Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:
Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. 3. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. 4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan ralryat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 5. Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas- batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 6. Urusan Pemerintahan adalah kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden yang peiaksanaannya dilakukan oleh kementerian negara dan penyelenggara pemerintahan daerah untuk melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat. 7. Kepala Daerah adalah gubernur bagi Daerah provinsi atau bupati bagi Daerah kabupaten atau wali kota bagi Daerah kota.
Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang perpajakan dan/atau retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 9. Peraturan Daerah yang selanjutnya disebut Perda atau yang disebut dengan nama lain adalah Perda provinsi dan Perda kabupaten/ kota. 10. Peraturan Kepala Daerah yang selanjutnya disebut Perkada adalah peraturan gubernur dan bupati/wali kota. 11. Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 12. Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. 13. Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai Pajak. 14. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar Pajak, pemotong Pajak, dan pemungut Pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 15. Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran Pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan. L6. Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinar,. 17. Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang ^" menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk 18. Badan...pemungut retribusi tertentu. PFIESIDEN REPUBLIK INDONESIA 18. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. 19. Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PKB adalah Pajak atas kepemilikan danlatau penguasaan kendaraan bermotor. 20. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBNKB adalah Pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar-menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha. 21. Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat atau kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan. 22. Pajak Alat Berat yang selanjutnya disingkat PAB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan alat berat. 23. Alat Berat adalah alat yang diciptakan untuk membantu pekerjaan konstruksi dan pekerjaan teknik sipil lainnya yang sifatnya berat apabila dikerjakan oleh tenaga manusia, beroperasi menggunakan motor dengan atau tanpa roda, tidak melekat secara perrnanen serta beroperasi pada area tertentu, termasuk tetapi tidak terbatas pada area konstruksi, perkebunan, kehutanan, dan pertambangan.
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah Pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan. 25. Bumi adalah permukaan Bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman. 26. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi. 27. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah Pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan. 2a. Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta Bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan Bangunan. 29. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PBBKB adalah Pajak atas penggunaan bahan bakar Kendaraan Bermotor dan Alat Berat. 30. Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau ^jasa tertentu. 31. Makanan dan/atau Minuman adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui pesanan oleh restoran. 32. Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit Tenaga Listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik. 33. Jasa Perhotelan adalah ^jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya.
Jasa Parkir adalah ^jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan Kendaraan Bermotor. 35. Jasa Kesenian dan Hiburan adalah ^jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati. 36. Pajak Reklame adalah Pajak atas penyelenggaraan reklame. 37. Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu. 38. Pajak Air Permukaan yang selanjutnya disingkat PAP adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan. 39. Air Permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah. 40. Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah. 41. Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah. 42. Air Tanah adalah air yang terdapat di dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah. 43. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disebut Pajak MBLB adalah Pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan dari sumber alam di dalam dan/atau di permukaan Bumi untuk dimanfaatkan.
Mineral 44. Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat MBLB adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang- undangan di bidang mineral dan batu bara. 45. Pajak Sarang Burung Walet adalah Pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet. 46. Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu collocalia fuchliap haga, collocalia ma-rina, collocalia esanlanta, dan allocalia linchi. 47. Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu. 48. Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 49. Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/ kota atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. 50. Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disebut Opsen Pajak MBLB adalah Opsen yang dikenakan oleh provinsi atas pokok Pajak MBLB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. 51. Nomor Pokok Wqiib Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NPWPD adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan Daerah yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan daerahnya. 52. Nomor Objek Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NOPD adalah nomor identitas objek Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan dengan ketentuan tertentu. PRES IOEN REPUBLIK INDONESIA 53. Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti. 54. Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek Pajak atau Retribusi, penentuan besarnya Pajak atau Retribusi yang terutang sampai kegiatan Penagihan Pajak atau Retribusi kepada Wajib Pajak atau Wajib Retribusi serta pengawasan penyetorannya. 55. Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran Pajak, objek Pajak dan/atau bukan objek Pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah. 56. Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang selanjutnya disingkat SPOP adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data subjek dan objek PBB-P2 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan Daerah. 57. Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya ^jumlah pokok Pajak yang terutang. 58. Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SSPD adalah bukti pembayaran atau penyetoran Pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Kepala Daerah. 59. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang selanjutnya disingkat SPPT adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya PBB-P2 yang terutang kepada Wajib Pajak.
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDKB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak, jumlah kredit Pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok Pajak, besarnya sanksi administratif, dan jumlah Pajak yang masih harus dibayar. 61. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan yang selanjutnya disingkat SKPDKBT adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan tambahan atas jumlah Pajak yang telah ditetapkan. 62. Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil yang selanjutnya disingkat SKPDN adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah pokok Pajak sama besarnya dengan jumlah kredit Pajak atau Pajak tidak terutang dan tidak ada kredit Pajak. 63. Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDLB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Pajak karena jumlah kredit Pajak lebih besar daripada Pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang. 64. Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD adalah surat untuk melakukan tagihan Pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda. 65. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah yang terdapat dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB, STPD, SUTAT Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan. 66. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB, atau terhadap pemotongan atau Pemungutan pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.
Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak. 68. Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian surat pemberitahuan atau dokumen lain yang dipersamakan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan penghitungannya serta kesesuaian antara surat pemberitahuan dengan SSPD. 69. Penagihan adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang Pajak dan biaya Penagihan Pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan Penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, dan menjual barang yang telah disita. 70. Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah tindakan Penagihan pajak yang dilaksanakan oleh jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang Pajak dari semua ^jenis Pajak, masa Pajak, dan tahun Pajak. 71. Utang Pajak adalah Pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan Pajak atau surat sejenisnya berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah. 72. Surat Teguran adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur Wajib Pajak atau Wajib Retribusi untuk melunasi Utang Pajak atau utang Retribusi. 73. Surat Paksa adalah surat perintah membayar Utang Pajak dan biaya Penagihan Pajak. 74. Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan Penagihan Pajak yang meliputi Penagihan Seketika dan Sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan, dan penyanderaan.
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dan Retribusi dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan Retribusi Daerah. 76. Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya I (satu) tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender. 77. Jasa Umum adalah ^jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan. 78. Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta. 79. Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. 80. Surat Ketetapan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat SKRD adalah surat ketetapan Retribusi yang menentukan besarnya jumlah pokok Retribusi yang terutang. 81. Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKRDLB adalah surat ketetapan Retribusi yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Retribusi karena jumlah kredit Retribusi lebih besar daripada Retribusi yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
Surat Tagihan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat STRD adalah surat untuk melakukan tagihan Retribusi dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda. 83. Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh satuan kerja perangkat daerah atau unit satuan kerja perangkat daerah pada satuan kerja perangkat daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya. BAB II PENGATURAN UMUM PAJAK DAN RETRIBUSI Bagian Kesatu Pajak Paragraf 1 Jenis Pajak Pasal 2 Jenis Pajak terdiri atas:
Pajak provinsi; dan
Pajak kabupaten/kota. Pasal 3 (1) Jenis Pajak provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah terdiri atas:
PKB;
BBNKB;
PAB; dan
PAP. (21 Jenis Pajak provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak terdiri atas:
PBBKB;
Pajak Rokok; dan
Opsen Pajak MBLB. (3) Jenis Pajak kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah terdiri atas:
PBB-P2;
Pajak Reklame;
PAT;
Opsen PKB; dan
Opsen BBNKB. (41 Jenis Pajak kabupaten/ kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Paj ak terdiri atas:
BPHTB;
PBJT atas:
Makanan dan/atau Minuman;
Tenaga Listrik;
Jasa Perhotelan;
Jasa Parkir; dan
Jasa Kesenian dan Hiburan;
Pajak MBLB; dan
Pajak Sarang Burung Walet. Paragraf 2 Masa Pajak dan Tahun Pajak Pasal 4 (l) Saat terutang Pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subjektif dan objektif atas suatu jenis Pajak dalam I (satu) kurun waktu tertentu dalam masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan Daerah. (21 Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untukjenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri Wajib Pajak atau menjadi dasar bagi Kepala Daerah untuk menetapkan Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah. (3) Masa Pajak yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender. (41 Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai masa Pajak, Tahun Pajak, dan bagian Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perkada. Paragraf 3 Pajak Provinsi Pasal 5 (1) Dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a merupakan hasil perkalian nilai jual Kendaraan Bermotor dan bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan akibat penggunaan Kendaraan Bermotor. l2l ^Dasar ^pengenaan ^PKB, ^khusus ^untuk ^Kendaraan Bermotor di air, ditetapkan hanya berdasarkan nilai jual Kendaraan Bermotor. (3) Saat terutang PKB ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor. (4) Wilayah Pemungutan PKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar. Pasal 6 (1) Dasar pengenaan BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b merupakan nilai jual Kendaraan Bermotor yang ditetapkan dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan peraturan gubernur. (21 Saat terutang BBNKB ditetapkan pada saat terjadinya penyerahan pertama Kendaraan Bermotor. (3) Wilayah Pemungutan BBNKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar. Pasal 7 (1) Dasar pengenaan PAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c merupakan nilai jual Alat Berat.
Saat terutang PAB ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat. (3) Wilayah Pemungutan PAB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penguasaan Alat Berat. Pasal 8 (l) Dasar pengenaan PAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d merupakan nilai perolehan Air Permukaan. (21 Nilai perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga dasar Air Permukaan dengan bobot Air Permukaan. (3) Besarnya nilai perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan gubernur. (41 Saat terutang PAP ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan. (5) Wilayah Pemungutan PAP yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Air Permukaan berada. (6) Penetapan besarnya nilai perolehan Air Permukaan yang ditetapkan dengan peraturan gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berpedoman pada ketentuan mengenai harga dasar Air Permukaan dan bobot Air Permukaan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan ralgrat. (71 Ketentuan mengenai harga dasar Air Permukaan dan bobot Air Permukaan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan ralryat sebagaimana dimaksud pada ayat (6), ditetapkan setelah mendapatkan pertimbangan Menteri. Pasal 9 (1) Dasar pengenaan PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a merupakan nilai jual bahan bakar Kendaraan Bermotor sebelum dikenakan pajak pertambahan nilai. (21 Saat terutang PBBKB ditetapkan pada saat terjadinya penyerahan bahan bakar Kendaraan Bermotor oleh penyedia bahan bakar Kendaraan Bermotor. (3) Wilayah Pemungutan PBBKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penyerahan bahan bakar Kendaraan Bermotor kepada konsumen atau pengguna Kendaraan Bermotor. Pasal 10 (1) Dasar pengenaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b merupakan cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap rokok. (21 Saat terutang Pajak Rokok ditetapkan pada saat terjadinya Pemungutan cukai rokok terhadap pengusaha pabrik rokok atau produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai. (3) Wilayah Pemungutan Pajak Rokok merupakan wilayah kepabeanan Indonesia. Paragraf 4 Pajak Kabupaten/ Kota Pasal 12 (l) Dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a merupakan NJOP. (21 NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (l) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2. (3) Saat terutang PBB-P2 ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan Bumi dan/atau Bangunan. (41 Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan menurut keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari. (5) Wilayah Pemungutan PBB-P2 yang terutang mempakan wilayah Daerah yang meliputi letak objek PBB-P2. (6) Termasuk dalam wilayah Pemungutan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan wilayah Daerah tempat Bumi dan/atau Bangunan berikut berada:
laut pedalaman dan perairan darat serta Bangunan di atasnya; dan
Bangunan yang berada di luar laut pedalaman dan perairan darat yang konstruksi tekniknya terhubung dengan Bangunan yang berada di daratan, kecuali pipa dan kabel bawah laut. Pasal 13 (1) Dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) ditetapkan paling rendah 207o (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak. (21 Besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas kelompok objek PBB-P2 dilakukan dengan mempertimbangkan:
kenaikan NJOP hasil penilaian;
bentuk pemanfaatan objek Pajak; dan/atau
klasterisasi NJOP dalam satu wilayah kabupaten/ kota. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Perkada. Pasal 14 (1) Dasar pengena€rn Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b merupakan nilai sewa Reklame. (21 Saat terutang Pajak Reklame ditetapkan pada saat terjadinya penyelenggaraan Reklame. (3) Wilayah Pemungutan Pajak Reklame yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penyelenggaraan Reklame. (41 Khusus untuk Reklame berjalan, wilayah Pemungutan Pajak Reklame yang terutang adalah wilayah Daerah tempat usaha penyelenggara Reklame terdaftar. Pasal 15 (1) Dasar pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf c merupakan nilai perolehan Air Tanah. (21 Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah. (3) Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam Daerah provinsi diatur dengan peraturan gubernur.
Besarnya nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam Daerah kabupaten/kota diatur dengan peraturan bupati/wali kota dengan berpedoman pada nilai perolehan Air Tanah yang ditetapkan oleh gubernur. (5) Saat terutang PAT ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah. (6) Wilayah Pemungutan PAT yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah. (7) Penetapan besarnya nilai perolehan Air Tanah yang ditetapkan dengan peraturan gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral mengenai nilai perolehan Air Tanah. (8) Peraturan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral sebagaimana dimaksud pada ayat (7l., disusun dengan memperhatikan kebijakan kemudahan berinvestasi dan ditetapkan setelah mendapat pertimbangan dari Menteri. Pasal 16 (1) Dasar pengenaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf d merupakan PKB terutang. (21 Saat terutang Opsen PKB ditetapkan pada saat terutangnya PKB. (3) Wilayah Pemungutan Opsen PKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar. Pasal 17 (1) Dasar pengenaan Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf e merupakan BBNKB terutang. (21 Saat terutang Opsen BBNKB ditetapkan pada saat terutangnya BBNKB. (3) Wilayah Pemungutan Opsen BBNKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar. Pasal 18 (1) Dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf a merupakan nilai perolehan objek pajak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Pajak dan Retribusi. (2) Saat terutang BPHTB ditetapkan pada saat terjadinya perolehan tanah dan/atau Bangunan dengan ketentuan:
pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli;
pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan untuk waris;
pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;
pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak; dan
pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang. (3) Dalam hal jual beli tanah dan/atau Bangunan tidak menggunakan perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, saat terutang BPHTB untuk jual beli adalah pada saat ditandatanganinya akta jual beli. (4) Wilayah Pemungutan BPHTB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat tanah dan/atau Bangunan berada. Pasal 19 (1) Dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (41 huruf b merupakan jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu, meliputi:
^jumlah pembayaran yang diterima oleh penyedia Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dal/ atau Minuman;
nilai jual Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
jumlah pembayaran kepada penyedia Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
jumlah pembayaran kepada penyedia atau penyelenggara tempat parkir dan/atau penyedia layanan memarkirkan kendaraan untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
jumlah pembayaran yang diterima oleh penyelenggara Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.
Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (f) menggunakan voucer atau bentuk lain yang sejenis yang memuat nilai rupiah atau mata uang lain, dasar pengenaan PBJT ditetapkan sebesar nilai rupiah atau mata uang lainnya tersebut. (3) Dalam hal tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan. (4) Dalam hal Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan pengendalian penggunaan kendaraan pribadi dan tingkat kemacetan, khusus untuk PBJT atas Jasa Parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (l) huruf d, Pemerintah Daerah dapat menetapkan dasar pengenaan sebesar tarif parkir sebelum dikenakan potongan. (5) Saat terutang PBJT ditetapkan pada saat:
pembayaran atau penyerahan atas Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
konsumsi atau pembayaran atas Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
pembayaran atau penyerahan atas Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
pembayaran atau penyerahan atas jasa penyediaan tempat parkir untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
pembayaran atau penyerahan atas Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan. (6) Wilayah Pemungutan PBJT yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan. REPTTBLIK INDONESIA Pasal 20 (1) Nilai jual Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf b ditetapkan untuk:
Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran; dan
Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri. (2) Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dihitung berdasarkan:
jumlah tagihan biaya/beban tetap ditambah dengan biaya pemakaian kWh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik, untuk pascabayar; dan
^jumlah pembelian Tenaga Listrik untuk prabayar. (3) Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan:
kapasitas tersedia;
tingkat penggunaan listrik;
^jangka waktu pemakaian listrik; dan
harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan. (4) Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (l) huruf a dan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3), penyedia Tenaga Listrik sebagai Wajib Pajak melakukan penghitungan dan Pemungutan PBJT atas Tenaga Listrik untuk penggunaan Tenaga Listrik yang dijual atau diserahkan. Pasal 2 I (l) Dasar pengenaan Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf c merupakan nilai jual hasil pengambilan MBLB. (2) Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian volume atau tonase pengambilan MBLB dengan harga patokan tiap jenis MBLB. (3) Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dihitung berdasarkan harga jual rata-rata tiap jenis MBLB pada mulut tambang yang berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan. (4) Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batu bara. (5) Saat terutang Pajak MBLB ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan MBLB di mulut tambang. (6) Wilayah Pemungutan Pajak MBLB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB. Pasal 22 (l) Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf d merupakan nilai jual sarang Burung Walet. (21 Nilai jual sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum sarang Burung Walet yang berlaku di Daerah yang bersangkutan dengan volume sarang Burung Walet. (3) Saat terutang Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet. (41 Wilayah Pemungutan Pajak Sarang Burung Walet yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet. K tlilrIIl INDO Paragraf 5 Bagi Hasil Pajak Provinsi Pasal 23 (l) Hasil penerimaan Pajak provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (l) dan ayat (2) sebagian diperuntukkan bagi kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan dengan ketentuan sebagai berikut:
hasil penerimaan PAP dibagihasilkan kepada kabupaten/kota sebesar:
soy" (lima puluh persen) jika sumber air berada pada lebih dari 1 (satu) wilayah kabupaten/kota; atau
8Oo/o (delapan puluh persen) jika sumber air berada hanya pada 1 (satu) wilayah kabupaten/ kota. b. hasil penerimaan PBBKB dibagihasilkan kepada kabupaten/ kota sebesar 70% (tujuh puluh persen); dan
hasil penerimaan Pajak Rokok dibagihasilkan kepada kabupaten/kota sebesar 70% (tujuh puluh persen). (21 Besaran bagi hasil Pajak per kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan memperhatikan aspek pemerataan dan/atau potensi antar kabupaten/ kota. (3) Besaran bagi hasil Pajak per kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dirinci dalam besaran bagi hasil Pajak per kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan, dengan ketentuan:
bagi hasil PAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibagi secara proporsional paling kurang berdasarkan variabel panjang sungai dan/atau luas daerah tangkapan air;
bagi hasil PBBKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dibagi secara proporsional paling rendah 70% (tujuh puluh persen) berdasarkan jumlah Kendaraan Bermotor yang terdaftar di kabupaten/kota yang bersangkutan dan selisihnya dibagi rata kepada seluruh kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan; dan
bagi hasil Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dibagi secara proporsional paling kurang berdasarkan variabel jumlah penduduk kabupaten/ kota di provinsi yang bersangkutan. (41 Penggunaan variabel lainnya selain variabel sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf c dalam menghitung besaran bagi hasil Pajak per kabupaten/kota diatur dengan Perda provinsi. (5) Alokasi bagi hasil Pajak per kabupaten/kota ditetapkan dengan keputusan gubernur berdasarkan Perda provinsi mengenai bagi hasil Pajak. Pasal 24 (1) Penyaluran bagi hasil Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (21 dilakukan melalui pemindahbukuan dari kas Daerah provinsi ke kas Daerah kabupaten/kota. (21 Penyaluran bagi hasil PAP dan PBBKB dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah berakhirnya ^jangka waktu yang menjadi dasar penghitungan bagi hasil Pajak. (3) Penyaluran bagi hasil Pajak Rokok dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai tata cara Pemungutan dan penyetoran Pajak Rokok. Paragraf 6 Penggunaan Hasil Penerimaan Pajak untuk Kegiatan yang Telah Ditentukan Pasal 25 (1) Hasil penerimaan PKB dan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dan ayat (3) huruf d, dialokasikan paling sedikit lOVo (sepuluh persen) untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum. (21 Hasil penerimaan PBJT atas Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf b angka 2, dialokasikan paling sedikit lOo/o (sepuluh persen) untuk penyediaan penerangan ^jalan umum. (3) Kegiatan penyediaan penerangan ^jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum serta pembayaran biaya atas konsumsi Tenaga Listrik untuk penerangan ^jalan umum. (4) Hasil penerimaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b, baik bagian ^provinsi maupun bagian kabupaten/kota, dialokasikan ^paling sedikit 50% (lima puluh persen) untuk mendanai pelayanan kesehatan untuk masyarakat dan penegakan hukum. (5) Hasil penerimaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf c, dialokasikan paling sedikit ^1O% (sepuluh persen) untuk pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam Daerah kabupaten/kota ^yang berdampak terhadap kualitas dan kuantitas Air ^Tanah, meliputi:
penanaman pohon;
pembuatan lubang atau sumur resapan;
pelestarian hutan atau ^pepohonan; dan
pengelolaan limbah.
Dalam rangka penyelarasan kebijakan fiskal dan pemantauan atas pemenuhan kewajiban Pemerintah Daerah dalam pengalokasian hasil penerimaan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5), Pemerintah menyusun bagan akun standar dan/atau melakukan penandaan atas belanja yang didanai dari hasil penerimaan Pajak tersebut. l7l ^Dalam ^hal ^Pemerintah Daerah ^tidak ^melaksanakan kewajiban dalam pengalokasian hasil penerimaan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5), dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Kedua Retribusi Paragraf I Jenis Retribusi Pasal 26 (l) Jenis Retribusi terdiri atas:
Retribusi Jasa Umum;
Retribusi Jasa Usaha; dan
Retribusi Perizinan Tertentu. (21 Jenis, objek, dan rincian objek dari setiap Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Perda mengenai Pajak dan Retribusi. (3) Dikecualikan dari objek dari setiap Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu pelayanan jasa dan/atau perizinan yang dilakukan oleh Pemerintah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta. Paragraf 2 Retribusi Jasa Umum Pasal 27 (1) Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (ll huruf a, meliputi:
pelayanan kesehatan;
pelayanan kebersihan;
pelayanan parkir di tepi jalan umum;
pelayanan pasar; dan
pengendalian lalu lintas. (21 Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan masing-masing sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan. (3) Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD. (4) Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur dalam Perkada sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Perkada sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
tidak bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi;
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
Perkada sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Perkada ditetapkan. (7) Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Umum. (8) Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang- undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum. Pasal 28 Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf a merupakan pelayanan kesehatan di puskesmas, puskesmas keliling, puskesmas pembantu, balai pengobatan, rumah sakit umum daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan administrasi. Pasal 29 (1) Pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, meliputi:
pengambilan atau pengumpulan sampah dari sumbernya ke lokasi pembuangan sementara;
pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan sementara ke lokasi pembuangan akhir sampah atau pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
penyediaan lokasi pembuangan atau pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
penyediaan dan/atau penyedotan kakus; dan
pengolahan limbah cair rumah tangga, perkantoran, dan industri. (21 Dikecualikan dari pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, sosial, dan tempat umum lainnya. Pasal 30 Pelayanan parkir di tepi jalan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 31 Pelayanan pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf d merupakan penyediaan fasilitas pasar tradisional atau sederhana, berupa pelataran, los, dan kios yang dikelola oleh Pemerintah Daerah. Pasal 32 (1) Pengendalian lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2T ayat (1) huruf e merupakan pengendalian atas penggunaan ruas jalan tertentu, koridor tertentu, atau kawasan tertentu pada waktu tertentu oleh pengguna Kendaraan Bermotor. (21 Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian lalu lintas diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perhubungan. Pasa.l 33 (1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut. (21 Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasional dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal. (3) Dalam hal penetapan tarif hanya memperhatikan biaya penyediaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (41 Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai BLUD. Paragraf 3 Retribusi Jasa Usaha Pasal 34 (1) Jenis penyediaan atau pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha meliputi:
penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan;
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila;
pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
pelayanan jasa kepelabuhanan;
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air;
penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (2) Penyediaan atau pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan jasa atau pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah masing- masing sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD. (4) Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur dalam Perkada sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Perkada sebagaimana dimaksud pada ayat (41 dilaksanakan dengan ketentuan:
tidak bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi;
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
Perkada sebagaimana dimaksud pada ayat (41 disampaikan kepada Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak ditetapkan. (71 Subjek Retribusi Jasa Usaha mempakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Usaha. (8) Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang- undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Usaha. Pasal 35 Penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf a merupakan penyediaan tempat kegiatan usaha berupa fasilitas pasar grosir dan fasilitas pasar atau pertokoan yang dikontrakkan, serta tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan atau diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah. Pasal 36 (1) Penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat ( I ) huruf b merupakan penyediaan tempat pelelangan yang secara khusus disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk melakukan pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk jasa pelelangan serta fasilitas lainnya yang disediakan di tempat pelelangan. (21 Termasuk penyediaan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) merupakan tempat yang disewa oleh Pemerintah Daerah dari pihak lain untuk dijadikan sebagai tempat pelelangan. Pasal 37 Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah. Pasal 38 Penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf d merupakan penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah. Pasal 39 Pelayanan rumah pemotongan hewan ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf e merupakan pelayanan penyediaan fasilitas pemotongan hewan ternak termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah. Pasal 40 Pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (l) huruf f merupakan pelayanan kepelabuhanan pada pelabuhan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah. Pasal 41 Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf g merupakan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah. Pasal 42 Pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf h merupakan pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah. Pasal 43 Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf i merupakan penjualan hasil produksi usaha Daerah oleh Pemerintah Daerah. Pasal 44 (1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha untuk memperoleh keuntungan yang layak. (21 Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (l) merupakan keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan Jasa Usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar. (3) Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai BLUD. Paragraf 4 Retribusi Perizinan Tertentu Pasal 45 (1) Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (l) huruf c meliputi:
persetujuan Bangunan gedung;
penggunaan tenaga kerja asing; dan
pengelolaan pertambangan rakyat. (21 Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah masing-masing sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pemberian Perizinan Tertentu. (41 Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizir,an Tertentu. Pasal 46 (1) Pelayanan pemberian izin persetujuan Bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) huruf a meliputi penerbitan persetujuan Bangunan gedung dan sertifikat laik fungsi oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (21 Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) yaitu pemberian izin persetujuan Bangunan milik Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Bangunan yang memiliki fungsi keagamaan atau peribadatan. Pasal 47 (1) Pelayanan penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga kerja asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu penggunaan tenaga keda asing oleh instansi Pemerintah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan. Pasal 48 (1) Pelayanan pengelolaan pertambangan ralryat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) huruf c merupakan pelayanan pembinaan dan pengawasan kepada pemegang izin pertambangan ralgrat oleh Pemerintah Daerah dalam rangka menjalankan delegasi kewenangan Pemerintah di bidang pertambangan mineral dan batu bara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (21 Pelayanan pengelolaan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (l) diberikan kepada:
orang perseorangan yang merupakan penduduk setempat; atau
koperasi yang anggotanya merupakan penduduk setempat. Pasal 49 (1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan. (21 Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (l) meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
Khusus untuk pelayanan persetujuan Bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (ll, biaya penyelenggaraan layanan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Bangunan gedung. (4) Khusus untuk pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1), biaya penyelenggaraan pemberian izin mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing. (5) Khusus untuk pelayanan pemberian izin pengelolaan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1), biaya pengelolaan pertambangan ralgrat mengacu pada ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku pada kementerian di bidang energi dan sumber daya mineral. Paragraf 5 Pemanfaatan Penerimaan Retribusi Pasal 50 (1) Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan. (21 Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai BLUD. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Perkada. >
Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Bersifat Volatil dan Kebutuhan Mendesak pada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Ra ...
Relevan terhadap
Dengan pertimbangan tertentu, tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) dapat dikenakan tarif sampai dengan Rp0,00 (nol rupiah) atau 0% (nol persen).
Pertimbangan tertentu sebagaimana pada ayat (1) meliputi:
mendukung pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah;
masyarakat tidak mampu;
mahasiswa;
faktor keringanan sewa rumah negara tapak bagi aparatur sipil negara;
faktor penyesuai sewa satuan rumah susun yang berupa keringanan;
keadaan di luar kemampuan wajib bayar atau kondisi kahar;
penyelenggaraan kegiatan sosial;
penyelenggaraan kegiatan kenegaraan; dan/atau
kebijakan pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran, persyaratan dan tata cara pengenaan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat setelah mendapatkan persetujuan Menteri Keuangan.
Pembebasan Bea Masuk atas Impor Bibit dan Benih untuk Pembangunan dan Pengembangan Industri Pertanian, Peternakan, atau Perikanan ...
Relevan terhadap
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PEMBEBASAN BEA MASUK ATAS IMPOR/PENGELUARAN ^) BIBIT DAN BENIH UNTUK PEMBANGUNAN DAN PENGEMBANGAN INDUSTRI PERTANIAN, KESATU : Memberikan pembebasan bea masuk atas impor/pengeluaran ^) Bibit dan Benih untuk pembangunan dan pengembangan industri pertanian, peternakan, atau perikanan kepada:
Nama :
.........(2)...........
NPWP :
.........(9)...........
Alamat :
.........(10)........... dengan rincian jumlah, harga, negara asal, dan pelabuhan/bandar udara pemasukan sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Menteri ini. KEDUA : Pelaksanaan pengimporan/pengeluaran ^*) Bibit dan Benih sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESATU harus memenuhi ketentuan umum di bidang impor. KETIGA : Dalam hal Bibit dan Benih sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESATU dikenakan ketentuan larangan, pembatasan, atau tata niaga impor, ketentuan tersebut harus dipenuhi pada saat barang tersebut diimpor. KEEMPAT : Pembebasan bea masuk sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESATU diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:
Bibit dan Benih sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESATU akan dipergunakan untuk pembangunan dan pengembangan serta untuk dikembangbiakkan pada industri pertanian, peternakan, atau perikanan;
apabila syarat tersebut pada huruf a tidak dipenuhi atau terdapat penyalahgunaan dari barang sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESATU, Keputusan Menteri mengenai pemberian pembebasan bea masuk ini dinyatakan tidak berlaku; dan
terhadap Bibit dan Benih yang telah disalahgunakan dikenakan bea masuk yang terutang serta sanksi administrasi berupa denda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. KELIMA : Menunjuk ..........(11)........... sebagai tempat pemasukan/pengeluaran ^*) , dan menunjuk ..........(12)........... sebagai Kantor Pabean tempat penyelesaian kewajiban pabean atas barang impor sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESATU. KEENAM : Pemberian pembebasan bea masuk ini sewaktu-waktu dapat dilakukan pemeriksaan kemudian oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. KETUJUH : Jangka waktu pengimporan atas impor Bibit dan Benih yang diberikan pembebasan bea masuk sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESATU diberikan selama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal ditetapkannya Keputusan Menteri ini. KEDELAPAN :
.........(2)........... wajib menyampaikan laporan pemanfaatan Bibit dan Benih kepada Kepala ..........(12)........... sebagai Kantor Pabean tempat penyelesaian kewajiban pabean setiap 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal pemberitahuan pabean sampai dengan terealisasinya tujuan untuk dikembangbiakkan. KESEMBILAN : Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Salinan Keputusan Menteri ini disampaikan kepada:
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan;
Menteri Keuangan;
..........(13)...........;
..........(2)............ Ditetapkan di ..........(14)............ pada tanggal ..........(15).............
n. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA *) Coret yang tidak perlu LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR ..........(1).......... TENTANG PEMBEBASAN BEA MASUK ATAS IMPOR ATAU PENGELUARAN BIBIT DAN BENIH UNTUK PEMBANGUNAN DAN PENGEMBANGAN INDUSTRI PERTANIAN, PETERNAKAN, ATAU PERIKANAN KEPADA ..........(2)........... DAFTAR BIBIT DAN BENIH YANG MENDAPATKAN PEMBEBASAN BEA MASUK Nama :
.........(2)............. NPWP :
.........(9)........... Alamat :
.........(10)........... NO URAIAN BIBIT DAN BENIH JUMLAH DAN SATUAN BIBIT DAN BENIH PERKIRAAN NILAI PABEAN NEGARA ASAL PELABUHAN PEMASUKAN a.n. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PETUNJUK PENGISIAN Nomor (1) : diisi nomor Keputusan Menteri mengenai pemberian pembebasan bea masuk atas impor atau pengeluaran Bibit dan Benih untuk pembangunan dan pengembangan industri pertanian, peternakan atau perikanan. Nomor (2) : diisi Pelaku Usaha penerima pembebasan bea masuk. Nomor (3) : diisi nomor surat permohonan pembebasan bea masuk. Nomor (4) : diisi tanggal surat permohonan pembebasan bea masuk. Nomor (5) : diisi jabatan pejabat yang menandatangani surat permohonan pembebasan bea masuk. Nomor (6) : diisi kementerian/lembaga penerbit rekomendasi beserta nomor dan tanggal rekomendasi. Nomor (7) : diisi nomor dan tanggal __ invoice atau dokumen yang dipersamakan. Nomor (8) : diisi nomor Peraturan Menteri mengenai pembebasan bea masuk atas impor Bibit dan Benih untuk pembangunan dan pengembangan industri pertanian, peternakan atau perikanan. Nomor (9) : diisi Nomor Pokok Wajib Pajak Pelaku Usaha penerima pembebasan bea masuk Bibit dan Benih. Nomor (10) : diisi alamat Pajak Pelaku Usaha penerima pembebasan bea masuk Bibit dan Benih. Nomor (11) : diisi pelabuhan/bandar udara/gudang berikat/kawasan berikat/tempat penyelenggaraan pameran berikat/tempat lelang berikat/kawasan ekonomi khusus/kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas tempat penyelesaian kewajiban pabean Bibit dan Benih. Nomor (12) : diisi nama Kantor Pabean yang ditunjuk sebagai tempat penyelesaian kewajiban pabean atas impor Bibit dan Benih. Nomor (13) : diisi para pihak yang perlu diberikan salinan Keputusan Menteri. Nomor (14) : diisi kota tempat Keputusan Menteri ditetapkan. Nomor (15) : diisi tanggal Keputusan Menteri ditetapkan. Nomor (16) : diisi nama pejabat yang menandatangani Keputusan Menteri. Nomor (17) : diisi nomor urut Bibit dan Benih. Nomor (18) : diisi uraian jenis Bibit dan Benih. Nomor (19) : diisi jumlah dan satuan Bibit dan Benih. Nomor (20) : diisi perkiraan nilai pabean Bibit dan Benih. Nomor (21) : diisi negara asal Bibit dan Benih. Nomor (22) : diisi pelabuhan/bandar udara tempat pemasukan Bibit dan Benih. B. CONTOH FORMAT SURAT PEMBERITAHUAN PENOLAKAN PERMOHONAN UNTUK MENDAPATKAN PEMBEBASAN BEA MASUK ATAS IMPOR ATAU PENGELUARAN BIBIT DAN BENIH KOP SURAT __ Nomor :
............ (1).............. ............(2)............. Lampiran :
............ (3) ............. Hal : Pemberitahuan Penolakan Permohonan Pembebasan Bea Masuk atas Impor/Pengeluaran*) Bibit dan Benih Yth............... (4)...................…………………………………….. __ __ Sehubungan dengan surat Saudara Nomor ...............(5)..............., dengan ini kami sampaikan hal-hal sebagai berikut:
Melalui surat Nomor...……….(5)……… tersebut, Saudara mengajukan permohonan untuk mendapatkan pembebasan bea masuk atas impor/pengeluaran*) Bibit dan Benih berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor ............... (6)..............., dengan rincian sebagai berikut ............... (7)...............
Sesuai dengan hasil penelitian terhadap berkas permohonan Saudara, dapat disampaikan bahwa:
.........................................................(8)................................................................... .............................................................................................................…………….
Memperhatikan dengan hal tersebut butir 2, permohonan Saudara ditolak/tidak dapat dilakukan pemrosesan lebih lanjut.
Dalam hal Saudara memerlukan informasi lebih lanjut, dapat menghubungi ................(9).................... Demikian disampaikan untuk menjadi perhatian.
n. Menteri Keuangan Republik Indonesia Kepala ...........(10).............., Tembusan : *) Coret yang tidak perlu PETUNJUK PENGISIAN Nomor (1) : diisi nomor surat pemberitahuan penolakan. Nomor (2) : diisi tanggal surat pemberitahuan penolakan. Nomor (3) : diisi jumlah dokumen yang dilampirkan dalam surat pemberitahuan penolakan. Nomor (4) : diisi nama lengkap dan jabatan pejabat yang menandatangani surat permohonan pembebasan bea masuk. Nomor (5) : diisi nomor surat permohonan pembebasan bea masuk. Nomor (6) : diisi nomor Peraturan Menteri mengenai pembebasan bea masuk atas impor Bibit dan Benih untuk pembangunan dan pengembangan industri pertanian, peternakan atau perikanan. Nomor (7) : diisi rincian jumlah, jenis, perkiraan harga, dan informasi lainnya mengenai Bibit dan Benih yang diajukan permohonan pembebasan bea masuk. Nomor (8) : diisi hasil penelitian terhadap berkas permohonan. Nomor (9) : diisi contact center Kantor Pabean. Nomor (10) : diisi nama Kantor Pabean yang menerbitkan surat pemberitahuan penolakan. Nomor (11) : diisi nama pejabat yang menandatangani surat pemberitahuan penolakan. Nomor (12) : diisi nama instansi yang diberikan tembusan atas terbitnya surat pemberitahuan penolakan. C. CONTOH FORMAT LAPORAN PEMANFAATAN BIBIT DAN BENIH LAPORAN PEMANFAATAN BIBIT DAN BENIH YANG MENDAPATKAN PEMBEBASAN BEA MASUK Nama Pelaku Usaha/Perusahaan :
.…(1)….. Nomor Surat KMK :
.…(2)….. No. Periode Pelaporan Realisasi Impor Pemanfaatan Bibit/Benih Hasil Pengembangbiakan Keterangan No Pendaftaran PIB Tgl PIB Uraian Barang Jumlah Jumlah Pemanfaatan pada periode pelaporan Akumulasi Pemanfaatan s.d. periode pelaporan Sisa Pemanfaatan Jumlah yang tidak dimanfaatkan Total Pengembangbiakan Akumulasi Pengembangbiakan s.d. periode pelaporan …(3)…...(4)…...(5)…...(6)…...(7)…...(8)…...(9)…...(10)…...(11)…...(12)…...(13)…...(14)…...(15)… ……….(18)………. PETUNJUK PENGISIAN Nomor (1) : diisi nama Pelaku Usaha penerima pembebasan bea masuk. Nomor (2) : diisi nomor Keputusan Menteri mengenai pemberian pembebasan bea masuk atas impor atau pengeluaran Bibit dan Benih untuk pembangunan dan pengembangan industri pertanian, peternakan atau perikanan. Nomor (3) : diisi nomor urut Bibit dan Benih. Nomor (4) : diisi dengan urutan angka romawi, tanggal, bulan, dan tahun periode pelaporan. Nomor (5) : diisi nomor pemberitahuan pabean impor dari barang impor yang tercantum dalam Keputusan Menteri mengenai pemberian pembebasan bea masuk atas impor atau pengeluaran Bibit dan Benih untuk pembangunan dan pengembangan industri pertanian, peternakan atau perikanan. Nomor (6) : diisi tanggal, bulan, dan tahun pemberitahuan pabean impor dari barang impor yang tercantum dalam Keputusan Menteri mengenai pemberian pembebasan bea masuk atas impor atau pengeluaran Bibit dan Benih untuk pembangunan dan pengembangan industri pertanian, peternakan atau perikanan. Nomor (7) : diisi uraian jenis Bibit dan Benih. Nomor (8) : diisi jumlah dan satuan Bibit dan Benih. Nomor (9) : diisi jumlah dan satuan Bibit dan Benih yang sudah dimanfaatkan pada periode pelaporan. Nomor (10) : diisi akumulasi jumlah dan satuan Bibit dan Benih yang sudah dimanfaatkan sampai dengan periode pelaporan. Nomor (11) : diisi jumlah dan satuan Bibit dan Benih yang belum dimanfaatkan sampai dengan periode pelaporan. Nomor (12) : diisi jumlah dan satuan Bibit dan Benih yang tidak dimanfaatkan. Contoh : mati atau rusak. Nomor (13) : diisi jumlah dan satuan tumbuhan atau hewan yang dihasilkan atas hasil pengembangbiakan Bibit dan Benih yang mendapatkan pembebasan bea masuk. Nomor (14) : diisi akumulasi jumlah dan satuan tumbuhan atau hewan yang dihasilkan atas hasil pengembangbiakan Bibit dan Benih yang mendapatkan pembebasan bea masuk. Nomor (15) : diisi keterangan “mati”, “rusak”, atau keterangan lainnya atas Bibit dan Benih yang tidak dimanfaatkan. Nomor (16) : diisi tempat diterbitkannya laporan pemanfaatan Bibit dan Benih yang mendapatkan pembebasan bea masuk. Nomor (17) : diisi tanggal, bulan, dan tahun diterbitkannya laporan pemanfaatan Bibit dan Benih yang mendapatkan pembebasan bea masuk. Nomor (18) : diisi nama dan jabatan pejabat dari Pelaku Usaha yang menandatangani laporan pemanfaatan Bibit dan Benih yang mendapatkan pembebasan bea masuk. D. CONTOH FORMAT KEPUTUSAN MENTERI MENGENAI PEMBERIAN IZIN PEMUSNAHAN BIBIT DAN BENIH KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR ..........(1).......... TENTANG PEMBERIAN IZIN PEMUSNAHAN BIBIT DAN BENIH YANG DIIMPOR/DIKELUARKAN*) DENGAN MEMPEROLEH PEMBEBASAN BEA MASUK UNTUK PEMBANGUNAN DAN PENGEMBANGAN INDUSTRI PERTANIAN, PETERNAKAN, ATAU PERIKANAN KEPADA ..........(2).......... MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Tata Cara Pengajuan dan Penerbitan Keputusan Mengenai Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan dan Perolehan Harta Dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, ...
Relevan terhadap 1 lainnya
KETIGA KEDUA PERTAMA Menetapkan a. bahwa berdasarkan Surat Permohonan Wajib Pajak . N omor........ . . tanggal ;
bahwa permohonan penggunaan nilai buku atas pengalihan harta dalam rangka Penggabungan/ Peleburan/ Pengambilalihan Usaha *) tersebut tidak memenuhi persyaratan formal untuk dapat dipertimbangkan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 205/PMK.010/2018 tentang Perubahan atas PMK Nomor 52/PMK.010/2017 tentang Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan dan Perolehan Harta Dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, Pemekaran, atau Pengambilalihan Usaha dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER- 03/PJ/2021 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penerbitan Keputusan Mengenai Penggunaan Nilai Buku Atas Pengalihan dan Perolehan Harta Dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, Pemekaran, atau Pengambilalihan Usaha;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Penolakan Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan Harta dalam Rangka Penggabungan/Peleburan/Pengambilalihan Usaha *);
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 205/PMK.010/2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 52/PMK.010/2017 tentang Penggunaan Nilai Buku Atas Pengalihan dan Perolehan Harta Dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, Pemekaran, Atau Pengambilalihan Usaha; Mengingat Menimbang PENOLAKAN PENGGUNAAN NILAI BUKU ATAS PENGALIHAN HARTA DALAM RANGKA PENGGABUNGAN/PELEBURAN/ PENGAMBILALIHAN USAHA *) DIREKTUR JENDERAL PAJAK, TENTANG KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR: KEP- /WPJ /20 . KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK 1. Bagi Wajib Pajak yang Melakukan Penggabungan, Peleburan, atau Pengambilalihan Usaha H. CONTOH FORMAT SURAT KEPUTUSAN PENOLAKAN PENGGUNAAN NILAI BUKU Catatan: *) Coret yang tidak perlu Ditetapkan di . Pada tanggal 20 .
n. DIREKTUR JENDERAL PAJAK KEPALA KANTOR WILAYAH DJP , Salinan Keputusan Direktur Jenderal ini disampaikan kepada:
Direktur Jenderal Pajak 2. Kepala Kantor Wilayah DJP . 3. Kepala Kantor Pelayanan Pajak . Keputusan Direktur Jenderal ini berlaku sejak tanggal ditetapkan sehingga Wajib Pajak menggunakan nilai pasar atas pengalihan harta dan dapat ditinjau kembali apabila di kemudian hari terdapat kekeliruan. kepada: PT . Menolak permohonan Wajib Pajak: Nama Wajib Pajak :
NPWP . Jenis Usaha/KLU :
Alamat . untuk menggunakan nilai buku atas pengalihan harta dalam rangka Penggabungan/Peleburan/Pengambilalihan Usaha *): dari :
PT . 2) PT . 3) dst. KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PENOLAKAN PENGGUNAAN NILA! BUKU ATAS PENGALIHAN HARTA DALAM RANG KA PENGGABUNGAN /PELEBURAN /PENGAMBILALIHAN USAHA. *)
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2021 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penerbitan Keputusan Mengenai Penggunaan Nilai Buku Atas Pengalihan dan Perolehan Harta Dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, Pemekaran, atau Pengambilalihan Usaha; - 23 - KEDUA PERTAMA Menetapkan 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 205/PMK.010/2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 52/PMK.010/2017 tentang Penggunaan Nilai Buku Atas Pengalihan dan Perolehan Harta Dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, Pemekaran, Atau Pengambilalihan Usaha;
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2021 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penerbitan Keputusan Mengenai Penggunaan Nilai Buku Atas Pengalihan dan Perolehan Harta Dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, Pemekaran, atau Pengambilalihan Usaha;
bahwa berdasarkan Surat Permohonan Wajib Pajak . N omor........ . . tanggal ;
bahwa permohonan penggunaan nilai buku atas pengalihan harta dalam rangka Pemekaran Usaha tersebut tidak memenuhi persyaratan formal untuk dapat dipertimbangkan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 205/PMK.010/2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 52/PMK.010/2017 tentang Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan dan Perolehan Harta Dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, Pemekaran, atau Pengambilalihan Usaha dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER- 03/PJ/2021 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penerbitan Keputusan Mengenai Penggunaan Nilai Buku Atas Pengalihan dan Perolehan Harta Dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, Pemekaran, atau Pengambilalihan Usaha;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Penolakan Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan Harta dalam Rangka Pemekaran U saha; DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Mengingat Menimbang PENOLAKAN PENGGUNAAN NILAI BUKU ATAS PENGALIHAN HARTA DALAM RANGKA PEMEKARAN USAHA KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR: KEP- /WPJ /20 . TENTANG KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK 2. Bagi Wajib Pajak yang Melakukan Pemekaran Usaha - 24 - Catatan: *) Coret yang tidak perlu Ditetapkan di . Pada tanggal 2<> .
n. DIREKTUR JENDERAL PAJAK KEPALA KANTOR WILAYAH DJP , Salinan Keputusan Direktur Jenderal ini disampaikan kepada:
Direktur Jenderal Pajak 2. Kepala Kantor Wilayah DJP . 3. Kepala Kantor Pelayanan Pajak . Menolak permohonan Wajib Pajak: Nama Wajib Pajak . NPWP . Jenis Usaha/KLU . Alamat . untuk menggunakan nilai buku atas pengalihan harta dalam rangka Pemekaran U saha: dari : PT . kepada :
PT . 2) PT . 3) dst. Keputusan Direktur Jenderal ini berlaku sejak tanggal ditetapkan sehingga Wajib Pajak menggunakan nilai pasar atas pengalihan harta dan dapat ditinjau kembali apabila di kemudian hari terdapat kekeliruan. KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PENOLAKAN PENGGUNAAN NILAI BUKU ATAS PENGALIHAN HARTA DALAM RANGKA PEMEKARAN USAHA.
Tata Cara Pelaksanaan Subsidi Bunga/Subsidi Marjin untuk Kredit Usaha Rakyat
Relevan terhadap
bahwa sesuai dengan Pasal 8 Keputusan Presiden Nomor 14 Tahun 2015 tentang Komite Kebijakan Pembiayaan bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 14 Tahun 2015 tentang Komite Kebijakan Pembiayaan bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, ketentuan mengenai imbal jasa penjaminan, subsidi bunga dan fasilitas lainnya untuk pelaksanaan kebijakan pembiayaan bagi usaha mikro, kecil, dan menengah diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan;
bahwa untuk melaksanakan Pasal 8 Keputusan Presiden Nomor 14 Tahun 2015 tentang Komite Kebijakan Pembiayaan bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 14 Tahun 2015 tentang Komite Kebijakan Pembiayaan bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagaimana dimaksud dalam huruf a, telah ditetapkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 20/PMK.05/2016 tentang Tata Cara Pelaksanaan Subsidi Bunga untuk Kredit Usaha Rakyat;
bahwa dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Selaku Ketua Komite Kebijakan Pembiayaan bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Nomor 9 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Selaku Ketua Komite Kebijakan Pembiayaan bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Kredit Usaha Rakyat, terdapat perluasan cakupan penyalur dan skema penyaluran kredit usaha rakyat melalui skema syariah dengan pemberian fasilitas subsidi marjin;
bahwa untuk mengakomodir perluasan cakupan penyalur dan skema penyaluran kredit usaha rakyat sebagaimana dimaksud dalam huruf c, perlu dilakukan pengaturan kembali terhadap tata cara pelaksanaan subsidi bunga untuk kredit usaha rakyat yang sebelumnya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 20/PMK.05/2016 tentang Tata Cara Pelaksanaan Subsidi Bunga untuk Kredit Usaha Rakyat;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pelaksanaan Subsidi Bunga/Subsidi Marjin untuk Kredit Usaha Rakyat;
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Kredit Usaha Rakyat yang selanjutnya disingkat KUR adalah kredit/pembiayaan modal kerja dan/atau investasi kepada debitur usaha yang produktif dan layak namun belum memiliki agunan tambahan atau agunan tambahan belum cukup.
Subsidi Bunga adalah bagian bunga yang menjadi beban Pemerintah sebesar selisih antara tingkat bunga yang diterima oleh penyalur KUR dengan tingkat bunga yang dibebankan kepada penerima KUR.
Subsidi Marjin adalah bagian marjin yang menjadi beban Pemerintah sebesar selisih antara marjin yang diterima oleh penyalur KUR dengan marjin yang dibebankan kepada penerima KUR dalam skema pembiayaan syariah.
Menteri Keuangan yang selanjutnya disebut Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
Kementerian/Lembaga yang selanjutnya disingkat K/L adalah kementerian negara/lembaga pemerintah non kementerian negara/lembaga negara.
Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab atas penggunaan anggaran pada K/L yang bersangkutan.
Kuasa Pengguna Anggaran Subsidi Kredit Usaha Rakyat yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kewenangan dan tanggung jawab dari PA untuk menggunakan anggaran untuk pembayaran subsidi atas KUR.
Komite Kebijakan Pembiayaan Bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang selanjutnya disebut Komite Kebijakan adalah komite yang dibentuk oleh Presiden dengan Keputusan Presiden yang diberi kewenangan dalam memberikan arahan terhadap kebijakan program KUR.
Penerima KUR adalah pihak yang memenuhi kriteria untuk menerima KUR sesuai dengan Pedoman Pelaksanaan KUR.
Penyalur KUR adalah lembaga yang memenuhi persyaratan untuk menyalurkan KUR sesuai dengan Pedoman Pelaksanaan KUR.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi BUN.
Baki Debet adalah sisa pokok pinjaman/sisa pokok pembiayaan yang wajib dibayar kembali oleh Penerima KUR kepada Penyalur KUR.
Sistem Informasi Kredit Program yang selanjutnya disingkat SIKP adalah sistem informasi elektronik yang digunakan untuk menatausahakan dan menyediakan informasi penyaluran kredit program.
Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Bersifat Volatil yang Berlaku pada Kementerian Perdagangan ...
Relevan terhadap
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG JENIS DAN TARIF ATAS JENIS PENERIMMN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERSIFAT VOLATIL YANG BERLAKU PADA KEMENTERIAN PERDAGANGAN. Pasal 1 (1) Jenis penerimaan negara bukan pajak yang bersifat volatil yang berlaku pada Kementerian Perdagangan meliputi penerimaan dari:
jasa pengujian dan pengambilan contoh;
jasa pengujian dalam rangka penerbitan sertifikat evaluasi tipe, dan/atau sertifikat keterangan hasil pengujian alat ukur, alat takar, alat timbang dan alat perlengkapan;
jasa verifikasi;
jasa kalibrasi;
jasa tera dan tera ulang alat ukur, alat takar, alat timbang, dan alat perlengkapan yang memerlukan penanganan khusus;
jasa uji profisiensi kalibrasi; dan
jasa pelatihan teknis. (2) Tarif atas jenis penerimaan negara bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 2 (1) Tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari jasa pelatihan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf g selain tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini, dapat dilaksanakan berdasarkan kontrak kerja sama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar nilai nominal yang tercantum dalam kontrak kerja sama. jdih.kemenkeu.go.id Pasal 3 (1) Tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari jasa pengujian dan pengambilan contoh se bagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a dan jasa pelatihan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf g, untuk kegiatan di luar kantor Kementerian Perdagangan, tidak termasuk biaya akomodasi, uang harian, dan biaya transportasi untuk petugas. (2) Biaya akomodasi, uang harian, dan biaya transportasi untuk petugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan kepada wajib bayar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 4 (1) Tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, untuk kegiatan di luar kantor Kementerian Perdagangan, tidak termasuk biaya akomodasi, uang harian, biaya transportasi, biaya asuransi keselamatan kerja, biaya asuransi peralatan standar, biaya visa, dan biaya tes kesehatan untuk petugas. (2) Biaya akomodasi, uang harian, biaya transportasi, biaya asuransi keselamatan kerja, biaya asuransi peralatan standar, biaya visa, dan biaya tes kesehatan untuk petugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan kepada wajib bayar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Pasal 5 Tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari j asa verifikasi se bagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf t, dikenakan tarif sebesar Rp0,00 (nol rupiah) kepada unit metrologi legal atau pemerintah kabupaten/kota yang melaksanakan kegiatan metrologi legal. Pasal 6 (1) Dengan pertimbangan tertentu, tarif atas Jen1s penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dapat ditetapkan sampai dengan Rp0,00 (nol rupiah) atau 0% (nol persen). (2) Pertimbangan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di antaranya berupa:
produsen alat ukur, alat takar, alat timbang, dan alat perlengkapan yang berasal dari dalam negeri yang memenuhi persyaratan dan tata cara yang ditetapkan. b. lembaga pendidikan formal yang memiliki peralatan dalam rangka mendukung pendidikan, penelitian, pengembangan, dan pengabdian masyarakat;
mahasiswa yang memiliki surat keterangan tidak mampu; jdih.kemenkeu.go.id d. peserta dari kabupaten/kota dengan kategori terluar, terpencil dan tertinggal (3T); dan/atau
usaha mikro, kecil, dan menengah. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran, persyaratan, dan tata cara pengenaan tarif sampai dengan Rp0,00 (nol rupiah) atau 0% (nol persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 7 Seluruh penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) wajib disetor ke Kas Negara. Pasal 8 Jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak se bagaimana dimaksud dalam Pas al 1 yang telah di pungu t dan telah disetorkan ke Kas Negara sebelum Peraturan Menteri ini mulai berlaku, diakui sebagai tarif penerimaan negara bukan pajak sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini. Pasal 9 Peraturan Menteri m1 mulai berlaku pada tanggal diundangkan. jdih.kemenkeu.go.id
Platform Digital Sinergi Kebijakan Fiskal Nasional
Relevan terhadap
B. PENYELENGGARAAN PLATFORM DIGITAL SKFN Penyelenggaraan Platform Digital SKFN berfokus sebagai suatu wadah penggunaan teknologi digital terintegrasi untuk meningkatkan layanan publik dan menciptakan nilai publik ( public value ) dalam rangka sinergi kebijakan fiskal nasional. Penggunaan teknologi digital terintegrasi dalam Platform Digital SKFN ini menjadi penghubung antar pemerintahan ( Government to Government /G2G), Pemerintah dengan masyarakat ( Government to Citizen /G2C), Pemerintah dengan pelaku usaha ( Government to Bussiness /G2B), dan Pemerintah dengan berbagai pemangku kepentingan lainnya ( Government to Society /G2S). Penyelenggaraan Platform Digital SKFN merupakan upaya pengembangan dan transformasi SIKD sebagai backbone dalam mewujudkan implementasi kebijakan HKPD dan peraturan pelaksanaannya antara lain pada harmonisasi kebijakan fiskal nasional, pajak daerah dan retribusi daerah, serta pengelolaan transfer ke daerah. Tujuan penyelenggaraan Platform Digital SKFN memberikan arahan mengenai tata cara penyelenggaraan platform digital SKFN secara sistematis agar platform digital SKFN yang dikembangkan memenuhi prinsip interoperabilitas, akuntabilitas, keamanan, akurat, relevan, tepat waktu, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Penetapan Jenis Barang Kena Pajak Selain Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Tata Cara Pengecualian Pengenaan Pajak ...
Relevan terhadap
Untuk memperoleh SKB PPnBM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3), Wajib Pajak mengajukan permohonan SKB PPnBM kepada Direktur Jenderal Pajak secara elektronik melalui laman Direktorat Jenderal Pajak atau laman yang terintegrasi dengan sistem Direktorat Jenderal Pajak.
Permohonan SKB PPnBM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat informasi:
nama;
alamat;
Nomor Pokok Wajib Pajak;
jenis usaha atau instansi/lembaga, dalam hal Barang Kena Pajak yang tergolong mewah digunakan untuk keperluan atau kepentingan negara;
nama dan/atau jenis barang;
kuantitas barang;
Nilai Impor, dalam hal impor atau Harga Jual, dalam hal penyerahan;
PPnBM terutang;
nomor dan tanggal invois (invoice), dalam hal melakukan impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah;
nomor dan tanggal kontrak pembelian atau surat perjanjian jual beli atau dokumen yang dipersamakan, dalam hal menerima penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah;
kurs mata uang asing serta nomor dan tanggal Keputusan Menteri yang digunakan saat permohonan, dalam hal melakukan impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah; dan
identitas pengurus atau pejabat yang berwenang dari instansi yang mengajukan permohonan.
Permohonan SKB PPnBM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen pendukung yang diunggah melalui laman Direktorat Jenderal Pajak atau laman yang terintegrasi dengan sistem Direktorat Jenderal Pajak.
Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa fotokopi dokumen:
invois (invoice), dalam hal melakukan impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah;
kontrak pembelian atau surat perjanjian jual beli atau dokumen yang dipersamakan yang memuat keterangan nama penjual, nama pembeli, serta jenis dan spesifikasi Barang Kena Pajak yang tergolong mewah, dalam hal menerima penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah;
dokumen yang menunjukkan kegiatan usaha angkutan udara atau usaha angkutan umum di perairan berupa nomor izin berusaha dan sertifikat standar yang telah diverifikasi atau surat izin usaha angkutan udara atau izin usaha angkutan umum di perairan yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perizinan berusaha, dalam hal Wajib Pajak melakukan impor atau menerima penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b atau huruf d; dan
dokumen yang menunjukkan kegiatan usaha pariwisata berupa nomor izin berusaha dan sertifikat standar yang telah diverifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Usaha Bidang Pariwisata atau izin usaha pariwisata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perizinan berusaha, dalam hal Wajib Pajak melakukan impor atau menerima penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf e.
Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Wajib Pajak harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
tidak memiliki utang pajak, kecuali Wajib Pajak mendapatkan izin untuk menunda atau mengangsur pembayaran pajak; dan
telah menyampaikan:
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan 2 (dua) Tahun Pajak terakhir; dan
Surat Pemberitahuan Masa PPN 3 (tiga) Masa Pajak terakhir, yang telah menjadi kewajibannya baik bagi pusat maupun cabang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual Nomor 19 Pengaturan Bersama
Relevan terhadap
LAMPIRAN B: DASAR KESIMPULAN (BASIS FOR CONCLUSION) 1 ( Dasar Kesimpulan ini melengkapi, tetapi bukan merupakan bagian dari 2 Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) Pengaturan Bersama. ) 3 Tujuan 4 DK 01. Dasar Kesimpulan ini merangkum pertimbangan Komite Standar 5 Akuntansi Pemerintahan (KSAP) dalam mencapai kesimpulan PSAP 6 Pengaturan Bersama. Karena Pernyataan Standar ini didasarkan pada 7 IPSAS 37 tentang Joint Arrangements (diterbitkan pada tahun 2015, 8 termasuk amandemen hingga Januari 2017), yang dikeluarkan oleh 9 IPSASB, Dasar Kesimpulan menguraikan perbedaan antara PSAP 10 Pengaturan Bersama dengan ketentuan utama IPSAS 37. 11 Gambaran Umum 12 DK 02. KSAP memulai proses penyusunan PSAP yang terkait dengan 13 akuntansi untuk kerja sama pemerintah pada Tahun 2016. KSAP 14 menerbitkan Exposure Draft (ED) PSAP Pengaturan Bersama pada 15 Bulan Juli 2018, yang diikuti dengan ED PSAP Perjanjian Konsesi 16 Jasa – Pemberi Konsesi dan ED PSAP Sewa. 17 Latar Belakang 18 DK 03. Kerja sama antar entitas pemerintah maupun antara entitas 19 pemerintah dengan badan usaha sudah berlangsung dengan berbagai 20 istilah dan bentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan 21 yang berlaku. Kerja sama tersebut dapat melibatkan atau tidak 22 melibatkan pengendalian bersama antara para pihak di dalamnya. 23 DK 04. Latar belakang dan tujuan pelaksanaan kerja sama dapat bermacam- 24 macam, seperti kerja sama antar entitas pemerintah maupun antara 25 pemerintah dan badan usaha untuk tujuan penyediaan infrastruktur 26 dan layanan publik serta kerja sama antara pemerintah dan badan 27 usaha untuk tujuan pemanfaatan atau pendayagunaan aset untuk 28 tujuan memperoleh manfaat finansial berupa sewa, bagi hasil, atau 29 imbalan dalam bentuk lain. 30 DK 05. Salah satu bentuk kerja sama adalah kerja sama pemanfaatan Barang 31 Milik Negara/Daerah, yaitu pendayagunaan Barang Milik 32 Negara/Daerah oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dalam 33 rangka peningkatan penerimaan negara bukan pajak/pendapatan 34 daerah dan sumber pembiayaan lainnya, sebagaimana diatur dalam 35 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2020 tentang Perubahan atas 36 Peraturan Pemerintah 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang 37 Milik Negara/Daerah. Pasal 27 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 38 28 Tahun 2020 mengatur bahwa bentuk pemanfaatan Barang Milik 39 Negara/Daerah berupa Sewa, Pinjam Pakai, Kerja Sama Pemanfaatan, 40 Bangun Guna Serah atau Bangun Serah Guna, atau Kerja Sama 41 Penyediaan Infrastruktur. 42 DK 06. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2020 mengatur Kerja Sama 43 Penyediaan Infrastruktur, yang merupakan kerja sama antara 44
Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 3/PMK.03/2022 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pa ...