Penyelenggaraan Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral
Relevan terhadap
Pemegang IPB wajib:
memahami dan menaati ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja serta perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan memenuhi standar yang beriaku;
melakukan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi kegiatan pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan fungsi lingkungan hidup;
melaksanakan Eksplorasi, Eksploitasi, dan pemanfaatan sesuai dengan kaidah teknis yang baik dan benar;
mengutamakan pemanfaatan barang, jasa, teknologi serta kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam negeri secara transparan dan bersaing;
memberikan dukungan terhadap kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang Panas Bumi;
memberikan dukungan terhadap kegiatan penciptaan, pengembangan Kompetensi, dan pembinaan sumber daya manusia di bidang Panas Bumi;
melaksanakan program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat;
menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan dengan memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya;
menyampaikan laporan tertulis pengusahaan Panas Bumi kepada Menteri secara berkala atas:
rencana kerja dan anggaran biaya; dan
realisasi pelaksanaan rencana kerja dan anggaran biaya;
memenuhi kewajiban berupa pendapatan negara dan pendapatan daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ;
menyampaikan rencana jangka panjang Eksplorasi, Eksploitasi, dan pemanfaatan kepada Menteri yang mencakup rencana kegiatan dan rencana anggaran serta menyampaikan besarnya cadangan;
mengutamakan penggunaan tenaga kerla Indonesia; dan
mendorong pengembangan Pemanfaatan Langsung Panas Bumi pada Wilayah Kerjanya. (2) Dalam hal pemegang IPB tidak melakukan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis oleh Menteri. (3) Peringatan tertulis oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan paling banyak 3 (tiga) kali dengan jangka waktu peringatan masing-masing 1 (satu) bulan. (4) Dalam hal pemegang IPB yang dikenai sanksi administratif peringatan tertulis setelah berakhirnya jangka waktu peringatan tertulis ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir dikenai sanksi administratif berupa penghentian sementara sebagian atau seiuruh kegiatan. (5) Sanksi administratif berupa penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikenakan untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan. (6) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) sewaktu-waktu dapat dicabut apabiia pemegang IPB dalam masa pengenaan sanksi memenuhi kewajibannya. (71 Dalam hal pemegang IPB yang telah dikenai sanksi berupa penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak melaksanakan kewajibannya sampai dengan berakhirnya jangka waktu pengenaan sanksi penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Menteri mengenakan sanksi administratif berupa pencabutan IPB.
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.07/2020 tentang Pengelolaan Pinjaman Pemulihan Ekonomi Nasional untuk Pemerintah Daerah ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau wali kota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Kepala Daerah adalah gubernur bagi daerah provinsi atau bupati bagi daerah kabupaten atau wali kota bagi daerah kota.
Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Perusahaan Perseroan (Persero) PT Sarana Multi Infrastruktur yang selanjutnya disingkat PT SMI adalah Badan Usaha Milik Negara yang didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2007 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia untuk Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di Bidang Pembiayaan Infrastruktur sebagaimana terakhir kali diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2007 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia untuk Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di Bidang Pembiayaan Infrastruktur.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan Daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Program Pemulihan Ekonomi Nasional yang selanjutnya disebut Program PEN adalah rangkaian kegiatan untuk pemulihan ekonomi nasional yang merupakan bagian dari kebijakan keuangan negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah untuk mempercepat penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 ( COVID -19) dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan serta penyelamatan ekonomi nasional.
Pinjaman Daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan Daerah menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain sehingga Daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali.
Pinjaman dalam rangka Pemulihan Ekonomi Nasional untuk Pemerintah Daerah yang selanjutnya disebut Pinjaman PEN Daerah adalah dukungan pembiayaan yang diberikan oleh Pemerintah kepada Pemerintah Daerah berupa pinjaman untuk digunakan dalam rangka melakukan percepatan pemulihan ekonomi di Daerah sebagai bagian dari Program PEN.
Pinjaman Daerah Berbasis Program yang selanjutnya disebut Pinjaman Program adalah Pinjaman Daerah yang penarikannya mensyaratkan dipenuhinya Paket Kebijakan yang disepakati antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Pinjaman Daerah Berbasis Kegiatan yang selanjutnya disebut Pinjaman Kegiatan adalah Pinjaman Daerah yang digunakan untuk membiayai pembangunan sarana dan prasarana tertentu yang menjadi kewenangan Daerah.
Paket Kebijakan adalah dokumen yang berisi program dan/atau kebijakan Pemerintah Daerah dalam rangka mendapatkan Pinjaman Program yang berkaitan dengan percepatan penanganan dampak pandemi Corona Virus Disease 2019 ( COVID -19) pada aspek kesehatan, sosial, dan/atau percepatan pemulihan perekonomian di Daerah.
Perjanjian Pengelolaan Pinjaman adalah perjanjian atau nota kesepahaman antara Kementerian Keuangan dan PT SMI yang memuat kesepakatan mengenai pengelolaan Pinjaman PEN Daerah yang dananya bersumber dari Pemerintah dan PT SMI.
Perjanjian Pemberian Pinjaman adalah perjanjian antara PT SMI dengan Pemerintah Daerah yang memuat kesepakatan mengenai Pinjaman PEN Daerah.
Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan pengguna anggaran kementerian negara/lembaga.
Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara, yang selanjutnya disingkat PPA BUN adalah unit di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari Bagian Anggaran BUN.
Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada kementerian negara/lembaga yang bersangkutan.
Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat PPSPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk melakukan pengujian atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah pembayaran.
Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh KPA BUN/Pejabat Pembuat Komitmen yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara.
Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh KPA BUN/PPSPM atau pejabat lain yang ditunjuk untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA atau dokumen lain yang dipersamakan.
Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara selaku Kuasa BUN untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM.
Rekening Kas Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKUN adalah rekening tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara pada bank sentral.
Rekening Kas Umum Daerah yang selanjutnya disingkat RKUD adalah rekening tempat penyimpanan uang Daerah yang ditentukan oleh gubernur, bupati, atau wali kota untuk menampung seluruh penerimaan daerah dan membayar seluruh pengeluaran Daerah pada bank yang ditetapkan.
Subsidi Bunga Pinjaman Daerah dalam rangka mendukung Program PEN yang selanjutnya disebut Subsidi Bunga adalah subsidi yang diberikan oleh Pemerintah terhadap bunga pinjaman yang diberikan oleh PT SMI kepada Pemerintah Daerah dalam rangka mendukung Program PEN.
Ketentuan ayat (2) dan ayat (3) Pasal 2 diubah, sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai berikut:
Penjualan dan Pembelian Kembali Surat Berharga Syariah Negara dalam Valuta Asing di Pasar Internasional ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN atau dapat disebut Sukuk Negara adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap Aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
Direktur Jenderal adalah pimpinan unit Eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang membidangi urusan pengelolaan pembiayaan dan risiko.
Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko yang selanjutnya disingkat DJPPR adalah unit Eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang membidangi urusan pengelolaan pembiayaan dan risiko.
Direktorat Pembiayaan Syariah adalah unit Eselon II di DJPPR yang mempunyai tugas melaksanakan dan menyelenggarakan fungsi dalam pengelolaan SBSN.
Pihak adalah orang perseorangan warga negara Indonesia maupun warga negara asing dimanapun mereka bertempat tinggal, perusahaan, usaha bersama, asosiasi, atau kelompok yang terorganisasi, baik Indonesia ataupun asing dimanapun mereka berkedudukan.
SBSN Dalam Valuta Asing yang selanjutnya disebut SBSN Valas adalah SBSN yang diterbitkan oleh Pemerintah dalam valuta asing di Pasar Internasional.
Pasar Internasional adalah kegiatan penawaran dan penjualan SBSN Valas di luar wilayah hukum Indonesia.
Perusahaan Penerbit SBSN adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan ketentuan Undang-Undang mengenai Surat Berharga Syariah Negara untuk melaksanakan kegiatan penerbitan SBSN.
Penjualan SBSN Valas adalah kegiatan penawaran dan/atau penjualan SBSN Valas di Pasar Internasional oleh Pemerintah kepada Pihak berdasarkan ketentuan pasar keuangan internasional.
Memorandum Informasi (Offering Memorandum) adalah informasi tertulis mengenai Penawaran Penjualan SBSN Valas kepada calon investor.
Penawaran Pembelian SBSN Valas adalah pengajuan penawaran dan/atau pemesanan untuk membeli SBSN Valas oleh Pihak dalam rangka Penjualan SBSN Valas.
Pengumpulan Pemesanan (Bookbuilding) yang selanjutnya disebut Bookbuilding adalah kegiatan Penjualan SBSN Valas dan/atau Pembelian Kembali SBSN Valas dengan cara mengumpulkan penawaran Pembelian SBSN Valas dan/atau penawaran Penjualan SBSN Valas dari Pihak dalam periode penawaran yang telah ditentukan.
Penempatan Langsung (Private Placement) yang selanjutnya disebut Private Placement adalah kegiatan Penjualan SBSN Valas kepada Pihak dengan ketentuan dan persyaratan (terms and conditions) sesuai dengan kesepakatan.
Lembaga Jasa Keuangan adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan dan/atau pasar modal, yang memperoleh izin dari otoritas di tempat lembaga keuangan dimaksud melakukan kegiatan sebagai penjamin emisi efek, perantara pedagang efek, dan/atau manajer investasi.
Panel Calon Agen Penjual dan Agen Pembeli/Penukar yang selanjutnya disebut Panel adalah kumpulan Lembaga Jasa Keuangan yang ditetapkan sebagai panel dalam rangka Penjualan SBSN Valas dan/atau Pembelian Kembali SBSN Valas.
Pembelian Kembali SBSN Valas adalah kegiatan pembelian kembali SBSN Valas di pasar sekunder dari Pihak yang memiliki SBSN Valas yang dilakukan oleh Pemerintah sebelum jatuh tempo berdasarkan ketentuan pasar keuangan internasional.
Penawaran Penjualan SBSN Valas adalah pengajuan penawaran dan/atau pemesanan untuk menjual SBSN Valas kepada Pemerintah dalam rangka Pembelian Kembali SBSN Valas.
Pembelian Kembali Bilateral (Bilateral Buyback) yang selanjutnya disebut Bilateral Buyback adalah kegiatan Pembelian Kembali SBSN Valas dari Pihak yang memiliki SBSN Valas yang dilakukan oleh Pemerintah dengan ketentuan dan persyaratan (terms and conditions) sesuai dengan kesepakatan.
Pembelian Kembali SBSN Valas dengan cara Tunai adalah cara Pembelian Kembali SBSN Valas dari Pihak yang memiliki SBSN Valas yang penyelesaian transaksinya dilakukan dengan pembayaran secara tunai oleh Pemerintah.
Pembelian Kembali SBSN Valas dengan cara Penukaran adalah cara Pembelian Kembali SBSN Valas dari investor SBSN Valas yang penyelesaian transaksinya dilakukan dengan penyerahan SBSN Valas seri lain oleh Pemerintah dan apabila terdapat selisih nilai penyelesaian transaksinya, dapat dibayar tunai.
Agen Penjual adalah Lembaga Jasa Keuangan yang ditunjuk dari Panel untuk melaksanakan Penjualan SBSN Valas.
Agen Pembeli/Penukar adalah Lembaga Jasa Keuangan yang ditunjuk dari Panel untuk melaksanakan Pembelian Kembali SBSN Valas.
Konsultan Hukum SBSN Valas adalah konsultan hukum yang ditunjuk untuk memberikan pendapat hukum dan membantu penyusunan dokumen hukum maupun dokumen transaksi lainnya dalam rangka Penjualan SBSN Valas dan/atau Pembelian Kembali SBSN Valas.
Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara Bagian Anggaran Pengelolaan Utang (BA 999.01) yang selanjutnya disebut KPA adalah pejabat pada DJPPR yang memperoleh penugasan dari Menteri untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan anggaran utang yang berasal dari Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Pengelolaan Utang.
