praktek kecurangan oknum fiskus akan melakukan berbagai upaya dalam pencapaian target penerimaan. Fiskus cenderung akan menekan dan mencari-cari kesalahan wajib pajak agar dapat mengenakan pajak yang besar. Tidak jarang mereka mengatasnamakan negara serta hukum yang berlaku. Tapi disaat para wajib pajak tidak berdaya, mereka tidak segan-segan untuk melakukan “perdamain” dengan mengecilkan temuan pajak, yang semula digunakan untuk menekan wajib pajak. Bila tidak ada titik temu, mereka akan menetapkan pajak hasil temuan tersebut dan ini sebagai prestasi kerja. Karena semakin tinggi pajak yang dikenakan, akan memberikan pemasukan bagi negara sebagai pencapaian target penerimaan. Inilah modus yang seringkali digunakan dalam negosiasi di pajak. Pada akhirnya hal ini yang memunculkan berbagai masalah dalam sistem pajak Indonesia yang semakin rumit dalam perkembangannya. Begitu pula perumusan kebijakan pajak, seringkali tidak memiliki perencanaan yang matang serta tidak dibangun secara terintegrasi. Tidak ada pedoman yang dapat dijadikan dasar dalam merancang kebijakan pajak. Kebijakan hanya bertumpu pada target penerimaan yang pada akhirnya kebijakan yang dibuat seringkali tidak terencana, sporadis pada akhirnya bersifat “trial and error” . Kondisi inilah yang menjadikan sistem pajak Indonesia menjadi semakin rapuh dan rentan terhadap berbagai macam masalah. A. Terabaikannya prinsip-prinsip self assesment system .
Lemahnya fungsi pembinaan wajib pajak. Dengan prinsip self assessment system, wajib pajak memiliki peran penting dalam mensukseskan pelaksanaan pemungutan pajak. Sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Tata cara perpajakan yang berbunyi “wajib pajak merupakan subyek yang harus dibina dan diarahkan agar mau dan mampu memenuhi Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 48 kewajiban perpajakannya sebagai pelaksanaan kewajiban kenegaraan”. Jadi fungsi pembinaan adalah membangun kesadaran wajib pajak agar mau dan mampu memenuhi kewajiban perpajakannya. Selama ini fungsi pembinaan pajak tidak dilakukan secara terencana, bersinambungan dan terintegrasi. Pembinaan masih terbatas pada kegiatan mengkampanyekan pajak. Seharusnya diperlukan bimbingan dan pendampingan yang terus menerus karena pajak merupakan masalah yang rumit. Hal ini penting mengingat, masyarakat Indonesia yang majemuk sehingga perlu arah dan strategi tepat. Begitu pula generasi terus berganti, yang tua suatu saat akan digantikan generasi berikutnya. Yang tadinya anak- anak satu saat menjadi wajib pajak berpotensi untuk menjadi pembayar pajak. Dari pembinaan yang terencana, berkensinambungan dan terintegrasi akan dapat dipetakan tingkat kepatuhan masyarakat pajak Indonesia. Hal ini akan memudahkan aparatur dalam mengawasi wajib pajak.
Pembentukan Account Representative Setelah reformasi birokrasi Direktorat Jenderal Pajak menyediakan Account Representative (AR), untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak. AR berperan sebagai konsultan yang akan memberikan arahan bagi wajib pajak agar mampu menjalankan kewajiban pajaknya. Namun keberadaan AR kurang mendapat tanggapan secara positif dari masyarakat. Dalam perkembangannya, ternyata peran AR seringkali tidak jelas dilapangan, batas wewenang dan tanggung jawabnya. Mereka bukan lagi sebagai penyuluh tapi lebih sebagai petugas pengawas pajak, agar wajib pajak dapat dikenakan pajak. Tentu saja peran AR tersebut menyalahi prinsip self assessment system . Peran AR yang harusnya dapat membangun kesadaran wajib pajak, tapi pada kenyataannya lebih sebagai petugas pajak yang mencari-cari kelemahan wajib pajak demi target penerimaan pajak. Hal ini mengakibatkan, sistem pajak Indonesia rentan penyimpangan.
Menjauhnya prinsip self assesment system Sejak tax reform tahun 1984, sistem pajak Indonesia tidak sepenuhnya dibangun dengan prinsip self assessment system . Bahkan semakin lama perkembangannya semakin menjauh dari prinsip-prinsip self assessment system. Seharusnya penyelenggaraan pelaksanaan pemungutan pajak harus memperhatikan prinsip tersebut, termasuk mental yang terbangun dari Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 49 pembuat kebijakan, pemeriksa pajak sampai para petugas pajak di lapangan. Sangat disayangkan, dalam kurun waktu 32 tahun sejak ditetapkan, sistem self assessment cenderung mengalami stagnasi. Sampai dengan saat ini, wajib pajak belum sepenuhnya melakukan penghitungan, penyetoran maupun pelaporan hutang pajaknya. Kecenderungan yang terjadi adalah sistem pemungutan pajak saat ini mengarah pada sistem quasi self assessment dan quasi official assessment . Terminologi quasi yang diartikan semu dipergunakan untuk menandakan bahwa sistem yang berjalan selama ini tidaklah murni. Bahkan kesulitan aparatur dalam membangun kesadaran pajak para pengusaha kecil menengah, pada tahun 2013 pemerintah menetapkan PP 46 dengan mengenakan sebesar 1% dari omzet dan final. Hal ini sebagai cara praktis dalam menjaring para pengusaha kecil menengah. Begitu pula Sistem quasi official assessment juga dapat dilihat pada salah satu contoh dari upaya ekstensifikasi pajak yaitu melakukan kanvasing atau penyisiran potensi wajib pajak baru. Fenomena kanvasing justru menunjukkan tingkat kepatuhan perpajakan ( tax compliance ) yang rendah karena dalam metode ini lebih menunjukkan upaya fiskus dibandingkan upaya wajib pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya.
Dampak dari tolok ukur target penerimaan. Dengan target pajak menjadi tolok ukur keberhasilan menjadikan mental yang terbangun mengarah pada cara mengejar target penerimaan setinggi-tinggina. Untuk memenuhi target, fiskus melakukan berbagai upaya untuk mengejar target tersebut. Para kepala kantor mengakali penerimaan dan pengeluaran pajak dengan menggunakan modus mempercepat penyelesaiaan kasus pemeriksaan, memaksakan pengenaan pajak yang bersifat grey area , memajukan angsuran PPh 25, menunda pencairan restitusi, menolak keberatan, menolak permohonan pengurangan angsuran dll, demi pencapaian target penerimaan tahun ini. Artinya Penerimaan pajak yang menjadi hak tahun depan dimajukan ke tahun sekarang. Sebaliknya pengeluaran tahun ini di tunda ke tahun berikutnya. Modus ini marak terjadi sebelum reformasi birokrasi. Target penerimaan yang belum tercapai terkadang juga membuat fiskus bersikap sangat selektif dalam menerima keberatan, terlebih apabila Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 50 menyangkut jumlah yang material. Seringkali kasus keberatan di tolak bukan karena tingkat kebenaan kasus tersebut, tapi lebih dikarenakan pertimbangan dampak terhadap target penerimaan. Walaupun hal tersebut tidak melanggar aturan, namun cara tersebut tidaklah sesuai dengan prinsip self assessment system. Karena akan menimbulkan efek negatif terhadap kepatuhan wajib pajak. Selain itu juga dalam jangka panjang dapat menimbulkan kekacauan misalkan potensi pajak masing-masing KPP sulit terukur, momentum pengenaan pajak menjadi tidak jelas, kesulitan dalam menilai prestasi kerja aparatur pajak, menyuburkan terjadinya korupsi dll.
Maksimalisasi target penerimaan pajak. Dengan prinsip sistem self assessment, target penerimaan seharusnya mengarah pada titik paling optimum yang bisa digali (optimalisasi) . Idealnya pemungutan pajak tidak melebihi titik optimum atau bahkan melebihi potensi pajak sesungguhnya. Sebagai salah satu upaya yang dapat dilakukan dengan penggalian potensi penerimaan melalui profiling dan bencmarking wajib pajak potensial. Profiling dilakukan untuk mengetahui profil setiap wajib pajak dan akan dikelompokan berdasarkan jenis usaha yang sama, sehingga Ditjen Pajak memilliki acuan (benchmark) mengenai kondisi usaha dan laba yang diperoleh wajib pajak disektor tertentu. Kegiatan ini seharusnya lebih di intensifkan sehingga dapat memetakan potensi setiap wajib pajak, berapa tingkat optimum pajak yang mampu mereka bayar. Namun pada kenyataannya selama ini, kebijakan pajak lebih mengarah pada target penerimaan setinggi-tingginya (maksimalisasi) . Hal ini tentunya dapat memberatkan masyarakat, yang pada akhirnya merusak fungsi pembinaan dan menurunkan kepercayaan masyarakat akan pajak. B. P embangunan sistem pajak yang tidak mengarah pada cita-cita pajak bangsa.
Arah kebijakan yang bertumpu pada target penerimaan Dari tahun ke tahun pembuat kebijakan lebih berfokus pada pencapaian target penerimaan. Ada kecendrungan pembuat kebijakan lebih fokus pada bagaimana menaikan target penerimaan. Perangkat hukum tinggal disiapkan agar kebijakan tersebut menjadi legal . Tentu saja tolok ukur target penerimaan, pada akhirnya menjadikan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 51 masyarakat menjadi fihak yang paling dirugikan. Karena masyarakat sebagai fihak yang memiliki kewajiban membayar pajak. Masyarakat menjadi pihak yang harus menanggung beban atas kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Bahkan disaat target penerimaan pajak tercapai dan dianggap sebagai suatu keberhasilan maka tahun berikutnya, target penerimaan akan ditetapkan lebih tinggi. Begitu pula sebaliknya akan lebih memberatkan masyarakat, jika target penerimaan pajak tidak tercapai dan dianggap sebagai kegagalan. Karena pemerintah akan melakukan berbagai upaya, yang intinya akan menaikan target penerimaan pajak. Pada akhirnya masyarakat hanya dipandang sebagai objek pengenaan pajak. Potensi pajak masyarakat yang sesungguhnya tidak pernah tergali, bahkan cenderung menjadi semakin menjauh.
Sistem pajak Indonesia tidak memiliki Grand Design . Dari hasil penelusuran serta wawancara mendalam, terbukti sejak tax reform tahun 1983 sampai saat ini, sistem pajak Indonesia tidak pernah memiliki Grand Design sebagai cetak biru ( blue print) dalam penyelenggaraan dan pemungutan pajak . Sistem pajak Indonesia, tidak memiliki arah yang jelas dan strategi dalam pencapaian cita-cita pajak bangsa. Hal ini menjadikan tidak ada pedoman yang dapat dijadikan dasar dalam merancang kebijakan pajak. Pada akhirnya secara pragmatis, terminologi tax ratio dan maximum budget menjadi dasar dalam proses pembuatan kebijakan. Begitu pula seringkali menjadikan pembenahan pajak Indonesia kurang tepat. Bahkan tidak jarang menimbulkan masalah baru, yang seringkali menambah rumitnya permasalahan yang terjadi. Permasalahan pajak Indonesia juga menjadi semakin sulit untuk dipetakan saat lembaga pajak terkait ( stakeholders) tidak memiliki data yang secara akurat dapat dijadikan acuan dalam pembuatan kebijakan pajak.
Cita-cita pajak bangsa dan Grand Design . Bila mengacu pada keterangan di Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Tatacara Perpajakan maka tertuang harapan serta cita-cita bangsa Indonesia di bidang pajak. Cita-cita tersebut seharusnya menjadi tujuan bagi pemerintah dalam membangun sistem pajak Indonesia. Cita-cita tersebut harus dituangkan dalam suatu Grand Design . Suatu Grand Design pajak akan memuat rancangan besar sistem pajak Indonesia yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 52 akan membawa sistem pembangunan pajak Indonesia menuju cita-cita pajak bangsa. Grand design nantinya akan menjadi induk utama sebagai dasar dalam membangun dan menyelenggarakan sistem pajak Indonesia. Dengan adanya Grand Design memudahkan dalam merancang pedoman serta perbaikan tata kelola sistem perpajakan Indonesia. Sehingga sistem perpajakan Indonesia memiliki peta jalan ( Road Map ), yang berisi rencana operasional tahapan serta langkah-langkah strategi yang berkelanjutan, dalam pencapaian sasaran pembangunan cita-cita pajak Indonesia. Selain itu juga, melalui Grand Design dapat dirancang cetak biru ( Blue Print ) dari sistem pajak Indonesia. Blue Print menurut definisi Wikipedia diartikan sebagai kerangka kerja terperinci sebagai landasan dalam pembuatan kebijakan, yang meliputi penetapan tujuan dan sasaran, penyusunan strategi, pelaksanaan program dan fokus kegiatan serta langkah-langkah implementasi yang harus dilakukan dari setiap lembaga sampai unit kerja terkecil dari lembaga-lembaga pajak terkait. Cita -cita dan harapan pajak Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Tatacara Perpajakan tersebut adalah:
Wajib pajak merupakan subyek yang harus dibina dan diarahkan agar mau dan mampu memenuhi kewajiban perpajakannya sebagai pelaksanaan kewajiban kenegaraan.
Tuntutan masyarakat terhadap adanya “aparatur perpajakan yang makin mampu dan bersih”.
Dengan adanya self assessment system diharapkan pelaksanaan administrasi perpajakan yang berbelit-belit dan birokratis akan dihilangkan.
Ketentuan peraturan pajak yang baru akan lebih memperhatikan jaminan dan kepastian hukum mengenai hak dan kewajiban wajib pajak, dengan demikian dapat merangsang peningkatan kesadaran dan tanggug jawab perpajakan dimasyarakat.
Administrasi perpajakan akan berperan aktif dalam melaksanakan pengendalian administrasi pemungutan pajak yang meliputi tugas-tugas pembinaan, penelitian, pengawasan dan penerapan sanksi administrasi.
Pada akhirnya sistem yang terbangun diharapkan dapat menunjang sepenuhnya laju pembangunan dan mempercepat terwujudnya perataan pendapatan masyarakat, peningkatan serta perluasan tingkat kesadaran Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 53 kewajiban perpajakan, perataan dan perluasan obyek kena pajak dan pengingkatan penerimaan Negara sejalan dengan perkembangan nasional sehingga mempercepat terwujudnuya cita-cita P roklamasi. Tujuan dan cita-cita bangsa tersebut dipertegas kembali pada revisi Undang- Undang Pajak Tahun 1994 dan 2000, yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan. Dimana bukan hanya butir yang disebutkan diatas, tapi lebih diperluas lagi, dalam rangka memenuhi amanat GBHN :
Menuju kemandirian bangsa dalam pembiayaan Negara dan pembiayaan pembangunan yang sumber utamanya berasal dari penerimaan pajak 2. Menunjang pemerataan pembangunan dan mendorong investasi 3. Menunjang usaha peningkatan ekspor 4. Menunjang usaha pengembangan usaha kecil 5. Menunjang usaha pengembangan sdm, tehnologi dan ilmu pengetahuan 6. Menunjang usaha pelestarian ekosistem 7. Menunjang usaha meningkatkan keadilan dalam partisipasi masyarakat dalam pembiayaan pembangunan 8. Menunjang usaha terciptanya aparat pajak yang makin mampu dan bersih, peningkatan pelayanan, penyederhanaan prosedur, peningkatan pengawasan, serta penegakan hukum yang berlaku II. KEBIJAKAN TAX AMNESTY SEMAKIN MEMBUAT RAPUHNYA SISTEM PAJAK INDONESIA. Tidak adanya pedoman yang bisa dijadikan dasar, menjadikan pembuat kebijakan Tax Amnesty lebih memfokuskan diri pada target penerimaan. Kebijakan ini tentunya membuat semakin rapuhnya sistem pajak Indonesia :
Mengabaikan prinsip perpajakan Indonesia.
Kebijakan yang menakutkan bagi masyarakat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak menjadikan masyarakat menjadi resah sebagai dampak dari salah sasaran. Masih minimnya pengetahuan pajak masyarakat serta lemahnya sosialisasi yang dilakukan pemerintah akan Undang-undang pengampunan pajak, menjadikan kebijakan ini menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat. Target pemasukan Tax Amnesty menjadikan aparatur di lapangan menyasar Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 54 kepada masyarakat untuk ikut Tax Amnesty . Padahal selama ini masyarakat telah dipotong pajak atas penghasilan yang diperoleh selama ini. Hanya karena harta yang tidak dicantumkan SPT Tahunan menjadikan mereka sasaran untuk diikutkan TA. Hal ini tentunya menjadikan mereka dikenakan pajak dua kali ( double taxation ). Hal berbeda bila dibandingkan dengan para pengemplang pajak yang bertahun-tahun memang tidak pernah membayar pajak. Uang tebusan Tax Amnesty sebagai cara untuk mengenakan pajak yang selama ini tidak pernah dikenakan. Tentu saja hal ini selain tidak memenuhi unsur keadilan juga tidak ada kepastian hukum. Karena kebijakan tax amnesty melukai wajib pajak dalam negeri dan wajib pajak patuh juga adanya kemungkinan untuk dikenakan pajak kembali. Hal ini tentunya menimbulkan efek kurang baik bagi membangun kesadaran pajak masyarakat.
Berbagai kepentingan menunggangi kepentingan TA dan membuka peluang berbagai penyimpangan. Kebijakan Tax Amnesty yang lebih memfokuskan diri pada target penerimaan menjadikan berbagai kepentingan masuk mendompleng kepentingan pajak itu sendiri. Dari kepentingan para fihak terkait dalam merancang kebijakan TA, bila target penerimaan tersebut tercapai yang dianggap sebagai pencapaian prestasi kerja. Para oknum aparatur pajak yang merangkap sebagai konsultan pajak fiktif. Para konsultan dan praktisi pajak akan mengambil peluang dalam membuka training dan pengurusan TA. Para fihak dalam memanfaatkan terkait dengan pencucian uang. Sampai para oknum yang selama ini menaruh uangnya di LN, memungkinkan mengatur kebijakan ini agar dapat di syahkan DPR sehingga uang mereka dapat diputihkan secara hukum. Tentu saja kebijakan ini semakin membuat maraknya korupsi dan penyimpangan di lingkungan pajak.
Rendahnya kinerja pemerintah dan aparatur pajak Selain itu kebijakan ini juga menggambarkan rendahnya kinerja pemerintah dan lembaga pajak dalam mengejar para wajib pajak yang nakal. Bertahun- tahun mereka tidak pernah membayar pajak. Diputihkan dengan hanya membayar uang penebusan dengan tarif yang rendah. Mereka yang dihapuskannya denda adalah para wajib nakal. Sangat tidak Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 55 masuk akal, wajib pajak nakal malah mendapat pengampunan. Kebijakan ini tentunya sangat menyakitkan bagi wajib pajak patuh. Banyak diantara mereka tidak semata-mata menyetor pajak, tapi juga mengeluarkan biaya karena menggunakan konsultan, mengorbankan waktunya, harus mengantri, mendalami peraturan dst. Seharusnya fasilitas dan keringanan diberikan kepada wajib patuh, bukan wajib pajak nakal. Dengan memberikan pengampunan kepada wajib pajak nakal, tentunya menimbulkan excess negatif terhadap kesadaran pajak masyarakat. Dalam jangka panjang akan menimbulkan perlawanan pasif dari masyarakat. Selain itu jatuhnya wibawa pemerintah dalam penegakan hukum pajak. Kebijakan ini akan berpengaruh di masyarakat. Mereka menjadi enggan untuk patuh. Mereka berfikir satu saat pasti ada pengampunan pajak dan itu bisa dimanfaatkan.
Tidak memiiki arah yang jelas. Target pemerintah untuk mendapatkan penerimaan 165 trilyun merupakan target penerimaan sesaat. Kebijakan ini tidak menggali potensi pajak yang sesungguhnya, bahkan cenderung merusak system pajak itu sendiri. Kebijakan ini tanpa didasarkan pada perencanaan yang matang makanya banyak masalah saat pelaksanaan di lapangan. Kebijakan ini juga bersifat trial and eror karena hanya bertumpu pada target penerimaan. Salah satu cita-cita pajak tertulis “Menunjang usaha pengembangan usaha kecil”. Kebijakan TA kurang menyentuh potensi pajak UMKM. Kebijakan ini hanya memfokuskan pada berapa target penerimaan uang penebusan UMKM dari kebijakan TA. Tarif UMKM yang lebih rendah dibanding tarif umumnya, tidak bisa dianggap sebagai cara dalam mewujudkan pengembangan usaha kecil. Berdasarkan data statistik di Indonesia, terdapat 57,9 juta pengusaha Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). UMKM Indonesia juga menguasai seperempat dari potensi pertumbuhan pasar pengusaha kecil menengah di Asean. Selain itu UMKM Indonesia menyumbang sekitar 60% dari total GDP dan menampung 97% dari total tenaga kerja Indonesia. Ini merupakan potensi besar bagi pajak untuk dikembangkan. Para UMKM membutuhkan pembinaan dan bimbingan tentang kesadaran pajak. Karena umumnya mereka belum mampu membayar konsultan pajak. Pembinaan kesadaran pajak UMKM akan berdampak jauh lebih strategis dalam menggali potensi pajak UMKM Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 56 dibandingkan hanya menurunkan tarif agar mereka ikut TA. Bila target TA itu tercapai sebenarnya, suatu hal yang wajar. Karena jumlah tersebut sangatlah kecil, dibandingkan dengan besarnya kerugian negara, yang merupakan akumulasi bertahun-tahun dari para pengemplang pajak, yang tidak pernah membayar pajak. Pemerintah tidak pernah menghitung secara transparan berapa kerugian negara atas pembebasan pajak tersebut. Begitu pula sebagai hal wajar, bila negara lain takut dengan kebijakan tersebut, mengingat selama ini mereka menikmati dana yang di parkir tersebut selama bertahun- tahun. Seharusnya pemerintah sudah mengantisipasi sejak lama, agar dana-dana tersebut tidak lari ke luar negeri, melalui berbagai elemen kebijakan dan tidak harus mengorbankan sistem pajak secara instan. Ahli Pemohon Yang Hanya Mengajukan Keterangan Tertulis 4. Dr. Endang Kiswara, M. Si., Ak.
UU pengampunan pajak cenderung ditujukan untuk menampung keinginan pemerintahan Presiden Jokowi untuk mencari cara cepat dan sederhana guna memperoleh dana untuk pembangunan melalui peningkatan realisasi penerimaan pajak yang belum mencapai 100% untuk periode 2015 maupun 2016 (tercatat 86%). Namun UU tersebut menimbulkan efek moral dari yang buruk terhadap upaya penegakan hukum (law enforcement) sebagaimana diisyaratkan dalam UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (No. 28/2007), sehingga berpotensi mempengaruhi motif WP yang sudah terlanjur taat pajak. Pemerintah melalui UU Pengampunan Pajak menampakkan motif tidak menghargai terhadap para wajib pajak yang patuh selama ini dengan memberikan insentif terhadap mereka yang tidak patuh selama ini. Sebagaimana diketahui bahwa penerapan tax amnesty di Indonesia tahun 2016 merupakan kali ketiga dalam sejarah, yaitu setelah yang pertama pada tahun 1964, dan kedua tahun 1984, dimana keduanya tidak mampu memperbaiki system perpajakan di Indonesia terutama yang diikuti dengan upaya negara untuk meneguhkan aspek keadilan dalam pemungutan pajak melalui penguatan database dan perangkat hukum perpajakan. Menurut data OECD tahun 2016, Indonesia adalah salah satu negara emerging economy yang lemah dalam menampilkan database pajak. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 57 2. UU pengampunan pajak yang diinisiasi oleh pemerintah (terutama Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu) tersebut cenderung hanya upaya untuk menutupi kelemahannya dalam penguatan dan updating database pajak selama ini. Ditjen Pajak tidak mampu membuka peluang prosedur identifikasi dan system penagihan pajak yang sesuai dengan perkembangan praktik ekonomi, bisnis dan keuangan di Indonesia, sehingga upayanya sebagai pemegang otoritas pelaksana system perpajakan di Indonesia selama ini boleh disebut kurang aktif dan agresif. Padahal identifikasi kelemahan system perpajakan Indonesia secara jelas telah teridentifikasi berdasarkan nilai rasio pajak yang rendah (11%) dan rasio potensi pajak yang tidak lebih dari 10% (dari sekitar 70,3 juta rumah tangga, hanya sekitar 11-25 juta yang memiliki NPWP, dan hanya sekitar 6 juta yang melaporkan SPT Pajak).
Hal yang lebih urgen dan perlu ditingkatkan saat ini demi meningkatkan penerimaan pajak adalah memacu kemampuan Ditjen pajak dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan database pajak, antara pajak Negara dan antar pajak daerah, sehingga memiliki kemampuan untuk melakukan asas penagihan lebih aktif.
Sensus pajak yang telah dilakukan oleh pemerintah adalah salah sasaran karena menembak target yang tidak tepat, masak orang ditanyai tentang penghasilannya yang bersifat confident , seharusnya yang ditanyai adalah pihak yang memberi penghasilan.
Besarnya dana yang terkumpul dari hasil pengampunan pajak (165 T) relatif tidak sebanding dengan luka yang timbul kepada para wajib pajak patuh dan effort serta motif orang untuk taat bayar pajak karena toh bisa menunggu tax amnesty berikutnya lagi.
Seharusnya untuk memicu peningkatan penerimaan pajak justru melalui ketegasan Ditjen pajak dalam menindak wajib pajak yang tidak patuh. Sebab dengan tindakan tegas dan terintegrasi dengan sanksi hukum yang ada dan mengikat tersebut justru dapat menunjukkan kewibawaan UU Pajak dalam menerapkan azas keadilan dalam pemungutan pajak dan kepastian hukum karena pajak menerapkan equal treatment bagi semua pihak yang memiliki objek pajak. Dayagunakan Fungsi Tax Intellegence and Investigation . Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 58 7. Inisiatif pengampunan pajak, reinventing, sensus pajak, dan sunset policy menunjukkan bukti bahwa Ditjen Pajak selama ini belum professional dalam memegang otoritas tertinggi sebagai pelaksana sistem pemungutan pajak.
Model kerjasama pajak sebagaimana diterapkan dalam tax treaty dengan lebih kurang 60 negara di dunia selama ini tidak efektif dan efisien dalam pertukaran info pajak dan system penagihan. Hal ini disebabkan oleh kurangnya integrasi klausul pajak dengan profil situasi dan kondisi negara pihak dalam hal ekonomi, perdagangan, geografis dan fiskal.
Tunjangan kinerja dan honor yang diterima oleh pegawai pajak belum optimal dalam memicu asas ketertagihan dalam sistem pemungutan pajak (kinerja aparat pajak tidak optimal).
Tidak ada salahnya jika Ditjen pajak meniru apa yang dilakukan oleh Bapak Gubernur DKI Jakarta (Pak Ahok) dalam optimalisasi penerimaan pajak, yaitu dengan cara memberi pancing kepada sistem seperti memberi EFT POS untuk memungut pajak restoran lebih optimal sekaligus menunjukkan dasar pengenaan pajak yang reliabel, dan memodali BBM kepada tukang parkir sehingga realisasi pajak dan retribusi DKI Jakarta bisa melebihi target 100%. Strategi Gubernur DKI tersebut dapat menjadi contoh kewibawaan pemerintah dalam mendorong kepatuhan pembayaran pajak tetapi tetap menggunakan cara-cara yang mendidik karena masyarakat ditimbulkan kesadarannya melalui pemahaman tentang hak dan kewajiban. [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Presiden menyampaikan keterangan lisan dan keterangan tertulis, disertai ringkasan keterangan tertulis, bertanggal 20 September 2016 yang disampaikan pada persidangan 20 September 2016, serta keterangan tambahan (Tanggapan Pemerintah) bertanggal 12 Oktober 2016 yang diterima Mahkamah pada 19 Oktober 2016. Keterangan dimaksud adalah sebagai berikut: I. POKOK PERMOHONAN PARA PEMOHON Berdasarkan pada masing-masing permohonannya, ketentuan yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon pada pokoknya adalah: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 59 1) Pasal 1 angka 1 dan angka 7, Pasal 3 ayat (1), UU Pengampunan Pajak terhadap Pasal 23A UUD 1945.
Pasal 1 angka 7, Pasal 4, dan Pasal 5 UU Pengampunan Pajak terhadap 28D ayat (1) UUD 1945.
Pasal 20 UU Pengampunan Pajak terhadap Pasal 24 ayat (1) UUD 1945; dan 4) Pasal 22 UU Pengampunan Pajak terhadap Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Adapun dalil-dalil permohonan para Pemohon pada pokoknya adalah sebagai berikut:
UU Pengampunan Pajak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 yang telah mengatur bahwa pajak bersifat memaksa dan menyebabkan Negara kehilangan potensi penerimaan yang pasti dari ranah pajak penghasilan;
Uang Tebusan mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum antara Wajib Pajak yang taat (seperti karyawan yang dipotong penghasilannya setiap bulan untuk membayar pajak penghasilan) dengan penggelap/pengemplang pajak yang justru mendapat diskon besar-besaran atas pajak penghasilan dengan hanya membayar uang tebusan;
UU Pengampunan Pajak memberikan hak khusus yang diberlakukan secara eksklusif kepada pihak-pihak yang tidak taat pajak, yaitu dibebaskan dari pemeriksaan perpajakan serta dari sanksi administrasi dan pidana, sehingga bertentangan dengan prinsip persamaan warga negara di hadapan hukum dan pemerintahan;
Pasal 20 UU Pengampunan Pajak yang mengatur bahwa data dan informasi yang bersumber dari Surat Pernyataan dan Lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain yang berkaitan dengan pengampunan pajak tidak dapat dijadikan dasar bagi proses penegakan hukum telah mengabaikan prinsip kesamaan kedudukan warga negara dihadapan hukum dan pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945;
Pemberian imunitas (tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, penyidikan, dituntut, baik secara perdata maupun pidana) kepada Menteri Keuangan, Wakil Menteri Keuangan, pegawai Kementerian Keuangan dan pihak lain yang berkaitan dengan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 60 pelaksanaan pengampunan pajak tidak memiliki dasar norma dan kaidah dalam konstitusi serta bertentangan dengan prinsip perlakuan yang sama dihadapan hukum dan pemerintahan;
Pembatasan bahwa segala sengketa yang berkaitan dengan pelaksanaan UU Pengampunan Pajak hanya dapat diajukan ke Pengadilan Pajak telah meniadakan hukum pidana dan hukum administrasi, sehingga bertentangan dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945;
Penutupan akses informasi atas pelaksanaan pengampunan pajak yang diatur dalam Pasal 21 ayat (2) juncto Pasal 20 juncto Pasal 23 ayat (1) UU Pengampunan Pajak bertentangan dengan prinsip keterbukaan informasi publik dan menghilangkan hak asasi warga negara atas informasi sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 28F UUD 1945;
Ketentuan dalam UU Pengampunan Pajak bertentangan dengan prinsip negara hukum, menciderai rasa keadilan buruh dan hak asasi manusia sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945. II. TANGGAPAN TERHADAP KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) PARA PEMOHON Para Pemohon Tidak Mampu Membuktikan Kerugian Hak Konstitusional Yang Bersifat Spesifik (Khusus) Dan Aktual Serta Tidak Adanya Hubungan Sebab Akibat ( Causal Verband ) Di dalam masing-masing permohonannya, para Pemohon mendalilkan bahwa para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan pengujian ini karena adanya hak konstitusionalnya yang dirugikan dengan berlakunya UU Pengampunan Pajak. Para Pemohon pada pokoknya mendalilkan bahwa dirinya selaku kelompok perorangan yang memiliki kepentingan yang sama sebagai masyarakat miskin yang taat membayar pajak telah dirugikan hak konstitusionalnya dengan adanya perlakuan yang tidak sama di hadapan hukum dan pemerintahan serta tidak mendapat kepastian hukum yang adil dengan berlakunya UU Pengampunan Pajak. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 61 Para Pemohon pada pokoknya mendalilkan bahwa hak konstitusionalnya yang dirugikan dengan berlakunya UU Pengampunan Pajak adalah adanya perlakuan yang tidak sama di hadapan hukum dan pemerintahan serta tidak mendapat kepastian hukum yang adil antara para Pemohon sebagai Wajib Pajak yang taat membayar pajak dengan Wajib Pajak yang tidak taat membayar pajak. Para Pemohon mendalilkan bahwa dirinya sebagai Wajib Pajak yang taat membayar pajak tidak dapat memperoleh pengampunan pajak, sedangkan pihak-pihak yang tidak taat membayar pajak justru dapat memperoleh pengampunan pajak dengan berlakunya UU Pengampunan Pajak. Bahwa ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut “UU Mahkamah Konstitusi”) telah menentukan bahwa yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah pihak yang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia;
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara. Berdasarkan ketentuan Pasal 51 UU Mahkamah Konstitusi dimaksud, Pemerintah memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk dapat terlebih dahulu memeriksa kualifikasi para Pemohon dan keabsahan dari kewenangan pihak yang mewakili organisasi tersebut (Ketua Umum dan/atau Sekretaris Jenderal), apakah mempunyai kewenangan untuk mewakili organisasi di muka badan peradilan berdasarkan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) organisasi? Selanjutnya dijelaskan dalam Penjelasannya bahwa yang dimaksud dengan “ hak konstitusional ” adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945. Terkait hal tersebut, Mahkamah Konstitusi telah berpendapat bahwa agar seseorang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 62 atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam permohonan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, Pemohon harus terlebih dahulu menjelaskan dan membuktikan:
kualifikasinya sebagai pihak yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi;
hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang diuji sesuai dengan kualifikasinya dalam mengajukan permohonan;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagai akibat dari berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. Kemudian Mahkamah Konstitusi sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 serta putusan-putusan selanjutnya telah memberikan pengertian dan batasan secara kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang ditimbulkan karena berlakunya suatu undang-undang harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:
adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
bahwa kerugian hak konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian hak konstitusional dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian hak konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Oleh karena itu, tidak terpenuhinya salah satu kriteria kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas akan mengakibatkan Pemohon dianggap tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan uji konstitusi ke Mahkamah Konstitusi. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 63 Berdasarkan ketentuan mengenai syarat-syarat kedudukan hukum ( legal standing ) pemohon pengujian undang-undang tersebut di atas dan mencermati apa yang dikemukakan oleh para Pemohon pada bagian kedudukan hukum ( legal standing ) permohonannya, Pemerintah berpendapat bahwa masing-masing Pemohon dalam keempat permohonan pengujian Undang-Undang ini seluruhnya tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ), karena UU Pengampunan Pajak tidak merugikan masyarakat miskin, namun justru memberikan keuntungan kepada masyarakat miskin. Setidaknya ada tiga manfaat pengampunan pajak yang akan menguntungkan perekonomian nasional, yang tentunya juga akan memberikan keuntungan kepada seluruh lapisan masyarakat, termasuk masyarakat berpenghasilan rendah. Pertama , bahwa uang yang masuk ke Indonesia melalui repatriasi aset keuangan dari luar negeri dapat menggerakan perekonomian. Kedua , uang tebusan yang dihasilkan oleh pengampunan pajak bisa digunakan secara langsung bagi pembangunan yang pro rakyat, termasuk pendidikan, kesehatan, perumahan, dan penciptaan lapangan pekerjaan untuk seluruh lapisan masyarakat. Ketiga, dalam jangka panjang akan menjamin penerimaan pajak secara berkelanjutan karena kebijakan pengampunan pajak akan menciptakan subjek (ekstensifikasi) dan objek pajak baru (intensifikasi). Dengan meningkatnya pertumbuhan di berbagai sektor perekonomian dan meningkatnya penerimaan negara dari perpajakan sebagai konsekuensi dari diberlakukannya UU Pengampunan Pajak, maka akan tercipta lapangan pekerjaan, suku bunga kredit yang rendah, kurs rupiah menguat, yang pada akhirnya juga meningkatkan daya beli masyarakat. Hal yang demikian tentunya tidak merugikan masyarakat miskin, namun justru sangat bermanfaat bagi masyarakat miskin. Oleh karena itu, UU Pengampunan Pajak yang semata-mata bertujuan untuk memajukan kesejahteraan umum demi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia jelas-jelas tidak mengakibatkan kerugian konstitusional bagi siapapun. Selain itu, Pemerintah berpendapat bahwa kerugian hak konstitusional yang didalilkan oleh para Pemohon tidak memenuhi persyaratan sebagaimana yang telah ditentukan oleh Mahkamah Konstitusi sejak Putusan Nomor Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 64 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 serta putusan- putusan selanjutnya, dikarenakan:
kerugian hak konstitusional yang didalilkan oleh para Pemohon dalam masing-masing permohonannya tidak bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; Hal tersebut dikarenakan para Pemohon tidak dapat membuktikan dirinya sebagai Wajib Pajak yang taat membayar pajak, sehingga kerugian hak konstitusional berupa adanya perlakuan yang tidak sama di hadapan hukum dan pemerintahan serta tidak mendapat kepastian hukum yang adil antara para Pemohon sebagai Wajib Pajak yang taat membayar pajak dengan Wajib Pajak yang tidak taat membayar pajak yang didalilkan oleh para Pemohon tidak terbukti benar. Sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon dalam permohonannya, seluruh Pemohon dalam keempat permohonan pengujian Undang- Undang ini merupakan masyarakat miskin yang taat membayar pajak penghasilan atau sebagai badan hukum privat yang mewakili masyarakat miskin yang taat membayar pajak penghasilan. Atas dalil para Pemohon tersebut, perlu Presdien sampaikan bahwa masyarakat miskin tidak dikenakan pajak penghasilan. Hal ini dikarenakan besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.010/2016 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak adalah sebesar Rp54.000.000,00 (lima puluh empat juta rupiah)/tahun.Sehingga masyarakat miskin yang penghasilannya di bawah Rp54.000.000,00 (lima puluh empat juta rupiah)/tahun, nyata-nyata tidak diwajibkan membayar pajak penghasilan. Dari penjelasan terkait PTKP ini, maka dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa para Pemohon adalah bagian dari masyarakat miskin yang membayar pajak penghasilan adalah hal yang tidak masuk akal. Apalagi para Pemohon tidak dapat menunjukkan masyarakat miskin pembayar pajak penghasilan yang mana yang para Pemohon wakili Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 65 kepentingannya dan apakah yang para Pemohon jadikan dasar dalam penentuan kelompok masyarakat tersebut sebagai masyarakat miskin. Selain itu, seandainya pun benar ( quad non ) para Pemohon dapat membuktikan dirinya sebagai pembayar pajak yang taat, kerugian hak konstitusional yang didalilkan oleh para Pemohon tersebut adalah tidak benar, karena sebagaimana telah ditentukan dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1) UU Pengampunan Pajak, Pengampunan Pajak merupakan hak bagi setiap Wajib Pajak.
tidak adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian hak konstitusional yang didalilkan oleh para Pemohon dengan berlakunya UU Pengampunan Pajak yang dimohonkan untuk diuji; Pemerintah berpendapat bahwa tidak ada hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian hak konstitusional yang didalilkan oleh para Pemohon dengan berlakunya UU Pengampunan Pajak yang dimohonkan untuk diuji, dikarenakan pajak merupakan iuran wajib kepada negara yang tidak memberikan imbalan (kontra prestasi) secara langsung kepada pembayarnya (Wajib Pajak). Sehingga meskipun seandainya benar ( quod non ) para Pemohon adalah Wajib Pajak yang taat membayar pajak, Pemerintah berpendapat bahwa berlakunya UU Pengampunan Pajak tidak mengakibatkan kerugian hak konstitusional bagi para Pemohon. Berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, Presiden berpendapat bahwa kerugian hak konstitusional yang didalilkan oleh para Pemohon dalam masing-masing permohonannya tidak bersifat spesifik (khusus) dan aktual serta tidak adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian hak konstitusional yang didalilkan oleh para Pemohon dengan berlakunya UU Pengampunan Pajak yang dimohonkan untuk diuji . Oleh karena itu, Presiden berpendapat bahwa para Pemohon dalam keempat permohonan pengujian UU Pengampunan Pajak ini tidak memenuhi persyaratan kedudukan hukum ( legal standing ) untuk bertindak sebagai pemohon pengujian UU Pengampunan Pajak dan Presiden mohon kebijaksanaan Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima . Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 66 DIMOHONKAN PENGUJIAN A. Penjelasan Terkait Dengan UU Pengampunan Pajak 1) Sistem dan Pengaturan Pajak Secara Umum Di Indonesia UU Pengampunan Pajak merupakan salah satu bentuk pengutamaan fungsi regulerend dalam kebijakan fiskal. Pemungutan atau pembayaran pajak dari masyarakat kepada Negara menggambarkan hubungan antara Negara dan warga Negara nya. Pajak merupakan pungutan yang bersifat strategis sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 23A UUD 1945 dimana pajak menjadi tumpuan utama bagi negara dalam membiayai kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan kesejahteraan rakyat. Hampir diseluruh dunia, pajak menjadi tumpuan utama suatu negara dalam menjalankan roda pemerintahannya dengan memperhatikan kearifan lokal dan kondisi negaranya masing-masing. Perpajakan juga digunakan untuk mengatur pertumbuhan ekonomi misalnya melalui pemberian keringanan pajak bagi investor yang akan menanamkan modal. Di samping itu, pajak sebagai salah satu sumber pembiayaan negara dan pembangunan nasional ditujukan untuk pemerataan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan ketentuan Pasal 23A UUD 1945, Pajak diatur dengan Undang-Undang. Dengan demikian, UUD 1945 telah memberikan kewenangan terbuka ( opened legal policy ) kepada pembuat undang-undang untuk mengatur perpajakan. Sesuai dengan ketentuan Pasal 23A UUD 1945 yang telah mengamanatkan bahwa Pajak diatur dengan Undang-Undang tersebut, maka pembuat Undang-Undang telah mengatur berbagai hal mengenai Pajak, yang antara lain terkait dengan Subjek Pajak, Objek Pajak, Jenis-Jenis Pajak, Sistem Pemungutan Pajak, Wajib Pajak, serta Tarif Pajak. Subjek Pajak adalah orang atau badan yang telah memenuhi syarat subjektif untuk dapat dikenakan pajak. Syarat subjektif yang dimaksud adalah syarat yang melekat pada diri subjek pajak yang bersangkutan, seperti karena lahir di Indonesia, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 67 berdomisili di Indonesia, berkedudukan atau didirikan di Indonesia, memiliki kekayaan di Indonesia, memperoleh penghasilan dari Indonesia, dan atau sebagainya. Subjek pajak dinilai potensial untuk dikenakan pajak, namun belum mempunyai kewajiban untuk membayar pajak. Adapun Wajib Pajak adalah Subjek Pajak yang telah memenuhi syarat objektif. Wajib Pajak telah mempunyai kewajiban untuk membayar pajak. Adapun syarat objektif yang dimaksud adalah syarat yang berkaitan dengan sasaran pengenaan pajak (objek pajak). Contohnya adalah seseorang yang tinggal di Indonesia yang memperoleh penghasilan, dimana penghasilan yang diperolehnya tersebut memenuhi syarat untuk dikenakan pajak, sehingga atas penghasilannya tersebut dikenakan pajak. Objek Pajak atau sasaran pengenaan pajak dapat diartikan sebagai keadaan, peristiwa, dan/atau perbuatan yang menurut undang-undang memenuhi syarat untuk dikenakan pajak. Sejalan dengan hal-hal tersebut di atas, pada dasarnya pajak dikenakan atas kekayaan yang dimiliki,peralihan hak, dantransaksi. Sistem pemungutan pajak di Indonesia menganut sistem Self Assessment . Adapun sistem pemungutan pajak di Indonesia adalah sistem self assessment , yaitu sistem pemungutan pajak yang memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri kewajiban dan hak perpajakannya berdasarkan peraturan perundang- undangan perpajakan. Keberhasilan sistem self assessment dalam pemungutan pajak sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor:
kelengkapan data dan informasi perpajakan;
pengetahuan dan pemahaman Wajib Pajak terhadap peraturan perpajakan;
tingkat kesadaran Wajib Pajak terhadap kewajiban perpajakan; dan d. pelayanan Fiskus terhadap Wajib Pajak. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 68 Meskipun prinsip utama pemungutan pajak di Indonesia hingga saat ini masih menggunakan sistem self assessment , namun apabila dilihat dari jumlah penerimaan pajak, tax ratio , dan jumlah pertambahan Wajib Pajak di Indonesia hingga beberapa tahun ini masih belum optimal. Penyebab utama belum optimalnya sistem sellf asses s ment dikarenakan kurangnya data dan informasi yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak. Oleh karena itu, diperlukan suatu kebijakan yang dapat meningkatkan potensi penerimaan pajak melalui pemberlakuan tax amnesty (pengampunan pajak) guna mendapatkan data Wajib Pajak dan meningkatkan pertambahan Wajib Pajak. Selanjutnya bahwa Pajak sebagai sebuah realitas yang ada di masyarakat, ditujukan untuk memberikan fungsi:
Fungsi Budgeter (Anggaran) Untuk memenuhi fungsi budgeter , pajak digunakan sebagai alat untuk memasukkan uang ke kas negar Uang tersebut kemudian digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin atau pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Fungsi mengatur dari pajak merupakan bagian dari kebijakan fiskal pemerintah. Sementara itu, kebijakan fiskal pemerintah mempunyai dua sisi, yaitu sisi penerimaan dan sisi pengeluaraan. Sisi penerimaan berkaitan dengan kebijakan- kebijakan perpajakan itu sendiri.
Fungsi Regulerend (Mengatur) Fungsi mengatur pada sisi ini berkaitan dengan kebijakan- kebijakan di bidang perpajakan untuk mengarahkan kegiatan perekonomian agar sesuai dengan tujuan pemerintah. Kebijakan insentif pajak ( tax allowance ), pembebasan pajak ( tax holiday ) dan penggunaan tarif khusus merupakan beberapa implementasi dari fungsi mengatur pada sisi penerimaan. Disisi pengeluaran, fungsi mengatur berkaitan dengan penggunaan dana pajak. Seperti telah diuraikan sebelumnya, di samping untuk membiayai kebutuhan rutin yang berhubungan dengan pelaksanaan administrasi negara, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 69 uang pajak juga dapat digunakan untuk membiayai pengeluaraan pembangunan. Fungsi mengatur dari pajak dapat dilihat dari arah dan sifat penggunaan uang pajak tersebut, misalkan uang hasil pemungutan pajak digunakan untuk mempengaruhi kegiatan ekonomi masyarakat. Pada saat terjadi resesi maka hasil pajak dapat digunakan sebagai stimulus bagi kegiatan ekonomi masyarakat. Dana pajak juga dapat digunakan untuk pengembangan sektor-sektor tertentu yang menjadi prioritas pemerintah ( ear-marking ). Dalam fungsi regulerend ini pajak digunakan untuk mengatur dan mengarahkan perkembangan perekonomian masyarakat ke arah yang diharapkan pemerintah. Oleh karenanya, fungsi mengatur ini menggunakan pajak untuk dapat mendorong dan mengendalikan kegiatan masyarakat agar sejalan dengan rencana dan harapan pemerintah. Fungsi regulerend berperan sangat penting untuk negara.Pajak sebagai alat untuk mendukung kebijakan pemerintah melalui fiscal policy guna mencapai suatu tujuan tertentu dalam segala bidang, khususnya dibidang ekonomi, moneter, dan sosial. Dalam fungsi regulerend tujuan utama pajak bukanlah mendapatkan pemasukan negara sebanyak-banyaknya, akan tetapi ada kalanya demi suatu tujuan tertentu pemungutan pajak dengan fungsi regulerend mengenakan tarif pajak yang sangat tinggi atau sama sekali dibebaskan dengan dikenakan tarif nol persen. Contoh fungsi regulerend dengan pengenaan tarif yang tinggi dilakukan dengan mengenakan pajak kepada barang-barang yang diimpor ke Indonesia agar industri dalam negeri mampu bersaing dengan hasil produksi dari luar negeri. Sedangkan contoh pengenaan tarif yang rendah dilakukan pada tahun 1966, pemerintah mengenakan tarif nol persen terhadap para pedagang yang mengimpor beras ke Indonesia, karena pada saat itu Indonesia mengalami kekurangan beras sehingga dikhawatirkan menimbulkan kekacauan dan kelaparan. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 70 c. Fungsi Alokasi Pajak juga mempunyai fungsi alokasi dimana penggunaan sumber daya ekonomi nasional untuk tujuan penyediaan barang-barang publik dan barang-barang privat. Pengalokasian penggunaan sumber daya ekonomi untuk penyediaan barang publik dan barang privat juga berarti penentuan pihak yang harus menyediakan barang-barang tersebut. Barang publik disediakan oleh pemerintah (negara), sementara penyediaan barang privat dapat dilakukan oleh swasta. Adanya penyediaan barang-barang publik oleh pemerintah ini menunjukkan bahwa sebenarnya kebijakan fiskal telah memenuhi fungsi alokasi sumber daya ekonomi dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari konsep penarikan pajak dari masyarakat yang kemudian hasilnya digunakan untuk memproduksi barang-barang publik bagi kepentingan masyarakat itu sendiri.
Fungsi Distribusi Pajak juga memiliki fungsi distribusi, salah satu tugas pemerintah adalah menciptakan distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata. Konsep pemerataan hasil pembangunan merupakan dasar dari tugas ini. Banyak faktor yang menyebabkan ketimpangan dalam distribusi pendapatan dan kekayaan diantaranya adalah perbedaan tingkat pendidikan, keahlian serta kesempalan. Di samping itu, kondisi awal kepemilikan kekayaan ( capital endowment ) juga berbeda antara satu orang dengan yang lainnya. Ada orang yang pada awalnya telah memiliki kekayaan yang melimpah karena faktor keturunan. Pemilikan kekayaan awal yang berbeda tersebut, pada gilirannya mempengaruhi kemampuan menghasilkan pendapatan dikemudian hari. Kebijakan fiskal yang diterapkan pemerintah akan selalu di usahakan untuk mencapai pemerataan hasil pembangunan secara lebih adil. Melalui pajak yang di pungut serta penggunaanya secara adil maka pemerataan hasil pembangunan akan dapat Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 71 dilaksanakan. Demokratisasi perpajakan mensyaratkan terkonstruksinya sistem perpajakan yang menggambarkan adanya kesetaraan antara negara dengan rakyat dan tersedianya ruang bagi rakyat untuk melakukan partisipasi perpajakan.
Fungsi Stabilitas Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu tujuan dari pembangunan di samping pemerataan. Pemerintah akan selalu berusaha untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tertentu dari tahun ke tahun. Di samping itu, penyediaan lapangan kerja yang cukup juga merupakan sisi lain dari pembangunan ekonomi. Faktor-faktor lain yang tak kalah pentingnya adalah stabilitas harga serta keseimbangan neraca perdagangan dan neraca pembayaran. Pertumbuhan ekonomi, penyediaan lapangan pekerjaan, stabilitas harga serta keseimbangan neraca perdagangan dan neraca pembayaran merupakan rangkaian usaha stabilitas yang akan diupayakan oleh pemerintah. Kebijakan fiskal dapat digunakan sebagai instrumen untuk upaya stabilitas tersebut. Sesuai dengan ketentuan Pasal 23A UUD 1945 yang telah mengamanatkan bahwa Pajak diatur dengan Undang-Undang, maka program Pengampunan Pajak yang diatur dengan UU Pengampunan Pajak ini merupakan salah satu bentuk pengutamaan fungsi regulerend dalam kebijakan fiskal , yang mana tujuan utama dari dibentuknya UU Pengampunan Pajak adalah menyangkut perekonomian nasional dan reformasi pajak yang jauh lebih komprehensif untuk jangka pendek, menengah, dan panjang. Dengan tujuan utama yang jauh lebih luas dan penting tersebut, maka pemberian insentif berupa tarif uang tebusan yang lebih rendah, penghapusan pajak yang seharusnya terutang, sanksi administrasi dan sanksi pidana dibidang perpajakan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, yang pada akhirnya juga akan memberikan keadilan, manfaat, dan kesejahteraan untuk seluruh rakyat Indonesia. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 72 2) Latar Belakang Pembentukan UU Pengampunan Pajak Selanjutnya perkenankanlah Pemerintah menyampaikan mengenai alasan-alasan (latar belakang) dilakukannya penetapan kebijakan Pengampunan Pajak sebagai berikut: a) Kondisi Perkonomian Nasional dan Global Pada Saat Pembentukan UU Pengampunan Pajak Pertumbuhan Ekonomi Global Yang Belum Pulih Sejak Krisis 2008 Yang Berdampak Pada Perlambatan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Negara Indonesia masih memiliki berbagai agenda pembangunan yang masih sangat memerlukan investasi di sektor publik, baik pada sektor kesehatan, pendidikan, hingga infrastruktur. Namun dengan pertumbuhan ekonomi dunia yang mengalami tren perlambatan dalam 5 tahun terakhir (Gambar 1), dimana sejak tahun 2011 s.d. 2015 tidak pernah melebihi angka pertumbuhan pada tahun 2010. Perlambatan ekonomi dunia berimbas pada pertumbuhan ekonomi nasional, hal ini disebabkan karena Indonesia sebagai salah satu negara pengekspor komoditas, pertumbuhan ekonomi global sangat mempengaruhi permintaan terhadap komoditas tersebut. Turunnya permintaan ini jelas berakibat pada turunnya ekspor komoditas yang menjadi salah satu andalan pertumbuhan ekonomi nasional. Selain itu, perkembangan ekonomi global juga menunjukkan bahwa sektor kebijakan fiskal semakin memegang peranan penting di setiap negara, sehingga persaingan kebijakan fiskal antar negara menjadi salah satu isu hangat di tingkat internasional. Berbagai paket kebijakan ekonomi yang diterapkan di banyak negara untuk keperluan mengantisipasi krisis ekonomi, pada kenyataannya sebagian besar didominasi oleh kebijakan fiskal. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 73 Gambar 1 Pertumbuhan PDB Dunia Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2, pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami tren perlambatan sejak tahun 2012.Dimana pada tahun 2012 tercatat sebesar 6,0%, tahun 2013 tercatat sebesar 5,6%, tahun 2014 tercatat sebesar 5,0%, dan tahun 2015 tercatat sebesar 4,8%. Untuk mengatasi pertumbuhan ekonomi yang melambat ini, diperlukan sumber pertumbuhan baru yang pembiayaannya dapat dipenuhi dari sektor publik maupun sektor swasta. Gambar 2 Pertumbuhan Ekonomi Nasional Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 74 * 2016 : Asumsi UU APBNP 2017 : Asumsi RUU APBN Adapun pertumbuhan ekonomi membutuhkan modal (kapital). Terbatasnya likuiditas domestik mengakibatkan pertumbuhan ekonomi kurang optimal. Gambar 3 menunjukkan tingginya tingkat bunga Indonesia bila dibandingkan dengan suku bunga negara tetangga. Tingginya suku bunga ini disebabkan kurangnya likuiditas domestik sehingga pihak perbankan terpaksa menawarkan tingkat bunga yang tinggi untuk menarik minat pemilik dana agar menanamkan dananya di Indonesia. Tingkat bunga yang tinggi akan menghambat investasi, karena untuk menjalankan usaha, para pengusaha harus membayar bunga pinjaman tinggi. Dewasa ini, sebagaimana terlihat pada Gambar 4 dan Tabel 1, penerimaan pajak memegang peranan penting sebagai sumber pembiayaan sektor publik. Paling tidak terdapat 4 (empat) argumentasi yang mendukung pernyataan tersebut, yaitu yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 75 pertama semakin kecilnya ketergantungan pembiayaan pembangunan dari beberapa sumber yang selama ini menopang penerimaan negara. Sektor migas yang menjadi primadona di masa Orde Baru sudah semakin sedikit jumlahnya. Sedangkan, penerimaan dari aktivitas perdagangan internasional juga tertekan karena adanya globalisasi dan ketentuan tarif yang disyaratkan oleh World Trade Organization (WTO). Kedua, ketatnya likuiditas dan krisis keuangan global menciptakan kesulitan pendanaan pembangunan lewat utang ataupun opsi hibah. Gambar 4 Tren Penerimaan Pajak 2011 - 2016 Sumber: diolah dari data LKPP 2011 – 2015 dan APBNP 2016 Tabel 1 Persentase Penerimaan Pajak Terhadap Penerimaan Negara 2011-2016 (dalam triliun rupiah) 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Penerimaan Negara 1,210,599.70 1,338,109.60 1,438,891.10 1,550,490.80 1,508,020.37 1,786,225.02 Penerimaan Pajak 742,743.00 835,834.00 921,398.00 985,132.10 1,060,837.58 1,355,203.50 Persentase 61.4% 62.5% 64.0% 63.5% 70.3% 75.9% Sumber: diolah dari data LKPP 2011 – 2015 dan APBNP 2016 Selain itu, utang yang tidak terkendali dapat menciptakan kerawanan fiskal di masa mendatang dan ketergantungan terhadap negara lain atau organisasi internasional. Ketiga, korelasi antara perpajakan dengan apa yang disebut dengan state building . Pajak sangat berkaitan erat dengan sistem Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 76 demokrasi ekonomi (upaya penyediaan barang publik secara adil dan distribusi pendapatan) serta jalan menuju tata kelola pemerintahan yang baik. Upaya memperkuat negara ( state capacity building ) juga tidak terlepas dari besaran alokasi anggaran pembangunan yang ditetapkan oleh Pemerintah. Untuk itu, negara memerlukan dana yang berasal dari pajak. Dan yang keempat bahwa Indonesia terlibat dalam komitmen mencapai suatu ambang batas pembiayaan untuk pembangunan seperti yang tertera dalam Millennium Development Goals dan komitmen terhadap reformasi pajak seperti yang tertuang dalam Doha Declaration tentang Financing for Development . Dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang dalam beberapa tahun terakhir cenderung mengalami perlambatan tersebut, maka berdampak pula pada turunnya penerimaan negara dari sektor pajak dan mengurangi ketersediaan likuiditas dalam negeri. Sedangkan di sisi lain, banyak harta warga negara Indonesia yang ditempatkan di luar negeri, yang seharusnya harta tersebut apabila dialihkan ke dalam negeri dapat dimanfaatkan untuk menambah likuiditas dalam negeri sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Sebagian besar Harta yang berada di luar negeri tersebut diyakini belum dilaporkan oleh pemilik harta dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPT Tahunan PPh). Lebih lanjut, di dalam negeri sendiri masih banyak aktivitas ekonomi yang tidak atau belum dilaporkan kepada Direktorat Jenderal Pajak. Untuk itu, perlu diterapkan langkah khusus dan terobosan kebijakan untuk mendorong pengungkapan harta baik diluar maupun didalam negeri sekaligus memberikan jaminan keamanan bagi warga negara Indonesia yang ingin mengalihkan dan mengungkapkan harta yang dimilikinya dalam bentuk Pengampunan Pajak. Selain itu, pertimbangan bahwa waktu untuk pelaksanaan kebijakan Pengampunan Pajak dilakukan pada saat sekarang ini juga didorong oleh semakin Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 77 kecilnya kemungkinan untuk menyembunyikan kekayaan di luar negeri dan di dalam negeri yang dikarenakan semakin meningkatnya transparansi sektor keuangan global melalui berbagai instrumen internasional seperti konvensi internasional, perjanjian multilateral, perjanjian bilateral, serta meningkatnya intensitas pertukaran informasi antar negara. Selain dari Harta yang dialihkan ke dalam negeri tersebut, penerimaan Uang Tebusan yang diperoleh dari pelaksanaan UU Pengampunan Pajak juga merupakan penerimaan Pajak Penghasilan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Sehingga untuk jangka pendek, hal ini akan meningkatkan penerimaan pajak pada tahun diterimanya Uang Tebusan tersebut sehingga langsung dapat digunakan Negara untuk membiayai berbagai program yang telah direncanakan. Adapun dalam jangka panjang, negara akan mendapatkan penerimaan pajak dari tambahan aktivitas ekonomi yang berasal dari Harta yang telah dialihkan dan diinvestasikan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan pada hal-hal tersebut di atas, dalam memahami kebijakan pengampunan pajak ini tidak dapat dilihat hanya dari sisi penerimaan pajak, namun tujuan utamanya jauh lebih luas dan penting karena menyangkut perekonomian nasional dan reformasi pajak yang jauh lebih komprehensif untuk jangka pendek, menegah, dan panjang. Dengan tujuan utama yang jauh lebih luas dan penting tersebut maka pemberian insentif berupa tarif uang tebusan yang lebih rendah, penghapusan pajak yang seharusnya terutang, sanksi administrasi dan sanksi pidana di bidang perpajakan dapat dilakukan karena pada akhirnya akan memberikan keadilan, kemanfaatan, dan kesejahteraan untuk seluruh rakyat Indonesia. b) Kendala-Kendala Dalam Melakukan Pemungutan Pajak Rendahnya Tax Ratio di Indonesia Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 78 Dari berbagai alternatif sumber pembiayaan pembangunan, saat ini peran penerimaan pajak semakin penting. Gambar 5 menunjukkan bahwa rencana penerimaan pajak dari tahun ke tahun semakin meningkat. Selanjutnya, rencana penerimaan pajak tahun ini sekitar Rp 1.355 triliun dari target pendapatan negara sebesar Rp. 1.786 triliun. Rencana penerimaan tersebut meningkat sekitar 28% dibandingkan dengan realisasi penerimaan pajak termasuk penerimaan dari sektor migas pada tahun 2015 sebesar Rp. 1.060 triliun. Hal ini berarti terdapat tambahan target penerimaan pajak hampir Rp 300 triliun di tahun 2016. Gambar 5 Target dan realisasi penerimaan pajak Sumber data: Dashboard Penerimaan PKP akses tanggal 12 Agustus 2016 Dalam dekade terakhir ini, penerimaan pajak di Indonesia belum optimal yang ditandai dengan tax ratio yang masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan rata-rata tax ratio negara berpendapatan menengah lainnya. Tax ratio Indonesia pada tahun 2012 berada pada kisaran angka 11.9%, sedangkan negara-negara tetangga seperti Malaysia pada kisaran angka 15.61 %, Singapura 13.85%, Philipina 12.89%, Thailand 15.45% (Gambar 6 dan Tabel 2). Gambar 6 Tax Ratio Indonesia Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 79 Tabel 2 Tax Ratio Negara Asean Dalam % Negara 2008 2009 2010 2011 2012 Malaysia 14.66 14.94 13.33 14.79 15.61 Filipina 13.59 12.23 12.15 12.38 12.89 Singapura 13.85 13.07 12.97 13.30 13.85 Thailand 15.38 14.20 14.94 16.37 15.45 Sumber: Bank Dunia Rendahnya tax ratio tersebut dikarenakan hal-hal sebagai berikut: (a) Kepatuhan wajib pajak (sebagaimana terlihat pada Gambar 7) dalam melaporkan kewajiban perpajakan masih rendah. Data internal Direktorat Jenderal Pajak tahun 2015 menunjukkan Wajib Pajak terdaftar yang memiliki kewajiban menyampaikan SPT sebesar lebih dari 18 Juta WP sedangkan realisasi SPT yang masuk di tahun 2015 sebesar 10.8 Juta. Gambar 7 Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 80 *Data dari Ditjen Pajak per April 2016 Gambar 7 juga menunjukkan bahwa pada dasarnya, jumlah Wajib Pajak terdaftar meningkat dari tahun ke tahun. Namun, kepatuhan WP dalam melaporkan SPT Tahunan tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan. Hanya kurang dari 60% dari WP yang wajib menyampaikan SPT yang telah melaporkan SPT. Sehingga masih ada potensi WP yang belum menyampaikan SPT sebesar 40 % dari WP terdaftar. Tabel 3 di bawah menunjukkan bahwa dari jumlah pekerja sebesar 114,819 juta jiwa (pada tahun 2015), baru 27,571 juta jiwa yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi, dengan kata lain hanya 24,01% dari potensi jumlah pekerja yang telah mendaftarkan diri sehingga masih terdapat potensi sekitar 87 juta Wajib Pajak yang belum terdaftar dalam sistem administasi perpajakan Tabel 3 Rasio penyampaian SPT Wajib Pajak Pribadi Uraian/Tahun 2011 2012 2013 2014 2015 WP OP Terdaftar (juta) 19,881 20,131 22,231 25,127 27,571 Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 81 Pekerja (juta) 107,416 112,504 112,761 114,628 114,819 Rasio WP OP Terdaftar 18,51% 17,89% 19,72% 21,92% 24,01% Sumber: diolah dari data DJP dan BPS Angkatan Kerja dikurangi angka pengangguran Tabel 3 menunjukkan bahwa dari jumlah pekerja sebesar 114,819 juta jiwa (pada tahun 2015), baru 27,571 juta jiwa yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi, dengan kata lain hanya 24,01% dari potensi jumlah pekerja yang telah mendaftarkan diri sehingga masih terdapat potensi sekitar 87 juta Wajib Pajak yang belum terdaftar dalam sistem administasi perpajakan. (b) Banyak Wajib Pajak yang belum melaporkan hartanya di dalam dan luar negeri serta belum dikenai pajak di Indonesia. Data-data yang terkumpul di Direktorat Jenderal Pajak dari banyak sumber seperti Exchange of Information dari sekitar 65 negara yang telah terikat perjanjian bilateral dengan Indonesia, Mutual Agrement Procedure , data dan informasi yang banyak beredar terkait offshore leaks , Panama Paper dan sebagainya serta tentunya upaya penggalian data dan informasi yang dilakukan sendiri oleh Direktorat Jenderal Pajak, menunjukkan banyak Wajib Pajak Indonesia yang menaruh harta ataupun asetnya di berbagai negara Tax Haven . Studi oleh __ sebuah konsultan internasional (Gambar 8) __ menjelaskan bahwa dari USD250 miliar atau sekitar Rp3.250 Triliun kekayaan High Net Worth Individual (HNWI) Indonesia di luar negeri, terdapat sekitar USD200 miliar atau sekitar Rp2.600 triliun yang disimpan di negara Singapura dimana sebesar USD50 miliar atau sekitar Rp650 triliun disimpan dalam bentuk non-investable assets yang utamanya dapat berbentuk real estat, sedangkan sebagian besar yaitu USD150 miliar atau sekitar Rp1.950 Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 82 triliun diinvestasikan dalam bentuk investable assets sebagai contoh yaitu deposito atau saham. Gambar 8 High Net Worth Individual (HNWI) Indonesia di luar negeri Sumber: Study oleh McKinsey & Company (Desember 2014) AuM: Asset Under Management Data mengenai jumlah harta orang-orang Indonesia di Singapura yang berjumlah lebih dari Rp2.500 triliun tersebut belum termasuk dana atau harta yang disimpan di negara atau yurisdiksi lainnya, seperti: Hong Kong, Macau, Labuan (Malaysia), Luxemburg, Swiss, dan negara tax haven lainnya. Lebih lanjut apabila mengacu pada laporan Bank Indonesia terkait Posisi Investasi Internasional Indonesia pada triwulan I 2016 menyatakan bahwa posisi Aset Finansial Luar Negeri (AFLN) pada akhir triwulan I 2016 adalah sebesar USD214,6 miliar atau sekitar Rp2.800 triliun. Data ini belum termasuk Aset-Aset WNI yang dimiliki melalui special purpose vehicle (SPV) yang berada di luar negeri yang menjadi bagian dari kegiatan ekonomi bawah tanah WNI. (c) Direktorat Jenderal Pajak memiliki kewenangan yang terbatas terhadap akses data perbankan. Direktorat Jenderal Pajak memiliki kendala dalam mengawasi aktivitas perekonomian di sektor informal Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 83 ( underground economy ) dan mencegah larinya modal ( capital flight ) ke luar negeri karena adanya kebijakan Bank Secrecy . Berkaitan dengan hal tersebut pada tahun 2015 telah dilakukan peer review yang diselenggarakan oleh OECD terhadap negara-negara yang menandatangani Automatic Exchange of Information dimana Indonesia dianggap masih sangat tertutup dalam hal Bank Secrecy untuk keperluan perpajakan.
Landasan Teori Pengampunan Pajak a) Filosofi Pengampunan Pajak Kebijakan Pengampunan Pajak sebagai kebijakan ekonomi yang bersifat mendasar untuk memperbaiki kondisi perekonomian, mempercepat pembangunan dan mengurangi pengangguran, kemiskinan serta kesenjangan. Negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila bertujuan untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini dijabarkan dalam Pembukaan UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa tujuan dibentuknya Pemerintah Negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Untuk mencapai tujuan negara tersebut, tentu diperlukan sumber pembiayaan yang besar, baik dari sektor publik maupun sektor swasta. Dalam rangka percepatan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan ditengah kelesuan kondisi perekonomian global pada umumnya dan Indonesia pada khususnya, maka tidak dapat dipungkiri, Indonesia membutuhkan tambahan dana yang besar untuk menggerakkan sektor ekonomi dan pembangun. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 84 Terdapat beberapa cara yang dapat ditempuh untuk memenuhi kebutuhan akan pendanaan tersebut, seperti dengan melakukan repatriasi aset warga negara yang berada di luar negeri kembali ke Indonesia, pelaksanaan deklarasi/ memaksimalkan aset warga negara yang tersimpan di dalam negeri, dan kebijakan-kebijakan lainnya. Salah satu bentuk program repatriasi aset yang banyak dilakukan oleh negara lain dalam rangka menarik kembali aset warganya dari luar negeri ke dalam negeri adalah melalui program Offshore Voluntary Disclosure Program (OVDP). OVDP dilaksanakan sebagai program pemerintah untuk menarik kembali harta warganya yang berada di luar negeri untuk menambah dana pengerak ekonomi nasional dan pembangunan, sekaligus untuk meningkatkan penerimaan pajak dalam waktu singkat dan dengan biaya yang efisien serta untuk meningkatkan kepatuhan pajak dalam jangka panjang. OVDP berpijak di atas kesadaran Wajib Pajak (baik kelompok Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Badan Usaha) untuk secara sukarela melaporkan seluruh hartanya serta membayar segala kewajiban utang pajaknya dengan benar. Sebagai insentif, Wajib Pajak yang berpartisipasi mendapatkan suatu pengampunan. Efektivitas dari model Pengampunan Pajak OVDP akan lebih baik apabila berlaku sekali sepanjang masa. Selain dari masih besarnya potensi pajak dari harta yang belum dilaporkan di luar negeri tersebut, potensi pajak dari kegiatan ekonomi bawah tanah ( underground economy / shadow economy ) di dalam negeri juga sangat besar. Kegiatan ekonomi bawah tanah umumnya berlangsung di semua negara, baik negara maju maupun negara berkembang, termasuk Indonesia. Shadow economy atau kadang kala disebut cash economy ini lazimnya diukur dari besarnya nilai ekonomi yang dihasilkan, dibandingkan dengan nilai Produk Domestik Bruto (PDB). Berdasarkan penelitian, besarnya persentase kegiatan ekonomi bawah tanah di negara maju Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 85 dapat mencapai 14-16% PDB, sedang di negara berkembang dapat mencapai 35-44% PDB. Peningkatan kegiatan ekonomi bawah tanah tidak pernah dilaporkan sebagai penghasilan dalam formulir Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak Penghasilan dalam jangka waktu yang lama sehingga daluarsa penetapan pajaknya sangat mungkin sudah terlampaui. Hal tersebut sangat merugikan negara karena berarti hilangnya uang pajak ( tax revenue forgone ) yang sangat dibutuhkan untuk membiayai program kesejahteraan rakyat pendidikan, kesehatan, dan program-program pengentasan kemiskinan lainnya. Oleh karena itu, timbul pemikiran untuk mengenakan kembali pajak yang belum dibayar dari kegiatan ekonomi bawah tanah tersebut melalui program khusus yaitu pemberian kebijakan Pengampunan Pajak ( Tax Amnesty ). Dengan pelaksanaan kebijakan Pengampunan Pajak diharapkan para Wajib Pajak memilih untuk menempatkan dananya di dalam negeri sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional. b) Pengampunan Pajak Dalam Pendekatan Hukum Kewenangan pembentukan UU Pengampunan Pajak bersumber pada Pasal 23A UUD 1945. Hukum Pidana perpajakan mempunyai sifat dan karakteristik khusus terkait dengan tujuan penegakkannya. Tujuan pidana perpajakan bukan hanya semata-mata memberikan sanksi dan efek jera tetapi juga secara khusus untuk mendapatkan pemasukan negara atas pajak terutang yang tidak dibayarkan beserta dengan sanksi administrasi. Dalam hal sedang dilakukan penyidikan tindak pidana perpajakan terhadap Wajib Pajak, Negara masih memberikan keadilan yang bersifat restoratif ( restorative justice ) yang tercermin dalam Pasal 44B ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 86 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (UU KUP). Pada prinsipnya, UU KUP telah menjadi salah satu aturan formal dalam pelaksanaan pemungutan pajak di Indonesia selain ketentuan undang-undang lain. Terdapat beberapa pasal yang erat kaitannya dengan upaya pemberian pengampunan pajak, seperti: Pasal 8 ayat (1), ayat (2), dan ayat (, Pasal 13A, Pasal 16 ayat (1), Pasal 36 ayat (1), dan Pasal 37 UU KUP.Namun tidak terbuka kemungkinan untuk menghapus dan mengurangi sanksi, baik administrasi maupun pidana di bidang perpajakan. Jikapun terbuka kemungkinan penghapusan sanksi pidana maka hal itu hanya dimungkinkan dalam konteks Wajib Pajak pertama kali melakukan kealpaan. Dengan demikian, apabila program Pengampunan Pajak mengacu pada UU KUP yang saat ini berlaku maka akan membuat program ini kehilangan fitur-fitur menariknya seperti pengurangan, penghapusan sanksi, dan sebagainya. Oleh karena ketentuan yang ada saat ini tidak dapat digunakan sebagai ‘pintu masuk’ legal basis atas Pengampunan Pajak, maka menjadi lebih baik apabila kebijakan Pengampunan Pajak untuk pengungkapan harta kekayaan di dalam dan/atau luar negeri dilegalisasikan dalam Undang-Undang yang berdiri sendiri dan terpisah dari UU KUP. Sebagai peraturan perundang-undangan yang secara hierarki lebih rendah kedudukannya dari UUD 1945, UU Pengampunan Pajak telah mendasarkan pada dan/atau tidak bertentangan dengan UUD 1945 sebagai peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya. Dari aspek yuridis, penyusunan UU Pengampunan Pajak ini merupakan suatu bentuk implementasi Pasal 23A UUD 1945, yang menyatakan bahwa Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 87 Pengampunan Pajak sebagai suatu gerakan rekonsiliasi perpajakan nasional diatur dalam Undang-Undang tersendiri dan bukan diatur secara umum dalam ketentuan suatu Undang-Undang yang telah ada dan kemudian diatur detail dalam peraturan pemerintah. Ketentuan pemberian Pengampunan Pajak tidak tepat diatur dalam UU KUP mengingat terdapat keterbatasan untuk mengatur ketentuan Pengampunan Pajak secara detail dalam UU KUP tersebut.
