Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan
Relevan terhadap 9 lainnya
Yang dimaksud dengan "lembaga pendidikan lainnya yang setara" adalah lembaga penyelenggara pendidikan yang memperoleh pengakuan dari kementerian, lembaga, atau otoritas pembina dan pengawas sektor keuangan. Pasal 265 Ayat (1) Peta jalan yang disusun mencakup strategi penguatan dan pengembangan sumber daya manusia sektor keuangan dalam jangka pendek, jangka menengah, dan/atau jangka panjang. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Penyusunan Peraturan Pemerintah dikoordinasikan oleh Kementerian Keuangan dengan melibatkan di antaranya Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan.
Dalam hal PUSK menggunakan jasa Pelaku Profesi Sektor Keuangan, PUSK wajib menggunakan jasa Pelaku Profesi Sektor Keuangan yang telah memperoleh izin dan/ a tau persetujuan pendaftaran dari kementerian atau otoritas yang berwenang. Paragraf 5 Peningkatan Kualitas dan Kuantitas Profesi Sektor Keuangan Dalam Negeri
Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Komite Stabilitas Sistem Keuangan dibantu oleh sekretariat Komite Stabilitas Sistem Keuangan yang dipimpin oleh sekretaris Komite Stabilitas Sistem Keuangan.
Sekretaris Komite Stabilitas Sistem Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pejabat eselon I Kementerian Keuangan.
Organisasi dan tata kerja sekretariat Komite Stabilitas Sistem Keuangan ditetapkan oleh Menteri Keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas dan wewenang Komite Stabilitas Sistem Keuangan, sekretariat Komite Stabilitas Sistem Keuangan melakukan analisis, riset, dan/ a tau asesmen Stabilitas Sistem Keuangan.
Dalam melakukan analisis, riset, dan/atau asesmen Stabilitas Sistem Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), sekretariat Komite Stabilitas Sistem Keuangan:
menggunakan data dan informasi dari sarana pertukaran informasi secara terin tegrasi sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan; dan
mendapatkan akses atas data dan informasi yang tersedia di masing-masing lembaga anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan dan/atau yang berasal dari forum koordinasi antarlembaga anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan.
Sekretariat Komite Stabilitas Sistem Keuangan dapat menyelenggarakan rapat yang dihadiri oleh pejabat Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan untuk mempersiapkan pelaksanaan rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan.
Anggaran sekretariat Komite Stabilitas Sistem Keuangan bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Di antara Pasal 8 dan Pasal 9 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 8A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Bersifat Volatil yang Berlaku pada Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal ...
Tata Cara Pemberian dan Pelaksanaan Penjaminan Pemerintah serta Penanggungan Risiko dalam rangka Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penye ...
Relevan terhadap 4 lainnya
Dalam rangka penugasan BUPI atas Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Menteri memberikan dukungan sesuai dengan kewenangannya dalam:
meningkatkan kredibilitas penjaminan BUPI;
menjaga kecukupan modal BUPI; dan/atau
memastikan penyelesaian piutang Regres dari Terjamin sesuai dengan Perjanjian Penyelesaian Regres.
Dalam rangka menjaga kecukupan modal BUPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Menteri dapat memberikan penyertaan modal negara.
Pemberian dukungan terhadap penugasan BUPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BUPI melakukan koordinasi secara berkesinambungan dengan Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko untuk efektivitas pelaksanaan penugasan dan perencanaan atas langkah-langkah pemberian dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
Dalam hal kelengkapan dokumen persyaratan telah terpenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3), Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko menyampaikan permintaan tertulis kepada BUPI untuk melakukan evaluasi atas permohonan Penjaminan Pemerintah.
Evaluasi atas permohonan Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan melakukan pemeriksaan terhadap:
kelayakan teknis, kelayakan ekonomi, kelayakan keuangan, serta kelayakan aspek lingkungan dan sosial dari proyek; dan
besaran kebutuhan pembiayaan, peruntukan pembiayaan, serta kemampuan pemenuhan kewajiban finansial.
Dalam hal pembiayaan yang dimohonkan untuk dijamin berasal dari lembaga keuangan selain Lembaga Keuangan Internasional, evaluasi terhadap permohonan Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dilakukan dengan memeriksa tingkat kewajaran ketentuan dan persyaratan pembiayaan.
Dalam rangka memeriksa tingkat kewajaran ketentuan dan persyaratan pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), BUPI dapat:
menggunakan harga acuan Pinjaman yang ditetapkan oleh Menteri melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko untuk menilai tingkat kewajaran ketentuan dan persyaratan pembiayaan yang terkait harga ( pricing ) pembiayaan; dan
menggunakan Pinjaman Pemerintah dan/atau Pinjaman BUMN yang mendapatkan Penjaminan Pemerintah sebagai pembanding untuk menilai tingkat kewajaran ketentuan dan persyaratan pembiayaan selain harga ( pricing ) pembiayaan.
Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan dengan mempertimbangkan Batas Maksimal Penjaminan dan kapasitas penjaminan BUPI.
Dalam melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), BUPI dapat:
melibatkan Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara dan unit terkait lainnya di lingkungan Kementerian Keuangan;
melakukan koordinasi dengan pihak lainnya;
meminta BUMN atau Manajer Platform selaku pemohon Penjaminan Pemerintah untuk melakukan perubahan atas dokumen permohonan Penjaminan Pemerintah dan/atau lampirannya; dan/atau
meminta BUMN atau Manajer Platform selaku pemohon Penjaminan Pemerintah untuk memberikan keterangan atau penjelasan sehubungan dengan permohonan Penjaminan Pemerintah.
Hasil evaluasi atas permohonan Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dituangkan dalam berita acara evaluasi.
Hasil evaluasi atas permohonan Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) disampaikan BUPI kepada Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko.
Evaluasi permohonan Penjaminan Pemerintah diselesaikan dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari kalender sejak:
pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) disampaikan kepada BUMN atau Manajer Platform selaku pemohon Penjaminan Pemerintah; atau
diterimanya kembali perubahan atas dokumen tersebut oleh BUPI dalam hal terdapat permintaan perubahan atas dokumen permohonan Penjaminan Pemerintah dan/atau lampirannya sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf c.
Berdasarkan hasil evaluasi permohonan Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko menyampaikan:
rekomendasi kepada Menteri untuk menerbitkan:
persetujuan prinsip atas pembiayaan yang berasal dari Lembaga Keuangan Internasional; atau
persetujuan ketentuan dan persyaratan atas pembiayaan yang berasal dari lembaga selain Lembaga Keuangan Internasional, dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) telah terpenuhi; atau
surat kepada BUMN atau Manajer Platform selaku pemohon Penjaminan Pemerintah yang menyatakan Penjaminan Pemerintah belum dapat diberikan dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) belum terpenuhi. Paragraf 4 Rekomendasi Penjaminan Pemerintah
BUMN atau Manajer Platform selaku pemohon Penjaminan Pemerintah atas pembiayaan yang berasal dari selain Lembaga Keuangan Internasional, menyampaikan permohonan penerbitan atau penandatanganan Dokumen Penjaminan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dan ditembuskan kepada BUPI.
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan dengan melampirkan:
Perjanjian Pembiayaan atau Perjanjian Kerja Sama Pendanaan Transisi Energi yang telah ditandatangani; dan
Dokumen Rencana Mitigasi Risiko.
Dokumen Rencana Mitigasi Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b disertai dengan lampiran surat pernyataan yang ditandatangani oleh wakil yang sah dari Terjamin mengenai kesanggupan Terjamin untuk:
melakukan pemantauan bersama dengan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dan BUPI terhadap Risiko Gagal Bayar Terjamin; dan
menandatangani Perjanjian Penyelesaian Regres dan membayar utang Regres kepada Menteri dan/atau BUPI sesuai dengan Perjanjian Penyelesaian Regres apabila terjadi Regres.
Berdasarkan permohonan penerbitan atau penandatanganan Dokumen Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko melakukan penelaahan atas Perjanjian Pembiayaan atau Perjanjian Kerja Sama Pendanaan Transisi Energi yang telah ditandatangani bersama dengan BUPI.
Dalam melakukan penelaahan Perjanjian Pembiayaan atau Perjanjian Kerja Sama Pendanaan Transisi Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dapat berkoordinasi dengan unit terkait lainnya di lingkungan Kementerian Keuangan.
Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko melakukan penelaahan Perjanjian Pembiayaan atau Perjanjian Kerja Sama Pendanaan Transisi Energi untuk melihat kesesuaian antara ketentuan dan persyaratan Perjanjian Pembiayaan yang telah ditandatangani dengan persetujuan ketentuan dan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf b.
Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Pribadi ...
Relevan terhadap
Penghasilan yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), tidak termasuk:
pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa;
penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang dikecualikan sebagai objek pajak penghasilan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak penghasilan;
iuran terkait program pensiun dan hari tua yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri atau telah mendapatkan izin dari Otoritas Jasa Keuangan, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, atau badan penyelenggara tunjangan hari tua yang pendiriannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, yang dibayar oleh pemberi kerja;
bantuan, sumbangan, zakat, infak, sedekah, dan sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia yang diterima oleh orang pribadi yang berhak, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha atau pekerjaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;
harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha atau pekerjaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;
beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf l Undang-Undang Pajak Penghasilan;
bagian laba yang diberikan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham; dan
pajak penghasilan yang ditanggung oleh pemerintah.
