Tata Cara Pengenaan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor Berdasarkan Perjanjian Perdagangan Preferensial antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerin ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang Kepabeanan.
Kawasan yang Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disebut Kawasan Bebas adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari Daerah Pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan cukai.
Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disingkat KEK adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu.
Tempat Penimbunan Berikat yang selanjutnya disingkat TPB adalah bangunan, tempat, atau kawasan, yang memenuhi persyaratan tertentu yang digunakan untuk menimbun barang dengan tujuan tertentu dengan mendapatkan penangguhan bea masuk.
Pusat Logistik Berikat yang selanjutnya disingkat PLB adalah TPB untuk menimbun barang asal luar Daerah Pabean dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah pabean, dapat disertai dengan __ 1 (satu) atau lebih kegiatan sederhana dalam jangka waktu tertentu untuk dikeluarkan kembali.
Tempat Lain Dalam Daerah Pabean yang selanjutnya __ disingkat TLDDP adalah Daerah Pabean selain Kawasan Bebas dan TPB.
Importir adalah orang perseorangan atau badan hukum yang melakukan kegiatan memasukkan barang ke dalam Daerah Pabean.
Penyelenggara/Pengusaha TPB adalah:
penyelenggara kawasan berikat;
penyelenggara kawasan berikat sekaligus pengusaha kawasan berikat;
pengusaha di kawasan berikat merangkap penyelenggara di kawasan berikat;
penyelenggara gudang berikat;
penyelenggara gudang berikat sekaligus pengusaha gudang berikat; atau
pengusaha di gudang berikat merangkap penyelenggara di gudang berikat.
Penyelenggara/Pengusaha PLB adalah:
penyelenggara PLB;
penyelenggara PLB sekaligus pengusaha PLB; atau
pengusaha di PLB merangkap sebagai penyelenggara di PLB.
Badan Usaha/Pelaku Usaha KEK adalah:
Badan Usaha KEK;
Pelaku Usaha di KEK; atau
Badan Usaha KEK sekaligus Pelaku Usaha di KEK.
Tarif Preferensi adalah tarif bea masuk berdasarkan Perjanjian Perdagangan Preferensial antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Islam Pakistan yang besarannya ditetapkan dalam Peraturan Menteri mengenai penetapan tarif bea masuk dalam rangka Perjanjian Perdagangan Preferensial antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Islam Pakistan . 12. PPFTZ dengan Kode 01 yang selanjutnya disebut PPFTZ- 01 adalah pemberitahuan pabean untuk pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas dari dan ke luar Daerah Pabean, dan pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke TLDDP.
Harmonized Commodity Description and Coding System yang selanjutnya disebut Harmonized System (HS) adalah standar internasional atas sistem penamaan dan penomoran yang digunakan untuk pengklasifikasian produk perdagangan dan turunannya yang dikelola oleh World Customs Organization (WCO).
Penelitian Ulang adalah penelitian kembali atas tarif dan/atau nilai pabean yang diberitahukan dalam dokumen pemberitahuan pabean impor dan penelitian kembali atas tarif, harga, jenis, dan/atau jumlah barang yang diberitahukan dalam dokumen pemberitahuan pabean ekspor melalui pengujian dengan data, informasi dan dokumen lain terkait.
Audit Kepabeanan adalah kegiatan pemeriksaan laporan keuangan, buku, catatan, dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik, surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan, dan/atau sediaan barang dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean sesuai dengan Undang-Undang Kepabeanan.
Sistem Komputer Pelayanan yang selanjutnya disingkat SKP adalah sistem komputer yang digunakan oleh Kantor Pabean dalam rangka pengawasan dan pelayanan kepabeanan.
Ketentuan Asal Barang __ ( Rules of Origin ) yang selanjutnya disebut Ketentuan Asal Barang adalah ketentuan khusus yang ditetapkan berdasarkan Perjanjian Perdagangan Preferensial antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Islam Pakistan __ untuk menentukan negara asal barang . 19. Negara Anggota adalah negara yang menandatangani Perjanjian Perdagangan Preferensial antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Islam Pakistan . 20. Bahan Originating adalah bahan yang memenuhi Ketentuan Asal Barang berdasarkan Perjanjian Perdagangan Preferensial antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Islam Pakistan . 21. Barang Originating adalah barang yang memenuhi Ketentuan Asal Barang berdasarkan Perjanjian Perdagangan Preferensial antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Islam Pakistan . 22. Bahan Non-Originating adalah bahan yang berasal dari luar Negara Anggota atau bahan yang tidak memenuhi Ketentuan Asal Barang berdasarkan Perjanjian Perdagangan Preferensial antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Islam Pakistan . 23. Aturan Khusus Produk ( Product Specific Rules ) yang selanjutnya disebut PSR adalah aturan yang merinci mengenai:
barang yang seluruhnya diperoleh atau diproduksi di 1 (satu) Negara Anggota ( wholly obtained atau produced );
proses produksi suatu barang yang menggunakan Bahan Non-Originating, dan Bahan Non-Originating tersebut harus mengalami perubahan klasifikasi atau Change in Tariff Classification (CTC);
barang yang proses produksinya menggunakan Bahan Non-Originating yang memenuhi kriteria kandungan bilateral sejumlah nilai tertentu yang dinyatakan dalam persentase;
barang yang mengalami suatu proses pabrikasi atau proses operasional tertentu; atau
kombinasi dari setiap kriteria tersebut.
Instansi Penerbit Surat Keterangan Asal yang selanjutnya disebut Instansi Penerbit SKA adalah instansi pemerintah atau institusi yang ditunjuk pemerintah di Negara Anggota pengekspor yang diberi kewenangan untuk menerbitkan SKA Form IP atas barang yang akan diekspor.
Surat Keterangan Asal ( Certificate of Origin ) Perjanjian Perdagangan Preferensial antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Islam Pakistan yang selanjutnya disebut SKA Form IP adalah dokumen pelengkap pabean yang diterbitkan oleh Instansi Penerbit SKA yang akan digunakan sebagai dasar pemberian Tarif Preferensi.
Overleaf Notes adalah halaman sebalik SKA Form IP yang berisi ketentuan mengenai pengisian SKA Form IP dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari SKA Form IP.
Dokumen Pelengkap Pabean adalah semua dokumen yang digunakan sebagai pelengkap pemberitahuan pabean, misalnya invoice, packing list, bill of lading / airway bill, manifest, dan dokumen lainnya yang dipersyaratkan.
Surat Keterangan Asal Elektronik Form D yang selanjutnya disebut e-Form D adalah SKA Form D yang disusun sesuai dengan e -ATIGA Form D Process Specification and Message Implementation Guideline, dan dikirim secara elektronik antar Negara Anggota.
Invoice dari Negara/Pihak Ketiga __ yang selanjutnya disebut Third Country Invoice / Third Party Invoice adalah invoice yang diterbitkan oleh perusahaan lain yang berlokasi di negara ketiga (selain Negara Anggota) atau yang berlokasi di negara yang sama dengan negara tempat diterbitkannya SKA.
Surat Keterangan Asal Back - to - Back yang selanjutnya disebut SKA Back-to-Back adalah SKA yang diterbitkan oleh Negara Anggota pengekspor kedua berdasarkan SKA yang diterbitkan oleh Negara Anggota pengekspor pertama.
Tanggal Pengapalan atau Tanggal Eksportasi adalah tanggal bill of lading untuk moda pengangkutan laut, tanggal airway bill untuk moda pengangkutan udara, atau tanggal dokumen pengangkutan darat untuk moda pengangkutan darat.
Permintaan Retroactive Check adalah permintaan yang dilakukan oleh pejabat bea dan cukai kepada Instansi Penerbit SKA untuk mendapatkan informasi mengenai __ pemenuhan __ Ketentuan Asal Barang dan/atau keabsahan SKA Form IP.
Verification Visit adalah kegiatan yang dilakukan oleh pejabat bea dan cukai di Negara Anggota penerbit SKA untuk memperoleh data atau informasi mengenai pemenuhan Ketentuan Asal Barang dan/atau keabsahan SKA.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan.
Tata Cara Pengenaan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor Berdasarkan Persetujuan Kemitraan Ekonmni Menyeluruh antar Negara-Negara Anggota Perhimpunan Ban ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang Kepabeanan.
Kawasan yang Ditetapkan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disebut Kawasan Bebas adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari Daerah Pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan cukai.
Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disingkat KEK adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu.
Tempat Penimbunan Berikat yang selanjutnya disingkat TPB adalah bangunan, tempat, atau kawasan, yang memenuhi persyaratan tertentu yang digunakan untuk menimbun barang dengan tujuan tertentu dengan mendapatkan penangguhan bea masuk.
Pusat Logistik Berikat yang selanjutnya disingkat PLB adalah TPB untuk menimbun barang asal luar Daerah Pabean dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah pabean, dapat disertai dengan __ 1 (satu) atau lebih kegiatan sederhana dalam jangka waktu tertentu untuk dikeluarkan kembali.
Tempat Lain Dalam Daerah Pabean yang selanjutnya __ disingkat TLDDP adalah Daerah Pabean selain Kawasan Bebas dan TPB.
Importir adalah orang perseorangan atau badan hukum yang melakukan kegiatan memasukkan barang ke dalam Daerah Pabean.
Penyelenggara/Pengusaha TPB adalah:
penyelenggara kawasan berikat;
penyelenggara kawasan berikat sekaligus pengusaha kawasan berikat;
pengusaha di kawasan berikat merangkap penyelenggara di kawasan berikat;
penyelenggara gudang berikat;
penyelenggara gudang berikat sekaligus pengusaha gudang berikat; atau
pengusaha di gudang berikat merangkap penyelenggara di gudang berikat.
Penyelenggara/Pengusaha PLB adalah:
penyelenggara PLB;
penyelenggara PLB sekaligus pengusaha PLB; atau
pengusaha di PLB merangkap sebagai penyelenggara di PLB.
Badan Usaha/Pelaku Usaha KEK adalah:
Badan Usaha KEK;
Pelaku Usaha di KEK; atau
Badan Usaha KEK sekaligus Pelaku Usaha di KEK.
Tarif Preferensi adalah tarif bea masuk berdasarkan Persetujuan Kemitraan Ekonomi Menyeluruh antar Negara-Negara Anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara dan Jepang yang besarannya ditetapkan dalam Peraturan Menteri mengenai penetapan tarif bea masuk dalam rangka ASEAN – Japan Comprehensive Economic Partnership .
PPFTZ dengan Kode 01 yang selanjutnya disebut PPFTZ- 01 adalah pemberitahuan pabean untuk pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas dari dan ke luar Daerah Pabean, dan pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke TLDDP.
Harmonized Commodity Description and Coding System yang selanjutnya disebut Harmonized System (HS) adalah standar internasional atas sistem penamaan dan penomoran yang digunakan untuk pengklasifikasian produk perdagangan dan turunannya yang dikelola oleh World Customs Organization (WCO).
Penelitian Ulang adalah penelitian kembali atas tarif dan/atau nilai pabean yang diberitahukan dalam dokumen pemberitahuan pabean impor dan penelitian kembali atas tarif, harga, jenis, dan/atau jumlah barang yang diberitahukan dalam dokumen pemberitahuan pabean ekspor melalui pengujian dengan data, informasi dan dokumen lain terkait.
Audit Kepabeanan adalah kegiatan pemeriksaan laporan keuangan, buku, catatan, dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik, surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan, dan/atau sediaan barang dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean sesuai dengan Undang-Undang Kepabeanan.
Sistem Komputer Pelayanan yang selanjutnya disingkat SKP adalah sistem komputer yang digunakan oleh Kantor Pabean dalam rangka pengawasan dan pelayanan kepabeanan.
Ketentuan Asal Barang __ ( Rules of Origin ) yang selanjutnya disebut Ketentuan Asal Barang adalah ketentuan khusus yang ditetapkan berdasarkan Persetujuan Kemitraan Ekonomi Menyeluruh antar Negara-Negara Anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara dan Jepang untuk menentukan negara asal barang.
Negara Anggota adalah negara yang menandatangani Persetujuan Kemitraan Ekonomi Menyeluruh antar Negara-Negara Anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara dan Jepang.
Bahan Originating adalah bahan yang memenuhi Ketentuan Asal Barang berdasarkan Persetujuan Kemitraan Ekonomi Menyeluruh antar Negara-Negara Anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara dan Jepang.
Barang Originating adalah barang yang memenuhi Ketentuan Asal Barang berdasarkan Persetujuan Kemitraan Ekonomi Menyeluruh antar Negara-Negara Anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara dan Jepang.
Bahan Non-Originating adalah bahan yang berasal dari luar Negara Anggota atau bahan yang tidak memenuhi Ketentuan Asal Barang berdasarkan Persetujuan Kemitraan Ekonomi Menyeluruh antar Negara-Negara Anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara dan Jepang.
Aturan Khusus Produk ( Product Specific Rules ) yang selanjutnya disebut PSR adalah aturan yang merinci mengenai:
barang yang seluruhnya diperoleh atau diproduksi di 1 (satu) Negara Anggota ( wholly obtained atau produced );
proses produksi suatu barang yang menggunakan Bahan Non-Originating, dan Bahan Non-Originating tersebut harus mengalami perubahan klasifikasi atau Change in Tariff Classification (CTC);
barang yang proses produksinya menggunakan Bahan Non-Originating yang memenuhi kriteria kandungan regional sejumlah nilai tertentu yang dinyatakan dalam persentase;
barang yang mengalami suatu proses pabrikasi atau proses operasional tertentu; atau
kombinasi dari setiap kriteria tersebut.
