Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan ...
Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132/PMK.01/2008 tentang Pedoman dan Pentahapan dalam Rangka Pembangunan dan Penerapan Indonesia ...
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan. ...
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 234/PMK.01/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan. ...
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132/PMK.01/2008 tentang Pedoman dan Pentahapan Dalam Rangka Pembangunan dan Penerapan Indonesia Nat ...
Pedoman Umum dan Alokasi Dana Alokasi Khusus Tahun Anggaran 2012.
Relevan terhadap
DAK Bidang Pendidikan dialokasikan untuk meningkatkan pelaksanaan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun untuk memastikan semua anak Indonesia dapat mengikuti pendidikan dasar yang bermutu, dan meningkatkan mutu pendidikan dasar melalui penyediaan fasilitas dan sarana prasarana pendidikan yang lebih baik dan lengkap untuk memenuhi Standar Pelayanan Minimal (SPM), serta secara bertahap memenuhi Standar Nasional Pendidikan.
Untuk SD/SD Luar Biasa dengan lingkup kegiatan:
Penuntasan rehabilitasi ruang kelas rusak sedang dan berat;
Pembangunan ruang kelas baru;
Pembangunan ruang perpustakaan beserta perabotnya; dan
Pengadaan sarana untuk peningkatan mutu pendidikan b. Untuk SMP/SMP Luar Biasa dengan lingkup kegiatan:
Penuntasan rehabilitasi ruang kelas rusak sedang dan berat;
Pembangunan ruang kelas baru untuk memenuhi kesenjangan antara jumlah rombongan belajar dengan jumlah ruang kelas yang ada dan memenuhi target angka partisipasi kasar di tahun 2015;
Pembangunan ruang perpustakaan beserta perabotnya; dan
Pembangunan ruang belajar lainnya termasuk penyediaan alat pendidikan untuk laboratorium IPA, komputer, bahasa, dan ruang keterampilan/serbaguna.
DAK Bidang Kesehatan dialokasikan untuk meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan dalam rangka percepatan penurunan angka kematian ibu, bayi dan anak, serta dukungan program jaminan persalinan dan jaminan kesehatan di Puskesmas dan kelas III Rumah Sakit (RS) melalui peningkatan sarana dan prasarana di Puskesmas dan jaringannya, Poskesdes dan RS provinsi, dan kabupaten/kota. Selain itu DAK Bidang Kesehatan dialokasikan juga untuk penyediaan obat dan sarana pendukung pengelolaan obat, perbekalan kesehatan dan vaksin yang berkhasiat, aman, bermutu dan bermanfaat, terutama untuk pelayanan kesehatan penduduk miskin dan penduduk di daerah tertinggal, terpencil, perbatasan dan kepulauan.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Kesehatan Pelayanan Dasar, Pelayanan Rujukan, dan Farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas kegiatan sebagai berikut:
Kesehatan Pelayanan Dasar ditujukan untuk pemenuhan sarana, prasarana, dan peralatan bagi puskesmas dan jaringannya, yang terdiri atas kegiatan:
peningkatan puskesmas mampu menjalankan persalinan normal;
peningkatan puskesmas menjadi puskesmas perawatan/ puskesmas mampu Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergency Dasar, termasuk rumah dinas tenaga kesehatan (nakes) terutama di daerah tertinggal perbatasan dan kepulauan;
pembangunan puskesmas baru termasuk rumah dinas nakes; dan 4. pembangunan Poskesdes.
Kegiatan Bidang Kesehatan Pelayanan Rujukan terdiri atas kegiatan sebagai berikut:
pemenuhan fasilitas tempat tidur kelas III RS;
pemenuhan sarana, prasarana dan peralatan Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komprehensif RS;
pemenuhan sarana, prasarana dan peralatan Instalasi Gawat Darurat RS; dan
pemenuhan sarana, prasarana dan peralatan untuk pelayanan darah.
Kesehatan Farmasi terdiri atas kegiatan:
pengadaan obat dan perbekalan kesehatan;
pembangunan baru/rehabilitasi dan penyediaan sarana pendukung instalasi farmasi kabupaten dan kota; dan
pembangunan baru instalasi farmasi gugus pulau/satelit dan sarana pendukungnya.
DAK Bidang Infrastruktur Jalan dialokasikan untuk membiayai kebutuhan fisik sarana dan prasarana dasar yang menjadi kewenangan daerah namun merupakan program prioritas nasional yang terintegrasi di bidang jalan.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Infrastruktur Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri atas kegiatan pemeliharaan berkala jalan dan jembatan provinsi, kabupaten/kota, peningkatan kapasitas jalan dan jembatan provinsi, kabupaten/kota, serta pembangunan jalan dan jembatan provinsi, kabupaten/kota.
DAK Bidang Infrastruktur Irigasi dialokasikan untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas tingkat layanan irigasi pada daerah irigasi yang menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota sehingga dapat sejalan dan mendukung upaya Pemerintah dalam rangka pemenuhan target “Surplus Beras Minimal 10 Juta Ton dalam jangka waktu 5-10 tahun”.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Infrastruktur Irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) terdiri atas kegiatan rehabilitasi jaringan irigasi pada daerah irigasi yang rusak agar kualitas layanan irigasi dapat segera kembali seperti sedia kala dan peningkatan jaringan irigasi sebagai perwujudan kontribusi daerah terhadap pemenuhan target nasional tersebut.
DAK Bidang Infrastruktur Air Minum dialokasikan untuk mendukung peningkatan cakupan pelayanan air minum untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat dan memenuhi SPM penyediaan air minum.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Infrastruktur Air Minum sebagaimana dimaksud pada ayat (8) terdiri atas kegiatan peningkatan sambungan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah di perkotaan, pemasangan master meter untuk masyarakat miskin perkotaan, serta peningkatan pelayanan air minum di lokasi rawan air dan/atau terpencil.
DAK Bidang Infrastruktur Sanitasi dialokasikan untuk meningkatkan cakupan dan kehandalan pelayanan sanitasi (air limbah, persampahan, dan drainase) untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat dan memenuhi SPM penyediaan sanitasi.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Infrastruktur Sanitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (10) terdiri atas:
pengembangan prasarana dan sarana air limbah komunal;
pengembangan fasilitas pengurangan sampah dengan pola 3R ( reduce, reuse , dan recycle ); dan
pengembangan prasarana dan sarana drainase mandiri yang berwawasan lingkungan, ecodrainage , drainase skala kawasan.
DAK Bidang Prasarana Pemerintahan Daerah dialokasikan untuk meningkatkan kinerja pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan pelayanan publik di daerah pemekaran dan daerah yang terkena dampak pemekaran sampai dengan tahun 2009 dan daerah lainnya yang prasarana pemerintahannya belum layak dan memadai. Prioritas diberikan kepada daerah pemekaran tahun 2007 sampai dengan tahun 2009, dan daerah non pemekaran tertentu.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Prasarana Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (12) terdiri atas kegiatan pembangunan kantor Bupati, Walikota, Sekretariat Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Sekretariat DPRD, Dinas, Badan dan Kantor Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) lainnya.
DAK Bidang Kelautan dan Perikanan dialokasikan untuk meningkatkan sarana dan prasarana produksi, pengolahan, mutu, pemasaran, pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan, penyuluhan, statistik kelautan dan perikanan serta penyediaan sarana prasarana pemberdayaan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang terkait dengan peningkatan produksi perikanan terutama pada daerah yang memiliki potensi dan sudah ditetapkan sebagai wilayah pengembangan perikanan (Minapolitan).
Lingkup kegiatan DAK Bidang Kelautan dan Perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (14) terdiri atas:
pengembangan sarana dan prasarana perikanan tangkap termasuk didalamnya pengadaan kapal untuk provinsi;
pengembangan sarana dan prasarana perikanan budidaya;
pengembangan sarana dan prasarana pengolahan, peningkatan mutu dan pemasaran hasil perikanan;
pengembangan sarana dan prasarana pemberdayaan ekonomi masyarakat di pesisir dan pulau-pulau kecil;
pengembangan sarana dan prasarana pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan;
pengembangan sarana dan prasarana penyuluhan perikanan; dan
pengembangan sarana statistik kelautan dan perikanan.
DAK Bidang Pertanian dialokasikan untuk mendukung pengamanan dan peningkatan produksi bahan pangan dalam negeri dalam rangka pencapaian ketahanan pangan nasional.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (16) terdiri atas:
perluasan areal pertanian;
penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan air;
penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan lahan;
penyediaan lumbung pangan masyarakat atau gudang pangan pemerintah;
pembangunan/rehabilitasi Balai Penyuluhan Pertanian di Kecamatan;
penyediaan prasarana dan sarana Balai Perbenihan/Perbibitan Kabupaten untuk Tanaman Pangan/Hortikultura/ Perkebunan/ Peternakan;
pembangunan/rehabilitasi Pusat/Pos/Klinik Pelayanan Kesehatan Hewan dan Inseminasi Buatan; dan
penanganan pasca panen.
DAK Bidang Lingkungan Hidup dialokasikan untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup di daerah, dengan meningkatkan peran dan tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota terutama untuk meningkatkan kualitas air, udara dan tanah di wilayahnya melalui pengadaan sarana dan prasarana fisik penunjang.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (18) terdiri atas:
pemantauan kualitas air yang dilakukan melalui kegiatan pembangunan gedung laboratorium, penyediaan sarana dan prasarana pemantauan kualitas air, pembangunan laboratorium bergerak, dan kendaraan operasional;
pengendalian pencemaran melalui kegiatan penerapan teknologi sederhana untuk pengurangan limbah, Taman Kehati, Instalasi Pengolahan Air Limbah medik dan Usaha Kecil dan Menengah, dan pengadaan kendaraan pengangkut sampah;
pengendalian polusi udara melalui kegiatan pengadaan alat pemantau kualitas udara; dan
perlindungan sumber daya air melalui kegiatan penanaman di luar kawasan hutan, dan pengadaan papan informasi.
DAK Bidang KB dialokasikan untuk meningkatkan akses dan kualitas pelayanan KB melalui peningkatan:
daya jangkau dan kualitas penyuluhan, penggerakan, dan pembinaan program KB tenaga lini lapangan;
sarana dan prasarana fisik pelayanan KB;
sarana fisik pelayanan komunikasi, informasi, dan edukasi program KB;
sarana fisik pembinaan tumbuh kembang anak; dan
sarana pengolahan data dan informasi.
Lingkup kegiatan DAK Bidang KB sebagaimana dimaksud pada ayat (20) terdiri atas:
penyediaan sarana mobilitas (motor) dan sarana pengelolaan data berbasis teknologi informasi ( personal computer ) bagi Penyuluh KB (PKB)/Petugas Lapangan KB (PLKB)/Petugas Penyuluh Lapangan KB (PPLKB);
pemenuhan sarana pelayanan KB di Klinik KB statis (Implant Kit, IUD Kit) dan sarana Pelayanan KB Keliling (MUYAN) dan pembangunan Gudang Alat/Obat Kontrasepsi; dan
penyediaan sarana dan prasarana penerangan KB keliling (MUPEN), pengadaan Public Adress dan KIE.
DAK Bidang Kehutanan dialokasikan untuk meningkatkan fungsi Daerah Aliran Sungai, dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan daya dukung sumber daya hutan, tanah, dan air.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (22) terdiri atas:
rehabilitasi hutan produksi, hutan lindung, lahan kritis, Taman Hutan Raya (Tahura) dan Hutan Kota;
sarana dan prasarana pengamanan hutan;
sarana dan prasarana Tahura;
sarana dan prasarana Kesatuan Pengelolaan Hutan; dan
sarana dan prasarana penyuluhan (24) DAK Bidang Sarana Perdagangan dialokasikan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas sarana perdagangan untuk mendukung pasokan dan ketersediaan barang (terutama bahan pokok), serta pelaksanaan tertib ukur sehingga dapat meningkatkan daya beli masyarakat dan mendukung upaya perlindungan konsumen, terutama di daerah-daerah pedesaan, tertinggal, terpencil, perbatasan, dan daerah pemekaran, serta daerah yang minim sarana perdagangannya.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Sarana Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (24) terdiri atas:
pendanaan kegiatan pembangunan dan pengembangan pasar tradisional;
peningkatan sarana metrologi legal; dan
pembangunan gudang, fasilitas dan peralatan penunjangnya dalam kerangka Sistem Resi Gudang.
DAK Bidang Sarana dan Prasarana Daerah Tertinggal dialokasikan untuk melakukan percepatan pembangunan daerah tertinggal dengan meningkatkan pengembangan perekonomian daerah dan kualitas sumber daya manusia yang didukung oleh kelembagaan dan ketersediaan infrastruktur perekonomian dan pelayanan dasar, sehingga daerah tertinggal dapat tumbuh dan berkembang secara lebih cepat guna dapat mengejar ketertinggalan pembangunannya dari daerah lain yang sudah relatif lebih maju.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Sarana dan Prasarana Daerah Tertinggal sebagaimana dimaksud pada ayat (26) terdiri atas:
penyediaan moda transportasi darat/perairan untuk meningkatkan mobilitas barang dan penumpang antar wilayah perdesaan dengan pusat pertumbuhan;
pembangunan dan rehabilitasi dermaga kecil atau tambatan perahu untuk mendukung angkutan orang dan barang, khususnya dermaga kecil atau tambatan perahu di wilayah pesisir yang tidak ditangani Kementerian Perhubungan;
penyediaan/pembangunan pembangkit energi listrik perdesaan yang memanfaatkan sumber energi mikrohidro dan pikohidro;
pembangunan/rehabilitasi embung irigasi untuk menunjang sektor pertanian; dan
pembangunan/rehabilitasi jembatan antardesa.
DAK Bidang Listrik Perdesaan dialokasikan untuk mendanai kegiatan fisik bidang energi baru terbarukan yang meliputi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) baru, rehabilitasi PLTMH yang rusak, perluasan/peningkatan pelayanan tenaga listrik dari PLTMH, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terpusat (komunal), serta Pembangkit Listrik Tenaga Hybrid .
Lingkup kegiatan DAK Bidang Listrik Perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (28) terdiri atas kegiatan pembangunan pembangkit listrik dengan memanfaatkan potensi energi terbarukan.
DAK Bidang Perumahan dan Kawasan Permukiman dialokasikan untuk meningkatkan penyediaan prasarana, sarana dan utilitas perumahan dan kawasan permukiman dalam rangka menstimulan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman bagi masyarakat berpenghasilan rendah di kabupaten/kota.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Perumahan dan Kawasan Permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (30) terdiri atas kegiatan membantu daerah dalam mendanai kebutuhan fisik infrastruktur perumahan dan kawasan permukiman dalam rangka mencapai SPM meliputi:
penyediaan sarana dan prasarana air minum;
parana septik tank komunal;
tempat pengolahan sampah terpadu ;
jaringan distribusi listrik; dan
penerangan jalan umum (32) DAK Bidang Keselamatan Transportasi Darat dialokasikan untuk meningkatkan kualitas pelayanan terutama keselamatan bagi pengguna transportasi jalan di kabupaten/kota guna menurunkan tingkat kecelakaan pada lalu lintas angkutan jalan dalam rangka melaksanakan rencana aksi “ road map to zero accident ”.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Keselamatan Transportasi Darat sebagaimana dimaksud pada ayat (32) terdiri atas kegiatan pengadaan dan pemasangan fasilitas dan peralatan keselamatan jalan melalui pemasangan rambu jalan, marka jalan, pagar pengaman jalan, alat pengatur isyarat lalu lintas, paku jalan, dan delienator .
DAK Bidang Transportasi Perdesaan dialokasikan untuk:
Meningkatkan ketersediaan dan kemudahan akses masyarakat terhadap pelayanan transportasi, serta mengembangkan keperintisan transportasi darat, sungai, danau, perairan dan laut di daerah perdesaan;
pengembangan sarana dan prasarana transportasi perdesaan yang diprioritaskan untuk mendukung pusat-pusat pertumbuhan di kawasan strategis cepat tumbuh (sektor pertanian, perikanan, dan pariwisata); dan
mendukung keberlanjutan atas pemanfaatan angkutan perdesaan.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Transportasi Perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (34) terdiri atas:
jalan poros desa melalui pembangunan, peningkatan dan pemeliharaan jalan antar desa yang menghubungkan sentra produksi dengan sentra pemasaran di kawasan strategis cepat tumbuh; dan
penyediaan angkutan perdesaan melalui pengadaan sarana transportasi angkutan penumpang dan barang yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan daerah.
DAK Bidang Sarana dan Prasarana Kawasan Perbatasan dialokasikan untuk mendukung kebijakan pembangunan kawasan perbatasan, yaitu mengatasi keterisolasian wilayah yang dapat menghambat upaya pengamanan batas wilayah, pelayanan sosial dasar, serta pengembangan kegiatan ekonomi lokal secara berkelanjutan di kecamatan-kecamatan perbatasan.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Sarana dan Prasarana Kawasan Perbatasan sebagaimana dimaksud pada ayat (36) terdiri atas:
Pembangunan jalan/peningkatan kondisi permukaan jalan non- status yang menghubungkan kecamatan perbatasan prioritas dengan pusat kegiatan di sekitarnya, yang disinergikan dengan pelaksanaan kegiatan DAK jalan, Dana Dekonsentrasi/ TugasPembantuan Kementerian Pekerjaan Umum, serta APBD;
Pembangunan dan rehabilitasi dermaga kecil atau tambatan perahu untuk mendukung angkutan orang dan barang, khususnya dermaga kecil atau tambatan perahu di wilayah pesisir yang tidak ditangani Kementerian Perhubungan, yang disinergikan dengan pelaksanaan kegiatan Dana Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan Kementerian Perhubungan, Dana Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan Kementerian Kelautan dan Perikanan dan APBD; dan
penyediaan moda transportasi perairan/kepulauan untuk meningkatkan arus orang, barang dan jasa, yang disinergikan dengan pelaksanakan kegiatan Dana Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan Kementerian Perhubungan dan APBD.
Pedoman Umum dan Alokasi Dana Alokasi Khusus Tahun Anggaran 2012
Relevan terhadap
DAK Bidang Pendidikan dialokasikan untuk meningkatkan pelaksanaan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun untuk memastikan semua anak Indonesia dapat mengikuti pendidikan dasar yang bermutu, dan meningkatkan mutu pendidikan dasar melalui penyediaan fasilitas dan sarana prasarana pendidikan yang lebih baik dan lengkap untuk memenuhi Standar Pelayanan Minimal (SPM), serta secara bertahap memenuhi Standar Nasional Pendidikan.
Untuk SD/SD Luar Biasa dengan lingkup kegiatan:
Penuntasan rehabilitasi ruang kelas rusak sedang dan berat;
Pembangunan ruang kelas baru;
Pembangunan ruang perpustakaan beserta perabotnya; dan
Pengadaan sarana untuk peningkatan mutu pendidikan b. Untuk SMP/SMP Luar Biasa dengan lingkup kegiatan:
Penuntasan rehabilitasi ruang kelas rusak sedang dan berat;
Pembangunan ruang kelas baru untuk memenuhi kesenjangan antara jumlah rombongan belajar dengan jumlah ruang kelas yang ada dan memenuhi target angka partisipasi kasar di tahun 2015;
Pembangunan ruang perpustakaan beserta perabotnya; dan
Pembangunan ruang belajar lainnya termasuk penyediaan alat pendidikan untuk laboratorium IPA, komputer, bahasa, dan ruang keterampilan/serbaguna.
DAK Bidang Kesehatan dialokasikan untuk meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan dalam rangka percepatan penurunan angka kematian ibu, bayi dan anak, serta dukungan program jaminan persalinan dan jaminan kesehatan di Puskesmas dan kelas III Rumah Sakit (RS) melalui peningkatan sarana dan prasarana di Puskesmas dan jaringannya, Poskesdes dan RS provinsi, dan kabupaten/kota. Selain itu DAK Bidang Kesehatan dialokasikan juga untuk penyediaan obat dan sarana pendukung pengelolaan obat, perbekalan kesehatan dan vaksin yang berkhasiat, aman, bermutu dan bermanfaat, terutama untuk pelayanan kesehatan penduduk miskin dan penduduk di daerah tertinggal, terpencil, perbatasan dan kepulauan.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Kesehatan Pelayanan Dasar, Pelayanan Rujukan, dan Farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas kegiatan sebagai berikut:
Kesehatan Pelayanan Dasar ditujukan untuk pemenuhan sarana, prasarana, dan peralatan bagi puskesmas dan jaringannya, yang terdiri atas kegiatan:
peningkatan puskesmas mampu menjalankan persalinan normal;
peningkatan puskesmas menjadi puskesmas perawatan/ puskesmas mampu Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergency Dasar, termasuk rumah dinas tenaga kesehatan (nakes) terutama di daerah tertinggal perbatasan dan kepulauan;
pembangunan puskesmas baru termasuk rumah dinas nakes; dan 4. pembangunan Poskesdes.
Kegiatan Bidang Kesehatan Pelayanan Rujukan terdiri atas kegiatan sebagai berikut:
pemenuhan fasilitas tempat tidur kelas III RS;
pemenuhan sarana, prasarana dan peralatan Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komprehensif RS;
pemenuhan sarana, prasarana dan peralatan Instalasi Gawat Darurat RS; dan
pemenuhan sarana, prasarana dan peralatan untuk pelayanan darah.
Kesehatan Farmasi terdiri atas kegiatan:
pengadaan obat dan perbekalan kesehatan;
pembangunan baru/rehabilitasi dan penyediaan sarana pendukung instalasi farmasi kabupaten dan kota; dan
pembangunan baru instalasi farmasi gugus pulau/satelit dan sarana pendukungnya.
DAK Bidang Infrastruktur Jalan dialokasikan untuk membiayai kebutuhan fisik sarana dan prasarana dasar yang menjadi kewenangan daerah namun merupakan program prioritas nasional yang terintegrasi di bidang jalan.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Infrastruktur Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri atas kegiatan pemeliharaan berkala jalan dan jembatan provinsi, kabupaten/kota, peningkatan kapasitas jalan dan jembatan provinsi, kabupaten/kota, serta pembangunan jalan dan jembatan provinsi, kabupaten/kota.
DAK Bidang Infrastruktur Irigasi dialokasikan untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas tingkat layanan irigasi pada daerah irigasi yang menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota sehingga dapat sejalan dan mendukung upaya Pemerintah dalam rangka pemenuhan target “Surplus Beras Minimal 10 Juta Ton dalam jangka waktu 5-10 tahun”.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Infrastruktur Irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) terdiri atas kegiatan rehabilitasi jaringan irigasi pada daerah irigasi yang rusak agar kualitas layanan irigasi dapat segera kembali seperti sedia kala dan peningkatan jaringan irigasi sebagai perwujudan kontribusi daerah terhadap pemenuhan target nasional tersebut.
DAK Bidang Infrastruktur Air Minum dialokasikan untuk mendukung peningkatan cakupan pelayanan air minum untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat dan memenuhi SPM penyediaan air minum.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Infrastruktur Air Minum sebagaimana dimaksud pada ayat (8) terdiri atas kegiatan peningkatan sambungan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah di perkotaan, pemasangan master meter untuk masyarakat miskin perkotaan, serta peningkatan pelayanan air minum di lokasi rawan air dan/atau terpencil.
DAK Bidang Infrastruktur Sanitasi dialokasikan untuk meningkatkan cakupan dan kehandalan pelayanan sanitasi (air limbah, persampahan, dan drainase) untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat dan memenuhi SPM penyediaan sanitasi.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Infrastruktur Sanitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (10) terdiri atas:
pengembangan prasarana dan sarana air limbah komunal;
pengembangan fasilitas pengurangan sampah dengan pola 3R ( reduce, reuse , dan recycle ); dan
pengembangan prasarana dan sarana drainase mandiri yang berwawasan lingkungan, ecodrainage , drainase skala kawasan.
DAK Bidang Prasarana Pemerintahan Daerah dialokasikan untuk meningkatkan kinerja pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan pelayanan publik di daerah pemekaran dan daerah yang terkena dampak pemekaran sampai dengan tahun 2009 dan daerah lainnya yang prasarana pemerintahannya belum layak dan memadai. Prioritas diberikan kepada daerah pemekaran tahun 2007 sampai dengan tahun 2009, dan daerah non pemekaran tertentu.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Prasarana Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (12) terdiri atas kegiatan pembangunan kantor Bupati, Walikota, Sekretariat Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Sekretariat DPRD, Dinas, Badan dan Kantor Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) lainnya.
DAK Bidang Kelautan dan Perikanan dialokasikan untuk meningkatkan sarana dan prasarana produksi, pengolahan, mutu, pemasaran, pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan, penyuluhan, statistik kelautan dan perikanan serta penyediaan sarana prasarana pemberdayaan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang terkait dengan peningkatan produksi perikanan terutama pada daerah yang memiliki potensi dan sudah ditetapkan sebagai wilayah pengembangan perikanan (Minapolitan).
Lingkup kegiatan DAK Bidang Kelautan dan Perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (14) terdiri atas:
pengembangan sarana dan prasarana perikanan tangkap termasuk didalamnya pengadaan kapal untuk provinsi;
pengembangan sarana dan prasarana perikanan budidaya;
pengembangan sarana dan prasarana pengolahan, peningkatan mutu dan pemasaran hasil perikanan;
pengembangan sarana dan prasarana pemberdayaan ekonomi masyarakat di pesisir dan pulau-pulau kecil;
pengembangan sarana dan prasarana pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan;
pengembangan sarana dan prasarana penyuluhan perikanan; dan
pengembangan sarana statistik kelautan dan perikanan.
DAK Bidang Pertanian dialokasikan untuk mendukung pengamanan dan peningkatan produksi bahan pangan dalam negeri dalam rangka pencapaian ketahanan pangan nasional.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (16) terdiri atas:
perluasan areal pertanian;
penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan air;
penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan lahan;
penyediaan lumbung pangan masyarakat atau gudang pangan pemerintah;
pembangunan/rehabilitasi Balai Penyuluhan Pertanian di Kecamatan;
penyediaan prasarana dan sarana Balai Perbenihan/Perbibitan Kabupaten untuk Tanaman Pangan/Hortikultura/ Perkebunan/ Peternakan;
pembangunan/rehabilitasi Pusat/Pos/Klinik Pelayanan Kesehatan Hewan dan Inseminasi Buatan; dan
penanganan pasca panen.
DAK Bidang Lingkungan Hidup dialokasikan untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup di daerah, dengan meningkatkan peran dan tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota terutama untuk meningkatkan kualitas air, udara dan tanah di wilayahnya melalui pengadaan sarana dan prasarana fisik penunjang.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (18) terdiri atas:
pemantauan kualitas air yang dilakukan melalui kegiatan pembangunan gedung laboratorium, penyediaan sarana dan prasarana pemantauan kualitas air, pembangunan laboratorium bergerak, dan kendaraan operasional;
pengendalian pencemaran melalui kegiatan penerapan teknologi sederhana untuk pengurangan limbah, Taman Kehati, Instalasi Pengolahan Air Limbah medik dan Usaha Kecil dan Menengah, dan pengadaan kendaraan pengangkut sampah;
pengendalian polusi udara melalui kegiatan pengadaan alat pemantau kualitas udara; dan
perlindungan sumber daya air melalui kegiatan penanaman di luar kawasan hutan, dan pengadaan papan informasi.
DAK Bidang KB dialokasikan untuk meningkatkan akses dan kualitas pelayanan KB melalui peningkatan:
daya jangkau dan kualitas penyuluhan, penggerakan, dan pembinaan program KB tenaga lini lapangan;
sarana dan prasarana fisik pelayanan KB;
sarana fisik pelayanan komunikasi, informasi, dan edukasi program KB;
sarana fisik pembinaan tumbuh kembang anak; dan
sarana pengolahan data dan informasi.
Lingkup kegiatan DAK Bidang KB sebagaimana dimaksud pada ayat (20) terdiri atas:
penyediaan sarana mobilitas (motor) dan sarana pengelolaan data berbasis teknologi informasi ( personal computer ) bagi Penyuluh KB (PKB)/Petugas Lapangan KB (PLKB)/Petugas Penyuluh Lapangan KB (PPLKB);
pemenuhan sarana pelayanan KB di Klinik KB statis (Implant Kit, IUD Kit) dan sarana Pelayanan KB Keliling (MUYAN) dan pembangunan Gudang Alat/Obat Kontrasepsi; dan
penyediaan sarana dan prasarana penerangan KB keliling (MUPEN), pengadaan Public Adress dan KIE.
DAK Bidang Kehutanan dialokasikan untuk meningkatkan fungsi Daerah Aliran Sungai, dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan daya dukung sumber daya hutan, tanah, dan air.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (22) terdiri atas:
rehabilitasi hutan produksi, hutan lindung, lahan kritis, Taman Hutan Raya (Tahura) dan Hutan Kota;
sarana dan prasarana pengamanan hutan;
sarana dan prasarana Tahura;
sarana dan prasarana Kesatuan Pengelolaan Hutan; dan
sarana dan prasarana penyuluhan (24) DAK Bidang Sarana Perdagangan dialokasikan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas sarana perdagangan untuk mendukung pasokan dan ketersediaan barang (terutama bahan pokok), serta pelaksanaan tertib ukur sehingga dapat meningkatkan daya beli masyarakat dan mendukung upaya perlindungan konsumen, terutama di daerah-daerah pedesaan, tertinggal, terpencil, perbatasan, dan daerah pemekaran, serta daerah yang minim sarana perdagangannya.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Sarana Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (24) terdiri atas:
pendanaan kegiatan pembangunan dan pengembangan pasar tradisional;
peningkatan sarana metrologi legal; dan
pembangunan gudang, fasilitas dan peralatan penunjangnya dalam kerangka Sistem Resi Gudang.
DAK Bidang Sarana dan Prasarana Daerah Tertinggal dialokasikan untuk melakukan percepatan pembangunan daerah tertinggal dengan meningkatkan pengembangan perekonomian daerah dan kualitas sumber daya manusia yang didukung oleh kelembagaan dan ketersediaan infrastruktur perekonomian dan pelayanan dasar, sehingga daerah tertinggal dapat tumbuh dan berkembang secara lebih cepat guna dapat mengejar ketertinggalan pembangunannya dari daerah lain yang sudah relatif lebih maju.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Sarana dan Prasarana Daerah Tertinggal sebagaimana dimaksud pada ayat (26) terdiri atas:
penyediaan moda transportasi darat/perairan untuk meningkatkan mobilitas barang dan penumpang antar wilayah perdesaan dengan pusat pertumbuhan;
pembangunan dan rehabilitasi dermaga kecil atau tambatan perahu untuk mendukung angkutan orang dan barang, khususnya dermaga kecil atau tambatan perahu di wilayah pesisir yang tidak ditangani Kementerian Perhubungan;
penyediaan/pembangunan pembangkit energi listrik perdesaan yang memanfaatkan sumber energi mikrohidro dan pikohidro;
pembangunan/rehabilitasi embung irigasi untuk menunjang sektor pertanian; dan
pembangunan/rehabilitasi jembatan antardesa.
DAK Bidang Listrik Perdesaan dialokasikan untuk mendanai kegiatan fisik bidang energi baru terbarukan yang meliputi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) baru, rehabilitasi PLTMH yang rusak, perluasan/peningkatan pelayanan tenaga listrik dari PLTMH, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terpusat (komunal), serta Pembangkit Listrik Tenaga Hybrid .
Lingkup kegiatan DAK Bidang Listrik Perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (28) terdiri atas kegiatan pembangunan pembangkit listrik dengan memanfaatkan potensi energi terbarukan.
DAK Bidang Perumahan dan Kawasan Permukiman dialokasikan untuk meningkatkan penyediaan prasarana, sarana dan utilitas perumahan dan kawasan permukiman dalam rangka menstimulan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman bagi masyarakat berpenghasilan rendah di kabupaten/kota.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Perumahan dan Kawasan Permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (30) terdiri atas kegiatan membantu daerah dalam mendanai kebutuhan fisik infrastruktur perumahan dan kawasan permukiman dalam rangka mencapai SPM meliputi:
penyediaan sarana dan prasarana air minum;
parana septik tank komunal;
tempat pengolahan sampah terpadu ;
jaringan distribusi listrik; dan
penerangan jalan umum (32) DAK Bidang Keselamatan Transportasi Darat dialokasikan untuk meningkatkan kualitas pelayanan terutama keselamatan bagi pengguna transportasi jalan di kabupaten/kota guna menurunkan tingkat kecelakaan pada lalu lintas angkutan jalan dalam rangka melaksanakan rencana aksi “ road map to zero accident ”.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Keselamatan Transportasi Darat sebagaimana dimaksud pada ayat (32) terdiri atas kegiatan pengadaan dan pemasangan fasilitas dan peralatan keselamatan jalan melalui pemasangan rambu jalan, marka jalan, pagar pengaman jalan, alat pengatur isyarat lalu lintas, paku jalan, dan delienator .
DAK Bidang Transportasi Perdesaan dialokasikan untuk:
Meningkatkan ketersediaan dan kemudahan akses masyarakat terhadap pelayanan transportasi, serta mengembangkan keperintisan transportasi darat, sungai, danau, perairan dan laut di daerah perdesaan;
pengembangan sarana dan prasarana transportasi perdesaan yang diprioritaskan untuk mendukung pusat-pusat pertumbuhan di kawasan strategis cepat tumbuh (sektor pertanian, perikanan, dan pariwisata); dan
mendukung keberlanjutan atas pemanfaatan angkutan perdesaan.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Transportasi Perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (34) terdiri atas:
jalan poros desa melalui pembangunan, peningkatan dan pemeliharaan jalan antar desa yang menghubungkan sentra produksi dengan sentra pemasaran di kawasan strategis cepat tumbuh; dan
penyediaan angkutan perdesaan melalui pengadaan sarana transportasi angkutan penumpang dan barang yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan daerah.
DAK Bidang Sarana dan Prasarana Kawasan Perbatasan dialokasikan untuk mendukung kebijakan pembangunan kawasan perbatasan, yaitu mengatasi keterisolasian wilayah yang dapat menghambat upaya pengamanan batas wilayah, pelayanan sosial dasar, serta pengembangan kegiatan ekonomi lokal secara berkelanjutan di kecamatan-kecamatan perbatasan.
Lingkup kegiatan DAK Bidang Sarana dan Prasarana Kawasan Perbatasan sebagaimana dimaksud pada ayat (36) terdiri atas:
Pembangunan jalan/peningkatan kondisi permukaan jalan non- status yang menghubungkan kecamatan perbatasan prioritas dengan pusat kegiatan di sekitarnya, yang disinergikan dengan pelaksanaan kegiatan DAK jalan, Dana Dekonsentrasi/ TugasPembantuan Kementerian Pekerjaan Umum, serta APBD;
Pembangunan dan rehabilitasi dermaga kecil atau tambatan perahu untuk mendukung angkutan orang dan barang, khususnya dermaga kecil atau tambatan perahu di wilayah pesisir yang tidak ditangani Kementerian Perhubungan, yang disinergikan dengan pelaksanaan kegiatan Dana Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan Kementerian Perhubungan, Dana Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan Kementerian Kelautan dan Perikanan dan APBD; dan
penyediaan moda transportasi perairan/kepulauan untuk meningkatkan arus orang, barang dan jasa, yang disinergikan dengan pelaksanakan kegiatan Dana Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan Kementerian Perhubungan dan APBD.
