Petunjuk Teknis Akuntansi Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi
Relevan terhadap 5 lainnya
bahwa untuk menyesuaikan pedoman penyelenggaraan akuntansi penerimaan negara bukan pajak dari kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi dengan kebijakan akuntansi pemerintah pusat, perlu mengganti Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61/PMK.02/2020 tentang Petunjuk Teknis Akuntansi Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 44/PMK.02/2021 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61/PMK.02/2020 tentang Petunjuk Teknis Akuntansi Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Petunjuk Teknis Akuntansi Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi;
Petunjuk teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) digunakan oleh:
Satker PNBP Migas selaku Entitas Akuntansi sebagai pedoman dalam penyusunan Laporan Keuangan Satker PNBP Migas;
Instansi Pelaksana sebagai pedoman dalam menyediakan dokumen pendukung pencatatan transaksi dan pelaporan keuangan dari kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi;
Kuasa BUN sebagai pedoman dalam konsolidasian Laporan Keuangan BUN;
Instansi Pemerintah sebagai pedoman dalam menyampaikan dokumen pendukung atas pencatatan transaksi kewajiban dari kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi;
Satker PNBP Migas dan Kuasa BUN sebagai pedoman dalam pelaksanaan pemindahbukuan PNBP Migas dari Rekening Minyak dan Gas Bumi ke Rekening KUN; dan/atau
Satker PNBP Migas dan Instansi Pelaksana kebijakan transfer dana bagi hasil ke daerah sebagai pedoman dalam penghitungan PNBP SDA Migas per Kontraktor dalam rangka penyediaan data untuk penghitungan alokasi DBH SDA Migas ke Daerah.
Pengelolaan Insentif Fiskal
Relevan terhadap
Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pengelolaan Insentif Fiskal.
Pemantauan terhadap pengelolaan Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap:
laporan rencana penggunaan;
penyaluran dari RKUN ke RKUD; dan
laporan realisasi penyerapan anggaran dan realisasi keluaran.
Evaluasi terhadap pengelolaan Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap:
kebijakan pengalokasian Insentif Fiskal;
mekanisme penyaluran Insentif Fiskal;
realisasi penyaluran Insentif Fiskal; dan
penggunaan dan hasil keluaran Insentif Fiskal.
Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk penyusunan kebijakan Insentif Fiskal tahun anggaran berikutnya.
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan penghitungan alokasi Insentif Fiskal berdasarkan pagu indikatif Insentif Fiskal yang ditetapkan oleh Menteri dan kebijakan Pemerintah.
Penghitungan alokasi Insentif Fiskal berdasarkan penilaian kinerja Pemerintah Daerah.
Penghitungan Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya; dan
Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun berjalan.
Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dibagikan kepada:
Daerah berkinerja baik; dan
Daerah Tertinggal berkinerja baik.
Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya kepada Daerah berkinerja baik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a tidak memperhitungkan Daerah Tertinggal yang tercantum dalam Peraturan Presiden tentang Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2020-2024.
Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya kepada Daerah berkinerja baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf a digunakan antara lain untuk percepatan pemulihan ekonomi di Daerah.
Insentif Fiskal yang digunakan untuk percepatan pemulihan ekonomi di Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
infrastruktur;
perlindungan sosial;
dukungan dunia usaha terutama usaha mikro kecil dan menengah; dan/atau
penciptaan lapangan kerja.
Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat digunakan untuk mendanai:
gaji, tambahan penghasilan, dan honorarium; dan
perjalanan dinas.
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan Perseroan (Persero) di Bawah Pembinaan dan Pengawasan Menteri Keuangan ...
Relevan terhadap
TJSL BUMN Persero dilaksanakan dengan prinsip:
terarah, yaitu memiliki arah yang jelas untuk mencapai tujuan perusahaan;
terukur dampaknya, yaitu memiliki kontribusi dan memberikan manfaat yang menghasilkan perubahan atau nilai tambah bagi pemangku kepentingan dan perusahaan;
akuntabilitas, yaitu dapat dipertanggungjawabkan sehingga menjauhkan dari potensi penyalahgunaan dan penyimpangan;
transparansi, yaitu keterbukaan atas semua tindakan dan kebijakan yang diambil sehingga tercipta kepercayaan bagi pemangku kepentingan dan perusahaan;
kewajaran, yaitu keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak pemangku kepentingan dan perusahaan; dan
terintegrasi, yaitu berdasarkan analisis risiko dan proses bisnis yang memiliki keterkaitan dengan pemangku kepentingan.
TJSL BUMN Persero bertujuan untuk:
memberikan kemanfaatan bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan;
memberikan kontribusi dalam peningkatan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat bagi komunitas setempat dan masyarakat; dan/atau
meningkatkan reputasi dan kredibilitas BUMN Persero melalui kegiatan yang dapat memberikan nilai tambah bagi BUMN Persero. jdih.kemenkeu.go.id J,.: jdih.kemenkeu.go.id (3) TJSL BUMN Persero dilaksanakan berdasarkan pilar utama TPB, yaitu:
sosial, untuk tercapainya pemenuhan hak dasar manusia yang berkualitas secara adil dan setara untuk meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat;
ekonomi, untuk tercapainya pertumbuhan ekonomi berkualitas melalui keberlanjutan peluang kerja dan usaha, inovasi, industri inklusif, infrastruktur memadai, energi bersih yang terjangkau dan didukung kemitraan;
lingkungan, untuk pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang berkelanjutan sebagai penyangga seluruh kehidupan; dan/atau
hukum dan tata kelola, untuk terwujudnya kepastian hukum dan tata kelola yang efektif, transparan, akuntabel dan partisipatif untuk menciptakan stabilitas keamanan dan mencapai negara berdasarkan hukum. Pasal 7 Tahapan T JSL BUMN Persero meliputi:
perencanaan;
pelaksanaan;
pelaporan dan pertanggungjawaban; dan
pemantauan dan evaluasi. Bagian Kedua Perencanaan
Direksi memiliki tugas :
menyusun dan menyampaikan Rencana Kerja dan Anggaran TJSL BUMN Persero;
menyusun dan menyampaikan perubahan Rencana Kerja dan Anggaran TJSL BUMN Persero;
menyusun standar operasional prosedur sebagai pedoman pelaksanaan TJSL BUMN Persero;
menyusun laporan keuangan TJSL BUMN Persero;
melaksanakan TJSL BUMN Persero dan program prioritas T JSL BUMN Persero sesuai dengan rencana kerja dan anggaran perusahaan yang telah disahkan oleh RUPS, kebijakan dan arahan dari RUPS, serta pertimbangan dari Dewan Komisaris;
melakukan evaluasi atas pelaksanaan TJSL BUMN Persero; dan
melaporkan pelaksanaan T JSL BUMN Persero kepada Dewan Komisaris dan RUPS.
