Harmonisasi Peraturan Perpajakan
Relevan terhadap
Ayat (1) Undang-Undang ini menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut. Pengertian penghasilan dalam Undang-Undang ini tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan. Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menj adi :
penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, dan penghasilan dari praktik dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya;
ii. penghasilan dari usaha dan kegiatan; iii. penghasilan dari modal, yang berupa harta bergerak ataupun harta tak bergerak, seperti bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha; dan
iv. penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah. Dilihat . Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak. Karena Undang-Undang ini menganut pengertian penghasilan yang luas maka semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satu tahun pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (kompensasi horizontal), kecuali kerugian yang diderita di luar negeri. Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan dikenai pajak dengan tarif yang bersifat final atau dikecualikan dari objek pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenai tarif umum. Contoh penghasilan yang disebut dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk memperjelas pengertian tentang penghasilan yang luas yang tidak terbatas pada contoh dimaksud. Huruf a Semua pembayaran atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan, seperti upah, gaji, premi asuransi jiwa, dan asuransi kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja, atau imbalan dalam bentuk lainnya adalah objek pajak. Pengertian imbalan dalam bentuk lainnya termasuk imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang pada hakikatnya merupakan penghasilan. Selain itu termasuk dalam pengertian penghasilan meliputi gratilikasi yang merupak".r- p.-berian yang wajar karena layanan dan manfaat yang diterima oleh pemberi gratifikasi sehubungan dengan pelaksanaan pekerjaan atau pemberian jasa. Yang dimaksud dengan "imbalan dalam bentuk natura" adalah imbalan dalam bentuk barang selain uang, sedangkan "imbalan dalam bentuk kenikmatan" adalah imbalan dalam bentuk hak atas pemanfaatan suatu fasilitas dan/atau pelayanan. Huruf b Huruf b Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Dalam pengertian hadiah termasuk hadiah dari undian, pekerjaan, serta kegiatan seperti hadiah undian tabungan dan hadiah dari pertandingan olahraga. Yang dimaksud dengan "penghargaan" adalah imbalan yang diberikan sehubungan dengan kegiatan tertentu, misalnya imbalan yang diterima sehubungan dengan penemuan benda-benda purbakala. Apabila Wajib Pajak menjual harta dengan harga yang lebih tinggi dari nilai sisa buku atau lebih tinggi dari harga atau nilai perolehan, selisih harga tersebut merupakan keuntungan. Dalam hal penjualan harta tersebut terjadi antara badan usaha dan pemegang sahamnya, harga jual yang dipakai sebagai dasar untuk penghitungan keuntungan dari penjualan tersebut adalah harga pasar. Misalnya, H S memiliki sebuah mobil yang digunakan dalam kegiatan usahanya dengan nilai sisa buku sebesar Rp40.OOO.O00,00 (empat puluh juta rupiah). Mobil tersebut dijual dengan harga Rp60.000.00O,O0 (enam puluh juta rupiah). Dengan demikian, keuntungan PT S yang diperoleh karena penjualan mobil tersebut adalah Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah). Apabila mobil tersebut dijual kepada salah seorang pemegang sahamnya dengan harga Rp55.000.OOO,0O (lima puluh lima juta rupiah), nilai jual mobil tersebut tetap dihitung berdasarkan harga pasar sebesar Rp6O.OO0.000,00 (enam puluh juta rupiah). Selisih sebesar Rp20.000.O00,00 (dua puluh juta rupiah) merupakan keuntungan bagi PT S dan bagi pemegang saham yang membeli mobil tersebut selisih sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) merupakan penghasilan. Apabila Apabila suatu badan dilikuidasi, keuntungan dari penjualan harta, yaitu selisih antara harga jual berdasarkan harga pasar dan nilai sisa buku harta tersebut, merupakan objek pajak. Demikian juga selisih lebih antara harga pasar dan nilai sisa buku dalam hal terjadi penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha merupakan penghasilan. Dalam hal terjadi pengalihan harta sebagai pengganti saham atau penyertaan modal, keuntungan berupa selisih antara harga pasar dari harta yang diserahkan dan nilai bukunya merupakan penghasilan. Keuntungan berupa selisih antara harga pasar dan nilai perolehan atau nilai sisa buku atas pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan merupakan penghasilan bagi pihak yang mengalihkan kecuali harta tersebut dihibahkan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat. Demikian juga, keuntungan berupa selisih antara harga pasar dan nilai perolehan atau nilai sisa buku atas pengalihan harta berupa bantuan atau sumbangan dan hibah kepada badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil bukan merupakan penghasilan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan. Dalam hal Wajib Pajak pemilik hak penambangan mengalihkan sebagian atau seluruh hak tersebut kepada Wajib Pajak lain, keuntungan yang diperoleh merupakan objek pajak. Huruf e Pengembalian pajak yang telah dibebankan sebagai biaya pada saat menghitung Penghasilan Kena Pajak merupakan objek pajak. trRES!DEN REPUBLIK INDONESIA 42 Sebagai contoh, Pajak Bumi dan Bangunan yang sudah dibayar dan dibebankan sebagai biaya, yang karena sesuatu sebab dikembalikan, maka jumlah sebesar pengembalian tersebut merupakan penghasilan. Huruf f Huruf g Dalam pengertian bunga termasuk pula premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang. Premium terjadi apabila misalnya surat obligasi dijual di atas nilai nominalnya sedangkan diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli di bawah nilai nominalnya. Premium tersebut merupakan penghasilan bagi yang menerbitkan obligasi dan diskonto merupakan penghasilan bagi yang membeli obligasi. Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau pemegang polis asuransi. Termasuk dalam pengertian dividen adalah:
pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun;
pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor;
pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham; 4l pembagian laba dalam bentuk saham;
pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran;
jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan yang bersangkutan;
pembayaran 7) pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan, jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statutef yang dilakukan secara sah;
pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut;
bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi;
bagian laba yang diterima oleh pemegang polis;
pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya perusahaan. Dalam praktik sering dijumpai pembagian atau pembayaran dividen secara terselubung, misalnya dalam hal pemegang saham yang telah menyetor penuh modalnya dan memberikan pinjaman kepada perseroan dengan imbalan bunga yang melebihi kewajaran. Apabila terjadi hal yang demikian maka selisih lebih antara bunga yang dibayarkan dan tingkat bunga yang berlaku di pasar, diperlakukan sebagai dividen. Bagian bunga yang diperlakukan sebagai dividen tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya oleh perseroan yang bersangkutan. Huruf h Royalti adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan cara atau perhitungan apa puh, baik dilakukan secara berkala maupun tidak, sebagai imbalan atas:
penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya;
penggunaan 2. penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial, atau ilmiah;
pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau komersial;
pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1, penggunaan atau hak menggunakan peralatan / perlengkapan tersebut pada angka 2, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada angka 3, berupa: a) penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui ' satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa; b) penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serulpa; c) penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi;
penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture filmsl, film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio; dan
pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut di atas. Huruf i Huruf i Huruf j Huruf k Huruf I Huruf m Dalam pengertian sewa termasuk imbalan yang diterima atau diperoleh dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan penggunaan harta bergerak atau harta tak bergerak, misalnya sewa mobil, sewa kantor, sewa rumah, dan sewa gudang. Penerimaan berupa pembayaran berkala, misalnya "alimentasi" atau tunjangan seumur hidup yang dibayar secara berulang-ulang dalam waktu tertentu. Pembebasan utang oleh pihak yang berpiutang dianggap sebagai penghasilan bagi pihak yang semula berutang, sedangkan bagi pihak yang berpiutang dapat dibebankan sebagai biaya. Namun, dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan bahwa pembebasan utang debitur kecil misalnya Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit Usaha Rakyat (KUR), kredit untuk perumahan sangat sederhana, serta kredit kecil lainnya sampai dengan jumlah tertentu dikecualikan sebagai objek pajak. Keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 merupakan penghasilan. Huruf n Huruf n Huruf o Cukup ^jelas Huruf p Huruf q Huruf r Cukup ^jelas. Huruf s Cukup jelas. Ayat (1a) Cukup ^jelas. Ayat (1b) Cukup ^jelas. Ayat (lc) Cukup ^jelas. Ayat (ld) Dihapus. Dalam pengertian premi asuransi termasuk premi reasuransi. Tambahan kekayaan neto pada hakekatnya merupakan akumulasi penghasilan baik yang telah dikenakan pajak dan yang bukan objek pajak serta yang belum dikenakan pajak. Apabila diketahui adanya tambahan kekayaan neto yang melebihi akumulasi penghasilan yang telah dikenakan pajak dan yang bukan objek pajak, maka tambahan kekayaan neto tersebut merupakan penghasilan. Kegiatan usaha berbasis syariah memiliki landasan filosofi yang berbeda dengan kegiatan usaha yang bersifat konvensional. Namun, penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha berbasis syariah tersebut tetap merupakan objek pajak menurut Undang-Undang ini. Ayat (21 Sesuai dengan ketentuan pada ayat (1), penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat ini merupakan objek pajak. Berdasarkan pertimbangan antara lain: perlu adanya dorongan dalam rangka perkembangan investasi dan tabungan masyarakat; -- kesederhanaan dalam pemungutan pajak; berkurangnya beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak; pemerataan dalam pengenaan pajaknya; dan memerhatikan perkembangan ekonomi dan moneter, atas penghasilan-penghasilan tersebut perlu diberikan perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajaknya. Perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajak atas jenis penghasilan tersebut termasuk sifat, besarnya, dan tata cara pelaksanaan pembayaran, pemotongan, atau pemungutan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Obligasi sebagaimana dimaksud pada ayat ini termasuk surat utang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan, seperti Medium Term Note, Floating Rate Note yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan. Surat Utang Negara yang dimaksud pada ayat ini meliputi Obligasi Negara dan Surat Perbendaharaan Negara. Ayat (3) Huruf a Bantuan atau sumbangan bagi pihak yang menerima bukan merupakan objek pajak sepanjang diterima tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau hubungan penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan. Zakat, infak, dan sedekah yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak serta serta sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama lainnya yang diakui di Indonesia yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang direrima oleh penerima sumbangan yang berhak diperlakukan sama seperti bantuan atau sumbangan. Yang dimaksud dengan "zakat" adalah zakat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenat zakat. Hubungan usaha antara pihak yang memberi dan yang menerima dapat terjadi, misalnya PT A sebagai produsen suatu jenis barang yang bahan baku utamanya diproduksi oleh PT B. Apabila PT B memberikan sumbangan bahan baku kepada PT A, sumbangan bahan baku yang diterima oleh PT A merupakan objek pajak. Harta hibahan bagi pihak yang menerima bukan merupakan objek pajak apabila diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan, badan pendidikan, atau badan sosial termasuk yayasan atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil termasuk koperasi, sepanjang diterima tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau hubungan penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan. Huruf b Cukup ^jelas Huruf c Pada prinsipnya harta, termasuk setoran tunai, yang diterima oleh badan merupakan tambahan kemampuan ekonomis bagi badan tersebut. Namun karena harta tersebut diterima sebagai pengganti saham atau penyertaan modal, maka berdasarkan ketentuan ini, harta yang diterima tersebut bukan merupakan objek pajak. Huruf d . Huruf d Daerah tertentu merupakan daerah yang memenuhi kriteria antara lain daerah terpencil, yaitu daerah yang secara ekonomis mempunyai potensi yang layak dikembangkan tetapi keadaan prasarana ekonomi pada umumnya kurang memadai dan sulit dijangkau oleh transportasi umum, baik melalui darat, laut maupun udara, sehingga untuk mengubah potensi ekonomi yang tersedia menjadi kekuatan ekonomi yang nyata, penanam modal menanggung risiko yang cukup tinggi dan masa pengembalian yang relatif panjang, termasuk daerah perairan laut yang mempunyai kedalaman lebih dari 50 (lima puluh) meter yang dasar lautnya memiliki cadangan mineral. Huruf e Penggantian atau santunan yang diterima oleh orang pribadi dari perusahaan asuransi sehubungan dengan polis asuransi kesehatair, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa, bukan merupakan objek pajak. Hal ini selaras dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) hurufl d, yaitu bahwa premi asuransi yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi untuk kepentingan dirinya tidak boleh dikurangkan dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak. Huruf f Cukup ^jelas. Huruf g Pengecualian sebagai objek pajak berdasarkan ketentuan ini hanya berlaku bagi dana pensiun yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Otoritas Jasa Keuangan. Yang dikecualikan dari objek pajak adalah iuran yang diterima dari peserta pensiun, baik atas beban sendiri maupun yang ditanggung pemberi kerja. Pada dasarnya iuran yang diterima oleh dana pensiun tersebut merupakan dana milik dari peserta pensiun, yang akan dibayarkan kembali kepada mereka pada waktunya. Pengenaan pajak atas iuran tersebut berarti mengurangi hak para peserta pensiun, dan oleh karena itu iuran tersebut dikecualikan sebagai objek pajak. Huruf h Sebagaimana tersebut dalam huruf g, pengecualian sebagai objek pajak berdasarkan ketentuan ini hanya berlaku bagi dana pensiun yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Otoritas Jasa Keuangan. Yang dikecualikan dari objek pajak dalam hal ini adalah penghasilan dari modal yang ditanamkan di bidang-bidang tertentu. Penanaman modal oleh dana pensiun dimaksudkan untuk pengembangan dan merupakan dana untuk pembayaran kembali kepada peserta pensiun di kemudian hari, sehingga penanaman modal tersebut perlu diarahkan pada bidang-bidang yang tidak bersifat spekulatif atau yang berisiko tinggi. Huruf i Untuk kepentingan pengenaan pajak, badan- badan sebagaimana disebut dalam ketentuan ini i-ang ^merupakan ^himpunan ^para ^anggotanya dikenai pajak sebagai satu kesatuan, yaitu pada tingkat badan tersebut. Oleh karena itu, bagian laba atau sisa hasil usaha yang diterima oleh para anggota badan tersebut bukan lagi merupakan objek pajak. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Yang dimaksud dengan "perusahaan modal ventura" adalah suatu perusahaan yang kegiatan irsahanya membiayai badan usaha (sebagai pasangan usaha) dalam bentuk penyertaan modal untuk suatu jangka waktu tertentu. Berdasarkan ketentuan ini, bagian laba yang diterima atau diperoleh dari perusahaan pasangan usaha tidak termasuk sebagai objek pajak, dengan syarat perusahaan pasangan usaha tersebut merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dalam sektor-sektor tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan saham perusahaan tersebut tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia. Apabila Apabila pasangan usaha perusahaan modal ventura memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf f, dividen yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura bukan merupakan objek pajak. Agar kegiatan perusahaan modal ventura dapat diarahkan kepada sektor-sektor kegiatan ekonomi yang memperoleh prioritas untuk dikembangkan, misalnya untuk meningkatkan ekspor nonmigas, usaha atau kegiatan dari perusahaan pasangan usaha tersebut diatur oleh Menteri Keuangan. Mengingat perusahaan modal ventura merupakan alternatif pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal, penyertaan modal yang akan dilakukan oleh perusahaan modal ventura diarahkan pada perusahaan-perusahaan yang belum mempunyai akses ke bursa efek. Huruf I Huruf m Cukup jelas. Bahwa dalam rangka mendukung usaha peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan diperlukan sarana dan prasarana yang memadai. Untuk itu dipandang perlu memberikan fasilitas perpajakan berupa pengecualian pengenaan pajak atas sisa lebih yang diterima atau diperoleh sepanjang sisa lebih tersebut ditanamkan kembali dalam bentuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan dimaksud. Penanaman kembali sisa lebih dimaksud harus direalisasikan paling lama dalam jangka waktu 4 (empat) tahun sejak sisa lebih tersebut diterima atau diperoleh. Untuk menjamin tercapainya tujuan pemberian fasilitas ini, maka lembaga atau badan yang menyelenggarakan pendidikan harus bersifat nirlaba. Pendidikan serta penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan bersifat terbuka kepada siapa saja dan telah mendapat pengesahan dari instansi yang membidanginya. Angka 2 Pasal 6 Huruf n Bantuan atau santunan yang diberikan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kepada Wajib Pajak tertentu adalah bantuan sosial yang diberikan khusus kepada Wajib Pajak atau anggota masyarakat yang tidak mampu atau sedang mendapat bencana alam atau tertimpa musibah. Huruf o Cukup jelas. Huruf p Cukup jelas. Ayat (1) Beban yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dapat dibagi dalam 2 (dua) golongan, yaitu beban atau biaya yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun dan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun. Beban yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun merupakan biaya pada tahun yang bersangkutan, misalnya gaji, biaya administrasi dan bunga, dan biaya rutin pengolahan limbah, sedangkan pengeluaran yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau melalui amortisasi. Di samping itu, apabila dalam suatu tahun pajak didapat kerugian karena penjualan harta atau karena selisih kurs, kerugian tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Huruf a Biaya yang dimaksud pada ayat ini lazim disebut biaya sehari-hari yang boleh dibebankan pada tahun pengeluaran. Untuk dapat dibebankan sebagai biaya, pengeluaran tersebut harus mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak. Dengan demikian, pergeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek pajak tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Contoh: Dana Pensiun A yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Otoritas Jasa Keuangan memperoleh penghasilan bruto yang terdiri dari:
