Pengawasan dan Pengendalian Barang Milik Negara
Relevan terhadap
Pemantauan atas Penggunaan, Pemanfaatan, dan Pemindahtanganan BMN terdiri atas:
pemantauan periodik; dan
pemantauan insidentil.
Pemantauan periodik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan 1 (satu) kali setiap semester.
Pemantauan insidentil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan sewaktu-waktu, dalam hal:
terdapat informasi tertulis, antara lain dari:
masyarakat;
media massa, baik cetak maupun elektronik;
Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang lainnya;
laporan hasil audit/pengawasan APIP K/L atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan;
laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan; dan/atau
antar unit kerja di lingkungan Pengelola Barang; dan/atau
adanya inisiatif Pengelola Barang.
Pemantauan insidentil sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah diterimanya informasi atau ditemukannya permasalahan pengelolaan BMN yang memunculkan inisiatif.
Kegiatan pemantauan insidentil sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja dan hasilnya dilaporkan paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah berita acara hasil pemantauan ditandatangani.
Pemantauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 terdiri atas:
pemantauan periodik; dan
pemantauan insidentil.
Pemantauan periodik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan oleh Kuasa Pengguna Barang atas Penggunaan, Pemanfaatan, Pemindahtanganan, Penatausahaan, pengamanan, dan pemeliharaan BMN.
Pemantauan insidentil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan oleh Pengguna Barang, Pembantu Pengguna Barang Eselon I, Pembantu Pengguna Barang Wilayah, dan Kuasa Pengguna Barang atas Penggunaan, Pemanfaatan, Pemindahtanganan, Penatausahaan, pengamanan, dan pemeliharaan BMN.
Pemantauan periodik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan 1 (satu) kali setiap semester.
Pemantauan insidentil sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sewaktu-waktu, dalam hal:
terdapat informasi tertulis, antara lain dari:
masyarakat;
media massa, baik cetak maupun elektronik;
laporan hasil audit/pengawasan APIP K/L atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan;
laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan;
informasi antar unit kerja di lingkungan Pengguna Barang; dan/atau
informasi dari Pengelola Barang;
adanya inisiatif Kuasa Pengguna Barang untuk BMN yang berada dalam penguasaannya; dan/atau
adanya inisiatif Pembantu Pengguna Barang Wilayah/Pembantu Pengguna Barang Eselon I/Pengguna Barang.
Pemantauan insidentil sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah diterimanya informasi atau ditemukannya permasalahan pengelolaan BMN yang memunculkan inisiatif.
Pemantauan insidentil sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja dan hasilnya dilaporkan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah berita acara hasil pemantauan ditandatangani.
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum ...
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Pena ...
Relevan terhadap
bahwa penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang dinyatakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia ( World Health Organization ) sebagai pandemi pada sebagian besar negara-negara di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu dan telah menimbulkan korban jiwa, serta kerugian material yang semakin besar, sehingga berimplikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat;
bahwa implikasi pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) telah berdampak antara lain terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan, sehingga diperlukan berbagai upaya Pemerintah untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial ( social safety net ), serta pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak;
bahwa implikasi pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) telah berdampak pula terhadap memburuknya sistem keuangan yang ditunjukkan dengan penurunan berbagai aktivitas ekonomi domestik, sehingga perlu dimitigasi bersama oleh Pemerintah dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk melakukan tindakan antisipasi ( forward looking ) dalam rangka menjaga stabilitas sektor keuangan;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c untuk mengatasi kegentingan yang memaksa, Presiden sesuai kewenangannya berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka menghadapi Ancaman yang membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan pada tanggal 31 Maret 2020;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu membentuk Undang- Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka menghadapi Ancaman yang membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang;
Kemudahan Proyek Strategis Nasional
Pemberdayaan Lembaga Jasa Keuangan dan Pelaksanaan Kemudahan dan/atau Bantuan Pembiayaan dalam Sistem Pembiayaan Perumahan dan Kawasan Permukiman ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
Pemberdayaan Lembaga Jasa Keuangan adalah suatu proses meningkatkan kemauan dan kemampuan Lembaga Jasa Keuangan dalam sistem pembiayaan Perumahan dan Kawasan Permukiman.
Lembaga Jasa Keuangan adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya.
Pembiayaan Perumahan dan Kawasan Permukiman, yang selanjutnya disebut Pembiayaan PKP adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau setiap pengeluaran yang akan diterima kembali untuk kepentingan penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman baik yang berasal dari dana masyarakat, tabungan perumahan, maupun sumber dana lainnya.
Sistem Pembiayaan Perumahan dan Kawasan Permukiman, yang selanjutnya disebut Sistem Pembiayaan PKP adalah sistem yang mengatur pengerahan, pemupukan, penyaluran, dan pemanfaatan dana perumahan dan kawasan permukiman dari pihak yang kelebihan dana kepada pihak yang kekurangan dana yang dilaksanakan oleh Lembaga Jasa Keuangan dengan atau tanpa kemudahan dan/atau bantuan pembiayaan.
Dana Murah Jangka Panjang adalah ketersediaan dana dengan suku bunga terjangkau yang sekaligus mampu menanggulangi ketidaksesuaian antara jangka waktu sumber biaya berupa tabungan, giro, deposito dengan jangka waktu pengembalian atau tenor kredit pemilikan rumah.
Lembaga Penerbit Kredit/Pembiayaan Pelaksana yang selanjutnya disebut LPKP Pelaksana adalah Lembaga Jasa Keuangan yang bekerjasama dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perumahan dan kawasan permukiman melalui kesepakatan bersama dan perjanjian kerjasama operasional.
Rumah Umum adalah rumah yang diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Rumah Swadaya adalah rumah yang dibangun atas prakarsa dan upaya masyarakat.
Masyarakat Berpenghasilan Rendah yang selanjutnya disingkat MBR adalah masyarakat yang mempunyai keterbatasan daya beli sehingga perlu mendapatkan dukungan pemerintah untuk memperoleh rumah.
Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perumahan dan kawasan permukiman.
Peraturan Menteri Keuangan tentang Mekanisme Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban atas Pajak Ditanggung Pemerintah ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Pajak Ditanggung Pemerintah yang selanjutnya disebut Pajak DTP adalah pajak terutang yang dibayar oleh pemerintah dengan pagu anggaran yang telah ditetapkan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang mengenai anggaran pendapatan dan belanja negara.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintah negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi BUN.
Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BA BUN adalah bagian anggaran yang tidak dikelompokkan dalam bagian anggaran kementerian/lembaga.
Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran kementerian/lembaga.
Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat PPA BUN adalah unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri dan bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN.
Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada kementerian/lembaga yang bersangkutan.
Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat KPA BUN adalah pejabat pada satuan kerja dari masing-masing PPA BUN baik di kantor pusat maupun kantor daerah atau satuan kerja di kementerian/lembaga yang memperoleh penugasan dari Menteri untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN.
Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang melaksanakan kewenangan PA/KPA untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran atas beban APBN.
Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat PPSPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk melakukan pengujian atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah pembayaran.
Surat Setoran Pajak yang selanjutnya disingkat SSP adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri.
Pajak Penghasilan yang selanjutnya disingkat PPh adalah Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang PPh.
Pajak Pertambahan Nilai yang selanjutnya disingkat PPN adalah Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPN.
Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang selanjutnya disingkat PPnBM adalah Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPN.
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disingkat DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang digunakan sebagai acuan PA dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan sebagai pelaksanaan APBN.
Belanja Subsidi Bagian Anggaran 999.07 yang selanjutnya disebut Belanja Subsidi adalah alokasi anggaran yang diberikan pemerintah kepada perusahaan negara, lembaga pemerintah atau pihak ketiga lainnya yang memproduksi, menjual, mengekspor, atau mengimpor barang dan/atau jasa untuk memenuhi hajat hidup orang banyak sedemikian rupa sehingga harga jualnya dapat dijangkau oleh masyarakat.
Kuasa Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Kuasa BUN adalah pejabat yang diangkat oleh BUN untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan APBN dalam wilayah kerja yang ditetapkan.
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara.
Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA.
Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disebut SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku Kuasa BUN untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM.
Laporan Realisasi Anggaran yang selanjutnya disingkat LRA adalah laporan yang menyajikan informasi realisasi pendapatan, belanja, transfer, surplus/defisit, dan pembiayaan, serta sisa lebih/kurang pembiayaan anggaran yang masing-masing diperbandingkan dengan anggarannya dalam satu periode.
Laporan Operasional yang selanjutnya disingkat LO adalah laporan yang menyajikan ikhtisar sumber daya ekonomi yang menambah ekuitas dan penggunaannya yang dikelola oleh pemerintah pusat/daerah untuk kegiatan penyelenggaraan pemerintah dalam 1 (satu) periode pelaporan.
Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran, yang selanjutnya disingkat UAKPA, adalah unit akuntansi instansi yang melakukan kegiatan akuntansi dan pelaporan tingkat satuan kerja.
Rekonsiliasi adalah proses pencocokan data transaksi keuangan yang diproses dengan beberapa sistem/subsistem yang berbeda berdasarkan dokumen sumber yang sama.
Laporan Keuangan yang selanjutnya disingkat LK adalah bentuk pertanggungjawaban pemerintah atas pelaksanaan APBN berupa LRA, laporan arus kas, LO, laporan perubahan saldo anggaran lebih, laporan perubahan ekuitas, neraca, dan catatan atas laporan keuangan.
Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak yang selanjutnya disingkat SPTJM adalah pernyataan yang diterbitkan/dibuat oleh KPA BUN yang memuat jaminan atau pernyataan bahwa seluruh pengeluaran telah dihitung dengan benar.
