Tata Cara Pemungutan, Pemotongan, dan Penyetoran Pajak Rokok
Relevan terhadap
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PEMUNGUTAN, PEMOTONGAN, DAN PENYETORAN PAJAK ROKOK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh pemerintah pusat. 2. Rokok adalah hasil tembakau yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, dan bentuk rokok lainnya yang dikenai cukai rokok. 3. Cukai Rokok adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap Rokok. 4. Surat Pemberitahuan Pajak Rokok yang selanjutnya disingkat SPPR adalah surat yang digunakan oleh wajib Pajak Rokok untuk melaporkan penghitungan dan/atau dasar pembayaran Pajak Rokok. 5. Permohonan Pemesanan Pita Cukai Hasil Tembakau yang selanjutnya disebut CK-1 adalah dokumen cukai yang digunakan oleh wajib Pajak Rokok untuk mengajukan permohonan pemesanan pita cukai hasil tembakau. 6. Wajib Pajak Rokok adalah pengusaha pabrik Rokok/produsen dan importir Rokok yang memiliki ijin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai. 7. Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai yang selanjutnya disingkat NPPBKC adalah izin untuk menjalankan kegiatan sebagai pengusaha pabrik, pengusaha tempat penyimpanan, importir barang kena cukai, penyalur, atau pengusaha tempat penjualan eceran di bidang cukai. 8. Rekening Kas Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKUN adalah rekening tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku bendahara umum negara untuk menampung seluruh penerimaan I jdih.kemenkeu.go.id negara dan membayar seluruh pengeluaran negara pada bank sen tral. 9. Rekening Kas Umum Daerah Provinsi yang selanjutnya disingkat RKUD Provinsi adalah rekening tempat penyimpanan uang daerah yang ditentukan oleh gubernur untuk menampung seluruh penerimaan daerah dan membayar seluruh pengeluaran daerah pada bank yang ditetapkan. 10. Kantor Bea dan Cukai adalah kantor pelayanan utama bea dan cukai atau kantor pengawasan dan pelayanan bea dan cukai di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. 11. Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan undang- undang mengenai cukai. 12. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan. 13. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. 14. Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran kementerian negara/lembaga. 15. Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat PPA BUN adalah unit eselon 1 di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari bagian anggaran bendahara umum negara. 16. Kuasa PenggunaAnggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat KPA BUN adalah pejabat pada satuan kerja dari masing-masing PPA BUN baik di kantor pusat maupun kantor daerah atau satuan kerja di kementerian/lembaga nonkementerian yang memperoleh penugasan dari Menteri Keuangan untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan anggaran yang berasal dari bagian anggaran bendahara umum negara. 17. Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang melaksanakan kewenangan PA/kuasa PA untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran atas beban APBN. 18. Pejabat Pendanda Tangan Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat PPSPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/kuasa PA untuk melakukan pengujian atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah pembayaran. 19. Surat Ketetapan Penyetoran Pajak Rokokyang selanjutnya disingkat SKP-PR adalah dokumen sebagai dasar jdih.kemenkeu.go.id penyetoran Pajak Rokok yang memuat rincian jumlah Pajak Rokok per provinsi dalam periode tertentu. 20. Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara. 21. Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan dana yang bersumber dari daftar isian pelaksanaan anggaran. 22. Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku kuasa bendahara umum negara untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM. 23. Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi BUN. 24. Kuasa Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Kuasa BUN adalah pejabat yang diangkat oleh BUN untuk melaksanakan tug as ke bendaharaan dalam rangka pelaksanaan APBN dalam wilayah kerja yang ditetapkan. 25. Collecting Agent adalah agen penerimaan yang meliputi bank persepsi, pos persepsi, bank persepsi valuta asing (Valas), lembaga persepsi lainnya, atau lembaga persepsi lainnya Valas yang ditunjuk oleh Kuasa BUN Pusat untuk menerima setoran penerimaan negara. 26. Bukti Penerimaan Negara yang selanjutnya disingkat BPN adalah dokumen yang diterbitkan oleh Collecting Agent atas transaksi penerimaan negara yang mencantumkan nomor transaksi penerimaan negara dan nomor transaksi bank/ nomor transaksi pos / nomor transaksi lembaga persepsi lainnya se bagai sarana administrasi lain yang kedudukannya disamakan dengan surat setoran. 27. Arsip Data Komputer yang selanjutnya disingkat ADK adalah arsip data dalam bentuk softcopy yang disimpan dalam media penyimpanan digital. 28. Surat Keterangan Telah Dibukukan yang selanjutnya disingkat SKTB adalah surat keterangan yang diterbitkan oleh KPPN atas penerimaan Pajak Rokok yang telah dibukukan KPPN. 29. Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Rokok yang selanjutnya disingkat SKP-KP2R adalah surat keputusan sebagai dasar untuk menerbitkan SPM pengembalian penerimaan. 30. Jaminan Kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran Jaminan Kesehatan atau iuran Jaminan Kesehatannya dibayar oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, atau pihak lain atas nama peserta. 31. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan yang selanjutnya disebut BPJS Kesehatan adalah badan hukum jdih.kemenkeu.go.id yang dibentuk untuk menyelenggarakan program J aminan Kesehatan. 32. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. BAB II TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK ROKOK Bagian Kesatu Pemungutan Pasal 2 (1) Dasar pengenaan Pajak Rokok adalah cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat terhadap Rokok. (2) Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk Rokok elektrik. (3) Tarif Pajak Rokok ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari Cukai Rokok. (4) Besaran pokok Pajak Rokok yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan tarif Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Pemungutan Pajak Rokok dilakukan oleh Kantor Bea dan Cukai bersamaan dengan pemungutan Cukai Rokok. (6) Pelaksanaan pemungutan Pajak Rokok dilakukan dengan berpedoman pada petunjuk teknis pemungutan Pajak Rokok. (7) Petunjuk teknis pemungutan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tercantum dalam huruf A dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Bagian Kedua Pembayaran Pajak Rokok Pasal 3 (1) Wajib Pajak Rokok menghitung sendiri Pajak Rokok yang dituangkan dalam SPPR. (2) Wajib Pajak Rokok menyampaikan SPPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Kepala Kantor Bea dan Cukai bersamaan dengan dokumen CK-1. (3) SPPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan melalui sistem aplikasi di bidang cukai. (4) Dalam hal sistem aplikasi di bidang cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengalami gangguan, SPPR disampaikan secara tertulis melalui Kantor Bea dan Cukai. (5) SPPR yang disampaikan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibuat sesuai dengan contoh format dalam huruf B yang tercantum dalam Lampiran jdih.kemenkeu.go.id yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 4 (1) Pejabat Bea dan Cukai melakukan penelitian terhadap SPPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) atau ayat (4). (2) Penelitian terhadap SPPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
kelengkapan dan kebenaran pengisian SPPR;
kesesuaian antara dokumen SPPR dengan dokumen CK-1; dan
kebenaran penghitungan Pajak Rokok. (3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) SPPR dinyatakan telah lengkap, sesuai, dan benar, Pejabat Bea dan Cukai memberikan nomor pendaftaran pada Wajib Pajak Rokok. (4) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) SPPR dinyatakan tidak lengkap, tidak sesuai, dan tidak benar, Pejabat Bea dan Cukai menerbitkan nota penolakan. (5) Wajib Pajak Rokok yang menerima nota penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat menyampaikan kembali SPPR. (6) Nota penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibuat sesuai dengan contoh format huruf C yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 5 (1) Wajib Pajak Rokok yang telah memperoleh nomor pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) melakukan pembayaran Pajak Rokok bersamaan dengan pembayaran Cukai Rokok ke RKUN. (2) Pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan kode Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Pengelolaan Transaksi Khusus (BA 999.99) dengan akun penerimaan non anggaran. (3) Pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui Collecting Agent dengan menggunakan kode billing. (4) Kode billing sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melalui portal biller. (5) Terhadap pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan BPN. (6) Wajib Pajak Rokok menyampaikan BPN sebagaimana pada ayat (5) kepada Pejabat Bea dan Cukai. (7) Dalam hal Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dibayarkan, pelayanan atas pemesanan pita cukai tidak dilaksanakan. (8) Tata cara pembayaran Pajak Rokok oleh Wajib Pajak Rokok melalui Collecting Agent dilaksanakan sesuai jdih.kemenkeu.go.id dengan Peraturan Menteri Keuangan mengena1 sistem penerimaan negara secara elektronik. Pasal 6 (1) Pejabat Bea dan Cukai melakukan penelitian atas pembayaran Pajak Rokok. (2) Penelitian atas pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
kelengkapan dan kebenaran BPN;
kesesuaian data antara SPPR dengan BPN; dan
kebenaran penghitungan dan kesesuaian jumlah Pajak Rokok yang tertuang pada SPPR dengan jumlah uang yang disetorkan. (3) Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdapat ketidaklengkapan, ketidaksesuaian, dan/atau ketidakbenaran yang menyebabkan terjadinya kekura.ngan pembayaran Pajak Rokok, Pejabat Bea dan Cukai:
menunda pelayanan Pita Cukai Rokok sampai dengan dilunasinya pembayaran Pajak Rokok untuk pembayaran Cukai Rokok secara tunai; atau
tidak melayani CK-1 berikutnya sampai dengan dilunasinya pembayaran Pajak Rokok untuk pembayaran Cukai Rokok yang mendapatkan penundaan pembayaran cukai. (4) Dalam hal Pajak Rokok belum dilunasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), permohonan penyediaan pita cukai untuk kebutuhan bulan berikutnya tidak dilayani. (5) Dalam hal hasil penelitian atas SPPR dengan BPN telah sesuai, Pejabat Bea dan Cukai melanjutkan proses pelayanan CK-1. Bagian Ketiga Rekapitulasi Penerimaan Pajak Rokok Pasal 7 (1) Direktorat teknis yang memiliki tugas dan fungsi menangani penerimaan Pajak Rokok pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melakukan rekapitulasi penerimaan Pajak Rokok bulan sebelumnya. (2) Rekapitulasi penerimaan Pajak Rokok bulan sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dalam daftar realisasi penerimaan Pajak Rokok. (3) Direktorat teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan daftar realisasi penerimaan Pajak Rokok kepada Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan c.q. Direktorat Pajak Daerah dan Retribusi Daerah pada Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja bulan berikutnya. (4) Daftar realisasi penerimaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan dalam bentuk ADK. jdih.kemenkeu.go.id Bagian Keempat Penagihan Kekurangan Pembayaran Pajak Rokok Pasal 8 (1) Dalam hal ditemukan adanya kekurangan cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) yang menyebabkan kurangnya pembayaran Pajak Rokok atau tidak dilunasinya pembayaran Pajak Rokok, Kepala Kantor Bea clan Cukai menyampaikan surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak Rokok kepada Wajib Pajak Rokok. (2) Surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai surat ketetapan pajak daerah kurang bayar yang merupakan dasar penagihan Pajak Rokok. (3) Surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) hari kerja setelah ditemukannya kekurangan Pajak Rokok. (4) Surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan:
secara langsung;
melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, a tau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau
media elektronik atau melalui sistem aplikasi di bidang cukai. (5) Penyampaian surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak melalui sistem aplikasi di bidang cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c dilakukan dalam hal sistem aplikasi di bidang cukai sudah tersedia. (6) Surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan contoh format dalam huruf D yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 9 (1) Wajib Pajak Rokok wajib melunasi kekurangan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak terhitung sejak Wajib Pajak Rokok menerima surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak Rokok. (2) Dalam hal Wajib Pajak Rokok tidak melunasi kekurangan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Bea clan Cukai menyampaikan surat penyerahan kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan c.q. Direktur Pajak Daerah clan Retribusi Daerah dengan melampirkan surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak Rokok. (3) Tanggal diterimanya surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan:
tanggal pada saat surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak Rokok diterima secara langsung, dalam hal surat pemberitahuan kekurangan jdih.kemenkeu.go.id pembayaran Pajak Rokok disampaikan secara langsung;
tanggal stempel pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau jasa kurir, dalam hal pengiriman dilakukan melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau jasa kurir; atau
