JDIHN LogoKemenkeu Logo
  • Dokumen Hukum
    • Peraturan
    • Monografi
    • Artikel Hukum
    • Putusan Pengadilan
  • Informasi
    • Regulasi
      • Infografis Regulasi
      • Simplifikasi Regulasi
      • Direktori Regulasi
      • Video Sosialisasi
      • Kamus Hukum
    • Informasi Penunjang
      • Tarif Bunga
      • Kurs Menteri Keuangan
      • Berita
      • Jurnal HKN
      • Statistik
  • Perihal
    • Tentang Kami
    • Struktur Organisasi
    • Anggota JDIHN
    • Prasyarat
    • Kebijakan Privasi
    • FAQ
    • Website Lama
    • Hubungi Kami
  • Situs Lama
JDIHN LogoKemenkeu Logo
  • Situs Lama

Filter

Jenis Dokumen Hukum
Publikasi
Status
Tajuk Entri Utama
Nomor
Tahun
Tema
Label
Tersedia Konsolidasi
Tersedia Terjemahan

FAQ
Prasyarat
Hubungi Kami
Kemenkeu Logo

Hak Cipta Kementerian Keuangan.

  • Gedung Djuanda I Lantai G Jl. Dr. Wahidin Raya No 1 Jakarta 10710
  • Email:jdih@kemenkeu.go.id
  • Situs JDIH Build No. 12824
JDIH Kemenkeu
  • Profil
  • Struktur Organisasi
  • Berita JDIH
  • Statistik
  • Situs Lama
Tautan JDIH
  • JDIH Nasional
  • Sekretariat Negara
  • Sekretariat Kabinet
  • Kemenko Perekonomian
  • Anggota Lainnya
Temukan Kami
Ditemukan 633 hasil yang relevan dengan "pengawasan anggaran "
Dalam 0.016 detik
Thumbnail
PEDOMAN PENGELOLAAN | BADAN LAYANAN UMUM
129/PMK.05/2020

Pedoman Pengelolaan Badan Layanan Umum

  • Ditetapkan: 18 Sep 2020
  • Diundangkan: 18 Sep 2020

Relevan terhadap

Pasal 4Tutup
(1)

BLU beroperasi sebagai unit kerja Kementerian Negara/Lembaga untuk tujuan pemberian layanan umum yang pengelolaannya berdasarkan kewenangan yang didelegasikan oleh instansi induk yang bersangkutan.

(2)

Kementerian Negara/Lembaga tetap bertanggung jawab atas pelaksanaan kewenangan yang didelegasikannya kepada BLU dan menjalankan peran pengawasan terhadap kinerja BLU dan pelaksanaan kewenangan yang didelegasikan.

(3)

BLU merupakan bagian perangkat pencapaian tujuan Kementerian Negara/Lembaga dan karenanya status hukum BLU tidak terpisah dari Kementerian Negara/Lembaga sebagai instansi induk.

(4)

Menteri/Pimpinan Lembaga bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan pelayanan umum yang didelegasikannya kepada BLU dari segi manfaat layanan yang dihasilkan.

(5)

Layanan BLU dapat diarahkan untuk menghasilkan manfaat yang mendukung stabilisasi ekonomi dan fiskal.

(6)

Pejabat yang ditunjuk mengelola BLU bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan pemberian layanan umum yang didelegasikan kepadanya oleh Menteri/Pimpinan Lembaga.

(7)

BLU menyelenggarakan kegiatannya tanpa mengutamakan pencarian keuntungan.

(8)

Rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja BLU disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja Kementerian Negara/Lembaga.

(9)

BLU mengelola penyelenggaraan layanan umum sejalan dengan Praktik Bisnis yang Sehat.

(10)

Dalam rangka mewujudkan konsep bisnis yang sehat, BLU harus senantiasa meningkatkan efisiensi dan produktivitas yang dapat berupa kewenangan merencanakan dan menetapkan kebutuhan sumber daya yang dibutuhkan.

Pasal 1Tutup

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1.

Badan Layanan Umum yang selanjutnya disingkat BLU adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.

2.

Praktik Bisnis yang Sehat adalah penyelenggaraan fungsi organisasi berdasarkan kaidah-kaidah manajemen yang baik dalam rangka pemberian layanan yang bermutu dan berkesinambungan.

3.

Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum yang selanjutnya disingkat PPK-BLU adalah pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan Praktik Bisnis yang Sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai pengelolaan keuangan BLU, sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan negara pada umumnya.

4.

Pemerintah adalah pemerintah pusat.

5.

Menteri/Pimpinan Lembaga adalah pejabat yang bertanggung jawab atas bidang tugas BLU yang bersangkutan.

6.

Kementerian Negara/Lembaga adalah kementerian negara/lembaga Pemerintah yang dipimpin oleh Menteri/Pimpinan Lembaga yang bertanggung jawab atas bidang tugas yang diemban oleh suatu BLU.

7.

Satuan Kerja Instansi Pemerintah yang selanjutnya disebut Satker adalah setiap kantor atau satuan kerja di lingkungan Pemerintah yang berkedudukan sebagai pengguna anggaran/barang atau kuasa pengguna anggaran/barang.

8.

Pejabat Pengelola BLU yang selanjutnya disebut Pejabat Pengelola adalah pegawai negeri sipil dan/atau tenaga profesional nonpegawai negeri sipil yang bertanggung jawab terhadap kinerja operasional dan keuangan BLU, yang terdiri dari pemimpin, pejabat keuangan, dan pejabat teknis, yang sebutannya dapat disesuaikan dengan nomenklatur yang berlaku pada BLU yang bersangkutan.

9.

Dewan Pengawas BLU yang selanjutnya disebut Dewan Pengawas adalah organ BLU yang bertugas melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada Pejabat Pengelola BLU dalam menjalankan pengelolaan BLU.

10.

Pemimpin BLU adalah Pejabat Pengelola BLU yang bertugas sebagai penanggung jawab umum operasional dan keuangan BLU.

11.

Pejabat Keuangan BLU yang selanjutnya disebut Pejabat Keuangan adalah Pejabat Pengelola yang berfungsi sebagai penanggung jawab keuangan BLU.

12.

Pejabat Teknis BLU yang selanjutnya disebut Pejabat Teknis adalah Pejabat Pengelola yang berfungsi sebagai penanggung jawab teknis di bidang masing-masing pada BLU.

13.

Sekretaris Dewan Pengawas BLU yang selanjutnya disebut Sekretaris Dewan Pengawas adalah orang perseorangan yang diangkat untuk mendukung penyelenggaraan tugas Dewan Pengawas.

14.

Komite Audit adalah komite yang dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada Dewan Pengawas untuk membantu pelaksanaan tugas dan fungsi Dewan Pengawas.

15.

Pegawai BLU yang selanjutnya disebut Pegawai adalah pegawai negeri sipil dan/atau tenaga profesional nonpegawai negeri sipil yang mendukung kinerja BLU sesuai dengan kebutuhan BLU.

16.

Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga yang selanjutnya disingkat RKA-K/L adalah dokumen rencana keuangan tahunan Kementerian Negara/Lembaga yang disusun menurut Bagian Anggaran Kementerian Negara/Lembaga.

17.

Rencana Strategis Bisnis BLU yang selanjutnya disingkat RSB adalah dokumen perencanaan lima tahunan yang disusun oleh Pemimpin BLU dengan mengacu kepada Rencana Strategis Kementerian Negara/Lembaga.

18.

Rencana Bisnis dan Anggaran BLU yang selanjutnya disingkat RBA adalah dokumen perencanaan bisnis dan penganggaran yang berisi program, kegiatan, target kinerja, dan anggaran suatu BLU.

19.

RBA Definitif adalah RBA yang telah disesuaikan dengan RKA-K/L dan Peraturan Presiden mengenai Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang telah disahkan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga.

20.

Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Petikan BLU yang selanjutnya disebut DIPA Petikan BLU adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran per Satker BLU yang dicetak secara otomatis melalui sistem, yang berisi mengenai informasi kinerja, rincian pengeluaran, rencana penarikan dana dan perkiraan penerimaan, dan catatan, yang berfungsi sebagai dasar dalam pelaksanaan kegiatan Satker BLU.

21.

Pola Anggaran Fleksibel adalah pola anggaran yang belanjanya dapat bertambah atau berkurang dari yang dianggarkan sepanjang pendapatan terkait bertambah atau berkurang setidaknya proporsional.

22.

Persentase Ambang Batas adalah besaran persentase realisasi belanja yang diperkenankan melampaui anggaran dalam DIPA Petikan BLU.

