Organisasi dan Tata Kerja Pusat Investasi Pemerintah.
Relevan terhadap
Pusat Investasi Pemerintah mempunyai tugas melaksanakan kewenangan operasional dalam pengelolaan investasi Pemerintah Pusat sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Uji materiil terhadap PP 33 tahun 2014 ttg jenis dan tarif atas PNBP yg berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan di luar kegiatan kehut ...
Relevan terhadap
Ayat 1 : Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas:
keadilan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 134 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 135 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Penjelasan Pasal 6 Huruf g : Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan Perundang-Undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara. Sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 42 ayat (2) UU Nomor 41 Tahun 1999 maka pada pokoknya dijelaskan bahwa dalam melakukan penyelenggaraan rehabilitasi hutan diutamakan pelaksanaannya melalui pendekatan partisipatif. Berpedoman pada ketentuan aquo maka penyelenggaraan kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS diluar area IPPKH oleh Termohon I dan Termohon II melalui perumusan dan pembuatan kebijakan dan regulasi dalam bentuk Peraturan Menteri – in casu Permen LHK RI Nomor 50 Tahun 2016 dan Permen LHK RI Nomor 89 Tahun 2016 – sepatutnya dilaksanakan melalui pendekatan partisipatif dan juga harus mematuhi norma dasar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 5 Huruf c dan Huruf d dan Pasal 6 Ayat (1) Huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Pembentukan norma tentang kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS diluar area IPPKH sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 19 ayat (1) huruf c, Pasal 22 huruf d, huruf q angka 4 dan angka 7 serta huruf r angka 5, dan Pasal 47 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf b Permen LHK RI Nomor 50 Tahun 2016 dan juga diatur dalam ketentuan Pasal 15 ayat (1) , ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28 ayat (1), ayat 2, ayat (3) dan ayat (4), Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 38 dan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) Permen LHK RI Nomor 89 Tahun 2016 tidak melalui pendekatan partisipatif dan juga bertentangan dengan asas kesesuaian jenis, hierarki dan materi muatan, asas dapat dilaksanakan, asas keadilan dan asas kejelasan rumusan. Hal ini didasarkan pada argumentasi-argumentasi sebagai berikut:
. Dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 hanya mengatur dan mencantumkan secara tegas mengenai rehabilitasi hutan didalam area IPPKH an sich (termasuk reklamasi hutan) dan sebaliknya tidak pernah mengatur secara tegas mengenai adanya norma Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 135 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 136 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 kewajiban penanaman pohon dalam rangka rehabilitasi DAS diluar area IPPKH ( Vide Pasal 45 ayat 1 dan ayat 3). Oleh karena itu, maka materi dalam Peraturan Menteri – in casu Permen LHK RI Nomor 50 Tahun 2016 dan Permen LHK RI Nomor 89 Tahun 2016 – sebagai norma pelaksana dari Undang-Undang tidak boleh menyimpang dan bertentangan dengan Undang-Undang ( in casu UU Nomor 41 Tahun 1999 sebagai UU Sektoral yang mengatur secara khusus atau lex specialis tentang Kehutanan) sebagai norma yang lebih tinggi hierarkinya;
. Berdasarkan batasan wilayah maka kegiatan rehabilitasi sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 45 ayat (1) UU Nomor 41 Tahun 1999 tersebut sepatutnya direlasikan dan dipahami dengan ketentuan Pasal 38 ayat (1) dan ayat (3) UU Nomor 41 Tahun 1999 sehingga rehabilitasi yang dilakukan oleh pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH hanya untuk penggunaan kawasan hutan yang menimbulkan kerusakan hutan secara limitatif, yaitu terbatas hanya untuk kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung (dalam area IPPKH) yang timbul kerusakan sebagai akibat dari digunakan untuk kepentingan pertambangan. Sebaliknya dalam Peraturan Menteri – in casu Permen LHK RI Nomor 50 Tahun 2016 dan Permen LHK RI Nomor 89 Tahun 2016 –menciptakan rumusan norma baru – berupa dimasukkannya norma kewajiban rehabilitasi DAS diluar area IPPKH – yang tidak pernah diatur dan bertentangan serta berbeda dengan esensi dan intepretasi sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 ( Vide ketentuan Pasal 45 ayat 1 dan ayat 3 juncto Pasal 38 ayat 1 dan ayat 3);
. Perumusan dan pemberlakuan norma tentang kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS diluar area IPPKH secara sosiologis, tidak mencerminkan dan juga bertentangan dengan asas dapat dilaksanakan dan asas keadilan sebagaimana diatur dalam Ketentuan Pasal 5 Huruf c dan Huruf d serta Ketentuan Pasal 6 ayat (1) Huruf g UU Nomor 12 Tahun 2011. Hal ini dapat dilihat dari adanya reaksi dan tanggapan secara sosiologis dari beberapa pelaku usaha bidang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 136 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 137 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 pertambangan melalui Pemohon I dan Pemohon II yang sungguh sangat berkeberatan dengan dikenakannya kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS diluar area IPPKH. konsekuensi dari adanya pengenaan kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS diluar area IPPKH tersebut – yang secara hierarki tidak pernah diatur dan tidak pernah direkognisi serta bertentangan dengan ketentuan Pasal 45 ayat (1) dan ayat (3) UU Nomor 41 Tahun 1999 – telah menimbulkan tambahan beban finansial ekonomis yang sangat luar biasa yang harus ditanggung oleh para pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH. Adanya tambahan beban tersebut – berupa kewajiban penanaman dalam rangka rehabiltasi DAS dan adanya multi pungutan yang salah satunya bersifat imajiner dan liar yang bernama PNBP – tentunya menimbulkan biaya operasional tambahan bagi pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH yang berakibat menimbulkan kerugian yang sangat signifikan sehingga berpotensi dapat mengganggu keberlanjutan/kelanjutan kegiatan usaha bagi pelaku usaha pemegang IPPKH. Hal ini sebagaimana pernah dikemukakan oleh Para Pemohon melalui korespondensi tertulis yang ditujukan kepada Para Termohon dalam rangka Pembentukan Dan Penyusunan Peraturan Pemerintah Tentang Penanaman Dalam Rangka Rehabilitasi DAS (vide Bukti P-10G, Bukti P-10H, Bukti P-10I, Bukti P-10J, Bukti P-10K, Bukti P-10L dan Bukti P-10M).
. Dimunculkannya rumusan norma baru tentang kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS diluar area IPPKH dalam bentuk Peraturan Menteri – in casu Permen LHK RI Nomor 50 Tahun 2016 dan Permen LHK RI Nomor 89 Tahun 2016 – merupakan rumusan yang tidak jelas karena secara hierarki dan jenis serta materi muatan, rumusan norma tentang kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS diluar area IPPKH tidak pernah diatur dan juga tidak pernah dicantumkan secara tegas (eksplisit) dalam rumusan norma dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 ( Vide Pasal 45 ayat 1 dan ayat 3,) sehingga menimbulkan intepretasi yang berbeda dan bertentang dengan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 137 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 138 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 esensi dan intepretasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ketentuan Pasal 45 ayat 1 dan ayat 3 juncto Pasal 38 ayat 1 dan ayat 3 uu Nomor 41 Tahun 1999; Berdasarkan argumentasi-argumentasi tersebut diatas maka pencantuman dan pemberlakuan norma kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS diluar area IPPKH dalam bentuk Peraturan Pemerintah merupakan bentuk penyelundupan norma yang mengingkari dan bertentangan dengan ketentuan Pasal 45 ayat (1) dan ayat (3), ketentuan Pasal 38 ayat (1) dan ayat (3) UU Nomor 41 Tahun 1999 dan ketentuan Pasal 5 huruf c,huruf d dan huruf f serta Pasal 6 ayat (1) huruf g, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011; Oleh karena itu, ketentuan Pasal 19 ayat (1) huruf c, Pasal 22 huruf d, huruf q angka 4 dan angka 7 serta huruf r angka 5 dan Pasal 47 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf b Permen LHK RI Nomor 50 Tahun 2016 dan juga diatur dalam ketentuan Pasal 15 ayat (1) , ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28 ayat (1), ayat 2, ayat (3) dan ayat (4), Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 38 Dan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) Permen LHK RI Nomor 89 Tahun 2016 sangat beralasan secara hukum untuk dapat dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (tidak sah) dan batal demi hukum serta tidak berlaku umum; V. PETITUM PERMOHONAN. Berdasarkan uraian-uraian sebagaimana yang dikemukakan di atas oleh Para Pemohon, maka Para Pemohon memohon kepada Yang Terhormat Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia casu quo Yang Terhormat Majelis Hakim Agung pada Mahkamah Agung Republik Indonesia yang memeriksa dan mengadili permohonan hak uji materiil ( judicial review ) aquo , agar berkenan kiranya untuk memberikan putusan sebagai berikut:
Menerima dan mengabulkan permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon I dan Pemohon II (Para Pemohon) untuk seluruhnya;
Menyatakan ketentuan Pasal 1 ayat (2), ayat (3) dan ayat (5) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 berikut Lampiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan Yang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 138 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 139 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Berlaku Pada Kementerian Kehutanan Angka 1, Angka 2 dan Angka 3 bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Dan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
Menyatakan ketentuan Pasal 21 ayat (1) huruf a dan huruf b Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi yaitu Undang- Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
Menyatakan ketentuan Pasal 6 Ayat (2) Huruf b dan Ketentuan Pasal 15 Ayat (1) Huruf b dan Huruf c Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan Bertentangan Dengan Peraturan Perundang- Undangan Yang Lebih Tinggi Yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
Menyatakan ketentuan Pasal 5 Ayat (2) Huruf b Angka 1, Pasal 19 Ayat (1) Huruf c dan Huruf d, Pasal 22 Huruf d, Huruf e, Huruf q Angka 4 dan Angka 7, Huruf r Angka 4 dan Angka 5, dan Pasal 47 Ayat (1) Huruf a dan Ayat (2) Huruf b dan Huruf c Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan bertentangan dengan Peraturan Perundang- Undangan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 139 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 140 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Kehutanan Dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
Menyatakan ketentuan Pasal 15 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 38 dan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.89/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 Tentang Pedoman Penanaman Bagi Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Dalam Rangka Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
Menyatakan ketentuan Pasal 1 ayat 2, ayat 3 dan ayat 5 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 berikut Lampiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan Yang Berlaku Pada Kementerian Kehutanan Angka 1, Angka 2 dan Angka 3 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (tidak sah) dan batal demi hukum serta tidak berlaku umum;
Menyatakan ketentuan Pasal 21 ayat (1) Huruf a dan Huruf b Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (tidak sah) dan batal demi hukum serta tidak berlaku umum;
Menyatakan ketentuan Pasal 6 ayat (2) huruf b dan Ketentuan Pasal 15 ayat (1) huruf b dan huruf c Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (tidak sah) dan batal demi hukum serta tidak berlaku umum;
Menyatakan ketentuan Pasal 5 ayat (2) huruf b angka 1, Pasal 19 ayat (1) huruf c dan huruf d, Pasal 22 huruf d, huruf e, huruf q angka 4 dan angka 7, huruf r angka 4 dan angka 5, dan Pasal 47 ayat (1) Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 140 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 141 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 huruf a dan ayat (2) huruf b dann huruf c Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (tidak sah) dan batal demi hukum serta tidak berlaku umum;
Menyatakan ketentuan Pasal 15 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 38 dan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.89/Menlhk/Setjen/Kum.1/11/2016 Tentang Pedoman Penanaman Bagi Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Dalam Rangka Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (tidak sah) dan batal demi hukum serta tidak berlaku umum;
Memerintahkan kepada Termohon I ( in casu Presiden Republik Indonesia) mencabut Ketentuan Pasal 1 ayat 2, ayat 3 dan ayat 5 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 berikut Lampiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan Yang Berlaku Pada Kementerian Kehutanan Angka 1, Angka 2 dan Angka 3; Dan Ketentuan Pasal 21 ayat (1) huruf a dan huruf b Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan Termasuk Ketentuan Pasal 6 Ayat (2) Huruf b dan Ketentuan Pasal 15 ayat (1) huruf b dan huruf c Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan;
Memerintahkan kepada Termohon II ( in casu Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republk Indonesia) mencabut Ketentuan Pasal 5 ayat (2) huruf b angka 1, Pasal 19 ayat (1) huruf c dan huruf d, Pasal 22 huruf d, huruf e, huruf q angka 4 dan angka 7, huruf r angka 4 dan angka 5 dan Pasal 47 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf b dan huruf c Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 dan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 141 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 142 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Ketentuan Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 38 dan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.89/Menlhk/Setjen/ Kum.1/11/2016;
Memerintahkan Panitera Mahkamah Agung Republik Indonesia mencantumkan petikan putusan ini dalam Berita Negara dan dipublikasikan atas biaya negara;
Menghukum Termohon I dan Termohon II untuk membayar biaya perkara. ATAU, Apabila Yang Terhormat Majelis Hakim Agung pada Mahkamah Agung Republik Indonesia yang memeriksa dan mengadili permohonan hak uji materiil ( judicial review ) aquo berpendapat lain, maka mohon putusan yang seadil-adilnya ( Ex Aequo Et Bono ). Menimbang, bahwa untuk mendukung dalil-dalil permohonannya, Pemohon telah mengajukan surat-surat bukti, yaitu sebagai berikut: No. Kode KETERANGAN 1. P-1A Akta Pernyataan Keputusan Rapat Musyawarah Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (Indonesian Coal Mining Association) Nomor 7 tertanggal 6 Mei 2015; P-1B Kartu Tanda Penduduk Nomor 3171061705790002 atas nama Pandu Patria Sjahrir P-1C Akta Pernyatan Keputusan Rapat Badan Pengurus Perkumpulan Asosiasi Pertambangan Indonesia (Indonesian Mining Association) Nomor 39 tertanggal 22 Desember 2016 P-1D Kartu Tanda Penduduk Nomor 3276020109650010 atas nama Maringan M.I.H. Hutabarat.
P-2A Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Pener i maan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan Yang Berlaku Pada Kementerian Kehutanan Berikut Lampiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 Angka 1 , Angka 2, Angka 3 yang ditetapkan di Jakarta pada tangga l 16 Me i 2014 - vide Ketentuan Pasal 1 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5) termasuk Lampiran Angka 1, Angka 2 dan Angka 3 Peraturan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 142 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 143 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 20 1 4 P-2B Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 201 0 tentang Penggunaan Kawasan Hutan yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 1 Februari 2010 - vide Ketentuan Pasal 21 Ayat (1) Huruf a dan Huruf b P-2C Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomo r 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 22 Desember 2015 - vide Ketentuan Pasal 6 ayat 2 huruf b, Pasal 15 ayat (1) huruf b dan huruf c 3. P-3A Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan berikut lampiran Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P . 50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 Te n tan g Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 8 Juni 2016 - vide Ketentuan Pasal 5 ayat (2) huru f b angka 1, Pasal 19 ayat (1) huruf c dan huruf d, Pasal 22 huruf d, huruf e, huruf q angka 4 dan angka 7, huruf r angka 4 dan angka 5, dan Pasal 47 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf b dan huruf c P-3B Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.89/Menlhk/Setjen/Kum.1/11/2016 Tentang Pedoman Penanaman Bagi Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Dalam Rangka Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai Beriku t Lampiran Angka Romawi I Sampai Dengan Lampiran Angka Romawi VIII yang ditetapkan di Jakarta pada tangga l 22 November 2016 vide Ketentuan Pasal 15 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) , Pasal 28 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) , Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 38 dan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) 4. P-4A Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 - vide Pasal 23A P-4B Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung - vide Pasal 31 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) P-4C Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman - vide Pasal 20 Ayat (2) Huruf b dan ketentuan Pasa i 20 Ayat (3) P-4D Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung - vide Pasal 31A Ayat (1), Ayat (2) dan Ayat (3) P-4E Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil - vide Pasal 1 ayat (1) 5. P-5A Akta Anggaran Dasar APBI-ICMA Asosiasi Pertambanga n Batubara Indonesia (Indonesian Coal Mining Association ) N omor 01 tanggal 22 Maret 2007 yang dibuat oleh dan dihadapan Notar i s Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 143 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 144 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Ratih Gondo Kusumo, S.H. P-5B Akta Pernyataan Keputusan Musyawarah Anggota A sos i as i Pertambangan Batubara Indonesia ( APBI-ICMA) I ndonesian C oa l Mining Association Nomor 20 tanggal 22 Juni 2009 6. P-6A Akta Perubahan Akta Pendir i an Perkumpu l an A sosia si Pertambangan Indonesia (Indonesian Mining A ssoc i ation ) N o m o r 1 7 t anggal 17 Juni 2011 yang dibuat o l eh dan dihadapa n Nota ri s Ratih Gondokusumo Siswono, S . H. P-6B Akta Anggaran Rumah Tangga Asosiasi Pertambangan In do n esia ( Indonesian Mining Association) Nomor 1 8 tangga l 1 7 Juni 2011 yang dibuat oleh dan dihadapan Notaris Ratih Gondokusumo Siswono, S.H .;
P-7 Undang-Undang Nomor 1 2 T ahun 20 11 t en t ang Pemben t uka n Peratu r an Perundang - undangan - vide Pasa l 3 , Pasa l 5 H u ruf c da n Huruf d , dan Penje l asan Pasal 5 Hur u f c da n Huruf d, Ketentua n Pasa l 6 Aya t (1) Hur u f g dan Penjelasan P asa l 6 A y a t (1) H uruf g , d a n P asa l 1 2.
P-8 Peraturan Menteri L i ngkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia P.27/Menlhk/Setjen/Keu-1/2/2016 Tahun 2016 tentang Pedoman Tata Cara Pengurusan Piutang Negara dari Penerimaan Negara Bukan Pajak Lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ("PERMEN LHK RI Nomor P.27/Menlhk/Setjen/Keu- 1/212016 "). 9. P-9 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK . 06/2007 Tentang Pengurusan Piutang Negara; Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 88/PMK . 06/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 128/PMK . 06/2007 Tentang Pengurusan Piutang Negara; Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 163/PMK . 06/2011 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 128/PMK.06/2007 Tentang Pengurusan Piutang Negara; dan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 21/PMK . 06/2016 Tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 1 28/PMK . 06/2007 Tentang Pengurusan Piutang Negara.
P-10A P-10B P-10C Surat Nomor 187/APBI-ICMA/V/2007, tertanggal 23 Mei 2007 perihal PNBP Kehutanan Surat Nomor 549/APBI-ICMA/XII/2012, tertanggal 18 Desember 2012, perihal RPP Tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Penggunaan Kawasan Hutan; Surat Nomor 040/API/IMA/IV/2014 dan Nomor 138/APBI- I CMA/IV/2014, tertanggal 22 April 2014, perihal Tanggapan API-IMA dan APBI-ICMA Terhadap Rencana Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Jenis dan Tarif PNBP yang berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Yang Berlaku Pada Kementerian Kehutanan; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 144 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 145 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 P-10D P-10E P-10F P-10G P-10H P-10I P-10J P-10K P-10L Surat Nomor 330/APBI-ICMA/VIII/2014 tertanggal 26 Agustus 2014, Perihal Implikasi Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Diluar Kegiatan Kehutanan Yang Berlaku Pada Kementerian Kehutanan; Surat Nomor 331/APBI-ICMA/VIII/2014, tertanggal 27 Agustus 2014, Perihal Implikasi Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan di luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada Kementerian Kehutanan; Surat Nomor 019/APBI-ICMA/III/2015 dan Nomor 056/API- IMA/III/2015 tertanggal 31 Maret 2015 Tentang Permohonan Peninjauan Kembali PP Nomor 24 Tahun 2010 dan PP Nomor 33 Tahun 2014; Surat Nomor 349/APBI-ICMA/VIII/2014 tertanggal 28 Agustus 2014 Perihal Permohonan Pembatalan Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2014 Tentang Jenis Tarif dan Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Sektor Kehutanan; Surat Nomor 030/APBI-ICMA/V/2015, tertanggal 25 Mei 2015 , Perihal Permohonan Peninjauan Kembali Peraturan Menteri Kehutanan No.P.16/Menhut-II tanggal 20 Maret 2014 dan No.P.87/Menhut- II/2014 tanggal 29 September 2014; Surat Nomor 035/APBI-ICMA/VI/2015, tertanggal 26 Juni 2015 , Perihal Masukan Terhadap Revisi Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan hutan; Surat Nomor 001/APBI-ICMA/I/2016, tertanggal 11 J anuar i 2016, Perihal Permohonan Pembahasan Kembali Revisi Rancangan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan; Surat Nomor 030/APBI-ICMA/IX/2016, tertanggal 7 September 2016 , Perihal Tanggapan Terhadap Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI. No.P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 tentang 'I Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan ("Permenlhk P.50/2016”) Surat Nomor 146/API/IMA/XII/2016, Nomor 037/APBI-ICMA/XII/2014 , Tertanggal 19 Desember 2016, Perihal Permohonan Dukungan Penye!esaian Hambatan Dalam Pelaksanaan Kewajiban Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai Bagi Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 145 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 146 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 P-10M Surat Nomor 006/API-IMA/II/2017 dan Nomor 017/APBI- ICMA/II/2017, tertanggal 27 Februari 2017, Perihal Permohonan Dukungan Penyelesaian Hambatan Dalam Pelaksanaan Kewajiban Rehabilitasi DAS Bagi Pemegang IPPKH .
P-11A P-11B P-11C P-11D Artikel Online - Royalti Naik, Perusahaan Batu Bara Terancam Bangkrut Dipublikasikan tanggal 1 Juli 2015 Sumber : https: //ekbis.sindonews.com/read/1019004/34/royalti-naik- perusahaan-batu-bara-terancam-bangkrut- 1435744806 Artikel Online - Terdampak Krisis Global, Perusahaan Tambang Tutup Dipublikasikan tanggal11 Febuari 2016 Sumber : http: //www.borneonews.co.id/berita/28470-terdampak- krisis- global-perusahaan-tambang-tutup Artikel Online - Batubara Terjun Royalti Turun Dipublikasi tanggal 09 Agustus 2015 Sumber : http: //www.gresnews.com/berita/ekonomi/9098-batubara- terjun-royalti-turun/3/ Artikel Online - Tambang Batu Bara, Awal Kloter Gulung Tikar Dipublikasikan tanggal 29 Febuar i 2016 Sumber : http: //majalahpeluang.com/tambangbatu-bara-awal- Kloter-gulung-tikar/ 12. P-12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak - vide Pasal 2 Ayat (2) dan Penjelasan Pasal 2 Ayat (2) , Pasal 3 Ayat (1) dan Ayat (2) serta Penjelasan Pasal 3 Aya t (1) dan Aya t (2). 13 P-13 Undang - Undang Nomor 41 Tahun 1991 tentang Kehutanan - vide Pasal 38 Ayat (1) dan Ayat (3) dan Penjelasan Pasal 38 Ayat (1) dan Ayat (3), Pasal 42 Ayat (2) dan Ayat (3) dan Pasal 45 Ayat (1) dan Ayat (2). Menimbang, bahwa permohonan keberatan hak uji materiil tersebut telah disampaikan kepada Termohon pada tanggal 25 April 2017 berdasarkan Surat Panitera Muda Tata Usaha Negara Mahkamah Agung Nomor 31/PER- PSG/IV/31 P/HUM/2017 , Tanggal 25 April 2017 _; _ Menimbang, bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Para Termohon telah mengajukan jawaban tanggal 21 Juni 2017, yang pada pokoknya sebagai berikut; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 146 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 147 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 I. POKOK-POKOK PERMOHONAN PEMOHON A. UJI MATERIIL TERHADAP PERATURAN PEMERINTAH Bahwa pada intinya Para Pemohon mengajukan uji materi terkait ketentuan dalam PP a quo yang menyangkut:
Ketentuan yang berkaitan dengan Pembayaran PNBP dalam PP a quo (PP 33/2014, PP 24/2010, dan PP 105/2015):
Bahwa pengenaan dan pemberlakuan norma tentang pengenaan PNBP atas penggunaan seluruh area kawasan hutan yang dipinjampakaikan dan seluruh area perjanjian pinjam pakai kawasan hutan khususnya dalam rangka kegiatan pertambangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2), ayat (3) dan (5) dan Lampiran PP 33/2014, Pasal 21 ayat (1) huruf a PP 24/2010, Pasal 6 ayat (2) huruf b angka 1 dan Pasal 15 ayat (1) huruf b PP 105/2015, merupakan jenis pungutan lain yang bersifat memaksa dan dapat ditagih secara memaksa yang pengaturannya harus diatur dalam bentuk UU dan bukan dengan PP, sehingga bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 dan Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) UU PNBP dan Pasal 5 huruf c, d serta Pasal 6 ayat (1) huruf g UU 12/2011.
Pasal a quo juga bertentangan dengan UU 41/1999 yang merupakan lex spesialis tentang kehutanan tersebut tidak pernah diatur dan disebutkan secara jelas dan tegas mengenai adanya PNBP atas penggunaan pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan (kegiatan non-kehutanan). Menurut Para Pemohon, UU 41/1999 tidak pernah mengatur pengenaan PNBP kepada pelaku usaha di bidang pertambangan selaku pemegang IPPKH (Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan) atas timbulnya kerusakan terhadap seluruh kawasan hutan yang dipinjampakaikan, namun hanya mengatur mengenai rekognisi adanya kewajiban yang terbatas pada kawasan yang nyata telah timbul kerusakan ( limitatif ) berupa melakukan reklamasi dan rehabilitasi serta membayar dana jaminan reklamasi dan rehabilitasi. Hal ini menimbulkan ketidakadilan bagi pelaku usaha dengan adanya tambahan beban ekonomi terhadap adanya pungutan PNBP yang imajiner, liar, serta multi pungutan. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 147 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 148 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 2. Ketentuan yang berkaitan dengan kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS) pada Pasal 21 ayat (1) huruf b PP 24/2010, Pasal 6 ayat (2) huruf b angka 1 dan Pasal 15 ayat (1) huruf c PP 105/2015, bertentangan dengan bertentangan dengan Pasal 45 ayat (1) dan ayat (3) jo. Pasal 38 ayat (1) dan ayat (3) UU Kehutanan dan Pasal 5 huruf c, d, f serta Pasal 6 ayat (1) huruf g UU 12/2011, karena rumusan norma tentang kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS di luar area IPPKH tidak diatur dan dicantumkan secara tegas dalam UU Kehutanan sehingga pemberlakuan norma kewajiban tersebut dalam bentuk PP merupakan bentuk penyelundupan norma. Dalam UU Kehutanan hanya mengatur mengenai rehabilitasi hutan di dalam area IPPKH an sich (termasuk reklamasi hutan). B. UJI MATERIIL TERHADAP PERATURAN MENTERI Bahwa Para Pemohon mengajukan uji materi terkait ketentuan dalam Permen a quo yaitu sebagai berikut:
Pasal 5 ayat (2) huruf b angka 1, Pasal 19 ayat (1) huruf d, Pasal 22 huruf e dan r angka 4, Pasal 47 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf c Permen LHK 50/2016 yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, UU PNBP, UU Kehutanan, dan UU 12/2011;
Pasal 15 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 28 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dan ayat (4), Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 38, Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) Permenlhk 89/2016yang dianggap bertentangan dengan UU Kehutanan dan UU 12/2011. Menurut Para Pemohon pada intinya menganggap kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS)di luar areal IPPKH bagi pemegang IPPKH dalam ketentuan Permen a quo harus berpedoman pada UU Kehutanan, sehingga ketentuan a quo bertentangan dengan UU Kehutanan dan juga UU 12/2011. Sehingga Para Pemohon mohon agar PP a quo dan Permen a quo dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (tidak sah) dan batal demi hukum serta tidak berlaku untuk umum. II. TENTANG KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING) PARA PEMOHON Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 148 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 149 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Berkenaan dengan legal standing ( persona standi in judicio ) dan kepentingan hukum Para Pemohon dalam perkara aquo , Termohon menyampaikan penjelasan sebagai berikut: PARA PEMOHON TIDAK MEMPUNYAI KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) UNTUK MENGUJI KETENTUAN PASAL 1 AYAT (2), AYAT (3) DAN (5) DAN LAMPIRAN PP 33 TAHUN 2014, PASAL 21 AYAT (1) HURUF aPP 24TAHUN 2010, PASAL 6 AYAT (2) HURUF b ANGKA 1 DAN PASAL 15 AYAT (1) HURUF B PP 105/2015 DAN PASAL 5 AYAT (2) HURUF b ANGKA 1, PASAL 19 AYAT (1) HURUF d, PASAL 22 HURUF e DAN r ANGKA 4, PASAL 47 AYAT (1) HURUF a DAN AYAT (2) HURUF c PERMEN LHK 50/2016; PASAL 15 AYAT (1), AYAT (2), DAN AYAT (3), PASAL 28 AYAT (1), AYAT (2), DAN AYAT (3), DAN AYAT (4), PASAL 30 AYAT (1) DAN AYAT (2), PASAL 38, PASAL 39 AYAT (1) DAN AYAT (2) PERMENLHK 89/2016 Bahwa ketentuan Pasal 31A ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yang berbunyi: “Permohonan sebagaimana dimaksud ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh Pihak yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang...” Bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil, berbunyi: “Pemohon keberatan adalah kelompok masyarakat atau perorangan yang mengajukan permohonan keberatan kepada Mahkamah Agung atas berlakunya suatu peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah dari undang-undang”. Ketentuan tersebut mensyaratkan bahwa permohonan keberatan uji materiil hanya dapat diajukan oleh pihak-pihak yang tepat dan adanya kerugian langsung yang diderita oleh pihak-pihak tersebut,dan benar- benar diakibatkan karena berlakunya peraturan perundang-undangan yang dimohonkan uji materi tersebut. Menurut Termohon, Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum didasarkan sebagai berikut: Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 149 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 150 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 1. Bahwa dalam permohonannya Para Pemohon tidak menguraikan secara spesifik/jelas kedudukan hukumnya apakah sebagai “kelompok masyarakat atau perorangan” sebagaimana dalam ketentuan Pasal 1 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011.