Instansi Penerbit Surat Keterangan Asal yang selanjutnya disebut Instansi Penerbit SKA adalah instansi pemerintah atau institusi yang ditunjuk pemerintah di Negara Anggota pengekspor yang diberi kewenangan untuk menerbitkan SKA Form AJ atas barang yang akan diekspor.
Surat Keterangan Asal ( Certificate of Origin ) Persetujuan Kemitraan Ekonomi Menyeluruh antar Negara-Negara Anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara dan Jepang yang selanjutnya disebut SKA Form AJ adalah dokumen pelengkap pabean yang diterbitkan oleh Instansi Penerbit SKA yang akan digunakan sebagai dasar pemberian Tarif Preferensi.
Overleaf Notes adalah halaman sebalik SKA Form AJ yang berisi ketentuan mengenai pengisian SKA Form AJ dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari SKA Form AJ.
Dokumen Pelengkap Pabean adalah semua dokumen yang digunakan sebagai pelengkap pemberitahuan pabean, misalnya invoice, packing list, bill of lading / airway bill, manifest, dan dokumen lainnya yang dipersyaratkan.
Surat Keterangan Asal Elektronik Form D yang selanjutnya disebut e-Form D adalah SKA Form D yang disusun sesuai dengan e -ATIGA Form D Process Specification and Message Implementation Guideline, dan dikirim secara elektronik antar Negara Anggota.
Invoice dari Negara Ketiga yang selanjutnya disebut Third Country Invoice adalah invoice yang diterbitkan oleh perusahaan lain yang berlokasi di negara ketiga (Negara Anggota atau selain Negara Anggota) atau yang berlokasi di negara yang sama dengan negara tempat diterbitkannya SKA Form AJ.
Surat Keterangan Asal Back-to-Back yang selanjutnya disebut SKA Back-to-Back adalah SKA Form AJ yang diterbitkan oleh Negara Anggota pengekspor kedua berdasarkan SKA Form AJ yang diterbitkan oleh Negara Anggota pengekspor pertama.
Tanggal Pengapalan atau Tanggal Eksportasi adalah tanggal bill of lading untuk moda pengangkutan laut, tanggal airway bill untuk moda pengangkutan udara, atau tanggal dokumen pengangkutan darat untuk moda pengangkutan darat.
Permintaan Retroactive Check adalah permintaan yang dilakukan oleh pejabat bea dan cukai kepada Instansi Penerbit SKA untuk mendapatkan informasi mengenai __ pemenuhan __ Ketentuan Asal Barang dan/atau keabsahan SKA Form AJ.
Verification Visit adalah kegiatan yang dilakukan oleh pejabat bea dan cukai di Negara Anggota penerbit SKA Form AJ untuk memperoleh data atau informasi mengenai pemenuhan __ Ketentuan Asal Barang dan/atau keabsahan SKA Form AJ.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan.
Tata Cara Pengenaan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor Berdasarkan Persetujuan antara Republik Indonesia dan Jepang Mengeriai Suatu Kemitraan Ekonomi ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang Kepabeanan.
Kawasan yang Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disebut Kawasan Bebas adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari Daerah Pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan cukai.
Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disingkat KEK adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu.
Tempat Penimbunan Berikat yang selanjutnya disingkat TPB adalah bangunan, tempat, atau kawasan, yang memenuhi persyaratan tertentu yang digunakan untuk menimbun barang dengan tujuan tertentu dengan mendapatkan penangguhan bea masuk.
Pusat Logistik Berikat yang selanjutnya disingkat PLB adalah TPB untuk menimbun barang asal luar Daerah Pabean dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah pabean, dapat disertai dengan __ 1 (satu) atau lebih kegiatan sederhana dalam jangka waktu tertentu untuk dikeluarkan kembali.
Tempat Lain Dalam Daerah Pabean yang selanjutnya __ disingkat TLDDP adalah Daerah Pabean selain Kawasan Bebas dan TPB.
Importir adalah orang perseorangan atau badan hukum yang melakukan kegiatan memasukkan barang ke dalam Daerah Pabean.
Penyelenggara/Pengusaha TPB adalah:
penyelenggara kawasan berikat;
penyelenggara kawasan berikat sekaligus pengusaha kawasan berikat;
pengusaha di kawasan berikat merangkap penyelenggara di kawasan berikat;
penyelenggara gudang berikat;
penyelenggara gudang berikat sekaligus pengusaha gudang berikat; atau
pengusaha di gudang berikat merangkap penyelenggara di gudang berikat.
Penyelenggara/Pengusaha PLB adalah:
penyelenggara PLB;
penyelenggara PLB sekaligus pengusaha PLB; atau
pengusaha di PLB merangkap sebagai penyelenggara di PLB.
Badan Usaha/Pelaku Usaha KEK adalah:
Badan Usaha KEK;
Pelaku Usaha di KEK; atau
Badan Usaha KEK sekaligus Pelaku Usaha di KEK.
Tarif Preferensi adalah tarif bea masuk berdasarkan Persetujuan antara Republik Indonesia dan Jepang mengenai Suatu Kemitraan Ekonomi __ yang besarannya ditetapkan dalam Peraturan Menteri mengenai penetapan tarif bea masuk dalam rangka Persetujuan antara Republik Indonesia dan Jepang mengenai Suatu Kemitraan Ekonomi . 12. PPFTZ dengan Kode 01 yang selanjutnya disebut PPFTZ- 01 adalah pemberitahuan pabean untuk pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas dari dan ke luar Daerah Pabean, dan pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke TLDDP.
Harmonized Commodity Description and Coding System yang selanjutnya disebut Harmonized System (HS) adalah standar internasional atas sistem penamaan dan penomoran yang digunakan untuk pengklasifikasian produk perdagangan dan turunannya yang dikelola oleh World Customs Organization (WCO).
Penelitian Ulang adalah penelitian kembali atas tarif dan/atau nilai pabean yang diberitahukan dalam dokumen pemberitahuan pabean impor dan penelitian kembali atas tarif, harga, jenis, dan/atau jumlah barang yang diberitahukan dalam dokumen pemberitahuan pabean ekspor melalui pengujian dengan data, informasi dan dokumen lain terkait.
Audit Kepabeanan adalah kegiatan pemeriksaan laporan keuangan, buku, catatan, dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik, surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan, dan/atau sediaan barang dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean sesuai dengan Undang-Undang Kepabeanan.
Sistem Komputer Pelayanan yang selanjutnya disingkat SKP adalah sistem komputer yang digunakan oleh Kantor Pabean dalam rangka pengawasan dan pelayanan kepabeanan.
Ketentuan Asal Barang __ ( Rules of Origin ) yang selanjutnya disebut Ketentuan Asal Barang adalah ketentuan khusus yang ditetapkan berdasarkan Persetujuan antara Republik Indonesia dan Jepang mengenai Suatu Kemitraan Ekonomi __ untuk menentukan negara asal barang . 19. Negara Anggota adalah negara yang menandatangani Persetujuan antara Republik Indonesia dan Jepang mengenai Suatu Kemitraan Ekonomi . 20. Bahan Originating adalah bahan yang memenuhi Ketentuan Asal Barang berdasarkan Persetujuan antara Republik Indonesia dan Jepang mengenai Suatu Kemitraan Ekonomi . 21. Barang Originating adalah barang yang memenuhi Ketentuan Asal Barang berdasarkan Persetujuan antara Republik Indonesia dan Jepang mengenai Suatu Kemitraan Ekonomi . 22. Bahan Non-Originating adalah bahan yang berasal dari luar Negara Anggota atau bahan yang tidak memenuhi Ketentuan Asal Barang berdasarkan Persetujuan antara Republik Indonesia dan Jepang mengenai Suatu Kemitraan Ekonomi . 23. Aturan Khusus Produk ( Product Specific Rules ) yang selanjutnya disebut PSR adalah aturan yang merinci mengenai:
barang yang seluruhnya diperoleh atau diproduksi di 1 (satu) Negara Anggota ( wholly obtained atau produced );
proses produksi suatu barang yang menggunakan Bahan Non-Originating , dan Bahan Non-Originating tersebut harus mengalami perubahan klasifikasi atau Change in Tariff Classification (CTC);
barang yang proses produksinya menggunakan Bahan Non-Originating yang memenuhi kriteria kandungan bilateral sejumlah nilai tertentu yang dinyatakan dalam persentase;
barang yang mengalami suatu proses pabrikasi atau proses operasional tertentu; atau
kombinasi dari setiap kriteria tersebut.
Instansi Penerbit Surat Keterangan Asal yang selanjutnya disebut Instansi Penerbit SKA adalah instansi pemerintah atau institusi yang ditunjuk pemerintah di Negara Anggota pengekspor yang diberi kewenangan untuk menerbitkan SKA Form JIEPA atas barang yang akan diekspor.
Surat Keterangan Asal ( Certificate of Origin ) Persetujuan antara Republik Indonesia dan Jepang mengenai Suatu Kemitraan Ekonomi __ yang selanjutnya disebut SKA Form JIEPA adalah dokumen pelengkap pabean yang diterbitkan oleh Instansi Penerbit SKA yang akan digunakan sebagai dasar pemberian Tarif Preferensi.
Overleaf Notes adalah halaman sebalik SKA Form JIEPA yang berisi ketentuan mengenai pengisian SKA Form JIEPA dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari SKA Form JIEPA.
Dokumen Pelengkap Pabean adalah semua dokumen yang digunakan sebagai pelengkap pemberitahuan pabean, misalnya invoice, packing list, bill of lading/airway bill, manifest , dan dokumen lainnya yang dipersyaratkan.
Surat Keterangan Asal Elektronik Form D yang selanjutnya disebut e-Form D adalah SKA Form D yang disusun sesuai dengan e -ATIGA Form D Process Specification and Message Implementation Guideline, dan dikirim secara elektronik antar Negara Anggota.
Invoice dari Pihak Ketiga __ yang selanjutnya disebut Third Party Invoice adalah invoice yang diterbitkan oleh perusahaan lain yang berlokasi di negara ketiga (selain Negara Anggota) atau yang berlokasi di negara yang sama dengan negara tempat diterbitkannya SKA Form JIEPA.
Surat Keterangan Asal Back - to -Back yang selanjutnya disebut SKA Back-to-Back adalah SKA yang diterbitkan oleh Negara Anggota pengekspor kedua berdasarkan SKA yang diterbitkan oleh Negara Anggota pengekspor pertama.
Tanggal Pengapalan atau Tanggal Eksportasi adalah tanggal bill of lading untuk moda pengangkutan laut, tanggal airway bill untuk moda pengangkutan udara, atau tanggal dokumen pengangkutan darat untuk moda pengangkutan darat.
Permintaan Retroactive Check adalah permintaan yang dilakukan oleh pejabat bea dan cukai kepada Instansi Penerbit SKA untuk mendapatkan informasi mengenai __ pemenuhan Ketentuan Asal Barang dan/atau keabsahan SKA Form JIEPA.
Verification Visit adalah kegiatan yang dilakukan oleh pejabat bea dan cukai di Negara Anggota penerbit SKA Form JIEPA untuk memperoleh data atau informasi mengenai pemenuhan Ketentuan Asal Barang dan/atau keabsahan SKA Form JIEPA.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan.
Tata Cara Pengenaan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor Berdasarkan Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif antara Pemerintah Republik Indonesia dan ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang Kepabeanan.
Kawasan yang Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disebut Kawasan Bebas adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari Daerah Pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan cukai.
Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disingkat KEK adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu.
Tempat Penimbunan Berikat yang selanjutnya disingkat TPB adalah bangunan, tempat, atau kawasan, yang memenuhi persyaratan tertentu yang digunakan untuk menimbun barang dengan tujuan tertentu dengan mendapatkan penangguhan bea masuk.
Pusat Logistik Berikat yang selanjutnya disingkat PLB adalah TPB untuk menimbun barang asal luar Daerah Pabean dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam Daerah Pabean, dapat disertai dengan __ 1 (satu) atau lebih kegiatan sederhana dalam jangka waktu tertentu untuk dikeluarkan kembali.
Tempat Lain Dalam Daerah Pabean yang selanjutnya __ disingkat TLDDP adalah Daerah Pabean selain Kawasan Bebas dan TPB.
Importir adalah orang perseorangan atau badan hukum yang melakukan kegiatan memasukkan barang ke dalam Daerah Pabean.
Penyelenggara/Pengusaha TPB adalah:
penyelenggara kawasan berikat;
penyelenggara kawasan berikat sekaligus pengusaha kawasan berikat;
pengusaha di kawasan berikat merangkap penyelenggara di kawasan berikat;
penyelenggara gudang berikat;
penyelenggara gudang berikat sekaligus pengusaha gudang berikat; atau
pengusaha di gudang berikat merangkap penyelenggara di gudang berikat.
Penyelenggara/Pengusaha PLB adalah:
penyelenggara PLB;
penyelenggara PLB sekaligus pengusaha PLB; atau
pengusaha di PLB merangkap sebagai penyelenggara di PLB.
Badan Usaha/Pelaku Usaha KEK adalah:
Badan Usaha KEK;
Pelaku Usaha di KEK; atau
Badan Usaha KEK sekaligus Pelaku Usaha di KEK.
Tarif Preferensi adalah tarif bea masuk berdasarkan Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Chile yang besarannya ditetapkan dalam Peraturan Menteri mengenai penetapan tarif bea masuk dalam rangka Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Chile.
PPFTZ dengan Kode 01 yang selanjutnya disebut PPFTZ- 01 adalah pemberitahuan pabean untuk pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas dari dan ke luar Daerah Pabean, dan pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke TLDDP.
Harmonized Commodity Description and Coding System yang selanjutnya disebut Harmonized System (HS) adalah standar internasional atas sistem penamaan dan penomoran yang digunakan untuk pengklasifikasian produk perdagangan dan turunannya yang dikelola oleh World Customs Organization (WCO).