Pejabat Pembuat Komitmen Bagian Anggaran Pengelolaan Utang (BA 999.01) dalam rangka Penjualan SBSN Valas dan/atau Pembelian Kembali SBSN Valas yang selanjutnya disebut PPK adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh KPA untuk mengambil keputusan dan/atau melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja negara pengelolaan utang atas pelaksanaan Penjualan SBSN Valas dan/atau Pembelian Kembali SBSN Valas.
Aset SBSN adalah objek pembiayaan SBSN dan/atau barang milik negara yang memiliki nilai ekonomis, berupa tanah dan/atau bangunan maupun selain tanah dan/atau bangunan, yang dijadikan sebagai dasar penerbitan SBSN.
Wali Amanat adalah pihak yang mewakili kepentingan pemegang SBSN sesuai dengan yang diperjanjikan.
Setelmen adalah penyelesaian transaksi SBSN Valas yang terdiri dari setelmen dana dan setelmen kepemilikan SBSN Valas.
Hari Kerja adalah hari kliring pada lembaga kliring yang ditunjuk.
Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
Relevan terhadap
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah adalah suatu sistem penyelenggaraan keuangan yang mengatur hak dan kewajiban keuangan an: tara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah yang dilaksanakan secara adil, transparan, akuntabel, dan selaras berdasarkan undang-undang. 1 3 2. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimalsud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. 4. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan ralqrat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas- luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 5. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin petaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. 6. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah. 7. Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurLrs urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 8. Urusan Pemerintahan adalah kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh kementerian negara dan penyelenggara Pemerintahan Daerah unluk melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat. 9. Kepala Daerah adalah gubernur bagi Daerah provinsi atau bupati bagi Daerah kabupaten atau wali kota bagi Daerah kota.
Badan Usaha Milik Daerah yang selanjutnya disingkat BUMD adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Daerah. 11. Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu, baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. 12. Penerimaan Daerah adalah uang yang masuk ke kas Daerah. 13. Pendapatan Daerah adalah semua hak Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. 14. Belanja Daerah adalah semua kewajiban Daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. 15. Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya. 16. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. 17. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan dengan peraturan Daerah. 18. Peraturan Daerah yang selanjutnya disebut Perda atau yang disebut dengan nama lain adalah Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota. 19. Peraturan Kepala Daerah yang selanjutnya disebut Perkada adalah peraturan gubernur dan peraturan bupati/wali kota. 20. Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disingkat PAD adalah pendapatan Daerah yang diperoleh dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolban kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digu.nakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 22. Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. 23. Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai Pajak. 24. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, melipgti pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 25. Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan. 26. Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut retribusi tertentu. 27. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, BUMD, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. 28. Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PKB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBNKB adalah Pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar-menukar, hibah, warisq.n, atau pemasukan ke dalam badan usaha. 30. Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digu.nakan di semua jenis jalan darat atau kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan. 31. Pajak Alat Berat yang selanjutnya disingkat PAB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan alat berat. 32. Alat Berat adalah alat yang diciptakan untuk membantu pekerjaan konstruksi dan pekerjaan teknik sipil lainnya yang sifatnya berat apabila dikerjakan oleh tenaga manusia, beroperasi menggunakan motor dengan atau tanpa roda, tidak melekat secara permanen serta beroperasi pada area tertentu, termasuk tetapi tidak terbatas pada area konstruksi, perkebunan, kehutanan, dan pertambangan. 33. Pajak Bumi dan Bangu.nan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah Pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, darr / ^atau ^dimanfaatkan ^oleh orang ^pribadi ^atau ^Badan. 34. Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman. 35. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi. 36. Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti. 7 37. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah Pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan. 38. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau Badan. 39. Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta Bangu.nan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang- undang di bidang pertanahan dan Bangunan. 40. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PBBKB adalah Pajak atas penggunaan bahan bakar Kendaraan Bermotor dan Alat Berat. 41. Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBKB adalah semua jenis bahan bakar cair atau gas yang digunakan untuk Kendaraan Bermotor dan Alat Berat. 42. Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu. 43. Barang dan Jasa Tertentu adalah barang dan jasa tertentu yang dijual dan/atau diserahkan kepada konsumen akhir. 44. Makanan dan/atau Minuman adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui pesanan oleh restoran. 45. Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan Makanan dan/atau Minuman dengan dipungut bayaran. 46. Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik. 47. Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya.
Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan Kendaraan Bermotor. 49. Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati. 50. Pajak Reklame adalah Pajak atas penyelenggaraan reklame. 5 1. Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu. 52. Pajak Air Permukaan yang selanjutnya disingkat PAP adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan. 53. Air Permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah. 54. Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah. 55. Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah. 56. Air Tanah adalah air yang terdapat di dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah. 57. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah Pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan dari sumber alam di dalam dan/atau di permukaan bumi untuk dimanfaatkan. 58. Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat MBLB adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batu bara.
Pajak Sarang Burung Walet adalah Pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet. 60. Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalta, yaitu collncalia fuchliap haga, collocalia maxina, collocalia esculanta., dan collocalia linchi. 61. Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu. 62. Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 63. Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. 64. Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disebut Opsen Pajak MBLB adalah Opsen yang dikenakan oleh provinsi atas pokok Pajak MBLB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. 65. Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya I (satu) tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender. 66. Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan. 67. Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta. 68. Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
Transfer ke Daerah yang selanjutnya disingkat TKD adalah dana yang bersumber dari APBN dan merupakan bagian dari belanja negara yang dialokasikan dan disalurkan kepada Daerah untuk dikelola oleh Daerah dalam rangka mendanai penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. 70. Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah bagian dari TKD yang dialokasikan berdasarkan persentase atas pendapatan tertentu dalam APBN dan kinerja tertentu, yang dibagikan kepada Daerah penghasil dengan tujuan untuk mengu.rangi ketimpangan fiskal antara Pemerintah dan Daerah, serta kepada Daerah lain nonpenghasil dalam rangka menanggulangi eksternalitas negatif dan/atau meningkatkan pemerataan dalam satu wilayah. 71. Dana Alokasi Umum yang selanjutnya disingkat DAU adalah bagian dari TKD yang dialokasikan dengan tujuan mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan dan layanan publik antar-Daerah. 72. Dana Alokasi Khusus yang selanjutnya disingkat DAK adalah bagian dari TKD yang dialokasikan dengan tujuan untuk mendanai program, kegiatan, dan/atau kebijakan tertentu yang menjadi prioritas nasional dan membantu operasionalisasi layanan publik, yang penggunaannya telah ditentukan oleh Pemerintah. 73. Dana Otonomi Khusus adalah bagian dari TKD yang dialokasikan kepada Daerah tertentu untuk mendanai pelaksanaan otonomi khusus sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang mengenai otonomi khusus. 74. Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yoryakarta yang selanjutnya disebut Dana Keistimewaan adalah bagian dari TKD yang dialokasikan untuk mendukung urllsan keistimewaan Daerah Istimewa Yoryakarta sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang mengenai keistimewaan Yoryakarta. 75. Dana Desa adalah bagian dari TKD yang diperuntukkan bagi desa dengan tujuan untuk mendukung pendanaan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan.
Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban Daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dapat dinilai dengan uang serta segala bentuk kekayaan yang dapat dijadikan milik Daerah berhubung dengan hak dan kewajiban Daerah tersebut. 77. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran yang selanjutnya disebut SiLPA adalah selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama 1 (satu) periode anggaran. 78. Pembiayaan Utang Daerah adalah setiap penerimaan Daerah yang harus dibayar kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun- tahun anggaran berikutnya. 79. Pinjaman Daerah adalah pembiayaan utang Daerah yang diikat dalam suatu perjanjian pinjaman dan bukan dalam bentuk surat berharga, yang mengakibatkan Daerah menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain, sehingga Daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali. 80. Obligasi Daerah adalah surat berharga berupa pengakuan utang yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah. 81. Sukuk Daerah adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah sebagai bukti atas bagian penyertaan aset Sukuk Daerah yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah. 82. Sinergi Pendanaan adalah sinergi sumber-sumber pendanaan dari APBD dan selain APBD dalam rangka pelaksanaan program prioritas nasional dan/atau Daerah. 83. Dana Abadi Daerah adalah dana yang bersumber dari APBD yang bersifat abadi dan dana hasil pengelolaannya dapat digunakan untuk Belanja Daerah dengan tidak mengurangi dana pokok. Pasal 2 Ruang lingkup Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah meliputi:
pemberian sumber Penerimaan Daerah berupa Pajak dan Retribusi;
pengelolaan b. pengelolaan TKD;
pengelolaan Belanja Daerah;
pemberian kewenangan untuk melakukan Pembiayaan Daerah; dan
pelaksanaan sinergi kebijakan fiskal nasional. Pasal 3 Prinsip pendanaan untuk penyelenggaraan Urusan Pemerintahan dalam kerangka Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah meliputi:
penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah didanai dari dan atas beban APBD; dan
penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah di Daerah didanai dari dan atas beban APBN.
Undang-Undang ini mulai berlaku pada saat diundangkan. Agar Disahkan di Ja}arta pada tanggal 5 Jan: uari 2022 ttd JOKO WTDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 5 Januari2022 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR l TAHUN 2022 TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH I. UMUM 1. Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara dibentuk dengan tujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Selanjutnya berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas Daerah provinsi, dan Daerah provinsi dibagi atas Daerah kabupaten dan kota. Tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota mempunyai pemerintahan sendiri. Pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota berhak mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Urusan Pemerintahan yang menjadi tanggung jawab Daerah dilaksanakan berdasarkan asas otonomi, sedangkan Urusan Pemerintahan yang bukan merupakan tanggung ^jawab Pemerintah Daerah dilaksanakan berdasarkan asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Pelaksanaan Urusan Pemerintahan dari tingkat pusat hingga Daerah merupalan bagian dari kekuasaan pemerintahan yang berada di tangan Presiden sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga tidak dapat berjalan sendiri-sendiri. Hal ini menuntut adanya sinergisme pendanaan atas urusan tersebut dalam rangka pencapaian tujuan bernegara. 2 Pembagian Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi provinsi, kabupaten, dan kota, dan pembagian Urusan Pemerintahan antarpemerintahan tersebut menimbulkan adanya hubungan wewenang dan hubungan keuangan. Sesuai dengan amanat Pasal 18A ayat (2\ Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun L945, hubungan keuangan, pelayanan umum, serta pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan Undang-Undang. Untuk melaksanakan amanat Pasal 18A ayat (21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut disusunlah Undang-Undang tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Penyusunan Undang-Undang ini juga didasarkan pada pemikiran perlunya menyempurnakan pelaksanaan Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang selama ini dilakukan berdasarkan Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Penyempurnaan implementasi Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dilakukan sebagai upaya untuk menciptakan alokasi sumber daya nasional yang efisien melalui Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan, guna mewujudkan pemerataan layanan publik dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di seluruh pelosok Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam mewujudkan tujuan tersebut, Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah berlandaskan pada 4 (empat) pilar utama, yaitu: mengembangkan sistem Pajak yang mendukung alokasi sumber daya nasional yang efisien, mengembangkan Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dalam meminimalkan ketimpangan vertikal dan horizontal melalui kebijakan TKD dan Pembiayaan Utang Daerah, mendorong peningkatan kualitas Belanja Daerah, serta harmonisasi kebijakan fiskal antara Pemerintah dan Daerah untuk penyelenggaraan layanan publik yang optimal dan menjaga kesinambungan fiskal. 3 2. Sistem Pajak dan Retribusi Dalam rangka mengalokasikan sumber daya nasional secara lebih efisien, Pemerintah memberikan kewenangan kepada Daerah untuk memungut Pajak dan Retribusi dengan penguatan melalui restrukturisasi jenis Pajak, pemberian sumber-sumber perpajakan Daerah yang baru, penyederhanaan jenis Retribusi, dan harmonisasi dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Restrukturisasi Pajak dilakukan melalui reklasifikasi 5 (lima) jenis Pajak yang berbasis konsumsi menjadi satu jenis Pajak, yaitu PBJT. Hal ini memiliki tujuan untuk (i) menyelaraskan Objek Pajak antara pajak pusat dan pajak daerah sehingga menghindari adanya duplikasi pemungutan pajak; (ii) menyederhanakan administrasi perpajakan sehingga manfaat yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan biaya pemungutan; (iii) memudahkan pemantauan pemungutan Pajak terintegrasi oleh Daerah; dan (iv) mempermudah masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, sekaligus mendukung kemudahan berusaha dengan adanya simplifikasi administrasi perpajakan. Selain integrasi pajak-pajak Daerah berbasis konsumsi, PBJT mengatur perluasan Objek Pajak seperti atas parkir uale| objek rekreasi, dan persewaan sarana dan prasarana olahraga (objek olahraga permainan). Pemerintah juga memberikan kewenangan pemungutan Opsen Pajak antara level pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota, yaitu PKB, BBNKB, dan Pajak MBLB. Opsen atas PKB dan BBNKB sejatinya merupakan pengalihan dari bagi hasil pajak provinsi. Hal tersebut dapat meningkatkan kemandirian Daerah tanpa menambah beban Wajib Pajak, karena penerimaan perpajakan akan dicatat sebagai PAD, serta memberikan kepastian atas penerimaan Pajak dan memberikan keleluasan belanja atas penerimaan tersebut pada tiap-tiap level pemerintahan dibandingkan dengan skema bagr hasil. Sementara itu, penambahan Opsen Pajak MBLB untuk provinsi sebagai sumber penerimaan baru diharapkan dapat memperkuat fungsi penerbitan izin dan pengawasan kegiatan pertambangan di Daerah. Hal ini akan mendukung pengelolaan Keuangan Daerah yang lebih berkualitas karena perencanaan, penganggaran, dan realisasi APBD akan lebih baik. Opsen Pajak juga mendorong peran Daerah untuk melakukan ekstensifikasi perpajakan Daerah baik itu bagi pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota. Penyederhanaan Retribusi dilakukan melalui rasionalisasi jumlah Retribusi. Retribusi diklasifikasikan dalam 3 (tiga) jenis, yaitu Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi Perizinan Tertentu. 4 Lebih lanjut, jumlah atas jenis Objek Retribusi disederhanakan dari 32 (tiga puluh dua) jenis menjadi 18 (delapan belas) jenis pelayanan. Rasionalisasi tersebut memiliki tujuan agar Retribusi yang akan dipungut Pemerintah Daerah adalah Retribusi yang dapat dipungut dengan efektif, serta dengan biaya pemungutan dan biaya kepatuhan yang rendah. Selain itu, rasionalisasi dimaksudkan untuk mengurangi beban masyarakat dalam mengakses layanan dasar publik yang menjadi kewajiban Pemerintah Daerah. Rasionalisasi juga sejalan dengan implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentatg Cipta Kerja dalam rangka mendorong kemudahan berusaha, iklim investasi yang kondusif, daya saing Daerah, dan penciptaan lapangan kerja yang lebih luas. Penyelarasan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dilakukan melalui pemberian kewenangan kepada Pemerintah untuk meninjau kembali tarif Pajak Daerah dalam rangka pemberian insentif fiskal untuk mendorong perkembangan investasi di Daerah. Pemerintah dapat menyesuaikan tarif Pajak dan Retribusi dengan penetapan tarif yang berlaku secara nasional, serta melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap Perda mengenai Pajak dan Retribusi yang menghambat ekosistem investasi dan kemudahan dalam berusaha.
