Perubahan Kelima atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 231/KMK.03/2001 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah ...
Relevan terhadap
Atas impor Barang Kena Pajak yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk tetap dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah berdasarkan ketentuan perpajakan yang berlaku. perundang-undangan (2) Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), atas impor sebagian Barang Kena Pajak yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk, tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
Barang Kena Pajak yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah:
barang perwakilan negara asmg beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia berdasarkan asas timbal balik;
barang untuk keperluan badan internasional yang diakui dan terdaftar pada Pemerin tah Indonesia beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia dan tidak memegang paspor Indonesia;
barang kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial, kebudayaan, atau barang untuk kepentingan penanggulangan bencana alam;
barang untuk keperluan museum, kebun binatang, dan tempat lain semacam itu yang terbuka untuk umum, serta barang untuk konservasi alam;
barang untuk keperluan penelitian clan pengembangan ilmu pengetahuan; - 5 - f. barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat lainnya;
peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah;
barang pindahan tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri, mahasiswa yang belajar di luar negeri, Pegawai Negeri Sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, atau anggota Kepolisian Republik Indonesia yang bertugas di luar negeri sekurang-kurangnya selama 1 (satu) tahun, sepanjang barang tersebut tidak untuk diperdagangkan dan mendapat rekomendasi dari Perwakilan Republik Indonesia setempat; L barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan barang kiriman sampai batas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan Pabean; J. barang yang diimpor oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang ditujukan untuk kepentingan umum;
perlengkapan militer termasuk suku cadang yang diperuntukkan bagi keperluan pertahanan clan keamanan Negara; I. barang 1mpor sementara sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai · impor semen tara;
barang yang dipergunakan untuk kegiatan usaha eksplorasi clan eksploitasi hulu minyak clan gas bumi serta eksplorasi clan eksploitasi panas bumi;
dihapus;
barang yang telah diekspor kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama dengan kualitas pada saat diekspor;
barang yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerJaan, clan kemudian diimpor kembali; penguJian, q. obat-obatan yang diimpor dengan menggunakan anggaran pemerin tah yang diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat;
bahan terapi manusia, pengelompokan darah dan bahan penjenisan jaringan yang diimpor dengan menggunakan yang di perun tukkan masyarakat; anggaran bagi pemerintah kepen ting an s. barang dan bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain yang mendapat fasilitas impor untuk tujuan ekspor; ·' t. barang dan bahan atau mesin yang diimpor ^. oleh industri kecil dan menengah atau konsorsium untuk industri kecil dan menengah dengan menggunakan fasilitas impor untuk tujuan ekspor;
(3a) Fasilitas tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dapat diberikan terhadap Barang Kena Pajak se bagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf o, sepanjang pada saat ekspor Barang Kena Pajak dimaksud dinyatakan akan diimpor kembali.
Fasilitas tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dapat diberikan terhadap Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf m, sepanjang memenuhi ketentuan sebagai berikut:
barang tersebut belum dapat diproduksi dalam negen;
barang tersebut sudah diproduksi dalam negeri, namun belum memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan; atau
barang tersebut sudah diproduksi dalam negeri, namun jumlahnya belum mencukupi kebutuhan industri.
Untuk memperoleh fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Wajib Pajak harus mengajukan permohonan kepada Direktur J enderal Bea dan Cukai bersamaan dengan permohonan untuk memperoleh fasilitas pembebasan bea masuk, dengan dilampiri Rencana Impor Barang (RIB) yang telah disetujui dan ditandasahkan oleh Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi atau Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, yang tata caranya mengikuti ketentuan perundang-undangan Pabean.
Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pedoman Penggunaan Sistem Informasi Kredit Program.
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
Menteri Keuangan yang selanjutnya disebut Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. t 2. Sistem Informasi Kredit Program yang selanjutnya disingkat SIKP adalah sistem informasi elektronik yang digunakan untuk menatausahakan dan menyediakan informasi penyaluran Kredit Program.
Kredit Program adalah kredit/pembiayaan usaha yang disalurkan oleh lembaga keuangan, badan layanan umum atau koperasi simpan pinjam yang memperoleh fasilitas dari pemerintah untuk pembiayaan usaha mikro, kecil, dan menengah.
Kredit Usaha Rakyat yang selanjutnya disingkat KUR adalah kredit/pembiayaan modal kerja dan/atau investasi kepada debitur usaha yang produktif dan layak namun belum memiliki agunan tambahan atau agunan tambahan belum cukup.
Subsidi Bunga KUR yang selanjutnya disebut dengan Subsidi Bunga adalah subsidi berupa bagian bunga yang menjadi beban pemerintah sebesar selisih antara tingkat bunga yang diterima oleh penyalur KUR dengan tingkat bunga yang dibebankan kepada penerima KUR.
Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan.
Pengelola SIKP adalah unit yang berwenang mengelola SIKP.
Penyedia SIKP adalah pihak yang membangun dan mengembangkan SIKP.
Pengguna SIKP adalah pihak yang memiliki Hak Akses un tuk menggunakan SIKP.
Komite Kebijakan Pembiayaan bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang selanjutnya disebut Komite Kebijakan adalah komite yang dibentuk oleh Presiden melalui Keputusan Presiden yang diberi kewenangan dalam memberikan arahan kebijakan pembiayaan bagi usaha mikro, kecil, dan menengah. 1 1. Kementerian/Lembaga adalah Kernen terian Negara/Lembaga pelaksana teknis yang menjadi anggota Komite Kebijakan.
Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang mem1mpm pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
Penyalur adalah lembaga keuangan, badan layanan umum atau koperasi simpan pinjam yang ditunjuk untuk menyalurkan Kredit Program.
Penjamin adalah perusahaan penJamm yang ditunjuk untuk memberikan penjaminan atas Kredit Program. 1 5. Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kewenangan dan tanggung jawab dari Pengguna Anggaran untuk menggunakan anggaran pemberian fasilitas pembiayaan bagi usaha mikro, kecil dan menengah yang dikuasakan kepadanya.
Kode Pengguna adalah kode kewenangan Pengguna SIKP yang diberikan oleh Pengelola SIKP.
Kode Akses adalah angka, huruf, simbol, karakter lainnya atau kombinasi di antaranya, yang merupakan kunci untuk dapat mengakses SIKP.
Hak Akses adalah hak untuk melakukan interaksi dengan SIKP.
Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan.
Penggunaan SIKP bertujuan untuk:
menghubungkan para pemangku kepentingan Kredit Program dengan fitur layanan sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini;
meningkatkan akurasi basis data pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah sebagai sasaran penerima Kredit Program;
menyediakan basis data tunggal sebagai dasar perumusan kebijakan Kredit Program;
memberikan layanan informasi yang cepat, akurat, dan terintegrasi dalam implementasi KUR dan/atau skema lain yang ditetapkan oleh Pemerintah; dan
meningkatkan akurasi perhitungan dan kecepatan pembayaran Subsidi Bunga dan/atau fasilitas lainnya.
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
Relevan terhadap 5 lainnya
Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:
Usaha Mikro, Usaha Kecil, Usaha Menengah, dan Usaha Besar adalah Usaha Mikro, Usaha Kecil, Usaha Menengah, dan Usaha Besar sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
Izin Usaha adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Pejabat yang berwenang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai bukti legalitas yang menyatakan sah bahwa Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah telah memenuhi persyaratan dan diperbolehkan untuk menjalankan suatu kegiatan usaha tertentu.
Jangka Waktu adalah kondisi tingkatan lamanya pengembangan usaha yang diberikan kepada Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah.
Kemitraan adalah kerja sama dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang melibatkan pelaku Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah dengan Usaha Besar.
Iklim Usaha adalah kondisi yang diupayakan Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk memberdayakan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah secara sinergis melalui penetapan berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan di berbagai aspek kehidupan ekonomi, agar Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah memperoleh pemihakan, kepastian, kesempatan, perlindungan, dan dukungan berusaha yang seluas-luasnya.
Dunia Usaha adalah Usaha Mikro, Usaha Kecil, Usaha Menengah, dan Usaha Besar yang melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia dan berdomisili di wilayah negara Republik Indonesia.
Pembiayaan adalah penyediaan dana oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, dan masyarakat melalui bank, koperasi, dan lembaga keuangan bukan bank, untuk mengembangkan dan memperkuat permodalan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang selanjutnya disingkat KPPU adalah komisi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Undang-Undang adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
Menteri Teknis/Kepala Lembaga Pemerintah Nonkementerian adalah menteri/pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian yang secara teknis bertanggung jawab dalam pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam sektor kegiatannya.
Pejabat adalah pejabat yang berwenang untuk memberikan Izin Usaha sesuai dengan tugas dan fungsinya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati/walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
bahwa untuk memberdayakan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam upaya peningkatan, perlindungan, dan kepastian Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 12 ayat (2), Pasal 16 ayat (3), Pasal 37, Pasal 38 ayat (3) dan Pasal 39 ayat (3) Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah;
Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengatur:
Usaha Besar untuk membangun Kemitraan dengan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah; atau
Usaha Menengah untuk membangun Kemitraan dengan Usaha Mikro dan Usaha Kecil.