Penelitian Ulang adalah penelitian kembali atas tarif dan/atau nilai pabean yang diberitahukan dalam dokumen pemberitahuan pabean impor dan penelitian kembali atas tarif, harga, jenis, dan/atau jumlah barang yang diberitahukan dalam dokumen pemberitahuan pabean ekspor melalui pengujian dengan data, informasi dan dokumen lain terkait.
Audit Kepabeanan adalah kegiatan pemeriksaan laporan keuangan, buku, catatan, dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik, surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan, dan/atau sediaan barang dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean sesuai dengan Undang-Undang Kepabeanan.
Sistem Komputer Pelayanan yang selanjutnya disingkat SKP adalah sistem komputer yang digunakan oleh Kantor Pabean dalam rangka pengawasan dan pelayanan kepabeanan.
Ketentuan Asal Barang __ ( Rules of Origin ) yang selanjutnya disebut Ketentuan Asal Barang adalah ketentuan khusus yang ditetapkan berdasarkan Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Chile untuk menentukan negara asal barang . 19. Negara Anggota adalah negara yang menandatangani Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Chile.
Bahan Originating adalah bahan yang memenuhi Ketentuan Asal Barang berdasarkan Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Chile.
Barang Originating adalah barang yang memenuhi Ketentuan Asal Barang berdasarkan Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Chile.
Bahan Non-Originating adalah bahan yang berasal dari luar Negara Anggota atau bahan yang tidak memenuhi Ketentuan Asal Barang berdasarkan Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Chile.
Aturan Khusus Produk ( Product Specific Rules ) yang selanjutnya disebut PSR adalah aturan yang merinci mengenai:
barang yang seluruhnya diperoleh atau diproduksi di 1 (satu) Negara Anggota ( wholly obtained atau produced );
proses produksi suatu barang yang menggunakan Bahan Non-Originating , dan Bahan Non-originating tersebut harus mengalami perubahan klasifikasi atau Change in Tariff Classification (CTC);
barang yang proses produksinya menggunakan Bahan Non-Originating yang memenuhi kriteria kandungan bilateral sejumlah nilai tertentu yang dinyatakan dalam persentase;
barang yang mengalami suatu proses pabrikasi atau proses operasional tertentu; atau
kombinasi dari setiap kriteria tersebut.
Instansi Penerbit Surat Keterangan Asal yang selanjutnya disebut Instansi Penerbit SKA adalah instansi pemerintah atau institusi yang ditunjuk pemerintah di Negara Anggota pengekspor yang diberi kewenangan untuk menerbitkan SKA Form IC-CEPA atas barang yang akan diekspor.
Surat Keterangan Asal ( Certificate of Origin ) Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Chile yang selanjutnya disebut SKA Form IC-CEPA adalah dokumen pelengkap pabean yang diterbitkan oleh Instansi Penerbit SKA yang akan digunakan sebagai dasar pemberian Tarif Preferensi.
Overleaf Notes adalah halaman sebalik SKA Form IC- CEPA yang berisi ketentuan mengenai pengisian SKA Form IC-CEPA.
Dokumen Pelengkap Pabean adalah semua dokumen yang digunakan sebagai pelengkap pemberitahuan pabean, misalnya invoice, packing list, bill of lading/ airway bill, manifest , dan dokumen lainnya yang dipersyaratkan.
Surat Keterangan Asal Elektronik Form D yang selanjutnya disebut e-Form D adalah SKA Form D yang disusun sesuai dengan e-ATIGA Form D Process Specification and Message Implementation Guideline , dan dikirim secara elektronik antar Negara Anggota.
Invoice dari Negara Ketiga __ yang selanjutnya disebut Third Country Invoice adalah invoice yang diterbitkan oleh perusahaan lain yang berlokasi di negara ketiga (selain Negara Anggota) atau yang berlokasi di negara yang sama dengan negara tempat diterbitkannya SKA Form IC-CEPA.
Surat Keterangan Asal Back - to -Back yang selanjutnya disebut SKA Back-to-Back adalah SKA yang diterbitkan oleh Negara Anggota pengekspor kedua berdasarkan SKA yang diterbitkan oleh Negara Anggota pengekspor pertama.
Tanggal Pengapalan atau Tanggal Eksportasi adalah tanggal bill of lading untuk moda pengangkutan laut, tanggal airway bill untuk moda pengangkutan udara, atau tanggal dokumen pengangkutan darat untuk moda pengangkutan darat.
Permintaan Retroactive Check adalah permintaan yang dilakukan oleh pejabat bea dan cukai kepada Instansi Penerbit SKA untuk mendapatkan informasi mengenai __ pemenuhan Ketentuan __ Asal Barang dan/atau keabsahan SKA Form IC-CEPA.
Verification Visit adalah kegiatan yang dilakukan oleh pejabat bea dan cukai di Negara Anggota penerbit SKA Form IC-CEPA untuk memperoleh data atau informasi mengenai pemenuhan Ketentuan Asal Barang dan/atau keabsahan SKA Form IC-CEPA.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan.
Tata Cara Perencanaan, Pengalokasian, Pencairan, Pertanggungjawaban, dan Pengawasan Anggaran yang Bersumber dari Dana Penerimaan Negara Bukan Pajak Mi ...
Relevan terhadap
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PERENCANAAN, PENGALOKASIAN, PENCAIRAN, PERTANGGUNGJAWABAN,DANPENGAWASANANGGARAN YANG BERSUMBER DARI DANA PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK MISI PEMELIHARAAN PERDAMAIAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. 2. Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disingkat DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang digunakan se bagai acuan Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan sebagai pelaksanaan APBN. 3. Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah pungutan yang dibayar oleh orang pribadi atau badan dengan memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung atas layanan atau pemanfaatan sumber daya dan hak yang diperoleh negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang menjadi penerimaan Pemerintah Pusat di luar penerimaan perpajakan dan hibah dan dikelola dalam mekanisme APBN. 4. Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi BUN. 5. Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran kementerian negara/lembaga. 6. Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada kemen terian negara/ lembaga yang bersangkutan. 7. Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran atas beban APBN. 8. Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat PPSPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk melakukan pengujian atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah pembayaran. 9. Bendahara Pengeluaran adalah orang yang ditunjuk untuk menenma, menyimpan, membayarkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang untuk keperluan belanja negara dalam rangka pelaksanaan kemen terian APBN pada kantor / satuan kerja negara/lembaga pemerintah nonkementerian. 10. Bendahara Pengeluaran Pembantu yang selanjutnya disingkat BPP adalah orang yang ditunjuk untuk membantu Bendahara Pengeluaran untuk melaksanakan pembayaran kepada yang berhak guna kelancaran pelaksanaan kegiatan tertentu. 11. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan. 12. Satuan Kerja yang selanjutnya disebut Satker adalah unit organisasi lini kementerian negara/lembaga pemerintah nonkementerian atau unit organisasi Pemerintah Daerah yang melaksanakan kegiatan kementerian negara/lembaga pemerintah nonkementerian dan memiliki kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran. 13. Kas Negara adalah tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku BUN, untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara. 14. Dana Misi Pemeliharaan Perdamaian yang selanjutnya disebut Dana MPP adalah dana yang diterima dari Perserikatan Bangsa Bangsa, organisasi internasional dan/ a tau organisasi regional atas pelaksanaan misi pemeliharaan perdamaian. 15. Penerimaan Negara Bukan Pajak Misi Pemeliharaan Perdamaian yang selanjutnya disingkat PNBP MPP adalah PNBP dengan jenis hak negara lainnya yang berasal dari penyetoran Dana MPP ke Kas Negara. 16. Anggaran Misi Pemeliharaan Perdamaian yang selanjutnya disebut Anggaran MPP adalah anggaran belanja dalam DIPA dengan sumber dana PNBP yang berasal dari penyetoran pendapatan dari Dana MPP yang dilakukan melalui mekanisme APBN. 1 7. Rekening Dana Misi Pemeliharaan Perdamaian yang selanjutnya disingkat RDMP adalah rekening lainnya kementerian negara/lembaga/ satuan kerja dalam rangka penampungan sementara atas penerimaan dari Perserikatan Bangsa Bangsa, organisasi internasional, dan/ a tau organisasi regional atas pengerahan pasukan pada misi pemeliharaan perdamaian. 18. Satuan Kerja Pengelola Dana Misi Pemeliharaan Perdamaian yang selanjutnya disebut Satker Pengelola Dana adalah Satker yang mengelola RDMP untuk menampung dan menyetorkan Dana MPP ke Kas Negara. 19. Satuan Kerja Pengguna Anggaran Misi Pemeliharaan Perdamaian yang selanjutnya disebut Satker Pengguna Anggaran adalah Satker yang menganggarkan dan menggunakan Anggaran MPP.
Pejabat Pengelola Dana Misi Pemeliharaan Perdamaian yang selanjutnya disebut Pejabat Pengelola Dana adalah Pejabat yang ditunjuk menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk mengelola dan menyetorkan Dana MPP. 21. Nomor Transaksi Penerimaan Negara yang selanjutnya disingkat NTPN adalah nomor bukti transaksi penenmaan yang diterbitkan melalui Modul Penerimaan Negara. 22. Bukti Penerimaan Negara yang selanjutnya disingkat BPN adalah dokumen yang diterbitkan oleh Bank Persepsi/Bank Devisa Persepsi/Pos Persepsi atas transaksi penerimaan negara dengan teraan NTPN. 23. Pembayaran Langsung yang selanjutnya disebut Pembayaran LS adalah pembayaran yang dilakukan langsung kepada Bendahara Pengeluaran/ penerima hak lainnya atas dasar perjanjian kerja, surat keputusan, surat tugas atau surat perintah kerja lainnya melalui penerbitan surat perintah membayar langsung. 24. Tambahan Uang Persediaan untuk keperluan misi pemeliharaan perdamaian yang selanjutnya disebut TUP MPP adalah tambahan uang persediaan yang diajukan oleh Satker Pengguna Anggaran untuk membukukan Pendapatan PNBP yang berasal dari Dana MPP dan mencatat uang muka kepada Bendahara Pengeluaran Satker Pengguna Anggaran untuk kebutuhan belanja misi pemeliharaan perdamaian. 25. Surat Perintah Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPBy adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK atas nama KPA yang berguna untuk mengeluarkan uang persediaan yang dikelola oleh Bendahara Pengeluaran kepada pihak yang dituju. 26. Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara. 27. Surat Permintaan Pembayaran Langsung yang selanjutnya disingkat SPP-LS adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK dalam rangka pembayaran tagihan kepada penerima hak/Bendahara Pengeluaran. 28. Surat Permintaan Pembayaran Tambahan Uang Persediaan Misi Pemeliharaan Perdamaian yang selanjutnya disingkat SPP TUP MPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi permintaan pembayaran TUP MPP. 29. Surat Permintaan Pembayaran Pertanggungjawaban Tambahan Uang Persediaan Misi Pemeliharaan Perdamaian yang selanjutnya disingkat SPP PTUP MPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi permintaan pertanggungjawaban atas TUP MPP. 30. Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA.