23.

Ikhtisar RBA adalah ringkasan RBA yang berisikan program, kegiatan dan sumber pendapatan, dan jenis belanja serta pembiayaan sesuai dengan format RKA-K/L dan format DIPA Petikan BLU.

24.

Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

25.

Rekening Operasional BLU adalah rekening lainnya dalam bentuk giro milik BLU yang dipergunakan untuk menampung seluruh penerimaan atau membayar seluruh pengeluaran BLU yang dananya bersumber dari penerimaan negara bukan pajak BLU pada Bank Umum.

26.

Rekening Operasional Penerimaan BLU adalah Rekening Operasional BLU yang dipergunakan untuk menampung seluruh penerimaan BLU yang dananya bersumber dari penerimaan negara bukan pajak BLU pada Bank Umum.

27.

Rekening Operasional Pengeluaran BLU adalah Rekening Operasional BLU yang dipergunakan untuk membayar seluruh pengeluaran BLU yang dananya bersumber dari penerimaan negara bukan pajak BLU pada Bank Umum.

28.

Rekening Pengelolaan Kas BLU adalah rekening lainnya milik BLU yang dapat berbentuk deposito pada Bank Umum dan/atau rekening pada bank kustodian untuk penempatan idle cash yang terkait dengan pengelolaan kas BLU.

29.

Rekening Dana Kelolaan BLU adalah rekening lainnya dalam bentuk giro milik BLU yang dipergunakan untuk menampung dana yang tidak dapat dimasukkan ke dalam Rekening Operasional BLU dan Rekening Pengelolaan Kas BLU pada Bank Umum, untuk menampung dana yang dapat berasal dari alokasi Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara, salah satunya dana bergulir dan/atau dana yang belum menjadi hak BLU.

30.

Beauty Contest adalah metode pemilihan penyedia jasa lainnya dengan mengundang seseorang/pelaku usaha untuk melakukan peragaan/pemaparan profil perusahaan yang dilakukan karena alasan efektivitas dan efisiensi dengan berpedoman pada aturan yang ditetapkan oleh Pemimpin BLU.

31.

Piutang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah dan/atau hak Pemerintah yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah.

32.

Piutang BLU adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada BLU dan/atau hak BLU yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah.

33.

Panitia Urusan Piutang Negara yang selanjutnya disingkat PUPN adalah Panitia yang bersifat interdepartemental dan bertugas mengurus Piutang Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960.

34.

Penanggung Utang kepada BLU yang selanjutnya disebut Penanggung Utang adalah badan atau orang yang berutang kepada BLU menurut peraturan, perjanjian atau sebab apapun termasuk badan atau orang yang menjamin seluruh penyelesaian utang penanggung utang.

35.

PSBDT adalah Piutang Negara Sementara Belum Dapat Ditagih.

36.

Pinjaman BLU yang selanjutnya disebut Pinjaman adalah semua transaksi yang mengakibatkan BLU menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain sehingga BLU tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali.

37.

Perjanjian Pinjaman adalah naskah perjanjian atau naskah lain yang dipersamakan yang memuat kesepakatan mengenai Pinjaman antara BLU dengan pemberi Pinjaman.

38.

Aset BLU adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh BLU sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh serta dapat diukur dalam satuan uang, dan sumber-sumber daya yang dipelihara karena alasan sejarah dan budaya.

39.

Aset Lancar BLU adalah Aset BLU yang diperkirakan akan direalisasi atau dimiliki untuk dijual atau digunakan dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dimiliki untuk diperdagangkan atau untuk tujuan jangka pendek yang diharapkan akan direalisasi dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan dari tanggal neraca, dan/atau berupa kas atau setara kas yang penggunaannya tidak dibatasi, meliputi kas dan setara kas, investasi jangka pendek, piutang usaha, piutang lain-lain, persediaan, uang muka, dan biaya dibayar di muka.

40.

Aset Tetap BLU adalah Aset BLU yang berwujud dan mempunyai masa manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk digunakan, atau dimaksudkan untuk digunakan, dalam kegiatan Pemerintah atau dimanfaatkan oleh masyarakat umum.

41.

Aset Lainnya BLU adalah Aset BLU selain Aset Lancar BLU, investasi jangka panjang BLU, dan Aset Tetap BLU.

42.

Kerja Sama Operasional yang selanjutnya disingkat KSO adalah pendayagunaan Aset BLU dan/atau aset milik pihak lain dalam rangka tugas dan fungsi BLU, melalui kerja sama antara BLU dengan pihak lain yang dituangkan dalam naskah perjanjian.

43.

Kerja Sama Sumber Daya Manusia dan/atau Manajemen yang selanjutnya disebut KSM adalah pendayagunaan Aset BLU dan/atau aset milik pihak lain dengan mengikutsertakan sumber daya manusia dan/atau kemampuan manajerial dari BLU dan/atau pihak lain, dalam rangka mengembangkan kapasitas layanan dan meningkatkan daya guna, nilai tambah, dan manfaat ekonomi dari Aset BLU.

44.

Mitra KSO atau KSM yang selanjutnya disebut Mitra adalah pihak lain yang melakukan perikatan dengan BLU dalam rangka KSO atau KSM.

45.

Tugas dan Fungsi BLU adalah kegiatan/aktivitas yang dilaksanakan oleh Pejabat Pengelola dan/atau Pegawai pada BLU dalam rangka memberikan dan/atau meningkatkan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan struktur organisasi dan tata kerja pada BLU yang telah ditetapkan Menteri/Pimpinan Lembaga.

46.

KSO Tanah dan Bangunan adalah pendayagunaan atas tanah dan/atau gedung dan bangunan milik BLU untuk digunakan BLU dan/atau Mitra, sesuai dengan perjanjian.

47.

KSO Aset Selain Tanah dan/atau Bangunan adalah pendayagunaan atas aset selain tanah dan/atau bangunan yang dikuasai atau dimiliki oleh BLU untuk digunakan BLU dan/atau Mitra, sesuai dengan perjanjian.

48.

Kas Negara adalah tempat menyimpan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara.

49.

Dana Kelolaan adalah dana yang dikelola oleh BLU yang bersumber dari Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Pengelolaan Investasi Pemerintah.

50.

Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara selaku Kuasa Bendahara Umum Negara untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara berdasarkan Surat Perintah Membayar.

51.

Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang memperoleh kuasa dari Bendahara Umum Negara untuk melaksanakan sebagian fungsi Kuasa Bendahara Umum Negara.

52.

Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari Pengguna Anggaran untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan.

53.

Surat Keterangan Telah Dibukukan yang selanjutnya disingkat SKTB adalah surat keterangan yang diterbitkan oleh KPPN yang menyatakan bahwa Surplus Anggaran dan/atau Dana Kelolaan telah disetor dan dibukukan KPPN.

54.

Tata Kelola yang Baik pada BLU yang selanjutnya disebut Tata Kelola yang Baik adalah suatu sistem yang dirancang untuk mengarahkan pengelolaan BLU berdasarkan prinsip-prinsip transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban, dan kewajaran, untuk pencapaian penyelenggaraan kegiatan BLU yang memperhatikan kepentingan setiap pihak yang terkait dalam penyelenggaraan kegiatan BLU, berlandaskan peraturan perundang-undangan dan Praktik Bisnis yang Sehat.

55.

Nilai Omzet adalah jumlah seluruh pendapatan operasional yang diterima oleh BLU yang berasal dari jasa layanan yang diberikan kepada masyarakat, hasil kerja sama BLU dengan pihak lain dan/atau hasil usaha lainnya, dalam satu tahun anggaran.

56.

Nilai Aset adalah jumlah aset yang tercantum dalam neraca BLU pada akhir suatu tahun buku tertentu.

57.

Sistem Pengendalian Intern adalah proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh Pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang- undangan.

58.

Pengawasan Intern adalah suatu kegiatan pemberian keyakinan dan konsultasi yang bersifat independen dan objektif, dengan tujuan untuk meningkatkan nilai dan memperbaiki operasional BLU, melalui pendekatan yang sistematis, dengan cara mengevaluasi dan meningkatkan efektivitas manajemen risiko, pengendalian, dan proses tata kelola BLU.

59.

Satuan Pengawasan Intern BLU yang selanjutnya disingkat SPI adalah unit kerja BLU yang menjalankan fungsi Pengawasan Intern.

60.

Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.

61.

Gaji adalah imbalan kerja berupa uang yang bersifat tetap yang diterima oleh Pejabat Pengelola dan Pegawai setiap bulan.