Untuk melaksanakan peran Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib:
menyediakan data dan informasi pelaku Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah yang siap bermitra;
mengembangkan proyek percontohan Kemitraan;
memfasilitasi dukungan kebijakan; dan
melakukan koordinasi penyusunan kebijakan dan program pelaksanaan, pemantauan, evaluasi serta pengendalian umum terhadap pelaksanaan Kemitraan.
Penyelenggaraan Kehutanan
Relevan terhadap
Peme gan g P erizinan Berusaha Pemanfaatan H asil Hutan untuk kegiatan Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu yang tumbuh alami, dilarang:
menebang pohon yang dilindungi;
menebang pohon yang melebihi toleransi target sebesar 5% (lima persen) dari total target volume yang ditentukan dalam rencana kerja tahunan;
menebang pohon yang melebihi toleransi target sebesar 3o/o (tiga persen) dari volume per ^jenis kayu yang ditetapkan dalam rencana kerja tahunan;
menebang pohon sebelum rencana kerja tahunan disahkan;
menebang pohon untuk pembuatan koridor sebelum ada persetujuan atau tidak sesuai dengan persetujuan pembuatan koridor;
menebang pohon di bawah batas diameter yang diizinkan;
menebang pohon di luar blok tebangan yang dirzinkan;
menebang pohon untuk pembuatan jalan bagi lintasan angkutan kayu di luar blok rencana kerja tahunan, kecuali dengan persetujuan dari pejabat yang berwenang; Sl( No 087415 A i. meninggalkan meninggalkan areal kerja; dan/atau memindahtangankan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan kecuali dengan persetujuan tertulis dari pemberi Perizinan Berusaha. Paragraf 4 Perpanjangan, Perubahan Luas, dan Hapusnya Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan Pasal 159 (1) Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan dapat diperpanjang 1 (satu) kali. (2) Permohonan perpanjangan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan harus diajukan paling lambat 2 (dua) tahun sebelum berakhirny a Perizinan Berusaha. (3) Pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan yang tidak mengajukan permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (21, pemberi Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan menerbitkan keputusan hapusny a P erizinan Berusaha. Pasal 160 (1) Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas Pemanfaatan Hutan secara lestari, dilakukan perubahan luasan terhadap areal Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan antara lain dilaksanakan dengan mengurangi luasan areal kerja Penzinan Berusaha Pemanfaatan Hutan. l2l ^Pengurangan ^luasan areal ^kerja ^Perizinan ^Berusaha Pemanfaatan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan dalam hal terjadi paling sedikit:
tumpang tindih Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan;
perubahan status dan/atau fungsi Kawasan Hutan yang diakibatkan adanya perubahan tata ruang; atau 1 J .Sl( No 099.599 A c. kebijakan Pemerintah, meliputi proyek strategis nasional, pemulihan ekonomi nasional, ketahanan pangan (food estate) dan kegiatan lainnya yang strategis serta Penataan Kawasan Hutan dalam rangka Pemanfaatan Kawasan Hutan pada areal Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan. (3) Pengurangan luasan terhadap areal Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (21, melalui:
permohonan oleh pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan;
permohonan oleh gubernur; atau
penetapan oleh pemberi Perizinan Berusaha. Pasal 161 (1) Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan hapus, apabila:
jangka waktu Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan telah berakhir;
Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan dicabut oleh pemberi Perizinan Berusaha sebagai sanksi yang dikenakan kepada pemegang Perizinan Berusaha atau berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap; atau
Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan diserahkan kembali oleh pemegang Perizinan Berusaha dengan pernyataan tertulis kepada pemberi Perizinan Berusaha sebelum jangka waktu Perizinan Berusaha berakhir. (2) Sebelum Pefizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan hapus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terlebih dahulu diaudit oleh pemberi Perizinan Berusaha. (3) Hapusnya Pertzinan Berusaha Pemanfaatan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), tidak membebaskan kewajiban pemegang Perizinan Berusaha untuk melunasi seluruh kewajiban finansial serta memenuhi seluruh kewajiban lainnya yang ditetapkan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah provinsi, dan/atau Pemerintah Daerah kabupaten/ kota. Sl( Nlo 0c)9598 A (41 (s) (6) Pada saat hapusnya Perizinan ^Berusaha ^sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1), seluruh ^barang ^tidak ^bergerak menjadi milik negara kecuali ^aset ^berupa ^hasil ^budidaya tanaman. Aset berupa hasil budidaya ^tanaman ^sebagaimana dimaksud pada ayat ^(4l1, ^harus ^dimanfaatkan ^oleh pemegan g Perizinan Berusaha ^Pemanfaatan ^Hutan ^paling iam" 1 (satu) tahun sejak ^hapusnya Petuinan ^Berusaha, dan dalam hal tidak dimanfaatkan ^menjadi ^milik ^negara. Dengan hapusnya Perizinan ^Berusaha ^sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) ^Pemerintah ^Pusat, ^Pemerintah Daerah provinsi, atau Pemerintah ^Daerah ^kabupaten/kota tidak bertanggung ^jawab atas ^kewajiban ^pemegang Perizinan Berusaha terhadap ^pihak ^ketiga' Paragraf 5 Pengolahan dan Pemasaran ^Hasil Hutan Pasal 162 (1) Pengolahan Hasil Hutan bertujuan ^untuk:
meningkatkan investasi;
meningkatkan nilai ^tambah hasil ^Hutan;
memanfaatkan hasil ^Hutan ^secara efisien;
menciptakan laPangan ^kerja;
mewujudkan Pengolahan ^Hasil Hutan ^yang ^efisien, produktif dan berdaya saing tinggi;
menjamin terselenggaranya ^rantai ^pasok ^hasil Hutan legal; dan
menjamin tersedianya bahan ^baku ^legal ^untuk pengolahan lanjutan. (2) Pengolahan Hasil Hutan terdiri ^atas:
Pengolahan Hasil Hutan ^kaYu; ^dan b. Pengolahan Hasil Hutan ^bukan ^kayu.
Pengolahan (3) Pengolahan Hasil Hutan kayu dan Pengolahan Hasil Hutan bukan kayu dapat dilakukan secara terintegrasi dalam 1 (satu) Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan. (4) Pengolahan Hasil Hutan dapat dibangun dan terintegrasi di dalam areal Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan Produksi, pengelolaan oleh badan usaha milik negara bidang Kehutanan dan persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial. (5) Kegiatan Pengolahan Hasil Hutan yang terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dilakukan dengan ketentuan:
telah memenuhi kelayakan teknis; dan
terletak pada lokasi yang telah disetujui oleh pejabat yang berwenang. (6) Dalam rangka penguatan daya saing Pengolahan Hasil Hutan skala usaha kecil atau skala usaha menengah, Pemerintah dapat memberikan bantuan sarana Pengolahan Hasil Hutan. Pasal 163 (1) Setiap usaha Pengolahan Hasil Hutan, wajib memiliki Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan. (2) Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diberikan kepada:
Perseorangan;
Koperasi;
badan usaha milik desa;
badan usaha milik swasta;
badan usaha milik daerah; atau
badan usaha milik negara. (3) Perizinan Berusaha pengolahan kayu bulat menjadi produk kayu gergajian dengan kapasitas produksi kurang dari 2.000 m3 (dua ribu meter kubik) pertahun dan/atau Pengolahan Hasil Hutan bukan kayu dengan skala usaha kecil, hanya diberikan kepada: Perseorangan; Koperasi; atau badan usaha milik desa. (41 Kapasitas produksi Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diterbitkan dengan memperhatikan ketersediaan bahan baku legal dan/atau lestari. (5) Pertzinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan skala besar dan perubahannya diterbitkan oleh Menteri, untuk kegiatan usaha:
pengolahan kayu bulat, kayu bahan baku serpih dan/atau biomassa kayu menjadi produk-produk kayu olahan dengan kapasitas produksi 6.0OO m3 (enam ribu meter kubik) pertahun atau lebih;
Pengolahan Hasil Hutan bukan kayu menjadi produk- produk olahan hasil Hutan bukan kayu untuk skala usaha besar; dan
pengolahan kayu bulat, kayu bahan baku serpih dan/atau biomassa kayu menjadi produk-produk kayu olahan dengan kapasitas produksi 6.000 m3 (enam ribu meter kubik) pertahun atau lebih yang terintegrasi dengan Pengolahan Hasil Hutan bukan kayu skala usaha menengah atau skala usaha besar. (6) Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan Skala Menengah dan perubahannya diterbitkan oleh gubernur untuk kegiatan usaha:
pengolahan kayu bulat, kayu bahan baku serpih, dan/atau biomassa kayu menjadi produk-produk kayu olahan dengan kapasitas produksi 2.OO0 m3 (dua ribu meter kubik) sampai dengan kurang dari 6.000 m3 (enam ribu meter kubik) pertahun;
Pengolahan Hasil Hutan bukan kayu menjadi produk- produk olahan hasil Hutan bukan kayu untuk skala usaha menengah; dan a b c c pengolahan c. pengolahan kayu bulat, kayu bahan baku serpih, dan/atau biomassa kayu menjadi produk-produk kayu olahan dengan kapasitas produksi 2.OOO m3 (dua ribu meter kubik) sampai dengan kurang dari 6.000 m3 (enam ribu meter kubik) pertahun yang terintegrasi dengan Pengolahan Hasil Hutan bukan kayu skala usaha kecil atau skala usaha menengah. (71 Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan skala kecil dan perubahannya diterbitkan oleh gubernur, untuk kegiatan usaha:
pengolahan kayu bulat, kayu bahan baku serpih, dan/atau biomassa kayu menjadi produk-produk kayu olahan dengan kapasitas produksi kurang dari 2.000 m3 (dua ribu meter kubik) pertahun; dan