Uji Materi Pasal 77 UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN terhadap UUD 1945
Relevan terhadap
1. Terhadap materi, muatan, ayat, pasal dan/atau bagian dalam Undang- _Undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan kembali; _ 2. Terlepas dari ketentuan ayat (1) di atas, permohonan pengujian UU terhadap muatan ayat, pasal dan/atau bagian yang sama dengan perkara yang pernah diputus oleh Mahkamah dapat dimohonkan pengujian kembali dengan syarat-syarat konstitusionalitasnya yang menjadi alasan permohonan yang bersangkutan berbeda. 13. Bahwa sebelumnya terhadap Pasal 77 UU BUMN 19/2003 pernah diajukan Uji Materiil yang telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU-VI/2008. Berdasarkan hal tersebut, maka Pemohon terlebih dahulu akan menguraikan apakah materi, muatan, ayat, pasal dan/atau bagian dalam undang-undang Pasal 77 UU BUMN 19/2003 telah diperiksa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU-VI/2008 dan Pemohon akan menjelaskan perbedaan Uji Materiil 6 Pemohon dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU-VI/2008 sebagai berikut: Permohonan Uji Materiil dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU-VI/2008 Bahwa Pemohon dalam Permohonan Nomor 58/PUU-VI/2008 meminta: “ Menyatakan bahwa materi muatan Pasal 1 angka 11 angka 12 serta bagian BAB VII Restrukturisasi dan Privatisasi yang terdiri dari Pasal 72 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 73, Pasal 74 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 75, Pasal 76 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 80 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 81, Pasal 82, Pasal 83, Pasal 84, Pasal 85 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 86 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4297) bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Alasan Pemohon dalam Permohonan Nomor 58/PUU-VI/2008 menyatakan Pasal 77 bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang- _Undang Dasar Negara Republik Indonesia pada pokoknya menyatakan: _ “Pemohon menolak privatisasi dan ketentuan Pasal 77 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 ini adalah ketentuan pemanis dan penggembira saja karena kelak ketentuan peraturan perundang-undangan mengizinkan dilakukan privatisasi” Bahwa Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU-VI/2008, Mahkamah Konstitusi menyatakan Permohonan Pemohon tidak dapat diterima; Bahwa dengan Permohonan Pemohon Nomor 58/PUU-VI/2008 dinyatakan tidak dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi, maka materi, muatan, ayat, pasal dan/atau bagian dalam Pasal 77 UU BUMN 19/2003 belum pernah diperiksa dan di putus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi. Bahwa berdasarkan hal tersebut maka Pasal 77 UU BUMN 19/2003 dapat dimohonkan kembali untuk dilakukan uji materiil pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia melalui Permohonan a quo ; Bahwa selanjutnya dalam permohonan a quo, Pemohon hanya melakukan pengujian terhadap norma Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN 19/2003; Bahwa dalam permohonan a quo, Pemohon memiliki legal standing untuk mengajukan uji materiil Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN 19/2003 terhadap Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 7 sebagaimana akan dijabarkan oleh Pemohon di bawah pada bagian Legal Standing Pemohon; Bahwa Pemohon dalam Permohonan a quo memiliki alasan-alasan hukum yang berbeda, yang pada pokoknya menyatakan bahwa Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN inkonstitusional dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang __ larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan d hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero. Bahwa pada dasarnya Pemohon tidak menolak privatisasi sebagaimana didalilkan Pemohon sebelumnya dalam Permohonan Nomor 58/PUU-VI/2008. Bahwa dalam permohonan a quo yang dipermasalahkan pemohon adalah dapat tidaknya dilakukan privatisasi terhadap “ Persero dan Perusahaan Milik Persero/Anak Perusahaan Persero” yang bergerak disektor tertentu yang berkaitan dengan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf c UU BUMN 19/2003 dan bergerak di bidang usaha sumber daya alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf d UU BUMN 19/2003; __ 14. Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka materi, muatan, ayat, pasal dan/atau bagian dalam Pasal 77 UU BUMN 19/2003 belum pernah diperiksa dan di putus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi, sehingga permohonan a quo tidaklah bersifat ne bis in idem terhadap permohonan sebelumnya (Permohonan Nomor 58/PUU-VI/2008). Bahwa selain tidak bersifat ne bis in idem, dalam Permohonan a quo baik Pemohonnya, alasan, subtansi maupun pokok permohonan (petitum) berbeda, dengan demikian permohonan a quo sudah sepatutnya diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi. II. KEDUDUKAN HUKUM DAN KEPENTINGAN HUKUM PEMOHON 1. Bahwa dalam hukum acara perdata yang berlaku, dinyatakan hanya orang yang mempunyai kepentingan hukum saja, yaitu orang yang merasa hak- haknya dilanggar oleh orang lain, yang dapat mengajukan gugatan (asas tiada gugatan tanpa kepentingan hukum atau zonder belang geen rechttingen ), artinya “hanya orang yang mempunyai kepentingan hukum saja”, yaitu orang yang merasa hak-haknya dilanggar oleh orang lain, yang dapat mengajukan gugatan, termasuk juga permohonan; 8 2. Bahwa dalam perkembangannya, ternyata ketentuan dan atau asas tersebut tidak berlaku mutlak berkaitan dengan diakuinya hak orang atau lembaga tertentu untuk mengajukan gugatan, termasuk juga permohonan, dengan mengatasnamakan kepentingan publik, yang dalam doktrin hukum universal dikenal sebagai Organization Standing (Legal Standing) ;
Doktrin Organization Standing ( Legal Standing ) ternyata tidak hanya dikenal dalam doktrin akan tetapi juga telah diadopsi dalam peraturan perundangan di Indonesia, seperti Undang-Undang Mahkamah Agung RI, Undang- Undang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Lingkungan Hidup, Undang-Undang Kehutanan, Undang-undang Jasa Konstruksi dan doktrin Organization Standing ( Legal Standing ) juga telah menjadi preseden tetap dalam praktek peradilan di Indonesia;
Bahwa walaupun begitu, tidak semua organisasi dapat bertindak mewakili kepentingan umum/publik. Akan tetapi, hanya organisasi yang memenuhi persyaratan tertentu, sebagaimana ditentukan dalam berbagai peraturan perundangan maupun yurisprudensi, yaitu berbentuk badan hukum atau kelompok masyarakat dan organisasi tersebut telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;
Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU- III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya, Mahkamah Konstitusi telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu: a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945. b. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh undang-undang yang diuji. c. bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar (logis) dapat dipastikan akan terjadi. d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji. b. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan tersebut maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan tidak lagi terjadi. 9 6. Bahwa Pemohon adalah Serikat Pekerja yang telah tercatat di Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Administrasi Jakarta Pusat dengan Bukti Pencatatan Nomor 260/I/N/IV/2003, tertanggal 9 April 2003; ( Vide Bukti P-1);
Bahwa Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (selanjutnya disebut FSPPB) diwakili oleh Arie Gumilar selaku Presiden FSPPB berdasarkan Surat Keputusan Musyawarah Nasional Nomor Kpts-06MUNAS- VI/FSPPB/2018. Bahwa Presiden FSPPB memiliki kewenangan untuk mewakili Organisasi dalam beracara di Pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (3) Anggaran Dasar Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB). ( Vide Bukti P-2 ) yang menyatakan: Pasal 18 ayat (3) “Presiden FSPPB memiliki kewenangan untuk mewakili Organisasi dalam beracara di Pengadilan” 8. Bahwa Pemohon merupakan perwakilan dari Lembaga atau Badan atau Organisasi yang mempunyai kepedulian perlindungan terhadap para Pekerja PT Pertamina (Persero) dan oleh karenanya bertindak untuk kepentingan pekerja PT Pertamina (Persero);
Bahwa bentuk dari Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu dalam Pasal 3 Anggaran Dasar Pendirian Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) Perubahan ke 6 tanggal 16 Januari 2015 disebutkan: “ FSPBB berbentuk FEDERASI yang menghimpun dan terbuka bagi serikat pekerja-serikat pekerja di lingkungan PERTAMINA termasuk Anak Perusahaan yang memenuhi syarat-syarat dan ketentuan yang diatur dalam Anggaran Rumah Tangga. 10. Bahwa tugas dan peranan Pemohon dalam melaksanakan kegiatan- kegiatan penegakan hak-hak pekerja sangat jelas dapat dilihat dalam tugas pendirian Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Anggaran Dasar Pendirian Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) Perubahan ke 6 tanggal 16 Januari 2015, yaitu: 1) Untuk memperjuangkan, melindungi, membela hak dan kepentingan _anggota beserta keluarganya; _ 10 2) Meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan pekerja beserta _keluarganya; dan _ 3) Menjaga kelangsungan Bisnis dan eksistensi perusahaan. 4) Memperjuangkan kedaulatan Energi Nasional. 11. Bahwa dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara (selanjutnya disebut UU BUMN 19/2003) hanya mengatur secara tegas mengenai larangan Perusahaan Persero untuk di Privatisasi yaitu Perusahaan Persero yang bidang usahanya disebutkan dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN 19/2003;
Bahwa faktanya Anak Perusahaan dari Perusahaan Persero tersebut hanya berbentuk Perseroan Terbatas biasa, sehingga tidak terikat pada ketentuan Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN 19/2003. Hal tersebut tentunya membuka peluang/berpotensi dapat diprivatisasinya Anak Perusahaan dari Perusahaan Persero tersebut, padahal Anak Perusahaan tersebut memiliki kegiatan di bidang usaha yang berkaitan dengan bidang usaha Induk Perusahaannya yang notabene Induk Perusahaannya dilarang diprivatisasi karena bidang usahanya termasuk yang disebutkan dalam Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN 19/2003;
Bahwa PT Pertamina (Persero) merupakan Perusahaan Persero sebagaimana dimaksud dalam UU BUMN 19/2003. Bahwa berdasarkan Keputusan Menteri BUMN selaku RUPS tanggal 24 November 2016 tentang Perubahan Anggaran Dasar Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pertamina yang dinyatakan pada akta No. 27 tanggal 19 Desember 2016 dinyatakan, bahwa PT Pertamina Persero memiliki kegiatan usaha di bidang penyelenggaraan usaha energi, yaitu minyak dan gas bumi, energi baru dan terbarukan, serta kegiatan lain yang terkait atau menunjang kegiatan usaha di bidang energi, yaitu minyak dan gas bumi, energi baru dan terbarukan tersebut serta pengembangan optimalisasi sumber daya yang dimiliki perusahaan;
Bahwa dengan demikian PT Pertamina Persero termasuk dalam Perusahaan Persero yang dilarang untuk diprivatisasi berdasarkan Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN 19/2003 yaitu: 11 c. Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang _berkaitan dengan kepentingan masyarakat; dan _ d. Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi. 15. Bahwa saat ini PT Pertamina Persero telah memiliki Anak-Anak Perusahaan yang menunjang kegiatan usaha PT Pertamina Persero sebagai induk Perusahaannya di bidang energi, yaitu minyak dan gas bumi, energi baru dan terbarukan;
Bahwa akibat tidak diaturnya anak perusahaan persero/perusahaan milik Persero dalam ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN 19/2003 menyebabkan celah hukum dan ketidakpastian hukum untuk dilakukannya privatisasi/pelepasan seluruh saham ke pihak perorangan/swasta terhadap Perusahaan Milik Persero/Anak Perusahaan Persero yang bergerak di bidang usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d sehingga Pemohon dirugikan Hak Konstitusionalnya yaitu:
Negara berpotensi nyata kehilangan hak menguasai cabang-cabang produksi penting bagi negara, menguasai hajat hidup orang banyak dan sumber daya alam termasuk sumber daya alam minyak dan gasnya sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Bahwa dalam hal ini kedaulatan Energi Nasional menjadi terancam sehingga hak konstitusional Pemohon sangat berpotensi nyata dirugikan dan harus diperjuangkan oleh Pemohon sebagaimana telah di atur dalam anggaran dasar FSPPB.
Berpotensi nyata Sumber Daya Alam tidak ditujukan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat termasuk namun tidak terbatas pada para pekerja Pertamina sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (3) Undang- Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 karena Negara kehilangan hak menguasai sumber daya alam akibat diperbolehkannya pelepasan seluruh saham kepada pihak swasta/perorangan anak perusahaan BUMN yang mengelola sumber daya alam.
Menjadi ancaman terhadap kelangsungan bisnis dan eksistensi dari PT. Pertamina Persero maupun Anak-Anak Perusahaannya akibat potensi nyata terjadinya privatisasi dan/atau pelepasan seluruh saham anak- 12 anak perusahaan ke pihak perorangan/swasta. Bahwa seharusnya anak perusahaan persero yang bergerak di bidang usaha pengelolaan sumber daya alam dan cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan Masyarakat dilarang untuk di privatisasi.
Berpotensi nyata para pekerja pada anak-anak perusahaan Pertamina kehilangan statusnya sebagai pekerja BUMN dan menjadi pekerja swasta biasa akibat pelepasan seluruh saham anak perusahan PT. Pertamina Persero kepada pihak swasta/perorangan.
Kualitas hidup dan kesejahteraan para pekerja pada Perusahaan Grup PT. Pertamina Persero dan/atau BUMN beserta keluarganya akan tidak terjamin apabila anak-anak perusahaan PT. Pertamina Persero/BUMN tidak dikontrol dengan baik oleh Negara.
Berpotensi dilakukannya Pemutusan Hubungan Kerja terhadap para pekerja anak-anak perusahaan Pertamina akibat pelepasan seluruh saham/sebagian besar saham anak-anak perusahaan Pertamina kepada Pihak Swasta/Perorangan, hal ini sangat beralasan mengingat dalam pasal 163 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan memungkinkan perusahaan/ pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja karena adanya perubahan kepemilikan saham perusahaan. Bahwa hal tersebut di atas tentunya merupakan salah satu tugas dan tanggung jawab bagi Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) untuk memperjuangkan, melindungi, membela hak dan kepentingan anggota dan atau pekerja, meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan pekerja beserta keluarganya, menjaga kelangsungan bisnis dan eksistensi Perusahaan dan memperjuangkan kedaulatan Energi Nasional sebagaimana dinyatakan dalam Anggaran Dasar Pendirian Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB);
Bahwa terkait dengan tujuan pendirian Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 7 angka (3) Anggaran Dasar Pendirian Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) Perubahan ke-Lima Tahun 2011, maka Pemohon sangat berkepentingan untuk mengajukan Uji Materil ke Mahkamah Konstitusi 13 sebagai akibat dari adanya ketidakpastian hukum dalam ketentuan Pasal 77 huruf c dan d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara;
Bahwa selama ini secara nyata, Pemohon telah pula memperjuangkan kepentingan hukumnya sebagaimana dinyatakan dalam AD/ART baik itu melalui gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial terkait hak dan kepentingan para Pekerja yang menjadi anggotanya, termasuk pula telah pernah mengajukan gugatan Judicial Review tentang Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor: 37/PUU-IX/2011 dan gugatan Judicial Review Tentang Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi yang telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 65/PUU-X/2012;
Bahwa berdasarkan uraian di atas, jelas Pemohon telah memenuhi kualitas maupun kapasitas sebagai Pemohon pengujian Pasal 77 huruf c dan d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara. III. ALASAN-ALASAN PERMOHONAN Bahwa Pasal 77 huruf c dan d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara inkonstitusional dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap __ Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero. A. Pasal 77 huruf c dan huruf d Bertentangan Dengan Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap __ Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero. 14 1. Bahwa Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan: 2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. 2. Bahwa sesuai dengan konsep Penguasaan Negara di dalam pertimbangan hukum putusan Mahkamah Konstitusi perkara Undang- Undang Minyak dan Gas dan Undang-Undang Ketenagalistrikan menafsirkan mengenai “hak menguasai negara/HMN” bukan dalam makna negara memiliki, tetapi dalam pengertian bahwa negara merumuskan kebijakan (beleid) , melakukan pengaturan (regelendaad) , melakukan pengurusan (bestuurdaad) , melakukan pengelolaan (beheersdaad) , dan melakukan pengawasan (toezichthoudendaad) yang semuanya ditujukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat;
Bahwa salah satu fungsi dari Hak Menguasai Negara adalah pengelolaan, yang mana fungsi pengelolaan tersebut dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara, hal tersebut sesuai dengan pendapat Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor: 3/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menyatakan bahwa: “ Fungsi pengelolaan dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham dan/atau melalui keterlibatan langsung badan usaha milik negara, termasuk di dalamnya badan usaha milik daerah atau badan hukum milik negara/daerah sebagai instrumen kelembagaan di mana pemerintah mendayagunakan kekuasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan oleh negara dilakukan oleh negara c.q. pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas kekayaan alam atas bumi, air, dan kekayaan alam benar-benar digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; ” 4. Bahwa sebagai bentuk implementasi Hak Menguasai Negara untuk mengelola cabang-cabang produksi yang penting dalam Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, maka pada tanggal 19 Juni 2003 15 Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan dan mengesahkan Undang-Undang Nomor Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara, yang tercatat dalam Lembaran Negara Nomor 70 Tahun 2003;
Bahwa filosofi dibentuknya Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN 19/2003 adalah menjaga supaya Negara tidak kehilangan “hak menguasai negara/HMN” dalam melakukan pengelolaan (beheersdaad) terhadap Cabang-Cabang Produksi yang penting bagi Negara, menguasai hajat hidup orang banyak dan sumber daya alam yang semuanya ditujukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat;
Bahwa maksud dan tujuan pendirian BUMN yang tercantum dalam Pasal 2 UU BUMN 19/2003 adalah:
Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional b. Mengejar keuntungan;
Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak;
Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi e. Turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi dan masyarakat.
Bahwa di dalam Pasal 77 UU BUMN 19/2003 Negara telah mengatur mengenai Persero yang tidak dapat di privatisasi yaitu: a. Persero yang bidang usahanya berdasarkan ketentuan peraturan _perundang-undangan hanya boleh dikelola oleh BUMN; _ b. Persero yang bergerak di sektor usaha yang berkaitan dengan _pertahanan dan keamanan negara; _ c. Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang _berkaitan dengan kepentingan masyarakat; _ d. Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi. 8. Bahwa yang dimaksud dengan Perusahaan Perseroan yang selanjutnya disebut Persero berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU BUMN 19/2003 adalah: 16 “ BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.” 9. Bahwa selanjutnya yang dimaksud dengan Privatisasi berdasarkan Pasal 1 angka 12 UU BUMN 19/2003 adalah: “penjualan saham Persero, baik sebagian maupun seluruhnya , kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat.” 10. Bahwa sejalan dengan berjalannya waktu, persaingan usaha dalam bidang perekonomian global semakin ketat, untuk itu Pemerintah Republik Indonesia memiliki strategi untuk menguatkan daya saing, peningkatan nilai, perluasan jaringan usaha dan kemandirian pengelolaan Badan Usaha Milik Negara yaitu dengan membentuk perusahaan induk BUMN/Perusahaan Grup/ Holding Company . Bahwa dengan demikian saat ini Persero yang dilarang untuk di privatisasi berdasarkan ketentuan dalam Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN 19/2003 telah berkembang menjadi sebuah Perusahaan Grup/ Holding Company bukan hanya sekedar sebuah Perusahaan Perseroan tunggal, Perusahaan-Perusahaan Persero pada saat ini telah memiliki anak-anak perusahaan bahkan cucu perusahaan (Perusahaan milik PT. Persero) ; __ 11. Bahwa Perusahaan Grup/ Holding Company menurut pendapat ahli dapat diartikan sebagai berikut: Menurut Raajimakers, perusahaan kelompok atau group company secara umum dapat diberi pengertian sebagai suatu susunan dari perusahaan- perusahaan yang secara yuridis tetap mandiri dan yang satu dengan yang lain merupakan suatu kesatuan ekonomi yang dipimpin oleh suatu perusahaan induk. Menurut Prof. Emmy Pangaribuan, S.H. perusahaan grup/konsern adalah suatu gabungan atau susunan dari perusahaan-perusahaan yang secara yuridis mandiri, yang terkait satu dengan yang lain begitu erat sehingga membentuk suatu kesatuan ekonomi yang tunduk pada suatu pimpinan dari suatu perusahaan induk sebagai sentral. Menurut Ray August, holding company adalah perusahaan yang dimiliki oleh induk perusahaan atau beberapa induk perusahaan yang bertugas untuk mengawasi, mengoordinasi, dan mengendalikan kegiatan usaha anak-anak perusahaannya. __ 17 12. Bahwa berdasarkan pengertian mengenai Perusahaan Grup dari para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa, perusahaan grup/ holding company /konsern merupakan suatu gabungan dari perusahaan- perusahaan yang masing- masing mandiri secara yuridis, memiliki hubungan yang erat, memiliki hubungan ekonomi antara yang satu dengan yang lain, dimana induk perusahaan mengawasi, mengoordinasi, dan mengendalikan kegiatan usaha anak-anak perusahaannya;
Bahwa pengertian Anak Perusahaan dari Perusahaan Persero dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor: PER-03/MBU/2012 Tentang Pedoman Pengangkatan Anggota Direksi dan Anggota Dewan Komisaris Anak Perusahaan Badan Usaha Milik Negara yaitu: “ Anak Perusahaan BUMN, yang selanjutnya disebut Anak Perusahaan adalah perseroan terbatas yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh BUMN atau perseroan terbatas yang dikendalikan oleh BUMN.” Bahwa dengan demikian Anak Perusahaan dari Perusahaan Persero tersebut bukanlah suatu Perusahaan Persero, melainkan Perseroan Terbatas biasa;
Bahwa apabila melihat penjelasan dalam Pasal 2A ayat (7) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penyertaan Dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas disebutkan bahwa: “ Anak Perusahaan BUMN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) _diperlakukan sama dengan BUMN untuk hal sebagai berikut: _ a. Mendapatkan penugasan Pemerintah atau melaksanakan _pelayanan umum; dan/atau _ b. Mendapatkan kebijakan khusus negara dan/atau Pemerintah, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam dengan perlakuan tertentu sebagaimana diberlakukan bagi BUMN. __ __ __ 18 Penjelasan Pasal 2A ayat (7) Yang termasuk dalam perlakukan yang sama dalam kebijakan khusus negara da/atau pemerintah antara lain terkait dengan proses dan bentuk perizinan, hak untuk memperoleh HPL, kegiatan perluasan lahan dan/atau keikutsertaan dalam kegiatan-kegiatan kenegaraan atau pemerintah yang melibatkan BUMN. __ 15. Bahwa untuk memberi gambaran kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Pemohon akan memberikan ilustrasi mengenai pembentukan holding dan subholding yang terjadi pada PT. Pertamina Persero dengan uraian-uraian sebagai berikut:
1 Bahwa Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Melalui Rapat Umum Pemegang Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pertamina, menerbitkan Surat Keputusan Nomor: SK- 198/MBU/06/2020 tanggal 12 Juni 2020 tentang Pemberhentian, Perubahan Nomenklatur Jabatan, Pengalihan Tugas, dan Pengangkatan Anggota-Anggota Direksi Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pertamina. Melalui SK tersebut diatas ditetapkan beberapa hal yakni; Mengubah nomenklatur jabatan anggota- anggota Direksi Perusahaan Perseroan Persero) PT Pertamina. Delapan direktur dalam organisasi pertamina sebelumnya dibubarkan, selanjutnya digabungkan ke dalam tiga direktorat yakni direktur penunjang bisnis, Direktur Logistik dan lnfrastruktur, serta Direktur Strategi, Portofolio, dan Pengembangan Usaha 2.1 Bahwa Kebijakan Menteri BUMN tersebut ditindaklanjuti berdasarkan SK Direktur Utama Pertamina nomor Kpts- 18/C00000/2020-S0 yang salah satu keputusanya adalah membentuk dan menetapkan sub Holding anak perusahaan PT pertamina Persero yang terdiri dari 1) sub holding upstream ; yang akan digambarkan sebagai berikut: 19 atau lebih sederhananya seperti bagian di bawah ini 3.1 Bahwa Dari dua bagan di atas terlihat bahwa yang dijadikan Sub Holding adalah Seluruh Bisnis Inti Pertamina dari Hulu ke Hilir, dari Eksplorasi hingga Pemasaran, jadi core business Pertamina menjadi Anak Perusahaan Pertamina. Bahwa saat ini struktur Perusahaan Grup PT. Pertamina (Persero) dapat digambarkan sebagai berikut sebagai berikut. 20 21 4.1 Bahwa apabila melihat Struktur Perusahaan Grup PT Pertamina (PERSERO), anak-anak perusahaan PT Pertamina (PERSERO) yaitu PT Pertamina EP, PT Pertamina Hulu Energi, PT. Pertamina Geothermal Energy, PT Pertamina Drilling, PT PGN, dsb melakukan pengelolaan sumber daya alam, dimana kegiatan usaha tersebut merupakan kegiatan usaha yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN 19/2003.
Bahwa berdasarkan ilustrasi pada PT Pertamina (Persero) tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa anak-anak perusahaan dari perusahaan persero yang berbentuk Perseroan Terbatas biasa oleh Pemerintah Republik Indonesia terbukti diberikan izin untuk melaksanakan pelayanan umum dan/atau pengelolaan sumber daya alam, dimana kegiatan usaha tersebut merupakan kegiatan usaha yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN 19/2003 yaitu:
Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu _yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat; dan _ d. Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan dilarang untuk diprivatisasi 17. Bahwa pembentukan Perusahaan Grup/ Holding Company pada dasarnya dilakukan sebagai strategi untuk menguatkan daya saing, peningkatan nilai, perluasan jaringan usaha dan kemandirian pengelolaan Badan Usaha Milik Negara;
Bahwa hal tersebut di atas hanya dapat dilakukan apabila Induk Perusahaan yaitu PT Persero menguasai seluruh/sebagian besar saham dari anak-anak perusahaannya/Perusahaan milik PT Persero tersebut, sehingga Induk Perusahaan yaitu PT Persero sebagai implementasi Negara mampu untuk melakukan pengelolaan terhadap Anak-Anak Perusahaan/Perusahaan milik Persero yang bidang usahanya mengelola cabang-cabang produksi yang penting dan sumber daya alam negara;
Bahwa Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN 19/2003 secara limitatif hanya mengatur secara tegas Persero yang tidak dapat di privatisasi, namun tidak mengatur secara tegas mengenai Perusahaan Milik 22 Persero/Anak Perusahaan Persero yang memiliki kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 UU BUMN 19/2003;
Bahwa apabila larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN 19/2003 hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap __ Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero, maka akan berpotensi terjadinya Privatisasi bahkan hilangnya eksistensi terhadap Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan dari Persero, karena Anak Perusahaan dari Perusahaan Persero tersebut bukanlah suatu Perusahaan Persero, melainkan Perseroan Terbatas biasa. Anak Perusahaan persero tidak diatur pada UU BUMN 19/2003;
Bahwa privatisasi PT Pertamina (Persero) melalui anak perusahaanya dengan terlebih dahulu membentuk sub holding dan mengalihkan core business /bisnis inti pertamina dari hulu ke hilir kepada sub holding akan menghambat usaha PT Pertamina persero untuk mendapatkan prioritas dalam memperoleh usaha kerja sesuai Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi menyatakan ayat 4 Dalam hal PT Pertamina (Persero) mengajukan permohonan kepada Menteri untuk mendapatkan Wilayah Kerja terbuka tertentu, Menteri dapat menyetujui permohonan tersebut dengan mempertimbangkan program kerja, kemampuan teknis dan keuangan PT. Pertamina (Persero) sepanjang saham PT. Pertamina (Persero) 100% (seratus per seratus) dimiliki oleh Negara. ayat 5 PT Pertamina (Persero) sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak dapat mengajukan permohonan untuk wilayah kerja yang telah ditawarkan. 22. Bahwa berdasarkan ketentuan dalam Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, PT Pertamina (Persero) seharusnya tidak diperbolehkan untuk melepaskan saham ke publik/swasta/perorangan, sebab apabila sahamnya tidak seratus persen milik negara maka PT. 23 Pertamina Persero tidak akan bisa lagi untuk mendapatkan wilayah kerja terbuka tertentu;
Bahwa ketentuan dalam Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, yang menyatakan bahwa PT Pertamina (Persero) hanya dapat mengajukan permohonan untuk mendapatkan wilayah kerja apabila sahamnya masih 100% dimiliki negara merupakan bentuk pelaksanaan amanat Pasal 33 UUD 1945 yang menyatakan cabang- cabang produksi yang penting dan sumber daya alam harus dikuasai oleh negara sepenuhnya, tidak dibagi-bagi dengan swasta/perorangan, dengan tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Bahwa hal tersebut telah sejalan dengan pendapat Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung dalam putusannya yang menyatakan:
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 36/PUU-X/2012 yang menyatakan bahwa Wilayah Kerja-Wilayah Kerja migas hanya boleh dikelola oleh BUMN sebagai wujud penguasaan negara. Hal ini merupakan perwujudan dari amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 di mana negara melalui Pemerintah dan DPR, berkuasa untuk membuat kebijakan, mengurus, mengatur, mengelola dan mengawasi. Mahkamah Konstitusi menegaskan, khusus untuk aspek pengelolaan, penguasaan negara tersebut dijalankan oleh pemerintah melalui BUMN.
Putusan Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 69 P/HUM/2018 yang menyatakan bahwa pemberian pengelolaan wilayah kerja Migas yang akan berakhir kontrak kerjasamanya, BUMN sebagai perwujudan penguasaan negara in casu PT Pertamina (Persero) harus didahulukan ( voorerecht ) sepenuhnya untuk mengelola sumber daya energi Migas tersebut;
Bahwa Minyak dan Gas Bumi merupakan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, hal tersebut dapat dilihat dalam ketentuan peraturan perundang-undangan diantaranya yaitu: 24 a. Bagian menimbang huruf b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi menyatakan : “ bahwa minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan yang dikuasai oleh negara serta merupakan komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak dan mempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional sehingga pengelolaannya harus dapat secara maksimal memberikan _kemakmuran dan kesejahteraan rakyat; _ b. Daftar Lampiran Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 Tentang Bidang Usaha yang terbuka dan tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal disebutkan bahwa “Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral masuk dalam kategori terbuka dengan persyaratan” bukan bidang usaha yang terbuka. Bahwa minyak dan gas bumi merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dalam peraturan perundang-undangan telah dikuatkan dengan penafsiran dari Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 36/PUU-X/2012 tersebut di atas;
Bahwa dengan demikian seharusnya PT Pertamina Persero maupun anak-anak perusahaan/perusahaan milik PT Pertamina (Persero) tidak dapat di privatisasi karena mengelola cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak yaitu minyak dan gas;
Bahwa sebagaimana telah Pemohon jelaskan sebelumnya di atas, saat ini seluruh Bisnis Inti (core business) Pertamina dari Hulu ke Hilir, dari Eksplorasi hingga Pemasaran telah dilimpahkan kepada Sub Holding/ anak perusahaan dari PT Pertamina Persero yang notabene anak perusahaan PT Pertamina Persero tersebut hanya berbentu Perseroan Terbatas biasa, bukan PT Persero, selain itu dapat disimpulkan pula bahwa Bisnis Inti (core bisnis) PT Pertamina tersebut telah dilakukan secara terpisah/tidak terintegrasi oleh badan usaha yang berbeda yang tentunya ini adalah UNBUNDLING PERTAMINA. Dengan terpecahnya sistem integrasi Pertamina karena sektor intinya menjadi 25 Anak Perusahaan maka berpotensi menyebabkan masalah-masalah yang akan timbul dari tidak terintegrasinya pengelolaan minyak dan gas bumi;
Bahwa masalah-masalah yang akan timbul dengan dilakukannya unbundling pada Badan Usaha Milik Negara/Persero yang mengelola cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak diantaranya adalah:
Potensi nyata untuk dilakukan pelepasan seluruh atau sebagai besar saham anak-anak perusahaan BUMN/Persero yang mengelola cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak kepada pihak swasta/perorangan (Privatisasi). Bahwa hal tersebut tentunya berpotensi menghilangkan Hak Menguasai Negara untuk melakukan pengelolaan langsung terhadap cabang-cabang produksi yang penting bagi negara.
Potensi nyata menjadi persaingan bisnis antar sektor usaha pada badan usaha yang berbeda. Bahwa masalah-masalah tersebut tentunya akan membuat BUMN/Persero yang mengelola cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak menjadi terpuruk dan sangat berpotensi menyebabkan Negara Kehilangan Hak Menguasai yaitu kewenangan untuk melakukan pengelolaan _(beheersdaad); _ __ 28. Bahwa sebenarnya Mahkamah Konstitusi pernah memutus perkara yang berkaitan dengan pilihan bundling ataukah unbundling dalam penyediaan listrik di Indonesia. Pada Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003, bertanggal 15 Desember 2004, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menyatakan bahwa Sistem unbundling dalam restrukturisasi usaha listrik justru tidak menguntungkan dan tidak selalu efisien dan malah menjadi beban berat bagi negara, sehingga oleh karenanya Mahkamah berpendapat bahwa hal tersebut bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945;
Bahwa selain itu Pembentukan sub holding anak perusahaan persero maupun unbundling inilah yang mejadi celah hukum dan tidak adanya kepastian hukum untuk anak-anak perusahaan Persero termasuk namun 26 tidak terbatas pada anak-anak perusahaan PT Pertamina Persero untuk dilakukan privatisasi, karena dengan terbentuknya sub holding dan/atau unbundling maka terbukalah peluang dari anak-anak perusahaan/perusahaan milik Persero untuk melantai di bursa, sebagaimana yang telah terjadi dengan Perusahaan Gas Negara (PGN);
Bukan tanpa dasar, terbukti dengan secara terbuka Menteri Badan Usaha Milik Negara (Erick Thohir) melalui berbagai media menyatakan target khusus yang dibebankan pada jajaran direksi baru Pertamina yakni satu atau dua anak usaha Pertamina harus mampu melakukan Initial Public Offering (IPO) dalam dua tahun ke depan;
Bahwa pelepasan saham anak perusahaan PT Pertamian persero sama halnya dengan perdagangan organ tubuh manusia. Bahwa bila di ilustrasikan dengan utuh terhadap Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN 19/2003 ibarat seekor sapi betina yang dilarang di jual untuk menjaga dan menjamin pasokan susu bagi pemiliknya, tentunya sapi itu harus sehat dan utuh agar bisa menghasilkan susu dan sapi itu haruslah tetap milik si empunya sapi agar susunya bisa dinikmati yang punya sapi. Namun bila dikaitkan dengan pembentukan sub hoding PT Pertamina, si sapi itu di potong-potong di mana sebagian organ tubuhnya di jual ke orang lain;
Bahwa siasat pelepasan saham kepada swasta/perorangan terhadap anak-anak perusahaan PT Pertamina Persero dapat diibaratkan halnya dengan pencuri sepeda motor yang kemudian menjual terpisah bagian- bagian dari motor tersebut kepada orang lain. Bahwa mencuri dan menjual motor curian kepada orang lain merupakan tindak pidana, namun untuk menyiasatinya agar tidak ketahuan maka pencuri tersebut menjual terpisah bagian-bagian dari sepeda motor tersebut hingga habis tidak tersisa;
Bahwa menurut hemat Pemohon anak-anak perusahaan/perusahaan milik PT Persero seharusnya diperlakukan sama dengan Induk Perusahaannya yaitu PT Persero, sebab antara Induk Perusahaannya yaitu PT Persero dengan anak-anak perusahaannya/Perusahaan milik Persero sama-sama memiliki keterkaitan bidang usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN 19/2003 27 sehingga seharusnya baik Induk Perusahaan (PT Persero) maupun anak-anak perusahaanya/Perusahaan milik PT Persero tidak dapat diprivatisasi;
Bahwa dengan demikian akibat seluruh dan/atau sebagian besar saham Anak-Anak Perusahaan/perusahaan milik PT Persero dimiliki oleh swasta/perorangan akibat dari tindakan privatisasi Anak Perusahaan Perseroan akan menimbulkan kerugian konstitusional bagi Pemohon dan Negara yaitu, berpotensi nyata menyebabkan Negara tidak lagi memiliki kewenangan untuk melakukan pengelolaan (beheersdaad) terhadap anak perusahaan/perusahaan milik Persero yang memiliki bidang usaha mengelola cabang-cabang produksi yang penting dan sumber daya alam negara, hal tersebut disebabkan karena sebagian besar saham/seluruh saham Anak-Anak Perusahaan/Perusahaan Persero telah dimiliki oleh swasta dan/atau perorangan;
Bahwa yang menjadi keberatan Pemohon sehingga Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan diberlakukannya Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN 19/2003 sepanjang larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan d hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap __ Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero adalah apabila anak-anak Perusahaan/Perusahaan milik PT Persero yang dilarang untuk diprivatisasi berdasarkan Pasal 77 huruf c dan d dapat di privatisasi dengan melepas saham ke publik/swasta/perorangan;
Bahwa dengan demikian apabila larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan d hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap __ Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero , maka __ tidak menutup kemungkinan Anak Perusahaan Perseroan/Perusahaan milik Persero tersebut seluruh dan/atau sebagian besar sahamnya dapat dikuasai oleh swasta/perorangan akibat dari tindakan privatisasi Anak Perusahaan Perseroan;
Bahwa terhadap penerapan Pasal 77 huruf c dan d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik berpotensi 28 menyebabkan kerugian yang nyata bagi rakyat dan Negara apabila larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan d hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap __ Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero akan menyebabkan Negara kehilangan “hak menguasai negara/HMN” dalam melakukan pengelolaan (beheersdaad) yang menyebabkan pihak swasta dan/atau perorangan dapat menguasai dan/atau mengelola c abang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang . Hal tersebut tentunya sangat bertentangan dengan amanat Konstitusi dalam Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945; B. Pasal 77 huruf c dan huruf d Bertentangan Dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap __ Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero.
Bahwa Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan: 3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. 39. Bahwa prinsip sebesar-besarnya kemakmuran rakyat telah mendapatkan penafsiran dari Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor: 3/PUU- VIII/2010 tentang uji materiil Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, telah membuat tolak ukur pengelolaan kekayaan alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, antara lain: _1. Kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat; _ _2. Tingkat kemerataan sumber daya alam bagi rakyat; _ 3. Tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya _alam; _ 4. Penghormatan terhadap hak rakyat yang bersifat turun-temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam. 40. Bahwa tujuan utama dibentuknya BUMN adalah untuk mencari keuntungan dan menyediakan barang dan jasa yang bermutu tinggi bagi 29 sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana tersirat dalam Pasal 2 UU BUMN 19/2003;
Bahwa selain itu tujuan awal dibentuknya PT. Pertamina Persero dapat dilihat dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minjak dan Gas Bumi Negara yaitu: Pasal 5 “Tudjuan Perusahaan adalah membangun dan melaksanakan pengusahaan minjak dan gas bumi dalam arti seluas-luasnja untuk sebesar-besar kemakmuran Rakjat dan Negara serta mentjiptakan Ketahanan Nasional.” 42. Bahwa selain itu berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 Tentang Energi menyatakan; “dalam rangka mendukung pembangunan nasional berkelanjutan dan meningkatkan ketahanan energi nasional, maka sumber daya energi fosil, panas bumi, hidro skala besar, dan sumber energi nuklir dikuasai negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” .
Bahwa untuk memberi gambaran kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Pemohon akan memberikan ilustrasi mengenai proses bisnis Pertamina yakni pengolahan energy utamanya Migas dari hulu ke hilir hingga dapat dinikmati oleh masyarakat Indonesia yang selama ini dilaksanakan oleh Perusahaan Grup/ Holding PT. Pertamina Persero sebagai berikut: A. Bisnis pertamina terintegrasi hulu ke hilir 30 Secara sederhana, proses bisnis Pertamina dapat dilihat pada gambar berikut: Kedudukan/bisnis Pertamina yang secara terintegrasi dapat menjamin security of supply dalam penyediaan pemenuhan energy negeri yang menopang ketahanan energy. Dengan integrasi bisnis hulu ke hilir, maka jalur koordinasi perusahaan menjadi sangat jelas dan gamblang dalam satu kesatuan PT Pertamina (Persero) sebagai representative Negara. Kedudukan/bisnis Pertamina yang secara terintegrasi dapat menjamin security of supply dalam penyediaan pemenuhan energi negeri yang menopang ketahanan energi. Dengan integrasi bisnis hulu ke hilir, maka jalur koordinasi perusahaan menjadi sangat jelas dan gamblang dalam satu kesatuan PT Pertamina (Persero) sebagai representative Negara. Adapun secara ringkas beginilah penjesalan masing-masing proses bisnis tersebut: 31 a. Hulu / Eksplorasi / Upstream Proses penyediaan energi terutama migas dimulai dari penyediaan minyak mentah yang akan diolah menjadi produk jadi maupun antara. Minyak mentah tersebut menjadi bahan baku dalam penyediaan produk tersebut. Proses penyediaan minyak mentah dalam perut bumi Indonesia dimulai dengan tahapan eksplorasi. Tahapan ini adalah pencarian minyak Bumi melalui suatu kajian panjang yang melibatkan beberapa bidang kajian kebumian dan ilmu eksak. Untuk kajian dasar, riset dilakukan oleh para geologis, yaitu orang-orang yang menguasai ilmu kebumian yang mencari lokasi hidrokarbon/minyak dan gas yang dapat diproduksi. Tahapan-tahapannya adalah: • Survey – Penilaian – Development : Menemukan volume hidrokarbon baru dengan demikian menggantikan volume yang sedang diproduksi atau dengan kata lain adalah proses penemuan ladang minyak baru hingga tahapan layak dan dapat diproduksi termasuk penyediaan sarana dan fasilitas produksi (pompa angguk, pemisahan impurities dan air, pipanisasi dan pertangkian). • Produksi: Setelah sebuah area yang sudah dinyatakan layak produksi dari hasil survey dan kajian. Dalam proses produksi tersebut, minyak dalam perut bumi “diangkat” dari sumur ke permukaan melalui fasilitas pengangkatan yang kemudian melalui proses pemisahan dari impurities dan air sehingga didapatkan minyak bumi yang sesuai spesifikasi migas yang ditampung ke dalam Tangki. • Distribusi Migas Setelah tahapan penyimpanan dalam tangki tersebut, maka dilakukan pendistribusian minyak mentah tersebut ke proses pengolahan melalu media transportasi. Adapun media pendistribusian ke kilang/pengolahan dapat melalui pipanisasi dan atau kapal tangker. Lokasi dari ekplorasi dan produksi minyak mentah dapat di daratan ( onshore ) atau laut lepas ( offshore ). Adapun pemenuhan minyak mentah Indonesia berasal dari Domestik maupun impor. Gambaran porsi produksi Minyak Mentah domestik sbb: 32 o 56.7% produksi Pertamina menjadi porsi perusahaan o 52.55% dari total produksi hulu diolah di kilang Pertamina b. Pengolahan/Kilang/ Refinery Kilang minyak adalah pabrik/fasilitas industri yang mengolah minyak mentah menjadi produk petroleum yang bisa langsung digunakan maupun produk-produk lain yang menjadi bahan baku bagi industri petrokimia. Adapun kebutuhan pengolahan Minyak mentah yang diolah di Kilang Pertamina berasal dari Domestik (baik Penugasan Pemerintah atau 3 ^rd Party) sebesar 56% dan Import sebesar 44%. (data tahun 2016) PT Pertamina (Persero) memiliki terdapat 6 kilang/Refinery Minyak dan Petrokimia yaitu:
Refinery Unit – II Dumai 2) Refinery Unit – III Plaju 3) Refinery Unit – IV Cilacap 33 4) Refinery Unit – V Balikpapan 5) Refinery Unit – VI Balongan 6) Refinery Unit – VII Sorong Serta beberapa kilang lain yaitu Cepu, Mundu, dan TPPI Tuban. Setelah melalui tahapan eksplorasi di Upstream, minyak __ mentah disalurkan baik via pipa maupun kapal tangker ke kilang-kilang yang dimiliki Pertamina. Minyak mentah tersebut diolah melalui beberapa tahapan yaitu pemisahan berdasarkan titik didih, pemisahaan secara konversi, dan pemisahan terhadap impurities sehingga dihasilkan produk jadi yang bisa langsung dipakai atau produk antara yang menjadi bahan baku industry petrokimia. Adapun produk tersebut diantaranya Solar, Premium, Pertamax, Pertalite, Dexlite, avtur, kerosene, LPG, serta produk Petrokimia seperti Propylene, Aspal, Lube Base (pelumas), Paraxylene, Benzene, dsb. Semua produk tersebut akan ditampung terlebih dahulu dalam tangki sebelum disalurkan ke costumer (baik Industri maupun end user /masyarakat).