penghasilan yang bukan merupakan objek pajak sesuai dengan Pasal 4 ayat (3) huruf h b. penghasilan bruto lainnya sebesar Jumlah penghasilan bruto Rp1OO.0O0.OOO,00 Ro3OO 000.000.00 (+) Rp400.0O0.000,00 Apabila seluruh biaya adalah sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), biaya yang boleh dikurangkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan adalah sebesar 314 x Rp20O.000.000,00 = Rp150.000.000,00. Demikian pula bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk membeli saham tidak dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang dividen yang diterimanya tidak merupakan objek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f. Bunga pinjaman yang tidak boleh dibiayakan tersebut dapat dikapitalisasi sebagai penambah harga perolehan saham. Pengeluaran yang tidak ada hubungannya dengan upaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, misalnya pengeluaran untuk keperluan pribadi pemegang saham, pembayaran bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk keperluan pribadi peminjam serta pembayaran premi asuransi untuk kepentingan pribadi, tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Pembayaran premi asuransi oleh pemberi kerja untuk kepentingan pegawainya boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan, tetapi bagi pegawai yang bersangkutan premi tersebut merupakan penghasilan. Pengeluaran yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto harus dilakukan dalam batas yang wajar sesuai dengan adat kebiasaan pedagang yang baik. Dengan demrkian, jika pengeluaran yang melampaui batas kewajaran tersebut dipengaruhi oleh hubungan istimewa, jumlah yang melampaui batas kewajaran tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. Selanjutnya lihat ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf f dan Pasal 18 beserta penjelasannya. Pajak yang menjadi beban perusahaan dalam rangka usahanya selain Pajak Penghasilan, misalnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Meterai (BM), Pajak Hotel, dan Pajak Restoran, dapat dibebankan sebagai biaya. Mengenai pengeluaran untuk promosi perlu dibedakan antara biaya yang benar-benar dikeluarkan untuk promosi dan biaya yang pada hakikatnya merupakan sumbangan. Biaya yang benar-benar dikeluarkan untuk promosi boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. Huruf b Pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan harta tak berwujud serta pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau amortisasi. Selanjutnya lihat ketentuan Pasal 9 ayat (2), Pasal 1 1, dan Pasal 1 1A beserta penjelasannya. Pengeluaran yang menurut sifatnya merupakan pembayaran di muka, misalnya sewa untuk beberapa tahun yang dibayar sekaligus, pembebanannya dapat dilakukan melalui alokasi. Huruf c Huruf d Huruf e di Indonesia Huruf f Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Otoritas Jasa Keuangan boleh dibebankan sebagai biaya, sedangkan iuran yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya tidak atau belum disahkan oleh Otoritas Jasa Keuangan tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang menurut tujuan semula tidak dimaksudkan untuk dijual atau dialihkan yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki tetapi tidak digunakan dalam perusahaan, atau yang dimiliki tetapi tidak digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. Kerugian karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia dalam jumlah yang wajar untuk menemukan teknologi atau sistem baru bagi pengembangan perusahaan boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan. Huruf g Biaya yang dikeluarkan untuk keperluan beasiswa, magang, dan pelatihan dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan dengan memperhatikan kewajaran, termasuk beasiswa yang dapat dibebankan sebagai biaya adalah beasiswa yang diberikan kepada pelajar, mahasiswa, dan pihak lain. Huruf h Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang Wajib Pajak telah mengakuinya sebagai biaya dalam laporan laba-rugi komersial dan telah melakukan upaya penagihan yang maksimal atau terakhir. Yang dimaksud dengan penerbitan tidak hanya berarti penerbitan berskala nasional, melainkan juga penerbitan internal asosiasi dan sejenisnya. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Yang dimaksud dengan "biaya pembangunan infrastruktur sosial" adalah biaya yang dikeluarkan untuk keperluan membangun sarana dan prasarana untuk kepentingan umum dan bersifat nirlaba. Contoh dari infrastruktur sosial antara lain rumah ibadah, sanggar seni budaya, dan poliklinik. Huruf I Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Huruf n Cukup jelas. V 9999I I ^ON YS (+) (+) (+) (+) Fnu (oo'ooo'ooo'oor du) 00'000'000009 (oo'ooo'ooo'oo6 oo-o00T00T0T ^dd (oo'ooo'ooo'ooo'r du) 'IIHIN CId (oo'ooo'ooo'ooo'rdu) (oo'ooo'ooo'oot du) (oo'ooo'ooo'ooo'rdu) 00'000'oo0'ooz ^cl5 (oo'ooo'ooo'ooz'r du) 600Z ^unqel Ie>lsg ^r8n-r ^esrg vloz ^unqBt IB>ISU ^PqB.I 600Z ^unqq IaIsU ^rEru ^esrg tloz ^unqEl lB>lsu ^BqE-I 600Z ^unqel IB>lsU ^r8n; ^esrg zloz ^unqBl lB>lsu ^BqB.I 600Z ^unr.{Bt IE>ISU ^rBn; ^esrg IrcZ ^unr{Bt IDIsU IEnd 600Z ^unqq Ie>lsu ^r8n: ^esrg oloz ^unr.{Bt IB>ISU ^BqB'I 600Z ^unqet IP>lsU IEnd dd du) : ln>IrJeq reteqes ue>ln>lelrp uer8n; e>1 rsesueduroy O0'OOO'OOO'OO8d5 IE{sU ^BqBI ^: VyOZ 00'OO0'OOO'0OIdg ^p>1sg ^BqBI ^: ilOZ 'I I H I N dd IB>lsU BqEI : ZIOZ (OO'OOO'000'00td5) 1e>lsu r8n-r : ItOZ O0'OOO'000'Og6dd Ie>lsu ^Bqel ^: OIOZ : tn>Irreq re8eqes V Jd IB>IsU ^rBnr ^eqel ^eduln>1.raq ^unqe] ^(eufl ^g ^uTBIBC ^'(qerdnr etnl sn]er Bnp rerlnu nles) 00'OOO'000'O0Z'1dg reseqes p>IsU uer8rue>1 Blrrepuaru 600Z unqet r.uelep V Jd : qoluoc ']nqesrel uer8n; e>1 e.(uledeprp unqEl qepnses e.{u1n>1uaq unqp} >1e[es relnurp lnrn]-]nrnpeq unqel (eurl) S EruBIes IB>IsU BqBI nBtp oteu uBlrseq8ued ue8uep ue>Irsesuaduoqrp lnqesJel uerBn: e>1 'uer8n: e>1 ledeprp olruq uepseq8uad r.rep ue>18ue: n>1p qeletres (t ) te.(e eped uentuele>I ue>lrEsppreq uB>IuBue{-redrp Eue,{ ue.renleBuad-ue-renle8ued e>IIf (d rc,rv - L9- vtsSNocNl vt-lEnd3ll NSCrS3dd Angka 3 Pasal 7 Rugi fiskal tahun 2OO9 sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) yang masih tersisa pada akhir tahun 2Ol4 tidak boleh dikompensasikan lagi dengan laba fiskal tahun 2015, sedangkan rugi fiskal tahun 2OIl sebesar Rp3O0.000.0OO,00 (tiga ratus juta rupiah) hanya boleh dikompensasikan dengan laba fiskal tahun 2015 dan tahun2016, karena jangka waktu lima tahun yang dimulai sejak tahun 2Ol2 berakhir pada akhir tahun 2016. Ayat (3) Dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, kepadanya diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7. Ayat (1) Untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak dari Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, penghasilan netonya dikurangi dengan jumlah Penghasilan Tidak Kena Pajak. Di samping untuk dirinya, kepada Wajib Pajak yang sudah kawin diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak. Bagi Wajib Pajak yang isterinya menerima atau memperoleh penghasilan yang digabung dengan penghasilannya, Wajib Pajak tersebut mendapat tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk seorang isteri paling sedikit Rp54.00O.000,00 (lima puluh empat juta rupiah). Wajib Pajak yang mempunyai anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus yang menjadi tanggungan sepenuhnya, misalnya orang tua, mertua, anak kandung, atau anak angkat diberikan tambahan Penghasilan Tidak I(ena Pajak untuk paling banyak 3 (tiga) orang. Yang dimaksud dengan "anggota keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya" adalah anggota keluarga yang tidak mempunyai penghasilan dan seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh Wajib Pajak. Contoh: Contoh: Wajib Pajak A mempunyai seorang isteri dengan tanggungan 4 (empat) orang anak. Apabila isterinya memperoleh penghasilan dari satu pemberi kerja yang sudah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 2l dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya, besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak A adalah sebesar Rp72.000.000,00 {Rp5a.000.000,00 ^+ ^Rp4.500.000,00 ^+ (3 x Rp4.500.0O0,00)), sedangkan untuk isterinya, pada saat pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 oleh pemberi kerja diberikan Penghasilan Tidak Kena Pajak sebesar Rp54.000.000,00 (lima puluh empat juta rupiah). Apabila penghasilan isteri harus digabung dengan penghasilan suami, besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak A adalah sebesar Rp126.000.000,00 (Rp72.000.000,00 + Rp5a.000.000,00). Ayat (2) Ayat (2a) Cukup jelas Ayat (3) Penghitungan besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan menurut keadaan Wajib Pajak pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak. Misalnya, pada tanggal 1 Januari 2021 Wajib Pajak B berstatus kawin dengan tanggungan 1 (satu) orang anak. Apabila anak yang kedua lahir setelah tanggal 1 Januari 2021, besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak B untuk tahun pajak 2O2l tetap dihitung berdasarkan status kawin dengan 1 (satu) anak. Berdasarkan ketentuan ini Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk mengubah besarnya:
Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan
batasan peredaran bruto tidak dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a1, setelah berkonsultasi dengan alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta perkembangan harga kebutuhan pokok setiap tahunnya. Angka 4 Pasal 9 Ayat (1) Pengeluaran yang dilakukan Wajib Pajak dapat dibedakan antara pengeluaran yang boleh dan yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Pada prinsipnya biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah biaya yang mempunyai hubungan langsung dan tidak langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak yang pembebanannya dapat dilakukan dalam tahun pengeluaran atau selama masa manfaat dari pengeluaran tersebut. Pengeluaran yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi pengeluaran yang sifatnya pemakaian penghasilan atau yang jumlahnya melebihi kewajaran. Huruf a Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk pembayaran dividen kepada pemilik modal, pembagian sisa hasil usaha koperasi kepada anggotanya, dan pembayaran dividen oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan badan yang membagikannya karena pembagian laba tersebut merupakan bagian dari penghasilan badan tersebut yang akan dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini. Huruf b Huruf b Huruf c Cukup jelas. Huruf d Huruf e Dihapus. Huruf f Tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan adalah biaya-biaya yang dikeluarkan atau dibebankan oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu atau anggota, seperti perbaikan rumah pribadi, biaya perjalanan, biaya premi asuransi yang dibayar oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi para pemegang saham atau keluarganya. Premi untuk asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa yang dibayar sendiri oteh Wajib Pajak orang pribadi tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, dan pada saat orang pribadi dimaksud menerima penggantian atau santunan asuransi, penerimaan tersebut bukan merupakan objek pajak. Apabila premi asuransi tersebut dibayar atau ditanggung oleh pemberi kerja, maka bagi pemberi kerja pembayaran tersebut boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi pegawai yang bersangkutan merupakan penghasilan yang merupakan objek pajak. Dalam hubungan pekerjaan, kemungkinan dapat terjadi pembayaran imbalan yang diberikan kepada pegawai yang juga pemegang saham. Karena pada dasarnya pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah pengeluaran yang jumlahnya wajar sesuai dengan kelaziman usaha, berdasarkan ketentuan ini jumlah yang melebihi kewajaran tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Jumlah wajar sebagaimana dimaksud dalam ayat ini merupakan ^jumlah yang tidak melebihi dari jumlah yang seharusnya dikeluarkan oleh pemberi kerja sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan jika dilakukan oleh pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa. Misalnya, seorang tenaga ahli yang merupakan pemegang saham dari suatu badan memberikan jasa kepada badan tersebut dengan memperoleh imbalan sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh ^juta rupiah). Apabila untuk ^jasa yang sama yang diberikan oleh tenaga ahli lain yang setara hanya dibayar sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh ^juta rupiah), ^jumlah sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh ^juta rupiah) tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Bagi tenaga ahli yang ^juga sebagai pemegang saham tersebut jumlah sebesar Rp3O.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) dimaksud dianggap sebagai dividen. Huruf g Cukup ^jelas. Huruf h Yang dimaksudkan dengan Pajak Penghasilan dalam ketentuan ini adalah Pajak Penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak yang bersangkutan. Huruf i Biaya untuk keperluan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya, pada hakekatnya merupakan penggunaan penghasilan oleh Wajib Pajak yang bersangkutan. Oleh karena itu biaya tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan. Huruf j Anggota firma, persekutuan dan perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham diperlakukan sebagai satu kesatuan, sehingga tidak ada imbalan sebagai gaji. Dengan demikian gaji yang diterima oleh ^anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham, bukan merupakan pembayaran yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto badan tersebut. Huruf k Cukup ^jelas. Ayat (2) Sesuai dengan kelaziman usaha, ^pengeluaran ^yang mempunyai peranan terhadap penghasilan untuk beberapa tahun, pembebanannya dilakukan ^sesuai dengan ^jumlah tahun lamanya ^pengeluaran tersebut berperan terhadap penghasilan. Sejalan dengan prinsip penyelarasan antara pengeluaran dengan penghasilan, dalam ketentuan ini pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai ^masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dapat dikurangkan sebagai biaya perusahaan sekaligus ^pada tahun pengeluaran, melainkan dibebankan ^melalui penyusutan dan amortisasi selama masa manfaatnya sebagaimana diatur dalam Pasal 11 dan Pasal ^11A. Angka 5 Pasal 1 1 Ayat (1) dan ayat (2) Pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud ^yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 ^(satu) tahun harus dibebankan sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dengan cara mengalokasikan pengeluaran tersebut selama masa manfaat harta berwujud melalui ^pen5rusutan. Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh tanah hak milik, termasuk tanah berstatus hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai yang ^pertama kali tidak boleh disusutkan, kecuali apabila tanah tersebut dipergunakan dalam perusahaan atau dimiliki untuk memperoleh penghasilan dengan syarat nilai tanah tersebut berkurang karena penggunaannya untuk memperoleh penghasilan, misalnya tanah dipergunakan untuk perusahaan genteng, perusahaan keramik, ^atau perusahaan batu bata. Yang dimaksud dengan "pengeluaran untuk memperoleh tanah hak guna bangunan, hak ^guna usaha, dan hak pakai yang pertama kali" adalah biaya perolehan tanah berstatus hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai dari pihak ketiga dan pengurLrsan hak-hak tersebut dari instansi yang berwenang untuk pertama kalinya, sedangkan biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai diamortisasikan selama ^jangka waktu hak-hak tersebut. Metode penyusutan yang dibolehkan berdasarkan ketentuan ini dilakukan:
dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang ditetapkan bagi harta tersebut (metode garis lurus atau straight-line metho@; atau
dalam bagian-bagian yang menurun dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku (metode saldo menurun atau declining balance methodl. Penggunaan metode pen5rusutan atas harta harus dilakukan secara taat asas. Untuk harta berwujud berupa bangunan hanya dapat disusutkan dengan metode garis lurus. Harta berwujud selain bangunan dapat disusutkan dengan metode ^garis lurus atau metode saldo menurun. Dalam hal Wajib Pajak memilih menggunakan metode saldo menurun, nilai sisa buku pada akhir masa manfaat harus disusutkan sekaligus. Sesuai dengan pembukuan Wajib Pajak, alat-alat kecil (small tools) yang sama atau sejenis dapat disusutkan dalam satu golongan. Contoh penggunaan metode garis lurus: Sebuah gedung yang harga perolehannya Rp1.000.000.OOO,O0 (satu miliar rupiah) dan masa manfaatnya 20 (dua puluh) tahun, penyusutannya setiap tahun adalah sebesar Rp50.000.000,00 (Rp1.0O0.OO0.000,00 :
