JDIHN LogoKemenkeu Logo
  • Dokumen Hukum
    • Peraturan
    • Monografi
    • Artikel Hukum
    • Putusan Pengadilan
  • Informasi
    • Regulasi
      • Infografis Regulasi
      • Simplifikasi Regulasi
      • Direktori Regulasi
      • Video Sosialisasi
      • Kamus Hukum
    • Informasi Penunjang
      • Tarif Bunga
      • Kurs Menteri Keuangan
      • Berita
      • Jurnal HKN
      • Statistik
  • Perihal
    • Tentang Kami
    • Struktur Organisasi
    • Anggota JDIHN
    • Prasyarat
    • Kebijakan Privasi
    • FAQ
    • Website Lama
    • Hubungi Kami
  • Situs Lama
JDIHN LogoKemenkeu Logo
  • Situs Lama

Filter

Jenis Dokumen Hukum
Publikasi
Status
Tajuk Entri Utama
Nomor
Tahun
Tema
Label
Tersedia Konsolidasi
Tersedia Terjemahan

FAQ
Prasyarat
Hubungi Kami
Kemenkeu Logo

Hak Cipta Kementerian Keuangan.

  • Gedung Djuanda I Lantai G Jl. Dr. Wahidin Raya No 1 Jakarta 10710
  • Email:jdih@kemenkeu.go.id
  • Situs JDIH Build No. 12824
JDIH Kemenkeu
  • Profil
  • Struktur Organisasi
  • Berita JDIH
  • Statistik
  • Situs Lama
Tautan JDIH
  • JDIH Nasional
  • Sekretariat Negara
  • Sekretariat Kabinet
  • Kemenko Perekonomian
  • Anggota Lainnya
Temukan Kami
Ditemukan 633 hasil yang relevan dengan "pengawasan anggaran "
Dalam 0.025 detik
Thumbnail
HIMPUNAN PERATURAN | BIDANG ANGGARAN
93/PMK.02/2020

Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 60/PMK.02/2018 tentang Persetujuan Kontrak Tahun Jamak oleh Menteri Keuangan ...

  • Ditetapkan: 22 Jul 2020
  • Diundangkan: 23 Jul 2020
Thumbnail
HUKUM KEUANGAN NEGARA | PENGADAAN
PP 86 TAHUN 2021

Pengadaan, Pengelolaan, dan Penjualan Meterai

  • Ditetapkan: 19 Agu 2021
  • Diundangkan: 19 Agu 2021

Relevan terhadap

Pasal 1Tutup

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1.

Bea Mcterai adalah pajak atas dokumen. Meterai adalah label atau carik dalam bentuk tempel, elektronik, atau bentuk lainnya yang memiliki ciri'dan mengandung unsur pengaman yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia, yang digunakan untuk membayar pajak atas dokumen. Meterai Tempel adalah Meterai berupa carik yang penggunaannya dilakukan dengan cara ditempel pada dokurnen. Meterai Elektronik adalah Meterai berupa label yang penggunaannya dilakukan dengan cara dibubuhkan pada dokumen melalui sistem tertentu. Meterai Dalam Bentuk Lain adalah Meterai yang dibuat dengan menggunakan mesin teraan Meterai digital, sistem komputerisasi, teknologi percctakan, dan sistem atau teknologi lainnya. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. Pasal 2 (1) Menteri bertanggung jawab atas pengadaan, pengelolaan, dan penjualan Meterai. (21 Pengadaan, pengelolaan, dan penjualan Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara efektif, elisien, transparan, dan akuntabel dengan memperhatikan keamanan dan ketersediaan. (3) Pengadaan Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan serangkaian kegiatan yang meliputi:

a.

perencanaan; dan

b.

pencetakan atau pembuatan Meterai.

(4)

Pengelolaan . (41 Pengelolaan Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan serangkaian kegiatan yang meliputi:

a.

distribusi;

b.

penatausahaan; dan

c.

pengawasan atas penjualan Meterai. (5) Penjualan Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pengalihan kepernilikan Meterai kepada pihak lain dengan menerima atau memperoleh penggantian dalam bentuk uang sebesar nilai nominal Meterai. Pasal 3 (1) Perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a meliputi kegiatan penentuan:

a.

standardisasi Meterai;

h.

kebutuhan anggaran untuk:

1.

pencetakan atau pembuatan Meterai;

2.

distribusi Meterai; dan

3.

penjualan Meterai;

c.

kebutuhan Meterai; dan

d.

jumlah Meterai yang akan dicetak atau dibuat. (2) Penentuan standardisasi Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan menentukan:

a.

ciri umum dan ciri khusus pada Meterai Tempel;

b.

kode unik dan keterangan tertentu pada Meterai Elektronik; dan

c.

unsur tertentu pada Meterai Dalam Bentuk Lain. (3) Penentuan kebutuhan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan untuk memastikan ketersediaan anggaran yang dibutuhkan dalam rangka pencetakan atau pembuatan, distribusi, dan penjualan Meterai. (4) Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

(5)

Penentuan (5) Penentuan kebutuhan Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan untuk menentukan perkiraan kebutuhan Meterai per tahun. (6) Penentuan jumlah Meterai yang akan dicetak atau dibuat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan dengan memperhatikan target, realisasi, dan strategi penerimaan Bea Meterai, serta ketersediaan Meterai. Pasal 4 (1) Pencetakan atau pembuatan Meterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b dilaksanakan untuk menjamin tersedianya Meterai sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam pembayaran Bea Meterai. (21 Dalam melakukan pencetakan atau pembuatan Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah memberikan penugasan kepada Perusahaan Umum (Perum) Percetakan Uang Republik Indonesia untuk mencetak Meterai Tempel dan membuat Meterai Elektronik. (3) Perusahaan Umum (Perum) Percetakan Uang Republik Indonesia melaporkan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Menteri. (41 Pencetakan Meterai Tempel sebagaimana dimaksud pada ayat (21merupakan kegiatan paling sedikit berupa:

a.

penyusunan konsep desain;

b.

penyediaan bahan baku;

c.

penentuan teknik cetak; dan

d.

pencetakan. (5) Pembuatan Meterai Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (21 merupakan keseluruhan proses paling sedikit berupa:

a.

penyusunan konsep desain;

b.

penyediaan sistem atau aplikasi terintegrasi yang memungkinkan penggunaan Meterai Elektronik; dan

c.

pembuatan.

Thumbnail
HUKUM KEUANGAN NEGARA | BIDANG ANGGARAN
PMK 13 TAHUN 2024

Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Kebutuhan Mendesak yang Berlaku pada Badan Informasi Geospasial ...

  • Ditetapkan: 26 Feb 2024
  • Diundangkan: 28 Feb 2024

Relevan terhadap

MemutuskanTutup

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG JENIS DAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK KEBUTUHAN MENDESAK YANG BERLAKU PADA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL. Pasal 1 (1) Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak kebutuhan mendesak yang berlaku pada Badan Informasi Geospasial meliputi penerimaan dari:

a.

jasa pelatihan geospasial;

b.

jasa penggunaan sarana dan prasarana pendidikan dan pelatihan geospasial;

c.

jasa penggunaan infrastruktur teknologi informasi geospasial;

d.

j asa penggunaan alat pengumpulan data geospasial;

e.

jasa penyelenggaraan informasi geospasial; dan

f.

layanan produk informasi geospasial.

(2)

Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 2 (1) Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari jasa pelatihan geospasial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a dan jasa penyelenggaraan informasi geospasial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf e tidak termasuk biaya akomodasi dan transportasi. (2) Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari jasa penggunaan alat pengumpulan data geospasial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf d tidak termasuk biaya asuransi peralatan, akomodasi dan transportasi. (3) Biaya asuransi peralatan, akomodasi dan transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dibebankan kepada wajib bayar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 3 (1) Jenis layanan produk informasi geospasial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf f selain yang ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Menteri ini, dapat berupa:

a.

layanan penggunaan aplikasi berbasis informasi geospasial dasar;

b.

layanan informasi geospasial tematik pada pemerintahan untuk melengkapi layanan pengurusan perizinan di kementerian/lembaga/ pemerintah daerah;

c.

layanan informasi geospasial untuk pemutakhiran dan perhitungan pajak bumi dan bangunan pemerintah daerah; dan

d.

data geospasial dasar yang digunakan untuk pembuatan peta dasar. (2) Formula untuk menghitung tarif layanan produk informasi geospasial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut:

a.

layanan penggunaan aplikasi berbasis informasi geospasial dasar ( ( Y1 + Y2 + • • • + Yn))n = BM01GD X 1 + n b. layanan informasi geospasial tematik pada pemerintahan untuk melengkapi layanan pengurusan perizinan di kementerian/lembaga/ pemerintah daerah ( ( Y1 + Y2 + • • • Yn))n = BMOPTMK x LT x 1 + n c. layanan informasi geospasial untuk pemutakhiran dan perhitungan pajak bumi dan bangunan pemerintah daerah ( ( Y1 + Y2 + • .. _Y: _ ))n BMOPsAG X (LT+ LB) x 1 + n n d. data geospasial dasar yang digunakan untuk pembuatan peta dasar berupa data Receiver Independent Exchange Format (RINEX) Indonesia Continuously Operating Reference Station (Ina- CORS) dan data Real Time Kinematic (RTK) Online Correction ( ( Y1 + Y2 + • • • + Yn))n = BMOcoRs x 1 + n (3) Perhitungan formula sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:

a.

