Cipta Kerja
Relevan terhadap 48 lainnya
Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (21 Cukup ^jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan insentif kepabeanan antara lain pemberian keringanan atau pembebasan bea masuk. Ayat (4) Pelaku usaha mikro perlu diberikan dukungan antara lain melalui pemberian insentif Pajak Penghasilan agar dapat meningkatkan kapasitas dan skala usahanya untuk berkembang. Pemberian dukungan dukungan insentif Pajak Penghasilan tersebut juga ditujukan sebagai sarana pembelajaran bagi pelaku usaha mikro agar dapat lebih memahami hak dan kewajiban perpajakan. Insentif Pajak Penghasilan diberikan kepada pelaku usaha mikro tertentu berdasarkan basis data tunggal usaha mikro, kecil, dan menengah agar insentif yang diberikan tepat sasaran. Cukup jelas
Pasal 96 Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya wajib menyediakan layanan bantuan dan pendampingan hukum bagi Usaha Mikro dan Kecil. Pasal 97 Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib mengalokasikan paling sedikit 4oo/o (empat puluh persen) produk/jasa Usaha Mikro dan Kecil serta Koperasi dari hasil produksi dalam negeri dalam pengadaan barang/jasa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 98 Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya wajib memberikan pelatihan dan pendampingan pemanfaataan sistem/aplikasi pembukuan/pencatatan keuangan yang memberi kemudahan bagi Usaha Mikro dan Kecil.
Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2A22;
Relevan terhadap
Cukup ^jelas. Pasal 1 1 Opini Wajar Tanpa Pengecualian disertai dengan beberapa temuan kelemahan Sistem Pengendalian Intern dan Kepatuhan Terhadap Ketentuan Peraturan Perundang-undangan, yang tidak memengaruhi kewajaran Laporan Keuangan Pemerintah Pusat, sebagai berikut. 1. Penerapan Sistem SAKTI dalam penyusunan laporan keuangan belum sepenuhnya didukung dengan pengendalian yang memadai. 2. Pengelolaan fasilitas dan insentif perpajakan Tahun 2022 belum memadai sebesar Rp2,73 triliun. 3. Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai Terindikasi Kurang Disetorkan Sebesar Rp7,66 triliun dan Terlambat Disetorkan dengan Potensi Sanksi Sebesar Rp616,14 miliar dan USD1,338.OO. 4. Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak pada 39 (tiga puluh sembilan) Kementerian/Lembaga minimal sebesar Rp2,38 triliun serta pengelolaan Piutang Bukan Pajak pada 2L (dua puluh satu) Kementerian/Lembaga sebesar Rp727,11 miliar belum sesuai ketentuan. 5. Pengelolaan Belanja Subsidi Bunga Kredit Usaha Rakyat belum sepenuhnya didukung dengan kebdakan pelaksanaan dan anggaran, serta mekanisme verifikasi yang memadai untuk memastikan pemenuhan kewajiban pemerintah atas Program Subsidi Bunga/Subsidi Margin Reguler dan Tambahan, serta Imbal Jasa Penjaminan Kredit Usaha Rakyat kepada masyarakat dan Badan Usaha Penyalur. 6. Penganggaran, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban belanja pada 78 (tujuh puluh delapan) Kementerian/Lembaga minimal sebesar Rp16,39 triliun belum sepenuhnya sesuai ketentuan.
Pelaksanaan 7. Pelaksanaan kebijakan penyaluran Dana Bagr Hasil secara nontunai melalui fasilitas Tleasury Deposit Facilitg Tahun 2A22 belum memadai. 8. Komponen cosf ouetrun Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung di luar hasil kesepakatan Indonesia'China belum ditetapkan skema penyelesaiannya dan pendanaan cost ouerntn Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung hasil kesepakatan Indonesia-China dari porsi pinjaman berpotensi membebani keuangan PT Kereta Api Indonesia (Persero). 9. Penyelesaian Piutang Negara Pemberian Pinjaman tidak sepenuhnya optimal. LO. Penatausahaan Piutang Perpajakan pada Kementerian Keuangan belum sepenuhnya memadai.
Penatausahaan barang sitaan dan agunan pada Kementerian Keuangan belum sepenuhnya memadai.
Piutang Pajak Macet dan Piutang Pajak Daluwarsa belum dilakukan tindakan penagihan yang optimal. l3.Tindak lanjut normalisasi Aset Tetap sebesar Rp529,47 miliar, serta pengelolaan Aset Tetap pada 58 KementeianlLembaga sebesar Rp36,53 triliun, Persediaan pada 47 (empat puluh tujuh) Kementerian/Lembaga sebesar Rp11,58 triliun, dan Aset Lainnya pada 23 (dua puluh tiga) Kementerian/Lembaga sebesar Rp2,36 triliun belum memadai.
Pengelolaan Barang yang Dinyatakan Tidak Dikuasai, Barang yang Dikuasai Negara dan Barang yang Menjadi Milik Negara belum sepenuhnya memadai.
Pengelolaan kas pada 23 (dua puluh tiga) Kementerianllnmbaga sebesar Rp61,94 miliar belum sepenuhnya memadai.
Penyajian Aset Konsesi Jasa dan Properti Investasi pada Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2022 belum sepenuhnya memadai. Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2022 disusun berdasarkan konsolidasi Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga dan Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara Tahun 2022 yang telah diaudit dan diberi opini oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Khusus untuk Laporan Keuangan Badan Pemeriksa Keuangan Tahun 2022 diaudit dan diberi opini oleh Kantor Akuntan Publik. Dari ^jumlah Laporan Keuangan KementerianlLembaga tersebut, 81 (delapan puluh satu) Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga mendapat opini "Wajar Tanpa Pengecualian", 1 (satu) Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga mendapat opini "Wajar Dengan Pengecualian", dan Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara mendapat opini "Wajar Tanpa Pengecualian". Ikhtisar Laporan Keuangan Perusahaan Negara dan Badan Lainnya merupakan bagian dari Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara. Rincian opini Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga dan Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara Tahun 2021 dan 2022 adalah sebagai berikut: lIo Kementerlan/Lcmbaga Opint Tahun 2o/21 Opini Tahun 20/22 1 Majelis Permusyawaratan Rakyat WTP WTP 2 Dewan Perwakilan Ralryat WTP WTP 3 Badan Pemeriksa Keuangan WTP WTP 4 Mahkamah Agung WTP WTP 5 Kejaksaan Republik Indonesia WTP WTP 6 Kementerian Sekretariat Negara WTP WTP 7 Kementerian Dalam Negeri WTP WTP 8 Kementerian Luar Negeri WTP WTP 9 Kementerian Pertahanan WTP WTP 10. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia WTP WTP 11. Kementerian Keuangan WTP WTP t2. Kementerian Pertanian WTP WTP 13 Kementerian Perindustrian WTP WTP 14. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral WTP WTP 15. Kementerian Perhubungan WTP WTP 16 Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi WTP WTP L7. Kementerian Kesehatan WTP WTP 18 Kementerian Agama WTP WTP 19. Kementerian Ketenagakerj aan WDP WTP 20 Kementerian Sosial WTP WTP 2L Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan WTP WTP No Kementeriau/Iembaga Optni Tahun 2o/2t Opini Tahun 20/22 22. Kementerian Perikanan Kelautan dan WTP WTP 23. Kementerian Pekerjaan Urnum dan Perumahan Ralryat WTP WTP 24. Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan WTP WTP 25. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian WTP WTP 26. Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan WTP WTP 27. Kementerian Ekonomi Kreatif Pariwisata dan WTP WTP 28. Kementerian Badan Usaha Milik Negara WTP WTP 29 Badan Riset dan Inovasi Nasional WDP WTP 30 Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah WTP WTP 31. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak WTP WTP 32 Kementerian Aparatur Negara Birokrasi Pendayagunaan dan Reformasi WTP WTP 33 Badan Intelijen Negara WTP WTP 34 Badan Siber dan Sandi Negara WTP WTP 35. Dewan Ketahanan Nasional WTP WTP 36 Badan Pusat Statistik WTP WTP 37 Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional WTP WTP 38 Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional WTP WTP 39. Perpustakaan No Kementeri,an/Lembaga Opiai Tahun 2o/2L Opini Tahun 20/22 39 Perpustakaan Nasional RI WTP WTP 40 Kementerian Informatika Komunikasi dan WTP WDP 41. Kepolisian Indonesia Negara Republik WTP WTP 42. Badan Pengawasan Obat dan Makanan WTP WTP 43 Lembaga Ketahanan Nasional WTP WTP 44 Kementerian Investasi/ Badan Koordinasi Penanaman Modal WTP WTP 45. Badan Narkotika Nasional WTP WTP 46 Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi WTP WTP 47. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional WTP WTP 48. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia WTP WTP 49 Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika WTP WTP 50 Komisi Pemilihan Umum WTP WTP 51. Mahkamah Konstitusi WTP WTP 52 Rrsat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan WTP WTP 53 Badan Informasi Geospasial WTP WTP 54 Lembaga lndonesia Ilmu Pengetahuan WDP 1) 55. Badan Tenaga Nuklir Nasional WTP l) 56 Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi WTP 1) 57. Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional dan WTP r) 58 Badan Standardisasi Nasional WTP WTP 59. Badan No Kementerlan/Lembaga Opini Tahun 2o/21 Opini Tahun 20/22 59 Badan Pengawas Tenaga Nuklir WTP WTP 60 Lembaga Administrasi Negara WTP WTP 61. Arsip Nasional Republik Indonesia WTP WTP 62 Badan Kepegawaian Negara WTP WTP 63 Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan WTP WTP 64 Kementerian Perdagangan WDP WTP 65 Kementerian Pemuda dan Olah Raga WTP WTP 66. Komisi Pemberantasan Korupsi WTP WTP 67. Dewan Perwakilan Daerah WTP WTP 68 Komisi Yudisial WTP WTP 69 Badan Nasional Penanggulangan Bencana WTP WTP 70. Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia WTP WTP 71. Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah WTP WTP 72 Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan WTP WTP 73 Komisi Pengawas Persaingan Usaha WTP WTP 74. Badan Pengembangan Wilayah Suramadu WTP 2l 75 Ombudsman RI WTP WTP 76. Badan Nasional Perbatasan Pengelola WTP WTP 77. Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam WTP WTP 78. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme WTP WTP 79 Sekretariat Kabinet WTP WTP 80. Badan llo Kementedan/Lembaga Opini Tahun 2o/2L Opini Tahun 20/22 80 Badan Pengawas Pemilihan Umum WTP WTP 81 Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia WTP WTP 82. Lembaga Penyiaran Publik Televisi Republik Indonesia WTP WTP 83. Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang WTP WTP 84 Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi WTP WTP 85. Badan Keamanan Laut WTP WTP 86. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban WTP WTP 87. Badan Pembinaan Ideologi Pancasila WTP WTP 88 Bendahara Umum Negara WTP WTP 1)Kementerian/Lembaga yang dilikuidasi pada tahun 2022 2)Kementerianllnmbaga yang dilikuidasi pada tahun 2O2l Pasal 12 Untuk menindaklanjuti rekomendasi ^Badan ^Pemeriksa Keuangan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan ^Keuangan Pemerintah Pusat dan Laporan Hasil Reviu atas Pelaksanaan ^Transparansi ^Fiskal, serta ^dalam rangka menindaklanjuti rekomendasi Dewan ^Perwakilan Ra}ryat ^untuk meningkatkan kualitas ^pengelolaan ^keuangan Pemerintah, ^Pemerintah akan melakukan beberapa langkah antara ^lain:
Melakukan koordinasi dan ^pemantauan ^atas penyelesaian ^tindak ^lanjut rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan ^dalam ^Laporan ^Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan ^Pemerintah ^Rrsat Tahun ^2022 dan hasil reviu transparansi fiskal. b. Memperbaiki tata kelola Anggaran ^Pendapatan ^dan ^Belanja ^Negara Kementerianll*mbaga melalui ^peningkatan kompetensi sumber ^daya manusia dan pendampingan kepada ^Kementerian/Lembaga ^yang laporan keuangannya belum mendapat opini ^audit ^"Wajar ^Tanpa Pengecualian". c. Melanjutkan. . ^.
