Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat
Relevan terhadap
SATK dilaksanakan oleh unit eselon I pada Kementerian Keuangan selaku UAP BUN TK, meliputi:
Badan Kebijakan Fiskal selaku UAP BUN TK pengelola pengeluaran keperluan hubungan internasional;
Direktorat Jenderal Anggaran selaku UAP BUN TK pengelola penerimaan negara bukan pajak yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Anggaran;
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara selaku UAP BUN TK pengelola aset yang berada dalam pengelolaan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara;
Direktorat Jenderal Perbendaharaan selaku UAP BUN TK atas:
pengelola pembayaran belanja/beban pensiun, belanja/beban jaminan layanan kesehatan, belanja/beban jaminan kesehatan menteri dan pejabat tertentu, belanja/beban jaminan kesehatan utama, belanja/beban jaminan kecelakaan kerja, belanja/beban jaminan kematian, belanja/beban program tunjangan hari tua, belanja/beban pajak pertambahan nilai Real Time Gross Settlement Bank Indonesia, belanja/beban selisih harga beras Badan Urusan Logistik, dan pelaporan iuran dana pensiun;
pengelola pendapatan dan belanja/beban dalam rangka pengelolaan kas negara;
pengelola utang perhitungan fihak ketiga pegawai;
pendapatan dan beban untuk pengelolaan penerimaan negara;
pendapatan dan beban untuk keperluan layanan perbankan; dan
pendapatan dan beban untuk pengelolaan rekening valas pada Kuasa BUN daerah.
Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko selaku UAP BUN TK atas:
pengelola pembayaran dukungan kelayakan; dan
pengelola pembayaran fasilitas penyiapan proyek.
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan selaku UAP BUN TK atas pengelola utang perhitungan fihak ketiga pajak rokok.
SATK memproses transaksi keuangan dan/atau transaksi barang yang menjadi ruang lingkup transaksi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pemrosesan transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan menggunakan sistem aplikasi terintegrasi.
Setiap UAP BUN TK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyusun Laporan Keuangan yang terdiri atas:
LRA;
LO;
LPE;
Neraca; dan/atau
CaLK.
Setiap UAP BUN TK menyampaikan Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada Direktorat Jenderal Perbendaharaan selaku UAKP BUN TK.
UAKP BUN TK menyusun Laporan Keuangan tingkat UAKP BUN TK yang terdiri atas:
LRA;
LO;
LPE;
Neraca; dan
CaLK.
UAKP BUN TK menyampaikan Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) kepada UABUN.
SATK dilaksanakan dengan berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan mengenai sistem akuntansi dan pelaporan keuangan transaksi khusus.
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Badan Layanan Umum yang selanjutnya disingkat BLU adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.
Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas menjalankan fungsi bendahara umum negara.
Catatan atas Laporan Keuangan yang selanjutnya disingkat CaLK adalah laporan yang menyajikan informasi tentang penjelasan atau daftar terinci atau analisis atas nilai suatu pos yang disajikan dalam laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas, laporan operasional, laporan perubahan ekuitas, dan laporan perubahan saldo anggaran lebih dalam rangka pengungkapan yang memadai.
Catatan Hasil Reviu Pengendalian Intern atas Pelaporan Keuangan yang selanjutnya disingkat CHR PIPK adalah dokumen yang berisi simpulan yang didapatkan dari suatu proses reviu pengendalian intern atas pelaporan keuangan.
Dana Dekonsentrasi adalah dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi, tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi vertikal pusat di daerah.
Dana Tugas Pembantuan adalah dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh daerah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan tugas pembantuan.
Dana Urusan Bersama adalah dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan, indeks fiskal, dan kemiskinan daerah, serta indikator teknis.
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah.
Dokumen Sumber adalah dokumen yang berhubungan dengan transaksi keuangan dan transaksi barang yang digunakan sebagai sumber dalam melakukan pencatatan untuk menghasilkan informasi akuntansi.
Entitas Akuntansi adalah unit pemerintahan pengguna anggaran/pengguna barang dan oleh karenanya wajib menyelenggarakan akuntansi dan menyusun laporan keuangan untuk digabungkan pada entitas pelaporan.
Entitas Pelaporan adalah unit pemerintahan yang terdiri dari satu atau lebih Entitas Akuntansi yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban berupa laporan keuangan.
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang memperoleh kuasa dari BUN untuk melaksanakan sebagian fungsi BUN.
Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang yang selanjutnya disingkat KPKNL adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.
Kuasa Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Kuasa BUN adalah pejabat yang memperoleh kewenangan untuk dan atas nama BUN melaksanakan fungsi pengelolaan uang negara.
Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari Pengguna Anggaran untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan.
Laporan Keuangan adalah bentuk pertanggungjawaban pelaksanaan APBN yang disusun oleh Pemerintah berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintahan.
Laporan Realisasi Anggaran yang selanjutnya disingkat LRA adalah laporan yang menyajikan informasi realisasi pendapatan, belanja, transfer, surplus/defisit dan pembiayaan, dan sisa lebih/kurang pembiayaan anggaran yang masing-masing diperbandingkan dengan anggarannya dalam satu periode.
Laporan Arus Kas yang selanjutnya disingkat LAK adalah laporan yang menyajikan informasi arus masuk dan keluar kas selama periode tertentu yang diklasifikasikan berdasarkan aktivitas operasi, investasi, pendanaan, dan transitoris.
Laporan Operasional yang selanjutnya disingkat LO adalah laporan yang menyajikan ikhtisar sumber daya ekonomi yang menambah ekuitas dan penggunaannya yang dikelola oleh Pemerintah Pusat/Daerah untuk kegiatan penyelenggaraan Pemerintah dalam satu periode pelaporan.
Laporan Perubahan Ekuitas yang selanjutnya disingkat LPE adalah laporan yang menyajikan informasi kenaikan atau penurunan ekuitas tahun pelaporan dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih yang selanjutnya disingkat LPSAL adalah laporan yang menyajikan informasi kenaikan atau penurunan saldo anggaran lebih tahun pelaporan dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat yang selanjutnya disingkat LKPP adalah Laporan Keuangan yang disusun oleh Pemerintah Pusat yang merupakan konsolidasian Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga dan Laporan Keuangan BUN.
Laporan Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat LBMN adalah laporan yang menyajikan posisi BMN pada awal dan akhir suatu periode serta mutasi BMN yang terjadi selama periode tersebut.
Laporan Kinerja Pemerintah Pusat yang selanjutnya disingkat LKjPP adalah ikhtisar yang menjelaskan secara ringkas dan lengkap tentang capaian kinerja yang disusun berdasarkan rencana kerja yang ditetapkan dalam rangka pelaksanaan APBN pada Pemerintah Pusat.
Laporan Kinerja Kementerian Negara/Lembaga yang selanjutnya disingkat LKjKL adalah ikhtisar yang menjelaskan secara ringkas dan lengkap tentang capaian kinerja yang disusun berdasarkan rencana kerja yang ditetapkan dalam rangka pelaksanaan APBN pada Kementerian Negara/Lembaga.
Laporan Hasil Reviu Pengendalian Intern atas Pelaporan Keuangan yang selanjutnya disingkat LHR PIPK adalah laporan yang berisi kompilasi dari simpulan-simpulan yang terdapat pada CHR PIPK.
Neraca adalah laporan yang menyajikan informasi posisi keuangan Pemerintah yaitu aset, utang, dan ekuitas pada tanggal tertentu.
Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pengelola Barang adalah pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab menetapkan kebijakan dan pedoman serta melakukan pengelolaan BMN.
Pengendalian Intern atas Pelaporan Keuangan yang selanjutnya disingkat PIPK adalah pengendalian yang secara spesifik dirancang untuk memberikan keyakinan yang memadai bahwa Laporan Keuangan yang dihasilkan merupakan laporan yang andal dan disusun sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan.
Pengguna Anggaran adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kementerian Negara/Lembaga/satuan kerja perangkat daerah.
Pengguna Barang adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan BMN.
Rekonsiliasi adalah proses pencocokan data transaksi keuangan yang diproses dengan beberapa sistem/subsistem yang berbeda berdasarkan Dokumen Sumber yang sama.
Satuan Kerja yang selanjutnya disebut Satker adalah adalah unit organisasi lini Kementerian/Lembaga Pemerintah Nonkementerian atau unit organisasi Pemerintah Daerah yang melaksanakan kegiatan Kementerian Negara/Lembaga Pemerintah Nonkementerian dan memiliki kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran/penggunaan barang.
Satuan Kerja Perangkat Daerah atau istilah lain yang dipersamakan dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah perangkat daerah pada Pemerintah Daerah selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang.
Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat yang selanjutnya disingkat SAPP adalah rangkaian sistematik dari prosedur, penyelenggara, peralatan, dan elemen lain untuk mewujudkan fungsi akuntansi sejak pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran sampai dengan pelaporan posisi keuangan dan operasi keuangan pada Pemerintah Pusat dalam rangka menghasilkan LKPP.
Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat SABUN adalah serangkaian prosedur manual maupun terkomputerisasi mulai dari pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran sampai dengan pelaporan posisi keuangan, dan operasi keuangan yang dilaksanakan oleh Menteri Keuangan selaku BUN dan Pengguna Anggaran bagian anggaran BUN.
Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Instansi yang selanjutnya disingkat SAI adalah serangkaian prosedur manual maupun terkomputerisasi mulai dari pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran sampai dengan pelaporan posisi keuangan, dan operasi keuangan pada Kementerian Negara/Lembaga.
Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pusat yang selanjutnya disingkat SiAP adalah serangkaian prosedur manual maupun terkomputerisasi mulai dari pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran sampai dengan pelaporan posisi keuangan, dan operasi keuangan pada Kementerian Keuangan selaku Kuasa BUN.
Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Utang Pemerintah yang selanjutnya disingkat SAUP adalah serangkaian prosedur manual maupun terkomputerisasi mulai dari pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran sampai dengan pelaporan posisi utang, operasi utang, penerimaan pembiayaan, dan pengeluaran pembiayaan terkait utang Pemerintah.
Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Hibah yang selanjutnya disingkat SIKUBAH adalah serangkaian prosedur manual maupun terkomputerisasi meliputi pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran sampai dengan pelaporan posisi dan operasi hibah Pemerintah.
Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Investasi Pemerintah yang selanjutnya disingkat SAIP adalah serangkaian prosedur manual maupun terkomputerisasi mulai dari pengumpulan data, pengakuan, pencatatan, pengikhtisaran, serta pelaporan posisi investasi Pemerintah.
Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pengelolaan Pemberian Pinjaman yang selanjutnya disingkat SAPPP adalah serangkaian prosedur manual maupun terkomputerisasi mulai dari pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran sampai dengan pelaporan posisi piutang penerusan pinjaman, operasi penerusan pinjaman, penerimaan dan pengeluaran pembiayaan terkait penerusan pinjaman, serta piutang sehubungan dengan kegiatan pemberian pinjaman bagian anggaran BUN pengelolaan pemberian pinjaman.
Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Transfer ke Daerah yang selanjutnya disingkat SATD adalah serangkaian prosedur manual maupun yang terkomputerisasi mulai dari pengumpulan data, pengakuan, pencatatan, pengikhtisaran, serta pelaporan posisi keuangan, dan operasi keuangan atas transaksi transfer ke daerah.
Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Belanja Subsidi yang selanjutnya disingkat SABS adalah serangkaian prosedur manual maupun yang terkomputerisasi mulai dari pengumpulan data, pengakuan, pencatatan, pengikhtisaran, serta pelaporan posisi keuangan dan operasi keuangan atas transaksi belanja subsidi.
Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Belanja Lain- lain yang selanjutnya disingkat SABL adalah serangkaian prosedur manual maupun yang terkomputerisasi mulai dari pengumpulan data, pengakuan, pencatatan, pengikhtisaran, serta pelaporan posisi keuangan dan operasi keuangan atas transaksi belanja lain-lain.
Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Badan Lainnya yang selanjutnya disingkat SAPBL adalah serangkaian prosedur manual maupun yang terkomputerisasi mulai dari pengumpulan data, pengakuan, pencatatan, pengikhtisaran, serta pelaporan posisi keuangan dan operasi keuangan atas transaksi badan lainnya.
Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Transaksi Khusus yang selanjutnya disingkat SATK adalah serangkaian prosedur manual maupun terkomputerisasi mulai dari pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran, sampai dengan pelaporan untuk seluruh transaksi penerimaan dan pengeluaran serta aset dan kewajiban Pemerintah yang terkait dengan fungsi khusus Menteri Keuangan selaku BUN, serta tidak tercakup dalam Sub SABUN lainnya.
Sistem Aplikasi Terintegrasi adalah sistem aplikasi yang mengintegrasikan seluruh proses terkait dengan pengelolaan APBN dimulai dari proses penganggaran, pelaksanaan, dan pelaporan pada BUN dan Kementerian Negara/Lembaga.
Standar Akuntansi Pemerintahan yang selanjutnya disingkat SAP adalah prinsip-prinsip akuntansi yang diterapkan dalam menyusun dan menyajikan Laporan Keuangan Pemerintah.
Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar untuk mencairkan dana yang bersumber dari daftar isian pelaksanaan anggaran.
Surat Hasil Rekonsiliasi yang selanjutnya disingkat SHR adalah dokumen yang menunjukkan bahwa proses Rekonsiliasi telah dilaksanakan serta telah menunjukkan hasil yang sama atau telah memenuhi kriteria untuk diterbitkan.
Transaksi Barang adalah transaksi perolehan, perubahan, dan penghapusan BMN, yang akan dilaporkan dalam Laporan Keuangan maupun laporan barang.
Transaksi Dalam Konfirmasi atau yang selanjutnya disingkat dengan TDK adalah kondisi pada Rekonsiliasi keuangan yang menunjukkan adanya selisih atau perbedaan pencatatan antara data SiAP pada Kuasa BUN, yang dihasilkan dari aplikasi SPAN, dengan data SAI pada Satker yang dihasilkan dari aplikasi SAKTI.
Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa atau yang menugaskan.
Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan BUN yang selanjutnya disingkat UABUN adalah unit akuntansi pada Kementerian Keuangan yang melakukan koordinasi dan pembinaan atas akuntansi dan pelaporan keuangan tingkat unit akuntansi dan pelaporan keuangan pembantu BUN dan sekaligus melakukan penggabungan Laporan Keuangan seluruh unit akuntansi dan pelaporan keuangan pembantu BUN dan koordinator pembantu BUN.
Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Kuasa BUN Tingkat KPPN yang selanjutnya disebut UAKBUN-Daerah adalah unit akuntansi Kuasa BUN yang melakukan kegiatan akuntansi dan pelaporan keuangan tingkat KPPN.
Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Kuasa BUN Tingkat Pusat yang selanjutnya disebut UAKBUN-Pusat adalah unit akuntansi yang melakukan kegiatan akuntansi dan pelaporan keuangan tingkat Kuasa BUN Pusat.
Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat UAKPA adalah unit akuntansi yang melakukan kegiatan akuntansi dan pelaporan tingkat Satker.
Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat UAKPA BUN adalah unit akuntansi keuangan dan unit akuntansi barang yang dilakukan oleh Menteri Keuangan selaku BUN dan Pengguna Anggaran bagian anggaran BUN.
UAKPA Dekonsentrasi adalah unit akuntansi yang melakukan kegiatan akuntansi dan pelaporan tingkat Satker dekonsentrasi.
UAKPA Tugas Pembantuan adalah unit akuntansi yang melakukan kegiatan akuntansi dan pelaporan tingkat Satker tugas pembantuan.
UAKPA Urusan Bersama adalah unit akuntansi yang melakukan kegiatan akuntansi dan pelaporan tingkat Satker urusan bersama.
Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Koordinator Kuasa Pengguna Anggaran BUN yang selanjutnya disingkat UAKKPA BUN adalah unit akuntansi yang menjadi koordinator dan bertugas melakukan kegiatan penggabungan laporan keuangan tingkat UAKPA BUN.
Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Koordinator Kuasa BUN Tingkat Kantor Wilayah yang selanjutnya disingkat UAKKBUN-Kanwil adalah unit akuntansi yang melakukan koordinasi dan pembinaan atas kegiatan akuntansi dan pelaporan keuangan tingkat Kuasa BUN daerah/KPPN dan sekaligus melakukan penggabungan Laporan Keuangan seluruh Kuasa BUN daerah/KPPN wilayah kerjanya.
Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pembantu BUN yang selanjutnya disingkat UAP BUN adalah unit akuntansi pada unit eselon I Kementerian Keuangan yang melakukan koordinasi dan pembinaan atas akuntansi dan pelaporan keuangan sekaligus melakukan penggabungan Laporan Keuangan tingkat unit akuntansi dan pelaporan keuangan di bawahnya.
Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pembantu BUN Akuntansi Pusat yang selanjutnya disingkat UAP BUN AP adalah unit akuntansi pada unit eselon I Kementerian Keuangan yang melakukan penggabungan Laporan Keuangan Kuasa BUN Pusat, koordinator Kuasa BUN kantor wilayah dan Kuasa BUN daerah (KPPN Khusus Penerimaan dan KPPN Khusus Pinjaman dan Hibah).
UAP BUN Transaksi Khusus yang selanjutnya disingkat UAP BUN TK adalah unit akuntansi pada unit eselon I Kementerian Keuangan yang melakukan penggabungan Laporan Keuangan seluruh unit akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran BUN transaksi khusus/unit akuntansi koordinator Kuasa Pengguna Anggaran BUN transaksi khusus.
UAP BUN Pelaporan Keuangan Badan Lainnya yang selanjutnya disingkat UAP BUN PBL adalah unit akuntansi pada unit eselon I di Kementerian Keuangan yang bertugas untuk membantu BUN dalam menyusun laporan posisi keuangan badan lainnya dari unit badan lainnya bukan Satker dan ikhtisar Laporan Keuangan dari seluruh badan lainnya.
Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Koordinator Pembantu BUN Transaksi Khusus yang selanjutnya disingkat UAKP BUN TK adalah unit akuntansi pada unit eselon I Kementerian Keuangan yang melakukan penggabungan Laporan Keuangan seluruh UAP BUN TK.
Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pembantu Pengguna Anggaran Wilayah yang selanjutnya disingkat UAPPA-W adalah unit akuntansi pada tingkat wilayah atau unit kerja lain yang ditetapkan sebagai UAPPA-W yang melakukan kegiatan penggabungan Laporan Keuangan seluruh UAKPA yang berada dalam wilayah kerjanya.
UAPPA-W Dekonsentrasi adalah unit akuntansi yang berada di Pemerintah Provinsi yang melakukan kegiatan penggabungan Laporan Keuangan dari seluruh SKPD yang mendapatkan alokasi Dana Dekonsentrasi di wilayah kerjanya.
UAPPA-W Tugas Pembantuan adalah unit akuntansi yang berada di Pemerintah Daerah yang melakukan kegiatan penggabungan Laporan Keuangan dari seluruh SKPD yang mendapatkan alokasi Dana Tugas Pembantuan di wilayah kerjanya.
UAPPA-W Urusan Bersama adalah unit akuntansi yang berada di Pemerintah Daerah yang melakukan kegiatan penggabungan Laporan Keuangan dari seluruh SKPD yang mendapatkan alokasi Dana Urusan Bersama di wilayah kerjanya.
Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pembantu Pengguna Anggaran Eselon I yang selanjutnya disingkat UAPPA-E1 adalah unit akuntansi pada unit eselon I yang melakukan kegiatan penggabungan Laporan Keuangan seluruh UAPPA-W yang berada di wilayah kerjanya serta UAKPA yang langsung berada di bawahnya.
Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat UAPA adalah unit akuntansi pada tingkat Kementerian Negara/Lembaga (Pengguna Anggaran) yang melakukan kegiatan penggabungan Laporan Keuangan seluruh UAPPA-E1 yang berada di bawahnya.
Unit Akuntansi dan Pelaporan Kuasa Pengguna Barang yang selanjutnya disingkat UAKPB adalah Satker/Kuasa Pengguna Barang yang memiliki wewenang mengurus dan/atau menggunakan BMN.
UAKPB Dekonsentrasi adalah Satker/Kuasa Pengguna Barang yang memiliki wewenang mengurus dan/atau menggunakan BMN yang berasal dari alokasi Dana Dekonsentrasi.
UAKPB Tugas Pembantuan adalah Satker/Kuasa Pengguna Barang yang memiliki wewenang mengurus dan/atau menggunakan BMN yang berasal dari alokasi Dana Tugas Pembantuan.
UAKPB Urusan Bersama adalah Satker/Kuasa Pengguna Barang yang memiliki wewenang mengurus dan/atau menggunakan BMN yang berasal dari alokasi Dana Urusan Bersama.
Unit Akuntansi dan Pelaporan Pembantu Pengguna Barang Wilayah yang selanjutnya disingkat UAPPB-W adalah unit akuntansi pada tingkat kantor wilayah atau unit kerja lain yang ditetapkan sebagai UAPPB-W yang melakukan kegiatan penggabungan LBMN seluruh UAKPB yang berada dalam wilayah kerjanya.
UAPPB-W Dekonsentrasi adalah unit akuntansi yang berada di Pemerintah Provinsi yang melakukan kegiatan penggabungan LBMN dari SKPD yang mendapatkan alokasi Dana Dekonsentrasi di wilayah kerjanya.
UAPPB-W Tugas Pembantuan adalah unit akuntansi yang berada di Pemerintah Daerah yang melakukan kegiatan penggabungan LBMN dari SKPD yang mendapatkan alokasi Dana Tugas Pembantuan di wilayah kerjanya.
UAPPB-W Urusan Bersama adalah unit akuntansi yang berada di Pemerintah Daerah yang melakukan kegiatan penggabungan LBMN dari SKPD yang mendapatkan alokasi Dana Urusan Bersama di wilayah kerjanya.
Unit Akuntansi dan Pelaporan Pembantu Pengguna Barang Eselon-I yang selanjutnya disingkat UAPPB-E1 adalah unit akuntansi pada tingkat eselon I yang melakukan kegiatan penggabungan LBMN seluruh UAPPB-W yang berada di wilayah kerjanya serta UAKPB yang langsung berada di bawahnya.