Surat Perintah Membayar Langsung yang selanjutnya disingkat SPM-LS adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA dalam rangka pembayaran tagihan kepada penerima hak/Bendahara Pengeluaran. 32. Surat Perintah Membayar Tambahan Uang Persediaan Misi Pemeliharaan Perdamaian yang selanjutnya disingkat SPM TUP MPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan TUP MPP. 33. Surat Perintah Membayar Pertanggungjawaban Tambahan Uang Persediaan Misi Pemeliharaan Perdamaian yang selanjutnya disingkat SPM PTUP MPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM sebagai pertanggungjawaban atas TUP MPP yang membebani DIPA. 34. Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku Kuasa BUN untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM. 35. Sistem Informasi adalah sistem yang dibangun, dikelola, dan/atau dikembangkan oleh Kementerian Keuangan guna memfasilitasi proses perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan, pelaporan dan pertanggungjawaban, dan/atau monitoring dan evaluasi anggaran yang merupakan bagian dari sistem pengelolaan keuangan negara. 36. Tentara Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat TNI adalah komponen utama yang siap digunakan untuk melaksanakan tugas-tugas pertahanan negara. 37. Menteri Pertahanan adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan. 38. Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang selanjutnya disebut Polri adalah Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. 39. Panglima TNI yang selanjutnya disebut Panglima adalah perwira tinggi militer yang memimpin TNI. 40. Kepala Polri yang selanjutnya disebut Kapolri adalah pimpinan Polri dan penanggung jawab penyelenggara fungsi kepolisian. 41. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. Pasal 2 Pengelolaan Dana MPP dilaksanakan untuk menampung pendanaan misi pemeliharaan perdamaian yang dibebankan pada Perserikatan Bangsa-Bangsa, organisasi internasional, dan/ a tau organisasi regional pada lingkup TNI dan Polri. Pasal 3 Dana MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 terdiri atas:
pendanaan atas misi pemeliharaan perdamaian yang dilaksanakan pada tahun anggaran berjalan; dan
pendanaan atas misi pemeliharaan perdamaian yang telah dilaksanakan pada tahun-tahun anggaran sebelumnya. Pasal 4 (1) Dalam rangka Pengelolaan Dana MPP dan Penggunaan Anggaran MPP, Menteri Pertahanan dan Kapolri menetapkan:
Satker Pengelola Dana; dan
Satker Pengguna Anggaran. (2) Kepala Satker Pengelola Dana bertindak secara ex- officio sebagai Pejabat Pengelola Dana. (3) Dalam hal Satker Pengelola Dana merupakan Satker Pengguna Anggaran, Menteri Pertahanan dan Kapolri menetapkan Pejabat Pengelola Dana dari Satker lain. (4) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
penetapan pada lingkup TNI dilakukan oleh Menteri Pertahanan berdasarkan usulan Panglima; dan
penetapan pada lingkup Polri dilakukan oleh Kapolri. Pasal 5 (1) Untuk pengelolaan Dana MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Satker Pengelola Dana membuka RDMP. (2) Dalam hal telah terdapat rekening penampungan sementara yang telah didaftarkan sebagai rekening pemerintah untuk menampung Dana MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, rekening dimaksud diakui dan digunakan sebagai RDMP sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini. (3) RDMP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola oleh Satker Pengelola Dana. (4) Satker Pengelola Dana melaksanakan Pengelolaan RDMP yang terdiri atas:
pembukaan rekening;
pengoperasian rekening;
pelaporan rekening; dan/atau
penutupan rekening. (5) Tata cara pembukaan, pengoperasian, pelaporan, dan penutupan RDMP sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berpedoman pada Peraturan Menteri yang mengatur mengenai pengelolaan rekening milik Satuan Kerja lingkup kementerian negara/lembaga. BAB II PERENCANAAN KEBUTUHAN ANGGARAN MISI PEMELIHARAAN PERDAMAIAN SERTA PENYETORAN DAN IZIN PENGGUNAAN DANA PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK MISI PEMELIHARAAN PERDAMAIAN Pasal 6 (1) KPA pada Satker Pengguna Anggaran menyusun rencana kebutuhan Anggaran MPP atau penambahan kebutuhan Anggaran MPP pada tahun anggaran berjalan. (2) Rencana kebutuhan Anggaran MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan mempertimbangkan:
kebutuhan dan kemampuan penyerapan anggaran untuk keperluan pelaksanaan Anggaran MPP pada tahun anggaran berjalan; dan
kecukupan Dana MPP yang akan dilakukan penyetoran ke Kas Negara sebesar realisasi Anggaran MPP. (3) Dalam hal rencana kebutuhan Anggaran MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dalam valuta asing, disertai dengan nilai ekuivalen rupiah berdasarkan kurs tengah bank sentral. (4) KPA pada Satker Pengguna Anggaran menyampaikan rencana kebutuhan Anggaran MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri Pertahanan dan Kapolri sesuai dengan lingkup tugas masing-masing. Pasal 7 (1) Berdasarkan rencana kebutuhan Anggaran MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4), Menteri Pertahanan dan Kapolri sesuai dengan lingkup tugas masing-masing atau pejabat yang menerima pelimpahan wewenang menerbitkan surat usulan penggunaan dana PNBP MPP. (2) Surat usulan penggunaan dana PNBP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat:
dasar hukum;
besaran tertinggi Dana MPP yang dibutuhkan dalam masing-masing valuta dengan ekuivalen rupiah berdasarkan kurs tengah bank sentral pada tanggal pembuatan surat usulan penggunaan dana PNBP MPP;
rincian keperluan misi pemeliharaan perdamaian;
penunjukan Satker Pengguna Anggaran dan Satker Pengelola Dana; dan
saldo Dana MPP. (3) Surat usulan penggunaan dana PNBP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Direktur Jenderal Anggaran. (4) Berdasarkan surat usulan penggunaan dana PNBP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Direktur Jenderal Anggaran melakukan penelitian terhadap surat usulan penggunaan dana PNBP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Direktur Jenderal Anggaran atas nama Menteri menerbitkan surat persetujuan penggunaan dana PNBP MPP. (6) Surat persetujuan penggunaan dana PNBP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (5) minimal memuat:
unit pengguna PNBP MPP;
be saran persetujuan penggunaan dana PNBP MPP;
rincian keperluan misi pemeliharaan perdamaian; dan
masa berlaku persetujuan penggunaan dana PNBP MPP. (7) Dalam hal usulan penggunaan dana PNBP MPP ditolak, Direktur Jenderal Anggaran atas nama Menteri menerbitkan surat penolakan beserta alasannya. Pasal 8 (1) Dana MPP yang ada dalam RDMP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 disetorkan ke Kas Negara sebagai PNBP MPP. (2) Penyetoran ke Kas Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit sebesar Anggaran MPP yang terealisasi pada tahun anggaran berkenaan. (3) Penyetoran ke Kas Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pejabat Pengelola Dana pada Satker Pengelola Dana. (4) Satker Pengelola Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bertindak sebagai Satker penghasil PNBP MPP. (5) PNBP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk membiayai keperluan m1s1 pemeliharaan perdamaian pada Satker Pengguna Anggaran yang terdiri atas:
pengiriman personel dan peralatan;
operasional;
perawatan personel;
pemeliharaan peralatan;
pemulangan personel dan peralatan;
penambahan atau penguatan personel dan peralatan pada m1s1 yang sedang berjalan; dan/atau
kegiatan lainnya yang terkait langsung dengan pelaksanaan MPP. (6) Kegiatan lainnya yang terkait langsung dengan pelaksanaan MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf g ditetapkan oleh Panglima pada lingkup TNI dan Kapolri pada lingkup Polri. Pasal 9 (1) Penggunaan dana PNBP MPP dilaksanakan berdasarkan surat persetujuan penggunaan dana PNBP MPP yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Anggaran atas nama Menteri. (2) Surat persetujuan penggunaan dana PNBP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk tahun anggaran berkenaan.
Surat persetujuan penggunaan dana PNBP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat ditinjau kembali pada tahun anggaran berkenaan dengan mempertimbangkan perubahan keperluan m1s1 pemeliharaan perdamaian. (4) Surat persetujuan penggunaan dana PNBP MPP se bagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai dasar pengalokasian Anggaran MPP dalam DIPA. BAB III PENGALOKASIAN DAN PENCAIRAN ANGGARAN MISI PEMELIHARAAN PERDAMAIAN Bagian Kesatu Pengalokasian Anggaran Misi Pemeliharaan Perdamaian Pasal 10 (1) Anggaran MPP dialokasikan dalam DIPA Satker Pengguna Anggaran. (2) Anggaran MPP yang dialokasikan dalam DIPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan batas pengeluaran tertinggi yang tidak dapat dilampaui. (3) Alokasi Anggaran MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekaligus merupakan batas tertinggi pencairan anggaran belanja negara yang sumber dananya berasal dari PNBP MPP. Pasal 11 (1) Pengalokasian Anggaran MPP dan target PNBP MPP dalam DIPA dilakukan melalui mekanisme revisi anggaran dan dapat dilakukan secara bertahap sesuai proyeksi kebutuhan dan kemampuan penyerapan Anggaran MPP tahun anggaran berkenaan. (2) Pengalokasian Anggaran MPP dan target PNBP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maksimum sebesar surat persetujuan penggunaan dana PNBP MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (5). (3) Revisi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Satker Pengguna Anggaran dan Satker Pengelola Dana secara bersama-sama dengan ketentuan:
Satker Pengelola Dana melakukan pencantuman/penambahan target PNBP MPP; dan
Satker Pengguna Anggaran melakukan pencantuman/penambahan pagu belanja atas Anggaran MPP. (4) Pagu Anggaran MPP dalam DIPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan dalam klasifikasi rincian output yang terpisah dengan anggaran selain yang dibiayai dengan PNBP MPP. (5) Kodefikasi segmen akun untuk klasifikasi belanja dalam Anggaran MPP berpedoman pada Peraturan Menteri mengenai bagan akun standar.
Anggaran MPP tidak dapat direvisi/ dilakukan pergeseran anggaran dari dan/ a tau ke selain Anggaran MPP. (7) Revisi pergeseran antar-Anggaran MPP yang tidak menyebabkan perubahan pagu Anggaran MPP secara keseluruhan berpedoman pada Peraturan Menteri mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan. Pasal 12 (1) Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris/ pejabat eselon I pada lingkup unit organisasi pada kementerian yang membidangi urusan pertahanan atau Polri mengajukan usulan revisi anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan c.q. Direktur Pelaksanaan Anggaran melalui Si stem Informasi dengan melampirkan:
surat persetujuan penggunaan dana PNBP MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (5); dan
surat pernyataan kesanggupan dari Pejabat Pengelola Dana untuk menyetor Dana MPP ke Kas Negara sebesar Anggaran MPP yang terealisasi pada tahun anggaran berkenaan. (2) Direktorat Pelaksanaan Anggaran melakukan pengujian usulan rev1s1 anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui Sistem Informasi. (3) Berdasarkan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktorat Pelaksanaan Anggaran mengesahkan Revisi Anggaran MPP melalui Sistem Informasi. (4) Dalam hal pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditolak, Direktorat Pelaksanaan Anggaran menerbitkan penolakan Revisi Anggaran MPP kepada Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris/ pejabat eselon I pada lingkup unit organisasi pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan atau Polri beserta alasannya melalui Sistem Informasi. (5) Batas akhir penyampaian usulan revisi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan c.q. Direktur Pelaksanaan Anggaran yakni tanggal 15 Desember tahun anggaran berkenaan. Pasal 13 Berdasarkan pengesahan Revisi Anggaran MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3), Direktorat Pelaksanaan Anggaran menetapkan Maksimum Pencairan PNBP Satker Pengguna Anggaran sebesar Anggaran MPP pada Sistem Informasi. Bagian Kedua Pencairan Anggaran Misi Pemeliharaan Perdamaian Pasal 14 (1) Pencairan Anggaran MPP dilakukan berdasarkan komitmen dan pengajuan tagihan kepada negara. (2) Pembuatan komitmen dan pengajuan tagihan kepada negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
untuk komitmen dalam bentuk rupiah berpedoman pada Peraturan Menteri mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan; dan
untuk komitmen dalam bentuk valuta asing berpedoman pada Peraturan Menteri mengenai tata cara pembayaran perjanjian dalam valuta asing yang dananya bersumber dari rupiah murni. Pasal 15 Pembayaran atas tagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan melalui mekanisme:
Pembayaran LS; atau
TUP MPP. Bagian Ketiga Mekanisme Pembayaran Langsung Pasal 16 Mekanisme Pembayaran LS yang dibebankan dari Anggaran MPP dilaksanakan untuk pembayaran tagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 kepada penyedia barang/ jasa di dalam negeri dengan mata uang rupiah. Pasal 17 (1) Berdasarkan pengaJuan tagihan kepada negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), PPK pada Satker Pengguna Anggaran melakukan pengujian yang mengacu pada Peraturan Menteri mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan. (2) Terhadap pengujian atas tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah sesuai, PPK pada Satker Pengguna Anggaran menerbitkan SPP-LS dan menyampaikan kepada PPSPM. (3) Dalam hal pengujian atas tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum sesuai, PPK menolak tagihan. (4) Penerbitan SPP-LS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah Dana MPP disetorkan ke Kas Negara minimal sebesar nilai bruto SPP-LS yang dibuktikan dengan BPN. (5) Berdasarkan SPP-LS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan BPN sebagaimana dimaksud pada ayat (4), PPSPM pada Satker Pengguna Anggaran melakukan pengujian SPP-LS yang mengacu pada Peraturan Menteri mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan.