Pemasaran/ Marketing & Trading Proses bisnis integrasi Pertamina selanjutnya adalah Pemasaran/ Marketing & Trading . Setelah minyak mentah/ crude oil diolah menjadi produk jadi di kilang Pertamina, maka dilakukan tahapan selanjutnya yaitu penyaluran kepada pelanggan baik industry maupun masyarakat. Proses tersebut dilakukan oleh fungsi Pemasaran. Produk dari kilang akan disalurkan ke Pemasaran melalui Depot BBM dan LPG atau langsung ke Industri melalui perpipaan maupun kapal tangker. Produk jadi tersebut akan ditambung di depot-depot seluruh seantero Indonesia dari Sabang sampai Merauke. 34 ALUR DISTRIBUSI BAHAN BAKAR MINYAK (BBM) DAN LPG Berdasarkan alur distribusi BBM dan LPG tersebut Pertamina memastikan ketersediaan BBM dan LPG seluruh Indonesia via darat, laut, dan udara. Adapun total kebutuhan produk BBM dan LPG secara konsolidasi sebesar 60% berasal dari Kilang Sendiri dan 40% berasal dari impor. (data tahun 2016).
Distribusi/Transportasi & Perkapalan Proses bisnis Pertamina yang tidak kalah penting adalah jaminan tersampainya minyak mentah dari Eksplorasi & Produksi maupun Impor menuju Kilang Pertamina serta tersalurkannya produk kilang ke Pemasaran yang kemudian didistribusikan ke Industri dan end user . Keunggulannya proses integrasi bisnis Pertamina dari Hulu ke Hilir adalah jaminan tersebut dikelola oleh Negara yang diwakili oleh Pertamina termasuk proses distribusinya. Peran perkapalan/ shipping Pertamina inilah yang sangat penting. Dengan geografis Indonesia yang 70%nya adalah perairan, maka peran perkapalan sangat besar dalam proses distribusi. Shipping sangat berperan dalam supply chain Pertamina. Peran kapal dalam menghubungkan satu pulau dengan pulau lainnya sangat berdampak besar terhadap aktivitas perekonomian Indonesia. Hal yang tidak kalah penting, kapal berperan menstimulus pertumbuhan ekonomi 35 daerah tertinggal sehingga mampu memperkecil adanya gap antara kawasan berkembang dengan kawasan tertinggal Seperti yang tergambar pada gambar di atas terlihat bahwa transportasi via kapal dimulai dari proses hulu/ upstream sampai dengan ke depot- depot Pertamina. Sejatinya lingkup kerja Shipping sangatlah kompleks, namun apabila disederhanakan dapat mencakup beberapa aspek sebagai berikut: o Luasnya wilayah operasi distribusi energi yang dilayani terbentang dari Sabang sampai Merauke. Bahkan sejak 2015, Shipping mendapat amanah dalam pengangkutan kargo impor FOB dari wilayah Regional maupun Internasional. o Kapal yang dioperasikan cukup banyak dan beragam ukuran. Sampai dengan akhir 2015, Shipping mengoperasikan lebih dari 200 kapal mulai dari ukuran 1000 DWT sampai dengan 300.000 DWT. o Karakteristik pelabuhan yang berbeda sehingga beragam kendala dan hambatan yang dihadapi akan berbeda untuk masing-masing pelabuhan. Tercatat saat ini terdapat lebih dari 100 pelabuhan khusus 36 (pelsus) yang terletak di ratusan pulau di seluruh pelosok tanah air baik di kilang, depot, maupun sumur minyak. o Besarnya volum dan jenis kargo yang diangkut, dimana setiap kargo memiliki karakteristik dan penanganan yang berbeda. Kargo yang diangkut meliputi: minyak mentah, premium, kerosene, solar, avtur, avigas, pertamax, pertamax plus, LPG, lube base, paraxylene, asphalt, fame, sampai minyak bakar. o Kondisi perairan yang meliputi laut dan sungai. Seringkali pengangkutan yang melewati sungai tidak bisa diprediksi karena adanya luapan, banjir, maupun surut yang mengharuskan kapal menunggu agar bisa kembali berlayar. Selain itu terdapat beberapa rute dengan berbagi peringatan karena adanya indikasi perompakan, pencurian sampai separatism. o Tuntutan operasional akibat minimnya infrastruktur yang mengakibatkan kapal harus dapat dioperasikan sebagai tanki timbun atau floating storage serta kegiatan Ship to Ship transfer. Selain dengan kapal, pendistribusian produk BBM dan LPG di daratan melalui perpipaan dan mobil-mobil tangki yang menghubungkan tiap-tiap wilayah Indonesia mulai dari kota sampai daerah terpencil.
Bahwa sebelumnya seluruh Bisnis Inti Pertamina dari Hulu ke Hilir, dari Eksplorasi hingga Pemasaran sebagaimana disebutkan di atas dikelola langsung oleh PT Pertamina Persero sebagai Holding sedangkan anak- anak perusahaan berperan membantu proses bisnis tersebut, namun saat ini seluruh Bisnis Inti Pertamina dari Hulu ke Hilir, dari Eksplorasi hingga Pemasaran telah dilakukan secara terpisah ( Unbundling ) oleh badan usaha yang berbeda dengan membentuk Sub Holding;
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya mengenai undbundling Mahkamah Konstitusi pernah memutus perkara yang berkaitan dengan pilihan bundling ataukah unbundling dalam penyediaan listrik di Indonesia. Pada Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003, bertanggal 15 Desember 2004, Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan secara keseluruhan. Pokok permohonan para Pemohon dalam perkara tersebut pada 37 dasarnya menyangkut kompetisi dalam kegiatan usaha ketenagalistrikan yang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan dilakukan secara terpisah ( unbundling ) oleh badan usaha yang berbeda. Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa ketentuan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 yang memerintahkan sistem pemisahan/pemecahan usaha ketenagalistrikan ( unbundling system ) dengan pelaku usaha yang berbeda akan semakin membuat terpuruk BUMN yang akan bermuara kepada tidak terjaminnya pasokan listrik kepada semua lapisan masyarakat, baik yang bersifat komersial maupun non-komersial. Dengan demikian akan merugikan masyarakat, bangsa dan negara. Sistem unbundling dalam restrukturisasi usaha listrik justru tidak menguntungkan dan tidak selalu efisien dan malah menjadi beban berat bagi negara, sehingga oleh karenanya Mahkamah berpendapat bahwa hal tersebut bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945;
Bahwa selain itu dengan dibentuknya Perusahaan Grup BUMN/ Holding BUMN dan/atau unbundling tidak menutup kemungkinan Anak Perusahaan Perseroan/Perusahaan milik Persero yang bidang usahanya mengelola sumber daya alam tersebut, seluruh dan/atau sebagian besar sahamnya dapat dikuasai oleh swasta/perorangan akibat dari tindakan privatisasi Anak Perusahaan Perseroan, apabila larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan d hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap __ Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero;
Bahwa sama seperti halnya dalam ketenagalistrikan, PT Pertamina Persero yang mengelola sumber daya alam minyak dan gas bumi cepat atau lambat akan berbagi kekuasaan dengan swasta dalam seluruh rantai usaha mereka. Mulai dari hulu, pengolahan, ritel, hingga pasar keuangan. Bahwa Hal tersebut jelas sangat berdampak bagi masyarakat luas, yang mana apabila Pertamina menjadi perusahaan go public dengan mekanisme IPO, maka berpotensi dikuasainya asset negara oleh Swasta (Swastanisasi). Dampak secara gamblang, apakah penentuan harga BBM dan LPG akan seperti sekarang dimana penentuannya murni untuk kepentingan Negara? Tentu berpotensi juga mendengarkan suara 38 sang pemilik saham lainnya dalam Perusahaan nantinya yang menuntut Perusahaan untuk untung-seuntungnya tanpa memikirkan kemampuan daya beli masyarakat. Harga berpotensi naik dan tentunya berdampak pada sektor kehidupan lainnya;
Bahwa selain itu seharusnya seluruh keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari anak perusahaan/perusahaan milik PT Persero dari hasil mengelola cabang-cabang produksi yang penting dan sumber daya alam Negara diberikan seluruhnya kepada Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, namun akibat adanya potensi dilakukannya privatisasi terhadap anak perusahaan/perusahaan milik PT Persero maka keuntungan dari anak perusahaan/perusahaan milik PT Persero menjadi tidak sepenuhnya diberikan kepada Negara tetapi diberikan juga untuk pihak swasta/perorangan yang memiliki saham pada anak perusahaan/perusahaan milik PT Persero;
Bahkan yang paling mengkhawatirkan akibat potensi dilakukannya privatisasi terhadap anak perusahaan/perusahaan milik PT Persero yang mengelola cabang-cabang produksi yang penting dan sumber daya alam negara adalah seluruh saham milik anak perusahaan tersebut dilepas seluruhnya kepada pihak swasta/perorangan, sehingga hasil pengelolaan cabang-cabang produksi yang penting dan sumber daya alam negara tersebut hanya dinikmati oleh pihak swasta dan/atau perorangan;
Bahwa seharusnya Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) Undang- Undang Dasar 1945 seharusnya “DIKUASAI OLEH NEGARA” untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” __ 51. Bahwa c abang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak serta Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya tidak boleh dikuasai dan/atau dikelola oleh pihak swasta maupun perorangan untuk keuntungan dan _kemakmuran pihak swasta maupun orang perorangan; _ 52. Bahwa logika sederhana terhadap penerapan Pasal 77 huruf c dan d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik 39 Negara adalah adanya potensi kerugian yang nyata bagi rakyat dan Negara apabila larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan d hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap __ Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero, akan menyebabkan Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya __ bukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang tentunya sangat bertentangan dengan amanat Konstitusi dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. IV. PETITUM Berdasarkan urain diatas dapat disimpulkan bahwa Bahwa Pasal 77 huruf c dan d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara Bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan d hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap __ Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero karena berpotensi mengakibatkan negara kehilangan hak menguasai negara yaitu mengelola cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dan sumber daya alam diperuntukan tidak sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat; DALAM POKOK PERKARA 1. Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon;
Menyatakan Pasal 77 huruf c dan d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan d hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap __ Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero;
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. [2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalilnya, para Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan dan video yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-39 sebagai berikut: 40 1. Bukti P-1 : Fotokopi Tanda Bukti Pencatatan Nomor 260/I/N/IV/2003 tanggal 9 April 2003; ,2. Bukti P-2 : Fotokopi Keputusan Musyawarah Nasional Nomor: Kpts- 04/MUNAS-VI/FSPPB/2018 tentang Perubahan Ke-Tujuh Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB);
Bukti P-3 : Fotokopi Keputusan Musyawarah Nasional Nomor Kpts- 06/MUNAS-VI/FSPPB/2018 tentang Penetapan Presiden FSPPB Periode 2018-2021;
Bukti P-4 : Fotokopi Surat Keputusan Nomor 001/KU.FSPPB/IV/2018 Tentang Susunan Pengurus Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) Periode 2018 – 2021;
Bukti P-5 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Amandemen I sampai dengan Amandemen IV);
Bukti P-6 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara;
Bukti P-7 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara;
Bukti P-8 : Fotokopi Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-03/MBU/2012 tentang Pedoman Pengangkatan Anggota Direksi dan Anggota Dewan Komisaris Anak Perusahaan Badan Usaha Milik Negara;
Bukti P-9 : Fotokopi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan Dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara dam Perseroan Terbatas;
Bukti P-10 : Fotokopi Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara Selaku Rapat Umum Pemegang Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Pertamina Nomor SK- 198/MBU/06/2020 tentang Pemberhentian, Perubahan Nomenklatur Jabatan, Pengalihan Tugas dan Pengangkatan Anggota-Anggota Direksi Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Pertamina, tanggal 12 Juni 2020;
Bukti P-11 : Fotokopi Surat Keputusan Direksi Pertamina (PERSERO) Nomor Kpts-18/C00000/2020-SO tentang Struktur Organisasi Dasar PT. Pertamina (PERSERO), tanggal 12 Juni 2020; 41 12. Bukti P-12 : Fotokopi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU- VI/2008;
Bukti P-13 : Hasil cetak berita dengan judul “Dirut Pertamina Bantah Soal Isu Privatisasi Lewat Subholding Migas.” https: //tirto.id/dirut-pertamina-bantah-soal-isu-privatisasi- lewat-subholding-migas-fMhi diunduh pada tanggal 13 Juli 2020;
Bukti P-14 : Hasil cetak berita dengan judul “Rencana Dan Target IPO Anak Usaha Pertamina Yang Ditolak DPR.” https: //katadata.co.id/berita/2020/06/30/rencana-dan- target-ipo-anak-usaha-pertamina-yang-ditolak-dpr diunduh pada tanggal 13 Juli 2020;
Bukti P-15 : Fotokopi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi;
Bukri P-16 : Fotokopi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 69 P/HUM/2018 mengenai Permohonan Hak Uji Materiil terhadap: “Pasal 2 Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2018 Tentang Pengelolaan Wilayah Kerja Minyak Dan Gas Bumi Yang Akan Berakhir Kontrak Kerjasamanya”;
Bukti P-17 : Fotokopi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal;
Bukti P-18 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi;
Bukti P-19 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi;
Bukti P-20 : Fotokopi Kajian Hukum terhadap Rencana Restrukturisasi Pertamina dan IPO oleh Sub-Holding Pertamina tanggal 16 Juni 2020 yang dibuat oleh Melli Darsa & Co.;
Bukti P-21 : Hasil cetak berita pada halaman Tribun News dengan judul “Fraksi PKS DPR Minta Pemerintah Kaji Ulang IPO Subholding Pertamina”; 42 Sumber: https: //www.tribunnews.com/nasional/2020/08/06/fraksi- pks-dpr-minta-pemerintah-kaji-ulang-ipo-subholding- pertamina Diunduh pada tanggal 12 Agustus 2020;
Bukti P-22 : Hasil cetak berita pada halaman Kompas.com dengan judul “Soal IPO Anak Perusahaan, Ini Alasannya Kata Dirut Pertamina”. Sumber: https: //money.kompas.com/read/2020/07/27/090800226/s oal-ipo-anak-perusahaan-ini-alasannya-kata-dirut- pertamina Diunduh pada tanggal 12 Agustus 2020;
Bukti P-23 : Hasil cetak berita pada halaman CNBC Indonesia dengan judul “Erick Minta IPO 2 Anak Usaha, Begini Bocoran Pertamina”. Sumber: https: //www.cnbcindonesia.com/market/20200630071548 -17-168927/erick-minta-ipo-2-anak-usaha-begini- bocoran-pertamina Diunduh pada tanggal 12 Agustus 2020;
Bukti P-24 : Hasil cetak berita pada halaman iNews.id dengan judul: “Pertamina akan Privatisasi 2 Anak Usaha” Sumber: https: //www.inews.id/finance/bisnis/pertamina-akan- privatisasi-2-anak-usaha Diunduh pada tanggal 12 Agustus 2020;
Bukti P-25 : Hasil cetak berita pada halaman Opini Indonesia dengan judul: “Melawan Rencana Initial Public Offering (IPO) Anak Usaha Pertamina (1)”Sumber: https: //opiniindonesia.com/2020/07/09/melawan-rencana- ipo-anak-usaha-pertamina-1/ Diunduh pada tanggal 18 Agustus 2020;
Bukti P-26 : Hasil cetak berita pada halaman Kontan.co.id dengan judul: “Pengamat: IPO Pertamina Bakal Berdampak Pada Kemampuan Subsidi dan Inti Bisnis” 43 Sumber: https: //industri.kontan.co.id/news/pengamat-ipo- pertamina-bakal-berdampak-pada-kemampuan-subsidi- dan-inti-bisnis Diunduh pada tanggal 14 Agustus 2020;
Bukti P-27 : Hasil cetak berita pada halaman Republika.co.id dengan judul: “Serikat Pekerja dan Pengamat Tanggapi Rencana IPO Pertamina” Sumber: https: //republika.co.id/berita/qf63qo320/serikat-pekerja- dan-pengamat-tanggapi-rencana-ipo-pertamina Diunduh pada tanggal 18 Agustus 2020;
Bukti P-28 : Hasil cetak berita pada halaman Sindo News dengan judul: “Rocky Gerung: IPO Subholding Pertamina Ibarat Perdagangan Organ Tubuh” Sumber: https: //nasional.sindonews.com/read/135408/12/rocky- gerung-ipo-subholding-pertamina-ibarat-perdagangan- organ-tubuh-1597594124 Diunduh pada tanggal 18 Agustus 2020;
Bukti P-29A : Video dari Akun YouTube “Bensin Kita”, dipublikasi pada tanggal 13 Juni 2020 dengan judul: “Target Menteri BUMN Usai Merombak Struktur Direksi PT. Pertamina”. Sumber: https: //www.youtube.com/watch?v=fvag6W__ms0 Diunduh pada tanggal 12 Agustus 2020; Bukti P-29B : Video dari Akun Youtube CNN Indonesia yang dipublikasikan Pada 10 Maret 2019 dengan judul: “IPO 9 Anak Usaha BUMN”. Sumber: https: //www.youtube.com/watch?v=ILk6OcAZ-Rs Diunduh pada tanggal 18 Agustus 2020;
Bukti P-30 : Hasil cetak Berita pada halaman Tribun News dengan judul: “Pengamat Nilai IPO Pertamina Berpengaruh pada Kemampuan Subsidi dan Inti Bisnis” 44 Sumber: https: //www.tribunnews.com/bisnis/2020/08/16/pengamat -nilai-ipo-pertamina-berpengaruh-pada-kemampuan- subsidi-dan-inti-bisnis?page=2 Diunduh pada tanggal 18 Agustus 2020;
Bukti P-31 : Fotokopi Surat Keputusan No. Kpts-29/C00000/2016-S0 tentang Proses Bisnis Pertamina, tertanggal 2 Agustus 2016;
Bukti P-32 : Hasil cetak Berita pada halaman Tirto.id dengan judul: “Kemelut Saham Garuda Indonesia yang Masih Terpuruk Sejak IPO”. Sumber: https: //tirto.id/kemelut-saham-garuda-indonesia-yang- masih-terpuruk-sejak-ipo-em51 Diunduh pada tanggal 14 Agustus 2020;
Bukti P-33 : Hasil cetak Berita pada halaman Bisnis.com dengan judul: “Usai PHK 677 Karyawan, Saham Indosat (ISAT) Anjlok”. Sumber: https: //market.bisnis.com/read/20200217/7/1202260/usai- phk-677-karyawan-saham-indosat-isat- anjlok#: ~: text=Saham%20Indosat%20sempat%20jeblos %205,level%20Rp1.985%20per%20saham.&text=Bisnis. com%2C%20JAKARTA%20%2D%20Saham,17%2F2%2 F2020 ). Diunduh pada tanggal 14 Agustus 2020;
Bukti P-34 : Hasil cetak Berita pada halaman website Bigalpha.id dengan judul: “Saham KRAS, Kian Jauh Tinggalkan Harga IPO”. Sumber: https: //bigalpha.id/news/saham-kras-kian-jauh-tinggalkan- harga-ipo Diunduh pada tanggal 14 Agustus 2020;
Bukti P-35 : Hasil cetak Artikel pada halaman Hukum Online dengan judul: “MK: Praktik Unbundling Penyediaan Listrik Harus Dikontrol Negara”. 45 Sumber: https: //www.hukumonline.com/berita/baca/lt58523f42c82 60/mk--praktik-iunbundling-i-penyediaan-listrik-harus- dikontrol-negara/ Diunduh pada tanggal 12 Agustus 2020;
Bukti P-36 : Fotokopi Jurnal Konstitusi dengan judul “Inkonstitusional Sistem Unbundling dalam Usaha Penyediaan Listrik” yang dituliskan oleh Jefri Porkonanta Tarigan Sumber: https: //media.neliti.com/media/publications/238262- inkonstitusionalitas-sistem-unbundling-d-450a4d64.pdf Diunduh pada tanggal 12 Agustus 2020.
Bukti P-37 : Hasil cetak Berita pada halaman Berita Satu dengan judul: “PGN: Kebijakan “Unbundling” Dorong Kenaikan Harga Gas”. https: //www.beritasatu.com/ekonomi/138872-pgn- kebijakan-unbundling-dorong-kenaikan-harga-gas Diunduh pada tanggal 12 Agustus 2020;
Bukti P-38 : Fotokopi Keterangan Ahli Gunawan dalam Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Miik Negara di Mahkamah Konstitusi;
Bukti P-39 : Fotokopi Keterangan Ahli Marwan Batubara tentang Menyoal Rencana IPO Sub-Holding Pertamina. Selain itu untuk mendukung permohonannya Pemohon juga mengajukan dua orang ahli bernama Prof. Dr. Juajir Sumardi, S.H., M.H., dan Dr. Kurtubi, S.E., M.Sp., M.Sc. yang masing-masing didengarkan keterangannya dalam persidangan Mahkamah tanggal 23 November 2020 dan 14 Desember 2020, serta saksi bernama drg. Ugan Gandar yang didengarkan keterangannya dalam persidangan Mahkamah tanggal 22 April 2021. Pemohon juga menyampaikan keterangan tertulis ahli Gunawan dan Dr. Marwan Batubara yang dijadikan bukti (bukti P-38 dan bukti P-39) dan keterangan tertulis saksi Ir. Faisal Yusra SH., MM., QIA., CFrA yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: 46 Ahli Pemohon 1. Prof. Dr. Juajir Sumardi, S.H., M.H. A. DASAR HUKUM 1. Surat dari Advokat dan Asisten Advokat Janses E. Sihaloho, S.H., dan Imelda, S.H., berkantor pada SIHALOHO & CO. LAW FIRM yang berkedudukan hukum (domisili) di Gedung Menara Hijau, 5 ^th __ Floor Suite 501B, Jalan M.T. Haryono __ Kav. 33 Jakarta Selatan 12770, selaku kuasa hukum Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), tanggal surat 06 Oktober 2020 Perihal Daftar Pertanyaan Terkait dengan Pengujian Materiil Pasal 77 huruf c dan d Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara terhadap UUD 1945. 2. Surat Penugasan Ketua Pusat Studi Hukum Ekonomi dan Pembangunan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Nomor 017/PUSHEP-FHUH/X/22020 Tertanggal 14 Oktober 2020. __ B. PETA KASUS Bahwa berdasarkan surat dari Advokat dan Asisten Advokat Janses E. Sihaloho, S.H., dan Imelda, S.H., berkantor pada SIHALOHO & CO. LAW FIRM yang berkedudukan hukum (domisili) di Gedung Menara Hijau, 5 ^th Floor Suite 501B, Jalan M.T. Haryono Kav. 33 Jakarta Selatan 12770, selaku kuasa hukum Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), tanggal surat 06 Oktober 2020 Perihal Daftar Pertanyaan Terkait dengan Pengujian Materiil Pasal 77 huruf c dan d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara terhadap UUD 1945, maka dapat dikemukakan garis besar peta kasus dalam kaitannya dengan Uji Materi Pasal 77 huruf c dan huruf d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara terhadap UUD-1945 adalah sebagai berikut:
Bahwa pada tanggal 12 Juni 2020 Pertamina melakukan restrukturisasi Holding dengan disertai pembentukan subholding-subholding.
Bahwa sebelum pembentukan subholding pada tanggal 12 Juni 2020, Struktur Organisasi perusahaan PT. Pertamina (Persero) terdiri dari 10 Direktorat yaitu:
Direktorat Hulu;
Direktorat Pengolahan; 47 c. Direktorat Pemasaran Korporat;
Direktorat Pemasaran Retail;
Direktorat Keuangan;
Direktorat SDM;
Direktorat Logistik, Supply Chain dan Infrastruktur;
Direktorat Megaproyek Pengolahan dan Petrokimia;
Direktorat Perancanaan Investasi dan Manajemen Risiko;
Direktorat Manajemen Aset. Dengan demikian, sebelum pembentukan Sub-holding pada tanggal 12 Juni 2020 maka Struktur Direksi yang berada dalam lingkup PT. Pertamina (Persero) adalah sebanyak 11 orang, termasuk Direktur Utama.
Dengan dilakukannya restrukturisasi Organisasi dan/kelembagaan PT. Pertamina (Persero) menjadi Holding Pertamina yang disertai dengan pembentukan Subholding-Subholding pada tanggal 12 Juni 2020, maka struktur Organisasi/Kelembagaan Badan Hukum PT. Pertamina (Persero) sejak terbentuknya Holding Pertamina telah berkonsekuensi terjadinya perubahan struktur Direktorat yang ada pada PT. Pertamina (Persero) yang semula terdiriri dari 10 Direktorat diperkecil menjadi 5 Direktorat saja yaitu:
Direktorat Strategi, Portofolio dan Pengembangan Usaha.
Direktorat Keuangan.
Direktorat Sumber Daya Manusia.
Direktorat Logistik & Infrastruktur.
Direktorat Penunjang Bisnis. Dengan demikian, setelah dibentuknya Holding Pertamina maka jumlah Direksi yang berada dalam lingkup PT. Pertamina (Persero) menjadi 6 orang termasuk Direktur Utama.
Adapun Subholding-Subholding baru yang dibentuk bersamaan dengan dilakukannya restrukturisasi Holding Pertamina adalah sebagai berikut:
PT. Pertamina Hulu Energi (PHE) sebagai Subholding Hulu (Upstream). PHE akan menjadi induk dari PT. Pertamina EP (PEP), PT. Pertamina EP Cepu (PEPC), PT. Pertamina Hulu Indonesia (PHI) dan PT. Pertamina Hulu Rokan (PHR). 48 b. PT. Patra Niaga (Patra Niaga) sebagai Subholding Pemasaran ( Commercial & Trading ). Patra Niaga akan menjalankan bisnis yang dulunya dijalankan oleh 3 __ Direktorat di Holding lama ( Direktorat Pemasaran Korporat, Direktorat Pemasaran Retail, Direktorat Logistik, Supply Chain dan Infrastruktur).
PT. Kilang Pertamina Internasional (KPI) sebagai Subholding Kilang dan Petrokimia ( Refinery & Petrochemical ). KPI akan menjalankan bisnis yang dulunya dijalankan oleh 2 Direktorat di Holding Pertamina sebelumnya yaitu Direktorat Pengolahan dan Direktorat Megaproyek Pengolahan dan Petrokimia.
PT. Pertamina Power Indonesia (PPI) sebagai subholding Listrik dan Energi Baru & Terbarukan ( Power & New and Renewable Energy ). Yang akan masuk menjadi anak perusahaan dari PPI adalah PT. Pertamina Geothermal Energi (PGE).
PT. Perusahaan Gas Negara sebagai Subholding Gas ( ikut diumumkan sebagai Subholding Gas meskipun lebih dahulu sudah terbentuk sebagai Subholding Gas ). Bahwa pembentukan Subholding-Subholding menurut pertimbangan pihak Pemerintah dan Direksi PT. Pertamina (Persero) dimaksudkan untuk tujuan yang sebagai berikut:
Membangun organisasi yang lean, agile and efficient (ramping, lincah dan efisien).
Meningkatkan o perational excellence , meningkatkan daya saing, mengembangkan kapabilitas best-in-class dalam industrinya.
Mempercepat pengembangan bisnis saat ini dan bisnis baru.
Meningkatkan fleksibilitas partnership dan pendanaan.
Memperbaharui organisasi, talenta dan mindset selaras dengan sebuah perusahaan energi world-class .