Apabila menyimak pernyataan Para Pemohon ( vide halaman 1 Permohonan Para Pemohon), yang menyatakan bahwa Para Pemohon adalah Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia- Indonesian Coal Mining Association (APBI-ICMA) dan Asosiasi Pertambangan Indonesia- Indonesian Mining Association (API-IMA) yang didirikan berdasarkan akta notaris dan dalam Permohonan ini diwakili oleh Ketuanya, maka menurut Termohon, pernyataan tersebut tidak memberikan kejelasan mengenai status kedudukan hukum Para Pemohon, apakah kedudukan Para Pemohon sebagai sebuah asosiasi atau organisasi, apakah asosiasi atau organisasi tesebut telah terdaftar sebagai suatu badan hukum atau tidak, apakah badan hukum tersebut berbentuk perkumpulan atau berbentuk yayasan, dan apakah badan hukum tersebut telah disahkan menurut hukum oleh pihak Kementerian Hukum dan HAM RI. Hal-hal tersebutlah yang tidak terurai/dijelaskan oleh Para Pemohon dalam permohonannya, sehingga menimbulkan ketidakjelasan permohonan.
Menurut Termohon, terkait dengan adanya kerugian langsung yang diderita oleh Para Pemohon yang diakibatkan karena berlakunya peraturan perundang-undangan yang dimohonkan uji materi tersebut, Termohon sama sekali tidak melihat adanya kerugian tersebut. Hal ini didasarkan pada pernyataan Para Pemohon dalam permohonannya ( vide angka 10 halaman 7 permohonan Para Pemohon), yang menyatakan “berlakunya ketentuan - ketentuan a quo dan Permen a quo telah merugikan hak anggota-anggota Para Pemohon khususnya terkait dengan beban pembayaran penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan kewajiban penanaman dalam rangka Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS)”. Menurut Termohon kerugian yang dialami tersebut bukan merupakan kerugian yang diderita Para Pemohon melainkan anggapan kerugian dari anggota-anggota Para Pemohon. Mekanisme yang dimiliki oleh Para Pemohon untuk menyelesaikan suatu persoalan/permasalahan-permasalahan, termasuk masalah Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 150 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 151 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 PNBP dan kewajiban penanaman dalam rangka Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS)yang dihadapi anggota-anggota Para Pemohon, adalah dengan cara “memberikan kepada pemerintah saran-saran yang penting mengenai masalah-masalah industri pertambangan serta komunikasi dan konsultasi dengan Pemerintah mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah industri pertambangan batubara ” bukan dengan cara mengajukan judicial review. Hal ini merujuk pada pernyataan Para Pemohon mengenai maksud dan tujuan didirikannya Asosiasi Pertambangan Indonesia- Indonesia Mining Association yang dibentuk tanggal 26 Januari 1988 ( vide angka 9 halaman 7 permohonan Para Pemohon) dan Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia- Indonesian Coal Mining Association yang dibentuk tanggal 22 Maret 2007 ( vide angka 8 halaman 6 permohonan Para Pemohon) yaitu: membantu Pemerintah di dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan untuk menggalakkan perkembangan industri pertambangan dan untuk memanfaatkan keterangan-keterangan yang tidak bersifat rahasia dan tidak merupakan hak milik guna memajukan eksplorasi penambangan, pemurnian hasil-hasil tambang serta aspek-aspek yang bertalian dengan metalurgi di Indonesia, memberikan saran-saran untuk industri pertambangan di Indonesia dan meningkatkan kesadaran dan pengertian atas masalah-masalah penting (kritis) yang menyangkut industri pertambangan seutuhnya, memberikan kepada pemerintah saran-saran yang penting mengenai masalah-masalah industri pertambangan, menyebarkan secara luas keterangan mengenai kebijakan dan peraturan-peraturan pemerintah kepada-anggota dan menyebar-luaskan citra positif mengenai usaha pertambangan kepada khalayak umum. Didalam anggaran dasar Para Pemohon tidak tercantum pasal yang menyatakan bahwa Para Pemohon mewakili kepentingan anggotanya didalam maupun diluar pengadilan, sehingga jika terdapat kerugian oleh para anggota Pemohon terkait berlakunya suatu ketentuan maka yang seharusnya mengajukan gugatan hukum/permohonan uji materi ke pengadilan adalah anggota-anggota Para Pemohon yang kepentingannya dirugikan, mengingat tidak semua perusahaan pertambangan menjadi anggota Para Pemohon. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 151 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 152 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Bahwa Para Pemohon pernah mengajukan uji materi terhadap Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3) huruf a dan Pasal 1 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2014, dan telah diputus oleh Mahkamah Agung dengan putusan No. 16P/HUM/2015 pada tanggal 8 Desember 2015 dengan amar putusan permohonan tersebut dinyatakan tidak dapat diterima (NO)( vide Bukti T-1). Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung tersebut, maka Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam pengajuan permohonan HUM atas perkara tersebut. Berdasarkan uraian tersebut di atas, adalah tepat jika Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Agung menyatakan Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dan karenanya permohonan Para Pemohon wajib dinyatakan tidak dapat diterima ( NIET ONVANKELIJK VERKLAARD) . III. LATAR BELAKANG TERBITNYA PERATURAN PEMERINTAH A QUO DAN PERATURAN MENTERI A QUO Sebelum Termohon memberikan tanggapan atas permohonan Para Pemohon, Termohon akan menyampaikan landasan filosofi sebagai berikut:
Latar Belakang Terbitnya Norma Kewajiban Pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan Sebagaimana Diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2014, Pasal 21 ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010, Pasal 6 Ayat (2) Huruf b Angka 1 dan Pasal 15 Ayat (1) Huruf B, Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2015 sertaPasal 5 ayat (2) huruf b angka 1, Pasal 19 ayat (1) huruf d, Pasal 22 huruf e dan r angka 4, Pasal 47 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf c Peraturan Menteri LHK Nomor 50/2016; Bahwa hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan alam yang tak ternilai harganya wajib disyukuri. Karunia yang diberikan-Nya, dipandang sebagai amanah, karenanya hutan harus diurus dan dimanfaatkan dengan akhlak mulia dalam rangka beribadah, sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan Yang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 152 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 153 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Maha Esa. Hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis. Untuk itu hutan harus diurus dan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang. Dalam kedudukannya sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan, hutan telah memberikan manfaat yang besar bagi umat manusia, oleh karena itu harus dijaga kelestariannya. Hutan mempunyai peranan sebagai penyerasi dan penyeimbang lingkungan global, sehingga keterkaitannya dengan dunia internasional menjadi sangat penting, dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional. Sejalan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional yang mewajibkan agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, maka penyelenggaraan kehutanan senantiasa mengandung jiwa dan semangat kerakyatan, berkeadilan dan berkelanjutan. Oleh karena itu penyelenggaraan kehutanan harus dilakukan dengan asas manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan dengan dilandasi akhlak mulia dan bertanggung-gugat. Hutan sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan, keberadaannya harus dipertahankan secara optimal dengan luasan yang cukup dan dijaga agar daya dukungnya tetap lestari. Pembangunan kehutanan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang tidak terpisahkan sehingga harus selaras dengan dinamika pembangunan nasional. Penggunaan kawasan hutan bertujuan untuk mengatur penggunaan sebagian kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung. Penggunaan kawasan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 153 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 154 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 hutan tersebut dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan. Salah satu kegiatan penggunaan kawasan hutan diluar kegiatan kehutanan adalah kegiatan pertambangan melalui pinjam pakai kawasan hutan. Pada prinsipnya bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 33 ayat (3) UUD 1945). Bahwa para pelaku usaha telah diberikan kesempatan untuk mengambil keuntungan atas sumber daya alam (hutan) yang seharusnya menjadi kekuasaan dari negara untuk mewujudkan kemakmuran rakyat,sehingga negara harus memperoleh kompensasi atas hilangnya sumber daya alam tersebut untuk dikembalikan kepada masyarakat. Salah satu bentuk kompensasi tersebut adalah membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak kepada Negara. Untuk mengoptimalkan Penerimaan Negara Bukan Pajak guna menunjang pembangunan nasional, Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari penggunaan Kawasan Hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang berlaku pada Kementerian Kehutanan sebagai salah satu sumber penerimaan Negara, perlu dikelola dan dimanfaatkan untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Kementerian Kehutanan telah memiliki tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari penggunaan Kawasan Hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang berlaku pada Kementerian Kehutanan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada Departemen Kehutanan. Namun untuk pengendalian penggunaan kawasan hutan guna menunjang pembangunan di luar kegiatan kehutanan serta untuk melakukan penyesuaian jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari penggunaan Kawasan Hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 154 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 155 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 kehutanan yang berlaku pada Kementerian Kehutanan, perlu mengenakan tarif terhadap seluruh area penggunaan kawasan hutan dan mengatur kembali jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan pajak yang berasal dari penggunaan Kawasan Hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang berlaku pada Kementerian Kehutanan dengan Peraturan Pemerintah. Berdasarkan uraian tersebut dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, Pemerintah perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada Kementerian Kehutanan. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan Yang Berlaku Pada Kementerian Kehutanan. Keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2014 menjadi penting ( conditio sine qua non ) karena dikeluarkan dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Latar Belakang Terbitnya Kewajiban Penanaman Dalam Rangka Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagaimana diatur dalam Permen LHK 89/2016 a. Hutan adalah kekayaan negara yang rentan (daya dukung dan daya tampung terbatas), yang dapat dimanfaatkan tidak melebihi kemampuannya, sehingga harus dikembalikan kondisinya pada kondisi semula. Aktivitas penambangan mengeksploitasi secara besar sumber daya hutan yang ada, sehingga mustahil untuk mengembalikan sumber daya hutan sama persis seperti kondisi semula. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 155 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 156 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 b. Jika sumber daya hutan yang telah dieksploitasi tidak dapat dikembalikan seperti kondisi semula, maka Pemerintah wajib mengatur lebih lanjut secara optimal untuk mengurangi dampak- dampak yang ditimbulkannya. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan mewajibkan pemegang IPPKH untuk melaksanakan Reklamasi dan/atau Rehabilitasi DAS.
Rehabilitasi Hutan dan Lahan (yang selanjutnya disingkat RHL) adalah upaya untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi Daerah Aliran Sungai sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Reklamasi hutan adalah usaha untuk memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi hutan yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya. Revegetasi adalah usaha untuk memperbaiki dan memulihkan vegetasi yang rusak melalui kegiatan penanaman dan pemeliharaan pada lahan bekas penggunaan kawasan hutan.
Dalam ketentuan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004, Pasal 21 ayat (1) huruf b PP 24/2010, Pasal 6 ayat (2) huruf b angka 1 dan Pasal 15 ayat (1) huruf c PP 105/2015, Pasal 5 ayat 2 huruf b angka 1 PermenLHK No. 50/2015,disebutkan bahwa setiap penggunaan kawasan hutan/pemegang IPPKH wajib melaksanakan Reklamasi dan/atau Rehabilitasi. Reklamasi dimaksudkan untuk memperbaiki kondisi areal yang dilakukan eksploitasi agar pulih kembali (tidak mungkin pulih kembali seperti kondisi semula). Mengingat kegiatan reklamasi oleh pemegang IPPKH tidak dapat memulihkan kembali hutan pada kondisi semula, untuk itu Pemerintah mewajibkan juga Rehabilitasi DAS di luar lokasi. Selain itu rehabilitasi DAS diluar areal izin dimaksudkan untuk mengganti kerusakan lingkungan yang bersifat permanen dan tidak dapat dipulihkan kembali pada areal izin serta untuk mengganti kerusakan lingkungan pada area sekitar lokasi yang terkena dampak akibat kegiatan IPPKH tersebut. Sebagai Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 156 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 157 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 contoh pada area IPPKH tambang emas limbah pengolahannya akan mencemari tidak hanya pada lokasi izin akan tetapi sampai di luar areal izinnya. Akibat penambangan terhadap hutan telah menimbulkan dampak sebagai berikut:
Kerusakan struktur hutan yang menyebabkan hilangnya kemampuan hutan untuk mempertahankan fungsi dan stabilitas hutan.
Hilangnya keanekaragaman flora dan fauna, karena terjadi peluang kepunahan beberapa jenis terutama jenis yang langka.
Kerusakan bentang lahan dan rusaknya fungsi hidroorologis akibat banyaknya lubang-lubang galian bekas tambang yang ditinggalkan menjadi kolam-kolam.
Hilangnya top soil yang menyebabkan hilangnya kesuburan tanah bahkan sampai kebatuan induk. Pengembalian kesuburan tanah diperlukan puluhan bahkan tahunan.
Meningkatnya suhu udara disekitar-sekitar.
Terjadinya pencemaran air.
Terjadinya kerusakan ekosistem. Sebagaimana pendapat ahli Prof. Dr. Ir. Djoko Marsono, Pakar Bidang Ekologi Sumberdaya Hutan UGM ( vide bukti T-3) Penanaman rehabilitasi DAS merupakan salah satu kewajiban pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) baik pemegang IPPKH tambang maupun non tambang. IPPKH untuk kegiatan pertambangan mengubah bentang alam, mengubah hutan alam menjadi hutan tanaman sehingga mengakibatkan keanekaragaman hayati di Indonesia berkurang, sedangkan IPPKH untuk kegiatan non pertambangan tidak mengubah bentang alam. Kegiatan yang ditimbulkan oleh IPPKH untuk pertambangan pada umumnya menimbulkan kerusakan kawasan hutan lebih besar dibandingkan kerusakan yang ditimbulkan oleh IPPKH untuk non pertambangan. Berdasarkan data bulan Mei tahun 2017 di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, terdapat 717 IPPKH yang berkewajiban melakukan penanaman rehabilitasi DAS terdiri atas 573 IPPKH Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 157 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 158 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 untuk kegiatan pertambangan dan 144 IPPKH untuk kegiatan non pertambangan. Dari 573 IPPKH untuk kegiatan pertambangan, 52 IPPKH telah melakukan penanaman dan dari 144 IPPKH untuk kegiatan non pertambangan, 10 IPPKH telah melakukan penanaman.Alangkah tidak adilnya jika pemegang IPPPKH untuk pertambangan yang telah melakukan kerusakan lebih besar justru tidak mau melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS ( vide bukti T-.2). Bahwa penerbitan ketentuan kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS sebagaimana diatur dalam objek permohonan HUM a quo sudah memperhatikan aspek sosiologis dan yuridis sebagaimana dimaksud UU No. 12/2011, yaitu:
Aspek Sosiologis Bahwa penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS merupakan kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan sebagai upaya untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi Daerah Aliran Sungai sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung perlindungan sistem penyangga kehidupan tetap terjaga (vide penjelasan umum PP Nomor 76 Tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan). Dalam konteks pengelolaan DAS, apabila terjadi kerusakan pada suatu tempat akan berpengaruh pada tempat yang lain dalam suatu daerah aliran sungai. Dengan demikian, kegiatan IPPKH pertambangan dalam satu DAS pada suatu tempat akan berpengaruh di tempat yang lain. Apabila terjadi kerusakan di areal pertambangan, areal di luar areal pertambangan juga akan ikut rusak, sehingga perlu dilakukan reklamasi dan/atau rehabilitasi.
Aspek Yuridis Bahwa kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS sebagaimana diatur dalam objek permohonan HUM a quo merupakan pelaksanaan atas peraturan diatasnya yaitu UU No. 41/1999 yaitu: Pasal 45 Ayat (1), (2), dan (4): Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 158 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 159 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 (1) Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) yang mengakibatkan kerusakan hutan, wajib dilakukan reklamasi dan atau rehabilitasi sesuai dengan pola yang ditetapkan pemerintah.
Reklamasi pada kawasan hutan bekas areal pertambangan, wajib dilaksanakan oleh pemegang izin pertambangan sesuai dengan tahapan kegiatan pertambangan.
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dengan demikian ketentuan dalam objek permohonan a quo yang mewajibkan penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS bagi Pemegang IPPKH yang dilakukan diluar areal IPPKH secara hukum tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. IV. JAWABAN TERMOHON TERHADAP POKOK PERMOHONAN PARA PEMOHON 1. Termohon tidak sependapat dengan anggapan/argumentasi Para Pemohon dalam permohonannya yang menyatakan: Bahwa pengenaan dan pemberlakuan norma tentang pengenaan PNBP atas penggunaan seluruh area kawasan hutan yang dipinjam pakaikan dan seluruh area perjanjian pinjam pakai kawasan hutan khususnya dalam rangka kegiatan pertambangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2), ayat (3) dan (5) dan Lampiran PP 33/2014, Pasal 21 ayat (1) huruf a PP 24/2010, Pasal 6 ayat (2) huruf b angka 1 dan Pasal 15 ayat (1) huruf b PP 105/2015, merupakan jenis pungutan lain yang bersifat memaksa dan dapat ditagih secara memaksa yang pengaturannya harus diatur dalam bentuk UU dan bukan dengan PP, sehingga bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 dan Pasal 3 ayat (1), Pasal 3 ayat (1) dan (2) UU PNBP dan Pasal 5 huruf c, d serta Pasal 6 ayat (1) huruf g UU 12/2011 (halaman 16). Terhadap alasan/anggapan Para Pemohon diatas, Termohon memberikan penjelasan sebagai berikut: Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 159 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 160 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 a. Bahwa UU PNBP sebagai pelaksanaan dari amanat Pasal 23A UUD 1945 yang menyatakan “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang”, telah mengatur Penerimaan Negara Bukan Pajak ke dalam beberapa kelompok jenis PNBP sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) UU PNBP. Untuk mengantisipasi adanya potensi dari Penerimaan Negara yang bisa menjadi Penerimaan Negara Bukan Pajak, maka selain jenis kelompok Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU PNBP, juga diatur mengenai jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak lainnya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah ( vide Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) UU PNBP).
Bahwa UU PNBP dibentuk pada tahun 1997, sedangkan potensi jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang belum dapat teridentifikasi sangatlah banyak, dan mengingat penetapan tarif perlu mengikuti perubahan ekonomi yang sangat dinamis, sehingga perlu penyesuaian dan tidak mungkin semua diatur dalam Undang-Undang, oleh karena itu diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah ( vide Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) UU PNBP).
Bahwa adapun jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang akan ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah juga harus dikemukakan kepada Dewan Perwakilan Rakyat RI untuk dibahas dan disusun dalam Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ( vide Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU PNBP).
Dalam Hukum Tata Negara, dikenal adanya teori “ Delegatie van Recht Geven” yaitu delegasi yang diberikan oleh perundang- undangan. Bahwa delegasi tersebut dimungkinkan dalam Undang-Undang disebabkan undang-undang tidak mungkin mengatur segala hal secara terperinci termasuk jenis dan tarif penerimaan bukan pajak. Dengan demikian, diperlukan penjabaran lebih lanjut dari ketentuan-ketentuan yang masih Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 160 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 161 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 bersifat umum dalam Undang-Undang ke dalam peraturan lain yang bersifat turunannya.
Selanjutnya Pemerintah memiliki tugas menyelenggarakan kesejahteraan umum, sedangkan undang-undang tidak mungkin mengatur secara terperinci hal tersebut, sehingga Pemerintah diberikan kebebasan bertindak ( freies ermessen ), dengan ketentuan kebebasan bertindak tersebut harus sesuai dengan undang-undang dan AUPB. Oleh karena itu undang-undang memberikan delegasi kepada pemerintah, untuk membentuk peraturan pelaksananya.
Berkaitan dengan Diskresi secara umum juga bisa dilakukan tidak hanya karena diskresi semata-mata tetapi diberi dasar oleh undang-undang ( delagatie van recht geven ). Artinya undang- undang sendiri yang memberikan pendelegasian tersebut, dalam hal ini UU PNBP telah memberikan pendelegasian untuk menetapkan jenis dan tarif PNBP melalui peraturan pemerintah, yakni melalui PP 33/2014.
Bahwa mencermati ketentuan sebagaimana disebutkan diatas, PNBP sebagaimana dimaksud dalam PP 33/2014 merupakan jenis PNBP dari pemanfaatan sumber daya alam ( vide Pasal 2 ayat (1) huruf b). Bahwa Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 3 ayat (2) UU PNBP telah mengatur pendelegasian secara tegas, bahwa jenis dan tarif atas jenis PNBP dalam kelompok penerimaan negara bukan pajak atas pemanfaatan sumber daya alam ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Dengan demikian PP 33/2014 tidak melanggar hierarki peraturan perundang- undangan.
Bahwa kewenangan untuk menetapkan tarif dalam bentuk Peraturan Pemerintah telah sesuai dengan Pasal 3 ayat (2) UU PNBP. Sebagaimana diketahui bahwa “materi muatan Peraturan Pemerintah adalah untuk melaksanakan Undang-Undang sebagaimana mestinya” yang artinya bahwa Peraturan Pemerintah adalah melaksanakan perintah Undang-Undang atau untuk menjalankan Undang-Undang sepanjang diperlukan dengan tidak menyimpang dari materi yang diatur dalam Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 161 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 162 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Undang-Undang yang bersangkutan ( vide Pasal 12 UU 12/2011).
Bahwa hal tersebut sebagaimana dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 128/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, menyatakan: “Bahwa pendelegasian wewenang Undang-Undang untuk mengatur lebih lanjut oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya adalah suatu kebijakan pembentuk Undang-Undang yakni DPR dengan persetujuan Pemerintah ( legal policy ), sehingga dari sisi kewenangan kedua lembaga itu tidak ada ketentuan UUD 1945 yang dilanggar, artinya produk hukumnya dianggap sah. Pengaturan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak, di samping untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah dengan segerasupaya ada landasan hukum yang lebih rinci dan operasional, sekaligus juga merupakan diskresi yang diberikan oleh Undang-Undang kepada Pemerintah yang dibenarkan oleh hukum administrasi.” j. Bahwa pengaturan jenis dan tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak merupakan pengaturan yang bersifat teknis sebagai pelaksanaan UU PNBP yang materi muatannya bersifat umum, dan hal ini telah sesuai dengan ketentuan Pasal 5 huruf c UU 12/2011 yang mengatur asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan. Sehingga apabila pengaturan jenis dan tarif PNBPdiatur dalam Undang-Undang maka menjadi tidak sesuai dengan materi muatan Undang-Undang yang bersifat umum.
Bahwa sesuai dengan konsideran menimbang huruf b PP No. 33 Tahun 2014 menyatakan bahwa “ ... untuk melaksanakan ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan ayat (2) serta Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak....”. Berdasarkan hal tersebut jenis dan tarif Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 162 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 163 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 PNBP sebagaimana diatur dalam PP No.33 Tahun 2014 adalah untuk melaksanakan pengaturan yang diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU PNBP. Sebagai pengaturan lebih lanjut dari apa yang didelegasikan UU, pengaturan jenis dan tarif PNBP yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan dalam PP a quo telah sesuai dengan ketentuan pembentukan peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bahwa pengaturan jenis dan tarif PNBP berupa penggunaan kawasan hutan berdasarkan Peraturan Pemerintah a quo , telah sejalan dengan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Agung RI No. 62 P/HUM/2013 (halaman 56 alinea terakhir s/d halaman 59), yang pada intinya menyatakan pada prinsipnya setiap pungutan yang bersifat memaksa oleh negara termasuk PNBP ditetapkan dengan Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah vide Pasal 23A UUD 1945 dan Pasal 2 ayat (3), Pasal 3 ayat (2) UU PNBP. Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, terhadap dalil Para Pemohon yang menganggap pengaturan jenis dan tarif PNBP yang merupakan jenis pungutan lain yang bersifat memaksa dan dapat ditagih secara memaksa yang seharusnya diatur dalam bentuk UU dan bukan dengan Peraturan Pemerintah dianggap bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 dan Pasal 3 ayat (1), Pasal 3 ayat (1) dan (2) UU PNBP dan Pasal 5 huruf c, d serta Pasal 6 ayat (1) huruf g UU 12/2011 adalah tidak benar dan tidak beralasan.
Termohon tidak sependapat dengan anggapan/argumentasi Para Pemohon dalam permohonannya yang menyatakan: Bahwa Pasal a quo juga bertentangan dengan UU Kehutanan yang merupakan lex spesialis tentang kehutanan tersebut tidak pernah diatur dan disebutkan secara jelas dan tegas mengenai adanya PNBP atas penggunaan pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan (kegiatan non-kehutanan). Menurut Para Pemohon, UU Kehutanan tidak pernah mengatur pengenaan PNBP oleh pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH (Ijin Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 163 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 164 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Pinjam Pakai Kawasan Hutan) atas timbulnya kerusakan terhadap seluruh kawasan hutan yang dipinjam pakaikan, namun hanya mengatur mengenai rekognisi adanya kewajiban yang terbatas pada kawasan yang nyata telah timbul kerusakan ( limitatif ) berupa melakukan reklamasi dan rehabilitasi serta membayar dana jaminan reklamasi dan rehabilitasi. Hal ini menimbulkan ketidakadilan bagi pelaku usaha dengan adanya tambahan beban ekonomis terhadap adanya pungutan PNBP yang imajiner, liar, serta multi pungutan (halaman 28). Terhadap alasan/anggapan Para Pemohon diatas, Termohon memberikan penjelasan sebagai berikut:
Bahwa UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan adalah undang-undang yang mencakup pengaturan yang luas tentang hutan dan teknis kehutanan, serta memberikan landasan hukum yang lebih kokoh dan lengkap bagi pembangunan kehutanan saat ini dan masa yang akan datang. Sedangkan UU yang mengatur khusus mengenai penentuan jenis dan tarif PNBP ( lex spesialis ) adalah UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. Sehingga untuk pengaturan jenis dan tarif PNBP dibidang kehutanan tunduk pada UU No. 20/1997. Dengan demikian, UU 41/1999 bukanlah ketentuan mengatur mengenai PNBP yang berasal dari penggunaan kawasan hutan seperti yang di dalilkan Para Pemohon.