Praktik Pengampunan Pajak Di Berbagai Negara Kebijakan Pengampunan Pajak Merupakan Hal Yang Lazim Diterapkan Dengan Tujuan Yang Disesuaikan Dengan Kondisi Masing-Masing Negara Beberapa negara telah menerapkan program pengampunan pajak atau tax amnesty , diantaranya adalah:
Afrika Selatan Di Afrika Selatan, program Pengampunan Pajak dikaitkan dengan sistem pengendalian devisa ( exchange control ) dan diberikan atas penghasilan dari dalam dan luar negeri disertai dengan adanya rekonsiliasi Pajak di mana pengampunan tidak hanya diberikan Undang-Undang Perpajakan tetapi juga Undang-Undang Lalu-Lintas Devis Terhadap harta yang disimpan di luar negeri yang dibawa kembali ke Afrika Selatan diberikan diskon 50 persen dari tarif dibandingkan bila harta tersebut tetap di simpan di luar negeri.Sedangkan untuk harta yang tetap berada di luar negeri yang berasal dari penghasilan yang belum dipenuhi kewajiban perpajakannya dikenakan tarif tambahan sebesar 2 persen.Pelaksanaan Pengampunan Pajak di Afrika Selatan berhasil mendatangkan dana sebesar 2,2miliar Rand (0.7% dari PDB).
India Pemerintah India telah menyelenggarakan program Pengampunan Pajak sebanyak 12 kali sampai dengan tahun Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 88 1997.Tujuan diberikannya Pengampunan Pajak adalah untuk mengembalikan uang gelap dari hasil penggelapan pajak baik yang dilakukan oleh residen India maupun non-residen, untuk memberikan kesempatan pada pelaku penggelapan pajak untuk melaporkan penghasilan yang disembunyikan dan membayar pajak dengan benar dan menambah penerimaan pajak. Pengampunan Pajak berupa sanksi terkait UU PPh, UU Pajak atas kekayaan, UU Nilai Tukar, dan UU Perseroan diberikan kepada Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan di dalam negeri dan Luar Negeri yang melaporkan penghasilan dan asetnya yang belum dilaporkan sampai dengan tahun 1997. Program Pengampunan Pajak di India dituangkan ke dalam Undang-Undang tersendiri tidak tergabung dalam Undang-Undang Administratif, di mana jangka waktu pelaksanaan Pengampunan Pajak adalah 6 bulan sejak Undang-Undang disahkan. Meskipun program Pengampunan Pajak 1997 dianggap paling berhasil jumlah yang diperoleh dari program tersebut tidak terlalu signifikankarena tarif yang diterapkan terlalu tinggi, yaitu Wajib Pajak harus membayar uang tebusan dengan tarif 35 persen dari nilai harta bersih untuk Wajib Pajak Badan dan tarif 30 persen dari nilai harta bersih untuk Wajib Pajak Orang Pribadi. Pemerintah hanya berhasil menghimpun tambahan penerimaan pajak sebesar US$2,5 miliar atau sekitar Rp25triliun, yang berasal dari 350.000 Wajib Pajak Orang Pribadi.
Irlandia Pengampunan Pajak di Irlandia diperuntukkan bagi WP yang sudah atau belum terdaftar, sudah atau belum lapor, dan pelaku penggelapan pajak.Pengampunan yang diberikan mencakup pokok, sanksi dan pidana pajak terkait Pajak Penghasilan. Kebijakan ini sering disebut sebagai general tax amnesties karena mencakup seluruh kelompok Wajib Pajak dan diadakan pada tahun 1988 dan 1993. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 89 Untuk peningkatan law enforcement , otoritas pajak diberikan tambahan kewenangan untuk akses informasi institusi keuangan, yang digunakan untuk kelompok Wajib Pajak tertentu sehingga otoritas pajak mempunyai kewenangan kuat untuk menghadapi penggelapan pajak ( tax evasion ) melalui penggunaan bank secrecy . Terkait program pengampunan pajak ini, Pemerintah Irlandia berhasil mengumpulkan dana sebesar US$1 miliar atau sekitar Rp10 triliun.
Rusia Pengampunan Pajak dilakukan di Rusia dengan tujuan untuk melakukan reformasi di bidang perpajakan.Pengampunan Pajak pertama kali dilakukan di tahun 1993, namun tidak berjalan sukses karena jangka waktu yang sangat singkat, yaitu satu bulan.Rusia melaksanakan Pengampunan Pajak yang kedua pada tahun 1997. Dalam program kedua tersebut, Wajib Pajak diberi kesempatan untuk membayar pajak atas penghasilan yang dilaporkan dalam beberapa tahun sampai dengan 5 (lima) tahun dengan dikenakan bunga 30 persen pertahun. Adanya penerapan sanksi bunga yang tinggi tersebut telah membuat Pengampunan Pajak di Rusia tidak cukup berhasil.
Amerika Serikat Selama periode 1982-2011, 45 negara bagian di Amerika Serikat telah melakukan 111 program Pengampunan Pajak, atau rata-rata tiap negara bagian telah melakukan minimal 2 kali Pengampunan Pajak . Rata-rata durasi berlangsungnya pengampunan pajak adalah selama 76 hari di mana penerimaan tambahan yang didapat dari program sebesar 0.74 persen dari total penerimaan pajak di tiap negara bagian. Studi empiris membuktikan bahwa negara bagian biasanya berhasil memperoleh suatu tambahan penerimaan yang cukup signifikan, namun efeknya akan semakin kecil seiring kembali dilakukannya program tersebut. Dengan mempertimbangkan praktek kebijakan pengampunan pajak dari beberapa negara Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 90 tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan pengampunan pajak merupakan hal yang sangat lazim diterapkan dengan tujuan sesuai dengan kondisi masing- masing negara. Kebijakan Pengampunan Pajak berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak telah disesuaikan dengan situasi dan kondisi Indonesia berdasarkan asas keadilan, kepastian hukum, kemanfaatan dan kepentingan nasional.
Perbandingan Pengampunan Pajak Yang Diatur Dalam UU Pengampunan Pajak Dengan Pengampunan Pajak Yang Pernah Diterapkan Di Indonesia UU Pengampunan Pajak Telah Disesuaikan Dengan Situasi Dan Kondisi Indonesia Pada Saat Ini Dengan Mempertimbangkan Pengalaman Pengampunan Pajak Sebelumnya Dalam sejarahnya, pengampunan pajak atau kebijakan sejenisnya telah dilakukan beberapa kali di Indonesia. Pelaksanaan kebijakan pengampunan pajak di Indonesia adalah sebagaimana terlihat pada Tabel 4 di bawah ini. Tabel 4 - Sejarah Pengampunan Pajak di Indonesia Program Subjek Objek Tarif Jangka waktu Hukuman Pengampunan pajak 1964 Orang Pribadi dan Badan a. Pajak Pendapatan;
Pajak Kekayaan;
Pajak Perseroan a. Uang tebusan 5% dan 10% dari harta yang dimohonkan b. Bebas pidana fiskal dan pidana umum 9 Sept 1964 s.d 17 Agustus 1965 400% Pengampunan pajak 1984 WP terdaftar & WP yang belum terdaftar a. Pajak Pendapatan;
Pajak Kekayaan;
Pajak Perseroan;
PDBR;
Pajak Pendapatan Buruh;
Pajak Penjualan Uang tebusan: • 1% dari jumlah kekayaan yang dimohonkan bagi yg sudah lapor SPT; • 10% untuk yg tidak lapor. 18 April 1984 s.d. 31 Des 1984 - Sunset Policy 2008 WP Orang Pribadi dan Badan Orang Pribadi:
penghapusan sanksi administrasi berupa - Tahun 2008 s.d 28 - Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 91 bunga atas pajak yang tidak atau kurang dibayar b. penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak. Badan: penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak. Februari 2009 Program Pengampunan Pajak tahun 1964 Program Pengampunan Pajak tahun 1964 dilakukan berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1964 tentang Peraturan Pengampunan Pajak. Program tersebut memiliki pertimbangan bahwa ketentuan fiskal tidak membeda- bedakan apakah tambahan harta itu disebabkan oleh usaha- usaha halal atau diperoleh dengan tindak pidana umpama korupsi. Dengan demikian maka kelonggaran-kelonggaran fiskal yang sekiranya akan diadakan harus disertai pula kelonggaran-kelonggaran di bidang kepidanaan. Menyadari sepenuhnya bahwa aparatur pemungutan pajak yang sedang dibangun untuk sementara tidak akan mampu menghadapi pelanggaran-pelanggaran fiskal tersebut maka oleh Pemerintah membentuk suatu kebijaksanaan untuk mengatasi hal tersebut. Mereka yang memiliki modal tetapi belum/tidak membayar pajak telah merasa bersalah dan menurut petunjuk- petunjuk yang diperoleh, mereka bersedia memenuhi panggilan Pemerintah untuk ikut serta didalam pembangunan ekonomi asalkan diadakan kelonggaran kelonggaran fiskal dan kepidanaan.Penerapan Pengampunan Pajak pada masa tersebut belum cukup berhasil dikarenakan sistem administrasi perpajakan pada masa itu belum memadai dan kurangnya sosialisasi kepada masyarakat. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 92 b. Program Pengampunan Pajak di tahun 1984 Pengampunan Pajak di tahun 1984 dilakukan melalui Keputusan Presiden Nomor 26 tahun 1984 tanggal 18 April 1994. Pengampunan Pajak diberikan kepada Wajib Pajak Orang Pribadi atau Badan dengan nama dan dalam bentuk apapun, baik yang telah maupun yang belum terdaftar sebagai Wajib Pajak diberi kesempatan untuk mendapatkan Pengampunan Pajak. Tujuan diberikannya pengampunan pajak ini adalah karena pada saat itu, tengah diterapkan serangkaian UU perpajakan baru yang mempunyai perbedaan signifikan dengan ketentuan yang sebelumnya ada sehingga dipandang perlu adanya suatu titik awal yang bersih dari masyarakat. Pengampunan Pajak tersebut diberikan atas pajak-pajak yang belum pernah atau belum sepenuhnya dikenakan atau dipungut sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Adapun bentuk pengampunannya dikenakan tebusan dengan tarif:
Sebesar 1% (satu persen) dari jumlah kekayaan yang dijadikan dasar untuk menghitung jumlah pajak yang dimintakan pengampunan, bagi Wajib Pajak yang pada tanggal ditetapkannya Keputusan Presiden ini telah memasukkan Surat Pemberitahuan Pajak Pendapatan/Pajak Perseroan tahun 1983 dan Pajak Kekayaan tahun 1984;
Sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah kekayaan yang dijadikan dasar untuk menghitung jumlah pajak yang dimintakan pengampunan, bagi Wajib Pajak yang pada tanggal ditetapkannya Keputusan Presiden ini belum memasukkan Surat Pemberitahuan Pajak Pendapatan/Pajak Perseroan tahun 1983 dan Pajak Kekayaan tahun 1984. Namun demikian, meskipun sudah diperpanjang selama enam bulan, Gillis menyatakan bahwa Pengampunan Pajak1984ini Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 93 telah gagal dan tidak banyak Wajib Pajak yang tertarik untuk memanfaatkannya. Selain itu, sepertinya Pemerintah belum terlalu memberikan perhatian yang besar terhadap sektor pajak, terutama mengingat masih adanya alternatif pembiayaan pembangunan dari sektor migas, perdagangan internasional, maupun utang luar negeri.
Program Sunset Policy 2008 Sunset Policy di tahun 2008 dapat dikatakan sebagai program paripurna modernisasi pajak pada periode 2001 – 2007. Pada tahun 2008 tersebut jumlah NPWP baru bertambah sebanyak 5.365.128 NPWP, SPT tahunan bertambah sebanyak 804.814 SPT dan penerimaan PPh meningkat sebesar Rp7,46 triliun. Dari tiga kebijakan pengampunan pajak yang pernah dilaksanakan, Sunset Policy 2008 adalah kebijakan yang dianggap berhasil karena realisasi penerimaan pajak pada tahun 2008 telah mencapai target yang ditetapkan dalam APBN. Namun demikian, data kepatuhan Wajib Pajak pada tahun 2009 menunjukkan bahwa Wajib Pajak yang tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan mencapai 47,39 persen dari total Wajib Pajak sebanyak 15.469.590. Hal ini menunjukkan masih rendahnya tingkat kepatuhan dan kemungkinan Wajib Pajak kembali ke perilaku ketidakpatuhan. Di samping itu, dari sisi administrasi perpajakan tidak dapat dibedakan antara Wajib Pajak yang memanfaatkan Sunset Policy dengan Wajib Pajak yang menyampaikan SPT tahunan sehingga tidak dapat dilakukan monitoring tingkat kepatuhan pada tahun-tahun berikutnya. Beberapa hal utama yang menjadi kendala pelaksanaan sunset policy antara lain: (i) pengampunan hanya meliputi sanksi administrasi; (ii) ketidaksiapan sistem administrasi perpajakan; (iii) jangka waktu pelaksanaan terlalu pendek.
Tujuan Dan Manfaat Dari Dilaksanakannya UU Pengampunan Pajak UU Pengampunan Pajak Bertujuan Untuk Mendorong Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 94 Pertumbuhan Perekonomian, Sekaligus Tonggak Reformasi Perpajakan Menuju Sistem Perpajakan Yang Lebih Berkeadilan Serta Perluasan Basis Data Tujuan dari pengampunan pajak adalah:
mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi melalui pengalihan Harta, yang antara lain akan berdampak terhadap peningkatan likuiditas domestik, perbaikan nilai tukar Rupiah, penurunan suku bunga, dan peningkatan investasi; Hal tersebut dilakukan melalui repatriasi harta yang berada di luar negeri. atas harta yang telah direpatriasi perlu untuk tetap berada di dalam negeri selama jangka waktu tertentu ( holding period ). Dengan adanya klausul holding period diharapkan akan dapat mendukung proses pertumbuhan ekonomi di masa depan.
kebijakan Pengampunan Pajak ditujukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, dimana dana yang berhasil direpatriasi ke dalam negeri atau dana yang selama ini berada di underground economy dapat dimunculkan untuk aktivitas yang menunjang pertumbuhan ekonomi sehingga arah pembangunan ekonomi dapat lebih tertata dan terarah untuk kesejahteraan rakyat.
mendorong reformasi perpajakan menuju sistem perpajakan yang lebih berkeadilan serta perluasan basis data perpajakan yang lebih valid, komprehensif, dan terintegrasi dengan meningkatkan basis pemajakan nasional. Aset atau harta yang diungkapkan dalam permohonan Pengampunan Pajak dapat dimanfaatkan untuk pemajakan dimasa yang akan datang. Tentunya kebijakan Pengampunan Pajak harus disertai dengan perbaikan adminitrasi perpajakan di Direktorat Jenderal Pajak sehingga diharapkan Pengampunan Pajak menjadi era baru reformasi adminitrasi perpajakan modern yang mampu untuk menjaring dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya akan semakin meningkatkan penerimaan pajak ke depan. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 95 4. penyelenggaraan kebijakan pengampunan pajak merupakan salah satu cara untuk meningkatkan penerimaan dalam jangka pendek. Sementara untuk jangka panjangnya adalah untuk meningkatkan kepatuhan pajak di masa yang akan datang dan perluasan basis data perpajakan yang akan berdampak pada meningkatnya penerimaan negara dari sektor perpajakan. Adapun manfaat yang diperoleh dari pengampunan pajak antara lain sebagai berikut:
meningkatkan penerimaan negara dan pertumbuhan perekonomian;
meningkatkan kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan di masa yang akan datang;
mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi;
meningkatkan ketersediaan likuiditas dalam negeri;
menguatkan nilai tukar Rupiah;
menurunkan suku bunga;
meningkatkan investasi;
mendorong reformasi perpajakan menuju sistem perpajakan yang lebih berkeadilan;
memperluas basis data perpajakan yang lebih valid, komprehensif, dan terintegrasi;
meningkatkan penerimaan pajak yang signifikan dalam jangka pendek guna pembiayaan pembangunan;
mewujudkan rekonsiliasi perpajakan nasional;
mendorong pertumbuhan ekonomi melalui repatriasi harta di luar negeri;
meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak;
menambah informasi mengenai daftar kekayaan Wajib Pajak;
memperbaiki struktur ekonomi melalui peningkatan pembentukan modal di dalam negeri;
meningkatkan penerimaan dalam jangka pendek untuk menutup kebutuhan anggaran negara; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 96 Selain itu, secara umum kebijakan pengampunan pajak berfungsi untuk melakukan pembinaan, sosialisasi, penelitian dan pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan. Hal ini dimaksudkan agar dapat menggerakkan peran serta semua lapisan subjek pajak dalam meningkatkan penerimaan dalam negeri. Dengan Pengampunan Pajak, muncul harapan dimulainya suatu hubungan atau permulaan yang baru. Oleh karenanya tidak berlebihan apabila kebijakan-kebijakan strategis Pengampunan Pajak, memberikan manfaat yang luas baik sebagai penerimaan, repatriasi harta, media pembaharuan sosial, administrasi perpajakan, atau bahkan rekonsiliasi perpajakan nasional. Pelaksanaan kebijakan pengampunan pajak atau pengampunan pajak memiliki peranan yang strategis dan memberikan manfaat terhadap pembangunan.Pengampunan pajak dapat digunakan sebagai sarana untuk menghimpun pendapatan atau penerimaan negara dari sektor pajak secara cepat dalam jangka waktu yang relatif singkat. Di sisi lain, kebijakan pengampunan pajak dapat memberikan manfaat perolehan dana milik warga Negara Indonesia yang disimpan di luar negeri atau mendorong repatriasi harta yang berada di luar negeri. Dalam pengampunan pajak dapat dibuat suatu insentif atas harta yang direpatriasi.Insentif ini dapat berupa tarif tebusan yang lebih rendah bila harta direpatriasi, dibandingkan bila harta hanya dideklarasikan saja. Repatriasi harta dapat menjadi tambahan modal bagi sektor keuangan dan sektor riil di dalam negeri. Tambahan modal di sektor keuangan akan mengurangi cost of capital , sedangkan tambahan modal disektor riil akan dapat digunakan untuk ekspansi bisnis, mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi, melalui pengalihan harta, yang diharapkan akan berdampak terhadap peningkatan likuiditas domestik, perbaikan nilai tukar rupiah, penurunan suku bunga, dan peningkatan investasi. Manfaat lain dari Pengampunan Pajak ditataran yang lebih filosofis adalah munculnya harapan akan dimulainya suatu hubungan yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 97 baru antara fiskus dengan Wajib Pajak, yang pada akhirnya akan memperluas basis data perpajakan dan memberikan manfaat yang luas baik sebagai penerimaan, media pembaharuan sosial, administrasi perpajakan, atau bahkan rekonsiliasi perpajakan nasional. Dari tujuan dan manfaat atas pengampunan pajak di atas, terlihat bahwa UU Pengampunan Pajak lebih diutamakan untuk kepentingan mendorong pertumbuhan perekonomian negara. Selanjutnya, pengampunan pajak merupakan tonggak reformasi perpajakan menuju sistem perpajakan yang lebih berkeadilan serta perluasan basis data perpajakan yang lebih valid, komprehensif, dan terintegrasi dengan pertama-tama memberikan Wajib Pajak jembatan untuk kembali patuh ( bridge to legality ). Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, UU Pengampunan Pajak semata-mata ditujukan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia sesuai dengan amanat Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa Pemerintah Negara Republik Indonesia bertanggung jawab untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Selanjutnya bahwa Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945 juga telah mengamanatkan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama Pemerintah. Berdasarkan amanat Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945 tersebut, maka jelas bahwa negara, terutama Pemerintah mempunyai kewajiban untuk berusaha secara sungguh-sungguh dan semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya untuk menjamin dan menyelenggarakan keselamatan, kesejahteraan, dan penghidupan yang layak bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk mewujudkan secara nyata penyelenggaraan keselamatan, kesejahteraan, dan penghidupan yang layak bagi seluruh rakyat Indonesia tersebut, Pemerintah melaksanakan program-program seperti antara lain program pembangunan infrastruktur, penyerapan tenaga kerja, subsidi, pendidikan, bantuan sosial, jaminan kesehatan dan jaminan sosial lainnya. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 98 Selanjutnya bahwa untuk mewujudkan program-program tersebut, tentunya Pemerintah membutuhkan dana yang sebagian besar ditopang oleh penerimaan pajak. Selain itu, untuk menggerakan sektor perekonomian serta penyerapan tenaga kerja, maka investasi baik yang berasal dari domestik maupun luar negeri juga sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, kebijakan Pengampunan Pajak yang diatur dengan UU Pengampunan Pajak ini merupakan salah satu upaya Pemerintah untuk mewujudkan amanat Pembukaan UUD 1945 dan merupakan pelaksanaan dari Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945 tersebut, karena kebijakan Pengampunan Pajak tidak hanya untuk mendapatkan penerimaan pajak, namun juga untuk menggerakkan sektor perekonomian, menyerap tenaga kerja, dan meningkatkan daya beli masyarakat dengan masuknya dana hasil repatriasi yang harus ditanamkan di Indonesia selama minimal 3 tahun.
Dampak Apabila UU Pengampunan Pajak Dibatalkan Pembatalan UU Pengampunan Pajak Dapat Mengakibatkan Terhambatnya Program Pembangunan Demi Tercapainya Tujuan Negara Indonesia UU Pengampunan Pajak memiliki arti strategis bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia secara umum dan secara khusus pada perekonomian negara. Berikut akan kami uraikan dampak-dampak yang mungkin timbul apabila UU Pengampunan Pajak ini dibatalkan: a) Penurunan tingkat kepercayaan publik kepada Pemerintah Pembatalan UU Pengampunan Pajak akan memicu penurunan tingkat kepercayaan publik kepada Pemerintah yang kemudian akan memberikan dampak buruk pada iklim investasi di Indonesia. Hal ini akan menjadi sinyal ketidakpastian hukum bagi para investor yang telah dan akan menanamkan dananya di Indonesia serta menurunkan kepercayaan masyarakyat atas Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 99 kebijakan-kebijakan yang akan diambil Pemerintah selanjutnya. b) Shortfall Realisasi Penerimaan Perpajakan . Program Pengampunan Pajak diproyeksikan dalam APBN-P 2016 dapat menambah penerimaan negara sebesar 165 Triliun Rupiah dari tebusan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak yang mengikuti program tersebut. Jika pembatalan UU Pengampunan Pajak terjadi, maka potensi penerimaan negara tersebut terancam tidak didapatkan dan target penerimaan negaraakan semakin sulit tercapai. Dengan menurunnya realisasi penerimaan negara, maka defisit anggaran pun akan semakin lebar dan membuat ruang fiskal pemerintah semakin tipis. c) Terhambatnya program pembangunan yang telah direncanakan Pemerintah. Pembangunan di Indonesia akan terhambat karena dana yang akan digunakan untuk membangun infrastruktur dan percepatan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan masuk ke Indonesia melalui tax amnesty gagal didapatkan. Target pertumbuhan ekonomi terancam tidak tercapai karena kekurangan sumber dana sebagai pemacu penggerak perekonomian Negara. Program-program untuk meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup rakyat yang diselenggarakan oleh pemerintah menjadi tidak dapat diselenggarakan secara optimal. Dana yang didapatkan dari program pengampunan pajak diharapkan akan bergulir dalam perekonomian indonesia dan membantu meningkatkan aktivitas perekonomian masyarakat. Dengan tumbuhnya aktivitas-aktivitas ekonomi baru dari dana yang masuk tersebut diharapkan tumbuh potensi pajak baru yang pada akhirnya dapat meningkatkan penerimaan pajak negara. Namun jika UU Pengampunan Pajak dibatalkan, dampak-dampak positif tersebut menjadi tidak terwujud dan penerimaan negara akan stagnan. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 100 d) Negara semakin tergantung pada utang luar negeri yang lebih besar. Program pemerintahan saat ini yang menargetkan pembangunan infrastruktur dalam jumlah besar membutuhkan sumber dana dalam jumlah yang masif. Tax amnesty membantu mendukung programa pemerintah tersebut dengan menyediakan dana di dalam negeri dengan merepatriasi dana Wajib Pajak indonesia yang berada di luar negeri. Jika UU Pengampunan Pajak dibatalkan maka potensi repatriasi dana dalam rangka membiayai program pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah tidak akan didapatkan. Sehingga pembangunan akan mencari sumber pendanaan lainnya dari luar negeri yang berarti utang luar negeri pemerintah indonesia akan bertambah dan menambah beban di masa mendatang. Dalam jangka panjang utang luar negeri yang besar akan menyebabkan nilai tukar rupiah jatuh dan memberatkan komposisi APBN pada tahun-tahun berikutnya. e) Memperdalam dampak buruk dari efek perlambatan ekonomi global bagi Indonesia. Kondisi perekonomian Indonesia sangat rentan terpengaruh dengan perkembangan situasi global. Perlambatan ekonomi global yang ditandai dengan menurunnya harga komoditas- komoditas yang selama ini menjadi andalan ekspor Indonesia mengakibatkan menurunnya aktivitas perekonomian di dalam negeri. UU Pengampunan Pajak adalah sebagai salah satu langkah pemerintah dalam meningkatkan aktivitas perekonomian di dalam negeri dengan membawa kembali dana yang selama ini ditempatkan di luar negeri. Pertumbuhan ekonomi yang inklusif diharapkan dapat terwujud dengan datangnya dana dari program Pengampunan Pajak. Jika UU Pengampunan Pajak dibatalkan, multiplier effect dari repatriasi dana yang diharapkan sebagai tenaga baru penggerak perekonomian tidak dapat terwujud. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 101 f) Terhambatnya Perbaharuan dan Perluasan basis data perpajakan . Salah satu manfaat dari Pengampunan Pajak adalah dengan meningkatnya basis data perpajakan yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak. Peningkatan basis data perpajakan akan sangat bermanfaat bagi penggalian potensi pajak pada tahun-tahun berikutnya. Tanpa UU Pengampunan Pajak yang menjadi bridge to legality (Jembatan kepatuhan) bagi Wajib Pajak yang menempatkan dananya di luar negeri, maka data- data mengenai harta tersebut akan sulit didapatkan oleh otoritas perpajakan karena wewenang otoritas perpajakan saat ini yang masih lemah. Penambahan basis data perpajakan akan mendorong reformasi perpajakan menuju sistem perpajakan yang lebih berkeadilan. Selain hal-hal tersebut di atas, apabila UU Pengampunan Pajak dibatalkan, setidak-tidaknya akan menimbulkan dampak sebagai berikut:
berkurangnya penerimaan negara yang berasal dari perpajakan;
ii. hilangnya target penerimaan perpajakan yang berasal dari Uang Tebusan sebesar Rp165 triliun; iii. tidak terlaksananya program-program pembangunan yang telah direncanakan ataupun sedang dalam pengerjaan;
iv. mengurangi potensi pertumbuhan ekonomi;
pengakuratan basis data perpajakan tidak dapat dilakukan, sehingga pemungutan pajak pada tahun-tahun berikutnya tidak dapat dilaksanakan secara maksimal;
vi. arus modal dan investasi yang diharapkan masuk ke dalam negeri tidak jadi terlaksana; vii. hilangnya potensi pajak yang seharusnya dapat dipungut oleh Negara; viii. menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap Wajib Pajak yang telah mengikuti pengampunan pajak dan terhadap pihak- pihak yang telah terlibat dalam pengampunan pajak; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 102 B. TANGGAPAN ATAS PERMOHONAN PARA PEMOHON Atas alasan-alasan permohonan pengujian yang dikemukakan oleh para Pemohon, Pemerintah menyampaikan tanggapan sebagai berikut:
Program Pengampunan Pajak bukan hanya satu-satunya upaya yang telah dilakukan Pemerintah dalam meningkatkan penerimaan Negara UU Pengampunan Pajak Hanya Salah Satu Upaya Pemerintah Dalam Pembiayaan Pembangunan Terhadap dalil para Pemohon pada bagian Pendahuluan Permohonannya yang menganggap bahwa Pengampunan Pajak sebagai satu-satunya cara yang dilakukan oleh Pemerintah dalam meningkatkan penerimaan Negara, dapat Pemerintah sampaikan bahwa meskipun penerimaan perpajakan merupakan sumber utama penerimaan negara, namun penerimaan perpajakan bukanlah satu-satunya sumber penerimaan negara. Upaya lain yang telah dilakukan Pemerintah untuk meningkatkan penerimaan Negara antara lain kebijakan peningkatan perkiraan lifting minyak mentah dengan adanya pengetatan jadwal proyek onstream , terutama dengan mulai berproduksinya Blok Cepu, dan pencapaian target lifting minyak mentah dan lifting gas bumi. Kebijakan lain juga diambil guna mengoptimalkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), misalnya penyesuaian tarif PNBP dan ekstensifikasi, peningkatan kinerja BUMN, peningkatan pengawasan dan pelaporan PNBP, perbaikan administrasi dan sistem PNBP, serta perbaikan regulasi PNBP.
Tarif Uang Tebusan dalam UU Pengampunan Pajak telah ditetapkan berdasarkan kajian matematis yang matang dan rasional Penentuan Tarif Uang Tebusan Ditetapkan Dengan Mempertimbangkan Daya Tarik Bagi Wajib Pajak Dalam Mengikuti Program Pengampunan Pajak Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 103 Selanjutnya atas dalil para Pemohon pada bagian Pendahuluan Permohonannya yang menganggap bahwa tarif Uang Tebusan yang ditetapkan terlalu rendah, dapat Pemerintah sampaikan bahwa proyeksi penerimaan pajak yang dihasilkan oleh kebijakan Pengampunan Pajak telah berasal dari data-data dan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Bahwa tujuan utama ( ratio legis ) dibentuknya UU Pengampunan Pajak bukanlah hanya terkait jumlah uang tebusan yang akan dibayarkan oleh Wajib Pajak, namun lebih diutamakan untuk merepatriasi harta warga negara Indonesia yang terdapat di luar negeri yang dapat digunakan untuk membiayai kegiatan perekonomian nasional dan mendukung program-program pemerintah dalam rangka pelaksanaan fungsi- fungsi negara. Oleh karena itu, apabila tarif uang tebusan ditetapkan cukup tinggi, maka Wajib Pajak cenderung enggan untuk melakukan repatriasi. Sebaliknya, dengan ditetapkan tarif yang lebih rendah dari ketentuan umum yang berlaku, diharapkan Wajib Pajak akan melakukan repatriasi hartanya yang berada di luar negeri dalam jumlah lebih besar. Bahwa Harta Wajib Pajak yang berada di luar negeri tersebut sangat mungkin diatasnamakan entitas atau nominee lain, bukan atas nama Wajib Pajak dan tunduk pada ketentuan perpajakan di negara tempat harta tersebut berada. Dengan demikian, sudah sepantasnya apabila Wajib Pajak yang mengalihkan hartanya ke Indonesia mendapatkan insentif tarif yang lebih rendah. Harta Wajib Pajak yang berada di luar negeri juga hampir pasti telah dikenai pajak di negara tempat harta tersebut berada, sehingga tidak sepantasnya apabila atas harta tersebut dikenakan tarif umum sesuai undang-undang di bidang perpajakan sebagaimana praktek Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Bahwa penetapan tarif secara umum yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dapat dilihat dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, dimana tarif Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 104 terendah adalah sebesar 5%. Oleh karenanya, penetapan tarif dalam UU Pengampunan Pajak sudah sewajarnya di bawah tarif 5%. Di samping itu, penentuan tarif dalam Pasal 4 UU Pengampunan Pajak telah mempertimbangkan hasil evaluasi program pengampunan pajak yang pernah dilakukan sebelumnya oleh Indonesia dan benchmark dengan negara lain yang telah berhasil melakukan Pengampunan Pajak seperti Afrika Selatan, Portugal, dan Italia, serta dampak yang akan ditimbulkan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Oleh karena itu, penentuan tarif tebusan dalam Pasal 4 UU Pengampunan Pajak telah ditetapkan melalui pertimbangan matematis rencana penerimaan pajak yang telah disusun oleh Pemerintah dan pertimbangan ketertarikan Wajib Pajak dalam mengikuti program Pengampunan Pajak berdasarkan evaluasi terhadap program Pengampunan Pajak sebelumnya, serta hasil perbandingan dengan negara-negara lain. Selanjutnya bahwa Pemerintah telah memperhitungkan potensi penerimaan pajak dari kebijakan pengampunan pajak dengan mencantumkan target penerimaan pajak tahun 2016 sesuai APBN- P 2016 adalah sebesar kurang lebih 1.539 triliun rupiah yang didalamnya termasuk potensi penerimaan dari pengampunan pajak sebesar 165 triliun rupiah. Namun demikian, besarnya potensi penerimaan tersebut bukanlah semata-mata yang menjadi tujuan Pemerintah merumuskan kebijakan pengampunan pajak. Selain hal-hal tersebut di atas, Pemerintah juga berpendapat bahwa penetapan besaran tarif Uang Tebusan ( treshold ) tersebut merupakan bentuk pilihan hukum dari pembuat undang-undang, sehingga tinggi atau rendahnya tarif Uang Tebusan bukanlah merupakan suatu permasalahan konstitusionalitas norma.
Persamaan hak bagi setiap Wajib Pajak untuk mendapatkan Pengampunan Pajak UU Pengampunan Pajak Berlaku Bagi Seluruh Warga Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 105 Negara dan Merupakan Hak Bagi Setiap Wajib Pajak Atas dalil para Pemohon pada bagian Pendahuluan Permohonannya yang menganggap bahwa Pengampunan Pajak hanya diperuntukkan bagi kalangan ekonomi ekslusif, dengan ini Pemerintah sampaikan bahwa di dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1) UU Pengampunan Pajak telah ditegaskan bahwa yang berhak memanfaatkan program pengampunan pajak adalah seluruh Wajib Pajak, baik orang pribadi mapun badan yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Dengan demikian, telah jelas bahwa tidak ada diskriminasi ataupun ketidakadilan kepada Wajib Pajak dalam mendapatkan Pengampunan Pajak. Selain itu, Pasal 4 ayat ( UU Pengampunan Pajak juga memberikan keringanan dan tarif lebih rendah kepada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), yaitu sebesar 0,5% bagi Wajib Pajak yang mengungkapkan nilai Harta sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan 2% bagi Wajib Pajak yang mengungkapkan nilai Harta lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), sehingga dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa program Pengampunan Pajak hanya untuk ekonomi ekslusif adalah tidak benar.
Keadilan UU Pengampunan Pajak terhadap pembayar pajak yang telah patuh membayar pajaknya UU Pengampunan Pajak Akan Menambah Wajib Pajak Baru Sehingga Memperluas Keadilan Distributif Pembangunan Atas dalil para Pemohon yang menganggap bahwa UU Pengampunan Pajak mengesampingkan peran pembayar pajak taat dan diperlakukan tidak adil dengan adanya UU Pengampunan Pajak, dengan ini Pemerintah sampaikan bahwa dengan diberlakukannya UU Pengampunan Pajak, jumlah Wajib Pajak akan meningkat dengan signifikan yang selanjutnya akan menambah pula jumlah penerimaan perpajakan. Sehingga program pengampunan pajak dapat membuat beban negara yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 106 saat ini menggantungkan hanya kepada Wajib Pajak yang telah taat menjadi berkurang. Beban yang selama ini hanya digantungkan kepada Wajib Pajak yang taat akan dibagi dan dipikul bersama dengan Wajib Pajak baru yang mengikuti program pengampunan pajak. Oleh karena itu, dalam penyusunan UU Pengampunan Pajak ini telah diperhitungkan pula aspek keadilan bagi Wajib Pajak yang selama ini telah patuh membayar pajak, yaitu bahwa dengan bertambahnya jumlah Wajib Pajak yang diperoleh dari program pengampunan, maka akan membuat beban Negara yang saat ini hanya menggantungkan kepada Wajib Pajak yang telah taat menjadi terbagi dan dipikul bersama dengan Wajib Pajak baru yang berasal dari adanya program pengampunan pajak. Data yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak, perbandingan jumlah pekerja sebesar 114,819 juta jiwa dengan jumlah yang telah derdaftar sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi sebesar 27,571 juta jiwa (pada tahun 2015), maka hanya 24,01% dari potensi jumlah pekerja yang telah mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak. Masih terdapat potensi sekitar 87 juta Wajib Pajak yang belum terdaftar dalam sistem administasi perpajakan. Dengan program pengampunan pajak, kelompok masyarakat tersebut diharapkan ikut serta memanfaatkan program ini. Dalam UU Pengampunan Pajak, tidak dikenal dengan kalangan tertentu yang diberi perlakuan yang diistimewakan seperti yang dimaksud para Pemohon. Seluruh lapisan masyarakat tanpa memandang strata ekonomi dapat memanfaatkan kesempatan yang diberikan oleh UU Pengampunan Pajak dan Negara pun akan memberikan perlakuan yang sama terhadap masyarakat yang memanfaatkan kesempaan tersebut. Laporan Statistik Indonesia 2016 yang dterbitkan oleh Badan Pusat Statistik menjelaskan bahwa sejak tahun 2011 pertumbuhan ekonomi Indonesia terus mengalami penurunan sampai tahun 2015. Data pertumbuhan ekonomi Indonesia dari tahun 2011 dapat dilihat dalam Gambar 9. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 107 Sumber : Laporan Statistik Indonesia 2016 Badan Pusat Statistik Penurunan pertumbuhan ekonomi tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga terjadi di negara lainnya di dunia. Penurunan ini memerlukan suatu terobosan kebijakan pemerintah agar kembali meningkatkan atau mempertahankan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Berdasarkan hasil kajian dan analisis yang telah dilakukan, pemerintah Indonesia memilih untuk menerapkan kebijakan pengampunan pajak untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pengampunan pajak dimaksudkan untuk menarik Harta yang sebelumnya berada di luar wilayah Indonesia masuk ke dalam wilayah Indonesia. Harta tersebut dapat digunakan untuk menggerakkan perekonomian Indonesia dan kemudian akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan tujuan peningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia ini, UU Pengampunan Pajak sangat sejalan dengan tujuan hadirnya pemerintah Negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu memajukan kesejahteraan umum. Selanjutnya, dampak positif pelaksanaan UU Pengampunan Pajak terhadap pasar keuangan di Indonesia khususnya secara nyata dapat dilihat dalam Tabel 5. Tabel 5 Dampak Pelaksanaan UU Pengampunan Pajak Terhadap Pasar Keuangan Sebelum Pengesahan UU Sesudah Pengesahan Tanggal Nilai Tanggal Nilai IHSG 27 Juni 2016 4,836.052 20 Juli 2016 5,242.823 Gambar 9 Laju Pertumbuhan Ekonomi 5.6 Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 108 Kapitalisasi Pasar 27 Juni 2016 5,187,528,907,602,110 20 Juli 2016 5,639,368,222,435,710 Nilai Transaksi (Rupiah) Rata-rata 5,550,295,539,904 Rata-rata 8,553,082,976,948 Volume Transaksi (Lembar Saham) Rata-rata 6,993,242,895 Rata-rata 7,064,764,279 Frekuensi Transaksi (Kali Transaksi) 13-17 Juni 217,877 27 Juni-1 Juli 251,871 20-24 Juni 261,084 11-15 Juli 346,112 Rata-rata 239,481 Rata-rata 298,992 Dampak diumumkannya UU Pengampunan Pajak terhadap pasar keuangan Indonesia sangat positif. Hal ini ditunjukkan dengan penguatan nilai tukar Rupiah dari Rp 13.335,00 pada tanggal 27 Juni 2016 (sebelum UU Pengampunan Pajak disahkan Dewan Perwakilan Rakyat) menjadi Rp 13.110,00 pada tanggal 20 Juli 2016 atau menguat Rp 225,00 (1.69%), bahkan sempat menguat ke level Rp 13.085,00 pada tanggal 14 Juli 2016. Pasar obligasi dan pasar uang juga merespon positif disahkannya UU Pengampunan Pajak. Penguatan pasar obligasi negara (SBN) terlihat dari penurunan yield SBN benchmark tenor 10 tahun dari 7.67% pada tanggal 27 Juni 2016 ke 6.97% pada tanggal 20 Juli 2016 atau menguat (turun) 70 bps. Selain itu, di pasar uang rata- rata suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB) tenor o/n juga mengalami penurunan yang cukup signifikan dari 5.43% pada tanggal 27 Juni 2016 ke 4.60% pada tanggal 20 Juli 2016, atau turun sebesar 83 bps. Penguatan yang terjadi di pasar keuangan, secara umum akan menciptakan optimisme bagi pelaku pasar dan pelaku usaha untuk perkembangan ekonomi Indonesia ke depan. Secara khusus penurunan yield SBN akan berdampak positif terhadap turunnya beban biaya utang yang ditanggung pemerintah apabila menerbitkan surat utang dalam mendukung pembiayaan APBN. Oleh karena itu, telah jelas bahwa UU Pengampunan Pajak justru akan memberikan kesejahteraan dan keadilan sosial yang lebih luas kepada seluruh rakyat Indonesia. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 109 Adapun penghapusan sanksi dan denda melalui Uang Tebusan yang diberikan terhadap Wajib Pajak yang ikut serta dalam pengampunan pajak, hal tersebut merupakan insentif bagi Wajib Pajak yang telah secara sukarela melaporkan seluruh hartanya yang berada di luar negeri maupun didalam negeri serta membayar segala kewajiban utang pajaknya dengan benar. Dan hal tersebut bukanlah fasilitas yang diberikan secara cuma-cuma, melainkan dengan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Selanjutnya bahwa Pengampunan Pajak sebagai tonggak reformasi perpajakan juga akan diikuti dengan kebijakan lain seperti penegakan hukum yang lebih tegas dan penyempurnaan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan, Undang- Undang tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta kebijakan strategis lain di bidang perpajakan dan perbankan. Selain itu, tujuan-tujuan yang diharapkan dalam UU Pengampunan Pajak sebagaimana tersebut di atas tidak membuat Pemerintah melegalkan pelanggaran hukum bagi para pihak yang tidak taat pajak, karena salah satu syarat untuk mengikuti pengampunan pajak ini, Wajib Pajak harus melunasi seluruh tunggakan pajaknya, dan apabila Wajib Pajak tersebut sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan atau penyidikan pajak maka Wajib Pajak tersebut harus membayar pokok pajak yang seharusnya terutang. Selanjutnya bahwa kebijakan pengampunan pajak bukan berarti membebaskan sama sekali kewajiban perpajakannya, Wajib Pajak yang akan ikut harus membayar uang tebusan sesuai dengan jumlah harta yang direpatriasi atau dideklarasikan. Pengampunan pajak sebagai tonggak reformasi perpajakan nantinya juga akan dilanjutkan dengan kebijakan lain seperti penegakan hukum yang lebih tegas dan penyempurnaan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan, Undang-Undang tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 110 Barang Mewah, serta kebijakan strategis lain di bidang perpajakan dan perbankan.
UU Pengampunan Pajak menjembatani agar data dan informasi yang belum terungkap dapat masuk ke dalam sistem administrasi perpajakan dan dimanfaatkan untuk pengawasan kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan di masa yang akan datang Kebijakan Pengampunan Pajak Merupakan Awal Dari Reformasi Perpajakan Secara Menyeluruh Terkait dengan dalil para Pemohon yang menganggap bahwa UU Pengampunan Pajak telah merusak mental bangsa karena Negara memilih mengalah kepada orang-orang yang telah sengaja mencurangi Negara, menghambat kesadaran hukum, mencederai rasa keadilan, dan menurunkan kredibilitas Pemerintah, dapat Pemerintah sampaikan bahwa hal tersebut adalah tidak benar sama sekali. Pembentukan dan pelaksanaan UU Pengampunan Pajak tidak berarti mengalah pada orang-orang yang sejak awal sengaja mencurangi negara dengan tidak membayar pajak, akan tetapi dengan pemberlakuan UU Pengampunan Pajak, Negara menjembatani agar data dan informasi yang belum diungkapkan masuk ke dalam sistem administrasi perpajakan dan dapat dimanfaatkan untuk pengawasan kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan di masa yang akan datang. Terkait kredibilitas pemerintah, justru apabila kebijakan ini dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan terutama terkait potensi harta yang akan direpatriasi ke dalam negeri akan menggerakkan perekonomian nasional dan juga memberikan kontribusi pada penerimaan pajak sehingga Pemerintah dapat menjalankan program-program prioritas yang telah direncanakan. Selanjutnya terkait anggapan bahwa kebijakan ini menghambat kesadaran hukum, melalui kebijakan ini Pemerintah justru mendorong agar Wajib Pajak yang selama ini masih belum menjalankan kewajiban perpajakannya dengan benar, agar dengan kesadaran sendiri Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 111 berkomitmen untuk menjadi patuh melalui pengungkapan harta dan membayar uang tebusan.
Pertimbangan-pertimbangan pembentukan UU Pengampunan Pajak tidak bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945 UU Pengampunan Pajak Merupakan Salah Satu Cara Untuk Mencapai Tujuan Dibentuknya Pemerintahan Negara Republik Indonesia Terhadap dalil para Pemohon yang menganggap bahwa pertimbangan-pertimbangan pembentukan UU Pengampunan Pajak bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945 dan jiwa konstitusi, telah Pemerintah jelaskan sebelumnya bahwa tujuan UU Pengampunan Pajak bukanlah semata-mata hanya untuk optimalisasi penerimaan Negara. Tujuan UU Pengampunan Pajak yang pertama adalah mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi melalui pengalihan Harta, yang antara lain akan berdampak terhadap peningkatan likuiditas domestik, perbaikan nilai tukar Rupiah, penurunan suku bunga, dan peningkatan investasi. Tujuan yang kedua adalah mendorong reformasi perpajakan menuju sistem perpajakan yang lebih berkeadilan serta perluasan basis data perpajakan yang lebih valid, komprehensif, dan terintegrasi. Kemudian, baru tujuan UU Pengampunan Pajak adalah meningkatkan penerimaan pajak, yang antara lain akan digunakan untuk pembiayaan pembangunan. Tujuan untuk meningkatkan penerimaan pajak merupakan implikasi yang secara potensial timbul akibat dari tujuan pertama dan kedua. Implikasi ini timbul disebabkan dari realisasi penerimaan Uang Tebusan yang diterima Negara dan bertambah luasnya basis data perpajakan yang lebih valid, komprehensif, dan terintegrasi. Oleh karena itu, tujuan meningkatkan penerimaan pajak bukanlah semata-mata pertimbangan dari pemberlakuan UU Pengampunan Pajak. Dengan potensi peningkatan kepatuhan Wajib Pajak serta bertambahnya data perpajakan yang masuk setelah pelaksanaan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 112 kebijakan Pengampunan Pajak, Negara justru akan menjadi semakin mampu untuk melaksanakan program-program kebijakan sebagai bagian dari pembangunan negara yang melindungi segenap bangsa Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, UU Pengampunan Pajak sejatinya memiliki tujuan yang sama dengan tujuan dibentuknya Pemerintahan Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada alinea keempat Pembukaan UUD1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Pengampunan Pajak tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 UU Pengampunan Pajak Merupakan Pengejawantahan Pasal 23A UUD 1945 UU Pengampunan Pajak mendasarkan pada Pasal 23A UUD 1945 yang mengatur bahwa pajak, sebagaimana juga pungutan negara lainnya yang bersifat memaksa, diatur dengan undang-undang. Kata memaksa dalam Pasal 23A UUD 1945 tidak dapat dimaknai bahwa Pemerintah tidak dapat merumuskan kebijakan pengampunan pajak, karena Pasal 23A UUD 1945 sendirilah yang memberikan kewenangan kepada Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat secara bersama-sama untuk membentuk suatu kebijakan atas pajak dalam bentuk undang-undang. Sifat memaksa dalam pajak haruslah dimaknai bahwa setiap Wajib Pajak memiliki kewajiban untuk membayar kewajiban perpajakan dan negara memiliki kewenangan untuk memberikan sanksi apabila Wajib Pajak tidak melaksanakan kewajiban perpajakan tersebut. Sedangkan sistem perpajakan sendiri menganut sistem self assessment dimana Pemerintah memberikan kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan seluruh pajak yang menjadi Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 113 kewajibannya. Hal ini menunjukan bahwa pola pikir para Pemohon dalam memaknai kata ‘memaksa’ di dalam UUD 1945 adalah pola pikir yang kurang tepat. Pemerintah dan DPR telah merumuskan pengaturan-pengaturan yang ditetapkan dalam UU Pengampunan Pajak dengan hati-hati dan sangat memperhatikan kepentingan negara secara luas, baik dari aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis. Bahwa salah satu syarat untuk mengikuti pengampunan pajak ini, Wajib Pajak harus melunasi seluruh tunggakan pajaknya, dan apabila wajib pajak tersebut sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan atau penyidikan pajak maka wajib pajak tersebut harus membayar pokok pajak yang terutang. Kewajiban membayar pokok pajak tersebut merupakan keharusan apabila ingin mendapatkan fasilitas pengampunan. Kebijakan pengampunan pajak bukan berarti membebaskan sama sekali kewajiban perpajakannya, Wajib Pajak yang akan ikut harus membayar uang tebusan yang dihitung berdasarkan tarif yang diatur dalam Pasal 4 UU Pengampunan Pajak. Pengenaan uang tebusan dengan tarif tersebut merupakan suatu keharusan yang memaksa. Selain itu, perlu dipahami juga bahwa bagi wajib Pajak yang mengajukan pengampunan pajak diwajibkan untuk melunasi tunggakan pajak terlebih dahulu. insentif pajak berupa penghapusan sanksi, pengurangan pokok pajak yang seharusnya terutang, merupakan norma yang lazim dan tidak bertentangan dengan konstitusi yang banyak ditemukan dalam undang-undang terkait perpajakan, seperti: insentif untuk wajib pajak patuh, perlakukan perpajakan untuk aktivitas ekonomi didaerah terpencil, revaluasi aktiva, dan sunset policy dalam UU KUP. Keseluruhan ketentuan tersebut hingga saat ini tidak pernah dianggap inkonstitusional. Dengan demikian, tidak terdapat pertentangan antara frasa "Penghapusan Pajak" dalam UU Pengampunan Pajak dengan Pasal 23A UUD 1945.
Uang Tebusan dalam Pengampunan Pajak tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 114 Uang Tebusan Memberikan Kepastian Hukum Yang Adil Bagi Setiap Wajib Pajak Uang Tebusan yang diatur dalam UU Pengampunan Pajak sama sekali tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 7 yang direalisasikan dalam Pasal 4 dan Pasal 5 UU Pengampunan Pajak, jika dilihat dan dimaknai secara sistematis dengan Pasal 3 ayat (1) UU Pengampunan Pajak, maka ketentuan ini telah menjamin kepastian hukum yang adil bagi seluruh Wajib Pajak. Pasal 3 ayat (1) UU Pengampunan Pajak telah memberikan jaminan bahwa yang berhak memanfaatkan Pengampunan Pajak adalah setiap Wajib Pajak, yaitu orang pribadi atau Badan yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Dengan demikian, tidak ada diskriminasi, ketidakadilan, ataupun ketidakpastian hukum dalam pemberlakuan Uang Tebusan dalam Pengampunan Pajak. Terkait dalil para Pemohon yang menyatakan frasa Uang Tebusan bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, Dapat Pemerintah sampaikan bahwa sebagaimana yang telah diuraikan juga sebelumnya, Uang Tebusan wajib untuk dilunasi oleh seluruh Wajib Pajak yang mengajukan pengampunan pajak tanpa terkecuali. Selanjutnya terkait dalil para Pemohon yang menganggap Pasal 1 angka 7, Pasal 4 dan Pasal 5 UU Pengampunan Pajak memberikan perlakuan khusus terhadap penghindar pajak, perlu Pemerintah tegaskan bahwa pengampunan pajak ini justru diperuntukan bagi seluruh lapisan masyarakat termasuk masyarakat yang menjalankan kegiatan UMKM sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) UU Pengampunan Pajak. Terhadap dalil para Pemohon yang mendalilkan seolah-olah Wajib Pajak dengan pekerjaan sebagai karyawan tidak dapat memanfaatkan pengampunan pajak, sekali lagi Pemerintah tegaskan bahwa seluruh Wajib Pajak termasuk Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 115 karyawan dapat memanfaatkan pengampunan pajak. Misalnya, jika karyawan tersebut memiliki harta yang belum dilaporkan di Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak Penghasilannya, ia bisa memanfaatkan pengampunan pajak dan membayar Uang Tebusan. Selain itu, para Pemohon juga hanya melihat dari satu sisi dimana Wajib Pajak yang patuh tidak diperlakukan sama dengan Wajib Pajak yang tidak patuh yang dapat menebus kewajiban pajaknya dengan tarif yang rendah sehingga dapat merugikan negara, akan tetapi Pemohon tidak melihat manfaat yang sangat besar dengan lahirnya UU Pengampunan Pajak dimana dana yang diperoleh oleh Indonesia akan menumbuhkan perekonomian dengan pesat yang dampaknya akan meningkatkan kesejahteraan rakyat (baik rakyat yang merupakan Wajib Pajak yang patuh maupun tidak, bahkan yang belum menjadi Wajib Pajak) melalui pembangunan, terbukanya lapangan pekerjaan, jaminan kesehatan dan pendidikan. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah pengampunan pajak sebagai tonggak reformasi perpajakan menuju sistem perpajakan yang lebih berkeadilan serta perluasan basis data perpajakan yang lebih valid, komprehensif, dan terintegrasi dengan pertama-tama memberikan Wajib Pajak jembatan untuk kembali patuh ( bridge to legality ). Berdasarkan data yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak yang telah disampaikan di atas, masih terdapat potensi sekitar 87 juta Wajib Pajak yang belum terdaftar dan tingkat kepatuhan melaksanakan kewajiban perpajakan yang relatif masih rendah. Oleh karena itu, kebijakan pengampunan pajak ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh seluruh masyarakat indonesia. Dengan semakin banyaknya wajib pajak terdaftar maka beban kewajiban perpajakan untuk seluruh masyarakat Indonesia untuk menutup pendapatan negara semakin ringan, sehingga akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya dan keadilan yang merata untuk seluruh Wajib Pajak, baik yang sebelumnya telah menjalankan kewajiban perpajakan secara patuh maupun yang mengikuti program pengampunan pajak. Berdasarkan fakta-fakta dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 116 alasan-alasan hukum tersebut, Pemerintah tetap berkeyakinan bahwa Uang Tebusan yang diatur dalam UU Pengampunan Pajak sama sekali tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Penghentian dan penangguhan pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan yang diatur dalam Pasal 11 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5) UU Pengampunan Pajak tidak bertentangan dengan prinsip persamaan kedudukan warga negara di hadapan hukum dan pemerintahan yang dijamin Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 Ketentuan Mengenai Penghentian Dan Penangguhan Pemeriksaan, Pemeriksaan Bukti Permulaan, Dan Penyidikan Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan Tidak Menghilangkan Hak Negara Atas Kewajiban Pajak Bahwa ketentuan mengenai penghentian dan penangguhan pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan dan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5) UU Pengampunan Pajak tidak bertentangan dengan prinsip persamaan kedudukan warga negara di hadapan hukum dan pemerintahan yang dijamin Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, karena ketentuan dimaksud bukan ditujukan untuk memberikan suatu perlakuan khusus atau eksklusif terhadap pihak yang tidak taat pajak. Ketentuan Pasal 11 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5) UU Pengampunan Pajak merupakan insentif yang wajar bagi Wajib Pajak yang telah secara sukarela melaporkan seluruh hartanya yang berada di luar negeri maupun di dalam negeri serta membayar segala kewajiban utang pajaknya dengan benar. Ketentuan Pasal 11 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5) UU Pengampunan Pajak juga tidak memberikan eksklusivitas bagi Wajib Pajak yang mengikuti Pengampunan Pajak, karena segala fasilitas yang diperoleh Wajib Pajak yang mengikuti Pengampunan Pajak tidak diberikan secara cuma-cuma. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 117 Dalam UU Pengampunan Pajak justru banyak diatur mengenai kewajiban-kewajiban khusus serta hilangnya hak-hak perpajakan Wajib Pajak bila hendak mengajukan permohonan pengampunan pajak, yaitu sebagai berikut:
Wajib Pajak harus melunasi seluruh tunggakan pajaknya terlebih dahulu sebelum mengajukan permohonan;
Wajib Pajak harus melunasi pajak yang tidak atau kurang dibayar atau melunasi pajak yang seharusnya tidak dikembalikan bagi Wajib Pajak yang sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan dan/atau penyidikan;
Wajib Pajak harus mencabut permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi perpajakan dalam Surat Ketetapan Pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak yang didalamnya terdapat pokok pajak yang terutang, pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar, keberatan, pembetulan atas surat ketetapan pajak dan surat keputusan, Banding, Gugatan, dan/atau Peninjauan Kembali;
Wajib Pajak tidak berhak mengompensasikan kerugian fiskal dalam suratpemberitahuan untuk bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir, ke bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak berikutnya;
Wajib Pajak tidak berhak mengompensasikan kelebihan pembayaran pajak;
Wajib Pajak tidak berhak mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak; dan/atau
Wajib Pajak tidak berhak melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan (SPT). Sesuai ketentuan Pasal 3 ayat (3) UU Pengampunan Pajak, telah dikecualikan pula bahwa Wajib Pajak tertentu tidak dapat memperoleh Pengampunan Pajak, yaitu Wajib Pajak yang sedang: a) dilakukan penyidikan dan berkas penyidikannya telah dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan; b) dalam proses peradilan; atau Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 118 c) menjalani hukuman pidana; atas Tindak Pidana di Bidang Perpajakan. Kebijakan pengampunan pajak bukan berarti membebaskan sama sekali kewajiban perpajakannya, Wajib Pajak yang akan ikut pengampunan pajak harus membayar uang tebusan. Selain itu, salah satu syarat bagi Wajib Pajak untuk dapat mengikuti Pengampunan Pajak adalah melunasi seluruh tunggakan pajaknya. Dalam hal Wajib Pajak tersebut sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan atau penyidikan pajak, maka Wajib Pajak tersebut juga harus terlebih dahulu membayar pokok pajak yang terutang. Selain itu, Pengampunan Pajak sebagai tonggak reformasi perpajakan juga akan diikuti dengan kebijakan lain seperti penegakan hukum yang lebih tegas dan penyempurnaan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan, Undang- Undang tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta kebijakan strategis lain di bidang perpajakan dan perbankan. Selanjutnya, tidak benar pula UU Pengampunan Pajak ini akan mendorong Wajib Pajak untuk tidak taat lagi karena dalam UU Pengampunan Pajak ini telah diatur pula mengenai sanksi terhadap Wajib Pajak yang mengikuti pengampunan pajak namun di kemudian hari ditemukan harta yang belum dilaporkan maka atas harta tersebut dianggap sebagai penghasilan pada saat ditemukan oleh Direktorat Jenderal Pajak dan dikenakan sanksi sebesar 200%. Begitu pula bagi Wajib Pajak yang tidak mengikuti pengampunan pajak dan di kemudian hari ditemukan harta yang belum dilaporkan dalam SPTnya, maka atas harta tersebut dianggap sebagai penghasilan pada tahun ditemukannya data oleh Direktorat Jenderal Pajak dan dikenakan pajak sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku secara umum. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, ketentuan mengenai penghentian dan penangguhan pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan dan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan yang diatur dalam Pasal 11 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5) UU Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 119 Pengampunan Pajak jelas-jelas tidak bertentangan dengan prinsip persamaan kedudukan warga negara di hadapan hukum dan pemerintahan yang dijamin Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.
Ketentuan Pasal 20 UU Pengampunan Pajak tidak menghapuskan penegakan hukum pidana dan tidak pula mengurangi kewenangan kekuasaaan kehakiman untuk menegakkan hukum dan keadilan, sehingga ketentuan Pasal 20 UU Pengampunan Pajak tidak bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 Wajib Pajak Yang Mengikuti Pengampunan Pajak Tetap Dapat Dilakukan Pemidanaan Sepanjang Data dan Informasi Tidak Berasal Dari Pelaksanaan Pengampunan Pajak Dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 20 UU Pengampunan Pajak bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 adalah tidak benar. Para Pemohon telah salah memahami makna dalam ketentuan Pasal 20 UU Pengampunan Pajak. Bahwa Wajib Pajak yang mengikuti program pengampunan pajak sama sekali tidak diberikan imunitas atau dilepaskan pertanggungjawaban pidana perpajakan maupun pidana lainnya. Sebagaimana telah diatur dalam ketentuan Pasal 3 ayat (3) UU Pengampunan Pajak, Wajib Pajak yang berkas penyidikannya telah dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan, Wajib Pajak yang sedang dalam proses peradilan, dan Wajib Pajak yang sedang menjalani hukuman pidana tidak dapat mengikuti program pengampunan pajak. Wajib Pajak yang mengikuti program pengampunan pajak yang berkas perkaranya belum dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan, masih diberikan kesempatan untuk mengungkapkan harta yang sebenarnya berdasarkan asas presumption of innocent, dengan syarat harus melunasi pajak yang tidak atau kurang dibayar atau melunasi pajak yang seharusnya tidak dikembalikan. Hal tersebut sesuai dengan tujuan dari hukum pajak yang lebih mengutamakan tujuan budgeter dan regulerend daripada sanksi pidana yang bersifat ultimum remidium Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 120 dan telah banyak diterapkan dalam ketentuan perpajakan yang berlaku saat ini. Pasal 44B ayat (1) dan ayat (2) UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan juga telah mengatur bahwa ayat (1) " Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan " ayat (2) " Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan setelah Wajib Pajak melunasi utang pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan dan ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, atau yang tidak seharusnya dikembalikan " Adapun frase tindak pidana lain dalam penjelasan Pasal 20 UU Pengampunan Pajak tidak berarti bahwa Wajib Pajak yang mengikuti program pengampunan pajak secara mutlak dibebaskan dari suatu pertanggungjawaban pidana (imunitas). Wajib Pajak yang mengikuti program pengampunan pajak tetap dapat dipidana dengan dasar data dan informasi dari luar data dan informasi perpajakan yang terdapat dalam surat pernyataan dan lampirannya. Hal tersebut bukan berarti membatasi kewenangan dari suatu peradilan dalam menegakkan hukum dan keadilan, akan tetapi Negara lebih mendahulukan kepentingan yang lebih besar untuk rakyat. Tujuan suatu negara yang dalam hal ini melingkupi kekuasaan eksekutf, legislatif dan yudikatif mempunyai tujuan besar yaitu mensejahterakan rakyat sesuai dengan tujuan suatu negara welfarestate . Dalam teori negara kesejahteraan (welfarestate ), Negara wajib menjamin rasa aman dan bahagia dengan terpenuhinya kebutuhan dasar kesehatan, pendidikan, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 121 tempat tinggal, dan memperoleh perlindungan dari resiko utama yang mengancam kehidupan rakyatnya. Pajak merupakan penerimaan negara yang digunakan untuk mengarahkan kehidupan masyarakat menuju kesejahteraan sebagaimana telah diatur dalam Pasal 28 I ayat (4), Pasal 31 ayat (2), dan Pasal 34 UUD 1945. Selain itu, kerahasiaan data perpajakan diperlukan dengan tujuan antara lain pertama adalah untuk mencegah adanya persaingan antara Wajib Pajak dengan Wajib Pajak yang lainnya, kedua adalah untuk mencegah dalam hal pengungkapan asal usul kekayaan atau penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak yang hakekatnya merupakan rahasia pribadi sesuai dengan asas- asas perpajakan. Kerahasiaan data dan informasi perpajakan merupakan rahasia pribadi berkaitan dengan kekayaan, penghasilan dan utang Wajib Pajak sehingga kerahasiaannya dilindungi oleh Undang-Undang. Pasal 322 ayat (1) KUHP menyatakan, “Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencariannya, baik yang sekarang maupun dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak enam ratus rupiah”. Selanjutnya Pasal 34 UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan telah menyatakan, "Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain yang tidak berhak segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan" . Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, ketentuan Pasal 20 UU Pengampunan Pajak sama sekali tidak bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 karena telah sesuai dengan asas- asas hukum dan memperhatikan prinsip-prinsip keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum. Bahwa UU Pengampunan Pajak juga tidak membatasi kewenangan aparat penegak hukum untuk melakukan penegakkan hukum. UU Pengampunan Pajak hanya membatasi penggunaan data-data yang bersumber dari permohonan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 122 pengampunan pajak. Apabila aparat penegak hukum menemukan data-data terkait tindak pidana tertentu melalui sumber yang lain, tentunya aparat penegak hukum dapat menindaklanjutinya sesuai kewenangannya. Ketentuan yang mengatur bahwa data dan informasi yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan UU Pengampunan Pajak tidak dapat dijadikan sebagai dasar dilakukannya penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan semata-mata ditujukan untuk memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak yang mengikuti program pengampunan pajak (melaporkan seluruh hartanya) agar data dan informasi yang terdapat dalam Surat Permohonan Pengampunan Pajak hanya digunakan untuk pemberian pengampunan pajak, tidak digunakan untuk tujuan lainnya. Selain itu, ketentuan Pasal 20 UU Pengampunan Pajak juga hanya mengatur kerahasiaan data dan informasi yang berasal dari Surat Pernyataan beserta lampirannya. Kerahasiaan data dan informasi wajib pajak yang berasal dari Surat Pernyataan tersebut adalah bentuk affirmative action yang merupakan diskriminasi positif ( positive discrimination ) yang dilakukan untuk tercapainya keadilan dan kesetaraan. Bahwa Wajib Pajak yang mengikuti program Pengampunan Pajak tetap dapat dipidana dengan dasar data dan informasi dari luar data dan informasi perpajakan yang terdapat dalam surat pernyataan dan lampirannya. Berdasarkan hal-hal tersebut, telah jelas bahwa ketentuan Pasal 20 UU Pengampunan Pajak tidak mengurangi kewenangan badan peradilan dalam menegakan hukum dan keadilan serta tidak pula mengabaikan persamaan kedudukan warga negara dalam hukum dan pemerintahan.
Perlindungan hukum yang diatur dalam Pasal 22 UU Pengampunan Pajak bersifat limitattif sebatas dalam melaksanakan tugas dengan itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, sehingga ketentuan Pasal 22 UU Pengampunan Pajak tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 123 Perlindungan Hukum Bersifat Limitatif Sebatas Dalam Pelaksanaan Tugas Dengan Itikad Baik Merupakan Ketentuan Yang Lazim Dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 22 UU Pengampunan Pajak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 karena dianggap sebagai pelanggaran terhadap prinsip kesetaraan di hadapan hukum ( equality before the law ) adalah tidak benar. Pasal 22 UU Pengampunan Pajak tidak bertentangan dengan prinsip kesetaraan di hadapan hukum yang dianut Indonesia sebagai Negara Hukum. Prinsip kesetaraan di hadapan hukum mengandung makna bahwa setiap warga Indonesia mendapatkan perlindungan yang sama di depan hukum dan mendapatkan keadilan yang sama di depan hukum. Perlindungan hukum yang diatur dalam Pasal 22 UU Pengampunan Pajak kepada Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak telah memberikan batasan bahwa perlindungan hukum tersebut hanya sebatas dalam melaksanakan tugas dengan itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 22 UU Pengampunan Pajak juga telah diberikan batasan secara tegas bahwa perlindungan hukum yang diberikan kepada Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak hanya untuk pelaksanaan tugas yang tidak digunakan untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok, dan/atau tindakan lain yang berindikasi korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme. Oleh karena itu, perlindungan hukum yang bersifat limitatif sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 22 UU Pengampunan Pajak tersebut adalah patut dan wajar serta bukan merupakan suatu pelanggaran terhadap prinsip persamaan kedudukan warga negara di hadapan hukum dan pemerintahan sebagaimana yang dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Justru perlindungan hukum sebagaimana yang diatur dalam Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 124 ketentuan Pasal 22 UU Pengampunan Pajak tersebut merupakan wujud dari pelaksanaan ketentuan Pasal 28G ayat (1) dan __ Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945. Selain itu, pengaturan mengenai perlindungan hukum yang diatur secara khusus kepada pihak-pihak tertentu juga sudah secara umum digunakan dalam berbagai Undang-Undang di Indonesia sebagai berikut:
Pasal 50 Kitab undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) “Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidan” b. Pasal 45 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2004 “Gubernur, Deputi Gubernur Senior, Deputi Gubernur, dan atau pejabat Bank Indonesia tidak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini sepanjang dilakukan dengan iktikad baik.” c. Pasal 36A ayat (5) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 “Pegawai pajak tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, apabila dalam melaksanakan tugasnya didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.” Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, telah jelas bahwa ketentuan Pasal 22 UU Pengampunan Pajak sama sekali tidak bertentangan dengan prinsip persamaan kedudukan warga negara di hadapan hukum dan pemerintahan sebagaimana yang dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Ketentuan Pasal 22 UU Pengampunan Pajak justru merupakan amanat dari ketentuan Pasal 28G ayat (1) dan __ Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 125 12) Ketentuan Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) UU Pengampunan Pajak tidak bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 karena sengketa yang berkaitan dengan pelaksanaan UU Pengampunan Pajak merupakan Sengketa Pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dan Pengadilan Pajak merupakan badan peradilan pajak yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 Pengadilan Pajak Merupakan Badan Peradilan Yang Berada Di Bawah Mahkamah Agung Sebagai Salah Satu Pelaksana Kekuasaan Kehakiman Dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) UU Pengampunan Pajak bertentangan dengan kewenangan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 adalah tidak tepat. Ketentuan Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) UU Pengampunan Pajak justru telah memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum bagi Wajib Pajak terkait dengan penyelesaian perselisihan atau sengketa dalam pelaksanaan UU Pengampunan Pajak. Ketentuan Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) UU Pengampunan Pajak telah mengatur bahwa segala sengketa yang berkaitan dengan pelaksanaan UU Pengampunan Pajak hanya dapat diselesaikan melalui pengajuan gugatan ke badan peradilan pajak (Pengadilan Pajak). Bahwa objek pengampunan pajak dalam UU Pengampunan Pajak adalah kewajiban Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), sehingga perselisihan atau sengketa atas pelaksanaan UU Pengampunan Pajak merupakan Sengketa Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 Undang- Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Selain itu, penunjukan Pengadilan Pajak sebagai satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa dan mengadili sengketa Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 126 pajak juga untuk menghindari dualisme kewenangan mengadili dan disparitas putusan atas suatu sengketa pajak dimana atas objek sengketa pajak yang sama dinyatakan diterima untuk diperiksa diadili dan diputus oleh dua lingkungan peradilan yang berbeda, namun mempunyai putusan akhir yang berbeda. Oleh karena itu, yang berwenang untuk memeriksa dan memutus perselisihan atau sengketa atas pelaksanaan UU Pengampunan Pajak adalah Pengadilan Pajak. Hal ini telah sejalan dengan kekhususan Pengadilan Pajak sebagai badan peradilan yang bertugas dan berwenang untuk memeriksa dan mengadili sengketa di bidang perpajakan sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan sebagai berikut:
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 25 ayat ( “Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.” Pasal 27 ayat (1): “Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pasal 25.” Penjelasan Pasal 27 ayat (1): “Yang dimaksud dengan “pengadilan khusus” adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asaasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial, dan pengadilan perikanan yang berada di lingkungan peradialan umum, serta pengadilan pajak di lingkungan peradilan tata usaha negara.” 2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Pasal 9A: “Di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dapat dibentuk pengadilan khusus yang diatur dengan undang-undang.” Penjelasan Pasal 9A: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 127 “Pengadilan Khusus merupakan diferensiasi atau spesialisasi di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, misanya Pengadilan Pajak.” 3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak Pasal 2: “Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak.” Pasal 31 ayat (1): “Pengadilan Pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus sengketa pajak ." Selain itu, Pengadilan Pajak merupakan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) UU Pengampunan Pajak yang mengatur bahwa segala sengketa yang berkaitan dengan pelaksanaan UU Pengampunan Pajak hanya dapat diselesaikan melalui pengajuan gugatan ke badan peradilan pajak (Pengadilan Pajak) telah sesuai dengan ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945.