. Contoh penggunaan metode saldo menurun: Sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Januari 2OO9 dengan harga perolehan sebesar Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Masa manfaat dari mesin tersebut adalah 4 (empat) tahun. Kalau tarif penyusutan misalnya ditetapkan 50% (lima puluh persen), penghitungan penyusutannya adalah sebagai berikut: Ayat (3) Pen5rusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran atau pada bulan selesainya pengerjaan suatu harta sehingga penyusutan pada tahun pertama dihitung secara pro-rata. Contoh 1: Pengeluaran untuk pembangunan sebuah gedung adalah sebesar Rp1.O00.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pembangunan dimulai pada bulan Oktober 2OO9 dan selesai untuk digunakan pada bulan Maret 2OlO. Pen5rusutan atas harga perolehan bangunan gedung tersebut dimulai pada bulan Maret tahun pajak 2010. Contoh 2: Sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Juli 2OO9 dengan harga perolehan sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Masa manfaat dari mesin tersebut adalah 4 (empat) tahun. Kalau tarif pen5rusutan misalnya ditetapkan 5oo/o (lima puluh persen), maka penghitungan penyusutannya adalah sebagai berikut: Tahun Tarif Penyusutan Nilai Sisa Buku Harga Perolehan 150.000.000,00 2009 50% 75.000.o00,00 75.000.000,00 20to 5Oo/o 37.500.000,00 37.500.000,00 20tt 5Oo/o 18.750.000,00 18.750.O00,00 2012 Disusutkan sekaligus 18.750.000,00 0,00 Tahun Tahun Tarif Pen5rusutan Nilai Sisa Buku Harga Perolehan 100.000.000,00 2009 6l12 x 5Oo/o 25.000.000,00 75.000.000,00 20to 5Oo/o 37.500.000,00 37.500.000,o0 20rI 50% 18.750.000,00 18.750.000,00 2012 5Oo/o 9.375.000,O0 9.375.000,00 20t3 Disusutkan sekaligus 9.375.000,o0 0,00 Ayat (a) Berdasarkan persetujuan Direktur Jenderal pajak, saat mulainya pen5rusutan dapat dilakukan pada bulan harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada bulan harta tersebut mulai menghasilkan. Saat mulai menghasilkan dalam ketentuan ini dikaitkan dengan saat mulai berproduksi dan tidak dikaitkan dengan saat diterima atau diperolehnya penghasilan. Contoh: PT X yang bergerak di bidang perkebunan membeli traktor pada tahun 2OO9. Perkebunan tersebut mulai menghasilkan (panen) pada tahun 2OlO. Dengan persetujuan Direktur Jenderal pajak, penyusutan traktor tersebut dapat dilakukan mulai tahun 2OlO. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Untuk memberikan kepastian hukum bagi Wajib pajak dalam melakukan penJrusutan atas pengeluaran harta berwujud, ketentuan ini mengatur kelompok masa manfaat harta dan tarif pen5rusutan baik menurut metode garis lurus maupun saldo menurun. Yang trRES!DEN REPUBLIK INDONESIA -67 - Yang dimaksud dengan "bangunan tidak permanen,, adalah bangunan yang bersifat sementara dan terbuat dari bahan yang tidak tahan lama atau bangunan yang dapat dipindah-pindahkan, yang masa manfaatnya tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun, misalnya barak atau asrama yang dibuat dari kayu untuk karyawan. Ayat (6a) Cukup jelas. Ayat (7) Dalam rangka menyesuaikan dengan karakteristik bidang usaha tertentu, seperti perkebunan tanaman keras, kehutanan, dan peternakan, perlu diberikan pengaturan tersendiri untuk penyusutan harta berwujud yang digunakan dalam bidang usaha tertentu tersebut. Ayat (8) dan ayat (9) Pada dasarnya keuntungan atau kerugian karena pengalihan harta dikenai pajak dalam tahun dilakukannya pengalihan harta tersebut. Apabila harta tersebut dijual atau terbakar, maka penerimaan neto dari penjualan harta tersebut, yaitu selisih antara harga penjualan dan biaya yang dikeluarkan berkenaan dengan penjualan tersebut dan atau penggantian asuransinya, dibukukan sebagai penghasilan pada tahun terjadinya penjualan atau tahun diterimanya penggantian asuransi, dan nilai sisa buku dari harta tersebut dibebankan sebagai kerugian dalam tahun pajak yang bersangkutan. Dalam hal penggantian asuransi yang diterima jumlahnya baru dapat diketahui dengan pasti pada masa kemudian, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal pajak agar jumlah sebesar kerugian tersebut dapat dibebankan dalam tahun penggantian asuransi tersebut. Ayat (10) Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), dalam hal pengalihan harta berwujud yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, nilai sisa bukunya tidak boleh dibebankan sebagai kerugian oteh pihak yang mengalihkan. Ayat ( 1 1) Dihapus. Angka 6 Pasal 1 1A Ayat (1) Harga perolehan harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, dan muhibah (goodwilt) yang mempunyai masa manfaat tebih dari 1 (satu) tahun diamortisasi dengan metode:
dalam bagian-bagian yang sama setiap tahun selama masa manfaat; atau
dalam bagian-bagian yang menurun setiap tahun dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas nilai sisa buku. Khusus untuk amortisasi harta tak berwujud yang menggunakan metode saldo menurun, pada akhir masa manfaat nilai sisa buku harta tak berwujud atau hak- hak tersebut diamortisasi sekaligus. Ayat (1a) Amortisasi dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran sehingga amortisasi pada tahun pertama dihitung secara pro-rata. Dalam rangka menyesuaikan dengan karakteristik bidang usaha tertentu perlu diberikan pengaturan tersendiri untuk saat dimulainya amortisasi. Ayat (2) Penentuan masa manfaat dan tarif amortisasi atas pengeluaran harta tak berwujud dimaksudkan untuk memberikan keseragaman bagi Wajib pajak dalam melakukan amortisasi. wajib Wajib Pajak dapat melakukan amortisasi sesuai dengan metode yang dipilihnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan masa manfaat yang sebenarnya dari tiap harta tak berwujud. Tarif amortisasi yang diterapkan didasarkan pada kelompok masa manfaat sebagaimana yang diatur dalam ketentuan ini. Untuk harta tidak berwujud yang masa manfaatnya tidak tercantum pada kelompok masa manfaat yang ada, maka Wajib Pajak menggunakan masa manfaat yang terdekat. Misalnya harta tak berwujud dengan masa manfaat yang sebenarnya 6 (enam) tahun dapat menggunakan kelompok masa manfaat 4 (empat) tahun atau 8 (delapan) tahun. Dalam hal masa manfaat yang sebenarnya 5 (lima) tahun, maka harta tak berwujud tersebut diamortisasi dengan menggunakan kelompok masa manfaat 4 (empat) tahun. Ayat (2al Ayat (3) Ayat (4) Cukup jelas. Cukup jelas. Metode satuan produksi dilakukan dengan menerapkan persentase tarif amortisasi yang besarnya setiap tahun sama dengan persentase perbandingan antara realisasi penambangan minyak dan gas bumi pada tahun yang bersangkutan dengan taksiran jumlah seluruh kandungan minyak dan gas bumi di lokasi tersebut yang dapat diproduksi. Apabila ternyata jumlah produksi yang sebenarnya lebih kecil dari yang diperkirakan, sehingga masih terdapat sisa pengeluaran untuk memperoleh hak atau pengeluaran lain, maka atas sisa pengeluaran tersebut boleh dibebankan sekaligus dalam tahun pajak yang bersangkutan. Ayat (5) Pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain minyak dan gas bumi, hak pengusahaan hutan, dan hak pengusahaan sumber alam serta hasil alam lainnya seperti hak pengusahaan hasil laut diamortisasi berdasarkan metode satuan produksi dengan jumlah paling tinggi 20% (dua puluh persen) setahun. Contoh: Pengeluaran untuk memperoleh hak pengusahaan hutan, yang mempunyai potensi 10.000.000 (sepuluh juta) ton kayu, sebesar Rp5O0.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) diamortisasi sesuai dengan persentase satuan produksi yang direalisasikan dalam tahun yang bersangkutan. Jika dalam 1 (satu) tahun pajak ternyata jumlah produksi mencapai 3.000.000 (tiga juta) ton yang berarti 30% (tiga puluh persen) dari potensi yang tersedia, walaupun jumlah produksi pada tahun tersebut mencapai 3Oo/o (tiga puluh persen) dari jumlah potensi yang tersedia, besarnya amortisasi yang diperkenankan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto pada tahun tersebut adalah 2oo/o (dua puluh persen) dari pengeluaran atau Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Ayat (6) Dalam pengertian pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial, adalah biaya-biaya yang dikeluarkan sebelum operasi komersial, misalnya biaya studi kelayakan dan biaya produksi percobaan tetapi tidak termasuk biaya-biaya operasional yang sifatnya rutin, seperti gaji pegawai, biaya rekening listrik dan telepon, dan biaya kantor lainnya. Untuk pengeluaran operasional yang rutin ini tidak boleh dikapitalisasi tetapi dibebankan sekaligus pada tahun pengeluaran. Ayat (7) . Ayat (7) Contoh: PT X mengeluarkan biaya untuk memperoleh hak penambangan minyak dan gas bumi di suatu lokasi sebesar Rp500.000.OO0,00. Taksiran jumlah kandungan minyak di daerah tersebut adalah sebanyak 20O.00O.OOO (dua ratus juta) barel. Setelah produksi minyak dan gas bumi mencapai 100.000.000 (seratus jutal barel, PT X menjual hak penambangan tersebut kepada pihak lain dengan harga sebesar Rp300.000.000,00. Penghitungan penghasilan dan kerugian dari penjualan hak tersebut adalah sebagai berikut: Harga perolehan Rp 500.00O.O0O,00 Amortisasi yang telah dilakukan: 1 00.0O0. 000/ 200.0O0.000 barel (s0%) Nilai buku harta Harga jual harta Rp 250.000.000,00 Rp 250.00O.000,00 Rp 300.000.000,00 Dengan demikian jumlah nilai sisa buku sebesar Rp250.000.000,00 dibebankan sebagai kerugian dan jumlah sebesar Rp300.000.000,00 dibukukan sebagai penghasilan. Ayat (8) Cukup ^jelas. Angka 7 Pasal 17 Ayat (1) Huruf a Contoh penghitungan pajak yang terutang untuk Wajib Pajak orang pribadi: Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp6.000.0OO.OO0,00 (enam miliar rupiah). Pajak Penghasilan yang terutang: 5o/o l5o/o 25'/o 3Oo/o 35o/o x Rp60.000.0O0,00 = x Rp190.000.000,00 = x Rp25O.000.O00,00 = x Rp4.500.000.000,00 = x Rp1.000.000.000,00 = Rp 3.000.000,00 Rp 28.500.000,00 Rp 62.50O.000,0O Rp1.350.000.000,00 Rp 350.00O.O00,0O (+) Rp1.794.OO0.000,OO Huruf b Contoh penghitungan pajak yang terutang untuk Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap: Penghasilan Kena Pajak PT A pada tahun pajak 2022 sebesar Rp1.500.00O.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak 2022: 22o/o x Rp1.500.000.000,00 = Rp330.000.000,00. Ayat (2) Perubahan tarif akan diberlakukan secara nasional dimulai per 1 Januari, diumumkan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sebelum tarif baru itu berlaku efektif. Ayat (2a) Dihapus. Ayat (2b) Cukup jelas. Ayat (2c) Cukup jelas. Ayat (2d) Cukup jelas. Ayat (2e) Cukup ^jelas. Ayat (3) Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tersebut akan disesuaikan dengan faktor penyesuaian, antara lain tingkat inflasi, yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan. Ayat (a) Contoh: Penghasilan Kena Pajak sebesar RpS.O5O.900,00 untuk penerapan tarif dibulatkan ke bawah menjadi RpS.050.000,0O. Ayat (5) Cukup ^jelas. Ayat (6) Contoh: Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak orang pribadi setahun (dihitung sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 16 ayat (4)): Rp584.160.000,00 (lima ratus delapan puluh empat juta seratus enam puluh ribu rupiah). Pajak Penghasilan setahun: Soh x Rp 60.000.00O,00 = Rp 3.000.000,00 15% x Rp19O.OOO.O00,0O = Rp 28.500.000,00 25o/o x Rp250.000.000,00 = Rp 62.500.000,00 30% x Rp 84.160.000,00 = Rp 25.248.000.00 (+) RpL19.248.000,00 Pajak Penghasilan yang terutang dalam bagian tahun pajak (3 bulan) ((3 x 30) :
x Rp119.248.O00,00 = Rp29.812.000,00 Ayat (7) Ketentuan pada ayat ini memberi wewenang kepada Pemerintah untuk menentukan tarif pajak tersendiri yang dapat bersifat final atas jenis penghasilan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (21, sepanjang tidak lebih tinggi dari tarif pajak tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Penentuan tarif pajak tersendiri tersebut didasarkan atas pertimbangan kesederhanaan, keadilan, dan pemerataan dalam pengenaan pajak. Angka 8
Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena pajak di dalam Daerah Pabean. Oleh karena itu, atas ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena pajak untuk konsumsi di luar Daerah Pabean dikenai ^pajak pertambahan Nilai dengan tarif Oo/o (nol persen). Pengenaan tarif Oo/o (nol persen) tidak berarti pembebasan dari pengenaan pajak pertambahan Nitai. Dengan demikian, Pajak Masukan yang telah dibayar untuk perolehan Barang Kena pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan kegiatan tersebut dapat dikreditkan. Ayat (3) Berdasarkan pertimbangan perkembangan ekonomi dan/atau peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan, tarif Pajak pertambahan Nilai dapat diubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen). Ayat (a) Yang dimaksud dengan "Dewan perwakilan Ralryat Republik Indonesia" adalah alat kelengkapan Dewan Perwakilan Ralryat Republik Indonesia yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan. Angka 3 . Angka 3 Pasal 8A Angka 4 Pasal 9 Ayat (1) Dihapus Ayat (1) Contoh:
Penerapan tarif l2o/o (dua belas persen) Pengusaha Kena Pajak A menjual tunai Barang Kena Pajak dengan Harga Jual Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Pajak Pertambahan Nilai yang terutang = l2o/o x Rp10.000.000,00 : Rp1.200.000,00. pajak Pertambahan Nilai sebesar Rpl.200.000,00 (satu juta dua ratus ribu rupiah) tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh pengusaha Kena Pajak A. b. Penerapan tarif l2o/o (dua belas persen) Seseorang mengimpor Barang Kena pajak tertentu yang dikenai tarif l2o/o (dua belas persen) dengan Nilai Impor Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai = l2o/o x Rp10.000.000,00 = Rp1.200.000,00. c. Penerapan tarif 0% (nol persen) Pengusaha Kena Pajak D melakukan ekspor Barang Kena Pajak dengan Nilai Ekspor Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Pajak ^pertambahan Nilai yang terutang = Oo/o x Rp10.000.000,00 : Rp0,00. pajak Pertambahan Nilai sebesar RpO,O0 (nol rupiah) tersebut merupakan Pajak Keluaran. Ayat (2) Dihapus. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (2) Ayat (2) Pembeli Barang Kena Pajak, penerima Jasa Kena Pajak, pengimpor Barang Kena Pajak, pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean, atau pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean wajib membayar Pajak Pertambahan Nilai dan berhak menerima bukti pungutan pajak. Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar tersebut merupakan Pajak Masukan bagi pembeli Barang Kena Pajak, penerima Jasa Kena Pajak, pengimpor Barang Kena Pajak, pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, atau pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, yang berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak. Pajak Masukan yang wajib dibayar tersebut oleh Pengusaha Kena Pajak dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran yang dipungutnya dalam Masa Pajak yang sama. Ayat (2a) Cukup ^jelas. Ayat (2b) Untuk keperluan mengkreditkan Pajak Masukan, Pengusaha Kena Pajak menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5). Selain itu, Pajak Masukan yang akan dikreditkan juga harus memenuhi persyaratan kebenaran formal dan material sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (9). Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (a) Pajak Masukan yang dimaksud pada ayat ini adalah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. Dalam Dalam suatu Masa Pajak dapat terjadi Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran. Kelebihan Pajak Masukan tersebut tidak dapat diminta kembali pada Masa Pajak yang bersangkutan, tetapi dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya. Contoh: Masa Pajak Mei 2023 Pajak Keluaran Rp2.000.000,00 Pajak Masukan yang dapat dikreditkan = Pajak yang lebih dibayar ^: Rp4 .000,00 (-) Rp2.5OO.0 00,00 (-) Rp2.500.00O,00 Pajak yang lebih dibayar tersebut dikompensasikan ke Masa Pajak Juni 2023. Masa Pajak Juni 2023 Pajak Keluaran Pajak Masukan yang dapat dikreditkan Pajak yang kurang dibayar Pajak yang lebih dibayar dari Masa Pajak Mei 2023 yang dikompensasikan ke Masa Pajak Juni 2023 Pajak yang lebih dibayar Masa Pajak Juni 2023 Rp3.000.000,00 Rp2.000.000.00 (-) Rp1.000.000,00 Rp1.500.000,00 Pajak yang lebih dibayar tersebut dikompensasikan ke Masa Pajak Juli 2023. Ayat (4a) Kelebihan Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak sesuai dengan ketentuan pada ayat (41 dikompensasikan pada Masa Pajak berikutnya. Namun, apabila kelebihan Pajak Masukan tedadi pada Masa Pajak akhir tahun buku, kelebihan Pajak Masukan tersebut dapat diajukan permohonan pengembalian (restitusi). Termasuk dalam pengertian akhir tahun buku dalam ketentuan ini adalah Masa Pajak saat Wajib Pajak melakukan pengakhiran usaha (bubar). Ayat (ab) Cukup ^jelas. Ayat (4c) Cukup jelas. Ayat (ad) Dihapus. Ayat (4e) Untuk mengurangi penyalahgunaan pemberian . ^kemudahan ^percepatan pengembalian kelebihan pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan setelah memberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak. Ayat (af) Dalam hal Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, sanksi kenaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal l7C ayat (5) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya tidak diterapkan walaupun pada tahap sebelumnya sudah diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak. Sebaliknya, sanksi administrasi yang dikenakan sesuai dengan Pasal 13 ayat (21 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya. Apabila Apabila dalam pemeriksaan dimaksud ditemukan adanya indikasi tindak pidana di bidang perpajakan, ketentuan ini tidak berlaku. Ayat (5) Yang dimaksud dengan "penyerahan yang terutang pajak" adalah penyerahan barang ataujasayang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dikenai pajak Pertambahan Nilai. Terdapat dua perlakuan pajak Masukan atas penyerahan yang terutang pajak yaitu dapat dikreditkan atau tidak dapat dikreditkan. Yang dimaksud dengan "penyerahan yang tidak terutang pajak" adalah penyerahan barang dan jasa yang tidak dikenai Pajak pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam pasal 4A dan yang dibebaskan dari pengenaan pajak pertambahan Nitai sebagaimana dimaksud dalam pasal 168. pajak Masukan atas penyerahan yang tidak terutang pajak tidak dapat dikreditkan. Pengusaha Kena Pajak yang dalam suatu Masa pajak melakukan penyerahan yang terutang pajak dan pajak Masukannya dapat dikreditkan, penyerahan yang terutang pajak yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan dan penyerahan yang tidak terutang pajak, hanya dapat mengkreditkan pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak dan Pajak Masukannya dapat dikreditkan. Bagian penyerahan yang terutang pajak tersebut harus dapat diketahui dengan pasti dari pembukuan pengusiha Kena Pajak. Contoh: Pengusaha Kena Pajak melakukan beberapa macam penyerahan, yaitu:
penyerahan yang terutang pajak dan pajak Masukannya dapat dikreditkan dengan harga jual sebesar Rp25.000.O00,00 (dua puluh lima juta rupiah) dengan Pajak Keluaran sebesar Rp3.00O.000,OO (tiga juta rupiah) dengan asumsi pengenaan tarif normal sebesar l2o/o (dua belas persen);
penyerahan yang terutang pajak dan pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan dengan harga jual sebesar Rp2O.00O.O00,OO (dua puluh juta rupiah) dengan Pajak Keluaran sebesar Rp400.000,00 (empat ratus ribu rupiah) dengan asumsi pengenaan tarif linal sebesar 2o/o (dua persen);
penyerahan yang tidak terutang Pajak pertambahan Nilai sebesar Rp5.O00.OO0,0O (lima juta rupiah) tanpa memungut Pajak Keluaran. Jumlah Pajak Keluaran yang harus dipungut sebesar Rp3.400.000,00 (tiga juta empat ratus ribu rupiah). Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan:
Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena pajak yang berkaitan dengan penyerahan yang terutang pajak dan Pajak Masukannya dapat dikreditkan sebesar Rp 1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah);
Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena pajak yang berkaitan dengan penyerahan yang terutang pajak dan Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah);
Barang Kena Pajak dan Jasa Kena pajak yang berkaitan dengan penyerahan yang tidak terutang pajak sebesar Rp3O0.000,00 (tiga ratus ribu rupiah). Jumlah Pajak Masukan yang telah dibayar sebesar Rp2.800.000,00 (dua juta delapan ratus ribu rupiah). Menurut ketentuan ini, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran sebesar Rp3.400.000,0O hanya sebesar Rpl.500.000,00 yang berasal dari Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena ^pajak yang berkaitan dengan penyerahan yang terutang pajak. Ayat (6) Dalam hal Pajak Masuk4n untuk penyerahan yang terutang pajak dan Pajak Masukannya dapat dikreditkan tidak dapat diketahui dengan pasti, cara pengkreditan Pajak Masukan dihitung berdasarkan pedoman pengkreditan pajak Masukan, yang dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan kepastian kepada Pengusaha Kena pajak. Contoh: Contoh: Pengusaha Kena Pajak melakukan 3 (tiga) macam penyerahan, yaitu:
penyerahan yang terutang pajak dan Pajak Masukannya dapat dikreditkan sebesar Rp35.000.O00,00 (tiga puluh lima juta rupiah) dengan Pajak Keluaran sebesar Rp4.200.000,00 (empat juta dua ratus ribu rupiah) dengan asumsi pengenaan tarif normal l2%o (dua belas persen);
penyerahan yang terutang pajak dan pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebesar Rp20.00O.000,OO (dua puluh juta rupiah) dengan Pajak Keluaran sebesar Rp40O.000,00 (empat ratus ribu rupiah) dengan asumsi pengenaan tarif ftnal2o/o (dua persen);
penyerahan yang tidak terutang pajak sebesar Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) tanpa memungut Pajak Keluaran. Jumlah Pajak Keluaran yang harus dipungut sebesar Rp4.600.000,00 (empat juta enam ratus ribu rupiah). Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan keseluruhan penyerahan sebesar Rp2.500.O00,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah), sedangkan Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan yang terutang pajak dan Pajak Masukannya dapat dikreditkan tidak dapat diketahui dengan pasti. Menurut ketentuan ini, Pajak Masukan sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) tidak seluruhnya dapat dikreditkan dengan ^pajak Keluaran sebesar Rp4.600.0O0,00 (empat juta enam ratus ribu rupiah). Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dihitung berdasarkan pedoman pengkreditan pajak Masukan. Ayat (6a) Cukup jelas Ayat (6b) Dihapus. Ayat (6c) Cukup jelas. Ayat (6d) Cukup jelas. Ayat (6e) Cukup jelas. Ayat (6f) Cukup jelas. Ayat (69) Cukup jelas. Ayat (7) Dihapus. Ayat (7a) Dihapus. Ayat (7b) Dihapus. Ayat (8) Pajak Masukan pada dasarnya dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran. Akan tetapi, untuk pengeluaran yang dimaksud dalam ayat ini, Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan. Huruf a Dihapus. Huruf b Yang dimaksud dengan pengeluaran yang langsung berhubungan dengan kegiatan usaha adalah pengeluaran untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen. Ketentuan Ketentuan ini berlaku untuk semua bidang usaha. Agar dapat dikreditkan, Pajak Masukan juga harus memenuhi syarat bahwa pengeluaran tersebut berkaitan dengan adanya penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai. Oleh karena itu, meskipun suatu pengeluaran telah memenuhi syarat adanya hubungan langsung dengan kegiatan usaha, masih dimungkinkan Pajak Masukan tersebut tidak dapat dikreditkan, yaitu apabila pengeluaran dimaksud tidak ada kaitannya dengan penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai. Huruf c Dihapus. Huruf d Dihapus. Huruf e Dihapus. Huruf f Cukup jelas Huruf g Cukup ^jelas Huruf h Dihapus. Huruf i Dihapus. Huruf j Dihapus. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (9a) Cukup ^jelas. Ayat (eb) Cukup jelas. Ayat (9c) Cukup jelas. Ayat (10) Dihapus. Ayat (1 1) Dihapus. Ayat (12) Dihapus. Ayat (13) Dihapus. Ayat (la) Cukup ^jelas. Angka 5 Pasal 9A Ayat (1) Dalam rangka memberikan kemudahan dan penyederhanaan administrasi perpajakan serta rasa keadilan, Menteri Keuangan dapat menentukan besarnya Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut dan disetor oleh:
Pengusaha Kena Pajak yang peredaran usahanya dalam 1 (satu) tahun buku tidak melebihi jumlah tertentu;
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu antara lain yang:
mengalami kesulitan dalam mengadministrasikan Paj ak Masukan ;
melakukan transaksi melalui pihak ketiga, baik penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak maupun pembayarannya; atau c Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak tertentu dan/atau Jasa Kena Pajak tertentu. Yang dimaksud dengan "Barang Kena Pajak tertentu dan/atau Jasa Kena Pajak tertentu" merupakan:
Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai dalam rangka perluasan basis pajak; dan
Barang Kena Pajak yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 6 Pasal 168 Ayat (1) Salah satu prinsip yang harus dipegang teguh di dalam Undang-Undang Perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semLla Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakikatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan peraturan perundang- undangan. Oleh karena itu, setiap kemudahan dalam bidang perpajakan, jika benar-benar diperlukan, harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut. Tujuan dan maksud diberikannya kemudahan pada hakikatnya untuk memberikan fasilitas perpajakan yang benar-benar diperlukan terutama untuk berhasilnya sektor kegiatan ekonomi yang berprioritas tinggi dalam skala nasional, mendorong ekspor yang merupakan prioritas nasional di kawasan tertentu atau tempat tertentu, mendorong perkembangan dunia usaha dan meningkatkan daya saing, membantu dalam penanganan bencana alam nasional dan bencana nonalam nasional, serta memperlancar pembangunan nasional. Ayat (1a) Huruf a Kemudahan perpajakan yang diberikan untuk mendorong ekspor, salah satunya berupa kemudahan dalam mendukung kegiatan pengusaha yang melakukan ekspor. Yang dimaksud dengan melakukan ekspor adalah kegiatan mengeluarkan Barang Kena Pajak Berwujud dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean tanpa melalui penyerahan kepada pihak lain. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup ^jelas. Huruf g Cukup ^jelas. Huruf h Cukup ^jelas. Huruf i Cukup ^jelas. Huruf j Kemudahan perpajakan yang diberikan untuk tujuan mendukung tersedianya barang dan jasa tertentu yang bersifat strategis dalam rangka pembangunan nasional diberikan dengan sangat selektif dan terbatas, serta mempertimbangkan dampaknya terhadap penerimaan negara. Barang Kena Pajak tertentu dan/atau Jasa Kena Pajak tertentu yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, antara larn:
barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh ralryat banyak meliputi: a) beras; b) gabah; c) ^jagung; d) sagu; e) kedelai; 0 ^garam, ^baik yang beryodium maupun ^yang tidak beryodium; g) daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus; h) telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan, atau dikemas; i) susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau dikemas atau tidak dikemas; j) buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading, danf atau dikemas atau tidak dikemas; dan k) sa5rur-sa5ruran, yaitu sa5ruran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau disimpan pada suhu rendah, termasuk sa5ruran segar yang dicacah.
jasa pelayanan kesehatan medis meliputi: a) ^jasa kesehatan tertentu, antara lain:
jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi; 2l ^jasa dokter hewan;
jasa ahli kesehatan seperti ahli akupunktur, ahli gigi, ahli gizi, dan ahli fisioterapi; 4l ^jasa kebidanan dan dukun bayi;
^jasa paramedis dan perawat;
^jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan, dan sanatorium;
jasa psikolog dan psikiater; dan
jasa pengobatan alternatif, termasuk yang dilakukan oleh paranormal; dan b) jasa kesehatan yang ditanggung oleh jaminan kesehatan nasional. 3. ^jasa pelayanan sosial, meliputi: a) jasa pelayanan panti asuhan dan panti jompo; b) jasa pemadam kebakaran; c) jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan; d) jasa lembaga rehabilitasi; e) jasa penyediaan rumah duka atau jasa pemakaman, termasuk krematorium; dan 0 jasa di bidang olahraga, yang tidak mencari keuntungan. 4. jasa keuangan, meliputi: a) jasa menghimpun dana dari masyarakat berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, danf atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu; b) jasa menempatkan dana, meminjam dana, atau meminjamkan dana kepada pihak Iain dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek, atau sarana lainnya; c) jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, berupa:
sewa guna usaha dengan hak opsi; 2l anjak piutang;
usaha kartu kredit; dan/atau 4l pembiayaan konsumen; d) jasa penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai, termasuk gadai syariah dan fidusia; dan e) ^jasa penjaminan. 5. yang dimaksud dengan 'Jasa asuransi" adalah jasa pertanggungan yang meliputi asuransi kerugian, asuransi jiwa, dan reasuransi, yang dilakukan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis asuransi, tidak termasuk jasa penunjang asuransi seperti agen asuransi, penilai kerugian asuransi, dan konsultan asuransi. 6. ^jasa pendidikan, meliputi: a) jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan profesional; dan b) jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah. 7. cukup jelas;
jasa tenaga kerja, meliputi: a) jasa tenaga kerja; b)jasa b) jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia tenaga kerja tidak bertanggung jawab atas hasil kerja dari tenaga kerja tersebut; dan c) jasa penyelenggaraan pelatihan bagi tenaga kerja. Ayat (2) Adanya perlakuan khusus berupa Pajak Pertambahan Nilai yang terutang, tetapi tidak dipungut, diartikan bahwa Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang mendapat perlakuan khusus dimaksud tetap dapat dikreditkan. Dengan demikian, Pajak Pertambahan Nilai tetap terutang, tetapi tidak dipungut. Contoh: Pengusaha Kena Pajak A memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari negara, yaitu Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut tidak dipungut. Untuk memproduksi Barang Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak A menggunakan Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak sebagai bahan baku, bahan pembantu, barang modal, ataupun sebagai komponen biaya lain. Pada waktu membeli Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak A membayar Pajak Pertambahan Nilai kepada Pengusaha Kena Pajak yang menjual atau menyerahkan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut. Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak A kepada Pengusaha Kena Pajak pemasok tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran, Pajak Masukan tetap dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran walaupun Pajak Keluaran tersebut nihil karena menikmati fasilitas Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut dari negara berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Ayat (3) Berbeda dengan ketentuan pada ayat (2),, adanya perlakuan khusus berupa pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai mengakibatkan tidak adanya Pajak Keluaran sehingga Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang memperoleh pembebasan tersebut tidak dapat dikreditkan. Contoh: Pengusaha Kena Pajak B memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari negara, yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Untuk memproduksi Barang Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak B menggunakan Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak sebagai bahan baku, bahan pembantu, barang modal, atau sebagai komponen biaya lain. Pada waktu membeli Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak B membayar Pajak Pertambahan Nilai kepada Pengusaha Kena Pajak yang menjual atau menyerahkan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut. Meskipun Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak B kepada Pengusaha Kena Pajak pemasok tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, karena tidak ada Pajak Keluaran berhubung diberikannya fasilitas dibebaskan dari pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pajak Masukan tersebut menjadi tidak dapat dikreditkan. Angka 7 Cukup ^jelas Angka 8 Pasal 16G Huruf a Dasar Pengenaan Pajak berupa nilai lain diberlakukan untuk menjamin kepastian hukum dalam hal Harga Jual, Nilai Penggantian, Nilai Impor, dan Nilai Ekspor sebagai Dasar Pengenaan Pajak sukar ditetapkan. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Cukup ^jelas. Huruf f Cukup ^jelas. Huruf g Cukup ^jelas. Huruf h Cukup ^jelas. Huruf i Cukup ^jelas.
Pedoman Penggunaan Sistem Informasi Kredit Program
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Menteri Keuangan yang selanjutnya disebut Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
Sistem Informasi Kredit Program yang selanjutnya disingkat SIKP adalah sistem informasi elektronik yang digunakan untuk menatausahakan dan menyediakan informasi penyaluran kredit program.
Kredit Program adalah kredit/pembiayaan usaha yang disalurkan oleh lembaga keuangan, badan layanan umum, dan/atau koperasi yang memperoleh fasilitas dari Pemerintah untuk pembiayaan usaha mikro, kecil, dan menengah.
Kredit Usaha Rakyat yang selanjutnya disingkat KUR adalah salah satu skema Kredit Program kepada debitur usaha yang produktif dan layak namun belum memiliki agunan tambahan atau agunan tambahan belum cukup.
Penyelenggara SIKP adalah pemangku kepentingan yang membangun, mengembangkan, dan mengelola SIKP.
Pengguna SIKP adalah pemangku kepentingan yang memiliki hak untuk menggunakan SIKP.
Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan.
Pengelola SIKP adalah pihak yang berwenang mengelola SIKP.
Penyedia SIKP adalah pihak yang membangun dan mengembangkan SIKP.
Kode Pengguna adalah kode kewenangan Pengguna SIKP yang diberikan oleh Pengelola SIKP.
Kode Akses adalah angka, huruf, simbol, karakter lainnya atau kombinasi di antaranya, yang merupakan kunci untuk dapat mengakses SIKP.
Hak Akses adalah hak yang diberikan kepada Pengguna SIKP untuk mengakses SIKP.
Penyalur adalah lembaga yang bekerja sama dengan Pemerintah untuk menyalurkan KUR.
Penjamin adalah perusahaan penjamin yang memberikan penjaminan KUR.
Badan Layanan Umum Pengelola Dana yang selanjutnya disebut BLU Pengelola Dana adalah badan layanan umum yang melakukan pengelolaan dana untuk pemberian fasilitas pembiayaan bagi usaha mikro, kecil, dan menengah.
Kementerian Negara/Lembaga adalah kementerian negara/lembaga Pemerintah non kementerian negara/lembaga negara.
Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kewenangan dan tanggung jawab dari pengguna anggaran untuk menggunakan anggaran pemberian fasilitas pembiayaan bagi usaha mikro, kecil, dan menengah yang dikuasakan kepadanya.
Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan.
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Atas Penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor Tertentu Yang Ditanggung Pemerintah ...
Relevan terhadap
bahwa untuk lebih meningkatkan daya beli masyarakat di sektor industri kendaraan bermotor guna mendorong serta mempercepat pemulihan ekonomi nasional, perlu memberikan perluasan cakupan kendaraan bermotor tertentu dan mengubah pemenuhan persyaratan jumlah pembelian lokal ( local purchase ) untuk kendaraan bermotor tertentu yang diberikan insentif pajak penjualan atas barang mewah ditanggung Pemerintah;
bahwa untuk mendukung sektor industri kendaraan bermotor dan keberlangsungan dunia usaha sektor industri kendaraan bermotor yang terdampak pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), perlu diberikan dukungan Pemerintah berupa insentif pajak penjualan atas barang mewah atas penyerahan barang kena pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor tertentu ditanggung Pemerintah;
bahwa Peraturan Menteri Keuangan Nomor 20/PMK.010/2021 tentang Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah berupa Kendaraan Bermotor Tertentu yang Ditanggung Pemerintah Tahun Anggaran 2021 masih belum cukup meningkatkan daya beli masyarakat di sektor industri kendaraan bermotor sehingga perlu diganti;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah berupa Kendaraan Bermotor Tertentu yang Ditanggung Pemerintah Tahun Anggaran 2021;
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 223/PMK.011/2012 tentang Pemberian Dukungan Kelayakan atas Sebagian Biaya Konstruksi pada Proyek Kerja ...
