Tata Cara Pemberian dan Pelaksanaan Penjaminan Pemerintah serta Penanggungan Risiko dalam rangka Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penye ...
Relevan terhadap
Dalam rangka memberikan dukungan terhadap pengembangan pembangkit listrik yang memanfaatkan sumber Energi Terbarukan dan pelaksanaan transisi energi sektor ketenagalistrikan disediakan Penjaminan Pemerintah dan Penanggungan Risiko.
Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
Penjaminan Pemerintah atas Risiko Gagal Bayar PT PLN (Persero) terhadap PPL berdasarkan PJBL yang memanfaatkan Energi Terbarukan; dan
Penjaminan Pemerintah atas Risiko Gagal Bayar:
BUMN terhadap Pemberi Pembiayaan atau pemegang Obligasi/Sukuk dalam rangka: a) pengembangan pembangkit listrik yang memanfaatkan sumber Energi Terbarukan; b) pengembangan jaringan transmisi Tenaga Listrik yang berasal dari pembangkit listrik yang memanfaatkan sumber Energi Terbarukan; dan/atau c) pengembangan jaringan distribusi Tenaga Listrik yang berasal dari pembangkit listrik yang memanfaatkan sumber Energi Terbarukan; atau
Manajer Platform terhadap Pemberi Dana Transisi Energi atau pemegang Obligasi/Sukuk dalam rangka Pendanaan Transisi Energi.
Penanggungan Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
Penanggungan Risiko dalam rangka pelaksanaan Dukungan Eksplorasi;
Penanggungan Risiko dalam rangka pelaksanaan Pembiayaan Eksplorasi; dan
penjaminan atas Penanggungan Risiko.
Penjaminan Pemerintah atas Risiko Gagal Bayar BUMN atau Manajer Platform sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b, diberikan terhadap:
Pinjaman yang diberikan oleh Pemberi Pembiayaan kepada BUMN dalam rangka:
melaksanakan pengembangan pembangkit listrik yang memanfaatkan sumber Energi Terbarukan;
melaksanakan pengembangan jaringan transmisi Tenaga Listrik yang berasal dari pembangkit listrik yang memanfaatkan sumber Energi Terbarukan; dan/atau
melaksanakan pengembangan jaringan distribusi Tenaga Listrik yang berasal dari pembangkit listrik yang memanfaatkan sumber Energi Terbarukan; dan/atau
Pendanaan Transisi Energi yang diberikan oleh Pemberi Dana Transisi Energi kepada Manajer Platform yang akan diteruspinjamkan kepada Badan Usaha dalam rangka melaksanakan transisi energi sektor ketenagalistrikan.
Transisi energi sektor ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
percepatan pengakhiran waktu operasi PLTU milik PT PLN (Persero);
percepatan pengakhiran kontrak PJBL PLTU yang dilaksanakan oleh Badan Usaha; dan/atau
pengembangan pembangkit listrik yang memanfaatkan sumber Energi Terbarukan sebagai pengganti dari:
proyek PLTU yang jangka waktu operasinya diakhiri lebih cepat sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan/atau
proyek PLTU yang jangka waktu kontrak PJBL- nya diakhiri lebih cepat sebagaimana dimaksud pada huruf b.
Pengembangan pembangkit listrik yang memanfaatkan sumber Energi Terbarukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dapat mencakup:
proyek pengembangan pembangkit listrik yang memanfaatkan sumber Energi Terbarukan yang dilakukan secara bersamaan sebagai bagian dari:
proyek PLTU yang jangka waktu operasinya diakhiri lebih cepat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a; dan/atau
proyek PLTU yang jangka waktu kontrak PJBL- nya diakhiri lebih cepat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b;
proyek pengembangan pembangkit listrik yang memanfaatkan sumber Energi Terbarukan yang dilakukan terpisah dengan:
proyek PLTU yang jangka waktu operasinya diakhiri lebih cepat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a; dan/atau
proyek PLTU yang jangka waktu kontrak PJBL- nya diakhiri lebih cepat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b; dan/atau
proyek pengembangan jaringan transmisi dan/atau distribusi Tenaga Listrik sebagai bagian dari proyek pengembangan pembangkit listrik yang memanfaatkan sumber Energi Terbarukan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan/atau huruf b.
Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Pemberi Pembiayaan atau Pemberi Dana Transisi Energi untuk menjamin Risiko Gagal Bayar BUMN atau Manajer Platform selaku Terjamin.
Risiko Gagal Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri atas:
pokok Pinjaman;
bunga, imbal hasil, atau bentuk pembayaran lainnya yang sejenis; dan/atau
biaya lainnya yang timbul, sehubungan dengan Perjanjian Pembiayaan atau Perjanjian Kerja Sama Pendanaan Transisi Energi. Paragraf 2 Penjaminan Pemerintah atas Risiko Gagal Bayar BUMN atau Manajer Platform terhadap Pemegang Obligasi/Sukuk
Penjaminan Pemerintah atas Risiko Gagal Bayar BUMN atau Manajer Platform sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b, diberikan untuk penerbitan Obligasi/Sukuk oleh BUMN atau Manajer Platform yang dilakukan melalui:
penawaran umum berdasarkan Perjanjian Perwaliamanatan; atau
tanpa penawaran umum berdasarkan Perjanjian Penerbitan dan Penunjukan Agen Pemantau.
Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan terhadap Obligasi/Sukuk yang memenuhi ketentuan sebagai berikut:
Obligasi/Sukuk yang diterbitkan oleh BUMN dalam rangka:
melaksanakan pengembangan pembangkit listrik yang memanfaatkan sumber Energi Terbarukan;
melaksanakan pengembangan jaringan transmisi Tenaga Listrik yang berasal dari pembangkit listrik yang memanfaatkan sumber Energi Terbarukan; dan/atau
melaksanakan pengembangan jaringan distribusi Tenaga Listrik yang berasal dari pembangkit listrik yang memanfaatkan sumber Energi Terbarukan; dan/atau
Obligasi/Sukuk yang diterbitkan oleh Manajer Platform yang akan diteruspinjamkan kepada Badan Usaha dalam rangka melaksanakan transisi energi sektor ketenagalistrikan.
Transisi energi sektor ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi:
percepatan pengakhiran waktu operasi PLTU milik PT PLN (Persero);
percepatan pengakhiran kontrak PJBL PLTU yang dilaksanakan oleh Badan Usaha; dan/atau
pengembangan pembangkit listrik yang memanfaatkan sumber Energi Terbarukan sebagai pengganti dari:
proyek PLTU yang jangka waktu operasinya diakhiri lebih cepat sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan/atau
proyek PLTU yang jangka waktu kontrak PJBL- nya diakhiri lebih cepat sebagaimana dimaksud pada huruf b.
Pengembangan pembangkit listrik yang memanfaatkan sumber Energi Terbarukan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dapat mencakup:
proyek pengembangan pembangkit listrik yang memanfaatkan sumber Energi Terbarukan yang dilakukan secara bersamaan sebagai bagian dari:
proyek PLTU yang jangka waktu operasinya diakhiri lebih cepat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a; dan/atau
proyek PLTU yang jangka waktu kontrak PJBL- nya diakhiri lebih cepat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b;
proyek pengembangan pembangkit listrik yang memanfaatkan sumber Energi Terbarukan yang dilakukan terpisah dengan:
proyek PLTU yang jangka waktu operasinya diakhiri lebih cepat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a; dan/atau
proyek PLTU yang jangka waktu kontrak PJBL- nya diakhiri lebih cepat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b; dan/atau
proyek pengembangan jaringan Tenaga Listrik sebagai bagian dari proyek pengembangan pembangkit listrik yang memanfaatkan sumber Energi Terbarukan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan/atau huruf b.
Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada pemegang Obligasi/Sukuk untuk menjamin Risiko Gagal Bayar BUMN atau Manajer Platform selaku Terjamin.
Risiko Gagal Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (5) terdiri atas:
pokok Obligasi/Sukuk;
bunga, imbal hasil, atau bentuk pembayaran lainnya yang sejenis dari Obligasi/Sukuk; dan/atau
biaya atas keterlambatan pembayaran pokok dan bunga, imbal hasil, atau bentuk pembayaran lainnya yang sejenis.
Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan kepada pemegang Obligasi/Sukuk melalui Wali Amanat.
Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan kepada pemegang Obligasi/Sukuk melalui Agen Pemantau.
Harmonisasi Peraturan Perpajakan
Relevan terhadap
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "belum menemukan data dan/atau informasi mengenai harta" adalah Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan pemeriksaan dalam rangka menghitung Pajak Penghasilan terkait data dan/atau informasi mengenai harta tersebut. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Cukup ^jelas. Ayat (5) Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Yang dimaksud "kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam" merupakan kegiatan pengolahan bahan baku sumber daya alam menjadi barang setengah jadi atau barang jadi yang menambah nilai bahan baku sumber daya alam tersebut. Contohnya: pengolahan bijih emas menjadi emas murni. Yang dimaksud "sektor energi terbarukan" merupakan sektor energi yang dihasilkan dari bahan-bahan yang dapat terus diperbarui. Contohnya: sektor energi tenaga surya. Surat berharga negara meliputi surat utang negara dan surat berharga syariah negara. Ayat (8) Cukup ^jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) Cukup jelas.
Wajib Pajak orang pribadi dapat mengungkapkan harta bersih yang:
diperoleh sejak tanggal 1 Januari 2016 sampai dengan tanggal 31 Desember 2O2O;
masih dimiliki pada tanggal 31 Desember 2O2O; dan
belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi Tahun Pajak 2O2O, kepada Direktur Jenderal Pajak. (21 Harta bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan nilai harta dikurangi nilai utang. (3) Harta bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap sebagai tambahan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi pada Tahun Pajak 2O2O. (4) Wajib Pajak orang pribadi yang dapat mengungkapkan harta bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan:
tidak sedang dilakukan pemeriksaan, untuk Tahun Pajak 2016, Tahun Pajak 2017, Tahun Pajak 2OI8, Tahun Pajak 2019, dan/atau Tahun Pajak 2O2O;
tidak b. tidak sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan, untuk Tahun Pajak 2016, Tahun Pajak 2017, Tahun Pajak 2018, Tahun Pajak 2019, dan/atau Tahun Pajak 2O2O;
tidak sedang dilakukan penyidikan atas tindak pidana di bidang perpajakan;
tidak sedang berada dalam proses peradilan atas tindak pidana di bidang perpajakan; dan/atau
tidak sedang menjalani hukuman pidana atas tindak pidana di bidang perpajakan. Pasal 9 (1) Tambahan penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final. (21 Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak. (3) Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan sebesar:
l2o/o (d: ua belas persen) atas harta bersih yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan ketentuan diinvestasikan ^pada:
kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau
surat berharga negara;
l4yo (empat belas persen) atas harta bersih yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak diinvestasikan pada:
kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau
surat berharga negara;
12% c. l2o/o (dua belas persen) atas harta bersih yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan ketentuan:
dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
diinvestasikanpada: a) kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau b) surat berharga negara;
l4o/o (empat belas persen) atas harta bersih yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan ketentuan:
dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
tidak diinvestasikan pada: a) kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau b) surat berharga negara; atau
18% (delapan belas persen) atas harta bersih yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 14) ^Dasar ^pengenaan ^pajak ^sebagaimana ^dimaksud ^pada ayat (21 yakni sebesar jumlah harta bersih yang belum atau kurang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi Tahun Pajak 2O2O. (5) Nilai harta yang dijadikan pedoman untuk menghitung besarnya jumlah harta bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditentukan berdasarkan:
nilai nominal, untuk harta berupa kas atau setara kas; atau Pasal 10 (1) WEib Pajak orang pribadi mengungkapkan harta bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) melalui surat pemberitahuan pengungkapan harta dan disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak sejak tanggal 1 Januari 2022 sampai dengan tanggal 30 Juni 2022. (21 Wajib Pajak yang menyampaikan surat pemberitahuan pengungkapan harta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
membayar Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2O2O; dan
mencabut permohonan:
pengembalian kelebihan pembayaran pajak;
pengurangan atau penghapusan sanksi administratif;
pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar;
pengurangan atair pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar;
keberatan;
pembetulan;
banding;
gugatan; dan/atau
peninjauan kembali, dalam hal Wajib Pajak sedang mengajukan permohonan tersebut dan belum diterbitkan surat keputusan atau putusan. (3) Surat pemberitahuan pengungkapan harta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan:
bukti pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final;
daftar b. daftar rincian harta bersih beserta informasi kepemilikan harta yang dilaporkan;
daftar utang;
pernyataan mengalihkan harta bersih ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dalam hal Wajib Pajak bermaksud mengalihkan harta bersih yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf c dan huruf d;
pernyataan akan menginvestasikan harta bersih pada:
kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau
surat berharga negara, dalam hal Wajib Pajak bermaksud menginvestasikan harta bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf a dan huruf c; dan
pernyataan mencabut permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 huruf d, dalam hal Wajib Pajak sedang mengajukan permohonan tersebut dan belum diterbitkan surat keputusan atau putusan. (41 Pembetulan atas Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi Tahun Pajak 2016, Tahun Pajak 2017, Tahun Pajak 2018, Tahun Pajak 2019, dan/atau Tahun Pajak 2O2O yang disampaikan setelah Undang-Undang ini diundangkan, yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang menyampaikan surat pemberitahuan pengungkapan harta, dianggap tidak disampaikan. (5) Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi belum menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi Tahun Pajak 2O2O sampai dengan Undang-Undang ini diundangkan, berlaku ketentuan sebagai berikut:
Wajib Pajak orang pribadi wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi Tahun Pajak 2O2O yang mencerrninkan harta yang telah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi sebelum Tahun Pajak 2O2O yang disampaikan sebelum Undang-Undang ini diundangkan ditambah harta yang bersumber dari penghasilan pada Tahun Pajak 2O2O; dan
harta bersih yang dimiliki selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a, harus diungkapkan dalam surat pemberitahuan pengungkapan harta. (6) Direktur Jenderal Pajak memberikan surat keterangan terhadap penyampaian surat pemberitahuan pengungkapan harta oleh Wajib Pajak orang pribadi. (71 Dalam hal berdasarkan hasil penelitian diketahui terdapat ketidaksesuaian antara harta bersih yang diungkapkan dengan keadaan yang sebenarnya, Direktur Jenderal Pajak dapat membetulkan atau membatalkan surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6). (8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengungkapan harta bersih diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 1 1 (1) Terhadap Wajib Pajak orang pribadi yang telah memperoleh surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (6), berlaku ketentuan:
tidak diterbitkan ketetapan pajak atas kewajiban perpajakan untuk Tahun Pajak 2016, Tahun Pajak 2017, Tahun Pajak 2018, Tahun Pajak 2019, dan Tahun Pajak 2O2O, kecuali ditemukan data dan/atau informasi lain mengenai harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) yang belum atau kurang diungkapkan dalam surat pemberitahuan pengungkapan harta;
kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam huruf a meliputi Pajak Penghasilan orang pribadi, Pajak Penghasilan atas pemotongan dan/atau pemungutan, dan Pajak Pertambahan Nilai, kecuali atas pajak yang sudah dipotong atau dipungut tetapi tidak disetorkan; dan/atau
data .
data dan informasi yang bersumber dari surat pemberitahuan pengungkapan harta dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang ini tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, danf atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak. (21 Dalam hal Direktur Jenderal Pajak menemukan' data dan/atau informasi lain mengenai harta yang belum atau kurang diungkapkan sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) huruf a:
nilai harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan tersebut diperlakukan sebagai penghasilan yang bersifat final pada Tahun Pajak 2022; dan
terhadap penghasilan sebagaimana dimaksud dalam huruf a:
dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebesar 3O%o (tiga puluh persen); dan
dikenai sanksi administratif berupa bunga sesuai dengan ketentuan Pasal 13 ayat (21 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya, melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar oleh Direktur Jenderal Pajak. Pasal 12 (1) Wajib Pajak orang pribadi yang menyatakan mengalihkan harta bersih ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) huruf d wajib mengalihkan harta dimaksud paling lambat tanggal 30 September 2022. (21 wajib l2l ^Wajib Pajak orang pribadi yang ^menyatakan menginvestasikan harta bersih ^pada:
kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau
surat berharga negara, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) huruf ^e wajib menginvestasikan harta bersih dimaksud paling lambat tanggal 30 September 2023. (3) Investasi harta bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (21wajib dilakukan paling singkat 5 (lima) tahun sejak diinvestasikan. (4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (21, danlatau ayat (3) tidak dipenuhi oleh Wajib Pajak yang menyatakan mengalihkan dan/atau menginvestasikan harta bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf a, huruf b, huruf c, atau huruf d, atas bagian harta bersih yang tidak memenuhi ketentuan tersebut diperlakukan sebagai penghasilan yang bersifat final pada Tahun Pajak 2022 dan berlaku ketentuan:
terhadap penghasilan dimaksud dikenai tambahan Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebesar:
4,5o/o (empat koma lima persen) bagi Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf a;
4,5o/o (empat koma lima persen) bagi Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf c angka2;
8,5o/o (delapan koma lima persen) bagi Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf c; atau
6,50/o (enam koma lima persen) bagi Wajib Pajak Iffil-: if i: iff ^"; l: i'B"llx? EiTx'fi i"; angka 1, dalam hal Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar; atau
terhadap b. terhadap penghasilan dimaksud dikenai tambahan Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebesar:
3o/o (tiga persen) bagi Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf a;
3o/o (tiga persen) bagi Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf c angka 2;
7o/o (tujuh persen) bagi Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf c; atau
5% (lima persen) bagi Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf d angka 1, dalam hal Wajfb Pajak atas kehendak sendiri mengungkapkan penghasilan tersebut dan menyetorkan sendiri Pajak Penghasilan yang terutang. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai:
tata cara pengalihan harta bersih ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
investasi harta bersih pada kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
instrumen surat berharga negara yang digunakan untuk investasi, diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Pemberian Dukungan Fiskal melalui Kerangkan Pendanaan dan Pembiayaan dalam Rangka Percepatan Transisi Energi di Sektor Ketenagalistrikan ...
Relevan terhadap
Kerja Sama Pendanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dilakukan melalui Perjanjian Kerja Sama Pendanaan, serta pembuatan dan penandatanganan perjanjian turunannya atau dokumen turunannya:
yang merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari perjanjian atau kerja sama pembiayaan yang dilakukan Menteri dengan lembaga keuangan internasional/lembaga/badan lainnya tersebut; dan/atau b. yang dilakukan berdasarkan mekanisme yang berlaku pada Manajer Platform dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini.
Perjanjian Kerja Sama Pendanaan dapat pula memuat ketentuan mengenai:
bantuan teknis ( technical assistance ); dan/atau
bantuan dalam bentuk in-kind lainnya.
Penyediaan bantuan teknis ( technical assistance ) atau penyediaan bantuan dalam bentuk in-kind lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dimaksudkan untuk:
mendukung atau membantu penyiapan transaksi dalam rangka pengelolaan Platform Transisi Energi berdasarkan Peraturan Menteri ini, termasuk perancangan struktur transaksi pembiayaan kreatif/inovatif dalam rangka mengoptimalkan pengelolaan Platform Transisi Energi;
menyediakan sumber daya manusia, termasuk konsultan dan/atau tenaga ahli, untuk mendukung atau membantu dalam:
penelaahan dan/atau penyiapan terhadap proposal, permohonan, dan/atau dokumen, baik teknik, keuangan maupun hukum;
penyusunan pedoman dan kualifikasi yang perlu dibuat berdasarkan Peraturan Menteri ini;
penyusunan standar yang memenuhi ekspektasi internasional mengenai aspek investasi dan/atau pembiayaan proyek penyediaan infrastruktur sektor Ketenagalistrikan atau energi baru terbarukan lainnya, termasuk pemenuhan persyaratan di bidang lingkungan hidup, social dan tata kelola yang baik ( environmental, social and governance ) dan/atau pemenuhan kriteria dan/atau persyaratan sebagai proyek infrastruktur hijau; dan/atau
mendukung atau membantu pelaksanaan tugas Komite Pengarah; dan/atau
menyediakan bentuk dukungan lainnya dalam rangka pengelolaan Platform Transisi Energi. __
Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan untuk Kegiatan Usaha Pertambangan/Pengusahaan Panas Bumi pada Tahap Eksplorasi. ...
Relevan terhadap
bahwa dalam rangka meningkatkan produksi energi terbarukan untuk menjamin tersedianya pasokan energi yang berkelanjutan dan mendukung percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik 35.000 MW (tiga puluh lima ribu megawatt) dengan mengutamakan penggunaan energi baru dan terbarukan, perlu memberikan pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan untuk pertambangan/pengusahaan panas bumi pada tahap eksplorasi;
bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 19 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994, Menteri Keuangan diberikan kewenangan untuk dapat memberikan pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan yang terhutang karena sebab-sebab tertentu;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 19 ayat (2) Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1994, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan untuk Kegiatan Usaha Pertambangan/Pengusahaan Panas Bumi pada Tahap Eksplorasi;
Tata Cara Pelaksanaan Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak
Relevan terhadap
Tambahan penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.
Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak.
Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan sebesar:
12% (dua belas persen) atas Harta bersih yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan ketentuan diinvestasikan pada:
kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau 2. Surat Berharga Negara;
14% (empat belas persen) atas Harta bersih yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak diinvestasikan pada:
kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau 2. Surat Berharga Negara;
12% (dua belas persen) atas Harta bersih yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan ketentuan:
dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
diinvestasikan pada: a) kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau b) Surat Berharga Negara;
14% (empat belas persen) atas Harta bersih yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan ketentuan:
dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
tidak diinvestasikan pada: a) kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau b) Surat Berharga Negara; atau e. 18% (delapan belas persen) atas Harta bersih yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dasar pengenaan pajak untuk Harta yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi Tahun Pajak 2020 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung sebesar:
nilai nominal, untuk Harta berupa kas atau setara kas; atau
harga perolehan, untuk Harta selain kas atau setara kas.
Dalam hal harga perolehan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b tidak diketahui, Wajib Pajak dapat menggunakan nilai wajar yang menggambarkan kondisi dan keadaan pada tanggal 31 Desember 2020 dari aset yang sejenis atau setara berdasarkan penilaian Wajib Pajak.
Dalam hal nilai Harta sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menggunakan satuan mata uang selain Rupiah, nilai Harta ditentukan dalam mata uang Rupiah dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh Menteri untuk keperluan penghitungan pajak sesuai dengan tanggal pada akhir Tahun Pajak 2020.
Ketentuan penggunaan kurs yang ditetapkan oleh Menteri untuk keperluan penghitungan pajak sesuai dengan tanggal pada akhir Tahun Pajak 2020 sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berlaku juga untuk menghitung nilai Utang dalam hal nilai Utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) menggunakan satuan mata uang selain Rupiah.
Kurs sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) menggunakan kurs pada tanggal 31 Desember 2020 sesuai Keputusan Menteri Nomor 56/KM.10/2020 tentang Nilai Kurs Sebagai Dasar Pelunasan Bea Masuk, Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Bea Keluar, dan Pajak Penghasilan yang Berlaku untuk Tanggal 30 Desember 2020 sampai dengan 5 Januari 2021.
Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak.
Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar:
6% (enam persen) atas Harta bersih yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan ketentuan diinvestasikan pada:
kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau 2. Surat Berharga Negara;
8% (delapan persen) atas Harta bersih yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak diinvestasikan pada:
kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau 2. Surat Berharga Negara;
6% (enam persen) atas Harta bersih yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan ketentuan:
dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
diinvestasikan pada: a) kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau b) Surat Berharga Negara;
8% (delapan persen) atas Harta bersih yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan ketentuan:
dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
tidak diinvestasikan pada: a) kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau b) Surat Berharga Negara; atau e. 11% (sebelas persen) atas Harta bersih yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yakni sebesar jumlah Harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan.
Nilai Harta yang dijadikan pedoman untuk menghitung besarnya jumlah Harta bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditentukan berdasarkan:
nilai nominal, untuk Harta berupa kas atau setara kas;
nilai yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu Nilai Jual Objek Pajak, untuk tanah dan/atau bangunan dan nilai jual kendaraan bermotor, untuk kendaraan bermotor;
nilai yang dipublikasikan oleh PT Aneka Tambang Tbk., untuk emas dan perak;
nilai yang dipublikasikan oleh PT Bursa Efek Indonesia, untuk saham dan waran ( warrant ) yang diperjualbelikan di PT Bursa Efek Indonesia; dan/atau e. nilai yang dipublikasikan oleh PT Penilai Harga Efek Indonesia, untuk:
Surat Berharga Negara; dan
efek bersifat Utang dan/atau sukuk yang diterbitkan oleh perusahaan, sesuai kondisi dan keadaan Harta pada akhir Tahun Pajak Terakhir.
Dalam hal tidak terdapat nilai yang dapat dijadikan pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b sampai dengan huruf e, nilai Harta ditentukan berdasarkan nilai dari hasil penilaian kantor jasa penilai publik.
Dalam hal nilai Harta sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menggunakan satuan mata uang selain Rupiah, nilai Harta ditentukan dalam mata uang Rupiah dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh Menteri untuk keperluan penghitungan pajak sesuai dengan tanggal pada akhir Tahun Pajak Terakhir.
Ketentuan penggunaan kurs yang ditetapkan oleh Menteri untuk keperluan penghitungan pajak sesuai dengan tanggal pada akhir Tahun Pajak Terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berlaku juga untuk menghitung nilai Utang dalam hal nilai Utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) menggunakan satuan mata uang selain Rupiah.
Kurs yang digunakan untuk penghitungan pajak sesuai dengan tanggal pada akhir Tahun Pajak Terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) berlaku ketentuan:
untuk akhir Tahun Pajak pada tanggal 31 Desember 2015 menggunakan kurs sesuai Keputusan Menteri Nomor 61/KM.10/2015 tentang Nilai Kurs Sebagai Dasar Pelunasan Bea Masuk, Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Bea Keluar, dan Pajak Penghasilan yang Berlaku untuk Tanggal 30 Desember 2015 sampai dengan 5 Januari 2016; atau
untuk akhir Tahun Pajak pada tanggal 1 Januari 2015 sampai dengan 30 Desember 2015, menggunakan kurs sesuai dengan kurs yang ditetapkan oleh Menteri untuk keperluan penghitungan pajak sesuai dengan tanggal akhir tahun buku Wajib Pajak yang bersangkutan.
Wajib Pajak mengungkapkan Harta bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 5 ayat (1) dengan menyampaikan SPPH secara elektronik melalui laman Direktorat Jenderal Pajak.
Penyampaian SPPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan pada tanggal 1 Januari 2022 sampai dengan tanggal 30 Juni 2022.
Penyampaian SPPH sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan dalam jangka waktu 24 (dua puluh empat) jam sehari dan 7 (tujuh) hari seminggu dengan standar waktu Indonesia barat.
SPPH yang disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan:
NTPN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai bukti pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final;
daftar rincian Harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan/atau daftar rincian Harta bersih yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi Tahun Pajak 2020 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1);
daftar Utang;
pernyataan mengalihkan Harta bersih ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dalam hal Wajib Pajak bermaksud mengalihkan Harta bersih yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf c dan huruf d serta Pasal 6 ayat (3) huruf c dan huruf d;
pernyataan menginvestasikan Harta bersih pada:
kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau 2. Surat Berharga Negara, dalam hal Wajib Pajak bermaksud menginvestasikan Harta bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a dan huruf c serta Pasal 6 ayat (3) huruf a dan huruf c; dan
pernyataan mencabut permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf d dan daftar rincian permohonan yang dicabut, dalam hal Wajib Pajak sedang mengajukan permohonan tersebut dan belum diterbitkan surat keputusan atau putusan.