TKD TKD sebagai salah satu sumber Pendapatan Daerah ditujukan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antara pusat dan Daerah (vertikal) dan ketimpangan fiskal antar-Daerah (horizontal), sekaligus mendorong kinerja Daerah dalam mewujudkan pemerataan pelayanan publik di seluruh Daerah. TKD meliputi DBH, DAU, DAK, Dana Otonomi Khusus dan Dana Keistimewaan, serta Dana Desa. Dalam rangka mencapai tujuan untuk mengurangi ketimpangan fiskal dan kesenjangan pelayanan antar-Daerah, pengelolaan TKD akan mengedepankan kinerja sehingga dapat memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan di Daerah, sekaligus mendorong tanggung jawab Daerah dalam memberikan pelayanan yang lebih baik secara efisien dan disiplin. Untuk itu, DBH dialokasikan berdasarkan realisasi penerimaan negara yang dibagihasilkan satu tahun sebelumnya dalam rangka memberikan kepastian penerimaan bagi Daerah. Selain itu, pengalokasian DBH akan memperhitungkan kinerja Daerah dalam memperkuat penerimaan negara yang dibagihasilkan ataupun perbaikan lingkungan yang terdampak akibat aktivitas eksploitasi. 5 Reformulasi pengalokasian DAU dilakukan melalui penghitungan kebutuhan fiskal berdasarkan pada unit cost dan target layanan, serta penghitungan kapasitas fiska1 sesuai dengan potensi pendapatan Daerah sehingga lebih mencerminkan kebutuhan dan kapasitas fiskal secara riil. Selain pada aspek pengalokasian, reformulasi DAU dilakukan pada aspek penggunaan yang ditujukan untuk mendorong kinerja pencapaian pelayanan dasar masyarakat. Sementara itu, DAK akan lebih difokuskan pada upaya mendukung Daerah dalam pencapaian prioritas nasional dengan berdasarkan pada target kinerja, sekaligus menjaga pemerataan serta keseimbangan tingkat layanan antar-Daerah TKD juga memasukkan dana transfer yang diatur dalam peraturan perundangan lainnya, yaitu Dana Otonomi Khusus Aceh, Papua, dan Papua Barat, Dana Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yograkarta, dan Dana Desa. Hal ini dimaksudkan untuk menggabungkan dana-dana tersebut dalam taksonomi TKD secara utuh, sekaligus melakukan penguatan dalam rangka mendorong proses alokasi yang lebih tepat, transparan, dan akuntabel, serta mendorong perbaikan kinerja layanan masyarakat melalui penerapan target kinerja. Pemerintah juga dapat memberikan insentif fiskal tertentu kepada Daerah tertentu, sebagai bentuk penghargaan dan sekaligus merangsang kinerja Daerah dalam pengelolaan Keuangan Daerah, pelayanan pemerintahan umum, pelayanan dasar publik, dan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pembiayaan Utang Daerah dan Sinergi Pendanaan Kemampuan Keuangan Daerah masih relatif terbatas dalam mendanai penyediaan sarana dan prasarana publik. Dalam rangka mendukung Daerah dalam pembangunan dan penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat, Daerah dapat mengakses sumber- sumber Pembiayaan Utang Daerah, baik yang berskema konvensional maupun syariah, meliputi Pinjaman Daerah, Obligasi Daerah, dan Sukuk Daerah. Skema Pinjaman Daerah akan didasarkan pada penggunaannya dan bukan pada periodisasi jangka waktu pinjaman, meliputi pinjaman untuk pengelolaan kas, pembiayaan pembangunan infrastruktur Daerah, pengelolaan portofolio utang Daerah, dan penerusan pinjaman dan/atau penyertaan modal BUMD. Se1ain itu, jenis Pinjaman Daerah akan diperluas, yaitu pinjaman tunai dan pinjaman kegiatan. 6 Daerah juga diberi pilihan untuk mengakses Pembiayaan kreatif berupa Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah. Perluasan akses Pembiayaan bagi Daerah juga diikuti dengan penyederhanaan proses pelaksanaan Pembiayaan, antara lain melalui pengintegrasian persetujuan DPRD atas Pembiayaan Utang Daerah dalam proses pembahasan rancangan APBD. Selain itu, Pemerintah mendorong adanya sinergi pendanaan antar-sumber pendapatan dan/atau Pembiayaan Utang Daerah, baik dari PAD, TKD, Pembiayaan Utang Daerah, kerja sama antar-Daerah, dan kerjasama antara Pemerintah Daerah dengan Badan Usaha dalam rangka penguatan sumber pendanaan program/kegiatan agar memberikan manfaat yang lebih signifikan.
Pengelolaan Belanja Daerah Selain perbaikan kebijakan dari aspek input, Undang-Undang ini mendorong peningkatan kualitas Belanja Daerah. Belanja Daerah masih didominasi oleh belanja aparatur dan belanja operasional rutin dan dikelola dengan kurang efisien, serta tidak didukung dengan sumber daya manusia pengelola Keuangan Daerah yang memadai. Belanja Daerah masih dianggarkan relatif minimal dalam mendukung belanja yang berorientasi pada layanan infrastruktur publik sehingga tidak dapat secara optima,l mendukung pencapaian outcome pembangunan Daerah dan pertumbuhan ekonomi Daerah. Selain itu, Belanja Daerah sering kali masih berjalan sendiri-sendiri dengan program dan kegiatan kecil-kecil yang tidak fokus sehingga pada akhirnya output danf alau outcome tidak memberikan dampak perbaikan yang signifikan bagi masyarakat, serta tidak terhubung dengan prioritas nasional dan arah kebijakan fiskal nasional. Untuk itu, diperlukan pengaturan dan penguatan disiplin Belanja Daerah dalam APBD. Perbaikan pengaturan tersebut dilakukan mulai dari penganggaran Belanja Daerah, simplifikasi dan sinkronisasi program prioritas Daerah dengan prioritas nasional, serta penJrusunan Belanja Daerah yang didasarkan atas standar harga (belanja operasi dan tunjangan kinerja Daerah) dan analisis standar belanja. Selain itu, penguatan disiplin Belanja Daerah dilakukan dengan pengaturan alokasi Belanja Daerah, seperti kewajiban untuk memenuhi porsi tertentu atas jenis belanja tertentu, baik yang dimandatkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan maupun dalam Undang- Undang ini, serta optimalisasi penggunaan SiLPA berbasis kinerja. 7 Lebih lanjut, peningkatan kualitas Belanja Daerah juga dilakukan melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia aparatur pengelola keuangan di Pemerintah Daerah dan penguatan aspek pengawasdn. Untuk itu, Undang-Undang ini juga memandatkan adanya sertifikasi bagi aparatur pengelola keuangan di Pemerintah Daerah, dan keterlibatan aparat pengawas intern Pemerintah yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden untuk melakukan pengawasan intern atas rancangan APBD ataupun pelaksanaan atas APBD, dan melakukan penguatan kapabilitas terhadap aparat pengawas intern Pemerintah Daerah. Undang-Undang ini juga memberikan ruang bagi daerah-daerah tertentu yang mempunyai kapasitas fiskal memadai dan telah menyelenggarakan dengan baik segala urusan wajib layanan dasar, untuk dapat membentuk Dana Abadi Daerah yang bertujuan untuk mendapatkan manfaat yang bersifat lintas generasi.