Pembatasan akses informasi atas data Wajib Pajak yang mengikuti Pengampunan Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 20, Pasal 21 ayat (2), dan Pasal 23 UU Pengampunan Pajak tidak bertentangan dengan prinsip keterbukaan informasi publik dan hak asasi warga negara atas informasi sebagaimana yang dijamin dalam ketentuan Pasal 28F UUD 1945 Kerahasiaan Informasi Atas Data Wajib Pajak Yang Mengikuti Pengampunan Pajak Merupakan Bentuk Jaminan Kepastian Hukum Bagi Wajib Pajak Ketentuan Pasal 20, Pasal 21 ayat (2), dan Pasal 23 UU Pengampunan Pajak yang pada pokoknya berisi larangan untuk memberitahukan data dan informasi mengenai Wajib Pajak yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 128 mengikuti Pengampunan Pajak sama sekali tidak bertentangan dengan prinsip keterbukaan informasi publik dan hak asasi warga negara atas informasi sebagaimana yang dijamin dalam ketentuan Pasal 28F UUD 1945. Bahwa pembatasan informasi atas data Wajib Pajak yang mengikuti Pengampunan Pajak tersebut semata- mata ditujukan untuk memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum terhadap Wajib Pajak yang mengikuti Pengampunan Pajak. Perlindungan terhadap kerahasiaan data Wajib Pajak dalam rangka pelaksanaan UU Pengampunan Pajak sangat diperlukan untuk menghindari penyalahgunaan data dan informasi oleh pihak mana pun. Ketentuan Pasal 20, Pasal 21 ayat (2), dan Pasal 23 UU Pengampunan Pajak dimaksud juga telah sejalan dengan ketentuan-ketentuan lainnya yang terkait dengan kerahasiaan data perpajakan, yaitu sebagai berikut:
Pasal 17 huruf J UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang mengatur pengecualian kewajiban Badan Publik untuk membuka akses informasi yang wajib dirahasiakan berdasarkan undang-undang;
Pasal 34 ayat (1) UU KUP yang mengatur bahwa setiap pejabat, baik petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan dilarang mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak yang menyangkut masalah perpajakan. Selain itu, berdasarkan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, setiap orang dalam menjalankan hak dan kebebasannya juga wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Oleh karena itu, pembatasan akses informasi terhadap data Wajib Pajak yang mengikuti Pengampunan Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 20, Pasal 21 ayat (2), dan Pasal 23 UU Pengampunan Pajak Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 129 merupakan pembatasan yang semata-mata ditujukan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan Wajib Pajak yang mengikuti Pengampunan Pajak, sehingga setiap orang wajib tunduk pada pembatasan tersebut. Uraian yang telah Presiden kemukakan di atas, pada prinsipnya dilandasi pada filosofi hubungan negara dan warga negaranya. Negara diwakili Pemerintah adalah pemegang kedaulatan atas Negara Republik Indonesia. Kedaulatan itu masih harus terus diperjuangkan oleh seluruh rakyat Indonesia bersama-sama dengan Pemerintah untuk mengisi kedaulatan dan mencapai tujuan/cita-cita kemerdekaan Indonesia. Pengampunan Pajak merupakan momentum untuk menata kembali hubungan yang esensial, dan efektif antara negara dengan warga negaranya. Pengampunan pajak merupakan kebijakan Pemerintah untuk mendorong warga negara melaksanakan kewajiban perpajakannya sebagai komitmen warga negara untuk mengisi kedaulatan negara yang telah diraih dengan pengorbanan pendirinya. Pemberian fasilitas dalam Undang-Undang Perpajakan menjadi kerelaan Pemerintah untuk mendorong pemenuhan kewajiban perpajakan warganya kepada negara demi turut serta dalam pembangunan Negara. IV. PETITUM Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Presiden memohon kepada Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian ( constitutional review ) Undang-Undang Pengampunan Pajak terhadap UUD 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( Legal Standing );
Menolak permohonan pengujian para Pemohon seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian para Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijke verklaard ). Namun demikian apabila Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil- adilnya ( ex aequo et bono). Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 130 Selain itu, Presiden juga memberikan tambahan keterangan atas pertanyaan yang diajukan oleh Mahkamah, yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 19 Oktober 2016, sebagai berikut: Pada prinsipnya, pemajakan tidak mengenal sumber diperolehnya objek pajak. Hal tersebut terlihat dari pengaturan di bidang perpajakan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh) yang menentukan bahwa Objek Pajak Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun. Demikian juga dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN), mengatur bahwa semua barang dan/atau jasa pada dasarnya adalah Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP). Sehingga pada setiap kali penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dalam kehidupan masyarakat seperti pembelian televisi, mobil dan sebagainya dipungut PPN tanpa perlu melihat terlebih dahulu asal usul barang dan/atau jasa yang diserahkan. Pasal 3 ayat (1) UU KUP mengatur: Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Penjelasan Fungsi Surat Pemberitahuan bagi Wajib Pajak Pajak Penghasilan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk _melaporkan tentang: _ a. pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 _(satu) Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak; _ _b. penghasilan yang merupakan objek pajak dan/atau bukan objek pajak; _ _ harta dan kewajiban; dan/atau _ Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 131 d. pembayaran dari pemotongan atau pemungutan tentang pemotongan atau pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Bagi Pengusaha Kena Pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah _yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang: _ _a. pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran; dan _ b. pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan/atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. __ Bagi pemotong atau pemungut pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkannya. __ Yang dimaksud dengan mengisi Surat Pemberitahuan adalah mengisi formulir Surat Pemberitahuan, dalam bentuk kertas dan/atau dalam bentuk elektronik, dengan benar, lengkap, dan jelas sesuai dengan petunjuk pengisian yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan. Sementara itu, yang dimaksud dengan benar, lengkap, dan jelas dalam _mengisi Surat Pemberitahuan adalah: _ a. benar adalah benar dalam perhitungan, termasuk benar dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, _dalam penulisan, dan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya; _ b. lengkap adalah memuat semua unsur-unsur yang berkaitan dengan objek pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam Surat _Pemberitahuan; dan _ c. jelas adalah melaporkan asal-usul atau sumber dari objek pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan. __ Surat Pemberitahuan yang telah diisi dengan benar, lengkap, dan jelas tersebut wajib disampaikan ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. __ Kewajiban penyampaian Surat Pemberitahuan oleh pemotong atau pemungut pajak dilakukan untuk setiap Masa Pajak. Sarana untuk melaporkan penghasilan dan penyerahan barang dan/atau jasa adalah SPT. Dalam pelaporan tersebut, yang dilaporkan oleh wajib pajak adalah jumlah seluruh penghasilan dan penyerahan barang dan/atau jasa yang menjadi objek pajak tanpa merinci darimana sumber penghasilan dan barang dan/atau jasa tersebut. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 132 Sejalan dengan hal tersebut, maka dalam pelaksanaan Pengampunan Pajak Wajib Pajak diberi kesempatan untuk melaporkan seluruh harta yang dimiliki sebagai bentuk pengakuan bahwa penghasilan yang digunakan untuk memperoleh harta tersebut belum dibayar pajaknya. Dengan demikian, Pemerintah sebagai otoritas fiskal melalui Undang- Undang Pengampunan Pajak tidak melakukan pengujian untuk menyatakan apakah suatu penghasilan diperkenankan untuk mengikuti atau tidak mengikuti Pengampunan Pajak, melainkan menerima pengakuan atas harta. Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (UU Pengampunan Pajak) mengatur bahwa Data dan Informasi yang disampaikan Wajib Pajak dalam rangka Pengampunan Pajak tidak dapat diminta oleh siapapun atau diberikan kepada pihak mana pun berdasarkan peraturan perundang-undangan lain , kecuali atas persetujuan Wajib Pajak. Ketentuan tersebut merupakan bentuk pemberian jaminan perlindungan, keamanan dan kepastian hukum atas data yang disampaikan Wajib Pajak dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Pengampunan Pajak dan menghindari penyalahgunaan data dan informasi oleh pihak mana pun. Namun demikian, untuk keperluan penegakan hukum, aparat penegak hukum lainnya tetap dapat menggunakan jenis data yang sama sepanjang tidak bersumber dari Surat Pernyataan Harta (SPH) dalam rangka Pengampunan Pajak. Materi pengaturan yang sama mengenai kerahasiaan data dapat ditemukan dalam berbagai Undang-Undang, antara lain Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) dan Undang- undang Nomor 7 tahun 1992 Tentang Perbankan Sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (UU Perbankan). Pengampunan Pajak yang diatur dengan UU Pengampunan Pajak diberikan dengan cara pengungkapan harta secara sukarela oleh Wajib Pajak di dalam SPH dengan dasar pemahaman bahwa masih banyak harta Wajib Pajak yang belum dilaporkan dalam SPT. Oleh karena pengungkapan dilakukan secara sukarela dan Pemerintah membutuhkan data tersebut dalam rangka peningkatan jumlah Objek Pajak dan Subjek Pajak yang tentunya meningkatkan penerimaan pajak, sudah selayaknya negara menjamin keamanan dan kerahasiaan atas data dan informasi yang disampaikan oleh Wajib Pajak dalam SPH. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 133 Ketentuan dalam Pasal 20 UU Pengampunan Pajak merupakan bentuk perlindungan yang secara khusus menegaskan bahwa atas data dan informasi yang disampaikan oleh Wajib Pajak dalam rangka pengampunan pajak tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak, sehingga masyarakat atau Wajib Pajak tidak ragu untuk mengungkapkan harta yang dimilikinya yang mungkin akan digunakan sebagai basis perpajakan baru setelah berlakunya UU Pengampunan Pajak. Dalam konteks penegakan hukum, asal usul harta merupakan hal penting sebagai dasar untuk mengungkap suatu tindak pidana. Dapat kami sampaikan bahwa sesuai Pasal 9 ayat (1) UU Pengampunan Pajak, SPH hanya memuat informasi mengenai identitas Wajib Pajak, harta (tanpa menyebutkan sumber), utang (dengan memberikan bukti), nilai harta bersih, dan penghitungan Uang Tebusan. Oleh karena itu dalam Surat Pernyataan Harta (SPH) dalam rangka Pengampunan Pajak tidak menyebutkan asal-usul harta yang dilaporkan. Pemerintah menegaskan bahwa selain perlindungan dan kepastian hukum dalam Pasal 20 UU Pengampunan Pajak, Wajib Pajak juga dilindungi oleh ketentuan pasal 21 ayat (3) UU Pengampunan Pajak yang mengatur bahwa Data dan Informasi yang disampaikan Wajib Pajak dalam rangka Pengampunan Pajak tidak dapat diberikan kepada pihak manapun berdasarkan peraturan perundang- undangan lain. Ketentuan tersebut bersifat lex spesialis terhadap undang-undang lain dan selama ini hal tersebut diperbolehkan oleh konstitusi sebagai pilihan hukum ( legal policy ) dari pembuat Undang-Undang yaitu Pemerintah bersama- sama DPR. Bahwa ketentuan yang bersifat lex spesialis terhadap ketentuan UU yang lain adalah asas hukum yang selama ini lazim diterapkan dalam beberapa ketentuan seperti a. Pasal 41 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) yang menegaskan bahwa penyampaian data dan informasi oleh instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dikecualikan dari ketentuan kerahasiaan meskipun instansi dan/atau lembaga swasta terikat dengan ketentuan kerahasiaan sesuai undang-undangnya.
Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa ketentuan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 134 peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur mengenai tindakan penyitaan, tidak berlaku berdasarkan Undang-Undang ini. Dengan prinsip yang sama pengaturan Pasal 21 ayat (3) UU Pengampunan Pajak harus dimaknai oleh semua pihak sebagai ketentuan yang bersifat lex spesialis terhadap ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang- Undang lain khususnya dalam perlindungan data dan informasi yang disampaikan oleh setiap warga negara dalam rangka Pengampunan Pajak. Namun demikian, apabila aparat penegak hukum juga memiliki bukti yang menunjukkan terjadinya tindak pidana, maka aparat penegak hukum terkait tetap dapat melakukan proses hukum atas tindak pidana tersebut. Bahkan sebagai wujud komitmen __ keikutsertaan Indonesia dalam memerangi kejahatan transnasional terorganisir yang tergabung dalam United Nations Convention on Transnational Organized Crime (UNTOC) Pemerintah memberikan penegasan khusus terhadap tindak pidana yang bersifat Transnational Organized Crime . Perlu ditegaskan kembali bahwa dengan dilaporkannya harta Wajib Pajak dalam SPH bukan berarti harta tersebut menjadi kebal terhadap proses hukum atas tindak pidana lain. Kebijakan Pengampunan Pajak ditujukan hanya untuk pengampunan terkait perpajakan namun tidak terkait dengan pengampunan pidana lainnya atau tidak menghapuskan pidana lainnya. Perlindungan data dan informasi tersebut hanya sebatas data dan informasi yang disampaikan oleh Wajib Pajak dalam rangka Pengampunan Pajak, sedangkan terhadap objek harta berikut dokumen kepemilikannya tetap dapat dilakukan penyitaan, perampasan, objek sengketa keperdataan dan sebagainya apabila aparat penegak hukum/pihak lain memiliki sumber data sendiri. Dalam Pasal 21 UU Pengampunan Pajak disebutkan bahwa “Data dan Informasi yang disampaikan Wajib Pajak dalam rangka Pengampunan Pajak tidak dapat diminta oleh siapapun atau diberikan kepada pihak manapun berdasarkan peraturan perundang-undangan lain, kecuali atas persetujuan Wajib Pajak ”. Pasal 26 UU ITE, disebutkan “kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan, penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan ”. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa antara UU Pengampunan Pajak dengan UU ITE telah selaras karena dalam kedua UU tersebut telah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 135 menetapkan bahwa pemberian data dan informasi harus berdasarkan persetujuan orang yang bersangkutan/Wajib Pajak. Terkait dengan kewenangan KPK untuk melakukan penyitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) UU KPK, dapat Pemerintah sampaikan bahwa Pasal 20 UU Pengampunan Pajak memberikan perlindungan terhadap data dan informasi yang disampaikan oleh Wajib Pajak dalam rangka pengampunan pajak tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak, karena UU Pengampunan Pajak bersifat lex specialis maka sesuai asas hukum lex posteriori seyogyanya KPK tidak melakukan penyitaan terhadap SPH, namun demikian hal ini tidak akan menghalangi proses penegakan hukum yang dilakukan oleh penegak hukum manapun. Terkait dengan seberapa aman suatu data yang bersifat elektronik dapat disimpan dan tidak dapat diakses oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, secara yuridis undang-undang telah memberikan jaminan kepastian hukum Pasal 20, Pasal 21 ayat (2) sekaligus ancaman pidana bagi yang melanggar ketentuan Pasal 21 ayat (2). Dalam pelaksanaan pengampunan pajak, manajemen data dan informasi dalam rangka pelaksanaan UU Pengampunan Pajak diselenggarakan oleh Menteri Keuangan. Pada dasarnya jaminan atas keamanan data perpajakan bukanlah suatu hal baru yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak. Pasal 34 UU KUP pada dasarnya telah dilaksanakan sejak tahun 1984 dan sejak saat itu Direktorat Jenderal Pajak telah secara terus-menerus meningkatkan keamanan sistem data perpajakan. Pemerintah tentu telah mempersiapkan sistem yang baik guna mendukung kelancaran pelaksanaan program pengampunan pajak serta untuk menjamin rasa aman bagi Wajib Pajak yang mengikuti program ini. Untuk Pengampunan Pajak, DJP menerapkan perlakuan khusus terhadap data dan informasi yang disampaikan oleh Wajib Pajak baik berupa hardcopy maupun softcopy dengan mekanisme sistem tersendiri. Sistem perpajakan Indonesia menganut sistem self assessment dimana Pemerintah memberikan kepercayaan penuh kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan seluruh pajak yang menjadi kewajibannya. Dalam hal pelaporan kewajiban perpajakan, Setiap Wajib Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 136 Pajak diwajibkan mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak. Sebagai konsekuensi atas SPT yang disampaikan terlambat atau tidak sepenuhnya dilaporkan, Direktorat Jenderal Pajak mempunyai kewenangan untuk menetapkan pajak yang seharusnya terutang. Adapun batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan yang diatur dalam UU KUP adalah:
untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi, paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak; atau
untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan, paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak. Dari hal-hal tersebut dapat Pemerintah sampaikan bahwa SPT merupakan sarana bagi Wajib Pajak untuk mempertanggungjawabkan kewajiban perpajakan. Terkait dengan ketentuan tersebut, Wajib Pajak yang akan mengikuti program Pengampunan Pajak disyaratkan untuk menyampaikan SPT PPh Terakhir, yang dimaksud dengan SPT terakhir yaitu Tahun Pajak 2015 sebelum diberlakukannya UU Pengampunan Pajak pada tanggal 1 Juli 2016 [Pasal 8 ayat (3) huruf e UU Pengampunan Pajak]. Adapun yang dimaksud dengan SPT PPh terakhir adalah:
SPT PPh untuk Tahun Pajak 2015 bagi Wajib Pajak yang akhir tahun bukunya berakhir pada periode 1 Juli 2015 sampai dengan 31 Desember 2015;
SPT PPh Tahun Pajak 2014 bagi Wajib Pajak yang akhir tahun bukunya berakhir pada periode 1 Januari 2015 sampai dengan 30 Juni 2015. Pengaturan syarat pengajuan pengampunan pajak adalah untuk memastikan bahwa bagi WP yang telah memiliki kewajiban menyampaikan SPT PPh benar-benar telah menyampaikan SPT terakhirnya . Hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan batasan yang lebih jelas, yaitu akhir Tahun Pajak, sehingga Wajib Pajak dapat menghitung atau menilai harta yang sudah diungkapkan yang belum dilaporkan dengan menggunakan SPT sebagai pembandingnya. Basis penghitungan Uang Tebusan adalah Nilai Harta Bersih yang belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 137 Dengan demikian, untuk menentukan harta yang telah atau belum dilaporkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan diperlukan cut off Tahun Pajak yang menjadi basis pelaporan Harta dalam Surat Pernyataan Harta. Pada saat UU Pengampunan Pajak mulai berlaku (tanggal 1 Juli 2016), SPT Tahunan Pajak Penghasilan terakhir yang seharusnya telah disampaikan Wajib Pajak adalah SPT Tahunan Tahun Pajak 2015, sedangkan (SPT Tahunan Tahun Pajak 2016 memang belum waktunya untuk dilaporkan saat UU Pengampunan Pajak diberlakukan). Berdasarkan keterangan tersebut dapat Pemerintah sampaikan, bahwa pengampunan tidak dapat diberikan terhadap suatu perbuatan yang belum terjadi. Dalam hal ini, pengampunan diberikan terhadap kewajiban perpajakan masa lalu yang belum dilaksanakan sampai dengan jatuh tempo penyampaian SPT. Hal ini berbeda dengan prinsip retroaktif yang memberlakukan kewajiban baru terhadap peristiwa yang telah lampau . Pengampunan Pajak justru diberikan agar kewajiban dimasa lalu yang belum dilaksanakan dapat dipenuhi. Oleh karena itu Pengampunan Pajak tidak dapat diberikan untuk kewajiban perpajakan pada tahun berjalan (tahun 2016 atau tahun yang akan datang) karena belum timbul kewajiban penyampaian SPT Tahunan 2016 yang baru akan disampaikan pada tahun 2017. Pembentukan dan pengesahan UU Pengampunan Pajak ini dilakukan dengan mengikutsertakan berbagai stakeholder termasuk dari kalangan akademisi, praktisi, penegak hukum, pengamat perpajakan dan para pelaku ekonomi. Tidak terdapat unsur kesengajaan dan pengkondisian terkait kapan UU Pengampunan Pajak akan disahkan karena tentu hal tersebut sangat erat kaitannya dengan proses pembahasan antara Pemerintah dengan DPR RI. Pada dasarnya pengajuan RUU Pengampunan Pajak telah dilakukan Tahun 2015 dan telah disepakati oleh DPR dalam Prolegnas tahun 2015 agar dapat segera dilaksanakan pada tahun yang sama. Urgensi kebijakan ini adalah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan pembangunan serta penerimaan negara jangka pendek, menengah dan panjang. Semakin cepat RUU Pengampunan Pajak disahkan tentu menjadi semakin baik, namun RUU Pengampunan Pajak baru selesai dibahas oleh Pemerintah dan DPR pada akhir bulan Juni dan mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2016. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 138 UU Pengampunan Pajak pada hakekatnya merupakan wahana rekonsiliasi antara negara yang memiliki kewenangan untuk memungut pajak dengan Wajib Pajak yang memiliki kewajiban membayar pajak. Sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan umum UU Pengampunan Pajak bahwa "Kebijakan Pengampunan Pajak dilakukan dalam bentuk pelepasan hak negara untuk menagih pajak yang seharusnya terutang. Oleh karena itu, sudah sewajarnya jika Wajib Pajak diwajibkan untuk membayar Uang Tebusan atas Pengampunan Pajak yang diperolehnya." Wajib Pajak diberikan hak untuk menebus kewajiban yang belum dilaksanakan baik pelanggaran administrasi maupun tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan sampai dengan Tahun Pajak 2015. Apabila Wajib Pajak tidak memanfaatkan hak tersebut maka dengan sendirinya akan berlaku ketentuan yang ada di dalam UU KUP. Dengan kata lain kebijakan Pengampunan Pajak memberikan pilihan bagi Wajib Pajak yang belum menjalankan kewajiban perpajakannya dengan benar untuk memperbaikinya melalui UU Pengampunan Pajak atau mengikuti ketentuan KUP sebagaimana dipertegas dalam Pasal 18 ayat (2) UU Pengampunan Pajak. Dengan demikian, kebijakan Pengampunan Pajak sejatinya hanya ditujukan kepada Wajib Pajak yang belum memenuhi kewajiban perpajakannya dengan baik dan benar. Dapat Pemerintah sampaikan bahwa harta Wajib Pajak yang dilaporkan dalam SPT merupakan harta yang dimiliki oleh Wajib Pajak pada posisi akhir tahun pajak. Harta ini merupakan akumulasi dari penambahan atau pengungkapan harta Wajib Pajak atas harta yang telah dilaporkan pada SPT tahun sebelumnya. Perlu diketahui juga bahwa UU KUP, UU PPh dan UU PPN berlaku sejak 1 Januari 1985 (setelah amnesti 1984), maka harta yang dilaporkan pada akhir tahun 2015 merupakan akumulasi harta sejak tahun 1985 sampai dengan 2015. Lebih lanjut, kewajiban Wajib Pajak dalam melaporkan hartanya dalam SPT bukanlah hal baru yang diberlakukan setelah adanya kebijakan Pengampunan Pajak. Kebijakan melaporkan harta kekayaan sudah diatur sejak tahun 1984 melalui UU KUP. Setiap Wajib Pajak berkewajiban menyampaikan SPT dengan mengisi secara lengkap dan benar. Kewajiban untuk melaporkan harta kekayaan timbul setiap tahun pajak, sebagai contoh apabila ada harta yang diperoleh pada tahun 2000 dan selama ini belum pernah dilaporkan dalam SPT tidak berarti harta tersebut tidak perlu dilaporkan dalam SPT. UU KUP telah memberikan aturan yang jelas mengenai sanksi atas kelalaian dan/atau Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 139 kesengajaan apabila Wajib Pajak tidak menyampaikan atau menyampaikan SPT tetapi tidak lengkap dan tidak benar. UU Pengampunan Pajak mengatur bahwa Wajib Pajak yang tidak mengikuti program Pengampunan Pajak, dan kemudian ditemukan harta yang belum dilaporkan dalam SPT, maka atas harta tersebut dianggap sebagai tambahan penghasilan pada saat ditemukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Untuk memberikan kepastian hukum dan tidak sewenang- wenang ( excessive ) dalam pelaksanaan UU Pengampunan Pajak, DJP diberikan waktu 3 (tiga) tahun untuk mendapatkan data dan informasi mengenai harta Wajib Pajak yang tidak mengikuti program Pengampunan Pajak. Begitupun dengan Wajib Pajak yang mengikuti program Pengampunan Pajak namun tidak melaporkan seluruh harta yang dimilikinya. Apabila DJP menemukan harta tersebut, maka atas harta tersebut dianggap sebagai tambahan penghasilan pada tahun ditemukannya harta tersebut oleh DJP dan dikenakan sanksi administrasi perpajakan berupa kenaikan sebesar 200% dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar. Kebijakan Pengampunan Pajak pada hakekatnya merupakan kesempatan yang diberikan oleh negara kepada Wajib Pajak yang selama ini memiliki kewajiban perpajakan namun belum memenuhi kewajiban perpajakannya dengan benar dan jujur. Merupakan hal yang wajar apabila Wajib Pajak yang telah diberikan kesempatan untuk mendapatkan pengampunan namun masih menyembunyikan hartanya maka terhadap Wajib Pajak tersebut akan dikenakan sanksi. Hal tersebut ditujukan agar selanjutnya setiap Wajib Pajak lebih menyadari adanya kewajiban perpajakan yang harus dipenuhi dalam melaksanakan undang-undang perpajakan. Pengampunan Pajak merupakan hak semua Wajib Pajak dan berlaku bagi seluruh Wajib Pajak yang masih memiliki hak dan kewajiban perpajakan, baik Wajib Pajak orang pribadi maupun badan, Wajib Pajak dalam negeri maupun Wajib Pajak luar negeri. Selaras dengan tujuan Pengampunan Pajak sebagai sarana repatriasi harta Wajib Pajak yang ada di luar negeri, maka sasaran utama kebijakan Pengampunan Pajak adalah High Net Worth Individual (HNWI) Indonesia di luar negeri. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 140 Namun demikian, tentu tidak berarti bahwa WNI yang menyimpan dana di dalam negeri tidak dapat memperoleh pengampunan pajak. Undang-Undang Pengampunan Pajak juga memberikan hak yang sama kepada Wajib Pajak yang mau mengungkapkan hartanya di dalam negeri dengan tarif yang sama dengan skema repatriasi. Lebih dari itu, UU Pengampunan Pajak juga memberikan kesempatan yang sama kepada pengusaha kecil dalam melaksanakan kewajiban perpajakan yang akan datang, mendorong pertumbuhan sektor usaha mikro dan kecil, dan masuk dalam perekonomian yang formal, UU Pengampunan Pajak juga memberikan tarif khusus yang jauh lebih kecil dari tarif umum. Terkait dengan kelalaian dalam pelaporan pajak, dapat Pemerintah sampaikan bahwa pada dasarnya Pasal 38 UU KUP telah mengatur bahwa setiap orang yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap; atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar; sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali, dikenakan denda adminsitratif atau dikenakan ancaman pidana kurungan. Sedangkan dalam hal kesengajaan untuk delik yang sama diatur dalam Pasal 39 UU KUP dengan ancaman denda administratif dan ancaman pidana yang lebih besar. Perlu pemerintah sampaikan bahwa selain melaporkan kewajiban perpajakannya, Wajib Pajak juga diwajibkan mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar dan lengkap termasuk melaporkan harta yang dimilikinya. Dalam kebijakan Pengampunan Pajak, Negara melepaskan haknya untuk melakukan penegakan hukum dalam Pasal 38 dan Pasal 39 UU KUP tersebut diatas apabila Wajib Pajak dengan sukarela mengikuti program Pengampunan Pajak. Pada dasarnya, sesuai dengan ketentuan Pasal 8 UU KUP, Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan. Wajib Pajak tinggal memilih, apakah akan mengikuti program kebijakan Pengampunan Pajak, atau melakukan pembetulan SPT Tahunan PPh sebelum DJP melakukan pemeriksaan. Seperti yang telah pemerintah sampaikan bahwa pada dasarnya kewajiban melaporkan harta bukanlah hal baru dan diberlakukan setelah adanya kebijakan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 141 Pengampunan Pajak. Kebijakan melaporkan harta kekayaan sudah diatur sejak tahun 1984 melalui UU KUP. Setiap Wajib Pajak berkewajiban menyampaikan SPT dengan mengisi secara lengkap dan benar. Kewajiban melaporkan ini timbul setiap tahun pajak termasuk melaporkan harta yang baru diperoleh, ataupun memperbaiki data yang sudah pernah dilaporkan. UU KUP telah memberikan aturan yang jelas mengenai sanksi atas kelalaian dan/atau kesengajaan apabila Wajib Pajak tidak menyampaikan surat pemberitahuan atau menyampaikan surat pemberitahuan tetapi tidak lengkap dan tidak benar. Dalam kebijakan pengampunan pajak, tarif uang tebusan sebesar 2% dikenakan terhadap harta bersih yang dilaporkan pada saat pengajuan pengampunan pajak. Harta bersih tersebut adalah harta yang selama ini belum pernah dilaporkan dalam SPT dan/atau belum dipenuhi kewajiban perpajakannya. Penerimaan Uang Tebusan diperlakukan sebagai penerimaan Pajak Penghasilan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Sehingga tidak terdapat isu retroaktif dalam pelaksanaan kebijakan pengampunan pajak. Sasaran UU Pengampunan Pajak adalah Wajib Pajak yang belum atau belum sepenuhnya menjalankan kewajiban perpajakan dengan benar melalui pengungkapan seluruh harta yang selama ini belum dilaporkan di SPT dalam SPH. Apabila terdapat harta Wajib Pajak yang selama ini belum dilaporkan di SPT namun Wajib Pajak tersebut dapat menunjukkan bahwa kewajiban perpajakan atas harta tersebut (perolehan, pemanfaatan, penghasilan yang timbul dari harta, dan sebagainya) telah seluruhnya dipenuhi maka atas harta tersebut dapat dimasukkan dalam SPT Pembetulan. Namun demikian, jika Wajib Pajak tersebut tidak segera melakukan pembetulan SPT dan kemudian DJP menemukan terlebih dahulu ketidakbenaran atas SPT tersebut, maka terhadap Wajib Pajak tersebut dapat dikenai sanksi sesuai ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan. Pemotongan PPh adalah salah satu cara pelaksanaan yang harus dipertanggungjawabkan dalam SPT. Dalam kasus dosen yang dipertanyakan di atas, semua penghasilan yang diterima dalam satu periode tahun pajak digunggung dan dihitung kembali pajaknya, pemotongan-pemotongan yang dilakukan diperhitungkan sebagai pengurang dari penghitungan pajak atau Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 142 penghasilan yang digunggung, apabila ada kekurangan, mesti ditambah pajak dan apabila ada lebih bayar dapat dikembalikan. Dalam UU Pengampunan Pajak ditegaskan bahwa Pembetulan SPT 2015 tidak dapat dilakukan secara bersamaan dengan pernyataan pengampunan pajak. Hal tersebut diatur agar Wajib Pajak tidak memanfaatkan pembetulan SPT 2015 untuk semata-mata memperbesar nilai harta yang telah dilaporkan dalam SPT 2015 sehingga mengakibatkan selisih nilai harta yang diungkapkan dalam pengampunan pajak menjadi lebih kecil. Hal ini mengakibatkan juga uang tebusan yang disetor ke negara menjadi lebih kecil. Oleh karenanya tidak terdapat masalah retroaktif ataupun double taxation dalam penerapan pengampunan pajak sebagaimana pula telah dijelaskan secara tegas dalam tanggapan Pemerintah di atas. Pengampunan Pajak meliputi pengampunan atas kewajiban perpajakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang belum pernah atau belum sepenuhnya diselesaikan oleh Wajib Pajak terkait dengan Harta yang diungkapkan dalam Surat Permohonan Pengampunan Pajak, yang meliputi:
Pajak Penghasilan;
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; Tambahan harta Wajib Pajak diantaranya akumulasi keuntungan dari aktivitas ekonomi Wajib Pajak. Aktivitas ekonomi yang memberikan keuntungan bagi Wajib Pajak akan menimbulkan konsekuensi PPh. Sesuai UU PPh terlepas untung dan rugi aktivitas ekonomi Wajib Pajak apabila yang dijual (diserahkan) oleh Wajib Pajak pedagang sebagai BKP/JKP juga terdapat konsekuensi PPN sesuai dengan UU PPN. Kewajiban PPN dan PPh inilah yang harus dipertanggungjawabkan oleh Wajib Pajak dalam SPT PPh dan SPT PPN. UU Pengampunan Pajak menggunakan basis harta yang belum dilaporkan dalam SPT karena UU Pengampunan Pajak memberikan pembebasan PPh dan PPN yang timbul dari aktivitas ekonomi Wajib Pajak yang membentuk harta (yang digunakan untuk memperoleh harta) yang belum dilaporkan dalam SPT Sebagai contoh: “A” melakukan transaksi perdagangan baja dalam tahun 2012. Dari keuntungan jual-beli tersebut senilai 5 Miliar, A membeli rumah senilai 3 Miliar dan mobil senilai 2 Miliar pada tahun 2013. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 143 Pada Tahun 2012, A seharusnya melaporkan kewajiban sebesar 5 Miliar dan membayar PPh atas keuntungan tersebut. Ternyata A belum melaporkannya. Dengan mengungkapkan harta rumah dan mobil dan membayar Uang Tebusan, A mendapatkan pengampunan dari kewajiban membayar PPh tahun 2012 tersebut. Sementara itu, pada waktu membeli mobil, A membayar bea balik nama kendaraan bermotor dan pada waktu membeli rumah membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Dalam berjalannya waktu, A membayar pajak kendaraan bermotor dan Pajak Bumi dan Bangunan atas pemakaian mobil dan rumah yang dimiliki. Pembayaran Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB), BPHTB, Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) juga dilakukan oleh A walaupun pada tahun 2012 telah melaporkan penghasilannya dan telah membayar pajak. Oleh karena itu, dapat Pemerintah jelaskan bahwa Pengampunan Pajak diberikan terhadap pajak-pajak yang terkait dalam perolehan penghasilan yang belum dipertanggungjawabkan oleh Wajib Pajak dan bukan atas pajak/bea yang dibayar atas pemanfaatan barang-barang tersebut. Sehingga pembayaran Uang Tebusan juga tidak dapat dimaknai sebagai pengenaan pajak berganda. Pengampunan pajak diberikan untuk objek pajak tersebut di atas karena merupakan jenis pajak yang diadministrasikan oleh pemerintah pusat melalui DJP, sedangkan untuk pajak kendaraan dan PBB di luar sektor perkebunan, perhutanan, dan pertambangan yang telah menjadi kewenangan pemerintah daerah, tidak masuk dalam objek Pengampunan Pajak. Prinsip pemajakan harus memenuhi syarat subjektif dan objektif. Kedua syarat tersebut memunculkan beragam jenis pajak yang masing-masing dari sisi subjek maupun objek dapat dipastikan berbeda, sebagai contoh atas objek harta berupa tanah dapat muncul beberapa jenis pajak, antara lain:
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yaitu pajak yang dikenakan atas pemanfaatan objek tanah dan bangunan yang dibebankan pada siapapun yang memanfaatkan objek tersebut (bukan bukti kepemilikan). PBB merupakan pajak yang dipungut dan dikelola oleh pemerintah daerah.
Apabila atas tanah tersebut disewakan pada pihak ketiga maka atas penghasilan dari sewa tersebut merupakan objek pajak PPh dari yang menyewakan. Atas penghasilan tersebut dikenakan pajak sesuai dengan tarif Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 144 Pasal 23 UU PPh.
Asal-usul harta yang digunakan untuk membeli tanah tersebut merupakan penghasilan yang seharusnya dilaporkan dan dikenai pajak sesuai dengan tarif Pasal 17 UU PPh.
Pada saat membeli tanah tersebut, seharusnya dikenakan PPN (apabila dibeli dari pengembang/developer) dan bagi penjual dikenakan Pajak Penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan bangunan. Dalam contoh di atas yang menjadi objek Pengampunan Pajak adalah harta yang diperoleh dari poin b, poin c dan poin d yang kewajiban perpajakannya belum dipenuhi oleh Wajib Pajak. Dalam hal penghasilan yang digunakan untuk memperoleh harta Wajib Pajak telah dipenuhi seluruh kewajiban perpajakannya , namun harta tersebut belum dilaporkan dalam SPT, Wajib Pajak tidak perlu ikut Pengampunan Pajak, maka Wajib Pajak dapat melakukan pembetulan SPT, karena dengan telah dipenuhinya seluruh kewajiban perpajakan maka tidak terdapat kerugian pada pendapatan negara yang menjadi dasar pengenaan denda administratif maupun ancaman pidana di bidang perpajakan. Dengan demikian, harta yang diungkapkan dalam rangka Pengampunan Pajak adalah harta yang diperoleh dari penghasilan yang belum dikenakan pajak sehingga tidak terjadi pengenaan pajak dua kali ( double taxation). Sebagaimana telah Pemerintah jelaskan sebelumnya, bahwa sasaran UU Pengampunan Pajak adalah Wajib Pajak yang belum atau belum sepenuhnya menjalankan kewajiban perpajakan dengan benar melalui pengungkapan seluruh harta yang selama ini belum dilaporkan di SPT dalam SPH. Apabila terdapat harta Wajib Pajak yang selama ini belum dilaporkan di SPT namun Wajib Pajak tersebut dapat menunjukkan bahwa kewajiban perpajakan atas harta tersebut (perolehan, pemanfaatan, penghasilan yang timbul dari harta, dan sebagainya) telah seluruhnya dipenuhi maka atas harta tersebut dapat dimasukkan dalam SPT Pembetulan. Pembetulan SPT tersebut dilakukan terhadap lampiran daftar harta sehingga tidak dikenakan sanksi administrasi. Kewajiban pelaporan pajak telah dilaksanakan sejak perubahan sistem perpajakan tahun 1984 sejalan dengan lahirnya UU nomor 6 tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan dimana terjadi pergantian sistem perpajakan dari Official-assessment system menjadi Self assessment system . Wajib Pajak diberikan hak sekaligus kewajiban oleh Undang-Undang untuk Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 145 menghitung sendiri pajak yang seharusnya terutang, menyetor kekurangan pembayaran pajak dengan Surat Setoran Pajak (SSP) dan melaporkannya kepada Otoritas Perpajakan dengan SPT. SPT yang dilaporkan harus memenuhi kriteria lengkap, jelas dan benar. Kewajiban ini sudah ada dengan diundangkannya UU KUP pada tahun 1983 yang berlaku mulai 1 Januari 1985. DJP memang mempunyai kewenangan untuk melakukan pemeriksaan apabila didapat data atau informasi bahwa SPT yang disampaikan oleh Wajib Pajak belum benar. Pemerintah telah melaksanakan berbagai kebijakan yang bertujuan untuk mendorong masyarakat untuk mendaftarkan diri dalam sistem perpajakan nasional serta untuk melaksanakan kewajiban perpajakan, baik dengan pelaksanaan himbauan, pemberian NPWP secara jabatan, pemberian fasilitas- fasilitas perpajakan (sunset policy 2008 dan Reinventing Policy 2015) , maupun melalui tindakan penegakan hukum. Namun rasio kepatuhan Wajib Pajak masih tergolong rendah. Di sisi lain, Pemerintah juga harus mengakui bahwa masih terdapat keterbatasan kewenangan yang dimiliki Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak dalam mengakses data perbankan karena terhalang kerahasiaan perbankan. Jumlah sumber daya manusia yang dimiliki juga belum dapat menangani keseluruhan aktivitas. Dengan kondisi tersebut, maka Pengampunan Pajak ini sangat diperlukan untuk membentuk basis perpajakan baru ke depan. Momentum akan diberlakukannya automatic exchange of information pada tahun 2018 yang diyakini sebagai tahun keterbukaan informasi perbankan untuk keperluan perpajakan akan mendorong penguatan data dan informasi perpajakan. Namun demikian, pemerintah menyadari bahwa ketidakpatuhan Wajib Pajak selama ini bukan sepenuhnya kesalahan Wajib Pajak tersebut. Oleh karenanya, penegakan hukum yang dilakukan seketika saat data/informasi terbuka bagi DJP bukanlah pilihan yang bijaksana. Terhadap Wajib Pajak perlu diberikan kesempatan terakhir ( one shot opportunity ) untuk memperbaiki kesalahan-kesalahannya di masa lalu melalui program Pengampunan Pajak. Kembali pemerintah sampaikan bahwa program pengampunan pajak tidak semata-mata untuk menambah penerimaan pajak dalam jangka pendek, melainkan juga mendorong pertumbuhan perekonomian nasional dengan melalui Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 146 repatriasi dana yang ditempatkan oleh WNI di luar negeri. Masuknya dana repatriasi akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, karena dana tersebut akan digunakan untuk kegiatan ekonomi di dalam negeri. Demikian pula dengan dana yang selama ini berada di underground economy dapat dimunculkan untuk aktivitas yang menunjang pertumbuhan ekonomi. Hal ini tentu akan berdampak pada arah pembangunan ekonomi yang lebih tertata dan terarah untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. Tujuan Pengampunan Pajak dalam kaitannya dengan reformasi perpajakan dapat dilihat dalam penjelasan umum UU Pengampunan Pajak. Kebijakan pengampunan pajak merupakan transisi menuju sistem perpajakan yang kredibel kuat dan adil. Oleh karenanya program pengampunan pajak ditujukan untuk menciptakan basis data yang tertib untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dan pengawasan pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak maka menjadi penting apabila Pengampunan Pajak dilakukan terlebih dahulu dengan diikuti perubahan UU KUP, UU PPh, UU PPN, UU Bea Materai sebagai bagian dari proses reformasi perpajakan. Pemerintah telah menyiapkan rancangan pergantian beberapa Undang- Undang tersebut, bahkan RUU pergantian KUP telah disampaikan kepada DPR pada tanggal 4 Mei 2016. rancangan yang disampaikan bukanlah perubahan Undang-Undang namun merupakan pergantian UU KUP yang saat ini ada karena secara materiil lebih dari 50 persen ketentuan di dalamnya mengalami perubahan. Hal tersebut menunjukkan perubahan yang sangat mendasar dari sistem perpajakan Indonesia dibandingkan reformasi perpajakan tahun 1964, 1984 dan 2008. Saat ini Direktorat Jenderal Pajak sedang melakukan reformasi sistem informasi dan teknologi perpajakan khususnya terkait dengan pengelolaan data dan informasi perpajakan. Hal tersebut seiring dengan penilaian ( peer review ) Organization of Economic Cooperation and Development (OECD) terhadap kesiapan Indonesia dalam menghadapi pemberlakuan Automatic Exchange of Information tahun 2018. Pemerintah telah menyiapkan konsep RUU PPh dan RUU PPN yang lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi Wajib Pajak serta berbagai ketentuan yang lebih mengutamakan kepentingan Wajib Pajak dengan harapan Wajib Pajak dapat merasa nyaman untuk menginvestasikan kekayaannya di Indonesia. Hal tersebut penting agar Wajib Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 147 Pajak tetap menempatkan hartanya di Indonesia meskipun holding period penempatan harta dalam rangka Pengampunan Pajak telah terlewati di tahun 2020. Melalui Pengampunan Pajak, muncul harapan dimulainya suatu hubungan atau permulaan yang baru (rekonsiliasi) antara Wajib Pajak dengan negara yang lebih baik. Dengan terjadinya rekonsiliasi dan tumbuhnya rasa percaya antara Wajib Pajak dengan Otoritas Pajak dan perluasan basis data baik subjek maupun objek pajak merupakan modal yang besar bagi pemerintah untuk mendapatkan hak pajak dari masyarakat menjadi semakin besar, di samping itu dengan rekonsiliasi ini merupakan langkah awal warga negara untuk membantu atau berkontribusi pada negara sebagai wujud gotong royong dan bela negara dalam meningkatkan penerimaan negara. Banyaknya Wajib Pajak yang memarkir hartanya di luar negeri tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga terjadi di banyak negara berkembang maupun negara maju. Hal tersebut terjadi karena adanya praktik negara tax haven yang memberikan fasilitas tarif pajak yang sangat rendah atau bahkan membebaskan pajak. Di samping itu, persaingan kebijakan fiskal antar negara seperti pemberian insentif pajak dan tarif pajak sering kali dimanfaatkan oleh perusahaan- perusahaan multinasional untuk melakukan tax avoidance melalui praktik transfer pricing . Oleh karenanya, dapat dipahami jika banyak negara telah menerapkan kebijakan tax amnesty dengan tujuan untuk menarik harta Wajib Pajaknya yang berada di luar negeri. Setidak-tidaknya terdapat 24 negara telah menjalankan kebijakan tax amnesty , bahkan pada saat ini secara bersamaan terdapat setidaknya 13 negara yang sedang menjalankan kebijakan serupa. Namun demikian tidak seluruh Wajib Pajak yang menempatkan hartanya di luar negeri untuk semata-mata menghindari pajak atau menyembunyikan hartanya. Secara umum terdapat beberapa alasan yang menyebabkan WNI memilih untuk menempatkan hartanya di luar negeri, antara lain karena:
Untuk kepentingan bisnis, b. Pilihan produk investasi, c. Fasilitas perpajakan, d. Hal-hal keimigrasian, e. Resiko keuangan, dan f. Alasan lain berupa kepentingan pribadi dan rasa aman. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 148 Berdasarkan studi oleh satu konsultan internasional menjelaskan bahwa dari USD250 miliar atau sekitar Rp3.250 triliun kekayaan High Net Worth Individual Indonesia di luar negeri. Dalam penelitian tersebut tidak dirinci lebih lanjut sumber dari penghasilan tersebut. Pengampunan Pajak merupakan hak dan berlaku bagi seluruh Wajib Pajak yang masih memiliki hak dan kewajiban perpajakan yang belum sepenuhnya dipenuhi, baik Wajib Pajak orang pribadi maupun badan, Wajib Pajak dalam negeri maupun Wajib Pajak luar negeri. Dalam pelaksanaannya Pemerintah menentukan sasaran-sasaran utama kebijakan. Selaras dengan tujuan Pengampunan Pajak sebagai sarana repatriasi harta Wajib Pajak yang ada di luar negeri, maka sasaran utama kebijakan Pengampunan Pajak adalah High Net Worth Individual Indonesia di luar negeri. Selain itu, UU Pengampunan Pajak juga memberikan hak yang sama kepada Wajib Pajak yang merasa memiliki kewajiban perpajakan (PPh dan PPN) di masa lalu (sebelum tahun 2016) yang belum dilaksanakan dengan benar melalui pengungkapan hartanya di dalam negeri dengan tarif yang sama dengan skema repatriasi. Lebih dari itu, untuk mendorong pertumbuhan sektor usaha mikro dan kecil, UU Pengampunan Pajak memberikan tarif khusus yang jauh lebih kecil dari tarif umum. Pemerintah menjamin bahwa tujuan kebijakan Pengampunan Pajak tidak untuk memberatkan masyarakat kelompok ekonomi menengah ke bawah. Konsep pemajakan yang diterapkan di Indonesia sudah sangat memperhatikan aspek keadilan bagi Wajib Pajak kecil maupun Wajib Pajak besar. Hal tersebut dapat dilihat dari penerapan sistem tarif progresif dimana Wajib Pajak dengan penghasilan rendah membayar pajak dengan tarif yang lebih rendah daripada Wajib Pajak dengan penghasilan yang lebih tinggi. Di samping itu, terdapat batasan penghasilan yang tidak dikenakan pajak untuk Wajib Pajak Orang Pribadi, yang dikenal dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yaitu penghasilan sampai dengan Rp54 juta setahun atau Rp4,5 juta sebulan. Sedangkan untuk Wajib Pajak Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dengan peredaran usaha sampai dengan Rp4,8 miliar diberikan perlakuan perpajakan khusus yaitu hanya wajib membayar PPh sebesar 1% dari omset. Oleh karenanya, kebijakan Pengampunan Pajak meskipun memberikan Uang Tebusan yang sama antara Wajib Pajak orang pribadi kecil maupun Wajib Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 149 Pajak orang pribadi besar, namun Uang Tebusan tersebut dikenakan atas ketidakpatuhan perbuatan kewajiban perpajakan. Anggapan bahwa kebijakan Pengampunan Pajak hanya menguntungkan Wajib Pajak besar yang memarkir hartanya di luar negeri adalah tidak benar. Wajib Pajak yang menempatkan hartanya di luar negeri melalui berbagai instrumen Special Purpose Vehicle (SPV) maupun Trust tidak sepenuhnya dianggap sebagai pengemplang pajak atau tax evasion . Wajib Pajak tersebut sebagian besar menggunakan skema tax avoidance dengan memanfaatkan lemahnya peraturan peraturan perpajakan antar negara ( loop holes ). Namun demikian, dengan berlakunya Automatic Exchange of Information dan semakin kuatnya international convention atau treaty di bidang perpajakan menyebabkan praktik-praktik tersebut semakin sulit dilakukan. Pada akhirnya Wajib Pajak harus memilih home base usahanya dalam memenuhi kewajiban perpajakan di negara yang mereka yakini akan memberikan keamanan dan kenyamanan dalam berinvestasi. Oleh karenanya, kebijakan Pengampunan Pajak harus dimaknai sebagai salah satu kebijakan ekonomi untuk menarik para Wajib Pajak tersebut untuk menempatkan dananya di negara sendiri yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesi Sebagaimana dalam keterangannya DPR, menyampaikan bahwa pengampunan pajak perlu dipertimbangkan secara khusus oleh Pemerintah Indonesia untuk memberikan kesempatan terakhir atau One Shoot Opportunity bagi Wajib Pajak untuk melakukan on shore maupun off shore tax evasion dengan tujuan utama sebagai wahana rekonsiliasi perpajakan nasional. Sejalan dengan keterangan yang telah disampaikan oleh DPR RI, bahwa dapat kami sampaikan, pada periode yang bersamaan ini, terdapat 13 negara yang juga sedang melakukan program Pengampunan Pajak dengan berbagai modifikasinya (Argentina, Trinidad dan Tobago, Thailand, Honduras, Korea Selatan, Fiji, Pakistan, Giblartar; sedangkan Negara yang khusus melakukan repatriasi / offshore voluntray disclosure program , yaitu Israel, Malaysia, Rusia, Brasil, dan India). Sebelumnya sudah ada 24 negara terlebih dahulu menerapkan kebijakan pengampunan pajak, artinya kebijakan tersebut sudah diterapkan di 37 negara. Selain menyampaikan keterangan, Presiden mengajukan 12 (dua belas) ahli yang menyampaikan keterangan secara lisan dan tertulis pada sidang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 150 tanggal 31 Oktober dan 8 Oktober 2016, yaitu Dr. Muhamad Chatib Basri, S.E., M.Ec., Ph.D.; Prof. Dr. Gunadi, M.Sc.Ak.; Darussalam, S.E. Ak., M.Si., LL.M. Int Tax.; Yustinus Prastowo, S.E., M.Hum., M.A.; Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., MPA.; Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M.; Dr. Refly Harun, S.H., M.H., LL.M.; Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LL.M., serta para ahli yang menyampaikan keterangan tertulis , yaitu Prof. Dr. Eddy O.S. Hiariej, S.H., M.Hum.; Prof. Wihana Kirana Jaya, M.Soc.Sc., Ph.D.; Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum.; dan Dr. Maruarar Siahaan, S.H ., yang pokok keterangannya sebagai berikut:
Dr. Muhamad Chatib Basri, S.E., M.Ec., Ph.D. Bahwa berdasarkan gambar sebelah dalam keterangan Ahli, Ahli ingin menunjukkan data, perkembangan ekonomi global terus mengalami penurunan, utamanya terjadi sejak tahun 90-an. Kemudian dalam gambar di sebelah kanan, juga terlihat bahwa setelah krisis ekonomi global di tahun 2007-2008, terjadi sedikit pembaikan tetapi setelah itu perekonomian dunia terus mengalami penurunan. Dengan demikian, pesan yang ingin Ahli sampaikan dari gambar tersebut adalah Indonesia menghadapi sebuah periode yang berbeda di dalam perkembangan ekonomi yang praktis di dalam beberapa tahun terakhir terjadi pelemahan pertumbungan ekonomi global, dan ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga terjadi di berbagai negara di dunia. Mengapa ini penting? Ini akan berpengaruh kepada produk-produk yang dihasilkan oleh Indonesia. Ahli dapat menunjukkan di dalam gambar berikutnya bahwa harga minyak sejak dari tahun 2014, mulai menunjukkan penurunan yang cukup signifikan. Penurunan harga minyak itu mempunyai implikasi kepada harga energi dan komoditas. Contohnya, jika harga minyak mahal, maka orang akan mencari substitusi untuk mengganti minyak itu. Sehingga, misalnya permintaan terhadap kelapa sawit akan meningkat, jika harga minyak naik, maka orang akan mencari kelapa sawit sebagai pengganti minyak atau orang akan meminta batubara sebagai bahan pengganti minyak. Akibatnya, kalau harga minyak naik, harga energi dan komuditas juga mengalami penaikan. Tetapi yang terjadi sejak 2014, harga minyak mengalami penurunan seperti yang terjadi di dalam gambar grafik. Kalau harga minyak menurun, maka orang juga akan mengurangi permintaannya terhadap kelapa sawit atau Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 151 terhadap batu bara. Mengapa Ahli menyebut kelapa sawit dan batu bara? Karena keduanya merupakan produk utama dari ekspor Indonesia. 60% dari ekspor Indonesia adalah ekspor yang terkait dengan energi dan komoditas. Sehingga, kalau harga ekspornya mengalami penurunan, maka energi dan komoditasnya juga mengalami penurunan. Hal tersebut yang menjelaskan mengenai hal yang membedakan situasi pada tahun 2009 dengan sekarang. Jika melihat dalam grafik dalam keterangan ahli, tahun 2007 dan tahun 2008 terjadi global financial crisis . Tetapi jika melihat di dalam grafik, sejak mengalami peningkatan. Kalau harga komoditas dan harga energi terus mengalami peningkatan, berarti revenue dari negara juga menagalami peningkatan. Mengapa? Karena 60% penerimaan ekspor berasal dari perusahaan yang berorientasi seperti kelapa sawit dan batu bara. Jika mereka diuntungkan dengan harga yang baik, akibatnya penerimaan pajaknya juga meningkat, tetapi situasi tersebut berbeda dengan yang terjadi pada tahun 2014. Di tahun 2014, harga komoditas dan energi mengalami penurunan. Hal itu dapat dilihat di pada gambar berikutnya dalam keterangan Ahli, dalam gambar sebelah kiri terlihat bagaimana harga raw materials , harga beverages , makanan, itu semua mulai mengalami penurunan sejak tahun 2014, tetapi sebenar dimulainya 2013. Namun, berbeda dengan Januari 2009-2011, dimana harga komoditas dan makanan masih mengalami peningkatan. Itu sebabnya, ketika ahli menjadi Menteri Keuangan 2013-2014, ahli tidak melakukan tax amnesty . Mengapa? Karena sumber penerimaan yang berasal dari komoditas dan energi pada waktu itu masih relatif baik akan tetapi situasinya berbeda ketika 2014. Sumber penerimaan dari pajak dari komoditas dan energi mengalami penurunan. Hal tersebut yang kemudian membedakan betul bahwa tahun 2007, tahun 2008, dan tahun 2009 terjadi krisis global dan pemerintah pada waktu itu tidak melakukan kebijakan tax amnesty , sedangkan pada tahun 2014, tahun 2015, tahun 2016 tidak terjadi krisis global tetapi pemerintah melakukan tax amnesty, argumennya adalah sebetulnya kepada harga komuditas dan energi yang banyak sekali mempengaruhi penerimaan Indonesia. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 152 Di dalam gambar berikutnya, ada garis yang sifatnya yang namanya upper sloping . Garis searah tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi harga komoditas dan energi, semakin tinggi pertumbuhah ekonomi. Demikian sebaliknya jika melihat grafik tersebut, jika harga komoditas dan energi semakin rendah, maka pertumbuhan ekonominya pun semakin rendah. Ini yang disebut korelasi positif antara nilai tukar dengan pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, dapat Ahli sampaikan bahwa akibat dari penurunan harga energi dan komoditas adalah turunnya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Selanjutnya dalam gambar berikutnya dapat dilihat bahwa pertumbuhan ekonomi terus mengalami penurunan 5,6%, 5%, 4,8% tahun lalu ini proyeksi 2016, dan APBN 2017=5,1%. Dari gambar teresbut terlihat bahwa penurunan harga komoditas dan energi telah membuat perlambatan ekonomi. Perlambatan ekonomi tersebut menjelaskan bahwa ada urgensi untuk melakukan tax amnesty . Kemudian gambar berikutnya menggambarkan pertumbuhan ekonomi perlu dipacu. Mengapa pertumbuhan ekonomi perlu dipacu? Karena tujuan akhir dari pembangunan pada akhirnya adalah memberikan kesejahteraan kepada masyarakat. Memberikan kesejahteraan kepada masyarakat, itu artinya menurunkan tingkat kemiskinan dan menciptakan lapangan pekerjaan. Tetapi dari gambar grafik tersebut terlihat bahwa proses penurunan kemiskinan dan proses penurunan angka pengangguran relatively flat atau tidak mengalami perbaikan yang signifikan di dalam beberapa tahun terakhir. Hal itu karena pertumbuhan ekonominya mengalami perlambatan. Dari sisi ini Ahli ingin menyampaikan bahwa perlambatan ekonomi mempunyai implikasi yang luar biasa kepada tujuan kita di dalam memberikan kesejahteraan rakyat karena jika pertumbuhan ekonomi terus melambat, maka upaya untuk pengentasan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja praktis akan mengalami hambatan. Lalu apa yang harus dilakukan? Di dalam gambar yang sebelah kiri, dapat dilihat bahwa ada sedikit perbaikan di dalam pertumbuhan ekonomi di triwulan kedua yang lalu dan jika dilihat pada gambar tersebut, bahwa sumber pertumbuhan ekonomi yang sedikit membaik di triwulan kedua lalu adalah pengeluaran pemerintah. Jadi, pengeluaran pemerintahlah yang mendorong pertumbuhan ekonomi di triwulan lalu sedikit mengalami peningkatan. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 153 Bagaimana dengan investasi? Di dalam gambar sebelah kanan menunjukkan bahwa pertumbuhan kredit terus-menerus mengalami penurunan. Artinya, di dalam situasi ini, Indonesia belum sepenuhnya dapat mengharapkan dari pihak swasta karena kembali lagi terkait dengan penurunan harga komoditas, penurunan harga energi. Berarti sumber pertumbuhan ekonomi hanya dapat didorong di dalam jangka waktu pendek dari pengeluaran pemerintah. Pemerintah hanya dapat meningkatkan pengeluarannya jika penerimaannya meningkat karena tanpa itu yang terjadi adalah defisit anggaran akan mengalami peningkatan. Jika defisit anggaran melampaui 3%, maka ada risiko untuk melanggar Undang-Undang. Padahal, di sisi lain pemerintah membutuhkan pengeluaran yang lebih besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Kemudian dalam gambar berikutnya terdapat skema. Dari skema tersebut ahli ingin menunjukkan bahwa target penerimaan pajak harus dinaikkan agar target belanjanya dapat dilakukan. Jika tidak, maka akan terjadi economic slowdown dimana potensi penerimaannya juga mengalami penurunan. Karena itu, jika terjadi potensi defisit dimana anggarannya melampaui 3%, maka ada potensi bahwa pemerintah melanggar Undang- Undang Keuangan Negara Tahun 2003. Untuk itu yang harus diakukan adalah tax amnesty . Inilah yang menjelaskan mengapa tax amnesty perlu dilakukan di dalam periode ini. Di dalam periode tahun 2009 sampai dengan tahun 2013, harga komoditas masih relatif baik, penerimaan negara masih relatif baik, tetapi tahun 2014 sampai sekarang, tahun 2015 utamanya, penurunan terus terjadi. Ahli menunjukan dalam gambar berikutnya bahwa penerimaan dalam negeri sampai dengan sebelum tax amnesty , yaitu pada bulan Mei 2015 penerimaan dalam negeri adalah 537,7, tetapi dalam APBN 2016 pada bulan Mei adalah 504,7. Artinya, bahkan secara nominal sampai dengan bulan Mei penerimaan pemerintah lebih rendah dibandingkan dengan penerimaan tahun sebelumnya. Di sisi lain ada kebutuhan pemerintah untuk menekan belanja agar pertumbuhan ekonomi meningkat tetapi penerimaan pemerintah secara nominal mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun sebelumnya karena terkait kembali dengan penurunan harga komoditas dan energi. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 154 Dari gambar selanjutnya terlihat dari WP terdaftar walaupun terus mengalami peningkatan, WPOP terdaftar dari 19.881 terus meningkat sampai 27.571 dibandingkan dengan jumlah pekerja rasio dari WP-nya, tetapi hal itu tetap tidak terkejar karena ada kebutuhan untuk belanja seperti yang kami sampaikan sebelumnya. Gambar berikutnya adalah grafik perkembangan penyampaian SPT tahunan juga terus mengalami peningkatan, tetapi itu pun tidak cukup untuk menghindari risiko fiskal yang dapat muncul akibat perlambatan ekonomi dan penurunan harga komoditas dan energi. Gambar berikutnya ahli mencoba memberikan secara balance mengenai manfaat dan risiko tax amnesty, yaitu: Manfaatnya adalah bagian dari perluasan basis pajak karena yang paling penting dari pajak adalah data, yang paling penting dari program tax amnesty ini adalah deklarasi yang membuat tax base Indonesia menjadi semakin besar. Dengan tax base yang semakin besar, maka Direktorat Jenderal Pajak mempunyai data yang lebih baik. Kemudian di samping itu, penambahan penerimaan pemerintah dan aset repatriasi. Aset repatriasi yang diketahui ada sebesar Rp134 triliun, persisnya nanti dapat dilihat di dalam data, itu akan memperkuat likuiditas Indonesia yang akan menggerakkan sektor riil. Memang ada risiko dari program ini. Seperti misalnya, kalau terlalu banyak yang masuk itu rupiahnya menjadi terlalu kuat. Kalau terlalu kuat, eskpor Indonesia akan mengalami penurunan, impornya akan naik. Kemudian, tax amnesty ini dilakukan di dalam periode yang sangat singkat, sosialisasinya perlu dilakukan segera, periode waktunya bagaimana? Kemudian juga penambahan surat utang jika program tax amnesty ini gagal. Hal-hal tersebut merupakan manfaat dengan risikonya. Apakah betul bahwa yang menikmati tax amnesty hanya mereka yang kaya? Ahli berharap bahwa data ini dapat membantu untuk menjelaskan siapa yang paling banyak mengikuti tax amnesty . Ini adalah segmentasi dari wajib pajak orang pribadi, yaitu jumlah tebusan, jumlah wajib pajak yang paling besar yang mengikuti tax amnesty adalah yang membayar tebusan Rp10.000.000,00 sampai dengan maksimum Rp99, sekian juta, ada sebanyak 129.513 orang. Dari data tersebut, yang ingin Ahli sampaikan adalah jika orang membayar tebusannya Rp10.000.000,00, berarti nilai asetnya, kalau 2%, berarti sekitar Rp1 miliar karena dia 2%. Siapakah masyarakat yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 155 mempunyai penghasilan atau mempunyai aset sebesar Rp1miliar? Pasti bukan dari kelompok yang sangat kaya. Apabila dijumlahkan 13.000+9000+129.000, mereka yang membayar tebusan antara Rp1.000.000,00 sampai dengan Rp100.000.000,00 adalah proporsi terbesar dari segmentasi wajib pajak yang ikut dalam tax amnesty . Dengan demikian, dari angka jumlah wajib pajak ini saja, terlihat jelas bahwa yang paling banyak menikmati atau memanfaatkan tax amnesty adalah wajib pajak pribadi yang asetnya relatif kecil, bukan yang besar. Adapaun yang besar, yang di atas Rp100.000.000.000,00 hanya 32 orang. Rp50 miliar sampai Rp100 miliar=71 orang. Bahkan yang lebih dari Rp100.000.000,00 hanya 47.000, dari total semua angka tersebut. Pada gambar berikutnya menunjukkan adanya antrian masyarakat berpartisipasi di dalam program tax amnesty yang sebagian besar pembayar tax amnesty adalah yang membayar tebusan antara Rp1.000.000,00 sampai dengan maksimum Rp100.000.000,00. Dari gambar tersebut terlihat bagaimana orang berkumpul, tidak pernah di dalam sejarah Indonesia, orang berkumpul begitu banyak bersama-sama datang ke kantor pajak untuk melakukan, melaksanakan kewajibannya di dalam pembayaran pajak, kecuali yang terjadi ketika tax amnesty , kita menyaksikannya di dalam beberapa bulan lalu.
Yustinus Prastowo, SE, M.Hum, M.A 1.0 PENDAHULUAN 1.1. Kinerja Penerimaan Pajak Indonesia Dalam beberapa tahun terakhir, kinerja penerimaan pajak Indonesia belum memuaskan. Tercatat bahwa dalam satu dekade (kecuali 2008), Direktorat Jenderal Pajak (DJP) selalu gagal mencapai target penerimaan pajak. Dengan melihat rasio penerimaan pajak berbanding Produk Domestik Bruto (PDB), Indonesia masih berada di bawah negara lain dengan angka 12-13%. Capaian ini masih di bawah Filipina (14%), Malaysia (16%), Thailand (17%), Korea Selatan (25%), Afrika Selatan (27%), dan Brasil (34%), atau rerata negara berpenghaslan menengah-bawah (17%). Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 156 34% 27% 25% 16% 17% 14% 12% Filipina Malaysia Thailand Korea Afrika Brasil Indonesia Selatan Selatan Perbandingan Tax Ratio Negara-Negara di Dunia Sumber: data.worldbank.org, bps.go.id, LKPP 2003-2014 Kondisi tersebut diperparah dengan target yang melonjak drastis pada tahun 2015. Hasilnya, penerimaan pajak tahun tersebut hanya mencapai Rp 1.060 triliun atau 82% dari target. Meski demikian, target penerimaan pajak di APBN- P 2016 dinaikkan lagi sebesar 4.7% dari target APBN-P 2015 menjadi Rp1.355 triliun. Sayangnya, pada tahun 2016 ini kinerja penerimaan pajak tidak lebih baik dari tahun sebelumnya. Hingga bulan September 2016, realisasi penerimaan pajak masih berkutat di angka Rp 792,4triliun, atau sedikit lebih tinggi dari realisasi tahun 2015 sebesar Rp 686,2 triliun. Dengan melihat fakta tersebut, target pajak tahun 2016 pun sulit tercapai tanpa perbaikan fundamental yang berkelanjutan. Target dan realisasi penerimaan pajak, 2006-2015 Sumber: NK APBN-P, siaran pers Menkeu, diolah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 157 Rendahnya kinerja pemungutan pajak juga ditunjukkan dengan kemampuan memungut potensi yang ada ( tax coverage ratio ) yang masih berada pada angka 59%.4 Bahkan jika diukur dengan tax buoyancy ratio (perbandingan antara pertumbuhan penerimaan pajak terhadap pertumbuhan ekonomi), kemampuan memungut potensi pajak lebih rendah atau setidaknya mengalami stagnasi. Artinya, pertumbuhan ekonomi yang seharusnya menciptakan potensi pajak baru pada praktiknya belum dapat dipungut secara optimal. Tax Buoyancy Ratio Indonesia Tahun 2006 – 2015 Sumber: NK APBN 2006-2015, data diolah Pada tahun 2015 hanya 10,8 juta wajib pajak menyampaikan SPT dari 18,4 juta wajib pajak tedaftar yang wajib menyampaikan SPT.5 Lebih lanjut, kepatuhan yang rendah juga diperparah dengan perilaku Wajib Pajak yang seringkali melakukan praktik penghindaran pajak dengan menggunakan skema transfer pricing dan agressive tax __ planning . Hal tersebut mencerminkan lemahnya administrasi pajak dalam menghadapi penghindaran pajak yang agresif dan penegakan hukum yang belum efektif. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 158 Kepatuhan Penyampaian SPT tahunan PPh tahun 2011 s.d. 2015 Sumber: Dashboard Kepatuhan DJP per 31 Desember 2014 & Artikel Refleksi Tingkat Kepatuhan WP 2015, pajak.go.id. Di sisi lain, beberapa penelitian menunjukkan bahwa jumlah harta milik orang Indonesia -khususnya di luar negeri- yang belum dipajaki masih sangat besar. Tax Justice Network (TJN) pada tahun 2010 melaporkan bahwa harta keuangan warganegara Indonesia yang berada di Negara Tax Haven (suaka pajak) mencapai USD 331 miliar. Data dari Global Financial Integrity (GFI) juga tak kalah mencengangkan. Dalam kurun 2004-2013, aliran dana ilegal dari Indonesia mencapai USD 188 miliar. Selain itu, mengacu pada laporan Bank Indonesia terkait Posisi Investasi Internasional Indonesia pada triwulan I 2016 dinyatakan bahwa posisi Aset Finansial Luar Negeri (AFLN) pada akhir triwulan I 2016 adalah sebesar USD 214,6 miliar atau sekitar Rp 800 triliun. Data ini belum termasuk aset-aset WNI yang dimiliki melalui Special Purpose Vehiclen dan ditempatkan di luar negeri yang menjadi bagian dari kegiatan ekonomi bawah tanah dari WNI. Lebih lanjut, skandal Panama Papers membongkar 1.038 wajib pajak asal Indonesia yang memiliki harta di tax haven . Walaupun meyimpan harta di tax haven tidak selalu berarti menghindari atau menggelapkan pajak, setidaknya hasil penelusuran DJP menunjukkan bahwa dari angka tersebut, hanya delapan puluh delapan wajib pajak yang tidak bermasalah. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 159 Data di atas menggambarkan banyaknya wajib pajak dan harta yang belum masuk ke dalam sistem perpajakan. Pemerintah perlu melakukan upaya untuk memperluas basis data dan mendapatkan tambahan penerimaan pajak dengan menjaring wajib pajak dan harta yang belum terdaftar tersebut. Di sisi lain, besarnya jumlah harta yang tersimpan di luar negeri juga menggambarkan banyaknya harta yang dapat direpatriasi ke dalam instrumen investasi di dalam negeri untuk membiayai sektor-sektor produktif.