Memenuhi mandat lokomotif pengembangan sosial guna mencapai kedaulatan energi. Praktis dengan struktur organisasi Holding Pertamina yang baru ini maka PT. Pertamina (Persero) sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengalami perubahan sangat fundamental dari Operation Holding menjadi Investment Holding yang sama sekali tanpa melakukan kegiatan operasi apapun. 49 Konsultan yang dipercaya oleh PT. Pertamina (Persero) dalam proses pendirian Holding Pertamina dan pembentukan Subholding-Subholding yang berada dalam struktur Holding Pertamina adalah PricewaterhouseCoopers (PwC), sebuah Konsultan Management/Akuntan Publik Amerika. Untuk pembuatan kajian hukum maka kajian tersebut dibuat oleh Melli Darsa & Co., Advocates and Legal Consultants Indonesia yang berafiliasi dengan PwC. PwC terlibat sejak persiapan hingga proses pembentukan subholding, bahkan masih terlibat dalam proses sosialiasi dan pengorganisasian subholding hingga sekarang ini. C. ISU HUKUM Berdasarkan peta kasus serta akibat hukum dan bisnis yang dimungkinkan dari pembentukan Subholding-Subholding Pertamina sebagaimana diuraikan diatas, maka issu hukum yang perlu untuk dicermati dalam kaitannya dengan uji materi Pasal 77 huruf c dan huruf d dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara dapat dikemukakan sebagai berikut:
Bagaimanakah hakikat dan prinsip “Dikuasai Negara” yang terdapat di dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 apabila dikaitkan dengan tujuan PT Pertamina (Persero) sebagai Perusahaan BUMN? 2. Apakah hakikat yang mendasari diberlakukannya ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara bila dikaitkan dengan kedudukan PT Pertamina (Persero) sebagai Badan Usaha Milik Negara? 3. Bagaimana perlindungan hukum terhadap PT. Pertamina (Persero) sebagai Badan Usaha Milik Negara yang mengelola sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak untuk sebesar-besarnya kemamumaran rakyat sebagaimana yang diamanahkan di dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 4. Apakah pembentukan subholding-subholding yang dilakukan oleh PT. Pertamina (Persero) tersebut sesuai dan sejalan dengan amanah UUD 1945 yang terkandung di dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945? 50 D. PENDAPAT HUKUM/KETERANGAN AHLI D.1 Hakikat Prinsip “Dikuasai Negara” yang terdapat di dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dikaitkan dengan tujuan PT Pertamina (Persero) sebagai Perusahaan BUMN Tafsir terhadap prinsip “penguasaan oleh negara” dalam Pasal 33 UUD 1945 pertama kali dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK 001-021- 022/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terhadap Undang-Undang Dasar. Dalam putusan a quo , frasa “dikuasai oleh negara” diterjemahkan melalui uraian sebagai berikut: “Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik, dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Dalam pengertian kekuasaan tertinggi tersebut tercakup pula pengertian pemilikan publik oleh rakyat secara kolektif. Bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalam wilayah hukum negara pada hakikatnya adalah milik publik seluruh rakyat secara kolektif yang dimandatkan kepada negara untuk menguasainya guna dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran bersama. Karena itu, Pasal 33 ayat (3) menentukan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Bahwa jika pengertian “dikuasai oleh negara” hanya diartikan sebagai pemilikan dalam arti perdata (privat), maka hal dimaksud tidak mencukupi dalam menggunakan penguasaan itu untuk mencapai tujuan “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, yang dengan demikian berarti amanat untuk “memajukan kesejahteraan umum” dan “mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” dalam Pembukaan UUD 1945 tidak mungkin diwujudkan. Namun demikian, konsepsi kepemilikan perdata itu sendiri harus diakui sebagai salah satu konsekuensi logis penguasaan oleh negara yang mencakup juga pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Pengertian “dikuasai oleh negara” juga tidak dapat diartikan hanya sebatas sebagai hak untuk mengatur, karena hal demikian sudah dengan sendirinya melekat dalam fungsi-fungsi negara tanpa harus disebut secara khusus dalam undang undang dasar. Sekiranya pun Pasal 33 tidak tercantum dalam UUD 1945, sebagaimana lazimnya di banyak negara yang menganut paham ekonomi liberal yang tidak mengatur norma-norma dasar perekonomian dalam konstitusinya, sudah dengan 51 sendirinya negara berwenang melakukan fungsi pengaturan. Karena itu, pengertian “dikuasai oleh negara” tidak mungkin direduksi menjadi hanya kewenangan negara untuk mengatur perekonomian saja. Dengan demikian, baik pandangan yang mengartikan penguasaan oleh negara identik dengan pemilikan dalam konsepsi perdata maupun pandangan yang menafsirkan pengertian penguasaan oleh negara itu hanya sebatas kewenangan pengaturan oleh negara, keduanya ditolak oleh Mahkamah. Argumentasi tersebut menunjukkan bahwa pengertian dalam frasa “penguasaan oleh negara” merupakan konsepsi hukum publik. Konsepsi ini terkait dengan prinsip daulat rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Bila, pengertian “dikuasai oleh negara” hanya dimaknai sebagai kepemilikan dalam arti perdata (privat), maka hal dimaksud tidak mencukupi dalam menggunakan penguasaan itu untuk mencapai tujuan “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, terlebih lagi “memajukan kesejahteraan umum” dan “mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Atas dasar tersebut, Mahkamah Konstitusi memberikan penafsiran terhadap frasa ini. Lebih lanjut, berikut penjelasan MK terhadap prinsip penguasaan oleh negara. Bahwa berdasarkan uraian tersebut, pengertian “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan Tindakan pengurusan (bestuursdaad),pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad),dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk __ tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Perkembangan selanjutnya terkait dengan prinsip “penguasaan oleh negara” dapat dilihat dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terhadap Undang-Undang Dasar. Dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi merumuskan bahwa untuk mewujudkan tujuan penguasaan negara yaitu “sebesar- besarya kemakmuran rakyat”, jika keempat bentuk penguasaan oleh negara tidak dimaknai sebagai satu kesatuan tindakan, maka harus dimaknai secara bertingkat berdasarkan efektifitasnya untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 52 Menurut Mahkamah Konstitusi, bentuk “penguasaan oleh negara” diberi peringkat berdasarkan kemampuan negara menghadirkan kemakmuran rakyat. Peringkat pertama dan yang paling penting dari bentuk penguasaan oleh negara adalah melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam. Penguasaan negara pada peringkat kedua adalah negara membuat kebijakan dan pengurusan guna mencapai tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Adapun peringkat terakhir dari bentuk penguasaan negara adalah negara melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan. Dari konstruksi pemaknaan secara berjenjang tersebut, memperlihatkan upaya Mahkamah Konstitusi menafsirkan Pasal 33 UUD 1945 secara komprehensif, sehingga tujuan penguasaan negara, “untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” dapat termanifestasikan dengan baik. Dalam kaitannya dengan tujuan PT. Pertamina (Persero) sebagai perusahaan BUMN, maka dapat dikatakan bahwa prinsip “penguasaan negara” dalam peringkat pertama yaitu melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam minyak dan gas bumi (serta sumber daya energi lainnya) dilakukan dan/atau diwakili oleh PT. Pertamina (Persero) sebagai Badan Usaha Milik Negara. Agar pengelolaan minyak dan gas bumi serta sumber daya energi lainnya dapat memberikan konstribusi bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana yang diamanahkan di dalam UUD-1945 dan sesuai dengan tafsir prinsip “penguasaan negara” atas sumber daya alam yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, maka pengelolaan minyak dan gas bumi serta sumber daya energi lainnya yang dilakukan oleh PT. Pertamina (Persero) sebagai wakil negara dalam kapasitas negara sebagai Iure Gestionis (negara sebagai entrepreneur ) haruslah diarahkan untuk memberikan pendapatan yang optimal bagi negara dalam rangka mewujudkan tujuan negara yaitu mengupayakan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia. Pada hakikatnya pendirian PT. Pertamina (Persero) sebagai Badan Usaha Milik Negara secara konstitusional merupakan perwujudan dari pelaksanaan fungsi negara dalam pengelolaan sumber daya alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, dalam operasionalisasi pengelolaan sumber daya alam di bidang minyak dan gas bumi serta sumber energi lainnya, maka PT. Pertamina (Persero) harus dapat menjadi “ agent of development” di satu sisi, dan di sisi lain 53 juga harus menjadi “ agent of profit ” bagi negara. Hal ini sesuai dengan tujuan pendirian badan usaha milik negara dalam bentuk persero yang di atur di dalam Pasal 12 Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara yang menegaskan sebagai berikut: _Maksud dan tujuan pendirian Persero adalah: _ a. menyediakan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing _kuat; _ b. mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan. Berdasarkan tujuan pendirian Badan Usaha Milik Negara dalam bentuk Persero sebagaimana yang ditegaskan di dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, maka sebagai konsekuensi logis adalah PT. Pertamina (Persero) dituntut untuk dapat memberikan konstribusi keuntungan yang maksimal sebagai salah satu sumber pendapatan Negara. Untuk itu, setiap kebijakan yang dilakukan oleh Direksi PT. Pertamina (Persero) yang berpotensi untuk mengurangi dan/atau menghilangkan keuntungan yang dapat diperoleh PT. Pertamina (Persero) sebagai BUMN merupakan kebijakan yang bertentangan dengan amanah konstitusi (UUD-1945) dan melanggar prinsip “penguasaan negara” atas sumber daya alam sesuai dengan tafsir yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Demikian pula kebijakan Direksi PT. Pertamina (Persero) yang menghilangkan dan/atau mengurangi otoritas dan/atau posisi dominan negara dalam menentukan arah kebijakan dalam proses pengelolaan sumber daya minyak dan gas bumi serta sumber daya energi lainnya merupakan suatu kebijakan yang bertentangan dengan UUD-1945. D.2 Hakikat yang Terkandung di dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara bila dikaitkan dengan kedudukan PT Pertamina (Persero) sebagai Badan Usaha Milik Negara Pasal 77 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara mengatur sebagai berikut: _Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah: _ a. Persero yang bidang usahanya berdasarkan ketentuan peraturan _perundang- undangan hanya boleh dikelola oleh BUMN; _ b. Persero yang bergerak di sektor usaha yang berkaitan dengan pertahanan _dan keamanan negara; _ 54 c. Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan _kepentingan masyarakat; _ d. Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi. Hakikat yang terkandung di dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d Undang- Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara sebagaimana dikemukakan di atas menurut pendapat ahli merupakan pelembagaan kembali adanya kehendak negara untuk menjabarkan prinsip “dikuasai negara” yang terdapat pada Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD-1945 terhadap pengelolaan negara atas sumber daya alam. Dalam kaitan ini, negara menyadari bahwa Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, serta Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, sejatinya merupakan penjabaran dari adanya fungsi dan peran negara untuk merealisasikan prinsip “penguasaan negara” terhadap cabang-cabang produksi yang penting bagi negara serta terhadap sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak sebagaimana yang diamanahkan di dalam UUD-1945. Untuk itulah BUMN dalam bentuk Persero yang menjalankan kegiatan yang termasuk dalam muatan Pasal 77 huruf c dan huruf d Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara dilarang untuk diprivatisasi, karena negara hendak menjalankan amanah untuk mewujudkan prinsip “penguasaan negara” demi untuk mencapai sebesar- besar kemakmuran rakyat. Adanya larangan untuk melakukan privatisasi terhadap Persero tertentu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU No. 19 Tahun 2003 Tentang BUMN, menurut pendapat ahli mengandung maksud agar Persero yang menjalankan tugas dan fungsi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN tersebut dapat melakukan pengelolaan sumber daya alam sepenunya secara optimal agar dapat memberikan konstribusi sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, Persero tersebut dituntut untuk melakukan kegiatan pengelolaan sumber daya alam secara efisien dan efektif untuk memperoleh keuntungan optimal yang dimungkinkan dalam pengelolaan sumber daya alam yang pada analisis akhir akan berkonstribusi untuk meningkatkan pendapatan negara. 55 PT. Pertamina (Persero) yang didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2003 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina) menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) yang menjalankan tugas dan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, secara mutatis mutandis merupakan Persero yang tidak dapat dilakukan privatisasi. Oleh karena itu, dalam menjalankan kegiatannya dituntut untuk mendapatkan keuntungan sehingga kebijakan yang dilakukan oleh Direksi haruslah diarahkan pada kebijakan yang mendorong terjadinya maksimalisasi produksi untuk meningkatkan keuntungan perusahaan yang menjadi salah satu sumber pendapatan negara. Sebagai konsekuensi dari adanya tujuan Persero adalah untuk mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan sebagaimana yang diatur di __ dalam Pasal 12 UU No. 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara, maka kebijakan Direksi PT. Pertamina (Persero) yang membangun dan/atau mendirikan Subholding-Subholding Pertamina dalam bentuk Perseroan Terbatas (PT) yang secara kelembagaan menjadi badan hukum yang terpisah dari PT. Pertamina (Persero) sebagai BUMN, maka kebijakan tersebut berpotensi mengurangi dan/atau menghilangkan keuntungan bagi PT. Pertamina (Persero) sebagai representasi negara dalam menjalankan fungsi pengelolaan sumber daya alam untuk sebesar- besar kemakmuran rakyat, dan sekaligus mengurangi posisi “penguasaan negara” atas pengelolaan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak serta penguasaan negara atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. D.3 Perlindungan Hukum terhadap PT. Pertamina (Persero) sebagai Badan Usaha Milik Negara yang Mengelola Sumber Daya Alam yang Menguasai Hajat Hidup Orang Banyak Di dalam Pembukaan UUD-1945 ditegaskan bahwa salah satu tujuan dari pembentukan Negara Republik Indonesia adalah “ melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpa darah Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum” . Tujuan ini mengharuskan negara yang diwakili oleh __ pemerintah harus menyelenggaraan pengelolaan sumber daya alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat serta melakukan penguasaan terhadap cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang. 56 Oleh karena minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak, maka cabang produksi minyak dan gas bumi merupakan cabang produksi yang penting bagi negara. Untuk itu, pengelolaan minyak dan gas bumi yang dilakukan oleh PT. Pertamina (Persero) sebagai Badan Usaha Milik Negara menjadi sangat krusial dan strategis, sehingga negara wajib untuk memberikan perlindungan hukum terhadap pengelolaan sumber daya minyak dan gas bumi yang diselenggarakan oleh PT. Pertamina (Persero). Kedudukan PT. Pertamina (Persero) dalam pengusahaan dan/atau pengelolaan minyak dan gas bumi pada hakikatnya adalah perwujudan dari adanya peran negara sebagai “entrepreneur” yang menjalankan fungsi pengelolaan sumber daya alam untuk mewujudkan tujuan negara dalam mensejahterakan rakyatnya. Oleh karena itu, berdasarkan tafsir tentang prinsip “penguasaan negara” yang terdapat di dalam Pasal 33 Ayat (2) dan Ayat (3) UUD-1945 yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, maka makna penguasaan negara tersebut harus lebih diutamakan pada Tindakan negara dalam melakukan pengelolaan untuk mewujudkan kemakmuran dan/atau kesejahteraan rakyat. Bung Hatta dalam beberapa buku dan pidatonya mengemukakan bahwa bangunan ekonomi Indonesia diformasikan seperti Piramida yang di dalamnya terdapat 3 (tiga) pelaku utama ekonomi Indonesia yaitu: Negara, Swasta, dan Koperasi. Menurutnya, Negara membangun dari atas ke bawah, Koperasi membangun dari bawah ke atas, sedangkan Swasta melakukan pembangunan di medan pertengahan. Negara dalam melakukan pembangunan ekonomi dapat diwakilkan kepada BUMN dan BUMD dan melakukan pembangunan untuk bidang- bidang ekonomi yang besar-besar, khususnya yang menguasai hajat hidup orang banyak. Oleh karena kedudukan BUMN merupakan wakil negara dalam kapasitasnya sebagai “ Iure Gestionis ” atau negara sebagai pelaku bisnis (sesuai dengan fungsi dan peran negara sebagai “ entrepreneur” berdasarkan Mix Economic Theory yang dikemukakan oleh Wolfgang Friedman), maka kedudukan PT. Pertamina (Persero) sebagai salah satu BUMN yang menyelenggarakan pengelolaan sumber daya alam minyak dan gas bumi wajib untuk mendapat perlakuan khusus dari pemerintah. Perlakuan khusus tersebut termanifestasikan dalam bentuk ketentuan hukum tentang adanya larangan untuk melakukan privatisasi terhadap Persero yang mengelola sumber daya alam tertentu. 57 Perlakuan khusus ( special treatment ) Pemerintah atas PT. Pertamina (Persero) merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh Pemerintah agar cabang produksi yang dikelola dan/atau dijalankan oleh PT. Pertamina (Persero) dapat secara maksimal memberikan konstribusi pendapat yang optimal bagi negara sehingga Pemerintah dapat merealisasikan amanat untuk mensejahterakan rakyat sesuai dengan UUD-1945. Untuk itu, negara harus mempertahankan posisi dominan yang dimilikinya dalam mengarahkan kebijakan direksi PT. Pertamina (Persero). Menurut pandangan ahli, salah satu wujud dari upaya mempertahankan posisi dominan negara sesuai dengan prinsip “penguasaan negara atas sumber daya alam” berdasarkan UUD-1945 adalah menjaga dan mempertahankan keutuhan pengelolaan sumber daya minyak dan gas bumi secara terintegrasi yang selama ini dilakukan oleh PT. Pertamina (Persero), serta mencegah terjadinya praktik pemecahan/pemisahan pengelolaan minyak dan gas bumi ( unbundling ) sehingga pengelolaan minyak dan gas bumi yang dilakukan oleh PT. Pertamina (Persero) tidak lagi secara terintegrasi dan membuka ruang bagi timbulnya kerugian dan/atau berkurangnya pendapatan negara yang diperoleh dari keuntungan PT. Pertamina (Persero). D.4 Pembentukan Subhold ing-Subholding yang Dilakukan oleh PT. Pertamina (Persero) Tidak Sejalan dengan Amanah UUD 1945 dan Hakikat Prinsip Penguasaan Negara yang terkandung di dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD-1945 Jimly Asshiddiqie menjelaskan terdapat 12 prinsip pokok negara hukum, yang salah satunya adalah negara hukum berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Kesejahteraan (Welfare Rechtsstaat ), sebagaimana dikemukakan sebagai berikut: “Hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan bersama. Cita- cita hukum itu sendiri, baik yang dilembagakan melalui gagasan negara demokrasi (democracy) maupun yang diwujudkan melalaui gagasan negara hukum (nomocrasy) dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Bahkan sebagaimana cita-cita nasional Indonesia yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, tujuan bangsa Indonesia bernegara adalah dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social. Negara Hukum berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan dan mencapai keempat tujuan negara Indonesia tersebut. Dengan demikian, pembangunan negara Indonesia tidak akan terjebak menjadi sekedar „rule-driven‟, melainkan tetap „mission driven‟, tetapi „mission driven‟ yang tetap didasarkan atas aturan.” 58 (sumber: http: //www.jimly.com/pemikiran/view/11 ) Berkaitan dengan Negara Kesejahteraan, maka menurut Bagir Manan selain menjaga keamanan dan ketertiban juga sebagai pemikul utama tanggung jawab mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan umum dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sedangkan ciri Negara hukum kesejahteraan menurut Bachsan Mustafa adalah:
Corak Negara adalah Welfare State yaitu Negara yang mengutamakan kepentingan rakyat;
Negara ikut campur dalam semua lapangan kehidupan masyarakat;
Ekonomi liberal telah diganti dengan sistem ekonomi yang lebih dipimpin oleh pemerintah pusat tugas dari welfare state yaitu menyelenggarakan kepentingan umum;
Tugas Negara adalah menjaga keamanan dalam arti luas, yaitu keamanan di segala lapangan kehidupan masyarakat Jika kita melihat substansi yang terkandung di dalam Pembukaan UUD-1945 dan Batang Tubuhnya, maka tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia telah menegaskan dirinya sebagai Negara Hukum yang bertujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Untuk mewujudkan tujuan negara dalam memajukan kesejahteraan umum, maka menurut hukum internasional negara memiliki kedaulatan permanen terhadap sumber daya alamnya ( permanent sovereignty over natural resources ). Masyarakat Internasional mengakui bahwa setiap negara memiliki kedaulatan permanen terhadap sumberdaya alamnya. Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa- Bangsa Nomor 1803 (XVII) tanggal 14 Desember 1962, secara tegas memberikan kedaulatan permanen terhadap negara atas sumberdaya alamnya. Hal ini sesuai pula dengan apa yang diamanatkan di dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa “bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Oleh karena kedudukan “pengelolaan minyak dan gas bumi” sebagai wujud dari peran negara dalam pengusahaan atas sumber daya alam, maka hal tersebut 59 menjadi salah satu atribut kedaulatan negara ( permanent sovereignty over natural resources ), maka secara mutatis mutandis sesuai dengan hakikat dari suatu __ kedaulatan negara, pengelolaan minyak dan gas bumi tersebut menjadi bersifat tunggal, asli, dan tidak dapat dibagi-bagi . Sehingga pengelolaannya __ oleh PT. Pertamina (Persero) harus dilakukan secara terintegrasi mulai dari sector hulu hingga hilir agar hakikat kedaulatan negara terhadap sumber daya alamnya tetap terjaga dan negara dapat dengan mudah mengarahkan kebijakan BUMN kearah penguasaan negara atas sumber daya alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945. Kebijakan Direksi yang telah melakukan pembentukan Subholding Hulu yaitu dengan memposisikan PT PHE menjadi Holding (Induk Perusahaan) dari PT. Pertamina EP (PEP), PT Pertamina EP Cepu (PEPC), PT Pertamina Hulu Indonesia (PHI) dan PT Pertamina Hulu Rokan (PHR), yang selama ini posisi PEP, PEPC, PHI dan PHR langsung dibawah Direktur Hulu Pertamina sehingga secara langsung berada dalam pengendalian langsung dari PT Pertamina (Persero), kini pembentukan Sub-Holding PT PHE telah memutus posisi dominan dan/atau pengendalian secara langsung PT Pertamina (Persero) sebagai BUMN terhadap PT Pertamina EP (PEP), PT Pertamina EP Cepu (PEPC), PT Pertamina Hulu Indonesia (PHI) dan PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) yang telah menjadi anak perusahaan dari PT PHE. Struktur Subholding PHE seperti ini membuka peluang terjadinya go public ( initial public offering-IPO ) atas anak-anak perusahaan tersebut. Praktik pembentukan Subholding ini jelas menjadi strategi untuk menghindarkan larangan privatisasi PT. Pertamina (Persero) sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 77 huruf c dan huruf d Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara. Demikian pula pembentukan Subholding Refinery & Petrochemical PT. Kilang Pertamina Internasional (KPI) dan Subholding Pemasaran PT Pertamina Patra Niaga (Patra Niaga), telah mendudukan PT KPI sebagai Subholding Kilang dan PT Patra Niaga sebagai Subholding pemasaran dan trading yang dulunya dijalankan oleh Direktorat Pengolahan dan Direktorat Megaproyek Pengolahan dan Petrokimia dari PT Pertamina (Persero). Hal ini berpotensi menimbulkan kerawanan dalam pengelolaan minyak dan gas bumi yang diamanahkan negara kepada PT. Pertamina (Persero) sebagai representasi negara dalam menjalankan fungsi negara sebagai “ enterpreneur ” untuk melaksanakan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD-1945. 60 Pembentukan Patra Niaga sebagai Subholding Pemasaran ( Commercial & Trading ) yang menjalankan bisnis yang dulunya dijalankan oleh 3 Direktorat __ dalam struktur organisasi PT Pertamina (Persero) yaitu Direktorat Pemasaran Korporat, Direktorat Pemasaran Retail, Direktorat Logistik, Supply Chain dan Infrastruktur, yang sebelumnya berasal dari 1 Direktorat yang bernama Direktorat Pemasaran & Niaga secara praktis telah menghilangkan fungsi “penguasaan negara” atas pengelolaan sektor hilir minyak dan gas bumi yang selama ini berada dalam struktur PT. Pertamina (Persero) sebagai BUMN sehingga negara masih dapat melakukan kontrol secara langsung terhadap kebijakan bisnis retail atas minyak dan gas bumi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Potensi kerawanan dalam pengelolaan minyak dan gas bumi yang dapat menimbulkan kesulitan bagi negara ke depannya dapat dikemukakan contoh sebagai berikut: Subholding Refinery & Petrochemical (KPI) menjual Bahan Bakar Minyak (BBM) ke Subholding Commercial & Trading/Pemasaran yaitu PT Patra Niaga yang tentunya harus menjual BBM dengan harga pasar. Oleh karena PT KPI dikenakan pajak penjualan maka tidak mungkin PT KPI menjual produk dibawah harga keekonomian sehingga akan berpengaruh juga pada harga jual BBM yang dijual oleh PT Patra Niaga kepada masyarakat sebagai konsekuensi bisnis yang harus mengambil keuntungan. Kondisi tersebut membuka peluang bagi PT Patra Niaga untuk melakukan Impor BBM supaya dapat harga lebih murah, dari pada membeli ke PT KPI dengan harga mahal. Demikian pula jika harga crude oil produk Subholding Hulu (PT PHE) mahal maka PT KPI tidak akan membeli crude oil ke PT PHE atau anak perusahaannya, cukup impor saja crude yang lebih murah yang dapat mengakibatkan kilang milik PT KPI yang jadi asset terbesar PT Pertamina (Persero) selama ini menjadi nganggur dan tidak dapat berproduksi. Selain itu, PT KPI terbebani pembangunan proyek kilang yang luar biasa besarnya (cost center) sehingga berkonsekuensi pada kinerja keuangan PT KPI yang dapat dipastikan mengalami kesulitan sehingga keinginan untuk membangun kemitraan dan/atau kerja sama dalam pembangunan kilang akan mengalami hambatan. Sangat berbeda jikalau produksi dan pemasaran masih berada dalam satu body/entitas seperti dulu di Holding PT Pertamina (Persero) maka akan lebih mudah untuk mencari mitra kerja sama dalam proses pembangunan kilang. Dengan demikian pembentukan subholding Pertamina ini sangat jelas mempermainkan masa depan 61 PT Pertamina (Persero) sebagai BUMN yang berada dalam pengendalian langsung oleh negara. Sehubungan dengan substansi Pasal 77 huruf c dan huruf d Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara yang menegaskan hanya Perusahaan Persero saja yang tidak dapat privatisasi (dalam hal ini hanya PT. Pertamina (Persero) saja yang tidak dapat diprivatisasi), sedangkan pasal tersebut tidak mengatur larangan privatisasi terhadap anak perusahaan (subholding- subholding Pertamina yang berbentuk Perseroan Terbatas dan bukan BUMN Persero) maka jelaslah pembentukan Subholding-Subholding yang dilakukan oleh Direksi PT. Pertamina (Persero) dapat mengakibatkan hal-hal sebagai berikut:
Negara kehilangan status BUMN pada Subholding dan anak perusahaannya yang tidak berstatus sebagai Persero atau BUMN sehingga membuka peluang untuk melakukan initial public offering ( go public ) karena tidak dilarang berdasarkan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN.
Dengan status hukum bukan sebagai Persero (BUMN) karena sahamnya tidak lagi dimiliki oleh Negara, maka Subholding dan anak-anak perusahaan yang dibentuk tidak lagi berada dalam kekuasaan dan kontrol negara secara langsung, sehingga Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menjadi kehilangan kompetensinya untuk melakukan pemeriksaan terhadap Subholding dan anak- anak perusahaannya yang tidak berstatus sebagai BUMN.
Dengan tidak adanya saham negara pada Subholding dan anak-anak perusahaannya yang dibentuk maka pengelolaan minyak dan gas bumi sebagai cabang produksi yang penting bagi negara menjadi tidak sepenuhnya berada dalam kekuasaan negara (negara kehilangan control langsung). Hal ini tidak sesuai dengan amanat yang terkandung di dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, dan menjadikan kedaulatan energi nasional menjadi terancam.
Pembentukan Subholding dan anak-anak perusahaan menjadi ancaman terhadap kelangsungan bisnis dan eksistensi dari PT Pertamina (Persero) sebagai BUMN, karena Subholding dan Anak-Anak Perusahaan yang dibentuk sebenarnya merupakan praktik “Unbundling” terhadap PT Pertamina (Persero) sebagai BUMN yang secara konstitusional diamanahkan untuk menjalankan 62 fungsi “enterpreneur” dari negara dalam kapasitas sebagai negara hukum yang bertanaggungjawab untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Dengan adanya pembentukan Subholding dan anak-anak perusahaan maka berkonsekuensi pada kualitas hidup dan kesejahteraan bagi Pegawai atau karyawan PT Pertamina (Persero) sebagai BUMN beserta keluarganya akan tidak terjamin karena negara menjadi kehilangan kontrol langsung atas Subholding dan anak-anak perusahannya sebagai konsekuensi negara tidak lagi sebagai pemegang saham pada Subholding dan anak-anak perusahaannya.
Sumber daya minyak dan gas bumi sebagai sumber daya alam yang strategis dan menguasai hajat hidup orang banyak yang seharusnya dikuasai Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat berpotensi tidak terwujud, karena dengan pembentukan Subholding beserta anak-anak perusahaan dari Subholding Pertamina maka minyak dan gas bumi menjadi dikelola oleh Subholding dan anak-anak perusahaan yang tidak berstatus sebagai Persero (BUMN). Hal ini telah meniadakan penguasaan oleh negara c.q. Pemerintah sebagai penentu utama kebijakan usaha dalam cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak. 7. Bahwa penerapan Pasal 77 huruf c dan huruf d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara berpotensi meniadakan penguasaan oleh negara c.q. Pemerintah sebagai penentu utama kebijakan usaha dalam cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak, __ serta berpotensi menimbulkan kerugian __ yang nyata bagi rakyat dan Negara apabila frasa “ Persero” tidak diartikan sebagai keseluruhan entity perusahaan yaitu “Persero beserta Anak Perusahaan Persero” sehingga dapat menyebabkan Bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya __ bukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat __ yang tentunya sangat bertentangan dengan amanat Konstitusi dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. E . PENUTUP Demikian pokok-pokok pikiran ini dibuat untuk memenuhi permintaan kuasa hukum pemohon uji materi Pasal 77 hurut c dan huruf d Undang-Undang 63 Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara terhadap Undang- Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Semoga pokok-pokok pikiran ini dapat menjadi bahan bagi Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara yang diajukan kepadanya. Semoha Tuhan Yang Maha Esa memberikan keberkahan dan hidayah-Nya kepada kita semua untuk menegakkan amanah UUD 1945 dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dr. Kurtubi, S.E., M.Sp., M.Sc. Acuan konstitusi dari tata kelola migas berdasarkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Dari sisi hulu bahwa bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipakai untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Artinya cadangan minyak dan gas yang ada di perut bumi harus dikuasai negara dan dipakai untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sedangkan dari sisi hilir, cabang produksi penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara. Ahli berpendapat sektor migas ini sangat penting, sehingga diatur oleh Konstitusi dari hulu sampai hilir, karena kekayaan alam lainnya tidak ada yang diatur dari hulu sampai hilir. Karena itu struktur pengelolaannya harus dalam struktur teori ekonomi mikro sebagai bentuk monopoli alamiah. Monopoli alamiah jauh lebih efisien daripada bentuk struktur persaingan pasar. Hal ini karena yang hendak dipenuhi adalah adalah kebutuhan bahan bakar minyak seluruh rakyat Indonesia, sehingga skalanya sangat besar. Berbeda dengan air yang bersifat renewable , tapi minyak nonrenewable , sehingga harus dikuasai negara dari hulu ke hilir. Selain itu juga harus ada pengaturan mengenai cadangan minyak di perut bumi yang dimiliki oleh negara. Sektor hulu artinya mencari dan menghasilkan minyak mendah, mengeksplorasi, dan eksploitasi. Lalu minyak mentah dialirkan ke kilang minyak, untuk diubah menyadi BBM, untuk selanjutnya dialirkan dan diangkut sampai ke SPBU, sampai ke konsumen akhir. Oleh karena itu makna Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) ini harus terintegrasi, menyatu di bawah satu perusahaan dari hulu sampai hilir, sehingga memperkecil biaya. Jika penguasaan minyak dalam satu perusahaan dari hulu ke hilir maka akan mudah untuk melakukan proses dari hulu ke hilir. Sedangkan jika perusahaan minya unbundling , berbeda perusahaan, dari hulu sampai ke hilir maka dari hulu ke hilir 64 harus ada trust action cost , atau biaya antar segmen, berapa harga minyak mentah dan sebagainya. Dengan perusahaan minyak yang terintegrasi maka tidak ada biaya segmen hulu dan hilir, sehingga perusahaan negara yang mengelola migas statusnya menjadi natural monopoly . Di mana natural monopoly sangat efisien sehingga memaksimumkan pengelolaan migas sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dalam rangka menglola migas bermanfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat, negara harus membentuk perusahaan negara, sehingga penguasaan migas ada di tangan pemerintah. Pertamina yang terintegrasi secara vertical dan economies of skill sangat besar, apapun statusnya holding, subholdinng, atau cucu perusahaan, tetapi mengelola hulu-hilir sesuai amanah konstitusi sehingga menjadi natural monopoly . Konsep monopoli demikian bukan berarti perusahaan asing dan nasional tidak boleh masuk berinvestasi dan berkontrak dengan pertamina. Namun Pertamina mewakili negara memegang kuasa pertambangan. Dengan konsep ini seluruh Indonesia yang berhak menambang migas hanya negara. Investor bisa datang membawa dana untuk mencari minyak tapi dia berkontrak dengan perusahan negara yaitu Pertamina. Diakui di dunia bahwa Indonesia sebagai negara paling efisien dalam menarik investasi migas dan ditiru oleh banyak negara. Namun sejak UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas disahkan atas desakan IMF, sistem yang telah ada menjadi rusak. Kuasa pertambangan dari Pertamina dipindahkan ke pemerintah/ESDM. Lalu pemerintah yang berkontrak dengan investor. Pemerintah menjadi sejajar menempatkan diri dengan perusahaan asing dan swasta nasional. Punya hak dankewajiban yang sama dalam kontrak. Izin untuk implementasi dan contradicted sharing contract oleh para kontraktor izinnya diurus sendiri-sendiri. Akibatnya setelah UU Migas disahkan, investasi eksplorasi anjlok, tidak ada penimbun cadangan baru. Produksi hanya mengandalkan lapangan tua dari gudang ke gudang. UU Migas selama 20 tahun telah menyebabkan industry migas nasional menjadi terpuruk. Pertamina tidak lagi dihargai di dunia migas internasional. Sebelum UU Migas disahkan Pertamina yang memegang kuasa pertambangan tidak membutuhkan uang satu sen pun dari APBN, pembiayaan untuk membangun LNG Plant di Arun dan LNG Plant di Bontang dibiayai oleh bank karena memang pertamina dipercaya. 65 Pertamina meskipun dalam bentuk PT (Persero) tetap diberikan tugas oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan BBM nasional. Namun menurut ahli alasan privatisasi agar Pertamina bisa mendapat sumber pendanaan adalah alasan yang tidak tepat karena Pertamina bisa membuat sumber pendanaan dengan dana mulus dari bank-bank internasional jika pertamina memegang kuasa pertambangan. Privatisasi anak perusahaan Pertamina adalah salah Langkah, karena walaupun statusnya subholding namun tetap dia mencari dan memproduksi minyak mentah kekayaan perut bumi yang seharusnya dikuasai negara untuk memenuhi kebutuhan BBM. Jika ada kepemilikan saham oleh siapa pun dalam bentuk anak perusahaan tetapi substansinya adalah mengusahakan hulu sampai hilir migas maka berpotensi mengurangi penerimaan negara yang berasal dari keuntungan perusahaan minyak sehingga menyebabkan tidak tercapainya sebesar-besar kemakmuran rakyat. Jadi natural monopoly akan dirusak jika Pertamina substansi pekerjaan usahanya diprivatisasi baik hulu, tengah maupun hilir. Hal ini menyebabkan tidak terpenuhinya Pertamina sebagai natural monopoly . Karena itu status monopoli alamiah Pertamina dalam mengelola kekayaan hulu sampai ke cabang produksi penting BBM tidak boleh dijual tidak boleh diprivatisasi. Ahli menghimbau pemerintah untuk tidak menjual asset negara dalam bentuk saham-saham yang perusasahaan yang mengelola kekayaan migas dari hulu sampai hilir. Larangan terhadap privatisasi untuk perusahaan yang mengurus migas nasional, larangan dua-duanya, baik dalam status sebagai PT Persero ataupun sebagai anak perusahaan atau sebagau induk persudahaan. Ahli melihat pemerintah memiliki strategi untuk meloloskan privatisasinya dengan mengubah PT Persero yang ada itu, dengan anak perusahaan, jadi holding menjadi subholding. Menurut ahli hal ini tidak benar karena pada akhirnya akan memprivatisasi kegiatan dari hulu sampai ke hilir industry migas nasional yang menurut Konstitusi seharusnya dikuasai oleh negara. Menurut Ahli jika Pertamina diprivatisasi siapa yang akan memenuhi keutuhan BBM masyarakat dari Sabang sampai Merauke. Jika Pertamina diprivatisasi maka stakeholder pemilik perusahaan akan keberatan jika ada kerugian yang terjadi seperti BBM satu harga seperti yang saat ini diterapkan. Monopoli alami yang terjadi sebelum UU migas di sektor hulu adalah dengan tetap mengundang investor, namun tetap melalui Pertamina sebagai pemegang 66 kuasa pertambangan. Sedangkan di sisi hilir pemerintah mengeluarkan kebijakan harga meskipun siapapun bisa membuka SPBU. Harga BBM adalah kewenangan pemerintah bukan Pertamina. Jika ada perbaikan UU, Ahli menyarankan agar dihidupkan lagi kuasa pertambangan, karena sistem perijinan tidak perlu berbelit-belit. Kembalikan kuasa pertambangan ke tangan Pertamina, BP Migas yang sekarang menjadi SKK Migas. Ahli setuju dilakukan IPO sepanjang niatnya baik, jadi perusahaan tidak dijual tapi IPO, tetap ada kewajiban-kewajiban perusahaan IPO yang harus dilakukan, mengeluarkan laporan keuangan sesuai dengan ketentuan pasar modal. Hal ini justru bisa menghindari Pertamina dari ajang korupsi.
Gunawan Pertamina (Persero) adalah perwujudan dari pengertian pengelolaan secara langsung dari penguasaan negara dalam cabang produksi minyak dan gas sebagaimana pendapat Mahkamah Konstitusi. Disebutkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 36/PUU-X/2012 bahwa: Di dalam pengertian penguasaan itu tercakup pula pengertian kepemilikan perdata sebagai instrumen untuk mempertahankan tingkat penguasaan oleh Negara, c.q. Pemerintah, dalam pengelolaan cabang-cabang produksi minyak dan gas bumi. Dengan demikian, konsepsi kepemilikan privat oleh negara atas saham dalam badan-badan usaha yang menyangkut cabang- cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak tidak dapat didikotomikan atau dialternatifkan dengan konsepsi pengaturan oleh negara. Keduanya bersifat kumulatif dan tercakup dalam pengertian penguasaan oleh negara. Oleh sebab itu, negara tidak berwenang mengatur atau menentukan aturan yang melarang dirinya sendiri untuk memiliki saham dalam suatu badan usaha yang menyangkut cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak sebagai instrumen atau cara negara mempertahankan penguasaan atas sumber-sumber kekayaan dimaksud untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Menimbang bahwa dalam rangka mencapai tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat, kelima peranan negara/pemerintah dalam pengertian penguasaan negara, jika tidak dimaknai sebagai satu kesatuan tindakan, harus dimaknai secara bertingkat berdasarkan efektifitasnya untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Menurut Mahkamah, bentuk penguasaan negara peringkat pertama dan yang paling penting adalah negara melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam, sehingga negara mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari pengelolaan sumber daya alam. Penguasaan negara pada peringkat kedua adalah negara membuat kebijakan dan pengurusan, dan fungsi negara dalam peringkat ketiga adalah fungsi pengaturan dan pengawasan. 67 Sepanjang negara memiliki kemampuan baik modal, teknologi, dan manajemen dalam mengelola sumber daya alam maka negara harus memilih untuk melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam. Dengan pengelolaan secara langsung, dipastikan seluruh hasil dan keuntungan yang diperoleh akan masuk menjadi keuntungan negara yang secara tidak langsung akan membawa manfaat lebih besar bagi rakyat. Pengelolaan langsung yang dimaksud di sini, baik dalam bentuk pengelolaan langsung oleh negara (organ negara) melalui Badan Usaha Milik Negara. Pada sisi lain, jika negara menyerahkan pengelolaan sumber daya alam untuk dikelola oleh perusahaan swasta atau badan hukum lain di luar negara, keuntungan bagi negara akan terbagi sehingga manfaat bagi rakyat juga akan berkurang. Dari pengertian pengelolaan secara langsung sebagaimana pendapat Mahkamah Konstitusi tersebut di atas, yang perlu digarisbawahi yaitu: Pertama , tercakup pula pengertian kepemilikan perdata sebagai __ instrumen untuk mempertahankan tingkat penguasaan oleh Negara, c.q. Pemerintah, dalam pengelolaan cabang-cabang produksi minyak dan gas bumi. Kedua . Kepemilikan saham dalam suatu badan usaha yang menyangkut __ cabang- cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak sebagai instrumen atau cara negara mempertahankan penguasaan atas sumber-sumber kekayaan dimaksud untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ketiga . bentuk penguasaan negara peringkat pertama dan yang paling __ penting adalah negara melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam, sehingga negara mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari pengelolaan sumber daya alam. Keempat . Dengan pengelolaan secara langsung, dipastikan seluruh hasil __ dan keuntungan yang diperoleh akan masuk menjadi keuntungan negara yang secara tidak langsung akan membawa manfaat lebih besar bagi rakyat. Pada sisi lain, jika negara menyerahkan pengelolaan sumber daya alam untuk dikelola oleh perusahaan swasta atau badan hukum lain di luar negara, keuntungan bagi negara akan terbagi sehingga manfaat bagi rakyat juga akan berkurang. PT Pertamina (Persero) adalah bentuk dari pengelolaan langsung oleh negara (organ negara) melalui Badan Usaha Milik Negara sebagaimana pendapat Mahkamah Konstitusi sebagaimana tersebut di atas dalam pengelolaan cabang produksi minyak dan gas bumi PT Pertamina (Persero) dalam kenyataan sejarah dan berdasarkan ketentuan perundang-undangan di Indonesia, bergerak dalam 68 usaha minyak dan gas bumi sejak eksplorasi, dan eksploitasi, pengolahan, penyimpanan, pengangkutan, hingga penjualan atau niaga. Pertamina dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1968 tentang Pendirian Perusahaan Negara Pertambangan Minjak dan Gas Bumi Nasional (P.N. Pertamina). Pertamina merupakan peleburan dari Perusahaan Negara Pertambangan Minyak Indonesia dan Perusahaan Negara Pertambangan Minyak Nasional. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 kemudian memberikan landasan kerja baru guna meningkatkan kemampuan dan menjamin usaha-usaha lebih lanjut bagi Pertamina. Berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Pertamina menjadi Perseroan. Berdasarkan Pasal 72 (1) UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (selanjutnya disebut UU BUMN), restrukturisasi perusahaan BUMN dilakukan dengan maksud untuk menyehatkan BUMN agar dapat beroperasi secara efisien, transparan, dan profesional. Adapun salah satu tujuan restrukturisasi sebagaimana diatur dalam Pasal 72 (2) d UU BUMN adalah memudahkan pelaksanaan privatisasi. Pasal 77 UU BUMN telah memberikan batasan BUMN yang tidak dapat diprivatisasi. Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah:
Persero yang bidang usahanya berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan hanya boleh dikelola oleh BUMN;
Persero yang bergerak di sektor usaha yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan negara;
Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat;
Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi Pertamina (Persero) adalah BUMN yang memenuhi kriteria tidak dapat diprivatisasi sebagaimana diatur dalam Pasal 77 UU BUMN. Pertama , Pertamina (Persero), bergerak di sektor usaha minyak dan gas bumi __ yang memiliki kaitan dengan pertahanan dan keamanan negara; 69 Kedua , Pertamina (Persero) bergerak di sektor tertentu yaitu minyak dan gas __ bumi, yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan pertambangan, pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan penjualan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat yaitu jaminan dari pemerintah dalam hal ketersediaan dan jaminan harga minyak dan gas bumi yang tidak berdasarkan mekanisme pasar; Ketiga , Pertamina (Persero) bergerak di bidang usaha sumber daya alam __ minyak dan gas bumi yang secara tegas berdasarkan UU Migas harus di bawah Penguasaan Negara melalui pengelolaan secara langsung. Pertamina (Persero) bergerak dari hulu dan hilir usaha minyak dan gas bumi secara terintegrasi. Oleh karenanya pembatasan privatisasi tidak hanya di BUMN Persero, tapi juga di anak perusahaan persero yang bergerak di hulu dan hilir usaha minyak dan gas bumi. Sebagai BUMN, Pertamina (Persero), bergerak secara terintegrasi dari hulu ke hilir usaha minyak dan gas bumi, hal tersebut mempersyaratkan bahwa pembentukan holding dan sub holding Pertamina (Persero) tidak boleh menjadikan usaha minyak dan gas bumi yang dilakukan Pertamina (Persero) menjadi sistem usaha minyak dan gas bumi yang terpisah sehingga potensial menghambat tujuan dari penguasaan negara atas minyak dan gas bumi. Oleh karenanya pembatasan privatisasi tidak hanya di BUMN Persero, tapi juga di anak perusahaan persero. Mahkamah Konstitusi dalam putusan Undang-Undang Ketenagalistrikan (Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 dalam pengujian UU No. 20 Tahun 2002 dan Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 dalam pengujian UU No. 30 Tahun 2009) menolak sistem unbundling dalam usaha ketenagalistrikan dan kaitannya dengan Perusahaan Listrik Negara (Pesero) sebagai BUMN. Dalam kasus usaha minyak dan gas bumi, serta kaitannya dengan Pertamina (Persero), bahwa upaya restrukturisasi Pertamina (Persero) melalui pembentukan holding dan subholding haruslah dicegah menjadi praktik unbundling dalam usaha minyak dan gas bumi. Pertamina lahir sebagai perusahaan negara dari peleburan perusahan-perusahan minyak nasional, sehingga menjadi ironi sejarah bila restrukturisasi Pertamina (Persero) justru malah melemahkan peran negara dan memecah Pertamina. 70 4. Dr. Marwan Batubara Pada prinsipnya kami mendukung upaya FSPPB melakukan JR terhadap Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN No.19/2003 kepada MK. JR terhadap ketentuan UU tersebut perlu dan mendesak dilakukan terutama karena Pasal 77 huruf c dan UU BUMN No.19/2003 tidak cukup komprehensif menjelaskan bahwa anak-anak dan cucu perusahaan Pertamina termasuk dalam kategori badan usaha dalam lingkup sebuah BUMN yang dilarang diprivatisasi sesuai konstitusi. Di sisi lain, rencana privatsiasi anak-anak usaha Pertamina telah dinyatakan secara terbuka, baik oleh Menteri BUMN Erick Thohir maupun Dirut Pertamina Nicke Widyawati (12/6/2020). Rencana tesebut akan dijalankan oleh pemerintah dengan sangat confident, terutama karena yakin dapat memanfaatkan celah hukum yang “tersedia” dalam ketentuan Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN No.19/2003. Keyakinan bahkan semakin bertambah dengan menjadikan privatisasi PGN dan Elnusa sebagai rujukan. Padahal menurut hemat kami baik induk, anak maupun cucu perusahaan sebuah BUMN yang menjalankan fungsi penguasaan negara dan menyangkut hajat hidup orang banyak sesuai Pasal 33 UUD 1945, merupakan satu kesatuan usaha yang tidak boleh diprivatisasi. Karena itu, upaya optimal perlu dilakukan agar ketentuan Pasal 77 huruf c dan d tersebut dapat diperjelas dan dirubah sedemikian rupa oleh MK, sehingga tidak menjadi multi tafsir dan diselewengkan oleh penyelenggara negara yang sangat bernafsu melakukan privatisasi anak-anak usaha Pertamina. MK perlu segera membuat keputusan agar rencana IPO oleh pemerintah yang melanggar konstitusi dan merugikan rakyat tersebut dapat segera dicegah dan dihentikan. Hal-hal yang menjadi argumentasi kita sebagai anak bangsa untuk menghambat rencana privatisasi tersebut akan diuraikan lebih lanjut dalam tulisan berikut.
Ketentuan Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN No.19/2003 Dikaitkan dengan PT Pertamina Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN No.19/2003 berbunyi sebagai berikut: _Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah: _ 71 (c). Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan _kepentingan masyarakat; _ (d). Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi . Menurut Pasal 33 UUD 1945 Pertamina merupakan BUMN yang mendapat mandat dari negara untuk menjalankan fungsi pengelolaan sumber daya alam (SDA), termasuk minyak, gas dan panas bumi, guna memperoleh manfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dua aspek penting dalam ayat (2) dan ayat (3) Pasal 33 UUD 1945 adalah:
penguasaan negara, dan dengan penguasaan negara tersebut akan dicapai:
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sejak berdirinya Pertamina pada Agustus 1968 dan diperkuat pula dengan dibentuknya UU No. 8/1971, bangsa dan pemerintah Indonesia sudah mengenal fungsi dan peran Pertamina sebagai badan usaha milik negara (BUMN) yang mengelola bisnis sektor hilir minyak dan gas (migas) guna melayani kebutuhan publik atau masyarakat. Pada saat yang sama, Pertamina menjalankan pula fungsi dan peran sisi hulu migas guna mengeksploitasi SDA migas milik negara, agar bermanfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sesuai fungsi dan peran sebagai pengelola usaha hilir migas, maka tak dapat disangkal Pertamina merupakan organ negara berupa BUMN yang bertugas melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat. Oleh sebab itu, sesuai Pasal 77 huruf c di atas, sangat jelas ditetapkan bahwa Pertamina tidak dapat diprivatisasi karena fungsinya menjalankan kegiatan usaha yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, yakni kepentingan untuk memenuhi kebutuhan minyak/BBM dan gas. Pada sisi hulu, Pertamina berperan pula mengelola bisnis berupa kegiatan eksploitasi SDA migas negara. Tujuannya adalah agar dengan pengelolaan tersebut diperoleh manfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pasal 77 huruf (d) UU BUMN No.19/2003 dengan gamblang menyatakan BUMN-lah yang menjalankan kegiatan usaha di bidang SDA tersebut dan dilarang untuk diprivatisasi. Ada dua aspek konstitusional yang sangat penting dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN No.19/2003 yang mendesak diklarifikasi, yaitu kegiatan berkaitan 72 dengan a) kepentingan masyarakat dan b) kegiatan usaha SDA. Kedua aspek usaha tersebut memperoleh jaminan dan perlindungan khusus dalam konstitusi untuk dijalankan secara khusus pula tanpa boleh diprivatisasi. Artinya, sepanjang menyangkut kegiatan kepentingan masyarakat dan kegiatan pengelolaan SDA, maka hanya BUMN yang 100% sahamnya dimiliki negara-lah yang berhak melakukannya. Sepanjang objek dalam kedua kegiatan usaha di atas masih utuh berada dalam satu kesatuan usaha Pertamina sebagai induk, maka kami meyakini Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN No.19/2003 tidak bermasalah secara konstitusional. Namun jika sebagian dari objek kegiatan tersebut dipisahkan dari Pertamina untuk dijalankan oleh subjek badan usaha lain, maka Pasal 77 huruf c dan d harus dilengkapi dengan penjelasan atau dirubah sedemikian rupa agar tidak terjadi multi tafsir yang berujung pada pelanggaran terhadap konstitusi. Orientasi dan objek penting yang mendapat jaminan konstitusi untuk dikelola 100% oleh BUMN (artinya tidak boleh diprivatisasi) sebagai subjek adalah kegiatan kepentingan masyarakat dan kegiatan eksploitasi SDA. Subjek pengelola dan kedua objek kegiatan tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak boleh dipisahkan. Sepanjang menyangkut dua kegiatan kepentingan masyarakat dan eksploitasi SDA, maka pengelolanya hanyalah BUMN yang 100% sahamnya dimiliki nagara. Jika salah satu dari objek kegiatan tersebut melibatkan subjek yang bukan BUMN, maka dapat dinyatakan telah terjadi pelanggaran terhadap konstitusi, Pasal 33 UUD 1945. Sejalan dengan hal-hal yang diuraikan di atas, demi optimasi dan efektivitas manajemen pengelolaan bisnis, Pertamina bisa saja melakukan perubahan organisasi, termasuk membentuk sejumlah sub-holding atau anak-anak usaha. Selama ini pun Pertamina telah memiliki puluhan anak-anak dan cucu-cucu usaha. Namun, perubahan dan pembentukan sub-holding tersebut harusnya bukan direkayasa dan dimaksudkan untuk memuluskan jalan bagi terlaksananya rencana privatisasi. Apalagi jika hal tersebut dijalankan karena adanya motif perburuan rente dan dominasi oligarki pengusas-pengusaha. Karena itu, dapat dirangkum 2 hal penting. Pertama berdasarkan ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BMUN No. 19/2003 yang berlaku saat ini, karena subjek pelaku dan objek kegiatan dijamin oleh konstitusi sebagai satu kesatuan yang utuh, maka privatisasi anak atau cucu usaha tidak boleh dilakukan, karena 73 melanggar konstitusi. Kedua, guna mencegah moral hazard dan terjadinya privatisasi melalui IPO anak atau cucu usaha, maka MK dituntut untuk segera merubah atau memberi penjelasan tambahan atas Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN No. 19/2003, guna melidungi dan mengamankan kepentingan rakyat memperoleh manfaat tersbesar dari kegiatan usaha yang dikelola oleh Pertamina.
Pembentukan Holding dan Subholding untuk Privatisasi Seperti diuraikan di atas, guna mencapai efisiensi, optimasi dan efektivitas sebagai induk Holding BUMN Migas, Pertamina dapat saja melakukan perubahan organisasi dan aksi-aksi korporasi, termasuk melakukan konsolidasi bisnis, divestasi, sinergi, strategic partnership , dan lain-lain. Dalam hal ini, langkah pembentukan sub-holding dan privatisasi dapat saja perlu dilakukan. Namun, sepanjang menyangkut core business yang merupakan bagian utama dari rantai bisnis Pertamina, aksi-aksi korporasi tersebut tetap dan harus berpegang kepada konstitusi. Pembentukan berbagai sub-holding dapat didukung guna mencapai target-target manajemen korporasi, tapi tidak untuk memenuhi kepentingan segelintir orang atau kelompok yang ingin mendapat keuntungan bisnis dari rantai bisnis Pertamina melalui proses privatisasi atau IPO. Jika tujuan pembentukan sub-holding dilakukan untuk melapangkan jalan bagi terjadinya privatisasi anak-anak usaha Pertamina, terutama pada sektor kegiatan yang menyangkut kepentingan publik dan pengelolaan SDA, maka kami menyatakan penolakan. Alasan terpenting penolakan karena migas adalah sektor strategis menyangkut hidup rayat yang harus dikuasai negara melalui pengelolaan oleh BUMN seperti diuraikan pada Bagian 1 di atas. Hal ini bukan saja telah menjadi tekad dan amanat pendiri bangsa, terutama Bung Karno dan Bung Hatta, tetapi juga telah diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 36/2012 dan No. 85/2013. Alasan lain adalah bahwa para investor asing dan pengusaha liberal-kapitalis sangat berminat memperoleh manfaat besar dari sejumlah mata rantai bisnis sektor migas yang menguntungkan. Untuk itu, bekerjasama dengan oknum-oknum penguasa oligarkis, mereka biasanya menyiapkan kebijakan, aturan dan upaya sedemikian rupa, sehingga sebagian saham dari mata rantai bisnis yang menguntungkan tersebut dapat dikuasai. Caranya adalah melalui skema IPO seperti telah dicanangkan oleh Menteri BUMN Erick Thohir untuk dapat terwujud dalam 2 tahun ke depan. 74 Kesimpulannya, sepanjang dilakukan untuk perbaikan pengeloaan dan peningkatan kinerja bisnis korporasi, kami dapat menerima pembentukan sub- holding oleh Pertamina. Namun, jika pembentukan sub-holding tersebut terutama dimaksudkan untuk membuka jalan bagi terwujudnya privatisasi anak-anak usaha yang eksistensinya diatur dan dijamin oleh Pasal 33 UUD 1945, maka kami dengan tegas menyatakan penolakan.
Perlindungan hukum terhadap Pertamina dalam Mengelola SDA Sesuai Pasal 33 UDD 1945 Pengaruh dan intervensi penguasa dan pihak asing sangat menentukan dalam pengelolaan sektor migas dan energi di Indonesia. Hal ini salah satunya dapat ditelusuri dari pembentukan perundang-undangan sektor tersebut sejak Indonesia merdeka hingga sekarang. Pengaruh tersebut tentu saja dirasakan dampaknya oleh Pertamina. Padahal agar Pertamina dapat mengelola sektor migas sesuai konstitusi, maka UU Migas baru harus segera ditetapkan. Salah satu peraturan yang dapat dianggap konsisten dengan Pasal 33 UUD 1945 adalah UU No. 8/1971 tentang Pertambangan Migas Negara. Namun karena adanya penyelewengan oleh oknum-oknum penyelenggara negara pada era orde baru, UU yang sudah baik tersebut tidak berjalan optimal. Di sisi lain, karena kuatnya kepentingan asing untuk dapat mengambil manfaat dari sektor migas nasional, UU No. 8/1971 merupakan salah satu dari sejumlah UU yang harus direvisi sebagai syarat dikucurkannya pinjaman IMF dan BD kepada pemerintah Indonesia menghadapi krisis moneter 1997-1998. Maka lahirlah UU Migas No. 22/2001 yang berisi ketentuan liberal dan pro swasta/asing dan tidak sejalan dengan Pasal 33 UUD 1945. Setelah Indonesia bebas dari kewajiban utang kepada IMF dan BD, terbuka kesempatan untuk melakukan revisi terhadap UU Migas No. 22/2001. Revisi ini menjadi semakin mendesak setelah ditetapkannya Putusan MK No. 36/2012 atas Judicial Review UU Migas No. 22/2001 pada awal 2012. Di sisi lain, sebelumnya sebagai salah satu rekomendasi Pansus BBM DPR RI (periode 2004-2009) adalah UU Migas pun harus direvisi. Karena itu, DPR pun telah menyiapkan draft RUU Migas pada tahun 2009. Ternyata setelah lebih dari 10 tahun, UU Migas baru pengganti UU No. 22/2001 tak kunjung ditetapkan. DPR sebagai initiator RUU Migas dan juga pemerintah, tidak 75 merasa penting untuk segera menyelesaikan RUU tersebut. Penyelenggara negara merasa telah cukup nyaman untuk tetap menggunakan UU Migas yang merupakan produk pro swasta/asing dan pro oligarki tersebut. Penyelenggara negara pun tidak merasa penting untuk melindungi Pertamina sebagai pengemban tugas konstitusional pengelolaan migas nasional melalui pembentukan UU Migas baru tersebut. Artinya, sebagai salah satu landasan hukum yang akan melindungi Pertamina menjalankan pengelolaan migas sesuai Pasal 33 UUD 1945 tampaknya justru terkendala oleh sikap DPR dan pemerintah yang lebih memilih kondisi status quo . Dengan demikian, agenda-agenda oligarkis yang bernuansa moral hazard dapat berjalan seperti biasa tanpa hambatan. Cara atau mekanisme lain yang dapat dilakukan untuk melindungi Pertamina mengemban tugas konstitusionalnya adalah dengan melakukan perbaikan dan meningkatkan penerapan prinsip good corporate governance (GCG). Seperti disampaikan oleh Erick Thohir pada 12 Juni 2020, IPO diperlukan untuk meraih governance yang lebih baik. Kata Erick, Pertamina perlu IPO-kan 1-2 sub-holding sebagai bagian dari transparansi dan kejelasan akuntabilitas. Namun kami yakin IPO bukan satu-satunya jalan untuk meraih GCG. Banyak cara meningkatkan GCG di Pertamina tanpa harus IPO. Salah satu yang terpenting adalah menjadikan Pertamina sebagai non-listed public company (NLPC). NPLC adalah pola dimana Pertamina menjadi perusahan terdaftar di bursa (BEI), namun tidak ada (1% pun) saham yang dijual. Dengan terdaftar di BEI, Pertamina menjadi perusahaan terbuka yang diawasi publik, namun pemilikan negara di Pertamina tetap 100%. Sehingga, BUMN dapat dikelola sesuai konstitusi, saham 100% milik negara, dan tanpa prospek negara menjadi minoritas seperti halnya terjadi pada privatisasi PT Indosat. Salah satu aspek penting dalam GCG adalah bagaimana mengendalikan dan mencegah intervensi pejabat pemerintah terhadap BUMN sebagaimana terjadi selama ini. Faktanya, selama ini Pertamina telah menjadi korban kebijakan pemerintah yang merugikan keuangan korporasi, misalnya terkait harga untuk kebijakan harga crude domestic , penerapan signature bonus Blok Rokan, kebijakan harga BBM, kebijakan subsids LPG 3kg, dan lain-lain. Terkait crude domestik, signature bonus dan lapangan migas luar negeri, Pertamina harus mengeluarkan dana bernilai triliun Rp, sebagai beban biaya operasi 76 “tambahan”. Sedangkan terkait harga BBM, sejak April 2017 hingga Desember 2019, Pertamina harus menanggung beban public service obligation (PSO) lebih dahulu sekitar Rp 95 triliun yang hingga Mei 2020 belum dilunasi. Akibat beban PSO, kondisi keuangan dan cash flow perusahaan terganggu, sehingga Pertamina harus menerbitkan obligasi. Akibat kebijakan pemerintah yang melanggar UU dan prinsip GCG di atas, minimal Pertamina harus menanggung beban:
biaya “tambahan” puluhan triliun Rp dan, (2) beban bunga obligasi akibat tugas PSO yang nilainya juga puluhan triliun Rp. Beban kerugian tersebut bisa bertambah jika credit rating Pertamina turun akibat pemerintah melanggar GCG. Bahkan Pertamina bisa mengalami gagal bayar atau default atas utang jatuh tempo tahun 2020 ini, jika pemerintah tidak segera melunasi piutang Pertamina tersebut. Artinya, yang lebih mendesak dilakukan adalah penegakan GCG oleh pajabat pemerintah dibanding IPO untuk perbaikan GCG. Terbukti, karena pejabat pemerintah bermasalah, meskipun telah menjadi perusahaan terbuka (telah IPO), GCG tetap dilanggar seperti pada kasus Laporan Keuangan Garuda 2018-2019, kasus Krakatau Steel atau kasus Jiwasraya. Seperti diungkap manajemen Pertamina pada RDPU dengan Komisi VII DPR (29/6/2020), Pertamina perlu melakukan IPO karena membutuhkan dana yang sangat besar. Namun di sisi lain, uraian di atas menunjukkan bahwa keuangan Pertamina bermasalah akibat kebijakan intervensi dan kesewenang-wenangan pemerintah. Artinya, jika akhirnya IPO terlaksana, maka salah sebab tergadainya sebagian saham milik negara di Pertamina adalah sikap pemerintah yang menjadikan Pertamina sebagai sapi perah, serta sekaligus melanggar UU yang berlaku dan prinsip-prinsip GCG. Jika kita kembali merujuk pernyataan Erick Thohir, maka IPO bukanlah cara yang tepat untuk meraih transparansi dan akuntabilitas. Bahkan melakukan IPO saja seperti diuraikan pada Bagian 1 dan Bagian 2 di atas, sudah merupakan pelanggaran konstitusi. Tetapi yang paling relevan dan mendesak untuk perbaikan GCG adalah menertibkan dan mengendalikan pejabat tertinggi di istana negara dan sejumlah menteri di beberapa kementrian yang justru membuat kebijakan bermasalah dan melanggar aturan, sehingga secara faktual telah merugikan negara 77 dan keuangan korporasi. Sejalan dengan itu, Erick pun perlu segera menjadikan Pertamina (juga PLN) sebagai non-listed public company . Sebagai rangkuman dapat dinyatakan bahwa guna melindungi Pertamina menjalankan tugas-tugasnya mengelola sektor migas nasional sesuai Pasal 33 UUD 1945, maka langkah terpenting dan mendesak adalah meminta pemerintah membuat kebijakan terhadap Pertamina yang pro rakyat, konsisten dengan peraturan, mematuhi prinsip-prinsip GCG, dan menghilangkan sikap otoriter semau gue yang menjadikan Pertamina sebagai sapi perah bagi kepentingan politik dan oligarki kekuasaan. Selanjutnya, DPR dan Pemerintah harus segera menuntaskan pembentukan UU Migas baru yang telah direncanakan sejak 2009 yang lalu, dimana salah aspek penting dalam UU baru tersebut adalah jaminan pengelolaan migas harus sesuai prinsip penguasaan negara sesuai konstitusi. Dalam hal ini UU Migas baru tersebut harus bersifat khusus, lex specialist terhadap Pertamina. Terakhir, karena mendesaknya aspek GCG, pemerintah perlu segera menerbitkan peraturan khusus tentang peran dan fungsi Pertamina sebagai non-listed public company (NLPC). Prinsip-prinsip NPLC tersebut, kelak dapat pula dituangkan dalam UU Migas baru.
Rencana Unbundling Bisnis Pertamina Kami memahami secara umum ada beberapa tujuan sebuah perusahaan melakukan IPO, seperti: a) mendapatkan akses pendanaan murah, b) akses dana jangka panjang, c) memperoleh citra yang baik, d) meningkatkan nilai perusahaan dan e) memperoleh insentif pajak. Namun untuk itu, mata rantai dalam rantai bisnis atau anak usaha yang paling menguntungkanlah ( cream de la cream ) yang biasanya dijual terlebih dahulu. Jika dilihat dari sisi lain, seandainya profitabiitas dan prospek bisnis anak usaha yang akan dijual tersebut tidak jelas, tentu tidak akan ada investor yang berminat. Sebaliknya, dengan melepas atau “mempreteli” satu per satu mata rantai bisnis yang menguntungkan dari BUMN/Pertamina sesuai skenario kapitalis-liberal, atau dikenal juga dengan istilah unbundling, maka lambat laun sebagian besar anak-anak usaha Pertamina yang profitable akan terjual. Sehingga Pertamina kelak hanya akan “menikmati” bisnis ampas yang kurang menguntungkan atau malah merugikan. Sedangkan keuntungan terbesar dari mata rantai bisnisnya kelak akan lebih dinikmati asing atau para pengusaha kapitalis-liberal. 78 Padahal jika semua mata rantai dalam lini bisnisnya berjalan utuh secara “bundled”, maka seluruh keuntungan bisnis Pertamina akan dinikmati semua rakyat sesuai Pasal 33 UUD 1945. Selain itu, Pertamina dapat pula melakukan fungsi- fungsi strategis negara secara optimal, terutama melakukan fungsi cross-subsidy antar wilayah dan antar konsumen. Dalam hal ini Pertamina dapat membangun infrastruktur dan menyediakan pelayanan ke seluruh wilayah negara guna mengurangi kesenjangan menuju pemerataan berkeadilan. Salah satu contoh ironis yang dilakukan pemerintahan pro-asing pro-kapitalis- liberal saat ini adalah membiarkan SPBU-SPBU asing/swasta berbisnis di kota-kota besar di Indonesia, sementara Pertamina wajib menyediakan BBM hingga pelosok negeri dengan beban biaya sangat besar. Dengan bisnisnya dibiarkan digerogoti asing, maka kemampuan Pertamina melakukan cross subsidy semakin berkurang, sehingga sebagian dana untuk penyediaan pelayanan tersebut malah harus ditanggung APBN. Kami tidak anti modal asing dan dapat saja menerima skema IPO agar BUMN dapat memperoleh dana/modal. Namun jika modal dan citra diperoleh dengan melanggar konstitusi, serta mengorbankan kedaulatan dan prinsip-prinsip strategis negara yang bernilai “kualitatif”, maka hal tersebut harus ditolak. Selain itu, jika aspek moral hazard dan nuansa perburuan rente seputar IPO dan proses IPO ikut diperhitungkan, maka keuntungan “kuantitatif” akses dana murah dan dana jangka yang diperoleh melalui skema IPO pun justru akan sirna. Tegaknya kedaulatan, berjalannya konstitusi, terjaganya ketahanan energi dan meratanya pembangunan melalui cross-subsidy oleh BUMN yang dikelola tanpa IPO, tidak layak diperbandingkan dengan keuntungan akses dana murah yang diperoleh dari melakukan IPO. Keuntungan nilai dana murah yang diperoleh dari IPO sangat minim jika dibandingkan dengan besarnya manfaat strategis yang diperoleh jika BUMN dikelola sesuai konstitusi tanpa IPO. Salah faktor yang sangat merugikan adalah bahwa dengan IPO, profit yang dapat diraih akan berkurang sesuai berapa persen besar saham yang dijual. Faktor lain, sebagai pelaksana tugas perintisan dan pembangunan daerah, lambat laun BUMN akan kehilangan kemampuan cross-subsidy karena anak-anak usaha yang menguntungkan ( cream de la cream ) akan segera dijual, sehingga menyisakan anak-anak usaha yang kurang profitable . 79 Saksi Pemohon 1. drg. Ugan Gandar Bahwa PT. Pertamina (Persero) mendapatkan keistimewaan dari Negara untuk mendapatkan wilayah kerja terbuka tertentu melalui penunjukan langsung. Bahwa syarat untuk mendapatkan wilayah kerja tersebut, salah satunya yang terpenting adalah saham PT. Pertamina ( Persero) harus 100% dimiliki oleh Negara. Bahwa apabila saham PT. Pertamina (Persero) tidak lagi 100% dimiliki oleh negara karena dilakukan Initial Public Offering (IPO), maka akan menghambat usaha PT Pertamina (Persero) untuk memperoleh wilayah kerja terbuka tertentu, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi menyatakan: Ayat 4 Dalam hal PT Pertamina (Persero) mengajukan permohonan kepada Menteri untuk mendapatkan Wilayah Kerja terbuka tertentu, Menteri dapat menyetujui permohonan tersebut dengan mempertimbangkan program kerja, kemampuan teknis dan keuangan PT. Pertamina (Persero) sepanjang saham PT. Pertamina (Persero) 100% (seratus per seratus) dimiliki oleh Negara. __ Ayat 5 PT. Pertamina (Persero) sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak dapat mengajukan permohonan untuk wilayah kerja yang telah ditawarkan. __ Bahwa dengan PT. Pertamina ( Persero) menjadi prioritas untuk mendapatkan wilayah kerja terbuka tertentu karena sahamnya 100% dimiliki oleh Negara, maka sudah seharusnya anak perusahaan PT. Pertamina Persero/Perusahaan Milik PT. Pertamina ( Persero ) yang ditunjuk Pertamina untuk mengelola wilayah kerja terbuka tertentu tersebut sahamnya harus 100% milik PT. Pertamina ( Persero) atau dengan kata lain harus tetap 100% dikuasai oleh Negara. Bahwa sudah sepatutnya Negara mengontrol 100% wilayah kerja yang dikelola oleh PT. Pertamina ( Persero ) maupun anak perusahaan/perusahaan milik PT. Pertamina ( Persero ) hasil dari penunjukkan langsung pada wilayah kerja tersebut. Bahwa hal tersebut tentunya berbeda apabila yang dijual hanyalah Participating Interest (PI) atas suatu ladang minyak dan gas hasil tunjuk langsung ke Pertamina, hal tersebut diperbolehkan dan sudah lazim dilakukan karena yang berkurang hanya 80 Partisipasing Interest-nya saja, bukan porsi kepemilikan saham dalam PT. Pertamina (Persero) maupun anak perusahaan milik PT. Pertamina Persero. Bahwa Saham perusahaan pengelola wilayah kerja hulu migas yang boleh dijual ke bursa itu hanya perusahaan yang mendapatkan wilayah kerja dari BP Migas / SKK Migas melalui prinsip-prinsip komersial /persaingan bebas.
KENAPA BISNIS PERTAMINA HARUS TERINTEGRASI Pertamina (Persero) adalah Perusahaan saat ini bisnisnya meliputi usahan minyak dari hulu sampai ke Hilir. Ada beberapa hal pentingnya kenapa Bisnis Pertamina ini harus terintegrasi dan tidak terpecah pecah. Antara lain:
Jika suatu saat ada krisis yang mengakibatkan harga minyak mentah jatuh maka jika pertamina ini menjadi satu kesatuan utuh maka akan sangat membantu untuk saling menutupi kerugian yang terjadi antar lini bisnis. Bisnis hulu rugi tetapi bisnis hilir untung sehingga saling menutupi.
Begitupun juga sebaliknya jika harga Crude naik dan karena kebijakan pemerintah yang tidak ingin rakyat indonesia semakin terbebani sehingga harga BBM harus ditahan tidak boleh naik maka Bisnis Hilir yang rugi tetapi bisnis Hulu yang untung. Sehingga bisa saling menutupi.
Akan sangat merugikan keuangan negara karena potensi jika Harga ICP lebih tinggi dibandingkan harga MOPS maka Refinery Pertamina (jika sudah IPO) tentunya akan memilih membeli Produk yang lebih murah.
Jika semua lini bisnis terpecah pecah seperti Hulu, Shipping, Pengolahan dan Pemasaran terpecah pecah dan saham sudah dikuasi oleh Swasta. Maka yang terjadi adalah setiap entitas tidak peduli dengan entitas lain. Hal ini akan sangat berbahaya bagi keberlangsungan penyaluran energi ke pelosok negeri. Karena semuanya akan berusaha mengambil profit Contoh :
Dari Pemasaran akan berusaha hanya akan melayani daerah daerah yang dianggap profitable. Untuk daerah 3T yang secara feasibility tidak masuk tidak akan dilayani. Sehingga rawan mengakibatkan kerusuhan karena langkanya BBM. Atau tersedia BBM dengan harga yang cukup tinggi 2. Dari pemasaran hanya akan mengambil supply BBM dari supplier yang murah. Jika harga COGS Refinery yang sudah IPO lebih mahal dari 81 harga MOPS untuk landed Cost nya maka tentu produk Refinery akan ditinggalkan oleh Pertamina. Dan hal ini bisa mengakibatkan kerugian yang sangat besar bagi Refinery. Bisa Collaps. Dan Chain efeknya tentu akan sangat Besar. Bisnis Kilang Tutup, PHK Masal, Rekanan Bangkrut, dan Pengangguran massive akan terjadi.
Dari sisi refinery tentunya juga akan begitu hanya akan mencari Supplier Crude yang murah dan menguntungkan. Jika harga ICP lebih mahal dibandingkan harga Crude di pasaran luar negeri dan perhitungan landed cost sampai di Refinery lebih murah tentunya Crude Dalam negeri jadi tidak terserap dan pendapatan negara menjadi berkurang.
Dari sisi Perkapalan. Jika lini ini terpisah dan berdiri sendiri maka tentunya akan berusaha sebesar besarnya dan kurang mau take risk. Di cuaca yang sangat buruk dan diujung negeri ada lokasi yang BBM kritis karena Sense of Nasionalitynya sudah berkurang maka Bisnis Perkapalan hanya akan mementingkan dirinya sendiri. Jadi bodo amat sama krisis energi di Ujung negeri. Yang penting bisnis lancar.
Dan yang paling paling bahaya adalah seperti chart berikut : Dengan kondisi diatas maka Hulu akan ambil Profit , Shipping ambil Profit, Refinery ambil Profit Maka yang terjadi adalah harga BBM dari Customer akan sangat mahal, Belum lagi adanya Tax disetiap Transaksi BBM karena sudah beda entitas. Yang akan terjadi nanti bisa seperti ini Dengan kondisi diatas sudah terlihat siapa yang diuntungkan dan siapa yang akan dirugikan sehingga implementasi dari Pasal 33 Undang-Undang Dasar tidak dapat direalisasikan dan hanya konteks semata. Singapore (minyak jadi) Minyak jadi Shippin g Pemasaran Hulu Pengolahan Shippin g Shippin g Pemasaran 82 2. PERTAMINA TIDAK TERINTEGRASI APAKAH BERDAMPAK DENGANIMPLEMENTASI DARI PASAL 33 UNDANG – UNDANG DASAR 1945 Atas apa yang telah diuraikan diatas maka secara langsung dan tidak langsung akan berdampak kepada tujuan dari implementasi Pasal 33 Undang – Undang Dasar 1945 dimana salah satu isi dari pasal tersebut yaitu cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara, dan Bumi, air dan kekayaan alam didalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tidak akan pernah tercapai sehingga cita-cita dari “the Founding Fathers” akan menjadi mimpi dan tidak pernah terealisasi. Dilain sisi dengan dibentuknya Pertamina sebagai salah satu BUMN memiliki tujuan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat dengan memperhatikan dari perkembangan zaman dimana pelayanan (service) serta kemajuan tekhnologi Informasi yang serba digital harus diselaraskan dan diimplementasi guna bisa bersaing 3. PERTAMINA (HOLDING DAN SUBHOLDING) BERENCANA AKAN DIMILIKI OLEH SWASTA BAGAIMANA DENGAN KEDAULATAN DAN KETAHANAN ENERGI Kedaulatan dan ketahanan merupakan kunci penting dalam sebuah negara. Kemampuan bangsa untuk menetapkan kebijakan, mengawasi pelaksanaan serta memastikan jaminan ketersediaan energi merupakan arti dari kedaulatan dan selaras dengan tujuan berdirinya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dimana kepemilikan saham masih dimiliki oleh negara yaitu Pertamina. Bilamana kepemilikan atas saham dari holding maupun sub holding Pertamina dialihkan atau dimiliki oleh swasta maka patut diduga kemampuan negara yang diwakili oleh Kementerian BUMN atau ESDM sebagai pemegang saham dalam membuat sebuah kebijakan akan tidak semata – mata berorientasi untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat tetapi akan berpotensi terjadinya intervensi dari pemegang saham lain atau swasta.Seperti diketahui bersama kebijakan 1 harga BBM yang saat ini terjadi karena kepemilikan sahamnya masih 100% negara dan belum dibentuknya holding dan subholding Pertamina. Dibentuknya holding dan subholding Pertamina bisa kemungkinan kebijakan 1 harga BBM akan ditiadakan atau dicabut dimana pemilik saham bukan seluruhnya negara melainkan ada kepemilikan swasta , sedangkan kita ketahui bersama bila kepemilikan saham 83 dimiliki pihak swasta atas saham subholding Pertamina patut diduga hanya menginginkan keuntungan semata, sehingga yang dirugikan adalah rakyat.
Ir. Faisal Yusra SH., MM., QIA., CFrA Minyak dan Gas Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat maupun fasa gas, termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit, dan bitumen yang diperoleh dari proses penambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau endapan hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi. Di dalam definisi ini terkandung makna Minyak dan Gas Bumi (Migas) adalah proses yang menyeluruh mencakup kegiatan hulu dan hilir secara terintegrasi untuk mendapatkan nilai tambah yang optimal. Dalam konteks Indonesia, optimalisasi pengelolaan migas akan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sehingga wajib dikuasai oleh negara sesuai Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3). Pengelolaan bisnis migas yang seimbang antara pengelolaan sektor hulu dan hilir migas menjadi kebijakan strategis yang diimplementasikan oleh berbagai perusahaan migas besar dunia. Merger/penggabungan perusahaan migas dunia seperti BP dan AMOCO, Total, Fina dan Elf, Exxon dengan Mobil, maupun Conoco dan Philips adalah dalam rangka mencapai tujuan optimalisasi keuntungan bisnis dengan menyeimbangkan volume/kapasitas bisnis Hulu dan Hilir Perusahaan. Dalam hal harga minyak mentah dunia turun, maka sektor hilirnya dioptimalkan produksinya sebagai sektor yang menghasilkan kentungan perusahaan. Pada situasi ini, akan menimbulkan permasalahan kinerja bagi perusahaan yang hanya bergerak di sektor hulu saja. Demikian pula sebaliknya, ketika harga minyak mentah naik tinggi, maka perusahaan akan bertahan karena sektor hulu akan menjadi tulang punggung dalam menghasilkan revenue maupun keuntungan. Pada situasi ini, akan menimbulkan permasalahan kinerja bagi perusahaan yang hanya bergerak di sektor hilir saja. Dengan penguasaan dan pengelolaan hulu migas Pertamina sekitar 200 – 300 ribu barrel per hari yang amat timpang dengan penguasaan dan pengelolaan sektor hilir sekitar 1.6 – 1.7 juta barrel per hari, maka pemisahan (unbundling) 84 pengelolaan sektor hulu dan hilir Pertamina menjadi entitas bisnis perusahaan yang berdiri sendiri maka akan menimbulkan potensi masalah kinerja bisnis bagi Pertamina, dan pada gilirannya akan mengganggu kontribusinya sebagai penghasil devisa strategis bagi negara. Ketika harga minyak mentah dunia naik sangat tinggi, biaya operasi perusahaan sektor hilir akan mengalami tekanan karena adanya berbagai situasi seperti kebijakan pemerintah untuk tidak menaikkan harga atau menetapkan harga tidak dengan nilai keekonomian, sementara sektor hulu tidak dapat membantu dalam bentuk subsidi silang karena sudah menjadi entitas bisnis yang terpisah dan berdiri sendiri. Karakteristik bisnis yang terintegrasi (bundling) sektor hulu dan hilir telah disusun menjadi suatu proses bisnis yang dijadikan pedoman pengelolaan bisnis dengan menegaskan di dalam SK Direksi Pertamina Nomor Kpts.-29/C00000/2016- S0 tanggl 2 Agustus 2016 bahwa pengelolaan sektor hulu (explore, exploit, and produce hydrocarbone, and geothermal) dan sektor hilir (refine and produce fuel, nonfuel, an new & renewable energi, market dan sell produce and service) adalah bisnis inti (core processes) yang tentunya wajib dikelola sendiri dalam satu entitas bisnis. Di dalam surat keputusan tersebut juga diatur tentang kegiatan penunjang (support) yang dikategorikan dalam dua fungsi proses yaitu proses kritikal dan proses pendukung. Penyusunan proses bisnis disusun dengan memperhatikan best practise dari American Productivity and Quality Center (APQC) dan disesuaikan dengan karateristik bisnis Pertamina yang mencakup bisnis minyak, gas, geothermal serta energi baru dan terbarukan. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) yang menegaskan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Konsep penguasaan dimaksud dimaknai dengan dimiliki atau dikuasai, dikelola dan dikendalikan secara oleh negara melalui perusahaan milik negara yakni Pertamina sehingga negara dapat memberikan penugasan apapun termasuk pelayanan penyediaan BBM dengan harga terjangkau dalam rangka memberikan kemakmuran bagi rakyat. Dengan adanya penugasan tersebut dan Pertamina yang 100% sahamnya dimiliki negara maka negara memberikan keistimewaan (privilage) seperti yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 Pasal 5 ayat (4) yang 85 berbunyi: Dalam hal PT Pertamina (Persero) mengajukan permohonan kepada Menteri untuk mendapatkan Wilayah Kerja terbuka tertentu, Menteri dapat menyetujui permohonan tersebut dengan mempertimbangkan program kerja, kemarnpuan teknis dan keuangan PT Pertamina (Persero) dan sepanjang saham PT Pertamina (Persero) 100% (seratus per seratus) dimiliki oleh Negara. Dalam hal perusahaan pengelolaan migas Pertamina tidak lagi 100% milik negara maka keistimewaan yang ada akan dicabut maka semua proses akan berjalan sebagai bisnis swasta murni dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian bisnis. Demikian pula dalam hal pengelolaan bisnis migas Indonesia diselenggarakan oleh entitas bisnis yang terpisah-pisah (hulu dan hilir) dalam bentuk masing-masing perseroan terbatas maka akan menimbulkan kesulitan dalam pengaturan penyediaan BBM dengan harga yang terjangkau bagi masyarakat karena tidak adanya mekanisme subsidi silang seperti yang dapat dilakukan oleh perusahaan yang terintegrasi. Program BBM Satu Harga dulunya diawali dengan adanya keuntungan Pertamina yang didominasi oleh keuntungan sektor hulu yang disisihkan dan menjadi kompensasi harga BBM di daerah terdepan, terpencil dan tertinggal yang disamakan dengan Pulau Jawa. Oleh karena sektor hulu dan hilir Pertamina di dalam satu pengelolaan keuangan di PT Pertamina (Persero) tentunya pengurangan pendapatan akibat BBM Satu Harga tidak menjadikan kondisi keuangan perusahaan menjadi buruk. Lain halnya apabila setiap bisnis migas Pertamina dalam bentuk perusahaan yang berdiri sendiri dan tidak 100% milik negara tentunya kebijakan subsidi silang dimaksud tidak dapat dilakukan dan perusahaan yang mengelolanya (Pemasaran/Ritail/Sektor Hilir) tidak akan bersedia menanggung kerugian sebagai kinerja perusahaan. Dengan demikian, program BBM Satu Harga tentunya akan terganggu. Bila hal ini terjadi, maka amanat penyelenggaraan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi yang berasaskan ekonomi kerakyatan, keterpaduan, manfaat, keadilan, keseimbangan, pemerataan, kemakmuran bersama dan kesejahteraan rakyat banyak, keamanan, keselamatan, dan kepastian hukum serta berwawasan lingkungan bagi rakyat Indonesia tidak akan tercapai. [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat telah menyampaikan keterangan bertanggal 8 Juni 2021 86 yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada 10 Juni 2021 yang pada pokoknya sebagai berikut: I. KETENTUAN UU BUMN YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN TERHADAP UUD NRI TAHUN 1945 Dalam permohonan a quo , Pemohon __ mengajukan pengujian materiil terhadap Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN yang berketentuan sebagai berikut: Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN _Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah: _ c. Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan _dengan kepentingan masyarakat; _ d. Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi. Pemohon mengemukakan bahwa ketentuan Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN dianggap bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD NRI Tahun 1945 yang berketentuan sebagai berikut: Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pemohon menyatakan kerugian konstitusionalnya yang pada intinya adalah:
Bahwa ketentuan Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN membuka peluang/berpotensi dapat diprivatisasinya anak perusahaan dari perusahaan persero tersebut yang hanya berbentuk perseroan terbatas biasa, padahal anak perusahaan tersebut memiliki kegiatan di bidang usaha yang berkaitan dengan bidang usaha induk perusahaannya yang notabene induk perusahaannya dilarang diprivatisasi karena bidang usahanya termasuk yang disebutkan dalam Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN ( vide Perbaikan Permohonan hal. 9).
Bahwa akibat tidak diaturnya anak perusahaan persero/perusahaan milik persero dalam ketentuan Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN. Pemohon dirugikan hak konstitusionalnya yaitu ( vide Perbaikan Permohonan hal. 11): 87 a. Negara berpotensi nyata kehilangan hak menguasai cabang-cabang produksi penting bagi negara, menguasai hajat hidup orang banyak dan sumber daya alam termasuk sumber daya alam minyak dan gasnya sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Bahwa dalam hal ini kedaulatan energi nasional menjadi terancam sehingga hak konstitusional Pemohon sangat berpotensi nyata dirugikan dan harus diperjuangkan oleh Pemohon sebagaimana telah diatur dalam anggaran dasar FSPPB.
Berpotensi nyata sumber daya alam tidak ditujukan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat termasuk namun tidak terbatas pada para pekerja pertamina sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 karena negara kehilangan hak menguasai sumber daya alam akibat diperbolehkannya swasta/perorangan anak perusahaan BUMN yang mengelola sumber daya alam.
Menjadi ancaman terhadap kelangsungan bisnis dan eksistensi dari PT. Pertamina Persero maupun anak-anak perusahaannya akibat potensi terjadinya privatisasi, yang seharusnya dilarang untuk di privatisasi karena bergerak di bidang usaha pengelolaan sumber daya alam dan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan masyarakat.
Berpotensi nyata para pekerja pada anak-anak perusahaan Pertamina kehilangan statusnya sebagai pekerja BUMN dan menjadi pekerja swasta biasa akibat pelepasan seluruh saham anak perusahaan PT Pertamina Persero kepada pihak swasta/perorangan.
Kualitas hidup dan kesejahteraan pegawai perusahaan grup PT Pertamina Persero/BUMN beserta keluarganya akan tidak terjamin apabila anak-anak perusahaan PT Pertamina Persero/BUMN tidak dikontrol dengan baik oleh negara.
Berpotensi dilakukannya Pemutusan Hubungan Kerja terhadap para pekerja anak-anak perusahaan Pertamina akibat pelepasan seluruh saham/sebagian besar saham anak-anak perusahaan Pertamina kepada pihak swasta/perorangan, hal ini sangat beralasan mengingat dalam Pasal 163 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memungkinkan perusahaan/pengusaha 88 melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap peekrja karena adanya perubahan kepemilikan saham perusahaan. Bahwa Pemohon dalam petitumnya memohon sebagai berikut:
Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon;
Menyatakan Pasal 77 huruf c dan d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan d hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap Perusahaan milik Persero/Anak Persero;
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Jika yang mulia Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia memiliki pandangan lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). II. KETERANGAN DPR A. KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) PEMOHON Terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) Pemohon, DPR berpandangan berdasarkan 5 (lima) batasan kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang sebagaimana dinyatakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011/PUU-V/2007 sebagai berikut:
Terkait adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945 Bahwa Pemohon mendalilkan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. DPR menerangkan bahwa Pasal a quo justru telah mencerminkan pemenuhan kewajiban negara sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 karena adanya larangan bagi persero untuk dapat diprivatisasi, salah satunya adalah persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam. Larangan tersebut menunjukkan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran 89 rakyat. Selain itu ketentuan dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 tidak mengatur terkait dengan hak konstitusional, melainkan mengatur mengenai kewajiban negara dalam menguasai bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan untuk cabang-cabang produksi yang penting tersebut dikuasai oleh negara. Oleh karena itu tidak terdapat hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon dalam ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 dan tidak tepat untuk dijadikan batu uji dalam Permohonan a quo .
Terkait adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang Terkait dengan doktrin organizational legal standing yang didalilkan oleh Pemohon, DPR berpandangan bahwa tidak semua organisasi dapat bertindak mewakili kepentingan anggotanya untuk beracara di pengadilan, khususnya di pengadilan Mahkamah Konstitusi. Bahwa ketentuan Pasal 87 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menyatakan bahwa Serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mewakili anggotanya dan ketentuan Pasal 25 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh menyatakan bahwa Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan berhak mewakili pekerja/buruh dalam menyelesaikan perselisihan industrial. Berdasarkan ketentuan- ketentuan tersebut, maka organizational legal standing yang diberikan kepada Pemohon sebagai federasi serikat pekerja adalah terkait dengan penyelesaian perselisihan industrial, termasuk untuk beracara di pengadilan hubungan industrial, dan bukan untuk mengajukan Permohonan a quo di Mahkamah Konstitusi yang sama sekali tidak berkaitan dengan perselisihan hubungan industrial. Selain itu DPR menerangkan bahwa berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, terkait dengan anak 90 perusahaan BUMN memang tidak tunduk pada ketentuan dalam UU BUMN melainkan tunduk pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, hal tersebut dikarenakan saham untuk anak perusahaan BUMN merupakan milik BUMN dan bukan milik negara karena pada hakekatnya penyertaan modal tersebut merupakan kekayaan negara yang sudah dipisahkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, berbeda dengan induk perusahaannya yang merupakan BUMN. Berdasarkan uraian tersebut, maka ketentuan Pasal UU a quo sama sekali tidak melanggar hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon.
Terkait adanya kerugian hak konstitusional yang bersifat spesifik dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi Bahwa Pemohon mendalilkan mengalami kerugian yang pada intinya ketentuan Pasal a quo yang tidak mengatur terkait dengan anak perusahaan persero membuka peluang bagi anak perusahaan untuk diprivatisasi sehingga akan menghilangkan kekuasaan negara untuk menguasai sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak. Terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR menerangkan bahwa Pemohon adalah federasi serikat pekerja yang mempunyai kepedulian perlindungan terhadap para pekerja PT Pertamina (Persero) dan oleh karenanya bertindak untuk kepentingan pekerja PT Pertamina (Persero) ( vide Perbaikan Permohonan hal. 9). Oleh karenanya seharusnya Pemohon dalam Permohonan a quo menguraikan adanya kerugian konstitusional yang dialami langsung oleh pekerja PT Pertamina (Persero) untuk kemudian menjadi dasar diajukannya Permohonan a quo . Namun dalam permohonannya, Pemohon hanya menguraikan kekhawatirannya terhadap hilangnya hak menguasai negara dalam melakukan pengelolaan yang menyebabkan pihak swasta dan/atau perorangan dapat menguasai dan/atau mengelola anak perusahaan PT Pertamina (Persero) tanpa mencerminkan adanya kerugian yang ditimbulkan dari berlakunya Pasal a quo terhadap kesejahteraan pekerja. 91 Oleh karena tidak ada pertautan langsung antara kerugian yang didalilkan oleh Pemohon dengan tugas dan peranan Pemohon untuk melaksanakan kegiatan penegakan hak-hak pekerja PT Pertamina (Persero), maka sudah dapat dipastikan tidak ada satupun kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
Terkait adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian hak konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian Bahwa sebagaimana telah dikemukakan pada angka 1, 2, dan 3, berlakunya ketentuan Pasal a quo sama sekali tidak menimbulkan kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang bersifat spesifik, aktual, maupun potensial. Kerugian yang didalilkan oleh Pemohon tidak memiliki hubungan sebab-akibat dengan ketentuan Pasal a quo UU BUMN.
Terkait adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi Bahwa karena tidak ada hubungan sebab akibat ( causal verband ) maka sudah dapat dipastikan bahwa pengujian a quo tidak akan berdampak apa pun pada Pemohon. Dengan demikian menjadi tidak relevan lagi bagi Mahkamah Konsitusi untuk memeriksa dan memutus permohonan a quo , karena Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan pokok perkara. Bahwa terkait dengan kepentingan hukum Pemohon, DPR memberikan pandangan senada dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU- XIV/2016 yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari tanggal 15 Juni 2016, yang pada pertimbangan hukum [3.5.2] Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa menurut Mahkamah: 92 ...Dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’interest, point d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “tiada gugatan tanpa hubungan hukum“ (no action without legal connection). __ Berdasarkan pada hal-hal yang telah disampaikan tersebut DPR berpandangan bahwa Pemohon secara keseluruhan tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi dan penjelasannya, serta tidak memenuhi persyaratan kerugian konstitusional yang ditentukan dalam putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu. Selain itu, Pemohon dalam permohonan a quo tidak menguraikan secara konkrit mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusionaInya yang dianggap dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, sehingga sudah sepatutnya Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok perkara karenanya permohonan Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima. Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) Pemohon, DPR menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU- III/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional. B. PANDANGAN UMUM DPR 1. Sesuai dengan angka IV Penjelasan Umum UU BUMN yang menyatakan: “ Peningkatan efisiensi dan produktifitas BUMN harus dilakukan melalui langkah-langkah restrukturisasi dan privatisasi. Restrukturisasi sektoral dilakukan untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif sehingga tercapai efisiensi dan pelayanan yang optimal. Sedangkan restrukturisasi perusahaan yang meliputi penataan kembali bentuk badan usaha, kegiatan usaha, organisasi, manajemen, dan keuangan. Privatisasi bukan semata-mata dimaknai sebagai penjualan perusahaan, melainkan menjadi alat dan cara pembenahan BUMN untuk mencapai beberapa sasaran 93 sekaligus, termasuk didalamnya adalah peningkatan kinerja dan nilai tambah perusahaan, perbaikan struktur keuangan dan manajemen, penciptaan struktur industri yang sehat dan kompetitif, pemberdayaan BUMN yang mampu bersaing dan berorientasi global, penyebaran kepemilikan oleh publik serta pengembangan pasar modal domestik. Dengan dilakukannya privatisasi BUMN, bukan berarti kendali atau kedaulatan negara atas BUMN yang bersangkutan menjadi berkurang atau hilang karena sebagaimana dinyatakan di atas, negara tetap menjalankan fungsi penguasaan melalui regulasi sektoral dimana BUMN yang diprivatisasi melaksanakan kegiatan usahanya. ” 2. Bahwa memajukan kesejahteraan bagi seluruh rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yang diatur lebih rinci dalam Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 merupakan tugas konstitusional bagi seluruh komponen bangsa. Khususnya ayat (2) dan ayat (3) yang membangun logika bernegara yaitu negara melakukan penguasaan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sehingga berdasarkan hal tersebut dirasa perlu untuk meningkatkan penguasaan seluruh kekuatan ekonomi nasional baik melalui regulasi sektoral maupun kepemilikan negara terhadap unit-unit usaha tertentu dengan maksud memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Bahwa konsepsi “dikuasai oleh negara” sebagaimana termuat dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 telah ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 01- 021-022/PUU-I/2003 mengenai pengujian UU Nomor 20 Tahun 2002 dan 02/PUU-I/2003 mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Minyak dan Gas Bumi, tanggal 1 Desember 2004, yang memaknai bahwa penguasaan negara tersebut adalah sesuatu yang lebih tinggi atau lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata.
Salah satu bentuk restrukturisasi perusahaan dilakukan melalui pembentukan holding BUMN, yaitu mengalihkan kepemilikan negara pada satu atau beberapa BUMN menjadi tambahan modal saham negara pada satu BUMN lainnya, sehingga BUMN tersebut menjadi 94 holding (induk). Sebagaimana dinyatakan dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 yang pada intinya menyatakan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, sehingga oleh karenanya menurut pasal 33 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 harus tetap dikuasai oleh negara, dalam arti harus dikelola oleh negara melalui perusahaan negara yang didanai oleh pemerintah (negara) atau dengan kemitraan bersama swasta nasional atau asing yang menyertakan dana pinjaman dari dalam dan luar negeri atau dengan melibatkan modal swasta nasional/asing dengan sistem kemitraan yang baik dan saling menguntungkan dan demi efisiensi BUMN sebagai holding company dapat berbagi tugas dengan BUMN lainnya atau BUMD. Oleh karenanya __ pembentukan holding company adalah salah satu bentuk penguatan BUMN dengan bersinergi dengan BUMN lainnya, sehingga tidak lagi membebani APBN. Namun demikian, pembentukan holding tetap harus ditetapkan dengan peraturan pemerintah ( vide Pasal 2A jo. Pasal 3 PP 44/2005 jo. PP 72/2016) C. KETERANGAN DPR TERHADAP POKOK PERMOHONAN 1. Dalam permohonannya Pemohon mendalilkan bahwa anak-anak perusahaan/perusahaan milik PT. Persero seharusnya diperlakukan sama dengan Induk Perusahaannya yaitu PT. Persero, sebab antara induk perusahaannya dengan anak-anak perusahaannya/perusahaan milik Persero sama-sama memiliki keterkaitan bidang usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal a quo sehingga seharusnya sama- sama tidak dapat diprivatisasi ( vide Perbaikan Permohonan hal. 25 poin 33). Terhadap dalil tersebut DPR menerangkan sebagai berikut:
Bahwa merujuk pada ketentuan dalam Pasal 1 angka 1 UU BUMN yang mendefinisikan BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Selanjutnya Pasal 1 angka 2 UU BUMN mendefinisikan Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu 95 persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.
Sedangkan definisi anak perusahaan BUMN dapat dilihat dalam Keputusan Presiden Nomor 122 Tahun 2011 tentang Tim Kebijakan Privatisasi BUMN dan Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor Per- 03/MBU/2012 tentang Pedoman Pengangkatan Anggota Direksi dan Anggota Dewan Komisaris Anak Perusahaan Badan Usaha Milik Negara. Dalam peraturan tersebut menyatakan bahwa anak perusahaan BUMN adalah perseroan terbatas yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh BUMN atau perseroan terbatas yang dikendalikan oleh BUMN.
Terlebih lagi dalam Pasal 4 ayat (2) UU BUMN menyatakan bahwa setiap penyertaan modal negara dalam rangka pendirian BUMN atau perseroan terbatas yang dananya berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Sedangkan pendirian anak perusahaan BUMN yang merupakan perseroan terbatas tunduk kepada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UU PT) dan tidak ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Berdasarkan uraian di atas, maka terdapat perbedaan fundamental terkait dengan kepemilikan saham, kendali perseroan, dan pendirian perseroan antara BUMN dengan anak perusahaan BUMN. Oleh karena itu jelas terlihat bahwa BUMN dan anak perusahaan BUMN tidak dapat dipersamakan dan dalil Pemohon yang menyatakan seharusnya baik induk perusahaan maupun anak perusahan yang memiliki keterkaitan bidang usaha sebagaimana diatur dalam Pasal a quo harus diperlakukan sama adalah tidak beralasan menurut hukum.
In casu dalam Perkara a quo, saham PT Pertamina (Persero) dimiliki oleh Negara, sedangkan saham Anak perusahaan PT Pertamina (Persero) merupakan saham milik PT Pertamina (Persero). Perbedaan subyek pemilik saham tersebut mengakibatkan perbedaan pemberlakuan hukum antara BUMN 96 Persero (dalam hal ini PT Pertamina (Persero)) dengan Anak Perusahaannya, yaitu untuk Persero berlaku ketentuan mengenai BUMN dan Perseroan Terbatas sedangkan untuk Anak Perusahaannya berlaku ketentuan mengenai Perseroan Terbatas.
Penegasan bahwa anak perusahaan BUMN bukanlah BUMN juga terlihat dalam pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam putusan permohonan uji materril Nomor 01/PHPU-PRES/XVII/2019, dimana dalam pertimbangan hukum Majelis halaman 1936 menyatakan sebagai berikut: “Bahwa modal atau saham Bank BNI Syariah dimiliki oleh PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk dan PT BNI Life Insurance (bukti PT-20). Adapun komposisi pemegang saham Bank Syariah Mandiri adalah PT Bank Mandiri (Persero) Tbk dan PT Mandiri Sekuritas (bukti PT-21). Dengan demikian, oleh karena tidak ada modal atau saham dari negara yang bersifat langsung yang jumlahnya sebagian besar dimiliki oleh negara maka kedua bank tersebut tidak dapat didefinisikan sebagai BUMN, melainkan berstatus anak perusahaan BUMN karena didirikan melalui penyertaan saham yang dimiliki oleh BUMN atau dengan kata lain modal atau saham kedua bank tersebut sebagian besar dimiliki oleh BUMN.” 2. Terhadap dalil Pemohon yang mengutip ketentuan Pasal 2A ayat (7) PP 72/2016) dan menyimpulkan bahwa anak-anak perusahaan PT. Pertamina (Persero) yang meskipun berbentuk perseroan terbatas, namun diberikan izin untuk melaksanakan pelayanan umum dan/atau pengelolaan sumber daya alam, sehingga anak perusahaan BUMN tersebut dapat diperlakukan sama dengan BUMN ( vide Perbaikan Permohonan hal. 20), DPR memberikan penjelasan sebagai berikut:
Bahwa berdasarkan Penjelasan Umum UU BUMN menyatakan peningkatan efisiensi dan produktivitas BUMN harus dilakukan melalui restrukturisasi dan privatisasi. Salah satu bentuk restrukturisasi perusahaan dilakukan melalui pembentukan holding BUMN, yaitu mengalihkan kepemilikan negara pada satu atau beberapa BUMN menjadi tambahan modal saham negara pada satu BUMN lainnya, sehingga BUMN tersebut menjadi holding (induk).
Bahwa PP 72/2016 merupakan ketentuan untuk mendukung salah satu strategi Pemerintah dalam pembentukan perusahaan induk 97 BUMN, yaitu dengan melakukan Penyertaan Modal Negara yang bersumber dari pergeseran saham milik negara pada BUMN dan/atau Perseroan Terbatas tertentu kepada BUMN dan/atau Perseroan Terbatas lainnya.
Pada sektor migas, pembentukan holding dilakukan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2018 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pertamina (selanjutnya disebut PP 6/2018) dimana Negara melakukan pengalihan ( inbreng ) saham dari PT. Perusahaan Gas Negara (Persero), Tbk. ke PT. Pertamina (Persero). Berdasarkan ketentuan tersebut, maka status PT Perusahaan Gas Negara, Tbk. berubah dari persero menjadi perseroan terbatas yang tunduk sepenuhnya pada UU PT ( vide Pasal 4 huruf a PP 6/2018).
Dengan terjadinya pengalihan ( inbreng ) saham tersebut, PT. Pertamina (Persero) melakukan restrukturisasi anak perusahaan dengan pengelompokan anak perusahaan ( sub-holding ) pada enam bidang, yaitu:
PT Pertamina Hulu Energi sebegai Sub-Holding Upstream ;
PT Kilang Pertamina Internasional sebagai Sub-Holding Refinery & Petrochemical ;
PT Pertamina Patra Niaga sebagai Sub-Holding Commercial & Trading ;
PT Pertamina Power Indonesia sebagai Sub-Holding Power, New & Renewable Energy ;
PT Perusahaan Gas Negara, Tbk. sebagai Sub-Holding Gas; dan 6) PT Pertamina International Shipping sebagai Shipping Company .
Setelah dilakukannya restrukturisasi tersebut maka PT. Perusahaan Gas Negara, Tbk. yang sebelumnya merupakan BUMN berubah menjadi anak perusahaan PT Pertamina (Persero) dan memiliki kedudukan yang sejajar dengan perusahaan sub-holding atau anak perusahaan lainnya. Namun meskipun demikian, PT Perusahaan 98 Gas Negara, Tbk. memilki karakteristik yang berbeda dengan perusahaan sub-holding lainnya berdasarkan PP 6/2018 jo . PP 72/2016, yaitu:
Negara melakukan kontrol terhadap PT Perusahaan Gas Negara, Tbk. dengan kepemilikan saham Seri A Dwi Warna (Pasal 3 PP 6/2018) dengan hak istimewa yang diatur dalam anggaran dasar ( vide Pasal 2A ayat (2) dan Penjelasannya PP 72/2016).
PT Perusahaan Gas Negara, Tbk. sebagai anak perusahaan BUMN diperlakukan sama dengan BUMN untuk hal sebagai berikut: (Pasal 2A ayat (7) dan Penjelasannya PP 72/2016) a) mendapatkan penugasan Pemerintah atau melaksanakan pelayanan umum; dan/atau b) mendapatkan kebijakan khusus negara dan/atau Pemerintah, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam dengan perlakuan tertentu sebagaimana diberlakukan bagi BUMN, antara lain terkait dengan proses dan bentuk perizinan, hak untuk memperoleh HPL, kegiatan perluasan lahan dan/atau keikutsertaan dalam kegiatan-kegiatan kenegaraan atau pemerintahan yang melibatkan BUMN.
Berdasarkan uraian di atas, maka dari keenam anak perusahaan atau sub-holding PT Pertamina (Persero), perlakuan yang sama dengan BUMN hanya diberikan kepada PT Perusahaan Gas Negara, Tbk. dan perlakuan yang sama tersebut tidak termasuk larangan privatisasi sebagaimana diatur dalam Pasal a quo . Oleh karena itu Pemohon tidak dapat menjadikan ketentuan Pasal 2A ayat (7) PP 72/2016 dan Penjelasannya sebagai dasar bahwa seluruh anak perusahaan Persero diperlakukan sama dengan Persero terkait dengan larangan privatisasi dalam ketentuan Pasal a quo . Menyamakan hal yang berbeda dan membedakan hal yang sama adalah sama saja dengan ketidakadilan. Mengutip pendapat Bagir Manan yang menyatakan bahwa: “ Ada adagium lama yang diketahui oleh setiap ahli hukum yang mengatakan, “Menyamakan sesuatu yang berbeda atau tidak sama, sama tidak adilnya dengan membedakan yang sama.” 99 Dengan bahasa yang lebih mudah, dalam keadaan tertentu membedakan atau unequal treatment itu, justru merupakan syarat dan cara mewujudkan keadilan, sebaliknya dalam keadaan tertentu membuat segala sesuatu serba sama sedangkan didapati berbagai perbedaan juga akan menimbulkan dan melukai rasa keadilan. Kalau demikian, apakah ada syarat objektif agar suatu perbedaan atau unequal itu menjadi syarat untuk mewujudkan keadilan. (Vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-X/2012: hlm.57). 3. Terkait dalil Pemohon yang pada intinya menyatakan bahwa pembentukan sub-holding anak perusahaan persero merupakan celah hukum dan tidak adanya kepastian hukum untuk anak-anak perusahaan persero termasuk namun tidak terbatas pada anak-anak perusahaan PT. Pertamina (Persero) untuk dilakukan privatisasi melalui initial public offering (IPO) ( vide Perbaikan Permohonan hal. 24), DPR menerangkan sebagai berikut:
Privatisasi dalam praktiknya memang dimungkinkan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan tetap memperhatikan persyaratan-persyaratan tertentu untuk dapat melakukan privatisasi. Privatisasi sendiri bertujuan untuk dapat mengoptimalkan produktifitas dan efisiensi dari suatu BUMN. Namun peraturan perundang-undangan juga mengatur pengecualian terhadap persero yang tidak dapat diprivatisasi, dan cara serta prosedur privatisasi. Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya bahwa anak perusahaan BUMN tidaklah tunduk pada ketentuan dalam UU BUMN, sehingga memang privatisasi terhadap anak perusahaan BUMN dimungkinkan terjadi karena pada prinsipnya bisnis inti perusahaan yang bergerak di sektor sumber daya alam harus tetap berada pada induknya dan tidak dikendalikan oleh anak perusahaan. Sehingga anggapan Pemohon yang menyatakan apabila anak perusahaan PT Pertamina (Persero) akan menjadi perusahaan go public melalui mekanisme IPO maka akan berpotensi dikuasainya aset negara oleh swasta adalah tidak tepat. Karena peraturan perundang-undangan sudah mengatur secara jelas terkait dengan persero yang dapat dan tidak dapat diprivatisasi. 100 b. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Direktur Utama PT Pertamina (Persero) dalam rapat kerja bersama Komisi VI DPR pada tanggal 22 Juni 2020 yang menyampaikan bahwa rencana pelepasan sebagian saham anak usaha melalui mekanisme IPO bukan upaya privatisasi. Hal itu karena IPO dilakukan oleh anak perusahaan Pertamina sehingga hanya berdampak pada pengelolaan aset. Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa pengelolaan aset yang dimaksud adalah aset dalam Wilayah Kerja (WK) minyak dan gas tetap dimiliki oleh negara namun yang diserahkan adalah hak pengelolaan. Setelah jangka waktu pengelolaan WK yang disepakati selesai, aset itu akan dikembalikan ke negara.
Bahwa kepemilikan negara di Pertamina tidak akan berkurang dalam IPO tersebut. Hal itu karena yang menggelar IPO adalah anak usaha atau sub-holding . Rencana IPO sub-holding , dinilai tidak melanggar aturan, karena yang diatur dalam UU BUMN adalah Pertamina sebagai induknya, begitu juga di UU PT bahwa aksi korporasi IPO adalah hal wajar dan jamak dilakukan oleh badan usaha, termasuk BUMN, misalnya PT Waskita Beton serta PT Presisi yang juga go public . Beberapa anak perusahaan Pertamina pun sudah go public sejak lama, seperti PT Elnusa, Tbk., PT Asuransi Tugu Pratama Indonesia, Tbk., bahkan salah satu sub- holding Pertamina yaitu PT Perusahaan Gas Negara, Tbk. sudah go public . Rencana IPO sub-holding Pertamina justru sesuai dengan kebutuhan Pertamina sebagai holding , karena BUMN itu harus mengembangkan perusahaan.
Adapun terkait dengan rencana PT Pertamina (Persero) untuk melakukan divestasi saham pada 2 (dua) anak perusahaannya melalui IPO, hal tersebut tentu bertujuan untuk meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat. Terlebih dalam peraturan perundang-undangan tidak ada ketentuan yang melarang BUMN untuk melakukan divestasi saham pada anak perusahaan BUMN. 101 e. Bahwa IPO akan mendatangkan keuntungan yaitu adanya transparansi dan memberikan kesempatan yang sama bagi semua pihak untuk ikut membeli saham BUMN, termasuk investor asing. Pihak manajemen perusahaan harus melakukan full disclosure atas kinerja yang telah dilakukannya agar masyarakat mengetahui dan dapat mengambil kebijakan berkaitan dengan kepemilikannya atas perusahaan tersebut dan nantinya akan berpengaruh terhadap harga saham yang bersangkutan. ( vide Indra Bastian. 2002. Privatisasi di Indonesia: Teori dan Implementasi . Jakarta, hal.172- 173) 4. Terhadap dalil Pemohon yang menganggap penerapan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN akan menyebabkan Negara kehilangan “hak menguasai negara/HMN” dalam melakukan pengelolaan ( beheersdaad ) karena menyebabkan pihak swasta dan/atau perorangan dapat menguasai dan/atau mengelola cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak ( vide Perbaikan Permohonan hal. 26), DPR memberikan penjelasan sebagai berikut:
Bahwa konsepsi “dikuasai oleh negara” sebagaimana termuat dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 telah ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi merupakan sesuatu yang lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata, dimana tercakup pula pengertian kepemilikan publik rakyat secara kolektif. Dalam Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa: “...pengertian dikuasai oleh negara dalam Pasal 33 UUD 1945 mengandung pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata. Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik dibidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Dalam pengertian tersebut, tercakup pula pengertian kepemilikan publik oleh rakyat secara kolektif.” 102 b. Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi menguraikan bahwa kepemilikan publik oleh rakyat secara kolektif dikonstruksikan oleh UUD NRI Tahun 1945 dengan memberikan mandat kepada negara untuk melakukan 5 (lima) hal, yaitu:
mengadakan kebijakan ( beleid );
tindakan pengurusan ( bestuursdaad ) dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan, lisensi, dan konsesi;
pengaturan ( regelendaad ) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah;
pengelolaan ( beheersdaad ) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham dan/atau keterlibatan langsung dalam manajemen BUMN; dan
pengawasan ( toezichthoudensdaad ) dilakukan oleh Pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar- besarnya kemakmuran seluruh rakyat.
Berdasarkan uraian mengenai konsepsi “dikuasai oleh negara” di atas, maka meskipun pemaknaan Pasal a quo tidak mencakup anak perusahaan Persero, hal tersebut tidak mengurangi kelima fungsi negara dalam menguasai cabang produksi yang penting dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak. Terlebih dalam fungsi pengelolaan ( beheersdaad ) yang dikhawatirkan Pemohon akan hilang dengan dilakukannya privatisasi terhadap anak perusahaan Persero, perlu DPR tegaskan bahwa jikapun terdapat penjualan saham anak perusahaan Persero, maka saham yang dijual tersebut merupakan milik Persero dan bukan milik Negara. Sedangkan Mahkamah Konstitusi telah menguraikan bahwa fungsi pengelolaan ( beheersdaad ) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham di dalam BUMN, bukan saham di dalam anak perusahaan BUMN. Oleh karena itu pemaknaan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN 103 yang tidak mencakup anak perusahaan Persero tidak akan menyebabkan Negara kehilangan “hak menguasai negara/HMN”.
Jikapun Pemohon merujuk anak perusahaan Persero kepada PT Perusahaan Gas Negara, Tbk. yang sebelumnya merupakan BUMN, DPR menjelaskan bahwa Negara masih memiliki saham dwiwarna dengan hak istimewa yang ditetapkan dalam anggaran dasar. Hak istimewa tersebut menyebabkan Negara masih memiliki kontrol terhadap PT Perusahaan Gas Negara, Tbk. meskipun telah tidak lagi berstatus sebagai BUMN ( vide Pasal 3 PP 6/2018). Hal ini selaras dengan pendapat Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa penguasaan negara dalam arti privat tidak mutlak selalu harus 100% asalkan Negara tetap menjadi penentu kebijakan dalam dalam badan usaha yang bersangkutan. Dalam Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa: “...penguasaan dalam arti pemilikan privat itu juga harus dipahami bersifat relatif dalam arti tidak mutlak selalu harus 100%, asalkan penguasaan oleh negara c.q. Pemerintah atas pengelolaan sumber-sumber kekayaan dimaksud tetap terpelihara sebagaimana mestinya. Meskipun Pemerintah hanya memiliki saham mayoritas relatif, asalkan tetap menentukan dalam proses pengambilan keputusan atas penentuan kebijakan dalam badan usaha yang bersangkutan, maka divestasi ataupun privatisasi atas kepemilikan saham Pemerintah dalam badan usaha milik negara yang bersangkutan tidak dapat dianggap bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat, ketentuan Pasal 33 UUD 1945 tidaklah menolak privatisasi, sepanjang privatisasi itu tidak meniadakan penguasaan negara c.q Pemerintah, untuk menjadi penentu utama kebijakan usaha dalam cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak” 5. Terkait dengan dalil Pemohon yang menyatakan bahwa anak perusahaan PT Pertamina (Persero) tidak dapat diprivatisasi, DPR menerangkan sebagai berikut:
Bahwa definisi dari privatisasi berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 12 UU BUMN adalah “Penjualan saham persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai dari perusahaan, memperbesar manfaat bagi 104 negara dan masyarakat, serta memperluas kepemilikan saham oleh masyarakat”. Adapun maksud privatisasi adalah memperluas kepemilikan masyarakat atas persero, meningkatkan efisiensi dan produktivitas perusahaan, menciptakan struktur keuangan dan manajemen keuangan yang baik/kuat, menciptakan struktur industri yang sehat dan kompetitif, menciptakan persero yang berdaya saing dan menumbuhkan iklim usaha ekonomi makro dan kapasitas pasar. Bahwa tujuan dari privatisasi itu sendiri adalah dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat. Privatisasi dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban, dan kewajaran.
Bahwa BUMN merupakan kepanjangan tangan dari negara dalam menjalankan sebagian dari fungsi negara untuk mencapai tujuan negara, salah satunya yaitu memajukan kesejahteraan umum. Dari perspektif permodalan, sebagian atau seluruh modal BUMN berasal dari keuangan negara maka BUMN tidak dapat sepenuhnya dianggap sebagai badan hukum privat. Sedangkan arti dari privatisasi itu sendiri dapat dimaknai sebagai suatu proses pengalihan kepemilikan yang semula milik umum (publik) menjadi milik pribadi (privat). Berdasarkan hal tersebut maka yang diprivatisasi adalah yang semula perusahaan publik, yaitu BUMN, menjadi privat atau dimiliki sebagian oleh swasta.
Bahwa istilah privatisasi tidak dapat digunakan untuk pengalihan kepemilikan saham anak perusahaan BUMN karena anak perusahan BUMN sejak semula sudah bersifat privat dengan modal yang tidak berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan melainkan berasal dari kekayaan BUMN induknya. Sehingga jika Pemohon mendalilkan untuk anak perusahaan BUMN dimasukan pemaknaannya ke dalam Pasal a quo adalah tidak tepat karena pasal tersebut memang ditujukan untuk perusahaan publik yaitu BUMN, dan bukan ditujukan untuk anak perusahaan BUMN yang berstatus sebagai perseroan terbatas (perusahaan privat). 105 d. Bahwa ketentuan Pasal 76 ayat (1) UU BUMN menyatakan bahwa persero yang dapat diprivatisasi harus sekurang-kurangnya memenuhi kriteria industri/sektor usahanya kompetitif yang kemudian dijelaskan bahwa sektor tersebut tidak semata-mata dikhususkan untuk BUMN. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi menyatakan bahwa kegiatan usaha hulu (yang mencakup eksplorasi dan eksploitasi) dan kegiatan usaha hilir (yang mencakup pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan niaga) dapat dilaksanakan oleh BUMN, BUMD, koperasi usaha kecil, dan badan usaha swasta. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka sektor kegiatan usaha minyak dan gas bumi tidak semata-mata dikhususkan untuk BUMN dan bahkan terbuka untuk dilaksanakan oleh badan usaha swasta.
Bahwa hal tersebut juga diperkuat oleh pertimbangan Mahkamah Konstitusi atas pengujian UU Migas pada halaman 110 dan halaman 111 butir 3.17 Putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012 yang pada intinya menurut Mahkamah __ Pasal 9 UU Migas dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada perusahaan nasional baik Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi, usaha kecil, badan usaha swasta untuk berpartispasi dalam kegiatan usaha minyak dan gas bumi.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 76 ayat (2) UU BUMN, terhadap BUMN/Persero yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan untuk dipertahankan dan BUMN/Persero yang melaksanakan penugasan Pemerintah, tetap dapat melakukan pemisahan sebagian asetnya untuk dijadikan anak perusahaan, dan selanjutnya anak perusahaan tersebut dapat dilakukan penjualan sahamnya. Jelas bahwa UU BUMN telah membolehkan BUMN Persero yang bergerak di bidang usaha yang penting bagi Negara, untuk membentuk anak perusahaan yang selanjutnya saham dapat dijual. Bagaimana nilai suatu anak perusahaan bagi induknya, merupakan suatu hal yang dari waktu ke waktu berpotensi berubah, sesuai dengan kajian usaha terhadap anak perusahaan. Sehingga, sangat tidak logis apabila suatu 106 BUMN yang mengemban peran Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 wajib mempertahankan seluruh anak perusahaannya, apabila berdasarkan perkembangan zaman perlu melakukan restrukturisasi anak-anak perusahaannya termasuk dengan penjualan saham anak-anak perusahaan.
Meskipun dalam permohonannya Pemohon menyatakan terdapat perbedaan uji materiil yang diajukan oleh Pemohon dengan uji materiil yang telah diputus sebelumnya oleh Mahkamah Konstitusi sebagaimana dapat dilihat dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU-VI/2008 sehingga tidak bersifat nebis in idem , DPR menerangkan bahwa dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU-VI/2008 tersebut tegas bahwa Mahkamah menyatakan ketentuan dalam Pasal 77 tidaklah bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, dimana privatisasi itu sendiri memang tidak dilarang sepanjang berkesesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait dengan hal tersebut. Terlebih lagi ketentuan dalam Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 tidaklah menolak privatisasi sepanjang privatisasi tersebut tidak meniadakan penguasaan negara c.q Pemerintah, oleh karena itu maka Mahkamah tidak boleh terjebak dengan menerima dan mengabulkan pengujian norma dari sebuah undang-undang apabila akan berakibat berubahnya pendirian Mahkamah dalam putusan sebelumnya tanpa adanya argumen yang kuat untuk mengubah pendirian mahkamah.
Bahwa terkait dengan uraian argumentasi Pemohon (Posita), Pemohon tidak konsisten dalam memberikan dasar uraian kerugian yang sedang dialami atau kerugian yang berpotensi dialami oleh Pemohon. Dalam awal uraian permohonannya, Pemohon menguraikan mengenai adanya potensi pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja pada anak-anak perusahaan PT Pertamina (Persero), tetapi uraian tersebut tidak diperkuat dengan argumentasi yang dibangun lebih lanjut, sedangkan dalam uraian selanjutnya Pemohon malah lebih banyak menguraikan mengenai potensi hilangnya hak menguasai negara yang sama sekali tidak dikaitkan dengan potensi pemutusan hubungan kerja, berkurangnya kualitas hidup, dan kesejahteraan pekerja pada anak 107 perusahaan PT Pertamina (Persero) yang sedang diperjuangkan oleh Pemohon sebagai federasi serikat pekerja. C. RISALAH UU BUMN 1. Keterangan Menteri Badan Usaha Milik Negara Mewakili Pemerintah Mengenai Rancangan Undang-Undang Tentang Badan Usaha Milik Negara (Jakarta, 2 Juli 2002) (pdf. hlm. 143. Page 121) ..... Untuk kedepan, program privatisasi perlu diarahkan dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai tambah perusahaan serta meningkatkan peran serta masyarakat dalam pemilikan saham BUMN dan perlu dilandaskan pada suatu Undang-Undang yaitu dimasukan dalam Undang-Undang BUMN. Privatisasi juga dilaksanakan dengan pertimbangan strategis bahwa asas kemanfaatan lebih diutamakan dari pada asas kepemilikan. Dalam kenyataannya, Persero yang telah diprivatisasi memberikan manfaat yang jauh lebih besar daripada Persero yang belum diprivatisasi, baik dalam bentuk pembayaran pajak kepada negara, deviden maupun dalam penyerapan tenaga kerja. Dengan dilakukan privatisasi Persero, bukan berarti kendali atau kedaulatan negara menjadi berkurang atau hilang, negara tetap memegang kendali melalui regulasi sektoral. __ Sidang Dewan yang terhormat, __ Dalam Undang-Undang ini tidak dilakukan pembahasan khusus mengenai makna Pasal 33 UUD 1945 dimana ditentukan antara lain adanya penguasaan kekayaan alam yang akan dimanfaarkan setinggi- tingginya untuk kemakmuran rakyat. Walaupun penguasaan tidak harus selalu berarti hanya sebagai pemilikan, tetapi juga termasuk di dalamnya penguasaan melalui regulasi. Pada dasarnya kegiatan BUMN maupun badan usaha milik swasta adalah sama yaitu dalam upaya mengoptimalkan manfaat sumber daya yang kita miliki bagi kepentingan rakyat banyak. Namun demikian penafsiran terhadap Pasal 33 UUD 1945 tersebut sepenuhnya merupakan kewenangan MPR. 2. Jawaban Pemerintah Atas Pemandangan Umum DPR-RI Mengenai Rancangan Undang-Undang Tentang Badan Usaha Milik Negara, Tanggal 18 November 2002 (pdf hlm 273, Page 212) .......... 14. menanggapi pertanyaan mengenai program dan kebijakan pemerintah agar masyarakat dalam negeri memperoleh kesempatan lebih besar untuk memiliki saham BUMN dan syarat-syarat apa saja yang ditentukan dan harus dijamin perusahaan asing pembeli saham BUMN bagi terciptanya peningkatan kinerja, nilai tambah dan peningkatan manfaat BUMN tanpa adanya PHK dan kenaikan harga _barang dan jasa dikemudian hari, kiranya dapat kami sampaikan bahwa: _ 108 a. kami sependapat bahwa masyarakat/invenstor dalam negeri harus diberikan kesempatan yang lebih besar untuk ikut serta dalam kepemilikan saham BUMN. Namun karena IPO bersifat terbuka, maka siapa saja termasuk investor asing dapat membeli saham BUMN. Disamping itu, apabila kapasitas pasar dalam negeri tidak dapat menampung, maka diundanglah invenstor asing, karena selain alasan daya serap pasar, Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional yang terikat dalam berbagai kesepakatan seperti GATT, WTO, dan AFTA, tidak dapat melakukan proteksi atau diskriminasi terhadap invenstor asing. b. sebagaimana telah kami kemukan bahwa privatisasi BUMN, baik melaui IPO maupun Strategic Sales dilaksanakan secara terbuka. Dalam hal privatisasi melalui strategic sales dilakukan melaui tender terbuka (open bidding) disertai dengan persyaratan tertentu yang harus dimiliki/dipenuhi oleh strategic partner, seperti modal, teknologi dan expertise. Dalam kenyataannya, hal-hal yang stategis tersebut yang diperlukan oleh perusahaan, kebetulan dimiliki oleh investor asing. __ Disamping itu, dalam rangka mengamankan kepentingan Pemerintah di masa yang akan datang. Maka untuk itu perlu dilakukan hal-hal yang sifatnya melindungi kepentingan pemerintah (ring fencing). Pemerintah harus tetap juga memperhatikan perlindungan terhadap kepentingan karyawan dan stakeholders lainnya maupun hal-hal yang berkaitan dengan transfer of technology. Hal-hal tersebut biasanya dicantumkan dalam shareholders agreement dan atau share and purchase agreement. Dengan privatisasi terbukti bahwa kinerja perusahaan meningkat, kontribusi perusahaan terhadap negara seperti pajak dan dividen pun meningkat, demikiran pula kesejahteraan karyawan, daya serap terhadap terhadap tenaga kerja meningkat setelah diprivatisasi. Peningkatan kinerja tersebut karena perusahaan dikelola secara efisien dan prinsip-prinsip Good Corporate Governance benar-benar diterapkan sehingga dengan demikian, privatisasi dapat dirasakan manfaat oleh seluruh masyarakat. 3. Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Pakar Ekonomi Prof. Dr. Didik J. Rachbini, Drs. Revrisond Baswir SE. MBA, dan Faisal Basri, SE, MA. Rapat Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara Menjadi Undang-Undang tanggal 13 Juni 2002 (Pdf hlm 568, Page 426) Pakar (Revrison Baswir) ........ Bagi saya memang begini kalau saya mencoba belajar yang saya gali habis-habisan itu adalah antara lain tulisan-tulisannya Bung Hatta, sebagaimana beliau dulu mencoba menjabarkan Pasal 33 ayat 1,2,3 109 dan seterusnya gitu, dan memang dari penjelasan-penjelasan Bung Hatta dan hampir semua artikel Beliau. Beliau mengatakan bahwa yang dimaksud dengan dikuasai oleh negara tidak berarti negara itu sendiri berusaha, berkali-kali di tegaskan, tidak berarti negara itu sendiri terjun ke dalam dunia bisnis tidak gitu, yang dimaksud dengan dikuasai oleh negara itu adalah negara mengatur, adapun operasi kegiatannya dapat diserahkan kepada badan lain, bisa berbentuk swasta bisa berbentuk BUMN, jadi BUMN itu hanya soal kepemilikan saham bukan soal apakah itu negara yang berbisnis gitu, ga harus begitu. Jadi, sahamnya di miliki seperti tadi dijelaskan oleh Mas Didik ya, sahamnya di miliki oleh negara tetapi dia di pisahkan dari pemerintahan ya, dipisahkan dari pemerintahan lalu di kelola secara independen bahkan dalam satu BUMN pun yang itu bisa dilakukan gitu, andaikata misalnya dilakukan kontrakting out dalam pengelolaan manajemen, manajemennya di serahkan ke swasta sahamnya tetap di miliki oleh negara gitu, dan saya sebeneranya kalau bicara mengenai pengelolaan BUMN dalam konteks Undang-Undang BUMN mungkin tidak secara langsung berkaitan dengan usulan privatisasi ya tapi BUMN secara keseluruhan. 4. Rapat Kerja Senin 14 April 2003 Pukul 11.10 Anggota Fraksi Reformasi (Ir.Afni Achmad) (hal. 804 pdf, hal. 217 file rapat) “Saya mendukung pernyataan Pak Barliana tadi, tetapi saya ingatkan bahwa inipun terkait nanti kepada proses Privatisasi Pak. Jadi Kalimat- kalimat “menguasai dan dimiliki” itu nanti akan turun di dalam proses pembahasan tentang Privatisasi. Apa artinya, artinya berarti kita sudah sepakat yang kita katakana BUMN adalah yang dimiliki secara penuh atau yang sebagaian besar kita miliki. Oleh sebab itu berarti yang hanya pemilikan kita kecil itu sama sekali tidak berkuasa dalam konteks kepemilikan. Oleh sebab itu mari kita hubugan dengan Pasal 33 “menguasai hajat hidup orang banyak”ini proses Pak di dalam Privatisasi tadi. Jadi ini hati- hati konteks kepemilikan dan penguasaan di dalam saham dan konteks semangat Pasal 33 soal hajat hidup orang banyak.” 5. Rapat Panja Selasa 15 April 2003 Pukul 11.10 Anggota Fraksi Partai Golkar (H. Ariady Achmad, B.Ac) (hal. 1062 pdf, hal. 476 file rapat) “F-PG ini ada tiga poin yang secara substansi sampaikan perubahannya itu pada.” __ __ __ 110 _“Persero yang tidak boleh diprivatisasi adalah: _ a. Persero yang bergerak dalam industry pengolahan sumber daya alam yang produknya merupakan hajat hidup orang banyak dan terkait langsung dengan perekonomian nasional b. Persero yang dinyatakan sehat dan berkinerja baik serta sedang memberikan kontribusi yang nyata pada penerimaan negara.” III. PETITUM DPR Bahwa berdasarkan keterangan tersebut di atas, DPR memohon agar kiranya, Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut:
Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya;
Menerima keterangan DPR secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa Pasal 77 huruf c dan d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4297) tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat. Apabila Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). [2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Presiden telah memberikan keterangan dalam persidangan tanggal 14 Oktober 2020 yang dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 12 Oktober 2020, serta tambahan keterangan tertulis bertanggal yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 11 Desember 2020 yang pada pokoknya sebagai berikut: I. POKOK PERMOHONAN PEMOHON Bahwa ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN menurut Pemohon bertentangan dengan ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945 sepanjang larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d hanya 111 diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero dengan alasan sebagai berikut:
Apabila larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero, maka akan berpotensi terjadinya privatisasi bahkan hilangnya eksistensi terhadap Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero, karena Anak Perusahaan dari Perusahaan Persero tersebut bukanlah suatu Perusahaan Persero melainkan Perseroan Terbatas biasa. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero tersebut seluruh dan/atau sebagian besar sahamnya dapat dikuasai oleh swasta/perorangan akibat dari tindakan privatisasi Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero.