Pengelolaan Pelaporan Pelanggaran dan Perlindungan Pelapor di Lingkungan Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Pegawai Kementerian Keuangan yang selanjutnya disebut Pegawai adalah pegawai negeri sipil Kementerian Keuangan, calon pegawai negeri sipil, pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja, dan/atau orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, yang bekerja di lingkungan Kementerian Keuangan.
Pelanggaran adalah setiap ucapan, tulisan, atau perbuatan Pegawai yang tidak menaati kewajiban dan/atau melanggar larangan ketentuan peraturan perundang-undangan baik yang dilakukan di dalam maupun di luar jam kerja.
Pelapor Pelanggaran yang selanjutnya disebut Pelapor adalah Pegawai dan/atau masyarakat yang menyampaikan informasi adanya dugaan Pelanggaran.
Terlapor adalah Pegawai yang diduga melakukan Pelanggaran.
Pelaporan Pelanggaran adalah informasi yang disampaikan oleh Pelapor sehubungan dengan adanya Pegawai yang diduga akan, sedang, atau telah melakukan Pelanggaran.
Pimpinan Kementerian Keuangan adalah Menteri Keuangan, Wakil Menteri Keuangan, Pejabat Tinggi Madya, Pejabat Tinggi Pratama, Pejabat Administrator, dan Pejabat Pengawas di lingkungan Kementerian Keuangan.
Perlindungan Pelapor adalah upaya pemberian bantuan kepada Pelapor untuk memberikan rasa aman atas Pelaporan Pelanggaran yang disampaikan dan risiko Tindakan Balasan yang ditimbulkan.
Tindakan Balasan adalah tindakan berupa ucapan, perbuatan, atau tindakan lainnya oleh Terlapor dan/atau pihak-pihak lain yang berhubungan dengan informasi Pelanggaran yang mengganggu rasa aman, merugikan secara kepegawaian, ancaman tindakan hukum, dan/atau dampak negatif lainnya yang diterima oleh Pelapor.
Pengelolaan Pelaporan Pelanggaran adalah kegiatan penerimaan dan tindak lanjut Pelaporan Pelanggaran sesuai dengan mekanisme dan tata cara yang diatur dalam peraturan ini.
Pengelola Pelaporan Pelanggaran yang selanjutnya disebut Pengelola adalah Pegawai yang bertugas di Inspektorat Jenderal, Unit Kepatuhan Internal, Satuan Pengawasan Intern Badan Layanan Umum Kementerian Keuangan, dan unit lainnya yang mempunyai tugas dan fungsi menangani Pelaporan Pelanggaran.
Saluran Pelaporan Pelanggaran yang selanjutnya disebut Saluran Pelaporan adalah media yang digunakan untuk menyampaikan Pelaporan Pelanggaran.
Aplikasi Pelaporan Pelanggaran yang selanjutnya disebut Aplikasi WISE adalah aplikasi Whistleblowing System Kementerian Keuangan yang disediakan oleh Inspektorat Jenderal sebagai salah satu Saluran Pelaporan dan sarana untuk mendukung pelaksanaan Pengelolaan Pelaporan Pelanggaran.
Nomor Register Pelaporan Pelanggaran adalah nomor unik identitas suatu Pelaporan Pelanggaran yang dihasilkan oleh Aplikasi WISE.
Pengelolaan Aset Eks Bank Dalam Likuidasi Oleh Menteri Keuangan
Relevan terhadap
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENGELOLAAN ASET EKS BANK DALAM LIKUIDASI OLEH MENTERI KEUANGAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Bank Dalam Likuidasi yang selanjutnya disingkat BDL adalah bank yang telah menerima dana talangan, fasilitas pembiayaan dan/atau dana penjaminan dari pemerintah serta dicabut izin usahanya yang diikuti dengan likuidasi bank. 2. Tim Likuidasi adalah tim yang bertugas melakukan likuidasi bank yang dicabut izin usahanya. 3. Neraca Akhir Likuidasi yang selanjutnya disingkat NAL adalah neraca yang disusun oleh Tim Likuidasi setelah pelaksanaan likuidasi selesai. 4. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerin tahan di bi dang keuangan negara. 5. Aset eks BDL yang selanjutnya disebut dengan Aset adalah harta atau kekayaan eks BDL. 6. Kas adalah uang tunai dan/atau saldo simpanan di bank yang setiap saat dapat dicairkan. 7. Aset Kredit adalah hak pemerintah yang berasal dari tagihan BDL terhadap debiturnya. 8. Aset Inventaris adalah Aset yang berupa barang selain tanah dan/atau bangunan, termasuk kendaraan bermotor, yang merupakan aset milik eks BDL dan/ a tau tercatat dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat/Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus. 9. Surat Berharga adalah surat pengakuan utang, wesel, saham, obligasi, sekuritas kredit, atau setiap derivatifnya, atau kepentingan lain, atau suatu kewajiban dari penerbit, dalam bentuk yang lazim diperdagangkan dalam pasar modal dan pasar uang, yang merupakan aset milik eks BDL dan/atau tercatat dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat/Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus. 10. Aset Saham adalah Aset berupa bukti kepemilikan suatu Perseroan Terbatas yang merupakan milik eks BDL dan/atau tercatat dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat/Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus. 11. Aset Obligasi adalah Aset berupa surat utang jangka menengah dan jangka panjang yang berisi janji dari pihak yang menerbitkan untuk membayar imbalan berupa bunga pada periode tertentu dan melunasi pokok utang pada waktu yang telah ditentukan kepada pihak pemegang obligasi yang merupakan milik eks BDL dan/atau tercatat dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat/Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus. 12. Aset Penempatan pada bank lain yang selanjutnya disebut Aset Penempatan adalah penanaman dana BDL pada bank atau lembaga keuangan lain, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, dalam bentuk pinjaman antarbank (interbank call money}, tabungan, deposito berjangka, dan bentuk lain. 13. Aset Properti adalah Aset berupa tanah dan/atau bangunan serta hak atas satuan rumah susun yang dokumen kepemilikannya dan/ a tau peralihannya berada dalam pengelolaan Menteri dan/atau tercatat dalam Daftar Nominatif dan/atau Laporan Keuangan Pemerintah Pusat/Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus. 14. Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. 15. Direktur Jenderal adalah pejabat eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang memiliki kewenangan, tugas, dan fungsi di bidang pengelolaan kekayaan negara. 16. Direktorat Jenderal adalah unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang memiliki kewenangan, tugas, dan fungsi di bidang pengelolaan kekayaan negara. 17. Direktur adalah pejabat eselon II pada kantor pusat Direktorat Jenderal yang memiliki kewenangan, tugas, dan fungsi di bidang pengelolaan kekayaan negara. 18. Direktorat adalah unit eselon II di lingkungan Direktorat Jenderal yang memiliki kewenangan, tugas, dan fungsi di bidang pengelolaan kekayaan negara. 19. Kantor Wilayah adalah kantor wilayah Direktorat Jenderal. 20. Kantor Pelayanan adalah unit vertikal pelayanan pada Kantor Wilayah. 21. Kementerian Negara yang selanjutnya disebut Kementerian adalah perangkat pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. 22. Lembaga adalah organisasi non Kementerian Negara dan instansi lain pengguna anggaran yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya. 23. Inventarisasi adalah kegiatan pendataan, pencatatan, dan pelaporan Aset. 24. Verifikasi adalah kegiatan pemeriksaan mengenai kebenaran hasil Inventarisasi. 25. Penilai Pemerintah adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan pemerintah yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melakukan Penilaian, termasuk atas hasil penilaiannya secara independen sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 26. Penilai Publik adalah penilai selain Penilai Pemerintah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur Penilai Publik. 27. Penilaian adalah suatu proses kegiatan yang dilakukan oleh penilai untuk memberikan suatu opini nilai yang didasarkan pada data/fakta yang objektif dan relevan dengan menggunakan metode/teknik tertentu atas objek tertentu pada saat tanggal Penilaian. 28. Nilai Wajar adalah estimasi harga yang akan diterima dari penjualan Aset atau dibayarkan untuk penyelesaian kewajiban antara pelaku pasar yang memahami dan berkeinginan untuk melakukan transaksi wajar pada tanggal Penilaian. 29. Nilai Limit adalah nilai minimal barang yang akan dilelang dan ditetapkan oleh penjual. 30. Sewa adalah pemanfaatan Aset Properti oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dengan imbalan uang tunai. 31. Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk um um dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi, yang didahului dengan pengumuman lelang. 32. Nasabah Penyimpan Dana adalah nasabah penyimpan dana eks BDL yang tercatat dalam pembukuan BDL dan tidak termasuk yang dijamin oleh pemerintah. 33. Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kernen terian/ Lembaga. 34. Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada Kementerian/Lembaga yang bersangkutan. 35. Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang melaksanakan kewenangan PA/KPA untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran untuk pembayaran kepada Nasabah Penyimpan Dana. 36. Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat dengan PPSPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk melakukan pengujian atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah pembayaran. 37. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang memperoleh kuasa dari Bendahara Umum Negara untuk melaksanakan sebagian fungsi kuasa Bendahara Umum Negara. 38. Surat Ketetapan Pembayaran Nasabah Penyimpan Dana yang selanjutnya disingkat SKP adalah dokumen sebagai dasar pembayaran kepada Nasabah Penyimpan Dana yang memuat rincian besaran hak Nasabah Penyimpan Dana yang akan disetorkan ke rekening pada bank yang ditunjuk oleh Otoritas Jasa Keuangan dalam periode tertentu. 39. Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara. 40. Surat Perintah Membayar Nasabah Penyimpan Dana yang selanjutnya disebut SPM Nasabah Penyimpan Dana adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk pembayaran Nasabah Penyimpan Dana ke rekening pada bank yang ditunjuk oleh Otoritas Jasa Keuangan. 41. Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan KPPN selaku Kuasa Bendahara Umum Negara berdasarkan SPM Nasabah Penyimpan Dana. Pasal 2 (1) Menteri berwenang melakukan pengelolaan Aset. (2) Dalam pelaksanaan pengelolaan Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri melimpahkan kewenangannya kepada:
Direktur Jenderal dalam bentuk subdelegasi; atau
pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal dalam bentuk mandat. (3) Kewenangan subdelegasi pada Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat dilimpahkan dalam bentuk mandat kepada pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal. Pasal 3 Aset se bagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi:
Kas;
Aset Kredit;
Aset Inventaris;
Surat Berharga berupa Saham dan Obligasi;
Aset Penempatan; dan
Aset Properti, yang telah diserahkan kepada pemerintah. BAB II PENGELOLAAN ASET Bagian Kesatu Kas Pasal 4 (1) Direktorat melaksanakan pengelolaan Kas.