Penerapan terhadap Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
Relevan terhadap
Peraturan Pemerintah ini diundangkan. mulai berlaku pada tanegal Agar Agar setiap pengundangan penempatannya Indonesia. 34 orang mengetahuinya, memerintahkan Peraturan Pemerintah ini dengan dalam kmbaran Negara Republik Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Desember 2O22 JOKO WIDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 2 Desember 2022 MENTERI SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd. PRATIKNO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2022 NOMOR 217 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44TAHUN2022 TENTANG PENERAPAN TERHADAP PA.JAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUAI.,AN ATAS BARANG MEWAH I. UMUM Dalam rangka meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan dan mendukung percepatan pemulihan perekonomian; mengoptimalkan penerimaan negara guna membiayai pembangunan nasional secara mandiri menuju masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera; mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum; melaksanakan reformasi administrasi, kebijakan perpajakan yang konsolidatif, dan perluasan basis perpajakan; dan meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak, telah diundangkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Pengaturan yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 l.entang Harmonisasi Peraturan Perpajakan meliputi pengaturan tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan, pajak penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, program pengungkapan sukarela wajib pajak, pajak karbon, dan cukai. Dengan Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2O2l tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, terdapat pengaturan mengenai tarif, cara menghitung, penggunaan besaran tertentu dalam memungut dan menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai, serta penunjukan pihak lain untuk melakukan pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan pajak, yang perlu diatur lebih lanjut. Selain itu, pengaturan mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2O2l tentang Perlakuan Perpajakan untuk Mendukung Kemudahan Berusaha sudah tidak sesuai dengan kebutuhan administrasi Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah serta pengaturan dalam Undang-Undalg Nomor 7 Tahun 2021 terftang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Oleh karena itu, dalam rangka memberikan kepastian hukum, melakukan penyederhanaan administrasi, memberikan kemudahan dan keadilan di bidang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah kepada wajib pajak, dan melakukan simplifrkasi regulasi, perlu untuk menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penerapan terhadap Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Talrun 2OL2 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2OO9 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2O2l tentang Perlakuan Perpajakan untuk Mendukung Kemudahan Berusaha. il Peraturan Pemerintah ini memberikan pengaturan, penegasan, dan penjelasan lebih lanjut atas pengaturan mengenai kerja sama operasi, tanggung ^jawab secara renteng pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma, penyerahan yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai, penyerahan Barang Kena Pajak melalui penyelenggara lelang, penyerahan Barang Kena Pajak berupa agunan yang diambil alih oleh kreditur, penyerahan Barang Kena Pajak dalam skema transaksi pembiayaan syariah, ketentuan penghitungan Pajak Pertambahan Nilai dengan besaran tertentu, konversi kurs atas transaksi dengan mata uang selain Rupiah, pengkreditan Pajak Masukan yang tercantum dalam dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak, dan penunjukan pihak lain untuk memungut, menyetor, dan/atau melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terutang. PASAL DEMI PASAL Pasal I Cukup ^jelas. Pasa] 2 Ayat ^(1) Cukup ^jelas, Ayat (2) Pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak mempunyai akibat hukum yang luas antara lain berkaitan dengan pembuatan Faktur Pajak, penerapan tarif 0% (nol persen), pengkreditan Pajak Masukan, dan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Agar pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualaa atas Barang Mewah terlaksana secara efektif, sudah sewajarnya apabila Pengusaha yang sejak semula bermaksud melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak berwujud, ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud, dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak dapat melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Ayat (3) Cukup ^jelas. Pasal 3 Ayat (1) Bentuk pengaturan bersama merupakan pengaturan 2 (dua) pihak atau lebih yang memiliki pengendalian bersama yang terdiri atas kerja sama operasi (joint operation) dan ventura bersama. Ayat (2) Contoh bentuk kerja sama operasi ya.rg wajib untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak: PT ABC dan PI DEF membentuk kerja sama operasi dengan nama KSO A-D dalam rangka pelaksanaan proyek kepada pelanggan (pemilik proyek). Dalam perjanjian kerja dengan pelanggan diatur bahwa semua transaksi penyerahan Barang Kena Pajak danlalau Jasa Kena Pajak kepada pelanggan dilakukan atas nama KSO A-D, Berdasarkan hal di atas:
KSO A-D wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
KSO A-D wajib membuat Faktur Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pelanggan; dan
apabila dalam rangka kerja sama operasi tersebut, PT ABC atau PT DEF melakukan penyerahan langsung kepada pelanggan, maka penyerahan tersebut dianggap sebagai penyerahan dari PT ABC atau PT DEF kepada KSO A-D, sehingga PT ABC atau PT DEF harus membuat Faktur Pajak kepada KSO A-D dan KSO A-D membuat Faktur Pajak kepada pelanggan. Contoh bentuk kerja sama operasi yang tidak wajib untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak: PT X dan PI Y membentuk kerja sama operasi dengan nama KSO X-Y dalam rangka pelaksanaan proyek kepada pelanggan. Dalam perjanjian kerja dengan pelanggan diatur bahwa semua transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pelanggan dilakukan atas nama PT X. Berdasarkan hal tersebut, dalam rangka pelaksanaan proyek ini, KSO X-Y tidak wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak karena secara nyata tidak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pelanggan. Pasal 4 Cukup ^jelas. Pasal 5 Cukup ^jelas. Pasal 6 Ayat ^(1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Contoh pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak berupa pemberian barang untuk promosi oleh suatu perusahaan kepada relasi bisnis atau pihak lain. Sedangkan contoh pemberian cunra-cuma Jasa Kena Pajak berupa pemberian baatuan penggunaan alat berat oleh perusahaan jasa persewaan alat berat kepada masyarakat. Ayat (5) Cukup ^jelas. Pasal 7 Sesuai dengan penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf c Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yang menyatakan bahwa penyerahan ^jasa yang terutang pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut:
^jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak;
penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan
penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya, maka terutangnya Pajak Pertambahan Nilai tidak mensyaratkan apakah ^jasa harus dikonsumsi atau dimanfaatkan di dalam Daerah Pabean atau tidak. Contoh 1: A Corp. yang berdomisili di Jepang lagu kepada PT B di Indonesia untuk dibuatkan penulisan not balok atas lagu tersebut. Penulisan not balok yang telah selesai dikirim kembali ke Jepang. Atas ^jasa penulisan not balok yang dilakukan oleh PI B tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai. Contoh 2: Z Corp. yang berdomisili di Korea Selatan berencana memasarkan produknya di Indonesia. Oleh karena itu, Z Corp. menyewa PT DEF di Indonesia untuk melakukan survei pasar di Indonesia. Jasa survei yang dilakukan oleh PT DEF tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai. Pasal 8 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan "aktivitas operasional" merupakan aktivitas penghasil utama pendapatan Pengusaha Qtincipal reuenue producing actiuitiesl dan aktivitas lain yang bukan merupakan aktivitas investasi dan aktivitas pendanaan. Termasuk dalam kategori aktivitas operasional adalah transaksi dan peristiwa atau kejadian yang efeknya ikut dipertimbangkan dalam penentuan laba rugi operasional (operating incomel. Yang dimaksud dengan "aktivitas nonoperasional" merupakan aktivitas selain aktivitas operasional sebagaimana dimaksud di atas. Contoh: PT DEF merupakan perusahaan ^jasa konstruksi. Selain melakukan penyerahan jasa konstruksi, PT DEF ^juga menyewakan sebagian ruang kantornya untuk kafetaria kepada pihak lain. Atas penyerahan ^jasa konstruksi termasuk dalam pengertian aktivitas operasional, sedangkan penyerahan jasa persewa€rn ruangan untuk kafetaria termasuk dalam pengertian aktivitas nonoperasional. Pasal 9 Cukup ^jelas. Pasal 1O Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Contoh l: Sehubungan dengan tidak dapat diselesaikannya kewajiban Tuan A sebagai debitur kepada Bank B sebagai kreditur, Bank B melakukan eksekusi agunan berupa kavling tanah milik Tuan A berdasarkan hak tanggungan atas tanah tersebut. Bank B melakukan penjualan kavling tanah tersebut kepada Tuan C sebagai Pembeli melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan. Penjualan kavling tanah oleh Bank B kepada T\ran C termasuk penyerahan Barang Kena Pajak yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai. Contoh 2: PI D sebagai kreditur merupakan perusahaan pembiayaan yang melakukan eksekusi objek pembiayaan berupa sepeda motor dari Tuan E sebagai debitur berdasarkan ^jaminan Iidusia. PT D melakukan penjualan sepeda motor tersebut kepada Tuan F sebagai Pembeli melalui penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan harga antara PT D dan T\ran E sebelum agunan dijual. Penjualan sepeda motor oleh PT D kepada Tuan F termasuk penyerahan Barang Kena Pajak yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai. Ayat (3) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Cukup ^je1as. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan ^opembebanan sejenis lainnya" merupakan pembebanan yang memiliki fungsi yang sama atau serupa dengan hak tanggungan, ^jaminan lidusia, hipotek, atau gadai. Ayat (4) Cukup ^jelas. Pasal 11 Cukup ^jelas. REPUE|JK IHDONESIA Pasal 12 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "penyerahan Barang Kena Pajak dalam skema transaksi pembiayaan syariah" antara lain:
penyerahan Barang Kena Pajak dalam rangka penerbitan sukuk, termasuk penyerahan Barang Kena Pajak ke dan dari perusahaan penerbit sukuk (special ptrpose entity; dan
penyerahan Barang Kena Pajak dalam skema perdagangan komoditi berdasarkan prinsip syariah di bursa komoditi dengan mekanisme perdagangan dengan penjualan lanjutan di pasar komoditi syariah, yang terjadi dalam rangka memenuhi prinsip syariah. Barang Kena Pajak yang diserahkan dalam rangka penerbitan sukuk merupakan aset sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal syariah. Contoh penyerahan Barang Kena Pajak dalam rangka penerbitan sukuk: PT A sebagai emiten menerbitkan sukuk ijarah yang didasarkan pada objek ijarah berupa kendaraan sebagai underlging dan pada saat yang bersamaan investor menyerahkan sejumlah dana kepada PT A. Atas penerbitan sukuk tersebut, PT A mengalihkan kendaraan kepada investor dan investor menerima manfaat objek ijarah dari PT A. PT A melakukan pembayaral sewa berupa ctcilan fee ijarah secara periodik sesuai dengan waktu yang telah diperjanjikan beserta sisa pe ijarah pada saat jatuh tempo sukuk. Investor mengalihkan kendaraan kepada PT A pada saat jatuh tempo sukuk. Berdasarkan uraian tersebut di atas, penyerahan kendaraan yang merupakan objek ijarah dalam rangka penerbitan sukuk oleh:
PT A kepada investor pada saat penerbitan sukuk; dan
investor kepada PT A pada saat ^jatuh tempo sukuk, tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pqiak. Contoh perdagangan dengan penjualan lanjutan di pasar komoditi syariah: T\ran A sebagai nasabah Bank Syariah B mengajukan permohonan pinjaman sebesar RpI0O.OOO.OOO,OO (seratus juta rupiah) kepada Bank Syariah B yang merupakan peserta komersial di pasar komoditi syariah. Atas permohonan tersebut, dalam rangka memenuhi prinsip syariah, Bank Syariah B membeli Crude Palm OiI (CPO) dari anggota kelompok pedagang C yang terdiri atas pedagang 1, pedagang 2, darr pedagang 3 yang merupakan peserta pedagang komoditi di pasar komoditi syariah. Salah satu anggota kelompok pedagang C menyerahkan CPO kepada Bank Syariah B dan Bank Syariah B melakukan pembayaran sebesar Rp1O0.O0O.0O0,O0 (seratus ^juta rupiah) kepada anggota kelompok pedagang C. Kemudian, Bank Syariah B menjual CPO tersebut senilai Rpl10.00O.0O0,O0 (seratus sepuluh ^juta rupiah) kepada T\ran A dan Tuan A membayar secara angsuran selama 1 (satu) tahun sesuai kesepakatan dalam akad murabahah. Selanjutnya, T\ran A menjual CPO tersebut kepada anggota kelompok pedagang C seharga Rp1O0.OOO.00O,00 (seratus juta rupiah) sehingga CPO yang menjadi objek perdagangan komoditi berdasarkan prinsip syariah kembali kepada pihak yang sama yaitu anggota kelompok pedagang C. Berdasarkan uraian tersebut di atas, penyerahan CPO oleh:
aflggota kelompok pedagang C kepada Bank Syariah B;
Bank Syariah B kepada T: an A; dan
Tuan A kepada anggota kelompok pedagang C, tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak. Dalam Dalam hal pemilik asal CPO tidak mendapatkan kembali CPO dalam jumlah dan nilai yang sama maka transaksi tersebut termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak yang terutang Pajak Pertambahan Nilai. Pasal 13 Cukup ^jelas. Pasal 14 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Contoh: PT ABC merupakan produsen Barang Kena Pajak A yang tergolong mewah, Dalam menghasilkan Barang Kena Pajak A, PT ABC juga membeli Barang Kena Pajak B yang tergolong mewah yang akan dipasang pada Barang Kena Pajak A yang dihasilkannya. Atas perolehan Barang Kena Pajak B tersebut, PT ABC telah membayar Pajak Penjualan atas Barang Mewah sehsar Rp4SO.OO0,OO (empat ratus lima puluh ribu rupiah). Apabila harga produksi Barang Kena Pajak A sebesar RpI6O.0O0.O00,O0 (seratus enam puluh juta rupiah) dan keuntungan yang diinginkan PT ABC sebesar Rp4O.000.O00,OO (empat puluh juta rupiah) maka Harga Jual Barang Kena Pajak A tersebut sebesar Rp200,450.000,00 (dua ratus juta empat ratus lima puluh ribu rupiah). Pada tanggal I September 2022, PT ABC melakukan penyerahan Barang Kena Pajak A. Dengan demikian, pajak yang terutang atas penyerahan tersebut: Pajak Pertambahan Nilai (tarif yang berlaku sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai) = llo/oX Rp2OO.45O.O0O,O0 = Rp 22.O49.5OO,OO Pajak Penjualan atas Barang Mewah $anf 2O%l = 2Oo/oX Rp20O.450.00O,00 = Rp40.O90.000,O0 Ayat (3) Contoh 1: PT X yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah menjual Barang Kena Pajak tersebut kepada PT A dengaa Harga Jual sebesar Rp1OA.0O0.O0O,OO (seratus ^juta rupiah) pada tanggal 1 September 2022. Atas penjualan tersebut dikenai Pajak Pertambahan Nilai sesuai tarif yang berlaku dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebesar 207o (dua puluh persen). Dasar pengenaan pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut adalah sebesar Rp10O.0OO.000,00 (seratus juta rupiah), tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut. Dengan demikian, ^jumlah yang dibayar oleh PI A yaitu sebagai berikut: Dasar pengenaan pajak (Harga Jual) = Rp100.000.000,00 Pajak Pertambahan Nilai = Rp 11.000.000,00 Pajak Penjualan atas Barang Mewah = Rp 20.0O0.000.00 ^+ Jumlah yang dibayar oleh PI A = Rp131.000.00O,00 Contoh 2: PT C mengimpor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah dengan nilai impor sebesar Rp2O0.000.00O,00 (dua ratus ^juta rupiah) pada tanggal I September 2022. Atas impor tersebut dikenai Pajak Pertambahan Nilai sesuai tarif yang berlaku dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebesar 30% (tiga puluh persen). Dasar pengenaan pajak atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut adalah sebesar Rp2OO.O0O.0O0,O0 (dua ratus juta rupiah), tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dikenakan atas impor Barang Kena Pajak tersebut. Dengan demikian, ^jumlah yang dibayar oleh PT C yaitu sebagai berikut: Dasar pengenaan pajak (nilai impor) = Rp2OO.OOO.OOO,O0 Pajak Pert^ambahan Nilai = Rp 22.0OO.OO0,OO Pajak Penjualan atas Barang Mewah = Rp 6O.O0O.OOO.0O ^+ Jumlah yang dibayar oleh PT C = Rp282.OO0.OOO,0O REFUBLjK INDONESIA Ayat (4) Contoh 1 sebagaimana dimaksud pada penjelasan ayat (3), PT A menjual Barang Kena Pajak tersebut kepada PI B dengan keuntungan yang diharapkan sebesar Rp 15.000.000,00 (lima belas ^juta rupiah) pada tanggal 30 September 2O22. Dasar pengenaan pajak atas penjualan tersebut termasuk Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak tersebut. Dengan demikian, ^jumlah yang dibayar oleh PT B yaitu sebagai berikut: Harga beli PT A = Rp100,000.0O0,00 Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dibayar = Rp 20.000.000,00 Keuntungan yang diharapkan = Ro 15.000.000.00 ^+ Dasar pengenaan pajak = Rp135.000.000,00 Pajak Pertambahan Nilai 1l% x Rp135.000.000,00 Jumlah yang dibayar oleh PI B = Rp149.850.000,00 Contoh 2 sebagaimana dimaksud pada penjelasan ayat (3), PT C menjual Barang Kena Pajak tersebut kepada PT D dengan keuntungan yang diharapkan sebesar Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) pada tanggal 30 September 2O22. Dasar pengenaan pajak atas penjualan tersebut termasuk Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dibayar atas impor Barang Kena Pajak tersebut. Dengan demikian, jumlah yang dibayar oleh PT D yaitu sebagai berikut: Nilai impor PI C = Rp2O0.OOO.OOO,O0 Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dibayar = Rp 60.000.000,00 Keuntungan yang diharapkan = Rp 40.000.0O0.00 ^+ Dasar pengenaan pajak = Rp3O0.00O.OO0,O0 Pajak Pertambahan Nilai 11olo x Rp3OO.OO0.0OO,00 - Rp 33.0O0.000.00 ^+ Jumlah yang dibayar oleh PI D = Rp333.000.000,00 + REI'UEUK INDONESIA Pasal 15 Ayat (1) Dalam rangka memberikan kemudahan dan penyederhanaan administrasi perpajakan serta rasa keadilan, Menteri dapat menentukan besarnya Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut dan disetor oleh:
Pengu.saha Kena Pajak yang peredaran usahanya dalam 1 (satu) tahun buku tidak melebihi jumlah tertentu;
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu antara lain yang:
mengalami kesulitan dalam Pajak Masukan;
melakukan transaksi melalui pihak ketiga, baik penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak maupun pembayarannya; atau
memiliki kompleksitas proses bisnis sehingga pengenaan Pajak Pertambahan Nilai tidak dilakukan dengan mekanisme normal; dan/atau
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak tertentu dan/atau Jasa Kena Pajak tertentu. Yang dimaksud dengan "Barang Kena Pajak tertentu dan/atau Jasa Kena Pajak tertentu" merupakan:
Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai dalam rangka perluasan basis pajak; dan
Barang Kena Pajak yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan tersebut pada prinsipnya telah diperhitungkan atau dianggap telah dikreditkan dalam penghitungan Pajak Keluaran dengan menggunakan besaran tertentu. Bagi ELIK INDONESIA Bagi Pengusaha Kena Pajak Pembeli atau Penerima Jasa yang seharusnya sudah membayar Pajak Pertambahan Nilai dengan besaran tertentu, dapat mengkreditkan Pajak Masukan sesuai dengan ketentuan pengkreditan Pajak Masukan. Ayat (a) Contoh l: Pf KLM merupakan Pengusaha Kena Pajak yang menggunakan besaran tertentu dalam memungut dan menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak tertentu. Dalam hal F,f KLM melakukan penyerahan Barang Kena Pajak tertentu kepada Pengusaha yang berada di kawasan tertentu sehingga Pajak Pertambahan Nilai terutang tidak dipungut maka:
Pajak Pertambahan Nilai terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak tertentu dihitung dengan menggunakan besaran tertentu;
Pajak Pertambahan Nilai terutang sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak dipungut; dan
Pajak Masukan yang diperoleh PT KLM atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang berhubungan dengan penyerahan Barang Kena Pajak tertentu yang Pajak Pertambahan Nilai terutangnya tidak dipungut, tidak dapat dikreditkan. Contoh 2: Pt CDE merupakan Pengusaha Kena Pajak yang mempunyai peredaran usaha dalam I (satu) tahun buku tidak melebihi jumlah tertentu dan menggunakan besaran tertentu dalam memungut dan menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai terutang. PT CDE melakukan penyerahan Barang Kena Pajak yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Atas penyerahan tersebut:
Pajak Pertambahan Nilai terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dihitung dengan menggunakan besaran tertentu; REPUBUK TNDONESIA atas penyerahan Barang Kena Pajak dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai; dan Pajak Masukan yang diperoleh PT CDE atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang berhubungan dengan penyerahan Barang Kena Pajak yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan. Pasal 16 Untuk memberikan keadilan, kepastian hukum, dan menghindari pembebanan Pajak Pertambahan Nilai berganda bagi Pengusaha Kena Pajak yang memungut Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan besaran tertentu, diperlukan pengaturan penggunaan dasar pengenaan pajak berupa nilai tertentu sebesar Rp0,O0 (nol rupiah). Pada prinsipnya, pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak juga menganut prinsip penghindaran pembebanan Pajak Pertambahan Nilai berganda. Oleh karena itu, penggunaan dasar pengenaan pajak berupa nilai tertentu sebesar Rp0,0O (nol rupiah) tersebut pada dasarnya ^juga diterapkan atas pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma- cuma Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak bagi Pengusaha Kena Pajak yang memungut Pqiak Pertambahan Nilai atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan besaran tertentu. Contoh: b c Yl KZL mempunyai 1 (satu) cabang yang terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Meulaboh, tetapi tidak melakukan pemusatan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terutang. W Y\ZL melakukan penyerahan kendaraan bermotor bekas dan aksesoris kendaraan bermotor kepada cabangnya yang terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Meulaboh. Harga pokok penjualan atau harga perolehan kendaraan bermotor bekas yang diserahkan sebesar Rp10O.0OO.O00,0O (seratus juta rupiah) dan harga pokok penjualan atau harga perolehan aksesori kendaraan bermotor yang diserahkan sebesar Rp1.5OO.O00,OO (satu juta lima ratus ribu rupiah). Oleh karena itu, atas penyerahan berupa:
kendaraan bermotor bekas, Pf KZL memungut Pajak Pertambahan Nilai menggunakan besaran tertentu dengan dasar pengenaan pajak berupa nilai tertentu sebesar Rp0,00 (nol rupiah); dan
aksesori kendaraan bermotor, W KZL memungut Pajak Pertambahan Nilai sebesar tarif Pajak Pertambahan Nilai yang berlaku dikalikan dengan dasar pengenaan pajak berupa nilai Iain sebesar harga pokok penjualan atau harga perolehan sebesar Rp1.50O.000,OO (satu juta lima ratus ribu rupiah). Pasal 17 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "'I- merupakan besamya tarif Pajak Pertambahan Nilai yang berlaku sesuai dengan Pasal 7 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai atau formula tertentu dikalikan dengan tarif Pajak Pertambahan Nilai yang berlaku sesuai dengan Pasal 7 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Ayat (21 Yang dimaksud dengan "t" merupakan besarnya tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah. REPTIELIK INDONESIA Ayat (3) Berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui: Harga Jual = Rp10.0OO.OO0,OO Dasar pengenaan pajak dalam contoh ini adalah = Rp10.OOO.0O0,OO Ayat (a) Contoh sebagaimana dimaksud pada penjelasan ayat (3) maka Pajak Pertambahan Nilai yang tenrtang yaitu sebesar 117o x Rp1O.0O0.O00,00 = Rp1. 1O0.00O,0O. Atas penyerahan tersebut ^juga terutang Pajak Penjualan atas Barang Mewah misalnya dengan tarif 2OYo (dua puluh persen) maka Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang yaitu sebesar 2O% x Rp10.000.000,00 = Rp2.000.000,00. Ayat (s) Cukup ^jelas. Pasa] 18 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Contoh: Pada tanggal I September 2022, PT A membuat kontrak penyerahan Barang Kena Pajak. Apabila dalam kontrak atau perjanjian tertulis dinyatakan bahwa nilai kontrak sebesar Rp131.000.0O0,O0 (seratus tiga puluh satu ^juta rupiah) sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif sebesar 11% (sebelas persen) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 2Oo/o (dua puluh persen), penghitungan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yaitu sebagai berikut: Pajak Pertambahan Nilai = 110/o : - --+ x Rp131.000.000,00 = Rp11.000.000,00 llooo/o+ ^1 ^lYo|+2oo/o Pajak Penjualan atas Barang Mewah = 2Oo/o x Rp131.0OO.00O,00 = Rp20.000.0O0,00 ll00o/o+ ^l ^lYol+2oo/o REPUBIJK INDONESIA Ayat (3) Sebagaimana contoh dalam penjelasan ayat (2), apabila dalam kontrak atau perjanjian tertulis tidak dinyatakan bahwa Pajak Pertambahan Nilai dan P4lak Penjualan atas Barang Mewah termasuk dalam nilai kontrak, besarnya dasar pengenaan pajak untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai adalah sebesar Rp 131.000.OO0,0O (seratus tiga puluh satu ^juta rupiah) sehingga penghitungan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yaitu sebagai berikut: Dasar pengenaan pajak = Rp131.0O0.O0O,00 Pajak Pertambahan Nilai (llo/o x Rp131.000.000,00) = Rp 14.410.000,00 Pajak Penjualan atas Barang Mewah (2Oo/o x Rp131.000.000,00) = Rp 26.20O.000'0O Pasal 19 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "piutang" merupakan piutang yang timbul karena penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak. Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak. Contoh: Pada bulan September 2022, Yl A telah menjual Barang Kena Pajak dengan nilai Rp10O.000.O00,00 (seratus ^juta rupiah) kepada PT B dengan mekanisme penjualan kredit. Transaksi tersebut oleh PI A dicatat sebagai piutang sedangkan oleh PT B dicatat sebagai utang. Untuk kepentingan ^pemenuhan kewajiban Pajak Pertambahan Nilai, PI A membuat Faktur Pajak dengan nilai Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp11.00O.00O,00 (sebelas ^juta rupiah) dan menyerahkan Faktur Pajak tersebut kepada PI B. Selanjutnya Faktur Pajak yang telah dibuat oleh PT A tersebut telah dilaporkan baik oleh PI A dan PT B dalam surat pemberitahuan masa Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak September 2022. Pada FRES: DEN REFUEUK INDONESIA Pada bulan Desember 2022, Yl A mengeluarkan kebijakan untuk menghapus semua piutang dari PT B. Penghapusan piutang tersebut tidak berpengaruh terhadap pelaporan Pajak Pertambahan Nilai yang telah dilakukan baik oleh PT A maupun FT B dalam surat pemberitahuan masa Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak September 2022. Ayat (2) Yang dimaksud dengan ^ukeadaan kahar" atau force majeure merupakan suatu kejadian yang terjadi di luar kemampuan manusia dan tidak dapat dihindarkan sehingga suatu kegiatan tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya yang meliputi bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial. Keadaan kahar atau force majeure tersebut harus dinyatakan oleh pejabat/instansi yang berwenang. Pasal 20 Ayat {1) Cukup ^jelas. Ayat (21 Hurufa Cukup ^jelas. Huruf b Contoh 1: PT A melakukan penyerahan barang yang tidak dikenai pajak kepada PT B dengan nilai sebesar Rp1.000.00O.000,00 (satu miliar rupiah). Atas transaksi yang seharusnya tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai tersebut, PT A telah memungut dari PI B dan telah menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai yang dipungutnya dengan nilai sebesar Rp110.000.000,0O (seratus sepuluh juta rupiah) ke kas negara. Atas kesalahan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai tersebut dapat diajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak oleh PT B sebagai pihak yang terpungut sepanjang belum dikreditkan sebagai Pajak Masukan, belum dibebankan sebagai biaya, dan belum dikapitalisasi dalam harga perolehan. Contoh 2: Contoh 2: PI A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dengan nilai sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh ^juta rupiah) kepada instansi pemerintah B yang merupakan pemungut pajak. Atas transaksi tersebut instansi pemerintah B sebagai pemungut pajak telah memungut dan menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp2.5OO.0OO,OO (dua juta lima ratus ribu rupiah) ke kas negara. Berdasarkan ha1 tersebut, diketahui terdapat Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut lebih besar dari seharusnya dengan perhitungan sebagai berikut: Pajak Pertambahan Nilai yang telah di t dan disetor ke kas negara = Rp2.500.000,00 ak bahan Nilai yang dipungut dan disetor negara Atas kesalahan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai tersebut dapat diajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak oleh instansi pemerintah B sebagai pihak yang terpungut sepanjang belum dikreditkan sebagai Pajak Masukan, belum dibebankan sebagai biaya, dan belum dikapitalisasi dalam harga perolehan. Huruf c Contoh 1: PT A melakukan penyerahan ^jasa yang tidak dikenai pajak kepada PI B dengan nilai sebesar Rp1.000.000.00O,00 (satu mitar rupiah). Atas transalsi yang seharusnya tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai tersebut, PT A telah memungut dari PT B dan telah menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai yang dipungutnya dengan nilai sebesar Rpl10.000.000,00 (seratus sepuluh juta rupiah) ke kas negara. Atas kesalahan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai tersebut dapat diajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak oleh Pt B sebagai pihakyang terpungut sepanjang belum dikreditkan sebagai Pajak Masukan, belum dibebankan sebagai biaya, dan belum dikapitalisasi dalam harga perolehan. Contoh2: ke kas Selisih = Rp2.200.000.00 - = Rp 3O0.O00,00 Contoh 2: PT A melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak dengan nilai sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh ^juta rupiah) kepada instansi pemerintah B yang merupakan pemungut pajak. Atas transaksi tersebut instansi pemerintah B sebagai pemungut pajak telah memungut dan menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp2.5OO.000,00 (dua ^juta lima ratus ribu rupiah) ke kas negara. Berdasarkan hal tersebut, diketahui terdapat Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut lebih besar dari seharusnya dengan perhitungan sebagai berikut: Pajak Pertambahan Nilai yang telah dipungut dan disetor ke kas negara = Rp2.5O0.O0O,00 Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya dipungut dan disetor ke kas negara Selisih = Rp 300.00O,OO Atas kesalahan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai tersebut dapat diajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak oleh instansi pemerintah B sebagai pihak yang terpungut sepanjang belum dikreditkan sebagai Pajak Masukan, belum dibebankan sebagai biaya, dan belum dikapitalisasi dalam harga perolehan. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Cukup ^jelas. Pasal 21 Contoh 1: Atas transaksi tersebut PT A telah menerbitkan faktur penjualan (inuoicel namun belum membuat Faktur Pajak. Faktur Pajak baru dibuat oleh PI A pada tanggal 20 September 2022. Kurs yang digunalan oleh PT A atas Faktur Pajak yang diterbitkan pada tanggal 20 September 2022 harus menggunakan kurs yang ditetapkan Menteri yang berlaku pada saat Faktur Pajak seharusnya dibuat, yaitu kurs sebesar Rp14.500,00 (empat belas ribu lima ratus rupiah) untuk setiap US$1,0O (satu dolar Amerika Serikat) yang berlaku pada tanggal 1 September 2022. Contoh 2: PT A yang merupakan Pengusaha Kena Pajak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada PT B dengan nilai sebesar US$10.000,00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat). Penyerahan tersebut dilakukan pada tanggal 1 September 2O22 dengan kurs yang ditetapkan Menteri yang berlaku saat itu sebesar Rp14.500.00 (empat belas ribu lima ratus rupiah) untuk setiap US$1,00 (satu dolar Amerika Serikat). Pada tanggal 20 September 2022 diketahui bahwa Faktur P4jak yang dibuat atas transaksi tersebut memuat kekeliruan dalam pencantuman jenis Barang Kena Pajak. Atas kesalahan tersebut, PT A melakukan pembetulan Faktur Pajak dengan cara membuat Faktur Pajak pengganti pada tanggal 2O September 2022 dengan tetap mencantumkan kurs yang ditetapkan Menteri yang berlaku pada saat Faktur Pajak yang diganti seharusnya dibuat, yaitu kurs sebesar Rp14.5OO,00 (empat belas ribu lima ratus rupiah) untuk setiap US$1,00 (satu dolar Amerika Serikat) yang berlaku pada tanggal 1 September 2022. Pasal 22 Ayat (l) Yang dimaksud dengan ^otempat pengkreditan Pajak Masukan' merupakan di tempat Pengusaha diadministrasikan oleh kantor Direktorat Jenderal Pajak sebagai Pengusaha Kena Pajak. Contoh: E: I-tlI,T{Il REI'UBUK INOONESIA Contoh: PT A yang berkedudukan di Kabupaten Gresik dan telah diadministrasikan sebagai Pengusaha Kena Pajak pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Gresik, melakukan impor Barang Kena Pajak melalui pelabuhan Tanjung Perak di Kota Surabaya. Atas impor Barang Kena Pajak tersebut, PT A mengkreditkan Pajak Masukan di Kabupaten Gresik dan tidak perlu dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak di Kota Surabaya. Ayat (2) Contoh: Pengusaha Kena Pajak A yang kantor pusatnya di Kota Jakarta Pusat dan telah terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Gambir Satu memiliki pabrik yang terletak di Kota Surakarta dan terdaJtar sebagai Pengusaha Kena Pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta. Pemberitahuan impor barang dalam rangka impor Barang Kena Pajak menggunakan nomor pokok wajib pajak kantor pusat di Kota Jakarta Pusat. Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Pengusaha Kena Pajak di Kota Surakarta dapat mengkreditkan Pajak Masukan yang tercantum dalam pemberitahuan impor barang tersebut. Direktur Jenderal Pajak karena jabatan dapat menetapkan tempat lain selain tempat dilakukannya impor Barang Kena Pajak, sebagai tempat pengkreditan Pajak Masukan. Ketentuan ini diperlukan untuk memberikan kemudahan bagi Pengusaha Kena Pajak yang terdaftar di kantor pelayanan pajak tertentu yang pemenuhan kewajiban Pajak Pertambahan Nilainya ditetapkan secara terpusat. Ayat (3) Cukup ^jelas. Pasal 23 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Huruf a Saat penyerahan barang bergerak merupakan dasar penentuan saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan sekaligus sebagai dasar pembuatan Faktur Pajak. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menyinkronkan saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan pralrtik yang lazim terjadi dalam kegiatan usaha yang tercermin dalam praktik pencatatan atau pembukuan berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum serta diterapkan secara konsisten oleh Pengusaha Kena Pajak. Dalam praktik kegiatan usaha dan berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum maka: a penyerahan barang bergerak dapat terjadi pada saat barang tersebut dikeluarkan dari penguasaan Pengusaha Kena Pajak (penjual) dengan maksud langsung atau tidak langsung untuk diserahkan pada pihak lain. Oleh karena itu, Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terutang pada saat hak penguasaan barang telah berpindah kepada Pembeli atau pihak ketiga untuk dan atas nama Pembeli; dan
perpindahan hak penguasaan atas barang dapat ^juga te{adi pada saat barang diserahkan kepada pihak kedua atau Pembeli atau pada saat barang diserahkan melalui juru kirim, pengusaha ^jasa angkutan, atau pihak ketiga lainnya. Oleh karena itu, Pajak Pertambahaa Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai darr Pajak Penjualan atas Barang Mewah terutang pada saat barang diserahkan kepada juru kirim, pengusaha ^jasa angkutan, atau pihak ketiga lainnya. Saat penyerahan barang sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, tercermin dalam prinsip akuntansi yang berlaku umum dalam bentuk pengakuan sebagai piutang atau penghasilan dengan penerbitan faktur penjualan (inuoiel sebagai sumber dokumennya. Dalam kegiatan usaha, saat pengakuan piutang atau penghasilan atau saat penerbitan faktur penjualan (inuoiel dapat terjadi tidak bersamaan dengan saat penyerahan barang secara Iisik sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b. Oleh karena itu, dalam rangka memberikan kemudahan administrasi terkait dengan saat pembuatan Falrtur Pajak, saat penerbitan faktur penjualan {inuoiel ditetapkan sebagai saat penyerahan barang yang menjadi dasar saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Yang dimaksud dengan "faktur penjualan" antara lain dokumen lain yang berfungsi atau kedudukannya sama dengan faktur penjualan linuoiel, Huruf b Penyerahan Barang Kena Pajak untuk Barang Kena Pajak tidak bergerak terjadi pada saat surat atau akta perjanjian yang mengakibatkan perpindahan hak atas barang tersebut ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan. Saat tersebut menjadi dasar penentuan saat tenrtang Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Namun demikian, dalam hal penyerahan hak atas barang tidak bergerak tersebut secara nyata telah terjadi meskipun surat atau akta perjanjian yang mengakibatkan perpindahan hak belum ditandatangani, penyerahan Barang Kena Pajak dianggap telah terjadi. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan 'persediaan" merupakan persediaan bahan baku, persediaan bahan pembantu, persediaan barang dalam proses, persediaan barang setengah ^jadi , danf atau persediaan barang ^jadi. Huruf e Yang dimaksud dengan "penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha" merupakan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan pemisahan sebagaimana diatur dalam undang- undang mengenai perseroan terbatas. Yang dimaksud dengan "pemekaran dan pemecahan usaha" merupakan pemisahan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai perseroan terbatas. Yang dimaksud dengan "perubahan bentuk usaha" merupakan berubahnya bentuk usaha yang digunakan oleh Pengusaha Kena Pajak, misalnya semula bentuk usaha Pengusaha Kena Pajak merupakan ^qmmanditaire uentwotschap kemudian berubah menjadi perseroan terbatas. Ayat (4) Cukup ^jelas. Ayat (5) Penyerahan Jasa Kena Pajak tefadi pada saat mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik sebagian atau seluruhnya. Saat penyerahan Jasa Kena Pajak ini merupakan dasar penentuan saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai dan sekaligus sebagai dasar pembuatan Faktur Pajak. Namun demikian, dalam praktik kegiatan usaha dan berdasarkal prinsip akuntansi yang berlaku umum, saat pengakuan piutang atau penghasilan, atau saat penerbitan faktur penjualan (inuoiel dapat terjadi tidak bersamaan dengan saat mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik sebagian atau seluruhnya. Dalam rangka memberikan kemudahan administrasi terkait dengan saat pembuatan Faktur Pajak, saat penerbitan faktur penjualai (inuoice) dapat ditetapkan sebagai saat penyerahan jasa yang menjadi dasar saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menyinkronkan saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai dengan praktik yang lazim terjadi dalam kegiatan usaha yang tercermin dalam praktik pencatatan atau pembukuan berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum serta diterapkan secara konsisten oleh Pengusaha Kena Pajak. Ayat (6) Cukup ^jelas. Ayat (7) Cukup ^jelas. Ayat (8) Cukup ^jelas. Ayat (9) Cukup ^jelas. Ayat (1o) Cukup ^jelas. Pasal 24 Ayat (1) Penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang bergerak yang dilakukan secara konsinyasi, yaitu penyerahan Barang Kena Pajak yang dilakukan dengan cara:
consignor menitipkan Barang Kena Pajak kepada consignee; dan
consignee menyerahkan Barang Kena Pajak yang dititipkan sebagaimana dimaksud dalam huruf a kepada Pembeli dimaksud. Berdasarkan ketentuan ini, penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi oleh consignor tidak terjadi pada saat Barang Kena Pajak tersebut diserahkan secara langsung untuk dititipkan kepada @ns@rae, tetapi terjadi pada saat con signor mengakui sebagai piutang atau penghasilan, atau pada saat diterbitkan faktur penjuaTan linuoie) oleh Pengusaha Kena Pajak onsigrar, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan diterapkan secara konsisten. Ayat (2) Cukup ^jelas. Pasal 25 Cukup ^jelas. Pasal 26 Ayat (1) Penentuan saat pembuatan Faktur Pajak dilakukan untuk menyelaraskan pengakuan penghasilan di dalam menghitung peredaran usaha yang digunakan untuk menghitung pajak penghasilan dengan peredaran usaha yang digunakan untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai. Dengan demikian, saat pembuatan Faktur Pajak ditentukan sesuai dengan prinsip bisnis yang sehat dan harus memenuhi prinsip akuntansi ^yang berlaku umum serta diterapkan secara konsisten. Untuk kepastian hukum dan untuk memberikan kemudahan administrasi kepada Pengusaha Kena Pajak dalam memenuhi kewajiban Pajak Pertambahan Nilai, perlu penjelasan atau penegasan dalam bentuk ilustrasi kapan saat pembuatan Faktur Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan ekspor Barang Kena Pajak. Contoh saat pembuatan Faktur Pajak:
Penyerahan Barang Kena Pajak bergerak. Contoh l: PT Aman menyerahkan Barang Kena Pajak secara langsung kepada T.ran Igna pada tanggal 15 September 2022. Atas transaksi penyerahan Barang Kena Pajak tersebut, PI Aman membuat Faktur Pajak pada tanggal 15 September 2022, yaitu pada saat diserahkan secara langsung kepada Pembeli atau pihak ketiga untuk dan atas nama Pembeli. Contoh 2: PI Berkah yang berkedudukan di Jakarta menjual Barang Kena Pajak kepada PT Ceria di Surabaya dengan syarat pengiriman (term of deliueryl loco gudang penjual $ree on board shipping pointl. Barang Kena Pajak dikeluarkan dari gudang PT Berkah dan dikirim ke gudang Pf Ceria pada tanggal 12 September 2022 dengan menggunakan perugahaan ekspedisi dengan tanggal deliuery order (DOl 12 September 2022. Barang diterima oleh PT Ceria pada tanggal 14 September 2022, Atas transaksi penyerahan Barang Kena Pajak tersebut, PT Berkah membuat Faktur Pajak pada tanggal 12 September 2022, yaitu pada saat diserahkan kepada ^juru kirim atau pengusaha ^jasa angkutan. Tanggal tersebut merupakan saat pembuatan Faktur Pajak karena transaksi menggunakan syarat pengiriman (term of deliueryl looo gudang penjual (free on board shipping pointl. DaIam 2 Dalam hal pada contoh 1 dan contoh 2 di atas, faktur penjualan (inuoicel diterbitkan tidak pada tanggal penyerahan secara langsung atau pada saat diserahkan kepada ^juru kirim atau pengusaha ^jasa angkutan karena kondisi tertentu, maka Faktur Pajak wajib dibuat pada saat penerbitan faktur penjualan (inuoicel. Penerbitan faktur penjualan (inuoiel tersebut harus dilakukan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan diterapkan secara konsisten. Contoh 3: PT Cantik di Jakarta menjual Barang Kena Pajak kepada PT Sentosa di Semarang dengan syarat pengiriman (term of deliueryl franm gtdang Pembeli (free on board destinationl, Barang dikeluarkan dari gudang PT Cantik dan dikirim ke gudang PT Sentosa pada tanggal 1.2 September 2022 dengan menggunakan perusahaan ekspedisi. Barang diterima oleh PT Sentosa pada tanggal 13 September 2O22. PT Cantik menerbitkan faktur penjualan (inuoiel pada tanggal 16 September 2O22. Atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut, FT Cantik wajib membuat Faktur Pajak pada tanggal 13 September 2022 yaitu pada saat diterima oleh Pembeli atau paling lambat tanggal 16 September 2O22 yaitu pada saat diterbitkan faktur penjualan oleh Pengusaha Kena Pajak penjual. Penyerahan Barang Kena Pajak tidak bergerak. Contoh 1: Pedanjian ^jual beli sebuah rumah ditandatangani tanggal 1 September 2022. Perjanjian penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai rumah tersebut dibuat atau ditandatangani tanggal 1 Desember 2022. Faktur Pajak harus dibuat pada tanggal 1 Desember 2022. Jlka sebelum surat atau akta tersebut dibuat atau ditandatangani, barang tidak bergerak telah diserahkan atau berada dalam penguasaan Pembeli atau penerimanya, maka Faktur Pajak harus dibuat pada saat barang tersebut secara nyata diserahkan atau berada dalam penguasaan Pembeli atau penerima barang. Contoh2: 3 Contoh 2: Rumah siap pakai dijual dan diserahkan secara nyata tanggal 1 September 2022. Faktur Pajak hanrs dibuat pada tanggal 1 September 2022. Jika sebelum surat atau akta tersebut dibuat atau ditandatangani, barang tidak bergerak telah diserahkan atau berada dalam penguasaan Pembeli atau penerimanya, maka Faktur Pajak harus dibuat pada saat barang tersebut secara nyata diserahkan atau berada dalam penguasaan Pembeli atau ^penerima barang. Contoh 3: Rumah siap pakai dijual dan diserahkan secara nyata tanggal 1 September 2O22. Perjanjian jual beli ditandatangani tanggal 1 Oktober 2022. Faktur Pajak harus dibuat pada tanggal 1 September 2O22. Penyerahan Jasa Kena Pajak. Contoh 1: PT Semangat menyewakan 1 (satu) unit ruko kepada PT Diatetupa dengan masa kontrak selama 12 (dua belas) tahun. Dalam kontrak, disepakati antara lain:
PT Diatetupa mulai menggunakan ruko tersebut pada tanggal 1 September 2022. b. Nilai kontrak sewa selama 12 (dua belas) tahun sebesar Rp12O.0O0.00O,00 (seratus dua puluh ^juta rupiah). c. Pembayaran sewa, yaitu tahunan dan disepakati dibayar setiap tanggal 29 September dengan pembayaran sebesar Rp 1 0. OOO.OO0,OO (sepuluh juta rupiah) per tahun. Pada tanggal 29 September 2022, PT Diatetupa melakukan pembayaran sewa untuk tahun pertama. Atas penyerahan Jasa Kena Pajak tersebut, PT Semangat wajib membuat Faktur Pajak pada tanggal 29 September 2022 dengan dasar pengenaan pajak sebesar Rp1O.0O0.O00,00 (sepuluh juta rupiah). Contoh2: Contoh 2: PT Toryrng mengontrak Firma Cerah Konsultan untuk memberikan ^jasa konsultansi manajemen dan pelatihan kepada staf pemasaran PT Torytrng selama 6 (enam) bulan dengan nilai kontrak sebesar Rp60.O0O.OO0,OO (enam puluh juta rupiah). Pembayaran jasa konsultansi al<an dilakukan setiap bulan. Firma Cerah Konsultan mulai memberikan ^jasa konsultansi pada tanggal 1 September 2022. Pada tanggal 10 Oktober 2022, Firma Cerah Konsultan menerbitkan faktur penjualan (inuoice) untuk menagih pembayaran ^jasa konsultansi bulan September 2022 sebesar Rp10.000.00O,00 (sepuluh ^juta rupiah). PT Toryrng melakukan pembayaran atas tagihan tersebut pada tanggal 20 Oktober 2022. Atas transaksi tersebut, Firma Cerah Konsultan wajib membuat Faktur Pajak pada tanggal 1O Oktober 2022 dengan dasar pengenaan pajak sebesar Rp10.OOO.OOO,OO (sepuluh ^juta rupiah) (sesuai denga.n nilai tagihan) meskipun pembayaran baru diterima tanggal 2O Oktober 2022. Contoh 3: Matriks saat pembuatan Faktur Pajak untuk beberapa contoh penyerahan di bidang ^jasa telekomunikasi, yaitu sebagai berikut: No. Periode Pemakaian/ Penyerahan Jasa Kena Pajak Periode Pengakuan Penghasilan Saat Diakui Penghasilan Penerbitan Faktur Penjualan (Inuoicel Paling Lambat Faktur Pajak Dibuat 1a 1-30 September 2O22 I-30 September 2022 1-30 September 2022 1-30 September 2022 26 Agustus -25 September 2022 September 2022 September 2022 September 2022 30 September 2022 30 September 2022 1b 1-30 September 2022 5 Oktober 2022 5 Oktober 2022 1c 1-30 September 2022 31 Oktober 2022 31 Oktober 2022 2 26 Agustus - 25 September 2022 September 2022 5 Oktober 2022 5 Oktober 2022 3 16 Agustus - 15 September 2022 16 Agustus -15 September 2022 Agustus 2022 20 September 2022 20 September 2022 4 16 Agustus - 15 September 2022 16 Agustus -15 September 2022 September 2022 20 September 2022 20 September 2022 5 16 Agu.stus - 15 September 2022 16 -31 Agustus 2022 Agustus 2022 31 Agustus 2022 31 Agustus 2022 1- 15 September 2022 September 2022 15 September 2022 15 September 2022 4 Penyerahan sebagian tahap pekerjaaa (pembayaran termin). Atas penyerahan sebagian tahap pekerjaan, misalnya penyerahan jasa pemborongan bangunan atau barang tidak bergerak lainnya, saat pembuatan Faktur Pajaknya dapat dijelaskan sebagai berikut: Umumnya, pekerjaan ^jasa pemborongan bangunan dan barang tidak bergera-k lainnya diselesaikan dalam suatu masa tertentu. Sebelum ^jasa pemborongan itu selesai dan siap untuk diserahkan, telah diterima pembayaran di muka sebelum pekerjaan pemborongan dimulai atau pembayaran atas sebagian penyelesaian pekerjaan jasa sesuai dengan tahap atau kemajuan penyelesaian pekerjaan. Dalam hal ini, Pajak Pertambahan Nilai terutang pada saat pembayaran tersebut diterima oleh pemborong atau kontraktor, sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (21 Undang- Undang Pajak Pertambahan Nilai. Selanjutnya, setelah bangunan atau barang tidak bergerak tersebut selesai dikerjakan maka jasa pemborongan seluruhnya diserahkan kepada Penerima Jasa. Dalam hal ini, Pajak Pertambahan Nilai terutang pada saat penyerahan Jasa Kena Pajak itu dilakukan meskipun pembayaran lunas jasa pemborong atau kontraktor, sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1) Undang- Undang Pajak Pertambahan Nilai. Contoh:
Tanggal 1 September 2022, perjanjian pemborongan ditandatangani dan diterima uang muka sebesar 20olo (dua puluh persen). 2. Tanggal 3 Oktober 2022, pekerjaan selesai 2Oo/o (dua puluh persen), diterima pembayaran tahap ke-1. 3. Tanggal 1 November 2022, pekerjaan selesai 5O7o (lima puluh persen), diterima pembayaran tahap ke- 2. tersebut belum diterima oleh iiTT{f.I{Il REPUBLIK TNDONESIA 4 5 Tanggal 21 November 2022, peke4aan selesai 80o/o (delapan puluh persen), diterima pembayaran tahap ke-3. Tanggal 25 Januari 2023, pekeqaan selesai looo/o (seratus persen), bangunan atau barang tidak bergerak diserahkan. 6. Tanggal 1 Februari 2023, diterima pembayaran tahap akhir (ke-4) sebesar 95% (sembilan puluh lima persen) dari harga borongan. 7. Tanggal 1 Agustus 2023, diterima pembayaran pelunasan seluruh jasa pemborongan. Pada angka I sampai dengan angka 4, Pqjak Pertambahan Nilai terutang pada tanggal diterimanya pembayaran (uang muka dan pembayaran termin), sedangkan pada angka 5 sampai dengan angkaT, Pajak Pertambahan Nilai terutang pada tanggal 25 Januari 2023 atay, saat ^jasa pemborongan (bangunan atau barang tidak bergerak) selesai dilakukan dan diserahkan kepada pemiliknya. Tanggal pembayaran yang tersebut pada angka 6 dan ang)<a 7 tidak perlu diperhatikan karena tidak termasuk saat yang menentukan terutangnya Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan dasar akrual yang dianut dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Cara penentuan saat pembuatan Faktur Pajak tersebut di atas juga berlaku untuk penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang penerimaan pembayarannya terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak datlatau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak tersebut. Ayat (2) Pada dasarnya, Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (1a) dan ayat (2a) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Oleh karena itu, apabila Pengusaha Kena Pajak terlambat membuat Faktur Pajak, Pengusaha Kena Pajak dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf d ^juncto Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, tetapi tanpa ketentuan mengenai batas waktu keterlambatan. Dengan demikian, untuk menjamin kepastian terlaksananya pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang terutang Pajak Pertambahan Nilai, perlu adanya pembatasan jangka waktu pembuatan Faktur Pajak. Di samping itu, ketentuan ini dimaksudkan ^juga untuk menyelaraskan pengakuan penghasilan dalam menghitung peredaran usaha yang digunakan untuk menghitung pajak penghasilan dengan peredaran usaha yang digunakan untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai. Contoh 1: PT A yang merupakan Pengusaha Kena Pajak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada T\ran B yang Faktur Pajaknya seharusnya dibuat pada tanggal 1 September 2O22. Namun, tanggal pembuatan Faktur Pajak yang tercantum dalam Faktur Pajak yaitu 1 Desember 2O22. Berdasarkan ketentuan pada ayat ini, Faktur Pajak tersebut tidak diperlakukan sebagai Faktur Pajak karena dibuat setelah melewati ^jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak saat Faktur Pajak seharusnya dibuat, yaitu dibuat setelah melewati tanggal 30 November 2O22. Contoh2: EEtrFIEtrN [iTfiIFItIilIrIiENtrEIA Contoh 2: CV C yang merupakan Pengusaha Kena Pajak menerima pembayaran uang muka dari PT D pada tanggal 2O September 2O22 untuk penyerahan Jasa Kena Pajak yang akan dilakukan pada bulan Oktober 2022. Namun, tanggal pembuatan Faktur Pajak yang tercantum dalam Faktur Pajak yaitu 2O Desember 2O22. Berdasarkan ketentuan pada ayat ini, Faktur Pajak tersebut tidak diperlakukan sebagai Faktur Pajak karena dibuat setelah melewati ^jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak saat Faktur Pajak seharusnya dibuat, yaitu dibuat setelah melewati tanggal 19 Desember 2O22. Contoh 3: PT E yang menrpakan Pengusaha Kena Pajak melakukan beberapa kali penyerahan Barang Kena Pajak kepada CV F selama bulan September 2Q22. Atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut, PT E memilih membuat Faktur Pajak gabungan sehingga Faktur Pajak gabungan dimaksud seharusnya dibuat paling lama pada tanggal 30 September 2O22. Namun, tanggal pembuatan Faltur Pajak yang tercantum dalam Faktur P4iak gabungan yaitu 3O Desember 2022, Berdasarkan ketentuan pada ayat ini, Faktur Pajak tersebut tidak diperlakukan sebagai Faktur Pajak karena dibuat setelah melewati ^jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak saat Faktur Pajak seharusnya dibuat, yaitu dibuat setelah melewati tanggal 29 Desember 2022. Ayat (3) Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak. Dengan demikian, Faktur Pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melebihi batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dianggap tidak dibuat. Na.mun, Faktur Pajak yang dianggap tidak dibuat tersebut tetap wajib dilaporkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang membuat Faktur Pajak tersebut dalam surat pemberitahuan masa Pajak Pertambahan Nilai. Ayat (4) Cukup ^jelas, Pasal 27 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat ^(2) Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak dan dapat digunakan sebagai sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan. Faktur Pajak harus diisi secara benar, lengkap, dan jelas serta ditandatangani oleh pihak yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak untuk menandatanganinya. Namun, keterangan mengenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah hanya diisi apabila atas penyerahan Barang Kena Pajak terutang Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Faktur Pajak yang tidak diisi sesuai dengan ketentuan dalam pasal ini mengakibatkan Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum di dalamnya tidak dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (8) huruf f Undang- Undang Pajak Pertambahan Nilai. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Cukup ^jelas. Ayat (5) Faktur Pajak yang mencantumkan identitas Pembeli atau Penerima Jasa berupa nama, alamat, dan nomor induk kependudukan bagi subjek pajak dalam negeri orang pribadi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, tidak termasuk Faktur Pajak yang tidak mencantumkan nama, alamat, dan nomor pokok wajib pajak Pembeli atau Penerima Jasa sebagaimana diatur dalam Pasal ^g ayat (8) huruf f Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Dengan demikian, Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak dimaksud merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak orang pribadi sepanjang memenuhi ketentuan pengkreditan Pajak Masukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Pasal 28 Cukup ^jelas. Pasal 29 Ayat (1) Huruf a Contoh: PT X yang merupakan Pengusaha Kena Pajak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak secara nyata kepada T\ran V pada tanggal 31 Desember 2024. Faktur Pajak dibuat oleh PI X pada tanggal 3l Desember 2024. Misalkan mulai tanggal 1 Januari 2025 tarif Pajak Pertambahan Nilai naik dari lLo/o (sebelas persen) menjadi l2o/o (dua belas persen), tarif Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak tetap menggunakan tarif 11% (sebelas persen) karena saat terutang Pajak Pertambahan Nilai terjadi sebelum tanggal berlakunya perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai dan Faktur Pajak dibuat sebelum tanggal berlakunya perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai. Hurufb Contoh: Yl Z yang merupakan Pengusaha Kena Pajak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak secara nyata kepada T\ran Y pada tanggal 31 Desember 2024. Namun, Faktur Pajak dibuat oleh FT X pada tanggal I Januari 2025. Misalkan mulai tanggal 1 Januari 2025 taif Pajak Pertambahan Nilai naik dari I Lo/o (sebelas persen) menjadi l2o/o (dua belas persen), tarif Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak menggunakan tarif l2o/o (dua belas persen) karena Faktur Pajak dibuat sejak tanggal berlakunya perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai, meskipun saat terutang Pajak Pertambahan Nilai terjadi sebelum tanggal berlakunya perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai. Ayat (2) Cukup ^jelas. Pasal 30 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "konsumen akhir" menrpakan pembeli barang dan/atau penerima ^jasa yang mengonsumsi secara langsung barang dan/atau ^jasa yang dibeli atau diterima dan tidak menggunakan atau memanfaatkan barang dan/atau ^jasa dimaksud untuk kegiatan usaha. Ayat (21 Cukup ^jelas. Pasal 31 Cukup ^jelas. Pasal 32 Cukup ^jelas. Pasal 33 Cukup ^jelas.
Pemberian Jaminan Kepada Perusahaan Perseroan (Persero) Pt Sarana Multi Infrastruktur dalam Rangka Penugasan Penyediaan Pembiayaan Infrastruktur Daera ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Pemerintah Daerah yang selanjutnya disingkat Pemda adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Perusahaan Perseroan (Persero) PT Sarana Multi Infrastruktur yang selanjutnya disingkat PT SMI adalah Badan Usaha Milik Negara yang didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2007 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia untuk Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) Di Bidang Pembiayaan Infrastruktur sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2008.
Dana Alokasi Umum yang selanjutnya disingkat DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar- daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Perjanjian Pinjaman Pembiayaan Infrastruktur Daerah yang selanjutnya disebut Perjanjian Pinjaman Pembiayaan adalah kesepakatan tertulis mengenai Pinjaman antara PT SMI dan Pemda.
Kewajiban Daerah adalah kewajiban finansial yang timbul sehubungan dengan Pinjaman sebagaimana disepakati dalam Perjanjian Pinjaman Pembiayaan, yang dapat berupa sejumlah utang pokok dan/atau bunga yang telah jatuh tempo, beserta seluruh denda dan/atau biaya lain.
Tunggakan adalah jumlah Kewajiban Daerah yang telah jatuh tempo dan belum dibayar berdasarkan Perjanjian Pinjaman Pembiayaan.
Rekening Dana Jaminan Penugasan Pembiayaan Infrastruktur Daerah adalah rekening tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara untuk mengelola Dana Jaminan Penugasan Pembiayaan Infrastruktur Daerah.
Dana Jaminan Penugasan Pembiayaan Infrastruktur Daerah adalah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, hasil pemotongan DAU dan/atau DBH, dan/atau sumber-sumber lain yang sah menurut peraturan perundang-undangan dalam rangka membayar Tunggakan yang Gagal Bayar kepada PT SMI yang dikelola dalam suatu Rekening Dana Jaminan Penugasan Pembiayaan Infrastruktur Daerah.
Jangka Waktu Pemulihan adalah jangka waktu yang diberikan oleh PT SMI kepada Pemda untuk menyelesaikan Tunggakan berdasarkan Perjanjian Pinjaman Pembiayaan.
Gagal Bayar adalah keadaan dimana Pemda tidak mampu membayar Tunggakan setelah melewati Jangka Waktu Pemulihan sebagaimana diatur dalam Perjanjian Pinjaman Pembiayaan.
Jaminan Penugasan PT SMI yang selanjutnya disebut Jaminan adalah kepastian penyelesaian Tunggakan melalui mekanisme penggunaan Dana Jaminan Penugasan Pembiayaan Infrastruktur Daerah kepada PT SMI dan pelaksanaan pemotongan DAU dan/atau DBH sehubungan pelaksanaan penugasan atas pembiayaan infrastruktur daerah.
Pinjaman Daerah dari PT SMI yang selanjutnya disebut Pinjaman adalah semua transaksi yang mengakibatkan Pemda menerima sejumlah uang yang diperoleh dari PT SMI untuk melakukan penyediaan pembiayaan infrastruktur daerah berdasarkan penugasan yang diberikan Menteri Keuangan kepada PT SMI, sehingga Pemda dibebani kewajiban untuk membayar kembali.
Surat Jaminan Penugasan PT SMI yang selanjutnya disebut Surat Jaminan adalah surat yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan kepada PT SMI sehubungan dengan Jaminan Penugasan PT SMI.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemda dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Menteri Keuangan yang selanjutnya disebut Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan dan kekayaan negara dan bertindak selaku Rapat Umum Pemegang Saham PT SMI.
Pengujian Formil dan Materiil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ...
Relevan terhadap 1 lainnya
kegiatan usaha koperasi, dan kriteria UMK-M, basis data tunggal UMK-M, pengelolaan terpadu UMK-M, kemudahan perizinan berusaha UMK-M, kemudahan mendapatkan sertifikat halal untuk UMK yang biayanya ditanggung oleh Pemerintah, serta kemitraan, insentif, dan pembiayaan UMK-M. Pengaturan terkait dengan peningkatan investasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dan percepatan proyek strategis nasional memuat ketentuan mengenai: pelaksanaan dan pembiayaan investasi pemerintah pusat melalui pembentukan lembaga pengelola investasi, penyediaan lahan, dan perizinan untuk percepatan proyek strategis nasional. Dalam rangka mendukung kebijakan strategis Cipta Kerja tersebut diperlukan pengaturan mengenai penataan administrasi pemerintahan dan pengenaan sanksi. UU Cipta Kerja diyakini akan dapat membawa perubahan struktur ekonomi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan produktivitas tenaga kerja yang tinggi dan membawa Indonesia keluar dari middle income trap . Melalui UU Cipta Kerja, Pemerintah menargetkan: Pertama , penciptaan lapangan kerja sebanyak 2,7 s.d. 3 juta/tahun (meningkat dari sebelum pandemi sebanyak 2 juta /tahun), untuk menampung 9,29 juta orang yang tidak/belum bekerja (7,05 juta pengangguran dan 2,24 juta Angkatan Kerja Baru). Kedua , kenaikan upah yang pertumbuhannya sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan produktivitas pekerja. Kenaikan upah diikuti juga dengan peningkatan kompetensi pencari kerja dan kesejahteraan pekerja. Peningkatan produktivitas pekerja akan berpengaruh pada peningkatan investasi dan pertumbuhan ekonomi. Saat ini produktivitas Indonesia pada tingkat 74,4% masih berada di bawah rata-rata negara Asean pada tingkat 78,2%. Ketiga , peningkatan investasi sebesar 6,6% - 7,0%, untuk membangun usaha baru atau mengembangkan usaha eksisting, yang akan menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan kesejahteraan pekerja, sehingga akan mendorong peningkatan konsumsi sebesar 5,4% - 5,6%.
yang meliputi: 1 UU yang terkait dengan perkoperasian, dan 2 UU yang terkait dengan UMKM. d. Substansi Klaster 5 dimuat dalam Bab VI Kemudahan Berusaha, yang memuat perubahan atas 13 UU yang meliputi: 1 UU yang terkait dengan keimigrasian, 1 UU yang terkait dengan paten, 1 UU yang terkait dengan merek, 1 UU yang terkait dengan perseroan terbatas, 1 UU yang terkait dengan UU ganguan, 3 UU yang terkait dengan perpajakan, 1 UU yang terkait dengan pajak daerah dan retribusi daerah, 1 UU yang terkait dengan impor komoditas perikanan dan komoditas pergaraman, 1 UU yang terkait dengan wajib daftar perusahaan, 1 UU yang terkait dengan Badan Usaha Milik Desa, 1 UU yang terkait dengan larangan praktik monopoli dan persiangan usaha tidak sehat. e. Substansi Klaster 6 dimuat dalam Bab VII Dukungan Riset dan Inovasi, yang memuat perubahan 2 UU yang meliputi: 1 UU yang terkait dengan badan usaha milik negara dan 1 UU yang terkait dengan riset dan inovasi. f. Substansi Klaster 7 dimuat dalam Bab XI Pelaksanaan Administrasi Pemerintahan Untuk Mendukung Cipta Kerja, yang memuat perubahan 2 UU yang meliputi: 1 UU yang terkait dengan administrasi pemerintahan dan 1 UU yang terkait dengan pemerintahan daerah. g. Substansi Klaster 8 masuk dalam berbagai UU yang dimuat dalam berbagai bab. h. Substansi Klaster 9 masuk dalam Bab VIII Pengadaan Lahan, yang memuat perubahan 2 UU yang meliputi: 1 UU yang terkait dengan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dan 1 UU yang terkait dengan perlindungan lahan pertanian berkelanjutan. i. Substansi Klaster 10 masuk dalam Bab X Investasi Pemerintah Pusat dan Kemudahan Proyek Strategis Nasional. j. Substansi Klaster 11 masuk dalam Bab IV Kawasan Ekonomi, yang memuat perubahan 3 UU yang meliputi: 1 UU yang terkait dengan kawaan ekonomi khusus dan 2 UU yang terkait dengan kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas.
Penciptaan lapangan kerja yang dilakukan melalui pengaturan terkait dengan kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan UMK-M memuat pengaturan mengenai: kemudahan pendirian, rapat anggota, kegiatan usaha koperasi, dan kriteria UMK-M, basis data tunggal UMK-M, pengelolaan terpadu UMK-M, kemudahan perizinan berusaha UMK-M, kemudahan mendapatkan sertifikat halal untuk UMK yang biayanya ditanggung oleh Pemerintah, serta kemitraan, insentif, dan pembiayaan UMK-M. Penciptaan lapangan kerja yang dilakukan melalui pengaturan terkait dengan peningkatan investasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dan percepatan proyek strategis nasional memuat pengaturan mengenai: pelaksanaan dan pembiayaan investasi pemerintah pusat melalui pembentukan lembaga pengelola investasi, penyediaan lahan dan perizinan untuk percepatan proyek strategis nasional. Dalam rangka mendukung kebijakan strategis Cipta Kerja tersebut diperlukan pengaturan mengenai penataan administrasi pemerintahan dan pengenaan sanksi. Untuk mendukung pelaksanaan kebijakan strategis penciptaan kerja beserta pengaturannya, diperlukan perubahan dan penyempurnaan berbagai undang- undang terkait. Perubahan undang-undang tersebut tidak dapat dilakukan melalui cara konvensional dengan cara mengubah satu persatu undang-undang seperti yang selama ini dilakukan, cara demikian tentu tidak efektif dan efisien serta membutuhkan waktu yang lama dan kita dapat kehilangan momentum untuk melakukan perubahan dan penyempurnaan undang-undang. Oleh karenanya, Pemerintah mendorong penyusunan undang-undang melalui metode Omnibus Law , mengingat substansi undang-undang yang diubah atau dicabut dalam UU Cipta Kerja mencapai 78 undang-undang. Perubahan ke-78 undang-undang tersebut dalam UU Cipta Kerja merupakan satu kesatuan substansi untuk mencapai tujuan cipta kerja secara optimal. Legal Standing Para Pemohon Pemerintah memahami bahwa penilaian atas legal standing merupakan kewenangan Mahkamah. Namun demikian, memperhatikan dalil para Pemohon yang merasa dilanggar hak konstitusionalnya dengan UU Cipta Kerja ini, perkenankan Pemerintah menyampaikan bahwa penerbitan UU Cipta Kerja justru
Lelang Surat Berharga Syariah Negara di Pasar Perdana Domestik
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN atau dapat disebut Sukuk Negara adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing.
SBSN Jangka Pendek atau disebut Surat Perbendaharaan Negara Syariah adalah SBSN yang berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran imbalan berupa kupon dan/atau secara diskonto.
SBSN Jangka Panjang adalah SBSN berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran imbalan berupa kupon dan/atau secara diskonto.
Aset SBSN adalah objek pembiayaan SBSN dan/atau Barang Milik Negara (BMN) yang memiliki nilai ekonomis, berupa tanah dan/atau bangunan maupun selain tanah dan/atau bangunan, yang dalam rangka penerbitan SBSN dijadikan sebagai dasar penerbitan SBSN.
Perusahaan Penerbit SBSN adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan peraturan perundang-undangan mengenai SBSN, untuk melaksanakan kegiatan penerbitan SBSN.
Menteri Keuangan, yang selanjutnya disebut Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Keuangan Negara.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, yang selanjutnya disebut Direktur Jenderal adalah pimpinan unit eselon satu di lingkungan Kementerian Keuangan yang membidangi urusan pengelolaan pembiayaan dan risiko.
Wali Amanat adalah pihak yang mewakili kepentingan pemegang SBSN sesuai dengan yang diperjanjikan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai SBSN.
Pasar Perdana Domestik adalah penjualan SBSN yang dilakukan di wilayah Indonesia untuk pertama kali.
Lelang adalah lelang SBSN dan lelang SBSN tambahan.
Lelang SBSN adalah penjualan SBSN di Pasar Perdana Domestik yang diikuti oleh peserta lelang SBSN dengan cara mengajukan penawaran pembelian kompetitif dan/atau penawaran pembelian non kompetitif dalam suatu periode waktu penawaran yang telah ditentukan dan diumumkan sebelumnya, melalui sistem yang disediakan agen yang melaksanakan Lelang.
Lelang SBSN Tambahan adalah penjualan SBSN di Pasar Perdana Domestik dengan cara lelang yang dilaksanakan pada 1 (satu) hari kerja setelah tanggal pelaksanaan Lelang SBSN.
Agen Lelang adalah institusi/lembaga yang ditunjuk oleh Menteri untuk melaksanakan Lelang.
Dealer Utama SBSN adalah bank atau perusahaan efek yang ditunjuk oleh Menteri untuk menjalankan kewajiban tertentu dengan hak tertentu sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai dealer utama SBSN.
Bank Indonesia adalah badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009.
Lembaga Penjamin Simpanan, yang selanjutnya disingkat LPS adalah lembaga yang dibentuk berdasarkan Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009.
Peserta Lelang SBSN Lainnya adalah institusi/lembaga selain Dealer Utama SBSN, Bank Indonesia, dan LPS yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal untuk dan atas nama Menteri sebagai Peserta Lelang SBSN.
Peserta Lelang SBSN adalah Dealer Utama SBSN, Bank Indonesia, LPS, dan/atau Peserta Lelang SBSN Lainnya.
Pihak adalah orang perseorangan warga negara Indonesia maupun warga negara asing di manapun mereka bertempat tinggal, perusahaan, usaha bersama, baik Indonesia maupun asing di manapun mereka berkedudukan, Dealer Utama SBSN, Bank Indonesia, LPS dan/atau Peserta Lelang SBSN Lainnya.
Setelmen adalah penyelesaian transaksi SBSN yang terdiri dari setelmen dana dan setelmen kepemilikan SBSN.
Imbalan ( Coupon ) yang selanjutnya disebut Imbalan adalah pembayaran yang dapat berupa sewa, bagi hasil atau margin atau bentuk pembayaran lainnya sesuai dengan akad penerbitan SBSN, yang diberikan kepada pemegang SBSN sampai dengan berakhirnya periode SBSN.
Imbal Hasil ( Yield ) yang selanjutnya disebut Imbal Hasil adalah keuntungan yang diharapkan oleh investor dalam persentase per tahun.
Penawaran Pembelian Kompetitif ( Competitive Bidding ) yang selanjutnya disebut Penawaran Pembelian Kompetitif adalah pengajuan penawaran pembelian dengan mencantumkan:
volume dan tingkat Imbal Hasil yang diinginkan penawar dalam hal Lelang SBSN dengan pembayaran Imbalan tetap ( fixed coupon ) atau pembayaran Imbalan secara diskonto; atau
volume dan harga yang diinginkan penawar, dalam hal Lelang SBSN dengan Imbalan mengambang ( floating coupon) .
Penawaran Pembelian Non Kompetitif ( Non Competitive Bidding ) yang selanjutnya disebut Penawaran Pembelian Non Kompetitif adalah pengajuan penawaran pembelian dengan mencantumkan:
volume tanpa tingkat Imbal Hasil yang diinginkan penawar, dalam hal Lelang dengan pembayaran Imbalan tetap atau pembayaran Imbalan secara diskonto; atau
volume tanpa harga yang diinginkan penawar, dalam hal Lelang dengan pembayaran Imbalan mengambang.
Harga Beragam ( Multiple Price ) yang selanjutnya disebut Harga Beragam adalah harga yang dibayarkan oleh masing-masing pemenang Lelang SBSN sesuai dengan harga penawaran pembelian yang diajukannya.
Harga Seragam ( Uniform Price ) yang selanjutnya disebut Harga Seragam adalah tingkat harga yang sama yang dibayarkan oleh seluruh pemenang Lelang.
Harga Rata-rata Tertimbang ( Weighted Average Price ) yang selanjutnya disebut Harga Rata-rata Tertimbang adalah harga yang dihitung dari hasil bagi antara jumlah perkalian masing-masing volume SBSN dengan harga yang dimenangkan dan total volume SBSN yang terjual.
Imbal Hasil Rata-rata Tertimbang ( Weighted Average Yeild ) yang selanjutnya disebut Imbal Hasil Rata-rata Tertimbang adalah Imbal Hasil yang dihitung dari hasil bagi antara jumlah dari perkalian masing-masing volume SBSN dengan Imbal Hasil yang dimenangkan dan total volume SBSN yang terjual.
Harga Setelmen adalah harga yang dibayarkan atas Lelang SBSN yang dimenangkan, yaitu:
sebesar harga bersih ( clean price ) atau Imbal Hasil yang telah dikonversi sebagai harga bersih yang diajukan dalam penawaran Lelang pembelian SBSN dengan memperhitungkan Imbalan berjalan ( accrued return) , dalarn hal Lelang dengan Imbalan berupa kupon; atau
sebesar Imbal Hasil yang telah dikonversi sebagai harga bersih yang diajukan dalam penawaran Lelang, dalam hal Lelang dengan pembayaran Imbalan secara diskonto.
Hari Kerja adalah hari dimana operasional sistem pembayaran diselenggarakan oleh Bank Indonesia.
Keadaan Tidak Normal adalah situasi atau kondisi terjadinya gangguan dan/atau kerusakan pada perangkat keras, perangkat lunak, jaringan komunikasi, aplikasi maupun sarana pendukung teknologi informasi yang ada pada Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, Agen Lelang dan/atau Bank Indonesia yang dapat disebabkan oleh alam, manusia, dan/atau teknologi sehingga mempengaruhi kelancaran pelaksanaan Lelang pada tahapan persiapan, tahapan pelaksanaan, dan/atau tahapan Setelmen.
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 143/PMK.011/2013 tentang Panduan Pemberian Dukungan Kelayakan atas Sebagian Biaya Konstruksi pada Proy ...