62.

Honorarium adalah imbalan kerja berupa uang yang bersifat tetap, yang diterima oleh Dewan Pengawas, Sekretaris Dewan Pengawas, dan Anggota Komite Audit setiap bulan.

63.

Tunjangan Tetap adalah imbalan kerja berupa uang yang bersifat tambahan pendapatan di luar Gaji, yang diterima oleh pimpinan BLU setiap bulan.

64.

Insentif adalah imbalan kerja berupa uang yang bersifat tambahan pendapatan di luar Gaji/Honorarium, yang diterima oleh Pejabat Pengelola, Pegawai, Dewan Pengawas, Sekretaris Dewan Pengawas, dan Anggota Komite Audit.

65.

Hari Raya adalah Hari Raya Idul Fitri.

Thumbnail
COVID-19 Covid-19 | COVID-19 | BEA MASUK DITANGGUNG PEMERINTAH
68/PMK.010/2021

Bea Masuk Ditanggung Pemerintah atas Impor Barang dan Bahan untuk Memproduksi Barang dan/atau Jasa oleh Industri Sektor Tertentu yang Terdampak Pandem ...

  • Ditetapkan: 21 Jun 2021
  • Diundangkan: 22 Jun 2021

Relevan terhadap

Pasal 1Tutup

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1.

Bea Masuk Ditanggung Pemerintah yang selanjutnya disebut BM DTP adalah fasilitas bea masuk terutang yang dibayar oleh pemerintah dengan alokasi dana yang telah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan.

2.

Industri Sektor Tertentu yang Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang selanjutnya disebut Industri Sektor Tertentu adalah industri yang terdampak pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) yang layak untuk diberikan BM DTP sesuai dengan kebijakan Pembina Sektor Industri.

3.

Pembina Sektor Industri adalah menteri/pimpinan lembaga yang membina Industri Sektor Tertentu.

4.

Barang dan Bahan adalah barang jadi, barang setengah jadi, dan/atau bahan baku, termasuk suku cadang dan/atau komponen, yang diolah, dirakit, atau dipasang untuk menghasilkan barang dan/atau jasa.

5.

Belanja Subsidi BM DTP adalah alokasi anggaran belanja subsidi BM DTP dalam rangka penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) untuk memberikan dukungan kepada perusahaan negara, lembaga pemerintah, atau pihak ketiga berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyediakan barang dan/atau jasa yang bersifat strategis atau menguasai hajat hidup orang banyak sesuai dengan kemampuan negara.

6.

Bagian Anggaran Pengelolaan Belanja Subsidi (BA.

999.
  1. yang selanjutnya disebut BA 999.07 adalah subbagian anggaran Bendahara Umum Negara yang diberikan kepada perusahaan/lembaga untuk memproduksi, menjual, mengekspor, atau mengimpor barang dan/atau jasa yang memenuhi hajat hidup orang banyak sedemikian rupa sehingga harga jualnya dapat dijangkau masyarakat.
7.

Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara Bagian Anggaran 999.07 yang selanjutnya disingkat PPA BUN BA 999.07 adalah unit organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan anggaran yang berasal dari Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara 999.07.

8.

Pemimpin Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Pemimpin PPA BUN adalah pejabat Eselon 1 di lingkungan Kementerian Keuangan yang bertanggung jawab atas program Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara dan bertindak untuk menandatangani daftar isian pelaksanaan anggaran Bendahara Umum Negara.

9.

Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kewenangan dan tanggung jawab dari pengguna anggaran untuk menggunakan anggaran yang dikuasakan kepadanya.

10.

Kuasa Pengguna Anggaran Belanja Subsidi Bea Masuk Ditanggung Pemerintah yang selanjutnya disebut KPA BM DTP adalah pejabat pada kementerian negara/ lembaga yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan untuk melakukan pengelolaan anggaran belanja subsidi bea masuk ditanggung pemerintah.

11.

Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang melaksanakan kewenangan Pengguna Anggaran/KPA untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

12.

Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat DIPA BUN adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh KPA Bendahara Umum Negara.

13.

Gudang Berikat adalah tempat penimbunan berikat untuk menimbun barang impor, dapat disertai 1 (satu) atau lebih kegiatan berupa pengemasan/pengemasan kembali, penyortiran, penggabungan ( kitting ), pengepakan, penyetelan, pemotongan, atas barang- barang tertentu dalam jangka waktu tertentu untuk dikeluarkan kembali.

14.

Penyelenggara Gudang Berikat sekaligus Pengusaha Gudang Berikat yang selanjutnya disebut Pengusaha Gudang Berikat adalah badan hukum yang melakukan kegiatan penyelenggaraan dan pengusahaan Gudang Berikat.

15.

Pengusaha di Gudang Berikat merangkap Penyelenggara di Gudang Berikat yang selanjutnya disebut PDGB adalah badan hukum yang melakukan kegiatan pengusahaan Gudang Berikat yang berada di dalam Gudang Berikat milik Penyelenggara Gudang Berikat yang berstatus sebagai badan hukum yang berbeda.

16.

Kawasan Berikat adalah tempat penimbunan berikat untuk menimbun barang impor dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah pabean guna diolah atau digabungkan sebelum diekspor atau diimpor untuk dipakai.

17.

Penyelenggara Kawasan Berikat sekaligus Pengusaha Kawasan Berikat yang selanjutnya disebut Pengusaha Kawasan Berikat adalah badan hukum yang melakukan kegiatan penyelenggaraan sekaligus pengusahaan Kawasan Berikat.

18.

Pengusaha di Kawasan Berikat merangkap Penyelenggara di Kawasan Berikat yang selanjutnya disebut PDKB adalah badan hukum yang melakukan kegiatan pengusahaan kawasan berikat yang berada di dalam Kawasan Berikat milik Penyelenggara Kawasan Berikat yang berstatus sebagai badan hukum yang berbeda.

19.

Pusat Logistik Berikat yang selanjutnya disingkat PLB adalah tempat penimbunan berikat untuk menimbun barang asal luar daerah pabean dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah pabean, dapat disertai 1 (satu) atau lebih kegiatan sederhana dalam jangka waktu tertentu untuk dikeluarkan kembali.

20.

Penyelenggara PLB sekaligus Pengusaha PLB yang selanjutnya disebut Pengusaha PLB adalah badan hukum yang melakukan kegiatan pengusahaan PLB.

21.

Pengusaha di PLB merangkap Penyelenggara di PLB yang selanjutnya disebut PDPLB adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pengusahaan PLB yang berada di dalam PLB milik Penyelenggara PLB yang statusnya sebagai badan usaha yang berbeda.

22.

Kawasan yang Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disebut Kawasan Bebas adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari daerah pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah, dan/atau cukai.

23.

Pengusaha Kawasan Bebas adalah pengusaha yang berkedudukan dan/atau mempunyai tempat kegiatan usaha di Kawasan Bebas dan telah mendapat Perizinan Berusaha dari Badan Pengusahaan Kawasan.

24.

Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disingkat KEK adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu.

25.

Pelaku Usaha KEK adalah pelaku usaha yang menjalankan kegiatan usaha di KEK.

26.

Pemberitahuan Pabean Impor adalah pernyataan yang dibuat oleh orang dalam rangka melaksanakan kewajiban pabean impor dalam bentuk dan syarat yang ditetapkan dalam Undang-Undang Kepabeanan.

27.

Sistem Aplikasi KEK adalah sistem elektronik yang terdiri dari Sistem Indonesia National Single Window , Sistem Komputer Pelayanan Bea dan Cukai, dan aplikasi lain yang mengotomasikan proses bisnis kegiatan pemasukan, perpindahan, dan pengeluaran barang ke dan dari KEK.

28.

Sistem Indonesia National Single Window yang selanjutnya disingkat SINSW adalah sistem elektronik yang mengintegrasikan sistem dan/atau informasi berkaitan dengan proses penanganan dokumen kepabeanan, dokumen kekarantinaan, dokumen perizinan, dokumen kepelabuhanan/kebandarudaraan, dan dokumen lain, yang terkait dengan ekspor dan/atau impor, yang menjamin keamanan data dan informasi serta memadukan alur dan proses informasi antar sistem internal secara otomatis.

29.

Kantor Bea dan Cukai adalah Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai atau Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai.

30.

Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara.

31.

Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA.

32.

Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disebut SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh kantor pelayanan perbendaharaan negara selaku Kuasa Bendahara Umum Negara untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM.

33.

Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang memperoleh Kuasa dari Bendahara Umum Negara untuk melaksanakan sebagian fungsi Kuasa Bendahara Umum Negara.

34.

Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak yang selanjutnya disingkat SPTJM adalah pernyataan yang diterbitkan/dibuat oleh KPA Bendahara Umum Negara yang memuat jaminan atau pernyataan bahwa seluruh pengeluaran telah dihitung dengan benar.

35.

Pemindahtanganan adalah pemindahan hak, alih aset, perubahan penggunaan Barang dan Bahan untuk kegiatan lain di luar kegiatan usaha, diekspor, atau penghapusan dari aset perusahaan.

36.

Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.

37.

Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.

38.

Direktur adalah direktur di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang mempunyai tugas dan fungsi merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi di bidang fasilitas kepabeanan.

39.

Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disebut PPSPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh Pengguna Anggaran/KPA untuk melakukan pengujian atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah pembayaran.

Pasal 26Tutup
(1)

Realisasi impor atau pengeluaran Barang dan Bahan yang mendapat Keputusan Menteri mengenai pemberian BM DTP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), dilakukan paling lambat pada tanggal 31 Desember pada tahun anggaran berjalan yang dibuktikan dengan:

a.

tanggal pendaftaran Pemberitahuan Pabean Impor BC 2.0, untuk impor barang dari luar daerah pabean;

b.

tanggal pendaftaran Pemberitahuan Pabean Impor BC 2.8, untuk pengeluaran Barang dan Bahan dari PLB;

c.

tanggal pendaftaran Pemberitahuan Pabean Impor BC 2.5, untuk pengeluaran Barang dan Bahan dari Gudang Berikat atau Kawasan Berikat;

d.

tanggal pendaftaran PPFTZ 01 pengeluaran, untuk pengeluaran Barang dan Bahan dari Kawasan Bebas; atau e. tanggal pendaftaran Pemberitahuan Pabean KEK.

(2)

Terhadap permohonan untuk mendapat BM DTP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2), tidak dapat diberikan persetujuan pengeluaran barang impor untuk dipakai dengan mengunakan jaminan ( vooruitslag ).

(3)

Terhadap Barang dan Bahan yang telah dilakukan importasinya dengan membayar bea masuk tidak dapat diberikan pengembalian bea masuk (restitusi).

(4)

Terhadap Barang dan Bahan yang salah kirim, rusak atau reject sehingga tidak dapat diolah, dirakit, atau dipasang, yang telah mendapatkan izin dari pejabat minimal setingkat pimpinan tinggi pratama dari kementerian yang membidangi sektor industri, dapat dimusnahkan atau diekspor.

(5)

Barang yang telah dilakukan pemusnahan atau diekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (4), bea masuk yang telah dibayarkan dengan ditanggung pemerintah tidak dipungut kembali.

(6)

Dalam hal importasi atau pengeluaran Barang dan Bahan oleh perusahaan Industri Sektor Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 4, Pasal 6 ayat (1), Pasal 6 ayat (3), dan Pasal 7, terkena ketentuan larangan dan/atau pembatasan impor, ketentuan tersebut harus dipenuhi pada saat Barang dan Bahan tersebut diimpor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengawasan terhadap impor barang larangan dan/atau pembatasan.

Thumbnail
COVID 19 DAN PEN Covid 19 dan PEN | BIDANG PENGELOLAAN PEMBIAYAAN RESIKO | HUKUM KEUANGAN NEGARA
32/PMK.08/2021

Tata Cara Penjaminan Pemerintah untuk Pelaku Usaha Korporasi melalui Badan Usaha Penjaminan yang Ditunjuk dalam Rangka Pelaksanaan Program Pemulihan E ...

  • Ditetapkan: 01 Apr 2021
  • Diundangkan: 01 Apr 2021

Relevan terhadap

Pasal 1Tutup

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1.

Penjaminan Program Pemulihan Ekonomi Nasional yang selanjutnya disebut Penjaminan Program PEN adalah penjaminan yang diberikan dalam rangka melaksanakan Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional dalam rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan serta Penyelamatan Ekonomi Nasional.

2.

Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.

3.

Penjaminan Pemerintah adalah penjaminan yang diberikan untuk dan atas nama Pemerintah oleh Menteri melalui badan usaha penjaminan yang ditunjuk sebagai penjamin atas pemenuhan kewajiban finansial terjamin kepada penerima jaminan dalam rangka pelaksanaan Penjaminan Program PEN.

4.

Pinjaman adalah setiap pembiayaan baik secara konvensional maupun syariah dari kreditur atau pemberi fasilitas pembiayaan syariah berupa sejumlah uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu yang menimbulkan kewajiban finansial berdasarkan perjanjian pinjaman atau perjanjian pembiayaan.

5.

Pelaku Usaha Korporasi selanjutnya disebut Pelaku Usaha adalah pelaku usaha di sektor riil dan sektor keuangan yang kekayaan bersihnya di atas Rp10 miliar dan omzet tahunannya di atas Rp50 miliar yang kegiatan usahanya terdampak oleh pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

6.

Penjamin adalah Pemerintah dalam hal ini Menteri yang dilaksanakan melalui penugasan kepada badan usaha penjaminan.

7.

Penerima Jaminan adalah bank yang memberikan fasilitas Pinjaman.

8.

Terjamin adalah Pelaku Usaha penerima Penjaminan Pemerintah.

9.

Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan.

10.

Badan Usaha Milik Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.

11.

Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia yang selanjutnya disingkat LPEI adalah Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang mengenai Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia.

12.

PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero) yang selanjutnya disingkat PT PII adalah Badan Usaha Milik Negara yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah mengenai Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia untuk pendirian perusahaan perseroan (persero) di bidang penjaminan infrastruktur.

13.

Imbal Jasa Penjaminan yang selanjutnya disingkat IJP adalah sejumlah uang yang diterima oleh Penjamin dari Terjamin dalam rangka kegiatan penjaminan.

14.

Imbal Jasa Penjaminan Loss Limit yang selanjutnya disingkat IJP Loss Limit atau __ premi Loss Limit adalah sejumlah uang yang diterima badan usaha yang menjalankan penugasan dukungan loss limit dalam rangka kegiatan Penjaminan Pemerintah.

15.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

16.

Regres adalah hak Penjamin untuk menagih Terjamin atas apa yang telah dibayarkan oleh Penjamin kepada Penerima Jaminan untuk memenuhi kewajiban Terjamin tersebut.

17.

Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari Pengguna Anggaran untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan.

18.

Nilai Penjaminan adalah jumlah Pinjaman yang mendapatkan Penjaminan Pemerintah.

2.

Ketentuan ayat (2) dan ayat (4) Pasal 7 diubah dan diantara ayat (3) dan ayat (4) disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (3a), serta diantara ayat (4) dan ayat (5) disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (4a) sehingga Pasal 7 berbunyi sebagai berikut:

Thumbnail
HUKUM KEUANGAN NEGARA
288/KM.6/2023

Indikator Kinerja Pengelolaan Barang Milik Negara Tahun 2023

  • Ditetapkan: 27 Des 2023
Thumbnail
BIDANG KEKAYAAN NEGARA | MENTERI KEUANGAN
197/PMK.06/2019

Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Dewan Komisaris Perusahaan Perseroan (Persero)Di Bawah Pembinaan dan Pengawasan Menteri Keuangan. ...

  • Ditetapkan: 23 Des 2019
  • Diundangkan: 30 Des 2019

Relevan terhadap

Pasal 42Tutup

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, ketentuan yang tercantum dalam Anggaran Dasar Persero di bawah pembinaan dan pengawasan Menteri disesuaikan paling lambat 6 (enam) bulan sejak Peraturan Menteri ini diundangkan.

Pasal 1Tutup

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1.

Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disingkat BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.

2.

Perusahaan Perseroan yang selanjutnya disebut Persero adalah BUMN yang berbentuk Perseroan Terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia.

3.

Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.

4.

Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disingkat RUPS adalah organ Persero yang memegang kekuasaan tertinggi dalam Persero dan memegang segala wewenang yang tidak diserahkan kepada Direksi atau Dewan Komisaris.

5.

Wakil Menteri adalah Wakil Menteri Keuangan Republik Indonesia.

6.

Direktur Jenderal adalah pimpinan unit organisasi eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang lingkup tugas dan fungsinya meliputi perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang kekayaan negara dipisahkan.

7.

Direktorat Jenderal adalah unit organisasi eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang lingkup tugas dan fungsinya meliputi perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang kekayaan negara dipisahkan.

8.

