Uji Materiil atas Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut UU OJK) te ...
Relevan terhadap
ayat (1) “Sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke OJK .” ayat (2) “Sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan beralih dari Bank Indonesia ke OJK .” __ 2. Kewenangan Penyidikan OJK a. Desain pembentukan OJK sebagai lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang terintegrasi (Unified Supervisiory Model) dilandasi pada kondisi sosiologis perkembangan sektor jasa keuangan seiring dengan perkembangan teknologi informasi di era globalisasi transaksi keuangan yang mendorong munculnya berbagai modus kejahatan yang lebih kompleks (tindak pidana yang melibatkan beberapa sektor keuangan sekaligus) sehingga sangat potensial mengganggu stabilitas sistem keuangan nasional. Dengan model pengawasan satu atap, pelanggaran yang terjadi pada satu sektor maupun lintas sektor dapat mudah terdeteksi dan diketahui oleh pengawas sehingga dapat dilakukan penindakan secara cepat dan komprehensif. Dengan terintegrasinya tahapan pengawasan dan penegakan hukum administratif dalam satu atap 95 OJK, maka pengawasan dapat lebih efektif dan efisien dalam memberikan efek jera tanpa mengabaikan unsur pembinaan.
Sebagaimana diketahui bersama bahwa sebelum dibentuknya OJK, Bapepam-LK sebagai Lembaga yang melakukan pengawasan di industri jasa keuangan non-bank juga telah diberikan kewenangan penyidikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Kewenangan penyidikan oleh PPNS sektoral (antara lain PPNS Bapepam-LK saat itu) dilandasi pertimbangan diperlukannya pemahaman teknis sektoral dalam melakukan upaya penegakan hukum administratif di sektor yang bersangkutan. Dengan demikian, dengan kedudukan kelembagaan OJK yang menjadi bagian dari penyelenggaraan urusan pemerintahan berupa pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan, pemberian kewenangan penyidikan sebagaimana yang diberikan kepada PPNS Bapepam merupakan hal yang berdasar hukum dan sebagai open legal policy yang memiliki dasar pertimbangan yang rasional, sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan perkembangan yang ada, tidak melanggar kewenangan pembentuk UU sesuai UUD 1945.
Terkait dengan kewenangan melaksanakan penyidikan oleh lembaga selain Kepolisian, berdasarkan Pasal 2 juncto Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Kepolisian RI), diatur instansi dan/atau badan Pemerintah dapat melaksanakan fungsi kepolisian sepanjang diberikan mandat oleh Undang Undang yang mendasarinya. Salah satu fungsi kepolisian adalah melakukan penyidikan. Instansi dan/atau badan Pemerintah yang melaksanakan penegakan hukum dipersamakan dengan menjalankan fungsi kepolisian khusus. Dengan kedudukan OJK yang tetap menjadi bagian dari sistem penyelenggaraan urusan pemerintahan (Penjelasan Pasal 1 angka 1 juncto paragraf 10 dan paragraf 11 Penjelasan Umum UU OJK), maka kewenangan penyidikan yang diberikan UU OJK sesuai dengan klasifikasi Pasal 2 juncto Pasal 3 ayat (1) UU Kepolisian RI.
Dari sisi jenis kelembagaan OJK sebagaimana diuraikan di atas, 96 sebagai lembaga negara mandiri ( Main organ ), Jimly Ashiddiqie dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara terbitan Rajawali Pers Jakarta tahun 2009 halaman 338-339 yang disampaikan oleh Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LL.M. dalam Keterangan Ahli untuk Permohonan Uji Materiil Nomor 25/PUU- XII/2014, berpendapat bahwa Lembaga Negara Independen yang menjalankan fungsi permanen ( State Independent Agencies ) maupun yang bersifat menunjang ( State Auxiliary Agencies ) disematkan kewenangan kelembagaan yang kuat untuk menjalankan fungsi campuran antara regulatif, administratif, pengawasan dan fungsi penegakan hukumnya .
Berdasarkan uraian kedudukan OJK dalam struktur kelembagaan negara yaitu main organ dan memperhatikan fungsi penyelenggaraan pemerintahan yang diemban oleh OJK untuk menjaga stabilitas keuangan nasional dan memberikan perlindungan kepada konsumen sektor jasa keuangan, maka Pemerintah meyakini sepenuhnya bahwa pemberian kewenangan penyidikan kepada OJK sebagai suatu lembaga Negara yang independen yang melaksanakan fungsi penegakan hukum administratif sektor jasa keuangan merupakan pilihan kebijakan ( open legal policy ) yang sangat tepat dan tidak dapat dianggap inkonstitusional.
Penyidikan OJK sebagai penegakan hukum adminitratif sektor jasa keuangan a. Wewenang penyidikan sebagai bagian dari proses penegakan hukum yang dilakukan OJK merupakan upaya terakhir (ultimum remedium) dalam upaya penegakan hukum administratif sektor jasa keuangan. Pada prinsipnya tugas OJK adalah menjaga ketaatan pelaku industri di sektor jasa keuangan terhadap ketentuan administratif yang diatur dalam berbagai UU sektor jasa keuangan. Dalam rangka penegakan hukum administrative sektpr jasa keuangan, berbagai UU sektor jasa keuangan telah menetapkan adanya sanksi pidana terhadap pelaku pelanggaran ketentuan administratif yang ditetapkan masing-masing 97 UU.
OJK menjalankan fungsi penegakan hukum sebagai penyidik adalah jalan terakhir jika ditemukan ketidaktaatan penyedia jasa keuangan terhadap peraturan perundang-undangan yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana. Dengan konsep pengawasan satu atap di bawah OJK, pengawasan di sektor jasa keuangan hendak mengutamakan prinsip pembinaan dan menempatkan penegakan hukum pidana di sektor jasa keuangan sebagai upaya terakhir ( ultimum remidium ). Namun demikian, dalam situasi tertentu penegakan hukum pidana di sektor jasa keuangan dapat diutamakan ( primum remedium) .
Bahwa sesuai penjelasan umum UU OJK, kedudukan UU OJK merupakan umbrella act bagi “pengawasan di sektor jasa keuangan” , yang menyebabkan kewenangan Penyidik OJK tidak terbatas pada delik-delik yang terdapat dalam UU OJK (UU No. 21 Tahun 2011), melainkan juga terhadap delik pidana pada Undang- Undang di sektor jasa keuangan di bawah pengawasan OJK (Perbankan, Peransuransian, Pasal Modal, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya) sebagaimana diatur dalam Pasal 70 UU OJK.
Bahwa kewenangan penyidikan oleh OJK diperkuat dalam Undang Undang sektoral seperti pada Undang Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (UU Perasuransian) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UU Pasar Modal). Dalam Pasal 57 ayat (1) dan Penjelasan UU Perasuransian disebutkan: “Pengaturan dan pengawasan kegiatan Usaha Perasuransian dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan”. Penjelasan: “Pengaturan dan pengawasan kegiatan Usaha Perasuransian oleh Otoritas Jasa Keuangan antara lain aspek tata kelola, perilaku usaha, dan kesehatan keuangan. Yang dimaksud dengan “pengawasan” antara lain analisis laporan, pemeriksaan, dan penyidika n” __ 98 e. Bahwa menghilangkan kewenangan penyidikan pada UU OJK juga memiliki konsekuensi menghapuskan kewenangan penyidikan pada UU Pasar Modal juga UU Perasuransian. Dibatalkannya Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK berakibat pada batal demi hukumnya Pasal 5 huruf e, Pasal 101 UU Pasar Modal dan Pasal 57 ayat (1) UU Perasuransian.
Sebagaimana diketahui bersama, kejahatan di sektor jasa keuangan mempunyai karakteristik tersendiri. Dari sisi Pelaku, pada umumnya pelaku memiliki kemampuan intelektualitas dan penguasaan teknologi yang canggih. Dari sisi perbuatan, kejahatan di sektor jasa keuangan memiliki kompleksitas yang tinggi karena bersifat lintas sektoral dengan melibatkan berbagai sektor di industri jasa keuangan. Dari sisi akibat yang ditimbulkan, kejahatan di sektor jasa keuangan memiliki dampak yang masif dan merusak kepercayaan masyarakat. Pada akhirnya kejahatan tersebut dapat menghambat peran industri jasa keuangan dalam mendukung pembangunan nasional, sehingga dibutuhkan penanganan yang cepat dan kemampuan sumber daya manusia yang handal dan memahami karakteristik di sektor jasa keuangan. Untuk itu integrasi antara fungsi pengaturan, pengawasan dan penyidikan dalam satu lembaga merupakan pilihan kebijakan didasari kebutuhan untuk melakukan penahanan secara efisien, mengurangi fungsi penyidikan, antara lain di bidang Pasar Modal merupakan pilihan yang mempunyai konsekuensi besar karena berkaitan dengan nature penegakan hukum pasar modal yang bersifat khusus.
Bahwa tindak pidana ( core crime ) di bidang pasar modal memiliki kekhususan ditunjukan dengan adanya pengaturan khusus pada Bab XI UU Pasar Modal yang mengatur tindak pidana Penipuan, Manipulasi Pasar, dan Perdagangan Orang Dalam. Dengan dialihkan kewenangan Bapepam-LK kepada OJK sesuai dengan ketentuan Pasal 55 UU OJK, maka kewenangan tersebut beralih ke OJK.
Bahwa urgensi pengklasifikasian tindak pidana khusus di sektor jasa 99 keuangan tersebut sangat dibutuhkan mengingat pembuktian tindak pidana tersebut memerlukan kompetensi dalam menganalisa kondisi pasar secara komprehensif dengan menggunakan data di sektor jasa keuangan yang valid dan akurat. Kompetensi tersebut saat ini hanya dimiliki oleh pengawas sektor jasa keuangan. Sebagai contoh, pengaturan tindak pidana dan pemberian kewenangan penyidikan di pasar modal secara khusus juga didasari pada salah satu tujuan utama yang hendak dijaga oleh UU Pasar Modal yaitu integritas dan kepercayaan pasar. Oleh karena itu, tidak semua pelanggaran terhadap UU Pasar Modal harus dilanjutkan ke tahap penyidikan karena dapat menghambat kegiatan penawaran dan atau perdagangan Efek secara keseluruhan.
Hal tersebut dapat dipahami mengingat pengawasan industri di sektor jasa keuangan mempunyai objektif dalam hal efisiensi pasar dan terselenggaranya sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan serta stabil (hal tersebut juga diadopsi dalam pembentukan OJK, lihat paragraf 8 Penjelasan Umum UU OJK) sehingga penegakan hukum secara seimbang menitikberatkan pada upaya pemulihan, perbaikan kondisi industri di sektor jasa keuangan, stabilitas perekonomian, dan mewujudkan efek jera bagi pelaku tindak pidana.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK), BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab Keuangan Negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola Keuangan Negara. Selain itu dalam Pasal 8 ayat (3) dan ayat (4) diatur bahwa apabila dalam pemeriksaan BPK ditemukan unsur pidana yang dituangkan dalam Laporan BPK, maka Laporan BPK tersebut dapat dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang- undangan. Sesuai dengan amanat UU BPK tersebut, BPK berfungsi 100 sebagai lembaga yang melaksanakan proses pemeriksaan terhadap lembaga/instansi yang diberikan tanggungjawab untuk melakukan pengelolaan Keuangan Negara. Di sisi OJK sesuai dengan amanat UU OJK merupakan lembaga yang diberikan wewenang untuk melakukan pengaturan, pengawasan dan perlindungan. Kewenangan tersebut dalam rangka mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil. Mengingat cakupan industri sektor jasa keuangan yang meliputi sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya, diperlukan kewenangan pengaturan dan pengawasan terhadap keseluruhan kegiatan jasa keuangan tersebut secara terintegrasi, sehingga dapat dicapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif di dalam menangani permasalahan yang timbul dalam sistem keuangan dan dapat menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan. Disamping hal tersebut di atas, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya OJK sebagai suatu lembaga yang dibentuk berdasarkan amanat UU dan menerima pengalihan kewenangan pengawasan dari Pemerintah (Bapepam-LK di bawah Kementerian Keuangan) dan BI, maka adalah tepat apabila kewenangan sebelumnya yang dimiliki oleh Bapepam-LK termasuk kewenangan penyidikan terhadap sektor pasar modal beralih kepada OJK. Demikian juga dengan kewenangan penyidikan terhadap sektor jasa keuangan lain, maka berdasarkan UU OJK selain Penyidik Kepolisian, PPNS di lingkungan OJK juga memiliki kewenangan penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan.
Bahwa terkait dengan prosedur penanganan perkara di sektor jasa keuangan untuk menghindari tumpang tindih kewenangan, OJK dan Kepolisian sebagai upaya penguatan koordinasi, telah melakukan penandatanganan Nota Kesepahaman antara OJK dengan Kepolisian Republik Indonesia Nomor PRJ-36/D.01/2014 Nomor: B/44/XI/2014 tentang Kerjasama Penanganan Tindak Pidana Di 101 Sektor Jasa Keuangan yang memuat mekanisme koordinasi dalam penanganan tindak pidana di sektor jasa keuangan, khususnya terkait dengan penanganan penyidikan bersama tindak pidana di sektor jasa keuangan ( join investigation ). Koordinasi tersebut melingkupi tukar-menukar informasi, penyediaan ahli, permintaan pembukaan rahasia bank, dan bantuan penangkapan. Dengan demikian, dapat dipastikan tidak terdapat tumpang-tindih kewenangan antara OJK dengan Kepolisian. Selain itu, Presiden mengajukan 2 orang ahli yaitu Bismar Nasution dan Atip Latipulhayat yang didengarkan keterangannya pada persidangan tanggal 1 April 2019 dan 2 orang saksi Warasman Marbun dan Johansyah yang didengarkan keterangannya pada persidangan tanggal 9 April 2019 dan pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut: Ahli Presiden 1. Bismar Nasution Di setiap negara, fungsi bank merupakan ”jantung” dari pasar uang dan fungsi pasar modal sebagai penyedia pembiayaan jangka panjang. Keduanya berfungsi dalam mendukung perekonomian negara. Fungsi bank misalnya, menurut Alexander Hamilton ”Menteri Keuangan” pertama Amerika Serikat adalah a necessary engines that ever were invented for advancing trade . Bahkan, Charles Himawan mengatakan, bank adalah badan untuk membuat suatu negara makmur. Persoalannya adalah bagaimana dan siapa yang mengendalikan dan melindungi bank. Dari kacamata hukum baik bank maupun nasabah (yaitu masyarakat) perlu dilindungi, karena keduanya adalah komponen terpenting dalam proses pembangunan ekonomi negara (Charles Himawan, Hukum Sebagai Panglima, 2003). Berdasarkan fungsi bank dan pasar modal yang sangat krusial bagi perekonomian suatu negara, maka keberadaan aset bank dan pasar modal dalam bentuk kepercayaan masyarakat sangat penting dijaga. Sebab kepercayaan masyarakat sangat penting misalnya bagi bank paling tidak karena dua alasan. Pertama, meningkatkan efisiensi penggunaan bank dan efisiensi intermediasi. Kedua, mencegah terjadinya bank runs and panics (Zulkarnain Sitompul, Lembaga Penjamin Simpanan Substansi dan 102 Permasalahan, 2007). Pentingnya kepercayaan masyarakat tersebut juga diamini Presiden Roosevelt. Sewaktu mengumumkan berakhirnya bank holiday di Amerika Serikat, Roosevelt mengatakan,” after all, there is an elemen in the readjustmen of our financial system more important than currency, more important than gold, and that is the confidence of the people ”. Kepercayaan masyarakat bagi pasar modal berkaitan dengan prinsip keterbukaan. Karena prinsip keterbukaan telah menjadi fokus sentral dari pasar modal. Setidaknya, terdapat tiga fungsi prinsip ketebukaan di pasar modal. Pertama, prinsip keterbukaan berfungsi untuk memelihara kepercayaan masyarakat. Kedua, prinsip keterbukaan berfungsi untuk menciptakan pasar yang efisien. Ketiga, prinsip keterbukaan penting mencegah penipuan atau fraud (Bismar Nasution, Keterbukaan Dalam Pasar Modal, 2001). Hal ini diatur dalam Securities Act 1933 dan Securities Exchange Act 1934. Kedua Undang-Undang tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat. Securities Act 1933 dan Securities Exchange Act 1934 telah mengatur lahirnya Securities and Exchange Commission (SEC). Tugas SEC adalah menegakkan, Securities Act 1933 dan Securities Exchange Act 1934 serta SEC mempunyai kewenangan investigasi atau penyidikan terhadap pelanggaran Securities Act 1933 dan Securities Exchange Act 1934 (David L. Ratner, Securities Regulation In A Nutshell, 1992). Kewenangan SEC dalam penyidikan atas pelanggaran peraturan pasar modal sebagaimana diatur dalam Securities Exchange Act 1934 merupakan suatu bentuk pengendalian sosial yang khusus mengatur masyarakat, agar terhindar dari perbuatan-perbuatan pernyataan menyesatkan ( misleiding statement ), manipulasi pasar ( cornering ), dan perdagangan orang dalam ( insider trading ) di pasar modal. Di sini hukum itu sebagai anti sosial, sebagaimana diamati oleh Roscoe Pound (Roscoe Pound, Social Through Law, 1942). Pemberian kewenangan penyidikan tersebut adalah salah satu cara untuk melindungi masyarakat dan memberikan rasa aman serta kemantapan bagi masyarakat dalam kegiatan pasar modal, yang pada gilirannya dapat menjadi suatu upaya meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada industri keuangan. Indonesia dalam menyusun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal telah mengambil pola undang-undang pasar modal 103 Amerika Serikat, sehingga Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) diberikan wewenang melakukan penyidikan, sebagaimana diatur dalam ketentuan Bab XII Penyidikan, Pasal 101 Undang-Undang Pasar Modal. Hal yang sama juga dilakukan oleh berbagai negara antara lain Korea Selatan, Filipina, Venezuela, Malaysia, Singapura, (Sumantoro, Aspek-Aspek Hukum dan Potensi Pasar Modal di Indonesia, 1988). Brazil misalnya mengadopsi peraturan prinsip keterbukaan peraturan pasar modal Amerika Serikat (Norman S. Poser, ”Securities Regulation In Developing Countries: The Brazilian Exprerience”, Virginia Law Review, 1966). Ahli sejarah mengajarkan kita, bahwa sejarah dipelajari bukan untuk membenarkan kekurangan kita hari ini, tetapi untuk mempersiapkan hari depan. Benjamin N. Cardozo juga mengajarkan bahwa sejarah dalam memerangi masa lalu menerangi masa sekarang, sehingga dalam menerangi masa sekarang dia menerangi masa depan (Benjamin Cardozo, The Nature of the Judicial Process, 1962). Bahkan, Bung Karno pernah berkata (17-8-1951): ”.....dari mempelajari sejarah orang bisa menemukan hukum-hukum yang menguasai kehidupan manusia” (Chales Himawan, Hukum Sebagai Suatu Panglima, 2003). Krisis tahun 1997-1998 yang meluluhlantakkan perekonomian Indonesia merupakan alasan lahirnya ”Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan” (”Undang-Undang OJK”). Desain pembentukan Undang-Undang OJK adalah untuk memenuhi tuntutan perubahan pada lembaga pengatur dan pengawas industri jasa keuangan yang menjadi salah satu penyebab krisis 1997-1998. Oliver Wendell Holmes mengingatkan ” The life of the Law has not been logic; it has been experience ” Objektif Undang-Undang OJK itu juga menjadi alat utama pemerintah untuk mempermudah akses masyarakat kepada industri jasa keuangan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat. Ann Seidman, Robert B. Siedman dan Nalin Abeyesekere mengatakan, bahwa dalam proses pembangunan undang-undang merupakan alat utama pemerintah melakukan perubahan pada lembaga-lembaga. Hal tersebut juga memperjelas tugas pembuat undang-undang, yaitu membuat undang-undang menjadi efektif dan mampu membawa perubahan. Sebab suatu undang-undang yang efektif pada keadaan khusus di suatu negara harus mampu mendorong suatu perilaku 104 yang dituju atau yang diaturnya (Ann Seidman, Robert B. Siedman dan Nalin Abeyesekere dalam bukunya ” Legislative Drafting for Democratic Social Change a Manual for Drafters ”, 2001) Undang-Undang OJK yang juga melahirkan OJK merupakan upaya mengatasi berbagai permasalahan yang mengemuka dalam lintas sektoral industri jasa keuangan, yang meliputi moral hazard, belum optimalnya perlindungan konsumen industri jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan (SSK). Pentingnya Undang-Undang OJK tidak cukup dilihat dari kacamata normatif, tetapi harus dikaji secara filosofis agar dapat memberi penjelasan mengenai gejala-gejala fisik atau sosial yang menjadi dasar perumusannya. Kajiannya harus melebihi substansi hukumnya sendiri, agar dapat memahami ” law behind law ” dari Undang-Undang OJK dan memahami alasan hukum yang mendasari Undang-Undang OJK. Cara pandang demikian itu yang membuat orang terhindar dari penafsiran hukum ”legalistik” atau ” black letter rules ” . Dalam konsideran Undang-Undang OJK dikatakan, bahwa untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, diperlukan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, diperlukan otoritas jasa keuangan yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara terpadu, independen, dan akuntabel. Hal tersebut masih relevan dengan ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang- Undang OJK setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25/PUU-XII/2014 menyatakan sebagai berikut: ”Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini”. Alasan dasar yang melatarbelakangi perubahan sistem pengawasan terhadap sektor jasa keuangan oleh OJK adalah perkembangan di sektor jasa keuangan 105 yaitu terjadinya konvergensi di antara lembaga-lembaga keuangan dan produk-produk jasa keuangan. Beberapa alasan yang memicu dilakukan perubahan terhadap kelembagaan pengawasan sektor jasa keuangan adalah: Pertama, munculnya konglomerasi keuangan dan mulai diterapkan universal banking di banyak negara. Kondisi ini menyebabkan regulasi yang didasarkan atas sektor keuangan menjadi tidak efisien karena gap dalam regulasi dan supervisi. Kedua, stabilitas sistem keuangan telah menjadi isu utama bagi lembaga pengawas (dan lembaga pengawas) yang awalnya belum memperhatikan masalah stabilitas sistem keuangan, mulai mencari struktur kelembagaan yang tepat untuk meningkatkan stabilitas sistem keuangan. Ketiga, kepercayaan dan keyakinan pasar terhadap lembaga pengawas menjadi komponen utama good governance . Untuk meningkatkan good governance pada lembaga pengawas jasa keuangan, banyak negara melakukan revisi struktur lembaga pengawas jasa keuangannya. Kehadiran OJK dalam rangka penataan sistem pengawasan industri keuangan tersebut harus memberikan manfaat kepada berbagai pihak, khususnya masyarakat, agar misalnya masyarakat secara maksimum memperoleh manfaat atau kebahagiaan dalam kegiatannya dalam industri jasa keuangan. Jeremy Bentham pelopor aliran utilitarian mengajarkan, bahwa yang menjadi dasar pengambilan keputusan etis dengan mempertimbangkan manfaat terbesar bagi banyak pihak sebagai hasil akhir dari tindakan atau kebijaksanaan tersebut atau the greatest happiness for the greatest numbers (Jeremy Bentham, ” An Introduction to the Principle of Moral and Legislation ”, 2000) Oleh karena itu, kewenangan OJK paling tidak meliputi lima sasaran. Pertama, melindungi investor untuk membangun kepercayaan terhadap pasar. Kedua, memastikan bahwa pasar yang terbentuk adalah pasar yang fair, efisien, dan transparan. Ketiga, mengurangi risiko sistemik. Keempat, melindungi lembaga keuangan dari penyalahgunaan atau malpraktek dari konsumen (seperti money laundering). Kelima, menjaga kepercayaan konsumen dalam sistem keuangan (Kenneth Kaoma Mwenda, ” Legal Aspects of Financial Services Regulation and the Concept of a Unified Regulator ” 2006). 106 Dalam dunia praktek, peroblema pokok yang lebih mendesak adalah problema metode yang memungkinkan penegak hukum sampai pada keseimbangan dan penilaian keseimbangan-keseimbangan dimaksud. Oleh karena itu, perlu menentukan situasi-situasi yang merupakan cara standar berfungsinya Undang-Undang OJK sebagai primary rule . H.L.A Hart mengatakan, bahwa jika pedoman-pedoman umum primer tidak dipatuhi oleh seorang individu, petugas bisa mengingatkan orang itu dan meminta agar undang-undang itu dipatuhi atau ketidakpatuhannya bisa secara resmi diidentifikasi dan dicatat lalu diberlakukan hukuman yang dikenakan padanya oleh pengadilan. Pentingnya peran sebuah struktur regulasi OJK membentuk kepercayaan dari pelaku pasar. Kepercayaan dari konsumen dan investor akan terbentuk apabila sebuah struktur regulasi dapat mengontrol penyalahgunaan pasar, seperti insider trading, money laundering atau jenis kejahatan keungan lainnya. Investor mempunyai kecenderungan untuk meletakkan investasinya pada pasar yang dapat mencapai objektif-objektif regulasi untuk melindungi mereka dari resiko. Sehingga, apabila ada peraturan yang jelas terhadap industri jasa keuangan, pelaku pasar dan investor melalui cara seperti effective Chinese walls dan kode etik yang jelas, pasar akan cenderung terlindungi dari pelaku penyalahgunaan dari pelaku pasar. Dapat dipahami mengapa pembuat undang-undang memberikan kewenangan penyidikan kepada OJK sebagaimana diamanatkan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c Undang-Undang OJK. Kewenangan OJK dalam penyidikan tersebut akan membuat penyidikan perkara yang jelas dan objektif, sehingga check and balances dari jalannya sebuah penyidikan dapat dengan mudah dilakukan dan diukur. OJK mempunyai standar pemeriksaan hingga penyidikan yang mengacu kepada KUHAP. Hal itu menjamin kepastian hukum dan menjaga agar masalah yang ada dapat diselesaikan secepat mungkin. Mengingat, bahwa sektor keuangan sangatlah dinamis. Keterlambatan penaganan atau proses yang terlalu berkepanjangan dapat menimbulkan permasalahan sistemik dan menimbulkan efek domino. Pengaturan standar penyidikan yang diatur dalam Peraturan OJK telah memenuhi unsur kualitas dari hukum yang harus dipenuhi agar sistem 107 ekonomi berfungsi. Unsur tersebut menurut Leonard J. Theberge. Pertama, unsur ”stabilitas” (” stability ”), dimana hukum berpotensi untuk menjaga keseimbangan dan mengakomodasi kepentingan yang saling bersaing. Kedua, unsur ”meramalkan” (” predictability ”), berfungsi meramalkan akibat dari suatu langkah-langkah yang diambil. Akhirnya, termasuk unsur ”keadilan” (” fairness ”, diperlukan untuk menjaga mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang berlebihan (Leonard J. Theberge, ”Law and Economic Development”, 1980). Sebagai tambahan, pemberian kewenangan penyidikan kepada OJK tersebut tidak terlepas kaitannya sebagaimana diuraikan Jimly Asshiddiqie, bahwa berkembangnya demikian banyak lembaga-lembaga yang bersifat independen mencerminkan adanya kebutuhan untuk mendekonsentrasikan kekuasaan dari tangan birokrasi ataupun organ-organ konvensional pemerintahan tempat kekuasaan selama masa-masa sebelumnya terkonsentrasi. Sebagai akibat tuntutan perkembangan yang semakin kompleks dan rumit, organisasi- organisasi kekuasaan yang birokratis, sentralis, dan terkonsentrasi tidak dapat lagi diandalkan. Karena itu, pada waktu yang hampir bersamaan muncul gelombang deregulasi, debirokratisasi, privatisasi, desetralisasi, dan dekonsentrasi. Salah satu akibatnya, fungsi-fungsi kekuasaan yang biasanya melekat dalam fungsi-fungsi lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif dialihkan menjadi fungsi organ tersendiri yang bersifat independen. Karena itu, kadang-kadang lembaga-lembaga baru tersebut menjalankan fungsi-fungsi yang bersifat campuran, dan masing-masing bersifat independen (Jimly Asshiddiqie, Perkembangan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, 2006) Tepatlah, pembuat undang-undang memberikan kewenangan kepada OJK untuk melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan. Seperti kegiatan jasa keuangan di sektor-sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. Karena regulasi di bidang keuangan memang harus didesain untuk memberi keleluasaan untuk OJK dalam membentuk kebijakan yang tepat dan haruslah memberi ruang dan fleksibilitas kepada OJK sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan ekonomi. 108 Dengan demikian kewenangan OJK dalam penyidikan tersebut harus dapat operasional di lapangan, agar OJK dapat menanggulangi kejahatan dalam sektor keuangan. Mengingat, munculnya berbagai kejahatan, termasuk kejahatan crime as business, yang dilakukan secara terorganisir oleh mereka yang mempunyai pengetahuan yang cukup dan memiliki kedudukan terpandang dalam masyarakat ( organized crime, white collar crime ). KESIMPULAN Kewenangan penyidikan oleh OJK punya peranan penting dalam menanggulangi kejahatan di sektor keuangan karena sebagai pengawas memiliki pengetahuan dan pengalamaan tentang modus operandi kejahatan di industri jasa keuangan. Oleh karena itu, penyidik OJK dapat memenuhi budaya hukum ( legal culture ) sebagai sub-sistem yang sangat penting dalam penegakan hukum. Itu alasannya pemberian kewenangan penyidikan kepada OJK tidak perlu dikhawatirkan menimbulkan tumpang tindih kewenangan, akan tetapi malah menciptakan Multi Investigator System . Suatu sistem yang dapat menciptakan semangat kompetisi diantara institusi penyidik. Sistem Multy Investigator System telah diterapkan negara lain, seperti Amerika Serikat yang mengatur berbagai institusi sebagai penyidik dalam kasus pasar modal penyidiknya adalah SEC ( Securities and Exchange Commission ) dan penyidik kasus money laundering antara lain, DEA ( Drugs Enforcement Administration ) dan IRS ( Internal Revenue Service ). Dengan demikian pemberian kewenangan penyidikan kepada OJK oleh pembuat undang-undang perlu didukung, sehingga keberadaan OJK dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada industri jasa keuangan sebagai syarat mutlak terciptanya stabilitas sistem keuangan.
Atip Latipulhayat Permohonan Pengujian Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan Nomor 102/PUU-XVI/2018 ini, pada pokoknya mendalilkan bahwa pemberian kewenangan penyidikan kepada OJK, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK), bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. 109 Isu utama dalam permohonan pengujian ini adalah tentang hak penyidikan yang dimiliki oleh OJK. Sesuai dengan kompetensi dan keahliannya Ahli menyatakan persoalan ini akan di tinjau dari praktik-praktik negara dalam pembentukan lembaga pengawas jasa keuangan. Pembentukan lembaga pengawas jasa keuangan ( Financial Supervisory Agency ) tidak bisa dilepaskan dari krisis keuangan global yang terjadi pada periode 2007-2009. Imbas dari krisis tersebut mendorong negara-negara untuk menata ulang regulasi keuangan termasuk pembentukan lembaga pengawasannya. Perubahan dan modifikasi regulasi keuangan dan pengawasannya merupakan elemen utama untuk menciptakan pasar uang domestik dan internasional yang stabil di masa depan. Dengan alasan ini pula para pemimpin G20 bertemu di London (London Summit) pada bulan April 2009 untuk memperkuat sistem regulasi dan pengawasan pasar uang global. Memperkuat regulasi dan supervisi selalu memantik potensi konflik dengan kebebasan esensial dari pasar uang. Oleh karenanya selalu diperlukan suatu formula yang seimbang antara dua elemen tersebut. Ketegangan antara regulasi dan supervisi di satu pihak dan kebebasan pasar ( freedom of financial markets ) di pihak lainnya bukan merupakan fenomena baru dalam hukum keuangan ( financial law ). Yang merupakan elemen atau unsur yang baru baru adalah penguatan regulasi dan supervisi tersebut harus mempertimbangkan adanya kebutuhan kerjasama dan koordinasi internasional. Latar belakang di atas menunjukkan bahwa regulasi dan supervisi jasa keuangan tidak bisa dipisahkan dan selalu memiliki elemen-elemen internasional dan transnasional. Meskipun pada akhirnya struktur, bentuk, fungsi dan tujuan dari lembaga pengawas jasa keuangan merupakan jurisdiksi dan kewenangan domestik masing-masing negara, namun memiliki jangkauan dan efek extra territorial tertentu ( extraterritorial reach and effect ) termasuk juga bentuk kejahatannya ( financial crimes ). Jasa keuangan atau produk- produk pasar uang lainnya memiliki karakteristik apa yang disebut sebagai “ high ‘exit’ potentials ”. Dalam konteks ini regulasi dan supervisi jasa keuangan domestik akan masuk pada area kompetisi dengan negara lainnya untuk menampilkan regulasi dan lembaga jasa keuangan yang kredibel. Hal ini bisa 110 kita lihat misalnya rivalitas antara Frankfurt dan London untuk menjadi sebagai pusat keuangan terbaik di Eropa. Menurut Ahli tidak ada ketentuan internasional yang mengikat ( hard international law on regulation and supervision ) mengenai jasa keuangan, melainkan dalam wujud instrumen hukum yang tidak mengikat ( soft law ) dalam bentuk standardisasi. Dalam konteks ini, maka hukum internasional harus menghadirkan apa yang disebut sebagai ‘meta norms”, yaitu aturan yang memungkinkan adanya regulasi dan institusi keuangan yang kompetitif pada level domestik. Meta norms ini adalah produk dari kerjasama internasional yang menghasilkan semacam nilai-nilai pokok ( core values ) dalam pembentukan dan regulasi lembaga jasa keuangan. Berdasarkan “ core values ” dalam pembentukan lembaga jasa keuangan di berbagai negara dapat diketahui ada 4 tujuan utama dalam pembentukan lembaga tersebut, yaitu:
Keselamatan dan kesehatan lembaga keuangan ( safety and soundness of financial institutions ), 2. Mitigasi risiko sistemik ( mitigation of systemic risk ), 3. Keadilan ( fairness ) dan efisiensi pasar ( fairness and efficiency of markets ), 4. Perlindungan konsumen dan investor ( the protection of customers and investors ). Selain mengacu kepada tujuan pokok di atas, dalam membentuk lembaga pengawas jasa keuangan, negara-negara juga akan memperhatikan sistem hukum domestiknya, sejarah, politik, budaya, perkembangan ekonomi, dan budaya bisnis setempat (lokal). Negara-negara memiliki keragaman dalam regulasi dan supervisi jasa keuangannya. Secara teoritis paling tidak ada 4 pendekatan yang digunakan negara-negara dalam melakukan supervisi terhadap jasa keuangannya, yaitu:
Pendekatan institusional. Pendekatan ini berbasis pada status kelembagaan (misalnya, bank atau perusahaan asuransi). Kemudian ditentukan regulator mana yang memiliki wewenang untuk mengawasi aktivitas lembaga pengawas jasa keuangan tersebut baik keselamatan dan kesehatannya maupun dari segi perilaku bisnisnya. Negara yang menggunakan pendekatan ini antara lain China. 111 Lembaga Pengawas Jasa Keuangan China beroperasi dengan pendekatan institusional, tapi juga menggunakan beberapa elemen dari pendekatan fungsional. Sementara negara-negara lain sudah bergeser dengan menggunakan pendekatan ‘ integrated” ( integrated approach ) atau “ Twin Peaks ”, China tetap konsisten dengan pendekatan institusional. Negara lainnya yang menggunakan pendekatan ini adalah Mexico. Di negara tersebut ada tiga lembaga pemerintah yang bertugas untuk mengatur dan mengawasi lembaga keuangan yaitu: the National Banking and Securities Commission (CNBV), the National Insurance and Bond Companies Commission (CNSF), and the National Commission for the Retirement Savings System (CONSAR).
Pendekatan Fungsional. Pendekatan Fungsional menekankan kepada fungsi pengawasan dimana fungsi pengawasan tersebut ditentukan oleh aktivitas bisnis dari suatu entitas tanpa secara khusus mempertimbangkan status kelembagaan dari lembaga pengawas tersebut. Masing-masing aktivitas bisnis tersebut memiliki badan pengatur sendiri-sendiri. Negara yang menggunakan pendekatan ini antara lain adalah Italia. Di negara tersebut, pengaturan jasa keuangan diatur berdasarkan fungsinya menjadi 4 kategori: perbankan, investasi, manajemen aset, dan asuransi. Masing-masing memiliki lembaga pengawas dan aturannya. Sejak tahun 2004 terjadi perdebatan di Itali mengenai perlunya reformasi struktural dari lembaga pengawas keuangan. Reformasi tersebut mengarah kepada pendekatan “ Twin Peaks ”. Negara lainnya yang menggunakan pendekatan ini adalah Perancis. Meskipun pendekatannya lebih mendekati “ Functional Approach ”, sebagaimana halnya Italia, dalam beberapa hal juga mengadopsi elemen-elemen dari pendekatan “ Twin Peaks ”.
Pendekatan integrated . Pendekatan ini menggunakan satu lembaga pengawas (single universal regulator) untuk melaksanakan fungsi pengawasan baik untuk aspek keselamatan dan kesehatan dan perilaku bisnisnya untuk seluruh sektor jasa keuangan. Negara yang menggunakan pendekatan ini antara lain Inggris. Dengan pendekatan ini Inggris membentuk Financial Service 112 Agency (FSA) untuk mengatur dan mengawasi hampir semua urusan jasa keuangan di Inggris termasuk perbankan, sekuritas, dan asuransi. Ada 4 tujuan yang ingin dicapai:
. Menjaga kepercayaan pasar, meningkatkan kesadaran publik mengenai jasa keuangan, melindungi konsumen, dan mengurangi kejahatan dibidang keuangan. FSA juga memiliki kewenangan penyidikan ( investigatory ), penegakan hukum, dan penuntutan. Negara lainnya yang menggunakan pendekatan ini adalah Jerman dengan beberapa perbedaan dari praktik di Inggris. Di Jerman, pengawasan asuransi dipisah antara pemerintah federal dengan negara bagian. 4. Twin Peaks Pendekatan ini menekankan kepada pengaturan berbasis tujuan (objective). Ada pemisahan fungsi pengaturan antara dua regulator yaitu yang mengatur mengenai keselamatan dan kesehatan jasa keuangan dan yang mengatur mengenai perilaku bisnis. Negara yang menggunakan pendekatan ini antara lain Australia sejak tahun 1997 yang memisahkan “regulatory oevrsight” dengan “ conduct-of-business regulation ” ( separates prudential regulatory oversight from conduct-of-business regulation ). Negara lainnya yang menggunakan pendekatan ini adalah Belanda. Agak berbeda dengan Australia, Bank Sentral Belanda juga berperan mengawasi jasa keuangan termasuk perbankan, asuransi, dana pensiun, dan sekuritas [ the central bank (DNB) also serves as the prudential and systemic risk supervisor of all financial services, including banking, insurance, pension funds, and securities ]. Kesimpulan 1. Tidak ada model yang dapat dijadikan acuan yang sepenuhnya dapat memenuhi tujuan dan kepentingan pembentukan lembaga pengawas keuangan di suatu negara ( No single model may be optimal on a “one size fits all” basis for all jurisdictions ).
Ada perbedaan dan kondisi tertentu yang menjadikan pengaturan dan pengawasan jasa keuangan dilakukan dengan model dan pendekatan yang berbeda. Masing-masing memiliki tujuan dan fungsi tersendiri. Untuk masalah tertentu lebih pas diatur dan diawasi dengan model tertentu, 113 sedangkan masalah lainnya lebih tepat untuk diatur dengan kewenangan tertentu.
Pengertian “Supervisi” atau pengawasan harus dibedakan dari “Regulasi”. Supervisi atau pengawasan lebih menitikberatkan kepada penegakan terhadap atauran atau standar-standar yang ditetapkan ( the enforcement of regulatory standards ).
Pengertian “Supervisi” atau “Pengawasan” dalam arti luas tidak hanya mengawasi dalam pengertian administratif, melainkan termasuk penegakan hukumnya yang didalamnya termasuk juga kewenangan untuk melakukan penyidikan.
Pengertian “Supervisi” dalam arti luas digunakan oleh negara-negara misalnya Inggris dalam rangka memenuhi ke 4 (empat) tujuan utama pembentukan lembaga pengawas jasa keuangan.
Kewenangan penyidikan yang dimiliki oleh Otoritas Jasa keuangan Indonesia harus dipahami dan diletakkan dalam konteks pemenuhan tujuan utama pembentukan lembaga pengawas jasa keuangan. Saksi Presiden 1. Kombespol Dr. Warasman Marbun, S. H. Menurut Saksi, penyidik OJK adalah penyidik yang bekerja di sektor jasa keuangan, apabila ada hasil investigasi, baik itu investigasi dari perbankan, pasar modal, maupun hasil investigasi industri keuangan nonbank yang kemudian ditujukan kepada OJK untuk dilakukan pemeriksaan, sudah ada tim yang akan menangani. Tim tersebut akan melakukan ekspos, yang menghadirkan pihak-pihak terkait dengan hasil investigasi seperti Departemen Pemeriksa Jasa Otoritas Jasa Keuangan, Departemen Hukum, dan tidak menutup kemungkinan satker-satker lain dihadirkan. Dengan tujuan agar hasil investigasi yang ditemukan atau hasil yang ditujukan itu kepada OJK jelas, langkah selanjutnya dilakukan pemeriksaan atau penelaahan atau yang lebih tren dikalangan PPNS disebut dengan penelitian. Penelitian yang dilakukan oleh penyidik OJK hampir sama dengan kepolisian namun di Kepolisian lebih dikenal dengan istilah penyelidikan. Menurut Saksi, dari segi etimologi pengertian penelitian lebih luas. Langkah selanjutnya, setelah memperoleh hasil dari telaahan dari tim yang terdiri dari berbagai satker, maupun dari departemen-departemen itu, dilakukan 114 semacam gelar perkara. Maksud dan tujuan gelar perkara untuk memastikan bahwa semua tahapan dilakukan sesuai hasil investigasi, tidak dilakukan secara serampangan, dan tidak sembrono, sehingga benar-benar dilakukan secara profesional dan akuntabel, dan jika dilanjutkan sampai ke tingkat penyidikan, hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Menurut Saksi, sebenarnya disinilah awal penegakan hukum atau due process of law , penegak hukum dipersilahkan menegakkan hukum, namun tidak boleh salah, tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, tidak boleh bertentangan dengan hak asasi manusia. Sehingg sangat jelas, dalam tataran gelar perkara itu, dapat dilihat bagaimana pertanggungjawaban yang akan dihasilkan. Gelar perkara hyang dilakukan akan menghasilkan sebuah keputusan apakah akan dilaksanakan penyidikan atau tidak. Jika ditemukan bukti permulaan yang cukup adanya penyimpangan dalam sektor jasa keuangan makan akan dilaksanakan penyidikan, namun jika itu tidak ditemukan maka tidak dilaksanakan penyidikan. Kemudian timbul pertanyaan bagaimana proses penyidikan dilakukan, Sudah pasti, ada dasar hukumnya yang disebut dengan laporan kejadian tindak pidana sektor jasa keuangan. Kalau di kepolisian disebut laporan polisi, laporan polisi terdiri atas 2 model yaitu laporan polisi model A dan laporan polisi model B. Perbedaan kedua laporan itu yaitu laporan polisi model A dilaporkan oleh polisi sendiri karena terjadi dugaan pidana. Kalau laporan polisi model B itu adalah dilaporkan oleh masyarakat. Laporan polisi ini untuk PPNS atau lembaga-lembaga di luar kepolisian, istilahnya adalah laporan kejadian. Jika ada laporan kejadian dari hasil dari tindak pidana sektor jasa keuangan, maka diterbitkan apa yang disebut Sprindik, Sprindik di OJK dilakukan menggabungkan PPNS dengan penyidik kepolisian yang ada atau yang bertugas di OJK. Alasan mengapa digabungkan yang pertama, untuk efisiensi, kedua, untuk lebih efektivitas. Dengan penggabungan tersebut diharapkan menjadi lebih cepat, lebih tepat, lebih baik. Sehingga, tidak lagi nanti saling menunggu karena dapat langsung bertukar data, langsung saling memberikan keahlian, sesuai dengan wujud dari penyidikan itu. 115 Selanjutnya, dengan adanya putusan MK bahwa SPDP itu apabila sudah terbit Sprindik paling lambat 7 hari, sudah harus dikirim ke jaksa penuntut umum, SPDP itu, dan dikirim tembusannya kepada pelapor maupun terlapor. Kemudian, sambil mengumpulkan alat-alat bukti dan barang bukti, maka dilakukan gelar perkara kembali oleh tim penyidik tadi. Tujuannya untuk memeriksa apakah alat bukti yang dikumpulkan itu didukung dengan barang bukti sudah benar-benar terang-benderang. Seperti doktrin hukum pidana mengatakan, “ In criminalibus probantiones beden profeci clarioles.” Artinya, begitu penegak hukum pidana menemukan alat bukti maupun barang bukti, maka barang bukti itu harus lebih terang dari cahaya. Sehingga dalam menetapkan tersangka nanti, kualitas alat bukti itu bisa bernilai, dan memiliki hubungan dengan perkara tersebut. Gelar perkara dilakukan beberapa kali dengan tujuan agar bisa mendapatkan kepastian hukum yang paling bagus, khususnya menetapkan tersangka. Dalam penetapan tersangka ini pun dilihat lagi apakah sudah diperiksa dia sebagai calon tersangka. Hal ini sangat penting, tidak dapat secara langsung menetapkan seseorang menjadi tersangka sekalipun didukung barang bukti yang kuat, calon tersangka ini harus diperiksa dulu sebagai saksi. Gunanya untuk calon terangka tersebut dapat menerangkan kejadiannya baik untuk dirinya sendiri, maupun untuk di luar sendiri. Sehingga nanti kelihatan dalam gelar perkara, apakah ditemukan alat bukti, kemudian didukung barang bukti melalui tahapan bukti permulaan yang cukup, bukti yang cukup dimaknai dua alat bukti. Dengan adanya penyidik polri yang bergabung dengan PPNS menjadi satu dalam satu rumah, penegakan hukum yang ditangani menjadi kuat, efektif, dan efisien, sehingga dalam penanganan perkara tidak mengalami kemunduran, keterlambatan, ataupun jeda waktu yang sangat lama. Jika dilihat dari KUHAP itu sampai sejauh mana batasan penyidikan, jawabannya tidak ada batasannya. Sehingga kadang-kadang sebuah perkara ulang tahun tiga kali, dalam arti tidak dapat diselesaikan dalam waktu tiga tahun. Menurut saksi, perlu adanya koordinasi, kerja sama terutama dalam satu tim, sehingga penanganan kasusnya itu berjalan baik. Jika kasusnya tidak dapat dibuktikan, maka dapat langsung dihentikan. Penghentian ini akan diberitahukan kepada pelapor, diberitahukan juga 116 kepada tersangka apabila sudah terlanjur ditetapkan tersangka, sehingga keadilan kepastian hukum itu menjadi bermanfaat bagi siapapun atau pencari keadilan. Jika ada yang menanyakan siapa yang berhak menerbitkan Sprindik dan asiapa yang berhak yang menerbitkan SPDP dan, jawabanya sebagai berikut sprindik lahir dari laporan kejadian tindak pidana sektor jasa keuangan yang dibuat oleh tim gabungan Penyidik OJK dengan Kepolisian. Kemudian, berdasarkan sprindik itu diterbitkanlah SPDP. Yang menerbitkan SPDP adalah penyidik OJK, Penyidik OJK mengirimkan SPDP ke Kejaksaan, paling lambat 7 hari, yang ditembuskan kepada pelapor maupun terlapor. Jika terjadi praperadilan, gugatannya dilayangkan kemana, jawabannya sudah pasti ke OJK karena penyidiknya ada di sana. Jadi, supaya tidak error in objec t, tidak salah alamat, ditujukan ke penyidik OJK. Untuk Tindak pidana sektor jasa keuangan, apabila itu dilaporkan ke kepolisian, jika dilaporkan ke Mabespolri maupun ke Polda akan ditangani oleh dir eksus (direktorat eksus). Sehingga tidak ada tumpang-tindih, tidak ada overlap karena tergantung dari mana laporannya itu. Kalau masyarakatnya lapor ke polisi, maka akan ditangani polisi. Kalau lapor ke OJK, akan ditangani oleh penyidik OJK. Bagaimana sinergitasnya agar supaya tidak tumpang-tindih disinilah pentingnya nota kesepahaman antara lembaga Polri maupun OJK. Dengan demikian, ya, penanganan perkaranya tergantung dari mana sumber penanganan perkara itu. Karena sumber-sumber menangani perkara dugaan pidana itu banyak. Dapat berdasarkan laporan, berdasarkan pengaduan, berdasarkan kalau umum tertangkap tangan, bisa karena surat, atau bisa karena SMS, bisa. Tapi nanti ditindaklanjuti dengan bukti tulisan. Jadi, inilah semua dasarnya untuk menindaklanjuti, apakah terjadi terutama dugaan penyimpangan, terutama mungkin indikasi tindak pidana di sektor jasa keuangan. Terhadap pernyataan yang menyatakan dengan adanya penyidik OJK menyebabkan kewenangan penyidik kepolisian berkurang. Menurut Saksi kewenangan penyidik kepolisian tidak berkurang, justru sebaliknya seharusnya penanganan tindak pidana di sektor jasa keuangan menumpuk di kepolisian, namun karena ada lembaga OJK yang mempunyai kewenangan khusus di bidang penyidikan penumpukan tindak pidana di sektor jasa keuangan di kepolisian tidak akan terjadi. 117 Sekarang terserah masyarakat, terserah masyarakat yang dirugikan mau lapor kemana mau ke Kepolisian maupun ke OJK. Bila perlu ketika gelar perkara akan saling mengundang. Bagaimana nanti pembuktiannya, bagaimana korelasi perbuatan dengan dugaan tindak pidana. Menurut Saksi, rekan-rekan dari OJK ini sangat berpengalaman di bidang otoritas jasa keuangan. Dari mana uang itu dapat, mau dikemanakan uang itu, lalu bagaimana mempermainkan uang ini sesuai dengan ketentuan, merekalah ahlinya. Bagaimana profesionalitas dari penyidik Polri terkait perbankan, keuangan, dan sebagainya. Profesionalitas itu harus didukung dengan SDM, terutama kemampuan hukum yang bagus di bidang keuangan agar penyidik ini lebih eksis, lebih akuntabel, lebih bisa memerankan hukum, menerapkan hukum yang adil, menerapkan hukum yang benar. Saksi berasal dari divisi hukum kepolisian, Saksi mengetahui divisi hukum dapat melakukan gelar perkara karena Pasal 69 sampai Pasal 74 Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 mengatur mengenai gelar perkara. Jadi, segala perkara, terutama yang dikomplain oleh pendumas[ Sic! ] itu selalu digelar di Biro Wassidik Mabes Polri. Jadi, sudah banyak sekalit pengalaman di dalam gelar perkara secara praktisi. Lalu agar kinerja ini bersinambungan dengan baik, dibuatlah MoU. Kemudian, dalam membuat MoU itu walaupun pengagas para pihak, namun Divisi Hukum Polri adalah pintu gerbang untuk membuat atau merancang yang disebut nota kesepahaman, atau perjanjian kerja sama, atau perjanjian kesepakatan. Selain bertugas di divisi hukum Kepolisian, Saksi juga sebagai pengajar atau dosen di Diklat Reserse Megamendung, khususnya mengajar mata kuliah perundang-undangan keterkaitan dengan penyidikan. Menurut Saksi, ada kurang- lebih 62 undang-undang yang mengatur tentang penyidikan, pengatur tentang materi ketentuan pidana. Jadi, dengan adanya data-data ini, Saksi mengetahui bagaimana korelasi atau kaitan-kaitan yang ditangani oleh penyidik di OJK. Mulai dari Tahun 2016 sampai dengan sekarang, kurang-lebih ada 23 kasus yang ditangani.
Johansyah Saksi adalah Pemimpin Divisi Hukum di PT Bank Negara Indonesia Persero Tbk, yang merupakan salah satu BUMN yang bergerak di bidang keuangan dan 118 tergabung di dalam Himbara. Himbara adalah badan hukum perkumpulan yang beranggotakan bank-bank milik negara yang antara lain beranggotakan bank-bank yang terdiri atas BNI, BTN, Bank Mandiri, dan Bank Rakyat Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa saat ini perkembangan perekonomian salah satu pranata kuncinya adalah sektor jasa keuangan dan kecenderungannya semakin mengarah ke arah globalisasi. Tentunya dengan kondisi ini memerlukan pengaturan, pengawasan yang sifatnya terintegrasi oleh sebuah lembaga, oleh sebuah otoritas yang dianggap objektif dan profesional itu niscaya diperlukan untuk menumbuhkembangkan kepercayaan dan keyakinan, bukan hanya dari para pelaku industri itu sendiri, tetapi juga dari para masyarakat pengguna jasa sektor keuangan. Saksi sebagai bagian dari Himbara menyatakan rumusan ketentuan mengenai penyidikan yang ada di dalam Undang-Undang OJK ini, baik dari sisi hukum materiilmaupun dari sisi hukum formilnya, sudah memberikan kepastian. Dalam artian bahwa dalam bidang perbankan, tindak pidana yang dapat disidik oleh OJK, hanya terbatas tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang OJK. Menurut Saksi, rumusan di Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang OJK, memuat mengenai penyidik OJK yang dalam melaksanakan tugas/wewenangnya merujuk kepada KUHAP. Sehingga menurut Saksi, OJK dalam menjalankan tugasnya sebagai penyidik mengacu pada ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang- Undang OJK itu sendiri. Namun jika tidak diatur tersendiri atau khusus dalam Undang-Undang OJK, maka akan mengacu kepada KUHAP sebagai lex generalis- nya. Selanjutnya Saksi menyatakan bahwa selain memiliki kewenangan penyidikan, OJK juga memiliki kewenangan selaku pengawas, yaitu pengawasan terhadap operasional jasa keuangan, termasuk di dalamnya pengawasan terhadap perbankan. Menurut kewenangan ini, dalam praktiknya mempermudah untuk mengindentifikasi hal-hal yang kemudian bisa dianggap sebagai tindak pidana. Berdasarkan pengalaman, Saksi mengetahui bahwa sudah ada memorandum atau nota kesepahaman antara kepolisian dengan OJK tentang bagaimana penyidikan itu dilakukan. Dalam praktik yang Saksi alami, dalam bidang perbankan pada saat penyidik Polri masuk menyidik suatu perkara dan kebetulan perkara tersebut sebelumnya sudah pernah diselidiki oleh OJK, 119 biasanya akan informasikan bahwa perkara ini sudah pernah masuk dalam area penyidikan di OJK ataupun sebaliknya. Dan terhadap hal-hal seperti itu, penyidik kepolisian akan mencatat keterangan itu dan biasanya akan dipertimbangkan di dalam pada saat gelar perkara. Proses penyidikan yang dilakukan oleh OJK, khususnya proses penyelidikannya, didahului dengan pemanggilan untuk memberikan bukti-bukti atau dokumen-dokumen tertulis. Proses diskusinya dapat dilakukan lebih awal dan proses ini melibatkan pengawas, sehingga, dapat langsung mengklarifikasi bagian yang dipertimbangkan oleh penyidik seperti misalnya area business judgment . Saksi melihat bahwa proses penyidikan yang dilakukan oleh OJK sudah mempertimbangkan banyak aspek seperti keterangan, dan posisi permasalahan, ataupun fakta yang perbankan sampaikan. Menurut saksi, melihat bahwa tidak ada hal yang memberikan ruang atau celah yang kami merasa bahwa ini hal-hal yang belum memberikan jaminan kepastian buat kami di industri keuangan maupun buat kami di praktiksi di lembaga keuangan. Saksi meyakini bahwa hukum pidana ini adalah ultimum remedium, selaku Pemimpin Divisi Hukum di BNI, salah satu tugas pokok-pokok dan fungsinya adalah menangani permasalahan-permasalahan dan perkara-perkara hukum, termasuk di antaranya perkara pidana. Dan salah satu perkara pidana yang pernah Saksi tangani adalah hasil penyelidikan yang dilakukan oleh pihak OJK. Saksi melihat dan mencermati prosesnya mulai dari surat panggilan yang disampaikan, tindak pidana yang tegas disebutkan bahwa tindak pidana yang dilakukan proses penyelidikan ini adalah tindak pidana perbankan, tidak memasukkan hal-hal lain di luar Undang-Undang Perbankan. Saksi meyakini bahwa tindak pidana yang dimasukkan sebagai hukum materi penyidikan OJK terbatas pada Undang-Undang Perbankan itu sendiri. Mengenai surat panggilan, Saksi mengetahui bahwa dasar-dasar pemanggilan yang OJK lakukan itu didasarkan pada KUHAP. Kemudian, proses yang Saksi alami pada saat menghadiri pemanggilan, menyampaikan bukti-bukti, masih bersesuaian dan sejalan dengan apa yang diatur di dalam ketentuan yang diatur di dalam KUHAP. Saksi merasa bahwa dalam proses penyelidikan yang dilakukan itu tidak ada hal yang menjadi tidak jelas, atau tidak pasti. 120 [2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat telah menyampaikan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 26 Februari 2019, yang pada pokoknya sebagai berikut: A. KETENTUAN UU OJK YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN TERHADAP UUD TAHUN 1945 Bahwa para Pemohon dalam permohonan a quo mengajukan pengujian ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK yang berketentuan sebagai berikut: Pasal 1 angka 1 UU OJK: Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain , yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Berdasarkan Putusan MK Nomor 25/PUU-XII/2014 Ketentuan Pasal 1 angka 1 UU OJK berubah menjadi: Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disebut OJK adalah lembaga yang independen yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Pasal 9 huruf c UU OJK: Untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, _OJK mempunyai wewenang: _ c. melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. 121 B. HAK DAN/ATAU KEWENANGAN KONSTITUSIONAL PARA PEMOHON YANG DIANGGAP DIRUGIKAN OLEH BERLAKUNYA PASAL 1 ANGKA 1 DAN PASAL 9 HURUF C UU OJK Bahwa para Pemohon dalam permohonannya mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya ketentuan pasal- pasal a quo sebagaimana dikemukakan dalam permohonannya yang pada intinya:
Bahwa frasa “dan penyidikan” dalam Pasal 1 angka 1 dan frasa “penyidikan” dalam Pasal 9 huruf c UU OJK dianggap merugikan Para Pemohon. Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV yang berprofesi sebagai dosen dan khusus Pemohon I yang merangkap dosen sekaligus advokat berpendapat bahwa mereka memilikikedudukan hukum yang dirugikan khususnya jika dilihat secara keilmuan hukum pidana . Sebagaimana dipelajari dan didalami oleh Para Pemohon dalam pemberian criminal justice system di Indonesia, yang juga sebagai negara yang mendeklarasikan diri sebagai negara hukum, maka asas due process of law merupakan proses yang harus dijalankan oleh negara cq aparat hukum yang telah diatur dalam KUHAP namun justru Para Pemohon beranggapan hal tersebut diabaikan oleh berlakunya UU OJK. (Vide perbaikan permohonan hlm. 8). 2. Bahwa selain Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, dan Pemohon IV yang berperan sebagai dosen, terdapat Pemohon V dan Pemohon VI yang berprofesi sebagai karyawan swasta yang juga beranggapan mengalami kerugian karena saat ini sedang menjalani masa tahanan sebagai pihak yang disangka melakukan tindak pidana dalam sektor jasa keuangan. Menurut Pemohon V dan Pemohon VI, hal ini disebabkan adanya tindakan sewenang- wenang dalam penyidikan OJK yang membuat pelaku usaha menjadi terhenti usahanya serta masyarakat menjadi tidak terlayani. (Vide perbaikan permohonan hlm. 12) Bahwa para Pemohon dalam permohonannya mengemukakan bahwa ketentuan dalam Undang-Undang a quo bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sebagai berikut:
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 __ “Negara Indonesia adalah negara hukum.” 122 2. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Bahwa berdasarkan uraian-uraian permohonannya, para Pemohon dalam Petitumnya memohon kepada Majelis Hakim sebagai berikut:
Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan Pasal 1 angka 1 terhadap kata “dan penyidikan” Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5.253) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
Menyatakan Pasal 9 huruf c terhadap kata “penyidikan” Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5.253) bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau apabila Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aquo et bono) . C. KETERANGAN DPR RI Terhadap dalil para Pemohon sebagaimana diuraikan dalam perbaikan permohonan a quo , DPR RI dalam penyampaian keterangannya terlebih dahulu menguraikan mengenai kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon sebagai berikut:
Kedudukan Hukum ( legal standing ) para Pemohon Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh para Pemohon sebagai Pihak telah diatur dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK), yang menyatakan bahwa “ Para Pemohon adalah 123 pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya _dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: _ _a. perorangan warga negara Indonesia; _ b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik _Indonesia yang diatur dalam undang-undang; _ _c. badan hukum publik atau privat; atau _ d. lembaga negara”. Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud ketentuan Pasal 51 ayat (1) tersebut, dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan “ hak konstitusional ” adalah “ hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 .” Ketentuan Penjelasan Pasal 51 ayat (1) ini menegaskan, bahwa hanya hak-hak yang secara eksplisit diatur dalam UUD 1945 saja yang termasuk “ hak konstitusional ”. Oleh karena itu, menurut UU MK, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai para Pemohon yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
Kualifikasinya sebagai para Pemohon dalam permohonan a quo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud dalam “Penjelasan Pasal 51 ayat (1)” dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang a quo . Mengenai batasan kerugian konstitusional, Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang harus memenuhi 5 (lima) syarat (vide Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 011/PUU-V/2007) yaitu sebagai berikut:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; 124 b. bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Jika kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh para Pemohon dalam perkara pengujian Undang-Undang a quo , maka para Pemohon tidak memiliki kualifikasi kedudukan hukum ( legal standing ) sebagai Pemohon. Bahwa terhadap kedudukan hukum (Legal Standing) Pemohon, DPR RI memberikan pandangan dengan berdasarkan 5 (lima) batasan kerugian konstitusional sebagai berikut:
Terkait dengan adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; Bahwa Para Pemohon mendalilkan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan melalui Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 pada intinya mengatur bahwa Indonesia adalah negara hukum. Adapun Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 mengatur bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tidak tepat dipertentangkan dengan ketentuan pasal a quo UU OJK karena ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tidak mengatur hak asasi manusia tetapi mengamanatkan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Bahwa terkait dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang dijadikan batu uji oleh para Pemohon, dalam perbaikan permohonan a quo , para Pemohon tidak menjelaskan dan tidak 125 dapat membuktikan adanya keterkaitan antara Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dengan pasal a quo UU OJK. Bahwa adapun Para Pemohon beranggapan adanya tumpang tindih kewenangan penyidik Polri, KPK dan OJK adalah tidak berdasar, karena dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP mengatur mengenai penyidik pejabat pegawai negeri sipil selain pejabat Polri. Dengan demikian, hak konstitusional yang dijadikan batu uji oleh para Pemohon sama sekali tidak ada relevansinya dengan ketentuan pasal a quo UU OJK. __ b. Terkait dengan hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon tersebut dianggap oleh para Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji; Bahwa Para Pemohon mendalilkan ketentuan pasal a quo UU OJK telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam proses penanganan tindak pidana di sektor Jasa Keuangan akibat adanya tumpang tindih kewenangan antara penyidik Polri, KPK, dan OJK ( vide perbaikan permohonan hal. 24). Bahwa terhadap dalil para Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan bahwa kerugian yang didalilkan Para Pemohon tersebut terkait dengan adanya tumpang tindih kewenangan penyidik antara Polri, KPK, dan OJK yang menimbulkan ketidakpastian hukum adalah anggapan yang tidak berdasar, karena ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP menyatakan penyidik adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi kewenangan khusus oleh undang-undang. Bahwa dengan demikian kerugian yang didalilkan para Pemohon hanya bersifat asumsi karenanya kerugian tersebut bukan akibat dari berlakunya ketentuan pasal a quo UU OJK yang dimohonkan pengujian.
Terkait dengan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; Bahwa Pemohon I sampai dengan Pemohon IV yang berprofesi sebagai dosen/advokat merasa dirugikan dengan adanya frasa “dan penyidikan” dalam Pasal 1 angka 1 dan frasa “penyidikan” dalam Pasal 9 126 huruf c UU OJK. Selanjutnya Pemohon V dan Pemohon VI yang berprofesi sebagai karyawan swasta yang juga beranggapan mengalami kerugian karena saat ini sedang menjalani masa tahanan sebagai pihak yang disangka melakukan tindak pidana dalam sektor jasa keuangan. Bahwa terhadap dalil para Pemohon, DPR RI berpandangan sebagaimana dikemukakan, tidak terdapat relevansi antara ketentuan pasal a quo UU OJK dengan UUD 1945 dan tidak terdapat kerugian konstitusional. Artinya kerugian yang didalilkan para Pemohon tidak disebabkan oleh karena berlakunya ketentuan pasal UU a quo . Bahwa kerugian yang didalilkan para Pemohon tersebut kabur dan tidak bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau tidak bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. DPR RI juga berpandangan bahwa Pemohon I sampai dengan Pemohon IV dalam kedudukannya sebagai dosen seharusnya mampu menjelaskan kepada mahasiswa bahwa adanya wewenang OJK tersebut merupakan hal yang wajar dalam perkembangan penegakan hukum pidana, dimana dalam tindak pidana khusus tertentu diperbolehkan dibentuk penyidik selain pejabat Polri (dalam hal ini OJK) yang dapat diberikan wewenang sesuai dengan undang-undang yang mengaturnya. Bahwa berdasarkan UU a quo , pembentukan OJK dilatarbelakangi karena banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard , belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan semakin mendorong diperlukannya pembentukan lembaga pengawasan di sektor jasa keuangan yang terintegrasi. Bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan kembali struktur pengorganisasian dari lembaga-lembaga yang melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan. Pengaturan dan pengawasan terhadap keseluruhan kegiatan jasa keuangan harus dilakukan secara terintegrasi. Oleh karenanya OJK diberi kewenangan untuk melaksanakan tugasnya dengan didukung keahlian khusus di bidang jasa keuangan. 127 Bahwa adanya salah satu wewenang penyidikan pada OJK diberikan untuk menjamin penegakan hukum pidana di sektor jasa keuangan sehingga tujuan dibentuknya OJK adalah agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan:
terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel dapat terwujud;
mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat ( vide Pasal 4 UU OJK). Dengan demikian, DPR RI berpandangan bahwa kerugian para Pemohon tidak bersifat spesifik dan tidak aktual, serta tidak bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
Terkait dengan adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang didalilkan Para Pemohon dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; Bahwa sebagaimana dikemukakan pada huruf a, b, c tersebut para Pemohon tidak memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional dalam pengujian UU a quo dan para Pemohon tidak mengalami kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran wajar dapat dipastikan akan terjadi. Bahwa atas dasar hal tersebut, sudah dapat dipastkan tidak ada hubungan sebab akibat antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan pasal yang dimohonkan pengujian. Bahwa para Pemohon tidak memiliki kepentingan hukum dalam norma mengenai pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan yang dilakukan oleh OJK, seperti Lembaga Jasa keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. Bahwa atas dasar itu para Pemohon tidak mengalami kerugian konstitusional yang terjadi karena pasal-pasal a quo . Bahwa Pemohon V dan Pemohon VI juga mendalilkan mengalami kerugian karena adanya wewenang penyidikan OJK terhadap kedua Pemohon yang disangka melakukan tindak pidana dalam sektor jasa 128 keuangan. DPR berpandangan bahwa hal tersebut merupakan permasalahan implementasi norma, bukan konstitusionalitas norma. Sehingga dengan demikian, kerugian yang didalilkan Pemohon V dan Pemohon VI tidak memiliki hubungan sebab akibat (causal verband) dengan pasal-pasal a quo . Bahwa ketentuan pasal a quo UU OJK tidak merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon, sebaliknya, ketentuan pasal a quo UU OJK telah memberikan jaminan kepastian hukum kepada para Pemohon sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Terkait dengan adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; Bahwa sebagaimana uraian di atas, tidak jelas apa kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang dialami oleh para Pemohon yang diasumsikan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Para Pemohon dalam menguraikan kerugiannya yang disebabkan pasal a quo hanyalah berdasarkan asumsi-asumsi subjektif, tidak menyangkut kepentingan umum dalam penegakan hukum pidana. Fungsi tersebut bagi OJK tentu dianggap penting, jika Permohonan para Pemohon dikabulkan justru akan merugikan kewenangan konstitusional pihak-pihak terkait lainnya dan merugikan kepentingan penegakan hukum pidana sektor perbankan bagi masyarakat. Bahwa karena tidak ada hubungan sebab akibat ( causal verband ) maka sudah dapat dipastikan bahwa pengujian a quo tidak akan berdampak apapun pada para Pemohon. Dengan demikian menjadi tidak relevan lagi bagi Mahkamah Konsitusi untuk memeriksa dan memutus permohonan a quo , karena para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan pokok perkara. Bahwa terkait dengan kedudukan hukum ( legal standing) para Pemohon, DPR RI juga memberikan pandangan sesuai dengan Putusan MK Nomor 22/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam Sidang Pleno MK 129 terbuka untuk umum pada hari tanggal 15 Juni 2016, yang pada pertimbangan hukum [3.5.2] MK menyatakan bahwa: …Dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’interest, point d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “tiada gugatan tanpa hubungan hukum” (no action without legal connection. Berdasarkan pada hal-hal yang telah disampaikan tersebut, DPR RI berpandangan bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, serta tidak memenuhi persyaratan kerugian konstitusional yang diputuskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu. Bahwa para Pemohon dalam permohonan a quo tidak menguraikan secara konkrit mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusionaInya yang dianggap dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, utamanya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian hak, kewenangan konstitusionaInya dan/atau adanya keterkaitan logis dan causal verband yang ditimbulkan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji tersebut. Berdasarkan pada hal-hal yang telah disampaikan tersebut, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK, Putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005, dan Putusan Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional.
Pengujian Atas Ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK Terhadap dalil-dalil yang dikemukakan para Pemohon, DPR RI berpandangan dengan memberikan keterangan/penjelasan sebagai berikut: 130 a. Pandangan Umum 1) Bahwa Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 berketentuan “Indonesia adalah Negara Hukum. ” Jimly Asshiddiqie menyebut bahwa gagasan Negara Hukum dibangun dengan mengembangkan perangkat hukum itu sendiri sebagai suatu sistem yang fungsional dan berkeadilan, dikembangkan dengan menata supra struktur dan infra struktur kelembagaan politik, ekonomi dan sosial yang tertib dan teratur, serta dibina dengan membangun budaya dan kesadaran hukum yang rasional dan impersonal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Untuk itu, sistem hukum itu perlu dibangun (law making) dan ditegakkan (law enforcing) sebagaimana mestinya. (Jimly Asshiddiqie, Gagasan Negara Hukum Indonesia dalam http: //www.jimly.com/makalah/namafile/135/Konsep_Negara_Hukum_I ndonesia.pdf, hlm. 1) 2) Bahwa Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 berbunyi, “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum ”. Ketentuan tersebut sudah jelas menegaskan bahwa setiap orang termasuk para Pemohon mendapatkan perlindungan jaminan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum. Bahwa berlakunya ketentuan pasal a quo UU OJK justru memberikan jaminan kepastian hukum dan perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana yang dituangkan dalam tujuan pembentukan OJK yang tertuang dalam ketentuan Pasal 4 UU OJK yang menyatakan OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:
terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.
Bahwa sebagai bentuk pengejawantahan negara hukum dan pentingnya pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, dibentuk UU OJK. Pembentukan UU OJK dilakukan untuk melancarkan tugas, 131 fungsi, dan tujuan dibentuknya OJK agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Dengan tujuan ini, OJK diharapkan dapat mendukung kepentingan sektor jasa keuangan nasional sehingga mampu meningkatkan daya saing nasional. Selain itu, OJK harus mampu menjaga kepentingan nasional, antara lain, meliputi sumber daya manusia, pengelolaan, pengendalian, dan kepemilikan di sektor jasa keuangan, dengan tetap mempertimbangkan aspek positif globalisasi. Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dan dilandasi dengan prinsip-prinsip tata kelola yang baik, yang meliputi independensi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, transparansi, dan kewajaran (fairness) .
Pandangan terhadap Pokok Permohonan 1) Bahwa para Pemohon mendalilkan bahwa ketentuan pasal-pasal a quo UU OJK telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam proses penanganan tindak pidana di sektor jasa keuangan akibat adanya tumpang tindih kewenangan antara pejabat Polri, KPK, dan OJK. ( vide Perbaikan Permohonan hal. 24). Bahwa terhadap dalil Para Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan sebagai berikut: a) Bahwa OJK diberi kewenangan khusus untuk melakukan penyidikan melalui Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengawasan sektor jasa keuangan. Bahwa adanya wewenang penyidikan oleh OJK merupakan hal lazim dan tidak bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menjamin bahwa Indonesia adalah negara hukum, serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengatur mengenai hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil . b) Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (2) KUHAP, penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b (PPNS) 132 mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a (Polri). Pengaturan mengenai penyidikan pada OJK muncul karena tindak pidana atau hal-hal yang menyangkut pelanggaran pidana atau tindak pidana di sektor jasa keuangan yang kompleks, dinamis, dan saling terkait antar-subsektor keuangan, baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Bahwa adanya kekhususan tersebut, maka permasalahan di sektor jasa keuangan perlu ditangani secara hati- hati oleh orang yang khusus dan ahli di bidangnya. Namun kewenangan tersebut tetap dilakukan di bawah koordinasi dan pengawasan kepolisian yang memiliki tugas penyidikan. Keberadaan PPNS OJK telah sesuai dengan tujuan dibentuknya UU OJK dan dibahas berulangkali dalam pembahasan pembentukan UU OJK (vide risalah pembahasan UU OJK). c) Bahwa sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (1) UU OJK, wewenang khusus sebagai PPNS OJK dilakukan sebagaimana diatur dalam KUHAP. Mengenai hal tersebut, di dalam KUHAP telah diatur bagaimana penyidikan yang dilakukan oleh PPNS agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan penyidikan dengan penyidik Polri, yang diatur antara lain: • Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b (PPNS) mempunyai wewenang sesuai dengan undang- undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a (Polri) (vide __ Pasal 7 KUHAP) • Untuk kepentingan penyidikan, penyidik Polri memberikan petunjuk kepada PPNS tertentu dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan [vide __ Pasal 107 ayat (1) KUHAP]. • PPNS tertentu, harus melaporkan kepada penyidik Polri tentang adanya suatu tindak pidana yang sedang disidik, jika 133 dari penyidikan itu oleh penyidik pegawai negeri sipil ditemukan bukti yang kuat untuk mengajukan tindak pidananya kepada penuntut umum [vide __ Pasal 107 ayat (2) KUHAP]. • Jika PPNS telah selesai melakukan penyidikan, hasil penyidikan tersebut harus diserahkan kepada penuntut umum. Cara penyerahan hasil penyidikan tersebut kepada penuntut umum dilakukan PPNS melalui penyidik Polri [vide __ Pasal 107 ayat (3) KUHAP]. • Bahwa permohonan Para Pemohon terkait pasal mana yang dianggap bertentangan dengan konstitusi menjadi obscuur libels (tidak jelas/kabur). Dalil para Pemohon tersebut bersifat asumtif karena tidak dilandasi argumentasi yuridis. Bahwa telah jelas ketentuan Pasal 49 ayat (1) UU OJK mengatur: Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya yang meliputi pengawasan sektor jasa keuangan di lingkungan OJK, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Dari pasal a quo, terdapat frasa unsur penyidik “ Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia” dan diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. __ Hal tersebut jelas menunjukkan adanya rujukan kepada KUHAP. Sehingga dapat dikatakan bahwa penyidik OJK bekerja berdasarkan prinsip-prinsip yang ada dalam KUHAP. d) Bahwa jika PPNS menghentikan penyidikan yang telah dilaporkan kepada penyidik Polri, penghentian penyidikan itu harus diberitahukan kepada penyidik Polri dan penuntut umum [vide __ Pasal 109 ayat (3) KUHAP]. Sehingga dari ketentuan tersebut jelas bahwa PPNS dalam menjalankan tugasnya sebagai penyidik harus 134 berkoordinasi dengan penyidik Polri sebelum melakukan penyidikan agar terjadi kesinkronan, kesatuan pemahaman,dan gerak, serta tindakan apa yang dilakukan dalam melakukan penyidikan. Oleh karenanya, penyidik Polri harus berperan aktif dalam memberikan bantuan serta petunjuk kepada PPNS dalam menjalankan tugasnya sebagai penyidik. Dengan demikian, dengan adanya koordinasi dan pengawasan dari penyidik Polri, diharapkan tidak menimbulkan suatu permasalahan dengan sistem peradilan pidana yang ada, yakni dalam hubungannya dengan penyidik Polri. e) Bahwa terkait kerangka sistem peradilan pidana (criminal justice system) , dimana aktivitas pelaksanaannya merupakan “fungsi gabungan” (collection of function) dari legislator, polisi, jaksa, pengadilan, dan penjara serta badan yang berkaitan, baik yang ada di lingkungan pemerintahan maupun di luar pemerintahan. Dengan demikian, kegiatan sistem peradilan pidana didukung dan dilaksanakan dengan empat fungsi utama, yaitu fungsi pembuat undang-undang, fungsi penegakan hukum, efek preventif, fungsi pemeriksaan persidangan pengadilan, dan fungsi memperbaiki terpidana. Dari gambaran singkat tersebut, dapat terlihat berhasil atau tidaknya fungsi proses pemeriksaan sidang pengadilan yang dilakukan Jaksa PU dan Hakim yang menyatakan terdakwa salah serta memidananya sangat tergantung atas hasil penyidikan Polri. (M. Yahya Harahap, 2000, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 90-91). 2) Bahwa Para Pemohon mendalilkan pemberian wewenang “penyidikan” yang merupakan suatu tindakan pro justitia kepada financial supervisory institution in casu OJK adalah sangat tidak lazim (vide Perbaikan Permohonan hal. 22-23). Bahwa dalil Para Pemohon tersebut tidak berdasar karena para Pemohon tidak mencermati ketentuan peraturan perundang-undangan 135 secara komprehensif. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan:
Bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, PPNS adalah salah satu pengemban fungsi kepolisian yang membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dan melaksanakan kewenangan berdasarkan Undang Undang masing-masing. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pelaksanaan Koordinasi, Pengawasan, dan Pembinaan Teknis terhadap Kepolisian Khusus, Penyidik Pegawai Negeri Sipil, dan Bentuk-Bentuk Pengamanan Swakarsa: PPNS adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang berdasarkan peraturan perundang-undangan ditunjuk selaku penyidik dan mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkup undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing- masing. Pejabat PPNS diangkat oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia ( cq Direktur Pidana Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum), dan diawasi dan dibina oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia ( cq Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS,Badan Reserse Kriminal) dan bertanggungjawab kepadaPimpinanKementerian/Lembaga/Daerah tempat PNS tersebut bernaung.
Bahwa eksistensi PPNS itu sendiri berasal dari ketentuan yang diatur dalam KUHAP. Bahwa Pasal 6 ayat (1) KUHAP mengatur bahwa _Penyidik adalah: _ _a. pejabat polisi negara Republik Indonesia; _ b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Rumusan Pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP merupakan ketentuan yang bersifat umum. Sementara pengaturan mengenai penyidikan dalam UU OJK merupakan lex specialis dari Pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP tersebut. 136 c. Bahwa keberadaan PPNS tidak hanya pada OJK, tapi juga terdapat pada beberapa lembaga negara lainnya. Beberapa contoh penyidik lainnya seperti PPNS Tata Ruang, PPNS Pajak, PPNS Imigrasi, PPNS Bea Cukai, PPNS Kehutanan, PPNS Pertanian, PPNS Kehutanan, dan lain-lain, yang dalam pelaksanaan fungsinya tetap merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Adapun pengaturan tentang keberadaan PPNS pada beberapa lembaga negara di Indonesia dapat dilihat melalui tabel berikut: __ No. PPNS UNDANG-UNDANG PASAL 1. PPNS pada Kementerian Perhubungan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 259 ayat (1): Penyidikan tindak pidana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dilakukan oleh:
Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus menurut Undang-Undang ini. Pasal 262 ayat (1): Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 259 ayat (1) huruf b berwenang untuk:
melakukan pemeriksaan atas pelanggaran persyaratan teknis dan laik jalan Kendaraan Bermotor yang pembuktiannya memerlukan keahlian dan peralatan khusus;
melakukan pemeriksaan atas pelanggaran perizinan angkutan orang dan/atau barang dengan Kendaraan Bermotor Umum;
melakukan pemeriksaan atas pelanggaran muatan dan/atau dimensi Kendaraan Bermotor di tempat penimbangan yang dipasang secara tetap;
melarang atau menunda pengoperasian Kendaraan 137 Bermotor yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan;
meminta keterangan dari Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, atau Perusahaan Angkutan Umum atas pelanggaran persyaratan teknis dan laik jalan, pengujian Kendaraan Bermotor, dan perizinan; dan/atau
melakukan penyitaan surat tanda lulus uji dan/atau surat izin penyelenggaraan angkutan umum atas pelanggaran sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c dengan membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan.
PPNS pada Kementerian Kehutanan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaim ana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2004 juncto Perpu Nomor 1 Tahun 2004 Pasal 77:
Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengurusan hutan, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimak-sud pada ayat (1), berwenang untuk:
melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana yang menyangkut hutan, 138 kawasan hutan, dan hasil hutan;
memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;
melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku;
meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
menangkap dan menahan dalam koordinasi dan pengawasan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai Kitab Undang- undang Hukum Acara Pidana;
membuat dan menandatangani berita acara;
menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.
Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum, sesuai 139 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
PPNS pada Kementerian Komunikasi dan Infor-matika Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi Pasal 44:
Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi b. melakukan pemeriksaan terhadap orang dan atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
menghentikan penggunaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku;
memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau ter- sangka;
melakukan pemeriksaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang diduga digunakan atau diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang tele-komunikasi; 140 f. menggeledah tempat yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
menyegel dan atau menyita alat dan atau perangkat telekomunikasi yang digunakan atau yang diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi, dan mengadakan penghentian penyidikan.
Kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Latar Belakang Pembahasan UU OJK Bahwa selain pandangan secara konstitusional, teoritis, dan yuridis, sebagaimana telah diuraikan di atas, dipandang perlu untuk melihat latar belakang perumusan dan pembahasan pasal-pasal terkait dalam undang- undang a quo sebagai berikut • Rapat Kerja (18 Agustus 2010) 1) Menteri Keuangan (Agus M.W.) __ Selanjutnya perkenankan kami untuk menjelaskan kembali secara umum hal-hal pokok yang tertuang dalam RUU OJK ini sebagai _berikut: _ Poin 7: Penegakan Hukum Dalam rangka penegakan hukum di sektor jasa keuangan, OJK memiliki kewenangan penyidikan terhadap pelaku tindak pidana di bidang perbankan, pasar modal dan industri keuangan non bank. Penyidikan ini antara lain dilakukan oleh pejabat penyidik Kepolisian 141 Negara RI dan pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup, tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengawasan industri jasa keuangan di lingkungan OJK. 2) Anggota F-PG (Edison Betaubun, S.H., M.H.) __ Terkait Rancangan Undang-undang Otoritas Jasa Keuangan, Fraksi _Partai Golkar DPR RI berpandangan bahwa: _ _1. Ruang lingkup lembaga yang dibentuk meliputi: _ a. Pengaturan Ini penting dimiliki agar dapat melakukan harmonisasi dan sinkronisasi peraturan di bidang jasa keuangan. b. Pengawasan terpadu dan lintas sub sektor agar dapat mendeteksi resiko finansial dari kegiatan yang berada di wilayah abu-abu dalam suatu kegiatan konglomerasi jasa keuangan. c. Penegakan hukum yang dipunyai mencakup penyelidikan dan penyidikan agar mempunyai kewenangan dan tanggung jawab yang utuh dalam proses penegakan hukum. • Rapat Dengar Pendapat Umum (19 Agustus 2010) 1) Anggota F-PDIP (Trimedya Panjaitan) __ Tapi saya coba mendalami apa yang ada di dalam RUU OJK ini utamanya Pasal 41 ayat (3) soal kewenangan penyidikan yang diberikan kepada lembaga ini seandainya lembaga ini akan berdiri nanti. Saya sesuai dengan core saya saja. Kalau orang bisnis harus punya core pak. Core saya di hukum, saya hukum saja. Nah, kalau kita lihat di sini kan memang spirit dari ini tentu Pasal 6 ayat (1) KUHAP bahwa PPNS tapi sebagaiman kita ketahui dan mungkin juga pihak Bapak tahu atau tidak sekarang ini menurut data dari Kapolri ada sekitar 650 PPNS di sekitar 43 kelembagaan. Nah, ini tidak jelas efektifitasnya. __ … Sebenernya dalam posisi ini apakah kita ingin membentuk lagi instrumen-instrumen hukum baru yang mempunya kewenangan di bidang penyelidikan. Dia ini kalau dari mulai menerima laporan sampai Surat Penghentian Penyidikan, kewenangan yang diberikan 142 pada OJK ini. Dengan posisi kewenangan yang luar biasa seperti ini, kami agak khawatir walaupun nanti ini pada saat pendalaman masuk kepada pasal-pasal nanti DIM-DIM itu kita baru diskusikan lebih detil. Jadi dalam posisi ini kami ingin menanyakan kepada bapak-bapak sekalian apakah orang Bapak setuju dengan kewenangan ini. Apakah negara kita ini tidak cukup dengan lembaga-lembaga hukum yang sudah ada kepolisian, kejaksaan.... • Rapat Dengar Pendapat Umum (23 September 2010) 1) Akademisi (Insukindro) __ Jadi OJK itu lembaga apa Pak? Dalam undang-undang itu tidak jelas, ini saya kira perlu dijelaskan juga lembaga negara atau bukan lembaga negara semacam itu. Juga terkait dengan penyidikan, kalau kita baca pasal berapa ya itukan pegawai OJK adalah pegawai OJK, apakah itu PNS. Di dalam Pasal 41 disebutkan kecuali kepolisian kan pegawai negeri sipil mempunyai hak. Berartikan bisa jaksa, bisa macam-macam di situ. Ini nanti mirip-mirip KPK lagi, ketergantungannya sangat tinggi, semacam itu. Ini juga problem nanti kalau BI digabungkan dengan OJK, kemudian pegawai BI itukan bukan PNS. Apakah dia punya hak untuk melakukan penyidikan semacam itu atau diangkat jadi PNS. Ini menurut saya perlu clear. 2) Akademisi (Himawan) __ Hal yang perlu kita lihat juga itu adalah pengawasan. Pengawasan itu sebenarnya ada empat pilar yaitu, pemantauan, pemeriksaan, penyidikan, dan penegakan hukum. Ini yang belum kami lihat di dalam RUU ini yang mungkin harusnya lebih detail, lebih banyak kita perdalam untuk masalah pengawasan ini. __ … Kemudian masalah penyidikan, penyidikan yang saya lihat di sini lebih bersifat pasif. Yaitu adalah menerima laporan dari masyarakat, padahal yang harus dilakukan itu adalah lebih pro aktif karena permasalahannya sekarang adalah seringkali kasus misalkan kasus emeron, kasus supreme mortgage dan lain sebagainya yang muncul kemudian kasus Antaboga dan sebagainya, ini tidak bisa kalau ditunggu sudah terlalu besar. Masalahnya sudah terlalu besar ketika 143 kita sudah mendapatkannya. Kita tidak ada istilah di sini melakukan prevention. Dalam masalah pengawasan, kalau saya menggunakan pendekatan economic, itu yang terpenting adalah bagaimana meningkatkan detaction rate, kemampuan untuk mendeteksi. Yang menjadi permasalahan selama ini adalah banyak unsure problem sebenarnya yang muncul, kasus-kasus seperti Antaboga yang itu di dalam nomenslan. Ini seharusnya yang menjadi perhatian kita itu adalah bagaimana menghilangkan atau meminimasi hal-hal seperti ini. Di dalam setiap crime itu ada yang disebut un recorded financis. Bagaimana menimalisasi un recorded financis ini yang saya pikir di dalam masalah penyidikan ini harus lebih jelas Pak untuk masuk ke sana. • Rapat Panja (21 Oktober 2010) 1) F-PG (Nusron Wahid) __ Nah saya setuju prinsipnya bahwa Undang-undang Otoritas Jasa Keuangan ini yang kita susun ini tidak hanya menjadi basis pondasi pendirian suatu lembaga yang lembaga itu bergerak di bidang otoritas jasa keuangan. Yang namanya otoritas itu di situ meliputi 3 kewenangan kalau saya baca dalam undang-undang ini; kewenangan pertama adalah pengaturan mikro prudensial di bidang perbankan dan pengaturan secara keseluruhan, kemudian pengawasan, sama low enforcement karena ada penyidikan di situ di dalamnya. • Rapat Panja (26 November 2010) 1) Pemerintah __ … Di Undang-undang Pasar Modal itu ada penyidikan oleh Bapepam yaitu PPNS. Kemudian untuk di Bank Indonesia tidak ada penyidikan ternyata dan itu masalah buat Bank Indonesia selama ini karena mereka tidak bisa melakukan penyidikan, sehingga selalu lempar ke polisi ya hilang saja. Maaf ini kalau direkam karena kenyataannya begitu. Jadi kemudian, asuransi juga demikian. Kami selama ini kalau sudah masuk asuransi walaupun Bapepam LK begitu case-nya asuransi, kita langsung lempar ke polisi. Jadi berarti Kepolisian ini Bareskrim ini harus menguasai banget tentang 144 perasuransian, dana pensiun, kalau pasar modal dia tidak perlu karena penyidikannya di kita tapi kalau fraud tetap ke polisi. Tapi sudah manipulasi biasanya di Bapepam. Jadi sebenarnya teman-teman di Bank Indonesia pun juga bilang kalau ini memang mereka masuk ke OJK, sebaiknya OJK secara keseluruhan punya penyidikan sehingga sudah berlaku juga untuk bank, pasar modal, asuransi, dana pensiun. Makanya kita sebut di sini OJK bisa punya penyidikan. Itu masalah penyidikan. Nanti masalahnya apakah PPNS. Memang saat ini karena pengaturan tentang PPNS itu diatur di Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, jadi kita belum berani menyebut kata-kata lain selain PPNS. Oleh sebab itu, di dalam bab nanti tentang pegawai kita sebut OJK ini bisa juga menerima, pegawainya bukan saja pegawai OJK tapi juga pegawai negeri. __ …. Di Kepolisian memang ada salah satu direktorat koordinasi pengawas Penyidik Pegawai Negeri Sipil jadi di Korwas, di sana juga ada satu direktorat pak di Bareskrim khusus memang mendidik dan melakukan koordinasi dengan penyidik-penyidik Pegawai Negeri Sipil. Tetapi tidak hanya Bapepam, dengan penyidik Bea Cukai, penyidik Pajak, penyidik Kehutanan, itu secara reguler tambahan pak. Jadi pendidikannya 3 bulan pak memang. Tapi karena kita lihat tindak pidananya itu adalah spesifik tindak pidana di bidang pasar modal yang memang sehari-harinya kita yang mengatur, jadi memang kita hanya belajar trik-trik pendidikannya; bagaimana membuat Berita Acaranya, bagaimana cara prosedur penyidikannya, bagaimana prosedur penyidikannya, itulah yang kita belajar di Kepolisian pak. __ …. Kami menyampaikan bahwa memang untuk penyidik ini diatur dalam Hukum Acara Pidana pak, di situ memang diatur penyidik itu ada 2 pak yang itu adalah pejabat Polisi Negara Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyelidikan. Artinya di sini selain Kepolisian ada juga PPNS-nya pak. Tapi PPNS ini harus diberi kewenangan oleh undang-undang. Jadi tidak bisa diberikan kewenangan selain diberikan oleh undangundang. Harus pegawai 145 negeri sipil. Di sini apakah bisa tidak di dalam RUU OJK ini bukan PPNS atau mungkin hal yang lain tadi berlaku lain dengan hatinya lex spesialis. Kami sependapat tadi sudah disampaikan oleh Pak Robin. Untuk lex spesialis itu harus mengatur rezim yang sama pengaturan hal yang sama. Jadi di sana kan hukum acara pidana di sini adalah Undang-undang OJK, jadi itu memang tidak bisa kita pakai azas itu. Kemudian juga azas post perior mengabaikan yang lama itu juga tidak bisa kita pakai juga seperti itu. Mungkin barangkali saat ini mungkin harus PPNS pak untuk sementara, tapi untuk rumusan mungkin kami belum bisa sampaikan atau nanti kita buat secara umum artinya apakah penyidik saja yang disebut di sini. Jadi tidak kita sebutkan PPNS atau mungkin nanti kami coba saja. 2) F-PG (Nusron Wahid) __ Tadi kita sudah brainstorming soal bab penyidikan, sudah panjang lebar tentang dua isu. Isu pertamakarena OJK itu nanti pegawainya tidak lagi Pegawai Negeri Sipil di convert menjadi OJK maka yang terjadiadalah tentang penyidikan ini OJK akan mengambil penyidik dari PPNS dan penyidik dari polisi sesuaidengan KUHAP. Itu pertama sudah diputus tinggal nanti turunannya. 3) F-PDIP (Nyoman Dhamantra) __ Saya setuju OJK itu diberikan kewenangan untuk itu asal ada kerja sama. Karena kalau tidak ini banyak kasus akan bias karena ditangani tidak proporsional. Maka itu saya katakan pertama pemeriksaan, lidik, baru sidik. Kalau dia pemeriksaan internal OJK saja kalau sekiranya kesalahannya itu hanya kesalahan yang sifatnya hanya administrasi, yang cukup diberikan denda atau diberikan sanksi yang sifatnya internal saja di antara OJK dan pihak anggotanya. Tapi kalau nanti persoalan lidik sidiknya kalau kita mau betul-betul ekslusif bahwa OJK punya ekslusifitas untuk itu harus duduk dengan kejaksaan dan dengan kepolisian supaya khusus. Jadi kalau di tempat lain itu ada yang namanya polisi keuangan. Khusus menyangkut perbankan apa itu hanya kepolisian keuangan ini sajalah yang boleh. Itu ditempatkan misalnya di OJK. 146 • Rapat Panja (1 Desember 2010) 1) F-PAN (H. Nasrullah) __ Yang menjadi problem berikutnya adalah nanti bisa disambung dengan yang lain, adalah terkait dengan hukum pidana ini adalah kewenangan penyidikan itu dalam satu kaitannya dengan semua tindak pidana yang dimuat di dalam undang-undang di bidang jasa keuangan. Pertanyaannya kalau undang-undang di bidang jasa keuangan itu ternyata penyidiknya bukan penyidik PNS, tetapi yang penyidiknya adalah polisi, apakah dia harus ditarik ke sini atau tetap dia berlaku penyidik polisi. Saya ingin tampilkan ini tadi undang- undangnya gitu pak ya, di dalam undang-undang kan disebutkan beberapa undang-undang ini saya ambil contoh Undang-undang Perbankan saya belum mengecek lagi di dalam itu apakah di sana itu mengatur penyidikannya oleh PPNS atau tidak. Kalau itu tidak apakah dengan Undang-undang OJK ini dengan mengatur penyidikan yang menjelaskan tentang tindak pidana di bidang jasa keuangan sehingga dengan demikian juga berlaku tindak pidana perbankan. 2) Pemerintah (Fuad Rahmani) __ Jadi persis seperti yang disampaikan Pak Muzakir tadi, jadi memang sebenarnya pak di sektor keuangan sekarang Undang- undang Pasar Modal itu ada penyidik PNS di mana sekarang itu Bapepam. Waktu itu sekarang membentuk OJK sementara sekarang di Bank Indonesia itu kan tidak ada penyidik, di Undang-undang Perbankan juga tidak ada penyidikan dari Bank Indonesia. Di OJK itu mau dikasih semua ada penyidikan. Oleh karena itu, nanti kan kita akan mengajukan lagi ini Undang-undang Pasar Modal, Manajemen Perbankan, Asuransi, Dana Pensiun itu semua akan disesuaikan dengan ini supaya nanti sinkron. 3) Bareskrim (Bung Jono) Iya, jadi arti dari korwas tadi sebetulnya pemberian bantuan penyidikan, bukan berarti PPNS tadi di bawah atau seperti anggotanya Penyidik Polri itu salah sekali pak. Tapi kalau korwas (koordinasi pengawasan) tadi sebetulnya mengawal PPNS di dalam melakukan 147 _penyidikan. Bentuk pengawalan tadi adalah bantuan penyidikan; _ bantuan taktis, bantuan teknis, bantuan upaya paksa. Karena PPNS tadi tidak mempunyai kewenangan seperti yang ada di Kepolisian, seperti penangkapan/penahanan walaupun PPNS yang sudah ingin menangkap/menahan. Tapi repot sendiri dia pak, kewalahan juga, tugas pokoknya tidak dilaksanakan ngurusin tahanan kan gitu pak. Tetapi itu tadi memberikan bantuan penyidikan kepada PPNS supaya hasil penyidikan berkas perkaranya tadi dapat memenuhi syarat formil dan materil. Muncul pertanyaan kapan dilakukan bantuan tadi pak, semenjak SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan). Kepada penuntut umum itulah makanya melalui penyidik Polri. Itulah ceritanya dalam rangka pemberian bantuan. Kemudian arti daripada korwas tadi pak yang saya sebutkan tadi, teknis dan pelaksanaannya sudah diatur di dalam KUHAP. Jadi PPNS Bapepam itu ya dalam kesehariannya kemarin gelar kami datang, mengundang Pak Jaksa juga datang, dalam keseharian sudah bersama. Karena memang Pasal 107 ayat (1), ayat (2), ayat (3) itu sudah mengatur mekanisme korwasnya di bantuan penyidikan tadi pak, sudah diatur di situ. Kembali ke rumusan yang tadi bahwa nanti penyidik di OJK ini di situ ada penyidik Bapepam, penyidik Polri dan penyidik jaksa gitu lho. Wah ini polanya seperti KPK sepintas gitu lho pak. Padahal pola penahanan di KPK dengan OJK itu lain. Pola penahanan koruptor dengan terorisme itu sama pak, karena koruptor itu hampir seluruh Indonesia mendukung, sama dengan penahanan terorisme semuanya mendukung. Kalau ketemu langsung hap, kalau bisa begitu pak. Di OJK ini tidak demikian makanya di sini ada kewenangan administratif, mencabut izin dan segala macam. OJK itu tadi kental dengan kehidupan sosial, dengan ekonomi, dengan ini pak. Kalau ada masalah juga harus melihat pajaknya di mana, perusahaan tadi ada tenaga kerjanya tidak, ini perputaran bagaimana dengan perputaran ekonomi di Indonesia, sehingga polanya tidak seperti KPK tidak langsung potong lehernya gitu pak. Itu supaya masuk kan ke kas negara kan begitu pak. 148 4) Jampidsus (M. Amari): __ Menyangkut masalah penyidik pak, ini saya sependapat dengan pak dari Polri, bahwa PPNS itu bisa dibentuk tapi itu syaratnya harus pegawai negeri sipil. Kalau badan ini dibentuk sebagai badan swasta atau bukan badan negara, maka susah kita untuk bisa membentuk PPNS karena salah satu syarat PPNS itu adalah dia pegawai negeri. Yang dari pegawai negeri kemungkinan dari Bapepam tapi tidak tahu bagaimana nanti membentuknya kalau memang keinginan untuk membentuk PPNS itu begitu kuat dan memang itu penting. Menurut hemat saya memang perlu karena polisi nanti yang akan membantu dalam penanganan mekanisme penyidikannya, PPNS itu nanti yang menguasai mengenai teknis perbankan atau teknis masalah keuangannya. Kalau jaksa jelas sama dengan polisi, ibara penyidik itu penyidik umum tahunya masalah umum, masalah-masalah khusus tentu harus belajar dulu atau paling tidak meminta bimbingan kepada mereka-mereka yang sudah spesialis. __ ... Mengenai batasan apakah lembaga ini OJK ini bisa melakukan penyidikan atau hanya penyelidikan. Kalau menurut hemat saya kita berkaca pada PPATK pak. PPATK tempo hari di dalam RUU-nya mengingingkan agar PPATK itu bisa ditingkatkan dari melakukan pemeriksaan, dari melakukan pemantauan penyelidik. Untuk menjadi penyelidik saja tempo hari itu tidak disetujui, hanya sebagai pemeriksa tugasnya melakukan pemeriksaan. Padahal kalau dia melakukan penyelidikan juga tidak terlalu bersinggungan, karena hasil penyelidikannya toh juga diteruskan kepada penyidik yang menjadi tindak pidana asap. Bahkan menurut hemat saya OJK ini kalau kita jadikan sebagai instansi penyidik agak repot ini. Karena yang pertama perangkat untuk ke sana itu seperti untuk menahan dan seterusnya kan tidak punya dan dia bukan ditugaskan untuk melakukan kegiatan penegakan hukum yang sebegitu drastis karena masih ada hal-hal lain yang perlu dilindungi yang perlu sentuhan-sentuhan yang lebih soft sifatnya dibanding dengan terorisme dan korupsi, sehingga PPATK pun juga kita bentuk seperti itu tempo hari itu. maka kalau ini juga 149 dikasih kekuasaan seperti polisi, seperti jaksa, nanti kabur orang yang mau bergerak di bidang keuangan ini. Makanya memang perlu lebih berhati-hati. Kemudian mengenai penyidik di Bapepam saya belum tahu persis pak mengenai penyidik Bapepam nanti barangkali bapak dari Bareskrim nanti yang bisa memberikan penjelasan. __ Menyangkut masalah ini bisa tidak OJK ini menjadi penyidik atau penyelidik atau pengawas, atau apa tadi itu pemeriksa. Kalau saya membaca namanya ini di dalam konsideran menimbang b bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana yang dimaksud dalam huruf a, diperlukan otoritas jasa keuangan yang bertugas melaksanakan pengawasan yang dapat mengeluarkan peraturan yang berkaitan dengan tugas pengawasan terhadap perbankan, pasar modal, dan industri jasa keuangan non bank secara terpadu, independen dan akuntabel. Kalau lihat namanya di sini pengawasan dan kalau memang betul ini yang dikehendaki pengawasan tentu kewenangannya bukan sampai pada penyidikan karena kalau sudah sampai pada penyidikan bukan sekedar pengawasan itu penegak hukum. Hasil dari pengawasan ini baru diberikan kepada penegak hukum, penegak hukum lah yang nanti akan menindaklanjuti sesuai dengan tugas dan fungsinya sebagai penegak hukum. Kalau saya lihat saya kembalikan kepada konsideran ini menurut hemat saya paling banter yang bisa dilaksanakan oleh OJK ini adalah penyelidikan tapi bukan penyidikan atau pemeriksaan tadi. Sebenarnya istilah pemeriksa dan penyelidik itu hampir sama pak, sama-sama belum boleh melakukan upaya paksa, belum boleh menahan, belum boleh menangkap tapi dia bisa melakukan investigasi yang hasilnya nanti dianalisis di dalam produk-produk pengawasan seperti yang dilakukan oleh BPKP, dilakukan oleh PPATK dan beberapa lembaga pengawasan semacam itu. • Rapat Kerja Panja (2 Desember 2010) 1) Pakar Hukum Tata Negara (Jimly Asshiddiqie) Kemudian yang selanjutnya itu soal penyidikan. Jadi Pak Harry mana tadi, jadi saya ingin menjelaskan di sini sekarang, instansi yang 150 menangani penyidikan itu sudah 55 instansi; ada polisi, ada KPK, ada Kejaksaan, ada PPNS itu banyak sekali. Dari segi undangundang yang boleh itu PPNS (Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Pertanyaan OJK ini PNS bukan. Kalau dia akan diberi fungsi penyidikan kayak KPK ini bisa masalah ini. Ini kan kita karena tidak percaya kepada kejaksaan, maka kita bikin KPK, tidak percaya polisi, tidak percaya. Tapi kalau begini terus kapan habisnya kita bikin lagi lembaga baru nanti fungsi penyidik lagi. Saya berharap kalau bisa janganlah ini, cukup penyelidikan saja tetapi ada rambu-rambu yang begitu jelas sehingga Kejaksaan itu tidak bisa misalnya bermain-main dengan jadwal, ditentukan lebih rinci gitu misalnya begitu. Dan partnership antara OJK ini langsung dengan Kejaksaan tidak usah dengan Kepolisian lagi, Kejaksaan. Jadi ini termasuk tindak pidana khusus. Kalau tindak pidana khusus tidak perlu lewat polisi jadi langsung dia. Tapi lembaga ini jangan diberi fungsi penyidikan cukup penyelidikan, walaupun di dalam fungsi penyidikan di Kejaksaan dia ikut nempel gitu, jadi dia ikut berperan, diatur saja begitu. Tanpa harus memberi kewenangan menyidik sendiri. Itu saya anjurkan demikian .
F-PG (Melchias Marcus Mekeng) __ Masalah penyidikan, Prof. Ya memang kalau penyidikan ini diberikan kepada OJK kelihatan menjadi super body lagi nanti, tetapi, Prof, faktanya di lapangan kasus-kasus pasar modal, kasus-kasus perbankan ini rasa keadilan sudah tidak ada lagi. Tadi Pak DR. Harry menyampaikan kasus Herman Ramly, banyak lagi pemain-pemain pasar modal yang tidak pernah ketangkap padahal mereka melakukan pelanggaran yang di depan mata kelihatan, nah, kalau ini diberikan katakanlah kepada Kejaksaan dari sisi kompetensi juga belum tentu orang di Jaksa mengerti pasar modal. Nah, ini apakah bisa dalam transisi ini diberikan ini sampai Kejaksaan kita ini benar-benar Kejaksaan yang kita harapkan atau Kepolisiannya itu. Kalau tidak, ini lembaga OJK ini lembaga setengah hati walaupun sudah diberi kekuasaan untuk mengawasi tetapi pada saat dia mengawasi dia menemukan sesuatu yang tidak benar dia tidak bisa lakukan apa-apa, 151 hanya kasih saja dibuat penyelidikan, kasih Kejaksaan, tidak pernah P21. Nah, artinya visi dan misi daripada OJK dari awal yang kita inginkan ini, itu tidak pernah akan berhasil. Nah, ini bagaimana, Prof, kalau fungsi penyidikan ini. 3) F-PD (I Wayan Gunastra) __ Lalu terkait dengan OJK, jadi untuk mencegah hal-hal seperti itu lalu kita bentuk OJK berdasarkan undang-undang. Kalau suatu lembaga yang dibentuk berdasarkan undangundang, tidakkah boleh lembaga itu punya penyidik sendiri. Sekarang salah satu lembaga yang akan diambil kekuasaannya oleh OJK yaitu Bapepam punya penyidik sendiri. Itu yang saya ingin tahu, punya penyidik sendiri. Apakah lembaga yang kita bentuk dengan undangundang yang juga perannya yang akan sangat penting untuk menjaga Negara ini jangan sampai rusak karena kriminal di bidang jasa keuangan itu, benar-benar tidak boleh mempunyai lembaga yang mempunyai penyidik sendiri dengan keahlian khusus itu karena tidak semua penyidik yang kita miliki akan mempunyai keahlian seperti ini terutama di bidang kejahatan keuangan. • Rapat Dengar Pendapat (2 Maret 2011) 1) Yusril Ihza Mahendra __ Kemudian ini ada yang agak serius pasal 41 mengenai penyidikan. Kalau saya baca disini pasal 41 ini mengatur selain penyidik polisi, pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang ruang lingkupnya meliputi pengawasan jasa keuangan di lingkungan jasa keuangan diberi kewenangan khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam kitab-kitab Undangundang hukum acara pidana. Yang diatur disini ada PPNS, penyidik pegawai negeri sipil selain penyidik polisi. Tidak disebut apa namanya penyidik dari kejaksaan tidak ada disini. Yang ada Cuma polisi, PPNS. Tapi yang diatur dalam pasal 1 ini hanya keberadaan mereka sebagai PPNS seperti disebutkan dalam KUHAP. Tapi bagaimanakah prosedur kerja dari…………………… __ ... Tapi tegas dikatakan bahwa KPK dalam melakukan penyidikan dan penyelidikan menggunakan KUHAP kecuali diatur secara khusus 152 di dalam Undang-undang ini. Misalnya menyimpang bahwa KPK itu tidak ada SP3. Itu menyimpang dari KUHAP tapi yang pokok adalah tetap KUHAP. Tapi disini tidak ada, dan ini bisa menyebabkan ini ada lembaga baru yang menakutkan semua orang. Ada pegawai negeri sipil yang diangkat. Kemudian penyidik esselon I berwenang. Kewenangannya ini memberikan laporan, melakukan penelitian kebenaran laporan, melakukan penelitian terhadap orang yang diduga melakukan atau tindak pidana dibidang jasa keuangan, memanggil, memeriksa, meminta keterangan dan barang bukti ke setiap orang, melakukan pemeriksaan atas pembukuan, meminta dokumen berkenaan dengan tindak pidana, melakukan pengeledahan, loh ngeri ini. tidak ada ini, tidak terikat KUHAP. Bisa dipanggil orang, bisa geledah DPR bisa geledah siapapun. Lebih dari KPK ini. Sedangkan polisi, kejaksaan mau menggeledah harus ijin pengadilan, bagaimana kacau balau ini dunia keuangan kita kalau lembaga ini penyidiknya diberikan otoritas yang cukup besar. Tidak tunduk pada KUHAP dan atur saja dia sendiri. 2) F-PG (DR. H. Harry Azhar Azis, MA) __ ... Soal penyidik ini menarik. Apakah dari pernyataan Pak Yusril itu artinya kita mesti mempertegas lama sebelum kita atur model tata cara penyidikan di Undang-undang ini, harus ditegaskan itu harus tunduk kepada KUHAP. 3) F-PD (Ir. Hj. A.P.A Timo Pangerang) __ Bagus sekali Pak Yusril tadi menyampaikan tentang Pasal 41 bahwa apa kalau kita bertanya bagaimana hukum acara yang digunakan. Saya kira Pak Yusril di sini disampaikan bahwa mereka mengacu pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Undang- undang 8 tahun 1981, dan kemudian PNS. Yang tadi disampaikan bahwa sepertinya ini berbahaya atau punya kewenangan yang besar PPNS ini. Nah, PPNS ini kan melakukan penyelidikan terhadap pegawai negeri sipilnya. Jadi di dalam lembaga OJK ini selain tadi beberapa orang dari para ahlinya di bidang asuransi, di bidang pasar modal, perbankan, juga boleh menerima pegawai negeri sipil yang 153 ingin masuk ke dalam lembaga ini. Tentu PPNS ini akan berperan ketika dia memeriksa pegawai negeri sipilnya kan Pak Yusril, bukan di luar non pegawai negeri sipil kalau non pegawai negeri sipil yang periksa tentu pejabat penyidik Kepolisian. Nah, pertanyaannya adalah kalau saya buka-buka undang-undang yang lain yang juga ada di penyidikan unsur pegawai negeri sipil, saya lihat sebenarnya intinya more or less kurang lebih sama pak, dia melakukan pemeriksaan, dia memanggil memeriksa terhadap pegawai negeri sipil yang diduga melakukan tindak pidana Jadi seperti ini, tapi karena saya dengar tadi Pak Yusril menyampaikan ini sangat berbahaya saya juga ingin mendapatkan gambaran di mana kira-kira pelanggaran daripada kewenangan PPNS ini. 4) Yusril Ihza Mahendra __ … Nah sebaiknya pasal 41 ini rumusannya, PPNS ini dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya ya itu menggunakan hukum acara sebagaimana diatur didalam KUHAP kecuali diatur tersendiri didalam Undang-undang ini, jadi ini mengandung satu hukum acara disini tapi sangat singkat ya, tapi memberikan kewenangan yang potensial bisa disalahgunakan oleh PPNS yang menjadi ini, seperti misalnya disebutkan disini dia punya kewenangan untuk melakukan pengeledahan, karena dia merasa tidak tunduk pada KUHAP, dihukum acara diberikan kewenangan, dia bisa mengeledah siapa saja tanpa ijin pengadilan dan itu bisa bahaya, apalagi dia bisa menyita, dia bisa memanggil orang. __ Nah jadi saya kira rumusan pasal 41 ini mesti dielaborasi agak rinci karena pedoman kita begini, inikan sebenarnya bukan menyangkut hukum pidana, ini kan hukum administrasi negara sebenarnya, tapi didalamnya ini ada aspek hukum acara pidana, hukum acara pidana itu harus strike, strike nggak bisa disamar-samar, karena sifat dari hukum pidana materiil maupun pidana formil itu akan bersentuhan langsung dengan hak asasi manusia. • Rapat Intern Pansus (24 Mei 2011) 1) F-PG (Nusron Wahid) 154 Baik, begini keputusan kita tentang masalah lidik-sidik ini penyelidikan dan penyidikan, itu kemarin dikembalikan ke dalam ranah undang-undang sektoral..... Nah persoalan yang muncul di dalam undang-undang OJK ini adalah kewenagan untuk sampai pada level penyidikan itu hanya terbatas pada level pasar modal. Karena di dalam klausulnya itu di dalam pasal-pasal itu dinyatakan sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku. Tidak diatur secara khusus. Jadi kewenangan untuk penuntutan eh penyidikan, itu hanya sampai khusus pada masalah pasar modal. Nah pada waktu pertimbangan, perdebatannya kalau ingin memberikan, mengurangi kewenangan atau ingin menambah kewenangan itu ini dikembalikan dalam kontek pembahasan waktu kita mengamandemen undang-undang sektoral apakah undang- undang perbankan, apakah undang-undang asuransi, apakah undang-undang industri pembiayaan maupun undang-undang tentang pasar modal nanti. • Rapat Panja (26 Mei 2011) 1) Menteri Keuangan (Agus M) __ Substansi ketiga yang berhasil disepakati adalah terkait dengan penegakan hukum.Dalam hal ini kewenangan pemeriksaan dan penyidikan di mana penegakan hukum di sektorjasa keuangan dilakukan di bawah payung Undang-undang OJK dan dikoordinasikan olehOJK, namun dengan tetap memperhatikan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum AcaraPidana. Lebih lanjut disepakati pula mekanisme pola rotasi serta mutasi penyidik, agarpenyidikan terhadap dugaan tindakan pidana di sektor jasa keuangan dapat dilaksanakandengan efektif. Aspek pemidanaan sebagai bagian dari penegakan hukum juga telahmemperoleh perhatian serius pada pembahasan sebelumnya. Sehingga tercapai kesepakatantentang ketentuan pidana baik tentang tindak pidana maupun ancaman pidananya . • Rapat Panja (10 Juni 2011) 1) F-PG (Nusron Wahid) 155 __ Terima kasih Pimpinan, perlu kami sampaikan bahwa penuntut umum memang hanya kejaksaan.Oleh karena itu yang tadi kami kemukakan, di Malaysiapun penuntut umumnya itu adalah dari jaksa yangdi seperti second man dimasukkan ke Securities Commission. Sekarang di KPK pun sebenarnya adalahpenuntut umumnya adalah kejaksaan yang punya private jaksa kemudian masuk di KPK. Bahkan diskhususKPK yang ingin punya penyidik sendiripun itu masih menjadi ramai karena penyidiknya sekarangpun masihmenyidik polisi. Dengan demikian Pimpinan atas ijin Ketua Bapepam LK bahwa kami masih berpendapatbahwa penuntutan hanya bisa dilakukan oleh jaksa penuntut umum yang punya private jaksa penuntutumum di kejaksaan agung yang nanti di second man kan atau ditugaskan di Otoritas Jasa Keuangan. 2) F-PKS (Kemal Azis Stamboel) __ Perlu kami sampaikan Negara yang basisnya pasarmodalnya, kami paham pasar modalnya bagus itu negara-negara common law seperti Amerika. Amerikamalah bahkan tidak punya kewenangan penyidikan. Inggris juga tidak punya kewenangan penyidikan.Kebetulan di negara common law yang kami sampaikan tadi Malaysia itu punya kewenangan baik kewenangan administrasi atau administrative Rosiding, punya kewenangan civil Rosiding atau perdata danpunya kewenangan pidana termasuk penuntutannya. Memang di negara-negara civil law seperti diIndonesia banyak sekali para juries yang tidak sepakat bahwa proses penyidikan dan penuntutan dalamsatu body, karena takut adanya kurang check in balance. Tetapi kenapa tadi disampaikan bahwa yangmana aja, memang sekarang ini komisi pemberantasan korupsi Pak yang punya kewenangan itu. Selain itu,kami tidak melihat atau sekurang- kurangnya belum melihat ada lembaga lain yang punya kewenangan proyustisia untuk penyidikan dan penuntutan dalam satu tubuh Pak. Bahwa dalam KPK itu pengadilannya punsudah sendiri, pengadilan tipikor. Karena memang dianggap kejahatan luar biasa. 3) F-PAN (PROF. DR. Ismed Ahmad) 156 __ Perdebatannya nanti kita lakukan di pansus, karena feeling saya, ini feeling, meskipun Pak Nyoman setuju tentang ini, ini di dalam anggota pansus kita ini ada beberapa anggota Komisi III yang saya tahu persis anggota Komisi III itu mempunyai semangat yang kuat terhadap proteksi terutama hal-hal yang menyangkut tentang kewenangan penyidikan polisi sama hal-hal yang menyangkut kewenangan penuntutan jaksa. Di cowel sedikit pasti akan halo-halo pasti itu akan nanti. Pasti itu akan nanti. Lebih baik energinya itu kita harapkan simpen lalu di pansus. Tapi yang penting pada rapat sore ini kita merumuskan pasal demi pasal yang itu menjadi amanat daripada rapat semalam. • Rapat Kerja (25 Oktober 2011) 1) F. PDIP (I.G.A. Rai Wirajaya, SE., MM) __ Terima kasih Pimpinan. Terkait dengan masalah sidik dan lidik ini kami sudah memberikan suatu catatan, bahwasanya masalah penyelidikan kami tetap pada berpegangan pada penyelidikan itu diberikan kepada PPNS, namun penyidikannya itu kembali ke kepolisian. 2) F-PG (Meutya Hafid) __ Poin ke enam, kewenangan pemeriksaan dan penyidikan. OJK memiliki alat kelengkapan sendiri dan mandiri dalam melakukan penegakan hukum, hal ini penting untuk mengatasi permasalahan yang timbul manakala melakukan tugas pengaturan dan pengawasan di sector jasa keuangan. Meskipun awalnya kami mengusulkan agar OJK memiliki kewenangan penuntutan namun fungsi penegakan hukum yang telah mencakup pemeriksaan dan penyidikan atau sidik kami pandang cukup dalam melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab yang utuh dalam proses penegakan hukum. 3) F-PKB (Otong Abdurrahman) __ Terakhir nomer 5, fraksi Partai kebangkitan bangsa berpendapat bahwa dengan adanya pengaturan mengenai perlindungan konsumen dan masyarakat serta ketentuan tentang pemeriksaan dan penyidikan dan ketentuan sanksi hukum baik administrative maupun pidana yang 157 tegas seperti yang diatur dalam RUU tentang otoritas jasa keuangan ini diharapkan dapat mendorong penegakan hukum di Indonesia menjadi berjalan lebih baik setidaknya bisa meminimalisir terjadinya tindakanmelawan hukum. 4) F-PDIP (I Nyoman Damantra) __ Ketiga menyangkut pelaksanaan penyidikan oleh penyidik pegawai negeri sipil PPNS dalam undang-undang ini jangan sampai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum AcaraPidana atau KUHAP .
F-PAN (PROF. DR. Ismed Ahmad) __ Kewenangan penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan oleh OJK namun kewajiban penuntutan dilakukan oleh lembaga berwenang lainnya yang diatur oleh perundang-undangan.... Keberhasilan Pansus OJK dalam menyelesaikan pasal-pasal yang controversial seperti pemeriksaan, penyelidikan, penyidikan dan penuntutan harus diberikan apresiasi yang sebesar-besarnya . Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, DPR RI memohon agar memberikan amar putusan sebagai berikut:
Menyatakan bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya atau setidak-setidaknya menyatakan permohonan a quo tidak dapat diterima;
Menerima Keterangan DPR RI secara keseluruhan;
Menyatakan Pasal 1 angka 1 terhadap kata “dan penyidikan ” dan Pasal 9 huruf c terhadap kata “penyidikan” Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Menyatakan Pasal 1 angka 1 terhadap kata “dan penyidikan ” dan Pasal 9 huruf c terhadap kata “penyidikan” Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat. 158 [2.5] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, OJK telah menyampaikan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 15 Februari 2019, yang pada pokoknya sebagai berikut: I. POKOK PERMOHONAN PARA PEMOHON Bahwa Para Pemohon berpendapat Pasal 1 angka 1 terhadap frasa “dan Penyidikan” dan Pasal 9 huruf c terhadap kata “Penyidikan” UU OJK yang memberikan kewenangan penyidikan kepada OJK bertentangan dengan asas “ due proccess of law ” dalam Sistem Penegakan Hukum Pidana ( Criminal Justice System ) sebagai jaminan yang harus ada dalam Negara Hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 , serta tidak memberikan kepastian hukum yang adil bagi seseorang yang disangka melakukan tindak pidana di sektor keuangan saat menjalankan proses penyidikan yang dilakukan oleh Lembaga OJK dimana seharusnya setiap warga negara mendapatkan jaminan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 . II. KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING) PARA PEMOHON. Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 (selanjutnya disebut UU MK), menyatakan bahwa para Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang- undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia;
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara. Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka para Pemohon terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan: 159 1. Kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK);
Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang diuji;
Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. Lebih lanjut, Mahkamah Konstitusi RI telah memberikan pengertian dan batasan kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi ( vide putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan putusan-putusan berikutnya), harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu:
adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945;
bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Atas hal-hal tersebut di atas, kiranya Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi perlu mempertimbangkan kembali persyaratan Para Pemohon sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan Pasal 1 angka 1 terhadap frasa ” dan Penyidikan ” dan Pasal 9 huruf c terhadap kata ” Penyidikan ” UU OJK terhadap Pasal 1 ayat (3) dan 28D ayat (1) UUD 1945. 160 Terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon, OJK menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
Berdasarkan Surat Permohonan dari para Pemohon pengujian a quo, identitas para Pemohon adalah sebagaimana tercantum dalam halaman 2 sampai dengan halaman 3 dan halaman 6 sampai dengan halaman 8 surat permohonan a quo yang pada pokoknya para Pemohon adalah Warga Negara Indonesia yang berprofesi sebagai advokat (Pemohon I), Dosen Universitas Surakarta (Pemohon I sampai Pemohon IV) dan karyawan di PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (Pemohon V dan Pemohon VI) . 2. Menurut OJK, hal yang disampaikan para Pemohon dalam permohonannya pada dasarnya merupakan permasalahan penerapan norma (implementasi), dan tidak terkait dengan konstitusionalitas norma yang dimohonkan untuk diuji. Hal ini telah disebutkan dalam beberapa pokok permohonan a quo , yaitu:
Pemohon I yang berprofesi sebagai Advokat, merasa akan mengalami kesulitan dalam melakukan pembelaan terhadap klien mengingat UU OJK tidak mengatur secara jelas hak-hak seorang tersangka dalam tindak pidana disektor jasa keuangan. Pemohon I menganggap tidak mendapatkan kepastian hukum atas proses hukum pidana di sektor jasa keuangan yang berada di lingkup kekuasaan lembaga OJK.
Pemohon I sampai dengan Pemohon IV yang berprofesi sebagai Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta yang merasa dirugikan dengan adanya ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK karena secara keilmuan hukum pidana yang dipelajari oleh Pemohon I, Pemohon II dan Pemohon III, dalam pemberlakuan “ criminal justice system ” di Indonesia yang mengakui asas “ due process of law ” sebagai suatu proses yang harus dijalankan oleh Negara cq. Aparat Penegak Hukum yang telah diatur dalam KUHAP, tetapi hal tersebut diabaikan dengan berlakunya UU OJK sehingga menderita mengalami kerugian konstitusional.
Pemohon V sampai dengan Pemohon VI yang berprofesi sebagai karyawan di PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (selanjutnya 161 disebut PT SNP) yang merasa dirugikan karena adanya laporan dari salah satu bank kreditur ke Kepolisian dan saat ini sedang dalam proses hukum di Kepolisian karena disangka melakukan tindak pidana di sektor jasa keuangan. Hal ini menurut Pemohon tidak akan terjadi apabila OJK tidak memiliki kewenangan penyidikan.
Alasan Pemohon I yang mendalilkan telah terjadi kerugian konsitusional karena tidak diaturnya secara jelas hak-hak tersangka dalam UU OJK kurang tepat jika kaitkan dengan pasal-pasal yang diujikan dalam perkara a quo . Ketidakjelasan hak-hak tersangka dalam UU OJK selayaknya mengacu pada ketentuan yang berkaitan dengan kewenangan OJK dalam pemenuhan hak-hak tersangka pada proses penyidikan yang dilakukan oleh OJK dan Pemohon seharusnya melihat bagaimana praktik yang dilakukan oleh OJK berkaitan dengan pemenuhan hak-hak para pihak pada proses penyidikan oleh Penyidik OJK.
Terhadap alasan Pemohon I sampai dengan Pemohon IV yang berprofesi sebagai dosen/pengajar pada perguruan tinggi, OJK berpendapat bahwa norma pasal-pasal yang dilakukan pengujian adalah berkaitan dengan apakah OJK sebagai lembaga independen layak untuk diberikan kewenangan penyidikan dalam tindak pidana di sektor jasa keuangan, sedangkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) adalah ketentuan yang berkaitan dengan bagaimana penyidik menerapkan kewenangan penyidikan yang dimiliki. Berdasarkan KUHAP penyidik wajib melakukan proses penyidikan sesuai dengan hukum acara pidana yang diatur dalam KUHAP dan hal ini tentu tidak berkaitan dengan pemberian kewenangan penyidikan oleh lembaga tertentu termasuk OJK.
Alasan Pemohon V dan Pemohon VI yang menganggap bahwa telah dirugikan sebagai akibat dari laporan bank kreditur PT SNP kepada pihak kepolisian sehingga Para Pemohon saat ini menjalani proses hukum sebagai tersangka dengan dugaan tindak pidana di sektor jasa keuangan tidaklah dapat dijadikan dasar dalam menyatakan adanya kerugian konstitusional dari pasal-pasal dalam UU OJK yang dilakukan pengujian pada perkara a quo . Berdasarkan informasi yang diperoleh oleh OJK, 162 Pemohon V dan Pemohon VI bukanlah pihak-pihak yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Penyidik OJK. Pemohon V dan Pemohon VI ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Bareskrim Mabes Polri dalam dugaan tindak pidana umum dan bukan karena dugaan tindak pidana di sektor jasa keuangan.
Dalam Persidangan Pendahuluan Permohonan a quo pada tanggal 18 Desember 2018, Yang Mulia Majelis Mahkamah Konstitusi telah memberikan saran dan kritik terhadap Permohonan dimaksud diantaranya terkait legal standing atau kedudukan hukum dari Para Pemohon (dalam hal ini Pemohon I sampai Pemohon IV) yang menurut Yang Mulia Majelis Mahkamah Konstitusi kurang spesifik karena tidak adanya kerugian konstitusional secara nyata terhadap Para Pemohon terkait dengan kewenangan penyidikan yang diatur dalam UU OJK.
Selain itu Yang Mulia Majelis Mahkamah Konstitusi juga berpendapat dalam permohonan a quo , para Pemohon tidak memberikan argumentasi yang eksplisit terkait dengan kondisi konkrit hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara posisi Pemohon sebagai akademisi dengan diberikannya kewenangan Penyidikan kepada OJK.
Selanjutnya, dalam persidangan perbaikan permohonan yang dibacakan oleh Pemohon pada tanggal 7 Januari 2019, Pemohon I sampai Pemohon IV tidak melakukan perubahan dalam menjelaskan kerugian konstitusional yang dialami Pemohon I sampai dengan Pemohon IV tetapi hanya menambahkan Pemohon V dan Pemohon VI yang menurut para Pemohon memiliki kerugian secara nyata terhadap kewenangan penyidikan yang diatur dalam UU OJK karena menjalani masa tahanan di Polda Metro Jaya.
Oleh karena itu, kiranya adalah tepat dan sudah sepatutnya jika Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan para Pemohon tidak memenuhi kualifikasi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 51 UU MK sehingga dengan demikian Permohonan Pemohon layak untuk dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard ). 163 10. Namun jika Yang Mulia Ketua/Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memberikan pendapat yang berbeda, maka OJK menyerahkan kepada Yang Mulia Ketua/Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) atau tidak, sebagaimana ditentukan oleh ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu (sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU- V/2007). III. PERMOHONAN PENGUJIAN YANG DIAJUKAN PARA PEMOHON TELAH DINILAI DAN DIPUTUS OLEH YANG MULIA MAJELIS MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PERKARA NOMOR 25/PUU-XII/2014 YANG BERSIFAT FINAL AND BINDING 1. Sesuai dengan ketentuan Pasal 60 UU MK menyatakan, ” Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam Undang- Undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. ” 2. Pada tanggal 14 Agustus 2015, Mahkamah Konstitusi telah memeriksa dan memutus rumusan keseluruhan Pasal 1 angka 1 UU OJK terhadap UUD 1945 dalam putusan perkara NOMOR 25/PUU-XII/2014, sehingga Pasal 1 angka 1 UU OJK selengkapnya menjadi berbunyi: “ Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah Lembaga yang Independen, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.” 3. Berdasarkan pendapat Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam persidangan tanggal 18 Desember 2018 yang dituangkan dalam halaman 13 risalah sidang perkara Nomor 102/PUU-XVI/2018, Yang Mulia Hakim Anggota Saldi Isra pada pokoknya menyatakan kewenangan penyidikan yang terdapat pada Pasal 1 angka 1 UU OJK telah dinyatakan konstitusional dalam Putusan sebelumnya dan apabila ketentuan tersebut hendak dikoreksi maka Pemohon harus memberikan argumentasi yang jauh lebih kuat. 164 4. Berdasarkan hal tersebut di atas, setelah mempelajari Permohonan a quo , baik pada Surat Permohonan pertama maupun pada Surat Perbaikan Permohonan, menurut pandangan Pihak Terkait, materi muatan ayat yang dimohonkan pengujian a quo telah diuji dan diputus berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XII/2014 sehingga __ tidak dapat dimohonkan pengujian __ kembali . Selain daripada itu, Pemohon belum memberikan argumentasi-argumentasi yang jauh lebih kuat atas permohonan pengujian Pasal 1 angka 1 UU OJK yang telah dinyatakan konstitusional dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU- XII/2014.
Selanjutnya, Putusan Mahkamah Konstitusi adalah bersifat final , yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat ( final and binding ). Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) UU MK dan penjelasannya.
Dengan demikian, permohonan a quo tidak memenuhi kriteria sebagai permohonan yang dapat dimohonkan kepada Mahkamah Konstitusi. IV. PENJELASAN OJK TERHADAP MATERI YANG DIMOHONKAN OLEH PARA PEMOHON Sebelum OJK menyampaikan penjelasan atas Materi Permohonan Para Pemohon, OJK terlebih dahulu akan menjelaskan tujuan pembentukan OJK dan dasar kewenangan penyidikan dalam UU OJK sebagai berikut:
Dasar Hukum dan Tujuan Pembentukan OJK 1.1. Pembentukan OJK melalui UU OJK disusun bersama antara Presiden (Pemerintah) sesuai kewenangan dalam Pasal 5 UUD 1945 dengan DPR-RI sesuai kewenangan dalam Pasal 20 UUD 1945.
Latar Belakang Kewenangan Penyidikan OJK 2.1. Pada prinsipnya, Pemerintah dan DPR selaku pembentuk undang- undang ( policy maker ) memiliki kewenangan yang disebut dengan open legal policy . Kewenangan tersebut memberikan kebebasan 168 kepada policy maker untuk membentuk norma tertentu sepanjang tidak bertentangan dengan konstitusi.
Pelaksanaan Kewenangan Penyidikan oleh OJK tetap Berlandaskan pada Asas Presumption of Innocence Dalam Koridor Due Process of Law serta Integrated Criminal Justice System. Setelah membaca dan mempelajari surat permohonan a quo , selain hal- hal yang berkaitan dengan keberatan pemohon atas pencantuman kewenangan penyidikan oleh OJK dalam UU OJK yang dianggap tidak sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D UUD 1945, terdapat beberapa keberatan pemohon yang berkaitan dengan pelaksanaan penyidikan yang dianggap sewenang-wenang dan melanggar asas presumption of innocence , keberadaan penyidik dari instansi lain yang bersifat sementara dan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, pelaksanaan penyidikan yang melanggar due process of law , dan mengaburkan integrated criminal justice system . Menanggapi hal-hal tersebut di atas, OJK memiliki beberapa pandangan sebagai berikut:
1.2. Dalam paham Negara Hukum, pada hakikatnya hukum sendirilah yang menjadi penentu segalanya sesuai dengan prinsip nomokrasi ( nomcrasy ) dan doktrin “ the Rule of Law and not of Man ”. Dalam kerangka ‘ the rule of Law’ , pengakuan bahwa hukum itu mempunyai kedudukan tertinggi ( supremacy of law ), adanya persamaan dalam hukum dan pemerintah ( equality before the law ), dan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya dalam kenyataan praktek ( due process of law ). 175 3.1.3. Gagasan Negara Hukum dibangun dengan mengembangkan perangkat hukum sebagai suatu sistem yang fungsional dan berkeadilan. Sehingga sistem hukum tersebut dibangun ( law making) dan ditegakkan ( law enforcing). 3.1.4. Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum memiliki empat ciri _penting yaitu: _ a) Perlindungan hak asasi manusia; b) Pembagian kekuasaan; c) Pemerintahan berdasarkan undang-undang; dan d) Peradilan tata usaha negara.
1.5. Sejalan dengan ciri Negara Hukum menurut Julius Stahl tersebut, dalam menjalankan pemerintahan, para aparatur negara harus berdasarkan pada undang-undang yang dibentuk sesuai dengan kewenangannya.
1.6. Sebagaimana dimuat dalam Naskah Akademik Pembentukan OJK dinyatakan bahwa OJK dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya harus berlandaskan asas-asas prinsipil yang harus diterapkan secara utuh dan konsekuen, salah satunya ialah asas kepastian hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan OJK.
1.7. Hal ini dituangkan ke dalam rumusan pasal-pasal yang ada dalam UU OJK, dimulai dari tujuan, fungsi, tugas, dan wewenang OJK untuk melakukan pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan, termasuk dengan batasan kewenangan yang jelas dalam melakukan pelaksanaannya. Kemudian, struktur peraturan pelaksanaan di OJK yang wajib dibuat sebagai dasar hukum setiap aturan main dan/atau keputusan yang diambil OJK demi terjaminnya tata cara pelaksanaan administrasi negara yang baik dan benar.
1.8. Demikian pula dengan kewenangan penyidikan yang diatur secara spesifik dimulai dari pengenalan kewenangan penyidikan yang merupakan fungsi pengawasan OJK di sektor jasa 176 keuangan (vide Pasal 9 huruf c UU OJK). Kemudian, dasar acuan kewenangan penyidikan OJK yang tunduk pada koridor hukum acara pidana yang diatur dalam KUHAP [vide Pasal 49 ayat (1) UU OJK] hingga formasi Penyidik OJK yang terdiri dari Penyidik Polri dan Penyidik PPNS berikut dengan masing- masing kewenangannya dan kewajiban koordinasi dengan instansi terkait (vide Pasal 49, Pasal 50, dan Pasal 51 UU OJK).
1.9. Berdasarkan uraian tersebut serta pendapat para filsuf ahli hukum di atas, menunjukkan bahwa pelaksanaan fungsi penyidikan OJK sejalan dengan asas supremasi hukum dimana pelaksanaannya didasarkan pada hukum (undang-undang) yang dibentuk oleh pemerintah dan DPR.
2.4. Dapat diinformasikan per tanggal 26 Januari 2019 ini pelaksanaan kewenangan penyidikan oleh OJK telah membuahkan 9 (sembilan) putusan inkracht dan 13 (tiga belas) perkara yang masih dalam proses di pengadilan. Dengan telah terdapatnya putusan-putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut berarti secara hukum formal dan material Majelis Hakim Pengadilan menerima, mengakui, dan memandang kesesuaian keseluruhan tindak pidana yang disangkakan, termasuk dengan kesesuaian proses penanganannya dengan koridor hukum peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga dapat dikatakan, kehadiran Penyidik OJK justru semakin menguatkan integrated criminal justice system di Indonesia pada kekhususan tindak pidana di sektor jasa keuangan . 3.2.5. Argumentasi para Pemohon yang menyatakan wewenang penyidik OJK secara khusus pada Pasal 49 ayat (3) huruf d, huruf f, dan huruf k melanggar asas ” due process of law ” dan dapat menimbulkan kesewenang-wenangan dari penyidik OJK karena sama sekali tidak mengaitkan pada KUHAP serta tidak berkoodinasi dengan aparat penegak hukum lainnya merupakan suatu yang tidak beralasan.
2.6. Sebagaimana diamanatkan dalam Naskah Akademik Pembentukan UU OJK dikatakan bahwa OJK berkoordinasi dengan penegak hukum dan instansi, lembaga dan/atau pihak lain yang memiliki kewenangan di bidang penegakan hukum 178 (vide angka 7 huruf b) halaman 23 sampai dengan halaman 24 Naskah Akademik Pembentukan OJK). Hal ini mengandung arti bahwa amanat koordinasi antara OJK dengan para penegak hukum pidana harus dilaksanakan. Sebagai contoh, OJK telah membuat landasan hukum terkait koordinasi dengan Jaksa selaku salah satu aparat penegak hukum melalui POJK Penyidikan (vide Pasal 6 Peraturan OJK Nomor 22/POJK.01/2015 tentang Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan ~ selanjutnya disebut POJK Penyidikan) dan tetap mengacu sebagaimana yang diatur dalam KUHAP.
2.7. Lebih lanjut, koordinasi penindakan tindak pidana di sektor jasa keuangan ditindaklanjuti oleh OJK dengan membuat berbagai Nota Kesepahaman diikuti dengan Perjanjian Kerjasama bersama dengan beberapa institusi/lembaga yang memiliki fungsi penyidikan, antara lain dengan: Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksanaan Agung Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pajak–Kementerian Keuangan, dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
2.8. Penting untuk digarisbawahi bahwa kerjasama yang telah terjalin ini dirasakan sangat mempermudah jalannya koordinasi pelaksanaan penyidikan sehingga penyidikan dapat dilaksanakan secara cepat, berbiaya ringan, dan sederhana.
2.9. Keuntungan dari lancarnya koordinasi antara Penyidik OJK, baik yang berasal dari Kepolisian Republik Indonesia maupun Penyidik Pegawai Negeri Sipil dari institusi lain dirasakan guna mewujudkan keadilan, kemanfaatan, kepastian hukum, serta menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sektor jasa keuangan dan stabilitas sistem keuangan yang menjadi marwah besar pembentukan OJK selaku regulator di sektor jasa keuangan.
2.10. Bahwa argumentasi para Pemohon yang menyatakan dalam UU OJK tidak terdapat adanya jaminan ” due process of law ” dalam proses penegakan hukum pidana (criminal justice 179 system) di sektor jasa keuangan telah melanggar adanya suatu jaminan atas kepastian hukum yang adil dalam penegakan hukum yang adil di negara Republik Indonesia yang dijamin dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tidak cukup bukti dan tidak beralasan karena OJK tetap mengacu pada KUHAP sebagaimana praktik yang selama ini telah dilaksanakan oleh Penyidik OJK.
2.11. Perlu Pihak Terkait informasikan bahwa OJK selama kurun waktu 7 (tujuh) tahun sejak berdiri telah menerima 3 (tiga) kali gugatan pra peradilan, yaitu di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Negeri Bandung, dan Pengadilan Negeri Palu. Hasilnya seluruh putusan pengadilan tersebut telah menyatakan menolak/tidak menerima gugatan pra peradilan, atau dengan kata lain Majelis Hakim Pengadilan telah memandang proses penanganan perkara pidana sektor jasa keuangan yang dilakukan oleh Penyidik OJK telah sesuai dengan prosedur sebagaimana telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, termasuk pula jaminan hak asasi manusia yang termaktub dalam due process of law .
2.12. Argumentasi yang didalilkan oleh Para Pemohon terkait OJK telah mengatur tentang acara sendiri, khususnya perihal penyidikan, melalui POJK Penyidikan adalah keliru. Pengertian dari Hukum Acara (dalam hal ini hukum acara formil) ialah “ Hukum Acara Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang memberi dasar- dasar dan aturan yang menentukan dengan cara dan prosedur macam apa ancaman pidana yang ada pada suatu perbuatan pidana dapat dilaksanakan apabila ada sangkaan bahwa orang telah melakukan delik tersebut ”. Hal ini tepat disandingkan pada KUHAP yang menyatakan ruang lingkup berlakunya KUHAP, yaitu untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan peradilan umum pada semua tingkat peradilan ( vide Pasal 2 KUHAP). 180 3.2.13. Sehingga apabila dibandingkan antara KUHAP dengan POJK Penyidikan adalah tidak sebanding dan salah alamat. POJK Penyidikan merupakan peraturan pelaksanaan tentang tindakan penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik OJK terkait adanya dugaan tindak pidana di bidang Perbankan, Pasar Modal, dan/atau Industri Keuangan Non-Bank. Kedudukan POJK Penyidikan ini sama halnya dengan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Polri sebagai pengaturan yang lebih teknis dari pelaksanaan kewenangannya, yaitu Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
3.1. Dalam rangka memenuhi kebutuhan penyidik OJK, berdasarkan ketentuan Pasal 27 ayat (2) UU OJK dan penjelasannya, OJK diberikan hak untuk mempekerjakan penyidik yang berasal dari Kepolisian Negara Republik Indonesia maupun Pegawai Negeri Sipil. Pasal 27 ayat (2) “ OJK dapat mempekerjakan pegawai negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. ” Penjelasan Pasal 27 ayat (2) “...Pegawai negeri yang bekerja pada OJK dapat berstatus dipekerjakan atau status lainnya dalam rangka menunjang kewenangan OJK di bidang pemeriksaan, penyidikan, atau tugas-tugas yang bersifat khusus. Pegawai negeri tersebut antara lain berasal dari pejabat penyidik pegawai negeri sipil dan/atau Pejabat Penyidik Kepolisian. Hak dan kewajiban pegawai negeri tersebut disetarakan dengan hak dan kewajiban pegawai OJK. ” 3.3.2. Dipekerjakannya penyidik Polri dan Penyidik PNS merupakan salah satu upaya OJK untuk memperkuat pelaksanaan fungsi 181 penyidikan di sektor jasa keuangan karena sudah barang tentu yang dapat menjadi penyidik sesuai dengan KUHAP hanya berasal dari 2 (dua) unsur, yaitu pejabat polisi negara Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang ( vide Pasal 6 ayat (1) KUHAP).
3.3. Adapun terkait dengan kewenangan Penyidik OJK diatur dalam 2 (dua) tempat, yaitu bagi Penyidik Polri telah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP dan bagi Penyidik PPNS diatur secara khusus dalam Pasal 49 ayat (3) UU OJK. Hal ini telah sesuai sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP yang berbunyi “Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat ( 1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang- undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a ”. Hal ini memiliki 2 (dua) arti, yaitu: Pertama, kewenangan Penyidik PPNS hanya sebatas kewenangan yang diatur dalam undang-undangnya masing-masing; dan Kedua, dalam pelaksanaan tugasnya, penyidik yang berasal dari PNS tetap berkoordinasi dengan penyidik Polri.
3.4. Sehubungan dengan dalil para Pemohon yang menyadur Pasal 109 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (selanjutnya disebut UU ASN), tentu saja UU ASN tidak tepat dijadikan dasar hukum pada permasalahan a quo . Status kepegawaian di OJK tidak tunduk pada UU ASN karena berdasarkan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU OJK, pihak yang bekerja di OJK berstatus sebagai pegawai OJK, bukan sebagai ASN. Begitu pula dengan seluruh penyidik Polri yang dipekerjakan OJK tidak tunduk pula dengan UU ASN, melainkan pada UU Nomor 2 Tahun 2002. Dengan begitu, penyidik Polri yang dipekerjakan di OJK tidak harus mengundurkan diri sebagaimana diatur dalam Pasal 109 ayat (2) UU ASN. 182 3.3.5. Bahwa argumentasi para Pemohon kata ”dapat” pada Pasal 27 ayat (2) UU OJK berarti bersifat sementara sehingga keberadaan PPNS di OJK tidak didasarkan pada kewenangan temporar pada suatu masa atau rentang waktu tertentu saja.
3.6. Dalam Pasal 51 UU OJK telah mengatur ketentuan minimal penarikan kembali para Penyidik PPNS tersebut, yaitu 6 (enam) bulan dan sedang tidak menangani perkara. Ketentuan yang diatur dalam UU OJK ini mengandung arti bahwa alasan penarikan Penyidik PPNS tersebut harus dilakukan dengan cermat dan dipastikan tidak menghalangi jalannya proses penyidikan yang sedang berlangsung di OJK.
4.2. Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, peran OJK sebagai pengatur dan pengawas sektor jasa keuangan merupakan komponen penting dalam sistem perekonomian nasional. Selain itu, OJK menjalankan fungsi intermediasi bagi pelbagai kegiatan produktif di perekonomian nasional dan memberikan kontribusi yang signifikan dalam penyediaan dana untuk pembiayaan pembangunan nasional, terutama dalam rangka menjalankan tujuan konstitusional dibentuknya negara Indonesia dalam Pasal 33 UUD 1945.
4.3. Oleh karena itu, apabila permohonan a quo __ dikabulkan dan diterimanya argumentasi Para Pemohon, maka hal tersebut akan mengganggu pelaksanaan tugas-tugas pengawasan dan penegakan hukum dalam sektor jasa keuangan.
4.4. Selain itu, manfaat penegakan hukum sektor jasa keuangan terintegrasi yang selama ini telah terlaksana dan efektifnya penegakan hukum sektor jasa keuangan tidak akan dilaksanakan lagi, sehingga pada akhirnya perlindungan 183 terhadap konsumen di sektor jasa keuangan akan menjadi terbengkalai. V. PERMOHONAN MENGENAI AMAR PUTUSAN Sebagai penutup, sebagaimana telah Pihak Terkait jabarkan melalui poin-poin di atas, Pihak Terkait berkesimpulan permohonan pengujian Pasal 1 angka 1 terhadap frasa “dan Penyidikan” dan Pasal 9 huruf c terhadap kata “Penyidikan” UU OJK yang bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 merupakan kekhawatiran yang sifatnya bukan merupakan persoalan konstitutional, melainkan hanya teknis pelaksanaan penyidikan di OJK. Dengan demikian Pihak Terkait mohon agar Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dapat memutuskan permohonan uji materi terhadap ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan terhadap ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan memberikan putusan sebagai berikut:
Menyatakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing .
Menolak permohonan para Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan Para Pemohon tidak dapat diterima.
Menyatakan, ketentuan UU OJK Pasal 1 angka 1 terhadap frasa ”...dan Penyidikan...” tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat.
Menyatakan, ketentuan UU OJK Pasal 9 huruf c terhadap kata “Penyidikan” tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat. Apabila Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya, ex aequo et bono . Selain itu, Pihak Terkait mengajukan 3 orang Ahli yaitu Mahmud Mulyadi, Yunus Husein, dan Zainal Arifin Mochtar yang didengarkan keterangannya pada persidangan tanggal 23 April 2019 dan 2 Orang Saksi yaitu I Gusti Agung Rai Wirajaya dan I Gede Hartadi Kurniawan yang didengarkan keterangannya pada 184 persidangan tanggal 8 Mei 2019 dan pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut: Keterangan Ahli 1. Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum A. “Esensi PPNS OJK dalam Kewenangan Penyidikan Tindak Pidana di bidang Jasa Keuangan: Suatu Sinthesa dari Indeterminisme dan Determinisme ” Peran dan fungsi negara dalam rangka criminal policy, khususnya dalam ruang lingkup penal policy (kebijakan hukum pidana), maka merupakan hak negara untuk “merumuskan dalam hukum pidana materill, perbuatan yang bertentangan nilai-nilai masyarakat dan mengancamkan hukumannya ( Ius Poenale ). Selain itu juga, terdapat hak negara untuk “menjatuhkan hukuman” yang mekanismenya dirumuskan dalam hukum pidana formil atau Hukum Acara Pidana( Ius Poeniendi ). Ius Poenale bermakna sebagai hak objektif negara untuk memasukkan atau membuat ancaman hukuman atas suatu perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma dalam masyarakat. Ancaman ini dirumuskan dalam undang-undang hukum pidana oleh negara sehingga bisa diberlakukan oleh negara melalui asas legalitas “ nullum delictum nulla poena sine prevea lege poenale” , tiada suatu perbuatan yang dapat dihukum kecuali telah diatur terlebih dahulu dalam peraturan perundang- undangan. Sedangkan “ Ius Puniendi” yaitu hak subjektif negara untuk menjatuhkan hukuman bagi pelaku kejahatan yang telah melanggar aturan hukum pidana ( Ius Poenale ). Ius Puniendi biasa juga disebut hukum pidana formiil (Hukum Acara Pidana). Menurut Jan Remmelink bahwa “ Ius Puniendi” ini sering dikaitkan dengan persoalan kekuasaan yang dimiliki oleh negara untuk menjatuhkan pidana ( strafgewalt ) dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan sebelumnya. Hak ini meliputi hak untuk menyidik, menuntut, penjatuhan pidana dan eksekusi pidana. Sehubungan dengan Ius Poenale dan Ius Puniendi di atas, maka telah melahirkan tiga aliran dalam hal pemidanaan, yaitu aliran klasik, aliran positif dan aliran neo-klasik. 185 Diskursus dari ketiga aliran di atas menyoal tentang pemidanaan dari sudut pandang paham indeterminisme (kehendak bebas) dan paham determinisme (tidak punya kehendak bebas). Penganut paham indeterminisme (kehendak bebas) berpendapat bahwa manusia mempunyai kehendak bebas yang tindakannya merupakan sebab dari segala keputusan kehendak tersebut. Sedangkan Penganut paham determinisme (tidak punya kehendak bebas) menyatakan bahwa orang tidak mempunyai kehendak bebas dalam melakukan suatu perbuatan karena dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor- faktor biologis dan faktor-faktor lingkungan kemasyarakatan. Dengan demikian kejahatan adalah manifestasi dari keadaan jiwa seseorang yang abnormal. Oleh karena itu pelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan atas perbuatan dan tidak dapat dikenakan pidana. Dalam kondisi ini, maka bukan pidana yang seharusnya dikenakan kepada pelaku, tetapi yang diperlukan adalah tindakan- tindakan perawatan yang bertujuan memperbaiki (Mahmud Mulyadi, Kuliah Umum di Progrma Magister Ilmu Hukum FH Unsri, 16 April 2016). Aliran Klasik (clasical school) melahirkan dua teori tujuan pemidanaan, yaitu teori retributif (teori absolut) dan teori relatif ( deterrence ). Teori Retributif dalam tujuan pemidanaan disandarkan pada alasan bahwa pemidanaan merupakan “ morally Justifed ” (pembenaran secara moral) karena pelaku kejahatan dapat dikatakan layak untuk menerimanya atas kejahatannya. Asumsi yang penting terhadap pembenaran untuk menghukum sebagai respon terhadap suatu kejahatan karena pelaku kejahatan telah melakukan pelanggaran terhadap norma moral tertentu yang mendasari aturan hukum yang dilakukannya secara sengaja dan sadar dan hal ini merupakan bentuk dari tanggung jawab moral dan kesalahan hukum si pelaku (Aleksandar Fatic: 1995:
. Ciri khas teori retributif ini terutama dari pandangan Immanuel Kant (1724-1804) dan Hegel (1770-1831), Kant melihat dalam pemidanaan terdapat suatu “ imperatif kategoris ”, yang merupakan tuntutan mutlak dipidananya seseorang karena telah melakukan kejahatan. Sedangkan Hegel memandang bahwa pemidanaan adalah hak dari pelaku kejahatan atas perbuatan yang dilakukannya berdasarkan kemauannya sendiri (J.G. Murphy: 1995:
. 186 Teori “ deterrence ”, Tujuan pemidanaan sebagai deterrence effect sebenarnya telah menjadi sarana yang cukup lama dalam kebijakan penanggulangan kejahatan karena tujuan deterrence ini berakar dari aliran klasik tentang pemidanaan, dengan dua orang tokoh utamanya, yaitu Cessare Beccaria bukunya yang berjudul dei Delitti e Delle Pene (1764) bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk mencegah seseorang supaya tidak melakukan kejahatan, dan bukan sebagai sarana balas dendam masyarakat (C. Ray Jeffery: 1977:
. Beccaria berpendapat bahwa hukum harus mampu menjamin kebahagian yang sejati dari sebagian besar masyarakat ( the greatest happiness of the great number ). Untuk menjamin kebahagiaan terbesar ini, maka pidana harus terlebih dahulu ditentukan di dalam undang- undang yang dibuat melalui kekuasaan legislatif, sebagai perwujudan dari prinsip kontrak sosial. Tujuan pemidanaan menurut Beccaria adalah mencegah seseorang untuk melakukan kejahatan, dan bukan menjadi sarana balas dendam masyarakat ( the purpose of punishment is to deter persons from the commission of crime and not to provide social revenge ). Oleh karena itu pidana yang kejam tidak membawa manfaat bagi kemananan dan ketertiban masyarakat. Upaya penanggulangan kejahatan menurut Beccaria lebih baik dengan melakukan upaya preventif daripada melakukan pemidanaan (J.M. van Bemmelen: 1991: 1-4). Aliran Positif, melihat kejahatan secara empiris dengan menggunakan metode ilmiah untuk mengkonfirmasi fakta-fakta di lapangan dalam kaitannya dengan terjadinya kejahatan. Aliran ini beralaskan paham determinisme yang menyatakan bahwa seseorang melakukan kejahatan bukan berdasarkan kehendaknya karena manusia tidak mempunyai kehendak bebas dan dibatasi oleh berbagai faktor, baik watak pribadinya, faktor biologis, maupun faktor lingkungan. Oleh karena itu pelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan dan dipidana, melainkan harus diberikan perlakuan ( treatment ) untuk resosialisasi dan perbaikan sipelaku. (Freda Adler et. al.: 1995: 59-61, lihat juga J. Robert Lilly et, al.: 1995: 22-25) Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif yang berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku 187 kejahatan, bukan pada perbuatannya. Namun pemidanaan yang dimaksudkan oleh aliran ini adalah untuk memberi tindakan perawatan ( treatment ) dan perbaikan ( rehabilitation ) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Argumen aliran positif ini dilandaskan pada alasan bahwa pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan ( treatment ) dan perbaikan ( rehabilitation ). Setiap aliran pemidaanaan di atas, sangat mempengarui kebijakan setiap negara dalam menyusun substansi hukum pidana materil dan perkembangan hukum Acara Pidananya sebagai hukum pidana formil. Pengaruh Aliran positif, menjadikan penegakan hukum pidana melalui Criminal Justice System , ke luar dari bingkai konvensionalnya. Betapa tidak, Aliran positif yang lahir dipenghujung abad ke-18, meletakkan kajian kejahatan secara praksis dari ilmu alam dan ilmu sosial. August Comte (1798-1857) seorang sosiolog berkebangsaan Perancis, menerapkan pendekatan metode ilmu pengetahuan alam kepada ilmu-ilmu sosial melalui bukunya yang berjudul “ Cours de Philosophie Positive ” atau “ Course in Positive Philosophy ”, diterbitkan antara tahun 1830 dan 1842. Comte menyatakan bahwa “ There could be no real knowledge of social phenomena unless it was based on a positivist (scientific) approach” . Perkembangan ilmu pengetahuan saat itu juga dipengaruhi oleh Charles Darwin (1809-1892) dengan teori evolusinya. Lombroso menyatukan pemikiran Comte dan Darwin untu menjelaskan hubungan antara kejahatan dengan bentuk tubuh manusia. Lombroso menerbitkan bukunya yang berjudul “ L’uomo Delinquente” atau “ The Criminal Man ” pada tahun 1876, yang menandai bahwa terjadinya transformasi kajian mengenai kejahatan dari tataran yang abstrak (philosopis) ke ranah yang lebih konkrit melalui pendekatan metode ilmiah. Rehabilitasi yang diusung oleh aliran positif terhadap pelaku kejahatan merupakan rehabilitasi medis atas nama treatment berupa tindakan perawatan medis. Hal ini menjadikan pendekatan ilmu kedokteran menjadi idola dalam penegakan hukum pidana (John M. Wilson: 1965:
. Dalam kontek penyidikan, maka selain aparat penegak hukum, maka petugas medis (dokter) menjadi komponen yang utama untuk menentukan tindakan bagi pelaku 188 kejahatan. Hal ini merupakan cikal bakal awal dari lahirnya peranan sipil (katakanlah penyidik sipil) di luar aparat penegak hukum. Beberapa tujuan dari pemidanaan seperti yang telah diuraikan di atas telah menjadi suatu dilema dalam hal pemidanaan. Tujuan pidana dalam pandangan retributif dianggap terlalu kejam dan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan tujuan pemidanaan sebagai deterrence dianggap telah gagal dengan fakta semakin meningkatnya jumlah pelaku yang menjadi residivis. Sementara tujuan pemidanaan rehabilitasi telah kehilangan arahnya. Paham rehabilitasi sebagai tujuan pemidanaan dalam perjalanannya tidak semulus yang diperkirakan karena paham ini juga banyak menuai kritikan. Kritikan pertama ditujukan pada kenyataannya bahwa hanya sedikit negara yang mempunyai fasilitas untuk menerapkan program rehabilitasi pada tingkat dan kebijakan yang menekankan penggunaan tindakan untuk memperbaiki ( treatment ) atas nama penahanan. Kritikan kedua, adanya tuduhan yang serius bahwa pendekatan yang digunakan oleh paham rehabilitasi adalah pendekatan yang mengundang tirani individu dan penolakan hak asasi manusia. Misalnya dalam hal proses pelaksanaan rehabilitasi ini tidak seseorang pun yang dapat memprediksi berapa lama pengobatan akan berlangsung ketika seorang tahanan segera diserahkan kepada dokter untuk disembuhkan atau diobati sebelum tahanan itu dibebaskan. Dalam hal ini juga sulit untuk mengontrol otonomi keputusan dokter. Menurut Lewis sebagaimana yang dikemukakan oleh Gerber McAnany bahwa sebagian besar metode treatment yang dilakukan dengan penuh kebaikan dan atas nama kemanusiaan, namun akhirnya tidak terkontrol (Jackson Toby: 1970:
. Upaya mengatasi dilema tujuan pemidanaan di atas, maka munculah aliran Neo klasik . Aliran ini berkembang pada Abad ke- 19 yang memusatkan perhatiannya tidak hanya pada perbuatan atau tindak pidana yang terjadi, tetapi juga terhadap aspek-aspek individual si pelaku tindak pidana ( Daad- dader Strafrecht) . Aliran Neo-Klasik ini lahir sebagai sinthesa dari aliran Klassik dan aliran Positif. Hal ini karena paham aliran Neo-klasik meyakini adanya kebebasan kehendak manusia ( free will/indeterminism ) dalam melakukan kejahatan, namun aliran Neo-Klasik melakukan beberapa perubahan dengan mulai mempertimbangkan adanya kebutuhan pembinaan 189 terhadap pelaku kejahatan ( Determinism ), disamping masih perlunya pemidanaan. Aliran Neo-Klasik mengakui bahwa kebebasan kehendak seseorang pelaku kejahatan untuk memilih sesuatu itu dipengaruhi oleh pathology , ketidakmampuan, gangguan kejiwaan dan kondisi lain yang memungkinkan seseorang melakukan kehendak secara bebas. Dalam hal pertanggungjawaban pidana, dipertimbangkan alasan bahwa si pelaku mengalami gangguan jiwa, di bawah umur dan keadaan-keadaan lain yang dapat mempengaruhi pengetahuan dan niat seseorang pada waktu melakukan kejahatan. Oleh karena itu aliran Neo Klasik menerima diberlakukannya keadaan-keadaan yang meringankan, baik dari kondisi fisik, lingkungan, maupun mental seseorang (Franks E. Hagan: 2013: 140-141). Perkembangan kejahatan saat ini begitu pesat, sehingga KUHP tidak mampu untuk menampung pengaturannya. Het recht hinkt achter de feiten aan . Sebuah ungkapan dalam Bahasa Belanda yang berarti hukum itu ketinggalan dari peristiwanya. Biasa juga dikenal dengan istilah moment opname, yaitu ketika suatu peraturan telah diundangkan, maka dengan sendirinya telah ketinggalan zaman. Ini menjadi alasan munculnya berbagai UU di luar KUHP, termasuk munculnya berbagai Peraturan Perundang-Undangan Administrasi yang juga mengatur ketentuan pidana di dalamnya ( administrative penal law ), sebagai sarana ultimum remedium untuk memastikan aturan norma-norma administratif tersebut ditaati. Kemunculan UU di Luar KUHP ini, alas filosofisnya sudah banyak yang mengarah ke aliran Neo Klasik . Misalnya UU Narkotika, selain penerapan pemidanaan, juga telah mengatur rehabilitasi terhadap pengguna dan pecandu. UU Tindak Pidana korupsi, selain penerapan pemidanaan yang ketat, juga telah mengatur treatment berupa rehabilitasi dalam bentuk pemulihan kerugian keuangan negara, dan lain sebagainya. UU OJK merupakan salah satu dari UU di luar KUHP yang juga merumuskan administratif penal law . Rumusan tindak pidananya melingkupi Pasal 52, Pasal 53 dan Pasal 54 UU OJK. Selain itu juga di dalam Pasal 9 huruf c UU OJK, meletakkan core crime -nya di lembaga jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. 190 Tidak hanya OJK, sebagai contoh, salah satu institusi yang telah menerapkan hal ini adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). UU KPK mengandung administratif penal law pada Pasal 65, 66, dan 67 serta core crime nya berada di UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Terlepas ada yang berpendapat yang membedakan Tindak Pidana Khusus dengan Tindak Pidana Administratif, menyatakan bahwa Tindak Pidana Korupsi adalah tindak pidana khusus, berbeda dengan tindak pidana di sektor jasa keuangan yang lebih bersifat administratif penal law , maka menurut pendapat Ahli, tidak perlu mendikotomi antara tindak pidana khusus dengan tindak pidana administratif. Hal ini karena akan mempersempit dan mempersulit upaya penanggulangan kejahatan dalam rangkaian criminal policy . Lagipula, dalam UU Khusus di luar KUHP yang memuat perumusan tindak pidana, maka juga akan mencantumkan delik yang domainnya kebanyakan berada pada wilayah pelanggaran administratif. Hal ini juga terdapat di rumusan Pasal 3 UU Tipikor, yang berbicara tentang penyalahgunaan kewenangan, yang sesungguhnya terminologi ini berada di wilayah kajian Hukum Administrasi Negara. Terminologi “Menyalahgunakan Kewenangan” tidak berada di dalam kajian hukum pidana, melainkan terminologi yang berada di bidang kajian Hukum Administrasi Negara. Oleh karena itu, untuk menentukan ada atau tidaknya suatu perbuatan penyalahgunaan wewenang yang dapat ditarik ke tindak pidana korupsi, maka hukum pidana dan aparat penegak hukum harus meminta bantuan Ahli Hukum Administrasi Negara (HAN) untuk dijadikan parameternya. Konsep wewenang dalam kajian hukum administrasi dan kaitannya dengan tindak pidana korupsi merupakan dua aspek hukum yang saling terkait. Menurut R. Kosim Adisapoetra dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Administrasi Negara, bahwa titik taut “hukum adminsistrasi” berada di antara norma-norma hukum pemerintahan dan hukum pidana. Oleh karena itu hampir setiap norma hukum pemerintahan yang berdasarkan Hukum Administrasi di akhiri “ in cauda venenum ” (ada racun dibuntut atau diekor) dengan sejumlah ketentuan pidana ( R. Kosim Adisapoetra: 1983:
. Bahkan pasal 2 UU Tipikor juga tidak luput dari pelanggaran UU Adminstratif karena dalam Pasal 2 UU Tipikor menyebut secara jelas tentang PMH, oleh 191 karena itu harus dibuktikan peraturan perundang-undangan yang mana yang telah dilanggar oleh seseorang sehingga bisa dituntut sebagai tindak pidana korupsi. Peraturan perundang-undangan ini merujuk kepada Pasal 7 dan Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang Undangan. Perkembangan Aliran Neo-Klasik dalam Hukum Pidana ini, membawa pengaruh yang sangat besar pada Pembaharuan Hukum Acara Pidana. Sehubungan dengan paham Aliran Neo-Klasik inilah, maka HIR yang merupakan Hukum Acara Pidana yang masih bernuansa Aliran Klasik, diganti dengan KUHAP berdasarkan UU No. 8 Tahun 1981 yang telah memperhatikan kesimbangan perbuatan dan hak-hak pelaku kejahatan. Walaupun KUHAP telah bercorak Neo-Klasik, namun tentunya KUHAP juga dihadapkan pada kenyataan moment opname. Hal ini terlihat di dalam berbagai UU Pidana Khusus, telah mengatur juga Hukuma Acara Pidana Sendiri secara Khusus yang menyimpang dari ketentuan KUHAP, misalnya mulai dari persoalan ruang lingkup kewenangan dan lembaga yang diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan, dikenalnya sistem pembuktian terbalik, peradilan in absensia sampai pada perluasan alat-alat bukti. KUHAP telah memprediksi hal demikian, sehingga di dalam Pasal 1 angka 1 KUHAP menegaskan bahwa penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia atau pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Kemudian ditegaskan kembali dalam Pasal 6 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa penyidik adalah (a) Pejabat polisi negara republik Indonesia; (b) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. KUHAP sebagai umbrella act Hukum Pidana Formil yang berfungsi menegakkan Hukum Pidana Materiil, maka sudah sejak awal pembentukannya telah melakukan prediksi atas berkembangnya UU di Luar KUHP, sehingga KUHAP secara konstitusional mengakui Hukum Acara Pidana khusus di atur dalam UU Pidana Khusus di luar KUHP. Hal ini di cantumkan dalam Bab XXI tentang Ketentuan Peralihan Pasal 284 ayat (2) bahwa “ Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara 192 diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi". Pasal 284 ayat (2) KUHAP di atas hadir untuk mengantisipasi perkembangan zaman bahwa tidaklah menutup kemungkinan timbulnya kejahatan-kejahatan baru yang sama sekali belum terpikirkan pada saat mengkodifikasi hukum pidana dalam suatu kitab undang-undang. Demikian pula dengan perkembangan zaman, banyak kejahatan konvensional dilakukan dengan modus operandi yang canggih sehingga dalam proses beracara diperlukan teknik atau prosedur khusus untuk mengungkap suatu kejahatan. ketentuan Pasal 284 ayat (2) secara eksplisit membenarkan proses beracara di luar KUHAP. Bahkan dalam RUU KUHAP yang lagi disusun, di Pasal 6 RUU telah mengatur 3 jenis penyidik, yaitu Penyidik Polri, PPNS dan Penyidik Kelembagaan tertentu. Begitu juga dengan tindak pidana di sektor jasa keuangan (Perbankan, Perasuransian, Pasar Modal, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya), banyak mengandung unsur-unsur deliknya yang mempunyai terminologi tersendiri yang bisa dipahami secara khusus oleh keilmuan dibidang masing-masing sektor jasa keuangan di atas. Oleh karena itu kebutuhan terhadap PPNS OJK yang profesional sesuai dengan bidangnya masing-masing merupakan sesuatu yang tidak terelakkan. Dengan demikian kewenangan penyidikan PPNS OJK dalam UU OJK merupakan suatu kebutuhan dan harus dipertahankan bahkan diperkuat, mengingat kejahatan di bidang jasa keuangan selalu melibatkan white collar crime , baik berupa corporate crime atau organized crime dalam rezim bussines related crime . Oleh karena itu lahirnya kewenangan penyidikan OJK terhadap tindak pidana di Bidang Jasa Keuangan ini, merupakan sebagai suatu konsekuensi logis dari perkembangan falsafah pemidanaan dalam Hukum Pidana yang bercorak Neo-Klasik , sehingga mempengaruhi perkembangan Hukum Acara Pidana yang secara khusus ditemukan dalam UU di Luar KUHP. Dengan demikian, kewenangan penyidikan OJK ini, bukan berada pada wilayah persoalan 193 konstitusional atau tidak konstitusional, melainkan suatu kebutuhan dalam Hukum Acara Pidana. B. Kewenangan Penyidikan OJK dalam kaitannya dengan Prinsip Due process of law dalam Sistem Peradilan Pidana. Terkait dengan perkembangan Aliran Neo-Klasik di atas, maka juga sangat berpengaruh terhadap mekanisme penegakan hukum dalam Sistem Peradilan Pidana. Komponen Sistem Peradilan Pidana yang dulu secara konvensional terdiri atas Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan, maka kini telah mengalami perluasan. Bahkan Ronal J. Waldron, selain mengakui Sistem Peradilan Pidana yang resmi sebagaimana terdiri atas sub- sub sistem di atas, juga menempatkan keikutsertaan masyarakat yang peduli membantu aparat penegak hukum sebagai bagian dari Sistem Peradilan Pidana dalam arti luas. Keikutsertaan masyarakat ini, baik melalui institusi sosial atau kelompok masyarakat yang melakukan tindakan formal ataupun informal dalam rangka penanggulangan kejahatan (Mahmud Mulyadi: 2008: 91-92). Oleh karena itu, banyak muncul Lembaga Negera Independen yang berfungsi sebagai lembaga pendukung dalam penegakan hukum, misalnya KPK, BNN, PPATK, KOMNAS HAM, KPAI, KPI, OJK dan lain sebagainya. Tentunya setiap lembaga ini mempunyai kewenangan masing-masing sesuai dengan lingkup tugas yang diamanahkan dalam UU, baik untuk fungsi penal polic , maupun fungsi non penal policy . OJK, KPK, BNN adalah contoh lembaga independen yang mengemban fungsi penal policy , berupa adanya kewenangan penyidikan. Eksistensi kewenangan penyidikan ini sangat bergantung pada kebutuhan yang dibawa oleh UU khusus masing-masing. Semua fungsi kelembagaan ini, diarahkan untuk mencapai Keterpaduan Sistem Peradilan Pidana ( Integrated Criminal Justice System ) dalam penanggulangan kejahatan, yang mengemban tugas untuk (Harkristuti Harkirnowo: 2003:
:
Melindungi masyarakat dengan melakukan penanganan dan pencegahan kejahatan, merehabilitasi pelaku kejahatan, serta melakukan tindakan terhadap orang yang merupakan ancaman bagi masyarakat; 194 2. Menegakan dan memajukan serta penghormatan terhadap hukum, dengan menjamin adanya proses yang manusiawi dan adil serta perlakukan yang wajar bagi tersangka, terdakwa dan terpidana. Kemudian melakukan penuntutan dan membebaskan orang yang tidak bersalah yang dituduh melakukan kejahatan;
Menjaga hukum dan ketertiban;
Menghukum pelaku kejahatan sesuai dengan falsafah pemidanaan yang dianut;
Membantu dan memberi nasihat kepada korban kejahatan. Kewenangan penyidikan oleh OJK terhadap tindak pidana di bidang jasa keuangan, merupakan bagian dari Integrated Criminal Justice System yang tujuannya sesuai dengan prinsip-prinsip Due process of law sebagaimana diuraikan di atas. Keberadaan kewenangan penyidikan PPNS OJK ini sebagai konsekuensi logis dari tiga titik perhatian dalam Sistem Peradilan Pidana ( criminal justice system ), yaitu hukum pidana secara materil ( criminal law ), hukum pidana formiil ( the law of criminal procedure ), dan hukum pelaksanaan pidana ( the enforcement of criminal laws ). Semua ini ditujukan sebagai usaha untuk memberikan perlakuan yang adil kepada semua orang yang dituduh telah melakukan kejahatan. Keadilan ( Fairness ) dalam peradilan pidana yang dimaksudkan bahwa orang yang dituduh melakukan kejahatan harus diperlakukan secara wajar dan sama ( equal treatment ), netral ( impartiality ), dan hak-haknya diberikan perlindungan oleh undang-undang ( due process of constitutional protections ). (Mahmud Mulyadi: 2008:
. Dengan demikian, kewenangan penyidikan PPNS OJK tidak bertentangan sama sekali dengan prinsip-prinsip Due process of law , karena dengan adanya kewenangan penyidikan OJK ini, maka justru bisa melindungi hak-hak individu dengan menempatkan hanya orang yang benar-benar terpenuhi unsur deliknya, untuk dihadapkan ke pengadilan. Dengan kata lain, secara keseluruhan kewenangan penyidikan OJK ini dapat mencegah orang yang tidak berbuat dan tidak bersalah tidak menjadi “korban salah penerapan hukum” karena ketidakpahaman dalam proses penyidikan kasus-kasus pidana di bidang jasa keuangan. Inilah wujud eksistensi kewenangan penyidikan OJK 195 yang secara keseluruhan dapat memberikan perlindungan Hak Asasi Manusia, sesuai dengan prinsip-prinsip Due process of law. Due process of law merupakan kerangka dasar bagi pendirian sistem peradilan pidana yang memberikan perlindungan terhadap HAM seseorang. Konsesp due process of law berasal dari Magna Charta 1215 di Inggris yang mulai membatasi kekuasaan raja yang absolut sehingga selama ini HAM warga tidak terlindungi secara adil. Selama berabad-abad, prinsip ini diperluas untuk melindungi kebebasan warga Inggris melawan penindasan pemerintah (Alfi Arifian: 2017:
. Macna Charta adalah hasil peselisihan antara Paus, Raja John (Inggris) dan para baron, atas hak-hak raja. Mereka menuntut pembatasan kekuasaan Raja yang absolut dan mengharuskan Raja untuk membatalkan beberapa haknya, menghargai prosedur hukum semua keinginan raja harus dibatasi oleh hukum. Ringkasan dari isi Macna Charta ini antara lain:
Polisi ataupun jaksa tidak bisa menuntut seseorang tanpa adanya bukti yang jelas dan saksi yang sah;
Seseorang tidak boleh ditahan, ditangkap dan dinyatakan bersalah tanpa perlindungan negara dan tanpa alas hukum sebagai dasar tindakannya;
Apabila seseorang tanpa perlindungan hukum sudah terlanjur di tahan, Raja berjanji akan mengkoreksi kesalahannya; C. Kewenangan Penyidikan OJK dalam kaitannya dengan Pencapaian Tujuan Hukum (keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan hukum) Asas kepastian hukum yang lahir dari aliran hukum positif (positivisme hukum) menyatakan bahwa hukum hanya bersangkut paut dengan hanya hukum positif saja. Pandangan ini dipengaruhi oleh pandangan John Austin dalam doktrin “ law is a command of the law giver ”. Maksudnya hukum adalah perintah dari kekuasaan tertingi atau dari yang memegang kedaulatan. Dalam penerpannya hukum yang dibuat oleh kekeuasaan tertinggi tersebut tidak harus didasarkan pada prinsip keadilan, prinsip moralitas baik dan buruk (W. Friedman: 1953:
. Hukum merupakan sistem logika yang bersifat tetap dan tertutup (closed logical system) , yang berarti bahwa keputusan-keputusan hukum yang tepat atau benar dapat diperoleh dengan alat-alat logika dari 196 peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan sebelumnya (Lili Rasjidi: 1993:
. Dengan demikian, maka kewenangan penyidikan oleh OJK sama sekali tidak bertentangan dengan asas kepastian hukum, walaupun dalam UU OJK tidak mencabut kewenangan penyidik Polri. Hal ini karena proses legislasi telah memberikan kewenangan penyidikan ini berdasar suatu peraturan perundang- undangan sebagai hukum positif. Sebenarnya terlalu parsial ketika hanya membicarakan kepastian hukum saja. Hal ini karena penegakan hukum pidana melalui Criminal Justice System tentunya diharapkan mencapai tujuan hukum berupa keadilan hukum, kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. Tujuan hukum merupakan sasaran antara untuk mencapai tujuan utama, yaitu perlindungan hukum bagi seluruh warga masyarakat, sehingga tercapai keamanan, ketertiban dan kenyamanan dalam kehidupan; Dalam kenyataannya, terjadi kekeliruan dalam memahami makna tujuan hukum ini, bahkan banyak yang menghadapkan antara kepastian hukum dengan keadilan hukum. Akibatnya penegakan hukum tercerabut dari nilai-nilai dasar perlindungan hukum yang hanya menyajikan secara parsial, sporadis dan tidak bermanfaat. Suatu tujuan hukum tidak tidak akan tercapai jika penegakan hukum hanya mencapai kepastian hukum saja, atau keadilan hukum saja, atau kemanfaatan hukum saja. Memisahkan ketiga bagian dari tujuan hukum ini menjadikan penegakan hukum kehilangan arah dan cenderung memaksakan selera kepentingan masing-masing. Keadilan hukum terlahir dari aliran hukum alam. Hukum alam merupakan bagian dari ajaran moral, yang berarti hukum merupakan bagian dari sistem moral (A.P. d’ Entreves: 1963:
. Tujuan hukum menurut perspektif ini, bukan hanya untuk menciptakan ketertiban dan ketentraman dalam masyarakat, tetapi juga untuk membentuk masyarakat yang baik dan anggota masyarakat yang baik secara moral. Dengan demikian, hukum merupakan instrument moral untuk membentuk masyarakat dan anggota masyarakat yang baik secara moral. Essensi dasar dari pandangan aliran hukum alam, diungkapkan dalam sebuah istilah “ ius quia iustum ” yang berarti hukum adalah keadilan atau hukum 197 adalah aturan yang adil. Keadilan dengan demikian adalah prasyarat suatu aturan agar bisa disebut sebagai hukum. Oleh karena itu, hukum yang tidak memenuhi cita rasa keadilan bukanlah sebuah hukum. Validitas hukum tidak terletak pada bentuknya, apakah undang-undang, peraturan pemerintah, dan lain-lain atau yurisprudensi, tetapi pada substansinya yang mengadopsi nilai- nilai keadilan (Van Aveldoorn: 1982: keadilan sebagai hukum tertinggi atau terakhir yang berkembang dari sifat alam semesta, Tuhan, dan akal manusia. Keadilan sebagai esensi yang ditegaskan dalam aliran hukum alam ini, memberikan arahan atau pedoman bagi pembentuk undang-undang dalam proses pembentukan hukum. Selain itu juga keadilan harus dijadikan alat uji keabsahan hukum positif untuk dapat disebut sebagai hukum yang valid. Sedangkan lahirnya kepastian hukum dari paham positivisme hukum tidak terlepas dari sejarah di abad ke-14 M. Pada akhir abad ke 14, kekuasaan gereja semakin melemah dengan dikuasainya kepausan oleh Raja Prancis. Pada akhir abad ke 16 kekuasaan Raja di Perancis secara utuh berhasil menggenggam kekuasaan di tangannya. Dengan demikian dimulailah kekuasaan absolut di tangan Raja. Hal ini ditandai dengan adanya doktrin “hanya rajalah yang berhak membuat undang-undang” dan “pembentukan UU ini adalah kekuasaan atau kewenangan yang tidak terbatas”, “Raja adalah UU yang hidup”. Hal ini karena Raja adalah wakil Tuhan dimuka bumi sehingga Raja berhak mengurus dan memerintah warga kerajaan. Pada abad ke 16 ini juga munculnya ajaran (doktrin) arbitrium judicis (Pendapat hakim) yang memberikan kewenangan kepada hakim untuk melakukan kualifikasi terhadap perbuatan pidana dan sanksi pidana menurut pendapatnya sendiri. Doktrin arbitrium judicis (Pendapat hakim) ini mendapat tentangan dan kritikan keras pada abad ke-18 di seluruh wilayah Perancis karena para hakim telah menjalankannya secara sewenang-wenang. Warga negara Perancis sangat mendambakan peradilan pidana yang didasarkan jaminan perlindungan hak-hak individu warga negara. Puncaknya adalah dengan terjadinya Revolusi Perancis pada tahun 1789. Hal ini mendakan berakhirnya peradilan pidana system “ arbitrium judicis (Pendapat hakim)” dan berakhirnya absolutisme kekuasaan Raja dan Hakim. 198 Salah seorang tokoh revolusi Prancis sekaligus pakar hukum pidana, yaitu Cesare Bonesana Marquise Beccaria (biasa dipanggil Cessare Beccaria) sangat keberatan dengan sifat semena-mena sistem yudisal dan pidana eropa pada saat itu, yang sangat kerasnya, mendapatkan pengakuan melalui penyiksaan dan benar-benar tergantung pada kehendak hati penguasa. Beccaria sangat berkepentingan merombak sifat kejam, berlebihan dan tidak bisa diperkirakannya hukuman. Menurutnya tidak masuk akal menghukum pelanggar hukum dengan hukuman yang tidak adil. Menurut Franks E. Hagan: 2013: 137-138, Beccaria berperan dalam penghapusan penyiksaan sebagai alat yang sah untuk mendapatkan pengakuan. Beccaria berpendapat “Hukuman harus sesuai dengan kejahatan”. Beccaria menawarkan prinsip-prinsip pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana:
UU harus dibuat oleh badan legislatif dan harus spesifik (lex scripta);
Peran hakim hanyalah menentukan kesalahan dan mengikuti dengan ketat pada ketentuan harfiah UU dalam menentukan hukuman. Hakim tidak boleh menafsirkan UU;
Tingkat kejahatan harus ditentukan berdasarkan bahaya yang ditimbulkan pada masyarakat dan didsarkan pada prisip kesenangan atau penderitaan;
Hukuman harus didasarkan pada tingkat keseriusan kejahatan dan kemampuannya mencegah kejahatan;
Hukuman tidak boleh melebihi apa yang diperlukan bagi pencegahan;
Berlebihnya bobot hukuman sering meningkatkan kejahatan yang dilakukan untuk menghindarkan hukuman;
Hukuman harus pasti, ketat dan jelas (lex scripta, lex stricta dan lex certa) 8) UU harus disusun dengan tujuan utama mencegah kejahatan. Lebih baik mencegah kejahatan dari pada menghukum;
Semua orang harus diperlakukan setara di hadapan hukum ( equality before the law ). Mountesqueu, teman Beccaria dan seorang tokoh revolusi Prancis, sejalan dengan Beccaria, menghendaki pemisahaan kekuasan fungsi-fungsi kelembagaan pembuat perundang-undangan (legislatif), fungsi pemerintahan (eksekutif), dan fungsi penegakan hukum (yudikatif). Ke tiga kekuasaan di atas 199 harus dipisahkan supaya hukum dan penegakannya tidak lagi terjebak dalam kekuasaan absolut kerajaan yang tirani, kejam, dan tidak manusiawi. Pengalaman pahit penegakan hukum dibawah doktrin Arbitrium Judicis, mempengaruhi pemahaman aliran hukum positif di dunia peradilan sehingga melahirkan aliran legisme, dimana hakim hanya dipandang sebagai sekedar “terompet undang-undang”. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Montesquieu bahwa hakim-hakim rakyat tidak lain hanyalah corong yang mengucapkan teks undang-undang saja. Jika teks itu tidak berjiwa dan tidak manusiawi, maka para hakim tidak berhak merubahnya, baik tentang kekuatannya, maupun tentang keketatannya (Ahmad Ali:
. Legisme muncul untuk mengantisipasi masih adanya pengaruh kekuasaan para hakim yang saat itu menjadi subordinasi kekuasaan raja. Pendapat di atas mucul karena para tokoh revolusi Prancis menghendaki dan meyakini bahwa para wakil-wakil rakyat yang ditunjuk mengemban fungsi legislatif merupakan orang-orang yang tepat, berintegritas, berkeilmuan dan mengedepankan kepentingan rakyat, sehingga hukum yan dibentuk adalah hukum-hukum yang adil dan berkepastian serta bermanfaat bagi pencapaian kesejahteraan rakyat. John Stuart Mill sependapat dengan Bentham bahwa hukum positif hendaklah ditujukan pada pencapaian kemanfaatan (kebahagiaan). Stuart Mill mengemukakan hukum positif hendaknya didasarkan pada kegunaannya sebagai suatu stadar keadilan. Hakikat keadilan dalam pegertian ini mencakup semua persyaratan moral yang hakiki bagi kesejahteraan umat manusia (Satjipto Rahardjo: 2000:
. Berdasarkan berbagai pandangan di atas maka sesungguhnya antara keadilan hukum dan kepastian hukum, bukanlah tujuan hukum yang saling berhadapan dan saling menegasikan. Keduanya tak terpisahkan satu sama lain, sehingga penyatuan keduanya akan melahirkan kemanfaatan dalam penegakan hukum. Pemahaman yang memversuskan antara keadilan hukum dan kepastian hukum merupakan pemahaman yang kurang tepat. Bahkan Gustav Radbruch dalam teori tentang Ajaran Cita Hukumnya ( Idee des Rechts ), menyatakan bahwa aturan hukum positif yang berkepastian hukum harus memuat ajaran- 200 ajaran moral yang bernilai keadilan dam substansinya. Sehingga penyatuan keduanya akan melahirkan kemanfaatan hukum. Dengan adanya kewenangan penyidikan oleh OJK terhadap tindak pidana di bidang jasa keuangan ini, maka selain telah memperoleh legitimasi dalam perundang-undangan, juga inheren telah mengadopsi nilai-nilai keadilan. Hal ini sesuai dengan kebutuhan dan spesialisasi bidang sebagai ranah awal yang memungkinkan munculnya perbuatan pidana. Oleh karena itu kehadiran kewenangan peyidikan yang memahami anatomy of crime dari kejahatan di bidang jasa keuangan ini telah menempatkan keselarasan antara kepastian hukum dengan keadilan hukum. Penegakan hukum melalui Integrated Criminal Justice System dengan yang mengedepankan prinsip-prinsip Due process of law , pada akhirnya dapat mencapai tujuan hukum berupa keadilan hukum, kepastian hukum dan kemanfaatan hukum bagi semua pihak. Dengan demikian, kewenangan penyidikan OJK tidak bertentangan sama sekali dengan keadilan hukum dan kepastian hukum. Sebagai contoh, untuk menyidik tindak pidana korupsi, maka ada tiga institusi yang berwenang, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK. Ternyata peran ketiga lembaga ini dalam menyidik tindak pidana korupsi berjalan dengan baik dan saling menghormati. Hal-hal berkaitan dengan koordinasi, tentunya itu menjadi masalah teknis koordinatif dan tidak perlu dipertentangkan soal konstitusionalitasnya. Sehubungan dengan hal di atas, maka pada tanggal 25 November 2014, OJK dan POLRI telah menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) tentang Kerjasama Penanganan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan. Ruang lingkup MoU ini, baik di bidang pencegahan, maupun di bidang penegakan hukum (termasuk persoalan penyidikan), bidang pendidikan dan pelatihan dan lain sebagainya. Pelaksanaan MoU ini, maka OJK dan POLRI bersama sama menyusun pedoman kerja yang dituangkan dalam berbagai bidang tadi. Hal inilah yang ahli maksudkan sebagai wujud dari Integrated Criminal Justice System sebagaimana telah Ahli kemukakan di atas. Kesimpulan dari keterangan diatas sebagai berikut:
Esensi kehadiran kewenangan penyidikan PPNS OJK terhadap tindak pidana di Bidang Jasa Keuangan ini, merupakan sebagai suatu konsekuensi logis dari perkembangan falsafah pemidanaan dalam Hukum 201 Pidana yang bercorak Neo-Klasik , sehingga mempengaruhi perkembangan Hukum Acara Pidana yang ditemukan dalam UU Khusus di Luar KUHP. Tindak pidana di sektor jasa keuangan sebagai tindak pidana khusus, banyak mengandung terminologi tersendiri sesuai dengan domainnya. Oleh karena itu kebutuhan terhadap kewenangan penyidikan PPNS OJK yang profesional sesuai dengan bidangnya masing-masing merupakan sesuatu yang tidak terelakkan. Dengan demikian kewenangan penyidikan PPNS OJK dalam UU OJK merupakan suatu kebutuhan dan harus dipertahankan bahkan diperkuat.
Kewenangan penyidikan yang diberikan kepada PPNS OJK, dapat memberikan perlindungan kepada hak-hak individu dan masyarakat. Kemampuan dan pemahaman yang valid terhadap delik-delik di bidang jasa keuangan oleh PPNS OJK, dapat mengeliminir resiko “salah penerapan hukum” dan error in persona . Dengan demikian Kewenangan penyidikan PPNS OJK tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Due process of law .
Kewenangan penyidikan oleh OJK terhadap tindak pidana di bidang jasa keuangan ini, selain telah memperoleh legitimasi dalam perundang- undangan, juga inheren telah mengadopsi nilai-nilai keadilan. Hal ini sesuai dengan kebutuhan dan spesialisasi di bidang jasa keuangan sebagai ranah awal yang memungkinkan munculnya perbuatan pidana. Oleh karena itu kehadiran kewenangan penyidikan yang memahami anatomy of crime dari kejahatan di bidang jasa keuangan ini telah menempatkan keselarasan antara kepastian hukum dengan keadilan hukum yang pada akhirnya membawa kemanfaatan hukum bagi semua pihak. Dengan demikian, kewenangan penyidikan OJK tidak bertentangan sama sekali dengan keadilan hukum dan kepastian hukum.
Dr. Yunus Husein, S.H., LL.M A. Kewenangan penyidikan diluar penyidik Polri dan tindak pidana yang dapat disidik. Mengenai legitimasi pemberian kewenangan penyidikan kepada OJK. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-V/2007 tentang pengujian Undang-Undang Kejaksaan, Prof. Andi Hamzah menjabarkan bahwa secara historis, Pasal 141 SV KUHAP Belanda, yang menjadi 202 sumber dari KUHP dan KUHAP di Indonesia, mengatur bahwa penyidikan tindak pidana dibebankan kepada 10 pejabat, diantaranya selain Jaksa dan Polisi, juga pejabat penyidik dibidang tertentu seperti Perikanan dan Bea Cukai. Jadi pada dasarnya, secara historis, kewenangan penyidikan tidak hanya dimonopoli oleh satu institusi melainkan menjadi kewenangan dari berbagai institusi sesuai dengan kebutuhan dan kekhususannya masing- masing. Saat ini di Indonesia, paling tidak ada 50 PPNS yang diberikan kewenangan menyidik tindak pidana tertentu. Selanjutnya, masih dalam Putusan Nomor 28/PUU-V/2007, Mahkamah memberikan pandangannya mengenai pendapat yang menyebutkan bahwa kepolisian adalah penyidik tunggal. Dalam pertimbangannya, Mahkamah menjelaskan bahwa pada dasarnya kewenangan penyidikan yang dimiliki oleh kepolisian adalah amanat dari undang-undang, yaitu undang-undang kepolisian. Dan oleh karena itu, terdapat peluang bagi institusi lain untuk juga memiliki kewenangan penyidikan sepanjang diatur oleh Undang- Undang. Hal ini sejalan dengan amanat Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang mengatakan bahwa “Badan-Badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-Undang”. Begitupun halnya dengan adanya “diferensiasi fungsi” dalam hal ini kewenangan melakukan penyidikan, Mahkamah juga telah mengakui bahwa hal tersebut sepenuhnya diserahkan kepada pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden), baik sebelum adanya amandemen UUD 1945 dengan diakuinya penyidik pegawai negeri sipil didalam KUHAP, dan setelah adanya amandemen UUD 1945 dengan diberikannya fungsi penyidikan kepada beberapa institusi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi. Terkait hal ini, juga didukung dengan ketentuan dalam Undang-Undang Kepolisian, Pasal 2 juncto Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2002, yang menyebutkan bahwa Instansi dan/atau badan pemerintah, dalam hal ini OJK, dapat melaksanakan fungsi kepolisian sepanjang diberikan mandat oleh undang-undang yang mendasarinya. Salah satu konsekuensi logis dari praktik multi-penyidik atas suatu tindak pidana adalah kemungkinan beberapa penyidik melakukan penyidikan untuk suatu tindak pidana yang sama atau setidak-tidaknya saling berkaitan. 203 Terkait hal ini, saya berpandangan bahwa permasalahan ini dapat diantisipasi dengan adanya komunikasi antara penyidik diantaranya melalui wadah komunikasi seperti yang diatur dalam Pasal 107 KUHAP dan komunikasi antara penyidik dan penuntut umum, sebagai dominus litis atau pengendali perkara berdasarkan Pasal 109 KUHAP. Kemudian, mengenai tindak pidana apa yang dapat disidik oleh OJK? Dalam Pasal 49 ayat (3) huruf c disebutkan bahwa kewenangan penyidikan meliputi tindak pidana di sektor jasa keuangan. Untuk mengetahui apa saja tindak pidana di sektor jasa keuangan tersebut, dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 6 Jis Pasal 1 angka 5, 6, 7, 8, 9 dan 10 UU OJK yaitu kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Ketentuan ini cukup memberikan penjelasan mengenai ruang lingkup tindak pidana apa saja yang dapat disidik oleh OJK. Sebagai informasi tambahan, dalam praktik peradilan pun eksistensi penyidikan yang dilaksanakan oleh Otoritas Jasa Keuangan juga sudah diakui dengan ditolaknya beberapa permohonan praperadilan yang diajukan terhadap tindakan penyidikan OJK. Beberapa diantara permohonan praperadilan tersebut adalah Putusan Nomor 6/Pid.Pra/2019/PN.JKT.PST dengan pemohon M. Nuh Said dan Putusan Nomor 7/Pid.Pra/2018/Pn.Palu Oleh karena itu, Ahli berpendapat bahwa sepanjang undang-undang mengamanatkan kewenangan untuk melakukan penyidikan dan sudah diatur mengenai tindak pidana apa yang masuk kedalam ruang lingkup kewenangannya, maka kewenangan tersebut dapat dibenarkan. B. Kewajiban kordinasi dengan penyidik Polri, lembaga Praperadilan, penyerahan berkas perkara dan ketentuan lainnya mengenai hukum acara merujuk pada KUHAP Mengenai kekhawatiran berkenaan dengan hukum acara, mulai dari mekanisme kordinasi dengan penyidik Polri, penyerahan berkas perkara, sampai ketersediaan lembaga praperadilan sebagai sarana perlindungan hak dan kontrol terhadap penggunaan wewenang penyidik, perlu diperhatikan ketentuan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981, 204 dijelaskan bahwa undang-undang tersebut (KUHAP) berlaku untuk melaksanakan tatacara peradilan dalam lingkungan peradilan umum pada semua tingkat peradilan. Oleh karena itu, maka ketentuan-ketentuan dalam KUHAP tetap berlaku untuk penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh OJK, sepanjang tidak diatur secara khusus dalam undang-undang a quo. Lebih lanjut mengenai pembahasan poin-poin yang dikemukakan oleh pemohon, pertama, terkait hubungan antara PPNS dan Polri. Dalam KUHAP, pada pokoknya pola hubungan antara penyidik PPNS dan penyidik Polri dapat dikategorikan dalam beberapa bentuk. Pertama, memberikan petunjuk dan bantuan penyidikan. Kedua, kewajiban PPNS melaporkan penyidikan kepada Polri. Ketiga, adalah penyerahan berkas kepada penuntut umum melalui Polri. Keempat, kewajiban memberitahukan penghentian penyidikan kepada Polri dan penuntut umum. Dari poin-poin tersebut diatas, dapat dilihat bahwa relasi antara penyidik PPNS dan Polri bersifat kordinatif dan pengawasan guna kelancaran penyidikan yang dilakukan oleh penyidik PPNS. Oleh karena itu, apabila penyidik di lingkungan OJK dianggap sebagai penyidik PPNS, maka ketentuan dalam KUHAP tersebut juga berlaku bagi mereka. Sekalipun penyidik di lingkungan OJK tidak dianggap sama dengan penyidik PPNS, check and balance dalam penggunaan wewenangnya juga tetap merujuk pada KUHAP. Perlu dipahami bahwa check and balances terhadap rangkaian tindakan penyidikan baik oleh PPNS ataupun penyidik Polri pada dasarnya juga telah diatur dalam ketentuan-ketentuan lain dalam KUHAP. Beberapa contoh diantaranya adalah kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Kejaksaan, Pelapor, dan Terlapor paling lambat 7 hari setelah diterbitkannya surat perintah penyidikan sebagai bentuk perlindungan hak konstitusional pelapor dan terlapor. Contoh lainnya, kewajiban untuk memperoleh surat izin/ persetujuan penggeledahan dan atau penyitaan dari pengadilan dalam menjalankan kewenangan penggeledahan dan penyitaan juga merupakan bentuk check and balance dalam melaksanakan kewenangan penyidikan. 205 Kedua prosedur tersebut meskipun tidak diatur khusus dalam Undang- Undang OJK, tetapi berdasarkan Pasal 2 KUHAP, maka penyidik OJK tetap tunduk pada ketentuan-ketentuan tersebut. Sebagai contoh, dalam praktik penegakan hukum di bidang perikanan yang dilakukan oleh PPNS Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, dalam hal penyidik akan melakukan penggeledahan dan atau penyitaan, Undang- Undang Nomor 45 Tahun 2009 hanya menyebutkan bahwa penyidik berwenang melakukan penggeledahan dan atau penyitaan tanpa menjelaskan bagaimana prosedur dilakukannya penggeledahan dan penyitaan tersebut. Akan tetapi, merujuk pada Pasal 2 KUHAP, prosedur formal yang harus ditempuh oleh penyidik tetap merujuk ke prosedur penggeledahan dan penyitaan sebagaimana diatur oleh KUHAP, yaitu meminta izin/persetujuan dari ketua pengadilan negeri. Begitupun dengan tidak adanya pengaturan praperadilan dalam UU OJK yang dikhawatirkan pemohon bertentangan dengan prinsip negara hukum. Walaupun tidak diatur dalam UU OJK, bukan berarti dalam menjalankan kewenangan penyidikannya, penyidik OJK tidak dapat dipraperadilankan. Mekanisme praperadilan yang diatur dalam KUHAP tetap berlaku dalam penyidikan yang dilakukan oleh OJK atas dasar Pasal 2 Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana. Sebagai contoh, dalam UU Perikanan, yang menjadi dasar kewenangan PPNS KKP dan penyidik TNI AL untuk menyidik kejahatan perikanan juga tidak mengatur mengenai pranata Praperadilan. Akan tetapi, baik PPNS KKP dan Penyidik TNI AL juga beberapa kali pernah dipraperadilankan saat menyidik tindak pidana perikanan. Pengenyampingan ketentuan dalam KUHAP hanya dimungkinkan sepanjang undang-undang yang menjadi dasar pemberian kewenangan pada penyidik tertentu tersebut mengatur secara khusus. Contohnya mengenai kewenangan penggeledahan dan penyidikan KPK yang tidak memerlukan izin pengadilan. Kesimpulannya, (1) ketentuan mengenai upaya paksa, kewenangan terkait penyidikan, dan prosedur lain yang berkaitan, sepanjang tidak diatur secara khusus, prosedurnya tetap mengacu ke KUHAP. (2) mekanisme check and 206 balances terhadap tindakan penyidikan tetap ada dalam batas perlindungan yang telah diatur dalam KUHAP. C. Mengenai “status” penyidik di OJK Secara kelembagaan, merujuk pada Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, OJK dapat dikategorikan sebagai State Independent Agency , yang berperan untuk melakukan pengawasan kegiatan sektor jasa keuangan dan untuk mengefektifkan peran tersebut, OJK diberikan kewenangan untuk melakukan penyidikan. Oleh karena itu, status penyidik di lingkungan OJK juga bersifat khas. Untuk memahaminya, dapat dilihat dari ketentuan- ketentuan dan risalah rapat Rapat penyusunan RUU Tentang OJK Masa Persidangan II Tahun Sidang 2010-2011, hari Rabu, 1 Desember 2010 dengan Kemenkeu, Jampidsus, Bareskrim Polri dan BI dan hari Kamis, 2 Desember 2010 dengan Kepala Bapepam LK, dan Kementerian Hukum dan HAM sebagai berikut: Pertama, OJK dapat merekrut pegawai negeri, yang apabila merujuk pada ketentuan dalam Undang-Undang Kepegawaian, juga meliputi anggota Polri. Pasal 27 ayat (2) OJK dapat mempekerjakan pegawai negeri (termasuk pejabat penyidik pegawai negeri sipil dan/atau pejabat penyidik kepolisian) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Penjelasan Pasal 27 ayat (2) untuk mengefektifkan tugasnya, OJK dapat mempekerjakan pegawai negeri dari instansi lain atau dengan status lainnya. Pegawai negeri yang bekerja pada OJK dapat berstatus dipekerjakan atau status lainnya dalam rangka menunjang kewenangan OJK di bidang pemeriksaan, penyidikan, atau tugas-tugas yang bersifat khusus. Pegawai negeri tersebut antara lain berasal dari pejabat penyidik pegawai negeri sipil dan atau pejabat penyidik kepolisian. Hak dan kewajiban pegawai negeri tersebut disetarakan dengan hak dan kewajiban pegawai OJK. Dalam penjelasan pasal tersebut, dapat dipahami bahwa yang dimaksud sebagai Pegawai Negeri diantaranya adalah pejabat penyidik kepolisian (anggota Polri). Pandangan ini semakin jelas apabila merujuk pada maksud 207 pembuat undang-undang yang terdokumentasikan dalam risalah penyusunan undang-undang. Dalam risalah rapat tersebut, terlihat bahwa intensi pembentuk undang-undang untuk memberikan kewenangan penyidikan kepada OJK diikuti dengan maksud untuk merekrut pegawai negeri, baik pegawai negeri sipil ataupun anggota Polri, sebagai pelaksana kewenangan penyidikan. Perwakilan pemerintah menjelaskan terkait status PPNS berkaitan dengan pegawai OJK yang bukan pegawai negeri sipil bahwa untuk penyidik memang akan merekrut pegawai negeri untuk dipekerjakan di OJK, dan yang dimaksud pegawai negeri ini bisa dari sipil ataupun polisi. Terkait persoalan ini memang sempat memantik diskusi dari pembentuk undang-undang. Dalam suatu kesempatan, salah seorang anggota tim panja RUU OJK dari Fraksi Gerindra mengusulkan agar desain penyidik OJK dibuat seperti model Undang-Undang KPK dan tidak menggunakan terminologi PPNS, tetapi cukup penyidik. Pandangan ini juga direspon positif oleh ketua rapat dengan mengangkat isu mengenai mekanisme BKO, yang dirasanya kurang efektif karena anggota yang di BKO-kan bisa sewaktu-waktu ditarik oleh institusi asalnya. Pandangan ini direspon oleh pemerintah dengan menjelaskan bahwa terminologi PPNS digunakan agar pegawai negeri sipil yang memiliki kompetensi sebagai penyidik, tidak perlu keluar dari PNS apabila dipekerjakan sebagai penyidik oleh OJK. Begitupun halnya dengan kepolisian, pemerintah menggunakan terminologi pegawai negeri, daripada pegawai negeri sipil, untuk mengakomodir kepentingan mempekerjakan anggota Polri sebagai penyidik. “Usulan dari fraksi partai gerindra agar OJK dibuat seperti model undang- undang KPK. Lebih lanjut ia juga mengusulkan agar tidak memakai istilah PPNS, tapi cukup penyidik saja” “Ketua rapat menyinggung isu BKO yang dirasa kurang efektif karena bisa sewaktu-waktu ditarik oleh institusi asalnya” “Pemerintah menjelaskan bahwa sekalipun pegawai OJK bukan pegawai negeri sipil, tetapi payung hukum untuk (mempekerjakan) pegawai negeri sipil tetap dibuka karena ada kepentingan untuk membutuhkan PNS sebagai PPNS. Terminologi PPNS digunakan agar tidak perlu keluar dari 208 PNS namun tetap bisa menjadi penyidik di OJK. Begitupun Polisi yang akan dipekerjakan di OJK sebagai penyidik, itu juga memungkinkan. Oleh karenanya pasal itu kita sebut Pegawai Negeri, bukan Pegawai Negeri Sipil. (Halaman 732)” Kedua, anggota Polri dan Pegawai Negeri Sipil yang dipekerjakan di OJK sebagai penyidik ada dalam kerangka penyidik pegawai negeri sipil. Pasal 49 menekankan bahwa “pegawai negeri” dapat diangkat menjadi penyidik pegawai negeri sipil, yang dalam undang-undang OJK diberikan kewenangan-kewenangan khusus untuk melakukan tindakan tertentu dalam menjalankan fungsi penyidikan. Pasal 49 ayat (2) Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dapat diangkat menjadi penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Merujuk pada pasal tersebut, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan pegawai negeri dalam Pasal 49 ayat (2) adalah termasuk pejabat penyidik pegawai negeri sipil dan atau pejabat penyidik kepolisian yang dipekerjakan di OJK. Pendapat ini berdasarkan pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Kepegawaian yang mendefinisikan pegawai negeri termasuk didalamnya anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Selanjutnya mengenai frasa “dapat diangkat menjadi penyidik pegawai negeri sipil” dalam Pasal 42 ayat (2) UU OJK, dikaitkan dengan pengertian Pegawai Negeri diatas, maka dapat disimpulkan sepanjang ada pengangkatan sebagai penyidik pegawai negeri sipil, maka baik penyidik kepolisian dan atau penyidik pegawai negeri sipil yang dipekerjakan di OJK berdasarkan Pasal 27 ayat (2) dapat menjalankan fungsi penyidikan dan memiliki kewenangan sesuai dengan yang terdapat dalam Pasal 49 ayat (3) UU OJK. Pemahaman ini sejalan dengan maksud awal dari pembentuk undang- undang yang terdokumentasi dalam risalah rapat penyusunan undang- undang sebagai berikut: “Pemerintah: Ada pegawai OJK yang non-PNS ada pegawai OJK yang PNS. Nanti masalah administrasi kan bisa kita atur dengan Menpan, dengan 209 Kementerian Keuangan, apakah itu BKO selama 5 tahun, nanti diperpanjang lagi itu biasa pak” “Ketua Rapat: jadi intinya, kan dia PNS yang diperbantukan kedalam OJK, jadi intinya OJK membuat klausul bahwa dia siap, bisa menerima perbantuan dari PNS itu” “Pemerintah: kemudian tadi yang soal Polri tadi itu pak, sebenarnya juga kita membuka saja payung hukum kalau nanti anggota Polri yang juga bekerja di OJK sebagai penyidik. Itu juga memungkinkan, tetapi kalau nanti Polri ga kasih misalnya, yaudah ga ada masalah pak, gitu. Jadi Pasal itu tetap kita katakan pegawai negeri. Kita gak bilang pegawai negeri sipil pak, karena Polri itu pegawai negeri, bukan pegawai negeri sipil” “Ketua Rapat: penyidikan ini Ahli tawarkan konsep begini, kita kasih kewenangan penyidikan Bapepam kepada OJK, iya kan? Karena memang ada undang-undang sektoral yang memerintahkan untuk itu otoritasnya berpindah ke Pasar Modal. Tapi karena UU ini tidak hanya berlaku untuk Pasar Modal, tetapi juga yang lain, harapannya undang-undang yang lain bisa menyesuaikan. Langkah komprominya adalah dikasih penyidikan tapi dalam pelaksanaannya bekerjasama dengan instansi terkait”. “Pemerintah: memang begitu pak, memang sebagai PPNS tidak bisa jalan sendiri, harus dibawah kordinasi Polri. Yang kita maksud dengan kejaksaan itu juga harus melalui Polri”. Dari kutipan pasal-pasal dan pembahasan penyusunan RUU OJK diatas, maka Ahli berpandangan bahwa intensi pembuat undang-undang terkait pemberian kewenangan penyidikan kepada OJK dan keinginan agar pegawai negeri sipil dan anggota Polri menjadi pelaksana kewenangan penyidikan tersebut di institusi OJK sebagai penyidik pegawai negeri sipil. Akan tetapi, terkait dengan kewenangan yang dimiliki oleh PPNS dalam UU OJK, perlu diperhatikan beberapa isu mengenai apakah mungkin pejabat penyidik kepolisian dapat diangkat menjadi penyidik pegawai negeri sipil? Apabila dimungkinkan, siapa yang dapat mengangkat penyidik kepolisian sebagai penyidik pegawai negeri sipil? Apabila merujuk pada Peraturan Pemerintah 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Peraturan 210 Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan PP Nomor 27 Tahun 1983, anggota Polri tidak dapat diangkat menjadi PPNS karena terdapat beberapa persyaratan yang tidak kompatibel dengan kepangkatan dan/atau kepegawaian anggota Polri. Akan tetapi, menurut pendapat Ahli, persoalan ini dapat diselesaikan dengan menerbitkan atau menyesuaikan peraturan pemerintah terkait pengangkatan penyidik pegawai negeri sipil untuk untuk menjalankan ketentuan yang diatur dalam undang-undang OJK. D. Rasionalisasi dan Urgensi Penyidik Khusus Terdapat beberapa alasan dalam memberikan kewenangan penyidikan bagi institusi lain diluar institusi kepolisian. Sebagai contoh dan perbandingan, dapat kita lihat dalam rasionalitas pemberian kewenangan menyidik tindak pidana pencucian uang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Pertama, tingginya angka dugaan tindak pidana pencucian uang dan pada saat itu, tim perumus berpandangan bahwa satu institusi saja, dalam hal ini kepolisian, dirasa tidak sanggup untuk menindaklanjuti dugaan-dugaan tersebut. Kedua, multi-penyidik untuk tindak pidana tertentu juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas proses penegakan hukum. Dengan dibukanya peluang bagi beberapa institusi untuk menyidik suatu tindak pidana, diharapkan masing-masing institusi akan semakin terpacu untuk menegakkan hukum dan diharapkan dapat meningkatkan kualitas penegakan hukum itu sendiri. Ketiga, untuk tindak pidana tertentu dibutuhkan pemahaman dan keahlian khusus. Seperti halnya dalam tindak pidana yang menjadi tindak pidana asal pencucian uang seperti tindak pidana perbankan, pasar modal, kehutanan, perikanan dan lain sebagainya. Akan sulit untuk mengoptimalkan proses penegakan hukum apabila aparat penegak hukum itu sendiri tidak menguasai suatu bidang tertentu. Untuk itulah diperlukan penyidik khusus, karena dianggap memiliki pemahaman khusus mengenai bidang tertentu. Kemudian untuk mengoptimalkan kemampuan penyidikannya, diatur mengenai pola kordinasi antara penyidik khusus tersebut dengan penyidik polri yang secara umum lebih berpengalaman dalam menyidik tindak pidana. 211 Sejalan dengan alasan-alasan tersebut diatas, perlu pula diketahui terkait alasan yang mendasari para penyusun undang-undang untuk memberikan kewenangan penyidikan kepada OJK dengan merujuk pada risalah rapat penyusunan rancangan undang-undang tentang OJK sebagai berikut: Perwakilan dari pemerintah menjelaskan urgensi untuk memiliki penyidik sendiri adalah untuk meningkatkan efektifitas penegakan hukum (merujuk dari pengalaman Bank Indonesia yang melaporkan dugaan tindak pidana ke Kepolisian namun tidak ada tindak lanjutnya). Yang kita maksud disini itu penyidikan, kita penyidiknya pak. Karena pengalaman selama ini kita sudah kirim penyelidikan ke kepolisian, itu butuh waktu lagi. Karena disana untuk gelar perkaranya aja tuh kadang-kadang itu butuh pengertian dan pengetahuan mendalam terkait transaksi pasar modal yang kadang-kadang kalau kita lihat itu bisa pidana tapi kadang-kadang rekan-rekan kita disana bisa ga lihat itu pak. Jadi kalau misalnya OJK dalam hal ini bapepam tidak diberi kewenangan, nanti makin banyak white colar crimes Merujuk pada kutipan tersebut, dapat dipahami bahwa keinginan untuk memberikan kewenangan penyidikan kepada OJK adalah sebagai bentuk perbaikan dari pengalaman penegakan hukum di bidang jasa keuangan sebelum disahkannya Undang-Undang OJK, yang dirasa masih belum efektif, karena banyak dugaan tindak pidana yang dilaporkan ke Polri yang tidak berhasil mencapai hasil yang diharapkan. Dengan demikian, beradasarkan alasan-alasan tersebut diatas, mengingat luas dan kompleksnya permasalahan dilingkungan pengawasan sektor jasa keuangan, Ahli berpandangan bahwa diperlukan penyidik khusus di lingkungan OJK yang diharapkan mampu mendeteksi adanya dugaan tindak pidana dan melakukan penindakan dengan lebih baik.
Zainal Arifin Mochtar SEJARAH PENGATURAN OJK OJK—lebih spesifiknya UU OJK—tidak lahir dari ruang hampa. Pengaturan tentang OJK muncul dari pemikiran tentang efisiensi dan efektifitas pengawasan sektor keuangan. Asumsi yang dibangun adalah untuk menciptakan efisiensi dan efektifitas pengawasan sektor keuangan, maka 212 pengawasannya harus dibagi-pisah antara sektor keuangan makro dan sektor keuangan mikro. OJK kemudian difokuskan pada sektor keuangan mikro dengan spesifikasi sektor jasa keuangan. Sejarah pengaturan OJK dapat dirujuk pada ketentuan tentang Bank Indonesia. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia—selanjutnya ditulis UU BI—disebutkan bahwa salah satu tugas Bank Indonesia (BI) adalah mengatur dan mengawasi bank (vide Pasal 8 huruf c UU BI). Lebih lanjut, tugas pengawasan bank dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen dan selambat-lambatnya lembaga pengawasan bank tersebut harus dibentuk pada 31 Desember 2002 (vide Pasal 34 UU BI). Meskipun perintah yang dicantumkan dalam UU BI memerintahkan per 31 Desember 2002 harus ada sebuah lembaga khusus yang melakukan pengawasan terhadap Bank, akan tetapi faktanya lembaga tersebut tidak terbentuk sesuai jadwal. Namun demikian, tidak lantas kewenangan untuk pengawasan bank dicabut. Kewenangan itu tetap ada, tetapi lembaganya saja yang belum terbentuk. Bahkan perubahan UU BI (yakni Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004— selanjutnya ditulis UU No. 3 Tahun 2004) menegaskan eksistensi pengawasan bak oleh sebuah lembaga—yang belum dibentuk tersebut. Penjelasan Pasal 34 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2004 menyatakan, “lembaga pengawasan jasa keuangan yang akan dibentuk melakukan pengawasan terhadap bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat.” Demikian, telah jelas bahwa embrio OJK tidak lahir dari ruang yang hampa. Embrio OJK lahir dari perintah UU BI untuk mengawasi bank yang diatur secara khusus untuk mengawasi jasa keuangan. Lebih lanjut, OJK itu adalah gabungan antara “separuh” Bank Indonesia dan Bapepam KL. Maka, pemahaman yang paling awal adalah, OJK merupakan gabungan dari kewenangan yang telah dimiliki di Bank Indonesia dengan kewenangan yang sebelumnya telah dimiliki oleh Bapepam LK. Maka, OJK merupakan gabungan dari keseluruhan kewenangan pada kedua lembaga 213 tersebut, diimbuhi dengan kewenangan lainnya yang diberikan oleh UU. Maka menjadi wajar, jika OJK saat ini mengerjakan tugas yang dulunya dikerjakan oleh Bapepam LK, termasuk kewenangan dalam hal penyidikan perkara tertentu. FILOSOFI PEMBERIAN KEWENANGAN KE OJK Dalam Pasal 6 UU OJK disebutkan bahwa OJK memiliki tugas pengaturan dan pengawasan terhadap (a) kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan; (b) kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal; dan (c) kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Untuk menjalankan tugas pengawasan terhadap tiga hal di atas, OJK diberikan delapan bentuk kewenangan yang salah satunya adalah penyidikan atas kegiatan jasa keuangan (vide Pasal 9 UU OJK). Norma penyidikan atas kegiatan jasa keuangan tidak dapat dibaca terpisah dengan kewenangan lainnya yang masuk dalam rumpun kewenangan pengawasan OJK. Selain melakukan penyidikan, dalam rumpun kewenangan OJK untuk melakukan pengawasan jasa keuangan, terdapat pula kewenangan untuk melakukan (a) pengawasan; (b) pemeriksaan; (c) perlindungan konsumen; dan (d) tindakan-tindakan lainnya (vide Pasal 9 huruf c UU OJK). Artinya, kewenangan penyidikan OJK sebenarnya adalah bagian dari atau rangkaian dari jenis-jenis kewenangan pengawasan yang diberikan ke OJK untuk melaksanakan pengawasan kegiatan jasa keuangan. Di mana kewenangan tersebut berasal dari tugas BI untuk mengatur dan mengawasi bank sebagaimana yang diperintahkan oleh UU BI (vide Pasal 8 huruf c UU BI). Apakah kewenangan penyidikan sedemikian lazim diterapkan ke sebuah lembaga? Untuk menjawab hal ini, patutlah kiranya disampaikan contoh pemberian kewenangan yang diperintahkan oleh undang-undang. Sebagai contoh, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia— selanjutnya ditulis UU HAM—mencantumkan sebuah lembaga yang diberi nama Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnasham). Lembaga ini mempunyai fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi tentang hak asasi manusia [vide Pasal 76 ayat (1) UU HAM]. 214 Demi melaksanakan fungsi pemantauan, Komnasham diberikan wewenang oleh UU HAM untuk melakukan penyidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia (vide Pasal 89 angka 3 huruf b UU HAM). Berdasarkan UU HAM, diketahui bahwa pemberian kewenangan penyidikan—soal hak asasi manusia—ke Komnasham merupakan turunan dari tugas pemantauan pelaksanaan hak asasi manusia yang diberikan oleh UU HAM. Jika dibaca dengan seksama, norma tugas pemantauan pelaksanaan hak asasi manusia oleh Komnasham yang dinyatakan melalui kewenangan penyidikan selaras dengan tugas mengawasi bank/lembaga jasa keuangan yang dinyatakan dengan kewenangan penyidikan kegiatan jasa keuangan oleh OJK. Contoh kedua adalah penerapan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia—selanjutnya ditulis UU Kejaksaan. Sebagaimana diketahui secara umum bahwa tugas dan wewenang kejaksaan adalah melakukan penuntutan atas kasus pidana. Akan tetapi, UU Kejaksaan ternyata tidak hanya memberikan kewenangan penuntutan saja, melainkan tugas dan wewenang lainnya. Salah satunya adalah tugas dan wewenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang [vide Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan]. Berdasarkan norma yang dicantumkan dalam UU Kejaksaan, kewenangan penyidikan—yang mungkin saja oleh sebagian ahli hukum pidana dianggap bukan core bussines kejaksaan karena penyidikan adalah core bussines-nya kepolisian, misalnya—ternyata diberikan juga ke kejaksaan sepanjang dilakukan berdasarkan undang-undang. Dalam Penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan menyatakan, “kewenangan dalam ketentuan ini adalah kewenangan sebagaimana diatur misalnya adalah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”. 215 Pemberian kewenangan penyidikan tindak pidana tertentu ke kejaksaan adalah perintah dari UU Kejaksaan. Dan norma ini harus dijalankan. Jika pemberian kewenangan penyidikan tindak pidana tertentu ke kejaksaan dimungkinkan—dan sudah terjadi—meskipun core bussines kejaksaan adalah penuntutan kasus pidana, maka kejaksaan wajib melaksanakannya karena hal tersebut adalah turunan dari tugas kejaksaan yang diperintahkan oleh undang- undang. Kewenangan penyidikan tiga lembaga (OJK, Komnasham, dan Kejaksaan) dapat disampaikan dalam tabel di bawah ini. Tabel Kewenangan Penyidikan Lembaga Lembaga Kewenangan Objek Penyidikan Dasar Hukum OJK Penyidikan Kegiatan jasa keuangan Pasal 8 huruf c UU BI; Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK Komnasham Penyidikan Pelanggaran hak asasi manusia Pasal 89 angka 3 huruf b UU HAM Kejaksaan Penyidikan Tindak pidana tertentu Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan Selanjutnya, apakah pemberian kewenangan penyidikan terhadap lembaga- lembaga untuk objek penyidikan dianggap bertentangan dengan UUD 1945? Pertanyaan tersebut sebelumnya harus dimulai dulu dengan pernyataan sedemikian, “apakah pembentukan lembaga-lembaga tertentu dianggap bertentangan dengan UUD 1945? Pembentukan lembaga-lembaga tertentu—atau spesifiknya lembaga-lembaga negara tertentu saat ini tidak dapat dinafikan. Kebutuhan membuat lembaga- lembaga tersebut didasarkan pada kebutuhan untuk menjawab perkembangan hukum yang ada dalam masyarakat sehingga lembaga-lembaga wajar adanya dan bahkan diperintahkan oleh UUD 1945. Misalnya, untuk menyelenggarakan pemilihan umum, UUD 1945 memerintahkan dibentuk sebuah komisi pemilihan umum [vide Pasal Pasal 22E ayat (5) UUD 1945]. Atau untuk melakukan 216 pemeriksaan terhadap pengelolaan dan tanggung jawab negara dibentuk suatu Badan Pemeriksa Keuangan (vide Pasal 23E ayat (1) UUD 1945). Masih banyak lagi lembaga-lembaga yang dibentuk oleh undang-undang yang merupakan pengejawantahan dari UUD 1945. Pembentukan lembaga-lembaga tersebut adalah suatu kebutuhan yang eksis karena perkembangan hukum serta perkembangan kebutuhan manusia. Nyata sudah bahwa setiap lembaga juga dilekati dengan tugas dan kewenangan tertentu yang berkaitan dengan tugas dan kewenangan sebagaimana diperintahkan oleh UUD 1945 dan/atau undang-undang. Sehingga filosofi pemberian kewenangan—apapun jenis kewenangannya—ke lembaga- lembaga tersebut adalah pengejawantahan dari perintah peraturan perudang- undangan di mana konstitusi menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Berdasarkan uraian di atas, maka pemberian kewenangan penyidikan kegiatan jasa keuangan ke OJK (vide Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK) tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dengan alasan sebagai berikut:
Kewenangan penyidikan OJK atas kegiatan jasa keuangan tidak lahir dari ruang hampa. Ia diperintahkan oleh UU BI juncto UU OJK.
Kewenangan penyidikan OJK—dan kewenangan serupa yang diberikan ke lembaga-lembaga tertentu atas objek penyidikan tertentu—merupakan konsekuensi logis dari filosofi eksistensi lembaga-lembaga untuk menjawab kebutuhan perkembangan hukum dan perkembangan kebutuhan/kepentingan manusia yang sekaligus menjadi jaminan keselarasan dengan norma Negara Indonesia adalah negara hukum. Keterangan Saksi 1. I Gusti Agung Rai Wirajaya Saksi adalah salah satu anggota panitia khusus dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang OJK sekitar tahun 2009-2011. Berkaitan dengan Pokok Permohonan dalam Pengujian UndangUndang OJK ini, menurut hemat Saksi, sangat penting untuk memahami latar belakang pembentukan lembaga OJK. Pada saat itu, DPR dan pemerintah bersepakat untuk memberikan kewenangan penyidikan kepada OJK. 217 Sebagaimana diketahui bersama, pembentukan Undang-Undang OJK merupakan amanah dari Pasal 34 Undang-Undang Bank Indonesia. Selain itu pula, kita sadari bersama bahwa teknologi dan produk-produk jasa keuangan sangat berkembang pesat sedemikian kompleks, dinamis, dan saling terkait, sehingga banyak membawa dampak negatif apabila tidak segera diantisipasi dengan mengintegrasikan pengaturan dan pengawasan di seluruh industri jasa keuangan dalam sebuah lembaga yang independen. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, DPR dan pemerintah selaku pembentuk undang-undang, memberikan perhatian besar terhadap perkembangan sektor jasa keuangan dengan mengupayakan terbentuknya kerangka pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan yang terintegrasi dan komperhensif. Selain itu pula, pada saat pembahasan RUU OJK antara DPR dengan pemerintah telah disepakati bahwa Lembaga OJK haruslah mencakup pula fungsi perlindungan konsumen sektor jasa keuangan yang dirasakan sangat penting karena banyak dampak negatif dari perkembangan industri jasa keuangan yang menimpa masyarakat konsumen sektor jasa keuangan secara langsung. Dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi OJK dalam melakukan pengaturan dan pengawasan, serta perlindungan konsumen sektor jasa keuangan. Pada saat itu DPR dan pemerintah telah sepakat untuk memberikan kewenangan penyidikan kepada OJK guna memperkuat tugas dan fungsinya yang telah disepakati sebelumnya. Kewenangan penyidikan yang diberikan kepada OJK memang pada awalnya adalah mempertimbangkan adanya kewenangan penyidikan yang diberikan kepada Lembaga Badan Penanaman Pasar Modal berdasarkan Undang-Undang Pasar Modal. Namun demikian, dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan di DPR pada saat itu, tidak mungkin OJK yang telah memiliki kewenangan pengaturan dan pengawasan di seluruh industri jasa keuangan hanya diberikan kewenangan penyidikan di pasar modal. Sehingga dengan demikian, karena kewenangan OJK meliputi seluruh industri jasa keuangan yang di dalamnya meliputi perbankan, pasar modal, asuransi, industri keuangan nonbank, dan industri jasa keuangan lainnya, maka DPR dan pemerintah menggunakan open legal policy guna memberikan kewenangan penyidikan 218 kepada OJK yang sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, serta tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Berkaitan dengan kewenangan penyidikan yang diberikan kepada OJK berdasarkan Undang-Undang OJK, pada saat itu DPR bersama pemerintah telah mempertimbangkan dari berbagai aspek, termasuk mengenai pelaksanaan kewenangan penyidikan yang dilaksanakan berdasarkan KUHAP dan pelaksanaan kewenangan penuntutan yang tetap dilaksanakan oleh jaksa agung, sehingga hal ini tidak melanggar due process of law dalam sistem penegakan hukum tindak pidana di Indonesia. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, pemberian kewenangan penyidikan kepada OJK telah melalui serangkaian diskusi yang panjang antara DPR dengan pemerintah, serta melibatkan berbagai pihak terkait untuk memberikan pandangan-pandangan terkait diberikannya kewenangan penyidikan kepada OJK dan telah mempertimbangkan ketentuan-ketentuan yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan Undang- Undang Dasar 1945. Menurut saksi selama pembahasan kewenangan penyidikan, telah mengundang pihak kepolisian dan pihak kejaksaan sebanyak dua kali untuk berkoordinasi dan memberikan masukan. Dengan adanya kewenangan penyidikan bukan berarti melemahkan kepolisian karena ini kewenangan penyidikan menyangkut masalah keuangan, dan masih ada yang tidak sepenuhnya memahami posisi kewenangan ini pada saat itu, dan setelah didiskusikan dengan pihak kepolisian dan kejaksaan bisa diperbantukan dari pihak kepolisian untuk menindaklanjuti ketika terjadi permasalahan- permasalahan pidana, seperti kasus KLBI, BLBI, juga dengan kasus Century, dan bank Global. Nah, dimana kasus-kasusnya tidak bisa terselesaikan dengan baik. Agar latar belakang permasalahan tersebut bisa terurai dengan baik, sehingga sepakat bersama pemerintah untuk memasukkan penyidikan ini terbatas dalam rangka penyidikan terhadap kasus-kasus yang terjadi di bidang keuangan ini sendiri, tidak dalam rangka penuntutan. Jika ada permasalahan di perbankan, pasar modal, maupun industri keuangan nonbank, maupun asuransi tahapan-tahapan yang dilakukan dalam mengurai permasalahan yang terjadi tidak seperti di pidana umum. 219 Fakta selama ini, ketika penyidikan ini masuk ke Undang-Undang OJK, sebagian besar yang masuk sebagai PPNS di OJK adalah mantan-mantan pegawai yang bekerja di Bapepam-LK, yang dsepakati sebelum memulai berdirinya Otoritas Jasa Keuangan. Dalam perjalanannya, dapat kita lihat bahwa yang memimpin penyidikan itu berbintang tiga dari kepolisian, Kemudian yang saksi mendapat informasi bahwasannya terkait remunerasi di internal, sehingga diberikan kesempatan ada petugas-petugas penyidik yang dididik, walaupun sebelumnya sudah ada petugas PPNS yang ditugaskan untuk melakukan penyidikan di dalam kegiatan penyidikan di Otoritas Jasa Keuangan. Ketika ada permasalahan sebelum dilakukan pelimpahan ke kepolisian, tentunya pihak-pihak kepolisian sudah yang ada di OJK telah melakukan penyidikan di dalam OJK itu sendiri. Memang benar di Undang-Undang Bank Indonesia, tidak ada penyidikan, memang ada penugasan dari Undang-Undang Bank Indonesia untuk membentuk lembaga jasa keuangan yang independen. Undang-Undang OJK ini muncul memang atas dasar undang-undang tersebut. Namun, dalam perjalanannya, menginginkan adanya suatu lembaga yang terintegrasi, jika melihat, kasus Bank Global dan kasus Bank Century, Saksi menanyakan kepada Bank Indonesia dan Bapepam-LK, pada saat itu, yang dimiliki oleh Bank Global maupun Bank Century sebatas izin prinsip, izin prinsip keikutsertaan dalam investasi pasar modal karena Bank Global dan Bank Century ini hanya izinnya dari Bank Indonesia saja. Dalam rapat dengar pendapat di komisi, terkesan ada seperti pelepasan tanggung jawab antara Bank Indonesia dengan Bapepam-LK. Atas dasar inilah Saksi mengusulkan sebuah lembaga terintegrasi di bidang jasa keuangan yang kemudian diberi nama Otoritas Jasa Keuangan.
I Gede Hartadi Kurniawan Saksi adalah perwakilan dari Asosiasi Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Seluruh Indonesia, Saksi menjabat sebagai Ketua Bidang Organisasi dan Keanggotaan Dewan Pengurus Pusat Perbarindo periode 2018-2022. Sebagai salah satu praktisi dari industri bank perkreditan rakyat, Saksi mewakili dari industri BPR, berpendapat bahwa fungsi penyidikan pada 220 Otoritas Jasa Keuangan merupakan suatu kewenangan yang sangat membantu industri BPR apabila terjadi suatu permasalahan atau fraud yang terdapat di dalam industri BPR sebagai akibat kesalahan satu ataupun kesalahan beberapa oknum atau orang yang bekerja di dalam industri BPR, khususnya terhadap kasus-kasusnya yang berkaitan dengan tindak pidana. Hal ini karena penyidik-penyidik yang bekerja pada Otoritas Jasa Keuangan tentunya sangat paham terhadap perhitungan di dalam neraca serta perhitungan rugi, laba, dan juga dengan tingkat kesehatan bank pada suatu BPR, sehingga penanganan apabila terdapat suatu kasus pidana dan tentunya juga ada unsur pembinaan dan pengawasan terhadap industri BPR. Otoritas Jasa Keuangan dengan fungsi pembinaan terhadap industri BPR yang dimilikinya sudah tentu selalu berupaya menyelamatkan industri BPR itu sendiri dari kemungkinan tindak pidana yang dilakukan oleh oknum- oknum yang bekerja di dalam industri BPR. Hal ini tidak terlepas juga dengan efisiennya pengawasan, pembinaan dengan fungsi penyidikan di dalam tugas dan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan. Sehingga dengan satu atap, maka penanganan suatu kasus dapat dikerjakan dengan lebih efektif dan efisien. Saksipribadi juga pernah mengalami suatu penanganan kasus yang terindikasi tindak pidana pada era BPR masih di bawah pengawasan dan pembinaan Bank Indonesia dengan era sekarang di bawah pengawasan dan pembinaan Otoritas Jasa Keuangan. Pada waktu era Bank Indonesia yang tidak mempunyai fungsi penyidikan dirasakan bahwa dengan tidak satu atapnya fungsi pembinaan dan fungsi penyidikan, maka penanganan suatu kasus perkara yang terindikasi ada tindak pidana di industri BPR waktu penanganannya cenderung lebih lambat dan pada era sekarang ketika seorang penyidika yang bertugas di OJK, baik seorang pejabat dari kepolisian ataupun PPNS sudah pasti pejabat-pejabat tersebut sangat memahami alur laporan keuangan di industri BPR, serta bisa menyesuaikan dengan bijaksana dan dengan tujuan menyelamatkan industri- industri BPR itu sendiri demi stabilitas perokonomian di lingkungan BPR ataupun regional BPR tersebut, dan waktu penanganan juga lebih cepat karena lebih efisien di dalam satu atap. 221 [2.6] Menimbang bahwa Pemohon, Presiden dan Pihak Terkait menyampaikan kesimpulan tertulis masing-masing bertanggal 15 Mei 2019 dan 16 Mei 2019 yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 15 Mei 2019 dan 16 Mei 2019, yang pada pokoknya masing-masing tetap pada pendiriannya; [2.7] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini;
PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), Mahkamah berwenang, antara lain, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang- undang terhadap UUD 1945; [3.2] Menimbang bahwa permohonan para Pemohon adalah ihwal pengujian konstitusionalitas norma undang-undang, in casu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253, selanjutnya disebut UU 21/2011), sehingga sesuai dengan 222 ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo . Kedudukan Hukum Pemohon [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a; [3.4] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya, telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; 223 c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut:
Bahwa norma undang-undang yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya dalam permohonan a quo adalah Pasal 1 angka 1 setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XII/2014 dan Pasal 9 huruf c UU 21/2011 yang rumusannya masing-masing adalah sebagai berikut: Pasal 1 angka 1 Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU- XII/2014]. Pasal 9 huruf c Untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang:
...................... b....................... c. melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; terhadap Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Bahwa Pemohon I sampai dengan Pemohon IV dalam permohonannya menerangkan kualifikasinya sebagai perorangan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta dengan menyertakan bukti Nomor Induk Dosen Nasional 0608047501 untuk Pemohon 224 I (Bukti P-4), Nomor Induk Dosen Nasional 0601108501 untuk Pemohon II (Bukti P-9), Nomor Induk Dosen Nasional 0629017603 untuk Pemohon III (Bukti P-11), dan Nomor Induk Dosen Nasional 0604118703 untuk Pemohon IV (Bukti P-14);
Bahwa khusus Pemohon I selain menjadi Dosen juga berprofesi sebagai Advokat dengan Kartu Advokat dengan Nomor 17.01636 (Bukti P-6) dan juga merupakan anggota Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI) dengan Nomor Anggota H-68 01 17 (Bukti P-5). Sebagai seorang advokat, Pemohon I merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya ketentuan pasal a quo , karena menurut Pemohon I dengan berlakunya ketentuan a quo Pemohon I akan mengalami kesulitan memberikan bantuan hukum jika ada klien yang memiliki permasalahan di bidang jasa keuangan. Menurut Pemohon I, UU 21/2011 tidak mengatur dengan jelas mengenai hak-hak yang dimiliki oleh seseorang yang disangka melakukan dugaan tindak pidana di sektor keuangan, seharusnya dengan adanya asas presumption of innocent , sejak awal dimulainya penyidikan hak tersangka sudah diatur di dalam undang-undang sebagai wujud jaminan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia. Terhadap hal ini, Mahkamah berpendapat, kesulitan memberikan bantuan hukum ketika Pemohon I bertindak sebagai seorang advokat sebagaimana diuraikan di atas tidaklah menggambarkan kerugian hak konstitusional secara faktual atau potensial merugikan Pemohon I yang disebabkan oleh berlakunya Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU 21/2011. Sebab, keberlakuan ketentuan a quo sama sekali tidak menghalangi Pemohon I untuk memberikan bantuan hukum kepada seseorang yang disangkakan melakukan tindak pidana dalam sektor jasa keuangan;
Bahwa selain itu, Pemohon IV menguraikan pada saat menyelesaikan pendidikan Strata-2, Pemohon menyusun tesis mengenai lembaga OJK. Pemohon melakukan penelitian tahun 2013 pada saat sedang dirancangnya pembentukan lembaga OJK. Dari hasil penelitiannya, Pemohon tidak menemukan dalam rancangan pembentukan lembaga OJK yang menyatakan bahwa dalam melaksanakan fungsi pengawasannya lembaga OJK diberi wewenang untuk melakukan penyidikan. Namun dalam perkembangannya 225 lembaga OJK diberi kewenangan penyidikan seperti lembaga penegak hukum tanpa adanya penjelasan tujuan diberikannya wewenang Penyidikan tersebut. Pemberian kewenangan yang tanpa penjelasan ini menimbulkan kerugian bagi Pemohon, karena berakibat Pemohon tidak dapat menjelaskan latar belakang diberikan kewenangan penyidikan ini kepada Mahasiswa dan pada forum- forum akademis. Menurut Mahkamah apabila dikaitkan dengan kapasitas Pemohon IV yang juga merupakan dosen, seandainya memang benar tidak ditemukan penjelasan ihwal kewenangan penyidikan OJK tersebut, hal demikian bukanlah kerugian konstitusional sehingga tidak dapat dijadikan sebagai alasan kerugian konstitusional karena dengan tidak ditemukan penjelasan dimaksud, secara akademis, justru dapat menjadi bahan kajian dan penelitian lebih lanjut bagi Pemohon IV terutama terkait dengan proses pembentukan UU 21/2011.
Bahwa Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, dan Pemohon IV sebagai Dosen di Fakultas Hukum merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan adanya ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU 21/2011 karena berdasarkan hukum pidana yang dipelajari dan didalami oleh para Pemohon, pemberlakuan " criminal justice system " di Indonesia sebagai negara yang mendeklarasikan dirinya sebagai Negara Hukum maka proses penegakan hukum pidananya berdasarkan pada prinsip " due process of law " di mana penegakan hukum harus dilaksanakan oleh negara, dalam hal ini Aparat Penegak Hukum, yang telah diatur dalam KUHAP, namun ternyata hal tersebut diabaikan dengan berlakunya UU 21/2011. Untuk menguraikan adanya kedudukan hukum tersebut, para Pemohon mengutip Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011, di mana Pemohon di dalam putusan tersebut yang merupakan pengajar hukum tata negara yang dinyatakan memiliki legal standing dalam mengajukan permohonannya tersebut. Sehingga, menurut para Pemohon a quo karena para Pemohon pada prinsipnya memiliki profesi yang sama, yakni pengajar hukum pidana maka dengan merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011, para Pemohon memiliki kedudukan hukum. Terhadap penjelasan Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, dan Pemohon IV, Mahkamah berpendapat bahwa kesulitan dan kerugian yang dijelaskan oleh 226 para Pemohon di atas tidaklah menggambarkan adanya kerugian hak konstitusional yang disebabkan oleh berlakunya Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU 21/2011 sebab keberlakuan ketentuan a quo tidak menghalangi Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, dan Pemohon IV untuk menjalankan profesinya sebagai pengajar hukum pidana. Apalagi bila dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011, permohonan a quo memiliki karakteristik yang berbeda sehingga tidak serta-merta dapat dijadikan bangunan argumentasi untuk memberikan kedudukan hukum kepada para Pemohon. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III dan Pemohon IV tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo .
Bahwa Pemohon V dan Pemohon VI menerangkan kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagai perorangan warga negara Indonesia dan merupakan karyawan PT. Sunprima Nusantara Pembiayaan (selanjutnya disebut PT SNP). Pada saat permohonan ini diajukan Pemohon V dan Pemohon VI sedang menjalani masa tahanan di Polda Metro Jaya atas laporan salah satu bank kreditor ke kepolisian karena Pemohon V dan Pemohon VI diduga melakukan tindak pidana sektor jasa keuangan. Permasalahan ini terjadi karena OJK meminta salah satu bank yang merupakan kreditor PT SNP untuk melakukan degradasi collectibility terhadap PT SNP karena berdasarkan hasil audit OJK pada Tahun 2016 PT SNP sudah pernah direstrukturisasi namun tidak didegradasi. Atas permintaan dari OJK tersebut salah satu bank menerbitkan status Coll 2 terhadap PT SNP, sedangkan pada saat dijatuhkan status Coll 2 PT SNP tidak memiliki tunggakan nominal maupun jatuh tempo. Akibat dari penerbitan status Coll 2 tersebut menyebabkan seluruh bank yang menjadi kreditor PT. SNP menghentikan semua pinjaman dan berbalik melakukan penagihan terhadap pendanaan yang telah diberikan kepada PT SNP. Berdasarkan status Coll 2, OJK melakukan audit ke PT SNP Pusat dan cabang (Mataram, Yogyakarta, dan Semarang). Menurut para Pemohon, tindakan OJK mendesak bank memberikan status Coll 2 menyebabkan permasalahan yang seharusnya dapat diselesaikan secara administratif perbankan termasuk di dalamnya menempuh upaya melalui KPPU menjadi dikesampingkan sehingga 227 permasalahannya masuk ke dalam ranah tindak pidana dalam sektor jasa keuangan dan para Pemohon adalah 2 dari delapan pengurus yang kemudian dijadikan tersangka oleh kepolisian. Menurut para Pemohon, hal ini tidak akan terjadi jika Lembaga OJK tidak diberikan kewenangan penyidikan. Dengan adanya tindakan sewenang-wenang OJK maka pelaku usaha menjadi terhenti usahanya, masyarakat tidak akan terlayani, dan karyawan pun menjadi terjerumus ke dalam persoalan tindak pidana di sektor jasa keuangan. Menurut para Pemohon, seharusnya OJK mampu menjaga agar kegiatan di sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel, serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Terhadap penjelasan Pemohon V dan Pemohon VI dalam menerangkan kedudukan hukumnya tersebut, menurut Mahkamah, status Coll 2 yang diberikan oleh OJK terhadap PT SNP, sehingga pemberian status tersebut yang merupakan salah satu tahapan dalam proses penyidikan, baik wewenang yang dimiliki oleh Kepolisian maupun yang dimiliki OJK, telah berdampak pada disidiknya Pemohon V dan Pemohon VI oleh Polda Metro Jaya. Dengan demikian, terlepas dari terbukti atau tidaknya dalil Pemohon V dan Pemohon VI perihal inkonstitusionalitas norma pasal-pasal yang dimohonkan pengujian, Mahkamah berpendapat bahwa para Pemohon telah menguraikan hak-hak konstitusionalnya yang menurut anggapan mereka secara aktual dirugikan dengan berlakunya norma pasal dalam UU 21/2011. Kerugian tersebut tidak lagi terjadi jika permohonan a quo dikabulkan. Oleh karena itu, berdasarkan uraian kerugian konstitusional tersebut, Pemohon V dan Pemohon VI memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo . [3.6] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tertuang pada Paragraf [3.5] di atas ternyata bahwa hanya sebagian dari para Pemohon yang memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo , yaitu Pemohon V dan Pemohon VI (selanjutnya disebut para Pemohon), selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan. 228 Pokok Permohonan [3.7] Menimbang bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas norma Pasal 1 angka 1 frasa “dan penyidikan” dan Pasal 9 huruf c kata “penyidikan” UU 21/2011 para Pemohon mengemukakan argumentasi sebagaimana selengkapnya telah dimuat dalam bagian duduk perkara yang pada pokoknya sebagai berikut:
Bahwa, para Pemohon menyatakan Pasal 1 angka 1 UU 21/2011 pernah diajukan pengujian ke Mahkamah Konstitusi dan telah diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XII/2014 bertanggal 4 Agustus 2015 dengan amar mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian, menurut para Pemohon walaupun dalam permohonannya menguji pasal yang sama namun frasa yang diuji berbeda. Dalam perkara Nomor 25/PUU-XII/2014 yang diuji adalah frasa “dan bebas dari campur tangan pihak lain” yang mengikuti kata “independen” dalam Pasal 1 angka 1 UU 21/2011 sedangkan para Pemohon a quo menguji frasa “dan penyidikan” dalam Pasal 1 angka 1 serta kata “penyidikan” dalam Pasal 9 huruf c UU 21/2011 yang belum pernah diajukan pengujiannya di Mahkamah Konstitusi. Sehingga, menurut para Pemohon, permohonan a quo tidak nebis in idem dengan perkara Nomor 25/PUU-XII/2014;
Bahwa, menurut para Pemohon, dengan melihat tujuan, fungsi, dan tugas OJK maka OJK adalah lembaga administratif yang dapat melakukan penegakan hukum dalam lingkup hukum administrasi negara yang terbatas pada proses pemeriksaan dan/atau penyelidikan tentang adanya dugaan tindak pidana di sektor jasa keuangan dalam konteks fungsi administatif bukan pro justitia sebagaimana KUHAP, sebagaimana ditegaskan untuk kewenangan penyelidikan yang dilakukan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XIV/2016;
Bahwa, menurut para Pemohon, adanya wewenang "dan penyidikan" dalam Pasal 1 angka 1 UU 21/2011 dan wewenang "penyidikan" yang dimasukan ke dalam lingkup tugas pengawasan dalam Pasal 9 huruf c UU 21/2011 menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga mengaburkan Integrated Criminal Justice System karena penyidikan oleh penyidik OJK untuk tindak pidana yang sama dimiliki pula oleh penyidik lain yang telah ada sehingga 229 akan terjadi tumpang-tindih kewenangan antara Polri, KPK, dan OJK dalam proses penanganan tindak pidana di sektor jasa keuangan.
Bahwa, menurut para Pemohon, secara eksplisit UU 21/2011 menentukan penyidik OJK berstatus pegawai negeri sipil [Pasal 49 ayat (1) juncto ayat (3) UU 21/2011] maka OJK tidak dapat melibatkan penyidik kepolisian, namun dalam praktik OJK telah melantik pejabat kepolisian yang masih aktif menjadi penyidik di OJK sehingga, menurut para Pemohon, hal ini bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
Bahwa, menurut para Pemohon, dengan mengutip beberapa undang-undang yang mengatur mengenai Pegawai Negeri Sipil yang diberikan wewenang sebagai penyidik di antaranya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasal Modal, ternyata semua undang-undang tersebut menyatakan bahwa Pegawai Negeri Sipil yang diberikan kewenangan penyidikan melaksanakan penyidikannya berdasarkan ketentuan Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan memberitahukan hasil penyidikannya kepada penuntut umum sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau berkoordinasi dengan penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. Menurut para Pemohon, hal ini berbeda dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil di OJK karena tidak ada norma dalam UU 21/2011 yang mengatur bahwa Pegawai Negeri Sipil dalam menjalankan kewenangan penyidikannya harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau setidaknya menyatakan "penyidik pejabat pegawai negeri sipil berkoordinasi dengan penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia". Selain itu UU 21/2011 juga tidak mengatur jenis kejahatan yang menjadi ruang lingkup wewenang penyidik OJK yang berstatus Pegawai Negeri Sipil.
Bahwa, menurut para Pemohon, berdasarkan Pasal 49 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU 21/2011, status Penyidik yang ada di OJK adalah PNS. Jika dilihat dari filosofisnya keberadaan Penyidik PNS berasal dari PNS yang ada di dalam institusi suatu lembaga negara tersebut yang kemudian diberikan 230 pendidikan secara khusus mengenai ilmu penyidikan untuk menjadi seorang penyidik. Namun dalam lembaga OJK, status Pegawai OJK bukanlah PNS. Oleh karena itu Penyidik PNS yang ada di lembaga OJK diambil dari institusi- institusi yang ruang lingkupnya terkait di bidang sektor Jasa Keuangan sehingga hal ini, menurut para Pemohon, menimbulkan ketidakpastian hukum.
Bahwa, menurut para Pemohon, ketika wewenang "Penyidikan" yang merupakan suatu tindakan pro justitia diberikan kepada financial supervisiory institution, dalam hal ini __ OJK, menimbulkan ketidaklaziman. Karena, dengan merujuk pada lembaga sejenis di beberapa negara berkembang ataupun negara maju, tidak ada satupun lembaga sejenis OJK yang diberikan wewenang "penyidikan".
Bahwa, menurut para Pemohon, dengan mengutip pertimbangan hukum Paragraf [3.15] angka 2, halaman 142 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015 yang menguji Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang menyatakan jika melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya dapat dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh Undang- Undang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur dengan Undang- Undang kecuali dalam hal tertangkap tangan", para Pemohon membandingkannya dengan hukum acara penyidikan di lembaga OJK, di mana wewenang penyidikan tidak diatur secara rinci di dalam undang-undang melainkan diatur dalam peraturan OJK. Menurut para Pemohon, hal ini bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU- XIII/2015.
Berdasarkan seluruh alasan-alasan tersebut di atas para Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 1 angka 1 terhadap frasa "dan Penyidikan" dan Pasal 9 huruf c terhadap kata "Penyidikan" UU 21/2011 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. [3.8] Menimbang bahwa untuk mendukung dalil permohonannya, para Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang masing-masing diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-18 dan mengajukan 4 (empat) orang Ahli yaitu Prof. Drs. Ratno Lukito, MA., DCL. dan Prof. Dr. Nindyo Pramono, S.H., M.S., 231 yang didengarkan keterangannya pada persidangan tanggal 18 Februari 2019 dan Ahli Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, S.H., M.Hum (Eddy O.S Hiariej) dan Dr. Bernard L. Tanya, S.H.,M.H., yang didengarkan keterangannya pada persidangan tanggal 28 Februari 2019 (keterangan selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara); [3.9] Menimbang bahwa Mahkamah telah mendengar keterangan Presiden dalam sidang tanggal 7 Februari 2019 dan membaca keterangan tertulis dari yang bersangkutan. Mahkamah telah pula mendengar keterangan 4 (empat) orang ahli yaitu Ahli Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H. dan Prof. H. Atip Latipulhayat, LLM., Ph.D yang didengarkan keterangannya pada persidangan tanggal 1 April 2019 dan Prof. Denny Indrayana, S.H., LL.M.,Ph.D serta Dr. Chairul Huda, S.H., M.H., yang didengar keterangannya pada persidangan tanggal 12 Maret 2019 dan 2 (dua) orang saksi yaitu Kombespol Dr. Warasman Marbun, S. H. dan Johansyah yang didengarkan keterangannya pada persidangan tanggal 9 April 2019 (keterangan selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara); [3.10] Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat telah menyampaikan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 26 Februari 2019 (keterangan selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara); [3.11] Menimbang bahwa OJK telah menyampaikan keterangan tertulis dari OJK diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 15 Februari 2019 dan Pihak Terkait mengajukan 3 orang ahli yaitu Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M. Hum, Dr. Yunus Husein, S.H., LL.M, dan Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LL.M yang didengarkan keterangannya pada persidangan tanggal 23 April 2019 dan 2 orang saksi yaitu I Gusti Agung Rai Wirajaya, S.E., M.M., dan I Gede Hartadi Kurniawan, S.E. yang didengarkan keterangannya pada persidangan tanggal 8 Mei 2019 (keterangan selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara); [3.12] Menimbang bahwa setelah memeriksa dengan saksama dalil-dalil permohonan para Pemohon, bukti-bukti yang diajukan Pemohon dan mendengar keterangan pihak-pihak, saksi serta ahli yang diajukan sebagaimana disebutkan di atas, sebelum menilai konstitusionalitas Pasal 1 angka 1 UU 21/2011 terlebih 232 dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan permohonan para Pemohon berkaitan dengan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK. Bahwa terhadap persoalan tersebut di atas, setelah Mahkamah mencermati dalil permohonan para Pemohon, yang menyatakan pengujian norma a quo tidak nebis in idem karena para Pemohon menguji frasa yang berbeda Mahkamah berpendapat setelah dicermati telah ternyata meskipun pasal yang diujikan sama namun terhadap permohonan a quo hanya terbatas pada frasa “dan Penyidikan” serta menggunakan dasar pengujian yang berbeda. Sehingga dengan demikian, permohonan para Pemohon tidak tunduk pada ketentuan Pasal 60 UU MK dan oleh karenanya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan lebih lanjut. [3.13] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan dengan menyatakan OJK adalah lembaga penegak hukum dalam konteks hukum administratif negara bukan lembaga penegak hukum dalam konteks pro Justitia sebagaimana diatur dalam KUHAP seperti halnya kewenangan penyelidikan yang dimiliki oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah memandang penting untuk mengaitkan permohonan para Pemohon a quo dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XII/2014 yang menegaskan bahwa OJK adalah lembaga negara independen. Namun demikian, sebelum lebih jauh membahas kewenangan penyidikan yang dimiliki OJK, Mahkamah terlebih dahulu perlu menegaskan arti penting kehadiran OJK dalam desain besar perekonomian negara terutama dalam mewujudkan tujuan bernegara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Bahwa terkait dengan hal di atas, Konsiderans “Menimbang” huruf a UU 21/2011 menyatakan bahwa untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, diperlukan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Berkenaan dengan dasar pemikiran tersebut, menurut Mahkamah, seharusnya kewenangan yang dimiliki oleh OJK dimaksudkan untuk mencapai tujuan mewujudkan perekonomian nasional. Sehingga untuk mencapai tujuan 233 dimaksud diperlukan penegakan hukum, baik berupa hukum administrasi maupun penegakan hukum lainnya termasuk hukum pidana. Oleh karena itu sebelum sampai pada kesimpulan apakah OJK merupakan lembaga penegak hukum dalam konteks pro justitia ataukah penegakan hukum dalam konteks administratif semata maka Mahkamah perlu mempertimbangkan hal berikut: [3.13.1] Bahwa dalam sistem penegakan hukum di Indonesia, kewenangan untuk melakukan penyidikan tidak hanya dimiliki oleh lembaga penegak hukum saja tetapi juga dibuka kemungkinan dilakukan oleh lembaga-lembaga lain yang diberi kewenangan khusus untuk itu, sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon, misalnya kewenangan penyidikan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasal Modal. Artinya, dengan bukti tersebut, kewenangan penyidikan sangat mungkin diberikan kepada lembaga lain di luar lembaga penegak hukum sepanjang tidak bertentangan dengan kewenangan lembaga penegak hukum lainnya . [3.13.2] Bahwa berkenaan dengan pertimbangan di atas, apabila diletakkan dalam bingkai integrated criminal justice system harus ada keterpaduan penyidik bidang tindak pidana lainnya dengan penyidik Kepolisian. Keterpaduan demikian penting dilakukan agar tidak terjadi tumpang-tindih dalam penegakan hukum terutama dalam penegakan hukum pidana. Dalam konteks itu, setiap lembaga baik itu Kepolisian dan lembaga lain yang mempunyai kewenangan penyidikan masing- masing memiliki tugas dan wewenang yang berbeda sesuai dengan bidang kekhususan yang diberikan oleh undang-undang. Artinya sekalipun undang- undang dapat memberikan kewenangan penyidikan kepada lembaga negara lain, kewenangan dimaksud tidak boleh mengabaikan prinsip integrated criminal justice system . Prinsip demikian dilakukan dengan kewajiban membangun koordinasi antara penyidik lembaga negara yang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan sesuai dengan tugas dan wewenang masing-masing dengan penyidik Kepolisian. 234 [3.14] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan sebagaimana dikemukakan dalam Paragraf [3.13] di atas, sebelum lebih jauh menilai konstitusionalitas kewenangan penyidikan yang dimiliki oleh OJK penting bagi Mahkamah mempertimbangkan apakah kewenangan penyidikan yang dimiliki OJK dapat dibenarkan ataukah sebaliknya. Bahwa kewenangan OJK yang diberikan undang-undang tidak dapat dilepaskan dari politik hukum untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil. Oleh karenanya diperlukan piranti hukum yang memberikan kewenangan tertentu sehingga kegiatan dalam sektor jasa keuangan mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, serta mampu pula melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Berkenaan dengan dasar pemikiran tersebut, menurut Mahkamah, kewenangan penyidikan yang dimiliki OJK adalah merupakan bagian dari upaya mewujudkan tujuan perekonomian nasional. Artinya, penyidikan yang diberikan kepada OJK tidak dapat dilepaskan dari pencapaian tujuan dimaksud. Bahwa namun demikian apabila kewenangan penyidikan yang diberikan kepada OJK dilaksanakan tanpa mempersyaratkan koordinasi dengan penyidik Kepolisian, apakah berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan sehingga bertentangan dengan prinsip integrated criminal justice system , Mahkamah akan mempertimbangkan lebih lanjut. [3.15] Menimbang bahwa apabila diletakkan dalam perspektif kewenangan penyidikan yang dimiliki oleh OJK sebagai salah satu lembaga lain yang memiliki wewenang penyidikan selain penyidikan yang dimiliki oleh lembaga Kepolisian, kewenangan demikian dapat dibenarkan. Namun, jikalau kewenangan penyidikan yang dimiliki oleh OJK dilaksanakan tanpa koordinasi dengan penyidik Kepolisian sebagaimana dipersyaratkan terhadap penyidik lembaga lain selain Kepolisian berpotensi adanya kesewenang-wenangan dan tumpang-tindih dalam penegakan hukum pidana yang terpadu. Oleh karena itu, untuk menghindari potensi tersebut, kewajiban membangun koordinasi dengan penyidik Kepolisian juga merupakan kewajiban yang melekat pada penyidik OJK. Dasar pertimbangan demikian tidak terlepas dari semangat membangun sistem penegakan hukum yang terintegrasi sehingga tumpang-tindih kewenangan yang dapat berdampak adanya tindakan 235 kesewenang-wenangan oleh aparat penegak hukum maupun pejabat penyidik di masing-masing lembaga dalam proses penegakan hukum dapat dihindari. [3.16] Menimbang bahwa terhadap argumentasi para Pemohon bahwa kewenangan OJK dalam hal penyidikan dapat mengaburkan Integrated Criminal Justice System karena __ UU 21/2011 tidak mengatur jenis tindak Pidana dalam sektor Jasa Keuangan perbankan ataupun non-perbankan yang menjadi wewenang Penyidik lembaga OJK, Mahkamah berpendapat, tanpa dikaitkan dengan jenis tindak pidananya, kewenangan penyidikan OJK dapat dibenarkan dan adalah konstitusional sepanjang pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik Kepolisian. Dengan kata lain, terlepas dari jenis-jenis tindak pidana dalam sektor jasa keuangan yang sangat beragam, dengan mengingat tujuan dibentuknya OJK, Mahkamah memandang kewenangan penyidikan OJK adalah konstitusional. Artinya, telah ternyata bahwa kewenangan OJK bukanlah semata- mata dalam konteks penegakan hukum administratif semata tetapi dalam batas- batas dan syarat-syarat tertentu juga mencakup kewenangan penegakan hukum yang bersifat pro justitia, sebagaimana telah dipertimbangkan di atas. Tegasnya, demi kepastian hukum, koordinasi dengan penyidik kepolisian sebagaimana dimaksudkan di atas dilakukan sejak diterbitkannya surat pemberitahuan dimulainya penyidikan, pelaksanaan penyidikan, sampai dengan selesainya pemberkasan sebelum pelimpahan berkas perkara kepada jaksa penuntut umum. [3.17] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, di mana Mahkamah telah berkesimpulan bahwa kewenangan penyidikan OJK yang merupakan inti dari dalil para Pemohon adalah konstitusional sepanjang dikoordinasikan dengan penyidik Kepolisian, maka dalil para Pemohon selain dan selebihnya oleh karena tidak relevan, sehingga tidak dipertimbangkan lebih lanjut. [3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat, dalil permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum. 236 4. KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan _a quo; _ [4.2] Pemohon I sampai dengan Pemohon IV tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Pemohon V dan Pemohon VI memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.4] Pokok permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
AMAR PUTUSAN Mengadili:
Menyatakan permohonan Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, dan Pemohon IV tidak dapat diterima.
Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya. Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Arief Hidayat, Saldi Isra, Manahan M.P. Sitompul, Enny Nurbaningsih, I Dewa Gede Palguna, Suhartoyo, dan Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Senin, tanggal dua puluh lima , bulan November, tahun dua ribu sembilan belas , yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi 237 terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal delapan belas , bulan Desember , tahun dua ribu sembilan belas , selesai diucapkan pukul 12.23 WIB , oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Aswanto, Arief Hidayat, Saldi Isra, Manahan M.P. Sitompul, Enny Nurbaningsih, I Dewa Gede Palguna, Suhartoyo, dan Wahiduddin Adams, masing- masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Ria Indriyani sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon, Presiden atau yang mewakili, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan Pihak Terkait. KETUA, ttd. Anwar Usman ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Aswanto ttd. Arief Hidayat ttd. Saldi Isra ttd. Manahan MP Sitompul ttd. Enny Nurbaningsih ttd. I Dewa Gede Palguna ttd. Suhartoyo ttd. Wahiduddin Adams PANITERA PENGGANTI, ttd. Ria Indriyani
(1) Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang dipekerjakan di OJK hanya dapat ditarik dengan pemberitahuan paling singkat 6 (enam) bulan sebelum penarikan dan tidak sedang menangani perkara. (2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil diharuskan bekerja sama dengan instansi terkait. 33 46. Bahwa apabila kita melihat rumusan Pasal 27 ayat (2) OJK, terhadap kata "dapat" secara gramatikal bukan merupakan unsur yang mutlak "harus ada". Artinya sifatnya temporary . Kemudian dalam Pasal 51 ayat (1) terdapat frasa "yang dipekerjakan". Artinya keberadaan Penyidik PNS di Lembaga OJK merupakan perbantuan dari Penyidik PNS di instansi yang berkaitan. Hal tentunya bertentangan dengan asas " Supremacy of the law ", dimana hukum seharusnya disangga, ditegakkan oleh penegak hukum dalam suatu integrated criminal justice system dan tidak didasarkan pada kewenangan temporary pada suatu masa atau rentang waktu tertentu saja. Bahwa berdasarkan seluruh uraian di atas maka Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK terhadap frasa "Penyidikan", yang memberikan wewenang penyidikan bertentangan dengan Asas " Due Process of Law " dalam Sistem Penegakan Hukum Pidana (Criminal Justice System) sebagai jaminan yang harus ada dalam Negara Hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, serta tidak memberikan kepastian hukum yang adil bagi seseorang yang t disangka melakukan tindak pidana disektor jasa keuangan saat menjalankan proses penyidikan yang dilakukan oleh lembaga OJK dimana seharusnya setiap warga Negara mendapatkan jaminan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. lV. PETITUM Berdasarkan seluruh alasan-alasan Permohonan para pemohon tersebut diatas, mohon kiranya Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi berkenan memutus dengan amar putusan: Menyatakan:
Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan Pasal 1 angka 1 terhadap kata " dan Penyidikan " Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Menyatakan Pasal 9 huruf c terhadap kata " Penyidikan " Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara 34 Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau, apabila Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). [2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalilnya, Pemohon mengajukan bukti surat atau tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-14 sebagai berikut:
Bukti P- 1 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan;
Bukti P- 2 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Bukti P- 3 : Fotokopi KTP Pemohon I;
Bukti P- 4 : Fotokopi Nomor Induk Dosen Nasional Pemohon I;
Bukti P- 5 : Fotokopi KTA Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi (MAHUPIKI) Pemohon I;
Bukti P- 6 : Fotokopi KTA PERADI Pemohon I;
Bukti P- 7 : Fotokopi Berita Acara Sumpah Pemohon I;
Bukti P- 8 : Fotokopi KTP Pemohon II;
Bukti P- 9 : Fotokopi Nomor Induk Dosen Nasional Pemohon II;
Bukti P- 10 : Fotokopi KTP Pemohon III;
Bukti P- 11 : Fotokopi Nomor Induk Dosen Nasional Pemohon III;
Bukti P- 12 : Fotokopi KTA Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia (APPTHI) Pemohon III;
Bukti P- 13 : Fotokopi KTP Pemohon IV;
Bukti P- 14 : Fotokopi Nomor Induk Dosen Nasional Pemohon IV;
Bukti P- 15 : Fotokopi KTP Pemohon V;
Bukti P- 16 : Fotokopi Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan yang membuktikan Pemohon V adalah Karyawan di PT. SNP;
Bukti P- 17 : Fotokopi KTP Pemohon VI;
Bukti P- 18 : Fotokopi Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan yang membuktikan Pemohon V adalah Karyawan di PT. SNP. 35 Selain itu, Para Pemohon Mengajukan Ahli Prof. Drs. Ratno Lukito, MA., DCL. dan Prof. Dr. Nindyo Pramono, S.H., M.S . yang didengarkan keterangannya pada persidangan tanggal 18 Februari 2019 dan Ahli Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, S.H., M.Hum ( Eddy O.S Hiariej) dan Dr. Bernard L. Tanya, S.H., M.H yang didengarkan keterangannya pada persidangan tanggal 28 Februari 2019 dan pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut:
Prof. Drs. Ratno Lukito, MA., DCL. Ahli adalah seorang ahli Perbandingan Hukum ( Comparative Law ), ahli menguraikan beberapa hal diantaranya:
Dalam pertimbangan historisnya, UU OJK dibentuk karena kesadaran akan pentingnya lembaga pengawasan sektor jasa keuangan di Tanah Air yang mampu untuk memastikan berjalannya lembaga perekonomian yang sehat dan kredibel. Utamanya dalam rangka menghadapi krisis ekonomi dunia di akhir 1990an, lembaga pengawasan jasa keuangan tentu sangat diharapkan kehadirannya untuk memastikan kestabilan perekonomian di suatu negara. Martinez dan Rose (2003) dalam penelitiannya di 14 negara menyebutkan bahwa sejak akhir 2001 jumlah usaha jasa keuangan dalam sektor-sektor perbankan naik drastis (71%), sedangkan industri asuransi dan sekuritas masing-masing naik di angka 70% dan 63%. Kecenderungan kenaikan bisnis jasa keuangan ini juga dialami di negara- negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Hidayat (2003) mencatat bahwa di akhir 2003 diestimasikan terdapat 10 bank di Indonesia yang menawarkan jasa asuransi ( bancassurance ) dengan potensi pasar sekitar 14 triliun rupiah, dan investasi dalam bentuk reksadana (mutual funds) ditawarkan tidak kurang oleh 15 lembaga perbankan dengan estimasi nilai sekitar 58 triliun rupiah. Kondisi ini mengakibatkan munculnya kebutuhan akan sistem regulasi dan pengawasan terhadap sektor keuangan yang lebih efektif lagi disesuaikan dengan kebutuhan akan jasa keuangan yang terus meningkat. Dalam kajian-kajian sebelumnya (Taylor dan Fleming, 1999; Mwend dan Fleming, 2001; Claessens, 2002) telah dibuktikan bahwa sistem pengawasan lembaga keuangan yang tidak terintergrasi akan cenderung lemah untuk mengawasi berbagai macam penyelewengan dalam bisnis keuangan 36 karena banyaknya faktor risiko yang muncul di dalamnya. Hal inilah yang mendorong kemunculan rejim pembentuk regulasi dan pengawasan terhadap lembaga perbankan dan sektor-sektor jasa keuangan lainnya yang lebih terintegratif lagi. Martinez dan Rose menyebutkan bahwa di akhir 2002 telah ada setidaknya 46 negara yang mengadopsi model pengawasan terhadap jasa keuangan yang terpusat (integrated single supervisory agency). Tradisi pengawasan seperti inilah yang sejatinya sudah diadopsi oleh negara-negara Scandinavian (Denmark, Norwegia dan Swedia) sejak akhir tahun 1980an. Inggris dan Korea Selatan kemudian mengikuti langkah ini satu dekade kemudian, 1997, dengan membentuk lembaga sejenis meski dengan nama yang berbeda ( Financial Supervisory Authority di Inggris dan Financial Supervisory Service di Korea Selatan). Negara-negara lain pun, seperti Jerman, Estonia, Irlandia dan Malta juga menerima model integratif ini dan menerapkannya pada beberapa tahun kemudian. Secara berurut negara-negara yang tercatat sejak akhir 1980an sudah mengadopsi sistem pengawasan jasa keuangan yang terpadu itu diantaranya: Norwegia pada 1986, Kanada 1987, Denmark 1988, Swedia 1991, Jepang 2000, Inggris 2001, Jerman dan Austria 2002 dan Irlandia 2003. Tren integrated financial supervisory di atas juga beresonansi ke Indonesia sejalan dengan peningkatan kuantitas lembaga keuangan paska kejatuhan ekonomi negeri ini pada akhir 1997. Pada saat itu, Indonesia masih membagi kekuasaan pengaturan dan supervisi terhadap lembaga keuangan kepada tiga institusi besar. Sesuai dengan UU No. 23 Tahun 1999, Bank Indonesia (BI) memiliki otoritas pengaturan (regulative) dan pengawasan (supervisory) terhadap lembaga perbankan. Kementerian Keuangan berkewajiban melakukan pengawasan terhadap lembaga asuransi, sedangkan Bapepam terhadap lembaga pasar modal (the stock exchange). Dengan kata lain, Indonesia hingga tahun 2000an masih mengikuti model pengawasan terhadap lembaga keuangan yang tersebar (dispersed). Pendekatan seperti ini kemudian berubah ketika pada tahun 2004 muncul peraturan baru dengan UU No. 3 Tahun 2004 yang merupakan perubahan dari UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank 37 Indonesia. UU tahun 1999 sejatinya sudah mengamanatkan pada pasal 34 dan 35 nya bahwa tugas pengawasan bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang. Artinya, bahwa lembaga pengawasan terhadap jasa keuangan tidak akan dilakukan oleh BI namun oleh lembaga independen. Dan karenanya sejak 1999 pemerintah Indonesia sudah menginginkan untuk mengikuti model yang telah dilakukan oleh Korea Selatan dan Inggris yang menciptakan lembaga pengawasan jasa keuangan yang terpisah dari lembaga perbankan. Menariknya, UU No. 3 Tahun 2004 kemudian mengalami beberapa kali perubahan, yaitu melalui UU No. 2 Tahun 2008 dan UU No. 6 Tahun 2009. Dan akhirnya terbentuk lembaga pengawasan terhadap sektor jasa keuangan itu melalui UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang menjadikan lembaga OJK ini sebagai lembaga yang memiliki otoritas penuh terhadap kegiatan pengawasan maupun pengaturan terhadap jasa keuangan secara terpadu. Pembentukan lembaga pengawasan jasa keuangan yang terpadu atau integratif ini jelas mengikuti pola integrated financial supervisory model yang sekarang ini semakin menjadi mainstream dalam lembaga keuangan di berbagai negara di seluruh dunia.
Melalui lembaga OJK, model terpadu dalam pengawasan dan pengaturan jasa keuangan itu tergambar dengan jelas, utamanya pada Pasal 1 UU OJK yang menyebutkan bahwa: “Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang ini.” Menurut para ahli, pembentukan lembaga pengawasan dan pengaturan sektor jasa keuangan yang terpadu sejatinya didasari atas suatu pertimbangan manfaat, utamanya yaitu: untuk meningkatkan efektifitas monitoring dan pengaturan berbagai lembaga keuangan yang ada, disamping untuk mengejar nilai ekonomis dari lembaga pengawas jasa keuangan tersebut (Taylor dan Fleming, 1999). Lebih jauh menurut 38 Martinez dan Rose (2003), integrative model juga memberikan dampak positif yaitu bahwa tingkat akuntabilitas lembaga keuangan dapat terjaga dikala terjadi kegagalan pada aspek regulasi, disamping tentu saja harmonisasi antara lembaga jasa keuangan akan lebih mudah tercapai. Dan ini pula yang sejatinya ingin dicapai dalam pembentukan lembaga OJK melalui produk UU No. 21 Tahun 2011 tersebut. Efektifitas pengawasan dan pengaturan berbagai jasa keuangan akan diharapkan semakin meningkat di samping faktor biaya yang dapat ditekan. Dengan sistem yang terpadu maka harmonisasi antar lembaga penyedia jasa keuangan juga akan semakin mudah dilakukan. Namun demikian, model integratif tersebut juga memiliki potensi kelemahan. Menurut Abrams dan Taylor (2000), keefektifan lembaga pengawas jasa keuangan yang integratif sangat tergantung kepada lembaga-lembaga pengawas yang ada sebelumnya. Jika lembaga pengawas dan regulator sebelumnya lemah maka pengintegrasian itu tidak akan menghasilkan prospek lembaga pengawas yang kuat dengan segera. Disitulah mengapa Martinez dan Rose menyarankan untuk meningkatkan kestabilan lembaga-lembaga pengawas dan regulator jasa keuangan yang telah ada terlebih dahulu sebelum memikirkan pengintegrasiannya. Pengalaman di beberapa negara, pengadopsian lembaga pengawas jasa keuangan tersebut efektivitas pengawasannya tidak dengan mudah ditingkatkan, karena pada kenyataannya berbagai faktor non-teknis sangat mempengaruhi peningkatan mutu dan efektivitas lembaga tersebut. Di Indonesia, langkah integrasi semua lembaga pengawas dan regulator jasa keuangan sepertinya dilakukan dengan serta merta dan tanpa memperhatikan kondisi sosial, politik dan hukum yang melingkupi persoalan ini. Indonesia agaknya mengikuti langkah Korea Selatan dan Inggris. Korea Selatan, misalnya, sejak 1997 mengambil langkah penyatuan lembaga-lembaga tersebut dengan agak revolusioner, yaitu hanya dalam proses dua tahun. Pendekatan “Big Bang” ini dilakukan pemerintah Korea Selatan untuk menghadapi krisis ekonomi 1997, yang kemudian pada 1 Januari 1999, empat lembaga: The Office Bank of Supervision, the Securities Supervisory Board, the Insurance Supervisory 39 Board dan the Non-Bank Supervisory Board disatukan dalam lembaga baru the Financial Supervisory Service . Pendekatan seperti ini tidak bersifat gradual seperti yang dilakukan oleh negara-negara Skandinavia seperti Denmark, Norwegia dan Swedia (Reza Y. Siregar and James E. Williams, 2004). Namun demikian, perlu dicatat bahwa langkah penyatuan lembaga- lembaga pengawasan dan pengaturan jasa keuangan yang dilakukan di Indonesia agaknya mempunyai karakter dan pemahaman yang berbeda bila dibandingkan dengan makna penyatuan di negara-negara Barat maupun Asia. Jika di negara-negara lain, pengintegrasian itu dilakukan umumnya untuk menyatukan lembaga-lembaga pengawasan terhadap jasa keuangan sektor perbankan dengan pengawasan sektor-sektor industri keuangan lainnya, seperti sekuritas dan asuransi (dengan istilah Anthony Amicelle, “ professional of finance ”), pengintegrasian di Indonesia di sisi lain lebih ditekankan pada hal teknis pengawasan dan pengaturan (“ professional of security ”). Kompetensi OJK untuk melakukan pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan terhadap semua jasa keuangan namun di sisi lain masih menyerahkan hal-hal yang berhubungan dengan kebijakan moneter (yaitu menjaga kestabilan nilai rupiah) kepada Bank Indonesia merupakan bukti nyata bahwa model integrasi yang diambil lebih ditekankan pada aspek keamanan ( security ) dari industri keuangan tersebut ketimbang aspek finance-nya. Penekanan yang berlebihan pada aspek security ini tampak lebih tegas ketika kewenangan OJK tidak melulu hanya pada aspek pengaturan, pengawasan dan pemeriksaan (penyelidikan) namun juga dalam hal penyidikan. Pemberian kewenangan dalam hal penyidikan seperti ini jelas tidak lazim bila dibandingkan dengan model financial supervisory system yang berkembang di dunia, baik di negara yang memilih model integrated maupun non-integrated . Dengan kewenangan penyidikan tersebut maka OJK tidak hanya berperan sebagai lembaga pengawasan dan pengaturan lembaga jasa keuangan yang bersifat administratif saja namun juga bersifat quasi-judicial , dalam arti menangani aspek pro-justitia dalam kasus-kasus yang berhubungan dengan kejahatan keuangan. Di negara- 40 negara dengan sistem pengawasan yang tidak terintegrasi, seperti Australia dan Amerika Serikat misalnya, bidang penyidikan dan penyelidikan terhadap kasus-kasus kriminal keuangan ditangani secara khusus dalam lembaga yang fokus dalam persoalan kejahatan keuangan, seperti pencucian uang, pendanaan terorisme, ketidakwajaran dalam perdagangan valuta asing, dan bentuk-bentuk kejahatan keuangan lainnya. Di Australia, lembaga ini disebut “ The Royal Commission into Misconduct in the Banking, Superannuation and Financial Services Industry ” dan di Amerika Serikat dikenal dengan “ Financial Crimes Enforcement Network (FinCEN) ”. Dengan kata lain, lembaga pengawasan keuangan tidak menangani permasalahan kejahatan keuangan ( financial crimes ) karena memang lebih konsern dengan pengawasan administratifnya. Di negara-negara dengan model integrated financial supervisory, misal di Jepang dan Korea Selatan, karena penyatuan lembaga itu lebih ditekankan pada subyek jenis jasa keuangannya (“ professional of finance ”) --utamanya tiga besar jenis jasa yaitu perbankan, asuransi dan sekuritas--, maka pengaturan dan pengawasan yang lebih bersifat administratif dipisahkan dengan aspek-aspek pro-justitia yang lebih berhubungan dengan aspek “ professional of security ”. Di Jepang, sistem pengawasan yang integratif terhadap jasa keuangan diwujudkan dalam satu lembaga induk “ Financial Service Agency ”, namun untuk menangani kasus-kasus kriminal keuangan secara khusus ditangani dalam lembaga terpisah yaitu “ Securities and Exchange Surveillance Commission ” ( shouken torihikitou kanshi iinkai , SESC). Lembaga ini didirikan pada 20 Juli 1992 untuk menangani kasus-kasus skandal sekuritas maupun keuangan pada umumnya. Bahkan pada 1998, lembaga ini dipisahkan dari kementerian keuangan. Namun demikian, lembaga ini tidak punya hak untuk memberikan hukuman kepada pelanggar undang-undang atau peraturan yang berhubungan dengan keuangan, namun sekedar memberikan rekomendasi dari hasil penyelidikan dan penyidikannya ( enforcement- investigation ) kepada lembaga hukum terkait. Di Korea Selatan, sistem penyatuan diwujudkan dalam pembentukan dua lembaga utama yaitu 41 “ Financial Services Commission ” (FSC) dan “Financial Supervisory Services” (FSS). FSC merupakan lembaga tertinggi pembuat aturan dan kebijakan ( policy-making authority ) yang berhubungan dengan keuangan, sedang FSS lebih merupakan lembaga pengawasan (supervisi) terhadap semua lembaga keuangan yang ada di seluruh negeri. Sebagai lembaga pengawasan dan pengujian, FSS hanya memiliki 5 tugas: menstabilkan sistem keuangan, melindungi pengguna jasa keuangan, melindungi masyarakat dengan ekonomi rendah dan perusahaan menengah ke bawah, melakukan inovasi terhadap sistem pengawasan, dan melakukan komunikasi yang open-minded dengan para pelaku usaha. Dengan demikian, tampak sekali bahwa lembaga pengawasan jasa keuangan tersebut sama sekali tidak menangani permasalahan-permasalahan pro- justitia yang berhubungan dengan tindak kriminal keuangan.
Penjelasan di atas pada dasarnya menegaskan bahwa secara komparatif, kebijakan pemberian wewenang penyidikan kepada OJK sebagai satu lembaga regulatif dan pengawasan terhadap berbagai bentuk jasa keuangan di Tanah Air adalah tidak lazim. Ketidak-laziman itu karena UU OJK yang mencampur-adukkan antara hak pengawasan yang sifatnya administratif (pemeriksaan atau penyelidikan) dengan pengawasan di bidang law enforcement yang pro-justitia oriented (yaitu kegiatan penyidikan) jelas tidak sejalan dengan skema dan model financial supervisory yang diterapkan di negara-negara lain. Sebagaimana yang ditemui pada lembaga-lembaga pengawasan jasa keuangan di hampir seluruh negara di dunia, fungsi financial supervisory system yang diciptakan berperan sebagai lembaga penegak hukum dalam konteks yang administratif saja, karenanya bentuk pengaturan dan sangsinya pun lebih bersifat administratif. Pada negara dengan model lembaga pengawasan yang integratif, penanganan terhadap kejahatan keuangan ditangani oleh lembaga penegakan hukum yang reguler (kepolisian dan lembaga peradilan). Dan untuk itu, lembaga pengawas keuangan umumnya berperan untuk memberikan rekomendasi dan laporan hasil investigasi atau pemeriksaan terhadap kasus yang bersangkutan. Sedangkan pada negara dengan model lembaga pengawas jasa keuangan yang terpisah- 42 pisah, fungsi penegakan hukum terhadap kasus kriminal keuangan itu dilakukan oleh lembaga khusus yang fokus kepada kasus tindak pidana keuangan. Lembaga-lembaga sejenis FinCEN di Amerika Serikat didirikan untuk secara khusus menangani kasus pidana keuangan yang memang bersifat pro-justitia. Sedangkan lembaga pengawas jasa keuangan yang lainnya tidak memiliki hak untuk melakukan intervensi terhadap lembaga quasi-judicial tersebut karena hanya memiliki wilayah administratif saja. Ini berarti bahwa peran dan fungsi OJK sebagaimana yang diamanatkan oleh UU No. 21 Tahun 2011 tidak mengikuti frame dan pendekatan model financial supervisory terhadap lembaga jasa keuangan yang berlaku secara jamak di dunia. Sebagaimana yang dapat dilihat dalam beberapa poin berikut: a) Integrated financial supervisiory model yang dilakukan oleh hampir semua negara di dunia lebih menekankan pada kebersatuan dalam hal jenis jasa keuangannya (“ professional of finance ”), dimana di dalamnya disatukan semua jenis jasa keuangan yang ada, baik yang masuk dalam kategori perbankan, asuransi hingga sekuritas. Di sisi lain, OJK lebih cenderung pada penyatuan fungsi pengawasannya (“ professional of security ”) sehingga aspek pengawasan administratif dan non-judisial disatukan dengan fungsi pengawasan dan investigasi yang judisial ( pro-justitia ), dimana keduanya ditangani oleh satu lembaga terpadu, yaitu OJK tersebut. Karena itu, kita melihat peran OJK yang menyeluruh dalam hal pengawasan dan pengaturan yaitu pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan dapat menimbulkan situasi kekacauan karena dimungkinkan munculnya problem overlaping antara lembaga penegakan hukum yang reguler sifatnya dengan lembaga penegakan hukum (penyidikan) yang ada dalam skop OJK. b) Ditinjau dari aspek wewenang penyidikan, OJK dapat dikatakan menyelisihi kebiasaan model manajemen lembaga jasa keuangan yang berlaku secara umum juga. Pada umumnya, negara-negara di dunia tidak menyatukan antara fungsi pengawasan yang administrative-oriented dengan yang pro-justitia-oriented . Baik negara 43 yang menggunakan model integratif maupun yang tersebar (dispersed) dalam penanganan lembaga jasa keuangannya, mereka tidak mencampurkan antara kedua fungsi pengawasan yang berbeda karakternya tersebut. Penyelewengan yang terjadi dalam lembaga jasa keuangan yang bersifat administratif ditangani oleh lembaga tersendiri dan terpisah dari lembaga pengawasan yang khusus menangani tindakan-tindakan kriminal keuangan yang memerlukan penanganan yang pro-justitia . Dengan argumen di atas maka dapat disimpulkan bahwa wewenang penyidikan yang dimiliki oleh OJK bukanlah merupakan suatu kelaziman dan karenanya lebih tepat untuk dicabut. Dengan pencabutan wewenang penyidikan tersebut maka OJK dapat memfokuskan diri pada peran dan fungsinya sebagai lembaga pengaturan dan pengawasan terhadap jasa keuangan yang lebih bersifat administratif. Sebagaimana yang berlaku di negara-negara lain, penanganan penyidikan dan penegakan hukum terhadap berbagai kasus kejahatan keuangan yang dilakukan dalam lembaga jasa keuangan dapat diserahkan kepada lembaga khusus yang secara ad-hoc diciptakan untuk menangani kasus itu atau oleh lembaga penegak hukum yang reguler.
Prof. Dr. Nindyo Pramono, S.H., M.S. Bahwa jika mempelajari latar belakang lahirnya UU OJK, dapat diketahui bahwa pertimbangan pembentukan UU a quo adalah:
untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, diperlukan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan, stabil, mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.
Memenuhi amanat dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia bahwa tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang- undang. 44 3. Hasil kompromi untuk menghindari jalan buntu pembahasan undang- undang tentang Bank Indonesia oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) waktu itu. Pada awal pemerintahan Presiden Habibie, pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Bank Indonesia yang memberikan independensi kepada bank sentral tersebut. RUU itu di samping memberikan independensi tetapi juga mengeluarkan fungsi pengawasan perbankan dari Bank Indonesia (BI) dan diberikan kepada OJK. Ide pemisahan fungsi pengawasan dari bank sentral ini datang dari Helmut Schlesinger, mantan Gubernur Bundesbank (Bank Sentral Jerman) yang pada waktu itu bertindak sebagai konsultan dalam penyusunan RUU yang kemudian menjadi Undang-Undang No. 23 Tahun 1999. Bahwa secara teoritis, mengacu kepada fungsi ekonomis, bank adalah lembaga yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perannya sebagai “ financial intermediary ” atas jasa transaksi kepada konsumen dan masyarakat. Pendekatan fungsi ekonomis ini yang dianggap paling memuaskan untuk menjelaskan fungsi lembaga perbankan. Sebagai “ financial intermediary ” bank akan mengambil uang dari nasabah, mengumpulkan, menanamkan kembali dana tersebut pada perusahaan lain dalam bentuk: kredit, saham, go public ke pasar modal, dll. Bank adalah institusi yang berada diantara investor (nasabah awal) dengan investor (nasabah paling akhir/peminjam). Untuk menjamin fungsi intermediary itulah diperlukan adanya lembaga pengatur dan pengawas yang independen untuk melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa latar belakang pembentukan OJK adalah adanya kebutuhan lembaga pengatur dan pengawas sektor jasa keuangan baik perbankan maupun non perbankan yang mampu berfungsi sebagai pengatur dan pengawas yang mempunyai otoritas terhadap seluruh lembaga keuangan baik perbankan, non perbankan termasuk pasar modal, sehingga tidak ada tumpang tindih kewenangan. Bagi industri perbankan tujuan dari pengaturan dan pengawasan perbankan adalah menciptakan sistem perbankan yang sehat, yang memenuhi aspek sebagai lembaga yang dapat memelihara kepentingan masyarakat dengan baik, berkembang secara 45 wajar, dalam arti wajib memerhatikan faktor risiko seperti kemampuan, baik dari sistem, finansial, maupun sumber daya manusia. Dengan demikian terlihat bahwa desain lembaga OJK sebagai lembaga pengatur dan pengawas perbankan pada awalnya memang hanya mengemban dua fungsi utama yakni fungsi “Pengaturan” dan fungsi “Pengawasan”. Hal tersebut juga dapat kita lihat dalam Naskah Akademik Rancanan UU OJK, yang mengatakan: OJK harus memenuhi struktur yang memiliki unsur check and balances. Hal ini diwujudkan dengan melakukan pemisahan yang jelas antara fungsi pengaturan dan fungi pengawasan , dimana fungsi pengaturan dilakukan oleh Dewan Komisioner sedangkan fungsi pengawasan dilakukan masing-masing oleh Pengawas Perbankan, Pengawas Pasar Modal dan Pengawas Industri Keuangan Non Bank. Pemisahan antara Dewan Komisioner dan tiga pengawas ini dimaksudkan untuk:
menciptakan ketegasan pemisahan antara tanggung jawab regulator (Dewan Komisioner) dengan penanggung jawab supervisior (Kepala Eksekutif masing-masing Pengawas) 2) menghindari pemusatan kekuasaan yang terlalu besar pada satu pihak agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan 3) mendorong terjadinya pembagian kerja (division of labor) sehingga dari spesialisasi di masing-masing fungsi pengaturan dan pengawasan. (Lihat: Naskah Akademik Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Otoritas Jasa Keuangan , 2010, hal. 4). Bahwa terhadap fungsi pengawasan yang diberikan kepada lembaga OJK jika mengacu pada model pengawasan industri jasa keuangan di berbagai Negara yang diklasifikasikan dalam 3 kelompok besar, yaitu: ▪ Multi Supervisiory Model yaitu pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan seperti perbankan, pasar modal, asuransi, dan lembaga jasa keuangan lainnya diatur dan diawasi oleh masing-masing regulator yang berbeda model ini diterapkan oleh beberapa neagra seperti Amerika Serikat dan Republik Rakyat China , ▪ Twin Peak Supervisiory Model, yaitu pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan yang dilakukan oleh dua otoritas utama yang pembagiannya didasarkan pada aspek prudential dan aspek market conduct. Dalam model ini lembaga keuangan prudensial seperti bank dan perusahaan asuransi berada dalam satu jurisdiksi pengaturan dan pengawasan tersendiri, sedangkan perusahaan efek dan lembaga keuangan lainnya serta produk-produk jasa keuangan berada dalam satu jurisdiksi pengaturan dan pengawasan tersendiri pula. Model ini diterapkan oleh Negara-negara seperti Australia dan Canada. ▪ Unified Supervisiory Model, yaitu pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan oleh otoritas yang terintegrasi dibawah satu lembaga atau 46 badan yang memiliki otoritas pengaturan dan pengawasan terhadap seluruh sektor jasa keuangan mencangkup perbankan, pasar modal, asuransi, dan lembaga keuangan lainnya. Sampai saat ini sudah lebih dari 30 negara menerapkan model ini, seperti Negara-negara yang sektor keuangannya cukup besar dan maju seperti Inggris, Jepang, Korea Selatan, dan Jerman. Bahwa dari 3 model pengawasan tersebut diatas, model pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan yang dipandang sesuai dengan Indonesia adalah Unified Supervisiory Model , yaitu suatu system pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi di dalam suatu lembaga tunggal yang disebut OJK. Istilah otoritas digunakan untuk mencerminkan bahwa lembaga tersebut menjalankan fungsi pengaturan (regulasi) dan fungsi pengawasan ( supervisi) . Yang menjadi masalah utama dalam Uji Materi saat ini adalah bahwa fungsi “pengaturan” dan “pengawasan” dalam perumusan penjabaran normanya dalam UU OJK, dalam kaitannya dengan fungsi “pengawasan” ditambahkan frasa “penyidikan” yang masuk dalam lingkup fungsi pengawasan tersebut. Kemudian oleh Pemohon dipandang sebagai norma yang tidak sejalan dengan Integrated Criminal Justise System dan Due Prosess of Law , dalam system penegakan hukum pidana. Memang jika mencermati ketentuan Pasal 9 huruf c UU OJK, yang menyatakan bahwa untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang: (c).……penyidikan……… Jelas di sini bahwa OJK mempunyai wewenang penyidikan atas tindak pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang di sektor jasa keuangan. Bahkan Hadi Utomo dalam abstrak Desertasinya yang membahas tentang Kewenangan Penyidik Pada Lembaga OJK, mengatakan bahwa kewenangan penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan yang dimiliki oleh OJK tergolong luas. Namun demikian, jika kita pelajari lebih lanjut ketentuan Pasal 9 huruf c, khusus frasa “penyidikan“ ini dikaitkan dengan ketentuan Pasal 49 ayat (1) UU OJK, yang menentukan bahwa: “Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkup tugas dan tanggung jawabnya yang meliputi sektor jasa keuangan di lingkungan OJK, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, akan terlihat adanya konflik norma. Konflik norma itu 47 membuat Departemen Penyidikan Sektor Jasa Keuangan (DPJK) OJK dalam melaksanakan kegiatan penyidikan terhadap dugaan kasus-kasus tindak pidana di sektor jasa keuangan menghadapi permasalahan yang terkait dengan hal-hal antara lain berkenaan dengan legalitas dan kewenangan Penyidik Polri dan PPNS di OJK. Selaku Penyidik dalam melakukan Penyidikan, UU OJK hanya mengatur secara jelas mengenai kewenangan PPNS, sedangkan kewenangan Penyidik Polri yang dipekerjakan atau diperbantukan di OJK tidak terdapat dasar hukum yang jelas. Lebih jauh lagi, UU OJK tidak mengatur kewenangan Penyidik Polri dalam proses penyerahan berkas perkara. Muaranya adalah ketentuan Pasal 49 UUPJK tersebut. Menurut Pasal 49 UUOJK, kewenangan penyidikan diberikan kepada dua pejabat penyidik, yaitu: Polri dan PPNS di lingkungan OJK. PPNS diatur secara lebih detail, namun untuk Penyidik Polri tidak demikian. Pegawai OJK sendiri yang bukan masuk sebagai bagian dari Aparatur Sipil Negara atau Pegawai Negeri tidak mungkin bisa menjadi PPNS. Sejauh mana efektifitas dari penyidik OJK dalam menanggulangi kejahatan Jasa Keuangan di Indonesia menjadi dipertanyakan banyak pihak. Dari sini terlibat bahwa tampaknya, pembentuk UU memang lebih menghendaki pada pemberian wewenang penyidikan kepada PPNS (seperti model Bapepam dahulu) dan bukan kepada Penyidik Polri, juga bukan kepada Pegawai OJK. Dari frasa “selain pejabat Penyidik Kepolisian” dalam Pasal 49 ayat (1) terlihat bahwa wewenang atribusi penyidikan lebih diberikan kepada PPNS dan bukan kepada Penyidik Polri (masih mirip dengan Bapepam dahulu) dan bukan kepada Pegawai OJK. Hal ini diperkuat dengan frase di dalam Pasal 49 ayat (1) selanjutnya yang menyatakan:
... “diberi wewenang khusus” sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam KUHAP. Sementara itu, problem kembali muncul bahwa OJK adalah lembaga independen non Departemen pegawainya tidak berstatus sebagai PNS, sehingga kehadiran PPNS pun, melalui frasa “...PPNS yang diberi wewenang khusus sebagai Penyidik ...dst, tidak bisa diberlakukan atau diberikan kepada Pegawai OJK. Hal ini dipertegas oleh norma dalam Pasal 49 ayat (2) bahwa Penyidik dalam lembaga OJK adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diambil dari instansi lain yang lingkupnya terkait dengan sektor Jasa Keuangan sebagaimana diatur dalam norma Pasal 27 ayat (2) yang menyatakan: 48 “ OJK dapat mempekerjakan pegawai negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan .” Jadi terlihat bahwa dengan dibentuknya OJK sebagai lembaga pengatur dan pengawas sektor jasa keuangan baik perbankan maupun non perbankan, di mana status pegawainya bukan Pegawai Negeri Sipil, maka timbul masalah jika kepada Pegawai OJK akan diberikan wewenang sebagai Penyidik (semacam Penyidik PPNS) di samping Polri. Mengapa bermasalah, karena Polisi sebagai penyidik tindak pidana perbankan sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, yakni pada Pasal 6 ayat (1) _Penyidik adalah: _ a. _pejabat polisi Negara Republik Indonesia; _ b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Selain itu Polisi sebagai Penyidik juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, Pasal 14 ayat (1) a: “Melaksanakan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Dengan demikian Polisi sebagai penyidik mempunyai wewenang penyidikan terhadap semua tindak pidana, tentu termasuk tindak pidana di sektor jasa keuangan – perbankan, non perbankan maupun pasar modal --. Begitu juga Kejaksaan. Jaksa sebagai Penyidik juga mempunyai wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu seperti tindak pidana korupsi, tentu termasuk juga korupsi di sektor jasa keuangan, bahkan juga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Dapat disimpulkan sebenarnya sejak dibentuknya UU OJK, fungsi pengawasan OJK tidak dimaksudkan untuk mengatur wewenang Penyidikan sendiri selain model penyidikan yang dikenal dalam KUHAP, yaitu: Penyidik Polri dan PPNS. Jika OJK dalam menjalankan fungsi Pengawasan diberikan wewenang Penyidikan, maka hal itu akan berbenturan dengan KUHAP, yang berarti berbenturan dengan Doktrin Integrated Criminal Justise System . Namun kemudian yang terjadi adalah Undang-undang Otoritas Jasa Keuangan menyelipkan aturan tentang fungsi pengawasan yang dijabarkan termasuk di dalamnya adalah fungsi penyidikan. Hal inilah yang kemudian dikritisi oleh banyak pihak karena akan menimbulkan pertanyaan akankah terjadi 49 penyidikan oleh penyidik OJK di dalam tindak pidana yang sama, dimana hak dan kewenangan penyidikan pada tindak pidana OJK dipunyai juga oleh penyidik lain yang telah ada, yaitu Kepolisian dan Kejaksaan. Keadaan ini nampaknya akan tidak selaras dengan Integrated Criminal Justice System. Integrated Criminal Justice System mempunyai pengertian adanya keterpaduan penyidik bidang tindak pidana. Salah satu pilar dari sistem penanganan terpadu, adalah harus adanya koordinasi dari para penyidik. Dengan adanya penyidik OJK, hal ini bisa menimbulkan “konflik” dalam penanganan perkara dalam penyidikan tindak pidana OJK dan akan terjadi tumpang tindih kewenangan yang berujung kepada benturan dengan doktrin nebis in idem . Oleh sebab itu, Ahli dapat memahami jika kemudian muncul pandangan bahwa wewenang yang diberikan oleh UU kepada OJK dalam rangka menjalankan tugas pengawasan di sektor jasa keuangan, adalah wewenang yang seharusnya diletakan dalam bingkai penegakan hukum Administrasi Negara, yakni hanya terbatas pada proses pemeriksaan dan/atau penyelidikan, itupun dalam konteks fungsi administrative atau verifikasi laporan seseorang tentang adanya dugaan tindak pidana di sektor jasa keuangan dengan cara mengumpulkan bukti yang cukup sebagai kelengkapan dan kejelasan laporan klarifikasi, laporan hasil kajian, hasil penelitian dan hasil pengawasan dalam rangka penegakan hukum disektor jasa keuangan, bukan dalam pengertian pro justitia sebagaimana diatur dalam KUHAP. Pandangan ini sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap kewenangan penyelidikan yang dimiliki oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam Putusan MK No. 85/PUU-XIV/2016 (vide Paragraf [3.14.6] hal. 192- 193). Bahwa jika dikaji lebih lanjut, munculnya frasa “dan penyidikan” dalam ketentuan Norma Pasal 1 angka 1 juncto kata “penyidikan” dalam ketentuan norma Pasal 9 huruf c UU OJK akan menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap kedudukan lembaga OJK, karena faktanya bukan Pegawai OJK sendiri yang mempunyai wewenang Penyidikan itu. Penyidik OJK hanyalah Penyidik Polri dan PPNS yang diperbantukan di OJK, agar wewenang “Penyidikan” yang merupakan suatu tindakan pro justitia dapat dipandang sejalan dengan Integrated Criminal Justise System . Pada hal kepada financial supervisiory institution in casu OJK diberikan wewenang penyidikan adalah praktek yang tidak lazim di Negara 50 berkembang maupun negara maju. Apabila merujuk kepada lembaga sejenis di beberapa Negara berkembang ataupun Negara maju tidak ada satupun lembaga sejenis OJK yang diberikan wewenang “penyidikan”. Hadi Utomo, dalam kesimpulan Disertasinya justru menyarankan OJK sebagai mitra penyidik Kepolisian dan Penyidik PNS, sebagaimana diterapkan di Negara Jepang dan Jerman. Jangan seperti yang terjadi di Inggris. Model Finasial Servise Authority di Inggris mengalami kegagalan sehingga pengawasan perbankan diserahkan kembali ke Bank of England . Ahli memahami, kekhawatiran akan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan fungsi penyidikan OJK dengan masih timbulnya pro kontra eksistensi Lembaga OJK sebagai penyidik sebagaimana diatur dalam UU OJK saat ini. Setiap orang mengharapkan dapat diterapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa yang konkrit. Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku, pada dasarnya hukum tidak boleh menyimpang: fiat justitia et pereat mundus . Itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum. Sebaliknya masyarakat juga mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Hukum itu harus memberi manfaat dan rasa keadilan. Terlalu menitikberatkan pada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati peraturan hukum akibatnya kaku dan akan menimbulkan rasa tidak adil bagi masyarakat. Apapun yang terjadi peraturannya adalah demikian dan harus ditaati atau dilaksanakan. Jika demikian maka undang- undang itu akan terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat: lex dura, sed tamen scripta , yang artinya undang-undang itu kejam, tetapi memang demikianlah bunyinya. Namun perlu dipahami bahwa undang-undang itu tidak sempurna. Memang tidak mungkin undang-undang itu mengatur segala kegiatan kehidupan manusia secara tuntas. Ada kalanya undang-undang itu tidak lengkap dan ada kalanya undang-undang itu tidak jelas. Oleh karena itu, kita harus mencari atau menemukan hukumnya. Lebih lanjut Prof. Sudikno mengajarkan kepada kita bahwa hukum itu merupakan satu kesatuan sistem. Salah satu tungku hukum yang penting adalah tungku “kepastian hukum”, di samping tungku yang lain yaitu “keadilan” dan “kemanfaatan”. Sebagai suatu sistem hukum dalam penegakannya tidak menghendaki adanya konflik. Jikapun terdapat konflik maka harus diselesaikan di dalam sistem itu. Oleh sebab itu diperlukan “harmonisasi kaedah- kaedah hukum” di dalam lapangan-lapangan hukum tersebut, agar konflik yang 51 terjadi di dalam sistem hukum tersebut dapat terurai dan diselesaikan demi tegaknya tungku hukum. Ada doktrin lex specialis derogate legi generali , ada doktrin lex superiori derogate legi inferiori, lex posterior derogate legi priori dan sebagainya. Doktrin-doktrin di atas dapat menjadi acuan jika di dalam praktek terdapat benturan atau ketidakharmonisan norma antara satu undang-undang dengan undang-undang yang lain. Ahli meminta agar menyikapi permasalahan ini dengan obyektif penegakan hukum yang memberikan keadilan, sekaligus memberikan kepastian hukum dan manfaat bagi masyarakat. Oleh sebab itu, jika memang tidak sesuai dengan doktrin Integrited Criminal Justise System yang sudah menjadi communis opinion doctorum , bahwa “wewenang penyidikan yang diberikan kepada OJK, yang faktanya pun hanya mengambil Penyidik dari PPNS dan Penyidik Polri yang berpotensi menimbulkan tumpang tindih dan konflik kepentingan, maka harus dengan lapang dada, hal tersebut disikapi secara bijak dan terbuka untuk adanya perbaikan norma tersebut.
Eddy O.S Hiariej Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan menyebutkan, “Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam undang- undang ini”. Selanjutnya Pasal 9C Undang-Undang a quo menyatakan, “Untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaskud dalam Pasal 6, OJK mempunyai kewenangan: melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan konsumen dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan”. Demikian pula Pasal 49 Undang-Undang a quo yang memberi sejumlah kewenangan kepada OJK sebaai penyidik. Pertanyaan lebih lanjut, apakah kewenangan penyidikan yang ada pada OJK sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang a quo bertentangan dengan kepastian hukum sebagai salah salah satu prinsip utama dalam negara hukum. 52 Terhadap pertanyaan tersebut, ahli terlebih dulu menyampaikan hal-hal sebagai berikut: PERTAMA, penyidikian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diartikan sebagai serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Dengan demikian tidakan penyidikan adalah bersifat projustisia yang merupakan langkah awal untuk memproses seseorang yang diduga melakukan suatu tindak pidana dalam kerangka sistem peradilan pidana. KEDUA, perlu dipahami bahwa landasan filosofis hukum acara pidana adalah untuk mengontrol aparat penegak hukum agar tidak melakaukan tindakan sewenang-wenang terhadap individu. Berdasarkan landasan filosofis itulah, selain bersifat keresmian, hukum acara pidana berpegang pada prinsip lex scripta, lex certa dan lex stricta . Lex scripta mengandung pengertian bahwa hukum acara pidana harus tertulis. Sedangkan lex certa berarti hukum acara pidana harus jelas sehingga tidak menimbulkan ketidakpastian hukum. Sementara lex stricta memiliki makna bahwa hukum acara pidana haruslah diatur secara ketat. Tegasnya, segala kewenangan yang ada pada aparat penegak hukum tidaklah dapat diinterpretasikan lain selain dari apa yang tertulis. Jika ada penafsiran, maka harus diartikan secara sempit dan tidak merugikan individu yang sedang diproses. Hal ini adalah pengejawantahan asas exeptio firmat regulam . KETIGA, masih berkaitan dengan landasan filosofis tersebut di atas, bekerjanya hukum acara pidana disadari penuh bahwa sedikit – banyak akan mengekang hak asasi manusia. Upaya paksa dapat dilakukan pada tahap penyidikan apakah itu penangkapan, penahanan, pemblokiran, penggledahan dan penyitaan terhadap harta kekayaan, padahal belum tentu pada akhirnya seseroang yang dikenakan upaya paksa akan dinyatakan bersalah oleh pengadilan. Oleh karena itu prinsip legalitas dalam hukum acara pidana, di satu sisi memiliki fungsi perlindungan, sedangkan di sisi lain memiliki fungsi instrumental. Fungsi perlindungan adalah melindungai individu dari kesewenang-wenangan negara, sementara fungsi instrumental adalah bahwa dalam batas-batas yang ditentukan secara tegas oleh undang-undang, negara boleh melakukan tindakan hukum terhadap seseorang yang diduga melakukan suatu tindak pidana. 53 KEEMPAT, pasca-Perang Dunia Kedua, pertumbuhan hukum pidana di luar kodifikasi sangatlah masif. Hal ini membawa konsekuensi terhadap penegakan hukum. Di samping Polri sebagai penyidik suatu tindak pidana, keberadaan penyidik pegawai negeri sipil atau PPNS adalah suatu keniscayaan terhadap tindak pidana tertentu, baik dalam konteks hukum pidana khusus internal maupun hukum pidana khusus eksternal. Akan tetapi, dalam kerangka integrated criminal justice system , Polri melaksanakan fungsi pengawasan dan koordinasi terhadap PPNS. KELIMA, masih berkaitan dengan pertumbuhan hukum pidana di luar kodifikasi, adanya hukum acara yang menyimpang dari ketentuan KUHAP, selain berkaitan erat dengan sifat dan karakteristrik dari kejahatan tersebut, juga memiliki core crime yang jelas dan tegas. Sebagai misal terhadap tindak pidana yang bersifat extraordinary crime seperti korupsi, terorisme dan narkotika, selain Polri sebagai penyidik juga ada PPNS. Bahkan dibentuk lembaga khusus seperti KPK, BNN, BNPT, Komnas HAM dan PPATK. Demikian pula tindak pidana yang bukan extraordinary crime namun memiliki core crime yang jelas dan tegas seperti kejahatan kehutanan, kejahatan perikanan dan kejahatan kepabeanan yang penegakkan hukumnya dilakukan oleh PPNS. Namun ada juga tindak pidana yang hukum acaranya menyimpang dari KUIHAP namun memilik core crime yang jelas dan tegas seperti kejahatan perbankan dan kejahatan asuransi yang penegakkan hukumnya dilakukan oleh Polri. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, bila dihubungkan in casu a quo dengan uji materiil yang sedang diperiksa saat ini, adapun argumentasi AHLI sebagai berikut: PERTAMA, ketentuan pidana yang terdapat dalam Undang- Undang a quo bersifat hukum pidana administrasi yang termasuk dalam hukum pidana khusus eksternal. Konsekuensinya, hukum pidana bersifat ultimum remidium. Artinya, hukum pidana adalah sarana penegakkan hukum yang paling akhir digunakan bilamana sarana pengakkan hukum lainnya tidak lagi berfungsi. KEDUA, ketentuan pidana dalam Undang-Undang a quo yang terdapat dalam Pasal 52, Pasal 53 dan Pasal 54 semata-mata berkaitan dengan masalah administrasi dalam lembaga OJK dan mengenai pembukaan rahasia. Artinya, tindak pidana yang terdapat dalam Undang-Undang a quo tidaklah bersifat spesifik, dalam pengertian memiliki core crime tertentu. 54 KETIGA, berkaitan erat dengan argumentasi kedua, karena Undang- Undang a quo tidak mengatur core crime yang jelas dan tegas maka secara mutatis mutandis keberadaan PPNS yang memiliki kewenangan penyidikan tidaklah relevan. Hal ini berbeda dengan kejahatan lainnya yang memiliki core crime yang jelas dan tegas. Sebagai misal, tindak pidana di bidang perbankan yang diatur dalam undang-undang perbankan dan undang-undang Bank Indonesia secara jelas dan tegas memuat core crime seperti pendirian bank ilegal, membocorkan kerahasiaan bank, pemalsuan dokumen perbankan dan tidak melaksanakan prinsip kehati-hatian serta ketentuan-ketentuan lainnya. Demikian pula dalam undang-undang perasuransian yang memiliki core crime yang jelas dan tegas seperti praktik asuransi ilegal, membocorkan informasi, pemalsuan dokumen dan penggelapan polis. KEEMPAT, keweangan penyidikan yang ada dalam Undang-Undang a quo menimbulkan ketidakpastian hukum karena Undang-Undang a quo tidak menyebutkan secara expressive verbis kewenangan PPNS untuk melakukan penyidikan terhadap sejumlah tindak pidana yang berkaitan dengan jasa keuangan. Sebagai misal, jika terjadi tindak pidana perbankan, siapakah yang berwenang untuk melakukan penyidikan, apakah Polri ataukah PPNS pada OJK? Dalam konteks ini, kewenangan penyidikan pada OJK bertentangan dengan lex certa dalam hukum acara pidana yang berujung pada ketidakpastian hukum. KELIMA, Pasal 1 angka 4 Undang-Undang a quo menyatakan bahwa Lembaga Jasa Keuangan adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan. Ketentuan ini mengindikasikan bahwa Undang-Undang a quo adalah undang-undang yang bersifat umum sebagai lex generalis , sedangkan undang-undang perbankan, undang-undang, undang-undang pasar modal dan undang-undang perasuransian adalah lex specialis . Penerapan asas preferansi lex specialis derogat legi generali dalam konteks criminal policy , seyogyanya keberadaan PPNS yang melaksanakan fungsi penyidikan ada pada lex specialis karena memiliki core crime yang jelas dan tegas seperti dalam Undang-Undang Perbankan, Undang-Undang Pasar Modal dan Undang-Undang Perasuransian. 55 KEENAM, kewenangan penyidikan oleh OJK bertentangan dengan prinsip due process of law dalam sistem peradilan pidana. Due process of law menghasilkan substansi perlindungan terhadap individu dan seperangkat prosedur yang disyaratkan oleh hukum sebagai standar beracara. Dalam konteks perlindungan terhadap individu, kejahatan apa yang diatur dalam undang-undang haruslah jelas dan tegas, sedangkan prosedur bercara haruslah menjamin kepastian hukum. Dalam Undang-Undang a quo , selain tidak terdapat core crime , berikut elemets of crime dari tindak pidana OJK, juga menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penyidikan karena undang-undang tersebut tidak mencabut kewenangan Polri untuk menyidik tindak pidana perbankan, tindak pidana pasar modal dan tindak pidana lainnya yang berkaitan dengan jasa keuangan. KETUJUH, Mahkamah Konstitusi dalam berbagai uji materiil yang berkaitan dengan hukum acara pidana, sering menyatakan dalam putusannya bahwa proses beracara haruslah merujuk pada due process of law yang menjamin kepastian hukum, oleh karena itu kewenangan penyidikan oleh OJK bertentangan dengan prinsip due process of law yang secara mutatis mutandis tindak memberikan jaminan kepastian hukum. Berdasarkan berbagai argumentasi dan analisis tersebut di atas, kewenagan penyidikan, bahkan keberadaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang berada pada Otoritas Jasa Keuangan, menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga bertentangan prinsip negara hukum sebagaiman dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.
Bernard L. Tanya Pokok soal yang diajukan para Pemohon untuk diuji konstitusionalitasnya, adalah: Frasa “dan Penyidikan” dalam ketentuan norma Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Norma tersebut dinilai oleh Pemohon bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Ahli sebagai pengkaji filsafat hukum akan membahas persoalan itu dengan menggunakan skema 3 anak tangga Socrates. Menurut skema ini, kenormalan ataupun ketidaknormalan suatu hal (dalam hal ini, kewenangan penyidikan OJK) dapat diukur dari 3 hal, yakni: (i). Apakah sesuatu itu memang benar dan dapat dibenarkan berdasarkan prinsip dan asas? (ii). Apakah sesuatu itu begitu urgen 56 dan mendesak serta tidak ada pilihan lain? (iii). Apakah sesuatu hal itu memang berimplikasi positif atau justru sebaliknya? Semua itu adalah ukuran akuntabilitas secara filosofis, yakni pengungkapan kenormalan sesuatu secara utuh, baik dari segi keabsahannya maupun dari segi urgensi dan kebutuhan, serta manfaat dan implikasinya. Dengan begitu, setiap orang dapat menalar secara wajar alur logika serta kenormalan/ketidaknormalan suatu aturan.
Benar dan Dapat Dibenarkan? Berdasarkan prinsip ini, untuk mengecek kenormalan maupun ketidaknormalan Frasa “dan Penyidikan” dalam ketentuan norma Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU No. 21 Tahun 2011, maka perlu ditempatkan dalam konteks raison d’etre atau alasan hadirnya aturan/UU tersebut. Di situlah, menurut Plato, letak motif dan tujuan aturan/UU dimaksud. Ia menjadi panduan bagi batang-tubuh. Roh atau spirit suatu UU ada di situ. Idealnya, ada keterhubungan logis antara Roh atau spirit suatu UU, dengan isi kaidah atau norma dalam batang tubuh UU a quo . Bagaimana dengan UU OJK? Jika kita membaca preambule UU OJK, maka pertimbangan utama pembentukan UU a quo adalah untuk menjamin kegiatan dalam sektor jasa keuangan, agar terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan, stabil, mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Dalilnya adalah: pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi menjadi salah satu faktor penentu berjalannya sektor jasa keuangan yang sehat dan kredibel. Dalil tersebut memiliki korelasi dengan keadaan sebelum UU a quo dibuat. Pada saat itu, kekuasaan pengaturan dan supervisi terhadap lembaga keuangan berada pada tiga institusi: (i). Bank Indonesia (BI) memiliki otoritas pengaturan ( regulative ) dan pengawasan ( supervisory ) terhadap lembaga perbankan (UU No. 23 Tahun 1999). (ii). Kementerian Keuangan berwenang melakukan pengawasan terhadap lembaga asuransi. (iii). Bapepam berwenang melakukan pengawasan terhadap lembaga pasar modal ( the stock exchange ). Jadi misinya adalah mengintegrasikan pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan agar berjalan sehat dan kredibel. Dalam konteks UU No. 21 Tahun 2011 sebagai UU administrasi, maka misi pengintegrasian itu sesungguhnya bersifat administratif. 57 Maka menjadi sedikit anomalis ketika OJK dalam misi pengintegrasian seperti disebut di atas, diberi kewenangan penyidikan (yang dari sisi asas maupun doktrin merupakan kewenangan pro justitia yang melekat eksklusif pada lembaga / aparat penegak hukum pidana). Menurut ahli, misi pengintegrasian pengaturan dan pengawasan jasa keuangan yang melekat pada OJK, tidak boleh dijadikan semacam visa atau lisensi untuk beralih status menjadi lembaga/aparat penegak hukum pidana. Dengan demikian, kewenangan penyidikan yang diberikan kepada OJK, tidak saja bertentangan dengan raison d’etre UU a quo , melainkan juga tidak sesuai dengan asas kewenangan pro justitia dalam hukum pidana. Sekali lagi, terminologi pengawasan dalam UU a quo , apalagi dikaitkan dengan raison d’etre UU tersebut, adalah pengawasan dalam konteks administratif. Oleh karena itu, lagi-lagi menjadi sangat aneh jika dalam lingkup pengawasan tersebut dicantolkan pula kewenangan penyidikan, yang dalam konteks hukum pidana (dalam hal ini hukum acara pidana) merupakan tahap pencarian bukti dan menemukan pelaku suatu suatu tindak pidana secara pro justitita. Jadi, tidak ada kaitan logis maupun teoretis antara kewenangan pengawasan yang bersifat administratif dalam UU OJK dengan kewenangan penyidikan delik yang melekat eksklusif pada lembaga/aparat penegak hukum pidana.
Urgen dan mendesak? Hemat ahli, pemberian kewenangan penyidikan pada OJK bukanlah sesuatu yang urgen dan sangat-sangat mendesak. Pertama, tidak ada delik khusus yang memerlukan penanganan khusus oleh OJK. Kejahatan-kejahatan di bidang jasa keuangan memang ada. Namun tidak ada yang begitu spesifik sedemikian rupa yang secara mutlak harus ditangani khusus oleh OJK. Sebut saja misalnya: penipuan, kejahatan elektronik, pencucian uang, pendanaan teroris, suap dan korupsi, penyalahgunaan pasar dan insider dealing dan informasi keamanan, serta penipuan berkedok investasi yang merugikan masyarakat. Semua bentuk kejahatan tersebut relatif umum dan lembaga/aparat penegak hukum konvensional (kepolisian, kejaksaan, KPK) dapat melakukan penanganan secara rutin sebagaimana kejahatan-kejahatan lain. Dalam konteks ini, seharusnya OJK cukup diberi tugas mensuport penegak hukum yang ada, terutama untuk hal- hal yang sangat teknis. Tidak perlu diberi kewenangan penyidikan secara khusus. 58 Kedua, OJK adalah lembaga independen non Departemen dan pegawainya tidak berstatus sebagai PNS atau ASN sehingga tidak mungkin menjadi PPNS yang memiliki kewenangan penyidikan/ pro justitia sebagaimana disyaratkan KUHAP. Persis di titik ini, menurut ahli, tidak ada urgensinya memberi kewenangan penyidikan kepada sebuah lembaga yang secara hukum tidak memenuhi syarat sebagai penyidik. Meminjam/memakai tenaga penyidik dari lembaga lain sebagaimana dilakukan OJK selama ini, menurut hemat ahli, bukanlah cara yang solutif. Selain terkesan hanya menciptakan birokrasi baru dalam penegakan hukum (tanpa aparat sendiri), masalah lain yang potensil muncul adalah masalah koordinasi antar lembaga yang dapat saja timbul di kemudian hari. Tentu saja, kemungkinan lain yang bisa muncul adalah tumpang- tindih dan konflik kewenangan dalam penanganan perkara. Ujung dari semua kemungkinan tersebut adalah terancamnya hak konstitusional warga negara dan rakyat untuk memperoleh pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil sebagaimana norma Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dalam konteks reformasi yang sedang berjalan, maka keseimbangan- keseimbangan baru yang berbasis hak konstitusional warga negara dan rakyat untuk memperoleh pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil sebagaimana norma Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tersebut harus dilihat sebagai ingsutan paradigma—yang tidak hanya menyodorkan peluang untuk “memperbaiki” apa yang ada—tetapi juga menyertakan apa yang oleh Alfred Schutz disebut accent of reality, yakni kebaruan memandang realitas, dalam arti, ada segi yang ditambahkan dan ada yang dihilangkan—karena bobot suatu kenyataan berbeda terkait dengan cara muncul dan kondisi yang dihadapi. Dalam konteks kebaruan tersebut, dapat dikatakan bahwa jaminan hak konstitusional warga negara bernilai kategorisher imperativ seperti dimaksud Immanuel Kant. Yakni, wajib tanpa syarat, sebab merupakan tugas moral dan demokrasi. Ia tidak bisa digugurkan oleh pertimbangan-pertimbangan yang sifatnya prima facie dan kondisional. Kewenangan penyidikan yang ditempelkan begitu saja pada OJK merupakan soal yang bersifat prima facie , dan karena itu tidak boleh mengugurkan jaminan hak konstitusional warga negara yang bernilai imperatif kategoris. 59 3. Implikasi Salah satu bahaya yang potensil muncul jika kewenangan penyidikan tetap diberikan kepada OJK, adalah pemusatan kekuasaan yang terlalu besar pada satu tangan ( kewenangan regulasi + pengawasan + penyidikan ). Kondisi ini membuka ruang bagi perangai negatif kekuasaan . Pelajaran paling dasar yang kita petik dari perjalanan semua peradaban kekuasaan, adalah bahwa kekuasaan mesti dibatasi. Inilah yang menjadi salah satu jantung pergulatan pemikiran kebanyakan filsuf dan ilmuwan sosial-politik sepanjang masa. Kekuasaan di terima kehadiranya, tapi ia mesti dikendalikan agar tidak senantiasa memproduksi bencana bagi manusia dan kemanusiaan. Dalam mengekpresikan kebutuhan di atas, Plato mengintroduksi konsep Philosoper-Kings . Sama halnya ajaran Konfusionisme, Plato merumuskan keharusan untuk membatasi kekuasaan lewat konsep moral kepemimpinan. Inilah racikan rumusan yang kini dikenal sebagai etika ataupun moralitas kekuasaan. Moral pemegangnya diandaikan bisa berfungsi sebagai kekuatan self-control atas perangai kekuasaan. Tetapi realitas membuktikan, kekuasaan terlampau besar untuk bisa dijinakkan hanya dengan moral ataupun etika. Kata Nietzsche, will to power adalah naluri dasar manusia. Karenanya, dalam perkembangan lebih modern, pembatasan kekuasaan diekspresikan dalam raut yang bervariasi. Pada tingkat pertama, kekuasaan diyakini bisa di kontrol oleh kekusaan pula. Ini menjadi fondasi dari pembagian atau pemisahan kekuasaan seperti yang terungkap dalam konsep Trias Politika ataupun prinsip checks and balances . Ini pula fondasi yang melegalisasi ide distribusi kekuasaan yang mengukuhkan diferensiasi struktur dan spealisasi fungsi dalam birokrasi modern. Semua ide pembatasan kekuasaan tersebut, didasarkan pada sebuah pengandaian bahwa sumber malapetaka yang diturunkan dari kekuasaan terletak pada derajat konsentrasi kekuasaan yang berlebihan ataupun ketiadaan limitasi yang rigid terhadap kekuasaan tersebut. Karenanya, ia mesti dipencarkan dan dibatasi secara ketat. Kekuasaan yang dibangun dengan sejuta impian mulia, bisa bertukar raut menjadi horor yang bersifat permanen ketika naluri kesewenang- wenang menggendongnya ke arah yang tak terhingga. 60 Mengingat adanya kelemahan yang cukup serius dalam pemberian kewenangan penyidikan kepada OJK sebagaimana ahli uraikan di atas, maka menurut hemat ahli diperlukan tafsir konstitusional oleh Mahkamah untuk mencegah munculnya kerumitan-kerumitan eksesif di kemudian hari. [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Presiden telah menyampaikan keterangan tertulis sama dengan keterangan Presiden yang dibacakan dalam persidangan Mahkamah tanggal 7 Februari 2019 yang kemudian dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 6 Februari 2019 yang pada pokoknya sebagai berikut: I. POKOK PERMOHONAN PARA PEMOHON 1. Bahwa para Pemohon berpendapat Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK terhadap frasa “Penyidikan” bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Bahwa Frasa “ penyidikan ” menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap Lembaga Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut “OJK”), karena tindakan pro justitia kepada financial supervisiory institution in casu OJK sangat tidak lazim. Wewenang Penyidikan Lembaga OJK mengaburkan Integrated Criminal Justice System sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidakjelasan ruang lingkup dan sistem kerja penyidikan serta legalitas penyidik karena UU OJK tidak mengatur jenis Tindak Pidana sektor Jasa Keuangan baik sektor perbankan ataupun non perbankan. Selain itu menimbulkan tumpang tindih kewenangan Polri, KPK dan OJK. Adanya wewenang penyidikan yang dimiliki lembaga OJK dalam UU OJK tanpa adanya “ Due Process of Law ” dalam proses penegakan hukum pidana ( Criminal Justice System ) di sektor Jasa Keuangan telah melanggar adanya suatu jaminan Kepastian Hukum yang adil dalam proses penegakan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. II. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, mempunyai peranan penting dalam usaha menegakkan konstitusi dan prinsip Negara hukum sesuai dengan tugas dan wewenangnya 61 sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945. Dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 (selanjutnya disebut UU MK), bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk: _a. Menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945; _ b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang _kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; _ _c. Memutus pembubaran partai politik, dan; _ d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum Bahwa terhadap kewenangan menguji UU terhadap UUD 1945, pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor: 51-52-59/PUU- VI/2008 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap UUD 1945 (“Putusan 59/PUU-VI/2008 ”), menyatakan demikian: “ menimbang bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan Undang-Undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang. Pandangan hukum yang demikian sejalan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 010/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 tentang Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah ”. Bahwa, berdasarkan putusan tersebut Mahkamah Kosntitusi mengakui kewenangan open legal policy pembentuk UU mengatur lebih lanjut norma umum yang ditetapkan dalam UUD 1945. Sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Terhadap UU OJK, Mahkamah konstitusi dalam putusan 25/PUUXIII/2014 terkait pengujian konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan berpendapat: 62 persoalan pengaturan dan pengawasan di bidang perekonomian dan sektor keuangan, baik yang bersifat macroprudential maupun microprudential dengan tujuan untuk menjaga kestabilan dan pertumbuhan ekonomi, yang semula disatukan dalam kewenangan bank sentral dan saat ini dilaksanakan oleh dua lembaga, BI dan OJK, merupakan kebijakan hukum terbuka ( open legal policy ) pembentuk undang-undang dan bukanlah merupakan persoalan konstitusionalitas,” (hlm 288) Meskipun putusan 25/PUUXIII/2014 tersebut terkait dengan pengujian materi UU secara khusus terkait dengan independensi OJK, Pemerintah memaknai pertimbangan Mahkamah Konsitusi bahwa UU OJK merupakan open legal policy juga __ masih sangat relevan dalam pengujian Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK karena kewenangan penyidikan yang diberikan Pasal a quo kepada OJK juga merupakan open legal policy yang __ dimiliki pembentuk UU, karena pemberian kewenangan penyidikan sebagai pilihan kebijakan tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bahkan pada dasarnya dalam putusan a quo Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi pada pokoknya Pasal 1 angka 1 UU OJK yang dimohonkan pengujiannya telah dinyatakan konstitusional kecuali terhadap frasa “ dan bebas dari campur tangan pihak lain ” , sehingga dapat dikatakan permohonan a quo adalah ne bis in idem dengan Putusan No. 25/PUU- XII/2014. __ Pembentukan UU OJK bahkan sangat jelas merupakan implementasi Pasal 33 ayat (5) UUD 1945 kepada pembentuk UU untuk mengatur lebih lanjut hal mengenai pelaksanaan pengelolaan perekonomian nasional dan perwujudan amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (selanjutnya disebut sebagai UU BI) yang menyatakan bahwa “ Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang ”. Dalam implementasi kewenangan tersebut, OJK mendasarkan pada ketentuan peraturan perundangan baik dari sisi ketentuan sektor jasa keuangan juga dari sisi hukum acara pidana yang digunakan. Bahwa selain itu, setelah membaca dengan cermat permohonan para Pemohon, Pemerintah berpendapat bahwa yang dipermasalahkan para Pemohon adalah penerapan norma ( implementasi ) suatu Undang-Undang in casu UU OJK atau pengaduan konstitusi ( constitutional complaint) . Namun 63 oleh para Pemohon permasalahan tersebut diajukan sebagai permohonan pengujian Undang-undang terhadap UUD 1945, dengan dalil bahwa ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK yang dimohonkan pengujian itu bertentangan dengan pasal-pasal UUD 1945. Hal ini tentunya akan mengaburkan makna constitutional review yang di batu ujikan terhadap norma nilai dalam UUD 1945 . Quod non Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara a quo , maka harus dibedakan antara pengujian konstitusionalitas norma Undang-Undang ( constitutional review ) dan persoalan yang timbul sebagai akibat dari penerapan suatu norma Undang-Undang yang di sejumlah Negara dimasukkan ke dalam ruang lingkup persoalan gugatan atau pengaduan konstitusional ( constitutional complaint ). UUD 1945 jelas menyatakan kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu norma Undang-Undang yang bertentangan dengan konstitusi ( constitutional review ) dan tidak mengatur tentang constitutional complaint sebagaimana yang didalilkan Para Pemohon. __ Oleh karena itu, sudah sepatutnya permohonan uji materiil ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK tersebut tidak dapat diajukan pengujian materiil di Mahkamah Konstitusi dan atasnya patut untuk dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvenkelijke verklaard ). III. KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) PARA PEMOHON Bahwa Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut sebagai UU MK) jelas mengatur Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yang meliputi:
Perorangan Warga Negara Indonesia;
Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonsia yang diatur dalam undang-undang;
Badan hukum publik atau privat; atau 64 d. Lembaga Negara. Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut, agar Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan suatu permohonan uji materiil undang-undang terhadap UUD 1945, maka harus dibuktikan bahwa:
Pemohon memenuhi kualifikasi untuk mengajukan permohonan sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK; dan
Hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon dirugikan akibat berlakunya undang-undang yang diuji. Bahwa para Pemohon terdiri dari 6 (enam) orang Warga Negara Indonesia (selanjutnya disebut sebagai WNI). Alasan Para Pemohon mengajukan uji materiil terhadap Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK adalah sebagai berikut: - Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III dan Pemohon IV yang berprofesi sebagai Dosen di Fakultas Hukum Universitas Surakarta merasa dirugikan dengan adanya ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK karena secara keilmuan hukum pidana yang dipelajari oleh Pemohon I, Pemohon II dan Pemohon III, dalam pemberlakuan “ criminal justice system ” di Indonesia yang mengakui asas “ due process of law ” sebagai suatu proses yang harus dijalankan oleh Negara cq. Aparat Penegak Hukum yang telah diatur dalam KUHAP, menganggap hal tersebut diabaikan dengan berlakunya UU OJK. - Pemohon I yang juga berprofesi sebagai Advokat merasa dirugikan karena UU OJK tidak mengatur secara jelas hak-hak seseorang yang disangka melakukan suatu tindak pidana di sektor jasa keuangan, sehingga apabila mendapatkan klien yang bergerak di bidang jasa keuangan Pemohon I menganggap akan mengalami kesulitan untuk memberikan bantuan hukum kepada kliennya tersebut. - Pemohon IV merasa dirugikan dengan kewenangan penyidikan yang diberikan kepada lembaga OJK tanpa ada penjelasan tujuan diberikannya kewenangan a quo karena menganggap akan membuat Pemohon IV dirugikan ketika menjelaskan kepada mahasiswa maupun dalam forum- forum akademis. - Pemohon V dan Pemohon VI merasa dirugikan karena menjadi salah 65 satu yang disangka melakukan tindak pidana di sektor jasa keuangan. Adapun ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK bersifat imperatif sehingga sekalipun para Pemohon memenuhi kualifikasi untuk mengajukan permohonan uji materiil, para Pemohon harus mempunyai hak atau kewenangan konstitusional yang dirugikan akibat adanya Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK. Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 010/PUU-III/2005 telah berpendapat bahwa kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang menurut Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat kumlatif, yaitu:
Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
Adanya hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
Kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
Adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji; dan
Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dicermati apakah hak konstitusional para Pemohon dirugikan secara spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya berpotensi menurut penalaran yang wajar pasti akan terjadi dengan berlakunya Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK terhadap frasa “ penyidikan ”? Selain itu perlu dipertimbangkan apakah terdapat hubungan sebab akibat antara kerugian para Pemohon tersebut dengan berlakunya Pasal a quo ? Terhadap hal-hal tersebut Pemerintah berpendapat sebagai berikut:
Bahwa tugas dan wewenang OJK termasuk dengan kewenangan penyidikan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK. Frasa “ penyidikan ” yang dimohonkan pengujiannya oleh para Pemohon dimaksukan untuk memberikan kepastian hukum berupa wewenang OJK untuk melakukan penyidikan, yang pelaksanannya tetap 66 berpedoman pada peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam penyelenggaraannya. Hal ini dibuktikan dengan pengangkatan penyidik yang berasal dari POLRI maupun Penyidik PPNS, dan melalui proses sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut sebagai KUHAP) sebagaimana diatur Pasal 49 ayat (1) UU OJK yaitu: “ Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya yang meliputi pengawasan sektor jasa keuangan di lingkungan OJK, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana .” Berdasarkan uraian di atas, Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK jelas telah didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan sama sekali tidak mengabaikan ketentuan yang telah diatur dalam KUHAP sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon.
Bahwa dikaitkan dengan dalil Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III dan Pemohon IV yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan oleh keberadaan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK, tidak dijelaskan secara spesifik kerugian yang terjadi kepada para Pemohon atau setidak- tidaknya berpotensi terjadi karena berlakunya pasal a quo .
Bahwa demikian juga Pemerintah berpendapat dalil Pemohon I yang merasa dirugikan dengan berlakunya pasal a quo terhadap profesi Pemohon I sebagai Advokat merupakan dalil yang mengada-ada karena UU OJK jelas sudah menundukkan diri pada KUHAP sehingga tidak mungkin tuntutan sama sekali tidak mempunyai hubungan sebab akibat dengan eksistensi pasal a quo . Perlu Pemerintah tegaskan sebagai suatu Lembaga yang dibentuk berdasarkan amanat undang-undang, penerapan UU OJK yang berarti di dalamnya termasuk proses penyidikan telah diatur secara jelas dan transparan untuk dilaksanakan OJK dengan berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang sektor jasa keuangan maupun proses penyidikan yang diatur dalam KUHAP dan sesuai dengan salah satu asas good governance OJK yaitu 67 asas keterbukaan , dimana ketentuan-ketentuan dalam UU OJK diterapkan dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi dan golongan.
Bahwa atas legal standing Pemohon V dan Pemohon VI, setelah membaca dan meneliti permohonan yang diajukan oleh para Pemohon, Pemerintah berpendapat dalil kerugian yang dikemukakan sangat kabur dan cenderung memaksakan bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh ketentuan a quo . Pemerintah juga tidak menemukan adanya hubungan sebab akibat ( causa verband ) antara dalil yang disampaikan oleh Pemohon V dan Pemohon VI dengan ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK. Tindakan penahanan yang dijalani oleh Pemohon V dan Pemohon VI tersebut bukan dilakukan atas penyidikan yang dilakukan oleh OJK terhadap Pemohon. Pemohon V dan Pemohon VI menjalani masa tahanan di Polda Metro Jaya dalam pemeriksaan pidana umum karena kedudukannya selaku karyawan PT. SNP sehubungan status Coll 2 yang diberikan Bank yang menjadi kreditur perusahaan a quo. Bahwa status Coll 2 tersebut yang diberikan oleh Bank karena adanya teguran OJK terhadap Bank tidak dapat dianggap bahwa penahanan Pemohon V dan Pemohon VI karena frase penyidikan dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK. Sebagaimana dijelaskan Para Pemohon sendiri, teguran OJK terhadap bank didasarkan pada fakta adanya retrukturisasi yang dilakukan Bank terhadap PT SNP. Restrukturisasi seharusnya diikuti dengan penurunan grade Perusahaan selaku debitur karena memperlihatkan adanya kegagalan dalam pembayaran kewajiban. PT SNP belum mendapatkan penurunan grade oleh bank namun tidak dilakukan sehingga OJK selaku pengawas bank berkewajiban untuk menegur bank.
Bahwa terkait Audit yang kemudian dilakukan OJK terhadap PT. SNP tidak terdapat penjelasan kaitan audit ini dengan penahanan Pemohon V dan Pemohon VI. Meskipun demikian, secara substansi tindakan audit tersebut jelas bukan merupakan tindak penyidikan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU OJK maupun KUHAP, sehingga merupakan suatu dalil yang mengada-ada apabila para Pemohon menyamakan pelaksanaan 68 audit dengan proses penyidikan. Apalagi pada dasarnya tindak pidana yang dikenakan atas para Pemohon V dan Pemohon VI sehingga keduanya ditahan oleh Kepolisian merupakan tindak pidana umum yang proses penyidikannya jelas dilakukan oleh pihak Kepolisian RI, bukan OJK. Dengan demikian Pemohon V dan Pemohon VI pun jelas tidak memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan a quo .
Bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, menurut Pemerintah para Pemohon dalam permohonan a quo tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum (legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo di hadapan Mahkamah Konstitusi, sehingga sangatlah berdasarkan hukum apabila Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa dan mengadili perkara a quo secara bijaksana menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard ) . Namun demikian, Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilainya apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) atau tidak dalam permohonan Pengujian Undang-Undang a quo , sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK maupun putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu. IV. PERMOHONAN PENGUJIAN YANG DIAJUKAN PARA PEMOHON TELAH DINILAI DAN DIPUTUS OLEH YANG MULIA MAJELIS MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PERKARA NOMOR 25/PUU-XII/2014 ( NEBIS IN IDEM ).
Sesuai dengan ketentuan Pasal 60 UU MK menyatakan, ” Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam Undang- Undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. ” 2. Pada tanggal 14 Agustus 2015, Mahkamah Konstitusi telah memeriksa dan memutus rumusan keseluruhan Pasal 1 angka 1 UU OJK terhadap UUD 1945 dalam putusan perkara NOMOR 25/PUU-XII/2014, sehingga Pasal 1 angka 1 UU OJK selengkapnya menjadi berbunyi: “ Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah Lembaga yang Independen, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.” 69 3. Berdasarkan pendapat Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam persidangan tanggal 18 Desember 2018 yang dituangkan dalam halaman 13 risalah sidang perkara Nomor 102/PUU-XVI/2018, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi pada pokoknya menyatakan kewenangan penyidikan yang terdapat pada Pasal 1 angka 1 UU OJK telah dinyatakan konstitusional dalam Putusan sebelumnya dan apabila ketentuan tersebut hendak dikoreksi maka Pemohon harus memberikan argumentasi yang jauh lebih kuat.
Berdasarkan hal tersebut di atas, setelah mempelajari Permohonan a quo , baik pada Surat Permohonan pertama maupun pada Surat Perbaikan Permohonan, menurut pandangan Pemerintah, Pemohon belum memberikan argumentasi-argumentasi yang jauh lebih kuat atas permohonan pengujian Pasal 1 angka 1 UU OJK yang telah dinyatakan konstitusional dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU- XII/2014.
Dengan demikian, permohonan a quo dapat dikategorikan sebagai permohonan yang nebis in idem , dan mohon kiranya Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dapat memberikan pertimbangan mengenai apakah terhadap materi muatan yang dimohonkan oleh para Pemohon dapat dianggap sebagai pasal yang telah diuji dan tidak dapat dimohonkan kembali. IV. KETERANGAN PRESIDEN ATAS MATERI PERMOHONAN YANG DIMOHONKAN UNTUK DIUJI LANDASAN FILOSOFIS Sebelum Pemerintah menyampaikan keterangan terkait norma materi yang dimohonkan untuk diuji oleh para Pemohon, terlebih dahulu Pemerintah akan menyampaikan landasan filosofis terkait dengan Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut: Bahwa untuk mencapai cita-cita Negara Republik Indonesia menjadi negara yang adil dan makmur serta mensejahterakan kehidupan bangsa dibutuhkan suatu sistem perekonomian nasional yang mampu tumbuh dengan stabil dan berkelanjutan. Mengingat pentingnya hal tersebut maka dalam Pasal 33 UUD 1945 telah diatur prinsip-prinsip dasar pengelolaan perekonomian nasional. 70 Pasal 33 ayat (5) UUD 1945 selanjutnya memberikan amanat kepada pembentuk undang-undang untuk mengatur pelaksanaan pasal a quo dalam undang-undang. Dengan demikian dalam rangka mewujudkan amanat konstitusi tersebut maka telah diterbitkan perundang-undangan mengenai pengelolaan perekonomian nasional berdasarkan prinsip-prinsip dasar sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945, yang salah satunya adalah UU OJK. Pembentukan UU OJK secara tegas diamanatkan Pasal 34 ayat (1) Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (selanjutnya disebut sebagai UU BI) yang menyatakan bahwa “ Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang ”. __ Dengan demikian, pembentukan UU OJK tersebut adalah dalam rangka mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh dengan stabil dan berkelanjutan, menciptakan kesempatan kerja yang luas dan seimbang di semua sektor perekonomian, serta memberikan kesejahteraan secara adil kepada seluruh rakyat Indonesia. Didasarkan pada pengalaman adanya krisis keuangan yang pernah terjadi di Indonesia, struktur dan sistem keuangan yang saat itu berlaku dan best practices di beberapa Negara, pembentuk Undang-Undang menilai bahwa salah satu upaya mewujudkan perekonomian yang tumbuh stabil dan berkelanjutan maka sistem keuangan yang paling sesuai dengan Indonesia adalah model unified supervisory model , yakni suatu sistem pengaturan dan pengawasan industri jasa keuangan yang terintegrasi dalam suatu lembaga tunggal yang kemudian dinamakan Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan UU OJK. Kesadaran pembentuk UU pentingnya sistem pengaturan dan pengawasan industri jasa keuangan yang terintegrasi oleh OJK menjadi pilihan kebijakan hukum yang diwujudkan dengan mengamanatkan Pembentukan Lembaga OJK melalui UU OJK dalam Pasal 34 ayat (1) UU BI, dengan tujuan agar seluruh kegiatan jasa keuangan dalam sektor jasa keuangan dapat terselenggara secara teratur, transparan dan akuntabel serta dapat mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil. Sebagai lembaga yang berwenang untuk melakukan pengawasan pada 71 seluruh kegiatan di bidang sektor jasa keuangan, maka pembentuk UU telah sepakat bahwa OJK diberikan kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap pelaku kegiatan usaha di bidang Perbankan, Pasar Modal atau Industri Keuangan Non Bank (IKNB) yang diduga melakukan pelanggaran. Sebagai bukti UU OJK bersesuaian sistem hukum pidana, UU OJK dengan jelas mengatur bahwa Penyidikan tersebut dilakukan oleh Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia (selanjutnya disebut sebagai Penyidik Polri) dan Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya meliputi pengawasan kegiatan sektor jasa keuangan di lingkungan OJK yang diberikan wewenang khusus sebagai penyidik (selanjutnya disebut sebagai PPNS). Pelaksanaan kewenangan penyidikan ini dalam peraturan lebih teknis berupa Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 22/POJK.01/2015 secara tegas menundukkan diri pada ketentuan perundang- undangan sektoral baik mengenai jenis tindak pidana sektor jasa keuangan yang berpedoman pada UU sektoral masing (UU Bank Indonesia, UU Perbankan, UU Pasar Modal, UU Dana Pensiun, UU Asuransi, UU Perbankan Syariah, UU Lembaga Keuangan Mikro, UU Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan UU Jasa Keuangan lainnya) maupun KUHAP sebagai hukum acara pidana yang digunakan. Pemberian kewenangan penyidikan tindak pidana di bidang jasa keuangan kepada OJK dimaksudkan untuk terlaksananya penyidikan secara cepat dan murah. Secara cepat mengingat tindak pidana di bidang jasa keuangan yang tidak secara cepat tersidik untuk selanjutnya diproses penuntutannya dapat membahayakan sistem keuangan nasional secara makro yang dapat mengakibatkan krisis keuangan nasional, secara mikro juga menimbulkan risiko kerugian masyarakat yang ikut serta dalam industri jasa keuangan. KETERANGAN PEMERINTAH Sehubungan dengan dalil-dalil para Pemohon dalam permohonannya untuk frase “penyidikan” dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK yang berbunyi: Pasal 1 angka 1 UU OJK : “ Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan __ 72 sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. ” Pasal 9 huruf c UU OJK : “ Untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud _dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang: _ a.... b.... c. Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan , perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang- _undangan di sektor jasa keuangan; _ d.... dst. ” dinyatakan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan: Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 : “ Negara Indonesia adalah Negara Hukum. ” Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 : “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. ” Pemerintah dapat menyampaikan keterangan sebagai berikut: A. OJK sebagai Lembaga Pengawas Sektor Jasa Keuangan sejak pendiriannya telah memiliki kewenangan melakukan penyidikan 1. Bahwa sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, dan sebagaimana Putusan Nomor 25/PUU-XII/2014 tanggal 04 Agustus 2015, pembentukan UU OJK merupakan pilihan kebijakan pembentuk UU dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 33 ayat (5) UUD 1945 dan amanat Pasal 34 ayat (1) UU BI untuk membentuk suatu lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen yang berfungsi untuk menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan yang bergerak di sektor jasa keuangan agar kegiatan tersebut dapat terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel untuk mewujudkan sistem keuangan yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi melindungi kepentingan konsumen dan 73 masyarakat.
Bahwa dengan semakin pesatnya pertumbuhan dan kompleksitas kegiatan jasa keuangan sebagai dampak dari berkembangnya bidang teknologi dan inovasi produk finansial yang canggih ( sophisticated ) yang diiringi dengan kecenderungan dari entitas bisnis berbentuk konglomerasi dan adanya praktek-praktek arbitrase peraturan ( regulatory arbitrage ), lack of transparency, abuse of economic power dari entitas bisnis jasa keuangan, pembentuk UU OJK memandang perlunya suatu lembaga yang memiliki otoritas pengawasan secara integrasi. Salah satu kewenangan pengawasan yang diberikan UU OJK adalah penyidikan sehingga OJK mampu untuk memenuhi tujuan pembentukannya tersebut khususnya perlindungan kepentingan konsumen dan masyarakat.
Bahwa Pemohon dalam permohonan mengutip Naskah Akademik UU OJK antara lain terkait dengan model pengawasan industri jasa keuangan yang tepat untuk Indonesia adalah Unified Supervisiory Model yang merupakan otoritas pengawas terintegrasi. Dengan membaca Naskah Akademis tersebut tentunya Pemohon telah sepakat dengan Pemerintah bahwa sejak awal model pengawasan OJK adalah pengawasan terintegrasi. Dengan model pengawasan terintegrasi, kewenangan penyidikan OJK tidak dilakukan sbagai penyalahgunaan wewenang, melainkan dengan governance yang jelas sebagaimana diatur dalam POJK sehingga tentu sejalan dengan ketentuan hukum pidana dan peraturan perundangan di bidang sektor jasa keuangan. Selama ini penyidikan OJK uga telah didukung oleh aparat penegak hukum, sebagai upaya pengamanan sistem keuangan nasional melalui pengawasan entitas lembaga keuangan secara invidu oleh OJK menurut Pemerintah perlu terus dipertahankan. B. Kewenangan Penyidikan OJK Merupakan Salah Satu Bentuk Pengawasan Lembaga OJK dan Tidak Mengaburkan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia 1. Bahwa selanjutnya terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK yang berkaitan dengan 74 frasa “ penyidikan ” mengaburkan integrated justice system dan due process of law dan oleh karenanya bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dapat ditanggapi Pemerintah sebagai berikut:
Bahwa seiring dengan semakin berkembangnya produk dan layanan jasa keuangan maupun ilmu pengetahuan dan teknologi informasi bersamaan dengan era globalisasi transaksi keuangan, perkembangan tersebut di satu sisi dapat mendukung kemajuan sektor jasa keuangan, tetapi di sisi lain dapat mengganggu stabilitas sistem keuangan karena munculnya berbagai modus kejahatan yang lebih kompleks termasuk tindak pidana di sektor jasa keuangan. Untuk mengatasi tindak pidana yang terjadi di sektor jasa keuangan tersebut secara cepat dan tepat, maka perlu dilakukan proses penyidikan untuk membuat terang tindak pidana di sektor jasa keuangan.
Bahwa tindakan penyidikan tersebut mengacu pada Pasal 1 butir (2) KUHAP yang dengan jelas menyatakan bahwa “ Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya” . Berdasarkan rumusan Pasal a quo , dapat ditarik unsur-unsur untuk suatu tindakan dinyatakan sebagai tindakan penyidikan, yaitu:
Serangkaian tindakan yang saling berhubungan satu dengan yang lain;
Dilakukan oleh pejabat publik yang disebut penyidik;
Dilakukan dengan didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
Bertujuan untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dapat membuat terang suatu tindak pidana yang terjadi dan juga menemukan tersangkanya.
Bahwa berdasarkan uraian di atas, maka apabila terjadi suatu tindak pidana di sektor jasa keuangan, perlu dilakukan tindakan penyidikan secara cepat, biaya ringan dan sederhana untuk membuat terang 75 tindak pidana yang terjadi guna mewujudkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, menumbuhkan dan menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sektor jasa keuangan serta memperkuat stabilitas sistem jasa keuangan.
Bahwa pelaksanaan kewenangan penyidikan OJK dilakukan sejalan dan sesuai ( in harmony ), dengan ketentuan pidana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan sebagaimana dengan jelas diatur dalam Pasal 1 ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 22/POJK.01/2015 tentang Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan (selanjutnya disebut POJK Penyidikan) bahwa: “ Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan adalah setiap perbuatan/peristiwa yang diancam pidana yang diatur dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai OJK, Perbankan, Perbankan Syariah, Pasar Modal, Dana Pensiun, Lembaga Keuangan Mikro, Perasuransian, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Bank Indonesia sepanjang berkaitan dengan campur tangan terhadap pelaksanaan tugas OJK dalam pengaturan dan pengawasan bank, serta Undang-Undang mengenai Lembaga Jasa Keuangan lainnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK .” 6. Bahwa ketentuan-ketentuan yang mengatur terkait kewenangan penyidikan OJK di UU OJK telah diatur secara sistematis dan jelas. Ruang lingkup penyidikan OJK sebagaimana diatur dalam Pasal 9 huruf c UU OJK adalah penyidikan terhadap lembaga jasa keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. Sebagai bagian dari tugas pengawasan yang dilakukan OJK, kewenangan penyidikan OJK juga terbatas terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (vide Pasal 6 UU OJK).
Bahwa Pemerintah merasa perlu menginformasikan per tanggal 26 Januari 2019 ini pelaksanaan kewenangan penyidikan oleh OJK telah membuahkan 9 (sembilan) putusan inkracht dan 13 (tiga belas) perkara yang masih dalam proses di Pengadilan. Dengan telah terdapatnya putusan-putusan yang telah berkekuatan hukum tetap 76 tersebut berarti secara hukum formal dan material Majelis Hakim Pengadilan menerima, mengakui, dan memandang kesesuaian keseluruhan tindak pidana yang disangkakan, termasuk dengan kesesuaian proses penanganannya dengan koridor hukum peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga dapat dikatakan, kehadiran Penyidik OJK justru semakin menguatkan integrated criminal justice system di Indonesia pada kekhususan tindak pidana di sektor jasa keuangan . 8. Bahwa argumentasi para Pemohon yang menyatakan wewenang penyidik OJK secara khusus pada Pasal 49 ayat (3) huruf d, huruf f, dan huruf k melanggar asas ” due process of law ” dan dapat menimbulkan kesewenang-wenangan dari penyidik OJK karena sama sekali tidak mengaitkan pada KUHAP serta tidak berkoodinasi dengan aparat penegak hukum lainnya merupakan suatu dalil yang menurut Pemerintah secara sengaja mengabaikan fakta hukum sehingga sangat keliru dan menyesatkan karena OJK dalam melakukan proses penyidikan tetap berkoordinasi dengan penegak hukum dan instansi, lembaga dan/atau pihak lain yang memiliki kewenangan di bidang penegakan hukum. Hal ini jelas terbukti dengan langkah OJK membuat landasan hukum terkait koordinasi dengan Jaksa selaku salah satu aparat penegak hukum melalui POJK Penyidikan ( vide Pasal 6 POJK Penyidikan) dan tetap mengacu pada ketentuan yang diatur dalam KUHAP.
Bahwa lebih lanjut, koordinasi penindakan tindak pidana di sektor jasa keuangan ditindaklanjuti oleh OJK dengan membuat berbagai Nota Kesepahaman diikuti dengan Perjanjian Kerjasama bersama dengan beberapa institusi/lembaga yang memiliki fungsi penyidikan, antara lain dengan: Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksanaan Agung Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
Bahwa argumentasi para Pemohon yang menyatakan dalam UU OJK tidak terdapat adanya jaminan ” due process of law ” dalam proses penegakan hukum pidana ( criminal justice system ) di sektor jasa 77 keuangan telah melanggar adanya suatu jaminan atas kepastian hukum yang adil dalam penegakan hukum yang adil di negara Republik Indonesia yang dijamin dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menurut Pemerintah merupakan dalil yang mengada-ada, tidak cukup bukti dan tidak beralasan karena sebagaimana telah dijelaskan penyidikan yang dilakukan OJK tetap mengacu pada KUHAP sebagaimana praktik yang selama ini telah dilaksanakan oleh Penyidik OJK sesuai dengan POJK 22.
Pengertian dari Hukum Acara (dalam hal ini hukum acara formil) ialah “ Hukum Acara Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang memberi dasar-dasar dan aturan yang menentukan dengan cara dan prosedur macam apa ancaman pidana yang ada pada suatu perbuatan pidana dapat dilaksanakan apabila ada sangkaan bahwa orang telah melakukan delik tersebut ” ( Prof Moeljatno, 2015: hal. 1 ). Hal ini tepat disandingkan pada KUHAP yang menyatakan ruang lingkup berlakunya KUHAP, yaitu untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan peradilan umum pada semua tingkat peradilan ( vide Pasal 2 KUHAP). Sehingga apabila dibandingkan antara KUHAP dengan POJK Penyidikan adalah tidak sebanding dan salah alamat. POJK Penyidikan merupakan peraturan pelaksanaan tentang tindakan penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik OJK terkait adanya dugaan tindak pidana di bidang Perbankan, Pasar Modal, dan/atau Industri Keuangan Non-Bank. Kedudukan POJK Penyidikan ini sama halnya dengan peraturan- peraturan yang dikeluarkan oleh Polri sebagai pengaturan yang lebih teknis dari pelaksanaan kewenangannya, yaitu Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
Bahwa penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan yang dilakukan oleh OJK secara terkoordinasi dengan lembaga penegak hukum lain antara lain pihak Kepolisian dan Kejaksaan merupakan bagian dari “ criminal justice system ” atau Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Hal tersebut telah ditegaskan dalam Pasal 49 ayat (1) UU 78 OJK yang berbunyi demikian: “ Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya yang meliputi pengawasan sektor jasa keuangan di lingkungan OJK, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ”. Pasal a quo jelas menyebutkan bahwa wewenang khusus sebagai penyidik yang melekat pada PPNS tidak lepas dari ketentuan KUHAP, dan Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP jelas menyatakan demikian: Pasal 7 ayat (2) KUHAP: “ Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing __ dan dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a ”. Pasal 7 ayat (3) KUHAP: “ Dalam melakukan tugasnya sebagimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku ”.
Bahwa KUHAP jelas mengatur hubungan koordinasi fungsional dan instasional antara penyidik Polri dan PPNS terkait pelaksanaan penyidikan dalam Pasal 107 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) KUHAP. Pasal 107 ayat (1) KUHAP: “ Untuk kepentingan penyidikan, penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a memberikan petunjuk kepada penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan”. Pasal 107 ayat (2) KUHAP: “ Dalam hal suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana sedang dalam penyidikan oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b dan kemudian ditemukan bukti yang kuat untuk diajukan kepada penuntut umum, penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b melaporkan hal itu kepada penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a”. Pasal 107 ayat (3) KUHAP: 79 “ Dalam hal tindak pidana telah selesai disidik oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b, ia segera menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a ”. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik Polri memberikan petunjuk kepada PPNS dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan. Setelah itu PPNS harus melaporkan kepada penyidik Polri tentang adanya suatu tindak pidana yang disidiknya jika ditemukan bukti yang kuat untuk mengajukan tindak pidana tersebut kepada penuntut umum. Apabila PPNS telah selesai melakukan penyidikan, hasil penyidikan tersebut harus diserahkan kepada penuntut umum melalui penyidik Polri. Penyidik Polri kemudian dapat mengembalikan hasil penyidikan PPNS yang dianggap belum sempurna untuk diperbaiki seperlunya. Dengan berpatokan pada salah satu prinsip dari asas Lex Specialis Derogat Legi Generali (aturan hukum yang lebih khusus menyampingkan aturan hukum yang lebih umum) yaitu ketentuan- ketentuan yang diatur dalam aturan hukum yang lebih umum tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dalam aturan hukum khusus tersebut, maka proses koordinasi antara PPNS OJK dengan penyidik Polri tetap dilaksanakan sesuai dengan ketentuan pasal 107 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) KUHAP sebagaimana telah diuraikan di atas.
Bahwa pasal-pasal tersebut di atas menegaskan bahwa tindakan penyidikan yang dilakukan OJK tetap melalui koordinasi dan pengawasan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sehingga sama sekali bukan merupakan tindakan yang bertentangan dengan integrated justice system sebagaimana yang didalilkan oleh Para Pemohon.
Bahwa sistem peradilan pidana ( criminal justice system ) di Indonesia mempunyai beberapa sub-sistem yaitu, penyidikan yang kewenangannya melekat pada kepolisian, jaksa dengan wewenang penuntutan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan serta dilengkapi dengan pemberi bantuan hukum/advokat. Terkait dengan kewenangan penyidikan yang melekat pada kepolisian, Pasal 1 angka 1 KUHAP 80 secara tegas menyatakan bahwa “ Penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan ”. Pasal a quo jelas menegaskan bahwa kewenangan untuk melakukan penyidikan bukan hanya ada pada polisi, tetapi juga kepada pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberikan wewenang khusus berdasarkan undang-undang untuk menyidik, dalam hal ini dikenal sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (selanjutnya disebut sebagai PPNS). Dengan demikian apabila dalam proses penyidikan tersebut KUHAP menyatakan Penyidik terdiri dari Penyidik Polri dan PPNS, maka PPNS merupakan bagian dari sistem peradilan pidana itu sendiri. Ketentuan Pasal 6 ayat (1) KUHAP dengan jelas telah menyatakan bahwa Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang (PPNS). PPNS sebagai aparat penyidik tindak pidana dalam ruang lingkup tugasnya melaksanakan penyidikan di bawah koordinasi penyidik Polri adalah bagian dari sistem peradilan pidana karena dalam melaksanakan tugas dan fungsinya bekerja sama dan berinteraksi dengan sub-sistem penegak hukum lain dalam kerangka sistem peradilan pidana. Sekalipun PPNS mempunyai tugas dan wewenang tersendiri sesuai dengan tugas dan spesialisasinya, PPNS tetap merupakan bagian dari sub-sistem kepolisian yang merupakan salah satu sub-sistem peradilan pidana.
Bahwa dengan demikian pada dasarnya UU OJK tetap memberikan kewenangan kepada Polri untuk melaksanakan penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan. OJK dan Polri sama-sama mengemban amanah Undang-Undang OJK untuk melakukan penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan. Dalam rangka mencapai sinergi dalam melaksanakan amanat Undang-Undang OJK tersebut, diperlukan koordinasi yang baik antara OJK dan Polri yang secara formal dituangkan dalam Nota Kesepahaman. Adapun ruang lingkup kerja sama yang diatur dalam Nota Kesepahaman ini adalah 81 sebagai berikut:
Bidang pencegahan tindak pidana di sektor jasa keuangan, melalui kegiatan-kegiatan penyampaian informasi dan edukasi kepada pelaku industri jasa keuangan dan masyarakat, baik tentang tindak pidana di sektor jasa keuangan maupun tindak pidana lain yang memiliki dampak terhadap sektor jasa keuangan;
Bidang penegakan hukum, melalui pertukaran data dan/atau informasi; dan bantuan dalam penyidikan maupun yang bersifat teknis maupun taktis;
Bidang pengamanan, melalui kegiatan pengamanan OJK dan kegiatan OJK;
Bidang koordinasi, melalui pembentukan forum koordinasi antara Pimpinan OJK dan Polri maupun antar pejabat pengendali guna membahas arah dan strategi penegakan hukum di sektor jasa keuangan, juga pembahasan efektivitas penyelesaian penanganan, analisis dan evaluasi pelaksanaan penanganan tindak pidana di sektor jasa keuangan. Selain itu dalam rangka koordinasi tersebut akan dibentuk kelompok kerja dalam tataran yang lebih teknis yang melibatkan unsur pimpinan OJK dan Polri di daerah;
Bidang penugasan dan pengakhiran penugasan anggota Polri (SDM Penyidik) melalui penempatan personil Penydidik Polri di OJK untuk melaksanakan tugas penyidikan; dan
Bidang pendidikan dan pelatihan, melalui kegiatan peningkatan kualitas dan kompetensi sumber daya manusia OJK maupun Polri khususnya terkait pelaksanaan fungsi penyidikan, baik kompetensi mengenai sektor jasa keuangan maupun keahlian teknis penyidikan.
Bahwa oleh sebab itu adalah tidak berdasar hukum apabila Para Pemohon berpendapat kewenangan penyidikan yang melekat pada OJK mengaburkan integrated justice system dan due process of law sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan sebab itu bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, karena kewenangan 82 penyidikan OJK yang secara khusus berlaku atas setiap tindak pidana yang terjadi di sektor jasa keuangan justru merupakan tindakan yang menunjang terlaksananya suatu sistem peradilan pidana yang terintegrasi. Penyidik PNS OJK Tidak Bertentangan Dengan Asas Penegakan Hukum ( Supremacy of Law ) 18. Bahwa keberadaan PPNS telah ada sejak zaman Kolonial Hindia Belanda yang diatur dalam Het Herziene Inlands Reglement (selanjutnya disebut sebagai HIR) Staatblad Tahun 1941 No. 44. Pasal 1 sub 5 dan 6 HIR memberikan kewenangan pejabat yang diberi tugas kepolisian preventif, dan Pasal 39 sub 5 dan 6 HIR memberikan kewenangan pejabat yang diberi tugas mencari kejahatan dan pelanggaran (kepolisian represif baik yang bersifat non-yustisial maupun pro-yustisial). Pasal 1 sub 5 dan 6 HIR: “ Melakukan tugas kepolisian pada bangsa Indonesia dan pada bangsa Asing, menurut perbedaan yang diadakan dalam reglemen ini, diwajibkan pada pegawai, penjabat-penjabat dan orang-orang yang teristimewa disebut dibawah ini, masing-masing sekian keluasan _daerah, untuk mana ia diangkat: _ _1....; _ _2....; _ _3....; _ _4....; _ 5. Semua pegawai, penjabat dan orang-orang lain, dalam perkara yang diserahkan kepadanya supaya dijaganya, menurut aturan _undang-undang yang istimewa; _ 6. Pegawai-pegawai polisi yang tidak dapat gaji masing-masing mengenai kekuasaan yang diberikan padanya dalam surat angkatannya yang diangkat sedemikian dengan mengingat aturan-aturan yang akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Pasal 39 sub 5 dan 6 HIR: “ Hal mencari kejahatan dan pelanggaran pada bangsa Indonesia dan bangsa Asing, menurut perbedaan yang dibuat pada reglemen ini dan pada peraturan undang-undang yang lain, diwajibkan kepada pegawai, pejabat dan orang-orang yang teristimewa yang tersebut di _bawah ini, masing-masing dalam seluruh daerah pegangannya: _ 83 _3....; _ _4....; _ 5. Mereka, yang dengan peraturan undang-undang yang khusus disuruh memegang peraturan itu atau supaya peraturan itu diturut orang dan yang disuruh mencari perbuatan yang dapat dihukum yang dimaksud di dalam peraturan itu, yakni sekedar, yang _mengenai perbuatan yang dimaksud itu; _ 6. Pegawai polisi yang tidak dapat gaji, yang diangkat sebagai polisi dengan mengingat peraturan yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah, masing-masing menurut kekuasaan yang diberikan kepadanya pada Akte angkatannya. 19. Bahwa dari beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang PPNS seperti KUHAP, Pedoman Pelaksanaan KUHAP dan Undang-Undang Kepolisian pada dasarnya merumuskan PPNS dengan unsur-unsur sebagai berikut:
PPNS adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang;
Wewenang khusus tersebut adalah wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana;
Tindak pidana yang dimaksud adalah tindak pidana tertentu yang menjadi ruang lingkup tugas dari suatu instansi/lembaga; dan
Dalam melaksanakan wewenang penyidikan berada di bawah koordinasi dan pengawasan dari Penyidik Polri.
Bahwa dari unsur-unsur tersebut di atas, jelas bahwa wewenang penyidikan yang dilakukan oleh seorang PPNS menuntut keahlian dan spesialiasi khusus sesuai dengan tindak pidana tertentu yang menjadi ruang lingkup tugas dari suatu instansi/lembaga.
Dalam rangka memenuhi kebutuhan penyidik OJK, berdasarkan ketentuan Pasal 27 ayat (2) UU OJK dan penjelasannya, OJK diberikan hak untuk mempekerjakan penyidik yang berasal dari Kepolisian Negara Republik Indonesia maupun Pegawai Negeri Sipil. Pasal 27 ayat (2) “ OJK dapat mempekerjakan pegawai negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. ” 84 Penjelasan Pasal 27 ayat (2) “...Pegawai negeri yang bekerja pada OJK dapat berstatus dipekerjakan atau status lainnya dalam rangka menunjang kewenangan OJK di bidang pemeriksaan, penyidikan, atau tugas- tugas yang bersifat khusus. Pegawai negeri tersebut antara lain berasal dari pejabat penyidik pegawai negeri sipil dan/atau Pejabat Penyidik Kepolisian. Hak dan kewajiban pegawai negeri tersebut disetarakan dengan hak dan kewajiban pegawai OJK. ” 29. Bahwa dipekerjakannya penyidik Polri dan PPNS merupakan salah satu upaya OJK untuk memperkuat pelaksanaan fungsi penyidikan di sektor jasa keuangan karena sudah barang tentu yang dapat menjadi penyidik sesuai dengan yang diketahui dalam KUHAP hanya berasal dari 2 (dua) unsur, yaitu pejabat polisi negara Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang [vide Pasal 6 ayat (1) KUHAP].
Bahwa terkait dengan kewenangan Penyidik OJK diatur dalam 2 (dua) tempat, yaitu bagi Penyidik Polri telah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP dan bagi Penyidik PPNS diatur secara khusus dalam Pasal 49 ayat (3) UU OJK. Hal ini telah sesuai sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP yang berbunyi “Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat ( 1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a ”. Hal ini memiliki 2 (dua) arti, yaitu: Pertama, kewenangan Penyidik PPNS hanya sebatas kewenangan yang diatur dalam undang-undangnya masing-masing; dan Kedua, dalam pelaksanaan tugasnya, penyidik yang berasal dari PNS tetap berkoordinasi dengan penyidik Polri.
Bahwa sehubungan dengan dalil Para Pemohon yang menyadur Pasal 109 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (selanjutnya disebut UU ASN), tentu saja UU ASN tidak tepat dijadikan dasar hukum pada permasalahan a quo . Status kepegawaian di OJK tidak tunduk pada UU ASN karena berdasarkan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU OJK, pihak yang bekerja di OJK 85 berstatus sebagai pegawai OJK, bukan sebagai ASN. Begitu pula dengan seluruh penyidik Polri yang dipekerjakan OJK tidak tunduk pula dengan UU ASN, melainkan pada UU Nomor 2 Tahun 2002. Dengan begitu, penyidik Polri yang dipekerjakan di OJK tidak harus mengundurkan diri sebagaimana diatur dalam Pasal 109 ayat (2) UU ASN.
Bahwa argumentasi para Pemohon kata ”dapat” pada Pasal 27 ayat (2) UU OJK berarti bersifat sementara sehingga keberadaan PPNS di OJK tidak didasarkan pada kewenangan temporer pada suatu masa atau rentang waktu tertentu saja. Dalam Pasal 51 UU OJK telah mengatur ketentuan minimal penarikan kembali para Penyidik PPNS tersebut, yaitu 6 (enam) bulan dan sedang tidak menangani perkara. Ketentuan yang diatur dalam UU OJK ini mengandung arti bahwa alasan penarikan Penyidik PPNS tersebut harus dilakukan dengan cermat dan dipastikan tidak menghalangi jalannya proses penyidikan yang sedang berlangsung di OJK.
Bahwa Pasal 27 ayat (2) UU OJK telah menyatakan, “ OJK dapat mempekerjakan pegawai negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ”. Selanjutnya dalam penjelasan pasal a quo , pegawai negeri yang dipekerjakan di OJK bertujuan untuk mengefektifkan tugas dan wewenang OJK di bidang pemeriksaan, penyidikan atau tugas-tugas yang bersifat khusus. Dengan demikian keberadaan PPNS OJK yang bertugas untuk melaksanakan penyidikan sebagai bentuk pengawasan lembaga OJK sama sekali tidak bertentangan dengan penegakan hukum sebagaimana yang dijamin dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 karena keberadaan PPNS OJK telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. V. DAMPAK APABILA PERMOHONAN DIKABULKAN Sebagaimana telah Pemerintah jelaskan di atas, bahwa kewenangan penyidikan yang melekat pada OJK merupakan salah satu bentuk fungsi pengawasan OJK demi terlaksananya kegiatan-kegiatan di sektor jasa 86 keuangan dengan teratur, adil, transparan dan akuntabel, mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh stabil dan berkelanjutan serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Apabila permohonan a quo dikabulkan maka tindak pidana di sektor jasa keuangan tidak akan teratasi dengan cepat dan tepat sehingga menimbulkan kekacauan ( chaos ) dalam sistem keuangan di Indonesia dan dapat mengakibatkan kerugian besar bagi perekonomian nasional dan membawa dampak bagi kesejahteraan rakyat Indonesia. Untuk itu, Pemerintah berpendapat terhadap kewenangan penyidikan ini, kiranya Mahkamah masih akan tetap berpendapat sebagai open legal policy yang tidak bisa dibatalkan oleh Mahkamah karena tidak bertentangan dengan UUD 1945, sebagaimana pertimbangan Mahkamah dalam Putusan 25 yang merupakan putusan atas pasal yang sama yang bahkan lebih prinsip dari permohonan ini karena meminta pembatalan Pasal 1 angka 1 secara keseluruhan. VI. PETITUM Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Konstitusi yang memeriksa, mengadili dan memutus permohonan pengujian (constitusional review) ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan terhadap ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang dimohonkan untuk diuji bukanlah merupakan objek yang dapat diajukan uji materiil di Mahkamah Konstitusi;
Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( Legal Standing );
Menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima ( niet onvankelijke verklaard );
Menyatakan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan tidak bertentangan dengan 87 Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Presiden menyampaikan Keterangan tertulis tambahan pada tanggal 28 Februari 2019 atas pertanyaan-pertanyaan dari Hakim Konstitusi, yang pada pokoknya sebagai berikut: A. Jawaban terhadap pertanyaan dari Hakim Konstitusi Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., MPA 1. Putusan inkracht atas perkara yang proses penyidikannya dilakukan oleh OJK. Jawaban Pemerintah Sebagaimana telah disampaikan dalam Keterangan Presiden sebelumnya, terdapat 9 (sembilan) perkara tindak pidana di sektor jasa keuangan yang penyidikannya dilakukan oleh Penyidik OJK dan telah memiliki kekuatan hukum tetap ( inkracht ). Berikut ini beberapa putusan inkracht yang salinan resminya telah diperoleh OJK (terlampir) yaitu:
Putusan Nomor 484/Pid.Sus/2018/PN.Dpk tanggal 10 Januari 2019;
Putusan Nomor 182/Pid.B/2018/PN.Bil tanggal 30 Agustus 2018;
Putusan Nomor 221/Pid.B/2017/PN.Sbr tanggal 30 Agustus 2017;
Putusan Nomor 457/Pid.Sus/2017/PN.Smn tanggal 19 Desember 2017; dan 5. Putusan Nomor 310/Pid.Sus/2018/PN.Jkt.Pst tanggal 21 Mei 2018. Perkara-perkara di atas merupakan tindak pidana di sektor jasa keuangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU Perbankan) dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UU Perbankan Syariah). Selain itu terdapat 1 putusan yang berkaitan dengan kewenangan penyidikan OJK yaitu perkara pra peradilan di Pengadilan Negeri Palu dengan perkara Nomor 7/Pid.Pra/2018/PN.Pal tanggal 5 November 2018 (putusan terlampir), Perkara a quo dimohonkan oleh Pemohon (Komisaris Utama PT. BPR Akarumi) terhadap Termohon in casu Penyidik OJK. Dalam pertimbangan hukumnya (halaman 42) Hakim menyatakan OJK mempunyai kewenangan untuk melakukan penyidikan dalam perkara meliputi dugaan 88 tindak pidana di bidang perbankan, pasar modal, dan industri keuangan non bank (IKNB). Bahwa dapat kami tambahkan, terhadap dalil Pemohon yang menyatakan tidak adanya pranata pra peradilan pada proses penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan, maka adanya 3 perkara perkara pra peradilan yang melibatkan OJK sebagai pihak menjadi bantahan terhadap dalil Pemohon dimaksud. Terlebih dengan diakuinya kewenangan penyidikan dalam Putusan Pra Peradilan Nomor 7/Pid.Pra/2018/PN.Pal tersebut di atas membuktikan bahwa dalam pranata pra peradilan pun kewenangan penyidikan OJK telah diakui oleh Hakim.
Mekanisme penanganan tindak pidana di sektor jasa keuangan yang proses penyidikannya dilakukan oleh OJK Jawaban Presiden Terkait dengan proses penyidikan yang dilaksanakan oleh OJK, bersama keterangan ini juga dilampirkan alur penyidikan OJK sesuai dengan Keputusan Deputi Komisioner Penyidikan, Organisasi dan SDM Nomor KEP-10/MS.2/2017 tentang Standar Prosedur Operasional di Lingkungan Departemen Penyidikan Sektor Jasa Keuangan. Tabel berikut merupakan gambaran secara singkat alur penyidikan OJK sesuai dengan Keputusan Deputi Komisioner Penyidikan Organisasi dan SDM tersebut di atas: No. JENIS KEGIATAN KETERANGAN 1. Penerimaan pelimpahan laporan dan/atau informasi • Dapat berasal dari:
Satker Pemeriksaan/Investigasi OJK b. Perseorangan c. Penyidik • Dalam hal pelimpahan berasal dari huruf (a) maka Penyidik OJK melakukan proses penyelidikan dan/atau penyidikan; • Dalam hal pelimpahan berasal dari huruf (b) dan huruf (c) maka Penyidik OJK melakukan koordinasi dengan Satker Pemeriksaan/Investigasi OJK 2. Persiapan, pelaksanaan dan pelaporan Gelar Perkara • Gelar Perkara dilakukan sebelum dan selama proses penyidikan. • Gelar Perkara yang dilakukan sebelum penyidikan adalah dalam rangka peningkatan status penanganan perkara dari penyelidikan ke 89 penyidikan • Gelar Perkara yang dilakukan selama proses penyidikan adalah dalam rangka:
penetapan status tersangka;
pemantauan perkembangan penyidikan;
penyidikan bersama ( joint investigation ); dan persiapan pelimpahan berkas perkara. • Gelar Perkara dihadiri oleh Satker Pengawasan terkait, Departemen Hukum OJK, Audit Internal OJK; dan Departemen Penyidikan.
Penyelidikan/Penyidi kan • Penyidik menerbitkan Surat Perintah Penyidikan dan Surat Perintah Kerja kegiatan penyelidikan/penelitian. • Kegiatan Penyelidikan/Penyidikan meliputi:
Peristiwa tindak pidana apa yang terjadi;
Bagaimana terjadinya tindak pidana 3) Mengapa terjadinya Tindak Pidana 4) Apa dan bagaimana modus operandi tindak pidana 5) Dimana tempat/lokasi terjadinya tindak pidana 6) Benda apa saja yang terkait dengan tindak pidana 7) Siapa pelaku korban dan saksi 8) Kapan peristiwa tindak pidana terjadi a. Pemanggilan Obyek pemanggilan: kepada saksi, tersangka, dan/atau ahli b. Penahanan • Didasarkan pada Laporan Gelar Perkara, syarat formil, dan syarat materiil. • Penitipan tahanan di Rutan.
Penggeledahan • Penyidik OJK melakukan persiapan penggeledahan dari sisi kelengkapan materiil, formil, dan peralatan. • Penyidik OJK meminta bantuan dari Kepolisian Republik Indonesia (Kepolisian). • Penyidik OJK membuat Berita Acara Penggeledahan yang ditandatangani oleh Penyidik OJK dan disampaikan kepada pihak yang dilakukan penggeledahan, paling lama 2 (dua) hari setelah dilakukan penggeledahan.
Penyitaan Penyitaan dilakukan berdasarkan permohonan izin penetapan pengadilan, dalam situasi: kegiatan penggeledahan, kegiatan penangkapan, dan/atau kegiatan tertangkap tangan.
Pemblokiran, Pembukaan Rekening Bank atau Lembaga Keuangan lainnya atau dari pihak yang terlibat 1. Penyidik menemukan adanya bukti tindak pidana pada rekening Bank atau Lembaga Keuangan lainnya.
Penyidik melakukan permohonan pemblokiran rekening dengan menyertakan bukti adanya hasil tindak pidana pada rekening dimaksud.
Penyidik menyerahkan permohonan tersebut kepada Bank atau Lembaga Jasa Keuangan lainnya. 90 4. Penyusunan dan Pelimpahan Berkas Perkara • Inventarisasi komponen berkas perkara, yang terdiri dari: laporan kejadian, surat perintah penyidikan, surat panggilan saksi/tersangka, dan surat perintah penangkapan terhadap tersangka (jika ada). • Melakukan penelitian kelengkapan berkas perkara • Menyusun resume perkara dan membuat surat pengantar pelimpahan yang ditujukan kepada:
Kepala Kejaksaan Negeri untuk Perkara acara pemeriksaan biasa;
Kepala Pengadilan Negeri/Tinggi untuk perkara acara pemeriksaan cepar; dan
Kepala Kejaksaan Negeri/Tinggi untuk perkara yang ditangani oleh Penyidik PPNS • Apabila sebelum batas waktu 14 (empat belas) hari berakhir berkas perkara dikembalikan dan disertai petunjuk Jaksa Penuntut Umum (P.19) maka Penyidik OJK segera melakukan penyidikan tambahan guna melengkapi berkas perkara sesuai petunjuk teknis • Apabila berkas perkara tidak dikembalikan atau sebelum batas waktu telah ada pemberitahuan bahwa hasil penyidikan telah lengkap (P.21) maka Penyidik OJK segera melimpahkan tanggung jawab kepada Kepala Kejaksaan Alur penyidikan dimaksud telah membuktikan bahwa proses penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik OJK telah berpegang pada prinsip due process of law dan tidak menyimpang dari KUHAP dan UU OJK sebagai acuan untuk pelaksanaan penyidikan OJK. Alur proses penyidikan dimaksud juga menggambarkan adanya koordinasi antara Penyidik OJK dengan Kepolisian RI sebagai bentuk pelaksanaan integrated criminal justice system .
Berikan komparasi dengan negara lain yang juga memiliki Lembaga Pengawas Jasa Keuangan seperti OJK dan mempunyai kewenangan penyidikan. Jawaban Presiden: Berkaitan dengan perbandingan kepemilikan wewenang penyidikan pada Lembaga Pengawas Jasa Keuangan di Negara lain, perlu dipahami terlebih dahulu bahwa bentuk Lembaga Pengawas Jasa Keuangan di Negara lain bervariasi sesuai dengan sistem ketatanegaraan dan sistem hukumnya masing-masing. Beberapa Negara memiliki Lembaga Pengawas di Sektor 91 Jasa Keuangan yang bersifat sektoral tetapi tetap memiliki kewenangan penyidikan. Sebagai contoh, di Jepang , lembaga pengawasan pasar modal yaitu Securities and Exchanges Survaillance Commission memiliki Criminal Investigation Division . Lembaga tersebut berkoordinasi dengan Japan Financial Services Agency dalam pelaksanaan tugasnya (sumber: www.fsa.go.jp/common/about/h30FSAsOrganizationChartOutline.pdf ). Contoh lainnya adalah Negara Inggris , dimana FCA ( Financial Conduct Authority ) memiliki kewenangan untuk melakukan “ bringing criminal prosecution to tackle financial crime, such as insider dealing, unauthorized business and false crime to be FCA authorized (sumber: www.fca.org.uk/about/enforcement ) dan Article 401 pada Financial Services and Markets Act 2000 yang menyatakan “ P roceedings for an offence may be instituted in England and Wales only—(a) by the Authority ” . B. Jawaban terhadap pertanyaan Hakim Konstitusi Dr. Suhartoyo, S.H., M.H. dan Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H., M.S.
Filosofis Kelembagaan OJK a. Secara mandat, pembentukan Lembaga OJK didasarkan pada amanat Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Bank Indonesia (UU BI) untuk mengatur dalam suatu UU pembentukan suatu lembaga pengawasan di sektor jasa keuangan yang independen dan berfungsi untuk menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan yang bergerak di sektor jasa keuangan. Terkait dengan pembentukan OJK yang hanya dimandatkan oleh UU BI bukan secara langsung oleh UUD 1945, Majelis Hakim Konstitusi dalam Putusan Perkara Permohonan Uji Materiil Nomor 25/PUU-XII/2014 tanggal 4 Agustus 2015 halaman 289 menyatakan bahwa “oleh karena independensi OJK merupakan penjabaran dari UU BI, sedangkan independensi bank sentral berasal dari Pasal 23D UUD 1945 maka untuk memahami independensi OJK harus dikaitkan dengan independensi Bank Indonesia sebagai bank sentral. Independensi bank sentral dimaksudkan agar bank sentral memiliki kebebasan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang dan keputusan- 92 keputusan yang diambil dalam mencapai tujuannya tersebut tidak dapat diintervensi oleh pemerintah dan cabang-cabang kekuasaan negara lainnya. Dikaitkan dengan hal tersebut maka independensi OJK bukan berarti OJK dapat menentukan sendiri tujuannya, karena tujuan pembentukan OJK telah ditentukan dalam UU OJK, di antaranya dalam Pasal 4 UU OJK disebutkan bahwa OJK dibentuk dengan tujuan agar seluruh kegiatan dalam sektor jasa keuangan terselenggara dengan teratur, adil, transparan dan akuntabel; dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Berdasarkan tujuan pembentukan OJK yang langsung berkenaan dengan bidang ekonomi, maka sudah tepat Pasal 33 UUD 1945 dijadikan sebagai dasar hukum kewenangan pembentukan OJK . Selanjutnya terkait dengan kedudukan/hubungan kelembagaan OJK dengan pemerintahan, Mahkamah dalam pertimbangan Putusan Perkara Permohonan Uji Materiil Nomor 25/PUU-XII/2014 menyatakan: “penjelasan demikian (yaitu penjelasan umum UU OJK) harus dimaknai tetap ada kaitannya dengan pemerintah, sebab semua urusan yang diberikan kepada OJK tidak dapat dilepaskan dengan urusan penyelenggaraan pemerintahan, sehingga OJK bukanlah bagian yang dipisahkan dari negara yang karenanya seakan-akan OJK merupakan negara dalam negara. Hal demikian juga terbukti dari adanya unsur-unsur perwakilan pemerintah di OJK serta koordinasi, kerjasama, dan harmonisasi kebijakan dengan lembaga-lembaga lain.” Berdasarkan pada pertimbangan dalam Putusan Perkara Permohonan Uji Materiil Nomor 25/PUU-XII/2014 tersebut di atas, Pemerintah berpendapat pandangan Pemerintah bahwa OJK adalah lembaga negara yang menyelenggarakan urusan Pemerintahan memiliki landasan yuridis, filosofis dan sosiologis yang sangat kuat. Selanjutnya dikaitkan dengan jenis lembaga negara main organ dan auxsiliary organ, memperhatikan pengklasifikasin lembaga negara oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 36/PUU-XV/2017 menyatakan: “Secara teori dan praktik, lembaga-lembaga negara tersebut dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yakni (i) lembaga negara mandiri yang disebut lembaga negara utama ( main state organs ) dan (ii) lembaga negara yang mempunyai fungsi 93 melayani yang disebut lembaga negara penunjang ( auxiliary state organs ). Lembaga negara yang termasuk main state organs ialah MPR, DPR, DPD, Presiden-Wakil Presiden, BPK, MA, dan MK” . Sebagai lembaga negara yang independen, yang dasar kewenangan pembentukannya mengacu pada Pasal 33 UUD 1945 serta yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam rangka pencapaian tujuan bernegara sebagaimana dimandatkan UUD 1945, maka menjadi sangat berdasar hukum apabila kedudukan OJK disematkan sebagai lembaga negara utama ( main organ ) bukan auxiliary organ yang menjadi penunjang lembaga negara lainnya.
Dengan kedudukan sebagai main organ lembaga negara, dalam penjelasan ketentuan umum dalam UU OJK, disebutkan bahwa untuk mewujudkan koordinasi, kerjasama dan harmonisasi kebijakan yang baik, OJK harus merupakan bagian dari sistem penyelenggaraan urusan pemerintahan yang berinteraksi secara baik dengan lembaga-lembaga negara dan pemerintahan lainnya dalam mencapai tujuan dan cita-cita kemerdekaan Indonesia yang tercantum dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian adalah jelas OJK merupakan suatu lembaga negara yang sekalipun kedudukannya berada diluar sistem pemerintahan, OJK tetap menjadi bagian dari sistem penyelenggaraan urusan pemerintahan. Hal tersebut bersesuaian dengan pendapat dari Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum yang disampaikan dalam Keterangan Ahli untuk Permohonan Uji Materiil Nomor 25/PUU-XII/2014, yang menyatakan bahwa fungsi OJK tidak lepas dari fungsi pemerintahan ( sturen ) yang melekat pada wewenang pemerintah ( bestuurbovegheid ). Dalam melaksanakan fungsi sturen , pemerintah diberikan kewenangan untuk melaksanakan fungsi pengawasan dan penegakan hukum administrasi negara. Dimensi perlindungan hukum dalam pelaksanaan fungsi sturen ( sturende functie ) terdapat dalam Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 UU OJK, yang pada intinya dimaksudkan untuk melindungi rakyat yang menjadi pengguna jasa keuangan dari praktek-praktek yang melanggar prinsip tata kelola 94 perbankan dan non-perbankan yang baik ( good financial government ).
Kedudukan OJK sebagai lembaga negara yang menjalankan fungsi pemerintahan juga sangat jelas terlihat dengan peralihan kewenangan yang melekat Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia untuk menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan yang terkait dengan pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat (1) dan ayat (2) UU OJK yang berbunyi:
Pengujian UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas terhadap UUD Negara RI Tahun 1945
Relevan terhadap
(1) Dalam hal tidak ditunjuk likuidator, maka Direksi bertindak selaku likuidator. (2) Ketentuan mengenai pengangkatan, pemberhentian sementara, pemberhentian, wewenang, kewajiban, tanggung jawab, dan pengawasan terhadap Direksi berlaku pula bagi likuidator. 56 Ketentuan ini ditindaklanjuti dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Conflict of Interest Direksi terjadi dalam hal diatur dalam Pasal 99 ayat (1) UU PT yang menyatakan: _Anggota Direksi tidak berwenang mewakili Perseroan apabila: _ 1) terjadi perkara di pengadilan antara Perseroan dengan anggota _Direksi yang bersangkutan; atau _ 2) anggota Direksi yang bersangkutan mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan. c. Bahwa dalam UU PT juga sudah diatur tentang dilarangnya Direksi mewakili perseroan dalam hal terjadi benturan kepentingan. Suatu Perseroan Terbatas yang melakukan pembubaran perseroan tidak selalu melibatkan asset yang dapat dibagi, bahkan dari likuidasi dan pembubaran yang didaftarkan dalam 3 tahun terakhir adalah likuidasi yang tidak melibatkan keuangan yang signifikan sehingga apabila likuidasi hanya dapat dilakukan oleh likuidator dapat terjadi hal sama dengan kurator, sehingga dapat terjadi dalam likuidasi perusahaan dalam hal kepailitan oleh debitur yang tidak punya asses tidak diminati likuidator sehingga menyebabkan menjadi terkatung katung. Sebagaimana yang diatur dalam KUHD yang melakukan likuidasi adalah pengurus, namun baru pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 di atur tentang likuidator, dan rezim likuidasi terbagi dalam 2 jalur yaitu likuidasi sukarela dan paksa melalui kepailitan. Dalam hal likuidasi sukarela sepenuhnya berdasar KUH Perdata berdasarkan kesepakatan para pihak terkait dengan bagaimana prosesnya dan siapa yang akan melakukan pemberesan perseroan tersebut.
Berdasarkan Pasal 142 UU PT sebatas pelaksana tugas likuidator dalam tugas pelaksanaan likuidasi perseroan terrsebut. Padahal likuidasi sangat penting untuk menentukan status hukum suatu perseroan sehingga tidak mempersulit prosesnya. Kekawatiran pemohon apabila terjadi conflik of interest karena adanya RUPS dan organ RUPS masih mempunyai kekuasaan untuk mengangkat kembali menegur pemberesan yang dilakukan direksi. 57 5. Berdasarkan hal tersebut diatas maka dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 142 ayat (2) huruf a, dan ayat (3) UU PT bertentangan terhadap Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah dalil yang tidak beralasan hukum. IV. PETITUM Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada yang terhormat Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, memutus dan mengadili permohonan pengujian Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas terhadap Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menolak permohonan pengujian para Pemohon seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian Para Pemohon tersebut tidak dapat diterima ( niet ontvankelijke verklaard );
Menerima Keterangan Pemerintah secara keseluruhan;
Menyatakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( Legal Standing );
Menyatakan ketentuan Pasal 142 ayat (2) huruf a, dan ayat (3) Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) Undang- Undang Dasar 1945. Namun apabila Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon kiranya dapat memberikan putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya (ex aquo et bono) . Atas perkenan dan perhatian Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, diucapkan terima kasih. [2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat menyampaikan keterangan dalam persidangan tanggal 10 Oktober 2018 dan telah menyerahkan keterangan tertulis yang disampaikan di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 17 Oktober 2018, yang pada pokoknya sebagai berikut: 58 A. KETENTUAN UU PT YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN TERHADAP UUD 1945 Para Pemohon dalam perbaikan permohonannya __ mengajukan pengujian atas Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU PT yang mengatur: Pasal 142 ayat (2) huruf a _Dalam hal terjadi pembubaran Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1): _ (a) Wajib diikuti dengan likuidasi yang dilakukan oleh likuidator atau kurator Pasal 142 ayat (3) Dalam hal pembubaran terjadi berdasarkan keputusan RUPS, jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir atau dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan keputusan pengadilan niaga dan RUPS tidak menunjuk likuidator, Direksi bertindak selaku likuidator B. HAK DAN/ATAU KEWENANGAN KONSTITUSIONAL YANG DIANGGAP PARA PEMOHON TELAH DIRUGIKAN OLEH BERLAKUNYA UU PT Para Pemohon beranggapan bahwa ketentuan Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU PT telah menghilangkan atau mengganggu hak dasar Para Pemohon untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil dan jaminan perlindungan hukum selaku warga negara Indonesia, sebab kedua pasal a quo tidak memberikan definisi bahkan persyaratan kepada seseorang yang dapat menjadi likuidator (vide perbaikan permohonan hlm 7 angka 2). Selain itu, berdasarkan ketentuan Pasal 142 ayat (2) huruf a UU PT, terdapat kesetaraan kedudukan antara likuidator dan kurator. Dengan demikian, maka selayaknya profesi likuidator diperlakukan sama menurut hukum dengan profesi kurator, baik dalam kejelasan rumusannya maupun kualifikasinya sebagai likuidator (vide perbaikan permohonan hlm 14 angka 14). Para Pemohon dalam permohonannya __ mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU PT yang dinilai merugikan profesi likuidator akibat ketiadaan jaminan perlindungan dan kepastian hukum bagi profesi likuidator ( Vide Perbaikan Permohonan, hlm. 8). Secara garis besar, Para Pemohon mengharapkan bahwa pasal-pasal a quo di dalam UU PT yang dinilai merugikan hak konstitusional dari para Pemohon yang berprofesi sebagai likuidator dan 59 mengganggu peningkatan pembangunan perekonomian nasional untuk diuji konstitusionalitasnya. Bahwa pasal-pasal a quo dianggap bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang berketentuan sebagai berikut:
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945: Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya 2. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945: Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum Bahwa berdasarkan uraian-uraian permohonannya, para Pemohon dalam Petitumnya memohon kepada Majelis Hakim sebagai berikut:
Menerima dan mengabulkan seluruh Permohonan para Pemohon;
Menyatakan Pasal 142 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 106, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756) bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ( conditional unconstitutional ) “likuidator yang berstatus sebagai warga negara indonesia, memiliki sertifikat keahlian melikuidasi perseroan, dan independen”;
Menyatakan Pasal 142 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran negara Republik Indonesia Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756) bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat Atau apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). C. KETERANGAN DPR RI Terhadap dalil para Pemohon sebagaimana diuraikan dalam perbaikan permohonan, DPR RI dalam penyampaian pandangannya terlebih dahulu menguraikan mengenai kedudukan hukum ( legal standing ) dapat dijelaskan sebagai berikut: 60 1. Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Para Pemohon Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh para Pemohon sebagai pihak telah diatur dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK yang menyatakan bahwa: Para Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan _konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: _ _a. perorangan warga Negara Indonesia; _ b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik _Indonesia yang diatur dalam undang-undang; _ _c. badan hukum publik atau privat; atau _ d. lembaga negara . Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud ketentuan Pasal 51 ayat (1) tersebut, dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan “hak konstitusional ” adalah “ hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. ” Ketentuan Penjelasan Pasal 51 ayat (1) ini menegaskan, bahwa hanya hak-hak yang secara eksplisit diatur dalam UUD 1945 saja yang termasuk “ hak konstitusional ”. Oleh karena itu, menurut UU MK, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
Kualifikasinya sebagai Pemohon dalam permohonan a quo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud dalam “Penjelasan Pasal 51 ayat (1)” dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang a quo . Mengenai batasan kerugian konstitusional, MK telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang harus memenuhi 5 (lima) syarat (vide __ Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 __ dan __ Nomor 011/PUU-V/2007) yaitu sebagai berikut: 61 a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Jika kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh para Pemohon dalam perkara pengujian undang-undang a quo , maka para Pemohon tidak memiliki kualifikasi kedudukan hukum ( legal standing ) sebagai Pemohon. Menanggapi permohonan para Pemohon a quo , DPR RI berpandangan bahwa para Pemohon harus dapat membuktikan terlebih dahulu apakah benar para Pemohon sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, khususnya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagai dampak dari diberlakukannya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji. Merujuk kepada lima syarat terkait kerugian konstitusional dari para Pemohon, DPR-RI memberikan pandangan sebagai berikut: a) Terkait dengan hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945 Bahwa para Pemohon beranggapan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang pada pokoknya mengatur persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan dan kewajiban menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya dan hak atas 62 pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Bahwa ketentuan a quo UU PT pada pokoknya mengatur mengenai persyaratan dan mekanisme pembubaran, likuidasi, dan berakhirnya status badan hukum perseroan, tidak mengatur secara khusus kedudukan, hak dan wewenang likuidator dan kurator. Bahwa mencermati ketentuan pasal a quo UU PT yang mengatur mekanisme pembubaran perseroan, sesungguhnya tidak terdapat pertautan dengan hak konstitusional yang diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Bahwa perlu dipahami oleh Para Pemohon, profesi likuidator dan kurator adalah dua profesi yang berbeda dan masing-masing memiliki kekhususan dan kewenangan tersendiri yang diatur dengan undang-undang UU PT dan UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Dengan pengaturan dalam undang-undang yang berdeba antara likuidator dan kurator tersebut, tentu memiliki peran, kedudukan, fungsi dan wewenang yang berbeda yang tidak dapat disamakan dengan mengajukan pengujian ketentuan a quo UU PT. Oleh karena ketentuan a quo UU PT pada pokoknya mengatur mengenai persyaratan dan mekanisme pembubaran, likuidasi, dan berakhirnya status badan hukum perseroan, sama sekali tidak tepat jika dikaitkan dengan hak konstitusional yang dianggap para Pemohon dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. b) Terkait dengan hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang- undang yang diuji Bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon sebagaimana dalil para Pemohon dijamin oleh Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tersebut, sama sekali tidak tepat jika dihubungkan dengan ketemtuan a quo UU PT. Oleh karena tidak adapertautan antara hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan ketentuan a quo UU PT tentu Para Pemohon tidak mengalami kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional oleh berlakunya ketentuan a quo UU PT. 63 Bahwa Pemohon I sampai dengan Pemohon III adalah selaku pengurus Perkumpulan Profesi Likuidator Indonesia (PPLI) dan Pemohon IV sampai dengan Pemohon VII adalah selaku likuidator/anggota PPLI. Dalam ketentuan UU PT diatur mengenai peran likuidator, yaitu melakukan pemberesan harta kekayaan Perseroan dalam proses likuidasi (Pasal 149 ayat (1) UU PT) dan wajib memberitahukan kepada semua kreditor mengenai pembubaran Perseroan dengan cara mengumumkan pembubaran Perseroan dalam Surat Kabar dan Berita Negara Republik Indonesia [Pasal 147 ayat (1) huruf a UU PT]. Bahwa dengan demikian peran likuidator yang diatur dalam ketentuan a quo UU tersebut, tidak mengurangi dan tidak menghalangi hak dan/atau kewenangan konstitusional para pemohon sebagai likuidator sebagaimana didalilkan Para Pemohon. c) Terkait dengan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi Bahwa Para Pemohon dalam perbaikan permohonan a quo hanya mendalilkan bahwa Para Pemohon sebagai likuidator merasa dirugikan hak konstitusionalnya yaitu terkait dengan pengaturan yang mengatur mengenai likuidator berbeda dengan pengaturan kurator yang diatur dalam UU KPKPU. Ketentuan yang berbeda tersebut, Para Pemohon beranggapan ketentuan Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU PT tidak memiliki kesetaraan terlebih terhadap kualifikasi profesi sehingga tidak tercermin adanya persamaan kedudukan di hadapan hukum. Bahwa dalil para Pemohon tersebut bukan merupakan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual, karena dalil yang dikemukakan para Pemohon adalah bersifat asumsi yang beranggapan adanya perbedaan pengaturan antara likuidator yang diatur dalam UU PT dan kurator yang diatur dalam UU KPKPU. Dengan demikian para Pemohon a quo tidak mengalami kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang bersifat spesifik (khusus) dan 64 aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi sebagaimana didalilkan para Pemohon. d) Terkait dengan adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian Bahwa kerugian para Pemohon dalam perbaikan permohonan a quo hanya mengemukakan bahwa para Pemohon sebagai likuidator merasa dirugikan hak konstitusionalnya yaitu terkait dengan pengaturan mengenai likuidator berbeda dengan pengaturan kurator yang diatur dalam UU KPKPU. Bahwa dalam ketentuan UU PT diatur mengenai peran likuidator, yaitu melakukan pemberesan harta kekayaan Perseroan dalam proses likuidasi (Pasal 149 ayat (1) UU PT) dan wajib memberitahukan kepada semua kreditor mengenai pembubaran Perseroan dengan cara mengumumkan pembubaran Perseroan dalam Surat Kabar dan Berita Negara Republik Indonesia [Pasal 147 ayat (1) huruf a UU PT]. Bahwa antara kerugian yang didalilkan oleh para Pemohon tersebut sama sekali tidak terdapat hubungan sebab akibat ( causa verband ) dengan ketentuan a quo UU PT. Karena para Pemohon tidak mengalami kerugian yang bersifat konstitusional dengan berlakunya ketentuan a quo UU PT. e) Terkait dengan adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Bahwa seandainya petitum yang diajukan oleh para Pemohon untuk menambahkan kalimat “ yang berstatus sebagai warga negara indonesia, memiliki sertifikat keahlian melikuidasi perseroan, dan independen ” setelah kata “ likuidator ” di dalam Pasal 142 ayat (2) huruf a UU PT dikabulkan oleh MK, tidak dengan serta merta menghilangkan kerugian konstitusional yang dianggap telah dialami oleh para Pemohon karena jika para Pemohon menganggap bahwa ketentuan pasal a quo belum cukup mengatur mengenai profesi likuidator, tidak berarti pasal a quo tersebut inkonstitusional. 65 Bahwa dengan demikian Putusan Mahkamah Kontitusi terhadap pengujian UU a quo tidak berpengaruh apapun terhadap para Pemohon. Bahwa selain itu terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa mereka memiliki kedudukan hukum untuk melakukan pengujian UU PT atas dasar sebagai bagian dari warga negara pembayar pajak dengan landasan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-I/2003 merupakan suatu kesalahan. Hal ini mengingat pertimbangan yang diungkapkan oleh Majelis Hakim MK yang termuat di dalam Putusan tersebut yang menyatakan: “Menimbang bahwa para Pemohon a quo adalah warga masyarakat pembayar pajak (tax payers), sehingga dipandang memiliki kepentingan sesuai Pasal 51 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003. Hal dimaksud sesuai dengan adagium no taxation without participation dan sebaliknya no participation without tax, sehingga hak dan kepentingan mereka terpaut pula dengan pinjaman (loan) yang dibuat negara cq. pemerintah dengan pihak lain yang akan membebani warga negara sebagai pembayar pajak. Upaya pembayaran dan pelunasan utang negara antara lain berasal dari pemasukan pajak. Dalam kaitan dimaksud, Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon a quo yang menganggap hak konstitusional mereka dirugikan dengan berlakunya Pasal 20 UU Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara, dapat dibenarkan sehingga Pemohon a quo memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk berperkara di hadapan Mahkamah. (vide Putusan MK No. 003/PUU-I/2003 hlm. 49 – 50)” Bahwa berdasarkan kutipan dari Putusan MK Nomor 003/PUU-I/2003 tersebut maka dapat dipahami bahwa alasan mengapa warganegara pembayar pajak ( tax payers ) mempunyai kedudukan hukum untuk memohon pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara adalah dikarenakan adanya hak dan kepentingan mereka yang terkait langsung dengan pinjaman yang dibuat oleh negara. Mengingat upaya pembayaran dan pelunasan utang negara antara lain berasal dari pemasukan pajak, yang tentunya bersumber dari warganegara pembayar pajak. 66 Bahwa dengan demikian salah apabila Para Pemohon berpandangan bahwa mereka mempunyai kedudukan hukum semata-mata atas dasar sebagai warganegara pembayar pajak saja. Oleh karenanya dengan dikabulkannya permohonan ini atau tidak maka tidak akan ada dampak apa pun bagi ara Pemohon. Bahwa pandangan DPR-RI berpandangan tersebut sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XIV/2016 yang menegaskan bahwa di dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’interest , point d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang . Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “tiada gugatan tanpa hubungan hukum” ( no action without legal connection )”. Bahwa terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon, DPR RI berpandangan bahwa para Pemohon secara keseluruhan tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing), serta tidak memenuhi persyaratan kerugian konstitusional yang diputuskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu. Bahwa para Pemohon dalam permohonan a quo tidak menguraikan secara konkret mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusionaInya yang dianggap dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, utamanya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionaInya yang dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji tersebut. Dengan demikian, DPR RI melalui Majelis memohon kiranya para Pemohon dapat membuktikan terlebih dahulu apakah benar sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang dirugikan atas berlakunya pasal a quo yang dimohonkan untuk diuji. Berdasarkan uraian- uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum (legal standing ) para Pemohon, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan 67 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional.
Pengujian Materiil Atas UU PT Terhadap UUD NRI Tahun 1945 a. Pandangan Umum 1) Bahwa menurut Gustav Radbruch, kepastian hukum ( legal certainty ) merupakan salah satu dari tiga pilar fundamental di dalam hukum, selain keadilan dan kebermanfaatan, oleh karenanya keberadaan UU PT ditujukan untuk memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan investasi di bidang ekonomi dalam wadah Perseroan Terbatas di Indonesia.
Bahwa Pembangunan perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi yang berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan pembangunan perkonomian nasional perlu didukung oleh suatu undang-undang yang mengatur tentang perseroan terbatas yang dapat menjamin iklim dunia usaha yang kondusif. Selama ini perseroan terbatas telah diatur dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, yang menggantikan peraturan perundang- undangan yang berasal dari zaman kolonial. Namun, dalam perkembangannya ketentuan dalam Undang-Undang tersebut dipandang tidak lagi memenuhi perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat karena keadaan ekonomi serta kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi sudah berkembang begitu pesat khususnya pada era globalisasi. Di samping itu, meningkatnya tuntutan masyarakat akan layanan yang cepat, kepastian hukum, serta tuntutan akan pengembangan dunia usaha yang sesuai dengan prinsip pengelolaan perusahaan yang baik ( good corporate governance ) menuntut penyempurnaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.
Bahwa dalam Undang-Undang ini telah diatur berbagai ketentuan mengenai Perseroan, baik berupa penambahan ketentuan baru, 68 perbaikan penyempurnaan, maupun mempertahankan ketentuan lama yang dinilai masih relevan. Untuk lebih memperjelas hakikat Perseroan, di dalam Undang-Undang ini ditegaskan bahwa Perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
Bahwa Undang-Undang ini memperjelas dan mempertegas tugas dan tanggung jawab Direksi dan Dewan Komisaris, mengatur mengenai komisaris independen dan komisaris utusan. Selain itu Undang-Undang ini mempertegas ketentuan mengenai pembubaran, likuidasi, dan berakhirnya status badan hukum Perseroan dengan memperhatikan ketentuan dalam Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Dengan pengaturan yang komprehensif yang melingkupi berbagai aspek Perseroan, maka Undang-Undang ini diharapkan memenuhi kebutuhan hukum masyarakat serta lebih memberikan kepastian hukum, khususnya kepada dunia usaha b. Pandangan Terhadap Pokok Permohonan 1) Bahwa para Pemohon dalam perbaikan permohonan a quo mengemukakan: “Bahwa norma a quo tidak sejalan dengan semangat kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pasal a quo merupakan sebuah norma yang tidak memberikan kepastian hukum bagi Pemohon dalam hal kedudukannya sebagai likuidator.” (vide perbaikan permohonan hlm 12 angka 9) Bahwa dalil Pemohon tersebut bersifat asumtif, tidak memperjelas sacara konkrit mengenai kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagai likuidator. Bahwa asumsi para Pemohon yang beranggapan ketiadaan pengaturan mengenai profesi likuidator di dalam UU PT menimbulkan ketidakpastian hukum adalah tidak beralasan. Oleh karena para Pemohon tidak membuktikan secara konkrit mengenai kerugian yang diakibatkan oleh berlakunya UU PT, 69 tetapi para Pemohon membandingkan pengaturan likuidator dalam UU PT dengan pengaturan kurator dalam UU KPKPU. Bahwa justru ketentuan a quo UU PT memberikan kepastian hukum kepada peran likuidator dalam menjalankan peran dan tanggung jawabnya sebagaimana diatur UU PT. Bahwa merujuk pada pendapat Gustav Radbruch dalam Statutory Lawlessness and Supra-Statutory Law mengenai kepastian hukum, dikatakan bahwa: “Any statute is always better than no statute at all, since it at least creates legal certainty.” Setiap Undang-Undang selalu lebih baik daripada tidak ada undang- undang sama sekali, karena setidaknya menciptakan kepastian hukum. Merujuk pendapat dari Gustav Radbruch tersebut, bahwa kepastian hukum lahir dari norma yang sudah menjadi hukum positif, yaitu UU PT. Bahwa ketentuan Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU PT yang mengatur peran likuidator justru memberikan perlindungan dan jaminan kepastian hukum dalam melakukan likuidasi dalam hal terjadi pembubaran perseroan.
Bahwa ketiadaan pengaturan mengenai likuidator di dalam UU PT tidak serta merta berarti ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Hal tersebut sesuai dengan pertimbangan hukum MK dalam Putusan Perkara PUU Nomor 88/PUU-XV/2017 yang di dalamnya menyatakan: “Perihal belum adanya pengaturan dalam bentuk undang-undang (rechtsvacuum) tentang santunan bagi mereka yang mengalami kecelakaan tunggal, hal itu tidaklah berarti Undang-Undang a quo tidak konstitusional, sebab memang bukan demikian maksud dibentuknya undang-undang ini. Dengan kata lain, perlunya ada pengaturan perihal pemberian santunan bagi mereka yang mengalami kecelakaan tunggal harus dipertimbangkan sebagai bagian dari ius constituendum untuk masa yang akan datang karena adanya tuntutan kebutuhan untuk itu, bukan dengan menyalahkan 70 undang-undang a quo.” ( vide Putusan MK No. 88/PUU-XV/2017: hlm.
Memberitahukan pembubaran Perseroan tersebut kepada Menteri Hukum dan HAM untuk dicatat dalam daftar Perseroan bahwa Perseroan Kurator memiliki tugas sebagai berikut:
Melakukan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit (vide Pasal 69 UU K-PKPU) b. Kurator harus menyampaikan laporan kepada 71 No. Perihal Pengaturan Likuidator Pengaturan Kurator dalam likuidasi; [vide Pasal 147 ayat (1) UU PT] b. Melakukan pemberesan harta Perseroan; [vide Pasal 149 ayat (1) UU PT] c. Atas perintah Pengadilan Negeri, likuidator melakukan penarikan sisa kekayaan hasil likuidasi yang telah dibagikan kepada pemegang saham apabila ada kreditor yang belum mengajukan tagihannya dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak pembubaran Perseroan diumumkan; (vide: Pasal 150 ayat (2) UU PT) d. Membuat laporan pertanggungjawaban atas likuidasi yang dilakukan [vide Pasal 152 ayat (1) UU PT] e. Memberitahukan kepada Menteri Hukum dan HAM hasil akhir proses likuidasi dalam Surat Kabar setelah RUPS memberikan pelunasan dan pembebasan kepada likuidator atau setelah pengadilan menerima pertanggungjawaban likuidator yang ditunjuknya; [vide Pasal 152 ayat (3) UU PT]; dan
Mengumumkan hasil Hakim Pengawas mengenai keadaan harta pailit dan pelaksanaan tugasnya tiap 3 (tiga) bulan. (vide Pasal 74 UU K-PKPU) c. Sejak mulai pengangkatannya, Kurator harus melaksanakan semua upaya untuk mengamankan harta pailit, dan menyimpan semua surat, dokumen, uang, perhiasan, efek, dan surat berharga lainnya dengan memberikan (vide Pasal 98 UU K- PKPU) d. Kurator paling lambat 5 (lima) hari setelah penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 wajib memberitahukan penetapan tersebut kepada semua Kreditor yang alamatnya diketahui dengan surat dan mengumumkannya paling sedikit dalam 2 (dua) surat kabar harian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4). [vide Pasal 114 UU K-PKPU] e. Kurator wajib: • Mencocokkan perhitungan piutang yang diserahkan oleh Kreditor dengan catatan yang 72 No. Perihal Pengaturan Likuidator Pengaturan Kurator akhir proses likuidasi dalam Surat Kabar setelah RUPS memberikan pelunasan dan pembebasan kepada likuidator atau setelah pengadilan menerima pertanggungjawaban likuidator yang ditunjuknya. [vide Pasal 152 ayat (3) UU PT] telah dibuat sebelumnya dan keterangan Debitor pailit; atau • Berunding dengan Kreditor jika terdapat keberatan terhadap penagihan yang diterima [vide Pasal 116 ayat (1) UU K-PKPU] f. Kurator melakukan penjualan harta pailit (vide Pasal 185 UU K-PKPU) g. Kurator melakukan daftar pembagian hasil penjualan harta pailit (vide Pasal 189 UU K-PKPU) 3. Kualifikasi Profesi Tidak diatur Seseorang yang dapat diangkat menjadi likuidator harus memenuhi kualifikasi sebgaai berikut:
Orang-perseorangan yang berdomisili di Indonesia b. Memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus dan/atau membereskan harta pailit;
Dan terdaftar pada kementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan peraturan perundang- undangan [vide Pasal 70 ayat (2) UU K- PKPU] 4. Organisasi Profesi Perkumpulan Profesi Likuidator Indonesia a. Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia 73 No. Perihal Pengaturan Likuidator Pengaturan Kurator (PPLI) (AKPI) b. Ikatan Kurator dan Pengurus Indonesia (IKAPI) c. Himpunan Kurator dan Pengurus Indonesia (KHKI) Bahwa anggapan para Pemohon yang menyatakan kejelasan profesi likuidator yang sesungguhnya memiliki kualitas, peran, dan tanggungjawab yang sama dengan kurator adalah anggapan yang keliru karena profesi likuidator yang diatur dalam UU PT memiliki kedudukan, peran dan tanggung jawab yang berbeda dengan profesi kurator yang diatur dalam UU KPKPU. Dengan demikian tidak tepat dan tidak berdasar apabila Para Pemohon hendak menyamakan peran dan tanggung jawab antara kedudukan likuidator yang jelas berbeda dengan kurator yang diatur dalam UU yang berbeda. Merujuk pendapat Prof. Soediman Kartohadiprodjo yang menyatakan bahwa, “ Menyamakan sesuatu yang tidak sama, sama tidak adilnya dengan membedakan yang sama.” (Pers dan Kaum Perempuan di Indonesia: Bagir Manan: hlm. 8). Demikian juga yang dinyatakan oleh Laica Marzuki bahwa ketidakadilan ( ungenrechtigkeit ) bukan hanya membedakan dua hal yang sama, tetapi juga menyamakan dua hal yang berbeda (Putusan MK Nomor 1/PUU- X/2012: hlm. 84). Bagir Manan juga menyatakan hal yang serupa dengan Prof. Soediman Kartohadiprodjo dan Laica Marzuki, yaitu: “Ada adagium lama yang diketahui oleh setiap ahli hukum yang mengatakan, “Menyamakan sesuatu yang berbeda atau tidak sama, sama tidak adilnya dengan membedakan yang sama.” Dengan bahasa yang lebih mudah, dalam keadaan tertentu membedakan atau unequal treatment itu, justru merupakan syarat dan cara mewujudkan keadilan, sebaliknya dalam keadaan tertentu membuat segala sesuatu serba sama sedangkan didapati berbagai perbedaan juga akan menimbulkan dan melukai rasa keadilan. Kalau demikian, apakah ada syarat objektif agar suatu perbedaan 74 atau unequal itu menjadi syarat untuk mewujudkan keadilan.” (vide Putusan MK Nomor 1/PUU-X/2012: hlm.57) 4) Bahwa para Pemohon dalam perbaikan permohonan a quo menyatakan bahwa Pasal 142 ayat (3) UU PT berpotensi menimbulkan konflik bagi para pihak yang berkepentingan ( conflict of interest ) dan dianggap bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Bahwa terhadap pernyataan para Pemohon tersebut, DPR-RI berpandangan bahwa dalam hal adanya potensi konflik bagi para pihak yang berkepentingan sudah diatur dalam UU PT, terutama bagi kreditor. Bahwa ketentuan yang mengatur penyelesaian adanya potensi konflik tersebut diatur dalam Pasal 149 ayat (3) dan ayat (4) serta Pasal 150 ayat (1) dan ayat (2) UU PT, yang berketentuan sebagai berikut: Pasal 149 ayat (3) dan ayat (4) (3) Kreditor dapat mengajukan keberatan atas rencana pembagian kekayaan hasil likuidasi dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam) puluh hari terhitung sejak tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b. (4) Dalam hal pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditolak oleh likuidator, kreditor dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal penolakan. Pasal 150 ayat (1) dan ayat (2) (1) Kreditor yang mengajukan tagihan sesuai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 ayat (3), dan kemudian ditolak oleh likuidator dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal penolakan. (2) Kreditor yang belum mengajukan tagihannya dapat mengajukan melalui pengadilan negeri dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak pembubaran Perseroan diumumkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 ayat (1). Bahwa berdasarkan pandangan tersebut diatas, ketentuan Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU PT yang mengatur pembubaran, 75 likuidasi, dan berakhirnya status badan hukum perseroan adalah ketentuan yang memberikan jaminan perlindungan kepastian hukum dan kesamaan kedudukan setiap orang di dalam hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Karenanya, ketentuan pasal a quo UU PT tidak bertentangan dengan UUD 1945. __ Bahwa berdasarkan dalil tersebut di atas, DPR RI memohon agar kiranya Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut:
Menyatakan bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya atau setidak-setidaknya permohonan a quo tidak dapat diterima;
Menerima keterangan DPR RI secara keseluruhan;
Menyatakan Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Menyatakan Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tetap memiliki kekuatan hukum mengikat. Apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). [2.5] Menimbang bahwa Mahkamah telah membaca kesimpulan yang disampaikan oleh para Pemohon yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 18 Oktober 2018, yang pada pokoknya tetap pada pendiriannya. [2.6] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini. 76 3. PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), Mahkamah berwenang, antara lain, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang- undang terhadap UUD 1945; [3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan para Pemohon adalah permohonan untuk menguji konstitusionalitas norma Undang-Undang, in casu Pasal 142 ayat (2) huruf (a) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756, selanjutnya disebut UU 40/2007) terhadap UUD 1945, maka Mahkamah berwenang untuk mengadili Permohonan a quo ; Kedudukan Hukum ( Legal Standing) Pemohon [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama); 77 b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai para Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a; [3.4] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya, telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh para Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; 78 [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut:
Bahwa norma undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam Permohonan a quo adalah Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU 40/2007, yang rumusannya sebagai berikut: Pasal 142 ayat (2) huruf a UU 40/2007: Dalam hal terjadi pembubaran Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat _(1): _ _a. wajib diikuti dengan likuidasi yang dilakukan oleh likuidator atau kurator; dan _ Pasal 142 ayat (3) UU 40/2007: “ Dalam hal pembubaran terjadi berdasarkan keputusan RUPS, jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir atau dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan keputusan pengadilan niaga dan RUPS tidak menunjuk likuidator , Direksi bertindak selaku likuidator.” 2. Bahwa para Pemohon dalam Permohonan a quo masing-masing adalah:
M. Achsin (Pemohon I);
Indra Nur Cahya (Pemohon II);
Eddy Hary Susanto (Pemohon III);
Anton Silalahi (Pemohon IV);
Manonga Simbolon (Pemohon V);
Toni Hendarto (Pemohon VI);
Handoko Tomo (Pemohon VII).
Bahwa berkaitan dengan kedudukan hukum, Pemohon I sampai dengan Pemohon VII menjelaskan dirinya sebagai perseorangan warga Negara Indonesia yang taat membayar pajak dan berprofesi sebagai likuidator yang tergabung dalam Perkumpulan Profesi Likuidator Indonesia (PPLI). Para Pemohon menganggap hak konstitusionalnya sebagai perseorangan warga Negara Indonesia (WNI) dirugikan oleh berlakunya Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU 40/2007, dengan argumentasi yang pada pokoknya sebagai berikut: 79 a. Pemohon I sampai dengan Pemohon VII adalah WNI yang berprofesi sebagai likuidator telah mengikuti kegiatan untuk membentuk likuidator yang profesional. Menurut Pemohon I sampai dengan VII, serangkaian wewenang yang diberikan oleh UU 40/2007 terhadap likuidator dalam melaksanakan tindakan likuidasi perseroan tidak dapat dilaksanakan secara profesional apabila tidak dibekali dengan dasar kemampuan dan keahlian yang mumpuni. Oleh karena itu Pemohon I sampai dengan Pemohon VII menganggap bahwa Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU 40/2007 belum mengakomodir kriteria seseorang yang layak menjadi likuidator;
Bahwa Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU 40/2007 tidak memiliki rumusan yang jelas terhadap kata “likuidator“. Hal tersebut berakibat kurangnya atau hilangnya perlindungan hukum Pemohon I sampai dengan Pemohon VII ketika sedang menjalankan tugas sebagai likuidator, sehingga dalam melaksanakan profesinya, likuidator tidak memiliki jaminan kepastian hukum yang adil;
Menurut Pemohon I sampai dengan Pemohon VII dalam menerangkan kedudukan hukumnya, bangsa dan negara juga mengalami kerugian yang nyata karena Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU 40/2007 belum mengandung kepastian hukum terhadap kata “likuidator”, sehingga akan mengganggu pencapaian tujuan dari dibentuknya UU 40/2007 tersebut, yaitu untuk lebih meningkatkan pembangunan perekonomian nasional. Selain itu menurut para Pemohon, pelaksanaan likuidasi yang tidak dilakukan oleh likuidator yang profesional dan memiliki kualifikasi tertentu dapat berakibat tidak tercapainya peningkatan pembangunan perekonomian nasional yang diharapkan, bahkan mengalami penurunan. Berdasarkan uraian argumentasi Pemohon I sampai dengan Pemohon VII pada huruf a sampai dengan huruf c di atas di dalam menjelaskan kedudukan hukumnya, Mahkamah setelah mencermati dengan seksama, yaitu anggapan Pemohon I sampai dengan Pemohon VII adanya pertentangan Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU 40/2007 dengan UUD 1945 khususnya jaminan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama, menurut Mahkamah Pemohon I sampai dengan Pemohon VII telah dengan jelas menguraikan 80 secara spesifik hak konstitusionalnya yang merasa telah dirugikan oleh berlakunya Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU 40/2007. Anggapan kerugian konstitusionalitas yang dialami Pemohon I sampai dengan Pemohon VII dimaksud tampak adanya hubungan kausalnya dengan norma Undang- Undang yang dimohonkan pengujian ( in casu Pasal 142 ayat (2) huruf (a) dan ayat (3) UU 40/2007) dan sebagai akibatnya telah jelas adanya konsekuensi logis, bahwa apabila Permohonan a quo dikabulkan maka kerugian hak konstitusional dimaksud tidak akan atau tidak lagi terjadi. Oleh karena itu terlepas beralasan atau tidaknya secara hukum permohonan Pemohon I sampai dengan Pemohon VII, Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon I sampai dengan Pemohon VII memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam Permohonan a quo ; [3.6] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili Permohonan a quo dan Pemohon I sampai dengan Pemohon VII memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam Permohonan a quo (selanjutnya disebut sebagai para Pemohon), maka Mahkamah akan mempertimbangkan pokok Permohonan para Pemohon. Pokok Permohonan [3.7] Menimbang bahwa para Pemohon mengajukan pengujian konstitusionalitas norma dalam Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU 40/2007 yang menurut para Pemohon bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dengan mengemukakan argumentasi yang pada pokoknya sebagai berikut (argumentasi selengkapnya dari para Pemohon termuat dalam bagian Duduk Perkara Putusan ini):
Bahwa menurut para Pemohon, Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU 40/2007 tidak sejalan dengan semangat kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pasal a quo merupakan sebuah norma yang tidak memberikan kepastian hukum bagi para Pemohon dalam hal kedudukannya sebagai likuidator. Ketentuan Pasal a quo membuat profesi likuidator diperlakukan sebagai “anak tiri” dalam melakukan likuidasi perseroan. Pemikiran tersebut lahir karena para Pemohon melihat bahwa pasal a quo tidak memberikan perlakuan yang sama di hadapan hukum 81 (undang-undang). Padahal sesungguhnya Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum ”, namun pasal a quo justru menafikan pesan dari Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
Bahwa masih menurut para Pemohon, persamaan kedudukan antarwarga negara tidak bisa dibatasi oleh adanya batas kesukuan, agama, dan ras, termasuk keprofesian. Oleh karenanya, setiap ketentuan perundang-undangan harus mengakomodir makna yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, agar ketentuannya memiliki makna adanya persamaan di hadapan hukum antar sesama warga negara. Bahwa menurut para Pemohon ketentuan mengenai kedudukan likuidator setara dengan kurator dapat dilihat dalam Pasal 142 ayat (2) huruf a UU 40/2007 yang menyatakan bahwa “Dalam hal _terjadi pembubaran perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
wajib_ diikuti dengan likuidasi yang dilakukan oleh likuidator atau kurator” . Frasa dalam pasal a quo menunjukkan adanya kesetaraan kedudukan antara likuidator dan kurator. Hal ini dapat dilihat dengan jelas dari pilihan kata yang digunakan, yaitu kata “atau”. Penggunaan kata “atau” menunjukkan secara tegas bahwa tidak ada perbedaan kedudukan yang signifikan antara likuidator dengan kurator. Dengan demikian maka selayaknya profesi likuidator diperlakukan sama menurut hukum dengan profesi kurator, baik dalam kejelasan rumusannya maupun kualifikasinya sebagai likuidator;
Bahwa selain terkait dengan eksistensi profesi likuidator, para Pemohon menegaskan bahwa direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 UU 40/2007 merupakan organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan. Ketentuan Pasal tersebut menunjukkan bahwa sesungguhnya direksi dipersiapkan untuk mengurus dan menjalankan produktivitas perseroan. Hal tersebut bermakna ketika perseroan mengalami kerugian yang mengakibatkan perseroan harus dibubarkan dan tidak terlepas dari peranan direksi yang tidak mampu mengelola perseroan dengan baik. Oleh karena itu, menurut para Pemohon, direksi tidak sepantasnya bertindak sebagai likuidator ketika terjadi pembubaran perseroan; 82 d. Bahwa dalam hal direksi menjalankan fungsi likuidasi, menurut para Pemohon, selain tidak dilaksanakan secara profesional, direksi juga akan mengedepankan kepentingan perseroannya. Segala harta kekayaan perseroan yang semestinya dilikuidasi oleh likuidator dengan mengedepankan prinsip- prinsip keadilan, tidak dilakukan oleh direksi yang bertindak sebagai likuidator tersebut. Kondisi demikian, baik langsung atau tidak, dapat menciderai nama baik profesi likuidator. Dengan demikan, menurut para Pemohon, rumusan Pasal 142 ayat (3) UU 40/2007 tersebut berpotensi menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interest) dan mengganggu independensi likuidator . Sehingga, menurut para Pemohon Pasal 142 ayat (3) UU 40/2007 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, para Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 142 ayat (2) huruf a UU 40/2007, sepanjang kata “likuidator”, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai (conditional unconstitutional)[sic!] “ likuidator yang berstatus sebagai warga negara indonesia, memiliki sertifikat keahlian melikuidasi perseroan, dan independen. Dan juga menyatakan Pasal 142 ayat (3) UU 40/2007 bertentangan dengan UUD 1945 (unconstitutional) dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. [3.8] Menimbang bahwa untuk mendukung dalil Permohonannya, para Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda Bukti P-1 sampai dengan P-18 serta tiga orang ahli, yaitu M. Hadi Shubhan, Efridani Lubis, dan Muchamad Ali Safa’at, serta tiga orang saksi, yaitu Heri Subagyo, Azet Hutabarat, dan Nasrullah Nawawi, yang keterangan selengkapnya sebagaimana termuat pada bagian duduk perkara dan turut dipertimbangkan dalam putusan ini; [3.9] Menimbang bahwa Presiden telah memberikan keterangan tertulisnya pada persidangan tanggal 8 Mei 2018 (keterangan selengkapnya sebagaimana termuat dalam bagian Duduk Perkara dan turut dipertimbangkan dalam putusan ini); [3.10] Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat telah memberikan keterangan tertulisnya pada persidangan tanggal 10 Oktober 2018 (keterangan 83 selengkapnya sebagaimana termuat dalam bagian Duduk Perkara dan turut dipertimbangkan dalam putusan ini); [3.11] Menimbang bahwa Mahkamah setelah membaca dengan seksama permohonan para Pemohon, alat-alat bukti yang diajukan serta keterangan Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat, maka Mahkamah selanjutnya akan mempertimbangkan dalil pokok permohonan para Pemohon; [3.12] Menimbang bahwa untuk memudahkan di dalam menjawab isu pokok permohonan yang dipersoalkan oleh para Pemohon, Mahkamah akan mengindentifikasi isu krusial yang dipersoalkan para Pemohon. Setelah membaca dengan saksama dalil pokok permohonan para Pemohon, terdapat 2 (dua) isu mendasar berkaitan dengan konstitusionalitas norma yang dipermasalahkan oleh para Pemohon, yaitu: Pertama , apakah dengan tidak adanya definisi dan persyaratan sebagai likuidator dalam UU 40/2007 menyebabkan Pasal 142 ayat (2) huruf a UU 40/2007 menjadi bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; Kedua , apakah kedudukan direksi sebagai likuidator dalam proses pembubaran perseroan dalam hal RUPS tidak menunjuk likuidator berpotensi menimbulkan benturan kepentingan ( conflict of interest ), tidak mencerminkan prinsip-prinsip keadilan bagi para pihak dalam pembubaran perseroan, persamaan di hadapan hukum antara likuidator dan kurator, serta mencederai profesi likuidator sehingga bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Terhadap kedua isu konstitusional tersebut Mahkamah mempertimbangkan, sebagai berikut: [3.12.1] Bahwa sebelum menjawab isu pokok yang pertama, yaitu berkenaan inkonstitusionalitas Pasal 142 ayat (2) huruf a, penting bagi Mahkamah menguraikan tentang esensi pentingnya dibentuk UU 40/2007. Meskipun secara lebih luas dikaitkan dengan semangat dalam rangka pembangunan perekonomian nasional yang harus diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan 84 dan kesatuan ekonomi nasional. Namun pada dasarnya perekonomian nasional tersebut bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat sebagaimana amanat Pembukaan UUD 1945. Dalam konteks peningkatan pembangunan perekonomian nasional tersebutlah esensi pentingnya ada dukungan suatu ketentuan yang mengatur tentang dunia usaha yang merupakan salah satu pilar untuk melakukan peningkatan dimaksud, yang antara lain ketentuan mengenai bentuk usaha perseroan terbatas yang dapat menjamin iklim dunia usaha yang kondusif. Dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas (UU 40/2007) ketentuan mengenai pembubaran, likuidasi, dan berakhirnya status badan hukum perseroan diatur secara tegas dan rigit serta selalu memperhatikan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Hal demikian tidak terlepas dari semangat agar dengan pengaturan yang komprehensif yang melingkupi berbagai aspek perseroan, termasuk permasalahan pembubaran perseroan maka UU 40/2007 diharapkan memenuhi kebutuhan hukum masyarakat serta lebih memberikan kepastian hukum, khususnya kepada dunia usaha. Bahwa pada sisi yang berbeda perkembangan perekonomian dan perdagangan serta pengaruh globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini dan mengingat modal yang dimiliki oleh para pengusaha pada umumnya sebagian merupakan pinjaman yang berasal dari berbagai sumber, baik dari bank atau penanaman modal, yang semua itu dapat menimbulkan permasalahan hukum khususnya dalam hal penyelesaian utang-piutang dalam masyarakat, termasuk utang perseroan, maka permasalahan utang-piutang yang dimiliki oleh perseroan apabila tidak dapat diselesaikan dengan memenuhi prinsip kepastian hukum dan keadilan, sehingga hal tersebut dapat berakibat perseroan menjadi tumbuh dalam dunia yang tidak sehat dan dengan mudah banyak perseroan collapse atau pailit. Oleh karena itu, hal-hal yang berkaitan dengan persoalan perseroan, termasuk salah satu di dalamnya proses penyelesaian utang yang diakibatkan bubarnya sebuah perseroan, dibutuhkan instrumen hukum yang berkepastian dan berkeadilan, yang juga di dalamnya mengatur persoalan integritas dan profesionalitas pihak-pihak yang terlibat dalam proses penyelesaian atau pemberesan perseroan pada saat ada pembubaran (likuidasi) perseroan; 85 [3.12.2] Bahwa berkenaan dengan dalil para Pemohon yang berpendapat seorang likuidator harus warga negara Indonesia, memiliki sertifikat keahlian melikuidasi perseroan dan independen, Mahkamah berpendapat sesungguhnya Pasal 142 ayat (2) huruf a UU 40/2007 yang dipermasalahkan para Pemohon mengatur mengenai “pembubaran perseroan wajib diikuti dengan likuidasi yang dilakukan oleh likuidator atau kurator”. Apabila dicermati dengan seksama semangat dan pesan dari norma pasal a quo adalah sederhana dan dapat ditangkap dengan mudah, yaitu bahwa apabila sebuah perseroan terjadi pembubaran sebagaimana yang diatur dalam Pasal 142 ayat (1) UU 40/2007, maka harus diikuti proses likuidasi dan sebagai subjek hukum yang melaksanakan proses likuidasi tersebut adalah likuidator atau kurator. Selanjutnya terhadap norma pasal a quo apabila mengikuti argumentasi para Pemohon yang menghendaki likuidator harus warga negara Indonesia dan mempunyai sertifikat keahlian melikuidasi perseroan serta independen, maka Mahkamah dapat menangkap kehendak para Pemohon adalah syarat-syarat tersebut dikhususkan untuk likuidator selain yang dilaksanakan oleh kurator. Hal demikian mengingat kurator pada saat menjalankan fungsinya sebagai likuidator telah melekat syarat-syarat tersebut pada seorang kurator ketika yang bersangkutan diangkat dan menjalankan tugas sebagai kurator. Hal ini dipertegas oleh ketentuan bahwa tugas seorang kurator adakalanya melekat juga sebagai likuidator, yang secara tegas kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang. Bahwa pertanyaan lebih lanjut yang harus dijawab adalah bagaimana dengan syarat-syarat tersebut yang harus dimiliki seorang likuidator yang bukan dilaksanakan oleh seorang kurator. Terhadap hal ini, sebelum mempertimbangkan lebih lanjut dalil para Pemohon a quo , menurut Mahkamah oleh karena salah satu syarat likuidator yang dimohonkan para Pemohon harus warga negara Indonesia berkaitan erat dengan dalil permohonan para Pemohon ihwal inkonstitusionalitas Pasal 142 ayat (3) UU 40/2007, maka syarat likuidator harus warga negara Indonesia akan dipertimbangkan bersama-sama dengan pertimbangan hukum Mahkamah pada saat mempertimbangkan dalil para Pemohon yang berkaitan dengan isu pokok yang kedua yaitu berkaitan dengan inkonstitusionalitas Pasal 142 ayat (3) UU 40/2007 tersebut, yang berkenaan permohonan para Pemohon yang menyatakan likuidator yang dijalankan oleh direksi adalah inkonstitusional. Dengan kata lain, direksi tidak boleh menjalankan fungsi likuidator karena menurut 86 para Pemohon dapat berakibat adanya __ benturan kepentingan ( conflict of interest ), tidak mencerminkan prinsip-prinsip keadilan bagi para pihak dalam pembubaran perseroan, persamaan di hadapan hukum antara likuidator dan kurator, serta mencederai profesi likuidator. Oleh karena itu berkenaan dengan syarat lainnya yang dihendaki para Pemohon, yaitu likuidator harus mempunyai sertifikat keahlian melikuidasi perseroan dan independen, Mahkamah akan mempertimbangkan lebih lanjut; [3.12.3] Bahwa sebelum Mahkamah sampai pada kesimpulan dalam mempertimbangkan dalil para Pemohon berkaitan dengan syarat likuidator harus mempunyai sertifikat keahlian melikuidasi perseroan dan independen, penting rasanya bagi Mahkamah untuk menelisik tentang esensi dari pada batas-batas tugas dan wewenang seorang likuidator yang melaksanakan penyelesaian likuidasi sebuah perseroan. Ada perbedaan yang signifikan antara tugas dan wewenang bagi likuidator di dalam menyelesaikan proses likuidasi terhadap perseroan yang dinyatakan bubar karena keputusan RUPS, karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir atau dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga, maka dalam hal yang demikian subyek hukum yang berwenang melaksakan proses likuidasi adalah likuidator yang diangkat RUPS. Sementara itu, terhadap perseroan yang pembubarannya terjadi karena harta pailit perseroan dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi, ataupun untuk pembubaran perseroan karena penetapan pengadilan yang diminta oleh para pihak yang berkepentingan, maka hal yang demikian pelaksanaan proses likuidasi dilakukan oleh kurator yang diangkat oleh pengadilan dan kemudian beralih mengambil tugas dan wewenang sebagai likuidator, termasuk likuidator yang ditunjuk sebagai akibat adanya penetapan tersebut; Bahwa dengan merujuk pada adanya perbedaan perlakuan terhadap pembubaran perseroan dalam menyelesaikan proses likuidasi tersebut di atas, maka sesungguhnya ada tugas dan fungsi likuidator yang dapat dilihat pada sisi tahapannya dan pada sisi substansi yang harus diselesaikan. Pada sisi tahapannya, tugas likuidator pada hakikatnya adalah proses penyelesaian likuidasi yang dilakukan oleh likuidator setelah perseroan dinyatakan dalam likuidasi (pembubaran), oleh karena itu tampak bahwa seseorang sebagai subyek hukum yang ditunjuk dan diangkat menjadi penyelengara likuidasi adalah likuidator yang 87 menjalankan tugas dan fungsinya sejak perseroan dinyatakan bubar dan dalam keadaan likuidasi. Selanjutnya dari sisi substansi, yang menjadi tugas dan wewenang likuidator yang harus diselesaikan adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 149 ayat (1) UU 40/2007, yaitu pencatatan dan pengumpulan kekayaan dan utang perseroan; pengumuman dalam surat kabar dan Berita Negara Republik Indonesia mengenai rencana pembagian kekayaan hasil likuidasi; pembayaran kepada para kreditor; pembayaran sisa kekayaan hasil likuidasi kepada pemegang saham; dan tindakan lain yang perlu dilakukan dalam pelaksanaan pemberesan kekayaan. Bahwa mencermati tugas dan wewenang likuidator sebagaimana diuraikan di atas, sesungguhnya hakikat tugas dan wewenang likuidator adalah menjalankan fungsi dan wewenang yang merupakan bagian tugas lanjutan yang menggantikan tugas dan wewenang organ perseroan khususnya tugas dan wewenang direksi (dalam keadaan perseroan normal) yang oleh karena perintah undang-undang terhadap perseroan yang dinyatakan bubar dan dalam keadaan likuidasi penyelesaian atau pemberesannya harus diambil alih oleh likuidator. Esensi sesungguhnya yang terjadi adalah segala urusan yang berkaitan dengan perseroan dilaksanakan oleh likuidator yang harus bertanggung jawab penuh terhadap penyelesaian segala hal yang berkaitan dengan likuidasi, bahkan likuidator dapat dituntut untuk menanggung segala resiko yang timbul atas kelalaiannya yang dapat berakibat ruginya perseroan dan pihak lain termasuk para kreditur (apabila ada), baik tanggung jawab secara pribadi (personal liability) maupun tanggung jawab secara tanggung renteng ( jointly and severally liable ), maka terhadap likuidator dapat dilakukan tuntutan atas kelalaiannya tersebut oleh pihak perseroan dan pihak lain termasuk para kreditur (apabila ada). Terlebih dalam menjalankan tugasnya, likuidator senantiasa diawasi oleh dewan komisaris dan dewan komisaris dapat memberhentikan untuk sementara likuidator yang dianggap lalai dan selanjutnya dapat diberhentikan secara tetap apabila menurut keputusan RUPS pemberhentian sementara likuidator tersebut beralasan; Bahwa dari uraian penjelasan Mahkamah tersebut di atas, maka sebenarnya telah tampak apabila likuidator di dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya untuk melakukan pemberesan terhadap perseroan yang dinyatakan bubar dan dalam likuidasi, tidaklah melaksanakan tugas yang secara substansial menjadi 88 beban mutlak likuidator, akan tetapi pada dasarnya mengambil alih tugas dan wewenang organ perseroan yaitu direksi (dalam keadaan perseroan normal), sehingga tugas dan wewenang likuidator tersebut pada dasarnya adalah melaksanakan pemberesan segala hal yang berkaitan dengan likuidasi dan hal tersebut semata-mata adalah untuk kepentingan perseroan, baik yang menjadi hak dan tanggung jawab perseroan yang dalam keadaan likuidasi tersebut. Oleh sebab itulah, di dalam menjalankan tugas dan wewenangnya seorang likuidator senantiasa di bawah pengawasan dewan komisaris sesuai dengan anggaran dasar. Bahkan, dewan komisaris dapat memberikan nasihat serta memberhentikan untuk sementara waktu apabila likuidator dipandang lalai dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya atau tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan [vide Pasal 142 ayat (6) UU 40/2007 beserta Penjelasannya]. Dengan demikian, fakta ini telah dengan sendirinya menjawab tidak relevannya dalil para Pemohon yang memohon agar Mahkamah memberikan pemaknaan secara bersyarat terhadap Pasal 142 ayat (2) huruf a UU 40/2007, yaitu untuk likuidator agar diberlakukan syarat-syarat harus mempunyai sertifikat kemampuan melikuidasi perseroan dan independen. Terlebih lagi bagi likuidator yang ditunjuk pengadilan untuk menjalankan tugas dan wewenangnya melakukan pemberesan terhadap perseroan yang pembubarannya terjadi karena harta perseroan yang dinyatakan pailit barada dalam keadaan insolvensi, terhadap hal yang demikian pelaksanaan proses likuidasi dilakukan oleh kurator. Fakta yang terakhir ini makin menegaskan bahwa pemberlakuan syarat-syarat bagi likuidator harus mempunyai sertifikat keahlian melikuidasi dan independen sebagaimana yang dimohonkan oleh para Pemohon tersebut semakin tidak relevan; Bahwa di samping pertimbangan hukum di atas, penting bagi Mahkamah untuk menjelaskan bahwa argumentasi para Pemohon yang menyatakan likuidator agar diharuskan mempunyai sertifikat melikuidasi perseroan dan independen adalah tidak sejalan dengan semangat bahwa penyelesaian likuidasi terhadap perseroan yang dalam keadaan bubar, haruslah memberi kebebasan kepada RUPS sebagai organ tertinggi dalam perseroan untuk menggunakan hak pilihnya di dalam menentukan likuidator berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu terutama kemampuan masing-masing perseroan. Hal tersebut tidak dapat dilepaskan dengan hal-hal yang berkenaan dengan pilihan apakah perseroan akan 89 memilih likuidator yang akan ditunjuk, tentu sudah dengan pertimbangan- pertimbangannya. Karena pada dasarnya tugas wewenang seorang likuidator secara substansial adalah melanjutkan tugas dan wewenang direksi, walaupun tugas dan wewenang tersebut bukan dalam hal melakukan perbuatan hukum baru atas nama perseroan. Sehingga dengan demikian sesungguhnya hakikat yang harus dimiliki oleh seorang likuidator adalah kompetensi dan integritas yang hal tersebut tidak boleh berakibat membatasi siapapun untuk bisa menjadi likuidator tanpa harus ada syarat-syarat sebagaimana yang dikehendaki oleh para Pemohon. Terlebih lagi seorang likuidator dalam menjalankan tugas dan wewenangnya sudah ada pedoman yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk di dalamnya regulasi yang mengatur hal-hal pokok dan mendasar serta batasan-batasan yang harus dilaksanakan oleh seorang likuidator hingga hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh perseroan yang dalam proses likuidasi; Bahwa selanjutnya Mahkamah perlu mempertimbangkan argumentasi para Pemohon yang menyatakan perihal adanya perbedaan perlakuan likuidator dengan kurator dan bahkan para Pemohon berpendapat likuidator diperlakukan sebagai anak tiri dan oleh karenanya memohon agar diperlakukan sama. Terhadap hal ini Mahkamah perlu menegaskan bahwa tugas dan kewenangan kurator dengan likuidator sebagaimana telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan berbeda sekalipun dalam hal-hal tertentu ada kalanya keduanya melakukan pekerjaan yang sama yaitu dalam rangka penyelesaian terhadap perseroan yang telah dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga yang hingga sampai pada pembubaran perseroan, yaitu dalam hal seorang kurator yang ditunjuk pengadilan untuk pemberesan harta pailit perseroan kemudian berada dalam keadaan insolvensi, maka kurator bertindak sebagai likuidator. Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UU 37/2004) menyatakan kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta Debitor Pailit di bawah pengawasan Hakim Pengawas sesuai dengan undang-undang. Sedangkan likuidator adalah orang yang ditunjuk atau diangkat menjadi penyelenggara likuidasi, baik diangkat oleh RUPS atau pengadilan sepanjang berkaitan dengan 90 perseroan yang awalnya dinyatakan pailit atau penetapan pengadilan atas permintaan para pihak yang berkepentingan; Selanjutnya terlepas dari adanya perbedaan dan persamaan dalam hal-hal tertentu sebagaimana diuraikan tersebut di atas, Mahkamah berpendapat, secara substansi terdapat perbedaan yang mendasar antara tugas dan wewenang kurator dengan likuidator. Kurator adalah subjek hukum yang melaksanakan tugas dan wewenang untuk melakukan pengurusan dan pemberesan terhadap harta pailit perseroan yang kepadanya diberi kewenangan penuh untuk melakukan segala tindakan hukum terhadap hal-hal yang berkaitan dengan harta pailit perseroan hingga kemudian terhadapnya dapat ditunjuk menjadi likuidator apabila harta pailit dalam keadaan insolvensi dan perseroan harus dibubarkan. Oleh karena itu sejatinya likuidator yang diangkat oleh pengadilan hanya menjalankan tugas dan wewenang setelah kurator menjalankan tugas dan wewenang mengurus dan membereskan harta pailit perseroan dan dalam keadaan insolvensi, baru kemudian kurator dapat melanjutkan tugas dan wewenangnya, namun fungsinya berubah sebagai likuidator. Sementara itu, untuk likuidator yang diangkat oleh RUPS, sesungguhnya menjalankan tugas dan wewenangnya membereskan harta perseroan sejak diangkat oleh RUPS dan dalam melaksanakan tugasnya dapat setiap saat diawasi dan diberi nasihat oleh dewan komisaris serta ruang lingkup tugas dan wewenangnya pada dasarnya adalah sama dengan tugas dan wewenang direksi (dalam keadaan perseroan normal); Bahwa dari uraian tersebut di atas, tampak jelas perbedaan esensial antara tugas dan wewenang kurator dan likuidator. Inilah alasan sebenarnya syarat-syarat untuk menjadi kurator diatur secara ketat dibandingkan syarat-syarat untuk menjadi likuidator. Dengan kata lain, subyek hukum yang dapat menjadi kurator adalah orang yang benar-benar telah memenuhi ketentuan peraturan perundang- undangan, khususnya Pasal 3 ayat (1), Pasal 4, dan Pasal 5 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 18 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pendaftaran Kurator dan Pengurus, sedangkan untuk likuidator dapat dilaksanakan oleh siapapun yang ditunjuk oleh RUPS atau likuidator khusus yang ditunjuk pengadilan karena berkaitan dengan kepailitan atau penetapan pengadilan atas permintaan para pihak yang berkepentingan . Namun demikian 91 penting bagi Mahkamah untuk mengingatkan bahwa siapapun yang akan menjadi likuidator tetap harus membekali diri dengan kompetensi dan integritas; Bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para pemohon berkenaan dengan Pasal 142 ayat (2) huruf a UU 40/2007, sepanjang syarat likuidator harus mempunyai sertifikat keahlian melikuidasi perseroan dan independen tidaklah beralasan menurut hukum; [3.12.4] Bahwa terkait dalil para Pemohon selebihnya yang menyatakan dalam hal direksi menjalankan fungsinya sebagai likuidator, selain tidak dilaksanakan secara profesional, direksi juga akan mengedepankan kepentingan perseroannya. Menurut para Pemohon, alasan di antaranya adalah harta kekayaan perseroan yang semestinya dilikuidasi oleh likuidator dengan mengedepankan prinsip-prinsip keadilan, tidak dilakukan oleh direksi yang bertindak sebagai likuidator tersebut. Kondisi demikian, baik langsung atau tidak, dapat mencederai nama baik profesi likuidator. Dengan demikan, menurut para Pemohon rumusan Pasal 142 ayat (3) UU 40/2007 tersebut berpotensi menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interest) dan mengganggu independensi likuidator; Terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat sebagaimana telah dipertimbangkan dalam pertimbangan hukum pada Paragraf [3.12.3] bahwa tugas dan wewenang likuidator sebenarnya mengambil alih tugas dan tanggung jawab direksi (dalam keadaan perseroan normal), karena sesungguhnya yang lebih tahu segala hal berkaitan dengan perseroan adalah direksi. Namun, oleh karena undang-undang menentukan terhadap pembubaran perseroan harus diikuti likuidasi yang dilakukan oleh likuidator yang diangkat oleh RUPS, maka dengan demikian semangat penyelesaian atau pemberesan terhadap perseroan yang dalam keadaan likuidasi sesungguhnya lebih tepat dilaksanakan oleh direksi. Hal ini sejalan dengan pilihan subjek hukum oleh RUPS yang dapat melaksanakan likuidasi adalah direksi apabila RUPS tidak menunjuk likuidator [vide Pasal 142 ayat (3) UU 40/2007]. Sehingga pilihan RUPS untuk mengangkat atau tidak mengangkat likuidator yang berasal dari direksi merupakan bentuk pilihan dengan alasan efektivitas dan sekaligus bisa juga karena pertimbangan efisiensi mengingat perseroan yang dalam keadaan likuidasi kerapkali kondisi keuangannya sudah tidak sehat atau pilihan RUPS mengangkat likuidator yang 92 bukan direksi adalah karena pertimbangan pembubaran perseroan disebabkan salah satunya adalah adanya salah urus oleh direksi ( mismanagement) ; Bahwa dengan uraian fakta tersebut menurut Mahkamah lebih lanjut, argumentasi para Pemohon yang berpendapat likuidator yang dilaksanakan oleh direksi tidak independen dan adanya benturan kepentingan ( conflict of interest ) __ adalah argumentasi yang mengandung kekhawatiran yang berlebihan dan tidak berdasar, mengingat dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya baik likuidator yang dilakukan oleh direksi maupun oleh likuidator yang diangkat oleh RUPS selalu diawasi dan dapat diberi nasihat oleh dewan komisaris serta dapat sewaktu-waktu diberhentikan sementara apabila diduga telah lalai menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dan bahkan diberhentikan secara tetap apabila alasan pemberhentian sementara oleh dewan komisaris diterima dalam RUPS. Terlebih lagi selain adanya pengawasan dan adanya sanksi-sanksi pemberhentian baik sementara maupun tetap tersebut juga adanya sanksi lainnya atas kelalaian yang dilakukan likuidator baik yang berasal dari direksi maupun likuidator yang diangkat oleh RUPS yang menimbulkan kerugian baik perseroan maupun pihak lain, termasuk para kreditur (apabila ada) yang diakibatkan oleh kelalaian likuidator tersebut tetap saja dapat dituntut, baik secara pribadi (personal liability) maupun secara tanggung renteng ( jointly and severally liable ) apabila likuidator tersebut lebih dari seorang yang merugikan perseroan, pihak lain termasuk para kreditur (apabila ada); Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah tidak sependapat dengan dalil para Pemohon yang menyatakan likuidator yang dilaksanakan oleh direksi adalah tidak independen dan berakibat adanya benturan kepentingan (confict of interest), apalagi dikatakan tidak dapat mencerminkan prinsip-prinsip keadilan karena lebih mengedepankan kepentingan perseroan. Dengan uraian pertimbangan hukum a quo maka dalil para Pemohon tersebut harus dikesampingkan. Sementara itu oleh karena Mahkamah berpendapat direksi adalah subjek hukum yang dapat menjadi likuidator sepanjang undang-undang atau peraturan lainnya tidak melarang jabatan direksi dijabat oleh warga negara yang bukan warga negara Indonesia, maka sebagai konsekuensi yuridisnya tidak ada larangan direksi yang bukan warga negara Indonesia sepanjang yang bersangkutan menjabat sebagai direksi sebuah perseroan di 93 Indonesia, maka yang bersangkutan dapat menjalankan tugas dan wewenang sebagai likuidator. Dengan demikian uraian pertimbangan hukum Mahkamah ini sekaligus menjawab dalil para Pemohon yang menghendaki likuidator harus warga negara Indonesia sebagaimana yang dikehendaki oleh para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas Pasal 142 ayat (2) huruf a UU 40/2007; Bahwa dengan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat dalil para Pemohon berkaitan dengan likuidator harus warga negara Indonesia dan direksi tidak dapat bertindak sebagai likuidator, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 142 ayat (3) UU 40/2007, adalah tidak beralasan menurut hukum; [3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan _a quo; _ [4.2] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan Permohonan a quo ; [4.3] Pokok Permohonan tidak beralasan menurut hukum. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076); 94 5. AMAR PUTUSAN Mengadili, Menolak Permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Saldi Isra, I Dewa Gede Palguna, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, dan Manahan M.P. Sitompul, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Rabu, tanggal sembilan belas, bulan Desember, tahun dua ribu delapan belas , yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis, tanggal empat belas, bulan Februari, tahun dua ribu sembilan belas , selesai diucapkan pukul 14.01 WIB , oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Arief Hidayat, Manahan M.P. Sitompul, Suhartoyo, Saldi Isra, I Dewa Gede Palguna, Wahiduddin Adams, dan Enny Nurbaningsih, masing-masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Achmad Edi Subiyanto sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon/kuasanya, Presiden atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili. KETUA, ttd. Anwar Usman ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Aswanto ttd. Arief Hidayat ttd. Manahan M.P. Sitompul ttd. Suhartoyo 95 ttd. Saldi Isra ttd. I Dewa Gede Palguna ttd. Wahiduddin Adams ttd. Enny Nurbaningsih PANITERA PENGGANTI, ttd. Achmad Edi Subiyanto
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.07/2012 tentang Tata Cara Penerbitan dan Pertanggungjawaban Obligasi Daerah. ...
Pengujian UU Nomor 17/2003
Relevan terhadap
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.02/2017 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negar ...
Standar, Uji, dan Pengembangan Kompetensi Jabatan Fungsional Penilai Pemerintah
Tata Cara Pengelolaan Aset pada Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam. ...
Relevan terhadap
Kerjasama Pemanfaatan Aset dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
mitra Kerjasama Pemanfaatan harus membayar kontribusi tetap kepada Badan Pengusahaan setiap tahun selama jangka waktu pengoperasian yang telah ditetapkan dan pembagian keuntungan hasil Kerjasama Pemanfaatan; __ b. dalam hal jangka waktu Kerjasama Pemanfaatan kurang dari 1 (satu) tahun, mitra Kerjasama Pemanfaatan membayar kontribusi tetap dan pembagian keuntungan berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh Badan Pengusahaan;
besaran pembayaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan hasil Kerjasama Pemanfaatan ditetapkan dari hasil perhitungan tim yang dibentuk oleh Kepala Badan Pengusahaan;
besaran pembayaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan hasil Kerjasama Pemanfaatan harus mendapat persetujuan Kepala Badan Pengusahaan. Pasal 18 Selama jangka waktu pengoperasian, mitra Kerjasama Pemanfaatan dilarang menjaminkan atau menggadaikan Aset yang menjadi obyek Kerjasama Pemanfaatan. Pasal 19 (1) Kerjasama Pemanfaatan Aset dilakukan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun dan dapat diperpanjang. (2) Kerjasama Pemanfaatan Aset yang diperuntukkan bagi penyediaan infrastruktur paling lama 50 (lima puluh) tahun. (3) Perpanjangan Kerjasama Pemanfaatan Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan jangka waktu tersebut tidak melampaui batas waktu keberadaan Kawasan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Seluruh biaya persiapan dan pelaksanaan Kerjasama Pemanfaatan yang terjadi setelah ditetapkannya mitra Kerjasama Pemanfaatan menjadi beban mitra Kerjasama Pemanfaatan. Pasal 20 (1) Mitra Kerjasama Pemanfaatan ditetapkan melalui tender, kecuali untuk Aset yang bersifat khusus dapat dilakukan penunjukan langsung. (2) Aset yang bersifat khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki kriteria:
mempunyai spesifikasi tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan, seperti investasi didasarkan pada perjanjian hubungan bilateral antar negara;
bersifat rahasia dalam kerangka pertahanan negara;
mempunyai konstruksi dan spesifikasi yang harus dengan perijinan khusus;
dalam rangka menjalankan tugas negara; atau
lainnya berdasarkan penetapan Kepala Badan Pengusahaan setelah mendapatkan persetujuan Menteri Keuangan. Pasal 21 (1) Pemilihan mitra Kerjasama Pemanfaatan melalui tender sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) pengumumannya dilakukan di 1 (satu) media massa nasional, 1 (satu) media massa lokal dan/atau 1 (satu) media massa internasional. (2) Dalam hal pada pelaksanaan tender sebagaimana dimaksud pada ayat (1) calon mitra yang memasukan penawaran kurang dari 3 (tiga) peserta, dilakukan pengumuman ulang di media massa nasional, media massa lokal dan/atau media massa internasional.
Dalam hal setelah pengumuman ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (2):
terdapat paling sedikit 3 (tiga) peserta, proses dilanjutkan dengan tender;
calon mitra kurang dari 3 (tiga) peserta, proses dilanjutkan dengan:
seleksi langsung untuk calon mitra yang hanya 2 (dua) peserta; atau
penunjukan langsung untuk calon mitra yang hanya 1 (satu) peserta.
Pedoman Umum dan Alokasi Dana Alokasi Khusus Tahun Anggaran 2014.
Relevan terhadap
DAK Bidang Pendidikan dialokasikan untuk hal-hal sebagai berikut:
mendukung penuntasan program wajib belajar pendidikan dasar 9 (sembilan) tahun yang bermutu dan merata;
mendukung pelaksanaan pendidikan menengah universal; dan
diprioritaskan untuk pembangunan ruang kelas baru beserta perabotnya bagi sekolah yang kekurangan ruang kelas, rehabilitasi ruang kelas rusak beserta perabotnya, pembangunan ruang perpustakaan beserta perabotnya, pembangunan ruang belajar lainnya, penyediaan buku teks pejaran/perpustakaan/referensi, dan penyediaan sarana penunjang mutu pendidikan yang cukup, layak, dan merata.
Sasaran program DAK Bidang Pendidikan meliputi SD/SDLB, SMP/SMPLB dan SMA/SMK baik negeri maupun swasta, yang secara bertahap diarahkan dalam rangka pemenuhan Standar Pelayanan Minimal (SPM) pendidikan dasar dan pendidikan menengah.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
rehabilitasi ruang kelas/ruang belajar yang rusak beserta perabotnya dan dapat digunakan untuk membangun rumah/asrama guru, apabila rehabilitasi ruang kelas/ruang belajar telah selesai;
pembangunan ruang kelas baru beserta perabotnya termasuk sanitasi sekolah;
pembangunan ruang belajar lainnya beserta perabotnya;
pembangunan ruang perpustakaan beserta perabotnya;
pembangunan laboratorium;
pengadaan buku teks/buku referensi kurikulum 2013;
pengadaan peralatan laboratorium;
pengadaan peralatan pendidikan;
pengadaan sarana peningkatan mutu pendidikan (termasuk olahraga dan kesenian); dan
pembangunan ruang penunjang dan prasarana pendukung.
DAK Bidang Kesehatan dialokasikan untuk meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan dasar, pelayanan kesehatan rujukan dan pelayanan kefarmasian dalam rangka akselerasi pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) yang difokuskan untuk menurunkan angka kematian ibu, angka kematian bayi dan anak, penanggulangan masalah gizi serta pengendalian penyakit (menular dan tidak menular) dan penyehatan lingkungan terutama bagi penduduk miskin dan penduduk di Daerah Tertinggal, Perbatasan, dan Kepulauan (DTPK) melalui peningkatan sarana prasarana dan peralatan kesehatan di pos kesehatan desa (poskesdes), puskesmas dan jaringannya, rumah sakit provinsi/kabupaten/kota serta penyediaan dan pengelolaan obat, perbekalan kesehatan, vaksin, yang berkhasiat, aman dan bermutu untuk mendukung pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Bidang Kesehatan Tahun 2014.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri atas:
Kesehatan Pelayanan Dasar ditujukan untuk pemenuhan sarana, prasarana, dan peralatan bagi poskesdes, puskesmas dan jaringannya yang terdiri atas:
pembangunan puskesmas pembantu (pustu) dan puskesmas di Daerah Terpencil Perbatasan Dan Kepulauan (DTPK);
peningkatan puskesmas menjadi puskesmas perawatan di wilayah terpencil/sangat terpencil di DTPK dan peningkatan puskesmas menjadi mampu puskesmas dengan Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar (PONED);
pembangunan sarana instalasi pengolahan limbah;
rehabilitasi puskemas karena rusak berat atau rehabilitasi total;
perawatan, termasuk rumah dinas dokter dan paramedis;
penyediaan alat kesehatan;
penyediaan puskesmas keliling (roda 4 dan pusling perairan); dan
pembangunan pos kesehatan desa (poskesdes)/pos pembinaan terpadu (posbindu).
Kesehatan Pelayanan Rujukan ditujukan untuk pemenuhan/pengadaan sarana, prasarana dan peralatan bagi rumah sakit provinsi/kabupaten/kota yang terdiri atas:
pemenuhan sarana, prasarana dan peralatan tempat tidur kelas III;
pemenuhan sarana, prasarana dan peralatan Instalasi Gawat Darurat (IGD);
pemenuhan sarana, prasarana dan peralatan Intensive Care Unit (ICU);
pemenuhan sarana, prasarana dan peralatan Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK) Rumah Sakit;
pemenuhan sarana, prasarana dan peralatan Instalasi Pengolah Limbah (IPL);
pemenuhan sarana prasarana Unit Transfusi Darah (UTD) di RS/Bank Darah Rumah Sakit (BDRS); dan
pemenuhan peralatan kalibrasi di RS.
Kesehatan Pelayanan Kefarmasian terdiri atas:
penyediaan obat dan perbekalan kesehatan untuk fasilitas pelayanan kesehatan dasar untuk Kabupaten/Kota yang mengacu pada Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN);
pembangunan baru/rehabilitasi dan/atau penyediaan sarana pendukung instalasi farmasi kabupaten/kota; dan
pembangunan baru/rehabilitasi dan/atau penyediaan sarana pendukung instalasi farmasi provinsi.
DAK dan DAK Tambahan Bidang Infrastruktur Jalan dialokasikan untuk:
mempertahankan dan meningkatkan kinerja pelayanan prasarana jalan provinsi, kabupaten dan kota yang menghubungkan outlet pelabuhan dan bandara dalam memperlancar distribusi penumpang, barang jasa, serta hasil produksi yang mendukung sektor pertanian, industri, dan pariwisata sehingga dapat memperlancar pertumbuhan ekonomi regional;
menunjang aksesibilitas dan keterhubungan wilayah ( domestic connectivity ) dalam mendukung pengembangan koridor ekonomi wilayah/kawasan ( masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI));
menangani jalan keberpihakan ( affirmative policy ) untuk pembangunan daerah tertinggal dan kawasan perbatasan; dan
mendukung pemenuhan Sasaran Prioritas Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 khususnya Prioritas Nasional 6 di Bidang Infrastruktur.
Lingkup kegiatan DAK dan DAK Tambahan Bidang Infrastruktur Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) terdiri atas:
jalan yang terdiri atas pemeliharaan berkala, rehabilitasi, peningkatan struktur dan pembangunan Jalan provinsi/kabupaten/kota;
jembatan yang terdiri atas pemeliharaan, rehabilitasi, penggantian dan pembangunan di jalan provinsi/ kabupaten/ kota;
jalan provinsi merupakan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten/kota, atau antar ibukota kabupaten/kota dan jalan strategis;
jalan kabupaten merupakan jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primer selain jalan nasional dan jalan provinsi yang menghubungkan ibukota antar kabupaten dengan ibukota kecamatan, antar ibukota kecamatan, ibukota kabupaten dengan pusat kegiatan lokal, antar pusat kegiatan lokal, serta jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder dalam wilayah kabupaten, dan jalan strategis kabupaten; dan
jalan kota merupakan jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder yang menghubungkan antar pusat pelayanan dalam kota, menghubungkan pusat pelayanan dalam kota, menghubungkan pusat pelayanan dengan persil, menghubungkan antar persil, serta menghubungkan antar pusat permukiman yang berada di dalam kota.
DAK dan DAK Tambahan Bidang Infrastruktur Irigasi dialokasikan untuk:
mengembalikan fungsi dan meningkatkan kinerja layanan jaringan irigasi/rawa kewenangan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk mendukung sasaran prioritas nasional di bidang ketahanan pangan yaitu Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) Surplus Beras 10 Juta Ton Pada Tahun 2014;
penanganan jaringan irigasi melalui alokasi DAK diarahkan untuk pencapaian standar pelayanan minimal (SPM) Provinsi/Kabupaten/Kota; dan
mendukung kebijakan keberpihakan ( affirmative policy ) untuk pembangunan daerah tertinggal dan kawasan perbatasan.
Lingkup kegiatan DAK dan DAK Tambahan Bidang Infrastruktur Irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diprioritaskan untuk kegiatan mendukung kebijakan Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) Surplus Beras 10 Juta Ton yang pelaksanaan DAK Bidang Infrastruktur Irigasi difokuskan kepada rehabilitasi jaringan irigasi/rawa kewenangan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota yang dalam kondisi rusak.
Pemanfaatan DAK Bidang Irigasi tidak dapat digunakan untuk membiayai operasi dan pemeliharaan irigasi sehingga pemerintah provinsi dan kabupaten/kota sebagai penerima DAK Bidang Irigasi bertanggung jawab dalam pelaksanaan operasi dan pemeliharaan irigasi yang menjadi kewenangannya dan mengalokasikannya dalam APBD.
DAK dan DAK Tambahan Bidang Infrastruktur Air Minum dialokasikan untuk:
meningkatkan cakupan pelayanan air minum layak dalam rangka percepatan pencapaian target millenium development goals (MDGs) untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat dan memenuhi standar pelayanan minimal (SPM) penyediaan air minum di kawasan perkotaan, perdesaan, termasuk daerah tertinggal;
mendukung kebijakan keberpihakan ( affirmative policy ) untuk pembangunan daerah tertinggal dan kawasan perbatasan; dan
mendukung pemenuhan Sasaran Prioritas Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional RPJMN 2010-2014 khususnya Prioritas Nasional 3 di Bidang Kesehatan dan Prioritas Nasional 4 di Bidang Penanggulangan Kemiskinan.
Lingkup kegiatan DAK dan DAK Tambahan Bidang Infrastruktur Air Minum sebagaimana dimaksud pada ayat (11) terdiri atas:
perluasan dan peningkatan jaringan distribusi sampai dengan retikulasi termasuk sambungan rumah (SR) bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dan masyarakat yang belum terlayani air minum, dengan sasaran merupakan kabupaten/kota yang memiliki kapasitas yang tidak terpakai ( idle capacity ) yang memadai untuk dibangun SR perpipaan;
pemasangan sistem meter komunal ( master meter ) untuk MBR khususnya yang bermukim di kawasan kumuh perkotaan dengan sasaran adalah Kabupaten/Kota yang memiliki idle capacity yang memadai untuk dibangun Sistem Meter Komunal termasuk SR perpipaan; dan
pembangunan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) perdesaan dengan sasaran adalah desa-desa dengan sumber air baku yang relatif mudah.
DAK dan DAK Tambahan Bidang Infrastruktur Sanitasi dialokasikan untuk :
mempercepat pemenuhan pelayanan akses aman sanitasi melalui penyediaan prasarana sarana yang mencakup pengelolaan air limbah dan persampahan untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat dan memenuhi standar pelayanan minimal (SPM) penyediaan sanitasi;
mendukung kebijakan keberpihakan ( affirmative policy ) untuk pembangunan daerah tertinggal dan kawasan perbatasan; dan
mendukung pemenuhan Sasaran Prioritas RPJMN 2010-2014 khususnya Prioritas Nasional 3 di Bidang Kesehatan dan Prioritas Nasional 4 di Bidang Penanggulangan Kemiskinan.
Lingkup kegiatan DAK dan DAK Tambahan Bidang Infrastruktur Sanitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (13) terdiri atas:
subbidang air limbah terdiri atas pembangunan dan pengembangan prasarana dan sarana air limbah skala lingkungan/kawasan atau skala kota; dan
subbidang persampahan terdiri atas pembangunan dan pengembangan fasilitas pengelolaan sampah yang terintegrasi dengan sistem pengelolaan sampah kota.
DAK Bidang Prasarana Pemerintahan Daerah dialokasikan untuk meningkatkan kinerja pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan pelayanan publik di daerah pemekaran, daerah induk, daerah yang terkena dampak pemekaran, serta daerah lainnya yang prasarana pemerintahannya belum layak dan memadai.
DAK Bidang Prasarana Pemerintahan Daerah membantu penyelenggaraan dan pencapaian standar pelayanan minimal (SPM) dalam hal penyediaan prasarana pemerintahan sehingga prasarana tersebut meningkatkan kredibilitas pemerintah daerah, mendukung sasaran dan indikator keberhasilan reformasi birokrasi dan tata kelola yang merupakan Prioritas Nasional, melalui peningkatan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat (integritas pelayanan publik di daerah) serta untuk keberlanjutan atas pemanfaatan kegiatan, pemerintah daerah melalui SKPD terkait harus menyatakan komitmennya untuk menyediakan biaya operasional dan pemeliharaan dari lingkup kegiatan yang ada, sesuai dengan umur ekonomis bangunan.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Prasarana Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (16) terdiri atas:
pembangunan/perluasan gedung kantor gubernur/ bupati/walikota;
pembangunan/perluasan gedung kantor sekretariat daerah provinsi/kabupaten/kota;
pembangunan/perluasan gedung kantor DPRD provinsi/kabupaten/kota dan sekretariat DPRD provinsi/kabupaten/kota dan pembangunan/perluasan gedung kantor inspektorat daerah provinsi/kabupaten/kota;
pembangunan/ perluasan gedung kantor Bappeda provinsi/kabupaten/kota;
pembangunan/perluasan gedung kantor dinas daerah provinsi/kabupaten/kota;
pembangunan/perluasan gedung kantor lembaga teknis daerah provinsi/kabupaten/kota;
pembangunan/perluasan gedung kantor kecamatan di kabupaten/kota; dan
pembangunan/perluasan gedung kantor di provinsi yang pembentukan perangkat dan kelembagaannya diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
DAK Bidang Kelautan dan Perikanan dialokasikan untuk meningkatkan sarana dan prasarana produksi, pengolahan, mutu, pemasaran, pengawasan, penyuluhan, data statistik dalam rangka mendukung industrialisasi kelautan dan perikanan dan minapolitan, serta penyediaan sarana prasarana terkait dengan pengembangan kelautan dan perikanan di pulau-pulau kecil.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Kelautan dan Perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (18) terdiri atas:
Bidang Kelautan dan Perikanan Provinsi untuk penyediaan kapal perikanan lebih dari 30 (tiga puluh) gross ton;
Bidang Kelautan dan Perikanan Kabupaten/Kota untuk :
pengembangan sarana dan prasarana perikanan tangkap;
pengembangan sarana dan prasarana perikanan budidaya;
pengembangan sarana dan prasarana pengolahan, peningkatan mutu dan pemasaran hasil perikanan;
pengembangan sarana dan prasarana dasar di pesisir dan pulau-pulau kecil;
pengembangan sarana dan prasarana pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan;
pengembangan sarana dan prasarana penyuluhan perikanan; dan
pengembangan sarana penyediaan data statistik kelautan dan perikanan (20) DAK Bidang Pertanian dialokasikan untuk mendukung pencapaian target surplus beras 10 juta ton tahun 2014, dan peningkatan produksi komoditas pertanian strategis lainnya, dengan melakukan refokusing kegiatan DAK Bidang Pertanian 2014 pada pembangunan/perbaikan prasarana dan sarana dasar pertanian di Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (20) terdiri atas:
Bidang Pertanian Provinsi untuk:
pembangunan/Rehabilitasi/Renovasi Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perbenihan dan sarana pendukungnya;
pembangunan/ Rehabilitasi/Renovasi UPTD Proteksi Tanaman dan sarana pendukungnya; dan
pembangunan/Rehabilitasi/Renovasi UPTD perbibitan dan laboratorium kesehatan hewan dan sarana pendukungya.
Bidang Pertanian Kabupaten/Kota untuk:
pengembangan Prasarana dan Sarana Air Mendukung Tanaman Pangan terdiri atas : (a) irigasi air tanah; (b) irigasi air permukaan; (c) embung; dan (d) dam parit.
pengembangan prasarana dan sarana jalan pertanian (jalan usaha tani dan jalan produksi);
pembangunan/Rehabilitasi/Renovasi Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) di Kecamatan dan Penyediaan Sarana Penyuluhan Pertanian;
pembangunan lumbung pangan masyarakat dan/atau sarana pendukungnya;
pembangunan/ rehabilitasi/ renovasi balai perbenihan dan perbibitan serta sarana pendukungnya; dan
pembangunan/ rehabilitasi/renovasi tempat penampungan susu dan rumah potong unggas serta sarana pendukungnya.
DAK Bidang Lingkungan Hidup dialokasikan untuk:
mendorong pelaksanaan standar pelayanan minimal (SPM) bidang lingkungan hidup daerah;
mendorong penguatan kapasitas kelembagaan/institusi pengelola lingkungan hidup di daerah, dengan prioritas meningkatkan sarana dan prasarana lingkungan hidup yang difokuskan pada kegiatan pencegahan pencemaran lingkungan;
menunjang percepatan penanganan masalah lingkungan hidup di daerah; dan
mendukung kegiatan yang terkait dengan upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (22) terdiri atas:
pengadaan peralatan laboratorium permanen untuk uji kualitas air, udara emisi sumber bergerak, udara emisi sumber tidak bergerak, udara ambient , dan tanah;
pengadaan peralatan portable untuk uji kualitas air, udara emisi, dan tanah;
pengadaan kendaraan operasional roda empat untuk pemantauan dan pengawasan lingkungan, d. pengadaan sarana dan prasarana pengolahan air limbah untuk:
Instalasi Pengolah Air Limbah (IPAL) UKM;
IPAL Komunal;
IPAL Puskesmas; dan
Pengolah sampah dengan prinsip 3R( reuse, recycle, recovery );
pengadaan sarana dan prasarana pengelolaan sampah dengan prinsip 3R di tempat penampungan sampah sementara, fasilitas umum, dan fasilitas sosial, serta sekolah-sekolah;
pembuatan taman kehati/taman hijau/ruang terbuka hijau;
pengadaan unit pengolah limbah organik menjadi biogas;
pembuatan sumur resapan;
pembuatan, lubang resapan biopori;
pembuatan embung (kolam tampungan air);
penanaman pohon di sekitar mata air, sempadan sungai, dan danau;
pengadaan pengolah gulma (tanaman pengganggu) dan pembuatan media tanam (bitumen);
pengadaan penangkap endapan ( sediment trap ) vegetatif; dan
pengadaan pencegah longsor ramah lingkungan.
DAK Bidang Keluarga Berencana (KB) dialokasikan untuk meningkatkan akses dan kualitas pelayanan KB yang merata, yang dilakukan melalui:
peningkatan daya jangkau dan kualitas penyuluhan, penggerakan, pembinaan program KB lini lapangan;
peningkatan sarana dan prasarana pelayanan KB;
peningkatan sarana pelayanan advokasi, komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) Program KB;
peningkatan sarana pembinaan tumbuh kembang anak; dan
peningkatan pelaporan dan pengolahan data dan informasi berbasis teknologi informasi.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Keluarga Berencana sebagaimana dimaksud pada ayat (24) terdiri atas:
penyediaan sarana kerja dan mobilitas serta sarana pengelolaan data dan informasi berbasis teknologi informasi bagi tenaga lini lapangan;
pemenuhan sarana pelayanan KB di klinik KB (statis) dan sarana dan prasarana pelayanan KB keliling dan pembangunan gudang alat/obat kontrasepsi;
penyediaan sarana dan prasarana penerangan KB keliling, pengadaan public address dan KIE kit;
penyediaan Bina Keluarga Balita (BKB) Kit;
pembangunan/renovasi balai penyuluhan KB tingkat kecamatan; dan
penyediaan kendaraan pendistribusian alokon/ pengangkut akseptor.
DAK Bidang Kehutanan dialokasikan untuk :
peningkatan operasionalisasi Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP);
peningkatan daya dukung daerah aliran sungai;
perlindungan hutan dan kawasan esensial; dan
pemberdayaan masyarakat.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (26) terdiri atas:
operasionalisasi kesatuan pengelolaan hutan lindung dan kesatuan pengelolaan hutan produksi;
rehabilitasi hutan dan lahan;
pemeliharaan dan pengamanan tanaman hasil rehabilitasi tahun sebelumnya (T-2) dan (T-1);
peningkatan penyediaan sarana dan prasarana pengamanan hutan; dan
peningkatan penyediaan sarana dan prasarana penyuluhan kehutanan.
DAK Bidang Sarana dan Prasarana Perdagangan dialokasikan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas sarana perdagangan untuk meningkatkan kelancaran distribusi bahan kebutuhan pokok masyarakat dalam rangka mendukung Sistem Logistik Nasional pengamanan perdagangan dalam negeri, dan peningkatan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan dan dicapai dengan:
memantapkan ketersediaan dan kondisi sarana distribusi untuk mendukung kelancaran dan ketersediaan barang (khususnya bahan pokok) sehingga daya beli dan kesejahteraan masyarakat dapat terjaga, terutama di daerah yang memiliki potensi dan aktivitas perdagangan yang dilakukan secara reguler, serta daerah dengan kondisi sarana distribusi yang tidak memadai secara kuantitas dan kualitas;
meningkatkan kuantitas dan kualitas peralatan, sarana dan fasilitas penunjang kegiatan tertib ukur sebagai upaya perlindungan konsumen, terutama di daerah yang memiliki potensi alat-alat Ukur, Takar, Timbang dan Perlengkapannya (UTTP) yang cukup besar yang belum dapat ditangani serta daerah dengan kondisi peralatan, sarana dan fasilitas kemetrologian yang minim; dan
memperluas sarana penyimpanan komoditas bagi petani dan pengusaha kecil dan menengah sebagai upaya mendapatkan harga terbaik dan menciptakan alternatif sumber pembiayaan untuk meningkatkan kesejahteraan, terutama di daerah sentra komoditas yang termasuk dalam Sistem Resi Gudang (SRG).
Lingkup kegiatan DAK Bidang Sarana Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (28) terdiri atas:
pembangunan dan pengembangan sarana distribusi perdagangan (pasar);
pembangunan dan peningkatan sarana metrologi legal, melalui:
penyediaan sarana metrologi legal yang meliputi pembangunan gedung Laboratorium Metrologi Legal dan pengadaan peralatan pelayanan tera/tera ulang (meliputi peralatan standar kerja, unit berjalan tera/tera ulang roda empat, unit fungsional pengawasan roda empat dan unit mobilitas roda dua), dan 2. pengembangan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) metrologi legal provinsi dan peremajaan peralatan standar acuan untuk mendukung ketertelusuran di tingkat Provinsi; dan
pembangunan gudang komoditas pertanian dan pengadaan fasilitas penunjang termasuk alat pengering, sarana transportasi, dan sarana komunikasi, dalam kerangka Sistem Resi Gudang.
DAK Bidang Sarana dan Prasarana Daerah Tertinggal dialokasikan untuk mendukung kebijakan pembangunan daerah tertinggal yang diamanatkan dalam RPJMN 2010-2014 yaitu meningkatkan pengembangan perekonomian daerah dan kualitas sumber daya manusia yang didukung oleh kelembagaan dan ketersediaan infrastruktur perekonomian dan pelayanan dasar sehingga daerah tertinggal dapat tumbuh dan berkembang secara lebih cepat guna dapat mengejar ketertinggalan pembangunannya dari daerah lain yang relatif lebih maju.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Sarana dan Prasarana Daerah Tertinggal sebagaimana dimaksud pada ayat (30) terdiri atas:
penyediaan sarana transportasi umum darat dan air untuk mendukung pengembangan ekonomi lokal;
pembangunan/rehabilitasi dermaga/tambatan perahu;
pembangunan jalan/peningkatan kondisi permukaan jalan non status strategis, yang menghubungkan antardesa serta menghubungkan sentra produksi dengan pusat pelayanan distribusi dan membuka keterisolasian wilayah, yang bukan merupakan status jalan kabupaten dan provinsi; dan
pembangunan/rehabilitasi jembatan desa.
DAK Bidang Energi Perdesaan dialokasikan untuk diversifikasi energi dan secara khusus, DAK energi perdesaaan akan memanfaatkan sumber energi terbarukan setempat untuk meningkatkan akses masyarakat perdesaan terhadap energi modern.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Energi Perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (32) terdiri atas:
pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH);
pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terpusat dan/atau PLTS Tersebar;
pembangunan instalasi biogas skala rumah tangga;
pemeliharaan/rehabilitasi PLTS dan PLTMH yang rusak; dan
perluasan/peningkatan pelayanan tenaga listrik dari PLTMH off- grid .
DAK Bidang Perumahan dan Permukiman dialokasikan untuk meningkatkan penyediaan prasarana, sarana dan utilitas (PSU) perumahan dan kawasan permukiman dalam rangka menstimulan pembangunan perumahan dan permukiman bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) di kabupaten/kota.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Perumahan dan Permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (34) terdiri atas :
prasarana dan sarana air minum;
sarana air limbah komunal;
tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST);
jaringan distribusi listrik; dan
penerangan jalan umum.
DAK Bidang Keselamatan Transportasi Darat dialokasikan untuk meningkatkan kualitas pelayanan, terutama keselamatan bagi pengguna transportasi jalan di provinsi, kabupaten/kota guna menurunkan tingkat fatalitas (jumlah korban meninggal) akibat kecelakaan lalu lintas secara bertahap sebesar 20 persen pada akhir tahun 2014 dan menurunkan jumlah korban luka-luka sebesar 50 persen hingga akhir tahun 2014.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Keselamatan Transportasi Darat sebagaimana dimaksud pada ayat (36) untuk pengadaan dan pemasangan fasilitas keselamatan transportasi darat.
DAK Bidang Transportasi Perdesaan dialokasikan untuk:
meningkatkan pelayanan mobilitas penduduk dan sumber daya lainnya yang dapat mendukung terjadinya pertumbuhan ekonomi daerah, dan diharapkan dapat menghilangkan keterisolasian dan memberi stimulan ke arah perkembangan di semua bidang kehidupan sosial dan ekonomi;
mengembangkan sarana dan prasarana wilayah yang memiliki nilai strategis dan diprioritaskan pada wilayah pusat-pusat pertumbuhan kawasan yang memiliki sektor basis potensial seperti Kawasan Strategis Cepat Tumbuh (KSCT), Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET), Kawasan Strategis Pariwisata Nasionai (KSPN) dan Kawasan Perhatian Investasi (KPI) yang meliputi sektor pertanian, perikanan, pariwisata, industri, dan perdagangan; dan
untuk keberlanjutan atas pemanfaatan kegiatan, pemerintah daerah melalui dinas terkait harus menyatakan komitmennya untuk membiayai operasional dan pemeliharaan dari lingkup kegiatan yang ada, sesuai masa umur ekonomis.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Transportasi Perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (38) terdiri atas:
jalan poros wilayah terdiri atas pembangunan dan peningkatan jalan poros atau jalan antarwilayah yang menghubungkan pusat produksi dengan sentra pemasaran di pusat-pusat pertumbuhan seperti wilayah KSCT, KSPN dan KPI;
angkutan wilayah terdiri atas pengadaan sarana angkutan penumpang dan barang yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan daerah, seperti mini bus, pick up, dump truck, kapal kayu/kapal mesin tempel/fiberglass dan bus potong.
DAK Bidang Sarana dan Prasarana Kawasan Perbatasan dialokasikan untuk mendukung kebijakan pembangunan kawasan perbatasan yang diamanatkan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2014 yaitu untuk mengatasi keterisolasian wilayah yang dapat menghambat upaya pengamanan batas wilayah, pelayanan sosial dasar, serta pengembangan kegiatan ekonomi lokal secara berkelanjutan di kecamatan-kecamatan lokasi prioritas yang ditetapkan oleh Keputusan Kepala Badan Nasional Pengelola Perbatasan Nomor 2 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Sarana dan Prasarana Kawasan Perbatasan sebagaimana dimaksud pada ayat (40) terdiri atas:
pembangunan/peningkatan kondisi permukaan jalan non-status dan/atau jembatan yang menghubungkan kecamatan perbatasan prioritas dengan pusat kegiatan di sekitarnya;
pembangunan dan rehabilitasi dermaga kecil atau tambatan perahu untuk mendukung angkutan orang dan barang, khususnya dermaga kecil atau tambatan perahu di wilayah pesisir yang tidak ditangani Kementerian Perhubungan;
penyediaan moda transportasi perairan/ kepulauan untuk meningkatkan arus orang, barang dan jasa; dan
penyediaan asrama sekolah untuk SLTP, SLTA dan rumah dinas guru yang dibangun di kecamatan perbatasan yang tidak ditangani oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Pelaksanaan Pemantauan dan Evaluasi Transfer Ke Daerah yang Penggunaannya Sudah Ditentukan.