Berdasarkan pengujian atas SPP-LS dan BPN sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang telah sesuai, PPSPM pada Satker Pengguna Anggaran menerbitkan SPM-LS dan menyampaikan kepada KPPN. (7) Penyampaian SPM-LS sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilampiri BPN sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (8) Dalam hal pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) belum sesuai, PPSPM pada Satker Pengguna Anggaran menolak tagihan. (9) Penerbitan SPP-LS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan SPM-LS sebagaimana dimaksud pada ayat (5) mengacu pada Peraturan Menteri mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan. Pasal 18 (1) KPPN melakukan pengujian SPM-LS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (6) dengan berpedoman pada Peraturan Menteri mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan. (2) Pengujian SPM-LS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai pengujian BPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (4). (3) Pengujian BPN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi pengujian atas nominal dalam BPN yang minimal sebesar nilai bruto pada SPM-LS. (4) Dalam hal pengujian SPM-LS dan lampirannya beserta BPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) telah lengkap dan sesuai, KPPN menerbitkan SP2D LS atas beban Anggaran MPP. (5) Dalam hal pengujian SPM-LS beserta lampirannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum lengkap dan sesuai, KPPN menerbitkan penolakan SPM-LS beserta alasannya. Bagian Keempat Mekanisme Tambahan Uang Persediaan Misi Pemeliharaan Perdamaian Paragraf 1 Penerbitan Tambahan Uang Persediaan Misi Pemeliharaan Perdamaian Pasal 19 (1) Mekanisme penerbitan TUP MPP dilakukan berdasarkan surat permohonan persetujuan TUP MPP dari KPA pada Satker Pengguna Anggaran dengan memperhatikan pagu Anggaran MPP selain yang akan dibayarkan melalui mekanisme Pembayaran LS. (2) KPA Satker Pengguna Anggaran mengajukan surat permohonan persetujuan TUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada KPPN dilampiri dengan:
rincian rencana penggunaan TUP MPP; dan
surat pernyataan kesanggupan dari Pejabat Pengelola Dana untuk menyetor Dana MPP ke Kas Negara, melalui Sistem Informasi. (3) Surat permohonan persetujuan TUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuat dalam valuta asing dengan ketentuan:
Satker Pengguna Anggaran memperhatikan ketersediaan rekening Bendahara Pengeluaran untuk menerima TUP MPP dalam valuta asing; dan
dalam hal belum terdapat rekening Bendahara Pengeluaran untuk menerima TUP MPP dalam valuta asing, Satker Pengguna Anggaran membuka rekening dalam valuta asing sesuai dengan bank operasional valuta asing yang telah bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Perbendaharaan. Pasal 20 (1) Berdasarkan surat permohonan persetujuan TUP MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), KPPN melakukan pengujian terhadap:
nominal pengajuan permintaan TUP MPP agar tidak melebihi pagu Anggaran MPP yang tersedia;
tidak terdapat kekurangan penyetoran Dana MPP ke Kas Negara atas realisasi Anggaran MPP tahun anggaran sebelumnya atau tahun anggaran berjalan;
dalam hal terdapat TUP MPP yang telah diterbitkan sebelumnya, sisa TUP MPP dimaksud telah dipertanggungjawabkan paling sedikit sebesar 75% (tujuh puluh lima persen); dan
tidak terdapat lebih dari 1 (satu) TUP MPP yang belum selesai dipertanggungjawabkan seluruhnya sebelum penerbitan TUP MPP yang baru. (2) Terhadap surat permohonan persetujuan TUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah lengkap dan sesuai, KPPN menerbitkan persetujuan TUP MPP melalui Sistem Informasi. (3) Dalam hal surat permohonan persetujuan TUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum lengkap dan sesuai, KPPN menerbitkan penolakan TUP MPP beserta alasannya. (4) Persetujuan TUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diterbitkan tanpa didahului penerbitan uang persediaan. (5) Persetujuan TUP MPP yang telah diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat dalam kartu pengawasan yang terpisah dalam Sistem Informasi. Pasal 21 (1) Berdasarkan persetujuan TUP MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2), PPK pada Satker Pengguna Anggaran menerbitkan SPP TUP MPP. (2) SPP TUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dibuat dalam valuta as1ng menggunakan ekuivalensi rupiah berdasarkan kurs tengah bank sentral yang didapatkan secara otomatis dari Sistem Informasi. (3) Penerbitan SPP TUP MPP atas persetujuan TUP MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) dalam mata uang rupiah, dilakukan setelah Dana MPP disetorkan ke Kas Negara paling sedikit sebesar nominal persetujuan TUP MPP yang dibuktikan dengan BPN. (4) SPP TUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan BPN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada PPSPM pada Satker Pengguna Anggaran melalui Sistem Informasi. Pasal 22 (1) PPS PM pada Satker Pengguna Anggaran melakukan penelitian dan pengujian terhadap SPP TUP MPP yang disampaikan oleh PPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan BPN se bagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) dalam Sistem Informasi. (2) Proses penelitian dan pengujian SPP TUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan menguji kesesuaian nominal antara SPP TUP MPP dengan persetujuan TUP MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) dan BPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3). (3) Proses penelitian dan pengujian SPP TUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dilakukan secara elektronik berpedoman pada Peraturan Menteri mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan. (4) Berdasarkan hasil penelitian dan pengujian secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah sesuai, PPSPM menerbitkan SPM TUP MPP kepada KPPN dengan dilampiri BPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3). (5) Dalam hal hasil penelitian dan pengujian secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak sesuai, PPS PM menolak SPP TUP MPP. (6) SPM TUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang dibuat dalam valuta asing menggunakan ekuivalensi rupiah berdasarkan kurs tengah bank sentral yang didapatkan secara otomatis dari Sistem Informasi. Pasal 23 (1) KPPN melakukan penelitian dan pengujian SPM TUP MPP yang disampaikan oleh PPSPM dan BPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4) melalui Sistem Informasi. (2) Proses penelitian dan pengujian SPM TUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan menguji kesesuaian nominal antara SPM TUP MPP dan BPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4) dengan persetujuan TUP MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2).
Proses penelitian dan pengujian SPM TUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dilakukan secara elektronik berpedoman pada Peraturan Menteri mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan. (4) Berdasarkan hasil penelitian dan pengujian secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah sesuai, KPPN menerbitkan SP2D TUP MPP. (5) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian dan pengujian secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak sesuai, KPPN menolak SPM TUP MPP disertai dengan alasan penolakan. (6) SP2D TUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang dibuat dalam valuta asing, menggunakan ekuivalensi rupiah berdasarkan kurs yang didapatkan secara otomatis dari Sistem Informasi. (7) Penerbitan SP2D TUP MPP dilakukan sesuai dengan prosedur standar operasional dan norma waktu SP2D TUP yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan. Paragraf 2 Pertanggungjawaban Tambahan Uang Persediaan Misi Pemeliharaan Perdamaian Pasal 24 (1) Berdasarkan pengajuan tagihan kepada negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), PPK pada Satker Pengguna Anggaran melakukan pengujian yang mengacu pada Peraturan Menteri mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan. (2) Berdasarkan hasil pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah sesuai, PPK pada Satker Pengguna Anggaran menerbitkan SPBy yang disampaikan kepada Bendahara Pengeluaran/BPP. (3) Dalam hal hasil pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak sesuai, PPK pada Satker Pengguna Anggaran menolak tagihan disertai alasan penolakan. (4) Dalam hal TUP MPP digunakan untuk uang muka, PPK pada Satker Pengguna Anggaran menerbitkan SPBy disertai dengan:
rencana pelaksanaan kegiatan/pembayaran; dan
rincian kebutuhan dana. (5) Berdasarkan SPBy yang disampaikan PPK, Bendahara Pengeluaran/BPP Satker Pengguna Anggaran melakukan pengujian yang meliputi:
penelitian kelengkapan perintah pembayaran yang diterbitkan oleh PPK;
pemeriksaan kebenaran atas hak tagih, meliputi:
pihak yang ditunjuk untuk menerima pembayaran;
nilai tagihan yang harus dibayar; dan
jadwal waktu pembayaran;
pengujian ketersediaan dana TUP MPP yang bersangkutan;
pemeriksaan kesesuaian pencapaian keluaran antara spesifikasi teknis yang disebutkan dalam penerimaan barang/ jasa dan spesifikasi teknis yang disebutkan dalam dokumen perjanjian/ kontrak; dan
pemeriksaan dan pengujian ketepatan penggunaan klasifikasi anggaran. (6) Terhadap SPBy yang telah memenuhi persyaratan, Bendahara Pengeluaran/BPP pada Satker Pengguna Anggaran melakukan pembayaran dengan dana TUP MPP. (7) Dalam hal SPBy tidak memenuhi persyaratan untuk dibayarkan, Bendahara Pengeluaran/BPP pada Satker Pengguna Anggaran mengembalikan tagihan/SPBy. Pasal 25 (1) Setiap BPP mengajukan pertanggungjawaban TUP MPP melalui Bendahara Pengeluaran pada Satker Pengguna Anggaran. (2) Pengajuan pertanggungjawaban TUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan SPBy dan kelengkapan berupa bukti pengeluaran yang sah. (3) Berdasarkan bukti pertanggungjawaban TUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2), PPK menerbitkan SPP PTUP MPP untuk pengesahan/ pertanggungjawaban TUP MPP dan disampaikan kepada PPSPM paling lama 5 (lima) hari kerja setelah bukti dukung diterima secara lengkap dan benar. (4) SPP PTUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan secara bertahap. (5) Berdasarkan SPP PTUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang telah memenuhi ketentuan pengujian formal, PPSPM pada Satker Pengguna Anggaran menerbitkan SPM PTUP MPP kepada KPPN secara elektronik menggunakan Sistem Informasi. (6) Dalam hal SPP PTUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak memenuhi ketentuan pengujian formal, PPSPM pada Satker Pengguna Anggaran menolak dan mengembalikan SPP PTUP MPP kepada PPK pada Satker Pengguna Anggaran secara elektronik melalui Sistem Informasi disertai alasan penolakan. Pasal 26 (1) KPPN melakukan penelitian dan pengujian SPM PTUP MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (5) yang dilakukan secara elektronik mengacu pada Peraturan Menteri mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan. (2) Berdasarkan hasil penelitian dan pengujian secara elektronik se bagaimana dimaksud pada ayat (1) telah memenuhi ketentuan, KPPN menerbitkan SP2D PTUP MPP.
SP2D PTUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dibuat dalam valuta asing, menggunakan ekuivalensi rupiah berdasarkan kurs yang didapatkan secara otomatis dari Sistem Informasi. (4) Berdasarkan SP2D PTUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Satker Pengguna Anggaran:
melakukan pencatatan SP2D pada Sistem Informasi; dan
mengajukan permintaan penyetoran Dana MPP ke Kas Negara kepada Pejabat Pengelola Dana sebesar nominal SP2D pada Sistem Informasi sebagaimana huruf a. (5) Dalam hal pencatatan SP2D sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a tidak dapat dilakukan atau menyebabkan kekurangan pagu akibat adanya selisih kurs, Satker Pengguna Anggaran melakukan revisi anggaran sesuai dengan Peraturan Menteri mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan. (6) Dalam hal berdasarkan penelitian dan pengujian secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak memenuhi ketentuan, KPPN menolak SPM PTUP MPP disertai dengan alasan penolakan. (7) Penerbitan SP2D PTUP MPP dilakukan sesuai dengan prosedur standar operasional dan norma waktu SP2D PTUP yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan. Pasal 27 (1) Satker Pengguna Anggaran mempertanggungjawabkan TUP MPP paling lama 3 (tiga) bulan setelah tanggal SP2D TUP. (2) Dalam hal batas waktu 3 (tiga) bulan setelah tanggal SP2D TUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih terdapat TUP MPP yang belum dipertanggungjawabkan dan/ a tau belum disetorkan sisanya ke Kas Negara, KPA pada Satker Pengguna Anggaran dapat mengajukan surat permohonan perpanjangan waktu pertanggungjawaban TUP MPP kepada Kepala KPPN. (3) Sisa TUP MPP yang tidak habis digunakan dalam 3 (tiga) bulan setelah tanggal SP2D TUP MPP se bagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disetor ke Kas Negara dalam bentuk mata uang yang sama dengan pada saat pencairan SP2D TUP MPP. (4) Dalam hal 3 (tiga) bulan setelah tanggal SP2D TUP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) jatuh pada tahun anggaran berikutnya, penyetoran sisa TUP dilakukan sebelum tahun anggaran berakhir dengan memperhatikan norma waktu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan. (5) Dalam hal 5 (lima) hari kerja setelah berakhirnya batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih terdapat sisa dana TUP MPP yang belum dipertanggungjawabkan dan/atau belum disetorkan ke Kas Negara dan belum diajukan surat permohonan perpanjangan waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala KPPN menyampaikan surat pemberitahuan kepada KPA pada Satker Pengguna Anggaran. (6) Terhadap surat permohonan perpanjangan waktu pertanggungjawaban TUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala KPPN dapat memperpanjang batas waktu PTUP MPP paling lama 1 ( satu) bulan setelah batas waktu PTUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (7) Dalam hal setelah 2 (dua) hari kerja setelah berakhirnya batas perpanjangan waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) masih terdapat sisa dana TUP MPP yang belum dipertanggungjawabkan dan/atau belum disetorkan ke Kas Negara, Kepala KPPN menyampaikan surat pemberitahuan kepada KPA pada Satker Pengguna Anggaran. (8) Dalam hal batas waktu 2 (dua) hari kerja setelah disampaikan surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) belum dilakukan pertanggungjawaban dan/atau penyetoran sisa TUP MPP ke Kas Negara, Kepala KPPN memo tong be saran uang persediaan tunai rupiah murni Satker Pengguna Anggaran sebesar 25% (dua puluh lima persen) untuk periode paling singkat 1 (satu) tahun anggaran. (9) Kepala KPPN memotong besaran uang persediaan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dengan cara menyampaikan surat pemberitahuan kepada KPA pada Satker Penguna Anggaran untuk memperhitungkan potongan uang persediaan dalam SPM dan/atau menyetorkan ke Kas Negara. (10) TUP MPP dianggap telah selesai dipertanggungjawabkan seluruhnya dalam hal total nominal pengeluaran dalam SP2D PTUP MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) ditambah setoran sisa TUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sama dengan nominal SP2D TUP MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4). Paragraf 3 Penyelesaian Selisih Kurs Tambahan Uang Persediaan Misi Pemeliharaan Perdamaian Pasal 28 (1) Dalam hal terdapat selisih kurs pada ekuivalensi mata uang rupiah atas setoran sisa TUP MPP dalam valuta asing antara Satker dengan pembukuan KPPN, selisih kurs dicatat dengan ketentuan sebagai berikut:
dalam hal nilai mata uang rupiah atas setoran TUP MPP pada Satker nilainya kurang dari sisa TUP MPP dalam mata uang Rupiah sebagaimana tercantum dalam pembukuan KPPN, selisih kurang dalam rupiah tersebut dicatat dengan akun belanja karena rugi selisih kurs uang persediaan Satker; atau
dalam hal nilai mata uang rupiah atas setoran TUP MPP pada Satker nilainya lebih besar dari sisa TUP MPP dalam mata uang rupiah sebagaimana tercantum dalam pembukuan KPPN, selisih lebih dalam rupiah tersebut dicatat sebagai PNBP dengan akun pendapatan dari untung selisih kurs uang persediaan Satker. (2) Pengalokasian akun belanja karena rugi selisih kurs uang persediaan Satker sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada Peraturan Menteri mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan. Bagian Kelima Mekanisme Penyetoran Dana Misi Pemeliharaan Perdamaian Pasal 29 (1) Pejabat Pengelola Dana menyetorkan Dana MPP ke Kas Negara sebagai PNBP MPP paling lambat:
sebelum penerbitan SPP-LS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2);
sebelum penerbitan SPP TUP MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 untuk TUP MPP yang dimintakan dalam mata uang rupiah; dan / a tau c. 1 (satu) hari kerja setelah penerbitan SP2D PTUP MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) untuk TUP MPP yang dimintakan dalam valuta asmg. (2) Direktur Jenderal Perbendaharaan berwenang memerintahkan Pejabat Pengelola Dana menyetorkan Dana MPP ke Kas Negara di luar waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Penyetoran Dana MPP ke Kas Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam rupiah atau valuta asing. (4) Dalam hal penyetoran ke Kas Negara dilakukan dalam valuta asing, jumlah yang disetorkan sebesar ekuivalen rupiah pada realisasi belanja atas SP2D. (5) Penyetoran Dana MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhitungkan selisih kurs yang diakibatkan atas setoran sisa TUP MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1). (6) Kodefikasi segmen akun pendapatan pada penyetoran Dana MPP ke Kas Negara sebagai PNBP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan kode Satker Pengelola Dana dengan kode akun yang berpedoman pada Peraturan Menteri mengenai bagan akun standar. (7) Penyetoran Dana MPP ke Kas Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan melalui BPN yang telah mendapatkan NTPN. (8) Penyetoran Dana MPP ke Kas Negara berdasarkan SP2D PTUP MPP pada akhir tahun anggaran dilakukan sebelum tahun anggaran berakhir dengan berpedoman pada norma waktu penyetoran penerimaan negara pada akhir tahun anggaran yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan. (9) Terhadap TUP MPP yang belum dipertanggungjawabkan hingga 31 Desember tahun anggaran berkenaan, penyetoran Dana MPP ke Kas Negara dilakukan mendahului SP2D PTUP MPP sesuai norma waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (8) sebesar nilai TUP MPP yang belum dipertanggungjawabkan. (10) Dalam hal nilai SP2D PTUP MPP lebih besar daripada penyetoran Dana MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (9), kekurangan penyetoran disetorkan ke Kas Negara paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah SP2D PTUP MPP diterbitkan. (11) Dalam hal 2 (dua) hari kerja setelah tanggal SP2D PTUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c atau ayat (10) belum dilakukan penyetoran Dana MPP ke Kas Negara, Kepala KPPN menyampaikan surat pemberitahuan kepada Pejabat Pengelola Dana. (12) Dalam hal 1 (satu) hari kerja setelah disampaikan surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (11) belum dilakukan penyetoran Dana MPP ke Kas Negara, Kepala KPPN memotong besaran uang persediaan tunai rupiah murni Satker Pengelola Dana sebesar 25% (dua puluh lima persen) sampai dengan kekurangan Dana MPP disetorkan ke Kas Negara. (13) Kepala KPPN memotong besaran uang persediaan sebagaimana dimaksud pada ayat (12) dengan cara menyampaikan surat pemberitahuan kepada KPA pada Satker Pengelola Dana untuk memperhitungkan potongan uang persediaan dalam SPM dan/atau menyetorkan ke Kas Negara. BAB IV PEMBAYARAN TAGIHAN ATAS MISI PEMELIHARAAN PERDAMAIAN DALAM KONDISI MENDESAK Pasal 30 (1) Satker Pengguna Anggaran dapat melakukan pembayaran tagihan atas komitmen dalam kondisi mendesak untuk keperluan m1s1 pemeliharaan perdamaian mendahului:
surat persetujuan penggunaan dana PNBP MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4); dan/atau
pengesahan rev1s1 anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3). (2) Pembayaran tagihan atas komitmen dalam kondisi mendesak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam hal:
saldo Dana MPP masih tersedia minimal se besar tagihan yang harus dibayarkan; dan
alokasi Anggaran MPP belum tersedia atau tidak mencukupi untuk membayar kebutuhan mendesak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Dana MPP yang telah digunakan untuk membayar tagihan atas komitmen dalam kondisi mendesak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diperhitungkan dalam:
rencana kebutuhan Anggaran MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1);
usulan penggunaan dana PNBP MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
usulan revisi anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1); dan
surat permohonan persetujuan TUP MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1). (4) Pengajuan usulan penggunaan dana PNBP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dan revisi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dilampiri surat pernyataan Panglima pada lingkup TNI atau Kapolri pada lingkup Polri atau pejabat yang menerima pelimpahan wewenang. (5) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) minimal memuat:
pernyataan bahwa terdapat tagihan atas komitmen dalam kondisi mendesak yang harus segera dibayarkan mendahului penerbitan persetujuan penggunaan dana PNBP MPP dan/atau pengesahan revisi Anggaran MPP; dan
nominal Dana MPP yang digunakan. (6) Dalam hal TUP MPP telah dicairkan ke Bendahara Pengeluaran Satker Pengguna Anggaran, nominal Dana MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b dilakukan penggantian sesuai dengan nominal dana yang telah digunakan. (7) Usulan penggunaan dana PNBP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b diajukan kepada Direktur Jenderal Anggaran paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah pembayaran terhadap kondisi mendesak yang mendahului surat persetujuan penggunaan dana PNBP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (8) Usulan revisi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c diajukan kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan c.q. Direktur Pelaksanaan Anggaran paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah:
surat persetujuan penggunaan dana PNBP MPP atas usulan persetujuan penggunaan dana PNBP MPP se bagaimana dimaksud pada ayat (7) diterbitkan; atau
pembayaran terhadap kondisi mendesak yang mendahului rev1s1 anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b. (9) Pengajuan usulan penggunaan dana PNBP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan usulan revisi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (8) memperhatikan batas waktu penyampaian usulan revisi anggaran se bagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (5).
Terhadap dana TUP MPP yang telah dicairkan ke Rekening Bendahara Pengeluaran Satker Pengguna Anggaran, Bendahara Pengeluaran memindahbukukan dana TUP MPP ke RDMP. (11) Pemindahbukuan dana TUP MPP ke RDMP sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dilakukan sebesar Dana MPP yang telah dibayarkan untuk pembayaran tagihan dalam kondisi mendesak sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (12) Bukti pengeluaran atas tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipertanggungjawabkan melalui mekanisme PTUP MPP sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini. (13) Terhadap PTUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (12), berlaku ketentuan penyetoran Dana MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29. BABV AKUNTANSI DAN PELAPORAN Pasal 31 (1) Saldo Dana MPP dicatat oleh Satker Pengelola Dana sebagai dana yang dibatasi penggunaannya. (2) Dana MPP yang disetorkan ke Kas Negara dicatat oleh Satker Pengelola Dana sebagai pendapatan PNBP. (3) Realisasi Anggaran MPP dicatat oleh Satker Pengguna Anggaran. (4) Dalam hal Penggunaan Anggaran MPP menghasilkan persediaan/aset tetap/aset lainnya, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan dan Polri:
menatausahakan persediaan/aset tetap/aset lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penatausahaan BMN; dan
menyelenggarakan akuntansi dan pelaporan atas persediaan / a set tetap / aset lainnya. (5) Penatausahaan dan penyelenggaraan akuntansi dan pelaporan atas persediaan / aset tetap / aset lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh Satker Pengguna Anggaran. (6) Perolehan persediaan/aset tetap/aset lainnya yang dibayarkan menggunakan valuta asing dengan TUP MPP dinilai dengan ekuivalen rupiah berdasarkan kurs yang didapatkan secara otomatis dari Sistem Informasi. (7) Transaksi yang berkaitan dengan pengelolaan atas saldo Dana MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Satker Pengelola Dana mengungkapkan secara memadai dalam catatan atas laporan keuangan. (8) Pencatatan dan pelaporan keuangan pada Satker Pengelola Dana dan Satker Pengguna Anggaran berpedoman pada ketentuan peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai sistem akuntansi dan pelaporan keuangan pemerintah pusat. BAB VI PENGENDALIAN DAN PEMANTAUAN Pasal 32 (1) Pengendalian dan pemantauan dilakukan terhadap:
pengelolaan Dana MPP; dan
penggunaan Anggaran MPP. (2) Pengendalian dan pemantauan terhadap pengelolaan Dana MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan terhadap:
pemenuhan komitmen pembayaran dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, organisasi internasional, dan/atau organisasi regional sesuai dengan perjanjian dengan Pemerintah Republik Indonesia;
mitigasi penggunaan Dana MPP yang tidak dilaksanakan sesuai mekanisme APBN;
mitigasi penggunaan dana MPP untuk membiayai kegiatan selain kegiatan misi pemeliharaan perdamaian; dan
kesesuaian rencana kegiatan dan pengalokasian Anggaran MPP pada DIPA. (3) Tata cara pengendalian dan pemantauan terhadap Pengelolaan Dana MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri Pertahanan atau Kapolri. (4) Pengendalian dan pemantauan terhadap penggunaan Anggaran MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri yang mengatur mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan. (5) Hasil pengendalian dan pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan untuk:
memastikan pelaksanaan program dan kegiatan sesuai dengan yang direncanakan dan mencapai output yang ditetapkan;
memberikan bahan pertimbangan penyesuaian kebijakan misi pemeliharaan perdamaian tahun anggaran berjalan;
mengendalikan belanja negara; dan/atau
meningkatkan efisiensi dan efektivitas Anggaran MPP untuk keberlanjutan misi pemeliharaan perdamaian di masa yang akan datang. BAB VII PENGAWASAN ANGGARAN MISI PEMELIHARAAN PERDAMAIAN DAN DANA PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK MISI PEMELIHARAAN PERDAMAIAN Pasal 33 (1) Pengawasan Anggaran MPP dan Dana PNBP MPP dilakukan oleh:
aparat pengawasan intern pemerintah; dan/atau
Menteri;
Tata cara pelaksanaan pengawasan Anggaran MPP dan Dana PNBP MPP sebagaimana dimakasud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 34 (1) U sulan rev1s1 Anggaran MPP Tahun Anggaran 2024 untuk pertama kali diajukan kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan c.q. Direktur Pelaksanaan Anggaran paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah Peraturan Menteri ini diundangkan. (2) Dalam hal terdapat tagihan atas komitmen untuk keperluan misi pemeliharaan perdamaian untuk Tahun Anggaran 2024 sebelum Peraturan Menteri ini mulai berlaku dan sebelum usulan revisi Anggaran MPP Tahun Anggaran 2024 untuk pertama kali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disahkan, Satker Pengguna Anggaran dapat membayar tagihan dimaksud menggunakan Dana MPP. (3) Tata cara pembayaran tagihan atas misi pemeliharaan perdamaian dalam kondisi mendesak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 berlaku secara mutatis mutandis terhadap pembayaran tagihan atas komitmen untuk keperluan m1s1 pemeliharaan perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Ketentuan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (7) dan ayat (8) dikecualikan terhadap pembayaran tagihan atas komitmen sebagaimana dimaksud pada ayat (2). BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 35 Peraturan Menteri 1n1 mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Klasifikasi Objek Pajak dan Tata Cara Penetapan Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan
Relevan terhadap
bahwa untuk memberikan kepastian hukum, keadilan, simplifikasi regulasi, dan meningkatkan pelayanan bagi Wajib Pajak, perlu mengganti ketentuan mengenai klasifikasi dan penetapan nilai jual objek pajak sebagai dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 139/PMK.03/2014 tentang Klasifikasi dan Penetapan Nilai Jual Objek Pajak sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan;
bahwa dengan beralihnya kewenangan pemungutan dan pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan ke Pemerintah Daerah berdasarkan Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, kewenangan Direktorat Jenderal Pajak terkait Pajak Bumi dan Bangunan adalah mengelola Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perkebunan, Perhutanan, Pertambangan, dan sektor lainnya;
bahwa untuk memberikan kepastian hukum terkait pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan yang diatur secara khusus dalam Kontrak Karya, Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara, atau Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi Produksi, perlu menyelaraskan kewajiban pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan yang diatur secara khusus tersebut dengan mekanisme penatausahaan Pajak Bumi dan Bangunan berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf c, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Klasifikasi Objek Pajak dan Tata Cara Penetapan Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan;
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan, yang selanjutnya disebut Undang-Undang PBB, adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disingkat PBB adalah pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PBB selain PBB Perdesaan dan Perkotaan.
Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Objek Pajak pengganti.
Subjek Pajak PBB yang selanjutnya disebut Subjek Pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.
Wajib Pajak PBB yang selanjutnya disebut Wajib Pajak adalah Subjek Pajak yang dikenai kewajiban membayar PBB.
Perbandingan Harga dengan Objek Lain yang Sejenis adalah suatu pendekatan atau metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara membandingkannya dengan objek pajak lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya.
Nilai Perolehan Baru adalah suatu pendekatan atau metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek pajak tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi penyusutan berdasarkan kondisi fisik objek pajak tersebut.
Nilai Jual Objek Pajak Pengganti yang selanjutnya disebut Nilai Jual Pengganti adalah suatu pendekatan atau metode penentuan nilai jual suatu objek pajak yang berdasarkan pada hasil produksi objek pajak tersebut.
Biaya Investasi Tanaman adalah jumlah biaya tenaga kerja, bahan, dan alat yang diinvestasikan untuk pembukaan lahan, penanaman, dan pemeliharaan tanaman, yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan.
Hutan Alam adalah suatu lapangan yang bertumbuhan pohon-pohon alami yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya.
Hutan Tanaman adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas Hutan Produksi dengan menerapkan silvikultur intensif.
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam yang selanjutnya disingkat IUPHHK-HA yang sebelumnya disebut Hak Pengusahaan Hutan (HPH) adalah izin memanfaatkan Hutan Produksi yang kegiatannya terdiri dari penebangan, pengangkutan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pengolahan dan pemasaran hasil hutan kayu.
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri dalam Hutan Tanaman pada Hutan Produksi yang selanjutnya disingkat IUPHHK-HTI yang sebelumnya disebut Hak Pengusahaan Hutan Tanaman (HPHT), Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HTI) adalah izin usaha untuk membangun Hutan Tanaman pada Hutan Produksi yang dibangun oleh kelompok industri untuk meningkatkan potensi dan kualitas Hutan Produksi dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku industri.
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem dalam Hutan Alam yang selanjutnya disingkat IUPHHK-RE adalah izin usaha yang diberikan untuk membangun kawasan dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi yang memiliki ekosistem penting sehingga dapat dipertahankan fungsi dan keterwakilannya melalui kegiatan pemeliharaan, perlindungan dan pemulihan ekosistem hutan termasuk penanaman, pengayaan, penjarangan, penangkaran satwa, pelepasliaran flora dan fauna untuk mengembalikan unsur hayati (flora dan fauna) serta unsur non hayati (tanah, iklim dan topografi) pada suatu kawasan kepada jenis yang asli, sehingga tercapai keseimbangan hayati dan ekosistemnya.
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu dari Hutan Alam pada Hutan Produksi yang selanjutnya disebut IUPHHBK-HA adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan bukan kayu dari Hutan Alam pada Hutan Produksi melalui kegiatan pengayaan, pemeliharaan, perlindungan, pemanenan, pengamanan, dan pemasaran hasil.
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu dari Hutan Tanaman pada Hutan Produksi yang selanjutnya disebut IUPHHBK-HT adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan bukan kayu dari Hutan Tanaman pada Hutan Produksi melalui kegiatan penyiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengamanan, dan pemasaran hasil.
Biaya Produksi Perhutanan adalah seluruh biaya langsung yang terkait dengan kegiatan produksi hasil hutan, sampai di log ponds atau log yards untuk hasil hutan kayu dan/atau sampai tempat pengumpulan hasil panen untuk hasil hutan bukan kayu pada Hutan Alam.
Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi adalah daerah tertentu di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia yang digunakan untuk pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi minyak dan/atau gas bumi.
Wilayah Kerja Panas Bumi adalah wilayah dengan batas- batas koordinat tertentu yang digunakan untuk kegiatan pengusahaan pemanfaatan panas bumi dengan melalui proses pengubahan dari energi panas dan/atau fluida menjadi energi listrik.
Kontrak Kerja Sama adalah kontrak bagi hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan minyak dan/atau gas bumi yang lebih menguntungkan negara dan hasilnya digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan minyak bumi dan/atau gas bumi, panas bumi, mineral, atau batubara, termasuk kegiatan penyelidikan, survei dan studi kelayakan, dalam Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi, Wilayah Kerja Panas Bumi, wilayah sebagaimana tercantum dalam Izin Usaha Pertambangan, Izin Usaha Pertambangan Khusus, Izin Pertambangan Rakyat, atau wilayah berdasarkan Kontrak Karya atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara.
Eksploitasi adalah kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan minyak dan/atau gas bumi, atau panas bumi, dari Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi atau Wilayah Kerja Panas Bumi.
Permukaan Bumi Pertambangan Onshore yang selanjutnya disebut Permukaan Bumi Onshore adalah areal berupa tanah dan/atau perairan darat di dalam kawasan pertambangan minyak dan/atau gas bumi, pengusahaan panas bumi, atau pertambangan mineral atau batubara.
Permukaan Bumi Pertambangan Offshore yang selanjutnya disebut Permukaan Bumi Offshore adalah areal berupa perairan yang berada di dalam kawasan pertambangan minyak dan/atau gas bumi, pengusahaan panas bumi, atau pertambangan mineral atau batubara, di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi laut pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan perairan di dalam Batas Landas Kontinen.
Tubuh Bumi Eksplorasi adalah tubuh bumi yang berada di dalam kawasan pertambangan minyak dan/atau gas bumi, pengusahaan panas bumi, atau pertambangan mineral atau batubara, pada kegiatan Eksplorasi.
Tubuh Bumi Eksploitasi adalah tubuh bumi yang berada di dalam kawasan pertambangan minyak dan/atau gas bumi, atau pengusahaan panas bumi, pada kegiatan Eksploitasi.
Operasi Produksi adalah kegiatan usaha pertambangan mineral atau batubara yang meliputi konstruksi, penambangan, pengolahan, pemurnian, termasuk pengangkutan dan penjualan, serta sarana pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan hasil studi kelayakan dalam wilayah sebagaimana tercantum dalam Izin Usaha Pertambangan, Izin Usaha Pertambangan Khusus, Izin Pertambangan Rakyat, dan wilayah berdasarkan Kontrak Karya atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara.
Tubuh Bumi Operasi Produksi adalah tubuh bumi yang berada di kawasan pertambangan mineral atau batubara, pada kegiatan Operasi Produksi.
Harga Patokan Mineral Logam, yang selanjutnya disebut HPM Logam, adalah harga mineral logam yang ditentukan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral, pada suatu titik serah penjualan ( at sale point ) secara Free on Board untuk masing-masing komoditas tambang mineral logam.
Harga Patokan Mineral Bukan Logam, yang selanjutnya disebut HPM Bukan Logam, adalah harga patokan mineral bukan logam yang ditetapkan oleh kepala daerah untuk masing-masing komoditas tambang dalam 1 (satu) provinsi, kabupaten atau kota.
Harga Patokan Batuan adalah harga patokan batuan yang ditetapkan oleh kepala daerah untuk masing- masing komoditas tambang dalam 1 (satu) provinsi, kabupaten atau kota.
Harga Patokan Batubara, yang selanjutnya disingkat HPB, adalah harga batubara yang ditentukan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral, pada suatu titik serah penjualan ( at sale point ) secara Free on Board .
Angka Kapitalisasi adalah angka pengali tertentu yang digunakan untuk mengonversi pendapatan atau hasil produksi satu tahun menjadi NJOP, yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Rasio Biaya Produksi adalah persentase tertentu yang diperoleh dari rata-rata biaya produksi satu tahun dibandingkan dengan rata-rata pendapatan kotor satu tahun, yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Penilai Pajak adalah Pejabat Fungsional Penilai Pajak, Pejabat Fungsional Asisten Penilai Pajak, Petugas Penilai Pajak, Pejabat Fungsional Penilai PBB, dan Petugas Penilai PBB.
Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang selanjutnya disingkat SPOP adalah surat yang digunakan oleh Subjek Pajak atau Wajib Pajak untuk melaporkan data objek pajak menurut ketentuan Undang-Undang PBB.
Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang selanjutnya disingkat SPPT adalah surat yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya PBB terutang kepada Wajib Pajak.
Surat Ketetapan Pajak PBB yang selanjutnya disingkat SKP PBB adalah surat ketetapan yang menentukan besarnya pokok PBB atau selisih pokok PBB, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah PBB terutang.
Surat Tagihan Pajak PBB yang selanjutnya disingkat STP PBB adalah surat untuk melakukan tagihan PBB terutang yang tidak atau kurang dibayar setelah tanggal jatuh tempo pembayaran.
Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun takwim, yaitu dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember.
Iuran Pembangunan Daerah yang selanjutnya disebut Ipeda adalah pungutan sebagaimana dimaksud dalam Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara.
SPPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) huruf a diterbitkan untuk 1 (satu) Tahun Pajak.
Penerbitan SPPT dilakukan berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh Subjek Pajak atau Wajib Pajak kepada Kantor Pelayanan Pajak.
SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diisi dengan jelas, benar, lengkap, dan ditandatangani serta dilampiri dokumen pendukung isian SPOP.
Dokumen pendukung isian SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk PBB Sektor Perkebunan meliputi:
dokumen Izin Usaha Perkebunan dan/atau Hak Guna Usaha; dan
Laporan Perkembangan Usaha Perkebunan dan Peta Tahun Tanam tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang.
Dokumen pendukung isian SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk PBB Sektor Perhutanan meliputi:
dokumen izin dan penugasan yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan;
Rencana Kerja Usaha Tahun Pajak PBB terutang; dan c. Rencana Kerja Tahunan beserta Peta Kerja Tahun Pajak PBB terutang atau tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang.
Dokumen pendukung isian SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi meliputi:
dokumen kontrak yang ditandatangani oleh Pemerintah dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama;
Peta Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi;
Authorization for Expenditure (AFE), dan Financial Quarterly Report (FQR) __ triwulan IV tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang; dan
dokumen kontrak atau perjanjian jual beli gas untuk pertambangan gas bumi tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang.
Dokumen pendukung isian SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi meliputi:
dokumen izin, kuasa, atau penugasan yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral atau dokumen kontrak;
Peta Wilayah Kerja Panas Bumi; dan
Rencana Kerja dan Anggaran Biaya Tahun Pajak PBB terutang.
Dokumen pendukung isian SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara meliputi:
dokumen izin yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral atau Kepala Daerah atau dokumen kontrak atau perjanjian; dan
Rencana Kerja dan Anggaran Biaya tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang.
Dokumen pendukung isian SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk PBB Sektor Lainnya meliputi:
dokumen izin yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan dan bidang perhubungan; dan
dokumen lain yang menjadi dasar pengisian SPOP.
Dalam hal terdapat dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (8), dan ayat (9) belum dapat dilampirkan, SPOP dianggap lengkap sepanjang Wajib Pajak melampirkan pernyataan tertulis yang:
ditandatangani oleh Wajib Pajak, wakil Wajib Pajak, atau kuasa dari Wajib Pajak; dan
menjelaskan alasan tidak dapat dilampirkannya dokumen dimaksud.
Dalam hal SPPT dilakukan upaya hukum sehingga terbit keputusan atau putusan, berupa:
Surat Keputusan Pemberian Pengurangan PBB;
Surat Keputusan Pembetulan;
Surat Keputusan Pengurangan SPPT yang Tidak Benar;
Surat Keputusan Keberatan;
Putusan Banding;
Putusan Gugatan; atau
Putusan Peninjauan Kembali, SPPT dimaksud dilakukan penerbitan kembali sesuai isi keputusan atau putusan.
Dalam hal dilakukan penerbitan kembali SPPT sebagaimana dimaksud pada ayat (11), SPPT yang diterbitkan sebelumnya dinyatakan tidak berlaku.
SPPT hasil penerbitan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (11) tidak dapat diajukan keberatan oleh Wajib Pajak.
Dalam hal terdapat permohonan cetak ulang SPPT oleh Wajib Pajak, wakil Wajib Pajak, atau kuasa dari Wajib Pajak, dilakukan pencetakan ulang atas SPPT yang telah diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau ayat (11).
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (14) dilakukan secara tertulis dan ditandatangani oleh Wajib Pajak, wakil Wajib Pajak, atau kuasa dari Wajib Pajak serta dilampiri dengan:
fotokopi SPPT Tahun Pajak sebelumnya;
fotokopi bukti pembayaran PBB Tahun Pajak sebelumnya; dan
surat kuasa dari Wajib Pajak, dalam hal permohonan ditandatangani oleh kuasa Wajib Pajak.
Ketentuan mengenai bentuk dan isi SPPT diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pedoman Umum Pemeriksaan Penerimaan Negara Bukan Pajak
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah pungutan yang dibayar oleh orang pribadi atau badan dengan memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung atas layanan atau pemanfaatan sumber daya dan hak yang diperoleh negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang menjadi penerimaan Pemerintah Pusat di luar penerimaan perpajakan dan hibah dan dikelola dalam mekanisme anggaran pendapatan dan belanja negara.
Instansi Pemeriksa adalah badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan keuangan negara dan pembangunan nasional.
Pemeriksaan PNBP adalah kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data, dan/atau keterangan lain dalam rangka pengawasan atas kepatuhan pemenuhan kewajiban PNBP berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PNBP.
Pemeriksa adalah pejabat atau pegawai pada Instansi Pemeriksa yang ditugaskan untuk melakukan Pemeriksaan PNBP.
Badan adalah sekumpulan orang yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, kumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, badan hukum publik, dan bentuk badan lain yang melakukan kegiatan di dalam dan/atau di luar negeri.
Wajib Bayar adalah orang pribadi atau Badan dari dalam negeri atau luar negeri yang mempunyai kewajiban membayar PNBP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
PNBP Terutang adalah kewajiban PNBP dari Wajib Bayar kepada Pemerintah yang wajib dibayar pada waktu tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Surat Tagihan PNBP adalah surat dan/atau dokumen yang digunakan untuk melakukan tagihan PNBP Terutang, baik berupa pokok maupun sanksi administratif berupa denda.
Surat Ketetapan PNBP adalah surat dan/atau dokumen yang menetapkan jumlah PNBP Terutang, yang meliputi Surat Ketetapan PNBP Kurang Bayar, Surat Ketetapan PNBP Nihil, dan Surat Ketetapan PNBP Lebih Bayar.
Dokumen adalah dokumen fisik dan/atau dokumen elektronik.
Instansi Pengelola PNBP adalah instansi yang menyelenggarakan pengelolaan PNBP.
Pejabat Kuasa Pengelola PNBP adalah pejabat yang diberi kuasa untuk melaksanakan sebagian tugas dan fungsi pimpinan Instansi Pengelola PNBP dalam pengelolaan PNBP yang menjadi tanggung jawabnya serta tugas lain terkait PNBP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Mitra Instansi Pengelola PNBP yang selanjutnya disebut MIP PNBP adalah badan yang membantu Instansi Pengelola PNBP melaksanakan sebagian kegiatan pengelolaan PNBP yang menjadi tugas Instansi Pengelola PNBP berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
Laporan Hasil Pemeriksaan yang selanjutnya disingkat LHP adalah laporan yang berisi tentang pelaksanaan dan hasil pemeriksaan yang disusun oleh Instansi Pemeriksa secara ringkas dan jelas serta sesuai dengan ruang lingkup dan tujuan pemeriksaan.
Perubahan Keempat atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 139/PMK.07/2019 tentang Pengelolaan Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Otonomi Khusu ...
Relevan terhadap
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 139/PMK.07 /2019 TENTANG PENGELOLAAN DANA BAGI HASIL, DANA ALOKASI UMUM, DAN DANA OTONOMI KHUSUS. Pasall Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 139/PMK.07 /2019 tentang Pengelolaan Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Otonomi Khusus (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1148) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan 211/PMK.07 /2022 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 139/PMK.07 /2019 tentang Pengelolaan Dana Bagi Hasil, jdih.kemenkeu.go.id Dana Alokasi Umum, dan Dana Otonomi Khusus (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 1334), diubah sebagai berikut:
Ketentuan angka 11, angka 13, dan angka 22 Pasal 1 diubah dan setelah angka 42 ditambahkan 2 (dua) angka, yakni angka 43 dan angka 44, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. 2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan dengan peraturan Daerah. 3. Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi bendahara umum negara. 4.
Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BA BUN adalah bagian anggaran yang tidak dikelompokkan dalam bagian anggaran kementerian negara/lembaga. Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Daftar Hasil Penelaahan Rencana Dana Pengeluaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat DHP RDP BUN adalah dokumen hasil penelaahan rencana dana pengeluaran yang memuat alokasi anggaran menurut unit organisasi, fungsi, dan program yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Anggaran atau pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Anggaran. Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat DIPA BUN adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh kuasa pengguna anggaran BUN. Transfer ke Daerah yang selanjutnya disingkat TKD adalah dana yang bersumber dari APBN dan merupakan bagian dari belanja negara yang dialokasikan dan disalurkan kepada Daerah untuk dikelola oleh Daerah dalam rangka mendanai penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. jdih.kemenkeu.go.id 9. Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah bagian dari TKD yang dialokasikan berdasarkan persentase atas pendapatan tertentu dalam APBN dan kinerja tertentu, yang dibagikan kepada Daerah penghasil dengan tujuan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antara Pemerintah dan Daerah, serta kepada Daerah lain nonpenghasil dalam rangka menanggulangi eksternalitas negatif dan/ a tau meningkatkan pemerataan dalam satu wilayah. 10. Dana Alokasi Umum yang selanjutnya disingkat DAU adalah bagian dari TKD yang dialokasikan dengan tujuan mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan dan layanan publik an tar-Daerah. 11. Dana Bagi Hasil Pajak yang selanjutnya disebut DBH Pajak adalah DBH yang dihitung berdasarkan pendapatan pajak penghasilan, pajak bumi dan bangunan, dan cukai hasil tembakau. 12. Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau yang selanjutnya disingkat DBH CHT adalah bagian dari TKD yang dibagikan kepada provinsi penghasil cukai dan/atau provinsi penghasil tembakau. 13. Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam yang selanjutnya disingkat DBH SDA adalah DBH yang dihitung berdasarkan penerimaan sumber daya alam kehutanan, mineral dan batu bara, minyak bumi clan gas bumi, panas bumi, dan perikanan. 14. Indikasi Kebutuhan Dana Transfer ke Daerah yang selanjutnya disebut Indikasi Kebutuhan Dana TKD adalah indikasi dana yang perlu dianggarkan dalam rangka pelaksanaan TKD. 15. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang memperoleh kuasa dari BUN untuk melaksanakan se bagian fungsi kuasa BUN. 16. Kepala Daerah adalah gubernur bagi daerah provinsi atau bupati bagi daerah kabupaten atau walikota bagi daerah kota. 17. Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat KPA BUN adalah pejabat pada satuan kerja dari masing-masing pembantu pengguna anggaran BUN baik di kantor pusat maupun kantor daerah atau satuan kerja di kementerian/lembaga nonkementerian yang memperoleh penugasan dari Menteri Keuangan untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN. jdih.kemenkeu.go.id 18. Kurang Bayar Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disebut Kurang Bayar DBH adalah selisih kurang antara DBH yang dihitung berdasarkan realisasi rampung penerimaan negara dengan DBH yang telah disalurkan ke Daerah atau DBH yang dihitung berdasarkan prognosis realisasi penerimaan negara pada satu tahun anggaran tertentu. 19. Lem bar Konfirmasi Transfer ke Daerah yang selanjutnya disebut LKT adalah dokumen yang memuat rincian penerimaan TKD oleh Daerah. 20. Lembar Rekapitulasi Transfer ke Daerah yang selanjutnya disebut LRT adalah dokumen yang memuat rincian penerimaan TKD oleh Daerah dalam 1 (satu) tahun anggaran. 21. Lebih Bayar Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disebut Lebih Bayar DBH adalah selisih lebih antara DBH yang dihitung berdasarkan realisasi rampung penerimaan negara dengan DBH yang telah disalurkan ke Daerah atau DBH yang dihitung berdasarkan prognosis realisasi penerimaan negara pada satu tahun anggaran tertentu. 22. Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disingkat PBB adalah pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PBB selain PBB perdesaan dan perkotaan. 23. Pajak Penghasilan Pasal 21 yang selanjutnya disebut PPh Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lainnya sehubungan dengan pekerjaan ataujabatan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi berdasarkan ketentuan Pasal 21 Undang-Undang mengenai pajak penghasilan. 24. Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang selanjutnya dise but PPh WPOPDN adalah pajak penghasilan terutang oleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri berdasarkan ketentuan Pasal 25 dan Pasal 29 Undang-Undang mengenai pajak penghasilan yang berlaku kecuali pajak penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (8) Undang-Undang mengenai pajak penghasilan. 25. Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat PPA BUN adalah unit organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN. 26. Penerimaan Negara Bukan Pajak Sumber Daya Alam yang selanjutnya disingkat PNBP SDA adalah bagian dari penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari sumber daya alam kehutanan, mineral dan jdih.kemenkeu.go.id batubara, perikanan, minyak bumi, gas bumi, dan pengusahaan panas bumi. 27. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 28. Pemerintah Daerah adalah kepala Daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. 29. Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang selanjutnya disingkat KKKS adalah badan usaha atau bentuk usaha tetap yang ditetapkan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi pada suatu wilayah kerja berdasarkan kontrak kerja sama. 30. Rencana Kerja dan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKA BUN adalah dokumen perencanaan anggaran BA BUN yang memuat rincian kebutuhan dana baik yang berbentuk anggaran belanja maupun pembiayaan dalam rangka pemenuhan kewajiban pemerintah pusat dan TKD tahunan yang disusun oleh KPA BUN. 31. Rencana Dana Pengeluaran Bendahara U mum Negara yang selanjutnya disingkat RDP BUN adalah dokumen perencanaan anggaran BA BUN yang merupakan himpunan RKA BUN. 32. Rekening Kas Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKUN adalah rekening tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku BUN untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara pada bank sentral. 33. Rekening Kas Umum Daerah yang selanjutnya disingkat RKUD adalah rekening tempat penyimpanan uang Daerah yang ditentukan oleh gubernur, bupati, atau walikota untuk menampung seluruh penerimaan Daerah dan membayar seluruh pengeluaran Daerah pada bank yang ditetapkan. 34. Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh KPA BUN/pejabat pembuat komitmen yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara. 35. Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh KPA BUN/pejabat penandatangan SPM atau pejabat lain yang ditunjuk untuk mencairkan dana jdih.kemenkeu.go.id yang bersumber dari DIPA atau dokumen lain yang dipersamakan. 36. Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku kuasa BUN untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM. 37. Ruang Fiskal Daerah adalah besarnya pendapatan Daerah yang masih bebas digunakan untuk mendanai program/kegiatan sesuai kebutuhan Daerah yang dihitung dengan mengurangkan seluruh pendapatan Daerah dengan pendapatan yang sudah ditentukan penggunaannya ( eannarked) dan belanja wajib antara lain belanja pegawai dan belanja wajib lainnya. 38. Arsip Data Komputer yang selanjutnya disingkat ADK adalah arsip data dalam bentuk softcopy yang disimpan dalam media penyimpanan digital. 39. Sistem Informasi Keuangan Daerah yang selanjutnya disingkat SIKD adalah suatu sistem yang mendokumentasikan, mengadministrasikan, serta mengolah data pengelolaan Keuangan Daerah dan data terkait lainnya menjadi informasi yang disajikan kepada masyarakat dan sebagai bahan pengambilan keputusan dalam rangka perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan pertanggungjawaban Pemerintah Daerah. 40. Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja yang selanjutnya disingkat PPPK adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja untukjangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas jabatan pemerintahan. 41. Provinsi Papua adalah provinsi-provinsi yang berada di wilayah Papua yang diberi otonomi khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. 42. Treasury Deposit Facility yang selanjutnya disingkat TDF adalah fasilitas yang disediakan oleh BUN bagi Pemerintah Daerah untuk menyimpan uang di BUN sebagai bentuk penyaluran TKD nontunai berupa penyimpanan di Bank Indonesia. 43. Kelurahan adalah bagian wilayah dari kecamatan sebagai perangkat kecamatan. 44. Urusan Pemerintahan adalah kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh kemen terian negara dan penyelenggara Pemerintahan Daerah untuk melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat. jdih.kemenkeu.go.id
Konversi Penyaluran Dana Bagi Hasil Dan/ atau Dana Alokasi Umum dalam Bentuk Nontunai.
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
Kepala Daerah adalah gubernur bagi daerah provinsi atau bupati bagi daerah kabupaten atau walikota bagi daerah kota.
Pejabat Pengelola Keuangan Daerah yang selanjutnya disingkat PPKD adalah kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah yang mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan APBD dan bertindak sebagai bendahara umum daerah.
Pendapatan Daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih.
Belanja Daerah adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih.
Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan untuk pertambangan minyak bumi dan gas bumi yang selanjutnya disebut PBB Migas adalah PBB atas bumi dan/atau bangunan yang berada di dalam wilayah kerja atau sejenisnya terkait pertambangan minyak bumi dan gas bumi yang diperoleh haknya, dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama.
Pajak Penghasilan Pasal 21 yang selanjutnya disebut PPh Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lainnya sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi berdasarkan ketentuan Pasal 21 Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan.
Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri, selanjutnya disebut PPh WPOPDN adalah Pajak Penghasilan terutang oleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri berdasarkan ketentuan Pasal 25 dan Pasal 29 Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan yang berlaku kecuali Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (8) Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan.
Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam yang selanjutnya disingkat DBH SDA adalah bagian daerah yang berasal dari penerimaan sumber daya alam kehutanan, mineral dan batubara, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan pengusahaan panas bumi.
Dana Alokasi Umum yang selanjutnya disingkat DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN kepada daerah dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran yang selanjutnya disebut SiLPA adalah selisih lebih antara realisasi pendapatan dan belanja, serta penerimaan dan pengeluaran pembiayaan dalam APBD selama satu periode pelaporan.
Posisi Kas adalah saldo kas dan setara kas daerah pada periode tertentu setelah dikurangi dengan SiLPA tahun lalu yang bersumber dari dana earmarked dan informasi lainnya tentang dana yang berkaitan.
Belanja Operasi adalah pengeluaran anggaran belanja untuk mendukung kegiatan rutin Pemerintah Daerah yang memberi manfaat dalam satu periode akuntansi.
Belanja Modal adalah pengeluaran anggaran belanja untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi.
Transfer adalah penerimaan atau pengeluaran dari suatu entitas pelaporan dari/kepada entitas pelaporan lainnya, termasuk dana perimbangan dan dana bagi hasil.
Sistem Informasi Keuangan Daerah selanjutnya disingkat SIKD adalah suatu sistem yang mendokumentasikan, mengadministrasikan, serta mengolah data terkait lainnya menjadi informasi yang disajikan kepada masyarakat dan sebagai bahan pengambilan keputusan dalam rangka perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan pertanggungjawaban Pemerintah Daerah.
Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN meliputi Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah Negara.
Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara Transfer Dana Perimbangan yang selanjutnya disebut KPA BUN Transfer Dana Perimbangan adalah satuan kerja Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara di Kementerian Negara/Lembaga yang memperoleh penugasan dari Menteri Keuangan untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan dana perimbangan.
Transfer ke Daerah adalah bagian dari belanja negara dalam rangka mendanai pelaksanaan desentralisasi fiskal berupa Dana Perimbangan, Dana Insentif Daerah, Dana Otonomi Khusus, dan Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPA BUN/Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar atau pejabat lain yang ditunjuk untuk mencairkan dana yang bersumber dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran atau dokumen lain yang dipersamakan.
Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara selaku Kuasa Bendahara Umum Negara untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM.
Setelmen adalah penyelesaian transaksi SBN yang terdiri dari setelmen dana dan setelmen kepemilikan SBN.
Rekening Surat Berharga Pemerintah Daerah adalah rekening surat berharga yang dibuka oleh masing-masing Pemerintah Daerah pada Sub-Registry. 27. Sub-Registry adalah Bank Indonesia dan pihak yang memenuhi persyaratan dan disetujui oleh Bank Indonesia untuk melakukan fungsi penatausahaan surat berharga untuk kepentingan nasabah.
Hari Kerja adalah hari kerja instansi pemerintah dan operasional sistem pembayaran yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia.
Tata Cara Pemotongan atas Lebih Bayar Dana Bagi Hasil dalam Penyaluran Kurang Bayar Dana Bagi Hasil Tahun Anggaran 2016 yang Menggunakan Pagu Penyalur ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini, yang dimaksud dengan: 1 . Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah dana yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu dari pendapatan negara untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Dana Bagi Hasil Pajak yang selanjutnya disebut DBH Pajak adalah bagian daerah yang berasal dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Penghasilan Pasal 21 dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri, dan Cukai Hasil Tembakau (CHT).
Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam yang selanjutnya disebut DBH SDA adalah bagian daerah yang berasal dari penerimaan sumber daya alam kehutanan, mineral dan batubara, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan pengusahaan panas bumi.
Kurang Bayar Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disebut Kurang Bayar DBH adalah selisih kurang antara DBH yang dihitung berdasarkan realisasi rampung penerimaan negara dengan DBH yang telah disalurkan ke daerah atau DBH yang dihitung berdasarkan prognosa realisasi penerimaan negara pada satu tahun anggaran tertentu.
Lebih Bayar Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disebut Lebih Bayar DBH adalah selisih lebih antara DBH yang dihitung berdasarkan realisasi rampung penerimaan negara dengan DBH yang telah disalurkan ke daerah atau DBH yang dihitung berdasarkan prognosa realisasi penerimaan negara pada satu tahun anggaran tertentu.