Bahwa kelompok PNBP yang berasal dari penggunaan Kawasan Hutan/dalam ketentuan PP 33/2014 a quo, termasuk dalam kelompok sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf b UU PNBP yaitu kelompok penerimaan negara bukan pajak meliputi penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (3) UU PNBP diatur bahwa Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang belum tercakup dalam kelompok Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 164 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 165 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 d. Berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No. 20 Tahun 1997 tentang PNBP diatur bahwa Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud padaayat (1) ditetapkan dalam Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah yangmenetapkan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersangkutan. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penerbitan PP No. 33 Tahun 2014, PP Nomor 24 Tahun 2010, dan PP Nomor 105 Tahun 2015 serta PermenLHK No. 50/2016 khususnya yang mengatur mengenai kewajiban pembayaran PNBP kepada Negara adalah sudah tepat dan benar.
Termohon tidak sependapat dengan anggapan/argumentasi Para Pemohon dalam permohonannya yang menyatakan: Perumusan dan pemberlakuan norma tentang pengenaan PNBP atas penggunaan seluruh area kawasan hutan yang dipinjam pakai kawasan hutan telah memberikan beban ekonomis yang sangat luar biasa oleh para pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH berupa munculnya multi pungutan dan perlakuan diskriminatifdari adanya pengenaan PNBP tersebut . Adanya beban multi pungutan dan perlakuan diskriminatif tersebut memberikan dampak kerugian yang sangat signifikan bagi para pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH (halaman 31). Terhadap alasan/anggapan Para Pemohon diatas, Termohon memberikan penjelasan sebagai berikut:
Berdasarkan konsultasi publik dan pembahasan yang dilakukan beberapa kali dengan Kementerian Kehutanan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, Kementerian KOMINFO, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Sekretariat Negara, Prof. Suparmoko, MA (Pakar Ekonomi dan Lingkungan), Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI-ICMA), Asosiasi Pertambangan Indonesia-Indonesia Mining Association (IMA), Asosiasi Perminyakan Indonesia, Asosiasi Industri Penunjang Migas, Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Asosiasi Kontraktor Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 165 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 166 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Listrik dan Mekanikal Indonesia (AKLI), Asosiasi Jalan Tol Indonesia (ATI), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Asosiasi Pengelolaan Hutan Indonesia (APHI), Asosiasi Pengendali Pencemaran Lingkungan Indonesia (APPLI), dan Ikatan Profesional Lingkungan Hidup Indonesia (IPLHI) sampai dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2014 membuktikan bahwa Pemohon turut terlibat atau ikut serta dalam pembahasan penyempurnaan PP No. 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan Yang Berlaku Pada Kementerian Kehutanan dan menyepakati kenaikan tarif PNBP sebesar 30% untuk seluruh kategori L1, L2, dan L3. Berdasarkan hal tersebut diatas, justru menunjukkan bahwa Para Pemohon tidak konsisten dalam menanggapi permasalahan yang ada sehingga dengan demikian tidak terdapat kerugian konstitusional dari Para Pemohon.
Bahwa filosofi Penerimaan Negara Bukan Pajak Penggunaan Kawasan Hutan adalah pengganti lahan kompensasi . Lahan kompensasi untuk Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) komersil pada wilayah yang mempunyai hutan < 30% adalah ratio 1 : 2 berdasarkan luas total area IPPKH sehingga Penerimaan Negara Bukan Pajak Penggunaan Kawasan Hutan dikenakan terhadap seluruh areal IPPKH.
Negara telah memberikan hak kepada pemegang IPPKH terhadap seluruh area Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan-nya, sehingga negara harus mendapat kompensasi atas “ opportunity lose ” seluruh area IPPKH yang diberikan tersebut.
Apabila area pengembangan/area penyangga tidak digunakan maka keuntungan yang diperoleh adalah tidak diperlukan reklamasi dan hanya dikenakan 1 x tarif (biaya lebih rendah daripada 4 x tarif), sedang jika area tersebut digunakan, maka Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 166 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 167 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 wajib direklamasi dan juga dikenakan tarif PNBP 4 x tarif (biaya tinggi).
Pada kenyataan banyak pelaku usaha tidak mengusahakan atau mengerjakan seluruh areal yang diberikan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), sebagai contoh berdasarkan data yang ada pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terdapat beberapa perusahaan yang mendapatkan areal IPPKH dengan luasan yang besar namun tidak dikerjakan dengan maksimal yaitu:
PT. Indexim Coalindo Pemegang IPPKH berdasarkan SK Menhut No. SK. 837/Menhut-II/2014 tanggal 29 September 2014 dengan luas areal kerja 5.732,72 Ha dengan realisasi penggunaan kawasan hutan sampai dengan saat ini belum terdapat kegiatan (Sumber Berita Acara Verifikasi tahun 2016) ( vide bukti T- 4a).
PT. Batubara Duaribu Abadi Pemegang IPPKH berdasarkan SK Menhut No. SK.681/Menhut-II/2009 tanggal 16 Oktober 2009 dengan luas areal kerja 1.4832,98 Ha dengan realisasi penggunaan kawasan hutan sampai dengan saat ini seluas 224,40 Ha (Sumber Berita Acara Verifikasi tahun 2013) ( vide bukti T- 4b).
PT. Karimun Granite Pemegang IPPKH berdasarkan SK Menhut No. SK. 172/Menhut-II/2013 tanggal 21 Maret 2013 dengan luas areal kerja 1.834,47 Ha dengan realisasi penggunaan kawasan hutan sampai dengan saat ini seluas 157,40 Ha (Sumber Berita Acara Verifikasi tahun 2015) ( vide bukti T- 4c.).
Apabila yang dikenakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Penggunaan Kawasan Hutan hanya area terganggu saja, maka Negara mengalami kerugian antara lain :
Negara tidak mendapatkan kompensasi atas area pengembangan/area penyangga; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 167 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 168 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 2) Negara tidak dapat memberikan area pengembangan/area penyangga kepada pihak lain yang ingin menggunakan area tersebut.
Termohon tidak sependapat dengan anggapan/argumentasi Para Pemohon dalam permohonannya yang menyatakan: Perumusan dan pemberlakuan norma tentang PNBP atas penggunaan seluruh area kawasan hutan yang dipinjam pakai tidak mencerminkan dan bertentangan dengan asas dapat dilaksanakan dan asas keadilan (halaman 43). Terhadap alasan/anggapan Para Pemohon diatas, Termohon memberikan penjelasan sebagai berikut:
Berdasarkan rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan RI pada kriteria L3 seharusnya mempunyai faktor pengali tertinggi dalam rumus Penerimaan Negara Bukan Pajak Penggunaan Kawasan Hutan, karena L3 mempunyai dampak kerusakan lingkungan terparah dari semua kriteria area penggunaan kawasan hutan.
Menurut Prof. Suparmoko, MA (Pakar Ekonomi dan Lingkungan) PP No. 2 Tahun 2008 sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini akibat adanya peningkatan nilai-nilai yang terkandung dalam kawasan hutan, adanya nilai inflasi dan kenaikan dampak kerusakan lingkungan, nilai intrinsik sumber daya hutan yang hilang akibat dari penggunaan kawasan hutan sebesar ± Rp. 85 Juta/Ha/Tahun.
Berdasarkan konsultasi publik yang diselenggarakan pada tanggal 2 Oktober 2012 yang dihadiri oleh wakil-wakil dari Kementerian Kehutanan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, Kementerian KOMINFO, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Sekretariat Negara, Prof. Suparmoko, MA (Pakar Ekonomi dan Lingkungan), Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI-ICMA), Asosiasi Pertambangan Indonesia-Indonesia Mining Association (IMA), Asosiasi Perminyakan Indonesia, Asosiasi Industri Penunjang Migas, Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia (AKLI), Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 168 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 169 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Asosiasi Jalan Tol Indonesia (ATI), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Asosiasi Pengelolaan Hutan Indonesia (APHI), Asosiasi Pengendali Pencemaran Lingkungan Indonesia (APPLI), dan Ikatan Profesional Lingkungan Hidup Indonesia (IPLHI). Adapun hasil konsultasi publik tersebut salah satunya adalah pada prinsipnya seluruh peserta rapatsepakat untuk menaikkan tarif PNBP sebesar 30% untuk seluruh kategori L1, L2, dan L3.
Pembahasan tanggal Pada tanggal 30 Oktober 2012 yang dipimpin oleh Sekretaris Menko Bidang Perekonomian selaku Ketua Tim Kerja Regulasi KP3EI menghasilkan kesimpulan antara lain seluruh peserta rapat sependapat dengan rencana kenaikan tarif 30% karena tarif PNBP yang berlaku saat ini masih tergolong rendah sehingga sudah saatnya perlu disesuaikan dengan nilai inflasi yang ada.
Selain itu penyesuaian terhadap rumus pengali PNBP PKH yang semula kriteria L3 hanya dikenakan 2 kali tarif berubah menjadi 7 kali tarifdilakukan juga karena mempertimbangkan bahwa kriteria L3 merupakan area yang terkena dampak paling parah dan secara teknis tidak dapat direklamasi bahkan bisa dikatakan merupakan wilayah lost land. f. Perubahan formula tersebut juga telah memperhatikan 3 aspek yaitu:
Aspek kepastian Pengusaha : ketentuan kenaikan tarif yang jelas memberi kepastian para pengusaha untuk memperhitungkan kelayakan usahanya. Dengan pembayaran PNBP tersebut, pengusaha dapat secara pasti menjalankan usahanya. Pemerintah : ketentuan kenaikan tarif dengan kriteria yang jelas memberi kepastian penghitungan rencana dan target PNBP Masyarakat : kenaikan tarif ini memberi kepastian pada masyarakat bahwa setiap penggunaan kawasan hutan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 169 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 170 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 disertai dengan kompensasi PNBP dengan nilai yang layak akan digunakan untuk program pembangunan sumber daya hutan yang berkelanjutan melalui mekanisme APBN.
Aspek keadilan Pengusaha : aspek keadilan dapat dilihat dari kenaikan tarif yang berbeda-beda sesuai dengan kelompok pengusahaan dan kriteria penggunaan kawasan hutan. Ketentuan besaran tarif berdasarkan pendekatan Cost Plus yaitu pengusaha membayar lebih besar karena manfaat ekonomi yang diperoleh pengusaha juga lebih besar atau dalam rangka pengendalian penggunaan kawasan hutan untuk melindungi kelestarian lingkungan/alam/sumber daya hutan. Pemerintah : kenaikan tarif dan perluasan objek PNBP adalah sebagai ganti kompensasi dari oppurtuni lost yang telah diberikan kepada pengusaha. Kenaikan hanya ± 30% dan kenaikan koofisien L3 menjadi 7x karena adanya punishment terhadap dampak kerusakan parah yang ditimbulkan dan negara harus mendapat kompensasi untuk itu untuk memperbaiki dan memelihara L3. Masyarakat : kenaikan tarif dan kenaikan koofisien memberikan rasa keadilan kepada masyarakat karena masyarakat mendapat kompensasi atas program pembangunan sumber daya hutan yang berkelanjutan melalui pemanfaatan PNBP.
Aspek manfaat Kenaikan tarif ini bermanfaat untuk kepastian berusaha, keadilan bagi Pemerintah dan masyarakat.
Termohon tidak sependapat dengan anggapan/argumentasi Para Pemohon dalam permohonannya yang menyatakan : Ketentuan yang berkaitan dengan Kewajiban Penanaman dalam Rangka rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS) pada Pasal 21 ayat Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 170 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 171 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 (1) huruf b PP 24/2010, Pasal 6 ayat (2) huruf b angka 1 dan Pasal 15 ayat (1) huruf c PP 105/2015, Permen LHK 50/2016 dan Permenlhk 89/2016bertentangan dengan Pasal 45 ayat (1) dan ayat (3) jo. Pasal 38 ayat (1) dan ayat (3) UU 41/1999 dan Pasal 5 huruf c, d, f serta Pasal 6 ayat (1) huruf g UU 12/2011 karena rumusan norma tentang kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS di luar area IPPKH tidak diatur dan dicantumkan secara tegas dalam UU Kehutanan sehingga pemberlakuan norma kewajiban tersebut dalam bentuk PP merupakan bentuk penyelundupan norma. Dalam UU Kehutanan hanya mengatur mengenai rehabilitasi hutan di dalam area IPPKH an sich (termasuk reklamasi hutan). Terhadap alasan/anggapan Para Pemohon diatas, Termohon memberikan penjelasan sebagai berikut:
Bahwa ketentuan Pasal 12 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyebutkan bahwa “Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya” Penjelasan: Yang dimaksud dengan “menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya” adalah penetapan Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan perintah Undang-Undang atau untuk menjalankan Undang-Undang sepanjang diperlukan dengan tidak menyimpang dari materi yang diatur dalam Undang-Undang yang bersangkutan b. Menurut Maria Farida Indrati Soeprapto dalam bukunya yang berjudul Ilmu Perundang-Undangan Dasar-Dasar dan Pembentukannya hal. 131 berpendapat bahwa materi muatan PP adalah keseluruhan materi muatan Undang-undang yang dilimpahkan kepadanya, atau dengan perkataan lain materi muatan PP adalah sama dengan materi muatan Undang-undang sebatas pada yang dilimpahkan kepadanya.
Ketentuan Pasal 45 UU No. 41 Tahun 1999 mengatur:
Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) yang mengakibatkan kerusakan hutan, Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 171 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 172 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 wajib dilakukan reklamasi dan atau rehabilitasi sesuai dengan pola yang ditetapkan pemerintah.
Reklamasi pada kawasan hutan bekas areal pertambangan, wajib dilaksanakan oleh pemegang izin pertambangan sesuai dengan tahapan kegiatan pertambangan.
Pihak-pihak yang menggunakan kawasan hutan untuk kepentingan di luar kegiatan kehutanan yang mengakibatkan perubahan permukaan dan penutupan tanah, wajib membayar dana jaminan reklamasi dan rehabilitasi.
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah . Bahwa jika dilihat dari materi muatan dalam ketentuan Pasal 21 PP 24/2010, Pasal 6 ayat (2) huruf b dan Pasal 15 ayat (1) huruf c PP 105/2015 dimaksud, ketentuan-ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 45 jo. Pasal 38 UU 41/1999. Suatu Undang-Undang memuat peraturan yang bersifat umum, abstrak dan tidak mengatur semua hal secara terperinci. Oleh karena PP sebagai peraturan pelaksana dari Pasal 38 UU 41/1999 menjabarkan ketentuan lebih lanjut mengenai pola reklamasi dan atau rehabilitasi yang ditetapkan pemerintah. Dengan demikian apabila ditinjau dari hierarki perundang- undangan, maka dikeluarkan PP 24/2010 jo. PP 105/2015 tidak bertentangan dengan asas kesesuaian jenis, hierarki dan materi muatan.
Bahwa selanjutnya PP juga tidak dapat mengatur semua hal terutama peristiwa konkret yang terjadi sehingga PP juga memberikan wewenang kepada organ pemerintah untuk menyelesaikan peristiwa konkret tersebut serta untuk memenuhi kepentingan atau untuk mewujudkan suatu tujuan tertentu yang dibenarkan oleh hukum.
Berdasarkan Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengatur:
Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 172 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 173 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang- Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Penjelasan: Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Peraturan Menteri” adalah peraturan yang ditetapkan oleh menteri berdasarkan materi muatan dalam rangka penyelenggaraan urusan tertentu dalam pemerintahan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “berdasarkan kewenangan” adalah penyelenggaraan urusan tertentu pemerintahan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Bahwa menurut Dr. Ridwan, SH. M.Hum. dalam bukunya Diskresi dan Tanggung jawab Pemerintah hal. 155 berpendapat secara umum diskresi dan peraturan kebijakan dianggap sah jika memenuhi syarat-syarat yang berupa legalitas ( legality ) dan rasionalitas ( rationality ) yang meliputi pertimbangan yang relevan ( relevan consideration ), kejujuran dan keterbukaan, tujuan yang layak ( proper purpose ), dan konsistensi ( consistency ). Dengan demikian atas dasar diskresi yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan kepada Pemerintah, maka Pemerintah cq. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan peraturan mengenai pola reklamasi dan rehabilitasi yang telah diatur dalam PP tersebut melalui Permen LHK RI No. 50 Tahun 2016, Permen LHK RI 89/2016 untuk mengatur lebih rinci terkait reklamasi dan rehabilitasi DAS kawasan hutan yang digunakan kegiatan pertambangan. Sebagaimana telah Termohon jelaskan diatas bahwa kegiatan pertambangan pada areal IPPKH telah menimbulkan dampak kerusakan lingkungan yang tidak hanya dirasakan disekitar lokasi tambang saja tetapi juga dirasakan ditempat lain (areal terdampak). Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 173 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 174 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Akibat penambangan pada areal IPPKH terhadap kawasan hutan menimbulkan:
Kerusakan struktur hutan yang menyebabkan hilangnya kemampuan hutan untuk mempertahankan fungsi dan stabilitas hutan.
Hilangnya keanekaragaman flora dan fauna, karena terjadi peluang kepunahan beberapa jenis terutama jenis yang langka.
Kerusakan bentang lahan dan rusaknya fungsi hidroorologis akibat banyaknya lubang-lubang galian bekas tambang yang ditinggalkan menjadi kolam-kolam.
Hilangnya top soil yang menyebabkan hilangnya kesuburan tanah bahkan sampai kebatuan induk. Pengembalian kesuburan tanah diperlukan puluhan bahkan tahunan.
Meningkatnya suhu udara disekitar-sekitar.
Terjadinya pencemaran air.
Terjadinya kerusakan ekosistem. Bahwa setiap pemegang IPPKH wajib melaksanakan Reklamasi dan/atau Rehabilitasi. Reklamasi dimaksudkan untuk memperbaiki kondisi areal yang dilakukan eksploitasi agar pulih kembali (padahal sebenarnya tidak mungkin pulih kembali seperti kondisi semula karena kerusakan yang ditimbulkan). Atas dasar pemikiran bahwa reklamasi oleh pemegang IPPKH tidak dapat mengembalikan hutan pada kemampuan dan atau kondisi semula, untuk itu Pemerintah mewajibkan juga Rehabilitasi DAS di luar lokasi. Hal ini dilakukan agar kerusakan lingkungan secara makro tidak semakin bertambah. Sebagaimana pendapat ahli Prof. Dr. Ir. Djoko Marsono, Pakar Bidang Ekologi Sumberdaya Hutan UGM ( vide bukti T-3). V. KESIMPULAN Berdasarkan uraian dan fakta hukum yang telah disampaikan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
Terkait dengan kewajiban pemegang IPPKH membayar PNBP penggunaan kawasan hutan, reklamasi, dan melakukan penanaman dalam rangka rehabiltasi DAS tersebut, dapat Termohon sampaikan sebagai berikut: Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 174 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 175 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 a. Mengingat penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan tersebut, belum sepenuhnya memberikan penghargaan terhadap nilai manfaat hutan yang hilang, maka perluada kompensasi kepada Negara berupa lahan untuk dijadikan kawasan hutan (lahan kompensasi). Penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan tersebut, sebelum berlakunya:
PP Nomor 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada Departemen Kehutanan;
PP Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan, sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan PP 105 Tahun 2015; baik yang berada dalam kawasan yang hutan yang luasnya di atas 30 % atau dibawah 30%, pemegang IPPKH pertambangan dikenakan kewajiban menyediakan lahan kompensasi yang dijadikan kawasan hutan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.12/Menhut-II/2004 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, sebagaimana telah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 64/Menhut-II/2006.
Dengan pertimbangan lahan kompensasi sulit diperoleh, maka berdasarkan PP Nomor 2 Tahun 2008 dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.43/Menhut-II/2004 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, khususnya untuk di wilayah provinsi yang kawasan hutan yang luasnya di atas 30%, kewajiban pemegang IPPKH pertambangan menyediakan lahan kompensasi diganti dengan PNBP, sedangkan untuk di wilayah provinsi yang kawasan hutan yang luasnya di bawah 30%, tetap dikenakan kewajiban menyediakan lahan kompensasi.
Dengan pertimbangan pemegang IPPKH pertambangan di wilayah provinsi luas kawasan hutannya di atas 30% yang hanya berkewajiban membayar PNBP, belum memberikan penghargaan nilai manfaat hutan yang hilang atas kegiatan pertambangan maka pemegang IPPKH selain membayar PNBP ditambah dengan kewajiban melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 175 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 176 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 yang dilakukan di luar areal kerja IPPKH, sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (1) huruf e PP No. 24/2010, sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan PP No. 105/2015, Permen LHK No. 50/2016 dan Permen LHK No. 89/ 2016.
Bahwa PP No. 33/2014:
Tidak mengandung semangat diskriminasi yangmembedakan penerapan Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan;
Tidak merugikan dan mengabaikan hak-hak warga negara;
Tidak melakukan kesewenang-wenangan dalam menentukan Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan;
tidak mengabaikan kepastian hukum.
Bahwa apabila ketentuan aquo dibatalkan oleh Mahkamah Agung dapat menimbulkan:
Ketidakpastian hukum terhadap penerapan Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan b. Hilangnya nilai intrinsik sumber daya hutan yang hilang akibat dari penggunaan kawasan hutan. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka ketentuan Pasal 1 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5) beserta Lampiran PP 33/2014, Pasal 21 ayat (1) huruf a dan huruf b PP 24/2010, Pasal 6 ayat (2) huruf b angka 1 dan Pasal 15 ayat (1) huruf b dan huruf c PP 105/2015, Pasal 5 ayat (2) huruf b angka 1, Pasal 19 ayat (1) huruf c dan huruf d, Pasal 22 huruf d, huruf e, huruf q angka 4 dan angka 7, dan huruf r angka 4 dan angka 5, serta Pasal 47 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf b dan huruf c Permen LHK 50/2016, Pasal 15 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 38, Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2), beserta Lampiran Angka I sampai dengan Angka VIII Permen LHK 89/2016 tidak Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 176 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 177 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 bertentangan dengan UUD 1945, UU PNBP,UU Kehutanan, dan UU 12/2011. VI. PETITUM Berdasarkan seluruh uraian dan penjelasan di atas, Termohon memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Agung pada Mahkamah Agung yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan keberatan Uji Materiil a quo, dapat memberikan putusan dengan amar sebagai berikut:
Menerima Jawaban Termohon untuk seluruhnya;
Menyatakan Para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( legal standing) ;
Menyatakan Menolak permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya, atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan Para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( legal standing) tidak dapat diterima ( niet onvankelijk verklaard );
Menyatakan Pasal 1 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), beserta Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan di luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada Kementerian Kehutanan, Pasal 21 ayat (1) huruf a dan huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan, Pasal 6 ayat (2) huruf b angka 1 dan Pasal 15 ayat (1) huruf b dan huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan, Pasal 5 ayat (2) huruf b angka 1, Pasal 19 ayat (1) huruf c dan huruf d, Pasal 22 huruf d, huruf e, huruf q angka 4 dan angka 7, dan huruf r angka 4 dan angka 5, serta Pasal 47 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf b dan huruf c Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, Pasal 15 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 38, Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2), beserta Lampiran Angka I sampai dengan Angka VIII Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.89/Menlhk/Setjen/Kum.1/11/2016 tentang Pedoman Penanaman Bagi Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 177 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 178 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Hutan Dalam Rangka Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai tidak bertentangan dengan Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak,Pasal 45 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, dan Pasal 3 ayat (1), Pasal 5 huruf c, d serta Pasal 6 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Atau dalam hal Yang Mulia Majelis Hakim Agung di Mahkamah Agung berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). Menimbang, bahwa untuk mendukung dalil-dalil permohonannya, Pemohon telah mengajukan surat-surat bukti, yaitu sebagai berikut: NO KODE BUKTI NAMA BUKTI KETERANGAN 1. T-1 Putusan Mahkam a h Agung RI No . 16P /HUM/2015, tanggal 8 Desember 2015 Para Pemohon pernah mengajukan uji materiil terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2014 dan dinyatakan permohonan tersebut dinyatakan tidak dapat diterima (NO).
T-2 Data Pemegang IPPKH yang berkewajiban melakukan penanaman rehabilitasi DAS bulan Mei tahun 2017 di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Dari 573 IPPKH untuk kegiatan pertambangan, 52 IPPKH telah melakukan penanaman dan dari 144 IPPKH untuk kegiatan non pertambangan, 10 IPPKH telah melakukan penanaman.
T-3 Pendapat Ahli Prof. Dr . Ir.Djoko Marsono, Pakar Bidang Ekologi Sumberdaya Hutan UGM Kegiatan reklamasi oleh pemegang IPPKH tidak dapat memulihkan kembali hutan pada kondisi semula, untuk itu Pemerintah mewajibkan juga Rehabilitasi DAS di luar lokasi . Selain itu rehabilitasi DAS diluar areal izin dimaksudkan untuk mengganti kerusakan lingkungan yang bersifat permanen dan tidak dapat dipulihkan kembali pada areal izin serta untuk mengganti kerusakan lingkungan pada area sekitar lokasi yang terkena dampak akibat kegiatan IPPKH tersebut .
T-4a PT. Indexim Coalindo Pemegang IPPKH berdasarkan SK Menhut Contoh perusahaan yang mendapatkan areal IPPKH dengan luasan yang besar namun tidak dikerjakan dengan maksimal. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 178 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 179 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 No.SK.837/Menhut- II/2014 tanggal 29 September 2014.
T-4b PT. Batubara Duaribu Abadi Pemegang IPKKH berdasarkan SK Menhut No.SK.681/Menhut- II/2009. Contoh perusahaan yang mendapatkan areal IPPKH dengan luasan yang besar namun tidak dikerjakan dengan maksimal.