Dewan Komisaris adalah organ Persero yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberikan nasihat kepada Direksi.

9.

Direksi adalah organ Persero yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Persero untuk kepentingan Persero, sesuai maksud dan tujuan Persero serta mewakili Persero baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar Persero.

10.

Penilaian Kelayakan dan Kepatutan adalah proses untuk menentukan kelayakan dan kepatutan seseorang untuk menjabat sebagai anggota Dewan Komisaris Persero.

11.

Tim Penilaian Kelayakan dan Kepatutan adalah tim yang bertugas untuk melaksanakan penilaian akhir dalam proses Penilaian Kelayakan dan Kepatutan yang keanggotaannya ditetapkan oleh Menteri.

12.

Tim Pertimbangan Dewan Komisaris pada Badan Usaha Milik Negara dan Dewan Pengawas pada Badan Layanan Umum, yang selanjutnya disebut TPKOMWAS adalah tim yang melaksanakan seleksi terbatas dan menyusun rekomendasi untuk pejabat internal Kementerian Keuangan yang akan ditugaskan sebagai Dewan Komisaris pada Badan Usaha Milik Negara dan Dewan Pengawas pada Badan Layanan Umum.

13.

Bakal Calon adalah nama-nama yang diperoleh melalui proses penjaringan untuk dilakukan penilaian akhir oleh Tim Penilaian Kelayakan dan Kepatutan.

14.

Calon Anggota Dewan Komisaris adalah Bakal Calon yang telah mengikuti Penilaian Kelayakan dan Kepatutan.

Thumbnail
HUKUM KEUANGAN NEGARA | BIDANG BEA CUKAI
PMK 165 TAHUN 2023

Tata Cara Permohonan, Permintaan, dan Pembayaran Sanksi Administratif Berupa Denda dalam rangka Penghentian Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Cukai u ...

  • Ditetapkan: 29 Des 2023
  • Diundangkan: 29 Des 2023

Relevan terhadap

MemutuskanTutup

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PERMOHONAN, PERMINTAAN, DAN PEMBAYARAN SANKSI ADMINISTRATIF BERUPA DENDA DALAM RANGKA PENGHENTIAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA DI BIDANG CUKAI UNTUK KEPENTINGAN PENERIMAAN NEGARA. Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:

1.

Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. 2. Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. 3. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang selanjutnya disingkat DJBC adalah satuan kerja unit eselon I di bawah Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengawasan, penegakan hukum, pelayanan, dan fasilitasi, serta optimalisasi penerimaan negara di bidang kepabeanan dan cukai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 4. Kantor Wilayah adalah Kantor Wilayah DJBC atau Kantor Wilayah DJBC Khusus. 5. Kantor Pelayanan adalah Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai atau Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai. 6. Kantor Bea Cukai adalah Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan yang melaksanakan Penyidikan dan menerbitkan surat pemberitahuan dimulainya Penyidikan. 7. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. 8. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai. Pasal 2 (1) Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri atau pejabat yang ditunjuk, Jaksa Agung atau pejabat yang ditunjuk dapat menghentikan Penyidikan tindak pidana di bidang cukai paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan. (2) Penghentian Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan atas tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, Pasal 52, Pasal 54, Pasal 56, jdih.kemenkeu.go.id dan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, setelah yang bersangkutan membayar sanksi administratif berupa denda sebesar 4 (empat) kali nilai cukai yang seharusnya dibayar. Pasal 3 (1) Menteri atau pejabat yang ditunjuk mengajukan permintaan penghentian Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) kepada J aksa Agung a tau pejabat yang ditunjuk, sepanjang penyidik belum menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada Penuntut Umum. (2) Menteri melimpahkan kewenangan permintaan penghentian Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk delegasi kepada Direktur Jenderal. (3) Direktur Jenderal dapat mensubdelegasikan kewenangan permintaan penghentian Penyidikan se bagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada kepala Kantor Wilayah atau kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai. (4) Kepala Kantor Wilayah dapat melimpahkan wewenang permintaan penghentian Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam bentuk mandat kepada kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai. Pasal 4 (1) Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai yang menerima pelimpahan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4):

a.

wajib memperhatikan ketentuan peraturan perundang- undangan;

b.

bertanggung jawab secara substansi atas pelaksanaan pelimpahan wewenang yang diberikan kepada yang bersangkutan; dan

c.

tidak dapat melimpahkan kembali pelimpahan kewenangan yang diterima kepada pejabat lain. (2) Dalam hal kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhalangan sementara atau tetap, wewenang yang diterima dapat dilakukan oleh pejabat pelaksana harian atau pejabat pelaksana tugas yang ditunjuk. (3) Pejabat pelaksana harian atau pejabat pelaksana tugas yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertanggung jawab secara substansi atas pelaksanaan pelimpahan wewenang yang diberikan. Pasal 5 (1) Perhitungan nilai cukai yang seharusnya dibayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dilaksanakan dengan ketentuan:

a.

dalam hal barang kena cukai dapat ditentukan tarif cukainya, perhitungan nilai cukai yang seharusnya dibayar berdasarkan tarif cukai yang berlaku pada saat dilakukan penegahan; jdih.kemenkeu.go.id b. dalam hal barang kena cukai berupa minuman mengandung etil alkohol yang tidak dapat ditentukan negara asalnya, perhitungan nilai cukai yang seharusnya dibayar berdasarkan tarif cukai minuman mengandung etil alkohol buatan dalam negeri sesuai dengan golongannya yang berlaku pada saat dilakukan penegahan;

c.

dalam hal barang kena cukai hasil tembakau selain tembakau iris yang dikemas bukan dalam kemasan untuk penjualan eceran dan cerutu yang tidak dapat ditentukan tarif cukainya, perhitungan nilai cukai yang seharusnya dibayar berdasarkan tarif cukai terendah yang berlaku pada saat dilakukan penegahan;

d.

dalam hal barang kena cukai hasil tembakau berupa tembakau iris yang dikemas bukan dalam kemasan untuk penjualan eceran, perhitungan nilai cukai yang seharusnya dibayar berdasarkan tarif cukai tertinggi yang berlaku pada saat dilakukan penegahan;

e.

dalam hal barang kena cukai hasil tembakau berupa cerutu yang tidak dapat ditentukan tarif cukainya, perhitungan nilai cukai yang seharusnya dibayar berdasarkan tarif cukai rata-rata cerutu buatan dalam negeri yang berlaku pada saat dilakukan penegahan; atau

f.

dalam hal pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya kedapatan asli dan belum digunakan, perhitungan nilai cukai yang seharusnya dibayar berdasarkan tarif cukai pada pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya. (2) Perhitungan nilai cukai yang seharusnya dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan berita acara pemeriksaan ahli pada saat Penyidikan. Pasal 6 (1) Dalam Penyidikan terhadap tindak pidana se bagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), penyidik memberitahukan kepada tersangka bahwa yang bersangkutan dapat mengajukan penghentian Penyidikan di bidang cukai untuk kepentingan penerimaan negara dengan membayar sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2). (2) Penyidik menuangkan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam berita acara pemeriksaan tersangka. Pasal 7 (1) Dalam hal tersangka bermaksud mengajukan penghentian Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), tersangka menyampaikan surat permohonan penghentian Penyidikan di bidang cukai untuk kepentingan penerimaan negara kepada:

a.