Unit Akuntansi dan Pelaporan Pengguna Barang yang selanjutnya disingkat UAPB adalah unit akuntansi pada tingkat Kementerian Negara/Lembaga (Pengguna Barang) yang melakukan kegiatan penggabungan LBMN seluruh UAPPB-E1 yang berada di bawahnya.
Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat yang selanjutnya disingkat UAPP adalah unit akuntansi pada tingkat Pemerintah Pusat yang melakukan konsolidasi Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga dan Laporan Keuangan BUN menjadi LKPP.
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 205/PMK.08/2017 tentang Penggunaan Barang Milik Negara sebagai Dasar Penerbitan Surat Berharga Syariah ...
Relevan terhadap
DJPPR menyusun rencana jumlah kebutuhan nilai BMN yang akan digunakan sebagai Aset SBSN berdasarkan:
indikasi kebutuhan pembiayaan melalui SBSN yang disusun oleh unit Eselon II di DJPPR yang membidangi pengelolaan SBSN;
potensi penggunaan kembali BMN yang telah selesai penggunaannya sebagai Aset SBSN; dan/atau c. potensi jumlah dasar penerbitan (underlying) SBSN selain BMN yang dapat digunakan.
Penentuan jumlah kebutuhan nilai BMN yang akan dijadikan sebagai Aset SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah berkoordinasi dengan DJKN.
Jumlah kebutuhan nilai BMN yang akan dijadikan sebagai Aset SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari:
BMN yang belum pernah diajukan sebagai Aset SBSN; dan/atau
BMN yang telah selesai penggunaannya sebagai Aset SBSN pada periode sebelumnya.
Indikasi kebutuhan pembiayaan melalui SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disusun dengan paling sedikit mempertimbangkan:
strategi pengelolaan utang negara jangka menengah; dan
realisasi pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara melalui SBSN tahun anggaran sebelumnya.
Ketentuan Pasal 5 ditambahkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (4) sehingga berbunyi sebagai berikut:
Tata Cara Pengelolaan Dana Cadangan Penjaminan untuk Pelaksanaan Kewajiban Penjaminan Pemerintah
Relevan terhadap
PERATURAN MENTER! KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENGELOLAAN DANA CADANGAN PENJAMINAN UNTUK PELAKSANAAN KEWAJIBAN PENJAMINAN PEMERINTAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Anggaran Kewajiban Penjaminan Pemerintah adalah alokasi dana yang tersedia yang digunakan un tuk melunasi kewajiban penjaminan yang timbul akibat pemberian jaminan pemerintah sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara beserta perubahannya pada tahun anggaran berjalan.
Jaminan Pemerintah adalah jaminan yang diberikan Pemerintah terhadap pembayaran kewajiban badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah kepada kreditur yang memberikan pinjaman perbankan atau pembayaran kewajiban penanggung jawab proyek kerja sama kepada badan usaha dalam proyek kerja sama pemerintah dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur atau pembayaran kewajiban penanggung jawab proyek strategis nasional kepada badan usaha dalam proyek strategis nasional.
Penerima Jaminan adalah kreditur yang menjadi pihak yang memberikan pinjaman dalam perjanjian pinjaman atau badan usaha penyedia infrastruktur dalam perjanjian kerja sama pemerintah dengan badan usaha, yang mendapatkan jaminan dari Pemerintah atas haknya sesuai yang diperjanjikan. jdih.kemenkeu.go.id 4. Badan Usaha adalah badan usaha sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai kerja sama pemerintah dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur atau proyek strategis nasional.
Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur yang selanjutnya disingkat BUPI adalah badan usaha yang didirikan oleh Pemerintah dan diberikan tugas khusus untuk melaksanakan Penjaminan Infrastruktur serta telah diberikan modal berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2009 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia untuk Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di Bidang Penjaminan Infrastruktur sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2009 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia untuk Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di Bidang Penjaminan Infrastruktur.
Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha adalah kerja sama antara pemerintah dengan Badan Usaha dalam penyediaan infrastruktur untuk kepentingan umum dengan mengacu pada spesifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya oleh menteri/kepala lembaga/kepala daerah/badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah, yang sebagian atau seluruhnya menggunakan sumber daya Badan Usaha dengan memperhatikan pembagian risiko di antara para pihak.
Proyek Strategis Nasional adalah proyek yang dilaksanakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau badan usaha yang memiliki sifat strategis untuk peningkatan pertumbuhan dan pemerataan pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah.
Pihak Terjamin adalah badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah/pemerintah daerah/ penanggung jawab proyek kerja sama/penanggung jawab Proyek Strategis Nasional yang bekerja sama dengan Penerima Jaminan berdasarkan perjanjian pinjaman/kerja sama.
Dana Cadangan Penjaminan adalah dana hasil akumulasi dari Anggaran Kewajiban Penjaminan Pemerintah dalam tahun anggaran berjalan yang dipindahbukukan ke dalam rekening dana cadangan penjaminan pemerintah atau sumber lain berupa imbal jasa penjaminan, penerimaan piutang akibat timbulnya regres, dan dikelola dalam rekening dana cadangan penjaminan pemerintah.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
Rekening Lain Bank Indonesia Dana Cadangan Penjaminan Pemerintah yang selanjutnya disebut Rekening Dana Cadangan Penjaminan Pemerintah jdih.kemenkeu.go.id 42 adalah rekening milik Menteri selaku Bendahara Umum Negara yang digunakan untuk mengelola Dana Cadangan Penjaminan.
Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi bendahara umum negara.
Rekening Investasi BUN yang selanjutnya disingkat RIBUN adalah rekening tempat penampungan dana dan/atau imbal hasil investasi pemerintah.
Kuasa Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Kuasa BUN adalah Kuasa BUN Pusat dan Kuasa BUN di daerah.
Kuasa BUN Pusat adalah Direktur Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan.
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang memperoleh kewenangan sebagai Kuasa BUN.
Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut PPA BUN adalah unit organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri dan bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari Bagian Anggaran BUN.
Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kewenangan dan tanggung jawab dari Pengguna Anggaran untuk menggunakan Anggaran Kewajiban Penjaminan Pemerintah.
Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang melaksanakan kewenangan Pengguna Anggaran/KPA untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat PPSPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh Pengguna Anggaran/KPA untuk melakukan pengujian atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah pembayaran.
Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat UAKPA BUN adalah unit akuntansi instansi yang melakukan akuntansi dan pelaporan keuangan pada tingkat satuan kerja Bagian Anggaran BUN.
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disingkat DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh menteri/kepala lembaga selaku Pengguna Anggaran dan disahkan oleh Menteri selaku BUN.
Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara. jdih.kemenkeu.go.id 24. Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA.
Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat dengan SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku Kuasa BUN untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara berdasarkan SPM.
Bank Indonesia adalah bank sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
Administrasi Piutang adalah penyusunan dan pelaksanaan perjanjian, pencatatan, penagihan, dan pelaporan piutang dan/atau regres yang timbul akibat pembayaran Jaminan Pemerintah.
Regres adalah hak penjamin untuk menagih Pihak Terjamin atas apa yang telah dibayarkannya kepada Penerima Jaminan untuk memenuhi kewajiban finansial Pihak Terjamin.
Investasi Pemerintah adalah penempatan sejumlah dana dan/atau aset keuangan dalam jangka panjang untuk investasi dalam bentuk saham, surat utang, dan/atau investasi langsung guna memperoleh manfaat ekonomi, sosial, dan/atau manfaat lainnya.
Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan.
Operator Investasi Pemerintah yang selanjutnya disingkat OIP adalah pelaksana fungsi operasional yang ditunjuk atau ditetapkan oleh Menteri.
Komite Investasi Pemerintah yang selanjutnya disingkat KIP adalah lembaga yang dibentuk untuk melaksanakan fungsi supervisi dalam pengelolaan Investasi Pemerintah.
Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.
Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Penjaminan Pemerintah untuk Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta dan Bandung ...
Relevan terhadap
Menetapkan PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PEMBERIAN PENJAMINAN PEMERINTAH UNTUK PERCEPATAN PENYELENGGARAAN PRASARANA DAN SARANA KERETA CEPAT ANTARA JAKARTA DAN BANDUNG. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Penjaminan Pemerintah adalah penjaminan yang diberikan untuk dan atas nama pemerintah oleh menteri keuangan baik secara langsung atau secara bersama dengan badan usaha penjaminan infrastruktur yang ditunjuk sebagai penjamin atas pemenuhan kewajiban finansial terjamin kepada penerima jaminan dalam rangka percepatan penyelenggaraan prasarana dan sarana kereta cepat antara Jakarta dan Bandung. 2. Komite Kereta Cepat antara Jakarta dan Bandung yang selanjutnya disebut Komite adalah komite yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden mengenai percepatan penyelenggaraan prasarana dan sarana kereta cepat antara Jakarta dan Bandung. 3. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 4. PT Kereta Api Indonesia (Persero) yang selanjutnya disingkat PT KAI adalah Perusahaan Perseroan (Persero) yang mendapatkan penugasan dari Pemerintah sebagai pimpinan konsorsium badan usaha milik negara dalam rangka percepatan penyelenggaraan prasarana dan sarana kereta cepat antara Jakarta dan Bandung sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Presiden mengenai percepatan penyelenggaraan prasarana dan sarana kereta cepat antara Jakarta dan Bandung. 5. Menteri Keuangan yang selanjutnya disebut Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. 6. Pinjaman PT KAI yang selanjutnya disebut Pinjaman adalah setiap pembiayaan dari kreditur berupa sejumlah uang atau jdih.kemenkeu.go.id tagihan yang dipersamakan dengan itu yang menimbulkan kewajiban finansial berdasarkan Perjanjian Pinjaman. 7. Kreditur adalah lembaga keuangan internasional dan/atau domestik yang memberikan fasilitas Pinjaman kepada PT KAI dalam rangka pendanaan kenaikan dan/atau perubahan biaya ( cost overrun) proyek kereta cepat antara Jakarta dan Bandung. 8. Perjanjian Pinjaman adalah perjanjian yang dibuat antara PT KAI dan Kreditur dalam rangka memperoleh Pinjaman untuk pendanaan kenaikan dan/atau perubahan biaya (cost overrun) proyek kereta cepat antara Jakarta dan Bandung. 9. Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur yang selanjutnya disingkat BUPI adalah PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero). 10. Penjamin adalah Pemerintah atau Pemerintah bersama BUPI. 11. Perno hon J aminan adalah PT KAI yang mengajukan permohonan untuk mendapatkan Penjaminan Pemerintah. 12. Terjamin adalah PT KAI yang mendapatkan Penjaminan Pemerintah. 13. Penerima Jaminan adalah Kreditur. 14. Imbal Jasa Penjaminan yang selanjutnya disingkat IJP adalah sejumlah uang yang diterima oleh BUPI dalam rangka kegiatan penjaminan. 15. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. 16. Regres adalah hak Penjamin untuk menagih Terjamin atas apa yang telah dibayarkan oleh Penjamin kepada Penerima Jaminan untuk memenuhi kewajiban Terjamin tersebut. 17. Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari pengguna anggaran untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada bendahara umum negara. 18. Batas Maksimal Penjaminan adalah nilai maksimal yang diperkenankan dalam penerbitan penjaminan terhadap Pinjaman yang diusulkan untuk memperoleh penjaminan pada tahun tertentu. 19. First Loss adalah besaran porsi penjaminan dari BUPI yang mendapat penugasan untuk melakukan Penjaminan Pemerintah. Pasal 2 Penjaminan Pemerintah untuk percepatan penyelenggaraan prasarana dan sarana kereta cepat antara Jakarta dan Bandung dalam Peraturan Menteri ini disediakan dalam rangka memperoleh pendanaan atas kenaikan dan/atau perubahan biaya (cost overrun) sesuai dengan hasil keputusan Komite. Pasal 3 Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diberikan dengan mempertimbangkan prinsip sebagai berikut:
kemampuan keuangan negara; jdih.kemenkeu.go.id b. kesinambungan fiskal; dan
pengelolaan risiko fiskal. Pasal 4 (1) Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diberikan atas keseluruhan dari kewajiban finansial PT KAI terhadap Kreditur berdasarkan Perjanjian Pinjaman. (2) Kewajiban finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
pokok Pinjaman;
bunga Pinjaman; dan/atau
biaya lain yang timbul, sehubungan dengan Perjanjian Pinjaman. BAB II TATA CARA PENJAMINAN PEMERINTAH Bagian Kesatu Permohonan Jaminan Pasal 5 (1) Pemohon Jaminan mengajukan permohonan Penjaminan Pemerintah kepada Menteri dalam hal ini Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko. (2) Permohonan Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan setelah adanya keputusan Komite. (3) Permohonan Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat keterangan minimal:
keputusan Komite mengenai pemberian dukungan berupa Penjaminan Pemerintah kepada PT KAI untuk mengatasi masalah kenaikan dan/atau perubahan biaya (cost overrun) proyek kereta cepat antara Jakarta dan Bandung;
alasan diperlukannya Penjaminan Pemerintah;
nilai Pinjaman yang akan dijamin oleh Pemerintah;
calon Kreditur; dan
pernyataan mengenai kebenaran atas segala informasi, keterangan, dan/atau pernyataan yang termuat dalam dokumen permohonan Penjaminan Pemerintah. (4) Permohonan Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan dengan melampirkan minimal:
surat keputusan Komite mengenai pemberian dukungan berupa Penjaminan Pemerintah kepada PT KAI untuk mengatasi masalah kenaikan dan/ a tau perubahan biaya ( cost overrun) proyek kereta cepat antara Jakarta dan Bandung;
surat pernyataan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang badan usaha milik negara, yang memuat:
persetujuan penerimaan Pinjaman dengan Penjaminan Pemerintah; dan jdih.kemenkeu.go.id 2. pernyataan mengenai kemampuan keuangan dan kemampuan bayar PT KAI atas kewajiban finansial yang timbul dari proyek kereta cepat antara Jakarta dan Bandung;
surat pernyataan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan yang menyatakan dukungan kepada PT KAI terkait kebijakan sektor perkeretaapian;
rencana peruntukan pendanaan melalui Pinjaman;
rancangan final Perjanjian Pinjaman;
profil calon Kreditur;
surat yang disampaikan oleh calon Kreditur yang memuat harga Pinjaman serta syarat dan ketentuan (terms and conditions) Pinjaman;
rencana sumber dana pelunasan Pinjaman;
laporan keuangan 3 (tiga) tahun terakhir yang telah diaudit oleh auditor independen;
proyeksi keuangan PT KAI sampa1 dengan masa Pinjaman berakhir;
proyeksi keuangan proyek kereta cepat antara Jakarta dan Bandung;
rancangan dokumen rencana mitigasi risiko gagal bayar;
persetujuan organ perusahaan Pemohon Jaminan sesuai dengan anggaran dasar mengena1 rencana Pinjaman; dan
surat pertanggungjawaban mutlak atas kesesuaian penggunaan Pinjaman yang ditandatangani oleh direktur utama PT KAI. Bagian Kedua Evaluasi Permohonan Jaminan Pasal 6 (1) Terhadap permohonan Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dilakukan evaluasi oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dalam hal ini Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara dengan berkoordinasi dengan unit terkait lainnya di lingkungan Kementerian Keuangan. (2) Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara melakukan evaluasi atas permohonan Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersama dengan BUPI. (3) Dalam melakukan evaluasi bersama dengan BUPI sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara dapat meminta konfirmasi kapasitas penjaminan BUPI. (4) BUPI menyampaikan konfirmasi atas kapasitas penjaminan BUPI sebagaimana dimaksud pada ayat (3), paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah diterimanya permintaan konfirmasi dari Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara. (5) Evaluasi dilakukan sejak permohonan Penjaminan Pemerintah dan seluruh lampiran yang menjadi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) jdih.kemenkeu.go.id dan ayat (4), telah diterima secara lengkap dan benar oleh Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara. (6) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara:
memeriksa kelengkapan dokumen dan informasi yang tersedia dalam permohonan Penjaminan Pemerintah beserta seluruh lampirannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5;
memverifikasi atas kesesuaian dokumen permohonan Penjaminan Pemerintah dengan hasil keputusan Komite; dan
memverifikasi terhadap syarat dan ketentuan (tenns and conditions) di dalam rancangan final Perjanjian Pinjaman. (7) Dalam hal Komite menetapkan persetujuan atas syarat dan ketentuan (tenns and conditions) Pinjaman di dalam surat keputusan Komite sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) huruf a, Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara menggunakan keputusan Komite tersebut untuk memverifikasi kesesuaian terhadap syarat dan ketentuan (tenns and conditions) di dalam rancangan final Perjanjian Pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf c. (8) Dalam hal Komite tidak menetapkan persetujuan atas syarat dan ketentuan (tenns and conditions) Pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara menggunakan pinjaman Pemerintah dan/atau pinjaman badan usaha milik negara yang mendapatkan penjaminan Pemerintah sebagai pembanding untuk menilai kewajaran syarat dan ketentuan (tenns and conditions) Pinjaman yang dijamin. (9) Dalam melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara mempertimbangkan Batas Maksimal Penjaminan. (10) Dalam rangka pelaksanaan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara dapat meminta keterangan atau penjelasan dari Pemohon Jaminan. (11) Hasil evaluasi atas permohonan Penjaminan Pemerintah dituangkan dalam berita acara evaluasi dan dilaporkan kepada Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko. (12) Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (11), Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko menyampaikan rekomendasi kepada Menteri mengenai:
penerbitan persetujuan atas syarat dan ketentuan (tenns and conditions) Perjanjian Pinjaman; dan
usulan pihak yang akan melakukan penjaminan, dengan mempertimbangkan konfirmasi atas kapasitas penjaminan BUPI sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (13) Usulan pihak yang akan melakukan penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (12) huruf b terdiri atas:
Pemerintah bersama dengan BUPI; atau
Pemerintah. jdih.kemenkeu.go.id Pasal 7 (1) Dalam hal usulan pihak yang akan melakukan penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (13) huruf a disetujui Menteri, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko atas nama Menteri menetapkan keputusan Menteri mengenai penugasan kepada BUPI untuk melakukan penjaminan bersama dengan Pemerintah. (2) Penugasan kepada BUPI sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan berdasarkan hasil analisis yang menunjukkan bahwa:
penugasan kepada BUPI untuk melakukan penjaminan dapat memberikan manfaat fiskal; dan
BUPI memiliki kapasitas untuk memberikan porsi jaminan yang akan ditugaskan. (3) Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat minimal sebagai berikut:
nama Pemohon Jaminan selaku Terjamin;
nama Kreditur yang akan menerima penjaminan;
porsi yang ditanggung oleh BUPI sebagai First _Loss; _ dan d. hak BUPI untuk mendapatkan IJP yang dibayar oleh Terjamin. (4) Penentuan porsi yang ditanggung oleh BUPI dilakukan berdasarkan analisis kapasitas penjaminan BUPI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b. Bagian Ketiga Persetujuan Syarat dan Ketentuan (terms and conditions) Perjanjian Pinjaman Pasal 8 (1) Persetujuan atas syarat dan ketentuan (terms and conditions) Perjanjian Pinjaman diterbitkan oleh Menteri dalam hal ini Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dalam bentuk surat yang ditujukan kepada PT KAI berdasarkan rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (12). (2) Persetujuan atas syarat dan ketentuan (terms and conditions) Perjanjian Pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memiliki kekuatan hukum apapun yang mengikat Menteri untuk menerbitkan Penjaminan Pemerintah, sebelum dilakukan penelaahan terhadap rancangan final Perjanjian Pinjaman. (3) Persetujuan atas syarat dan ketentuan (terms and conditions) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan kepada Pemohon Jaminan untuk dilakukan penandatanganan Perjanjian Pinjaman. Bagian Keempat Penerbitan Jaminan Pasal 9 (1) Pemohon Jaminan menyampaikan permohonan penerbitan dokumen penjaminan atas Penjaminan Pemerintah kepada Menteri dalam hal ini Direktur jdih.kemenkeu.go.id Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dengan melampirkan:
Perjanjian Pinjaman yang telah ditandatangani; dan
dokumen rencana mitigasi risiko gagal bayar. (2) Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara melakukan penelaahan untuk melihat kesesuaian antara syarat dan ketentuan (terms and conditions) Perjanjian Pinjaman yang telah ditandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dengan syarat dan ketentuan (terms and conditions) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), berkoordinasi dengan unit terkait di lingkungan Kementerian Keuangan. (3) Dalam melakukan penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara dapat melibatkan BUPI. (4) Dokumen rencana mitigasi risiko gagal bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b memuat ketentuan minimal mengenai:
peta risiko gagal bayar;
langkah-langkah mitigasi risiko gagal bayar; dan
upaya terbaik Terjamin untuk memenuhi pembayaran Pinjaman. (5) Dokumen rencana mitigasi risiko gagal bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilampiri surat pernyataan yang ditandatangani oleh direksi Terjamin mengenai kesanggupan Terjamin untuk:
melakukan pemantauan terhadap risiko gagal bayar bersama dengan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dalam hal ini Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara dan/atau BUPI; dan
menandatangani perjanjian penyelesaian Regres dan membayar utang Regres kepada BUPI dan/atau Pemerintah. Pasal 10 (1) Dalam hal syarat dan ketentuan (terms and conditions) dalam Perjanjian Pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a telah sesuai dengan persetujuan syarat dan ketentuan (terms and conditions) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), diterbitkan dokumen penjaminan (2) Dokumen penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk:
surat jaminan; atau
perjanjian jaminan, sesuai dengan kesepakatan antara Penjamin dan Penerima Jaminan. (3) Dalam hal penerbitan dokumen penjaminan berbentuk surat jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan dengan ketentuan:
surat jaminan ditandatangani oleh Menteri dalam hal ini Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, yang ditujukan kepada wakil yang sah dari Penerima Jaminan; atau
surat jaminan yang ditandatangani oleh Menteri jdih.kemenkeu.go.id dalam hal m1 Direktur J enderal Pengelolaan Pem biayaan dan Risiko bersama dengan wakil yang sah dari BUPI, yang ditujukan kepada wakil yang sah dari Penerima Jaminan. (4) Dalam hal penerbitan dokumen penjaminan berbentuk perjanjian jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan dengan ketentuan:
perjanjian jaminan yang ditandatangani oleh Menteri dalam hal m1 Direktur J enderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dan wakil yang sah dari Penerima Jaminan; atau
perjanjian jaminan yang ditandatangani oleh Menteri dalam hal m1 Direktur J enderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, wakil yang sah dari BUPI, dan wakil yang sah dari Penerima Jaminan. (5) Dokumen penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditembuskan kepada Terjamin. (6) Atas penerbitan dokumen penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur J enderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko melaporkan kepada Menteri. (7) Penjaminan Pemerintah melalui dokumen penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara penuh (full guarantee), tanpa syarat (unconditionaij, dan tidak dapat dicabut kembali (irrevocable) serta mengikat Penjamin sesuai dengan ketentuan dalam dokumen penjaminan. (8) Penjaminan Pemerintah berlaku sejak tanggal penerbitan dokumen penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sampai dengan seluruh kewajiban finansial Terjamin kepada Kreditur berdasarkan Perjanjian Pinjaman terpenuhi. (9) Penjaminan Pemerintah serta merta berakhir atau tidak berlaku dengan berakhirnya atau tidak berlakunya Perjanjian Pinjaman. BAB III DUKUNGAN PEMERINTAH ATAS PENUGASAN BUPI Pasal 11 (1) Dalam rangka penugasan atas Penjaminan Pemerintah, Pemerintah dalam hal ini Menteri memberikan dukungan kepada BUPI berupa:
meningkatkan kredibilitas penjaminan BUPI;
menjaga kecukupan modal BUPI; dan/atau
memastikan penyelesaian piutang Regres sesua1 dengan perjanjian penyelesaian Regres, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Dalam rangka menjaga kecukupan modal BUPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Pemerintah dapat memberikan penyertaan modal negara. Pasal 12 (1) Dalam rangka penugasan atas Penjaminan Pemerintah, BUPI dapat mengenakan biaya atas pelaksanaan pemberian penjaminan dalam bentuk IJP kepada Terjamin sesua1 dengan mekanisme korporasi sebagaimana jdih.kemenkeu.go.id dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf d. (2) Jumlah IJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan memperhatikan:
porsi penjaminan yang ditanggung;
tingkat risiko Terjamin;
biaya yang dikeluarkan; dan
marjin yang wajar. (3) Dalam hal BUPI telah melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) namun tidak diberikan penugasan untuk melakukan Penjaminan Pemerintah, BUPI dapat mengenakan biaya jasa kepada Terjamin atas pelaksanaan evaluasi penjaminan, yang diperhitungkan terhadap biaya yang dikeluarkan dalam rangka evaluasi dan marjin yang wajar. BAB IV PENYELESAIAN AKIBAT PELAKSANAAN PENJAMINAN PEMERINTAH Bagian Kesatu Klaim atas Penjaminan Pemerintah Pasal 13 (1) Klaim Penjaminan Pemerintah dilaksanakan dalam hal Terjamin selaku penerima Pinjaman berada dalam keadaan tidak mampu untuk memenuhi kewajiban finansial kepada Penerima Jaminan berdasarkan Perjanjian Pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2). (2) Terjamin menyampaikan pemberitahuan kepada BUPI atas keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Pemberitahuan kepada BUPI mengenai keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditembuskan kepada Penerima J aminan atas keadaan se bagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 15 (lima belas) hari sebelum kewajiban finansial berdasarkan Perjanjian Pinjaman jatuh tempo. (4) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditembuskan pula kepada Menteri dalam hal ini Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko oleh Terjamin. Pasal 14 (1) Berdasarkan keadaan tidak mampu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), Penerima J aminan menyampaikan pengajuan klaim atas Penjaminan Pemerintah secara tertulis kepada BUPI dan Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, dengan tembusan kepada direksi Terjamin. (2) Pengajuan klaim sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan oleh Penerima Jaminan setelah Terjamin tidak memenuhi kewajiban finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) pada tanggaljatuh tempo. (3) Pengajuan klaim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat keterangan minimal sebagai berikut: jdih.kemenkeu.go.id a. ketidakmampuan Terjamin untuk memenuhi kewajibannya berdasarkan Perjanjian Pinjaman;
kewajiban Pemerintah selaku Penjamin untuk membayar kepada Penerima Jaminan berdasarkan dokumen penjaminan;
jumlah kewajiban sebagaimana dimaksud pada hurufa;dan d. tujuan pembayaran yang terdiri atas nama dan nomor rekening Penerima Jaminan. (4) Pengajuan klaim atas penjaminan Pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan dengan melampirkan dokumen sebagai berikut:
Perjanjian Pinjaman;
salinan dokumen penjaminan;
rincian kewajiban yang harus dipenuhi oleh Penjamin; dan
rincian Pinjaman. Pasal 15 (1) BUPI melakukan verifikasi terhadap klaim atas Penjaminan Pemerintah yang diajukan oleh Penerima Jaminan baik untuk porsi BUPI maupun Pemerintah. (2) Dalam rangka melaksanakan verifikasi terhadap klaim atas Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BUPI dapat berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dan pihak lain terkait. (3) Untuk keperluan verifikasi terhadap klaim atas Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BUPI dapat meminta Terjamin untuk menyampaikan surat pernyataan mengenai tidak adanya keberatan dan/atau perselisihan apapun mengenai jumlah klaim yang diajukan. (4) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan oleh Terjamin dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak permintaan tersebut disampaikan. (5) Verifikasi terhadap klaim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk memastikan:
kesesuaian antara jumlah klaim dengan jumlah kewajiban berdasarkan Perjanjian Pinjaman yang menjadi kewajiban Terjamin berdasarkan tagihan dari Penerima J aminan;
tidak adanya keberatan dan/atau perselisihan antara Terjamin dengan Penerima Jaminan mengenai klaim dan/ataujumlah klaim yang diajukan; dan
tujuan pembayaran yang meliputi nama dan nomor rekening yang ditujukan Penerima Jaminan. (6) Hasil verifikasi terhadap klaim dituangkan dalam berita acara verifikasi yang ditandatangani oleh Terjamin, Penerima Jaminan, dan BUPI. (7) Berita acara verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan salinannya kepada Menteri dalam hal ini Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko. (8) Dalam hal hasil verifikasi menunjukkan bahwa Pemerintah perlu melakukan pembayaran klaim untuk jdih.kemenkeu.go.id porsi Pemerintah, KPA turut menandatangani berita acara verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6). (9) Penunjukan KPA sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pengelolaan dana cadangan penjaminan untuk pelaksanaan kewajiban penjaminan Pemerintah. Pasal 16 (1) Pembayaran klaim atas Penjaminan Pemerintah dilakukan apabila hasil verifikasi menunjukkan sebagai berikut:
terdapat kesesuaian antara jumlah klaim yang diajukan oleh Penerima Jaminan kepada Penjamin dan jumlah kewajiban Terjamin yang terhutang berdasarkan Perjanjian Pinjaman; dan
tidak adanya keberatan dari Terjamin dan/atau perselisihan apapun antara Terjamin dengan Penerima Jaminan mengenai klaim dan/atau jumlah klaim yang diajukan oleh Penerima Jaminan. (2) Berdasarkan hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BUPI membayar klaim yang menjadi porsi penjaminannya kepada Penerima Jaminan. (3) Apabila jumlah klaim melebihi porsi yang ditanggung oleh BUPI sebagai First Loss, BUPI menyampaikan tagihan atas kelebihan jumlah klaim yang menjadi porsi Pemerintah kepada KPA atas kewajiban Penjaminan Pemerintah. (4) Pemerintah membayar kelebihan klaim dari porsi penjaminan BUPI sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Penerima Jaminan. (5) Dalam rangka pelaksanaan pembayaran kelebihan klaim dari porsi penjaminan BUPI sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Pemerintah melalui Menteri dapat menggunakan dana yang bersumber dari dana cadangan penjaminan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (6) Pelaksanaan pembayaran klaim porsi Pemerintah kepada Penerima Jaminan dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pengelolaan dana cadangan penjaminan untuk pelaksanaan kewajiban penjaminan Pemerintah. Bagian Kedua Pelaksanaan Regres Pasal 17 (1) Dalam hal BUPI telah melaksanakan kewajibannya selaku Penjamin kepada Penerima Jaminan berdasarkan dokumen penjaminan, Terjamin harus memenuhi Regres. (2) Pemenuhan Regres oleh Terjamin kepada BUPI se bagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan secara bertahap atau sekaligus sesuai dengan kemampuan keuangan Terjamin. (3) BUPI menyampaikan surat pemberitahuan Regres kepada Terjamin pada saat atau segera setelah Regres timbul dengan tembusan kepada Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang badan jdih.kemenkeu.go.id usaha milik negara. (4) Setelah surat pemberitahuan Regres disampaikan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), BUPI dan Terjamin menuangkan kesepakatan mengenai penyelesaian Regres dengan pembayaran secara bertahap atau sekaligus ke dalam perjanjian penyelesaian Regres yang ditandatangani oleh wakil yang sah dari kedua belah pihak. (5) Dalam perjanjian penyelesaian Regres sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Terjamin menyatakan dan menyepakati minimal hal-hal sebagai berikut:
pengakuan berutang Terjamin kepada BUPI sebagai akibat dari timbulnya Regres;
jumlah utang yang wajib dibayar Terjamin kepada BUPI;
tingkat bunga;
tahapan pembayaran yang disanggupi Terjamin untuk membayar utangnya kepada BUPI hingga lunas; dan
mekanisme pembayaran yang disetujui untuk melaksanakan tahapan pembayaran sebagaimana dimaksud pada huruf d. (6) Kesepakatan mengenai hal-hal yang perlu diatur dalam perjanjian penyelesaian Regres sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah pembayaran klaim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16. (7) BUPI dan Terjamin yang memiliki utang Regres melaporkan kesepakatan mengenai penyelesaian utang yang dituangkan dalam perjanjian penyelesaian Regres kepada Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang badan usaha milik negara. (8) Menteri dalam hal ini Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko melakukan pemantauan terhadap penyelesaian Regres, dan melakukan koordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang badan usaha milik negara untuk memastikan agar penyelesaian Regres sebagaimana tertuang dalam perjanjian penyelesaian Regres dapat diselesaikan oleh Terjamin. Pasal 18 (1) Dalam hal Pemerintah melakukan pembayaran klaim Penjaminan Pemerintah kepada Penerima Jaminan atas porsinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4), timbul piutang dalam bentuk Regres kepada Terjamin. (2) Ketentuan mengenai penyelesaian piutang dalam bentuk Regres kepada BUPI berlaku pula secara mutatis mutandis untuk penyelesaian piutang dalam bentuk Regres kepada Pemerintah. (3) Kewenangan untuk melakukan penyelesaian piutang dalam bentuk Regres kepada Terjamin didelegasikan oleh Menteri kepada Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko. jdih.kemenkeu.go.id BABV PENGELOLAAN RISIKO Bagian Kesatu Mitigasi Risiko Pasal 19 (1) Terjamin wajib melakukan upaya terbaik untuk melakukan pengelolaan risiko terhadap kemungkinan terjadinya gagal bayar atau segala peristiwa yang mempengaruhi kemampuan Terjamin untuk memenuhi kewajiban finansial. (2) Kewajiban pengelolaan risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sesuai dengan masa berlaku Perjanjian Pinjaman. (3) Terjamin harus melakukan pembaruan dokumen rencana mitigasi risiko gagal bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b secara berkala setiap 6 (enam) bulan. (4) Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dalam hal ini Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara dapat memberikan masukan kepada Terjamin mengenai rancangan dokumen rencana mitigasi risiko gagal bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) huruf l dan pembaruan atas dokumen rencana mitigasi risiko gagal bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Dalam hal BUPI mendapatkan penugasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), BUPI turut memberikan masukan kepada Terjamin mengenai rancangan dokumen rencana mitigasi risiko gagal bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) huruf 1 dan pembaruan atas dokumen rencana mitigasi risiko gagal bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (6) Dokumen rencana mitigasi risiko gagal bayar yang telah mendapatkan masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5), ditandatangani oleh direksi Terjamin untuk disampaikan kepada Menteri dalam hal ini Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko. (7) Dalam hal BUPI mendapatkan penugasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Terjamin menyampaikan tembusan dokumen rencana mitigasi risiko gagal bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (6) kepada BUPI. Bagian Kedua Pemantauan atas Pengelolaan Risiko Gagal Bayar Pasal 20 (1) Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dalam hal ini Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara melakukan pemantauan terhadap pengelolaan risiko gagal bayar yang dilakukan Terjamin sesuai dengan dokumen rencana mitigasi risiko gagal bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (6). (2) Dalam hal BUPI mendapatkan penugasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), BUPI turut melakukan pemantauan terhadap pengelolaan risiko yang dilakukan jdih.kemenkeu.go.id (3) Terjamin sebagaimana dimaksud pada berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Pembiayaan dan Risiko dalam hal ini Pengelolaan Risiko Keuangan Negara. ayat (1), Pengelolaan Direktorat Dalam rangka pemantauan terhadap pengelolaan risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dalam hal ini Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara, BUPI, dan Terjamin dapat mengadakan pertemuan secara berkala untuk membahas mengenai pelaksanaan rencana mitigasi risiko gagal bayar sebagaimana tertuang dalam dokumen rencana mitigasi risiko gagal bayar oleh Terjamin. Pasal 21 (1) Terjamin wajib membuka rekening khusus (sinking fund) sebagai mitigasi risiko terhadap Penjaminan Pemerintah. (2) Terjamin wajib menempatkan dan menjaga keutuhan dana di dalam rekening khusus (sinking fund) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal sebesar setara dengan jumlah cicilan pokok dan bunga Pinjaman yang akan jatuh tempo pada 3 (tiga) periode pembayaran kewajiban selanjutnya atas Pinjaman. (3) Dana yang ditempatkan di dalam rekening khusus (sinking fund) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bersumber dari dana hasil kebijakan Pemerintah dalam rangka memperkuat keuangan PT KAI, dana internal PT KAI, dan/atau sumber dana lainnya. (4) Rekening khusus (sinking fund) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak diterbitkannya Penjaminan Pemerintah. (5) Dana di dalam rekening khusus (sinking fund) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat digunakan oleh Terjamin untuk membayar Pinjaman atas proyek kereta cepat antara Jakarta dan Bandung. (6) Dalam hal Terjamin menggunakan dana di dalam rekening khusus (sinking fund) sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Terjamin wajib memulihkan keutuhan dana di dalam rekening khusus (sinking fund) sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak dana di dalam rekening khusus (sinking fund) digunakan. (7) Terjamin wajib memberikan akses pada rekening khusus (sinking fund) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko. (8) Terjamin menyampaikan pemberitahuan mengenai pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) kepada Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko. (9) Dalam hal BUPI mendapatkan penugasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), pemberian akses terhadap rekening khusus (sinking fund) sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan penyampaian pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) juga dilakukan oleh Terjamin kepada BUPI. jdih.kemenkeu.go.id Pasal 22 (1) Penggunaan kele bihan penyertaan modal negara kepada PT KAI yang ditujukan untuk pendanaan atas kenaikan dan/atau perubahan biaya (cost overrun) proyek kereta cepat antara Jakarta dan Bandung dapat ditampung dalam rekening khusus (sinking fund) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1). (2) Kelebihan penyertaan modal negara kepada PT KAI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan saldo tambahan yang harus dijaga oleh Terjamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2). (3) Kelebihan penyertaan modal negara kepada PT KAI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat digunakan untuk pembayaran kewajiban Terjamin atas Pinjaman. (4) Penggunaan kelebihan penyertaan modal negara kepada PT KAI sebagaimana dimaksud pada ayat (3), hanya dapat dilakukan atas persetujuan Menteri melalui Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko. Pasal 23 (1) Terhitung sejak diterbitkannya Penjaminan Pemerintah, Terjamin wajib menyusun laporan secara triwulanan pada periode yang berakhir pada bulan Maret, Juni, September, dan Desember. (2) Pelaporan secara triwulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
penggunaan dana dari penarikan atas Pinjaman;
laporan keuangan Terjamin secara triwulanan dan tahunan yang belum diaudit _(unaudited); _ c. kemampuan bayar Terjamin, termasuk proyeksi kemungkinan terjadinya risiko gagal bayar pada Terjamin untuk 1 (satu) tahun ke depan;
laporan arus kas pada saat diperlukan berdasarkan permintaan Pemerintah dan/ a tau BUPI sebelum tanggal jatuh tempo atas pembayaran Pinjaman berdasarkan Perjanjian Pinjaman;
pelaksanaan rencana mitigasi risiko gagal bayar;
pengadaan pembiayaan lainnya;
perkembangan kegiatan operasi PT KAI dan PT Kereta Cepat Indonesia China, termasuk penyelenggaraan prasarana dan sarana kereta cepat antara Jakarta dan Bandung; dan
pelaksanaan dukungan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang badan usaha milik negara dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) huruf b dan huruf c. (3) Terjamin menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dalam hal ini Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara, paling lambat tanggal 20 (dua puluh) pada bulan berikutnya. (4) Terjamin wajib menyampaikan laporan keuangan tahunan jdih.kemenkeu.go.id yang telah diaudit paling lambat 10 (sepuluh) hari kalender sejak diterbitkannya laporan keuangan yang telah diaudit kepada Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dalam hal ini Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara. (5) Dalam hal BUPI mendapatkan penugasan Penjaminan Pemerintah, penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penyampaian laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) juga dilakukan oleh Terjamin kepada BUPI. BAB VI PENGANGGARAN DANA CADANGAN PENJAMINAN Pasal 24 (1) Pemerintah melalui Menteri mengalokasikan anggaran kewajiban Penjaminan Pemerintah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara perencanaan, penelaahan, dan penetapan alokasi anggaran bagian anggaran bendahara umum negara dan pengesahan daftar isian pelaksanaan anggaran bendahara umum negara. (2) Pengelolaan dana cadangan Penjaminan Pemerintah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai tata cara pengelolaan dana cadangan penJamman untuk pelaksanaan kewajiban Penjaminan Pemerintah. BAB VII PEMBUKUAN DAN PELAPORAN PELAKSANAAN PENUGASAN Pasal 25 (1) Dalam melaksanakan penugasan Penjaminan Pemerintah, BUPI menyelenggarakan pembukuan berdasarkan ketentuan mengenai standar akuntansi yang berlaku. (2) Pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disajikan sebagai informasi segmen dalam catatan atas laporan keuangan pada laporan keuangan BUPI. Pasal 26 (1) BUPI menyampaikan laporan semesteran dan laporan tahunan atas pelaksanaan penugasan Penjaminan Pemerintah kepada Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat minimal:
perkembangan Pinjaman;
analisis risiko gagal bayar Terjamin, yang dilengkapi dengan mitigasi risiko;
kepatuhan Terjamin atas pengelolaan rekening khusus (sinking fund) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 22;
pelaksanaan dukungan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang badan usaha milik negara dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang jdih.kemenkeu.go.id perhubungan se bagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) huruf b dan huruf c; dan
informasi lain yang dianggap penting. (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender setelah periode pelaporan dimaksud berakhir. BAB VIII PEMANTAUAN DAN EVALUASI Pasa127 (1) Dalam rangka pelaksanaan Penjaminan Pemerintah, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap:
pelaksanaan pembiayaan serta pemenuhan kewajiban Terjamin; dan
pelaksanaan penugasan Penjaminan Pemerintah melalui BUPI. (2) Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko mengadakan pertemuan secara berkala dengan Terjamin dan BUPI untuk membahas dan memberikan masukan mengenai pelaksanaan pengelolaan risiko atas pelaksanaan pembiayaan serta pemenuhan kewajiban Terjamin dan pelaksanaan penugasan Penjaminan Pemerintah melalui BUPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk bahan penyusunan laporan secara berkala dan/atau rekomendasi kepada Menteri. (4) Dalam rangka menjaga kredibilitas dan kemampuan BUPI dalam melaksanakan Penjaminan Pemerintah, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko memverifikasi kemampuan BUPI untuk melaksanakan pembayaran klaim dalam hal terdapat pengajuan klaim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1). BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 28 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. jdih.kemenkeu.go.id
Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa Tahun Anggaran 2021 dalam rangka Mendukung Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan Da ...
Relevan terhadap
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 19/PMK.07/2020 tentang Penyaluran dan Penggunaan Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Insentif Daerah Tahun Anggaran 2020 dalam rangka Penanggulangan Corona Virus Disease 2019 ( COVID -19) (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 250);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.07/2020 tentang Pengelolaan Transfer Ke Daerah dan Dana Desa Tahun Anggaran 2020 dalam rangka Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 ( COVID -19) dan/atau Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 377) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 219/PMK.07/2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.07/2020 tentang Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa Tahun Anggaran 2020 dalam rangka Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 ( COVID -19) dan/atau Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 1612);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.07/2020 tentang Penyaluran dan Penggunaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa Tahun Anggaran 2020 untuk Mendukung Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 ( COVID - 19) dan Pemulihan Ekonomi Nasional (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 866); dan
Lampiran huruf h Peraturan Menteri Keuangan Nomor 222/PMK.07/2020 tentang Pengelolaan Dana Desa (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 1641), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang ...
Relevan terhadap 9 lainnya
Hak milik atas satuan rumah susun dapat diberikan kepada:
warga negara Indonesia;
badan hukum Indonesia;
. c. warga negara asmg yang mempunyai 1zm sesua1 dengan ketentuan peraturan perundang- undangan;
badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia; atau
perwakilan negara asing dan lembaga internasional yang berada atau mempunyai perwakilan di Indonesia. (2) Hak milik atas satuan rumah susun dapat beralih atau dialihkan dan dijaminkan. jdih.kemenkeu.go.id (3) Hak milik atas satuan rumah susun dapat dijaminkan dengan dibebani hak tanggungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 145 (1) Rumah susun dapat dibangun di atas tanah:
hak guna bangunan atau hak pakai di atas tanah negara; atau
hak guna bangunan atau hak pakai di atas tanah hak pengelolaan. (2) Pemberian hak guna bangunan bagi rumah susun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan sekaligus dengan perpanjangan haknya setelah mendapat sertifikat laik fungsi. (3) Pemberian hak guna bangunan bagi rumah susun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat diberikan perpanjangan dan pembaruan hak apabila sudah mendapat sertifikat laik fungsi. Paragraf 4 Pemberian Hak atas Tanah/Hak Pengelolaan pada Ruang Atas Tanah dan Ruang Bawah Tanah Pasal 146 (1) Tanah atau ruang yang terbentuk pada ruang atas tanah dan/atau ruang bawah tanah dan digunakan untuk kegiatan tertentu dapat diberikan hak guna bangunan, hak pakai, atau hak pengelolaan. (2) Batas kepemilikan tanah pada ruang atas tanah oleh pemegang hak atas tanah diberikan sesuai dengan koefisien dasar bangunan, koefisien lantai bangunan, dan rencana tata ruang yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. jdih.kemenkeu.go.id (3) Batas kepemilikan tanah pada ruang bawah tanah oleh pemegang hak atas tanah diberikan sesuai dengan batas kedalaman pemanfaatan yang diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penggunaan dan pemanfaatan tanah pada ruang atas tanah dan/atau ruang bawah tanah oleh pemegang hak yang berbeda dapat diberikan hak guna bangunan, hak pakai, atau hak pengelolaan. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan tanah pada ruang atas tanah dan/atau ruang bawah tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Presiden. Pasal 147 Tanda bukti hak atas tanah, hak milik atas satuan rumah susun, hak pengelolaan, dan hak tanggungan, termasuk akta peralihan dan pembebanan hak atas tanah serta dokumen lainnya yang berkaitan dengan tanah dapat berbentuk elektronik. BAB IX KAWASAN EKONOMI Bagian Kesatu Umum Pasal 148 Untuk menciptakan pekerjaan dan mempermudah Pelaku Usaha dalam melakukan investasi, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5066); jdih.kemenkeu.go.id REPUBUK INDONESIA - 679 - b. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4053) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2007 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4 775); dan
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 252, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4054). Pasal 149 Kawasan ekonomi terdiri atas:
kawasan ekonomi khusus; dan
kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas. Bagian Kedua Kawasan Ekonomi Khusus Pasal 150 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 14 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5066) diubah menjadi sebagai berikut:
Pengelolaan Aset Eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional oleh Menteri Keuangan
Relevan terhadap 1 lainnya
Aset Kredit terdiri dari ATK, Non ATK, PKPS dan Aset Kredit Eks Kelolaan PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero).
Pengelolaan Aset Kredit meliputi:
penatausahaan;
restrukturisasi;
penjualan;
penyertaan modal negara;
penyerahan pengurusan kepada Panitia Urusan Piutang Negara;
pembayaran utang dalam bentuk aset ( asset settlement );
eksekusi barang jaminan;
penyelesaian Aset Kredit dengan Outstanding Utang sampai dengan Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah); dan/atau
pengajuan usulan penghapusan.
Penatausahaan Aset Kredit meliputi:
Inventarisasi dan Verifikasi dokumen; dan/atau
penetapan utang Debitur.
Penatausahaan Aset Kredit dilakukan oleh Direktorat terhadap Dokumen Aset Kredit dan jaminannya.
Hasil penatausahaan Aset Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dalam sistem informasi pengelolaan Aset.
Inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a termasuk pencatatan setiap perubahan jumlah Aset Kredit, Outstanding Utang, dan/atau penerimaan hasil pengelolaan Aset Kredit yang terjadi sebagai akibat dari restrukturisasi, penjualan, penyertaan modal negara, pembayaran dalam bentuk tunai atau aset, penghapusan, putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, atau perubahan lain yang sah.
Terhadap Aset Kredit yang ditolak penyerahan pengurusan piutang oleh Panitia Urusan Piutang Negara, Direktorat melakukan upaya untuk memenuhi kelengkapan persyaratan adanya dan besarnya utang Debitur, dan selanjutnya Aset Kredit diserahkan kembali pengurusannya kepada Panitia Urusan Piutang Negara.
Dalam hal Direktorat tidak dapat memenuhi kelengkapan persyaratan adanya dan besarnya utang Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Aset Kredit dicatat dalam daftar Aset Kredit yang tidak dapat diserahkan pengurusannya kepada Panitia Urusan Piutang Negara.
Terhadap Aset Kredit yang tidak dapat diserahkan pengurusannya kepada Panitia Urusan Piutang Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktorat melakukan panggilan melalui media cetak atau website, dalam rangka penyelesaian kewajiban Debitur.
Dalam hal Debitur tidak memenuhi panggilan setelah 30 (tiga puluh hari) sejak pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilakukan panggilan kedua melalui media cetak atau website .
Dalam hal Debitur memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau ayat (4), serta setelah dilakukan wawancara/penelitian terhadap Debitur diperoleh dokumen/informasi yang dapat memastikan adanya dan besarnya utang Debitur, Direktorat menyerahkan pengurusan Aset Kredit kepada Panitia Urusan Piutang Negara.
Dalam hal Debitur tidak memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau ayat (4), atau Debitur memenuhi panggilan tetapi tidak dapat dibuktikan adanya dan besarnya utang Debitur, maka Direktur Jenderal atas nama Menteri menetapkan Aset Kredit dalam suatu keputusan Aset Kredit eks BPPN yang ada dan besarnya tidak pasti menurut hukum.
Dalam hal setelah terlampauinya jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal penetapan keputusan Aset Kredit eks BPPN yang ada dan besarnya tidak pasti menurut hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (6) belum terdapat informasi yang mendukung kepastian ada dan besarnya piutang, Direktur Jenderal mengajukan usul penghapusan atas Aset Kredit eks BPPN yang ada dan besarnya tidak pasti menurut hukum kepada pejabat yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang pengelolaan piutang negara.
Daftar Aset Kredit yang tidak dapat diserahkan pengurusannya kepada Panitia Urusan Piutang Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.05/2020 tentang Mekanisme Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban atas Pajak Ditanggung Pemerintah ...
Relevan terhadap
Anggaran Belanja Subsidi Pajak DTP dalam penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan penanganan dampak pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional bersumber dari APBN yang diatur dalam Undang- Undang mengenai APBN, APBN Perubahan, dan/atau peraturan perundang-undangan mengenai perubahan postur APBN.
Dalam hal berdasarkan Undang-Undang mengenai APBN, APBN Perubahan dan/atau peraturan perundang-undangan mengenai perubahan postur APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat kebutuhan untuk melakukan pergeseran anggaran dalam rangka penyediaan alokasi anggaran Belanja Subsidi Pajak DTP, pergeseran anggaran dimaksud mengacu pada peraturan perundang-undangan mengenai tata cara penggunaan dan pergeseran anggaran pada bagian anggaran bendahara umum negara pengelolaan belanja lainnya (BA 999.08) dan peraturan perundang-undangan mengenai pelaksanaan kebijakan keuangan negara untuk penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.
Berdasarkan penetapan pergeseran alokasi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2), KPA Subsidi Pajak DTP menyampaikan usulan revisi anggaran dan/atau penerbitan DIPA BUN kepada Direktur Jenderal Anggaran selaku Pemimpin PPA BUN BA 999.07 dengan dilampiri dokumen pendukung antara lain sebagai berikut:
kerangka acuan kerja ( Term of Reference /TOR) untuk tiap pengeluaran ( output ) kegiatan;
rincian anggaran biaya (RAB);
hasil reviu aparat pengawas internal Pemerintah pada kementerian teknis; dan
data dukung lainnya yang relevan dan dapat dipertanggungjawabkan.
Revisi anggaran dan/atau penerbitan DIPA BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengacu pada peraturan perundang-undangan mengenai tata cara revisi anggaran dan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara perencanaan, penelaahan, dan penetapan alokasi anggaran bagian anggaran bendahara umum negara serta pengesahan daftar isian pelaksanaan anggaran bendahara umum negara.
Ketentuan ayat (3) Pasal 8 diubah, sehingga Pasal 8 berbunyi sebagai berikut:
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Pajak Ditanggung Pemerintah yang selanjutnya disebut Pajak DTP adalah pajak terutang yang dibayar oleh pemerintah dalam rangka penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan penanganan dampak pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional, dengan pagu anggaran yang telah ditetapkan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara, kecuali ditentukan lain dalam Undang- Undang mengenai anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja negara perubahan, Peraturan Perundang-undangan mengenai perubahan postur anggaran pendapatan dan belanja negara.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintah negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Pajak Penghasilan yang selanjutnya disebut PPh adalah PPh sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang mengenai pajak penghasilan.
Pajak Pertambahan Nilai yang selanjutnya disingkat PPN adalah PPN sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah.
4a. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang selanjutnya disingkat PPnBM adalah Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah.
Belanja Subsidi adalah alokasi anggaran dalam rangka penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) untuk pemberian dukungan kepada perusahaan negara, lembaga pemerintah, atau pihak ketiga berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menyediakan barang atau jasa yang bersifat strategis atau menguasai hajat hidup orang banyak sesuai dengan kemampuan negara.
Bagian Anggaran Pengelolaan Belanja Subsidi (BA.
Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara Bagian Anggaran 999.07 yang selanjutnya disingkat PPA BUN BA 999.07 adalah unit organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan anggaran yang berasal dari BA 999.07.
Pemimpin Pembantu Pengguna Anggaran BUN yang selanjutnya disebut Pemimpin PPA BUN adalah pejabat eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang bertanggung jawab atas program bagian anggaran BUN dan bertindak untuk menandatangani daftar isian pelaksanaan anggaran BUN.
Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disebut KPA adalah pejabat yang memperoleh kewenangan dan tanggung jawab dari pengguna anggaran untuk menggunakan anggaran yang dikuasakan kepadanya.
Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara untuk Keperluan Subsidi Pajak DTP yang selanjutnya disebut KPA BUN Belanja Subsidi Pajak DTP adalah pejabat pada Kementerian Keuangan yang memperoleh penugasan dari Menteri Keuangan untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan anggaran subsidi Pajak DTP yang berasal dari bagian anggaran BUN.
Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang melaksanakan kewenangan Pengguna Anggaran/KPA untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran atas beban APBN.
Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disebut PPSPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh Pengguna Anggaran/KPA untuk melakukan pengujian atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah pembayaran.
Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara.
Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA.
Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disebut SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh kantor pelayanan perbendaharaan negara selaku Kuasa BUN untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM.
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut DIPA BUN adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh KPA BUN.
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang memperoleh Kuasa dari BUN untuk melaksanakan sebagian fungsi Kuasa BUN.
Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak yang selanjutnya disingkat SPTJM adalah pernyataan yang diterbitkan/ dibuat oleh KPA BUN yang memuat jaminan atau pernyataan bahwa seluruh pengeluaran telah dihitung dengan benar.
Ketentuan Pasal 2 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Operator Ekonomi Bersertifikat (Authorized Economic Operator)
Relevan terhadap
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI TENTANG PENGAKUAN ...... (2)...... SEBAGAI OPERATOR EKONOMI BERSERTIFIKAT (AUTHORIZED ECONOMIC OPERATOR). Memberikan pengakuan sebagai Operator Ekonomi Bersertifikat (Authorized Economic Operator) kepada: Nama Perusahaan :
..... (2) ..... . NPWP :
..... (6) ..... . Yang beralamat di :
..... (7) ..... . Operator Ekonomi :
..... (8) ..... . Kepada Operator Ekonomi Bersertifikat (Authorized Economic Operator) sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESATU mendapat perlakuan kepabeanan tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai Operator Ekonomi Bersertifikat (Authorized Economic Operator). Kepada Operator Ekonomi Bersertifikat (Authorized Economic Operator) sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESATU diberikan sertifikat. Pengakuan sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESATU berlaku selama 5 (lima) tahun. Keputusan Direktur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. 1 I jdih.kemenkeu.go.id Salinan Keputusan Direktur Jenderal ini disampaikan kepada:
....... (9) ..... . 2. . ...... (9) ..... . 3. dst 4. Yang bersangkutan untuk diketahui dan dilaksanakan. DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, jdih.kemenkeu.go.id Nomor (1) Nomor (2) Nomor (3) Nomor (4) Nomor (5) Nomor (6) Nomor (7) Nomor (8) Nomor (9) Nomor (10) Nomor (11) - 108 - PETUNJUK PENGISIAN diisi nomor Keputusan Direktur Jenderal mengenai pengakuan sebagai Operator Ekonomi Bersertifikat (Authorized Economic Operatory. diisi nama Operator Ekonomi yang mendapat pengakuan sebagai Operator Ekonomi Bersertifikat (Authorized Economic Operatory. diisi nomor surat permohonan pengakuan sebagai Operator Ekonomi Bersertifikat (Authorized Economic Operatory. diisi tanggal surat permohonan pengakuan se bagai Operator Ekonomi Bersertifikat (Authorized Economic Operatory. diisi nomor Peraturan Menteri Keuangan mengenai Operator Ekonomi Bersertifikat (Authorized Economic Operatory ini. diisi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Operator Ekonomi yang mendapat pengakuan sebagai Operator Ekonomi Bersertifikat (Authorized Economic Operatory. diisi alamat lengkap Operator Ekonomi yang mendapat pengakuan se bagai Operator Ekonomi Bersertifikat · (Authorized Economic Operatory. diisi jenis Operator Ekonomi yang mengajukan permohonan untuk mendapat pengakuan sebagai Operator Ekonomi Bersertifikat (Authorized Economic Operatory. diisi pihak-pihak yang diberikan salinan Keputusan Direktur Jenderal mengenai pengakuan sebagai Operator Ekonomi Bersertifikat (Authorized Economic Operatory. diisi tanggal, bulan, dan tahun Keputusan Direktur Jenderal mengenai pengakuan sebagai Operator Ekonomi Bersertifikat (Authorized Economic Operatory. diisi nama Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau pejabat yang ditunjuk untuk dan atas nama Direktur Jenderal Bea dan Cukai menandatangani Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai mengenai pengakuan sebagai Operator Ekonomi Bersertifikat (Authorized Economic Operatory. t / jdih.kemenkeu.go.id G. CONTOH FORMAT SERTIFIKAT OPERATOR EKONOMI BERSERTIFIKAT (AUTHORIZED ECONOMIC OPERATOR) KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA MINISTRY OF FINANCE OF THE REPUBLIC OF INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI DIRECTORATE GENERAL OF CUSTOMS AND EXCISE SERTIFIKAT CERTIFICATE Ref. (Nomor Surat Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai) AUTHORIZED ECONOMIC OPERATOR (AEO) diberikan kepada Awarded to (Nama Perusahaan) (J enis Operator) mulai tanggal / starting from ...... I ...... I ..... . sampai dengan tanggal /to ...... / ...... I ..... . Nomor / _Number: _ ............................. . Tanggal/Bulan/Tahun/ Date/Month/Year (Nama dan ttd) DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI DIRECTOR GENERAL CUSTOMS AND EXCISE jdih.kemenkeu.go.id H. CONTOH FORMAT LAPORAN AUDIT INTERNAL LAPORAN AUDIT INTERNAL jdih.kemenkeu.go.id KOP PERUSAHAAN Nomor Perihal _: _ Surat Pengantar Laporan Hasil Audit Internal Kepada Yth.:
Dalam ketentuan Pasal 21 Peraturan Menteri Keuangan Nomor ..... Tahun 2023 tentang Operator Ekonomi Bersertifikat (Authorized Economic Operator) diatur bahwa salah satu bentuk dari tanggung jawab AEO yakni:
melakukan Audit Internal secara periodik; dan
menyampaikan hasil Audit Internal kepada Direktur dan Client Manager. Pelaksanaan audit internal dan penyampaian laporan audit internal tersebut merupakan salah satu bentuk pemenuhan tanggung jawab sebagai Operator Ekonomi. Bersertifikat (Authorized Economic Operator), dan akan menjadi bahan monitoring dan evaluasi yang dilaksanakan oleh Client Manager dan Direktur Teknis Kepabeanan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, untuk dapat dilakukan penilaian atas pemenuhan kondisi dan persyaratan sebagai AEO. 2. Sebagai bentuk pemenuhan tanggung jawab sebagai Operator Ekonomi Bersertifikat (Authorized Economic Operator) dan untuk tetap menjaga agar kondisi dan persyaratan sebagai Operator Ekonomi Bersertifikat (Authorized Economic Operator) tetap terpenuhi, PT ....... sebagai penerima Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor ....... tentang ...... dengan jenis operator ........... , sudah melaksanakan audit internal terkait kondisi dan persyaratan Operator Ekonomi Bersertifikat (Authorized Economic Operator), dengan rincian sebagai berikut:
Periode Audit b. Jadwal audit c. Tim Audit d. Mekanisme Audit (audit internalnya dilakukan terintegrasi dengan audit lainnya atau tersendiri) 3. Merujuk pada hasil audit internal Perusahaan tersebut butir 2, Tim Auditor menyimpulkan bahwa PT ....... :
review atas hasil penilaian yakni ..... b. umpan balik dari pihak manajemen ..... c. rekomendasi yang direncanakan untuk ditingkatkan ke depan ..... sehingga. masih/tidak*) memenuhi kondisi dan persyaratan sebagai Operator Ekonomi Bersertifikat (Authorized Economic Operator). 4. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dengan ini kami sampaikan Laporan Audit Internal Operator Ekonomi Bersertifikat (Authorized Economic Operator) PT ..... periode .... untuk memenuhi tanggung jawab kami sebagai Operator Ekonomi Bersertifikat (Authorized Economic Operator). Demikianlah surat pengantar m1 kami sampaikan untuk dipergunakan sebagaimana mestinya. Atas perhatian dan kerjasamanya yang baik kami ucapkan terima kasih. Tim Auditor, 1. (nama & ttd) 2. (nama & ttd) (ttd) 3. (nama & ttd) Pimpinan Perusahaan ) caret yang tidak perlu jdih.kemenkeu.go.id KONDISIDAN PERIHAL PERTANYAI\N* l\lASIH PERUBAHAN/ KETERANGAN** PERSYARATAN {penjelasan (penjelasan TERPENUHI PENAMBAHAN/ (BUKTI, (penjelasan merujuk pada merujuk merujuk pada (YA/TIDAK)* PENINGKATAN* PENJELASAN, SAQ) padaSAQ) SAQ) DAN LAIN-LAIN) 1. Kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan peraturan lain ketentuan peraturan perundang-undangan terkait 2. Sistem pengelolaan data perdagangan 3. Kemampuan Keuarigan 4. Sistem Konsultasi, Kerjasama dan Komunikasi 5. Sistem pendidikan, pelatihan dan kepedulian 6. Sistem pengelolaan kean1anan dan keselamatan a. Pertukaran informasi, akses dan kerahasiaan b. Keamanan kargo C. Keamanan pergerakan barang d. Keamanan lokasi e. Keamanan pegawai f. Keamanan mitra dagang g. Manajemen krisis dan pemulihan insiden 7. Pengukuran, analisis dan peningkatan * WAJIB DIISI PADA KOLOM YANG SESUAI ** KETERANGAN DIISI DENGAN BUKTI MISAL : DOKUMEN (PROSEDUR, INSTRUKSI KERJA, CONTOH DOKUMEN LAINNYA), TANGKAPAN LAYAR, DAN LAIN-LAIN), UNIT /PIC, ATAU KETERANGAN LAINNYA YANG RELEVAN KESIMPULAN:
review atas hasil penilaian 2. umpan balik dari pihak manajemen 3. rekomendasi yang direncanakan untuk ditingkatkan ke depan Tim Auditor, 1. ( nama & ttd ) 2. ( nama & ttd ) 3. ( nama & ttd ) jdih.kemenkeu.go.id I. CONTOH FORMAT KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI MENGENAI PEMBEKUAN PENGAKUAN SEBAGAI OPERATOR EKONOMI BERSERTIFIKAT (AUTHORIZED ECONOMIC OPERATOR) KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR ...... (1) ..... . TENTANG PEMBEKUAN KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI Menimbang Mengingat Menetapkan KESATU KEDUA KETIGA KEEMPAT NOMOR ...... (2) ...... TENTANG PENGAKUAN ...... (3) ..... .
SEBAGAI OPERATOR EKONOMI BERSERTIFIKAT (AUTHORIZED ECONOMIC OPERATOR) DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, bahwa ...... (3) ...... telah ...... (4) ...... , sehingga pengakuan sebagai Operator Ekonomi Bersertifikat (Authorized Economic Operator') berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor ..... (2)..... tentang Pengakuan ..... (3)...... Sebagai Operator Ekonomi Bersertifikat (Authorized Economic Operator') harus dibekukan;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai tentang Pembekuan Keputusan Direktur Jenderal Bea dan 1. Cukai Nomor ...... (2) ...... tentang Pengakuan ..... (3) ...... Sebagai Operator Ekonomi Bersertifikat (Authorized _Economic Operator'); _ Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor ...... (5) ...... tentang Operator Ekonomi Bersertifikat (Authorized _Economic Operator'); _
PERATURAN MENTER! KEUANGAN TENTANG OPERATOR EKONOMI BERSERTIFIKAT (AUTHORIZED ECONOMIC OPERATOR). BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
Operator Ekonomi adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pergerakan barang secara internasional dalam fungsi rantai pasokan global. 2. Operator Ekonomi Bersertifikat (Authorized Economic Operato'f1 yang selanjutnya disebut AEO adalah Operator Ekonomi yang telah mendapat pengakuan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sehingga mendapatkan perlakuan kepabeanan tertentu. 3. Orang adalah orang perseorangan atau badan hukum. 4. Importir adalah Orang yang melakukan kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean. 5. Eksportir adalah Orang yang melakukan kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean. 6. Pengangkut adalah Orang, kuasanya, atau yang bertanggungjawab atas pengoperasian sarana pengangkut yang mengangkut barang dan/atau orang. 7. Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan yang selanjutnya disingkat PPJK adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pengurusan pemenuhan kewajiban pabean untuk dan atas nama Importir atau Eksportir. 8. Manufaktur adalah Orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan untuk memproduksi barang. jdih.kemenkeu.go.id 9. Konsolidator adalah badan usaha yang melaksanakan pengumpulan (konsolidasi) barang ekspor sebelum dimasukkan ke kawasan pabean untuk dimuat ke sarana pengangkut. 10. Validasi adalah serangkaian kegiatan untuk memeriksa, menguji serta mengkonfirmasi berbagai macam data dan/ a tau informasi atas Operator Ekonomi yang dilakukan secara holistik atas risiko terkait dengan kepatuhan dan keamanan rantai pasok perdagangan internasional. 11. Validasi Dokumen adalah serangkaian kegiatan penilaian risiko terkait kondisi dan persyaratan AEO dengan melakukan pemeriksaan dan observasi data dan/atau informasi atas permohonan untuk memperoleh pengakuan sebagai AEO atau dalam rangka monitoring dan evaluasi. 12. Validasi Lapangan adalah serangkaian kegiatan penilaian risiko terkait kondisi dan persyaratan AEO dengan melakukan kunjungan ke lokasi (on-site visit) Operator Ekonomi dengan melakukan pemeriksaan dan o bservasi data dan/atau informasi atas permohonan untuk memperoleh pengakuan sebagai AEO atau dalam rangka monitoring dan evaluasi. 13. Sistem Pengendalian Internal yang selanjutnya disingkat SPI adalah sistem yang digunakan untuk mengkomunikasikan dan mengendalikan bagian-bagian yang terkait dengan kegiatan/ aktivitas bisnis Operator Ekonomi, pergerakan dokumen pemberitahuan, proses akuntansi, dan lain-lain yang bertujuan untuk memastikan kepatuhan pen era pan peraturan kepabeanan dan/atau cukai. 14. Portal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai adalah sistem integrasi seluruh layanan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai kepada semua pengguna jasa yang bersifat publik dan berbasis web. 15. Kesepakatan Pengakuan Timbal Balik (Mutual Recognition Arrangement) adalah kesepakatan antara 2 (dua) atau lebih administrasi kepabeanan yang menjelaskan situasi kondisi dimana program-program AEO diakui dan diterima oleh pihak-pihak administrasi kepabeanan yang melakukan kesepakatan. 16. Audit Internal adalah audit yang dilakukan oleh pihak internal AEO secara mandiri (self audit), dalam rangka menjaga pemenuhan kondisi dan persyaratan yang ditentukan. 17. Forum Panel adalah kegiatan diskusi untuk menyepakati Operator Ekonomi menjadi AEO. 18. Validator adalah pejabat bea dan cukai yang diberi tugas, wewenang dan tanggung jawab untuk melakukan Validasi terhadap Operator Ekonomi. 19. Manajer Pelayanan Operator Ekonomi (Client Manager) yang selanjutnya disebut Client Manager adalah Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk khusus oleh Kepala Kantor Pabean untuk melakukan tugas memberikan pelayanan komunikasi, konsultasi, bimbingan, dan monitoring terhadap program AEO. jdih.kemenkeu.go.id 20. Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya Kewajiban Pabean sesuai dengan Undang-Undang Kepabeanan. 21. Direktur J enderal adalah Direktur J enderal Bea dan Cukai. 22. Direktur adalah direktur di lingkungan Direktorat J enderal Bea dan Cukai yang melaksanakan tugas standardisasi dan bimbingan teknis, evaluasi dan pelaksanaan di bidang program kepatuhan AEO, pengguna jasa kepabeanan prioritas, dan asistensi Operator Ekonomi. 23. Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan terten tu un tuk melaksanakan tug as terten tu berdasarkan Undang-U ndang Kepabeanan. BAB II OPERATOR EKONOMI Pasal 2 Operator Ekonomi yang dapat diberikan pengakuan sebagai AEO terdiri atas:
Manufaktur;
Eksportir;
Importir;
PPJK;
Pengangkut; clan/ atau f. pihak lainnya yang terkait dengan fungsi rantai pasokan global, meliputi namun tidak terbatas pada Konsolidator, perusahaan yang melakukan kegiatan sebagai tempat penimbunan sementara, tempat penimbunan berikat, dan perusahaan di kawasan bebas. BAB III KONDISI DAN PERSYARATAN SEBAGAI AEO Pasal 3 (1) Untuk memperoleh pengakuan sebagai AEO, Operator Ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 harus memenuhi persyaratan umum sebagai berikut:
tidak pernah melakukan tindak pidana di bidang kepabeanan clan/ a tau cukai serta perpajakan; dan
memiliki laporan keuangan yang diaudit oleh kantor akuntan publik dalam kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir. (2) Selain persyaratan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Operator Ekonomi harus memenuhi kondisi dan persyaratan sebagai berikut:
kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait;
sistem pengelolaan data perdagangan; I jdih.kemenkeu.go.id c. kemampuan keuangan;
sistem konsultasi, kerjasama, dan komunikasi;
sistem pendidikan, pelatihan dan kepedulian;
sistem pengelolaan keamanan dan keselamatan; dan
sistem pengukuran, analisis dan peningkatan. (3) Rincian lebih lanjut mengenai pemenuhan kondisi dan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (4) Pemenuhan kondisi dan persyaratan se bagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berbeda untuk setiap jenis Operator Ekonomi tergantung pada peran dan tanggung jawab Operator Ekonomi dalam rantai pasok perdagangan internasional. BAB IV PENGAKUANSEBAGAIAEO Bagian Kesatu Pengajuan Permohonan Pengakuan Sebagai AEO Pasal 4 (1) Untuk dapat memperoleh pengakuan sebagai AEO, Operator Ekonomi mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal melalui Direktur. (2) Permohonan yang dilakukan oleh Operator Ekonomi dapat berupa:
permohonan baru; atau
permohonan perubahan. (3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat dan ditandatangani oleh pimpinan Operator Ekonomi dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 5 (1) Permohonan se bagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a disampaikan dengan dilampiri:
daftar pertanyaan mengenai informasi umum tentang Operator Ekonomi dan formulir isian penilaian mandiri kualitatif (self-assessment questionnaire) yang telah diisi lengkap;
surat pernyataan kesediaan untuk menjadi AEO yang telah ditandatangani oleh pimpinan Operator Ekonomi; dan
laporan keuangan yang telah diaudit oleh kantor akuntan publik periode 2 (dua) tahun terakhir. (2) Daftar pertanyaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilengkapi dokumen pendukung berupa:
struktur organisasi dari Operator Ekonomi;
standar prosedur operasional (standard operating procedure) tentang kegiatan Operator Ekonomi yang mencerminkan SPI atas kondisi dan persyaratan AEO; jdih.kemenkeu.go.id c. tata letak kantor/pabrik/gudang;
akta pendirian perusahaan dan/atau akta perubahan terakhir;
surat penunjukan manajer AEO yang telah ditandatangani oleh p1mpman Operator Ekonomi; dan
dokumen pendukung lainnya. (3) Untuk dapat memberikan gambaran positif perusahaan, permohonan yang disampaikan oleh Operator Ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilampiri dengan dokumen lain yang terkait dengan manajemen kepatuhan dan/ a tau keamanan berupa:
keputusan mengenai penetapan fasilitas kepabeanan yang dimiliki;
sertifikat/pengakuan sebagai AEO dari negara lain;
surat keterangan fiskal yang memuat informasi yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak mengenai kepatuhan Wajib Pajak selama periode tertentu untuk memenuhi persyaratan memperoleh pelayanan atau dalam rangka pelaksanaan kegiatan tertentu; dan/atau
dokumen lainnya, seperti profil Operator Ekonomi ( company profile), sertifikat dari orgamsas1 internasional untuk standardisasi, kode internasional keamanan kapal dan fasilitas pelabuhan (International Ship and Port Facility Security Code), dan/atau Regulated Agent/Known Consignor . . (4) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a dan lampiran permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) sampai dengan ayat (3), disampaikan secara elektronik melalui Portal Direktorat J enderal Bea dan Cukai. (5) Dalam hal Portal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai belum dapat diterapkan atau mengalami gangguan operasional, permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dan lampiran permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) disampaikan secara tertulis dan/atau melalui media elektronik. (6) Daftar pertanyaan dan formulir isian penilaian mandiri kualitatif (self-assessment questionnaire) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (7) Surat pernyataan kesediaan untuk menjadi AEO sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. jdih.kemenkeu.go.id Bagian Kedua Penilaian dan Penelitian atas Permohonan Pengakuan Sebagai AEO Pasal 6 (1) Validator melakukan penilaian dan penelitian terhadap pemenuhan kondisi dan persyaratan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), dengan cara:
penelitian administrasi;
Validasi Lapangan; dan
Forum Panel. (2) Penilaian terhadap pemenuhan kondisi dan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi Operator Ekonomi, termasuk industri kecil dan menengah. (3) Dalam proses penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Operator Ekonomi menyiapkan data dan informasi yang dibutuhkan oleh Validator. Pasal 7 Penelitian administrasi atas permohonan AEO sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a dilakukan dengan:
meneliti berkas permohonan dan kelengkapan dokumen; dan
Validasi Dokumen. Pasal 8 (1) Penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a dilakukan terhadap dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 . . (2) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama:
2 (dua) hari kerja terhitung setelah permohonan diterima secara lengkap, dalam hal permohonan diajukan secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4); atau
3 (tiga) hari kerja terhitung setelah permohonan diterima secara lengkap, dalam hal permohonan diajukan secara tertulis dan/atau melalui media elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5). (3) Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan terdapat kekurangan dokumen yang dipersyaratkan, permohonan dikembalikan kepada Operator Ekonomi untuk dilengkapi. (4) Dalam hal penelitian berkas permohonan melewati jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), permohonan AEO dinyatakan diterima. Pasal 9 (1) Berkas permohonan dan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) atau ayat (4) yang telah dilakukan penelitian dan dinyatakan diterima, dilakukan Validasi Dokumen. I jdih.kemenkeu.go.id (2) Validasi Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan meneliti berkas permohonan dan informasi yang relevan serta menguji kesesuaian informasi, dengan potensi risiko atas pemenuhan kondisi dan persyaratan AEO. (3) Direktur meminta Operator Ekonomi untuk melakukan pemaparan terkait dengan pemenuhan kondisi dan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak permohonan diterima. (4) Pemaparan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara virtual dan/atau fisik. (5) Pemaparan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat menghasilkan rekomendasi berupa:
Perbaikan atas potensi risiko terkait pemenuhan kondisi dan persyaratan AEO; dan/atau
Validasi Lapangan. (6) Dalam hal hasil pemaparan berupa rekomendasi perbaikan, Direktur menyampaikan kepada Operator Ekonomi untuk ditindaklanjuti. (7) Operator Ekonomi menyampaikan tindak lanjut rekomendasi berupa perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) kepada Direktur, paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal rekomendasi perbaikan diterima. (8) Operator Ekonomi dapat meminta perpanjangan penyampaian tindak lanjut sebelum jatuh tempo sebagaimana dimaksud pada ayat (7) kepada Direktur untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari dengan disertai alasan. (9) Direktur dapat meminta kepada Operator Ekonomi untuk memaparkan kembali tindak lanjut atas rekomendasi yang telah disampaikan. Pasal 10 (1) Operator Ekonomi yang telah dilakukan Validasi Dokumen ditindaklanjuti dengan Validasi Lapangan. (2) Validasi Lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh tim Validasi berdasarkan surat tugas. (3) Validasi Lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara fisik ( on-site) di lokasi Operator Ekonomi atau hybrid berdasarkan manajemen risiko. (4) Dalam pelaksanaan Validasi Lapangan, Direktur dapat melibatkan Kantor Pabean yang terkait dengan kegiatan operasional Operator Ekonomi. (5) Dalam pelaksanaan Validasi Lapangan, Validator dapat melibatkan unit terkait dan/atau kementerian/lembaga lain. Pasal 11 (1) Setelah melakukan Validasi Lapangan, tim Validasi membuat laporan untuk disampaikan kepada Direktur Jenderal melalui Direktur. jdih.kemenkeu.go.id (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berisi kesimpulan dan/ a tau rekomendasi perbaikan. (3) Dalam hal laporan berupa rekomendasi perbaikan, Direktur menyampaikan rekomendasi perbaikan kepada Operator Ekonomi dengan salinannya disampaikan kepada Kantor Pabean terkait. (4) Operator Ekonomi harus menyelesaikan seluruh rekomendasi perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lambat 6 (enam) bulan sejak tanggal surat penyampaian rekomendasi. (5) Dalam hal Operator Ekonomi memiliki lebih dari 1 (satu) lokasi, jangka waktu penyelesaian seluruh rekomendasi perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dihitung sejak tanggal surat penyampaian rekomendasi Validasi Lapangan atas lokasi terakhir. (6) Dalam hal Operator Ekonomi tidak dapat menyelesaikan seluruh rekomendasi perbaikan sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau ayat (5), Operator Ekonomi dapat mengajukan permohonan perpanjangan penyelesaian rekomendasi perbaikan paling banyak 1 ( satu) kali, disertai dengan alasannya. (7) Direktur dapat memberikan persetujuan perpanjangan penyelesaian rekomendasi perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) paling lama 3 (tiga) bulan sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4). Pasal 12 (1) Operator Ekonomi harus memberitahukan hasil perbaikan sebagai tindak lanjut dari rekomendasi perbaikan kepada Direktur. (2) Direktur dapat meminta Operator Ekonomi untuk memberikan pemaparan atas hasil perbaikan sebagai tindak lanjut dari rekomendasi perbaikan. Pasal 13 .(1) Direktur Jenderal atau Direktur melakukan Forum Panel un tuk menetapkan Operator Ekonomi menj adi AEO. (2) Forum Panel dapat dihadiri oleh perwakilan unit di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, unit terkait, dan/atau kementerian/lembaga terkait. (3) Hasil pelaksanaan Forum Panel dapat berupa:
persetujuan pengakuan Operator Ekonomi menjadi AEO; atau
rekomendasi perbaikan. (4) Dalam hal hasil pelaksanaan Forum Panel berupa rekomendasi perbaikan, Direktur menyampaikan rekomendasi perbaikan kepada Operator Ekonomi untuk ditindaklanjuti. (5) Direktur dapat melakukan penilaian lanjutan berdasarkan manajemen risiko atas hasil tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (4). / jdih.kemenkeu.go.id Pasal 14 (1) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) tidak ditindaklanjuti dengan Validasi Lapangan dalam hal:
Operator Ekonomi menyampaikan surat pembatalan permohonan pengakuan sebagai AEO; atau
tindak lanjut perbaikan atas hasil Validasi Dokumen yang dilakukan Operator Ekonomi telah melewati batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (7) a tau ayat (8). (2) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) tidak ditindaklanjuti dengan proses sertifikasi dalam hal:
Operator Ekonomi menyampaikan surat pembatalan permohonan pengakuan sebagai AEO; atau
tindak lanjut perbaikan atas hasil Validasi Lapangan yang dilakukan Operator Ekonomi telah melewati batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) atau ayat (7). (3) Direktur Jenderal atau Direktur menyampaikan pemberitahuan permohonan yang tidak ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b atau ayat (2) huruf b dengan menyebutkan alasan. Bagian Ketiga Permohonan Perubahan Pengakuan Sebagai AEO Pasal 15 Operator Ekonomi yang telah memperoleh pengakuan sebagai AEO dapat mengajukan permohonan perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b dalam hal terdapat perubahan:
jenis Operator Ekonomi;
lokasi;
nama entitas; dan / a tau d. lainnya. Pasal 16 (1) Permohonan perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dilampiri:
surat permohonan perubahan yang ditandatangani oleh pimpinan AEO; dan
dokumen pendukung lainnya. (2) Permohonan perubahan dan dokumen pendukung lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara elektronik melalui Portal Direktorat J enderal Bea dan Cukai. (3) Dalam hal Portal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai belum dapat diterapkan atau mengalami gangguan operasional, permohonan dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis dan/ a tau melalui media elektronik. jdih.kemenkeu.go.id (4) Bentuk dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tata cara penyampaian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berpedoman pada contoh format dan tata cara sebagaimana dimaksud dalam Lampiran huruf E yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 17 (1) Tim Validasi melakukan penelitian dan penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) terhadap permohonan perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) berdasarkan manajemen risiko. (2) Jangka waktu pelaksanaan penelitian dan penilaian terhadap permohonan perubahan dilaksanakan sesuai dengan jangka waktu penelitian dan penilaian terhadap permohonan pengakuan sebagai AEO. (3) Dalam hal hasil penelitian dan penilaian menunjukkan permohonan perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) memenuhi kondisi dan persyaratan, permohonan perubahan AEO dapat disetujui. Bagian Keempat Persetujuan Pengakuan dan Sertifikat Pengakuan AEO Pasal 18 (1) Direktur Jenderal memberikan persetujuan atas:
permohonan pengakuan sebagai AEO berdasarkan hasil Forum Panel se bagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) huruf a; atau
permohonan perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3). (2) Atas persetujuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal menerbitkan Keputusan Direktur Jenderal mengenai pengakuan sebagai AEO dengan jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak pelaksanaan Forum Panel. (3) Atas penerbitan keputusan Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diterbitkan sertifikat pengakuan sebagai AEO. (4) Keputusan pengakuan sebagai AEO sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf F yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (5) Sertifikat pengakuan sebagai AEO sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf G yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. jdih.kemenkeu.go.id (1) (2) (3) Bagian Kelima Masa Berlaku Keputusan Dan Sertifikat AEO Pasal 19 Keputusan pengakuan sebagai AEO sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) berlaku selama 5 (lima) tahun. Keputusan pengakuan dimaksud pada ayat (1) (lima) tahun berdasarkan oleh Direktur. se bagai AEO sebagaimana dapat diperpanjang setiap 5 hasil evaluasi yang dilakukan Dalam hal Operator Ekonomi telah diberikan pengakuan se bagai AEO dan dilakukan perubahan se bagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b, tanggal jatuh tempo masa berlaku atas perubahan mengikuti pengakuan awal. BABV PERLAKUAN TERTENTU TERHADAP AEO Pasal 20 (1) Operator Ekonomi yang telah memperoleh pengakuan sebagai AEO diberikan perlakuan kepabeanan tertentu. (2) Perlakuan kepabeanan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa perlakuan kepabeanan bersifat umum dan/ a tau khusus. (3) Perlakuan kepabeanan bersifat umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan kepada semua jenis operator, yang meliputi namun tidak terbatas pada:
diakui sebagai partner Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
mendapat layanan khusus dalam bentuk layanan yang diberikan Client Manager, c. prioritas untuk diikutsertakan dalam program baru yang dirintis oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; dan/atau
mendapatkan layanan konsultasi dan/atau asistensi kepabeanan di luar jam kerja Kantor Pabean. (4) Perlakuan kepabeanan bersifat khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan sesuai dengan jenis operator tertentu, yang meliputi namun tidak terbatas pada:
memperoleh predikat sebagai perusahaan berisiko rendah;
penelitian dokumen dan/atau pemeriksaan fisik berdasarkan manajemen risiko sesuai ketentuan yang berlaku;
prioritas untuk mendapatkan penyederhanaan prosedur kepabeanan;
prioritas untuk mendapatkan layanan kepabeanan;
pelayanan khusus di bidang kepabeanan untuk kelancaran pengeluaran dan/atau pemasukan arus barang dari dan/atau ke Kawasan Pabean di pelabuhan bongkar dan/atau muat dengan mempertimbangkan manajemen risiko; dan / a tau I jdih.kemenkeu.go.id (5) f. kemudahan yang diatur berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan ketentuan peraturan perundang- undangan. Selain perlakuan kepabeanan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan (4), AEO juga mendapat perlakuan berupa:
kemudahan yang disepakati bersama administrasi kepabeanan negara lain Kesepakatan Pengakuan Timbal Balik Recognition _Arrangement); _ dan/ a tau dengan dalam (Mutual b. kemudahan yang diberikan instansi pemerintah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB VI TANGGUNG JAWAB AEO Pasal 21 (1) AEO bertanggungjawab untuk:
mempertahankan dan/ a tau meningkatkan kondisi dan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3; dan
mengembangkan dan menjaga nilai-nilai etika dan/atau akuntabilitas dalam praktik perdagangan. (2) Untuk mempertahankan dan/atau meningkatkan kondisi dan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, AEO harus:
menunjuk manajer yang menangani kegiatan AEO;
melakukan monitoring mandiri atas kondisi dan persyaratan AEO sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3;
melakukan perbaikan dan menyampaikan laporan dalam hal terdapat perubahan yang berdampak pada atau memengaruhi kondisi dan persyaratan AEO kepada Direktur dan Client Manager, d. melakukan Audit Internal secara periodik;
meningkatkan pemahaman terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan;
menyampaikan hasil Audit Internal kepada Direktur dan Client Manager, g. melakukan komunikasi secara intensif dengan Client Manager, dan h. memasang logo AEO di lokasi yang telah ditetapkan sebagai AEO. Pasal 22 (1) Audit Internal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf d dilakukan sekali dalam 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal Keputusan Direktur Jenderal mengenai pengakuan sebagai AEO. (2) Audit Internal yang dilakukan untuk menguji pemenuhan kondisi dan persyaratan AEO. jdih.kemenkeu.go.id Pasal 23 (1) AEO menunjuk tim untuk pelaksanaan Audit Internal. (2) Hasil Audit Internal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dituangkan dalam laporan hasil Audit Internal. (3) Laporan hasil Audit Internal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit berisi:
review atas hasil penilaian kondisi dan persyaratan AEO;
umpan balik dari pihak manajemen; dan
rekomendasi yang direncanakan untuk ditingkatkan ke depan. (4) Laporan hasil Audit Internal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), disampaikan kepada Direktur dan Client Manager dengan menggunakan surat pengantar yang ditandatangani oleh pimpinan AEO. (5) Laporan hasil Audit Internal dapat disampaikan dalam bentuk salinan cetak (hardcopy) atau salinan digital (softcopy). (6) Laporan hasil Audit Internal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan surat pengantar sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf H yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. BAB VII MANAJERAEO Pasal 24 (1) Manajer AEO ditunjuk oleh Operator Ekonomi yang sudah memperoleh pengakuan sebagai AEO dengan surat penunjukan dari pimpinan AEO. (2) Manajer AEO yang ditunjuk setidaknya memiliki pengetahuan yang cukup terkait ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan/atau cukai serta pemahaman yang baik terkait pemenuhan kondisi dan persyaratan AEO. (3) Manajer AEO yang ditunjuk dapat lebih dari 1 (satu) orang, menyesuaikan dengan kebutuhan AEO dengan mempertimbangkan jumlah lokasi AEO atau berdasarkan pertimbangan lain. (4) Dalam hal pegawai yang ditunjuk sebagai manajer AEO mengalami perubahan karena tidak lagi bekerja pada AEO atau hal lainnya, pimpinan AEO menyampaikan pemberitahuan kepada Direktur dan Client Manager. (5) Manajer AEO mempunyai tugas, antara lain:
melakukan komunikasi dengan Client Manager dan Pejabat Bea dan Cukai yang menangani AEO; dan
memastikan tanggung jawab AEO sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 terpenuhi. jdih.kemenkeu.go.id BAB VIII MONITORING DAN EVALUASI Pasal 25 (1) AEO dilakukan monitoring dan evaluasi. (2) Pelaksanaan monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan:
untuk memastikan kondisi dan persyaratan serta pelaksanaan tanggung jawab sebagai AEO tetap terpenuhi;
sebagai dasar untuk menerbitkan permintaan tindak lanjut perbaikan, menerbitkan pembekuan sebagai AEO, dan/atau menerbitkan pencabutan pengakuan sebagai AEO;
sebagai dasar untuk rekomendasi perubahan atau perpanjangan pengakuan sebagai AEO; dan
sebagai dasar rekomendasi untuk dilakukan pengawasan di bidang kepabeanan dan/ a tau cukai. Pasal 26 (1) Direktur dan/atau Kepala Kantor Pabean melakukan monitoring terhadap AEO. (2) Monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
analisis data dan/ a tau informasi dari pihak internal dan eksternal secara manual dan/atau elektronik;
Validasi Dokumen atas laporan perubahan- perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf c;
Validasi Dokumen atas laporan hasil Audit Internal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2);
Validasi Lapangan; dan/atau
komunikasi dan koordinasi dengan manajer AEO pada Operator Ekonomi. (3) Kepala Kantor Pabean dapat menunjuk Client Manager untuk melakukan monitoring terhadap AEO. (4) Dalam hal monitoring dilakukan oleh Kantor Pabean, hasil monitoring disampaikan kepada Direktur dan/atau AEO. (5) Monitoring yang dilakukan oleh Kantor Pabean dapat dilakukan oleh Pejabat Bea dan Cukai yang belum memiliki kualifikasi sebagai Validator. Pasal 27 (1) Direktur melakukan evaluasi terhadap AEO berdasarkan hasil monitoring. (2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara:
analisis mendalam; dan/atau
Validasi Lapangan. (3) Pengakuan sebagai AEO yang akan jatuh tempo dapat diperpanjang apabila berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan kondisi dan persyaratan masih terpenuhi. jdih.kemenkeu.go.id (4) Dalam hal berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyimpulkan bahwa terdapat fakta terjadinya hal yang memengaruhi SPI atas kondisi dan persyaratan AEO, Direktur menyampaikan surat kepada AEO untuk ditindaklanjuti. (5) Tindak lanjut perbaikan atas hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal surat Direktur. Pasal 28 (1) Dalam melakukan monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) huruf d dan Pasal 27 ayat (2) huruf b, Validasi Lapangan dapat dilakukan dengan:
virtual/ _remote; _ b. fisik _(on-site); _ atau c. kombinasi (hybrid). (2) AEO menyiapkan data maupun informasi yang dibutuhkan oleh Validator selama proses evaluasi. BAB IX PEMBEKUAN DAN PENCABUTAN PENGAKUAN AEO Pasal 29 (1) Pengakuan sebagai AEO dilakukan pembekuan dalam hal:
tidak memenuhi persyaratan umum sebagai AEO sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b;
tidak memenuhi kondisi dan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2);
tidak melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1);
tidak menyampaikan tanggapan atas permintaan tindak lanjut perbaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (5);
dalam jangka waktu 6 (enam) bulan tidak melakukan kegiatan di bidang kepabeanan dan/atau cukai untuk jenis AEO yang melakukan proses bisnis di bidang kepabeanan dan/ a tau cukai;
diduga melakukan tindak pidana di bidang kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan dengan bukti permulaan yang cukup berdasarkan rekomendasi penyidik; dan/atau
terdapat suatu kondisi tertentu dimana barang yang terkait rantai pasokan global dapat membahayakan keamanan, kesehatan masyarakat dan/atau lingkungan. (2) Pada masa pembekuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), AEO tidak mendapatkan perlakuan kepabeanan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, kecuali konsultasi terkait pembekuan. (3) Pembekuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf e dilakukan paling lama 12 (dua belas) bulan. jdih.kemenkeu.go.id (4) Pembekuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dan huruf g dilakukan paling lama sampai dengan masa berlaku keputusan pengakuan sebagai AEO sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) berakhir. (5) Pembekuan pengakuan sebagai AEO sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menerbitkan Keputusan Direktur Jenderal mengenai pembekuan pengakuan sebagai AEO dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 30 (1) Pencabutan pembekuan pengakuan sebagai AEO sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dalam hal berdasarkan hasil evaluasi:
telah memenuhi kembali persyaratan umum sebagai AEO sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b;
telah memenuhi kembali kondisi dan persyaratan sebagai AEO se bagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2);
telah melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1);
telah menyampaikan tanggapan atas permintaan tindak lanjut perbaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (5);
telah kembali melakukan kegiatan di bidang kepabeanan dan/atau cukai;
tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf f berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap atau penyidikan atas tindak pidana dihentikan; dan / a tau g. telah mengatasi atau menyelesaikan kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf g. (2) Dalam hal AEO telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal menerbitkan Keputusan Direktur Jenderal mengenai pencabutan pembekuan pengakuan sebagai AEO. (3) Keputusan Direktur Jenderal mengenai pencabutan pembekuan pengakuan sebagai AEO sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf J yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 31 (1) Pengakuan sebagai AEO dicabut dalam hal:
mengajukan permohonan pencabutan pengakuan sebagai AEO;
tidak memenuhi persyaratan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a; jdih.kemenkeu.go.id c. telah dilakukan 3 (tiga) kali pembekuan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir;
dalam jangka waktu pembekuan, AEO tidak melakukan tindak lanjut perbaikan atas hasil evaluasi;
dinyatakan pailit oleh pengadilan; dan/atau
terdapat perubahan legalitas entitas AEO. ·(2) Direktur Jenderal menerbitkan Keputusan Direktur Jenderal mengenai pencabutan pengakuan sebagai AEO sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf K yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (3) Dalam hal pengakuan sebagai AEO telah dicabut, Operator Ekonomi dapat mengajukan permohonan pengakuan sebagai AEO kembali paling cepat 2 (dua) tahun setelah tanggal pencabutan, kecuali pencabutan pengakuan sebagai AEO dilakukan berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf (f). BABX KETENTUAN LAIN-LAIN Bagian Kesatu Kesepakatan Pengakuan Timbal Balik (Mutual Recognition Arrangement) Pasal 32 (1) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dapat melakukan Kesepakatan Pengakuan Timbal Balik (Mutual Recognition Arrangement) dengan administrasi kepabeanan negara lain dalam rangka pelaksanaan program AEO. (2) Kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk mengamankan rantai pasok perdagangan global dan fasilitasi perdagangan. (3) Proses Kesepakatan Pengakuan Timbal Balik (Mutual Recognition Arrangement) dilakukan berdasarkan tahapan yang disepakati dengan administrasi kepabeanan negara lain. (4) Tahapan dalam Kesepakatan Pengakuan Timbal Balik (Mutual Recognition Arrangement) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat meliputi:
persiapan Kesepakatan Pengakuan Timbal Balik (Mutual Recognition _Arrangement); _ dan b. proses Kesepakatan Pengakuan Timbal Balik (Mutual Recognition Arrangement). (5) Proses Kesepakatan Pengakuan Timbal Balik (Mutual Recognition Arrangement) dapat mencakup:
komparasi program;
site validation _observations; _ c. negosiasi teks; dan
implementasi. jdih.kemenkeu.go.id Bagian Kedua Pendampingan ( Coaching Clinic) Pasal 33 (1) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dapat melakukan pendampingan ( coaching clinic) kepada Operator Ekonomi yang berminat untuk menjadi AEO, sebelum memperoleh pengakuan sebagai AEO. (2) Pendampingan (coaching clinic) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
penjelasan tentang gambaran menyeluruh terkait dengan AEO; dan / a tau b. bimbingan teknis terkait dengan permohonan AEO, termasuk pemeriksaan pendahuluan kelengkapan dokumen dalam proses pengajuan AEO. (3) Dalam hal memerlukan penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, Operator Ekonomi mengajukan permohonan pendampingan ( coaching clinic) kepada Direktur. (4) Pelaksanaan pendampingan (coaching clinic) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara fisik dan/atau virtual. Bagian Ketiga Lain-lain Pasal 34 Direktur Jenderal dapat menetapkan petunjuk teknis dalam memberikan pengakuan Operator Ekonomi sebagai AEO. BAB XI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 35 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
permohonan pengakuan sebagai AEO yang telah diajukan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini dan belum mendapat keputusan, diselesaikan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini; dan
Keputusan Direktur Jenderal mengenai pengakuan sebagai AEO yang telah diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 227 /PMK.04/2014 tentang Operator Ekonomi Bersertifikat (Authorized Economic Operator), dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan berakhirnya masa berlaku keputusan. BAB XII KETENTUAN PENUTUP Pasal 36 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 227 /PMK.04/2014 tentang Operator Ekonomi Bersertifikat (Authorized Economic Operator) (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1922), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. jdih.kemenkeu.go.id Pasal 37 Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan. jdih.kemenkeu.go.id
Pengelolaan Aset Eks Bank Dalam Likuidasi Oleh Menteri Keuangan
Relevan terhadap
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENGELOLAAN ASET EKS BANK DALAM LIKUIDASI OLEH MENTERI KEUANGAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Bank Dalam Likuidasi yang selanjutnya disingkat BDL adalah bank yang telah menerima dana talangan, fasilitas pembiayaan dan/atau dana penjaminan dari pemerintah serta dicabut izin usahanya yang diikuti dengan likuidasi bank. 2. Tim Likuidasi adalah tim yang bertugas melakukan likuidasi bank yang dicabut izin usahanya. 3. Neraca Akhir Likuidasi yang selanjutnya disingkat NAL adalah neraca yang disusun oleh Tim Likuidasi setelah pelaksanaan likuidasi selesai. 4. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerin tahan di bi dang keuangan negara. 5. Aset eks BDL yang selanjutnya disebut dengan Aset adalah harta atau kekayaan eks BDL. 6. Kas adalah uang tunai dan/atau saldo simpanan di bank yang setiap saat dapat dicairkan. 7. Aset Kredit adalah hak pemerintah yang berasal dari tagihan BDL terhadap debiturnya. 8. Aset Inventaris adalah Aset yang berupa barang selain tanah dan/atau bangunan, termasuk kendaraan bermotor, yang merupakan aset milik eks BDL dan/ a tau tercatat dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat/Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus. 9. Surat Berharga adalah surat pengakuan utang, wesel, saham, obligasi, sekuritas kredit, atau setiap derivatifnya, atau kepentingan lain, atau suatu kewajiban dari penerbit, dalam bentuk yang lazim diperdagangkan dalam pasar modal dan pasar uang, yang merupakan aset milik eks BDL dan/atau tercatat dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat/Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus. 10. Aset Saham adalah Aset berupa bukti kepemilikan suatu Perseroan Terbatas yang merupakan milik eks BDL dan/atau tercatat dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat/Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus. 11. Aset Obligasi adalah Aset berupa surat utang jangka menengah dan jangka panjang yang berisi janji dari pihak yang menerbitkan untuk membayar imbalan berupa bunga pada periode tertentu dan melunasi pokok utang pada waktu yang telah ditentukan kepada pihak pemegang obligasi yang merupakan milik eks BDL dan/atau tercatat dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat/Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus. 12. Aset Penempatan pada bank lain yang selanjutnya disebut Aset Penempatan adalah penanaman dana BDL pada bank atau lembaga keuangan lain, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, dalam bentuk pinjaman antarbank (interbank call money}, tabungan, deposito berjangka, dan bentuk lain. 13. Aset Properti adalah Aset berupa tanah dan/atau bangunan serta hak atas satuan rumah susun yang dokumen kepemilikannya dan/ a tau peralihannya berada dalam pengelolaan Menteri dan/atau tercatat dalam Daftar Nominatif dan/atau Laporan Keuangan Pemerintah Pusat/Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus. 14. Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. 15. Direktur Jenderal adalah pejabat eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang memiliki kewenangan, tugas, dan fungsi di bidang pengelolaan kekayaan negara. 16. Direktorat Jenderal adalah unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang memiliki kewenangan, tugas, dan fungsi di bidang pengelolaan kekayaan negara. 17. Direktur adalah pejabat eselon II pada kantor pusat Direktorat Jenderal yang memiliki kewenangan, tugas, dan fungsi di bidang pengelolaan kekayaan negara. 18. Direktorat adalah unit eselon II di lingkungan Direktorat Jenderal yang memiliki kewenangan, tugas, dan fungsi di bidang pengelolaan kekayaan negara. 19. Kantor Wilayah adalah kantor wilayah Direktorat Jenderal. 20. Kantor Pelayanan adalah unit vertikal pelayanan pada Kantor Wilayah. 21. Kementerian Negara yang selanjutnya disebut Kementerian adalah perangkat pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. 22. Lembaga adalah organisasi non Kementerian Negara dan instansi lain pengguna anggaran yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya. 23. Inventarisasi adalah kegiatan pendataan, pencatatan, dan pelaporan Aset. 24. Verifikasi adalah kegiatan pemeriksaan mengenai kebenaran hasil Inventarisasi. 25. Penilai Pemerintah adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan pemerintah yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melakukan Penilaian, termasuk atas hasil penilaiannya secara independen sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 26. Penilai Publik adalah penilai selain Penilai Pemerintah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur Penilai Publik. 27. Penilaian adalah suatu proses kegiatan yang dilakukan oleh penilai untuk memberikan suatu opini nilai yang didasarkan pada data/fakta yang objektif dan relevan dengan menggunakan metode/teknik tertentu atas objek tertentu pada saat tanggal Penilaian. 28. Nilai Wajar adalah estimasi harga yang akan diterima dari penjualan Aset atau dibayarkan untuk penyelesaian kewajiban antara pelaku pasar yang memahami dan berkeinginan untuk melakukan transaksi wajar pada tanggal Penilaian. 29. Nilai Limit adalah nilai minimal barang yang akan dilelang dan ditetapkan oleh penjual. 30. Sewa adalah pemanfaatan Aset Properti oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dengan imbalan uang tunai. 31. Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk um um dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi, yang didahului dengan pengumuman lelang. 32. Nasabah Penyimpan Dana adalah nasabah penyimpan dana eks BDL yang tercatat dalam pembukuan BDL dan tidak termasuk yang dijamin oleh pemerintah. 33. Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kernen terian/ Lembaga. 34. Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada Kementerian/Lembaga yang bersangkutan. 35. Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang melaksanakan kewenangan PA/KPA untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran untuk pembayaran kepada Nasabah Penyimpan Dana. 36. Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat dengan PPSPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk melakukan pengujian atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah pembayaran. 37. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang memperoleh kuasa dari Bendahara Umum Negara untuk melaksanakan sebagian fungsi kuasa Bendahara Umum Negara. 38. Surat Ketetapan Pembayaran Nasabah Penyimpan Dana yang selanjutnya disingkat SKP adalah dokumen sebagai dasar pembayaran kepada Nasabah Penyimpan Dana yang memuat rincian besaran hak Nasabah Penyimpan Dana yang akan disetorkan ke rekening pada bank yang ditunjuk oleh Otoritas Jasa Keuangan dalam periode tertentu. 39. Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara. 40. Surat Perintah Membayar Nasabah Penyimpan Dana yang selanjutnya disebut SPM Nasabah Penyimpan Dana adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk pembayaran Nasabah Penyimpan Dana ke rekening pada bank yang ditunjuk oleh Otoritas Jasa Keuangan. 41. Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan KPPN selaku Kuasa Bendahara Umum Negara berdasarkan SPM Nasabah Penyimpan Dana. Pasal 2 (1) Menteri berwenang melakukan pengelolaan Aset. (2) Dalam pelaksanaan pengelolaan Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri melimpahkan kewenangannya kepada:
Direktur Jenderal dalam bentuk subdelegasi; atau
pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal dalam bentuk mandat. (3) Kewenangan subdelegasi pada Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat dilimpahkan dalam bentuk mandat kepada pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal. Pasal 3 Aset se bagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi:
Kas;
Aset Kredit;
Aset Inventaris;
Surat Berharga berupa Saham dan Obligasi;
Aset Penempatan; dan
Aset Properti, yang telah diserahkan kepada pemerintah. BAB II PENGELOLAAN ASET Bagian Kesatu Kas Pasal 4 (1) Direktorat melaksanakan pengelolaan Kas.
Pengelolaan Kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara:
konfirmasi;
pencatatan pada suatu sistem informasi pengelolaan aset; dan
pelaporan atas penyetoran Aset berupa Kas ke kas negara. Bagian Kedua Aset Kredit Pasal 5 (1) Direktorat melakukan pengelolaan atas Aset Kredit. (2) Pengelolaan Aset Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
penatausahaan;dan b. penyerahan pengurusan kepada Panitia Urusan Piutang Negara. Paragraf 1 Penatausahaan Pasal 6 (1) Penatausahaan Aset Kredit dilakukan dengan cara:
Inventarisasi;
Verifikasi; dan
pelaporan pengelolaan Aset Kredit. (2) Penatausahaan Aset Kredit dilakukan oleh Direktorat terhadap dokumen Aset Kredit dari jaminannya. (3) Hasil penatausahaan Aset Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dalam suatu sistem informasi pengelolaan Aset. Pasal 7 Pelaporan pengelolaan Aset Kredit yang telah diserahkan pengurusannya kepada Panitia Urusan Piutang Negara, dilakukan rekonsiliasi minimal 1 ( satu) kali dalam 1 (satu) semester antara Direktorat dengan Panitia Urusan Piutang Negara/Kantor Pelayanan. Paragraf 2 Penyerahan Pengurusan Kepada Panitia Urusan Piutang Negara Pasal 8 (1) Penyerahan pengurusan Aset Kredit kepada Panitia Urusan Piutang Negara didasarkan pada Akta Pengalihan Hak Atas Tagihan (cessie). (2) Dalam hal tidak terdapat Akta Pengalihan Hak Atas Tagihan (cessie) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyerahan pengurusan Aset Kredit kepada Panitia Urusan Piutang Negara didasarkan pada surat pengakuan utang dari debitur. (3) Dalam hal tidak terdapat surat pengakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyerahan pengurusan Aset Kredit kepada Panitia Urusan Piutang Negara didasarkan pada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. (4) Dalam hal terdapat Akta Pengalihan Hak Atas Tagihan (cessie) dan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, penyerahan pengurusan Aset Kredit kepada Panitia Urusan Piutang Negara didasarkan pada Akta Pengalihan Hak Atas Tagihan (cessie) dan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Pasal 9 (1) Nilai penyerahan pengurusan Aset Kredit kepada Panitia Urusan Piutang Negara didasarkan pada Akta Pengalihan Hak Atas Tagihan (cessie). (2) Dalam hal terdapat putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, nilai penyerahan pengurusan Aset Kredit kepada Panitia Urusan Piutang Negara didasarkan pada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut. Pasal 10 (1) Dalam hal penyerahan pengurusan Aset Kredit kepada Panitia Urusan Piutang Negara didasarkan pada surat pengakuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), nilai penyerahan yang digunakan merupakan jumlah/ nilai utang yang tercantum dalam laporan keuangan tanggal pisah batas pembukuan (cut off date). (2) Dalam hal tidak terdapat laporan keuangan tanggal pisah batas pembukuan (cut off date), nilai penyerahan yang digunakan merupakan jumlah/ nilai utang yang tercantum dalam NAL. (3) Dalam hal tidak terdapat NAL sebagaimana dimaksud pada ayat (2), nilai penyerahan yang digunakan merupakan jumlah/nilai utang yang tercantum pada perjanjian kredit. Pasal 11 Direktur Jenderal menyerahkan pengurusan Aset Kredit kepada Panitia Urusan Piutang Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengurusan piutang negara. Pasal 12 (1) Direktur Jenderal selaku penyerah pengurusan Aset Kredit memiliki wewenang atas Aset Kredit yang telah diserahkan pengurusannya kepada Panitia Urusan Piutang Negara untuk:
memberi persetujuan atau penolakan atas permintaan pertimbangan yang diajukan oleh Panitia Urusan Piutang Negara terhadap permohonan penebusan barang jaminan dengan nilai di bawah nilai pembebanan hak atas barang jaminan utang Aset Kredit;
memberi persetujuan atau penolakan atas permintaan pertimbangan yang diajukan oleh Panitia Urusan Piutang Negara terhadap permohonan penjualan tanpa melalui Lelang dengan nilai di bawah nilai pembebanan atau tidak ada pembebanan hak atas barang jaminan utang Aset Kredit;
melakukan koreksi atas jumlah utang yang telah diserahkan pengurusannya kepada Panitia Urusan Piutang Negara dalam hal terdapat:
kekeliruan dalam pencantuman nilai penyerahan; atau
sebab lain yang dapat di pertanggungjawabkan secara hukum;
mengajukan permohonan pencabutan pemblokiran, pengangkatan sita atas pemblokiran dan penyitaan yang sebelumnya dimohonkan oleh BDL atau Tim Likuidasi;
mengajukan permohonan roya;
mengajukan permohonan perpanjangan atau pembaruan hak atas barangjaminan Aset Kredit yang akan/telah berakhir masa berlakunya; atau
mengajukan permohonan penggantian dokumen barang jaminan Aset Kredit yang rusak. (2) Permintaan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a minimal dilengkapi dengan:
resume berkas kasus piutang negara;
laporan Penilaian yang masih berlaku;
fotokopi dokumen kepemilikan dan/atau dokumen pengikatan; dan
fotokopi surat permohonan dari pemilik atau ahli waris. (3) Permintaan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b minimal dilengkapi dengan:
resume berkas kasus piutang negara;
laporan Penilaian yang masih berlaku;
fotokopi dokumen kepemilikan dan/ a tau dokumen pengikatan; dan
fotokopi surat permohonan dari debitur atau ahli waris. (4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, diberikan dalam hal nilai permohonan minimal sebesar Nilai Wajar berdasarkan laporan Penilaian. Pasal 13 (1) Aset Kredit yang pengurusannya ditolak oleh panitia urusan piutang negara disebabkan belum terpenuhinya kelengkapan persyaratan penyerahan piutang negara ditindaklanjuti oleh Direktorat dengan melakukan upaya pemenuhan kelengkapan persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang piutang negara. (2) Dalam hal kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
telah terpenuhi, Direktorat menyerahkan kembali pengurusannya kepada Panitia Urusan Piutang Negara; a tau b. tidak terpenuhi, Direktorat melakukan upaya optimal berupa panggilan kepada debitur melalui media cetak atau website, dalam rangka penyelesaian kewajiban debitur. (3) Dalam hal debitur memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dan setelah dilakukan wawancara/penelitian terhadap debitur diperoleh dokumen/informasi yang dapat memenuhi persyaratan, Direktorat menyerahkan kembali pengurusannya kepada Panitia Urusan Piutang Negara. (4) Dalam hal Direktorat telah melakukan upaya optimal, Direktur Jenderal atas nama Menteri menetapkan Aset Kredit eks BDL yang tidak dapat diserahkan pengurusannya kepada Panitia Urusan Piutang Negara. (5) Berdasarkan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Aset Kredit dicatat dalam daftar Aset Kredit yang tidak dapat diserahkan pengurusannya kepada Panitia Urusan Piutang Negara. Pasal 14 Terhadap Aset Kredit yang dikembalikan pengurusannya oleh Panitia Urusan Piutang Negara berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengurusan piutang negara, Direktorat melakukan:
pencatatan secara terpisah dengan disertai keterangan alasan pengembalian oleh Panitia Urusan Piutang Negara; dan
upaya lebih lanjut pengelolaan Aset Kredit sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang pengurusan piutang negara. Bagian Ketiga Aset lnventaris Pasal 15 Pengelolaan atas Aset Inventaris meliputi:
penatausahaan;
pengamanan dan pemeliharaan;
penjualan secara Lelang; dan
penetapan menjadi BMN. Paragraf 1 Penatausahaan Pasal 16 Penatausahaan Aset Inventaris dilakukan oleh Direktorat dengan cara:
lnventarisasi; dan
pelaporan pengelolaan Aset Inventaris. Pasal 17 (1) Terhadap Aset Inventaris dilakukan Inventarisasi untuk mengetahui jumlah dan kondisi Aset. (2) Hasil Inventarisasi dicatat dalam suatu sistem informasi pengelolaan Aset. Paragraf 2 Pengamanan dan Pemeliharaan Pasal 18 (1) Pengamanan dan pemeliharaan fisik beserta dokumen Aset Inventaris dilakukan oleh Direktorat. (2) Pelaksanaan pengamanan dan pemeliharaan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diserahkan kepada Kantor Wilayah. (3) Pengamanan fisik Aset Inventaris dilakukan dengan cara menyimpan Aset Inventaris di dalam Aset Properti atau di tempat lain yang ditentukan oleh Direktur. Paragraf 3 Penjualan Secara Lelang Pasal 19 (1) Direktur Jenderal dapat melakukan penjualan atas Aset Inventaris. (2) Penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan melalui Lelang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Lelang. (3) Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui Kantor Pelayanan. (4) Lelang Aset Inventaris dilakukan dalam kondisi sebagaimana adanya (as is). (5) Dalam hal kondisi Aset Inventaris rusak berat dan tidak dapat digunakan berdasarkan hasil penelitian fisik oleh Direktorat, Aset Inventaris dapat dilelang sebagai rongsokan (scrap). (6) Nilai Limit Lelang ditetapkan oleh Direktur Jenderal minimal sama dengan Nilai Wajar berdasarkan laporan penilaian. (7) Nilai Limit sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berlaku untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal ditetapkan, kecuali terdapat perubahan kondisi yang signifikan atas Aset Inventaris. Pasal 20 Dalam hal pelaksanaan penjualan lelang sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 tidak laku, Aset Inventaris dapat ditetapkan statusnya sebagai BMN. Paragraf 4 Penetapan Menjadi BMN Pasal 21 (1) Penetapan Aset Inventaris menjadi BMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dilakukan berdasarkan permohonan dari pimpinan Kementerian/Lembaga kepada Direktur J enderal. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat alasan yang mendasari permohonan dan dilengkapi dengan:
data Aset Inventaris;
surat pernyataan komitmen menggunakan Aset Inventaris untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi;
surat pernyataan kesediaan menerima Aset Inventaris, dalam kondisi fisik dan/atau dokumen sebagaimana adanya _(as is); _ dan d. surat pernyataan kesediaan dan tanggung jawab penuh untuk melunasi dan menyelesaikan segala biaya serta kewajiban yang melekat pada Aset Inventaris tersebut. Pasal 22 (1) Direktorat melakukan penelitian atas permohonan se bagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1). (2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian:
permohonan disetujui, Aset Inventaris ditetapkan sebagai BMN dan ditetapkan status penggunaannya kepada Kementerian/Lembaga; atau
permohonan tidak disetujui, Direktur Jenderal memberitahukan secara tertulis kepada pimpinan Kementerian/Lembaga, disertai dengan alasan. Pasal 23 (1) Penetapan Aset Inventaris menjadi BMN dan penetapan status penggunaannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dilakukan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri melalui Keputusan Menteri. (2) Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada huruf a minimal memuat:
pertimbangan penetapan status penggunaan;
identitas Aset Inventaris yang ditetapkan statusnya menjadi BMN;
pengguna barang;
tindak lanjut penetapan status penggunaan; dan
kewajiban pembayaran hak Nasabah Penyimpan Dana, dalam hal Aset Inventaris yang ditetapkan merupakan aset dari PT Bank Asiatic (Dalam Likuidasi), PT Bank Dagang Bali (Dalam Likuidasi), dan PT Bank Global Internasional Tbk (Dalam Likuidasi). (3) Dalam identitas Aset Inventaris sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, memuat pula nilai Aset Inventaris yang merupakan Nilai Wajar berdasarkan laporan Penilaian. (4) Penetapan status penggunaan Aset Inventaris ditindaklanjuti dengan pembuatan berita acara serah terima Aset Inventaris dari Direktorat kepada Kementerian/ Lembaga. Bagian Keempat Surat Berharga Pasal 24 Pengelolaan Surat Berharga meliputi:
penatausahaan;
permintaan konfirmasi kepemilikan;
menghadiri Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atau Rapat Umum Pemegang Obligasi (RUPO);
permintaan pembayaran atas dividen saham atau bunga obligasi;
pencairan obligasi; dan
penjualan Aset Saham. Paragraf 1 Penatausahaan Pasal 25 (1) Penatausahaan Surat Berharga dilakukan oleh Direktorat dengan cara:
Inventarisasi;
Verifikasi; dan
pelaporan pengelolaan Surat Berharga. (2) Penatausahaan Surat Berharga dilakukan oleh Direktorat terhadap dokumen Surat Berharga. (3) Hasil penatausahaan Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dalam suatu sis tern informasi pengelolaan Aset. Paragraf 2 Permintaan Konfirmasi Kepemilikan Pasal 26 Direktur meminta konfirmasi kepemilikan Surat Berharga yang telah ditatausahakan kepada:
Biro Administrasi Ef ek;
PT Kustodian Sentral Efek Indonesia;
Emiten; dan/atau
penerbit obligasi. Paragraf 3 Menghadiri Rapat Umum Pemegang Saham dan Rapat Umum Pemegang Obligasi Pasal 27 (1) Direktur ber hak menghadiri dan mengam bil kepu tusan dalam RUPS sesuai dengan ketentuan pada anggaran dasar perseroan atau RUPO sesuai dengan perjanjian perwaliamanatan. (2) Direktur dapat memberikan kuasa kepada pejabat atau pegawai dibawahnya dengan hak substitusi untuk menghadiri dan memberikan suara dalam RUPS atau RUPO sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak dimaksudkan untuk melakukan penambahan modal oleh Menteri. Paragraf 4 Permintaan Pembayaran Atas Dividen Saham atau Bunga Obligasi Pasal 28 (1) Direktur melakukan monitoring atas pembayaran dividen atau bunga obligasi. (2) Dalam pelaksanaan monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur meminta pembayaran atas:
dividen saham; dan/atau
bunga obligasi setiap jatuh tempo. Paragraf 5 Pencairan Obligasi Pasal 29 Direktur melakukan pencairan Surat Berharga berupa obligasi. Paragraf 6 Penjualan Aset Saham Pasal 30 (1) Direktur Jenderal dapat melakukan penjualan atas Aset Saham:
melalui Lelang; atau
tanpa melalui Lelang. (2) Penjualan Aset Saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan anggaran dasar perusahaan, perjanjian antar pemegang saham, dan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Pelaksanaan penjualan Aset Saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikuasakan kepada Direktur.
(2) (3) (4) (5) (6) Pasal 31 Penjualan Aset Saham melalui Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf a dilakukan melalui Kantor Pelayanan. Penjualan Aset Saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
Aset Saham pada perusahaan tertutup yang pemegang saham dan/ a tau karyawan tidak menggunakan haknya untuk membeli; dan/atau
saham pada perusahaan terbuka yang tidak tercatat di bursa efek. Nilai Limit penjualan melalui Lelang ditetapkan oleh Direktur Jenderal minimal sama dengan Nilai Wajar berdasarkan laporan Penilaian yang dilakukan oleh penilai. Nilai Limit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku selama 3 (tiga) bulan sejak ditetapkan. Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
Penilai Pemerintah; atau
Penilai Publik yang ditunjuk oleh Direktur. Permohonan Penilaian Aset Saham kepada Pemerintah disampaikan oleh Direktur sesuai Penilai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Penilaian. (7) Ketentuan mengenai penjualan melalui Lelang berpedoman pada ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang Lelang. Pasal 32 Dalam hal Aset Saham pada perusahaan tertutup yang anggaran dasar perusahaan mengatur mengenai adanya hak pemegang saham atau karyawan untuk membeli terlebih dahulu, penawaran penjualan Aset Saham dilakukan dengan menggunakan Nilai Wajar berdasarkan laporan Penilaian. Pasal 33 (1) Aset Saham yang dilakukan penjualan tanpa melalui Lelang sebagaimana dimaksud dalam pasal 30 ayat (1) huruf b merupakan Aset Saham pada perusahaan terbuka yang tercatat/ terdaftar di bursa efek. (2) Penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan baik melalui bursa efek maupun di luar bursa efek dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal dan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait lainnya. (3) Nilai Limit penjualan Aset Saham tanpa melalui Lelang ditetapkan oleh Direktur Jenderal berdasarkan hasil analisis perhitungan rata-rata penutupan harian yang diperoleh dari harga penutupan selama 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum proses penjualan Aset Saham. (4) Nilai limit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku selama 3 (tiga) bulan sejak ditetapkan. (5) Harga penjualan minimal sama dengan Nilai Limit. Bagian Kelima Aset Penempatan Pasal 34 Pengelolaan Aset Penempatan meliputi:
penatausahaan; dan
pencairan dan/atau penagihan dana pada bank peny1mpan. Pasal 35 (1) Penatausahaan Aset Penempatan dilakukan oleh Direktorat dengan cara:
Inventarisasi;
Verifikasi; dan
pelaporan pengelolaan Aset Penempatan. (2) Penatausahaan Aset Penempatan dilakukan oleh Direktorat terhadap dokumen Aset Penempatan. (3) Hasil penatausahaan Aset Penempatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dalam suatu sistem informasi pengelolaan Aset. Pasal 36 Direktur melakukan pencairan dan/atau penagihan Aset Penempatan dengan cara mengajukan permintaan pencairan dan/atau penagihan pada bank penyimpan. Bagian Keenam Aset Properti Pasal 37 Aset Properti terdiri atas:
Aset tetap, yaitu Aset Properti yang berasal dari milik eks BDL;
Barang Jaminan Diambil Alih, yaitu Aset Properti yang berasal dari barangjaminan kredit yang telah diambil alih dan/atau dikuasai oleh eks BDL;
Aset yang diperoleh berdasarkan penetapan/ putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap; dan
Aset yang berasal dari penyerahan pemegang saham kepada BDL untuk menyelesaikan permasalahan permodalan dan likuiditas BDL. Pasal 38 Pengelolaan atas Aset Properti meliputi:
penatausahaan;
pengamanan dan pemeliharaan;
penjualan;
penetapan Aset Properti menjadi BMN; dan
pemanfaatan dalam bentuk Sewa. Paragraf 1 Penatausahaan Pasal 39 (1) Direktorat melaksanakan penatausahaan Aset Properti melalui Inventarisasi dan Verifikasi dokumen. (2) Inventarisasi dan Verifikasi dokumen Aset Properti se bagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada:
dokumen yang dikuasai oleh Kementerian Keuangan; dan/atau
dokumen lain yang terkait dengan status Aset Properti. (3) Inventarisasi dan Verifikasi dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk:
proses Verifikasi Aset Properti;
peninjauan fisik atas Aset Properti;
kodifikasi atas Aset Properti; dan
pencatatan setiap perubahan jumlah Aset Properti, nilai Aset Properti, dan penerimaan hasil pengelolaan Aset Properti yang dikarenakan adanya penjualan, penetapan Aset Properti menjadi BMN, putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, atau perubahan lain yang sah. (4) Hasil Inventarisasi dan Verifikasi dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dicatat oleh Direktorat dalam suatu sistem informasi pengelolaan Aset. Paragraf 2 Pengamanan dan Pemeliharaan Pasal 40 Pengamanan dan pemeliharaan Aset Properti dilakukan terhadap:
fisik Aset Properti; dan
dokumen Aset Properti. Pasal 41 (1) Pengamanan dan pemeliharaan fisik Aset Properti dilakukan oleh Kantor Wilayah. (2) Dalam hal Aset Properti tidak berada dalam penguasaan pihak lain yang tidak berhak, dapat dilakukan pembayaran atas biaya pemeliharaan. (3) Dalam pengamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Kantor Wilayah menunjuk wakil kerja untuk melaksanakan pengamanan fisik Aset Properti. (4) Kantor Wilayah menyampaikan laporan mengenai pelaksanaan pengamanan dan pemeliharaan Aset Properti kepada Direktorat. (5) Direktorat melakukan evaluasi atas laporan yang disampaikan oleh Kantor Wilayah yang hasilnya dilaporkan kepada Direktur Jenderal. (6) Direktorat/Kantor Wilayah dapat meminta bantuan kepada unit kerja terkait di lingkungan Kementerian Keuangan dan/atau instansi berwenang lainnya, guna pengamanan fisik Aset Properti. Pasal 42 (1) Pengamanan dan pemeliharaan atas dokumen Aset Properti dilaksanakan oleh Direktur. (2) Pengamanan dan pemeliharaan dokumen Aset Properti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
Verifikasi masa berlaku hak atas Aset Properti;
konfirmasi atas status hukum Aset Properti kepada unit kerja terkait di lingkungan Kementerian Keuangan dan/atau instansi terkait; dan
penyimpanan dokumen Aset Properti secara tertib dan rapi di tempat yang aman. (3) Dalam pelaksanaan pengamanan dan pemeliharaan dokumen Aset Properti, Direktur dapat meminta bantuan kepada unit kerja terkait di lingkungan Kementerian Keuangan dan/atau instansi berwenang lainnya. Pasal 43 (1) Untuk pengamanan Aset Properti, Direktur dapat melakukan pemblokiran Aset Properti. (2) Dalam pelaksanaan pemblokiran Aset Properti, Direktur dapat meminta bantuan Kepala Kantor wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan setempat. Paragraf 3 Penjualan Pasal 44 (1) Direktur Jenderal dapat melakukan penjualan atas Aset Properti. (2) Penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan:
melalui Lelang;
tanpa melalui Lelang. Pasal 45 (1) Penjualan melalui Lelang sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 ayat (2) huruf a dilaksanakan melalui Kantor Pelayanan sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang Lelang. (2) Aset Properti yang dilakukan penjualan melalui lelang merupakan Aset Properti dalam kondisi fisik dan/ a tau dokumen apa adanya (as is}, termasuk biaya terutang (tunggakan biaya) yang melekat (3) Nilai Limit penjualan melalui Lelang ditetapkan oleh Direktur Jenderal minimal sama dengan Nilai Wajar berdasarkan laporan Penilaian yang dilakukan oleh penilai. (4) Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
Penilai Pemerintah; atau
Penilai Publik yang ditunjuk oleh Direktur. (5) Permohonan penilaian Aset Properti kepada Penilai Pemerintah sebagaimana dimaksud ayat (4) huruf a dilakukan oleh Direktur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Penilaian. (6) Nilai Limit yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal berlaku selama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal penetapan Nilai Limit. (7) Dalam hal terdapat perubahan yang signifikan atas kondisi Aset Properti, masa berlaku Nilai Limit sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat kurang dari 1 (satu) tahun. (8) Perubahan yang signifikan atas kondisi Aset Properti sebagaimana dimaksud pada ayat (7) meliputi:
perubahan fisik yang antara lain disebabkan karena pelebaran jalan, bencana alam, dan abrasi; atau
perubahan peruntukan. (9) Terhadap Aset Properti sebagaimana dimaksud pada ayat (8), dilakukan Penilaian ulang untuk memperoleh Nilai Wajar terbaru atas Aset Properti. (10) Direktur Jenderal menetapkan Nilai Limit minimal sama dengan Nilai Wajar Aset Properti berdasarkan hasil Penilaian ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (6). Pasal 46 (1) Dalam hal Aset Properti tidak laku terjual dalam dua kali Lelang:
untuk Lelang selanjutnya dapat diberikan faktor penyesuai atas Nilai Wajar Aset Properti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (10); atau
Aset Properti dilakukan Penjualan Tanpa melalui Lelang. (2) Faktor penyesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan berdasarkan pertimbangan dan kajian oleh Direktorat. (3) Faktor penyesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan dengan prosentase pengurangan paling besar 30 % (tiga puluh persen) dari nilai wajar. (4) Dalam pemberian faktor penyesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Direktur Jenderal dapat meminta bantuan aparat pengawasan internal pemerintah untuk melakukan reviu. Pasal 47 (1) Penjualan tanpa melalui Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) hurufb dapat dilaksanakan dalam hal:
tidak terpenuhinya legalitas formal subjek dan objek Lelang sesuai peraturan perundang- undangan di bidang Lelang untuk dapat dilakukan penjualan Aset Properti melalui Lelang; atau
Aset Properti tidak terjual dalam dua kali penjualan melalui Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) huruf b. (2) Ketentuan sebagaimana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berdasarkan hasil Verifikasi oleh Direktorat dan/atau rekomendasi komite penyelesaian Aset Properti yang dibentuk Direktur Jenderal. (3) Pihak yang dapat melakukan Penjualan tanpa melalui Lelang atas Aset Properti se bagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
pihak lain yang namanya tercantum dalam dokumen kepemilikan atau orang lain yang dinyatakan sebagai pemilik berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, atau ahli warisnya, dan tidak termasuk _nominee; _ b. badan hukum yang namanya tercantum dalam dokumen kepemilikan yang diwakili oleh pengurus yang masih aktif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
eks debitur terkait yang sudah tidak mempunyai kewajiban kepada BDL c.q. Pemerintah Republik Indonesia;
pihak lain yang telah menguasai Aset Properti secara fisik minimal 20 (dua puluh) tahun dan telah mendirikan bangunan permanen; atau
pihak selain pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d setelah mendapat persetujuan Direktur Jenderal. (4) Dalam pemberian persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e, Direktur Jenderal dapat meminta bantuan aparat pengawasan internal pemerintah untuk melakukan reviu atas permohonan pembelian tanpa melalui Lelang. (5) Eks debitur terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c hanya dapat mengikuti penjualan tanpa melalui Lelang atas Aset Properti berupa:
Barang Jaminan Diambil Alih; atau
Barang Jaminan Diambil Alih yang dicatat sebagai Aset Tetap pada laporan keuangan BDL. Pasal 48 (1) Pihak yang terafiliasi dengan eks BDL tidak dapat mengikuti penjualan tanpa melalui Lelang. (2) Pihak terafiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
komisaris/pengawas eks BDL;
direksi/pengurus eks BDL; dan/atau
pemegang saham eks BDL. (3) Pihak terafiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk keluarga sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat dan/ a tau ke samping satu derajat. Pasal 49 (1) Pihak yang dapat menjadi pembeli dalam penjualan tanpa melalui Lelang atas Aset Properti sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 7 ayat (3) harus mengajukan surat permohonan kepada Direktur Jenderal, yang minimal memuat:
uraian Aset Properti yang akan dimohonkan untuk dilaksanakan penjualan tanpa melalui Lelang;
identitas pemohon; dan
nilai penawaran. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan surat pernyataan secara notariil dari pemohon yang menyatakan bukan se bagai pihak terafiliasi sebagaimana dimaksud Pasal 48 ayat (2) dan ayat (3). Pasal 50 (1) Penjualan tanpa melalui Lelang atas Aset Properti dapat disetujui apabila nilai penawaran minimal sama dengan Nilai Wajar berdasarkan laporan Penilaian. (2) Nilai penjualan tanpa melalui Lelang ditetapkan oleh Direktur Jenderal minimal sama dengan Nilai Wajar berdasarkan laporan Penilaian yang dilakukan oleh penilai. (3) Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
Penilai Pemerintah; atau
Penilai Publik yang ditunjuk oleh Direktur. (4) Permohonan Penilaian Aset Properti kepada Penilai Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan oleh Direktur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Penilaian. (5) Persetujuan penjualan tanpa melalui Lelang atas Aset Properti diberikan oleh Direktur Jenderal berdasarkan rekomendasi dari Direktur.
Permohonan penjualan tanpa melalui Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 dapat disetujui apabila nilai penawaran minimal sama dengan Nilai Wajar Aset Properti berdasarkan laporan Penilaian. (7) Dalam kondisi tertentu, atas Nilai Wajar Aset Properti sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat diberikan faktor penyesuai. (8) Faktor penyesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diberikan dengan pertimbangan tidak terpenuhinya legalitas formal subjek dan objek Lelang sesuai peraturan perundang-undangan di bidang Lelang. (9) Faktor penyesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diberikan prosentase pengurangan dari Nilai Wajar paling tinggi sebesar 30 % (tiga puluh persen). (10) Dalam pemberian faktor penyesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Direktur Jenderal dapat meminta bantuan aparat pengawasan internal pemerintah untuk melakukan reviu. Paragraf 4 Penetapan Aset Properti Menjadi BMN Pasal 51 (1) Menteri dapat menetapkan Aset Properti menjadi BMN. (2) Aset Properti yang dapat ditetapkan menjadi BMN meliputi:
Aset Properti yang dilengkapi dengan:
dokumen pengalihan hak dari Tim Likuidasi; atau
dokumen pengalihan hak dari pemilik asal kepada BDL/Tim Likuidasi;
Aset Properti yang tidak dilengkapi dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf a, namun tercatat pada NAL sebagai Aset Properti; dan
Aset Properti yang tidak dilengkapi dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan tidak tercatat pada NAL. (3) Dokumen pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a tidak terbatas pada akta kuasa untuk menjual, ppjb, ajb, Risalah Lelang, surat pernyataan dari pemilik/eks BDL/Tim Likuidasi, berita acara serah terima atau dokumen pengalihan hak lainnya. Pasal 52 (1) A set Properti se bagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) huruf b, dapat ditetapkan sebagai BMN dengan mekanisme:
Verifikasi; dan
diumumkan dalam media cetak sebanyak 2 (dua) kali dengan rentang waktu 30 (tiga puluh) hari. (2) Dalam proses penetapan sebagai BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktorat dapat meminta reviu aparat pengawasan internal pemerintah. Pasal 53 Aset Properti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) huruf c ditetapkan menjadi BMN setelah mendapatkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Pasal 54 Penetapan Aset Properti menjadi BMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) dilakukan:
berdasarkan permohonan dari pimpinan Kementerian/Lembaga kepada Direktur Jenderal; atau
tanpa didahului permohonan dari Kementerian/Lembaga. Pasal 55 (1) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf a minimal memuat alasan yang mendasari permohonan dan dilampiri dengan:
data Aset Properti;
surat pernyataan komitmen menggunakan Aset Properti untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi;
surat pernyataan kesediaan menerima Aset Properti, dalam kondisi fisik dan/atau dokumen sebagaimana adanya _(as is); _ dan d. surat pernyataan kesediaan dan tanggung jawab penuh untuk melunasi dan menyelesaikan segala biaya serta kewajiban yang melekat pada Aset Properti tersebut. (2) Dalam hal Aset Properti berasal dari PT Bank Asiatic (Dalam Likuidasi), PT Bank Dagang Bali (Dalam Likuidasi), dan PT Bank Global lnternasional Tbk (Dalam Likuidasi) selain kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf a dilampiri pula dengan surat pernyataan bersedia menyelesaikan kewajiban pembayaran kepada Nasabah Penyimpan Dana. Pasal 56 (1) Direktorat melakukan penelitian atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1). (2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian:
permohonan disetujui, Aset Properti ditetapkan sebagai BMN dan ditetapkan status penggunaannya kepada Kementerian/Lembaga; atau
permohonan tidak disetujui, Direktur Jenderal memberitahukan secara tertulis kepada pimpinan Kementerian/Lembaga, disertai dengan alasan. Pasal 57 (1) Penetapan Aset Properti menjadi BMN dan penetapan status penggunaannya se bagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) huruf a ditetapkan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri melalui Keputusan Menteri. (2) Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat:
pertimbangan penetapan status penggunaan;
identitas Aset Properti yang ditetapkan statusnya menjadi BMN;
nilai Aset Properti;
pengguna barang;
tindak lanjut penetapan status penggunaan; dan
kewajiban pembayaran hak Nasabah Penyimpan Dana, dalam hal Aset Properti yang ditetapkan merupakan aset dari PT Bank Asiatic (Dalam Likuidasi), PT Bank Dagang Bali (Dalam Likuidasi), dan PT Bank Global Internasional Tbk (Dalam Likuidasi). (3) Nilai Aset Properti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c merupakan Nilai Wajar berdasarkan laporan Penilaian dan diperhitungkan sebagai pengurang kewajiban eks BDL kepada pemerintah. (4) Penetapan Aset Properti menjadi BMN dan penetapan status penggunaannya ditindaklanjuti dengan pembuatan berita acara serah terima Aset Properti dari Direktorat kepada Kementerian/ Lembaga. Pasal 58 (1) Penetapan Aset Properti menjadi BMN tanpa didahului permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf b dilaksanakan dengan tahapan:
Direktorat menyusun daftar Aset Properti yang direncanakan akan ditetapkan menjadi BMN; dan
Direktorat melakukan kajian atas Aset Properti sebagaimana dimaksud dalam huruf a. (2) Penetapan Aset Properti menjadi BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Direktur J enderal atas nama Menteri melalui Keputusan Menteri. (3) Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) minimal memuat:
pertimbangan penetapan Aset Properti menjadi BMN;
identitas Aset Properti yang ditetapkan menjadi BMN;
nilai Aset Properti; dan
kewajiban pembayaran hak Nasabah Penyimpan Dana, dalam hal Aset Properti yang ditetapkan merupakan aset dari PT Bank Asiatic (Dalam Likuidasi), PT Bank Dagang Bali (Dalam Likuidasi), dan PT Bank Global Internasional Tbk (Dalam Likuidasi). (4) Nilai Aset Properti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c merupakan Nilai Wajar berdasarkan laporan Penilaian dan diperhitungkan sebagai pengurang kewajiban eks BDL kepada pemerintah. (5) Aset Properti yang telah ditetapkan menjadi BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pengelolaannya berada pada Direktorat Jenderal. Paragraf 5 Pemanfaatan Dalam Bentuk Sewa Pasal 59 (1) Kepala Kantor Wilayah atas nama Menteri dapat melakukan pemanfaatan Aset Properti dengan cara Sewa. (2) Sewa Aset Properti dilakukan dengan tujuan:
mencegah penggunaan Aset Properti oleh pihak lain secara tidak sah; atau
mengoptimalkan Aset Properti yang:
belum diajukan Lelang;
belum dilakukan penjualan tanpa melalui Lelang; atau
belum ditetapkan menjadi BMN. (3) Jangka waktu Sewa paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang dalam hal behim terdapat rencana pengelolaan lainnya atas Aset Properti. Pasal 60 (1) Calon penyewa Aset Properti mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala Kantor Wilayah. (2) Permohonan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat:
uraian Aset Properti yang akan disewa;
identitas calon penyewa;
rencana peruntukan Sewa;
usulan besaran Sewa; dan
usulan jangka waktu Sewa. (3) Permohonan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan surat pernyataan untuk tidak menyewakan kembali kepada pihak lain atau menyerahkan dalam bentuk dan cara apapun objek Sewa kepada pihak lain. (4) Kantor Wilayah melakukan penelitian atas permohonan Sewa atas Aset Properti se bagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) termasuk melakukan konfirmasi kepada Direktorat atas rencana pengelolaan Aset Properti yang dimohonkan Sewa. (6) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
disetujui, Kepala Kantor Wilayah menerbitkan persetujuan Sewa; atau
tidak disetujui, Kepala Kantor Wilayah menerbitkan surat penolakan kepada calon penyewa disertai dengan alasannya. Pasal 61 (1) Berdasarkan persetujuan Sewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (6) huruf a, Kepala Kantor Wilayah menindaklanjuti dengan penandatanganan perjanjian Sewa dengan pihak penyewa. (2) Kepala Kantor Wilayah melaporkan pelaksanaan penandatangan perjanjian Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Direktur dengan melampirkan:
Persetujuan Sewa;
Bukti Setor; dan
Perjanjian Sewa. Pasal 62 Pembayaran uang Sewa secara sekaligus paling lambat dibayarkan sebelum ditandatanganinya perjanjian Sewa dengan cara disetorkan ke kas negara dan diperhitungkan sebagai pengurang kewajiban eks BDL kepada pemerintah. Pasal 63 Sewa berakhir dalam hal:
berakhirnya jangka waktu Sewa sebagaimana tertuang dalam perjanjian Sewa;
berlakunya syarat batal sesuai perjanjian; dan / a tau c. ketentuan lain sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan. Pasal 64 Ketentuan pemanfaatan dalam bentuk Sewa atas Aset Properti sepanJang tidak diatur dalam Peraturan Menteri m1 dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang pengelolaan BMN. BAB III INVENTARISASI DAN PENILAIAN Pasal 65 (1) Aset Kredit, Aset Inventaris, Surat Berharga berupa saham dan obligasi, Aset Penempatan, dan Aset Properti yang telah diserahkan kepada Pemerin tah dilakukan Inventarisasi dan Penilaian. (2) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh:
Penilai Pemerintah; atau
Penilai Publik yang ditunjuk oleh Direktur. (3) Dalam hal Penilaian dilakukan oleh Penilai Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, proses pengadaan jasa Penilai Publik dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan barang dan jasa oleh instansi pemerintah. (4) Pelaksanaan Inventarisasi dan Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada ketentuan dibidang Inventarisasi dan Penilaian. (5) Hasil dari pelaksanaan Inventarisasi dan Penilaian ditindaklanjuti dengan:
pencatatan pada suatu sistem informasi pengelolaan aset; dan
penatausahaan. Pasal 66 Pelaksanaan Inventarisasi dan Penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dengan memperhatikan kemampuan keuangan negara. BAB IV HASIL PENGELOLAAN ASET Pasal 67 (1) Hasil pengelolaan Aset terdiri atas:
hasil pengelolaan Aset berupa uang tunai; dan
hasil pengelolaan Aset yang bukan berupa uang tunai. (2) Hasil pengelolaan Aset berupa uang tunai berasal dari:
pembayaran/pelunasan Aset Kredit yang telah diserahkan pengurusannya kepada Panitia Urusan Piutang Negara;
Lelang Aset Inventaris;
pembayaran atas dividen saham dan bunga obligasi;
pencairan obligasi;
penjualan atas Surat Berharga;
pencairan dan/atau penagihan dana Aset Penempatan pada bank penyimpan;
Lelang Aset Properti;
penjualan tanpa melalui Lelang Aset Properti; dan
Sewa Aset Properti. (3) Hasil pengelolaan Aset yang bukan berupa uang tunai berasal dari:
penetapan Aset Inventaris menjadi BMN; dan
penetapan Aset Properti menjadi BMN. Pasal 68 (1) Hasil pengelolaan Aset berupa uang tunai yang berasal dari:
Lelang Aset Inventaris;
pembayaran atas dividen saham dan bunga obligasi;
pencairan obligasi;
penjualan atas Surat Berharga;
pencairan dan/atau penagihan dana Aset Penempatan pada bank penyimpan;
Lelang Aset Properti;
penjualan tanpa melalui Lelang; dan
Sewa Aset Properti, dikenakan biaya pengelolaan Aset. (2) Biaya pengelolaan Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak. (3) Pengenaan Biaya pengelolaan Aset dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 69 (1) Hasil pengelolaan A set se bagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) yang berasal dari:
PT Bank Anrico (Dalam Likuidasi);
PT Bank Guna Internasional (Dalam Likuidasi);
PT Bank Harapan Sentosa (Dalam Likuidasi);
PT Bank Citrahasta Dhanamanunggal (Dalam Likuidasi);
PT Bank Kosagraha Semesta Sejahtera (Dalam Likuidasi);
PT Bank Mataram Dhanarta (Dalam Likuidasi);
PT Bank Pasific (Dalam Likuidasi);
PT Sejahtera Bank Umum (Dalam Likuidasi);
PT South East Asia Bank (Dalam Likuidasi);
PT Bank Dwipa Semesta (Dalam Likuidasi);
PT Astria Raya Bank (Dalam Likuidasi) ;
PT Bank Pinaesaan (Dalam Likuidasi);
PT Bank Industri (Dalam Likuidasi); dan
PT Bank Prasidha Utama (Dalam Likuidasi), setelah dikurangi biaya pengelolaan Aset merupakan hak pemerintah. (2) Hasil pengelolaan Aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) yang berasal dari:
PT Bank Asiatic (Dalam Likuidasi);
PT Bank Dagang Bali (Dalam Likuidasi); dan
PT Bank Global Internasional Tbk (Dalam Likuidasi), setelah diperhitungkan dengan biaya pengelolaan Aset dan pembayaran Nasabah Penyimpan Dana, merupakan hak pemerintah. Pasal 70 (1) Hasil pengelolaan Aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (3) yang berasal dari:
PT Bank Anrico (Dalam Likuidasi);
PT Bank Guna Internasional (Dalam Likuidasi);
PT Bank Harapan Sentosa (Dalam Likuidasi);
PT Bank Citrahasta Dhanamanunggal (Dalam Likuidasi);
PT Bank Kosagraha Semesta Sejahtera (Dalam Likuidasi);
PT Bank Mataram Dhanarta (Dalam Likuidasi);
PT Bank Pasific (Dalam Likuidasi);
PT Sejahtera Bank Umum (Dalam Likuidasi);
PT South East Asia Bank (Dalam Likuidasi); J. PT Bank Dwipa Semesta (Dalam Likuidasi);
PT Astria Raya Bank (Dalam Likuidasi);
PT Bank Pinaesaan (Dalam Likuidasi);
PT Bank Industri (Dalam Likuidasi); dan
PT Bank Prasidha Utama (Dalam Likuidasi), merupakan hak pemerintah. (2) Hasil pengelolaan Aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (3) yang berasal dari:
PT Bank Asiatic (Dalam Likuidasi);
PT Bank Dagang Bali (Dalam Likuidasi); dan
PT Bank Global Internasional Tbk (Dalam Likuidasi), setelah diperhitungkan dengan pembayaran kepada Nasabah Penyimpan Dana merupakan hak pemerintah. Pasal 71 Hak pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dan Pasal 70 diperhitungkan sebagai pengurang piutang pemerintah pada BDL yang tercantum dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat. Pasal 72 Biaya pengelolaan Aset, hak pemerintah, dan dana pembayaran Nasabah Penyimpan Dana dari hasil pengelolaan Aset yang berupa uang tunai disetor ke kas negara. Pasal 73 Nasabah Penyimpan Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (2) merupakan Nasabah Penyimpan Dana yang masih memiliki hak atas hasil pengelolaan Aset yang besarannya ditetapkan oleh Tim Likuidasi dan disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 74 (1) Menteri selaku Bendahara Umum Negara adalah PA pembayaran Nasabah Penyimpan Dana. (2) Menteri menunjuk Direktur Jenderal untuk melaksanakan fungsi PA atas pembayaran Nasabah Penyimpan Dana. (3) Menteri selaku PA menunjuk Direktur selaku KPA. (4) Penunjukan KPA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bersifat ex-officio. Pasal 75 (1) KPA bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan pembayaran Nasabah Penyimpan Dana. (2) Untuk melaksanakan tanggung jawab, KPA menetapkan:
PPK; dan
PPSPM. Pasal 76 (1) Penetapan PPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) huruf a dilakukan untuk mengajukan permintaan pembayaran Nasabah Penyimpan Dana. (2) Penetapan PPK tidak terikat tahun anggaran. Pasal 77 (1) Penetapan PPSPM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) huruf b dilakukan untuk pengujian permintaan pembayaran, pembebanan, dan penerbitan perintah pembayaran Nasabah Penyimpan Dana. (2) Penetapan PPSPM tidak terikat tahun anggaran. Pasal 78 (1) Pembayaran Nasabah Penyimpan Dana dilakukan ke rekening pada bank yang ditunjuk oleh Otoritas Jasa Keuangan. (2) Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan realisasi dana pembayaran Nasabah Penyimpan Dana pada kas negara pada tahun sebelumnya. Pasal 79 Pembayaran Nasabah Penyimpan Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dilaksanakan setiap tahun yang besaran nilai pembayarannya didasarkan pada Laporan Keuangan BUN audited tahun sebelumnya.
(2) Pasal 80 Direktur Jenderal menetapkan keputusan mengenai besaran pembayaran Nasabah Penyimpan Dana untuk masing-masing BDL berdasarkan data realisasi dana pembayaran Nasabah Penyimpan Dana pada kas negara tahun sebelumnya. Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap tahun.
Besaran nilai pembayaran Nasabah Penyimpan Dana yang ditetapkan dalam keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada Laporan Keuangan BUN audited tahun sebelumnya. Pasal 81 Berdasarkan keputusan Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) mengenai be saran pembayaran Nasabah Penyimpan Dana untuk masing-masing BDL, KPA menerbitkan SKP. Pasal 82 (1) Berdasarkan SKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81, PPK menerbitkan SPP untuk pembayaran Nasabah Penyimpan Dana ke rekening sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78. (2) PPK menyampaikan SPP kepada PPSPM dengan melampirkan SKP. (3) Berdasarkan SPP, PPSPM melakukan pemeriksaan dan pengujian SPP beserta lampirannya. (4) Dalam hal pemeriksaan dan pengujian SPP telah memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, PPSPM menerbitkan SPM Nasabah Penyimpan Dana untuk pembayaran Nasabah Penyimpan Dana ke rekening sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dalam rangkap 3 (tiga) dengan peruntukan sebagai berikut:
lembar ke-1 dan lembar ke-2 untuk KPPN; dan
lembar ke-3 untuk pertinggal. (5) Dalam hal pemeriksaan dan pengujian SPP tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, PPSPM mengembalikan SPP kepada PPK untuk diperbaiki dan dilengkapi. (6) PPSPM menyampaikan SPM Nasabah Penyimpan Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada KPPN. Pasal 83 Berdasarkan SPM Nasabah Penyimpan Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (6) dan SKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81, KPPN menerbitkan SP2D sesuai dengan ketentuan penerbitan SP2D. Pasal 84 (1) Dalam hal pada tahun berjalan terdapat selisih kelebihan/kekurangan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1), dapat diperhitungkan dengan pembayaran Nasabah Penyimpan Dana periode berikutnya. (2) Selisih kelebihan/kekurangan pembayaran Nasabah Penyimpan Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), didasarkan pada hasil rekonsiliasi antara Direktorat Jenderal dan Direktorat Jenderal Perbendaharaan, yang dituangkan dalam berita acara. Pasal 85 Pembayaran Nasabah Penyimpan Dana atas hasil pengelolaan Aset yang bukan berupa uang tunai dibebankan pada bagian anggaran Kementerian/Lembaga penerima manfaat dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai tata cara pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. BABV PENANGANANPERKARA Pasal 86 (1) Penanganan perkara di lembaga peradilan atas Aset dilakukan oleh Biro yang mempunyai tugas mengoordinasikan dan melaksanakan advokasi hukum pada Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan dengan mengikutsertakan Direktorat yang memiliki tugas dan fungsi di bidang bantuan hukum pada Direktorat Jenderal. (2) Direktorat yang memiliki tugas dan fungsi di bidang bantuan hukum pada Direktorat Jenderal menyampaikan laporan perkembangan penanganan perkara tiap triwulan kepada Direktur Jenderal dengan ditembuskan kepada Direktur. (3) Untuk penyusunan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktorat yang memiliki tugas dan fungsi di bidang bantuan hukum pada Direktorat Jenderal berkoordinasi dengan Biro yang mempunyai tugas mengoordinasikan dan melaksanakan advokasi hukum pada Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan. Pasal 87 Pengelolaan Aset yang berperkara dilakukan oleh Direktorat dengan mempertimbangkan perkara hukum atas Aset. BAB VI PELAPORAN Pasal 88 (1) Direktur menyampaikan laporan pengelolaan Aset setiap tahun kepada Direktur Jenderal. (2) Laporan pengelolaan Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perkembangan dan hasil pengelolaan Aset. Pasal 89 Direktur dengan sistem Untuk pertanggungjawaban pengelolaan Aset, Jenderal menyusun laporan keuangan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang akuntansi dan pelaporan keuangan pemerintah pusat. BAB VII MONITORING DAN EVALUASI Pasal 90 (1) Direktur Jenderal melakukan monitoring dan evaluasi atas pengelolaan Aset. (2) Hasil monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk menyempurnakan dan mengoptimalkan pengelolaan Aset. BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 91 (1) Seluruh proses pengelolaan Aset oleh Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal yang telah dilakukan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini dinyatakan tetap sah. (2) Pengelolaan Aset yang telah mendapatkan persetujuan Menteri dinyatakan tetap berlaku dan proses selanjutnya mengikuti ketentuan yang berlaku pada saat persetujuan Menteri diterbitkan. BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 92 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 185/PMK.06/2019 tentang Pengelolaan Aset Eks Bank dalam Likuidasi oleh Menteri Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1559), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku;dan b. pengelolaan Aset yang belum mendapatkan persetujuan, selanjutnya dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri 1n1. Pasal 93 Peraturan Menteri m1 mulai berlaku pada tanggal diundangkan.