T-4c PT. Karimun Granite Pemegang IPPKH berdasarkan SK Menhut No. SK.172/Menhut- II/2013 tanggal 21 Maret 2013 Contoh perusahaan yang mendapatkan areal IPPKH dengan luasan yang besar namun tidak dikerjakan dengan maksimal. PERTIMBANGAN HUKUM Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan keberatan hak uji materiil adalah sebagaimana tersebut di atas; Menimbang, bahwa yang menjadi objek permohonan keberatan hak uji materiil adalah:
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan Yang Berlaku Pada Kementerian Kehutanan, Penjelasan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 dan Lampiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 Angka 1, Angka 2 dan Angka 3;
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan;
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan;
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan;
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.89/Menlhk/Setjen/Kum.1/11/2016 Tentang Pedoman Penanaman Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 179 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 180 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Bagi Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Dalam Rangka Rehabilitasi Daeran Aliran Sungai Berikut Lampiran Angka Romawi I Sampai Dengan Lampiran Angka Romawi VIII; Menimbang, bahwa sebelum Mahkamah Agung mempertimbangkan tentang substansi permohonan yang diajukan Para Pemohon, maka terlebih dahulu akan dipertimbangkan apakah permohonan a quo memenuhi persyaratan formal permohonan hak uji materiil, yaitu apakah Objek Permohonan merupakan peraturan perundang-undangan di bawah Undang- Undang dan apakah Para Pemohon mempunyai kedudukan hukum ( legal standing) untuk mengajukan permohonan hak uji materiil; Kewenangan Mahkamah Agung Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945, Pasal 20 ayat 2 huruf b UU 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasan Kehakiman, Pasal 31 A ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Pasal 1 angka 1 Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil disebutkan bahwa “Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”; Menimbang, bahwa yang menjadi objek permohonan dalam permohonan a-quo adalah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2015, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016, dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.89/Menlhk/Setjen/Kum.1/11/2016; Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf d dan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan disebutkan bahwa Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri adalah termasuk jenis peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, oleh karenanya Mahkamah Agung berwenang untuk memeriksa dan mengadili permohonan a-quo ; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 180 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 181 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 31A ayat (2) huruf c Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung disebutkan bahwa permohonan pengujian Peraturan Perundang-Undangan di bawah Undang- Undang hanya dapat dilakukan oleh badan hukum publik atau badan hukum privat yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya Peraturan Perundang-Undangan di bawah Undang-Undang; Menimbang, bahwa Para Pemohon, yaitu Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI ICMA) dan Asosiasi Pertambangan Indonesia ( API-IMA ) adalah asosiasi atau perkumpulan perusahaan pertambangan yang berbentuk badan hukum privat yang telah terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM sebagai badan hukum, yang merasa dirugikan akibat terbitnya objek permohonan; Menimbang, bahwa merujuk pada beberapa putusan Mahkamah Agung tentang pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang ( Putusan No. 54 P/HUM/2013, Putusan No.62 P/HUM/2013, dan Putusan Nomor 11 P/HUM/2014) untuk dapat memenuhi syarat adanya unsur kerugian hak Para Pemohon, dipertimbangkan sebagai berikut:
Adanya hak Pemohon yang diberikan oleh suatu peraturan perundang- undangan: Bahwa Para Pemohon adalah asosiasi atau perkumpulan perusahaan pertambangan yang secara resmi telah mengajukan permohonan, untuk mempunyai kepentingan, atau mengelola kepentingan dalam hak pertambangan di wilayah Indonesia dan yang kepentingannya dalam hak- hak demikian telah diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia atau telah mendapat ijin dari Pemerintah Republik Indonesia (vide Pasal 10 huruf c dan Pasal 14 Anggaran Dasar APBI-ICMA No.01 tanggal 22 Maret 2007 dan Pasal 9 ayat 1 huruf a, Pasal 20 Perubahan Akta Pendirian Perkumpulan API-IMA Nomor 17 tanggal 17 Juni 2011);
Hak tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan yang dimohonkan pengujian: Bahwa dalam permohonan a-quo hak yang dianggap dirugikan oleh Para Pemohon adalah hak perusahaan pertambangan selaku pemegang Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang oleh objek permohonan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 181 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 182 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 diberikan beban tambahan berupa PNBP di luar kawasan yang nyata telah timbul kerusakan dan penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS di luar areal IPPKH;
Kerugian harus bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan terjadi: Bahwa kerugian yang dialami Para Pemohon dalam hal ini pelaku industri pertambangan pemegang IPPKH adalah bertambahnya beban ekonomi akibat adanya berbagai macam pungutan yang harus dibayarkan oleh perusahaan dan bertambahnya kewajiban pemegang IPPKH dalam rangka rehabilitasi DAS di luar area IPPKH;
Adanya hubungan sebab akibat ( casual Verband ) antara kerugian dimaksud dan berlakunya peraturan perundang-undangan yang dimohonkan pengujian: Bahwa berlakunya peraturan perundang-undangan yang menjadi objek permohonan menyebabkan perusahaan pertambangan pemegang IPPKH yang merupakan anggota asosiasi harus menanggung tambahan beban keuangan untuk membayar PNBP di luar kawasan yang nyata telah timbul kerusakan dan tambahan beban berupa penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS di luar areal IPPKH;
Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian seperti yang dimaksud tidak akan terjadi: Bahwa dengan dikabulkannya permohonan a-quo , maka perusahaan pertambangan pemegang IPPKH tidak perlu mengeluarkan tambahan biaya untuk membayar PNBP di luar kawasan yang nyata telah timbul kerusakan dan melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS di luar areal IPPKH; Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan tersebut dihubungkan dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi terkait unsur adanya kerugian hak Para Pemohon, Majelis Hakim Agung berpendapat bahwa Para Pemohon sebagai badan hukum privat dalam kapasitasnya mewakili kepentingan para perusahaan pertambangan dapat membuktikan unsur kerugian haknya yang bersifat spesifik dan aktual serta terdapat hubungan sebab akibat secara langsung antara kerugian yang dimaksud dengan berlakunya objek permohonan, karenanya cukup alasan hukum untuk Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 182 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 183 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 menyatakan Para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam mengajukan permohonan a-quo ; Menimbang, bahwa karena permohonan terhadap objek hak uji materiil diajukan oleh Para Pemohon yang mempunyai kedudukan hukum ( legal standing) maka permohonan a quo secara formal dapat diterima; Pokok Permohonan Menimbang, bahwa dari alasan keberatan Para Pemohon yang kemudian dibantah oleh Para Termohon dalam jawabannya, dihubungkan dengan bukti- bukti yang diajukan oleh Para Pemohon dan Para Termohon, Mahkamah Agung berpendapat bahwa alasan keberatan Para Pemohon tidak dapat dibenarkan, dengan pertimbangan sebagai berikut: - Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Pendapatan Negara Bukan Pajak disebutkan bahwa tarif atas jenis PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan undang-undang atau peraturan pemerintah. - Bahwa dengan demikian Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2014 diterbitkan berdasarkan perintah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 ( delegatie van recht geven ) dalam rangka mengoptimalkan penerimaan PNBP yang berasal dari penggunaan kawasan hutan di luar kegiatan kehutanan untuk menunjang pembangunan, karenanya dalil para Pemohon yang mendalilkan penetapan PNPB harus dengan undang-undang tidak dapat dibenarkan; - Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 45 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 disebutkan bahwa Penggunaan kawasan hutan bekas areal pertambangan wajib dilakukan reklamasi dan atau rehabilitasi sesuai dengan pola yang ditetapkan oleh pemerintah yang diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS) di luar areal Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) sebagaimana diatur dalam Peraturan Perundang-Undangan di bawah Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, dimaksudkan untuk mengganti kerusakan lingkungan pada areal sekitar lokasi yang terkena dampak akibat kegiatan IPPKH. Dengan demikian Pemerintah berdasarkan ketentuan tersebut diberi kewenangan atributif untuk mengatur lebih lanjut bagaimana pola pemerintah dalam menjaga kelestarian lingkungan di sekitar areal IPPKH yang dituangkan melalui peraturan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 183 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 184 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 pemerintah. Dengan demikian ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010, Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2015, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor P.89/ MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2016 yang mengatur tentang rehabilitasi hutan di luar IPPKH dan rehabilitasi DAS di luar IPPKH tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi; - Bahwa merujuk pada uraian pertimbangan tersebut dapat disimpulkan bahwa penerbitan objek permohonan tidak melanggar hierarki peraturan perundang- undangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan; Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut terbukti bahwa Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2015, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016, dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.89/Menlhk/Setjen/Kum.1/11/2016 tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, yaitu: UUD 1 9 45 , Undang - Unda n g No mor 20 T a h un 1997 T entang Penerimaan N e g a ra B uka n Paja k , Undang - Undang No mor 41 Tahun 19 99 T en t ang Ke hu tan an da n Unda n g- U ndang N om or 1 2 Tahun 20 1 1 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang- un dangan , karenanya permohonan keberatan hak uji materiil dari Para Pemohon harus ditolak, dan selanjutnya sebagai pihak yang kalah Para Pemohon dihukum untuk membayar biaya perkara; Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil, serta peraturan perundang-undangan lain yang terkait; MENGADILI, Menolak permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon:
ASOSIASI PERTAMBANGAN BATUBARA INDONESIA 2. ASOSIASI PERTAMBANGAN INDONESIA ; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 184 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 185 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Menghukum Para Pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta Rupiah); Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Kamis , tanggal 20 Juli 2017, oleh Dr. H. Supandi, S.H., M.Hum., Ketua Muda Mahkamah Agung Urusan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Is Sudaryono, S.H., M.H. dan Dr. H. M. Hary Djatmiko, S.H., M.S., Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota Majelis, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota Majelis tersebut dan dibantu oleh Joko A. Sugianto, S.H., Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak. Anggota Majelis: Ketua Majelis, ttd/. Is Sudaryono, S.H. M.H. ttd/. Dr. H. Supandi, S.H., M.Hum. ttd/. Dr. H. M. Hary Djatmiko, S.H., MS Panitera Pengganti, ttd/. Joko A. Sugianto, S.H Biaya – biaya :
M e t e r a i…………….. Rp. 6.000,00 2. R e d a k s i……………. Rp. 5.000,00 3. Administrasi HUM…..... Rp. 989.000,00 Jumlah...…… Rp. 1.000.000,00 Untuk Salinan MAHKAMAH AGUNG R.I.
n. Panitera Panitera Muda Tata Usaha Negara (H. ASHADI, S.H.) NIP. 19540924 198403 1 001 Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 185
Pengujian Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara terhadap UUD 1945 dan Pengujian Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendah ...
Relevan terhadap 1 lainnya
secara bijaksana menyatakan permohonan para Pemohon ditolak atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard ). III. Peranan Pemerintah Dalam Pengelolaan Utang Negara A. Kekuasaan Atas Keuangan Negara Dalam rangka pencapaian tujuan bernegara sebagaimana tercantum dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945 dibentuk pemerintahan negara yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan dalam berbagai bidang. Pembentukan pemerintahan negara tersebut menimbulkan hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang yang perlu dikelola dalam suatu sistem pengelolaan keuangan negara. Sebagai suatu negara yang berkedaulatan rakyat, berdasarkan hukum, dan menyelenggarakan pemerintahan negara berdasarkan konstitusi, sistem pengelolaan keuangan negara harus sesuai dengan aturan pokok yang ditetapkan dalam konstitusi. Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan keuangan negara adalah dari sisi objek, subjek, proses, dan tujuan. Dari sisi objek yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidangfiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari sisi subyek yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi seluruh objek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Dari sisi proses, keuangan negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan objek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggunggjawaban. Dari sisi tujuan, keuangan negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan objek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara. Bidang pengelolaan keuangan negara yang demikian luas dapat dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal,
sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan. Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan negara, pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan secara profesional, terbuka, dan bertanggung jawab sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam UUD 1945. Sesuai dengan amanat Pasal 23C UUD 1945, Undang-Undang tentang keuangan negara perlu menjabarkan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam UUD 1945 tersebut ke dalam asas-asas umum yang meliputi baik asas-asas yang telah lama dikenal dalam pengelolaan keuangan negara, seperti asas tahunan, asas universalitas, asas kesatuan, dan asas spesialitas maupun asas-asas baru sebagai pencerminan best practices (penerapan kaidah-kaidah yang baik) dalam pengelolaan keuangan negara, antara lain: akuntabilitas berorientasi pada hasil; profesionalitas; proporsionalitas; keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara; pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri. Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan, dan untuk membantu Presiden dalam penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan maka sebagian kekuasaan pengelolaan keuangan negara dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal dan wakil pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan, serta kepada Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran/Barang Kementerian/Lembaga (K/L) yang dipimpinnya. Konsepsi ketatanegaraan dimaksud diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang selanjutnya ditegaskan kedudukan Menteri Keuangan selaku pembantu Presiden sebagaimana di muat dalam Pasal 17 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Pengelola keuangan negara tidak diperbolehkan atau dilarang menetapkan kebijakan yang tidak sesuai dengan kewenangan dan kewajiban yang dimilikinya. Ketika kebijakan ditetapkan dalam rangka
halnya UU Perbendaharaan Negara memuat kaidah Hukum Administrasi Negara yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan dalam rangka pelaksanaan anggaran negara. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka penetapan ketentuan Pasal 8 huruf d UU Keuangan Negara serta Pasal 7 ayat (2) huruf j dan Pasal 38 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara oleh pembentuk undang- undang adalah telah tepat berdasarkan amanat UUD 1945 khususnya pada Pasal 4 ayat (1), Pasal 11 ayat (2), Pasal 17 ayat (3) dan Pasal 23C UUD 1945. Oleh karena itu, sudah sepatutnya permohonan uji materiil ketentuan Pasal 8 huruf d UU Keuangan Negara serta Pasal 7 ayat (2) huruf j dan Pasal 38 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara tersebut tidak dapat diajukan pengujian materiil di Mahkamah Konstitusi. Hal ini sesuai dengan pendapat Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimuat dalam Putusan Nomor 26/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap UUD 1945 yang menyatakan sebagai berikut: “Bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan undang-undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang. Meskipun seandainya isi suatu undang-undang dinilai buruk, maka Mahkamah tidak dapat membatalkannya, sebab yang dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali kalau produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable. Sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk Undang-Undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, _maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah; _ ” dan Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap UUD 1945, yang menyatakan sebagai berikut:
Belanja Bantuan Sosial pada Kementerian Negara/Lembaga.
Relevan terhadap
bahwa dalam rangka melindungi masyarakat dari kemungkinan terjadinya risiko sosial, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dialokasikan dana belanja bantuan sosial;
bahwa agar pengalokasian dan pengelolaan dana belanja bantuan sosial dapat dilaksanakan secara tertib, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan, perlu mengatur ketentuan mengenai belanja bantuan sosial pada Kementerian Negara/Lembaga;
bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf a Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara berwenang menetapkan kebijakan dan pedoman pelaksanaan anggaran negara;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Belanja Bantuan Sosial pada Kementerian Negara/Lembaga;
Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pengelola Dana Pendidikan.
Relevan terhadap
Lembaga Pengelola Dana Pendidikan mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan Dana Pengembangan Pendidikan Nasional baik dana abadi pendidikan ( endowment fund ) maupun dana cadangan pendidikan sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan Hibah.
Relevan terhadap
Penarikan Hibah dalam bentuk uang untuk membiayai kegiatan dilakukan melalui:
transfer ke rekening Kas Umum Negara;
pembayaran langsung;
rekening khusus;
letter of credit (L/C); atau
pembiayaan pendahuluan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penarikan Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. BAB IV PENATAUSAHAAN PINJAMAN LUAR NEGERI DAN HIBAH Pasal 74 (1) Menteri melaksanakan penatausahaan atas Pinjaman Luar Negeri dan Hibah. depkumham.go.id (2) Penatausahaan Pinjaman Luar Negeri dan Hibah mencakup kegiatan:
administrasi pengelolaan; dan
akuntansi pengelolaan.
Setiap Perjanjian Pinjaman Luar Negeri dan Perjanjian Hibah wajib diregistrasi oleh Kementerian Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penatausahaan Pinjaman Luar Negeri dan Hibah diatur dengan Peraturan Menteri. BAB V PENGADAAN BARANG DAN JASA Pasal 75 (1) Pengadaan barang/jasa kegiatan yang dibiayai Pinjaman Luar Negeri atau Hibah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengadaan barang/jasa.
Dalam hal terdapat perbedaan antara ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengadaan barang/jasa dengan ketentuan pengadaan barang/jasa yang berlaku bagi Pemberi Pinjaman Luar Negeri atau Hibah, para pihak dapat menyepakati ketentuan pengadaan barang/jasa yang akan dipergunakan.
Pengadaan barang/jasa kegiatan yang direncanakan dibiayai dari Pinjaman Luar Negeri dari Kreditor Swasta Asing atau Lembaga Penjamin Kredit Ekspor dilakukan setelah dikeluarkan penetapan sumber pembiayaan oleh Menteri.
Kontrak pengadaan barang/jasa kegiatan yang dibiayai Pinjaman Luar Negeri atau Hibah dilakukan setelah berlakunya perjanjian Pinjaman Luar Negeri atau Hibah atau setelah adanya perjanjian induk Pinjaman Luar Negeri. depkumham.go.id (5) Ketentuan mengenai kontrak pengadaan barang/jasa kegiatan yang dibiayai Pinjaman Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikecualikan untuk pengadaan barang/jasa kegiatan yang direncanakan dibiayai Pinjaman Luar Negeri dari Kreditor Swasta Asing atau Lembaga Penjamin Kredit. BAB VI PEMANTAUAN, EVALUASI, PELAPORAN, DAN PENGAWASAN PINJAMAN LUAR NEGERI DAN HIBAH Pasal 76 Menteri/Pimpinan Lembaga, Gubernur, Bupati/Walikota atau direksi BUMN, selaku pelaksana kegiatan yang dibiayai dari Pinjaman Luar Negeri dan/atau Hibah, masing-masing harus menyampaikan laporan triwulanan kepada Menteri dan Menteri Perencanaan paling sedikit mengenai:
pelaksanaan pengadaan barang/jasa;
kemajuan fisik kegiatan;
realisasi penyerapan;
permasalahan dalam pelaksanaan; dan
rencana tindak lanjut penyelesaian masalah. Pasal 77 (1) Menteri melakukan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan triwulanan mengenai realisasi penyerapan Pinjaman Luar Negeri dan/atau Hibah Luar Negeri dan aspek keuangan lainnya.
Menteri Perencanaan melakukan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan triwulanan mengenai kinerja pelaksanaan kegiatan yang dibiayai dari Pinjaman Luar Negeri dan/atau Hibah Luar Negeri. depkumham.go.id (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemantauan, evaluasi, dan pelaporan realisasi penyerapan Pinjaman Luar Negeri dan/atau Hibah Luar Negeri dan aspek keuangan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemantauan, evaluasi, dan pelaporan kinerja pelaksanaan kegiatan yang dibiayai dari Pinjaman Luar Negeri dan/atau Hibah Luar Negeri sebagaimna dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri Perencanaan. Pasal 78 Menteri dan Menteri Perencanaan dapat melakukan evaluasi bersama secara semesteran mengenai pelaksanaan kegiatan yang dibiayai Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri. Pasal 79 (1) Menteri mengambil langkah penyelesaian pelaksanaan kegiatan yang lambat atau penyerapan yang rendah dan/atau tidak sesuai dengan peruntukannya, termasuk pengusulan pembatalan sebagian atau seluruh Pinjaman Luar Negeri dan/atau Hibah. (2) Langkah penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah mendapat pertimbangan Menteri Perencanaan. (3) Menteri mengajukan usulan perubahan dan/atau pembatalan sebagian atau seluruh Pinjaman Luar Negeri dan/atau Hibah dalam rangka penyelesaian pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Pemberi Pinjaman Luar Negeri dan/atau Pemberi Hibah. Pasal 80 (1) Dalam hal Pemberi Pinjaman Luar Negeri atau Pemberi Hibah menetapkan pelaksanaan kegiatan tidak sesuai dengan Perjanjian Pinjaman Luar Negeri atau Perjanjian Hibah dan dalam Perjanjian Pinjaman Luar Negeri atau Perjanjian Hibah tersebut mewajibkan Pemerintah mengembalikan sebagian atau seluruh Pinjaman Luar Negeri atau Hibah, Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, atau BUMN pelaksana kegiatan harus menyediakan dana pengembalian. depkumham.go.id (2) Ketentuan mengenai penyediaan dan pengembalian dana diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 81 Pengawasan terhadap pelaksanaan dan penggunaan Pinjaman Luar Negeri atau Hibah dilakukan oleh Instansi pengawas internal dan eksternal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB VII PUBLIKASI Pasal 82 (1) Menteri menyelenggarakan publikasi informasi mengenai Pinjaman Luar Negeri dan Hibah secara berkala paling sedikit 6 (enam) bulan sekali.
Publikasi informasi mengenai Pinjaman Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
kebijakan tentang Pinjaman Luar Negeri;
posisi Pinjaman Luar Negeri termasuk struktur jatuh tempo dan komposisi suku bunga;
sumber Pinjaman Luar Negeri;
realisasi penyerapan Pinjaman Luar Negeri; dan
pemenuhan kewajiban Pinjaman Luar Negeri.
Publikasi informasi mengenai Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
kebijakan tentang Hibah;
jumlah, posisi, dan komposisi jenis mata uang Hibah;
sumber dan penerima Hibah; dan
jenis Hibah. depkumham.go.id BAB VIII PERTANGGUNGJAWABAN Pasal 83 Menteri menyusun pertanggungjawaban atas pengelolaan Pinjaman Luar Negeri dan Hibah sebagai bagian dari pertanggungjawaban pelaksanaan APBN. BAB IX PAJAK DAN BEA MASUK Pasal 84 (1) Perlakuan pajak atas Pinjaman Luar Negeri atau penerimaan Hibah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Perlakuan Bea Masuk atas Pinjaman Luar Negeri atau penerimaan Hibah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan. BAB X KETENTUAN PERALIHAN Pasal 85 Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
Pelaksanaan pengadaan Pinjaman Luar Negeri serta penerusan Pinjaman Luar Negeri, yang berasal dari:
Pinjaman Bilateral dan Pinjaman Multilateral yang Daftar Kegiatannya telah disampaikan oleh Menteri Perencanaan kepada Menteri;
Kreditur Swasta Asing atau Lembaga Penjamin Kredit Ekspor yang telah diterbitkan alokasi pinjaman pemerintah atau kredit ekspornya, tetap dilakukan berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah Serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri sampai dengan pengadaan Pinjaman Luar Negeri serta penerusan Pinjaman Luar Negeri selesai dilaksanakan. depkumham.go.id 2. Perjanjian Hibah yang sudah ditandatangani, berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah Serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri tetap berlaku sampai dengan Perjanjian Hibah tersebut berakhir.
Dana Perwalian yang dibentuk sebelum Peraturan Pemerintah ini ditetapkan, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan mandat berakhir. BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 86 Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah Serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri (Lembaran Negara Tahun 2006 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4597) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku;
Semua peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah Serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri (Lembaran Negara Tahun 2006 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4597), dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini dan belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. Pasal 87 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. depkumham.go.id depkumham.go.id
Pengujian UU Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan terhadap UUD Negara RI 1945 ...
Relevan terhadap
Ayat (1) : Untuk memperoleh penetapan sebagai Kawasan Pabean, Pengelola Pelabuhan Laut, Bandar Udara atau Tempat Lain mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah melalui Kepala Kantor Pelayanan Bea dan Cukai Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 21 G. Surat Direktur Jenderal Bea dan Cukai kepada Kepala Kantor Wilayah Bea dan Cukai (KWBC) Kalimantan Bagian Barat tembusan Direktur Teknis Kepabeanan, Direktur Penindakan dan Penyidikan, Direktur Perencanaan dan Penerimaan Kepabeanan dan Cukai (PPKC), dan Kepala Pusat Kepatuhan Internal (PUSKI) Nomor S-70/BC/2014 tanggal 30 Januari 2014 hal Keberadaan Kawasan Pabean Terkait Pemenuhan Kewajiban Pabean menyatakan:
“Berdasarkan ketentuan tersebut di atas disimpulkan bahwa: pemenuhan kewajiban pabean dianggap sah apabila:
dilakukan di kantor pabean;
ii. kantor pabean tersebut ditetapkan oleh Menteri Keuangan; dan iii. penerimaan atas pungutan negara disetorkan ke kas negara b. keberadaan Kawasan Pabean dimaksudkan untuk memudahkan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) dalam melakukan pelayanan dan pengawasan kepabeanan, sehingga sahnya pemenuhan kewajiban pabean tidak tergantung adanya kawasan pabean”. H. Angka 2, angka 5, dan angka 6 Surat Plh. Direktur PPKC kepada Kakanwil DJBC Kalimantan Bagian Barat tembusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor S-441/BC.8/2015 tanggal 21 Mei 2015 hal Penegasan Kewajiban Pabean di Perbatasan Darat Kalimantan Bagian Barat menyatakan: Angka 2 : Kawasan perbatasan darat antar negara yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi merupakan simpul utama transportasi/perdagangan wilayah (domestik) dan internasional, termasuk kegiatan perdagangan impor dan ekspor yang di dalamnya terdapat kewajiban pabean Angka 5 : Kewajiban pabean sebagaimana dimaksud dalam angka 2 adalah semua kegiatan di bidang kepabeanan yang wajib dilakukan untuk memenuhi ketentuan dalam UU Kepabeanan, termasuk di antaranya pengajuan pemberitahuan pabean, pemeriksaan dokumen, pemeriksaan fisik barang, pembongkaran, penimbunan, dan pemungutan fiskal Angka 6 : Sesuai dengan Pasal 5 UU Nomor 17 tahun 2006 tentang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 22 Perubahan Atas UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, Kantor Pabean merupakan tempat pemenuhan kewajiban pabean atas lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean baik melalui pelabuhan laut, Bandar udara termasuk pos lintas batas Negara;
Bahwa pada sekira bulan Agustus 2014 Pemohon dikejutkan dengan dikenakannya Perkara Tindak Pidana Korupsi terhadap dirinya, yang selanjutnya diketahui bahwa dasar persangkaan Tindak Pidana Korupsi a quo adalah adanya kegiatan ekspor-impor di PPLB Entikong dengan menggunakan dokumen PIB, yang menurut penafsiran aparat Penegak Hukum (POLRI dhi. Kepolisian Daerah Kalimantan Barat, Kejaksaan dhi. Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat) bahwa Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) yang berada dibawah Wilayah Pengawasan pada Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Entikong tidak berhak melakukan kegiatan ekspor-impor, dikarenakan para aparat penegak hukum memahami Penjelasan Pasal 5 ayat 3 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan hanya sebatas pada “ Untuk keperluan pelayanan, pengawasan, kelancaran lalu lintas barang dan ketertiban bongkar muat barang, serta pengamanan keuangan negara, undang-undang ini menetapkan adanya kawasan pabean di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai”, dengan mengesampingkan frasa “ dan menetapkan kantor pabean” .
Bahwa Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Entikong Kabupaten Sanggau Propinsi Kalimantan Barat adalah Kantor yang berada dibawah Direktorat Jenderal dan Bea Cukai yang bertugas untuk terpenuhinya dan/atau dilaksanakannya semua kegiatan dibidang kepabeanan dan dikenal dengan sebutan “Kantor Pabean” sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
Bahwa wilayah kerja “Kantor Pabean” Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Entikong Kabupaten Sanggau Propinsi Kalimantan Barat meliputi Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) Entikong yang sejak tahun Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 23 1995 sudah melakukan kegiatan importasi dengan menggunakan dokumen PIB.
Bahwa ketika para aparat Penegak Hukum tidak hati-hati dalam melakukan penafsiran atas penjelasan dalam pasal suatu Undang-undang, dikarenakan Penjelasan pasal suatu Undang-Undang memang tidak begitu detil, yang berakibat terampasnya kemerdekaan seseorang, maka hal demikian ini merugikan hak konstitusional Pemohon serta mengakibatkan terlanggarnya Asas Kepastian Hukum.
Bahwa berdasar pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme, Asas-asas umum penyelenggaraan Negara meliputi: (vide bukti tambahan P-21) 1. Asas Kepastian Hukum;
Asas Tertib Penyelenggaraan Negara;
Asas Kepentingan Umum;
Asas Keterbukaan;
Asas Proporsionalitas;
Asas Profesionalitas; dan
Asas Akuntabilitas Bahwa berdasar Penjelasan Pasal 3 Angka 1 tentang Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme, yang dimaksud dengan "Asas Kepastian Hukum" adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara. Bahwa dengan ini Pemohon merasa dirugikan ketika dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) UU Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan tidak mengatur secara tegas terkait kawasan pabean dan kantor pabean sehingga menimbulkan pemaknaan dan atau penafsiran, khususnya oleh para aparat penegak hukum dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang dialami oleh Pemohon.
Bahwa dalam perkara tindak pidana korupsi Nomor 02/Pid.Sus/TP.Korupsi/ 2015/Pn.Ptk para aparat penegak hukum mengadili Pemohon telah melakukan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 24 perbuatan tindak pidana korupsi berdasar pada Penafsiran Subjektif atas suatu penjelasan pasal dalam undang-undang, tanpa mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan yang ada maka Asas Kepastian Hukum pun seakan telah MATI.
Bahwa aparat penegak hukum seakan-akan mengabaikan fakta bahwa PPLB Entikong adalah masuk dalam wilayah kerja KPPBC Entikong, dimana KPPBC Entikong adalah Kantor Pabean yang sejak lahirnya Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan telah melakukan kegiatan Importasi dengan menggunakan dokumen PIB.
Bahwa sebagaimana bunyi Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, “ Untuk Pelaksanaan dan Pengawasan pemenuhan kewajiban pabean, ditetapkan kawasan pabean, Kantor Pabean, dan pos pengawas pabean ”. Penjelasan: Untuk keperluan pelayanan, pengawasan, kelancaran lalu lintas barang dan ketertiban bongkar muat barang, serta pengamanan keuangan negara, undang-undang ini menetapkan adanya kawasan pabean di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan menetapkan adanya kantor pabean. Penunjukan pos pengawasan pabean dimaksudkan untuk tempat pejabat bea dan cukai melakukan pengawasan. Pos tersebut merupakan bagian dari kantor pabean dan di tempat tersebut tidak dapat dipenuhi kewajiban pabean. 22. Bahwa Penjelasan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan terkait Untuk keperluan pelayanan, pengawasan, kelancaran lalu lintas barang dan ketertiban bongkar muat barang, serta pengamanan keuangan negara, undang-undang ini menetapkan adanya kawasan pabean di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan menetapkan adanya kantor pabean, tidak secara tegas menjelaskan tugas dan fungsi kantor pabean, sehingga mengakibatkan akan banyaknya pemaknaan dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 25 atau penafsiran terkait kawasan pabean atau kantor pabean yang berhak untuk kemudian melakukan kegiatan ekspor impor. __ 23. Bahwa ketika tidak ada batasan dan atau pengertian yang tegas kawasan pabean atau kantor pabean yang berhak melakukan kegiatan ekspor impor sebagaimana dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, hal ini kemudian sangat merugikan hak konstitusional Pemohon yang bertugas selaku Kepala Sie kepabeanan dan Cukai KPPBC Entikong yang meliputi Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) Entikong.
Bahwa pada faktanya KKPBC Entikong (kantor pabean) meliputi PPLB entikong sudah sejak tahun 1995 sejak Undang-Undang Nomor 10 tentang Kepabeanan lahir sudah melaksanakan kegiatan importasi dengan menggunakan dokumen PIB, dalam artian sebenarnya Kantor Pabean juga sah untuk melakukan kegiatan impor dengan menggunakan PIB.
Bahwa kemudian pada faktanya juga aparat penegak hukum berpendapat yang berhak melakukan kegiatan ekspor impor hanyalah kawasan pabean dengan dasar pengertian “ Untuk keperluan pelayanan, pengawasan, kelancaran lalu lintas barang dan ketertiban bongkar muat barang, serta pengamanan keuangan negara, undang-undang ini menetapkan adanya kawasan pabean di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai” 26. Bahwa kerugian Konsitusional pemohon jelas muncul ketika dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, ” Untuk keperluan pelayanan, pengawasan, kelancaran lalu lintas barang dan ketertiban bongkar muat barang, serta pengamanan keuangan negara, undang-undang ini menetapkan adanya kawasan pabean di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan menetapkan adanya kantor pabean”, tidak dimaknai sebagai satu kesatuan klausa, dimana yang berhak melakukan pelayanan, pengawasan, kelancaran lalu lintas barang dan ketertiban bongkar muat barang serta pengamanan keuangan Negara hanyalah kawasan pabean, dimana ada frasa kantor pabean dalam kalimat Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 26 terakhir yang seharusnya dimaknai juga Kantor Pabean juga mempunyai tugas dan fungsi untuk keperluan pelayanan, pengawasan, kelancaran lalu lintas barang dan ketertiban bongkar muat barang, serta pengamanan keuangan Negara.
Bahwa Penjelasan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan ini dirasakan kurang detil dan menimbulkan multitafsir sehingga kemudian menjadikannya bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) Undang- Undang Dasar 1945 menyebutkan, “Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai wujud dari Pengelolaan Keuangan Negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang- undang”, karena sangat merugikan Pemohon, dimana Pemohon sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya selaku Kepala Seksi Kepabeanan dan Cukai KPPBC Entikong periode September 2008 sampai Maret 2011 memiliki kewajiban melakukan pelayanan terhadap kegiatan ekspor-impor di PPLB Entikong untuk dapat dilakukannya pemungutan Bea Masuk (BM), PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) dan PDRI (Pajak Dalam Rangka Impor) dari kegiatan ekspor-impor yang terjadi di PPLB Entikong guna memenuhi APBN untuk membiayai belanja pegawai dan belanja pembangunan di seluruh Indonesia, namun dikarenakan Penjelasan Pasal 5 ayat (3) tidak secara detil menegaskan terkait dimanakah sah nya untuk melakukan kegiatan ekpor impor tersebut, sehingga tugas dan fungsi Pemohon di kantor pabean dalam melakukan kegiatan ekpor impor juga dianggap tidak sah dan atau melanggar hukum.
Bahwa selanjutnya Penjelasan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan ini kemudian bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan, “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja” , hal ini dapat dilihat ketika Bahwa Pemohon selaku Kepala Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 27 Seksi Kepabeanan dan Cukai KPPBC Entikong periode September 2008 sampai Maret 2011 yang telah bekerja sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya untuk melakukan pelayanan terhadap kegiatan ekspor-impor di PPLB Entikong guna dilakukannya pemungutan BM, PNBP, dan PDRI untuk memenuhi APBN, seyogianya mendapatkan perlakuan yang adil dan layak, namun hal ini kemudian menjadi bertolak belakang dimana yang didapat pemohon adalah penghukuman terhadap dirinya, dikarenakan tugas dan fungsi yang telah dilakukan Pemohon sebagai kepala sie kepabeanan dan cukai di KPPC Entikong meliputi PPLB Entikong dianggap melanggar hukum, dikarenakan tidak ada penegasan dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (3) Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
Bahwa ketika Penjelasan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan tidak dimaknai dengan sempurna, maka mengakibatkan ketika menerapkan Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan “ Penetapan kawasan pabean, Kantor Pabean, dan pos pengawasan pabean dilakukan oleh Menteri” juga menjadi tidak lengkap.
Bahwa hal perkara tindak pidana korupsi yang dikenakan pada Pemohon berdasar pada Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 10 tahun 1995 Tentang Kepabeanan, dimana aparat penegak hukum mendasarkan bahwa PPLB entikong di bawah KPPBC Entikong adalah kawasa pabean, namun dikarenakan belum ada penetapan dari menteri keuangan, maka segala kegiatan ekpor impor yang dilakukan oleh PPLB Entikong dibawah KPPBC Entikong menjadi tidak sah.
Bahwa ketika kembali lagi mengkaji Penjelasan Pasal 5 ayat (3) Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, ketika memang tiak dimaknai secara mendalam yang akan muncul adalah hanya kawasan pabean yang berhak Untuk keperluan pelayanan, pengawasan, kelancaran lalu lintas barang dan ketertiban bongkar muat barang, serta pengamanan keuangan Negara Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 28 padahal dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (3) tersebut juga terdapat frasa “dan menetapkan kantor pabean”, dengan demikian sebenarnya kantor pabean juga bertugas untuk keperluan pelayanan, pengawasan, kelancaran lalu lintas barang dan ketertiban bongkar muat barang, serta pengamanan keuangan Negara. Namun dikarenakan dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (3) tersebut tidak secara tegas menjelaskan dimanakah kegiatan ekspor impor dapat dilakukan, dikawasan pabean atau di kantor pabean, maka hal ini yang kemudian menjadikan munculnya berbagai pemaknaan dan/atau penafsiran (multitafsir) atas Penjelasan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
Bahwa dalam pemeriksaan dipersidangan Perkara Tindak Perkara Korupsi Nomor 02/Pid.Sus/TP.Korupsi/2015/Pn.Ptk pun telah dihadirkan ahli terkait legalitas PPLB Entikong dibawah KPPBC Entikong bisa melakukan kegiatan ekspor - impor, adapun keterangan ahli adalah sebagai berikut: - Dwiyono Widodo (Kasi Impor DJBC), menerangkan bahwa bisa dilakukan impor di PPLB Entikong, dasarnya Pasal 1 Permendag Nomor 36 tahun 1995, yaitu (perdagangan lintas batas tradisional dan luar negeri), penetapan Menkeu untuk Kantor KPPBC Entikong, penugasan Pegawai Skep Menkeu untuk Kepala Kantor dan Skep Dirjen Bea dan Cukai untuk Pejabat yang lain, job description /tupoksi pegawai sesuai PMK Nomor 87 Tahun 2008 tentang organisasi dan tata kerja Kemenkeu, dan ada penerimaan negara yang masuk ke Kas Negara, impor barang di Entikong ada 3, yaitu barang penumpang, lintas batas dan cargo umum, syarat- syarat sebagai importir SIUP, TDP, NPWP dan NIK, kriteria importasi dinyatakan sah, yaitu diajukan ke kantor Bea dan Cukai dasar pasal 5 ayat 1 UU Kepabeanan, tidak ada Tempat Penimbunan Sementara (TPS) bisa dilakukan importasi, alasannya TPS untuk menimbun, kalau di Entikong tidak ada penimbunan untuk apa ada TPS, ada dokumen (PIB, CD, dan KILB) dan dibayar BM, penetapan BM dasarnya adalah Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI), penerimaan negara BM, PPN, dan PPh, di KPPBC Entikong ada PIB dengan jalur hijau (contoh impor listrik oleh PT. PLN), selain KPPBC Entikong ada kantor lain yang bisa dilakukan impor Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 29 meskipun belum ada penetapan kawasan pabean, pabean Entikong berarti kawasan pabean Entikong, surat tugas dari Direktur Teknis Kepabeanan, JPU Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) UUK “untuk ... kawasan pabean dan pos pengawasan pabean (tanpa kantor pabean)”, Penjelasan Pasal 5 ayat (1) UUK di KPPBC Entikong sudah sesuai karena barang sudah diajukan PIB, ditunjukkan contoh PIB (importir, pembayaran SSPCP ke loket, petugas siapa aja, SSPCP tanggal sama dengan PIB tanggal 24 Nop 2010 diterima Kasi Perbendaharaan Bonny Yulianto, penyetoran tidak ada masalah, yang penting pembayaran), di UU Kepabeanan tidak dikenal broker atau ekspedisi - Chatibul Umam (Kasi TPS DJBC), menerangkan bahwa bisa dilakukan impor di PPLB Entikong, bisa dilakukan proses importasi tanpa TPS karena TPS diperlukan apabila barang tidak langsung dikeluarkan, kalau langsung keluar berarti tidak diperlukan TPS, perbedaan Entikong dengan tempat lain (kalau pelabuhan besar perlu proses lebih lanjut), selain KPPBC Entikong ada 10 lebih Kantor BC yang bisa dilakukan impor meskipun belum ada penetapan kawasan pabean Atapupu, Jambi, Cilacap, dan Purwokerto, PMK dan Perdirjen tentang Penetapan Kawasan Pabean oleh Kakanwil berdasarkan permohonan Pengelola PPLB lebih dahulu, BC tidak bisa menetapkan kawasan pabean tanpa ada permohonan, persyaratan surat ijin usaha, bukti penguasaan lahan, NPWP, penunujukan sebagai lalu lintas barang dan denah lokasi - Prof. Zudan Arif Fakhrulloh (Staf Ahli Mendagri dan Ahli Hukum Administrasi), menerangkan bahwa diatur di Permendagri Nomor 18/2007 yaitu tradisional/PLB di bawah Bupati untuk Pas dan internasional/PPLB di bawah Gubernur untuk Pas/Paspor dan Ekspor-Impor, sampai saat ini tidak ada larangan dari Gubernur dimana UU Nomor 10/1995 ada BC yang menerima pemberitahuan pabean dan pungutan BM, tetapi yang mempunyai kewenangan satuan adalah instansinya, peran serta BNPP memfasilitasi CIQS: pembangunan besar-besaran sehingga lalu lintas ekspor-impor tidak terganggu karena diyakini ekspor-impor sudah berjalan, permohonan Pengelola PPLB/Gubernur belum ada sampai sekarang (sebagai Kantor sudah diberi kewenangan atributif sudah bisa Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 30 melaksanakan kewenangannya), pejabat yang bertindak dengan ada skep, tupoksi, prosedur impor dijalankan, out put BM/PDRI ada dan sudah dilakukan pemeriksaan instansi vertikal dengan hasil tidak ada penyimpangan berarti tindakannya dilindungi oleh UU. Semua kantor BC diberikan target (pengakuan institusi untuk mendapat pungutan), negara menggarong berarti mengembalikan pembayarannya dan dokumennya dianggap batal, hasil inspektorat dilihat sebagai referensi, Pasal 15-21 UU Nomor 30/2014 kewenangan/prosedur/substansi benar dilindungi hukum (aparat yang jujur), Kantor Pabean unsur sentral di lintas batas sesuai konvensi internasional dan PPLB memberi manfaat dan dampak ekonomi buat masyarakat sekitar;
Bahwa dalam pemeriksaan di persidangan perkara Tindak Pidana Korupsi Nomor 02/Pid.Sus/TP.Korupsi/2015/Pn.Ptk juga menghadirkan saksi fakta yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:
M. Tomi (Kasi Penindakan dan Penyidikan KPPBC Entikong periode September 2008 s.d. Juli 2009), menerangkan bahwa kegiatan ekspor- impor bisa lewat PPLB Entikong, dasarnya pasal 2 dan 5 UU Kepabeanan, tupoksi berdasarkan permenkeu, ada kegiatan penyidikan pelanggaran kepabeanan dan cukai dengan hasil P-21, dibenarkan melakukan penyidikan dan tidak ada larangan, semua importir sudah mempunyai ijin, yaitu SRP dari Bea dan Cukai, API dari Perdagangan, NPWP dari Pajak, tidak mengenal broker, mengetahui bukti PIB Nomor 50 tgl 8 Apr 2009, Abang Mulyadi pengawas pemeriksa, sudah ditandatangani dan stempel importir, PIB Nomor 52 tgl 13 Apr 2009, Dikki pengawas pemeriksa, pengajuan PIB sudah ditandatangani importir, mengetahui sosialisasi Permendag Nomor 56 tahun 2008 dengan hasil pembatasan barang impor tertentu dan untuk KILB tidak berlaku, tidak ada pemberitahuan dari importir kalau perusahaan dipinjam, ada laporan penegahan berupa 15 harian ke kanwil dan kantor pusat.
Wahid Ali Graha (Kasi Penindakan dan Penyidikan KPPBC Entikong periode Agustus 2009 s.d. Oktober 2010), menerangkan bahwa kegiatan ekspor-impor bisa melewati PPLB Entikong, dasarnya Pasal 2 dan Pasal 5 UU Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan UU Nomor 10 Tahun 1995 Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 31 tentang Kepabeanan, tupoksi berdasarkan permenkeu, ada kegiatan penyidikan pelanggaran kepabeanan dan cukai dengan hasil P-21, dibenarkan melakukan penyidikan dan tidak ada larangan, semua importir sudah mempunyai ijin, yaitu SRP dari Bea dan Cukai, API dari Perdagangan, NPWP dari Pajak, tidak mengenal broker, mengetahui bukti PIB tanggal 8 Sep 2009 PT. SGB, tanggal PIB dan tanggal tanda tangan importir sama, ditandatangani dan stempel importir, bukan lartas, tidak ada laporan petugas di lapangan kalau ada barang lartas, pengajuan PIB sudah ditandatangani importir, tidak ada pemberitahuan dari importir kalau perusahaan dipinjam, ada penegahan sabu-sabu Mei 2010 dengan info untuk atensi WNI wanita dengan paspor dari luar Kalbar, ada laporan penegahan berupa 15 harian ke kanwil dan kantor pusat.
Kliping berita media massa tentang PPLB Entikong sebagai transaksi ekspor - impor:
Kalbarsatu.com tanggal 6 Desember 2014 dengan judul “PLB Entikong bisa transaksi Ekspor - Impor” intinya Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kemendag RI, Partogi Pangaribuan mengatakan berdasarkan SK Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 1995, perdagangan lintas batas di PLB Entikong dan Badau bisa melakukan transaksi ekspor-impor.
Bahwa Kapolda Kalimantan Barat menyatakan di surat kabar Pontianak Post tanggal 8 Mei 2015 pada artikel dengan judul "Lindungi Masyarakat dari Barang Selundupan" bahwa “Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) Entikong sejatinya bukan sebagai jalur lalu lintas barang ekspor-impor. Jika selama ini masyarakat menganggap Permendag Nomor 36/KP/III/95 tentang Perdagangan Lintas Batas Melalui Pos Pemeriksaan Lintas Batas Entikong di Propinsi Kalimantan Barat sebagai peraturan yang mengatur perdagangan ekspor-impor, maka anggapan tersebut dinilai salah”;
Bahwa dari uraian-uraian tersebut di atas, jelaslah kalau terdapat perbedaan penafsiran yang sangat tajam terhadap Penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, dikarenakan dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (3) tidak secara tegas menjelaskan fungsi pokok kantor pabean secara rinci dan ketiadaan Penjelasan pada Pasal 5 ayat Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 32 (4) tentang penetapan kawasan pabean, kantor pabean dan pos pengawasan pabean.
Bahwa dikarenakan Penjelasan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan tidak secara jelas menegaskan terkait batasan fungsi dan tugas kantor pabean, maka hak ini juga berdampak penafsiran yang beragam atas Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
Bahwa potensi Kerugian Konstitusional yang lebih besar lagi akan dialami oleh Direktorat Jenderal Bea - Cukai dan Kementerian Keuangan pada khususnya serta Negara Republik Indonesia pada umumnya apabila ketentuan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan ditafsirkan menjadi Kawasan Pabean mutlak untuk lalu lintas ekspor-impor, sehingga karena sampai saat ini PPLB Entikong belum ada penetapan sebagai Kawasan Pabean oleh Menteri Keuangan maka di PPLB Entikong tidak boleh ada kegiatan impor dengan menggunakan PIB sama sekali, yaitu :
ada lebih dari 10 (sepuluh) KPPBC di seluruh Indonesia, antara lain KPPBC Atapupu, Jambi, Cilacap, dan Purwokerto dengan situasi dan kondisi yang sama persis seperti KPPBC Entikong (belum ada penetapan sebagai Kawasan Pabean dari Menteri Keuangan tetapi sudah dilakukan kegiatan impor dengan menggunakan dokumen PIB) yang berakibat kegiatan impor dengan PIB yang selama ini sudah berjalan dengan baik disana, menjadi tidak sah dan melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku;
Dokumen-dokumen PIB yang telah didaftarkan di KPPBC Entikong periode Pemohon (Iwan Jaya, SH., MM), bertugas, yaitu September 2008 s.d. Maret 2011 tembusan ke Kanwil DJBC Kalbagbar dan Kantor Pusat DJBC, kemudian lembar ke-2 PIB tersebut dikirim ke Biro Pusat Statistik (BPS) untuk data statistik impor dan lembar ke-3 PIB tersebut dikirim ke Bank Indonesia (BI) untuk data devisa impor ke Indonesia menjadi tidak sah;
Pejabat-pejabat KPPBC Entikong lainnya periode Pemohon (Iwan Jaya, SH., MM), bertugas, yaitu September 2008 s.d. Maret 2011, yang telah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 33 melakukan pelayanan, pengawasan dan pemungutan BM/PDRI/PNBP terhadap importasi dengan menggunakan PIB di PPLB Entikong (karena keputusan Pemohon (Iwan Jaya, SH., MM), sebagai Kepala Seksi Kepabeanan dan Cukai diambil secara prosedural bersama-sama dengan pejabat KPPBC Entikong yang lain berdasarkan arahan Kepala KPPBC Entikong sesuai proses pelayanan/pengawasan barang impor), menjadi bersalah juga;
Pihak-pihak Importir periode Pemohon (Iwan Jaya, SH., MM) bertugas, yaitu September 2008 s.d. Maret 2011 yang telah melakukan kegiatan importasi dengan menggunakan dokumen PIB melalui PPLB Entikong menjadi bersalah juga;
Hasil pungutan kegiatan importasi dengan menggunakan dokumen PIB yang telah didaftarkan ke KPPBC Entikong periode Pemohon (Iwan Jaya, S.H, MM) bertugas, yaitu September 2008 s.d. Maret 2011, berupa BM dan PNBP yang menjadi penerimaan DJBC dan PDRI berupa PPN Impor dan PPh Impor yang menjadi penerimaan DJP, harus dikembalikan oleh Negara kepada importir-importir yang telah membayarnya;
Pejabat Inspektorat II, Inspektorat Jenderal Kemenkeu yang pada tanggal 8 s.d. 22 Desember 2010 telah melakukan audit compliance terhadap KPPBC Entikong termasuk dokumen importasi dengan menggunakan dokumen PIB, dengan hasil tidak ada penyimpangan di KPPBC Entikong, menjadi bersalah juga;
Pejabat-pejabat DJBC dan Kemenkeu yang tidak pernah melarang dan malahan yang ada mengharuskan untuk dilakukannya kegiatan importasi dengan menggunakan dokumen PIB di PPLB Entikong oleh KPPBC Entikong periode Pemohon (Iwan Jaya, SH., MM) bertugas, yaitu September 2008 s.d. Maret 2011, menjadi bersalah juga; Bahwa dasar permohonan Pemohon untuk mengajukan uji Undang-Undang untuk Menegaskan Penafsiran atas penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang telah Pemohon uraikan tersebut di atas adalah berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat (1), Pasal 23A dan Pasal 28D ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 34 IV. Petitum Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemohon memohon agar Mahkamah Konsitusi Republik Indonesia berdasarkan kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD 1945 juncto Pasal 50 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, berkenan untuk memeriksa Permohonan Pemohon dan memutuskan sebagai berikut:
Mengabulkan Permohonan Pengujian Penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Menyatakan Penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan mengandung multitafsir dan bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 23A, dan Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
Menyatakan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan tetap berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan tafsir konstitusional terhadap Penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, dengan menyatakan: Konstitusional Bersyarat ( conditionally constitutional ) pada masing-masing penjelasan ayatnya: Penjelasan Pasal 5 ayat (3) menjadi berbunyi: Untuk keperluan pelayanan, pengawasan, kelancaran lalu lintas barang dan ketertiban bongkar muat barang, serta pengamanan keuangan negara, undang-undang ini menetapkan adanya kawasan pabean di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat-tempat lain yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan menetapkan adanya kantor pabean untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban pabean. Penunjukkan pos pengawasan pabean diperlukan untuk membantu pejabat bea dan cukai melakukan pengawasan pabean. __ Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 35 Penjelasan Pasal 5 ayat (4) menjadi berbunyi: Penetapan kawasan pabean dimaksudkan untuk memudahkan pengawasan pabean sambil menunggu penyelesaian pabeannya. Prosedur penyelesaian kewajiban pabean dapat dilakukan ditempat-tempat yang belum ditetapkan sebagai kawasan pabean atau ditempat lain asalkan ditempat tersebut dapat dilakukan pengawasan pabean. Penetapan kantor pabean bertujuan untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban pabean. Penetapan pos pengawasan pabean diperlukan sebagai tempat pejabat bea dan cukai melakukan pengawasan dan pos tersebut merupakan bagian dari kantor pabean. 4. Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
Atau apabila Majelis Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). [2.2] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalilnya, Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda Bukti P-1 sampai dengan Bukti P-15, dan Bukti P-18 sampai Bukti P-21 sebagai berikut:
Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan;
Bukti P-3 : Fotokopi Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 36/KP/III/95 tanggal 13 Maret 1995 tentang Perdagangan Lintas Batas Melalui Pos Pemeriksaan Lintas Batas Entikong di Provinsi Kalimantan Barat;
Bukti P-4 : Fotokopi Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 2007 tentang Standarisasi Sarana, Prasarana dan Pelayanan Lintas Batas Antar Negara;
Bukti P-5 : Fotokopi Surat Menteri Dalam Negeri kepada Menteri Perdagangan dan Menteri Keuangan tembusan Presiden Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 36 dan Wakil Presiden Nomor 135.4/2141/SJ tanggal 28 April 2015 hal Penyelesaian Masalah PPLB Entikong;
Bukti P-6.1 : Fotokopi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.04/2007 tentang Kawasan Pabean dan Tempat Penimbunan Sementara;
Bukti P-6.2 : Fotokopi Peraturan Direktur Jenderal Bea Cukai Nomor P- 20/BC/2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Kawasan Pabean dan Tempat Penimbunan Sementara;
Bukti P-7 : Fotokopi Surat Direktur Jenderal Bea dan Cukai kepada Kepala Kanwil DJBC Kalimantan Bagian Barat tembusan Direktur Teknis Kepabeanan, Direktur Penindakan dan Penyidikan, Direktur PPKC, dan Kepala PUSKI Nomor S- 70/BC/2014 tanggal 30 Januari 2014 hal Keberadaan Kawasan Pabean Terkait Pemenuhan Kewajiban Pabean;
Bukti P-8 : Fotokopi Surat Plh. Direktur PPKC kepada Kakanwil DJBC Kalimantan Bagian Barat tembusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor S-441/BC.8/2015 tanggal 21 Mei 2015 hal Penegasan Kewajiban Pabean di Perbatasan Darat Kalimantan Bagian Barat;
Bukti P-9.1 : Fotokopi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 87/PMK.01/2008 tanggal 11 Juni 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebagai KPPBC Tipe A4 Entikong;
Bukti P-9.2 : Fotokopi Peraturan Menterti Keuangan Nomor 74/PMK.01/2009 tanggal 8 April 2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebagai KPPBC Tipe A3 Entikong;
Bukti P-9.3 : Fotokopi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131/PMK.01/2011 tanggal 18 Agustus 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Nomor 74/PMK.01/2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan Keputusan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 37 Dirjen BC Nomor Kep-106/BC/2011 tanggal 15 September 2011 sebagai KPPBC TMP C Entikong;
Bukti P-10 : Fotokopi Importir-importir yang telah dilakukan pelayanan dan pengawasan oleh KPPBC Entikong serta sudah mempunyai persyaratan dari berbagai instansi terkait untuk bisa melaksanakan impor dengan menggunakan PIB di PPLB Entikong (Barang Bukti di Berkas Perkara Iwan Jaya, SH, MM, Nomor 166-171 CV. Rigo Mandiri, CV. Raga Jaya, dan PT. SGB);
Bukti P-11 : Fotokopi Modul Penerimaan Online dari Direktorat PPKC, DJBC ada target penerimaan Bea Masuk KPPBC Entikong setiap tahun untuk memenuhi target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara-Perubahan (APBN-P) (Barang Bukti di Berkas Perkara Iwan Jaya, SH, MM Pledoi Penasehat Hukum, yaitu Bukti PH V-2 s.d. V-5);
Bukti P-12 : Fotokopi Laporan Akuntabiltas Kinerja Instansi Pemerintah TA 2009 KPPBC Tipe A3 Entikong yang ditandatangani pada tanggal 1 Februari 2010 oleh H. Langen Projo selaku oleh Kepala Kantor (Barang Bukti di Berkas Perkara Iwan Jaya, SH, MM, Pledoi Penasehat Hukum, yaitu Bukti PH V- 1);
Bukti P-13 : Fotokopi Laporan Hasil Audit Compliance oleh Inspektorat II, Inspektorat Jenderal, Kemenkeu pada KPPBC Tipe A3 Entikong (Barang Bukti di Berkas Perkara Iwan Jaya, SH, MM, Pledoi Penasehat Hukum, yaitu Bukti PH VI-2);
Bukti P-14 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk a/n. Iwan Jaya (Pemohon Prinsipal) (Nomor KTP. 3175062907750018 18) Bukti P-15 : Fotokopi Kartu Pegawai Negeri Sipil Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan a/n. Iwan Jaya (NIP.
.
Bukti P-18 : Fotokopi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 134/PMK.01/2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.01/2009 tentang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 38 Organisasi Dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Bea Dan Cukai.
Bukti P-19.1 : Fotokopi Surat Keputusan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai Nomor KEP-126/BC/UP.2/1997 tanggal 24 Maret 1997 dan menjabat sebagai Kepala Seksi Kepabeanan dan Cukai KPPBC Entikong;
Bukti P-19.2 : Fotokopi Surat Keputusan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai Nomor 91/BC/UP.9/2008 tanggal 26 Agustus 2008 tentang Mutasi Para Pejabat Eselon IV di Lingkungan DJBC sebagai Kepala Seksi Kepabeanan dan Cukai KPPBC Tipe Madya Entikong;
Bukti P-19.3 : Fotokopi Surat Keputusan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai Nomor 48/BC/UP.9/2009 tanggal 16 Juli 2009 tentang Mutasi Para Pejabat Eselon IV di Lingkungan DJBC sebagai Kepala Seksi Kepabeanan dan Cukai KPPBC Tipe Madya Entikong;
Bukti P-20 : Fotokopi Surat Penyelesaian PIB (Pemberitahuan Impor Barang) PT. PLN Persero;
Bukti P-21 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Selain itu, Pemohon mengajukan dua orang ahli yang menyampaikan keterangan secara lisan dan tertulis pada sidang tanggal 9 November 2015, yang pada pokoknya sebagai berikut.
Dr. Ridwan, S.H., M.Hum. Ahli adalah pengajar pada Fakultas Hukum UII Yogyakarta. Tindakan menetapkan ( beschikken ) terhadap kawasan pabean, kantor pabean, dan pos pengawasan pabean dituangkan dalam bentuk keputusan tata usaha negara ( beschikking ) yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan. Berdasarkan Pasal 1 angka 12 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 188/PMK.04/2010 tentang Impor Barang Yang Dibawa Oleh Penumpang, Awak Sarana Pengangkut, Pelintas Batas, dan Barang Kiriman, yang dimaksud Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) adalah tempat yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 39 ditunjuk pada perbatasan wilayah negara untuk memberitahukan dan menyelesaikan kewajiban pabean terhadap barang yang dibawa oleh pelintas batas. Keberadaan PPLB ditetapkan berdasarkan kesepakatan RI dengan negara tetangga. PPLB paling sedikit terdapat unsur bea dan cukai, imigrasi, karantina, dan keamanan, yang menyelenggarakan pelayanan di bidang keimigrasian, kepabeanan, karantina, keamanan, dan administrasi pengelolaan, dengan difasilitasi oleh pemerintah daerah. Salah satu PPLB adalah PPLB Entikong yang secara struktural atau kelembagaan merupakan unit pelaksana atau bagian dari Kantor Pabean Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat. PPLB Entikong adalah bagian yang tidak terpisahkan dari Kantor Pabean Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat. Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat Undang- Undang kepada organ pemerintahan. Dalam atribusi penerima wewenang dapat menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah ada, dengan tanggung jawab intern dan ekstern pelaksanaan wewenang yang diatribusikan itu sepenuhnya berada pada penerima wewenang (atributaris). Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya. Pada delegasi tidak ada penciptaan wewenang, melainkan hanya ada pelimpahan wewenang. Tanggaung jawab yuridis dalam hal ini berada pada penerima delegasi ( delegataris ) dan bukan pada pemberi delegasi ( delegans ). Mandat terjadi ketiga organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya. Dalam hal ini tanggung jawab tetap berada di tangan pemberi mandat ( mandans ) dan bukan pada penerima mandat ( mandataris ). PPLB adalah mandataris yang bertindak untuk dan atas nama pemberi mandat ( mandans ), sehingga tanggung jawab akhir keputusan yang diambil mandataris tetap berada pada mandans . Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 40 Secara kelembagaan PPLB memiliki kedudukan sebagai unit kerja dari kantor pabean, maka keberadaannya tidak memerlukan penetapan Menteri Keuangan. Penetapan demikian diperlukan oleh kantor pabean. Anggapan bahwa PPLB memerlukan penetapan menteri keuangan adalah anggapan uang menyalahi kaidah dalam UU dan menyalahi norma hukum administrasi, karena UU jelas mengatur bahwa yang membutuhkan penetapan ( beschikken ) dari menteri yang dituangkan dalam bentuk keputusan TUN yakni kawasan pabean, kantor pabean, dan pos pengawasan pabean. Masalah muncul ketika Pasal 5 ayat (3) UU Kepabeanan memiliki penjelasan. Menurut UU 12/2011 penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi, sehingga penjelasan hanya memuat uraian mengenai frasa, kata, kalimat, atau padanan kata atau istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh. Penjelasan tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud. Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut dan tidak boleh mencantumkan rumusan yang berisi norma. Kalimat “dan menetapkan adanya kantor pabean” dalam penjelasan Pasal 5 ayat (3) merupakan norma yang memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk melakukan perbuatan hukum ( rechtshandeling ) dalam bentuk keputusan ( beschikken ) yaitu keputusan tentang penetapan kawasan pabean atau kantor pabean. Hal demikian secara keilmuan salah karena fungsi penjelasan bukan menetapkan norma. Rumusan Pasal 5 ayat (3) telah jelas dan tegas serta tidak mengandung norma samar (vague norm ), sehingga tidak memerlukan adanya penjelasan. Penjelasan itu tidak boleh menyimpangi ketentuan dalam batang tubuh. Dengan demikian penjelasan Pasal 5 ayat (3) akan menimbulkan ketidakpastian hukum karena masyarakat tidak bisa membedakan mana yang bisa dijadikan dasar hukum, apakah batang tubuh atau keseluruhan bunyi peraturan tersebut. Hal demikian bertentangan dengan asas Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 41 kepastian hukum ( rechtszakerheid beginsel ) yang dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Ketentuan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) sudah jelas, hal yang menjadi masalah adalah penjelasannya. Penjelasan Pasal 5 ayat (3) sesungguhnya tidak diperlukan karena mengandung masalah-masalah hukum. Jika penjelasan suatu UU nyata-nyata mengandung masalah, maka sudah dengan sendirinya penjelasan tersebut tidak berlaku. Kekeliruan penegak hukum bukan pada pemahaman apakah PPLB Entikong membutuhkan penetapan menteri, melainkan karena tidak memahami mekanisme pelimpahan wewenang atau pelaksanaan tugas di dalam lingkup pemerintahan, yaitu tentang atribusi, delegasi, dan mandat. Jika penegak hukum menafsirkan bahwa PPLB harus mendapatkan pengesahan Menteri Keuangan, maka konsekuensi hukumnya adalah semua kegiatan yang telah dan sedang berlangsung di setiap PPLB harus dianggap tidak memiliki keabsahan ( onrechtmatig ) dan perolehan negara dari sektor ini (pungutan bea masuk, PNPB, PDRI, dsb) harus pula dianggap illegal ( onwetmatig ). Untuk memahami delegasi atau mandat harus terlebih dahulu memahami struktur organisasi pemerintahan. Kekeliruan dalam memahami struktur organisasi akan menyebabkan kekeliruan dalam menerapkan apakah suatu tindakan merupakan delegasi atau mandat. Perlu ada ketentuan bahwa kawasan pabean lebih merujuk pada sifat fisik, sementara kantor adalah untuk administrasi.
Drs. Ahmad Dimyati, M.M. Ahli adalah PNS Widyaiswara pada Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Kementerian Keuangan. Fungsi kawasan pabean dan kantor pabean telah dijelaskan dalam Pasal 1 butir 3 dan butir 4 UU 17/2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. Ketentuan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) UU 17/2006 tidak berdiri sendiri, akan tetapi merupakan satu kesatuan dengan pasal-pasal lain. Kawasan pabean ditetapkan untuk keperluan pelayanan, kelancaran lalu lintas barang, dan pengawasan. Kawasan pabean merupakan sarana untuk Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 42 memudahkan penyelesaian kewajiban pabean, barang dibongkar di kawasan pabean sambil menunggu penyelesaian impornya. Hal ini dapat memudahkan penyelesaian kewajiban pabean. Namun demikian keberadaan kawasan pabean tidak mutlak. Pembongkaran dan penimbunan barang dapat juga dilakukan di tempat lain dengan izin pabean. Pasal 10A ayat (1) mengatur bahwa barang impor yang diangkut sarana pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (1) wajib dibongkar di kawasan pabean atau dapat dibongkar di tempat lain setelah mendapat izin kepala kantor pabean. Dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (3) tidak secara tegas menjelaskan dimana pemenuhan kewajiban pabean dapat dilakukan, apakah di kawasan pabean atau di kantor pabean. Hal demikian memunculkan berbagai pemaknaan (multitafsir) atas Penjelasan Pasal 5 ayat (3) UU 17/2006. Dalam penjelasan Pasal 5 ayat (3) dijelaskan tujuan penetapan kawasan pabean, yaitu “ Untuk keperluan pelayanan, pengawasan, kelancaran lalu lintas barang dan ketertiban bongkar muat barang, serta pengamanan keuangan negara, undang-undang ini menetapkan adanya kawasan pabean di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan menetapkan adanya kantor pabean ”. Namun penetapan kantor pabean tidak dijelaskan tujuannya, sehingga dapat ditafsirkan tujuan penetapan kawasan pabean sama dengan tujuan penetapan kantor pabean. Pasal 5 ayat (4) UU 17/2006 mengatur bahwa penetapan kawasan pabean, kantor pabean, dan pos pengawasan pabean dilakukan oleh menteri. Penjelasan Pasal 5 ayat (4) hanya menyatakan cukup jelas. Tidak adanya penjelasan dapat menimbulkan penafsiran bahwa jika kawasan pabean belum ditetapkan oleh menteri, maka kegiatan impor atau ekspor adalah tidak sah. Penjelasan Pasal 5 ayat (4) diperlukan untuk menghindari penafsiran yang berbeda-beda yang dapat merugikan aparat pabean dalam menjalankan tugasnya. Penetapan kawasan pabean bertujuan untuk memudahkan pengawasan pabean sambil menunggu penyelesaian kewajiban pabeannya. Prosedur penyelesaian kewajiban pabean dapat dilakukan di Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 43 tempat-tempat yang belum ditetapkan sebagai kawasan pabean atau di tempat lain asalkan di tempat tersebut dapat dilakukan pengawasan pabean. Ahli menyimpulkan bahwa:
Pemenuhan kewajiban pabean dianggap sah apabila dilakukan di kantor pabean, yang mana kantor pabean tersebut ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Keberadaan kawasan pabean dimaksudkan untuk memudahkan Dirjen Bea dan Cukai dalam melakukan pelayanan dan pengawasan kepabeanan, sehingga sahnya pemenuhan kewajiban pabean tidak tergantung adanya kawasan pabean.
Kurang jelasnya penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan tidak adanya penjelasan Pasal 5 ayat (4) dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda, sehingga pelaksanaan tugas-tugas yang dilakukan aparat pabean berdasarkan Undang-Undang menjadi ilegal dan pungutan yang dilakukan berdasarkan Undang-Undang yang dilakukan di tempat- tempat yang belum ditetapkan sebagai kawasan pabean menjadi tidak sah. Dalam kasus kawasan lintas batas Entikong, semua barang dari luar negeri, dalam hal ini dari Malaysia, masuknya lewat KLB Entikong agar tidak lewat sembarang tempat. Menurut Undang-Undang walaupun belum ditetapkan, namun tetap sah pengajuan PIB dan pembayaran biaya masuknya untuk kepentingan negara. Perlu menetapkan apa fungsi kantor pabean agar tidak terjadi salah pengertian dengan fungsi dari kawasan pabean. Kantor pabean adalah tempat menyelesaikan kewajiban pabean, sedangkan kawasan pabean adalah sarana saja, yaitu tempat lalu lintas keluar masuk barang impor dan ekspor. Menurut UU Kepabeanan semua barang yang masuk kawasan pabean dianggap sebagai barang impor yang harus disertai dokumen pemberitahuan impor barang (PIB) dan terutang biaya masuk. Kawasan pabean gunanya adalah untuk lalu lintas barang. Karena barang dari luar daerah pabean masuk ke dalam daerah pabean, maka tidak boleh Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 44 di sembarang tempat untuk melakukan pembongkaran. Jika dilakukan pembongkaran di sembarang tempat akan dikenai pasal pidana penyelundupan. PPLB Entikong belum ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagai kawasan pabean, namun hal demikian tidak menjadikan tidak sah pungutan biaya masuk penyelesaian kewajiban pabean. Di luar Jawa banyak PPLB terutama di muara-muara sungai. Di tempat dimaksud tidak ada kegiatan ekspor-impor namun dalam rangka pengawasan, Bea dan Cukai mendirikan pos di sana. Semua kantor pabean maupun pos pengawasan pabean sudah ditetapkan oleh Menteri. Kawasan pabean belum semua ditetapkan oleh Menteri karena persyaratan untuk menetapkan kawasan pabean tersebut harus ada usulan dari pengelola tempat tersebut, dalam hal ini misalnya pos lalu lintas di lintas batas Entikong. Bongkar muat barang harus dilakukan di kawasan pabean. Penetapan kawasan pabean ini dilakukan oleh menteri. Barang tidak boleh dikeluarkan dari kawasan pabean sebelum ada ijin dari pihak Bea dan Cukai. Bisa saja ada kawasan yang belum ditetapkan oleh Menkeu sebagai kawasan pabean, namun tetap boleh dilakukan kegiatan pabean, misalnya tempat khusus untuk bongkar muat impor sapi karena hal demikian tidak dapat dilakukan di pelabuhan pada umumnya. [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Presiden menyampaikan keterangan __ secara __ lisan dalam persidangan tanggal 28 Oktober 2015, serta menyampaikan keterangan tertulis masing-masing tanpa tanggal, bulan Oktober 2015 yang diterima ddalam Persidangan Mahkamah tanggal 28 Oktober 2015, yang pada pokoknya sebagai berikut. Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Pemohon Sehubungan dengan kedudukan hukum ( legal standing ) Para Pemohon Pemerintah berpendapat: Bahwa Pemerintah perlu menyampaikan keterkaitan kepentingan Pemohon dengan keberlakuan norma dari ketentuan a quo , karena menurut Pemerintah atas permasalahan yang dihadapi oleh Pemohon sejatinya bukanlah permasalahan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 45 konstitusionalitas norma hukum atau constitutional review melainkan masalah penerapan norma hukum yang sesungguhnya apa yang tejadi dalam perkara yang dihadapi oleh Pemohon adalah murni dari kewenangan Penegak Hukum yang mendasari dakwaannya bukan berdasarkan ketentuan Pasal 5 Undang-Undang a quo namun didasarkan dari pasal-pasal yang terkait dengan tindak pidana yang didakwakan. Berdasarkan uraian di atas, Pemerintah perlu mempertanyakan kepentingan Pemohon, apakah sudah tepat sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangannya dirugikan atas keberlakuan Penjelasan ketentuan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang a quo . Juga apakah terdapat kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, dan apakah ada hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji. Oleh karena itu, Pemerintah berpendapat, Pemohon dalam permohonan inf tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ), sehingga adalah tepat jika Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard ). Namun demikian, Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilainya apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) atau tidak dalam permohonan Pengujian Undang-Undang a quo , sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 maupun putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu. Keterangan Pemerintah Atas Materi Permohonan Yang Dimohonkan Untuk Diuji Sebelum Pemerintah memberikan keterangannya atas materi pokok permohonan Pemohon yang diuji, Pemerintah menyampaikan hal-hal sebagai berikut: Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 46 Tahun 1945 bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa yang aman, tertib, sejahtera, dan berkeadilan. Bahwa dalam upaya untuk lebih menjamin kepastian hukum, keadilan, transparansi, dan akuntabilitas pelayanan publik, untuk mendukung upaya peningkatan dan pengembangan perekonomian nasional yang berkaitan dengan perdagangan global, untuk mendukung kelancaran arus barang dan meningkatkan efektivitas pengawasan atas lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean Indonesia dan lalu lintas barang tertentu dalam daerah pabean Indonesia, serta untuk mengoptimalkan pencegahan dan penindakan penyelundupan, perlu pengaturan yang lebih jelas dalam pelaksanaan kepabeanan. Perkembangan yang cepat dalam dunia perdagangan terutama dalam bidang perdagangan interasional menuntut suatu negara untuk membuat suatu peraturan yang mengatur mengenai perdagangan internasional khususnya dalam bidang Kepabeanan. Seperti halnya pengaturan mengenai bea masuk anti dumping, pengendalian impor atau ekspor barang yang sangat dibutuhkan agar kegiatan lalu lintas barang dalam suatu negara dapat berjalan dengan balk sehingga tidak akan mengganggu perekonomian negara tersebut. Atas dasar hal tersebut maka peraturan mengenai bidang Kepabeanan sangat diperlukan oleh suatu Negara dalam menjaga sistem perekonomian nasional dan kegiatan perdagangan intemasionalnya. Selain hal-hal tersebut di atas, peraturan mengenai kepabeanan juga sangat diperlukan untuk mengamankan pendapatan keuangan negara, mengingat pendapatan negara yang berasal dari. bidang kepabeanan memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap penerimaan negara. Bahwa untuk mencapai dari tujuan berbangsa dan bemegara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan alinea IV UUD 1945 Negara telah membentuk Pemerintahan yang mempunyai kekuasaan dalam pengelolaan keuangan Negara. Pemerintah dalam menjalankan salah satu kekuasaannya tersebut telah menunjuk Kementerian Keuangan selaku pengelola fiskal dan wakil pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan, serta kepada Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang Kementerian Negara/Lembaga yang dipimpinnya. Pengelolaan keuangan Negara yang dibentuk secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara sebagai amanat dari Pasal 23C UUD 1945 mengatur mengenai Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 47 terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan Negara yang diselenggarakan secara profesional, terbuka, dan bertanggung jawab. Kementerian Keuangan selaku kuasa Bendahara Umum Negara melakukan pengelolaan keuangan Negara di bidang lalu lintas barang masuk dan keluar wilayah Republik Indonesia dengan menunjuk Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebagai unsur pelaksana tugas pokok Kementerian Keuangan dalam bidang Kepabeanan dan Cukai. Selanjutnya dalam menjalankan tugasnya terhadap pengamanan hak negara berwenang mengambil tindakan yang diperlukan terhadap barang sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 74 UU Kepabeanan. Adapun Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mempunyai fungsi dan misi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Kepabeanan yaitu sebagai:
Trade Facilitator atau pemberian fasilitas perdagangan dimana tujuan yang diharapkan agar Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mampu menjamin kelancaran arus barang, menekan biaya tinggi berkaitan dengan proses penyelesaian barang ekspor dan impor, dan sekaligus mampu menciptakan iklim perdagangan intemasional yang kondusif guna mendukung perekonomian nasional;
Industrial Assistance atau dukungan terhadap industri dalam negeri, dimana tujuan yang ingin dicapai agar Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mampu mendukung industri dalam negeri melalui pemberian berbagai fasilitas dan kemudahan kepabeanan, memberikan perlindungan dan membantu peningkatan daya saing industri melalui pencegahan masuknya barang-barang illega/trade, serta membantu peningkatan daya saing produksi dalam negeri.
Revenue Collector atau pemungutan penerimaan Negara, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai harus mampu mengoptimalkan segala upaya untuk memberikan kontribusi penerimaan Negara dan melakukan upaya-upaya pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya kebocoran penerimaan negara, terutama yang berkaitan dengan penerimaan dari pajak lalu lintas barang;
Community Protector atau perlindungan masyarakat, pelaksanaan fungsi ini bertujuan supaya Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mampu mencegah dan mengawasi masuknya barang-barang yang dapat merusak mental, moral dan kesehatan masyarakat. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 48 Bahwa UU Kepabeanan mengatur mengenai pemenuhan kewajiban pabean termasuk di dalamnya kewajiban atas pajak lalu lintas barang masuk dan keluar sesuai dengan amanat dalam Pasal 23A UUD 1945 yang menyatakan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang, oleh karenanya dibentuklah Undang-Undang Kepabeanan sebagai salah satu bagian dari sistem pengelolaan keuangan Negara di Indonesia. Bahwa seiring dengan perkembangan peraturan di bidang kepabeanan dan untuk mengantisipasi adanya pelanggaran dalam bidang kepabeanan, peraturan kepabeanan yang telah ada semenjak diberlakukannya Indische Tarief Wet (Undang-Undang Tarif Indonesia) Staatsblad 1873 Nomor 35, diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. Dengan adanya Undang-Undang Kepabeanan yang baru diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dalam dunia usaha. Oleh karena itu, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang berfungsi sebagai fasilitator perdagangan harus dapat membuat suatu aturan hukum yang mampu mengantisipasi perkembangan dalam masyarakat guna memberikan pelayanan dan pengawasan yang lebih balk dan lebih cepat. Untuk melaksanakan tugas dan fungsi yang diamanatkan oleh Undang- Undang tersebut di atas, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memiliki instansi vertikal yang salah satunya adalah Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Entikong yang merupakan Kantor Pengawasan dan Pelayanan Tipe Madya Pabean C di bawah Kantor Wilayah DJBC Kalimantan Bagian Barat yang terletak di Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Bagian Barat. Kantor Entikong tersebut telah melakukan pelayanan Kepabeanan kepada pengguna jasa berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan. Hal ini diperkuat dengan adanya Border Trade Agreement (BTA) tahun 1970 tentang perjanjian perdagangan lintas batas antara Indonesia-Malaysia yang menyatakan rnasyarakat sekitar Lintas Batas bisa berbelanja ke Malaysia maksimal 600 ringgit per orang/per bulan dengan menggunakan Kartu Identitas Lintas Batas (KILB). Pelaksanaan pelayanan Kepabeanan juga didukung dengan adanya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 1995 yang menyatakan pada intinya di Entikong terdapat dua jalur perdagangan, yaitu jalur perdagangan tradisional menggunakan Kartu Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 49 Identitas Lintas Batas (KILB) dan jalur perdagangan modern menggunakan tata niaga impor dan ekspor yang berlaku. Pemerintah perlu menyampaikan keterkaitan kepentingan Pemohon dengan keberlakuan norma dari ketentuan a quo , karena menurut Pemerintah atas permasalahan yang dihadapi oleh Pemohon sejatinya bukanlah permasalahan konstitusionalitas norma hukum atau constitusional review melainkan masalah penerapan norma hukum yang sesungguhnya apa yang tejadi dalam perkara yang dihadapi oleh Pemohon adalah murni dari kewenangan Penegak Hukum yang mendasari dakwaannya bukan berdasarkan ketentuan Pasal 5 Undang-Undang a quo namun didasarkan dari pasal-pasal yang terkait dengan tindak pidana yang didakwakan. Berdasarkah uraian di atas, Pemerinlah perlu mempertanyakan kepentingan Pemohon, apakah sudah tepat sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangannya dirugikan atas keberlakuan Penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang a quo . Juga apakah terdapat kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, dan apakah ada hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji. Oleh Karena itu, Pemerintah berpendapat, Pemohon dalam permohonan ini tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ), sehingga adalah tepat jika Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelljk verklaard ). Namun demikian Pemerihtah menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilainya apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) atau tidak dalam permohonan Pengujian Undang-Undang a quo , sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 maupun putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu. Sehubungan dengan materi permohonan yang diajukan untuk diuji, perkenankanlah Pemerintah menyampaikan keterangannya sebagai berikut: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 50 Bahwa pengertian dari kawasan pabean berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 adalah kawasan dengan batas-batas tertentu di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang ditetapkan untuk lalu lintas barang yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Sedangkan pengertian Kantor Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajibah pabean. Selanjutnya pengertian Pos Pengawasan Pabean sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 5 adalah tempat yang digunakan oleh pejabat bea dan cukai untuk melakukan pengawasan terhadap lalu lintas barang impor dan ekspor. Bahwa terkait dengan pengertian “pemenuhan kewajiban pabean” berdasarkan PasaI 1 angka 6 didefinisikan sebagai semua kegiatan di bidang kepabeanan yang wajib dilakukan untuk memenuhi ketentuan dalam undang- undang kepabeanan. Kewajiban pabean tersebut dibagi dalam dua besaran yaitu kewajiban bersifat administratif dan kewajiban bersifat fisik. Dasar pemenuhan kewajiban bersifat administrasi adalah sebagai berikut:
pemberitahuan pabean adalah kewajiban dalam bentuk administrasi, sebagaimana Pasal 1 angka 7 UU Kepabeanan “ Pemberitahuan pabean adalah pernyataan yang dlbuat oleh orang dalam rangka melaksanakan kewajiban pabean dalam bentuk dan syarat yang ditetapkan dalam undang- undang ini (Kepabeanan) ”;
Pelayanan atas kewajiban bersifat administrasi berupa penyampaian pemberitahuan pabean, dilakukan di kantor pabean, sesuai Pasal 5A ayat (2) UU Kepabeanan yang menyatakan bahwa “ Pemberitahuan pabean disampaikan kepada pejabat bea dan cukai di kantor pabean atau tempat lain yang disamakan dengan kantor pabean ”. Dasar pemenuhan kewajiban bersifat fisik adalah sebagai berikut: Berdasarkan Pasal 10A ayat (1) UU Kepabeanan, “ barang impor yang diangkut sarana pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (1) wajib dibongkar di kawasan pabean atau dapat dibongkar di tempat lain setelah mendapat izin kepala kantor pabean. ” Bahwa keberadaan kawasan pabean dalam pemenuhan kewajiban pabean tidak mutlak ada sebagaimana disebutkan pada Pasal 10A ayat (1) tersebut yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 51 memuat frasa “tempat lain”, yang mengandung arti terdapat tempat lain untuk dilakukan pemenuhan kewajiban pabean. Undang-Undang Kepabeanan juga mengatur tentang jenis pemeriksaan pabean yang meliputi pemeriksaan dokumen (administrasi) dan pemeriksaan fisik sebagaimana Pasal 3 ayat (2) UU Kepabeanan “ Pemeriksaan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penelitian dokumen dan pemeriksaan fisik barang. ” Dengan demikian berdasarkan sifaf pemenuhan kewajiban pabean, fungsi kantor pabean adalah dalam rangka pemenuhan kewajiban bersifat administratif, sedangkan fungsi kawasan pabean atau tempat lain adalah dalam rangka pemenuhan kewajiban bersifat fisik. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU Kepabeanan yang menyatakan, “ Pemenuhan kewajiban pabean dilakukan di Kantor Pabean atau tempat lain yang disamakan dengan kantor pabean dengan menggunakan pemberitahuan pabean. ” Adapun berdasarkan penjelasan Pasal 5 ayat (3) UU Kepabeanan menyatakan: “ Untuk keperluan pelayanan, pengawasan, kelancaran lalu-lintas barang dan ketertiban bongkar muat barang, serta pengamanan keuangan negara, undang- undang ini menetapkan adanya kawasan pabean di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan menetapkan adanya kantor pabean. Penunjukan pos pengawasan pabean dimaksudkan untuk tempat pejabat bead an cukai melakukan pengawasan. Pos tersebut merupakan bagian dari kantor pabean dan di tempat tersebut tidak dapat dipenuhi kewajiban pabean. ” Berdasarkan ketentuan di atas pemenuhan kewajiban pabean ada di kantor pabean. Oleh karena itu dalam rangka pemenuhan kewajiban pabean tersebut, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menetapkan adanya Kantor Pabean (dhi. Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai). Sedangkan keberadaan Kawasan Pabean atau tempat lain, dan Pos Pengawasan Pabean merupakan pendukung dalam proses pemenuhan kewajiban pabean. Dengan penjelasan tersebut di atas, menurut Pemerintah ketentuan a quo jelas tidak multitafsir karena baik dari substansi maupun penjelasannya sudah menunjukkan secara tegas bahwa pemenuhan kewajiban pabean di Kantor Pabean. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas disimpulkan bahwa dalam proses impor dan ekspor, syarat utama dalam pemenuhan kewajiban kepabeanan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 52 adalah Kantor Pabean. Sedangkan Kawasan Pabean merapakan kelengkapan dalam memudahkan pelayanan dan pengawasan yang tidak mutlak ada dalam pemenuhan kewajiban pabean. Sehubungan dengan petitum Pemohon yang menyatakan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang a quo tetap berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan tafsir konstitusional terhadap Penjelasan Pasal 6 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang a quo dengan menyatakan konstitusional bersyarat ( conditionally constitutional ) pada masing-masing penjelasan ayatnya, Pemerintah berpendapat bahwa:
Berdasarkan teknik penyusunan dalam Lampiran II butir 176 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan, Penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk Peraturan Perundang-Undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. OIeh Karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh. Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud, selanjutnya dalam Lampiran II butir 177 Undang-Undang Namor 12 Tahun 2011 yang menyatakan penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut dan tidak boleh mencantumkan rumusan yang berisi norma.
Hal tersebut juga menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 46/PUU-XII/2014 yang berpendapat sebagai berikut: “ dari sisi pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, penjelasan pasal seharusnya tidak memuat norma, karena penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi Pembentuk Peraturan Perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh. ” Dengan demikian berdasarkan ketentuan di atas, terhadap petitum pemohon menurut Pemerintah bukan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk dapat mengubah penjelasan dalam Ketentuan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang a quo sesuai yang permintaan Pemohon. Hal ini didasarkan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 53 kepada persyaratan dalam ketentuan Pasal 51 ayat (3) UU Mahkamah Konstitusi yang menyatakan: “(3) Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemohon wajib _menguraikan dengan jelas bahwa: _ b. Materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau baglan undang-undang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” 3. Ketentuan Penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) UU Kepabeanan justru sejalan dan tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 23 ayat (1), Pasal 23A, dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945, oleh karena itu Pemerintah tidak sependapat dengan Pemohon untuk merubah atau menambahkan penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) UU Kepabeanan, karena penjelasan pasal tersebut sudah jelas. Sedangkan masalah yang dihadapi oleh Pemohon sejatinya bukanlah permasalahan konstitusional norma hukum, melainkan masalah implementasi norma hukum (permasalahan hukum pidana) yang dialami Pemohon. Tanggapan/Jawaban Pemerintah Terhadap Keterangan Ahli Pemohon Dan Hakim Mahkamah Konstitusi Dengan memperhatikan secara cermat keterangan para ahli pemohon dan pertanyaan Mahkamah Konstitusi dalam persidangan, Pemerintah memberikan tanggapan sebagai berikut: A. Bahwa terhadap keterangan ahli pemohon yang menyatakan ketentuan Penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) bertentangan dengan ketentuan Pasal-Pasal yang ada dalam UUD 1945, Pemerintah berpendapat:
Berdasarkan Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, penjelasan hanya berfungsi sebagai tafsir resmi pembentukan Peraturan perundang- undangan atas norma tertentu sehingga penjelasan tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud. Selanjutnya penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat sebuah norma baru.
Bahwa penjelasan ketentuan a quo sudah sejalan dengan norma batang tubuh yang mengatur pemenuhan kewajiban pabean yang terdapat dalam Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 54 kawasan pabean, kantor pabean, dan pos pengawasan pabean ditetapkan oleh Menteri. B. Bahwa terhadap pertanyaan Hakim Patrialis Akbar, Pemerintah memberikan keterangan sebagai berikut: Mengenai Pos Pengawasan, memang ada perbedaan terminologi antara Pos Pengawasan dengan Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) yang ada di Entikong ini, bahwa pengertian Pos Pengawasan Pabean sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 5 Undang-Undang a quo . Biasanya Pos Pengawasan ada di muara-muara yang kecil-kecil, sehingga fungsinya hanya untuk mengawasi berbeda dengan terminologi Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) yang terminologinya dibuat oleh Pemerintah Pusat berdasarkan hasil perjanjian Border Trade Agreement (BTA) tahun 1970 antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Malaysia didukung dengan adanya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 1995. Oleh karena itu, berdasarkan Permen tersebut Pos Pemeriksaan Lintas Batas Entikong merupakan bagian dari Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Entikong. Untuk melaksanakan tugas dan fungsinya Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mempunyai struktur organisasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan melalui Surat keputusannya akan menetapkan struktur organisasi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang terdiri dari Kantor Pusat Bea dan Cukai, Kantor Wilayah Bea dan Cukai, Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai, serta Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai diikuti dengan kedudukan, tugas, dan fungsi dari masing-masing kantor tersebut. Dalam penetapan kantor- kantor pabean tersebut Kementerian Keuangan selalu melakukan koordinasi dan persetujuan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Selanjutnya, dalam penempatan pegawai bea dan cukai selalu merujuk pada kantor bea dan cukai tujuan sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan atau Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai tentang penugasan pegawai yang antara lain mencantumkan identitas pegawai, jabatan, kantor tempat bertugas. Penetapan dalam rangka penugasan pegawai dalam jabatan tersebut dengan mempertimbangkan pemenuhan kualifikasi teknis dan administrasi pegawai yang bersangkutan. Sehingga tidak mungkin ada pegawai bea dan cukai Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 55 ditempatkan yang tidak ada kantornya seperti yang tertuang dalam surat keputusan mutasi bagi setiap pegawai Bea Cukai selalu diberikan keterangan tempat dan jabatannya di dalam Surat Keputusan tersebut. Sehingga dengan penunjukan pegawai di tempat tersebut sudah sesuai dengan kewenangan Undang-Undang Kepabeanan. Kesimpulan Terhadap Materi/Muatan Permohonan Pemohon Yang Diuji Berdasarkan keterangan dan argumen di atas, pemerintah berkesimpulan bahwa sesungguhnya pendapat para ahli pemohon lebih mencerminkan adanya usu|an untuk mengubah penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang a quo sesuai dengan yang diinginkan oleh Pemohon, sehingga usulan untuk mengubah penjelasan tersebut bukanlah sebagai kewenangan Mahkamah Konstitusi yang berwenang menguji undang-undang dengan Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Jikapun penjelasan pasal a quo dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, ketentuan a quo tidak mengubah makna atau menghilangkan sama sekali substansi dari ketentuan norma batang tubuhnya. Petitum Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, memutus, dan mengadili permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan terhadap ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal _standing); _ 2. Menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian para Pemohon tidak dapat diterima ( niet onvantkelijk verklaard );
Menerima Keterangan Pemerintah secara keseluruhan;
Menyatakan ketentuan Penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan tidak bertentangan dengan Pasal Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 56 23 ayat (1), Pasal 23A, Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. [2.4] Menimbang bahwa Pemohon telah menyampaikan kesimpulan yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 17 November 2015, yang pada pokoknya tetap pada pendiriannya [2.5] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini;
PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU Nomor 48/2009), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar; [3.2] Menimbang bahwa permohonan Pemohon adalah untuk menguji konstitusionalitas norma Penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 57 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661), sehingga Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo ; Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; [3.4] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005, bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal 20 September 2007, serta putusan selanjutnya berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 58 b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; c kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat ( causal verband ) __ antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian sebagaimana tersebut pada paragraf [3.3] dan [3.4] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan mengenai kedudukan hukum ( legal standing ) Pemohon sebagai berikut: [3.6] Menimbang bahwa pada pokoknya Pemohon mendalilkan sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang menjabat sebagai Kepala Seksi Kepabeanan dan Cukai pada Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Tipe Madya Entikong, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat, periode September 2008 sampai dengan Maret 2011. Pemohon mendalilkan bahwa hak konstitusionalnya dirugikan karena adanya Penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) UU 17/2006. Adanya Penjelasan ketentuan a quo mengakibatkan Pemohon disangka/didakwa/dituntut/diputus oleh aparat penegak hukum telah melakukan perbuatan melawan hukum karena melakukan pelayanan terhadap kegiatan ekspor-impor di PPLB Entikong yang belum ditetapkan sebagai kawasan pabean oleh Menteri Keuangan. [3.7] Menimbang bahwa kedudukan Pemohon dalam kapasitasnya sebagai perseorangan warga negara, pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, serta Kepala Seksi Kepabeanan dan Cukai KPPBC Entikong, telah dibuktikan dengan identitas diri berupa fotokopi kartu tanda penduduk (KTP), fotokopi Kartu Pegawai Negeri Sipil Bea dan Cukai, serta fotokopi Surat Keputusan Dirjen Bea dan Cukai (vide bukti P-14, bukti P-15, bukti P-19.1, bukti P-19.2, dan bukti P-19.3). Bahwa Penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) UU 17/2006 yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh Pemohon, menurut Mahkamah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 59 memiliki hubungan sebab akibat ( causal verband ) berupa timbulnya kerugian konstitusional bagi Pemohon, yaitu Pemohon dikenai sangkaan/dakwaan/tuntutan melawan hukum karena tindakannya melakukan pelayanan terhadap kegiatan ekspor-impor di PPLB Entikong yang belum ditetapkan sebagai kawasan pabean dan/atau kantor pabean oleh Menteri Keuangan. Kerugian konstitusional demikian memiliki kemungkinan untuk tidak lagi terjadi seandainya Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon yaitu menyatakan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) UU 17/2006 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak ditafsirkan sebagaimana dikehendaki oleh Pemohon (vide petitum pada permohonan). Berdasarkan pertimbangan tersebut, Mahkamah menilai Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo . [3.8] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo , dan Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo maka selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan; Pokok Permohonan [3.9] Menimbang bahwa pada pokoknya Pemohon menyatakan mengalami kerugian konstitusional yang ditimbulkan oleh penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 5 ayat (4) UU 17/2006. Pemohon dikenai sangkaan/dakwaan/tuntutan melawan hukum karena tindakannya melakukan pelayanan terhadap kegiatan ekspor-impor di PPLB Entikong, yang mana PPLB Entikong bukan merupakan kawasan pabean dan/atau kantor pabean, serta belum ditetapkan oleh Menteri. Menurut Pemohon, PPLB Entikong sejak tahun 1995 hingga saat Pemohon bertugas di sana, telah dipergunakan untuk melakukan pemenuhan kewajiban pabean. Tindakan Kepolisian dan Kejaksaan yang menafsirkan bahwa di PPLB Entikong tidak dapat dilakukan pemenuhan kewajiban pabean telah mengakibatkan kerugian bagi Pemohon. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 60 [3.10] Menimbang bahwa meskipun yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon hanya Penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) UU 17/2006, namun menurut Mahkamah penjelasan kedua ayat tersebut terkait dengan keseluruhan konstruksi/rumusan ketentuan Pasal 5 dan Penjelasan sebagai berikut: “ (1) Pemenuhan kewajiban pabean dilakukan di kantor pabean atau tempat lain yang disamakan dengan kantor pabean dengan menggunakan pemberitahuan pabean. (2) Pemberitahuan pabean disampaikan kepada pejabat bea dan cukai di kantor pabean atau tempat lain yang disamakan dengan kantor pabean. (3) Untuk pelaksanaan dan pengawasan pemenuhan kewajiban pabean, ditetapkan kawasan pabean, kantor pabean, dan pos pengawasan pabean. (4) Penetapan kawasan pabean, kantor pabean, dan pos pengawasan pabean dilakukan oleh Menteri. ” Adapun Penjelasan Pasal 5 UU 17/2006 mengatur bahwa: “ Ayat (1) Dilihat dari keadaan geografis Negara Republik Indonesia yang demikian luas dan merupakan negara kepulauan, maka tidak mungkin menempatkan pejabat bea dan cukai di sepanjang pantai untuk menjaga agar semua barang yang dimasukkan ke atau yang dikeluarkan dari daerah pabean memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu, ditetapkan bahwa pemenuhan kewajiban pabean hanya dapat dilakukan di kantor pabean. Penegasan bahwa pemenuhan kewajiban pabean dilakukan di kantor pabean maksudnya yaitu jika kedapatan barang dibongkar atau dimuat di suatu tempat yang tidak ditunjuk sebagai kantor pabean berarti terjadi pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang ini. Dengan demikian, pengawasan lebih mudah dilakukan, sebab tempat untuk memenuhi kewajiban pabean seperti penyerahan pemberitahuan pabean atau pelunasan bea masuk telah dibatasi dengan penunjukan kantor pabean yang disesuaikan dengan kebutuhan perdagangan. Pemenuhan kewajiban pabean di tempat selain di kantor pabean dapat diizinkan dengan pemenuhan persyaratan tertentu yang akan ditetapkan oleh Menteri, sesuai dengan kepentingan perdagangan dan perekonomian, atau apabila dengan cara tersebut kewajiban pabean dapat dipenuhi dengan lebih mudah, aman, dan murah. Pemberian kemudahan berupa pemenuhan kewajiban pabean di tempat selain di kantor pabean tersebut bersifat sementara. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 61 Ayat (2) Cukup Jelas. Ayat (3) Untuk keperluan pelayanan, pengawasan, kelancaran lalu lintas barang dan ketertiban bongkar muat barang, serta pengamanan keuangan negara, Undang-Undang ini menetapkan adanya kawasan pabean di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan menetapkan adanya kantor pabean. Penunjukan pos pengawasan pabean dimaksudkan untuk tempat pejabat bea dan cukai melakukan pengawasan. Pos tersebut merupakan bagian dari kantor pabean dan di tempat tersebut tidak dapat dipenuhi kewajiban pabean. Ayat (4) Cukup Jelas. ” Bahwa setelah mencermati Pasal 5 dan Penjelasan Pasal 5 UU 17/2006 dimaksud, dalam kaitannya dengan permohonan Pemohon, Mahkamah berpendapat bahwa inti permasalahan yang dialami Pemohon adalah adanya penjelasan yang menyatakan bahwa di pos pengawasan pabean tidak dapat dipenuhi kewajiban pabean [vide Penjelasan ayat (3)]. Pokok permasalahan demikian menurut Pemohon telah merugikan hak konstitusionalnya yang diatur dalam Pasal 23 ayat (1), Pasal 23A, dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. [3.11] Menimbang bahwa teknik penyusunan Penjelasan Undang-Undang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan khususnya pada Lampiran II angka 176, 177, dan 178. Ketentuan tersebut mengatur sebagai berikut: “ 176. Penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk Peraturan Perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh. Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 62 177. Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut dan tidak boleh mencantumkan rumusan yang berisi norma. 178. Penjelasan tidak menggunakan rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung terhadap ketentuan Peraturan Perundang- undangan. ” Dari ketentuan demikian, Mahkamah berpendapat bahwa bagian penjelasan suatu Undang-Undang muncul dalam konteks bahwa ketentuan dalam batang tubuh Undang-Undang dimaksud tidak cukup mudah dipahami, bahkan memiliki kemungkinan menimbulkan penafsiran yang berbeda dengan yang dikehendaki oleh batang tubuh Undang-Undang. Penjelasan suatu Undang- Undang harus dibaca setelah membaca batang tubuh Undang-Undang dimaksud. Artinya setelah batang tubuh suatu Undang-Undang dibaca namun tidak ditemukan kejelasan makna atau arti, maka pembacaan dapat diteruskan pada bagian penjelasan Undang-Undang. Dengan demikian, seandainya suatu norma dalam batang tubuh Undang-Undang telah memiliki kejelasan makna/arti maka bagian penjelasan Undang-Undang tidak lagi cukup signifikan untuk dibaca. [3.12] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon terutama mengenai penafsiran atas istilah “pos pengawasan pabean”, dalam kaitannya dengan pemenuhan kewajiban pabean, Mahkamah menilai ketentuan atau pengaturan pos pengawasan pabean pada Pasal 5 telah cukup jelas, terutama mengenai kewenangan pelayanan pabean. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang a quo telah jelas menyatakan bahwa pemenuhan kewajiban pabean dilakukan di kantor pabean atau tempat lain yang disamakan dengan kantor pabean. Rumusan Pasal 5 ayat (1) demikian telah jelas menyatakan bahwa pemenuhan kewajiban pabean hanya dapat dilakukan di dua jenis tempat, yaitu a) kantor pabean; dan b) tempat lain yang disamakan dengan kantor pabean. Dari ketentuan demikian dapat dikatakan bahwa di tempat-tempat selain kantor pabean tidak dapat dilakukan pemenuhan kewajiban pabean sepanjang tempat lain tersebut tidak secara hukum dinyatakan disamakan dengan kantor pabean. Pos pengawasan pabean menurut Pasal 5 ayat (3) tidak sama dengan kantor pabean. Jika pos pengawasan pabean oleh pembentuk Undang-Undang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 63 disamakan dengan kantor pabean, maka rumusan Pasal 5 ayat (3) tentu tidak akan memerinci atau membedakan adanya tiga entitas berupa kawasan pabean, kantor pabean, dan pos pengawasan pabean. Pasal 5 ayat (3) menegaskan keberadaan pos pengawasan pabean dengan menyatakan bahwa “ Untuk pelaksanaan dan pengawasan pemenuhan kewajiban pabean, ditetapkan kawasan pabean, kantor pabean, dan pos pengawasan pabean ”. Ayat (3) tersebut mengatur mengenai dan/atau membedakan antara organ yang melakukan “pelaksanaan” dan organ yang melakukan “pengawasan” pemenuhan kewajiban pabean. Jika Pasal 5 ayat (3) dihubungkan dengan ayat (1) Mahkamah menemukan dua kelompok organ, yaitu a) organ pelaksana pemenuhan kewajiban pabean, yang terdiri dari “kantor pabean” dan “tempat lain yang disamakan dengan kantor pabean”; kemudian b) organ yang melakukan “pengawasan” yaitu “pos pengawasan pabean”. Dari ketentuan tersebut telah jelas bagi Mahkamah bahwa pos pengawasan pabean adalah tempat untuk mengawasi pemenuhan kewajiban pabean, dan bukan merupakan tempat untuk melaksanakan pemenuhan kewajiban pabean, kecuali jika pos pengawasan pabean tersebut secara hukum telah disamakan dengan kantor pabean. [3.13] Menimbang bahwa dalam kaitannya dengan Penjelasan Pasal 5 ayat (3), Mahkamah justru menemukan bahwa penjelasan dimaksud semakin menguatkan maksud norma Pasal 5 ayat (3) juncto ayat (1), yaitu pada pos pengawasan pabean tidak dapat dipenuhi kewajiban pabean. Mahkamah tidak menemukan adanya ketidakjelasan makna pada bagian penjelasan jika bagian penjelasan dimaksud dibaca setelah membaca Pasal 5 secara keseluruhan. [3.14] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan telah mengalami perlakuan berbeda, yaitu dianggap melakukan tindakan/perbuatan pidana karena telah melaksanakan pelayanan pemenuhan kewajiban pabean di Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) Entikong, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat, sementara menurut Pemohon praktik yang sama telah dilakukan sejak lama oleh para pejabat pendahulu, dengan landasan berbagai peraturan perundang- undangan di bawah Undang-Undang, namun tidak pernah dipermasalahkan oleh Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 64 penegak hukum. Mahkamah berpendapat bahwa hal demikian bukan merupakan permasalahan konstitusionalitas norma Undang-Undang, melainkan merupakan permasalahan implementasi atau penerapan norma suatu Undang-Undang, dan karenanya Mahkamah tidak berwenang untuk mengadilinya. [3.15] Menimbang bahwa pengujian konstitusionalitas membutuhkan adanya dasar pengujian untuk menilai norma suatu Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. Dasar pengujian tersebut berupa norma hukum yang terkandung di dalam UUD 1945. Dasar pengujian yang dimohonkan oleh Pemohon dalam perkara ini adalah Pasal 23 ayat (1), Pasal 23A, dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 sebagai landasan untuk mendalilkan hak konstitusionalnya yang dirugikan oleh ketentuan yang dimohonkan pengujian. Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 23A UUD 1945 pada pokoknya mengatur tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta mengatur mengenai hak negara untuk memungut pajak atau pungutan lainnya. Adapun Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 melindungi hak konstitusional warga negara untuk bekerja, mendapat imbalan, serta memperoleh perlakuan adil dan layak, dalam hubungan kerja. Ketentuan-ketentuan UUD 1945 yang diajukan oleh Pemohon sebagai dasar pengujian tersebut, menurut Mahkamah tidak tepat dipergunakan untuk menilai konstitusionalitas Penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) UU 17/2006 yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon. Penjelasan Pasal 5 UU 17/2006 yang dipermasalahkan oleh Pemohon adalah terbatas/spesifik mengenai keberadaan pos pengawasan pabean atau tempat lain yang dapat dipergunakan untuk memenuhi kewajiban pabean. Hal demikian menurut Mahkamah jelas tidak memiliki korelasi dengan hak konstitusional Pemohon untuk bekerja, karena kedudukan Pemohon sebagai PNS di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai telah membuktikan bahwa Pemohon tidak terhambat untuk memiliki pekerjaan. [3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah menilai dalil Pemohon mengenai pertentangan antara Penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) UU 17/2006 dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 23A, dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 tidak beralasan menurut hukum. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 65 4. KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo ; [4.2] Pemohon mempunyai kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum; Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), d a n Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
AMAR P U T U S AN Mengadili, Menyatakan menolak permohonan Pemohon. Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Arief Hidayat, selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, Maria Farida Indrati, Wahiduddin Adams, I Dewa Gede Palguna, Aswanto, Manahan MP Sitompul, Patrialis Akbar, dan Suhartoyo, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Senin, tanggal dua puluh tiga, bulan Mei tahun dua ribu enam belas , dan hari Senin, tanggal dua puluh enam, bulan September, tahun dua ribu enam belas , yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis, tanggal dua puluh sembilan, bulan September, tahun dua ribu enam belas , selesai diucapkan pada pukul 10.37 WIB , oleh delapan Hakim Konstitusi, yaitu Anwar Usman, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 66 selaku Ketua merangkap Anggota, Maria Farida Indrati, Wahiduddin Adams, I Dewa Gede Palguna, Aswanto, Manahan MP Sitompul, Patrialis Akbar, dan Suhartoyo, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Mardian Wibowo sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Presiden atau yang mewakili dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, tanpa dihadiri Pemohon/Kuasanya. KETUA, ttd. Anwar Usman ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Maria Farida Indrati ttd. Wahiduddin Adams ttd. I Dewa Gede Palguna ttd. Aswanto ttd. Manahan MP Sitompul ttd. Patrialis Akbar ttd. Suhartoyo PANITERA PENGGANTI, ttd. Mardian Wibowo Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
Pedoman Pendanaan Urusan Bersama Pusat dan Daerah untuk Penanggulangan Kemiskinan.
Relevan terhadap
Pengelolaan Informasi pendanaan urusan bersama yang terpadu diperlukan untuk mendukung perumusan kebijakan pendanaan urusan bersama untuk Penanggulangan Kemiskinan di tahun mendatang. (2) Pengelolaan informasi DUB meliputi penyediaan data, pengolahan data, dan penyajian informasi. (3) Pengelolaan informasi DUB dimaksud dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. (4) Pengelolaan informasi DDUB dilaksanakan oleh kepala daerah. (5) Koordinasi pengelolaan informasi DUB dan DDUB dilaksanakan oleh TKPK Nasional.
Perencanaan Program Penanggulangan Kemiskinan merupakan bagian dari sistem perencanaan pembangunan nasional.
Kebijakan dan Program Penanggulangan Kemiskinan dikoordinasikan oleh TKPK Nasonal/Provinsi/ Kabupaten/ Kota.
Program/Kegiatan Penanggulangan Kemiskinan yang akan didanai dari APBN wajib mengacu pada RKP dan dituangkan dalam Renja-KL.
Kementerian/Lembaga memberitahukan indikasi Program/Kegiatan Penanggulangan Kemiskinan yang akan diselenggarakan bersama antara Pusat dan Daerah kepada Kepala Daerah paling lambat pertengahan bulan Juni atau setelah ditetapkannya pagu sementara dengan tembusan kepada Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat selaku Ketua TKPK Nasional.
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disertai dengan informasi mengenai ketentuan/persyaratan penyelenggaraan urusan bersama yang akan dituangkan dalam naskah perjanjian.
Menteri/Pimpinan Lembaga dan Kepala Daerah menandatangani naskah perjanjian penyelenggaraan urusan bersama Pusat dan Daerah untuk Program Penanggulangan Kemiskinan paling lambat minggu pertama bulan Desember atau setelah ditetapkannya Peraturan Presiden tentang Rincian Anggaran Belanja Pemerintah Pusat.
Naskah perjanjian penyelenggaraan urusan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (6) sekurang-kurangnya memuat:
subyek kerja sama;
rincian alokasi dan lokasi dana program/ kegiatan yang diselenggarakan bersama;
sumber dan besaran pendanaan;
penetapan penanggungjawab dalam pengelolaan DUB;
klausul komitmen daerah untuk tertib pelaporan keuangan DUB oleh daerah kepada kementerian/ lembaga; dan
jangka waktu kerja sama.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan:
Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kementerian Negara, yang selanjutnya disebut Kementerian, adalah lembaga Pemerintah pelaksana kekuasaan pemerintahan yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Lembaga adalah organisasi non-kementerian negara dan instansi lain pengguna anggaran yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya.
Urusan Bersama Pusat dan Daerah adalah urusan pemerintahan di luar urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan sepenuhnya Pemerintah, yang diselenggarakan bersama oleh Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
Pendanaan Urusan Bersama adalah pendanaan yang bersumber dari APBN dan APBD yang digunakan untuk mendanai program/kegiatan bersama Pusat dan daerah untuk penanggulangan kemiskinan.
Dana Urusan Bersama yang selanjutnya disebut DUB, adalah dana yang bersumber dari APBN. Sedangkan Dana Daerah untuk Urusan Bersama yang selanjutnya disebut DDUB, adalah dana yang bersumber dari APBD.
Penanggulangan Kemiskinan adalah kebijakan dan program Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang dilakukan secara sistematis, terencana, dan bersinergi dengan dunia usaha dan masyarakat untuk mengurangi jumlah penduduk miskin dalam rangka meningkatkan derajat kesejahteraan rakyat.
Program Penanggulangan Kemiskinan adalah penjabaran kebijakan Kementerian Negara/Lembaga dalam bentuk upaya yang berisi satu atau beberapa kegiatan dengan menggunakan sumber daya yang disediakan untuk mencapai hasil yang terukur sesuai dengan misi Kementerian Negara/Lembaga dalam rangka penanggulangan kemiskinan.
Kegiatan Penanggulangan Kemiskinan adalah bagian dari program yang dilaksanakan oleh satu atau beberapa satuan kerja sebagai bagian dari pencapaian sasaran terukur pada suatu program dan terdiri dari sekumpulan tindakan pengerahan sumber daya baik yang berupa personil (sumber daya manusia), barang modal termasuk peralatan dan teknologi, dana, atau kombinasi dari beberapa atau kesemua jenis sumber daya tersebut sebagai masukan (input) untuk menghasilkan keluaran (output) dalam bentuk barang atau jasa dalam rangka penanggulangan kemiskinan.
Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Nasional, yang selanjutnya disebut TKPK Nasional, adalah wadah koordinasi lintas sektor dan lintas pemangku kepentingan untuk penanggulangan kemiskinan di tingkat nasional.
Satuan Kerja Perangkat Daerah, yang selanjutnya disingkat SKPD, adalah organisasi/lembaga pada pemerintah daerah yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan urusan bersama Pusat dan daerah di bidang tertentu di daerah provinsi, kabupaten, atau kota.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang selanjutnya disebut APBN, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan ditetapkan dengan undang-undang.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, yang selanjutnya disebut APBD, adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan ditetapkan dengan peraturan daerah.
Rencana Kerja Pemerintah, yang selanjutnya disebut RKP, adalah dokumen perencanaan nasional untuk periode 1 (satu) tahun.
Rencana Kerja Kementerian/Lembaga, yang selanjutnya disebut Renja-KL, adalah dokumen perencanaan Kementerian/Lembaga untuk periode 1 (satu) tahun.
Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga, yang selanjutnya disebut RKA-KL, adalah dokumen perencanaan dan penganggaran yang berisi program dan kegiatan suatu Kementerian/Lembaga yang merupakan penjabaran dari Rencana Kerja Pemerintah dan Rencana Strategis Kementerian/Lembaga yang bersangkutan dalam satu tahun anggaran, serta anggaran yang diperlukan untuk melaksanakannya.
Satuan Anggaran Per Satuan Kerja, yang selanjutnya disingkat SAPSK, adalah pagu alokasi dana untuk satuan kerja dari bagian anggaran Kementerian/Lembaga yang disusun berdasarkan penelaahan atas rencana kerja anggaran.
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran, yang selanjutnya disebut DIPA atau dokumen lain yang dipersamakan dengan DIPA, adalah suatu dokumen pelaksanaan anggaran yang dibuat oleh Menteri/Pimpinan Lembaga serta disahkan oleh Menteri Keuangan dan berfungsi sebagai dokumen pelaksanaan pendanaan kegiatan serta dokumen pendukung kegiatan akuntansi Pemerintah.
Intelijen Negara.
Relevan terhadap
Pemeriksaan terhadap aliran dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dilakukan dengan ketentuan:
untuk penyelenggaraan fungsi Intelijen; dan
atas perintah Kepala Badan Intelijen Negara. (2) Dalam melakukan pemeriksaan terhadap aliran dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank Indonesia, bank, penyedia jasa keuangan, atau lembaga analisis transaksi keuangan wajib memberikan informasi kepada Badan Intelijen Negara. Pasal 34 (1) Penggalian informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dilakukan dengan ketentuan:
untuk penyelenggaraan fungsi Intelijen;
atas perintah Kepala Badan Intelijen Negara;
tanpa melakukan penangkapan dan/atau penahanan; dan
bekerja sama dengan penegak hukum terkait. (2) Dalam melakukan penggalian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penegak hukum terkait wajib membantu Badan Intelijen Negara. Bagian Kelima Organisasi Pasal 35 (1) Badan Intelijen Negara dipimpin oleh seorang kepala dan dibantu oleh seorang wakil kepala. (2) Pengangkatan dan pemberhentian Kepala dan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Pasal 36 (1) Kepala Badan Intelijen Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Untuk mengangkat Kepala Badan Intelijen Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden mengusulkan satu orang calon untuk mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. (3) Pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia terhadap calon Kepala Badan Intelijen Negara yang dipilih oleh Presiden disampaikan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja, tidak termasuk masa reses, terhitung sejak permohonan pertimbangan calon Kepala Badan Intelijen Negara diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. __ Pasal 37 Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi dan tata kerja Badan Intelijen Negara diatur dengan Peraturan Presiden. BAB VII KOORDINASI INTELIJEN NEGARA Pasal 38 (1) Badan Intelijen Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a berkedudukan sebagai koordinator penyelenggara Intelijen Negara. (2) Penyelenggara Intelijen Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e wajib berkoordinasi dengan Badan Intelijen Negara. (3) Ketentuan mengenai koordinasi Intelijen Negara diatur dengan Peraturan Presiden. Pasal 39 Badan Intelijen Negara dalam kedudukannya sebagai koordinator penyelenggara Intelijen Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) bertugas:
mengoordinasikan penyelenggaraan Intelijen Negara;
memadukan produk Intelijen;
melaporkan penyelenggaraan koordinasi Intelijen Negara kepada Presiden; dan
mengatur dan mengoordinasikan Intelijen pengamanan pimpinan nasional. Pasal 40 Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, Badan Intelijen Negara berwenang:
mengoordinasikan kebijakan di bidang Intelijen;
mengoordinasikan pelaksanaan fungsi Intelijen kepada penyelenggara Intelijen Negara;
menata dan mengatur sistem Intelijen Negara;
menetapkan klasifkasi Rahasia Intelijen; dan
membina penggunaan peralatan dan material Intelijen. BAB VIII PEMBIAYAAN, PERTANGGUNGJAWABAN, DAN PENGAWASAN Bagian Kesatu Pembiayaan Pasal 41 Biaya yang diperlukan untuk penyelenggaraan Intelijen Negara dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Bagian Kedua Pertanggungjawaban Pasal 42 Bagian Ketiga Pengawasan Pasal 43 (1) Pengawasan internal untuk setiap penyelenggara Intelijen Negara dilakukan oleh pimpinan masing- masing. (2) Pengawasan eksternal penyelenggara Intelijen Negara dilakukan oleh komisi di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang khusus menangani bidang Intelijen. (3) Dalam melaksanakan Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), komisi membentuk tim pengawas tetap yang terdiri atas perwakilan fraksi dan pimpinan komisi di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang khusus menangani bidang Intelijen serta keanggotaaannya disahkan dan disumpah dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dengan ketentuan wajib menjaga Rahasia Intelijen. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan tim pengawas tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan. BAB IX KETENTUAN PIDANA Pasal 44 Setiap Orang yang dengan sengaja mencuri, membuka, dan/atau membocorkan Rahasia Intelijen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 __ (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 45 Setiap Orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan bocornya Rahasia Intelijen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pedoman Umum dan Alokasi Dana Alokasi Khusus Tahun Anggaran 2013.
Relevan terhadap
Alokasi DAK Tahun Anggaran 2013 untuk masing-masing daerah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Alokasi DAK tambahan Tahun Anggaran 2013 untuk masing-masing daerah sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Bagian Ketiga Arah Kebijakan dan Lingkup Kegiatan Pasal 5 (1) DAK Bidang Pendidikan dan DAK tambahan Bidang Infrastruktur Pendidikan dialokasikan untuk hal-hal sebagai berikut:
mendukung penuntasan program wajib belajar pendidikan dasar 9 (sembilan) tahun yang bermutu dan merata dalam rangka memenuhi Standar Pelayanan Minimum dan secara bertahap memenuhi Standar Nasional Pendidikan;
mendukung pelaksanaan pendidikan menengah universal melalui penyediaan sarana prasarana pendidikan yang berkualitas dan mencukupi; dan
diprioritaskan untuk melaksanakan rehabilitasi ruang kelas dan/atau ruang belajar rusak sedang jenjang SD/SDLB dan SMP/SMPLB, rehabilitasi ruang belajar rusak berat jenjang SMA/SMLB/SMK, pembangunan Ruang Kelas Baru (RKB) dan Ruang Belajar Lain (RBL) beserta perabotnya bagi jenjang SMP/SMPLB, pembangunan ruang perpustakaan beserta perabotnya, penyediaan buku referensi perpustakaan, pembangunan laboratorium bagi jenjang SMA/SMLB/SMK, dan penyediaan peralatan pendidikan, baik sekolah negeri maupun swasta.
Lingkup kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
rehabilitasi ruang kelas rusak sedang jenjang SD/SDLB; rehabilitasi ruang belajar rusak sedang jenjang SMP/SMPLB;
pembangunan ruang belajar jenjang SMP/SMPLB;
rehabilitasi ruang belajar rusak berat jenjang SMA/SMK/SMLB;
pembangunan ruang kelas baru jenjang SMP/SMPLB;
pembangunan perpustakaan jenjang SD/SDLB, SMP/SMPLB, dan SMA/SMK/SMLB;
pembangunan ruang laboratorium jenjang SMA/SMK/SMLB;
pengadaan peralatan pendidikan jenjang SD/SDLB, SMP/SMPLB, dan SMA/SMK/SMLB; dan
pengadaan buku teks pelajaran/referensi jenjang SMP/SMPLB dan SMA/SMK/SMLB.
DAK Bidang Kesehatan dialokasikan untuk meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan dalam rangka percepatan pencapaian target Millenium Development Goals (MDGs) yang difokuskan pada penurunan angka kematian ibu, bayi dan anak, penanggulangan masalah gizi, serta pencegahan penyakit dan penyehatan lingkungan terutama untuk pelayanan kesehatan penduduk miskin dan penduduk di daerah tertinggal, terpencil, perbatasan dan kepulauan (DTPK) dan daerah bermasalah kesehatan (DBK), dengan dukungan penyediaan jaminan persalinan dan jaminan kesehatan di pelayanan kesehatan dasar dan rujukan, peningkatan sarana prasarana pelayanan kesehatan dasar dan rujukan termasuk kelas III Rumah Sakit, penyediaan dan pengelolaan obat, perbekalan kesehatan dan vaksin yang berkhasiat, aman, bermutu dan bermanfaat dalam rangka mempersiapkan pelaksanaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan 2014.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas:
Kesehatan Pelayanan Dasar ditujukan untuk pemenuhan sarana, prasarana, dan peralatan bagi Puskesmas dan jaringannya, terdiri atas kegiatan:
pembangunan Puskesmas Pembantu/Puskesmas di Daerah Tertinggal Perbatasan dan Kepulauan (DTPK)/Puskesmas Perawatan mampu Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar (PONED)/Instalasi pengolahan limbah puskesmas/pembangunan Pos Kesehatan Desa (Poskesdes)/Pos Pembinaan Terpadu (Posbindu);
peningkatan Puskesmas menjadi Puskesmas Perawatan di DTPK;
rehabilitasi Puskesmas/rumah dinas dokter/dokter gigi/paramedis (Kopel); dan
penyediaan sarana dan prasarana penyehatan lingkungan/pengadaan Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) Kit;
Kesehatan Pelayanan Rujukan ditujukan untuk pemenuhan/pengadaan sarana, prasarana dan peralatan bagi Rumah sakit Umum Daerah (RSUD), terdiri atas kegiatan:
pengadaan sarana dan prasarana Rumah Sakit (RS) siap Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK);
penyediaan fasilitas Tempat Tidur Kelas III RS;
pembangunan Instalasi Pengolahan Limbah (IPL) RS;
pemenuhan peralatan Unit Transfusi Darah (UTD) RS/Bank Darah Rumah Sakit (BDRS); dan
pengadaan sarana dan prasarana Intensive Care Unit (ICU) dan Instalasi Gawat Darurat (IGD).
Kesehatan Farmasi, terdiri atas kegiatan:
penyediaan obat dan perbekalan kesehatan;
pembangunan baru, rehabilitasi, penyediaan sarana pendukung instalasi Farmasi Kabupaten/Kota; dan
pembangunan baru Instalasi Farmasi gugus kepulauan/satelite dan sarana pendukungnya.
DAK Bidang Infrastruktur Jalan dan DAK tambahan Bidang Infrastruktur Jalan dialokasikan untuk mempertahankan dan meningkatkan kinerja pelayanan prasarana jalan provinsi, kabupaten dan kota serta menunjang aksesibilitas keterhubungan wilayah ( domestic connectivity ) dalam mendukung pengembangan koridor ekonomi wilayah/kawasan.
Lingkup kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), terdiri atas:
pemeliharaan berkala jalan dan jembatan yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi/kabupaten/kota;
peningkatan dan pembangunan jalan yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi/kabupaten/kota; dan
penggantian dan pembangunan jembatan yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi/kabupaten/kota.
DAK Bidang Infrastruktur Irigasi dialokasikan untuk mempertahankan dan meningkatkan kinerja layanan jaringan irigasi/rawa yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi/kabupaten/kota dalam rangka mendukung pemenuhan sasaran Prioritas Nasional di Bidang Ketahanan Pangan khususnya Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) Menuju Surplus Beras 10 Juta Ton Pada Tahun 2014.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Infrastruktur Irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diprioritaskan untuk kegiatan rehabilitasi jaringan irigasi yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi/kabupaten/kota dengan tidak menutup kemungkinan dimanfaatkan untuk kegiatan peningkatan jaringan irigasi, serta untuk mengoptimalkan pemanfaatan DAK Irigasi, kegiatan Survei, Investigasi, dan Desain (SID) dan operasi/pemeliharaan jaringan irigasi menjadi tanggung jawab pemerintah daerah sebagai kegiatan komplementer.
DAK Bidang Infrastruktur Air Minum dialokasikan untuk meningkatkan cakupan pelayanan air dalam rangka percepatan pencapaian target Millenium Development Goals (MDGs) untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat dan memenuhi Standar Pelayanan Minimum (SPM) penyediaan air minum di kawasan perkotaan dan perdesaan termasuk daerah tertinggal.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Infrastruktur Air Minum sebagaimana dimaksud pada ayat (9) terdiri atas:
perluasan dan peningkatan Sambungan Rumah (SR) perpipaan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) perkotaan dengan sasaran kabupaten/kota yang memiliki idle capacity yang memadai untuk dibangun SR perpipaan;
pemasangan master meter untuk MBR perkotaan khususnya yang bermukim di kawasan kumuh perkotaan, dengan sasaran kabupaten/kota yang memiliki idle capacity yang memadai untuk dibangun SR perpipaan; dan
pembangunan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) perdesaan, dengan sasaran desa-desa yang memiliki sumber air baku yang relatif mudah.
DAK Bidang Infrastruktur Sanitasi dialokasikan untuk meningkatkan cakupan dan kehandalan pelayanan sanitasi, terutama dalam pengelolaan air limbah dan persampahan secara komunal/terdesentralisasi untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat dan memenuhi Standar Pelayanan Minimum penyediaan sanitasi di kawasan daerah rawan sanitasi, termasuk daerah tertinggal.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Infrastruktur Sanitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (11) terdiri atas:
subbidang air limbah melalui pembangunan dan pengembangan prasarana dan sarana air limbah komunal; dan
subbidang persampahan memlalui pembangunan dan pengembangan fasilitas pengelolaan sampah dengan pola 3R ( reduce, reuse, dan recycle ) di tingkat komunal yang terhubung dengan sistem pengelolaan sampah di tingkat kota.
DAK Bidang Prasarana Pemerintahan Daerah dialokasikan untuk meningkatkan kinerja pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan pelayanan publik, yang diprioritaskan kepada daerah pemekaran dan daerah tertinggal guna meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah tersebut.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Prasarana Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (13) terdiri atas:
pembangunan/perluasan gedung kantor bupati/walikota;
pembangunan/perluasan gedung kantor sekretariat daerah kabupaten/kota;
pembangunan/perluasan gedung kantor DPRD kabupaten/kota dan sekretariat DPRD kabupaten/kota; dan
pembangunan/perluasan gedung kantor SKPD kabupaten/kota.
DAK Bidang Kelautan dan Perikanan dialokasikan untuk meningkatkan sarana dan prasarana produksi, pengolahan, mutu, pemasaran, pengawasan, penyuluhan, data statistik dalam rangka mendukung industrialisasi kelautan dan perikanan dan minapolitan, serta penyediaan sarana prasarana terkait dengan pengembangan kelautan dan perikanan di pulau-pulau kecil.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Kelautan dan Perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (15) terdiri atas:
Bidang Kelautan dan Perikanan Provinsi untuk penyediaan kapal perikanan lebih dari 30 Gross Ton;
Bidang Kelautan dan Perikanan Kabupaten/Kota untuk:
pengembangan sarana dan prasarana perikanan tangkap;
pengembangan sarana dan prasarana perikanan budidaya;
pengembangan sarana dan prasarana pengolahan, peningkatan mutu dan pemasaran hasil perikanan;
pengembangan sarana dan prasarana dasar di pesisir dan pulau-pulau kecil;
pengembangan sarana dan prasarana pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan;
pengembangan sarana dan prasarana penyuluhan perikanan; dan
pengembangan sarana penyediaan data statistik kelautan dan perikanan.
DAK Bidang Pertanian dialokasikan untuk mendukung pengembangan prasarana dan sarana air, pengembangan prasarana dan sarana lahan, pembangunan dan rehabilitasi balai penyuluhan pertanian serta pengembangan lumbung pangan masyarakat dalam rangka peningkatan produksi bahan pangan dalam negeri guna mendukung ketahanan pangan nasional.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (17) terdiri atas:
Bidang Pertanian Provinsi untuk:
pembangunan/rehabilitasi Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD)/balai/perbenihan/perbibitan;
pembangunan/rehabilitasi UPTD/proteksi tanaman; dan
pembangunan/rehabilitasi laboratorium kesehatan hewan.
Bidang Pertanian Kabupaten/Kota untuk:
pengembangan Prasarana dan Sarana Air;
pengembangan Prasarana dan Sarana Lahan;
pembangunan/rehabilitasi balai penyuluhan pertanian kecamatan; dan
pembangunan Lumbung Pangan masyarakat.
DAK Bidang Lingkungan Hidup dialokasikan untuk:
membantu kabupaten/kota dalam mendanai kegiatan untuk memenuhi SPM di bidang lingkungan hidup yang merupakan urusan daerah, dan upaya pencegahan perubahan iklim;
menunjang percepatan penanganan masalah lingkungan hidup;
memperkuat kapasitas kelembagaan/institusi pengelolaan lingkungan hidup di daerah;
mendorong penciptaan komitmen pimpinan daerah untuk memperbaiki dan/atau mempertahankan kualitas lingkungan;
mendorong pimpinan institusi lingkungan hidup daerah untuk meningkatkan kapasitas dan kinerja lembaganya;
mendorong pengembangan orientasi pengelolaan lingkungan hidup yang berbasis output dan outcome sebagai upaya pemecahan masalah lingkungan;
mendorong pencapaian Indikator Kinerja Utama (IKU) kabupaten/kota, provinsi, dan Kementerian Lingkungan Hidup; dan
mendorong peran Pusat Pengelolaan Ekoregion (PPE) dan provinsi dalam pembinaan dan pengawasan pelaksanaan DAK Bidang Lingkungan Hidup di kabupaten/kota guna peningkatan kinerja DAK Bidang Lingkungan Hidup.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (19) terdiri atas:
alat pemantauan dan pengawasan lingkungan hidup melalui pengadaan peralatan laboratorium untuk laboratorium yang telah beroperasi dan kendaraan operasional pemantauan dan pengawasan;
alat pengendalian pencemaran lingkungan melalui pembangunan IPAL UKM, IPAL Medik, IPAL Komunal dan unit pengolah sampah 3R ( Reduce, Reuse, Recycle ) di fasilitas umum;
pencegahan perubahan iklim melalui pembangunan taman hijau/kehati dan instalasi biogas; dan
kegiatan perlindungan fungsi lingkungan; melalui pembangunan sumur resapan/biopori, pengolahan gulma, pencegah longsor/turap, embung, dan penanaman pohon.
DAK Bidang Keluarga Berencana dialokasikan untuk mendukung kebijakan peningkatan akses dan kualitas pelayanan Keluarga Berencana yang merata, melalui:
peningkatan daya jangkau dan kualitas penyuluhan, penggerakan, pembinaan program Keluarga Berencana lini lapangan;
peningkatan sarana dan prasarana pelayanan Keluarga Berencana;
peningkatan sarana pelayanan advokasi, komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) Program Keluarga Berencana;
peningkatan sarana pembinaan tumbuh kembang anak; dan
peningkatan pelaporan dan pengolahan data dan informasi berbasis teknologi informasi.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Keluarga Berencana sebagaimana dimaksud pada ayat (21) terdiri atas:
penyediaan sarana kerja dan mobilitas serta sarana pengelolaan data dan informasi berbasis teknologi informasi bagi tenaga lini lapangan;
pemenuhan sarana pelayanan Keluarga Berencana di klinik Keluarga Berencana (statis) dan sarana dan prasarana pelayanan Keluarga Berencana keliling dan pembangunan gudang alat/obat kontrasepsi;
penyediaan sarana dan prasarana pelayanan Keluarga Berencana keliling, pengadaan Public Address dan KIE Kit;
penyediaan Bina Keluarga Balita (BKB) Kit; dan
pembangunan/renovasi Balai Penyuluhan Keluarga Berencana tingkat kecamatan.
DAK Bidang Kehutanan dialokasikan untuk peningkatan fungsi Daerah Aliran Sungai (DAS) terutama di daerah hulu dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan daya dukung wilayah, mendukung komitmen presiden dalam penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 26% (dua puluh enam persen) dengan usaha sendiri dan sampai dengan 41% (empat puluh satu persen) dengan dukungan internasional pada tahun 2020 sebagaimana tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) serta diarahkan untuk meningkatkan tata kelola kehutanan melalui pembentukan, operasionalisasi dan perkuatan Kesatuan Pengelola Hutan Produksi (KPHP) dan Kesatuan Pengelola Hutan Lindung (KPHL) yang menjadi tanggungjawab kabupaten/kota.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (23) terdiri atas:
rehabilitasi hutan lindung dan lahan kritis di luar kawasan hutan; termasuk hutan rakyat, penghijauan lingkungan, turus jalan; kawasan mangrove, hutan pantai, Tahura dan Hutan Kota;
pengelolaan Tahura dan Hutan Kota termasuk pengamanan hutan;
pemeliharaan tanaman hasil rehabilitasi tahun sebelumnya;
pembangunan dan pemeliharaan bangunan sipil teknis (bangunan Konservasi Tanah dan Air/KTA) yang meliputi dam penahan, dam pengendali, gully plug, sumur resapan, embung dan bangunan konservasi tanah dan air lainnya;
peningkatan penyediaan sarana dan prasarana pengamanan hutan;
peningkatan penyediaan sarana dan prasarana penyuluhan kehutanan; dan
peningkatan penyediaan sarana dan prasarana operasionalisasi KPH.
DAK Bidang Sarana dan Prasarana Perdagangan dialokasikan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas sarana perdagangan untuk mendukung:
pasokan dan ketersediaan barang (khususnya bahan pokok) sehingga dapat meningkatkan daya beli masyarakat, terutama di daerah-daerah tertinggal, perbatasan, daerah pemekaran, dan/atau daerah yang minim sarana perdagangannya; dan
pelaksanaan tertib ukur untuk mendukung upaya perlindungan konsumen dalam hal jaminan kebenaran hasil pengukuran terutama di daerah-daerah yang memiliki potensi Ukur, Takar, Timbang dan Perlengkapannya (UTTP) yang cukup besar dan belum dapat ditangani.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Sarana Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (25) terdiri atas:
pembangunan dan pengembangan sarana distribusi perdagangan (pasar);
pembangunan dan peningkatan sarana metrologi legal, melalui pembangunan gedung laboratorium metrologi legal dan pengadaan peralatan pelayanan tera/tera ulang, yang meliputi peralatan standar kerja, unit berjalan tera/tera ulang roda empat, unit fungsional pengawasan roda empat dan unit mobilitas roda dua; dan
pembangunan gudang komoditas pertanian dalam kerangka Sistem Resi Gudang.
DAK Bidang Sarana dan Prasarana Daerah Tertinggal dialokasikan untuk mendukung kebijakan pembangunan daerah tertinggal yang diamanatkan dalam RPJMN 2010-2014 dan RKP 2013 yaitu pengembangan perekonomian lokal di daerah tertinggal melalui peningkatan kapasitas, produktivitas dan industrialisasi berbasis komoditas unggulan lokal secara berkesinambungan beserta sarana prasarana pendukungnya sehingga daerah tertinggal dapat tumbuh dan berkembang secara lebih cepat guna dapat mengejar ketertinggalan pembangunannya dari daerah lain yang relatif lebih maju.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Sarana dan Prasarana Daerah Tertinggal sebagaimana dimaksud pada ayat (27) terdiri atas:
penyediaan sarana transportasi umum darat dan air untuk mendukung pengembangan ekonomi lokal;
pembangunan/rehabilitasi dermaga kecil/tambatan perahu; dan
pembangunan embung di daerah rawan air (29) DAK Bidang Energi Perdesaan dialokasikan untuk diversifikasi energi yaitu memanfaatkan sumber energi terbarukan setempat untuk meningkatkan akses masyarakat perdesaan, termasuk masyarakat di daerah tertinggal dan kawasan perbatasan, terhadap energi modern.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Energi Perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (29) terdiri atas:
pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) baru;
rehabilitasi Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) yang rusak;
perluasan/peningkatan pelayanan tenaga listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH);
Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terpusat dan PLTS tersebar ( Solar Home System ); dan
pembangunan instalasi biogas.
DAK Bidang Perumahan dan Permukiman dialokasikan untuk meningkatkan penyediaan Prasarana, Sarana dan Utilitas (PSU) perumahan dan kawasan permukiman dalam rangka menstimulan pembangunan perumahan dan permukiman bagi Masyarakat Berpenghasilan Menengah dan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBM/R) di Kabupaten/Kota termasuk kawasan tertinggal, rawan air dan rawan sanitasi.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Perumahan dan Permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (31) terdiri atas kegiatan membantu daerah dalam mendanai kebutuhan fisik infrastruktur perumahan dan permukiman dalam rangka mencapai Standar Pelayanan Minimum (SPM) meliputi:
penyediaan jaringan pipa air minum;
sarana air limbah komunal;
tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST);
jaringan distribusi listrik; dan
penerangan jalan umum.
DAK Bidang Keselamatan Transportasi Darat dialokasikan untuk meningkatkan kualitas pelayanan, terutama keselamatan bagi pengguna transportasi jalan di provinsi/kabupaten/kota guna menurunkan tingkat fatalitas (jumlah korban meninggal) akibat kecelakaan lalu lintas secara bertahap sebesar 20% (dua puluh persen) pada akhir tahun 2014 dan menurunkan korban luka-luka sebesar 50% (lima puluh persen) hingga akhir tahun 2014.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Keselamatan Transportasi Darat sebagaimana dimaksud pada ayat (33) terdiri atas:
pengadaan dan pemasangan fasilitas keselamatan transportasi darat; dan
pengadaan dan pemasangan alat pengujian kendaraan bermotor.
DAK Bidang Transportasi Perdesaan dialokasikan untuk:
meningkatkan pelayanan mobilitas penduduk dan sumber daya lainnya yang dapat mendukung terjadinya pertumbuhan ekonomi daerah perdesaan, dan diharapkan dapat menghilangkan keterisolasian dan memberi stimulan ke arah perkembangan di semua bidang kehidupan, baik perdagangan, industri maupun sektor lainnya di daerah perdesaan; dan
pengembangan sarana dan prasarana wilayah perdesaan yang memiliki nilai strategis dan diprioritaskan untuk mendukung pusat-pusat pertumbuhan di kawasan strategis cepat tumbuh yang meliputi sektor pertanian, perikanan, pariwisata, industri, energi dan sumberdaya mineral, kehutanan dan perdagangan.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Transportasi Perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (35) terdiri atas:
pembangunan, peningkatan, dan pemeliharaan jalan poros desa; dan
pengadaan sarana transportasi perdesaan.
DAK Bidang Sarana dan Prasarana Kawasan Perbatasan dialokasikan untuk mendukung kebijakan pembangunan kawasan perbatasan yang diamanatkan dalam RKP 2013 yaitu untuk mengatasi keterisolasian wilayah yang dapat menghambat upaya pengamanan batas wilayah, pelayanan sosial dasar, serta pengembangan kegiatan ekonomi lokal secara berkelanjutan di kecamatan-kecamatan lokasi prioritas yang ditetapkan oleh Keputusan Kepala Badan Nasional Pengelola Perbatasan Nomor 2 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Sarana dan Prasarana Kawasan Perbatasan sebagaimana dimaksud pada ayat (37) terdiri atas:
pembangunan/peningkatan kondisi permukaan jalan non-status yang menghubungkan kecamatan perbatasan prioritas dengan pusat kegiatan di sekitarnya;
pembangunan dan rehabilitasi dermaga kecil atau tambatan perahu untuk mendukung angkutan orang dan barang, khususnya dermaga kecil atau tambatan perahu di wilayah pesisir yang tidak ditangani Kementerian Perhubungan; dan
penyediaan moda transportasi perairan/kepulauan untuk meningkatkan arus orang, barang dan jasa. BAB IV PETUNJUK TEKNIS Pasal 6 (1) Berdasarkan Peraturan Menteri ini, Menteri/Pimpinan Lembaga terkait menetapkan Petunjuk Teknis Penggunaan DAK untuk masing- masing bidang.
Petunjuk Teknis yang menjadi dasar pelaksanaan DAK di daerah merupakan Petunjuk Teknis Penggunaan DAK yang ditetapkan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga terkait.
Petunjuk teknis ditetapkan paling lama 2 (dua) minggu setelah Peraturan Menteri ini diundangkan.
Petunjuk teknis penggunaan DAK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Bidang Pendidikan dan Bidang Infrastruktur Jalan berlaku juga untuk DAK tambahan Bidang Infrastruktur Pendidikan dan Bidang Infrastruktur Jalan. Pasal 7 Tatacara pengelolaan keuangan DAK dan DAK tambahan serta tatacara pengadaan barang dan jasa dalam rangka pelaksanaan DAK dan DAK tambahan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. BAB V PENGANGGARAN DAN PELAKSANAAN KEGIATAN