Rencana Kerja dan Anggaran TJSL BUMN Persero sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan bagian dari rencana kerj a dan anggaran perusahaan BUMN Persero dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
Perubahan Rencana Kerja dan Anggaran TJSL BUMN Persero sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan bagian dari perubahan rencana kerja dan anggaran perusahaan BUMN Persero dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. jdih.kemenkeu.go.id )_ jdih.kemenkeu.go.id (4) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direksi memiliki wewenang dan tanggung jawab:
menetapkan standar operasional prosedur;
membentuk Komite TJSL BUMN Persero;
melakukan pengendalian atas pelaksanaan T JSL BUMN Persero;
melakukan kerjasama dan perikatan dengan pihak ketiga untuk menunjang pelaksanaan TJSL BUMN Persero;
mewakili BUMN Persero di dalam dan di luar pengadilan dalam penyelesaian perselisihan atas permasalahan yang terkait dengan pelaksanaan T JSL BUMN Persero; dan
menetapkan kebijakan teknis pelaksanaan TJSL BUMN Persero.
Direksi bertanggung jawab penuh dalam pelaksanaan TJSL BUMN Persero. BAB III TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN BADAN USAHA MILIK NEGARA PERSERO Bagian Kesatu Umum
Tata Cara Pengelolaan Barang Milik Negara yang Tidak Digunakan untuk Penyelenggaraan Tugas dan Fungsi Kementerian/Lembaga ...
Relevan terhadap
termasuk permasalahan administrasi seperti pencatatan ganda, perbedaan kuantitas, atau BMN tidak ditemukan (bila ada).
Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan
Relevan terhadap
Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "persyaratan tertentu" antara lain ruang lingkup subjek badan usaha lain yang menyalurkan kredit dan persyaratan biaya penanaman kembali sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (3) Cukup ^jelas. Pasal 2 1 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas. Ayat (5) Berdasarkan pembukuan Wajib Pajak, terdapat bangunan perrn€rnen yang memiliki masa manfaat melebihi 20 (dua puluh) tahun. Wajib Pajak diberikan pilihan da'lam menghitung biaya pen5rusutan fiskal bangunan permanen tersebut dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar dengan masa manfaat 20 (dua puluh) tahun atau sesuai dengan masa manfaat yang sebenarnya berdasarkan pembukuan Wajib Pajak. Ayat (6) Untuk bangunan permanen yang dimiliki dan digunakan sebelum Tahun Pajak 2022 dan penyusutannya telah dihitung dengan masa manfaat 20 (dua puluh) tahun, Wajib Pajak diberikan pilihan untuk menghitung biaya penyusutan sesuai dengan masa manfaat yang sebenarnya berdasarkan pembukuan Wajib Pajak, dengan menyampaikan pemberitahuan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat akhir Tahun Pajak 2022. Contoh: Pada Januari 2OL7, Wajib Pajak membeli sebuah gedung pabrik senilai Rpl.OOO.OOO.OOO,O0 (satu miliar rupiah). Pen5rusutan atas pengeluaran untuk perolehan gedung pabrik tersebut dimulai pada bulan Januari Tahun Pajak 2017. Masa manfaat gedung pabrik berdasarkan pembukuan Wajib Pajak adalah 3O (tiga puluh) tahun. Namun, Wajib Pajak melakukan penyusutan dengan masa manfaat 2O (dua puluh) tahun dan tarif pen5msutan sebesar 5% (lima persen) per tahun. Untuk melakukan penyusutan terhadap gedung pabrik tersebut yang memiliki masa manfaat lebih dari 20 (dua puluh) tahun, Wajib Pajak dapat memilih untuk menghitung biaya penyusutan sesuai dengan sisa masa manfaat yang sebenarnya berdasarkan pembukuan Wajib Pajak dengan tarif pen5rusutan yang dihitung berdasarkan nilai sisa buku fiskal, dengan menyampaikan pemberitahuan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat akhir Tahun Pajak 2022. Pada Februari 2022, Wajib Pajak menyampaikan pemberitahuan memilih untuk menghitung biaya penyusutan atas gedung pabrik tersebut sesuai masa manflaat yang sebenarnya berdasarkan pembukuan Wajib Pajak. Sesuai pembukuan Wajib Pajak atas gedung pabrik tersebut telah disusutkan selama 5 (lima) tahun dengan sisa masa manfaat pada awal Tahun Pajak 2022 (1 Januari 2022) adalah 25 (dua puluh lima) tahun. Untuk menghitung penyusutan mulai Tahun Pajak 2022 ditentukan:
tarif pen5rusutan L zs t"t un ^x ^Looo/o 4%o per tahun b. nilai sisa buku fiskal Rp1.0O0.OO0.OOO,0O - (5 x 57o x Rp 1.00O.OOO.OOO,0O) Rp75O.OOO.0O0,OO. Ayat (7) Cukup ^jelas. Ayat (8) Cukup ^jelas. Ayat (9) Cukup ^jelas. Ayat (1o) Cukup ^jelas. Pasal 22 Ayat (1) Muhibah dikenal dengan istilah goodwill. Ayat (21 Cukup ^jelas. Ayat (3) Berdasarkan pembukuan Wajib Pajak, terdapat harta tak berwujud yarrg memiliki masa manfaat melebihi 2O (dua puluh) tahun. Wajib Pajak diberikan pilihan dalam menghitung biaya amortisasi fiskal harta tak berwujud tersebut dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar atau saldo menurun dengan masa manfaat 20 (dua puluh) tahun atau sesuai dengan masa manfaat yang sebenarnya berdasarkan pembukuan Wajib Pajak. Ayat (a) Untuk harta tak berwujud yang dimiliki dan digunakan sebelum Tahun Pajak 2022 dan amortisasinya telah dihitung dengan masa manfaat 2O (dua puluh) tahun, Wqiib Pajak diberikan pilihan untuk menghitung biaya amortisasi sesuai dengan masa manfaat yang sebenarnya berdasarkan pembukuan Wajib Pajak, dengan menyampaikan pemberitahuan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat akhir Tahun Pajak 2022. Contoh: Pada Juli 2O09, Wajib Pajak membeli sebuah aplikasi senilai Rp1.OO0.000.000,00 (satu miliar rupiah). Amortisasi atas pengeluaran untuk perolehan aplikasi tersebut dimulai pada bulan Juli Tahun Pajak 2OO9. Masa manfaat aplikasi berdasarkan pembukuan Wajib Pajak adalah 25 (dua puluh lima) tahun, namun Wajib Pajak melakukan amortisasi menggunakan metode garis lurus dengan tarif amortisasi untuk kelompok 4 (empat) sebesar 5% (lima persen) per tahun dan masa manfaat 20 (dua puluh) tahun. Untuk melakukan amortisasi terhadap aplikasi