Direktur Jenderal, dalam hal Penyidikan dilakukan oleh kantor pusat DJBC; atau

b.

kepala Kantor Bea Cukai, dalam hal Penyidikan dilakukan oleh Kantor Bea Cukai. jdih.kemenkeu.go.id (2) Dalam hal tindak pidana di bidang cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dilakukan oleh lebih dari 1 (satu) tersangka, surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh seluruh tersangka baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama. (3) Surat permohonan penghentian Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diajukan sebelum penyidik menyerahkan tanggungjawab atas tersangka dan barang bukti kepada Penuntut Umum. (4) Atas pengajuan surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Direktur Jenderal atau kepala Kantor Bea Cukai memberikan tanda terima. (5) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dibuat sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 8 (1) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2), DirekturJenderal atau kepala Kantor Bea Cukai melakukan penelitian terhadap permohonan untuk:

a.

memastikan identitas tersangka;

b.

memastikan pemenuhan ketentuan surat permohonan se bagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dalam hal tindak pidana dilakukan lebih dari 1 (satu) tersangka;

c.

menentukan pasal pidana yang dilanggar; dan

d.

menghitung besaran sanksi administratif berupa denda sebesar 4 (empat) kali nilai cukai yang seharusnya dibayar. (2) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk menyimpulkan dapat atau tidaknya diajukan permin taan penghen tian Penyidikan tindak pidana di bidang cukai untuk kepentingan penerimaan negara. (3) Untuk melaksanakan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal atau kepala Kantor Bea Cukai melakukan gelar perkara dan dibuatkan berita acara. Pasal 9 (1) Dalam hal hasil penelitian permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dapat dilakukan permintaan penghentian Penyidikan tindak pidana di bidang cukai untuk kepentingan penerimaan negara, Direktur Jenderal atau kepala Kantor Bea Cukai menerbitkan dan menyampaikan surat persetujuan atas permohonan penghentian Penyidikan tindak pidana di bidang cukai untuk kepentingan penerimaan negara kepada tersangka. (2) Surat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi:

a.

identitas tersangka;

b.

pasal pidana yang dilanggar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2); jdih.kemenkeu.go.id c. besaran sanksi administratif beru.pa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2);

d.

jangka waktu pembayaran sanksi administratif beru.pa denda; dan

e.

nomor rekening penampungan dana titipan DJBC. (3) Surat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meru.pakan dokumen yang dijadikan dasar pembayaran sanksi administratifberu.pa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2). (4) Dalam hal hasil penelitian permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) tidak dapat dilakukan permintaan penghentian Penyidikan tindak pidana di bidang cukai untuk kepentingan penerimaan negara, Direktur Jenderal atau kepala Kantor Bea Cukai menerbitkan dan menyampaikan surat penolakan kepada tersangka disertai alasan. (5) Dalam hal tindak pidana cukai dilakukan oleh 1 (satu) tersangka, Direktur Jenderal atau kepala Kantor Bea Cukai menerbitkan surat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) a tau surat penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lama dalam jangka waktu 45 (empat puluh lima) hari sejak surat permohonan penghentian Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) diterima. (6) Dalam hal tindak pidana di bidang cukai dilakukan oleh lebih dari 1 (satu) tersangka, Direktur Jenderal atau kepala Kantor Bea Cukai menerbitkan surat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau surat penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dengan ketentuan:

a.

dalam hal surat permohonan penghentian Penyidikan diajukan secara sendiri-sendiri, surat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau surat penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterbitkan dan disampaikan paling lama dalamjangka waktu 45 (empat puluh lima) hari sejak surat permohonan penghentian Penyidikan yang pertama kali diterima; atau

b.

dalam hal surat permohonan penghentian Penyidikan diajukan secara bersama-sama, surat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau surat penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterbitkan dan disampaikan paling lama dalam jangka waktu 45 (empat puluh lima) hari sejak surat permohonan penghentian Penyidikan diterima. (7) Surat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan surat penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibuat sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huru.f B dan huruf C yang meru.pakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 10 (1) Berdasarkan surat persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), tersangka membayar sanksi administratif beru.pa denda sebagaimana dimaksud dalam jdih.kemenkeu.go.id Pasal 2 ayat (2) dengan menyetor ke rekening penampungan dana titipan DJBC. (2) Pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak surat persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) diterima oleh tersangka. (3) Pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara sekaligus atau bertahap dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Dalam hal tindak pidana di bidang cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dilakukan oleh lebih dari 1 (satu) tersangka, pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai kesepakatan para tersangka. Pasal 11 (1) Pengelolaan rekening penampungan dana ti ti pan DJBC sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan Menteri mengenai pengelolaan rekening milik satuan kerja lingkup kementerian negara/ lembaga. (2) Kuasa pengguna anggaran/kepala satuan kerja dapat menunjuk pejabat yang melaksanakan tugas dan fungsi Penyidikan sebagai pengelola operasional rekening penampungan dana titipan DJBC. Pasal 12 (1) Tersangka menyampaikan bukti pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (4) kepada pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) dengan dilampiri surat pernyataan pengakuan bersalah dari tersangka. (2) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) membuat tanda terima atas penyampaian bukti pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam rangkap 2 (dua) dengan peruntukan:

a.

lembar ke-1 untuk tersangka; dan

b.

lembar ke-2 sebagai arsip. (3) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) menyampaikan tanda terima lembar ke-1 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a kepada tersangka. (4) Surat pernyataan pengakuan bersalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tanda terima sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf D dan huruf E yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. jdih.kemenkeu.go.id Pasal 13 (1) Dalam hal tersangka tidak atau kurang membayar sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) sampai denganjangka waktu pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2), Penyidikan dilanjutkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Penyidik menyerahkan sanksi administratif berupa denda yang kurang dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Penuntut Umum melalui penyetoran ke rekening penampungan dana titipan Kejaksaan dengan dibuatkan berita acara pada saat penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti. Pasal 14 (1) Dalam hal tersangka telah membayar sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) menyampaikan bukti pembayaran dan surat pernyataan pengakuan bersalah dari tersangka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) kepada Direktur Jenderal atau kepala Kantor Bea Cukai. (2) Berdasarkan penyampaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal atau kepala Kantor Bea Cukai menyampaikan surat permintaan penghentian Penyidikan tindak pidana di bidang cukai untuk kepentingan penerimaan negara kepada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, kepala Kejaksaan Tinggi, kepala Kejaksaan Negeri, atau kepala Cabang Kejaksaan Negeri yang menerima surat pemberitahuan dimulainya Penyidikan dengan dilampiri:

a.

laporan kejadian;

b.

surat perintah tugas Penyidikan;

c.

surat penetapan tersangka;

d.

surat pemberitahuan dimulainya Penyidikan;

e.

resume Penyidikan;

f.

surat permohonan penghentian Penyidikan;

g.

surat pernyataan pengakuan bersalah dari tersangka; dan

h.

bukti pembayaran sanksi administratif berupa denda. (3) Ketentuan pengajuan surat permintaan penghentian Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagai berikut:

a.

dalam hal proses Penyidikan dilakukan oleh kantor pusat DJBC, Direktur Jenderal mengajukan surat permintaan penghentian Penyidikan kepada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus;

b.

dalam hal proses Penyidikan dilakukan oleh Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai, kepala Kantor Wilayah atau kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai mengajukan surat permintaan penghentian Penyidikan kepada kepala Kejaksaan Tinggi yang menerima surat pemberitahuan dimulainya Penyidikan; atau jdih.kemenkeu.go.id c. dalam hal proses Penyidikan dilakukan oleh Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai, kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai mengajukan surat permintaan penghentian Penyidikan kepada kepala Kejaksaan Negeri atau kepala Cabang Kejaksaan Negeri yang menerima surat pemberitahuan dimulainya Penyidikan. (4) Penyampaian surat permintaan penghentian Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama dalam jangka waktu 5 (lima) hari kerja setelah bukti pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) diterima. (5) Surat permintaan penghentian Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf F yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 15 Surat permintaan penghentian Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), berlaku ketentuan sebagai berikut:

a.

dalam hal Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, kepala Kejaksaan Tinggi, kepala Kejaksaan Negeri, atau kepala Cabang Kejaksaan Negeri yang menerima surat pemberitahuan dimulainya Penyidikan mengembalikan berkas permintaan penghentian Penyidikan tindak pidana di bidang cukai untuk kepentingan penerimaan negara karena tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), Direktur Jenderal atau kepala Kantor Bea Cukai mengajukan kembali berkas permin taan penghen tian Penyidikan tindak pidana di bidang cukai untuk kepentingan penerimaan negara yang telah dilengkapi kepada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, kepala Kejaksaan Tinggi, kepala Kejaksaan Negeri, atau kepala Cabang Kejaksaan Negeri yang menerima surat pemberitahuan dimulainya Penyidikan;

b.

dalam hal Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, kepala Kejaksaan Tinggi, kepala Kejaksaan Negeri, atau kepala Cabang Kejaksaan Negeri yang menerima surat pemberitahuan dimulainya Penyidikan menetapkan penghen tian Penyidikan tindak pidana di bi dang cukai untuk kepentingan penerimaan negara, Direktur Jenderal atau kepala Kantor Bea Cukai melaksanakan tindak lanjut atas penetapan penghentian Penyidikan; atau

c.

dalam hal Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, kepala Kejaksaan Tinggi, kepala Kejaksaan Negeri, atau kepala Cabang Kejaksaan Negeri yang menerima surat pemberitahuan dimulainya Penyidikan menolak permintaan penghentian Penyidikan tindak pidana di bidang cukai untuk kepentingan penerimaan negara:

1.