Pengelolaan Kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara:
konfirmasi;
pencatatan pada suatu sistem informasi pengelolaan aset; dan
pelaporan atas penyetoran Aset berupa Kas ke kas negara. Bagian Kedua Aset Kredit Pasal 5 (1) Direktorat melakukan pengelolaan atas Aset Kredit. (2) Pengelolaan Aset Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
penatausahaan;dan b. penyerahan pengurusan kepada Panitia Urusan Piutang Negara. Paragraf 1 Penatausahaan Pasal 6 (1) Penatausahaan Aset Kredit dilakukan dengan cara:
Inventarisasi;
Verifikasi; dan
pelaporan pengelolaan Aset Kredit. (2) Penatausahaan Aset Kredit dilakukan oleh Direktorat terhadap dokumen Aset Kredit dari jaminannya. (3) Hasil penatausahaan Aset Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dalam suatu sistem informasi pengelolaan Aset. Pasal 7 Pelaporan pengelolaan Aset Kredit yang telah diserahkan pengurusannya kepada Panitia Urusan Piutang Negara, dilakukan rekonsiliasi minimal 1 ( satu) kali dalam 1 (satu) semester antara Direktorat dengan Panitia Urusan Piutang Negara/Kantor Pelayanan. Paragraf 2 Penyerahan Pengurusan Kepada Panitia Urusan Piutang Negara Pasal 8 (1) Penyerahan pengurusan Aset Kredit kepada Panitia Urusan Piutang Negara didasarkan pada Akta Pengalihan Hak Atas Tagihan (cessie). (2) Dalam hal tidak terdapat Akta Pengalihan Hak Atas Tagihan (cessie) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyerahan pengurusan Aset Kredit kepada Panitia Urusan Piutang Negara didasarkan pada surat pengakuan utang dari debitur. (3) Dalam hal tidak terdapat surat pengakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyerahan pengurusan Aset Kredit kepada Panitia Urusan Piutang Negara didasarkan pada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. (4) Dalam hal terdapat Akta Pengalihan Hak Atas Tagihan (cessie) dan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, penyerahan pengurusan Aset Kredit kepada Panitia Urusan Piutang Negara didasarkan pada Akta Pengalihan Hak Atas Tagihan (cessie) dan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Pasal 9 (1) Nilai penyerahan pengurusan Aset Kredit kepada Panitia Urusan Piutang Negara didasarkan pada Akta Pengalihan Hak Atas Tagihan (cessie). (2) Dalam hal terdapat putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, nilai penyerahan pengurusan Aset Kredit kepada Panitia Urusan Piutang Negara didasarkan pada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut. Pasal 10 (1) Dalam hal penyerahan pengurusan Aset Kredit kepada Panitia Urusan Piutang Negara didasarkan pada surat pengakuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), nilai penyerahan yang digunakan merupakan jumlah/ nilai utang yang tercantum dalam laporan keuangan tanggal pisah batas pembukuan (cut off date). (2) Dalam hal tidak terdapat laporan keuangan tanggal pisah batas pembukuan (cut off date), nilai penyerahan yang digunakan merupakan jumlah/ nilai utang yang tercantum dalam NAL. (3) Dalam hal tidak terdapat NAL sebagaimana dimaksud pada ayat (2), nilai penyerahan yang digunakan merupakan jumlah/nilai utang yang tercantum pada perjanjian kredit. Pasal 11 Direktur Jenderal menyerahkan pengurusan Aset Kredit kepada Panitia Urusan Piutang Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengurusan piutang negara. Pasal 12 (1) Direktur Jenderal selaku penyerah pengurusan Aset Kredit memiliki wewenang atas Aset Kredit yang telah diserahkan pengurusannya kepada Panitia Urusan Piutang Negara untuk:
memberi persetujuan atau penolakan atas permintaan pertimbangan yang diajukan oleh Panitia Urusan Piutang Negara terhadap permohonan penebusan barang jaminan dengan nilai di bawah nilai pembebanan hak atas barang jaminan utang Aset Kredit;
memberi persetujuan atau penolakan atas permintaan pertimbangan yang diajukan oleh Panitia Urusan Piutang Negara terhadap permohonan penjualan tanpa melalui Lelang dengan nilai di bawah nilai pembebanan atau tidak ada pembebanan hak atas barang jaminan utang Aset Kredit;
melakukan koreksi atas jumlah utang yang telah diserahkan pengurusannya kepada Panitia Urusan Piutang Negara dalam hal terdapat:
kekeliruan dalam pencantuman nilai penyerahan; atau
sebab lain yang dapat di pertanggungjawabkan secara hukum;
mengajukan permohonan pencabutan pemblokiran, pengangkatan sita atas pemblokiran dan penyitaan yang sebelumnya dimohonkan oleh BDL atau Tim Likuidasi;
mengajukan permohonan roya;
mengajukan permohonan perpanjangan atau pembaruan hak atas barangjaminan Aset Kredit yang akan/telah berakhir masa berlakunya; atau
mengajukan permohonan penggantian dokumen barang jaminan Aset Kredit yang rusak. (2) Permintaan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a minimal dilengkapi dengan:
resume berkas kasus piutang negara;
laporan Penilaian yang masih berlaku;
fotokopi dokumen kepemilikan dan/atau dokumen pengikatan; dan
fotokopi surat permohonan dari pemilik atau ahli waris. (3) Permintaan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b minimal dilengkapi dengan:
resume berkas kasus piutang negara;
laporan Penilaian yang masih berlaku;
fotokopi dokumen kepemilikan dan/ a tau dokumen pengikatan; dan
fotokopi surat permohonan dari debitur atau ahli waris. (4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, diberikan dalam hal nilai permohonan minimal sebesar Nilai Wajar berdasarkan laporan Penilaian. Pasal 13 (1) Aset Kredit yang pengurusannya ditolak oleh panitia urusan piutang negara disebabkan belum terpenuhinya kelengkapan persyaratan penyerahan piutang negara ditindaklanjuti oleh Direktorat dengan melakukan upaya pemenuhan kelengkapan persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang piutang negara. (2) Dalam hal kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
telah terpenuhi, Direktorat menyerahkan kembali pengurusannya kepada Panitia Urusan Piutang Negara; a tau b. tidak terpenuhi, Direktorat melakukan upaya optimal berupa panggilan kepada debitur melalui media cetak atau website, dalam rangka penyelesaian kewajiban debitur. (3) Dalam hal debitur memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dan setelah dilakukan wawancara/penelitian terhadap debitur diperoleh dokumen/informasi yang dapat memenuhi persyaratan, Direktorat menyerahkan kembali pengurusannya kepada Panitia Urusan Piutang Negara. (4) Dalam hal Direktorat telah melakukan upaya optimal, Direktur Jenderal atas nama Menteri menetapkan Aset Kredit eks BDL yang tidak dapat diserahkan pengurusannya kepada Panitia Urusan Piutang Negara. (5) Berdasarkan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Aset Kredit dicatat dalam daftar Aset Kredit yang tidak dapat diserahkan pengurusannya kepada Panitia Urusan Piutang Negara. Pasal 14 Terhadap Aset Kredit yang dikembalikan pengurusannya oleh Panitia Urusan Piutang Negara berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengurusan piutang negara, Direktorat melakukan:
pencatatan secara terpisah dengan disertai keterangan alasan pengembalian oleh Panitia Urusan Piutang Negara; dan
upaya lebih lanjut pengelolaan Aset Kredit sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang pengurusan piutang negara. Bagian Ketiga Aset lnventaris Pasal 15 Pengelolaan atas Aset Inventaris meliputi:
penatausahaan;
pengamanan dan pemeliharaan;
penjualan secara Lelang; dan
penetapan menjadi BMN. Paragraf 1 Penatausahaan Pasal 16 Penatausahaan Aset Inventaris dilakukan oleh Direktorat dengan cara:
lnventarisasi; dan
pelaporan pengelolaan Aset Inventaris. Pasal 17 (1) Terhadap Aset Inventaris dilakukan Inventarisasi untuk mengetahui jumlah dan kondisi Aset. (2) Hasil Inventarisasi dicatat dalam suatu sistem informasi pengelolaan Aset. Paragraf 2 Pengamanan dan Pemeliharaan Pasal 18 (1) Pengamanan dan pemeliharaan fisik beserta dokumen Aset Inventaris dilakukan oleh Direktorat. (2) Pelaksanaan pengamanan dan pemeliharaan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diserahkan kepada Kantor Wilayah. (3) Pengamanan fisik Aset Inventaris dilakukan dengan cara menyimpan Aset Inventaris di dalam Aset Properti atau di tempat lain yang ditentukan oleh Direktur. Paragraf 3 Penjualan Secara Lelang Pasal 19 (1) Direktur Jenderal dapat melakukan penjualan atas Aset Inventaris. (2) Penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan melalui Lelang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Lelang. (3) Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui Kantor Pelayanan. (4) Lelang Aset Inventaris dilakukan dalam kondisi sebagaimana adanya (as is). (5) Dalam hal kondisi Aset Inventaris rusak berat dan tidak dapat digunakan berdasarkan hasil penelitian fisik oleh Direktorat, Aset Inventaris dapat dilelang sebagai rongsokan (scrap). (6) Nilai Limit Lelang ditetapkan oleh Direktur Jenderal minimal sama dengan Nilai Wajar berdasarkan laporan penilaian. (7) Nilai Limit sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berlaku untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal ditetapkan, kecuali terdapat perubahan kondisi yang signifikan atas Aset Inventaris. Pasal 20 Dalam hal pelaksanaan penjualan lelang sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 tidak laku, Aset Inventaris dapat ditetapkan statusnya sebagai BMN. Paragraf 4 Penetapan Menjadi BMN Pasal 21 (1) Penetapan Aset Inventaris menjadi BMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dilakukan berdasarkan permohonan dari pimpinan Kementerian/Lembaga kepada Direktur J enderal. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat alasan yang mendasari permohonan dan dilengkapi dengan:
data Aset Inventaris;
surat pernyataan komitmen menggunakan Aset Inventaris untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi;
surat pernyataan kesediaan menerima Aset Inventaris, dalam kondisi fisik dan/atau dokumen sebagaimana adanya _(as is); _ dan d. surat pernyataan kesediaan dan tanggung jawab penuh untuk melunasi dan menyelesaikan segala biaya serta kewajiban yang melekat pada Aset Inventaris tersebut. Pasal 22 (1) Direktorat melakukan penelitian atas permohonan se bagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1). (2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian:
permohonan disetujui, Aset Inventaris ditetapkan sebagai BMN dan ditetapkan status penggunaannya kepada Kementerian/Lembaga; atau
permohonan tidak disetujui, Direktur Jenderal memberitahukan secara tertulis kepada pimpinan Kementerian/Lembaga, disertai dengan alasan. Pasal 23 (1) Penetapan Aset Inventaris menjadi BMN dan penetapan status penggunaannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dilakukan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri melalui Keputusan Menteri. (2) Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada huruf a minimal memuat:
pertimbangan penetapan status penggunaan;
identitas Aset Inventaris yang ditetapkan statusnya menjadi BMN;
pengguna barang;
tindak lanjut penetapan status penggunaan; dan
kewajiban pembayaran hak Nasabah Penyimpan Dana, dalam hal Aset Inventaris yang ditetapkan merupakan aset dari PT Bank Asiatic (Dalam Likuidasi), PT Bank Dagang Bali (Dalam Likuidasi), dan PT Bank Global Internasional Tbk (Dalam Likuidasi). (3) Dalam identitas Aset Inventaris sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, memuat pula nilai Aset Inventaris yang merupakan Nilai Wajar berdasarkan laporan Penilaian. (4) Penetapan status penggunaan Aset Inventaris ditindaklanjuti dengan pembuatan berita acara serah terima Aset Inventaris dari Direktorat kepada Kementerian/ Lembaga. Bagian Keempat Surat Berharga Pasal 24 Pengelolaan Surat Berharga meliputi:
penatausahaan;
permintaan konfirmasi kepemilikan;
menghadiri Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atau Rapat Umum Pemegang Obligasi (RUPO);
permintaan pembayaran atas dividen saham atau bunga obligasi;
pencairan obligasi; dan
penjualan Aset Saham. Paragraf 1 Penatausahaan Pasal 25 (1) Penatausahaan Surat Berharga dilakukan oleh Direktorat dengan cara:
Inventarisasi;
Verifikasi; dan
pelaporan pengelolaan Surat Berharga. (2) Penatausahaan Surat Berharga dilakukan oleh Direktorat terhadap dokumen Surat Berharga. (3) Hasil penatausahaan Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dalam suatu sis tern informasi pengelolaan Aset. Paragraf 2 Permintaan Konfirmasi Kepemilikan Pasal 26 Direktur meminta konfirmasi kepemilikan Surat Berharga yang telah ditatausahakan kepada:
Biro Administrasi Ef ek;
PT Kustodian Sentral Efek Indonesia;
Emiten; dan/atau
penerbit obligasi. Paragraf 3 Menghadiri Rapat Umum Pemegang Saham dan Rapat Umum Pemegang Obligasi Pasal 27 (1) Direktur ber hak menghadiri dan mengam bil kepu tusan dalam RUPS sesuai dengan ketentuan pada anggaran dasar perseroan atau RUPO sesuai dengan perjanjian perwaliamanatan. (2) Direktur dapat memberikan kuasa kepada pejabat atau pegawai dibawahnya dengan hak substitusi untuk menghadiri dan memberikan suara dalam RUPS atau RUPO sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak dimaksudkan untuk melakukan penambahan modal oleh Menteri. Paragraf 4 Permintaan Pembayaran Atas Dividen Saham atau Bunga Obligasi Pasal 28 (1) Direktur melakukan monitoring atas pembayaran dividen atau bunga obligasi. (2) Dalam pelaksanaan monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur meminta pembayaran atas:
dividen saham; dan/atau
bunga obligasi setiap jatuh tempo. Paragraf 5 Pencairan Obligasi Pasal 29 Direktur melakukan pencairan Surat Berharga berupa obligasi. Paragraf 6 Penjualan Aset Saham Pasal 30 (1) Direktur Jenderal dapat melakukan penjualan atas Aset Saham:
melalui Lelang; atau
tanpa melalui Lelang. (2) Penjualan Aset Saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan anggaran dasar perusahaan, perjanjian antar pemegang saham, dan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Pelaksanaan penjualan Aset Saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikuasakan kepada Direktur.
(2) (3) (4) (5) (6) Pasal 31 Penjualan Aset Saham melalui Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf a dilakukan melalui Kantor Pelayanan. Penjualan Aset Saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
Aset Saham pada perusahaan tertutup yang pemegang saham dan/ a tau karyawan tidak menggunakan haknya untuk membeli; dan/atau
saham pada perusahaan terbuka yang tidak tercatat di bursa efek. Nilai Limit penjualan melalui Lelang ditetapkan oleh Direktur Jenderal minimal sama dengan Nilai Wajar berdasarkan laporan Penilaian yang dilakukan oleh penilai. Nilai Limit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku selama 3 (tiga) bulan sejak ditetapkan. Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
Penilai Pemerintah; atau
Penilai Publik yang ditunjuk oleh Direktur. Permohonan Penilaian Aset Saham kepada Pemerintah disampaikan oleh Direktur sesuai Penilai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Penilaian. (7) Ketentuan mengenai penjualan melalui Lelang berpedoman pada ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang Lelang. Pasal 32 Dalam hal Aset Saham pada perusahaan tertutup yang anggaran dasar perusahaan mengatur mengenai adanya hak pemegang saham atau karyawan untuk membeli terlebih dahulu, penawaran penjualan Aset Saham dilakukan dengan menggunakan Nilai Wajar berdasarkan laporan Penilaian. Pasal 33 (1) Aset Saham yang dilakukan penjualan tanpa melalui Lelang sebagaimana dimaksud dalam pasal 30 ayat (1) huruf b merupakan Aset Saham pada perusahaan terbuka yang tercatat/ terdaftar di bursa efek. (2) Penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan baik melalui bursa efek maupun di luar bursa efek dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal dan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait lainnya. (3) Nilai Limit penjualan Aset Saham tanpa melalui Lelang ditetapkan oleh Direktur Jenderal berdasarkan hasil analisis perhitungan rata-rata penutupan harian yang diperoleh dari harga penutupan selama 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum proses penjualan Aset Saham. (4) Nilai limit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku selama 3 (tiga) bulan sejak ditetapkan. (5) Harga penjualan minimal sama dengan Nilai Limit. Bagian Kelima Aset Penempatan Pasal 34 Pengelolaan Aset Penempatan meliputi:
penatausahaan; dan
pencairan dan/atau penagihan dana pada bank peny1mpan. Pasal 35 (1) Penatausahaan Aset Penempatan dilakukan oleh Direktorat dengan cara:
Inventarisasi;
Verifikasi; dan
pelaporan pengelolaan Aset Penempatan. (2) Penatausahaan Aset Penempatan dilakukan oleh Direktorat terhadap dokumen Aset Penempatan. (3) Hasil penatausahaan Aset Penempatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dalam suatu sistem informasi pengelolaan Aset. Pasal 36 Direktur melakukan pencairan dan/atau penagihan Aset Penempatan dengan cara mengajukan permintaan pencairan dan/atau penagihan pada bank penyimpan. Bagian Keenam Aset Properti Pasal 37 Aset Properti terdiri atas:
Aset tetap, yaitu Aset Properti yang berasal dari milik eks BDL;
Barang Jaminan Diambil Alih, yaitu Aset Properti yang berasal dari barangjaminan kredit yang telah diambil alih dan/atau dikuasai oleh eks BDL;
Aset yang diperoleh berdasarkan penetapan/ putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap; dan
Aset yang berasal dari penyerahan pemegang saham kepada BDL untuk menyelesaikan permasalahan permodalan dan likuiditas BDL. Pasal 38 Pengelolaan atas Aset Properti meliputi:
penatausahaan;
pengamanan dan pemeliharaan;
penjualan;
penetapan Aset Properti menjadi BMN; dan
pemanfaatan dalam bentuk Sewa. Paragraf 1 Penatausahaan Pasal 39 (1) Direktorat melaksanakan penatausahaan Aset Properti melalui Inventarisasi dan Verifikasi dokumen. (2) Inventarisasi dan Verifikasi dokumen Aset Properti se bagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada:
dokumen yang dikuasai oleh Kementerian Keuangan; dan/atau
dokumen lain yang terkait dengan status Aset Properti. (3) Inventarisasi dan Verifikasi dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk:
proses Verifikasi Aset Properti;
peninjauan fisik atas Aset Properti;
kodifikasi atas Aset Properti; dan
pencatatan setiap perubahan jumlah Aset Properti, nilai Aset Properti, dan penerimaan hasil pengelolaan Aset Properti yang dikarenakan adanya penjualan, penetapan Aset Properti menjadi BMN, putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, atau perubahan lain yang sah. (4) Hasil Inventarisasi dan Verifikasi dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dicatat oleh Direktorat dalam suatu sistem informasi pengelolaan Aset. Paragraf 2 Pengamanan dan Pemeliharaan Pasal 40 Pengamanan dan pemeliharaan Aset Properti dilakukan terhadap:
fisik Aset Properti; dan
dokumen Aset Properti. Pasal 41 (1) Pengamanan dan pemeliharaan fisik Aset Properti dilakukan oleh Kantor Wilayah. (2) Dalam hal Aset Properti tidak berada dalam penguasaan pihak lain yang tidak berhak, dapat dilakukan pembayaran atas biaya pemeliharaan. (3) Dalam pengamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Kantor Wilayah menunjuk wakil kerja untuk melaksanakan pengamanan fisik Aset Properti. (4) Kantor Wilayah menyampaikan laporan mengenai pelaksanaan pengamanan dan pemeliharaan Aset Properti kepada Direktorat. (5) Direktorat melakukan evaluasi atas laporan yang disampaikan oleh Kantor Wilayah yang hasilnya dilaporkan kepada Direktur Jenderal. (6) Direktorat/Kantor Wilayah dapat meminta bantuan kepada unit kerja terkait di lingkungan Kementerian Keuangan dan/atau instansi berwenang lainnya, guna pengamanan fisik Aset Properti. Pasal 42 (1) Pengamanan dan pemeliharaan atas dokumen Aset Properti dilaksanakan oleh Direktur. (2) Pengamanan dan pemeliharaan dokumen Aset Properti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
Verifikasi masa berlaku hak atas Aset Properti;
konfirmasi atas status hukum Aset Properti kepada unit kerja terkait di lingkungan Kementerian Keuangan dan/atau instansi terkait; dan
penyimpanan dokumen Aset Properti secara tertib dan rapi di tempat yang aman. (3) Dalam pelaksanaan pengamanan dan pemeliharaan dokumen Aset Properti, Direktur dapat meminta bantuan kepada unit kerja terkait di lingkungan Kementerian Keuangan dan/atau instansi berwenang lainnya. Pasal 43 (1) Untuk pengamanan Aset Properti, Direktur dapat melakukan pemblokiran Aset Properti. (2) Dalam pelaksanaan pemblokiran Aset Properti, Direktur dapat meminta bantuan Kepala Kantor wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan setempat. Paragraf 3 Penjualan Pasal 44 (1) Direktur Jenderal dapat melakukan penjualan atas Aset Properti. (2) Penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan:
melalui Lelang;
tanpa melalui Lelang. Pasal 45 (1) Penjualan melalui Lelang sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 ayat (2) huruf a dilaksanakan melalui Kantor Pelayanan sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang Lelang. (2) Aset Properti yang dilakukan penjualan melalui lelang merupakan Aset Properti dalam kondisi fisik dan/ a tau dokumen apa adanya (as is}, termasuk biaya terutang (tunggakan biaya) yang melekat (3) Nilai Limit penjualan melalui Lelang ditetapkan oleh Direktur Jenderal minimal sama dengan Nilai Wajar berdasarkan laporan Penilaian yang dilakukan oleh penilai. (4) Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
Penilai Pemerintah; atau
Penilai Publik yang ditunjuk oleh Direktur. (5) Permohonan penilaian Aset Properti kepada Penilai Pemerintah sebagaimana dimaksud ayat (4) huruf a dilakukan oleh Direktur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Penilaian. (6) Nilai Limit yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal berlaku selama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal penetapan Nilai Limit. (7) Dalam hal terdapat perubahan yang signifikan atas kondisi Aset Properti, masa berlaku Nilai Limit sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat kurang dari 1 (satu) tahun. (8) Perubahan yang signifikan atas kondisi Aset Properti sebagaimana dimaksud pada ayat (7) meliputi:
perubahan fisik yang antara lain disebabkan karena pelebaran jalan, bencana alam, dan abrasi; atau
perubahan peruntukan. (9) Terhadap Aset Properti sebagaimana dimaksud pada ayat (8), dilakukan Penilaian ulang untuk memperoleh Nilai Wajar terbaru atas Aset Properti. (10) Direktur Jenderal menetapkan Nilai Limit minimal sama dengan Nilai Wajar Aset Properti berdasarkan hasil Penilaian ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (6). Pasal 46 (1) Dalam hal Aset Properti tidak laku terjual dalam dua kali Lelang:
untuk Lelang selanjutnya dapat diberikan faktor penyesuai atas Nilai Wajar Aset Properti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (10); atau
Aset Properti dilakukan Penjualan Tanpa melalui Lelang. (2) Faktor penyesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan berdasarkan pertimbangan dan kajian oleh Direktorat. (3) Faktor penyesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan dengan prosentase pengurangan paling besar 30 % (tiga puluh persen) dari nilai wajar. (4) Dalam pemberian faktor penyesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Direktur Jenderal dapat meminta bantuan aparat pengawasan internal pemerintah untuk melakukan reviu. Pasal 47 (1) Penjualan tanpa melalui Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) hurufb dapat dilaksanakan dalam hal:
tidak terpenuhinya legalitas formal subjek dan objek Lelang sesuai peraturan perundang- undangan di bidang Lelang untuk dapat dilakukan penjualan Aset Properti melalui Lelang; atau
Aset Properti tidak terjual dalam dua kali penjualan melalui Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) huruf b. (2) Ketentuan sebagaimana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berdasarkan hasil Verifikasi oleh Direktorat dan/atau rekomendasi komite penyelesaian Aset Properti yang dibentuk Direktur Jenderal. (3) Pihak yang dapat melakukan Penjualan tanpa melalui Lelang atas Aset Properti se bagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
pihak lain yang namanya tercantum dalam dokumen kepemilikan atau orang lain yang dinyatakan sebagai pemilik berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, atau ahli warisnya, dan tidak termasuk _nominee; _ b. badan hukum yang namanya tercantum dalam dokumen kepemilikan yang diwakili oleh pengurus yang masih aktif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
eks debitur terkait yang sudah tidak mempunyai kewajiban kepada BDL c.q. Pemerintah Republik Indonesia;
pihak lain yang telah menguasai Aset Properti secara fisik minimal 20 (dua puluh) tahun dan telah mendirikan bangunan permanen; atau
pihak selain pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d setelah mendapat persetujuan Direktur Jenderal. (4) Dalam pemberian persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e, Direktur Jenderal dapat meminta bantuan aparat pengawasan internal pemerintah untuk melakukan reviu atas permohonan pembelian tanpa melalui Lelang. (5) Eks debitur terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c hanya dapat mengikuti penjualan tanpa melalui Lelang atas Aset Properti berupa:
Barang Jaminan Diambil Alih; atau
Barang Jaminan Diambil Alih yang dicatat sebagai Aset Tetap pada laporan keuangan BDL. Pasal 48 (1) Pihak yang terafiliasi dengan eks BDL tidak dapat mengikuti penjualan tanpa melalui Lelang. (2) Pihak terafiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
komisaris/pengawas eks BDL;
direksi/pengurus eks BDL; dan/atau
pemegang saham eks BDL. (3) Pihak terafiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk keluarga sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat dan/ a tau ke samping satu derajat. Pasal 49 (1) Pihak yang dapat menjadi pembeli dalam penjualan tanpa melalui Lelang atas Aset Properti sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 7 ayat (3) harus mengajukan surat permohonan kepada Direktur Jenderal, yang minimal memuat:
uraian Aset Properti yang akan dimohonkan untuk dilaksanakan penjualan tanpa melalui Lelang;
identitas pemohon; dan
nilai penawaran. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan surat pernyataan secara notariil dari pemohon yang menyatakan bukan se bagai pihak terafiliasi sebagaimana dimaksud Pasal 48 ayat (2) dan ayat (3). Pasal 50 (1) Penjualan tanpa melalui Lelang atas Aset Properti dapat disetujui apabila nilai penawaran minimal sama dengan Nilai Wajar berdasarkan laporan Penilaian. (2) Nilai penjualan tanpa melalui Lelang ditetapkan oleh Direktur Jenderal minimal sama dengan Nilai Wajar berdasarkan laporan Penilaian yang dilakukan oleh penilai. (3) Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
Penilai Pemerintah; atau
Penilai Publik yang ditunjuk oleh Direktur. (4) Permohonan Penilaian Aset Properti kepada Penilai Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan oleh Direktur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Penilaian. (5) Persetujuan penjualan tanpa melalui Lelang atas Aset Properti diberikan oleh Direktur Jenderal berdasarkan rekomendasi dari Direktur.