tersebut yang memiliki masa manfaat lebih dari 2O (dua puluh) tahun Wajib Pajak dapat memilih untuk menghitung biaya amortisasi sesuai dengan sisa masa manfaat yang sebenarnya berdasarkan pembukuan Wajib Pajak dengan tarif amortisasi yang dihitung berdasarkan nilai sisa buku fiskal, dengan menyampaikan pemberitahuan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat akhir Tahun Pajak 2022. Pada Maret 2022, Wajib Pajak menyampaikan pemberitahuan memilih untuk menghitung biaya amortisasi atas aplikasi tersebut sesuai masa manfaat yang sebenarnya berdasarkan pembukuan Wajib Pajak. Sesuai pembukuan Wajib Pajak atas aplikasi tersebut telah diamortisasi selama L2,5 (dua belas koma lima) tahun dengan sisa masa manfaat pada awal Tahun Pajak 2022 adalah 12,5 (dua belas koma lima) tahun. Untuk menghitung amortisasi mulai Tahun Pajak 2022 menggunakan metode garis lurus, ditentukan:
tarif amortisasi 1 1zs trh* ^x ^Looo/o 8o/o per tahun b. nilai sisa buku fiskal Rp1.OOO.0O0.0O0,OO - (12,5 x 57o x Rp 1 .OO0.0O0.0OO,OO) Rp375.OO0.0O0,00. Ayat (5) Cukup ^jelas.
Keterrtuan lebih lanjut mengenai penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat l2l huruf b, Pasal 35 ayat (l), dan Pasal 36 ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri. Pasal 38 (1) Wajib Pajak yang melakukan pembelian saham atau aktiva pemsahaan melalui pihak lain atau badan yang dibentuk untuk maksud demikian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf c dapat ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian tersebut dalam hal Wajib Pajak yang bersangkutan mempunyai hubungan istimewa dengan pihak lain atau badan tersebut dan terdapat ketidalspajaran penetapan harga. tzl ^Saham ^atau aktiva ^perusahaan ^sebagaimana ^dimaksud pada ayat (1) berupa:
saham atau aktiva yang sebelumnya dimiliki dan/atau dijaminkan oleh Wajib Pajak dalam negeri yang ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian, sehubungan dengan perjanjian utang piutang; atau
aktiva yang merupakan aset kredit (piutang) kepada Wqiib Pajak dalam negeri yang ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian, sehubungan dengan perjanjian utang piutang. (3) Pihak atau badan yang dibentuk untuk maksud melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pihak atau badan yang tidak mempunyai substansi usaha dan yang dibentuk oleh Wajib Pajak dalam negeri yang bertujuan untuk membeli saham atau aktiva Wajib Pajak dalam negeri lainnya. Pasal 39 (U Penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang memberikan perlindungan pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat {21 huruf d dapat ditetapkan sebagai penjualan atau pengalihan saham badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia. {21 ^Atas ^penghasilan ^dari ^penjualan ^atau ^pengalihan ^saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipotong Pajak Penghasilan sebesar 2oo/o (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto. Pasal 4O (1) Penentuan kembali besarnya penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, kegiatan, atau ^jasa dari pemberi kerja yang memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat l2l huruf e dilakukan dengan memperhatikan tingkat penghasilan yang wajar yang seharusnya diperoleh oleh Wqiib Pajak orang pribadi yang bersangkutan. (21 Ketentuan lebih lanjut mengenai penentuan kembali besarnya penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diahrr dalam Peraturan Menteri. Pasal 41 (1) Penghitungan kembali pajak yang seharusnya terutang berdasarkan pembandingan kinerja keuangan dengan Wajib Pajak dalam kegiatan usaha yang sejenis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf f dilakukan terhadap Wajib Pajak yang telah melakukan penjualan secara komersial selama 5 (lima) tahun dan melaporkan kerugian fiskal selama 3 (tiga) tahun berturut- turut. (21 Ketentuan lebih lanjut mengenai pembandingan kinerja keuangan dengan Wajib Pajak dalam kegiatan usaha yang sejenis dalam rangka penghitungan pajak yang seharusnya terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.
Manajemen Risiko Pengelolaan Keuangan Negara
Relevan terhadap
bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 6 Ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Menteri Keuangan dikuasakan untuk melakukan pengelolaan fiskal dan mewakili pemerintah dalam kepemilikan atas kekayaan negara yang dipisahkan sebagai bagian dari kekuasaan pengelolaan keuangan negara;
bahwa dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan sesuai dengan ketentuan Pasal 5 Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan, Menteri Keuangan diantaranya menyelenggarakan fungsi perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang risiko keuangan negara;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk meningkatkan efektivitas penerapan manajemen risiko guna menjaga kesinambungan fiskal yang terkendali dalam jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Manajemen Risiko Pengelolaan Keuangan Negara;
Komite Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a terdiri atas:
Komite Eksekutif;
Komite Pelaksana; dan
Sekretariat Komite.
Komite Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
Menteri Keuangan sebagai Ketua;
Wakil Menteri Keuangan sebagai Wakil Ketua; dan
Para Pejabat Eselon I dan Pimpinan Unit Organisasi Non Eselon yang bertanggung jawab secara langsung kepada Menteri Keuangan sebagai Anggota.
Tugas dan tanggung jawab Komite Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
menyetujui dan/atau menetapkan kebijakan Manajemen Risiko Pengelolaan Keuangan Negara yang disampaikan oleh Komite Pelaksana;
menyetujui profil Risiko dan rencana mitigasi di tingkat Kementerian Keuangan yang disampaikan oleh Komite Pelaksana; dan
melakukan pengawasan atas efektivitas penerapan Manajemen Risiko di tingkat Kementerian Keuangan.
Komite Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
Sekretaris Jenderal sebagai Ketua;
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko sebagai Wakil Ketua;
Staf Ahli Menteri Keuangan yang membidangi organisasi dan birokrasi sebagai Ketua Pelaksana Harian;
Staf Ahli Menteri Keuangan yang membidangi jasa keuangan dan pasar modal sebagai Wakil Ketua Pelaksana Harian; dan
Para Pejabat Eselon II pada masing-masing Unit Eselon I dan Pimpinan Unit Organisasi Non Eselon yang bertanggung jawab kepada Menteri Keuangan melalui Pimpinan Unit Eselon I, dan Pejabat 1 (satu) tingkat di bawah pimpinan Unit Organisasi Non Eselon yang bertanggung jawab secara langsung kepada Menteri Keuangan, yang mengelola Manajemen Risiko Pengelolaan Keuangan Negara sebagai Anggota.
Tugas dan tanggung jawab Komite Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi:
membantu Komite Eksekutif merumuskan kebijakan Manajemen Risiko Pengelolaan Keuangan Negara;
membantu Komite Eksekutif menyusun profil Risiko dan rencana mitigasi di tingkat Kementerian Keuangan;
menyampaikan profil Risiko dan rencana mitigasi di tingkat Kementerian Keuangan yang telah disetujui oleh Komite Eksekutif kepada Menteri Keuangan untuk ditetapkan;
menyampaikan laporan Manajemen Risiko Pengelolaan Keuangan Negara kepada Menteri Keuangan dan/atau Komite Eksekutif;
membantu Komite Eksekutif melakukan pengawasan dan evaluasi atas efektivitas penerapan Manajemen Risiko di tingkat Kementerian Keuangan;
menyusun tim koordinasi pengelolaan Risiko di Kementerian Keuangan untuk ditetapkan oleh Menteri Keuangan; dan
membentuk kelompok kerja dan menunjuk unit di internal Kementerian Keuangan sebagai koordinator Manajemen Risiko Pengelolaan Keuangan Negara lintas unit internal dan/atau eksternal Kementerian Keuangan untuk ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Sekretariat Komite sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas:
Kepala Biro Perencanaan dan Keuangan Sekretariat Jenderal sebagai Sekretaris I:
Direktur Pengelolaan Risiko Keuangan Negara Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko sebagai Sekretaris II; dan
pejabat Eselon III atau pejabat fungsional yang setara pada:
Biro Perencanaan dan Keuangan Sekretariat Jenderal; dan
Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, sebagai Anggota.
Tugas dan tanggung jawab Sekretariat Komite sebagaimana dimaksud pada ayat (6) meliputi:
membantu Komite Pelaksana dalam penyusunan konsep kebijakan Manajemen Risiko Pengelolaan Keuangan Negara;
membantu Komite Pelaksana melakukan konsolidasi konsep profil dan rencana mitigasi Risiko di tingkat Kementerian Keuangan;
membantu Komite Pelaksana melakukan pengawasan dan evaluasi atas efektivitas penerapan Manajemen Risiko di tingkat Kementerian Keuangan;
menyelenggarakan edukasi dan/atau sosialisasi untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran pengelola Risiko;
menatausahakan dokumen proses Manajemen Risiko; dan
mengoordinasikan tindak lanjut hasil reviu dan audit Manajemen Risiko.
Dalam melakukan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (7), sekretariat komite dapat melakukan koordinasi dengan forum/tim/kelompok kerja terkait bidang Pengelolaan Keuangan Negara, diantaranya:
sekretariat _Assets-Liability Committee (ALCO); _ b. sekretariat Komite Investasi Pemerintah;
sekretariat Komite Pengawas Penyelenggara Asuransi Jaminan Sosial dan Penghimpun Dana Lainnya;
sekretariat Komite Stabilitas Sektor Keuangan; dan
sekretariat Tim Pengelola Risiko Badan Usaha Milik Negara dan Korporasi.
Pedoman tata kelola dan/atau mekanisme pelaksanaan tugas Komite Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Tata Cara Penetapan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak
Relevan terhadap
REPUBUK INOONESIA - 12 - Kebijakan Pemerintah tersebut ditetapkan dalam bentuk antara lain kebijakan Presiden, kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri, atau kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga terkait. Huruf a Yang dimaksud dengan "kebutuhan investasi Badan" antara lain memperhatikan biaya yang akan dikeluarkan Badan untuk investasi guna meningkatkan kapasitas Badan. Huruf b Yang dimaksud dengan "kondisi' keuangan Badan'' antara lain menggambarkan tingkat ke~ehatan keuangan Sadan dan kelangsungan kinerja Sadan ke depan. Huruf c Yang dimaksud dengan "operasional Sadan" antara lain kebutuhan Badan di luar belanja modal. Huruf d Kebijakan Pemerintah dalam penyusunan tarif atas jenis PNSP yang berasal dari Pengelolaa.n Kekayaan Negara Dipisahkan memperhatikan antara lain program Pemerintah ya~g ditugaskan kepada badan usaha milik negara dalam rangka· pelindungan kesejahteraan masyarakat dan peningkatan kegiatan ekonomi nasional. Kebijakan Pemerintah tersebut ditetapkan dalam bentuk antara lain kebijakan Presiden, kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri, atau kt-bijakan yang ditetapkan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga terkait.
Kebijakan Pemerintah dalam penyusunan tarif atas jenis PNBP yang berasal dari Pemanfaatan Sumber Daya Alam memperhatikan antara lain kepcntingan nasional dan kesinambungan pengelolaan sumber daya alam antargenerasi. Kebijakan Pemerintah tersebut ditetapkan dalam bentuk antara lain kebijakan Presiden, kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri, atau kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga terkait. Huruf a Dampak pengenaan tarif terhadap masyarakat, dunia usaha, dan sosial budaya dengan memperhatikan kesediaan masyarakat untuk membayar dan kemampuan masyarakat untuk membayar. Huruf b Biaya penyelenggaraan layanan berarti bahwa tarif disusun berdasarkan pendekatan biaya, dapat berupa:
cost minus, yaitu tarif dihitung lebih rendah dari biaya yang dikeluarkan untuk membiayai layanan;
cost recovery, yaitu tarif dihitung sama dengan biaya yang dikeluarkan untuk membiayai layanan;
cost plus, yaitu tarif dihitung lebih tmggi dari biaya yang dikeluarkan untuk membi&yai layanan. Huruf c Aspek keadilan berarti bahwa tarif layanan menjamin setiap orang atau pelanggan memperoleh Pelayanan yang sama sesuai dengan hak dan Pelayanan yang diterima dan memperhitungkan situasi dan kondisi sosial masyarakat. Sebagai bentuk pertimhangan bahwa Wajib Bayar memperoleh Pelayanan sesuai dengan tarif yang dibayarkan, situasi dan kondisi sos1al masyarakat, penyusunan tarif dapat juga menggunakan pendekatan perbandingan besaran tarif atas jenis PNBP dengan Pelayanan sejenis. Huruf d Kebijakan Pemerintah dalam penyusunan tarif atas jenis PNBP yang berasal dari Pelayanan · memperhatikan antara lain hubungan atau perjanjian internasional.
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "pertimbangan tenentu" antara lain:
penyelenggaraan kegiatan sosial, kegiatan keagamaan, kegiatan kenegaraan atau pemerintahan, termasuk untuk penyidikan, penyelidikan, dan perpajakan;
keadaan di luar kemampuan Wajib Bayar atau kondisi kahar;
masyarakat tidak mampu, mahasiswa berprestasi, dan usaha mikro, kecil, dan menengah; dan/atau
kebijakan Pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.
Skema Subsidi Resi Gudang
Relevan terhadap
Penerima SSRG terdiri atas:
Petani; dan
Koperasi.
Petani sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan individu yang dapat bergabung dalam kelompok usaha berupa:
kelompok tani;
gabungan kelompok tani; atau
Koperasi.
SSRG dapat diberikan kepada penerima selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang merupakan usaha produktif individu/badan usaha dengan mengacu pada kebijakan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan.
Penerima SSRG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) yang berupa individu merupakan warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan kepemilikan nomor induk kependudukan sebagaimana tercantum dalam kartu tanda penduduk elektronik atau surat keterangan pengganti kartu tanda penduduk elektronik.
Penerima SSRG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) yang berupa badan usaha dibuktikan dengan kepemilikan nomor pokok wajib pajak badan usaha.
Nomor induk kependudukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan nomor pokok wajib pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) divalidasi melalui SIKP.
Untuk memperoleh SSRG, Koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan usaha produktif individu/badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3), harus menjalankan usaha yang bermitra dengan Petani.
Kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilaksanakan dengan mengacu pada ketentuan yang diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan.
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131/PMK.04/2020 tentang Tata Cara Pengenaan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor Berdasarkan Persetujuan ...
Relevan terhadap
Dalam hal pengiriman barang impor melalui negara selain Negara Anggota untuk tujuan transit dan/atau transhipment sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), Importir, Penyelenggara/Pengusaha TPB, Penyelenggara/Pengusaha PLB, pengusaha di Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf d angka 3, atau Badan Usaha/Pelaku Usaha KEK, harus menyerahkan dokumen berupa:
through bill of lading atau dokumen pengangkutan lainnya yang diterbitkan di Negara Anggota pengekspor yang menunjukkan keseluruhan rute perjalanan dari Negara Anggota pengekspor, termasuk kegiatan transit dan/atau transhipment , sampai ke Daerah Pabean;
SKA Form D yang diterbitkan oleh Instansi Penerbit SKA dan/atau DAB yang diterbitkan oleh Eksportir Bersertifikat;
invoice dari barang yang bersangkutan, jika ada; dan
dokumen pendukung yang membuktikan pemenuhan ketentuan Pasal 5 ayat (2), kepada Pejabat Bea dan Cukai.
Ketentuan ayat (1), ayat (3), dan ayat (5) huruf a Pasal 7 diubah, dan Pasal 7 ayat (5) huruf b dihapus, sehingga Pasal 7 berbunyi sebagai berikut:
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang Kepabeanan.
Kawasan yang Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disebut Kawasan Bebas adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari Daerah Pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan cukai.
Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disingkat KEK adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu.
Tempat Penimbunan Berikat yang selanjutnya disingkat TPB adalah bangunan, tempat, atau kawasan, yang memenuhi persyaratan tertentu yang digunakan untuk menimbun barang dengan tujuan tertentu dengan mendapatkan penangguhan bea masuk.
Pusat Logistik Berikat yang selanjutnya disingkat PLB adalah TPB untuk menimbun barang asal luar Daerah Pabean dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam Daerah Pabean, dapat disertai dengan 1 (satu) atau lebih kegiatan sederhana dalam jangka waktu tertentu untuk dikeluarkan kembali.
Tempat Lain Dalam Daerah Pabean yang selanjutnya disingkat TLDDP adalah Daerah Pabean selain Kawasan Bebas dan TPB.
Importir adalah orang perseorangan atau badan hukum yang melakukan kegiatan memasukkan barang ke dalam Daerah Pabean.
Penyelenggara/Pengusaha TPB adalah:
penyelenggara kawasan berikat;
penyelenggara kawasan berikat sekaligus pengusaha kawasan berikat;
pengusaha di kawasan berikat merangkap penyelenggara di kawasan berikat;
penyelenggara gudang berikat;
penyelenggara gudang berikat sekaligus pengusaha gudang berikat; atau
pengusaha di gudang berikat merangkap penyelenggara di gudang berikat.
Penyelenggara/Pengusaha PLB adalah:
penyelenggara PLB;
penyelenggara PLB sekaligus pengusaha PLB; atau c. pengusaha di PLB merangkap sebagai penyelenggara di PLB.
Badan Usaha/Pelaku Usaha KEK adalah:
Badan Usaha KEK;
Pelaku Usaha KEK; atau
Badan Usaha KEK sekaligus Pelaku Usaha di KEK.
Tarif Preferensi adalah tarif bea masuk berdasarkan Persetujuan Perdagangan Barang ASEAN yang besarnya ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai penetapan tarif bea masuk dalam rangka ASEAN Trade in Goods Agreement .
PPFTZ dengan Kode 01 yang selanjutnya disebut PPFTZ-01 adalah pemberitahuan pabean untuk pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas, dari dan ke luar Daerah Pabean, dan pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke TLDDP.
Harmonized Commodity Description and Coding System yang selanjutnya disebut Harmonized System (HS) adalah standar internasional atas sistem penamaan dan penomoran yang digunakan untuk pengklasifikasian produk perdagangan dan turunannya yang dikelola oleh World Customs Organization (WCO).
Penelitian Ulang adalah penelitian kembali atas tarif dan/atau nilai pabean yang diberitahukan dalam dokumen pemberitahuan pabean impor dan penelitian kembali atas tarif, harga, jenis, dan/atau jumlah barang yang diberitahukan dalam dokumen pemberitahuan pabean ekspor melalui pengujian dengan data, informasi dan dokumen lain terkait.
Audit Kepabeanan adalah kegiatan pemeriksaan laporan keuangan, buku, catatan, dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik, surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan, dan/atau sediaan barang dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean sesuai dengan Undang-Undang Kepabeanan.
Sistem Komputer Pelayanan yang selanjutnya disingkat SKP adalah sistem komputer yang digunakan oleh Kantor Pabean dalam rangka pengawasan dan pelayanan kepabeanan.
Ketentuan Asal Barang ( Rules of Origin ) yang selanjutnya disebut Ketentuan Asal Barang adalah ketentuan khusus yang ditetapkan berdasarkan Persetujuan Perdagangan Barang ASEAN untuk menentukan negara asal barang.
Negara Anggota adalah negara yang menandatangani Persetujuan Perdagangan Barang ASEAN.
Barang Originating adalah barang yang memenuhi Ketentuan Asal Barang sesuai dengan Persetujuan Perdagangan Barang ASEAN.
Bahan Non - Originating adalah bahan yang berasal dari luar Negara Anggota atau bahan yang tidak memenuhi Ketentuan Asal Barang sesuai dengan Persetujuan Perdagangan Barang ASEAN.
Aturan Khusus Produk ( Product Specific Rules ) yang selanjutnya disebut PSR adalah aturan yang merinci mengenai:
barang yang seluruhnya diperoleh atau diproduksi di 1 (satu) Negara Anggota ( wholly obtained atau produced );
proses produksi suatu barang yang menggunakan Bahan Non - Originating , dan Bahan Non - Originating tersebut harus mengalami perubahan klasifikasi atau Change in Tariff Classification (CTC);
barang yang proses produksinya menggunakan Bahan Non - Originating yang memenuhi kriteria kandungan regional sejumlah nilai tertentu yang dinyatakan dalam persentase;
barang yang mengalami suatu proses pabrikasi atau proses operasional tertentu; atau
kombinasi dari setiap kriteria tersebut.
Bukti Asal Barang ( Proof of Origin ) adalah dokumen pelengkap pabean yang diterbitkan oleh instansi penerbit surat keterangan asal dan/atau eksportir bersertifikat yang akan digunakan sebagai dasar pemberian Tarif Preferensi.
Surat Keterangan Asal ( Certificate of Origin ) Persetujuan Perdagangan Barang ASEAN yang selanjutnya disebut SKA Form D adalah Bukti Asal Barang yang diterbitkan oleh instansi penerbit surat keterangan asal yang akan digunakan sebagai dasar pemberian Tarif Preferensi.
Overleaf Notes adalah halaman sebalik SKA Form D yang berisi ketentuan mengenai pengisian SKA Form D dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari SKA Form D.
Surat Keterangan Asal Elektronik ( Electronic Certificate of Origin ) Form D yang selanjutnya disebut e - Form D adalah SKA Form D yang disusun sesuai dengan e -ATIGA Form D Process Specification and Message Implementation Guideline , dan dikirim secara elektronik antar Negara Anggota.
ASEAN Wide Self Certification yang selanjutnya disebut Sertifikasi Mandiri adalah skema pernyataan asal barang yang diterbitkan oleh eksportir bersertifikat dalam bentuk invoice atau dalam bentuk dokumen komersial billing statement , delivery order , atau packing list , yang akan digunakan sebagai dasar pemberian Tarif Preferensi.
Deklarasi Asal Barang ( Origin Declaration ) yang selanjutnya disingkat DAB adalah Bukti Asal Barang yang berisi pernyataan asal barang dan dibuat oleh eksportir bersertifikat yang akan digunakan sebagai dasar pemberian Tarif Preferensi.
Memorandum of Undestanding among the Governments of the Participating Member States of the Association of South-East Asian Nations (ASEAN) on the Second Pilot Project for the Implementation of a Regional Self - Certification System yang selanjutnya disebut MoU 2 ^nd SCPP adalah Nota Kesepahaman antara Negara Anggota yang berpartisipasi dalam pilot project kedua sistem Sertifikasi Mandiri skema ATIGA.
Invoice Declaration adalah pernyataan dari eksportir bersertifikat dalam skema MoU 2 ^nd SCPP yang menyatakan bahwa barang di dalam invoice dapat diberikan Tarif Preferensi.
Instansi Penerbit Surat Keterangan Asal yang selanjutnya disebut Instansi Penerbit SKA adalah instansi pemerintah atau institusi yang ditunjuk pemerintah di Negara Anggota pengekspor yang diberi kewenangan untuk menerbitkan SKA Form D atas barang yang akan diekspor.
Otoritas yang Berwenang adalah instansi pemerintah atau institusi yang ditunjuk pemerintah di Negara Anggota pengekspor yang diberi kewenangan untuk melakukan sertifikasi eksportir menjadi eksportir bersertifikat.
Eksportir Bersertifikat ( Certified Exporter ) adalah eksportir yang telah disertifikasi oleh Otoritas yang Berwenang dan berhak untuk menerbitkan Deklarasi Asal Barang.
Dokumen Pelengkap Pabean adalah semua dokumen yang digunakan sebagai pelengkap pemberitahan pabean, misalnya invoice , packing list , bill of lading / airway bill , manifest , dan dokumen lainnya yang dipersyaratkan.
Invoice dari Negara Ketiga yang selanjutnya disebut Third Country Invoice adalah invoice yang diterbitkan oleh perusahaan lain yang berlokasi di negara ketiga (baik Negara Anggota atau selain Negara Anggota) atau yang berlokasi di negara yang sama dengan negara tempat diterbitkannya SKA Form D atau DAB.
Surat Keterangan Asal Back - to - Back dan/atau Deklarasi Asal Barang Back - to - Back yang selanjutnya disebut SKA Back - to - Back dan/atau DAB Back - to - Back adalah SKA Form D dan/atau DAB yang diterbitkan di Negara Anggota pengekspor kedua berdasarkan satu atau lebih SKA Form D dan/atau DAB yang diterbitkan di Negara Anggota pengekspor pertama.
Tanggal Pengapalan atau Tanggal Eksportasi adalah tanggal bill of lading untuk moda pengangkutan laut, tanggal airway bill untuk moda pengangkutan udara, atau tanggal dokumen pengangkutan darat untuk moda pengangkutan darat.
Permintaan Retroactive Check adalah permintaan yang dilakukan oleh pejabat bea dan cukai kepada Instansi Penerbit SKA dan/atau Otoritas yang Berwenang untuk mendapatkan informasi mengenai pemenuhan Ketentuan Asal Barang dan/atau keabsahan Bukti Asal Barang.
Verification Visit adalah kegiatan yang dilakukan oleh pejabat bea dan cukai di Negara Anggota penerbit Bukti Asal Barang untuk memperoleh data atau informasi mengenai pemenuhan Ketentuan Asal Barang dan/atau keabsahan Bukti Asal Barang.
39a. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan.
Ketentuan huruf d Pasal 6 diubah, sehingga Pasal 6 berbunyi sebagai berikut:
Untuk dapat menggunakan Tarif Preferensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Importir wajib:
menyerahkan lembar asli SKA Form D dan/atau lembar asli DAB;
mencantumkan kode fasilitas Persetujuan Perdagangan Barang ASEAN pada Pemberitahuan Impor Barang (PIB) secara benar; dan
mencantumkan nomor referensi dan tanggal SKA Form D dan/atau nomor Eksportir Bersertifikat dan tanggal DAB pada Pemberitahuan Impor Barang (PIB) secara benar.
Untuk Importir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang termasuk dalam kategori jalur kuning atau jalur merah, penyerahan lembar asli SKA Form D dan/atau lembar asli DAB ke Kantor Pabean dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
untuk Kantor Pabean yang telah ditetapkan sebagai Kantor Pabean yang memberikan pelayanan kepabeanan selama 24 (dua puluh empat) jam sehari dan 7 (tujuh) hari seminggu, lembar asli SKA Form D dan/atau lembar asli DAB wajib diserahkan kepada Pejabat Bea dan Cukai di Kantor Pabean paling lambat pada pukul 12.00 pada hari berikutnya; atau
untuk Kantor Pabean yang belum ditetapkan sebagai Kantor Pabean yang memberikan pelayanan kepabeanan selama 24 (dua puluh empat) jam sehari dan 7 (tujuh) hari seminggu, lembar asli SKA Form D dan/atau lembar asli DAB wajib diserahkan kepada Pejabat Bea dan Cukai di Kantor Pabean paling lambat pada pukul 12.00 pada hari kerja berikutnya, terhitung sejak Pemberitahuan Impor Barang (PIB) mendapatkan Surat Pemberitahuan Jalur Kuning (SPJK) atau Surat Pemberitahuan Jalur Merah (SPJM).
Untuk Importir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang termasuk dalam kategori jalur hijau, penyerahan lembar asli SKA Form D dan/atau lembar asli DAB ke Kantor Pabean dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
untuk Kantor Pabean yang telah ditetapkan sebagai Kantor Pabean yang memberikan pelayanan kepabeanan selama 24 (dua puluh empat) jam sehari dan 7 (tujuh) hari seminggu, lembar asli SKA Form D dan/atau lembar asli DAB wajib diserahkan kepada Pejabat Bea dan Cukai di Kantor Pabean paling lambat 3 (tiga) hari; atau
untuk Kantor Pabean yang belum ditetapkan sebagai Kantor Pabean yang memberikan pelayanan kepabeanan selama 24 (dua puluh empat) jam sehari dan 7 (tujuh) hari seminggu, lembar asli SKA Form D dan/atau lembar asli DAB wajib diserahkan kepada Pejabat Bea dan Cukai di Kantor Pabean paling lambat 3 (tiga) hari kerja, terhitung sejak Pemberitahuan Impor Barang (PIB) mendapatkan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB).
Untuk Importir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah ditetapkan sebagai mitra utama kepabeanan atau Authorized Economic Operator (AEO), lembar asli SKA Form D dan/atau lembar asli DAB wajib diserahkan kepada Pejabat Bea dan Cukai di Kantor Pabean paling lambat 5 (lima) hari kerja terhitung sejak Pemberitahuan Impor Barang (PIB) mendapatkan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB).
Untuk dapat menggunakan Tarif Preferensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Penyelenggara/ Pengusaha TPB wajib:
menyerahkan lembar asli SKA Form D dan/atau lembar asli DAB kepada Pejabat Bea dan Cukai di Kantor Pabean yang mengawasi TPB, paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak pemberitahuan pabean impor untuk ditimbun di TPB mendapatkan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB);
menyerahkan lembar asli SKA Form D dan/atau lembar asli DAB kepada Pejabat Bea dan Cukai di Kantor Pabean yang mengawasi TPB, paling lambat 5 (lima) hari kerja terhitung sejak pemberitahuan pabean impor untuk ditimbun di TPB mendapatkan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB), dalam hal Penyelenggara/Pengusaha TPB telah ditetapkan sebagai mitra utama kepabeanan atau Authorized Economic Operator (AEO);
mencantumkan kode fasilitas Persetujuan Perdagangan Barang ASEAN pada pemberitahuan pabean impor untuk ditimbun di TPB secara benar; dan
mencantumkan nomor referensi dan tanggal SKA Form D dan/atau nomor Eksportir Bersertifikat dan tanggal DAB pada pemberitahuan pabean impor untuk ditimbun di TPB secara benar.
Untuk dapat menggunakan Tarif Preferensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Penyelenggara/ Pengusaha PLB wajib:
menyerahkan lembar asli SKA Form D dan/atau lembar asli DAB kepada Pejabat Bea dan Cukai di Kantor Pabean yang mengawasi PLB, paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak pemberitahuan pabean impor untuk ditimbun di PLB mendapatkan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB);
menyerahkan lembar asli SKA Form D dan/atau lembar asli DAB kepada Pejabat Bea dan Cukai di Kantor Pabean yang mengawasi PLB, paling lambat 5 (lima) hari kerja terhitung sejak pemberitahuan pabean impor untuk ditimbun di PLB mendapatkan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB), dalam hal Penyelenggara/Pengusaha PLB telah ditetapkan sebagai mitra utama kepabeanan atau Authorized Economic Operator (AEO);
mencantumkan kode fasilitas Persetujuan Perdagangan Barang ASEAN pada pemberitahuan pabean impor untuk ditimbun di PLB secara benar; dan
mencantumkan nomor referensi dan tanggal SKA Form D dan/atau nomor Eksportir Bersertifikat dan tanggal DAB pada pemberitahuan pabean impor untuk ditimbun di PLB secara benar.
Untuk dapat menggunakan Tarif Preferensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, pengusaha di Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf d angka 3, wajib:
menyerahkan lembar asli SKA Form D dan/atau lembar asli DAB, hasil cetak PPFTZ-01 pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean, kepada Pejabat Bea dan Cukai di Kantor Pabean yang melakukan penelitian dokumen, paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak PPFTZ-01 pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean mendapatkan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB);
mencantumkan kode fasilitas Persetujuan Perdagangan Barang ASEAN pada PPFTZ-01 pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean secara benar; dan
mencantumkan nomor referensi dan tanggal SKA Form D dan/atau nomor Eksportir Bersertifikat dan tanggal DAB pada PPFTZ-01 pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean secara benar.
Dihapus.
Untuk dapat menggunakan Tarif Preferensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Badan Usaha/Pelaku Usaha KEK, wajib:
menyerahkan lembar asli SKA Form D dan/atau lembar asli DAB kepada Pejabat Bea dan Cukai di Kantor Pabean yang melakukan penelitian, paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak pemberitahuan pabean pemasukan barang dari luar Daerah Pabean ke KEK mendapatkan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB);
menyerahkan lembar asli SKA Form D dan/atau lembar asli DAB kepada Pejabat Bea dan Cukai di Kantor Pabean yang melakukan penelitian, paling lambat 5 (lima) hari kerja terhitung sejak pemberitahuan pabean pemasukan barang dari luar Daerah Pabean ke KEK mendapatkan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB), dalam hal Badan Usaha/Pelaku Usaha KEK telah ditetapkan sebagai mitra utama kepabeanan atau Authorized Economic Operator (AEO);
mencantumkan kode fasilitas Persetujuan Perdagangan Barang ASEAN pada pemberitahuan pabean pemasukan barang dari luar Daerah Pabean ke KEK secara benar; dan
mencantumkan nomor referensi dan tanggal SKA Form D dan/atau nomor Eksportir Bersertifikat dan tanggal DAB pada pemberitahuan pabean pemasukan barang dari luar Daerah Pabean ke KEK secara benar.
Importir, Penyelenggara/Pengusaha TPB, Penyelenggara/Pengusaha PLB, pengusaha di Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf d angka 3, atau Badan Usaha/Pelaku Usaha KEK, menyerahkan Dokumen Pelengkap Pabean dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
Dalam hal penyerahan dokumen secara elektronik telah tersedia dalam SKP, Dokumen Pelengkap Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dapat diserahkan secara elektronik.
Lembar asli SKA Form D sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (9) meliputi:
lembar asli SKA Form D atas barang yang diimpor;
lembar asli SKA Back - to - Back ;
lembar asli SKA Form D Issued Retroactively , dalam hal SKA Form D diterbitkan setelah Tanggal Pengapalan atau Tanggal Eksportasi;
lembar asli SKA Form D pengganti ( Certified True Copy ), dalam hal SKA Form D asli hilang atau rusak; atau
lembar asli SKA Form D sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, atau huruf d, yang telah dikoreksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (6).
Lembar asli DAB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (9) meliputi:
lembar asli DAB atas barang yang diimpor; atau
lembar asli DAB Back - to - Back .
SKA Form D dan/atau DAB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (9) harus masih berlaku pada saat:
Pemberitahuan Impor Barang (PIB);
pemberitahuan pabean impor untuk ditimbun di TPB;
pemberitahuan pabean impor untuk ditimbun di PLB;
PPFTZ-01 pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean; atau
pemberitahuan pabean pemasukan barang ke KEK dari luar Daerah Pabean, mendapat nomor pendaftaran dari Kantor Pabean.
Ketentuan ayat (2) Pasal 17 diubah, sehingga Pasal 17 berbunyi sebagai berikut:
Tata Cara Pengenaan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor Berdasarkan Persetujuan Kemitraan Ekonmni Menyeluruh antar Negara-Negara Anggota Perhimpunan Ban ...
Relevan terhadap 2 lainnya
Pejabat Bea dan Cukai di Kantor Pabean melakukan penelitian terhadap SKA Form AJ untuk pengenaan Tarif Preferensi.
Pejabat Bea dan Cukai dapat meminta informasi kepada Importir, Penyelenggara/Pengusaha TPB, Penyelenggara/ Pengusaha PLB, pengusaha di Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf d angka 3, atau Badan Usaha/Pelaku Usaha KEK, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
Terhadap pengenaan Tarif Preferensi atas barang yang diimpor dengan menggunakan SKA Form AJ sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan Penelitian Ulang atau Audit Kepabeanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
Dalam hal pengiriman barang impor dilakukan melalui 1 (satu) atau lebih Negara Anggota selain Negara Anggota pengekspor dan Negara Anggota pengimpor, atau melalui selain Negara Anggota, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), Pejabat Bea dan Cukai dapat meminta Importir, Penyelenggara/Pengusaha TPB, Penyelenggara/Pengusaha PLB, pengusaha di Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf d angka 3, atau Badan Usaha/Pelaku Usaha KEK, untuk menyerahkan dokumen berupa:
copy through bill of lading / airway bill ; atau
dokumen atau informasi lainnya yang diberikan oleh otoritas pabean dari negara transit atau entitas relevan lainnya, yang membuktikan pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2).
SKA Form AJ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dapat disampaikan secara elektronik oleh Instansi Penerbit SKA kepada Kantor Pabean, sesuai dengan:
mekanisme e-Form D sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri mengenai tata cara pengenaan tarif bea masuk atas barang impor berdasarkan Persetujuan Perdagangan Barang ASEAN; atau
hasil kesepakatan Negara Anggota.
Dalam hal SKA Form AJ disampaikan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemenuhan kewajiban penyerahan lembar asli SKA Form AJ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dikecualikan untuk Importir, Penyelenggara/Pengusaha TPB, Penyelenggara/Pengusaha PLB, pengusaha di Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf d angka 3, atau Badan Usaha/Pelaku Usaha KEK.
Tata cara importasi dan penelitian atas penggunaan SKA Form AJ yang disampaikan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan:
tata cara importasi dan penelitian atas penggunaan e-Form D, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri mengenai tata cara pengenaan tarif bea masuk atas barang impor berdasarkan Persetujuan Perdagangan Barang ASEAN; atau
tata cara importasi dan penelitian yang diatur berdasarkan hasil kesepakatan Negara Anggota.