Direktur Jenderal atau kepala Kantor Bea Cukai menyampaikan surat penolakan permintaan penghen tian Penyidikan tindak pidana di bi dang cukai untuk kepentingan penerimaan negara yang diterbitkan oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana jdih.kemenkeu.go.id Khusus, kepala Kejaksaan Tinggi, kepala Kejaksaan Negeri, atau kepala Cabang Kejaksaan Negeri yang menerima surat pemberitahuan dimulainya Penyidikan kepada tersangka;

2.

Direktur Jenderal atau kepala Kantor Bea Cukai melanjutkan proses Penyidikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

3.

penyidik menyerahkan sanksi administratif berupa denda sebesar 4 (empat) kali nilai cukai yang seharusnya dibayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) kepada Penuntut Umum melalui penyetoran ke rekening penampungan dana titipan Kejaksaan dengan dibuatkan berita acara pada saat penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti. Pasal 16 (1) Tindak lanjut atas penetapan penghentian Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf b dilaksanakan dengan:

a.

menyampaikan penetapan penghentian Penyidikan tindak pidana di bidang cukai untuk kepentingan penerimaan negara kepada tersangka;

b.

menyetorkan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) atas nama tersangka dari rekening penampungan dana titipan DJBC ke kas negara sebagai pendapatan denda administratif cukai;

c.

menetapkan barang kena cukai dan/atau barang lain menjadi barang milik negara; dan/atau

d.

mengembalikan barang lain yang tidak ditetapkan menjadi barang milik negara kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak dengan dibuatkan berita acara. (2) Pelaksanaan tindak lanjut atas penetapan penghentian Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuatkan berita acara. (3) Direktur Jenderal atau kepala Kantor Bea Cukai menyampaikan laporan pelaksanaan tindak lanjut atas penetapan penghentian Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, kepala Kejaksaan Tinggi, kepala Kejaksaan Negeri, atau kepala Cabang Kejaksaan Negeri yang menerima surat pemberitahuan dimulainya Penyidikan dengan dilampiri berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Laporan pelaksanaan tindak lanjut atas penetapan penghentian Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan paling lama dalam j angka waktu 14 (empat belas) hari sejak penetapan penghentian Penyidikan diterima. (5) Berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan laporan pelaksanaan tindak lanjut atas penetapan penghentian Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat sesuai dengan contoh format sebagaimana jdih.kemenkeu.go.id tercantum dalam Lampiran huruf G dan huruf H yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 17 (1) Penetapan penghentian Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf b berlaku sebagai dokumen dasar penyetoran sanksi administratif berupa denda dari rekening penampungan dana titipan DJBC ke kas negara sebagai pendapatan denda administratif cukai melalui sistem penerimaan negara secara elektronik. (2) Penyetoran sanksi administratif berupa denda ke kas negara se bagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) atas nama tersangka. (3) Penyetoran sanksi administratif berupa denda ke kas negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama dalam jangka waktu 3 (tiga) hari kerja sejak diterimanya penetapan penghentian Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf b. Pasal 18 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, terhadap Penyidikan atas tindak pidana dalam Pasal 50, Pasal 52, Pasal 54, Pasal 56, dan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang terjadi sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan belum dilakukan penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada Penuntut Umum, proses penghentian Penyidikan tindak pidana di bidang cukai untuk kepentingan penerimaan negara dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini. Pasal 19 Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal diundangkan. jdih.kemenkeu.go.id

Thumbnail
BADAN PENGELOLA | LINGKUNGAN HIDUP
137/PMK.01/2019

Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup

  • Ditetapkan: 30 Sep 2019

Relevan terhadap

Pasal 3Tutup

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup menyelenggarakan fungsi:

a.

pelaksanaan penyusunan rencana strategis bisnis, rencana bisnis dan anggaran tahunan, serta rencana kerja dan anggaran satuan kerja, pengelolaan anggaran, akuntansi, dan pelaporan keuangan, pengelolaan sumber daya manusia, urusan umum, kerumahtanggaan, kehumasan, dan layanan informasi, pengelolaan sistem informasi teknologi dan basis data Dana Lingkungan Hidup, serta koordinasi pelaksanaan tugas;

b.

penyusunan, pelaksanaan, pengawasan, dan pelaporan rencana penghimpunan dan pengembangan dana, mobilisasi sumber-sumber pendanaan, perumusan, perencanaan, dan pelaksanaan pengembangan dan pemasaran layanan, pengembangan dan penempatan dana pada instrumen investasi, pengelolaan kerja sama pendanaan, setelmen Dana Lingkungan Hidup, pelaksanaan restrukturisasi pinjaman, serta pengelolaan kerja sama dengan bank kustodian, bank umum, dan/atau pihak lainnya;

c.

penyusunan dan pelaksanaan rencana penyaluran dana, analisis kelayakan proposal, penetapan objek penyaluran dana, penyampaian hasil analisis ke Kementerian/Lembaga, bank kustodian, bank umum, dan/atau pihak lainnya, penyaluran dana pinjaman, dana program, dana bagi hasil dan syariah, monitoring dan evaluasi atas penyaluran dana, serta pembinaan kepada penerima dana;

d.

penelaahan aspek hukum atas peraturan dan perjanjian, penyusunan rumusan peraturan, perjanjian, dan kajian hukum, penanganan permasalahan hukum, pendokumentasian atas seluruh dokumen hukum, peraturan, dan perjanjian, serta pelaksanaan manajemen risiko; dan

e.

pelaksanaan pemeriksaan intern atas pelaksanaan tugas Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup.

Thumbnail
ASET EKS | BEA DAN CUKAI
PMK 150 TAHUN 2023

Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 51/PMK.06/2021 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara yang Berasal dari Aset Eks Kepabeanan dan CUkai ...

  • Ditetapkan: 27 Des 2023
  • Diundangkan: 28 Des 2023

Relevan terhadap

Pasal 1Tutup

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1.

Barang Milik Negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.

2.

Barang Milik Negara yang berasal dari aset eks kepabeanan dan cukai yang selanjutnya disebut BMN Kepabeanan dan Cukai adalah barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan cukai ditetapkan sebagai barang yang menjadi milik negara.

3.

Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi yang didahului dengan pengumuman lelang.

4.

Pemusnahan adalah tindakan memusnahkan fisik dan/atau kegunaan Barang Milik Negara/Daerah.

5.

Penghapusan adalah tindakan menghapus BMN Kepabeanan dan Cukai dari daftar buku catatan pabean karena sebab-sebab lain.

6.

Hibah adalah pengalihan kepemilikan BMN Kepabeanan dan Cukai dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah/Desa atau dari Pemerintah Pusat kepada Pihak Lain, tanpa memperoleh penggantian.

7.

Penetapan Status Penggunaan adalah keputusan Pengelola Barang atas BMN Kepabeanan dan Cukai kepada Pengguna Barang untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga.

8.

Penilaian adalah suatu proses kegiatan untuk memberikan suatu opini nilai atas suatu objek penilaian pada suatu saat tertentu.

9.

Nilai Wajar adalah estimasi harga yang akan diterima dari penjualan aset atau dibayarkan untuk penyelesaian kewajiban antara pelaku pasar yang memahami dan berkeinginan untuk melakukan transaksi wajar pada tanggal penilaian.

10.

Nilai Limit adalah harga minimal barang yang akan dilelang dan ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

11.

Pembukuan adalah kegiatan pencatatan dokumen pengelolaan BMN Kepabeanan dan Cukai ke dalam database BMN Kepabeanan dan Cukai.

12.

Rekonsiliasi Data adalah proses pencocokan data BMN Kepabeanan dan Cukai dan/atau pengelolaan BMN Kepabeanan dan Cukai antara DJKN dan DJBC terhadap sumber data yang sama.

13.

Pelaporan adalah penyampaian data dan informasi yang dilakukan oleh satuan kerja yang melakukan Penatausahaan BMN Kepabeanan dan Cukai.

14.

Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Menteri Keuangan adalah Pengelola Barang atas BMN Kepabeanan dan Cukai.

15.

Pengelola Barang adalah pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab menetapkan kebijakan dan pedoman serta melakukan pengelolaan Barang Milik Negara.

16.

Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang selanjutnya disingkat DJKN adalah unit eselon I di Lingkungan Kementerian Keuangan yang memiliki kewenangan, tugas dan fungsi di bidang kekayaan negara.

17.

Direktur Jenderal Kekayaan Negara adalah pejabat eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang memiliki kewenangan, tugas, dan fungsi di bidang pengelolaan kekayaan negara.

18.