BM0 1 Gv merupakan biaya modal dan operasional yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan layanan penggunaan aplikasi berbasis informasi geospasial dasar. b. BMOPTMK merupakan biaya modal dan operasional yang dibu tuhkan dalam penyelenggaraan layanan informasi geospasial tematik pada pemerintahan untuk melengkapi layanan pengurusan perizinan di kementerian/lembaga/ pemerintah daerah. c. BMOPsAG merupakan biaya modal dan operasional yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan layanan informasi geospasial untuk pemutakhiran dan perhitungan pajak bumi dan bangunan pemerintah daerah. d. BMOcoRs merupakan biaya modal dan operasional yang dibutuhkan dalam pembuatan peta dasar berupa data Receiver Independent Exchange Format (RINEX) Indonesia Continuously Operating Reference Station (Ina-CORS) dan data Real Time Kinematic (RTK) Online Correction. e. Y 1 ^+ ^Y 2 ^+ · · · + Yn meru pakan nilai inflasi sebagaimana tercantum dalam undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara pada tahun pertama, kedua dan seterusnya. f. n merupakan selisih tahun penetapan tarif baru dengan tahun penetapan tarif terakhir. g. LT merupakan luas tanah berdasarkan data sertifikat tanah atau bukti kepemilikan tanah lainnya; dan

h.

LB merupakan luas bangunan berdasarkan data informasi geospasial tematik. (4) Besaran BM0 1 Gv, BMOPTMK, BMOpsAG dan BMOcoRs sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Kepala Badan Informasi Geospasial. Pasal 4 (1) Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak berupa jasa penyelenggaraan informasi geospasial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf e dan layanan produk informasi geospasial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf f selain:

a.

deskripsi jaring kontrol geodesi;

b.

data hasil pengukuran pasang surut; dan

c.

pengolahan data geospasial dapat dilaksanakan oleh Mitra Instansi Pengelola Penerimaan Negara Bukan Pajak yang ditunjuk sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Pendapatan yang berasal dari penyelenggaraan layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk pengembalian atas investasi Mitra Instansi Pengelola Penerimaan Negara Bukan Pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Dalam hal terdapat kelebihan pendapatan yang berasal dari penyelenggaraan layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah dikurangi pengembalian atas investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kelebihan pendapatan yang berasal dari penyelenggaraan layanan menjadi imbal jasa untuk Mitra Instansi Pengelola Penerimaan Negara Bukan Pajak dan bagian pemerintah yang merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak. (4) Penunjukan dan penugasan Mitra Instansi Pengelola Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk besaran pengembalian atas investasi sebagaiman~ dimaksud pada ayat (2), serta besaran imbal jasa untuk Mitra Instansi Pengelola Penerimaan Negara Bukan Pajak dan bagian pemerintah yang merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dalam bentuk perjanjian kerja sama antara Badan lnformasi Geospasial dengan Mitra Instansi Pengelola Penerimaan Negara Bukan Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan. Pasal 5 (1) Dengan pertimbangan tertentu, tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) dapat dikenakan tarif sampai dengan Rp0,00 (nol rupiah) atau 0% (nol persen). (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran, persyaratan dan tata cara pengenaan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 6 Seluruh Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Badan Informasi Geospasial wajib disetor ke Kas Negara. Pasal 7 Evaluasi atas tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak dilaksanakan berdasarkan:

a.

ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Penerimaan Negara Bukan Pajak; dan/atau

b.

hasil reviu Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan terhadap kebutuhan biaya dan tren layanan selama masa penugasan Mitra Instansi Pengelola Penerimaan Negara Bukan Pajak. Pasal 8 Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan.

Thumbnail
HUKUM KEUANGAN NEGARA | BIDANG PERIMBANGAN KEUANGAN
134/PMK.07/2022

Belanja Wajib dalam rangka Penanganan Dampak Inflasi Tahun Anggaran 2022

  • Ditetapkan: 05 Sep 2022
  • Diundangkan: 05 Sep 2022

Relevan terhadap

Pasal 4Tutup
(1)

Daerah melaporkan penganggaran dan realisasi atas belanja wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan.

(2)

Laporan penganggaran belanja wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima oleh Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat pada tanggal 15 September 2022.

(3)

Laporan realisasi atas belanja wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima oleh Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat pada tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan berkenaan berakhir.

(4)

Laporan realisasi belanja wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan dalam bentuk file Portable Document Format (PDF) melalui surat elektronik ( e-mail ) resmi Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.

(5)

Dalam hal batas waktu penerimaan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) bertepatan dengan hari libur atau hari yang diliburkan, penerimaan laporan dilaksanakan pada hari kerja berikutnya.

(6)

Kepala Daerah bertanggung jawab mutlak atas penganggaran belanja wajib perlindungan sosial dalam APBD Tahun Anggaran 2022 serta pelaksanaannya (7) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah melalui pengawasan dari Aparat Pengawas Internal Pemerintah Daerah.

(8)

Penyampaian laporan realisasi atas belanja wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang bertepatan dengan langkah-langkah akhir tahun disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(9)

Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi dokumen persyaratan penyaluran DAU bulan Oktober 2022 atau penyaluran DBH PPh Pasal 25/Pasal 29 triwulan III bagi Daerah yang tidak mendapatkan alokasi DAU.

(10)

Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi dokumen persyaratan penyaluran DAU bulan berikutnya atau penyaluran DBH PPh Pasal 25/Pasal 29 triwulan IV bagi Daerah yang tidak mendapatkan alokasi DAU.

(11)

Terhadap Daerah yang belum disalurkan DAU atau DBH, penyaluran DAU atau DBH dilakukan setelah dokumen persyaratan disampaikan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

(12)

Dalam hal sampai dengan tanggal 15 Desember tahun berjalan dokumen persyaratan penyaluran belum diterima, penyaluran DAU atau DBH yang belum disalurkan dilaksanakan secara sekaligus sebesar DAU atau DBH yang belum disalurkan paling lambat 2 (dua) hari kerja terakhir di bulan Desember tahun berjalan.

(13)

Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan juga kepada Menteri Dalam Negeri c.q. Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah.

(14)

Format laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Thumbnail
HUKUM KEUANGAN NEGARA | BIDANG LAIN-LAIN
PMK 123 TAHUN 2023

Tata Cara Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin dan Penjatuhan Hukuman Disiplin di Lingkungan Kementerian Keuangan ...

  • Ditetapkan: 21 Nov 2023
  • Diundangkan: 27 Nov 2023

Relevan terhadap

MemutuskanTutup

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN PELANGGARAN DISIPLIN DAN PENJATUHAN HUKUMAN DISIPLIN DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KEUANGAN. BAB! KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1.