Sinergi Kebijakan Fiskal Nasional Penguatan tata kelola hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah tidak dapat berdiri sendiri untuk menjawab tantangan dalam mewujudkan tujuan bernegara. Kebijakan frskal terdiri atas fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi sehingga pelaksanaan kebijakan fiskal di Daerah harus sinergis dengan kebijakan fiskal di Pemerintah dalam rangka mengoptimalkan seluruh instrumen kebijakan fiskal dalam mencapai tujuan bernegara. Untuk itu, Undang-Undang ini juga mengatur bagaimana melaksanakan sinergi kebijakan fiskal nasional, yang dilakukan antara lain melalui penyelarasan kebijakan fiskal pusat dan Daerah, penetapan batas maksimal defrsit APBD dan Pembiayaan Utang Daerah, pengendalian dalam kondisi darurat, serta sinergi bagan akun standar. Sinergi kebijakan fiskal nasional tersebut didukung oleh sistem informasi yang dapat mengonsolidasikan laporan keuangan pemerintahan secara nasional sesuai dengan bagan akun standar yang terintegrasi antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah, menyajikan informasi Keuangan Daerah secara nasional, serta menghasilkan kebijakan yang didasarkan pada pemantauan dan evaluasi atas Hubungan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah yang terukur dan terstruktur. 8 Dengan kebijakan yang diatur dalam Undang-Undang ini, diharapkan layanan kepada masyarakat di seluruh pelosok nusantara dapat makin merata dan dengan kualitas yang memadai. Pengaturan- pengaturan yang terkait dengan pengelolaan perpajakan Daerah, TKD, Pembiayaan Utang Daerah, dan pengendalian APBD diharapkan memberikan kemampuan kepada Pemerintah Daerah untuk secara bersama-sama dan sinergis dengan Pemerintah mencapai tujuan pembangunan nasional dalam mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup ^jelas. Pasal 5 Cukup ^jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan "potensinya kurang memadai" adalah potensi penerimaan dari suatu jenis Pajak yang nilainya terlalu kecil sehingga biaya operasional pemungutannya lebih besar dibandingkan dengan hasil pungutannya. Huruf b Cukup jelas. 9 Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Pajak progresif untuk kepemilikan kedua dan seterusnya dibedakan sesuai dengan jenis kendaraan berdasarkan kategori jumlah roda kendaraan. Contoh: Orang pribadi atau Badan yang memiliki satu Kendaraan Bermotor roda 2 (dua), satu Kendaraan Bermotor roda 3 (tiga), dan satu Kendaraan Bermotor roda 4 (empat) masing- masing diperlakukan sebagai kepemilikan pertama sehingga tidak dikenakan pajak progresif. Ayat (2) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Pajak progresif untuk kepemilikan kedua dan seterusnya dibedakan sesuai dengan jenis kendaraan berdasarkan kategori jumlah roda kendaraan. Contoh: Orang pribadi atau Badan yang memiliki satu Kendaraan Bermotor roda 2 (dua), satu Kendaraan Bermotor roda 3 (tiga), dan satu Kendaraan Bermotor roda 4 (empat) masing- masing diperlakukan sebagai kepemilikan pertama sehingga tidak dikenakan pajak progresif. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) BBNKB hanya dikenakan atas penyerahan pertama Kendaraan Bermotor, sedangkan untuk penyerahan kedua dan seterusnya atas Kendaraan Bermotor tersebut (kendaraan bekas) bukan merupakan objek BBNKB. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pemasukan Kendaraan Bermotor untuk dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia merupakan impor sementara yang dimaksudkan untuk diekspor kembali sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang kepabeanan, contoh:
kendaraan yang dibawa oleh wisatawan;
kendaraan yang digunakan teknisi, wartawan, tenaga ahli; dan
kendaraan proyek yang digunakan sementara waktu yang pada saat pengimporannya telah jelas bahwa barang tersebut akan diekspor kembali. Huruf c Cukup jelas. Ayat (s) Cukup ^jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup ^jelas. Pasal 15 Cukup ^jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup ^jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup ^jelas. Pasal 20 Cukup ^jelas. Pasal 2 1 Cukup ^jelas. Pasal 22 Cukup ^jelas. Pasal 23 Cukup ^jelas. Pasal 24 Cukup ^jelas. Pasal 25 Cukup ^jelas. Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Stabilisasi harga dilakukan dalam rangka pengendalian risiko fiskal dan ekonomi. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (21 Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (a) Bobot Air Permukaan dihitung dengan menggunakan indikator-indikator yang menunjukkan dampak pengambilan/pemanfaatan Air Permukaan terhadap lingkungan. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasa] 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup ^jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup ^jelas. Pasal 37 Cukup ^jelas. Pasal 38 Ayat (t) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Yang dimaksud dengan "Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Ma"ss Rapid. Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atatt yang sejenis" adalah jalur rel yang digunakan sebagai infrastruktur perhubungan untuk moda berbasis rel dimaksud, tidak termasuk area lain pada stasiun seperti kantor, gedung parkir, lounge, fasilitas makan/minum, dan fasilitas hiburan di stasiun. Huruf h Cukup ^jelas. Huruf i Cukup jelas. Pasal 39 Cukup ^jelas. Pasal 40 Cukup ^jelas. Pasal 4 1 Cukup ^jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup ^jelas. Pasal 44 Cukup ^jelas. Pasal 45 Cukup ^jelas. Pasal 46 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Perolehan hak karena hibah wasiat atau waris tertentu alrtara lain waris atau hibah wasiat yang berlaku pada kebudayaan dan adat istiadat di Daerah tertentu di mana tanah/bangunan yang diperoleh tidak dapat dijual atau harus diwariskan kembali. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 47 Cukup ^jelas. Pasal 48 Cukup ^jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup ^jelas. Pasal 51 Ayat (1) Huruf a Contoh Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
Toko Roti A melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti A untuk dijual kepada konsumen. Toko Roti A tidak menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu, Toko Roti A tidak memenuhi kriteria Restoran, sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nilai.
Toko 2. Toko Roti dengan merek dagang B pada Mal X di Kota Z melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti B untuk dijual kepada konsumen. Untuk meningkatkan pelayanannya kepada konsumen, Toko Roti B menyediakan meja dan kursi kepada konsumen untuk menyantap di tempat. Oleh karena itu, toko roti dimaksud merupakan Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan terutang PBJT bukan objek pajak pertambahan nilai. 3. Toko Roti dengan merek dagang B pada Pusat Pertokoan Y di Kota Z melakukan produksi (proses pembuatan dan pengolahan bahan menjadi roti) sekaligus penjualan roti kepada konsumen. Toko dimaksud hanya melakukan pembuatan dan penjualan langsung kepada konsumen tanpa menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu, Toko Roti dimaksud tidak memenuhi kriteria Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nilai. Dengan demikian, meskipun atas toko roti yang memiliki merek dagang yang sama, dapat terjadi perbedaan perlakuan perpajakan, bergantung pada pelayanan riil toko roti apakah hanya menjual (distribusi) atau memberikan pelayanan selayaknya Restoran. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Pasal 52 Cukup ^jelas. Pasal 53 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Hurufd Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Hurufh Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Hurufj Yang dimaksud dengan "tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel" adalah rumah, apartemen, dan kondominium yang disediakan sebagai jasa akomodasi selayaknya akomodasi hotel, tetapi tidak termasuk bentuk persewaan (kontrak) jangka panjang (lebih dari satu bulan). Huruf k Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup je1as. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel" adalah ruangan yang disewa oleh pelaku usaha untuk penyelenggaraan kegiatan usaha seperti kantor, toko, atau mesin anjungan tunai mandiri (ATM) di dalam hotel. Pasal 54 Cukup ^jelas. Pasal 55 Ayat (1) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup ^jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Yang dimaksud dengan "permainan ketangkasan" adalah bentuk permainan yang berada di dalam kawasan arena dan/atau taman bermain yang dipungut bayaran, baik yang berada di dalam ruangan maupun di luar ruangan seperti permainan ding-dong, lempar bola ke dalam keranjang, paintball, dan sebagainya. Huruf i Yang dimaksud dengan "olahraga permainan" adalah bentuk persewaan ruang dan alat olahraga seperti tempat kebugaran lfitness center), lapangan futsal, lapangan tenis, kolam renang, dan sebagainya yang dikenakan bayaran atas penggu.naannya. Hurufj Cukup ^jelas. Huruf k Cukup ^jelas. Huruf I Cukup jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Pasal 56 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penjualan atau penyerahan barang dan jasa tertentu oleh Wajib Pajak termasuk penyediaan akomodasi yang dipasarkan oleh pihak ketiga berupa tempat tinggal yang difungsikan sebagai hotel. Dalam kondisi dimaksud, yang menjadi Wajib Pajak PBJT adalah pemilik atau pihak yang menguasai tempat tinggal, yang menyerahkan jasa akomodasi kepada konsumen akhir, bukan penyedia jasa pemasaran atau pengelolaan melalui platform digital. Pasal 57 Cukup ^jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup ^jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Cukup ^jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Ayat (1) Yang dimaksud penggunaan Air pengambilan. Ayat (2) Cukup ^jelas. Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Cukup ^jelas. Pasal 68 Cukup ^jelas. Pasal 69 Cukup ^jelas. Pasal 70 Cukup ^jelas. Pasal 71 Cukup ^jelas. Pasal 72 Cukup ^jelas. "pemanfaatan" adalah ^kegiatan di sumbernya tanpa dilakukan dengan Tanah Pasal 73 Cukup ^jelas. Pasal 74 Cukup ^jelas. Pasal 75 Cukup ^jelas. Pasal 76 Cukup ^jelas. Pasal 77 Cukup ^jelas. Pasal 78 Cukup ^jelas. Pasal 79 Cukup je1as. Pasal 80 Cukup ^jelas. Pasal 81 Cukup ^jelas. Pasal 82 Cukup jelas. Pasal 83 Cukup jelas. Pasal 84 Cukup jelas. Pasal 85 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Penggunaan variabel lainnya dalam bagi hasil PBBKB dengan bobot paling tinggi sebesar 3O%o (tiga puluh persen) merupakan kewenangan Daerah masing-masing sesuai dengan kebijakan Daerah. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 86 Cukup ^jelas. Pasal 87 Cukup ^jelas. Pasal 88 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat 12) Cukup je1as. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (a) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. 23 Ayat (7) Cukup ^jelas. Ayat (8) Penambahan jenis Retribusi misalnya adalah pelayanan pengendalian perkebunan kelapa sawit. Ayat (9) Cukup ^jelas. Pasal 89 Cukup ^jelas. Pasal 90 Cukup ^jelas. Pasal 91 Cukup ^jelas. Pasal 92 Cukup je1as. Pasal 93 Cukup ^jelas. Pasal 94 Cukup jelas. Pasal 95 Cukup jelas. Pasal 96 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi antara lain adalah kemampuan membayar Wajib Pajak atau Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau Wajib Retribusi. Kondisi objek Pajak antara lain adalah lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan bangunan yang ditempati Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dari golongan tertentu, dan nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu. 24 Pasal 97 Cukup ^jelas. Pasal 98 Cukup ^jelas. Pasal 99 Cukup ^jelas. Pasal 100 Cukup ^jelas. Pasal 101 Cukup ^jelas. Pasal 102 Cukup ^jelas. Pasal 103 Cukup jelas. Pasal 104 Cukup jelas. Pasal 105 Cukup ^jelas. Pasal 106 Cukup ^jelas. Pasal 107 Cukup jelas. Pasal 108 Cukup ^jelas. Pasal 109 Cukup jelas. Pasal 110 Cukup ^jelas. Pasal 111 Cukup je1as. Pasal 112 Ayat (1) DBH dari Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pajak Penghasilan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri termasuk yang pemungutannya bersifat final berdasarkan peraturan perundang-undangan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota tempat wajib pajak terdaftar. Ayat (3) Cukup ^jelas. Pasal 113 Cukup jelas. Pasal 114 Cukup jelas. Pasal 115 Ayat (1) Penerimaan sumber daya alam kehutanan yang dibagihasilkan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Ayat (2) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menjadi tempat pengusahaan hutan. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menjadi tempat pengusahaan hutan. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan "provinsi penghasil" adalah provinsi yang menjadi tempat pengusahaan hutan. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 116 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menjadi wilayah pertambangan mineral dan batu bara. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "provinsi penghasil" adalah provinsi yang menjadi wilayah pertambangan mineral dan batu bara. Pertambangan yang berada di atas 12 (dua belas) mil tidak dibagihasilkan mengingat kewenangan batas wilayah Daerah adalah sampai dengan 12 (dua belas) mil laut sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (a) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menjadi lokasi tambang mineral dan batu bara yang telah berproduksi dan menghasilkan komoditas tambang mineral dan batu bara. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota pengolah" adalah kabupaten/kota yang menjadi lokasi pengolahan mineral dan batu bara dan berisiko terkena dampak ekternalitas negatif. Ayat (5) Huruf a Yang dimaksud dengan ^uprovinsi penghasil" adalah provinsi yang menjadi lokasi tambang mineral dan batu bara yang telah berproduksi dan menghasilkan komoditas tambang mineral dan batu bara. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Pasa1 117 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menghasilkan minyak bumi berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh menteri yang membidangi Urusan Pemerintahan di bidang pertambangan minyak dan gas bumi. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota pengolah" adalah kabupaten/kota yang menjadi lokasi pengolahan minyak bumi dan berisiko terkena dampak eksternalitas negatif. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan "provinsi penghasil" adalah provinsi yang menghasilkan minyak bumi berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh menteri yang membidangi Urusan Pemerintahan di bidang pertambangan minyak dan gas bumi. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup ^jelas. Hurufb Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menghasilkan gas bumi berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh menteri yang membidangi Urusan Pemerintahan di bidang pertambangan minyak dan gas bumi. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota pengolah" adalah kabupaten/kota yang menjadi lokasi pengolahan gas bumi dan berisiko terkena dampak eksterna-litas negatif. Ayat (5) Huruf a Yang dimaksud dengan "provinsi penghasil" adalah provinsi yang menghasilkan gas bumi berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh menteri yang membidangi Urusan Pemerintahan di bidang pertambangan minyak dan gas bumi. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Pasal 118 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup je1as. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menjadi wilayah kerja panas bumi. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan'kabupaten/kota pengolah" adalah kabupaten/kota yang menjadi lokasi pengolahan panas bumi dan berisiko terkena dampak eksternalitas negatif. Pasal 119 Cukup ^jelas. Pasal 120 Bagian dari 9O%o (sembilan puluh persen) DBH SDA tersebut, termasuk yang ditujukan untuk:
kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang sama;
kabupaten/kota yang berbatasan langsung baik dalam provinsi yang sama maupun berbeda;
kabupaten/kota pengolah, dengan mempertimbangkan antara lain dampak eksternalitas. Kinerja Pemerintah Daerah merupakan' kinerja Pemerintah Daerah dalam mendukung antara lain optimalisasi penerimaan negara, seperti pajak pusat dan penerimaan negara bukan pajak dan/atau kinerja pemeliharaan lingkungan, seperti pengelolaan lingkungan dan energi ramah lingkungan. Pasal 121 Cukup jelas. Pasal 122 Cukup ^jelas. Pasal 123 Ayat (1) Jenis DBH lainnya antara lain dapat berupa bagi hasil yang terkait dengan perkebunan sawit. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Cukup ^jelas. Pasal 124 Ayat (1) Penghitungan kebutuhan pelayanan publik juga mempertimbangkan kesinergisan pendanaan pelaksanaan urusan antara Pemerintah dan Daerah. Ayat (21 Cukup ^jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "karakteristik tertentu" adalah karakteristik kewilayahan, seperti letak geogralis dan perekonomian Daerah. Pasal 125 Ayat (1) DAU = Celah Fiskal (CF) Ayat (2) Celah Fiskal (CF) = Kebutuhan Fiskal - potensi pendapatan Daerah. Ayat (3) Penghitungan kebutuhan dasar penyelenggaraan pemerintahan memperhitungkan antara lain kebutuhan penggajian aparatur sipil negara, baik PNS maupun PPPK. Ayat (4) Untuk provinsi, PAD tidak termasuk PAD yang dibagihasilkan ke kabupaten dan kota dan untuk kabupaten dan kota termasuk PAD yang dibagihasilkan dari provinsi. Alokasi DAK nonfisik yang diperhitungkan antara lain adalah bidang pendidikan dan kesehatan. Pasal 126 Ayat (1) Jumlah unit target layanan diperoleh dari lembaga statistik Pemerintah dan/atau lembaga Pemerintah yang berwenang menerbitkan data. Ayat (21 Yang dimaksud dengan "biaya investasi" adalah rerata 3 (tiga) tahun Belanja Daerah sektor tertentu dibagi dengan rerata 3 (tiga) tahun target layanan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Karakteristik wilayah misalnya Daerah yang berciri kepulauan dan Daerah dengan basis perekonomian tertentu seperti sektor pariwisata atau sektor pertanian dan perikanan yang mendukung ketahanan pangan. Pasal 127 Cukup jelas. Pasal 128 Ayat (1) DAU Provinsii = Bobot provinsil x jumlah DAU provinsi dalam kelompok provinsi. Ayat (2) Bobot Provi = CF Provi ICF ^Prov dimana, CF Provinsil ICF ^Provinsi = Celah Fiskal untuk provinsil. = iumlah Celah Fiskal seluruh provinsi dalam kelompok provinsi. Pasal 129 Ayat (1) DAU kabupaten/kota1 = Bobot kabupaten/kota1 x jumlah DAU kabupaten dan kota dalam kelompok kabupaten/kota. Ayat (2) CF Kab / Kotai Bobot Kab/Kota,= ^_Vp XatlXon dimana, CF kabupaten/kota.1 Celah Fiskal untuk kabupaten/kota1. jumlah Celah Fiskal seluruh kabupaten dan kota dalam kelompok kabupaten/kota. CF'kabupaten dan kota Pasal 130 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (21 Cukup ^jelas. Ayat (3) Bagi Daerah yang tidak menerima alokasi DAU, untuk mendukung pembangunan sarana dan prasarana serta pemberdayaan masyarakat di kelurahan diperhitungkan dari alokasi DBH. Pasal 131 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. 33 Ayat (4) Penyinergian DAK dengan pendanaan lainnya bertujuan untuk mendukung pencapaian program, kegiatan, dan/atau kebijakan tertentu. Pendanaan lainnya dapat berasal dari TKD lainnya, Pembiayaan Utang Daerah, APBD, kerja sama pemerintah dan badan usaha, kerja sama antar-Daerah, dan belanja kementerian/lembaga. Belanja kementerian/lembaga yang masih mendanai urusan Daerah dialihkan menjadi DAK dalam hal Daerah telah memiliki kinerja baik dalam pengelolaan APBD. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 132 Ayat (1) Dana Otonomi Khusus bertujuan untuk mendukung penyelenggaraan otonomi khusus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Pasal 134 Ayat (1) Dana Desa bertujuan untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan, pembangu.nan, pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan yang menjadi kewenangan desa. Ayat (21 Cukup jelas. Ayat (s) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 135 Cukup ^jelas. Pasal 136 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "lokasi" adalah letak pengusahaan hutan, tambang, kepala sumur minyak bumi atau gas bumi, dan/atau wilayah kerja panas bumi yang menjadi dasar penetapan Daerah penghasil sumber daya alam. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Pasal 137 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "dialokasikan secara mandiri" adalah alokasi TKD dalam statusnya sebagai daerah otonom baru yang perhitungannya sesuai dengan formula yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan mengenai TKD. Ayat (21 Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan ^ulokasi" adalah letak pengusahaan hutan, tambang, kepala sumur minyak bumi atau gas bumi, dan/atau wilayah kerja panas bumi yang menjadi dasar penetapan Daerah penghasil sumber daya alam. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 138 Ayat (1) Penyaluran TKD dapat dilakukan secara langsung ke rekening penerima manfaat, seperti desa dan/atau sekolah. Dalam hal penyaluran TKD dilaksanakan dengan mekanisme tersebut, transaksi dimaksud tetap tercatat dalam APBD. Ayat (2) Dalam rangka pengelolaan kas pemerintahan yang efektif dan efisien, penyaluran dilaksanakan dalam skema pengelolaan kas Daerah yang terpadu. Hal ini dapat dilakukan melalui penggunaan akun tertentu yang dikelola oleh Pemerintah yang merepresentasikan rekening kas tiap-tiap Daerah. Pasal 139 Cukup ^jelas. Pasal 140 Cukup ^jelas. Pasal 141 Cukup jelas. Pasal 142 Cukup jelas. Pasal 143 Cukup ^jelas. Pasal 144 Cukup ^jelas. Pasal 145 Ayat (1) Alokasi belanja untuk mendanai Urusan Pemerintahan Daerah tertentu yang besarannya telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan seperti anggaran pendidikan, anggaran kesehatan, dan alokasi dana desa. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 146 Ayat (1) Belanja pegawai Daerah termasuk di dalamnya aparatur sipil negara, Kepala Daerah, dan anggota DPRD. Belanja pegawai Daerah pada ayat ini tidak termasuk belanja untuk tambahan penghasilan guru, tunjangan khusus guru, tunjangan profesi guru, dan tunjangan sejenis lainnya yang bersumber dari TKD yang telah ditentukan penggunaannya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 147 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "belanja infrastruktur pelayanan publik" adalah belanja infrastruktur Daerah yang langsung terkait dengan percepatan pembangunan dan/atau pemeliharaan fasilitas pelayanan publik yang berorientasi pada pembangunan ekonomi Daerah dalam rangka meningkatkan kesempatan kerja, mengurangi kemiskinan, dan mengurangi kesenjangan penyediaan layanan publik antar-Daerah. Yang dimaksud dengan "belanja bagi hasil dan/atau transfer kepada Daerah dan/atau desa" adalah belanja bagi hasil dan/atau transfer yang diwajibkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, antara lain bagi hasil Pajak provinsi kepada kabupaten/kota, bagi hasil Pajak dan Retribusi kabupaten/kota kepada desa, dan transfer kepada desa yang berasal dari Dana Desa dan alokasi dana desa. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup ^jelas. Pasal 148 Cukup ^jelas. Pasal 149 Cukup ^jelas. Pasal 150 Cukup jelas. Pasal 151 Cukup ^jelas. Pasal 152 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "dalam hal tertentu" adalah dalam rangka menjalankan arahan Presiden untuk kepentingan strategis nasional dan untuk memberikan masukan yang bersifat lintas sektor. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas. Pasal 153 . Cukup jelas. Pasal 154 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (s) Cukup ^jelas. Ayat (6) Cukup ^jelas. Ayat (7) Yang dimaksud "dalam hal tertentu" adalah kondisi kedaruratan yang mengakibatkan perkiraan pendapatan Daerah mengalami penurunan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari APBD. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 155 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Yang dimaksud "lembaga keuangan bank atau lembaga keuangan bukan bank" adalah lembaga keuangan yang dianggap mampu oleh Menteri. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 156 Cukup ^jelas. Pasal 157 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Hasil penjualan Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah digunakan untuk membiayai investasi sektor publik yang menghasilkan penerimaan dan/atau memberikan manfaat bagi masyarakat. Ayat (4) Cukup ^jelas. Ayat (s) Cukup ^jelas. Pasal 158 Ayat (1) Dasar penerbitan Sukuk Daerah tidak dimaksudkan sebagai jaminan penerbitan Sukuk Daerah. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "selain tanah dan/atau bangunan" dapat berupa barang berwujud ataupun barang tidak berwujud yang memiliki nilai ekonomis dan/atau memiliki aliran penerimaan kas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 159 Cukup jelas. Pasal 160 Cukup jelas. Pasal 161 Cukup ^jelas. Pasal 162 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "dana TKD yang tidak ditentukan penggunaannya" adalah DAU dan/atau DBH yang tidak ditentukan penggunaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan. Ayat (2) Cukup jelas. 40 Pasal 163 Cukup jelas. Pasal 164 Cukup ^jelas. Pasal 165 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "investasi yang bebas dari risiko penurunan nilai" adalah penempatan dana pada instrumen keuangan yang ditawarkan oleh lembaga keuangan yang telah diakui kredibilitasnya sehingga nilai pokok/awal investasi tidak dipengaruhi fluktuasi di pasar uang/pasar modal; fluktuasi hanya akan memengaruhi imbal hasil. Contoh penempatan dengan kriteria demikian misalnya adalah investasi pada Surat Berharga Negara hingga jatuh tempo atau tidak merealisasikan kerugian pada saat dijual, serta deposito pada bank yang sehat. Ayat (s) Cukup je1as. Pasal 166 Cukup jelas. Pasal 167 Cukup jelas. Pasal 168 Cukup jelas. Pasal 169 Ayat (1) Sinergi dimaksud dalam rangka mendukung pengelolaan fiskal pusat dan Daerah yang terintegrasi antara lain adalah refocusing, penyesuaian Belanja Daerah dan belanja pusat, mendukung kebijakan anti-cgclical, serta penyelarasan kebijakan fiskal nasional dan target capaian pembangunan nasional. Ayat (21 Cukup ^jelas. Pasal 170 Cukup ^jelas. Pasal 171 Cukup jelas. Pasal 172 Cukup jelas. Pasal 173 Yang dimaksud dengan "kondisi darurat" adalah memburuknya kondisi ekonomi makro dan keuangan yang menyebabkan fungsi dan peran APBN dan APBD tidak dapat berjalan secara efektif dan efisien, antara lain:
proyeksi pertumbuhan ekonomi di bawah asumsi dan deviasi asumsi dasar ekonomi makro lainnya secara signifikan;
proyeksi penurunan pendapatan negara fDaerah dan/atau meningkatnya belanja negara/Daerah secara signifikan; dan/atau
adanya ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Pasal 174 Sinergi bagan akun standar merupakan upaya sinergi dan pengintegrasian antara bagan akun standar pada Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Pasal 175 Cukup ^jelas. Pasal 176 Konsolidasi informasi keuangan Pemerintah Daerah meliputi informasi keuangan, informasi kinerja, informasi publik, informasi eksekutif, dan informasi terkait lainnya termasuk data transaksi Pemerintah Daerah, selaras dengan lagan akun standar untuk Pemerintah Daerah yang terintegrasi dengan bagan akun standar untuk Pemerintah Pusat, dengan tujuan menciptakan statistik keuangan dan laporan keuangan secara nasional yang selaras dan terkonsolidasi yang meliputi perencanaan, penganggaran, pelaksanaan arggaran, dan pelaporan. Pasal L77 Informasi lainnya antara lain adalah informasi kepegawaian dan layanan pengadaan barang dan jasa. Pasal 178 Cukup jelas. Pasal 179 Ayat (1) Pelaksanaan Pemantauan dan evaluasi terhadap Pelaksanaan TKD dan pelaksanaan APBD setidaknya berfokus pada i) pelaksanaan belanja wajib (mandatory spending), seperti belanja pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur; ii) likuiditas Keuangan Daerah; iii) SiLPA; serta iv) pemantauan dan evaluasi terhadap pencapaian outputatas program-program prioritas nasional dan Daerah. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 180 Cukup ^jelas. Pasal 181 Cukup ^jelas. Pasal 182 Cukup jelas. Pasal 183 Cukup ^jelas. Pasal 184 Cukup ^jelas. Pasal 185 Cukup ^jelas. 43 Pasal 186 Cukup ^je1as. Pasa1 187 Cukup ^jelas. Pasal 188 Cukup jelas. Pasal 189 Cukup ^jelas. Pasal 190 Cukup ^jelas. Pasal 191 Cukup ^jelas. Pasal 192 Cukup jelas. Pasal 193 Cukup ^jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6757
Tata Cara Pemberian Subsidi Bunga/Subsidi Margin dalam rangka Mendukung Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional ...
Relevan terhadap 1 lainnya
Subsidi Bunga/Subsidi Margin Program PEN diberikan kepada Debitur perbankan, perusahaan pembiayaan, dan Lembaga Penyalur Program Kredit Pemerintah yang memenuhi persyaratan.
Debitur perbankan dan perusahaan pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
merupakan Usaha Mikro, Usaha Kecil, Usaha Menengah, Koperasi, dan/atau debitur lainnya dengan plafon Kredit/Pembiayaan paling tinggi Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah);
memiliki Baki Debet Kredit/Pembiayaan sampai dengan 29 Februari 2020;
tidak termasuk dalam Daftar Hitam Nasional untuk plafon Kredit/Pembiayaan di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);
memiliki kategori performing loan lancar (kolektibilitas 1 atau 2) dihitung per 29 Februari 2020; dan
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak atau mendaftar untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak.
Debitur Lembaga Penyalur Program Kredit Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
merupakan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah dengan plafon Kredit/Pembiayaan paling tinggi Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah);
memiliki Baki Debet Kredit/Pembiayaan sampai dengan 29 Februari 2020; dan
memiliki kategori performing loan lancar (kolektibilitas 1 atau 2) dihitung per 29 Februari 2020.
Debitur lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan:
debitur KPR sampai dengan tipe 70; dan
debitur Kredit Kendaraan Bermotor untuk usaha produktif, termasuk yang digunakan untuk ojek dan/atau usaha informal.
Dalam hal Debitur memiliki akad Kredit/Pembiayaan di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) harus memperoleh restrukturisasi dari Penyalur Kredit/Pembiayaan.
Debitur yang memiliki plafon Kredit/Pembiayaan kumulatif melebihi Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), tidak dapat memperoleh Subsidi Bunga/Subsidi Margin.
Debitur lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (5), dan ayat (6).
Dalam hal Debitur Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah merupakan Debitur Lembaga Penyalur Program Kredit Pemerintah yang berbentuk BLU, yang memperoleh Kredit/Pembiayaan baik secara langsung dari BLU, melalui Lembaga Linkage BLU berupa Koperasi, maupun melalui Koperasi yang bekerja sama dengan BLU, selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (5), dan ayat (6), Debitur harus memenuhi persyaratan yang diatur oleh Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah.
Untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dapat dilakukan secara jabatan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Ketentuan mengenai Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dilakukan sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Program Pemulihan Ekonomi Nasional yang selanjutnya disebut Program PEN adalah rangkaian kegiatan untuk pemulihan perekonomian nasional yang merupakan bagian dari kebijakan keuangan negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah untuk mempercepat penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 ( COVID -19) dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan serta penyelamatan ekonomi nasional.
Kredit/Pembiayaan adalah penyediaan dana oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dunia usaha, dan masyarakat melalui perbankan, perusahaan pembiayaan, dan lembaga penyalur program kredit pemerintah dan koperasi untuk mengembangkan dan memperkuat permodalan usaha mikro, kecil, dan menengah.
Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai usaha mikro, kecil, dan menengah.
Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai usaha mikro, kecil, dan menengah.
Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai usaha mikro, kecil, dan menengah.
Penyalur Kredit/Pembiayaan adalah Lembaga Penyalur Program Kredit Pemerintah, perbankan, dan perusahaan pembiayaan yang menyalurkan Kredit/Pembiayaan kepada debitur.
Pelaku Usaha adalah pelaku usaha di sektor riil dan sektor keuangan yang meliputi Usaha Mikro, Usaha Kecil, Usaha Menengah, Usaha Besar, dan Koperasi yang kegiatan usahanya terdampak oleh pandemi Corona Virus Disease 2019 ( COVID -19).
Debitur adalah Pelaku Usaha individu/perseorangan baik sendiri maupun dalam kelompok usaha atau badan usaha yang sedang menerima Kredit/Pembiayaan dari Penyalur Kredit/Pembiayaan.
Lembaga Penyalur Program Kredit Pemerintah adalah badan layanan umum dan badan usaha milik negara yang menyalurkan Kredit/Pembiayaan program Pemerintah di bidang Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah.
Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disingkat BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
Badan Layanan Umum yang selanjutnya disingkat BLU adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.
Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai perkoperasian.
Subsidi Bunga adalah bagian bunga yang menjadi beban Pemerintah sebesar selisih antara tingkat bunga yang diterima oleh Penyalur Kredit/Pembiayaan dengan tingkat bunga yang dibebankan kepada debitur.
Subsidi Margin adalah bagian margin yang menjadi beban Pemerintah sebesar selisih antara margin yang diterima oleh Penyalur Kredit/Pembiayaan dengan margin yang dibebankan kepada debitur dalam skema pembiayaan syariah.
Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Menteri Keuangan yang selanjutnya disebut Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
Kementerian Negara/Lembaga yang selanjutnya disebut K/L adalah kementerian negara/lembaga pemerintah non kementerian negara/lembaga negara.
Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah lembaga pengatur dan pengawas sektor keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan.
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan selanjutnya disingkat BPKP adalah aparat pengawasan intern Pemerintah yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab atas penggunaan anggaran pada K/L yang bersangkutan.
Kuasa Pengguna Anggaran Penyaluran Subsidi Bunga/Subsidi Margin Program Pemulihan Ekonomi Nasional yang selanjutnya disebut KPA Penyaluran adalah pejabat yang memperoleh kewenangan dan tanggung jawab dari PA untuk menyalurkan anggaran belanja subsidi atas pelaksanaan Program PEN kepada Penyalur Kredit/Pembiayaan.
Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/kuasa pengguna anggaran bendahara umum negara untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran atas beban APBN.
Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disebut PPSPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh kuasa pengguna anggaran bendahara umum negara untuk melakukan pengujian atas surat permintaan pembayaran dan menerbitkan surat perintah membayar.
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan, yang memperoleh kewenangan sebagai kuasa bendahara umum negara.
Surat Permintaan Pembayaran Langsung yang selanjutnya disebut SPP-LS adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara.
Surat Perintah Membayar Langsung yang selanjutnya disebut SPM-LS adalah surat perintah membayar yang diterbitkan oleh PPSPM kepada pihak ketiga atas dasar perikatan atau surat keputusan.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi BUN.
Baki Debet adalah sisa pokok pinjaman/sisa pokok pembiayaan yang wajib dibayar kembali oleh debitur kepada Penyalur Kredit/Pembiayaan.
Sistem Informasi Kredit Program yang selanjutnya disingkat SIKP adalah sistem informasi elektronik yang digunakan untuk menatausahakan dan menyediakan informasi penyaluran kredit program.
Debitur yang telah mendapatkan tambahan Subsidi Bunga/Subsidi Margin berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan mengenai Tambahan Subsidi Bunga/Subsidi Margin Kredit Usaha Rakyat bagi Penerima Kredit Usaha Rakyat Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 ( COVID -19) dapat diberikan Subsidi Bunga/Subsidi Margin berdasarkan Peraturan Menteri ini.
Pemberian Subsidi Bunga/Subsidi Margin kepada Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan:
diberikan untuk 1 (satu) akad Kredit/Pembiayaan selain kredit usaha rakyat; dan
jumlah akad Kredit/Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada huruf a ditambah dengan akad Kredit/Pembiayaan kredit usaha rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan plafon paling tinggi Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Atas Penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor Tertentu Yang Ditanggung Pemerintah ...
Relevan terhadap
bahwa untuk meningkatkan daya beli masyarakat di sektor industri kendaraan bermotor guna mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, perlu diberikan dukungan Pemerintah terhadap sektor industri kendaraan bermotor tersebut;
bahwa untuk mewujudkan dukungan Pemerintah bagi sektor industri kendaraan bermotor dan keberlangsungan dunia usaha sektor industri kendaraan bermotor sebagai dampak pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), perlu diberikan insentif Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor tertentu yang ditanggung Pemerintah;
bahwa belum terdapat pengaturan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang Ditanggung Pemerintah atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor tertentu sehingga perlu diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah berupa Kendaraan Bermotor Tertentu yang Ditanggung Pemerintah Tahun Anggaran 2021;
Pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ...
Relevan terhadap
Pelaksanaan Anggaran dalam rangka Penyelesaian Pekerjaan pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 yang Tidak Terselesaikan sampai dengan Akhir Tahu ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari Pengguna Anggaran (PA) untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada kementerian negara/lembaga yang bersangkutan.
Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang melaksanakan kewenangan PA/KPA untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran atas beban anggaran pendapatan dan belanja negara.
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang memperoleh kuasa dari Bendahara Umum Negara (BUN) untuk melaksanakan sebagian fungsi kuasa BUN.
Pembayaran Langsung yang selanjutnya disebut Pembayaran LS adalah pembayaran yang dilakukan langsung kepada bendahara pengeluaran/penerima hak lainnya atas dasar perjanjian kerja, surat keputusan, surat tugas, atau surat perintah kerja lainnya melalui penerbitan surat perintah membayar langsung.
Berita Acara Serah Terima yang selanjutnya disingkat BAST adalah dokumen legalitas penyerahan hasil pekerjaan dari penyedia barang/jasa kepada pemberi kerja.
Berita Acara Penyelesaian Pekerjaan yang selanjutnya disingkat BAPP adalah dokumen legalitas untuk dijadikan sebagai bahan bukti pekerjaan telah selesai dikerjakan sesuai dengan kontrak.
Kontrak adalah perjanjian tertulis antara PPK dengan penyedia barang/jasa untuk melaksanakan suatu pekerjaan tertentu.
Surat Jaminan yang selanjutnya disebut Jaminan adalah jaminan tertulis yang dikeluarkan oleh bank umum/perusahaan penjaminan/perusahaan asuransi/lembaga keuangan khusus yang menjalankan usaha di bidang pembiayaan, penjaminan, dan asuransi untuk mendorong ekspor Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lembaga pembiayaan ekspor Indonesia.
Jaminan Pemeliharaan adalah Jaminan tertulis dari penerbit Jaminan sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan mengenai pengadaan barang/jasa pemerintah untuk menjamin bahwa dalam hal penyedia barang/jasa tidak melaksanakan pekerjaan pemeliharaan yang telah dilakukan pembayarannya maka penjamin akan membayar kepada PPK sebesar nilai Jaminan.