0 PENGERTIAN PAJAK DAN TUJUAN PENGENAANNYA Tujuan pengenaan pajak dapat kita pahami dari pengertian dan fungsi pajak itu sendiri. Secara umum, pengertian pajak adalah iuran wajib atau pungutan yang dibayar oleh rakyat kepada pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang hasilnya digunakan untuk pembiayaan pengeluaran umum pemerintah yang balas jasanya tidak dirasakan langsung oleh rakyat . Beberapa pengertian pajak yang sering disampaikan ke publik: • Sesuai dengan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. • Menurut P.J.A. Adriani, pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (Undang-Undang) dengan tidak mendapat Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 162 prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. • Menurut Prof. Dr. Rachmat Soemitro, S.H., pajak merupakan iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-Undang dengan tidak mendapatkan jasa timbal balik secara langsung yang dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Dari pengertian pajak tersebut, dapat kita ketahui bahwa pajak memiliki unsur- unsur sebagai berikut: • Pajak dipungut berdasarkan Undang-Undang. Ini sesuai dengan Pasal 23A UUD 1945 (perubahan ketiga) yang menyatakan “ pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dalam undang-undang” ; • Tidak mendapatkan jasa timbal balik (kontraprestasi) yang dapat ditunjukkan secara langsung; • Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan; • Pemungutan pajak dapat dipaksakan, yang berarti bahwa pelanggaran atas aturan perpajakan akan berakibat adanya sanksi, bahkan penagihan utang pajak dapat dilakukan secara paksa. Dari pengertian pajak tersebut, kita ketahui bahwa pajak memiliki fungsi budgetair (anggaran), yaitu untuk mengisi Kas/Anggaran Negara bagi pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan. Selain itu pajak juga memiliki fungsi regulerend , yaitu sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan Negara dalam bidang ekonomi, sosial, dan politik. Sifat memaksa yang secara generik melekat pada pengertian pajak kerap disalahpahami sebagai pertentangan dengan sifat mengampuni, tanpa memahami sejarah ide dan latar belakang pemikiran yang melandasi . Pasal 23A UUD 1945 mengambil apa adanya karakteristik “memaksa” dari pajak dan menekankan diatur dalam Undang- Undang justru untuk menegaskan bahwa pemungutan pajak yang bersifat memaksa rawan jatuh dalam tindakan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan, maka harus dirumuskan dengan Undang-Undang melalui perwakilan rakyat ( taxation without representation is roberry ). Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 163 3.0 PAJAK DALAM PERSPEKTIF TEORI KEADILAN 3.1. Asal Usul Pajak, Karakteristik, dan Perkembangannya Charles Tilly pernah mengajukan pertanyaan,” Meskipun sebagian besar dari kita merasakan seperti dirampok pemerintah dengan alasan yang tidak jelas, mengapa kita tetap membayar pajak, pula para leluhur kita? ” Jawaban atas pertanyaan ini ditemukan pada pemikiran Joseph A. Schumpeter – ekonom masyhur dari Austria– yang secara meyakinkan menulis “Spirit sebuah bangsa, tingkat budaya, struktur sosial, dan pelaksanaan kebijakannya – semuanya ini tertulis dalam sejarah perpajakannya. Ia yang paham bagaimana mendengar pesan ini akan mampu menemukan guntur peradaban yang lebih nyaring daripada di tempat mana pun.” Schumpeter benar belaka karena ia mencermati derap peradaban yang digerakkan oleh perang yang selalu membutuhkan anggaran dan karenanya pajak menjadi penting. Pajak adalah nadi peradaban yang meskipun keberadaannya tidak disukai (seperti mala) tetapi harus ada demi tegaknya peradaban itu ( necessary evil ). Charles Adams – sejarawan pajak – dalam Fight Fraud Flight: the Story of Taxation (1982) menegaskan bahwa jatuh bangunnya kekuasaan dan peradaban sejak Mesopotamia, Mesir, Yunani, Romawi, hingga Islam, Abad Pertengahan, sampai Eropa modern disebabkan karena kebijakan pajak yang agresif, moderat, atau terlalu longgar. Menurut penelitiannya, sejarah pajak setidaknya dapat dilacak sejak 6000 SM, ketika Urukagina berkuasa di Babilonia. Saat itu muncul slogan “ Kamu boleh punya Tuhan, kamu boleh punya Raja, tapi manusia takut pada Petugas Pajak ”. Ia adalah raja yang baik karena meniadakan pemungut pajak, tetapi sejak itulah Babilonia jatuh ke tangan musuh. Kemudian Mesir mempraktikkan sistem administrasi pajak yang rapi. Mereka mengenal pencatatan, petugas pemungut, penetapan pajak, dan keberatan di pengadilan. Dari prasasti purba Rosetta Stone terekam jejak peradaban tinggi Mesir: bagaimana, siapa, dan apa yang dipajaki. Di sini pula tercatat tax amnesty yang diberikan Ptolemus V. Mesir Kuno merupakan bayang-bayang bagi administrasi pajak modern. Rostovtzeff -ahli sejarah Mesir- menilai kemunduran Mesir dikarenakan perilaku birokrasi pajak yang memungut pajak terlalu tinggi dan korup sehingga memicu penghindaran pajak. Di aras lain sejarah Israel kuno juga mencatat kisah agung. Istilah ‘ tithe ’ sebagai asal usul istilah ‘ tax ’ muncul pertama kali. Tithe adalah pajak Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 164 bagi imam di rumah ibadah dan kaum miskin. Dalam “tithe” ini, dimensi vertikal- horisontal, habluminallah-habluminannas , sakral-profan – memperoleh makna hakiki untuk pertama kalinya. Israel juga merayakan pesta keagamaan Hanukkah sebagai kenangan pemberontakan pajak terhadap penguasa Mesir. Sejarah pun mencatat kecerdasan Yunani membangun sistem perpajakan. Para pemikir Yunani Kuno mencoba keluar dari sistem tiran dengan menciptakan sistem pajak yang adil. Penghargaan pada hak milik pribadi sebagai basis kebebasan adalah prestasi Yunani—demikian sejarawan Gustav Gotz menulis. Pajak tidak dikenakan secara langsung kepada individu tetapi pada transaksi perdagangan. Ini adalah cikal bakal mazhab pajak tak langsung – yang kelak dikembangkan Jean-Baptiste Colbert di era Raja Louis XIV di Prancis. Yunani memungut pajak tanpa birokrasi, melainkan melalui mekanisme religius yang disebut liturgy . Kebutuhan akan fasilitas publik dibicarakan bersama dan beban ditanggung secara proporsional. Pengemplang pajak didenda hingga sepuluh kali. Plutarchus dalam The Life of Aristides mencatat Aristides sebagai Bapak Keadilan Pajak. Ia tidak saja menetapkan pajak dengan penuh integritas dan adil tetapi juga melalui cara yang membuat senang semua pihak. Hingga akhirnya Perang Peloponnesia mengakhiri kejayaan sistem perpajakan Yunani. Kebutuhan uang untuk perang mendorong pemungutan pajak yang masif. Publicani —istilah untuk petugas pajak zaman itu, tak terhindarkan melakukan pemerasan terhadap warga. Babak akhir sejarah perpajakan kuno dicatat Romawi. Fase awal Romawi ditandai pemungutan cukai untuk membiayai perang. Romawi menemukan klasifikasi tarif pajak: progresif, proporsional, dan regresif. Pilar pemungutan pajak adalah publicani , yang secara khusus ditujukan ke wilayah jajahan. Sejarah mencatat Augustus adalah ahli strategi pajak terbaik sepanjang masa. Ia mengambil alih kontrol terhadap manajemen uang pajak, melakukan desentralisasi kewenangan pemungutan, dan pembagian yang lebih adil. Hingga akhirnya Romawi runtuh karena terpaksa menaikkan pajak. Walter Goffart dalam Caput and Colonate (1974) berpendapat kejatuhan Imperium Romawi akibat penghindaran pajak yang masif. Romawi adalah pengulangan paripurna Mesir dan Yunani. Kehadiran Islam juga meramaikan perebutan wilayah di kawasan Asia Kecil dan Eropa, dan menorehkan sejarah pajak. Berbeda dengan bias yang selama ini Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 165 dipahami, kehadiran Islam di wilayah Romawi disambut hangat sebagai bentuk pembebasan rakyat dari penindasan pajak. Pemimpin Islam pandai mengambil hati rakyat dengan mengurangi jenis pajak, menurunkan tarif dan membebaskan yang tak mampu. Pencapaian brilian Islam—terutama di era Khalifah Ummayah— adalah menggunakan kebijakan pajak sebagai sarana konversi. Sistem pajak Islam yang lebih adil mendorong non-Muslim untuk berpindah memeluk Islam tanpa paksaan. Ini sekaligus merehabilitasi tuduhan bahwa Islam melebarkan pengaruh dengan pedang dan ancaman. Kisah Khalifah Ummayah ini sekali lagi menabalkan betapa vitalnya pajak dalam sejarah peradaban. Bertolak dari rintisan Schumpeter dan penelusuran Adams, satu dasawarsa terakhir tumbuh minat yang meluas di bawah mazhab new fiscal sociology yang memahami pajak dengan pendekatan historis-komparatif dari berbagai simpul: sosial-budaya, ekonomi, dan politik. 12 Dari perspektif sosiologi fiskal setidaknya dapat dirunut tiga akar pendekatan mengapa pajak penting dalam peradaban manusia. Pertama, modernization theory yang dimotori adalah Edwin R.A. Seligman. Pendekatan ini meyakini modernisasi sistem ekonomi akan mendorong pengembangan sistem perpajakan dan demokrasi. Dengan kata lain kualitas sistem perpajakan tergantung pada pembangunan ekonomi. Pendekatan ini meskipun penting namun kurang meyakinkan karena modernisasi ternyata menghasilkan perbedaan sistem perpajakan, bahkan antarnegara yang melakukan modernisasi. Kedua elite theory yang dipengaruhi pemikiran ekonom Italia Amilcare Puviani dan dikembangkan oleh James Buchanan dan Gordon Tullock. Pajak menjadi penting karena berkaitan dengan kebutuhan pemerintah membiayai pembangunan dan belanja publik. Pendekatan ini mendasarkan argumen pada hegemoni elite yakni persetujuan warganegara terhadap kebijakan elite yang dihasilkan oleh proses demokratik, meskipun pada akhirnya kebijakan ini menciptakan ruang korupsi dan perburuan rente. 13 Ketiga, militarist theory yang dirintis Joseph A. Schumpeter dan diilhami pemikiran Herbert Spencer dan teoretikus Jerman dan Austria pada awal abad ke-20. Mengapa perhatian pada pajak sedemikian penting? Penganut militarist theory berpendapat bahwa ini disebabkan kompetisi antarnegara yang mendorong penaklukan melalui militer. Konsekuensinya, negara pun mendapat legitimasi untuk memungut pajak sebagai sumber pembiayaan. Ketiga pendekatan tradisional ini menempatkan pajak sebagai instrumen yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 166 dimiliki negara dan dipraktikkan secara top down bahkan dapat dipaksakan kepada warga negaranya . Karakteristik memaksa melekat sejak pajak pertama kali dikenal dalam sejarah dan menjadi taken for granted sebagai prasyarat eksistensi sebuah komunitas/negara. Tak puas dengan ketiga pendekatan tersebut, para pemikir mazhab new fiscal sociology merancang sebuah metode pendekatan yang lebih komprehensif dan kontekstual. Didorong motif mengatasi keterbatasan teori sosiologi tradisional, teoretikus new fiscal sociology meletakkan pokok perhatian pada tiga hal. Pertama , fokus pada informal social institutions karena praktik perpajakan seringkali tertanam relasi sosial informal bukan yang tertulis dan terlembaga. Kedua , studi yang menaruh perhatian sungguh-sungguh terhadap konteks dan sekuensi historis. New fiscal sociology memperlakukan aneka fakta dan disiplin ilmu sebagai sebuah tenunan gagasan yang berkait kelindan dan saling mempengaruhi, bukan sesuatu yang berdiri sendiri. Ketiga , perhatian yang lebih besar pada level kemasyarakatan ( societal ) daripada individual. Ranah seperti medan sosial, sistem perburuhan, corak ekonomi, sistem demokrasi dikaitkan erat dengan gejala perang, perkembangan negara, dan solidaritas sosial. Semua aspek dan dimensi itu berpengaruh terhadap perkembangan sistem perpajakan.
Pajak Pertambahan Nilai yang berorientasi pada liberalisasi perdagangan yang menyebar secara cepat di seluruh dunia, (2) penyederhanaan sistem perpajakan yang bermakna menjadi pajak lebih jelas, transparan, dapat diramalkan, dan murah, (3) penekanan berlebihan pada aspek administratif. Sebagai alternatif bagi wacana global, Brautigam mengusulkan empat kanal reformasi perpajakan yang dapat dikelola oleh negara berkembang untuk meningkatkan state-building, yaitu Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 168 penyediaan pendapatan yang memadai dengan meningkatkan tax ratio , (2) menggeser sumber penerimaan yang memadai yaitu memajaki sektor informal, memajaki kekayaan orang pribadi ( taxing urban property ), pengurang pajak ( tax exemption ) bagi tujuan-tujuan sosial- kemanusiaan,(3) menciptakan administrasi perpajakan yang efektif – seperti The South African Revenue Service (SARS), Uganda Revenue Authority (URA), dan SUNAT ( National Superintendency of Tax Administration ) di Peru,(4) menciptakan pelembagaan state-society yang konstruktif untuk isu perpajakan. Ahmed Riahi-Belkaoui secara empirik menunjukkan kaitan antara kepatuhan pajak, korupsi, dan birokrasi . Ia ingin menjawab mengapa individu melakukan penolakan untuk patuh terhadap pajak. Adalah Belkaoui yang menunjukkan bahwa ketika pemerintah melakukan debirokratisasi dan meningkatkan kontrol terhadap korupsi, kepatuhan pajak mencapai tingkat tertinggi . Artinya kepatuhan pajak berkorelasi positif terhadap kontrol terhadap korupsi dan sebaliknya berkorelasi negatif dengan derajat birokratisasi. Dari 30 negara maju dan berkembang yang diteliti, Indonesia tercacat berada pada level kontrol terhadap korupsi terendah (skor - 0.79885), negara paling birokratis ke-3 (skor 17.6), dan level kepatuhan pajak (skor 2.53) di urutan ke-19. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa agenda reformasi perpajakan yang penting untuk meningkatkan kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan ( tax compliance ) adalah iklim dan moral perpajakan ( tax morale and climate ) yang melindungi pembayar pajak dari korupsi dan birokrasi yang tidak efektif . Terkait dengan tax morale (moralitas pajak) dan kaitannya dengan kepatuhan pajak, penelitian Benno Torgler menunjukkan bahwa pembayar pajak lebih terdorong untuk patuh terhadap undang-undang jika pertukaran antara pajak yang dibayar dan kinerja pelayanan pemerintah berimbang. Torgler juga menemukan korelasi positif antara relijiusitas dengan tingkat kepatuhan pajak. Terkait dengan institusi, ditemukan fakta bahwa demokrasi langsung, tingkat kepercayaan pada pemerintah, sistem hukum dan peradilan. Salah satu ukuran rendahnya moralitas pajak adalah tingginya tingkat ekonomi informal ( shadow economy ). Secara relasional, tingkat kepatuhan pajak juga dipengaruhi perilaku sesama pembayar pajak. Jika penghindaran pajak ditoleransi, maka cenderung mendorong ketidakpatuhan pembayar pajak. Di sisi lain ditunjukkan bahwa Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 169 apabila administrasi perpajakan mencoba untuk bersikap jujur, informatif, tanggap dalam melayani, bertindak sebagai institusi pelayan, dan memperlakukan pembayar pajak sebagai mitra – pembayar pajak cenderung ingin bekerjasama dengan otoritas. Valerie Braithwaite juga mengelaborasi sebuah pendekatan baru tentang model tax compliance . Bertolak dari pengalaman Australia dan Selandia Baru yang memiliki sistem kepatuhan yang baik, Braithwaite mengusulkan pendekatan perilaku ( behavioural approach ) yang sudah dipakai otoritas perpajakan Australia dikaji ulang. Kesimpulannya, mengapa orang membayar pajak harus didekati secara komparatif dan multidisiplin untuk memperoleh pemahaman yang utuh dan benar karena memperhitungkan kompleksitas aspek dan dimensi. Ada ketegangan antara hegemoni dan dominasi, kesukarelaan dan paksaan, ilusi dan harapan – dan jawaban atas pertanyaan itu ditemukan dalam pencarian kontekstual-historis. Bahwa sifat pajak yang memaksa dan bersemayam dalam pola hubungan negara-warganegara yang bersifat atas-bawah selalu diimbangi dengan tuntuan perumusan prinsip-prinsip memungut pajak yang adil. Atau dalam bahasa Aristides – Bapak Keadilan Pajak – memungut pajak yang baik bukan sekedar dilakukan dengan cara-cara yang adil dan berintegritas, melainkan sekaligus menyenangkan semua pihak .
Prinsip Memungut Pajak yang Adil Bagian sebelumnya sedikit banyak telah menyodorkan perspektif untuk menjawab pertanyaan mengapa kita membayar pajak. Sebagaimana dijelaskan Charles Tilly, hampir semua manusia sepanjang peradaban setuju membayar pajak, terlebih karena alasan-alasan praktis. Namun persetujuan itu segera membuka ruang perdebatan baru ketika kita menyoal prinsip-prinsip pemungutan pajak. Di atas prinsip apakah sebaiknya pemungutan pajak dilakukan? Apakah cara otoritarianisme-militeristik, ataukah demokratis-partisipatif? Penelitian Deborah Brautigam (2008) menunjukkan bahwa dalam konteks diskursus hak dan kewajiban antara negara dan warganegara, pajak selalu bersifat quasi-voluntary , yaitu kesukarelaan membayar pajak selalu dikaitkan dengan kontraprestasi yang diperoleh warganegara. Ia menyebutnya revenue-bargaining policy . Secara umum kita menerima canon of taxation yang masyhur dari Adam Smith, bahwa asas pemungutan pajak yang adil harus memperhatikan prinsip keadilan ( equity ), kepastian hukum ( legal certainty ), prinsip kenyamanan ( convenience of Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 170 payment ), dan efisiensi. Sebelum tiba kembali pada pokok gagasan Smith, patut ditelusuri sejarah gagasan mendasar dalam sistem perpajakan yaitu prinsip keadilan – apakah yang dimaksud dengan adil dan dasar pemajakan seperti apakah yang memenuhi rasa keadilan? Jauh mundur ke belakang, prinsip keadilan dalam pemungutan pajak ditemukan dalam pemikiran filsuf Yunani Kuno Plato. Di magnus opusnya Republic , Plato mengatakan bahwa keadilan pajak ( tax justice ) adalah apabila orang dalam tingkat penghasilan yang sama membayar pajak yang sama. Atau sebaliknya, bagi Plato ketidakadilan terjadi jika pada tingkat penghasilan yang sama orang menanggung beban pajak yang berbeda. Aristoteles melanjutkan Plato dengan menegaskan konsep keadilan distributif ( iustitia distributiva ) yang kemudian dipertajam oleh Thomas Aquinas. Di Summa Theologica Aquinas menyatakan prinsip “ secundum suum possibilitatem et secundum aequalitatem proportionis ” yang menjadi dasar prinsip ability-to-pay di kemudian hari. Bahwa pajak seharusnya tidak sekedar mengatur berapa banyak seseorang dapat berkontribusi tetapi beban pajak seharusnya bertambah sebanding dengan peningkatan kemampuan membayar. Pandangan Aquinas ini setidaknya kokoh hingga percabangan pemikiran di sekitar abad ke-17 terjadi. Thomas Mun dalam England’s Treasure by Foreign Trade (1664) setidaknya pemikir terakhir menjelang lahirnya abad modern, bahwa pajak bagi orang miskin seharusnya digeser ke orang kaya. Hal ini dipertegas Francis Fauquier yang menyatakan bahwa orang miskin tidak pernah memiliki kemampuan membayar pajak. Orang yang tidak memiliki apapun tak seharusnya membayar sesuatu. Pandangan ini dikemudian hari dikenal sebagai “ you-can’t-take-a-shirt-off-a- naked-man theory ”. Mun dan Fauquier melawan argumen Thomas Hobbes dalam Leviathan yang berpandangan bahwa beban pajak seharusnya berbanding dengan konsumsi yang dilakukan – bukan dengan kekayaan yang dimiliki. Hal ini menjadi jelas dalam pemikiran Sir William Petty berikut: Seseorang sejatinya disebut kaya dinilai dari apa yang dimakan, diminum, dan dikenakan – atau dengan kata lain atas apa yang dinikmatinya; yang lain barangkali secara potensial dan imajinatif kaya, yakni mereka yang barangkali memiliki kekuasaan tetapi jarang menggunakannya.” Prinsip ability-to-pay menjadi standar keadilan pajak di awal abad modern dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 171 bercabang sejak Thomas Hobbes menjadi semakin meredup ketika John Locke pada 1690 – yang mendasarkan pemikirannya pada Teori Kontrak melalui bukunya Second Treatise of Government - menyatakan bahwa pemerintah tidak dapat didukung tanpa pungutan yang besar, dan ini dibebankan pada setiap orang seturut dengan perlindungan dan biaya pemeliharaan yang diterima dari pemerintah. Pemikiran Locke ini diikuti Charles de Montesquieu yang menyatakan bahwa pajak adalah pembayaran sebagian dari harta seseorang yang menikmati keamanan. Adam Smith – yang kemudian terkenal dengan canon of taxation – berpandangan serupa bahwa seseorang harus berkontribusi pada pengeluaran publik sebisa mungkin mendekati kemampuannya, yaitu sebanding dengan pendapatan yang dinikmati di bawah perlindungan negara. Sejak saat itulah prinsip ability-to-pay hanya menjadi subordinat benefit principle (prinsip manfaat) yang dirintis Locke. Perubahan paradigmatik terjadi melalui John Stuart Mill – tokoh utilitarian Inggris yang paling berpengaruh. Dalam bukunya Principles of Political Economy , Mill dengan bernas mengatakan Bahwa asumsi suatu pemerintahan ada hanya untuk melindungi harta kepemilikan tidak memadai lagi. Meski melindungi seseorang dan hartanya merupakan salah satu tujuan pemerintah yang tak terbantahkan, namun meletakkan nilai yang terbatas pada sesuatu yang secara hakiki tak terbatas adalah cara pandang yang keliru terhadap pertanyaan sosial. Apakah kerja dan biaya proteksi atau perasaan dari orang yang diproteksi….tidak ada proporsi definitif antara manfaat dan proteksi pemerintah….bagi mereka yang tidak dapat membantu diri mereka sendirilah seharusnya perlindungan pemerintah diberikan. Mill beranjak lebih jauh dengan mengatakan bahwa semua orang berpikir untuk menjalankan kewajibannya secara fair ketika tiap orang telah berkontribusi seturut yang dimiliki, yakni pengorbanan yang setara ( equal sacrifice ) bagi objek bersama. Meski Mill setuju dengan prinsip ability-to-pay , namun ia tidak setuju dengan Pajak Penghasilan yang bersifat progresif. Mengikuti pendahulunya Jeremy Bentham, Mill mengusulkan pajak atas konsumsi dan hanya menyetujui progresivitas untuk penghasilan tidak kena pajak sebagai standar biaya hidup minimum. Teori pengorbanan setara dan perdebatan tentang pajak progresif ini kemudian dilanjutkan oleh para ekonom marginalis Inggris seperti Francis J. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 172 Edgeworth, Henry Sidgwick, dan Arthur Pigou, serta ekonom Jerman-Austria seperti Adolph Wagner dan Robert Meyer yang memadukan ide pengorbanan marjinal yang setara dengan teori hasil lebih yang semakin berkurang ( declining utility of income ). Percabangan teoretik terjadi di abad ke-20 ketika para ekonom mulai meninggalkan prinsip ability-to-pay karena nilai guna pendapatan sebagai indikator pengorbanan individual tidak dapat diukur secara pasti. Para ekonom kemudian beralih ke pendekatan good tax system , atau secara khusus prinsip netralitas dan efisiensi sebagai pondasi pendekatan perpajakan optimal ( optimal taxation approach ). Sebaliknya, para ahli hukum tetap mengadopsi prinsip ability- to-pay sebagai standar keadilan pajak dalam kaitannya dengan solidaritas dan redistribusi sosial. Berdasarkan percabangan pemikiran di atas, Harold M. Groves membagi pemikiran perpajakan ke dalam empat mazhab, yaitu rationalists school, opportunists school, direct-expenditure tax school , dan functional school . Mazhab Rationalist adalah pemikiran yang mendukung distribusi beban pajak sesuai dengan kemampuan membayar – yaitu tingkat pendapatan yang dimiliki. Bagi mazhab ini jenis pajak yang paling adil adalah Pajak Penghasilan (PPh) yang bersifat progresif. Mazhab Opportunists memberi perhatian besar ke pertimbangan praktis memungut pajak dengan cara yang paling halus dan pemberian insentif. Metaphor mazhab ini dengan apik dibuat oleh Jean-Baptiste Colbert – Menteri Keuangan di era Raja Loius XIV – bahwa memungut pajak adalah seni layaknya mencabuti bulu angsa tanpa si angsa merasa kesakitan. Mazhab ini lebih menyukai pajak konsumsi – atau di masa kini dikenal sebagai Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Sedangkan Mazhab Direct- Expenditure Tax – kelompok yang lebih kecil dan kurang popular – mendukung pajak langsung dan progresif tetapi juga menuntut perlakuan terhadap pengeluaran yang dilakukan wajib pajak. Kelompok ini menjadi jalan tengah pendukung pajak langsung dan pajak tidak langsung. Terakhir, Mazhab Functional . Mazhab ini menghindari pengenaan pajak terhadap produksi dan lebih menitikberatkan pada ‘ windfall ” income – yaitu pendapatan yang diperoleh tidak dari usaha seperti warisan, pendapatan dari sumber daya alam, undian dan sebagainya. Bagian ini memaparkan lanskap pemikiran yang beragam dan berpangkal pada klaim tentang keadilan. Tanpa masuk lebih dalam ke diskursus keadilan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 173 yang mewarnai sejarah pemikiran, tiap ahli dan mazhab hendak mendekati gejala atau fenomena dengan refleksi tertentu. Ini tidak berarti perkara keadilan bersifat subjektif, melainkan refleksi, pandangan, dan penilaian tentang keadilan tidak dapat dilepaskan dari konteks historis- ideologis . Hal penting yang patut digarisbawahi adalah semua ahli sependapat bahwa pemungutan pajak harus didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan yang meresapi dan mengejawantah dalam aturan perundangan dan praktik pemungutan pajak. Di sinilah canon of taxation Adam Smith diterima sebagai formulasi prinsip yang dapat mencakup dan merangkum ikhtiar memungut pajak yang baik itu. Perkembangan mutakhir perpajakan internasional justru menunjukkan pergeseran sasaran pemajakan, dari ambisi besar memajaki kelompok kaya di awal abad ke-20 menjadi perluasan basis pajak yang lebih tidak menyasar kepada kelompok kaya di akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21. Hal ini didokumentasikan dalam penelitian Steven A. Bank dan Kenneth Sceve dan David Stasavage, dan penelitian OECD .
Prinsip Proporsionalitas Di bidang perpajakan, prinsip ini digunakan dalam beberapa hal. Pertama, justifikasi kompetensi negara dalam menetapkan beban pajak dan cakupan kompetensi karena tiap beban pajak diikuti pembatasan oleh hak milik pribadi. Kedua, prinsip ini memandu bagaimana cara negara untuk mengalokasikan beban pajak kepada warga negara sebanding dengan prinsip kesetaraan dan kemampuan membayar – sehingga harus didistribusikan secara proporsional. Prinsip proporsionalitas ini mendasari program pengampunan pajak karena menciptakan titik awal bagi keadilan pajak.
Prinsip Itikad Baik ( Good Faith ) Good faith principle dalam anti penghindaran pajak dicirikan oleh tiga kriteria: ▪ The legal form chosen by the taxpayer is inappropriate or unusual, and, in _all cases, completely inappropriate to the economic facts; _ ▪ The taxpayer’s primary motive for his choice is to achieve substantial tax savings; and ▪ The taxpayer will in fact achieve a substantial reduction in tax if the legal form chosen is accepted by the tax administration. 4. Prinsip Fairness Di bidang perpajakan, fairness menjadi isu dominan dalam beberapa waktu terakhir. Penghindaran pajak internasional yang dilakukan Google, Amazon, dan Starbucks serta beberapa orang superkaya seperti Gerard Depardieu dan Queen Fabiola mengusik publik untuk bertanya, apakah mereka telah membayar pajak secara fair ? John Hart menyebutnya mutual restrictions karena mengikat kedua belah pihak. John Rawls mempertajam argumen Hart dengan menegaskan mutually beneficial melalui skema kerjasama sosial Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 175 yang menguntungkan. George Klosko – bertolak dari pemikiran Hart dan Rawls – memformulasikan prinsip fairness ini dalam praktik perpajakan, bahwa fairness berarti seorang wajib pajak yang mengakses sumber daya publik dan menikmati pelayanan pemerintah tidak boleh melakukan penghindaran pajak yang menyebabkan dia menjadi free rider . Prinsip fairness ini amat kuat menegaskan kewajiban perpajakan yang adil bagi setiap wajib pajak dan mendasari upaya menangkal penghindaran pajak internasional. Rawls sendiri mewanti-wanti bahwa kebijakan publik boleh mengabaikan prinsip kesetaraan sejauh menguntungkan yang paling tidak beruntung ( less advantage ).
Prinsip in dubio pro reo atau in dubio contra fiscum Prinsip ini merupakan penegasan dari prinsip-prinsip lain bahwa dalam hal terdapat ketidakpastian atau keragu-raguan maka dalil yang digunakan haruslah yang menguntungkan wajib pajak atau dengan kata lain tidak seharusnya menimbulkan kewajiban membayar pajak. Hal ini dibenarkan karena para dasarnya otoritas pajak sudah diberi kewenangan untuk merumuskan aturan dan melakukan penegakan hukum.
0 Kebijakan Perpajakan Indonesia 1. Prinsip Umum Perpajakan Indonesia Prinsip-prinsip umum perpajakan Indonesia tercantum dalam Undang-Undang Perpajakan Indonesia khususnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Ciri dan corak sistem pemungutan pajak sejak Reformasi Pajak 1983 adalah:
bahwa pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian kewajiban dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional;
tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan pajak, sebagai pencerminan kewajiban di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat Wajib Pajak sendiri. Pemerintah, dalam hal ini aparat perpajakan sesuai dengan fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan, penelitian dan pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan;
anggota masyarakat Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk dapat Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 176 melaksanakan kegotongroyongan nasional melalui sistem menghitung, memperhitungkan, dan membayar sendiri pajak yang terhutang ( self assessment/swanilai ), sehingga melalui sistem ini pelaksanaan administrasi perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan dengan lebih rapi, terkendali, sederhana dan mudah untuk dipahami oleh anggota masyarakat Wajib Pajak. Selanjutnya penjelasan UU KUP menegaskan bahwa dengan berpegang teguh pada prinsip kepastian hukum, keadilan, dan kesederhanaan, maka arah dan tujuan penyempurnaan Undang-undang perpajakan ini mengacu pada kebijaksanaan pokok sebagai berikut.
menuju kemandirian bangsa dalam pembiayaan negara dan pembiayaan pembangunan yang sumber utamanya berasal dari penerimaan pajak;
Dengan dilaksanakannya kebijakan pokok tersebut diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara dalam jangka menengah dan panjang seiring dengan meningkatnya kepatuhan sukarela dan membaiknya iklim usaha. Jelas bahwa kebijakan perpajakan Indonesia mengedepankan penerimaan pajak sebagai sumber pembiayaan menuju kemandirian bangsa, dan menempatkan pemidanaan sebagai ultimum remedium (bdk. Pasal 13A UU KUP dan Pasal 44B UU KUP). Dengan kata lain, jika sanksi administrasi tidak memadai maka pemidanaan merupakan instrumen terakhir yang digunakan agar wajib pajak patuh, tidak menyimpang, dan secara sosiologis dan psikologis mencegah orang lain melakukan kejahatan perpajakan. SPT (Pasal 3) Pembetulan SPT [Pasal 8 ayat (1)] Bunga 2%/bln Pengungkapan Ketidakbenaran [Pasal 8 ayat (5)] Kenaikan 50% Pengungkapan Ketidakbenaran [Pasal 8 ayat (3)] Kenaikan 150% Wajib Pajak Pemeriksaan Pemeriksaan Bukper (Penyelidikan) Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 177 Dengan demikian, ciri dan prinsip perpajakan Indonesia sebagaimana termaktub dalam UU KUP:
Administrative penal law (hukum administrasi yang memiliki sanksi pidana). Hukum Pajak merupakan bagian dari hukum administrasi yang memiliki sanksi pidan
Motif dasarnya adalah menghimpun penerimaan negara melalui pajak untuk membiayai pembangunan. Karenanya penerimaan pajak dikedepankan dalam kebijakan perpajakan.
Sifat pemenuhan kewajiban swadiri atau self-assessment (dilakukan oleh wajib pajak), yaitu wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri pajak terutang sesuai kondisi yang sebenarnya, tanpa harus menggantungkan pada penetapan pajak oleh fiskus.
Fungsi fiskus sebagai pembina, pengawas, dan penegak hukum, antara lain dilakukan melalui penyuluhan, pembinaan, himbauan, penerbitan Surat Ketetapan Pajak (SKP), penagihan pajak, dan penyidikan tindak pidana perpajakan.
Sanksi perpajakan bertujuan terutama untuk meningkatkan kepatuhan pajak (melalui peningkatan kesadaran) dan mencegah perilaku menyimpang (mengancam penerimaan negara).
Prinsip ultimum remedium , artinya sanksi pidana adalah upaya terakhir ketika seluruh upaya administratif sudah ditempuh dan tidak berhasil ( exhaustion of remedies ), dengan memperhatikan ketentuan Pasal 13A dan Pasal 44B UU KUP (akan dibahas pada bagian selanjutnya).
Kebebasan kontrak dan kepastian hukum ( freedom of contract and legal certainty ). Yaitu prinsip yang menjamin eksistensi sebuah entitas tidak sekedar dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan partikular tertentu, misalnya mendapat manfaat tax treaty padahal bukan pemilik manfaat yang sebenarnya ( beneficial owners ), melalui pass-through company atau special purpose vehicle .
Prinsip melanggar hukum ( principle of abusive of law/rights ). Prinsip ini mengandung pengertian bahwa skema atau strategi perencanaan pajak tidak sejak awal dimaksudkan untuk semata-mata mendapatkan manfaat berupa efisiensi pajak tanpa mempertimbangkan tujuan-tujuan bisnis lainnya.
Substansi melampaui bentuk ( substance-over-form ). Suatu entitas atau skema tertentu pertama-tama dan terutama tidak dinilai dari penampakan formal atau legal semata melainkan dari substansi berupa maksud dan tujuan dan praktik nyata yang dijalankan. Artinya, apa yang nyata-nyata dilakukan mengalahkan apa yang secara formal dimaksudkan. Meski para ahli belum bersepakat tentang definisi baku dan perbedaan tegas kedua istilah itu, setidaknya dari literatur dan diskursus perpajakan dapat dibuat pembedaan yang membantu. Raffaele Russo memberi pendapat tax evasion adalah: the taxpayer avoids the payment of tax without avoiding the tax liability, so that he escapes the payment of tax that is unquestionably due according to Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 179 the law of the taxing jurisdiction and even breaks the letter of the law . Ahli perpajakan internasional, Roy Rohatgi menyatakan tax evasion adalah An intention to avoid payment of tax where there is actual knowledge of liability. It usually involves deliberate concealment of the facts from the revenue authorities, and is illegal . Black’s Law Dictionary mendefinisikan: The willful attempt to defeat or circumvent the tax law in order to illegally reduce one's tax liability. Tax evasion is punishable by both civil and criminal penalties . Berdasarkan pendapat Russo, Rohatgi, dan Black’s Law Dictionary tersebut, pengelakan pajak setidaknya memiliki ciri-ciri:
menghindari pembayaran pajak, (2) kewajiban pajak tetap ada, dan (3) illegal atau melanggar hukum. Rohatgi kemudian memerinci praktik-praktik pengelakan pajak yang jamak terjadi: • Kekeliruan wajib pajak melaporkan aktivitas yang terutang pajak kepada otoritas pajak. • Kekeliruan tidak melaporkan jumlah pajak terutang yang sebenarnya. • Mengklaim pengurangan pajak yang sebenarnya tidak ada atau melampaui yang seharusnya ada. • Secara keliru mengklaim fasilitas yang tidak diperuntukkan baginya. • Meninggalkan suatu Negara dengan meninggalkan kewajiban pajak tanpa niat untuk melunasinya. • Kegagalan melaporkan sumber-sumber penghasilan sebagai objek pajak, laba atau keuntungan lain yang secara umum sudah diketahui sebagai kewajiban pajak. Neck dan Schneider (2011) melakukan penelitian yang menunjukkan korelasi positif bahwa praktik-praktik penghindaran pajak ( tax avoidance ) yang awalnya legal namun dipraktikkan terus-menerus dan meluas dapat mendorong pihak lain untuk melakukan pengelakan kewajiban perpajakannya. Nasyaduk dan McGee (2007) mengelaborasi lebih jauh untuk beranjak dari paradigma ekonomi-hukum semata dan mengidentifikasi beberapa motif lain yang secara filosofis menjustifikasi pertanyaan etis, apakah pengelakan pajak itu dapat dibenarkan. Untuk dapat memahami dengan jernih perbedaan tipis penghindaran pajak dan pengelakan pajak, kita perlu memahami konsep tax avoidance sehingga dapat melakukan penafsiran a contrario . Roy Rohatgi dan Paulus Merks dengan tegas Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 180 menyatakan bahwa tax avoidance bukanlah tax evasion . Hakim Reddy yang memutus kasus McDowell & Co vs CTO tahun 1985 mengatakan bahwa “ tax avoidance is not tax evasion. Many have to try to formulate an exact definition but still unclear enough .” Black’s Law Dictionary mendefinisikan tax avoidance sebagai “ The act of taking advantage of legally available tax-planning opportunities in order to minimize one’s tax liability .” Sedangkan OECD agak berhati-hati memberi penjelasan: An arrangement of a taxpayer’s affairs that is intended to reduce his liability and that although the arrangement could be strickly legal is usually in contradiction with the intent of the law it purports to follow. Lebih jauh, para ahli membedakan penghindaran pajak yang diterima ( acceptable tax avoidance ) dan penghindaran pajak yang tidak diterima ( unacceptable tax avoidance ). OECD bahkan menegaskan salah satu tujuan utama tax treaty adalah mencegah tax avoidance . Penghindaran pajak tidak dapat diterima jika transaksi nyata dan legal tetapi mengandung motif kepura-puraan dan struktur pajak yang palsu. Sebaliknya, penghindaran pajak dapat diterima – dan umumnya disebut tax planning (perencanaan pajak) – apabila tujuan mengurangi kewajiban pajak melalui perpindahan atau bukan-perpindahan orang, transaksi atau dana dan aktivitas lain sejalan dengan maksud Undang-undang. Berdasarkan pembahasan mengenai pembedaan tax evasion , tax avoidance dan tax planning , kita dapat memahami pembedaan tersebut dalam skema berikut. illegal Tax Evasion (Tax Fraud) Transaction Tax Avoidance legal (Fraus Legis/Abuse Of Law Tax Planning Skema di atas dapat dibaca bahwa pada awalnya sebuah transaksi merupakan perencanaan pajak (tax planning ) hingga diuji secara materiil oleh otoritas pajak dan pengadilan pajak ( tax court ), apakah mengandung unsur fraus legis/abuse of law – yang biasanya terdiri dari prinsip substansi melampaui bentuk ( substance over form ) dan motive test untuk menguji intensi/maksud tax planning . Untuk mencegah terjadinya praktik penghindaran pajak yang berpotensi Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 181 merugikan penerimaan negara, otoritas pajak di banyak negara memberlakukan kebijakan anti penghindaran pajak (anti- avoidance rule ). Kebijakan anti- penghindaran pajak dibagi dalam dua kelompok :
Specific Anti Avoidance Rules (SAAR), yaitu ketentuan anti-penghindaran pajak yang bersifat spesifik untuk mencegah suatu skema penghindaran pajak tertentu. Termasuk dalam SAAR adalah transfer pricing, thin capitalization, treaty shopping , dan controlled foreign corporation (CFC).
General Anti Avoidance Rules (GAAR), yaitu ketentuan anti-penghindaran pajak yang bersifat umum, untuk mencegah transaksi yang semata-mata bertujuan menghindari pajak dan tidak mempunyai motif bisnis. Pada umumnya dikodifikasi pada hukum umum dan dipandu dua prinsip utama: motive test untuk menguji tujuan bisnis dan artificially test yang menerapkan substance over form rule . Indonesia sendiri sudah memiliki SAAR sebagaimana diatur dalam Undang- undang nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yaitu:
Thin capitalization yaitu penetapan rasio wajar antara modal dan pinjaman yang diatur Pasal 18 ayat (1) UU PPh.
ii. Controlled Foreign Corporation (CFC) rule yang memberi kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk menentukan saat diperolehnya dividen atas penyertaan terhadap badan usaha di luar negeri, yang diatur dalam Pasal 18 ayat (2) UU PPh. iii. Transfer Pricing sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (3) dan ayat (4) UU PPh.
iv. Penjualan saham melalui conduit company yang diatur Pasal 18 ayat (3b) UU PPh.
Penjualan atau pengalihan perusahaan conduit company yang diatur Pasal 18 ayat (3c) UU PPh.
vi. Limitation on benefits yang diatur PER-61/PJ/2009 dan PER-62/PJ/2009 sebagaimana diubah dengan PER-24/PJ/2010 dan PER-25/PJ/2010. Jika dikaitkan dengan skema sebelumnya, maka pengujian apakah sebuah transaksi merupakan penghindaran pajak yang tidak diterima ( unacceptable tax avoidance ) sehingga menjadi pengelakan pajak ( tax evasion ) atau penghindaran pajak yang dapat diterima ( acceptable tax avoidance ) sehingga menjadi perencanaan pajak ( tax planning ), merupakan kompetensi Pengadilan Pajak dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 182 Pengadilan Umum untuk kasus pidana pajak. Dengan demikian, proses untuk menentukan apakah sebuah skema perencanaan pajak menyimpang atau tidak hingga dibuktikan bersalah, membutuhkan waktu yang sangat panjang karena prosedur penyelesaian sengketa yang panjang. Hal ini berpengaruh pada efektivitas penegakan hukum perpajakan yang justru akan mempengaruhi tingkat kepatuhan wajib pajak.
penarikan kembali keputusan (ketetapan) yang menguntungkan, berarti meniadakan hak-hak yang melekat dalam keputusan (ketetapan) itu oleh organ pemeritahan, misalnya pencabutan izin atau subsidi;
pengenaan denda administratif ( bestuurlijke boetes ), (4) pengenaan uang paksa ( dwangsom ) sebagai sanksi reparatoir yaitu pembayaran uang paksa yang dikenakan kepada pelanggar karena tidak menunaikan, tidak melaksanakan atau tidak sesuai waktu yang ditentukan. Richard Gordon (1998) menyebutkan konsep-konsep dasar perumusan/perlunya sanksi pajak, antara lain: • The ability to deter unwanted behaviour. • Bring to greater compliance. • Only negligent or unreasonable behaviour resulting in an underpayment should result in sanctions. • Financial sanction may raise revenue, while prison sentences may increase expenditure. • Both financial and penal sanctions may also be designed to punish, not for the purpose or directly affecting the behaviour of the person punished…to indicate that society seriously disapproves of particular reasons. • Criminal offenses would be in addition to civil penalties. They can be subject to flat fines and even termin jail…to taking greater care to disguise their fraud. Pasal 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 239/PMK.03/2014 merumuskan bahwa Tindak Pidana di Bidang Perpajakan adalah perbuatan yang diancam sanksi pidana oleh Undang-Undang di bidang perpajakan yang meliputi Pasal 38, Pasal 39, Pasal 39A, Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 41B, Pasal 41C, Pasal 43 UU KUP, Pasal 24 dan Pasal 25 Undang PBB, Pasal 13 dan Pasal 14 Undang- Undang Bea Meterai, dan Pasal 41A Undang-Undang PPSP. Salah satu ciri UU Perpajakan Indonesia adalah sanksi pidana yang bersifat ultimum remedium. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, sanksi pidana bersifat ultimum remedium karena pemerintah mengedepankan penyelesaian administratif untuk penerimaan negara. Dalam konteks self-assessment system , terdapat paralelisme antara tindakan wajib pajak di satu sisi dan tindakan fiskus di sisi lain. Di satu sisi wajib pajak melakukan aktivitas mendaftarkan diri sebagai wajib pajak (Pasal 2 UU KUP), menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 185 dengan benar, jelas, dan lengkap (Pasal 3 UU KUP), melakukan pembetulan SPT dengan kemauan sendiri dengan syarat belum diperiksa (Pasal 8 ayat 1 UU KUP), melakukan pengungkapan ketidakbenaran [Pasal 8 ayat dan ayat (4) dan 5 UU KUP], pelunasan utang pajak dengan sanksi administrasi denda sebesar empat kali (Pasal 44B UU KUP). Di sisi lain, fiskus memiliki tanggung jawab melakukan pembinaan terhadap wajib pajak melalui pelayanan dan penyuluhan pajak agar dapat mengisi SPT dengan benar (Pasal 3 UU KUP), memberikan teguran dan sanksi (Pasal 7 UU KUP), menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (Pasal 13 dan Pasal 15 UU KUP), Penagihan Pajak (Pasal 19-22 UU KUP, Pasal 33 UU PPSP), dan penyidikan pajak (Pasal 43A dan Pasal 44 UU KUP). Di dalam doktrin hukum pidana dikenal asas hukum yang bersifat fundamental yaitu “tiada pidana tanpa kesalahan” yang mengandung makna bahwa, sekalipun perbuatan seseorang bersifat melawan hukum akan tetapi belum tentu perbuatan seseorang tersebut merupakan tindak pidana dan sekalipun semua unsur tindak pidana telah dipenuhi dalam perbuatan seseorang, belum tentu perbuatan tersebut dapat dituntut dan dipidana karena menurut doktrin hukum pidana, di dalam ketentuan umum KUHP serta yurisprudensi MA RI, terdapat, alasan pembenar atau alasan pemaaf, sehingga perbuatan tersebut tidak dapat dituntut dan dipidana. Yang dimaksud dengan alasan pembenar dalam hukum pidana adalah alasan-alasan yang menghapuskan sifat melawan hukum dari suatu perbuatan (tindak pidana). Yang dimaksud dengan alasan pemaaf adalah alasan- alasan yang menghapuskan/meniadakaan kesalahan pelaku. Kedua alasan tersebut di atas, mencerminkan bahwa, suatu perbuatan termasuk tindak pidana tidak berarti serta merta pelaku/pembuatnya dapat dipidana dan keberadaan dua alasan tersebut menunjukkan pembentuk KUHP tidak menghendaki prinsip bahwa terjadinya suatu tindak pidana identik dengan hukuman, begitu pula sebaliknya. Dalam konteks kedua jenis alasan hukum tersebut, UU KUP 2007 juga telah diatur dan dapat digolongkan sebagai alasan pemaaf, adalah ketentuan Pasal 8 ayat (3), Pasal 13 A, dan Pasal 44 B. Pasal 8 ayat (3) UU KUP 2007: “Walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi belum dilakukan tindakan penyidikan mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 186 Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 , terhadap ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak tersebut tidak akan dilakukan penyidikan, apabila Wajib Pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidak benaran perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus limapuluh persen) dari jumlah pajak yang kurang bayar”. Dalam ketentuan tersebut di atas, terdapat 2 (dua) unsur “pemaaf” yaitu, (a) dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran atau disebut wajib pajak beritikad baik ( good faith ), dan (b) wajib pajak bersedia membayar sebesar 150% dari jumlah pajak kurang bayar. Dalam dua keadaan tersebut maka terhadap wajib pajak tidak akan dilakukan penyidikan. Pasal 13 A: “Wajib Pajak yang karena kelalaiannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinyaa tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan Wajib Pajak dan Wajib Pajak tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang bayar yang ditetapkan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar”. Merujuk ketentuan tersebut maka pembentuk UU KUP menghendaki agar pemberian sanksi administratif terhadap wajib pajak jika wajib pajak melakukan perbuatan karena kelalaian untuk kedua kalinya; bukan yang pertama kalinya. Dalam hukum pidana dikenal istilah recidive yang mengandung dua pengertian yaitu (1) seseorang melakukan tindak pidana lebih dari satu kali, dan (2) tindak yang terdahulu telah memperoleh putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Dalam ketentuan tersebut di atas, pembentuk UU KUP telah memberikan toleransi kepada wajib pajak dengan memasukkan nomenklatur baru yaitu “kelalaian pertama kali” sebagai alasan pemaaf yang kedua terhadap wajib pajak –sehingga diharapkan dengan –pembayaran kenaikan sebesar 200%, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 187 maka terhadap wajib pajak tidak dikenai sanksi pidana yaitu melalui keputusan Dirjen Pajak untuk menghentikan pemeriksaan bukti permulaan terhadap wajib pajak. Pasal 44 B:
“untuk kepentingan penerimaan Negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak piana di bidang perpajakan paling lama dalam jangka waktu 6(enam) ulaan sejak taanggal surat permintaan.
Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan setelah Wajib Pajak melunasi utang pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan dan ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak yang tidak atau kurang bayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan.” Tampak jelas dalam konstruksi UU KUP, konsep menghukum dan mengampuni merupakan konsep yang inheren dan bukan hal baru . Sifat mengampuni juga bukan merupakan lawan dari sifat memaksa. Secara hierarkis, sifat memaksa lebih sebagai penegasan hak Pemerintah bahwa pajak merupakan kewajiban kenegaraan bagi setiap warganegara dan jika tidak dibayar dapat ditagih dengan sanksi dan alat paksa. Di sisi lain sifat memaksa yang berpotensi menyimpang dipagari dengan Undang-undang yang merupakan representasi persetujuan wakil rakyat melalui DPR. Sedangkan pengampunan merupakan bagian dari diskresi yang dimiliki otoritas pajak sebagai salah satu cara untuk memberikan keadilan substansial dan memperlakukan sanksi administrasi bukan sekedar fungsi retributif (menghukum) tetapi sekaligus edukatif (mendidik wajib pajak supaya patuh di kemudian hari), dan mengembalikan perlakuan yang tidak adil ke posisi asali (restoratif). Hierarki Konstitusional Pemerintah berhak memungut pajak (Pasal 23A) Pajak bersifat memaksa – diatur dengan Undang-undang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 188 Pemerintah menetapkan cara memungut pajak Tax Amnesty adalah cara memungut pajak 5.0 Tax Amnesty sebagai “Instrumen Antara” Menuju Sistem Perpajakan Baru 5.1. Program Pengampunan Pajak dalam UU Nomor 11 Tahun 2016 Pemerintah Indonesia saat ini sedang memberlakukan Program Pengampunan Pajak melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Secara ringkas UU ini mengatur sebagai berikut.
Definisi Pengampunan Di dalam Pasal 1 angka 1 UU Pengampunan Pajak, disebutkan bahwa “Pengampunan Pajak adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap Harta dan membayar Uang Tebusan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini (UU Pengampunan Pajak)” 2. Subjek dan Objek Pengampunan Pajak Berdasarkan Pasal 3 ayat 1 “Semua Wajib Pajak berhak mendapatkan Pengampunan Pajak”, dalam pengertian “semua wajib pajak”, meliputi :
Orang Pribadi (OP);
Badan;
Pengusaha Omzet Tertentu;
OP/Badan Belum ber-NPWP. Namun terdapat pengecualian dari subjek Pengampunan pajak, yang tercantum di dalam Pasal 3 ayat (3), yaitu wajib pajak yang sedang:
dilakukan penyidikan dan berkas penyidikannya telah dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan (P21);
dalam proses peradilan; atau
menjalani hukuman pidana ----------------------- atas Tindak Pidana di Bidang Perpajakan -------------------- 3. Tarif (1) Tarif uang tebusan atas harta yang berada di dalam wilayah NKRI atau Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 189 harta yang berada di luar wilayah NKRI yang dialihkan ke dalam wilayah NKRI dan diinvestasikan di dalam wilayah NKRI, berdasarkan Pasal 4 ayat (1) adalah sebesar :
2% (dua persen) untuk periode penyampaian surat pernyataan pada periode bulan pertama sampai pada akhir bulan ketiga (1 Juli 2016 – 30 September 2016) 2) 3% (tiga persen) untuk periode penyampaian surat pernyataan pada bulan keempat (1Oktober 2016 – 31 Desember 2016) 3) 5% (lima persen untuk periode penyampaian surat pernyataan terhidung sejak tanggal 1 Januari 2017 – 31 Maret 2017.
Tarif Uang Tebusan atas Harta yang berada di luar wilayah NKRI dan tidak dialihkan ke dalam wilayah NKRI adalah sebesar:
4% (empat persen) untuk periode penyampaian surat pernyataan pada bulan pertama sampai dengan akhir bulan ketiga (1 Juli 2016 – 30 September 2016);
6% (tiga persen) untuk periode penyampaian surat pernyataan pada bulan keempat (1 Oktober 2016 – 31 Desember 2016) 3) 10% (lima persen untuk periode penyampaian surat pernyataan terhidung sejak tanggal 1 Januari 2017 – 31 Maret 2017.
Tarif Uang Tebusan bagi Wajib Pajak yang peredaran usahanya sampai dengan Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) sampai pada 31 Maret 2017 pada Tahun Pajak Terakhir adalah sebesar:
0,5% (nol koma lima persen) bagi Wajib Pajak yang mengungkapkan nilai Harta sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dalam Surat Pernyataan; atau
2% (dua persen) bagi Wajib Pajak yang mengungkapkan nilai Harta lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dalam Surat Pernyataan.
Fasilitas Menurut Pasal 11 ayat (5), Wajib Pajak yang telah diterbitkan Surat Keterangan, memperoleh fasilitas berupa:
Penghapusan Pajak Terutang “Penghapusan pajak terutang yang belum diterbitkan ketetapan pajak, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 190 tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan, dan tidak dikenai sanksi pidana di bidang perpajakan, untuk kewajiban perpajakan dalam masa pajak, bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak, sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir” b. Penghapusan Sanksi Administrasi Perpajakan “berupa bunga, atau denda, untuk kewajiban perpajakan dalam masa pajak, bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak, sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir” c. Tidak dilakukan Pemeriksaan Pajak bunga, atau denda, untuk kewajiban perpajakan “dalam masa pajak, bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak, sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir”.
Penghentian pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan “dalam hal Wajib Pajak sedang dilakukan pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan atas kewajiban perpajakan, sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir, yang sebelumnya telah ditangguhkan”. --------------------- yang berkaitan dengan kewajiban perpajakan -------------------- 5. Perlindungan hukum Perlindungan hukum terhadap peserta Pengampunan Pajak adalah berupa Kerahasiaan Data dan Informasi terkait Pengampunan Pajak. Hal tersebut dimuat di dalam Pasal 21 ayat (2) yang berbunyi: “Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, dilarang membocorkan, menyebarluaskan, dan/atau memberitahukan data dan informasi yang diketahui atau diberitahukan oleh Wajib Pajak kepada pihak lain” Dan ayat (3) “Data dan informasi yang disampaikan Wajib Pajak dalam rangka Pengampunan Pajak tidak dapat diminta oleh siapapun atau diberikan kepada pihak manapun berdasarkan peraturan perundang-undangan lain, kecuali atas persetujuan Wajib Pajak sendiri” Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 191 Negara Deklarasi Hart a (IDR) Irlandia Rp Afrika Selatan Rp Italia Rp Spanyol Rp 20 Australia Rp Chili Rp 2 3 Indonesia Rp Atas pelanggaran tersebut, maka ketentuan pidana telah tersedia di dalam Pasal 23 ayat (1), yang berbunyi: “Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun” Dan ayat (2) “Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar” Hingga 30 September 2016 (Periode I), program amnesti pajak telah diakui sebagai yang paling sukses di antara negara lain yang pernah melakukan program serupa.59 Pada periode I program amnesti pajak menghasilkan deklarasi harta sebesar Rp 3.705 triliun (data per 5 Oktober 2016), memecah rekor sebagai deklarasi harta terbesar dibandingkan dengan negara-negara lain yang sebelumnya juga melaksanakan program amnesti pajak seperti Italia dengan scudo fiscale Rp 1211,8 triliun. Begitu pula dengan penerimaan uang tebusan yang mencapai Rp 97,3 triliun yang juga memecah rekor sebagai penerimaan uang tebusan terbesar dan peringkat kedua ditempati oleh Italia dengan nilai uang tebusan Rp 60,9 triliun. Tabel Perbandingan Hasil Uang Tebusan dan Deklarasi Harta Program Tax Amnesty Negara-Negara Dunia Pencapaian ini menunjukkan amnesti pajak cukup efektif untuk menambah jumlah wajib pajak, terbukti bahwa sejak berlakunya tax amnesty telah terdaftar wajib pajak baru sebanyak 12.892. Selain itu, amnesti pajak mampu menjaring data baru dan data informasi hasil amnesti akan menjadi dasar untuk memperluas Negara Uang Tebusan (IDR) Irlandia Rp India Rp Italia Rp Afrika Selatan Rp Jerman Rp Belgia Rp 4 Italia Rp Spanyol Rp Australia Rp 8 3 Chili Rp Indonesia Rp Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 192 basis pajak. Hal-hal ini merupakan prasyarat bagi terbangunnya sistem perpajakan yang berkeadilan dan berkepastian hukum melalui pengampunan pajak. Lebih lanjut, data juga menunjukkan bahwa pasca-amnesti terjadi kenaikan rasio pajak di berbagai negara yang menjalankan program pengampunan pajak. Ini berarti program amnesti pajak yang diikuti reformasi pajak dan perbaikan administrasi pajak akan meningkatkan penerimaan pajak di masa mendatang. Dampak Tax Amnesty terhadap Penerimaan Pajak (Tax Ratio) Sumber: data diolah dari berbagai sumber. Selain itu, data Survei Litbang Kompas menyatakan bahwa 78,8% responden Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 193 menganggap bahwa program amnesti pajak yang diberlakukan pemerintah untuk mengoptimalkan penerimaan pajak adalah rencana yang baik, sebesar 11,4% menyatakan ketidaktahuannya dan sisanya hanya 9,8% yang menganggap hal tersebut sebagai rencana yang buruk.
kegiatan yang bertujuan mendeteksi wajib pajak yang tidak patuh; dan
kegiatan untuk merancang konsekuensi yang memberatkan bagi wajib pajak yang tidak patuh. Allingham dan Sandmo (1972) mengembangkan hasil studi dari Becker (1968) dengan menggunakan teori pengambilan keputusan di dalam kondisi yang memiliki resiko. Model mereka mengeksplorasi keputusan untuk menghindari pajak ketika wajib pajak yang mengisi SPT-nya. Isu kepatuhan pajak disajikan sebagai masalah alokasi portofolio, dimana wajib pajak harus memutuskan berapa bagian dari sumber daya yang dimilikinya untuk dialokasikan pada berbagai kegiatan, seperti melaporkan pendapatan sebenarnya kepada otoritas pajak atau berusaha mengisi SPT secara tidak benar. Secara khusus, model Allingham dan Sandmo (A-S) bagaimana kepatuhan pajak dipengaruhi oleh langkah-langkah penegakan hukum, seperti probabilitas audit, tingkat keparahan sanksi, dan tarif pajak yang berlaku. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 197 Lebih detailnya, model A-S menggunakan kerangka sequential game theory , di mana otoritas pajak terlebih dahulu memutuskan aturan perpajakan dan mekanisme penegakan aturan tersebut. Wajib pajak diasumsikan memiliki pemahaman yang cukup mengenai undang-undang pajak, probabilitas audit, pajak yang harus dibayarkannya, dan sanksi yang dia terima jika dia tidak patuh terhadap aturan perpajakan dan tertangkap melakukan hal tersebut. Selain itu, wajib pajak juga diasumsikan sebagai individu yang selalu berusaha menghindari/meminimalkan risiko ( risk-averse individual ) [ Dari sudut pandangan teoritis, risk-averse individual memiliki arti bahwa wajib pajak bertindak sesuai dengan aksioma Von Neumann- Morgenstern ketika dihadapkan pada kondisi yang tidak pasti (memiliki risiko). Jika wajib pajak tersebut bertindak sesuai dengan aksioma Von Neumann-Morgenstern, maka ada di satu waktu dimana wajib pajak tersebut tidak akan memilih sebuah pilihan yang punya hasil tidak pasti karena risiko yang harus dibayarkannya terlalu besar ]. Pajak yang dibahas didalam model A-S adalah pajak penghasilan dan penghasilan tersebut bersifat eksogen. Otoritas pajak tidak mengetahui berapa besarnya penghasilan dari seorang wajib pajak, hanya wajib pajak seorang yang mengetahui secara pasti penghasilan yang dia terima. Pajak penghasilan bersifat proporsional atas penghasilan yang dilaporkan oleh wajib pajak kepada otoritas pajak. Dengan probabilitas konstan, otoritas pajak akan menyelidiki laporan penghasilan yang masuk, jika ditemukan penggelapan laporan pajak, maka wajib pajak yang tertangkap harus membayarkan pajak dari penghasilan yang digelapkan dengan menggunakan tarif sanksi pajak yang tarifnya jauh lebih mahal dari tarif pajak yang normal. Wajib pajak dihadapkan pada keputusan apakah menghindari atau mematuhi aturan perpajakan yang sudah ditentukan. Kerangka berpikir dari model A-S menyiratkan bahwa wajib pajak tergoda untuk melakukan penggelapan pajak jika hasil yang diterima dari penggelapan tersebut layak untuk didapatkan walaupun ada kemungkinan tertangkap dan mendapatkan hukuman dari otoritas pajak . Dengan kata lain, wajib pajak membandingkan keuntungan dari penggelapan pajak yang telah terdiskonto dengan probabilitas tidak terdeteksi oleh otoritas pajak dengan hukuman yang telah terdiskonto dengan probabilitas tertangkap, dimana hukuman yang diterima oleh wajib pajak jika tertangkap membayar penalti untuk menghindari pajak dan ditambah dengan kekurangan pajak yang belum Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 198 dibayarkan. Ketika keuntungan dari penggelapan pajak lebih besar daripada yang harus dibayarkan, wajib pajak akan melakukan penyelewengan pajak, dan jika sebaliknya, maka dia akan mematuhi peraturan pajak. Model A-S menegaskan analisis Becker bahwa tingkat hukuman yang lebih tinggi atau probabilitas deteksi cenderung untuk mencegah penggelapan. Walaupun model A-S mampu menjelaskan dampak dari hukuman dan probabilitas tertangkap terhadap kepatuhan pajak, akan tetapi data pajak menunjukan bahwa perbaikan di kedua faktor tersebut masih belum mampu mengurangi perbedaan antara pajak yang terutang dan pajak yang dikumpulkan. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah langkah yang diambil sejauh ini cukup untuk meringankan masalah ketidakpatuhan pajak. Braithwaite (1985) menunjukkan bahwa perluasan analisis kepatuhan pajak tradisional dengan memasukkan unsur regulasi yang bersifat responsif dapat menghasilkan metode yang lebih efektif untuk meningkatkan kepatuhan pajak. Salah satu fenomena yang tidak tersentuh dari model A-S adalah prilaku self-reporting . Perilaku self-reporting ini adalah fitur yang biasa ditemukan di dalam konteks penegakan hukum, contohnya, perusahan yang melaporkan pelanggaran di bidang pelestarian lingkungan dan keselamatan kerja, atau perilaku menyerahkan diri ketika melakukan pelanggaran kepada pihak yang berwenang. Salah bentuk regulasi yang bersifat responsif adalah penerapan VDP, di mana program tersebut bisa digunakan sebagai media untuk memfasilitasi perilaku self-reporting . Pada bagian berikut akan menjelaskan dasar teori mengapa program yang memungkinkan seorang wajib pajak untuk melakukan pembetulan laporan pajaknya tanpa terkena hukuman sangat diperlukan untuk meningkatkan penerimaan pajak. Perlu diingat bahwa kerangka berpikir dari sub-bagian berikut adalah perluasan dari kerangka berpikir model A-S.
0 Simpulan Berdasarkan paparan di atas ahli berkesimpulan: • Program Pengampunan Pajak bertolak dari problem empirik-konkret yang justru akan diatasi, yaitu keterbatasan kapasitas Pemerintah melakukan pemungutan pajak . Rendahnya rasio pajak, menurunnya tax buoyancy ratio , stagnasi jumlah wajib pajak dan basis pajak, sulitnya Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 202 melakukan ekstensifikasi, kendala administrasi, dan lemahnya penegakan hukum – merupakan fakta lapangan yang tidak dapat diselesaikan dalam waktu cepat, dan akan diatasi dengan pengampunan pajak. Pencapaian hingga 30 September 2016 menunjukkan bahwa alasan dan pertimbangan untuk memberlakukan program pengampunan pajak dapat diterima dan dibenarkan. • Problem ketersediaan data dan informasi merupakan konsekuensi dari pilihan Indonesia menerapkan sistem swanilai ( self-assessment system ) yang memberi kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan sendiri kewajiban pajaknya. Sebaliknya fungsi Ditjen Pajak sebagai pembina, pengawas, dan pelayan kurang optimal karena asimetri informasi yang terjadi. Faktanya, banyak sekali dana milik WNI yang disimpan di luar negeri dan sulit dipajaki. Kompleksitas konseptual antara tax planning, tax avoidance , dan tax evasion , birokrasi penegakan hukum dan penyelesaian sengketa justru menjadi kendala bagi penegakan hukum yang efektif. Hal ini dapat berpotensi merugikan negara karena ketentuan daluwarsa yang membatasi masa penegakan hukum . • Program Pengampunan Pajak yang bersifat mengampuni tidak bertentangan dengan sifat pajak yang memaksa. Kedua hal ini tidak dapat dipertentangkan karena secara generik bukan konsep yang berlawanan . Pajak mempunyai fungsi budgetair (mengisi kas negara) dan regulerend (instrumen kebijakan publik). Pengampunan Pajak merupakan implementasi fungsi regulerend guna mendukung optimalisasi fungsi budgetair . Sifat memaksa dalam sejarah perpajakan merupakan ciri pajak yang dapat dipaksakan dengan UU dan sanksi jika tidak dibayar, guna memastikan negara mendapatkan haknya. Sebagai pengimbang agar tidak sewenang-wenang dalam membebani warganegara, maka beban pajak harus diatur melalui UU, sebagai perwujudkan persetujuan rakyat melalui wakilnya di DPR. Sedangkan sifat mengampuni merupakan salah satu cara memungut pajak, dan secara inheren bahkan sudah terkandung dalam konstruksi UU Perpajakan , antara lain pengampunan terhadap wajib pajak yang melakukan tindak pidana pertama kali, yang terbukti melakukan tindak pidana tapi membayar denda, dan pemberian keadilan melalui pemulihan rasa Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 203 keadilan dalam Pasal 36 UU KUP bahkan pada saat wajib pajak tidak mempunyai sarana penyelesaian sengketa secara formal. Penempatan sanksi pidana sebagai ultimum remedium juga menunjukkan prioritas pendapatan negara di atas hasrat menghukum. • Keadilan pajak sangat erat kaitannya dengan konteks sehingga tidak bisa digeneralisasi dan diabstraksi ke dalam satu konsep keadilan yang berlaku universal. Dalam konteks Indonesia, dengan proporsi pembayar pajak yang tidak bertambah dan didominasi karyawan, justru tercipta ketidakadilan karena wajib pajak yang telah dipotong pajaknya dan tidak mempunyai ruang serta kompetensi melakukan perencanaan pajak menanggung beban pajak lebih besar daripada kelompok kaya yang dapat melakukan penghindaran pajak. Pengampunan Pajak sebagai respon kebijakan atas problem asimetri informasi yang menyebabkan mandulnya penegakan hukum pajak justru berpeluang menjadi insentif agar para wajib pajak secara sukarela mengungkapkan hartanya sehingga terjadi pertambahan jumlah wajib pajak, basis pajak, dan potensi pajak di masa mendatang. Pengampunan Pajak dapat menjadi sarana menuju keadilan pajak baru yang partisipatif. Pemberian pengampunan pajak menjadi sarana mewujudkan keadilan distributif (pajak sebagai instrumen kesejahteraan) melalui keadilan restoratif (memulihkan kepada kondisi semula). • Secara teoretik, program pengampunan pajak dan VDP juga selaras dengan inisiatif global dan teori yang diajukan banyak ahli, antara lain karena mengisi kekosongan keadaan sempurna, yakni keadaan di mana otoritas pajak memiliki data dan informasi akurat tentang wajib pajak sehingga tidak membuka peluang bagi wajib pajak untuk melakukan fraud . Pengampunan Pajak juga dapat menjadi sarana ( bridging ) yang mengantarkan kepada reformasi perpajakan menyeluruh, karena telah memberi kesempatan bagi wajib pajak untuk sukarela mengungkapkan harta dan membayar tebusan ( stick ) dan dapat melakukan penegakan hukum pasca pemberlakuan Automatic Exchange of Information /AEoI ( carrot) . Reformasi Pajak justru menjadi mungkin dan dibenarkan karena secara sekuensial mendapatkan momentum yang tepat di masa transisi menuju era keterbukaan. AEoI tidak dapat direkabayangkan sebagai panacea yang menyelesaikan seluruh persoalan karena implementasinya sangat Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 204 bergantung pada pembuktian kesalahan wajib pajak, efektivitas inisiatif global, kepatuhan aturan domestik, kerja sama bilateral, ketersediaan data, efektivitas law enforcement , dan asumsi ceteris paribus atau conditio sine qua non dengan prasyarat dan kebijakan lain. Cara berpikir yang simplistik ini mengabaikan dinamika bahwa wajib pajak selalu mencari skema paling efektif dan tempat berlindung untuk menghindari pajak. • Realisasi program pengampunan pajak hingga 30 September 2016 menunjukkan deklarasi harta yang signifikan dan adanya penambahan jumlah wajib pajak yang diperkirakan akan semakin meningkat. Hal ini menjadi modal besar bagi perbaikan sistem perpajakan yang lebih menjamin keberlanjutan penerimaan pajak. Data amnesti membenarkan kemendesakan reformasi perpajakan yang komprehensif karena saat ini pemerintah bahkan tidak mampu mengawasi wajib pajak yang menyimpan dana dan harta di dalam negeri karena keterbatasan akses dan kewenangan. Melalui reformasi pajak, kepatuhan pajak dapat meningkat signifikan di masa mendatang dan menghasilkan outcome berupa peningkatan penerimaan pajak. Program pengampunan pajak justru membawa manfaat yang sangat besar bagi bangsa Indonesia ke depannya karena mengubah potensi menjadi realisasi secara efektif .