tanggal yang tertera pada media elektronik, dalam hal pengiriman dilakukan dengan media elektronik. (4) Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menyampaikan surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak Rokok berdasarkan surat penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada gubernur tempat Wajib Pajak Rokok berada. (5) Gubernur menindaklanjuti surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan melakukan penagihan kekurangan pembayaran Pajak Rokok sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penagihan pajak daerah. (6) Berdasarkan penagihan kekurangan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Wajib Pajak Rokok melakukan pelunasan atas kekurangan Pajak Rokok melalui RKUN. BAB III PENYETORAN PAJAK ROKOK Bagian Kesatu Pejabat Perbendaharaan Pasal 10 (1) Dalam rangka penyetoran Pajak Rokok, Menteri Keuangan selaku BUN yang merupakan PA penerimaan, pemotongan, dan penyetoran Pajak Rokok menetapkan:
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan sebagai pemimpin PPA BUN penerimaan, pemotongan, dan penyetoran Pajak Rokok;
Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai KPA BUN penerimaan dan pemotongan Pajak Rokok; dan
Direktur Sistem Informasi dan Pelaksanaan Transfer sebagai KPA BUN penyetoran Pajak Rokok. (2) Dalam hal Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan/atau Direktur Si stem Informasi dan Pelaksanaan Tran sf er se bagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berhalangan, Menteri Keuangan menunjuk Sekretaris Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan sebagai pelaksana tugas KPA BUN penerimaan dan pemotongan Pajak Rokok dan/atau pelaksana tugas KPA BUN penyetoran Pajak Rokok. (3) Keadaan berhalangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan suatu keadaan yang menyebabkan pejabat definitif yang ditetapkan sebagai KPA BUN penerimaan jdih.kemenkeu.go.id dan pemotongan Pajak Rokok dan/atau KPA BUN penyetoran Pajak Rokok:
tidak terisi dan menimbulkan lowongan jabatan; dan/atau
masih terisi namun pejabat definitif yang ditetapkan sebagai KPA BUN penerimaan dan pemotongan Pajak Rokok dan/atau KPA BUN penyetoran Pajak Rokok tidak dapat melaksanakan tugas melebihi 45 (empat puluh lima) hari kerja. (4) Pejabat pelaksana tugas KPA BUN penerimaan dan pemotongan Pajak Rokok dan/atau pejabat pelaksana tugas KPA BUN penyetoran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memiliki kewenangan dan tanggung jawab yang sama dengan KPA BUN penerimaan dan pemotongan Pajak Rokok dan/atau KPA BUN penyetoran Pajak Rokok definitif. (5) Penunjukan:
Sekretaris Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan sebagai pelaksana tugas KPA BUN penerimaan dan pemotongan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (2); dan/atau
Sekretaris Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan sebagai pelaksana tugas KPA BUN penyetoran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berakhir dalam hal Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan/atau Direktur Sistem Informasi dan Pelaksanaan Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c telah terisi kembali oleh pejabat definitif dan/ a tau dapat melaksanakan tugas kembali sebagai KPA BUN. (6) Pemimpin PPA BUN penerimaan, pemotongan, dan penyetoran Pajak Rokok dapat mengusulkan penggantian KPA BUN penerimaan dan pemotongan Pajak Rokok dan/atau KPA BUN penyetoran Pajak Rokok kepada Menteri Keuangan. (7) Penggantian KPA BUN penerimaan dan pemotongan Pajak Rokok dan/atau KPA BUN penyetoran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. Pasal 11 (1) KPA BUN Penerimaan dan Pemotongan Pajak Rokok bertanggungjawab atas pelaksanaan kegiatan penerimaan dan pemotongan Pajak Rokok. (2) KPA BUN Penerimaan dan Pemotongan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut:
menerbitkan SKP-PR;
menerbitkan SKP-KP2R;
menyampaikan rekomendasi penyetoran Pajak Rokok kepada KPA BUN Penyetoran Pajak Rokok; jdih.kemenkeu.go.id d. menyampaikan pemberitahuan penyetoran Pajak Rokok kepada gubernur dan kepala BPJS Kesehatan; dan
menyampaikan pemberitahuan penyetoran atas pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Pasal 12 (1) KPA BUN Penyetoran Pajak Rokok bertanggungjawab atas pelaksanaan kegiatan penyetoran Pajak Rokok. (2) KPA BUN Penyetoran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut:
menetapkan staf pengelola keuangan, PPK, dan PPSPM;
melaksanakan pemotongan penyetoran, penundaan penyetoran, penghentian penyetoran, dan penyetoran kembali pajak rokok;
mengawasi penatausahaan dokumen dan transaksi yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan dan anggaran; dan
menyusun dan menyampaikan laporan keuangan atas penerimaan dan penyetoran pajak rokok kepada Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara penerimaan, pemotongan, dan penyetoran Pajak Rokok dalam rangka pertanggungjawaban pengelolaan Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Pengelolaan Transaksi Khusus (BA 999.99). (3) Tugas, wewenang, dan tanggung jawab KPA BUN Penyetoran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan tugas, wewenang, dan tanggung jawab kuasa pengguna anggaran sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan. Pasal 13 (1) Penetapan PPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf a dilakukan dalam rangka mengajukan permintaan pembayaran untuk penyetoran Pajak Rokok, penyetoran pembayaran pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok, dan penyetoran pembayaran atas hasil pemotongan Pajak Rokok sebagai kontribusi dukungan program Jaminan Kesehatan. (2) Penetapan PPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf a tidak terikat tahun anggaran. (3) Tugas, wewenang, dan pertanggungjawaban PPK dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pencairan anggaran pendapatan dan belanja negara bagian atas beban anggaran bendahara umum negara pada kantor pelayanan perbendaharaan negara. jdih.kemenkeu.go.id Pasal 14 (1) Penetapan PPS PM se bagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf a dilakukan dalam rangka melakukan pengujian permintaan pembayaran, pembebanan, dan penerbitan perintah pembayaran atas penyetoran Pajak Rokok, penyetoran pembayaran pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok, dan penyetoran pembayaran atas hasil pemotongan Pajak Rokok sebagai kontribusi dukungan program Jaminan Kesehatan. (2) Penetapan PPSPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terikat tahun anggaran. (3) Tugas, wewenang, dan pertanggungjawaban PPSPM dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pencairan anggaran pendapatan dan belanja negara bagian atas beban anggaran bendahara umum negara pada kantor pelayanan perbendaharaan negara. Bagian Kedua Penyetoran Pajak Rokok Pasal 15 (1) Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menetapkan proporsi dan estimasi penerimaan Pajak Rokok untuk masing-masing provinsi sebagai dasar penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah tahun anggaran berikutnya untuk masing-masing provinsi. (2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setiap tahun paling lambat pada bulan November tahun anggaran sebelumnya. (3) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan rasio jumlah penduduk provinsi terhadap jumlah penduduk nasional dan target penerimaan Cukai Rokok pada Undang-Undang mengenai anggaran pendapatan dan belanja negara. (4) Rasio jumlah penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan berdasarkan data jumlah penduduk yang digunakan untuk penghitungan dana alokasi umum untuk tahun anggaran berikutnya. (5) Berdasarkan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), gubernur menetapkan alokasi bagi hasil Pajak Rokok untuk masing-masing kabupaten/kota sebagai dasar penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota. (6) Alokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan paling lambat bulan November tahun anggaran sebelumnya. Pasal 16 (1) Berdasarkan realisasi penerimaan Pajak Rokok, Direktorat J endcral Perbendaharaan menyampaikan data realisasi penerimaan Pajak Rokok kepada Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. jdih.kemenkeu.go.id (2) Penyampaian data realisasi penerimaan Pajak Rokok se bagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setiap triwulanan pada minggu pertama triwulan berikutnya. (3) Penyampaian data realisasi penerimaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk triwulan keempat dilakukan pada minggu pertama bulan Desember berdasarkan realisasi penerimaan Pajak Rokok sampai dengan tanggal 30 November tahun berkenaan. (4) Penyampaian data realisasi penerimaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan akhir tahun anggaran dilakukan paling lambat pada bulan Januari tahun anggaran berikutnya. Pasal 17 (1) Berdasarkan realisasi penerimaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dan penetapan proporsi dan estimasi penerimaan Pajak Rokok untuk masing-masing provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, KPA BUN Penerimaan dan Pemotongan Pajak Rokok menerbitkan SKP-PR. (2) SKP-PR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan rangkap 3 (tiga) dengan peruntukan sebagai berikut:
(2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) a. Lembar ke-1 untuk KPPN Jakarta II;
Lembar ke-2 untuk PPK; dan
Lembar ke-3 untuk pertinggal. Pasal 18 KPA BUN Penerimaan dan Pemotongan Pajak Rokok menyampaikan SKP-PR kepada KPA BUN Penyetoran Pajak Rokok. Berdasarkan SKP-PR sebagaimana dimaksud ayat (1), PPK menerbitkan SPP untuk penyetoran Pajak Rokok. PPK menyampaikan SPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan dilampiri SKP-PR kepada PPSPM. PPSPM melakukan pemeriksaan dan pengujian SPP yang dilampiri SKP-PR sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pemeriksaan dan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pencairan anggaran, pendapatan dan belanja negara atas beban bagian anggaran bendahara umum negara pada kantor perbendaharaan negara. Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan dan pengujian SPP dinyatakan telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), PPSPM menerbitkan SPM. Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan dan pengujian SPP dinyatakan tidak sesua1 dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), PPSPM mengembalikan SPP kepada PPK untuk diperbaiki atau dilengkapi. PPSPM menyampaikan SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan dilampiri SKP-PR kepada KPPN Jakarta II. Tata cara penerbitan SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan tata cara penyampaian SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilaksanakan sesuai dengan jdih.kemenkeu.go.id ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pencairan anggaran, pendapatan dan belanja negara atas beban bagian anggaran bendahara umum negara pada kantor perbendaharaan negara. Pasal 19 (1) KPPN Jakarta II menerbitkan SP2D berdasarkan SPM dan SKP-PR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Berdasarkan SP2D sebagaimana dimaksud pada ayat (1) KPA BUN Penerimaan dan Pemotongan menyampaikan surat pemberitahuan penyetoran Pajak Rokok kepada gubernur paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung sejak SP2D penyetoran Pajak Rokok diterbitkan. (3) Penyampaian surat pemberitahuan penyetoran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui media elektronik atau melalui sistem aplikasi pelaporan Pajak Rokok. Pasal 20 (1) Penyetoran penerimaan Pajak Rokok ke masing-masing RKUD Provinsi dilakukan sesuai dengan realisasi penerimaan Pajak Rokok dan proporsi untuk masing-...masmg prov1ns1. (2) Penyetoran penerimaan Pajak Rokok ke RKUD Provinsi dilaksanakan setiap triwulanan pada bulan pertama triwulan berikutnya. (3) Penyetoran penerimaan Pajak Rokok ke RKUD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk penerimaan bulan Oktober dan November dilaksanakan pada bulan Desember. (4) Penyetoran penerimaan Pajak Rokok ke RKUD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk penerimaan sampai dengan bulan Desember tahun berkenaan yang masih terdapat di RKUN dilaksanakan bersamaan dengan penyetoran triwulan I tahun anggaran berikutnya. (5) Penyetoran penerimaan Pajak Rokok ke RKUD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan setelah:
gubernur menyalurkan seluruh bagi hasil Pajak Rokok kepada kabupaten/kota atas realisasi Pajak Rokok yang diterima oleh provinsi pada triwulan sebelumnya; dan
gubernur menyampaikan laporan realisasi penyaluran bagi hasil Pajak Rokok kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan. Pasal 21 Dalam hal terdapat selisih antara penerimaan dengan penyetoran Pajak Rokok ke RKUD Provinsi berdasarkan hasil pemeriksaan laporan keuangan Pemerintah Pusat, selisih tersebut diperhitungkan pada penyetoran Pajak Rokok tahun berikutnya. jdih.kemenkeu.go.id BAB IV PENYALURAN BAGI HASIL PAJAK ROKOK Pasal 22 (1) Gubernur menetapkan jumlah bagi hasil Pajak Rokok kabupaten/kota setelah Pajak Rokok diterima di RKUD Provinsi. (2) Penetapan jumlah bagi hasil Pajak Rokok kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan Keputusan Gubernur. (3) Berdasarkan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), gubernur menyalurkan bagi hasil Pajak Rokok kepada kabupaten/kota dalamjangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak diterimanya Pajak Rokok di RKUD Provinsi. (4) Penyaluran bagi hasil Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan realisasi penerimaan Pajak Rokok pada RKUD Provinsi. (5) Dalam hal realisasi penerimaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (4) lebih besar atau lebih kecil dari yang telah dianggarkan di anggaran pendapatan dan belanja daerah Provinsi, penyaluran bagi hasil Pajak Rokok tetap dilaksanakan sesuai dengan realisasi penerimaan Pajak Rokok pada RKUD Provinsi. (6) Dalam hal penyaluran bagi hasil Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum dianggarkan dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah atau anggaran pendapatan clan belanja daerah perubahan, penyaluran tetap clilakukan sesuai clengan realisasi penerimaan Pajak Rokok pada RKUD Provinsi. Pasal 23 (1) Ketentuan mengenai bagi hasil Pajak Rokok kepada kabupaten/kota clan variabel yang digunakan dalam penghitungan bagi hasil Pajak Rokok climaksucl cliatur dalam peraturan daerah provinsi. (2) Ketentuan mengenai formula penghitungan bagi hasil Pajak Rokok dan tata cara penyaluran bagi hasil Pajak Rokok cliatur dalam peraturan gubernur. (3) Peraturan gubernur sebagaimana climaksucl pacla ayat (2), clapat mengatur pendelegasian wewenang penetapan alokasi bagi hasil Pajak Rokok yang clibagihasilkan kepada kabupaten/kota kepacla kepala perangkat daerah yang menangani pendapatan dan/atau keuangan daerah. BABV PEMOTONGAN PAJAK ROKOK SEBAGAI KONTRIBUSI DUKUNGAN PROGRAM JAMINAN KESEHATAN Pasal 24 (1) Pemerintah claerah provinsi atau kabupaten/kota wajib mendukung penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan. jdih.kemenkeu.go.id (2) Kewajiban mendukung penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) merupakan dukungan penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan yang dilaksanakan melalui kontribusi penerimaan yang bersumber dari Pajak Rokok bagian hak masing-masing pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota. (3) Kontribusi Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan sebcsar 75% (tujuh puluh lima persen) dari 50% (lima puluh persen) atau ekuivalen sebesar 37,5% (tiga puluh tujuh koma lima persen) dari realisasi penerimaan yang bersumber dari Pajak Rokok masing- masing provinsi atau kabupaten/kota. (4) Dalam hal pemerintah daerah provms1 atau kabupaten/kota tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota dikenai sanksi pemotongan Pajak Rokok sejumlah selisih 37 ,5% (tiga puluh tujuh koma lima persen) dari rencana penerimaan dan/ a tau realisasi penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal 25 (1) Pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota merencanakan dan menganggarkan kontribusi untuk mendukung program Jaminan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah setiap tahun. (2) Besaran anggaran kontribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhitungkan Jaminan Kesehatan Daerah yang diintegrasikan ke dalam program Jaminan Kesehatan yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan. Pasal 26 (1) Untuk mengetahui kecukupan perencanaan dan penganggaran kontribusi program Jaminan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota melakukan rekonsiliasi data dengan BPJS Kesehatan. (2) Hasil kesepakatan atas rekonsiliasi data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam berita acara kesepakatan yang memuat data:
rencana penerimaan Pajak Rokok; dan
rencana anggaran Jaminan Kesehatan daerah yang diintegrasikan ke BPJS Kesehatan, (3) Berita acara kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat sesuai dengan format dalam huruf E yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (4) Dalam hal berdasarkan hasil rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terdapat selisih kurang anggaran Jaminan Kesehatan Daerah yang terintegrasi dengan BPJS Kesehatan, selisih kurang tersebut dituangkan dalam berita acara kesepakatan. jdih.kemenkeu.go.id (5) Berita acara kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditandatangani oleh kepala daerah dan pejabat BPJS Kesehatan. (6) Dalam menandatangani berita acara kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kepala daerah dapat mendelegasikan kewenangannya kepada pejabat yang ditunjuk. (7) Berita acara kesepakatan yang telah ditandatangani oleh kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk dan pejabat BPJS kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) disampaikan kepada gubernur. (8) Pemcrintah daerah provinsi dan kabupaten/kota melakukan rekonsiliasi pelaksanaan program J aminan Kesehatan dengan BPJS Kesehatan yang hasilnya dituangkan dalam Berita Acara Rekonsiliasi dengan format dalam huruf F yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Men teri ini. (9) Dalam hal berdasarkan hasil rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) terdapat selisih kurang realisasi Jaminan Kesehatan Daerah yang terintegrasi dengan BPJS Kcsehatan, selisih kurang tersebut diperhitungkan dalam berita acara kesepakatan tahun berikutnya. (10) Dalam hal hasil rekonsiliasi menunjukkan jumlah realisasi jaminan kesehatan daerah termasuk di dalamnya pemotongan Pajak Rokok melebihi realisasi kontribusi penerimaan Pajak Rokok, BPJS Kesehatan dan pemerintah daerah dapat melakukan kesepakatan untuk:
menambah jumlah kepesertaan dalam program jaminan kesehatan dimaksud; dan
memperhitungkan sebagai jaminan kesehatan tahun berikutnya tanpa mengurangi jumlah kontribusi minimal 37,5% (tiga puluh tujuh koma lima persen). Pasal 27 (1) Gubernur membuat kompilasi berita acara kesepakatan atas berita acara kesepakatan yang telah ditandatangani oleh kcpala daerah atau pejabat yang ditunjuk dan pejabat BPJS kcsehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26. (2) Kompilasi berita acara kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh gubernur dan pejabat BPJS Kesehatan. (3) Dalam menandatangani kompilasi berita acara kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), gubernur dapat mendelegasikan kewenangannya kepada pejabat yang ditunjuk. (4) Gubernur menyampaikan kompilasi berita acara kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan c.q. Direktorat Pajak Daerah dan Retribusi Daerah paling lambat pada tanggal 31 Maret setiap tahun. (5) Kompilasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan secara elektronik dan/atau dokumen fisik. jdih.kemenkeu.go.id (6) Dalam hal tanggal 31 Maret sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bertepatan dengan hari libur atau hari yang diliburkan, batas waktu penyampaian kompilasi berita acara kesepakatan dilakukan pada hari kerja berikutnya. (7) Dalam hal pemerintah daerah prov1ns1 dan kabupaten/kota mengalami keadaan:
bencana alam;
bencana nonalam; dan/atau
bencana sosial, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dapat menetapkan perpanjangan batas waktu penyampaian kompilasi berita acara kesepakatan. (8) Perpanjangan batas waktu penyampaian kompilasi berita acara kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan dengan keputusan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan. (9) Kompilasi berita acara kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan contoh format dalam huruf G yang tercantum dalam Lampiran yang mcrupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 28 (1) Sanksi pemotongan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
dalam hal anggaran dan/atau realisasi kontribusi Jaminan Kesehatan pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota yang tercantum dalam kompilasi berita acara kesepakatan sebesar 37,5% (tiga puluh tujuh koma lima persen) atau lebih, tidak dilakukan pcmotongan Pajak Rokok; atau
dalam hal anggaran dan/atau realisasi kontribusi Jaminan Kesehatan pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota yang tercantum dalam kompilasi bcrita acara kesepakatan kurang dari 37,5% (tiga puluh tujuh koma lima persen), pemotongan Pajak Rokok dilakukan sebesar selisih kurang dari 37,5% (tiga puluh tujuh koma lima persen); atau
dalam hal pemerintah daerah provinsi tidak menyampaikan kompilasi berita acara kesepakatan, dikenakan pemotongan Pajak Rokok sebesar 37 ,5% (tiga puluh tujuh koma lima persen). (2) Hasil pcmotongan penerimaan Pajak Rokok yang telah disetorkan ke rekening BPJS Kesehatan diperhitungkan untuk pemenuhan kewajiban Jaminan Kesehatan untuk pemerintah daerah yang bersangkutan. jdih.kemenkeu.go.id BAB VI PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK ROKOK Pasal 29 (l) Dalam hal terdapat kelebihan pembayaran Pajak Rokok, Wajib Pajak Rokok dapat mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok kepada Kepala Kantor Bea dan Cukai. (2) Pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok se bagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan:
kelebihan pembayaran Pajak Rokok karena kesalahan penghi tungan;
pengembalian Cukai Rokok; atau
Pajak Rokok yang telah dibayar oleh Wajib Pajak yang bukan merupakan objek Pajak Rokok yang terutang atau yang seharusnya tidak terutang. (3) Dalam hal pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok karena terdapat pengembalian Cukai Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hurufb, permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok dapat diajukan sepanjang tanda bukti perusakan pita cukai dan/atau tanda bukti pengembalian pita cukai tidak melebihi batas waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal penerbitannya. (4) Kelebihan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikembalikan dalam hal Pajak Rokok telah dibayar yang dibuktikan dengan BPN. (5) Atas kelebihan pembayaran Pajak Rokok, Kepala Kantor Bea dan Cukai menerbitkan Tanda Bukti Kelebihan Pembayaran Pajak Rokok. (6) Tanda Bukti Kelebihan Pembayaran Pajak Rokok dapat digunakan sebagai dasar pengembalian Pajak Rokok dengan ketentuan tidak melebihi jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal penerbitannya. (7) Tanda Bukti Kelebihan Pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dibuat sesuai dengan contoh format dalam huruf H yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 30 (1) Pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf a dan huruf c dilakukan secara tunai. (2) Pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf b dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
dalam hal pengembalian Cukai Rokok diperhitungkan pada pembayaran Cukai Rokok berikutnya, pcngembalian Pajak Rokok diperhitungkan atas pembayaran Pajak Rokok berikutnya; atau jdih.kemenkeu.go.id b. dalam hal pengembalian Cukai Rokok dilakukan secara tunai, pengembalian Pajak Rokok dilakukan secara tunai. (3) Dalam hal pengembalian Cukai Rokok diperhitungkan pada pembayaran Cukai Rokok berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, Wajib Pajak Rokok melampirkan Tanda Bukti Kelebihan Pembayaran Pajak Rokok pada saat mengajukan SPPR berikutnya. (4) Berdasarkan Tanda Bukti Kelebihan Pembayaran Pajak Rokok, Kantor Bea dan Cukai memperhitungkan pengembalian Pajak Rokok dengan pembayaran Pajak Rokok berikutnya. (5) Dalam hal pengembalian cukai dilakukan secara tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) huruf b, Wajib Pajak Rokok mengajukan permohonan pengembalian Pajak Rokok secara tertulis kepada Kepala Kantor Bea dan Cukai dengan melampirkan Tanda Bukti Kelebihan Pembayaran Pajak Rokok. (6) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan dalamjangka waktu paling lama 11 (sebelas) bulan terhitung sejak tanggal ditetapkannya Tanda Bukti Kelebihan Pembayaran Pajak Rokok. (7) Atas pcrmohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Kepala Kantor Bea dan Cukai melakukan penelitian kelengkapan berkas permohonan dan memeriksa jangka waktu berlakunya Tanda Bukti Kelebihan Pembayaran Pajak Rokok. (8) Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (7) telah sesuai, Kepala Kantor Bea dan Cukai menyampaikan surat permintaan kepada Kepala KPPN untuk menerbitkan SKTB dilampiri BPN. (9) Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (7) terdapat ketidaksesuaian, Kepala Kantor Bea dan Cukai menyampaikan surat penolakan kepada Wajib Pajak Rokok. Pasal 31 (1) Berdasarkan surat permintaan yang disampaikan oleh Kepala Kantor Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (8), Kepala KPPN menerbitkan SKTB. (2) SKTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan format dalam huruf I yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (3) Berdasarkan SKTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Kepala Kantor Bea dan Cukai menyampaikan surat rekomcndasi pengcmbalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok kcpada Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dengan dilampiri:
dokumen pcrmohonan dari Wajib Pajak Rokok;
tanda bukti kelebihan pembayaran Pajak Rokok; dan
SKTB. jdih.kemenkeu.go.id (4) Berdasarkan surat rekomendasi pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (3), KPA BUN Penerimaan dan Pemotongan Pajak Rokok menerbitkan SKP-KP2R dalam rangkap 2 (dua) dengan peruntukan sebagai berikut:
Lcmbar ke-1 untuk KPPN Jakarta II; dan
Lcmbar ke-2 sebagai pertinggal. (5) KPA BUN Penerimaan dan Pemotongan Pajak Rokok menyampaikan SKP-KP2R sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada KPA BUN Penyetoran Pajak Rokok. (6) Berdasarkan SKP-KP2R sebagaimana dimaksud pada ayat (4), PPK menerbitkan SPP atas pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok. (7) SPP scbagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan kepada PPSPM dilampiri SKP-KP2R. (8) Berdasarkan SPP sebagaimana dimaksud pada ayat (6), PPSPM melakukan pemeriksaan dan pengujian SPP pengembalian kelcbihan pembayaran Pajak Rokok. (9) Dalam hal pemcriksaan dan pengujian SPP sebagaimana dimaksud pada ayat (8) memenuhi ketentuan, PPSPM mencrbitkan SPM dalam rangkap 3 (tiga) dengan peruntukan sebagai berikut:
Lcmbar ke-l dan ke-2 untuk KPPN Jakarta II; dan
Lcmbar ke-3 scbagai pertinggal. (10) SPM sc bagaimana dimaksud pada ayat (9) diterbitkan dengan menggunakan Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Pcngclolaan Transaksi Khusus (BA 999.99) kode akun kontrapos akun Penerimaan Non Anggaran. (11) PPSPM menyampaikan SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (9) kepada KPPN Jakarta II dilampiri dengan lembar ke-1 SKP-KP2R. (12) Berdasarkan SPM scbagaimana dimaksud pada ayat (9) dan SKP-KP2R scbagaimana dimaksud pada ayat (4), KPPN .Jakarta II menerbitkan SP2D sesuai dengan ketcntuan peraturan perundang-undangan. BAB VII PELAPORAN, PEMANTAUAN, DAN REKONSILIASI Pasal 32 (1) Gubernur menyampaikan laporan realisasi penyaluran bagi hasil Pajak Rokok dari provinsi ke kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan secara elektronik dan/atau dokumen fisik. (2) Laporan realisasi sc bagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah pelaksanaan penyaluran bagi hasil. (3) Laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dcngan contoh format dalam huruf J yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Pcraturan Menteri ini. jdih.kemenkeu.go.id Pasal 33 (1) Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menyampaikan laporan atas penerimaan dan penyetoran Pajak Rokok kepada Menteri Kcuangan. (2) Penyampaian laporan atas penerimaan dan penyetoran Pajak Rokok scbagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat pada bulan Januari tahun anggaran berikutnya. Pasal 34 (1) Direktorat ,Jendcral Perimbangan Keuangan melakukan pemantauan atas:
pcnetapan alokasi Pajak Rokok, termasuk bagi hasil Pajak Rokok;
pcnetapan alokasi penggunaan Pajak Rokok untuk mcndanai pelayanan kesehatan untuk masyarakat dan penegakan hukum; dan
pcnyaluran bagi hasil Pajak Rokok oleh gubernur. (2) Gubernur melakukan pemantauan atas penggunaan Pajak Rokok, termasuk bagi hasil Pajak Rokok, untuk pelayanan kesehatan untuk masyarakat dan penegakan hukum di provinsi dan kabupaten/kota di wilayahnya.