Melanjutkan penyempurnaan regulasi untuk standardisasi keluaran (outpttt) dan hasil (outcome) dari belanja negara dalam proses perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dalam rangka mewujudkan kinerja anggaran ^yang lebih tepat guna dan tepat sasaran. d. Menyempurnakan sistem informasi dan basis satu data Indonesia ^yang menjadi dasar pengambilan kebijakan dalam menganggarkan dan merealisasikan pengeluaran negara agar lebih tepat sasaran dan efektif mendukung pencapaian tujuan bernegara dalam mewujudkan masyarakat adil dan makmur. e. Meningkatkan kualitas perencanaan, ^penganggaran, dan ^pelaksanaan anggaran untuk menciptakan efisiensi ^pendanaan anggaran, ^yaDB antara lain ditunjukkan dengan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran ^yang lebih efisien. f. Mengoptimalkan peran Badan Usaha Milik Negara dan badan/lembaga lainnya dalam pengelolaan kekayaan negara ^yang dipisahkan untuk memberikan manfaat bagi perekonomian, kesejahteraan sosial, peningkatan daya saing Indonesia, serta rrrenjamin cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak tetap dikuasai oleh negara. g. Mengoptimalkan penerapan Tingkat Komponen Dalam Negeri ^(TKDN) dalam setiap pengadaan barang dan ^jasa Pemerintah secara lebih optimal sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor ^16 ^Tahun 2Ol8 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana ^telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor ^12 Tahun 2021. h. Menyempurnakan proses penyaluran Transfer Ke Daerah agar dana dapat diserap lebih optimal oleh daerah dan ^meminimalkan ^kendala administrasi dalam pelaksanaannya. i. Melakukan tata kelola perbaikan secara terus menerus dalam ^upaya meningkatkan pendapatan negara berupa PNBP ^pada Kementerian/Lembaga. j. Memperbaiki mekanisme penyaluran subsidi agar lebih tepat sasaran dan tepat waktu khususnya subsidi energi, ^baik ^bahan bakar minyak (BBM), elpiji 3 kg maupun listrik dengan mengintegrasikan ^penerima subsidi dalam satu data yang dapat berasal dari data ^terpadu ke sej ahte raart sosial.
Menyusun k. Menytrsun roadmap kebijakan utang pemerintah sebagai peta ^jalan kebijakan utang ^jangka panjang dengan tujuan untuk mengurangi ketergantungan pembiayaan dari utang, sekaligus sebagai ^jalan mitigasi resiko. 1. Memperbaiki sistem dan tata kelola perpajakan yang lebih efektif, dan sesuai dengan perkembangan ekonomi dan dunia usaha agar mampu mengoptimalkan potensi perpajakan sebagai sumber utama pembiayaan pembangunan nasional. m. Menyusun ukuran dan indikator keberhasilan pelaksanaan spending better. Tujuannya agar setiap belanja negara memiliki dampak dan kontribusi terhadap peningkatan kualitas belanja dan pertumbuhan ekonomi nasional, dan kesejahteraan rakyat secara luas. n. Memperkuat sistem penilaian dalam perencanaan dan pengawasan pelaksanaan efektivitas Penyertaan Modal Negara (PMN), serta risiko fiskal yang menyertainya. Sehingga setiap penempatan PMN terkalkulasi dan termitigasi dengan baik dalam pelaksanaannya. o. Memperkuat kebijakan pembiayaan dalam rangka menutup defisit anggaran melalui pembiayaan utang yang selektif, ^produktif dalam batas yang arnan dart manageable, serta mendorong tingkat bunga SBN lebih kompetitif. p. Meningkatkan kualitas perencanaan, penganggaran dan pelaksanaan anggaran, serta evaluasi atas mandatory spending ^pendidikan, agar dapat memberikan lompatan kemajuan SDM lebih cepat, dengan memanfaatkan sisa bonus demografi yang akan berakhir ^pada tahun 2036. q. Menyampaikan laporan pelaksanaan APBN yang dapat menjelaskan efektifitas dan efisiensi pengelolaan Ernggaran Belanja Pemerintah Pusat. r. Menyampaikan laporan capaian RPJMN ^pada tahun 2022, ^yang ditunjukkan dengan indikator-indikator RPJMN, ^yaitu baseline RPJMN (2}t9l, capaian 2022, target 2024, danKlL pelaksana. s. Menyampaikan laporan penyelesaian Major hoiect RKP Tahun ^2022, yang ditunjukkan dengan nilai alokasi anggaran, realisasi anggaran, capaian pekerjaan project pada kementerian terkait. t. Menyampaikan laporan rincian ^pelaksanaan lnvestasi ^Permanen Penyertaan Modal Pemerintah ^(PMP) sebesar Rp2.9O9,8 triliun. u. Pemerintah akan melengkapi dokumen ^penjelasan terkait ^rekomendasi- rekomendasi sebagaimana dimaksud pada huruf q s.d. huruf t ^paling lambat tanggal 31 Desember 2023.
Penyelenggaraan Kehutanan
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: Menetapkan 9. Hutan Lindung adalah Kawasan Hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. 10. Hutan Produksi adalah Kawasan Hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil Hutan. 11. Hutan Produksi Tetap adalah Kawasan Hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil Hutan yang dipertahankan keberadaannya sebagai Hutan Tetap. 12. Hutan Produksi yang dapat Dikonversi adalah Kawasan Hutan Produksi yang secara ruang dapat dicadangkan untuk pembangunan di luar kegiatan Kehutanan dan dapat dijadikan Hutan Produksi Tetap. 13. Hutan Tetap adalah Hutan yang dipertahankan keberadaannya sebagai Kawasan Hutan yang terdiri dari Hutan Konservasi, Hutan Lindung, dan Hutan Produksi Tetap. L4. Kawasan Hutan Suaka Alam adalah Hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok sebagai pengawetan keanekeragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang ^juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. 15. Kawasan Hutan Pelestarian Alam adalah Hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi ^pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. 16. Perencanaan Kehutanan adalah proses penetapan tujuan, penentuan kegiatan, dan perangkat yang diperlukan dalam pengurusan Hutan lestari untuk memberikan pedoman dan arah guna menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan Kehutanan untuk sebesar-besarnya kemakmuran ralryat yang berkeadilan dan berkelanjutan. 17. Sistem Informasi Kehutanan adalah kegiatan pengelolaan data yang meliputi kegiatan pengumpulan, pengolahan, dan penyajian serta tata caranya.
Pengukuhan Kawasan Hutan adalah rangkaian ^kegiatan Penunjukan Kawasan Hutan, Penataan ^Batas ^Kawasan Hutan, pemetaan Kawasan Hutan, dan ^Penetapan Kawasan Hutan dengan tujuan untuk ^memberikan kepastian hukum atas status, letak, batas, dan ^luas Kawasan Hutan. 19. Penunjukan Kawasan Hutan adalah ^penetapan ^awal peruntukan suatu wilayah tertentu sebagai Kawasan Hutan. 20. Penataan Batas Kawasan Hutan adalah kegiatan ^yang meliputi proyeksi batas, ^pemancangan ^patok ^batas, pengumuman, inventarisasi, dan penyelesaian hak-hak pihak ketiga, pemasangan pal batas, pengukuran, dan pemetaan, serta pembuatan berita acara tata batas. 21. Penetapan Kawasan Hutan adalah suatu ^penegasan tentang kepastian hukum mengenai status, batas ^dan ^luas suatu Kawasan Hutan menjadi Kawasan Hutan ^Tetap. 22. Trayek Batas adalah uraian arah Penataan Batas ^Kawasan Hutan yang memuat ^jarak dan azimut dari titik ^ke ^titik ukur dan di lapangan ditandai dengan rintis ^batas ^dan patok batas atau tanda-tanda lainnya. 23. Penatagunaan Kawasan Hutan adalah ^rangkaian kegiatan dalam rangka menetapkan fungsi dan ^Penggunaan Kawasan Hutan. 24. Unit Pengelolaan Hutan adalah Kesatuan ^Pengelolaan Hutan terkecil sesuai fungsi ^pokok dan ^peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien, efektif, dan lestari. 25. Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disebut ^DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan ^satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya ^yang dibatasi oleh pemisah topografi berupa ^punggung bukit atau gunung yang berfungsi menampung air ^yang ^berasal dari curah hujan, menyimpan, dan mengalirkannya ^ke danau atau laut secara alami. 26. Taman Buru adalah Kawasan Hutan ^yang ditetapkan sebagai tempat wisata berburu. 27. Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan adalah perubahan Kawasan Hutan menjadi bukan Kawasan Hutan.