Jaminan atas Pembayaran untuk Tagihan Pihak Ketiga atas Kontrak yang Prestasi Pekerjaannya Belum Mencapai 100% (seratus persen) pada Akhir Tahun Anggaran yang selanjutnya disebut Jaminan Pembayaran Akhir Tahun Anggaran adalah Jaminan tertulis dari bank dengan nilai Jaminan paling sedikit sebesar persentase pekerjaan yang belum diselesaikan untuk menjamin bahwa dalam hal penyedia barang/jasa tidak menyelesaikan pekerjaan yang telah dilakukan pembayarannya, sehingga penjamin akan membayar kepada PPK sebesar nilai Jaminan.
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/PMK.08/2012 tentang Penerbitan dan Penjualan Surat Berharga Syariah Negara dengan Cara Bookbuildin ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN atau dapat disebut Sukuk Negara adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing.
Perusahaan Penerbit SBSN adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan ketentuan Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara untuk melaksanakan kegiatan penerbitan SBSN.
Pihak adalah orang perseorangan a.tau warga negara Indonesia maupun warga negara asmg, atau perusahaan, usaha bersama, asosiasi, atau kelompok yang terorganisasi, dimanapun bertempat tinggal atau berkedudukan baik di dalam maupun di luar negeri.
Bookbuilding adalah kegiatan penjualan SBSN kepada Pihak melalui Agen Penjual, dimana Agen Penjual mengumpulkan pemesanan pembelian dalam periode penawaran yang telah ditentukan.
Agen Penjual, atau dapat disebut Mitra Distribusi, adalah bank, perusahaan efek dan/atau perusahaan finansial teknologi yang ditunjuk guna melaksanakan penawaran dan/atau penjualan SBSN dengan cara Bookbuilding. 6. Pasar Perdana adalah kegiatan penawaran dan penjualan SBSN untuk pertama kali.
Pemesanan Pembelian adalah pengajuan pemesanan pembelian SBSN oleh investor kepada Agen Penjual dalam suatu periode waktu penawaran yang telah ditentukan dan diumumkan sebelumnya.
Memorandum Informasi adalah informasi tertulis mengenai penawaran SBSN yang disampaikan kepada Pihak.
Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indohesia.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko yang selanjutnya disebut Direktur Jenderal adalah pimpinan unit eselon satu di lingkungan Kementerian Keuangan yang membidangi urusan pengelolaan pembiayaan dan risiko.
Akad adalah perJanJian tertulis yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Aset SBSN adalah objek pembiayaan SBSN dan/atau barang milik negara yang memiliki nilai ekonomis, berupa tanah dan/atau bangunan maupun selain tanah dan/atau bangunan, yang dalam rangka penerbitan SBSN dijadikan sebagai dasar penerbitan SBSN.
Perusahaan Efek adalah perusahaan efek sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai Pasar Modal, yang melakukan kegiatan usaha sebagai penjamin emisi efek.
Bank adalah bank umum konvensional dan bank umum syariah sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perbankan dan undang- undang mengenai perbankan syariah.
Perusahaan Finansial Teknologi yang selanjutnya disebut Perusahaan Fintek adalah badan hukum Indonesia yang menyediakan, mengelola dan mengoperasikan Jasa keuangan berbasis teknologi informasi.
Panitia Pengadaan adalah panitia atau kelompok kerja unit layanan pengadaaan yang dibentuk untuk melaksanakan seleksi calon Agen Penjual dan/atau calon konsultan hukum.
Imbalan adalah pembayaran yang dapat berupa sewa, bagi hasil atau margin, atau bentuk pembayaran lainnya sesuai dengan Akad penerbitan SBSN, yang diberikan kepada pemegang SBSN sampai dengan berakhirnya periode SBSN.
Hari Kerja adalah hari operasional sistem pembayaran yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia.
Setelmen adalah penyelesaian transaksi SBSN yang terdiri dari Setelmen dana dan Setelmen kepemilikan SBSN.
Harga Setelmen adalah nilai Setelmen yang harus dibayarkan oleh investor yang pemesanan pembeliannya telah mendapatkan penjatahan.
Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Penyelenggaraan Rumah Susun
Relevan terhadap
Pasal 134 (1) Pelaku Pembangunan yang tidak melengkapi lingkungan Rumah Susun dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dikenai sanksi adminstratif berupa:
peringatan tertulis;
pembatasan kegiatan pembangunan dan/atau kegiatan usaha;
penghentian sementara pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan ;
pengenaan denda administratif; dan
pencabutan izin usaha. (21 Tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai berikut:
peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan sebanyak 2 (dua) kali dengan jangka waktu tiap peringatan tertulis paling lama 5 (lima) hari kerja;
Pelaku Pembangunan yang mengabaikan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dikenai sanksi administratif berupa pembatasan kegiatan pembangunan dan/atau kegiatan usaha selama 14 (empat belas) hari;
Pelaku Pembangunan yang mengabaikan pembatasan kegiatan pembangunan dan/atau kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada huruf b dikenai sanksi administratif berupa penghentian sementara pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan sebanyak 1 (satu) kali dengan ^jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja; Pelaku Pembangunan yang mengabaikan penghentian sementara pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan sebagaimana dimaksud pada huruf c dikenai sanksi administratif berupa denda administratif paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah); Pelaku Pembangunan yang telah menyelesaikan denda administratif sebagaimana dimaksud pada huruf d wajib melengkapi lingkungan Rumah Susun dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum paling lambat 1 (satu) tahun; dan Pelaku Pembangunan yang mengabaikan pengenaan denda administratif sebagaimana dimaksud pada huruf d dan tidak melengkapi lingkungan Rumah Susun dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum paling lambat 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud pada huruf e dikenai pencabutan izin usaha dan wajib menyelesaikan pembiayaan untuk melengkapi lingkungan Rumah Susun dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum melalui kerja sama dengan Pelaku Pembangunan lain. Pasal 135 (1) Setiap Orang yang tidak memanfaatkan Sarusun sesuai dengan fungsinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dikenai sanksi adminstratif berupa:
peringatan tertulis;
pengenaan denda administratif; dan
pencabutan SHM Sarusun atau SKBG Sarusun. (2) Tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai berikut: d e f a. peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan sebanyak 2 (dua) kali dengan jangka waktu tiap peringatan tertulis paling lama 5 (lima) hari kerja; Pemilik dan/atau Penghuni yang mengabaikan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dikenai sanksi administratif berupa denda administratif paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah); Pemilik dan/atau Penghuni yang mengabaikan denda administratif sebagaimana dimaksud pada huruf b dikenai sanksi administratif berupa pencabutan SHM Sarusun atau SKBG Sarusun. Pasal 136 (1) Pihak yang melakukan perubahan fungsi Rumah Susun dengan tidak menjamin hak kepemilikan Sarusun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) dikenai sanksi administratif berupa:
peringatan tertulis;
pembatasan kegiatan pembangunan dan/atau kegiatan usaha;
penghentian sementara pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan;
pengenaan denda administratif; dan
pencabutan izin usaha. (21 Tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai berikut:
peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan sebanyak 2 (dua) kali dengan jangka r,vaktu tiap peringatan tertulis paling lama 5 (lima) hari kerja; b c b. pihak yang mengabaikan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dikenai sanksi administratif berupa pembatasan kegiatan pembangunan dan/atau kegiatan usaha selama 14 (empat belas) hari;
pihak yang mengabaikan pembatasan kegiatan pembangunan dan/atau kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada huruf b dikenai sanksi administratif berupa penghentian sementara pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan sebanyak 1 (satu) kali dengan jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja;
pihak yang mengabaikan penghentian sementara pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan sebagaimana dimaksud pada huruf c dikenai sanksi administratif berupa denda administratif paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rpl.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);
Pelaku Pembangunan yang telah menyelesaikan denda administratif sebagaimana dimaksud pada huruf d wajib mengganti hak kepemilikan Sarusun paling lambat 2 (dua) tahun; dan
Pelaku Pembangunan yang mengabaikan pengenaan denda administratif sebagaimana dimaksud pada huruf d dan tidak mengganti hak kepemilikan Sarusun paling lambat 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud pada huruf e dikenai pencabutan izin usaha dan wajib menyelesaikan pembiayaan untuk mengganti sejumlah Rumah Susun dan/atau memukimkan kembali Pemilik melalui kerja sama dengan Pelaku Pembangunan lain.
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
Penyelenggaraan Rumah Susun adalah kegiatan perencanaan, pembangurlan, penguasaan dan pemanfaatan, pengelolaan, pemeliharaan dan perawatan, pengendalian, kelembagaan, penclanaan dan sistem pembiayaan, serta peran masyarakat yang dilaksanakan secara sistematis, terpadu, berkelanjutan, dan bertanggung ^jawab. Rumah Susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara Iungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satrtan yang masing- rnasing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, temtama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, da 'tanah bersama. Rumah Susun U um adalah Rumah Susurn yalig diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Rurnah Susun Khusus adalah Rurrlah Susun yang diselenggarakan untuk mernenuhi kebutuhan khusus. Rumah Susun Negara adalah Rumah Susun yang climiiiki negara dan berfungsi sebagai tempat tinggal atarr hunian, sarana pembinaan keluarga, serta penunjang pelaksanaan tugas pejabat dan/atau pegawai negeri. Rumah Susrrn I(omersial adalah Rumah-Susun yang diselenggaral: a^r untuk mendapatkan keuntungan. Sl( No 0928 t4 A 7. Satuan 7. Satuan Rumah Susun ^yang selanjutnya ^disebut Sarusun adalah unit Rumah ^Susun yang ^tujuan utamanya digunakan secara terpisah ^dengan ^fungsi utama sebagai tempat hunian dan ^mempunyai sarana penghubung ke ^jalan umum. 8. Tanah Bersama adalah sebidang ^tanah hak atau tanah sewa untuk bangunan ^yang digunakan ^atas ^dasar ^hak bersama secara tidak terpisah ^yang ^di ^atasnya ^berdiri Rumah Susun dan ditetapkan batasnya ^dalam persyaratan persetujuan bangunan ^gedung. 9. Bagian Bersama adalah ^bagian ^Rumah Susun ^yang dimiliki secara tidak terpisah untuk ^pemakaian bersama dalam kesatuan fungsi ^dengan ^satuan- satuan Rumah Susun. 10. Benda Bersama adalah benda ^yang ^bukan ^merupakan bagian Rumah Susun melainkan ^bagian yang ^dimiliki bersama secara tidak terpisah untuk ^pemakaian bersama. 11. Sertifikat Hak Milik Sarusun ^yang selanjutnya ^disebut SHM Sarusun adalah tanda ^bukti ^kepemilikan ^atas Sarusun di atas tanah hak milik, ^hak ^guna bangunan atau hak pakai di atas tanah ^negara, ^serta ^hak ^guna bangunan atau hak ^pakai di ^atas tanah ^hak pengelolaan. 12. Sertifikat Kepemilikan Bangunan ^Gedung ^Sarusun yang selanjutnya disebut SKBG Sarusun ^adalah tanda bukti kepemilikan atas Sarusun di ^atas barang ^milik negara/daerah berupa tanah atau ^tanah wakaf ^dengan cara sewa. 13. Nilai Perbandingan Proporsional ^yang ^selanjutnya disingkat NPP adalah angka ^yang ^menunjukkan perbandingan antara Sarusun terhadap ^hak ^atas Bagian Bersama, Benda Bersama, ^dan ^Tanah ^Bersama yang dihitung berdasarkan nilai Sarusun ^yang bersangkutan terhadap ^jumlah nilai ^Rumah ^Susun secara keseluruhan ^pada waktu ^pelaku pembangunan pertama kali memperhitungkan biaya pembangunannya secara keseluruhan untuk menentukan harga ^jualnya A. Dana . . ^.