Pengolahan Hasil Hutan bukan kayu menjadi produk- produk olahan hasil Hutan bukan kayu untuk skala usaha kecil. (8) Dalam hal Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan danf ata: u perubahannya berstatus penanaman modal asing, diterbitkan oleh Menteri. (9) Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dipindahtangankan atau dilakukan pemindahan hak atas saham dan dilaporkan kepada pemberi Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan untuk dilakukan penyesuaian. (10) Setiap perubahan data pokok dalam Pefizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan termasuk perluasan usaha Pengolahan Hasil Hutan, dilakukan penyesuaian melalui mekanisme addendum Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan. Pasal 164 (1) Pengolahan Hasil Hutan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162 ayat (21 huruf a, meliputi seluruh kegiatan pengolahan:
kayu bulat menjadi produk kayu gergajian dan ragam produk turunannya, kecuali mebel dan kerajinan; SK l,lo 037409 A b. kayu b. kayu bulat dan/atau kayu bahan baku serpih menjadi produk serpih kayu (tuood chips)dan ragam produk turunannya, kecuali pulp dan kertas;
kayu bulat menjadi produk panel kayu dan ragam produk turunannya; dan/atau
kayu bulat, kayu bahan baku serpih dan/atau biomassa kayu menjadi ragam produk bioenergg. (2) Pengolahan Hasil Hutan bukan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162 ayat (21 huruf b meliputi kegiatan usaha:
Pengolahan Hasil Hutan bukan kayu menjadi produk olahan setengah ^jadi; dan/atau
Pengolahan Hasil Hutan bukan kayu menjadi produk jadi. (3) Menteri berwenang mengatur, membina, dan mengembangkan seluruh kegiatan usaha Pengolahan Hasil Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). Pasal 165 (1) Pengaturan produk Pengolahan Hasil Hutan berupa mebel, kerajinan, pulp dan kertas merupakan tanggung jawab dan wewenang menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian. (2) Dalam pelaksanaan pengaturan produk Pengolahan Hasil Hutan berupa mebel, kerajinan, pulp dan kertas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian harus memperhatikan daya dukung hasil Hutan atas usulan dan masukan dari Menteri. Pasal 166 (1) Sumber bahan baku Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan kayu dapat berasal dari:
Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan Produksi;
Pengelolaan Perhutanan Sosial;
pengelolaan oleh badan usaha milik negara bidang Kehutanan;
Hutan Hak;
perkebunan;
impor; dan
sumber sah lainnya. (21 Sumber bahan baku Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan bukan kayu dapat berasal dari:
Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan Produksi;
Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan Lindung;
Pengelolaan Perhutanan Sosial;
pengelolaan oleh badan usaha milik negara bidang Kehutanan;
Hutan Hak;
Perkebunan; dan
sumber sah lainnya. (3) Pemegang Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan, untuk memenuhi kebutuhan bahan bakunya dapat mengembangkan Hutan Hak atau melaksanakan kerja sama dengan pemegang Hutan Hak. (4\ Kegiatan Pengolahan Hasil Hutan selain menggunakan bahan baku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)', dapat menggunakan bahan baku setengah jadi dan/atau bahan baku penolong lainnya yang berasal dari sumber yang sah. Pasal 167 (1) Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 163, dilakukan melalui Sistem OSS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (21 Norma, standar, prosedur, dan kriteria Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan, diatur dengan Peraturan Pemerintah tersendiri. Pasal 168 (1) Masa berlaku Penzinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan dinyatakan berakhir apabila:
dikembalikan oleh pemegang Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan kepada pemberi Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan sesuai kewenangannya;
dibatalkan oleh pemberi Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan apabila dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun sejak Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan diterbitkan tidak merealisasikan pembangunan pabrik dan/atau tidak melakukan kegiatan Pengolahan Hasil Hutan; atau
dicabut oleh pemberiPerizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan sebagai akibat dari pengenaan Sanksi Administratif atas pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan. (21 Menteri dan gubernur sesuai kewenangannya melakukan pembinaan dan Pengawasan Perizinan Berrrsaha Pengolahan Hasil Hutan dan kegiatan Pengolahan Hasil Hutan. Pasal 169 (1) Setiap pemegang Pertzinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan berhak memperoleh kepastian dalam menjalankan usahanya dan mendapatkan pelayanan dari Pemerintah Fusat dan Pemerintah Daerah. 12) ^Hak ^sebagaimana ^dimaksud pada ayat ^(1) ^juga ^berlaku untuk kegiatan Pengolahan Hasil Hutan yang terintegrasi dengan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan, pengelolaan oleh badan usaha milik negara bidang Kehutanan, atau persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial. Pasal 170 (1) Pemegang Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan, wajib:
merealisasikan pembangunan pabrik dan/atau kegiatan Pengolahan Hasil Hutan;
menjalankan usahanya sesuai dengan legalitas Perrzinan Berusaha yang dimiliki;
men)rusun c. men5rusun dan menyampaikan rencana kegiatan operasional setiap tahun melalui sistem rencana pemenuhan bahan baku Pengolahan Hasil Hutan;
menyampaikan laporan realisasi kinerja secara periodik setiap bulan melalui sistem rencana pemenuhan bahan baku Pengolahan Hasil Hutan;
melaksanakan PUHH sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ;
memiliki jaminan legalitas bahan baku dan produk;
mengajukan addendum Perizinan Berusaha apabila merencanakan penambahan jenis pengolahan dan/atau penambahan kapasitas produksi melebihi 30% (tiga puluh persen) dari kapasitas produksi yang diizinkan;
memiliki dan/atau mempekerjakan tenaga teknis pengukuran dan pengujian hasil Hutan bersertifikat;
melaksanakan pengukuran dan pengujian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
membayar PNBP atas jasa fasilitas pelayanan dokumen angkutan hasil Hutan dan dokumen penjaminan legalitas ekspor hasil Hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
melaporkan pemindahtanganan Perizinan Berusaha atau pemindahan hak atas saham kepada pemberi Perizinan Berusaha;
melakukan penyesuaian perubahan data pokok dalam Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan apabila melakukan penambahan jenis Pengolahan Hasil Hutan, penambahan ragam produk olahan, atau melakukan perubahan data pokok Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan melalui addendum Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan;
melakukan kegiatan produksi, memiliki sarana dan prasarana kegiatan Pengolahan Hasil Hutan; dan
mematuhi dan menaati ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kewajiban (2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga diberlakukan untuk kegiatan Pengolahan Hasil Hutan yang terintegrasi dengan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan, pengelolaan oleh badan usaha milik negara bidang Kehutanan, atau Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial. Pasal 171 (1) Selain melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal l7O ayat (1), pemegang Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan, dilarang:
memperluas usaha Pengolahan Hasil Hutan tanpa addendum P erizinan Berusaha ;
memindahkan lokasi usaha Pengolahan Hasil Hutan tanpa addendum Perizinan Berusaha;
melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan pencemaran dan kerusakan terhadap lingkungan hidup yang melampaui batas baku mutu lingkungan;
menadah, menampung, atau mengolah bahan baku hasil Hutan yang berasal dari sumber bahan baku yang tidak sa}l (ilegal); atau
melakukan kegiatan usaha Pengolahan Hasil Hutan yang tidak sesuai dengan Perizinan Berusaha yang diberikan. (21 Ketentuan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga berlaku untuk kegiatan Pengolahan Hasil Hutan yang terintegrasi dengan usaha Pemanfaatan Hutan atau Pengelolaan Perhutanan Sosial. Pasal 172 (1) Semua hasil Hutan yang diproduksi, diedarkan, diolah, dan dipasarkan, harus berasal dari sumber bahan baku yang legal dan/atau lestari. (21 Untuk memastikan hasil Hutan berasal dari sumber yang legal dan/atau lestari sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan kegiatan penjaminan legalitas hasil Hutan. (3) Penjaminan legalitas hasil Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
penilaian kinerja pengelolaan Hutan Lestari;
verifikasi legalitas hasil Hutan; dan