(Rp) September 22.500.000 9% 2.025.000 Oktober 22.500.000 9% 2.025.000 November 22.500.000 9% 2.025.000 Desember 22.500.000 Jumlah 90.000.000 6.075.000 Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 pada Masa Pajak Terakhir Dalam hal Tuan D tidak menyerahkan bukti pemotongan dari PT W ke PT AB: Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang pada bulan Desember 2024: Penghasilan bruto setahun Rp 90.000.000,00 Pengurangan:
Biaya jabatan 5% X Rp90.000.000,00 (maksimal 4 X Rp500.000,00) Rp 2.000.000,00 2. Iuran pensiun 4 X Rp 100.000,00 Rp 400.000,00 Rp 2.400.000,00 Penghasilan neto setahun Rp 87.600.000,00 Penghasilan Tidak Kena Pajak setahun - untuk wajib pajak sendiri Rp 54.000.000,00 Penghasilan kena pajak setahun Rp 33.600.000,00 Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang setahun 5% X Rp 33.600.000,00 Rp 1.680.000,00 Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong bulan September sampai dengan November 2024 Rp 6.075.000,00 Pajak Penghasilan Pasal 21 yang lebih dipotong (Rp 4.395.000,00) Catatan:
Kelebihan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 tersebut dikembalikan oleh PT AB kepada Tuan D beserta dengan pemberian bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Masa Pajak terakhir, paling lambat akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak Terakhir, yaitu akhir bulan Januari 2025.
Tuan D melaporkan seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh, baik yang berasal dari PT W maupun PT AB, dalam Surat Pemberitahuan Tahunan untuk Tahun Pajak 2024 dan melakukan penghitungan Pajak Penghasilan terutang atas seluruh penghasilan dimaksud.
Pajak Penghasilan Pasal 21 yang telah dipotong oleh PT W untuk Masa Pajak Januari sampai dengan Agustus 2024 sebesar Rp6.180.000,00 (enam juta seratus delapan puluh ribu rupiah) dan oleh PT AB untuk Masa Pajak September sampai dengan Desember 2024 sebesar Rp1.680.000,00 (satu juta enam ratus delapan puluh ribu rupiah) merupakan kredit pajak dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Tahun Pajak 2024 Tuan D. Dengan demikian, total kredit Pajak Penghasilan Pasal 21 dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Tahun Pajak 2024 Tuan D adalah sebesar Rp7.860.000,00 (tujuh juta delapan ratus enam puluh ribu rupiah). Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 pada Masa Pajak Terakhir Dalam hal Tuan D menyerahkan bukti pemotongan dari PT W kepada PT AB: Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang pada bulan Desember 2024: Penghasilan bruto setahun Rp 90.000.000,00 Pengurangan:
Biaya jabatan sebulan 5% X Rp90.000.000,00 (maksimal 4 X Rp500.000,00) Rp 2.000.000,00 2. Iuran pensiun 4 X Rp 100.000,00 Rp 400.000,00 Rp 2.400.000,00 Penghasilan neto bulan September s.d. Desember 2024 di PT AB Rp 87.600.000,00 Penghasilan neto bulan Januari s.d. Agustus 2024 di PT W Rp 135.200.000,00 Penghasilan neto bulan Januari s.d. bulan Desember 2024 Rp 222.800.000,00 Penghasilan Tidak Kena Pajak setahun - untuk wajib pajak sendiri Rp 54.000.000,00 Penghasilan kena pajak setahun Rp 168.800.000,00 Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang setahun 5% X Rp 60.000.000,00 Rp 3.000.000,00 15% X Rp 108.800.000,00 Rp 16.320.000,00 Rp 19.320.000,00 Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong bulan Januari s.d. Agustus 2024 di PT W Rp 6.180.000,00 PPh Pasal 21 terutang bulan September s.d. Desember 2024 Rp 13.140.000,00 Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong bulan September s.d. November 2024 di PT AB Rp 6.075.000,00 Pajak Penghasilan Pasal 21 yang wajib dipotong pada bulan Desember 2024 Rp 7.065.000,00 Catatan:
PT AB dapat memperhitungkan penghasilan yang diterima atau diperoleh dari pemberi kerja sebelumnya yaitu PT W, dalam hal Tuan D menunjukkan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Masa Pajak Terakhir dari PT W kepada PT AB.
Tuan D melaporkan seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh, baik yang berasal dari PT W maupun PT AB, dalam Surat Pemberitahuan Tahunan untuk Tahun Pajak 2024 dan melakukan penghitungan Pajak Penghasilan terutang atas seluruh penghasilan dimaksud.
Pajak Penghasilan Pasal 21 yang telah dipotong oleh PT W untuk Masa Pajak Januari sampai dengan Agustus 2024 sebesar Rp6.180.000,00 (enam juta seratus delapan puluh ribu rupiah) dan oleh PT AB untuk Masa Pajak September sampai dengan Desember 2024 sebesar Rp13.140.000,00 (tiga belas juta seratus empat puluh ribu rupiah) merupakan kredit pajak dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Tahun Pajak 2024 Tuan D. Dengan demikian, total kredit Pajak Penghasilan Pasal 21 dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Tahun Pajak 2024 Tuan D adalah sebesar Rp19.320.000,00 (sembilan belas juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah). I.2.2.3. Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Pegawai Tetap yang Berhenti Bekerja pada Tahun Berjalan dan Sekaligus Kehilangan Kewajiban Pajak Subjektif Tuan E mulai bekerja di PT V sejak tahun 2020. Tuan E berstatus tidak menikah dan tidak memiliki tanggungan. Pada tanggal 1 September 2024, Tuan E berhenti bekerja dan meninggalkan Indonesia untuk kembali ke negara asalnya. Selama tahun 2024, Tuan E menerima atau memperoleh gaji sebesar Rp17.500.000,00 (tujuh belas juta lima ratus ribu rupiah) per bulan. Berdasarkan status Penghasilan Tidak Kena Pajak Tuan E (TK/0), maka besarnya pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Tuan E dihitung berdasarkan tarif efektif bulanan kategori A sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai Tarif Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Wajib Pajak Orang Pribadi. Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Tuan E sebagai berikut: Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 pada Setiap Masa Pajak selain Masa Pajak Terakhir Bulan Penghasilan Bruto (Rp) Tarif Efektif Bulanan Kategori A Pajak Penghasila n Pasal 21 (Rp) Januari 17.500.000 8% 1.400.000 Februari 17.500.000 8% 1.400.000 Maret 17.500.000 8% 1.400.000 April 17.500.000 8% 1.400.000 Mei 17.500.000 8% 1.400.000 Juni 17.500.000 8% 1.400.000 Juli 17.500.000 8% 1.400.000 Agustus 17.500.000 Jumlah 140.000.000 9.800.000 Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 pada Masa Pajak Terakhir Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong pada bulan Agustus 2024: Penghasilan bruto sampai dengan bulan Agustus 2024 Rp 140.000.000,00 Pengurangan: Biaya jabatan 5% X Rp140.000.000,00 (maksimal 8 x Rp500.000,00) Rp 4.000.000,00 Penghasilan neto sampai dengan bulan Agustus 2024 Rp 136.000.000,00 Penghasilan neto disetahunkan 12/8 X Rp 136.000.000,00 Rp 204.000.000,00 Penghasilan Tidak Kena Pajak setahun - untuk wajib pajak sendiri Rp 54.000.000,00 Penghasilan kena pajak setahun Rp 150.000.000,00 Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang 5% X Rp 60.000.000,00 Rp 3.000.000,00 15% X Rp 90.000.000,00 Rp 13.500.000,00 Rp 16.500.000,00 Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang sampai dengan bulan Agustus 2024 8/12 X Rp 16.500.000,00 Rp 11.000.000,00 Pajak Penghasilan Pasal 21 yang telah dipotong sampai dengan bulan Juli 2024 Rp 9.800.000,00 Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong pada bulan Agustus 2024 Rp 1.200.000,00 Catatan:
Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang dilakukan berdasarkan penghasilan neto yang disetahunkan dan pajaknya dihitung secara proporsional terhadap jumlah bulan dalam bagian Tahun Pajak yang bersangkutan karena kewajiban pajak subjektif Tuan E berakhir sebelum bulan Desember.