Perubahan Fungsi Kawasan Hutan ^adalah ^perubahan sebagian atau seluruh fungsi Hutan dalam ^satu ^atau beberapa kelompok Hutan menjadi ^fungsi ^Kawasan ^Hutan yang lain. 29. Pelepasan Kawasan Hutan adalah perubahan peruntukan Kawasan Hutan Produksi ^yang ^dapat Dikonversi dan/atau Hutan Produksi ^Tetap ^menjadi bukan Kawasan Hutan. 30. Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan adalah persetujuan tentang Perubahan Peruntukan ^Kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi ^dan/atau ^Hutan Produksi Tetap menjadi bukan ^Kawasan ^Hutan ^yang diterbitkan oleh Menteri. 31. Penggunaan Kawasan Hutan ^adalah ^penggunaan ^atas sebagian Kawasan Hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan Kehutanan ^tanpa mengubah fungsi dan peruntukan ^Kawasan ^Hutan. 32. Persetujuan Penggunaan Kawasan ^Hutan adalah persetujuan penggunaan atas sebagian Kawasan ^Hutan untuk kepentingan pembangunan di ^luar ^kegiatan Kehutanan tanpa mengubah fungsi ^dan ^peruntukan Kawasan Hutan tersebut. 33. Penelitian Terpadu adalah ^penelitian ^yang ^dilakukan ^oleh lembaga pemerintah yang mempunyai ^kompetensi ^dan memiliki otoritas ilmiah (scientific ^authoitg) ^yang dilakukan bersama-sama dengan ^pihak lain ^yang ^terkait. 34. Kesatuan Pengelolaan Hutan ^yang ^selanjutnya disingkat KPH adalah wilayah ^pengelolaan ^Hutan ^sesuai ^fungsi pokok dan peruntukannya, yang dikelola secara ^efisien, efektif, dan lestari. 35. Kepala KPH adalah ^pimpinan ^pemegang ^kewenangan ^dan penanggung ^jawab pengelolaan Hutan dalam ^wilayah ^yang dikelolanya. 36. Tata Hutan adalah kegiatan ^menata ^ruang Hutan ^dalam rangka pengelolaan dan Pemanfaatan ^Kawasan Hutan yang intensif, efisien, dan efektif untuk ^memperoleh manfaat yang lebih optimal dan berkelanjutan. 37. Penataan Kawasan Hutan dalam ^rangka ^Pengukuhan Kawasan Hutan adalah rangkaian kegiatan ^dalam rangka menyelesaikan permasalahan Masyarakat di ^dalam Kawasan Hutan.
Penataan Kawasan Hutan dalam ^rangka ^Pemanfaatan Kawasan Hutan adalah kegiatan Tata ^Hutan ^yang ^antara lain meliputi pembagian Kawasan Hutan menjadi ^unit- unit manajemen Hutan terkecil (blok dan ^petak) berdasarkan satuan ekosistem, kesamaan ^umur ^tanaman, tipe, fungsi, dan rencana Pemanfaatan ^Hutan. 39. Pemanfaatan Hutan adalah kegiatan untuk memanfaatkan kawasan, memanfaatkan ^j ^asa ^lingkungan, memanfaatkan hasil Hutan kayu dan ^bukan ^ka1ru, memungut hasit Hutan kayu dan bukan ^kayu, ^serta mengolah dan memasarkan hasil Hutan secara ^optimal dan adil untuk kesejahteraan Masyarakat ^dengan ^tetap menjaga kelestariannya. 40. Pemanfaatan Kawasan adalah kegiatan ^untuk memanfaatkan ruang tumbuh sehingga ^diperoleh manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ^ekonomi ^secara optimal dengan tidak mengurangi ^fungsi utamanya. 4t. Pemanfaatan Jasa Lingkungan adalah ^kegiatan ^untuk memanfaatkan dan mengusahakan ^potensi ^jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan ^dan mengurangi fungsi utamanya. 42. Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu adalah ^kegiatan ^untuk memanfaatkan dan mengusahakan hasil Hutan ^berupa kayu dengan tidak merusak lingkungan dan ^tidak mengurangi fungsi pokoknya. 43. Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu adalah ^kegiatan untuk memanfaatkan dan mengusahakan ^hasil ^Hutan berupa bukan kayu dengan tidak merusak ^lingkungan ^dan tidak mengurangi fungsi ^pokoknya. 44. Pemungutan Hasil Hutan Kayu dan/atau ^Bukan ^Kayu adalah kegiatan untuk mengambil hasil Hutan ^baik berupa kayu dan/atau bukan kayu. 45. Peta Arahan Pemanfaatan Hutan adalah ^peta indikatif Pemanfaatan Hutan yang ditetapkan oleh ^Menteri untuk menjadi acuan pemberian Perizinan ^Berusaha Pemanfaatan Hutan Lindung dan Pemanfaatan ^Hutan Produksi. 46. Perizinan Berusaha adalah legalitas ^yang ^diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan ^menjalankan usaha dan/atau kegiatannya.
Perizinan 47. Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan adalah ^Petizinan Berusaha yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau ^kegiatan Pemanfaatan Hutan. 48. Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan ^adalah Perizinan Berusaha yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatan Pengolahan Hasil Hutan. 49. Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (Online Single Submission) yang selanjutnya disingkat Sistem OSS adalah sistem elektronik terintegrasi ^yang dikelola dan diselenggarakan oleh Lembaga OSS untuk penyelenggaraan Perizinan Berusaha berbasis risiko. 50. Sistem Silvikultur adalah sistem budidaya Hutan ^atau sistem teknik bercocok tanaman Hutan mulai dari ^memilih benih atau bibit, penyemaian, ^penanaman, pemeliharaan tanaman, perlindungan hama, dan penyakit serta pemanenan. 51. Multiusaha Kehutanan adalah ^penerapan ^beberapa kegiatan usaha Kehutanan berupa usaha Pemanfaatan Kawasan, usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu ^dan Bukan Kayu, dan/atau usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan untuk mengoptimalkan Kawasan Hutan ^pada Hutan Lindung dan Hutan Produksi. 52. Penerimaan Negara Bukan Pajak ^yang ^selanjutnya disingkat PNBP adalah pungutan ^yang dibayar oleh ^orang pribadi atau badan dengan memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung atas layanan atau ^pemanfaatan sumber daya dan hak yang diperoleh negara berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, ^yang menjadi penerimaan Pemerintah Pusat di luar penerimaan perpajakan dan hibah, dan dikelola dalam mekanisme anggaran pendapatan dan belanja negara.
Penatausahaan , 53. Penatausahaan Hasil Hutan yang selanjutnya disebut PUHH adalah kegiatan pencatatan dan pelaporan atas perencanaan produksi, pemanenan atau penebangan, pengukuran, pengujian, penandaan, pengangkutan/ peredaran, pengolahan, dan pemasaran hasil Hutan. 54. Iuran Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan ^yang selanjutnya disingkat IPBPH adalah pungutan ^yang dikenakan kepada pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan. 55. Provisi Sumber Daya Hutan yang selanjutnya disingkat PSDH adalah pungutan yang dikenakan sebagai ^pengganti nilai intrinsik dari hasil Hutan dan/atau hasil usaha ^yang dipungut dari Hutan Negara. 56. Dana Reboisasi yang selanjutnya disingkat DR adalah dana yang dipungut atas pemanfaatan kayu yang tumbuh alami dari Hutan Negara. 57. Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi adalah bagian daerah yang berasal dari penerimaan sumber daya alam Kehutanan. 58. Wajib Bayar adalah orang pribadi atau badan dari dalam negeri atau luar negeri yang mempunyai kewajiban membayar PNBP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 59. Perseorangan adalah Warga Negara Indonesia ^yang cakap bertindak menurut hukum. 60. Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan adalah dokumen yang merupakan bukti legalitas hasil Hutan pada setiap segmen kegiatan dalam PUHH. 61. Pengolahan Hasil Hutan adalah kegiatan mengolah hasil Hutan menjadi barang setengah ^jadi dan/atau barang ^jadi. 62. Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau badan usaha yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu. 63. Koperasi adalah koperasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perkoperasian. PFIES IDEN REPUBLIK INDONESIA -9 - 64. Perhutanan Sosial adalah sistem ^pengelolaan ^Hutan lestari yang dilaksanakan dalam Kawasan Hutan ^Negara atau Hutan Hak/Hutan Adat yang dilaksanakan oleh Masyarakat setempat atau Masyarakat Hukum ^Adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan ^dan dinamika sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa, ^Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan ^Adat, dan kemitraan Kehutanan. 65. Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial ^yang ^selanjutnya disingkat PIAPS adalah peta yang memuat areal ^Kawasan Hutan yang dicadangkan untuk Perhutanan Sosial. 66. Hutan Kemasyarakatan adalah Kawasan Hutan ^yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan Masyarakat. 67. Hutan Tanaman Rakyat ^yang selanjutnya disingkat ^HTR adalah Hutan tanaman pada Hutan Produksi ^yang dibangun oleh kelompok Masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas Hutan Produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya Hutan. 68. Hutan Desa adalah Kawasan Hutan ^yang belum ^dibebani izin, yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa. 69. Masyarakat Hukum Adat yang selanjutnya disingkat MHA adalah Masyarakat tradisional ^yang masih terkait ^dalam bentuk paguyuban, memiliki kelembagaan dalam bentuk pranata dan perangkat hukum adat yang masih ditaati, dan masih mengadakan pemungutan hasil Hutan ^di wilayah Hutan sekitarnya yang keberadaannya dikukuhkan dengan Peraturan Daerah. 70. Wilayah Adat adalah tanah adat yang berupa tanah, air, dan/atau perairan beserta sumber daya alam ^yang ^ada ^di atasnya dengan batas-batas tertentu, dimiliki, dimanfaatkan, dan dilestarikan secara turun-temurun dan secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan hidup Masyarakat yang diperoleh melalui ^pewarisan dari leluhur mereka atau gugatan kepemilikan berupa tanah ulayat atau Hutan Adat.