deklarasi hasil Hutan secara mandiri. (41 Pengendalian penjaminan legalitas produk hasil Hutan diselenggarakan melalui sistem informasi pada Kementerian. Pasal 173 (1) Produk hasil Hutan dapat dipasarkan untuk tujuan dalam negeri dan tujuan luar negeri. (21 Produk ekspor atau produk impor hasil Hutan, harus dilengkapi dengan dokumen penjaminan legalitas produk hasil Hutan. (3) Dalam hal pelaku ekspor berasal dari Pelaku Usaha mikro, kecil, atau menengah, maka persyaratan dokumen penjaminan legalitas produk hasil Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat difasilitasi oleh Pemerintah Pusat. (4) Pemerintah Pusat dapat melakukan kerja sama internasional untuk memperkuat sistem penjaminan legalitas produk hasil Hutan. Pasal 174 (1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya, berwenang mengatur, membina, dan mengembangkan pemasaran hasil Hutan. (21 Kewenangan pengaturan ekspor dan/atau impor hasil Hutan diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan atas usulan Menteri. (3) Usulan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2), didasarkan hasil kajian kebutuhan ekspor dan/atau impor hasil Hutan. Paragraf 6 Penatausahaan Hasil Hutan Pasal 175 (1) Dalam rangka melindungi hak negara atas hasil Hutan, menjamin legalitas dan tertib peredaran hasil Hutan serta kelestarian Hutan, dilakukan pengendalian dan pemasaran hasil Hutan melalui PUHH. (21 Setiap Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan, Pengolahan Hasil Hutan dan perizinan lainnya yang terkait dengan peredaran hasil Hutan wajib melaksanakan PUHH dengan sellassessment melalui Sistem Informasi PUHH. (3) PUHH sebagaimana dimaksud pada ayat (21, dapat terintegrasi dengan sistem informasi pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan, dan latau kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. (4) PUHH yang berasal dari kegiatan Pengelolaan Perhutanan Sosial, dilakukan pengukuran dan pengujian oleh tenaga teknis di bidang pengelolaan Hutan atau pendamping dan mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Semua hasil Hutan yang berasal dari Hutan Negara, dilakukan pengukuran dan pengujian meliputi volume/berat, penghitungan jumlah dan penetapan ^jenis oleh tenaga teknis di bidang pengelolaan Hutan sebagai dasar pengenaan PNBP atas Pemanfaatan Hutan. (6) Terhadap fisik hasil Hutan berupa kayu bulat yang telah dilakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan penandaan berupa pemasangan ID quick response code. Pasal 176 Semua hasil Hutan yang berasal dari Hutan Hak, dilakukan penetapan jenis, pengukuran volumef berat, dan penghitungan jumlah serta dilengkapi dengan surat keterangan asal usul hasil Hutan Hak. Pasal 177 (1) Setiap pengangkutan, penguasaan, atau pemilikan hasil Hutan yang berasal dari Hutan Negara, wajib dilengkapi bersama-sama dengan dokumen. (21 Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) merupakan surat keterangan sahnya hasil Hutan ^yang berlaku dan dipergunakan untuk mengangkut hasil Hutan di dalam wilayah Republik Indonesia. Pasal 178 (1) Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177 harus sesuai dengan fisik hasil Hutan yang diangkut. (21 Kesesuaian fisik hasil Hutan sebagaimana dimaksud ^pada ayat (1) mempertimbangkan hasil pengukuran ^dan pengujian oleh tenaga teknis di bidang pengelolaan Hutan. (3) Pengukuran dan pengujian sebagaimana dimaksud ^pada ayat (21 dilakukan sesuai dengan Standar ^Nasional Indonesia. Paragraf 7 Penerimaan Negara Bukan Pajak Pemanfaatan Hutan Pasal 179 (1) PNBP atas Pemanfaatan Hutan berupa:
IPBPH;
PSDH;
DR;
dana hasil usaha penjualan tegakan ^yang berasal dari Hutan tanaman hasil rehabilitasi;
penerimaan dari denda pelanggaran; dan
penerimaan dari pelayanan dokumen angkutan hasil Hutan dan dokumen penjaminan legalitas ekspor hasil Hutan.
Instansi Pengelola PNBP menghitung sendiri menatausahakan PNBP. dan PNBP yang wajib Wajib Bayar terutang Pasal 180 Seluruh penatausahaan PNBP dilakukan secara self assessment melalui Sistem Informasi PNBP bidang Kehutanan. Pasal 181 (1) IPBPH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 ayat (ll huruf a dikenakan kepada pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan berdasarkan pada ^jangka waktu, luas areal, dan tarif yang diberikan dalam Perizinan Berusaha. (2) Penentuan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan kondisi tutupan lahan. (3) IPBPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipungut sekali sebelum Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan diberikan. Pasal 182 (1) PSDH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 ayat (1) huruf b dikenakan sebagai pengganti nilai intrinsik dari hasil Hutan dan/atau hasil usaha yang dipungut dari Hutan Negara. (21 Pemungutan PSDH atas hasil Hutan kayu tumbuh alami dan pemungutan PSDH atas hasil Hutan kayu budidaya tanaman didasarkan pada laporan hasil produksi atau atas lelang hasil Hutan kayu. (3) Pemungutan PSDH atas hasil Hutan bukan kayu yang berasal dari hasil Hutan bukan kayu tumbuh alami atau hasil Hutan bukan kayu budidaya tanaman didasarkan pada laporan hasil produksi atau atas lelang hasil Hutan bukan kayu. (4) Pemungutan PSDH sebagaimana dimaksud pada ayat (21 tidak berlaku bagi:
hasil Hutan yang berasal dari Hutan Adat yang dimanfaatkan oleh MHA dan tidak diperdagangkan;
hasil b. hasil Hutan kayu yang langsung dipakai sendiri oleh penduduk setempat atau Masyarakat sekitar Hutan dan tidak diperdagangkan; atau
hasil Hutan kayu budidaya yang berasal dari Hutan Hak. Pasal 183 (1) DR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 ayat (1) huruf c dikenakan atas Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu tumbuh alami berdasarkan laporan hasil produksi atau atas lelang hasil Hutan kayu alam atau hasil rehabilitasi. (21 Pengenaan DR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak berlaku bagi:
hasil Hutan kayu yang berasa-l dari budidaya tanaman;
hasil Hutan kayu yang berasal dari Hutan Adat yang dimanfaatkan oleh MHA dan tidak diperdagangkan;
hasil Hutan kayu yang langsung dipakai sendiri oleh penduduk setempat atau Masyarakat sekitar Hutan dan tidak diperdagangkan; atau
hasil Hutan kayu budidaya yang berasal dari Hutan Hak. (3) DR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk kegiatan rehabilitasi Hutan dan lahan. (4) Tata cara pelaksanaan rehabilitasi Hutan dan lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah tersendiri. Pasal 184 Perencanaan DR terdiri atas:
rencana penerimaan; dan
rencana penggunaan. Pasal 185 (1) Penyusunan rencana penerimaan DR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 huruf a, organisasi perangkat daerah provinsi penghasil melakukan inventarisasi dan kompilasi rencana produksi hasil Hutan kayu yang dikenakan DR dan disampaikan kepada Menteri. (2) Berdasarkan laporan organisasi perangkat daerah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri melakukan verifikasi. (3) Berdasarkan hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (21, Menteri men5rusun rencana penerimaan negara yang bersumber dari DR untuk disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. Pasal 186 Rencana penggunaan DR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 huruf b, dituangkan dalam bentuk perencanaan rehabilitasi Hutan dan lahan. Pasal 187 (1) Perencanaan rehabilitasi Hutan dan lahan terdiri atas:
rencana umum rehabilitasi Hutan dan lahan DAS; dan
rencana tahunan rehabilitasi Hutan dan lahan. (2) Rencana umum rehabilitasi Hutan dan lahan DAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disusun dan ditetapkan oleh Menteri dalam ^jangka waktu 10 (sepuluh) tahun dan dapat ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun. Pasal 188 (1) Rencana tahunan rehabilitasi Hutan dan lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187 ayat (1) huruf b terdiri atas:
rencana tahunan rehabilitasi Hutan; dan
rencana b. rencana tahunan rehabilitasi lahan. (2) Rencana tahunan rehabilitasi Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disusun oleh:
Menteri, pada Kawasan Hutan yang tidak dibebani pengelolaan oleh badan usaha milik negara bidang Kehutanan atau pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan;
gubernur dan bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya pada taman Hutan raya; atau
pemegang pengelolaan oleh badan usaha milik negara bidang Kehutanan atau pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Kawasan Hutan yang telah dibebani pengelolaan oleh badan usaha milik negara bidang Kehutanan atau Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan. (3) Rencana tahunan rehabilitasi lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disusun oleh gubernur. Pasal 189 Pen5rusunan rencana rehabilitasi Hutan dan lahan, dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai rehabilitasi Hutan dan lahan. Pasal 190 (1) DR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183 dikenakan sebesar tarif yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah mengenai ^jenis dan tarif atas ^jenis PNBPyang berlaku pada kementerian teknis. (2) Pengenaan DR terhadap pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan dilakukan berdasarkan laporan hasil produksi. (3) Pengenaan DR terhadap pemenang lelang hasil Hutan kayu alam didasarkan pada berita acara hasil lelang. Pasal 191 (1) DR wajib disetor ke kas negara.
wajib (2) Wajib Bayar DR menyetorkan DR melalui sistem informasi PNBP yang telah terintegrasi dengan sistem penerimaan negara.
PNBP berupa:
Tarif Layanan Badan Layanan Umum Lembaga Layanan Pemasaran Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah pada Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menenga ...
Relevan terhadap
Untuk acara yang diselenggarakan oleh Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah, dan acara kedinasan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah dapat diberikan tarif khusus sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif Penggunaan Gedung Utama Badan Layanan Umum Lembaga Layanan Pemasaran Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah pada Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah.
Untuk acara yang diselenggarakan oleh pegawai Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah dapat diberikan tarif khusus sebesar 80% (delapan puluh persen) dari tarif Penggunaan Gedung Utama Badan Layanan Umum Lembaga Layanan Pemasaran Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah pada Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan tarif khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Direktur Utama Badan Layanan Umum Lembaga Layanan Pemasaran Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah pada Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah.
Badan Layanan Umum Lembaga Layanan Pemasaran Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah pada Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah dapat melakukan Kerja Sama Operasional (KSO) dengan pihak lain untuk meningkatkan layanan jasa pemasaran produk Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah.