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 177/PMK.04/2016 tentang Pembebasan Bea Masuk dan Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Per ...
Relevan terhadap
IKM wajib mengekspor dan/atau melakukan Penyerahan Produksi IKM terhadap seluruh Hasil Produksi.
Ekspor dan/atau Penyerahan Produksi IKM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pertanggungjawaban atas pemakaian Baning dan/atau Bahan yang terkandung dalam Hasil Produksi termasuk sisa proses produksi (waste/ scrap). (3) Penyerahan Produksi IKM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan kepada:
IKM lain, perusahaan yang mendapatkan fasilitas KITE Pembebasan, dan/atau perusahaan yang mendapatkan fasilitas KITE Pengembalian, dalam rangka ekspor barang gabungan;
Tako Bebas Bea yang berlokasi di: · 1. terminal keberangkatan bandar udara internasional di Kawasan Pabean;
terminal keberangkatan internasional di pelabuhan utama di Kawasan Pabean;
tempat transit pada terminal keberangkatan bandar udara internasional yang merupakan tempat khusus bagi penumpang transit tujuan luar negeri di Kawasan Pabean; dan
tempat transit pada terminal keberangkatan di pelabuhan utama yang merupakan tempat khusus bagi penumpang transit tujuan luar negeri di Kawasan Pabean;
Kawasan Berikat untuk diolah lebih lanjut atau digabungkan;
konsolidator barang ekspor di Pusat Logistik Berikat; dan/atau
penyedia barang ekspor di Pusat Logistik Berikat.
Ekspor dan/atau Penyerahan Produksi IKM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui Konsorsium KITE.
Penyerahan Produksi IKM kepada IKM lain, perusahaan yang mendapatkan fasilitas KITE Pembebasan, dan/atau perusahaan yang mendapatkan fasilitas KITE Pengembalian, sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a berlaku ketentuan sebagai berikut:
Hasil Produksi IKM digabungkan dengan Hasil Produksi IKM lain, perusahaan yang mendapatkan fasilitas .KITE Pembebasan, dan/atau perusahaan yang mendapatkan fasilitas KITE Pengembalian tersebut; dan
wajib diekspor dalam satu kesatuan unit.
Penyerahan Produksi IKM sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, , berlaku ketentuan sebagai berikut:
dapat digunakan sebagai pertanggungjawaban penyelesaian atas Barang dan/atau Bahan dalam hal telah terbukti diekspor atau dilakukan Penyerahan Produksi IKM; dan
pemenuhan ketentuan Periode KITE IKM dihitung berdasarkan tanggal dokumen Penyerahan Produksi IKM.
~ Atas Ekspor atau Penyerahan Produksi IKM melalui Konsorsium KITE sebagaimana dimaksud pada ayat (4), berlaku ketentuan sebagai berikut:
dilakukan dengan menggunakan · dokumen serah terima Hasil Produksi IKM dari IKM kepada Konsorsium KITE;
dapat digunakan sebagai pertanggungjawaban penyelesaian atas Barang dan/atau Bahan dalam hal telah terbukti diekspor atau dilakukan Penyerahan Produksi IKM; dan t c. pemenuhan ketentuan Periode KITE IKM dihitung berdasarkan tanggal dokumen serah terima Hasil Produksi IKM dart IKM kepada Konsorsium KITE.
Terhadap Penyerahan Produksi IKM sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b sampai dengan ·• huruf e, dapat digunakan sebagai pertanggungjawaban penyelesaian atas Barang dan/atau Bahan.
Pelaksanaan ekspor dan/atau Penyerahan Produksi IKM sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai ekspor atau Tempat Penimbunan Berikat. ( 1 O) Contoh Hasil Produksi dapat diserahkan kepada Pusat Logistik Berikat untuk dipamerkan dalam rangka ekspor, dalam jumlali. tertentu berdasarkan persetujuan Kepala Kantor Pabean yang menerbitkan keputusan pemberian fasilitas KITE IKM.
Jumlah contoh Hasil Produksi yang dapat diserahkan kepada Pusat Logistik Berikat sebagaimana dimaksud pada ayat (10) ditentukan oleh Kepala Kantor Pabean yang menerbitkan keputusan penetapan sebagai penerima fasilitas KITE IKM berdasarkan pertimbangan manajemen risiko dan memperhatikan tingkat kewajaran.
Penyerahan contoh Hasil Produksi kepada Pusat Logistik Berikat sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dapat digunakan sebagai pertanggungjawaban atas Barang dan/atau Bahan.
IKM yang melakukan impor dan/atau pemasukan Mesin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) wajib mengekspor sebagian atau seluruh hasil produksi. I (14) Kewajiban ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (13) dilakukan dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak impor mesin .
Di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 26 disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (la). sehingga Pasal 26 berbunyi sebagai berikut:
Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor.
Relevan terhadap
Ketentuan mengenai sistem klasifikasi barang yang diatur dalam Peraturan Menteri ini berlaku secara mutatis mutandis bagi sistem klasifikasi barang yang digunakan dalam ketentuan di bidang tarif dan non tarif, termasuk bidang kepabeanan, cukai, perpajakan, fiskal, perdagangan, industri, dan investasi.
Penggunaan sistem klasifikasi barang dalam ketentuan di bidang tarif dan non tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dilakukan penyesuaian dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak berlakunya Peraturan Menteri ini.
Tata Cara Penghapusan dan Pemindahtanganan Aset Tetap pada Perusahaan Perseroan (Persero) di Bawah Pembinaan dan Pengawasan Menteri Keuangan ...
Relevan terhadap
Untuk mendapatkan nilai jual Aset Tetap yang optimal, Direksi dapat menggunakan j asa pihak lain yang memiliki kompetensi dalam bidangnya dalam rangka melaksanakan pemasaran penjualan dari Aset Tetap dimaksud dengan tetap mempertimbangkan manfaatnya bagi Persero.
Pemilihan dan penunjukan jasa pihak lain untuk melaksanakan tugas pemasaran penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh Direksi berdasarkan peraturan pengadaan barang dan jasa Persero yang bersangkutan.
Dalam hal pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah Badan Usaha Milik Negara atau anak perusahaan Persero yang sahamnya 90% (sembilan puluh persen) dimiliki oleh Persero, pengadaannya dapat dilakukan melalui Penunjukan Langsung.
Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Pemeriksa Pajak
Relevan terhadap
Kenaikan jabatan bagi Pemeriksa Pajak, dapat dipertimbangkan apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:
paling sedikit telah 1 (satu) tahun dalam jabatan terakhir;
memenuhi jumlah Angka Kredit Kumulatif yang ditentukan untuk kenaikan jabatan setingkat lebih tinggi;
memenuhi HKM;
setiap unsur Nilai Kinerja PNS selama 2 (dua) tahun terakhir paling sedikit bernilai baik;
tidak sedang dalam proses pemeriksaan atau menjalani hukuman disiplin;
lulus Uji Kompetensi untuk jenjang Jabatan Fungsional Pemeriksa Pajak yang akan diduduki; dan
tersedia LKJF pada Jabatan Fungsional Pemeriksa Pajak yang akan diduduki.
Dalam hal untuk kenaikan jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pemeriksa Pajak dapat melaksanakan kegiatan pengembangan profesi.
Kegiatan pengembangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
perolehan ijazah atau gelar pendidikan formal sesuai dengan bidang tugas Jabatan Fungsional Pemeriksa Pajak;
pembuatan Karya Tulis atau Karya Ilmiah di bidang Pengujian Kepatuhan Perpajakan dan/atau Penegakan Hukum Perpajakan;
penerjemahan/penyaduran buku, karya ilmiah, peraturan dan bahan lainnya di bidang Pengujian Kepatuhan Perpajakan dan/atau Penegakan Hukum Perpajakan;
penyusunan standar, pedoman, petunjuk pelaksanaan, atau petunjuk teknis di bidang tugas Jabatan Fungsional Pemeriksa Pajak;
pelatihan atau pengembangan kompetensi di bidang tugas Jabatan Fungsional Pemeriksa Pajak; dan
kegiatan lain yang ditetapkan oleh Instansi Pembina di bidang tugas Jabatan Fungsional Pemeriksa Pajak.
Pemeriksa Pajak yang akan naik ke jenjang jabatan Ahli Madya dan Ahli Utama wajib melaksanakan kegiatan pengembangan profesi Jabatan Fungsional Pemeriksa Pajak, dengan Angka Kredit pengembangan profesi yang disyaratkan sebagai berikut:
6 (enam) bagi Pemeriksa Pajak Ahli Muda yang akan naik jabatan setingkat lebih tinggi menjadi Pemeriksa Pajak Ahli Madya; dan
12 (dua belas) bagi Pemeriksa Pajak Ahli Madya yang akan naik jabatan setingkat lebih tinggi menjadi Pemeriksa Pajak Ahli Utama.
Angka Kredit kegiatan pengembangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak bersifat kumulatif dari perolehan Angka Kredit pada jabatan sebelumnya.
Kegiatan pengembangan profesi Pemeriksa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuktikan dengan surat pernyataan melakukan kegiatan pengembangan profesi yang ditandatangani oleh atasan langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c.
Usul kenaikan jabatan Pemeriksa Pajak disampaikan kepada pejabat pimpinan tinggi pratama yang membidangi kepegawaian pada unit jabatan pimpinan tinggi madya yang membidangi perpajakan.
Usul kenaikan jabatan bagi Pemeriksa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus diterima secara lengkap paling lambat:
tanggal 15 November tahun sebelumnya untuk Pemeriksa Pajak yang akan naik pangkat periode April; dan
tanggal 15 Mei tahun berjalan untuk Pemeriksa Pajak yang akan naik pangkat periode Oktober.
Penetapan kenaikan jabatan bagi Pemeriksa Pajak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pemeriksa Pajak yang memiliki kelebihan Angka Kredit yang ditentukan untuk kenaikan jabatan setingkat lebih tinggi, kelebihan Angka Kredit tersebut tidak dapat diperhitungkan untuk kenaikan jabatan berikutnya.
Pemeriksa Pajak yang memperoleh kenaikan jabatan setingkat lebih tinggi, Angka Kredit selanjutnya diperhitungkan sebesar 0 (nol).
Ketentuan mengenai pengusulan dan penetapan kenaikan jabatan dilakukan sesuai Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pengangkatan melalui perpindahan dari jabatan lain sebagaimana dimaksud pada Pasal 26 huruf b merupakan pengangkatan PNS yang menduduki jabatan pimpinan tinggi, jabatan administrasi, atau jabatan fungsional lainnya ke dalam Jabatan Fungsional Pemeriksa Pajak.
Pengangkatan dalam Jabatan Fungsional Pemeriksa Pajak melalui perpindahan dari jabatan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
berstatus PNS;
pangkat paling rendah Penata Muda, golongan ruang III/a;
memiliki integritas dan moralitas yang baik;
sehat jasmani dan rohani;
berijazah paling rendah sarjana/diploma empat bidang ekonomi, keuangan, hukum, administrasi publik, komunikasi, teknik, perpajakan, atau ilmu sosial untuk Jabatan Fungsional Pemeriksa Pajak Ahli Pertama sampai dengan Jabatan Fungsional Pemeriksa Pajak Ahli Madya;
memiliki pengalaman dalam pelaksanaan tugas di bidang Pengujian Kepatuhan Perpajakan dan/atau Penegakan Hukum Perpajakan paling singkat 2 (dua) tahun;
Nilai Kinerja PNS paling rendah bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir;
berusia paling tinggi:
53 (lima puluh tiga) tahun bagi yang akan menduduki Jabatan Fungsional Pemeriksa Pajak Ahli Pertama dan Jabatan Fungsional Pemeriksa Pajak Ahli Muda;
55 (lima puluh lima) tahun bagi yang akan menduduki Jabatan Fungsional Pemeriksa Pajak Ahli Madya; dan
60 (enam puluh) tahun bagi yang akan menduduki Jabatan Fungsional Pemeriksa Pajak Ahli Utama bagi PNS yang telah menduduki jabatan pimpinan tinggi;
tidak sedang dalam proses pemeriksaan atau menjalani hukuman disiplin;
tidak sedang menjalankan tugas belajar lebih dari 6 (enam) bulan;
tidak sedang menjalankan cuti di luar tanggungan negara; dan
mengikuti dan lulus Uji Kompetensi teknis, manajerial, dan sosial kultural sesuai SKJ yang disusun oleh Instansi Pembina.
Pengangkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempertimbangkan LKJF Pemeriksa Pajak sesuai jenjang jabatan fungsional yang akan diduduki.
Pengalaman dalam pelaksanaan tugas di bidang Pengujian Kepatuhan Perpajakan dan/atau Penegakan Hukum Perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f meliputi:
tugas melakukan Pengujian Kepatuhan Perpajakan dan/atau Penegakan Hukum Perpajakan;
tugas di unit kerja yang berkaitan langsung dengan Pengujian Kepatuhan Perpajakan dan/atau Penegakan Hukum Perpajakan; dan/atau
tugas di unit kerja pendukung penerimaan pajak lainnya.
Pengalaman sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diperoleh dan diperhitungkan secara kumulatif dalam hal dibuktikan dengan surat keterangan tertulis yang ditandatangani oleh paling rendah pejabat administrator.
Berkas usulan pengangkatan melalui perpindahan dari jabatan lain ke dalam Jabatan Fungsional Pemeriksa Pajak paling sedikit terdiri atas:
fotokopi ijazah pendidikan formal terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e yang telah dilegalisasi dan/atau surat penetapan hasil penilaian ijazah pendidikan tinggi lulusan luar negeri yang telah dilegalisasi;
fotokopi surat keputusan kenaikan pangkat dan golongan terakhir;
rekomendasi hasil Uji Kompetensi dan Angka Kredit;
surat keterangan sehat jasmani dan rohani yang dinyatakan oleh dokter pada instansi pemerintah;
pakta integritas;
surat pernyataan kesediaan melepaskan jabatan yang diduduki pada saat diangkat sebagai Pemeriksa Pajak;
surat keterangan pengalaman paling singkat 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (5);
fotokopi penilaian prestasi kerja PNS 2 (dua) tahun terakhir; dan
fotokopi realisasi SKP 2 (dua) tahun terakhir.
Berkas usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan dalam format digital atau dalam dokumen tertulis.
Pangkat yang ditetapkan bagi PNS yang diangkat dalam Jabatan Fungsional Pemeriksa Pajak melalui perpindahan dari jabatan lain sama dengan pangkat yang dimiliki pada saat pengusulan pengangkatan ke dalam Jabatan Fungsional Pemeriksa Pajak.
Jenjang jabatan yang ditetapkan bagi PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (8) sesuai dengan Angka Kredit yang ditetapkan oleh Pejabat yang Berwenang Menetapkan Angka Kredit.
Angka Kredit untuk pengangkatan dalam Jabatan Fungsional Pemeriksa Pajak melalui perpindahan dari jabatan lain ditetapkan sesuai Angka Kredit awal dan dapat ditambah dengan Angka Kredit yang diperoleh dari pengalaman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f.
Angka Kredit yang diperoleh dari pengalaman sebagaimana dimaksud pada ayat (10) paling besar 50% (lima puluh persen) dari Angka Kredit Kumulatif untuk kenaikan jabatan/pangkat setingkat lebih tinggi.
Ketentuan mengenai Angka Kredit awal sebagaimana dimaksud pada ayat (10) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Keputusan pengangkatan melalui perpindahan dari jabatan lain ke dalam Jabatan Fungsional Pemeriksa Pajak disusun menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
PNS yang diberhentikan dari Jabatan Fungsional Pemeriksa Pajak karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) huruf b sampai dengan huruf e, dapat diangkat kembali sesuai dengan jabatan terakhir apabila tersedia LKJF.
Pengangkatan kembali dalam Jabatan Fungsional Pemeriksa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan menggunakan Angka Kredit terakhir yang dimiliki dan dapat ditambah dengan Angka Kredit dari penilaian pelaksanaan tugas bidang Pengujian Kepatuhan Perpajakan dan/atau Penegakan Hukum Perpajakan selama diberhentikan.
Tambahan Angka Kredit dari penilaian pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan dalam hal Pengangkatan kembali dalam Jabatan Fungsional Pemeriksa Pajak bagi Pemeriksa Pajak yang diberhentikan karena ditugaskan secara penuh pada jabatan pimpinan tinggi, jabatan administrator, dan/atau jabatan pengawas.
Tambahan Angka Kredit dari penilaian pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan secara proporsional sesuai masa penugasan dalam jabatan pimpinan tinggi, jabatan administrator, dan/atau jabatan pengawas.
Pemeriksa Pajak yang diberhentikan karena ditugaskan pada jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) huruf e, dapat disesuaikan pada jenjang sesuai dengan pangkat terakhir pada jabatannya paling singkat 1 (satu) tahun setelah diangkat kembali pada jenjang terakhir yang didudukinya, setelah mengikuti dan lulus Uji Kompetensi apabila tersedia LKJF.
Pemeriksa Pajak yang diberhentikan dari jabatannya karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) huruf a dan huruf f, tidak dapat diangkat kembali dalam Jabatan Fungsional Pemeriksa Pajak.
Pengangkatan kembali dalam Jabatan Fungsional Pemeriksa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh PPK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pengangkatan kembali dalam Jabatan Fungsional Pemeriksa Pajak diusulkan oleh PyB kepada PPK paling lama 9 (sembilan) bulan sebelum batas usia pensiun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Usulan pengangkatan kembali dalam Jabatan Fungsional Pemeriksa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (8) melampirkan dokumen paling sedikit:
surat keputusan pemberhentian dari Jabatan Fungsional Pemeriksa Pajak; dan
PAK terakhir.
Surat Keputusan Pengangkatan Kembali dalam Jabatan Fungsional Pemeriksa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (7), oleh pimpinan unit kepegawaian disampaikan kepada PNS yang bersangkutan dengan tembusan paling sedikit kepada:
Kepala Badan Kepegawaian Negara;
Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan;
Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak;
pejabat pimpinan tinggi pratama yang membidangi Pengujian Kepatuhan Perpajakan dan/atau Penegakan Hukum Perpajakan; dan
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak terkait.
Tambahan Angka Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Ketentuan mengenai pengangkatan kembali dalam Jabatan Fungsional Pemeriksa Pajak dilakukan sesuai dengan Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pedoman Penetapan Penghasilan Direksi dan Dewan Komisaris Perusahaan Perseroan (Persero) di Bawah Pembinaan dan Pengawasan Menteri Keuangan ...
Relevan terhadap
Ketentuan mengenai Tantiem/Insentif Kinerja anggota Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) sampai dengan ayat (10) kecuali ayat (8), mutatis mutandis berlaku bagi anggota Dewan Komisaris.
Komposisi besarnya Tantiem/Insentif Kinerja bagi anggota Dewan Komisaris Persero mengikuti faktor jabatan sebagai berikut:
Komisaris Utama diberikan paling tinggi sebesar 45% (empat puluh lima persen) dari Tantiem/Insentif Kinerja Direktur Utama; dan
anggota Dewan Komisaris diberikan paling tinggi sebesar 90% (sembilan puluh persen) dari Tantiem/Insentif Kinerja Komisaris Utama.
Besaran Tantiem/Insentif Kinerja Komisaris Utama dihitung dengan mempertimbangkan capaian IKU Dewan Komisaris sesuai dengan Peraturan Menteri mengenai Pengelolaan Kinerja Direksi dan Dewan Komisaris pada Perusahaan Perseroan (Persero) di Bawah Pembinaan dan Pengawasan Menteri Keuangan.
Persero dapat memberikan Tantiem/Insentif Kinerja kepada anggota Direksi berdasarkan penetapan RUPS dalam pengesahan laporan tahunan.
Pemberian Tantiem/Insentif Kinerja kepada anggota Direksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan dalam hal realisasi IKU direksi mencapai paling rendah 80% (delapan puluh persen) dari target IKU.
Pengukuran capaian IKU dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri mengenai Pengelolaan Kinerja Direksi dan Dewan Komisaris pada Perusahaan Perseroan (Persero) di Bawah Pembinaan dan Pengawasan Menteri Keuangan.
Tantiem/Insentif Kinerja merupakan biaya tahun buku Perseroan dan harus dianggarkan secara spesifik dalam RKAP tahun yang bersangkutan.
Anggaran Tantiem/Insentif Kinerja harus dikaitkan dengan target-target IKU sesuai Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan tahun yang bersangkutan, berdasarkan prinsip semakin agresif target semakin tinggi anggaran Tantiem/Insentif Kinerja.
Pemberian Tantiem/Insentif Kinerja tidak boleh melebihi Anggaran Tantiem/Insentif Kinerja yang telah ditetapkan dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan.
Dalam hal masa jabatan anggota Direksi tidak sampai 12 (dua belas) bulan dalam tahun buku yang bersangkutan, besaran Tantiem/Insentif Kinerja disesuaikan dengan masa jabatan yang bersangkutan dalam tahun buku dimaksud.
Tantiem/Insentif Kinerja bagi anggota Direksi Persero ditetapkan dengan komposisi faktor jabatan sebesar 90% (sembilan puluh persen) dari Tantiem/Insentif Direktur Utama.
Pajak Penghasilan atas Tantiem/Insentif Kinerja ditanggung dan menjadi beban masing-masing anggota Direksi Persero yang bersangkutan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai perhitungan Tantiem/Insentif Kinerja Direksi ditetapkan dengan Keputusan Menteri, dengan mempertimbangkan:
Tantiem/Insentif Kinerja tahun sebelumnya;
capaian IKU;
kenaikan laba bersih setelah pajak; dan/atau
faktor-faktor lain yang relevan.
Pemberian Fasilitas Kepabeanan dan/atau Cukai Serta Perpajakan atas Impor Barang untuk Keperluan Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-1 ...
Relevan terhadap
Atas impor barang untuk keperluan penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) diberikan fasilitas kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan berupa:
pembebasan bea masuk dan/atau cukai;
tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; dan
dibebaskan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22.
Jenis barang impor yang diberikan fasilitas kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tercantum dalam Lampiran Huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Impor barang yang mendapatkan fasilitas kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan __ sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan melalui pusat logistik berikat.
Fasilitas kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan __ sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga diberikan terhadap pengeluaran barang asal impor dan/atau tempat lain dalam daerah pabean dari:
kawasan berikat atau gudang berikat;
Kawasan Bebas atau kawasan ekonomi khusus; dan/atau c. Perusahaan Penerima Fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor.
Atas pengeluaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pengusaha kawasan berikat, pengusaha gudang berikat, pengusaha di Kawasan Bebas, pelaku usaha di kawasan ekonomi khusus, atau Perusahaan Penerima Fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor:
dibebaskan dari kewajiban untuk melunasi bea masuk dan/atau cukai serta dikecualikan dari kewajiban melunasi pajak dalam rangka impor; dan/atau b. dikecualikan dari kewajiban untuk melunasi Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, yang pada saat pemasukannya belum dilunasi.
Pengeluaran barang yang dikecualikan dari kewajiban untuk melunasi Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b, merupakan penyerahan barang kena pajak ke tempat lain dalam daerah pabean yang ditanggung pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan.
Bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) huruf a, termasuk bea masuk antidumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan/atau bea masuk pembalasan.
Tata laksana impor atau pengeluaran barang yang mendapatkan fasilitas kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), dan ayat (4), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai impor barang untuk dipakai, impor barang melalui pusat logistik berikat, kawasan berikat, gudang berikat, Kawasan Bebas, kawasan ekonomi khusus, Kemudahan Impor Tujuan Ekspor, barang kiriman, dan barang bawaan penumpang.
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.07/2020 tentang Pengelolaan Pinjaman Pemulihan Ekonomi Nasional untuk Pemerintah Daerah ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau wali kota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Kepala Daerah adalah gubernur bagi daerah provinsi atau bupati bagi daerah kabupaten atau wali kota bagi daerah kota.
Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Perusahaan Perseroan (Persero) PT Sarana Multi Infrastruktur yang selanjutnya disingkat PT SMI adalah Badan Usaha Milik Negara yang didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2007 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia untuk Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di Bidang Pembiayaan Infrastruktur sebagaimana terakhir kali diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2007 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia untuk Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di Bidang Pembiayaan Infrastruktur.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan Daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Program Pemulihan Ekonomi Nasional yang selanjutnya disebut Program PEN adalah rangkaian kegiatan untuk pemulihan ekonomi nasional yang merupakan bagian dari kebijakan keuangan negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah untuk mempercepat penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 ( COVID -19) dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan serta penyelamatan ekonomi nasional.
Pinjaman Daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan Daerah menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain sehingga Daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali.
Pinjaman dalam rangka Pemulihan Ekonomi Nasional untuk Pemerintah Daerah yang selanjutnya disebut Pinjaman PEN Daerah adalah dukungan pembiayaan yang diberikan oleh Pemerintah kepada Pemerintah Daerah berupa pinjaman untuk digunakan dalam rangka melakukan percepatan pemulihan ekonomi di Daerah sebagai bagian dari Program PEN.
Pinjaman Daerah Berbasis Program yang selanjutnya disebut Pinjaman Program adalah Pinjaman Daerah yang penarikannya mensyaratkan dipenuhinya Paket Kebijakan yang disepakati antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Pinjaman Daerah Berbasis Kegiatan yang selanjutnya disebut Pinjaman Kegiatan adalah Pinjaman Daerah yang digunakan untuk membiayai pembangunan sarana dan prasarana tertentu yang menjadi kewenangan Daerah.
Paket Kebijakan adalah dokumen yang berisi program dan/atau kebijakan Pemerintah Daerah dalam rangka mendapatkan Pinjaman Program yang berkaitan dengan percepatan penanganan dampak pandemi Corona Virus Disease 2019 ( COVID -19) pada aspek kesehatan, sosial, dan/atau percepatan pemulihan perekonomian di Daerah.
Perjanjian Pengelolaan Pinjaman adalah perjanjian atau nota kesepahaman antara Kementerian Keuangan dan PT SMI yang memuat kesepakatan mengenai pengelolaan Pinjaman PEN Daerah yang dananya bersumber dari Pemerintah dan PT SMI.
Perjanjian Pemberian Pinjaman adalah perjanjian antara PT SMI dengan Pemerintah Daerah yang memuat kesepakatan mengenai Pinjaman PEN Daerah.
Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan pengguna anggaran kementerian negara/lembaga.
Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara, yang selanjutnya disingkat PPA BUN adalah unit di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari Bagian Anggaran BUN.
Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada kementerian negara/lembaga yang bersangkutan.
Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat PPSPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk melakukan pengujian atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah pembayaran.
Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh KPA BUN/Pejabat Pembuat Komitmen yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara.
Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh KPA BUN/PPSPM atau pejabat lain yang ditunjuk untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA atau dokumen lain yang dipersamakan.
Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara selaku Kuasa BUN untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM.
Rekening Kas Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKUN adalah rekening tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara pada bank sentral.
Rekening Kas Umum Daerah yang selanjutnya disingkat RKUD adalah rekening tempat penyimpanan uang Daerah yang ditentukan oleh gubernur, bupati, atau wali kota untuk menampung seluruh penerimaan daerah dan membayar seluruh pengeluaran Daerah pada bank yang ditetapkan.
Subsidi Bunga Pinjaman Daerah dalam rangka mendukung Program PEN yang selanjutnya disebut Subsidi Bunga adalah subsidi yang diberikan oleh Pemerintah terhadap bunga pinjaman yang diberikan oleh PT SMI kepada Pemerintah Daerah dalam rangka mendukung Program PEN.
Ketentuan ayat (2) dan ayat (3) Pasal 2 diubah, sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai berikut:
Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan
Relevan terhadap
Wajib Pajak yang memperoleh pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) harus:
menyelenggarakan pembukuan secara terpisah atas penghasilan yang mendapatkan pengurangan Pajak Penghasilan badan dan penghasilan lainnya yang tidak mendapatkan pengurangan Pajak Penghasilan badan; dan
melaksanakan kewajiban pemotongan dan pemungutan pajak kepada pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Dalam hal terdapat biaya bersama bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang tidak dapat dipisahkan dalam rangka penghitungan besarnya Penghasilan Kena Pajak, pembebanan biaya bersama dialokasikan secara proporsional.
Penghasilan yang diterima dan diperoleh Wajib Pajak dari Kegiatan Usaha Utama memperoleh pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), tidak dilakukan pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan selama periode pemanfaatan pengurangan Pajak Penghasilan badan tanpa penerbitan surat keterangan bebas pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan.
Penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari luar Kegiatan Usaha Utama yang memperoleh pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), tetap dilakukan pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan.
Wajib Pajak yang telah memperoleh Keputusan Menteri Keuangan mengenai pemberian pengurangan Pajak Penghasilan badan wajib menyampaikan laporan setiap 1 (satu) tahun kepada Direktur Jenderal Pajak dan Kepala Badan Kebijakan Fiskal.
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
laporan realisasi penanaman modal sejak diterima Keputusan Menteri Keuangan mengenai pemberian pengurangan Pajak Penghasilan badan sampai dengan Saat Mulai Berproduksi Komersial atau sampai dengan saat seluruh rencana penanaman modalnya telah direalisasikan bagi Wajib Pajak yang mendapat penugasan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8; dan
laporan realisasi produksi sejak tahun pajak Saat Mulai Berproduksi Komersial sampai dengan jangka waktu pemanfaatan pengurangan Pajak Penghasilan badan berakhir atau sejak tahun pajak penetapan pemanfaatan pengurangan Pajak Penghasilan badan sampai dengan jangka waktu pemanfaatan pengurangan Pajak Penghasilan badan berakhir bagi Wajib Pajak yang mendapat penugasan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan.
Dalam hal Wajib Pajak:
tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau menyampaikan laporan namun tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran huruf C; atau
tidak memenuhi komitmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf f, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat teguran kepada Wajib Pajak.
Dalam hal setelah jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak surat teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil dari Wajib Pajak, kuasa dari Wajib Pajak, Wajib Pajak:
tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau menyampaikan laporan namun tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud Lampiran huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini; dan/atau b. tidak memenuhi komitmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf f, Wajib Pajak dapat diusulkan pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan.
Untuk dapat memperoleh pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Wajib Pajak badan harus memenuhi kriteria:
merupakan Industri Pionir;
berstatus sebagai badan hukum Indonesia;
melakukan penanaman modal baru yang belum pernah diterbitkan:
keputusan mengenai pemberian atau pemberitahuan mengenai penolakan pengurangan Pajak Penghasilan badan;
keputusan mengenai pemberian fasilitas Pajak Penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu berdasarkan Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan;
pemberitahuan mengenai pemberian pengurangan penghasilan neto atas penanaman modal baru atau perluasan usaha pada bidang usaha tertentu yang merupakan industri padat karya berdasarkan Pasal 29A Peraturan Pemerintah mengenai penghitungan penghasilan kena pajak dan pelunasan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan; dan
keputusan mengenai pemberian fasilitas Pajak Penghasilan pada Kawasan Ekonomi Khusus berdasarkan Peraturan Pemerintah mengenai Fasilitas dan Kemudahan di Kawasan Ekonomi Khusus;
mempunyai nilai rencana penanaman modal baru paling sedikit sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah);
memenuhi ketentuan besaran perbandingan antara utang dan modal sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai penentuan besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan Pajak Penghasilan; dan
berkomitmen untuk mulai merealisasikan rencana penanaman modal paling lambat 1 (satu) tahun setelah diterbitkannya keputusan pengurangan Pajak Penghasilan badan.
Industri Pionir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
industri logam dasar hulu:
besi baja; atau
bukan besi baja, tanpa atau beserta turunannya yang terintegrasi;
industri pemurnian atau pengilangan minyak dan gas bumi tanpa atau beserta turunannya yang terintegrasi;
industri kimia dasar organik yang bersumber dari minyak bumi, gas alam, dan/atau batubara tanpa atau beserta turunannya yang terintegrasi;
industri kimia dasar organik yang bersumber dari hasil pertanian, perkebunan, atau kehutanan tanpa atau beserta turunannya yang terintegrasi;
industri kimia dasar anorganik tanpa atau beserta turunannya yang terintegrasi;
industri bahan baku utama farmasi tanpa atau beserta turunannya yang terintegrasi;
industri pembuatan peralatan iradiasi, elektromedikal, atau elektroterapi;
industri pembuatan komponen utama peralatan elektronika atau telematika;
industri pembuatan mesin dan komponen utama mesin;
industri pembuatan komponen robotik yang mendukung industri pembuatan mesin-mesin manufaktur;
industri pembuatan komponen utama mesin pembangkit tenaga listrik;
industri pembuatan kendaraan bermotor dan komponen utama kendaraan bermotor;
industri pembuatan komponen utama kapal;
industri pembuatan komponen utama kereta api;
industri pembuatan komponen utama pesawat terbang dan aktivitas penunjang industri dirgantara;
industri pengolahan berbasis hasil pertanian, perkebunan, atau kehutanan yang menghasilkan bubur kertas ( pulp ) tanpa atau beserta turunannya;
infrastruktur ekonomi; atau
ekonomi digital yang mencakup aktivitas pengolahan data, hosting , dan kegiatan yang berhubungan dengan itu.
Rincian bidang usaha dan jenis produksi dari masing- masing cakupan Industri Pionir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal.
Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimiliki langsung oleh Wajib Pajak dalam negeri, selain memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak harus melampirkan surat keterangan fiskal seluruh pemegang saham yang tercatat dalam akta pendirian atau akta perubahan terakhir.
Dalam hal terjadi perubahan pemegang saham, surat keterangan fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus dimiliki oleh pemegang saham yang tercatat dalam akta perubahan terakhir.
Surat keterangan fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Tata Cara Perhitungan Persentase Tertentu atas Peningkatan Belanja Subsidi Energi dan/atau Kompensasi yang Dikenakan terhadap Kenaikan Penerimaan Nega ...
Relevan terhadap
Menetapkan PERATURAN MENTER! KEUANGAN TENTANG TATA CARA PERHITUNGAN PERSENTASE TERTENTU ATAS PENINGKATAN BELANJA SUBSIDI ENERGI DAN/ ATAU KOMPENSASI YANG DIKENAKAN TERHADAP KENAIKAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SUMBER DAYA ALAM YANG DIBAGIHASILKAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. 2. Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah pungutan yang dibayar oleh orang pribadi atau badan dengan memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung atas layanan atau pemanfaatan sumber daya dan hak yang diperoleh Negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang menjadi penerimaan pemerintah pusat di luar penerimaan perpajakan dan hibah dan dikelola dalam mekanisme APBN. 3. Sumber Daya Alam adalah bumi, air, udara, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang dikuasai oleh negara. 4. Minyak Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit, dan bitumen yang diperoleh dari proses penambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau endapan hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi.
Gas Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh dari proses penambangan Minyak dan Gas Bumi. 6. Batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh-tumbuhan. 7. Bahan Bakar Minyak yang selanjutnya disingkat BBM adalah bahan bakar yang berasal dan/atau diolah dari Minyak Bumi. 8. Liquified Petroleum Gas yang selanjutnya disingkat LPG adalah gas hidrokarbon yang dicairkan dengan tekanan untuk memudahkan penyimpanan, pengangkutan, dan penanganannya yang pada dasarnya terdiri atas propana, butana, atau campuran keduanya. 9. Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu yang selanjutnya disebut Jenis BBM Tertentu adalah bahan bakar yang berasal dan/ a tau diolah dari minyak bumi dan/ a tau bahan bakar yang berasal dan/atau diolah dari minyak bumi yang telah dicampurkan dengan bahan bakar nabati (biofueij sebagai bahan bakar lain dengan jenis, standar dan mutu (spesifikasi), harga, volume, dan konsumen tertentu dan diberikan subsidi. 10. LPG Tabung 3 (Tiga) Kg yang selanjutnya disebut LPG Tabung 3 Kg adalah LPG yang diisikan ke dalam tabung dengan berat isi 3 Kg. 11. Tenaga Listrik yang selanjutnya disebut Listrik adalah suatu bentuk energi sekunder yang dibangkitkan, ditransmisikan, dan didistribusikan untuk segala macam keperluan, tetapi tidak meliputi listrik yang dipakai untuk komunikasi, elektronika, atau isyarat. 12. Subsidi Energi adalah belanja subsidi Jenis BBM Tertentu, LPG Tabung 3 Kg, dan Listrik sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. 13. Kompensasi Energi adalah kompensasi harga jual eceran bahan bakar minyak dan dana kompensasi tarif tenaga listrik. 14. Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah bagian dari transfer ke daerah yang dialokasikan berdasarkan persentase atas pendapatan tertentu dalam APBN dan kinerja tertentu, yang dibagikan kepada daerah penghasil dengan tujuan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antara pemerintah dan daerah, serta kepada daerah lain non penghasil dalam rangka menanggulangi eksternalitas negatif dan/atau meningkatkan pemerataan dalam satu wilayah. Pasal 2 PNBP yang berasal dari Sumber Daya Alam yang dibagihasilkan kepada pemerintah daerah yang diatur dalam Peraturan Menteri ini, terdiri atas:
PNBP yang berasal dari kegiatan usaha hulu Minyak Bumi dan Gas Bumi; dan
PNBP yang berasal dari kegiatan usaha pertambangan Batubara. Pasal 3 Target PNBP yang berasal dari Sumber Daya Alam yang dibagihasilkan ke pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 tercantum dalam APBN. Pasal 4 (1) Pemerintah melaksanakan kebijakan pemberian Subsidi Energi dan/atau Kompensasi Energi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Subsidi Energi dan/atau Kompensasi Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
subsidi Jenis BBM Tertentu;
subsidi LPG Tabung 3 Kg;
subsidi Listrik;
kompensasi BBM; dan
kompensasi Listrik. (3) Pemerintah dapat melakukan kebijakan peningkatan belanja Subsidi Energi dan/atau Kompensasi Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan kebutuhan pada tahun anggaran berjalan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB II PERHITUNGAN PERSENTASE TERTENTU ATAS PENINGKATAN BELANJA SUBSIDI ENERGI DAN/ ATAU KOMPENSASI ENERGI YANG DIKENAKAN TERHADAP PERKIRAAN KENAIKAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN .PAJAK YANG BERASAL DARI KEGIATAN USAHA HULU MINYAK BUMI DAN GAS BUMI YANG DIBAGIHASILKAN Bagian Kesatu Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Kegiatan Usaha Hulu Minyak Bumi dan Gas Bumi yang Dibagihasilkan Pasal 5 (1) PNBP yang berasal dari kegiatan usaha hulu Minyak Bumi dan Gas Bumi se bagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a berupa PNBP Minyak Bumi dan Gas Bumi. (2) PNBP yang berasal dari kegiatan usaha hulu Minyak Bumi dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagihasilkan kepada pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Kedua Perhitungan Persentase Tertentu atas Peningkatan Belanja Subsidi Energi dan/atau Kompensasi Energi Yang Dikenakan Terhadap Perkiraan Kenaikan Penerimaan Negara Bukan Pajak Minyak Bumi dan Gas Bumi yang Dibagihasilkan Pasal 6 (1) Pemerintah dapat memperhitungkan persentase tertentu atas peningkatan belanja Subsidi Energi dan/ a tau Kompensasi Energi yang dapat dikenakan terhadap perkiraan kenaikan PNBP dari kegiatan usaha hulu Minyak Bumi dan Gas Bumi berupa PNBP Minyak Bumi dan Gas Bumi, dalam hal perkiraan realisasi PNBP dari kegiatan usaha hulu Minyak Bumi dan Gas Bumi berupa PNBP Minyak Bumi dan Gas Bumi yang dibagihasilkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) melampaui target penerimaan dalam APBN yang diikuti dengan kebijakan peningkatan belanja Subsidi Energi dan/atau Kompensasi Energi. (2) Perkiraan realisasi PNBP dari kegiatan usaha hulu Minyak Bumi dan Gas Bumi berupa PNBP Minyak Bumi dan Gas Bumi yang melampaui target penerimaan dalam APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disebabkan oleh perubahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (US dollar) dan/atau kenaikan harga minyak mentah Indonesia dari target yang ditetapkan dalam APBN. (3) Persentase tertentu atas peningkatan belanja Subsidi Energi dan/atau Kompensasi Energi yang dapat dikenakan terhadap perkiraan kenaikan PNBP dari kegiatan usaha hulu Minyak Bumi dan Gas Bumi berupa PNBP Minyak Bumi dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling tinggi sebesar 100% (seratus persen) dari total peningkatan belanja Subsidi Energi dan Kompensasi Energi, dengan memperhatikan besarnya pengaruh dari masing-masing faktor yang memengaruhi perkiraan kenaikan PNBP Minyak Bumi dan Gas Bumi. (4) Dalam hal peningkatan nilai belanja Subsidi Energi dan/atau Kompensasi Energi lebih besar atau sama dengan nilai perkiraan kenaikan PNBP dari kegiatan usaha hulu Minyak Bumi dan Gas Bumi berupa PNBP Minyak Bumi dan Gas Bumi, maka pembebanan nilai peningkatan belanja Subsidi Energi dan/atau Kompensasi Energi menggunakan sebagian atau paling tinggi 100% (seratus persen) dari jumlah perkiraan kenaikan PNBP Minyak Bumi dan Gas Bumi yang dibagihasilkan. (5) Pembebanan atas peningkatan belanja Subsidi Energi dan/ a tau Kompensasi Energi terhadap kenaikan PNBP dari kegiatan usaha hulu Minyak Bumi dan Gas Bumi berupa PNBP Minyak Bumi dan Gas Bumi dihitung dengan menggunakan formula dan mengacu pada simulasi perhitungan yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 7 (1) Penghitungan dan penetapan DBH yang bersumber dari Sumber Daya Alam Minyak Bumi dan Gas Bumi dilaksanakan dengan mempertimbangkan nilai peningkatan belanja Subsidi Energi dan/atau Kompensasi Energi yang dikenakan pada perkiraan kenaikan realisasi PNBP dari kegiatan usaha hulu Minyak Bumi dan Gas Bumi berupa PNBP Minyak Bumi dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. (2) Tata cara penghitungan dan penetapan DBH yang bersumber dari Sumber Daya Alam Minyak Bumi dan Gas Bumi dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB III PERHITUNGAN PERSENTASE TERTENTU ATAS PENINGKATAN BELANJA SUBSIDI ENERGI DAN/ ATAU KOMPENSASI ENERGI YANG DIKENAKAN TERHADAP PERKIRAAN KENAIKAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERASAL DARI KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN BATUBARA YANG DIBAGIHASILKAN Bagian Kesatu Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Kegiatan Usaha Pertambangan Batubara yang Dibagihasilkan Pasal 8 (1) PNBP dari kegiatan usaha pertambangan Batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 hurufb, terdiri atas:
iuran tetap pertambangan Batubara; dan
iuran produksi/ royal ti pertambangan Batubara. (2) PNBP dari kegiatan usaha pertambangan Batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagihasilkan kepada daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Kedua Perhitungan Persentase Tertentu atas Peningkatan Subsidi Energi dan/atau Kompensasi Energi Yang Dikenakan Terhadap Perkiraan Kenaikan Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Kegiatan Usaha Pertambangan Batubara yang Dibagihasilkan Pasal 9 (1) Pemerintah dapat meinperhitungkan persentase tertentu atas peningkatan belanja Subsidi Energi dan/atau Kompensasi Energi yang dapat dikenakan terhadap perkiraan kenaikan PNBP dari kegiatan usaha pertambangan Batubara berupa iuran produksi/royalti pertambangan Batubara yang dibagihasilkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b, dalam hal perkiraan realisasi PNBP dari kegiatan usaha pertambangan Batubara berupa iuran produksi/ royal ti pertambangan Batubara melampaui target penerimaan dalam APBN yang diikuti dengan kebijakan peningkatan belanja Subsidi Energi dan/atau Kompensasi Energi. (2) Perkiraan realisasi PNBP dari kegiatan usaha pertambangan Batubara berupa iuran produksi/ royalti pertambangan Batubara yang melampaui target penerimaan dalam APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disebabkan oleh perubahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat ( US dollar) dari target yang ditetapkan dalam APBN dan/atau kenaikan harga Batu.hara acuan yang digunakan dalam perhitungan perkiraan realisasi PNBP dibandingkan dengan harga Batubara acuan yang digunakan dalam perhitungan target PNBP. (3) Persentase tertentu atas peningkatan belanja Subsidi Energi dan/atau Kompensasi Energi yang dapat dikenakan terhadap kenaikan PNBP dari kegiatan usaha pertambangan Batubara berupa iuran produksi/royalti pertambangan Batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling tinggi sebesar 100% (seratus persen) dari total peningkatan belanja Subsidi Energi dan/ a tau Kompensasi Energi, dengan memperhatikan besarnya pengaruh dari masing-masing faktor yang memengaruhi kenaikan PNBP dari kegiatan usaha pertambangan Batubara berupa iuran produksi/ royal ti pertambangan Batubara. (4) Dalam hal peningkatan nilai belanja Subsidi Energi dan/ a tau Kompensasi Energi lebih besar a tau sama dengan nilai kenaikan PNBP dari kegiatan usaha pertambangan Batubara berupa iuran produksi/royalti pertambangan Batubara, maka pembebanan nilai peningkatan belanja Subsidi Energi dan/ a tau Kompensasi Energi menggunakan se bagian a tau paling tinggi 100% (seratus persen) darijumlah perkiraan kenaikan PNBP dari kegiatan usaha pertambangan Batubara berupa 1uran produksi/royalti pertambangan Batubara yang dibagihasilkan. (5) Pembebanan atas peningkatan belanja Subsidi Energi dan/ a tau Kompensasi terhadap kenaikan PNBP dari kegiatan usaha pertambangan Batubara berupa iuran produksi/royalti pertambangan Batubara yang dibagihasilkan dihitung dengan menggunakan formula dan mengacu pada simulasi perhitungan yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 10 (1) Penghitungan dan penetapan DBH Sumber Daya Alam dari kegiatan usaha pertambangan Batubara berupa iuran produksi/ royal ti pertambangan Batubara dilaksanakan dengan mempertimbangkan nilai pembebanan kenaikan perkiraan realisasi PNBP dari kegiatan usaha pertambangan Batubara berupa iuran produksi/ royal ti pertambangan Batubara terhadap nilai peningkatan belanja Subsidi Energi dan/atau Kompensasi Energi se bagaimana dim aksud dalam Pasal 9. (2) Tata cara penghitungan dan penetapan DBH Sumber Daya Alam dari kegiatan usaha pertambangan Batubara berupa iuran produksi/ royalti pertambangan Batubara dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. BAB IV PENETAPAN PERSENTASE TERTENTU ATAS PENINGKATAN BELANJA SUBSIDI ENERGI DAN/ATAU KOMPENSASI ENERGI YANG DtKENAKAN TERHADAP PERKIRAAN KENAIKAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DARI KEGIATAN USAHA HULU MINYAK BUMI DAN GAS BUMI DAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN BATUBARA YANG DIBAGIHASILKAN Pasal 11 (1) Dalam hal terdapat kebijakan peningkatan belanja Subsidi Energi dan/ a tau Kompensasi Energi pada tahun anggaran berjalan, Direktorat Jenderal Anggaran menghitung jumlah kenaikan belanja Subsidi Energi dan/ a tau Kompensasi Energi yang dapat dikenakan pada perkiraan kenaikan realisasi PNBP dari kegiatan usaha hulu Minyak Bumi dan Gas Bumi berupa PNBP Minyak Bumi dan Gas Bumi yang dibagihasilkan dan PNBP dari kegiatan usaha pertambangan Batubara berupa iuran produksi/royalti pertambangan Batubara yang dibagihasilkan. (2) Direktur Jenderal Anggaran c.q. Direktur Penerimaan Negara Bukan Pajak Sumber Daya Alam dan Kekayaan Negara Dipisahkan menyampaikan permihtaan angka perkiraan kenaikan realisasi PNBP dari kegiatan usaha pertambangan Batubara berupa iuran produksi/royalti pertambangan Batubara kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral selaku Instansi Pengelola PNBP kegiatan usaha pertambangan Batubara. (3) Angka peningkatan belanja Subsidi Energi dan/atau Kompensasi Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung oleh Direktorat Jenderal Anggaran c.q. Direktorat Penerimaan Negara Bukan Pajak Sumber Daya Alam dan Kekayaan Negara Dipisahkan, berdasarkan:
Undang-Undang mengenai APBN atau APBN Perubahan;
Peraturan Presiden mengenai rincian APBN atau rincian APBN Perubahan; dan/atau
Dokumen penyesuaian APBN, diantaranya risalah rapat koordinasi asset liabilities committee (ALCo) atau dokumen yang dipersamakan. (4) Angka perkiraan kenaikan realisasi tahun berjalan PNBP dari kegiatan usaha hulu Minyak Bumi dan Gas Bumi berupa PNBP Minyak Bumi dan Gas Bumi yang dibagihasilkan dan PNBP dari kegiatan usaha pertambangan Batubara berupa iuran produksi/ royal ti pertambangan Batubara yang dibagihasilkan, dihitung oleh Instansi Pengelola PNBP berdasarkan:
Undang-Undang mengena1 APBN atau APBN Perubahan;
Peraturan Presiden mengenai rincian APBN atau APBN Perubahan; dan/atau
Dokumen penyesuaian APBN, diantaranya Laporan Semester, Prognosa, dan/atau dokumen lain yang dipersamakan. (5) Instansi Pengelola PNBP menyampaikan angka perkiraan kenaikan realisasi tahun berjalan PNBP dari kegiatan usaha hulu Minyak Bumi dan Gas Bumi berupa PNBP Minyak Bumi dan Gas Bumi yang dibagihasilkan dan PNBP dari kegiatan usaha pertambangan Batubara berupa iuran produksi/royalti pertambangan Batubara yang dibagihasilkan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada Direktur J enderal Anggaran c. q. Direktur Penerimaan Negara Bukan Pajak Sumber Daya Alam dan Kekayaan Negara Dipisahkan untuk dilakukan penelitian.
Berdasarkan angka peningkatan belanja Subsidi Energi dan/atau Kompensasi Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan angka perkiraan kenaikan realisasi tahun berjalan PNBP dari kegiatan usaha hulu Minyak Bumi dan Gas Bumi berupa PNBP Minyak Bumi dan Gas Bumi yang dibagihasilkan dan PNBP dari kegiatan usaha pertambangan Batubara berupa iuran produksi/royalti pertambangan Batubara yang dibagihasilkan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Direktorat Jenderal Anggaran c.q. Direktorat Penerimaan Negara Bukan Pajak Sumber Daya Alam dan Kekayaan Negara Dipisahkan menghitung nilai peningkatan belanja Subsidi Energi dan/atau Kompensasi Energi yang dapat dikenakan terhadap perkiraan kenaikan PNBP dari kegiatan usaha hulu Minyak Bumi dan Gas Bumi berupa PNBP Minyak Bumi dan Gas Bumi yang dibagihasilkan dan PNBP dari kegiatan usaha pertambangan Batubara berupa 1uran produksi/royalti pertambangan Batubara yang dibagihasilkan. (7) Nilai peningkatan belanja Subsidi Energi dan/atau Kompensasi Energi yang dapat dikenakan terhadap perkiraan kenaikan PNBP dari kegiatan usaha hulu Minyak Bumi dan Gas Bumi berupa PNBP Minyak Bumi dan Gas Bumi yang dibagihasilkan dan PNBP dari kegiatan usaha pertambangan Batubara berupa 1uran produksi/royalti pertambangan Batubara yang dibagihasilkan dihitung secara proporsional dengan mempertimbangkan nilai peningkatan masing-masing PNBP. (8) Direktorat Jenderal Anggaran c.q. Direktorat Penerimaan Negara Bukan Pajak Sumber Daya Alam dan Kekayaan Negara Dipisahkan melaksanakan rapat pembahasan dalam rangka penetapan nilai peningkatan belanja Subsidi Energi dan/atau Kompensasi Energi yang dapat dikenakan terhadap perkiraan kenaikan PNBP dari kegiatan usaha hulu Minyak Bumi dan Gas Bumi berupa PNBP Minyak Bumi dan Gas Bumi yang dibagihasilkan dan PNBP dari kegiatan usaha pertambangan Batubara berupa iuran produksi/ royalti pertambangan Batubara yang dibagihasilkan, dengan melibatkan unit terkait di lingkup Kementerian Keuangan, Instansi Pengelola PNBP terkait, dan/atau Aparat Pengawas Intern Pemerintah Kementerian Keuangan. (9) Hasil kesepakatan rapat pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dituangkan dalam berita acara yang ditandatangani oleh pejabat eselon II atau setingkat yang berwenang. (10) Besaran nilai peningkatan belanja Subsidi Energi dan/atau Kompensasi Energi yang dapat dikenakan terhadap perkiraan kenaikan realisasi tahun berjalan PNBP dari kegiatan usaha hulu Minyak Bumi dan Gas Bumi berupa PNBP Minyak Bumi dan Gas Bumi yang dibagihasilkan dan PNBP dari kegiatan usaha pertambangan Batubara berupa iuran produksi/ royal ti pertambangan Batubara yang dibagihasilkan sesuai hasil kesepakatan rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (9) disampaikan kepada Pimpinan Instansi Pengelola PNBP dan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan sebagai dasar penghitungan DBH dengan ditembuskan kepada Kementerian Dalam Negeri melalui Surat Direktur Jenderal Anggaran atas nama Menteri Keuangan. Pasal 12 (1) Besaran nilai peningkatan belanja Subsidi Energi dan/atau Kompensasi Energi yang dapat dikenakan pada perkiraan kenaikan realisasi tahun berjalan PNBP dari kegiatan usaha hulu Minyak Bumi dan Gas Bumi berupa PNBP Minyak Bumi dan Gas Bumi yang dibagihasilkan dan PNBP dari kegiatan usaha pertambangan Batubara berupa iuran produksi/royalti pertambangan Batubara yang dibagihasilkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (10) bersifat sementara. (2) Besaran nilai peningkatan belanja Subsidi Energi dan/atau Kompensasi Energi dan nilai perkiraan realisasi tahun berjalan PNBP dari kegiatan usaha hulu Minyak Bumi dan Gas Bumi berupa PNBP Minyak Bumi dan Gas Bumi yang dibagihasilkan dan PNBP dari kegiatan usaha pertambangan Batubara berupa iuran produksi/royalti pertambangan Batubara yang dibagihasilkan dalam satu tahun anggaran secara final berdasarkan laporan keuangan pemerintah pusat audited yang diterbitkan oleh instansi pemeriksa yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Dalam hal terdapat perbedaan antara angka yang digunakan dalam perhitungan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan angka yang digunakan dalam perhitungan final sebagaimana dimaksud pada ayat (2), selisih kurang/lebih akan diperhitungan dalam penetapan besaran nilai peningkatan belanja Subsidi Energi dan/ a tau Kompensasi Energi yang dapat dikenakan pada perkiraan kenaikan realisasi PNBP dari kegiatan usaha hulu Minyak Bumi dan Gas Bumi berupa PNBP Minyak Bumi dan Gas Bumi yang dibagihasilkan dan PNBP dari kegiatan usaha pertambangan Batubara berupa iuran produksi/royalti pertambangan Batubara yang dibagihasilkan pada tahun anggaran berikutnya. (4) Menteri Keuangan menetapkan perhitungan selisih kurang/lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Kenaikan PNBP dari kegiatan usaha hulu Minyak Bumi dan Gas Bumi berupa PNBP Minyak Bumi dan Gas Bumi yang dibagihasilkan dan PNBP dari kegiatan usaha pertambangan Batubara berupa iuran produksi/ royal ti pertambangan Batubara yang dibagihasilkan dan diperhitungkan dengan persentase tertentu atas peningkatan belanja Subsidi Energi dan/atau Kompensasi Energi, tidak dibagihasilkan ke daerah dan tidak diperhitungkan sebagai kurang bayar DBH. Pasal 13 Peraturan Menteri m1 berlaku sepanjang kewenangan Pemerintah untuk melakukan perhitungan persentase tertentu atas peningkatan belanja Subsidi Energi dan/atau Kompensasi Energi yang dikenakan terhadap kenaikan PNBP Sumber Daya Alam yang dibagihasilkan diatur dalam Undang-Undang mengenai APBN dan/atau APBN Perubahan. BABV KETENTUAN PENUTUP Pasal 14 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 194/PMK.02/2021 tentang Tata Cara Penghitungan Persentase Tertentu atas Peningkatan Belanja Subsidi dan Kompensasi Energi terhadap Kenaikan Penerimanaan Negara Bukan Pajak Sumber Daya Alam yang Dibagihasilkan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1393) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.02/2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 194 /PMK.02/2021 ten tang Tata Cara Penghitungan Persentase Tertentu atas Peningkatan Belanja Subsidi dan Kompensasi Energi terhadap Kenaikan Penerimanaan Negara Bukan Pajak Sumber Daya Alam yang Dibagihasilkan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 593), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku Pasal 15 Peraturan Menteri m1 mulai berlaku pada tanggal diundangkan.