Ditna Konversi adalah dana yang ber,rpa dana kelola atau dana hibah yang diperoleh dari pelakrr pembangunan sebagai alternatif kervajiban pembangunan rumah sederhana bersubsidi dalam pembanguo&r1 p€rumahan dengan hunian berimbang yang dihitung berdasarkan rumus perhitungan konversi. 15. Masyarakat Berpenghasilan Rendah yang selanjutnya Cisingkat IVIBR adalah masyarakat yang mempunyai keterbatasan daya beli schingga p.'rlu mendapat dukungan pemerintah untuk mernperoleh Sarusun umum. 16. Pelaku Pembangunan Rumah Susun yang selanjutnya disebut Pelaku Pembangunan adalah setiap orang dan/atau pemerlntah yr.ng melakukan pembangLlnan bidang perumahan da,, ka'uvasan permukirnan. 17. Setiap Orang adalah orang perseorangan atatr badan hukum. 18. Berdan Hrrkum adalah badan hukurn yang didirikan oteli ^tr',r.rga negara Indonesie ^.yang ,kegiatannya di bidang penyelenggaraan perurlahan dan kawasan permukiman. 19. Pemiiik adalah Setiap Orang yang memiliki Sarusun. 20. Penghuni aCalah orang yang menempati Sarusrrn, baik sebagai Pemilil< maLrprir, bukan Pemilik. 21. Pengelola adalah str adan Hukum yang bertugas untuk mengelola Rurqah Susun. 22. Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun yang selanjutnya'disingkat PPPSRS adalah Badan'Hukum yang beran3gotakan para Pemilik atau Penghuni. 2g. Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada pelaku usaha untuk memulai dan menjalankarr usaha dan/atau kegiatannva.
Percetujuarn 24. Persetujuan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat PBG adalah persetujuan yang diberikan oleh pemerintah daerah kepada pemilik bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah luasan, fungsi dan klasifikasi bangunan gedung serta perubahan lainnya yang membutuhkan perencanaan teknis. 25. Pertelaan adalah pernyataan dalam bentuk gambar dan uraian yang dibuat sebelum pelaksanaan pembangunan Rumah Susun yang disahkan oleh pemerintah daerah yang menunjukkan batas yang jelas dari setiap Sarusun, Bagian Bersama, Benda Bersama, dan Tanah Bersama beserta uraian NPP. 26. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 27. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. 28. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perumahan dan kawasan permukiman.
PRES lDEN REPUBLIK INDONESIA Pasal 137 (1) Pelaku Pembangunan Rumah Susun Komersial yang tidak menyediakan Rumah Susun Umum paling sedikit 2Ooh (dua puluh persen) dari total luas lantai Rumah Susun Komersial yang dibangun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:
peringatan tertulis;
pembatasan kegiatan pembangunan dan/atau kegiatan usaha;
penghentian sementara pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan ;
pengenaan denda administratif; dan
pencabutan izin usaha. (21 Tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai berikut:
peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan sebanyak 2 (dua) kali dengan jangka waktu tiap peringatan tertulis paling lama 5 (lima) hari kerja;
Pelaku Pembangunan yang mengabaikan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dikenai sanksi administratif berupa pembatasan kegiatan pembangunan dan/atau kegiatan usaha selama 14 (empat belas) hari;
Pelaku Pembangunan yang mengabaikan pembatasan kegiatan pembangunan dan/atau kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada huruf b dikenai sanksi administratif berupa penghentian sementara pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan sebanyak 1 (satu) kali dengan jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja; Pelaku Pembangunan yang mengabaikan perintah penghentian sementara pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan sebagaimana dimaksud pada huruf c dikenai sanksi administratif berupa denda administratif paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah); Pelaku Pembangunan yang telah menyelesaikan denda administratif sebagaimana dimaksud pada huruf d wajib menyediakan Rumah Susun Umum sesuai dengan perencanaan pembangunan; dan Pelaku Pembangunan yang mengabaikan pengenaan denda administratif sebagaimana dimaksud pada huruf d dan tidak menyediakan Rumah Susun Umum sebagaimana dimaksud pada huruf e dikenai pencabutan izin usaha dan wajib menyelesaikan pembiayaan untuk penyediaan Rumah Susun Umum melalui kerja sama dengan Pelaku Pembangunan lain. Pasal 138 (1) Pelaku Pembangunan yang tidak menyelesaikan pembangunan Rumah Susun secara bertahap dari mulai perencanaan sampai pada penyelesaian pembangunan Rumah Susun paling lama 3 (tiga) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (21 dikenai sanksi administratif berupa:
peringatan tertulis;
pengenaair denda administratif; dan
pencabut.an izin usaha. (21 Tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai berikut: d e f. a peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan sebanyak 2 (dua) kali dengan jangka waktu tiap peringatan tertulis paling lama 5 (lima) hari kerja; Pelaku Pembangunan yang mengabaikan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dikenai sanksi administratif berupa denda administratif paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah); Pelaku Pembangunan yang telah menyelesaikan denda administratif sebagaimana dimaksud pada huruf b wajib menyelesaikan pembangunan Rumah Susun paling lambat 2 (dua) tahun; dan Pelaku Pembangunan yang mengabaikan pengenaan denda administratif sebagaimana dimaksud pada huruf b dan tidak menyelesaikan pembangunan Rumah Susun paling lambat 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud pada huruf c dikenai pencabutan izin usaha dan wajib menyelesaikan pembiayaan pembangunan Rumah Susun melalui kerja sama dengan Pelaku Pembangunan lain. b c d Pasal 139 (1) Pelaku Pembangunan yang tidak menyelesaikan status hak guna bangunan atau hak pakai di atas hak pengelolaan dalam hal pembangunan Rumah Susun Umum atau Rumah Susun Komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (5) dikenai sanksi administratif berupa:
peringatan tertulis;
pengenaan denda administratif; dan
pencabutan izin usaha. (2) Tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai berikut:
peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan sebanyak 2 (dua) kali dengan jangka waktu tiap peringatan tertulis paling lama 5 (lima) hari kerja; Pelaku Pembangunan yang mengabaikan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dikenai sanksi administratif berupa denda administratif paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); Pelaku Pembangunan yang telah menyelesaikan denda administratif sebagaimana dimaksud pada huruf b wajib menyelesaikan status hak guna bangunan atau hak pakai di atas hak pengelolaan dalam hal pembangunan Rumah Susun Umum atau Rumah Susun Komersial; dan Pelaku Pembangunan yang mengabaikan pengenaan denda administratif sebagaimana dimaksud pada huruf b dan tidak menyelesaikan status hak guna bangunan atau hak pakai di atas hak pengelolaan dalam hal pembangunan Rumah Susun Umum atau Rumah Susun Komersial sebagaimana dimaksud pada huruf c dikenai pencabutan izin usaha. b c d Pasal 140 (1) Pelaku Pembangunan yang membangun Rumah Susun Umum milik dan Rumah Susun Komersial milik yang tidak memisahkan Rumah Susun atas Sarusun, Bagian Bersama, Benda Bersama, dan Tanah Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dan Pelaku Pembangunan yang membangun Rumah Susun Umum milik di atas barang milik negara/daerah berupa tanah atau tanah wakaf dengan cara disewa, yang tidak memisahkan Rumah Susun atas Sarusun, Bagian Bersama, dan Benda Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:
peringatan tertulis; pengenaan denda administratif; dan pencabutan PBG. (21 Tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai berikut:
peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan sebanyak 2 (dua) kali dengan jangka waktu tiap peringatan tertulis paling lama 5 (lima) hari kerja;
Pelaku Pembangunan yang mengabaikan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dikenai sanksi administratif berupa denda administratif paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp500.O00.0OO,00 (lima ratus juta rupiah); dan
Pelaku Pembangunan yang mengabaikan denda administratif sebagaimana dimaksud pada huruf b dalam ^jangka waktu 7 (tujuh) hari dikenai sanksi administratif berupa pencabutan PBG. Pasal 141 (1) Pelaku Pembangunan yang tidak menuangkan dalam bentuk gambar dan uraian pada saat membuat pemisahan Rumah Susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:
peringatan tertulis;
pengenaan denda administratif; dan
pencabutan PBG. (2) Tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai berikut:
peringatan . b C a PRES lDEN REPUBLIK INDONESIA peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan sebanyak 2 (dua) kali dengan jangka waktu tiap peringatan tertulis paling lama 5 (lima) hari kerja; Pelaku Pembangunan yang mengabaikan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dikenai sanksi administratif berupa denda administratif paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah); dan Pelaku Pembangunan yang mengabaikan denda administratif sebagaimana dimaksud pada huruf b dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari dikenai sanksi administratif berupa pencabutan PBG. b c Pasal 142 (1) Pelaku Pembangunan yang tidak memiliki permohonan sertilikat laik fungsi kepada bupati/wali kota, khusus untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta kepada gubernur setelah menyelesaikan seluruh atau sebagian pembangunan Rumah Susun sepanjang tidak bertentangan dengan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:
peringatan tertulis; dan
pembatasan kegiatan usaha. (21 Tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai berikut:
peringatan tertulis sebagaimana dimaksud ^pada ayat (1) huruf a diberikan sebanyak 2 (dua) kali dengan ^jangka waktu tiap peringatan tertulis paling lama 5 (lima) hari kerja; dan Pelaku Pembangunan yang mengabaikan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dikenai sanksi pembatasan kegiatan usaha berupa tidak dapat melaksanakan serah terima Sarusun dan wajib mengajukan permohonan sertifikat laik fungsi. Pasal 143 (1) Pelaku Pembangunan yang membangun Rumah Susun Umum milik dan Rumah Susun Komersial milik yang tidak mengelola Rumah Susun dalam masa transisi sebelum terbentuknya PPPSRS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:
peringatan tertulis; dan
pembatasan kegiatan usaha. (2) Tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai berikut:
peringatan tertulis sebagaimana dimaksud ^pada ayat (1) huruf a diberikan sebanyak 2 (dua) kali dengan jangka waktu tiap peringatan tertulis paling lama 5 (lima) hari kerja; dan
Pelaku Pembangunan yang mengabaikan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dikenai sanksi administratif berupa pembatasan kegiatan usaha berupa tidak dapat melaksanakan Pemasaran dan ^jual beli Sarusun. Pasal 144 (1) Pemilik yang tidak membentuk PPPSRS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1) dikenai ^sanksi administratif berupa:
peringatan tertulis;
penghentian sementara atau ^penghentian tetap pada pengelolaan Rumah Susun; dan
pengenaan denda administratif.
Tata cara . b (2) Tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai berikut:
peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan sebanyak 2 (dua) kali dengan jangka waktu tiap peringatan tertulis paling lama 5 (lima) hari kerja;
Pemilik yang mengabaikan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dikenai sanksi administratif berupa penghentian sementara atau penghentian tetap pada pengelolaan Rumah Susun;
Pemilik yang mengabaikan penghentian sementara atau penghentian tetap pada pengelolaan Rumah Susun sebagaimana dimaksud pada huruf b dikenai sanksi administratif berupa denda administratif paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah); dan
Pemilik yang telah menyelesaikan denda administratif sebagaimana dimaksud pada huruf c wajib membentuk PPPSRS paling lambat 1 (satu) tahun. Pasal 145 (1) Pemilik yang tidak melakukan peningkatan kualitas terhadap Rumah Susun yang tidak laik fungsi dan tidak dapat diperbaiki dan/atau dapat menimbulkan bahaya dalam pemanfaatan bangunan Rumah Susun dan/atau lingkungan Rumah Susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa: peringatan tertulis; dan perintah pembongkaran bangunan Rumah Susun.
Tata cara .
Tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai berikut: a peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan sebanyak 2 (dua) kali dengan jangka waktu tiap peringatan tertulis paling lama 5 (lima) hari kerja; dan Pemilik yang mengabaikan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dikenai sanksi administratif berupa perintah pembongkaran bangunan Rumah Susun dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari. Pasal 146 (1) Pemrakarsa peningkatan kualitas Rumah Susun yang tidak melakukan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis. (21 Tata cara pengellaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai berikut:
peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sebanyak 2 (dua) kali dengan jangka waktu tiap peringatan tertulis paling lama 5 (lima) hari kerja; dan
Pelaku Pembangunan yang mengabaikan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a, tidak dapat melaksanakan peningkatan kualitas.