Tarif layanan yang berasal dari KSO dengan pihak lain ditetapkan dalam kontrak kerja sama antara Direktur Utama Badan Layanan Umum Lembaga Layanan Pemasaran Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah pada Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah dengan pihak lain.
Terhadap Koperasi, Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah, Kementerian/Lembaga Pemerintah, Pemerintah Daerah, Organisasi Masyarakat, dan Lembaga Swadaya Masyarakat dikenakan tarif Penggunaan Ruang Iklan sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Terhadap Badan Usaha dan pengguna jasa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan tarif Penggunaan Ruang Iklan sebesar 300% (tiga ratus persen) dari tarif Penggunaan Ruang Iklan sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Tarif Penggunaan Ruang Iklan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) belum termasuk biaya pemasangan, biaya pemeliharaan, biaya listrik, asuransi, dan pajak serta pungutan wajib lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Penggunaan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Kehutanan Dana Reboisasi
Penjaminan
Relevan terhadap 1 lainnya
Usaha penjaminan bertujuan untuk:
menunjang kebijakan pemerintah, terutama dalam rangka mendorong kemandirian usaha dan pemberdayaan dunia usaha, khususnya usaha mikro, kecil, dan menengah serta koperasi dalam perekonomian nasional;
meningkatkan akses bagi dunia usaha, khususnya usaha mikro, kecil, dan menengah serta koperasi dan usaha prospektif lainnya kepada sumber pembiayaan;
mendorong pertumbuhan pembiayaan dan terciptanya iklim usaha yang kondusif bagi peningkatan sektor ekonomi strategis;
meningkatkan kemampuan produksi nasional yang berdaya saing tinggi dan yang memiliki keunggulan untuk ekspor;
mendukung pertumbuhan perekonomian nasional; dan
meningkatkan tingkat inklusivitas keuangan nasional.
Usaha Penjaminan meliputi:
penjaminan Kredit, Pembiayaan, atau Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah yang diberikan oleh lembaga keuangan;
penjaminan pinjaman yang disalurkan oleh koperasi simpan pinjam atau koperasi yang mempunyai unit usaha simpan pinjam kepada anggotanya; dan
penjaminan Kredit dan/atau pinjaman program kemitraan yang disalurkan oleh badan usaha milik negara dalam rangka program kemitraan dan bina lingkungan.
Selain usaha Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Perusahaan Penjaminan dapat melakukan:
penjaminan atas surat utang;
penjaminan pembelian barang secara angsuran;
penjaminan transaksi dagang;
penjaminan pengadaan barang dan/atau jasa (surety bond) ;
penjaminan bank garansi (kontra bank garansi);
penjaminan surat kredit berdokumen dalam negeri;
penjaminan letter of credit ;
penjaminan kepabeanan (customs bond) ;
penjaminan cukai;
pemberian jasa konsultasi manajemen terkait dengan kegiatan usaha Penjaminan; dan
kegiatan usaha lainnya setelah mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan.
Usaha Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) yang dilakukan oleh Perusahaan Penjaminan Syariah harus berdasarkan Prinsip Syariah.
Dalam melakukan usaha Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan Syariah harus memprioritaskan penjaminan untuk mendukung usaha mikro, kecil, dan menengah serta koperasi.
Untuk mendukung usaha mikro, kecil, dan menengah serta koperasi, dan/atau program pemerintah, pemerintah dapat menunjuk atau menugaskan Lembaga Penjamin milik pemerintah.
bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional;
bahwa untuk mewujudkan kemandirian ekonomi, negara harus memberikan perhatian terhadap dunia usaha, khususnya usaha mikro, kecil, dan menengah serta koperasi yang sering kesulitan mendapatkan akses permodalan dalam bentuk kredit, pembiayaan, atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dari lembaga keuangan dan di luar lembaga keuangan karena terbatasnya jaminan;
bahwa untuk memudahkan akses permodalan, dibutuhkan dukungan penjaminan dari lembaga penjamin;
bahwa untuk mendorong industri penjaminan yang diselenggarakan secara efisien, berkesinambungan, dan berperan penting dalam pembangunan nasional, perlu melakukan pengaturan terhadap industri penjaminan;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Penjaminan;
Pendanaan dan Pengelolaan Anggaran dalam rangka Persiapan, Pembangunan, dan Pemindahan Ibu Kota Negara serta Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusan ...
Relevan terhadap
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan keuangan negara dan perbendaharaan negErra beserta turunannya dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini. Pasal 19O Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar Agar setiap orang .penempatannya Indonesia. Peraturan Pemerintah ini dengan dalam lembaran Negara Republik memerintahkan Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 18 Api1,2O22 ttd. JOKO WIDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 18 April2O22 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2022 NOMOR TO1 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2022 TENTANG PENDANAAN DAN PENGELOLAAN ANGGARAN DALAM RANGKA PERSIAPAN, PEMBANGUNAN, DAN PEMINDAHAN IBU KOTA NEGARA SERTA PEI{YELENGGARAAN PEMEzuNTAHAN DAERAH KHUSUS IBU KOTA NUSANTARA I. UMUM Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tenl.ang Ibu Kota Negara mengatur mengenai Ibu Kota Negara bernama Nusantara yang memiliki visi sebagai kota dunia untuk semua yang dibangun dan dikelola dengan tujuan untuk menjadi kota berkelanjutan di dunia, penggerak ekonomi Indonesia di masa depan, dan simbol identitas nasional yang merepresentasikan keberagaman bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara dibentuk Ibu Kota Nusantara sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Otorita Ibu Kota Nusantara sebagai lembaga setingkat Kementerian yang menyelenggarakan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara. Otorita Ibu Kota Nusantara berkedudukan sebagai pengguna anggaran/pengguna barang yang mengelola pendapatan dan belanja Ibu Kota Nusantara. Skema pendanaan Ibu Kota Nusantara dapat bersumber dari APBN dan sumber lain yang sah antara lain berupa pemanfaatan BMN dan/atau pemanfaatan ADP, penggunaan skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha, dan keikutsertaan pihak lain termasuk penugasan badan usaha yang sebagian atau seluruh modalnya dimiliki oleh negara, penguatan peran badan hukum milik negara, dan pembiayaan kreatif (creatiue financing). 2 Selain itu skema pendanaan ^juga dapat berasal dari sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan antara lain berupa skema pendanaan yang berasal dari kontribusi swasta, pembiayaan kreatif (creatiue financing), dan Pajak Khusus IKN dan/atau Pungutan Khusus IKN yang ditetapkan dengan Peraturan Otorita Ibu Kota Nusantara setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Untuk mendukung pelaksanaan persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara diperlukan pendanaan dengan memperhatikan kesinambungan fiskal. Pendanaan tersebut bersumber dari APBN dan/atau sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Pengalokasian anggaran tersebut dilakukan dengan berpedoman pada Rencana Induk Ibu Kota Nusantara dan Perincian Rencana Induk Ibu Kota Nusantara dan/atau Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai APBN dan/atau sumber lain yang sah. Penatausahaan skema pendanaan yang berasal dari APBN dan/atau sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan, dilakukan dengan memperhatikan tata kelola yang baik (good corporate gouemanel. Berdasarkan pertimbangan di atas dan untuk melaksanakan beberapa amanat dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara, perlu ditetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pendanaan dan Pengelolaan Anggaran dalam rangka Persiapan, Pembangunan, dan Pemindahan Ibu Kota Negara serta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Cukup ^jelas. Pasal 2 Cukup ^jelas. 3 Pasal 3 Cukup ^jelas. 4 Ayat (6) Cukup ^jelas. Ayat (7) Cukup ^jelas. Ayat (8) Pemberian dukungan untuk pembiayaan kreatif (creatiue financing) ^dilakukan ^secara ^selektif dengan ^memperhatikan antara lain kesinambungan fiskal. Ayat (9) Pemberian dukungan dilakukan antara lain dengan memperhatikan kesehatan keuangan badan usaha yang sebagian atau seluruh modalnya dimiliki oleh negara termasuk badan usaha milik negara. Ayat (10) Cukup ^jelas. Ayat (11) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Otorita Ibu Kota Nusantara bertindak sebagai pihak terjamin dalam hal badan usaha yang sebagian atau seluruh modalnya dimiliki oleh negara termasuk badan usaha milik negara melakukan kerja sama dengan Otorita Ibu Kota Nusantara. Huruf d Cukup ^jelas. Ayat (12) Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Cukup ^jelas. 5 Ayat (2) Yang dimaksud dengan "ketentuan peraturan perundang- undangan" termasuk ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan pemerintahan daerah yang berlal<u secara mutati.s mutandi.s antara lain persetujuan nilai bersih maksimal pembiayaan utang Otorita Ibu Kota Nusantara oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada saat pembahasan APBN. Pasal 6 Hurufa Yang dimaksud dengan "memperhatikan kesinambungan fiskal" antara lain adalah memperhatikan keuangan negara. Huruf b Yang dimaksud dengan ^uketentuan peraturan perundang- undangan terkait" antara lain ketentuan peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai APBN. Pasal 7 Cukup ^jelas. Pasal 8 Ayat (1) Yang dimaksud dengan negara bukan pajalC adalah pungutan yang dibayar oleh orang pribadi atau badan dengan memperoleh manflaat langsung maupun tidak langsung atas layanan atau pemanfaatan sumber daya dan hak yang diperoleh negara, berdasarkan peraturan undangan, yang menjadi penerimaan Pemerintah ^pusat di luar penerimaan perpajakan dan hibah dan dikelola dalam mekanisme APBN, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (2) Cukup ^jelas. 6 Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Ayat (6) Cukup ^jelas. Ayat (7) Cukup ^jelas. Ayat (8) Cukup ^jelas. Ayat (9) Cukup ^jelas. Ayat (lo) Cukup ^jelas. Pasal 9 Cukup ^jelas. Pasal l0 Ayat (l) Cukup ^jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan permintaan tambahan *proyek/kegiatan baru" proyek/kegiatan yang adalah belum alokasi dalam APBN di tahun anggaran berjalan. Arahan Presiden tersebut dalam hal untuk persiapan, , ^dan ^pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara adalah sepanjang sesuai dengan Rencana Induk Ibu Kota Nusantara. Ketentuan ini berlaku mutatis mutandis untuk sumber dana yang lain. Ayat (3) Cukup ^jelas. 7 Ayat (a) Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Ayat (6) Cukup ^jelas. Pasal l1 Ayat (l) Ayat (2) pemerintahan di bidang keuangan negara. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Ayat (6) Cukup ^jelas. Yang dimaksud dengan "pendanaan daerah" adalah pendanaan yang dilakukan oleh pemerintah daerah selain Ibu Kota Nusantara. Yang dimaksud dengan ^usumber dana lainnya" adalah seluruh sumber pendanaan yang dimungkinkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penerusan SBSN dapat dilakukan secara langsung oleh Pemerintah kepada pemerintah daerah melalui pinjaman daerah atau melalui pemberian pinjaman kepada badan usaha milik negara, atau melalui investasi Pemerintah yang dilakukan melalui badan usaha milik negara yang ditunjuk oleh Menteri sebagai operator investasi Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penerusan SBSN kepada badan usaha milik negara termasuk kepada badan usaha milik negara yang pem binaannya dilakukan oleh Kementerian yang urusan 8 Pasal 12 Cukup ^jelas. Pasal 13 Cukup ^jelas. Pasal 14 Cukup ^jelas. Pasal 15 Cukup ^jelas. Pasal 16 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (21 Ketentuan dalam ayat ini diperlukan sejalan dengan ^pasal 36 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara yang mengatur terhitung sejak tahun 2023, kegiatan persiapan dan/atau pembangunan Ibu Kota Negara dapat dialihkan kepada Otorita Ibu Kota Nusantara atau tetap dilanjutkan oleh Kementerian dan/atau Lembaga. Ayat (s) Cukup ^jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup ^jelas. 9 Pasal 20 Cukup ^jelas. Pasal 2l Cukup ^jelas. Pasal 22 Cukup ^jelas. Pasal 23 Cukup ^jelas. Pasal 24 Cukup ^jelas. Pasal 25 Cukup ^jelas. Pasal 26 Cukup ^jelas. Pasal 27 Ayat (l) Cukup ^jelas. Ayat l2l Nilai wajar konstruksi Penyediaan Infrastruktur oleh Badan Usaha Pelaksana kepada PJPK merupakan transaksi pertukaran atas biaya konstruksi yang dikeluarkan oleh Badan Usaha Pelaksana dan biaya-biaya keuangan lainnya yang dapat dikapitalisasi selama masa konstruksi. Nilai wajar ini tercermin dari jenis kompensasi yang dipertukarkan antara PJPK dan Badan Usaha Pelaksana. Ayat (3) Cukup ^jelas. Pasal 28 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "aset' adalah aset dari Penyediaan Infrastruktur oleh Badan Usaha Pelaksana dan jika ada BMN yang digunakan sebelumnya dalam penyediaan Infrastruktur. Pasal 29 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (21 Hurufa Cukup ^jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Bentuk lainnya dilaksanakan sesuai dengan tqjuan dan prinsip-prinsip KPBU IKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 Peraturan Pemerintah ini. Pengembalian investasi melalui skema bentuk lainnya dapat dilakukan dalam jangka panjang. Pasal 3O Cukup ^jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup ^jelas. Pasal 34 Cukup ^jelas. Pasal 35 Cukup ^jelas. Pasal 36 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Studi kelayakan dan dokumen pendukung yang diserahkan oleh Badan Usaha pemrakarsa kepada PJpK sudah menjadi kewenangan PJPK. Dalam hal PJPK akan melakukan perubahan termasuk penambahan terhadap studi kelayakan dan/atau dokumen pendukung, tidak diperlukan persetqjuan dari Badan Usaha pemrakarsa. Pasal 37 Cukup ^jelas. Pasal 38 Cukup ^jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 4O Cukup ^jelas. Pasal 4l Penyediaan pembiayaan infrastruktur dalam ketentuan ini termasuk skema lainnya selain Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha atau KPBU IKN. Pasal 42 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (21 Cukup ^jelas. Ayat (s) Cukup ^jelas. Ayat (a) Yang dimaksud dengan "mendapat persetqiuan Dewan Perwakilan Ralryat Republik Indonesia" adalah mendapat persetqiuan dari alat kelengkapan Dewan Perwakilan Ralryat Republik Indonesia yang ditunjuk dan/atau diberi kewenangan untuk itu. Pasal 43 Hurufa Yang dimaksud dengan "Pajak Kendaraan Bermoto/ adalah pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Yang dimaksud dengan "Kendaraan Bermotor' adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua ^jenis jalan darat atau kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan. REPUBUK INDONESIA Hurufb Yang dimaksud dengan "Bea Balik Nama Kendaraan BermotoC adalah pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Huruf c Yang dimaksud dengan "Pajak Alat Berat" adalah pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan alat berat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan "Alat Berat' adalah alat yang diciptakan untuk membantu pekerjaan konstruksi dan pekerjaan teknik sipil lainnya yang sifatnya berat apabila dikerjakan oleh tenaga manusia, beroperasi menggunakan motor dengan atau tanpa roda, tidak melekat secara perrnanen serta beroperasi pada area tertentu, termasuk tetapi tidak terbatas pada area konstruksi, perkebunan, kehutanan, dan pertambangan. Hurufd Yang dimaksud dengan "Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotorp adalah pajak atas penggunaan bahan bakar Kendaraan Bermotor dan Alat Berat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan ^oBahan Balar Kendaraan Bermotor, adalah semua jenis bahan bakar cair atau gas yang digunakan untuk Kendaraan Bermotor dan Alat Berat. Huruf e Yang dimaksud dengan "Pajak Air Permukaan" adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan "Air Permukaan" adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah. Huruf f Yang dimaksud dengan "Pajak Rokok' adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Angka 2 Yang dimaksud dengan "Tenaga ListrilL adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik. Angka 3 Yang dimaksud dengan "Jasa Perhotelan" adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan malan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya. Angka 4 Yang dimaksud dengan ^oJasa Parkir" adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di luar badan ^jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan Kendaraan Bermotor. Angka 5 Yang dimaksud dengan "Jasa Kesenian dan Hiburan" adalah ^jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati. Hurufj Yang dimaksud dengan 'Pajak Reklame" adalah pajak atas penyelenggaraan reklame sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan "Reklame' adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak regamnya dirancang untuk tu-juan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu. Hurufk Yang dimaksud dengan "Pajak Air Tanah" adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan "Air Tanah" adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah. Hurufl Yang dimaksud dengan "Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan" adalah pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan dari sumber alam di dalam dan/atau permukaan bumi untuk dimanfaatkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan "Mineral Bukan Logam dan Batuan" adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batubara. Hurufm Yang dimalsud dengan "Pajak Sarang Burung Walef adalah pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan "Burung Walet" adalah satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu allocalia fuchliap haga, allocalia maxina, mllocalia esculanta, dan allocalia linchi. Pasal 44 Cukup ^jelas. Pasal 45 Cukup ^jelas. Pasal 46 Cukup ^jelas. Pasal 47 Cukup ^jelas. Pasal 48 Cukup ^jelas. Pasal 49 Cukup ^jelas. Pasal 50 Cukup ^jelas. Pasal 51 Cukup ^jelas. Pasal 52 Cukup ^jelas. Pasal 53 Cukup ^jelas. Pasal 54 Cukup ^jelas. Hurufb Cukup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Pasal 56 Cukup ^jelas. Pasal 57 Ayat (1) Mekanisme reviu oleh Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri sejalan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan pemerintahan daerah yang diberlakukan secara mutatis mutandis. Ayat (21 Cukup ^jelas. Ayat (s) Cukup ^jelas. Ayat (4) Huruf a Yang dimaksud dengan "potensinya kurang memadai" adalah potensi penerimaan dari suatu jenis Pajak yang nilainya terlalu kecil sehingga biaya operasional pemungutannya lebih besar dibandingkan dengan hasil pungutannya. Huruf b Cukup ^jelas. Pasal 58 Ayat (l) Cukup ^jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan "pelayanan umum" adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara untuk tqjuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan. Huruf b Yang dimaksud dengan "penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa' adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta. Huruf c Yang dimaksud dengan "penzinan tertentu" adalah kegiatan tertentu Otorita Ibu Kota Nusantara dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Ayat (3) Cukup ^jelas. Pasal 59 Cukup ^jelas. Pasal 60 Cukup ^jelas. Pasal 61 Ayat (l) Cukup ^jelas. 20 Ayat (21 Cukup jelas. Ayat (3) Materi pengaturan dalam Peraturan Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara memperhatikan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pajak daerah dan retribusi daerah. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Cukup ^jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Ayat (1) Huruf a Penerimaan hibah meliputi penerimaan hibah yang berasal dari dalam negeri dan/atau luar negeri. Hibah dalam ketentuan ini merupakan hibah sebagaimana dimaksud pada peraturan mengenai tata cara pengadaan pinjaman luar negeri dan penerimaan hibah. Huruf b Pengadaan pinjaman meliputi pengadaan pinjaman yang berasal dari luar negeri dan/atau dalam negeri. Pinjaman dalam ketentuan ini merupakan pinjaman sebagaimana'dimaksud pada peraturan -"rrgen"i tat cara pengadaan pinjaman luar negeri dan penerimaan hibah serta tata cara pengadaan dan penerusan pinjaman dalam negeri oleh Pemerintah. Ayat (21 Cukup ^jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "peraturan perundang-undangan" adalah peraturan mengenai tata cara pengadaan pinjaman iuar negeri dan penerimaan hibah serta tata cara pengadaan dan penerusan pinjaman dalam negeri oleh pemerintah. Pasal 66 Cukup ^jelas. Pasal 67 Cukup ^jelas. Pasal 68 Cukup jelas. Pasal 69 Cukup ^jelas. Pasal 70 Cukup ^jelas. Pasal 71 Ayat (l) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (s) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (s) Cukup jelas. 22 Ayat (6) Cukup ^jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Keterlibatan aparat pengawas internal antara lain dilakukan untuk melakukan reviu rencana kerja dan anggarzrn Ibu Kota Nusantara dalam rangka meningkatkan kualitas rencana kerja dan anggaran Ibu Kota Nusantara. Pasai 72 Pasal 73 Cukup ^jelas. Pasal T4 Cukup ^jelas. Pasal 75 Cukup ^jelas. Pasal 76 Cukup ^jelas. Pasal TT Cukup jelas. Pasal 78 Ayat (l) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pelaksanaan koordinasi dapat dilakukan melalui penyelenggaraan pertemuan atau musyawarah. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Pelimpahan kewenangan dimaksud ditetapkan sekaligus dalam penunjukan KPA. Pasal 79 Cukup ^jelas. Pasal 80 Cukup ^jelas. Pasal 81 Cukup ^jelas.