Pajak Penghasilan Pasal 21 yang telah dipotong oleh PT V untuk Masa Pajak Januari sampai dengan Agustus 2024 sebesar Rp11.000.000,00 (sebelas juta rupiah) merupakan kredit pajak dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Tahun Pajak 2024 Tuan E. I. 3. Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Pegawai Tetap yang Menerima atau Memperoleh Penghasilan yang Sebagian atau Seluruhnya Diterima atau Diperoleh dalam Mata Uang Asing Tuan F bekerja sebagai Pegawai Tetap pada PT U. Pada bulan Januari 2024, Tuan F menerima atau memperoleh gaji sebesar US$2.000 (dua ribu dolar Amerika Serikat) per bulan. Kurs Menteri Keuangan yang berlaku pada saat dilakukannya pembayaran adalah sebesar Rp15.000,00 (lima belas ribu rupiah) per US$1. Tuan F berstatus menikah dan memiliki 3 (tiga) orang anak. Jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh Tuan F pada Januari 2024 adalah sebesar US$2.000 x Rp15.000,00 = Rp30.000.000,00. Berdasarkan status Penghasilan Tidak Kena Pajak (K/3) dan jumlah penghasilan bruto sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah), besarnya Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Tuan F pada bulan Januari 2024 dihitung berdasarkan tarif efektif bulanan kategori C sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai Tarif Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Wajib Pajak Orang Pribadi, yaitu dengan tarif sebesar 11% (sebelas persen). Besarnya pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Tuan F pada bulan Januari 2024 adalah sebesar 11% x Rp30.000.000,00= Rp3.300.000,00. I. 4. Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Pegawai Tetap yang Menerima atau Memperoleh Penghasilan yang Seluruh atau Sebagian Pajak Penghasilan Pasal 21 Terutang Ditanggung oleh Pemberi Kerja Tuan G bekerja sebagai Pegawai Tetap pada PT T. Tuan G berstatus tidak menikah dan tidak memiliki tanggungan. Pada bulan Agustus 2024, Tuan G menerima gaji sebesar Rp51.827.997,00 (lima puluh satu juta delapan ratus dua puluh tujuh ribu sembilan ratus sembilan puluh tujuh rupiah). Kebijakan perusahaan pada PT T adalah menanggung Pajak Penghasilan Pasal 21 seluruh karyawannya. Pajak Penghasilan Pasal 21 atas gaji Tuan G yang ditanggung oleh PT T merupakan penggantian dalam bentuk kenikmatan bagi Tuan G dalam Masa Pajak yang bersangkutan dan merupakan objek pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21. Dalam hal besarnya penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh Tuan G pada Masa Pajak bersangkutan dihitung secara full gross up, penghasilan bruto Tuan G yang menjadi dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 sebesar Rp65.605.059,00 (enam puluh lima juta enam ratus lima ribu lima puluh sembilan rupiah). Berdasarkan status Penghasilan Tidak Kena Pajak (TK/0), besarnya Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Tuan G pada bulan Agustus 2024, dihitung berdasarkan tarif efektif bulanan kategori A sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai Tarif Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Wajib Pajak Orang Pribadi, yaitu dengan tarif sebesar 21% (dua puluh satu persen). Besarnya pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan Tuan G pada bulan Agustus 2024 adalah sebesar 21% x Rp65.605.059,00 = Rp13.777.062,00 I. 5. Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Pegawai Tetap yang Menerima atau Memperoleh Tunjangan Pajak Tuan H bekerja sebagai Pegawai Tetap pada PT S. Tuan H berstatus menikah dan memiliki 2 (dua) orang anak. Pada bulan Juli 2024, Tuan H menerima atau memperoleh gaji sebesar Rp6.500.000,00 (enam juta lima ratus ribu rupiah) dan tunjangan pajak sebesar Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) serta membayar iuran pensiun melalui PT S sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah). Tunjangan pajak yang diberikan kepada Pegawai merupakan bagian dari penghasilan bagi Pegawai yang bersangkutan, sedangkan iuran pensiun tidak diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan bruto karena dasar pengenaan dan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yaitu penghasilan bruto. Dengan demikian, jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh Tuan H pada bulan Juli 2024 adalah: Gaji sebulan Rp 6.500.000,00 Tunjangan pajak Rp 300.000,00 Penghasilan bruto sebulan Rp 6.800.000,00 Berdasarkan status Penghasilan Tidak Kena Pajak (K/2) dan jumlah penghasilan bruto sebulan sebesar Rp6.800.000,00 (enam juta delapan ratus ribu rupiah), besarnya Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Tuan H pada bulan Juli 2024 dihitung berdasarkan tarif efektif bulanan kategori B sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai Tarif Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Wajib Pajak Orang Pribadi, yaitu dengan tarif sebesar 0,5% (nol koma lima persen). Besarnya pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Tuan H pada bulan Juli 2024 adalah sebesar 0,5% x Rp6.800.000,00 = Rp34.000,00. I. 6. Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan dalam Bentuk Natura dan/atau Kenikmatan yang Diterima atau Diperoleh Pegawai. Tuan I merupakan warga negara Inggris dengan status menikah dan memiliki 1 (satu) orang anak. Tuan I mulai bekerja sebagai Pegawai Tetap pada PT R sejak bulan Juni 2023. Selama Tahun 2024, Tuan I menerima atau memperoleh gaji sebesar Rp35.000.000,00 (tiga puluh lima juta rupiah) per bulan. Pada bulan Januari 2024, Tuan I menerima atau memperoleh beasiswa dari PT R untuk menempuh jenjang pendidikan Doktoral di Universitas O di Indonesia dengan nilai beasiswa sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah). Beasiswa yang diterima oleh Tuan I dari PT R tidak memenuhi persyaratan untuk dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai Perlakuan Pajak Penghasilan atas Beasiswa yang Memenuhi Persyaratan Tertentu dan Sisa Lebih yang Diterima atau Diperoleh Badan atau Lembaga Nirlaba yang Bergerak dalam Bidang Pendidikan dan/atau Bidang Penelitian dan Pengembangan. Beasiswa tersebut merupakan imbalan dalam bentuk kenikmatan yang merupakan objek pajak penghasilan bagi Tuan I dan dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21. Jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh Tuan I pada bulan Januari 2024 sebagai berikut: Gaji Rp 35.000.000,00 Beasiswa Rp 20.000.000,00 Penghasilan bruto sebulan Rp 55.000.000,00 Berdasarkan status Penghasilan Tidak Kena Pajak (K/1) dan jumlah penghasilan bruto sebulan sebesar Rp55.000.000,00 (lima puluh lima juta rupiah), besarnya Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Tuan I pada bulan Januari 2024, dihitung berdasarkan tarif efektif bulanan kategori B sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai Tarif Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Wajib Pajak Orang Pribadi, yaitu dengan tarif sebesar 19% (sembilan belas persen). Besarnya pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Tuan I pada bulan Januari 2024 adalah sebesar 19% x Rp55.500.000,00 = Rp10.545.000,00. II. PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG PENSIUN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH SECARA BERKALA Tuan J mulai bekerja sebagai Pegawai Tetap pada PT Q sejak tahun 2011. Tuan J berstatus menikah dan memiliki 2 (dua) orang anak. Pada tanggal 1 Januari 2024, Tuan J memasuki masa pensiun dan menerima atau memperoleh uang pensiun dari Dana Pensiun sebesar Rp6.300.000,00 (enam juta tiga ratus ribu rupiah) per bulan. Berdasarkan status Penghasilan Tidak Kena Pajak Tuan J (K/2), besarnya pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Tuan J dihitung berdasarkan tarif efektif bulanan kategori B sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai Tarif Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Wajib Pajak Orang Pribadi, sebesar 0,25% (nol koma dua lima persen). Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang atas uang pensiun selama tahun 2024 sebagai berikut: Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 pada setiap Masa Pajak Selain Masa Pajak Terakhir Bulan Uang Pensiun (Rp) Tarif Efektif Bulanan Kategori B Pajak Penghasilan
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2024. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 29 Desember 2023 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. SRI MULYANI INDRAWATI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Desember 2023 DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. ASEP N. MULYANA LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 168 TAHUN 2023 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMOTONGAN PAJAK ATAS PENGHASILAN SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA, ATAU KEGIATAN ORANG PRIBADI FORMAT SURAT PERNYATAAN DAFTAR PEMBERI KERJA DAN KESEDIAAN MEMPERHITUNGKAN SELURUH PENGHASILAN DALAM MENGHITUNG PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 BAGI PEJABAT NEGARA, PNS, ANGGOTA TNI, ANGGOTA POLRI, DAN PENSIUNANNYA, PETUNJUK UMUM DAN CONTOH PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA, ATAU KEGIATAN ORANG PRIBADI, TERMASUK PEJABAT NEGARA, PNS, ANGGOTA TNI, ANGGOTA POLRI, DAN PENSIUNANNYA A. CONTOH FORMAT SURAT PERNYATAAN DAFTAR PEMBERI KERJA DAN KESEDIAAN MEMPERHITUNGKAN SELURUH PENGHASILAN DALAM MENGHITUNG PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 BAGI PEJABAT NEGARA, PNS, ANGGOTA TNI, ANGGOTA POLRI, DAN PENSIUNANNYA SURAT PERNYATAAN DAFTAR PEMBERI KERJA DAN KESEDIAAN MEMPERHITUNGKAN SELURUH PENGHASILAN DALAM MENGHITUNG PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 BAGI PEJABAT NEGARA, PNS, ANGGOTA TNI, ANGGOTA POLRI, DAN PENSIUNANNYA Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama :
..………………………….……..…………. ^(1) NPWP/NIK :
..……………………………………………. ^(2) Dalam hal ini bertindak atas nama diri pribadi yang selanjutnya disebut Pihak Pertama (Pegawai).