Pegawai adalah Pegawai Negeri Sipil dan/atau calon Pegawai Negeri Sipil di Iingkungan Kementerian Keuangan. 2. Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai pegawai Aparatur Sipil Negara secara tetap oleh Pejabat Pembina Kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan. 3. Disiplin PNS adalah kesanggupan PNS untuk menaati kewajiban dan menghindari larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. 4. Pelanggaran Disiplin adalah setiap ucapan, tulisan, atau perbuatan Pegawai yang tidak menaati kewajiban dan/atau melanggar larangan ketentuan Disiplin PNS, baik yang dilakukan di dalam maupun di luar jam kerja. 5. Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin adalah rangkaian tindakan yang dilakukan oleh Atasan Langsung atau Tim Pemeriksa dalam rangka membuktikan Pelanggaran Disiplin yang dilakukan oleh Pegawai serta menentukan rekomendasi hasil pemeriksaan. 6. Hukuman Disiplin adalah hukuman yang dijatuhkan oleh Pejabat yang Berwenang Menghukum kepada PNS karena melanggar peraturan Disiplin PNS. 7. Penjatuhan Hukuman Disiplin adalah keputusan berkenaan dengan tingkat dan jenis Hukuman Disiplin jdih.kemenkeu.go.id yang diberikan kepada Pegawai berdasarkan hasil Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin. 8. Unit Organisasi Kementerian Keuangan yang selanjutnya disebut Unit Organisasi adalah unit Eselon I dan/atau Unit Organisasi non-Eselon yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Keuangan. 9. Pejabat Pembina Kepegawaian adalah pejabat yang mempunyai kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pegawai Aparatur Sipil Negara dan pembinaan Manajemen Aparatur Sipil Negara di instansi pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 10. Tim Pemeriksa adalah tim yang bersifat temporer (ad hoc) yang melakukan Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin terhadap Pegawai yang melakukan Pelanggaran Disiplin. 11. Atasan Langsung adalah PNS yang karena kedudukannya atau jabatannya membawahi seorang Pegawai atau lebih Pegawai dan berwenang untuk melakukan penilaian kinerja Pegawai bawahannya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. 12. Pejabat yang Lebih Tinggi adalah atasan dari Atasan Langsung secara berjenjang. 13. Unsur Pengawasan adalah pegawai Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan. 14. Unsur Kepegawaian adalah pegawai di lingkungan Kementerian Keuangan yang membidangi urusan Sumber Daya Manusia/kepegawaian. 15. Pejabat Lain yang Ditunjuk adalah pegawai di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditugaskan dalam Tim Pemeriksa. 16. Pejabat yang Berwenang Menghukum yang selanjutnya disingkat PYBM adalah pejabat yang diberi wewenang menjatuhkan Hukuman Disiplin kepada Pegawai yang melakukan Pelanggaran Disiplin. 17. Laporan Hasil Kegiatan adalah Pelanggaran Disiplin yang dibuat oleh Atasan Langsung dan/atau Tim Pemeriksa atas pelaksanaan Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin. 18. Laporan Hasil Pemeriksaan adalah laporan Atasan Langsung kepada PYBM, yang disampaikan secara hierarki melalui Pejabat yang Lebih Tinggi, mengenai kewenangan Penjatuhan Hukuman Disiplin dalam ha! Atasan Langsung tidak berwenang untuk menjatuhkan Hukuman Disiplin. 19. Laporan Hasil Pengawasan Inspektorat Bidang Investigasi yang selanjutnya disebut dengan Laporan IBI adalah laporan pelaksanaan kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh Inspektorat Bidang Investigasi yang memuat rekomendasi Hukuman Disiplin. 20. Laporan Unit Kepatuhan Internal yang selanjutnya disebut Laporan UKI adalah laporan yang dibuat oleh unit yang menangani kepatuhan internal pada masing-masing Unit Organisasi yang memuat rekomendasi Hukuman Disiplin. 21. Terperiksa adalah Pegawai yang diduga melakukan Pelanggaran Disiplin berdasarkan informasi Pelanggaran Disiplin. 22. Metode Penentuan Jenis Hukuman Disiplin yang selanjutnya disingkat MPJHD adalah metode untuk jdih.kemenkeu.go.id menentukan tingkat dan jenis Hukuman Disiplin yang akan dijatuhkan terhadap Pegawai dengan penilaian menggunakan angka (scoring). 23. Dampak Negatif adalah akibat yang diderita oleh unit kerja, instansi, dan/atau pemerintah/negara berupa turunnya harkat, martabat, citra, kepercayaan, dan/atau nama baik, mengganggu, dan/atau menghambat kelancaran pelaksanaan tugas dan/atau capaian kinerja. 24. Tunjangan adalah tunjangan kinerja dan tunjangan lain yang diberikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau berdasarkan peraturan perundang-undangan, atau remunerasi lain yang serupa bagi Pegawai yang ditempatkan pada Unit Organisasi non-Eselon yang menerapkan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum di lingkungan Kementerian Keuangan. 25. Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas informasi elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi. Pasal 2 Peraturan Menteri ini sebagai pedoman bagi:

a.

Atasan Langsung, Tim Pemeriksa, atau Inspektorat Jenderal dalam melakukan proses Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin dan penentuan jenis Hukuman Disiplin;

b.

PYBM dalam melakukan Penjatuhan Hukuman Disiplin berdasarkan penentuanjenis Hukuman Disiplin;

c.

pihak-pihak yang menerbitkan Laporan IBI, Laporan UK!, dan/atau kegiatan pengawasan lain yang menghasilkan rekomendasijenis Hukuman Disiplin;

d.

Pegawai dalam melaksanakan kewajiban dan menghindari larangan sebagai PNS; dan

e.

pihak-pihak yang melaksanakan tugas pengelolaan dan pengawasan sumber daya manusia/kepegawaian di lingkungan Kementerian Keuangan dalam proses Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin dan Penjatuhan Hukuman Disiplin. BAB II PEMERIKSAAN PELANGGARAN DISIPLIN Bagian Kesatu Umum Pasal 3 (1) Penjatuhan Hukuman Disiplin bagi Pegawai harus melalui proses Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin. (2) Proses Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai sejak diterimanya informasi Pelanggaran Disiplin oleh Atasan Langsung sampai dengan ditetapkannya Keputusan Penjatuhan Hukuman Disiplin atau diterbitkannya Laporan Hasil Kegiatan yang menyatakan tidak ditemukan bukti adanya Pelanggaran Disiplin. jdih.kemenkeu.go.id (3) Informasi Pelanggaran Disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada:

a.

rekomendasi Penjatuhan Hukuman Disiplin yang tercantum dalam Laporan IBI yang diterima oleh pimpinan Unit Organisasi Terperiksa;

b.

rekomendasi Penjatuhan Hukuman Disiplin sebagaimana tercantum dalam Laporan UKI;

c.

informasi/laporan ketidakhadiran Pegawai;

d.

persetujuan unit yang menangani kepatuhan internal atas temuan Informasi Pelanggaran Disiplin yang diterima oleh Atasan Langsung dan didukung bukti yang memadai; dan/atau

e.

informasi lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Rekomendasi Penjatuhan Hukuman Disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan/atau huruf b disusun dengan mempertimbangkan MPJHD. (5) Berdasarkan rekomendasi Penjatuhan Hukuman Disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Atasan Langsung melakukan hal-hal sebagai berikut:

a.

atas informasi Pelanggaran Disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b, Atasan Langsung melakukan pemrosesan lebih lanjut tahapan Pemeriksaan Hukuman Disiplin;

b.

atas informasi Pelanggaran Disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, Atasan Langsung menentukan tingkat Hukuman Disiplin dengan mendasarkan pada ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai Disiplin PNS dan/atau hari dan jam kerja Kementerian Keuangan; dan

c.

atas informasi Pelanggaran Disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d dan huruf e, Atasan Langsung melakukan verifikasi atas informasi berkenaan untuk menentukan tingkat Hukuman Disiplin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebelum melakukan Pemeriksaan Hukuman Disiplin. (6) Untuk kelancaran pemeriksaan, Pegawai yang berdasarkan rekomendasi Penjatuhan Hukuman Disiplin tingkat berat, dapat dibebaskan sementara dari tugas jabatannya oleh Atasan Langsung sejak dimulai proses Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (7) Pembebasan sementara dari tugas jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), disusun sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (8) Selama Pegawai dibebaskan sementara dari tugas jabatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (6), dilakukan penunjukkan pejabat pelaksana harian atas jabatan Pegawai yang bersangkutan. (9) Pegawai yang dibebaskan sementara dari tugas jabatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (6), tetap menaati ketentuan hari dan jam kerja, berkedudukan di wilayah tempat kerja, dan tetap diberikan hak-hak kepegawaiannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. jdih.kemenkeu.go.id Pasal 4 (1) Pegawai yang tidak menaati ketentuan masuk kerja dan tidak menaati ketentuan hari dan jam kerja tanpa alasan yang sah secara terus menerus selama 10 (sepuluh) hari kerja diberhentikan pembayaran gajinya sejal-: bulan berikutnya. (2) Penghentian pembayaran gaji bagi Pegawai yang tidak menaati ketentuan masuk kerja danjam kerja sebagaimana dimal-: sud pada ayat (1) tidak perlu menunggu keputusan Hukuman Disiplin. (3) Pengajuan penghentian pembayaran gaji dilakukan oleh Atasan Langsung kepada pihal-: yang berwenang paling lama 3 (tiga) hari kerja sejal-: Pegawai tidak menaati ketentuan masuk kerja dan jam kerja sebagaimana dimal-: sud pada ayat (1). (4) Penghentian pembayaran gaji sebagaimana dimal-: sud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Kedua Persiapan Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin Pasal 5 (1) Dalam hal informasi Pelanggaran Disiplin sebagaimana dimal-: sud dalam Pasal 3 ayat (3), berupa Hukuman Disiplin:

a.

tingkat ringan; atau

b.

tingkat sedang yang berdasarkan pertimbangan Atasan Langsung dengan memperhatikan kompleksitas Pelanggaran Disiplin tidak diperlukan pembentukan Tim Pemeriksa, mal-: a Atasan Langsung menyampaikan rencana Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin secara tertulis kepada Pejabat yang Lebih Tinggi. (2) Rencana Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin sebagaimana dimal-: sud pada ayat (1) minimal memuat:

a.

nama, pangkat, dan jabatan Terperiksa;

b.

wal-: tu dan tempat pelal-: sanaan pemeriksaan; dan

c.

uraian singkat Pelanggaran Disiplin. (3) Rencana Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin sebagaimana dimal-: sud pada ayat (1) disampaikan paling lama:

a.

5 (lima) hari kerja untuk pelanggaran atas kewajiban masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja; atau

b.

10 (sepuluh) hari kerja untuk pelanggaran selain atas kewajiban masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja, terhitung sejal-: Atasan Langsung menerima informasi Pelanggaran Disiplin sebagaimana dimal-: sud dalam Pasal 3 ayat (3). (4) Berdasarkan rencana Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin sebagaimana dimal-: sud pada ayat (1), Pejabat yang Lebih Tinggi menerbitkan surat perintah untuk melal-: ukan Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin paling lama:

a.

3 (tiga) hari kerja untuk pelanggaran atas kewajiban masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja; atau jdih.kemenkeu.go.id b. 5 (lima) hari kerja untuk pelanggaran selain atas kewajiban masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja, terhitung sejak Pejabat yang Lebih Tinggi menerima rencana Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Dalam hal Atasan Langsung terlibat dalam Pelanggaran Disiplin yang dilakukan oleh Terperiksa, pimpinan Unit Organisasi Terperiksa menerbitkan surat perintah kepada Pejabat yang Lebih Tinggi yang tidak terlibat dalam Pelanggaran Disiplin berkenaan, untuk melakukan Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya informasi Pelanggaran Disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3). (6) Surat perintah untuk melakukan Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) disusun sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 6 (1) Dalam hal berdasarkan informasi Pelanggaran Disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), berupa Hukuman Disiplin:

a.

tingkat sedang, yang berdasarkan pertimbangan Atasan Langsung dengan memperhatikan kompleksitas Pelanggaran Disiplin diperlukan pembentukan Tim Pemeriksa; atau

b.

tingkat berat, maka dibentuk Tim Pemeriksa. (2) Dalam membentuk Tim Pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Atasan Langsung mengajukan permohonan tertulis kepada pimpinan Unit Organisasi Terperiksa melalui Pejabat yang Lebih Tinggi paling lama:

a.

2 (dua) hari kerja untuk pelanggaran atas kewajiban masuk kerja dan menaati ketentuanjam kerja; atau

b.

7 (tujuh) hari kerja untuk pelanggaran selain atas kewajiban masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja, sejak Atasan Langsung menerima informasi Pelanggaran Disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3). (3) Pimpinan Unit Organisasi Terperiksa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyampaikan permohonan pembentukan Tim Pemeriksa kepada Inspektur Jenderal paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah menerima permohonan tertulis dari Atasan Langsung melalui Pejabat yang Lebih Tinggi. (4) Permohonan tertulis pembentukan Tim Pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat (2), minimal memuat:

a.

deskripsi perbuatan Pelanggaran Disiplin;

b.

ketentuan yang dilanggar;

c.

rekomendasi Hukuman Disiplin;

d.

usulan keanggotaan Tim Pemeriksa dari unsur Atasan Langsung, Unsur Kepegawaian, dan/atau Pejabat Lain yang Ditunjuk; jdih.kemenkeu.go.id e. informasi Pelanggaran Disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan/atau bukti-bukti pendukung; dan

f.

menyertakan Laporan UKI sebagai lampiran, dalam ha! rekomendasi Hukuman Disiplin sebagaimana dimaksud pada huruf c merupakan hasil pemeriksaan UK!. (5) Dalam hal diperlukan, p1mpman Unit Organisasi Terperiksa dapat secara langsung menyampaikan permohonan pembentukan Tim Pemeriksa tanpa adanya usulan dari Atasan Langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Inspektur Jenderal dengan tembusan kepada Atasan Langsung sebagai tindak lanjut informasi Pelanggaran Disiplin. Pasal 7 (1) Tim Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 terdiri atas:

a.

Atasan Langsung;

b.

Unsur Pengawasan; dan

c.

Unsur Kepegawaian. (2) Dalam hal Atasan Langsung Terperiksa terlibat dalam Pelanggaran Disiplin, anggota Tim Pemeriksa merupakan atasan yang lebih tinggi secara berjenjang Pejabat yang Lebih Tinggi yang tidak terlibat dengan Pelanggaran Disiplin Terperiksa. (3) Dalam hal Atasan Langsung Terperiksa berstatus pelaksana harian atau pelaksana tugas, maka yang menjadi anggota Tim Pemeriksa merupakan Pejabat yang Lebih Tinggi. (4) Dalam hal diperlukan, Tim Pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan Pejabat Lain yang Ditunjuk. (5) Pejabat Lain yang Ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diusulkan dalam hal diperlukan untuk membantu Atasan Langsung, Unsur Pengawasan, dan/atau Unsur Kepegawaian. (6) Tim Pemeriksa harus memiliki jabatan setara atau lebih tinggi dari Terperiksa. Pasal 8 (1) Berdasarkan permohonan pimpinan Unit Organisasi Terperiksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dan ayat (5), Inspektur Jenderal menugaskan Inspektur Bidang Investigasi untuk melakukan kajian atas permohonan pembentukan Tim Pemeriksa dan mengajukan usulan Unsur Pengawasan dalam keanggotaan Tim Pemeriksa. (2) Dalam hal diperlukan, dalam melakukan kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Inspektur Bidang Investigasi dapat meminta dokumen/bukti tambahan kepada Unit Organisasi Terperiksa. (3) Kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun untuk menilai pemenuhan kriteria sebagai berikut:

a.

tingkat Hukuman Disiplin sedang atau berat;

b.

ketentuan yang dilanggar; jdih.kemenkeu.go.id c. kesesuaian jabatan masing-masing unsur dalam Tim Pemeriksa; dan

d.

informasi bukti pelanggaran yang memadai. (4) Hasil kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), berisi kesimpulan sebagai berikut:

a.

permohonan diterima, dalam hal memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk kemudian ditambahkan usulan Unsur Pengawasan dalam keanggotaan Tim Pemeriksa;

b.

permohonan dikembalikan ke pimpinan Unit Organisasi Terperiksa untuk dilengkapi, dalam hal terdapat ketidaksesuaian jabatan pada unsur Tim Pemeriksa atau informasi bukti pelanggaran belum memadai; atau

c.

permohonan ditolak, dalam hal:

1.

tingkat Hukuman Disiplin ringan atau sedang yang berdasarkan pertimbangan Inspektorat Bidang Investigasi dapat dilaksanakan pemeriksaan oleh Atasan Langsung sendiri; atau

2.

informasi bukti pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d berdasarkan pertimbangan Inspektur Bidang Investigasi dinilai tidak memadai. (5) Usulan keanggotaan Unsur Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan dengan kriteria sebagai berikut:

a.

menugaskan Pegawai Inspektorat I, Inspektorat II, Inspektorat III, Inspektorat IV, Inspektorat V, Inspektorat VI, dan/atau Inspektorat VII, sebagai Unsur Pengawasan dalam Tim Pemeriksa untuk pelanggaran:

1.

kewajiban masuk kerja dan menaati ketentuan hari dan jam kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Disiplin PNS;

2.

peraturan terkait dengan prosedur laporan perkawinan dan izin perceraian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS; dan/atau

3.

kewajiban dan larangan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Disiplin PNS yang tidak terdapat unsur kecurangan atau fraud yang di antaranya karena penyalahgunaan yang berhubungan dengan jabatan/wewenang termasuk korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme yang bertujuan untuk keuntungan pribadi dan/atau golongan tertentu baik yang secara langsung atau tidak langsung menyebabkan kerugian negara; atau

b.