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang selanjutnya disingkat DJBC adalah unit eselon I di Lingkungan Kementerian Keuangan yang memiliki kewenangan, tugas dan fungsi di bidang kepabenanan dan cukai.

19.

Direktur Jenderal Bea dan Cukai adalah pejabat eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang memiliki kewenangan, tugas, dan fungsi di bidang kepabeanan dan cukai.

20.

Direktorat Perumusan Kebijakan Kekayaan Negara yang selanjutnya disebut Direktorat PKKN adalah unit eselon II di lingkungan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang memiliki tugas dan fungsi di bidang perumusan kebijakan BMN Kepabeanan dan Cukai.

21.

Direktorat Pengelolaan Kekayaan Negara yang yang selanjutnya disebut Direktorat PKN adalah unit eselon II di lingkungan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang memiliki tugas melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis BMN Kepabeanan dan Cukai.

22.

Direktur Pengelolaan Kekayaan Negara yang yang selanjutnya disebut Direktur PKN adalah pejabat eselon II di lingkungan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang memiliki tugas melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis BMN Kepabeanan dan Cukai.

23.

Direktorat Teknis Kepabeanan adalah unit eselon II di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang melaksanakan tugas dan fungsi di bidang teknis kepabeanan.

24.

Direktorat Penindakan dan Penyidikan adalah unit eselon II di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang melaksanakan tugas dan fungsi di bidang penindakan dan penyidikan kepabeanan dan cukai.

25.

Direktur Penindakan dan Penyidikan adalah Pejabat eselon II di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang melaksanakan tugas dan fungsi di bidang penindakan dan penyidikan kepabeanan dan cukai.

26.

Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang selanjutnya disebut Kantor Wilayah DJKN adalah Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal Kekayaan Negara.

27.

Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang selanjutnya disebut Kantor Wilayah DJBC adalah Instansi Vertikal yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai.

28.

Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai adalah Instansi Vertikal yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai.

29.

Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang yang selanjutnya disebut KPKNL adalah Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang berada dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah DJKN.

30.

Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai adalah Instansi Vertikal yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Kantor Wilayah DJBC.

Thumbnail
Tidak Berlaku
HUKUM KEUANGAN NEGARA | BIDANG PERIMBANGAN KEUANGAN
18/PMK.07/2023

Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.07/2022 tentang Pengelolaan Penerimaan Dalam Rangka Otonomi Khusus ...

  • Ditetapkan: 28 Feb 2023
  • Diundangkan: 01 Mar 2023

Relevan terhadap

Pasal 47Tutup
(1)

Kementerian Keuangan melakukan pengawasan terhadap pengelolaan penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran bagian anggaran bendahara umum negara.

(2)

Kementerian Keuangan menyampaikan laporan hasil pengawasan pengelolaan penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua kepada Badan Pengarah Papua. jdih.kemenkeu.go.id (3) Laporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan paling lama 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir.

Pasal 41Tutup
(1)

Pemerintah Daerah di Provinsi Papua wajib menyusun laporan tahunan atas pelaksanaan pengelolaan penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus untuk disampaikan kepada Badan Pengarah Papua, DPRP/DPRK, MRP, Kementerian Keuangan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Dalam Negeri, kementerian/lembaga nonkementerian, dan Pemerintah Daerah provinsi.

(2)

Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang memuat uraian:

a.

rencana anggaran dan Program;

b.

sumber daya manusia;

c.

realisasi anggaran dan capaian Keluaran;

d.

realisasi dan capaian Keluaran SiLPAyang berasal dari penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua;

e.

kendala pelaksanaan dan tindak lanjut penyelesaian;

f.

foto dan lokus Kegiatan fisik strategis dan prioritas; dan

g.

usulan perbaikan tata kelola.

(3)

Rincian uraian laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:

a.

uraian rencana anggaran dan Program sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a memuat:

1.

nominal rupiah serta Keluaran per satuan unit yang bersumber dari masing-masingjenis dana penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua; jdih.kemenkeu.go.id 2. rincian per jenis belanja seperti belanja pegawai, belanja jasa, dan belanja modal yang bersumber dari masing-masing jenis dana penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua; dan

3.

rincian per klasifikasi belanja seperti belanja pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi masyarakat, infrastruktur, operasional pemerintahan, ban tuan sosial/keagamaan, bantuan untuk kelembagaan, dan bantuan untuk masyarakat adat yang bersumber dari masing-masing jenis dana penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua;

b.

uraian sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b untuk Provinsi Papua memuat informasi sumber daya manusia pengelola penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus paling sedikit mengenai sumber daya manusia berdasarkan OAP dan non-OAP, gender, asal perangkat Daerah, dan tingkat pendidikan;

c.

realisasi anggaran dan capaian Keluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c memuat:

1.

nominal rupiah serta Keluaran per satuan unit yang bersumber dari masing-masingjenis dana penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua;

2.

rincian per jenis belanja seperti belanja pegawai, belanja jasa, dan belanja modal yang bersumber dari masing-masing jenis dana penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua; dan

3.

rincian rencana anggaran dan Program per klasifikasi belanja seperti belanja pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi masyarakat, infrastruktur, operasional pemerintahan, ban tuan sosial/ keagamaan, bantuan untuk kelembagaan, dan bantuan untuk masyarakat adat yang bersumber dari masing-masing jenis dana penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua;

d.

realisasi anggaran dan capaian Keluaran SiLPA yang berasal dari penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d merupakan realisasi dan capaian keluaran SiLPA sampa1 dengan tahun anggaran sebelumnya;

e.

kendala pelaksanaan dan tindak lanjut penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e merupakan kendala dari masing-masing pelaksanaan jenis dana penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus dan tindak lanjut penyelesaian; jdih.kemenkeu.go.id f. foto pelaksanaan Kegiatan fisik maupun non fisik yang bersifat strategis dan prioritas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f merupakan foto pelaksanaan Kegiatan fisik maupun non fisik yang bersifat strategis dan prioritas dari masing-masing jenis dana penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua;

g.

lokus Kegiatan fisik strategis dan prioritas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f merupakan titik koordinat pelaksanaan kegiatan fisik dari masing-masing jenis dana penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua; dan

h.

usulan perbaikan tata kelola sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf g merupakan usulan perbaikan tata kelola dari masing-masing jenis dana penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua.

(4)

Realisasi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dan huruf d merupakan nilai realisasi yang telah direviu oleh APIP Daerah atau lembaga Pemerintah yang berwenang melaksanakan pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(5)

Capaian Keluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dan huruf d merupakan nilai capaian Keluaran yang telah direviu oleh APIP Daerah atau lembaga Pemerintah yang berwenang melaksanakan pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan serta dikonfirmasi oleh Kementerian Keuangan c.q. kantor wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan di wilayah Provinsi Papua selaku instansi vertikal.

(6)

Capaian Keluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan capaian Keluaran pelaksanaan Program dan Kegiatan penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua.

(7)

Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditandatangani oleh Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah/ Sekretaris Daerah.

(8)

Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan paling lama minggu kedua bulan Maret setelah tahun anggaran berakhir.

(9)

Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) disampaikan melalui sistem informasi terintegrasi.

(10)

Dalam hal muatan uraian laporan tahunan tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), laporan tahunan belum dapat memenuhi syarat salur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) huruf a.

(11)

Penyampaian laporan tahunan atas pelaksanaan pengelolaan penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus kepada Kementerian Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan kepada Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dengan tembusan kantor wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan di wilayah Provinsi Papua selaku instansi vertikal. jdih.kemenkeu.go.id

Thumbnail
LUAR NEGERI | BENDAHARA
116/PMK.05/2018

Kedudukan dan Tanggung Jawab Bendahara pada Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri

  • Ditetapkan: 10 Sep 2018
  • Diundangkan: 12 Sep 2018

Relevan terhadap

Pasal 24Tutup
(1)

Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran menyelenggarakan pembukuan terhadap seluruh penerimaan dan pengeluaran yang dilakukan pada Satker Perwakilan.

(2)

Bendahara Pengeluaran dan BPP menyelenggarakan pembukuan terhadap seluruh penerimaan dan pengeluaran yang dilakukan pada Satker Atase Teknis.

(3)

Pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari buku kas umum, buku-buku pembantu, dan buku pengawasan anggaran.

(4)

Bendahara yang mengelola lebih dari satu DIPA, harus memisahkan pembukuannya sesuai dengan DIPA masing-masing.

  • 1
  • ...
  • 14
  • 15
  • 16
  • ...
  • 64