Permohonan penjualan tanpa melalui Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 dapat disetujui apabila nilai penawaran minimal sama dengan Nilai Wajar Aset Properti berdasarkan laporan Penilaian. (7) Dalam kondisi tertentu, atas Nilai Wajar Aset Properti sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat diberikan faktor penyesuai. (8) Faktor penyesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diberikan dengan pertimbangan tidak terpenuhinya legalitas formal subjek dan objek Lelang sesuai peraturan perundang-undangan di bidang Lelang. (9) Faktor penyesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diberikan prosentase pengurangan dari Nilai Wajar paling tinggi sebesar 30 % (tiga puluh persen). (10) Dalam pemberian faktor penyesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Direktur Jenderal dapat meminta bantuan aparat pengawasan internal pemerintah untuk melakukan reviu. Paragraf 4 Penetapan Aset Properti Menjadi BMN Pasal 51 (1) Menteri dapat menetapkan Aset Properti menjadi BMN. (2) Aset Properti yang dapat ditetapkan menjadi BMN meliputi:
Aset Properti yang dilengkapi dengan:
dokumen pengalihan hak dari Tim Likuidasi; atau
dokumen pengalihan hak dari pemilik asal kepada BDL/Tim Likuidasi;
Aset Properti yang tidak dilengkapi dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf a, namun tercatat pada NAL sebagai Aset Properti; dan
Aset Properti yang tidak dilengkapi dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan tidak tercatat pada NAL. (3) Dokumen pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a tidak terbatas pada akta kuasa untuk menjual, ppjb, ajb, Risalah Lelang, surat pernyataan dari pemilik/eks BDL/Tim Likuidasi, berita acara serah terima atau dokumen pengalihan hak lainnya. Pasal 52 (1) A set Properti se bagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) huruf b, dapat ditetapkan sebagai BMN dengan mekanisme:
Verifikasi; dan
diumumkan dalam media cetak sebanyak 2 (dua) kali dengan rentang waktu 30 (tiga puluh) hari. (2) Dalam proses penetapan sebagai BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktorat dapat meminta reviu aparat pengawasan internal pemerintah. Pasal 53 Aset Properti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) huruf c ditetapkan menjadi BMN setelah mendapatkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Pasal 54 Penetapan Aset Properti menjadi BMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) dilakukan:
berdasarkan permohonan dari pimpinan Kementerian/Lembaga kepada Direktur Jenderal; atau
tanpa didahului permohonan dari Kementerian/Lembaga. Pasal 55 (1) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf a minimal memuat alasan yang mendasari permohonan dan dilampiri dengan:
data Aset Properti;
surat pernyataan komitmen menggunakan Aset Properti untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi;
surat pernyataan kesediaan menerima Aset Properti, dalam kondisi fisik dan/atau dokumen sebagaimana adanya _(as is); _ dan d. surat pernyataan kesediaan dan tanggung jawab penuh untuk melunasi dan menyelesaikan segala biaya serta kewajiban yang melekat pada Aset Properti tersebut. (2) Dalam hal Aset Properti berasal dari PT Bank Asiatic (Dalam Likuidasi), PT Bank Dagang Bali (Dalam Likuidasi), dan PT Bank Global lnternasional Tbk (Dalam Likuidasi) selain kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf a dilampiri pula dengan surat pernyataan bersedia menyelesaikan kewajiban pembayaran kepada Nasabah Penyimpan Dana. Pasal 56 (1) Direktorat melakukan penelitian atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1). (2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian:
permohonan disetujui, Aset Properti ditetapkan sebagai BMN dan ditetapkan status penggunaannya kepada Kementerian/Lembaga; atau
permohonan tidak disetujui, Direktur Jenderal memberitahukan secara tertulis kepada pimpinan Kementerian/Lembaga, disertai dengan alasan. Pasal 57 (1) Penetapan Aset Properti menjadi BMN dan penetapan status penggunaannya se bagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) huruf a ditetapkan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri melalui Keputusan Menteri. (2) Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat:
pertimbangan penetapan status penggunaan;
identitas Aset Properti yang ditetapkan statusnya menjadi BMN;
nilai Aset Properti;
pengguna barang;
tindak lanjut penetapan status penggunaan; dan
kewajiban pembayaran hak Nasabah Penyimpan Dana, dalam hal Aset Properti yang ditetapkan merupakan aset dari PT Bank Asiatic (Dalam Likuidasi), PT Bank Dagang Bali (Dalam Likuidasi), dan PT Bank Global Internasional Tbk (Dalam Likuidasi). (3) Nilai Aset Properti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c merupakan Nilai Wajar berdasarkan laporan Penilaian dan diperhitungkan sebagai pengurang kewajiban eks BDL kepada pemerintah. (4) Penetapan Aset Properti menjadi BMN dan penetapan status penggunaannya ditindaklanjuti dengan pembuatan berita acara serah terima Aset Properti dari Direktorat kepada Kementerian/ Lembaga. Pasal 58 (1) Penetapan Aset Properti menjadi BMN tanpa didahului permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf b dilaksanakan dengan tahapan:
Direktorat menyusun daftar Aset Properti yang direncanakan akan ditetapkan menjadi BMN; dan
Direktorat melakukan kajian atas Aset Properti sebagaimana dimaksud dalam huruf a. (2) Penetapan Aset Properti menjadi BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Direktur J enderal atas nama Menteri melalui Keputusan Menteri. (3) Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) minimal memuat:
pertimbangan penetapan Aset Properti menjadi BMN;
identitas Aset Properti yang ditetapkan menjadi BMN;
nilai Aset Properti; dan
kewajiban pembayaran hak Nasabah Penyimpan Dana, dalam hal Aset Properti yang ditetapkan merupakan aset dari PT Bank Asiatic (Dalam Likuidasi), PT Bank Dagang Bali (Dalam Likuidasi), dan PT Bank Global Internasional Tbk (Dalam Likuidasi). (4) Nilai Aset Properti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c merupakan Nilai Wajar berdasarkan laporan Penilaian dan diperhitungkan sebagai pengurang kewajiban eks BDL kepada pemerintah. (5) Aset Properti yang telah ditetapkan menjadi BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pengelolaannya berada pada Direktorat Jenderal. Paragraf 5 Pemanfaatan Dalam Bentuk Sewa Pasal 59 (1) Kepala Kantor Wilayah atas nama Menteri dapat melakukan pemanfaatan Aset Properti dengan cara Sewa. (2) Sewa Aset Properti dilakukan dengan tujuan:
mencegah penggunaan Aset Properti oleh pihak lain secara tidak sah; atau
mengoptimalkan Aset Properti yang:
belum diajukan Lelang;
belum dilakukan penjualan tanpa melalui Lelang; atau
belum ditetapkan menjadi BMN. (3) Jangka waktu Sewa paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang dalam hal behim terdapat rencana pengelolaan lainnya atas Aset Properti. Pasal 60 (1) Calon penyewa Aset Properti mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala Kantor Wilayah. (2) Permohonan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat:
uraian Aset Properti yang akan disewa;
identitas calon penyewa;
rencana peruntukan Sewa;
usulan besaran Sewa; dan
usulan jangka waktu Sewa. (3) Permohonan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan surat pernyataan untuk tidak menyewakan kembali kepada pihak lain atau menyerahkan dalam bentuk dan cara apapun objek Sewa kepada pihak lain. (4) Kantor Wilayah melakukan penelitian atas permohonan Sewa atas Aset Properti se bagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) termasuk melakukan konfirmasi kepada Direktorat atas rencana pengelolaan Aset Properti yang dimohonkan Sewa. (6) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
disetujui, Kepala Kantor Wilayah menerbitkan persetujuan Sewa; atau
tidak disetujui, Kepala Kantor Wilayah menerbitkan surat penolakan kepada calon penyewa disertai dengan alasannya. Pasal 61 (1) Berdasarkan persetujuan Sewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (6) huruf a, Kepala Kantor Wilayah menindaklanjuti dengan penandatanganan perjanjian Sewa dengan pihak penyewa. (2) Kepala Kantor Wilayah melaporkan pelaksanaan penandatangan perjanjian Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Direktur dengan melampirkan:
Persetujuan Sewa;
Bukti Setor; dan
Perjanjian Sewa. Pasal 62 Pembayaran uang Sewa secara sekaligus paling lambat dibayarkan sebelum ditandatanganinya perjanjian Sewa dengan cara disetorkan ke kas negara dan diperhitungkan sebagai pengurang kewajiban eks BDL kepada pemerintah. Pasal 63 Sewa berakhir dalam hal:
berakhirnya jangka waktu Sewa sebagaimana tertuang dalam perjanjian Sewa;
berlakunya syarat batal sesuai perjanjian; dan / a tau c. ketentuan lain sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan. Pasal 64 Ketentuan pemanfaatan dalam bentuk Sewa atas Aset Properti sepanJang tidak diatur dalam Peraturan Menteri m1 dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang pengelolaan BMN. BAB III INVENTARISASI DAN PENILAIAN Pasal 65 (1) Aset Kredit, Aset Inventaris, Surat Berharga berupa saham dan obligasi, Aset Penempatan, dan Aset Properti yang telah diserahkan kepada Pemerin tah dilakukan Inventarisasi dan Penilaian. (2) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh:
Penilai Pemerintah; atau
Penilai Publik yang ditunjuk oleh Direktur. (3) Dalam hal Penilaian dilakukan oleh Penilai Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, proses pengadaan jasa Penilai Publik dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan barang dan jasa oleh instansi pemerintah. (4) Pelaksanaan Inventarisasi dan Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada ketentuan dibidang Inventarisasi dan Penilaian. (5) Hasil dari pelaksanaan Inventarisasi dan Penilaian ditindaklanjuti dengan:
pencatatan pada suatu sistem informasi pengelolaan aset; dan
penatausahaan. Pasal 66 Pelaksanaan Inventarisasi dan Penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dengan memperhatikan kemampuan keuangan negara. BAB IV HASIL PENGELOLAAN ASET Pasal 67 (1) Hasil pengelolaan Aset terdiri atas:
hasil pengelolaan Aset berupa uang tunai; dan
hasil pengelolaan Aset yang bukan berupa uang tunai. (2) Hasil pengelolaan Aset berupa uang tunai berasal dari:
pembayaran/pelunasan Aset Kredit yang telah diserahkan pengurusannya kepada Panitia Urusan Piutang Negara;
Lelang Aset Inventaris;
pembayaran atas dividen saham dan bunga obligasi;
pencairan obligasi;
penjualan atas Surat Berharga;
pencairan dan/atau penagihan dana Aset Penempatan pada bank penyimpan;
Lelang Aset Properti;
penjualan tanpa melalui Lelang Aset Properti; dan
Sewa Aset Properti. (3) Hasil pengelolaan Aset yang bukan berupa uang tunai berasal dari:
penetapan Aset Inventaris menjadi BMN; dan
penetapan Aset Properti menjadi BMN. Pasal 68 (1) Hasil pengelolaan Aset berupa uang tunai yang berasal dari:
Lelang Aset Inventaris;
pembayaran atas dividen saham dan bunga obligasi;
pencairan obligasi;
penjualan atas Surat Berharga;
pencairan dan/atau penagihan dana Aset Penempatan pada bank penyimpan;
Lelang Aset Properti;
penjualan tanpa melalui Lelang; dan
Sewa Aset Properti, dikenakan biaya pengelolaan Aset. (2) Biaya pengelolaan Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak. (3) Pengenaan Biaya pengelolaan Aset dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 69 (1) Hasil pengelolaan A set se bagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) yang berasal dari:
PT Bank Anrico (Dalam Likuidasi);
PT Bank Guna Internasional (Dalam Likuidasi);
PT Bank Harapan Sentosa (Dalam Likuidasi);
PT Bank Citrahasta Dhanamanunggal (Dalam Likuidasi);
PT Bank Kosagraha Semesta Sejahtera (Dalam Likuidasi);
PT Bank Mataram Dhanarta (Dalam Likuidasi);
PT Bank Pasific (Dalam Likuidasi);
PT Sejahtera Bank Umum (Dalam Likuidasi);
PT South East Asia Bank (Dalam Likuidasi);
PT Bank Dwipa Semesta (Dalam Likuidasi);
PT Astria Raya Bank (Dalam Likuidasi) ;
PT Bank Pinaesaan (Dalam Likuidasi);
PT Bank Industri (Dalam Likuidasi); dan
PT Bank Prasidha Utama (Dalam Likuidasi), setelah dikurangi biaya pengelolaan Aset merupakan hak pemerintah. (2) Hasil pengelolaan Aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) yang berasal dari:
PT Bank Asiatic (Dalam Likuidasi);
PT Bank Dagang Bali (Dalam Likuidasi); dan
PT Bank Global Internasional Tbk (Dalam Likuidasi), setelah diperhitungkan dengan biaya pengelolaan Aset dan pembayaran Nasabah Penyimpan Dana, merupakan hak pemerintah. Pasal 70 (1) Hasil pengelolaan Aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (3) yang berasal dari:
PT Bank Anrico (Dalam Likuidasi);
PT Bank Guna Internasional (Dalam Likuidasi);
PT Bank Harapan Sentosa (Dalam Likuidasi);
PT Bank Citrahasta Dhanamanunggal (Dalam Likuidasi);
PT Bank Kosagraha Semesta Sejahtera (Dalam Likuidasi);
PT Bank Mataram Dhanarta (Dalam Likuidasi);
PT Bank Pasific (Dalam Likuidasi);
PT Sejahtera Bank Umum (Dalam Likuidasi);
PT South East Asia Bank (Dalam Likuidasi); J. PT Bank Dwipa Semesta (Dalam Likuidasi);
PT Astria Raya Bank (Dalam Likuidasi);
PT Bank Pinaesaan (Dalam Likuidasi);
PT Bank Industri (Dalam Likuidasi); dan
PT Bank Prasidha Utama (Dalam Likuidasi), merupakan hak pemerintah. (2) Hasil pengelolaan Aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (3) yang berasal dari:
PT Bank Asiatic (Dalam Likuidasi);
PT Bank Dagang Bali (Dalam Likuidasi); dan
PT Bank Global Internasional Tbk (Dalam Likuidasi), setelah diperhitungkan dengan pembayaran kepada Nasabah Penyimpan Dana merupakan hak pemerintah. Pasal 71 Hak pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dan Pasal 70 diperhitungkan sebagai pengurang piutang pemerintah pada BDL yang tercantum dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat. Pasal 72 Biaya pengelolaan Aset, hak pemerintah, dan dana pembayaran Nasabah Penyimpan Dana dari hasil pengelolaan Aset yang berupa uang tunai disetor ke kas negara. Pasal 73 Nasabah Penyimpan Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (2) merupakan Nasabah Penyimpan Dana yang masih memiliki hak atas hasil pengelolaan Aset yang besarannya ditetapkan oleh Tim Likuidasi dan disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 74 (1) Menteri selaku Bendahara Umum Negara adalah PA pembayaran Nasabah Penyimpan Dana. (2) Menteri menunjuk Direktur Jenderal untuk melaksanakan fungsi PA atas pembayaran Nasabah Penyimpan Dana. (3) Menteri selaku PA menunjuk Direktur selaku KPA. (4) Penunjukan KPA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bersifat ex-officio. Pasal 75 (1) KPA bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan pembayaran Nasabah Penyimpan Dana. (2) Untuk melaksanakan tanggung jawab, KPA menetapkan:
PPK; dan
PPSPM. Pasal 76 (1) Penetapan PPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) huruf a dilakukan untuk mengajukan permintaan pembayaran Nasabah Penyimpan Dana. (2) Penetapan PPK tidak terikat tahun anggaran. Pasal 77 (1) Penetapan PPSPM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) huruf b dilakukan untuk pengujian permintaan pembayaran, pembebanan, dan penerbitan perintah pembayaran Nasabah Penyimpan Dana. (2) Penetapan PPSPM tidak terikat tahun anggaran. Pasal 78 (1) Pembayaran Nasabah Penyimpan Dana dilakukan ke rekening pada bank yang ditunjuk oleh Otoritas Jasa Keuangan. (2) Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan realisasi dana pembayaran Nasabah Penyimpan Dana pada kas negara pada tahun sebelumnya. Pasal 79 Pembayaran Nasabah Penyimpan Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dilaksanakan setiap tahun yang besaran nilai pembayarannya didasarkan pada Laporan Keuangan BUN audited tahun sebelumnya.
(2) Pasal 80 Direktur Jenderal menetapkan keputusan mengenai besaran pembayaran Nasabah Penyimpan Dana untuk masing-masing BDL berdasarkan data realisasi dana pembayaran Nasabah Penyimpan Dana pada kas negara tahun sebelumnya. Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap tahun.
Besaran nilai pembayaran Nasabah Penyimpan Dana yang ditetapkan dalam keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada Laporan Keuangan BUN audited tahun sebelumnya. Pasal 81 Berdasarkan keputusan Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) mengenai be saran pembayaran Nasabah Penyimpan Dana untuk masing-masing BDL, KPA menerbitkan SKP. Pasal 82 (1) Berdasarkan SKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81, PPK menerbitkan SPP untuk pembayaran Nasabah Penyimpan Dana ke rekening sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78. (2) PPK menyampaikan SPP kepada PPSPM dengan melampirkan SKP. (3) Berdasarkan SPP, PPSPM melakukan pemeriksaan dan pengujian SPP beserta lampirannya. (4) Dalam hal pemeriksaan dan pengujian SPP telah memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, PPSPM menerbitkan SPM Nasabah Penyimpan Dana untuk pembayaran Nasabah Penyimpan Dana ke rekening sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dalam rangkap 3 (tiga) dengan peruntukan sebagai berikut:
lembar ke-1 dan lembar ke-2 untuk KPPN; dan
lembar ke-3 untuk pertinggal. (5) Dalam hal pemeriksaan dan pengujian SPP tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, PPSPM mengembalikan SPP kepada PPK untuk diperbaiki dan dilengkapi. (6) PPSPM menyampaikan SPM Nasabah Penyimpan Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada KPPN. Pasal 83 Berdasarkan SPM Nasabah Penyimpan Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (6) dan SKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81, KPPN menerbitkan SP2D sesuai dengan ketentuan penerbitan SP2D. Pasal 84 (1) Dalam hal pada tahun berjalan terdapat selisih kelebihan/kekurangan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1), dapat diperhitungkan dengan pembayaran Nasabah Penyimpan Dana periode berikutnya. (2) Selisih kelebihan/kekurangan pembayaran Nasabah Penyimpan Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), didasarkan pada hasil rekonsiliasi antara Direktorat Jenderal dan Direktorat Jenderal Perbendaharaan, yang dituangkan dalam berita acara. Pasal 85 Pembayaran Nasabah Penyimpan Dana atas hasil pengelolaan Aset yang bukan berupa uang tunai dibebankan pada bagian anggaran Kementerian/Lembaga penerima manfaat dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai tata cara pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. BABV PENANGANANPERKARA Pasal 86 (1) Penanganan perkara di lembaga peradilan atas Aset dilakukan oleh Biro yang mempunyai tugas mengoordinasikan dan melaksanakan advokasi hukum pada Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan dengan mengikutsertakan Direktorat yang memiliki tugas dan fungsi di bidang bantuan hukum pada Direktorat Jenderal. (2) Direktorat yang memiliki tugas dan fungsi di bidang bantuan hukum pada Direktorat Jenderal menyampaikan laporan perkembangan penanganan perkara tiap triwulan kepada Direktur Jenderal dengan ditembuskan kepada Direktur. (3) Untuk penyusunan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktorat yang memiliki tugas dan fungsi di bidang bantuan hukum pada Direktorat Jenderal berkoordinasi dengan Biro yang mempunyai tugas mengoordinasikan dan melaksanakan advokasi hukum pada Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan. Pasal 87 Pengelolaan Aset yang berperkara dilakukan oleh Direktorat dengan mempertimbangkan perkara hukum atas Aset. BAB VI PELAPORAN Pasal 88 (1) Direktur menyampaikan laporan pengelolaan Aset setiap tahun kepada Direktur Jenderal. (2) Laporan pengelolaan Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perkembangan dan hasil pengelolaan Aset. Pasal 89 Direktur dengan sistem Untuk pertanggungjawaban pengelolaan Aset, Jenderal menyusun laporan keuangan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang akuntansi dan pelaporan keuangan pemerintah pusat. BAB VII MONITORING DAN EVALUASI Pasal 90 (1) Direktur Jenderal melakukan monitoring dan evaluasi atas pengelolaan Aset. (2) Hasil monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk menyempurnakan dan mengoptimalkan pengelolaan Aset. BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 91 (1) Seluruh proses pengelolaan Aset oleh Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal yang telah dilakukan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini dinyatakan tetap sah. (2) Pengelolaan Aset yang telah mendapatkan persetujuan Menteri dinyatakan tetap berlaku dan proses selanjutnya mengikuti ketentuan yang berlaku pada saat persetujuan Menteri diterbitkan. BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 92 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 185/PMK.06/2019 tentang Pengelolaan Aset Eks Bank dalam Likuidasi oleh Menteri Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1559), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku;dan b. pengelolaan Aset yang belum mendapatkan persetujuan, selanjutnya dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri 1n1. Pasal 93 Peraturan Menteri m1 mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangann Nomor 111/PMK.06/2016 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemindahtanganan Barang Milik Negara ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
Pengelola Barang adalah pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab menetapkan kebijakan dan pedoman serta melakukan pengelolaan BMN.
Pengguna Barang adalah pejabat pemegang kewenangan Penggunaan BMN.
Kuasa Pengguna Barang adalah kepala satuan kerja atau pejabat yang ditunjuk oleh Pengguna Barang untuk menggunakan barang yang berada dalam penguasaannya dengan sebaik-baiknya.
Penilai adalah pihak yang melakukan penilaian secara independen berdasarkan kompetensi yang dimilikinya.
Penilaian adalah proses kegiatan untuk memberikan suatu opini nilai atas suatu objek penilaian berupa BMN pada saat tertentu.
Pemindahtanganan adalah pengalihan kepemilikan BMN.
Penjualan adalah pengalihan kepemilikan BMN kepada pihak lain dengan menerima penggantian dalam bentuk uang.
Tukar Menukar adalah pengalihan kepemilikan BMN yang dilakukan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, atau antara Pemerintah Pusat dengan pihak lain, dengan menerima penggantian utama dalam bentuk barang, paling sedikit dengan nilai seimbang.
Hibah adalah pengalihan kepemilikan barang dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah atau dari Pemerintah Pusat kepada pihak lain tanpa memperoleh penggantian.
Penyertaan Modal Pemerintah Pusat adalah pengalihan kepemilikan BMN yang semula merupakan kekayaan negara yang tidak dipisahkan menjadi kekayaan negara yang dipisahkan untuk diperhitungkan sebagai modal/saham/aset neto/kekayaan bersih milik negara pada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan hukum lainnya yang dimiliki negara.
11a. Penghapusan adalah tindakan menghapus BMN dari daftar barang dengan menerbitkan keputusan dari pejabat yang berwenang untuk membebaskan Pengelola Barang, Pengguna Barang, dan/atau Kuasa Pengguna Barang dari tanggung jawab administrasi dan fisik atas barang yang berada dalam penguasaannya.
Kementerian Negara yang selanjutnya disebut Kementerian adalah perangkat Pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
Lembaga adalah organisasi non Kementerian Negara dan instansi lain pengguna anggaran yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya.
Menteri/Pimpinan Lembaga adalah pejabat yang bertanggung jawab atas Penggunaan BMN pada Kementerian/Lembaga yang bersangkutan.
Pihak Lain adalah pihak-pihak selain Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah.
Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal di lingkungan Kementerian Keuangan yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengelolaan BMN.
Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal di lingkungan Kementerian Keuangan yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengelolaan BMN.
Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disingkat BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
Badan Usaha Milik Daerah yang selanjutnya disingkat BUMD adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Pemerintah Daerah melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan daerah yang dipisahkan.
Ketentuan Pasal 5 ditambahkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (3) sehingga Pasal 5 berbunyi sebagai berikut:
Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Jaminan dan Subsidi Bunga oleh Pemerintah Pusat dalam Rangka Percepatan Penyediaan Air Minum ...
Relevan terhadap
Dalam rangka persetujuan atas permohonan pemberian Jaminan dan Subsidi Bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dalam hal ini Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara melakukan verifikasi kesesuaian antara ketentuan yang telah disetujui pada rancangan final Perjanjian Kredit dengan ketentuan dalam Perjanjian Kredit yang telah ditandatangani.
Berdasarkan hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko menyetujui pemberian Jaminan dan Subsidi Bunga dengan menandatangani dan menerbitkan Surat Jaminan Pemerintah Pusat.
Surat Jaminan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan pemberian Jaminan dan Subsidi Bunga diterima oleh Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Jaminan Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Jaminan, adalah jaminan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada bank pemberi kredit sehubungan dengan pembayaran kembali pokok kredit investasi Perusahaan Daerah Air Minum yang telah jatuh tempo sebesar 70% (tujuh puluh persen).
Subsidi Bunga adalah subsidi yang diberikan oleh Pemerintah Pusat terhadap bunga atas kredit investasi yang disalurkan bank pemberi kredit kepada Perusahaan Daerah Air Minum.
Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Perusahaan Daerah Air Minum, yang selanjutnya disingkat PDAM adalah unit pengelola dan pelayanan air minum kepada masyarakat milik Pemerintah Daerah.
Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
Kredit Investasi adalah kredit jangka menengah atau panjang yang diberikan oleh bank pemberi kredit kepada PDAM untuk membiayai barang-barang modal dalam rangka rehabilitasi, modernisasi, perluasan, atau pendirian proyek baru yang pelunasannya berasal dari hasil usaha dengan barang-barang modal yang dibiayai.
Bank Pemberi Kredit adalah bank yang memberikan Kredit Investasi kepada PDAM dalam rangka percepatan penyediaan air minum.
Suku Bunga Acuan adalah tingkat bunga sebesar imbal hasil rata-rata tertimbang hasil lelang surat perbendaharaan negara (SPN) 12 (dua belas) bulan ( new issuance ) yang diumumkan secara periodik oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko.
Perjanjian Kredit adalah perjanjian Kredit Investasi antara Bank Pemberi Kredit dengan PDAM.
Perjanjian Induk ( Umbrella Agreement ) yang selanjutnya disebut Perjanjian Induk, adalah perjanjian yang dilakukan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan PDAM.
Dana Alokasi Umum, yang selanjutnya disingkat DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Dana Bagi Hasil, yang selanjutnya disingkat DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang dialokasikan kepada daerah penghasil berdasarkan angka persentase tertentu dengan tujuan mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Kondisi Gagal Bayar PDAM, yang selanjutnya disebut Gagal Bayar adalah keadaan PDAM tidak dapat membayar sebagian atau seluruh pokok Kredit Investasi kepada Bank Pemberi Kredit pada saat jatuh tempo sebagaimana diatur dalam Perjanjian Kredit.
Perjanjian Penyelesaian Utang adalah perjanjian antara Pemerintah dan PDAM mengenai hak dan kewajiban para pihak dalam pelaksanaan pembayaran Jaminan.
Perjanjian Pinjaman adalah perjanjian antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengenai hak dan kewajiban para pihak dalam hal Pemerintah Daerah mengambil alih kewajiban PDAM kepada Pemerintah.
Rekening Kas Umum Negara adalah rekening tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara.
Rekening Dana Cadangan Penjaminan Pemerintah adalah rekening milik Menteri Keuangan selaku bendahara umum negara yang digunakan untuk mengelola dana cadangan penjaminan.
Jaminan yang telah diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.01/2009 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Jaminan dan Subsidi Bunga oleh Pemerintah Pusat dalam rangka Percepatan Penyediaan Air Minum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.011/2011 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.01/2009 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Jaminan dan Subsidi Bunga oleh Pemerintah Pusat dalam rangka Percepatan Penyediaan Air Minum, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya masa berlaku Jaminan.
Tingkat bunga Kredit Investasi dalam Perjanjian Kredit yang mendapat Jaminan dan Subsidi Bunga berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2009 tentang Pemberian Jaminan dan Subsidi Bunga oleh Pemerintah Pusat dalam rangka Percepatan Penyediaan Air Minum dan belum jatuh tempo, mengikuti tingkat bunga Kredit Investasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2019 tentang Pemberian Jaminan dan Subsidi Bunga oleh Pemerintah Pusat dalam rangka Percepatan Penyediaan Air Minum.
Selisih antara tingkat bunga Kredit Investasi dalam Perjanjian Kredit yang mendapat Jaminan dan Subsidi Bunga berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2009 tentang Pemberian Jaminan dan Subsidi Bunga oleh Pemerintah Pusat dalam rangka Percepatan Penyediaan Air Minum sebagaimana dimaksud pada ayat (2), yang telah disalurkan oleh Bank Pemberi Kredit dengan tingkat bunga Kredit Investasi yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2019 tentang Pemberian Jaminan dan Subsidi Bunga oleh Pemerintah Pusat dalam rangka Percepatan Penyediaan Air Minum, dapat diperhitungkan sejak Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2019 tentang Pemberian Jaminan dan Subsidi Bunga oleh Pemerintah Pusat dalam rangka Percepatan Penyediaan Air Minum berlaku.
Dalam hal pembayaran Kredit Investasi berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2009 tentang Pemberian Jaminan dan Subsidi Bunga oleh Pemerintah Pusat dalam rangka Percepatan Penyediaan Air Minum belum lunas, terhadap selisih tingkat bunga Kredit Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diperhitungkan dalam pembayaran tagihan berikutnya.
Dalam hal pembayaran Kredit Investasi berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2009 tentang Pemberian Jaminan dan Subsidi Bunga oleh Pemerintah Pusat dalam rangka Percepatan Penyediaan Air Minum telah lunas, dapat dilakukan pembayaran atau pengembalian terhadap selisih tingkat bunga Kredit Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Pengelolaan risiko atas Jaminan yang telah diterbitkan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2009 tentang Pemberian Jaminan dan Subsidi Bunga oleh Pemerintah Pusat dalam rangka Percepatan Penyediaan Air Minum sebagaimana dimaksud ayat (1), dilaksanakan mengikuti ketentuan mengenai pengelolaan risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26 terkecuali ayat (2) huruf c dan huruf d, dan Pasal 27.