menugaskan Pegawai Inspektorat Bidang Investigasi, sebagai Unsur Pengawasan dalam Tim Pemeriksa untuk pelanggaran selain sebagaimana dimaksud pada huruf a. (6) Hasil kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan usulan keanggotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) jdih.kemenkeu.go.id disampaikan oleh Inspektorat Bidang Investigasi kepada Inspektur Jenderal paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah Inspektur Jenderal menerima permohonan pembentukan Tim Pemeriksa yang disampaikan oleh pimpinan Unit Organisasi Terperiksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dan ayat (5). (7) Dalam hal berdasarkan hasil kajian diperoleh kesimpulan bahwa permohonan pembentukan Tim Pemeriksa diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a, Inspektur JenderaI untuk dan atas nama Menteri Keuangan menetapkan pembentukan Tim Pemeriksa dengan mengikutsertakan usulan keanggotaan Unsur Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (5). (8) Pembentukan Tim Pemeriksa disusun sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (9) Inspektur Bidang Investigasi untuk dan atas nama Inspektur Jenderal menyampaikan surat keputusan Pembentukan Tim Pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat (7) melalui pimpinan Unit Organisasi Terperiksa kepada Atasan Lang sung dan / a tau anggota Tim Pemeriksa lainnya paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah tanggal pembentukan Tim Pemeriksa. (10) Dalam hal berdasarkan hasil kajian diperoleh kesimpulan bahwa permohonan pembentukan Tim Pemeriksa dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, Inspektur Jenderal menyampaikan pemberitahuan melalui pimpinan Unit Organisasi Terperiksa kepada Atasan Langsung agar permohonan dilakukan penyesuaian. (11) Permohonan yang telah dilakukan penyesuaian sebagaimana dimaksud ayat (10) disampaikan kembali kepada Inspektur Jenderal melalui pimpinan Unit Organisasi Terperiksa paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah diterimanya naskah dinas pengembalian. (12) Dalam hal berdasarkan hasil kajian diperoleh kesimpulan bahwa permohonan pembentukan Tim Pemeriksa ditolak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c angka 1, Inspektur Jenderal menyampaikan pemberitahuan melalui pimpinan Unit Organisasi Terperiksa kepada Atasan Langsung agar pemeriksaan dilakukan oleh Atasan Langsung. (13) Atasan langsung menyusun rencana Pemeriksaan Hukuman Disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, paling lama 5 (lima) hari kerja setelah diterimanya penyampaian penolakan pembentukan Tim Pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat (12). (14) Ketentuan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (13). (15) Dalam hal berdasarkan hasil kajian diperoleh kesimpulan bahwa permohonan pembentukan Tim Pemeriksa ditolak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c angka 2, Inspektur JenderaI menyampaikan pemberitahuan melalui pimpinan Unit Organisasi Terperiksa kepada Atasan jdih.kemenkeu.go.id Langsung agar Atasan Langsung harus melengkapi pemenuhan bukti yang memadai untuk selanjutnya diajukan permohonan pembentukan Tim Pemeriksa kembali kepada Inspektur Jenderal melalui pimpinan Unit Organisasi Terperiksa. Pasal 9 (1) Dalam melakukan Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin, Atasan Langsung atau Tim Pemeriksa dapat berkoordinasi dengan tim yang melakukan investigasi atau unit yang menangani kepatuhan internal pada masing-masing unit organisasi yang melakukan pemeriksaan atas Pelanggaran Disiplin. (2) Hasil koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam berita acara koordinasi yang minimal memuat:

a.

nama pihak yang berkoordinasi;

b.

waktu dan tempat pelaksanaan koordinasi; dan

c.

uraian singkat pelaksanaan koordinasi meliputi kesesuaian Pelanggaran Disiplin dengan ketentuan yang dilanggar, rekomendasi, dan mekanisme pelaksanaan Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin, yang disusun sesuai dengan format sebagaimar1a tercantum dalam Lampiran I huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (3) Berita acara koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditandatangani oleh pihak yang berkoordinasi. (4) Selain melakukan koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Atasan Langsung atau Tim Pemeriksa dapat meminta keterangan dari pihak lain guna memperoleh informasi terkait Pelanggaran Disiplin dengan terlebih dahulu menyampaikan:

a.

nota dinas pemanggilan dalam rangka permintaan keterangan, dalam ha! permintaan keterangan ditujukan kepada Pegawai, yang disampaikan melalui Atasan Langsung atau Pejabat yang Lebih Tinggi dari Pegawai yang akan dimintai keterangan, sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf E yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini; atau

b.

surat undangan, dalam ha! permintaan keterangan ditujukan kepada pihak eksternal Kementerian Keuangan, sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf F yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (5) Hasil permintaan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dituangkan dalam berita acara permintaan keterangan, yang disusun sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf G yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (6) Berita acara permintaan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) digunakan untuk melengkapi bukti Pelanggaran Disiplin. jdih.kemenkeu.go.id Bagian Ketiga Pemanggilan dalam Rangka Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin Pasal 10 (1) Dalam rangka Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin, Atasan Langsung atau Tim Pemeriksa melakukan pemanggilan secara tertulis kepada Terperiksa. (2) Atasan Langsung atau Tim Pemeriksa menerbitkan surat panggilan kepada Terperiksa sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf H yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (3) Surat panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh:

a.

Atasan Langsung paling lama:

1.

3 (tiga) hari kerja untuk pelanggaran atas kewajiban masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja; atau

2.

7 (tujuh) hari kerja untuk pelanggaran selain atas kewajiban masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja, terhitung sejak diterimanya surat perintah untuk melakukan Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin; atau

b.

Tim Pemeriksa yang ditandatangani Atasan Langsung paling lama:

1.

3 (tiga) hari kerja untuk pelanggaran atas kewajiban masuk kerja dan menaati ketentuanjam kerja; atau

2.

7 (tujuh) hari kerja untuk pelanggaran selain atas kewajiban masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja, terhitung sejak diterimanya surat keputusan pembentukan Tim Pemeriksa. Pasal 11 (1) Jarak waktu antara tanggal surat panggilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dengan tanggal pemeriksaan paling lama 7 (tujuh) hari kerja. (2) Dalam hal pada tanggal yang ditentukan pada surat panggilan pertama Terperiksa tidak hadir, maka Atasan Langsung dan/atau Tim Pemeriksa membuat Berita Acara Ketidakhadiran dan melakukan pemanggilan kedua paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal pemeriksaan Terperiksa pada pemanggilan pertama. (3) Pemeriksaan kedua dilaksanakan paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak disampaikannya surat pemanggilan kedua. (4) Dalam menentukan tanggal pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), Atasan Langsung atau Tim Pemeriksa harus memperhatikan waktu yang diperlukan untuk menyampaikan dan diterimanya surat panggilan. (5) Dalam hal Terperiksa tidak hadir pada tanggal pemeriksaan yang ditentukan dalam pemanggilan kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (3), maka:

a.

Atasan Langsung atau Tim Pemeriksa membuat Berita Acara Ketidakhadiran; dan jdih.kemenkeu.go.id b. PYBM menjatuhkan Hukuman Disiplin berdasarkan alat bukti dan keterangan yang ada tanpa dilakukan pemeriksaan. (6) Berita Acara Ketidakhadiran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (5) dibuat sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf I yang merupakan. bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (7) Penundaan pemeriksaan dapat dilakukan dalam hal:

a.

Terperiksa tidak dapat memenuhi pemanggilan dengan alasan yang sah; dan/atau

b.

Atasan Langsung dan/atau Tim Pemeriksa tidak dapat melakukan pemeriksaan dikarenakan terdapat alasan yang sah. (8) Penundaan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dituangkan dalam Berita Acara Penundaan Pemanggilan Pemeriksaan sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf J yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (9) Alasan yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (7) di antaranya:

a.

kondisi kesehatan;

b.

bencana alam;

c.

penugasan mendesak _(urgent); _ dan/atau d. alasan lainnya yang disetujui oleh para pihak, yang dibuktikan dengan dokumen/bukti pendukung yang dilampirkan di Berita Acara Penundaan. Pasal 12 (1) Pemeriksaan oleh Atasan Langsung atau Tim Pemeriksa terhadap Terperiksa dilakukan dengan mekanisme tatap muka langsung, virtual, dan/atau kombinasi (hybrid). (2) Mekanisme pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam surat panggilan. (3) Pemeriksaan secara virtual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan berdasarkan pertimbangan Atasan Langsung dan/atau Tim Pemeriksa, dengan memperhatikan hal-hal di antaranya:

a.

ketersediaan anggaran;

b.

kemudahan akses internet;

c.

keamanan akses ruang virtual; dan/atau

d.

kompleksitas Pelanggaran Disiplin. Bagian Keempat Pelaksanaan Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin Pasal 13 (1) Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin dilakukan secara tertutup dan hanya dihadiri oleh Terperiksa dan Atasan Langsung atau Tim Pemeriksa. (2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dihadiri pihak lain untuk membantu secara administratif/teknis pelaksanaan pemeriksaan, atas persetujuan Terperiksa dan harus diterbitkan surat tugas bagi pihak lain yang bersangkutan. jdih.kemenkeu.go.id (3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk memperoleh informasi minimal:

a.

kapan, dimana, dan bagaimana Pelanggaran Disiplin terjadi;

b.

siapa yang bertanggung jawab; dan

c.

motif dan dampak atas Pelanggaran Disiplin. (4) Dalam rangka pemeriksaan, Atasan Langsung atau Tim Pemeriksa dapat melakukan permintaan keterangan/dokumen pendukung kepada pihak lain. (5) Hasil Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf K yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (6) Berita Acara Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus ditandatangani oleh:

a.

Atasan Langsung atau Tim Pemeriksa; dan

b.

Terperiksa. (7) Berita Acara Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat ditandatangani dengan Tanda Tangan Elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan dan/atau ketentuan yang berlaku di lingkungan Kementerian Keuangan. (8) Dalam hal Terperiksa tidak bersedia menandatangani Berita Acara Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Atasan Langsung atau Tim Pemeriksa menandatangani Berita Acara Pemeriksaan dengan keterangan bahwa Terperiksa tidak bersedia menandatangani Berita Acara Pemeriksaan. (9) Berita Acara Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (8), tetap dijadikan sebagai dasar untuk menjatuhkan Hukuman Disiplin. (10) Terperiksa berhak mendapat salinan Berita Acara Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) atau ayat (8), yang diserahkan oleh Atasan Langsung paling lama pada saat penyerahan surat keputusan Penjatuhan Hukuman Disiplin atau Laporan Hasil Kegiatan dengan kesimpulan pernyataan tidak bersalah disertai dengan Berita Acara Serah Terima. Bagian Kelima Pelaporan Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin Pasal 14 (1) Dalam hal terdapat perbedaan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 antara:

a.

hasil pemeriksaan Atasan Langsung atau Tim Pemeriksa dengan rekomendasi; atau

b.

pendapat antara unsur-unsur dalam Tim Pemeriksa, Atasan Langsung atau Tim Pemeriksa menyampaikan perbedaan hasil pemeriksaan kepada pimpinan Unit Organisasi Terperiksa melalui Pejabat yang Lebih Tinggi. (2) Dalam hal perbedaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa rekomendasi perbedaan Hukuman Disiplin tingkat ringan atau sedang, pimpinan Unit Organisasi Terperiksa menyampaikan permintaan penjelasan dan/atau pendapat jdih.kemenkeu.go.id secara tertulis kepada Inspektorat Jenderal atau unit yang menangani kepatuhan internal pada masing-masing Unit Organisasi. (3) Pimpinan Unit Organisasi Terperiksa merekomendasikan hasil akhir pemeriksaan kepada Atasan Langsung atau Tim Pemeriksa berdasarkan hasil penjelasan dan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dari Inspektorat Jenderal atau unit yang menangani kepatuhan internal pada masing-masing Unit Organisasi. (4) Dalam hal perbedaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa rekomendasi perbedaan hukuman disiplin tingkat berat, pimpinan Unit Organisasi Terperiksa melakukan koordinasi dengan Inspektorat Jenderal dan Sekretariat Jenderal. (5) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) minimal dihadiri oleh:

a.

Pejabat Administrator yang menangani sumber daya manusia pada Unit Organisasi Terperiksa, Pejabat Fungsional Jenjang Ahli Madya yang menangani investigasi pada Inspektorat Jenderal, dan Pejabat Administrator yang menangani sumber daya manusia Kementerian Keuangan pada Sekretariat Jenderal untuk pelanggaran:

1.

kewajiban masuk kerja dan menaati ketentuan hari dan jam kerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai Disiplin PNS; atau

2.

peraturan terkait dengan prosedur laporan perkawinan dan izin perceraian sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS;

b.

Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama yang menangani sumber daya manusia pada Unit Organisasi Terperiksa, Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama yang menangani investigasi pada Inspektorat Jenderal, dan Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama yang menangani sumber daya manusia Kementerian Keuangan pada Sekretariat Jenderal untuk pelanggaran selain sebagaimana dimaksud pada huruf a angka 1 dan/atau angka 2. (6) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diselenggarakan oleh pimpinan Unit Organisasi Terperiksa. (7) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) meliputi pembahasan terkait:

a.

fakta berdasarkan bukti;

b.

penentuan ketentuan Pelanggaran Disiplin;

c.

rekomendasi; dan

d.

rekomendasi akhir. (8) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) menghasilkan kesimpulan yang dituangkan dalam Berita Acara Koordinasi yang disusun sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (9) Pimpinan Unit Organisasi Terperiksa merekomendasikan hasil akhir pemeriksaan kepada Atasan Langsung atau Tim jdih.kemenkeu.go.id Pemeriksa berdasarkan Berita Acara sebagaimana dimaksud pada ayat (8).

Thumbnail
TARIF PNBP Tarif PNBP | BIDANG ANGGARAN | HUKUM KEUANGAN NEGARA
PP 59 TAHUN 2020

Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan, Keringanan dan Pengembalian Penerimaan Negara Bukan Pajak ...

  • Ditetapkan: 08 Okt 2020
  • Diundangkan: 12 Okt 2020

Relevan terhadap

Pasal 1Tutup

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1.

Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah pungutan yang dibayar oleh orang pribadi atau badan dengan memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung atas layanan atau pemanfaatan sumber daya dan hak yang diperoleh negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang menjadi penerimaan Pemerintah Pusat di luar penerimaan perpajakan dan hibah dan dikelola dalam mekanisme anggaran pendapatan dan belanja negara. 2. PNBP Terutang adalah kewajiban PNBP dari Wajib Bayar kepada Pemerintah Pusat yang wajib dibayar pada waktu tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. 3. Kas Negara adalah tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri selaku Bendahara Umum Negara untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara. 4. Surat Ketetapan PNBP adalah surat dan/atau dokumen yang menetapkan jumlah PNBP Terutang meliputi Surat Ketetapan PNBP Kurang Bayar, Surat Ketetapan PNBP Nihil, dan Surat Ketetapan PNBP Lebih Bayar. 5. Pemeriksaan PNBP adalah kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data, dan/atau keterangan lain serta kegiatan lainnya dalam rangka pengawasan atas kepatuhan pemenuhan kewajiban PNBP berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang PNBP. 6. Instansi Pemeriksa adalah badan yang menyelenggarakan tlrusan pemerintahan di bidang pengawasan keuangan negara dan pembangunan nasional. 7. Instansi Pengelola PNBP adalah instansi yang menyelenggarakan pengelolaan PNBP.

8.

Mitra trRES IDEN REPUBLIK INDONESIA -3- 8. Mitra Instansi Pengelola PNBP adalah Badan yang membantu Instansi Pengelola PNBP melaksanakan sebagian kegiatan pengelolaan PNBP yang menjadi tugas Instansi Pengelola PNBP berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. 9. Wajib Bayar adalah orang pribadi atau badan dari dalam negeri atau luar negeri, yang mempunyai kewajiban membayar PNBP, sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. 10. Pimpinan Instansi Pengelola PNBP adalah Bendahara Umum Negara atau Pimpinan Kementerian/Lembaga yang memegang kewenangan sebagai Pengguna Anggaran/ Pengguna Barang. 11. Pejabat Kuasa Pengelola PNBP adalah pejabat yang diberi kuasa untuk melaksanakan sebagian tugas dan fungsi Pimpinan Instansi Pengelola PNBP dalam Pengelolaan PNBP yang menjadi tanggung jawabnya, serta tugas lain terkait PNBP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

12.

Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. BAB II KEBERATAN PNBP Bagian Kesatu Dasar Pengajuan Keberatan PNBP

Thumbnail
CIPTA KERJA Cipta Kerja | HUKUM UMUM | BIDANG PAJAK
PERPU 2 TAHUN 2022

Cipta Kerja

  • Ditetapkan: 30 Des 2022
  • Diundangkan: 30 Des 2022

Relevan terhadap 1 lainnya

Pasal 125Tutup
(1)

Pemerintah Pusat membentuk badan bank tanah.

(2)

Badan bank tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan badan khusus yang mengelola tanah.

(3)

Kekayaan badan bank tanah merupakan kekayaan negara yang dipisahkan.

(4)

Badan bank tanah berfungsi melaksanakan perencanaan, perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan pendistribusian tanah. Pasal 126 (1) Badan bank tanah menjamin ketersediaan tanah dalam rangka ekonomi berkeadilan untuk:

a.

kepentingan umum;

b.

kepentingan sosial;

c.

kepentingan pembangunan nasional;

d.

pemerataan ekonomi;

e.

konsolidasi lahan; dan

f.

reforma agraria.

(2)

Ketersediaan tanah untuk reforma agraria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari tanah negara yang diperuntukkan badan bank tanah. Pasal 127 Badan bank tanah dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat transparan, akuntabel, dan nonprofit. Pasal 128 Sumber kekayaan badan bank tanah dapat berasal dari:

a.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

b.

pendapatan sendiri;

c.

penyertaan modal negara; dan

d.

sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 129 (1) Tanah yang dike lo la badan bank tanah diberikan hak pengelolaan. (2) Hak atas tanah di atas hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberi hak guna usaha, hakgunabangunan,danhakpak~. (3) Jangka waktu hak guna bangunan di atas hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan perpanjangan dan pembaruan hak apabila sudah digunakan dan/atau dimanfaatkan sesuai dengan tujuan pemberian haknya.

(4)

Dalam rangka mendukung investasi, pemegang hak pengelolaan badan bank tanah diberi kewenangan untuk:

a.

melakukan penyusunan rencana induk;

b.

membantu memberikan kemudahan Perizinan Berusaha/ persetujuan;

c.

melakukan pengadaan tanah; dan

d.

menentukan tarif pelayanan.

(5)

Pemerintah Pusat melakukan pengawasan dan pengendalian atas penggunaan dan/atau pemanfaatan tanah di atas hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Pasal 130 Badan bank tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 terdiri atas:

a.

Komite;

b.

Dewan Pengawas; dan

c.

Badan Pelaksana.

Thumbnail
Tidak Berlaku
HUKUM KEUANGAN NEGARA | BIDANG PERBENDAHARAAN
210/PMK.05/2022

Tata Cara Pembayaran dalam rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

  • Ditetapkan: 27 Des 2022
  • Diundangkan: 28 Des 2022

Relevan terhadap

Pasal 53Tutup
(1)

Menteri/Pimpinan Lembaga menyelenggarakan pengawasan dan pengendalian internal terhadap pelaksanaan anggaran Satker di lingkungan Kementerian Negara/Lembaga masing-masing.

(2)

Pengawasan dan pengendalian internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 2Tutup
(1)

Satker melaksanakan kegiatan Kementerian Negara/Lembaga dan memiliki kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran.

(2)

Satker sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a.

merupakan bagian dari struktur organisasi Kementerian Negara/Lembaga yang ditetapkan melalui surat keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi terkait kelembagaan;

b.

diberikan penugasan dan tanggung jawab untuk mengelola kegiatan dan alokasi kegiatan;

c.

memiliki unit yang melaksanakan fungsi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pelaporan, dan akuntansi, yang ditetapkan dalam struktur organisasi dan tata kerja;

d.

karakteristik tugas/kegiatan yang ditangani bersifat spesifik dan berbeda dengan unit eselon I/setara; dan

e.

lokasi Satker yang bersangkutan berada pada provinsi/kabupaten/kota yang berbeda dengan unit eselon I/setara.

(3)

Dalam hal Satker dengan jenis/karakteristik tertentu atau mendapatkan penugasan khusus dari PA/KPA eselon I Satker yang bersangkutan, dapat diusulkan dengan memenuhi syarat sebagai berikut:

a.

memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b sampai dengan huruf e;

b.

adanya surat keputusan Menteri/Pimpinan Lembaga tentang penetapan Satker; dan

c.

mengacu pada ketentuan peraturan perundang- undangan yang terkait pengelolaan sesuai dengan jenis/karakteristik Satker tersebut. Paragraf 2 Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran

Thumbnail
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA | APBN
UU 6 TAHUN 2021

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2022

  • Ditetapkan: 27 Okt 2021
  • Diundangkan: 27 Okt 2021

Relevan terhadap

Pasal 32Tutup
(1)

Saldo kas pada Badan Layanan Umum dapat menjadi tambahan investasi pada Bagian Anggaran BUN Investasi Pemerintah. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penambahan investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 33 (1) Pemerintah mengalokasikan pembiayaan investasi kepada Badan Layanan Umum Lembaga Manajemen Aset Negara dengan tujuan pembentukan dana jangka panjang dan/atau dana cadangan dalam rangka pengadaan tanah untuk kepentingan proyek strategis nasional dan pengelolaan aset Pemerintah lainnya. (2) Tanah untuk kepentingan proyek strategis nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditetapkan status penggunaannya pada kementerian negara/lembaga dengan menggunakan mekanisme pengesahan belanja modal. (3) Dalam hal anggaran pengesahan Belanja modal yang dilaksanakan oleh kementerian negara/lembagi sebagaimana diatur pada ayat (21 belum tersedia mala dapat dilakukan penyesuaian Belanja Negara.

(4)

Pelaksanaan (41 Pelaksanaan pengesahan Belanja modal sebagaimana diatur pada ayat (21 dan ayat (3) dilakukan bersamaan dengan mekanisme penerimaan pembiayaan pada Badan Layanan Umum Lembaga Manajemen Aset Negara dan dilaporkan Pemerintah dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat tahun berkenaan. Pasal 34 (1) Pemerintah mengalokasikan pembiayaan investasi jangka panjang nonpermanen untuk memulihkan kemampuan ekonomi Badan Usaha Milik Negara dengan membentuk dana cadangan sebagai Investasi Pemerintah dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional. (21 Dana cadangan investasi Pemerintah dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan dengan menggunakan mekanisme pengesahan pembiayaan. (3) Dalam hal anggaran untuk pengesahan pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 belum tersedia, Pemerintah dapat melakukan penyesuaian anggaran pembiayaan. (4) Pelaksanaan pengesahan pengeluaran pembiayaan dilaporkan dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat. Pasal 35 (1) BMN yang dari awal pengadaannya direncanakan rlntuk disertakan menjadi tambahan modal Badan Usaha Milik Negara atau Perseroan Terbatas/Badan Hukum Lainnya yang didalamnya terdapat kepemilikan negara, ditetapkan menjadi PMN pada Badan Usaha Milik Negara atau Perseroan Terbatas/Badan Hukum Lainnya yang didalamnya terdapat kepemilikan negara tersebut. (21 Ketentuan mengenai tata cara penetapan PMN untuk BMN yang dari awal pengadaannya direncanakan untuk disertakan menjadi tambahan modal Badan Usaha Milik Negara atau Perseroan Terbatas/Badan Hukum Lainnya yang didalamnya terdapat kepemilikan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN.

(3)

BMN dengan perolehan sampai dengan 31 Desember 2018 yang telah: a b. tercatat pada laporan posisi Badan Usaha Milik Negara/Perseroan Terbatas yang didalamnya terdapat saham milik negara sebagai BPYBDS atau akun yang sejenis, ditetapkan untuk dijadikan PMN pada Badan Usaha Milik Negara/Perseroan Terbatas yang didalamnya terdapat saham milik negara tersebut, dengan menggunakan nilai realisasi anggaran yang telah direviu oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. (4) Pemerintah melakukan penambahan PMN yang berasal dari dana tunai dan piutang Negara pada Badan Usaha Milik Negara/Lembaga/Badan Hukum Lainnya tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini. (5) Dalam rangka memperbaiki struktur permodalan dan meningkatkan kapasitas usaha Badan Usaha Milik Negara atau Perseroan Terbatas/Badan Hukum Lainnya yang didalamnya terdapat kepemilikan negara, Pemerintah melakukan penambahan PMN kepada:

a.

PT Bio Farma (Persero);

b.

PT Hutama Karya (Persero);

c.

Perum Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia;

d.

Perum Pengangkutan Penumpang Djakarta;

e.

PT Varuna Tirta Prakasya (Persero);

f.

PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) ; dan

g.

PT Sejahtera Eka Graha, yang berasal dari BMN melalui mekanisme pemindahtanganan BMN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. dipergunakan dan/atau dioperasikan oleh Usaha Milik Negara/Perseroan Terbatas didalamnya terdapat saham milik negara; dan Badan yang (6) Penambah (6) Penambahan PMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 36 (1) Pemerintah dalam mengurus kekayaan negara yang dipisahkan dan dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara atau badan lainnya, akan meningkatkan dan mengoptimalkan manfaat ekonomi, sosial, memperkuat rantai produksi dalam negeri, meningkatkan daya saing, serta memperkuat penguasaan pasar dalam negeri. (2) Pemerintah dalam menangani kekayaan negara yang dipisahkan dan dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara, atau badan lainnya, agar menjaga aset yang bersumber dari cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak serta aset bumi, air, dan kekayaan di dalamnya, tetap dikuasai oleh negara sesuai peraturan perundang-undangan. (3) Untuk mengoptimalkan pendapatan dari kekayaan negara yang dipisahkan, penyelesaian piutang pada Badan Usaha Milik Negara dilakukan:

a.

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perseroan terbatas, badan usaha milik negara, dan perbankan;

b.

memperhatikan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik; dan

c.

Pemerintah melakukan pengawasan penyelesaian piutang pada Badan Usaha Milik Negara tersebut. Pasal 37 (1) Menteri Keuangan diberikan kewenangan untuk mengelola anggaran Kewajiban Penjaminan Pemerintah untuk:

a.

penugasan Percepatan Pembangunan Infrastruktur Nasional' b. dukungan penjaminan pada ^program ^Pemulihan Ekonomi Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan; dan/atau

c.

penugasan penyediaan pembiayaan infrastruktur daerah kepada Badan Usaha Milik Negara. (21 Penugasan Percepatan Pembangunan Infrastruktur Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) huruf ^a terdiri atas:

a.

pemberian ^jaminan Pemerintah dalam rangka percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik yang menggunakan batu bara;

b.

pemberian ^jaminan dan subsidi bunga oleh Pemerintah Pusat dalam rangka percepatan penyediaan air minum;

c.

pelaksanaan penjaminan infrastruktur dalam ^proyek kerja sama Pemerintah dengan badan usaha;

d.

pemberian dan pelaksanaan ^jaminan Pemerintah atas pembiayaan infrastruktur melalui pinjaman langsung dari lembaga keuangan internasional kepada Badan Usaha Milik Negara;

e.

pemberian ^jaminan Pemerintah untuk ^percepatan proyek pembangunan ^jalan tol;

f.

pemberian ^jaminan Pemerintah untuk ^percepatan penyelenggaraan kereta api ringanllight rail transit terintegrasi di wilayah perkotaan;

g.

pemberian jaminan Pemerintah Pusat untuk percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional; dan/atau

h.

pemberian ^jaminan Pemerintah untuk percepatan pembangunan infrastrukturketenagalistrikan. ! (3) Dukungan penjaminan pada program Pemulihan Ekonomi Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:

a.

penjaminan pemerintah yang dilakukan secara langsung oleh pemerintah dalam rangka pelaksanaan program Pemulihan Ekonomi Nasional;

b.

penjaminan pemerintah melalui badan usaha penjaminan yang ditunjuk dalam rangka pelaksanaan program Pemulihan Ekonomi Nasional; dan/atau

c.

penjaminan pemerintah atas pinjaman likuiditas khusus dari Bank Indonesia kepada bank sistemik untuk penanganan permasalahan lembaga ^jasa keuangan dan Stabilitas Sistem Keuangan. (4) Anggaran Kewajiban Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b diakumulasikan ke dalam rekening Dana Cadangan Penjaminan Pemerintah dan Anggaran Kewajiban Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diakumulasikan ke dalam rekening Dana Jaminan Penugasan Pembiayaan Infrastruktur Daerah yang dibuka di Bank Indonesia. (5) Dana yang telah diakumulasikan dalam rekening sebagaimana dimaksud pada ayat (4) digunakan untuk pembayaran kewajiban penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada tahun anggaran berjalan dan/atau tahun anggaran berikutnya. (6) Dana dalam rekening Dana Cadangan Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (41 digunakan untuk pembayaran kewajiban penjaminan Pemerintah antarprogram pemberian penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (21dan ayat (3). (71 Dalam hal terjadi tagihan pembayaran kewajiban penjaminan dan/atau penggantian biaya yang timbul dari pelaksanaan kewajiban penjaminan untuk dukungan penjaminan program Pemulihan Ekonomi Nasional yang bersumber dari Dana Cadangan Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Pemerintah melakukan pembayaran melalui Bagian Anggaran 999.99 (Bendahara Umum Negara Pengelolaan Belanja Transaksi Khusus).

(8)

Pembayaran melalui Bagian Anggaran 999.99 (Bendahara Umum Negara Pengelolaan Belanja Transaksi Khusus) sebagaimana dimaksud pada ayat (7)', merupakan pengeluaran belanja transaksi khusus yang belum dialokasikan dan/atau melebihi alokasi yang telah ditetapkan dalam APBN dan/atau APBN Perubahan pada tahun anggaran berjalan. (9) Dana dalam rekening Dana Jaminan Penugasan Pembiayaan Infrastruktur Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (41 digunakan untuk pembayaran atas penugasan penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c.

(10)

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan anggaran Kewajiban Penjaminan dan penggunaan Dana Cadangan Penjaminan Pemerintah atau Dana Jaminan Penugasan Pembiayaan Infrastruktur Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (21, ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (71, ayat (8), dan ayat (9) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 38 (1) Pembayaran bunga utang dan pengeluaran cicilan pokok utang dapat disesuaikan dengan kebutuhan realisasi pada tahun anggaran berjalan, yang selanjutnya dilaporkan Pemerintah dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2022 dan/atau Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2022. (21 Pemerintah dapat melakukan transaksi Lindung Nilai dalam rangka mengendalikan risiko fluktuasi beban pembayaran kewajiban utang, danf atau melindungi posisi nilai utang, dari risiko yang timbul maupun yang diperkirakan akan timbul akibat adanya volatilitas faktor- faktor pasar keuangan. (3) Pemenuhan kewajiban yang timbul dari transaksi Lindung Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dibebankan pada anggaran pembayaran bunga utang dan/atau pengeluaran cicilan pokok utang. (41 Kewajiban (4) Kewajiban yang timbul sebagaimana dimaksud ^pada ayat (3) bukan merupakan kerugian keuangan ^negara. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan transaksi Lindung Nilai sebagaimana dimaksud ^pada ayat ^(2) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 39 (1) Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk menyelesaikan piutang instansi Pemerintah ^yang diurus/dikelola oleh Panitia Urusan Piutang Negara/Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, khususnya piutang terhadap Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, dan piutang berupa Kredit Pemilikan Rumah Sederhana/Rumah Sangat Sederhana, serta ^piutang instansi Pemerintah dengan ^jumlah sampai dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), meliputi dan tidak terbatas pada restrukturisasi dan ^pemberian keringanan utang pokok sampai dengan lOOo/o (seratus persen). (21 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian piutang instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Thumbnail
Tidak Berlaku
HUKUM KEUANGAN NEGARA | BIDANG PERIMBANGAN KEUANGAN
119/PMK.07/2021

Pengelolaan Dana Alokasi Khusus Nonfisik

  • Ditetapkan: 08 Sep 2021
  • Diundangkan: 09 Sep 2021

Relevan terhadap

Pasal 34Tutup
(1)

Dalam rangka menentukan besaran sisa Dana BOS Tahun Anggaran 2011, Pemerintah Daerah melakukan rekonsiliasi dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Perwakilan provinsi setempat dengan menyertakan dokumen pendukung.

(2)

Hasil rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam berita acara rekonsiliasi dan disampaikan oleh Pemerintah Daerah kepada Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.

(3)

Berdasarkan hasil rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan menyampaikan laporan hasil monitoring sisa Dana BOS Tahun Anggaran 2011 kepada Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.

(4)

Berdasarkan laporan hasil monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menetapkan Keputusan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan mengenai rincian sisa Dana BOS Tahun Anggaran 2011, yang terdiri atas:

a.

Pemerintah Daerah yang telah menyelesaikan kewajiban pengembalian sisa Dana BOS Tahun Anggaran 2011;

b.

Pemerintah Daerah yang telah diketahui dan ditentukan besaran sisa Dana BOS Tahun Anggaran 2011 tetapi belum menyelesaikan kewajiban pengembalian sisa Dana BOS Tahun Anggaran 2011 sepenuhnya; dan

c.

Pemerintah Daerah yang belum diketahui dan ditentukan besaran sisa Dana BOS Tahun Anggaran 2011.

(5)

Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Pemerintah Daerah menyetorkan sisa Dana BOS Tahun Anggaran 2011 ke RKUN.

(6)

Penyetoran sisa Dana BOS sebagaimana dimaksud pada ayat (5) melalui bank/pos persepsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara penyetoran penerimaan negara.

(7)

Pemerintah Daerah menyelesaikan kewajiban pengembalian sisa Dana BOS Tahun Anggaran 2011 dan menyampaikan Surat Setoran Bukan Pajak (SSBP) sisa Dana BOS Tahun Anggaran 2011 ke Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat 30 Juni 2022.

(8)

Pemerintah Daerah yang belum menyelesaikan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (6), dilakukan pemotongan Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil Daerah bersangkutan sebesar sisa Dana BOS Tahun Anggaran 2011 yang belum dikembalikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(9)

Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan menyampaikan daftar Pemerintah Daerah dan nilai pengembalian sisa Dana BOS Tahun Anggaran 2011 kepada Koordinator KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa paling lambat bulan Februari.

  • 1
  • ...
  • 12
  • 13
  • 14
  • ...
  • 64