Prof. Dr. Gunadi, M.Sc. Ak Untuk mencapai tujuan nasional sesuai Pembukaan UUD, Pemerintah melakukan kegiatan pemerintahan dan pembangunan dengan biaya antara lain dari pajak, termasuk uang tebusan (UT) pengampunan pajak (PP). Secara teoretis, sepanjang terdapat tax connecting factor serta diatur dengan UU, kewenangan negara memajaki subjek dan objek di wilayahnya tidak terbatas, kecuali konstitusi menentukan lain (Knechtle, 1979; De Leon, 1993; dan Rohatgi, 2005). Yurisdiksi pemajakan Indonesia tersurat dalam Pasal 23A UUD 1945 dan atas kuasa Pasal tersebut dibentuklah UU Perpajakan. Secara teori sistem assessment berdasar voluntary compliance merupakan sistem pemungutan pajak modern paling efektif dan efisien, karena kebanyakan kegiatan pemajakan jadi inisiasi warga. Lebih 30 th Indonesia menerapkannya, namun masih ada yang belum patuh pajak (terbukti tax ratio 11,8%, WPOP terdaftar 23,6% dari pekerja, dan penyampaian SPT Tahunan PPh 58,8%). Karena keterbatasan prasyarat kesuksesan self assessment, administrasi Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 205 pajak belum mampu membentuk sistem deteksi dini ketidak patuhan secara otomatis berdasar IT data base . Prasyarat mampu deteksi dini tersebut, __ termasuk tersedianya data basis luas komprehensive, valid, dan terintegrasi sistemik plus akses data tambahan dari sumber asal sehingga terbentuk sistem pre-populated tax return (SPT proforma) dan sarana deteksi dini ketidakpatuhan agar meminimalisir kesempatan tidak patuh pajak sehingga WP tidak bisa memilih selain patuh pajak (Webly, dari Alink & van Kommer, 2015). Karena itu, dari aspek administratif, PP secara implisit menunjukkan masih rendahnya kapabilitas penegakan hukum administrasi pajak karena keterbatasan prasyarat kesuksesan self assessment tersebut di atas (Alink & van Kommer, 2015). Selain mengganggu keadilan pajak, ketidak patuhan juga menyebabkan rendahnya penerimaan dan tax ratio, defisit anggaran dan pemotongan belanja pemerintah. Pemotongan belanja menghambat usaha restrukturisasi dan pertumbuhan ekonomi, perluasan lapangan kerja, pengentasan kemiskinan, pemerataan pembangunan, dan menurunkan kepercayaan investor pada APBN dan surat utang negara. Karena itu, secara ekonomi, banyak negara didunia (51 negara - Eva Sundari wawancara RRI 3 Sept 2016 pk 730), memanfaatkan PP sebagai sarana peningkatan penerimaan guna menutup defisit anggaran (Pinako B, at all, 2012; Ralph-C Bayer et all, 2015). Di Indonesia, selain UT, target PP termasuk repatriasi harta, agar selain percepatan pertumbuhan juga restrukturisasi ekonomi sehingga struktur ekonomi makin maju [Pasal 2 ayat (2) huruf a UUPP]. Sesuai teori the level of tax determinants (Musgrave, dari Radian, 1977) maka perbaikan struktur ekonomi dapat meningkatkan struktur pajak dan penerimaannya serta tax ratio . Kemajuan struktur ekonomi mampu transformasi sektor informal dan underground economy ke sektor formal, peningkatan PDB dan penghasilan per kapita sehingga memudahkan pemungutan pajak. Penjelasan Pasal 23 UUD menyebut penetapan belanja merupakan hak rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri, maka setiap tindakan penempatan beban kepadanya harus ditetapkan dengan UU. Secara hukum, PP menghapus kewajiban PPh dan PPN terutang s/d 2015 diganti dengan UT atas harta neto yang dimiliki sejak awal 1985 s/d akhir 2015 tetapi belum dilapor dalam SPT PPh 2015. UT dalam PP adalah beban rakyat, maka sesuai dengan Pasal 23 UUD, program PP harus ditetapkan dengan UU dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 206 dibentuklah UUPP, yaitu UU 11/2016. Penjelasan umum UUPP menyebut penerimaan UT diperlakukan sebagai PPh dalam APBN. Karena itu, sesuai Pasal 23A UUD 1945 UT harus ditetapkan dengan UU. Substansi UT pengampunan adalah pengganti PPh dan PPN ( amnesty redemption in lieu of income tax ). Di Amerika tiap pungutan pengganti pajak diatur dalam Internal Revenue Code (IRC Sec 903). David R Tillinghast (1987, The American Law Institute) menyatakan pungutan pengganti pajak adalah juga pajak. Karena itu, dan selaras dengan praktik pengaturan negara lain, maka PP diatur dalam UU berdasar Pasal 23A UUD, dan atas kuasa Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 dan Pasal 23A UUD 1945 dibentuk UUPP. Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 22 ayat (1) UUKUP menyebut daluwarsa penerbitan ketetapan pajak dan penagihan 5 tahun sejak akhir masa pajak, sedang Pasal 18 ayat (2) huruf b UUPP mengindikasikan UUPP berlaku atas perolehan harta neto di dalam dan luar negeri sejak 1 Jan 1985 s/d 31 Des 2015 (31 tahun). Implikasinya, sebagai derivasi dari UUKUP, UUPPh dan UUPPN, berdasar prinsip lex speciali derogat legi generali , UUPP memperluas masa pemajakan atas pemilikan harta selama 31 th tanpa melihat asal-usul harta yang di deklarasi mungkin dari penghasilan sudah kena pajak dan mempertahankan penagihan paksa 5 th setelah ketetapan. Artinya, jika ketetapan pajak produk UUPP tidak dibayar, maka dapat dilakukan penagihan paksa. Karena ada unsur pemaksaan, maka sesuai Pasal 23A UUD, program PP ditetapkan dengan UUPP. Berbagai norma hukum dalam UUPP, seperti ketentuan umum, asas dan tujuan, subjek dan objek, tarif dan cara menghitung UT, tata cara dan mekanisme, sanksi dan upaya hukum telah mendapat persetujuan DPR. Karena dibentuk berdasar UUD 1945 dan oleh lembaga yang berwenang (lembaga legislatif), UUPP telah memenuhi asas legalitas formal, prosedural dan konstitusional sehingga sah dan mempunyai daya laku/ valid (Soeprapto, 2007). Berbagai prinsip pemajakan (Alink& Kommer), seperti kecukupan penerimaan, netralitas dan efisiensi, fleksibilitas, transparansi, keadilan dan ekualitas, manfaat, simplisitas, biaya administrasi dan kepatuhan murah, fisibilitas, ketepatan waktu pembayaran dan distribusi beban, stabilitas ekonomi dan pertumbuhan, kompatibilitas regional dan global, saling bersentuhan dan meminta prioritas dipilih. Tidak semua prinsip terpilih dalam UUPP sehingga diperlukan prioritasi ( trade off) atau balancing berbagai kepentingan. Karena itu, Pasal 2(2) hanya Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 207 dapat menyebut 4 prinsip terpilih, dan 3 tujuan utama. Prinsipnya meliputi: (i) kepastian hukum, (ii) keadilan, (iii) kemanfaatan, dan (iv) kepentingan nasional, sedangkan tujuan UUPP adalah:
percepatan pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi melalui repatriasi harta, (2) mendorong reformasi perpajakan agar lebih adil dengan basis data semakin luas dan komprehensif, dan (3) peningkatan penerimaan pajak guna pembiayaan pembangunan. Pada 1984 Indonesia mengganti sistem pajak konvensional official assessment berdasar compulsory compliance ( government centered activities ) menjadi sistem pajak modern self assessment berdasar voluntary compliance ( taxpayer centered activities ). Barry Larking (2005) menyebut self assessment sebagai sistem pajak yang mewajibkan WP menghitung dan melaporkan dasar pengenaan pajak, melampirkan hitungan pajak terutang dan melunasinya. WP disebut patuh pajak jika melapor objek dan hitung pajak terutang dengan benar, lengkap dan melunasi tepat waktu (Alink&Kommer). Kepatuhan WP termasuk: (i) mendaftarkan diri guna peroleh NPWP/PKP, (ii) menyampaikan SPT yang diisi dengan benar dan lengkap, dan (iii) melunasi pajak tepat waktu. Fiscal Blueprints Komisi Eropa 2007 (Alink&Kommer) menyebut voluntary compliance sebagai bagian dari strategi model kepatuhan WP, dan unsur efisiensi administrasi pajak. Plumley AH (Alink&Kommer) menyebut beberapa manfaat voluntary compliance seperti: (a) pajak dibayar tepat waktu; (b) penerimaan dari enforcement dibayar segera; (c) penerimaan terlindungi dan lebih bayar dikembalikan lewat proses efisien; dan (d) pembayaran sesuai kewajiban sebenarnya. Peranan pemerintah dalam self assessment seperti membangun dan memelihara sistem pajak yang berfungsi baik dengan administrasi dan pengawasan efektif dan efisien. Sistem self assessment percayakan warga menghitung pajak, membayar dan melaporkan sendiri. Jika menemukan bukti assessment tidak benar, DJP dapat me re-assessment . Prinsip fairness - public trust in tax administration (Thuronyi, 1996) menuntut agar proses re-assessment transparan. Rochmat Soemitro (1998), Rizal Palil (2010) dan Benno Torgler (2005, dari Alink&Kommer) menyebut beberapa asumsi dasar self assessment bagi WP: (i) berpengetahuan pajak, (ii) kesadaran pajak, (iii) kejujuran, (iv) hasrat membayar pajak, (v) disiplin pajak, (vi) moral atau etika pajak, dan (vii) kemauan membayar pajak. Inisiasi awal penghitungan dan pembayaran pajak sepenuhnya berasal dari WP dengan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 208 asumsi: (i) WP pelaku transaksi dan penerima penghasilan objek pajak dan basis pemajakan lainnya, (ii) menguasai data, informasi dan keterangan lengkap objek pajak, (iii) mengerti, memahami dan mampu melaksanakan ketentuan pajak, (iv) mampu menghitung pajak dengan benar dan lengkap, (v) menyadari pentingnya membayar pajak, dan (vi) dengan jujur bersedia memenuhi kewajiban pajak. Sementara itu, agar sistem self assessment efektif, DJP harus: (i) menjadikan WP memahami aturan dan mampu menghitung pajak dengan benar, sadar dan insyaf, berkemauan dan jujur serta transparan laksanakan kewajiban, (ii) membuat sistem dan suasana WP mudah, murah mematuhi ketentuan, namun tidak ada pilihan lain kecuali patuh, (iii) mengawasi dan meningkatkan kepatuhan dengan basis IT, seperti otomasi administrasi pajak dan e-data matching dengan data pihak ketiga, (iv) memelihara dan menegakkan kesadaran, dan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan WP, (v) mengelola data base secara komprehensif dan mampu mengakses data pihak ketiga secara meluas guna deteksi dini ketidakpatuhan. Sudah lebih dari 3 dekade negara ini menerapkan sistem self assessment dan menyerahkan inisiasi kegiatan pemajakan pada warga, kenyataanya penerimaan pajak masih rendah. Anton Hendranata (Kompas, 13 September 2016) sebut rerata tax ratio Indonesia 2010-2015 baru 11,8%, sedang Malaysia (15,5%), Thailand (17%), Filipina (14,4%), dan India (17,7%). WP terdaftar (Laporan Tahunan DJP 2014) sebanyak 30.161.673 [orang pribadi 26.918.401 atau 23,60% dari pekerja 2013 menurut data BPS (114,02 juta); dan badan 2.473.471], dan kepatuhan penyampaian SPT Tahunan PPh 58,87%. Realisasi penerimaan 2014 sebesar 91,86%, 2015 turun jadi 83% dan 2016 berpotensi meleset Rp 218T (Kompas 19 Sept 2016), sehingga pemerintah terpaksa memotong belanja. Pemotongan tiap tahun tanpa solusi efektif, dapat mengerosi kredibilitas APBN dan menggoyahkan kepercayaan investor atas Surat Utang Negara dan obligasi pemerintah. Oleh karena itu, solusi sementara jangka pendek yang bersifat ad hoc , seperti PP, sangat urgent dan relevan. PP amat signifikan dan krusial untuk menyehatkan APBN sehingga perekonomian bergerak lincah dan dapat memberi stimulus pajak pendorong pertumbuhan dan peningkat penghasilan serta kesejahteraan warga. Banyak ragam reaksi masyarakat, ada yang menganggap PP sebagai fasilitas, keringanan dan kesempatan pembasuh batin kelalaian masa lalu dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 209 perbaikan sistem pajak menuju yang lebih adil, bernuansa kebersamaan dan berkepastian hukum serta dipatuhi masyarakat. Dengan berbagai alasan ada yang kebingungan bahkan menentang dibalik asas hukum dan keadilan. Ketidak patuhan sebagian warga juga menimbulkan ketidakadilan, dan rendahnya penerimaan, pemotongan belanja dan belum meningkat dan meratanya kesejahteraan. Mereka telah menciderai keadilan tanpa kontribusi biaya pembangunan, walaupun mendapat manfaat belanja negara. Bagi warga NKRI terutama pemilik dana di luar negeri, sekarang inilah saatnya mulai transparan mengungkap dan merepatriasi harta guna membantu negara, mumpung pemerintah berbaik hati menawarkan paket PP. Tony Prasetiantono (Kompas, 19 September 2016) mencatat 3 kebaikan suksesnya PP: (i) peningkatan cadangan devisa dan sekaligus stabilitas dan penguatan nilai rupiah, (ii) likuiditas pasar uang melimpah sehingga terjadi penguatan tekanan penurunan suku bunga kredit dan mendorong kegiatan ekonomi, dan (iii) peningkatan ekspansi kredit perbankan. Semoga akal sehat dan rasional serta patriotisme mayoritas rakyat Indonesia menunjukkan hasil program PP pada periode pertama, meningkat pada periode kedua dan ketiga sehingga target penerimaan, deklarasi dan repatriasi tercapai, kegiatan ekonomi pulih dan kesejahteraan rakyat meningkat. Nanti pada tahun 2018 ketika misalnya terjadi pembatasan cash transaction , transparansi perbankan nasional, perbaikan data base komprehensif dan meningkatnya kapabilitas deteksi dini dan pengawasan ketidakpatuhan DJP atas flow of goods melalui otomasi online sistem PPN, dan flow of money income and expenditures melalui otomasi dan perluasan pemotongan pajak ( broad-base withholding tax system ), peningkatan kesempatan akses data dan informasi serta global automatic exchange of information (AEOI) sehingga DJP mampu membentuk sistem proforma SPT ( pre-populated tax return ), pada saat itu tidak ada pilihan lain bagi WP rasional kecuali patuh pajak. Pengalaman pemberlakuan program pre-populated tax return di berbagai negara maju, seperti negara Eropa dan Australia mampu deteksi dini ketidakpatuhan, sehingga penghindar/ pengemplang pajak dapat diminimalisir dan WP terpaksa patuh. Sistem self assessment dan voluntary compliance merupakan sistem pajak maju, efektif dan efisien. Namun, pada sistem pajak apapun selalu ada ketidakpatuhan. Bahkan Richard Goode (Bird, 1992) menyebut salah satu dimensi politik Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 210 pelaksanaan UU Pajak adalah fenomena penghindaran dalam berbagai bentuknya, termasuk ikutnya political powerfull wealthy groups dengan niat menghalangi sistem pajak. Vito Tanzi (dalam Bird & de Janctster, 1992) menyebut 4 kelompok tidak patuh pajak: (i) mereka yang seharusnya ber NPWP/PKP tetapi tidak terdaftar ( nonregistered ), (ii) terdaftar tetapi tidak menyampaikan SPT ( nonfiler ), (iii) mengisi SPT tidak benar, lengkap dan tidak jelas ( avoider- evader ), dan (iv) penunggak pajak ( delinquent ). Kemampuan negara berkembang memungut dan meningkatkan penerimaan pajak terhambat oleh beberapa faktor seperti (Alink & Kommer): kelemahan lembaga negara, termasuk administrasi pajak; korupsi dan kurang transparan; sistem pajak dengan banyak pengecualian dan pembebasan; banyaknya sektor informal, cash economy dan ekonomi bawah tanah; aliran dana ke negara tax haven ; dan tekanan investor dan pengusaha besar dalam rangka persaingan pajak. Deklarasi Doha (2008) menyebut 4 unsur perbaikan sistem pajak negara berkembang:
peningkatan penerimaan dengan modernisasi sistem pajak, termasuk otomasi administrasi agar mampu mendeteksi dini ketidakpatuhan;
perbaikan efektivitas dan efisiensi pemungutan pajak;
perluasan basis pajak; dan
pencegahan dan pemberantasan penghindar dan pengelak pajak secara efektif. Penerimaan pajak merupakan akibat interaksi dari berbagai unsur seperti: (a) peraturan perundang-undangan perpajakan; (b) tahap pembangunan ekonomi (Musgrave,-Alex Radian 1977, dalam teori level of taxation determinants menyebut kemajuan struktur ekonomi berpengaruh positif pada struktur pajak dan peningkatan tax ratio karena transformasi struktur ekonomi informal menjadi formal dan merapatnya objek pajak dari hard-to-tax ke easy-to-tax sector sehingga dengan tax handles yang tepat mudah memobilisasi sumber dana); (c) organisasi fungsi publik; (d) perilaku pembayar pajak; dan (e) pengorganisasian kegiatan administrasi pajak. Beberapa ketentuan dalam UUPP yang dimohonkan uji materi adalah Pasal 1 angka 1 dan 7, Pasal 3 ayat (1), Pasal 5, Pasal 4, Pasal 11 ayat (2), ayat (3), ayat (5), Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 20, Pasal 21 ayat (2), Pasal 22 dan Pasal 23 terhadap Pasal 23A, Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D, dan Pasal 28F UUD 1945. Matriks anggapan pertentangannya menurut pemohon nampak sebagai berikut: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 211 Pertentangan Pasal No 11/2016 UUD 45 Penjelasan 1 Psl 1 angka 1 dan 7, Ps 3(1), Ps 4, dn Ps 5 Ps 23A 1.PP bertentangan dg Ps 23A yg mengatur pajak bersifat memaksa dan negara kehilangan potensi PPh. UUPP beri hak istimewa pada penghindar, pengemplang pajak, Pemerintah lemah terhadap mereka. 2.Pajak bersifat memaksa namun UUPP bersifat mengampuni, sehingga bertentangan dg Ps 23A. 3. UUPP jadi tindakan khusus pemerintah hapuskan sanksi administrasi dan pidana atas pelaporan WP dengan objek baru belum pernah dilapor. 4. UUPP menggeser perpajakan dari bersifat memaksa kepada kompromistis ( negotiable) . 5. Norma Ps 23A secara leksikal dimaknai sebagai paksaan pada warga dalam pembayaran pajak, norma tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1), Pasal 3 ayat (1) UUPP akibat gagasan PP. 2 Ps 19(1), (2), dan Ps 20 Ps 24(1) 6. Pembatasan segala sengketa pelaksanaan UUPP hanya ke Pengadilan Pajak telah meniadakan hkm pidana dn hkm adm bertentangn dg kekuasaan kehakiman merdeka guna tegakkan hkm dn keadilan. 7.Setelah buat pernyataan pd Kemenkeu, peserta dilepaskan dr pertanggungjwban hkm shg punya kekebaln hkm thd perolehan dn atau sumber keuangan atas harta yg dilaporkan. 3 Ps 11(1), (3), dan (5) Ps 20 Ps 22 Ps 27(1) 8.UUPP beri hak khusus eksklusif pd yg tdk taat pajak, bebas dr pemeriksaan dn sanksi adm dn pidana bertentangan dg prinsip persamaan warga negara didpn hkm dn pemerintahan. 9. Ps 20 atur data dn informasi dr srt pernyataan dan lamp dlm adm Kemenkeu atau pihak lain tdk dpt jadi dasar proses gakkum abaikan prinsip kesamaan kedudukan warga dihadapn hukum dn pemerintahan. 10. Pemberian imunitas kpd Menkeu, Wamenkeu, pegawai Kemenkeu dn pihak lain terkait pelaksanaan PP tdk punya dasar norma dan kaidah dlm konstitusi serta bertentangan dg prinsip perlakuan sama dalm hkm dn pemrntahan 11 Kekebalan hkm nampak seperti pemberian kuasa tanpa dibatasi check and balance agar tdk terjadi penyalahgunaan kekuasaan yang dpt Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 212 timbulkan budaya koruptif. 4 Ps 1 angk 7, Ps 4 dn Ps 5 Ps 28D(1) 12.Uang Tebusan akibatkan tdk ada kepastian hkm yg adil dn perlakuan sama didpn hkm antara WP taat (karyw di potong pajak) dg penggelap/pengemplang pjk justru diskon besar2an atas PPh hanya bayar UT 13.Perlakuan khusus pd penggelap dn penghindar sehingga rugikan WP yg taat bayar pajak shg terjadi ketidakadilan. 14. Ps 1 angka 7, Ps 4 dan Ps 5 UUPP secara terang ungkapkan ketentuan diskriminatif kekalahan negara dr para penghindar pjk shg td sesuai amanat konstitusi krn ciptakan ketidakadilan. 5 Ps 21(2), dn Ps 23 Ps 28F 15.Larangan beritahu data/informasi amnesti bertentangan dg prinsip keterbukaan informasi publik dn hilangkan hak asasi warga negara atas informasi. gagalkn whistle blower 16.Larangan beri data/informasi bertentangan dg wajib beri data dan keterbukaan Berikut ini, kami sampaikan analisis dan penjelasan atas beberapa pasal UU 11/2016 yang dianggap bertentangan dengan beberapa Pasal UUD 1945. Pertama, Pasal 1 angka 1 dan angka 7, Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 dan Pasal 5 UUPP dengan Pasal 23A UUD 1945. Di muka disampaikan beberapa alasan kenapa program PP ditetapkan dengan UUPP:
selaras dengan pengaturan di beberapa negara, seperti Amerika (Sec 903 IRC), (2) UT sebagai pengganti PPh dan PPN dan penerimaannya dipersamakan dengan PPh dalam APBN, maka berdasar Pasal 23A harus ditetapkan dengan UU, (3) jika ternyata deklarasi harta tidak benar maka dapat diterbitkan ketetapan PPh yang dapat ditagih dengan paksa, maka sesuai Pasal 23A harus ditetapkan dengan UU, (4) UT merupakan beban kepada rakyat, maka sesuai Pasal 23 UUD harus ditetapkan dengan UU, dan (5) secara yuridis PP menghapus PPh dan PPN terutang dan sanksi, diganti dengan UT. Pengganti pajak adalah pajak juga, agar punya dasar hukum yang kuat maka diatur dengan UU. UUPP disusun atas kuasa beberapa pasal dalam UUD, seperti Pasal 5 ayat , Pasal 20 ayat (2), Pasal 23 dan Pasal 23A. Sebagai sistem pengaturan hukum dasar negara, semua pasal dalam UUD merupakan satu kesatuan sistem pengaturan yang saling mendukung dan memperkuat secara harmonis integral dan tidak dapat dianggap bertentangan satu sama lain, termasuk Pasal 23A, Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28F. Musgrave (1989) Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 213 menyatakan bahwa sesuai prinsip keadilan, pajak personal harus dipungut berdasar kemampuan bayar, dengan indikasi penghasilan, pengeluaran, atau harta neto. Selain menggantikan dasar pemungutan pajak berbasis penghasilan dan pengeluaran menjadi berbasis harta, program PP juga mengganti PPh dan PPN dengan UT. Karena pengganti pajak adalah juga pajak, maka harus dipungut berdasar UU yang dibentuk berdasar Pasal 23A UUD 1945. Jika ternyata deklarasi harta neto tidak benar, sesuai Pasal 18 UUPP kantor pajak dapat menetapkan pajak plus sanksi dan dapat menagih dengan paksa. Karena UT merupakan pungutan yang bersifat memaksa maka harus diatur dengan UU berdasar Pasal 23A UUD. Pasal 1 angka 1 UUPP secara implisit mengkonversi pemajakan PPh berdasar penghasilan dan PPN berdasar pengeluaran menjadi UT berdasar harta neto. Pasal 1 angka 7 mendefinisikan UT, sebagai pungutan pengganti atas PP yang berupa pelepasan hak negara atas PPh dan PPN. Secara substansi pungutan negara yang bersifat memaksa masih tetap ada, semula disebut pajak diganti menjadi UT yang penerimaannya dalam APBN diperlakukan sebagai PPh. Demi jaminan kepastian hukum pajak sesuai Pasal 28D(1), maka Pasal 3(1) menentukan subjek dan objek PP, Pasal 4 mengatur tarif, dan Pasal 5 mengatur cara penghitungan. Sistem self assessment meminta partisipasi aktif semua warga berdasar iktikad baik. Berbeda dengan sistem official assessment yang menerbitkan SKP atas semua SPT, Pasal 12(3) UUKUP menyebut penerbitan SKP terbatas pada mereka yang terbukti utang pajaknya dalam SPT tidak benar. Pembuktian dilakukan melalui suatu pemeriksaan yang transparan dan melibatkan partisipasi WP. Pilar self assessment termasuk mutual trust dan kepastian hukum. Jika WP tidak setuju hasil pemeriksaan, keberatan atau mengajukan banding, sebelum putusan pengadilan, mereka hanya membayar jumlah pajak yang disetujui. Dengan jumlah pemeriksa 4.628 (12,10% pegawai), maka tanpa IT data base, otomasi administrasi pajak dan dengan pola analisis data secara random sampling berdasar analisis risiko, pemeriksaan atas semua WP merupakan mission impossible dan tidak selaras dengan sistem self assessment . Dari beberapa penelitian, penegakan hukum secara meluas dan tegas, selain kurang efektif dan efisien (Kirchler, dan Tyler dari Alink& Kommer), juga malah bersifat kontraproduktif (Blumenthal &Slemrod, dari Alink& Komer). Bahkan tindakan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 214 koersif seperti penagihan aktif mendapat perlawanan fisik WP (Brehmdr dari Alink&Komer). Tindakan deteksi dini ketidakpatuhan melalui program proforma SPT memerlukan pembentukan data-base komprehensif integratif dan otomasi administrasi pajak, pembatasan cash economy dan transparansi perbankan yang memerlukan waktu dan kematangan situasi dan kondisi. Karena itu, sambil menyiapkan segala sesuatunya menuju sistem deteksi dini ketidakpatuhan dengan proforma SPT, solusi sementara jangka pendek yang bersifat ad hoc (darurat) seperti PP, merupakan the second best option amat relevan dan signifikan. Apakah terdapat kerugian negara atas konversi PPh dan PPN menjadi UT melalui UUPP? Dari sandingan tarif PPh OP 30% dengan tarif tebusan 2-10% sepertinya berpotensi merugikan negara. Namun sandingan komprehensif potensi penerimaan dari pemberlakuan UUPP dengan pencairan kegiatan pemeriksaan (2014) Rp 24,47T dapat berkesimpulan lain. Harta neto dasar pengenaan UT, yang diperoleh sejak awal 1985 s/d akhir 2015, dinilai tidak berdasar harga perolehan tetapi nilai wajar sekarang. Misalnya, harta luar negeri diperoleh tahun 1990an saat USD1=Rp 2.200 sekarang Rp 13.500 sudah naik 6 X. Harta berupa tanah dan bangunan paling kurang harganya sudah berubah misalnya 5 X (di Tangerang tanah untuk tambang pasir per meter th 1990 baru Rp 50 ribu, sekarang Rp 5 juta naik 100x). Akibatnya, terjadi kenaikan basis pemajakan. Misalnya kenaikan basis 30x mengonversi tarif tebusan 2% menjadi 60% dari nilai perolehan harta sebagai dasar pengenaan PPh atas tambahan harta Pasal 4 ayat (1) huruf p UUPPh. Selain dari UT, Pasal 8(3) UUPP menyiratkan beberapa potensi penerimaan tambahan, seperti: (i) pelunasan seluruh tunggakan pajak (lebih besar Rp 12,42T dari penagihan), (ii) melunasi pajak yang tidak/kurang dibayar atau tidak seharusnya direstitusi bagi mereka yang sedang dalam pemeriksaan bukti permulaan/penyidikan, (iii) pencabutan permohonan restitusi, (iv) pencabutan permohonan pengurangan sanksi, pembatalan ketetapan, pembatalan keberatan (akibatnya SKPKB harus dibayar lunas), pembatalan banding (berakibat pelunasan keputusan keberatan), dan pembatalan gugatan serta peninjauan kembali (akibatnya pelunasan putusan banding). Pasal 16 juga menambah penerimaan dari pembatalan hak kompensasi rugi dan lebih bayar pajak WP. Selain itu, Pasal 17(3) berkontribusi menghemat pengeluaran negara dari pelepasan hak atas Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 215 imbalan bunga WP. Dana repatriasi harta luar negeri juga penting bagi restrukiturisasi dan percepatan pertumbuhan ekonomi, perluasan kesempatan kerja dan pengurangan ketimpangan sehingga menambah basis pajak. Secara matematis, terobosan kebijakan PP justru menguntungkan negara. Dari paling kurang 15 prinsip pajak yang baik, untuk pembentukan UUPP hanya 4 prinsip yang diutamakan [Pasal 2 ayat (2) UUPP]. Kepada para penghindar pajak, UUPP bukan memberi hak istimewa, tetapi pilihan program, jalur PP atau enforcement . Walau diskon besar tarif jadi 2%, namun karena basisnya membesar dengan nilai wajar kini terjadi pembuncitan ( bounching effect ) dengan pajak lebih banyak. Pasal 18 UUPP menyatakan bahwa pengikut program yang ternyata kurang mendeklarasi diancam sanksi. Mereka yang tidak manfaatkan PP diancam kena PPh plus-plus: (i) PPh atas penghasilan, (ii) PPh atas nilai wajar harta tidak dilapor, dan (iii) sanksi administrasi. Secara administratif mungkin PP nampak lemah, namun dari policy dan strategi, terhadap para penghindar pajak, Pemerintah arif bijaksana, cerdas dan taktis mendorong kepatuhan warga dengan pola pemajakan modern, yaitu tax-rate- cut-cum-base-broadening dengan penerimaan lebih besar dari usual business . Belajar dari masa lalu dan negara gagal program PP (Turki dan India), Pemerintah ubah strategi dari low profile tanpa sosialisasi dan publikasi, menjadi high profile banyak sosialisasi, publikasi dan loby melibatkan RI 1, serta relaksasi/kompromi ketentuan administratif, sehingga telah membuncahkan harapan keberhasilan. Melampaui prakiraan, sampai 30 Sept (Kompas) telah diterima UT Rp 97,2T (58,91% target), repatriasi dana Rp 135T dari deklarasi harta Rp 3.621T. Selain Indonesia, PP juga meluas dilakukan oleh berbagai negara. Dari hasil sementara tersebut, Barron’s Asia, JP Morgan dan Citigroup menganggap PP Indonesia bisa menjadi salah satu tersukses di dunia (Kompas, 26 Septb 2016). Kedua , Pasal 19 ayat (1), ayat (2) dan Pasal 20 UU 11/2016 dengan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945. Pasal 24 ayat (1) UUD menghendaki kekuasan kehakiman merdeka bebas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan untuk itu, syarat dan pemberhentian hakim diatur dengan UU. Sebagai konsekwensi Indonesia negara hukum [Pasal 1 ayat (3)], Pasal 24 ayat (2) UUD menyatakan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah MA dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 216 peradilan militer, dan PTUN. Pada era Hindia Belanda, terdapat pengadilan khusus mengenai sengketa pajak disebut Raad van Beroep vor Belastingzaken (Majelis Pertimbangan Pajak - MPP). Dengan UU 14/2004, MPP yang sudah menjadi BPSP, diganti jadi Pengadilan Pajak. UUPP menghapus PPh dan PPN beserta sanksinya dan menggantinya dengan UT yang penerimaannya diperlakukan sebagai PPh. Karena itu sengketa dari pelaksanaan UUPP merupakan sengketa PPh atau pajak. Berdasar tolok ukur subjek dan objek, sengketa pajak adalah sengketa TUN, maka sudah tepat diselesaikan oleh pengadilan pajak yang berada dalam lingkungan PTUN di bawah MA sesuai dengan Pasal 24 ayat (2) UUD (Galang Asmara, 2006). Pasal 2 UU 14/2002 menyebut fungsi Pengadilan Pajak:
melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi WP pencari keadilan, dan (2) mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus sengketa pajak. Penjelasan umum UU 14/2002 menyatakan bahwa Pengadilan Pajak merupakan peradilan khusus, dengan berbagai pertimbangan:
penyelesaian sengketa pajak memerlukan hakim khusus dengan keahlian perpajakan, (2) khusus memproses sengketa perpajakan, dan (3) putusan pengadilan memuat penetapan besaran pajak terutang berupa hitungan teknis perpajakan yang dapat mengabulkan, menolak atau justru menambah jumlah pajak sehingga WP langsung mendapat kepastian hukum. Tujuan utama sistem pajak, termasuk PP, adalah penerimaan pajak sesuai APBN (Gillis, 1989). Agar tidak mengganggu pencapaian tujuan utama, maka beberapa prinsip pemajakan yang lain dikesampingkan, agar program PP tidak kebanyakan terbebani berbagai hal yang kurang relevan. Karena itu, berbeda dengan proses penyelesaian peradilaan sengketa ketetapan yang harus dilakukan melalui keberatan dulu, demi efisiensi dan percepatan perolehan kepastian hukum, Pasal 19 UUPP memperpendek proses penyelesaian sengketa pelaksanaan UUPP cukup dengan gugatan ke Pengadilan Pajak. Dengan demikian, keberadaan Pasal 19 ayat dan ayat (2) UUPP masih sejalan dengan ketentuan Pasal 24 UUD 1945. Pasal 20 sepertinya terkait dengan Pasal 21 UUPP yang melindungi kerahasiaan data dan informasi yang disampaikan WP dalam rangka PP. Selaras dengan UU Perpajakan, UUPP juga menganut sistem self assessment dan voluntary compliance dengan inisiasi PP berasal dari WP. Tujuan ekonomi PP termasuk:
peningkatan penerimaan pajak Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 217 untuk biaya pembangunan, dan (2) repatriasi harta untuk percepatan pertumbuhan ekonomi dan restrukturisasi ekonomi. Hampir semua negara pemungut pajak meindungi kerahasiaan data dan informasi perpajakan agar WP bersedia sejujurnya melapor selengkapnya objek dan utang pajak sebenarnya (Leon Yudkin, 1973). Deklarasi harta neto dan pembayaran UT merupakan bentuk kepercayaan WP pada pemerintah dan negara. Dengan deklarasi, WP telah mengungkap data pribadinya kepada pemerintah, seperti jumlah semua harta dan utangnya, dari mana dan bagaiman diperolehnya. Agar mereka bersedia secara volunter, jujur dan transparan mau mendeklarasikan semua harta netonya membayar UT dan merepatriasi harta netonya ke Indonesia, Pasal 21 UUPP melindungi kerahasiaan data dan informasi dimaksud. Perlindungan tersebut, seperti:
tidak boleh dibocorkan, disebar luaskan dan diberitahukan kepada pihak mlain;
tidak dapat diminta siapapun, kecuali sepersetujuan WP, dan (3) digunakan sebagai basis data perpajakan. Dalam Putusan MK Nomor 3/PUU-VI/2008 perihal Pengujian UU Nomor 28 Tahun 2007 terhadap UUD 1945 antara lain dinyatakan bahwa data dan informasi perpajakan sebagai harta milik WP dilindungi Pasal 28G(1) [perlindungan harta benda dibawah kekuasaannya] juncto Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 [hak milik pribadi tidak boleh diambil secara sewenang-wenang]. Karena harta yang dideklarasi dan repatriasi akan diinvestasikan paling kurang 3 tahun guna percepatan pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi, agar WP bebas dari rasa ketakutan dan keraguan untuk berbuat atau tidak berbuat dan investasi berjalan dengan tenang dana stabil tanpa kegaduhan hukum, maka Pasal 20 UUPP memberikan perlindungan dan kepastian hukum data dan informasi yang bersumber dari deklarasi yang diadministrasikan Kemenkeu atau pihak lain terkait pelaksanaan UUPP tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana. Pasal 1 angka 1 UUPP sudah menyatakan tidak dikenai sanksi pidana terbatas pada bidang perpajakan. Ketentuan tidak dapat menjadi dasar penyelidikan, penyidikan dan penuntutan pidana di bidang perpajakan dan tindak pidana lain diartikan sebagai PP secara implisit membebaskan pemanfaat PP dari semua jenis pidana. Tetapi harus dipahami sebagai pelarangan data dan informasi dari PP dijadikan sebagai sumber penyelidikan dan seterusnya. Karena sanksi pidana selain pajak tidak diampuni, maka penindakan hukumnya tetap dapat Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 218 dilakukan namun harus berdasar data dan informasi selain dari yang dipakai untuk PP. Dengan demikian, keberadaan Pasal 21 dan Pasal 20 UUPP sesuai dengan prinsip kemanfaatan dan kepentingan nasional serta dilindungi Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 yang secara sistematis tidak bisa dianggap tidak sejalan dengan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945. Ketiga , Pasal 11 ayat (1), ayat (3), ayat (5), Pasal 20 dan Pasal 22 dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Pasal 27 ayat (1) memberikan dasar persamaan warga di depan hukum sebagai salah satu pilar negara hukum. Substansi pengampunan pajak adalah konversi kewajiban PPh dan PPN sampai akhir Desember 2015 menjadi kewajiban deklarasi harta neto selama 31 tahun yang belum dilapor dan membayar UT. Bagi WP, PP bersifat opsional:
mengikuti PP dengan bayar UT berdasar nilai wajar atas deklarasi harta neto yang dimiliki belum dilapor di SPT, atau (2) tidak ikut PP, kena PPh dan PPN, plus PPh atas nilai wajar harta neto selama 31 tahun yang diketemukan dalam waktu 3 tahun sejak 1 Juli 2016, plus sanksi administrasi. Sejak mulai berlakunya (1 Juli 2016), UUPP mengkonversi kewajiban PPh dan PPN menjadi UT atas nilai wajar harta neto bagi yang menyampaikan deklarasi. Agar tidak terjadi kewajiban dan sanksi ganda ( double jeopardy ) rasanya tidak berlebihan jika Pasal 11 ayat , ayat (3), dan ayat (5) UUPP menunda atau menghentikan penegakan hukum, karena Pasal 3 ayat (4) dan ayat (5) menghapus kewajibannya plus sanksi administrasi dan pidana diganti dengan UT. Penghapusan itu bukannya bebas sama sekali, tetapi ada ancaman sanksi Pasal 18 ayat (1) juncto ayat (3) UUPP (ketetapan PPh plus kenaikan 200%, bagi para deklarator). Sementara itu, mereka yang tidak mendeklarasi harta juga diancam sanksi Pasal 18 ayat (4) UUPP (ketetapan PPh atas penghasilan plus atas harta neto plus sanksi). Karena PP bersifat opsional, konsekwensinya ekualitas harus dilihat pada segmen masing-masing (deklarator atau bukan) keduanya dapat dikenai sanksi. Jika dikaitkan dengan Pasal 18 (sanksi UUPP), nampak bahwa Pasal 11 ayat (1), ayat (2), dan ayat (5) tetap selaras dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 karena setiap orang dapat dikenai sanksi. Di atas telah dijelaskan bahwa untuk mendorong tercapainya tujuan utama PP, yaitu penerimaan dan repatriasi harta untuk ditanamkan di Indonesia paling kurang 3 tahun dalam rangka restrukturisasi dan percepatan pertumbuhan ekonomi, Pasal 20 UUPP melindungi data dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 219 informasi dari deklarasi harta yang diadministrasikan Kemenkeu atau pihak lain terkait pelaksanaan UUPP tidak dapat dijadikan sebagai dasar penindakan hukum sehingga mereka merasa aman tidak ada ancaman untuk jujur mendeklarasi hartanya, merepatriasi dan investasi di Indonesia selama paling kurang 3 tahun. Sesuai prinsip yang dianut UUPP, termasuk kemanfaatan dan kepentingan nasional, maka perlindungan dari menjadikannya sebagai data awal tindakan hukum diharapkan dapat memberikan kemanfaatan nasional lebih besar berupa peningkatan kemakmuran rakyat. Sebagai hak asasi, rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu dilindungi Pasal 28G ayat (1) UUD. Sementara itu, hak atas perlindungan dari tuntutan hukum bersyarat tersebut Pasal 22 UUPP berlaku dalam pelaksanaan PP setara dengan Pasal 36A ayat (5) UUKUP. Perlindungan hukum demikian, juga sebagai hak asasi atas perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak dalam pelaksanaan UUPP dilindungi Pasal 28G ayat (1) UUD. Perlindungan dari tuntutan hukum Pasal 22 UUPP, selaras dengan Pasal 50 dan Pasal 51 KUHP. Pasal 50 KUHP menyatakan bahwa pelaku perbuatan untuk melaksanakan suatu peraturan perUUan tidak dapat dihukum. Pasal 51 KUHP menyebut bahwa pelaksana suatu perintah jabatan yang telah diberikan oleh suatu kekuasaan yang berwenang tidak dapat dihukum. Namun, pembebasan dari penuntutan hukum Pasal 22 UUPP harus memenuhi syarat:
pelaksanaan tugas atau jabatan sesuai peraturan perUUan, dan (2) pelaksanaan tugas tersebut dilakukan berdasar iktikad baik. Jika pelanggaran hukum dalam pelaksanaan UUPP ternyata dilakukan dengan iktikad tidak baik, maka mereka dapat dilakukan penuntutan hukum dan berkedudukan sama dengan para pelanggar hukum lainnya seperti ketentuan Pasal 27 ayat UUD 1945. Beberapa penghambat rendahnya penerimaan dan tax ratio negara berkembang antara lain:
korupsi, dan (2) pelarian dana/modal ke tax havens (Alink & van Kommer), maka pajak amat berkepentingan dengan pemberantasan korupsi dan pelarian dana guna restrukturisasi ekonomi agar dapat dipakai meningkatkan struktur pajak dan peningkatan penerimaan. Selain itu, putusan final tindak pidana korupsi dan pelarian dana (TPPU) juga, sesuai Pasal 13 ayat (5) dan Pasal 15 ayat (4) UUKUP memberikan potensi tambahan penerimaan sehingga Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 220 pemberantasan korupsi dan pelarian dana selaras dengan upaya peningkatan tax ratio . Keempat , Pasal 1 angka 7, Pasal 4 dan Pasal 5 UU 11/2016 dengan Pasal 28D ayat UUD 1945. Pasal 28D ayat (1) UUD menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Ada yang menyebut bahwa UT atas harta yang diperoleh sejak awal 1985 s/d akhir 2015 yang belum dilapor dengan tarif 2% s/d 10% mengakibatkan adanya ketidakpastian hukum yg adil dan perlakuan sama antara WP taat pajak (seperti karyawan yang di potong PPh Pasal 21) dengan pengemplang pajak yang diberi diskon besar2an. Di muka disampaikan, bahwa dengan adanya beda dasar pengenaan dengan nilai historis (bagi yang patuh) dan dengan nilai wajar kini harta (bagi yang tidak patuh), secara nominal jumlah UT jauh lebih besar dari pelunasan pajak pada saatnya. Selain itu, secara psikologis, mereka yang patuh sudah mersa lega saat itu, sedang mereka yang tidak patuh mungkin telah mengalami tekanan batin dan stres berkepanjangan dan baru agak lega setelah ada UUPP ini sehingga telah membayar ketidak adilan yang dianggap diperolehnya. Secara normatif, kepastian hukum ( legal certainty ) dalam perpajakan, menurut Adam Smith (1776; dari Safri Nurmantu, 2005), merujuk pada kepastian tentang: (a) pajak yang harus dibayar jumlahnya pasti, (b) siapa pembayarnya, (c) kapan harus dibayar, dan (d) kemana harus dibayar. Sementara itu, Jimly Asshiddiqie (2006), menyatakan bahwa legal certainty pajak terpenuhi jika sekurang2nya (1) unsur2 perhitungan objek kena pajak, dan (2) tarif pajak dimuat dalam UU. Dalam UUPP telah diatur secara tegas dan jelas subjek dan wajib pajak, objek dan pengecualian objek pengampunan, dasar dan saat pengenaan UT, tarif UT, cara penghitungan dan tempat membayar UT. Dengan memperhatikan analisis di atas, maka sudah memenuhi kriteria kepastian hukum seperti dimaksud Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dalam UU Perpajakan termasuk UUPP perlakuan nondiskriminatif, ekual dan netral atas subjek, secara legal dapat merujuk pada Penjelasan Pasal 31A UUPPh (UU 36/2008). Penjelasan itu menyatakan bahwa salah satu prinsip yang dipegang teguh dalam UU perpajakan [termasuk UUPP] adalah diterapkannya perlakuan perpajakan yang sama terhadap semua WP atau kasus perpajakan yang hakikatnya sama. Secara Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 221 teoretis, menurut Charles Meriam E (Mustaqim, 2008) keadilan tergambar dalam perumusan, pemungutan dan pembagian yang mencakup beberapa unsur, seperti:
a system of understanding (pengertian yang tegas dan jelas tentang pemungutan/pembagian), dan (2) procedures through which each is according (proses pemungutan/pembagian berdasar kriteria, formula atau indikator). Istilah keadilan dapat merujuk pada beberapa fenomena, seperti: (a) dari tujuan pemungutan, adil jika penerimaannya dipakai memberi manfaat rakyat melalui program kesejahteraan, (b) dari cakupan subjek pajak, adil jika dipungut secara umum dan merata, (c) dari kemampuan bayar, adil jika progresif, (d) dari sumber objek, adil bila dialokasi sesuai letak sumber, dan (e) adil dalam pelaksanaan jika semua hak pembayar pajak seperti fasilitas, keberatan, banding, peninjauan kembali, dan judicial review diselesaikan sesuai ketentuan. The best practices dalam sistem self assessment berdasar voluntary compliance adalah atas inisiasi sendiri warga harus:
mendaftar diri untuk NPWP/PKP, (2) menyampaikan SPT yang diisi benar dan lengkap dan melampirkan bukti lunas pajak, (3) mematuhi ketentuan administratif dan substantif UU Pajak, dan (4) melunasi pajak tepat waktu. Namun fakta tidak sedikit yang:
tidak mendaftar, (2) tidak menyampaikan SPT, (3) menghindar pajak, dan (4) ngemplang pajak. Demi keadilaan pajak, maka keempat kelompok tidak patuh itu harus dilakukan enforcement dan punishment . Namun karena keterbatasan kapasitas, sumberdaya dan dana, sarana dan prasarana, administrasi pajak belum mampu melakukannya. Karena itu, dicarikan solusi second best practices bersifat sementara, yaitu PP. Karena PP bersifat solusi second best , walaupun juga berdasar prinsip keadilan dan nondiskriminasi, tentu secara normatif tatarannya tidak sama dengan keadilan pada tataran the best options . Namun pada tataran substantif bisa lain indikasinya. Misalnya pada 1990 seorang dosen di Depok menerima gaji Rp 50.000 langsung dipotong PPh Pasal 21 sebesar 15% (UU PPh 1984) atau Rp 7.500 . Ia juga menerima penghasilan lain Rp 50.000 tanpa dipotong pajak dan tidak dilapor namun dibelikan tanah di Depok. Tanah itu sekarang nilai wajarnya Rp 50juta, sehingga uang tebusan 2% adalah Rp 1.000.000 . Mereka yang patuh langsung dipotong pajak pada saat yang tepat ( convenience ) dan mampu membayar ( ability to pay ) serta ada uang ( wherewithal to pay ), kemudian bisa tidur nyenyak dan makan enak. Tetapi yang membayar uang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 222 tebusan ternyata walaupun dengan tarif rendah, namun karena dasar pengenaannya nilai wajar sekarang ( fair value , bukan historical value Rp 50 ribu) secara nominal beban pajaknya lebih berat, dan baru bisa tidur nyenyak dan makan enak setelah 26 tahun. Terdapat unsur bounching effect atau akumulasi accretion (kenaikan nilai) selama 25 tahun yang menyulitkan pembayaran peserta PP yang perlu dicari solusinya. Kelima , Pasal 21 ayat (2) dan Pasal 23 UU 11/2016 dengan Pasal 28F UUD 1945. Pasal 28F UUD menyatakan bahwa tiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang ada. Sementara itu, Pasal 21 ayat (2) dan Pasal 23 memberi perlindungan kerahasiaaan data dan informasi perpajakan yang diserahkan WP yang sebetulnya telah lama diatur di Indonesia, seperti Pasal 44 Ordonansi Pajak Perseroan 1925, Pasal 21 Ordonansi Pajak Pendapatan 1944, dan Pasal 34 UUKUP (1983). Pasal 34 UUKUP pernah diujimaterikan ke MK pada tahun 2008 terhadap Pasal 23E UUD 1945. Dalam putusan MK Nomor 3/PUU-VI/2008 dinyatakan bahwa permohonan pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard ). Data dan informasi pajak adalah hak milik WP pemohon PP yang diserahkan ke Kemenkeu qq DJP dalam rangka permohonan PP dijamin sebagai hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam Pasal 28G ayat juncto Pasal 28H ayat (4) UUD1945. Selain meningkatkan kepatuhan, perlindungan kerahasiaan juga dimaksudkan untuk: (i) melindungi porivasi WP, (ii) sesuai dengan teori perlindungan negara atas jiwa dan harta benda warga, (iii) memberikan kepastian hukum, (iv) mencegah kesewenagan penguasa, dan (v) menghormati kontrak sosial negara dengan warga. Pengecualian atas kerahasiaan berlaku jika atas persetujuan WP data dapat diberikan. Walaupun pendapat lain menyatakan dalam kadar tertentu publikasi data dan informasi memungkinkan masyarakat menilai kinerja kantor pajak dan informan mengecek kewajaran pembayaran pajak WP tertentu, namun kebanyakan pendapat menghendaki perlindungan kerahasiaan data dan informasi perpajakan agar tidak terjadi penyalah gunaan data dan informasi serta kegaduhan publik, bisnis dan investor. Kemanfaatan untuk kepentingan nasional dan ketenangan dan kedamaian serta kondusivitas Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 223 pebisnis dan investor dengan merahasiakan data dan informasi perpajakan lebih besar dari publikasi data individu, sedang untuk kepentingan tertentu dapat diberikan data makro umum (Leon Yudkin, 1973). Pengecualian bahwa atas persetujuan WP, data dan informasi dapat diminta atau diberikan kepada pihak manapun merupakan suatu kemajuan dalam kerahasiaan data dan informasi perpajakan. Sebagai konsekwensinya, para pelanggar Pasal 21(2) UUPP diancam sanksi pidana. Karena data dan informasi yang disampaikan WP dalam rangka PP menjadi basis data perpajakan DJP, maka tidak dapat diminta atau diberikan siapapun, kecuali atas persetujuan WP sendiri, karena data dan informasi dimaksud merupakan miliknya. Sebagai penutup dapat kami sampaikan bahwa:
Pasal 1 angka 1 dan angka 7, Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 dan Pasal 5 UUPP tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945. Beberapa alasan kenapa program PP ditetapkan dengan UUPP:
selaras dengan pengaturan di beberapa negara, seperti Amerika (Sec 903 IRC), (2) UT sebagai pengganti PPh dan PPN dalam penerimaannya dipersamakan dengan PPh dalam APBN, maka berdasar Pasal 23A harus ditetapkan dengan UU, (3) jika ternyata deklarasi harta tidak benar maka dapat diterbitkan ketetapan PPh yang dapat ditagih dengan paksa, maka sesuai Pasal 23A harus ditetapkan dengan UU, (4) UT merupakan beban kepada rakyat, maka sesuai Pasal 23 UUD harus ditetapkan dengan UU, dan (5) secara yuridis PP menghapus PPh dan PPN terutang dan sanksi, diganti dengan UT. Pengganti pajak adalah pajak juga, agar punya dasar hukum yang kuat maka diatur dengan UU.
Pasal 19 ayat (1), ayat (2) dan Pasal 20 UU 11/2016 tidak bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945. Tujuan utama PP termasuk peningkatan penerimaan untuk pembiayaan pembangunan guna percepatan pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi. Agar tidak terbebani dengan berbagai tujuan nonfiskal, maka kepentingan lainnya, termasuk sengketa pelaksanaan PP harus dapat diselesaikan melalui peradilan yang cepat, sederhana dan murah. Karena itu, Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) UUPP mempercepat prosesnya melalui gugatan dan hanya diajukan ke Pengadilan Pajak sebagai peradilan khusus dilingkungan PTUN di bawah MA sesuai dengan Pasal 24 UUD. Data dan informasi PP Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 224 adalah hak milik WP yang diserahkan ke Kemenkeu dalam rangka permohonan PP dijamin sebagai hak asasi manusia seperti diatur dalam Pasal 28G ayat (1) juncto Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Sesuai international best practices agar mereka secara transparan menyampaikan deklarasi harta sebenarnya, maka diberikan perlindungan hukum. Karena dipakai sebagai bahan perluasan data dan informasi perpajakan, maka data dan informasi PP tidak dapat diserahkan kepada orang lain atau dijadikan sebagai dasar penyelidikan dan penegakan hukum pidana terhadap WP. Karena dalam Pasal 1 angka 1, yang diampuni hanya pidana pajak, perlindungan hukum Pasal 20 bersifat terbatas. Atas pidana selain pajak, jika menemukan data dan informasi dari sumber selain dalam rangka pelaksanaan UUPP, tetap dapat menjadi dasar penyelidikan, penyidikan, atau penuntutan pidana.
Pasal 11 ayat (1), ayat (3), ayat (5), Pasal 20 dan Pasal 22 tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Jika dikaitkan dengan sanksi Pasal 18 UUPP, Pasal 11 ayat (1), ayat (2), dan ayat (5) bersifat mengeliminir potensi sanksi ganda berdasar ketentuan UUKUP, sehingga yang berlaku hanya sanksi Pasal 18 UUPP bagi mereka yang mendeklarasi harta dan yang tidak. Di atas telah dijelaskan bahwa untuk mendorong tercapainya tujuan utama PP, yaitu penerimaan dan repatriasi harta untuk ditanamkan di Indonesia paling kurang 3 tahun dalam rangka restrukturisasi dan percepatan pertumbuhan ekonomi, Pasal 20 UUPP melindungi data dan informasi dari deklarasi harta yang diadministrasikan Kemenkeu atau pihak lain terkait pelaksanaan UUPP tidak dapat dijadikan sebagai dasar penindakan hukum sehingga mereka merasa aman dari ancaman agar jujur mendeklarasi hartanya, merepatriasi dan investasi di Indonesia selama paling kurang 3 tahun. Sesuai prinsip yang dianut UUPP, termasuk kemanfaatan dan kepentingan nasional, maka perlindungan dari menjadikannya sebagai data awal tindakan hukum diharapkan dapat memberikan kemanfaatan nasional lebih besar berupa peningkatan kemakmuran rakyat. Sebagai hak asasi, rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu dilindungi Pasal 28G ayat (1) UUD. Sementara itu, Pasal 22 juga merupakan perlindungan hukum bersyarat kepada Menkeu, Wamenkeu dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 225 pegawainya serta pihak lain agar dapat bekerja secara tenang bebas dari ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Perlindungan ini selaras dengan Pasal 50 dan Pasal 51 KUHP. Namun, jika mereka telah pelaksanaan tugasnya telah dilakukan berdasar iktikad tidak baik dan tidak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, maka gugurlah perlindungan Pasal 22 UUPP.
Pasal 1 angka 7, Pasal 4 dan Pasal 5 UU 11/2016 selaras dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Secara normatif, kepastian hukum ( legal certainty ) dalam perpajakan, menurut Adam Smith (1776; dari Safri Nurmantu, 2005), merujuk pada kepastian tentang: (a) pajak yang harus dibayar jumlahnya pasti, (b) siapa pembayarnya, (c) kapan harus dibayar, dan (d) kemana harus dibayar. Sementara itu, Jimly Asshidiqie (2006), menyatakan bahwa legal certainty pajak terpenuhi jika sekurang2nya:
perhitungan objek kena pajak, dan (2) tarif pajak dimuat dalam UU. Dalam UUPP telah diatur secara tegas dan jelas subjek dan wajib pajak, objek dan pengecualian objek pengampunan, dasar dan saat pengenaan UT, tarif UT, cara penghitungan dan tempat membayar UT. Dengan demikian,eksistensi Pasal 1 angka 7, Pasal 4 dan Pasal 5 UUPP sudah memenuhi kriteria kepastian hukum Pasal 28D ayat UUD 1945.
Pasal 21 ayat (2) dan Pasal 23 UU 11/2016 tidak bertentangan dengan Pasal 28F UUD 194 Pasal 21 ayat (2) memberi perlindungan kerahasiaan data dan informasi perpajakan yang diserahkan WP, sedang Pasal 23 mengatur sanksi hukum atas pelanggaran kerahasiaan tersebut. Perlindungan kerahasiaaan data dan informasi WP, telah lama diatur di Indonesia, seperti Pasal 44 Ordonansi Pajak Perseroan 1925, Pasal 21 Ordonansi Pajak Pendapatan 1944, dan Pasal 34 UUKUP (1983). Pasal 34 UUKUP pernah diujimaterikan ke MK pada tahun 2008 terhadap Pasal 23E UUD 1945. Dalam Putusan MK Nomor 3/PUU-VI/2008 dinyatakan bahwa permohonan pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard ). Data dan informasi pajak adalah hak milik WP pemohon PP yang diserahkan ke Kemenkeu qq DJP dalam rangka permohonan PP dijamin sebagai hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam Pasal 28G ayat (1) juncto Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Walaupun ada pendapat menyatakan dalam kadar tertentu publikasi data dan informasi memungkinkan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 226 masyarakat menilai kinerja kantor pajak dan informan mengecek kewajaran pajak WP tertentu. Namun, kebanyakan pendapat menghendaki perlindungan kerahasiaan data dan informasi perpajakan agar tidak terjadi penyalah gunaan data dan informasi serta kegaduhan publik, bisnis dan investor.
UUPP disusun atas kuasa beberapa pasal dalam UUD, seperti Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 23 dan Pasal 23A. Sebagai sistem pengaturan hukum dasar negara, semua pasal dalam UUD merupakan satu kesatuan sistem pengaturan yang saling mendukung dan memperkuat secara harmonis integral dan tidak dapat dianggap bertentangan satu sama lain, termasuk Pasal 23A, Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28F. Jika terjadi benturan kepentingan antara perpajakan dan kepentingan lain yang sama-sama dilindungi konstitusi mungkin diperlukan harmonisasi dari berbagai UU terkait.
Darussalam, S.E., Ak., M.Si., LL.M., Int. Tax.
LATAR BELAKANG: MEMAHAMI PERSOALAN PAJAK DI INDONESIA Dewasa ini, Indonesia memiliki ketergantungan yang semakin tinggi terhadap penerimaan dari sektor pajak. Pada tahun 2015, sebesar 70,54% penerimaan negara disumbangkan oleh pajak. Dalam rangka menciptakan ketahanan fiskal sekaligus pembiayaan pembangunan, membenahi persoalan-persoalan yang menghambat optimalisasi penerimaan pajak menjadi suatu tantangan yang harus dipecahkan oleh pemerintah. Sama halnya dengan negara berkembang lainnya, terdapat beberapa alasan semakin mengemukanya peran sektor pajak. Pertama , bantuan negara donor, hibah, maupun utang tidak lagi bisa diandalkan sebagai sumber pendanaan terutama karena adanya kesulitan likuiditas di tingkat global serta krisis yang berkelanjutan. Di sisi lain, proporsi utang yang terlalu berlebihan juga membahayakan kesinambungan fiskal dan berisiko secara politik. Kedua , adanya liberalisasi perdagangan telah menyebabkan penerimaan negara dari transaksi perdagangan internasional semakin mengecil. Terakhir , penerimaan dari perdagangan sumber daya alam tidak dapat lagi diharapkan dalam jangka panjang karena ketersediaan yang kian menipis serta tekanan harga komoditas di pasar global. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 227 Walau ketergantungan penerimaan pajak semakin meningkat, kinerja penerimaan pajak di Indonesia dapat dikatakan kurang menggembirakan. Selama tiga tahun terakhir, rasio penerimaan pajak terhadap PDB hanya sekitar 11% saja. Tidak hanya itu, Indonesia hanya memiliki tax effort sebesar 0,47, atau penerimaan pajak masih setengah dari apa yang menjadi potensinya. Terdapat beberapa hal yang ditenggarai sebagai penyebab kinerja yang buruk tersebut.
Besarnya Shadow Economy Di banyak negara, komponen terbesar dari tax gap, yaitu perbedaan antara jumlah aktual pajak yang dipungut dan jumlah potensi pajak yang seharusnya dapat dipungut, ^ berasal dari aktivitas shadow economy . Hal ini tidak dapat dilepaskan dari masih banyaknya sektor-sektor yang sulit untuk dipajaki baik itu sektor informal, black market, UMKM, dan sebagainya. Shadow economy sendiri dapat didefinisikan sebagaisemua aktivitas ekonomi yang berkontribusi terhadap perhitungan Pendapatan Nasional Bruto (PNB) maupun Pendapatan Domestik Bruto (PDB), tetapi aktivitas tersebut sama sekali tidak terdaftar. Salah satu karakteristik terpenting dari shadow economy adalah: mereka enggan untuk menyediakan informasi yang relevan kepada otoritas pajak, sehingga timbul kesulitan bagi otoritas pajak dalam mengakses informasi. Ukuran shadow economy di berbagai negara sangat bervariasi. Walau demikian, jumlah shadow economy di negara berkembang pada umumnya lebih besar daripada di negara maju karena struktur perekonomiannya masih didominasi oleh sektor tradisional dan non-formal. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Schneider, Buehn dan Montenegro, rata-rata jumlah transaksi shadow economy di Indonesia pada kurun waktu antara tahun 1999-2007 mencapai angka 18,9% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
OPSI KEBIJAKAN DAN PILIHAN YANG REALISTIS Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan mengenai kondisi sektor pajak di Indonesia dan persoalan-persoalan yang menyertainya. Lalu, apakah pilihan kebijakan yang tersedia dan dapat diambil oleh pemerintah guna memperbaiki Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 232 hal-hal tersebut? Di bawah ini akan dijelaskan kebijakan-kebijakan pajak yang dapat diambil, yaitu sebagai berikut:
884, artinya 1 petugas pajak harus melayani 884 penduduk tiap tahunnya. Rasio ini berada jauh di bawah rasio di negara-negara maju, yang berkisar antara 1 : 732 penduduk (Jerman) hingga 1 :
666 (Amerika Serikat). Isu keterbatasan kapasitas ini tidak dapat dilepaskan dari minimnya otonomi kewenangan yang dimiliki Ditjen Pajak dalam bidang SDM, organisasi, dan penganggaran. Kapasitas lembaga Ditjen Pajak sendiri belumlah cukup. Data akan sangat dibutuhkan dalam memetakan perilaku kepatuhan dari wajib pajak ( compliance behavior ). Kemauan mengungkap data sebagai wujud dari transparansi juga merupakan elemen penting dari enhanced relationship, yaitu suatu hubungan yang dibangun atas dasar rasa saling percaya ( mutual trust ) antara wajib pajak dan otoritas pajak. Otoritas pajak membutuhkan suatu data yang relevan, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 233 terkini, dan andal dalam implementasi risk management yang kemudian dapat dipergunakan sebagai alat memetakan potensi penerimaan, alat verifikasi dalam pemeriksaan, hingga upaya penagihan wajib pajak. Informasi mengenai harta wajib pajak juga dapat digunakan sebagai basis cross-referencing maupun kesesuaian data ( data matching ) untuk mendeteksi adanya perilaku tax evasion atau juga praktik pencucian uang yang melibatkan tax fraud. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika terdapat korelasi positif antara ketersediaan data dan tingkat kepatuhan . Dalam konteks Indonesia, tidak adanya integrasi data keuangan, kependudukan, serta perpajakan telah membuat Ditjen Pajak sulit untuk membuktikan kebenaran SPT PPh Tahunan wajib pajak. Lebih lanjut lagi, upaya mengakses data perbankan untuk kepentingan pajak terbentur persoalan hukum dan penolakan dari publik. Dengan demikian, opsi penegakan hukum pada dasarnya tidak feasible terutama mengingat kapasitas kelembagaan Ditjen Pajak serta terbatasnya akses data dan informasi.
Menunggu Perubahan Lanskap Pajak di Masa yang Akan Datang Opsi kebijakan yang kedua berangkat dari adanya prospek perubahan lanskap pajak di masa yang akan datang. Adanya keinginan untuk melakukan reformasi pajak, termasuk adanya transformasi kelembagaan otoritas pajak, serta kerjasama global di bidang pertukaran informasi secara otomatis telah menciptakan bayangan situasi pajak yang akan lebih baik. Akan tetapi, apakah pilihan kebijakan untuk tidak melakukan sesuatu terobosan ( business as usual ) sembari menunggu datangnya perubahan tersebut perlu untuk dilakukan? Adapun perubahan yang dimaksud adalah sebagai berikut:
PENGAMPUNAN PAJAK: JUSTIFIKASI DI INDONESIA Paling tidak terdapat lima justifikasi mengapa pengampunan pajak perlu dilaksanakan di Indonesia di 2016 ini.
Rekonsiliasi dan Pembaharuan Kontrak Fiskal Pajak sendiri pada dasarnya merupakan bentuk kontrak fiskal antara negara dengan masyarakat, di mana bentuk idealnya mengacu pada adanya suatu kontribusi dari masyarakat yang kemudian dipertukarkan dengan suatu layanan, penyediaan barang publik serta manfaat yang disediakan oleh negara. Saat ini kontrak fiskal di Indonesia masih belum dalam kondisi ideal, ditandai dengan banyaknya free rider yang menikmati fasilitas publik secara gratis (tidak membayar pajak dengan fair ) serta fasilitas publik yang tidak merata. Di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, terdapat keinginan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 242 yang kuat untuk mewujudkan kontrak fiskal yang lebih baik di mana negara dan masyarakat secara bersama-sama menciptakan hubungan timbal balik yang setara, saling percaya, dan menguntungkan. Melalui program pengampunan pajak, pemerintah juga memberikan sinyalemen kepada wajib pajak bahwa ada suatu kepercayaan dan kemauan untuk “mengesampingkan dosa masa lalu” dari wajib pajak (sekaligus juga menyiratkan pengakuan atas kesalahan otoritas pajak di masa lalu). Pengampunan pajak juga akan membuka ruang rekonsiliasi nasional yang akan memberikan legitimasi yang lebih besar bagi pemerintah saat ini. Legitimasi tersebut merupakan bentuk kepercayaan dan bentuk dukungan masyarakat karena adanya kemauan pemerintah untuk ‘menatap ke depan’. Dengan adanya dukungan tersebut, pada hakikatnya telah terjalin suatu kontrak fiskal di mana kemudian hari para pendukung akan berkontribusi dengan membayar pajak . Akibatnya, kebijakan pajak yang terjadi pada dasarnya adalah suatu kesepakatan formal dan mengikat antara warga negara dengan negara.
DESAIN PENGAMPUNAN PAJAK Desain pengampunan pajak juga mempertimbangkan konteks situasi pajak di Indonesia serta dalam rangka menemukan relevansi dengan apa yang menjadi justifikasinya. Bagian ini menjelaskan tinjauan kritis atas kerangka hukum yang ada dalam program pengampunan pajak. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 245 1. Acuan Hukum Pertama, dari sisi kerangka hukum. Prinsip demokrasi juga mensyaratkan bahwa pengenaan pajak harus berdasarkan undang-undang dan bukan administrative regulation. Terlebih jika hal tersebut mengatur mengenai subjek, objek, tarif dan basis pajak, serta cara atau prosedur administrasi pelunasan kewajiban pajaknya. Dengan demikian, sifat memaksa yang terdapat dalam pajak idealnya diatur melalui suatu undang-undang. Walaupun bersifat ‘memaksa’, kekuasaan untuk mengenakan pajak dibatasi melalui penerapan prinsip-prinsip yang diperkenalkan oleh Adam Smith yaitu: (i) equality (dikenakan sesuai kemampuan membayar atau ability to pay ), (ii) prinsip certainty (harus mempunyai kepastian hukum), (iii) convenience (dikenakan pada saat yang tidak menyulitkan), dan (iv) economy (biaya pemungutan dan kepatuhan seminimal mungkin). Sifat ‘memaksa’ tersebut tunduk pada keempat elemen tersebut dan tercermin dalam Pasal 2 ayat (1) UU Pengampunan Pajak.
Fasilitas yang Diberikan Desain program pengampunan pajak paling tidak memberikanempatfasilitas yang berkaitan dengan kewajiban PPh, dan PPN atau PPnBM, yaitu: (i) penghapusan pajak terutang yang belum diterbitkan ketetapan pajak, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan, dan tidak dikenai sanksi pidana di bidang perpajakan, untuk kewajiban perpajakan dalam masa pajak, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 248 bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak, sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir (2015); (ii) Penghapusan sanksi administrasi perpajakan berupa bunga, atau denda, untuk kewajiban perpajakan dalam masa pajak, bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak, sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir; (iii) Tidak dilakukan pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, atas kewajiban perpajakan dalam masa pajak, bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak, sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir; dan (iv) Penghentian pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, dalam hal wajib pajak sedang dilakukan pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan atas kewajiban perpajakan, sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir, yang sebelumnya telah ditangguhkan. Dari fitur-fitur tersebut terlihat bahwa pengampunan pajak kali ini diberikan secara penuh ( fully fledge ). Terdapat dua alasan pemberian fasilitas-fasilitas tersebut. Pertama, untuk memastikan bahwa program ini menarik dan dapat mendorong partisipasi yang luas . Dengan demikian, dapat dimanfaatkan oleh seluruh wajib pajak yang berada pada kelompok 2, 3, dan 4 sesuai piramida kepatuhan. Kedua, pemberian fasilitas tersebut telah m empertimbangkan aspek proporsionalitas dalam hukum pajak, yaitu pemilihan cara yang tepat untuk mencapai tujuannya. Tujuan dari program pengampunan pajak ini adalah sesuatu yang lebih luas dan strategis yang meliputi upaya repatriasi, peningkatan basis pajak, serta penerimaan. Mencapai ketiga tujuan sekaligus merupakan hal yang sulit dan membutuhkan suatu desain pengampunan pajak yang cakupannya juga luas. Selain itu, aspek proporsionalitas juga terlihat dari keseimbangan antara reward (fasilitas- fasilitas) dengan punishment (sanksi bagi pihak yang tidak memanfaatkan namun tidak patuh, maupun pihak yang memanfaatkan namun tidak jujur).
PROSPEK KEBERHASILAN PENGAMPUNAN PAJAK Kriteria keberhasilan dari pengampunan pajak seringkali disederhanakan hanya sebatas penerimaan pajak. Agaknya akademisi yang berkutat dalam penelitian mengenai pengampunan pajak memiliki bias secara statistik. Hal ini dapat dimaklumi karena data yang tersedia untuk publik adalah dana repatriasi maupun penerimaan tambahan. Namun, harusnya keberhasilan pengampunan pajak tidak hanya dilihat sebatas pada penerimaan apalagi tujuan utama program pengampunan pajak bukanlah hal tersebut. Kepatuhan pasca pengampunan pajak atau jangka panjang juga perlu dilihat sebagai indikator kesuksesan . Jika ditinjau dari statistik hasil dari program pengampunan pajak periode pertama (1 Juli-30 September 2015), terdapat sinyal positif . Pertama, partisipasi dari program ini sangat besar yaitu lebih dari 370.000 wajib pajak yang mana terdapat penambahan wajib pajak yang sama sekali baru sebesar 1856. Selain itu, periode pertama ini juga diikuti oleh 62.354 wajib pajak yang selama ini terdaftar namun belum pernah melaporkan SPT sama sekali. Kedua, jumlah harta yang dilaporkan sebesar Rp3.620 triliun yang sebagian besar merupakan deklarasi harta dalam negeri. Kedua indikator ini jelas menunjukkan sinyalemen bahwa upaya ekstensifikasi dan perluasan basis Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 251 pajak membuahkan hasil yang positif . Terakhir, walaupun kurang tepat untuk diperbandingkan, uang tebusan (penerimaan) yang diperoleh di periode pertama sudah mencapai Rp89,1 triliun atau 0,75% dari PDB Indonesia atau jauh lebih besar dari penerimaan program pengampunan pajak di negara- negara lainnya. Dengan demikian, dasar pemikiran diadakannya program pengampunan pajak sangat relevan dengan tiga tujuannya, yaitu: (i) mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi melalui pengalihan harta, yang antara lain akan berdampak terhadap peningkatan likuiditas domestik, perbaikan nilai tukar Rupiah, penurunan suku bunga, dan peningkatan investasi; (ii) mendorong reformasi perpajakan menuju sistem perpajakan yang lebih berkeadilan serta perluasan basis data perpajakan yang lebih valid, komprehensif, dan terintegrasi; dan (iii) meningkatkan penerimaan pajak, yang antara lain akan digunakan untuk pembiayaan pembangunan. Atau dengan kata lain, terdapat keterkaitan yang jelas antara ketiga tujuan tersebut dengan pengampunan pajak. Melihat indikator pencapaian dalam periode pertama UU Pengampunan Pajak di atas serta antusiasme masyarakat untuk ingin tahu lebih mendalam lagi terhadap UU Pengampunan Pajak dan pajak itu sendiri, dapat dikatakan UU Pengampunan Pajak telah menjalankan perannya sebagai jembatan transisi untuk menuju babak baru perpajakan Indonesia. Tentu ini akan menjamin kesinambungan penerimaan pajak untuk menopang keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M., Langkah Pengampunan Pajak di Indonesia bukan sesuatu hal baru karena dalam sejarah perpajakan Indonesia, telah terjadi sebanyak 3(tiga) kali yaitu pada tahun 1964, tahun 1984, dan tahun 2008; terakhir keempat kali, pada tahun 2016 dengan UU Nomor 11 Tahun 2016. Pemohon LBH Jakarta Raya juga telah mengakui dan membenarkan langkah pengampunan pajak tersebut dan bahkan telah mengadopsi pengertian mengenai pengampunan pajak ( tax amnesty )-halaman 22- sebagai berikut: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 252 “Tax Amnesty” is a limited time offer by the government to a specified group of taxpayers to pay a defined amount, in exchanger for forgiveness of a tax liability(including interest and penalites), relating to a prevous tax period(s), as well as freedom from legal prosecution”. Bertolak dari definisi mengenai pengampunan pajak tersebut maka pengampunan pajak memiliki 3 (tiga) ciri yaitu: (a) penawaran dari pemerintah atau bukan kemauan wajib pajak, (b) hanya ditujukan untuk dan atas kemauan kelompok pembayar pajak tertentu saja, (c) melaksanakan kewajiban pajak dengan nilai tertentu dengan kompensasi pengampunan dan imunitas dari penuntutan dari negara. Langkah yang sama juga telah dilakukan di beberapa negara sebagaimana telah dicantumkan dalam keterangan Pemerintah dan juga dalama permohonan pemohon LBH Jakarta Raya, sehingga langkah pengampunan pajak melalui UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, bukan langkah yang tidak tepat, ganjil atau tersendiri melainkan telah diakui secara universal dan secara lokal bertujuan untuk mempercepat proses pengembalian harta kekayaan warga negara Indonesia yang tersebar di negara lain melalui deklarasi atau repatriasi aset. Dalam pandangan ahli, langkah pengampunan pajak di dalam dunia praktik di bidang keuangan dan perpajakan telah merupakan hukum kebiasaan yang dianut dan dipraktikan oleh banyak negara sejak lama, sehingga tidaklah benar jika dinilai merupakanlangkah hukum yang keliru atau tidak tepat dengan berlakunya UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, selanjutnya ditulis, UU PA 2016. Dalam pembacaan dan pengamatan ahli, Pemohon telah menyampaikan permohonan uji materi 10 (sepuluh) pasal ketentuan dalam UU PA 2016 terhadap 5 (lima) pasal ketentuan dalam UUD 194 Ketentuan UU PA 2011 yang diuji materielkan adalah, Pasal 1 sampai dengan Pasal 5, Pasal 11, Pasal 20 sampai dengan Pasal 23 terhadap Pasal 23A, Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28F UUD 1945 Inti masalah pengujian sebagaimana diajukan Pemohon adalah, (1) masalah Kepastian hukum, (2) Persamaan di muka hukum, (3) Keadilan, dan (4) pertentangan sifat pajak di dalam UU Nomor 5 Tahun 2008 tentang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 253 Perubahan Keempat Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan, yang bersifat memaksa dan ketentuan UU PA 2016 yang bersifat “mengampuni” atau “tidak memaksa”. Pendapat ahli membahas keempat masalah inti dari permohonan pengajuan uji materiel sebagaimana diuraikan di atas (1) Masalah Kepastian Hukum Kepastian hukum ( legal certainty ) telah diakui secara universal dalam sistem hukum dunia ( world’s legal system ) merupakan salah satu tujuan hukum dari 4 (empat) tujuan hukum lain, yaitu: ketertiban, keadilan, dan kemanfaatan. Kepastian hukum ( legal certainty ) dalam konteks hukum pidana memiliki 3 (tiga) aspek yaitu, lex scripta , hanya diakui hukum tertulis, lex stricta , hukum harus ditafsirkan sesuai dengan yang ditulis, dan lex certa , hukum harus jelas dan tidak multi-tafsir. Dalam konteks ketiga aspek tersebut disimpulkan bahwa kepastian hukum harus diartikan dalam lingkup hukum yang tertulis saja dengan kata lain tidak diakui hukum yang tidak tertulis atau sering dikenal sebagai paham legisme. Paham legisme tercermin dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang dikenal sebagai asas legalitas ( legality principle atau legaliteit beginsel ). Asas legalitas dalam konteks ketentuan KUHP tersebut harus diartikan dalam 3 (tiga) penafsiran yaitu: (a) pengakuan hukum tertulis, (b) dilarang tafsir analogi, dan (3) hukum tidak berlaku surut (non-retroaktif), kecuali untuk kepentingan keuntungan terdakwa. UUD 1945 tidak menganut paham legisme dalam arti bahwa tafsir terhadap ketentuan-ketentuan di dalam UUD 1945 tidak memutlakan paham tersebut. Ketidakmutlakan ketentuan UUD 1945 tercermin di dalam (1) Alinea keempat Mukadimah UUD 1945, (2) Bab I Pasal 1 ayat (3) juncto Bab XIV UUD 1945, dan (3) Pasal 28J Bab XA UUD 1945 mengenai Hak Asasi Manusia, dan (4) Hak Prerogatif Presiden sebagai Kepala Negara tercantum dalam Pasal 14 UUD 1945. Alinea Keempat Mukadimah UUD 1945 pada hakikatnya pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan “ tujuan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 254 melaksanakan ketertiban dunia…”. Di dalam Alinea Keempat tidak dituntut secara eksplisit tujuan penegakan hukum selain ikut melaksanakan ketertiban dunia. Namun di dalam Bab I Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 juncto Bab XIV UUD 1945 jelas bahwa rangkaian kedua bab tersebut menuntut agar Negara Hukum yang dibentuk harus dapat mengawal dan turut menciptakan Kesejahteraan Rakyat Indonesia (Keadilan Sosial), tetapi tidak semata-mata Keadilan Hukum. Hal ini dapat dipahami karena masalah Keadilan Sosial tidak akan dapat tercapai jika tidak ada ketertiban dan kepastian tegaknya hukum dalam kehidupan bangsa dan negara. Kepastian hukum dan Kesejahteraan rakyat merupakan conditio sine qua non dalam bingkai kehidupan bangsa dan negara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Ada hubungan saling pengaruh antara Keadilan Sosial dan Keadilan Hukum. Dalam konteks ini terdapat hubungan erat antara Bab I Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dan Bab XIV Pasal 33 UUD 1945, yaitu Keadilan Hukum harus dibaca dan ditafsirkan dalam rangka tujuan mencapai Keadilan Sosial sehingga ketertiban dan kepastian harus merupakan fondasi terciptanya Keadilan Sosial, yaitu setiap orang akan memperoleh keadilan sesuai dengan hak, kewajiban dan kedudukannya dalam masyarakat, secara tertib dan pasti. Dalam konteks penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia, Pasal 28J UUD 1945 telah menisbikan pengakuan dan penghormatan hak asasi manusia atas pertimbangan, “ untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis”. Merujuk pada ketentuan Pasal 28J UUD 1945 di atas, UU PA 2016 adalah undang-undang yang bersifat lex specialis yang bertujuan menciptakan kesejahteraan rakyat in casu Keadilan Sosial melalui peningkatan penerimaan pajak dalam bentuk repatriasi dan deklarasi harta kekayaan pajak. Semakin luas basis data perpajakan maka semakin besar jumlah wajib pajak, dan semakin besar jumlah wajib pajak semakin meningkatkan penerimaan negara; semakin besar penerimaan negara dari pajak meningkatkan intensitas gerak roda perekonomian nasional mendekatkan tujuan mencapai kesejahteraan sosial. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 255 Ketidakmutlakan kepastian hukum bukan masalah baru dan tidak dibolehkan sepanjang berada dalam kerangka mencapai tujuan mulia sebagaimana ditetapkan di dalam Konstitusi UUD 1945. Mengunggulkan kepastian hukum tidak selamanya benar dan berlaku untuk setiap orang, setiap waktu dan setiap keadaan, dan akan selalu terdapat dan terjadi kekecualian-kekecualian di dalam menata dan mengendalikan jalannya pemerintahan. Selain ketentuan UUD 1945 di atas, Presiden dalam keadaan memaksa dapat mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, yang merupakan prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan dalam keadaan memaksa sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Di dalam tataran operasional penyelenggaraan pemerintahan telah dibolehkan tindakan pejabat pemerintahan dalam keadaan darurat sebagaimana telah ditentukan dalam UU Darurat Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya, baik keadaan darurat sipil, darurat militer maupun dalam keadaan darurat perang. Mendalami dua ketentuan UUD 1945 dan dua ketentuan UU sebagaimana diuraikan di atas maka dapat disimpulkan bahwa, di dalam penyelenggaraan negara sistem hukum Indonesia tidak mengenal secara mutlak tentang kepastian hukum sehingga tafsir atas kepastian hukum tidak dapat dimutlakan dan diasingkan dari tafsir tentang keadilan dan kemanfaatan, dan ketiganya harus ditafsirkan dalam satu kesatuan dan dalam satu kesatuan hubungan timbal balik. Berdasarkan tafsir komprehensif tersebut maka tafsir kepastian hukum harus disesuaikan dengan keadaan ( circumstances ) waktu ( tempus ) dan tempat kejadian ( locus ) suatu peristiwa. Contoh ketidakmultakan aspek kepastian hukum dalam menghadapi peristiwa sosial, antara lain, pemberlakuan hukum retroaktif dalam penyelesaian perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan pembentukan Pengadilan HAM yang bersifat Ad Hoc hanya untuk tempus dan locus delicti tertentu saja (Pasal 43 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia). Di dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan, berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP), Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 256 penyelenggara negara dapat mengambil tindakan diskresioner, yaitu keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan, yaitu dalam hal peraturan perundang- undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur,tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan (Pasal 1 angka 9). Diskresi hanya dibolehkan dengan tujuan:
Melancarkan penyelenggaraan pemerintahan;
Mengisi kekosongan hukum;
memberikan kepastian hukum, dan d. Mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum [Pasal 22 ayat (2)]. Di dalam hukum internasional, kepastian hukum memperoleh alas hukum kekecualiannya sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 Konvensi PBB tentang Hak Sipil dan Hak Politik ( International Covenant on Civil and Political Rights (1966) dan Pasal 15 Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (1950) Pasal 4 Konvensi PBB tentang Hak Sipil dan Hak Politik Tahun 1966: “ In time of public emergency which threatens the life of the nation and the existence of which is officially proclaimed, the State Parties to the present Covenant may take such measures derogating from the obligations under the present Covenant to the extent strictly required by the exigencies of the situation, provided that such measures are not inconsistent with their other obligations under international law and do not involve discrimination solely on the ground of race, colour, sex, language, religion or social origin ” Pasal 15 Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia: “ In time of war or other public emergency threatening the life of the nation any High Contracting Parties may take such measures derogating from its obligations under the Convention to the extent strictly required by the exigencies of the situation, provided that such measures are not inconsistent __ with its other obligations under international law ” Ahli berpendapat bahwa pemberlakuan UU Pengampunan Pajak 2016 adalah kebijakan pemerintah dalam “keadaan darurat” dalam bidang penerimaan negara dari pajak sebagaimana dijelaskan dalam Keterangan Pemerintah dihadapan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi RI pada beberapa minggu lalu, antara lain sebagai berikut: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 257 “ Berdasarkan data Pemerintah dapat kami sampaikan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami tren perlambatan sejak tahun 2012. Pada tahun 2012 tercatat sebesar 6,0%, tahun 2013 tercatat sebesar 5,6%, tahun 2014 tercatat sebesar 5,0%, dan tahun 2015 tercatat sebesar 4,8%. Untuk mengatasi pertumbuhan ekonomi nasional yang melambat ini, tentu diperlukan sumber-sumber pembiayaan baik dari sektor publik maupun sektor swasta” . Berdasarkan keterangan Pemerintah yang telah disampaikan dihadapan sidang Majelis ini, telah terang dan jelas bagaimana situasi dan kondisi ekonomi nasional bangsa Indonesia saat ini khususnya yang terjadi dalam penerimaan negara dari pajak sehingga sangat tepat kiranya jika situasi dimaksud dikaitkan dengan doktrin dan ketentuan hukum internasional tersebut di bawah ini. Selain dua konvensi internasional tersebut di atas, dalam hukum internasional mengakui, “ Principle of Exceptional Threats ”, yaitu prinsip hukum yang diterapkan atas situasi/keadaan masyarakat dalam keadaan darurat atau “ public emergency ” yang dibedakan dengan situasi masyarakat dalam keadaan normal ( normaly situation ). Situasi masyarakat dalam keadaan darurat tersebut memiliki 4 (empat) karakteristik sebagai berikut: _(1)It must be actual or imminent; _ _(2)Its effects must involve the whole nations; _ _(3)The continuance of the organized life of the community must be threatened; _ and (4)The crisis or danger must be exceptional, in the normal measures or restrictions, permitted by the Convention for the maintenance of public safety, health and order, are plainly inadequatee Berdasarkan uraian di atas jelas bahwa pemberlakuan UU Pengampunan Pajak telah sejalan baik berdasarkan Konstitusi UUD 1945, peraturan perundang-undangan, juga dalam konteks hukum internasional yang berlaku selain telah sesuai dengan asas-asas dan doktrin hukum pidana yang telah diakui secara universal. Pemberlakuan UU PA 2016 tidak ada relevansinya dengan masalah ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan asas persamaan di muka Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 258 hukum apalagi dihubungkan dengan ketentuan Pasal 20 UU PA 2016 yang berbunyi sebagai berikut: “ Data dan informasi yang bersumber dari Surat Pernyataan dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementrian Keuangan atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang ini tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan dan/atau penuntutan terhadap Wajib Pajak ”. Penjelasan pasal tersebut menyatakan sebagai berikut: “ Tindak pidana yang diatur meliputi Tindak Pidana di Bidang Perpajakan dan tindak pidana lain ” Ketentuan Pasal 20 dan Penjelasannya menegaskan bahwa, setiap Wajib Pajak yang ikut serta dalam UU PA 2016 memperoleh proteksi dari Negara yaitu tidak akan dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan khusus tindak pidana perpajakan dan/atau tindak pidana lain, termasuk tindak pidana korupsi atau tindak pidana pencucian uang. Proteksi dari Negara terhadap setiap Wajib Pajak perserta UU PA 2016 merupakan insentif dengan tujuan memperluas basis data perpajakan dan khususnya memberikan dorongan kepada setiap orang untuk mengikuti program pengampunan pajak di satu sisi dan di sisi lain, negara/pemerintah memperoleh peningkatan pemasukan negara dari pajak dan tujuan perluasan basis data pajak tercapai. Dalam konteks tujuan yang bersifat “simbolik mutualisme” inilah hendaknya program pengampunan pajak versi UU PA 2016 harus dinilai bukan terhadap tujuan kepastian hukum.
Persamaan di muka hukum Pengertian mengenai “persamaan di muka hukum”, harus dimaknai sejalan dengan pengertian keadilan hukum, bukan keadilan sosial. Pengertian persamaan di muka hukum, harus dimaknai dalam konteks perlakuan ( treatment ) aparatur hukum terhadap setiap warga negara terlepas dari status sosial, ekonomi, politik dan Etnis. Apakah yang dimaksud dengan “perlakuan” ( treatment ) dalam konteks persamaan di muka hukum? Persamaan di muka hukum, dimaksudkan langkah dan tindakan aparatur hukum harus tidak bertentangan dengan prinsip proses peradilan yang fair (jujur) dan imparsial (tidak memihak) termasuk pada fakta hukum yang ditemukan selama proses penyelidikan dan penyidikan. Prinsip peradilan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 259 dimaksud adalah semua ketentuan hukum acara yang berlaku saat ini (hukum positif) termasuk hak setiap orang untuk memperoleh bantuan hukum dan didampingi penasehat hukum, dan melakukan upaya hukum yang diatur dalam UU KUHAP. Persamaan di muka hukum di dalam konteks kewajiban perpajakan sesuai dengan UU Nomor 5 Tahun 2008 Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan dan ketentuan UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, adalah ketentuan-ketentuan perpajakan yang memberikan kewajiban kepada setiap orang untuk memenuhi kewajiban bayar pajak sesuai dengan nilai harta kekayaan yang dimiliki oleh setiap wajib pajak yang bersangkutan yang berbeda-beda satu sama lain. Kesesuaian antara kewajiban bayar pajak (kemampuan ekonomi) dan besaran nilai harta kekayaan wajib pajak itulah bentuk persamaan di muka hukum menurut hukum perpajakan. Inti dari persamaan di muka hukum dalam konteks perpajakan adalah, kewajiban bayar pajak bagi setiap orang sesuai dengan besaran nilai harta kekayaan yang dimilikinya. Beranjak dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa persamaan di muka hukum tidak dapat digeneralisasi untuk semua keadaan, semua orang dan setiap waktu melainkan harus bersifat efisien dan efektif memberikan kontribusi positif terhadap percepatan pembangunan ekonomi Indonesia. Persamaan di muka hukum tidak dapat dihubungkan dengan konsep diskriminasi karena konsep terakhir hanya ditujukan untuk 6 (enam) hal yaitu: diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau latar belakang sosial (Pasal 15 ICCPR 1996). Persamaan di muka hukum atau “ equality before the law ” lebih relevan di dalam konteks “ criminal justice system ” bukan dalam konteks “ State Policy ” mencapai tujuan Kesejahteraan Rakyat.
Keadilan Masalah Keadilan dalam konteks permohonan aquo adalah keadilan berlandaskan hukum, tidak dalam pengertian keadilan sosial karena dua macam keadilan tersebut berbeda satu sama lain; keadilan hukum tidak mutatis mutandis keadilan sosial begitupula sebaliknya. Contoh konkrit, pengertian normatif, “hak milik adalah hak yang terkuat dan terpenuh” jika diperbandingkan dengan pengertian “hak milik adalah berfungsi sosial” Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 260 terdapat di dalam satu UU yang sama yaitu UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria; kedua pengertian tersebut mencerminkan relativitas keadilan dari sudut kepentingan hukum dan kepentingan sosial. Contoh lain, dalam Statuta Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court- ICC tahun 1998), sekalipun tujuannya adalah mengakhiri “ impunity ” terhadap pelanggaran HAM berat akan tetapi masih di buka celah hukum untuk melakukan rekonsiliasi antara pelaku dan korban dengan berujung pada kompensasi dan restitusi. Ketentuan contoh tersebut sekali lagi menegaskan bahwa kepastian hukum tidak bersifat final dan bahkan kepastian hukum dapat terjadi di dalam dan untuk menyelamatkan ketidak pastian hukum itu sendiri dalam masyarakat. Selain secara normatif terdapat inkonsistensi pengertian keadilan sebagaimana diuraikan di atas, kita ketahui terdapat adagium, bahwa “keadilan tertinggi adalah ketidakadilan tertinggi” (Cicero) yang mencerminkan bahwa ternyata terdapat keragu-raguan dari para ahli filsafat barat itu sendiri terhadap konsep keadilan yang dilahirkannya sehingga menjadi tidak aneh atau tidak keliru jika memang dalam tataran konsepsional dan operasional, keadilan adalah sesuatu yang tidak nyata, tidak dapat dirasakan, dan tidak dapat dipastikan dan diharapkan, dalam kata-kata lain, ahli menyatakan bahwa keadilan (hukum) bagaikan fatamorgana dalam kehidupan masyarakat. Apakah dengan demikian, konsep keadilan masih relevan dipersoalkan dalam kehidupan masyarakat, jawaban ahli, bahwa masih relevan tetapi bukan satu-satunya tolok ukur kesejahteraan sosial karena kesejahteraan sosial hanya dapat diwujudkan dalam dan melalui keadilan sosial-bukan keadilan hukum semata-mata. Dalam konteks Pemberlakuan UU Pengampunan Pajak maka konteks Keadilan harus dipandang dari sudut Keadilan Distributif bukan Keadilan Retributif dengan alasan, bahwa (1) UU Pengampunan Pajak berada dalam ranah hukum administrasi, bukan hukum pidana, (2) UU Pengampunan Pajak memberikan hak dan kewajiban bayar pajak dengan uang tebusan yang sesuai dengan nilai harta kekayaan yang dimiliki wajib pajak, hakikat UU Pengampunan Pajak sama dengan UU tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan Perubahan Keempat, Tahun 2008, yaitu menganut sistem “ self- Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 261 assessment ” bukan sistem “ Official assessment ” sehingga tidak terdapat ketidak-adilan bagi setiap orang yang mengikuti dan tunduk pada UU Pengampunan Pajak. Sesungguhnya ketentuan Pasal 23A UUD 1945, pada kalimat “yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam Undang-Undang”, merupakan ketentuan yang bersifat logis dan hanya menegaskan bahwa pengaturan yang bersifat memaksa hanya dapat dilaksanakan secara sah jika dalam bentuk Undang-Undang in casu penerimaan negara dari pajak atau pungutan lain. UU Pengampunan Pajak 2016 tidak bersifat memaksa; sebaliknya dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang a quo , “setiap subjek pajak berhak mendapat pengampunan pajak”. Dalam konteks UU Pengampunan Pajak, yang berintikan metoda “ self- assessment ” dikaitkan dengan Pasal 23A UUD 1945, justru mencerminkan keadilan bagi setiap wajib pajak, perorangan atau badan. Pasal 23A UUD 1945 juga harus dibaca dan ditafsirkan sejalan dengan ketentuan Pasal 18J UUD 1945 mengenai batasan-batasan kebolehan penyimpangan terhadap hak asasi manusia setiap orang. Dalam konteks UU Pengampunan Pajak, yang berintikan metoda “ self- assessment ” dikaitkan dengan Pasal 23A UUD 1945, justru mencerminkan keadilan bagi setiap kewajiban membayar pajak, perorangan atau badan sesuai dengan besarnya nilai harta kekayaan yang dimiliki wajib pajak. Tafsir dan penilaian atas UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak harus dihubungkan dengan asas-asas dan tujuan Undang-Undang a quo sebagaimana telah dicantumkan dalam ketentuan Bab II Asas dan Tujuan (Pasal 2). Tujuan UU PA 2016 sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) adalah sebagai berikut:
Mempercepat pertumbuhan dan restrukturasi ekonomi melalui pengalihan Harta, yang antara lain akan berdampak terhadap peningkatan likuiditas domesik, perbaikan nilai tukar Rupiah, penurunan suku bunga, dan peningkatan investasi; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 262 b. Mendorong reformasi perpajakan menuju sistem perpajakan yang lebih berkeadilan serta perluasan basis data perpajakan yang lebih valid, komprehensif dan terintegrasi, dan c. Meningkatkan penerimaan pajak yang antara lain akan digunakan untuk pembiayaan pembangunan. Penilaian pemohon terhadap UU Pengampunan Pajak, sebagai bentuk Ketidak-adilan, sangat naif dan tidak memahami filosofi, asas, tujuan dan latarbelakang situasi negara/bangsa dalam pembangunan kesejahteraan rakyat yang ditopang oleh pemasukan negara dari Pajak sebagai sumber utam Penilaian UU PA 2016 dari sudut ketidakadilan tidak memperhatikan ketentuan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang a quo yang berbunyi: ”Setiap Wajib Pajak berhak mendapatkan Pengampunan Pajak”; ketentuan ini berarti bahwa program PA bukan kewajiban melainkan hak sehingga sangat tergantung pada setiap wajib pajak; dan masih ditentukan ada kekecualian berlakunya sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 ayat (3), yaitu UU PA 2016 tidak berlaku terhadap:
Terhadap Wajib Pajak yang sedang dilakukan penyidikan dan berkas penyidikannya telah dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan; atau
Dalam proses peradilan, atau c. Menjalani hukum pidana atas tindak pidana di bidang perpajakan Sejalan dengan ketentuan Pasal 3 UU PA 2016 jelas bahwa UU PA 2016 berlaku selektif dan disesuaikan dengan status Wajib Pajak yang bersangkutan; tidak berlaku umum dan tanpa selektivikasi. Penilaian Pemohon bahwa UU PA 2016 dihubungkan dengan Keadilan tidak tepat karena pemberlakuan UU Pengampunan Pajak merupakan “ lex specialis ” terhadap UU Ketentuan Tata Cara Perpajakan 1983/2009, yang merupakan “ lege generali ” sehingga kedudukan hukum tersebut memiliki atau memberikan kewenangan penyimpangan-penyimpangan dari ketentuan umum mengenai objek yang sama. Kedudukan hukum seperti diuraikan di atas, tidak bertentangan dengan baik hukum maupun nilai-nilai kesusilaan masyarakat baik menurut waktu maupun menurut tempat; begitupula dari sudut hukum internasional sebagaimana telah saya uraikan di atas. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 263 Dalam konteks tujuan keadilan distributif bukan tujuan keadilan retributif inilah maka di dalam UU PA 2016 telah ditentukan tindakan hukum proteksi terhadap setiap orang (WNI) yang secara sukarela menggunakan hak individual mengikuti pengampunan pajak, yaitu diberikan imunitas dari tindakan hukum administratif, perdata atau pidana dengan beberapa persyaratan tertentu seperti terdapat kekeliruan di dalam SPT yang tidak dikoreksi atau harta kekayaan yang tidak dilaporkan kepada negara setelah batas waktu pengampunan pajak berakhir, tetap saja dapat dilakukan langkah hukum pidana berserta sanksi pidananya. Dalam pandangan ahli, keadilan sosial diwujudkan dalam bentuk pemerataan distribusi hak sosial dan hak ekonomi masyarakat, sedangkan keadilan hukum diwujudkan dalam distribusi hak dan kewajiban anggota masyarakat sesuai dengan kedudukan sosial dan jabatan dalam pemerintahan. Konsep Keadilan Sosial di dalam UU Pengampunan Pajak tampak pada Penjelasan Umum Undang-Undang a quo sebagai berikut: Alinea pertama, menjelaskan keadaan perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional yang berdampak pada menurunnya penerimaan pajak, bahkan telah mengurangi likuiditas dalam negeri dalam menggerakkan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sementara itu fakta menunjukkan ratio wajib pajak sangat rendah (11.89%), lebih rendah dari negara tetangga, dan bahkan tax ratio yang rendah juga disebabkan banyak warga negara Indonesia yang menempatkan harta kekayaan nya di negara lain, mencapai Rp 3250 triliun (studi konsultan asing). Kondisi objektif sebagaimana diuraikan dalam Penjelasan Umum di atas mencerminkan bahwa di satu sisi terdapat masalah keuangan yang serius di dalam negeri dan di sisi lain, warga negara Indonesia tampak tidak peduli terhadap negaranya. Keberadaan UU Pengampunan Pajak justru menggugah hati nurani warga negara Indonesia untuk ikut membantu masalah kesejahteraan sosial (Keadilan Sosial) di negaranya, dengan membuka pintu pengampunan berupa insentif tidak dikenakan ancaman pidana asalkan membayar uang tebusan kepada negara sesuai yang telah ditentukan di dalam UU Pengampunan Pajak. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 264 Dalam konteks alinea pertama Penjelasan Umum UU Pengampunan Pajak, ahli berpendapat bahwa penjelasan pemerintah dapat diterima secara akal sehat dan memperoleh justifikasi filosofi, yuridis dan sosiologis serta komparatif mengenai kewajiban setiap warga negara Indonesia yang menyimpan harta kekayaannya di negara lain, termasuk di dalam negeri yang belum melaporkan harta kekayaannnya. Dalam alinea keempat, bahkan dengan UU Pengampunan Pajak, pemerintah telah melepaskan hak negara untuk menagih hutang pajak dengan kewajiban membayar uang tebusan yang setara dengan nilai prosentase tertentu (Pasal 4).
Karakter wajib dalam UU Perpajakan dan UU Pengampunan Pajak Karakter atau sifat wajib dan memaksa ( mandatory obligation ) dalam perpajakan telah diakui secara universal sehubungan dengan teori dan praktik perpajakan bahwa pajak adalah sumber utama penerimaan negara. Tanpa pajak negara tidak dapat menjalankan pemerintahan secara maksimal. UU KUP tahun 1963 yang telah diubah dengan UU KUP Tahun 2008, justru telah menganut sistem “ self-assessment ” dan tidak menggunakan sistem “ official assessment ” (secara paksa) yang menitikberatkan peran negara sehingga karakter wajib dalam konteks UU KUP relatif tidak bersifat mutlak.Dalam perkembangan praktik perpajakan selain kewajiban setiap orang membayar pajak, juga dikenal pilihan bagi wajib pajak untuk mengikuti ketentuan perpajakan atau dapat menyampaikan permohonan untuk penundaan kewajiban bayar pajak dengan syarat tertentu. Bahkan dalam UU KUP telah dicantumkan ketentuan bahwa Menteri Keuangan dapat meminta Jaksa Agung untuk menghentikan perkara pidana pajak dengan pertimbangan kesediaan wajib pajak untuk membayar kewajiban membayar pajak (pokok) dan penalti sebesar 400%. Berdasarkan uraian ini dapat disimpulkan bahwa, sesuai dengan UU Perpajakan Indonesia, karakter atau sifat wajib dan memaksa bagi setiap wajib pajak tidak bersifat final. Dalam kaitan UU Pengampunan Pajak, ahli berpendapat bahwa, ketentuan mengenai pengampunan pajak merupakan kekecualian dan bersifat terbatas dan tidak untuk selamanya serta hanya ditujukan untuk wajib pajak tertentu dengan tujuan menyelamatkan keuangan negara dari pajak dalam keadaan krisis keuangan. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 265 Karakter “memaksa” dalam UU Perpajakan sesuai dengan Pasal 23A UUD 1945, tidak relevan disandingkan dengan UU Pengampunan Pajak dengan alasan bahwa (1) UU Perpajakan merupakan UU yang dilahirkan dalam keadaan sistem keuangan yang normal, sedangkan UU Pengampunan Pajak lahir karena keadaan sistem keuangan yang tidak normal atau krisis keuangan;
dari pertimbangan dan tujuan pemberlakuan UU Perpajakan dan Pengampunan Pajak berbeda satu sama lain, dan (3) pemberlakuan UU PA merupakan “ lex specialis derogat lege generali ”, terhadap UU KUP, dan (4) pembacaan serta penilaian terhadap UU PA dan UU KUP harusnya sesuai dengan adagium, ” lex posteriori derogat lege priori ” (undang-undang yang berlaku kemudian mengenyampingkan undang-undang yang telah berlaku dalam hal objek yang diaturnya sama).. Karakter “memaksa” dalam UU Pengampunan Pajak tidak hilang dengan serta merta hanya karena kalimat “pengampunan” karena di dalam UU Pengampunan Pajak, peserta perorangan atau badan tetap diwajibkan mengikuti ketentuan UU Pengampunan Pajak, kecuali jika tidak ingin ikut serta di dalamnya dengan konsekuensi hukum yang berlaku pada yang bersangkutan. Bagi peserta pengampunan pajak diberikan insentif pajak tertentu sesuai dengan maksud dan tujuan penerimaan keuangan negara dari pajak. Pengertian kalimat “pengampunan” di dalam UU Pengampunan Pajak harus ditafsirkan sebagai insentif perpajakan semata-mata bukan pelemahan kekuasaan negara terhadap warga negara. Ketentuan mengenai imunitas di dalam UU Pengampunan Pajak vide Pasal 20 harus ditafsirkan sebagai jaminan perlindungan hukum (proteksi) atas kesukarelaan peserta pengampunan pajak; kepatuhan peserta atas syarat- syarat dan kewajiban melaksanakan ketentuan-ketentuan di dalam UU Pengampunan Pajak, diberikan kompensasi berupa insetif perpajakan dan proteksi atas tindakan hukum (tuntutan pidana, tindakan administratif atau gugatan perdata). Imunitas dan proteksi terhadap peserta pengampunan pajak merupakan pencerminan atas prinsip subsidiaritas dan proporsionalitas yang diakui dalam hukum pidana.
Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., MPA Sekalipun bukan pertama kali diterapkan di Indonesia, kebijakan/ program pengampunan pajak melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 266 tentang Pengampunan Pajak (UU 11/2016) mendapat perhatian lebih bilamana dibanding dengan kebijakan serupa pada masa sebelumnya (Program Pengampunan Pajak 1964, Pengampunan Pajak 1984, dan Sunset Policy 2008). Bukan saja karena target utama dan lingkupnya yang lebih luas, melainkan juga disebabkan bentuk hukum pengaturannya jauh lebih kuat jika sebelumnya diatur hanya dalam sebuah Penetapan Presiden dan Keputusan Presiden, kebijakan pengampunan pajak tahun 2016 langsung dimuat dalam Undang-Undang. Artinya, secara hukum terjadi ^. penguatan dari aspek bentuk atau dasar hukum yang digunakan dalam menjalankan program ini. Pada titik tertentu, penguatan bentuk hukum pengaturan tentu saja memiliki korelasi dengan menguatnya tingkat kekhawatiran akan akibat dari kebijakan yang dikeluarkan. Salah sate wujud kekhawatiran tersebut termanifestasi dalam pengujian terhadap UU 11/2016 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Serangkaian permohonan pengujian UU 11/2016 yang tengah diperiksa MK ini mempersoalkan sejumlah ketentuan yang merupakan ketentuan yang dapat dikatakan jantung undang-undang ini, yaitu Pasal I angka 1, Pasal I angka 7, Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5. Masing-masing ketentuan tersebut menyatakan sebagai berikut : Pasal 1 angka 1: Pengampunan Pajak adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap harta dan membayar uang tebusan sebagaimana diatur dalam Undang Undang ini Pasal 1 angka 7: Uang tebusan adalah sejumlah uang yang dibayarkan ke kas negara untuk mendapatkan Pengampunan Pajak Pasal 3: Mengenai Subjek dan Objek Pengampunan Pajak Pasal 4 dan Pasal 5: Mengenai Tarif dan Cara Menghitung Uang Tebusan. Ketentuan-ketentuan tersebut dinilai Pemohon bertentangan dengan Pasal 23A, Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1.) UUD 1945. Setidaknya terdapat delapan dalildalil pokok yang dikemukakan oleh Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 267 Pemohon. Di antara dalil yang dikemukakan ihwal kepastian hukum yang adil bagi Wajib Pajak yang taat, kepastian hukum terkait akses terhadap informasi yang bersumber dari Surat Pernyataan bagi proses penegakan hukum; kepastian hukum terkait uang tebusan; dan kepastian terkait sifat memaksa pajak yang diatur dengan undang-undang sesuai ketentuan Pasal 23A UUD 1945. Mengikuti dan melacak rangkaian proses sidang sebelumnya, lembaga pembentuk Undang-Undang (wakil pemerintah dan wakil DPR) sesungguhnya telah berupaya menjelaskan berbagai alasan dan pertimbangan mengapa UU No 11/2016 akhirnya dibentuk. Mengikuti dan melacak proses persidangan, pembentuk undang-undang berupaya menjelaskan mulai dari pertimbangan sistem pengaturan pajak dan latar belakang pembentukan, sampai pada soal tujuan dan manfaat diterapkannya Undang-Undang a quo. Bahkan, dalam posisi pembentuk Undang-Undang, wakil pemerintah dan wakil DPR pun berupaya untuk mengemukakan dampak yang akan ditimbulkan bilamana permohonan ini dikabulkan MK. Berbagai pertimbangan yang disampaikan pemerintah kiranya dapat dijadikan pertimbangan untuk menilai konstitusionalitas UU 11/201 Dalam posisi demikian, untuk lebih memberikan perspektif dalam memutus permohonan ini, perkenarkanlah saya menerangkan lebih jauh kebijakan pengampunan pajak tersebut dengan berangkat Bari pertanyaan apakah kehadiran UU 11/2016 telah menjamin adanya kepastian hukum, terutama pada level norma yang terkandung di dalamnya? Apakah UU 11/2016 betul- betul dapat memberikan kepastian terhadap berbagai dimensi yang dip ermasalahkan Pemohon; dimensi kepastian dalam hubungannya dengan Pasal 23A UUD 1945, dimensi kepastian dalam penerapan uang tebusan; dimensi kepastian perlakuan yang sama di hadapan hukum, dan dimensi kepastian atas data dan informasi Surat pernyataan, baik bagi Wajib Pajak maupun bagi proses penegakan hukum? Jawaban atas pertanyaan terkait kepastian hukum yang adil di atas memang tidak mudah. Lebih-lebih, ketika Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang memuat ihwal kepastian hukum dirumuskan, para pengubah konstitusi tidak membahas begitu dalam tentang apa yang mereka maksud dengan frasa "kepastian hukum" yang terkandung dalam ketentuan tersebut Sehingga, cara Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 268 menemukan makna "kepastian hukum" dilakukan dengan menggunakan pendekatan konseptual. Oleh karena itu, untuk mengawali keterangan ini, akan direview kembali ajaran atau doktrin kepastian hukum sebagai salah satu cita hukum (idee des Rechts). Gustav Radbruch sebagaimana telah diterima secara luas oleh komunitas ilmuan Ilmu Hukum mengemukakan bahwa cita hukum ditopang oleh tiga nilai dasar, yaitu (1) keadilan, (2) kemanfaatan dan (3) kepastian hukum. Kepastian hukum merupakan cita hukum yang muncul terakhir ketika hukum modern mulai muncul dengan segala sifat bawaannya seperti hukum itu mesti dituliskan, dip ositifkan dan hukum itu menjadi milik publik). Kepastian hukum adalah kepastian tentang hukum itu sandhi (scherheit des rechts selbst), di mana kepastian itu mencakup empat hal, yaitu : pertama, bahwa hukum itu positif, artinya bahwa is adalah dituliskan dalam bentuk perundang-- undangan; kedua, bahwa hukum ini didasarkan pada fakta, bukan suatu rumusan tentang penilaian yang nanti akan dilakukan oleh hakim, seperti "kemauan balk", "kesopanan"; ketiga, bahwa fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping juga mudah dijalankan; keempat, hokum positif itu tidak boleh sering diubah-ubah (Satjipto Rahardjo, 2006: 133-136). Lebih jauh, bagi kalangan penganut paham Positivisme Hukum, kepastian hukum merupakan kondisi di mana hukum menjamin adanya kepastian dan bisa diprediksi. Setiap tindakan pengambil keputusan maupun hakim harus merujuk pada peraturan-peraturan yang ada. Dalam konteks itu, kepastian hukum diukur sejauh mana unsur prediktibilitas dan otoritas dijamin keberadaannya di dalam hukum itu sandhi _(Achmad All, 2012 :
._ Lebih jauh, salah seorang pengkaji hukum negara-negara berkembang termasuk Indonesia yang juga Direktur Van Vollen Institute, Prof Jan Michiel Otto menyatakan bahwa kepastian hukum nyata (real legal certainty) sesungguhnya mencakup pengertian kepastian hukum yuridis, yang di dalarnnya mempersyaratkan di antaranya tersedia aturan-aturan hukum yang jelas. Terkait kepastian hukum, Lon. L. Fuller (1971) sebagaimana dikutip Satjipto Rahardjo mengemakan prinsip yang berhubungan dengan ukuran Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 269 kepastian dalam suatu sistem hukum yang dinamai dengan principles of legality (Satjipto Rahardjo, 2000:
, yaitu:
Suatu sistem hukum hares mengandung peraturanperaturan, dalam arti la tidak boleh mengandung sekedar keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc 2. Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu mesti diumumkan.
Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut.
Peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti.
Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sania lain.
Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang rnelebihi apa yang dapat dilakukan.
Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah-ubah peraturan yang dapat rnenyebabkan orang kehilangan orientasi.
Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaan sehari-hari. Terkait kepastian hukum, dalam sejumlah putusan pengujian Undang- Undang yang menempatkan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sebagai batu ujinya, Mahkamah Konstitusi memberikan panduan terkait pemaknaan frasa "kepastian hukum" dalam konstitusi, balk berkenaan dengan hukum materiil maupun hukum formil, yaitu :
Kepastian hukum dalam konteks pembentukan hukum materil mengharuskan rumusan undang-undang tidak boleh menimbulkan penafsiran berbeda dan membuka ruang terjadinya penyalahguna-an kekuasaan dalam penegakan hukum (Putusan MK No. 65/PUU-VIII/2010). 2. Kepastian hukum dalam konteks pembentukan hukum formil menempatkan kepastian hukum sebagai kepastian yang tidak harus/mesti diukur secara matematis, melainkan juga dapat diukur dart tersedianya kontrol terhadap pelaksanaan hukum tersebut oleh aparat penegak hukum (Putusan MK No. 018/PUU-IV/2006, dalam Ismail Hasani (Ed), 2013: hlm-195-196). Konstruksi berfikir Mahkamah Konstitusi dalam menafsirkan kepastian hukum dalam pembentukan undang-undang melalui pengujian sejumlah undang-undang sebelumnya sejalan dengan berbagai ajaran huku n sebagaimana disinggung di atas. Di mana, kepastian hukum itu setidaknya Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 270 menyangkut empat hal, yaitu, pertama, bentuk pengaturan, apakah hukum tersebut telah dituangkan dalam bentuk hukum yang tepat; kedua, perumusan norma, apakah norma Undang-Undang yang dibentuk telah disusun secara jelas dan tidak multitafsir, dan apakah norma tidak diubah setiap saat sehingga menimbulkan kebingungan; ketiga, konsistensi antar norma (vertikal maupun horizontal), apakah norma yang dibentuk telah sesuai dengan peraturan yang lebih tinggi dan tidak bertabrakan dengan norma yang setingkat dengannya; dan, keempat, keberlakuannya. Norma hukum harus diberlakukan secara prospektif dan diberlakukan sesuai secara proporsional. Setidaknya, empat indikator tersebut dapat digunakan untuk menilai dalil-dalil yang dikemukan Pemohon, khususnya terkait dugaan ketidakpastian hukum yang dikandung dalam UU 11/2016. Dalam hal keempat indikator tersebut terpenuhi, sulit untuk mengkualifikasi bahwa UU 11/2016 telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam berbagai aspek sebagaimana dikemukakan Pemohon. Lebih lanjut, masing-masing indikator tersebut akan dielaborasi lebih jauh dalam kaitannya dengan permohonan pemohon. Pertama, mengenai bentuk hukum pengaturan kebijakan pengampunan pajak Memilih bentuk Undang-Undang merupakan pilihan yang tepat dan memiliki posisi sangat kuat karena telah mendapat persetujuan dari lembaga perwakilan rakyat Lebih jauh, juga relate sesuai dengan mandat Pasal 23A UUD 1945 yang mengamanatkan agar pengaturan terkait pajak dan pungutan yang bersifat memaksa diatur dalam undang-undang. Pada saat yang sama, pilihan bentuk hukum tersebut juga berkorelasi dengan kepastian hukum bagi setiap warga negara sebagai subjek yang dituju oleh Undang-Undang tersebut Sebab, baik tindakan pengampunan maupun perlindungan terhadap informasi Wajib Pajak dilindungi oleh Undang-Undang. Kedua, terkait perumusan norma. Sejumlah norma yang dipersoalkan Pemohon, meliputi Pasal 1 angka (1), Pasal 1 angka (7), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 21 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 22, dan Pasal 23 ayat (1) dan (2) UU 11/2016, sesungguhnya tidak mengandung penafsiran ganda. Pasal 1 angka 1 mendefenisikan pengampunan pajak dengan rumusan yang jelas. Begitu juga Pasal 1 angka 7 pun memberi definisi Uang Tebusan secara tegas dan tidak multitafsir. Dalam arti, uang tebusan lebih sebagai konsekuensi dari adanya pengampunan. Demikian pula dengan Pasal 3 yang mengatur tentang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 271 subjek dan objek pengampunan pajak yang berlaku umum bagi seluruh Wajib Pajak tanpa ada rumusan yang menimbulkan kerancuan maksud. Hal serupa juga dengan Pasal 4 dan Pasal 5 yang mengatur tarif dan cara menghitung uang tebusan, dirumuskan secara baik dan maksud yang jelas. Begitupun Pasal 21 dan Pasal 22 yang mengatur terkait larangan bagi Menteri untuk membocorkan dan menyebarluaskan informasi mengenai Wajib Pajak, juga dirumuskan dalam norma yang sangat jelas. Oleh karena itu, dalam perspektif perumusan norma, tidak cukup kuat alasan untuk mengatakan bahwa perumsan norma seperti yang didalilkan Pemohon menimbulkan keraguan karena dirumuskan secara multitafsir. Semuanya dirumuskan secara jelas, tegas dan pasti siapa pihak pihak yang dituju di dalamnya. Dan yang lebih panting, semua norma ditujukan untuk suatu tujuan yang jelas sehingga mampu memenuhi asas "kejelasan tujuan" sebagaimana termaktub dalam Pasal 5 UU 12/201 Ketiga, konsistensi antar norma. Ihwal ini, dapat dilihat dalam dua rupa, yaitu : konsistensi UU 11/2016 dengan UUD 1945 dan harmonisasinya dengan undang-undang lainnya. Terkait konsistensi dengan UUD 1945, khususnya Pasal 23A, pertanyaan yang mesti dijawab adalah apakah pengampunan pajak sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 angka 1 bertentangan dengan Pasal 23A? Pasal 23A UUD 1945 menegaskan, pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undangundang". Frasa "bersifat memaksa" merupakan sifat yang dilekatkan kepada pajak dan pungutan lain yang dilakukan negara kepada warganya. Di mana, karena sifat memaksanya, ketika negara hendak membebani warga negara dengan pajak dan pungutan yang bersifat memaksa, pengaturannya mesti melalui undang- undang. Pertanyaan berikutnya, mengapa mesti undang-undang? Dalam hal ini, Pasal 23A UUD 1945 mengandung pesan: segala kebijakan yang membebani rakyat harus terlebih dahulu meminta persetujuan rakyat melalui wakil-wakilnya di lembaga perwakilan. Persetujuan rakyat tersebut diwujudkan dalam bentuk pengaturan pajak dalam suatu undangundang yang pembentukannya atas persetujuan lembaga perwakilan sebagai representasi rakyat. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 272 Secara gramatikal, lawan kata dari frasa "bersifat memaksa" adalah "bersifat tidak memaksa". Dalam arti, negara bisa saja melakukan pungutan yang bersifat memaksa dan bisa juga pungutan yang tidak bersifat memaksa. jika melakukan pungutan yang memaksa seperti pajak, maka harus terlebih dahulu diatur dengan Undang-Undang. Sebaliknya, jika pungutan itu tidak bersifat memaksa atau suka rela, maka tidak ada keharusan untuk mengaturnya terlebih dahulu dengan Undang-Undang. Sebab, pungutan yang tidak memaksa akan sangat bergantung pada kerelaan warga negara untuk meinberikan kepada negara. Jadi, lawan frasa "bersifat memaksa" bukan kata "mengampuni" yang didalilkan Pemohon. Di mana, Pemohon menyatakan "sifat pajak adalah memaksa bukannya mengampuni". Frasa yang digunakan Pemohon tersebut telah menempatkan pemahaman terhadap frasa "bersifat mengikat" dalam Pasal 23A UUD 1945 secara tidak tepat, karena memperhadapkan sesuatu yang tidak berimbang atau tidak apple to apple. Justin, apabila dianalisis lebih jauh menggunakan pendekatan gramatikal, "pengampunan pajak" sesungguhnya cocok dengan "sifat memaksa" dart pajak. Mengapa demikian? Sebab, oleh karena sifat memaksa itulah kemudian muncul apa yang dikenal dengan pengampunan. Pengampunan itu merupakan konsekuensi logis dari langkah melonggarkan sifat memaksa yang dimiliki pajak untuk waktu dan tujuan tertentu yang dikehendaki pembentuk Undang-Undang. Pengampunan tidak menghilangkan sifat memaksa, melainkan ia membatasi keberlakuannya sementara waktu serta memberikan keringanan atas pelaksanaan sifat memaksa tersebut. Lebih jauh, secara substansi, pemberian pengampunan pajak bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 sepanjang hal itu diatur melalui Undang-Undang. Memang akan menjadi masalah jika pengampunan pajak diatur melalui bentuk hukum selain Undang-Undang, namun bilamana diatur dengan Undang-Undang tidak terdapat alasan kuat/mendasar untuk mempersoalkan konstitusionalitasnya. Selanjutnya menyangkut harmonisasi UU 11/2016 dengan Undang-Undang lain terkait penegakan hukum dan keterbukaan informasi, seperti UU PPATK terkait penelusuran asal-usul harta seseorang, UU KPK terkait penggeledahan dan penyitaan dokumen dan UU Keterbukaan Informasi. Apakah larangan bagi Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 273 Menteri untuk membocorkan atau batasan bagi lembaga dan siapapun untuk memintanya kecuali atas persetujuan Wajib Pajak bertentangan dengan kewenangan penegakan hukum yang dimiliki KPK, PPAKT dan hak atas informasi yang dimiliki warga negara? Jawaban atas pertanyaan tersebut sesungguhnya telah jelas dengan keberadaan Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22 dan Pasal 23 UU Pengampunan Pajak Di mana, data dan informasi yang bersumber dari Surat Penyataan yang berkaitan dengan pelaksaan UU Pengampunan Pajak tidak dapat diminta, diberikan dan digunakan sebagai dasar penyelidikan. Hal ini sesungguhnya hendak memberi kepastian hukum bagi setiap orang yang mengikuti tax amnesty untuk terlindungi informasi-informasi terkait harta Wajib Pajak. Tujuannya agar kebijakan pengampunan pajak betul-betul dapat dipercaya oleh masyarakat (Wajib Pajak) dan target negara untuk menghimpunan pendapatan dan sumber pendapatan pajak baru terpenuhi. Pada saat yang sama, Undang-Undang ini juga telah memberi kepastian bahwa hal yang dibatasi adalah penggunaan data dan informasi terkait pelaksanaan tax amnesty saja. Sementara jika lembaga lain seperti KPK dan PPATK melacak adanya dugaan kejahatan/pelanggaran, lembaga-lembaga tersebut tetap dapat melaksanakan kewenanganya, tetapi tidak dengan cara meminta dan menggunakan informasi dan data yang diadministrasikan oleh Kementrian Keuangan melalui program pengampunan pajak. Dengan demikian, sesungguhnya tidak ada pembatasan dan pertentangan antara perlindungan data dan informasi Wajib Pajak melalui UU 11/2016 dengan kewenangan penegakan hukum yang dimiliki PPATK maupun KPK. Dengan demikian, dalam konteks konsistensi norma, baik dengan UUD 1945 maupun dengan UU lainnya, UU Pengampunan Pajak sama sekali tidak mengandung inkonsistensi yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. justru UU 11/2016 ini memberi kepastian terkait pembagian ranah pelaksanaan pengampunan pajak dengan proses penegakan hukum yang dilaksanakan oleh lembaga negara lainnya. Keempat, mengenai pemberlakukan norma. Demi menjamin kepastiannya, norma hukum tidak boleh diberlakukan surut. Hal ini juga menjadi bagian yang telah dipenuhi UU 11/2016. Sebab, pemberlakuannya berjalan secara prospektif, yaitu sejak ia ditetapkan. Di mana, tindakan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 274 pengampunan berlaku ketika undang-undang disahkan sampai batas waktu yang ditentukan di dalamnya. Hanya, yang namanya pengampunan tentu terhadap kewajiban perpajakan yang telah terjadi sebelumnya. Tidak mungkin pengampunan diberikan kepada sesuatu yang belum terjadi. Sehingga, walaupun yang diampuni adalah kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi Wajib Pajak sebelumnya, bukan berarti UU berlaku secara retroaktif. Sebaliknya, justru UU dibuat berdasarkan fakta di mana terdapat persoalan besar dalam pelaksanaan perpajakan yang membutuhkan terobosan hukum untuk mereformasinya. Salah satunya melalui kebijakan pengampunan pajak Dari empat indikator pokok kepastian hukum sebuah norma sebagaimana di uraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak satu pun dari empat indikator tersebut yang dilanggar sehingga beberapa norma UU 11/2016 dapat dikualifisir mengandung ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, Pasal 28D ayat (1) dan juga Pasal 23A UUD 1945 yang digunakan sebagai batu uji sama sekali tidak dilanggar oleh UU 11/2016. Setelah membaca UU 11/2016 secara komprehensif, terdapat cita-cita jangka panjang yang hendak diwujudkan yaitu mereformasi sistem perpajakan dengan memperluas basis data Wajib Pajak. Dengan menjalankan program ini, tentu pemerintah akan memiliki tambahan sumber pendapatan Negara dari sektor pajak dari Wajib Pajak yang mengikuti pengampunan Pajak. Secara bersamaan, hal itu juga akan menguntungkan bagi perbaikan pertumbuhan ekonomi nasional untuk selanjutnya akan berdampak pada terbukanya lapangan pekerjaan dan peningkatan kesejahteraan rakyat Dalam konteks ini, sekalipun dalam satu sudut pandang penerimaan negara dinilai berkurang karena adanya pengampunan, namun untuk jangka panjang justru menguntungkan. Lagi pula, jika tidak ada pengampunan, pemerintah belum tentu memeroleh tambahan penerimaan dari sektor pajak dari pihak-pihak yang selama ini memang belum atau tidak membayarkan pajak sesuai kewajibannya. Dalam batas penalaran yang wajar, pengesahan UU No 11/2016 cukup kuat alasan mengatakan sebagi bentuk atau upaya mempertemukan antara asas kepastian hukum dan kemanfaatan.
Dr. Refli Harun, S.H., M.H., LL.M Bahwa dapat dipahami seandainya Pemohon merasa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak berpotensial Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 275 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Misalnya, soal legal certainty (kepastian hukum), equality before the law , larangan untuk melakukan tindakan diskriminasi, justice (keadilan), dan kalau dibungkus ke soal yang lebih besar, yaitu soal rule of law (negara hukum). Tetapi, untuk melihat Undang-Undang Tax Amnesty ini, ahli melihatnya dari tiga pendekatan, yaitu Pertama, dari sisi proportionality test . Kedua, dari konstitusional atau legal morality . Dan ketiga dari post factum . Pertama dari proportionality test , Kadang-kadang ketika kita merumuskan sebuah kebijakan open legal policy , dan lain sebagainya selalu kita menimbang antara mudharat dan manfaat yang akan diperoleh ketika kebijakan itu akan diambil. Terlebih kalau kebijakan itu menyerempet dengan ketentuan-ketentuan yang berpotensial dianggap bertentangan dengan konstitusi. Kita pahami bahwa Undang-Undang Tax Amnesty adalah bukan Undang-Undang yang biasa, namun undang-undang yang luar biasa, Undang- Undang yang tidak mungkin dikeluarkan setiap saat dalam kondisi yang normal. Tetapi dalam kondisi tertentu dengan alasan-alasan rasionalitas, kemudian Undang-Undang tersebut dikeluarkan. Pertanyaan paling besarnya adalah apakah manfaat yang diperoleh dari Undang-Undang Tax Amnesty bisa kemudian mengalahkan potensi-potensi pelanggaran yang barangkali sudah dinyatakan oleh Pemohon? Sepeti potensi untuk melanggar asas kepastian hukum, equality before the law , diskriminasi, keadilan, dan rule of law . Untuk menjawabnya nanti masuk pada bagain post factum, bagaimana kemudian ternyata Undang-Undang Tax Amnesty ini bahkan di luar perkiraan Ahli sendiri mendapat sambutan yang luar biasa, dan kemudian bukan lagi menjadi sebuah kebijakan yang ‘membuat malu’ wajib pajak yang selama ini tidak tertib membayar pajak, tetapi justru menjadi sebuah gerakan untuk ikut menyumbang dari partisipasi masyarakat dalam mengatasi krisis bangsa ini. Hal tersebut terbukti dengan misalnya adanya pemberitaan-pemberitaan di media massa, mereka yang ikut program tax amnesty bukanlah orang-orang yang kemudian merasa malu untuk berpartisipasi dalam program tax amnesty . Bahkan kita tahu bahwa tokoh-tokoh masyarakat dan mungkin juga Yang Mulia Hakim-Hakim Konstitusi juga mengikuti program ini untuk kemudian kita bersama-sama memperbaiki performence wajib kita sebagai wajib pajak. Maka dari itulah manfaat yang ditimbulkan, Ahli menganggap bahwa sangat justified Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 276 memiliki justifikasi untuk mengatakan bahwa apa yang sudah diperoleh dengan Undang-Undang Tax Amnesty lebih bermanfaat ketimbang potensi kerugian yang sudah didalilkan oleh Pemohon. Kedua adalah mengenai constitutionality atau legal morality . Kita pahami sering sekali sebuah produk hukum memiliki agenda-agenda tersembunyi untuk melakukan perlindungan-perlindungan tertentu untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu, proteksi tertentu kepada para pihak atau misalnya ada kekuatan-kekuatan politik atau kelompok tertentu yang memaksakan sebuah kebijakan perundang-undangan agar kemudian menguntungkan pihak tertentu itu pula. Pada dasarnya ketika Undang-Undang Tax Amnesty di- launching, banyak yang mengatakan bahwa tujuannya adalah untuk dana repatriasi untuk menarik dana dari luar negeri dan kemudian yang menjadi sasarannya adalah mereka-mereka saja yang memiliki dana di luar negeri, jadi hanya kepada kelompok-kelompok tertentu. Tetapi, saya termasuk salah satu yang sangat berterima kasih ketika perumusan program tax amnesty berlaku bagi semua warga negara. Ini yang menurut saya kunci untuk mengatakan bahwa program Tax Amnesty tidak diskriminatif. Bahwa program ini bisa dimanfaatkan oleh semua warga negara untuk memperbaiki performance perpajakannya dan saya dengan bangga menyatakan bahwa saya juga termasuk peserta tax amnesty . Kalau kita melihat dari sisi constitutional morality , kita juga bertanya apakah ada hidden agenda . Mungkin pada awalnya ada, tetapi ketika hal tersebut dirumuskan, ternyata program ini berlaku bagi semua waib pajak dan semua warga negara. Jika kita kaitkan dengan Pasal 20 yang sering dipertentangkan dan sering diperbincangkan, saya mengatakan dari sisi legal morality, pasal tersebut tidaklah melindungi kejahatan-kejahatan lainnya. Karena awalnya ada konsepsi yang menyatakan bahwa dengan tax amnesty , maka kejahatan-kejahatan itu terlindungi, namun kenyataannya tidak. Dalam Pasal 20 kita tahu bahwa sesungguhnya yang diampuni itu hanyalah potensi tindak pidana perpajakan atau pelanggaran-pelanggaran perpajakan. Tetapi bukan membenarkan, namun konsepnya mengampuni. Seperti sering saya katakan hukuman mati ketika seorang presiden memberikan pengampunan bukan berarti kemudian kejahatan yang menimbulkan hukuman mati tersebut dibenarkan, tetapi diampuni. Jadi, hukuman matinya tetap dikatakan bahwa dia Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 277 sudah melakukan kejahatan terhadap sesuatu dan kemudian dihukum mati, tetapi kemudian dia diampuni. Tax amnesty tidak membenarkan perilaku wajib pajak yang tidak membayar sesuai dengan apa yang digariskan dalam peraturan perundang- undangan sebelumnya, tetapi kemudian dia mengampuni karena ada keinginan, ada target, ada manfaat yang lebih besar yang ingin dicapai. Itulah yang dikatakan proportionality __ tax . Karena kalau kita lihat Pasal 20, sama sekali Undang-Undang Tax Amnesty tidak mengampuni kejahatan-kejahatan lainnya, tidak menjadi tameng bagi kejahatan-kejahatan lainnya. Kalau ada kejahatan korupsi, narkoba, dan lain sebagainya, maka silakan, tetap bisa diusut, tetap bisa diselidiki, tetap bisa disidik, tetapi memang tidak bisa menggunakan data-data yang sudah diserahkan melalui program tax amnesty. Tetapi dari cara lain, dari tempat lain, silakan bisa dilakukan. Yang diampuni hanyalah soal potensi tindak pidana perpajakan. Terakhir, mengenai post faktum . Sering kadang-kadang kita melihat bahwa ketika kita merumuskan sebuah kebijakan, atau ketika kita menginterpretasikan sebuah ketentuan dalam konstitusi, bukan hal yang dilarang ketika kita melihat realitas yang timbul dari sebuah pasal atau dari sebuah ketentuan tersebut, maka kemudian konstitusi disebut dengan the living constitution , karena tafsir konstitusi bisa berubah dari saat ke saat. Sebagai contoh misalnya, ketika kita berbicara tentang hukuman mati, pada tahun 2007 kalau tidak salah, MK sudah mengatakan bahwa hukuman mati adalah tidak bertentangan dengan konstitusi. Tetapi bukan tidak mungkin suatu saat, MK kemudian mencapai sebuah keputusan bahwa hukuman mati bertentangan dengan konstitusi karena itulah hakikat sebagai the living constitution . Apa yang kita katakan konstitusional hari ini bisa jadi tidak konstitusional pada saat yang lain. Apa yang kita katakan tidak konstitusional bisa saja konstitusional. Contohnya, misalnya Pemilu serentak, Putusan MK tahun 2014 menyatakan bahwa yang konstitusional itu adalah Pemilu serentak 5 kotak. Pemilihan Presiden, Wakil Presiden, DPR, DPD, DPR provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Tetapi bisa dibayangkan kalau seandainya memang itu dilakukan, maka begitu sulitnya pemilu kita nanti dalam proses penghitungan dan lain sebagainya. Kalau seandainya sistem yang dipakai tetap proporsional dengan daftar terbuka, bagaimana proses perhitungannya, at the same time , Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 278 ada perhitungan terhadap perolehan Presiden/Wakil Presiden, ada perolehan DPD, preolehan DPR, DPRD provinsi/kabupaten/kota at the same time ? Bisa dibayangkan hal seperti ini barangkali potensial akan melanggar justru ketentuan konstitusional sendiri, yaitu pemilu harus dilakukan secara luber dan jurdil, misalnya. Maka kalau suatu saat kemudian ada pihak-pihak tertentu yang kemudian ingin mengubah paradigma itu dan kemudian mengajukan lagi permohonan misalnya, kalau seandainya Undang-Undang itu kemudian sudah disahkan DPR dan mengatakan Pemilu serentak lima kotak itu adalah inkonstitusional tetapi dengan pertimbangan the living constitution , kemudian dikatakan bahwa ini justru potensial untuk melanggar konstitusi dan Mahkamah Konstitusi kemudian berubah pikiran dan mengatakan bahwa itu adalah open legal policy . Mau serentak/tidak serentak itu adalah bukan sebuah constitutional important tetapi soal policy , soal pilihan, maka menurut saya, itu adalah sah-sah saja. Oleh karena itu, kalau kita melihat dari sisi post factum , kebijakan tax amnesty bukan kebijakan yang memalukan bagi mereka yang mengikutinya. Bahkan kita tahu bahwa dari pemberitaan-pemberitaan yang kita baca setiap saat, Presiden sendiri misalnya bagaimana kemudian mengundang para pengusaha, dan pihak-pihak tertentu untuk ikut tax amnesty , pemerintah melalui Menteri Keuangan misalnya membicarakan kelompok-kelompok masyarakat tertentu yang seharusnya berpartisipasi dalam tax amnesty , dan sampai saat ini program tax amnesty sudah memberikan sumbangan bagi negara kurang lebih mungkin, correct me kalau saya keliru, Rp100 triliun dan ini hanya baru pada gelombang pertama, belum pada gelombang kedua yang diperkirakan akan banyak pada bulan Desember, dan juga kemudian gelombang ketiga yang akan diperkirakan akan banyak juga pada bulan Maret. Kemudian database perpajakan juga bertambah wajib pajak sampai 15.000. Dan lebih dari pada itu memunculkan optimisme dan kemudian ada perasaan pratisipasi bagi masyarakat. Dan saya merasakan ada tone yang positif terhadap kegiatan atau upaya melakukan sosialisasi tax amnesty ini dengan partisipasi yang luar biasa, walaupun pada awalnya ada pesimisme di sana. Tetapi ternyata hingga saat ini target Rp165 triliun, kalau tidak salah, paling tidak sudah tercapai Rp100 triliun dan bukan mustahil kemudian target akan terlampaui. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 279 Dari ketiga pendekatan, kebijakan ini mungkin bisa dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip tertentu dalam konstitusi, tetapi manfaat yang diperoleh jauh lebih besar sehingga kemudian bisa mengalahkan potensi itu. Dan kemudian kita bisa mengatakannya sebagai sebuah kebijakan yang sama sekali legal constitutional yang akhirnya saya ingin mengatakan tidak bertentangan dengan konstitusi.
Dr. Zaenal Arifin Mochtar, S.H., LL.M. Ada tiga hal yang akan saya sampaikan dikaitkan dengan kapasitas dan keahlian saya, yakni; Pertama, perihal konsep pajak dan relasi antara negara dan warga negara. Kedua , memandang kebijakan pengampunan pajak dalam kerangka kebijakan publik. Ketiga , perlindungan alas tindakan pelaksanaan kebijakan negara dalam hal pengampunan pajak. Pajak dalam Relasi Negara dan Warga Negara Teori hukum ketatanegaraan yang paling kuat menganalisis antara relasi negara dengan warga negara dari terbentuknya negara adalah model kontrak sosial yang dicetuskan oleh J.J Rosseau dengan pandangan yang mirip dengan pandangan Thomas. Hobbes dan John Locke, yang meskipun ada perbedaan pandangan di antara mereka, namun pada hakikatnya mereka memiliki pandangan yang sama bahwa sumber kewenangan yang dimiliki oleh negara dalam pemerintahan dan mengatur warga negara adalah kontrak sosial yang ada. Kontrak sosial yang dimiliki akan berimplikasi pada kewenangan yang dimiliki oleh negara untuk mengatur apa saja yang akan digunakan untuk mengatur kehidupan warga negara sepanjang penggunaan kewenangan tersebut tidak mencerminkan tindakan sewenang-wenang. Artinya, negara memiliki kewenangan dalam mengambil dan memungut pajak selama tindakannya tersebut tidaklah merupakan tindakan sewenang-wenang. Tindakan sewenang-wenang, pada dasarnya, dapat dilihat atau dikonstruksikan dari ada tidaknya produk hukum yang mendasari pungutan pajak tersebut. Dan tidak tanggung-tanggung, karena pajak merupakan hal yang sangat penting bagi negara, maka pengaturan dasarnya selalu dicantumkan di dalam konstitusi. UUD China (1982) misalnya dimasukkan dalam Chapter Two tentang the Fundamental Rights and Duties of Citizen, yang berbunyi "it is the duty of citizen of the People's Republik of China to pay taxes in accordance with the law" (Article 56). Hal yang sama diatur di dalam Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 280 UUD Swedia (1974) yang dimasukkan dalam Basic Principle of The Constitution yang berbunyi, "The Parliament (Riksdag) is the foremost representative of the people, the Parliament enacts law, determine taxes and decide how public funds shall be used" (Article 4). Prinsip yang kurang lebih sama di Indonesia yang dengan jelas dimasukkan di dalam setiap UUD. Misalnya; UUD 45 (pra amandemen) yang berbunyi "segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang" (Pasal 23 Ayat2); UUD RIS yang berbunyi, "tidak diperkenankan memungut padjak untuk kegunaan kas federal, ketjuali dengan kuasa undang-undang federal" (Pasal 171); UUDS 1950 yang berbunyi, "Tidak diperkenankan memungut padjak bea dan tjukai untuk kegunaan kas negara, ketjuali dengan undang-undang atau atas kuasa undang-undang" (Pasal 117) dan UUD 1945 (pasca amandemen) yang mengatur bahwa "pajak dan pungutan bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang" (Pasal 23A). Karena itu, dari perspektif konstitusi, setidaknya ada beberapa hal yang dapat dibaca; Pertama, negara memiliki kewenangan untuk menarik pajak dan pungutan yang bersifat memaksa lainnya. Kedua, untuk menghilangkan kesan sewenang-wenang, maka pengaturannya haruslah diatur di dalam produk wakil rakyat yakni dalam bentuk UU. Ketiga, Iogika pajak adalah untuk melakukan pembiayaan atas keperluan negara. Akan tetapi, pajak juga merupakan Pajak seringkali menjadi problem besar dan menjadi penyebab gerakan revolusi besar atau perlawanan besar. Dalam Federalist Paper misalnya, James Medison menuliskan bahwa "the apportionment of taxes on various description of property in an act which seems to require the most exact impartiality". __ Seperti yang kita pahami, American Revolution (1775-1783) terjadi karena salah satu penyebab utamanya adalah tingginya pengenanaan pajak oleh British Parliament. Menariknya, pengampunan pajak adalah logika yang berlawanan dari pengenan pajak yang tinggi ini. Karena pada hakikatnya pengampunan pajak adalah bagian tindakan ^, negara untuk menghapus pajak dalam kaitan dengan pembayar pajak yang terutang yang tidak dikenakan sanksi administratif maupun pidana, sepanjang melakukan pengungkapan harta dan pembayaran atas denda yang ditentukan nilainya. Artinya, ini merupakan tindakan yang bagian dari kebijakan publik yang dibuat Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 281 oleh negara melalui pembentuk Undang-Undang dengan tujuan tidak sekedarnya hanya pengampunan atas pembayar pajak, tetapi juga harus dilihat sebagai sumbangsih pada keuangan dan perekonimian negara secara lebih luas. Jika memahami tax amnesty maupun tax cuts dalam kerangka seperti yang disampaikan pemohon bahwa merupakan bentuk diskriminasi dengan memosisikan wajib pajak yang taat dengan yang tidak taat berbeda, maka tentu saja memberikan kesimpulan yang tidak pas. Pertama , kerangka kebijakan perpajakan tidak bisa dipandang secara sendiri, tetapi selalu dikaitkan dengan stimulus perekonomian. Misalnya saja kebijakan perpajakan dalam bentuk tax cuts di Amerika, setidaknya berlaku tiga kali yang sangat massif di tahun 1920 an (masa Presiden Warren Hardings dan Calvin Coolidge), tahun 1960 (masa Presiden John F. Kennedy) dan 1980an (masa Presiden Ronald Reagan) dan terbukti, dalam ketiga masa tersebut kesemuanya berhasil melakukan stimulasi ekonomi (Gina Misiroglu, 2003 218-219). Kedua , tarif rendah pengampunan pajak hanya untuk saat pertama pengungkapan pajak, akan tetapi selanjutnya akan melakukan pembayaran dengan deklarasi yang lebih benar dan karenanya akan mempengaruhi jumlah pendapatan negara karena harta yang sudah diungkapkan tersebut akan masuk pada masa pajak tahun berikutnya. Aturan yang jelas mengatakan berlaku bagi siapa saja berarti siapa. pun diperbolehkan mengakses pembayaran pengampunan ini, dan implikasinya adalah secara sadar para peserta pengampunan pajak ini akan mengikutkan dirinya pada pembayaran pajak yang lebih benar berdasarkan jumlah harta yang disampaikan pada tahun-tahun berikutnya. Dengan kata lain, diskriminasi yang dituduhkan tidak terjadi karena kemudian terjadi pembayaran pajak secara benar. Hal tersebut senada cara berfikir Mahkamah Konstitusi Jerman pada salah satu putusannya di tahun 1990 yang dituliskan oleh Danny Darussalam (2016) yang mengutip Jacques Malherbe yang menuliskan bahwa MK Jerman membangun konstitusionalitas kebijakan serupa tax amnesty adalah bukan diskriminasi pembayar pajak taat dan tidak, akan tetapi merupakan jembatan bagi pembayar pajak yang tidak jujur agar kembali ke kepatuhan hukum untuk melakukan pembayaran pajak secara lebih benar dan memiliki implikasi pada peningkatan penerimaan negara Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 282 Penyusunan Kebijakan Pubiik Pada konsepsi hukum kebijakan publik dalam ranah hukum dapat dianalisis ke dalam beberapa segi. Pertama , pengambil kebijakan haruslah punya kewenangan untuk mengambil kebijakan tersebut. Hal inilah yang dikenal dengan asas hukum bahwa tanpa wewenang maka tidaklah suatu tindakan dapat dijalankan. Artinya, pengambil kebijakan haruslah memiliki kewenangan untuk meangambil kebijakan tersebut. Dalam negara hukum, maka hulu dan hilir dari kebijakan tersebut harusnya memiliki dasar hukum. Maksudnya adalah ketika kebijakan tersebut diambil harus ada dasar kewenangan dari pengambil kebijakan dan tatkala kebijakan tersebut dikeluarkan juga haruslah dalam bentuk produk hukurn. Seperti yang dipahami secara hukum; produk hukum ada tiga; beschikking (ketetapan); regaling (peraturan) dan vonis (putusan konkrit). Artinya, suatu kebijakan hanya dapat diambil jika ada dasar secara bentuk hukum tersebut, dan juga ketika diambil haruslan menggunakan bentuk produk hukum tersebut. Kedua , sumber kewenangan pengambil kebijakan. Sumber lahirnya kewenangan secara teoritik maupun peraturan perundang-undangan menyebutkan ada tiga; atribusi, delegasi dan mandat. Pada dasarnya atribusi adalah melekat pada jabatan kewenangannya, selain diatur secara langsung oleh konstitusi dan/atau Undang-Undang. Sedangkan delegasi dan mandat diperoleh melalui pelimpahan administratif yang kemudian dibedakan dari jenis pertanggungjawabannya. Dalam delegasi merupakah pelimpahan kewenangan pemerintah dari suatu organ pemerintah ke organ pemerintah lainnya. Sedangkan pada mandat, pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya, akan tetapi tidak mengalihkan tanggung jawab. Hal ini bukan hanya ciri teoritik tetapi juga dapat dilihat pada Pasal 11-14 UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Ketiga , konformitas hukum pengambilan kebijakan. Pada dasarnya, kebijakan hukum dapat dianggap benar secara hukum tatkala diambil dengan proses hukum yang benar berdasarkan kewenangan yang dimiliki. jika hal tersebut diambil dalam bentuk regaling (aturan) maka harus diambil dalam sebuah proses penyusunan peraturan yang sudah benar dan tepat sebagaimana diatur di dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penyusunan Peraturan Perundang-undangan, serta asas umum pemerintahan yang baik Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 283 Dalam tiga kerangka tersebut, maka UU Pengampunan Pajak dapat dilihat dalam kerangka kebijakan publik secara lebih luas. Bahwa UU Pengampunan Pajak merupakan salah satu model dari open legal ^- __ policy yang dimiliki oleh pemilik kewenangan pengambilan kebijakan perpajakan dalam rangka mengisi kebijakan perpajakan. Sepanjang, kebijakan tersebut sesuai dengan kewenangan yang dimiliki dan pengambilan kebijakan dilakukan secara besar berdasarkan kewenangan yang dimiliki. Open legal policy adalah kebijakan hukum yang diambil oleh pembentuk peraturan perundang-undangan untuk menerjemahkan makna visi negara yang tercantum di dalam UUD 1945. Dalam beberapa Putusan MK, telah diperkenalkan model open legal policy ini setidaknya dalam dua hal; Pertama, tatkala UUD hanya mengatur hal pemberian mandat kepada pembentuk UU untuk mengatur ke hal yang lebih khusus. Kedua, tatkala UUD tidak mengatur pendelegasian pengaturannya. Dalam konsepsi open legal policy yang menjadi ukuran adalah tujuan utama yang lebih besar ingin dicapai dalam pengaturan tersebut. Sehingga, jika pun dikenakan pembatasan, maka pembatasan konsepsi open legal policy akan menempatkan negara dalam mengambil tindakan dapat mengambil langkah yang diperlukan sepanjang tetap menjaminkan penghormatan hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban dalam suatu masyarakat demokratis. (Putusan MK Nomor 86/PUU-X/2012) Dengan sudut pandang open legal policy, maka tujuan lebih besar yang ingin dicapai mempertimbangkan cara berfikir lesser evil, atau dengan memilih mudharat yang terkecil yang mungkin didapatkan dengan kebijakan yang dikeluarkan. Karenanya, dengan konteks tujuan yang lebih besar yang ingin dicapai dalam melaksanakan UU Pengampunan Pajak, maka dapat dipandang sebagai cara pandang open legal policy negara dalam pengurusan dan pengelolaan pajak demi keperluan negara dapat dilakukan sepanjang tidak melanggar batasan-batasan tertentu. Perlindungan Hukum Pengambilan Pelaksanaan Kebijakan Hal lainnya adalah perlindungan hukum bagi pelaksana kebijakan pengampunan pajak. Dalam kaitan dengan pihak-pihak dari suatu kebijakan, setidaknya ada lima fungsi hukum menurut Sjahran Basah; Pertama , direktif Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 284 sebagai pengarah dalam membangun untuk membentuk hal yang hendak dicapai dalam kehidupan bernegara; Kedua , integratif sebagai sarana pemersatu bangsa; Ketiga , stabilitatif yakni sebagai pemelihara dan penjaga keselarasan, keserasian dan keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Keempat , perfektif, sebagai sarana untuk menyempurnakan tindakan administrasi negara maupun sikap warga negara dan kehidupan bermasyarakat, Kelima , korektif terhadap administrasi negara dalam ^ mendapatkan keadilan. Dalam fungsi yang kompleks inilah, maka peraturan tersebut tidak bisa dan mustahil ditentukan hanya dalam satu Undang-Undang secara mendetail. Akan tetapi, ketentuan dan penegakan hal tersebut akan berada pada berbagai Undang-Undang, bahkan juga dilengkapi dengan berbagai peraturan pelaksana lainnya, termasuk hingga keputusan-keputusan yang bersifat teknis dalam rangka menjaga tujuan fungsi hukum secara administratif tersebut. Hal yang harus diingat, dalam pelaksanaan kebijakan ini maka tidak hanya sekedar mengikat pada pihak-pihak yang terkena dampak dari suatu aturan, akan tetapi juga mengikat pihak yang mengeluarkan aturan. Makanya, kontrol secara administratif itu bisa terhadap pihak yang diberi darnpak (dalam bentuk sanksi), akan tetapi juga pada pihak yang membuat kebijakan beserta produknya (dalam bentuk uji materi). Karenanya, tindakan hukum yang pas harus dilihat berdasarkan pada beban kesalahan yang seharusnya dikoreksi pada wilayah mana. Tinggal dapat dilihat dan dibedakan secara mendetail, sanksi apa yang akan dijatuhkan pada saat adanya pelanggaran dalam melaksanakan suatu kebijakan tersebut. Tanggung jawab yang diukur berdasar pada derajat kesalahan. Pasal 22 UU Pengampunan Pajak mengatur bahwa 'Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut balk secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan". Konsep ini pada dasarnya diberikan kepada pelaksana kebijakan yang diperintahkan di dalam UU sebagai pelaksana dari suatu ketentuan perundangundangan. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 285 Hal ini dapat dilihat secara dua hal. Pertama , Pasal 22 itu lama sekall tidak melakukan perlindungan menyeluruh, akan tetapi memberikan perlindungan terbatas terhadap pengambilan pelaksanaan kebijakan hukum yang kompleks tersebut sepanjang ketika diambil tidak berdasar pada itikad buruk dan secara melawan perundang-undangan. Artinya tidak ada imunitas absolut. Kedua , dapat dipahami bahwa perlindungan ini dalam kaitan dengan melaksanakan UU. Maka jika dalam kaitan melaksanakan UU, sudah selayaknya pelaksana yang bersifat hanya sebagai pengeksekusi dari kebijakan yang diperintahkan oleh negara dilindungi dari kemungkinan dipersalahkan dari kesalahan yang diperintahkan negara. Kesimpulan Pada hakikatnya, dalam hal yang telah diterangkan di atas, dapat dikatakan bahwa; Pertama , UU Pengampunan Pajak adalah bagian dari cita- cita besar negara dalam melakukan perbaikan sistem perpajakan dan menguatkan pendanaan bagi keperluan negara sebagai cita-cita yang besar untuk membuat para pembayar pajak menjadi lebih taat. Kedua , UU Pengampunan Pajak adalah merupakan bagian dari open legal policy pembentuk UU dalam hal membuat kebijakan publik yang berkaitan dengan perpajakan. Ketiga , perlindungan hukum yang diberikan terhadap pelaksana UU Pengampunan Pajak adalah hal yang bersifat tidak absolut, karena hanya dilindungi jika sudah melaksanakan dengan itikad yang baik dan benar secara peraturan perundang-undangan. Pada saat yang sama perlindungan yang diperlukan sebagai pelaksana kebijakan agak dapat melaksanakan kebijakan negara yang telah dituangkan dalam UU Pengampunan Pajak.
Prof. Dr. Eddy O.S. Hiariej, S.H., M.Hum. Pada saat ini Mahkamah Konstitusi sedang menyidangkan Permohonan Uji Materiil terhadap Undang-Undang Pengampunan Pajak. Undang-Undang a quo dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya yang berkaitan dengan prinsip negara hukum, kesederajatan di depan hukum, kepastian hukum, dan kebebasan memperoleh informasi. Berdasarkan interpretasi doktriner yaitu penafsiran yang dilandaskan pada teori atau doktrin hukum, perlu disampaikan hal-hal sebagai berikut: PERTAMA, dalam doktrin hukum pidana, hukum pidana pajak disebut sebagai ius singulare karena memiliki sistem norma dan sanksi sendiri. Bersama-sama 7 Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 286 dengan hukum pidana militer yang disebut sebagai ius specialae , hukum pidana pajak merupakan hukum pidana khusus tertua di dunia. Hukum pidana pajak memiliki norma dan sanksi hukum yang mengandung sifat administratif dan pidana, yang didasarkan pada asas-asas yang bersifat ekonomis dan finansial. Artinya sanksi pidana badan berupa perampasan kemerdekaan. KEDUA , telah terjadi perubahan paradigma dalam hukum pidana moderen. Pada awalnya hukum pidana berorientasi pada keadilan retributif, yang mana hukum pidana lebih berorientasi pada pembalasan dengan mengedepankan hukum pidana sebagai lex talionis atau sarana balas dendam. Akan tetapi pada saat sekarang ini, paradigma hukum pidana moderen berorientasi pada keadilan korektif, rehabilitatif dan restoratif. Keadilan korektif berhubungan dengan sanksi atas kesalahan pelaku, sedangkan keadilan rehabilitatif berkaitan dengan perbaikan terhadap pelaku agar tidak mengulangi perbuatan pidana, sementara keadilan restoratif bertalian dengan pemulihan atas kerugian yang ditimbulkan. In casu a quo , Undang-Undang Pengampunan Pajak telah berorientasi pada paradigma hukum pidana moderen yang tidak lagi berorientasi pada penghukuman terhadap pelaku melainkan lebih pada pemulihan terhadap pendapatan negara dan dalam rangka memperbaiki pelaku untuk tidak lagi mengulangi perbuatan yang sama di masa mendatang. KETIGA , ketika wajib pajak telah menyatakan semua harta kekayaan yang selama ini belum dilaporkan, kemudian atas pernyataan tersebut dikenakan pembayaran dengan prosentase tertentu maka secara mutatis mutandis hal- hal yang berkaitan dengan pidana pajak dianggap selesai. Hal ini berkaitan dengan sifat dan karakter hukum pidana pajak sebagai ius singulare sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Dalam konteks teori, hal yang demikian dikenal dengan istilah pointless of punishman . Menghukum yang tidak perlu haruslah dihindari jika tujuan dari undang-undang sudah terpenuhi. KEEMPAT , kerahasiaan informasi. Dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak diatur bahwa informasi terkait data wajib pajak yang mengikuti pengampunan pajak dan dilarangnya pihak lain untuk mengakses atau memperoleh informasi tersebut pada hakikatnya tidaklah melanggar konstitusi yang bertalian dengan kebebasan memperoleh informasi. Di satu sisi, setiap warga negara memiliki hak kebebasan memperoleh informasi bukanlah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 287 kebebasan mutlak yang tidak dapat dibatasi, melainkan kebebasan tersebut haruslah dibatasi jika berkaitan dengan privasi seseorang. KELIMA , perlu dipahami bahwa Undang-Undang Pengampunan Pajak sama sekali tidak dimaksudkan untuk melegalkan praktik korupsi ataupun pencucian uang. Selain memiliki sifat dan karakter yang berbeda antara hukum pidana pajak dan hukum pidana korupsi serta hukum pidana pencucian uang, Undang-Undang Pengampunan Pajak hanya berkaitan dengan tindak pidana pajak. Hukum pidana pajak sebagai ius singulare mengedepankan hukum pidana sebagai ultimum rimedium. Artinya, hukum pidana adalah sarana terakhir penegakkan hukum setelah instrumen penegakkan hukum lainnya tidak lagi berfungsi dengan baik. Hal ini berbeda dengan hukum pidana dalam konteks korupsi dan pencucian uang yang mengedepankan hukum pidana sebagai primum rimedium. Artinya, hukum pidana sebagai sarana utama dalam memberantas kedua kejahatan tersebut. KEENAM , bertalian dengan pembuktian terbalik terhadap harta kekayaan wajib pajak. Berdasarkan Undang-Undang a quo , besarnya harta kekayaan yang belum dilaporkan diserahkan sepenuhnya kepada pernyataan wajib pajak. Hal ini tidak dapat serta merta ditafsirkan bahwa harta kekayaan yang belum dilaporkan merupakan hasil tindak pidana pencucian uang. Dalam tindak pidana pencucian uang kejahatan asal adalah causa proxima dari kejahatan pencucian uang. Tidak dilaporkan harta kekayaan yang sesungguhnya kepada fiscus atau pegawai pajak, tidaklah berarti harta kekayaan yang belum dilaporkan merupakan hasil yang ilegal. Selain itu, pembuktian terbalik dalam kontek Pasal 77 Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Udang berkaitan dengan pembuktian harta kekayaan yang akan dirampas oleh negara manakala tidak dapat dibuktikan bahwa harta kekayaan yang akan dirampas oleh negara manakala tidak dapat dibuktikan bahwa harta kekayaan tersebut tidak berasal dari suatu kejahatan. KETUJUH , bertalian dengan Pasal 20 Undang-Undang Pengampunan Pajak. Perlu ditegaskan bahwa Pasal a quo tidak akan menghapuskan atau menghilangkan proses penegakan hukum pidana di luar tindak pidana pajak. Artinya, pasal a quo tidak menghapuskan penegakan hukum pidana dan tidak pula mengurangi kewenangan kekuasaan kehakiman untuk menegakan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 288 hukum dan keadilan. Proses penegakan hukum pidana kepada pelaku pengampunan pajak tetap berlangsung sepanjang data dan informasi tidak berasal dari pelaksanaan pengampunan pajak. Artinya, tindak pidana lain di luar tindak pidana pajak tetap dapat diproses oleh penegakan hukum, jika dan hanya jika data yang diperoleh penegak hukum, apakah Kepolisian, Kejaksaan atau Komisi Pemberantasan Korupsi mempeorleh data tersebut bukan dari pelaksanaan pengampunan pajak. Dengan demikian ketentuan pasal a quo tidaklah bertentangan dengan prinsip kesederajatan di depan hukum. Berdasarkan berbagai argumentasi teoritik di atas, Undang-Undang Pengampunan Pajak tidaklah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 baik terkait prinsip negara hukum dan kesederajatan di depan hukum, maupun kepastian hukum dan kebebasan memperoleh informasi.
Prof. Wihana Kirana Jaya, M. Soc. Sc., Ph.D Di tahun 2016 pemerintah Indonesia telah melakukan kebijakan program tax amnesty (pengampunan pajak) yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia melalui UU Nomor 11 Tahun 2016. Kebijakan tax amnesty ini dilakukan berdasarkan berbagai pertimbangan antara lain kurangnya penerimaan negara untuk pembangunan Indonesia. Penerimaan negara yang bersumber dari pajak, sektor migas dan sumber daya alam semakin berkurang meskipun pertumbuhan ekonomi cukup baik namun cenderung melambat, penerimaan dari aktivitas perdagangan intemasional belum sesuai dengan yang diharapkan karena adanya globalisasi dan ketentuan ketentuan tarif yang disyaratkan oleh World Trade Organization (WTO). Kenyataan bahwa data tax ratio Indonesia dalam 10 tahun ini sangat rendah (11-12%) dibandingkan dengan negara maju (sekitar 24%). Rendahnya tax ratio tersebut disebabkan antara lain design ekonomi kelembagaanya belum berjalan secara optimal, seperti kepatuhan Wajib Pajak (subjek pajak) yang masih rendah dan terbatasnya kapasitas otoritas perpajakan terutama dalam mengawasi aktivitas perelconomian di sektor informal (underground economy) dan banyaknya modal yang lari ke Iuar negeri (capital flight)? Short fall penerimaan negara dari pajak cukup besar padahal jika dilihat dari jumlah penduduk saat ini sekitar 253 juta orang dan menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) yang berpotensi untuk membayar pajak (wajib pajak) sekitar 110 juta orang sedangkan data wajib pajak yang dimiliki DJP Baru Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 289 sekitar 26 juta artinya masih ada 84 juta orang potensi wajib pajak belum dioptimalkan (Kismantoro, 2014). Semua warga negara sama kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, tidak semua warga negara wajib membayar pajak hanya yang menjadi wajib pajak dan subjekpajak saja yang dapat dipaksakan untuk membayar pajak Mangkoesoebroto, menyatakan bahwa pajak adalah suatu pungutan yang merupakan hak prerogatif pemerintah/negara dimana pungutan tersebut didasarkan pada Undang-Undang, pemungutannya dapat dipaksakan kepada subjek pajak dengan tidak ada balas jasa yang langsung dapat ditunjukkan penggunaannya agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan. Negara berhak memungut pajak karena negara memiliki otoritas yang besar karena hanya negara yang patut ditaati aturan hukumnya, hanya negara yang dapat membuat kerangka dan batas bagi kehidupan masyarakat. Secara kelembagaan negara berhak melakukan kebijakan terhadap pajak dan subjek pajak yang memiliki kewajiban untuk membayar pajak tennasuk pengenaan sanksi maupun ampunan. Pertanyaan nya adalah sejauh mana efektivitas kebijakan Tax Amnesty dalam perpektif ekonomi kelembagaan atau ekonomi aturan main nya? Secara teori ekonomi kelembagaan adalah sebagai aturan informal dan aturan formal berserta aturan penegakannya (hukum/regulasi/ peraturan perundang-undangan) yang mempengaruhi tata kelola (governance) dan membentuk struktur insentif bagi pelaku di dalamnya (North, 1993, Williamson, 2000, Jaya, 2010). Secara teori kelembagaan, pelaksanaan tax amnesty sesuai dengan level 2 (L.2) dan level 3 (L.3) berdasarkan Williamson (2000). Tidak dapat dipungkiri design ekonomi kelembagaan dalam pungutan pajak di Indonesia masih belum optimal. Bukti empiris menunjukan design ekonomi kelembagaan belum menunujukan tax ratio yang tinggi. Potensi penerimaan pajak terbesar saat ini adalah: Keputusan sengketa pajak yang salah; Keputusan atas jumlah pajak yang seharusnya dibayar di MIGAS; Pengembalian kerugian negara akibat korupsi; Cash/Underground economy yang belum teregister/terdeteksi pada lalu lintas keuangan negara atau terhalang rahasia bank, sehingga belum terjangkau oleh institusi perpajakan. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 290 Namun besarnya potensi relatif cenderung kurang diolah secara optimal karena kurangnya struktur insentif yang dapat menumbuhkan pajak, kurangnya tunjangan/jaminan pengembalian kapasitas pembayar pajak dan tunjangan/jaminan peningkatan kapasitas non pembayar pajak kepada pembayar pajak. Salah satu konsep ekonorni kelembagaan adalah teori kontrak. Teori kontrak dapat menjelaskan kontrak antara pemerintah dengan pembayaran pajak (North, 1990). Definisi teori kontrak adalah perjanjian antara pemerintah dengan pembayar pajak sesuai dengan peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Beberapa hal yang melatar belakangi mengapa pemerintah melakukan pungutan pajak adalah untuk memenuhi kebutuhan penyediaan pelayanan publik; keterbatasan anggaran pemerintah daerah, kebutuhan dan tuntutan dari masyarakat yang aktif dan rendahnya kualitas layanan infrast uktur publik di daerah. Menurut Dixit (1996) kontrak hubungan pemerintah dengan pembayar pajak harus diatur dengan legal binding (contract-enforcement agency), yang juga disebut lembaga hukum (legal institution) yang mengawasi kontrak. Dalam teori neoklasik, kontrak biasanya kontrak diasumsikan dalam kondisi informasi lengkap (complete contract) yang dapat dibuat dan ditegakkan tanpa biaya (costlessly). Namun dalam realitasnya, untuk membuat dan menegakkan kontrak yang komplit sangatlah sulit karena adanya biaya transaksi melalui perilaku opurtunis dan keterbatasan informasi dari beberapa pihak yang terkait langsung maupun tidak langsung (Coase, 1993). Oleh karena itu perlu dibuatkan lembaga yang melakukan chek and balances kontrak tersebut. Sesuai dalam teori kontrak, program tax amnesty, pemerintah (negara) Indonesia memberikan kebijakan insentif untuk menumbuhkan/meningkatkan pajak sehingga dapat meningkatkan penerimaan negara dalam jangka pendek maupun panjang. Peningkatan penerimaan negara nantinya digunakan untuk membiayai pembangunan dan peningkatan pelayanan publik sehingga dapat meningkatkan tunjangan/jaminan pengembalian kapasitas pembayar pajak dan tunjangan/jaminan peningkatan kapasitas non pembayar pajak kepada pembayar pajak. Pemerintah Indonesia memberikan kesempatan terakhir (one shot opportunity) bagi Wajib Pajak yang melakukan onshore maupun offshore tax Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 291 evasion dengan tujuan utama sebagai wahana rekonsiliasi perpajakan nasional bagi seluruh potensi masyarakat pembayar pajak Banyaknya Cash/Underground economy yang belum teregister/terdeteksi pada lalu lintas keuangan negara atau terhalang rahasia bank menyebabkan tax ratio Indonesia sangat rendah oleh karena itu tax amnesty memberikan insentif bagi pengungkapan aset maupun kekayaan yang disimpan di luar negeri. Salah satu masalah panting dalam optimalisasi pajak yang menggunakan self assessment seperti Indonesia adalah database, melalui pengungkapan aset maupun kekayaan yang disimpan di luar negeri maka dapat memperbaiki/memperluas basis data pajak. Secara konsep teori kontrak menjadi komplit diperlukan suatu Lembaga external. Semakin transparannya sektor keuangan global dan meningkatnya intensitas pertukaran informasi antar negara menyebabkan semakin kecilnya kemungkinan untuk menyembunyikan kekayaan di luar negeri dengan adanya penerapan Automatic Exchange of Information (AEOI) atau pertukaran informasi secara otomatis antar negara. Jaringan informasi perpajakan Indonesia dalam pelaksanaan AEOI ini sangat luas karena Indonesia telah memiliki P3B dengan sejumlah Negara/yurisdiksi dan juga karena sudah banyak negara/yurisdiksi yang telah menandatangani Konvensi dan MCAA. Dan pelaksanaan Automatic Exchange of Information tersebut menggunakan standar yang diatur dalam Common Reporting Standard (CRS). Secara konsep teori kontrak External contrak- enforcement agency panting dalam penerapan Tax Amnesty . Rendahnya tingkat kepatuhan wajib pajak terkait dengan law enforcement perpajakan yang seringkali terkendala secara kelembangaan terkait isu koordinasi antar lembaga pengelola pajak dan penegak hukum. Oleh karena itu dalam pelaksanaan program tax amnesty DIP sebagai pengelola pajak berkoordinasi dengan seluruh pihak estemal terkait law enforcement antara lain Kepolisian, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), PPATK, Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Kejagung dan lembaga lain. Selain itu DIP bekerjasama dengan 18 perbankan, 18 MI, dan 19 perusahaan efek atau sekuritas yang telah memenuhi persyaratan dari Kemenkeu sebagai institusi yang akan menampung dana repatriasi aset tax amnesty. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 292 Tax amensty juga diatur dalam ekonomi konstitusi negara kita. Pengaturan kebijakan Pengampunan Pajak melalui Undang-Undang tentang Pengampunan Pajak sesuai dengan ketentuan Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pengampunan pajak berkaitan dengan penghapusan pajak yang seharusnya terutang, sanksi administrasi perpajakan, dan sanksi pidana di bidang perpajakan. Undang- Undang ini dapat menjembatani agar harta yang diperoleh dari aktivitas yang tidak dilaporkan dapat diungkapkan secara sukarela sehingga data dan informasi atas harts tersebut masuk ke dalam system administrasi perpajakan dan dapat dimanfaatkan untuk pengawasan kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan di masa yang akan dating. KesimpuIan tulisan ini adalah ingin menunjukan bahwa konsep dan bukti empiris analisis ekonomi kelembagaan model Oliver Williamson (2000) dapat dipergunakan tidak hanya untuk menganalisis dampak aturan main formal ke dalam kinerja ekonomi namun juga dapat juga dapat dipergunakan untuk menjawab judicial review (uji materi) terhadap UU Nomor 11 Tahun 2016 ke MA. oleh pemohon Yayasan Satu Keadilan yang diwakili oleh "the law office of Hari Perdana Tarigan, dan LBH Keadilan Jakarta Raya yang mewakili Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia. Menurut Williamsson, pelaksanaan pengampunan pajak selain dilakukan berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2016 ( what is the rules of the game ) tentang Pengampunan Pajak juga didukung oleh aturan formal berupa peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur tata cara, persyaratan dan mekanisme seperti ( how the game is played ):
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 119/PMK.08/2016 tentang Tata Cara Pengalihan Harta Wajib Pajak ke Dalam Wilayah NKRI dan Penempatan pada Instrumen Investasi di Pasar Keuangan Dalam Rangka Pengampunan Pajak 2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.03/2016 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak 3. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-07/PJ/2016 tentang Dokumen dan Pedoman Teknis Pengisian Dokumen Dalam Rangka Pelaksanaan Pengampunan Pajak Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 293 4. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-30/PJ/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengampunan Pajak Aturan formal tersebut merupakan pre-kondisi atau infrastruktur panting dalam pelaksanaan program pengampunan pajak dan berisi tentang aturan main terutama "property right" pengampunan pajak. Aturan formal tersebut melibatkan aspek politik (DPR-UU), birokrasi dan pengadilan. Tata kelola pengampunan pajak melibatkan tata cara pelaksanaan, aturan main, mekanisme serta lembaga yang terlibat dalam program pengampunan pajak beserta persyaratannya. Banyaknya dukungan dari berbagai lembaga termasuk DPR dan Presiden dalam program tax amnesty menunjukkan adanya dukungan institutional environment. Struktur tata kelola yang dibuat disertai dengan konsep transaksi hal ini terlihat dari adanya berbagai aturan seperti tebusan, denda dan sebagainya. Tarif tebusan berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2016 Pasal 4 misalnya telah mencerminkan adanya "transaksi" antara pengelola pajak (negara/pemerintah) sebagai principal dengan pemohon pengampunan pajak sebagai agent. Tarif tebusan merupakan sistem insentif dan mengadopsi konsep transaksional. Pasal 21 ayat (2) bahwa Negara pemerintah memberikan guarantee sebagai kerahasiaan data sebagai kompensasitransaksional atas kesediaan pemohon tax amnesty mengungkapkan data aset dan kekayaannya sehingga tax amnesty bukan merupakan bentuk hak istimewa yang warga negara khususnya wajib pajak/subjek pajak namun hakikatnya merupakan insentif. Insentif tersebut bukan berarti melegalkan "ketidakpatuhan" atau pelanggar pajak namun hanya peinberian peluang one shot (penetapan periode tax amnesty yang sudah pasti Juli 2016-31 Maret 2017 Baja) bagi yang tidak patuh memperbaild kepatuhannya dan memberikan manfaat kontribusi dalam pembangunan negara dalam bentuk investasi yang penggunaannya juga diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 119/PMK.08/2016. Last but not lease Aturan main ekonomi informal ( mindset, code of conduct, behavior) itu panting dalam suksesnya penerapan UU Pengampunan Pajak. Salah satunya adalah UU Pengampunan pajak ini tidak akan berhasil kalau tidak ada kepercayaan (trustworthness) antar muti stakeholders. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 294 1 Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum. Hadirnya UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak didasarkan atas tujuan umum:
Meningkatkan penerimaan pajak dalam jangka pendek;
Meningkatkan kepatuhan pajak di masa yang akan datang;
Meningkatkan basis pemajakan (subjek dan objek);
Transisi ke sistem perpajakan yang baru yang lebih kuat dan adil;
Mewujudkan Rekonsiliasi perpajakan nasional. Ditinjau secara teoretis, lahirnya UU Nomor 11 Tahun 2016 sebagai legal basis kebijakan Tax Amnesty merupakan derivat dari fungsi pajak yang bersifat mengatur dengan menggunakan cara khusus yang berkarakter positif dalam bentuk kelonggaran yang berupa tax holiday (pembebasan pajak) dan mengadakan afschrifving (penghapusan). Fungsi pajak yang bersifat mengatur menempatkan pajak sebagai instrumen untuk mengatur dan mengarahkan masyarakat ke arah tujuan dan kondisi tertentu yang dikehendaki pemerintah. Jika dikaitkan dengan tujuan dari kebijakan Tax Amnesty , fungsi mengatur pajak sebagai landasan teoretis dari lahirnya UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak bisa diletakkan dalam kategori Tax Reform . Yarif Branuer dan Miranda Stewart, 2013:
dalam buku “ Tax, Law and Development ” mengatakan bahwa: “ tax reform may be considered a ‘speciality’ of public finance or economic policy. Tax reform is also law reform that almost always involves ‘transplanting’ legal notions or models across borders and hence may be theorized as a comparative law project. Finally, tax reform can be thought of as an element of ‘governance’ reform with its focus on institutions, administration and (re)construction of modes of interaction of citizens and the state. ” Dasar pembenaran teoretis pemungutan pajak semata-mata untuk kepentingan si pemungut pajak yaitu fiscus sudah lama ditinggalkan. Teori pembenaran pemungutan pajak untuk semata-mata kepentingan si pemungut antara lain “ orgaantheori ” dari Von Gierke yang menyatakan bahwa negara itu merupakan suatu kesatuan yang didalamnya setiap warga negara terikat, tanpa ada organ atau lembaga (negara) tersebut maka individu tidak mungkin dapat hidup (Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, 2004: 29-30). Dasar pembenar dan dasar keadilan pemungutn pajak terletak pada hubungan antara rakyat dengan negara. Negara dibentuk karena adanya persekutuan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 295 individu sehingga individu harus membaktikan dirinya pada negara melalui pembayaran pajak. Kini, telah banyak terjadi pergeseran teori yang lebih banyak menggunakan dasar pembenar pemungutan pajak untuk kepentingan pihak yang dipungut (wajib pajak). Apabila kita melihat Pancasila yang merupakan dasar negara Indonesia dan menjadi landasan filosofis semua kegiatan penyelenggaraan negara, maka pemungutan pajak oleh negara kepada rakyatnya tersebut dapat dibenarkan jika kita mengacu pada sila kelima yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sila kelima Pancasila tersebut mengandung makna bahwa kita perlu mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotong royongan. Pajak adalah salah satu bentuk perbuatan gotong royong yang tidak perlu disyaratkan, melainkan sudah hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia yang hanya perlu dikembangkan dan dilestarikan saja. Gotong royong, termasuk di dalamnya membayar pajak merupakan salah satu pengorbanan setiap anggota masyarakat untuk kepentingan bersama tanpa mendapatkan imbalan. Jadi, pemungutan pajak menurut Pancasila dapat dibenarkan, karena pembayaran pajak akhirnya adalah untuk kita bersama (Suparnyo, Hukum Pajak – Suatu Sketa Asas, Pustaka Magister, Semarang, 2012: 15-16). Teori itu disebut teori “Pembenaran Pajak Menurut Pancasila”. Berdasarkan teori tersebut, tekanan dari fungsi pajak tidak hanya pada fungsi budgeter semata-mata, namun, perlu dipadukan dengan fungsi mengatur untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan maupun tujuan sosial yang diamanahkan dalam Pembukaan UUD Negara RI 1945. Kehadiran UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak pada Pasal 2 ayat (1) didasarkan asas:
kepastian hukum;
keadilan;
kemanfaatan; dan
kepentingan nasional. Sehubungan dengan tujuan tersebut, Pengampunan Pajak sebagaimana diatur pada Pasal 2 ayat (2) bertujuan untuk:
Mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi melalui pengalihan Harta, yang antara lain akan berdampak terhadap peningkatan likuiditas domestik, perbaikan nilai tukar Rupiah, penurunan suku bunga, dan peningkatan investasi;
Mendorong reformasi perpajakan menuju sistem perpajakan yang lebih berkeadilan serta perluasan basis data perpajakan yang lebih valid, komprehensif, dan terintegrasi; dan
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 296 meningkatkan penerimaan pajak, yang antara lain akan digunakan untuk pembiayaan pembangunan. Hal itu sejalan dengan konsiderasi pembentukan UU Nomor 11 Tahun 2016 yaitu meliputi:
bahwa pembangunan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bertujuan untuk memakmurkan seluruh rakyat Indonesia yang merata dan berkeadilan, memerlukan pendanaan besar yang bersumber utama dari penerimaan pajak;
bahwa untuk memenuhi kebutuhan penerimaan pajak yang terus meningkat, diperlukan kesadaran dan kepatuhan masyarakat dengan mengoptimalkan semua potensi dan sumber daya yang ada;
bahwa kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya masih perlu ditingkatkan karena terdapat Harta, baik di dalam maupun di luar negeri yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan;
bahwa untuk meningkatkan penerimaan negara dan pertumbuhan perekonomian serta kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan, perlu menerbitkan kebijakan Pengampunan Pajak. Hakikat dari keempat tujuan tersebut meliputi 3 (tiga) aspek penting, yaitu:
Tujuan mewujudkan masyarakat adil dan makmur sebagaimana diamanahkan oleh alinea ke-2 dan ke-4 Pembukaan UUD Negara RI 1945;
Memenuhi kebutuhan penerimaan pajak (fungsi budgeter ) yang dijamin oleh Pasal 23A UUD 1945;
Meningkatkan kesadaran dan kepatuhan wajib pajak (asas kepastian hukum). Ditinjau dari ketiga hakikat tujuan Pengampunan Pajak yang menjadi esensi dari konsiderans UU Nomor 11 Tahun 2016 tersebut, justru UU Nomor 11 Tahun 2016 ingin memastikan bahwa seluruh norma dalam UUD 1945 terkait mampu mewujudkan Pembukaan UUD 1945 sepenuhnya. Pasal-pasal dalam UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak jangan dilihat sepotong-potong, namun harus dikaji secara holistik dan sistematik karena tujuan dari UU Pengampunan Pajak tersebut justru ingin memastikan terwujudnya nilai-niliai konstitusionalitas melalui intermediary instrument UU Pengampunan Pajak tersebut. UU Pengampunan Pajak menjembatani kondisi masih banyaknya ketidakpatuhan Wajib Pajak yang memiliki aset yang belum dilaporkan kepada fiscus untuk dikenakan kewajiban perpajakan menuju kondisi yang membawa kepastian mengenai Wajib Pajak dan Tatbestand (sasaran yang dikenai pajak) setelah berlangsungnya masa pengampunan pajak. Deklarasi aset-aset pajak Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 297 yang dimiliki oleh Wajib Pajak melalui Surat Pernyataan dengan membayar uang tebusan secara filosofis justru merupakan pernyataan untuk mengikatkan diri para Wajib Pajak terhadap asas kepastian hukum dalam hukum perpajakan. Ditinjau dari teori hukum administrasi negara, UU Pengampunan Pajak memerlihatkan penerapan green light theory dan red light theory . Hal itu dapat dilihat dari implementasi dari green light theory melalui pengaturan mengenai konstruksi berbagai ketentuan mengenai pengampunan pajak sebagai “hak” dari setiap Wajib Pajak vide Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16 dan Pasal 17. Pasal-pasal itu memang memberikan kelonggaran (tax holiday) dan penghapusan ( afschrifving ) terhadap Wajib Pajak. Namun, tak berarti hal itu mengubah karakter dari Pasal 23A UUD Negara RI 1945. Hal itu disebabkan substansi Pasal 18 UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak yang diantaranya akan memberikan sanksi administratif perpajakan berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari pajak yang tidak atau kurang dibayar jika terdapat temuan adanya data dan/atau informasi mengenai harta yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan [vide Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2)] termasuk akan diterapkan pajak dan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan [vide Pasal 18 ayat (4)], memperlihatkan diterapkannya red light theory dalam hukum administrasi negara yang tetap bermaksud memastikan dilaksanakannya prinsip yang terkandung baik dalam Pasal 23A (karakter pajak yang bersifat memaksa) maupun Pasal 27 ayat (1) (asas persamaan/ equality principle ) dalam UUD 1945. Hukum Pajak merupakan pengkhususan ( lex specialis ) dari hukum administrasi negara, maka prinsip-prinsip dalam hukum administrasi negara juga tetap berlaku dalam pengaturan maupun pelaksanaan hukum pajak. Dalam hukum administrasi negara, pengaturan UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak dapat diletakkan sebagai sarana yuridis untuk mencapai tujuan-tujuan pemerintahan ( bestuursdoeleinden ) tertentu. De Haan, dkk. (1986:
dalam buku “ Bestuursrecht in de Sociale Rechtsstaat deel 1” mengatakan bahwa: “ Meer beleidsmatig geinspireerd is de opvatting dat het bestuursrecht een tweeledige rol vervult. Enerzijds biedt het bestuursrecht de Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 298 overheid een juridisch instrumentarium voor het realiseren van overheidsdoeleinden, anderzijds biedt het de burger en andere overheidsorganen waarborgen tegen een onjuist en rechtvaardig bestuursoptreden. Deze tweeledige rol kwam tot uiting in de oorspronkelijke ondertitel van dit boek: instrument en waarborg .” Banyak kebijakan diinspirasi pandangan bahwa hukum administrasi negara memainkan 2 (dua) peranan. Di satu sisi hukum administrasi negara menyediakan bagi penguasa sarana yuridis untuk merealisasikan tujuan-tujuan pemerintahan, di sisi lain menyediakan bagi rakyat dan badan-badan pemerintahan lain jaminan terhadap tindakan-tindakan pemerintah yang tidak tepat dan tidak adil. Kedua peranan tersebut bertitiktolak dari sub judul dalam buku ini: sarana dan jaminan. UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak yang membatasi masa berlaku kebijakan pengampunan pajak sampai pada tanggal 31 Maret 2017 harus diletakkan sebagai bentuk norma hukum UU yang bersifat sui generis yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan pemerintahan sebagaimana ditentukan pada Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2016. Dengan demikian, karakter norma hukum yang terdapat dalam UU Nomor 11 Tahun 2016 lebih menampakkan sifat diskresionary norm yang diberikan wadah suatu undang-undang agar lebih memberikan kepastian hukum. Dengan demikian, rangkaian norma-norma yang terdapat dalam UU Pengampunan Pajak di satu sisi memang tidak pernah dimaksudkan untuk mereduksi kualitas norma Pasal 23A UUD 1945 maupun Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Di sisi lain, meletakkan suatu discretionary norm dalam bingkai suatu Undang-Undang dimaksudkan untuk mewujudkan jaminan kepastian hukum sebagai wujud bestuurlijke waarborgen (jaminan pemerintahan) terhadap wajib pajak. Lebih lanjut, pengaturan dalam UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak itu telah dilaksanakan melalui serangkaian peraturan pelaksanaan dalam: Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.03/2016 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 119/ PMK.08/2016 tentang Tata Cara Pengalihan Harta Wajib Pajak Ke Dalam Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia Dan Penempatan Pada Instrumen Investasi Di Pasar Keuangan Dalam Rangka Pengampuan Pajak, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 299 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 127/PMK.010/2016 tentang Pengampunan Pajak Berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak Bagi Wajib Pajak Yang Memiliki Harta Tidak Langsung Melalui Special Purpose Vehicle dan yang terbaru melalui Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-11/PJ/2016 tentang Pengaturan Lebih Lanjut Mengenai Pelaksanaan UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Tak lama kemudian, Pemerintah juga memberikan keringanan bagi wajib pajak dalam konteks BPHTB melalui diterbtikannya PP Nomor 34 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah Dan/Atau Bangunan, Dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah Dan/Atau Bangunan Beserta Perubahannya. Singkatnya, seluruh norma hukum dalam peraturan pelaksanaan dari atau yang berkaitan dengan UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak tersebut berupaya untuk lebih meningkatkan jaminan dan perlindungan hukum bagi wajib pajak sehubungan dengan implementasi UU Pengampunan Pajak. Dengan demikian, ditinjau secara secara vertikal ke atas, norma-norma hukum yang terkandung dalam UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak tak bertentangan dengan Pembukaan dan pasal-pasal dalam UUD 1945 manakala penafsiran konstitusi digunakan untuk menemukan apa yang disebut Ronakd Dworkin (2006:
sebagai “keutuhan konstitusional” ( constitutional integrity ). Ditinjau secara vertikal ke bawah, peraturan pelaksanaan dari maupn yang berkaitan dengan UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak telah memastikan terwujudnya fungsi jaminan pemerintahan (bestuurlijke waarborgen) maupun perlindungan hukum ( rechtsbescherming ) dalam pelaksanaan fungsi pemerintahan ( sturende functie ) oleh Pemerintah sebagai fiscus. Ditinjau secara horizontal, UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak telah sesuai dengan tujuan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia melalui pemanfaatan dana yang terkumpul dari pelaksanaan Pengampunan Pajak tersebut untuk membiayai seluruh program/kegiatan yang ditujukan guna mewujudkan kesejahteraan rakyat. Hal itu artinya UU Nomor 11 Tahun 2016 memiliki koherensi tujuan dan prinsip-prinsip dengan berbagai Undang-Undang lain yang bertujuan memberikan pelayanan publik dan meningkatkan kesejahteraan bagi rakyat seluas-luasnya di bidang perpajakan, kesejahteraan, pendidikan, kesehatan, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 300 pelayanan publik, infrastruktur publik dan lain-lain. Pada akhirnya, sebagai penutup inspirasi dari Oliver Wendell Holmes sangat menarik untuk direnungkan, yaitu bahwa “ Taxes are the price we pay for civilization ” (pajak adalah harga yang kita bayar untuk suatu peradaban).
Dr. Maruarar Siahaan, S.H., Pendahuluan. Undang-Undang Tax Amnesty yang mendapat tantangan dalam bentuk judicial review ini, sangat layak ditanggapi dengan serious, berkenaan dengan argumen inkonstitusionalitas norma yang diajukan bukan saja sekaligus oleh 6 (enam) Pemohon, melainkan juga dari segi urgensi kebijakan pemerintahan dalam rangka melanjutkan program pembangunan yang berupaya menjalankan amanat konstitusi untuk membangun daerah pinggiran atau terluar yang selama ini tertinggal. Konsentrasi penyelenggaraan pembangunan selama ini masih terfokus di wilayah barat yaitu Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Argumen Pemerintah yang melihat kurangnya pendapatan dari pajak yang juga disebabkan tingkat ketaatan membayar pajak dari warga negara dan korporasi yang seharusnya secara patuh untuk membayar pajak. Jumlah wajib pajak yang relevan dengan jumlah pekerja dan korporasi yang melakukan kegiatan ekonomi yang kena pajak, masih sangat rendah, sehingga pendapatan negara dari sektor pajak dapat dikatakan tidak memadai dibanding denga negara lain yang setara tingkat pertumbuhannya dengan Indonesia. Alasan-Alasan Inkonstitusionalitas UU Tax Amnesty . Keberatan yang diajukan oleh empat permohonan pengujian Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2016, pada dasarnya menyangkut hal-hal berikut:
Pasal 1 angka 1, angka 7 dan Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5, terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 23A, Pasal 27, DAN Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
Pasal 11 ayat (2), ayat (3) dan ayat (5), Pasal 20 dan Pasal 22 UU Pengampunan Pajak terhadap Pasal 27 ayat (1) UUD 1945;
Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) dan ayat (5), Pasal 20 UU Pengampunan Pajak terhadap Pasal 24 UUD 1945;
Pasal 21 ayat (2), Pasal 22 dan Pasal 23 UU Pengampunan Pajak terhadap Pasal 28F UUD 1945. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 301 Alasan-alasan permohonan atas pasal-pasal Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji tersebut telah di dukung pula oleh ahli yang pada dasarnya berbicara tentang hal yang sama dengan tambahan bahwa praktek dalam UU Pengampunan Pajak bertentangan dengan semangat yang dibangun dalam negara hukum karena :
UU 11/2016 menjadi langkah proteksi bagi pengemplang pajak;
UU memasukkan unsur pidana lain yang menciptakan inkonsistensi, sedang Pasal 21 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) menunjukkan upaya yang tidak kooperatif dalam membangun transparansi untuk kepentingan perpajakan yang merupakan praktek hukum perdagangan internasional, dan semua ini dipandang sebagai upaya melegalkan praktek yang menjadi kejahatan luar biasa, dan Pasal ini merupakan upaya yang tidak memiliki spirit mendorong negara-negara OECD ingin merevisi kerahasiaan bank yang dianggap menghambat laju keterbukaan indormasi;
Hukum perdagangan internasional yang semakin canggih akan menciptakan peluang bagi perusahaan untuk melakukan skema transaksi dengan penghindaran pajak untuk mengurangi beban pajak, apalagi jika terjadi kekosongan pengaturan, dan Pasal 22 mengesankan imunitas pejabat Pajak.
UU Pengampunan Pajak menunjukkan ambisi Pemerintah untuk mewujudkan proyek infra-struktur yang dijanjikan yang hendak diwujudkan melalui mobilisasi anggaran yang besar, padahal mengetahui keadaan ekonomi dunia yang mengalami pelambatan;
UU Tax Amnesty niatnya semata-mata hanya untuk mendapat uang tebusan dalam rangka memenuhi target APBN, tidak seperti negara lain yang ditujukan bagi kepentingan industri makro ekonomi;
UU Tax Amnesty tidak memandang sumber dana yang masuk dalam penerimaan pajak sehingga dapat dipandang melegalisasi kejahatan, termasuk hasil korupsi, uang prostitusi, drugs , money laundery dan trafickking , sehingga UU ini bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945;
Tax amnesty merupakan hukuman bagi orang baik yang taat membayar pajak dengan bisnis yang bersih sedang pelaku kejahatan memperoleh perlakuan istimewa; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 302 8. Pemasukan negara dari uang tebusan tax amnesty adalah kebohongan, karena dipihak lain Pemerintah masih menambah hutang dengan surat utang negara (SUN); Sesungguhnya tidak dinafikan adanya beberapa kekurangan atau ketidak sempurnaan sebuah undang-undang seperti UU Tax Amnesty . Tetapi yang menjadi persoalan adalah apakah kekurangan dimaksud merupakan hal yang menyangkut konstitusionalitas norma, dan seandainya juga merupakan suatu hal yang menyangkut konstitusionalitas norma, maka juga benturan hak dan kewenangan konstitusional yang menjadi pergulatan dalam mengukur keadilan konstitusional, apakah kemudian dapat ditentukan melalui masalah hirarki norma konstitusi yang mengatur hak dan kewenangan konstitusional, dikaji dari segi constitutional balance dan proportionality test di antara hak dan kepentingan konstitusional yang bersaing tersebut. Indikator Konstitusional Dalam Constitutional Boundary. Suatu hal yang niscaya bahwa setiap pembuat keputusan kebijakan publik yang merancang keputusan-keputusan kebijakan, baik yang menyangkut peraturan perundang-undangan ataupun penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, senantiasa harus mencari dasar validitas dan legalitas dari keputusan yang diambil dengan menafsirkan konstitusi untuk mengetahui ruang lingkup kebebasan diskresionernya dalam batasan konstitusi. Indikator konstitusional dimaksud merupakan ukuran yang dapat digunakan sebagai pembenar dengan melihat:
Pembukaan, yang memuat pandangan hidup bangsa dengan prinsip-prinsip bernegara sebagaimana termuat dalam Pancasila, sekaligus sebagai moralitas yang menjadi spirit (jiwa) konstitusi.
Tujuan Bernegara dalam alinea keempat;
Norma Konstitusi yang bersifat HAM dan bukan, dalam Batang Tubuh UUD 1945. Rujukan kepada tiga tolok ukur tersebut sebagai indikator konstitutional kebijakan, memesankan bahwa penemuan hukum konstitusi harus dilakukan dengan interpretasi, konstruksi dan penghalusan, sebagai metode yang dikenal dalam ilmu hukum pada umumnya. Semua indikator baik dalam pembukaan maupun batang tubuh UUD 1945, bukanlah suatu ukuran yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 303 dapat ditegakkan secara tegas dan kasat mata, sehingga untuk mampu memberi pedoman yang jelas sebagai dasar menyusun kebijakan regulasi – termasuk tax amnesty harus lebih dahulu merumuskan atau membangun ruang batas dalam mana pembuat keputusan kebijakan secara leluasa menggunakan diskresi yang dimiliki tanpa melanggar konstitusi. Ruang batas konstitusi demikian sering disebut sebagai constitutional boundary __ yang dapat memberi petunjuk pada pembuat kebijakan, kapan saat suatu langkah yang diambil telah melampaui constitutional boundary tersebut sebagai politik hukum. Hukum merupakan fenomena kemasyarakatan yang mengandung aspek yang sangat luas, dan terbentuk melalui proses interaksi beragam aspek dan kekuatan dalam lingkungan strategis nasional, regional dan global, di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, kesusilaan atau moral, teknologi dan pandangan hidup bangsa. Beragam nilai dan standard perilaku yang terbentuk melalui proses interaksi dalam masyarakat yang majemuk atau beragam secara nasional dan global, kemudian merupakan kompleksitas tersendiri dalam pembentukan hukum, sehingga hukum dapat dilihat dari berbagai perspektif. Politik hukum merupakan terjemahan dari istilah rechtspolitiek. Politiek mengandung arti beleid (policy) atau kebijakan. Oleh karena itu __ politik hukum sering diartikan sebagai pilihan konsep dan asas sebagai garis besar rencana yang menentukan arah, bentuk maupun isi hukum yang akan diciptakan. Policy diartikan sebagai : ”the principle s, on which any measure or course of action is based; prudence or wisdom of government or individuals in _the management of their affair, public or private; general prudence or dexterity; _ sagacity. Kajian atas Keberatan Dalam Permohonan. Keberatan-keberatan yang diajukan sebagai argumen konstitusional yang diajukan untuk menguji UU Tax Amnesty , dengan pertimbangan dalam konsiderans Undang-Undang a quo , dapat dilihat dari beberapa sisi, yang menjadi jawaban atas permohonan para Pemohon.
Economic Analysis of Law . Tidak dapat dipungkiri bahwa data pembayar pajak dari jumlah orang yang sesungguhnya harus menjadi pembayar pajak karena pendapatan yang berada diatas batas Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP), dengan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 304 mudah diidentifikasi. Kalangan profesional – baik dokter, pengacara, akuntan, konsultan dan lain-lain – dilihat dari jumlahnya dibandingkan dengan yang memiliki NPWP, menunjukkan basis perpajakan menjadi demikian kecil. Dibandingkan dengan negara anggota Asean saja, Indonesia berada jauh di bawah urutan negara anggotra ASEAN tertentu tersebut, seperti Thailand, Malaysia, Vietnam. Pembangunan kesadaran dan budaya taat pajak, meskipun dikatakan banyak hambatan akibat keruwetan pengisian form-form pajak tersebut, tetapi kelemahan yang utama adalah penegakan hukum pajak yang belum efektif, baik karena integritas petugas maupun karena kurangnya kepercayaan publik. Penegakan hukum perpajakan terhadap wajib pajak yang menyimpan penghasilannya dalam bentuk deposito dan investasi langsung maupun tidak langsung di luar Indonesia, terlepas dari sumber dan asal usulnya, menambah komplikasi penegakan hukum Indonesia, yang sudah barang tentu mempunyai keberlakuan secara teritorial hanya meliputi wilayah hukum NKRI. Rahasia perbankan dan manfaat yang diperoleh negara asing dalam menampung dana-dana yang dillarikan orang Indonesia untuk ditanam di negara asing tersebut, jarang mendapat respon posisitif atas permintaan International Judicial Assistance yang diajukan. Kondisi demikian menyebabkan modal dan dana segar Indonesia yang dengan banyak cara, disimpan dan diberdayakan di luar Indonesia yang terjamin kerahasiaanya melalui bank secrecy yang ketat, menjadi hambatan sendiri dalam membawanya pulang ke tanah Air. Pendekatan yang dipergunakan dalam studi economic analysis of law, maupun studi komparatif hukum dan ekonomi, berupaya menundukkan doktrin hukum kepada analisis biaya dan keuntungan ( cost and benefit analysis ) serta pada konsep efisiensi ekonomi, yang memberi kemungkinan untuk menarik kesimpulan tertentu mengenai konsekuensi dan nilai sosial dari aturan tertentu. Konsep manusia sebagai maximizer yang rasional dari kepentingannya sendiri, yang mengandung arti bahwa orang mempunyai respon terhadap insentif, yaitu jika keadaan sekeliling seseorang berubah sedemikian rupa sehingga dia dapat meningkatkan kepuasannya dengan berubah sikap, dia akan melakukan sikap yang demikian (Richard A. Posner, Economic Analysis of Law, 1986, h. 4 ) Kita dapat mengelaborasi Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 305 teori tersebut berdasarkan asumsi bahwa orang mengambil keputusan untuk berbuat atau tidak berbuat berdasarkan pertimbangan cost and benefit. Dalam soal perpajakan, orang tidak akan menghindari jika keuntungan yang diharapkan dari kepatuhan akan lebih besar dibanding biaya yang timbul. Terdapat 2 (dua) cost yang timbul jika menghindari pajak dan melarikannya ke luar negeri, yaitu:
Kemampuan aparat untuk menegakkan hukumnya dan memaksa pembayar pajak memenuhi kewajibannya ( _probability to adjudicate)= P; _ b. Hukuman (denda) maksimum yang diharapkan=[( S)anction ]. Perkalian faktor inilah yang membentuk biaya ( cost ) yang diperhitungkan akan timbul bagi seseorang yang ingin menghindari pajak. Seandainya biaya tersebut disebut C, maka C adalah P (kemampuan aparatur pajak untuk menegakkan kewenangannya) dikalikan denda maksimum (S). Berdasarkan dalil tersebut, maka dalam kondisi pendapatan yang di investasikan di luar wilayah hukum NKRI, menjadikannya diluar kompetensi aparatur pajak untuk memaksakan dan menegakkan sanksi, sehingga C= P x S, menyebabkan tetap menguntungkan untuk terus menempatkan uang yang dibawa dari Indonesia tersebut berada dan ditanam di luar wilayah NKRI, karena aman dari jangkauan hukum Indonesia dan menguntungkan. Dengan tax amnesty yang memberikan kemudahan dan jaminan- jaminan hukum di Indonesia jika modal tersebut di repatriasi, dengan pengenaan denda tebusan yang sangat rendah, maka dari analisis cost and benefit, respon wajib pajak yang di luar jangkauan hukum pajak Indonesia, dengan rasionalitas sebagai maximizer of benefit , akan berubah sikap karena akan meningkatkan kepuasannya akan benefit yang diperoleh. Fakta empirik dalam tahap pertama tax amnesty, menjadi bukti yang nyat
Affirmative Action . Dalil para Pemohon tentang UU Tax Amnesty yang mendiskriminasikan pembayar pajak yang taat, maka sesungguhnya tidak merupakan issue yang timbul dari Undang-Undang a quo , karena semua berhak untuk meminta tax amnesty dengan mengungkap harta dan pembayaran pajak yang masih belum sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Jikalau seandainya terjadi – terutama ketika pembayar pajak yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 306 taat yang telah membayar kewajiban pajaknya selama ini sesuai dengan tarif yang ditentukan UU KUP yang berlaku, tetapi kemudian terjadi pengampunan kepada mereka yang tidak taat dengan tarif yang berbeda, maka kondisi demikian merupakan hal yang dilihat dari dampak suatu kebijakan yang diambil dalam apa yang sering disebut sebagai affirmative action. Tujuan utama affirmative action adalah untuk memungkinkan suatu negara mencapai potensinya secara penuh, dalam hal ini di bidang perpajakan, dengan jumlah pembayar pajak yang memiliki NPWP, diharapkan akan mendukung kehidupan sektor ekonomi dan sosial. Dengan demikian mempeprluas basis ekonomi dan dapat merangsang pertumbuhan ekonomi.
Affirmative action dirancang untuk memperbaiki penerimaan pajak dari semua sektor untuk optimalisasi potensi sumber daya yang ada dengan meningkatkan kesadaran dan kepatuhan pembayaran pajak;
Affirmative action merupakan seperangkat aturan, kebijakan, pedoman serta praktek administratif yang bermaksud mengakhiri ketidakadilan dalam perpajakan;
Tax amnesty bukan amnesti kepada tindak pidana korupsi yang jika ada dilakukan menjadi masalah tersendiri. Pengampunan pajak (Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) UU Pengampunan Pajak, yang dianggap bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 bahwa “ pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Adalah keliru untuk memahami arti “hukum memaksa” dalam Pasal 23 ayat (1) UUD 1945, karena frasa “hukum memaksa” dalam Pasal tersebut adalah suatu pembedaan yang dikenal dalam ilmu hukum tentang pembagian bidang hukum dalam “ dwingend recht” yang diterjemahkan sebagai hukum memaksa yang umumnya berada dalam hukum publik, dan “ aanvullend recht” yang disebut sebagai hukum mengatur, yang hanya operasional jika para pihak belum mengaturnya sendiri dalam transaksi mereka. Karena sifatnya demikian jenis hukum mengatur ( aanvullend recht) yang sifatnya privaatrehtelijk , dapat dikesampingkan oleh pihak-pihak, sedang “ dwingend recht” yang umumnya bersifat publik, tidak. Tentang frasa “memaksa” dalam pasal tersebut adalah menunjuk karakter hukum yang mengaturnya sebagai Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 307 bersifat memaksa yang berasal dari apa yang disebut 2 karakter norma hukum, yang disebut hukum memaksa ( dwingend recht ), sebagai norma hukum yang mengikat secara wajib dan tidak dapat dikesampingkan pihak-pihak. Hukum mengatur ( anvullend recht ) yang hanya berlaku ketika pihak-pihak memiliki kebebasan mengatur sendiri dan mengesampingkan aturan yang sifatnya aanvullend recht. Sifat memaksa yang dimaksud menyatakan bahwa dasar hukum pajak dan pungutan lain, harus didasarkan kepada undang-undang dan tidak ada pilihan dengan hukum yang bersifat aanvullend. Dengan demikian tampak tidak ada pertentangan karena jikalau pengenaan pajak dengan undang- undang dengan sifat memaksa, maka juga pengampunan harus didasarkan dengan Undang-Undang yang sifatnya memaksa, dan tidak terdapat aanvullend recht yang digunakan.
Keseimbangan dan Proporsionalitas Hak dan Kewenangan Konstitusional. Selama ini banyak orang yang beranggapan bahwa konstitusi atau Undang-Undang Dasar sebagai sebuah dokumen merupakan dokumen yang utuh dan harmonis dalam keseluruhan tubuhnya. Ada anggapan bahwa tidak mungkin terjadi bahwa satu norma dalam pasal atau ayat bertentangan dengan pasal atau ayat lain dalam batang tubuh konstitusi tersebut, atau menimbulkan ketegangan tertentu dengan Pembukaan yang menjadi jiwa dan keadilan konstitusional tersendiri. Tetapi fakta atau kenyataan tidak demikian. Terutama dengan perkembangan waktu yang membentuk jarak yang panjang antara dibentuknya satu konstitusi dengan penggunaannya pada masa sekarang, dengan perubahan atau amandemen yang berlangsung secara bertahap seperti yang dialami UUD 1945, harmoni yang diimpikan dari satu konstitusi boleh jadi menjadi sangat jauh dari kenyataan. Tetapi justru merupakan tugas hakim konstitusi untuk membangun konstitusi sebagai satu dokumen yang utuh dan harmonis ( the integrity of the constitution) melalui interpretasi dan konstruksi yang harus dilakukan. Demikian juga permohonan judicial review yang dihadapi oleh MK dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, maka MK harus meniti di antara hak-hak konstitusional yang di dalilkan yang berada dalam Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 308 posisi berhadapan dengan kewenangan konstitusional pembuat kebijakan regulasi yang sah di pihak lain, sehingga proses pengambilan keputusan atau decision making process di MK harus mempertimbangkan persaingan diantara kepentingan konstitusional yang sah tersebut untuk sampai kepada suatu putusan yang menggambarkan keadilan konstitusional bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam keadaan demikian kita akan menyaksikan bahwa Hukum Konstitusi harus membentuk hierarki norma, dan hirarki ini juga mengkondisikan interpretasi konstitusi, yang menentukan dengan metode penyeimbangan ( balancing) hak konstitusional dengan kewenangan konstitusional melalui proportionality test , manakah di antara hak dan kewenangan konstitusional yang bersaing demikian, menjadi kepentingan konstitusional yang harus dianggap adil dan sah bagi rakyat secara keseluruhan. Akibat langsung dari hal demikian akan membentuk satu hubungan atau kedudukan hierarkis yang dapat menjelaskan posisinya dalam legal policy putusan hakim MK. Satu hirarki dalam konstitusi ( intraconstitutional hierarchies ) menjadi lebih rumit, tetapi hukum konstitusi dapat meletakkan keadilan konstitusional melalui balancing dan proportionality test , kepentingan konstitusional mana yang menjadi lebih unggul atau utama dalam benturan diantara hak dan kewenangan konstitusional yang dihadapi sebagaimana terjadi dalam kasus ini. Jika satu sengketa memuat satu konflik yang inheren diantara dua kepentingan konstitusional, yaitu antara satu ketentuan HAM dengan kepentingan konstitusional pemerintah) yang tidak dapat diabaikan dengan tafsir, hakim bergerak kearah penyeimbangan. Dalam penyeimbangan, hakim menentukan apakah, dan sejauh mana, satu nilai hukum (satu hak individu atau satu kepentingan konstitusional pemerintah) harus memberi jalan kepada satu nilai hukum kedua. Penggunaan ini diatur oleh batu ujian proporsionalitas, yaitu bagaimana mencapai tujuan konstitusionalitas norma dengan kerugian atau pelanggaran yang paling minimum. Penyeimbangan merupakan teknik interpretif yang disukai, yang digunakan untuk memutus kasus dimana nilai-nilai hukum yang diajukan oleh para pihak, keduanya memiliki status yang sederajat (dalam hierarki norma), namun bertentangan satu sama lain( dalam konflik spesifik yang dihadapi). Ketika Mahkamah mengklaim menyeimbangkan dua hak konstitusional, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 309 atau hak konstitusional terhadap satu tujuan negara yang sah secara konstitusional, satu batu uji proporsionalitas – sesungguhnya sebagai satu cara melindungi salah satu hak konstitusional, yang menimbulkan kerugian minimal terhadap satu hak konstitusional lainnya – yang secara logis tiimbul sebagai akibat dari penggunaan alat keseimbangan ( balancing exercise ) dan hampir di semua perkara sesungguhnya terjadi. Jika dalam proses penyeimbangan, MK menentukan bahwa satu Undang-Undang melanggar satu hak konstitusional, namun demikian Undang-Undang tersebut masih konstitusional – sejauh bahwa secara seimbang manfaat/pelayanan Undang-Undang terhadap beberapa nilai konstitusi yang lain melampaui keburukannya – sehingga sebagai akibatnya, kecuali pelanggaran yang terjadi secara minimum merupakan hal yang absolut dan perlu untuk melayani nilai lainnya, Undang-Undang tersebut masih konstitusional. Ini disebabkan karena semua pengurangan atas hak-hak tidak dapat dibenarkan oleh balancing , karena pengurangan demikian tidak menambahkan sesuatu yang positif yang tidak dapat melampaui efek negatifnya yang marginal. Dikatakan secara sederhana, tidak pernah cukup secara konstitusional, menurut satu standar keseimbangan, bahwa keuntungan konstitusional lebih besar dari kerugian konstitusional; sebaliknya keuntungan konstitusional harus dapat dicapai setidaknya dengan ongkos konstitusional paling sedikit atau minimum. Dalam jenis peradilan seperti ini hakim MK tidak mempunyai pilihan kecuali menjawab pertanyaan berikut: dapatkah kita bayangkan adanya ketentuan undang- undang selain dari pada yang ada dihadapan kita yang dapat mencapai hasil yang sama, melayani nilai konstitusional yang sama, dengan ongkos konstitusi yang lebih rendah? Jika jawabannya ya, maka Undang-Undang ini konstitusional. Satu jurisprudensi MK berdasarkan penyeimbangan konstitusi ( constitutional balancing ) memimpin hakim untuk menempatkan dirinya ditempat legislator, dan melakonkan pertimbangan yang bergaya legislatif, yang dapat menjelaskan mengapa kita melihat MK sekali-sekali memerintahkan pembuat Undang-Undang untuk membuat Undang-Undang dengan cara tertentu. Satu jurisprudensi penyeimbang tidak hanya memberi MK diskresi yang besar, tetapi pada akhirnya menggolongkan kerja MK ke Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 310 dalam jenis pertimbangan dan pembuatan putusan yang lebih bergaya legislatif. Batu uji penyeimbang dan doktrin proporsionalitas hanya berbuat sedikit dari pada mengakui, meskipun dalam cara yang berbelit-berbelit, seperti dalam contoh berikut ini: bahwa melindungi hak konstitusional individu dan kepentingan atau kewenangan konstitusional Pemerintah yang sah, merupakan kerja yang sukar; hakim MK harus memiliki dan menggunakan kekuasaan diskresioner yang luas agar dapat melaksanakan pekerjaan ini dengan sewajarnya; dan tidak terdapat aturan yang ketat dan tegas bagi perlindungan HAM yang dapat diartikulasikan. Tidak bermaksud mengatakan bahwa MK tidak mencoba membangkitkan aturan yang stabil untuk mengatur jenis pembuatan putusan konstitusi jenis ini, maupun tidak juga hasil putusan bersifat acak. Makna penyeimbang lebih dalam, MK tidak melindungi HAM dalam hubungan dengan kewenangan Pemerintah yang sah, tanpa menjadi terlibat secara mendalam dalam fakta, atau konteks sosial, atau pembuatan putusan yang mengandung unsur legislasi yang menggaris bawahi atau telah tahankan itusional ( sic! ) negara membangkitkan persoalan konstitusi. Dalam cara pembuatan keputusan semacam ini, dimensi kebijakanlah yang berbeda, bukan hukum per se, dan perbedaan ini secara berat mengkondisikan pembangunan konstitusi dengan memaksa hakim MK masuk kedalam kehidupan warga, dan karya legislator. Kesimpulan. Dari seluruh uraian yang disajikan, maka meskipun dengan segala kontroversi yang terlihat, dapat ditarik kesimpulan yang sahih bahwa dengan argumen yang diutarakan, tidak cukup alasan untuk menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 bertentangan dengan UUD 1945, dan tidak cukup alasan untuk menyatakannya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Jika ada kepentingan dan hak konstitusional yang dirugikan, maka kewajiban negara untuk melaksanakan upaya meningkatkan kesejahteraan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat, merujuk pada kepentingan dan kewenangan konstitusional yang lebih besar yang harus dilindungi. [2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) menyampaikan keterangan di persidangan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 311 pada tanggal 20 September 2016 dan menyampaikan keterangan tertulisnya yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 27 Oktober 2016, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: Terhadap dalil Para Pemohon sebagaimana diuraikan dalam permohonan para Pemohon, DPR RI dalam penyampaian pandangannya terlebih dahulu menguraikan mengenai kedudukan hukum ( legal standing ) yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
Kedudukan Hukum ( legal standing ) Pemohon Dalam Perkara Nomor Nomor 58/PUU-XIV/2016, Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh Pemohon sebagai Pihak telah diatur dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan bahwa “ Para Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh _berlakunya undang-undang, yaitu: _ _a. perorangan warga negara Indonesia; _ b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia _yang diatur dalam undang-undang; _ _c. badan hukum publik atau privat; atau _ d. lembaga negara”. Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud ketentuan Pasal 51 ayat (1) tersebut, dipertegas dalam penjelasannya, bahwa “ yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. ” Ketentuan Penjelasan Pasal 51 ayat (1) ini menegaskan, bahwa hanya hak-hak yang secara eksplisit diatur dalam UUD 1945 saja yang termasuk “ hak konstitusional ”. Oleh karena itu, menurut Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 312 a. Kualifikasinya sebagai Pemohon dalam permohonan a quo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi;
Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud dalam “Penjelasan Pasal 51 ayat (1)” dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang a quo . Mengenai batasan kerugian konstitusional, Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang harus memenuhi 5 (lima) syarat (vide Putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU- V/2007) yaitu sebagai berikut: a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; _ _ bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang _diuji; _ c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang _menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; _ d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan _berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; _ e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi . Jika kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh Para Pemohon dalam perkara pengujian undang-undang a quo , maka Para Pemohon tidak memiliki kualifikasi kedudukan hukum ( legal standing ) sebagai Pemohon. Menanggapi permohonan Para Pemohon a quo , DPR RI berpandangan bahwa Para Pemohon harus dapat membuktikan terlebih dahulu apakah benar Para Pemohon sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, khususnya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagai dampak dari diberlakukannya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 313 Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum (legal standing ) Para Pemohon, DPR RI menyerahkan kepada Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional.
Pengujian Atas UU Pengampunan Pajak (Dalam Perkara 57/PUU-XIV/2016, Perkara 58/PUU-XIV/2016, Perkara 59/PUU-XIV/2016, Dan Perkara 63/PUU- XIV/2016) A. Pandangan Umum. Terhadap pokok perkara yang dikemukakan Para Pemohon dalam perkara-perkara a quo, pada intinya memiliki kesamaan substansinya, oleh karena itu DPR RI memberikan pandangan filosofi, sosiologi dan yuridis sebagai berikut:
Bahwa pembangunan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang bertujuan untuk memakmurkan seluruh rakyat Indonesia yang merata dan berkeadilan, memerlukan pendanaan besar yang sumber utamanya dari penerimaan pajak. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan penerimaan pajak yang terus meningkat, diperlukan kesadaran dan kepatuhan masyarakat dengan mengoptimalkan semua potensi dan sumber daya yang ada. Kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam melaksanakan kewajiban perpajakan masih perlu ditingkatkan, hal ini dikarenakan terdapat harta, baik di dalam maupun di luar negeri yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Bahwa mencermati perkembangan global sistem perpajakan, dibutuhkan terobosan kebijakan yang dilandasi payung hukum yang kuat guna membantu otoritas perpajakan dalam merealisasikan potensi penerimaan pajak yang semestinya terutang. Salah satu terobosan kebijakan untuk mendongkrak tingkat kepatuhan Wajib Pajak adalah dengan memberikan pengampunan pajak kepada Wajib Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 314 Pajak ( tax payers) . Pengampunan pajak perlu dipertimbangkan secara khusus oleh Pemerintah Indonesia untuk memberikan kesempatan terakhir ( one shot opportunity ) bagi Wajib Pajak yang melakukan onshore maupun offshore tax evasion dengan tujuan utama sebagai wahana rekonsiliasi perpajakan nasional bagi seluruh potensi masyarakat pembayar pajak dan diharapkan akan meningkatkan penerimaan negara.
Bahwa untuk itu, perlu diterapkan langkah khusus dan terobosan kebijakan untuk mendorong pengalihan harta ke dalam wilayah NKRI sekaligus memberikan jaminan keamanan bagi warga negara Indonesia yang ingin mengalihkan dan mengungkapkan harta yang dimilikinya dalam bentuk pengampunan pajak. Kebijakan pengampunan pajak dilakukan dalam bentuk pelepasan hak negara untuk menagih pajak yang seharusnya terutang. Oleh karena itu, sudah sewajarnya jika Wajib Pajak diwajibkan untuk membayar uang tebusan atas pengampunan pajak yang diperolehnya.
Bahwa dalam jangka pendek, hal ini akan dapat meningkatkan penerimaan pajak pada tahun diterimanya uang tebusan yang berguna bagi negara untuk membiayai program pembangunan. Dalam jangka panjang, negara akan mendapatkan penerimaan pajak dari repatriasi yang berasal dari harta yang telah dialihkan dan diinvestasikan di dalam wilayah NKRI. Dari aspek yuridis pengaturan kebijakan pengampunan pajak melalui UU Pengampunan Pajak sesuai dengan ketentuan Pasal 23 A UUD Tahun 1945. Undang-Undang ini dapat menjembatani agar harta yang tidak dilaporkan dapat diungkapkan secara sukarela sehingga data dan informasi atas harta tersebut masuk ke dalam sistem administrasi perpajakan dan dapat dimanfaatkan untuk pengawasan kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan di masa yang akan datang.
Bahwa dalam ilmu behavioral economic, faktor keadilan, rasa memiliki, dan keyakinan bahwa pajak yang diterima oleh pemerintah akan digunakan dengan benar berkontribusi dalam meningkatkan kepatuhan pajak. Jika pemerintah membuat sistem pajak lebih adil, meningkatkan rasa memiliki pembayar pajak (membangun identitas Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 315 dengan komunikasi yang lebih besar), dan menunjukkan bahwa uang pajak akan digunakan untuk hal-hal produktif; kepatuhan pajak akan meningkat tanpa melakukan insentif ekonomi (Morris Altman, “Behavioral Economics”, A Willey Brand, 2012). Dengan demikian, upaya meningkatkan insentif bahkan mengurangi ukuran hukuman dapat meningkatkan kadar kepatuhan 6) Bahwa dalam rangka meningkatkan penerimaan Negara dan pertumbuhan perekonomian serta kesadaran dan kepatuhan masyarakat, dengan berpegang teguh pada prinsip atau asas kepastian hukum, keadilan, kemanfaatan, dan kepentingan nasional, pelaksanaan UU Pengampunan Pajak bertujuan untuk: a) mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi melalui pengalihan Harta, yang antara lain akan berdampak terhadap peningkatan likuiditas domestik, perbaikan nilai tukar Rupiah, penurunan suku bunga, dan peningkatan investasi; b) merupakan bagian dari reformasi perpajakan menuju sistem perpajakan yang lebih berkeadilan serta perluasan basis data perpajakan yang lebih valid, komprehensif, dan terintegrasi; dan c) meningkatkan penerimaan pajak, yang antara lain akan digunakan untuk pembiayaan pembangunan. B. Pandangan Pokok Perkara. Terhadap dalil-dalil yang dikemukakan Para Pemohon dalam perkara-perkara a quo pada intinya pokok perkara yang dipersoalkan Para Pemohon memiliki kesamaan, oleh karena itu DPR RI berpandangan dengan memberikan penjelasan terhadap masing-masing perkara a quo, menjadi satu kesatuan sebagai berikut:
Bahwa DPR RI tidak sependapat dengan dalil Para Pemohon yang beranggapan terhadap Frasa “Penghapusan Pajak” dalam Pasal 1 Angka (1), Pasal 3 ayat (1), Pasal 1 Angka 7, Pasal 4, Pasal 5 Undang-Undang a quo bertentangan dengan Pasal 23A UUD Tahun 1945 sepanjang dimaknai penghapusan pajak ialah Penghapusan Pajak yang seharusnya terutang tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana perpajakan dengan cara mengungkap Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 316 harta dan membayar Uang Tebusan, dengan penjelasan sebagai berikut:
Bahwa terkait dengan terminologi “Pengampunan Pajak” (tax amnesty) , dipandang perlu untuk memahami berbagai referensi historis, hukum dan teoritik mengenai terminologi “amnesti” sehingga dapat memaknainya secara positif. Pengampunan atau amnesty berasal dari bahasa Yunani “amnestia” yang diartikan melupakan atau suatu tindakan melupakan. (Webster New Twentieth Century Dictionary, sebagaimana dikutip Ifdhal Kasim: 2000 ). Secara umum amnesti merupakan hak kepala Negara Secara umum amnesti merupakan hak kepala Negara yang diamanatkan dalam Pasal 14 ayat (2) UUD Tahun 1945, merupakan hak Presiden untuk memberikan amnesti dengan memperhatikan pertimbangan DPR RI. Pengaturan amnesti juga dapat ditemukan dalam Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi.
Bahwa dalam perkembangannya amnesti sebagai pilihan kebijakan (legal policy) diterapkan dalam berbagai bidang, tidak hanya dalam rezim hukum pidana, tetapi juga diberlakukan dalam bidang politik, sebagai contoh pemberian amnesti oleh Presiden Soekarno pernah memberikan amnesti dan abolisi kepada pemberontak/gerombolan yang menyerah tanpa syarat tahun 1961. Presiden BJ Habibie membebaskan Sri Bintang Pamungkas dan Muchtar Pakpahan dari delik politik pada tahun 1998. Selain itu amnesti juga diterapkan dalam bidang hak asasi manusia, ekonomi maupun pajak. Terkait dengan UU Pengampunan Pajak sebagai pilihan kebijakan (legal policy) pengampunan pajak yang berlaku untuk semua warga negara Indonesia, yang pada prinsipnya Wajib Pajak yang memiliki sumber pendapatan dan aset yang belum dilaporkan dalam SPT 2016 dapat mengikuti program pengampunan pajak yang diatur dalam UU Pengampunan Pajak.
Bahwa “ program pengampunan pajak (tax amnesty) tidak hanya diterapkan di Indonesia. Saat ini terdapat 13 negara lain yang sedang menerapkan kebijakan serupa. Berdasarkan data Danny Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 317 Darussalam Tax Center (DDTC), adapun 13 negara tersebut adalah Korea Selatan, Thailand, Fiji, Argentina, Honduras, Trinidad & Tobago, Pakistan, dan Gibraltar. Adapun lima negara sisanya melakukan amnesti pajak khusus repatriasi yaitu Malaysia, India, Brazil, Israel, dan Rusia. Sebelumnya sudah ada 24 negara terlebih dahulu menerapkan kebijakan pengampunan pajak. Artinya kebijakan tersebut sudah diterapkan di 38 negara” . ( http: //bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/09/02/124700126/Sel ain.Indonesia.13.Negara.Lain.Juga.Sedang.Terapkan.Tax.Amnesty) d. Bahwa pengujian UU Pengampunan Pajak tidak hanya terjadi di Indonesia, “ gugatan terhadap kebijakan amnesti pajak juga pernah diajukan di Mahkamah Konstitusi (MK) Jerman pada 1990. Namun Mahkamah Konstitusi Jerman memutuskan menganggap tax amnesty tidak melanggar konstitusi. Kebijakan itu justru dinilai sebagai jembatan ke wajib pajak yang tidak patuh untuk kembali patuh. Selain itu, gugatan tax amnesty juga terjadi di Kolombia. Hasilnya sama dengan gugatan kebijakan di Jerman. "Dengan amnesti pajak, basis dan penerimaan pajak akan meningkat, dan itu digunakan untuk meraih cita-cita konstitusi itu sendiri (pembangunan untuk kesejahteraan). ” (http: //bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/09/02/124700126/Sel ain.Indonesia.13.Negara.Lain.Juga.Sedang.Terapkan.Tax.Amnesty) e. Bahwa kebijakan pengampunan pajak dengan UU a quo, ialah untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor perpajakan, namun Indonesia memiliki permasalahan perpajakan yang umumnya juga ditemui di Negara lain, misalnya rendahnya kepatuhan pajak, rendahnya penerimaan pajak, hingga rendahnya kapasitas lembaga administrasi perpajakan. Bahwa sebagai ilustrasi perlu mengurai mengenai tax ratio Indonesia masih rendah yaitu berada pada kisaran 12%. Jika menggunakan indikator penerimaan pajak aktual terhadap potensinya maka Indonesia hanya memiliki kurang lebih setengah dari apa yang menjadi potensinya. Kondisi ini didasarkan pada: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 318 1) Banyak Wajib Pajak yang belum melaporkan hartanya di dalam dan di luar negeri serta belum dikenai pajak di Indonesia. Data yang terkumpul di DJP dari sumber seperti Exchange of Information on Taxation Matters dari 65 negara yang telah terikat perjanjian bilateral dengan Indonesia, Mutual Agreement Procedure on Taxation Matters , data dan informasi yang beredar terkait offshore leaks, dan __ Panama Paper , menunjukkan banyak Wajib Pajak Indonesia yang menaruh harta ataupun asetnya di berbagai Negara Tax Haven .
Rendahnya kepatuhan Wajib Pajak dalam melaporkan kewajiban perpajakannya. Data internal DJP tahun 2015 menunjukkan Wajib Pajak terdaftar yang memiliki kewajiban menyampaikan SPT sebesar 18 juta Wajib Pajak sedangkan realisasi SPT yang masuk di tahun 2015 hanya 10,9 juta. Maka masih terdapat sekitar 40% potensi Wajib Pajak yang belum menyampaikan SPT. Data tersebut belum termasuk Warga Negara potensial yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
Kewenangan terbatas terhadap akses data perbankan. DJP memiliki kendala dalam mengawasi underground economy dan mencegah capital flight ke luar negeri dikarenakan adanya kebijakan Bank Secrecy . Berkaitan hal tersebut tahun 2015 telah dilakukan peer review yang diselenggarakan oleh OECD terhadap Negara-negara yang menandatangani Automatic Exchange of Information dimana Indonesia dianggap masih sangat tertutup dalam hal Bank Secrecy untuk keperluan perpajakan dan bahkan lebih rendah daripada British Virgin Island atau Negara-negara yang selama ini dianggap Tax Haven. Automatic Exchange of Information yang akan berlaku efektif tahun 2018, dimana nantinya setiap Negara yang menandatangani wajib menyampaikan informasi keuangan terkait warga Negara Indonesia yang berada di Negara-negara tersebut ke DJP Indonesia. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 319 f. Bahwa dalam Pasal 23A UUD Tahun 1945 diatur “ Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang ”. Hal ini bermakna bahwa sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat pemerintah tidak boleh memaksakan berlakunya ketentuan bersifat kewajiban material yang mengikat dan membebani rakyat tanpa disetujui terlebih dahulu oleh rakyat itu sendiri melalui wakilnya di DPR RI.
Bahwa mengenai pajak yang sifatnya memaksa telah diatur dalam beberapa UU antara lain tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan UU tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Walaupun sudah memiliki sifat memaksa tetapi masyarakat masih banyak yang belum taat atau patuh. Bahwa dalam Pasal 3 ayat (1) UU a quo diatur setiap warga negara berhak mendapatkan pengampunan pajak. Artinya UU a quo ini berlaku bagi setiap warga negara dan bersifat insentif (kemudahan).
Bahwa terkait dengan dalil Para Pemohon yang menyatakan terhadap ketentuan Pasal 3 ayat (3) huruf a UU Pengampunan Pajak yang dianggap dapat membebaskan wajib pajak yang dinyatakan belum lengkap oleh kejaksaan, padahal sedang berlangsung proses hukum di tahap penyidikan melanggar prinsip negara hukum dan persamaan di muka hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 Ayat (1) UUD Tahun 1945, DPR RI berpandangan bahwa pada asasnya Undang-Undang Pengampunan Pajak menganut asas kepastian hukum, keadilan, kemanfaatan dan kepentingan nasional. Bahwa pada prinsipnya setiap wajib pajak berhak memperoleh pengampunan pajak sebagai bentuk persamaan dihadapan hukum. Namun untuk memenuhi asas keadilan terdapat pengecualian dalam hal terdapat wajib pajak yang sedang dilakukan penyidikan dan berkas penyidikannya telah dinyatakan lengkap oleh kejaksaan atas tindak pidana perpajakan karena hal ini sudah masuk dalam ranah hukum.
Bahwa Pasal 23 A UUD Tahun 1945 yang mengatur “ Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang ” ialah untuk meningkatkan kepatuhan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusgo.id 320 setiap warga negara taat membayar pajak. Bahwa ” pengampunan pajak ” dalam UU a quo di masa depan akan meningkatkan kepatuhan kepada Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban pajaknya, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 23 A UUD Tahun 1945. Hal ini akan berimplikasi pula pada potensi peningkatan penerimaan negara melalui sektor perpajakan akan bertambah dan terukur .
Bahwa dalam Pasal 23 A UUD Tahun 1945, “ pajak maupun pungutan lain memiliki sifat memaksa dan diatur dalam undang- undang ”. “Bahwa Negara, melalui pemerintah sebagai representasi rakyat, memiliki kewajiban untuk mengembalikan pajak yang dibayarkan oleh rakyat melalui program-program pembangunan nasional di berbagai bidang, baik fisik maupun non fisik. Hal yang patut diingat ialah bahwa fungsi dan tujuan akhir setiap negara adalah menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya (bonum _publicum/common good) (Budiardjo, 2003:
”._ Oleh karena itu, ketaatan membayar pajak sama pentingnya dengan ketaatan terhadap aturan hukum lainnya yang telah ditetapkan oleh Negara berdasarkan konsensus bersama.
Bahwa DPR RI tidak sependapat dengan dalil Para Pemohon yang beranggapan Frasa “ Uang Tebusan ” dalam Pasal 1 angka 7, Pasal 4, dan Pasal 5 UU a quo bertentangan dengan Pasal 28D angka 1 UUD Tahun 1945, sepanjang dimaknai Uang Tebusan adalah sejumlah uang yang dibayarkan ke kas Negara untuk mendapat pengampunan pajak, dengan penjelasan sebagai berikut: a) Bahwa kebijakan pengampunan pajak dilakukan dalam bentuk pelepasan hak negara untuk menagih pajak yang seharusnya terutang. Bahwa uang tebusan adalah sejumlah uang yang dibayarkan ke kas negara untuk mendapatkan pengampunan pajak. Oleh karena itu, sudah sewajarnya jika Wajib Pajak diwajibkan untuk membayar uang tebusan atas pengampunan pajak yang diperolehnya. Dalam rangka pelaksanaan Undang- Undang ini, penerimaan uang tebusan diperlakukan sebagai penerimaan Pajak Penghasilan dalam Anggaran Pendapatan dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 321 Belanja Negara. Dalam jangka pendek, hal ini akan dapat meningkatkan penerimaan pajak pada tahun diterimanya Uang Tebusan yang berguna bagi Negara untuk membiayai berbagai program yang telah direncanakan. Dalam jangka panjang, negara akan mendapatkan penerimaan pajak dari tambahan aktivitas ekonomi yang berasal dari Harta yang telah dialihkan dan diinvestasikan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari aspek yuridis, pengaturan kebijakan Pengampunan Pajak melalui UU Pengampunan Pajak sesuai dengan ketentuan Pasal 23 A UUD Tahun 1945 karena berkaitan dengan penghapusan pajak yang seharusnya terutang, sanksi administrasi perpajakan, dan sanksi pidana di bidang perpajakan. b) Bahwa kebijakan “Pengampunan Pajak” salah satunya dimaksudkan untuk menarik harta warga negara Indonesia yang ditempatkan di luar wilayah NKRI, baik dalam bentuk likuid maupun nonlikuid, yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk menambah likuiditas dalam negeri dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Sehingga pembayaran uang tebusan akan berimplikasi pada penerimaan Negara dan dengan diaturnya ”Uang Tebusan” dalam Undang-Undang a quo maka secara yuridis menciptakan kepastian hukum bagi Wajib Pajak. c) Bahwa UU a quo tetap menjunjung tinggi kesetaraan warga negara dihadapan hukum. UU a quo tidak menciptakan pengaturan yang diskriminatif terhadap warga Negara, hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1) UU a quo yang menyatakan bahwa Setiap Wajib Pajak berhak mendapatkan Pengampunan Pajak. Artinya program pengampunan pajak yang diatur dalam UU Pengampunan Pajak berlaku untuk semua Wajib Pajak termasuk Para Pemohon, dan UU Pengampunan Pajak tidak memberi perlakuan secara khusus terhadap Wajib Pajak yang tidak taat sebagaimana yang didalilkan oleh Para Pemohon. Bahwa terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh Wajib Pajak agar dapat diberikan pengampunan pajak sebagaimana Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 322 diatur dalam Pasal 9 UU Pengampunan Pajak. Pembayaran uang tebusan ini dianggap sebagai pengganti utang pokok pajak yang seharusnya dibayarkan bertahun-tahun yang lalu sebelum pengampunan. d) Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia (selanjutnya disebut UU HAM), pengertian diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya . Berdasarkan batasan diskriminasi yang diatur dalam Pasal 1 angka 3 UU HAM tersebut, jelas pelaksanaan pengampunan pajak sebagaimana diatur dalam UU Pengampunan Pajak tidak memenuhi salah satu unsur diskriminasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 UU HAM. Dengan demikian UU 11 Tahun 2016 tidak memberikan perlakuan khusus kepada Wajib Pajak tertentu, sehingga ketentuan Pasal 1 angka 7, Pasal 5, dan Pasal 4 UU Pengampunan Pajak tidak bersifat diskriminatif, karenanya tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945. e) Bahwa merujuk ketentuan Pasal 1 angka 7 UU Pengampunan Pajak yang menyatakan “Uang Tebusan adalah sejumlah uang yang dibayarkan ke kas negara untuk mendapatkan Pengampunan Pajak”. Dan merujuk ketentuan Pasal 3 ayat (1) UU Pengampunan Pajak yang menyatakan “Setiap Wajib Pajak berhak mendapatkan Pengampunan Pajak”, bahwa yang berhak mendapatkan pengampunan pajak adalah setiap Wajib Pajak, kecuali Wajib Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (3) Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 323 yang menyatakan “ Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana _dimaksud pada ayat (1), yaitu Wajib Pajak yang sedang: : _ (1) dilakukan penyidikan dan berkas penyidikannya telah _dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan; _ _(2) dalam proses peradilan; atau _ (3) menjalani hukuman pidana, atas Tindak Pidana di Bidang Perpajakan. Artinya UU Pengampunan Pajak ini tidak memberi perlakuan secara khusus kepada Wajib Pajak yang selama ini melakukan pelanggaran hukum perpajakan. f) Bahwa dalam jangka pendek, setoran uang tebusan dapat meningkatkan penerimaan pajak uang tebusan yang berguna bagi negara untuk membiayai berbagai program pembangunan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat. Dalam jangka panjang, negara akan mendapatkan penerimaan pajak dari repatriasi yang berasal dari Harta yang telah dialihkan dan diinvestasikan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bahwa DPR RI tidak sependapat dengan dalil Para Pemohon yang beranggapan frasa “ Pengampunan Pajak ” dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 3 ayat (1), Pasal 1 angka 7, Pasal 4, dan Pasal 5 Undang- Undang a quo bertentangan dengan Pasal 23 A UUD Tahun 1945 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai penghapusan pajak ialah Penghapusan Pajak yang seharusnya terutang tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana perpajakan dengan cara mengungkap harta dan membayar Uang Tebusan, dengan argumentasi sebagai berikut:
Bahwa program pengampunan pajak bukanlah hal yang baru di Indonesia karena sudah pernah dilaksanakan pada tahun 1964, 1984, dan 2008. Program pengampunan pajak tahun 1964 dilakukan berdasarkan Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1964 Tentang Peraturan Pengampunan Pajak. Bahwa program pengampunan pajak di tahun 1984 dilakukan melalui Keputusan Presiden Nomor 26 tahun 1984 tanggal 18 April 1984. Bahwa program Sunset Policy di tahun 2008 sebagai Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 324 program paripurna modernisasi pajak pada periode 2001 – 2007. Pada tahun 2008 tersebut jumlah NPWP baru bertambah sebanyak 5.365.128 NPWP, SPT tahunan bertambah sebanyak 804.814 SPT dan penerimaan PPh meningkat sebesar Rp7,46 triliun. (Sumber : Naskah Akademik RUU Tentang Pengampunan Pajak halaman. 44) .
Bahwa dari 3 (tiga) kebijakan pengampunan pajak yang pernah dilaksanakan, sunset policy 2008 adalah kebijakan yang dianggap berhasil karena realisasi penerimaan pajak pada tahun 2008 telah mencapai target yang ditetapkan dalam APBN. Namun demikian, data kepatuhan Wajib Pajak pada tahun 2009 menunjukkan bahwa Wajib Pajak yang tidak menyampaikan SPT mencapai 47,39 persen dari total Wajib Pajak sebanyak 15.469.590. Hal ini menunjukkan masih rendahnya tingkat kepatuhan dan kemungkinan Wajib Pajak kembali ke perilaku ketidakpatuhan. Di samping itu, dari sisi administrasi perpajakan tidak dapat dibedakan antara Wajib Pajak yang memanfaatkan sunset policy dengan Wajib Pajak yang menyampaikan SPT tahunan sehingga tidak dapat dilakukan monitoring tingkat kepatuhan pada tahun- tahun berikutnya.
Bahwa untuk mengatasi pertumbuhan ekonomi nasional yang melambat, diperlukan sumber pembiayaan untuk melakukan investasi di sektor publik. Dari berbagai alternatif sumber pembiayaan pembangunan, peran penerimaan pajak semakin penting. Bagi negara berkembang, termasuk Indonesia, hal tersebut bukanlah tugas yang mudah terutama mengingat bahwa dalam 10 (sepuluh) tahun terakhir, tax ratio di Indonesia hanya berada dalam kisaran 12 persen. Angka ini tergolong sangat rendah jika dibandingkan dengan rata-rata tax ratio negara maju yang berada dalam kisaran di atas 24 persen atau negara berpendapatan menengah lainnya yang berada dalam kisaran 16 s.d. 18 persen. Tidak hanya itu, jika menggunakan indikator tax effort (penerimaan pajak aktual terhadap potensinya) maka Indonesia hanya memiliki tax effort sebesar 0.47, atau penerimaan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 325 pajak masih setengah dari apa yang menjadi potensinya. (Ricardo Fenochietto dan Carola Pessino, “Understanding Countries’ Tax _Effort”, IMF Working Paper WP/13/244 (2013):
._ Kinerja penerimaan pajak yang belum optimal tersebut juga akibat dari rendahnya kepatuhan pajak di Indonesia.
Bahwa adapun sejarah pelaksanaan kebijakan Pengampunan Pajak dan sunset policy di Indonesia adalah sebagaimana terlihat pada tabel 1 di bawah ini: Sejarah Pengampunan Pajak di Indonesia Program Subjek Objek Insentif Jangka waktu Hukuman Tax Amnesty 1964 Orang Pribadi dan Badan a. Pajak Pendapatan;
Pajak Kekayaan;
Pajak Perseroan a. Uang tebusan 5% & 10% dari harta yang dimohonkan b. Bebas pidana fiskal dan pidana umum 9 Sept 1964 s.d 17 Agustus 1965 400% Tax Amnesty 1984 Wajib Pajak terdaftar & Wajib Pajak yang belum terdaftar a. Pajak Pendapatan;
Pajak Kekayaan;
Pajak Perseroan;
PDBR;
Pajak Pendapatan Buruh;
Pajak Penjualan Uang tebusan: • 1% dari jumlah kekayaan yang dimohonkan bagi yg sudah lapor SPT; • 10% untuk yg tidak lapor. 18 April 1984 s.d. 31 Des 1984 - Sunset Policy 2008 Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan Orang Pribadi:
penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas pajak yang tidak atau kurang dibayar d. penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak. Badan:
penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas - Tahun 2008 s.d 28 Februari 2009 - Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 326 keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak. (sumber : Naskah Akademik RUU Pengampunan Pajak halaman 41) e. Bahwa dengan pengampunan pajak diharapkan menghasilkan penerimaan pajak yang selama ini belum atau kurang dibayar, disamping meningkatkan kepatuhan membayar pajak karena makin efektifnya pengawasan karena semakin akuratnya informasi mengenai daftar kekayaan wajib pajak. Bahwa untuk masa selanjutnya, para Wajib Pajak yang belum atau kurang patuh dapat membayar pajak dengan lebih tenang.
Bahwa DPR RI tidak sependapat dengan dalil Para Pemohon yang beranggapan Pasal 11 ayat (2), Pasal 11 ayat (3), dan Pasal 11 ayat (5) Undang-Undang a quo bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD Tahun 1945, dengan penjelasan sebagai berikut:
Bahwa untuk memahami ketentuan Pasal 11 ayat (1), kata “ ditangguhkan ” dalam Pasal 11 ayat (3), dan frasa “ memperoleh Pengampunan Pajak berupa ” dalam Pasal 11 ayat (5), UU Pengampunan Pajak harus secara komprehensif tidak parsial sehingga harus dikaitkan dengan ketentuan pasal-pasal lain dalam UU a quo. Bahwa Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan ( vide : Pasal 1 angka 2 UU Pengampunan Pajak). Artinya Para Pemohon juga termasuk objek Wajib Pajak yang memperoleh hak untuk mendapatkan pengampunan pajak dengan memenuhi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU Pengampunan Pajak. Oleh karena itu, terhadap Para Pemohon sebagai Wajib Pajak juga dapat diberlakukan ketentuan Pasal 11 UU Pengampunan Pajak, sehingga tidak berdasar jika Para Pemohon beranggapan adanya pelanggaran asas persamaan di hadapan hukum dan pemerintahan. Bahwa pemberlakuan ketentuan Pasal 11 a quo terhadap setiap Wajib Pajak termasuk Para Pemohon berasaskan pada asas kepastian hukum, keadilan, kemanfaatan, dan kepentingan nasional Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 327 b. Bahwa perlu dipahami Para Pemohon, bahwa program pengampunan pajak yang diatur dalam UU Pengampunan Pajak ialah untuk mendorong setiap Wajib Pajak agar patuh terhadap ketentuan perpajakan untuk mengungkap harta yang berada di dalam maupun di luar wilayah NKRI, yang dialihkan dan diinvestasikan di dalam wilayah NKRI guna meningkatkan penerimaan pajak untuk pembiayaan pembangunan. UU Pengampunan Pajak memberikan kesempatan bagi Wajib Pajak yang tidak patuh untuk mendeklarasikan hartanya sehingga ke depan setiap Wajib Pajak akan berkontribusi bagi penerimaan negara, program pengampunan pajak ini merupakan upaya pemerintah untuk membina Wajib Pajak yang tidak patuh menjadi patuh. Bahwa Di Jerman, Makamah Agung menjustifikasi tax amnesty sebagai bridge to legality , yaitu suatu jembatan transisi bagi wajib pajak yang tidak patuh untuk patuh.
Bahwa pengampunan pajak lebih menekankan pade aspek manfaat yang diperoleh negara dan kepastian hukum. Keadilan dalam pengampunan pajak ditemukan pada wajib pajak yang melakukan pelanggaran, dalam bentuk pembebanan uang tebusan sebagai kompensasi dari sanksi pelanggaran yang dilakukan Wajib Pajak yang tidak patuh.
Bahwa pelaksanaan pengampunan pajak harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum kepada setiap Wajib Pajak, dalam konteks keadilan pelaksanaan pengampunan pajak harus menjunjung tinggi keseimbangan hak dan kewajiban dari setiap pihak yang terlibat. Bahwa pengaturan kebijakan pengampunan pajak bermanfaat bagi kepentingan negara, bangsa, dan masyarakat, khususnya dalam memajukan kesejahteraan umum, serta pelaksanaan pengampunan pajak mengutamakan kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat di atas kepentingan lainnya. Dengan demikian UU Pengampunan Pajak sama sekali tidak bersifat diskriminatif, tetapi justru memperlakukan sama terhadap setiap Wajib Pajak untuk memperoleh hak mendapatkan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 328 pengampunan pajak, sehingga tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD Tahun 1945 5. Bahwa DPR RI tidak sependapat dengan dalil Para Pemohon yang beranggapan Pasal 20 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD Tahun 1945, dengan penjelasan sebagai berikut:
Bahwa Pasal 20 UU a quo menyatakan “ Data dan informasi yang bersumber dari Surat Pernyataan dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang ini tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak .” Bahwa Pasal 20 UU a quo merupakan jaminan perlindungan hukum bagi setiap warga negara sebagai Wajib Pajak untuk mengikuti program pengampunan pajak karenanya program pengampunan pajak yang diatur dalam UU Pengampunan Pajak ialah kebijakan negara sebagai hukum yang harus dijunjung oleh setiap warga negara termasuk Para Pemohon.
Bahwa dalam Rapat Dengar Pendapat Selasa, 26 April 2016 Kepolisian Republik Indonesia menyampaikan: “ Bahwa untuk mengatasi ketidaksinkronan dalam implemantasi Pasal 20 UU a quo dengan ketentuan dalam UU KUP, UU TPPU dan UU Perbankan, bahwa RUU ini bersifat Lex Spesialis, sehingga mengesampingkan Pasal 34 ayat (2a), ayat (3) dan ayat (4) UU KUP, Pasal 41 ayat (1) huruf a UU TPPU dan Pasal 41 ayat (1) UU Perbankan dan untuk menghindari penyalahgunaan wewenang pemufakatan jahat, maupun penyuapan dalam implemantasi UU Pengampunan Pajak, perlu memperkuat pengawasan terhadap pejabat pajak sebagai pelaksanaan UU a quo ”.
Bahwa untuk memahami makna pasal a quo, dipandang perlu untuk melihat latar belakang perumusan dan pembahasan pasal- pasal terkait dalam undang-undang a quo sebagai berikut: - Terkait dengan Pasal 20 UU 11 Tahun 2016 dalam Rapat Panitia Kerja RUU Ke-4 tanggal 31 Mei 2016: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 329 Sekjen Kementerian Keuangan dari Pemerintah, menyampaikan bahwa: “Data dan informasi yang terdapat dalam surat pernyataan, tidak dapat dijadikan dasar penyelidikan, penyidikan dan/atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak. Nah ini satu statement atau satu perlindungan hukum bahwa data apapun yang masuk dalam surat pernyataan, ada kecurigaan apapun dari siapapun, itu tidak boleh digunakan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan maupun penuntutan terhadap wajib pajak. Ini tentu menambah lagi level of confidence untuk ikut program tax amnesty. Selain itu, data dan informasi yang disampaikan Wajib Pajak, tidak dapat diminta atau diberikan kepada pihak lain berdasarkan peraturan perundangan lain kecuali atas persetujuan wajib pajak sendiri. Jadi Bapak-Ibu sekalian, khusus untuk yang ini, even enforcement authority, seperti penegak hukum meminta data, begitu, secara coincidence kebetulan misalnya ada data yang sama, yang terdaftar atau dalam penyelidikan mereka kemudian ada juga menurut asumsi ada kaitannya kesini. Kita, fiscus, dilarang untuk memberikan data itu, informasi apapun, secuil apapun kepada mereka, kecuali atas persetujuan wajib pajak sendiri. Jadi disini memang, undang- undang ini meng address ultimate protection terhadap wajib pajak supaya mereka juga dengan volunteer, disclosed seluruh harta, asset yang berkaitan dengan program tax amnesty ini.” Evi Zainal Abidin, B.Comm dari Fraksi Partai Demokrat menyampaikan bahwa: “Kerahasiaan dan keamanan data adalah sesuatu yang mutlak. Karena inilah yang akan menjadi pedoman atau dipedomani oleh para pihak-pihak atau WP yang akan mengajukan pernyataan pengampunan pajak. Untuk itu, data dan informasi yang terdapat dalam surat pernyataan tidak Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 330 dapat dijadikan dasar dan penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap WP oleh siapapun. Itu penting untuk disebutkan. Oleh siapapun. Karena itu, jika kuncinya kerahasiaan dan keamanan data ini sudah ada, maka asas keadilannya harus kita tata dengan baik. Karena itu, kami juga mengingatkan kembali, karena kerahasiaan data ini jangan sampai menjadi sesuatu yang goyah atau tidak kuat, maka ada filter-filter atau saringan-saringan yang memang di awal sudah harus dipersiapkan. Salah satunya mungkin pada saat nanti kita kembali membahas definisi harta atau jenis harta. Disitu akan muncul pengecualian harta-harta yang bisa di declare.” Ahmad Najib Qodratullah, S.E dari Fraksi PAN menyampaikan bahwa: “apa yang telah disampaikan. Bahwa fasilitas kerahasiaan dan keamanan data ini menurut hemat kami tentu menjadi fitur yang utama di dalam RUU Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) ini. Kami juga menyakini bahwa hal itu yang kemudian bisa menarik calon-calon Wajib Pajak yang akan masuk dalam program ini. Tetapi tenu Pimpinan, harus dipikirkan juga bahwa negara juga memikirkan kondisi lain, dimana bahwa fasilitas itu kemudian tidak disalahgunakan ke depan. Ada beberapa hal yang menjadi pandangan kami, hal ini rawan kemudian terkait dengan masalah-masalah extra ordinary crime. Jangan sampai kemudian ini menjadi sebuah titik tolak awal balik dari program-program yang Pemerintah sedang galakkan pada saat ini. Kita tahu persis bahwa narkoba menjadi sebuah sesuatu yang hari ini gencar diperangi. Di dalam bisnis itu tentu melibatkan juga beberapa bisnis yang dibungkus secara legal. Tentu ini harus kita lindungi juga. Disisi lain juga kami melihat, bahwa perlindungan ini juga mencakup dari perlindungan kepada pemilik data, pengelola data yang kemudian di akhir dari program ini jelas tidak menimbulkan masalah-masalah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 331 hukum ke depan. Pengaturannya harus lebih detail, bagaimana kemudian pengelola data ini dilindungi, tetapi juga mereka diberikan batasan, sehingga tidak ada sesuatu penyalahgunaan dari wewenang tersebut. tentu harus lebih detail, dengan sangsi yang lebih jelas .
Bahwa berdasarkan pandangan tersebut, DPR RI berpandangan bahwa Pasal 20 UU Pengampunan Pajak merupakan landasan yuridis untuk memberikan jaminan perlindungan hukum kepada setiap warga negara sebagai Wajib Pajak, sehingga sudah sepatutnya setiap warga negara menjunjung hukum (UU Pengampunan Pajak) dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya sebagaimana yang diamanatkan Pasal 27 ayat (1) UUD Tahun 1945.
Bahwa DPR RI tidak sependapat dengan dalil Para Pemohon yang beranggapan Pasal 19 ayat (1), Pasal 19 ayat (2) bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) UUD Tahun 1945, dengan penjelasan sebagai berikut:
Bahwa terkait dengan penyelesaian gugatan pajak pada badan peradilan pajak yang dipersoalkan Para Pemohon, DPR RI berpandangan bahwa Para Pemohon perlu membaca Pasal 27 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut UU Kekuasaan Kehakiman) yang mengatur; bahwa “ pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung. Ketentuan mengenai pembentukan pengadilan khusus diatur dalam undang-undang. Pengaturan mengenai pengadilan khusus yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung ”. Bahwa yang dimaksud dengan “ pengadilan khusus ” antara lain adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial dan pengadilan perikanan yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 332 berada di lingkungan peradilan umum, serta pengadilan pajak yang berada di lingkungan peradilan tata usaha negar
Bahwa selain UU Kekuasaan Kehakiman tersebut, terkait hal tersebut, diatur juga dalam Pasal 9A Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut UU Peradilan TUN) yang menyatakan di lingkungan peradilan tata usaha negara dapat dibentuk pengadilan khusus yang diatur dengan undang-undang. Pada pengadilan khusus dapat diangkat hakim ad hoc untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang membutuhkan keahlian dan pengalaman dalam bidang tertentu dan dalam jangka waktu tertentu. Pengadilan khusus merupakan diferensiasi dan spesialisasi di lingkungan peradilan tata usaha negara, misalnya pengadilan pajak.
Bahwa berdasarkan UU Kekuasaan Kehakiman dan UU Peradilan TUN tersebut telah dibentuk Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (selanjutnya disebut UU Pengadilan Pajak). Pengadilan pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak. Dalam Pasal 31 UU Pengadilan Pajak diatur bahwa pengadilan pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus sengketa pajak. Pengadilan pajak dalam hal memeriksa upaya hukum banding hanya memeriksa dan memutus sengketa atas keputusan keberatan, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan. Pengadilan pajak memeriksa dan memutus sengketa atas pelaksanaan penagihan pajak atau keputusan pembetulan atau keputusan lainnya sebagaimana diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 16 Tahun 2009 (selanjutnya disebut UU Ketentuan Umum Perpajakan) . Bahwa menurut ketentuan Pasal 33 UU tentang Pengadilan Pajak, pengadilan pajak merupakan pengadilan tingkat Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 333 pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 27 Ketentuan Umum Perpajakan yaitu Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan. Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan pengadilan khusus di lingkungan peradilan tata usaha negara.
Bahwa berdasarkan ketentuan UU Kekuasaan Kehakiman, UU Peradilan TUN, UU Pengadilan Pajak jo UU Ketentuan Umum Perpajakan tersebut, penyelesaian gugatan badan peradilan pajak yang diatur dalam Pasal 19 ayat (1), Pasal 19 ayat (2) UU Pengampunan Pajak berkedudukan di lingkungan kekuasaan kehakiman sehingga tidak bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) UUD Tahun 1945 7. Bahwa DPR RI tidak sependapat dengan dalil Para Pemohon yang beranggapan Pasal 21 ayat (2) jo Pasal 22 dan Pasal 23 Undang- Undang a quo bertentangan dengan Pasal 28F UUD Tahun 1945, dengan penjelasan sebagai berikut:
Bahwa terkait dengan norma yang mengatur frase “dilarang” dalam Pasal 21 ayat (2) UU Pengampunan Pajak dipandang perlu merujuk juga UU Ketentuan Umum Perpajakan yang mengatur bahwa setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Bahwa ketentuan Pasal 21 ayat (2) UU Pengampunan Pajak tersebut sesuai dengan pengaturan keterbukaan informasi publik yang diatur dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (selanjutnya disebut UU KIP) yang mengatur bahwa Badan Publik berhak menolak memberikan informasi yang berkaitan dengan hak-hak pribadi dimana informasi yang diberikan oleh Wajib Pajak merupakan hak pribadi Wajib Pajak sehingga untuk setiap orang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 334 yang melanggar dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun. Bahwa pengaturan pengampunan pajak yang melarang pejabat memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya, selaras juga dengan pengaturan Pasal 17 huruf J UU KIP yang mengatur pengecualian kewajiban Badan Publik untuk membuka akses informasi yang wajib dirahasiakan berdasarkan Undang-Undang. Bahwa dengan demikian Pasal 21 ayat (2) UU Pengampunan Pajak tidak bertentangan dengan Pasal 28F UUD Tahun 1945.
Bahwa Para Pemohon beranggapan Pasal 22 UU Pengampunan Pajak yang menyatakan : “Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” mengandung makna hak imunitas tidak memiliki landasan norma konstitusi sehingga dianggapnya bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD Tahun 1945, Terhadap dalil Para Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan bahwa norma yang mengatur pegawai/petugas yang melaksanakan tugas jabatan karena perintah undang-undang tidak dapat dituntut baik secara pidana maupun perdata, merupakan bentuk jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum yang diberikan oleh negara kepada pegawai/petugas yang karena perintah undang-undang melaksanakan tugasnya dengan didasarkan pada itikad baik serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sebaliknya jika pegawai/atau petugas melakukan perbuatan tidak sesuai atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, maka kepada yang bersangkutan tetap dapat dikenai tuntutan pidana dan/atau perdata. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 335 c. Bahwa pengaturan hal tersebut, terdapat pula dalam ketentuan perundang-undangan yang secara tegas mengatur norma yang memberikan jaminan kepastian dan perlindungan hukum bagi pegawai yang melaksanakan tugas karena perintah undang- undang. yaitu dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) secara tegas menyatakan bahwa “ barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana ”. Selanjutnya di dalam Pasal 51 KUHP dinyatakan bahwa “ barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana. Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan iktikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya”. d. Bahwa benar hanya DPR yang diberikan hak imunitas oleh konstitusi yaitu Pasal 20A ayat (3) UUD Tahun 1945, tetapi dalam ketentuan Pasal 22 UU a quo, yang mengatur: “Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”, merupakan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pegawai/petugas dalam menjalankan tugas jabatannya karena perintah undang-undang. Bahwa dalam praktek ketatanegaraan hal tersebut telah diatur pula dalam peraturan perundang- undangan mengenai pegawai yang dalam melaksanakan tugas karena perintah undang-undang tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana seperti pegawai pajak; anggota dan sekretaris Komite Stabilitas Sistem Keuangan; pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan; Anggota BPK; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 336 Gubernur, Deputi Gubernur Senior, Deputi Gubernur, dan atau Pejabat Bank Indonesia; dan Advokat. Adapun ketentuan undang- undang yang mengatur mengenai hal tersebut adalah sebagai berikut: NO. UNDANG-UNDANG PASAL 1. UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 36A ayat (5) Pegawai pajak tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, apabila dalam melaksanakan tugasnya didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dalam penjelasan diatur bahwa pegawai pajak dalam melaksanakan tugasnya dianggap berdasarkan iktikad baik apabila pegawai pajak tersebut dalam melaksanakan tugasnya tidak untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok, dan/atau tindakan lain yang berindikasi korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme.
UU Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan Pasal 48 (1) Kecuali terdapat unsur penyalahgunaan wewenang, anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan, sekretaris Komite Stabilitas Sistem Keuangan, anggota sekretariat Komite Stabilitas Sistem Keuangan, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan tidak dapat dituntut, baik Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 337 NO. UNDANG-UNDANG PASAL secara perdata maupun pidana atas pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang berdasarkan Undang- Undang ini.
UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan
Pasal 26
Anggota BPK tidak dapat dituntut di muka pengadilan karena menjalankan tugas, kewajiban, dan wewenangnya menurut Undang-Undang ini.
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Anggota BPK, Pemeriksa, dan pihak lain yang bekerja untuk dan atas nama BPK diberikan perlindungan hukum dan jaminan keamanan oleh instansi yang berwenang.
UU Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
Pasal 45
Gubernur, Deputi Gubernur Senior, Deputi Gubernur, dan atau Pejabat Bank Indonesia tidak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini sepanjang dilakukan dengan itikad baik.
UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
Pasal 16
Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas __ profesinya dengan iktikad baik untuk Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 338 NO. UNDANG-UNDANG PASAL kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan.
Bahwa untuk memahami ketentuan-ketentuan UU Pengampunan Pajak dipandang perlu untuk merujuk latar belakang perumusan dan pembahasan pasal-pasal terkait dalam Undang-Undang a quo sebagai berikut:
Terkait dengan Pasal 22 UU Pengampunan Pajak dalam Rapat Panitia Kerja RUU Ke-4 tanggal 1 Juni 2016: Sekjen Kementerian Keuangan dari Pemerintah, menyampaikan bahwa: __ “perlindungan hukum dalam rangka pelaksanaan Undang- Undang Pengampunan Pajak. Ini dimaksudkan apabila ada situasi pegawai Menteri Keuangan Kementerian Keuangan tidak dapat di sini diatur, Pegawai Kementerian Keuangan tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyidikan atau dituntut baik secara perdata maupun Ida apabila melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Mungkin ilustrasi singkat kira-kira kalau ada staf sedang membawa berkas misalnya, kemudian karena sesuatu hal kecopet atau ada kecelakaan berkas itu tercecer satu saja, nah ini tidak dapat dijadikan alasan untuk dilaporkan, digugat, ataupun dilakukan penyidikan karena yang bersangkutan telah melaksanakan itikad baik sebaik-baiknya membawa berkas dan sebagaimana. Secara singkat Pak Dirjen Pajak menyampaikan dalam situasi benar-benar Force major yang di luar kontrol dari pelaksanaan tugas pegawai Kementerian Keuangan dimaksud.” (2) Terkait dengan Pasal 22 UU Pengampunan Pajak dalam Rapat Panitia Kerja RUU tanggal 21 Juni 2016 H Ecky Awal Mucharam, SE., Ak dari Fraksi PKS, menyampaikan bahwa: __ Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 339 “pasal ini normal dan perlu memang, kalau misalnya saya berpendapat bahwa dengan pasal yang tadi itu tidak redanden kenapa pasal yang tadi itu terkait dengan data, kelalaian dalam hal data. Dalam hal ini jelas dia kan masker undang-undang ini dan di dalam Undang-Undang ini tidak boleh mengeluarkan data, artinya ketika mengeluarkan data dia tidak dilindungi dengan pasal ini karna tidak sesuai dengan undang-undang” H. Mukhamad Misbakhun, SE dari Fraksi PG. Menyampaikan bahwa: __ “mendiskusikan pasal inikan kita mendiskuskan sebuah upaya membangun Mutual Trust antara wajib pajak dengan diskus, kalau mereka kemudian melakukan kesalahan itu dihukum. Orang yang beritikad baik juga harus diberikan kenyamanan atau diberikan garansi, selama inikan sering kita temukan ada upaya kriminalisasi yang dilakukan oleh Wajib Pajak kepada fiskus banyak misalnya kemudian hanya karena meminjam data dalam prosedur pemeriksaan mereka digugat bahwa mereka melakukan pencurian data oleh wajib pajak, padahal mereka dalam rangka melaksanakan tugas yang didasarkan kepada ketentuan peraturan perundangan yang memberikan kewenangan kepada mereka. Kemudian di dalam Undang- Undang Tax Amensty yang sedang kita susun ini akan memberikan sebuah garansi bahwa mereka akan bekerja dengan sungguh-sungguh dengan itikad baik itu mereka juga harus dijamin dengan Undang-Undang. Cara kita menjaga dan melindungi mereka dengan pasal di Undang-Undang dan itu yang secara jelas harus terstatement di dalam Undang- Undang ini. Terima kasih.” Dra Elviana, M.Si dari Fraksi PPP. menyampaikan bahwa: __ “pimpinan dari awal kita sudah membuat pasal-pasal yang membuat Wajib Pajak itu nyaman dan sekarang Pemerintah meminta perlindungan, bagi saya sekali lagi goal di Undang- Undang ini adalah uang cepat masuk ke Indonesia untuk menutup defisit kita yang kata pak menteri 165 Triliun totalnya. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 340 Oleh sebab itu saya pikir tidak perlu ada lagi perdebatan kita, kita ketok pasal ini kemudian kita lanjut pimpinan.” Prof. Dr. Hendrawan Supraktikno dari Fraksi PDIP. menyampaikan bahwa: __ “pengampunan adalah sebuah upaya legal yang luar biasa. Itu sebabnya proteksi tetap diberikan kepada pihak-pihak yang terkait.” Sekjen Kementerian Keuangan dari Pemerintah, menyampaikan bahwa __ “pasal ini sangat diperlukan buat kami menjalankan Undang- Undang ini dengan penuh keyakinan bahwa kita juga memperoleh perlindungan hukum yang memadai, apabila kita menjalankan Undang-Undang ini dengan itikad baik dengan cara semua prosedur dijalankan dan lain sebagaimana” 9. Bahwa berdasarkan pandangan tersebut, Pasal 21 ayat (2) jo Pasal 22 dan Pasal 23 UU Pengampuan Pajak tidak bertentangan dengan Pasal 28F UUD Tahun 1945. Dengan demikian atas dasar uraian tersebut, DPR- RI berpandangan ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 7, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 11 ayat (2), Pasal 11 ayat (3), Pasal 11 ayat (5), Pasal 19 ayat , Pasal 19 ayat (2), Pasal 20, Pasal 21 ayat (2), Pasal 22, dan Pasal 23 UU Nomor 11 Tahun 2016 tidak bertentangan dengan Pasal 23A, Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28F UUD Tahun 1945, juga tidak merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon. Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, DPR RI memohon agar kiranya, Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia memberikan amar putusan sebagai berikut:
Menyatakan Para Pemohon a quo tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ), sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menyatakan permohonan Para Pemohon a quo ditolak untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan a quo tidak dapat diterima;
Menyatakan Keterangan DPR RI dikabulkan untuk seluruhnya; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 341 4. Menyatakan Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 7, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 11 ayat (2), Pasal 11 ayat (3), Pasal 11 ayat (5), Pasal 19 ayat (1), Pasal 19 ayat (2), Pasal 20, Pasal 21 ayat (2), Pasal 22, dan Pasal 23 Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak tidak bertentangan dengan Pasal 23A, Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Menyatakan Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 7, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 11 ayat (2), Pasal 11 ayat (3), Pasal 11 ayat (5), Pasal 19 ayat (1), Pasal 19 ayat (2), Pasal 20, Pasal 21 ayat (2), Pasal 22, dan Pasal 23 Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak tetap memiliki kekuatan hukum mengikat. Apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). [2.5] Menimbang bahwa para Pemohon dan Presiden masing-masing telah menyampaikan kesimpulan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 16 November 2016 dan 17 November 2016, yang pada pokoknya masing- masing menyatakan tetap dengan pendiriannya; [2.6] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini;
PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 342 selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358), Mahkamah berwenang, antara lain, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945; [3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon adalah permohonan untuk menguji konstitusionalitas norma Undang-Undang, in casu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (selanjutnya disebut UU 11/2016) terhadap UUD 1945, maka Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo ; Kedudukan Hukum ( Legal Standing) Pemohon [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai para Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 343 [3.4] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya, telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh para Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.3] dan [3.4] di atas, Mahkamah selanjutnya mempertimbangkan kedudukan hukum Pemohon sebagai berikut:
Bahwa Pemohon dalam permohonan a quo , yaitu Yayasan Satu Keadilan, mendalilkan dirinya sebagai badan hukum privat, yang dalam hal ini diwakili oleh Sugeng Teguh Santoso, S.H. dan Syamsul Alam Agus, S.H. masing- masing dalam kedudukannya selaku Ketua dan Sekretaris Eksekutif Yayasan Satu Keadilan (vide bukti P-4 dan bukti P-5) yang berdasarkan Pasal 16 ayat (5) Akta Pendiriannya (vide bukti-P1) berhak mewakili Yayasan di dalam dan di luar pengadilan tentang segala hal dan segala keadaan dengan pembatasan tertentu dan dalam hal ini, setelah diteliti oleh Mahkamah, telah ternyata tidak termasuk dalam pembatasan sebagaimana dimaksud, sehingga Mahkamah berhak bertindak untuk dan atas nama Yayasan Satu Keadilan sebagai Pemohon dalam permohonan a quo ; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 344 2. Bahwa setelah meneliti maksud dan tujuan Yayasan Satu Keadilan, sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 Akta Pendiriannya, Mahkamah berpendapat bahwa secara implisit mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah termasuk ke dalam maksud dan tujuan Yayasan Satu Keadilan;
Bahwa, agak berbeda dengan pengujian Undang-Undang lainnya, permohonan a quo substansinya berkenaan dengan masalah pajak, sehingga menurut Mahkamah setiap warga negara pembayar pajak yang menganggap hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya UU 11/2016 dapat diterima kedudukan hukum ( legal standing )-nya dalam pengujian UU 11/2016 terhadap UUD 1945.
Bahwa, dalam kaitannya dengan Pemohon, sekalipun sebagai yayasan yang bergerak di bidang sosial Pemohon tidak diwajibkan membayar pajak, namun mengingat maksud dan tujuan pendiriannya Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon memiliki kepentingan langsung terhadap berlakunya norma Undang- Undang yang menjadi objek permohonan a quo , terlebih lagi ternyata Pemohon juga terdaftar sebagai Wajib Pajak (vide bukti P-10 dan bukti P-11) [3.6] Menimbang, berdasarkan seluruh pertimbangan pada paragraf [3.5] di atas, Mahkamah berpendapat Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak selaku Pemohon dalam permohonan a quo ; [3.7] Menimbang, oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo , selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan. Pokok Permohonan [3.8] Menimbang bahwa pokok permohonan a quo adalah permohonan pengujian Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 7, Pasal 3 ayat (1), Pasal 4, Pasal 5, Pasal 20 dan Penjelasannya, serta Pasal 22 UU 11/2016 terhadap UUD 1945. Adapun rumusan ketentuan dalam UU 11/2016 yang dimohonkan pengujian tersebut selengkapnya berbunyai sebagai berikut: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 345 Pasal 1 angka 1: Pengampunan Pajak adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap Harta dan membayar Uang Tebusan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini” Pasal 1 angka 7: Uang Tebusan adalah sejumlah uang yang dibayarkan ke kas negara untuk mendapatkan Pengampunan Pajak . Pasal 3 ayat (1):
Setiap Wajib Pajak berhak mendapatkan Pengampunan Pajak. Pasal 4:
Tarif Uang Tebusan atas Harta yang berada di dalam wilayah yang berada Negara Kesatuan Republik Indonesia atau Harta yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan diinvestasikan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu paling singkat 3 _(tiga) tahun terhitung sejak dialihkan, adalah sebesar: _ a. 2% (dua persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan pertama sampai dengan akhir bulan ketiga terhitung sejak Undang- _Undang ini mulai berlaku; _ b. 3% (tiga persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan keempat terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku sampai _dengan tanggal 31 Desember 2016; dan _ c. 5% (lima persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan terhitung sejak tanggal 1 Januari 2017 sampai dengan tanggal 31 Maret 2017. (2) Tarif Uang Tebusan atas Harta yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan _Republik Indonesia adalah sebesar: _ a. 4% (empat persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan pertama sampai dengan akhir bulan ketiga terhitung sejak Undang- _Undang ini mulai berlaku; _ b. 6% (enam persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan keempat terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku sampai _dengan tanggal 31 Desember 2016; dan _ Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 346 c. 10% (sepuluh persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan terhitung sejak tanggal 1 Januari 2017 sampai dengan 31 Maret 2017. (3) Tarif Uang Tebusan bagi Wajib Pajak yang peredaran usahanya sampai dengan Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) pada _Tahun Pajak Terakhir adalah sebesar: _ a. 0,5% (nol koma lima persen) bagi Wajib Pajak yang mengungkapkan nilai Harta sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dalam _Surat Pernyataan; atau _ b. 2% (dua persen) bagi Wajib Pajak yang mengungkapkan nilai Harta lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dalam Surat Pernyataan. Untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan pertama sejak Undang-Undang ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Maret 2017. Pasal 5:
Besarnya Uang Tebusan dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dengan dasar pengenaan Uang Tebusan. (2) _Dasar pengenaan Uang Tebusan sebagaimana dimaksud pada ayat _ dihitung berdasarkan nilai Harta bersih yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir. (3) Nilai Harta bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan selisih antara nilai Harta dikurangi nilai Utang. Pasal 20: Data dan informasi yang bersumber dari Surat Pernyataan dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang ini tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak. Penjelasan Pasal 20: Tindak pidana yang diatur dalam pasal ini meliputi Tindak Pidana di Bidang Perpajakan dan tindak pidana lain . Pasal 22: Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan lain pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 347 perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Adapun argumentasi Pemohon dalam mendalilkan bahwa ketentuan UU 11/2016 yang dimohonkan pengujian tersebut bertentangan dengan UUD 1945 pada pokoknya menurut Mahkamah dapat dikelompokkan sebagai berikut (argumentasi Pemohon selengkapnya telah diuraikan pada bagian Duduk Perkara):
Argumentasi Umum: Dalam argumentasi umum ini Pemohon pada intinya memberikan evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan-kebijakan pengampunan pajak yang telah dilakukan sebelumnya yang kemudian diperbandingkan dengan pemberlakuan UU 11/2016 sehingga Pemohon tiba pada kesimpulan bahwa Undang-Undang a quo tidak berjalan secara relevan dengan tujuan penegakan hukum di Indonesia dan telah menghalangi segala upaya penegakan hukum yang telah diperjuangkan berbagai lembaga negara selama ini di mana penghalangan tersebut bertentangan dengan tujuan pembentukan Negara Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial sebagai amanat penderitaan rakyat.
Argumentasi Khusus: Dalam argumentasi khusus ini Pemohon membangun dalil yang langsung berkenaan dengan norma dalam UU 11/2016 yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 yang pada pokoknya sebagai berikut:
Pemohon mendalilkan bahwa pengertian frasa “Pengampunan Pajak” dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 3 ayat (1) UU 11/2016 serta mekanisme pengampunan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 7 juncto Pasal 5 dan Pasal 4 UU 11/2016 bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 yang menyatakan pelaksanaan perpajakan bersifat memaksa bukan mengampuni sebagaimana dalam UU 11/2016, dengan alasan yang pada intinya: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 348 1) Ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 3 ayat (1) serta diimplikasikan pada Pasal 1 angka 7 juncto Pasal 5 serta Pasal 4 UU 11/2016 bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 yang menyatakan, “ Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang ” karena terdapat kekeliruan interpretasi leksikal terhadap frasa “memaksa” yang diterapkan ke dalam frasa “pengampunan pajak” sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 angka (2) [ sic! ] UU 11/2016;
Frasa “Memaksa” dalam Pasal 23A UUD 1945, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah memperlakukan, menyuruh, meminta dengan paksa, sedangkan pengertian “Pengampunan” pada UU 11/2016 adalah pembebasan dari hukuman atau tuntutan;
Paksaan dalam penerapan pajak terhadap warga negara dalam Pasal 23A UUD 1945 adalah untuk keperluan negara; norma memaksa ini dihilangkan oleh Pasal 1 angka 1 dan Pasal 3 angka (1) [ sic! ] UU 11/2016 karena adanya frasa “Pengampunan”;
Secara substansi, frasa pengampunan dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 3 angka (1) [ sic! ] secara harfiah dimaknai adanya tindakan khusus pemerintah dalam sistem perpajakan di mana pelaporan Wajib Pajak yang memiliki daftar Objek Pajak baru diberikan kekhususan dengan dihapuskannya sanksi yang meliputi sanksi administrasi dan sanksi pidana;
Telah terjadi pergeseran makna dan tujuan Pasal 23A UUD 1945 oleh substansi dan pemaknaan pengampunan pajak dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 3 angka (1) [ sic! ] UU 11/2016;
Implikasi pergeseran makna sebagaimana dimaksud pada angka 5) di atas adalah bergesernya filosofi sistem perpajakan yang semula bersifat “memaksa” menjadi sistem yang kompromis melalui “pengampunan”;
Perbedaan frasa dimaksud, baik secara leksikal maupun gramatikal, membuat Pasal 1 angka 1 dan Pasal 3 angka (1) [ sic! ] bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945.
Pemohon mendalilkan pengertian frasa “Uang Tebusan” dalam ketentuan Pasal 1 angka 7 yang direalisasikan dalam Pasal 4 juncto Pasal 5 UU Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 349 11/2016 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dengan alasan yang pada intinya:
Ketentuan Pasal 1 angka 7 UU 11/2016 secara implementatif dijelaskan dalam Pasal 4 ayat ( UU 11/2016;
Uang Tebusan yang dimaksud dalam UU 11/2016 adalah bentuk perlakuan khusus pemerintah kepada penggelap dan penghindar pajak;
Perlakuan khusus sebagaimana dimaksud pada angka 2) telah menimbulkan kerugian pada wajib pajak yang taat;
Pengundangan UU 11/2016 telah menegasi Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang sesungguhnya telah mengatur mengenai penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap warga negara pengemplang/penghindar pajak, sehingga UU 11/2016 justru kontraproduktif dengan mekanisme penegakan perpajakan;
Nilai-nilai dalam demokrasi mengatur kedudukan dan kapasitas warga negara setara di hadapan hukum dan pemerintahan sebagaimana dijelaskan dalam dictum menimbang International Covenant on Civil and Political Rights dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
Dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan;
Dalam penerapan Pasal 1 angka 7 UU 11/2016 pemerintah melakukan diskriminasi dengan memposisikan wajib pajak yang taat dan yang tidak taat secara berbeda dan cenderung memberi perlakuan khusus kepada wajib pajak yang tidak taat;
Pemohon mendalilkan frasa “tidak dapat” dalam Pasal 20 UU 11/2016 serta frasa “tindak pidana lain” dalam Penjelasan Pasal 20 UU 11/2016 bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 karena memberikan kekebalan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam tindak pidana perpajakan serta tindak pidana lain kepada Peserta Pengampunan Pajak sehingga mengintervensi kekuasaan kehakiman dalam penyelenggaraan penegakan hukum, dengan alasan yang pada intinya:
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang bebas dan merdeka dalam menyelenggarakan peradilan; Konstitusi menempatkannya sebagai kekuasaan yang tidak dapat dibatasi atau dikurangkan oleh kekuasaan eksekutif; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (02 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 350 2) Ketentuan dalam Pasal 20 UU 11/2016 berarti memberi kekebalan hukum kepada data dan informasi dalam Surat Pernyataan dan lampirannya terhadap perolehan dan atau sumber yang dinyatakan dan dilaporkan;
Penjelasan Pasal 20 UU 11/2016 memperluas imunitas hukum yang diatur dalam Pasal 20 UU 11/2016 sehingga meliputi Tindak Pidana di Bidang Perpajakan dan tindak pidana lain;
Kekebalan hukum sebagaimana dimaksud pada angka 3) telah membatasi jangkauan kekuasaan kehakiman sehingga menyalahi dan bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945;
Dalam konsep negara hukum, dalam konteks kekuasaan kehakiman, tidak ada satu aturan yang berlaku dengan membeda-bedakan warga negara di hadapan hukum dan pemerintahan;
Pemberlakuan Pasal 20 UU 11/2016 dan Penjelasannya bertabrakan dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan;
Karena adanya pertentangan makna dan norma antara Pasal 20 UU 11/2016 dan Penjelasannya dengan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 maka Pasal 20 UU 11/2016 dan Penjelasannya bersifat inkonstitusional sehingga sudah seharusnya dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pemohon mendalilkan frasa “tidak dapat” dalam kalimat [ sic! ] “tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, atau dituntut baik secara perdata maupun pidana” dalam Pasal 22 UU 11/2016 tidak memiliki landasan norma dalam Konstitusi dan telah bertentangan dengan prinsip persamaan hak dan kewajiban di hadapan hukum dan pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, dengan alasan yang pada intinya:
Karena kekuasaan, menurut Lord Acton, cenderung korup maka ia harus dibatasi dengan cara memisah-misahkannya ke dalam cabang-cabang yang bersifat checks and balances ;
Pemisahan kekuasaan yang bersifat checks and balances sebagaimana dimaksud pada angka 1) sehubungan dengan pemerintahan yang bersih Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 351 merupakan serangkaian konsep yang bermuara pada partisipasi masyarakat, di dalamnya termasuk social control ;
Bahwa Menteri Keuangan, pegawai Kementerian Keuangan dan pihak lain, sebagaimana disebut dalam Pasal 22 UU 11/2016, memiliki hak yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan dengan warga negara lainnya tanpa kecuali;
Indonesia menjamin perihal persamaan kedudukan di hadapan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, oleh karena itu negara menjamin seluruh warga negara tanpa kecuali dari perlakuan diskriminatif;
Pasal 22 UU 11/2016 bersifat diskriminatif karena memberi makna imunitas kepada Menteri Keuangan, Wakil Menteri Keuangan, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak;
Elaborasi terhadap Pasal 22 UU 11/2016 yang memberi imunitas dan Pasal 21 ayat (2) UU 11/2016 yang menutup arus informasi telah membuat Menteri Keuangan, Wakil Menteri Keuangan, pegawai Kementerian Keuangan dan/atau pihak lain yang terkait pelaksanaan pengampunan pajak memiliki kewenangan absolut tanpa pengawasan;
Imunitas dan penutupan akses informasi melalui kewenangan Menteri Keuangan, Wakil Menteri Keuangan, pegawai Kementerian Keuangan telah memperlakukan masyarakat secara tidak demokratis dan menghilangkan peran masyarakat sebagai kontrol sosial, sedangkan imunitas yang dimiliki Menteri Keuangan, Wakil Menteri Keuangan, pegawai Kementerian Keuangan tidak memiliki dasar kaidah dalam konstitusi dan bertentangan dengan prinsip perlindungan hukum yang sama adilnya di mata hukum dan pemerintahan. [3.9] Menimbang bahwa untuk mendukung permohonannya, Pemohon telah mengajukan bukti-bukti surat yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan P-14, serta mengajukan 3 orang ahli Reza Zaki S.H., MA., Drs. Basuki Widodo, dan DR. Eva Achjani Zulfa.,S.H.,M.H., yang didengarkan keterangannya di bawah sumpah pada tanggal 28 September 2016 dan 11 Oktober 2016, dan seorang ahli bernama Dr. Endang Kiswara, S.E., M.SI., Akt. yang keterangan tertulisnya diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 31 Oktober 2016; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 352 [3.10] Menimbang bahwa Mahkamah telah pula mendengar keterangan DPR, Keterangan Presiden, ahli yang diajukan oleh Presiden, yaitu Dr. Muhamad Chatib Basri, S.E., M.Ec., Ph.D., Yustinus Prastowo, SE, M.Hum, M.A, Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M., Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., MPA., Dr. Refli Harun, S.H., M.H., Dr. Zaenal Arifin Mochtar, S.H., M.Hum., Prof. Dr. Eddy O.S. Hiariej, S.H., M.Hum., Prof. Wihana Kirana Jaya, Ph.D., Dr. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum., Dr. Maruarar Siahaan, S.H., [3.11] Menimbang bahwa setelah membaca dengan saksama permohonan Pemohon, Kesimpulan Pemohon, Keterangan Dewan Perwakilan Rakyat, Keterangan Presiden, Kesimpulan Presiden, memeriksa bukti-bukti surat, dan ahli, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
Terhadap dalil dalam argumentasi umum Pemohon, sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.8] angka 1 di atas, yang di dalamnya sebagian berisikan uraian yang menggambarkan evaluasi atau penilaian Pemohon terhadap kebijakan pengampunan pajak yang pernah dilakukan sebelumnya yang kemudian dihubungkan dengan pemberlakuan UU 11/2016 dan secara implisit hendak menunjukkan bahwa kebijakan demikian sesungguhnya tidak tepat atau gagal, Mahkamah berpendapat bahwa hasil penilaian atau evaluasi demikian, andaikata pun benar, tidaklah menjadikan kebijakan itu serta-merta bertentangan dengan tujuan pembentukan Negara Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial sebagai amanat penderitaan rakyat, sebagaimana didalilkan Pemohon, sehingga tidak cukup alasan pula untuk menyatakan UU 11/2016 bertentangan dengan UUD 1945. Sementara itu, terhadap hal-hal spesifik yang menyangkut materi muatan dari norma UU 11/2016, yang secara substansial juga dijadikan bagian dari argumentasi umum Pemohon dimaksud, akan dipertimbangkan tersendiri oleh Mahkamah dalam pertimbangan terhadap argumentasi khusus Pemohon berikut setelah pertimbangan terhadap argumentasi umum Pemohon a quo . Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 353 Dengan demikian, dalil Pemohon yang secara umum mendalilkan bahwa UU 11/2016 bertentangan dengan UUD 1945, sebagaimana diuraikan dalam argumentasi umum Pemohon di atas, adalah tidak beralasan menurut hukum.
Terhadap dalil Pemohon bahwa pengertian frasa “Pengampunan Pajak” dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 3 ayat (1) UU 11/2016 serta mekanisme pengampunan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 7 juncto Pasal 5 dan Pasal 4 UU 11/2016 bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 yang menyatakan pelaksanaan perpajakan bersifat memaksa bukan mengampuni sebagaimana dalam UU 11/2016, dengan alasan sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.8] angka 2 huruf a di atas, Mahkamah berpendapat bahwa secara substansial norma UU 11/2016 yang dipersoalkan konstitusionalitasnya dalam permohonan a quo tidak berbeda dari substansi yang dimohonkan oleh Pemohon dalam permohonan sebelumnya, in casu Permohonan Nomor 57/PUU-XIV/2016, meskipun kedua permohonan ini bertolak dari persoalan frasa yang berbeda, di mana terhadap hal itu Mahkamah telah menyatakan pendiriannya bahwa dalil Pemohon sepanjang menyangkut inkonstitusionalitas frasa “penghapusan pajak” dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 3 yang dihubungkan dengan Pasal 1 angka 7 dan Pasal 4 serta Pasal 5 UU 11/2016 adalah tidak beralasan menurut hukum, sebagaimana tertuang dalam Putusan Nomor 57/PUU-XIV/2016 [vide lebih jauh Pertimbangan Hukum Putusan Nomor 57/PUU-XIV/2016, paragraf [3.16] angka 1 huruf a sampai dengan huruf c]. Dengan demikian, pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor 57/PUU-XIV/2016 juga berlaku terhadap dalil Pemohon a quo. 3. Terhadap dalil Pemohon bahwa pengertian frasa “Uang Tebusan” dalam ketentuan Pasal 1 angka 7 yang direalisasikan dalam Pasal 4 juncto Pasal 5 UU 11/2016 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dengan alasan sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.8] angka 2 huruf b di atas, substansi permohonan ini pun telah dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Nomor 57/PUU-XIV/2016 dan telah dinyatakan bahwa dalil Pemohon sepanjang menyangkut inkonstitusionalitas frasa “Uang Tebusan” dalam Pasal 1 angka 7 yang dihubungkan dengan Pasal 4 dan Pasal 5 UU 11/2016 adalah tidak beralasan menurut hukum [vide lebih jauh Pertimbangan Hukum Putusan Nomor 57/PUU-XIV/2016, paragraf [3.16] angka 3 huruf a Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 354 sampai dengan huruf c], sehingga pertimbangan Mahkamah dalam putusan dimaksud berlaku pula terhadap dalil Pemohon a quo .
Terhadap dalil Pemohon yang mendalilkan frasa “tidak dapat” dalam Pasal 20 UU 11/2016 serta frasa “tindak pidana lain” dalam Penjelasan Pasal 20 UU 11/2016 bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 karena memberikan kekebalan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam tindak pidana di bidang perpajakan serta tindak pidana lain kepada Peserta Pengampunan Pajak sehingga mengintervensi kekuasaan kehakiman dalam penyelenggaraan penegakan hukum, dengan alasan sebagaimana diuraikan dalam paragraf [3.8] angka 2 huruf c di atas, substansi dalil ini juga telah dipertimbangkan dalam Putusan Nomor 57/PUU-XIV/2016 meskipun tidak secara khusus menyoroti frasa “tidak dapat” yang termuat dalam rumusan norma Pasal 20 UU 11/2016. Dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 57/PUU-XIV/2016 tersebut, Mahkamah antara lain menyatakan: Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan dalam Pasal 20 yang selengkapnya berbunyi, “Data dan informasi yang bersumber dari Surat Pernyataan dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang- Undang ini tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak“ haruslah dipahami dan dibatasi konteksnya sesuai hakikat Pengampunan Pajak. Dalam konteks demikian, adalah wajar apabila mereka yang telah dengan sukarela dan jujur menyampaikan atau mengungkapkan informasi berkenaan dengan hartanya, sebagaimana dituangkan ke dalam Surat Pernyataan (dan lampirannya), dilindungi dari kemungkinan bahwa Surat Pernyataan (dan lampirannya) itu akan digunakan untuk melawan dirinya. Tanpa jaminan perlindungan demikian, tidaklah mungkin seseorang akan mau mengikuti program Pengampunan Pajak ini. Dalam putusan dimaksud Mahkamah telah pula menyatakan pendiriannya bahwa keberadaan Pasal 20 UU 11/2016 tersebut tidak menghalangi penegak hukum untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap mereka yang mengikuti Pengampunan Pajak sepanjang bukti-bukti untuk melakukan tindakan itu bukan berasal dari Surat Pernyataan (dan lampirannya) yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan UU 11/2016 melainkan berasal dari sumber lain [vide lebih jauh pertimbangan hukum Putusan Nomor 57/PUU- XIV/2016, paragraf [3.16] angka 4 huruf b]. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 355 Namun, terkait dengan persoalan apakah data dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 itu mencakup pula “tindak pidana lain”, Mahkamah telah berpendapat bahwa ketentuan dalam Pasal 20 UU 11/2016 tersebut tidak mencakup tindak pidana lain, sehingga oleh karena itu Pasal 20 UU 11/2016 dimaksud dinyatakan konstitusional bersyarat. Maksudnya, Pasal 20 UU 11/2016 adalah konstitusional sepanjang diartikan tidak mencakup tindak pidana lain di luar tindak pidana di bidang perpajakan. Dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 57/PUU-XIV/2016 dikatakan antara lain: Namun yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah apakah dengan sukarelanya Wajib Pajak peserta Pengampunan Pajak mengungkapkan Hartanya sebagaimana dituangkan dalam Surat Pernyataan, apakah hal itu berarti membebaskan yang bersangkutan dari proses hukum dari tindak pidana lainnya? Bahwa berdasarkan tanggapan Pemerintah yang disampaikan dalam persidangan tanggal 19 Oktober 2016 antara lain menyatakan bahwa dengan dilaporkannya Harta Wajib Pajak dalam Surat Pernyataan bukan berarti Harta tersebut menjadi kebal terhadap proses hukum atas tindak pidana lain. Kebijakan Pengampunan Pajak ditujukan hanya untuk pengampunan terkait perpajakan namun tidak terkait dengan pengampunan pidana lainnya atau tidak menghapuskan pidana lainnya. Keterangan Presiden di atas sejalan dengan pengertian Pengampunan Pajak yang termuat dalam rumusan Pasal 1 angka 1 UU 11/2016 sehingga telah nyata bahwa ketentuan a quo hanya bermaksud semata- mata tidak akan mengenakan sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan kepada peserta Pengampunan Pajak. Dengan kata lain, secara a contrario, Undang-Undang a quo tidaklah membebaskan peserta Pengampunan Pajak dari sanksi hukum lain di luar sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan. Dengan demikian telah terang bagi Mahkamah bahwa Pasal 20 UU 11/2016 adalah konstitusional sepanjang diartikan bahwa ketentuan a quo tidak mencakup tindak pidana lain di luar tindak pidana di bidang perpajakan . Sehubungan dengan pertimbangan di atas, untuk lebih memperjelas maksud Mahkamah dengan pernyataan bahwa Pasal 20 UU 11/2016 adalah konstitusional bersyarat, yang berarti ketentuan a quo adalah konstitusional sepanjang diartikan tidak mencakup “tindak pidana lain” di luar tindak pidana di bidang perpajakan, Mahkamah memandang penting untuk menegaskan bahwa apabila dalam praktik di kemudian hari ternyata syarat itu dilanggar, yang artinya Pasal 20 UU 11/2016 tersebut ternyata diartikan mencakup pula tindak pidana lain di luar tindak pidana di bidang perpajakan, sebagaimana dinyatakan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 356 dalam Penjelasan Pasal 20 UU 11/2016, maka terbuka kemungkinan Pasal 20 UU 11/2016 dimohonkan pengujian kembali ke Mahkamah Konstitusi. Hal itu pernah terjadi dalam pengujian terhadap Undang-Undang tentang Sumber Daya Air [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU- II/2004 dan Perkara Nomor 008/PUU-III/2005, bertanggal 19 Juli 2005, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013, bertanggal 18 Februari 2015]. Berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, maka pertimbangan Mahkamah yang menyatakan bahwa Pasal 20 UU 11/2016 adalah konstitusional bersyarat sebagaimana diuraikan di atas berlaku pula terhadap dalil Pemohon a quo .
Terhadap dalil Pemohon yang mendalilkan frasa “tidak dapat” dalam kalimat [ sic! ] “tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, atau dituntut baik secara perdata maupun pidana” dalam Pasal 22 UU 11/2016 tidak memiliki landasan norma dalam Konstitusi dan telah bertentangan dengan prinsip persamaan hak dan kewajiban di hadapan hukum dan pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, dengan alasan sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.8] angka 2 huruf d di atas, substansi dalil Pemohon ini pun telah dipertimbangkan dalam Putusan Nomor 57/PUU- XIV/2016, meskipun tidak secara khusus mempersoalkan frasa “tidak dapat”. Dalam putusan tersebut, Mahkamah antara lain menyatakan: … mengenai dalil Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 22 UU 11/2016, Mahkamah berpendapat, ketentuan a quo harus dipahami dalam kaitannya dengan Pasal 20 dan Pasal 21 khususnya ayat (2) dan ayat (3) UU 11/2016. Pasal 22 UU 11/2016 selengkapnya berbunyi, “Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Sesungguhnya, tanpa ada Pasal 22 UU 11/2016 ini pun pihak-pihak yang disebut dalam ketentuan a quo memang sudah seharusnya tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 20 dinyatakan bahwa data dan informasi yang bersumber dari Surat Pernyataan dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang- Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 357 Undang ini tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak, sehingga dengan sendirinya, secara implisit, terkandung kewajiban bagi pihak-pihak yang mengadministrasikan Surat Pernyataan dan lampirannya itu untuk menjaga kerahasiaannya atau tidak membocorkannya. Oleh sebab itulah maka hal itu ditegaskan dalam Pasal 21 ayat (2) yang intinya melarang pihak-pihak pengadministrasi data dan informasi peserta Pengampunan Pajak membocorkan, menyebarluaskan, dan/atau memberitahukan data dan informasi itu kepada pihak lain. Sementara dalam ayat (3) dari Pasal 22 tersebut ditegaskan bahwa data dan informasi demikian tidak dapat diminta oleh pihak lain manapun kecuali atas persetujuan Wajib Pajak peserta Pengampunan Pajak itu sendiri. Dengan demikian, logika uraian di atas apabila dikonstruksikan secara ringkas adalah sebagai berikut: oleh karena data dan informasi peserta Pengampunan Pajak tidak dapat dijadikan dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak yang bersangkutan sepanjang bersumber dari data Pengampunan Pajak maka terdapat kewajiban pada pihak yang mengadministrasikan data dan informasi dimaksud untuk tidak membocorkan, menyebarluaskan, dan/atau memberitahukannya kepada pihak lain di mana karena melakukan kewajiban itu maka yang bersangkutan tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana sepanjang hal itu didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat bahwa tidak terdapat persoalan inkonstitusionalitas dalam ketentuan Pasal 22 UU 11/2016 . Dengan demikian, pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor 57/PUU- XIV/2016 tersebut berlaku pula terhadap dalil Pemohon a quo . [3.12] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, oleh karena seluruh substansi dalil Pemohon dalam permohonan a quo telah pula dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-XIV/2016 sehingga mutatis mutandis berlaku pula terhadap permohonan a quo , maka permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima.
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo ; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 358 [4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Pokok permohonan tidak dapat diterima. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
AMAR PUTUSAN Mengadili, Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima. Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Arief Hidayat selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, I Dewa Gede Palguna, Aswanto, Manahan M.P Sitompul, Maria Farida Indrati, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, dan Patrialis Akbar, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Rabu, tanggal dua puluh tiga, bulan November, tahun dua ribu enam belas , dan pada hari Selasa, tanggal tiga belas, bulan Desember, tahun dua ribu enam belas , yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal empat belas, bulan Desember, tahun dua ribu enam belas , selesai diucapkan pukul 123 WIB , oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Arief Hidayat selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, I Dewa Gede Palguna, Aswanto, Manahan M.P Sitompul, Maria Farida Indrati, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, dan Patrialis Akbar, masing- masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Yunita Rhamadani sebagai Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 359 Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon/kuasanya, Presiden atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili. KETUA, ttd. Arief Hidayat ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Anwar Usman ttd. I Dewa Gede Palguna ttd. Aswanto ttd. Manahan M.P Sitompul ttd. Maria Farida Indrati ttd. Wahiduddin Adams ttd. Suhartoyo ttd. Patrialis Akbar PANITERA PENGGANTI, ttd. Yunita Rhamadani Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id