Pajak Sarang Burung Walet sebageimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf m mengacu pada peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai pajak daerah, termasuk tetapi tidak terbatas pada:
Objek, yaitu pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet;
Subjek, yaitu orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau sarang burung walet;
Wajib pajak, yaitu orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang burung walet; dan
Tarif, yaitu ditetapkan paling tinggi sebesar 107o (sepuluh persen). Pasal 57 (l) Dalam rangka pengena.an Pajak Khusus IKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 sampai dengan Pasal 56, Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara menyampaikan Rancangan Peraturan Otorita Ibu Kota Nusantara kepada Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri untuk dilakukan reviu. (2) Rancangan Peraturan Otorita lbu Kota Nusantara yang telah direviu oleh Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, disampaikan oleh Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk mendapatkan persetujuan. (3) Setelah mendapatkan persetqjuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Otorita lbu Kota Nusantara menetapkan Peraturan Otorita Ibu Kota Nusantara dalam rangka pengenaan Pajak Khusus IKN. (41 Jenis Pajak Khusus IKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 sampai dengan Pasal 56 dapat tidak dipungut, dalam hal:
potensinya kurang memadai; dan/atau
Otorita Ibu Kota Nusantara menetapkan kebijakan untuk tidak memungut. Paragraf 2 Pungutan Khusus IKN Pasal 58 (1) Jenis Pungutan Khusus IKN yang dapat dipungut oleh Otorita Ibu Kota Nusantara mengacu pada peraturan perundang-undangan mengenai retribusi daerah. (21 Pungutan Khusus IKN sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dilakukan berdasarkan pelayanan yang diberikan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara, yang terdiri atas:
pelayanan umum;
penyediaan / pelayanan barang dan/atau jasa; dan/atau
pemberian perizinan tertentu. (3) Objek Pungutan Khusus IKN adalah penyediaan dan/atau pelayanan barang dan/atau jasa serta pemberian perizinan tertentu yang diberikan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara kepada Wajib ^pungutan Khusus IKN. Pasal 59 (1) Bentuk pelayanan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (2) huruf a berupa:
pelayanankesehatan;
pelayanankebersihan;
pelayanan parkir di tepi jalan umum;
pelayanan pasar; dan/atau
pengendalian lalu lintas. l2l ^Bentuk ^pelayanan ^sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat tidak dikenakan ^pungutan Khusus IKN dalam hal:
potensi penerimaannya kecil; dan/atau
dalam rangka pelaksanaan kebliakan nasional atau kebljakan Otorita Ibu Kota Nusantara untuk memberikan pelayanan tersebut secara cuma- cuma. (3) Bentuk pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (21 huruf b berupa:
penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan;
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
penyediaan tempat penginapan/ pesanggrahanl uilla;
pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
pelayanan jasa kepelabuhanan;
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air;
penjualan hasil produksi usaha Otorita Ibu Kota Nusantara; dan/atau
pemanfaatan aset dalam penguasaan Otorita Ibu Kota Nusantara yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi Otorita Ibu Kota Nusantara dan/atau optimalisasi aset dalam penguasaan Otorita Ibu Kota Nusantara dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. l4l ^Bentuk ^pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (21 huruf c berupa:
Pungutan Khusus IKN atas persetujuan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a merupakan pungutan atas penerbitan persetqjuan bangunan gedung oleh Otorita Ibu Kota Nusantara. (6) Pungutan Khusus IKN atas penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (41 huruf b merupakan dana kompensasi penggunaan tenaga kerja asing atas pengesahan rencana pengguneran tenaga ke{a asing perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga kerja asing. (71 Pungutan Khusus IKN atas pengelolaan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c merupakan pungutan berupa iuran pertambangan rakyat kepada pemegang izin pertambangan ralryat yang dapat dipungut oleh Otorita Ibu Kota Nusantara. (8) Penambahan bentuk layanan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), dan ayat (4), ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
persetqjuan bangunan gedung;
penggun€ran tenaga kerja asing; dan/atau
pengelolaanpertambanganrakyat. Paragraf 3 Tarif Pungutan Khusus IKN Pasal 60 (1) Tarif Pungutan Khusus IKN merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya Pungutan Khusus IKN yang terutang. {21 ^Tarif ^Pungutan Khusus IKN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditentukan seragam atau bervariasi menurut bentuk layanan sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif ^pungutan Khusus IKN. Paragraf 4 Tata Cara Pemungutan Pajak Khusus IKN dan pungutan Khusus IKN Pasal 61 (1) Ketentuan lain yang terkait dengan pajak Khusus dan Pungutan Khusus IKN yang tidak diatur dalam Peraturan Pemerintah ini, pengaturannya mengacu pada peraturan perundang-undangan mengenai pajak daerah dan retribusi daerah. (21 Termasuk ketentuan terkait pajak Khusus dan Pungutan Khusus IKN yang mengacu pada peraturan perundang-undangan mengenai pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
dasar pengenaan pajak;
pengecualian objek pajak, subjek pajak, dan wajib pajak;
saat terutangnya pajak;
tempat terutangnya pajak;
tahun pajak dan masa pajak;
prinsip dan sasaran penetapan tarif pungutan khusus; dan C. ^tata ^cara ^penghitungan tarif pungutan khusus. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tat: - cara p€mungutan Pajak Khusus IKN dan/atau pungutan Khusus IKN diatur dengan peraturan Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara, Paragraf 5 Pemberian Keringanan, Pengurangan, dan Pembebasan Pasal 62 (1) Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak Khusus IKN dan/atau Pungutan Khusus IKN. (21 Keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak Khusus IKN, Wajib Pungutan Khusus IKN, dan/atau Objek Pajak Khusus IKN serta bentuk pelayanan Pungutan Khusus IKN. Bagran Kedelapan Skema Pendanaan l,ainnya Pasal 63 Partisipasi badan usaha milik negara dalam mendanai persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara tidak terbatas pada investasi yang dalam swasta. dilakukan termasuk tetapi badan usaha milik negara dapat bekerja sama dengan Pasal 64 Skema swasta murni merupakan investasi murni dari swasta yang dapat diberikan insentif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 65 (1) Skema pendanaan dalam bentuk belanja dan/atau pembiayaan sebagaimana dimalsud dalam pasal 4 dapat berupa:
penerimaan hibah; dan/atau
pengadaan pinjaman. l2l ^Skema ^pendanaan ^sebagaimana ^dimaksud ^pada ayat (l) termasuk dukungan pendanaan/pembiayaan internasional yang merupakan skema untuk mewadahi pemberian dana antara lain dari bilateral/lembaga multilateral yang hendak berpartisipasi dalam pengembangan Ibu Kota Nusantara yang hijau dan cerdas yang dapat melalui hibah dan/atau pemberian dana talangan. (3) Tata cara penerimaan hibah dan pengadaan pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB III RENCANA KERJA DAN ANGGARAN OTORITA IBU KOTA NUSANTARA Bagian Kesatu Perencanaan dan Penganggaran Rencana Kerja dan Anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara Pasal 66 Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara selaku PA/Pengguna Barang men5rusun rencana kerja dan a.nggaran Otorita Ibu Kota Nusantara. Pasal 67 (1) Dalam rangka pen3rusunan rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara, Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara berpedoman pada peraturan pemerintah mengenai pen5rusunan rencana ke{a dan anggarErn Kementerian/Lembaga sepanjang tidak diatur lain dalam Peraturan Pemerintah ini. (21 Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara menyusun rencana kerja dan anggaran yang terdiri atas rencana pendapatan dan belanja. (3) Pendapatan Otorita Ibu Kota Nusantara meliputi penerimaan negara bukan pajak d an/atau sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau Pajak Khusus IKN dan/atau Pungutan Khusus IKN. (41 Rencana pendapatan dalam rencana kerja dan anggaran Ibu Kota Nusantara merupakan perkiraan pendapatan Otorita Ibu Kota Nusantara yang disusun secara realistis dan optimal. (5) Rencana pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayal l2l merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rencana kerja dan anggarErn Otorita Ibu Kota Nusantara yang ditelaah oleh Menteri. Pasal 68 Otorita Ibu Kota Nusantara pengelolaan rencana belanja berdasarkan:
indikator kinerja utama;
fluktuasi pendapatan; dan