Nama :
..………………………….……..…………. ^(3) NPWP/NIK :
..……………………………………………. ^(4) Jabatan : Bendahara ^ Dalam hal ini bertindak atas nama (……..………… ^(5) ) NPWP (……….…….. ^(6) ) ID Subunit Organisasi (……..………… ^(7) ) yang selanjutnya disebut Pihak Kedua (pemberi kerja). PASAL 1 Pihak Pertama menyatakan bahwa dirinya bekerja pada 2 (dua) pemberi kerja sebagai berikut:
Nama :
..…………………………………………….. ^(8) NPWP :
..…………………………………………….. ^(9) ID Subunit Organisasi :
..…………………………………………….. ^(10) 2. Nama :
..…………………………………………….. ^(5) NPWP :
..…………………………………………….. ^(6) ID Subunit Organisasi :
..…………………………………………….. ^(7) PASAL 2 Pihak Kedua bersedia memperhitungkan penghasilan dari (…………………. ^(8) ) dalam menghitung pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) Peraturan Menteri Keuangan Nomor... Tahun... tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun…Nomor…). Menyetujui, Bendahara ............................................. ^(12) ..............., ........................... ^(11) Pembuat Pernyataan, Wajib Pajak ............................................ ^(13) PETUNJUK PENGISIAN FORMAT SURAT PERNYATAAN DAFTAR PEMBERI KERJA DAN KESEDIAAN MEMPERHITUNGKAN PENGHASILAN DARI PEMBERI KERJA YANG LAIN DALAM MENGHITUNG PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 BAGI PEJABAT NEGARA, PNS, ANGGOTA TNI, ANGGOTA POLRI, DAN PENSIUNANNYA Nomor (1) : Diisi nama Wajib Pajak. Nomor (2) : Diisi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau Nomor Induk Kependudukan (NIK) Wajib Pajak, sesuai ketentuan yang berlaku di bidang perpajakan. Nomor (3) : Diisi nama Bendahara dari Instansi Pemerintah selain yang membayar gaji pokok. Nomor (4) : Diisi dengan NPWP atau NIK Bendahara, sesuai ketentuan yang berlaku di bidang perpajakan. Nomor (5) : Diisi nama Instansi Pemerintah selain yang membayar gaji pokok. Nomor (6) : Diisi NPWP Instansi Pemerintah selain yang membayar gaji pokok. Nomor (7) : Diisi Nomor Identitas Subunit Organisasi selain yang membayar gaji pokok (jika ada). Nomor (8) : Diisi nama Instansi Pemerintah yang membayar gaji pokok Nomor (9) : Diisi NPWP Instansi Pemerintah yang membayar gaji pokok. Nomor (10) : Diisi Nomor Identitas Subunit Organisasi yang membayar gaji pokok (jika ada). Nomor (11) : Diisi kota tempat, tanggal, bulan, dan tahun Surat Pernyataan dibuat. Nomor (12) : Diisi tanda tangan dan nama lengkap Bendahara dari Instansi Pemerintah selain yang membayar gaji pokok. Nomor (13) : Diisi tanda tangan dan nama lengkap Wajib Pajak. B. PETUNJUK UMUM DAN CONTOH PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA, ATAU KEGIATAN ORANG PRIBADI BAGIAN PERTAMA: PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA, ATAU KEGIATAN I. PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 UNTUK PEGAWAI TETAP DAN PENSIUNAN Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 untuk Pegawai Tetap dan Pensiunan yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21, dibedakan sebagai berikut:
Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh setiap Masa Pajak selain Masa Pajak Terakhir.
Penghitungan kembali Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau bagian Tahun Pajak yang digunakan sebagai dasar pengisian bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 pada Masa Pajak Terakhir. Penghitungan kembali ini dilakukan pada:
bulan di mana Pegawai Tetap berhenti bekerja atau pensiun;
bulan di mana Pensiunan berhenti menerima atau memperoleh uang terkait pensiun;
bulan Desember untuk Pegawai Tetap yang bekerja sampai dengan akhir Tahun Pajak dan untuk Pensiunan yang menerima atau memperoleh uang terkait pensiun sampai dengan akhir Tahun Pajak. I. 1. Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 Terutang pada Setiap Masa Pajak selain Masa Pajak Terakhir 1. Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang pada setiap Masa Pajak selain Masa Pajak Terakhir dihitung dengan menggunakan tarif efektif bulanan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai Tarif Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Wajib Pajak Orang Pribadi dikalikan dengan jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh Pegawai Tetap dan Pensiunan dalam 1 (satu) Masa Pajak.
Jumlah penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada angka 1 sebagai berikut:
untuk Pegawai Tetap yaitu jumlah bruto seluruh penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a yang diterima atau diperoleh dari pemberi kerja dalam 1 (satu) Masa Pajak; dan
untuk Pensiunan yaitu jumlah bruto seluruh penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b yang diterima atau diperoleh dari pembayar uang terkait pensiun berkala dalam 1 (satu) Masa Pajak. I. 2. Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 Terutang Pada Masa Pajak Terakhir 1. Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang pada Masa Pajak Terakhir dihitung berdasarkan jumlah Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau bagian Tahun Pajak dikurangi dengan jumlah Pajak Penghasilan Pasal 21 yang telah dipotong pada setiap Masa Pajak selain Masa Pajak Terakhir.
Jumlah Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau bagian Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 1 dihitung dengan menggunakan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan dikalikan dengan jumlah penghasilan kena pajak.
Jumlah penghasilan kena pajak sebagai dasar penerapan tarif, sebagaimana dimaksud pada angka 2, dibulatkan ke bawah hingga ribuan rupiah penuh.
Jumlah penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud pada angka 2 dihitung berdasarkan jumlah penghasilan neto dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau bagian Tahun Pajak dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
Jumlah penghasilan neto sebagaimana dimaksud pada angka 4 sebagai berikut:
untuk Pegawai Tetap, yaitu jumlah bruto seluruh penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a yang diterima atau diperoleh dari pemberi kerja dikurangi dengan biaya jabatan, iuran terkait program pensiun dan hari tua, dan zakat atau sumbangan keagamaan yang bersifat wajib yang dibayarkan melalui pemberi kerja kepada badan amil zakat, lembaga amil zakat, dan lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, dalam Tahun Pajak bersangkutan; dan
untuk Pensiunan, yaitu jumlah bruto seluruh penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b yang diterima atau diperoleh dari pembayar uang pensiun berkala dikurangi dengan biaya pensiun dan zakat atau sumbangan keagamaan yang bersifat wajib yang dibayarkan melalui pembayar uang pensiun berkala kepada badan amil zakat, lembaga amil zakat, dan lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, dalam Tahun Pajak bersangkutan.
Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang berdasarkan saat dimulai atau berakhirnya kewajiban pajak subjektif:
untuk Pegawai Tetap yang kewajiban pajak subjektifnya sudah ada sejak awal tahun, tetapi mulai bekerja setelah bulan Januari atau berhenti bekerja sebelum bulan Desember, Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang dihitung berdasarkan jumlah seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai Tetap, baik yang bersifat teratur maupun tidak teratur, selama yang bersangkutan bekerja pada pemberi kerja;
untuk Pensiunan yang kewajiban pajak subjektifnya sudah ada sejak awal tahun, tetapi mulai menerima atau memperoleh uang terkait pensiun setelah bulan Januari atau berhenti menerima atau memperoleh uang terkait pensiun sebelum bulan Desember, Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang dihitung berdasarkan jumlah seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh Pensiunan secara teratur selama yang bersangkutan menerima atau memperoleh uang terkait pensiun dari pembayar uang pensiun berkala; dan
untuk Pegawai Tetap atau Pensiunan yang kewajiban pajak subjektifnya baru dimulai setelah bulan Januari atau berakhir sebelum bulan Desember, Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang dihitung berdasarkan penghasilan neto yang disetahunkan dan pajaknya dihitung secara proporsional terhadap jumlah bulan dalam bagian Tahun Pajak yang bersangkutan.
Dalam hal jumlah Pajak Penghasilan Pasal 21 yang telah dipotong pada Masa Pajak selain Masa Pajak Terakhir lebih besar daripada jumlah Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang dalam Tahun Pajak bersangkutan, kelebihan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 tersebut wajib dikembalikan oleh Pemotong Pajak kepada Pegawai Tetap dan Pensiunan beserta dengan pemberian bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21, paling lambat akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak Terakhir.
Tidak termasuk kelebihan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada angka 7 yaitu Pajak Penghasilan Pasal 21 yang ditanggung pemerintah. II. PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 UNTUK ANGGOTA DEWAN KOMISARIS ATAU DEWAN PENGAWAS YANG MENERIMA ATAU MEMPEROLEH PENGHASILAN SECARA TIDAK TERATUR Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang dihitung dengan menggunakan tarif efektif bulanan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai Tarif Pemotongan dan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Wajib Pajak Orang Pribadi dikalikan dengan jumlah bruto penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c yang diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan pengawas dalam 1 (satu) Masa Pajak. __ III. PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 UNTUK PEGAWAI TIDAK TETAP Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang untuk Pegawai Tidak Tetap dibedakan sebagai berikut:
Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh tidak secara bulanan dengan jumlah penghasilan bruto sehari atau rata-rata jumlah penghasilan bruto sehari:
sampai dengan Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah); atau b. lebih dari Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah).
Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh secara bulanan. III.1. Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 untuk Pegawai Tidak Tetap atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Tidak Secara Bulanan 1. Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai Tidak Tetap, yang tidak diterima atau diperoleh secara bulanan dihitung berdasarkan:
tarif efektif harian sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai Tarif Pemotongan dan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Wajib Pajak Orang Pribadi; atau
tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Penggunaan tarif sebagaimana dimaksud pada angka 1, ditentukan berdasarkan:
jumlah penghasilan bruto Pegawai Tidak Tetap sehari, dalam hal penghasilan diterima atau diperoleh harian; atau
rata-rata jumlah penghasilan bruto Pegawai Tidak Tetap sehari, dalam hal penghasilan diterima atau diperoleh selain harian.
Jumlah penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada angka 2 merupakan jumlah bruto seluruh penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf d yang diterima atau diperoleh Pegawai Tidak Tetap.
Penentuan rata-rata jumlah penghasilan bruto sehari sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf b, didasarkan atas jumlah keseluruhan penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh Pegawai Tidak Tetap dibagi dengan jumlah hari Pegawai Tidak Tetap bersangkutan bekerja.
Dalam hal jumlah penghasilan bruto sehari atau rata-rata jumlah penghasilan bruto sehari sebagaimana dimaksud pada angka 2:
sampai dengan Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) sehari, besarnya Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang dihitung dengan menggunakan tarif efektif harian dikalikan dengan jumlah penghasilan bruto sehari atau rata-rata jumlah penghasilan bruto sehari; atau
lebih dari Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) sehari, besarnya Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang dihitung dengan menggunakan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang- Undang Pajak Penghasilan dikalikan dengan 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto sehari atau rata-rata jumlah penghasilan bruto sehari. III.2. Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 untuk Pegawai Tidak Tetap atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Secara Bulanan Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang dihitung dengan menggunakan tarif efektif bulanan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai Tarif Pemotongan dan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Wajib Pajak Orang Pribadi, dikalikan dengan jumlah bruto penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf d yang diterima atau diperoleh Pegawai Tidak Tetap dalam Masa Pajak bersangkutan. IV. PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 UNTUK BUKAN PEGAWAI 1. Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang dihitung dengan menggunakan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan dikalikan dengan 50% (lima puluh persen) dari jumlah bruto penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf e yang diterima atau diperoleh Bukan Pegawai dalam 1 (satu) Masa Pajak atau pada saat terutangnya penghasilan.
Jumlah penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada angka 1 sebagai berikut:
untuk jasa katering, yaitu seluruh jumlah penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Bukan Pegawai dari Pemotong Pajak;
untuk jasa dokter yang melakukan praktik di rumah sakit dan/atau klinik, yaitu sebesar jasa dokter yang dibayar oleh pasien melalui rumah sakit dan/atau klinik sebelum dipotong biaya-biaya atau bagi hasil oleh rumah sakit dan/atau klinik;
untuk jasa selain jasa sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, yaitu seluruh jumlah penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Bukan Pegawai dari Pemotong Pajak, tidak termasuk:
pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang diterima atau diperoleh tenaga kerja yang dipekerjakan oleh Bukan Pegawai, sepanjang dapat dibuktikan dengan kontrak kerja dan daftar pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pemberian lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan;
pembayaran pengadaan atau pembelian atas barang atau material, yang diterima atau diperoleh penyedia barang atau material dari Bukan Pegawai, yang terkait dengan jasa yang diberikan oleh Bukan Pegawai, sepanjang dapat dibuktikan dengan faktur pembelian atas pengadaan/pembelian barang atau material; dan/atau
pembayaran yang diterima atau diperoleh pihak ketiga dari Bukan Pegawai atas jasa yang diberikan oleh pihak ketiga tersebut, sepanjang dapat dibuktikan dengan faktur tagihan dari pihak ketiga disertai dengan perjanjian tertulis, termasuk bukti pemberian penghasilan kepada pihak ketiga, berdasarkan kontrak atau perjanjian dengan Pemotong Pajak.
Dalam hal berdasarkan kontrak/perjanjian, pembayaran-pembayaran sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf c angka 1) sampai dengan angka 3) tidak dapat dipisahkan, maka besarnya penghasilan bruto atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Bukan Pegawai tersebut sebesar jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh Bukan Pegawai dari Pemotong Pajak. V. PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 UNTUK PESERTA KEGIATAN 1. Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang dihitung dengan menggunakan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan dikalikan dengan jumlah bruto penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf f yang diterima atau diperoleh Peserta Kegiatan dalam 1 (satu) Masa Pajak atau pada saat terutangnya penghasilan.
Dalam hal Peserta Kegiatan merupakan Pegawai Tetap dari pemberi penghasilan, maka pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan yang diterima sebagai Peserta Kegiatan tersebut digabungkan dengan penghasilan sebagai Pegawai Tetap dalam Masa Pajak diterima atau diperolehnya penghasilan tersebut sebagaimana Petunjuk Umum I (Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 untuk Pegawai Tetap). VI. PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 UNTUK PESERTA PROGRAM PENSIUN YANG MASIH BERSTATUS SEBAGAI PEGAWAI YANG MENARIK UANG MANFAAT PENSIUN ATAU PENGHASILAN SEJENISNYA Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang dihitung dengan menggunakan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan dikalikan dengan jumlah bruto penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf g yang diterima atau diperoleh peserta program pensiun yang masih berstatus sebagai Pegawai dalam 1 (satu) Masa Pajak. VII. PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 UNTUK MANTAN PEGAWAI YANG MENERIMA ATAU MEMPEROLEH JASA PRODUKSI, TANTIEM, GRATIFIKASI, BONUS, ATAU IMBALAN LAIN YANG BERSIFAT TIDAK TERATUR Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang dihitung dengan menggunakan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan dikalikan dengan jumlah bruto penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf h yang diterima atau diperoleh Mantan Pegawai dalam 1 (satu) Masa Pajak. VIII. PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA, ATAU KEGIATAN UNTUK WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI LUAR NEGERI 1. Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan terutang dihitung dengan menggunakan tarif Pajak Penghasilan Pasal 26 sebesar 20% yang bersifat final atau sesuai dengan ketentuan persetujuan penghindaran pajak berganda yang berlaku antara Republik Indonesia dan negara atau yurisdiksi domisili wajib pajak luar negeri tersebut dikalikan dengan jumlah bruto penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi luar negeri, yang dapat digabungkan untuk 1 (satu) Masa Pajak.
Penerapan ketentuan persetujuan penghindaran pajak berganda sebagaimana dimaksud pada angka 1 dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara penerapan persetujuan penghindaran pajak berganda.
Dalam hal wajib pajak orang pribadi luar negeri berubah status menjadi wajib pajak orang pribadi dalam negeri, atas pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan sebagaimana dimaksud pada angka 1 menjadi bersifat tidak final dan dapat dikreditkan dengan Pajak Penghasilan Pajak Orang Pribadi yang terutang untuk Tahun Pajak atau bagian Tahun Pajak dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan wajib pajak orang pribadi bersangkutan. BAGIAN KEDUA: CONTOH PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA, ATAU KEGIATAN I. PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PEGAWAI TETAP I. 1. Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Pegawai Tetap yang Menerima atau Memperoleh Penghasilan dalam Satu Tahun Pajak Tuan A bekerja pada PT Z. Tuan A berstatus menikah dan tidak memiliki tanggungan. Selama tahun 2024, Tuan A menerima atau memperoleh penghasilan sebagai berikut: Bulan Gaji (Rp) Tunjangan (Rp) Tunjangan Hari Raya (Rp) Bonus (Rp) Uang Lembur (Rp) Premi JKK dan JKM (Rp) Penghasilan Bruto (Rp) Januari 10.000.000 20.000.000 80.000 30.080.000 Februari 10.000.000 20.000.000 5.000.000 80.000 35.080.000 Maret 10.000.000 20.000.000 80.000 30.080.000 April 10.000.000 20.000.000 80.000 30.080.000 Premi jaminan kecelakaan kerja (JKK) dan premi jaminan kematian (JKM) per bulan yang dibayar oleh PT Z untuk Tuan A adalah masing-masing sebesar 0,50% dan 0,30% dari komponen gaji Tuan A. Iuran pensiun yang dibayarkan oleh PT Z untuk Tuan A adalah sebesar Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) per bulan sedangkan iuran pensiun yang dibayar sendiri oleh Tuan A melalui PT Z adalah sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per bulan. Selama tahun 2024, Tuan A melakukan pembayaran zakat sebesar Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) per bulan melalui PT Z kepada Badan Amil Zakat yang disahkan oleh pemerintah. Berdasarkan status Penghasilan Tidak Kena Pajak Tuan A (K/0), besarnya pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Tuan A dihitung berdasarkan tarif efektif bulanan kategori A sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai Tarif Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Wajib Pajak Orang Pribadi. Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Tuan A selama tahun 2024 sebagai berikut: Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 pada Setiap Masa Pajak selain Masa Pajak Terakhir Bulan Penghasilan Bruto (Rp) Tarif Efektif Bulanan Kategori A Pajak Penghasilan
Pemberian Dukungan Fiskal melalui Kerangkan Pendanaan dan Pembiayaan dalam Rangka Percepatan Transisi Energi di Sektor Ketenagalistrikan ...
Relevan terhadap
Struktur Komite Pengarah terdiri atas:
ketua;
wakil ketua merangkap anggota; dan
anggota.
Ketua Komite Pengarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan pimpinan tinggi madya di lingkungan Kementerian Keuangan yang melaksanakan tugas di bidang kebijakan fiskal, termasuk kebijakan pendanaan dan pembiayaan transisi energi.
Wakil Ketua Komite Pengarah merangkap anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan pimpinan tinggi madya di lingkungan Kementerian Keuangan yang melaksanakan tugas di bidang pengelolaan pembiayaan dan risiko.
Anggota Komite Pengarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan pejabat paling rendah setingkat pimpinan tinggi madya yang berasal dari unsur:
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara;
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral;
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang BUMN;
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan;
kementerian yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang kemaritiman dan investasi; dan
kementerian yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian.
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Kerangka Pendanaan dan Pembiayaan Dalam Rangka Percepatan Transisi Energi di sektor ketenagalistrikan yang selanjutnya disebut Platform Transisi Energi adalah salah satu dukungan fiskal pemerintah yang dibentuk oleh Menteri Keuangan dalam rangka mendukung percepatan pengakhiran waktu operasi pembangkit listrik tenaga uap batu bara, percepatan pengakhiran waktu kontrak perjanjian jual beli tenaga listrik pembangkit listrik tenaga uap batu bara, dan/atau pengembangan pembangkit energi terbarukan sebagai pengganti dari percepatan pengakhiran waktu operasi pembangkit listrik tenaga uap batu bara dan/atau percepatan pengakhiran waktu kontrak perjanjian jual beli tenaga listrik pembangkit listrik tenaga uap batu bara.
Kerja Sama Pendanaan adalah kerja sama dalam rangka penyediaan sumber dana di luar anggaran pendapatan dan belanja negara untuk membiayai penyediaan dan pelaksanaan transisi energi yang akan dikelola oleh manajer platform.
Perjanjian Kerja Sama Pendanaan adalah perjanjian yang dibuat dalam rangka pelaksanaan Kerja Sama Pendanaan antara manajer platform dan pihak ketiga yang memberikan pendanaan.
Ketenagalistrikan adalah segala sesuatu yang menyangkut penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik serta usaha penunjang tenaga listrik.
Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik yang selanjutnya disingkat PJBL adalah perjanjian jual beli tenaga listrik antara pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik atau pemegang izin operasi dengan pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum yang memiliki wilayah usaha ketenagalistrikan.
Pembangkit Listrik Tenaga Uap Batu Bara yang selanjutnya disingkat PLTU adalah pembangkit listrik tenaga uap yang memanfaatkan sumber energi bahan bakar batu bara.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
Komite Pengarah adalah komite yang menjalankan fungsi pengarahan dan fungsi teknis serta sebagai pemberi keputusan tertentu terkait dengan penyediaan dukungan fiskal untuk pengelolaan Platform Transisi Energi.
Manajer Platform adalah pihak yang mendapatkan __ penugasan dari Menteri untuk melaksanakan pengelolaan Platform Transisi Energi.
Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari pengguna anggaran untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada kementerian negara/lembaga yang bersangkutan.
Kementerian Keuangan adalah kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disingkat BUMN adalah badan usaha sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai Badan Usaha Milik Negara.
Badan Usaha adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang menjalankan jenis usaha bersifat tetap, terus-menerus, dan didirikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, serta bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat berupa BUMN, badan usaha milik daerah, koperasi, dan badan usaha swasta yang berbadan hukum Indonesia.
Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perusahaan Listrik Negara yang selanjutnya disingkat PT PLN (Persero) adalah BUMN yang didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1994 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Listrik Negara Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero).
Perusahaan Perseroan (Persero) PT Sarana Multi Infrastruktur yang selanjutnya disingkat PT SMI (Persero) adalah BUMN yang didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2007 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia untuk Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di Bidang Pembiayaan Infrastruktur sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2007 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia untuk Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di Bidang Pembiayaan Infrastruktur.
Tarif Layanan Badan Layanan Umum Museum dan Cagar Budaya pada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi ...
Relevan terhadap
Terhadap pengguna layanan tertentu dan/atau kegiatan tertentu dapat dikenakan tarif layanan sampai dengan Rp0,00 (nol rupiah) dari tarif layanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
Pengguna layanan tertentu dan/atau kegiatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
pengguna layanan penyandang disabilitas;
pengguna layanan tamu negara;
pengguna layanan yatim piatu;
pengguna layanan lanjut usia;
pengguna layanan dari masyarakat kurang mampu secara ekonomi;
kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat;
kegiatan regional, nasional, internasional, dan kenegaraan yang tidak bersifat komersial;
kegiatan keagamaan, sosial, dan budaya; dan/atau i. pengguna layanan atau kegiatan lainnya yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Pemberian tarif layanan sampai dengan Rp0,00 (nol rupiah) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan mempertimbangkan kondisi keuangan Badan Layanan Umum Museum dan Cagar Budaya pada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Tata Cara Pelaksanaan Subsidi Bunga/Subsidi Margin Kredit Usaha Alat dan Mesin Pertanian
Relevan terhadap
Untuk menyusun pengalokasian subsidi penyaluran Kredit Alsintan, KPA Alsintan berkoordinasi dengan sekretariat Komite Kebijakan untuk melaksanakan rapat sinkronisasi kebijakan Kredit Alsintan.
Rapat sinkronisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari unsur:
sekretariat Komite Kebijakan;
KPA Alsintan;
Kementerian Keuangan; dan
Kementerian/Lembaga yang terkait dengan penyusunan arah kebijakan Kredit Alsintan.
Unsur Kementerian Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c terdiri dari unit kerja eselon I yang memiliki tugas dan fungsi di bidang:
fiskal dan sektor keuangan;
penganggaran dan penerimaan negara bukan pajak; dan c. perbendaharaan negara.
Rapat sinkronisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membahas persiapan penyusunan pengalokasian subsidi penyaluran Kredit Alsintan dengan minimal mempertimbangkan:
hasil penilaian dan evaluasi atas kinerja penyaluran Kredit Alsintan periode sebelumnya;
RTP Kredit Alsintan;
kapasitas fiskal keuangan negara;
hasil reviu BPKP; dan
kebijakan pelaksanaan Kredit Alsintan.
Hasil rapat sinkronisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menghasilkan usulan pengalokasian subsidi Kredit Alsintan sebagai bahan pertimbangan dalam rapat koordinasi Komite Kebijakan.
Rapat sinkronisasi kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sebelum pelaksanaan rapat koordinasi Komite Kebijakan.
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Alat dan Mesin Pertanian yang selanjutnya disebut Alsintan adalah peralatan yang dioperasikan dengan motor penggerak ataupun tanpa motor penggerak untuk kegiatan budi daya Pertanian.
Taksi Alsintan adalah kegiatan model tata kelola usaha jasa Alsintan dengan sistem jasa sewa atau kepemilikan Alsintan, dengan dukungan pemanfaatan teknologi informasi untuk penguatan usaha/bisnis kelembagaan pengelola Alsintan.
Kredit Usaha Alat dan Mesin Pertanian yang selanjutnya disebut Kredit Alsintan adalah kredit/pembiayaan investasi yang dikhususkan untuk pembelian Alat dan Mesin Pertanian yang diusahakan sebagai Taksi Alsintan yang diberikan oleh penyalur Kredit Alsintan kepada penerima Kredit Alsintan yang memperoleh subsidi bunga dari pemerintah.
Subsidi Bunga adalah bagian bunga yang menjadi beban pemerintah sebesar selisih antara tingkat bunga yang seharusnya diterima oleh penyalur Kredit Alsintan dengan tingkat bunga yang dibebankan kepada penerima Kredit Alsintan.
Subsidi Margin adalah bagian margin yang menjadi beban pemerintah sebesar selisih antara margin yang seharusnya diterima oleh penyalur Kredit Alsintan dengan margin yang dibebankan kepada penerima Kredit Alsintan dalam skema pembiayaan syariah.
Menteri Keuangan yang selanjutnya disebut Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
Kementerian Negara yang selanjutnya disebut Kementerian adalah perangkat pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
Lembaga adalah organisasi nonkementerian negara dan instansi lain pengguna anggaran yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya.
Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab atas penggunaan anggaran pada Kementerian/Lembaga yang bersangkutan.
Kuasa Pengguna Anggaran Subsidi Kredit Usaha Alat Mesin Pertanian yang selanjutnya disingkat KPA Alsintan adalah pejabat yang memperoleh kewenangan dan tanggung jawab dari PA untuk menggunakan anggaran untuk pembayaran subsidi atas Kredit Alsintan.
Komite Kebijakan Pembiayaan Bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang selanjutnya disebut Komite Kebijakan adalah komite yang dibentuk oleh Presiden dengan Keputusan Presiden yang diberi kewenangan dalam memberikan arahan terhadap kebijakan program Kredit Alsintan.
Penerima Kredit Alsintan adalah pihak yang memenuhi kriteria untuk menerima Kredit Alsintan sesuai dengan Pedoman Pelaksanaan Kredit Alsintan.
Penyalur Kredit Alsintan adalah lembaga keuangan atau koperasi yang memenuhi persyaratan untuk menyalurkan Kredit Alsintan sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai pedoman pelaksanaan Kredit Alsintan.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi bendahara umum negara.
Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat PPA BUN adalah unit organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri dan bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari Bagian Anggaran BUN Belanja Subsidi.
Baki Debet adalah sisa pokok pinjaman/sisa pokok pembiayaan yang wajib dibayar kembali oleh Penerima Kredit Alsintan kepada Penyalur Kredit Alsintan.
Sistem Informasi Kredit Program yang selanjutnya disingkat SIKP adalah sistem informasi elektronik yang digunakan untuk menatausahakan dan menyediakan informasi penyaluran kredit program.
Tahun Penyaluran adalah periode penyaluran Kredit Alsintan mulai bulan Januari sampai dengan Desember berdasarkan kebijakan yang ditetapkan Komite Kebijakan.
Rencana Target Penyaluran yang selanjutnya disingkat RTP adalah rencana yang disusun oleh Penyalur Kredit Alsintan untuk menyalurkan Kredit Alsintan selama Tahun Penyaluran.
Indikasi Kebutuhan Dana Pengeluaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat IKD adalah indikasi dana untuk pemenuhan kewajiban pemerintah yang penganggarannya hanya ditampung pada bagian anggaran BUN.
Penjamin Kredit Alsintan adalah perusahaan penjaminan dan perusahaan lain yang ditunjuk untuk memberikan penjaminan Kredit Alsintan.
Penjaminan adalah kegiatan pemberian jaminan atas pemenuhan kewajiban finansial debitur Kredit Alsintan oleh Penjamin Kredit Alsintan baik berdasarkan prinsip konvensional maupun syariah.
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan yang selanjutnya disingkat BPKP merupakan aparat pengawasan intern pemerintah yang mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan keuangan negara/daerah dan pembangunan nasional.
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 171/PMK.05/2021 tentang Pelaksanaan Sistem SAKTI
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Sistem SAKTI yang selanjutnya disebut SAKTI adalah sistem yang mengintegrasikan proses perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan, serta pertanggungjawaban anggaran pendapatan dan belanja negara pada instansi pemerintah, yang merupakan bagian dari sistem pengelolaan keuangan negara.
Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara yang selanjutnya disebut SPAN adalah sistem terintegrasi seluruh proses yang terkait dengan pengelolaan anggaran yang meliputi penyusunan anggaran, manajemen dokumen anggaran, manajemen supplier, manajemen komitmen pengadaan barang dan jasa, manajemen pembayaran, manajemen penerimaan negara, manajemen kas, akuntansi, dan pelaporan.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi BUN.
Kementerian Negara yang selanjutnya disebut Kementerian adalah perangkat Pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
Lembaga adalah organisasi nonkementerian negara dan instansi lain pengguna anggaran yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya.
Bagian Anggaran adalah kelompok anggaran negara menurut nomenklatur Kementerian/Lembaga dan bendahara umum negara dalam menjalankan fungsi belanja pemerintah pusat, transfer ke daerah, dan pembiayaan.
Kuasa BUN adalah pejabat yang diangkat oleh BUN untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan APBN dalam wilayah kerja yang ditetapkan.
Kuasa Bendahara Umum Negara Pusat yang selanjutnya disingkat Kuasa BUN Pusat adalah Direktur Jenderal Perbendaharaan yang mendelegasikan kewenangannya kepada Direktur Pengelolaan Kas Negara.
Bagian Anggaran Kementerian/Lembaga yang selanjutnya disingkat BA K/L adalah Bagian Anggaran yang menampung belanja pemerintah pusat yang pagu anggarannya dialokasikan pada Kementerian/Lembaga.
Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BA BUN adalah Bagian Anggaran yang tidak dikelompokkan dalam BA K/L.
Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kementerian/Lembaga.
Pembantu Pengguna Anggaran BUN yang selanjutnya disingkat PPA BUN adalah unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN.
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang selanjutnya disebut Kanwil DJPb merupakan instansi vertikal yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan.
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Kanwil DJPb.
Satuan Kerja yang selanjutnya disebut Satker adalah unit organisasi lini Kementerian/Lembaga atau unit organisasi pemerintah daerah yang melaksanakan kegiatan Kementerian/Lembaga atau unit organisasi lini BUN yang melaksanakan kegiatan BUN dan memiliki kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran.
Rencana Pembangunan Tahunan Kementerian/Lembaga atau Rencana Kerja Kementerian/Lembaga yang selanjutnya disebut Renja-K/L adalah dokumen perencanaan Kementerian/Lembaga untuk periode 1 (satu) tahun.
Rencana Kerja dan Anggaran yang selanjutnya disingkat RKA adalah dokumen rencana keuangan tahunan yang mencakup rencana kerja dan anggaran Kementerian/Lembaga, rencana kerja dan anggaran Otorita lbu Kota Nusantara, dan rencana kerja dan anggaran bendahara umum negara.
Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga yang selanjutnya disingkat RKA-K/L adalah dokumen rencana keuangan tahunan Kementerian/Lembaga yang disusun menurut BA K/L.
Rencana Kerja dan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKA-BUN adalah dokumen rencana keuangan tahunan dari BUN yang memuat rincian kegiatan, anggaran, dan target kinerja dari pembantu pengguna anggaran BUN, yang disusun menurut BA BUN.
Rencana Dana Pengeluaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat RDP BUN adalah dokumen perencanaan anggaran BA BUN yang merupakan himpunan RKA BUN.
Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut RKA Satker BUN adalah dokumen perencanaan anggaran BA BUN yang memuat rincian kebutuhan dana baik yang berbentuk anggaran belanja maupun pembiayaan dalam rangka pemenuhan kewajiban pemerintah pusat dan transfer ke daerah tahunan yang disusun oleh kuasa pengguna anggaran BUN.
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disingkat DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang digunakan sebagai acuan Pengguna Anggaran dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan sebagai pelaksanaan APBN.
Modul Administrasi adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk pengelolaan data pengguna dan konfigurasi sistem SAKTI.
Modul Referensi adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk pengelolaan data referensi dan konfigurasi Satker.
Modul Sinkronisasi Renja-RKA adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk sinkronisasi Renja-K/L dan RKA-K/L.
Modul Penganggaran adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) sampai dengan pengesahan dokumen pelaksanaan anggaran termasuk didalamnya proses perencanaan penyerapan anggaran dan penerimaan/pendapatan dalam periode 1 (satu) tahun anggaran.
Modul Komitmen adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk pengelolaan aktivitas terkait pencatatan data supplier, kontrak, dan Berita Acara Serah Terima (BAST) dalam rangka pelaksanaan APBN untuk mendukung pengelolaan data pagu, perencanaan kas dan referensi dalam pelaksanaan pembayaran.
Modul Bendahara adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk penatausahaan penerimaan dan pengeluaran negara melalui bendahara.
Modul Pembayaran adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk pengajuan pembayaran atas beban APBN, pengesahan pendapatan dan belanja, dan pencatatan surat perintah pencairan dana.
Modul Persediaan adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk penatausahaan, pengakuntansian, dan pelaporan barang persediaan.
Modul Aset Tetap adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk penatausahaan, pengakuntansian dan pelaporan barang milik negara berupa aset tetap dan aset tak berwujud.
Modul Piutang adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk melakukan penatausahaan dan pengakuntansian piutang Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Modul Akuntansi dan Pelaporan adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk pengintegrasian data jurnal dari semua modul SAKTI dalam rangka penyusunan laporan keuangan.
Sistem Mitra adalah sistem yang dimiliki oleh Kementerian/Lembaga dan pihak lainnya dengan lingkup penggunaan sistem secara nasional yang akan diinterkoneksikan dengan SAKTI.
Pihak Mitra adalah Kementerian/Lembaga dan pihak lainnya sebagai pemilik Sistem Mitra.
Entitas Akuntansi adalah unit pemerintahan Pengguna Anggaran/pengguna barang dan oleh karenanya wajib menyelenggarakan akuntansi dan menyusun laporan keuangan untuk digabungkan pada entitas pelaporan.
Entitas Pelaporan adalah unit pemerintahan yang terdiri dari satu atau lebih Entitas Akuntansi yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban berupa laporan keuangan.
Instansi adalah sebutan kolektif bagi entitas yang meliputi Satker, kantor wilayah atau yang setingkat, unit eselon I, dan Kementerian/Lembaga.
Chief of Information Officer yang selanjutnya disingkat CIO adalah suatu jabatan strategis yang memadukan sistem informasi dan teknologi informasi dengan aspek manajemen agar memberikan dukungan maksimal terhadap pencapaian tujuan.
Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada Kementerian/Lembaga yang bersangkutan.
Kuasa Pengguna Barang yang selanjutnya disingkat KPB adalah kepala Satker atau pejabat yang ditunjuk oleh pengguna barang untuk menggunakan barang yang berada dalam penguasaannya dengan sebaik-baiknya.
Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang melaksanakan kewenangan PA/KPA untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran atas beban APBN.
Pejabat Penandatangan SPM yang selanjutnya disingkat PPSPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk melakukan pengujian surat permintaan pembayaran yang diterima dari PPK sebagai dasar untuk menerbitkan/menandatangani SPM.
Bendahara Pengeluaran adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, membayarkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang untuk keperluan belanja negara dalam pelaksanaan APBN pada kantor/Satker Kementerian/Lembaga.
Bendahara Penerimaan adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, menyetorkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang pendapatan negara dalam rangka pelaksanaan APBN pada kantor/Satker Kementerian/Lembaga.
Bendahara Pengeluaran Pembantu adalah orang yang ditunjuk sebagai pembantu Bendahara Pengeluaran untuk melaksanakan pembayaran kepada yang berhak guna kelancaran pelaksanaan kegiatan tertentu.
Surat Perintah Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPBy adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK atas nama KPA yang berguna untuk mengeluarkan uang persediaan yang dikelola oleh Bendahara Pengeluaran kepada pihak yang dituju.
Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara.
Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA.
Surat Perintah Pengesahan Pendapatan dan Belanja Badan Layanan Umum yang selanjutnya disingkat SP3B BLU adalah surat perintah yang diterbitkan oleh PPSPM untuk dan atas nama KPA kepada Kuasa BUN untuk mengesahkan pendapatan dan/atau belanja Badan Layanan Umum (BLU) yang sumber dananya berasal dari PNBP yang digunakan langsung.
Surat Perintah Pengesahan Hibah Langsung yang selanjutnya disingkat SP2HL adalah surat yang diterbitkan oleh PA/KPA atau pejabat lain yang ditunjuk untuk mengesahkan pendapatan Hibah dan/atau belanja yang bersumber dari Hibah dalam bentuk uang yang penarikan dananya tidak melalui Kuasa BUN.
Surat Perintah Pengesahan Pengesahan Pengembalian Pendapatan Hibah Langsung yang selanjutnya disingkat SP4HL adalah surat yang diterbitkan ole PA/KPA atau pejabat lain yang ditunjuk untuk mengesahkan pembukuan pengembalian saldo pendapatan hibah yang penarikan dananya tidak melalui Kuasa BUN kepada Pemberi Hibah.
Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak yang selanjutnya disingkat SPMKP adalah surat perintah dari kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) kepada KPPN untuk menerbitkan surat perintah pencairan dana yang ditujukan kepada bank operasional mitra kerja KPPN, sebagai dasar kompensasi utang pajak dan/atau dasar pembayaran kembali kelebihan pembayaran pajak kepada wajib pajak.
Surat Perintah Membayar Kembali Bea Masuk, Denda Administrasi, dan/atau Bunga yang selanjutnya disingkat SPM P-BMDAB adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Bea dan Cukai atas nama Menteri Keuangan mengenai pengembalian Bea Masuk, Denda Administrasi, dan/atau Bunga sebagai dasar penerbitan surat perintah pencairan dana.
Surat Perintah Membayar Kembali Bea Masuk dan/atau Cukai yang selanjutnya disingkat SPM P- BMC adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Bea dan Cukai atas nama Menteri Keuangan mengenai pengembalian Bea Masuk dan/atau Cukai.
Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga yang selanjutnya disingkat SPMIB adalah surat perintah yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak untuk membayar imbalan bunga kepada wajib pajak.
Surat Penarikan Dana (withdrawal application) Pembayaran Langsung yang selanjutnya disingkat SPD-PL adalah surat permintaan pencairan pinjaman kepada pemberi PLN yang dibayarkan secara langsung kepada rekanan/pihak yang dituju.
Surat Penarikan Dana (withdrawal application) Pembiayaan Pendahuluan yang selanjutnya disingkat SPD-PP adalah surat permintaan pencairan pinjaman kepada pemberi PLN yang dibayarkan kepada pengguna dana sebagai penggantian dana yang pembiayaan.
Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku Kuasa BUN untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM.
Dana Titipan adalah dana yang dikelola oleh Bendahara Pengeluaran selain Uang Persediaan (UP) dalam rangka pelaksanaan APBN.
Dana Pihak Ketiga adalah dana yang masuk ke pengelolaan rekening yang dikelola oleh bendahara yang belum dapat ditentukan menjadi milik negara atau tidak.
Surat Bukti Setor yang selanjutnya disingkat SBS adalah tanda bukti penerimaan yang diberikan oleh bendahara pada penyetor.
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah seluruh penerimaan pemerintah pusat yang tidak berasal dari pajak.
Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah yang selanjutnya disingkat KPJM adalah pendekatan penganggaran berdasarkan kebijakan, dengan pengambilan keputusan terhadap kebijakan tersebut dilakukan dalam perspektif lebih dari satu tahun anggaran, dengan mempertimbangkan implikasi biaya akibat keputusan yang bersangkutan pada tahun berikutnya yang dituangkan dalam prakiraan maju.
Rencana Penarikan Dana yang selanjutnya disingkat RPD adalah rencana penarikan kebutuhan dana yang ditetapkan oleh KPA untuk pelaksanaan kegiatan Satker dalam periode 1 (satu) tahun yang dituangkan dalam DIPA.
Rencana Penarikan Dana Harian yang selanjutnya disebut RPD Harian adalah rencana penarikan kebutuhan dana harian dari satuan kerja berdasarkan surat permintaan pembayaran atau dokumen lain yang dipersamakan dengan SPM.
Rencana Penerimaan Dana adalah rencana penyetoran penerimaan dalam periode 1 (satu) tahun yang dituangkan dalam DIPA.
Pengguna (User) SAKTI yang selanjutnya disebut Pengguna adalah para pihak pada instansi yang berdasarkan kewenangannya diberikan hak untuk mengoperasikan SAKTI dan tindakannya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Administrator adalah pegawai yang diberi kewenangan oleh PA/KPA/Pejabat yang ditetapkan untuk melaksanakan fungsi teknis administrasi SAKTI.
Hak Akses adalah hak yang diberikan untuk melakukan interaksi dengan sistem elektronik.
Kode Akses adalah angka, huruf, simbol, karakter lainnya, atau kombinasi diantaranya, yang merupakan kunci untuk dapat mengakses komputer dan/atau sistem elektronik lainnya.
Nomor Register Supplier yang selanjutnya disingkat NRS adalah nomor referensi yang diterbitkan oleh SPAN dalam rangka pendaftaran data supplier yang diajukan oleh Satker yang akan dijadikan sebagai identitas bagi supplier SPAN.
Laporan Keuangan adalah bentuk pertanggungjawaban pemerintah atas pelaksanaan APBN berupa laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas, laporan operasional, laporan perubahan ekuitas, laporan perubahan saldo anggaran lebih, dan catatan atas Laporan Keuangan.
Rekonsiliasi adalah proses pencocokan data transaksi keuangan yang diproses dengan beberapa sistem/subsistem yang berbeda berdasarkan dokumen sumber yang sama.
E-Rekon dan LK adalah sistem berbasis web yang digunakan dalam pelaksanaan Rekonsiliasi, penyusunan Laporan Keuangan, serta penyatuan data Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga.
Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
Unit Akuntansi KPB yang selanjutnya disingkat UAKPB adalah unit akuntansi BMN pada tingkat Satker/KPB yang memiliki wewenang mengurus dan/atau menggunakan BMN.
Unit Akuntansi Pembantu Kuasa Pengguna Barang yang selanjutnya disingkat UAPKPB adalah unit yang dapat dibentuk oleh UAKPB, untuk membantu UAKPB melakukan penatausahaan BMN.
Keadaan Kahar (Force Majeure) adalah suatu keadaan di luar kehendak, kendali dan kemampuan pengelola sistem SAKTI seperti terjadinya bencana alam, kebakaran, pemogokan umum, perang (dinyatakan atau tidak dinyatakan), pemberontakan, revolusi, makar, huru-hara, terorisme, sabotase, termasuk kebijakan pemerintah yang mengakibatkan sistem SAKTI tidak berfungsi.
Business Continuity Plan yang selanjutnya disingkat BCP adalah pengelolaan proses kelangsungan kegiatan pada saat keadaan darurat dengan tujuan untuk melindungi sistem informasi, memastikan kegiatan dan layanan, dan memastikan pemulihan yang tepat.
Help, Answer, Improve DJPb yang selanjutnya disebut HAI-DJPb adalah layanan resmi Direktorat Jenderal Perbendaharaan dalam melayani penerimaan dan penyampaian informasi serta permasalahan terkait tugas pokok dan fungsi DJPb.
Dokumen Pendukung adalah semua dokumen yang secara peraturan perundang-undangan menjadi pendukung dan wajib ada sebagai bagian pengajuan sebuah surat, dokumen, formulir, dan segala dokumen resmi lainnya yang diterbitkan oleh Kementerian/Lembaga.
Teknologi Informasi dan Komunikasi yang selanjutnya disingkat TIK adalah teknologi yang berhubungan dengan pengambilan, pengumpulan, pengolahan, penyimpanan, penyebaran, dan penyajian informasi.
Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri yang selanjutnya disingkat P3DN adalah upaya Pemerintah untuk mendorong masyarakat agar lebih menggunakan produk dalam negeri dibandingkan produk impor.
Tingkat Komponen Dalam Negeri yang selanjutnya disingkat TKDN adalah persentase nilai komponen produksi yang dibuat di Indonesia pada suatu produk barang dan jasa.
One Time Password yang selanjutnya disingkat OTP adalah pengamanan transaksi secara elektronik dalam proses pengiriman data antar modul dalam SAKTI, sistem yang terinterkoneksi dengan SAKTI, dan pengiriman data dari SAKTI ke SPAN, berupa sebuah password yang hanya berlaku untuk sesi login tunggal, transaksi tunggal, dan waktu terbatas.
Penyelenggara Sertifikasi Elektronik yang selanjutnya disingkat PSrE adalah badan hukum yang berfungsi sebagai pihak yang layak dipercaya, yang memberikan dan mengaudit sertifikat elektronik.
Sertifikat Elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat tanda tangan elektronik dan identitas yang menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam Transaksi Elektronik yang dikeluarkan oleh PSrE.
Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas informasi elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan informasi elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.
Tanda Tangan Elektronik Tersertifikasi adalah tanda tangan elektronik yang dibuat menggunakan Sertifikat Elektronik yang diterbitkan oleh PSrE Indonesia.
Prakiraan Maju adalah perhitungan kebutuhan dana untuk tahun anggaran berikutnya dari tahun yang direncanakan guna memastikan kesinambungan program dan kegiatan yang telah disetujui dan menjadi dasar penyusunan anggaran tahun berikutnya.
Angka Dasar adalah indikasi pagu prakiraan maju dari kegiatan-kegiatan yang berulang dan/atau kegiatan-kegiatan tahun jamak berdasarkan kebijakan yang telah ditetapkan dan menjadi acuan penyusunan pagu indikatif dari tahun anggaran yang direncanakan.
Pernyataan Komitmen Integritas Pelaksanaan Anggaran adalah pernyataan yang dibuat oleh pejabat perbendaharaan Satker yang memuat komitmen bahwa seluruh pengelolaan pelaksanaan anggaran termasuk penggunaan sistem informasi dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.02/2016 tentang Persyaratan dan Besar Manfaat Tabungan Hari Tua Bagi Pegawai Negeri ...
Relevan terhadap
Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 549);
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1977 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3098) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2015 tentang Perubahan Ketujuh Belas atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 123);
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1981 tentang Asuransi Sosial Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3200) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1981 tentang Asuransi Sosial Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5407);
Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98);
Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 1974 tentang Pembagian, Penggunaan, Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Besarnya Iuran-Iuran yang Dipungut dari Pegawai Negeri, Pejabat Negara, dan Penerima Pensiun sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 8 Tahun 1977 tentang Perubahan dan Tambahan atas Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 1974 tentang Pembagian, Penggunaan, Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Besarnya Iuran-Iuran yang Dipungut dari Pegawai Negeri, Pejabat Negara, dan Penerima Pensiun;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.02/2016 tentang Persyaratan dan Besar Manfaat Tabungan Hari Tua bagi Pegawai Negeri Sipil (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1241);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1031) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.01/2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 954);
Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pelaksana Otorita Borobudur Pada Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif ...
Relevan terhadap
Terhadap kegiatan tertentu dan/atau pengguna layanan tertentu dapat diberikan tarif layanan sampai dengan Rp0,00 (nol rupiah) dari tarif layanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
Kegiatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas kegiatan:
kenegaraan;
pencarian dan pertolongan bencana alam, bencana non-alam, dan bantuan kemanusiaan;
untuk kepentingan umum dan sosial;
menjalankan misi khusus dari pemerintah; dan
tingkat regional, nasional, dan/atau internasional yang tidak bersifat komersial.
Pengguna layanan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
pelaku usaha mikro dan kecil;
penduduk setempat;
agen wisata; dan
pengguna layanan tertentu lainnya.
Pemberian tarif layanan sampai dengan Rp0,00 (nol rupiah) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan mempertimbangkan kondisi keuangan Badan Layanan Umum Badan Pelaksana Otorita Borobudur pada Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Kriteria dan tata cara penetapan tarif layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan oleh Direktur Utama Badan Layanan Umum Badan Pelaksana Otorita Borobudur pada Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.