Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Atas Penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor Tertentu Yang Ditanggung Pemerintah ...
Relevan terhadap
bahwa untuk meningkatkan daya beli masyarakat di sektor industri kendaraan bermotor guna mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, perlu diberikan dukungan Pemerintah terhadap sektor industri kendaraan bermotor tersebut;
bahwa untuk mewujudkan dukungan Pemerintah bagi sektor industri kendaraan bermotor dan keberlangsungan dunia usaha sektor industri kendaraan bermotor sebagai dampak pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), perlu diberikan insentif Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor tertentu yang ditanggung Pemerintah;
bahwa belum terdapat pengaturan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang Ditanggung Pemerintah atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor tertentu sehingga perlu diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah berupa Kendaraan Bermotor Tertentu yang Ditanggung Pemerintah Tahun Anggaran 2021;
Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan Pendanaan Desentralisasi
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas- batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemerintah Daerah adalah kepala Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
Kementerian Keuangan adalah kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
Kementerian Negara yang selanjutnya disebut Kementerian adalah perangkat Pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
Lembaga adalah organisasi nonkementerian negara dan instansi lain pengguna anggaran yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya.
Transfer ke Daerah yang selanjutnya disingkat TKD adalah dana yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan merupakan bagian dari belanja negara yang dialokasikan dan disalurkan kepada Daerah untuk dikelola oleh Daerah dalam rangka mendanai penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Rencana Kerja Pemerintah yang selanjutnya disingkat RKP adalah dokumen perencanaan pembangunan nasional untuk periode 1 (satu) tahun yang dimulai pada tanggal 1 Januari dan berakhir pada tanggal 31 Desember.
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal yang selanjutnya disingkat KEM PPKF adalah dokumen negara yang memuat gambaran dan desain arah kebijakan ekonomi makro dan fiskal sebagai bahan pembicaraan pendahuluan bersama Dewan Perwakilan Rakyat dalam rangka penyusunan rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara tahun anggaran berikutnya.
Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disingkat PAD adalah pendapatan Daerah yang diperoleh dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Belanja Daerah adalah semua kewajiban Daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.
Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya.
Sisa Lebih Perhitungan Anggaran yang selanjutnya disingkat SiLPA adalah selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama 1 (satu) periode anggaran.
Pembiayaan Utang Daerah adalah setiap penerimaan Daerah yang harus dibayar kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya.
Dana Abadi Daerah yang selanjutnya disingkat DAD adalah dana yang bersumber dari APBD yang bersifat abadi dan dana hasil pengelolaannya dapat digunakan untuk belanja Daerah dengan tidak mengurangi dana pokok.
Sistem Informasi Keuangan Daerah yang selanjutnya disingkat SIKD adalah suatu sistem yang mendokumentasikan, mengadministrasikan, serta mengolah data pengelolaan keuangan Daerah, data kinerja Daerah, dan data terkait lainnya menjadi informasi yang disajikan kepada masyarakat dan para pemangku kepentingan, serta sebagai bahan pengambilan keputusan dan kebijakan dalam perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, dan pertanggungjawaban Pemerintah Daerah.
Sumber Dana adalah referensi bagan akun standar Pemerintah Daerah yang diklasifikasikan berdasarkan referensi akun penerimaan APBD baik pendapatan maupun penerimaan pembiayaan, termasuk sisa lebih perhitungan anggaran tahun sebelumnya, dengan kedalaman informasi sampai dengan level yang memudahkan pelaporan pada APBD.
Walidata adalah unit pada instansi pusat dan instansi daerah yang melaksanakan kegiatan pengumpulan, pemeriksaan, dan pengelolaan data yang disampaikan oleh produsen data, serta menyebarluaskan data.
Keluaran ( output ) yang selanjutnya disebut Keluaran adalah barang atau jasa yang merupakan hasil akhir dari pelaksanaan kegiatan dalam mendukung pencapaian sasaran pembangunan nasional dan/atau merupakan hasil akhir dari pelaksanaan subkegiatan dalam mendukung pencapaian sasaran pembangunan Daerah.
Hasil ( outcome ) yang selanjutnya disebut Hasil adalah ukuran atau indikator atas tercapainya sasaran berupa hasil langsung ( immediate outcome ), hasil antara ( intermediate outcome ), dan dampak/hasil final ( final outcome ) menurut kerangka kerja logis.
Dampak / Hasil Final (Final Outcome) yang selanjutnya disebut Dampak / Hasil Final __ adalah perubahan atau efek yang terjadi sebagai akibat dari pencapaian hasil langsung ( immediate outcome ) dan hasil antara ( intermediate outcome ).
Manfaat adalah nilai positif yang diperoleh dari Dampak/Hasil Final.
Pemantauan adalah kegiatan mengamati perkembangan pelaksanaan rencana kegiatan, mengidentifikasi serta mengantisipasi permasalahan yang timbul dan/atau akan timbul untuk dapat diambil tindakan sedini mungkin.
Evaluasi adalah rangkaian kegiatan membandingkan realisasi input, proses, Keluaran, Hasil, Dampak/Hasil Final, dan/atau Manfaat terhadap rencana dan standar.
Platform Digital Sinergi Kebijakan Fiskal Nasional yang selanjutnya disebut Platform Digital SKFN adalah suatu wadah penggunaan teknologi digital terintegrasi untuk meningkatkan layanan publik dan menciptakan nilai publik dalam rangka sinergi kebijakan fiskal nasional.
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 62 Tahun 2023 tentang Perencanaan Anggaran, Pelaksanaan Anggaran, serta Akuntansi dan Pelaporan Keuang ...
Relevan terhadap
dengan carrying value SUN. Carrying value SUN adalah nilai nominal SUN setelah dikurangi atau ditambah unamortized discount atau _premium; _ dan 5. pembayaran denda, yaitu pembayaran imbalan bunga atas kelalaian Pemerintah membayar kembali imbalan bunga atas pinjaman perbankan dan bunga dalam negeri jangka pendek lainnya, serta pengembalian kelebihan bea dan cukai. 55 BELANJA SUBSIDI Alokasi anggaran yang diberikan Pemerintah kepada perusahaan negara, lembaga Pemerintah atau pihak ketiga lainnya yang memproduksi, menjual, mengekspor, atau mengimpor barang dan/atau jasa untuk memenuhi hajat hidup orang banyak sedemikian rupa sehingga harga jualnya dapat dijangkau oleh masyarakat. Belanja ini antara lain digunakan untuk penyaluran subsidi kepada masyarakat melalui perusahaan negara dan/atau perusahaan swasta yang diberikan oleh Menteri Keuangan selaku BUN. Belanja subsidi terdiri atas:
Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
Relevan terhadap
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah adalah suatu sistem penyelenggaraan keuangan yang mengatur hak dan kewajiban keuangan an: tara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah yang dilaksanakan secara adil, transparan, akuntabel, dan selaras berdasarkan undang-undang. 1 3 2. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimalsud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. 4. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan ralqrat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas- luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 5. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin petaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. 6. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah. 7. Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurLrs urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 8. Urusan Pemerintahan adalah kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh kementerian negara dan penyelenggara Pemerintahan Daerah unluk melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat. 9. Kepala Daerah adalah gubernur bagi Daerah provinsi atau bupati bagi Daerah kabupaten atau wali kota bagi Daerah kota.
Badan Usaha Milik Daerah yang selanjutnya disingkat BUMD adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Daerah. 11. Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu, baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. 12. Penerimaan Daerah adalah uang yang masuk ke kas Daerah. 13. Pendapatan Daerah adalah semua hak Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. 14. Belanja Daerah adalah semua kewajiban Daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. 15. Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya. 16. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. 17. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan dengan peraturan Daerah. 18. Peraturan Daerah yang selanjutnya disebut Perda atau yang disebut dengan nama lain adalah Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota. 19. Peraturan Kepala Daerah yang selanjutnya disebut Perkada adalah peraturan gubernur dan peraturan bupati/wali kota. 20. Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disingkat PAD adalah pendapatan Daerah yang diperoleh dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolban kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digu.nakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 22. Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. 23. Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai Pajak. 24. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, melipgti pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 25. Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan. 26. Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut retribusi tertentu. 27. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, BUMD, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. 28. Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PKB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBNKB adalah Pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar-menukar, hibah, warisq.n, atau pemasukan ke dalam badan usaha. 30. Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digu.nakan di semua jenis jalan darat atau kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan. 31. Pajak Alat Berat yang selanjutnya disingkat PAB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan alat berat. 32. Alat Berat adalah alat yang diciptakan untuk membantu pekerjaan konstruksi dan pekerjaan teknik sipil lainnya yang sifatnya berat apabila dikerjakan oleh tenaga manusia, beroperasi menggunakan motor dengan atau tanpa roda, tidak melekat secara permanen serta beroperasi pada area tertentu, termasuk tetapi tidak terbatas pada area konstruksi, perkebunan, kehutanan, dan pertambangan. 33. Pajak Bumi dan Bangu.nan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah Pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, darr / ^atau ^dimanfaatkan ^oleh orang ^pribadi ^atau ^Badan. 34. Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman. 35. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi. 36. Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti. 7 37. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah Pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan. 38. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau Badan. 39. Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta Bangu.nan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang- undang di bidang pertanahan dan Bangunan. 40. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PBBKB adalah Pajak atas penggunaan bahan bakar Kendaraan Bermotor dan Alat Berat. 41. Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBKB adalah semua jenis bahan bakar cair atau gas yang digunakan untuk Kendaraan Bermotor dan Alat Berat. 42. Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu. 43. Barang dan Jasa Tertentu adalah barang dan jasa tertentu yang dijual dan/atau diserahkan kepada konsumen akhir. 44. Makanan dan/atau Minuman adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui pesanan oleh restoran. 45. Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan Makanan dan/atau Minuman dengan dipungut bayaran. 46. Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik. 47. Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya.
Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan Kendaraan Bermotor. 49. Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati. 50. Pajak Reklame adalah Pajak atas penyelenggaraan reklame. 5 1. Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu. 52. Pajak Air Permukaan yang selanjutnya disingkat PAP adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan. 53. Air Permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah. 54. Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah. 55. Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah. 56. Air Tanah adalah air yang terdapat di dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah. 57. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah Pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan dari sumber alam di dalam dan/atau di permukaan bumi untuk dimanfaatkan. 58. Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat MBLB adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batu bara.
Pajak Sarang Burung Walet adalah Pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet. 60. Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalta, yaitu collncalia fuchliap haga, collocalia maxina, collocalia esculanta., dan collocalia linchi. 61. Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu. 62. Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 63. Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. 64. Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disebut Opsen Pajak MBLB adalah Opsen yang dikenakan oleh provinsi atas pokok Pajak MBLB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. 65. Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya I (satu) tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender. 66. Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan. 67. Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta. 68. Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
Transfer ke Daerah yang selanjutnya disingkat TKD adalah dana yang bersumber dari APBN dan merupakan bagian dari belanja negara yang dialokasikan dan disalurkan kepada Daerah untuk dikelola oleh Daerah dalam rangka mendanai penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. 70. Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah bagian dari TKD yang dialokasikan berdasarkan persentase atas pendapatan tertentu dalam APBN dan kinerja tertentu, yang dibagikan kepada Daerah penghasil dengan tujuan untuk mengu.rangi ketimpangan fiskal antara Pemerintah dan Daerah, serta kepada Daerah lain nonpenghasil dalam rangka menanggulangi eksternalitas negatif dan/atau meningkatkan pemerataan dalam satu wilayah. 71. Dana Alokasi Umum yang selanjutnya disingkat DAU adalah bagian dari TKD yang dialokasikan dengan tujuan mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan dan layanan publik antar-Daerah. 72. Dana Alokasi Khusus yang selanjutnya disingkat DAK adalah bagian dari TKD yang dialokasikan dengan tujuan untuk mendanai program, kegiatan, dan/atau kebijakan tertentu yang menjadi prioritas nasional dan membantu operasionalisasi layanan publik, yang penggunaannya telah ditentukan oleh Pemerintah. 73. Dana Otonomi Khusus adalah bagian dari TKD yang dialokasikan kepada Daerah tertentu untuk mendanai pelaksanaan otonomi khusus sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang mengenai otonomi khusus. 74. Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yoryakarta yang selanjutnya disebut Dana Keistimewaan adalah bagian dari TKD yang dialokasikan untuk mendukung urllsan keistimewaan Daerah Istimewa Yoryakarta sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang mengenai keistimewaan Yoryakarta. 75. Dana Desa adalah bagian dari TKD yang diperuntukkan bagi desa dengan tujuan untuk mendukung pendanaan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan.
Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban Daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dapat dinilai dengan uang serta segala bentuk kekayaan yang dapat dijadikan milik Daerah berhubung dengan hak dan kewajiban Daerah tersebut. 77. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran yang selanjutnya disebut SiLPA adalah selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama 1 (satu) periode anggaran. 78. Pembiayaan Utang Daerah adalah setiap penerimaan Daerah yang harus dibayar kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun- tahun anggaran berikutnya. 79. Pinjaman Daerah adalah pembiayaan utang Daerah yang diikat dalam suatu perjanjian pinjaman dan bukan dalam bentuk surat berharga, yang mengakibatkan Daerah menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain, sehingga Daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali. 80. Obligasi Daerah adalah surat berharga berupa pengakuan utang yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah. 81. Sukuk Daerah adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah sebagai bukti atas bagian penyertaan aset Sukuk Daerah yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah. 82. Sinergi Pendanaan adalah sinergi sumber-sumber pendanaan dari APBD dan selain APBD dalam rangka pelaksanaan program prioritas nasional dan/atau Daerah. 83. Dana Abadi Daerah adalah dana yang bersumber dari APBD yang bersifat abadi dan dana hasil pengelolaannya dapat digunakan untuk Belanja Daerah dengan tidak mengurangi dana pokok. Pasal 2 Ruang lingkup Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah meliputi:
pemberian sumber Penerimaan Daerah berupa Pajak dan Retribusi;
pengelolaan b. pengelolaan TKD;
pengelolaan Belanja Daerah;
pemberian kewenangan untuk melakukan Pembiayaan Daerah; dan
pelaksanaan sinergi kebijakan fiskal nasional. Pasal 3 Prinsip pendanaan untuk penyelenggaraan Urusan Pemerintahan dalam kerangka Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah meliputi:
penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah didanai dari dan atas beban APBD; dan
penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah di Daerah didanai dari dan atas beban APBN.
Undang-Undang ini mulai berlaku pada saat diundangkan. Agar Disahkan di Ja}arta pada tanggal 5 Jan: uari 2022 ttd JOKO WTDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 5 Januari2022 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR l TAHUN 2022 TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH I. UMUM 1. Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara dibentuk dengan tujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Selanjutnya berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas Daerah provinsi, dan Daerah provinsi dibagi atas Daerah kabupaten dan kota. Tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota mempunyai pemerintahan sendiri. Pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota berhak mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Urusan Pemerintahan yang menjadi tanggung jawab Daerah dilaksanakan berdasarkan asas otonomi, sedangkan Urusan Pemerintahan yang bukan merupakan tanggung ^jawab Pemerintah Daerah dilaksanakan berdasarkan asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Pelaksanaan Urusan Pemerintahan dari tingkat pusat hingga Daerah merupalan bagian dari kekuasaan pemerintahan yang berada di tangan Presiden sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga tidak dapat berjalan sendiri-sendiri. Hal ini menuntut adanya sinergisme pendanaan atas urusan tersebut dalam rangka pencapaian tujuan bernegara. 2 Pembagian Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi provinsi, kabupaten, dan kota, dan pembagian Urusan Pemerintahan antarpemerintahan tersebut menimbulkan adanya hubungan wewenang dan hubungan keuangan. Sesuai dengan amanat Pasal 18A ayat (2\ Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun L945, hubungan keuangan, pelayanan umum, serta pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan Undang-Undang. Untuk melaksanakan amanat Pasal 18A ayat (21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut disusunlah Undang-Undang tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Penyusunan Undang-Undang ini juga didasarkan pada pemikiran perlunya menyempurnakan pelaksanaan Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang selama ini dilakukan berdasarkan Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Penyempurnaan implementasi Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dilakukan sebagai upaya untuk menciptakan alokasi sumber daya nasional yang efisien melalui Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan, guna mewujudkan pemerataan layanan publik dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di seluruh pelosok Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam mewujudkan tujuan tersebut, Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah berlandaskan pada 4 (empat) pilar utama, yaitu: mengembangkan sistem Pajak yang mendukung alokasi sumber daya nasional yang efisien, mengembangkan Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dalam meminimalkan ketimpangan vertikal dan horizontal melalui kebijakan TKD dan Pembiayaan Utang Daerah, mendorong peningkatan kualitas Belanja Daerah, serta harmonisasi kebijakan fiskal antara Pemerintah dan Daerah untuk penyelenggaraan layanan publik yang optimal dan menjaga kesinambungan fiskal. 3 2. Sistem Pajak dan Retribusi Dalam rangka mengalokasikan sumber daya nasional secara lebih efisien, Pemerintah memberikan kewenangan kepada Daerah untuk memungut Pajak dan Retribusi dengan penguatan melalui restrukturisasi jenis Pajak, pemberian sumber-sumber perpajakan Daerah yang baru, penyederhanaan jenis Retribusi, dan harmonisasi dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Restrukturisasi Pajak dilakukan melalui reklasifikasi 5 (lima) jenis Pajak yang berbasis konsumsi menjadi satu jenis Pajak, yaitu PBJT. Hal ini memiliki tujuan untuk (i) menyelaraskan Objek Pajak antara pajak pusat dan pajak daerah sehingga menghindari adanya duplikasi pemungutan pajak; (ii) menyederhanakan administrasi perpajakan sehingga manfaat yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan biaya pemungutan; (iii) memudahkan pemantauan pemungutan Pajak terintegrasi oleh Daerah; dan (iv) mempermudah masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, sekaligus mendukung kemudahan berusaha dengan adanya simplifikasi administrasi perpajakan. Selain integrasi pajak-pajak Daerah berbasis konsumsi, PBJT mengatur perluasan Objek Pajak seperti atas parkir uale| objek rekreasi, dan persewaan sarana dan prasarana olahraga (objek olahraga permainan). Pemerintah juga memberikan kewenangan pemungutan Opsen Pajak antara level pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota, yaitu PKB, BBNKB, dan Pajak MBLB. Opsen atas PKB dan BBNKB sejatinya merupakan pengalihan dari bagi hasil pajak provinsi. Hal tersebut dapat meningkatkan kemandirian Daerah tanpa menambah beban Wajib Pajak, karena penerimaan perpajakan akan dicatat sebagai PAD, serta memberikan kepastian atas penerimaan Pajak dan memberikan keleluasan belanja atas penerimaan tersebut pada tiap-tiap level pemerintahan dibandingkan dengan skema bagr hasil. Sementara itu, penambahan Opsen Pajak MBLB untuk provinsi sebagai sumber penerimaan baru diharapkan dapat memperkuat fungsi penerbitan izin dan pengawasan kegiatan pertambangan di Daerah. Hal ini akan mendukung pengelolaan Keuangan Daerah yang lebih berkualitas karena perencanaan, penganggaran, dan realisasi APBD akan lebih baik. Opsen Pajak juga mendorong peran Daerah untuk melakukan ekstensifikasi perpajakan Daerah baik itu bagi pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota. Penyederhanaan Retribusi dilakukan melalui rasionalisasi jumlah Retribusi. Retribusi diklasifikasikan dalam 3 (tiga) jenis, yaitu Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi Perizinan Tertentu. 4 Lebih lanjut, jumlah atas jenis Objek Retribusi disederhanakan dari 32 (tiga puluh dua) jenis menjadi 18 (delapan belas) jenis pelayanan. Rasionalisasi tersebut memiliki tujuan agar Retribusi yang akan dipungut Pemerintah Daerah adalah Retribusi yang dapat dipungut dengan efektif, serta dengan biaya pemungutan dan biaya kepatuhan yang rendah. Selain itu, rasionalisasi dimaksudkan untuk mengurangi beban masyarakat dalam mengakses layanan dasar publik yang menjadi kewajiban Pemerintah Daerah. Rasionalisasi juga sejalan dengan implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentatg Cipta Kerja dalam rangka mendorong kemudahan berusaha, iklim investasi yang kondusif, daya saing Daerah, dan penciptaan lapangan kerja yang lebih luas. Penyelarasan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dilakukan melalui pemberian kewenangan kepada Pemerintah untuk meninjau kembali tarif Pajak Daerah dalam rangka pemberian insentif fiskal untuk mendorong perkembangan investasi di Daerah. Pemerintah dapat menyesuaikan tarif Pajak dan Retribusi dengan penetapan tarif yang berlaku secara nasional, serta melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap Perda mengenai Pajak dan Retribusi yang menghambat ekosistem investasi dan kemudahan dalam berusaha.
TKD TKD sebagai salah satu sumber Pendapatan Daerah ditujukan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antara pusat dan Daerah (vertikal) dan ketimpangan fiskal antar-Daerah (horizontal), sekaligus mendorong kinerja Daerah dalam mewujudkan pemerataan pelayanan publik di seluruh Daerah. TKD meliputi DBH, DAU, DAK, Dana Otonomi Khusus dan Dana Keistimewaan, serta Dana Desa. Dalam rangka mencapai tujuan untuk mengurangi ketimpangan fiskal dan kesenjangan pelayanan antar-Daerah, pengelolaan TKD akan mengedepankan kinerja sehingga dapat memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan di Daerah, sekaligus mendorong tanggung jawab Daerah dalam memberikan pelayanan yang lebih baik secara efisien dan disiplin. Untuk itu, DBH dialokasikan berdasarkan realisasi penerimaan negara yang dibagihasilkan satu tahun sebelumnya dalam rangka memberikan kepastian penerimaan bagi Daerah. Selain itu, pengalokasian DBH akan memperhitungkan kinerja Daerah dalam memperkuat penerimaan negara yang dibagihasilkan ataupun perbaikan lingkungan yang terdampak akibat aktivitas eksploitasi. 5 Reformulasi pengalokasian DAU dilakukan melalui penghitungan kebutuhan fiskal berdasarkan pada unit cost dan target layanan, serta penghitungan kapasitas fiska1 sesuai dengan potensi pendapatan Daerah sehingga lebih mencerminkan kebutuhan dan kapasitas fiskal secara riil. Selain pada aspek pengalokasian, reformulasi DAU dilakukan pada aspek penggunaan yang ditujukan untuk mendorong kinerja pencapaian pelayanan dasar masyarakat. Sementara itu, DAK akan lebih difokuskan pada upaya mendukung Daerah dalam pencapaian prioritas nasional dengan berdasarkan pada target kinerja, sekaligus menjaga pemerataan serta keseimbangan tingkat layanan antar-Daerah TKD juga memasukkan dana transfer yang diatur dalam peraturan perundangan lainnya, yaitu Dana Otonomi Khusus Aceh, Papua, dan Papua Barat, Dana Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yograkarta, dan Dana Desa. Hal ini dimaksudkan untuk menggabungkan dana-dana tersebut dalam taksonomi TKD secara utuh, sekaligus melakukan penguatan dalam rangka mendorong proses alokasi yang lebih tepat, transparan, dan akuntabel, serta mendorong perbaikan kinerja layanan masyarakat melalui penerapan target kinerja. Pemerintah juga dapat memberikan insentif fiskal tertentu kepada Daerah tertentu, sebagai bentuk penghargaan dan sekaligus merangsang kinerja Daerah dalam pengelolaan Keuangan Daerah, pelayanan pemerintahan umum, pelayanan dasar publik, dan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pembiayaan Utang Daerah dan Sinergi Pendanaan Kemampuan Keuangan Daerah masih relatif terbatas dalam mendanai penyediaan sarana dan prasarana publik. Dalam rangka mendukung Daerah dalam pembangunan dan penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat, Daerah dapat mengakses sumber- sumber Pembiayaan Utang Daerah, baik yang berskema konvensional maupun syariah, meliputi Pinjaman Daerah, Obligasi Daerah, dan Sukuk Daerah. Skema Pinjaman Daerah akan didasarkan pada penggunaannya dan bukan pada periodisasi jangka waktu pinjaman, meliputi pinjaman untuk pengelolaan kas, pembiayaan pembangunan infrastruktur Daerah, pengelolaan portofolio utang Daerah, dan penerusan pinjaman dan/atau penyertaan modal BUMD. Se1ain itu, jenis Pinjaman Daerah akan diperluas, yaitu pinjaman tunai dan pinjaman kegiatan. 6 Daerah juga diberi pilihan untuk mengakses Pembiayaan kreatif berupa Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah. Perluasan akses Pembiayaan bagi Daerah juga diikuti dengan penyederhanaan proses pelaksanaan Pembiayaan, antara lain melalui pengintegrasian persetujuan DPRD atas Pembiayaan Utang Daerah dalam proses pembahasan rancangan APBD. Selain itu, Pemerintah mendorong adanya sinergi pendanaan antar-sumber pendapatan dan/atau Pembiayaan Utang Daerah, baik dari PAD, TKD, Pembiayaan Utang Daerah, kerja sama antar-Daerah, dan kerjasama antara Pemerintah Daerah dengan Badan Usaha dalam rangka penguatan sumber pendanaan program/kegiatan agar memberikan manfaat yang lebih signifikan.
Pengelolaan Belanja Daerah Selain perbaikan kebijakan dari aspek input, Undang-Undang ini mendorong peningkatan kualitas Belanja Daerah. Belanja Daerah masih didominasi oleh belanja aparatur dan belanja operasional rutin dan dikelola dengan kurang efisien, serta tidak didukung dengan sumber daya manusia pengelola Keuangan Daerah yang memadai. Belanja Daerah masih dianggarkan relatif minimal dalam mendukung belanja yang berorientasi pada layanan infrastruktur publik sehingga tidak dapat secara optima,l mendukung pencapaian outcome pembangunan Daerah dan pertumbuhan ekonomi Daerah. Selain itu, Belanja Daerah sering kali masih berjalan sendiri-sendiri dengan program dan kegiatan kecil-kecil yang tidak fokus sehingga pada akhirnya output danf alau outcome tidak memberikan dampak perbaikan yang signifikan bagi masyarakat, serta tidak terhubung dengan prioritas nasional dan arah kebijakan fiskal nasional. Untuk itu, diperlukan pengaturan dan penguatan disiplin Belanja Daerah dalam APBD. Perbaikan pengaturan tersebut dilakukan mulai dari penganggaran Belanja Daerah, simplifikasi dan sinkronisasi program prioritas Daerah dengan prioritas nasional, serta penJrusunan Belanja Daerah yang didasarkan atas standar harga (belanja operasi dan tunjangan kinerja Daerah) dan analisis standar belanja. Selain itu, penguatan disiplin Belanja Daerah dilakukan dengan pengaturan alokasi Belanja Daerah, seperti kewajiban untuk memenuhi porsi tertentu atas jenis belanja tertentu, baik yang dimandatkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan maupun dalam Undang- Undang ini, serta optimalisasi penggunaan SiLPA berbasis kinerja. 7 Lebih lanjut, peningkatan kualitas Belanja Daerah juga dilakukan melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia aparatur pengelola keuangan di Pemerintah Daerah dan penguatan aspek pengawasdn. Untuk itu, Undang-Undang ini juga memandatkan adanya sertifikasi bagi aparatur pengelola keuangan di Pemerintah Daerah, dan keterlibatan aparat pengawas intern Pemerintah yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden untuk melakukan pengawasan intern atas rancangan APBD ataupun pelaksanaan atas APBD, dan melakukan penguatan kapabilitas terhadap aparat pengawas intern Pemerintah Daerah. Undang-Undang ini juga memberikan ruang bagi daerah-daerah tertentu yang mempunyai kapasitas fiskal memadai dan telah menyelenggarakan dengan baik segala urusan wajib layanan dasar, untuk dapat membentuk Dana Abadi Daerah yang bertujuan untuk mendapatkan manfaat yang bersifat lintas generasi.
Sinergi Kebijakan Fiskal Nasional Penguatan tata kelola hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah tidak dapat berdiri sendiri untuk menjawab tantangan dalam mewujudkan tujuan bernegara. Kebijakan frskal terdiri atas fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi sehingga pelaksanaan kebijakan fiskal di Daerah harus sinergis dengan kebijakan fiskal di Pemerintah dalam rangka mengoptimalkan seluruh instrumen kebijakan fiskal dalam mencapai tujuan bernegara. Untuk itu, Undang-Undang ini juga mengatur bagaimana melaksanakan sinergi kebijakan fiskal nasional, yang dilakukan antara lain melalui penyelarasan kebijakan fiskal pusat dan Daerah, penetapan batas maksimal defrsit APBD dan Pembiayaan Utang Daerah, pengendalian dalam kondisi darurat, serta sinergi bagan akun standar. Sinergi kebijakan fiskal nasional tersebut didukung oleh sistem informasi yang dapat mengonsolidasikan laporan keuangan pemerintahan secara nasional sesuai dengan bagan akun standar yang terintegrasi antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah, menyajikan informasi Keuangan Daerah secara nasional, serta menghasilkan kebijakan yang didasarkan pada pemantauan dan evaluasi atas Hubungan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah yang terukur dan terstruktur. 8 Dengan kebijakan yang diatur dalam Undang-Undang ini, diharapkan layanan kepada masyarakat di seluruh pelosok nusantara dapat makin merata dan dengan kualitas yang memadai. Pengaturan- pengaturan yang terkait dengan pengelolaan perpajakan Daerah, TKD, Pembiayaan Utang Daerah, dan pengendalian APBD diharapkan memberikan kemampuan kepada Pemerintah Daerah untuk secara bersama-sama dan sinergis dengan Pemerintah mencapai tujuan pembangunan nasional dalam mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup ^jelas. Pasal 5 Cukup ^jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan "potensinya kurang memadai" adalah potensi penerimaan dari suatu jenis Pajak yang nilainya terlalu kecil sehingga biaya operasional pemungutannya lebih besar dibandingkan dengan hasil pungutannya. Huruf b Cukup jelas. 9 Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Pajak progresif untuk kepemilikan kedua dan seterusnya dibedakan sesuai dengan jenis kendaraan berdasarkan kategori jumlah roda kendaraan. Contoh: Orang pribadi atau Badan yang memiliki satu Kendaraan Bermotor roda 2 (dua), satu Kendaraan Bermotor roda 3 (tiga), dan satu Kendaraan Bermotor roda 4 (empat) masing- masing diperlakukan sebagai kepemilikan pertama sehingga tidak dikenakan pajak progresif. Ayat (2) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Pajak progresif untuk kepemilikan kedua dan seterusnya dibedakan sesuai dengan jenis kendaraan berdasarkan kategori jumlah roda kendaraan. Contoh: Orang pribadi atau Badan yang memiliki satu Kendaraan Bermotor roda 2 (dua), satu Kendaraan Bermotor roda 3 (tiga), dan satu Kendaraan Bermotor roda 4 (empat) masing- masing diperlakukan sebagai kepemilikan pertama sehingga tidak dikenakan pajak progresif. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) BBNKB hanya dikenakan atas penyerahan pertama Kendaraan Bermotor, sedangkan untuk penyerahan kedua dan seterusnya atas Kendaraan Bermotor tersebut (kendaraan bekas) bukan merupakan objek BBNKB. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pemasukan Kendaraan Bermotor untuk dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia merupakan impor sementara yang dimaksudkan untuk diekspor kembali sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang kepabeanan, contoh:
kendaraan yang dibawa oleh wisatawan;
kendaraan yang digunakan teknisi, wartawan, tenaga ahli; dan
kendaraan proyek yang digunakan sementara waktu yang pada saat pengimporannya telah jelas bahwa barang tersebut akan diekspor kembali. Huruf c Cukup jelas. Ayat (s) Cukup ^jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup ^jelas. Pasal 15 Cukup ^jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup ^jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup ^jelas. Pasal 20 Cukup ^jelas. Pasal 2 1 Cukup ^jelas. Pasal 22 Cukup ^jelas. Pasal 23 Cukup ^jelas. Pasal 24 Cukup ^jelas. Pasal 25 Cukup ^jelas. Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Stabilisasi harga dilakukan dalam rangka pengendalian risiko fiskal dan ekonomi. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (21 Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (a) Bobot Air Permukaan dihitung dengan menggunakan indikator-indikator yang menunjukkan dampak pengambilan/pemanfaatan Air Permukaan terhadap lingkungan. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasa] 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup ^jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup ^jelas. Pasal 37 Cukup ^jelas. Pasal 38 Ayat (t) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Yang dimaksud dengan "Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Ma"ss Rapid. Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atatt yang sejenis" adalah jalur rel yang digunakan sebagai infrastruktur perhubungan untuk moda berbasis rel dimaksud, tidak termasuk area lain pada stasiun seperti kantor, gedung parkir, lounge, fasilitas makan/minum, dan fasilitas hiburan di stasiun. Huruf h Cukup ^jelas. Huruf i Cukup jelas. Pasal 39 Cukup ^jelas. Pasal 40 Cukup ^jelas. Pasal 4 1 Cukup ^jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup ^jelas. Pasal 44 Cukup ^jelas. Pasal 45 Cukup ^jelas. Pasal 46 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Perolehan hak karena hibah wasiat atau waris tertentu alrtara lain waris atau hibah wasiat yang berlaku pada kebudayaan dan adat istiadat di Daerah tertentu di mana tanah/bangunan yang diperoleh tidak dapat dijual atau harus diwariskan kembali. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 47 Cukup ^jelas. Pasal 48 Cukup ^jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup ^jelas. Pasal 51 Ayat (1) Huruf a Contoh Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
Toko Roti A melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti A untuk dijual kepada konsumen. Toko Roti A tidak menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu, Toko Roti A tidak memenuhi kriteria Restoran, sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nilai.
Toko 2. Toko Roti dengan merek dagang B pada Mal X di Kota Z melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti B untuk dijual kepada konsumen. Untuk meningkatkan pelayanannya kepada konsumen, Toko Roti B menyediakan meja dan kursi kepada konsumen untuk menyantap di tempat. Oleh karena itu, toko roti dimaksud merupakan Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan terutang PBJT bukan objek pajak pertambahan nilai. 3. Toko Roti dengan merek dagang B pada Pusat Pertokoan Y di Kota Z melakukan produksi (proses pembuatan dan pengolahan bahan menjadi roti) sekaligus penjualan roti kepada konsumen. Toko dimaksud hanya melakukan pembuatan dan penjualan langsung kepada konsumen tanpa menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu, Toko Roti dimaksud tidak memenuhi kriteria Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nilai. Dengan demikian, meskipun atas toko roti yang memiliki merek dagang yang sama, dapat terjadi perbedaan perlakuan perpajakan, bergantung pada pelayanan riil toko roti apakah hanya menjual (distribusi) atau memberikan pelayanan selayaknya Restoran. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Pasal 52 Cukup ^jelas. Pasal 53 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Hurufd Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Hurufh Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Hurufj Yang dimaksud dengan "tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel" adalah rumah, apartemen, dan kondominium yang disediakan sebagai jasa akomodasi selayaknya akomodasi hotel, tetapi tidak termasuk bentuk persewaan (kontrak) jangka panjang (lebih dari satu bulan). Huruf k Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup je1as. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel" adalah ruangan yang disewa oleh pelaku usaha untuk penyelenggaraan kegiatan usaha seperti kantor, toko, atau mesin anjungan tunai mandiri (ATM) di dalam hotel. Pasal 54 Cukup ^jelas. Pasal 55 Ayat (1) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup ^jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Yang dimaksud dengan "permainan ketangkasan" adalah bentuk permainan yang berada di dalam kawasan arena dan/atau taman bermain yang dipungut bayaran, baik yang berada di dalam ruangan maupun di luar ruangan seperti permainan ding-dong, lempar bola ke dalam keranjang, paintball, dan sebagainya. Huruf i Yang dimaksud dengan "olahraga permainan" adalah bentuk persewaan ruang dan alat olahraga seperti tempat kebugaran lfitness center), lapangan futsal, lapangan tenis, kolam renang, dan sebagainya yang dikenakan bayaran atas penggu.naannya. Hurufj Cukup ^jelas. Huruf k Cukup ^jelas. Huruf I Cukup jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Pasal 56 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penjualan atau penyerahan barang dan jasa tertentu oleh Wajib Pajak termasuk penyediaan akomodasi yang dipasarkan oleh pihak ketiga berupa tempat tinggal yang difungsikan sebagai hotel. Dalam kondisi dimaksud, yang menjadi Wajib Pajak PBJT adalah pemilik atau pihak yang menguasai tempat tinggal, yang menyerahkan jasa akomodasi kepada konsumen akhir, bukan penyedia jasa pemasaran atau pengelolaan melalui platform digital. Pasal 57 Cukup ^jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup ^jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Cukup ^jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Ayat (1) Yang dimaksud penggunaan Air pengambilan. Ayat (2) Cukup ^jelas. Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Cukup ^jelas. Pasal 68 Cukup ^jelas. Pasal 69 Cukup ^jelas. Pasal 70 Cukup ^jelas. Pasal 71 Cukup ^jelas. Pasal 72 Cukup ^jelas. "pemanfaatan" adalah ^kegiatan di sumbernya tanpa dilakukan dengan Tanah Pasal 73 Cukup ^jelas. Pasal 74 Cukup ^jelas. Pasal 75 Cukup ^jelas. Pasal 76 Cukup ^jelas. Pasal 77 Cukup ^jelas. Pasal 78 Cukup ^jelas. Pasal 79 Cukup je1as. Pasal 80 Cukup ^jelas. Pasal 81 Cukup ^jelas. Pasal 82 Cukup jelas. Pasal 83 Cukup jelas. Pasal 84 Cukup jelas. Pasal 85 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Penggunaan variabel lainnya dalam bagi hasil PBBKB dengan bobot paling tinggi sebesar 3O%o (tiga puluh persen) merupakan kewenangan Daerah masing-masing sesuai dengan kebijakan Daerah. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 86 Cukup ^jelas. Pasal 87 Cukup ^jelas. Pasal 88 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat 12) Cukup je1as. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (a) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. 23 Ayat (7) Cukup ^jelas. Ayat (8) Penambahan jenis Retribusi misalnya adalah pelayanan pengendalian perkebunan kelapa sawit. Ayat (9) Cukup ^jelas. Pasal 89 Cukup ^jelas. Pasal 90 Cukup ^jelas. Pasal 91 Cukup ^jelas. Pasal 92 Cukup je1as. Pasal 93 Cukup ^jelas. Pasal 94 Cukup jelas. Pasal 95 Cukup jelas. Pasal 96 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi antara lain adalah kemampuan membayar Wajib Pajak atau Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau Wajib Retribusi. Kondisi objek Pajak antara lain adalah lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan bangunan yang ditempati Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dari golongan tertentu, dan nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu. 24 Pasal 97 Cukup ^jelas. Pasal 98 Cukup ^jelas. Pasal 99 Cukup ^jelas. Pasal 100 Cukup ^jelas. Pasal 101 Cukup ^jelas. Pasal 102 Cukup ^jelas. Pasal 103 Cukup jelas. Pasal 104 Cukup jelas. Pasal 105 Cukup ^jelas. Pasal 106 Cukup ^jelas. Pasal 107 Cukup jelas. Pasal 108 Cukup ^jelas. Pasal 109 Cukup jelas. Pasal 110 Cukup ^jelas. Pasal 111 Cukup je1as. Pasal 112 Ayat (1) DBH dari Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pajak Penghasilan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri termasuk yang pemungutannya bersifat final berdasarkan peraturan perundang-undangan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota tempat wajib pajak terdaftar. Ayat (3) Cukup ^jelas. Pasal 113 Cukup jelas. Pasal 114 Cukup jelas. Pasal 115 Ayat (1) Penerimaan sumber daya alam kehutanan yang dibagihasilkan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Ayat (2) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menjadi tempat pengusahaan hutan. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menjadi tempat pengusahaan hutan. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan "provinsi penghasil" adalah provinsi yang menjadi tempat pengusahaan hutan. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 116 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menjadi wilayah pertambangan mineral dan batu bara. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "provinsi penghasil" adalah provinsi yang menjadi wilayah pertambangan mineral dan batu bara. Pertambangan yang berada di atas 12 (dua belas) mil tidak dibagihasilkan mengingat kewenangan batas wilayah Daerah adalah sampai dengan 12 (dua belas) mil laut sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (a) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menjadi lokasi tambang mineral dan batu bara yang telah berproduksi dan menghasilkan komoditas tambang mineral dan batu bara. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota pengolah" adalah kabupaten/kota yang menjadi lokasi pengolahan mineral dan batu bara dan berisiko terkena dampak ekternalitas negatif. Ayat (5) Huruf a Yang dimaksud dengan ^uprovinsi penghasil" adalah provinsi yang menjadi lokasi tambang mineral dan batu bara yang telah berproduksi dan menghasilkan komoditas tambang mineral dan batu bara. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Pasa1 117 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menghasilkan minyak bumi berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh menteri yang membidangi Urusan Pemerintahan di bidang pertambangan minyak dan gas bumi. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota pengolah" adalah kabupaten/kota yang menjadi lokasi pengolahan minyak bumi dan berisiko terkena dampak eksternalitas negatif. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan "provinsi penghasil" adalah provinsi yang menghasilkan minyak bumi berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh menteri yang membidangi Urusan Pemerintahan di bidang pertambangan minyak dan gas bumi. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup ^jelas. Hurufb Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menghasilkan gas bumi berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh menteri yang membidangi Urusan Pemerintahan di bidang pertambangan minyak dan gas bumi. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota pengolah" adalah kabupaten/kota yang menjadi lokasi pengolahan gas bumi dan berisiko terkena dampak eksterna-litas negatif. Ayat (5) Huruf a Yang dimaksud dengan "provinsi penghasil" adalah provinsi yang menghasilkan gas bumi berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh menteri yang membidangi Urusan Pemerintahan di bidang pertambangan minyak dan gas bumi. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Pasal 118 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup je1as. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menjadi wilayah kerja panas bumi. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan'kabupaten/kota pengolah" adalah kabupaten/kota yang menjadi lokasi pengolahan panas bumi dan berisiko terkena dampak eksternalitas negatif. Pasal 119 Cukup ^jelas. Pasal 120 Bagian dari 9O%o (sembilan puluh persen) DBH SDA tersebut, termasuk yang ditujukan untuk:
kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang sama;
kabupaten/kota yang berbatasan langsung baik dalam provinsi yang sama maupun berbeda;
kabupaten/kota pengolah, dengan mempertimbangkan antara lain dampak eksternalitas. Kinerja Pemerintah Daerah merupakan' kinerja Pemerintah Daerah dalam mendukung antara lain optimalisasi penerimaan negara, seperti pajak pusat dan penerimaan negara bukan pajak dan/atau kinerja pemeliharaan lingkungan, seperti pengelolaan lingkungan dan energi ramah lingkungan. Pasal 121 Cukup jelas. Pasal 122 Cukup ^jelas. Pasal 123 Ayat (1) Jenis DBH lainnya antara lain dapat berupa bagi hasil yang terkait dengan perkebunan sawit. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Cukup ^jelas. Pasal 124 Ayat (1) Penghitungan kebutuhan pelayanan publik juga mempertimbangkan kesinergisan pendanaan pelaksanaan urusan antara Pemerintah dan Daerah. Ayat (21 Cukup ^jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "karakteristik tertentu" adalah karakteristik kewilayahan, seperti letak geogralis dan perekonomian Daerah. Pasal 125 Ayat (1) DAU = Celah Fiskal (CF) Ayat (2) Celah Fiskal (CF) = Kebutuhan Fiskal - potensi pendapatan Daerah. Ayat (3) Penghitungan kebutuhan dasar penyelenggaraan pemerintahan memperhitungkan antara lain kebutuhan penggajian aparatur sipil negara, baik PNS maupun PPPK. Ayat (4) Untuk provinsi, PAD tidak termasuk PAD yang dibagihasilkan ke kabupaten dan kota dan untuk kabupaten dan kota termasuk PAD yang dibagihasilkan dari provinsi. Alokasi DAK nonfisik yang diperhitungkan antara lain adalah bidang pendidikan dan kesehatan. Pasal 126 Ayat (1) Jumlah unit target layanan diperoleh dari lembaga statistik Pemerintah dan/atau lembaga Pemerintah yang berwenang menerbitkan data. Ayat (21 Yang dimaksud dengan "biaya investasi" adalah rerata 3 (tiga) tahun Belanja Daerah sektor tertentu dibagi dengan rerata 3 (tiga) tahun target layanan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Karakteristik wilayah misalnya Daerah yang berciri kepulauan dan Daerah dengan basis perekonomian tertentu seperti sektor pariwisata atau sektor pertanian dan perikanan yang mendukung ketahanan pangan. Pasal 127 Cukup jelas. Pasal 128 Ayat (1) DAU Provinsii = Bobot provinsil x jumlah DAU provinsi dalam kelompok provinsi. Ayat (2) Bobot Provi = CF Provi ICF ^Prov dimana, CF Provinsil ICF ^Provinsi = Celah Fiskal untuk provinsil. = iumlah Celah Fiskal seluruh provinsi dalam kelompok provinsi. Pasal 129 Ayat (1) DAU kabupaten/kota1 = Bobot kabupaten/kota1 x jumlah DAU kabupaten dan kota dalam kelompok kabupaten/kota. Ayat (2) CF Kab / Kotai Bobot Kab/Kota,= ^_Vp XatlXon dimana, CF kabupaten/kota.1 Celah Fiskal untuk kabupaten/kota1. jumlah Celah Fiskal seluruh kabupaten dan kota dalam kelompok kabupaten/kota. CF'kabupaten dan kota Pasal 130 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (21 Cukup ^jelas. Ayat (3) Bagi Daerah yang tidak menerima alokasi DAU, untuk mendukung pembangunan sarana dan prasarana serta pemberdayaan masyarakat di kelurahan diperhitungkan dari alokasi DBH. Pasal 131 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. 33 Ayat (4) Penyinergian DAK dengan pendanaan lainnya bertujuan untuk mendukung pencapaian program, kegiatan, dan/atau kebijakan tertentu. Pendanaan lainnya dapat berasal dari TKD lainnya, Pembiayaan Utang Daerah, APBD, kerja sama pemerintah dan badan usaha, kerja sama antar-Daerah, dan belanja kementerian/lembaga. Belanja kementerian/lembaga yang masih mendanai urusan Daerah dialihkan menjadi DAK dalam hal Daerah telah memiliki kinerja baik dalam pengelolaan APBD. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 132 Ayat (1) Dana Otonomi Khusus bertujuan untuk mendukung penyelenggaraan otonomi khusus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Pasal 134 Ayat (1) Dana Desa bertujuan untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan, pembangu.nan, pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan yang menjadi kewenangan desa. Ayat (21 Cukup jelas. Ayat (s) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 135 Cukup ^jelas. Pasal 136 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "lokasi" adalah letak pengusahaan hutan, tambang, kepala sumur minyak bumi atau gas bumi, dan/atau wilayah kerja panas bumi yang menjadi dasar penetapan Daerah penghasil sumber daya alam. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Pasal 137 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "dialokasikan secara mandiri" adalah alokasi TKD dalam statusnya sebagai daerah otonom baru yang perhitungannya sesuai dengan formula yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan mengenai TKD. Ayat (21 Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan ^ulokasi" adalah letak pengusahaan hutan, tambang, kepala sumur minyak bumi atau gas bumi, dan/atau wilayah kerja panas bumi yang menjadi dasar penetapan Daerah penghasil sumber daya alam. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 138 Ayat (1) Penyaluran TKD dapat dilakukan secara langsung ke rekening penerima manfaat, seperti desa dan/atau sekolah. Dalam hal penyaluran TKD dilaksanakan dengan mekanisme tersebut, transaksi dimaksud tetap tercatat dalam APBD. Ayat (2) Dalam rangka pengelolaan kas pemerintahan yang efektif dan efisien, penyaluran dilaksanakan dalam skema pengelolaan kas Daerah yang terpadu. Hal ini dapat dilakukan melalui penggunaan akun tertentu yang dikelola oleh Pemerintah yang merepresentasikan rekening kas tiap-tiap Daerah. Pasal 139 Cukup ^jelas. Pasal 140 Cukup ^jelas. Pasal 141 Cukup jelas. Pasal 142 Cukup jelas. Pasal 143 Cukup ^jelas. Pasal 144 Cukup ^jelas. Pasal 145 Ayat (1) Alokasi belanja untuk mendanai Urusan Pemerintahan Daerah tertentu yang besarannya telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan seperti anggaran pendidikan, anggaran kesehatan, dan alokasi dana desa. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 146 Ayat (1) Belanja pegawai Daerah termasuk di dalamnya aparatur sipil negara, Kepala Daerah, dan anggota DPRD. Belanja pegawai Daerah pada ayat ini tidak termasuk belanja untuk tambahan penghasilan guru, tunjangan khusus guru, tunjangan profesi guru, dan tunjangan sejenis lainnya yang bersumber dari TKD yang telah ditentukan penggunaannya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 147 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "belanja infrastruktur pelayanan publik" adalah belanja infrastruktur Daerah yang langsung terkait dengan percepatan pembangunan dan/atau pemeliharaan fasilitas pelayanan publik yang berorientasi pada pembangunan ekonomi Daerah dalam rangka meningkatkan kesempatan kerja, mengurangi kemiskinan, dan mengurangi kesenjangan penyediaan layanan publik antar-Daerah. Yang dimaksud dengan "belanja bagi hasil dan/atau transfer kepada Daerah dan/atau desa" adalah belanja bagi hasil dan/atau transfer yang diwajibkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, antara lain bagi hasil Pajak provinsi kepada kabupaten/kota, bagi hasil Pajak dan Retribusi kabupaten/kota kepada desa, dan transfer kepada desa yang berasal dari Dana Desa dan alokasi dana desa. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup ^jelas. Pasal 148 Cukup ^jelas. Pasal 149 Cukup ^jelas. Pasal 150 Cukup jelas. Pasal 151 Cukup ^jelas. Pasal 152 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "dalam hal tertentu" adalah dalam rangka menjalankan arahan Presiden untuk kepentingan strategis nasional dan untuk memberikan masukan yang bersifat lintas sektor. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas. Pasal 153 . Cukup jelas. Pasal 154 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (s) Cukup ^jelas. Ayat (6) Cukup ^jelas. Ayat (7) Yang dimaksud "dalam hal tertentu" adalah kondisi kedaruratan yang mengakibatkan perkiraan pendapatan Daerah mengalami penurunan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari APBD. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 155 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Yang dimaksud "lembaga keuangan bank atau lembaga keuangan bukan bank" adalah lembaga keuangan yang dianggap mampu oleh Menteri. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 156 Cukup ^jelas. Pasal 157 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Hasil penjualan Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah digunakan untuk membiayai investasi sektor publik yang menghasilkan penerimaan dan/atau memberikan manfaat bagi masyarakat. Ayat (4) Cukup ^jelas. Ayat (s) Cukup ^jelas. Pasal 158 Ayat (1) Dasar penerbitan Sukuk Daerah tidak dimaksudkan sebagai jaminan penerbitan Sukuk Daerah. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "selain tanah dan/atau bangunan" dapat berupa barang berwujud ataupun barang tidak berwujud yang memiliki nilai ekonomis dan/atau memiliki aliran penerimaan kas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 159 Cukup jelas. Pasal 160 Cukup jelas. Pasal 161 Cukup ^jelas. Pasal 162 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "dana TKD yang tidak ditentukan penggunaannya" adalah DAU dan/atau DBH yang tidak ditentukan penggunaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan. Ayat (2) Cukup jelas. 40 Pasal 163 Cukup jelas. Pasal 164 Cukup ^jelas. Pasal 165 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "investasi yang bebas dari risiko penurunan nilai" adalah penempatan dana pada instrumen keuangan yang ditawarkan oleh lembaga keuangan yang telah diakui kredibilitasnya sehingga nilai pokok/awal investasi tidak dipengaruhi fluktuasi di pasar uang/pasar modal; fluktuasi hanya akan memengaruhi imbal hasil. Contoh penempatan dengan kriteria demikian misalnya adalah investasi pada Surat Berharga Negara hingga jatuh tempo atau tidak merealisasikan kerugian pada saat dijual, serta deposito pada bank yang sehat. Ayat (s) Cukup je1as. Pasal 166 Cukup jelas. Pasal 167 Cukup jelas. Pasal 168 Cukup jelas. Pasal 169 Ayat (1) Sinergi dimaksud dalam rangka mendukung pengelolaan fiskal pusat dan Daerah yang terintegrasi antara lain adalah refocusing, penyesuaian Belanja Daerah dan belanja pusat, mendukung kebijakan anti-cgclical, serta penyelarasan kebijakan fiskal nasional dan target capaian pembangunan nasional. Ayat (21 Cukup ^jelas. Pasal 170 Cukup ^jelas. Pasal 171 Cukup jelas. Pasal 172 Cukup jelas. Pasal 173 Yang dimaksud dengan "kondisi darurat" adalah memburuknya kondisi ekonomi makro dan keuangan yang menyebabkan fungsi dan peran APBN dan APBD tidak dapat berjalan secara efektif dan efisien, antara lain:
proyeksi pertumbuhan ekonomi di bawah asumsi dan deviasi asumsi dasar ekonomi makro lainnya secara signifikan;
proyeksi penurunan pendapatan negara fDaerah dan/atau meningkatnya belanja negara/Daerah secara signifikan; dan/atau
adanya ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Pasal 174 Sinergi bagan akun standar merupakan upaya sinergi dan pengintegrasian antara bagan akun standar pada Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Pasal 175 Cukup ^jelas. Pasal 176 Konsolidasi informasi keuangan Pemerintah Daerah meliputi informasi keuangan, informasi kinerja, informasi publik, informasi eksekutif, dan informasi terkait lainnya termasuk data transaksi Pemerintah Daerah, selaras dengan lagan akun standar untuk Pemerintah Daerah yang terintegrasi dengan bagan akun standar untuk Pemerintah Pusat, dengan tujuan menciptakan statistik keuangan dan laporan keuangan secara nasional yang selaras dan terkonsolidasi yang meliputi perencanaan, penganggaran, pelaksanaan arggaran, dan pelaporan. Pasal L77 Informasi lainnya antara lain adalah informasi kepegawaian dan layanan pengadaan barang dan jasa. Pasal 178 Cukup jelas. Pasal 179 Ayat (1) Pelaksanaan Pemantauan dan evaluasi terhadap Pelaksanaan TKD dan pelaksanaan APBD setidaknya berfokus pada i) pelaksanaan belanja wajib (mandatory spending), seperti belanja pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur; ii) likuiditas Keuangan Daerah; iii) SiLPA; serta iv) pemantauan dan evaluasi terhadap pencapaian outputatas program-program prioritas nasional dan Daerah. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 180 Cukup ^jelas. Pasal 181 Cukup ^jelas. Pasal 182 Cukup jelas. Pasal 183 Cukup ^jelas. Pasal 184 Cukup ^jelas. Pasal 185 Cukup ^jelas. 43 Pasal 186 Cukup ^je1as. Pasa1 187 Cukup ^jelas. Pasal 188 Cukup jelas. Pasal 189 Cukup ^jelas. Pasal 190 Cukup ^jelas. Pasal 191 Cukup ^jelas. Pasal 192 Cukup jelas. Pasal 193 Cukup ^jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6757
Permohonan Keberatan Hak Uji Materiil Terhadap Pasal 2 ayat (4), ayat (7) dan Lampiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 85 Tahun 2021 ten ...
Relevan terhadap
ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 28 dari 113 halaman. Putusan Nomor 38 P/HUM/2022 _c. aspek keadilan; dan/atau _ 12. Bahwa kenaikan dan atau target Penerimaan Negara Bukan Pajak pada sektor perikanan dari tahun ke tahun sebagaimana ditunjukkan dalam tabel di atas sudah menunjukkan perkembangan yang bagus dengan mengedepankan dan mempertimbangkan nilai manfaat, kadar, atau kualitas sumber daya alam, dampak pengenaan tarif terhadap masyarakat, dunia usaha, pelestarian alam dan lingkungan, serta sosial budaya serta aspek keadilan, dan/atau kebijakan Pemerintah; __ Tabel 5 Perkembangan PNBP Perikanan Uraian 2013 2014 2015 2016 2017 2018 Target (Miliar) 250,00 250,00 578,80 693,00 950,00 600,00 Realisasi (Miliar) 229,35 216,37 79,27 362,12 491,03 448,73 Pertumbuhan (%) 6% -6% -63% 357% 36% -9% Realisasi Terhadap Target (%) 91,7% 86,5% 13,7% 52,3% 51,7% 74,8% Sumber: Kementerian Keuangan (2020) 13. Bahwa namun demikian, kenaikan yang berlipat-lipat dan target Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (4) dan Lampiran PP Nomor 85 Tahun 2021, justru mengesampingkan dan tidak mempertimbangkan nilai manfaat, kadar, atau kualitas sumber daya alam, dampak pengenaan tarif terhadap masyarakat, dunia usaha, pelestarian alam dan lingkungan, serta sosial budaya serta aspek keadilan, dan/atau kebijakan Pemerintah; __ 14. Bahwa antara Realisasi Anggaran Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) dengan Perolehan Pungutan Negara Bukan Pajak (PNBP) Perikanan Tangkap memiliki korelasi yang sangat erat. Adapun data yang ada sejak tahun 2014 s.d. 2020 adalah sebagai berikut: - Pagu Anggaran KKP 2014 sebesar Rp5,7 Triliun; PNBP Perikanan Tangkap 2014 sebesar Rp214,446 Milyar; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 28
Penyelenggaraan Penataan Ruang
Relevan terhadap
Pemberian keringanan pajak, retribusi, dan/atau penerimaan negara bukan pajak bertujuan untuk memberikan daya tarik fiskal dan mengurangi beban pajak atau retribusi pemilik dan/atau ^pengguna lahan dan bangunan yang memiliki nilai keunikan, nilai llerentAnan, dan/atau nilai tambah serta mendukung ^percepatan ^perw'ujudan RTR. Keringanan pajak, retribusi, dan/atau penerimaan negara bukan pajak dapat diberikan kepada pelaku kegiatan Pernanfaatan Ruang yang mendukung pengembangan kawasan yang memenuhi kriteria antara lain:
pengembangan Pasal Pasal a. pengembangan baru;
dapat memberi dampak positif terhadap pengembangan ekonomi wilayah atau kepentingan umum;
dilindungi atau dilestarikan; atau
rentan mengalami perubahan Pemanfaatan Ruang. t70 Pemberian kompensasi bertujuan untuk mendorong peran Masyarakat dalam penyediaan prasarana, fasilitas publik tertentu, dan/atau ruang terbuka publik yang melebihi ketentuan minimal yang dipersyaratkan, dan meningkatkan kemitraan antara pemerintah dan Masyarakat dalam percepatan perwujudan RTR. Pemberian kompensasi dapat diberikan pada pelaku kegiatan Pemanfaatan Ruang yang mendukung pengembangan kawasan yang memenuhi kriteria antara lain:
mempunyai integrasi antarmoda transportasi;
dilindungi atau dilestarikan; dan/atau
mempunyai daya dukung dan daya tampung mencukupi. Bentuk kompensasi dapat berupa tambahan danf atau pengalihan intensitas Pemanfaatan Ruang, pemberian barang kebutuhan, penyediaan prasarar,a dan sarana, danf atau uang. Jenis kompensasi paling sedikit mempertimbangkan ^jenis kegiatan Pemanfaatan Ruang, kebutuhan penerima kompensasi, dan efektivitas bentuk kompensasi. t7t Subsidi diberikan sebagai bentuk bantuan atas dukungan percepatan pembangunan dan perwujudan kegiatan Pemanfaatan Ruang prioritas pada lokasi tertentu dan sebagai bantuan dalam percepatan perwujudan rLlang pasca bencana alam. Subsidi dapat diberikan pada Pemerintah Daerah yang mendukung pengembangan kawasan yang memenuhi kriteria antara lain: Pasal a. dikembangkan untuk mewujudkan ^program ^pembangunan prioritas;
kawasan dengan kerentanan tertentu; dan/atau
kawasan rehabilitasi ^pasca bencana alam. Subsidi sebagai dukungan finansial dapat ^berupa ^uang ^dan/atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang. Subsidi sebagai dukungan nonfinansial dapat ^berupa ^program pembangunan di daerah. 172 Imbalan diberikan kepada pelaku kegiatan Pemanfaatan ^Ruarlg yang memberikan ^jasa lingkungan hidup di lokasi tertentu ^sebagai ^bentuk imbal ^jasa lingkungan atas terjaminnya kualitas ^ftrngsi ^lingkungan hidup. Imbalan diberikan untuk memberikan daya tarik bagi ^kegiatan Pemanfaatan Ruang yang menduktrng ^perwujudan ^fungsi ^lindung kawasan di lokasi tertentu serta mendorong dan ^meningkatkan kemitraan antara pemerintah dan Masyarakat dalam ^per"wujudan clan petestarian daya dul: ung dan daya ^tampung lingkungan ^hidup di kawasarr kritis lingkungan. Imbalan dapat berupa pengalihan hak membangUr, ^penyediaan prasar€rna dan sara.na pendukung pelestarian lingkungan ^hidup, uang dan/atau bentuk lain ^yang dapat dihilai ^dengan uang. Imbalan dapat diberikan pada pelaku kegiatan ^Pemanfaatan ^Ruang yang mendukung pengembangan kawasan ^yang memenuhi ^kriteria antara lain:
diiindungi atau dilestarikan; L). memberikan ^jasa lingkungan hidup; atau
merupakan kawasan kritis lingkurtgan. Bentrrk imbalan paling sedikit merrrpertimbangkan:
^jenis kegiatan Pemanfaatan Ruang;
kebutuhan peneiima; dan Pasal Jenis kegiatan Pemanfaatan Ruang ^pada kawasan ^yang ^memenuhi kriteria merupakan kegiatan Pemanfaatan Ruang ^yang ^menjaga dan/atau nrengelola lingkungan hidup untuk raempertahankan dan/atau meningkatkan kualitas ^jasa lingkungan hidup berupa:
pemulihan lingkungan hidup;
konservasi;
perlindungan tata air;
penyerapan dan penyimpanan karbon;
pelestarian keinCahan alam; dan
kegiatan lainnya.sesuai dengan peikembangan dan kebutultan penyediaan jasa lingkungan hidup tJi" ruang diberikan untuk mengoptimalkan pemaniaatan barang milik negara dan/atau barang milik daerah dalam mendorong perwujudan RTR, memberikan kemudahan dan daya tank bagi pengembangan kawasan baru yang sulit berkembang, Cimana asetnya banyak dikuasai pernerinttih. Jenis barang milik negara clan/atau barang milik claerah dapat berupa tanah dan/atau bangunan. Jenis barang rnilik negara dan/atau barang milik daerah meinpertimbangkan ketersediaan aset pemerintah dan ^jenis aset yang dibutuhkau untuk pelaksanaan kegiatan Pemanfaatan Ruang. Sewa ruang dapat diberikan pada pelaku kegiatan Pemanfaatan Ruang yang mendukung pengembangan kawasan yang memenuhi kriteria antara lain:
beru dikembangkan dan/atau sulit dikembangkan dimana asetnya banyak dimiliki premerintah;
dapat rnemberi dampak positif terhadap ^pengenrbangan ekonomi wilayah a.tau kepentingan umum; Pasal 174 Urun saham dilekukan untuk memperkriat ^atau ^meningkatkan modal dan/atau saham kegiatan Pemanfaatan ^Ruang ^yang ^perlu didorong perwujudannya, meningkatkan ^peran ^Masyarakat ^rierta menciptakan rasa memrliki Masyarakat terhadap ^guna ^lahan tertentu, dan rnencegah alih fungsi lahan ^pada kawasan ^tertentu yang disebabkan oleh keterbatasan sumber daya. Urun saham dapat Ciberikan pada ^pelaku ^kegiatan ^Pemanfaatan Ruang yang mendukung pengembangan kawasan ^yang ^memenuhi kriteria antara lain:
kurang berkqmbang; dan latanu b. memiliki peluang berkembang da lnampu ^mgndorong perwujudan kawasan di sekitarnya. Pasal 175 Fasilitasi Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan ^Ruang diberikan untuk Pemanfaatan Ruang baik ^Pemanfaatan ^Ruang ^di darat maupun Pemanfaatan Ruang di Laut. Fasilitasi Persetujuan Kesesuaian Kegiatan ^Penre.nfaatan ^Ruang dilakukan sesuai dengan kebutuhan.
Pengujian UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah terhadap UUD Negara RI 1945 ...
Relevan terhadap
sengketa yang diselesaikan di Mahkamah Konstitusi merupakan sengketa hukum publik, karena itu putusannya berlaku umum, bukan hanya bagi para pihak yang berperkara. Oleh karena itu pengertian kendaraan bermotor dalam UU PDRD seharusnya merujuk kepada norma baru yang diputuskan oleh mahkamah konstitusi, sehingga pengertian kendaraan bermotor dalam UU PDRD tidak boleh memasukkan alat berat atau alat besar. Berdasarkan asas erge omnes tersebut, maka terhadap alat berat tersebut, tidak dapat dikenakan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor. Jika pun negara berkehendak menjalankan wewenang pemungutan pajak terhadap alat berat tersebut, dapat dilakukan dengan membuat undang-undang pajak yang secara spesifik berkenaan dengan alat berat atau alat besar. D. Kesimpulan Adapun kesimpulan dari uraian tersebut adalah sebagai berikut: 1) Landasan konstitusional pemungutan pajak di Indonesia pasca amandemen UUD 1945, terdapat dalam Pasal 23A UUD 1945, ketentuan tersebut berlaku baik untuk pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat maupun yang dipungut pemerintah daerah provinsi/kota/kabupaten. Pemerintah daerah baru dapat memungut suatu jenis pajak jika telah ada undang-undang yang memberikan wewenang kepadanya untuk memungut jenis-jenis pajak sebagaimana ditentukan dalam undang-undang yang bersangkutan. Wewenang untuk memungut pajak tersebut bukan berarti sebuah keharusan untuk melakukan pemajakan, karena pemerintah daerah dapat saja melepaskan wewenangnya tersebut, hanya jika akan melakukan pemungutan maka harus terlebih dahulu dibuat peraturan daerahnya. Pemungutan pajak sebagaimana diamanatkan UUD 1945 harus dilakukan dengan undang-undang, makna yang tersirat dari ketentuan tersebut adalah bahwa pemungutan pajak hanya dapat dilakukan manakala telah disetujui oleh rakyat sebagai pemilik kedaulatan, karena rakyat menentukan nasibnya sendiri juga belanja negaranya/daerahnya. 2) Negara berwenang memungut pajak, mengandung arti juga menentukan objek pajaknya. Penentuan objek pajak tersebut harus memperhatikan aspek dan dampak sosial, ekonomis dan ekologisnya. Secara substansial pemajakan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:
Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. 3. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. 4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan ralryat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 5. Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas- batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 6. Urusan Pemerintahan adalah kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden yang peiaksanaannya dilakukan oleh kementerian negara dan penyelenggara pemerintahan daerah untuk melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat. 7. Kepala Daerah adalah gubernur bagi Daerah provinsi atau bupati bagi Daerah kabupaten atau wali kota bagi Daerah kota.
Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang perpajakan dan/atau retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 9. Peraturan Daerah yang selanjutnya disebut Perda atau yang disebut dengan nama lain adalah Perda provinsi dan Perda kabupaten/ kota. 10. Peraturan Kepala Daerah yang selanjutnya disebut Perkada adalah peraturan gubernur dan bupati/wali kota. 11. Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 12. Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. 13. Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai Pajak. 14. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar Pajak, pemotong Pajak, dan pemungut Pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 15. Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran Pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan. L6. Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinar,. 17. Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang ^" menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk 18. Badan...pemungut retribusi tertentu. PFIESIDEN REPUBLIK INDONESIA 18. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. 19. Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PKB adalah Pajak atas kepemilikan danlatau penguasaan kendaraan bermotor. 20. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBNKB adalah Pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar-menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha. 21. Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat atau kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan. 22. Pajak Alat Berat yang selanjutnya disingkat PAB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan alat berat. 23. Alat Berat adalah alat yang diciptakan untuk membantu pekerjaan konstruksi dan pekerjaan teknik sipil lainnya yang sifatnya berat apabila dikerjakan oleh tenaga manusia, beroperasi menggunakan motor dengan atau tanpa roda, tidak melekat secara perrnanen serta beroperasi pada area tertentu, termasuk tetapi tidak terbatas pada area konstruksi, perkebunan, kehutanan, dan pertambangan.
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah Pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan. 25. Bumi adalah permukaan Bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman. 26. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi. 27. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah Pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan. 2a. Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta Bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan Bangunan. 29. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PBBKB adalah Pajak atas penggunaan bahan bakar Kendaraan Bermotor dan Alat Berat. 30. Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau ^jasa tertentu. 31. Makanan dan/atau Minuman adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui pesanan oleh restoran. 32. Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit Tenaga Listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik. 33. Jasa Perhotelan adalah ^jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya.
Jasa Parkir adalah ^jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan Kendaraan Bermotor. 35. Jasa Kesenian dan Hiburan adalah ^jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati. 36. Pajak Reklame adalah Pajak atas penyelenggaraan reklame. 37. Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu. 38. Pajak Air Permukaan yang selanjutnya disingkat PAP adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan. 39. Air Permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah. 40. Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah. 41. Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah. 42. Air Tanah adalah air yang terdapat di dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah. 43. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disebut Pajak MBLB adalah Pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan dari sumber alam di dalam dan/atau di permukaan Bumi untuk dimanfaatkan.
Mineral 44. Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat MBLB adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang- undangan di bidang mineral dan batu bara. 45. Pajak Sarang Burung Walet adalah Pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet. 46. Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu collocalia fuchliap haga, collocalia ma-rina, collocalia esanlanta, dan allocalia linchi. 47. Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu. 48. Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 49. Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/ kota atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. 50. Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disebut Opsen Pajak MBLB adalah Opsen yang dikenakan oleh provinsi atas pokok Pajak MBLB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. 51. Nomor Pokok Wqiib Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NPWPD adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan Daerah yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan daerahnya. 52. Nomor Objek Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NOPD adalah nomor identitas objek Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan dengan ketentuan tertentu. PRES IOEN REPUBLIK INDONESIA 53. Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti. 54. Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek Pajak atau Retribusi, penentuan besarnya Pajak atau Retribusi yang terutang sampai kegiatan Penagihan Pajak atau Retribusi kepada Wajib Pajak atau Wajib Retribusi serta pengawasan penyetorannya. 55. Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran Pajak, objek Pajak dan/atau bukan objek Pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah. 56. Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang selanjutnya disingkat SPOP adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data subjek dan objek PBB-P2 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan Daerah. 57. Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya ^jumlah pokok Pajak yang terutang. 58. Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SSPD adalah bukti pembayaran atau penyetoran Pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Kepala Daerah. 59. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang selanjutnya disingkat SPPT adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya PBB-P2 yang terutang kepada Wajib Pajak.
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDKB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak, jumlah kredit Pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok Pajak, besarnya sanksi administratif, dan jumlah Pajak yang masih harus dibayar. 61. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan yang selanjutnya disingkat SKPDKBT adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan tambahan atas jumlah Pajak yang telah ditetapkan. 62. Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil yang selanjutnya disingkat SKPDN adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah pokok Pajak sama besarnya dengan jumlah kredit Pajak atau Pajak tidak terutang dan tidak ada kredit Pajak. 63. Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDLB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Pajak karena jumlah kredit Pajak lebih besar daripada Pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang. 64. Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD adalah surat untuk melakukan tagihan Pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda. 65. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah yang terdapat dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB, STPD, SUTAT Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan. 66. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB, atau terhadap pemotongan atau Pemungutan pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.
Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak. 68. Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian surat pemberitahuan atau dokumen lain yang dipersamakan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan penghitungannya serta kesesuaian antara surat pemberitahuan dengan SSPD. 69. Penagihan adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang Pajak dan biaya Penagihan Pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan Penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, dan menjual barang yang telah disita. 70. Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah tindakan Penagihan pajak yang dilaksanakan oleh jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang Pajak dari semua ^jenis Pajak, masa Pajak, dan tahun Pajak. 71. Utang Pajak adalah Pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan Pajak atau surat sejenisnya berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah. 72. Surat Teguran adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur Wajib Pajak atau Wajib Retribusi untuk melunasi Utang Pajak atau utang Retribusi. 73. Surat Paksa adalah surat perintah membayar Utang Pajak dan biaya Penagihan Pajak. 74. Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan Penagihan Pajak yang meliputi Penagihan Seketika dan Sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan, dan penyanderaan.
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dan Retribusi dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan Retribusi Daerah. 76. Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya I (satu) tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender. 77. Jasa Umum adalah ^jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan. 78. Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta. 79. Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. 80. Surat Ketetapan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat SKRD adalah surat ketetapan Retribusi yang menentukan besarnya jumlah pokok Retribusi yang terutang. 81. Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKRDLB adalah surat ketetapan Retribusi yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Retribusi karena jumlah kredit Retribusi lebih besar daripada Retribusi yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
Surat Tagihan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat STRD adalah surat untuk melakukan tagihan Retribusi dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda. 83. Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh satuan kerja perangkat daerah atau unit satuan kerja perangkat daerah pada satuan kerja perangkat daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya. BAB II PENGATURAN UMUM PAJAK DAN RETRIBUSI Bagian Kesatu Pajak Paragraf 1 Jenis Pajak Pasal 2 Jenis Pajak terdiri atas:
Pajak provinsi; dan
Pajak kabupaten/kota. Pasal 3 (1) Jenis Pajak provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah terdiri atas:
PKB;
BBNKB;
PAB; dan
PAP. (21 Jenis Pajak provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak terdiri atas:
PBBKB;
Pajak Rokok; dan
Opsen Pajak MBLB. (3) Jenis Pajak kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah terdiri atas:
PBB-P2;
Pajak Reklame;
PAT;
Opsen PKB; dan
Opsen BBNKB. (41 Jenis Pajak kabupaten/ kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Paj ak terdiri atas:
BPHTB;
PBJT atas:
Makanan dan/atau Minuman;
Tenaga Listrik;
Jasa Perhotelan;
Jasa Parkir; dan
Jasa Kesenian dan Hiburan;
Pajak MBLB; dan
Pajak Sarang Burung Walet. Paragraf 2 Masa Pajak dan Tahun Pajak Pasal 4 (l) Saat terutang Pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subjektif dan objektif atas suatu jenis Pajak dalam I (satu) kurun waktu tertentu dalam masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan Daerah. (21 Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untukjenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri Wajib Pajak atau menjadi dasar bagi Kepala Daerah untuk menetapkan Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah. (3) Masa Pajak yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender. (41 Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai masa Pajak, Tahun Pajak, dan bagian Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perkada. Paragraf 3 Pajak Provinsi Pasal 5 (1) Dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a merupakan hasil perkalian nilai jual Kendaraan Bermotor dan bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan akibat penggunaan Kendaraan Bermotor. l2l ^Dasar ^pengenaan ^PKB, ^khusus ^untuk ^Kendaraan Bermotor di air, ditetapkan hanya berdasarkan nilai jual Kendaraan Bermotor. (3) Saat terutang PKB ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor. (4) Wilayah Pemungutan PKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar. Pasal 6 (1) Dasar pengenaan BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b merupakan nilai jual Kendaraan Bermotor yang ditetapkan dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan peraturan gubernur. (21 Saat terutang BBNKB ditetapkan pada saat terjadinya penyerahan pertama Kendaraan Bermotor. (3) Wilayah Pemungutan BBNKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar. Pasal 7 (1) Dasar pengenaan PAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c merupakan nilai jual Alat Berat.
Saat terutang PAB ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat. (3) Wilayah Pemungutan PAB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penguasaan Alat Berat. Pasal 8 (l) Dasar pengenaan PAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d merupakan nilai perolehan Air Permukaan. (21 Nilai perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga dasar Air Permukaan dengan bobot Air Permukaan. (3) Besarnya nilai perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan gubernur. (41 Saat terutang PAP ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan. (5) Wilayah Pemungutan PAP yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Air Permukaan berada. (6) Penetapan besarnya nilai perolehan Air Permukaan yang ditetapkan dengan peraturan gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berpedoman pada ketentuan mengenai harga dasar Air Permukaan dan bobot Air Permukaan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan ralgrat. (71 Ketentuan mengenai harga dasar Air Permukaan dan bobot Air Permukaan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan ralryat sebagaimana dimaksud pada ayat (6), ditetapkan setelah mendapatkan pertimbangan Menteri. Pasal 9 (1) Dasar pengenaan PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a merupakan nilai jual bahan bakar Kendaraan Bermotor sebelum dikenakan pajak pertambahan nilai. (21 Saat terutang PBBKB ditetapkan pada saat terjadinya penyerahan bahan bakar Kendaraan Bermotor oleh penyedia bahan bakar Kendaraan Bermotor. (3) Wilayah Pemungutan PBBKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penyerahan bahan bakar Kendaraan Bermotor kepada konsumen atau pengguna Kendaraan Bermotor. Pasal 10 (1) Dasar pengenaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b merupakan cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap rokok. (21 Saat terutang Pajak Rokok ditetapkan pada saat terjadinya Pemungutan cukai rokok terhadap pengusaha pabrik rokok atau produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai. (3) Wilayah Pemungutan Pajak Rokok merupakan wilayah kepabeanan Indonesia. Paragraf 4 Pajak Kabupaten/ Kota Pasal 12 (l) Dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a merupakan NJOP. (21 NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (l) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2. (3) Saat terutang PBB-P2 ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan Bumi dan/atau Bangunan. (41 Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan menurut keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari. (5) Wilayah Pemungutan PBB-P2 yang terutang mempakan wilayah Daerah yang meliputi letak objek PBB-P2. (6) Termasuk dalam wilayah Pemungutan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan wilayah Daerah tempat Bumi dan/atau Bangunan berikut berada:
laut pedalaman dan perairan darat serta Bangunan di atasnya; dan
Bangunan yang berada di luar laut pedalaman dan perairan darat yang konstruksi tekniknya terhubung dengan Bangunan yang berada di daratan, kecuali pipa dan kabel bawah laut. Pasal 13 (1) Dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) ditetapkan paling rendah 207o (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak. (21 Besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas kelompok objek PBB-P2 dilakukan dengan mempertimbangkan:
kenaikan NJOP hasil penilaian;
bentuk pemanfaatan objek Pajak; dan/atau
klasterisasi NJOP dalam satu wilayah kabupaten/ kota. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Perkada. Pasal 14 (1) Dasar pengena€rn Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b merupakan nilai sewa Reklame. (21 Saat terutang Pajak Reklame ditetapkan pada saat terjadinya penyelenggaraan Reklame. (3) Wilayah Pemungutan Pajak Reklame yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penyelenggaraan Reklame. (41 Khusus untuk Reklame berjalan, wilayah Pemungutan Pajak Reklame yang terutang adalah wilayah Daerah tempat usaha penyelenggara Reklame terdaftar. Pasal 15 (1) Dasar pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf c merupakan nilai perolehan Air Tanah. (21 Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah. (3) Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam Daerah provinsi diatur dengan peraturan gubernur.
Besarnya nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam Daerah kabupaten/kota diatur dengan peraturan bupati/wali kota dengan berpedoman pada nilai perolehan Air Tanah yang ditetapkan oleh gubernur. (5) Saat terutang PAT ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah. (6) Wilayah Pemungutan PAT yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah. (7) Penetapan besarnya nilai perolehan Air Tanah yang ditetapkan dengan peraturan gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral mengenai nilai perolehan Air Tanah. (8) Peraturan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral sebagaimana dimaksud pada ayat (7l., disusun dengan memperhatikan kebijakan kemudahan berinvestasi dan ditetapkan setelah mendapat pertimbangan dari Menteri. Pasal 16 (1) Dasar pengenaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf d merupakan PKB terutang. (21 Saat terutang Opsen PKB ditetapkan pada saat terutangnya PKB. (3) Wilayah Pemungutan Opsen PKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar. Pasal 17 (1) Dasar pengenaan Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf e merupakan BBNKB terutang. (21 Saat terutang Opsen BBNKB ditetapkan pada saat terutangnya BBNKB. (3) Wilayah Pemungutan Opsen BBNKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar. Pasal 18 (1) Dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf a merupakan nilai perolehan objek pajak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Pajak dan Retribusi. (2) Saat terutang BPHTB ditetapkan pada saat terjadinya perolehan tanah dan/atau Bangunan dengan ketentuan:
pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli;
pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan untuk waris;
pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;
pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak; dan
pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang. (3) Dalam hal jual beli tanah dan/atau Bangunan tidak menggunakan perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, saat terutang BPHTB untuk jual beli adalah pada saat ditandatanganinya akta jual beli. (4) Wilayah Pemungutan BPHTB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat tanah dan/atau Bangunan berada. Pasal 19 (1) Dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (41 huruf b merupakan jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu, meliputi:
^jumlah pembayaran yang diterima oleh penyedia Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dal/ atau Minuman;
nilai jual Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
jumlah pembayaran kepada penyedia Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
jumlah pembayaran kepada penyedia atau penyelenggara tempat parkir dan/atau penyedia layanan memarkirkan kendaraan untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
jumlah pembayaran yang diterima oleh penyelenggara Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.
Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (f) menggunakan voucer atau bentuk lain yang sejenis yang memuat nilai rupiah atau mata uang lain, dasar pengenaan PBJT ditetapkan sebesar nilai rupiah atau mata uang lainnya tersebut. (3) Dalam hal tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan. (4) Dalam hal Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan pengendalian penggunaan kendaraan pribadi dan tingkat kemacetan, khusus untuk PBJT atas Jasa Parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (l) huruf d, Pemerintah Daerah dapat menetapkan dasar pengenaan sebesar tarif parkir sebelum dikenakan potongan. (5) Saat terutang PBJT ditetapkan pada saat:
pembayaran atau penyerahan atas Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
konsumsi atau pembayaran atas Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
pembayaran atau penyerahan atas Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
pembayaran atau penyerahan atas jasa penyediaan tempat parkir untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
pembayaran atau penyerahan atas Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan. (6) Wilayah Pemungutan PBJT yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan. REPTTBLIK INDONESIA Pasal 20 (1) Nilai jual Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf b ditetapkan untuk:
Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran; dan
Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri. (2) Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dihitung berdasarkan:
jumlah tagihan biaya/beban tetap ditambah dengan biaya pemakaian kWh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik, untuk pascabayar; dan
^jumlah pembelian Tenaga Listrik untuk prabayar. (3) Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan:
kapasitas tersedia;
tingkat penggunaan listrik;
^jangka waktu pemakaian listrik; dan
harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan. (4) Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (l) huruf a dan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3), penyedia Tenaga Listrik sebagai Wajib Pajak melakukan penghitungan dan Pemungutan PBJT atas Tenaga Listrik untuk penggunaan Tenaga Listrik yang dijual atau diserahkan. Pasal 2 I (l) Dasar pengenaan Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf c merupakan nilai jual hasil pengambilan MBLB. (2) Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian volume atau tonase pengambilan MBLB dengan harga patokan tiap jenis MBLB. (3) Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dihitung berdasarkan harga jual rata-rata tiap jenis MBLB pada mulut tambang yang berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan. (4) Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batu bara. (5) Saat terutang Pajak MBLB ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan MBLB di mulut tambang. (6) Wilayah Pemungutan Pajak MBLB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB. Pasal 22 (l) Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf d merupakan nilai jual sarang Burung Walet. (21 Nilai jual sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum sarang Burung Walet yang berlaku di Daerah yang bersangkutan dengan volume sarang Burung Walet. (3) Saat terutang Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet. (41 Wilayah Pemungutan Pajak Sarang Burung Walet yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet. K tlilrIIl INDO Paragraf 5 Bagi Hasil Pajak Provinsi Pasal 23 (l) Hasil penerimaan Pajak provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (l) dan ayat (2) sebagian diperuntukkan bagi kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan dengan ketentuan sebagai berikut:
hasil penerimaan PAP dibagihasilkan kepada kabupaten/kota sebesar:
soy" (lima puluh persen) jika sumber air berada pada lebih dari 1 (satu) wilayah kabupaten/kota; atau
8Oo/o (delapan puluh persen) jika sumber air berada hanya pada 1 (satu) wilayah kabupaten/ kota. b. hasil penerimaan PBBKB dibagihasilkan kepada kabupaten/ kota sebesar 70% (tujuh puluh persen); dan
hasil penerimaan Pajak Rokok dibagihasilkan kepada kabupaten/kota sebesar 70% (tujuh puluh persen). (21 Besaran bagi hasil Pajak per kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan memperhatikan aspek pemerataan dan/atau potensi antar kabupaten/ kota. (3) Besaran bagi hasil Pajak per kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dirinci dalam besaran bagi hasil Pajak per kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan, dengan ketentuan:
bagi hasil PAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibagi secara proporsional paling kurang berdasarkan variabel panjang sungai dan/atau luas daerah tangkapan air;
bagi hasil PBBKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dibagi secara proporsional paling rendah 70% (tujuh puluh persen) berdasarkan jumlah Kendaraan Bermotor yang terdaftar di kabupaten/kota yang bersangkutan dan selisihnya dibagi rata kepada seluruh kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan; dan
bagi hasil Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dibagi secara proporsional paling kurang berdasarkan variabel jumlah penduduk kabupaten/ kota di provinsi yang bersangkutan. (41 Penggunaan variabel lainnya selain variabel sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf c dalam menghitung besaran bagi hasil Pajak per kabupaten/kota diatur dengan Perda provinsi. (5) Alokasi bagi hasil Pajak per kabupaten/kota ditetapkan dengan keputusan gubernur berdasarkan Perda provinsi mengenai bagi hasil Pajak. Pasal 24 (1) Penyaluran bagi hasil Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (21 dilakukan melalui pemindahbukuan dari kas Daerah provinsi ke kas Daerah kabupaten/kota. (21 Penyaluran bagi hasil PAP dan PBBKB dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah berakhirnya ^jangka waktu yang menjadi dasar penghitungan bagi hasil Pajak. (3) Penyaluran bagi hasil Pajak Rokok dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai tata cara Pemungutan dan penyetoran Pajak Rokok. Paragraf 6 Penggunaan Hasil Penerimaan Pajak untuk Kegiatan yang Telah Ditentukan Pasal 25 (1) Hasil penerimaan PKB dan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dan ayat (3) huruf d, dialokasikan paling sedikit lOVo (sepuluh persen) untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum. (21 Hasil penerimaan PBJT atas Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf b angka 2, dialokasikan paling sedikit lOo/o (sepuluh persen) untuk penyediaan penerangan ^jalan umum. (3) Kegiatan penyediaan penerangan ^jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum serta pembayaran biaya atas konsumsi Tenaga Listrik untuk penerangan ^jalan umum. (4) Hasil penerimaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b, baik bagian ^provinsi maupun bagian kabupaten/kota, dialokasikan ^paling sedikit 50% (lima puluh persen) untuk mendanai pelayanan kesehatan untuk masyarakat dan penegakan hukum. (5) Hasil penerimaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf c, dialokasikan paling sedikit ^1O% (sepuluh persen) untuk pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam Daerah kabupaten/kota ^yang berdampak terhadap kualitas dan kuantitas Air ^Tanah, meliputi:
penanaman pohon;
pembuatan lubang atau sumur resapan;
pelestarian hutan atau ^pepohonan; dan
pengelolaan limbah.
Dalam rangka penyelarasan kebijakan fiskal dan pemantauan atas pemenuhan kewajiban Pemerintah Daerah dalam pengalokasian hasil penerimaan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5), Pemerintah menyusun bagan akun standar dan/atau melakukan penandaan atas belanja yang didanai dari hasil penerimaan Pajak tersebut. l7l ^Dalam ^hal ^Pemerintah Daerah ^tidak ^melaksanakan kewajiban dalam pengalokasian hasil penerimaan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5), dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Kedua Retribusi Paragraf I Jenis Retribusi Pasal 26 (l) Jenis Retribusi terdiri atas:
Retribusi Jasa Umum;
Retribusi Jasa Usaha; dan
Retribusi Perizinan Tertentu. (21 Jenis, objek, dan rincian objek dari setiap Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Perda mengenai Pajak dan Retribusi. (3) Dikecualikan dari objek dari setiap Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu pelayanan jasa dan/atau perizinan yang dilakukan oleh Pemerintah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta. Paragraf 2 Retribusi Jasa Umum Pasal 27 (1) Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (ll huruf a, meliputi:
pelayanan kesehatan;
pelayanan kebersihan;
pelayanan parkir di tepi jalan umum;
pelayanan pasar; dan
pengendalian lalu lintas. (21 Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan masing-masing sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan. (3) Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD. (4) Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur dalam Perkada sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Perkada sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
tidak bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi;
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
Perkada sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Perkada ditetapkan. (7) Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Umum. (8) Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang- undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum. Pasal 28 Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf a merupakan pelayanan kesehatan di puskesmas, puskesmas keliling, puskesmas pembantu, balai pengobatan, rumah sakit umum daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan administrasi. Pasal 29 (1) Pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, meliputi:
pengambilan atau pengumpulan sampah dari sumbernya ke lokasi pembuangan sementara;
pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan sementara ke lokasi pembuangan akhir sampah atau pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
penyediaan lokasi pembuangan atau pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
penyediaan dan/atau penyedotan kakus; dan
pengolahan limbah cair rumah tangga, perkantoran, dan industri. (21 Dikecualikan dari pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, sosial, dan tempat umum lainnya. Pasal 30 Pelayanan parkir di tepi jalan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 31 Pelayanan pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf d merupakan penyediaan fasilitas pasar tradisional atau sederhana, berupa pelataran, los, dan kios yang dikelola oleh Pemerintah Daerah. Pasal 32 (1) Pengendalian lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2T ayat (1) huruf e merupakan pengendalian atas penggunaan ruas jalan tertentu, koridor tertentu, atau kawasan tertentu pada waktu tertentu oleh pengguna Kendaraan Bermotor. (21 Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian lalu lintas diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perhubungan. Pasa.l 33 (1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut. (21 Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasional dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal. (3) Dalam hal penetapan tarif hanya memperhatikan biaya penyediaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (41 Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai BLUD. Paragraf 3 Retribusi Jasa Usaha Pasal 34 (1) Jenis penyediaan atau pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha meliputi:
penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan;
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila;
pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
pelayanan jasa kepelabuhanan;
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air;
penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (2) Penyediaan atau pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan jasa atau pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah masing- masing sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD. (4) Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur dalam Perkada sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Perkada sebagaimana dimaksud pada ayat (41 dilaksanakan dengan ketentuan:
tidak bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi;
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
Perkada sebagaimana dimaksud pada ayat (41 disampaikan kepada Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak ditetapkan. (71 Subjek Retribusi Jasa Usaha mempakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Usaha. (8) Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang- undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Usaha. Pasal 35 Penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf a merupakan penyediaan tempat kegiatan usaha berupa fasilitas pasar grosir dan fasilitas pasar atau pertokoan yang dikontrakkan, serta tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan atau diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah. Pasal 36 (1) Penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat ( I ) huruf b merupakan penyediaan tempat pelelangan yang secara khusus disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk melakukan pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk jasa pelelangan serta fasilitas lainnya yang disediakan di tempat pelelangan. (21 Termasuk penyediaan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) merupakan tempat yang disewa oleh Pemerintah Daerah dari pihak lain untuk dijadikan sebagai tempat pelelangan. Pasal 37 Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah. Pasal 38 Penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf d merupakan penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah. Pasal 39 Pelayanan rumah pemotongan hewan ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf e merupakan pelayanan penyediaan fasilitas pemotongan hewan ternak termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah. Pasal 40 Pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (l) huruf f merupakan pelayanan kepelabuhanan pada pelabuhan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah. Pasal 41 Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf g merupakan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah. Pasal 42 Pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf h merupakan pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah. Pasal 43 Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf i merupakan penjualan hasil produksi usaha Daerah oleh Pemerintah Daerah. Pasal 44 (1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha untuk memperoleh keuntungan yang layak. (21 Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (l) merupakan keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan Jasa Usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar. (3) Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai BLUD. Paragraf 4 Retribusi Perizinan Tertentu Pasal 45 (1) Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (l) huruf c meliputi:
persetujuan Bangunan gedung;
penggunaan tenaga kerja asing; dan
pengelolaan pertambangan rakyat. (21 Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah masing-masing sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pemberian Perizinan Tertentu. (41 Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizir,an Tertentu. Pasal 46 (1) Pelayanan pemberian izin persetujuan Bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) huruf a meliputi penerbitan persetujuan Bangunan gedung dan sertifikat laik fungsi oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (21 Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) yaitu pemberian izin persetujuan Bangunan milik Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Bangunan yang memiliki fungsi keagamaan atau peribadatan. Pasal 47 (1) Pelayanan penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga kerja asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu penggunaan tenaga keda asing oleh instansi Pemerintah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan. Pasal 48 (1) Pelayanan pengelolaan pertambangan ralryat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) huruf c merupakan pelayanan pembinaan dan pengawasan kepada pemegang izin pertambangan ralgrat oleh Pemerintah Daerah dalam rangka menjalankan delegasi kewenangan Pemerintah di bidang pertambangan mineral dan batu bara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (21 Pelayanan pengelolaan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (l) diberikan kepada:
orang perseorangan yang merupakan penduduk setempat; atau
koperasi yang anggotanya merupakan penduduk setempat. Pasal 49 (1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan. (21 Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (l) meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
Khusus untuk pelayanan persetujuan Bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (ll, biaya penyelenggaraan layanan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Bangunan gedung. (4) Khusus untuk pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1), biaya penyelenggaraan pemberian izin mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing. (5) Khusus untuk pelayanan pemberian izin pengelolaan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1), biaya pengelolaan pertambangan ralgrat mengacu pada ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku pada kementerian di bidang energi dan sumber daya mineral. Paragraf 5 Pemanfaatan Penerimaan Retribusi Pasal 50 (1) Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan. (21 Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai BLUD. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Perkada. >
Pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ...
Relevan terhadap
bersifat formalitas. Selain itu, Pemohon II juga banyak menerima pertanyaan dari Warga DKI Jakarta tentang nasib masa depan Jakarta pasca ibu kota dipindahkan. Pemohon II sebagai pembayar pajak mengungkapkan tidak mendapatkan kesempatan untuk memberikan sumbangsih pemikiran dalam pembahasan UU IKN, padahal pajak yang dibayarkan diinginkan agar dimanfaatkan secara benar, sementara ada potensi penggunaan anggaran yang cukup besar dalam pembangunan IKN yang diambil dari APBN yang berpotensi anggaran terhenti dan berdampak pada kerugian negara. 3. Bahwa Pemohon III dalam permohonan a quo mengkualifikasikan dirinya sebagai WNI yang saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI periode 2020-2025 [vide bukti P-34] beranggapan minimnya partisipasi publik dalam pembahasan UU IKN dan tidak transparan dalam mempublikasikan risalah-risalan sidang selama proses pembentukan UU 3/2022 menyebabkan Pemohon III tidak dapat mendapatkan informasi yang jelas, serta tidak pula memiliki kesempatan untuk memberikan masukan dalam UU 3/2022 yang memiliki dampak tidak hanya pada masyarakat Kalimantan, namun juga terhadap masyarakat DKI Jakarta pasca tidak lagi menjadi Ibu Kota Negara. Pemohon III, banyak mendapatkan pertanyaan dari para pengurus MUI untuk memberikan pertimbangan serta sikap yang harus diambil oleh MUI terutama terkait dengan hal-hal yang menyangkut urusan keagamaan. Hal tersebut tentunya merugikan hak konstitusional Pemohon III yang telah dijamin dalam Pasal 28D ayat (1), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28F UUD 1945 di mana setiap orang berhak untuk memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. 4. Bahwa Pemohon IV mengkualifikasikan dirinya sebagai WNI dan tokoh agama yang memilili umat yang banyak di berbagai wilayah di Indonesia, di mana dalam hal Pembentukan UU IKN, menurut Pemohon IV prosesnya terburu-buru sehingga tidak membuka partisipasi publik secara maksimal dan bermakna, hanya bersifat formalitas mengundang pihak-pihak yang mendukung, tanpa mengundang dan mendengarkan pihak yang terdampak khususnya masyarakat Jakarta yang sangat terdampak ketika Ibu Kota Negara dipindahkan ke Kalimantan. Demikian pula terhadap masyarakat Kalimantan yang sangat berpotensi terjadinya konflik horizontal di lapangan akibat adanya shock culture , ketimpangan lapangan pekerjaan antara pendatang dan masyarakat asli
Fasilitas Perpajakan dan Kepabeanan di Ibu Kota Nusantara
Relevan terhadap
Menetapkan : PEMBEBASAN BEA MASUK DAN FASILITAS PDRI ATAS IMPOR BARANG YANG DITUJUKAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM DI WILAYAH IBU KOTA NUSANTARA DAN DAERAH MITRA KEPADA...……(2)……… PERTAMA : Memberikan pembebasan bea masuk dan fasilitas PDRI atas Impor Barang yang ditujukan untuk kepentingan umum di Wilayah Ibu Kota Nusantara dan Daerah Mitra yang bersumber dari...……(9)………, kepada...……(2)………, yang diimpor/dimasukkan oleh:
Nama :
..……(10)……… b. NPWP :
..……(11)……… c. Alamat :
..……(12)……… dengan rincian uraian barang, jumlah barang, satuan barang, perkiraan harga, negara asal/muat, dan pelabuhan/bandar udara/tempat pengeluaran sebagaimana tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Menteri ini. KEDUA : Pelaksanaan impor barang sebagaimana dimaksud dalam diktum PERTAMA harus memenuhi ketentuan umum di bidang impor. KETIGA : Pembebasan bea masuk dan fasilitas PDRI sebagaimana dimaksud dalam Diktum PERTAMA diberikan dengan ketentuan barang sebagaimana dimaksud dalam Diktum PERTAMA akan digunakan untuk...……(13)……… KEEMPAT : Menunjuk pelabuhan/bandar udara/tempat pengeluaran ………(14)……… sebagai pelabuhan/bandar udara/tempat pengeluaran serta...……(15)……… sebagai kantor pabean tempat penyelesaian kewajiban pabean atas barang sebagaimana dimaksud dalam Diktum PERTAMA. KELIMA : Pemberian pembebasan bea masuk dan fasilitas PDRI ini sewaktu-waktu dapat dilakukan pemeriksaan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. KEENAM : Jangka waktu impor atas barang yang ditujukan untuk kepentingan umum di wilayah Ibu Kota Nusantara dan Daerah Mitra sebagaimana dimaksud dalam DIKTUM PERTAMA diberikan sampai dengan...……(16)……… terhitung sejak tanggal ditetapkannya Keputusan Menteri ini. KETUJUH : Atas barang sebagaimana dimaksud Diktum PERTAMA, berlaku ketentuan sebagai berikut a. Barang dicatatkan sebagai barang milik negara/barang milik daerah/barang milik OIKN.
Penggunaan, pemanfaatan, pengamanan, pemeliharaan, pemindahtanganan, pemusnahan, penghapusan, dan penatausahaan barang impor sebagaimana dimaksud pada DIKTUM PERTAMA dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang pengelolaan barang milik negara/barang milik daerah/barang milik OIKN. KEDELAPAN : Atas penyalahgunaan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor...……(5)………., atas impor barang sebagaimana dimaksud dalam Diktum PERTAMA dipungut bea masuk dan/atau pajak dalam rangka impor yang terutang serta dikenakan sanksi administratif berupa denda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai sanksi administratif di bidang kepabeanan dan/atau di bidang perpajakan. KESEMBILAN : Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Salinan Keputusan Menteri ini disampaikan kepada :
.………(17)……….;
...……………………..; dst 3. Pimpinan...……(2)………. Ditetapkan di...….…(18)………. pada tanggal...…..…(19)……….
n. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KEPALA KANTOR...……(20)………., ………(21)………. KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR TENTANG TENTANG PEMBEBASAN BEA MASUK DAN FASILITAS PDRI ATAS IMPOR BARANG YANG DITUJUKAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM DI WILAYAH IBU KOTA NUSANTARA DAN DAERAH MITRA KEPADA...…….(2).......... DAFTAR BARANG YANG MENDAPATKAN FASILITAS PEMBEBASAN BEA MASUK DAN FASILITAS PDRI ATAS IMPOR BARANG YANG DITUJUKAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM DI WILAYAH IBU KOTA NUSANTARA DAN DAERAH MITRA KEPADA...…….(2).......... Importir:
Nama :
..……(10)……… b. NPWP :
..……(11)……… c. Alamat :
..……(12)……… NO. URAIAN BARANG JUMLAH BARANG SATUAN BARANG PERKIRAAN HARGA BARANG NEGARA ASAL/ MUAT PELABUHAN/BAND AR UDARA TEMPAT PEMASUKAN/ PEMBONGKARAN PERUNTUKKAN BARANG ..(22) ..
.(23)..
.(24)..
.(25)..
.(26)..
.(27)..
.(14)..
.(28)..
n. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KEPALA KANTOR...……(20)………., ………(21)………. PETUNJUK PENGISIAN Nomor (1) : Diisi nomor Keputusan Menteri Keuangan mengenai Pembebasan bea masuk dan Fasilitas PDRI atas Impor Barang yang Ditujukan untuk Kepentingan Umum di Wilayah Ibu Kota Nusantara dan Daerah Mitra. Nomor (2) : Diisi nama instansi pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang diberikan pembebasan bea masuk dan fasilitas PDRI. Nomor (3) : Diisi nama jabatan pejabat/pimpinan yang menandatangani surat permohonan dan nama instansi pemerintah pusat, pemerintah daerah, pihak ketiga berdasarkan kontrak atau perjanjian kerja atau pihak lain. Nomor (4) : Diisi nomor dan tanggal surat permohonan pembebasan bea masuk dan fasilitas PDRI. Nomor (5) : Diisi nomor dan perihal Peraturan Menteri Keuangan mengenai Fasilitas Perpajakan dan Kepabeanan di Ibu Kota Nusantara Nomor (6) : Diisi sebagai berikut:
nomor dan tanggal dokumen daftar isian pelaksanaan anggaran pada tahun anggaran berjalan atau dokumen yang sejenis dengan daftar isian pelaksanaan anggaran pada tahun anggaran berjalan, dalam hal barang bersumber dari pembelian yang dibiayai dengan anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah, hibah atau pinjaman luar negeri, dan/atau sumber lain yang sah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
nomor dan tanggal dokumen surat keterangan dari pemberi hibah berupa gift certificate atau memorandum of understanding yang menyatakan bahwa barang untuk Kepentingan Umum tersebut merupakan hibah yang diberikan langsung kepada pemerintah pusat atau pemerintah daerah, dalam hal barang merupakan hibah berupa barang. Nomor (7) : Diisi sebagai berikut:
nomor dan tanggal dokumen surat pernyataan yang menyatakan bahwa pembiayaan dalam daftar isian pelaksanaan anggaran atau dokumen yang sejenis dengan daftar isian pelaksanaan anggaran atas barang yang dimintakan pembebasan bea masuk, tidak meliputi unsur bea masuk dan/atau pajak dalam rangka impor, dalam hal barang bersumber dari pembelian yang dibiayai dengan anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah, hibah atau pinjaman luar negeri, dan/atau sumber lain yang sah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
nomor dan tanggal dokumen persetujuan hibah dari pemerintah pusat, dalam hal barang impor merupakan hibah yang ditujukan kepada pemerintah daerah, dalam hal barang merupakan hibah berupa barang. Nomor (8) : Diisi sebagai berikut:
nomor dan tanggal dokumen perjanjian atau kontrak pengadaan barang yang menyebutkan bahwa harga dalam perjanjian atau kontrak pengadaan barang tidak meliputi pembayaran bea masuk dan/atau pajak dalam rangka impor, dalam hal pengadaan barang menggunakan Pihak Ketiga, dalam hal barang bersumber dari pembelian yang dibiayai dengan anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah, hibah atau pinjaman luar negeri, dan/atau sumber lain yang sah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
nomor dan tanggal dokumen surat pernyataan dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang importasinya dilakukan oleh Pihak Lain, dalam hal barang merupakan hibah berupa barang. Nomor (9) : Diisi sebagai berikut:
“Pembelian yang dibiayai dengan anggaran pendapatan dan belanja negara”, dalam hal barang berasal dari pembelian yang dibiayai dengan anggaran pendapatan dan belanja negara;
“Pembelian yang dibiayai dengan anggaran pendapatan dan belanja daerah”, dalam hal barang bersumber dari pembelian yang dibiayai dengan anggaran pendapatan dan belanja daerah;
“hibah atau pinjaman luar negeri”, dalam hal barang bersumber dari hibah atau pinjaman luar negeri; atau
“sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”, dalam hal barang bersumber dari sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Nomor (10) : Diisi nama importir, instansi pemerintah pusat, pemerintah daerah, pihak ketiga, atau pihak lain dalam hal barang diimpor oleh pihak ketiga atau pihak lain. Nomor (11) : Diisi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pihak tersebut pada Nomor (10). Nomor (12) : Diisi alamat pihak tersebut pada Nomor (10). Nomor (13) : Diisi uraian mengenai nama program/proyek/kegiatan yang menggunakan barang yang diberikan pembebasan bea masuk dan fasilitas PDRI. Nomor (14) : Diisi nama pelabuhan/bandar udara tempat pemasukan atau tempat pengeluaran barang dalam hal barang dikeluarkan dari tempat penimbunan berikat selain pusat logistik berikat, kawasan ekonomi khusus, atau KPBPB. Nomor (15) : Diisi nama Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai atau Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai tempat penyelesaian kewajiban pabean. Nomor (16) : Diisi jangka waktu Impor Barang sebagai berikut:
paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal ditetapkannya Keputusan Menteri atau sampai dengan tanggal berakhirnya masa berlaku DIPA tahun berjalan;
sampai dengan tanggal berakhirnya masa berlaku perjanjian atau kontrak pengadaan, dalam hal Impor Barang dilakukan berdasarkan perjanjian atau kontrak pengadaan dengan pihak ketiga yang memiliki periode lebih dari 1 (satu) tahun; atau
“31 Desember 2045”, dalam hal jangka waktu Impor Barang melewati tahun 2045. Nomor (17) : Diisi daftar kementerian/lembaga atau instansi yang perlu diberikan salinan Keputusan Menteri Keuangan serta Kantor Pelayanan Bea dan Cukai tempat penyelesaian kewajiban pabean. Nomor (18) : Diisi kota tempat ditandatanganinya Keputusan Menteri Keuangan. Nomor (19) : Diisi tanggal ditandatanganinya Keputusan Menteri Keuangan. Nomor (20) : Diisi nama Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai yang menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan. Nomor (21) : Diisi nama pejabat yang menandatangani Keputusan Menteri Keuangan. Nomor (22) : Diisi nomor urut barang. Nomor (23) : Diisi sebagai berikut:
Diisi uraian jenis barang dan spesifikasi teknis barang (merk, tipe, dimensi, kapasitas, dll), dalam hal barang selain kendaraan bermotor; atau
Diisi jenis, merek, tipe, nomor mesin, nomor rangka, kapasitas mesin, dan tahun pembuatan, dalam hal barang berupa kendaraan bermotor. Nomor (24) : Diisi jumlah barang. Nomor (25) : Diisi satuan barang. Nomor (26) : Diisi perkiraan harga barang. Nomor (27) : Diisi negara asal/negara muat barang. Nomor (28) : Diisi peruntukan barang bagi Kepentingan Umum di Wilayah Ibu Kota Nusantara dan Daerah Mitra. SSS. CONTOH FORMAT PEMBERITAHUAN ATAS PEMUTUSAN PERJANJIAN/KONTRAK ATAU PEMBATALAN HIBAH KOP SURAT PEMOHON Nomor :
.......... (1) ........... .......... (2) ........... Lampiran :
.......... (3) ........... Hal : Pemberitahuan Pemutusan Perjanjian/Kontrak atau Pembatalan Hibah*) Kepada Yth. : Kepala Kantor ........... (4) ........... Yang bertanda tangan dibawah ini, kami selaku pimpinan dari: Nama :
.......... (5) ........... NPWP :
.......... (6) ........... Alamat :
.......... (7) ........... Pihak yang bisa dihubungi :
.......... (8) ........... dengan ini memberitahukan bahwa atas pengadaan/Hibah*) barang impor sesuai dengan Perjanjian atau Kontrak/Surat Keterangan Hibah/Surat Pernyataan*) Nomor ............ (9) ......... , dengan data sebagai berikut: Nama :
............. (10) ............. NPWP :
............. (11) ............. Alamat :
............. (12) ............. Pihak yang dapat dihubungi :
............. (13) ............. diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor ... Tahun 2024, dinyatakan telah dilakukan pemutusan perjanjian/kontrak atau pembatalan hibah*). Sehubungan dengan hal tersebut di atas, kiranya terhadap Keputusan Menteri Keuangan Nomor .......... (14) .......... agar dapat dilakukan pencabutan, dan terhadap barang impor yang fasilitas pembebasannya telah dicabut tersebut akan diselesaikan kewajiban pabeannya oleh pihak ketiga atau pihak lain dengan cara diekspor/dimusnahkan/ melunasi bea masuk dan/atau pajak dalam rangka impor yang terutang/dibebaskan karena keadaan darurat ( force majeure )*). Sebagai kelengkapan laporan, bersama ini kami lampirkan:
rincian barang yang dilakukan pemutusan kontrak;
......... (15) .......... dst. Demikian kami sampaikan dengan sebenar-benarnya. Tembusan: Direktur Fasilitas Kepabeanan, DJBC *) dipilih yang sesuai Cap/Stempel KOP SURAT PEMOHON Lampiran Surat Nomor :
......... (1) .......... Tanggal :
......... (2) .......... RINCIAN BARANG YANG DILAKUKAN PEMUTUSAN PERJANJIAN/KONTRAK ATAU PEMBATALAN HIBAH*) NO URAIAN BARAN G JUMLA H & SATUAN KEP PEMBERIAN PEMBEBASAN BM DAN FASILITAS PDRI KPUBC/KPPBC TEMPAT PEMASUKAN/PENGELUARA N BARANG PEMBERITAHUA N PABEAN NO TANGGA L NO URU T NO TANGGAL (18) (19) (20) (21) (22) (23) (24) (25) (26) Cap/Stempel PETUNJUK PENGISIAN Nomor (1) : diisi dengan nomor surat dari instansi yang menyampaikan pemberitahuan pemutusan kontrak. Nomor (2) : diisi tempat, tanggal, bulan, dan tahun surat pemberitahuan pemutusan kontrak. Nomor (3) : diisi dengan jumlah dokumen yang dilampirkan dalam pemberitahuan pemutusan kontrak. Nomor (4) : diisi Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai tempat pengajuan permohonan pembebasan bea masuk, beserta alamat. Nomor (5) : diisi nama instansi pemerintah pusat, pemerintah daerah, Pihak Ketiga, atau Pihak Lain yang menyampaikan pemberitahuan pemutusan perjanjian atau kontrak/pembatalan Hibah. Nomor (6) : diisi Nomor Pokok Wajib Pajak pihak tersebut pada Nomor (5). Nomor (7) : diisi alamat pihak tersebut pada Nomor (5). Nomor (8) : diisi nama, nomor telepon, dan/atau alamat email pejabat/ pegawai yang dapat dihubungi ( contact person ) dari pihak tersebut pada Nomor (5). Nomor (9) : diisi nomor Perjanjian atau kontrak /Surat Keterangan Hibah/Surat Pernyataan. Nomor (10) : diisi nama instansi pemerintah pusat, pemerintah daerah, Pihak Ketiga, atau Pihak Lain Nomor (11) : diisi Nomor Pokok Wajib Pajak pihak tersebut pada Nomor (10). Nomor (12) : diisi alamat pihak tersebut pada Nomor (10). Nomor (13) : diisi nama, nomor telepon, dan/atau alamat email pejabat/ pegawai yang dapat dihubungi ( contact person ) dari pihak tersebut pada Nomor (10). Nomor (14) : Diisi nomor Keputusan Menteri Keuangan terhadap barang yang dilakukan pemutusan perjanjian/kontrak atau pembatalan Hibah. Nomor (15) : diisi daftar jenis dokumen, nomor, dan tanggal dokumen yang perlu dicantumkan apabila diperlukan, misalnya berita acara pemutusan kontrak/surat pernyataan pembatalan hibah. Nomor (16) : diisi jabatan pimpinan instansi pemerintah pusat, pemerintah daerah, Pihak Ketiga, atau Pihak Lain yang menandatangani pemberitahuan pemutusan perjanjian/kontrak atau pembatalan Hibah. Nomor (17) : diisi nama pimpinan instansi pemerintah pusat, pemerintah daerah, Pihak Ketiga, atau Pihak Lain yang menandatangani pemberitahuan pemutusan perjanjian/kontrak atau pembatalan Hibah. Nomor (18) : diisi nomor urut. Nomor (19) : diisi uraian jenis barang secara lengkap meliputi jenis, merek, tipe, ukuran dan spesifikasi lainnya. Nomor (20) : diisi jumlah dan jenis satuan barang yang dipergunakan dalam nilai satuan barang. Nomor (21) : diisi nomor Keputusan Menteri mengenai Pemberian Pembebasan Bea Masuk dan Fasilitas PDRI atas Impor Barang oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang Ditujukan untuk Kepentingan Umum di Wilayah Ibu Kota Nusantara dan Daerah Mitra. Nomor (22) : diisi tanggal, bulan, dan tahun Keputusan Menteri mengenai Pemberian Pembebasan Bea Masuk dan Fasilitas PDRI atas Impor Barang oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang Ditujukan untuk Kepentingan Umum di Wilayah Ibu Kota Nusantara dan Daerah Mitra. Nomor (23) : diisi nomor urut barang pada Keputusan Menteri mengenai Pemberian Pembebasan Bea Masuk dan Fasilitas PDRI atas Impor Barang oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang Ditujukan untuk Kepentingan Umum di Wilayah Ibu Kota Nusantara dan Daerah Mitra. Nomor (24) : diisi nama Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai/Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai yang membawahi pelabuhan pemasukan atau tempat pengeluaran. Nomor (25) : diisi nomor pemberitahuan pabean impor dari barang impor yang tercantum dalam Keputusan Menteri mengenai pemberian pembebasan bea masuk dan fasilitas PDRI. Nomor (26) : diisi tanggal, bulan dan tahun pemberitahuan pabean impor dari barang impor yang tercantum dalam Keputusan Menteri mengenai pemberian pembebasan bea masuk dan fasilitas PDRI. TTT. CONTOH FORMAT BERITA ACARA PEMUSNAHAN BERITA ACARA PEMUSNAHAN Pada hari ini ..... (1) ..... tanggal ..... (2) ..... bulan ..... (3) ..... tahun ..... (4) ..... , kami yang bertandatangan di bawah ini sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor ..... Tahun 2024: A. Perwakilan Instansi Penerima Fasilitas 1. Nama :
..…………… (5)...…………..
NIP :
..…………… (6)...…………..
Unit Kerja :
..…………… (7)...…………..
Jabatan :
..…………… (8)...………….. B. Perwakilan Kementerian Keuangan 1. Nama :
..…………… (9)...…………..
NIP :
..…………… (10)...…………..
Unit Kerja :
..…………… (11)...…………..
Jabatan :
..…………… (12)...………….. C. Perwakilan Pihak Ketiga atau Pihak Lain 1. Nama :
..…………… (13)...…………..
Nomor Identitas :
..…………… (14)...…………..
Nama Entitas :
..…………… (15)...…………..
Jabatan :
..…………… (16)...………….. telah menyaksikan/melakukan pemusnahan terhadap barang pengadaan/Hibah*) dengan Pihak Ketiga atau Pihak Lain yang telah dilakukan pemutusan perjanjian atau kontrak pengadaan/pembatalan Hibah*) dengan penjelasan sebagai berikut:
pemusnahan dilakukan di ..... (17) ..... mulai pukul ..... (18) ..... 2. barang-barang yang dimusnahkan terdiri dari: No Jenis Barang Jumlah Satuan Pemberitahuan Pabean Nomor Tanggal 1.
Dst.
foto pemusnahan terlampir, yang berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor ..... (19) ..... telah dilakukan pencabutan terhadap Pembebasan Bea Masuk dan Fasilitas PDRI atas Impor Barang oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang Ditujukan untuk Kepentingan Umum di Wilayah Ibu Kota Nusantara dan Daerah Mitra, untuk diselesaikan kewajiban pabeannya dengan cara dimusnahkan menggunakan metode dihancurkan/dibakar/diledakkan/lainnya ..... (20) ..... ) Demikian Berita Acara ini dibuat dengan sebenarnya dan ditandatangani Bersama. Perwakilan Penerima Fasilitas Perwakilan Kementerian Keuangan (............... (5) ............. ) ( ............ (9) ........... ) Perwakilan Pihak Ketiga/Pihak Lain ( .............. (13) .............. ) ) Coret yang tidak perlu PETUNJUK PENGISIAN Nomor (1) : diisi hari saat pelaksanaan pemusnahan. Nomor (2) : diisi tanggal saat pelaksanaan pemusnahan. Nomor (3) : diisi bulan saat pelaksanaan pemusnahan. Nomor (4) : diisi tahun saat pelaksanaan pemusnahan. Nomor (5) : diisi nama Pejabat atau Pegawai instansi penerima fasilitas yang menyaksikan/melakukan pemusnahan. Nomor (6) : diisi Nomor Induk Pegawai (NIP) Pejabat atau Pegawai instansi penerima fasilitas yang menyaksikan pemusnahan. Nomor (7) : diisi nama unit kerja Pejabat atau Pegawai instansi penerima fasilitas yang menyaksikan pemusnahan. Nomor (8) : diisi nama jabatan Pejabat atau Pegawai instansi penerima fasilitas yang menyaksikan pemusnahan. Nomor (9) : diisi nama Pejabat atau Pegawai Bea dan Cukai yang mewakili Kementerian Keuangan untuk menyaksikan pemusnahan. Nomor (10) : diisi Nomor Induk Pegawai (NIP) Pejabat Bea dan Cukai yang mewakili Kementerian Keuangan untuk menyaksikan pemusnahan. Nomor (11) : diisi nama unit kerja Pejabat Bea dan Cukai yang mewakili Kementerian Keuangan untuk menyaksikan pemusnahan. Nomor (12) : diisi nama jabatan Pejabat Bea dan Cukai yang mewakili Kementerian Keuangan untuk menyaksikan pemusnahan. Nomor (13) : diisi nama perwakilan pihak ketiga atau Pihak Lain yang menyaksikan/ melakukan pemusnahan. Nomor (14) : diisi nomor identitas perwakilan pihak ketiga atau Pihak Lain yang menyaksikan/ melakukan pemusnahan. Nomor (15) : diisi nama entitas pihak ketiga atau Pihak Lain yang menyaksikan/melakukan pemusnahan. Nomor (16) : diisi jabatan perwakilan pihak ketiga atau Pihak Lain yang menyaksikan/ melakukan pemusnahan. Nomor (17) : diisi nama tempat atau lokasi pelaksanaan pemusnahan. Nomor (18) : diisi waktu mulai sampai dengan selesai pelaksanaan pemusnahan. Nomor (19) : diisi nomor Keputusan Menteri Keuangan mengenai pencabutan fasilitas Pembebasan Bea Masuk dan Fasilitas PDRI atas Impor Barang oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang Ditujukan untuk Kepentingan Umum di Wilayah Ibu Kota Nusantara dan Daerah Mitra. Nomor (20) : diisi metode pemusnahan lainnya (jika ada). UUU. DAFTAR INDUSTRI YANG MENGHASILKAN JASA YANG DAPAT MEMPEROLEH PEMBEBASAN BEA MASUK NO. INDUSTRI JASA 1. Pariwisata dan Ekonomi Kreatif 2. Pendidikan dan Kebudayaan 3. Transportasi untuk Publik 4. Pelayanan Kesehatan Publik 5. Penelitian dan Pengembangan 6. Konstruksi 7. Industri Telekomunikasi 8. Kepelabuhan 9. Keuangan VVV. FORMAT KEPUTUSAN MENTERI MENGENAI PEMBEBASAN BEA MASUK DAN/ATAU FASILITAS PDRI ATAS IMPOR BARANG UNTUK PEMBANGUNAN DAN PENGEMBANGAN INDUSTRI DI IBU KOTA NUSANTARA DAN DAERAH MITRA MENTERI KEUANGAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR...…….(1).......... TENTANG PEMBEBASAN BEA MASUK DAN/ATAU FASILITAS PDRI ATAS IMPOR BARANG MODAL/BARANG DAN BAHAN ^) UNTUK PEMBANGUNAN/PENGEMBANGAN ^) INDUSTRI...…….(2).......... DI IBU KOTA NUSANTARA/DAERAH MITRA ^*) MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,