penerapan prinsip belanja berkualitas. Pasal 69 (1) Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara selaku PA/ Pengguna Barang menJrusun rencana kerja dan anggar€rn Ibu Kota Nusantara dengan memperhatikan paling sedikit:
Rencana Induk Ibu Kota Nusantara dan perincian Rencana Induk Ibu Kota Nusantara;
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional;
rencana kerja pemerintah;
pagu anggaran; dan
standar biaya. l2l ^Penyusunan ^rencana ^kerja dan ^anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara harus menggunakan pendekatan:
kerangka pengeluaran jangka menengah;
penganggaran terpadu; dan
penganggaran berbasis kinerja. (3) Penyusunan rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan instrumen:
indikator kinerja;
standar biaya; dan
evaluasi kinerja. Pasal 70 (1) Struktur rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara memuat:
rincian anggaran; dan
informasi kinerja. (21 Rincian anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit disusun menurut:
program;
kegiatan;
keluaran; dan
sumber pendanaan. (3) Informasi kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b memuat paling sedikit:
hasil;
keluaran; dan
indikator kinerja. Pasal 71 (1) Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) kepada Menteri untuk dilakukan penelaahan. l2l ^Penelaahan ^rencana ^kerja ^dan ^anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilalsanakan oleh:
menteri yang urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional untuk menelaah kesesuaian pencapaian sasaran rencana kerja dan anggaran Kementerian/Lembaga dengan rencana kerja Kementerian/Lembaga dan Rencana Kerja Pemerintah; dan
Menteri untuk menelaah kesesuaian rencana kerja dan anggaran Kementerian/lembaga dengan kualitas belanja Kementerian/Lembaga. (3) Rencana kerja dan anggarErn Otorita Ibu Kota Nusantara hasil penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihimpun bersama dengan rencana kerja dan anggaran Kementerian/t embaga untuk digunakan sebagai bahan penyusunan Rancangan Undang-Undang mengenai APBN beserta nota keuangan dan dokumen pendukungnya. (4) Berdasarkan hasil kesepakatan pembahasan Rancangan Undang-Undang mengenai APBN beserta nota keuangan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Menteri menyampaikan alokasi anggaran hasil kesepakatan kepada Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara dan pimpinan Kementerian/Lembaga lainnya.
Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara melakukan penyesuaian rencana kerja dan anggaran Ibu Kota Nusantara berdasarkan alokasi anggar.Ln hasil kesepakatan pembahasan Rancangan Undang-Undang mengenai APBN beserta nota keuangan dengan Dewan Perwakilan Ralryat Republik Indonesia. (6) Menteri bersama menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaErn pembangunan nasional melakukan penelaahan rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara berdasarkan alokasi anggaran dengan Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara. (71 Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara selaku pengguna Anggaran wajib menyusun dan bertanggung jawab terhadap rencana kerja dan anggaran atas bagian Ernggaran yang dikuasainya. (8) Dalam rangka penJrusunan rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara menugaskan organ Otorita Ibu Kota Nusantara yang menjalankan fungsi sebagai aparat pengawas internal. PasaT 72 Dalam rangka melaksanakan sinkronisasi penyusunan rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara, Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara:
berkoordinasi dengan Kementerian/kmbaga dan daerah mitra Ibu Kota Nusantara; dan
dapat melibatkan perwakilan masyarakat serta pemangku kepentingan terkait lainnya. Pasal 73 (l) Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara melakukan evaluasi kinerja atas pelaksanaan rencana ke{a dan anggararn Otorita Ibu Kota Nusantara tahun sebelumnya dan tahun anggaran berjalan. (21 Hasil evaluasi kinerja atas pelaksanaan rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (l) disampaikan kepada Kementerian yang urusan pemerintahan di bidang keuangan negara dan Kementerian yang urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional. Bagian Kedua Dokumen Pelalsanaan Anggaran Pasal 74 (1) Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara menyusun dokumen pelaksanaan anggaran Bagian Anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara mengacu pada rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7l ayat (6) dan peraturan presiden mengenai rincian APBN. (21 Dokumen pelaksanaan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara 5slagaimana dimaksud pada ayat (l) diuraikan sasaran yang hendak dicapai, fungsi, program dan rincian kegiatan, anggara.n yang disediakan untuk mencapai sasaran tersebut, dan rencana penarikan dana serta pendapatan yang diperkirakan. (3) Menteri mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara paling lambat tanggal 31 Desember meqielang awal tahun anggaran. Bagian Ketiga Mekanisme Perubahan Anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara l4l ^Dokumen ^pelaksanaan anggaran yang telah disahkan oleh Menteri, sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi dasar bagi penarikan dana yang bersumber dari APBN oleh Otorita Ibu Kota Nusantara. Pasal 75 (1) Dalam hal diperlukan perubahan rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara, perubahan diajukan oleh Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara kepada Menteri untuk mendapatkan pengesahan. (2) Perubahan rencana kerja dan anggara.n sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan:
sebagai akibat dari:
perubahan Rencana Induk Ibu Kota Nusantara yang memerlukan penyesuaian kebutuhan pelaksanaan;
penggunaan selisih lebih penerimaan negara bukan pajak pada Otorita Ibu Kota Nusantara;
fluktuasi pendapatan; dan/atau
hasil pengendalian dan pemantauan. b. sebagai akibat selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a. (3) Pengajuan perubahan anggaran rencana ke{a dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara berpedoman pada peraturan perundang-undangan mengenai tata cara perubahan renca.na kerja dan €rnggaran. BAB tV PELAKSANAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN ANGGARAN Bagian Kesatu Umum
Tata Cara Penerbitan Surat Berharga Negara dalam rangka Penanganan Dampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan Pemulihan Ekonomi Nasional ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Surat Berharga Negara Tujuan Tertentu yang selanjutnya disebut SBN Tujuan Tertentu adalah Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah Negara yang diterbitkan oleh pemerintah dalam rangka pembiayaan penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan Pemulihan Ekonomi Nasional untuk kegiatan public goods dan non-public good s yang berupa belanja dan pembiayaan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) serta pembiayaan korporasi.
Sisa Dana Penerbitan Surat Berharga Negara dengan Tujuan Tertentu yang Tidak Terserap pada Tahun Anggaran 2020 selanjutnya disebut Sisa Dana adalah sisa dana dari penerbitan SBN Tujuan Tertentu yang dapat digunakan Pemerintah untuk membiayai pelaksanaan lanjutan kegiatan penanganan pandemi COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional tersebut pada Tahun Anggaran 2021.
Pemulihan Ekonomi Nasional yang selanjutnya disebut PEN adalah rangkaian kegiatan untuk pemulihan perekonomian nasional yang merupakan bagian dari kebijakan keuangan negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah untuk mempercepat penanganan pandemi COVID-19 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan serta penyelamatan ekonomi nasional.
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disebut DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang digunakan sebagai acuan pengguna anggaran dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan sebagai pelaksanaan APBN.
Public Goods adalah belanja barang/jasa atau insentif/bantuan sosial untuk kepentingan umum, yang mencakup pembiayaan untuk sektor kesehatan dan perlindungan sosial serta program sektoral pada kementerian negara/lembaga dan pemerintah daerah dalam rangka penanganan dampak pandemi COVID-19 dan PEN.
Non-Public Goods adalah belanja subsidi, pemberian insentif dan stimulus fiskal lainnya, yang mencakup pembiayaan antara lain untuk memberikan insentif usaha, UMKM, pembiayaan korporasi dan kegiatan insentif lainnya dalam rangka penanganan dampak pandemi COVID-19 dan PEN.
Rekening Kas Umum Negara yang selanjutnya disebut RKUN adalah rekening tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara (BUN) untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara pada Bank Indonesia.
Rekening Khusus dalam rangka Pembiayaan Penanganan Dampak Pandemi COVID-19 dan PEN yang selanjutnya disebut Rekening Khusus Penanganan Pandemi COVID- 19 dan PEN adalah rekening lain-lain milik BUN di Bank Indonesia yang digunakan untuk menampung dan mengelola hasil penerbitan SBN Tujuan Tertentu dalam rangka penanganan dampak pandemi COVID-19 dan PEN.