Pernyataan mencabut permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf f disamakan kedudukannya dengan surat permohonan pencabutan:
pengembalian kelebihan pembayaran pajak;
pengurangan atau penghapusan sanksi administratif;
pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar;
pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar;
keberatan; dan/atau
pembetulan, sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
Dalam hal upaya hukum yang dicabut sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf f merupakan permohonan banding, gugatan, dan/atau peninjauan kembali, Wajib Pajak harus melampiri SPPH dengan salinan surat permohonan pencabutan banding, gugatan, dan/atau peninjauan kembali kepada pengadilan pajak dan/atau Mahkamah Agung.
Atas penyampaian SPPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala KPP atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keterangan secara elektronik kepada Wajib Pajak paling lama 1 (satu) hari kerja sejak SPPH disampaikan.
Ketentuan mengenai format dokumen SPPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1), daftar rincian Harta bersih, daftar Utang, dan daftar rincian pencabutan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, huruf c, dan huruf f, serta Surat Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Insentif Pajak Untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019
Relevan terhadap
bahwa dengan belum berakhirnya pandemi Corona Virus Disease 2019 sebagaimana ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2021 tentang Penetapan Status Faktual Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di Indonesia yang mempunyai dampak pada berbagai aspek termasuk aspek ekonomi dan guna melakukan penanganan terhadap dampak pandemi Corona Virus Disease 2019 tersebut, masih diperlukan pemberian insentif perpajakan sehingga diperlukan perpanjangan jangka waktu pemberian insentif pajak dengan memperhatikan kapasitas fiskal untuk mendukung percepatan pemulihan ekonomi nasional;
bahwa pemberian insentif perpajakan harus diberikan secara selektif dengan prioritas kepada sektor tertentu yang membutuhkan dukungan pemulihan sehingga perlu dilakukan penyesuaian jenis dan kriteria penerima insentif;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 22 ayat (2) dan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019;
Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ...
Relevan terhadap
d. Klaster Pajak Karbon Materi muatan Pasal 13 UU HPP mengatur Pajak Karbon, suatu jenis pajak baru yang sebelumnya belum ada. Ketentuan pasal tersebut seluruhnya berbunyi: __ “Pasal 13 (1) Pajak karbon dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup. (2) Pengenaan pajak karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan: a. peta jalan pajak karbon; dan/atau b. peta jalan pasar karbon. (3) Peta jalan pajak karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a memuat: a. strategi penurunan emisi karbon; b. sasaran sektor prioritas; c. keselarasan dengan pembangunan energi baru dan terbarukan; dan/atau d. keselarasan antarberbagai kebijakan lainnya. (4) Kebijakan peta jalan pajak karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia . (5) Subjek pajak karbon yaitu orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon. (6) Pajak karbon terutang atas pembelian barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu pada periode tertentu. (7) Saat terutang pajak karbon ditentukan: a. pada saat pembelian barang yang mengandung karbon; b. pada akhir periode tahun kalender dari aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu; atau c. saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. (8) Tarif pajak karbon ditetapkan lebih tinggi atau sama dengan harga karbon di pasar karbon per kilogram karbon dioksida ekuivalen (COze) atau satuan yang setara. (9) Dalam hal harga karbon di pasar karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (8) lebih rendah dari Rp30,00 (tiga puluh rupiah) per kilogram karbon dioksida ekuivalen (COze) atau satuan yang setara, tarif pajak karbon ditetapkan sebesar paling rendah Rp30,00 (tiga puluh rupiah) per kilogram karbon dioksida ekuivalen (COze) atau satuan yang setara. (10) Ketentuan mengenai: a. penetapan tarif pajak karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (8); b. perubahan tarif pajak karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (9); dan/atau
Pemberian Fasilitas Perpajakan dan Kepabeanan untuk Kegiatan Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan.
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
Pajak Penghasilan yang selanjutnya disingkat dengan PPh adalah Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
Pajak Pertambahan Nilai yang selanjutnya disingkat dengan PPN adalah Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.
Bea Masuk adalah pungutan negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2006 yang dikenakan terhadap barang yang diimpor.
Sumber Energi Terbarukan adalah sumber energi yang dihasilkan dari sumber daya energi yang berkelanjutan jika dikelola dengan baik, antara lain panas bumi, angin, bioenergi, sinar matahari, aliran dan terjunan air, serta gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut.
Energi Terbarukan adalah energi yang berasal dari Sumber Energi Terbarukan.
Tata Cara Pembayaran Kembali (Reimbursement) Pajak Pertambahan Nilai atas Perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak Kepada Pengusaha Panas ...
Relevan terhadap
Berdasarkan penelitian Direktorat Jenderal Anggaran c.q. Direktorat Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan dalam hal Pengusaha sebagai pemungut Pajak Pertambahan Nilai, Pembayaran Kembali ( Reimbursement ) Pajak Pertambahan Nilai dapat disetujui dengan ketentuan:
Jawaban konfirmasi pelaporan Faktur Pajak dan Surat Setoran Pajak (SSP) dari Direktorat Jenderal Pajak c.q. Direktorat Teknologi Informasi Perpajakan menyatakan “Ada”;
Jawaban konfirmasi keterkaitan perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan kegiatan usaha panas bumi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral c.q. Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi menyatakan “Ya”; dan
Surat Permohonan Pembayaran Kembali ( Reimbursement ) Pajak Pertambahan Nilai telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan lampiran surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) telah lengkap . (2) Berdasarkan penelitian Direktorat Jenderal Anggaran c.q. Direktorat Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan dalam hal Pengusaha tidak sebagai pemungut Pajak Pertambahan Nilai, Pembayaran Kembali ( Reimbursement ) Pajak Pertambahan Nilai dapat disetujui dengan ketentuan:
Jawaban konfirmasi pelaporan Faktur Pajak dari Direktorat Jenderal Pajak c.q. Direktorat Teknologi Informasi Perpajakan menyatakan “Ada”;
Jawaban konfirmasi keterkaitan perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan kegiatan usaha panas bumi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral c.q. Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi menyatakan “Ya”; dan
Surat Permohonan Pembayaran Kembali ( Reimbursement ) Pajak Pertambahan Nilai telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan lampiran surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) telah lengkap . (3) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) tidak terpenuhi, permohonan Pembayaran Kembali ( Reimbursement ) Pajak Pertambahan Nilai ditolak dan Direktorat Jenderal Anggaran mengembalikan faktur pajak dan Surat Setoran Pajak (SSP) serta dokumen pendukung kepada Pengusaha.
Atas penjelasan tertulis dari Direktorat Jenderal Pajak c.q. Direktorat Teknologi Informasi Perpajakan dan/atau Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi dalam hal terhadap permohonan Pembayaran Kembali ( Reimbursement ) Pajak Pertambahan Nilai belum dapat diberikan jawaban konfirmasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (6), Direktorat Jenderal Anggaran c.q. Direktorat Penerimaan Negara Bukan Pajak mengembalikan faktur pajak dan Surat Setoran Pajak (SSP) serta dokumen pendukung kepada Pengusaha.
Atas faktur pajak, Surat Setoran Pajak (SSP), dan dokumen pendukung yang dikembalikan oleh Direktorat Jenderal Anggaran c.q. Direktorat Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Pengusaha dapat mengajukan kembali Permohonan Pembayaran Kembali ( Reimbursement ) Pajak Pertambahan Nilai.
Pengujian UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah terhadap UUD Negara RI Tahun 1945 ...
Relevan terhadap
Sepertinya Pemerintah melupakan fakta-fakta “kemanusiaan” yang ada, kerusakan dan ketegangan warga Kabupaten Bandung pada saat gempa-gempa yang telah terjadi sebelumnya. Sepertinya Pemerintah menutup mata bahwa gempa itu sendiri bahkan telah merusak fasilitas publik Pemerintah itu sendiri (jembatan dan jalan yang roboh/longsor), bahkan merusak ruang kantor PLTP itu sendiri: III.4. NORMA TERKAIT LAINNYA Dasar: Referensi Pendapat Mahkamah pada Putusan Mahkamah Konstitusi RI Sudah banyak referensi pertimbangan konstitusional pada Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang terkait dengan tema Perimbangan Keuangan Daerah dan Hak Daerah Penghasil Pada Pengelolaan Sumber Daya Alam, serta perkara terkait lainnya tentang substansi materiil pada Permohonan a quo , antara lain pada: 1. Perkara Nomor 11/PUU-XIV/2016 (Risalah Sidang Putusan terlampir sebagai BUKTI P-4 ). Pertimbangan substantif yang dapat di tangkap oleh para Pemohon: • [4.3] “Permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum.” . Kesimpulan : Pemerintah Provinsi tidak memiliki lagi kewenangan dalam pengelolaan Panas Bumi untuk energi listrik (pemanfaatan tidak langsung). • [3.12.3] “ ... pemerintah tengah berupaya keras menjamin ketahanan energi nasional yang pada masa yang akan datang sangat bergantung pada kemampuan memanfaatkan keberadaan energi baru terbarukan, termasuk panas bumi. ” Bahwa disatu sisi peningkatan produksi sebagai wujud dari upaya pemerintah untuk menjamin ketahanan energi nasional, sementara disisi lain peningkatan produksi tersebut pasti diiringi upaya ekspansif yang pasti berujung dengan peningkatan dampak negatif terhadap perubahan/gerakan di perut bumi daerah penghasil baik pada perpektif dampak eksisting hari ini, setahun-5-10-50-100-200 hingga 1000 tahun kedepan.