Ketentuan dalam Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (selanjutnya disebut PP 35/2004), yang menyatakan bahwa PT Pertamina (Persero) hanya dapat mengajukan permohonan untuk mendapatkan wilayah kerja apabila sahamnya masih 100% (seratus persen) dimiliki negara merupakan bentuk pelaksanaan amanat Pasal 33 UUD 1945 yang menyatakan cabang-cabang produksi yang penting dan sumber daya alam harus dikuasai oleh negara sepenuhnya, tidak dibagi-bagi dengan swasta/ perorangan, dengan tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Telah terjadi unbundling Pertamina karena seluruh bisnis inti ( core business ) dari hulu ke hilir, dari eksplorasi hingga pemasaran, telah dilakukan secara terpisah/tidak terintegrasi oleh sub holding /anak perusahaan yang berbeda- beda dari PT Pertamina (Persero) yang merupakan Perseroan Terbatas Biasa. Unbundling pada BUMN yang mengelola cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak berpotensi untuk dilakukan pelepasan seluruh atau sebagian besar saham anak-anak perusahaan BUMN tersebut kepada swasta/perorangan (privatisasi) di mana hal tersebut berpotensi menghilangkan hak menguasai negara. Selain itu, berpotensi juga menjadi persaingan bisnis antar sektor usaha badan usaha yang berbeda. 112 II. KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) PEMOHON Bahwa Pasal 51 ayat (1) UU MK telah jelas mengatur Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yang meliputi:
Perorangan Warga Negara Indonesia;
Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
Badan hukum publik atau privat; atau
Lembaga Negara. Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut, agar Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan suatu permohonan uji materiil Undang-Undang terhadap UUD 1945, maka harus dibuktikan bahwa:
Pemohon memenuhi kualifikasi untuk mengajukan permohonan sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK; dan
Hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon dirugikan akibat berlakunya Undang-Undang yang diuji. Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 010/PUU-III/2005 telah berpendapat bahwa kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang menurut Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat kumulatif, yaitu:
Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
Adanya hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji;
Kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
Adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji; dan
Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Dalam perkara a quo ini, ijinkan Pemerintah memberikan tanggapan terhadap kedudukan hukum ( legal standing) Pemohon yaitu bahwa menurut Pemerintah, 113 Pemohon dalam hal ini tidak dalam posisi dirugikan, dikurangi, atau setidak- tidaknya dihalang-halangi hak konstitusionalnya dengan keberlakuan ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN dengan alasan sebagai berikut:
Tidak ada hak konstitusional Pemohon yang dirugikan atas berlakunya ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN dengan alasan sebagai berikut:
Pemohon mempunyai hak konstitusional sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945, bahwa Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945 pada intinya mengatur hak menguasai negara atas cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dan hak menguasai negara atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
Tetapi Pemohon dalam permohonan a quo mendalilkan bahwa kerugian hak konstitusional Pemohon karena keberlakuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN bahwa perusahaan Pemohon yang merupakan Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero (BUMN) yang bergerak di usaha pengelolaan sumber daya alam minyak dan gas bumi (selanjutnya disebut migas) terancam diprivatisasi. Sedangkan Pemohon berharap dengan dimasukkannya perusahaan Pemohon yang merupakan Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero ke dalam ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN akan mengakibatkan perusahaan Pemohon tidak dapat dilakukan privatisasi.
Bentuk penguasaan negara dalam ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945 diamanatkan agar dilakukan melalui penguasaan negara secara langsung atau dengan cara membentuk BUMN. Sedangkan Pemohon dalam permohonannya justru berusaha menambah norma yang pada intinya menjadikan perusahaan Pemohon yang merupakan Perseroan Terbatas (karena merupakan Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero) menjadi diperlakukan sama dengan BUMN dalam hal tidak dapat diprivatisasi. Hal ini menunjukkan bahwa fokus atau kekhawatiran utama yang didalilkan oleh Pemohon adalah “agar Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero tidak 114 dapat diprivatisasi” dan bukan pada usaha melindungi hak menguasai negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945.
Antara kerugian yang didalilkan oleh Pemohon dengan keberlakuan ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN tidak mempunyai hubungan sebab akibat ( causal verband ) karena ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945 mengamanatkan hak menguasai ada di tangan negara yang kemudian diimplementasikan ke dalam pembentukan BUMN, sedangkan perusahaan Pemohon bukanlah BUMN karena merupakan Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero yang tunduk pada pengaturan mengenai Perseroan Terbatas.
Kerugian konstitusional yang didalilkan oleh Pemohon tidak bersifat spesifik dengan alasan bahwa di satu sisi Pemohon menggunakan ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945 dalam mendasarkan hak konstitusionalnya dirugikan karena ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN yang dianggap akan meniadakan hak menguasai negara, namun dalam permohonannya berulang kali Pemohon menyampaikan bahwa dirinya khawatir perusahaan tempat dirinya bekerja diprivatisasi. Sehingga patut dipertanyakan apakah kerugian Pemohon terkait dengan potensi ketiadaan hak menguasai negara atau kekhawatiran perusahaan Pemohon akan diprivatisasi? 4. Terkait dengan kerugian Pemohon dalam mendapatkan kualitas hidup dan kesejahteraan Pemohon atas berlakunya ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN, hal tersebut hanyalah merupakan dalil kerugian Pemohon yang tidak berdasar, dengan alasan sebagai berikut:
Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 tidak diperuntukkan untuk menjamin kualitas hidup dan kesejahteraan Pemohon. Bahwa Pemohon tidak menjadikan sebagai batu uji Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “ Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan ”, sehingga tidak relevan keberlakuan ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN menyebabkan kualitas hidup dan kesejahteraan pegawai Perusahaan Grup PT Pertamina (Persero)/BUMN beserta keluarganya akan tidak 115 terjamin apabila anak-anak perusahaan PT Pertamina (Persero)/BUMN tidak dikontrol dengan baik oleh Negara.
Penjualan saham anak perusahaan kepada pihak lain bukan merupakan privatisasi, karena yang dijual adalah saham anak perusahaan, bukan saham Persero. Hal ini sesuai dengan Pasal 1 angka 12 UU BUMN yang menyatakan: “ Privatisasi adalah penjualan saham Persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat ”.
Kelangsungan bisnis dan eksistensi PT Pertamina (Persero) tidak terancam. Penjualan saham anak perusahaan PT Pertamina (Persero) harus didasarkan pada perhitungan/kajian bisnis yang bertujuan meningkatkan kemampuan/kinerja dan nilai perusahaan, dalam hal ini anak perusahaan, yang pada akhirnya mendukung kinerja PT Pertamina (Persero). Penjualan saham anak perusahaan PT Pertamina (Persero) harus dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perseroan terbatas dan peraturan perundang- undangan lainnya termasuk di bidang ketenagakerjaan.
Penjualan saham anak perusahaan tidak menyebabkan kemakmuran hanya untuk sebesar-besarnya kemakmuran swasta/perorangan. Kemakmuran harus diartikan secara luas, tidak terbatas pada keuntungan yang diperoleh perusahaan dalam hal ini Anak Perusahaan dan PT Pertamina (Persero) saja, namun kemakmuran yang dirasakan oleh masyarakat melalui antara lain penerimaan pajak, ketersediaan barang dan jasa di bidang migas. Seandainya dilakukan penjualan saham anak perusahaan yang telah melalui perhitungan/kajian bisnis yang bertujuan meningkatkan kemampuan/kinerja dan nilai anak perusahaan serta mendukung kinerja PT Pertamina (Persero), maka kegiatan PT Pertamina (Persero) dan anak perusahaannya secara langsung dan tidak langsung akan meningkatkan kemakmuran bagi karyawan dan masyarakat, bukan hanya swasta atau perorangan. 116 5. Dalam menguraikan kerugian terhadap hak konstitusionalnya di atas, Pemohon hanya mendasarinya dengan kekhawatiran dan asumsi yang tidak berdasar. Meskipun Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 010/PUU-III/2005 telah berpendapat bahwa kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang menurut Pasal 51 ayat (1) UU MK salah satunya adalah “ kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi ”, namun bukan berarti syarat kerugian tersebut dapat terpenuhi dengan mendasarkannya hanya pada kekhawatiran dan asumsi yang tak berdasar. Berdasarkan hal tersebut di atas, Pemerintah berpendapat Pemohon dalam permohonan ini tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu ( vide Putusan Nomor: 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007). Oleh karena itu, menurut Pemerintah adalah tepat dan beralasan dan sudah sepatutnyalah jika Ketua dan Majelis Hakim Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). __ Namun demikian Pemerintah dalam hal ini menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Konstitusi yang memeriksa perkara a quo untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) atau tidak. III. KETERANGAN PEMERINTAH ATAS MATERI PERMOHONAN YANG DIMOHONKAN UNTUK DIUJI Sebelum Pemerintah menyampaikan keterangan terkait norma materi muatan yang dimohonkan untuk diuji oleh Pemohon, Pemerintah terlebih dahulu menyampaikan landasan filosofis UU BUMN sebagai berikut: 117 Sesuai dengan angka IV Penjelasan Umum UU BUMN yang menyatakan: “ Untuk dapat mengoptimalkan perannya dan mampu mempertahankan keberadaannya dalam perkembangan ekonomi dunia yang semakin terbuka dan kompetitif, BUMN perlu menumbuhkan budaya korporasi dan profesionalisme antara lain melalui pembenahan pengurusan dan pengawasannya. Pengurusan dan pengawasan BUMN harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip tata-kelola perusahaan yang baik (good corporate governance). Peningkatan efisiensi dan produktifitas BUMN harus dilakukan melalui langkah-langkah restrukturisasi dan privatisasi. Restrukturisasi sektoral dilakukan untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif sehingga tercapai efisiensi dan pelayanan yang optimal. Sedangkan restrukturisasi perusahaan yang meliputi penataan kembali bentuk badan usaha, kegiatan usaha, organisasi, manajemen, dan keuangan. Privatisasi bukan semata- mata dimaknai sebagai penjualan perusahaan, melainkan menjadi alat dan cara pembenahan BUMN untuk mencapai beberapa sasaran sekaligus, termasuk didalamnya adalah peningkatan kinerja dan nilai tambah perusahaan, perbaikan struktur keuangan dan manajemen, penciptaan struktur industri yang sehat dan kompetitif, pemberdayaan BUMN yang mampu bersaing dan berorientasi global, penyebaran kepemilikan oleh publik serta pengembangan pasar modal domestik. Dengan dilakukannya privatisasi BUMN, bukan berarti kendali atau kedaulatan negara atas BUMN yang bersangkutan menjadi berkurang atau hilang karena sebagaimana dinyatakan di atas, negara tetap menjalankan fungsi penguasaan melalui regulasi sektoral dimana BUMN yang diprivatisasi melaksanakan kegiatan usahanya. ” Berdasarkan angka IV Penjelasan Umum UU BUMN tersebut di atas, sebagai upaya untuk meningkatkan efisiensi dan produktifitas BUMN, dapat dilakukan restrukturisasi dan privatisasi. Salah satu bentuk restrukturisasi perusahaan dilakukan melalui pembentukan holding BUMN, yaitu mengalihkan kepemilikan negara pada satu atau beberapa BUMN menjadi tambahan modal saham negara pada satu BUMN lainnya, sehingga BUMN tersebut menjadi holding (induk). Sebagaimana dinyatakan dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 yang menyatakan sebagai berikut: “ Menimbang bahwa Mahkamah berpendapat pembuat undang-undang juga menilai bahwa tenaga listrik hingga saat ini masih merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, sehingga oleh karenanya menurut Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 harus tetap dikuasai oleh negara, dalam arti harus dikelola oleh negara melalui perusahaan negara yang didanai oleh pemerintah (negara) atau dengan kemitraan bersama swasta nasional atau asing yang menyertakan dana pinjaman dari dalam dan luar negeri atau dengan melibatkan modal swasta nasional/asing dengan sistem kemitraan yang baik dan saling menguntungkan. Hal ini berarti bahwa hanya BUMN yang boleh mengelola 118 usaha tenaga listrik, sedangkan perusahaan swasta nasional atau asing hanya ikut serta apabila diajak kerjasama oleh BUMN, baik dengan kemitraan, penyertaan saham, pinjaman modal dan lain-lain. Persoalannya adalah apakah yang dimaksud dengan perusahaan negara pengelola tenaga listrik hanyalah BUMN, dalam hal ini PLN, ataukah bisa dibagi dengan perusahaan negara yang lain, bahkan dengan perusahaan daerah (BUMD) sesuai dengan semangat otonomi daerah? Mahkamah berpendapat, jika PLN memang masih mampu dan bisa lebih efisien, tidak ada salahnya jika tugas itu tetap diberikan kepada PLN, tetapi jika tidak, dapat juga berbagi tugas dengan BUMN lainnya atau BUMD dengan PLN sebagai “holding company”. ” Berdasarkan pertimbangan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas, maka pembentukan holding company adalah salah satu bentuk penguatan BUMN, khususnya dalam rangka melaksanakan penugasan yang diberikan oleh Pemerintah kepada BUMN selaku agen pembangunan ( agent of development), dimana penguatan BUMN tersebut dapat mempergunakan potensi BUMN lain dengan bersinergi, sehingga tidak lagi membebani APBN. Mengingat untuk pembentukan holding merupakan pengalihan saham milik negara pada BUMN lain (kekayaan negara yang sudah dipisahkan), sehingga tidak lagi membebani APBN atau tidak ada lagi pemisahan kekayaan negara dari APBN, maka untuk melakukan pembentukan holding tidak lagi dilakukan melalui mekanisme APBN. Namun demikian, pembentukan holding tetap harus melalui kajian Pemerintah dan ditetapkan melalui PP (Pasal 2A, Pasal 3 PP 44/2005 jo . PP 72/2016). Sedangkan privatisasi semata-mata bukan dimaknai sebagai penjualan perusahaan, melainkan alat dan cara pembenahan BUMN dengan kepesertaan modal mitra strategis atau investor lainnya, termasuk investor finansial, manajemen dan/atau karyawan BUMN. Namun demikian tidak semua BUMN dapat diprivatisasi. Privatisasi menurut ketentuan Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2005 tentang Tata Cara Privatisasi Perusahaan Perseroan (Persero) (selanjutnya disebut PP 33/2005) diartikan sebagai penjualan saham persero baik sebagian atau seluruhnya kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi masyarakat serta memperluas kepemilikan saham oleh masyarakat. 119 BUMN yang akan diprivatisasi haruslah dipastikan tidak termasuk dalam BUMN yang dilarang privatisasinya oleh ketentuan peraturan perundangan-undangan sektoral, (yaitu peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan usaha yang dilakukan oleh BUMN yang bersangkutan). Peraturan perundang- undangan sektoral tersebut tentunya ditetapkan berdasarkan kewenangan Pemerintah (Menteri Teknis/Sektoral dalam hal berbentuk PP atau Peraturan Menteri), atau berdasarkan kesepakatan antara Pemerintah dengan DPR selaku pembuat Undang-Undang. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa Menteri BUMN tidak dapat dengan semena-mena menetapkan privatisasi suatu BUMN. Pasal 77 UU BUMN mengatur bahwa: “ _Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah: _ a. Persero yang bidang usahanya berdasarkan ketentuan peraturan _perundang-undangan hanya boleh dikelola oleh BUMN; _ b. Persero yang bergerak di sektor usaha yang berkaitan dengan _pertahanan dan keamanan negara; _ c. Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang _berkaitan dengan kepentingan masyarakat; _ d. Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi. ” Sehubungan dengan dalil Pemohon dalam permohonannya, Pemerintah memberikan tanggapan sebagai berikut:
Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan apabila larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero, maka akan berpotensi terjadinya privatisasi bahkan hilangnya eksistensi terhadap Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero, karena Anak Perusahaan dari Perusahaan Persero tersebut bukanlah suatu Perusahaan Persero melainkan Perseroan Terbatas biasa. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero tersebut seluruh dan/atau sebagian besar sahamnya dapat dikuasai oleh swasta/perorangan akibat dari tindakan privatisasi Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero, Pemerintah memberikan keterangan sebagai berikut: 120 Privatisasi Tidak Dilakukan Terhadap Anak Perusahaan a. Penjualan saham anak perusahaan kepada pihak lain bukan merupakan privatisasi, karena yang dijual adalah saham anak perusahaan, bukan saham Persero . Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 12 UU BUMN yang menyatakan: “ Privatisasi adalah penjualan saham Persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat ”. Mengenai definisi dari Persero dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1 angka 2 UU BUMN yang menyatakan: “ Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan .” Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat dipahami bahwa PT Pertamina (Persero) merupakan BUMN Persero karena seluruh sahamnya dimiliki oleh Negara, sedangkan anak perusahaan PT Pertamina (Persero) bukanlah BUMN Persero, karena paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya tidak dimiliki oleh Negara. Saham PT Pertamina (Persero) dimiliki oleh Negara, sedangkan saham Anak perusahaan PT Pertamina (Persero) merupakan saham milik PT Pertamina (Persero). Perbedaan subyek pemilik saham tersebut mengakibatkan perbedaan pemberlakuan hukum antara BUMN Persero (dalam hal ini PT Pertamina (Persero)) dengan Anak Perusahaannya, yaitu untuk Persero berlaku ketentuan mengenai BUMN dan Perseroan Terbatas sedangkan untuk Anak Perusahaannya berlaku ketentuan mengenai Perseroan Terbatas. Pemohon juga telah menyadari bahwa anak perusahaan PT Pertamina (Persero) bukanlah BUMN Persero. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa penjualan saham BUMN Persero disebut privatisasi yang tunduk dalam ketentuan UU BUMN dan 121 Perseroan Terbatas, sedangkan penjualan saham anak perusahaannya tunduk pada ketentuan di bidang perseroan terbatas. Penegasan bahwa anak perusahaan BUMN bukan merupakan BUMN juga dapat dilihat dalam pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam putusan permohonan uji materiil Nomor 01/PHPU- PRES/XVII/2019, dimana dalam pertimbangan hukum Majelis halaman 1936 menyatakan sebagai berikut: Bahwa Pasal 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) mendefinisikan BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Berdasarkan definisi tersebut maka untuk dapat mengetahui apakah Bank BNI Syariah dan Bank Syariah Mandiri merupakan BUMN atau bukan salah satunya adalah dengan cara mengetahui komposisi modal _atau saham dari kedua bank tersebut; _ Bahwa modal atau saham Bank BNI Syariah dimiliki oleh PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk dan PT BNI Life Insurance (bukti PT-20). Adapun komposisi pemegang saham Bank Syariah Mandiri adalah PT Bank Mandiri (Persero) Tbk dan PT Mandiri Sekuritas (bukti PT-21). Dengan demikian, oleh karena tidak ada modal atau saham dari negara yang bersifat langsung yang jumlahnya sebagian besar dimiliki oleh negara maka kedua bank tersebut tidak dapat didefinisikan sebagai BUMN, melainkan berstatus anak perusahaan BUMN karena didirikan melalui penyertaan saham yang dimiliki oleh BUMN atau dengan kata lain modal atau saham kedua bank tersebut sebagian besar dimiliki _oleh BUMN; _ Pelaksanaan Penguasaan Negara Tidak Dilakukan oleh Anak Perusahaan BUMN/Persero a. Penguasaan negara terhadap cabang-cabang yang penting oleh negara dilakukan oleh negara dan/atau BUMN, bukan oleh anak perusahaan .
Penguasaan cabang-cabang yang penting oleh Negara, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (selanjutnya disebut UU Migas) yang pada intinya menyatakan bahwa sektor migas sebagai sumber daya alam strategis dikuasasi oleh negara, diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan dengan membentuk Badan Pelaksana. 122 Konstitusionalitas ketentuan dimaksud juga telah dikuatkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui pertimbangan majelis pada halaman 223 dan 224 butir 2 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU- I/2003 yang menyatakan: “ Pemohon mendalilkan bahwa pengertian Kuasa Pertambangan dalam Pasal 1 angka 5 undang-undang a quo yang hanya mencakup kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, sementara kegiatan pemurnian/pengilangan, pengangkutan, dan penjualan bahan bakar minyak tidak termasuk di dalamnya, bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Menurut Pemohon, ketentuan Pasal 1 angka 5 tersebut telah meniadakan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Terhadap dalil Pemohon ini, Mahkamah berpendapat, untuk menilai ada tidaknya penguasaan oleh negara, pasal dimaksud tidak dapat dinilai secara berdiri sendiri melainkan harus dihubungkan dengan pasal-pasal lain secara sistematis. Pasal 1 angka 5 undang- undang a quo yang berbunyi, “Kuasa Pertambangan adalah wewenang yang diberikan Negara kepada Pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi”, hanyalah memberikan pengertian tentang Kuasa Pertambangan dan sama sekali belum menggambarkan implementasi pengertian “dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33 UUD 1945. Lagipula, dalam hubungannya dengan minyak dan gas bumi, yang juga harus dinilai adalah bahwa tujuan penguasaan oleh negara itu, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, bukanlah untuk penguasaan an sich melainkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, dalam memeriksa dalil Pemohon ini, Mahkamah harus mempertimbangkan secara sistematis konteks pengertian Kuasa Pertambangan dimaksud tatkala diimplementasikan dalam pasal- pasal lain dari undang-undang a quo. Jika pengertian Kuasa Pertambangan dimaksud dihubungkan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1), (2), (3), Pasal 6 ayat (1), (2), dan Pasal 7 ayat (1) _tampak jelas hal-hal sebagai berikut: _ - _bahwa minyak dan gas bumi dikuasai oleh negara; _ - penyelenggara penguasaan oleh negara dimaksud adalah _Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan; _ - Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan membentuk Badan Pelaksana, yaitu suatu badan yang dibentuk untuk melakukan pengendalian Kegiatan Usaha _Hulu di bidang minyak dan gas bumi (Pasal 1 angka 23); _ - Pelaksanaan kegiatan usaha eksplorasi dan eksploitasi (Kegiatan Usaha Hulu) dilaksanakan dan dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama, yaitu Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan 123 hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran _rakyat (Pasal 1 angka 19); _ - Kontrak Kerja Sama dimaksud, paling sedikit harus memuat persyaratan: (a) kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan (yaitu titik penjualan minyak atau gas bumi); (b) pengendalian manajemen operasi berada pada Badan Pelaksana; (c) modal dan risiko ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap. Yang dimaksud “pengendalian manajemen operasi” menurut Penjelasan Pasal 6 ayat (2) adalah pemberian persetujuan atas rencana kerja dan anggaran, rencana pengembangan lapangan, serta pengawasan _terhadap realisasi dari rencana tersebut; _ - Pelaksanaan kegiatan pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan niaga (Kegiatan Usaha Hilir) dilaksanakan _dengan Izin Usaha; _ Uraian di atas menunjukkan bahwa semua unsur yang terkandung dalam pengertian “penguasaan oleh negara”, yaitu mengatur (regelen), mengurus (bestuuren), mengelola (beheeren), dan mengawasi (toezichthouden) masih tetap berada di tangan Pemerintah, sebagai penyelenggara “penguasaan oleh negara” dimaksud, atau badan-badan yang dibentuk untuk tujuan itu. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat, dalil Pemohon harus dinyatakan tidak beralasan dan karenanya harus ditolak .” 2) Penguasaan cabang-cabang yang penting oleh BUMN, hal ini sesuai dengan Pertimbangan Majelis Hakim halaman 110 dan 111 butir 3.17 pada Nomor 36/PUU-X/2012 “Posisi BUMN [3.17] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 9 UU Migas sepanjang kata “dapat” bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Menurut Pemohon, ketentuan tersebut menunjukan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) hanya menjadi salah satu pemain saja dalam pengelolaan Migas, dan BUMN harus bersaing di negaranya sendiri untuk dapat mengelola Migas. Menurut Mahkamah Pasal 9 UU Migas a quo dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada perusahaan nasional baik Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi, usaha kecil, badan usaha swasta untuk berpartispasi dalam kegiatan usaha minyak dan gas bumi. Mahkamah dalam putusan Nomor 002/PUU-I/2003, tanggal 21 Desember 2004 telah mempertimbangkan, antara lain, “.... harus mendahulukan (voorrecht) Badan Usaha Milik Negara. Karena itu, Mahkamah menyarankan agar jaminan hak mendahulukan dimaksud diatur dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana mestinya”. Lagi pula dengan dinyatakan bahwa semua ketentuan mengenai BP Migas dalam Undang-Undang a quo bertentangan 124 dengan konstitusi sebagaimana dipertimbangan dalam paragraf [3.13.1] sampai dengan paragraf [3.13.5], maka posisi BUMN menjadi sangat strategis karena akan mendapatkan hak pengelolaan dari Pemerintah dalam bentuk izin pengelolaan atau bentuk lainnya dalam usaha hulu Migas. Dengan demikian, anggapan Pemohon bahwa BUMN harus bersaing di negaranya sendiri merupakan dalil yang tidak tepat. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil _Pemohon tersebut tidak beralasan menurut hukum;
”_ BUMN/Persero Yang Dapat Diprivatisasi dan BUMN/Persero Yang Tidak Dapat Diprivatisasi a. Bahwa salah satu titik berat permohonan Pemohon menurut Pemerintah adalah pada dapat atau tidaknya suatu BUMN diprivatisasi. Untuk memahami dan membedakan mana BUMN yang dapat diprivatisasi dan mana BUMN yang tidak dapat diprivatisasi, Pemerintah merasa perlu untuk menjelaskan ketentuan Pasal 76 dan Pasal 77 UU BUMN yang menyatakan sebagai berikut: Pasal 76 (1) Persero yang dapat diprivatisasi harus sekurang-kurangnya _memenuhi kriteria: _ _a. industri/sektor usahanya kompetitif; atau _ b. industri/sektor usaha yang unsur teknologinya cepat berubah. (2) Sebagian aset atau kegiatan dari Persero yang melaksanakan kewajiban pelayanan umum dan/atau yang berdasarkan Undang-undang kegiatan usahanya harus dilakukan oleh BUMN, dapat dipisahkan untuk dijadikan penyertaan dalam pendirian perusahaan untuk selanjutnya apabila diperlukan dapat diprivatisasi. Penjelasan ayat (1) Yang dimaksud dengan industri/sektor usaha kompetitif adalah industri/sektor usaha yang pada dasarnya dapat diusahakan oleh siapa saja, baik BUMN maupun swasta. Dengan kata lain tidak ada peraturan perundang-undangan (kebijakan sektoral) yang melarang swasta melakukan kegiatan di sektor tersebut, atau tegasnya sektor tersebut tidak semata-mata dikhususkan untuk BUMN. Yang dimaksud dengan industri/sektor usaha yang unsur teknologi cepat berubah adalah industri/sektor usaha kompetitif dengan ciri utama terjadinya perubahan teknologi yang sangat cepat dan memerlukan investasi yang sangat besar untuk mengganti teknologinya. __ 125 Pasal 77 _Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah: _ a. Persero yang bidang usahanya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan hanya boleh dikelola oleh _BUMN; _ b. Persero yang bergerak di sektor usaha yang berkaitan dengan _pertahanan dan keamanan negara; _ c. Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu _yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat; _ d. Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan dilarang untuk diprivatisasi. b. Dari ketentuan tersebut, maka sangat jelas bahwa UU BUMN telah memahami pentingnya penguasaan negara melalui BUMN untuk melaksanakan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945 yang menyatakan: Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945 (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. c. Untuk itu, BUMN/Persero yang dapat diprivatisasi haruslah BUMN/Persero yang industri/sektor usahanya kompetitif atau industri/sektor usaha yang unsur teknologinya cepat berubah. Industri/sektor usaha kompetitif adalah yang pada dasarnya dapat diusahakan oleh siapa saja, baik BUMN maupun swasta, atau dengan kata lain tidak ada peraturan perundang-undangan (kebijakan sektoral) yang melarang swasta melakukan kegiatan di sektor tersebut, atau tegasnya sektor tersebut tidak semata-mata dikhususkan untuk BUMN. Yang dimaksud dengan industri/sektor usaha yang unsur teknologi cepat berubah adalah industri/sektor usaha kompetitif dengan ciri utama terjadinya perubahan teknologi yang sangat cepat dan memerlukan investasi yang sangat besar untuk mengganti teknologinya. 126 d. Penafsiran atas sektor mana yang wajib untuk mempertahankan keberadaan BUMN di dalamnya, diserahkan kepada peraturan perundang-undangan sektoral itu sendiri. Hal itu didasari pemahaman bahwa tidak semua sektor usaha merupakan sektor yang strategis untuk dikuasai oleh Negara melalui BUMN, dan dari waktu ke waktu senantiasa terjadi perubahan. Di samping itu, dipahami pula kepentingan negara untuk mempertahankan BUMN yang melaksanakan penugasan Pemerintah. Hal ini terlihat sangat tegas diatur dalam Pasal 77 UU BUMN e. Bahwa karena Pasal 76 ayat (1) UU BUMN merujuk kepada Undang- Undang sektoral, maka Pemerintah dalam hal ini akan merujuk pada UU Migas sesuai dengan sektor usaha dari perusahaan Pemohon bekerja. Berikut ini ketentuan UU Migas yang menjadi rujukan Pemerintah: Pasal 1 angka 17 dan angka 18 UU Migas _Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: _ 17. Badan Usaha adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang menjalankan jenis usaha bersifat tetap, terus-menerus dan didirikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara _Kesatuan Republik Indonesia; _ 18. Bentuk Usaha Tetap adalah badan usaha yang didirikan dan berbadan hukum di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan kegiatan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan wajib mematuhi peraturan _perundang-undangan yang berlaku di Republik Indonesia; _ Pasal 5 UU Migas _Kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi terdiri atas: _ _1. Kegiatan Usaha Hulu yang mencakup: _ _a. Eksplorasi; _ b. Eksploitasi. _2. Kegiatan Usaha Hilir yang mencakup: _ _a. Pengolahan; _ _b. Pengangkutan; _ _c. Penyimpanan; _ d. Niaga. 127 Pasal 9 UU Migas (1) Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dan angka 2 dapat dilaksanakan _oleh: _ _a. badan usaha milik negara; _ _b. badan usaha milik daerah; _ _c. koperasi; _ d. badan usaha swasta. (2) Bentuk Usaha Tetap hanya dapat melaksanakan Kegiatan Usaha Hulu. f. Berdasarkan ketentuan Pasal 5 dan Pasal 9 UU Migas di atas, kegiatan usaha migas bukan merupakan sektor usaha yang semata-mata dikhususkan untuk BUMN saja, sehingga sektor usaha migas termasuk ke dalam sektor usaha kompetitif sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal 76 ayat (1) UU BUMN beserta penjelasannya, karena ada badan usaha lainnya yang dapat ikut serta melaksanakannya.
Bahwa hal tersebut juga diperkuat oleh pertimbangan Mahkamah Konstitusi atas pengujian UU Migas pada halaman 110 dan halaman 111 butir 3.17 Putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012 sebagai berikut: [3.17] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 9 UU Migas sepanjang kata “dapat” bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Menurut Pemohon, ketentuan tersebut menunjukan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) hanya menjadi salah satu pemain saja dalam pengelolaan Migas, dan BUMN harus bersaing di negaranya sendiri untuk dapat mengelola Migas. Menurut Mahkamah Pasal 9 UU Migas a quo dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada perusahaan nasional baik Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi, usaha kecil, badan usaha swasta untuk berpartispasi dalam kegiatan usaha minyak dan gas bumi. Mahkamah dalam putusan Nomor 002/PUU-I/2003, tanggal 21 Desember 2004 telah mempertimbangkan, antara lain, “.... harus mendahulukan (voorrecht) Badan Usaha Milik Negara. Karena itu, Mahkamah menyarankan agar jaminan hak mendahulukan dimaksud diatur dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana mestinya”. Lagi pula dengan dinyatakan bahwa semua ketentuan mengenai BP Migas dalam Undang-Undang a quo bertentangan dengan konstitusi sebagaimana dipertimbangan dalam paragraf [3.13.1] sampai dengan paragraf [3.13.5], maka posisi BUMN menjadi sangat strategis karena akan mendapatkan hak pengelolaan dari Pemerintah dalam bentuk izin pengelolaan atau bentuk lainnya dalam usaha hulu Migas. Dengan demikian, anggapan Pemohon 128 bahwa BUMN harus bersaing di negaranya sendiri merupakan dalil yang tidak tepat. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil Pemohon tersebut tidak beralasan menurut hukum. Terhadap anak perusahaan BUMN/Persero dapat dilakukan penjualan saham h. Sesuai dengan ketentuan Pasal 76 ayat (2) UU BUMN, terhadap BUMN/Persero yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan untuk dipertahankan dan BUMN/Persero yang melaksanakan penugasan Pemerintah, tetap dapat melakukan pemisahan sebagian asetnya untuk dijadikan anak perusahaan, dan selanjutnya anak perusahaan tersebut dapat dilakukan penjualan sahamnya. Jelas bahwa UU BUMN telah membolehkan BUMN Persero yang bergerak di bidang usaha yang penting bagi Negara, untuk membentuk anak perusahaan yang selanjutnya saham dapat dijual. Selanjutnya, dapat kami sampaikan pula bahwa PT Pertamina (Persero) memiliki anak perusahaan yang sebelumnya merupakan BUMN, yaitu PT Perusahaan Gas Negara Tbk (“PT PGN Tbk”). Negara masih memiliki saham seri A dwiwarna pada PT PGN Tbk. Berdasarkan Pasal 2A ayat (7) PP No.72 Tahun 2016, terhadap PT PGN Tbk masih terdapat perlakuan khusus, yaitu masih dapat diberikan penugasan oleh pemerintah dan mengelola sumber daya alam dengan perlakuan tertentu sebagaimana diberlakukan bagi BUMN. Di samping itu, PT Pertamina (Persero) memiliki anak perusahaan:
yang berasal dari pemisahan unit/aset PT Pertamina (Persero), 2) yang didirikan untuk melaksanakan tugas yang berdasarkan ketentuan harus dilaksanakan oleh entitas usaha tersendiri.
yang merupakan perusahaan baru lainnya yang didirikan untuk mendukung usaha PT Pertamina (Persero). Bagaimana nilai suatu anak perusahaan bagi induknya, merupakan suatu hal yang dari waktu ke waktu berpotensi berubah, sesuai dengan kajian usaha terhadap anak perusahaan . Sehingga, sangat tidak logis apabila suatu BUMN yang mengemban peran Pasal 33 UUD 1945 wajib 129 mempertahankan seluruh anak perusahaannya, apabila berdasarkan perkembangan zaman perlu melakukan restrukturisasi anak-anak perusahaannya termasuk dengan penjualan saham anak-anak perusahaan. Dalam sejarahnya, PT Pertamina (Persero) pernah melakukan penjualan saham anak perusahaannya, yaitu PT Elnusa, pada tahun 2008 melalui IPO. Setelah melakukan IPO terjadi peningkatan revenue selama 3 tahun berturut-turut sampai tahun 2011. Kemudian pada periode tahun 2011 – 2019 Elnusa tetap mampu membukukan pertumbuhan pendapatan dari Rp. 4.7 trilliun hingga Rp. 8.3 Trilliun dengan Laju Pertumbuhan Majemuk Tahunan (Compound Annual Growth Rate/CAGR) sebesar 7.5%. Bahkan dalam situasi ekonomi makro yang tidak stabil akibat pandemi di tahun 2020, PT Elnusa, Tbk masih mampu membagikan deviden kepada pemegang saham.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa BUMN/Persero yang merupakan induk dari perusahaan tempat Pemohon bekerja pada dasarnya merupakan BUMN yang bergerak dalam industri/usaha yang kompetitif sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 76 ayat (1) UU BUMN. Sehingga menjadi tidak relevan lagi ketika Pemohon menginginkan tambahan norma ke dalam ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN namun pada kenyataannya dirinya masuk dalam cakupan ketentuan Pasal 76 ayat (1) UU BUMN. Dengan demikian, dapat Pemerintah simpulkan bahwa ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN tidak dapat dan tidak diperlukan untuk diberlakukan terhadap penjualan saham anak perusahaan.
Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan ketentuan dalam Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (selanjutnya disebut PP 35/2004), yang menyatakan bahwa PT Pertamina (Persero) hanya dapat mengajukan permohonan untuk mendapatkan wilayah kerja apabila sahamnya masih 100% (seratus persen) dimiliki negara merupakan bentuk pelaksanaan amanat Pasal 33 UUD 1945 yang menyatakan cabang-cabang produksi yang penting dan sumber daya alam harus dikuasai oleh negara 130 sepenuhnya, tidak dibagi-bagi dengan swasta/perorangan, dengan tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, Pemerintah memberikan keterangan sebagai berikut:
PT Pertamina (Persero) adalah BUMN yang 100% (seratus persen) sahamnya dimiliki oleh Negara. Apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5) PP 35/2004, maka tidak terdapat kendala dari sudut kepemilikan negara pada PT Pertamina (Persero) untuk mengajukan permohonan wilayah kerja kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Ketidakberlakuan Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN terhadap anak perusahaan PT Pertamina (Persero) tidak ada sangkut pautnya dengan syarat yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5) PP 35/2004.
Bahwa apabila PT Pertamina (Persero) mendapatkan wilayah kerja berdasarkan Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5) PP 35/2004, dan dalam perjalanannya PT Pertamina (Persero) melakukan penjualan saham anak perusahaannya, hal ini tidak dapat dikatakan mengabaikan Pasal 33 UUD 1945, sehingga tidak boleh dibagi-bagi kepada swasta/perorangan. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa Penguasaan terhadap usaha migas dilakukan oleh Negara secara langsung dan dilakukan melalui BUMN, dalam hal ini PT Pertamina (Persero). Selanjutnya, Pasal 9 UU Migas dan Pertimbangan Majelis Hakim halaman 110 dan 111 butir 3.17 pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 pada intinya menyatakan bahwa dalam bidang minyak dan gas bumi terbuka kesempatan bagi BUMN, badan usaha milik daerah, koperasi, dan badan usaha milik swasta. PT Pertamina (Persero) sebagai BUMN mendapat perlakuan diutamakan sebagai wujud penguasaan Negara dalam bidang migas. Di samping itu, apabila dilakukan penjualan saham anak perusahaan PT Pertamina (Persero), maka harus dilakukan berdasarkan kajian untuk meningkatkan kinerja anak perusahaan yang pada akhirnya meningkatkan kinerja PT Pertamina (Persero). Berdasarkan penjelasan tersebut Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN tidak dapat diberlakukan terhadap anak perusahaan PT Pertamina (Persero) dengan maksud menghalangi partisipasi swasta/perorangan. UU BUMN 131 menyerahkan sepenuhnya pengaturan mengenai partisipasi masyarakat dalam suatu bidang usaha untuk diatur dalam peraturan perundang- undangan yang mengatur bidang usaha tersebut.
Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan telah terjadi unbundling Pertamina karena seluruh bisnis inti ( core business ) dari hulu ke hilir, dari eksplorasi hingga pemasaran, telah dilakukan secara terpisah/tidak terintegrasi oleh sub holding /anak perusahaan yang berbeda-beda dari PT Pertamina (Persero) yang merupakan Perseroan Terbatas Biasa. Unbundling pada BUMN yang mengelola cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak berpotensi untuk dilakukan pelepasan seluruh atau sebagian besar saham anak-anak perusahaan BUMN tersebut kepada swasta/perorangan (privatisasi) dimana hal tersebut berpotensi menghilangkan hak menguasai negara. Selain itu, berpotensi juga menjadi persaingan bisnis antar sektor usaha badan usaha yang berbeda, Pemerintah memberikan keterangan sebagai berikut:
Pemerintah memahami konsepsi penguasaan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 UUD 1945, dan telah ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003, khususnya dalam Pertimbangan Majelis Hakim butir 2 halaman 223 dan 224 yang telah kami sampaikan di atas, yang pada intinya menyatakan “ bahwa semua unsur yang terkandung dalam pengertian “penguasaan oleh negara”, yaitu mengatur (regelen), mengurus (bestuuren), mengelola (beheeren), dan mengawasi (toezichthouden) masih tetap berada di tangan Pemerintah, sebagai penyelenggara “penguasaan oleh negara” dimaksud, atau badan-badan yang dibentuk untuk tujuan itu ”.
Bahwa yang dilakukan oleh PT Pertamina (Persero) adalah melakukan restrukturisasi melalui pembentukan anak perusahaan sebagai sub holding , yaitu: Gas Subholding (PT PGN Tbk), Upstream Subholding (PT Pertamina Hulu Energi), Refinery & Petrochemical Subholding (PT Kilang Pertamina International), Power & NRE Subholding (PT Pertamina Power Indonesia), dan Commercial & Trading Subholding (PT Patra Niaga). Di samping itu, bisnis perkapalan akan dijalankan PT Pertamina International Shipping. Restrukturisasi ini bertujuan menjadi untuk meningkatkan efektivitas perusahaan. 132 PT Pertamina (Persero) apabila melakukan penjualan saham pada anak perusahaan, dalam hal ini subholding yang merupakan pendukung core business -nya, maka harus dilakukan berdasarkan kajian untuk meningkatkan kinerja anak perusahaan yang pada akhirnya meningkatkan kinerja PT Pertamina (Persero) dalam pelaksanaan kegiatan usaha pengelolaan migas.
Bahwa mengenai penguasaan Negara di bidang migas, kembali kami menegaskan bahwa hal tersebut dilakukan secara langsung oleh Negara dan dilakukan oleh Negara melalui BUMN, dalam hal ini oleh PT Pertamina (Persero), bukan dilakukan melalui anak perusahaan PT Pertamina (Persero). Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya bahwa Pasal 9 UU Migas dan Pertimbangan Majelis Hakim halaman 110 dan 111 butir 3.17 pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 pada intinya menyatakan bahwa dalam bidang minyak dan gas bumi terbuka kesempatan bagi BUMN, badan usaha milik daerah, koperasi, dan badan usaha milik swasta. PT Pertamina (Persero) sebagai BUMN mendapat perlakuan diutamakan sebagai wujud penguasaan Negara dalam bidang migas. Berdasarkan penjelasan tersebut, Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN tidak dapat diberlakukan terhadap anak perusahaan PT Pertamina (Persero) dengan maksud menghalangi partisipasi swasta/perorangan. UU BUMN menyerahkan sepenuhnya pengaturan mengenai partisipasi masyarakat atau penguasaan negara dalam suatu bidang usaha untuk diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur bidang usaha tersebut. IV. PETITUM Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili dan memutus permohonan pengujian ( constitusional review ) ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN terhadap UUD 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut: __ 1. Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( legal standing ); 133 2. Menolak permohonan pengujian Pemohon untuk seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima ( niet onvankelijk verklaard );
Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
Menyatakan ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, atau dalam hal Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi di Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). KETERANGAN TAMBAHAN PRESIDEN I. Pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi Dr. Suhartoyo, S.H., M.H.
Terkait dengan salah satu kriteria Persero yang dapat diprivatisasi yaitu “industri atau sektor usahanya kompetitif” dan keterangan Pemerintah yang menyatakan Pemohon bekerja pada Perseroan yang kompetitif, mohon dijelaskan apakah sisi kompetitinya ada di induk perusahaan atau di anak perusahaan? Karena Pemohon dalam permohonannya mewakili pederasi. Penjelasan/Tanggapan:
Mengenai Pasal 76 ayat (1) huruf a UU BUMN yang menyatakan Persero yang dapat diprivatisasi harus sekurang-kurangnya memenuhi kriteria industri/sektor usahanya kompetitif, dapat kami sampaikan bahwa sesuai dengan Penjelasan Pasal 76 ayat (1) UU BUMN dinyatakan: “Yang dimaksud dengan industri/sektor usaha kompetitif adalah industri/sektor usaha yang pada dasarnya dapat diusahakan oleh siapa saja, baik BUMN maupun swasta. Dengan kata lain tidak ada peraturan perunsang-undangan (kebijakan sektoral) yang melarang swasta melakukan kegiatan di sektor tersebut, atau tegasnya sektor tersebut tidak semata-mata dikhususkan untuk BUMN. Yang dimaksud dengan industri/sektor usaha yang unsur teknologi cepat berubah adalah industri/sektor usaha kompetitif dengan ciri utama terjadinya perubahan teknologi yang sangat cepat dan memerlukan investasi yang sangat besar untuk mengganti teknologinya.” b. Selanjutnya, Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (selanjutnya disebut UU Migas) menyatakan: 134 “(1) Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasl 5 angka 1 dan angka 2 dapat dilaksanakan oleh:
Badan usaha milik negara;
Badan udaha milik daerah;
Koperasi;
Badan usaha swasta.” Berdasarkan ketentuan Pasal 76 ayat (1) huruf a UU BUMN dan Pasal 9 ayat (1) UU Migas, maka sisi kompetitifnya berada baik pada induk perusahaan maupun anak perusahaan, karena dalam industri/sektor usaha tersebut undang-undang sektoral telah membuka kesempatan kepada badan usaha lain untuk melakukan kegiatan usaha bersama-sama dengan BUMN. Namun demikian, Pasal 76 ayat (1) huruf a UU BUMN merupakan ketentuan yang hanya berlaku terhadap Persero.
Mengenai Federasi, mohon dijelaskan federasi apakah di level serikat yang mewakili setiap anak perusahaan atau di level sekumpulan anak perusahaan yang membentuk serikat yang kemudian di atasnya ada federasi? Penjelasan/Tanggapan: Federasi Serikar Pekerja Pertamina Bersatu pada dasarnya bukanlah wadah organisasi yang secara langsung menaungi pekerja PT Pertamina (Persero) dan perusahaan milik/anak perusahaan PT Pertamina (Persero), melainkan wadah yang menaungi serikat-serikat para pekerja, sehingga tidak memiliki hubungan hukum secara langsung dengan para pekerja. Para pekerja memiliki hubungan hukum secara langsung dengan serikat pekerja (yang merupakan anggota FSPPB/Pemohon) bukan dengan FSPPB itu sendiri. Selain itu, dalam perkara ini Pemohon menyampaikan permohonan uji materiil terhadap Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN yang tidak berlaku bagi anak perusahaan, sehingga timbul kekhawatiran anak perusahaan PT Pertamina (Persero) diprivatisasi. Dengan demikian, menurut Pemerintah Pemohon mencoba mengklaim mewakili kepentingan pekerja dari perusahaan milik/anak perusahaan PT Pertamina (Persero), yaitu adanya kekhawatiran terjadinya privatisasi terhadap anak-anak perusahaan PT Pertamina (Persero). Mengenai legal standing Pemohon, seperti telah kami sampaikan dalam Keterangan Presiden dalam siding tanggal 14 Oktober 2020 bahwa kerugian 135 konstitusional yang didalilkan oleh Pemohon menggunakan ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945 dalam mendasarkan hak konstitusionalnya dirugikan karena ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN yang dianggap akan meniadakan hak menguasai negara, namun dalam permohonannya berulang kali Pemohon menyampaikan bahwa dirinya khawatir anak perusahaan PT Pertamina (Persero) diprivatisasi. Sehingga patut dipertanyakan apakah kerugian Pemohon terkait dengan potensi ketiadaan hak menguasai negara atau kekhawatiran anak perusahaan PT Pertamina (Persero) akan diprivatisasi. Apabila kekhawatiran privatisasi anak perusahaan PT Pertamina (Persero) dalam perkara ini dimohonkan bukan oleh pegawai/karyawan anak perusahaan yang bersangkutan atau yang mewakilinya, maka legal standing Pemohon sudah seharusnya dipertanyakan, Selanjutnya, terkait hal ini kami menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Majelis Hakim untuk mempertimbangkan dan memutuskan. II. Pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi Prof. Arief Hidayat, S.H., M.S. Ada perbedaan penguasaan negara kepada perusahaan induk dan penguasaan negara terhadap anak perusahaan. Mohon dijelaskan dalam kasus-kasus atau dalam contoh-contoh bagaimana negara menguasai anak-anak perusahaan yang ada pada BUMN di Indonesia. Penjelasan/Tanggapan Pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 001- 021-022/PUU-I/2003 halaman 334 menyatakan: “Menimbang bahwa berdasarkan rangkaian pendapat dan uraian di atas, maka dengan demikian, perkataan “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan berasal dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan Tindakan pengurusan ( bestuurdaad ), pengaturan ( regelendaad ), pengelolaan ( beheersdaad ) dan pengawasan ( toezichthoundensdaad ) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan ( bestuursdaad ) oleh negara dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut 136 fasilitas perizinan ( vergunning ), lisensi ( licentie ), dan konsesi ( concessie ). Fungsi pengaturan oleh negara ( regelendaad ) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham ( share-holding ) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan melalui mana negara c.q. Pemerintah mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan oleh negara ( toezichthoudensdaad ) dilakukan oleh negara c.q. Pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat.” Berdasarkan pertimbangan tersebut:
Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan ( vergunning ), lisensi ( licentie ), dan konsesi ( concessive );
Fungsi pengaturan oleh negara ( regelendaad ) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan Pemerintah;
Fungsi regulasi oleh Pemerintah (eksekutif);
Fungsi pengelolaan ( beheersdaad ) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham ( share-holding ) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrument kelembagaan melalui mana negara c.q. Pemerintah mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; dan
Fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh negara c.q. Pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting dan/atau yang menguasasi hajat hidup orang banyak dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dapat disimpulkan bahwa terhadap anak perusahaan BUMN, penguasaan negara dalam sektor usaha tetap dilakukan oleh negara melalui fungsi pengurusan ( bestuursdaad ), fungsi pengaturan ( regelandaad ), fungsi regulasi, dan fungsi pengawasan ( toezichthodensdaad ). Fungsi-fungsi ini dilakukan antara lain melalui peraturan perundang-undangan, perizinan dan pengawasan langsung oleh Lembaga dan/atau otoritas negara. Hal ini juga telah disampaikan 137 oleh Pihak Terkait, PT Pertamina (Persero) dalam keterangannya tanggal 9 November 2020 pada angka 37 yaitu bahwa dalam sektor penguasaan migas, SKK MIgas melakukan regulasi dan pengawasan pengelolaan usaha migas walaupun badan usaha regulasi dan pengawasan pengelolaan usaha migas walaupun badan usaha yang melakukan usaha di bidang migas adalah BUMN, anak perusahaan BUMN, BUMD, koperasi, dan badan usaha swasta, sehingga penguasaan negara tetap dapat dilakukan. Bahwa fungsi pengelolaan ( beheersdaad ) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham ( share-holding ) tidak dapat dilakukan secara langsung oleh negara kepada anak perusahaan PT Pertaminan (Persero), mengingat pemilikan saham pada anak perusahaan dilakukan oleh PT Pertamina (Persero) secara langsung, bukan oleh negara. Terhadap anak perusahaan BUMN, kepentingan Pemerintah dilakukan melalui BUMN induknya yang dilakukan dengan tunduk sepenuhnya pada mekanisme hukum korporasi. Sesuai dengan mekanisme korporasi, Menteri BUMN sebagai wakil Pemerintah selaku RUPS/Pemegang Saham BUMN Persero, memiliki kewenangan untuk memberikan persetujuan terhadap rencana Direksi BUMN Persero untuk melakukan restrukturisasi anak perusahaan BUMN Persero. Kewenangan tersebut diatur dalam anggaran dasar BUMN Persero yang mewajibkan adanya persetujuan RUPS antara lain terhadap tindakan:
Mendirikan anak perusahaan;
Melakukan penyertaan modal pada perseroan lain;
Melepaskan penyertaan pada anak perusahaan;
Melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, pemisahan dan pembubaran anak perusahaan. Di samping itu, terhadap BUMN yang dijadikan anak perusahaan BUMN lain (misalnya PT PGN Tbk., PT Aneka Tambang Tbk, PT Bukti Asam Tbk, PT Timah Tbk, PT Perkebunan Nusantara I, II, IV s.d. XIV), Pemerintah masih melakukan penguasaan secara langsung atas saham minoritas yang memiliki hak istimewa (dalam anggaran dasar disebut saham minoritas yang memiliki hak istimewa (dalam anggaran dasar disebut saham seri A dwi warna). Hak istimewa tersebut 138 diatur dalam anggaran dasar anak perusahaan eks BUMN tersebut. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas, Pasal 2A ayat (2) dan Penjelasannya yang menyatakan:
Dalam hal kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN lain sehingga Sebagian besar saham dimiliki oleh BUMN lain, maka BUMN tersebut menjadi anak perusahaan BUMN dengan ketentuan negara wajib memiliki saham dengan hak istimewa yang diatur dalam anggaran dasar. Penjelasan Pasal 2A ayat (2): “Yang dimaksud dengan hak istimewa yang diatur dalam anggaran dasar antara lain hak untuk menyetujui:
Pengangkatan anggota Direksi dan anggota Komisaris;
Perubahan anggaran dasar;
Perubahan struktur kepemilikan saham;
Penggabungan, peleburan, pemisahan, dan pembubaran, serta pengambilalihan perusahaan oleh perusahaan lain.” Terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016, khususnya Pasal 2A tersebut di atas, Mahkamah Agung telah memberikan Putusan Nomor 21P/HUM/2017 atas permohonan judicial review yang diajukan oleh Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI), Yayasan Re-Ide Indonesia, Dr. Ahmad Redi, S.H., M.H., Dr. Suparji, S.H., M.H., dan Dr. M. Alfan Alfian, M. Dalam Putusannya tersebut Mahkamah Agung menyatakan bahwa holdingisasi tidaklah sama dengan privatisasi karena privatisasi bertujuan salah satunya adalah memperluas kepemilikan masyarakat, namun dalam holdingisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2A ayat (2) kepemilikan saham mayoritas masih di tangan negara melalui BUMN induk dan dalam prakteknya holdingisasi beberapa BUMN pernah dilakukan pemerintah terhadap beberapa BUMN yang sejenis. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dapat kami tegaskan bahwa terhadap anak perusahaan BUMN, penguasaan negara dalam sektor usaha tetap dilakukan oleh Negara melalui fungsi pengurusan ( bestuursdaad ), fungsi pengaturan ( regelendaad ), fungsi regulasi, dan fungsi pengawasan ( toezichthoudensdaad ). Sedangkan penguasaan melalui pengelolaan ( beheersdaad ) terhadap anak 139 perusahaan BUMN tidak lagi dilakukan secara mutlak, namun dilakukan melalui mekanisme korporasi, tang tetap memperhatikan eksistensi anak perusahaan tersebut. III. Pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., MPA.
Apa kriteria sebuah anak perusahaan yang karena perkembangan jaman perlu dilakukan restrukturisasi atau perlu melakukan langkah lain? 2. Apakah di anak-anak perusahaan PT Pertamina (Persero) telah diklasifikasikan menurut cabang-cabang produksi yang penting? Sehingga berdasarkan pengklasifikasian tersebut dapat dipilih pilihan kebijakan yang dapat diambil. Penjelasan/Tanggapan: Sebagaimana telah disampaikan dalam keterangan sebelumnya, pada saat ini PT Pertamina (Persero) melakukan restrukturisasi melalui pembentukan anak perusahaan sebagai subholding , yaitu: Gas Subholding (PT PGN Tbk), Upstream Subholding (PT Pertamina Hulu Energi), Refinery & Petrochemical Subholding (PT Kilang Pertamina International), Power & NRE Subholding (PT Pertamina Power Indonesia), dan Commercial & Trading Subholding (PT Patra Niaga). Di samping itu, pembentukan subholding tersebut juga dilakukan untuk memfokuskan pengelolaan terhadap perusahaan-perusahaan yang didirikan khusus untuk memenuhi amanah peraturan perundang-undangan di bidang migas yang mengatur kegiatan tertentu harus dilakukan oleh suatu entitas usaha tersendiri. Bahwa PT Pertamina (Persero) berkepentingan untuk menjaga eksistensi anak- anak perusahaannya. Seiring dengan perkembangan dalam kegiatan usaha masing-masing subholding sebagai anak perusahaan PT Pertamina (Persero), tidak tertutup kemungkinan diperlukan restrukturisasi perusahaan. Restrukturisasi tersebut harus dilandaskan pada kajian bahwa restrukturisasi dilakukan untuk meningkatkan kinerja anak perusahaan. Dengan peningjatan kinerja anak perusahaan tersebut, diharapkan pada akhirnya meningkatkan kinerja PT Pertamina (Persero) dalam pelaksanaan kegiatan usaha pengelolaan migas. Restrukturusisasi ini dilakukan berdasarkan ketentuan Undang-Undang 140 Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UU PT). Beberapa hal yang tentunya menjadi pertimbangan sebuah perusahaan melakukan restrukturisasi antara lain dikarenakan adanya tujuan untuk pemenuhan terhadap kewajiban sesuai undang-undang (misalnya restrukturisasi anak perusahaan yang bergerak pada kegiatan usaha hulu yang diwajibkan oleh undang-undang); penambahan modal/pendanaan untuk ekspansi bisnis baik pendanaan jangka Panjang ataupun jangka pendek, meningkatkan/memperbaiki citra perusahaan/anak perusahaan, meningkatkan nilai perusahaan/anak perusahaan secara keseluruhan, kepentingan insentif pajak, dan sebagainya. Dapat kami tambahkan bahwa berdasarkan ketentuan anggaran dasar PT Pertamina (Persero), penjualan saham anak perusahaan PT Pertamina (Persero) harus dimuat dalam RKAP yang disahkan oleh Menteri BUMN selaku Rapat Umum Pemegang Saham. Dengan demikian, restrukturisasi anak perusahaan PT Pertamina (Persero) tersebut didasarkan atas kajian bisnis yang matang yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja anak perusahaan yang pada akhirnya meningkatkan kinerja PT Pertamina (Persero). Dapat kami tambahkan juga bahwa Kementerian BUMN mengelompokkan BUMN berdasarkan kegiatan usahanya. Selanjutnya, masing-masing BUMN memiliki anak-anak perusahaan yang kegiatan usahanya mendukung BUMN induknya. Sebagai contoh, pada tahun 2011 PT Pelayaran Bahtera Adhiguna direstrukturisasi menjadi anak perusahaan PT PLN (Persero). Hal ini dimaksudkan untuk mendukung kinerja PT PLN (Persero) melalui transportasi batubara sebagai salah satu sumber energi yang digunakan oleh PT PLN (Persero) serta sekaligus mempertahankan kelangsungan bisnis PT Pelayaran Bahtera Adhiguna. IV. Pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi Prof. Dr. Aswanto, S.H., M.Si., DFM. Agar dapat disediakan data akurat mengenai apakah ada anak Persero atau anak perusahaan yang sahamnya 100% (serratus persen) atau lebih dari 50% (lima puluh persen) dimiliki oleh swasta? Apabila Pertamina saja harus 100% 141 (seratus persen) sahamnya dimiliki oleh negara untuk mendapatkan penambahan wilayah kerja berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5) PP 35/2004, bagaimana dengan anak perusahaan? Penjelasan/Tanggapan: Sebagaimana telah kami sampaikan dalam Keterangan Presiden sebelumnya, bahwa terhadap PT Elnusa, anak perusahaan PT Pertamina (Persero), telah dilakukan penjualan saham. Dapat kami informasikan bahwa saat ini PT Pertamina (Persero) memiliki saham sebesar 41,10% dan Dana Pensiun Pertamina memiliki 14,9% dan sisanya sebesar 44% dimiliki oleh publik. PT Elnusa bergerak di bidang jasa hulu migas dan melakukan investasi saham pada anak perusahaan dan perusahaan joint venture baik di industri migas hulu maupun hilir. PT Elnusa Tbk berdasarkan laporan keuangan 3 tahun terakhir yang telah diaudit memperoleh keuntungan dan memberikan deviden kepada PT Pertamina (Persero) (pemilik 41,1% saham) sebagai berikut: TB 2017 TB 2018 TB 2019 Dividen ELSA (juta IDR) 37.701 69.078 89.119 Laba Bersih ELSA (juta IDR) 247.140 276.314 356.474 Dividen Payout Ratio 15% 25% 25% Dividen yang diterima Pertamina (saham 41,1%) (dalam juta IDR) 15.236 28.391 36.628 Beberapa data mengenai anak perusahaan BUMN lain yang dilakukan penjualan saham: PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel), penjualan (divestasi) sahamnya dimulai tahun 2001. Saat ini kepemilikan sahamnya adalah PT Telkom (Persero) sebesar 65% dan Singtel sebesar 35%. 142 TB 2015 (Rp miliar) TB 2016 (Rp miliar) TB 2017 (Rp miliar) TB 2018 (Rp miliar) TB 2019 (Rp miliar) Laba 22.338 28.194 30.395 25.536 25.798 Dividen 20.104 26.785 28.875 24.259 25.153 PT Wika Beton Tbk., penjualan sahamnya melalui pasar modal (IPO) dilakukan bulan April 2014. Saat ini susunan kepemilikan sahamnya adalah PT Wijaya Karya (Persero) Tbk., sebesar 60%, Koperasi Karya Mitra Satya (KKMS) sebesar 5,9%, Yayasan Wijaya Karya sebesar 0,99%, dan publik sebesar 33,11%. (Rp miliar) TB 2011 TB 2012 TB 2013 TB 2014 TB 2015 TB 2016 TB 2018 TB 2019 TB 2020 Laba 144,42 179,37 241,21 322,4 171,78 282,15 340,46 486,64 510,71 Dividen 36,83 50,55 62,63 20 98,56 52,19 81,72 101,14 145,92 PT PP Properti, Tbk, penjualan sahamnya melalui pasar modal (IPO) dilakukan semester I 2015. Saat ini susunan kepemilikan sahamnya adalah PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk sebesar 64,96%, YKPP sebesar 0,06%, dan publik sebesar 34,98%. TB 2014 TB 2015 TB 2016 TB 2017 TB 2018 TB 2019 Laba 106.120 300.325 365.382 444.679 471.257 342.695 Dividen - 60.065 73.076 88.935 94.251 34.269 Mengenai penguasaan negara terhadap cabang-cabang yang penting bagi negara, dapat kami sampaikan Kembali bahwa penguasaan negara melalui fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham negara pada BUMN atau Badan Hukum Milik Negara, bukan pemilikan saham BUMN pada anak perusahaan. Hal ini sesuai dengan Pertimbangan 143 Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 001-021-022/PUU- I/2003 halaman 334 yang menyatakan: “… fungsi pengelolaan ( beheersdaad ) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham ( share-holding ) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrument kelembagaan melalui mana negara c.q. Pemerintah mendayagunakan penguasaaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat…” Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa anak perusahaan bukan salah satu bentuk penguasaan negara dalam fungsi pengelolaan ( beheersdaad ). Penguasaan negara terhadap cabang-cabang yang penting bagi negara tertap dilakukan melalui fungsi regulasi, dan fungsi pengawasan ( toezichthoudensdaad ). Namun demikian, Pemerintah tetap berusaha melakukan penguasaan terhadap anak-anak perusahaan BUMN melalui mekanisme korporasi, yaitu berdasarkan ketentuan anggaran dasar BUMN induknya dan anggaran dasar anak perusahaan yang terdapat saham seri A dwiwarna, termasuk memperhatikan eksistensi anak-anak perusahaan tersebut. Terhadap anak-anak perusahaan PT Pertamina (Persero) restrukturisasi akan dilakukan apabila berdasarkan kajian terdapat tujuan untuk pemenuhan terhadap kewajiban sesuai undang-undang (misalnya restrukturisasi anak perusahaan yang bergerak pada kegiatan usaha hulu yang diwajibkan oleh undang-undang); penambahan modal/pendanaan untuk ekspansi bisnis baik pendanaan jangka Panjang ataupun jangka pendek, meningkatkan/memperbaiki citra perusahaan/anak perusahaan, meningkatkan nilai perusahaan/anak perusahaan secara keseluruhan, kepentingan insentif pajak, dan sebagainnya. Pemerintah tetap akan memperhatikan kelangsungan anak-anak perusahaan melalui mekanisme korporasi sebagaimana telah kami sampaikan di atas, yaitu:
Berdasarkan ketentuan anggaran dasar BUMN induknya yang antara lain mengatur kewajiban mendapatkan persetujuan RUPS untuk melakukan:
Mendirikan anak perusahaan;
Melakukan penyertaan modal pada perseroan lain; 144 3) Melepaskan penyertaan pada anak perusahaan;
Melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, pemisahan dan pembubaran anak perusahaan.
Anggaran dasar anak perusahaan yang terdapat seri A dwiwarna, yang mengatur hak istimewa Pemegang Saham seri A dwiwarna untuk menyetujui:
Pengangkatan anggota Direksi dan anggota Komisaris;
Perubahan anggaran dasar;
Perubahan struktur kepemilikan saham;
Penggabungan, peleburan, pemisahan, dan pembubaran, serta pengambilalihan perusahaan oleh perusahaan lain.” Mengenai Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (selanjutnya disebut PP 35/2004), khususnya Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5);
Penawaran Wilayah Kerja kepada Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dilakukan oleh Menteri.
Dalam pelaksanaan penawaran Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri melakukan koordinasi dengan Badan Pelaksana.
Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dapat mengajukan permohona kepada Menteri untuk mendapatkan Wilayah Kerja.
Dalam hal PT Pertamina (Persero) mengajukan permohonan kepada Menteri untuk mendapatkan Wilayah Kerja terbuka tertentu, Menteri dapat menyetujui permojhonan tersebut dengan mempertimbangkan program kerja, kemampuan teknis dan keuangan PT Pertamina (Persero) dan sepanjang saham PT Pertamina (Persero) 100% (seratur per serratus) dimiliki oleh negara.
PT Pertamina (Persero) sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), tidak dapat mengajukan permohonan untuk wilayah kerja yang telah ditawarkan.” Pada dasarnya proses penunjukan untuk wilayah kerja dilakukan melalui seleksi/pelelangan yang terbuka bagi seluruh badan usaha migas. Namun demikian, berdasarkan ketentuan PP 35/2004, diatur perlakuan khusus bagi PT Pertamina (Persero) untuk mendapatkan wilayah kerja terbuka melalui penunjukan langsung. Ketentuan khusus tersebut tidak berlaku terhadap anak perusahaan PT Pertamina (Persero), sehingga dalam mendapatkan wilayah kerja, anak 145 perusahaan tersebut mempunyai mekanisme yang sama dengan badan usaha lainnya (BUMD, koperasi dan swasta). Apabila dilakukan penjualan saham anak perusahaan PT Pertamina (Persero), hal tersebut tidak mengubah mekanisme perolehan wilayah kerja oleh anak perusahaan yang bersangkutan. V. Pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi Dr. Wahiduddin Adams., S.H., M.A. Mohon agar ditambahkan dalam keterangan tambahan mengenai petitum yang dimonta oleh Pemohon yaitu ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d diberi persyaratan mengikat sepanjanng larangan provatisasi diberlakukan secara limitative terhadap Persero dan tidak diberlakukan terhadap perusahaan milik persero. Dalam positanya Pemohon menyatakan kekhawatiran akibat potensi dilakukannya privatisasi terhadap anak perusahaan, artinya perusahaan milik PT (persero) yang mengelola cabang-cabang produksi yang penting dan sumber daya alam negara adalah seluruh saham milik anak perusahaan tersebut dilepas secara seluruhnya kepada pihak swasta/perorangan, sehingga hasil pengelolaan cabang-cabang produksi yang penting dan sumber daya alam negara tersebut hanya dinikmati oleh pihak swasta dan/atau perseorangan. Penjelasan/Tanggapan:
Mengenai kekhawatiran akibat potensi dilakukannya privatisasi terhadap anak perusahaan, artinya perusahaan milik PT Pertamina (Persero) yang mengelola cabang-cabang produksi yang penting dan sumber daya alam negara adalah seluruh saham milik anak perusahaan tersebut dilepas secara seluruhnya kepada pihak swasta/perorangan: Dapat kami sampaikan Kembali bahwa sesuai dengan pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 001-021-022/PUU- I/2003 halaman 334, pada intinya menyatakan penguasaan negara terhadap cabang-cabang yang penting bagi negara dilakukan melalui pemilikan saham pada BUMN/BHMN sebagai fungsi pengelolaan ( beheersdaad ), melalui fungsi pengurusan ( bestuursdaad ), pengaturan ( regelendaad ), dan/atau pengawasan ( toezichthoudensdaad ). Dalam hal migas sebagaimana diatur dalam UU Migas, penguasaan negara dalam bidang migas dilakukan melalui: 146 - Penyelenggaraan oleh Pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambahan sesuai Pasal 4 ayat (2) UU MIgas. - Pemerintah bertanggung jawab atas pengaturan dan pengawasan kegiatan usaha ketersediaan dan kelancaran pendistribusian BBM sesuai Pasal 8 ayat (4) UU Migas. - Pengusahaan oleh badan usaha milik negara bersama-sama dengan badan usaha lainnya sesuai Pasal 9 UU Migas. Dapat kami sampaikan Kembali bahwa terhdap anak-anak perusahaan PT Pertamina (Persero), restrukturisasi akan dilakukan apabila berdasarkan kajina terdapat tujuan untuk pemenuhan terhadap kewajiban sesuai undang- undang (misalnya restrukturisasi anak perusahana yang bergerak pada kegiatan usaha hulu yang diwajibkan oleh undang-undang); penambahan modal/pendanaan untuk ekspansi bisnis baik pendanaan jangka Panjang ataupun jangka pendek, meningkatkan/memperbaiki citra perusahaan/anak perusahaan, meningkatkan nilai perusahaan/anak perusahaan secara keseluruhan, kepentingan insentif pajak, dan sebagainya. Dengan demikian, walaupun terhadap anak-anak perusahaan PT Pertamina (Persero) tidak lagi memenuhi kriteria definisi penguasaan negara )beheersdaad) sebagaimana dimaksud dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 halaman 334, namun demikian Pemerintah tetap melakukan penguasaan melalui mekasnisme korporasi, dan apabila dilakukan restrukturisasi maka harus berdasarkan kajian untuk meningkatkan konerja anak peprusahaan itu sendiri dan/atau PT Pertamina (Persero).
Mengenai kekhawatiran hasil pengelolaan cabang-cabang produksi yang penting dan sumber daya alam negara tersebut hanya dinikmati oleh pihak swasta dan/atau perorangan: Bahwa kinerja anak perusahaan PT Pertamina (Persero) dimaksudkan untuk menunjang kinerja PT Pertamina (Persero). Apabila suatu saat terjadi restrukturisasi anak perusahaan, maka restrukturusisasi tersebut harus memberikan kontribusi bagi anak perusahaan itu sendiri, dan juga bagi PT Pertamina (Persero). Bahwa apabila suatu saat restrukturisasi dilakukan melalui penjualan saham anak perusahaan, maka penjualan saham anak 147 perusahaan tersebut juga harus berdasarkan kajian bahwa penjualan saham itu akan meningkatkan kinerja anak perusahaan dan kinerja PT Pertamina (Persero) meningkat, maka pengelolaan usaha-usaha tersebut akan dinikmati oleh negara, PT Pertamina (Persero), anak perusahaan itu sendiri, karyawan, investor/mitra, swasta, dan seluruh pihak yang terkait dengan kegiatan usaha tersebut, serta masyarakat yang menikmati barang/jasanya. Sebagaimana telah kami sampaikan mengenai kinerja PT Elnusa Tbk., berdasarkan laporan keuangan 3 tahun terakhir telah memperoleh keuntungan dan memberikan dividen kepada PT Pertamina (Persero) (pemilik 41,1% saham) sebagai berikut: TB 2017 TB 2018 TB 2019 Dividen ELSA (juta IDR) 37.701 69.078 89.119 Laba Bersih ELSA (juta IDR) 247.140 276.314 356.474 Dividen Payout Ratio 15% 25% 25% Dividen yang diterima Pertamina (saham 41,1%) (dalam juta IDR) 15.236 28.391 36.628 Dengan demikian, apabila dilakukan restrukturisasi anak-anak perusahaan, hasilnya diharapkan untuk dapat dinikmati oleh negara, PT Pertamina (Persero), anak perusahaan itu sendiri, karyawan, investor/mitra, swasta, dan seluruh pihak yang terkait dengan kegiatan usaha tersebut, serta masyarakat yang menikmati barang/jasanya. VI. Pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H., M.Hum.
Mohon agar diperjelas apa yang dimaksud dengan Persero yang bergerak di sektor tertentu? Apakah kriterianya? Sektor-sektor mana yang dimaksud dengan sektor tertentu itu? Apakah itu terkait dengan penguasaaan sebesar- 148 besarnya tadi atau ada kriteria lain yang kemudian oleh pemerintah diberi tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu pula di situ? Penjelasan/Tanggapan: Pasal 77 huruf c UU BUMN menyatakan: “Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah:
Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertenti yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat; ” Bahwa salah satu maksud dan tujuan Persero adalah mengejar keuntungan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b UU BUMN. Namun demikian, dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf b UU BUMN dinyatakan: “Meskipun maksud dan tujuan Persero adalah untuk mengejar keuntungan, namun dalam hal-hal tertentu untuk melakukan pelayanan umum, Persero dapat diberikan tugas khusus dengan memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat. Dengan demikian, penugasan pemerintah harus disertai dengan pembiayaannya (kompensasi) berdasarkan perhitungan bisnis atau komersial, sedangkan untuk Perum yang tujuannya menyediakan barang dan jasa untuk kepentingan umum, dalam pelaksanaannya harus memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat.” Persero yang diberi tugas sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1), yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, inilah yang tidak dapat diprivatisasi berdasarkan Pasal 77 huruf c UU BUMN. Lebih lanjut, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2005 tentang Tata Cara Privatisasi Perusahaan Perseroan (Persero) (selanjutnya disebut PP 33/2005) dalam Pasal 9 huruf c dan Penjelasannya dinyatakan: