Pencabutan atas Keputusan Menteri Keuangan dan Peraturan Menteri Keuangan di Bidang Perpajakan dalam Rangka Simplifikasi Regulasi. ...
Harmonisasi Peraturan Perpajakan
Relevan terhadap
Dalam Undang-Undang ini ditentukan siapa yang menjadi wakil untuk melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak terhadap badan, badan yang dinyatakan pailit, badan dalam pembubaran, badan dalam likuidasi, warisan yang belum dibagi, dan anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan. Bagi Wajib Pajak tersebut perlu ditentukan siapa yang menjadi wakil atau kuasanya karena mereka tidak dapat atau tidak mungkin melakukan sendiri tindakan hukum tersebut. Ayat (2) Ayat (3) Ayat (3a) Ayat ini menegaskan bahwa wakil Wajib Pajak yang diatur dalam Undang-Undang ini bertanggung jawab secara pribadi atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang. Pengecualian dapat dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak apabila wakil Wajib Pajak dapat membuktikan dan meyakinkan bahwa dalam kedudukannya, menurut kewajaran dan kepatutan, tidak mungkin dimintai pertanggungjawaban. Ayat ini memberikan kelonggaran dan kesempatan bagi Wajib Pajak untuk meminta bantuan pihak lain yang memahami masalah perpajakan sebagai kuasanya, untuk dan atas namanya, membantu melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak. Bantuan tersebut meliputi pelaksanaan kewajiban formal dan material serta pemenuhan hak Wajib Pajak yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Yang dimaksud dengan kuasa adalah orang yang menerima kuasa khusus dari Wajib Pajak untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan tertentu dari Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Untuk melaksanakan hak dan memenuhi kewajiba.n perpajakan, seora5rg kuasa yang ditunjuk oleh Wajib Pajak harus memiliki kompetensi tertentu dalam aspek perpajakan. Kompetensi tertentu antara lain jenjang pendidikan tertentu, sertifikasi, dan/atau pembinaan oleh asosiasi atau Kementerian Keuangan. Oleh karena itu, kuasa dapat dilakukan oleh konsultan pajak atau pihak lain sepanjang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan. Ayat (a) Angka 10 Pasal 32A Ayat (1) Ayat (2) Orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam rangka menjalankan kegiatan perusahaan, misalnya berwenang menandatangani kontrak dengan pihak ketiga, menandatangani cek, dan sebagainya walaupun orang tersebut tidak tercantum namanya dalam susunan pengurus yang tertera dalam akte pendirian maupun akte perubahan, termasuk dalam pengertian pengurus. Ketentuan dalam ayat ini berlaku pula bagi komisaris dan pemegang saham mayoritas atau pengendali. Cukup jelas Untuk meningkatkan realisasi potensi perpajakan serta untuk mengoptimalkan pengenaan pajak, dapat diterapkan skema pemotongan danf atau pemungutan pajak (withholding ta-g melalui penunjukan pemotong dan/atau pemungut pajak, yaitu pihak lain. Pihak lain yang ditunjuk sebagai pemotong dan/atau pemungut pajak merupakan subjek pajak baik dalam negeri maupun luar negeri, yang terlibat langsung atau yang memfasilitasi transaksi misalnya dengan menyediakan sarana atau media transaksi, termasuk transaksi yang dilakukan secara elektronik. Contoh 1: PT ABC adalah Wajib Pajak dalam negeri yang menyediakan peer to peer lending platform di Indonesia. T\ran A meminjamkan sejumlah dana kepada T\ran B melalui platform tersebut. Dalam skema ini, meskipun PT ABC hanya sebagai perantara transaksi antara Tuan A dan T\ran B dalam peer to peer lending platform, Menteri Keuangan dapat menunjuk PT ABC sebagai pihak lain untuk melakukan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan berupa bunga yang diterima oleh Tuan A dari Tuan B. Contoh 2: Contoh 2: R Inc. merupakan perlrsahaan yang menyediakan situs untuk berbagi video yang berkedudukan di luar Indonesia. Tuan C, seorang pencipta konten (content creator) mendapatkan penghasilan dari R Inc.. Dalam transaksi ini, R Inc. merupakan pihak lain yang dapat ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk melakukan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan yang dibayarkan kepada Tuan C. Contoh 3: PT DEF merupakan penyedia marketplace platform dalam negeri sebagai wadah pedagang barang dan/atau penyedia jasa untuk memasang penawaran barang dan/atau jasa. PT PQR merupakan Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penawaran barang melalui marketplace platforrn yang disediakan oleh PT DEF. Tuan Z rnelakukan pembelian barang yang ditawarkan oleh PT PQR melalui marketplace platform yang disediakan oleh PT DEF. PT DEF dapat ditunjuk oleh Menteri Keuangan sebagai pemungut PPN untuk memungut, menyetorkan, dan melaporkan PPN yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak oleh PT PQR kepada T.ran Zyangdilakukan melalui marketplace platformyang disediakan oleh PT DEF. Ayat (3) Ayat (4) Ayat (5) Pengaturan mengenai penetapan, penagihan, upaya hukum, dan pengenaan sanksi terhadap Wajib Pajak sesuai Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan Undang-Undang tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa berlaku juga terhadap pihak lain, termasuk subjek pajak yang berada di luar wilayah hukum Indonesia. Penyelenggara sistem elektronik merupakan penyelenggara sistem elektronik sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai informasi dan transaksi elektronik. Cukup ^jelas. Ayat (6) Cukup ^jelas Ayat (7) Cukup ^jelas Angka 11 Pasal 34 Ayat (1) Setiap pejabat, baik petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan dilarang mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak yang menyangkut masalah perpajakan, antara lain:
Surat Pemberitahuan, laporan keuangan, dan lain- lain yang dilaporkan oleh Wajib Pajak;
data yang diperoleh dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan:
dokumen dan/atau data yang diperoleh dari pihak ketiga yang bersifat rahasia;
dokumen dan/atau rahasia Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkenaan. Ayat (2) Para ahli, seperti ahli bahasa, akuntan, dan pengacara yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu pelaksanaan undang-undang perpajakan adalah sama dengan petugas pajak yang dilarang pula untuk mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Ayat (2al Keterangan yang dapat diberitahukan adalah identitas Wajib Pajak dan informasi yang bersifat umum tentang perpajakan. Identitas Wajib Pajak meliputi:
nama Wajib Pajak;
Nomor Pokok Wajib Pajak;
alamat 3. alamat Wajib Pajak;
alamat kegiatan usaha;
merek usaha; dan/atau
kegiatan usaha Wajib Pajak. Informasi yang bersifat umum tentang perpajakan meliputi:
penerimaan pajak secara nasional;
penerimaan pajak per Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan/atau per Kantor Pelayanan Pajak;
penerimaan pajak per jenis pajak;
penerimaan pajak per klasifikasi lapangan usaha;
^jumlah Wajib Pajak dan/atau Pengusaha Kena Pajak terdaftar;
register permohonan Wajib Pajak;
tunggakan pajak secara nasional; dan/atau
tunggakan pajak per Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan/atau per Kantor Pelayanan Pajak. Ayat (3) Kerja sama yang dimaksud dalam ayat ini merupakan pemberian atau pertukaran data dan/atau informasi antara Direktorat Jenderal Pajak dan lembaga negara, instansi pemerintah, badan hukum yang dibentuk melalui Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah, atau pihak lain untuk kepentingan negara dalam rangka menghimpun penerimaan negara maupun penerimaan daerah atau menjalankan administrasi pemerintahan yang baik serta mendukung kebijakan pemerintah. Dalam surat izin yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan harus dicantumkan nama Wajib Pajak, nama pihak yang ditunjuk, dan nama pejabat, ahli, atau tenaga ahli yang diizinkan untuk memberikan keterangan atau memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak. Surat izin yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan dalam rangka pelaksanaan kerja sama untuk kepentingan negara dapat tidak mencantumkan nama Wajib Pajak tetapi tetap mencantumkan jenis data sesuai yang tercantum dalam kerja sama. Pemberian izin tersebut dilakukan secara terbatas dalam hal yang dipandang perlu oleh Menteri Keuangan. Ayat (a) Ayat (5) Untuk melaksanakan pemeriksaan pada sidang pengadilan dalam perkara pidana atau perdata yang berhubungan dengan masalah perpajakan, demi kepentingan peradilan, Menteri Keuangan memberikan izin pembebasan atas kewajiban kerahasiaan kepada pejabat pajak dan para ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat(2) atas permintaan tertulis hakim ketua sidang. Ayat ini merupakan pembatasan dan penegasan bahwa keterangan perpajakan yang diminta hanya mengenai perkara pidana atau perdata tentang perbuatan atau peristiwa yang menyangkut bidang perpajakan dan hanya terbatas pada tersangka yang bersangkutan. Angka 12
Wajib Pajak orang pribadi dapat mengungkapkan harta bersih yang:
diperoleh sejak tanggal 1 Januari 2016 sampai dengan tanggal 31 Desember 2O2O;
masih dimiliki pada tanggal 31 Desember 2O2O; dan
belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi Tahun Pajak 2O2O, kepada Direktur Jenderal Pajak. (21 Harta bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan nilai harta dikurangi nilai utang. (3) Harta bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap sebagai tambahan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi pada Tahun Pajak 2O2O. (4) Wajib Pajak orang pribadi yang dapat mengungkapkan harta bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan:
tidak sedang dilakukan pemeriksaan, untuk Tahun Pajak 2016, Tahun Pajak 2017, Tahun Pajak 2OI8, Tahun Pajak 2019, dan/atau Tahun Pajak 2O2O;
tidak b. tidak sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan, untuk Tahun Pajak 2016, Tahun Pajak 2017, Tahun Pajak 2018, Tahun Pajak 2019, dan/atau Tahun Pajak 2O2O;
tidak sedang dilakukan penyidikan atas tindak pidana di bidang perpajakan;
tidak sedang berada dalam proses peradilan atas tindak pidana di bidang perpajakan; dan/atau
tidak sedang menjalani hukuman pidana atas tindak pidana di bidang perpajakan. Pasal 9 (1) Tambahan penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final. (21 Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak. (3) Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan sebesar:
l2o/o (d: ua belas persen) atas harta bersih yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan ketentuan diinvestasikan ^pada:
kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau
surat berharga negara;
l4yo (empat belas persen) atas harta bersih yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak diinvestasikan pada:
kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau
surat berharga negara;
12% c. l2o/o (dua belas persen) atas harta bersih yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan ketentuan:
dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
diinvestasikanpada: a) kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau b) surat berharga negara;
l4o/o (empat belas persen) atas harta bersih yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan ketentuan:
dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
tidak diinvestasikan pada: a) kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau b) surat berharga negara; atau
18% (delapan belas persen) atas harta bersih yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 14) ^Dasar ^pengenaan ^pajak ^sebagaimana ^dimaksud ^pada ayat (21 yakni sebesar jumlah harta bersih yang belum atau kurang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi Tahun Pajak 2O2O. (5) Nilai harta yang dijadikan pedoman untuk menghitung besarnya jumlah harta bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditentukan berdasarkan:
nilai nominal, untuk harta berupa kas atau setara kas; atau Pasal 10 (1) WEib Pajak orang pribadi mengungkapkan harta bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) melalui surat pemberitahuan pengungkapan harta dan disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak sejak tanggal 1 Januari 2022 sampai dengan tanggal 30 Juni 2022. (21 Wajib Pajak yang menyampaikan surat pemberitahuan pengungkapan harta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
membayar Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2O2O; dan
mencabut permohonan:
pengembalian kelebihan pembayaran pajak;
pengurangan atau penghapusan sanksi administratif;
pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar;
pengurangan atair pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar;
keberatan;
pembetulan;
banding;
gugatan; dan/atau
peninjauan kembali, dalam hal Wajib Pajak sedang mengajukan permohonan tersebut dan belum diterbitkan surat keputusan atau putusan. (3) Surat pemberitahuan pengungkapan harta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan:
bukti pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final;
daftar b. daftar rincian harta bersih beserta informasi kepemilikan harta yang dilaporkan;
daftar utang;
pernyataan mengalihkan harta bersih ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dalam hal Wajib Pajak bermaksud mengalihkan harta bersih yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf c dan huruf d;
pernyataan akan menginvestasikan harta bersih pada:
kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau
surat berharga negara, dalam hal Wajib Pajak bermaksud menginvestasikan harta bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf a dan huruf c; dan
pernyataan mencabut permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 huruf d, dalam hal Wajib Pajak sedang mengajukan permohonan tersebut dan belum diterbitkan surat keputusan atau putusan. (41 Pembetulan atas Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi Tahun Pajak 2016, Tahun Pajak 2017, Tahun Pajak 2018, Tahun Pajak 2019, dan/atau Tahun Pajak 2O2O yang disampaikan setelah Undang-Undang ini diundangkan, yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang menyampaikan surat pemberitahuan pengungkapan harta, dianggap tidak disampaikan. (5) Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi belum menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi Tahun Pajak 2O2O sampai dengan Undang-Undang ini diundangkan, berlaku ketentuan sebagai berikut:
Wajib Pajak orang pribadi wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi Tahun Pajak 2O2O yang mencerrninkan harta yang telah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi sebelum Tahun Pajak 2O2O yang disampaikan sebelum Undang-Undang ini diundangkan ditambah harta yang bersumber dari penghasilan pada Tahun Pajak 2O2O; dan
harta bersih yang dimiliki selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a, harus diungkapkan dalam surat pemberitahuan pengungkapan harta. (6) Direktur Jenderal Pajak memberikan surat keterangan terhadap penyampaian surat pemberitahuan pengungkapan harta oleh Wajib Pajak orang pribadi. (71 Dalam hal berdasarkan hasil penelitian diketahui terdapat ketidaksesuaian antara harta bersih yang diungkapkan dengan keadaan yang sebenarnya, Direktur Jenderal Pajak dapat membetulkan atau membatalkan surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6). (8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengungkapan harta bersih diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 1 1 (1) Terhadap Wajib Pajak orang pribadi yang telah memperoleh surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (6), berlaku ketentuan:
tidak diterbitkan ketetapan pajak atas kewajiban perpajakan untuk Tahun Pajak 2016, Tahun Pajak 2017, Tahun Pajak 2018, Tahun Pajak 2019, dan Tahun Pajak 2O2O, kecuali ditemukan data dan/atau informasi lain mengenai harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) yang belum atau kurang diungkapkan dalam surat pemberitahuan pengungkapan harta;
kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam huruf a meliputi Pajak Penghasilan orang pribadi, Pajak Penghasilan atas pemotongan dan/atau pemungutan, dan Pajak Pertambahan Nilai, kecuali atas pajak yang sudah dipotong atau dipungut tetapi tidak disetorkan; dan/atau
data .
data dan informasi yang bersumber dari surat pemberitahuan pengungkapan harta dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang ini tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, danf atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak. (21 Dalam hal Direktur Jenderal Pajak menemukan' data dan/atau informasi lain mengenai harta yang belum atau kurang diungkapkan sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) huruf a:
nilai harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan tersebut diperlakukan sebagai penghasilan yang bersifat final pada Tahun Pajak 2022; dan
terhadap penghasilan sebagaimana dimaksud dalam huruf a:
dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebesar 3O%o (tiga puluh persen); dan
dikenai sanksi administratif berupa bunga sesuai dengan ketentuan Pasal 13 ayat (21 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya, melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar oleh Direktur Jenderal Pajak. Pasal 12 (1) Wajib Pajak orang pribadi yang menyatakan mengalihkan harta bersih ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) huruf d wajib mengalihkan harta dimaksud paling lambat tanggal 30 September 2022. (21 wajib l2l ^Wajib Pajak orang pribadi yang ^menyatakan menginvestasikan harta bersih ^pada:
kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau
surat berharga negara, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) huruf ^e wajib menginvestasikan harta bersih dimaksud paling lambat tanggal 30 September 2023. (3) Investasi harta bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (21wajib dilakukan paling singkat 5 (lima) tahun sejak diinvestasikan. (4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (21, danlatau ayat (3) tidak dipenuhi oleh Wajib Pajak yang menyatakan mengalihkan dan/atau menginvestasikan harta bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf a, huruf b, huruf c, atau huruf d, atas bagian harta bersih yang tidak memenuhi ketentuan tersebut diperlakukan sebagai penghasilan yang bersifat final pada Tahun Pajak 2022 dan berlaku ketentuan:
terhadap penghasilan dimaksud dikenai tambahan Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebesar:
4,5o/o (empat koma lima persen) bagi Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf a;
4,5o/o (empat koma lima persen) bagi Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf c angka2;
8,5o/o (delapan koma lima persen) bagi Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf c; atau
6,50/o (enam koma lima persen) bagi Wajib Pajak Iffil-: if i: iff ^"; l: i'B"llx? EiTx'fi i"; angka 1, dalam hal Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar; atau
terhadap b. terhadap penghasilan dimaksud dikenai tambahan Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebesar:
3o/o (tiga persen) bagi Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf a;
3o/o (tiga persen) bagi Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf c angka 2;
7o/o (tujuh persen) bagi Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf c; atau
5% (lima persen) bagi Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf d angka 1, dalam hal Wajfb Pajak atas kehendak sendiri mengungkapkan penghasilan tersebut dan menyetorkan sendiri Pajak Penghasilan yang terutang. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai:
tata cara pengalihan harta bersih ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
investasi harta bersih pada kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
instrumen surat berharga negara yang digunakan untuk investasi, diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 9 (1) Dihapus. (2) Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama. (2a) Bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan/atau ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, serta pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean dapat dikreditkan sepanjang memenuhi ketentuan pengkreditan sesuai dengan Undang- Undang ini. (2b) Pajak Masukan yang dikreditkan harus menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan ayat (9). (3) Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor oleh Pengusaha Kena Pajak. (41 Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya. (4a) Atas kelebihan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diajukan permohonan pengembalian pada akhir tahun buku. (ab) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (41 dan ayat (4a), atas kelebihan Pajak Masukan dapat diajukan permohonan pengembalian pada setiap Masa Pajak oleh:
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
Pengusaha b. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai;
Pengusaha Kena Pajak yang melaku.kan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang Pajak Pertambahan Nilainya tidak dipungut;
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud;
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Jasa Kena Pajak; dan/atau
dihapus. (4c) Pengembalian kelebihan Pajak Masukan kepada Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4b) huruf a sampai dengan huruf e, yang mempunyai kriteria sebagai Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah, dilakukan dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal l7C ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya. (4d) Dihapus. (4e) Drrektur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap Pengusaha Kena Pajak sebagaimana. dimaksud pada ayat (4c) dan menerbitkan surat ketetapan pajak setelah melakukan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak. (40 Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4e), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah kekurangan pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud ddlam Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya.
Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak melakukan:
penyerahan yang terutang pajak dan Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahannya dapat dikreditkan; dan
penyerahan yang terutang pajak dan Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahannya tidak dapat dikreditkan dan/atau penyerahan yang tidak terutang pajak, dalam hal bagian penyerahan yang terutang pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, ^jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan merLrpakan Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam huruf a. (6) Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak melakukan:
penyerahan yang terutang pajak dan Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahannya dapat dikreditkan; dan
penyerahan yang terutang pajak dan Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahannya tidak dapat dikreditkan dan/atau penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan sehubungan dengan penyerahan yang terutang pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak dapat diketahui dengan pasti, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dihitung dengan menggunakan pedoman pengkreditan Pajak Masukan.
(6a) Apabila sampai dengan jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak Masa Pajak pengkreditan pertama kali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a) Pengusaha Kena Pajak belum melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak danlatau ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak terkait dengan Pajak Masukan tersebut, Pajak Masukan yang telah dikreditkan dalam ^jangka waktu 3 (tiga) tahun tersebut menjadi tidak dapat dikreditkan.
(6b) Dihapus .
(6b) Dihapus.
(6c) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6a) bagi sektor usaha tertentu dapat ditetapkan lebih dari 3 (tiga) tahun.
(6d) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6a) berlaku juga bagi Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pembubaran (pengakhiran) usaha, melakukan pencabutan Pengusaha Kena Pajak, atau dilakukan pencabutan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak Masa Pajak pengkreditan pertama kali Pajak Masukan.
(6e) Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud pada ayat (6a):
wajib dibayar kembali ke kas negara oleh Pengusaha Kena Pajak, dalam hal Pengusaha Kena Pajak:
telah menerima pengembalian kelebihan pembayaran pajak atas Pajak Masukan dimaksud; dan/atau
telah mengkreditkan Pajak Masukan dimaksud dengan Pajak Keluaran yang terutang dalam suatu Masa Pajak; dan/atau b. tidak dapat dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya dan tidak dapat diajukan permohonan pengembalian, setelah jangka waktu 3 (tiga) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (6a) berakhir atau pada saat pembubaran (pengakhiran) usaha, atau pencabutan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6d) oleh Pengusaha Kena Pajak, dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan kompensasi atas kelebihan pembayaran pajak dimaksud. (60 Pembayaran (60 Pembayaran kembali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (6e) huruf a dilakukan paling lambat:
akhir bulan berikutnya setelah tanggal berakhirnya jangka waktu 3 (tiga) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (6a);
akhir bulan berikutnya setelah tanggal berakhirnya jangka waktu bagi sektor usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (6c); atau
akhir bulan berikutnya setelah tanggal pembubaran (pengakhiran) usaha atau pencabutan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6d). (6g) Dalam hal Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan kewajiban pembayaran kembali sesuai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6f), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atas jumlah pajak yang seharusnya dibayar kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (6e) huruf a oleh Pengusaha Kena Pajak ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya. (7) Dihapus. (7a) Dihapus. (7b) Dihapus. (8) Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran untuk:
dihapus;
perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
dihapus;
dihapus;
dihapus;
perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9) atau tidak mencantumkan nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6);
dihapus;
dihapus; dan
dihapus. (9) Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) Masa Pajak setelah berakhirnya Masa Pajak saat Faktur Pajak dibuat sepanjang belum dibebankan sebagai biaya atau belum ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak serta memenuhi ketentuan pengkreditan sesuai dengan Undang-Undang ini. (9a) Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, serta pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak dengan menggunakan pedoman pengkreditan Pajak Masukan sebesar 80o/o (delapan puluh persen) dari Pajak Keluaran yang seharusnya dipungut.
(9b) Pajak (eb) (ec) (10) (11) (r2l (13) (14) Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, serta pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang diberitahukan dan/atau ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak sepanjang memenuhi ketentuan pengkreditan sesuai dengan Undang-Undang ini. Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, serta pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak sebesar jumlah pokok Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam ketetapan pajak dengan ketentuan ketetapan pajak dimaksud telah dilakukan pelunasan dan tidak dilakukan upaya hukum serta memenuhi ketentuan pengkreditan sesuai dengan Undang- Undang ini. Dihapus. Dihapus. Dihapus. Dihapus. Dalam hal tedadi pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha, Pajak Masukan atas Barang Kena Pajak yang dialihkan yang belum dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang mengalihkan dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menerima pengalihan sepanjang Faktur Pajaknya diterima setelah terjadinya pengalihan dan Pajak Masukan tersebut belum dibebankan sebagai biaya atau dikapitalisasi.
Di antara 5 Di antara Pasal 9 dan Pasal 10 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 9A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9A (1) Pengusaha Kena Pajak yang:
mempunyai peredaran usaha dalam 1 (satu) tahun buku tidak melebihi jumlah tertentu;
melakukan kegiatan usaha tertentu; dan/atau
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak tertentu dan/atau Jasa Kena Pajak tertentu, dapat memungut dan menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan besaran tertentu. (2) Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, serta pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, yang berhubungan dengan penyerahan oleh Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dikreditkan. Ketentuan ayat (2) dan ayat (3) Pasal 16E} diubah serta di antara ayat (1) dan ayat (21 Pasal 168 disisipkan I (satu) ayat, yakni ayat (1a) sehingga Pasal 168 berbunyi sebagai berikut: Pasal 16E} (1) Pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan pajak, baik untuk sementara waktu maupun selamanya, untuk:
kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean;
penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu; 6 c. impor Barang Kena Pajak tertentu;
pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; dan
pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, diatur dengan Peraturan Pemerintah. (la) Pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan pajak baik untuk sementara waktu maupun selamanya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan terbatas untuk tujuan:
mendorong ekspor dan hilirisasi industri yang merupakan prioritas nasional;
menampung kemungkinan perjanjian dengan negara lain dalam bidang perdagangan dan investasi, konvensi internasional yang telah diratifikasi, serta kelaziman internasional lainnya;
mendorong peningkatan kesehatan masyarakat melalui pengadaan vaksin dalam rangka program vaksinasi nasional;
meningkatkan pendidikan dan kecerdasan bangsa dengan membantu tersedianya buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku pelajaran agama dengan harga yang relatif terjangkau masyarakat;
mendorong pembangunan tempat ibadah;
menjamin terlaksananya proyek pemerintah yang dibiayai dengan hibah dan/atau dana pinjaman luar negeri;
mengakomodasi kelaziman internasional dalam importasi Barang Kena Pajak tertentu yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk;
membantu h. membantu tersedianya Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang diperlukan dalam rangka penanganan bencana alam dan bencana nonalam yang ditetapkan sebagai bencana alam nasional dan bencana nonalam nasional;
menjamin tersedianya angkutan umum di udara untuk mendorong kelancaran perpindahan arus barang dan orang di daerah tertentu yang tidak tersedia sarana transportasi lainnya yang memadai, yang perbandingan antara volume barang dan orang yang harus dipindahkan dengan sarana transportasi yang tersedia sangat tinggi; dan/atau
mendukung tersedianya barang dan jasa tertentu yang bersifat strategis dalam rangka pembangunan nasional, antara lain:
barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh ralryat banyak;
jasa pelayanan kesehatan medis tertentu dan yang berada dalam sistem program jaminan kesehatan nasional;
^jasa pelayanan sosial;
jasa keuangan;
^jasa asuransi;
^jasa pendidikan;
jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari jasa angkutan luar negeri; dan
jasa tenaga kerja. (21 Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, serta pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang atas penyerahannya tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikreditkan. 7 (3) Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, serta pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dikreditkan. Di antara BAB VA dan BAB VI disisipkan 1 (satu) bab, yakni BAB VB sehingga berbunyi sebagai berikut:
Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan dan Perolehan Harta dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, Pemekaran, atau Pengambilalihan Usaha. ...
Relevan terhadap
bahwa ketentuan mengenai penggunaan nilai buku atas pengalihan harta dalam rangka penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2008 tentang Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan Harta dalam rangka Penggabungan, Peleburan, atau Pemekaran Usaha;
bahwa dalam rangka menyelaraskan kebijakan di bidang perpajakan __ dengan kebijakan di bidang ekonomi, investasi, dan moneter, khususnya kebijakan untuk mendorong penguatan badan hukum di Indonesia melalui penyatuan usaha dan mendorong pemisahan unit usaha syariah menjadi badan hukum tersendiri, perlu mengganti Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2008 tentang Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan Harta dalam rangka Penggabungan, Peleburan, atau Pemekaran Usaha sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 10 ayat (3) Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan dan Perolehan Harta dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, Pemekaran, atau Pengambilalihan Usaha;
Pengujuan UU no. 3 tahun 2015 tentang Perubahan Atas UU Nomor 27 Tahun 2014 tentang APBN TA 2015 (Pasal 23A) terhadap UUD Negara RI 1945 ...
Relevan terhadap
“dirasakan” oleh pemohon. A.10. Bahwa pemohon jelas mengajukan permohonan pengujian materiil atas UU 3/2015, bukan pengujian formil atas UU tersebut. Dan karena adanya efek, akibat, implikasi dan konsekuensi atas diberlakukannya UU tersebut maka materiil UU tersebut artinya masihlah “tetap hidup” walaupun secara formil UU-nya telah tidak berlaku lagi. A.11. Karenanya berdasarkan alasan-alasan diatas maka dengan Permohonanan ini Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia untuk dapat menetapkan bahwa Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berwenang untuk melakukan pengujian konstitusionalitas yang diajukan Pemohon atas norma materiil Pasal 23A UU 3/2015 yang berbunyi: (1) Seluruh Investasi Pemerintah dalam Pusat Investasi Pemerintah dialihkan menjadi penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia pada PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero). (2) Pengalihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah. Terhadap norma Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi: (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.” B. KEDUDUKAN HUKUM PEMOHON B.1. Bahwa Pemohon adalah perorangan Warga Negara Indonesia yang menganggap hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya UU. B.2. Bahwa Kedudukan Pemohon sebagai Perseorangan telah memenuhi ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK. B.3. Bahwa sistem perpajakan di Indonesia secara langsung membebankan berbagai macam pajak, retribusi, cukai dan sebagainya (selanjutnya disingkat Pajak) terhadap barang-barang konsumsi dan pendapatan langsung dari rakyat. Sehingga semua barang kebutuhan yang dikonsumsi oleh Para Pemohon secara langsung telah dibebani pula oleh komponen pembayaran pajak tersebut. Dan itulah pula yang menjadi penerima negara dan digunakan untuk membiayai A Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
subsidi untuk BBM jenis premium, subsidi tetap ( fixed subsidy ) untuk BBM jenis minyak solar, dan tetap memberikan subsidi untuk BBM jenis minyak tanah. Kebijakan tersebut selain bertujuan untuk meningkatkan kemampuan Pemerintah dalam mendanai program/kegiatan yang lebih produktif, juga dimaksudkan untuk mewujudkan APBN yang lebih sehat dengan meminimalkan kerentanan fiskal dari faktor eksternal seperti fluktuasi harga minyak mentah dunia dan nilai tukar rupiah. Sementara itu, perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal dan langkah-langkah pengamanan pelaksanaan APBN tahun 2015 juga dilakukan baik pada pendapatan negara, belanja negara, maupun pembiayaan anggaran. Di bidang pendapatan negara, kebijakan pendapatan perpajakan antara lain: (1) upaya optimasi pendapatan tanpa mengganggu perkembangan investasi dan dunia usaha; (2) melanjutkan kebijakan reformasi di bidang administrasi perpajakan, pengawasan dan penggalian potensi, dan perbaikan peraturan perundang- undangan; dan (3) memberikan insentif perpajakan dalam bentuk pajak dan bea masuk ditanggung Pemerintah bagi sektor-sektor tertentu. Selanjutnya, kebijakan pendapatan negara bukan pajak (PNBP), antara lain: (1) menahan turunnya lifting minyak bumi yang disebabkan oleh natural decline dan upaya penemuan cadangan minyak baru; (2) pendapatan SDA nonmigas, PNBP lainnya dan BLU diproyeksi sesuai dengan asumsi dasar ekonomi makro dan besaran tarif; dan (3) bagian Pemerintah atas laba BUMN mengakomodasi kebijakan pembangunan infrastruktur pemerintah. Pada sisi belanja Pemerintah Pusat, perubahan kebijakan dalam APBNP tahun 2015 antara lain: (1) upaya peningkatan efisiensi Belanja Pemerintah Pusat termasuk melalui penataan struktur belanja dengan mengurangi belanja kurang produktif dan mengalihkannya ke belanja yang lebih produktif dan penataan struktur Kementerian Negara/Lembaga Kabinet Kerja; (2) perubahan kebijakan untuk mengakomodasi program-program inisiatif baru sebagai penjabaran dan implementasi visi dan misi pemerintahan baru hasil Pemilu 2014, yang tertuang dalam konsep Nawacita dan Trisakti; dan (3) perubahan termasuk pergeseran alokasi Belanja Negara yang dimungkinkan Undang-undang Nomor 27 Tahun 2014 tentang APBN Tahun 2015. Dalam APBNP tahun 2015, kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk belanja Transfer ke Daerah dan Dana Desa pada dasarnya tetap mengacu pada APBN tahun 2015 dengan beberapa penyesuaian untuk mengakomodasi perkembangan asumsi dasar ekonomi makro dan menyelaraskan dengan visi, misi, dan prioritas Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
Sementara itu, tantangan perekonomian domestik yang diperkirakan akan dihadapi dalam tahun 2015 mencakup: (1) akselerasi pertumbuhan ekonomi yang melambat; (2) risiko pasar keuangan di dalam negeri; (3) ketidakseimbangan neraca pembayaran; dan (4) menurunkan kesenjangan sosial. Sebagai konsekuensi dari berbagai kondisi tersebut, dalam RAPBN 2015 diperlukan kebijakan fiskal yang responsif, antisipatif, dan komprehensif, sehingga mampu merespon dinamika perekonomian secara cepat dan tepat, mampu menjawab berbagai tantangan yang dihadapi, dan menjaga kesinambungan/keberlanjutan program-program pembangunan beserta akselerasi pencapaian target-target pembangunan nasional yang telah ditetapkan. Dengan memperhatikan hal-hal tersebut, tema kebijakan fiskal yang digunakan dalam tahun 2015 adalah Penguatan Kebijakan Fiskal dalam Rangka Percepatan Pertumbuhan Ekonomi yang Berkelanjutan dan Berkeadilan dengan tiga langkah utama yakni: 1. Pengendalian defisit dalam batas aman, melalui optimalisasi pendapatan dengan tetap menjaga iklim investasi dan menjaga konservasi lingkungan, serta meningkatkan kualitas belanja dan memperbaiki struktur belanja. 2. Pengendalian rasio utang pemerintah terhadap PDB melalui pengendalian pembiayaan yang bersumber dari utang dalam batas aman dan terkendali, serta mengarahkan pemanfaatan utang untuk kegiatan produktif. 3. Pengendalian risiko fiskal dalam batas toleransi antara lain melalui pengendalian rasio utang terhadap pendapatan dalam negeri, debt service ratio, dan menjaga komposisi utang dalam batas aman serta penjaminan yang terukur. APBNP Tahun 2015 diajukan sebagai langkah untuk menyesuaikan perubahan asumsi dasar ekonomi makro, menampung perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal dalam rangka mengamankan pelaksanaan APBN tahun 2015, dan juga untuk menampung inisiatif-inisiatif baru Pemerintahan terpilih sesuai dengan visi dan misi yang tertuang dalam konsep nawacita dan trisakti. Kebijakan yang paling esensial yang ditempuh oleh Pemerintah dalam APBNP tahun 2015 adalah pengalihan belanja kurang produktif ke belanja yang lebih produktif dalam rangka mempercepat pencapaian sasaran dan prioritas pembangunan. Kebijakan tersebut antara lain ditempuh melalui efisiensi belanja subsidi dengan tidak memberikan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perund ...
Relevan terhadap
metode omnibus dalam pembentukan UU Cipta Kerja, tetapi juga pada aspek formil, yaitu keberadaan naskah akademik, tahapan pembentukan UU, dan partisipasi publik secara bermakna, serta aspek materiil, yaitu isi dari UU Cipta Kerja. Metode omnibus law sendiri memerlukan kajian yang mendalam, agar penerapannya tidak berbenturan dengan bentuk undang-undang yang telah ada, sehinggal malah memperlebar jurang ketidakpastian hukum, tegas Gunawan. Selain masalah RUU Perubahan UU P3 sebagai dampak Putusan MK dalam pengujian formil UU Cipta Kerja adalah permasalahan aturan turunan dari UU Cipta Kerja, berdasarkan putusan tersebut seharusnya seluruh turunan UU Cipta Kerja tidak berlaku dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, demikian tambah Gunawan. Langkah legislasi untuk menyambut investasi dan perbaikan ekonomi ini memperlihatkan upaya pemerintah untuk melakukan deregulasi secara serampangan. Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 telah menegaskan UU Cipta Kerja Inkonstitusional Secara Bersyarat sehingga UU Cipta Kerja inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Karena itu, UU Cipta Kerja layak disebut sebagai undang-undang yang lahir dari proses yang tidak demokratis dan melanggar hak-hak konstitusional rakyat. Respon dengan mengesahkan UU P3 ini telah mengkhianati amanat rakyat yang membutuhkan peraturan yang melindungi dan memastikan kedaulatan rakyat. 90. Bahwa selain itu penolakan juga sebenarnya muncul di internal DPR sendiri, misalnya sebagaimana sikap yang ditunjukkan oleh Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) yang secara resmi menolak revisi UU PPP a quo [bukti P-6]. Dalam pendapat Fraksi PKS yang menolak pengesahan revisi UU PPP a quo salah satu poinnya adalah kurangnya partisipasi publik, oleh karena itu, Fraksi PKS meminta agar melibatkan pihak-pihak baik yang pro maupun kontra secara proporsional dan benar-benar mengimplementasikan partisipasi masyarakat yang bermakna dengan melibatkan unsur akademisi perguruan tinggi, organisasi masyarakat, maupun masyarakat umum. Serta mendorong agar rancangan PUU yang akan dibahas mudah diakses oleh masyarakat [bukti P-7]; 91. Bahwa kritik terhadap proses pembentukan revisi UU PPP ini juga pernah disampaikan oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) sebagai berikut [bukti P-8]: Dewan Perwakilan Rakyat telah mengesahkan perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP). Revisi ini dilakukan sebagai tindak lanjut atas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan Undang-Undang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.
Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi atas Keterlambatan Penyampaian Surat Pemberitahuan,Pembetulan Surat Pemberitahuan, dan Keterlambatan ...
Pengelolaan Dana Desa
Relevan terhadap
TENTANG Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Transfer ke Daerah yang selanjutnya disingkat TKD adalah dana yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan merupakan bagian dari belanja negara yang dialokasikan dan disalurkan kepada daerah untuk dikelola oleh daerah dalam rangka mendanai penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. 2. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri jdih.kemenkeu.go.id sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. 4. Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 5. Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 6. Pemerintah Desa adalah kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan Desa. 7. Dana Desa adalah bagian dari TKD yang diperuntukkan bagi Desa dengan tujuan untuk mendukung pendanaan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan. 8. Alokasi Dasar adalah alokasi yang dibagi secara proporsional kepada setiap Desa. 9. Alokasi Afirmasi adalah alokasi yang dibagi secara proporsional kepada Desa tertinggal dan Desa sangat tertinggal dan dapat mempertimbangkan jumlah penduduk miskin tinggi di Desa tertinggal dan Desa sangat tertinggal. 10. Alokasi Kinerja adalah alokasi yang dibagi kepada Desa dengan kinerja terbaik. 11. Alokasi Formula adalah alokasi yang dihitung dengan memperhatikan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis. 12. Indikasi Kebutuhan Dana Desa adalah indikasi dana yang perlu dianggarkan dalam rangka pelaksanaan Dana Desa. 13. Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi bendahara umum negara. 14. Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat PPA BUN adalah unit eselon I di lingkungan Kernen terian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari bagian anggaran BUN. jdih.kemenkeu.go.id 15. Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BA BUN adalah bagian anggaran yang tidak dikelompokkan dalam bagian anggaran kementerian negara/lembaga. 16. Pemimpin Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Pemimpin PPA BUN adalah pejabat eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang bertanggung jawab atas program BA BUN dan bertindak untuk menandatangani daftar isian pelaksanaan anggaran BUN. 17. Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat KPA BUN adalah pejabat pada satuan kerja dari masing-masing PPA BUN baik di kantor pusat maupun kantor daerah atau satuan kerja di kementerian/lembaga yang memperoleh penugasan dari Menteri Keuangan untuk melaksanakan kewenangan dan tanggungjawab pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN. 18. Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat DIPA BUN adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh KPA BUN. 19. Rencana Kerja dan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKA-BUN adalah dokumen rencana keuangan tahunan dari BUN yang memuat rincian kegiatan, anggaran, dan target kinerja dari PPA BUN, yang disusun· menurut BA BUN. 20. Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKA Satker BUN adalah dokumen perencanaan anggaran BA BUN yang memuat rincian kebutuhan dana baik yang berbentuk anggaran belanja maupun pembiayaan dalam rangka pemenuhan kewajiban Pemerintah Pusat dan TKD tahunan yang disusun oleh KPA BUN. 21. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan. 22. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. 23. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan dengan peraturan Daerah. 24. Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa selanjutnya disebut APBDes adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan Desa. 25. Rekening Kas Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKUN adalah rekening tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku bendahara umum negara untuk menampung seluruh jdih.kemenkeu.go.id penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara pada bank sentral. 26. Rekening Kas Umum Daerah yang selanjutnya disingkat RKUD adalah rekening tempat penyimpanan uang Daerah yang ditentukan oleh gubernur, bupati, atau wali kota untuk menampung seluruh penerimaan Daerah dan membayar seluruh pengeluaran Daerah pada bank yang ditetapkan. 27. Rekening Kas Desa yang selanjutnya disingkat RKD adalah rekening tempat penyimpanan uang Pemerintahan Desa yang menampung seluruh penerimaan Desa dan digunakan untuk membayar seluruh pengeluaran Desa dalam 1 ( satu) rekening pada bank yang ditetapkan. 28. Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh pejabat pembuat komitmen, yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara. 29. Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh pejabat penanda tangan surat perintah membayar untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA. 30. Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku kuasa BUN untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM. 31. Aplikasi Online Monitoring Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara yang selanjutnya disebut Aplikasi OM- SPAN adalah aplikasi yang digunakan dalam rangka memonitoring transaksi dalam sistem perbendaharaan dan anggaran negara dan menyajikan informasi sesuai dengan kebutuhan yang diakses melalui jaringan berbasis web. Pasal 2 Ruang lingkup pengelolaan Dana Desa dalam Peraturan Menteri ini meliputi:
penganggaran;
pengalokasian;
penyaluran;
penatausahaan, pertanggungjawaban, dan pelaporan;
penggunaan;
pemantauan dan evaluasi; dan
penghentian dan/ a tau penundaan penyaluran Dana Desa. BAB II PEJABAT PERBENDAHARAAN NEGARA PENGELOLA DANA DESA Pasal 3 (1) Dalam rangka pengelolaan Dana Desa, Menteri Keuangan selaku Pengguna Anggaran BUN Pengelola TKD menetapkan: jdih.kemenkeu.go.id a. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan sebagai Pemimpin PPA BUN Pengelola TKD;
Direktur Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sebagai KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan;
Kepala KPPN sebagai KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan; dan
Direktur Pelaksanaan Anggaran sebagai koordinator KPA BUN Penyaluran TKD. (2) Kepala KPPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan Kepala KPPN yang wilayah kerjanya meliputi Daerah kabupaten/kota penerima alokasi Dana Desa. (3) Dalam hal pejabat yang ditetapkan sebagai KPA BUN Pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berhalangan, Menteri Keuangan menunjuk Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai pelaksana tugas KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan. (4) Dalam hal pejabat yang ditetapkan sebagai KPA BUN Penyaluran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berhalangan, Menteri Keuangan menunjuk pejabat pelaksana tugas / pelaksana harian Kepala KPPN sebagai pelaksana tugas KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan. (5) Keadaan berhalangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) merupakan suatu keadaan yang menyebabkan pejabat definitif yang ditetapkan sebagai KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan dan Kepala KPPN sebagai KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan:
tidak terisi dan menimbulkan lowonganjabatan; atau
masih terisi namun pejabat definitif yang ditetapkan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran tidak dapat melaksanakan tugas. (6) Pejabat pelaksana tugas KPA BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) memiliki kewenangan dan tanggung jawab yang sama dengan KPA BUN. (7) Penunjukan:
Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai pelaksana tugas KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3); dan/atau
pejabat pelaksana tugas/pelaksana harian kepala KPPN sebagai pelaksana tugas KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), berakhir dalam hal Direktur Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan/atau Kepala KPPN jdih.kemenkeu.go.id se bagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c telah terisi kembali oleh pejabat definitif dan/atau dapat melaksanakan tugas kembali se bagai KPA. (8) Pemimpin PPA BUN Pengelola TKD dapat mengusulkan penggantian KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan kepada Menteri Keuangan. (9) Penggantian KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. Pasal 4 (1) KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut:
mengajukan usulan Indikasi Kebutuhan Dana TKD untuk Dana Desa kepada Pemimpin PPA BUN Pengelola TKD yang dilengkapi dengan dokumen pendukung;
menyusun RKA satker BUN TKD untuk Dana Desa beserta dokumen pendukung yang berasal dari pihak terkait;
menyampaikan RKA satker BUN TKD untuk Dana Desa beserta dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam huruf b kepada Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan untuk direviu;
menandatangani RKA satker BUN TKD untuk Dana Desa yang telah direviu oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan dan menyampaikannya kepada Pemimpin PPA BUN Pengelola TKD;
menyusun DIPA BUN TKD untuk Dana Desa; dan
menyusun dan/atau menyampaikan rekomendasi pengenaan penundaan, pemotongan, penghentian penyaluran, dan/atau penyaluran kembali TKD untuk Dana Desa kepada KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan melalui koordinator KPA BUN Penyaluran TKD. (2) KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut:
menetapkan pejabat pembuat komitmen dan pejabat penandatangan SPM;
melakukan verifikasi atas kesesuaian dokumen persyaratan penyaluran Dana Desa;
menyusun dan menyampaikan proyeksi penyaluran Dana Desa sampai dengan akhir tahun kepada koordinator KPA BUN Penyaluran TKD;
melaksanakan penyaluran Dana Desa melalui pemotongan Dana Desa setiap kabupaten/kota dan penyaluran dana hasil pemotongan Dana Desa ke Desa; jdih.kemenkeu.go.id e. menyusun dan menyampaikan laporan realisasi penyaluran Dana Desa kepada PPA BUN Pengelola TKD melalui koordinator KPA BUN Penyaluran TKD menggunakan Aplikasi OM-SPAN dalam rangka pertanggungjawaban penyaluran Dana Desa;
menyusun dan menyampaikan laporan keuangan atas pelaksanaan anggaran kepada PPA BUN Pengelola TKD melalui koordinator KPA BUN Penyaluran TKD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
melakukan pengisian dan menyampaikan capaian kinerja penyaluran Dana Desa melalui aplikasi sistem monitoring dan evaluasi kinerja terpadu bendahara umum negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Penyaluran Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d menggunakan Aplikasi OM-SPAN yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan. (4) Proyeksi penyaluran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f merupakan satu kesatuan dengan laporan keuangan dan proyeksi penyaluran TKD. (5) Koordinator KPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut:
menyusun dan menyampaikan konsolidasi laporan realisasi penyaluran Dana Desa kepada PPA BUN Pengelola TKD melalui Aplikasi OM-SPAN berdasarkan laporan realisasi penyaluran Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e;
menyusun proyeksi penyaluran Dana Desa sampai dengan akhir tahun berdasarkan rekapitulasi laporan dari KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan melalui aplikasi cash _planning information network; _ dan c. menyusun dan menyampaikan konsolidasi laporan keuangan atas pelaksanaan anggaran kepada Pemimpin PPA BUN Pengelola TKD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 5 Pemimpin PPA BUN Pengelola TKD, KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan, KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan, dan koordinator KPA BUN Penyaluran TKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) tidak bertanggung jawab secara formal dan materiil atas penggunaan Dana Desa oleh Pemerintah Desa. jdih.kemenkeu.go.id BAB III PENGANGGARAN Pasal 6 (1) KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan mengajukan usulan Indikasi Kebutuhan Dana Desa kepada Pemimpin PPA BUN Pengelola TKD. (2) Berdasarkan usulan Indikasi Kebutuhan Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemimpin PPA BUN Pengelola TKD menyusun Indikasi Kebutuhan Dana Desa. (3) Indikasi Kebutuhan Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2), disusun dengan memperhatikan:
kebutuhan Desa yang menjadi kewenangan Desa;
prioritas nasional;
hasil pengalihan belanja kementerian negara/lembaga yang masih mendanai kewenangan Desa; dan/atau
kemampuan keuangan negara. (4) Pemimpin PPA BUN Pengelola TKD menyampaikan Indikasi Kebutuhan Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Direktorat Jenderal Anggaran paling lambat bulan Februari tahun anggaran sebelumnya. (5) Penyusunan dan penyampaian Indikasi Kebutuhan Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan. Pasal 7 (1) Indikasi Kebutuhan Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 digunakan sebagai dasar penganggaran, penyusunan arah kebijakan, dan pengalokasian Dana Desa dalam nota keuangan dan rancangan U ndang- Undang mengenai APBN. (2) Penganggaran, penyusunan arah kebijakan, dan pengalokasian Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dalam pembahasan nota keuangan dan rancangan Undang-Undang mengenai APBN antara Pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat. (3) Berdasarkan hasil pembahasan antara Pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri Keuangan menetapkan pagu anggaran Dana Desa. BAB IV PENGALOKASIAN Pasal 8 (1) Berdasarkan pagu anggaran Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3), Direktorat Jenderal jdih.kemenkeu.go.id Perimbangan Keuangan melakukan penghitungan rincian Dana Desa setiap Desa. (2) Penghitungan rincian Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara:
sekaligus; atau
bertahap. (3) Dalam hal penghitungan rincian Dana Desa dilakukan secara sekaligus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, penghitungan rincian Dana Desa dilakukan berdasarkan formula pengalokasian. (4) Formula pengalokasian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihitung secara merata dan berkeadilan berdasarkan:
Alokasi Dasar;
Alokasi Afirmasi;
Alokasi Kinerja; dan
Alokasi Formula. (5) Formula pengalokasian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) memperhatikan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai APBN. (6) Dalam hal penghitungan rincian Dana Desa dilakukan secara bertahap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, penghitungan rincian Dana Desa dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
sebagian Dana Desa dihitung pada tahun anggaran sebelum tahun anggaran berjalan; dan
sebagian Dana Desa dihitung pada tahun anggaran berjalan. (7) Sebagian Dana Desa yang dihitung pada tahun anggaran sebelum tahun anggaran berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a dilakukan berdasarkan formula pengalokasian sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (8) Sebagian Dana Desa yang dihitung pada tahun anggaran berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b dialokasikan sebagai insentif Desa berdasarkan kriteria tertentu. (9) Dalam hal terdapat ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, sebagian Dana Desa yang dihitung pada tahun anggaran berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dapat digunakan untuk melaksanakan kebijakan Pemerintah berupa burden sharing pendanaan. Pasal 9 (1) Alokasi Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) huruf a diberikan dengan porsi tertentu dari anggaran Dana Desa. (2) Alokasi Dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagikan secara proporsional kepada setiap Desa dengan memperhatikan jumlah penduduk. jdih.kemenkeu.go.id Pasal 10 (1) Alokasi Afirmasi se bagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) huruf b diberikan dengan porsi tertentu dari anggaran Dana Desa. (2) Alokasi Afirmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagikan secara proporsional kepada Desa tertinggal dan Desa sangat tertinggal dan dapat mempertimbangkan jumlah penduduk miskin tinggi di Desa tertinggal dan Desa sangat tertinggal. Pasal 11 (1) Alokasi Kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) huruf c diberikan dengan porsi tertentu dari anggaran Dana Desa. (2) Alokasi Kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagikan kepada Desa dengan kinerja terbaik. (3) Penetapan Desa dengan kinerja Desa terbaik sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dinilai berdasarkan:
kriteria utama; dan
kriteria kinerja. (4) Penetapan Desa dengan kinerja Desa terbaik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menggunakan data yang diterbitkan atau diperoleh pada tahun anggaran sebelum tahun anggaran berjalan. (5) Kriteria utama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a merupakan tata kelola keuangan Desa yang efektif, efisien, dan bebas dari korupsi. (6) Kriteria kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b terdiri atas:
indikator wajib; dan/atau
indikator tambahan. (7) Indikator wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a dinilai oleh Pemerintah. (8) lndikator tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b dinilai oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota. (9) Dalam hal Pemerintah Daerah kabupaten/kota tidak melakukan penilaian kinerja Desa atau tidak menyampaikan hasil penilaian kinerja Desa sampai batas waktu yang telah ditetapkan, penilaian kinerja Desa dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. Pasal 12 (1) Alokasi Formula sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) huruf d diberikan dengan porsi tertentu dari anggaran Dana Desa. (2) Alokasi Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagikan dengan bobot tertentu berdasarkan indikator se bagai berikut:
jumlah penduduk;
angka kemiskinan Desa;
luas wilayah Desa; dan
tingkat kesulitan geografis. jdih.kemenkeu.go.id Pasal 13 (1) Dana Desa setiap Desa yang dihitung secara sekaligus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf a atau yang dihitung pada tahun anggaran sebelum tahun anggaran berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (6) huruf a ditetapkan berdasarkan penjumlahan Alokasi Dasar, Alokasi Afirmasi, Alokasi Kinerja, dan Alokasi Formula sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 12. (2) Dana Desa setiap kabupaten/kota dihitung berdasarkan penjumlahan Dana Desa setiap Desa pada kabupaten/kota bersangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan oleh Presiden. (3) Dana Desa setiap Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diterbitkan oleh Kementerian Keuangan. (4) Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dapat menyampaikan informasi Dana Desa setiap Desa dan Dana Desa setiap kabupaten/kota melalui laman Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan mendahului penetapan oleh Presiden dan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3). Pasal 14 (1) Data dalam pengalokasian Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 12, bersumber dari kementerian negara/lembaga yang berwenang dan/atau Pemerintah Daerah. (2) Data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat tanggal 31 Agustus. (3) Dalam hal tanggal 31 Agustus bertepatan dengan hari libur atau hari yang diliburkan, penyampaian data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lambat pada hari kerja berikutnya. (4) Dalam hal data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tersedia, terdapat anomali, dan/atau tidak memadai, penghitungan rincian Dana Desa setiap Desa menggunakan:
data yang dipakai pada penghitungan Dana Desa tahun anggaran sebelumnya;
data yang dibagi secara proporsional antara Desa pemekaran dan Desa induk dan/atau menggunakan data Desa induk;
rata-rata data Desa dalam satu kecamatan dimana Desa tersebut berada;
data hasil pembahasan dengan kementerian negara/lembaga penyedia data; dan/atau
data hasil penyesuaian atas data yang digunakan pada penghitungan Dana Desa tahun anggaran sebelumnya dan/atau data yang dirilis pada laman kementerian negara/lembaga penyedia data terkait. jdih.kemenkeu.go.id (5) Pembahasan dengan kementerian negara/lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf d dilakukan melalui rekonsiliasi data dengan kementerian negara/lembaga penyedia data dan dituangkan dalam berita acara rekonsiliasi. Pasal 15 (1) Kriteria tertentu untuk insentif Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (8) berupa:
kriteria utama; dan
kriteria kinerja. (2) Kriteria utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan indikator tata kelola keuangan Desa yang efektif, efisien, dan bebas dari korupsi. (3) Desayang tidak memenuhi kriteria utama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak mendapatkan insentif Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (8). (4) Kriteria kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi kinerja keuangan, tingkat kepatuhan terhadap aturan pengelolaan keuangan Desa, penganggaran Dana Desa yang ditentukan penggunaannya untuk prioritas nasional, dan/atau penghargaan yang diperoleh oleh Desa dari kementerian negara/lembaga. (5) Insentif Desa dibagikan kepada Desa yang memiliki kinerja terbaik berdasarkan kriteria kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (6) Data kriteria utama dan kriteria kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) merupakan data yang diterbitkan atau diperoleh pada tahun anggaran berjalan. (7) Data sebagaimana dimaksud pada ayat (6) bersumber dari kementerian negara/lembaga yang berwenang dan/atau Pemerintah Daerah. (8) Dalam rangka penghitungan insentif Desa, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan menyampaikan permintaan data kriteria utama dan kriteria kinerja tahun berjalan kepada kementerian negara/lembaga dan/atau Pemerintah Daerah. (9) Data kriteria utama dan kriteria kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) yang digunakan dalam penghitungan insentif Desa merupakan data yang telah diterima oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat tanggal 31 Juli tahun anggaran berjalan. (10) Dalam hal tanggal 31 Juli bertepatan dengan hari libur atau hari yang diliburkan, data sebagaimana dimaksud pada ayat (9) paling lambat diterima pada hari kerja berikutnya. Pasal 16 (1) Rincian insentif Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (8), ditetapkan oleh Kementerian Keuangan. jdih.kemenkeu.go.id (2) Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dapat menyampaikan informasi insentif Desa melalui laman Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan mendahului penetapan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 17 Penghitungan rincian Dana Desa setiap Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan tersendiri. BABV PENYALURAN Bagian Kesatu Dokumen Pelaksanaan Penyaluran Pasal 18 (1) KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan menyusun RKA Satker BUN Dana Desa berdasarkan alokasi Dana Desa yang tercantum dalam Peraturan Presiden mengenai rincian APBN. (2) Penyusunan RKA Satker BUN Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) RKA Satker BUN Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan kepada Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan untuk direviu. (4) RKA Satker BUN Dana Desa yang telah direviu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan sebagai salah satu dasar penyusunan RKA-BUN TKD. (5) PPA BUN Pengelolaan TKD menyusun RKA-BUN TKD berdasarkan hasil reviu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan pagu anggaran BUN yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. (6) Pemimpin PPA BUN Pengelola TKD menetapkan RKA-BUN TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan menyampaikan RKA-BUN TKD yang telah ditetapkan kepada Direktur Jenderal Anggaran untuk ditelaah. (7) Hasil penelaahan atas RKA-BUN TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berupa daftar hasil penelaahan RKA-BUN TKD. (8) KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan menyusun DIPA BUN Dana Desa berdasarkan RKA-BUN TKD yang telah dilakukan penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (7). (9) DIPA BUN Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (8) disampaikan oleh Pemimpin PPA BUN Pengelola TKD kepada Direktur Jenderal Anggaran. jdih.kemenkeu.go.id (10) Direktur Jenderal Anggaran atas nama Menteri Keuangan mengesahkan DIPA BUN Dana Desa berdasarkan hasil penelaahan atas RKA-BUN TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (7). (11) Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan selaku Pemimpin PPA BUN Pengelola TKD menyampaikan DIPA petikan BUN Dana Desa kepada KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan. (12) DIPA petikan BUN Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (11) digunakan sebagai dasar pelaksanaan kegiatan satuan kerja BUN dan pencairan dana/ pengesahan bagi BUN/ Kuasa BUN. Pasal 19 (1) KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan dapat menyusun perubahan DIPA BUN Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (10). (2) Penyusunan perubahan DIPA BUN Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan. Pasal 20 (1) Pejabat pembuat komitmen menggunakan DIPA petikan BUN Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (11) sebagai dasar penerbitan SPP. (2) SPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan oleh pejabat penandatangan SPM sebagai dasar penerbitan SPM. (3) SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai dasar penerbitan SP2D. Bagian Kedua Tahapan dan Persyaratan Penyaluran Pasal 21 (1) Dana Desa disalurkan dari RKUN ke RKD melalui RKUD. (2) Penyaluran Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pemotongan Dana Desa setiap kabupaten/kota dan penyaluran dana hasil pemotongan Dana Desa ke RKD. (3) Pemotongan Dana Desa setiap kabupaten/kota dan penyaluran dana hasil pemotongan Dana Desa ke RKD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan surat kuasa pemindahbukuan Dana Desa dari bupati/wali kota. (4) Besaran pagu Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
pagu Dana Desa yang tidak ditentukan penggunaannya; dan/atau
pagu Dana Desa yang ditentukan penggunaannya. jdih.kemenkeu.go.id (5) Pagu Dana Desa yang tidak ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a merupakan selisih antara pagu Dana Desa dengan pagu Dana Desa yang ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b. (6) Pagu Dana Desa yang ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan tersendiri. Pasal 22 (1) Penyaluran Dana Desa yang tidak ditentukan penggunaannya se bagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) huruf a dilakukan dalam 2 (dua) tahap, dengan ketentuan sebagai berikut:
tahap I, sebesar 40% (empat puluh persen) dari pagu Dana Desa yang tidak ditentukan penggunaannya setiap Desa, dilakukan paling lambat bulan Juni tahun anggaran berjalan; dan
tahap II, sebesar 60% (enam puluh persen) dari pagu Dana Desa yang tidak ditentukan penggunaannya setiap Desa, dilakukan paling cepat bulan April tahun anggaran berjalan. (2) Penyaluran Dana Desa yang tidak ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Desa berstatus Desa mandiri dilakukan dalam 2 (dua) tahap, dengan ketentuan sebagai berikut:
tahap I, sebesar 60% (enam puluh persen) dari pagu Dana Desa yang tidak ditentukan penggunaannya setiap Desa, dilakukan paling lambat bulan Juni tahun anggran berjalan; dan
tahap II, sebesar 40% (empat puluh persen) dari pagu Dana Desa yang tidak ditentukan penggunaannya setiap Desa, dilakukan paling cepat bulan April tahun anggaran berjalan. (3) Desa mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan status Desa berdasarkan indeks Desa membangun yang ditetapkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Desa, pembangunan daerah tertinggal, dan transmigrasi atau indeks Desa lainnya yang ditetapkan oleh kementerian negara/lembaga terkait. Pasal 23 (1) Penyaluran Dana Desa yang tidak ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan setelah KPA BUN Penyaluran Dana Desa, In sen tif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan menerima dokumen persyaratan penyaluran dari bupati/wali kota secara lengkap dan benar. (2) Dokumen persyaratan penyaluran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan sebagai berikut:
tahap I berupa:
peraturan Desa mengenai APBDes; dan jdih.kemenkeu.go.id 2. surat kuasa pemindahbukuan Dana Desa; dan
tahap II berupa:
laporan realisasi penyerapan dan capaian keluaran Dana Desa tahun anggaran se belumnya; dan
laporan realisasi penyerapan dan capaian keluaran Dana Desa tahap I menunjukkan rata- rata realisasi penyerapan paling rendah sebesar 60% (enam puluh persen) dan rata-rata capaian keluaran menunjukkan paling rendah sebesar 40% (empat puluh persen). (3) Selain persyaratan penyaluran tahap I sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, bupati/wali kota melakukan:
perekaman pagu Dana Desa yang ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) hurufb;
perekaman realisasi Dana Desa yang ditentukan penggunaannya tahun anggaran sebelumnya; dan
penandaan pengajuan penyaluran atas Desa layak salur yang disertai dengan daftar rincian Desa, melalui Aplikasi OM-SPAN. (4) Perekaman pagu Dana Desa yang ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a berlaku selama 1 (satu) tahun anggaran untuk penyaluran Dana Desa. (5) Perekaman realisasi Dana Desa yang ditentukan penggunaannya tahun anggaran sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan tersendiri. (6) Selain persyaratan penyaluran tahap II sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b bupati/wali kota melakukan penandaan pengajuan penyaluran atas Desa layak salur yang disertai dengan daftar rincian Desa melalui Aplikasi OM-SPAN. (7) Penerimaan dokumen persyaratan penyaluran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (6) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
tahap I paling lambat tanggal 15 Juni tahun anggaran berj alan; dan
batas waktu untuk tahap II mengikuti ketentuan mengenai langkah-langkah akhir tahun. (8) Dalam hal tanggal 15 Juni sebagaimana dimaksud pada ayat (7) bertepatan dengan hari libur atau hari yang diliburkan, dokumen persyaratan penyaluran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (6) diterima paling lambat pada hari kerja berikutnya. (9) Dalam hal Bupati/wali kota tidak melakukan perekaman pagu Dana Desa yang ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, Dana Desa tidak disalurkan dan menjadi sisa Dana Desa di RKUN. jdih.kemenkeu.go.id (10) Bupati/wali kota bertanggungjawab untuk menerbitkan surat kuasa pemindahbukuan Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a angka 2 untuk seluruh Desa, dan wajib menyampaikan surat kuasa dimaksud pada saat penyampaian dokumen persyaratan penyaluran tahap I pertama kali disertai dengan daftar RKD. (11) Capaian keluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b angka 2 dihitung berdasarkan rata-rata persentase capaian keluaran dari seluruh kegiatan setiap Desa. (12) Laporan realisasi penyerapan dan capaian keluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b angka 2 disusun sesuai dengan tabel ref erensi data bi dang, kegiatan, uraian keluaran, volume keluaran, satuan keluaran, dan capaian keluaran sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri. (13) Dalam hal tabel referensi data bidang, kegiatan, uraian keluaran, volume keluaran, satuan keluaran, dan capaian keluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (12) belum tersedia, bupati/wali kota menyampaikan permintaan perubahan tabel referensi kepada KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan untuk dilakukan pemutakhiran. (14) Daftar RKD sebagaimana dimaksud pada ayat (10) merupakan daftar rekening kas setiap Desa pada bank umum yang terdaftar dalam sistem kliring nasional Bank Indonesia dan/atau Bank Indonesia real time gross settlement sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (15) Dalam hal terdapat perubahan RKD sebagaimana dimaksud pada ayat (14), bupati/wali kota menyampaikan perubahan RKD kepada KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan. (16) Tata cara dan penyampaian perubahan RKD sebagaimana dimaksud pada ayat (15) dilaksanakan berdasarkan ketentuan mengenai pengelolaan data supplier dan data kontrak dalam sistem perbendaharaan dan anggaran negara. ( 1 7) Dokumen persyaratan penyaluran Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan dalam bentuk dokumen digital ( softcopy). (18) Dokumen persyaratan penyaluran se bagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diolah dan dihasilkan melalui Aplikasi OM-SPAN. Pasal 24 Tahapan dan persyaratan penyaluran Dana Desa yang ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) huruf b diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan tersendiri. jdih.kemenkeu.go.id Pasal 25 (1) In sen tif Desa se bagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (8) disalurkan setelah KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan menerima dokumen persyaratan penyaluran dari bupati/wali kota secara lengkap dan benar berupa surat pernyataan kepala Desa terkait komitmen penganggaran insentif Desa dalam APBDes. (2) Penyaluran insentif Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara sekaligus paling cepat bulan Agustus tahun anggaran berjalan. (3) Selain persyaratan penyaluran insentif Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bupati/wali kota melakukan penandaan pengajuan penyaluran insentif Desa atas Desa layak salur kepada KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan melalui Aplikasi OM-SPAN yang disertai dengan daftar rincian Desa. (4) Batas waktu penerimaan dokumen persyaratan penyaluran insentif Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengikuti ketentuan mengena1 langkah- langkah akhir tahun. Pasal 26 (1) Dokumen persyaratan penyaluran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2), Pasal 24, dan Pasal 25 ayat (1) disampaikan dengan surat pengantar yang ditandatangani paling rendah oleh pimpinan organisasi perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pengelolaan keuangan Daerah atau pimpinan organisasi perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemberdayaan masyarakat Desa. (2) Kewenangan penandatanganan surat pengantar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh bupati/wali kota. Pasal 27 Bupati/wali kota bertanggung jawab atas:
kelengkapan persyaratan penyaluran Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 sampai dengan Pasal 25;
kebenaran data perekaman pagu Dana Desa yang ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) huruf a; dan
kebenaran atas surat kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a angka 2 serta surat pengantar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1). Pasal 28 (1) Dalam rangka penyampaian dokumen persyaratan penyaluran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), bupati/wali kota menerima dokumen persyaratan penyaluran dari kepala Desa secara jdih.kemenkeu.go.id lengkap dan benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a angka 1 dan huruf b. (2) Kepala Desa bertanggung jawab atas kebenaran dokumen persyaratan penyaluran Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 29 Pemerintah Daerah kabupaten/kota dilarang menambah persyaratan penyaluran Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 sampai dengan Pasal 25. Pasal 30 (1) Dalam hal bupati/wali kota tidak menyampaikan:
dokumen persyaratan penyaluran Dana Desa yang tidak ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2);
dokumen persyaratan penyaluran Dana Desa yang ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24; dan
dokumen persyaratan penyaluran insentif Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), sampai dengan batas akhir penyampaian dokumen persyaratan penyaluran Dana Desa, Dana Desa tidak disalurkan dan menjadi sisa Dana Desa di RKUN. (2) Sisa Dana Desa di RKUN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat disalurkan kembali pada tahun anggaran berikutnya. Bagian Ketiga Penyaluran Dana Desa Setiap Daerah Kabupaten/Kota kepada Desa Pasal 31 (1) Pemotongan Dana Desa setiap kabupaten/kota dan penyaluran dana hasil pemotongan Dana Desa ke RKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) dilaksanakan dengan menggunakan SPP dan SPM. (2) Pemotongan Dana Desa setiap kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dengan menggunakan akun penerimaan nonanggaran oleh Daerah. (3) Penyaluran dana hasil pemotongan Dana Desa ke RKD sebagaimana pada ayat (1) dicatat dengan menggunakan akun pengeluaran nonanggaran. (4) Dalam rangka pemotongan Dana Desa setiap kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan penyaluran dana hasil pemotongan Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pejabat pembuat komitmen menerbitkan SPP. (5) Berdasarkan SPP sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pejabat penandatanganan SPM menerbitkan SPM untuk pemotongan Dana Desa setiap kabupaten/kota dan penyaluran dana hasil pemotongan Dana Desa ke RKD. jdih.kemenkeu.go.id (6) Berdasarkan SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (5), KPPN menerbitkan SP2D untuk penyaluran dana hasil pemotongan Dana Desa ke RKD. (7) Kepala KPPN menyampaikan daftar rincian SP2D penyaluran dana hasil pemotongan Dana Desa ke RKD sebagaimana dimaksud pada ayat (6) kepada bupati/wali kota melalui Aplikasi OM-SPAN. (8) Tata cara penerbitan SPP, SPM, dan SP2D sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sampai dengan ayat (6) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB VI PENATAUSAHAAN,PERTANGGUNGJAWABAN,DAN PELAPORAN Bagian Kesatu Penatausahaan, Pertanggungjawaban, dan Pelaporan Tingkat Pemerintah Pasal 32 (1) Dalam rangka pertanggungjawaban penyaluran Dana Desa, KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan menyusun dan menyampaikan laporan realisasi penyaluran Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf e kepada koordinator KPA BUN Penyaluran TKD melalui Aplikasi OM-SPAN. (2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), koordinator KPA BUN Penyaluran TKD menyampaikan konsolidasi laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5) huruf a dan huruf c kepada Pemimpin PPA BUN Pengelola TKD melalui Aplikasi OM-SPAN. Pasal 33 (1) Dalam rangka pertanggungjawaban pengelolaan BA BUN TKD, Pemimpin PPA BUN Pengelola TKD menyusun laporan keuangan TKD sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai sistem akuntansi dan pelaporan keuangan TKD. (2) Laporan keuangan TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup pertanggungjawaban pengelolaan Dana Desa. (3) Laporan keuangan TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh unit eselon II Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan yang ditunjuk selaku Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pembantu BUN Pengelolaan TKD menggunakan sistem aplikasi terintegrasi. (4) Untuk penatausahaan, akuntansi, dan pertanggungjawaban atas pelaksanaan anggaran, KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan menyusun laporan keuangan tingkat KPA dan menyampaikan kepada Pemimpin PPA BUN jdih.kemenkeu.go.id Pengelola TKD melalui koordinator KPA BUN Penyaluran TKD, dengan ketentuan sebagai berikut:
laporan keuangan tingkat KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan disusun setelah dilakukan rekonsiliasi data realisasi anggaran transfer dengan KPPN selaku Kuasa BUN dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan;dan b. laporan keuangan tingkat KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan disampaikan secara berjenjang kepada PPA BUN Pengelola TKD melalui koordinator KPA BUN Penyaluran TKD sesuai dengan jadwal penyampaian laporan keuangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara penyusunan dan penyampaian laporan keuangan BUN. (5) Penyusunan dan penyampaian laporan keuangan tingkat KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur tersendiri dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (6) Dalam rangka penyusunan laporan keuangan TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), koordinator KPA BUN Penyaluran TKD menyusun dan menyampaikan laporan keuangan tingkat koordinator KPA BUN Penyaluran TKD dengan ketentuan sebagai berikut:
laporan keuangan tingkat koordinator KPA BUN Penyaluran TKD disusun setelah dilakukan penyampaian data elektronik akrual transaksi TKD selain transaksi realisasi anggaran transfer ke dalam sistem aplikasi terintegrasi; dan
laporan keuangan tingkat koordinator KPA BUN Penyaluran TKD disampaikan kepada PPA BUN Pengelola TKD sesuai dengan jadwal penyampaian laporan keuangan yang disusun oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan dengan memperhatikan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara penyusunan dan penyampaian laporan keuangan BUN. (7) Penyampaian data elektronik akrual transaksi TKD selain transaksi realisasi anggaran transfer, penyusunan dan penyampaian laporan keuangan tingkat koordinator KPA BUN Penyaluran TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Pasal 34 Dalam rangka pelaporan kinerja penyaluran Dana Desa, KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan melakukan pengisian dan menyampaikan capaian kinerja Dana Desa melalui aplikasi sistem monitoring dan evaluasi kinerja terpadu BUN paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya. jdih.kemenkeu.go.id Pasal 35 Dalam rangka sinkronisasi penyajian laporan realisasi anggaran TKD, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dan koordinator KPA BUN Penyaluran TKD dapat melakukan rekonsiliasi data realisasi atas penyaluran Dana Desa dengan KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan dan Pemerintah Daerah. Bagian Kedua Penatausahaan, Pertanggungjawaban, dan Pelaporan Tingkat Pemerintah Daerah Pasal 36 (1) Pemerintah Daerah kabupaten/kota menganggarkan Dana Desa dalam APBD berdasarkan Peraturan Presiden mengenai rincian APBN. (2) Dalam hal terdapat perubahan pagu Dana Desa setiap kabupaten/kota, Pemerintah Daerah kabupaten/kota menganggarkan perubahan pagu dimaksud dalam perubahan APBD dan/atau perubahan penjabaran APBD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (3) Dalam rangka penatausahaan, pertanggungjawaban, dan pelaporan Dana Desa, Pemerintah Daerah kabupaten/kota melakukan pencatatan pendapatan dan belanja atas Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Pencatatan pendapatan Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan berdasarkan daftar rincian SP2D untuk penyaluran dana hasil pemotongan Dana Desa ke RKD dari Aplikasi OM-SPAN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (7). (5) Pencatatan belanja Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan SP2D pengesahan yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota dilakukan berdasarkan daftar rincian SP2D untuk penyaluran dana hasil pemotongan Dana Desa ke RKD dari Aplikasi OM-SPAN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (7). Bagian Ketiga Penatausahaan, Pertanggungjawaban, dan Pelaporan Tingkat Pemerintah Desa Pasal 37 (1) Pemerintah Desa menganggarkan Dana Desa dalam APBDes berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan mengenai pengalokasian Dana Desa setiap Desa, penyaluran, dan penggunaan Dana Desa. (2) Pemerintah Desa yang mendapatkan insentif Desa dihitung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (8), menganggarkan insentif Desa dalam APBDes, penjabaran APBDes, perubahan APBDes, dan/atau jdih.kemenkeu.go.id perubahan penjabaran APBDes tahun anggaran berjalan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Dalam rangka penatausahaan, pertanggungjawaban, dan pelaporan Dana Desa, Pemerintah Desa melakukan pencatatan pendapatan dan belanja atas Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). Bagian Keempat Pelaporan APBDes Pasal 38 (1) Kepala Desa menyampaikan:
laporan pelaksanaan APBDes semester pertama tahun anggaran sebelumnya; dan
laporan pertanggungjawaban realisasi APBDes tahun anggaran sebelumnya, kepada bupati/wali kota melalui camat. (2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bupati/wali kota menyusun:
laporan konsolidasi pelaksanaan APBDes semester pertama tahun anggaran sebelumnya; dan
laporan konsolidasi realisasi pelaksanaan APBDes tahun anggaran sebelumnya. (3) Bupati/wali kota menyampaikan laporan konsolidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) secara elektronik melalui sistem informasi yang dikelola oleh Pemerintah. BAB VII PENGGUNAAN Pasal 39 (1) Penggunaan Dana Desa yang dihitung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) diprioritaskan untuk mendanai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat sesuai dengan prioritas Desa. (2) Pemerintah dapat menentukan fokus penggunaan Dana Desa sesuai dengan prioritas nasional yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. (3) Rincian prioritas penggunaan Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan petunjuk operasional ditetapkan dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Desa, pembangunan daerah tertinggal, dan transmigrasi setelah berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan kementerian negara/ lembaga terkait. (4) Petunjuk operasional atas fokus penggunaan Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Desa, pembangunan daerah tertinggal, dan transmigrasi setelah jdih.kemenkeu.go.id berkoordinasi dengan kementerian negara/lembaga paling lambat sebelum tahun anggaran berjalan. Pasal 40 (1) Bupati/wali kota dapat menyusun petunjuk teknis atas pelaksanaan kegiatan yang didanai dari Dana Desa, berpedoman pada penggunaan Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) dan petunjuk operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (3). (2) Pelaksanaan kegiatan yang didanai dari Dana Desa diutamakan secara swakelola dengan menggunakan sumber daya/bahan baku lokal, dan diupayakan dengan lebih banyak menyerap tenaga kerja dari masyarakat Desa setempat. Pasal 41 (1) Kepala Desa bertanggung jawab atas penggunaan Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39. (2) Pemerintah Daerah melakukan pendampingan atas penggunaan Dana Desa. BAB VIII PEMANTAUAN DAN EVALUASI Pasal 42 (1) Kementerian Keuangan melakukan:
pemantauan dan evaluasi atas pengelolaan Dana Desa; atau
pemantauan bersama-sama dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Desa, pembangunan daerah tertinggal, dan transmigrasi sesuai dengan kewenangannya. (2) Pemantauan dan evaluasi oleh Kementerian Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan terhadap:
penyaluran Dana Desa;
laporan realisasi penyerapan dan capaian keluaran Dana Desa;
sisa Dana Desa di RKD; dan
laporan perpajakan Pemerintah Desa. (3) Pemantauan bersama-sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan minimal terhadap pengelolaan kegiatan dan capaian keluaran kegiatan yang ditentukan penggunaannya. Pasal 43 Pemantauan dan evaluasi terhadap penyaluran Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf a dilaksanakan untuk:
memastikan penyaluran telah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan jdih.kemenkeu.go.id b. mengetahui besaran dan kendala realisasi penyaluran Dana Desa yang dilaksanakan oleh masing-masing KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan. Pasal 44 (1) Pemantauan dan evaluasi terhadap laporan realisasi penyerapan dan capaian keluaran Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf b dilakukan untuk:
menghindari penundaan penyaluran Dana Desa tahun anggaran berjalan; dan
mengetahui besaran penyerapan dan capa1an keluaran Dana Desa. (2) Dalam hal bupati/wali kota terlambat dan/atau tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan dapat berkoordinasi dan meminta bupati/wali kota untuk melakukan percepatan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Dalam hal realisasi penyerapan dan capaian keluaran Dana Desa belum memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2), KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan dapat meminta konfirmasi dan klarifikasi kepada bupati/wali kota. Pasal 45 (1) Pemantauan sisa Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf c dilakukan untuk mengetahui:
besaran sisa Dana Desa di RKD yang belum selesai diperhitungkan pada penyaluran Dana Desa sampai dengan tahun anggaran sebelumnya; dan
besaran sisa Dana Desa tahun anggaran sebelumnya di RKD. (2) Besaran sisa Dana Desa di RKD yang belum selesai diperhitungkan pada penyaluran Dana Desa tahun anggaran sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diperhitungkan dalam penyaluran tahap II Dana Desa yang tidak ditentukan penggunaannya tahun anggaran berjalan. (3) Besaran sisa Dana Desa tahun anggaran sebelumnya di RKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dianggarkan kembali di tahun anggaran berjalan oleh kepala Desa dan dilakukan perekaman oleh bupati/wali kota pada Aplikasi OM-SPAN. (4) Dalam hal penganggaran kembali oleh kepala Desa dan perekaman oleh bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dilaksanakan, sisa Dana Desa tahun anggaran sebelumnya di RKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diperhitungkan pada penyaluran tahap II Dana Desa yang tidak ditentukan penggunaannya tahun anggaran berjalan. jdih.kemenkeu.go.id (5) Dalam hal Dana Desa tahap II tahun anggaran berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) tidak mencukupi, selisih sisa Dana Desa diperhitungkan pada penyaluran tahap II Dana Desa yang tidak ditentukan penggunaannya tahun anggaran berikutnya. (6) Sisa Dana Desa di RKD yang telah dianggarkan kembali di tahun berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), digunakan sesuai dengan fokus penggunaan Dana Desa sesuai dengan prioritas nasional yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan dan prioritas penggunaan Dana Desa yang diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Desa, pembangunan daerah tertinggal, dan transmigrasi yang berlaku. (7) Dalam hal berdasarkan pemantauan atas sisa Dana Desa di RKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf c ditemukan sisa Dana Desa di RKD lebih dari 100% ( seratus persen) dari Dana Desa yang diterima pada tahun anggaran berjalan, Kementerian Keuangan menyampaikan hasil pemantauan dimaksud kepada bupati/wali kota. (8) Berdasarkan hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), bupati/wali kota meminta inspektorat Daerah untuk melakukan pemeriksaan terhadap:
besaran sisa Dana yang dapat diserap pada tahun anggaran setelah tahun anggaran periode pemeriksaan, dalam hal sisa Dana tersedia secara fisik;
besaran sisa Dana yang tidak dapat diserap pada tahun anggaran setelah tahun anggaran periode pemeriksaan, dalam hal sisa Dana tersedia secara fisik; dan/atau
selisih sisa Dana antara yang dilaporkan dengan kondisi se benarnya secara fisik. (9) Berdasarkan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (8), Inspektorat Daerah menyampaikan hasil pemeriksaan kepada bupati/wali kota. (10) Dalam hal hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) terdapat besaran sisa Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf a, sisa Dana dimaksud diserap setinggi-tingginya 30% (tiga puluh persen). (11) Dalam hal hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) terdapat besaran sisa Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf b, bupati/wali kota menyampaikan surat permohonan kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan untuk menghentikan penyaluran Dana Desa pada tahun anggaran setelah tahun anggaran periode pemeriksaan. (12) Dalam hal hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) terdapat selisih sisa Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf c, bupati/wali kota menyampaikan surat permohonan kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan untuk memperhitungkan penyaluran Dana Desa pada tahun jdih.kemenkeu.go.id anggaran setelah tahun anggaran periode pemeriksaan sebesar rekomendasi dari inspektorat Daerah. (13) Mekanisme pemeriksaan dan penyampaian hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan ayat (9) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 46 Pemantauan dan evaluasi terhadap laporan perpajakan Pemerintah Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf d, dilakukan untuk mengetahui tingkat kepatuhan penyampaian data transaksi harian dan rekapitulasi transaksi harian. Pasal 47 (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (4) dikecualikan bagi Desa yang mengalami bencana alam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Bencana alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi pada tahun anggaran sebelumnya sampai dengan sebelum penyaluran tahap II tahun anggaran berjalan. (3) Bencana alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan hilang atau rusaknya sebagian atau seluruh:
Dana Desa;
dokumen pertanggungjawaban penggunaan Dana Desa; dan/atau
keluaran kegiatan yang didanai Dana Desa. (4) Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, merupakan Dana Desa dalam bentuk tunai yang telah ditarik dari RKD. (5) Bupati/wali kota melakukan verifikasi kebenaran atas kejadian bencana alam sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (6) Berdasarkan hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), bupati /wali kota menyampaikan surat permohonan pengecualian perhitungan sisa Dana Desa kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan yang minimal memuat:
nama dan kode Desa;
peristiwa bencana alam yang dialami;
waktu kejadian; dan
akibat bencana alam sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (7) Surat permohonan pengecualian perhitungan sisa Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilampiri surat pernyataan tanggung jawab mutlak yang ditandatangani oleh kepala Desa. (8) Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan meneliti kelengkapan dan kesesuaian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7). (9) Dalam hal dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (8) telah lengkap dan sesuai, Direktur Jenderal jdih.kemenkeu.go.id Perimbangan Keuangan menenma permintaan pengecualian perhitungan sisa Dana Desa dengan menerbitkan naskah dinas persetujuan pengecualian perhitungan sisa Dana Desa yang disampaikan kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan. (10) Dalam hal dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tidak lengkap dan tidak sesuai, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menolak permintaan pengecualian perhitungan sisa Dana Desa dengan menerbitkan surat penolakan. (11) Bupati/wali kota mengajukan surat permohonan pengecualian perhitungan sisa Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (7) paling lambat sebelum pengajuan penyaluran Dana Desa tahap II tahun anggaran berjalan. (12) Dalam hal Desa telah menerima penyaluran Dana Desa tahap II tahun anggaran berjalan, permohonan pengecualian perhitungan sisa Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (11) tidak dapat diajukan. Pasal 48 Dalam hal Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan telah menerima · permintaan pengecualian perhitungan sisa Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (9) dengan lengkap dan sesuai, Desa tersebut dikecualikan dari perhitungan penyaluran Dana Desa yang tidak ditentukan penggunaannya tahap II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (4). Pasal 49 (1) Selairt pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 42 ayat (2), Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan evaluasi terhadap:
kebijakan pengalokasian, penyaluran, dan/atau prioritas penggunaan Dana Desa; dan / a tau b. hal-hal lain yang diperlukan untuk membantu merumuskan kebijakan yang lebih baik kedepannya. (2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan menggunakan indikator meliputi:
kesesuaian alokasi Dana Desa dengan kebutuhan setiap Desa;
kecepatan penyaluran dan penyerapan Dana Desa;
kesesuaian penggunaan Dana Desa sesuai prioritas; dan/atau
indikator /kriteria lain yang relevan, baik dalam agregasi tingkat Desa, maupun tingkat kabupaten/kota. (3) Evaluasi atas indikator sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan dengan menggunakan data yang bersumber dari kementerian negara/lembaga dan/atau Pemerintah Daerah sesua1 dengan kewenangannya. jdih.kemenkeu.go.id Pasal 50 (1) Berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dan Pasal 49, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan menyusun laporan hasil pemantauan dan evaluasi. (2) Laporan hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat digunakan untuk rekomendasi perbaikan kebijakan Dana Desa ke depan. Pasal 51 (1) Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan dilaksanakan secara berjenjang oleh:
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan;dan b. Kepala KPPN selaku KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan. (2) Berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan melakukan koordinasi dengan gubernur/bupati/wali kota. (3) Berdasarkan hasil koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Kantor Wilayah Direktorat J enderal Perbendaharaan menyusun laporan hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Laporan hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada koordinator KPA BUN Penyaluran TKD paling lambat bulan Februari tahun anggaran berikutnya. (5) Koordinator KPA BUN Penyaluran TKD menyampaikan laporan hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat bulan Maret tahun anggaran berikutnya. (6) Penyusunan laporan hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Pasal 52 (1) Bupati/wali kota melakukan pemantauan dan evaluasi atas:
pagu Dana Desa yang ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud pada Pasal 21 ayat (4) huruf b;
penyaluran Dana Desa;
prioritas penggunaan Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39;
capaian keluaran Dana Desa; dan/atau
sisa Dana Desa di RKD. (2) Dalam pelaksanaan pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bupati/wali kota jdih.kemenkeu.go.id dapat meminta penjelasan kepada kepala Desa dan/atau melakukan pengecekan atas kewajaran data dalam laporan capaian keluaran yang akan direkam dalam Aplikasi OM-SPAN. (3) Dalam hal terdapat indikasi penyalahgunaan Dana Desa, bupati/wali kota dapat meminta inspektorat Daerah untuk melakukan pemeriksaan. BAB IX PENGHENTIAN DAN/ ATAU PENUNDAAN PENYALURAN DANA DESA Pasal 53 (1) Dalam hal terdapat permasalahan Desa, berupa:
kepala Desa dan/atau bendahara Desa melakukan penyalahgunaan keuangan Desa dan ditetapkan se bagai tersangka;
Desa mengalami permasalahan administrasi, ketidakjelasan status hukum, dan/atau status keberadaan Desa;
penyalahgunaan wewenang oleh bupati/wali kota terkait pelantikan dan/atau penghentian kepala Desa yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
terdapat indikasi penyalahgunaan keuangan Desa untuk mendanai kegiatan yang mengancam keamanan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia; atau
sisa Dana Desa hasil pemeriksaan inspektorat Daerah, Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dapat melakukan penghentian dan/atau penundaan penyaluran Dana Desa yang tidak ditentukan penggunaannya tahun anggaran berjalan dan/atau tahun anggaran berikutnya. (2) Bupati/wali kota melakukan pemantauan atas proses perkara hukum penyalahgunaan keuangan Desa yang melibatkan kepala Desa dan/atau bendahara Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Dalam hal berdasarkan pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepala Desa dan/atau bendahara Desa telah ditetapkan sebagai tersangka, bupati/wali kota menyampaikan surat permohonan penghentian penyaluran Dana Desa kepada Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. (4) Penghentian dan/atau penundaan penyaluran Dana Desa yang tidak ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan:
surat permohonan penghentian penyaluran Dana Desa dari bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3);
keputusan dan/atau surat rekomendasi dari kementerian yang menyelenggarakan urusan jdih.kemenkeu.go.id pemerintahan dalam negeri dan/atau bupati/wali kota atas permasalahan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b;
surat rekomendasi dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri atas permasalahan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, berdasarkan hasil klarifikasi gubernur sebagai wakil Pemerintah;
surat rekomendasi dari Panglima Tentara Nasional Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan/atau Kepala dari lembaga yang menangani urusan keamanan negara atas permasalahan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d; atau
surat permohonan dari bupati/wali kota atas permasalahan Desa se bagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e. (5) Penghentian dan/atau penundaan penyaluran Dana Desa yang tidak ditentukan penggunaannya berdasarkan surat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan mulai penyaluran tahap berikutnya setelah surat dimaksud diterima. (6) Dalam hal surat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterima setelah Dana Desa tahap II tahun anggaran berjalan disalurkan, penyaluran Dana Desa yang tidak ditentukan penggunaannya untuk tahun anggaran berikutnya dihentikan. (7) Penghentian dan/atau penundaan penyaluran Dana Desa yang tidak ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) dilakukan melalui naskah dinas Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan kepada Direktur J enderal Perbendaharaan. (8) Dalam hal proses penghentian dan/atau penundaan penyaluran Dana Desa yang tidak ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (7) telah dilaksanakan, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menyampaikan pemberitahuan kepada:
bupati/wali kota;
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri; dan/atau
Panglima Tentara Nasional Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan/atau Kepala dari lembaga yang menangani urusan keamanan negara. (9) Penghentian dan/atau penundaan penyaluran Dana Desa yang tidak ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (7), dapat disalurkan kembali ke RKD dalam hal:
terdapat pencabutan status hukum tersangka, pemulihan status hukum tersangka, dan/atau sudah ditetapkan pejabat pelaksana tugas kepala Desa dan/atau Bendahara Desa atas permasalahan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; jdih.kemenkeu.go.id b. terdapat penyelesaian permasalahan administrasi, ketidakjelasan status hukum, dan/ a tau status keberadaan Desa atas permasalahan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b;
telah dilantik kepala Desa hasil pemilihan oleh bupati/wali kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan atas permasalahan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c; atau
tidak terdapat lagi indikasi penyalahgunaan Keuangan Desa untuk mendanai kegiatan separatis yang mengancam keamanan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia atas permasalahan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d. (10) Penyaluran kembali Dana Desa ke RKD sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dilakukan dalam hal Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan telah menerima surat:
permohonan pencabutan penghentian penyaluran Dana Desa dari bupati/wali kota;
rekomendasi dari bupati/wali kota dan/atau menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri;
rekomendasi dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri berdasarkan hasil klarifikasi gubernur sebagai wakil Pemerintah; atau
rekomendasi dari Panglima Tentara Nasional Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan/atau Kepala dari lembaga yang menangani urusan keamanan negara. (11) Penghentian dan/atau penundaan penyaluran Dana Desa . yang tidak ditentukan penggunaannya se bagaimana dimaksud pada ayat (7), dapat disalurkan kembali ke RKD pada tahun anggaran berjalan dalam hal surat sebagaimana dimaksud pada ayat (10) diterima 7 (tujuh) hari kerja sebelum batas waktu penerimaan dokumen penyaluran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (7). (12) Desa yang dihentikan penyaluran Dana Desanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf e, berhak mendapatkan penyaluran Dana Desa pada dua tahun anggaran setelah periode pemeriksaan dalam hal sisa Dana Desa telah diserap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (10). (13) Penyaluran kembali Dana Desa ke RKD sebagaimana dimaksud pada ayat (12) dilakukan dalam hal Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan telah menerima surat permohonan pencabutan penghentian penyaluran Dana Desa dari bupati/wali kota paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sebelum batas waktu penerimaan dokumen penyaluran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (7). (14) Dalam hal surat sebagaimana dimaksud pada ayat (10) diterima setelah setelah batas waktu penerimaan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (11), Dana jdih.kemenkeu.go.id Desa se bagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak disalurkan dan menjadi sisa Dana Desa di RKUN. (15) Sisa Dana Desa di RKUN sebagaimana dimaksud pada ayat (12) tidak dapat disalurkan kembali ke RKD pada tahun anggaran berikutnya. Pasal 54 (1) Desa yang dihentikan dan/atau ditunda penyaluran Dana Desanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d, berhak mendapatkan penyaluran Dana Desa pada tahun anggaran berikutnya dalam hal surat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (10) telah diterima oleh Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan. (2) Berdasarkan surat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (10) dan ayat (13), Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menerbitkan naskah dinas pencabutan penghentian penyaluran Dana Desa yang tidak ditentukan penggunaannya dan menyampaikan kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan. (3) Dalam hal proses pencabutan penghentian penyaluran Dana Desa yang tidak ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah dilaksanakan, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menyampaikan pemberitahuan kepada:
bupati/wali kota;
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri; dan/atau
Panglima Tentara Nasional Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan/atau dan/atau Kepala dari lembaga yang menangani urusan keamanan negara. Pasal 55 (1) Dalam hal terdapat permasalahan Desa se bagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) pada Desa yang menerima Insentif Desa, Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan penghentian penyaluran insentif Desa. (2) Insentif Desa yang dihentikan penyalurannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi sisa Dana Desa di RKUN dan tidak disalurkan pada tahun anggaran berikutnya. Pasal 56 (1) Dalam hal terdapat setoran ke RKUN yang dilakukan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap atas penyalahgunaan Dana Desa, setoran dimaksud merupakan bagian yang diperhitungkan dan mengurangi pencatatan nilai kumulatif sisa Dana Desa di RKD. (2) Bupati/wali kota melakukan koordinasi dengan pengadilan dan/atau kejaksaan untuk mendapatkan jdih.kemenkeu.go.id bukti setoran atau salinan bukti setoran ke RKUN sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Bupati/wali kota menyampaikan bukti setoran atau salinan bukti setoran ke RKUN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan surat permohonan untuk diperhitungkan sebagai pengurang nilai kumulatif sisa Dana Desa di RKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan. (4) Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan verifikasi dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Dalam hal dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah sesuai, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menerima permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk diperhitungkan sebagai pengurang nilai kumulatif sisa Dana Desa di RKD dengan menerbitkan naskah dinas kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan. Pasal 57 (1) Dalam hal terdapat permasalahan Desa yang disebabkan penyalahgunaan wewenang oleh bupati/wali kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf c, Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dapat melakukan penundaan penyaluran dana alokasi umum yang tidak ditentukan penggunaannya. (2) Penundaan penyaluran dana alokasi umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan surat rekomendasi penundaan penyaluran dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri. (3) Penundaan penyaluran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada periode penyaluran dana alokasi umum berikutnya setelah surat rekomendasi se bagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima. (4) Besaran penundaan penyaluran dana alokasi umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sebesar 3% (tiga persen) dari jumlah penyaluran dana alokasi umum pada periode bersangkutan. (5) Penundaan dana alokasi umum sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan atas nama Menteri Keuangan. (6) Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), KPA BUN Penyaluran Dana Transfer Umum melaksanakan penundaan penyaluran dana alokasi umum. (7) Penyaluran kembali dana alokasi umum yang ditunda sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan setelah Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menerima surat rekomendasi penyaluran kembali dari jdih.kemenkeu.go.id menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri. (8) Dalam hal surat rekomendasi penyaluran kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (7) belum diterima sampai dengan tanggal 15 November tahun anggaran berjalan, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan penyaluran kembali dana alokasi umum yang ditunda. (9) Tata cara pelaksanaan penundaan dana alokasi umum sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan penyaluran kembali dana alokasi umum sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8) dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai pengelolaan dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana otonomi khusus. BABX KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 58 (1) Bupati/wali kota melakukan pengecekan data jumlah Desa di wilayahnya dengan membandingkan data jumlah Desa yang bersumber dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri dengan data jumlah Desa mutakhir yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota. (2) Bupati/wali kota menyampaikan hasil pengecekan data jumlah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat hari kerja terakhir bulan Juni pada tahun ·anggaran sebelum tahun anggaran berjalan. (3) Dalam hal data jumlah Desa hasil pengecekan bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih sedikit dibandingkan dengan data jumlah Desa yang bersumber dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dapat menggunakan data jumlah Desa hasil pengecekan bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam melakukan penghitungan rincian Dana Desa setiap Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal·8 setelah berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri. (4) Dalam hal data jumlah Desa hasil pengecekan bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih banyak dibandingkan dengan data jumlah Desa yang bersumber dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menggunakan data jumlah Desa yang bersumber dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri dalam melakukan penghitungan rincian Dana Desa setiap Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8. jdih.kemenkeu.go.id (5) Dalam hal terdapat perubahan nama dan/atau kode Desa sesuai dengan ketentuan yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dilakukan perubahan nama dan/atau kode Desa pada Aplikasi OM-SPAN. (6) Perubahan kode Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat dilakukan sepanjang belum terdapat realisasi penyaluran Dana Desa. Pasal 59 Bagi Desa yang tidak mendapatkan penyaluran Dana Desa di tahun anggaran sebelumnya dan/atau Desa yang mengalami bencana alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 7 dikecualikan dari ketentuan persyaratan penyaluran Dana Desa sebagai berikut:
persyaratan penyaluran Dana Desa yang diajukan oleh bupati/wali kota kepada KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan berupa laporan realisasi penyerapan dan capaian keluaran Dana Desa tahun anggaran sebelumnya, dan b. persyaratan penyaluran Dana Desa yang diajukan oleh kepala Desa kepada bupati/wali kota berupa laporan realisasi penyerapan dan capaian keluaran Dana Desa tahun anggaran sebelumnya. Pasal 60 (1) Dalam hal terdapat risiko rendahnya penyaluran Dana Desa akibat kejadian kahar, Menteri Keuangan dapat memberikan perpanjangan batas waktu penyaluran Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) serta batas waktu penerimaan dokumen persyaratan penyaluran se bagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (7). (2) Perpanjangan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan atau surat yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan atas nama Menteri Keuangan. (3) Kejadian kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi bencana alam, bencana non alam, bencana sosial, dan/atau kebakaran. (4) Kejadian bencana alam, bencana non alam, dan/atau bencana sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengacu pada peraturan perundangan-undangan mengenai bencana. (5) Kejadian kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didukung dengan pernyataan bupati/wali kota. Pasal 61 Penunjukan pejabat perbendaharaan negara, peran koordinator KPA Penyaluran TKD, pembagian wilayah kerja KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan, pengelolaan RKD, pengelolaan data supplier, penyusunan rencana penarikan kebutuhan dana, penyusunan proyeksi penyaluran, penyelesaian retur, jdih.kemenkeu.go.id penyusunan laporan keuangan, dan pemantauan dan evaluasi oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 62 Ketentuan mengenai:
format surat kuasa pemindahbukuan Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a angka 2;
format laporan realisasi penyerapan dan capaian keluaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf b;
format daftar RKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (10);
format surat pernyataan komitmen penganggaran Dana Desa dihitung pada tahun anggaran berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1);
format surat pengantar penyampaian dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud Pasal 26 ayat (1);
format surat pernyataan tanggung jawab mutlak permintaan pengecualian perhitungan sisa Dana Desa se bagaimana dimaksud dalam Pasal 4 7 ayat (7); dan
format surat permohonan pengurangan pencatatan beserta penjelasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3), tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 63 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 201/PMK.07 /2022 tentang Pengelolaan Dana Desa (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 1295) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 98/PMK.07 /2023 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 201/PMK.07 /2022 tentang Pengelolaan Dana Desa (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 759), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 64 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2024. jdih.kemenkeu.go.id
Penerapan terhadap Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
Relevan terhadap
Peraturan Pemerintah ini diundangkan. mulai berlaku pada tanegal Agar Agar setiap pengundangan penempatannya Indonesia. 34 orang mengetahuinya, memerintahkan Peraturan Pemerintah ini dengan dalam kmbaran Negara Republik Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Desember 2O22 JOKO WIDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 2 Desember 2022 MENTERI SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd. PRATIKNO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2022 NOMOR 217 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44TAHUN2022 TENTANG PENERAPAN TERHADAP PA.JAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUAI.,AN ATAS BARANG MEWAH I. UMUM Dalam rangka meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan dan mendukung percepatan pemulihan perekonomian; mengoptimalkan penerimaan negara guna membiayai pembangunan nasional secara mandiri menuju masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera; mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum; melaksanakan reformasi administrasi, kebijakan perpajakan yang konsolidatif, dan perluasan basis perpajakan; dan meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak, telah diundangkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Pengaturan yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 l.entang Harmonisasi Peraturan Perpajakan meliputi pengaturan tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan, pajak penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, program pengungkapan sukarela wajib pajak, pajak karbon, dan cukai. Dengan Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2O2l tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, terdapat pengaturan mengenai tarif, cara menghitung, penggunaan besaran tertentu dalam memungut dan menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai, serta penunjukan pihak lain untuk melakukan pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan pajak, yang perlu diatur lebih lanjut. Selain itu, pengaturan mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2O2l tentang Perlakuan Perpajakan untuk Mendukung Kemudahan Berusaha sudah tidak sesuai dengan kebutuhan administrasi Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah serta pengaturan dalam Undang-Undalg Nomor 7 Tahun 2021 terftang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Oleh karena itu, dalam rangka memberikan kepastian hukum, melakukan penyederhanaan administrasi, memberikan kemudahan dan keadilan di bidang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah kepada wajib pajak, dan melakukan simplifrkasi regulasi, perlu untuk menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penerapan terhadap Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Talrun 2OL2 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2OO9 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2O2l tentang Perlakuan Perpajakan untuk Mendukung Kemudahan Berusaha. il Peraturan Pemerintah ini memberikan pengaturan, penegasan, dan penjelasan lebih lanjut atas pengaturan mengenai kerja sama operasi, tanggung ^jawab secara renteng pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma, penyerahan yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai, penyerahan Barang Kena Pajak melalui penyelenggara lelang, penyerahan Barang Kena Pajak berupa agunan yang diambil alih oleh kreditur, penyerahan Barang Kena Pajak dalam skema transaksi pembiayaan syariah, ketentuan penghitungan Pajak Pertambahan Nilai dengan besaran tertentu, konversi kurs atas transaksi dengan mata uang selain Rupiah, pengkreditan Pajak Masukan yang tercantum dalam dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak, dan penunjukan pihak lain untuk memungut, menyetor, dan/atau melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terutang. PASAL DEMI PASAL Pasal I Cukup ^jelas. Pasa] 2 Ayat ^(1) Cukup ^jelas, Ayat (2) Pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak mempunyai akibat hukum yang luas antara lain berkaitan dengan pembuatan Faktur Pajak, penerapan tarif 0% (nol persen), pengkreditan Pajak Masukan, dan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Agar pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualaa atas Barang Mewah terlaksana secara efektif, sudah sewajarnya apabila Pengusaha yang sejak semula bermaksud melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak berwujud, ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud, dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak dapat melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Ayat (3) Cukup ^jelas. Pasal 3 Ayat (1) Bentuk pengaturan bersama merupakan pengaturan 2 (dua) pihak atau lebih yang memiliki pengendalian bersama yang terdiri atas kerja sama operasi (joint operation) dan ventura bersama. Ayat (2) Contoh bentuk kerja sama operasi ya.rg wajib untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak: PT ABC dan PI DEF membentuk kerja sama operasi dengan nama KSO A-D dalam rangka pelaksanaan proyek kepada pelanggan (pemilik proyek). Dalam perjanjian kerja dengan pelanggan diatur bahwa semua transaksi penyerahan Barang Kena Pajak danlalau Jasa Kena Pajak kepada pelanggan dilakukan atas nama KSO A-D, Berdasarkan hal di atas:
KSO A-D wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
KSO A-D wajib membuat Faktur Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pelanggan; dan
apabila dalam rangka kerja sama operasi tersebut, PT ABC atau PT DEF melakukan penyerahan langsung kepada pelanggan, maka penyerahan tersebut dianggap sebagai penyerahan dari PT ABC atau PT DEF kepada KSO A-D, sehingga PT ABC atau PT DEF harus membuat Faktur Pajak kepada KSO A-D dan KSO A-D membuat Faktur Pajak kepada pelanggan. Contoh bentuk kerja sama operasi yang tidak wajib untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak: PT X dan PI Y membentuk kerja sama operasi dengan nama KSO X-Y dalam rangka pelaksanaan proyek kepada pelanggan. Dalam perjanjian kerja dengan pelanggan diatur bahwa semua transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pelanggan dilakukan atas nama PT X. Berdasarkan hal tersebut, dalam rangka pelaksanaan proyek ini, KSO X-Y tidak wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak karena secara nyata tidak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pelanggan. Pasal 4 Cukup ^jelas. Pasal 5 Cukup ^jelas. Pasal 6 Ayat ^(1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Contoh pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak berupa pemberian barang untuk promosi oleh suatu perusahaan kepada relasi bisnis atau pihak lain. Sedangkan contoh pemberian cunra-cuma Jasa Kena Pajak berupa pemberian baatuan penggunaan alat berat oleh perusahaan jasa persewaan alat berat kepada masyarakat. Ayat (5) Cukup ^jelas. Pasal 7 Sesuai dengan penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf c Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yang menyatakan bahwa penyerahan ^jasa yang terutang pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut:
^jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak;
penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan
penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya, maka terutangnya Pajak Pertambahan Nilai tidak mensyaratkan apakah ^jasa harus dikonsumsi atau dimanfaatkan di dalam Daerah Pabean atau tidak. Contoh 1: A Corp. yang berdomisili di Jepang lagu kepada PT B di Indonesia untuk dibuatkan penulisan not balok atas lagu tersebut. Penulisan not balok yang telah selesai dikirim kembali ke Jepang. Atas ^jasa penulisan not balok yang dilakukan oleh PI B tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai. Contoh 2: Z Corp. yang berdomisili di Korea Selatan berencana memasarkan produknya di Indonesia. Oleh karena itu, Z Corp. menyewa PT DEF di Indonesia untuk melakukan survei pasar di Indonesia. Jasa survei yang dilakukan oleh PT DEF tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai. Pasal 8 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan "aktivitas operasional" merupakan aktivitas penghasil utama pendapatan Pengusaha Qtincipal reuenue producing actiuitiesl dan aktivitas lain yang bukan merupakan aktivitas investasi dan aktivitas pendanaan. Termasuk dalam kategori aktivitas operasional adalah transaksi dan peristiwa atau kejadian yang efeknya ikut dipertimbangkan dalam penentuan laba rugi operasional (operating incomel. Yang dimaksud dengan "aktivitas nonoperasional" merupakan aktivitas selain aktivitas operasional sebagaimana dimaksud di atas. Contoh: PT DEF merupakan perusahaan ^jasa konstruksi. Selain melakukan penyerahan jasa konstruksi, PT DEF ^juga menyewakan sebagian ruang kantornya untuk kafetaria kepada pihak lain. Atas penyerahan ^jasa konstruksi termasuk dalam pengertian aktivitas operasional, sedangkan penyerahan jasa persewa€rn ruangan untuk kafetaria termasuk dalam pengertian aktivitas nonoperasional. Pasal 9 Cukup ^jelas. Pasal 1O Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Contoh l: Sehubungan dengan tidak dapat diselesaikannya kewajiban Tuan A sebagai debitur kepada Bank B sebagai kreditur, Bank B melakukan eksekusi agunan berupa kavling tanah milik Tuan A berdasarkan hak tanggungan atas tanah tersebut. Bank B melakukan penjualan kavling tanah tersebut kepada Tuan C sebagai Pembeli melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan. Penjualan kavling tanah oleh Bank B kepada T\ran C termasuk penyerahan Barang Kena Pajak yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai. Contoh 2: PI D sebagai kreditur merupakan perusahaan pembiayaan yang melakukan eksekusi objek pembiayaan berupa sepeda motor dari Tuan E sebagai debitur berdasarkan ^jaminan Iidusia. PT D melakukan penjualan sepeda motor tersebut kepada Tuan F sebagai Pembeli melalui penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan harga antara PT D dan T\ran E sebelum agunan dijual. Penjualan sepeda motor oleh PT D kepada Tuan F termasuk penyerahan Barang Kena Pajak yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai. Ayat (3) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Cukup ^je1as. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan ^opembebanan sejenis lainnya" merupakan pembebanan yang memiliki fungsi yang sama atau serupa dengan hak tanggungan, ^jaminan lidusia, hipotek, atau gadai. Ayat (4) Cukup ^jelas. Pasal 11 Cukup ^jelas. REPUE|JK IHDONESIA Pasal 12 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "penyerahan Barang Kena Pajak dalam skema transaksi pembiayaan syariah" antara lain:
penyerahan Barang Kena Pajak dalam rangka penerbitan sukuk, termasuk penyerahan Barang Kena Pajak ke dan dari perusahaan penerbit sukuk (special ptrpose entity; dan
penyerahan Barang Kena Pajak dalam skema perdagangan komoditi berdasarkan prinsip syariah di bursa komoditi dengan mekanisme perdagangan dengan penjualan lanjutan di pasar komoditi syariah, yang terjadi dalam rangka memenuhi prinsip syariah. Barang Kena Pajak yang diserahkan dalam rangka penerbitan sukuk merupakan aset sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal syariah. Contoh penyerahan Barang Kena Pajak dalam rangka penerbitan sukuk: PT A sebagai emiten menerbitkan sukuk ijarah yang didasarkan pada objek ijarah berupa kendaraan sebagai underlging dan pada saat yang bersamaan investor menyerahkan sejumlah dana kepada PT A. Atas penerbitan sukuk tersebut, PT A mengalihkan kendaraan kepada investor dan investor menerima manfaat objek ijarah dari PT A. PT A melakukan pembayaral sewa berupa ctcilan fee ijarah secara periodik sesuai dengan waktu yang telah diperjanjikan beserta sisa pe ijarah pada saat jatuh tempo sukuk. Investor mengalihkan kendaraan kepada PT A pada saat jatuh tempo sukuk. Berdasarkan uraian tersebut di atas, penyerahan kendaraan yang merupakan objek ijarah dalam rangka penerbitan sukuk oleh:
PT A kepada investor pada saat penerbitan sukuk; dan
investor kepada PT A pada saat ^jatuh tempo sukuk, tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pqiak. Contoh perdagangan dengan penjualan lanjutan di pasar komoditi syariah: T\ran A sebagai nasabah Bank Syariah B mengajukan permohonan pinjaman sebesar RpI0O.OOO.OOO,OO (seratus juta rupiah) kepada Bank Syariah B yang merupakan peserta komersial di pasar komoditi syariah. Atas permohonan tersebut, dalam rangka memenuhi prinsip syariah, Bank Syariah B membeli Crude Palm OiI (CPO) dari anggota kelompok pedagang C yang terdiri atas pedagang 1, pedagang 2, darr pedagang 3 yang merupakan peserta pedagang komoditi di pasar komoditi syariah. Salah satu anggota kelompok pedagang C menyerahkan CPO kepada Bank Syariah B dan Bank Syariah B melakukan pembayaran sebesar Rp1O0.O0O.0O0,O0 (seratus ^juta rupiah) kepada anggota kelompok pedagang C. Kemudian, Bank Syariah B menjual CPO tersebut senilai Rpl10.00O.0O0,O0 (seratus sepuluh ^juta rupiah) kepada T\ran A dan Tuan A membayar secara angsuran selama 1 (satu) tahun sesuai kesepakatan dalam akad murabahah. Selanjutnya, T\ran A menjual CPO tersebut kepada anggota kelompok pedagang C seharga Rp1O0.OOO.00O,00 (seratus juta rupiah) sehingga CPO yang menjadi objek perdagangan komoditi berdasarkan prinsip syariah kembali kepada pihak yang sama yaitu anggota kelompok pedagang C. Berdasarkan uraian tersebut di atas, penyerahan CPO oleh:
aflggota kelompok pedagang C kepada Bank Syariah B;
Bank Syariah B kepada T: an A; dan
Tuan A kepada anggota kelompok pedagang C, tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak. Dalam Dalam hal pemilik asal CPO tidak mendapatkan kembali CPO dalam jumlah dan nilai yang sama maka transaksi tersebut termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak yang terutang Pajak Pertambahan Nilai. Pasal 13 Cukup ^jelas. Pasal 14 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Contoh: PT ABC merupakan produsen Barang Kena Pajak A yang tergolong mewah, Dalam menghasilkan Barang Kena Pajak A, PT ABC juga membeli Barang Kena Pajak B yang tergolong mewah yang akan dipasang pada Barang Kena Pajak A yang dihasilkannya. Atas perolehan Barang Kena Pajak B tersebut, PT ABC telah membayar Pajak Penjualan atas Barang Mewah sehsar Rp4SO.OO0,OO (empat ratus lima puluh ribu rupiah). Apabila harga produksi Barang Kena Pajak A sebesar RpI6O.0O0.O00,O0 (seratus enam puluh juta rupiah) dan keuntungan yang diinginkan PT ABC sebesar Rp4O.000.O00,OO (empat puluh juta rupiah) maka Harga Jual Barang Kena Pajak A tersebut sebesar Rp200,450.000,00 (dua ratus juta empat ratus lima puluh ribu rupiah). Pada tanggal I September 2022, PT ABC melakukan penyerahan Barang Kena Pajak A. Dengan demikian, pajak yang terutang atas penyerahan tersebut: Pajak Pertambahan Nilai (tarif yang berlaku sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai) = llo/oX Rp2OO.45O.O0O,O0 = Rp 22.O49.5OO,OO Pajak Penjualan atas Barang Mewah $anf 2O%l = 2Oo/oX Rp20O.450.00O,00 = Rp40.O90.000,O0 Ayat (3) Contoh 1: PT X yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah menjual Barang Kena Pajak tersebut kepada PT A dengaa Harga Jual sebesar Rp1OA.0O0.O0O,OO (seratus ^juta rupiah) pada tanggal 1 September 2022. Atas penjualan tersebut dikenai Pajak Pertambahan Nilai sesuai tarif yang berlaku dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebesar 207o (dua puluh persen). Dasar pengenaan pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut adalah sebesar Rp10O.0OO.000,00 (seratus juta rupiah), tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut. Dengan demikian, ^jumlah yang dibayar oleh PI A yaitu sebagai berikut: Dasar pengenaan pajak (Harga Jual) = Rp100.000.000,00 Pajak Pertambahan Nilai = Rp 11.000.000,00 Pajak Penjualan atas Barang Mewah = Rp 20.0O0.000.00 ^+ Jumlah yang dibayar oleh PI A = Rp131.000.00O,00 Contoh 2: PT C mengimpor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah dengan nilai impor sebesar Rp2O0.000.00O,00 (dua ratus ^juta rupiah) pada tanggal I September 2022. Atas impor tersebut dikenai Pajak Pertambahan Nilai sesuai tarif yang berlaku dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebesar 30% (tiga puluh persen). Dasar pengenaan pajak atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut adalah sebesar Rp2OO.O0O.0O0,O0 (dua ratus juta rupiah), tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dikenakan atas impor Barang Kena Pajak tersebut. Dengan demikian, ^jumlah yang dibayar oleh PT C yaitu sebagai berikut: Dasar pengenaan pajak (nilai impor) = Rp2OO.OOO.OOO,O0 Pajak Pert^ambahan Nilai = Rp 22.0OO.OO0,OO Pajak Penjualan atas Barang Mewah = Rp 6O.O0O.OOO.0O ^+ Jumlah yang dibayar oleh PT C = Rp282.OO0.OOO,0O REFUBLjK INDONESIA Ayat (4) Contoh 1 sebagaimana dimaksud pada penjelasan ayat (3), PT A menjual Barang Kena Pajak tersebut kepada PI B dengan keuntungan yang diharapkan sebesar Rp 15.000.000,00 (lima belas ^juta rupiah) pada tanggal 30 September 2O22. Dasar pengenaan pajak atas penjualan tersebut termasuk Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak tersebut. Dengan demikian, ^jumlah yang dibayar oleh PT B yaitu sebagai berikut: Harga beli PT A = Rp100,000.0O0,00 Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dibayar = Rp 20.000.000,00 Keuntungan yang diharapkan = Ro 15.000.000.00 ^+ Dasar pengenaan pajak = Rp135.000.000,00 Pajak Pertambahan Nilai 1l% x Rp135.000.000,00 Jumlah yang dibayar oleh PI B = Rp149.850.000,00 Contoh 2 sebagaimana dimaksud pada penjelasan ayat (3), PT C menjual Barang Kena Pajak tersebut kepada PT D dengan keuntungan yang diharapkan sebesar Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) pada tanggal 30 September 2O22. Dasar pengenaan pajak atas penjualan tersebut termasuk Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dibayar atas impor Barang Kena Pajak tersebut. Dengan demikian, jumlah yang dibayar oleh PT D yaitu sebagai berikut: Nilai impor PI C = Rp2O0.OOO.OOO,O0 Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dibayar = Rp 60.000.000,00 Keuntungan yang diharapkan = Rp 40.000.0O0.00 ^+ Dasar pengenaan pajak = Rp3O0.00O.OO0,O0 Pajak Pertambahan Nilai 11olo x Rp3OO.OO0.0OO,00 - Rp 33.0O0.000.00 ^+ Jumlah yang dibayar oleh PI D = Rp333.000.000,00 + REI'UEUK INDONESIA Pasal 15 Ayat (1) Dalam rangka memberikan kemudahan dan penyederhanaan administrasi perpajakan serta rasa keadilan, Menteri dapat menentukan besarnya Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut dan disetor oleh:
Pengu.saha Kena Pajak yang peredaran usahanya dalam 1 (satu) tahun buku tidak melebihi jumlah tertentu;
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu antara lain yang:
mengalami kesulitan dalam Pajak Masukan;
melakukan transaksi melalui pihak ketiga, baik penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak maupun pembayarannya; atau
memiliki kompleksitas proses bisnis sehingga pengenaan Pajak Pertambahan Nilai tidak dilakukan dengan mekanisme normal; dan/atau
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak tertentu dan/atau Jasa Kena Pajak tertentu. Yang dimaksud dengan "Barang Kena Pajak tertentu dan/atau Jasa Kena Pajak tertentu" merupakan:
Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai dalam rangka perluasan basis pajak; dan
Barang Kena Pajak yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan tersebut pada prinsipnya telah diperhitungkan atau dianggap telah dikreditkan dalam penghitungan Pajak Keluaran dengan menggunakan besaran tertentu. Bagi ELIK INDONESIA Bagi Pengusaha Kena Pajak Pembeli atau Penerima Jasa yang seharusnya sudah membayar Pajak Pertambahan Nilai dengan besaran tertentu, dapat mengkreditkan Pajak Masukan sesuai dengan ketentuan pengkreditan Pajak Masukan. Ayat (a) Contoh l: Pf KLM merupakan Pengusaha Kena Pajak yang menggunakan besaran tertentu dalam memungut dan menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak tertentu. Dalam hal F,f KLM melakukan penyerahan Barang Kena Pajak tertentu kepada Pengusaha yang berada di kawasan tertentu sehingga Pajak Pertambahan Nilai terutang tidak dipungut maka:
Pajak Pertambahan Nilai terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak tertentu dihitung dengan menggunakan besaran tertentu;
Pajak Pertambahan Nilai terutang sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak dipungut; dan
Pajak Masukan yang diperoleh PT KLM atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang berhubungan dengan penyerahan Barang Kena Pajak tertentu yang Pajak Pertambahan Nilai terutangnya tidak dipungut, tidak dapat dikreditkan. Contoh 2: Pt CDE merupakan Pengusaha Kena Pajak yang mempunyai peredaran usaha dalam I (satu) tahun buku tidak melebihi jumlah tertentu dan menggunakan besaran tertentu dalam memungut dan menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai terutang. PT CDE melakukan penyerahan Barang Kena Pajak yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Atas penyerahan tersebut:
Pajak Pertambahan Nilai terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dihitung dengan menggunakan besaran tertentu; REPUBUK TNDONESIA atas penyerahan Barang Kena Pajak dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai; dan Pajak Masukan yang diperoleh PT CDE atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang berhubungan dengan penyerahan Barang Kena Pajak yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan. Pasal 16 Untuk memberikan keadilan, kepastian hukum, dan menghindari pembebanan Pajak Pertambahan Nilai berganda bagi Pengusaha Kena Pajak yang memungut Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan besaran tertentu, diperlukan pengaturan penggunaan dasar pengenaan pajak berupa nilai tertentu sebesar Rp0,O0 (nol rupiah). Pada prinsipnya, pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak juga menganut prinsip penghindaran pembebanan Pajak Pertambahan Nilai berganda. Oleh karena itu, penggunaan dasar pengenaan pajak berupa nilai tertentu sebesar Rp0,0O (nol rupiah) tersebut pada dasarnya ^juga diterapkan atas pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma- cuma Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak bagi Pengusaha Kena Pajak yang memungut Pqiak Pertambahan Nilai atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan besaran tertentu. Contoh: b c Yl KZL mempunyai 1 (satu) cabang yang terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Meulaboh, tetapi tidak melakukan pemusatan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terutang. W Y\ZL melakukan penyerahan kendaraan bermotor bekas dan aksesoris kendaraan bermotor kepada cabangnya yang terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Meulaboh. Harga pokok penjualan atau harga perolehan kendaraan bermotor bekas yang diserahkan sebesar Rp10O.0OO.O00,0O (seratus juta rupiah) dan harga pokok penjualan atau harga perolehan aksesori kendaraan bermotor yang diserahkan sebesar Rp1.5OO.O00,OO (satu juta lima ratus ribu rupiah). Oleh karena itu, atas penyerahan berupa:
kendaraan bermotor bekas, Pf KZL memungut Pajak Pertambahan Nilai menggunakan besaran tertentu dengan dasar pengenaan pajak berupa nilai tertentu sebesar Rp0,00 (nol rupiah); dan
aksesori kendaraan bermotor, W KZL memungut Pajak Pertambahan Nilai sebesar tarif Pajak Pertambahan Nilai yang berlaku dikalikan dengan dasar pengenaan pajak berupa nilai Iain sebesar harga pokok penjualan atau harga perolehan sebesar Rp1.50O.000,OO (satu juta lima ratus ribu rupiah). Pasal 17 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "'I- merupakan besamya tarif Pajak Pertambahan Nilai yang berlaku sesuai dengan Pasal 7 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai atau formula tertentu dikalikan dengan tarif Pajak Pertambahan Nilai yang berlaku sesuai dengan Pasal 7 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Ayat (21 Yang dimaksud dengan "t" merupakan besarnya tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah. REPTIELIK INDONESIA Ayat (3) Berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui: Harga Jual = Rp10.0OO.OO0,OO Dasar pengenaan pajak dalam contoh ini adalah = Rp10.OOO.0O0,OO Ayat (a) Contoh sebagaimana dimaksud pada penjelasan ayat (3) maka Pajak Pertambahan Nilai yang tenrtang yaitu sebesar 117o x Rp1O.0O0.O00,00 = Rp1. 1O0.00O,0O. Atas penyerahan tersebut ^juga terutang Pajak Penjualan atas Barang Mewah misalnya dengan tarif 2OYo (dua puluh persen) maka Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang yaitu sebesar 2O% x Rp10.000.000,00 = Rp2.000.000,00. Ayat (s) Cukup ^jelas. Pasa] 18 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Contoh: Pada tanggal I September 2022, PT A membuat kontrak penyerahan Barang Kena Pajak. Apabila dalam kontrak atau perjanjian tertulis dinyatakan bahwa nilai kontrak sebesar Rp131.000.0O0,O0 (seratus tiga puluh satu ^juta rupiah) sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif sebesar 11% (sebelas persen) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 2Oo/o (dua puluh persen), penghitungan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yaitu sebagai berikut: Pajak Pertambahan Nilai = 110/o : - --+ x Rp131.000.000,00 = Rp11.000.000,00 llooo/o+ ^1 ^lYo|+2oo/o Pajak Penjualan atas Barang Mewah = 2Oo/o x Rp131.0OO.00O,00 = Rp20.000.0O0,00 ll00o/o+ ^l ^lYol+2oo/o REPUBIJK INDONESIA Ayat (3) Sebagaimana contoh dalam penjelasan ayat (2), apabila dalam kontrak atau perjanjian tertulis tidak dinyatakan bahwa Pajak Pertambahan Nilai dan P4lak Penjualan atas Barang Mewah termasuk dalam nilai kontrak, besarnya dasar pengenaan pajak untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai adalah sebesar Rp 131.000.OO0,0O (seratus tiga puluh satu ^juta rupiah) sehingga penghitungan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yaitu sebagai berikut: Dasar pengenaan pajak = Rp131.0O0.O0O,00 Pajak Pertambahan Nilai (llo/o x Rp131.000.000,00) = Rp 14.410.000,00 Pajak Penjualan atas Barang Mewah (2Oo/o x Rp131.000.000,00) = Rp 26.20O.000'0O Pasal 19 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "piutang" merupakan piutang yang timbul karena penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak. Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak. Contoh: Pada bulan September 2022, Yl A telah menjual Barang Kena Pajak dengan nilai Rp10O.000.O00,00 (seratus ^juta rupiah) kepada PT B dengan mekanisme penjualan kredit. Transaksi tersebut oleh PI A dicatat sebagai piutang sedangkan oleh PT B dicatat sebagai utang. Untuk kepentingan ^pemenuhan kewajiban Pajak Pertambahan Nilai, PI A membuat Faktur Pajak dengan nilai Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp11.00O.00O,00 (sebelas ^juta rupiah) dan menyerahkan Faktur Pajak tersebut kepada PI B. Selanjutnya Faktur Pajak yang telah dibuat oleh PT A tersebut telah dilaporkan baik oleh PI A dan PT B dalam surat pemberitahuan masa Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak September 2022. Pada FRES: DEN REFUEUK INDONESIA Pada bulan Desember 2022, Yl A mengeluarkan kebijakan untuk menghapus semua piutang dari PT B. Penghapusan piutang tersebut tidak berpengaruh terhadap pelaporan Pajak Pertambahan Nilai yang telah dilakukan baik oleh PT A maupun FT B dalam surat pemberitahuan masa Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak September 2022. Ayat (2) Yang dimaksud dengan ^ukeadaan kahar" atau force majeure merupakan suatu kejadian yang terjadi di luar kemampuan manusia dan tidak dapat dihindarkan sehingga suatu kegiatan tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya yang meliputi bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial. Keadaan kahar atau force majeure tersebut harus dinyatakan oleh pejabat/instansi yang berwenang. Pasal 20 Ayat {1) Cukup ^jelas. Ayat (21 Hurufa Cukup ^jelas. Huruf b Contoh 1: PT A melakukan penyerahan barang yang tidak dikenai pajak kepada PT B dengan nilai sebesar Rp1.000.00O.000,00 (satu miliar rupiah). Atas transaksi yang seharusnya tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai tersebut, PT A telah memungut dari PI B dan telah menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai yang dipungutnya dengan nilai sebesar Rp110.000.000,0O (seratus sepuluh juta rupiah) ke kas negara. Atas kesalahan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai tersebut dapat diajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak oleh PT B sebagai pihak yang terpungut sepanjang belum dikreditkan sebagai Pajak Masukan, belum dibebankan sebagai biaya, dan belum dikapitalisasi dalam harga perolehan. Contoh 2: Contoh 2: PI A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dengan nilai sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh ^juta rupiah) kepada instansi pemerintah B yang merupakan pemungut pajak. Atas transaksi tersebut instansi pemerintah B sebagai pemungut pajak telah memungut dan menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp2.5OO.0OO,OO (dua juta lima ratus ribu rupiah) ke kas negara. Berdasarkan ha1 tersebut, diketahui terdapat Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut lebih besar dari seharusnya dengan perhitungan sebagai berikut: Pajak Pertambahan Nilai yang telah di t dan disetor ke kas negara = Rp2.500.000,00 ak bahan Nilai yang dipungut dan disetor negara Atas kesalahan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai tersebut dapat diajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak oleh instansi pemerintah B sebagai pihak yang terpungut sepanjang belum dikreditkan sebagai Pajak Masukan, belum dibebankan sebagai biaya, dan belum dikapitalisasi dalam harga perolehan. Huruf c Contoh 1: PT A melakukan penyerahan ^jasa yang tidak dikenai pajak kepada PI B dengan nilai sebesar Rp1.000.000.00O,00 (satu mitar rupiah). Atas transalsi yang seharusnya tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai tersebut, PT A telah memungut dari PT B dan telah menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai yang dipungutnya dengan nilai sebesar Rpl10.000.000,00 (seratus sepuluh juta rupiah) ke kas negara. Atas kesalahan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai tersebut dapat diajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak oleh Pt B sebagai pihakyang terpungut sepanjang belum dikreditkan sebagai Pajak Masukan, belum dibebankan sebagai biaya, dan belum dikapitalisasi dalam harga perolehan. Contoh2: ke kas Selisih = Rp2.200.000.00 - = Rp 3O0.O00,00 Contoh 2: PT A melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak dengan nilai sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh ^juta rupiah) kepada instansi pemerintah B yang merupakan pemungut pajak. Atas transaksi tersebut instansi pemerintah B sebagai pemungut pajak telah memungut dan menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp2.5OO.000,00 (dua ^juta lima ratus ribu rupiah) ke kas negara. Berdasarkan hal tersebut, diketahui terdapat Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut lebih besar dari seharusnya dengan perhitungan sebagai berikut: Pajak Pertambahan Nilai yang telah dipungut dan disetor ke kas negara = Rp2.5O0.O0O,00 Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya dipungut dan disetor ke kas negara Selisih = Rp 300.00O,OO Atas kesalahan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai tersebut dapat diajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak oleh instansi pemerintah B sebagai pihak yang terpungut sepanjang belum dikreditkan sebagai Pajak Masukan, belum dibebankan sebagai biaya, dan belum dikapitalisasi dalam harga perolehan. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Cukup ^jelas. Pasal 21 Contoh 1: Atas transaksi tersebut PT A telah menerbitkan faktur penjualan (inuoicel namun belum membuat Faktur Pajak. Faktur Pajak baru dibuat oleh PI A pada tanggal 20 September 2022. Kurs yang digunalan oleh PT A atas Faktur Pajak yang diterbitkan pada tanggal 20 September 2022 harus menggunakan kurs yang ditetapkan Menteri yang berlaku pada saat Faktur Pajak seharusnya dibuat, yaitu kurs sebesar Rp14.500,00 (empat belas ribu lima ratus rupiah) untuk setiap US$1,0O (satu dolar Amerika Serikat) yang berlaku pada tanggal 1 September 2022. Contoh 2: PT A yang merupakan Pengusaha Kena Pajak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada PT B dengan nilai sebesar US$10.000,00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat). Penyerahan tersebut dilakukan pada tanggal 1 September 2O22 dengan kurs yang ditetapkan Menteri yang berlaku saat itu sebesar Rp14.500.00 (empat belas ribu lima ratus rupiah) untuk setiap US$1,00 (satu dolar Amerika Serikat). Pada tanggal 20 September 2022 diketahui bahwa Faktur P4jak yang dibuat atas transaksi tersebut memuat kekeliruan dalam pencantuman jenis Barang Kena Pajak. Atas kesalahan tersebut, PT A melakukan pembetulan Faktur Pajak dengan cara membuat Faktur Pajak pengganti pada tanggal 2O September 2022 dengan tetap mencantumkan kurs yang ditetapkan Menteri yang berlaku pada saat Faktur Pajak yang diganti seharusnya dibuat, yaitu kurs sebesar Rp14.5OO,00 (empat belas ribu lima ratus rupiah) untuk setiap US$1,00 (satu dolar Amerika Serikat) yang berlaku pada tanggal 1 September 2022. Pasal 22 Ayat (l) Yang dimaksud dengan ^otempat pengkreditan Pajak Masukan' merupakan di tempat Pengusaha diadministrasikan oleh kantor Direktorat Jenderal Pajak sebagai Pengusaha Kena Pajak. Contoh: E: I-tlI,T{Il REI'UBUK INOONESIA Contoh: PT A yang berkedudukan di Kabupaten Gresik dan telah diadministrasikan sebagai Pengusaha Kena Pajak pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Gresik, melakukan impor Barang Kena Pajak melalui pelabuhan Tanjung Perak di Kota Surabaya. Atas impor Barang Kena Pajak tersebut, PT A mengkreditkan Pajak Masukan di Kabupaten Gresik dan tidak perlu dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak di Kota Surabaya. Ayat (2) Contoh: Pengusaha Kena Pajak A yang kantor pusatnya di Kota Jakarta Pusat dan telah terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Gambir Satu memiliki pabrik yang terletak di Kota Surakarta dan terdaJtar sebagai Pengusaha Kena Pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta. Pemberitahuan impor barang dalam rangka impor Barang Kena Pajak menggunakan nomor pokok wajib pajak kantor pusat di Kota Jakarta Pusat. Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Pengusaha Kena Pajak di Kota Surakarta dapat mengkreditkan Pajak Masukan yang tercantum dalam pemberitahuan impor barang tersebut. Direktur Jenderal Pajak karena jabatan dapat menetapkan tempat lain selain tempat dilakukannya impor Barang Kena Pajak, sebagai tempat pengkreditan Pajak Masukan. Ketentuan ini diperlukan untuk memberikan kemudahan bagi Pengusaha Kena Pajak yang terdaftar di kantor pelayanan pajak tertentu yang pemenuhan kewajiban Pajak Pertambahan Nilainya ditetapkan secara terpusat. Ayat (3) Cukup ^jelas. Pasal 23 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Huruf a Saat penyerahan barang bergerak merupakan dasar penentuan saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan sekaligus sebagai dasar pembuatan Faktur Pajak. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menyinkronkan saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan pralrtik yang lazim terjadi dalam kegiatan usaha yang tercermin dalam praktik pencatatan atau pembukuan berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum serta diterapkan secara konsisten oleh Pengusaha Kena Pajak. Dalam praktik kegiatan usaha dan berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum maka: a penyerahan barang bergerak dapat terjadi pada saat barang tersebut dikeluarkan dari penguasaan Pengusaha Kena Pajak (penjual) dengan maksud langsung atau tidak langsung untuk diserahkan pada pihak lain. Oleh karena itu, Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terutang pada saat hak penguasaan barang telah berpindah kepada Pembeli atau pihak ketiga untuk dan atas nama Pembeli; dan
perpindahan hak penguasaan atas barang dapat ^juga te{adi pada saat barang diserahkan kepada pihak kedua atau Pembeli atau pada saat barang diserahkan melalui juru kirim, pengusaha ^jasa angkutan, atau pihak ketiga lainnya. Oleh karena itu, Pajak Pertambahaa Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai darr Pajak Penjualan atas Barang Mewah terutang pada saat barang diserahkan kepada juru kirim, pengusaha ^jasa angkutan, atau pihak ketiga lainnya. Saat penyerahan barang sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, tercermin dalam prinsip akuntansi yang berlaku umum dalam bentuk pengakuan sebagai piutang atau penghasilan dengan penerbitan faktur penjualan (inuoiel sebagai sumber dokumennya. Dalam kegiatan usaha, saat pengakuan piutang atau penghasilan atau saat penerbitan faktur penjualan (inuoiel dapat terjadi tidak bersamaan dengan saat penyerahan barang secara Iisik sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b. Oleh karena itu, dalam rangka memberikan kemudahan administrasi terkait dengan saat pembuatan Falrtur Pajak, saat penerbitan faktur penjualan {inuoiel ditetapkan sebagai saat penyerahan barang yang menjadi dasar saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Yang dimaksud dengan "faktur penjualan" antara lain dokumen lain yang berfungsi atau kedudukannya sama dengan faktur penjualan linuoiel, Huruf b Penyerahan Barang Kena Pajak untuk Barang Kena Pajak tidak bergerak terjadi pada saat surat atau akta perjanjian yang mengakibatkan perpindahan hak atas barang tersebut ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan. Saat tersebut menjadi dasar penentuan saat tenrtang Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Namun demikian, dalam hal penyerahan hak atas barang tidak bergerak tersebut secara nyata telah terjadi meskipun surat atau akta perjanjian yang mengakibatkan perpindahan hak belum ditandatangani, penyerahan Barang Kena Pajak dianggap telah terjadi. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan 'persediaan" merupakan persediaan bahan baku, persediaan bahan pembantu, persediaan barang dalam proses, persediaan barang setengah ^jadi , danf atau persediaan barang ^jadi. Huruf e Yang dimaksud dengan "penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha" merupakan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan pemisahan sebagaimana diatur dalam undang- undang mengenai perseroan terbatas. Yang dimaksud dengan "pemekaran dan pemecahan usaha" merupakan pemisahan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai perseroan terbatas. Yang dimaksud dengan "perubahan bentuk usaha" merupakan berubahnya bentuk usaha yang digunakan oleh Pengusaha Kena Pajak, misalnya semula bentuk usaha Pengusaha Kena Pajak merupakan ^qmmanditaire uentwotschap kemudian berubah menjadi perseroan terbatas. Ayat (4) Cukup ^jelas. Ayat (5) Penyerahan Jasa Kena Pajak tefadi pada saat mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik sebagian atau seluruhnya. Saat penyerahan Jasa Kena Pajak ini merupakan dasar penentuan saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai dan sekaligus sebagai dasar pembuatan Faktur Pajak. Namun demikian, dalam praktik kegiatan usaha dan berdasarkal prinsip akuntansi yang berlaku umum, saat pengakuan piutang atau penghasilan, atau saat penerbitan faktur penjualan (inuoiel dapat terjadi tidak bersamaan dengan saat mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik sebagian atau seluruhnya. Dalam rangka memberikan kemudahan administrasi terkait dengan saat pembuatan Faktur Pajak, saat penerbitan faktur penjualai (inuoice) dapat ditetapkan sebagai saat penyerahan jasa yang menjadi dasar saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menyinkronkan saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai dengan praktik yang lazim terjadi dalam kegiatan usaha yang tercermin dalam praktik pencatatan atau pembukuan berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum serta diterapkan secara konsisten oleh Pengusaha Kena Pajak. Ayat (6) Cukup ^jelas. Ayat (7) Cukup ^jelas. Ayat (8) Cukup ^jelas. Ayat (9) Cukup ^jelas. Ayat (1o) Cukup ^jelas. Pasal 24 Ayat (1) Penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang bergerak yang dilakukan secara konsinyasi, yaitu penyerahan Barang Kena Pajak yang dilakukan dengan cara:
consignor menitipkan Barang Kena Pajak kepada consignee; dan
consignee menyerahkan Barang Kena Pajak yang dititipkan sebagaimana dimaksud dalam huruf a kepada Pembeli dimaksud. Berdasarkan ketentuan ini, penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi oleh consignor tidak terjadi pada saat Barang Kena Pajak tersebut diserahkan secara langsung untuk dititipkan kepada @ns@rae, tetapi terjadi pada saat con signor mengakui sebagai piutang atau penghasilan, atau pada saat diterbitkan faktur penjuaTan linuoie) oleh Pengusaha Kena Pajak onsigrar, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan diterapkan secara konsisten. Ayat (2) Cukup ^jelas. Pasal 25 Cukup ^jelas. Pasal 26 Ayat (1) Penentuan saat pembuatan Faktur Pajak dilakukan untuk menyelaraskan pengakuan penghasilan di dalam menghitung peredaran usaha yang digunakan untuk menghitung pajak penghasilan dengan peredaran usaha yang digunakan untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai. Dengan demikian, saat pembuatan Faktur Pajak ditentukan sesuai dengan prinsip bisnis yang sehat dan harus memenuhi prinsip akuntansi ^yang berlaku umum serta diterapkan secara konsisten. Untuk kepastian hukum dan untuk memberikan kemudahan administrasi kepada Pengusaha Kena Pajak dalam memenuhi kewajiban Pajak Pertambahan Nilai, perlu penjelasan atau penegasan dalam bentuk ilustrasi kapan saat pembuatan Faktur Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan ekspor Barang Kena Pajak. Contoh saat pembuatan Faktur Pajak:
Penyerahan Barang Kena Pajak bergerak. Contoh l: PT Aman menyerahkan Barang Kena Pajak secara langsung kepada T.ran Igna pada tanggal 15 September 2022. Atas transaksi penyerahan Barang Kena Pajak tersebut, PI Aman membuat Faktur Pajak pada tanggal 15 September 2022, yaitu pada saat diserahkan secara langsung kepada Pembeli atau pihak ketiga untuk dan atas nama Pembeli. Contoh 2: PI Berkah yang berkedudukan di Jakarta menjual Barang Kena Pajak kepada PT Ceria di Surabaya dengan syarat pengiriman (term of deliueryl loco gudang penjual $ree on board shipping pointl. Barang Kena Pajak dikeluarkan dari gudang PT Berkah dan dikirim ke gudang Pf Ceria pada tanggal 12 September 2022 dengan menggunakan perugahaan ekspedisi dengan tanggal deliuery order (DOl 12 September 2022. Barang diterima oleh PT Ceria pada tanggal 14 September 2022, Atas transaksi penyerahan Barang Kena Pajak tersebut, PT Berkah membuat Faktur Pajak pada tanggal 12 September 2022, yaitu pada saat diserahkan kepada ^juru kirim atau pengusaha ^jasa angkutan. Tanggal tersebut merupakan saat pembuatan Faktur Pajak karena transaksi menggunakan syarat pengiriman (term of deliueryl looo gudang penjual (free on board shipping pointl. DaIam 2 Dalam hal pada contoh 1 dan contoh 2 di atas, faktur penjualan (inuoicel diterbitkan tidak pada tanggal penyerahan secara langsung atau pada saat diserahkan kepada ^juru kirim atau pengusaha ^jasa angkutan karena kondisi tertentu, maka Faktur Pajak wajib dibuat pada saat penerbitan faktur penjualan (inuoicel. Penerbitan faktur penjualan (inuoiel tersebut harus dilakukan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan diterapkan secara konsisten. Contoh 3: PT Cantik di Jakarta menjual Barang Kena Pajak kepada PT Sentosa di Semarang dengan syarat pengiriman (term of deliueryl franm gtdang Pembeli (free on board destinationl, Barang dikeluarkan dari gudang PT Cantik dan dikirim ke gudang PT Sentosa pada tanggal 1.2 September 2022 dengan menggunakan perusahaan ekspedisi. Barang diterima oleh PT Sentosa pada tanggal 13 September 2O22. PT Cantik menerbitkan faktur penjualan (inuoiel pada tanggal 16 September 2O22. Atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut, FT Cantik wajib membuat Faktur Pajak pada tanggal 13 September 2022 yaitu pada saat diterima oleh Pembeli atau paling lambat tanggal 16 September 2O22 yaitu pada saat diterbitkan faktur penjualan oleh Pengusaha Kena Pajak penjual. Penyerahan Barang Kena Pajak tidak bergerak. Contoh 1: Pedanjian ^jual beli sebuah rumah ditandatangani tanggal 1 September 2022. Perjanjian penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai rumah tersebut dibuat atau ditandatangani tanggal 1 Desember 2022. Faktur Pajak harus dibuat pada tanggal 1 Desember 2022. Jlka sebelum surat atau akta tersebut dibuat atau ditandatangani, barang tidak bergerak telah diserahkan atau berada dalam penguasaan Pembeli atau penerimanya, maka Faktur Pajak harus dibuat pada saat barang tersebut secara nyata diserahkan atau berada dalam penguasaan Pembeli atau penerima barang. Contoh2: 3 Contoh 2: Rumah siap pakai dijual dan diserahkan secara nyata tanggal 1 September 2022. Faktur Pajak hanrs dibuat pada tanggal 1 September 2022. Jika sebelum surat atau akta tersebut dibuat atau ditandatangani, barang tidak bergerak telah diserahkan atau berada dalam penguasaan Pembeli atau penerimanya, maka Faktur Pajak harus dibuat pada saat barang tersebut secara nyata diserahkan atau berada dalam penguasaan Pembeli atau ^penerima barang. Contoh 3: Rumah siap pakai dijual dan diserahkan secara nyata tanggal 1 September 2O22. Perjanjian jual beli ditandatangani tanggal 1 Oktober 2022. Faktur Pajak harus dibuat pada tanggal 1 September 2O22. Penyerahan Jasa Kena Pajak. Contoh 1: PT Semangat menyewakan 1 (satu) unit ruko kepada PT Diatetupa dengan masa kontrak selama 12 (dua belas) tahun. Dalam kontrak, disepakati antara lain:
PT Diatetupa mulai menggunakan ruko tersebut pada tanggal 1 September 2022. b. Nilai kontrak sewa selama 12 (dua belas) tahun sebesar Rp12O.0O0.00O,00 (seratus dua puluh ^juta rupiah). c. Pembayaran sewa, yaitu tahunan dan disepakati dibayar setiap tanggal 29 September dengan pembayaran sebesar Rp 1 0. OOO.OO0,OO (sepuluh juta rupiah) per tahun. Pada tanggal 29 September 2022, PT Diatetupa melakukan pembayaran sewa untuk tahun pertama. Atas penyerahan Jasa Kena Pajak tersebut, PT Semangat wajib membuat Faktur Pajak pada tanggal 29 September 2022 dengan dasar pengenaan pajak sebesar Rp1O.0O0.O00,00 (sepuluh juta rupiah). Contoh2: Contoh 2: PT Toryrng mengontrak Firma Cerah Konsultan untuk memberikan ^jasa konsultansi manajemen dan pelatihan kepada staf pemasaran PT Torytrng selama 6 (enam) bulan dengan nilai kontrak sebesar Rp60.O0O.OO0,OO (enam puluh juta rupiah). Pembayaran jasa konsultansi al<an dilakukan setiap bulan. Firma Cerah Konsultan mulai memberikan ^jasa konsultansi pada tanggal 1 September 2022. Pada tanggal 10 Oktober 2022, Firma Cerah Konsultan menerbitkan faktur penjualan (inuoice) untuk menagih pembayaran ^jasa konsultansi bulan September 2022 sebesar Rp10.000.00O,00 (sepuluh ^juta rupiah). PT Toryrng melakukan pembayaran atas tagihan tersebut pada tanggal 20 Oktober 2022. Atas transaksi tersebut, Firma Cerah Konsultan wajib membuat Faktur Pajak pada tanggal 1O Oktober 2022 dengan dasar pengenaan pajak sebesar Rp10.OOO.OOO,OO (sepuluh ^juta rupiah) (sesuai denga.n nilai tagihan) meskipun pembayaran baru diterima tanggal 2O Oktober 2022. Contoh 3: Matriks saat pembuatan Faktur Pajak untuk beberapa contoh penyerahan di bidang ^jasa telekomunikasi, yaitu sebagai berikut: No. Periode Pemakaian/ Penyerahan Jasa Kena Pajak Periode Pengakuan Penghasilan Saat Diakui Penghasilan Penerbitan Faktur Penjualan (Inuoicel Paling Lambat Faktur Pajak Dibuat 1a 1-30 September 2O22 I-30 September 2022 1-30 September 2022 1-30 September 2022 26 Agustus -25 September 2022 September 2022 September 2022 September 2022 30 September 2022 30 September 2022 1b 1-30 September 2022 5 Oktober 2022 5 Oktober 2022 1c 1-30 September 2022 31 Oktober 2022 31 Oktober 2022 2 26 Agustus - 25 September 2022 September 2022 5 Oktober 2022 5 Oktober 2022 3 16 Agustus - 15 September 2022 16 Agustus -15 September 2022 Agustus 2022 20 September 2022 20 September 2022 4 16 Agustus - 15 September 2022 16 Agustus -15 September 2022 September 2022 20 September 2022 20 September 2022 5 16 Agu.stus - 15 September 2022 16 -31 Agustus 2022 Agustus 2022 31 Agustus 2022 31 Agustus 2022 1- 15 September 2022 September 2022 15 September 2022 15 September 2022 4 Penyerahan sebagian tahap pekerjaaa (pembayaran termin). Atas penyerahan sebagian tahap pekerjaan, misalnya penyerahan jasa pemborongan bangunan atau barang tidak bergerak lainnya, saat pembuatan Faktur Pajaknya dapat dijelaskan sebagai berikut: Umumnya, pekerjaan ^jasa pemborongan bangunan dan barang tidak bergera-k lainnya diselesaikan dalam suatu masa tertentu. Sebelum ^jasa pemborongan itu selesai dan siap untuk diserahkan, telah diterima pembayaran di muka sebelum pekerjaan pemborongan dimulai atau pembayaran atas sebagian penyelesaian pekerjaan jasa sesuai dengan tahap atau kemajuan penyelesaian pekerjaan. Dalam hal ini, Pajak Pertambahan Nilai terutang pada saat pembayaran tersebut diterima oleh pemborong atau kontraktor, sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (21 Undang- Undang Pajak Pertambahan Nilai. Selanjutnya, setelah bangunan atau barang tidak bergerak tersebut selesai dikerjakan maka jasa pemborongan seluruhnya diserahkan kepada Penerima Jasa. Dalam hal ini, Pajak Pertambahan Nilai terutang pada saat penyerahan Jasa Kena Pajak itu dilakukan meskipun pembayaran lunas jasa pemborong atau kontraktor, sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1) Undang- Undang Pajak Pertambahan Nilai. Contoh:
Tanggal 1 September 2022, perjanjian pemborongan ditandatangani dan diterima uang muka sebesar 20olo (dua puluh persen). 2. Tanggal 3 Oktober 2022, pekerjaan selesai 2Oo/o (dua puluh persen), diterima pembayaran tahap ke-1. 3. Tanggal 1 November 2022, pekerjaan selesai 5O7o (lima puluh persen), diterima pembayaran tahap ke- 2. tersebut belum diterima oleh iiTT{f.I{Il REPUBLIK TNDONESIA 4 5 Tanggal 21 November 2022, peke4aan selesai 80o/o (delapan puluh persen), diterima pembayaran tahap ke-3. Tanggal 25 Januari 2023, pekeqaan selesai looo/o (seratus persen), bangunan atau barang tidak bergerak diserahkan. 6. Tanggal 1 Februari 2023, diterima pembayaran tahap akhir (ke-4) sebesar 95% (sembilan puluh lima persen) dari harga borongan. 7. Tanggal 1 Agustus 2023, diterima pembayaran pelunasan seluruh jasa pemborongan. Pada angka I sampai dengan angka 4, Pqjak Pertambahan Nilai terutang pada tanggal diterimanya pembayaran (uang muka dan pembayaran termin), sedangkan pada angka 5 sampai dengan angkaT, Pajak Pertambahan Nilai terutang pada tanggal 25 Januari 2023 atay, saat ^jasa pemborongan (bangunan atau barang tidak bergerak) selesai dilakukan dan diserahkan kepada pemiliknya. Tanggal pembayaran yang tersebut pada angka 6 dan ang)<a 7 tidak perlu diperhatikan karena tidak termasuk saat yang menentukan terutangnya Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan dasar akrual yang dianut dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Cara penentuan saat pembuatan Faktur Pajak tersebut di atas juga berlaku untuk penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang penerimaan pembayarannya terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak datlatau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak tersebut. Ayat (2) Pada dasarnya, Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (1a) dan ayat (2a) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Oleh karena itu, apabila Pengusaha Kena Pajak terlambat membuat Faktur Pajak, Pengusaha Kena Pajak dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf d ^juncto Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, tetapi tanpa ketentuan mengenai batas waktu keterlambatan. Dengan demikian, untuk menjamin kepastian terlaksananya pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang terutang Pajak Pertambahan Nilai, perlu adanya pembatasan jangka waktu pembuatan Faktur Pajak. Di samping itu, ketentuan ini dimaksudkan ^juga untuk menyelaraskan pengakuan penghasilan dalam menghitung peredaran usaha yang digunakan untuk menghitung pajak penghasilan dengan peredaran usaha yang digunakan untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai. Contoh 1: PT A yang merupakan Pengusaha Kena Pajak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada T\ran B yang Faktur Pajaknya seharusnya dibuat pada tanggal 1 September 2O22. Namun, tanggal pembuatan Faktur Pajak yang tercantum dalam Faktur Pajak yaitu 1 Desember 2O22. Berdasarkan ketentuan pada ayat ini, Faktur Pajak tersebut tidak diperlakukan sebagai Faktur Pajak karena dibuat setelah melewati ^jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak saat Faktur Pajak seharusnya dibuat, yaitu dibuat setelah melewati tanggal 30 November 2O22. Contoh2: EEtrFIEtrN [iTfiIFItIilIrIiENtrEIA Contoh 2: CV C yang merupakan Pengusaha Kena Pajak menerima pembayaran uang muka dari PT D pada tanggal 2O September 2O22 untuk penyerahan Jasa Kena Pajak yang akan dilakukan pada bulan Oktober 2022. Namun, tanggal pembuatan Faktur Pajak yang tercantum dalam Faktur Pajak yaitu 2O Desember 2O22. Berdasarkan ketentuan pada ayat ini, Faktur Pajak tersebut tidak diperlakukan sebagai Faktur Pajak karena dibuat setelah melewati ^jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak saat Faktur Pajak seharusnya dibuat, yaitu dibuat setelah melewati tanggal 19 Desember 2O22. Contoh 3: PT E yang menrpakan Pengusaha Kena Pajak melakukan beberapa kali penyerahan Barang Kena Pajak kepada CV F selama bulan September 2Q22. Atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut, PT E memilih membuat Faktur Pajak gabungan sehingga Faktur Pajak gabungan dimaksud seharusnya dibuat paling lama pada tanggal 30 September 2O22. Namun, tanggal pembuatan Faltur Pajak yang tercantum dalam Faktur P4iak gabungan yaitu 3O Desember 2022, Berdasarkan ketentuan pada ayat ini, Faktur Pajak tersebut tidak diperlakukan sebagai Faktur Pajak karena dibuat setelah melewati ^jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak saat Faktur Pajak seharusnya dibuat, yaitu dibuat setelah melewati tanggal 29 Desember 2022. Ayat (3) Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak. Dengan demikian, Faktur Pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melebihi batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dianggap tidak dibuat. Na.mun, Faktur Pajak yang dianggap tidak dibuat tersebut tetap wajib dilaporkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang membuat Faktur Pajak tersebut dalam surat pemberitahuan masa Pajak Pertambahan Nilai. Ayat (4) Cukup ^jelas, Pasal 27 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat ^(2) Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak dan dapat digunakan sebagai sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan. Faktur Pajak harus diisi secara benar, lengkap, dan jelas serta ditandatangani oleh pihak yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak untuk menandatanganinya. Namun, keterangan mengenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah hanya diisi apabila atas penyerahan Barang Kena Pajak terutang Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Faktur Pajak yang tidak diisi sesuai dengan ketentuan dalam pasal ini mengakibatkan Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum di dalamnya tidak dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (8) huruf f Undang- Undang Pajak Pertambahan Nilai. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Cukup ^jelas. Ayat (5) Faktur Pajak yang mencantumkan identitas Pembeli atau Penerima Jasa berupa nama, alamat, dan nomor induk kependudukan bagi subjek pajak dalam negeri orang pribadi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, tidak termasuk Faktur Pajak yang tidak mencantumkan nama, alamat, dan nomor pokok wajib pajak Pembeli atau Penerima Jasa sebagaimana diatur dalam Pasal ^g ayat (8) huruf f Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Dengan demikian, Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak dimaksud merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak orang pribadi sepanjang memenuhi ketentuan pengkreditan Pajak Masukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Pasal 28 Cukup ^jelas. Pasal 29 Ayat (1) Huruf a Contoh: PT X yang merupakan Pengusaha Kena Pajak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak secara nyata kepada T\ran V pada tanggal 31 Desember 2024. Faktur Pajak dibuat oleh PI X pada tanggal 3l Desember 2024. Misalkan mulai tanggal 1 Januari 2025 tarif Pajak Pertambahan Nilai naik dari lLo/o (sebelas persen) menjadi l2o/o (dua belas persen), tarif Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak tetap menggunakan tarif 11% (sebelas persen) karena saat terutang Pajak Pertambahan Nilai terjadi sebelum tanggal berlakunya perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai dan Faktur Pajak dibuat sebelum tanggal berlakunya perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai. Hurufb Contoh: Yl Z yang merupakan Pengusaha Kena Pajak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak secara nyata kepada T\ran Y pada tanggal 31 Desember 2024. Namun, Faktur Pajak dibuat oleh FT X pada tanggal I Januari 2025. Misalkan mulai tanggal 1 Januari 2025 taif Pajak Pertambahan Nilai naik dari I Lo/o (sebelas persen) menjadi l2o/o (dua belas persen), tarif Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak menggunakan tarif l2o/o (dua belas persen) karena Faktur Pajak dibuat sejak tanggal berlakunya perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai, meskipun saat terutang Pajak Pertambahan Nilai terjadi sebelum tanggal berlakunya perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai. Ayat (2) Cukup ^jelas. Pasal 30 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "konsumen akhir" menrpakan pembeli barang dan/atau penerima ^jasa yang mengonsumsi secara langsung barang dan/atau ^jasa yang dibeli atau diterima dan tidak menggunakan atau memanfaatkan barang dan/atau ^jasa dimaksud untuk kegiatan usaha. Ayat (21 Cukup ^jelas. Pasal 31 Cukup ^jelas. Pasal 32 Cukup ^jelas. Pasal 33 Cukup ^jelas.
Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 ( Covid-19) dan/atau Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Per ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Kementerian Negara yang selanjutnya disebut Kementerian adalah perangkat Pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
Lembaga adalah organisasi non Kementerian dan instansi lain pengguna anggaran yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya.
Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BA BUN adalah bagian anggaran yang tidak dikelompokkan dalam bagian anggaran Kementerian/Lembaga.
Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Pengelolaan Belanja Lainnya (BA 999.08) yang selanjutnya disebut BA 999.08 adalah subbagian anggaran Bendahara Umum Negara yang menampung belanja pemerintah pusat untuk keperluan belanja pegawai, belanja bantuan sosial, belanja lain-lain yang pagu anggarannya tidak dialokasikan dalam bagian anggaran Kementerian/Lembaga.
Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kementerian/Lembaga.
Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada Kementerian/Lembaga yang bersangkutan.
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disebut DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh PA/KPA atau PPA/KPA BUN.
Pagu Anggaran adalah alokasi anggaran yang ditetapkan dalam DIPA untuk mendanai belanja pemerintah pusat dan/atau pembiayaan anggaran dalam APBN.
Satuan Kerja yang selanjutnya disebut Satker adalah bagian dari suatu unit organisasi pada Kementerian/Lembaga yang melaksanakan 1 (satu) atau beberapa program/kegiatan dan membebani dana APBN.
Program adalah penjabaran kebijakan sesuai dengan visi dan misi Kementerian/Lembaga yang rumusannya mencerminkan tugas dan fungsi unit eselon I atau unit Kementerian/Lembaga yang berisi kegiatan untuk mencapai hasil ( outcome ) dengan indikator kinerja yang terukur.
Prioritas Nasional adalah Program/kegiatan/proyek untuk pencapaian Sasaran Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional dan kebijakan Presiden lainnya.
Kegiatan adalah penjabaran dari Program yang rumusannya mencerminkan tugas dan fungsi Satker atau penugasan tertentu Kementerian/Lembaga yang berisi komponen kegiatan untuk mencapai keluaran ( output ) dengan indikator kinerja yang terukur.
Belanja Operasional adalah anggaran yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan sebuah Satker dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai petunjuk penyusunan dan penelaahan rencana kerja dan anggaran Kementerian/Lembaga dan pengesahan DIPA, dan Peraturan Menteri Keuangan mengenai klasifikasi anggaran.
Pemberian Pinjaman adalah pinjaman Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, Lembaga, dan/atau badan lainnya yang harus dibayar kembali dengan ketentuan dan persyaratan tertentu.
Transfer ke Daerah adalah bagian dari belanja negara dalam rangka mendanai pelaksanaan desentralisasi fiskal berupa Dana Perimbangan, Dana Insentif Daerah, Dana Otonomi Khusus, dan Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dana Desa adalah dana yang bersumber dari APBN yang diperuntukkan bagi desa yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat.
Pembiayaan Anggaran adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali, penerimaan kembali atas pengeluaran tahun-tahun anggaran sebelumnya, pengeluaran kembali atas penerimaan tahun-tahun anggaran sebelumnya, penggunaan saldo anggaran lebih, dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun- tahun anggaran berikutnya.
Penyertaan Modal Negara yang selanjutnya disingkat PMN adalah pemisahan kekayaan negara dari APBN untuk dijadikan sebagai modal Perusahaan Negara dan/ atau Perseroan Terbatas lainnya serta lembaga/badan lainnya, yang pengelolaannya dilakukan secara korporasi.
Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN atau dapat disebut sukuk negara adalah Surat Berharga Negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing.
Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya.
Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disingkat BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
Badan Layanan Umum yang selanjutnya disingkat BLU adalah instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam Kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktifitas.
Lembaga Penjamin Simpanan yang selanjutnya disingkat LPS adalah lembaga penjamin simpanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai LPS.
Kredit Usaha Rakyat yang selanjutnya disingkat KUR adalah kredit/pembiayaan modal kerja dan/atau investasi kepada debitur individu/perseorangan, badan usaha dan/atau kelompok usaha yang produktif dan layak namun belum memiliki agunan tambahan atau agunan tambahan belum cukup.
Saldo Anggaran Lebih yang selanjutnya disebut Sisa Anggaran Lebih atau disingkat SAL, adalah akumulasi neto dari sisa lebih pembiayaan anggaran dan sisa kurang pembiayaan anggaran tahun-tahun anggaran yang lalu dan tahun anggaran yang bersangkutan setelah ditutup, ditambah/dikurangi dengan koreksi pembukuan.
Akumulasi Dana Abadi Pendidikan adalah akumulasi dana abadi dari tahun tahun sebelumnya dan tidak termasuk porsi dana abadi pendidikan yang dialokasikan dalam APBN tahun berjalan.