Wilayah 7I. Wilayah Indikatif Hutan Adat adalah wilayah ^Hutan ^Adat yang berada pada Kawasan Hutan Negara ^yang belum memperoleh produk hukum dalam bentuk ^Peraturan Daerah namun wilayahnya telah ditetapkan ^oleh bupati/walikota. 72. Kearifan Lokal adalah nilai-nilai luhur ^yang berlaku ^dalam tata kehidupan Masyarakat setempat antara lain untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup dan ^sumber daya alam secara lestari. 73. Perlindungan Hutan adalah usaha untuk mencegah ^dan membatasi kerusakan Hutan di dalam dan di ^luar Kawasan Hutan dan hasil Hutan, ^yang disebabkan ^oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit, serta mempertahankan dan ^menjaga hak-hak negara, Masyarakat, dan ^perorangan atas ^Hutan, Kawasan Hutan, hasil Hutan, investasi, serta ^perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan Hutan. 74. Pengawasan Kehutanan yang selanjutnya ^disebut Pengawasan adalah serangkaian kegiatan ^yang dilaksanakan oleh Polisi Kehutanan dan/atau ^pengawas Kehutanan untuk mengetahui, memastikan, ^dan menetapkan tingkat ketaatan pemegang ^Perizinan Berusaha atau persetujuan pemerintah ^yang ditetapkan dalam Perizinan Berusaha atau ^persetujuan ^pemerintah dan ketentuan peraturan perundang-undangan di ^bidang Kehutanan. 75. Sanksi Administratif adalah ^perangkat sarana ^hukum administrasi yang bersifat pembebanan ^kewajiban/ perintah dan/atau penarikan kembali keputusan tata usaha negara yang dikenakan kepada ^pemegangPerizinan Berusaha atau persetujuan pemerintah atas ^dasar ketidaktaatan terhadap peraturan ^perundang-undangan di bidang Kehutanan danf atau ketentuan dalam ^Perizinan Berusaha atau persetujuan pemerintah yang terkait dengan Kehutanan. 76. Polisi Kehutanan adalah pejabat tertentu ^dalam lingkungan instansi Kehutanan pusat dan daerah ^yang sesuai dengan sifat pekerjaannya, menyelenggarakan dan/atau melaksanakan usaha Perlindungan ^Hutan ^yang oleh kuasa undang-undang diberikan ^wewenang kepolisian khusus di bidang Kehutanan.
Masyarakat adalah Perseorangan, kelompok orang, termasuk MHA atau badan hukum. 78. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 79. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelen ggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. 80. Kementerian adalah kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan Kehutanan. 81. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan.
Peme gan g P erizinan Berusaha Pemanfaatan H asil Hutan untuk kegiatan Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu yang tumbuh alami, dilarang:
menebang pohon yang dilindungi;
menebang pohon yang melebihi toleransi target sebesar 5% (lima persen) dari total target volume yang ditentukan dalam rencana kerja tahunan;
menebang pohon yang melebihi toleransi target sebesar 3o/o (tiga persen) dari volume per ^jenis kayu yang ditetapkan dalam rencana kerja tahunan;
menebang pohon sebelum rencana kerja tahunan disahkan;
menebang pohon untuk pembuatan koridor sebelum ada persetujuan atau tidak sesuai dengan persetujuan pembuatan koridor;
menebang pohon di bawah batas diameter yang diizinkan;
menebang pohon di luar blok tebangan yang dirzinkan;
menebang pohon untuk pembuatan jalan bagi lintasan angkutan kayu di luar blok rencana kerja tahunan, kecuali dengan persetujuan dari pejabat yang berwenang; Sl( No 087415 A i. meninggalkan meninggalkan areal kerja; dan/atau memindahtangankan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan kecuali dengan persetujuan tertulis dari pemberi Perizinan Berusaha. Paragraf 4 Perpanjangan, Perubahan Luas, dan Hapusnya Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan Pasal 159 (1) Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan dapat diperpanjang 1 (satu) kali. (2) Permohonan perpanjangan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan harus diajukan paling lambat 2 (dua) tahun sebelum berakhirny a Perizinan Berusaha. (3) Pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan yang tidak mengajukan permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (21, pemberi Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan menerbitkan keputusan hapusny a P erizinan Berusaha. Pasal 160 (1) Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas Pemanfaatan Hutan secara lestari, dilakukan perubahan luasan terhadap areal Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan antara lain dilaksanakan dengan mengurangi luasan areal kerja Penzinan Berusaha Pemanfaatan Hutan. l2l ^Pengurangan ^luasan areal ^kerja ^Perizinan ^Berusaha Pemanfaatan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan dalam hal terjadi paling sedikit:
tumpang tindih Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan;
perubahan status dan/atau fungsi Kawasan Hutan yang diakibatkan adanya perubahan tata ruang; atau 1 J .Sl( No 099.599 A c. kebijakan Pemerintah, meliputi proyek strategis nasional, pemulihan ekonomi nasional, ketahanan pangan (food estate) dan kegiatan lainnya yang strategis serta Penataan Kawasan Hutan dalam rangka Pemanfaatan Kawasan Hutan pada areal Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan. (3) Pengurangan luasan terhadap areal Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (21, melalui:
permohonan oleh pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan;
permohonan oleh gubernur; atau
penetapan oleh pemberi Perizinan Berusaha. Pasal 161 (1) Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan hapus, apabila:
jangka waktu Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan telah berakhir;
Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan dicabut oleh pemberi Perizinan Berusaha sebagai sanksi yang dikenakan kepada pemegang Perizinan Berusaha atau berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap; atau
Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan diserahkan kembali oleh pemegang Perizinan Berusaha dengan pernyataan tertulis kepada pemberi Perizinan Berusaha sebelum jangka waktu Perizinan Berusaha berakhir. (2) Sebelum Pefizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan hapus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terlebih dahulu diaudit oleh pemberi Perizinan Berusaha. (3) Hapusnya Pertzinan Berusaha Pemanfaatan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), tidak membebaskan kewajiban pemegang Perizinan Berusaha untuk melunasi seluruh kewajiban finansial serta memenuhi seluruh kewajiban lainnya yang ditetapkan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah provinsi, dan/atau Pemerintah Daerah kabupaten/ kota. Sl( Nlo 0c)9598 A (41 (s) (6) Pada saat hapusnya Perizinan ^Berusaha ^sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1), seluruh ^barang ^tidak ^bergerak menjadi milik negara kecuali ^aset ^berupa ^hasil ^budidaya tanaman. Aset berupa hasil budidaya ^tanaman ^sebagaimana dimaksud pada ayat ^(4l1, ^harus ^dimanfaatkan ^oleh pemegan g Perizinan Berusaha ^Pemanfaatan ^Hutan ^paling iam" 1 (satu) tahun sejak ^hapusnya Petuinan ^Berusaha, dan dalam hal tidak dimanfaatkan ^menjadi ^milik ^negara. Dengan hapusnya Perizinan ^Berusaha ^sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) ^Pemerintah ^Pusat, ^Pemerintah Daerah provinsi, atau Pemerintah ^Daerah ^kabupaten/kota tidak bertanggung ^jawab atas ^kewajiban ^pemegang Perizinan Berusaha terhadap ^pihak ^ketiga' Paragraf 5 Pengolahan dan Pemasaran ^Hasil Hutan Pasal 162 (1) Pengolahan Hasil Hutan bertujuan ^untuk:
meningkatkan investasi;
meningkatkan nilai ^tambah hasil ^Hutan;
memanfaatkan hasil ^Hutan ^secara efisien;
menciptakan laPangan ^kerja;
mewujudkan Pengolahan ^Hasil Hutan ^yang ^efisien, produktif dan berdaya saing tinggi;
menjamin terselenggaranya ^rantai ^pasok ^hasil Hutan legal; dan
menjamin tersedianya bahan ^baku ^legal ^untuk pengolahan lanjutan. (2) Pengolahan Hasil Hutan terdiri ^atas:
Pengolahan Hasil Hutan ^kaYu; ^dan b. Pengolahan Hasil Hutan ^bukan ^kayu.
Pengolahan (3) Pengolahan Hasil Hutan kayu dan Pengolahan Hasil Hutan bukan kayu dapat dilakukan secara terintegrasi dalam 1 (satu) Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan. (4) Pengolahan Hasil Hutan dapat dibangun dan terintegrasi di dalam areal Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan Produksi, pengelolaan oleh badan usaha milik negara bidang Kehutanan dan persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial. (5) Kegiatan Pengolahan Hasil Hutan yang terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dilakukan dengan ketentuan:
telah memenuhi kelayakan teknis; dan
terletak pada lokasi yang telah disetujui oleh pejabat yang berwenang. (6) Dalam rangka penguatan daya saing Pengolahan Hasil Hutan skala usaha kecil atau skala usaha menengah, Pemerintah dapat memberikan bantuan sarana Pengolahan Hasil Hutan. Pasal 163 (1) Setiap usaha Pengolahan Hasil Hutan, wajib memiliki Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan. (2) Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diberikan kepada:
Perseorangan;
Koperasi;
badan usaha milik desa;
badan usaha milik swasta;
badan usaha milik daerah; atau
badan usaha milik negara. (3) Perizinan Berusaha pengolahan kayu bulat menjadi produk kayu gergajian dengan kapasitas produksi kurang dari 2.000 m3 (dua ribu meter kubik) pertahun dan/atau Pengolahan Hasil Hutan bukan kayu dengan skala usaha kecil, hanya diberikan kepada: Perseorangan; Koperasi; atau badan usaha milik desa. (41 Kapasitas produksi Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diterbitkan dengan memperhatikan ketersediaan bahan baku legal dan/atau lestari. (5) Pertzinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan skala besar dan perubahannya diterbitkan oleh Menteri, untuk kegiatan usaha:
pengolahan kayu bulat, kayu bahan baku serpih dan/atau biomassa kayu menjadi produk-produk kayu olahan dengan kapasitas produksi 6.0OO m3 (enam ribu meter kubik) pertahun atau lebih;
Pengolahan Hasil Hutan bukan kayu menjadi produk- produk olahan hasil Hutan bukan kayu untuk skala usaha besar; dan
pengolahan kayu bulat, kayu bahan baku serpih dan/atau biomassa kayu menjadi produk-produk kayu olahan dengan kapasitas produksi 6.000 m3 (enam ribu meter kubik) pertahun atau lebih yang terintegrasi dengan Pengolahan Hasil Hutan bukan kayu skala usaha menengah atau skala usaha besar. (6) Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan Skala Menengah dan perubahannya diterbitkan oleh gubernur untuk kegiatan usaha:
pengolahan kayu bulat, kayu bahan baku serpih, dan/atau biomassa kayu menjadi produk-produk kayu olahan dengan kapasitas produksi 2.OO0 m3 (dua ribu meter kubik) sampai dengan kurang dari 6.000 m3 (enam ribu meter kubik) pertahun;
Pengolahan Hasil Hutan bukan kayu menjadi produk- produk olahan hasil Hutan bukan kayu untuk skala usaha menengah; dan a b c c pengolahan c. pengolahan kayu bulat, kayu bahan baku serpih, dan/atau biomassa kayu menjadi produk-produk kayu olahan dengan kapasitas produksi 2.OOO m3 (dua ribu meter kubik) sampai dengan kurang dari 6.000 m3 (enam ribu meter kubik) pertahun yang terintegrasi dengan Pengolahan Hasil Hutan bukan kayu skala usaha kecil atau skala usaha menengah. (71 Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan skala kecil dan perubahannya diterbitkan oleh gubernur, untuk kegiatan usaha:
pengolahan kayu bulat, kayu bahan baku serpih, dan/atau biomassa kayu menjadi produk-produk kayu olahan dengan kapasitas produksi kurang dari 2.000 m3 (dua ribu meter kubik) pertahun; dan
Pengolahan Hasil Hutan bukan kayu menjadi produk- produk olahan hasil Hutan bukan kayu untuk skala usaha kecil. (8) Dalam hal Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan danf ata: u perubahannya berstatus penanaman modal asing, diterbitkan oleh Menteri. (9) Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dipindahtangankan atau dilakukan pemindahan hak atas saham dan dilaporkan kepada pemberi Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan untuk dilakukan penyesuaian. (10) Setiap perubahan data pokok dalam Pefizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan termasuk perluasan usaha Pengolahan Hasil Hutan, dilakukan penyesuaian melalui mekanisme addendum Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan. Pasal 164 (1) Pengolahan Hasil Hutan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162 ayat (21 huruf a, meliputi seluruh kegiatan pengolahan:
kayu bulat menjadi produk kayu gergajian dan ragam produk turunannya, kecuali mebel dan kerajinan; SK l,lo 037409 A b. kayu b. kayu bulat dan/atau kayu bahan baku serpih menjadi produk serpih kayu (tuood chips)dan ragam produk turunannya, kecuali pulp dan kertas;
kayu bulat menjadi produk panel kayu dan ragam produk turunannya; dan/atau
kayu bulat, kayu bahan baku serpih dan/atau biomassa kayu menjadi ragam produk bioenergg. (2) Pengolahan Hasil Hutan bukan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162 ayat (21 huruf b meliputi kegiatan usaha:
Pengolahan Hasil Hutan bukan kayu menjadi produk olahan setengah ^jadi; dan/atau
Pengolahan Hasil Hutan bukan kayu menjadi produk jadi. (3) Menteri berwenang mengatur, membina, dan mengembangkan seluruh kegiatan usaha Pengolahan Hasil Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). Pasal 165 (1) Pengaturan produk Pengolahan Hasil Hutan berupa mebel, kerajinan, pulp dan kertas merupakan tanggung jawab dan wewenang menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian. (2) Dalam pelaksanaan pengaturan produk Pengolahan Hasil Hutan berupa mebel, kerajinan, pulp dan kertas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian harus memperhatikan daya dukung hasil Hutan atas usulan dan masukan dari Menteri. Pasal 166 (1) Sumber bahan baku Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan kayu dapat berasal dari:
Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan Produksi;
Pengelolaan Perhutanan Sosial;
pengelolaan oleh badan usaha milik negara bidang Kehutanan;
Hutan Hak;
perkebunan;
impor; dan
sumber sah lainnya. (21 Sumber bahan baku Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan bukan kayu dapat berasal dari:
Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan Produksi;
Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan Lindung;
Pengelolaan Perhutanan Sosial;
pengelolaan oleh badan usaha milik negara bidang Kehutanan;
Hutan Hak;
Perkebunan; dan
sumber sah lainnya. (3) Pemegang Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan, untuk memenuhi kebutuhan bahan bakunya dapat mengembangkan Hutan Hak atau melaksanakan kerja sama dengan pemegang Hutan Hak. (4\ Kegiatan Pengolahan Hasil Hutan selain menggunakan bahan baku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)', dapat menggunakan bahan baku setengah jadi dan/atau bahan baku penolong lainnya yang berasal dari sumber yang sah. Pasal 167 (1) Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 163, dilakukan melalui Sistem OSS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (21 Norma, standar, prosedur, dan kriteria Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan, diatur dengan Peraturan Pemerintah tersendiri. Pasal 168 (1) Masa berlaku Penzinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan dinyatakan berakhir apabila:
dikembalikan oleh pemegang Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan kepada pemberi Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan sesuai kewenangannya;
dibatalkan oleh pemberi Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan apabila dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun sejak Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan diterbitkan tidak merealisasikan pembangunan pabrik dan/atau tidak melakukan kegiatan Pengolahan Hasil Hutan; atau
dicabut oleh pemberiPerizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan sebagai akibat dari pengenaan Sanksi Administratif atas pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan. (21 Menteri dan gubernur sesuai kewenangannya melakukan pembinaan dan Pengawasan Perizinan Berrrsaha Pengolahan Hasil Hutan dan kegiatan Pengolahan Hasil Hutan. Pasal 169 (1) Setiap pemegang Pertzinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan berhak memperoleh kepastian dalam menjalankan usahanya dan mendapatkan pelayanan dari Pemerintah Fusat dan Pemerintah Daerah. 12) ^Hak ^sebagaimana ^dimaksud pada ayat ^(1) ^juga ^berlaku untuk kegiatan Pengolahan Hasil Hutan yang terintegrasi dengan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan, pengelolaan oleh badan usaha milik negara bidang Kehutanan, atau persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial. Pasal 170 (1) Pemegang Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan, wajib:
merealisasikan pembangunan pabrik dan/atau kegiatan Pengolahan Hasil Hutan;
menjalankan usahanya sesuai dengan legalitas Perrzinan Berusaha yang dimiliki;
men)rusun c. men5rusun dan menyampaikan rencana kegiatan operasional setiap tahun melalui sistem rencana pemenuhan bahan baku Pengolahan Hasil Hutan;
menyampaikan laporan realisasi kinerja secara periodik setiap bulan melalui sistem rencana pemenuhan bahan baku Pengolahan Hasil Hutan;
melaksanakan PUHH sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ;
memiliki jaminan legalitas bahan baku dan produk;
mengajukan addendum Perizinan Berusaha apabila merencanakan penambahan jenis pengolahan dan/atau penambahan kapasitas produksi melebihi 30% (tiga puluh persen) dari kapasitas produksi yang diizinkan;
memiliki dan/atau mempekerjakan tenaga teknis pengukuran dan pengujian hasil Hutan bersertifikat;
melaksanakan pengukuran dan pengujian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
membayar PNBP atas jasa fasilitas pelayanan dokumen angkutan hasil Hutan dan dokumen penjaminan legalitas ekspor hasil Hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
melaporkan pemindahtanganan Perizinan Berusaha atau pemindahan hak atas saham kepada pemberi Perizinan Berusaha;
melakukan penyesuaian perubahan data pokok dalam Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan apabila melakukan penambahan jenis Pengolahan Hasil Hutan, penambahan ragam produk olahan, atau melakukan perubahan data pokok Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan melalui addendum Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan;
melakukan kegiatan produksi, memiliki sarana dan prasarana kegiatan Pengolahan Hasil Hutan; dan
mematuhi dan menaati ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kewajiban (2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga diberlakukan untuk kegiatan Pengolahan Hasil Hutan yang terintegrasi dengan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan, pengelolaan oleh badan usaha milik negara bidang Kehutanan, atau Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial. Pasal 171 (1) Selain melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal l7O ayat (1), pemegang Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan, dilarang:
memperluas usaha Pengolahan Hasil Hutan tanpa addendum P erizinan Berusaha ;
memindahkan lokasi usaha Pengolahan Hasil Hutan tanpa addendum Perizinan Berusaha;
melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan pencemaran dan kerusakan terhadap lingkungan hidup yang melampaui batas baku mutu lingkungan;
menadah, menampung, atau mengolah bahan baku hasil Hutan yang berasal dari sumber bahan baku yang tidak sa}l (ilegal); atau
melakukan kegiatan usaha Pengolahan Hasil Hutan yang tidak sesuai dengan Perizinan Berusaha yang diberikan. (21 Ketentuan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga berlaku untuk kegiatan Pengolahan Hasil Hutan yang terintegrasi dengan usaha Pemanfaatan Hutan atau Pengelolaan Perhutanan Sosial. Pasal 172 (1) Semua hasil Hutan yang diproduksi, diedarkan, diolah, dan dipasarkan, harus berasal dari sumber bahan baku yang legal dan/atau lestari. (21 Untuk memastikan hasil Hutan berasal dari sumber yang legal dan/atau lestari sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan kegiatan penjaminan legalitas hasil Hutan. (3) Penjaminan legalitas hasil Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
penilaian kinerja pengelolaan Hutan Lestari;
verifikasi legalitas hasil Hutan; dan
deklarasi hasil Hutan secara mandiri. (41 Pengendalian penjaminan legalitas produk hasil Hutan diselenggarakan melalui sistem informasi pada Kementerian. Pasal 173 (1) Produk hasil Hutan dapat dipasarkan untuk tujuan dalam negeri dan tujuan luar negeri. (21 Produk ekspor atau produk impor hasil Hutan, harus dilengkapi dengan dokumen penjaminan legalitas produk hasil Hutan. (3) Dalam hal pelaku ekspor berasal dari Pelaku Usaha mikro, kecil, atau menengah, maka persyaratan dokumen penjaminan legalitas produk hasil Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat difasilitasi oleh Pemerintah Pusat. (4) Pemerintah Pusat dapat melakukan kerja sama internasional untuk memperkuat sistem penjaminan legalitas produk hasil Hutan. Pasal 174 (1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya, berwenang mengatur, membina, dan mengembangkan pemasaran hasil Hutan. (21 Kewenangan pengaturan ekspor dan/atau impor hasil Hutan diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan atas usulan Menteri. (3) Usulan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2), didasarkan hasil kajian kebutuhan ekspor dan/atau impor hasil Hutan. Paragraf 6 Penatausahaan Hasil Hutan Pasal 175 (1) Dalam rangka melindungi hak negara atas hasil Hutan, menjamin legalitas dan tertib peredaran hasil Hutan serta kelestarian Hutan, dilakukan pengendalian dan pemasaran hasil Hutan melalui PUHH. (21 Setiap Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan, Pengolahan Hasil Hutan dan perizinan lainnya yang terkait dengan peredaran hasil Hutan wajib melaksanakan PUHH dengan sellassessment melalui Sistem Informasi PUHH. (3) PUHH sebagaimana dimaksud pada ayat (21, dapat terintegrasi dengan sistem informasi pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan, dan latau kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. (4) PUHH yang berasal dari kegiatan Pengelolaan Perhutanan Sosial, dilakukan pengukuran dan pengujian oleh tenaga teknis di bidang pengelolaan Hutan atau pendamping dan mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Semua hasil Hutan yang berasal dari Hutan Negara, dilakukan pengukuran dan pengujian meliputi volume/berat, penghitungan jumlah dan penetapan ^jenis oleh tenaga teknis di bidang pengelolaan Hutan sebagai dasar pengenaan PNBP atas Pemanfaatan Hutan. (6) Terhadap fisik hasil Hutan berupa kayu bulat yang telah dilakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan penandaan berupa pemasangan ID quick response code. Pasal 176 Semua hasil Hutan yang berasal dari Hutan Hak, dilakukan penetapan jenis, pengukuran volumef berat, dan penghitungan jumlah serta dilengkapi dengan surat keterangan asal usul hasil Hutan Hak. Pasal 177 (1) Setiap pengangkutan, penguasaan, atau pemilikan hasil Hutan yang berasal dari Hutan Negara, wajib dilengkapi bersama-sama dengan dokumen. (21 Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) merupakan surat keterangan sahnya hasil Hutan ^yang berlaku dan dipergunakan untuk mengangkut hasil Hutan di dalam wilayah Republik Indonesia. Pasal 178 (1) Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177 harus sesuai dengan fisik hasil Hutan yang diangkut. (21 Kesesuaian fisik hasil Hutan sebagaimana dimaksud ^pada ayat (1) mempertimbangkan hasil pengukuran ^dan pengujian oleh tenaga teknis di bidang pengelolaan Hutan. (3) Pengukuran dan pengujian sebagaimana dimaksud ^pada ayat (21 dilakukan sesuai dengan Standar ^Nasional Indonesia. Paragraf 7 Penerimaan Negara Bukan Pajak Pemanfaatan Hutan Pasal 179 (1) PNBP atas Pemanfaatan Hutan berupa:
IPBPH;
PSDH;
DR;
dana hasil usaha penjualan tegakan ^yang berasal dari Hutan tanaman hasil rehabilitasi;
penerimaan dari denda pelanggaran; dan
penerimaan dari pelayanan dokumen angkutan hasil Hutan dan dokumen penjaminan legalitas ekspor hasil Hutan.
Instansi Pengelola PNBP menghitung sendiri menatausahakan PNBP. dan PNBP yang wajib Wajib Bayar terutang Pasal 180 Seluruh penatausahaan PNBP dilakukan secara self assessment melalui Sistem Informasi PNBP bidang Kehutanan. Pasal 181 (1) IPBPH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 ayat (ll huruf a dikenakan kepada pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan berdasarkan pada ^jangka waktu, luas areal, dan tarif yang diberikan dalam Perizinan Berusaha. (2) Penentuan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan kondisi tutupan lahan. (3) IPBPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipungut sekali sebelum Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan diberikan. Pasal 182 (1) PSDH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 ayat (1) huruf b dikenakan sebagai pengganti nilai intrinsik dari hasil Hutan dan/atau hasil usaha yang dipungut dari Hutan Negara. (21 Pemungutan PSDH atas hasil Hutan kayu tumbuh alami dan pemungutan PSDH atas hasil Hutan kayu budidaya tanaman didasarkan pada laporan hasil produksi atau atas lelang hasil Hutan kayu. (3) Pemungutan PSDH atas hasil Hutan bukan kayu yang berasal dari hasil Hutan bukan kayu tumbuh alami atau hasil Hutan bukan kayu budidaya tanaman didasarkan pada laporan hasil produksi atau atas lelang hasil Hutan bukan kayu. (4) Pemungutan PSDH sebagaimana dimaksud pada ayat (21 tidak berlaku bagi:
hasil Hutan yang berasal dari Hutan Adat yang dimanfaatkan oleh MHA dan tidak diperdagangkan;
hasil b. hasil Hutan kayu yang langsung dipakai sendiri oleh penduduk setempat atau Masyarakat sekitar Hutan dan tidak diperdagangkan; atau
hasil Hutan kayu budidaya yang berasal dari Hutan Hak. Pasal 183 (1) DR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 ayat (1) huruf c dikenakan atas Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu tumbuh alami berdasarkan laporan hasil produksi atau atas lelang hasil Hutan kayu alam atau hasil rehabilitasi. (21 Pengenaan DR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak berlaku bagi:
hasil Hutan kayu yang berasa-l dari budidaya tanaman;
hasil Hutan kayu yang berasal dari Hutan Adat yang dimanfaatkan oleh MHA dan tidak diperdagangkan;
hasil Hutan kayu yang langsung dipakai sendiri oleh penduduk setempat atau Masyarakat sekitar Hutan dan tidak diperdagangkan; atau
hasil Hutan kayu budidaya yang berasal dari Hutan Hak. (3) DR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk kegiatan rehabilitasi Hutan dan lahan. (4) Tata cara pelaksanaan rehabilitasi Hutan dan lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah tersendiri. Pasal 184 Perencanaan DR terdiri atas:
rencana penerimaan; dan
rencana penggunaan. Pasal 185 (1) Penyusunan rencana penerimaan DR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 huruf a, organisasi perangkat daerah provinsi penghasil melakukan inventarisasi dan kompilasi rencana produksi hasil Hutan kayu yang dikenakan DR dan disampaikan kepada Menteri. (2) Berdasarkan laporan organisasi perangkat daerah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri melakukan verifikasi. (3) Berdasarkan hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (21, Menteri men5rusun rencana penerimaan negara yang bersumber dari DR untuk disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. Pasal 186 Rencana penggunaan DR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 huruf b, dituangkan dalam bentuk perencanaan rehabilitasi Hutan dan lahan. Pasal 187 (1) Perencanaan rehabilitasi Hutan dan lahan terdiri atas:
rencana umum rehabilitasi Hutan dan lahan DAS; dan
rencana tahunan rehabilitasi Hutan dan lahan. (2) Rencana umum rehabilitasi Hutan dan lahan DAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disusun dan ditetapkan oleh Menteri dalam ^jangka waktu 10 (sepuluh) tahun dan dapat ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun. Pasal 188 (1) Rencana tahunan rehabilitasi Hutan dan lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187 ayat (1) huruf b terdiri atas:
rencana tahunan rehabilitasi Hutan; dan
rencana b. rencana tahunan rehabilitasi lahan. (2) Rencana tahunan rehabilitasi Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disusun oleh:
Menteri, pada Kawasan Hutan yang tidak dibebani pengelolaan oleh badan usaha milik negara bidang Kehutanan atau pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan;
gubernur dan bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya pada taman Hutan raya; atau
pemegang pengelolaan oleh badan usaha milik negara bidang Kehutanan atau pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Kawasan Hutan yang telah dibebani pengelolaan oleh badan usaha milik negara bidang Kehutanan atau Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan. (3) Rencana tahunan rehabilitasi lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disusun oleh gubernur. Pasal 189 Pen5rusunan rencana rehabilitasi Hutan dan lahan, dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai rehabilitasi Hutan dan lahan. Pasal 190 (1) DR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183 dikenakan sebesar tarif yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah mengenai ^jenis dan tarif atas ^jenis PNBPyang berlaku pada kementerian teknis. (2) Pengenaan DR terhadap pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan dilakukan berdasarkan laporan hasil produksi. (3) Pengenaan DR terhadap pemenang lelang hasil Hutan kayu alam didasarkan pada berita acara hasil lelang. Pasal 191 (1) DR wajib disetor ke kas negara.
wajib (2) Wajib Bayar DR menyetorkan DR melalui sistem informasi PNBP yang telah terintegrasi dengan sistem penerimaan negara.
PNBP berupa:
Insentif Tambahan untuk Perusahaan Penerima Fasilitas Kawasan Berikat dan/atau Kemudahan Impor Tujuan Ekspor untuk Penanganan Dampak Bencana Penyakit ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Kawasan Berikat adalah tempat penimbunan berikat untuk menimbun barang impor dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah pabean guna diolah atau digabungkan sebelum diekspor atau diimpor untuk dipakai.
Kemudahan Impor Tujuan Ekspor Pembebasan, yang selanjutnya disebut KITE Pembebasan, adalah pembebasan Bea Masuk, serta Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah terutang tidak dipungut atas impor atau pemasukan barang dan bahan yang berasal dari luar daerah pabean untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor.
Kemudahan Impor Tujuan Ekspor Pengembalian, yang selanjutnya disebut KITE Pengembalian, adalah pengembalian Bea Masuk, yang telah dibayar atas impor atau pemasukan barang dan bahan yang berasal dari luar daerah pabean untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor.
Kemudahan Impor Tujuan Ekspor untuk Industri Kecil Menengah, yang selanjutnya disebut KITE IKM, kemudahan berupa pembebasan Bea Masuk, serta Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terutang tidak dipungut atas impor dan/atau pemasukan barang dan/ atau bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan ekspor dan/atau penyerahan produksi IKM.
Industri Kecil dan Menengah, yang selanjutnya disingkat IKM adalah badan usaha yang melakukan kegiatan ekonomi produktif yang memenuhi kriteria usaha kecil atau usaha menengah sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang usaha mikro, kecil, dan menengah.
Perusahaan KITE Pembebasan adalah badan usaha yang ditetapkan sebagai penerima fasilitas KITE Pembebasan.
Perusahaan KITE Pengembalian adalah badan usaha yang ditetapkan sebagai penerima fasilitas KITE Pengembalian.
Pembatasan Sosial Berskala Besar adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi Corona Virus Diseasae (COVID-19) sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran Corona Virus Diseasae (COVID-19). 9. Perusahaan KITE IKM adalah badan usaha yang memenuhi kriteria industri kecil atau industri menengah dan telah ditetapkan sebagai penerima fasilitas KITE IKM.
Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean sesuai dengan ketentuan undang- undang di bidang kepabeanan dan/atau cukai.
Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Menteri Keuangan sebagai Pengelola Fiskal dan Wakil Pemerintah dalam Kepemilikan Kekayaan Negara yang Dipisahkan ...
Relevan terhadap
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, ketentuan terkait dengan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) yang diatur dalam:
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 766/KMK.04/1992 tentang Tata Cara Perhitungan, Penyetoran dan Pelaporan Bagian Pemerintah, Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pungutan-Pungutan Lainnya atas Hasil Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi untuk Pembangkitan Energi/Listrik sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK.02/2017 tentang Perubahan Kedua atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 766/KMK.04/1992 tentang Tata Cara Perhitungan, Penyetoran dan Pelaporan Bagian Pemerintah, Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pungutan- Pungutan Lainnya atas Hasil Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi untuk Pembangkitan Energi/Listrik (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 919);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 224/PMK.08/2011 tentang Tata Cara Pemantauan dan Evaluasi atas Pinjaman dan Hibah kepada Pemerintah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 853) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 180/PMK.08/2012 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 224/PMK.08/2011 tentang Tata Cara Pemantauan dan Evaluasi atas Pinjaman dan Hibah kepada Pemerintah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 1122);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 173/PMK.02/2013 tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan, dan Pertanggungjawaban Dana Penyelenggaraan Kewajiban Pelayanan Publik Bidang Angkutan Laut untuk Penumpang Kelas Ekonomi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 1419);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.02/2014 tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan, dan Pertanggungjawaban Dana Penyelenggaraan Kewajiban Pelayanan Publik Bidang Pers (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 946);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 260/PMK.05/2014 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Badan Lainnya (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 2044) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 219/PMK.05/2016 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Badan Lainnya (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 2141);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 10/PMK.09/2015 tentang Standar Reviu atas Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 42);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.02/2015 tentang Tata Cara Perhitungan, Penyediaan, Pencairan dan Pertanggungjawaban Dana Belanja Pensiun yang Dilaksanakan PT Taspen (Persero) dan PT Asabri (Persero) (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 613);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.02/2015 tentang Tata Cara Penyediaan Anggaran, Perhitungan, Pembayaran, dan Pertanggungjawaban Dana Subsidi Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 657) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.02/2021 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.02/2015 tentang Tata Cara Penyediaan Anggaran, Perhitungan, Pembayaran, dan Pertanggungjawaban Dana Subsidi Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1300);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 216/PMK.05/2015 tentang Tata Cara Penyusunan dan Penyampaian Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1816) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 221/PMK.05/2016 tentang Tata Cara Penyusunan dan Penyampaian Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 2157);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 256/PMK.05/2015 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Transaksi Khusus (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 2054) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 127/PMK.05/2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 256/PMK.05/2015 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Transaksi Khusus (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1347);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 32/PMK.02/2016 tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan, dan Pertanggungjawaban Dana Subsidi Bantuan Uang Muka Perumahan dan Subsidi Bunga Kredit Perumahan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 340) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 10/PMK.02/2020 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 32/PMK.02/2016 tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan, dan Pertanggungjawaban Dana Subsidi Bantuan Uang Muka Perumahan dan Subsidi Bunga Kredit Perumahan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 110);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.02/2016 tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan, dan Pertanggungjawaban Dana Subsidi Pupuk (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 641);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.02/2016 tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan, dan Pertanggungjawaban Dana Bantuan Operasional Layanan Pos Universal (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 756) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 72/PMK.02/2017 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.02/2016 tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan, dan Pertanggungjawaban Dana Bantuan Operasional Layanan Pos Universal (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 787);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.02/2016 tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan, dan Pertanggungjawaban Dana Penyelenggaraan Kewajiban Pelayanan Publik Bidang Angkutan Kereta Api Kelas Ekonomi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 758);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 246/PMK.06/2016 tentang Penatausahaan Kekayaan Negara Dipisahkan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 16);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 160/PMK.05/2017 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Utang Pemerintah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 1601);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 179/PMK.05/2017 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pengelolaan Pemberian Pinjaman (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 1704);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 180/PMK.05/2017 tentang Tata Cara Pelaksanaan Subsidi Bunga/Subsidi Marjin untuk Kredit Usaha Rakyat (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 1705);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 181/PMK.02/2017 tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan, dan Pertanggungjawaban Dana Ongkos Angkut Beras Pegawai Negeri Sipil Distrik Pedalaman Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 1709);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.02/2017 tentang Tata Cara Pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Hasil Pengelolaan Kekayaan Negara yang Dipisahkan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 1772);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/PMK.02/2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Penelaahan, Penetapan Alokasi Anggaran Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara dan Pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Bendahara Umum Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 1775) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.02/2020 tentang Tata Cara Perencanaan, Penelaahan, Penetapan Alokasi Anggaran Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara dan Pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Bendahara Umum Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 808);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 224/PMK.07/2017 tentang Pengelolaan Hibah dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 1969);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 83/PMK.05/2018 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Transfer ke Daerah dan Dana Desa (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1008);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.05/2018 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Investasi Pemerintah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1719);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.09/2019 tentang Pedoman Penerapan, Penilaian, dan Reviu Pengendalian Intern atas Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 193);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 88/PMK.02/2019 Tata Cara Penyediaan, Pencairan, dan Pertanggungjawaban Dana Cadangan Beras Pemerintah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 657) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 98/PMK.02/2021 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 88/PMK.02/2019 Tata Cara Penyediaan, Pencairan, dan Pertanggungjawaban Dana Cadangan Beras Pemerintah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 867);
aa. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 139/PMK.07/2019 tentang Pengelolaan Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Otonomi Khusus (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1148) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 233/PMK.07/2020 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 139/PMK.07/2019 tentang Pengelolaan Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Otonomi Khusus (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 1681);
bb. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.07/2020 tentang Pengelolaan Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 205);
cc. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 25/PMK.05/2020 tentang Tata Cara Pengalokasian, Penganggaran, Pencairan, dan Pertanggungjawaban Dana Kartu PraKerja (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 287);
dd. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 46/PMK.07/2020 tentang Pengelolaan Hibah dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dalam rangka Penanganan Pandemi COVID-19 dan Dampak Akibat Pandemi COVID-19 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 443);
ee. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.07/2020 tentang Pengelolaan Pinjaman Pemulihan Ekonomi Nasional untuk Pemerintah Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 880) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.07/2021 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.07/2020 tentang Pengelolaan Pinjaman Pemulihan Ekonomi Nasional untuk Pemerintah Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 482);
ff. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 127/PMK.02/2020 tentang Tata Cara Penggunaan dan Pergeseran Anggaran pada Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Pengelolaan Belanja Lainnya (BA 999.08) (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 1034) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23/PMK.02/2021 tentang Tata Cara Penggunaan dan Pergeseran Anggaran pada Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Pengelolaan Belanja Lainnya (BA 999.08) (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 201);
gg. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136/PMK.02/2020 tentang Tata Cara Penyediaan, Pembayaran, dan Pertanggungjawaban Bantuan Pembayaran Tagihan Listrik Perusahaan Negara (Persero) PT PLN bagi Pelanggan Golongan Industri, Bisnis, dan Sosial dalam rangka Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 1054);
hh. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 207/PMK.07/2020 tentang Tata Cara Penundaan Penyaluran Dana Transfer Umum atas Pemenuhan Kewajiban Pemerintah Daerah untuk Mengalokasikan Belanja Wajib (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 1560);
ii. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 41/PMK.07/2021 tentang Tata Cara Penundaan dan/atau Pemotongan Dana Perimbangan terhadap Daerah yang Tidak Memenuhi Alokasi Dana Desa (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 446);
jj. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 113/PMK.02/2021 tentang Tata Cara Penyusunan Usulan, Evaluasi Usulan, dan Penetapan Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 970);
kk. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 119/PMK.07/2021 tentang Pengelolaan Dana Alokasi Khusus Non Fisik (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1032);
ll. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.05/2021 tentang Tata Cara Pemberian Subsidi Bunga/Subsidi Margin dalam rangka Mendukung Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1198);
mm. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 155/PMK.02/2021 tentang Tata Cara Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1235);
nn. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 159/PMK.02/2021 tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan, dan Pertanggungjawaban Dana Kompensasi atas Kekurangan Penerimaan Badan Usaha Akibat Kebijakan Penetapan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak dan Tarif Tenaga Listrik (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1277);
oo. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 160/PMK.07/2021 tentang Pengelolaan Dana Insentif Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1282);
pp. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 179/PMK.05/2021 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Belanja Subsidi dan Belanja Lain-lain (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1333);
qq. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.07/2021 tentang Pengelolaan Dana Desa (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1424);
rr. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 198/PMK.07/2021 tentang Pengelolaan Dana Alokasi Khusus Fisik (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1402);
ss. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 201/PMK.05/2021 tentang Sistem Akuntansi Hibah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1454);
tt. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 204/PMK.02/2021 tentang Evaluasi Kinerja Anggaran atas Penggunaan Dana Bendahara Umum Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1468);
uu. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 206/PMK.02/2021 tentang Petunjuk Teknis Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan, Keringanan, dan Pengembalian Penerimaan Negara Bukan Pajak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1470);
vv. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 215/PMK.07/2021 tentang Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1513); dan
ww. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 216/PMK.07/2021 tentang Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Kehutanan dan Dana Reboisasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1514), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Menteri ini.
Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia Ke dalam Modal Perusahaan Umum (Perum) Jaminan Kredit Indonesia. ...
Relevan terhadap
bahwa untuk memperbaiki struktur permodalan dan meningkatkan kapasitas usaha Perusahaan Umum (Perum) Jaminan Kredit Indonesia dalam rangka pelaksanaan penjaminan Kredit Usaha Rakyat bagi kelangsungan dan perkembangan kegiatan sektor rill oleh usaha mikro, kecil, dan menengah guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, perlu melakukan penambahan penyertaan modal Negara Republik Indonesia ke dalam modal Perusahaan Umum (Perum) Jaminan Kredit Indonesia yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2014;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke dalam Modal Perusahaan Umum (Perum) Jaminan Kredit Indonesia;
Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia Ke dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) Pt Asuransi Kredit Indonesia. ...
Relevan terhadap
bahwa untuk meningkatkan kapasitas usaha Perusahaan Perseroan (Persero) PT Asuransi Kredit Indonesia dalam rangka pelaksanaan penjaminan kredit usaha rakyat bagi kelangsungan dan perkembangan kegiatan sektor rill oleh usaha mikro, kecil, dan menengah guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, perlu melakukan penambahan penyertaan modal Negara Republik Indonesia ke dalam modal saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Asuransi Kredit Indonesia yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2014;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke Dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Asuransi Kredit Indonesia;
Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri
Relevan terhadap
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas kegiatan membangun sendiri.
Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terutang bagi orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri.
Kegiatan membangun sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kegiatan membangun bangunan, baik bangunan baru maupun perluasan bangunan lama, yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain.
Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa 1 (satu) atau lebih konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada satu kesatuan tanah dan/atau perairan dengan kriteria:
konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis, dan/atau baja;
diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha; dan
luas bangunan yang dibangun paling sedikit 200m ^2 (dua ratus meter persegi).
Kegiatan membangun sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan secara:
sekaligus dalam suatu jangka waktu tertentu; atau
bertahap sebagai satu kesatuan kegiatan sepanjang tenggang waktu antara tahapan membangun tersebut tidak lebih dari 2 (dua) tahun.
Dalam hal tenggang waktu antara tahapan kegiatan membangun bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b lebih dari 2 (dua) tahun, kegiatan tersebut merupakan kegiatan membangun bangunan yang terpisah sepanjang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
Termasuk dalam kegiatan membangun sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yaitu kegiatan membangun bangunan oleh pihak lain bagi orang pribadi atau badan namun Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan tersebut tidak dipungut oleh pihak lain.
Pihak lain memungut Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Orang pribadi atau badan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dapat dikecualikan dari tanggung jawab untuk membayar Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri sepanjang dapat memberikan data dan/atau informasi yang benar dari pihak lain tersebut, yang paling sedikit meliputi :
identitas; dan
alamat lengkap.
Ketentuan mengenai contoh kegiatan membangun sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Tata Cara Pengenaan Tarif Bea Masuk Dalam Rangka Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republi ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang Kepabeanan.
Kawasan yang Ditetapkan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disebut Kawasan Bebas adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari Daerah Pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan cukai.
Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disingkat KEK adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu.
Tempat Penimbunan Berikat yang selanjutnya disingkat TPB adalah bangunan, tempat, atau kawasan, yang memenuhi persyaratan tertentu yang digunakan untuk menimbun barang dengan tujuan tertentu dengan mendapatkan penangguhan bea masuk.
Pusat Logistik Berikat yang selanjutnya disingkat PLB adalah TPB untuk menimbun barang asal luar Daerah Pabean dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam Daerah Pabean, dapat disertai dengan __ 1 (satu) atau lebih kegiatan sederhana dalam jangka waktu tertentu untuk dikeluarkan kembali.
Tempat Lain Dalam Daerah Pabean yang selanjutnya __ disingkat TLDDP adalah Daerah Pabean selain Kawasan Bebas dan TPB.
Importir adalah orang perseorangan atau badan hukum yang melakukan kegiatan memasukkan barang ke dalam Daerah Pabean.
Penyelenggara/Pengusaha TPB adalah:
penyelenggara kawasan berikat;
penyelenggara kawasan berikat sekaligus pengusaha kawasan berikat;
pengusaha di kawasan berikat merangkap penyelenggara di kawasan berikat;
penyelenggara gudang berikat;
penyelenggara gudang berikat sekaligus pengusaha gudang berikat; atau
pengusaha di gudang berikat merangkap penyelenggara di gudang berikat.
Penyelenggara/Pengusaha PLB adalah:
penyelenggara PLB;
penyelenggara PLB sekaligus pengusaha PLB; atau
pengusaha di PLB merangkap sebagai penyelenggara di PLB.
Badan Usaha/Pelaku Usaha KEK adalah:
Badan Usaha KEK; atau
Pelaku Usaha di KEK.
Tarif Preferensi adalah tarif bea masuk berdasarkan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Korea yang besarannya ditetapkan dalam Peraturan Menteri mengenai penetapan tarif bea masuk dalam rangka Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Korea.
PPFTZ dengan Kode 01 yang selanjutnya disebut PPFTZ- 01 adalah pemberitahuan pabean untuk pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas, dari dan ke luar Daerah Pabean, dan pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke TLDDP.
Pemberitahuan Pabean Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disingkat PPKEK adalah pemberitahuan pabean untuk kegiatan pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari KEK.
Harmonized Commodity Description and Coding System yang selanjutnya disebut Harmonized System (HS) adalah standar internasional atas sistem penamaan dan penomoran yang digunakan untuk pengklasifikasian produk perdagangan dan turunannya yang dikelola oleh World Customs Organization (WCO).
Penelitian Ulang adalah penelitian kembali atas tarif dan/atau nilai pabean yang diberitahukan dalam dokumen pemberitahuan pabean impor dan penelitian kembali atas tarif, harga, jenis, dan/atau jumlah barang yang diberitahukan dalam dokumen pemberitahuan pabean ekspor melalui pengujian dengan data, informasi, dan dokumen lain terkait yang dilakukan di Kantor Pusat, Kantor Wilayah, atau Kantor Pelayanan Utama oleh pejabat bea dan cukai.
Audit Kepabeanan adalah kegiatan pemeriksaan laporan keuangan, buku, catatan, dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha, termasuk data elektronik, serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan, dan/atau sediaan barang dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean sesuai dengan Undang-Undang Kepabeanan.
Sistem Komputer Pelayanan yang selanjutnya disingkat SKP adalah sistem komputer yang digunakan oleh Kantor Pabean dalam rangka pengawasan dan pelayanan kepabeanan.
Ketentuan Asal Barang __ ( Rules of Origin ) yang selanjutnya disebut Ketentuan Asal Barang adalah ketentuan khusus yang ditetapkan berdasarkan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Korea untuk menentukan negara asal barang . 20. Negara Anggota adalah negara yang menandatangani Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Korea.
Bahan Originating adalah bahan yang memenuhi Ketentuan Asal Barang berdasarkan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Korea.
Barang Originating adalah barang yang memenuhi Ketentuan Asal Barang berdasarkan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Korea.
Bahan Non-Originating adalah bahan yang berasal dari luar Negara Anggota atau bahan yang tidak memenuhi Ketentuan Asal Barang berdasarkan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Korea.
Aturan Khusus Produk ( Product Specific Rules ) yang selanjutnya disebut PSR adalah aturan mengenai:
barang yang seluruhnya diperoleh atau diproduksi di 1 (satu) Negara Anggota ( wholly obtained atau produced );
barang yang proses produksinya menggunakan Bahan Non-Originating , dan Bahan Non-originating tersebut harus mengalami perubahan klasifikasi atau Change in Tariff Classification (CTC);
barang yang proses produksinya menggunakan Bahan Non-Originating yang memenuhi kriteria kandungan bilateral sejumlah nilai tertentu yang dinyatakan dalam persentase;
barang yang mengalami suatu proses pabrikasi atau proses operasional tertentu; atau
kombinasi dari setiap kriteria tersebut.
Surat Keterangan Asal ( Certificate of Origin ) Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Korea yang selanjutnya disebut SKA Form KI-CEPA adalah dokumen pelengkap pabean yang diterbitkan oleh Instansi Penerbit SKA yang akan digunakan sebagai dasar pemberian Tarif Preferensi.
Instansi Penerbit Surat Keterangan Asal yang selanjutnya disebut Instansi Penerbit SKA adalah instansi pemerintah atau institusi yang ditunjuk pemerintah di Negara Anggota pengekspor dan diberi kewenangan untuk menerbitkan SKA Form KI-CEPA atas barang yang akan diekspor.
Overleaf Notes adalah halaman sebalik SKA Form KI- CEPA yang berisi ketentuan mengenai pengisian SKA Form KI-CEPA.
Dokumen Pelengkap Pabean adalah semua dokumen yang digunakan sebagai pelengkap pemberitahuan pabean, misalnya invoice, packing list, bill of lading/ airway bill, manifest , dan dokumen lainnya yang dipersyaratkan.
Surat Keterangan Asal Elektronik Form KI-CEPA yang selanjutnya disebut e-Form KI-CEPA adalah SKA Form KI- CEPA yang disusun berdasarkan panduan dan spesifikasi yang disepakati oleh Negara Anggota dan dikirim secara elektronik.
Non-Party Invoice adalah invoice yang diterbitkan oleh perusahaan lain yang berlokasi di negara ketiga (selain Negara Anggota) atau yang berlokasi di negara yang sama dengan negara tempat diterbitkannya SKA Form KI-CEPA.
Tanggal Pengapalan atau Tanggal Eksportasi adalah tanggal bill of lading untuk moda pengangkutan laut, tanggal airway bill untuk moda pengangkutan udara, atau tanggal dokumen pengangkutan darat untuk moda pengangkutan darat.
Permintaan Retroactive Check adalah permintaan yang dilakukan oleh pejabat bea dan cukai kepada Instansi Penerbit SKA untuk mendapatkan informasi mengenai __ pemenuhan Ketentuan __ Asal Barang dan/atau keabsahan SKA Form KI-CEPA.
Verification Visit adalah kegiatan yang dilakukan oleh pejabat bea dan cukai di negara penerbit SKA Form KI- CEPA untuk memperoleh data atau informasi mengenai pemenuhan Ketentuan Asal Barang, dan/atau keabsahan SKA Form KI-CEPA.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan.