PUU Nomor 11/2011 tentang Perubahan Atas UU 10/2010 tentang APBN TA 2011
Relevan terhadap 2 lainnya
Melonjaknya harga minyak mentah dunia tersebut telah mendorong harga-harga komoditas lainnya, khususnya yang berkaitan dengan sektor energi, juga ikut melambung. Sejalan dengan perkembangan ekonomi global, kinerja perekonomian domestik juga terus menunjukkan perbaikan yang cukup signifikan. Hal ini antara lain tercermin dalam momentum akselerasi pertumbuhan ekonomi dalam tahun 2011, yang diperkirakan dapat mencapai 6,5 persen. Stabilitas ekonomi makro di sepanjang tahun 2011 juga relatif terjaga, dengan relatif stabilnya pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, dan laju inflasi yang masih dapat dikendalikan dalam sasarannya 5±1. Akan tetapi, perkembangan parameter migas, seperti harga minyak mentah Indonesia dan lifting minyak yang berbeda dengan yang diperkirakan sebelumnya, sangat mempengaruhi postur APBN 2011, sehingga harus diwaspadai dan diantisipasi dampaknya. Implikasi pertama dari perkembangan ini adalah bahwa parameter migas yang ditetapkan dalam APBN 2011 sudah tidak valid, sehingga dipandang perlu untuk disesuaikan dengan kondisi terkini. Penyesuaian ini diperlukan dalam rangka penyesuaian besaran APBN guna menghadapi perubahan kondisi ekonomi agar target dan sasaran ekonomi lebih realistis. Dari hasil evaluasi kinerja ekonomi di tahun 2010, serta melihat perkembangan perekonomian dan pembangunan di tahun 2011, Pemerintah memandang perlu untuk melakukan perubahan terhadap APBN 2011. Selain itu, perubahan APBN 2011 juga dilakukan dalam rangka mengakomodir tambahan belanja prioritas yang belum terakomodasi dalam Undang-Undang APBN 2011. Dasar hukum dari perubahan terhadap APBN 2011 adalah Pasal 37 Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2010 tentang APBN 2011, yang mengamanatkan Pemerintah untuk mengajukan RUU tentang Perubahan atas APBN Tahun Anggaran 2011, apabila terjadi: a. perkiraan perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang digunakan dalam APBN Tahun Anggaran 2011; b. perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal; c. keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar program, dan/atau antar jenis belanja; dan/atau
Kekuasaan pengelolaan keuangan negara tersebut secara tegas diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (selanjutnya disebut UU Keuangan Negara) sebagai amanat dari Pasal 23C UUD 1945 yang menyatakan bahwa hal-hal mengenai keuangan negara diatur dengan undang- undang. Selain atas alasan tersebut pengaturan kekuasaan pengelolaan keuangan negara dalam UU Keuangan Negara adalah untuk mendukung terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan negara, pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan secara profesional, terbuka, dan bertanggung jawab. Di samping itu, pengelolaan keuangan negara juga meliputi asas-asas umum antara lain akuntabilitas berorientasi pada hasil, profesionalitas, proporsionalitas, keterbukaan dalam pengelolaan keuangan Negara, dan pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri. Adapun dalam melaksanakan kekuasaan pengelolaan keuangan negara atas pengelolaan fiskal, salah satu tugas dan fungsi Kementerian Keuangan adalah menyusun kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro dan menyusun rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), rancangan perubahan APBN, serta Rancangan Undang-Undang LKPP. B. Penyusunan dan Penetapan APBN Sebagaimana telah diamanatkan dalam Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, Presiden setiap tahun mengajukan rancangan undang-undang APBN sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara kepada DPR untuk ditetapkan menjadi undang-undang. Dalam proses penyusunan APBN dimaksud, Pemerintah berpedoman pada ketentuan Undang-Undang Keuangan Negara. Anggaran adalah alat akuntabilitas, manajemen, dan kebijakan ekonomi. Sebagai instrumen kebijakan ekonomi, anggaran berfungsi untuk mewujudkan pertumbuhan (fungsi alokasi) dan stabilitas perekonomian (fungsi stabilisasi) serta pemerataan pendapatan (fungsi distribusi) dalam rangka mencapai tujuan bernegara. Terkait dengan tujuan tersebut untuk mengantisipasi perkembangan dinamis dalam penyelenggaraan pemerintahan membutuhkan sistem perencanaan fiskal yang senantiasa diarahkan untuk memenuhi aspek efisiensi dan efektifitas, serta lebih menjamin terwujudnya kesinambungan fiskal dan kesinambungan pembangunan. Sejalan dengan hal tersebut, maka telah dilakukan reformasi sistem penganggaran yang ditandai dengan diimplemantasikannya (1) anggaran
Berdasarkan berbagai fakta hukum sebagaimana diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa, tidak ada ketentuan yang dilanggar dalam APBN-P 2011. Undang-Undang APBN-P Tahun 2011 telah disusun, serta telah dan akan dilaksanakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sesuai dengan kewajiban konstitusional sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 23 ayat (1) UUD 1945. Dengan penjelasan yang disampaikan Pemerintah tersebut di atas, maka telah terbukti bahwa Undang-Undang APBN-P Tahun 2011 sama sekali tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1), Pasal 34 ayat (3) UUD 1945. B. Penjelasan Pemerintah atas pendapat Para Pemohon yang menyatakan Undang-Undang APBN-P Tahun 2011 berkaitan dengan prinsip kemakmuran rakyat bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 Dalam permohonannya, para Pemohon menyatakan bahwa UU APBN-P Tahun 2011 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 dengan alasan APBN-P Tahun 2011 tidak bertujuan untuk kemakmuran rakyat. Hal ini didasarkan atas besarnya anggaran kesehatan tidak mencapai 5 persen dari APBN dan bertentangan dengan amanat Pasal 171 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Selain itu, dengan jumlah APBN-P Tahun 2010 yang sebesar Rp. 1,126 triliun tidak memberikan imbas pada peningkatan indeks pembangunan manusia. Sebagai pelaksanaan amanat Pasal 23 ayat (1) UUD 1945, UU APBN-P Tahun 2011 disusun dan dilaksanakan dengan tujuan untuk meningkatkan kemakmuran masyarakat, melalui kenaikan pendapatan dan daya beli masyarakat. Hal ini hanya bisa tercapai apabila terdapat pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, disertai dengan tingkat harga yang terkendali, sehingga akan tercipta kesempatan kerja yang lebih luas, yang selanjutnya akan menurunkan angka kemiskinan. Karena itu, menciptakan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan berkualitas, serta menjaga stabilitas harga merupakan prasyarat bagi meningkatnya kemakmuran masyarakat. Selanjutnya, sejalan dengan fungsi APBN sebagai distribusi pendapatan, maka alokasi anggaran juga diarahkan untuk mengurangi kesenjangan, mendorong terwujudnya pemerataan serta menciptakan pembangunan yang inklusif dan berkeadilan (growth with equity) . Untuk mencapai
Pengelolaan Aset yang Berasal Dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional oleh Pt Perusahaan Pengelola Aset (Persero). ...
Relevan terhadap
Pengelola Aset dapat melakukan penjualan atas Aset Kredit, atas persetujuan Menteri Keuangan.
Dalam hal Pengelola Aset melakukan penjualan Aset Kredit, harga penjualan Aset Kredit paling sedikit sama dengan harga dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 setelah dikurangi dengan penerimaan yang tercatat sebagai pengurangan nilai Aset Kredit. Pasal 12 (1) Pengelola Aset melakukan pengamanan dan pemeliharaan Aset Kredit yang meliputi penyimpanan dan penatausahaan dokumen serta pemutakhiran data Aset Kredit. (2) Dalam melakukan pemeliharaan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengelola Aset dapat melakukan pembaharuan dan/atau perpanjangan masa berlaku dokumen Aset Kredit. BAB III PENGELOLAAN ASET PROPERTI Pasal 13 Dalam rangka pengelolaan Aset Properti, Pengelola Aset harus melakukan:
Pemeliharaan fisik dan dokumen;
Pengamanan fisik dan dokumen;
Penatausahaan; dan
Pelaporan. Pasal 14 Pemeliharaan fisik dan dokumen Aset Properti paling sedikit meliputi:
Pembersihan dan penggantian/perbaikan atas bagian yang tidak berfungsi/rusak;
Pemenuhan kewajiban termasuk biaya daya dan jasa serta bea yang melekat pada Aset Properti; dan
Pemutakhiran data Aset Properti. Pasal 15 Pengamanan fisik dan dokumen Aset Properti paling sedikit meliputi:
Pengosongan yang dalam pelaksanaannya dapat berkoordinasi dengan instansi yang berwenang untuk Aset yang dihuni atau dikuasai pihak lain;
Perpanjangan bukti kepemilikan Aset Properti;
Pengurusan penggantian bukti kepemilikan atas Aset properti yang hilang; dan
Penempatan tenaga keamanan pada lokasi Aset Properti. Pasal 16 (1) Dalam rangka melakukan kerja sama pemanfaatan dan pengembangan untuk meningkatkan nilai Aset Properti, Pengelola Aset dapat menunjuk pihak lain sebagai mitra kerja. (2) Penunjukan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan berdasarkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik. (3) Kerja sama pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam suatu perjanjian yang antara lain memuat ketentuan mengenai :
Pola kerja sama dan penyelesaian ( exit strategy );
Hasil kerja sama pengembangan; dan
Tata cara penjualan Aset Properti hasil kerja sama pengembangan. (4) Dalam pelaksanaan kerja sama pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pengelola Aset dapat diberikan kewenangan untuk melakukan peralihan hak secara langsung atas Aset Properti. (5) Segala perizinan yang diperlukan sehubungan dengan kerja sama pengembang diatasnamakan kepada pemegang ijin yang telah ada, Pengelola Aset, dan atau mitra kerja. (6) Perizinan kepada Pengelola Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan atas nama Menteri Keuangan. Pasal 17 (1) Pengelola Aset dapat melakukan penyewaan Aset Properti atas persetujuan Menteri Keuangan. (2) Pengelolaan Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut :
Penetapan tarif sewa dilakukan oleh Pengelola Aset yang didasarkan pada hasil penilaian Aset yang dilakukan oleh Penilai;
Jangka waktu sewa paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan; dan
Dalam hal penyewaan tersebut dilakukan dengan bekerja sama dengan pihak lain, penunjukkan pihak lain tersebut dilakukan berdasarkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik. Pasal 18 (1) Pengelola Aset melakukan penjualan Aset Properti dengan harga penjualan paling sedikit sama dengan Harga Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7. (2) Penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara lelang. (3) Dalam rangka persiapan penjualan Aset Properti, Pengelola Aset dapat melakukan penggabungan dan/atau pemecahan Aset Properti guna mengoptimumkan penerimaan Negara. (4) Penggabungan dan/atau pemecahan Aset Properti sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan setelah mendapatkan penetapan nilai Aset Properti dari Menteri Keuangan. (5) Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan kondisi apa adanya (as is) . BAB IV PENGELOLAAN ASET SAHAM Pasal 19 Dalam melakukan pengelolaan Aset Saham, Pengelola Aset tunduk pada perjanjian antar pemegang saham, perikatan lainnya, dan/atau anggaran dasar masing-masing perusahaan. Pasal 20 Pengelola Aset melakukan pemeliharaan Aset Saham yang meliputi :
Pemutakhiran data Aset Saham;
Penyimpanan dan penatausahaan dokumen Aset Saham; dan
Pencatatan kepemilikan atas Aset Saham dalam Daftar Pemegang Saham Perusahaan atau Biro Administrasi Efek atau berdasarkan dokumen kepemilikan lainnya. Pasal 21 (1) Dalam rangka pengelolaan Aset, Pengelola Aset melakukan pemantauan dan pengkajian atas kinerja perusahaan serta tindakan korporasi ( corporate action ) yang dilakukan oleh perusahaan yang dikelola. (2) Tindakan korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
kuasi reorganisasi ( quasi-reorganization );
penggabungan atau pemecahan saham ( reverse stock split atau stock split );
penambahan modal dengan penerbitan saham baru ( right issue );
penawaran saham perdana ( Initial Public Offering );
penerbitan obligasi subordinasi ( sub debt ); dan
langkah–langkah tindakan korporasi lainnya yang diperlukan. Pasal 22 (1) Pengelola Aset dapat menghadiri dan mengambil keputusan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dengan tunduk pada ketentuan anggaran dasar masing–masing perusahaan yang dikelola. (2) Pengambilan keputusan oleh Pengelola Aset dalam RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dimaksudkan untuk melakukan penambahan modal untuk porsi Menteri Keuangan. (3) Pengelola Aset wajib melakukan kajian terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan dalam RUPS, dan melaporkannya kepada Menteri Keuangan. Pasal 23 (1) Dalam melakukan penjualan Aset Saham perusahaan publik termasuk Warrant dan/atau Rights , Pengelola Aset dapat menawarkan Aset Saham melalui bursa maupun di luar bursa dengan tunduk pada peraturan di bidang pasar modal dan peraturan terkait lainnya. (2) Dalam melakukan penjualan Aset Saham pada perseroan tertutup, Pengelola Aset dapat menawarkan Aset Saham melalui:
Penawaran Terbuka; atau
Penawaran Terbatas. (3) Penjualan Aset Saham sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan harga paling sedikit sama dengan Harga Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 setelah dikurangi dengan penerimaan yang tercatat sebagai pengurang nilai Aset Saham. (4) Dalam penjualan Warrant dan/atau Rights yang diperoleh dari hasil pengelolaan Aset Saham, Pengelola Aset mempertimbangkan harga pasar. BAB V PENGELOLAAN ASET REKSA DANA Pasal 24 (1) Pengelola Aset melakukan pemeliharaan Aset Reksa Dana yang meliputi:
Pemutakhiran data Aset Reksa Dana;
Penyimpanan dan penatausahaan dokumen Aset Reksa Dana; dan
Pencatatan kepemilikan atas Aset Reksa Dana pada Manajer Investasi. (2) Pengelolaan Aset Reksa Dana dilakukan dengan cara melakukan pemantauan dan pencairan/penjualan kembali ( redemption ) atas Aset Reksa Dana. BAB VI IMBALAN PENGELOLAAN ASET DAN IMBALAN KINERJA Pasal 25 (1) Pengelola Aset diberikan Imbalan Pengelolaan Aset dan Imbalan Kinerja atas kegiatan Pengelolaan Aset yang besarnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Imbalan Pengelolaan Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Imbalan yang diberikan oleh Menteri Keuangan kepada Pengelola Aset sebesar persentase tertentu per tahun dari Nilai Aset yang dikelola yang perhitungannya dilakukan secara bulanan sebesar persentase tertentu dibagi 12 (dua belas) dari rata-rata Nilai Aset awal bulan ditambah Nilai Aset akhir bulan.
Imbalan Kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Menteri Keuangan kepada Pengelola Aset yang diberikan berdasarkan satuan aset.
Pemberian Imbalan Pengelolaan Aset dan Imbalan Kinerja diberikan dengan ketentuan sebagai berikut :
Apabila Imbalan Kinerja persatuan aset lebih besar dari Imbalan Pengelolaan Aset persatuan aset, maka Pengelola Aset hanya berhak atas Imbalan Kinerja per satuan aset; atau
Apabila Imbalan Pengelolaan Aset persatuan aset lebih besar dari Imbalan Pengelolaan Aset Imbalan Kinerja persatuan aset maka Pengelola Aset hanya berhak atas Imbalan Pengelolaan Aset.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan :
Aset adalah Kekayaan Negara yang berasal dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional yang tidak terkait dengan perkara, berupa Aset Properti, Aset Saham, Aset Reksa Dana, dan/atau Aset Kredit, yang sebelumnya berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 32/PMK.06/2006 tentang Pengelolaan Kekayaan Negara yang berasal dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional oleh PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero), dikelola oleh PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero).
Aset Properti adalah Aset yang berupa tanah, tanah dan bangunan, dan/atau satuan rumah susun/apartemen berikut benda-benda yang melekat dan merupakan satu kesatuan atau kelengkapan aset tersebut.
Aset Saham adalah Aset yang berupa kepemilikan saham pada perseroan.
Aset Reksa Dana adalah Aset yang berupa Unit Penyertaan atau Saham sebagai bukti investasi dalam Portofolio Efek.
Aset Kredit adalah Aset yang berupa kredit/piutang atau tagihan dalam bentuk kredit atau tagihan lainnya.
Pengelola Aset adalah PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero) yang didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2008.
Hasil Pengelolaan Aset yang selanjutnya disebut HPA, adalah setiap penerimaan tunai yang berasal dari pengelolaan Aset.
Nilai Aset adalah Nilai yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan pada saat Aset diserahkelolakan kepada Pengelola Aset.
Imbalan Pengelolaan Aset adalah imbalan yang diberikan oleh Menteri Keuangan kepada Pengelola Aset yang dihitung berdasarkan persentase tertentu dari Nilai Aset yang diserahkelolakan kepada Pengelola Aset.
Imbalan Kinerja adalah imbalan yang diberikan oleh Menteri Keuangan kepada Pengelola Aset yang dihitung berdasarkan persentase tertentu dari selisih antara Hasil Pengelolaan Aset dengan Nilai Aset.
Biaya Aset adalah seluruh pengeluaran tetap yang berkaitan langsung dengan Aset yang dikelola.
Lelang adalah penjualan yang dilakukan secara terbuka untuk umum baik secara langsung maupun melalui media elektronik dengan cara penawaran harga secara lisan dan/atau tertulis yang didahului dengan usaha mengumpulkan peminat yang dilakukan di hadapan Pejabat Lelang Negara.
Penawaran Terbuka adalah penawaran yang dilakukan oleh Pengelola Aset yang dilakukan terbuka untuk umum baik secara langsung maupun melalui media elektronik dengan cara penawaran harga secara lisan dan/atau tertulis yang didahului dengan usaha mengumpulkan peminat yang dilakukan oleh Pengelola Aset.
Penawaran Terbatas adalah penawaran yang dilakukan oleh Pengelola Aset yang penawarannya dilakukan terbatas kepada pihak-pihak tertentu dengan mengacu kepada perjanjian/ ketentuan yang telah ada sebelumnya atau anggaran dasar perusahaan.
Waran ( Warrants ) dan/atau Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu ( Rights ) adalah hak-hak yang telah diperoleh atau akan timbul sehubungan dengan saham.
Penilai adalah penilai eksternal yang melakukan penilaian Aset secara independen berdasarkan kompetensi yang dimilikinya.
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.02/2012 tentang Tata Cara Penyetoran dan Pelaporan Penerimaan Negara Dari Kegiatan Usaha Hulu M ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini, yang diinaksud dengan:
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang selanjutnya disebut SKK Migas adalah satuan kerja penyelenggara pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi yang dibentuk sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
Kontrak Kerja Sama adalah kontrak bagi basil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang lebih menguntungkan negara dan hasilnya dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. MENTER! l<EUANGAN REPUBLIK INDONESlf\ -3- 3. Lifting adalah sejumlah minyak bumi dan/ a tau gas bumi yang tersedia untuk . dijual atau dibagi di titik penyerahan (custody transfer point). 4 Wilayah Kerja adalah daerah tertentu di dalam wilayah hukurn pertambangan Indonesia untuk pelaksanaan eksplorasi dan eksploitasi.
Kontraktor adalah badan usaha atau bentuk usaha tetap yang ditetapkan untuk melakukan eksplorasi clan eksploitasi pada suatu Wilayah Kerja berdasarkan Kontrak Kerja Sama dengan SKK Migas sesuai dengan keten tuan perundang-undangan.
Operator adalah Kontraktor, atau dalam hal Kontraktor terdiri atas beberapa pemegang participating interest, salah satu pemegang participating interest yang ditunjuk sebagai wakil oleh pemegang participating interest lainnya sesuai dengan Kontrak Kerja Sama.
Partner adalah Kontraktor yang,· memiliki participating interest dalam suatu Wilayah Kerja clan tidak bertindak ļebagai Operator.
First Tranche Petroleum yang selanjutnya. disingkat FTP adalah sejumlah tertentµ minyak mentah dan/atau Gas Bumi yang diproduksi dari suatu Wilayah Kerja dalam satu tahun kalender, yang dapat diambil dan diterima oleh SKK Migas dan/atau Kontraktor dalam tiap tahun kalender, sebelum dikurangi pengembalian biaya operasi dan penanganan produksi (own use). 9 . Overlifting Kontraktor. adalah kelebihan pengambilan minyak dan/atau gas bumi oleh Kontraktor dibandingkan dengan haknya yang diatur dalam Kontrak Kerja Sama pada periode tertentu.
Underlifting Kontraktor adalah kekurangan pengambilan minyak dan/atau gas bumi oleh Kontraktor dibandingkan dengan haknya yang diatur dalam Kontrak Kerja Sama pada periode tertentu.
Harga Minyak Mentah Indonesia (Indonesian Crude Price) yang sdanjutnya disebut ICP adalah harga minyak mentah yang ditetapkan oleh Pemerintah dengan suatu formula dalam rangka pelaksanaan Kontrak Kerja Sama minyak bumi dan/ a tau gas bumi serta penjualan minyak mentah bagian Pemerintah yang berasal dari pelaksanaan Kontrak Kontrak Kerja Sama minyak bumi clan/ atau gas bumi. l'v1ENTEHI KEUANGAN REPUBL.IK INDONESIA 12. Rekening Departemen Keuangan k/ Hasil Minyak Perjanjian Karya Production Sharing Nomor 600.000411980 pada Bank Indonesia yang selanjutnya disebut Rekening Minyak dan Gas Bumi adalah rekening dalam valuta USD untuk menampung seluruh penerimaan, dan membayar pengeluaran terkait kegiatan usaha hulu minyak dan/atau gas bumi.
Rekening Kas Umum Negara, yang selanjutnya disebut Rekening KUN adalah rekening tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara pada bank sentral.
Bendahara Umum Negara, yang selanjutnya disebut BUN, adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi Bendahara Umum Negara sesuai Undang-Undang yang mengatur mengenai Keuangan Negara dan Perbendaharaan Negara.
Kuasa Bendahara Umum Negara, yang selanjutnya disebut Kuasa BUN, adalah pejabat yang diangkat oleh BUN untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan anggaran dalam wilayah kerj a yang telah ditetapkan.
Bank Persepsi Mata U ang Asing adalah bank devisa yang ditunjuk oleh BUN/ Kuasa BUN Pusat untuk menerima setoran Penerimaan Negara dalam ma ta uang asing.
Nomor Transaksi Penerimaan Negara yang selanjutnya disebut NTPN adalah nomor tanda pembayaran / penyetoran ke Kas Negara yang tertera pada bukti penenmaan negara yang diterbitkan oleh sistem settlement.
Nomor Transaksi Bank, yang selanjutnya disebut NTB adalah nomor bukti transaksi penyetoran penerimaan negara yang diterbitkan oleh Bank Persepsi Mata Uang A sing.
Kas Negara adalah tempat penyimpanan uang Negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara untuk menampung seluruh penerimaan negara dan untuk membayar seluruh pengeluaran Negara. MENTEHI KEUANGAN REPUBLll'\ INOONESIA 20. Bukti Penerimaan Negara, yang selanjutnya disebut BPN, adalah dokumen yang diterbitkan oleh bank persepsi/ devisa persepsi atas transaksi penerimaan negara dengan teraan NTPN dan NTB.
Uji Materiil atas UU No.2 tahun 2010 tentang Perubahan atas UU No. 47 Tahun 2009 tentang APBN terhadap UUD 1945 ...
Relevan terhadap
Bahwa selanjutnya dalam Pasal 2 Statuta FITRA disebutkan bahwa Visi didirikannya FITRA adalah ”Terwujudnya kedaulatan rakyat terhadap anggaran”; Bahwa dalam Pasal 3 Statuta FITRA disebutkan pula bahwa untuk mewujudkan hal tersebut FITRA mengemban misi: 1. Mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam perencanaan, pelaksanaan dan kontrol anggaran negara; 2. Memperjuangkan anggaran negara yang berbasis dan berorientasi pada kebutuhan rakyat; 3. Menjadi acuan bagi wacana dan gerakan transparansi anggaran di dan bagi Indonesia; Bahwa sifat dan tujuan didirikannya FITRA sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 Statuta adalah: (1) Sifat organisasi FITRA adalah inklusif, berpihak pada rakyat, sensitif gender, dan independen; (2) FITRA bertujuan mewujudkan transformasi sosial menuju tatanan yang demokratis guna terwujudnya kedaulatan rakyat dalam pengelolaan sumber-sumber kehidupan rakyat melalui advokasi transparansi anggaran publik; Bahwa untuk mencapai visi, misi, sifat serta tujuannya itu, di dalam Pasal 5 Statuta FITRA dijelaskan tentang stategi dan kegiatan FITRA yang meliputi: (1) Strategi FITRA adalah advokasi anggaran; (2) Kegiatan FITRA meliputi : a. Pengorganisasian rakyat; b. Pendidikan; c. Kampaye; d. Riset; e. Dialog kebijakan; f. Litigasi; g. Konsultasi; h. Legal drafting dan counter legal drafting ;
Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Transaksi Khusus.
Relevan terhadap
Pernyataan Tanggung Jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) untuk tingkat UAKPA ditandatangani dengan ketentuan sebagai berikut:
Pernyataan Tanggung Jawab UAKPA BUN TK Pengelola Pengeluaran Kerja Sama Internasional ditandatangani oleh Pejabat Eselon II di BKF yang ditunjuk sebagai KPA Pengeluaran Kerja Sama Internasional;
Pernyataan Tanggung Jawab UAKPA BUN TK Pengelola Perjanjian Hukum Internasional ditandatangani oleh Pejabat Eselon II di BKF yang ditunjuk sebagai KPA Pengeluaran Kerja Sama Internasional;
Pernyataan Tanggung Jawab UAKPA BUN TK Pengelola Pembayaran Dukungan Kelayakan ditandatangi oleh Pejabat Eselon II di BKF yang ditunjuk sebagai KPA pembayaran Dukungan Kelayakan;
Pernyataan Tanggung Jawab UAKPA BUN TK Pengelola PNBP Minyak Bumi dan Gas Bumi ditandatangani oleh Pejabat Eselon II di DJA yang mengelola PNBP;
Pernyataan Tanggung Jawab UAKPA BUN TK Pengelola PNBP Panas Bumi ditandatangani oleh Pejabat Eselon II di DJA yang mengelola PNBP;
Pernyataan Tanggung Jawab UAKPA BUN TK Pengelola Setoran Lainnya ditandatangani oleh Pejabat Eselon II di DJA yang mengelola PNBP;
Pernyataan Tanggung Jawab UAKPA BUN TK Pengelola Aset Bekas Milik Asing/Cina ditandatangani oleh Pejabat Eselon II di DJKN yang menangani Pengelolaan Kekayaan Negara;
Pernyataan Tanggung Jawab UAKPA BUN TK Pengelola Aset KKKS ditandatangani oleh Pejabat Eselon II pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang menangani Pengelolaan BMN yang berasal dari KKKS;
Pernyataan Tanggung Jawab UAKPA BUN TK Pengelola Aset Kontraktor PKP2B ditandatangani oleh Pejabat Eselon II pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang menangani Pengelolaan BMN yang berasal dari Kontraktor PKP2B;
Pernyataan Tanggung Jawab UAKPA BUN TK Pengelola Aset Eks Pertamina ditandatangani oleh Pejabat Eselon II di DJKN yang mengelola Kekayaan Negara Dipisahkan;
Pernyataan Tanggung Jawab UAKPA BUN TK Pengelola BMN Idle Yang Sudah Diserahkan Ke DJKN selaku Pengelola Barang, ditandatangani oleh Pejabat Eselon II di DJKN yang mengelola BMN;
Pernyataan Tanggung Jawab UAKPA BUN TK Pengelola Aset yang Timbul dari Pemberian BLBI, ditandatangani oleh Pejabat Eselon II di DJKN yang menangani Pengelolaan Kekayaan Negara;
Pernyataan Tanggung Jawab UAKPA BUN TK Pengelola Aset Lainnya dalam Pengelolaan DJKN, ditandatangani oleh Pejabat Eselon II di DJKN yang menangani Pengelolaan Kekayaan Negara; dan
Pernyataan Tanggung Jawab UAKPA BUN TK Pengelola Belanja/Beban Pensiun, Belanja/Beban Jaminan Layanan Kesehatan, Belanja/Beban Jamkesmen, Belanja/Beban Jamkestama, Belanja/beban JKK, Belanja/Beban JKM, Belanja/Beban Program THT, Belanja/Beban PPN RTGS BI, dan Belanja/Beban Selisih Harga Beras Bulog, ditandatangani oleh Pejabat Eselon II di DJPBN yang ditunjuk sebagai KPA;
Pernyataan Tanggung Jawab UAKPA BUN TK Pengelola Pendapatan dan Belanja/Beban Dalam Rangka Pengelolaan Kas Negara, ditandatangani oleh Pejabat Eselon II di DJPBN yang menangani Pengelolaan Kas Negara;
Pernyataan Tanggung Jawab UAKPA BUN TK Pengelola Utang PFK Pegawai, ditandatangani oleh Pejabat Eselon II di DJPBN yang menangani Pengelolaan Utang PFK Pegawai; dan
Pernyataan Tanggung Jawab UAKPA BUN TK Pengelola Utang PFK Pajak Rokok, ditandatangani oleh Pejabat Eselon II di DJPK yang menangani Pengelolaan Utang PFK Pajak Rokok.
Pernyataan Tanggung Jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) untuk tingkat UAKKPA ditandatangani dengan ketentuan sebagai berikut:
Pernyataan Tanggung Jawab UAKKPA BUN TK Pengelola BMN yang berasal dari Pertambangan ditandatangani oleh Kepala Biro Keuangan Sekretariat Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral; dan
Pernyataan Tanggung Jawab UAKKPA BUN TK Pengelolaan Kekayaan Negara ditandatangani oleh Pejabat Eselon II di DJKN yang menangani Pengelolaan Kekayaan Negara.
Pernyataan Tanggung Jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) untuk tingkat UAP BUN ditandatangani dengan ketentuan sebagai berikut:
Pernyataan Tanggung Jawab UAP BUN TK Pengelola Pengeluaran Keperluan Hubungan Internasional dan Dukungan Kelayakan ditandatangani oleh Kepala BKF;
Pernyataan Tanggung Jawab UAP BUN TK Pengelola PNBP yang Dikelola oleh DJA ditandatangani oleh Direktur Jenderal Anggaran;
Pernyataan Tanggung Jawab UAP BUN TK Pengelola Aset yang Berada Dalam Pengelolaan DJKN ditandatangani oleh Direktur Jenderal Kekayaan Negara;
Pernyataan Tanggung Jawab UAP BUN TK Pengelola:
Belanja/Beban Pensiun, Belanja/Beban Jaminan Layanan Kesehatan, Belanja/Beban Jamkesmen, Belanja/Beban Jamkestama, Belanja/Beban Program THT, Belanja/Beban PPN RTGS BI, dan Belanja/Beban Selisih Harga Beras Bulog;
Pendapatan dan Belanja/Beban Dalam Rangka Pengelolaan Kas Negara; dan
Utang PFK Pegawai, ditandatangani oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan; dan
Pernyataan Tanggung Jawab UAPBUN TK Pengelola Utang PFK Pajak Rokok ditandatangani oleh Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan.
Pernyataan Tanggung Jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) untuk tingkat UAKP BUN TK ditandatangani oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan.
Belanja/beban pengeluaran untuk keperluan hubungan internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a antara lain:
Pengeluaran kerja sama internasional yang mencakup pembayaran iuran keikutsertaan pemerintah Indonesia dalam organisasi internasional dan tidak menimbulkan hak suara di luar ketentuan Keputusan Presiden Nomor 64 tahun 1999 tentang Keanggotaan Indonesia Dan Kontribusi Pemerintah Republik Indonesia Pada Organisasi-Organisasi Internasional, yang dibiayai dari Bagian Anggaran BUN seperti trust fund dan kontribusi;
Pengeluaran perjanjian internasional yang mencakup transaksi yang timbul sebagai akibat dari perjanjian-perjanjian antara pemerintah Indonesia dengan pihak lain di dunia internasional dan dibiayai dari Bagian Anggaran BUN; dan
Pendapatan dan belanja/beban selisih kurs dan biaya transfer atas Pengeluaran untuk keperluan hubungan internasional.
Belanja/beban dukungan kelayakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b berupa kontribusi fiskal dalam bentuk tunai atas sebagian biaya pembangunan proyek yang dilaksanakan melalui skema kerja sama pemerintah dengan badan usaha dalam rangka penyediaan layanan infrastruktur yang terjangkau bagi masyarakat termasuk biaya studi kelayakan dan pembayaran fasilitas penyiapan proyek.
PNBP yang dikelola oleh DJA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c antara lain:
Pendapatan minyak bumi dan gas bumi;
Pendapatan panas bumi; dan
Setoran Lainnya, antara lain setoran dari otorita asahan.
Aset yang berada dalam pengelolaan DJKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d antara lain:
Aset Bekas Milik Asing/Cina;
BMN yang berasal dari Pertambangan antara lain:
BMN Yang Berasal Dari KKKS; dan
BMN Yang Berasal Dari Kontraktor PKP2B.
Aset Eks Pertamina;
BMN Idle yang sudah diserahkan ke DJKN;
Aset yang timbul dari pemberian BLBI antara lain:
Piutang pada Bank Dalam Likuidasi (BDL);
Aset Eks BPPN;
Aset Eks Kelolaan PT PPA; dan
Aset yang Diserahkelolakan kepada PT PPA.
Aset Lain-Lain dalam Pengelolaan DJKN antara lain:
Barang gratifikasi;
BMN dari pembubaran entitas non kementerian negara/lembaga;
Aset yang berasal dari kerjasama internasional; dan
Aset lain-lain dalam penguasaan Pengelola Barang.
Belanja/beban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf e antara lain:
Belanja/Beban Pensiun;
Belanja/Beban Jaminan Layanan Kesehatan;
Belanja/Beban Jamkesmen;
Belanja/Beban Jamkestama;
Belanja/Beban JKK;
Belanja/Beban JKM;
Belanja/Beban Program THT;
Belanja/Beban PPN RTGS BI; dan
Belanja/Beban Selisih Harga Beras Bulog.
Pendapatan dan belanja/beban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf f antara lain:
Pendapatan berupa Selisih Lebih Dalam Pengelolaan Kelebihan/Kekurangan Kas;
Pendapatan Selisih Kurs Terealisasi dalam Pengelolaan Rekening Milik BUN;
Pendapatan lainnya dalam Pengelolaan Kas Negara;
Belanja/beban berupa Selisih Kurang dalam Pengelolaan Kelebihan/Kekurangan kas;
Belanja/Beban Selisih Kurs Terealisasi dalam Pengelolaan Rekening Milik BUN; dan
Belanja/Beban Transaksi Pengelolaan Kas Negara.
Utang PFK Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf g merupakan selisih lebih/kurang antara penerimaan setoran/potongan PFK Pegawai dan pembayaran pengembalian penerimaan PFK Pegawai; dan
Utang PFK Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf h merupakan selisih lebih/kurang antara penerimaan setoran PFK Pajak Rokok dan pembayaran pengembalian penerimaan PFK Pajak Rokok.
Pendelegasian Kewenangan dan Tanggung Jawab Tertentu Dari Pengelola Barang Kepada Pengguna Barang.
Relevan terhadap
KEPUTUSAN MENTERI/PIMPINAN LEMBAGA (1) TENTANG PENETAPAN STATUS PENGGUNAAN BARANG MILIK NEGARA PADA . .. . . (3) Menetapkan status penggunaan Barang Milik Negara berupa .. . .. (7) sebagai Barang Milik Negara pada .....(3) sesuai ..... (8). Nilai Barang Milik Negara sebagaimana dimaksud dalam Diktum PERTAMA seluruhnya sebesar Rp.... . ,00 (.... . rupiah) (9). Barang Milik N egara se bagaimana dimaksud dalam Diktum PERTAMA dicatat dalam Daftar Barang Kuasa Pengguna pada Kuasa Pengguna Barang, Daftar Barang Pengguna pada Pengguna Barang dan Daftar Barang Milik N egara pad a Pengelola Barang.
dapat melakukan pemanfaatan atau pemindahtanganan kepada pihak lain setelah mendapat persetujuan Pengelola Barang sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Pengguna Barang wajib melakukan monitoring dan evaluasi atas optimalisasi penggunaan Barang Milik Negara. Segala biaya pengamanan dan pemeliharaan Barang Milik Negara yang digunakan oleh.... . (3) menjadi tanggung jawab..... (3) Keputusan Menteri/Pimpinan Lembaga.... . (1) ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Apabila di kemudian hari terdapat kekeliruan dalam Keputusan Menteri/Pimpinan Lembaga m1, akan diadakan perbaikan sebagaimana mestinya. 7------------------- J 3 MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Salinan Keputusari disampaikan kepada: Men teri /Pimp in an 1 . Menteri/Pimpinan Lembaga.... . (1); 2 . Inspektur Jenderal.... . (1); Lembaga llll 3. Direktur Barang Milik Negara, Direktorat Jenderal Kekayaan N egara;
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Kekayaan NegarajKantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang.... . (10). Ditetapkan di.... . (11) pada tanggal a.n. Menteri/Pimpinan Lembaga.... . (1) Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/ Sekretaris Kernen terian (tanda tangan).... . (12) ' i tf.. L- ---- -- ---- -- ------------ ---- ------ -- ------ -- ---- -- -- -- Petunjuk Pengisian: MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA (1) Nama Kementerian/Lembaga.
Nomor Keputusan Menteri/Pimpinan Lembaga diisi menggunakan kode instansijunit yang menerbitkan sesuai dengan ketentuan tata persuratan dinas di lingkungan Kementerian/Lembaga masing-masing.
Kuasa Pengguna Barang yang menguasai BMN tersebut, contoh: Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) c.q. Kanwil DJKN DKI Jakarta c.q. Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Jakarta I.
Peraturan Presiden yang mengatur mengenai Kedudukan, Tugas, Dan Fungsi Kementerian Negara Serta Susunan Organisasi, Tugas, Dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara, contoh: Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, Dan Fungsi Kementerian Negara Serta Susunan Organisasi, Tugas, Dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 135 Tahun 2014.
Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai Penetapan Status Penggunaan BMN, contoh: PMK Nomor 96/PMK.06/2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, Pemindahtanganan dan Penghapusan Barang Milik Negara.
Surat permohonan penetapan status Penggunaan BMN dari Kuasa Pengguna Barang.
Keterangan BMN yang dimohonkan penetapan status penggunaannya. (8) Dokumen kepemilikan atas objek yang ditetapkan status penggunaannya. Dalam hal jenis BMN tidak memungkinkan untuk ditulis dalam Diktum PERTAMA, maka jenis dan dokumen kepemilikan dapat dicantumkan dalam Lampiran Keputusan Menteri/Pimpinan Lembaga tersebut.
Nilai BMN yang menjadi objek penetapan status Penggunaan sesuai dengan nilai yang tercatat di dalam SIMAK/ dokumen pengadaan/ dokumen perolehan lainnya yang sah.
Tembusan disampaikan kepada Kepala Kanwil DJKN/Kepala KPKNL yang wilayah kerjanya melingkupi lokasi Kuasa Pengguna Barang yang mengajukan permohonan penetapan status Penggunaan.
Lokasi tempat KementerianjLembaga. (12) Jabatan dan nama lengkap pejabat yang berwenang menandatangani Keputusan Menteri/Pimpinan Lembaga tersebut. w w w . j d i h . k e m e n k e u . g o . i d Contoh l.b MENTER! KEUANGAN REPUBLIK IND ^O NESIA Format Surat Persetujuan Penggunaan Sementara BMN Nom or Sifat Lampi ran Hal ..... (3).... . (3).... . (.... . ) berkas (3) Kop Persetujuan Penggunaan Sementara Barang Milik Negara pada.... . (4) oleh.... . (5) Yth. Sekretaris Jenderai/Sekretaris Utama/ Sekretaris Kementerian/Kepala Satuan Kerja .....(4) Jalan.... .
.... ,.... . (2) Sehubungan dengan surat Saudara Nom or.... . tanggal..... hal.... . (6), dengan ini diberitahukan bahwa permohonan Penggunaan Sementara Barang Milik Negara pad a............ (4) berupa .....(7) oleh.... . (5) dengan jangka waktu.... . (8) sebagaimana tercantum dalam lampiran surat ini, pada prinsipnya dapat disetujui. Guna tertib administrasi pengelolaan Barang Milik Negara, pelaksanaan penggunaan sementara tersebut agar berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 201 4 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor.... . /PMK.06/20.... . (9), dengan ketentuan sebagai berikut: 1 . Penggunaan Sementara Barang Milik Negara dilakukan dalam rangka menunjang penyelenggaraan tug as dan fungsi.... . (5) dan tanpa imbalan.
Berdasarkan persetujuan Penggunaan Sementara mr, Kuasa Pengguna Barang menindaklanjuti dengan membuat perjanjian yang dituangkan dalam Naskah Perjanjian Penggunaan Sementara paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal surat persetujuan ini diterbitkan, yang sekurang-kurangnya memuat Barang Milik Negara yang digunakan, jangka waktu Penggunaan, dan kewajiban Pengguna Barang Sementara untuk melakukan pengamanan dan pemeliharaan Barang Milik Negara yang digunakan sementara.
Kuasa Pengguna Barang menyampaikan laporan pelaksanaan Penggunaan Sementara kepada Pengguna Barang dengan tembusan kepada Pengelola Barang c. q.... . (1 0) paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal Berita Acara Serah Terima ditandatangani dengan melampirkan Naskah Perjanjian Penggunaan Sementara dan Berita Acara Serah Terima. Telepon : (02 1 ) ..... Faksimili : (02 1 ) ..... Situs : ( 1 3) &-- 2; MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 4. Setelah jangka waktu berakhir, Barang Milik Negara tersebut segera diserahkan kembali kepada Pengguna Barang dan dituangkan dalam Berita Acara Serah Terima, yang tembusannya disampaikan kepada Pengelola Barang.
Apabila di kemudian hari terdapat kekeliruan dalam persetujuan ini, maka akan diadakan perbaikan sebagaimana mestinya. Atas perhatian Saudara, kami ucapkan terima kasih.
n. Menteri!Pimpinan Lembaga.... . (1) Sekretaris Jenderai/Sekretaris Utama/ Sekretaris Kementerian (tanda tangan) NIP.... . (1 1 ) Tembusan: 1 . Menteri/Pimpinan Lembaga.... . (1) (sebagai laporan) 2. Menteri!Pimpinan Lembaga.... . (5) 3. lnspektur Jenderal.... . (1) 4. Direktur Barang Milik Negara, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara 5. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara/Kantor Pelayanan Negara dan Lelang..... (1 2) Telepon : (02 1 ) ..... Faksimili : (02 1 ) ..... Situs : (1 3) Kekayaan Petunjuk Pengisian: MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA (1) Nama Kementerian/ Lembaga.
Kota dan tanggal surat persetujuan Penggunaan Sementara BMN diterbitkan. (3) Nomor surat (diisi menggunakan kode instansijunit yang menerbitkan sesuai dengan ketentuan tata persuratan dinas di lingkungan Kementerian/Lembaga masing-masing), sifat dan jumlah lampiran surat persetujuan Penggunaan Sementara BMN. (4) Kuasa Pengguna Barang pemilik BMN yang dimohonkan persetujuan Penggunaan Semen tara. (5) Kementerian/Lembaga calon pengguna sementara BMN yang dimohonkan Penggunaan Sementara.
Nomor, tanggal dan hal surat permohonan Penggunaan Sementara BMN dari Kuasa Pengguna Barang.
BMN yang dimohonkan Penggunaan Sementara. Dalam hal BMN tersebut berupa tanah danjatau bangunan, maka dapat ditambahkan lokasi BMN yang dimohonkan Penggunaan Sementara tersebut.
Jangka waktu Penggunaan Sementara yang disetujui oleh Pengguna Barang. (9) Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai Pelaksanaan Penggunaan BMN, contoh: PMK Nomor 96/PMK.06/2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, Pemindahtanganan dan Penghapusan Barang Milik Negara.
Kanwil DJKN/KPKNL yang wilayah kerjanya melingkupi lokasi Kuasa Pengguna Barang yang mengajukan permohonan persetujuari Penggunaan Semen tara BMN. ( 1 1) Jabatan, nama lengkap, dan NIP pejabat yang berwenang menandatangani surat persetujuan Penggunaan Sementara BMN.
Tembusan disampaikan kepada Kepala Kanwil DJKN/Kepala KPKNL yang wilayah kerjanya melingkupi lokasi Kuasa Pengguna Barang yang mengajukan permohonan persetujuan Penggunaan Sementara.
Kaki surat diisi dengan alamat unit yang mengeluarkan surat persetujuan Penggunaan Sementara BMN pada setiap lembar surat, kecuali pada lampiran berupa nama gedung, nama jalan dan nomor, kota dan kode pos, nomor telepon dan nomor faksimili, contoh: Gedung Syafrudin Prawiranegara II Lt. 1 1 , Jl. Lapangan Banteng Timur 2-4, Jakarta 1 071 0 Telepon : (02 1 ) 3449230 Faksimili : (02 1 ) 3442948 Situs : Contoh.... fij Contoh 2 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Format Surat Persetujuan Penjualan BMN Selain Tanah dan/ a tau Bangunan Nom or Sifat Lampiran Hal . .. .. (3).... . (3).... . (.... . ) berkas (3) Kop Persetujuan Penjualan Barang Milik Negara Selain Tanah dan/atau Bangunan pada.... . (4) Yth. Sekretaris Jenderai/Sekretaris Utama/ Sekretaris Kementerian/Kepala Satuan Kerja.... . (4) Jalan.....
.... ,.... . (2) Sehubungan dengan surat Saudara Nom or.... . tanggal.... . hal .....(5), dengan ini diberitahukan bahwa permohonan Penjualan Barang Milik Negara selain tanah dan/atau bangunan pada . .. . . (4) dengan harga perolehan/nilai buku sebesar Rp.... . ,00 (.... . rupiah) (6) sebagaimana tercantum dalam lampiran surat ini, pada prinsipnya dapat disetujui dengan ketentuan Penjualan dilaksanakan secara lelang. Guna tertib administrasi pengelolaan Barang Milik Negara, pelaksanaan Penjualan tersebut agar berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 201 4 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor.... ./PMK.06/20 . .. . . (7), dengan ketentuan sebagai berikut: 1 . Penjualan Barang Milik Negara tidak mengganggu tugas operasional kantor Saudara dan persetujuan Penjualan ini tidak merupakan jaminan disediakannya dana anggaran untuk pengadaan Barang Milik Negara yang baru sebagai pengganti Barang Milik Negara yang dijual.
Persetujuan ini segera ditindaklanjuti dengan Penjualan Barang Milik Negara secara lelang.
Pengajuan permohonan atas pelaksanaan lelang secara lengkap paling lama 2 (dua) bulan sejak tanggal surat persetujuan ini diterbitkan.
Penjualan secara lelang atas Barang Milik Negara agar dilakukan melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) dengan nilai limit sebesar Rp.... . ,00 (.... . rupiah) (8) berdasarkan penilaian.... . (9).... . (1 0) dan hasil Penjualan seluruhnya disetorkan ke rekening Kas Umum Negara. Telepon : (02 1 ).... . Faksimili : (02 1 ).... . Situs :
Ʀ J /--------------------01 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 5. Pelaksanaan Penjualan secara lelang dituangkan dalam Berita Acara Serah Terima paling lama 1 (satu) bulan setelah tanggal pelaksanaan lelang.
Keputusan Penghapusan Barang Milik Negara ditetapkan oleh Pengguna Barang paling lama 2 (dua) bulan sejak tanggal Berita Acara Serah Terima ditandatangani.
Pengguna Barang menyampaikan laporan pelaksanaan Penjualan secara lelang dan pelaksanaan Penghapusan barang kepada Pengelola Barang c.q.... . . (1 1 ) paling lama 1 (satu) bulan sejak Keputusan Penghapusan BMN ditandatangani dengan melampirkan Risalah Lelang, Berita Acara Serah Terima, Keputusan Penghapusan yang ditetapkan oleh Pengguna Barang dan bukti setor ke Rekening Kas Umum Negara.
Kebenaran materiil atas jenis, jumlah, tahun dan nilai Barang Milik Negara yang dijual tersebut menjadi tanggung jawab Kuasa Pengguna Barang.
Apabila di kemudian hari terdapat kekeliruan dalam persetujuan ini, maka akan diadakan perbaikan sebagaimana mestinya. Atas perhatian Saudara, kami ucapkan terima kasih.
n. Menteri/Pimpinan Lembaga.... . (1) Sekretaris Jenderai/Sekretaris Utama/ Sekretaris Kementerian (tanda tangan) NIP.... . (1 2) Tembusan: 1 . Menteri/Pimpinan Lembaga.... . (1) (sebagai laporan) 2. l nspektur Jenderal.... . (1) 3. Direktur Barang Milik Negara, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara 4. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara/Kantor Pelayanan Negara dan Lelang.... . (1 3) Telepon : (02 1 ) ..... Faksimili : (02 1 ) ..... Situs : Kekayaan (14) L--------------- &1 www.jdih.kemenkeu.go.id Petunjuk Pengisian: MENTERI KEUANGAN REPUBLIK IN DONESIA (1) Nama Kementerian/Lembaga. (2) Kota dan tanggal surat persetujuan Penjualan BMN diterbitkan. (3) Nomor surat (diisi menggunakan kode instansijunit yang menerbitkan sesuai dengan ketentuan tata persuratan dinas di lingkungan Kementerian/Lembaga masing-masing), sifat dan jumlah lampiran surat persetujuan Penjualan BMN.
Kuasa Pengguna Barang yang mengajukan permohonan Penjualan BMN.
Nomor, tanggal dan hal surat permohonan Penjualan BMN dari Kuasa Pengguna Barang.
Nilai BMN yang dimohonkan untuk dijual, dapat berupa nilai bukujnilai perolehanjnilai wajar.
Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai Pemindahtanganan BMN, contoh: PMK Nomor 96/PMK.06/2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, Pemindahtanganan dan Penghapusan Barang Milik N egara. (8) Nilai limit Penjualan BMN berupa bongkaran berdasarkan hasil penilaian tim/ panitia Penghapusan/ penilai yang berkompeten.
Tim/Panitia PenghapusanjPenilai yang berkompeten yang ditugaskan oleh Pengguna Barang untuk melakukan penilaian BMN yang akan dihapuskan.
Nomor laporan taksiran nilai yang dijadikan das ^a r penetapan nilai limit Penjualan.
Kanwil DJKN/KPKNL yang wilayah kerjanya melingkupi lokasi Kuasa Pengguna Barang yang mengajukan permohonan persetujuan Penjualan BMN.
Jabatan, nama lengkap, dan NIP pejabat yang berwenang menandatangani surat persetujuan Penjualan BMN.
Tembusan disampaikan kepada Kepala Kanwil DJKN/Kepala KPKNL yang wilayah kerjanya melingkupi lokasi Kuasa P ^e ngguna Barang yang mengajukan permohonan persetujuan Penjualan.
Kaki surat diisi dengan alamat unit yang mengeluarkan surat persetujuan Penjualan BMN pada setiap lembar surat, kecuali pada lampiran berupa nama gedung, nama jalan dan nomor, kota dan kode pos, nomor telepon dan nomor faksimili, contoh: Gedung Syafrudin Prawiranegara I I Lt. 11, Jl. Lapangan Banteng Timur 2-4, Jakarta 10710 Telepon :
3449230 Faksimili :
3442948 Situs : /.j Contoh 3.a MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Format Surat Persetujuan Menteri/Pimpinan Lembaga tentang Hibah BMN berupa tanah dan/atau bangunan Nomor Sifat Lampiran Hal .....(3).... . (3).... . (.... . ) berkas (3) Kop Persetujuan Hibah Barang Milik Negara Berupa Tanah dan/atau Bangunan pada.... . (4) Yth. Sekretaris Jenderai/Sekretaris Utama/ Sekretaris Kementerian/Kepala Satuan Kerja..... (4) Jalan.... .
. ... ,.... . (2) Sehubungan dengan surat Saudara Nom or.... . tanggal.... . hal . .. . . (5), dengan ini diberitahukan bahwa permohonan Hibah Barang Milik Negara pada.... . (4) yang terletak di.... . (6) berupa.... . (6) unit tanah dan/atau bangunan terdiri dari tanah dan/atau bangunan.... . (6), seluas.... . m2 dan nilai perolehan seluruhnya sebesar Rp.... . ,00 (..... rupiah) (7) kepada..... (8) sebagaimana tercantum dalam Iampi ran surat ini untuk digunakan.... . (9), pada prinsipnya dapat disetujui. Guna tertib administrasi pengelolaan Barang Milik Negara, pelaksanaan Hibah tersebut agar berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 201 4 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah dan Peraturan Menteri Keuangan Nom or.... ./PMK.06/20.... . (1 0),.... . (1 1 ), dengan ketentuan sebagai berikut: 1 . Berdasarkan persetujuan Hibah ini, agar Saudara menetapkan keputusan mengenai jenis, jumlah dan nilai Barang Milik Negara yang akan dihibahkan.
Persetujuan Hibah ini segera ditindaklanjuti dengan pelaksanaan Hibah Barang Milik Negara yang dituangkan dalam Naskah Hibah dan Berita Acara Serah Terima antara.... . (4) dan..... (8) selaku calon penerima Hibah paling lama 2 (dua) bulan sejak tanggal surat persetujuan Hibah ini diterbitkan.
Keputusan Penghapusan Barang Milik Negara ditetapkan oleh Pengguna Barang paling lama 2 (dua) bulan sejak tanggal Berita Acara Serah Terima ditandatangani.
Barang Milik Negara yang telah dihibahkan agar segera dihapus dari Daftar Barang Pengguna/Kuasa Pengguna Barang dan Penghapusan dimaksud didasarkan pada Keputusan Penghapusan yang ditetapkan oleh Pengguna Barang. Telepon : (02 1 )..... Faksimili : (02 1 ) .. ... Situs : (1 5) MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 5. Pengguna Barang menyampaikan laporan pelaksanaan Hibah kepada Pengelola Barang c.q .
.... (12) paling lama 1 (satu) bulan sejak Keputusan Penghapusan BMN ditandatangani dengan melampirkan Naskah Hibah, Berita Acara Serah Terima dan Keputusan Penghapusan.
Menyampaikan fotokopi Berita Acara Serah Terima kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Pengelolaan Utang selaku Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran.
Kebenaran materiil atas jenis, jumlah, tahun dan nilai Barang Milik Negara yang dihibahkan serta calon penerima Hibah tersebut menjadi tanggung jawab Kuasa Pengguna Barang.
Apabila di kemudian hari terdapat kekeliruan dalam surat persetujuan ini, maka akan dilakukan perbaikan sebagaimana mestinya. Atas perhatian Saudara, kami ucapkan terima kasih.
n. Menteri/Pimpinan Lembaga.... . (1) Sekretaris Jenderai/Sekretaris Utama/ Sekretaris Kementerian Tembusan:
Menteri/Pimpinan Lembaga.... . (1) (sebagai laporan) (tanda tangan) NIP.... . (13) 2. l nspektur Jenderal.... . (1) 3. Direktur Barang Milik Negara, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara 4. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara/Kantor Negara dan Lelang.... . (14) Telepon : (02 1 ) ..... Faksimili : (02 1 ) ..... Situs : Pelay; : Inan Kekayaan (15) ------------) www.jdih.kemenkeu.go.id Petunjuk Pengisian: MENTER! KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA (1) Nama Kementerian/Lembaga.
Kota dan tanggal surat persetujuan Hibah BMN diterbitkan. (3) Nomor surat (diisi menggunakan kode instansi/unit yang menerbitkan sesuai dengan ketentuan tata persuratan dinas di lingkungan KementerianjLembaga masing-masing), sifat dan jumlah lampiran surat persetujuan Hibah BMN.
Kuasa Pengguna Barang yang menguasai BMN, contoh: DJKN c.q. Kanwil DJKN DKI Jakarta c.q. KPKNL Jakarta I.
Pihak calon penerima Hibah yang disetujui oleh Pengguna Barang (6) Nomor, tanggal dan hal surat permohonan Hibah BMN dari Kuasa Pengguna Barang.
Data BMN yang dimohonkan untuk dihibahkan.
Nilai BMN yang dimohonkan untuk dihibahkan, dapat berupa nilai bukujnilai perolehanjnilai wajar.
Tujuan Penggunaan BMN yang dimohonkan untuk dihibahkan kepada calon penerima Hibah. (10) Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai Pemindahtanganan BMN, contoh: PMK Nomor 96/PMK.06/2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, Pemindahtanganan dan Penghapusan Barang Milik N egara.
Dasar hukum lain yang perlu dicantumkan sesuai dengan jenis BMN yang dimohonkan untuk dihibahkan.
Kanwil DJKN/KPKNL yang wilayah kerjanya melingkupi lokasi Kuasa Pengguna Barang yang mengajukan permohonan persetujuan Hibah.
Jabatan, nama lengkap, dan NIP pejabat yang berwenang menandatangani surat persetujuan Hi bah BMN.
Tembusan disampaikan kepada Kepala Kanwil DJKN/Kepala KPKNL yang wilayah kerjanya melingkupi lokasi Kuasa Pengguna Barang yang mengajukan permohonan persetujuan Hibah.
Kaki surat diisi dengan alamat unit yang mengeluarkan surat persetujuan Hibah BMN pada setiap lembar surat, kecuali pada lampiran berupa nama gedung, nama jalan dan nomor, kota dan kode pos, nomor telepon dan nomor faksimili, contoh: Gedung Syafrudin Prawiranegara II Lt. 1 1 , Jl. Lapangan Banteng Timur 2-4, Jakarta 1 07 1 0 Telepon : (02 1 ) 3449230 Faksimili : (02 1 ) 3442948 Situs : www.djkn. kemenkeu.go. id Contoh 3.b MENTERI KEUANGAN REPUBLIK I N DONESIA Format Surat Persetujuan Hibah BMN selain tanah dan/atau bangunan pada Pengguna Barang Nom or Sifat Lampiran Hal ..... (3).... . (3).... . (.... . ) berkas (3) Kop Persetujuan Hibah Barang Milik Negara Selain Tanah dan/atau Bangunan pada.... . (4) Yth. Sekretaris Jenderai/Sekretaris Utama/ Sekretaris Kementerian/Kepala Satuan Kerja.... . (4) Jalan.....
.... ,.... . (2) Sehubungan dengan surat Saudara Nom or.... . tanggal..... hal.... . (5), dengan ini diberitahukan bahwa permohonan Hi bah Barang Milik Negara berupa.... . (6) dengan nilai seluruhnya sebesar Rp . .... ,00 ( . .. . . rupiah) (7) kepada.... . (8) sebagaimana tercantum dalam Iampi ran surat ini untuk digunakan..... (9), pada prinsipnya dapat disetujui. Guna tertib administrasi pengelolaan Barang Milik Negara, pelaksanaan Hibah tersebut agar berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 201 4 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor.... ./PMK.06/20.... . (1 0),.... . (1 1 ), dengan keterituan sebagai berikut: 1 . Berdasarkan persetujuan Hibah ini, agar Saudara menetapkan keputusan mengenai jenis, jumlah dan nilai Barang Milik Negara yang akan dihibahkan.
Persetujuan Hibah ini segera ditindaklanjuti dengan pelaksanaan Hibah Barang Milik Negara yang dituangkan dalam Naskah Hi bah dan Berita Acara Serah Terima antara..... (4) dan.... . (8) selaku calon penerima Hibah paling lama 2 (dua) bulan sejak tanggal surat persetujuan Hibah ini diterbitkan .
Keputusan Penghapusan Barang Milik Negara ditetapkan oleh Pengguna Barang paling lama 2 (dua) bulan sejak tanggal Berita Acara Serah Terima ditandatangani.
Barang Milik Negara yang telah dihibahkan agar segera dihapus dari dari Daftar Barang Pengguna/Kuasa Pengguna Barang dan Penghapusan dimaksud didasarkan pada Keputusan Penghapusan yang ditetapkan oleh Pengguna Barang. Gedung .. . .. Lt ... . . Jl ..... Nomor ..... , Jakarta .... . Telepon:
..... Faksimili :
..... Situs: (1 5) P------------ 1 www.jdih.kemenkeu.go.id MENTERI KEUANGAN REPUBLIK I NDONESIA 5. Pengguna Barang menyampaikan laporan pelaksanaan Hibah kepada Pengelola Barang c. q.... . . (12) paling lama 1 (satu) bulan sejak Keputusan Penghapusan BMN ditandatangani dengan melampirkan Naskah Hibah , Berita Acara Serah Terima dan Keputusan Penghapusan.
Menyampaikan fotokopi Berita Acara Serah Terima kepada Menteri Keuangan c. q. Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko selaku Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran.
Kebenaran materiil atas jenis, jumlah, tahun dan nilai Barang Milik Negara yang dihibahkan serta calon penerima Hibah tersebut menjadi tanggung jawab Kuasa Pengguna Barang.
Apabila di kemudian hari terdapat kekeliruan dalam surat persetujuan ini, maka akan dilakukan perbaikan sebagaimana mestinya. Atas perhatian Saudara, kami ucapkan terima kasih.
n. Menteri/Pimpinan Lembaga .. . .. (1) Sekretaris Jenderai/Sekretaris Utama/ Sekretaris Kementerian Tembusan:
Menteri/Pimpinan Lembaga.... . (1) (sebagai laporan) 2. Menteri/Pimpinan Lembaga.... . (8) (tanda tangan) NIP.... . (1 3) 3. l nspektur Jenderal.... . (1) 4. Direktur Barang Milik Negara, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara 5. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara/Kantor Negara dan Lelang .. . .. (1 4) Telepon :
.....Faksimili :
. .. . . Situs :
... . Pelayanan Kekayaan (1 5) . 1 L- -- ------------ ------ -- -------01 www.jdih.kemenkeu.go.id Petunjuk Pengisian: MENTERI KEUANGAN . REPUBLIK I NDONESIA (1) Nama Kementerian/ Lembaga.
Kota dan tanggal surat persetujuan Hibah BMN diterbitkan.
Nomor surat (diisi menggunakan kode instansijunit yang menerbitkan sesuai dengan ketentuan tata persuratan dinas di lingkungan Kementerian/Lembaga masing-masing), sifat dan jumlah lampiran surat persetujuan Hibah BMN. (4) Kuasa Pengguna Barang yang mengajukan permohonan Hibah BMN. (5) Nomor, tanggal dan hal surat permohonan Hibah BMN dari Kuasa Pengguna Barang.
BMN yang dimohonkan untuk dihibahkan.
Nilai BMN yang dimohonkan untuk dihibahkan, dapat berupa nilai buku/ nilai perolehan/ nilai wajar. (8) Pihak calon penerima Hibah yang disetujui oleh Pengguna Barang.
Tujuan Penggunaan BMN yang dimohonkan untuk dihibahkan kepada calon penerima Hibah. ( 1 0) Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai Pemindahtanganan BMN, contoh: PMK Nomor 96/PMK.06/2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, Pemindahtanganan dan Penghapusan Barang Milik N egara.
Dasar hukum lain yang perlu dicantumkan sesuai dengan jenis BMN yang dimohonkan untuk dihibahkan.
Kanwil DJKN/KPKNL yang wilayah kerjanya melingkupi lokasi Kuasa Pengguna Barang yang mengajukan permohonan persetujuan Hibah.
Jabatan, nama lengkap, dan NIP pejabat yang berwenang menandatangani surat persetujuan Hi bah BMN.
Tembusan disampaikan kepada Kepala Kanwil DJKN/Kepala KPKNL yang wilayah kerjanya melingkupi lokasi Kuasa Pengguna Barang yang mengajukan permohonan persetujuan Hibah.
Kaki surat diisi dengan alamat unit yang mengeluarkan surat persetujuan Hibah BMN pada setiap lembar surat, kecuali pada lampiran berupa nama gedung, nama jalan dan nomor, kota dan kode pos, nomor telepon dan nomor faksimili, contoh: Gedung Syafrudin Prawiranegara I I Lt. 1 1 , Jl. Lapangan Banteng Timur 2-4, Jakarta 1 07 1 0 Telepon : (02 1 ) 3449230 Faksimili : (02 1 ) 3442948 Situs : Contoh..... I H -- w w w . j d i h . k e m e n k e u . g o . i d Contoh 4.a MENTERI KEUANGAN REPUBLIK I NDONESIA Format surat persetujuan Menteri/Pimpinan Lembaga mengenai Pemusnahan BMN berupa tanah danjatau bangunan Nom or Sifat Lampi ran Hal ... .. (3) .....(3)...(...) berkas (3) Kop Persetujuan Pemusnahan Barang Milik Negara Berupa Tanah dan/atau Bangunan pada.... . (4) Yth. Sekretaris Jenderai/Sekretaris Utama/ Sekretaris Kementerian/Kepala Satuan Kerja.... . (4) Jalan.... .
.... ,.... . (2) Sehubungan dengan surat Saudara Nom or.... . tanggal.... . hal.... . (5), dengan ini diberitahukan bahwa permohonan pemusnahan Barang Milik Negara pad a . .. . . (4) yang terletak di.... . (6) berupa.... . (6) unit bangunan terdiri dari bangunan.... . (6), seluas.... . m ^2 dan nilai perolehan seluruhnya sebesar Rp.... . ,00 (..... rupiah) (7) sebagaimana tercantum dalam lampiran surat ini, pada prinsipnya dapat disetujui. Guna tertib administrasi pengelolaan Barang Milik Negara, pelaksanaan pemusnahan tersebut agar berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 201 4 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Oaerah dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor.... ./PMK.06/20.... . (8), dengan ketentuan sebagai berikut: 1 . Pemusnahan Barang Milik Negara tidak mengganggu tugas operasional kantor Saudara.
Pelaksanaan pemusnahan Barang Milik Negara dilaksanakan paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkannya surat persetujuan ini dan dituangkan dalam Berita Acara Pemusnahan Barang Milik Negara.
Persetujuan ini segera ditindaklanjuti dengan Penghapusan Barang Milik Negara dari Daftar Barang Kuasa Pengguna berdasarkan keputusan Penghapusan yang ditetapkan paling lama 2 (dua) bulan sejak tanggal Berita Acara Pemusnahan Barang Milik Negara ditandatangani. Telepon : (02 1 ) ........ Faksimili : (02 1 ) .. .. . Situs : (1 2) 7------------- ) www.jdih.kemenkeu.go.id MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 4. Pengguna Barang menyampaikan laporan pelaksanaan pemusnahan kepada Pengelola Barang c.q...... (9) paling lama 1 (satu) bulan sejak Keputusan Penghapusan BMN ditandatangani dengan melampirkan Keputusan Penghapusan dan Berita Acara Pemusnahan.
Kebenaran materiil atas jenis, jumlah, tahun dan nilai Barang Milik Negara yang dimusnahkan tersebut menjadi tanggung jawab Kuasa Pengguna Barang.
Apabila di kemudian hari terdapat kekeliruan dalam surat persetujuan ini, maka akan diadakan perbaikan sebagaimana mestinya. Atas perhatian Saudara, kami ucapkan terima kasih. Tembusan:
n. Menteri!Pimpinan Lembaga.... . (1) SekretarisJenderai/Sekretaris Utama/ Sekretaris Kementerian (tanda tangan) NIP.... . (1 0) 1 . Menteri/Pimpinan Lembaga.... . (1) (sebagai laporan) 2. l nspektur Jenderal.... . (1) 3. Direktur Barang Milik Negara, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara 4. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara/Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang.... . (1 1) Telepon : (02 1 ).... . Faksimili : (02 1 ).... . Situs : (1 2) L---------------1 www.jdih.kemenkeu.go.id Petunjuk Pengisian: MENTERI KEUANGAN REPUBLIK I NDON ESIA (1) Nama KementerianjLembaga.
Kota dan tanggal penerbitan surat persetujuan Pemusnahan BMN diterbitkan.
Nomor surat (diisi menggunakan kode instansijunit yang menerbitkan sesuai dengan ketentuan tata persuratan dinas di lingkungan Kementerian/Lembaga masing-masing), sifat dan jumlah lampiran surat persetujuan pemusnahan BMN.
Kuasa Pengguna Barang yang mengajukan permohonan Pemusnahan BMN. (5) Nomor, tanggal dan hal surat pengajuan permohonan Pemusnahan BMN dari Kuasa Pengguna Barang.
Data BMN yang dimohonkan untuk dimusnahkan berupa jenis dan lokasi BMN berada.
Nilai BMN yang akan dimohonkan untuk dimusnahkan.
Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai Penghapusan BMN, contoh: PMK Nomor 50/PMK.06/2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penghapusan Barang Milik N egara.
Kanwil DJKN / KPKNL yang wilayah kerjanya melingkupi lokasi Kuasa Pengguna Barang yang mengajukan permohonan persetujuan Pemusnahan BMN.
Jabatan, nama lengkap, dan NIP pejabat yang berwenang menandatangani surat persetujuan Pemusnahan BMN.
Tembusan dapat disampaikan kepada unit internal DJKN yang berkepentingan, contoh: Direktur Pengelolaan Kekayaan Negara dan Sistem Informasi/Kepala Kanwil/Kepala KPKNL.
Kaki surat diisi dengan alamat unit yang menerbitkan surat persetujuan Pemusnahan BMN pada setiap lembar surat, kecuali pada lampiran surat berupa nama gedung, nama jalan dan nomor, kota dan kode pos, nomor telepon, dan nomor faksimili, contoh: Gedung Syafrudin Prawiranegara I I Lt. 1 1 , Jl. Lapangan Banteng Timur 2-4, Jakarta 1 07 1 0 Telepon : (02 1 ) 3449230 Faksimili : (02 1 ) 3442948 Situs : w w w . j d i h . k e m e n k e u . g o Contoh 4.b MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Format surat persetujuan Menteri/Pimpinan Lembaga mengenai Pemusnahan BMN selain tanah danjatau bangunan Nom or Sifat Lampi ran Hal ..... (3).... . (3).... . (.... . ) berkas (3) Kop Persetujuan Pemusnahan Barang Milik Negara pada.... . (4) Yth. Sekretaris Jenderai/Sekretaris Utama/ Sekretaris Kementerian/Kepala Satuan Kerja.... . (4) Jalan.... .
.... ,.... . (2) Sehubungan dengan surat Saudara Nom or.... . tanggal.... . hal.... . (5), dengan ini diberitahukan bahwa permohonan pemusnahan Barang Milik Negara berupa.... . (6) dengan nilai sebesar Rp.... . ,00 (.... . rupiah) (7) sebagaimana tercantum dalam lampiran surat ini, pada prinsipnya dapat disetujui. Guna tertib administrasi pengelolaan Barang Milik Negara, pelaksanaan pemusnahan tersebut agar berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor.... ./PMK.06/20.... . (8), dengan ketentuan sebagai berikut:
Pemusnahan Barang Milik Negara tidak mengganggu tugas operasional kantor Kuasa Pengguna Barang.
Pelaksanaan pemusnahan Barang Milik Negara dilaksanakan paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkannya surat persetujuan ini dan dituangkan dalam Berita Acara Pemusnahan Barang Milik Negara.
Persetujuan ini segera ditindaklanjuti dengan Penghapusan Barang Milik Negara dari Daftar Barang Kuasa Pengguna berdasarkan keputusan Penghapusan yang ditetapkan paling lama 2 (dua) bulan sejak tanggal Berita Acara Pemusnahan Barang Milik Negara ditandatangani.
Pengguna Barang menyampaikan laporan pelaksanaan pemusnahan kepada Pengelola Barang c. q...... (9) paling lama 1 (satu) bulan sejak Keputusan Penghapusan BMN ditandatangani dengan melampirkan Keputusan Penghapusan dan Berita Acara Pemusnahan. Telepon : (02 1 ) ... . . Faksimili : (02 1 ) . .... Situs :
L.___.__ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ ----: Y .J www.jdih.kemenkeu.go.id MENTER! KEUANGAN REPUBLIK I NDONESIA 5. Kebenaran materiil atas jenis, jumlah, tahun dan nilai Barang Milik Negara yang dimusnahkan tersebut menjadi tanggung jawab Kuasa Pengguna Barang.
Apabila di kemudian hari terdapat kekeliruan dalam surat persetujuan ini, maka akan diadakan perbaikan sebagaimana mestinya. Atas perhatian Saudara, kami ucapkan terima kasih.
n. Menteri/Pimpinan Lembaga.... . (1) Sekretaris Jenderai/Sekretaris Utama/ Sekretaris Kementerian Tembusan:
Menteri/Pimpinan Lembaga.... . (1) (sebagai laporan) (tanda tangan) NIP.... . (10) 2. l nspektur Jenderal.... . (1) 3. Direktur Barang Milik Negara, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara 4. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara/Kantor Negara dan Lelang.... . (11) Telepon : (02 1 )..... Faksimili : (02 1 ) .....Situs : Pelayanan Kekayaan (12) . 1 L- -- -- -- -- -- -- ---------- -- ƥ / 1 w w w . j d i h . k e m e n k e u . g o . i d Petunjuk Pengisian: MENTER! KEUANGAN REPUBLIK I NDONESIA (1) Nama Kementerian/Lembaga. (2) Kota dan tanggal penerbitan surat persetujuan pemusnahan BMN di ter bi tkan.
Nomor surat (diisi menggunakan kode instansijunit yang menerbitkan sesuai dengan ketentuan tata persuratan dinas di lingkungan Kementerian/Lembaga masing-masing), sifat dan jumlah lampiran surat persetujuan pemusnahan BMN.
Kuasa Pengguna Barang yang mengajukan permohonan pemusnahan BMN. (5) Nomor, tanggal dan hal surat pengajuan permohonan pemusnahan BMN dari Kuasa Pengguna Barang.
Nilai BMN yang akan dimohonkan untuk dimusnahkan.
BMN yang akan dimohonkan untuk dimusnahkan. Dalam hal tidak memungkinkan mencantumkan data BMN di dalam surat persetujuan, seperti BMN tersebut beraneka ragam dan berjumlah banyak, cukup disebutkan kelompok BMN tersebut dalam surat persetujuan (contoh: barang inventarisjperalatan kantor) dan rincian data BMN tersebut dicantumkan dalam lampiran surat.
Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai Penghapusan BMN, contoh: PMK Nomor 50/PMK.06/2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penghapusan Barang Milik Negara.
Kanwil DJKN j KPKNL yang wilayah kerjanya melingkupi lokasi Kuasa Pengguna Barang yang mengajukan permohonan persetujuan Pemusnahan BMN.
Jabatan, nama lengkap, dan NIP pejabat yang berwenang menandatangani surat persetujuan pemusnahan BMN. (11) Tembusan dapat disampaikan kepada unit internal DJKN yang berkepentingan, contoh: Direktur Pengelolaan Kekayaan Negara dan Sistem Informasi/Kepala Kanwil/Kepala KPKNL.
Kaki surat diisi dengan alamat unit yang menerbitkan surat persetujuan pemusnahan BMN pada setiap lembar surat, kecuali pada lampiran surat berupa nama gedung, nama jalan dan nomor, kota dan kode pos, nomor telepon, dan nomor faksimili, contoh: Gedung Syafrudin Prawiranegara I I Lt. 1 1 , Jl. Lapangan Banteng Timur 2-4, Jakarta 1 07 1 0 Telepon : (02 1 ) 3449230 Faksimili : (02 1 ) 3442948 Situs : www .djkn.kemenkeu.go. id Contoh . . j w w w . j d i h . k e m e n k e u . g o Contoh 5.a MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Format surat persetujuan Menteri/Pimpinan Lembaga mengenai Penghapusan BMN berupa Tanah dan/ a tau Bangunan karena sebab-sebab lain Nom or Sifat Lampiran Hal ..... (3).... . (3).... . (.... . ) berkas (3) Kop Persetujuan Penghapusan Barang Milik Negara berupa Tanah dan/atau Bangunan pada.... . (4) Yth. Sekretaris Jenderai/Sekretaris Utama/ Sekretaris Kementerian/Kepala Satuan Kerja.... . (4) Jalan.... .
.... ,.... . (2) Sehubungan dengan surat Saudara Nom or.... . tanggal.... . hal.... . (5), dengan ini diberitahukan bahwa permohonan Penghapusan Barang Milik Negara pada.... . (4) yang terletak di.... . (6) berupa.... . (6) unit bangunan terdiri dari bangunan.... . (6), seluas............ m ^2 dan nilai perolehan seluruhnya sebesar Rp.... . ,00 (.... . rupiah) (7) karen a.... . (8) sebagaimana tercantum dalam lampiran surat ini, pada prinsipnya dapat disetujui. Guna tertib administrasi pengelolaan Barang Milik Negara, pelaksanaan Penghapusan tersebut agar berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 201 4 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor.... ./PMK.06/20.... . (9), dengan ketentuan sebagai berikut: 1 . Persetujuan ini segera ditindaklanjuti dengan Penghapusan Barang Milik Negara dari Daftar Barang Kuasa Pengguna berdasarkan Keputusan Penghapusan yang ditetapkan oleh Pengguna Barang paling lama 2 (dua) bulan sejak tanggal surat persetujuan ini diterbitkan.
Pengguna Barang menyampaikan laporan pelaksanaan Penghapusan kepada Pengelola Barang c.q.... . . (1 0) paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal Keputusan Penghapusan BMN ditandatangani dengan melampirkan Keputusan Penghapusan.
Apabila di kemudian hari ditemukan bukti bahwa Penghapusan Barang Milik Negara dimaksud diakibatkan adanya unsur kelalaian dan/atau kesengajaan dari pihak pengurus dan/atau penanggung jawab BMN tersebut, maka tidak menutup kemungkinan kepada yang bersangkutan akan dikenakan sanksi Tuntutan Ganti Rugi (TGR) dan/atau pidana sesuai ketentuan yang berlaku. Telepon : (02 1 ).... . Faksimili : (02 1 ).... . Situs : ( 1 3) I D------------ MENTERI KEUANGAN REPUBLIK I N DONESIA 4. Apabila di kemudian hari terdapat kekeliruan dalam surat persetujuan ini, maka akan diadakan perbaikan sebagaimana mestinya. Atas perhatian Saudara, kami ucapkan terima kasih.
n. Menteri/Pimpinan Lembaga.... . (1) Sekretaris Jenderai/Sekretaris Utama/ Sekretaris Kementerian Tembusan: 1 . Menteri/Pimpinan Lembaga.... . (1) (sebagai laporan) (tanda tangan) NIP.... . (1 1 ) 2. l nspektur Jenderal..... (1) 3. Direktur Barang Milik Negara, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara 4. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara/Kantor Negara dan Lelang.... . (1 2) Telepon :
... . . Faximile : (02 1 ).... . Situs : (1 3) Pelayanan Kekayaan Petunjuk Pengisian: MENTERI KEUANGAN REPUBLIK I NDONESIA (1) Nama Kementerian/ Lembaga.
Kota dan tanggal penerbitan surat persetujuan Penghapusan BMN karena sebab-sebab lain diterbitkan.
Nomor surat (diisi menggunakan kode instansijunit yang menerbitkan sesuai dengan ketentuan tata persuratan dinas di lingkungan Kementerian/Lembaga masing-masing), sifat dan jumlah lampiran surat persetujuan Penghapusan BMN karena sebab-sebab lain.
Kuasa Pengguna Barang yang mengajukan permohonan Penghapusan BMN karena sebab-sebab lain.
Nomor, tanggal dan hal surat pengajuan permohonan Penghapusan BMN karena sebab-sebab lain dari Kuasa Pengguna Barang.
Data BMN yang dimohonkan untuk dihapuskan berupa jenis dan lokasi BMN berada. Dalam hal tidak memungkinkan mencantumkan data BMN di dalam surat persetujuan, seperti BMN tersebut beraneka ragam dan berjumlah banyak, maka cukup disebutkan kelompok BMN tersebut dalam surat persetujuan dan rincian data BMN tersebut dicantumkan dalam lampiran surat. (7) Nilai BMN yang akan dimohonkan untuk dihapuskan.
Penyebab terjadinya Penghapusan BMN karena sebab-sebab lain yang merupakan sebab-sebab secara normal dapat diperkirakan wajar menjadi penyebab Penghapusan, seperti rusak berat, hilang, susut, menguap, mencair, kadaluwarsa, matijcacat beratjtidak produktif untuk tanamanjhewan, dan sebagai akibat dari keadaan kahar (force majeure) .
Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai Penghapusan BMN, contoh: PMK Nomor 50/PMK.06/2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penghapusan Barang Milik Negara.
Kanwil DJKN/KPKNL yang wilayah kerjanya melingkupi lokasi Kuasa Pengguna Barang yang mengajukan permohonan persetujuan Penghapusan BMN. (11) Jabatan, nama lengkap, dan NIP pejabat yang berwenang menandatangani surat persetujuan Penghapusan BMN karena sebab-sebab lain.
Tembusan dapat disampaikan kepada unit internal DJKN yang berkepentingan, contoh: Direktur Pengelolaan Kekayaan Negara dan Sistem Informasi/Kepala Kanwil/Kepala KPKNL .
Kaki surat diisi dengan alamat unit yang menerbitkan surat persetujuan Penghapusan BMN karena sebab-sebab lain pada setiap lembar surat, kecuali pada lampiran surat berupa nama gedung, nama jalan dan nomor, kota dan kode pos, nomor telepon, dan nomor faksimili, contoh: Gedung Syafrudin Prawiranegara I I Lt. 1 1 , Jl. Lapangan Banteng Timur 2-4, Jakarta 1 071 0 Telepon : (02 1 ) 3449230 Faksimili : (02 1 ) 3442948 Situs : Contoh .. . . / G -- w w w . j d i h . k e m e n k e u . g o Contoh 5.b MENTER! KEUANGAN REPUBUK I NDONESIA Format surat persetujuan Menteri/ Pimpinan Lembaga mengenai Penghapusan BMN selain Tanah dan/atau Bangunan karena sebab-sebab lain Nom or Sifat Lampiran Hal ..... (3).... . (3).... . (.... . ) berkas (3) Kop Persetujuan Penghapusan Barang Milik Negara pada.... . (4) Yth. Sekretaris Jenderai/Sekretaris Utama/ Sekretaris Kementerian/Kepala Satuan Kerja.... . (4) Jalan.... .
.... ,.... . (2) Sehubungan dengan surat Saudara Nom or.... . tanggal.... . (5) hal Us ulan Persetujuan Penghapusan Barang Milik Negara pada.... . (4), dengan ini diberitahukan bahwa permohonan Penghapusan Barang Milik Negara yang disebabkan karen a.... . (6) berupa.... . (7) dengan harga perolehan/nilai buku sebesar Rp.... . ,00 (.... . rupiah) (8) sebagaimana tercantum dalam lampiran surat ini, pada prinsipnya dapat disetujui. Guna tertib administrasi pengelolaan Barang Milik Negara, pelaksanaan Penghapusan tersebut agar berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 201 4 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Oaerah . dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor.... ./PMK.06/20.... . (9), dengan ketentuan sebagai berikut: 1 . Persetujuan ini segera ditindaklanjuti dengan Penghapusan Barang Milik Negara dari Daftar Barang Kuasa Pengguna berdasarkan Keputusan Penghapusan yang ditetapkan oleh Pengguna Barang paling lama 2 (dua) bulan sejak tanggal surat persetujuan ini diterbitkan.
Pengguna Barang menyampaikan laporan pelaksanaan pemusnahan kepada Pengelola Barang c.q..... . (1 0) paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal Keputusan Penghapusan BMN ditandatangani dengan melampirkan Keputusan Penghapusan.
Apabila di kemudian hari ditemukan bukti bahwa Penghapusan Barang Milik Negara dimaksud diakibatkan adanya unsur kelalaian dan/atau kesengajaan dari pihak pengurus dan/atau penanggung jawab BMN tersebut, maka tidak menutup kemungkinan kepada yang bersangkutan akan dikenakan sanksi Tuntutan Ganti Rugi (TGR) dan/atau pidana sesuai ketentuan yang berlaku.
Apabila di kemudian hari terdapat kekeliruan dalam surat persetujuan ini, maka akan diadakan perbaikan sebagaimana mestinya. Telepon : (02 1 ) .. ... Faksimili : (02 1 ) ..... Situs : (1 3) MENTERI KEUANGAN REPUBLIK I NDONESIA Atas perhatian Saudara, kami ucapkan terima kasih.
n. Menteri/Pimpinan Lembaga.... . (1) Sekretaris Jenderai/Sekretaris Utama/ Sekretaris Kementerian Tembusan: 1 . Menteri/Pimpinan Lembaga.... . (1) (sebagai laporan) 2. l nspektur Jenderal.... . (1) (tanda tangan) NIP.... . (1 1 ) 3. Direktur Barang Milik Negara, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara 4. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara/Kantor Negara dan Lelang.... . (1 2) Pelayanan Kekayaan Telepon : (02 1 ) ..... Faksimili : (02 1 ) ..... Situs : (1 3) 1 Ƥ -- -- -- -- -- -- -- -- ------ ---- -- -. w w w . j di h. kem enkeu. go. i d Petunjuk Pengisian: MENTERI KEUANGAN REPUBLIK IN DONESIA (1) Nama Kementerian/Lembaga.
Kota dan tanggal penerbitan surat persetujuan Penghapusan BMN karena sebab-sebab lain diterbitkan.
Nomor surat (diisi menggunakan kode instansijunit yang menerbitkan sesuai dengan ketentuan tata persuratan dinas di lingkungan Kementerian/Lembaga masing-masing), sifat dart jumlah lampiran surat persetujuan Penghapusan BMN karena sebab-sebab lain.
Kuasa Pengguna Barang yang mengajukan permohonan Penghapusan BMN karena sebab-sebab lain.
Nomor, tanggal dan hal surat pengajuan permohonan Penghapusan BMN karena sebab-sebab lain dari Kuasa Pengguna Barang.
Penyebab terjadinya Penghapusan BMN karena sebab-sebab lain yang merupakan sebab-sebab secara normal dapat diperkirakan wajar menjadi penyebab Penghapusan, seperti rusak berat, hilang, susut, menguap, mencair, kadaluwarsa, mati/ cacat beratjtidak produktif untuk tanamanjhewan, dan sebagai akibat dari keadaan kahar (force majeure) .
BMN yang akan dimohonkan untuk dihapuskan karena sebab-sebab lain. Dalam hal tidak memungkinkan mencantumkan data BMN di dalam surat persetujuan, seperti BMN tersebut beraneka ragam dan berjumlah banyak, maka cukup disebutkan kelompok BMN tersebut dalam surat persetujuan (contoh: barang inventarisjperalatan kantor) dan rincian data BMN tersebut dicantumkan dalam lampiran surat.
Nilai BMN yang akan dimohonkan untuk dihapuskan karena sebab-sebab lain.
Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai Penghapusan BMN, contoh: PMK Nomor 50/PMK.06/2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penghapusan Barang Milik N egara.
Kanwil DJKN/KPKNL yang wilayah kerjanya melingkupi lokasi Kuasa Pengguna Barang yang mengajukan permohonan persetujuan Penghapusan BMN.
Jabatan, nama lengkap, dan NIP pejabat yang berwenang menandatangani surat persetujuan Penghapusan BMN karena sebab-sebab lain.
Tembusan dapat disampaikan kepada unit internal DJKN yang berkepentingan, contoh: Direktur Pengelolaan Kekayaan Negara dan Sistem Informasi/Kepala Kanwil/Kepala KPKNL.
Kaki surat diisi dengan alamat unit yang menerbitkan surat persetujuan Penghapusan BMN karena sebab-sebab lain pada setiap lembar surat, kecuali pada lampiran surat berupa nama gedung, nama jalan dan nomor, kota dan kode pos, nomor telepon, dan nomor faksimili, contoh: Gedung Syafrudin Prawiranegara I I Lt. 1 1 , Jl. Lapangan Banteng Timur 2-4, Jakarta 1 071 0 Telepon : (02 1 ) 3449230 Faksimili : (02 1 ) 3442948 Situs : www.djkn.kemenkeu.go. id Contoh...",: : ; Jl _1 Contoh 6. a Format Lampiran Keputusan MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Kop LAMPI RAN KEPUTUSAN MENTERl/PIMPINAN LEMBAGA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TENTANG PENETAPAN STATUS PENGGUNAAN BARANG MILIK NEGARA.... . (2) DAFTAR BARANG MILIK NEGARA SELAIN TANAH DAN/ ATAU BANGUNAN YANG DITETAPKAN STATUS PENGGUNAANNYA PADA.... . (3) No. Kode Barang NUP Jenis BMN Merek/Tipe.... . Jumlah.... . Tahun Nilai.... . (6) Keterangan (4) (5) Perolehan (1) ( 2 J (3) f 4 J (5) (6) (7 } (8) (9) a.n. Menteri/ Pimpinan Lembaga.... . (1) Sekretaris Jenderal/ Sekretaris Utamaj Sekretaris Kementerian, (tanda tangan) ..... (7) Petunjuk Pengisian: MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA (1) Nama Kementerian/Lembaga.
Judul Keputusan Menteri/Pimpinan Lembaga sebagaimana tercantum dalam batang tubuh Keputusan.
Kuasa Pengguna Barang yang memohonkan penetapan status Penggunaan BMN.
Diisi dengan merekjtipe atau spesifikasi BMN yang ditetapkan status penggunaannya.
Diisi dengan jumlah BMN yang ditetapkan status penggunaannya.
Diisi dengan nilai buku/ nilai wajar I nilai perolehan BMN sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Jabatan dan nama lengkap pejabat yang berwenang menandatangani Keputusan Men teri/ Pimp in an Lembaga. Contoh..... 1 /- i w w w . j d i h . k e m e n k e u . g o Contoh 6.b MENTERI KEUANGAN REPUBLIK I N DONESIA Format Lampiran Surat Persetujuan BMN Berupa Tanah dan/atau Bangunan Kop Lampiran Surat Menteri/Pimpinan Lembaga . .... (1) Nomor : Tanggal: DAFTAR BARANG MILI K NEGARA BERUPA TANAH DAN/A TAU BANGUNAN YANG DISETUJUI UNTUK.... . (2) PADA.... . (3) No. Kode Barang NUP Jenis BMN (1) (2) (3) (4) Lokasi (5) Nilai.... . (4) Kondisi (6) (7) a.n Menteri/Pimpinan Lembaga.... . (1) Sekretaris Jenderai/Sekretaris Utama/ Sekretaris Kementerian (tanda tangan) NIP.... . (5) A Petunjuk Pengisian: MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA (1) Nama Kementerian/Lembaga. (2) Judul lampiran diisi hal surat persetujuan, misal hibah, pemusnahan atau penghapusan.
Kuasa Pengguna Barang yang memohonkan persetujuan pengelolaan BMN. (4) Dapat diisi dengan nilai buku/nilai wajarjnilai perolehan BMN sesuai dengan maksud persetujuan BMN.
^Jabatan, nama lengkap, dan NIP pejabat yang berwenang menandatangani surat persetujuan. t-J w w w . j d i h . k e m e n k e u . g o Contoh 6. c MENTERI KEUANGAN REPUBLIK I N DONESIA Format Lampiran Surat Persetujuan BMN Selain Tanah dan/ a tau Bangunan MENTERI/PIMPINAN LEMBAGA.... . (1) REPUBLIK INDONESIA Lampi ran Surat Menteri/Pimpinan Lembaga .....Nomor : Tanggal: DAFTAR BARANG MILIK NEGARA SELAIN TANAH DAN/A TAU BANGUNAN YANG DISETUJU I UNTUK.... . (2) PADA.... . (3) Kode Barang NUP Jenis BMN Merek!Tipe.... . No. (4) (1) (2) (3) (4) (5) Tahun Perolehan (6) · - Nilai.... . (5) Nilai Limit (6) Kondisi (7) (8) (9) a.n Menteri/Pimpinan Lembaga.... . (1) Sekretaris Jenderai/Sekretaris Utama/ Sekretaris Kementerian (tanda tangan) N I P.... . (7) F Petunjuk Pengisian: MENTER! KEUANGAN REPUBL!K INDONESIA - 36 - (1) Nama KementerianjLembaga. (2) Judul lampiran diisi hal surat persetujuan, misal penggunaan sementara, penjualan, hibah atau penghapusan. (3) Kuasa Pengguna Barang yang memohonkan persetujuanjpenetapan pengelolaan BMN.
Dapat diisi dengan Merek/Tipe untuk BMN selain tanah dan/atau bangunan a tau Lokasi untuk BMN berupa tanah dan/atau bangunan.
Dapat diisi dengan nilai bukujnilai wajarjnilai perolehan BMN sesua1 dengan maksud persetujuan BMN.
Nilai limit dicantumkan apabila BMN yang dimohonkan akan dijual secara lelang kepada Pengguna. Untuk penjualan selain lelang istilah "nilai limit" dapat disesuaikan.
Jabatan, nama lengkap, dan NIP pejabat yang berwenang menandatangani surat persetujuan. ,. M ENTEl#I KEUAN GAN REPUBLI K I N D O NESIA,
Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tah ...
Relevan terhadap
(1) Komisi, gabungan komisi, atau Badan Legislasi sebagai pengusul rancangan undang-undang, diprioritaskan untuk ditugaskan membahas rancangan undang-undang. (2) Komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, atau panitia khusus yang mendapat tugas penyempurnaan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (1) langsung bertugas membahas rancangan undang-undang. • Berdasarkan Pasal 130 dan Pasal 131 Tata Tertib DPR di atas maka alat kelengkapan DPR bertugas membahas Rancangan Undang-Undang setelah ada penugasan terlebih dulu dari Badan Musyawarah (BAMUS). Oleh karena itu, menurut Mahkamah, tenggang waktu satu bulan pembahasan RUU APBN-P setelah diajukan oleh Pemerintah adalah setelah alat kelengkapan DPR ditugaskan terlebih dulu oleh BAMUS. Dalam perkara a quo dimulainya pembahasan RUU APBN-P 2012 di DPR adalah pada tanggal 6 Maret 2012 (vide keterangan tertulis DPR) sehingga masa berakhirnya satu bulan adalah 4 April 2012. Dengan demikian, dalil para Pemohon bahwa UU 4/2012 melewati waktu satu bulan adalah tidak beralasan menurut hukum; 138 • Mengenai dalil para Pemohon bahwa persetujuan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan APBN 2012 menjadi Undang-Undang yang dilakukan oleh Rapat Paripurna DPR RI dilakukan pada hari Sabtu, tanggal 31 Maret 2012 yang merupakan hari libur dan bukan hari kerja, menurut Mahkamah, berdasarkan Pasal 219 ayat (2) Tata Tertib DPR yang menyatakan “ penyimpangan dari waktu rapat ditentukan oleh rapat yang bersangkutan ” juncto Pasal 247 ayat (2) Tata Tertib DPR yang menyatakan, “ Ketua rapat menunda penyelesaian acara rapat untuk dibicarakan dalam rapat berikutnya atau meneruskan penyelesaian acara rapat atas persetujuan rapat apabila acara yang ditetapkan untuk suatu rapat belum terselesaikan, sedangkan waktu rapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 219 telah berakhir”. Dengan mendasarkan pada Pasal 219 ayat (2) dan Pasal 247 ayat (2) Tata Tertib DPR-RI, menurut Mahkamah, dalil Pemohon bahwa Undang-Undang APBN Perubahan ditetapkan pada hari libur dan bukan hari kerja adalah tidak beralasan menurut hukum. Hal tersebut sejalan dengan keterangan tertulis DPR, bertanggal Juni 2012, halaman 15 sampai dengan halaman 17; • Berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, dalil permohonan para Pemohon mengenai pengujian formil UU 4/2012 tidak terbukti dan tidak beralasan menurut hukum; Pengujian Materiil [3.16] Menimbang bahwa dalam UUD 1945 diatur bahwa APBN ditetapkan setiap tahun dengan Undang-Undang. Artinya APBN disusun atas dasar persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. Namun, pembentukan Undang- Undang APBN berbeda dengan pembuatan Undang-Undang pada umumnya, RUU APBN selalu berasal dari Presiden yang kemudian dibahas bersama dengan DPR dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah, sedangkan Undang-Undang pada umumnya pengajuan RUU merupakan kewenangan DPR dan juga dapat diajukan oleh Presiden. Undang-Undang APBN mempunyai batas waktu berlaku hanya untuk satu tahun anggaran, hal ini berbeda dengan Undang-Undang pada umumnya yang tidak membatasi jangka berlakunya. UU APBN diperlukan adanya setiap tahun, dan apabila Undang-Undang APBN tidak dapat ditetapkan karena DPR tidak menyetujui RUU APBN yang diajukan oleh Presiden maka Pemerintah menjalankan APBN tahun anggaran sebelumnya. 139 Pemberlakuan APBN sebelumnya dimaksudkan agar tidak terjadi kekosongan hukum, mengingat APBN sangatlah penting untuk menjamin terselenggaranya pemerintahan. Dari segi substansi, Undang-Undang APBN adalah rencana keuangan yang mencerminkan pilihan kebijakan untuk satu tahun anggaran. Pilihan kebijakan tersebut menyangkut perkiraan penerimaan dan pengeluaran yang diharapkan akan terjadi dalam suatu periode di masa depan. Sebagai Undang-Undang yang mempunyai kekuatan mengikat, Undang-Undang APBN mengikat Pemerintah dalam menghimpun pendapatan baik dari aspek jumlah maupun sumber pendapatan tersebut dan demikian juga halnya dalam pembelanjaannya. Sebagai rencana maka Undang-Undang APBN terbuka untuk dilakukan revisi atau perubahan apabila asumsi-asumsi yang digunakan untuk dasar penyusunannya mengalami perubahan, sehingga diperlukan penyesuaian, namun tetap dalam jangka waktu berlakunya APBN, yaitu satu tahun anggaran; [3.17] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah selanjutnya akan mempertimbangkan dalil-dalil para Pemohon sebagai berikut: [3.17.1] Para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 7 ayat (1) UU 4/2012 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3), Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 dengan alasan yang pada pokoknya; • Bahwa Pemerintah tidak pernah mempublikasikan secara terbuka kepada masyarakat Indonesia mengenai alasan, dasar, dan mekanisme penghitungan perubahan subsidi pada Pasal 7 ayat (1) UU 4/2012 yang pada faktanya nominal yang dialokasikan bertambah dalam jumlah yang besar. Masyarakat Indonesia hanya mengetahui proses Sidang Paripurna yang dilakukan pada tanggal 30 Maret 2012 yang hanya membahas mengenai Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012, sedangkan perubahan pasal lain dalam UU 4/2012 dibahas oleh Badan Anggaran DPR RI dengan mekanisme Sidang Tertutup untuk umum. Hal ini jelas tidak ada mekanisme keterbukaan seperti yang diamanatkan oleh Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 dalam menentukan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; __ • Bahwa terhadap jumlah alokasi dana yang besar tanpa adanya kejelasan tujuan dan keterbukaan, seharusnya Pemerintah mengalokasikan dana tersebut pada sektor-sektor yang lebih membutuhkan demi kesejahteraan setiap warga negara 140 Indonesia yaitu bidang pembangunan sarana transportasi publik, tunjangan perumahan bagi buruh dan rakyat miskin lainnya, serta pendidikan gratis sampai jenjang perguruan tinggi sesuai dengan amanat Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945; • Dengan Pemerintah menyandarkan jumlah subsidi BBM pada Mid Oil Platt's Singapore (MOPS) yang merupakan mekanisme pasar dalam penentuan harga dan penghitungan subsidi BBM maka secara jelas Pemerintah telah salah dalam menentukan kebijakan ( beleid ) dan telah salah urus, karena seharusnya Pemerintah sesuai dengan amanat Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 tidak menyandarkan jumlah subsidi dengan mekanisme pasar sehingga frasa “ dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat ” tidak akan pernah terwujud. Hal demikian mengakibatkan kerugian bagi buruh dan masyarakat Indonesia pada umumnya karena BBM beserta subsidinya tidak akan pernah dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; Menimbang bahwa terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: • Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “ Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ”. Dari ketentuan tersebut maka proses pembahasan dan penetapan UU 4/2012 menurut Mahkamah telah selaras dengan ketentuan Pasal 20 ayat (2), Pasal 22A, dan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945; __ • Dilihat dari segi substansi UU APBN yang merupakan rencana keuangan yang mencerminkan pilihan kebijakan untuk satu tahun anggaran, dan UU APBN terbuka untuk dilakukan revisi atau perubahan apabila asumsi-asumsi yang digunakan untuk dasar penyusunannya mengalami perubahan, sehingga diperlukan penyesuaian, namun tetap dalam jangka waktu berlakunya APBN, yaitu satu tahun anggaran. Oleh karena itu perubahan jumlah Anggaran tentang subsidi bahan bakar minyak (BBM) jenis tertentu dan bahan bakar gas cair [ liquefied petroleum gas (LPG)] tabung 3 (tiga) kilogram Tahun Anggaran 2012 yang direncanakan sebanyak Rp. 123.599.674.000.000,00 (seratus dua puluh tiga triliun lima ratus sembilan puluh sembilan miliar enam ratus tujuh 141 puluh empat juta rupiah) bertambah menjadi sebanyak Rp 137.379.845.300.000,00 (seratus tiga puluh tujuh triliun tiga ratus tujuh puluh sembilan miliar delapan ratus empat puluh lima juta tiga ratus ribu rupiah), dengan volume BBM jenis tertentu sebanyak 40.000.000 (empat puluh juta) kilo liter dalam Pasal 7 ayat (1) UU 4/2012 adalah dikarenakan asumsi-asumsi yang digunakan untuk dasar penyusunannya mengalami perubahan, sehingga diperlukan penyesuaian. Adapun perubahan APBN dalam UU 4/2012 memiliki dasar pertimbangan sebagai berikut: __ i. Sejak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012, telah terjadi perubahan dan perkembangan pada faktor internal dan eksternal, sehingga asumsi dasar ekonomi makro yang digunakan dalam APBN 2012 sudah tidak relevan dan perlu disesuaikan;
ii. Tingkat inflasi dalam tahun 2012 diperkirakan akan mencapai 6,8% (enam koma delapan persen), lebih tinggi bila dibandingkan dengan laju inflasi yang ditetapkan dalam APBN Tahun 2012. Peningkatan laju inflasi ini selain dipengaruhi oleh meningkatnya harga beberapa komoditas internasional, juga dipengaruhi oleh rencana kebijakan administered price di bidang energi dan pangan; iii. Nilai tukar rupiah dalam tahun 2012 diperkirakan mencapai Rp.9.000,00 (sembilan ribu rupiah) per satu dolar Amerika Serikat, melemah dari asumsinya dalam APBN Tahun Anggaran 2012. Pelemahan ini didorong antara lain oleh ketidakpastian ekonomi global yang diprediksi berlanjut pada tahun 2012;
iv. Harga minyak internasional pada awal tahun 2012 mengalami peningkatan seiring dengan terbatasnya pasokan minyak mentah dunia terkait ketegangan geopolitik di negara-negara teluk yang mempengaruhi pasokan minyak mentah dunia;
Kenaikan tersebut juga terjadi pada ICP, yang cenderung meningkat, jika dibandingkan dengan harga rata-ratanya selama tahun 2011. Perkembangan ini diperkirakan akan berlanjut sepanjang tahun 2012 sehingga asumsi harga rata-rata minyak mentah Indonesia selama tahun 142 2012 diperkirakan mencapai US$105,0 (seratus lima koma nol dolar Amerika Serikat) per barel;
vi. Lifting minyak dalam tahun 2012 diperkirakan mencapai 930 (sembilan ratus tiga puluh) ribu barel per hari, di bawah target dalam APBN Tahun Anggaran 2012. Hal ini antara lain terkait dengan menurunnya kapasitas produksi dari sumur-sumur tua, dan dampak diberlakukannya Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selain itu, penurunan tersebut juga dipengaruhi faktor unplanned shut down dan hambatan non-teknis seperti permasalahan di daerah dan lain-lain; vii. Perubahan pada besaran asumsi dasar ekonomi makro, pada gilirannya berpengaruh pula pada besaran APBN, dan akan diikuti dengan perubahan kebijakan fiskal dalam upaya untuk menyehatkan APBN melalui pengendalian defisit anggaran pada tingkat yang aman. (vide keterangan tertulis DPR); • Pasal 27 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara juncto Pasal 42 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 menyatakan, “ Penyesuaian APBN Tahun Anggaran 2012 dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan Pemerintah dalam rangka penyusunan perkiraan perubahan atas APBN Tahun _Anggaran 2012, apabila terjadi: _ i. perkiraan perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi _yang digunakan dalam APBN Tahun Anggaran 2012; _ _ii. perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal; _ iii. keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran _antarunit organisasi, antarprogram, dan/atau antarjenis belanja; dan/atau _ iv. keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih (SAL) tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran tahun berjalan” . • Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon bahwa Pasal 7 ayat (1) UU 4/2012 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 adalah tidak beralasan hukum; 143 • Keinginan para Pemohon mengenai pengalihan subsidi pada sektor-sektor yang lebih membutuhkan demi kesejahteraan setiap warga negara Indonesia yaitu bidang pembangunan sarana transportasi publik, tunjangan perumahan bagi buruh dan rakyat miskin lainnya sebagaimana didalilkan, menurut Mahkamah adalah keinginan yang wajar, namun tidak berarti bahwa subsidi yang termuat dalam Pasal 7 ayat (1) UU 4/2012 menjadi bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945, karena hak yang ditentukan dalam Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945, tidak hanya menjadi kewajiban Pemerintah untuk memenuhinya tetapi juga kewajiban para Pemohon sendiri untuk mengusahakannya. Pasal 7 ayat (1) UU 4/2012 adalah salah satu cara Pemerintah sebagai representasi negara memenuhi Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945. Oleh karena itu, menurut Mahkamah dalil para Pemohon adalah tidak beralasan hukum; • Bahwa selanjutnya mengenai dalil para Pemohon bahwa dengan menyandarkan jumlah subsidi BBM pada Mid Oil Platt's Singapore (MOPS) yang merupakan mekanisme pasar dalam penentuan harga dan penghitungan subsidi BBM maka Pasal 7 ayat (1) UU 4/2012 bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Menurut Mahkamah, sebagaimana diketahui oleh khalayak ramai ( notoire feiten ), hasil pembahasan antara Pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat telah memutuskan untuk memberi kewenangan kepada Pemerintah melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dalam hal harga rata-rata minyak mentah Indonesia ( Indonesian Crude Price/ICP ) dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15% (lima belas persen) dari harga ICP yang diasumsikan dalam APBN-P Tahun 2012. Menurut Mahkamah, justru dengan adanya pembahasan antara Pemerintah dengan DPR tersebut berarti harga BBM bersubsidi tidak diserahkan pada mekanisme pasar atau persaingan usaha, melainkan ditentukan oleh Pemerintah dengan mempertimbangkan perkembangan yang terjadi karena APBN berkaitan dengan banyak aspek. Dengan adanya pembahasan dan persetujuan bersama antara DPR dan Pemerintah berarti penentuan harga BBM bersubsidi tersebut tidak dengan sendirinya mengikuti mekanisme pasar atau persaingan usaha karena penentuan harga BBM bersubsidi telah dimusyawarahkan oleh pembentuk Undang-Undang. Hal itu sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 144 002/PUU-I/2003, tanggal 21 Desember 2004. Terlebih lagi faktanya, yang dikhawatirkan bahwa harga BBM akan mengalami kenaikan juga tidak terjadi. Dengan demikian, alasan pengujian para Pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU 4/2012 yang telah menyerahkan harga BBM bersubsidi kepada mekanisme pasar merupakan dalil yang tidak beralasan hukum; [3.17.2] Para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 dengan alasan yang pada pokoknya sebagai berikut: • Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012 mengizinkan Pemerintah menaikkan harga BBM jika ICP ( Indonesia Crude Price ) naik rata-rata 15% (lima belas persen) dalam enam bulan tanpa persetujuan DPR sebagai wakil rakyat; • Selama Pemerintah menyandarkan penghitungan ICP pada mekanisme pasar maka penggunaan BBM untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat seperti yang diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tidak akan pernah terwujud. Pemerintah hanya akan mengutamakan aspek ekonomi, yaitu laba tertinggi dan akumulasi kapital dalam bisnis minyak dan gas bumi ini daripada kemakmuran rakyat. Hal demikian bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat; • Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena mengakibatkan ketidakpastian hukum di masyarakat menyangkut naik atau tidaknya harga BBM dan ketidakjelasan kapan dan berapa jumlah kenaikan harga BBM dalam jangka waktu enam bulan. Ketidakpastian hukum itu sendiri telah mengakibatkan ketidakadilan karena rakyat menjadi korban akibat ketidakpastian harga BBM namun harga-harga non BBM sudah terlanjur banyak yang naik, sedangkan pasar justru menikmati ketidakpastian ini dengan menaikkan harga-harga kebutuhan masyarakat sehingga tetap mendapatkan laba tertinggi dan tetap dapat melakukan akumulasi modal; • Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012 bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, karena harga minyak diserahkan pada mekanisme pasar yang menyebabkan Pemerintah mengutamakan aspek ekonomi yaitu laba tertinggi dan akumulasi kapital dalam bisnis minyak dan gas bumi daripada kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, harus ada kedaulatan negara dalam menentukan harga 145 tanpa bersandar pada mekanisme pasar demi kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian keberlakuan Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012 berpotensi menyebabkan kerugian bagi para Pemohon (buruh) dan masyarakat karena tidak dapat membeli harga BBM dengan harga ekonomis dan mendapatkan fungsi dari BBM yang sejatinya diperuntukkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; Menimbang bahwa terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: • Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012 menyatakan, “ Harga jual eceran BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan, kecuali dalam hal harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15% (lima belas persen) dari harga ICP yang diasumsikan dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2012, Pemerintah berwenang untuk melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukungnya ”. Dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (6a) dinyatakan bahwa “ Yang dimaksud dengan harga rata-rata minyak mentah Indonesia dalam kurun waktu berjalan adalah realisasi harga rata-rata minyak mentah Indonesia selama 6 (enam) bulan terakhir ”. Dari Pasal 7 ayat (6a) dan Penjelasannya, menurut Mahkamah, hal tersebut tidak berarti Pemerintah menaikkan harga BBM tanpa persetujuan DPR, karena pemberian wewenang kepada Pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM dalam pasal a quo adalah berdasarkan hasil pembahasan antara Pemerintah dan DPR. Waktu enam bulan justru memberikan kepastian hukum, karena Pemerintah harus memperhatikan harga rata-rata minyak mentah Indonesia dalam kurun waktu enam bulan sejak UU 4/2012 tersebut diundangkan (31 Maret 2012) baru dapat menyesuaikan harga BBM. Jika dalam kurun waktu enam bulan tersebut harga rata-rata minyak mentah Indonesia __ tidak mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15% (lima belas persen) dari harga ICP yang diasumsikan dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2012 maka harga jual eceran BBM bersubsidi tidak disesuaikan. Terlebih lagi faktanya harga eceran BBM bersubsidi juga tidak mengalami kenaikan. Oleh karena itu, menurut Mahkamah dalil para Pemohon adanya pertentangan antara Pasal 7 ayat (6a) dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tidak beralasan hukum; 146 • Mengenai Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012 yang oleh para Pemohon didalilkan bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 karena menyandarkan pada mekanisme pasar, menurut Mahkamah dalil tersebut telah dipertimbangkan Mahkamah dalam pertimbangan mengenai Pasal 7 ayat (1) UU 4/2012 dalam paragraf [3.17.1] , sehingga mutatis mutandis juga berlaku untuk dalil permohonan a quo . Dengan demikian permohonan para Pemohon tidak beralasan hukum; [3.17.3] Para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 15A UU 4/2012 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945 dengan alasan yang pada pokoknya sebagai berikut: • Pasal 15A UU 4/2012 tidak dibahas dalam Sidang Paripurna tanggal 30 Maret 2012 dan telah ditentukan terlebih dahulu dalam rapat Badan Anggaran DPR RI yang tertutup untuk umum. Hal demikian mengakibatkan tidak adanya keterbukaan dalam proses penyusunan Pasal 15A UU 4/2012; • Pasal 15A UU 4/2012 tentang besaran alokasi dana Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) menjadi tidak logis dan tidak mempunyai dasar karena telah ditentukan terlebih dahulu sebelum ditentukan masuk atau tidaknya Pasal 7 ayat (6a) dalam UU 4/2012 yang menjadi syarat dari Pasal 15A UU 4/2012. Oleh karena itu, menurut para Pemohon Pasal 15A UU 4/2012 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945; • Dengan adanya Pasal 15A UU 4/2012 dimana Pemerintah mengalokasikan dana subsidi yang tidak jelas dasar dan tujuan kegunaannya daripada menggunakan dan mengalokasikan dana tersebut untuk sektor-sektor yang lebih membutuhkan demi kesejahteraan setiap warga negara Indonesia mengakibatkan kerugian bagi para Pemohon dan masyarakat Indonesia pada umumnya karena tidak dapat merasakan manfaat secara langsung dari APBN 2012. Hal demikian jelas bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945; Menimbang bahwa terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: 147 • Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “ Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ”, menurut Mahkamah frasa “ dilaksanakan secara terbuka ” adalah terhadap pelaksanaan dari APBN yang setiap tahun ditetapkan dengan Undang-Undang, sedangkan yang didalilkan oleh para Pemohon “ dilaksanakan secara terbuka ” adalah berkaitan dengan proses penetapan APBN. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, tafsiran terbuka yang termuat dalam Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 seperti yang didalilkan para Pemohon adalah kurang tepat. Dengan demikian, menurut Mahkamah, keterbukaan yang dimaksudkan oleh para Pemohon tidak ada kaitannya dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945, sehingga dalil para Pemohon tidak beralasan hukum; • Mengenai keterbukaan dalam proses pembahasan dan penetapan Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, sebagaimana yang diterangkan oleh DPR dalam keterangan tertulisnya bertanggal Juni 2012, bahwa proses pembahasan dilakukan dalam suatu Rapat Kerja yang bersifat terbuka, sesuai dengan Pasal 240 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Tata tertib DPR Nomor 01/DPR RI/I/2009-2010 dan berdasarkan risalah-risalah Rapat Kerja Badan Anggaran DPR dengan Pemerintah yang diwakili Menteri Keuangan dalam pembahasan RUU APBN Perubahan Tahun Anggaran 2012 bahwa rapat bersifat terbuka dimana masyarakat dapat mengikuti proses rapat dan substansi yang dibahas (vide keterangan tertulis DPR halaman 21). Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon a quo tidak beralasan hukum; • Pasal 15A UU 4/2012 menyatakan, “Dalam rangka membantu masyarakat berpendapatan rendah agar tetap dapat memenuhi kebutuhan dasarnya dan untuk mencegah penurunan taraf kesejahteraan masyarakat berpendapatan rendah akibat gejolak harga, dialokasikan anggaran untuk bantuan langsung sementara masyarakat sebesar Rp. 17.088.400.000.000,00 (tujuh belas triliun 148 delapan puluh delapan miliar empat ratus juta rupiah) termasuk anggaran untuk pengaman pelaksanaan (safeguarding)” . Ketentuan tersebut tidak berdiri sendiri melainkan berkaitan dengan ketentuan pasal sebelumnya, yaitu Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012 karena bantuan langsung sementara masyarakat sebesar Rp.
088.400.000.000,00 (tujuh belas triliun delapan puluh delapan miliar empat ratus juta rupiah) diberikan sebagai akibat gejolak harga ketika Pemerintah menaikkan harga eceran BBM bersubsidi. Hal tersebut sesuai dengan keterangan tertulis Pemerintah tanggal 1 Agustus 2012, halaman 17 yang menerangkan bahwa “ penyesuaian harga BBM bersubsidi tersebut berpotensi menaikkan harga pangan dan menurunnya daya beli dan tingkat kesejahteraan khususnya bagi masyarakat tidak mampu. Penyesuaian harga BBM bersubsidi akan mengakibatkan naiknya inflasi menjadi di atas 7 persen, yang berpotensi menyebabkan peningkatan angka kemiskinan dan pengangguran, serta dapat mengganggu keberlanjutan program pendidikan terutama bagi siswa dari keluarga tidak mampu. Oleh karena itu, dalam ketentuan Pasal 15A UU APBN- P 2012, pembuat undang-undang menetapkan program kompensasi atas penyesuaian harga BBM bersubsidi sebagai langkah antisipasi. Program kompensasi tersebut ditujukan untuk melindungi masyarakat miskin dari kemungkinan kenaikan harga, terutama dari jasa transportasi, serta mengurangi beban biaya hidup rumah tangga dan memberikan kompensasi biaya hidup _yang meningkat”; _ Bahwa Pasal 15A UU 4/2012 adalah pasal tambahan yang sebelumnya tidak terdapat dalam UU 22/2011. Hal demikian dapat dilakukan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 27 ayat (4) Undang-Undang 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menyatakan, “Dalam keadaan darurat Pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran”. Dalam penjelasan ayat tersebut dinyatakan bahwa “ Pengeluaran tersebut dalam ayat ini termasuk belanja untuk keperluan mendesak yang kriterianya ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN yang bersangkutan .” Oleh karena itu, pengalokasian anggaran untuk bantuan langsung 149 sementara masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15A UU 4/2012 merupakan bentuk pengeluaran yang dapat timbul akibat adanya kebijakan kenaikan dan/atau penurunan subsidi harga eceran BBM; Menimbang bahwa selain pertimbangan-pertimbangan yang bersifat substantif tersebut, dalam praktik dan faktanya tidak terjadi kenaikan harga minyak mentah Indonesia (ICP) dalam waktu enam bulan terakhir sejak UU 4/2012 diundangkan sebagaimana ditentukan dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012. Pemberian wewenang kepada Presiden untuk mengubah harga BBM bersubsidi sesuai dengan Pasal 7 ayat (6a) dan Penjelasannya, sudah terlampaui baik dihitung sejak Januari tahun 2012 maupun dihitung sejak diundangkannya UU 4/2012, tanggal 31 Maret 2012, sehingga pasal tersebut tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan. Dengan demikian permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum; [3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan di atas, permohonan para Pemohon tidak terbukti dan tidak beralasan menurut hukum;
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana tersebut di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan _a quo; _ [4.2] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Permohonan para Pemohon tentang pengujian formil Undang-Undang masih dalam tenggang waktu yang ditentukan; [4.4] Pokok permohonan para Pemohon tidak terbukti dan tidak beralasan hukum; Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi 150 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226) dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
AMAR PUTUSAN Mengadili, Menyatakan : Dalam Provisi: Menolak permohonan provisi para Pemohon; Dalam Pokok Permohonan: Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya; Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu kami, Moh. Mahfud MD selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Harjono, Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, Hamdan Zoelva, M. Akil Mochtar, dan Anwar Usman, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Rabu, tanggal dua puluh delapan, bulan November, tahun dua ribu dua belas dan diucapkan dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis, tanggal tiga belas, bulan Desember, tahun dua ribu dua belas , selesai diucapkan pukul 15.32 WIB oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu kami, Moh. Mahfud MD selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Harjono, Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, Hamdan Zoelva, M. Akil Mochtar, dan Anwar Usman, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Cholidin Nasir sebagai 151 Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon/Kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, serta Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili. KETUA, ttd. Moh. Mahfud MD ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Achmad Sodiki ttd. Harjono ttd. Maria Farida Indrati ttd. Muhammad Alim ttd. Ahmad Fadlil Sumadi ttd. Hamdan Zoelva ttd. M. Akil Mochtar ttd. Anwar Usman PANITERA PENGGANTI, ttd. Cholidin Nasir
Pengujian Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 194 ...
Relevan terhadap
Pemohon keberatan dengan berlakunya pasal 6 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2013 tentang Perasuransian dengan alasan pasal tersebut bertentangan dengan pasal ...
Relevan terhadap
“Peserta RUA memiliki masa tugas selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali”. Bahwa hal tersebut menunjukkan ketidak selarasan dalam membuat sebuah Peraturan, yang mana menurut para Pemohon Peraturan Pemerintah tersebut sudah sewajarnya tidak diterbitkan, karena hal tersebut tidak sesuai dengan Putusan MK Nomor 32/PUU-XI/2013 yaitu Ketentuan lebih lanjut mengenai asuransi berbentuk usaha bersama diatur dengan undang-undang dan bukan dengan Peraturan Pemerintah. Untuk itu apabila permohonan para Pemohon dikabulkan yaitu Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang 40/2014 dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat maka segala kerugian para Pemohon seperti dalam uraian di atas dapat dihindarkan atau tidak lagi terjadi.
Persyaratan umum untuk dapat dipilih menjadi Peserta RUA sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 berbeda dengan persyaratan yang telah ada dalam Anggaran Dasar AJB Bumiputera 1912 untuk dapat menjadi anggota BPA. para Pemohon keberatan dengan adanya Pasal 31 ayat (3) huruf d Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama yang menyebutkan: “Untuk dapat dipilih menjadi Peserta RUA, Anggota harus _memenuhi persyaratan umum sebagai berikut: _ _a. warga negara Indonesia; _ _b. sehat jasmani dan rohani; _ _c. memiliki pengalaman organisasi; _ 11 d. tidak menjadi anggota/pengurus partai politik, calon/anggota legislatif, calon kepala/wakil kepala daerah, atau kepala/wakil _kepala daerah; _ e. tidak sedang menjadi tersangka atau terdakwa dalam proses _peradilan; dan _ f. tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan”. Bahwa Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama dalam Pasal 31 ayat (3) huruf d tersebut sangatlah bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama yang menyebutkan “ Anggota adalah pemegang polis pada usaha bersama ”, hal ini sangat tidak adil bagi orang yang menjadi anggota tetapi tidak dapat menjadi peserta RUA yang mana RUA merupakan Rapat Umum Anggota. para Pemohon melihat hal tersebut adalah bentuk diskriminasi hak-hak anggota pemegang polis. Yang menjadi pertanyaan mendasar para Pemohon adalah, Apakah anggota/pengurus partai politik, calon/anggota legislatif, calon kepala/wakil kepala daerah, atau kepala/wakil kepala daerah tidak boleh menjadi pemegang polis di dalam Asuransi Usaha Bersama? 5) Bahwa Pasal 31 ayat (3) huruf d Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 tersebut juga bertentangan dengan larangan rangkap jabatan oleh anggota DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 236 Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“Undang-Undang MD3”): _(1). Anggota DPR dilarang merangkap jabatan sebagai: _ _a. pejabat negara lainnya; _ _b. hakim pada badan peradilan; atau _ c. pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia, pegawai pada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan lain yang anggarannya bersumber dari APBN/APBD. (2). Anggota DPR dilarang melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural pada lembaga pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan, advokat atau pengacara, notaris, dan pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan wewenang dan tugas DPR serta hak sebagai anggota DPR. 12 (3). Anggota DPR dilarang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Bahwa berdasarkan hal tersebut secara eksplisit tidak ada peraturan yang melarang anggota DPR/DPRD untuk menjadi Anggota Pemegang Polis karena bahwasanya anggota/pengurus partai politik, calon/anggota legislatif, calon kepala/wakil kepala daerah, atau kepala/wakil kepala daerah juga manusia biasa yang membutuhkan asuransi jiwa seperti Asuransi Jiwa Berbentuk Badan Usaha Bersama (AJB Bumiputera 1912) tetapi dengan adanya pasal 31 ayat (3) butir d Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama yang menyebutkan larangan kepada Calon Kepala/Wakil kepala daerah atau Kepala/Wakil kepala daerah untuk melakukan pemegangan polis tersebut, sehingga sangat membatasi hak pemegang polis dan menciptakan ketidak adilan, terhadap hak-hak pemegang polis sebagai anggota Badan Perwakilan Anggota yang dalam Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 disebut dengan Rapat Umum Anggota.
Bahwa dengan adanya Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang No. 40 tahun 2014 tentang Perasuransian dan adanya Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama, Pihak OJK (Otoritas Jasa Keuangan) terlalu intervensi terhadap kewenangan BPA Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912, hal tersebut tertuang di Pasal-Pasal, sebagai berikut:
Pasal 5 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 menyebutkan Perubahan Anggaran Dasar yang telah di Tetapkan RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Harus disampaikan oleh Direksi kepada OJK paling lama 7 hari kerja setelah ditetapkan RUA untuk mendapatkan persetujuan , Pasal 5 ayat (3) OJK memberikan persetujuan atau penolakan atas perubahan Anggaran Dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pasal 5 ayat (4) Perubahan Anggaran Dasar telah mendapatkan persetujuan OJK wajib dinyatakan dalam akta notaris dalam bahasa Indonesia paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak mendapatkan persetujuan OJK . 13 b. Pasal 7 ayat (2) Peraturan Pemerintah No.87 Tahun 2019 menyebutkan; OJK dapat memerintah usaha bersama untuk melakukan perubahan anggaran dasar sesuai dengan prinsip tata kelola perusahaan yang baik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam peraturan pemerintah ini dan peraturan perundang – undangan di bidang perasuransian, Pasal 7 ayat (3) Usaha bersama wajib menjalankan perintah dari OJK untuk melakukan perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 19 Peraturan Pemerintah No.87 Tahun 2019 menyebutkan:
Direksi menyampaikan agenda RUA kepada OJK untuk mendapatkan persetujuan.
OJK memberikan jawaban atas permohonan persetujuan agenda RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal diterimanya permohonan.
Pasal 23 ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 yang menyebutkan bahwa:
Dalam hal Dewan Komisaris tidak menyelenggarakan RUA luar biasa yang merupakan usulan Peserta RUA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (6) huruf a dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (21) Peserta RUA mengajukan permohonan izin penyelenggaraan RUA dan menyampaikan agenda RUA kepada OJK untuk memperoleh persetujuan.
OJK dapat memberikan izin atas penyelenggaraan RUA luar biasa dan persetujuan agenda RUA yang diajukan oleh Peserta RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
Dalam hal OJK memberikan izin atas penyelenggaraan RUA luar biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (5), surat persetujuan OJK tersebut paling sedikit memuat ketentuan mengenai:
tanggal, waktu, dan tempat dilaksanakannya RUA; dan
agenda RUA.
Pasal 24 ayat (6), ayat (7), ayat (8) Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 menyebutkan: 14 (6) Dalam hal RUA kedua tidak memenuhi kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (21) OJK menetapkan batasan kuorum untuk RUA ketiga berdasarkan permohonan Usaha Bersama.
Pemanggilan Peserta RUA untuk RUA ketiga harus disampaikan paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal penetapan kuorum oleh OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
Dalam pemanggilan Peserta RUA untuk RUA ketiga harus disebutkan bahwa RUA kedua telah dilaksanakan dan tidak mencapai kuorum dan RUA ketiga akan dilaksanakan.
Pasal 35 Peraturan Pemerintah No.87 Tahun 2019 menyebutkan:
Direksi menyampaikan 1 (satu) orang calon Peserta RUA urutan pertama dari setiap wilayah pemilihan kepada OJK untuk mendapatkan persetujuan.
Dalam hal calon Peserta RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mendapatkan persetujuan OJK, Direksi menyampaikan kembali kepada OJK 1 (satu) orang calon Peserta RUA urutan berikutnya dari wilayah pemilihan yang sama untuk mendapatkan persetujuan.
Persetujuan oleh OJK diberikan setelah dilakukan penilaian kemampuan dan kepatutan kepada calon Peserta RUA.
Dalam hal seluruh calon Peserta RUA dari setiap wilayah pemilihan telah disetujui oleh OJK, Direksi menyelenggarakan RUA untuk mengesahkan Peserta RUA.
Direksi mengumumkan Peserta RUA yang telah disahkan dalam RUA melalui media elektronik dan cetak nasional yang beredar di setiap wilayah pemilihan.
Tata cara mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan serta pemberian persetujuan OJK terhadap calon Peserta RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan di sektor jasa keuangan. 15 7) Bahwa hal-hal sebagaimana tersebut pada point di atas menunjukkan sebagian kecil intervensi OJK atas kewenangan BPA AJB Bumiputera 1912 sebagai satu-satunya Usaha Bersama di Indonesia dan tentunya masih banyak lagi pasal-pasal lain yang menunjukkan secara gamblang bentuk Intervensi OJK di dalam Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama. Bahwa banyaknya pasal-pasal yang menunjukkan intervensi dari OJK yang menurut hemat para Pemohon hal tersebut menghilangkan marwah AJB Bumiputera 1912 sebagai Asuransi yang bersifat Usaha Bersama (Mutual), berdiri sebelum Repubik Indonesia ini merdeka dan sangat memberatkan eksistensi dan keberadaan AJB Bumiputera 1912 yang bersifat Usaha Bersama (Mutual) dimana berdasarkan Anggaran Dasar AJB Bumiputera 1912 kekuasaan tertinggi diwakili oleh Badan Perwakilan Anggota, seharusnya dalam menetapkan dan mengambil setiap kebijakan membutuhkan proses yang cepat dan tepat dengan birokrasi yang sederhana, seperti contohnya di dalam Pasal 35 Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama, jelas nampak adanya birokrasi yang membutuhkan waktu dan proses yang lama dan hal ini tentu sangat memberatkan para Pemohon dan AJB Bumiputera 1912 dikarenakan pada suatu perusahaan dalam memutuskan suatu kebijakan yang penting dan krusial untuk kelancaran kinerja Perusahaan dalam hal ini adalah AJB Bumiputera 1912. Bahwa dengan adanya Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama, maka para Pemohon tidak dapat memutuskan suatu kebijakan yang dianggap penting dan krusial secara cepat dikarenakan harus ada persetujuan melalui OJK, padahal pada kenyataannya pembahasan-pembahasan penting setiap saat dapat terjadi.
Bahwa segala kerugian yang dialami oleh para Pemohon mulai dari tidak adanya undang-undang khusus yang mengatur tentang asuransi berbentuk usaha bersama maupun adanya PP 87 Tahun 2019 yang mengatur berbeda dengan Anggaran Dasar AJB Bumiputera 1912 tidak akan terjadi apabila 16 pengaturan Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang 40 Tahun 2014 mengikuti Putusan MK Nomor 32/PUU-XI/2013 yaitu Ketentuan lebih lanjut mengenai asuransi berbentuk usaha bersama diatur dengan undang-undang dan bukan dengan Peraturan Pemerintah (PP). Untuk itu apabila permohonan para Pemohon dikabulkan yaitu Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang 40 Tahun 2014 dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka segala kerugian para Pemohon seperti dalam uraian di atas dapat dihindarkan atau tidak lagi terjadi;
Bahwa untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum, jika Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan, agar tidak merugikan operasionalisasi asuransi berbentuk usaha bersama (AJB Bumiputera 1912), maka ketentuan Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang 40 Tahun 2014 yang berbunyi: Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah , dapat diberikan putusan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi yaitu Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang 40 Tahun 2014 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat sepanjang frasa “ diatur dalam Peraturan Pemerintah” tidak dimaknai sebagai “diatur dengan undang- undang”;
Bahwa berdasarkan uraian di atas, maka para Pemohon telah memenuhi kualitas maupun kapasitas sebagai Pemohon Pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, Peraturan Mahkamah Konstitusi, maupun sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi yang memberikan penjelasan mengenai syarat-syarat untuk menjadi Pemohon pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945. Bahwa kedudukan para Pemohon selaku Pemegang Polis dan sebagai Anggota Badan Perwakilan Anggota (BPA) Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 dalam konstitusionalitasnya ibarat “dua sisi mata uang” yang tidak dapat terpisahkan antara satu dengan lainnya karena Anggota BPA AJB Bumiputera 1912 adalah harus Pemegang Polis dan Pemegang Polis mempunyai hak suara memilih maupun dipilih sebagai anggota BPA inilah ciri khas atau karakteristik dari Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera yang tidak dimiliki oleh perusahaan lain. 17 C. POKOK PERMOHONAN 1. Bahwa Undang-Undang 40/2014 yang diuji adalah ketentuan pada Pasal 6 ayat (3) yang memuat ketentuan sebagai berikut: Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. 2. Bahwa para Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 6 ayat (3) Undang- Undang 40/2014 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang selengkapnya mengatur sebagai berikut: Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. 3. Bahwa AJB Bumiputera 1912 adalah perusahaan asuransi terkemuka di Indonesia yang berdiri tanggal 12 Pebruari 1912, dalam perjalanannya telah mengalami beberapa kali perubahan Anggaran Dasar dan telah pernah diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia, berturut-turut: - Tertanggal 12-121967 Nomor : 99, tambahan Lembaran Negara Nomor: 16/1967; - Tertanggal 05-03-1999 Nomor : 19, tambahan Lembaran Negara Nomor: 1/1999; Berdasarkan hasil Sidang Luar Badan Perwakilan Anggota (BPA) memutuskan serta mengesahkan Perubahan Anggaran Dasar Asuransi Jiwa Bersama 1912 dan kemudian berdasarkan Keputusan Sidang Luar Biasa tersebut yang dibuat dihadapan Notaris Agus Madjid, SH pada tanggal 10 Mei 2011 Notaris di Jakarta, dengan Akta No. 15 menetapkan berlakunya Anggaran Dasar Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912;
Bahwa Berdasarkan ketentuan Anggaran Dasar No. 15 Bab IV Pasal 8 ayat (1) secara tegas-tegas menyebutkan bahwa; Badan Perwakilan Anggota (BPA) merupakan Lembaga tertinggi di AJB. Bumiputera 1912. Anggaran Dasar Pasal 8 ayat (2): “ Badan Perwakilan Anggota (BPA) mengangkat dan memberhentikan Dewan Komisaris dan Direksi ”;
Bahwa AJB. Bumiputera 1912 bersifat Usaha bersama (Mutual Insurence ) yang dikelola dengan prinsip-prinsip dasar berlakunya konsep dan praktik Good Corporate Governance dari ketentuan Anggaran Dasar tersebut diatas, kedudukan dan posisi Badan Perwakilan Anggota (BPA) dalam Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 sangat dominan dan kuat serta mempunyai hak 18 otoritas untuk mengendalikan jalannya perusahaan tersebut. Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 adalah satu-satunya Perusahaan Asuransi Jiwa yang berbentuk “mutual” di Indonesia dan oleh karenanya Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 tidak memiliki akses modal sebagaimana halnya Perusahaan Asuransi yang berbentuk Perseroan Terbatas; Bahwa hal tersebut sejalan dan sesuai dengan pertimbangan Majelis Hakim dalam Perkara PUU No.32/PUU-XI/2013 pada point (3.10.3) – point (3.10.4) halaman 90 - 91, adapun pertimbangan Majelis Hakim Pemeriksa dalam Perkara PUU No.32/PUU-XI/2013 pada point (3.10.3,) dan point (3.10.4) sebagai berikut:
Point (3.10.3) Menimbang bahwa dalam sejarah perasuransian di Indonesia, salah satu jasa perasuransian adalah Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912. Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 merupakan usaha Asuransi Jiwa Nasional yang lahir di masa pergerakan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan derajat ekonomi bangsa. Selain itu, kebutuhan akan jasa usaha perasuransian juga merupakan salah satu sarana finansial dalam tata kehidupan ekonomi rumah tangga, baik dalam menghadapi risiko finansial yang timbul sebagai akibat dari risiko yang paling mendasar, yaitu risiko alamiah datangnya kematian, maupun dalam menghadapi berbagai risiko atas harta benda yang dimiliki. Kebutuhan akan hadirnya usaha perasuransian juga dirasakan oleh dunia usaha mengingat disatu pihak terdapat berbagai risiko yang sacara sadar dan rasional dirasakan dapat mengganggu kesinambungan kegiatan usahanya, dilain pihak dunia usaha sering kali tidak dapat menghindarkan diri dari suatu sistem yang memaksanya untuk menggunakan jasa usaha perasuransian. Usaha perasuransian telah cukup lama hadir dalam perekonomian Indonesia dan berperang dalam perjalanan sejarah bangsa berdampingan dengan sektor kegiatan lainnya. Bahwa eksistensi Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 sebagai salah satu bukti sejarah konsep asuransi dengan prinsip asas kebersamaan atau usaha bersama (mutual).
Point (3.10.4) Menimbang bahwa usaha bersama (mutual) sangat berbeda dengan perusahaan perseroan dimana Perusahaan perseroan merupakan persekutuan modal yang melakukan kegiatan usaha berdasar 19 pada akumulasi modal dengan tujuan mencari keuntungan sedangkan usaha bersama (mutual) merupakan persekutuan orang yaitu kebersamaan para anggotanya dengan tujuan menyejahterakan seluruh anggotanya. Menurut Mahkamah, badan usaha bersama (mutual) telah sesuai dengan bentuk usaha yang dimanatkan oleh Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan, “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”. Ketentuan tersebut sesuai dengan prinsip usaha bersama (mutual), karena bentuk usaha bersama (mutual) mempunyai peran dalam menyusun perekonomian yang berdasar atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi yang mengutamakan kemakmuran bersama para anggotanya atau masyarakat. Hal tersebut berbeda dengan apabila dibandingkan dengan perusahaan perseroan yang lebih mengutamakan akumulasi modal dari pemegang saham dan keuntungannyapun merupakan keuntungan individu pemegang saham. Bahwa dari pertimbangan Majelis Pemeriksa dalam PUU Nomor 32/PUU- XI/2013 sebagaimana tersebut di atas, dapatlah ditarik suatu asumsi kesimpulan sebagai berikut:
Bahwa Mahkamah Konsitusi mengakui keberadaan asuransi jiwa bersama yang bersifat usaha bersama (mutual) sebagai warisan sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam menghadapi kapitalis para penjajah. Hal tersebut dilihat dari kehendak para pendiri selaku pejuang dalam mendirikan usaha asuransi yang bersifat usaha bersama (mutual) yang sekarang bernama “Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912”.
Mahkamah Konstitusi tetap konsen mempertahankan keberadaan asuransi berbentuk usaha bersama (mutual) dalam hal ini adalah Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 untuk diatur dengan suatu peraturan perundang-undangan bersifat “Lex Spesialis” sama halnya dengan usaha koperasi yang diatur dengan undang-undang tersendiri.
Bahwa Mahkamah Konstitusi tidak menghendaki bentuk usaha bersama (AJB. Bumiputera 1912) sebagaimana yang diamanatkan dalam ketentuan Pasal 33 UUD 1945 hilang tergerus dengan modernisasi perekonomian yang bersifat kapitalis di negara Republik Indonesia serta perekonomian yang berbentuk usaha bersama (AJB. Bumiputera 1912) dapat bersaing 20 dengan perusahaan-perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas dalam sistem perekonomian bangsa Indonesia ke depan.
Bahwa Pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia dalam merubah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian menjadi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian utamanya mengenai bentuk peraturan perundang-undangan untuk mengatur lebih lanjut mengenai asuransi berbentuk usaha bersama telah melakukan langkah mundur yang fundamental. Dimana dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang 2/1992 yang awalnya mengatur: Ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (Mutual) diatur lebih lanjut dengan Undang-undang . Kemudian diubah oleh Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang 40/2014 menjadi: Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah . Padahal Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 tertanggal 03 April 2014 telah memerintahkan bahwa Ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (Mutual) harus diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang tersendiri dan dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan Mahkamah ini diucapkan. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 tertanggal 03 April 2014 amarnya berbunyi: _1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian; _ 1.1. Frasa ”…diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang” dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-undang Nomor 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang tidak dimaknai “…’diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang’ dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan Mahkamah ini diucapkan”. 1.2. Frasa “…diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang” dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-undang Nomor 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467), tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “…’diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang’ dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah Putusan Mahkamah ini _diucapkan” ; _ __ 21 2. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik _Indonesia sebagaimana mestinya; _ 3. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya”. Bahwa perbuatan membentuk Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian dan Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama, bertentangan sama sekali dengan Putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana tersebut diatas yang dengan jelas-jelas mewajibkan dan memerintahkan agar Pemerintah dan DPR membentuk Undang-Undang tersendiri guna mengatur tentang Asuransi Usaha Bersama atau Mutual Insurance , namun Undang- Undang yang mengatur Usaha Bersama ini sampai dengan sekarang (permohonan pengujian Undang-Undang diajukan) belum terealisasi dan justru Pemerintah mengeluarkan Peraturan yang mengatur tentang Asuransi yang berbentuk Usaha Bersama cq . AJB. Bumiputera 1912 diatur dengan Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama dengan mengacu pada ketentuan Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang 40/2014; Bahwa menurut para Pemohon, perubahan Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian menjadi Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian yang dilakukan oleh Pemerintah bersama DPR RI bukanlah melaksanakan perintah Putusan PUU No. 32/PUU-XI/2013, dimana dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian mengatur tentang Perasuransian secara umum dan tidak secara spesifik mengatur tentang Usaha Asuransi yang berbentuk Mutual (usaha bersama), hal ini terlihat dalam BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, tidak ada sama sekali memuat dan menjabarkan tentang Asuransi yang berbentuk Usaha Bersama (mutual), ketentuan mengenai Asuransi yang berbentuk Usaha Bersama (mutual) hanya diatur dalam Bab III (Bentuk Badan Hukum dan Kepemilikan Perusahaan Perasuransian) Pasal 6 dan Bab VI (Tata Kelola Usaha Perasuransian Berbentuk Koperasi dan Usaha Bersama) Pasal 35 Undang- Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 22 Pasal 6 Undang-Undang No.40 Tahun 2014 tentang Perasuransian;
Bentuk Badan Hukum Penyelenggara Usaha Perasuransian adalah;
perseroan terbatas;
koperasi: atau c. usaha bersama yang telah ada pada saat undang-undang ini diundangkan.
Usaha Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf c dinyatakan Sebagai badan hukum berdasarkan Undang-Undang ini.
Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama Sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 35 Undang-Undang No.40 Tahun 2014 tentang Perasuransian;
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah Berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 huruf c hanya dapat menyelenggarakan jasa asuransi atau jasa asuransi syariah bagi anggotanya.
Setiap anggota dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah Berbentuk koperasi atau anggota usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 huruf c wajib menjadi Pemegang Polis dari perusahaan yang bersangkutan.
Keanggotaan pada Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah Berbentuk koperasi atau keanggotaan pada usaha bersama sebagaimana Dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 huruf c berakhir apabila ;
anggota meninggal dunia ;
anggota tidak lagi memiliki polis asuransi dari Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi syariah yang bersangkutan selama 6 (enam) bulan berturut-turut ; atau
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, keanggotaan harus berakhir.
Anggota dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah berbentuk koperasi atau anggota dari usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 huruf c berhak atas seluruh keuntungan dan wajib menanggung seluruh kerugian dari kegiatan usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan keuangan untuk menjadi Anggota Sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) sertapemanfaatan keuntungan oleh anggota dan pembebanan kerugian diantara anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah berbentuk koperasi atau anggota dari usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c diatur dalam peraturan otoritas jasa keuangan. Bahwa menurut para Permohon, Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian mengatur Asuransi secara umum yang bersifat Lex generalis , sedangkan menurut Putusan Mahkamah Konstitusi RI dalam perkara PUU No. 32/PUU0XI/2013 perlu dibentuk Undang-Undang yang mengatur tentang Asuransi berbentuk usaha besama (mutual) yang bersifat 23 Lex Spesialis, sama halnya dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian. Bahwa para Pemohon telah berusaha untuk mendapatkan Naskah Akademik dalam pembentukan Undang-Undang No. 40 tahun 2014 tentang Perasuransian, akan tetapi mengingat keterbatasan waktu dan kondisi darurat pandemi Covid-19 di Tanah Air dan adanya sistem Work From Home yang dilakukan oleh Instansi Pemerintah termasuk Lembaga DPR RI, terdapat kesulitan bagi para Pemohon untuk bekerja secara maksimal guna mendapatkan Naskah Akademik terhadap Undang-Undang tersebut. para Pemohon telah mengirimkan Surat kepada Pajabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR RI dengan Surat Nomor 29/ZAA-SKL/2020 pada tanggal 29 Mei 2020, yang sampai perbaikan disampaikan tidak ada jawaban sama sekali terhadap Surat para Pemohon tersebut.
Bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 telah jelas menyebutkan “ Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang- Undang Dasar.” Kemudian Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang MK juga menyebutkan: “ Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: menguji undang- undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 .” Yang dimaksud dengan putusan bersifat final telah diterangkan dalam Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU MK yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Kemudian Pasal 47 UU MK mengatur: Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum ;
Bahwa Sifat final putusan MK ini menunjukkan setidaknya 3 hal mendasar, yaitu: ^ Pertama, putusan MK secara langsung memperoleh kekuatan hukum. Kedua, putusan MK merupakan tingkat pertama dan terakhir, sehingga tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh, seperti halnya banding ataupun kasasi pada peradilan umum. Putusan yang tidak dapat dilakukan upaya 24 hukum lebih lanjut berarti telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara langsung memperoleh kekuatan mengikat. Tidak adanya upaya hukum lebih lanjut ini sengaja dibuat dengan maksud agar Mahkamah Konstitusi melalui putusannya dapat menyelesaikan persoalan dan memberikan kepastian hukum secara cepat sesuai dengan prinsip peradilan cepat dan sederhana. Hal ini mengingat perkara yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi merupakan perkara yang berkaitan dengan ketatanegaraan, sehingga membutuhkan kepastian hukum dan terikat dengan limitasi waktu agar tidak mengganggu keberlangsungan agenda ketatanegaraan. (Fajar Laksono, dkk., “Implikasi dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU- X/2012 tentang SBI atau RSBI”, Jurnal Konstitusi, Volume 10, Nomor 4, Desember 2013, h,65) Ketiga, karena telah memperoleh kekuatan hukum, maka putusan Mahkamah Konstitusi memiliki akibat hukum bagi semua pihak yang berkaitan dengan putusan. Pada konteks yang ketiga inilah putusan Mahkamah Konstitusi berbeda dengan putusan pengadilan biasa, tidak hanya meliputi pihak-pihak yang berperkara yaitu Pemohon, Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)/Dewan Perwakilan Daerah (DPD) ataupun pihak terkait yang diizinkan masuk ke dalam proses perkara, namun juga mengikat bagi semua pihak dan semua orang, lembaga-lembaga negara, serta badan-badan hukum yang berada dalam yurisdiksi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi dikatakan bersifat erga omnes, yang ditujukan kepada semua orang. (Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia , Cetakan Pertama, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, h. 208-209);
Perbedaan yang sangat mendasar antara putusan yang dikeluarkan oleh MK dengan institusi peradilan lainnya yaitu mengenai upaya hukum lanjutan atas putusannya. Jika putusan yang dikeluarkan oleh institusi peradilan lainnya (Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya) dapat dilakukan upaya hukum lanjutan, baik berupa banding, kasasi, maupun peninjauan kembali, putusan MK tidak mengadopsi mekanisme tersebut. Dikatakan di dalam konstitusi bahwa MK merupakan peradilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. ^ Dipertegas kembali di dalam Pasal 10 UU MK bahwa makna sifat final putusan MK juga mencakup di dalamnya kekuatan 25 mengikat. Artinya, putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.
Putusan MK dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah wujud dan bentuk judicial control dalam mekanisme cheks and balances di antara cabang kekuasaan negara khususnya checks and balances dari kekuasaan kehakiman terhadap kekuasaan legislatif atau pembuatan undang- undang. Mekanisme pengawasan yang dilakukan didasarkan pada penyelarasan terhadap konstitusi sebagai hukum dasar dan hukum tertinggi yang menjadi sumber legitimasi aturan perundang-undangan yang berada di bawahnya, baik atas perintah UUD 1945 maupun sebagai penjabaran dan pelaksanaannya. Supremasi Konstitusi yang ditegakkan oleh MK melalui kewenangan uji materil terhadap undang-undang yang dihasilkan legislatif adalah untuk menjamin bahwa undang-undang yang dihasilkan tersebut sesuai dengan UUD. Secara tegas UUD 1945 memberi kewenangan tersebut kepada MK dalam kerangka pembagian kekuasaan ( separation of powers ) dan karenanya jikalau MK sewaktu-waktu menyatakan satu undang-undang yang dihasilkan pembuat undang-undang dinyatakan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat atau batal hal itu dilakukan bukan sebagai indikasi superioritas MK terhadap cabang kekuasaan legislatif melainkan hanya melaksanakan kewajiban suci dan khidmat yang dilimpahkan oleh Konstitusi padanya (Maruarar Siahaan, Jurnal Hukum No. 3 Vol. 16 Juli 2009: h, 357 – 378);
Bahwa tidak dipatuhinya putusan pengadilan termasuk putuan MK tentu saja akan membawa dampak pada kewibawaan lembaga yang memutusnya, serta penegakan hukum dan konstitusi pada umumnya. Secara logis, jika MK merupakan pengawal konstitusi sebagaimana selalu dinyatakan, maka tidak terlaksananya putusan MK sebagaimana mestinya sedikit banyak dapat menimbulkan terjadinya proses deligitimasi terhadap UUD 1945, yang pada hakikatnya dapat menggoyahkan stabilitas penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karenanya menjadi sesuatu hal yang penting untuk memastikan putusan MK dapat terlaksana. (Maruarar Siahaan, Jurnal Hukum No. 3 Vol. 16 Juli 2009: h, 357 – 378);
Bahwa keberadaan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan: “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, 26 dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum” sangat terkait dengan konsekuensi dianutnya prinsip negara hukum Indonesia. Sebagaimana dinyatakan oleh Hamdan Zoelva dari F-PBB sebagai salah satu anggota PAH I BP MPR-RI yaitu: “Negara Hukum sebagai Dasar Negara mengandung arti bahwa pelaksanaan kekuasaan Pemerintahan Negara didasarkan pada hukum dan konstitusi…” Jadi Negara dalam pelaksanaan kekuasaan Pemerintahan Negara harus selalu didasarkan pada hukum dan untuk menghindari jangan sampai hukum ini diterjemahkan sedemikian rupa sesuai dengan keinginan pemerintah atau penguasa. Dengan demikian jelaslah bahwa jaminan hak atas kepastian hukum yang adil dilatarbelakangi oleh keinginan agar jangan sampai hukum ini diterjemahkan sedemikian rupa sesuai dengan keinginan pemerintah atau penguasa ( Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses dan Hasil Perubahan Buku VIII, Warga Negara dan Penduduk, Hak Asasi dan Agama. Sekretariat Jenderal MKRI, 2010, h. 267);
Bahwa Pandangan doktrinal ahli hukum tentang pemaknaan kepastian hukum adalah kepastian hukum merupakan wujud asas legalitas (legaliteit) yang dimaknai oleh Sudargo Gautama dari dua sisi, yakni : pertama , dari sisi warga negara, sebagai kelanjutan dari prinsip pembatasan kekuasaan negara terhadap perseorangan adalah pelanggaran terhadap hak-hak individual itu hanya dapat dilakukan apabila diperbolehkan dan berdasarkan peraturan-peraturan hukum; dan kedua , dari sisi negara, yaitu tiap tindakan negara harus berdasarkan hukum. Peraturan perundang-undangan yang diadakan terlebih dahulu merupakan batas kekuasaan bertindak negara. (Sudargo Gautama, Pengertian tentang Negara Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1973. h. 9). Pandangan lainnya dari Indroharto konsep kepastian hukum merupakan konsep yang mengharuskan, bahwa hukum objektif yang berlaku untuk setiap orang tersebut, harus jelas dan taati. Di sini, Indroharto menekankan kepastian hukum juga menyangkut kepastian norma hukum. (Indroharto, Rangkuman Asas-Asas Umum Tata Usaha Negara , Jakarta, 1984. h. 212-213).
Bahwa Pasal 56 ayat (3) dan Pasal 57 ayat (1) UU MK menyatakan bahwa dalam hal permohonan dikabulkan, MK sekaligus menyatakan suatu Undang- 27 Undang yang diuji bertentangan dengan UUD 1945 baik seluruhya maupun sebagian dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum ( legally null and void ). Dalam praktik diketemukan terdapat model-model lain dalam putusan- putusan MK yang masing-masing memiliki karakteristik. Model putusan konstitusional bersyarat ( conditionally constitutional ) dan model putusan inkonstitusional bersyarat ( conditionally unconstitutional ) pada dasarnya kedua model putusan tersebut merupakan model putusan yang secara hukum tidak membatalkan dan menyatakan tidak berlaku suatu norma, akan tetapi kedua model putusan tersebut memuat atau mengandung adanya penafsiran ( interpretative decision ) terhadap suatu materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari Undang-Undang ataupun Undang-Undang secara keseluruhan yang pada dasarnya dinyatakan bertentangan atau tidak bertentangan dengan konstitusi dan tetap mempunyai kekuatan hukum atau tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (Syukri Asy'ari, Meyrinda Rahmawaty Hilipito, Mohammad Mahrus Ali, Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang: Studi Putusan Tahun 2003-2012, h. 1); D. PETITUM Berdasarkan uraian dalil-dalil para Pemohon di atas, izinkanlah para Pemohon meminta kepada Yang Mulai Majelis Hakim Konstitusi yang memeriksa dan mengadili perkara permohonan ini untuk memutus hal-hal sebagai berikut:
Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan Frasa “diatur dalam Peraturan Pemerintah” dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “... diatur dengan Undang-Undang”;
Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya; Atau Jika Majelis Hakim Konstitusi Republik Indonesia mempunyai keputusan lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ex aequo et bono 28 [2.2] Menimbang bahwa untuk mendukung dalilnya, para Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-15, sebagai berikut:
Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian;
Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Dasar 1945;
Bukti P-3 : Fotokopi identitas para Pemohon;
Bukti P-4 : Fotokopi Akta Notaris Maria Gunarti S.H., M.Kn., Nomor 19 tentang Pernyataan Keputusan Sidang Luar Biasa Badan Perwakilan Anggota Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912, bertanggal 23 April 2015, dan Akta Notaris Maria Gunarti S.H., M.Kn., Nomor 05 tentang Pernyataan Keputusan Sidang Luar Biasa Badan Perwakilan Anggota Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912, bertanggal 02 Agustus 2016;
Bukti P-5 : Fotokopi Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama;
Bukti P-6 : Fotokopi Petikan Keputusan Sidang Luar Biasa Badan Perwakilan Anggota Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 Nomor 15;
Bukti P-7 : Fotokopi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU- XI/2013;
Bukti P-8 : Fotokopi Surat Pemegang Polis Nomor 215100159571 atas nama Ny. Hj. Nurhasanah, S.H., M.H.;
Bukti P-9 : Fotokopi Surat Pemegang Polis Nomor 215100281532, Nomor polis 215100281515, dan Nomor Polis 215100281527 atas nama Prof. DR. H. Ibnu Hajar Damanik, M.Si.;
Bukti P-10 : Fotokopi Surat Pemegang Polis Nomor 212100480756 atas nama DR. Maryono S.Kar., M.Hum.;
Bukti P-11 : Fotokopi Surat Pemegang Polis Nomor 96237496, dan Nomor Polis 211102405277 atas nama Prof. Gede Sri Darma, D.B.A.;
Bukti P-12 : Fotokopi Surat Pemegang Polis Nomor 211103864964 atas nama Khairul Huda; 29 13. Bukti P-13 : Fotokopi Surat Nomor 29/ZAA-SKL/2020 perihal Permohonan Data-Data Pendukung tentang Pembentukan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian;
Bukti P-14 : Fotokopi Surat Pemegang Polis Nomor 215100406711 atas nama Prof. DR. Ir. Achmad Jazidie, M.Eng.;
Bukti P-15 : Fotokopi Surat Pemegang Polis Nomor 214104139695, atas nama Ny. Septina Primawati. Selain itu, untuk mendukung dalil permohonannya, para Pemohon juga mengajukan tiga orang ahli atas nama Dr. Bayu Dwi Anggono, S.H., M.H., Dr. Margarito Kamis, S.H., M.Hum., dan Dr. Kornelius Simanjuntak, S.H., M.H., AAIK., yang masing-masing didengarkan keterangannya dalam persidangan pada tanggal 8 September 2020, tanggal 24 September 2020, dan tanggal 20 Oktober 2020, yang pada pokoknya adalah sebagai berikut: A. Dr. Bayu Dwi Anggono, S.H., M.H. − Bahwa Pokok masalah dalam perkara ini adalah adanya norma hukum di Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 yang substansinya bertentangan dengan Putusan MK yaitu Putusan Nomor 32/PUU-XI/2013 tertanggal 03 April 2014. Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 mengatur: Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah . Sementara itu amar Putusan MK Nomor 32/PUU-XI/2013 dalam pengujian Pasal 7 ayat (3) Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian yang putusan ini dibuat lebih dahulu daripada dibentuknya UU 40/2014 menyebutkan Frasa “...diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang” dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-undang Nomor 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai __ “…’diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang’ dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah Putusan Mahkamah ini diucapkan. − Bahwa telah dinyatakan oleh MK di bagian pertimbangan [3.10.2] Putusan Nomor 32/PUU-XI/2013 yaitu berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU 2/1992, usaha perasuransian dapat dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk perusahaan perseroan (PERSERO), koperasi, atau usaha bersama ( mutual ). Kesemuanya itu agar memperoleh perlindungan dan kepastian 30 hukum dalam menjalankan usahanya maka setiap bentuk usaha perasuransian memerlukan pengaturan dalam bentuk Undang-Undang. Kemudian di bagian pertimbangan selanjutnya dalam Putusan MK [3.10.5] disebutkan bahwa Undang-Undang yang mengatur mengenai bentuk usaha bersama ( mutual ) sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 7 ayat (3) UU 2/1992 yang hingga sekarang belum dibentuk dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi penyelenggara asuransi yang berdasarkan usaha bersama ( mutual ) seperti AJB Bumiputera. Pada sisi lain, penyelenggara asuransi yang berdasarkan perusahaan perseroan dan koperasi telah memperoleh kepastian hukum dengan adanya undang- undang yang mengatur khusus untuk itu. Oleh karena itu, menurut MK, untuk menghindari berlarut-larutnya ketidakpastian hukum dan ketidakadilan tersebut, MK harus memastikan batas waktu yang cukup dan adil bagi pembentukan undang-undang dimaksud yaitu dua tahun enam bulan setelah putusan MK ini diucapkan. − Bahwa apa yang diperintahkan oleh MK dalam putusan Nomor 32/PUU- XI/2013 baik di bagian amar putusan maupun pertimbangan hukum ternyata dalam praktiknya tidak ditindaklanjuti oleh Pembentuk UU yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Presiden ( vide Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945). Sampai saat ini setelah 6 tahun sejak putusan Nomor 32/PUU-XI/2013 ternyata UU yang mengatur tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (Mutual) tidak juga dibentuk. Bahkan tidak hanya tidak membentuk UU yang mengatur tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (Mutual) sebagaimana diperintahkan putusan MK, pembentuk UU saat membentuk UU 40/2014 yang dimaksudkan sebagai pengganti UU 2/1992 justru menurunkan derajat pengaturan mengenai perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama yaitu dari awalnya diatur dengan UU diubah menjadi diatur dengan Peraturan Pemerintah sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014. − Bahwa atas permasalahan dalam perkara ini dapat diberikan tinjauan dari beberapa aspek yaitu Pertama , bagaimana sifat putusan MK; Kedua , bagaimana kewajiban pembentuk UU untuk melaksanakan/menindaklanjuti putusan MK; dan Ketiga ; apa upaya 31 hukum yang dapat ditempuh oleh warga negara/para pihak apabila ditemukan UU yang dibentuk bertentangan dengan Putusan MK; dan Keempat ; apa akibat hukum jika suatu UU dibentuk tanpa berdasarkan pada putusan MK. SIFAT PUTUSAN MK − Bahwa terhadap aspek pertama yaitu bagaimana sifat putusan MK maka dapat diberikan keterangan terlebih dahulu tentang kelahiran MK melalui perubahan Ketiga UUD 1945 yaitu Pasal 24C Pada tahun 2001 adalah sejalan dengan dipertegasnya dianutnya paham negara hukum dalam UUD 1945. Dalam negara hukum harus dijaga paham konstitusional. Artinya, tidak boleh ada UU dan peraturan perundang-undangan lainnya yang bertentangan dengan UUD. Hal itu sesuai dengan penegasan bahwa UUD sebagai puncak dalam tata urutan peraturan perundang undangan di Indonesia. (Buku “Panduan Pemasyarakatan UUD 1945 sesuai dengan urutan Bab, Pasal dan ayat”. Sekretariat Jenderal MPR, 2007, hlm. 116). Dalam Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945 disebutkan bahwa Pembentukan MK ini, merupakan salah satu wujud nyata dari perlunya keseimbangan dan kontrol di antara lembaga-lembaga negara. Hal ini, juga sebagai penegasan terhadap prinsip negara hukum dan perlunya perlindungan hak asasi (hak konstitusional) yang telah dijamin konstitusi serta sebagai sarana penyelesaian beberapa permasalahan yang terjadi dalam praktik ketatanegaraan yang sebelumnya tidak ditentukan (hlm. 592 -593) − Bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyebutkan: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum . Sementara Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 menyebutkan: Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar . 32 Ketentuan-ketentuan tersebut di atas dapat dipahami berdasarkan niat, semangat, atau situasi kebatinan para perumus perubahan UUD 1945 sehingga pada akhirnya menyepakati rumusan mengenai sifat putusan MK yang bersifat final. Dalam rapat Rapat Pleno PAH I ke-51 BP MPR tanggal 29 Juli 2000, Hamdan Zoelva dari F-PBB antara lain menyatakan: Dalam usulan Perubahan UUD ini, kita semua telah sepakat adanya Mahkamah Konstitusi. Kita telah sepakat pula bahwa Mahkamah ini nantinya memiliki wewenang untuk menguji secara materi atas undang- undang, serta memberikan putusan atas pertentangan antar undang- undang. Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan tingkat pertama dan tingkat terakhir. Oleh karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi tidak dapat dilakukan upaya apapun untuk membatalkannya. Hasil kerja PAH I BP MPR terkait rancangan perubahan Bab IX UUD 1945 dilaporkan pada Rapat ke-5 BP MPR, 23 Oktober 2001. Terkait dengan MK, Jacob Tobing menyampaikan rumusan-rumusan yang dihasilkan PAH I BP MPR, antara lain: Pasal 24A ayat (2) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili perkara dari tingkat pertama dan tingkat terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang- undang (dan peraturan perundang-undangan di bawahnya) terhadap Undang-Undang Dasar, memutuskan perselisihan, kewenangan atau kompetensi antar lembaga (negara), memutuskan pembubaran partai politik (atas tuntutan yang sah) yang memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Pada Rapat Paripurna ke-6 MPR, 8 November 2001. Jacob Tobing menyampaikan Rancangan Perubahan Ketiga UUD 1945. Terkait dengan MK, rumusannya telah dikumpulkan ke dalam Pasal 24C yang terdiri atas 6 (enam) ayat. Terkait dengan putusan MK, disebutkan dalam Pasal 24C ayat (1), yaitu: __ Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil tentang hasil pemilihan umum. 33 Rancangan tersebut kemudian dibawa ke Rapat Paripurna ke-7 MPR guna mendapatkan pandangan akhir dari fraksi-fraksi sebelum disahkan menjadi bagian dari Perubahan Ketiga UUD 1945. Secara umum, meskipun memberikan masukan, tetapi pada dasarnya pandangan akhir yang disampaikan fraksi-fraksi secara tegas menyepakati rumusan rancangan yang dilaporkan tersebut. __ Jika Pasal tersebut dicermati dapat dijelaskan bahwa MK merupakan badan peradilan tingkat pertama dan terakhir. Atau dapat dikatakan, badan peradilan satu-satunya yang putusannya bersifat final dan mengikat, untuk mengadili perkara pengujian UU, sengketa lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD, pembubaran partai politik, dan perselisihan hasil pemilihan umum. Dengan demikian, dalam hal pelaksanaan kewenangannya, MK tidak mengenal adanya mekanisme banding atau kasasi. ( Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002, Buku VI Kekuasaan Kehakiman , Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi; Edisi Revisi, Juli 2010, hlm. 594 - 595) __ Dengan demikian pengertian tingkat pertama dan terakhir di sini adalah di bawah maupun di atas MK tidak ada badan pengadilan lain, sehingga putusan MK langsung sebagai putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap ( in kracht van gewijsde vonnis ). Untuk itu tidak ada upaya hukum lainnya, baik berupa banding atau kasasi yang dapat ditempuh dan menjadikan putusannya bersifat final. ( Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002, Buku VI Kekuasaan Kehakiman , Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi; Edisi Revisi, Juli 2010, hlm. 718) Lain halnya dengan kewajiban MK untuk memberikan putusan atas pendapat DPR, terhadap dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Dalam hal ini, UUD tidak menyatakan MK sebagai peradilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat. MK hanya diletakkan sebagai salah satu mekanisme yang harus 34 dilalui dalam proses pemberhentian ( impeachment ) Presiden dan/atau Wakil Presiden. Kewajiban konstitusional MK adalah untuk membuktikan dari sudut pandang hukum, mengenai benar tidaknya dugaan pelanggaran hukum Presiden dan/atau Wakil Presiden. ( Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002, Buku VI Kekuasaan Kehakiman , Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi; Edisi Revisi, Juli 2010, hlm. 594 - 595) − Bahwa apa yang dimaksud putusan MK bersifat final kemudian diperjelas dan dipertegas melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut sebagai UU MK). Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU MK menerangkan Putusan MK bersifat final, yakni putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Apabila dikaitkan dengan Pasal 47 UU MK yang menyebutkan: Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum maka putusan MK telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara langsung memperoleh kekuatan mengikat untuk dilaksanakan serta membawa akibat hukum bagi semua pihak yang berkaitan dengan putusan sejak putusan selesai diucapkan dalam sidang pleno. − Bahwa Menurut Sri Soemantri, putusan yang bersifat final harus bersifat mengikat dan tidak bisa dianulir oleh lembaga apapun. Dalam bahasa Inggris, pengertian yuridis final dan mengikat itu selalu bersatu, yaitu final and binding . Dengan demikian, jika bersifat final harus diikuti dengan mengikat sehingga sah memiliki kepastian hukum. Kata final itu implisit telah mengikat dan tidak bisa dianulir sehingga tidak perlu ditambahi dengan kata-kata mengikat (Sri Soemantri, “Catatan-catatan Terhadap RUU Mahkamah Konstitusi”, disampaikan pada Seminar di Universitas Islam Indonesia, 11 Mei 2002, hlm. 8, yang dikutip kembali oleh Abdul 35 Rasyid Thalib dalam Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan RI, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm.
. Menurut Indroharto, kata final, artinya akibat hukum yang ditimbulkan serta dimaksudkan dengan mengeluarkan penetapan tertulis itu harus benar-benar sudah merupakan akibat hukum yang definitif (Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, 1991, hlm. 116). − Bahwa mengenai kewenangan MK untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final telah diberikan tafsir konstitusional oleh MK melalui Putusan Nomor 129/PUU-VII/2009 dan putusan Nomor 36/PUU-IX/2011 tentang pengujian Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK. Dalam putusan ini MK menegaskan pasal yang dimohonkan untuk diuji dalam permohonan a quo materinya adalah pemuatan kembali atau pengulangan materi kewenangan MK yang terdapat dalam Pasal 24C UUD 1945. apabila MK menguji materi pasal yang dimohonkan dalam permohonan a quo , maka secara tidak langsung MK akan pula menguji materi yang terdapat dalam Pasal 24C UUD 1945, yang berarti MK akan menguji konstitusionalitas dari materi UUD 1945 dimana MK berpendapat bahwa hal demikian bukan menjadi kewenangan MK. Selain itu keberadaan Pasal 24C UUD 1945 yang menyebutkan kewenangan MK untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final merupakan pilihan dari pembuat UUD 1945 dan MK tidak mempunyai kewenangan untuk menilai pilihan pembuat UUD 1945 tersebut. − Bahwa dengan demikian jawaban atas pertanyaan bagaimana sifat putusan Mahkamah Konstitusi setelah melihat risalah perubahan UUD 1945, UU MK, dan Putusan MK dapat disimpulkan putusan MK bersifat final yang sifat final ini menunjukkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) hal, yaitu: Pertama, bahwa Putusan MK secara langsung memperoleh kekuatan hukum; Kedua; karena telah memperoleh kekuatan hukum maka Putusan MK memiliki akibat hukum bagi semua pihak yang berkaitan dengan putusan. Hal ini karena Putusan MK berbeda dengan putusan peradilan umum yang hanya mengikat para pihak berperkara ( interparties ). Semua pihak wajib mematuhi dan melaksanakan Putusan MK karena putusan MK 36 tidak hanya mengikat bagi pihak yang mengajukan perkara di MK, melainkan mengikat juga semua warga negara seperti halnya UU mengikat secara umum bagi semua warga negara ( erga omnes ). Ketiga; karena merupakan pengadilan pertama dan terakhir, maka tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh. Sebuah putusan apabila tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh berarti telah mempunyai kekuatan hukum tetap ( in kracht van gewijsde ) dan memperoleh kekuatan mengikat ( resjudicata pro veritate habetur ). KEWAJIBAN PEMBENTUK UNDANG-UNDANG UNTUK MELAKSANAKAN/ MENINDAKLANJUTI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI − Bahwa Pasal 56 ayat (3) UU MK menyebutkan: Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 . Kemudian Pasal 57 ayat (1) UU MK menyatakan: Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang- undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat . Konstruksi Pasal 56 ayat (3) dan Pasal 57 ayat (1) UU MK ini pada dasarnya merupakan putusan yang berkategori self-implementing . Putusan yang bersifat self-implementing , diartikan bahwa putusan akan langsung efektif berlaku tanpa memerlukan tindak lanjut lebih jauh dalam bentuk kebutuhan berupa langkah-langkah implementasi perubahan undang-undang yang diuji. Dalam hal ini, dengan diumumkannya putusan MK dalam sidang terbuka untuk umum dan diumumkan dalam Berita Negara sebagai norma hukum baru, dapat segera dilaksanakan; − Bahwa dalam model putusan MK yang berkategori self-implementing MK menyatakan secara sekaligus bahwa suatu UU yang diuji bertentangan dengan UUD 1945 baik seluruhya maupun sebagian dan pernyataan bahwa yang telah dinyatakan bertentangan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum. Dalam putusan self-implementing MK tidak 37 membuat norma baru karena hanya sebagai negative legislator melalui suatu pernyataan atau deklaratif. Sifat putusan deklaratif tidak membutuhkan satu aparat khusus untuk melaksanakan putusan. Namun demikian, sebagai syarat untuk diketahui secara umum, putusan demikian diumumkan dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling 30 (tiga puluh) hari sejak putusan diucapkan (Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi , (Jakarta: Konstitusi Press, 2010, hlm. 250-251); − Bahwa dengan dimuat dalam Berita Negara maka seluruh penyelenggara negara dan warga negara terikat untuk tidak menerapkan dan melaksanakan lagi norma hukum yang telah dinyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh MK. Oleh karena itu, jika terdapat suatu perbuatan yang dilakukan atas dasar UU yang sudah dinyatakan oleh MK baik seluruhnya maupun sebagian bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat maka perbuatan tersebut dapat dikualifisir sebagai perbuatan melawan hukum dan demi hukum batal sejak semula ( ad initio ) (Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi , (Jakarta: Konstitusi Press, 2010, hlm 251- 252); − Bahwa dalam beberapa tahun terakhir, terjadi perkembangan yang menarik dalam pengujian UU, khususnya dalam hal putusan yang dijatuhkan MK. Jika semula jenis putusan MK hanya seperti yang diatur dalam Pasal 56 dan Pasal 57 ayat UU MK yaitu berupa amar yang mengabulkan permohonan, menyatakan permohonan tidak dapat diterima, dan menolak permohonan untuk sebagian atau seluruhnya dengan menyatakan suatu undang-undang, pasal, ayat atau frasa bertentangan dengan UUD 1945 dan menyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat ( legally null and void ), maka dalam perkembangannya, MK pun menciptakan varian putusan yakni konstitusional bersyarat ( conditionally constitutional ), inkonstitusional bersyarat ( conditionally unconstitutional ), putusan yang menunda pemberlakuan putusan ( limited constitutional ), dan putusan yang merumuskan norma baru; − Bahwa putusan konstitusional bersyarat ( conditionally constitutional ) artinya adalah permohonan dikabulkan secara bersyarat sesuai yang ditentukan MK. Putusan konstitusional bersyarat bertujuan untuk 38 mempertahankan konstitusionalitas suatu ketentuan dengan syarat-syarat yang ditentukan MK. Putusan inkonstitusional bersyarat ( conditionally unconstitutional ) merupakan kebalikan dari putusan konstitusional bersyarat yang berarti pasal yang dimohonkan untuk diuji, dinyatakan bertentangan secara bersyarat dengan UUD 1945. Artinya, pasal yang dimohonkan diuji tersebut adalah inkonstitusional jika syarat yang ditetapkan oleh MK tidak dipenuhi. Pasal yang dimohonkan diuji tersebut pada saat putusan dibacakan adalah inkonstitusional dan akan menjadi konstitusional apabila syarat sebagaimana ditetapkan oleh MK dipenuhi oleh addresaat putusan MK. − Bahwa model putusan yang pemberlakuannya ditunda ( limited constitutional ) artinya adalah MK menoleransi berlakunya aturan yang sebenarnya bertentangan dengan konstitusi hingga batas waktu tertentu. Model putusan limeted constitustional bertujuan untuk memberi ruang transisi aturan yang bertentangan dengan konstitusi untuk tetap berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai waktu tertentu karena disadarkan atas pertimbangan kemanfaatan. Model putusan yang pemberlakuannya ditunda mengandung perintah kepada pembentuk UU untuk memperbaharui landangan konstitusional yang dibatasi oleh waktu. Adapun model putusan yang merumuskan norma baru adalah MK mengubah atau membuat baru bagian tertentu dari isi suatu UU yang diuji, sehingga norma dari UU itu juga berubah dari yang sebelumnya. Model putusan yang merumuskan norma baru didasarkan suatu keadaan tertentu dan dianggap mendesak untuk segera dilaksanakan. Dengan demikian ada problem implementasi jika putusan MK hanya menyatakan suatu norma bertentangan dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka akan timbul kekosongan norma sementara norma tersebut sedang, akan, bahkan telah diimplementasikan namun menimbulkan persoalan konstitusional terutama dalam penerapannya. − Bahwa secara umum putusan-putusan MK yang bersifat self-implementing dapat diketemukan dari sejumlah putusan MK yang secara hukum membatalkan dan menyatakan tidak berlaku (null and void) ataupun amarnya terdapat perumusan norma. Contoh putusan yang dapat langsung dilaksanakan adalah Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 39 yang membatalkan pasal-pasal tentang Penghinaan Presiden dalam KUHP, yaitu Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137. Sejak putusan ini diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum maka tidak seorang pun dapat dipidana berdasarkan pasal-pasal itu. Kepolisian tidak dapat menjadikan pasal-pasal itu sebagai dasar penyelidikan dan penyidikan. Demikian pula penuntutan oleh kejaksaan. Putusan MK berlaku serta merta, meskipun belum ada perubahan terhadap KUHP. Sementara putusan self-implementing dalam model putusan yang merumuskan norma baru contohnya yaitu Putusan Nomor 072-073/PUU-II/2004 perihal pengujian UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap UUD 1945. Dalam bagian mengadili putusan tersebut, MK menyatakan bagian tertentu dalam pasal-pasal yang diajukan permohonan sebagai bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Akibat dari penghapusan tersebut, maka pasal- pasal tersebut menjadi Pasal 57 ayat (1) UU Nomor 32 tahun 2004 mengatur sebagai berikut “Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan oleh KPUD yang bertanggung jawab kepada DPR”. Dengan Dengan putusan MK maka pasal tersebut menjadi: ”Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan oleh KPUD.” − Bahwa meskipun Putusan MK mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak selesai dibacakan, namun tidak semua putusan MK yang mengabulkan permohonan Pemohon dapat langsung dilaksanakan ( implementing ), karena untuk pelaksanaan putusan MK tersebut masih memerlukan tindak lanjut dengan pembentukan UU baru atau UU perubahan. Inilah yang putusan yang disebut dengan non-self implementing . Dikatakan demikian karena putusan tersebut mempengaruhi norma-norma lain dan memerlukan revisi atau pembentukan UU baru atau peraturan yang lebih operasional dalam pelaksanannya. − Bahwa putusan non-self implementing/non-self executing dapat diketemukan pada model putusan selain yang membatalkan dan menyatakan tidak berlaku ( null and void ), yaitu pada model putusan konstitusional bersyarat ( conditionally constitutional ), model putusan inkonstitusional bersyarat ( conditionally unconstitutional ), model putusan 40 yang pemberlakuannya ditunda ( limited constitutional ), dan model putusan yang merumuskan norma baru. Contohnya adalah putusan Nomor 102/PUU-VII/2009, MK memutuskan bahwa ketentuan Pasal 28 dan Pasal 111 ayat (1) UU Nomor 42 Tahun 2008 konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) sepanjang tidak menghilangkan hak pilih warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Putusan ini juga memberikan pedoman berupa syarat dan cara yang harus dipenuhi bagi warga Negara yang tidak terdaftar dalam DPT apabila akan menggunakan hak pilihnya. Sebagai tindak lanjut dari putusan tersebut, KPU pada tanggal 6 Juli 2009 mengeluarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perubahan Terhadap Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 29 Tahun 2009 tentang Pedoman Teknis Pemungutan Dan Penghitungan Suara Di Tempat Pemungutan Suara Dalam Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden Tahun 2009. Dalam Peraturan tersebut diatur mengenai teknis pelaksanaan penggunaan hak pilih bagi Warga Negara Indonesia yang tidak terdaftar dalam DPT dengan berlandaskan pada putusan MK a quo . − Bahwa terkait dengan putusan yang bersifat non-self implementing dapat difahami bahwa model putusan tersebut masih memerlukan tahapan berikutnya, yaitu tindak lanjut oleh addressat putusan. Hal ini karena implementasi kebijakan publik yang baru tersebut membutuhkan dasar hukum yang baru sebagai dasar pelaksanaan kebijakan publik yang ditetapkan dalam putusan MK. Perubahan hukum yang terjadi dengan putusan atas UU yang diuji MK yang mengharuskan proses pembentukan UU yang baru sesuai dengan politik hukum yang digariskan dalam putusan MK. Kesadaran akan adanya putusan MK yang bersifat non-self implementing telah diakomodir dengan adanya norma dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d, UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur bahwa materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang salah satunya berisi tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi. − Bahwa amar Putusan MK Nomor 32/PUU-XI/2013 tertanggal 03 April 2014 yang menyatakan: Frasa “...diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang” 41 dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “... ‘ diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang’ dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan Mahkamah ini diucapkan” merupakan model putusan inkonstitusional bersyarat ( conditionally unconstitutional ) yang membutuhkan tindak lanjut oleh Pembentuk UU. Sejak adanya Putusan MK ini maka Pasal 7 ayat (3) adalah inkonstitusional dan akan menjadi konstitusional apabila syarat sebagaimana ditetapkan oleh MK dipenuhi oleh addressat putusan MK. − Bahwa Putusan MK Nomor 32/PUU-XI/2013 memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan/dibacakan. Meskipun putusan MK mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak selesai dibacakan namun Putusan Nomor 32/PUU-XI/2013 yang mengabulkan permohonan pemohon ini tidak dapat langsung dilaksanakan ( self implementing/self executing ), karena untuk pelaksanaan putusan MK tersebut masih memerlukan tindak lanjut dengan pembentukan UU baru. Sesuai dengan Pasal 10 ayat (1) huruf d, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang menyebutkan Materi muatan yang harus diatur dengan Undang- Undang _berisi:
tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi_ , dan sesuai dengan Pasal 10 ayat (2) UU 12/2011 yang menyebutkan Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan oleh DPR atau Presiden , maka seharusnya DPR dan Presiden menindaklanjuti Putusan MK Nomor 32/PUU-XI/2013 dengan cara membentuk UU tentang Usaha perasuransian yang Berbentuk Usaha Bersama dalam jangka waktu sebagaimana telah ditentutkan oleh Putusan MK. UPAYA HUKUM APABILA DITEMUKAN UU YANG DIBENTUK BERTENTANGAN DENGAN PUTUSAN MK − Bahwa terhadap putusan MK yang yang menyatakan suatu materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari UU yang ditelah dinyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat ( legally null and void ) maka pemuatan putusan MK dalam Berita Negara 42 sebagaimana ditentukan dalam pasal 57 ayat (3) UU MK dirasa cukup untuk diketahui secara umum bahwa seluruh penyelenggara negara dan warga negara terikat untuk tidak menerapkan dan melaksanakan lagi materi yang ditelah dinyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat tersebut sehingga jika dilanggar dapat dikualifisir sebagai perbuatan melawan hukum dan batal demi hukum sejak semula ( ad initio ); − Bahwa terhadap putusan MK yang berkategori konstitusional bersyarat, putusan inkonstitusional bersyarat, dan putusan yang merumuskan norma baru maka tidak cukup dengan memuat dalam berita Negara sebagaimana ditentukan dalam pasal 57 ayat (3) UU MK untuk diketahui secara umum bahwa seluruh penyelenggara negara dan warga negara, melainkan terhadap putusan ini Addressat putusan MK dituntut untuk membentuk UU melalui proses legislasi dan peraturan perundang-undangan di bawah UU melalui proses regulasi yang sesuai dengan perintah MK melalui putusannya. − Bahwa putusan MK umumnya tidak dilengkapi dengan instrumen yang dapat memaksakan pelaksanaannya, baik melalui kekuatannya sendiri maupun dengan cara-cara lain, implementasi putusan MK menekankan pada self-respect dan kesadaran hukum pihak-pihak yang terkait dengan putusan, apakah itu pembentuk UU atau lembaga-lembaga negara lain selaku adressat putusan. Selain itu, implementasi putusan MK sangat bergantung pada cabang kekuasaan lain atau organ-organ kekuasaan lainnya, apakah putusan-putusannya diterima dan apakah mereka siap untuk mematuhinya (Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi , Edisi Revisi, Jakarta: Mahkamah Konstitusi, 2019, hlm. 48) − Bahwa terlepas dari tidak adanya instrumen pemaksa pada MK untuk memaksakan implementasi putusannya yang belum dilaksanakan, maka MK tentu saja berkepentingan untuk melihat putusannya dilaksanakan. Satu putusan yang tidak terlaksana sebagaimana layaknya dalam jangka waktu yang pantas, tentu saja akan membawa dampak pada kewibawaan lembaga yang memutusnya, serta penegakan hukum dan konstitusi pada umumnya. Secara logis, jika MK merupakan pengawal konstitusi 43 sebagaimana selalu dinyatakan, maka tidak terlaksananya putusan MK sebagaimana mestinya sedikit banyak dapat menimbulkan terjadinya proses deligitimasi terhadap UUD 1945, yang pada hakekatnya dapat menggoyahkan stabilitas penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. (Maruarar Siahaan, “Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Penegakan Hukum Konstitusi”, Jurnal Hukum, Volume 16, Nomor 3, Juli 2009, hlm. 363); − Bahwa dalam praktiknya masih ditemukan putusan MK yang tidak dijalankan sebagaimana mestinya ( non-executiable ) oleh pihak yang seharusnya menindaklanjuti putusan tersebut ( addressat ) contohnya adalah Putusan Nomor 92/PUU-X/2012. Melalui putusan tersebut, MK menyatakan bahwa seluruh ketentuan dalam UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan yang telah mereduksi kewenangan Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana telah ditentukan oleh UUD 1945 atau setidaknya telah mengurangi fungsi, tugas dan kewenangannya yang dikehendaki konstitusi harus dinyatakan inkonstitusional. Melalui putusan itu juga, MK menegaskan bahwa DPD mempunyai hak konstitusional sebagaimana diamanahkan oleh Konstitusi Pasal 22D ayat (1) dan (2), yang di antaranya adalah mengajukan rancangan undang-undang, ikut membahas rancangan undang-undang, penyusunan prolegnas dan pertimbangan terhadap rancangan undang-undang. Faktanya, secara substansial putusan MK tersebut dimuat kembali dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; − Bahwa Addresat putusan MK yang tidak senang atau tidak setuju mempunyai 4 (empat) pilihan menghadapi putusan MK tersebut. Pertama, ia dapat patuh terhadap putusan tersebut dan menerimanya secara sukarela serta melaksanakannya. Atau kedua, dia dapat mengabaikan putusan MK dan berharap bahwa apapun wewenang yang dimiliki MK dan lembaga lain untuk melaksanakan, putusan itu menjadi tidak efektif. 44 Ketiga, dia dapat mencoba membatalkan putusan melalui amandemen UUD atau jika ada prosedur yang tersedia secara resmi menolak putusan. Opsi terakhir dan yang paling ekstrim atau yang keempat adalah dengan menyerang MK sebagai lembaga dengan berupaya mengurangi wewenangnya atau kekuasaan efektifnya (Tom, Judicial Review in New Democracies, Constitutional Court in Asian Cases , Cambridge University Press 2003, hlm. 78-79); − Bahwa Penegakan hukum konstitusi yang tercermin dalam kewenangan MK sebagai bagian dari sistem pemisahan kekuasaan ( separation of powers ) dan checks and balances hanya efektif jikalau putusan MK diterima dan dilaksanakan oleh penyelenggara cabang kekuasaan negara lainnya, terutama Pembentuk UU. Upaya yang bisa dilakukan dalam rangka memastikan Putusan MK dilakukan sebagaimana juga diterapkan di MK beberapa negara seperti Austria dan Afrika Selatan adalah dalam kasus tertentu yang memenuhi persyaratan dilakukan penundaan keberlakuan putusan mengingat pembentuk UU membutuhkan waktu untuk menyusun atau merevisi UU agar sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Maka, Adanya penundaan keberlakuan putusan adalah solusi terbaik untuk menanggapi keadaan tersebut. Beberapa putusan MK Indonesia pada prinsipnya telah mengakomodir adanya penundaan pelaksanaan putusan tersebut. Salah satunya dapat dilihat pada Putusan Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 berkaitan dengan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Substansi pasal tersebut adalah pengadilan khusus tindak pidana korupsi, yang diberikan jangka waktu selama 3 (tiga) tahun oleh Mahkamah Konstitusi; − Bahwa Putusan MK Nomor 32/PUU-XI/2013 tertanggal 03 April 2014 yang menyatakan: Frasa “...diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang” dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “... ‘ diatur lebih lanjut dengan Undang- Undang’ dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan Mahkamah ini diucapkan” pada dasarnya telah mengkomodir penundaan 45 keberlakuan putusan dalam rangka memberikan waktu kepada pembentuk undang-undang yaitu dua tahun enam bulan untuk menyusun undang- undang sebagaimana perintah putusan Mahkamah Konstitusi. Namun faktanya pembentuk UU justru tidak melaksanakan putusan tersebut dan memilih membuat pengaturan yang berbeda dengan apa yang telah diatur oleh MK; − Bahwa terhadap tindakan pembentuk UU yang mengatur secara berbeda dengan apa yang telah diputuskan oleh MK pada dasarnya merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang telah dijamin oleh UUD 1945 yaitu hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1). Hal ini mengingat pemohon setelah permohonannya dikabulkan oleh MK seharusnya kerugian konstitusional yang didalilkan saat mengajukan permohonan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Namun dengan tidak dilaksanakannya putusan MK hal ini berarti kerugian konstitusionalnya akan tetap terjadi. Selain itu putusan MK telah mempunyai akibat hukum yang jelas dan tegas, serta tidak ada upaya hukum lanjutan sejak putusan tersebut selesai diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum. sehingga tidak ada pilihan lain bagi Addresat putusan MK selain melaksanakan putusan MK. dengan demikian tidak dilaksanakannya putusan MK oleh addresat putusan MK telah menimbulkan situasi ketidakpastian hukum; − Bahwa dengan tetap terjadinya kerugian konstitusional oleh pemohon dalam perkara yang putusan MK nya tidak ditindaklanjuti oleh Pembentuk UU serta adanya ketidakpastian hukum yang terjadi akibat diabaikannya putusan pengadilan (baca MK) maka sesuai Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 serta Pasal 51 UU MK dan Yurisprudensi tetap MK yang tertuang dalam Putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 juncto Perkara Nomor 11/PUU- V/2007 maka pemohon dalam perkara yang putusan MK nya tidak ditindaklanjuti oleh pembentuk UU bisa mengajukan permohonan pengujian UU ke MK. Selain pemohon maka dengan mengingat sifat putusan MK yang berlaku mengikat tidak hanya bagi pihak yang sedang berperkara di MK melainkan juga mengikat semua pihak (erga omnes) maka dimungkinkan juga pihak selain pemohon dalam perkara 46 sebelumnya untuk mengajukan permohonan sepanjang mempunyai kedudukan hukum. AKIBAT HUKUM JIKA SUATU UU DIBENTUK TANPA BERDASARKAN PADA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI − Bahwa sesuai pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 49/PUU-IX/2011 maka MK menyatakan: Bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan, antara lain, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final ...”. Ketentuan tersebut jelas bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat umum ( erga omnes ) yang langsung dilaksanakan ( self executing ). Putusan MK sama seperti UU yang harus dilaksanakan oleh negara, seluruh warga masyarakat, dan pemangku kepentingan yang ada. Putusan MK merupakan putusan yang sifatnya final dan mengikat yang harus ditindaklanjuti oleh DPR dan Presiden sebagai bentuk perwujudan sistem ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945 sekaligus sebagai konsekuensi faham negara hukum demokratis yang konstitusional. − Bahwa sifat putusan MK adalah final dan mengikat. Kekuatan mengikat putusan MK berbeda dengan putusan pengadilan biasa, tidak hanya meliputi pihak-pihak yang berperkara yaitu pemohon, Pemerintah, DPR/DPD, ataupun pihak-pihak terkait yang diizinkan memasuki proses perkara, tetapi juga putusan tersebut mengikat bagi semua orang, lembaga negara dan badan hukum dalam wilayah Republik Indonesia. Ia berlaku sebagai hukum sebagaimana hukum diciptakan pembuat UU (Ni’matul Huda, Kekuatan Eksekutorial Putusan Mahkamah Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, 2018, hlm. 193); − Bahwa Dalam kaitannya dengan praktik hasil uji materi UU terhadap UUD 1945 khususnya tatkala MK memberi tafsir terhadap isi ketentuan pasal atau ayat dari undang-undang yang dimohonkan pengujiannya baik yang bersifat conditionally constitutional maupun conditionally unconstitutional juga perumusan norma baru, jika ditelisik lebih jauh, sesungguhnya adalah perintah agar addresat putusan yang terkait dengan pelaksanaan ketentuan UU mematuhi dan melaksanakan persyaratan konstitusional yang dimandatkan oleh MK. 47 − Bahwa UU 12/2011 telah menyediakan sarana/mekanisme bagi DPR dan Presiden untuk dapat menindaklanjuti Putusan MK yaitu melalui Pasal 10 ayat (1) UU P3 yang menyatakan sebagai berikut: “materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang salah satunya berisi tentang tindak lanjut atas putusan MK. Selanjutnya di Pasal 10 ayat (2) dinyatakan, tindak lanjut putusan MK tersebut dilakukan oleh DPR atau Presiden. Keberadaan Pasal ini semakin menegaskan bahwa Putusan MK wajib dijadikan rujukan dalam pembentukan UU oleh DPR dan Presiden, hal ini dimaksudkan agar UU yang dibentuk sesuai dengan jiwa putusan MK sehingga materinya tidak bertentangan dengan UUD 1945 Lebih-lebih terhadap putusan yang dinyatakan bersyarat oleh MK, sebab pada tahap inilah peran pembentuk UU dituntut untuk menjaga konsistensi penafsiran putusan MK yang nantinya akan dituangkan dalam bentuk UU; − Bahwa sebagai negara yang menganut demokrasi konstitusional, maka mengandung konsekuensi logis bahwa konstitusi ditempatkan sebagai hukum dasar Negara Indonesia, artinya pada satu sisi UUD 1945 harus dipedomani dan dilaksanakan oleh seluruh seluruh masyarakat dan penyelenggara negara, serta pada sisi yang lain konstitusi harus ditempatkan sebagai rujukan dalam pencarian solusi atas persoalan kenegaraan dan kebangsaan yang muncul. Sebagai lembaga yang melaksanakan tugas dan fungsi untuk menegakkan nilai-nilai konstitusi Indonesia sebagaimana tertuang dalam UUD 1945, sepatutnya setiap putusan MK harus ditaati dan dilaksanakan oleh para pihak yang terkait dengan putusan tersebut termasuk ketaatan seluruh elemen bangsa pada putusan tersebut. Sebab membangun kesetiaan dan ketaatan terhadap konstitusi salah satunya adalah ketaatan terhadap putusan MK juga. − Bahwa Putusan MK yang bersifat non self implementing tidak selalu mudah untuk diimplementasikan. Putusan MK yang telah membentuk hukum atau instrumen hukum baru dengan menyatakan satu UU, pasal, ayat, dan/atau bagian dari undang-undang tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat, tidak didukung dengan suatu instrumen yang dapat memaksakan bahwa putusan tersebut harus dilaksanakan, baik melalui kekuatannya sendiri maupun dengan cara lain-lain yang berada dibawah kendali MK; 48 − Bahwa ketundukan dan ketaatan terhadap putusan MK merupakan bentuk nyata dari kesetiaan terhadap konstitusi itu sendiri, dengan kata lain ketidaktaatan terhadap putusan MK adalah bentuk ketidaksetiaan dan bentuk pembangkangan terhadap konstitusi itu sendiri atau yang disebut sebagai constitution disobedience. Postulat tersebut tentu didasarkan pada pemikiran bahwa MK yang secara fungsional melaksanakan tugas menegakan nilai-nilai konstitusi sebagaimana tertuang dalam UUD 1945, tentu putusan yang dikeluarkan oleh MK merupakan cerminan dari konstitusi yang sedang berlangsung. ^ oleh sebab itu pembangkangan terhadap putusan MK adalah pembangkangan terhadap konstitusi itu sendiri (constitution disobedience). − Bahwa tindakan pembangkangan terhadap putusan MK sebagai bentuk pembangkangan terhadap konstitusi berakibat sebagai berikut; Pertama , tidak dilaksanakannya putusan MK yang mencerminkan adanya pembangkangan terhadap putusan MK dapat mengacaukan kepastian hukum yang telah dikeluarkan oleh MK. Kedua , pembangkangan terhadap putusan MK tersebut berakibat terjadinya constitutionalism justice delay atau penundaan keadilan yang basisnya adalah nilai-nilai konstitusi Indonesia , sebab keadilan terhadap hak-hak konstitusional warga negara yang dilindungi oleh putusan MK tidak dilaksanakan karena adanya pembangkangan terhadap putusan MK. Ketiga, __ terjadinya rivalitas lembaga negara yang diperlihatkan oleh DPR dan Presiden melalui pembentukan UU yang dikeluarkan seolah mengabaikan putusan-putusan Mahkamah konstitusi. Kondisi ini tentu menyebabkan ketidakstabilan negara hukum utamanya penegakan nilai-nilai konstitusi sebagaimana tertuang dalam UUD 1945. − Bahwa fenomena pembangkangan terhadap putusan MK sebagai salah satu bentuk constitution disobedience tidak bisa dibiarkan berkepanjangan dengan bentuk-bentuk pembangkangan yang mulai sering terjadi akhir- akhir ini, sebab akan merusak sistem demokrasi konstitusi yang telah dibangun sejak reformasi Indonesia yang ditandai dengan reformasi konstitusi pada tahun 1999-2002. Pembangkangan terhadap putusan MK akan berakibat fatal, dari potensi terjadinya reduksi fungsi lembaga MK hingga terjadinya constitutional justice delay. Ketaatan terhadap putusan 49 MK tidak bisa hanya bertumpu pada kesadaran hukum masyarakat dan lembaga negara, namun perlu ditunjang juga oleh instrumen “pemaksa” untuk menciptakan situasi taat tersebut. Oleh sebab itu diperlukan berbagai alternatif untuk menjaga stabilitas ketaatan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang secara fungsional merupakan pengawal konstitusi. Alternatif yang dapat dipergunakan adalah dengan dilakukan koreksi kembali ( judicial review ) terhadap UU yang substansinya berisikan pengaturan yang bertentangan dengan putusan MK − Bahwa dalam praktiknya MK sudah pernah membatalkan ketentuan dalam UU yang isinya mengatur materi muatan yang bertentangan dengan Putusan MK sebelumnya. MK melalui Putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2014 dalam perkara pengujian UU 4/2014 tentang Penetapan Perppu 1/2013 tentang Perubahan kedua UU 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi menjadi UU menyatakan bahwa pelibatan Komisi Yudisial sebagaimana ketentuan UU 4/2014 adalah merupakan bentuk penyelundupan hukum karena hal tersebut secara jelas bertentangan dengan Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006 tanggal 23 Agustus 2006, yang menegaskan secara konstitusional bahwa hakim Mahkamah Konstitusi tidak terkait dengan Komisi Yudisial yang mendapatkan kewenangan berdasarkan Pasal 24B UUD 1945. Terhadap tindakan penyelundupan hukum yang demikian maupun tindakan yang inkonstitusional lainnya harus dikoreksi oleh MK melalui upaya Judicial Review demi menjaga tegaknya konstitusi. Dalam amar putusan perkara ini menyatakan UU 4/2014 bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. − Bahwa pembatalan ketentuan UU yang substansinya mengatur materi muatan yang bertentangan dengan Putusan MK sebelumnya juga pernah dilakukan oleh MK dalam Putusan Nomor 79/PUU-XII/2014 yang membatalkan beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Dalam pertimbangan putusan ini, MK menyatakan bahwa pembentuk UU dalam membentuk UU 17/2014 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD utamanya menyangkut jaminan atas kewenangan konstitusional DPD dalam proses legislasi ternyata tidak memasukkan putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 yang telah 50 membatalkan beberapa ketentuan dalam UU 27/2009 karena bertentangan dengan UUD 1945. Putusan MK 79/PUU-XII/2014 merupakan bentuk ketegasan MK atas tindakan pembentuk UU yang sengaja menyimpangi atau mengabaikan Putusan MK Nomor 92/PUU- X/2012 dalam penyusunan UU 17/2014, padahal selayaknya pembentuk UU memperhatikan, mempertimbangkan dan melaksanakan Putusan MK sebagai bagian dari pelaksanaan prinsip negara hukum. Ahli pun menyampaikan keterangan tambahan yang disampaikan pula dalam persidangan, pada pokoknya adalah sebagai berikut: − Bahwa menurut ahli, bagian pertimbangan hukum dari putusan Mahkamah Konstitusi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan oleh karena itu sifatnya mengikat sama seperti amar putusan. Namun, tidak semua bagian dari pertimbangan Mahkamah tersebut memiliki kekuatan mengikat yang sama dengan amar putusan. Dengan demikian, jika dikaitkan dengan ratio decidendi maka bagian pertimbangan hukum merupakan alasan yang menentukan untuk diambilkan suartu putusan dalam amar, sementara jika obiter dicta merupakan serangkaian pendapat hukum yang tidak berkenaan langsung dengan amar putusan namun hal tersebut berada dalam pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi. − Terkait dengan hak konstitusional warga negara yang diatur dalam undang- undang atau peraturan pemerintah, menurut ahli, peraturan pemerintah merupakan peraturan perundang-undangan yang sifatnya delegasi dari undang- undang sehingga peletakan hak konstitusional warga negara dalam kedua peraturan perundang-undangan tersebut memiliki implikasi yang berbeda terutama terkait dengan aspek jaminan kepastian hukum. Peraturan pemerintah idealnya secara substansi tidak dapat mengatur hal-hal yang tidak didelegasikan dan undang-undang itu sendiri sifat pengaturannya terbuka dan tidak terbatas seperti peraturan pemerintah. − Terkait dengan apakah hakim Mahkamah Konstitusi dapat memiliki pendapat berbeda dari putusan sebelumnya ?, menurut ahli, dari beberapa putusan Mahkamah sendiri hal tersebut dimungkinkan terjadi dengan syarat terdapat alasan baru karena hakim Mahkamah Konstitusi merupakan hakim yang memiliki 51 kemandirian dan tidak terikat dengan lembaga atau apapun terlebih terhadap kemandirian hakim tersebut dijamin dalam UUD 1945. − Terkait dengan frasa “...diatur dengan” dan frasa “...diatur dalam“, menurut ahli, terhadap kedua frasa tersebut Mahkamah sudah pernah membuat tafsir dari kedua frasa tersebut. Tafsiran Mahkamah terhadap frasa “diatur dengan” adalah harus diatur dengan undang-undang sendiri, sedangkan frasa “diatur dalam“ adalah dapat diatur dalam satu undang-undang. Namun, menurut ahli, cara memaknai kedua frasa tersebut dapat dilihat dari makna ketika dirumuskannya norma dimana salah satu frasa itu ada. − Terkait dengan politik hukum Undang-Undang Perasuransian yang mendelegasikan pengaturan Asuransi Usaha Bersama mengapa diatur melalui peraturan pemerintah dan bukan melalui undang-undang sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi, menurut ahli, hal tersebut jelas ada dalam risalah persidangan yang diserahkan oleh DPR namun dalam praktiknya pengingkaran tersebut sudah jamak dilakukan. Hal tersebut menurut ahli dapat dilihat melalui intensif electoral dimana DPR ingin kelihatan berperan oleh konstituennya atau terkait dengan anggaran dari pembentukan undang-undang yang jauh lebih besar daripada pembentukan peraturan pemerintah. Pembentukan peraturan pemerintah walaupun memiliki substansi pengaturan yang sama dengan undang-undangnya namun hal tersebut berbeda, jika asuransi usaha bersama diatur melalui undang-undang tentu rakyat dapat menentukan arah politik hukumnya secara tidak langsung melalui DPR, ruang partisipasi masyarakat tersebut tidak sama ketika diatur melalui peraturan pemerintah. − Kehadiran Mahkamah Konstitusi dalam hal ini bertujuan untuk memastikan agar pembentuk undang-undang dalam membuat peraturan perundang-undangan tetap terikat dengan batasan-batasan atau tidak boleh bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945 atau peraturan perundang-undangan lain sejenis atau yang setingkat. B. Dr. Margarito Kamis, S.H., M.Hum − Bahwa Pasal 7 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 berbeda dengan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2020. Hal tersebut dikarenakan Pasal 7 UU 2/1992 tidak mengatur secara spesifik terkait dengan asuransi usaha bersama sebagai badan hukum. Pasal tersebut hanya mendukung 52 asuransi usaha bersama sebagai salah satu dari tiga jenis usaha asuransi sedangkan terkait dengan badan hukum dari asuransi usaha bersama masih harus diatur lebih lanjut melalui undang-undang. Berbeda dengan Pasal 6 UU 40/2020 yang mengakui asuransi usaha bersama sebagai badan hukum, namun pada Pasal 6 ayat (3) UU 40/2020 pengaturan asuransi usaha bersama lebih lanjut melalui peraturan pemerintah dan hal tersebut justru bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-VIII/2013; − Bahwa menurut ahli, yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang terhadap asuransi usaha bersama adalah keliru, hal tersebut karena yang menjadi kehendak dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU- VIII/2013 adalah membentuk Undang-Undang Asuransi Usaha Bersama dan tidak dapat ditafsirkan lain. Dengan tidak dilaksanakannya putusan a quo , maka unsur kegotong-royongan yang terdapat di dalam Asuransi Usaha Bersama menjadi hilang perlahan. C. Dr. Kornelius Simanjuntak, S.H., M.H., AAIK Kesatu Sejarah Singkat AJB 1912. Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 adalah satu-satunya di Indonesia sebagai Perusahaan Asuransi Jiwa yang berbentuk Asuransi usaha bersama atau dalam Bahasa Inggeris disebut “Mutual Insurace” yang lahir di masa pergerakan nasional yang pada awalnya bertujuan untuk memberikan kesejahteraan bagi para guru-guru pada saat itu, dan kemudian berkembang menjadi satu perusahaan asuransi yang telah banyak memberikan manfaat dan kesejahteraan masyarakat pemengang polis atau nasabah AJB 1912. Selain memberikan proteksi, perlindungan jaminan asuransi dan kesejahteraan masyarakat pemegang polis dan nasabah, AJB 1912 telah berkembang sedemikan rupa menjadi tempat persemaian dan pelatihan bagi Sumber Daya Manusia (SDM) dalam industri perasuransian nasional, karena:
. AJB 1912 menyelenggarakan pelatihan tentang asuransi dan teknis asuransi khususnya asuransi jiwa bagi SMD atau karyawannya, yang kemudian SMD tersebut menjadi maju, dan sebagian dari mereka tetap bekerja di AJB 1912; dan sebagian lagi pindah ke perusahaan asuransi 53 yang kemudian didirikan oleh pemodal atau investor di bidang asuransi, dan menjadi pimpinan di perusahaan-perusahaan asuransi jiwa.
. Keberadaan dan kesuksesan AJB telah mendorong pemodal mendirikan perusahaan Asuransi di Indonesia; dan
. AJB 1912 telah menjadi tonggak sejarah dalam dunia asuransi dan menjadi asset nasional, serta kebanggaan bagi perasuransian nasional dan juga bagi masyarakat pemegang polis dan nasabah sampai di masa kejayaannya.
. Usia perusahaan 108 tahun adalah perjalanan dan usia perusahaan yang sangat panjang, hal itu menjadi bukti bahwa perusahaan ini dicintai dan diminati oleh masyarakat yang membutuhkan perlindungan dan jaminan asuransi dengan beraneka produk atau lini usaha. Memang saat ini dan beberapa tahun yang lalu AJB 1912 mengalami permasalahan dalam permodalan. Kedua Sifat, Prinsip Asuransi, dan Keuntungan bagi Pemegang Polis dari Perusahaan yang berbentuk Asuransi Jiwa Bersama atau (Mutual Insurance) Sifat dan Prinsip Asuransi Jiwa Bersama adalah gotong royong dan tolong menolong. Karena sesungguhnya semua pemegang polis otomatis menjadi ikut sebagai pemilik perusahaan. Berbeda dengan sifat dan prinsip asuransi komersial berbentuk Perseroan Terbatas atau PT, dimana pemilik nya adalah hanya pemodal atau pemegang saham yaitu mereka yang menyetorkan modal ke perusahaan asuransi. Tujuannya adalah untuk mencari keuntungan sebanyak mungkin bagi pemegang saham atau pemilik modal. Ketiga Asuransi usaha bersama atau Mutual Insurance di beberapa Negara, Peraturan Perundangan yang menjadi landasan hukum dan ketentuan operasional nya dituangkan atau dibuat dalam Undang-undang. Seperti di beberapa Negara di bawah ini: Selandia Baru Mutual Insurance Act 1955 . 54 Canada Mutual Insurance Act Chapter 306 of Revised Statutes 1989 dan Mutual Fire Insurance Companies Act 1960-Chapter 262 . Inggris (United Kingdom) Friendly Societies Act 1992 Scotlandia Friendly Societies Act 1992 yang memuat ketentuan asuransi usaha bersama dapat menjadi Incorporated Organization . Selandia Baru (New Zealand) Mutual Insurance Act 1955 . Farmers’ Mutual Group Act 2007 No. 1 Private Act . Sebuah Undang- undang yang khusus untuk FMG Insurace . Di Negara-negara tersebut di atas asuransi usaha bersama (mutual insurance) telah berkembang maju sudah sejak lama dan menjadi kebanggaan pemegang polis atau pesertanya. Selain di Negara-negara tersebut di atas, Asuransi usaha bersama (Mutual Insurance) berkembang dan maju menjadi perusahaan asuransi yang besar-besar seperti di Jepang, di Perancis, Negara-negara Skandinavia (Denmark, Norwegia, dqan Swedia), di Amerika juga banyak Asuransi usaha bersama. Keempat Apakah perintah atau amanat Pasal 7 ayat (3) UU No. 2/1992 tentang Usaha Perasuransian untuk membuat Undang-Undang tentang asuransi usaha bersama dilakukan atau tidak dilakukan hingga UU No. 2/1992 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, dan diundangkan UU No. 40/2014 tentang Perasuransian. Mengapa perintah atau amanat Pasal 7 ayat (3) UU No. 2/1992 untuk membuat sebuah undang-undang yang mengatur tentang asuransi usaha bersama tidak dilaksanakan hingga UU No. 2/1992 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, dan diundangkan UU No. 40/2014 tentang Perasuransian? 55 Menurut ahli hal ini dapat dilihat dari 3 (tiga) sudut pandang: Yang Pertama: Pemerintah dan/atau DPR memandang hal itu bukanlah suatu prioritas pada waktu itu, sehingga baik Pemerintah dan DPR tidak mengajukan suatu rancangan undang-undang (RUU) yang secara khusus mengatur tentang asuransi usaha bersama untuk dibahas dan disetujui untuk diundangkan. Yang Kedua: Pengelola atau Pengurus AJB 1912 juga kurang memberikan perhatian yang besar terhadap hal itu. Karena, jika Pemerintah dan DPR tidak membuat dan mengajukan suatu RUU tentang asuransi usaha bersama, maka Pengelola atau Pengurus AJB 1912 sesungguhnya dapat juga membuat sebuah Draft atau Rancangan Undang-Undang Akademik, dengan meminta bantuan dari ahli-ahli hukum atau dosen-dosen dari Fakultas Hukum. Kemudian diajukan ke Pemerintah dan atau DPR untuk dijadikan sebagai RUU tentang Asuransi usaha bersama, dan selanjutnya dibahas dan dijadikan sebagai UU. Sepanjang pengetahuan saya hal itu tidak dilakukan oleh Pengurus AJB 1912. 22 tahun lamanya dari sejak diundangkan UU No. 2/1992 hingga diundangkan UU No. 40/2014, adalah waktu yang lama. Dalam menjawab tantangan dan kompetisi atau persaingan dalam industri asuransi yang ketat sejak pasar industri asuransi lebih dibuka ke investor asing beberapa tahun yang silam, telah mengakibatkan kekuatan permodalan menjadi satu syarat mutlak untuk dapat maju dan berkembang bagi perusahaan asuransi, selain pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governace) . Jika perusahaan asuransi tidak mempunyai permodalan yang kuat atau tidak mempunyai akses terhadap permodalan melalui investasi dari investor yang kuat dan/atau melalui pasar modal, maka akan sulit perusahaan tersebut untuk dapat bersaing dan semakin maju, sehingga akan dapat memberikan jaminan asuransi dan pelayanan yan semakin baik. Kekurangan permodalan bahkan dapat menurunkan pelayanan 56 perusahaan asuransi dan berdampak buruk terhadap keberlangsungan perusahaan asuransi. Untuk dapat meningkatkan permodalan suatu perusahaan asuransi, terdapat paling tidak ada 2 (dua) cara untuk meningkatkan permodalan yaitu:
. para pemegang saham atau investor menyetorkan uang untuk memperbesar modal perusahaan;
. dilakukan melalui pasar modal dengan cara menerbitkan saham atau saham yang ada diperdagangkan di pasar modal. Untuk meningkatkan permodalan perusahaan melalui satu atau kedua- duanya cara tersebut, diperlukan beberapa persyaratan dan kondisi, antara lain peraturan perundangan yang memberikan kepastian terhadap keamanan dan jaminan investasi yang dilakukan oleh investor yang juga disebut kepastian hukum investasi, terutama bagi investor asing hal ini sangat penting. Dan dalam kenyataannya investor yang kuat untuk industri asuransi adalah investor-investor dari negara-negara asing (foreign investors). Yang Ketiga: Pemerintah dan DPR dapat berpandangan bahwa mereka telah melaksanakan perintah atau amanat dari Pasal 7 ayat (3) UU No. 2/1992. Karena UU No. 40/2014 jika dilihat dari pasal-pasal dan ketentuan yang diatur di dalam nya, juga memuat sejumlah Pasal yang memuat ketentuan tentang asuransi usaha bersama, hal itu bisa dilihat dari Bab- bab dan Pasal-Pasal dari UU No. 40/2014 di bawah ini, yaitu: Bab I Ketentuan Umum: Pasal 1. Bab IV Tata Kelola Usaha Perasuransian Berbentuk Koperasi dan Usaha Bersama: Pasal 35. Bab V Penyelenggaraan Usaha:
Bab X Pembubaran, Likuidasi, dan Kepailitan: Pasal 43, 44, 46 s.d. 49. Bab XIII Pengaturan dan Pengawasan: Pasal 60 s.d. 63 Bab XIV Ketentuan Pidana: Pasal 74. Pemerintah dan/atau DPR dapat saja berpendapat bahwa mereka telah melaksanakan ketentuan Pasal 7 ayat (3) UU No. 2/1992 yang 57 mengamanatkan ketentuan tentang usaha perasuransian berbentuk usaha bersama (Mutual) diatur lebih lebih lanjut dengan undang-undang. Jika undang-undang yang dimaksud adalah sebuah undang-undang yang secara khusus mengatur tentang asuransi usaha bersama, maka perintah atau amanat dari ketentuan Pasal 7 ayat (3) UU No. 2/1992 belum lah dilaksanakan. Akan tetapi jika undang-undang yang dimaksud adalah sebuah undang- undang tentang perasuransian dimana juga terdapat ketentuan mengenai asuransi usaha bersama, maka UU No. 40/2014 adalah juga sebagai pelaksanaan dari ketentuan Pasal 7 ayat (3) UU No. 2/1992, dengan demikian Pemerintah dan DPR telah melaksanakan perintah atau amanat dari Pasal 7 ayat (3) UU No. 2/1992. Penjelasan Pasal 7 ayat (3) UU No. 2/1992 tidak memberikan penjelasan mengenai undang-undang yang dimaksud, apakah sebuah undang- undang yang secara khusus mengatur tentang asuransi usaha bersama atau sebuah undang-undang tentang perasuransian. Kelima Solusi Untuk mengatasi Permasalahan Permodalan untuk memperkuat, memajukan AJB 1912 dan kaitannya dengan ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU No. 40/2014 Diperlukan landasan hukum atau payung hukum yang kuat beberupa sebuah undang-undang yang secara khusus mengatur asuransi usaha bersama atau sebuah undang-undang yang secara khusus mengatur tentang AJB 1912, sebagaimana dilakukan oleh beberapa Negara mengundangkan undang-undang yang secara khusus mengatur tentang asuransi usaha bersama untuk memajukan perusahaan asuransi jiwa bersama dan asuransi umum bersama (mutual life insurace and mutual general atau casualtly insurance) yang ada di negara tersebut . Hingga saat ini, undang-undang yang secara khusus mengatur asuransi usaha bersama atau secara khusus untuk AJB 1912 belum ada, tetapi dalam bentuk Peraturan Pemerintah yang berada di bawah Undang- Undang, sehingga kurang kuat landasan hukumnya dan mudah dilakukan perubahan di mata investor, sehingga kurang memberikan kepastian 58 hukum untuk investasi jangka panjang, sementara sifat investasi di perusahaan asuransi dan terlebih untuk asuransi jiwa sangatlah jangka panjang. Sementara landasan hukum dan perundangan yang khusus mengatur perusahaan asuransi yang berbentuk Perseoran Terbatas (PT) sudah diatur dalam undang-undang sejak tahun 1992 dengan diundangkannya UU No. 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian yang kemudian telah diperbaharui dan diganti dengan UU 40/2014 tentang Perasuransian. UU No. 40/2014 dibuat karena adanya urgensi harmonisasi peraturan perundangan karena Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah dibentuk dan mulai menjalankan peran dan fungsinya sejak tahun 2012/2013. Seandainya OJK belum dibentuk, ahli tidak yakin bahwa Pemerintah dan DPR akan menjadikan hal itu sebagai prioritas. Karena menurut ahli, adalah suatu yang nyata bahwa perhatian dari Pemerintah dan DPR terhadap sektor asuransi sebelum dibentuk OJK, masih kurang dibandingkan dengan sektor jasa keuangan yang lain seperti sektor perbankan dan pasar modal. Karena itupula lah, pada saat OJK hendak dibentuk, ahli memberikan dukungan yang pertama dari semua sektor jasa keuangan, karena kebetulan pada waktu itu ahli sebagai ketua Dewan Asuransi Indonesia (DAI) dan Ketua Asosiasi Asuransi Umum Indonesiad (AAUI), dengan harapan OJK akan memberikan perhatian besar terhadap sektor asuransi. Sementara sektor perbankan dan jasa keuangan yang lain tidak langsung memberikan dukungan terhadap pembentukan OJK pada waktu itu. Dan menurut ahli, OJK saat ini telah memberikan dukungan yang lebih besar untuk sektor asuransi. Kekosongan sebuah undang-undang tentang asuransi usaha bersama juga turut menimbulan hambatan dalam pengembangan AJB 1912, meskipun masih ada faktor lain. Akibatnya AJB 1912 kurang mempuyai daya tarik yang baik dan akses yang baik untuk pemodal atau investor asing. Padahal banyak investor yang berminat untuk berinvestasi di sektor perasuransian khususnya di asuransi jiwa seperti yang sudah terjadi selama ini. 59 Selanjutnya Putusan MK Nomor 32/PUU-XI/2013 yang bersifat final yang memerintahkan agar dibentuk Undang-Undang tersendiri yang mengatur mengenai usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (Mutual) paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan MK diucapkan, ahli melihat Putusan MK ini sebagai dukungan MK akan pentingnya suatu undang-undang yang secara khusus mengatur tentang asuransi usaha bersama. UU No.40/2014 telah mengubah norma mengenai pengaturan usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (Mutual), yang di Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang 2 Tahun 1992 diamanatkan atau diperintahkan supaya diatur lebih lanjut dengan ‘Undang-Undang’ dan oleh Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang 40 Tahun 2014 diubah menjadi diatur lebih lanjut dengan ‘Peraturan Pemerintah’. Ketentuan Pasal tersebut telah dilaksanakan oleh Pemerintah dengan diundangkannya Peraturan Pemerintah No.87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama. Ini berarti tingkatan hierarki perundangan yang mengatur secara khusus asuransi usaha bersama berada di bawah undang-undang, sehingga menimbulkan ketidak setaraan dan ivestor dapat melihatnya sebagai kurang memberikan kepastian hukum untuk jangka panjang jika dibandingkan dengan investasi pada perusahaan asuransi berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT). Dari uraian dan analisis yang ahli kemukakan di atas, ahli menyimpulkan:
. Diperlukan suatu Undang-Undang yang khusus mengatur asuransi usaha bersama;
. Ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU No. 40/2014 yang selengkapnya berbunyi: Pasal 6 ayat (3) “Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah” . 60 Ketentuan Pasal 6 ayat (3) __ ini tidak diartikan sebagai larangan bagi Pemerintah dan DPR untuk membuat satu undang-undang yang khusus mengatur tentang asuransi usaha bersama. Oleh karena itu, ahli berpendapat adalah perlu, penting Pemerintah dan DPR membuat satu undang-undang yang secara khusus mengatur tentang asuransi usaha bersama, sebagaimana telah lama dilakukan oleh beberapa negara asing, untuk mendorong kemajuan asuransi usaha bersama di Indonesia. Ahli pun menyampaikan keterangan tambahan yang disampaikan pula dalam persidangan, pada pokoknya adalah sebagai berikut: − Pengaturan asuransi usaha bersama dalam UU 40/2014 hanya terdapat dalam beberapa pasal saja. Pengaturan perasuransian dalam UU 40/2014 jika dilihat lebih lanjut menitikberatkan pada asuransi dalam bentuk perseroan terbatas saja, namun demikian dikarenakan terdapat keteuan yang mengatakan sepanjang relevan dengan bentuk badan usaha bersama maka ketentuan tersebut berlaku. Menurut Ahli, pengaturan asuransi usaha bersama dalam UU 40/2014 tidak dapat dikatakan cukup, namun materi-materi yang terdapat didalamnya dapat dijadikan bahan untuk membentuk undang-undang tersendiri terkait dengan asuransi dalam bentuk badan usaha bersama tersebut. − Terkait dengan permodalan yang terbatas yang menyebabkan asuransi dalam bentuk badan usaha bersama ini lebih sulit maju dibandingkan dengan bentuk badan usaha perseoran , ahli tidak memiliki pendapat terkait itu. Namun, jika melihat pada sisi investor, tentu tidak menutup kemungkinan adanya investor yang tertarik untuk berinvestasi pada asuransi usaha bersama namun menurut investor tentunya jika diatur dalam peraturan pemerintah menjadi kurang kuat keberadaannya sehingga perlu dibuat undang-undang tersendiri. − Asuransi dalam bentuk usaha bersama di negara lain, sepengetahuan Ahli, tetap memakai bentuk mutual insurance dan pengaturannya diatur dalam undang-undang dimana dinyatakan sebagai incorporated company (Skotlandia). Jika bentuk usaha bersama ini akan dicarikan bentuk hukum lain sehingga memiliki akses permodalan yang mudah, menurut ahli berdasarkan kajian yang pernah dilakukan maka dapat berbentuk perkumpulan. 61 [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat memberikan keterangan yang didengarkan dalam persidangan pada tanggal 8 September 2020, yang keterangan tertulisnya diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 22 September 2020, yang pada pokoknya mengemukakan hal sebagai berikut: A. KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) PARA PEMOHON Terkait kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon dalam pengujian UU a quo secara materiil, DPR RI memberikan pandangan dengan 5 (lima) batas kerugian konstitusional berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional sebagai berikut:
Terkait adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945 a. Bahwa para Pemohon mendalilkan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional berdasarkan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, DPR RI berpandangan bahwa Pasal a quo tidak mengurangi hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon untuk mendapatkan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, karena apa pun bentuk dari pengaturan asuransi usaha bersama, para Pemohon dapat melaksanakan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagai Anggota BPA Asuransi Bersama Bumiputera 1912.
Bahwa para Pemohon mendalilkan bekerja sebagai Anggota DPRD, Pegawai Negeri Sipil, Guru, Dosen, Wiraswasta, Pensiunan dan secara keseluruhan para Pemohon mendalilkan sebagai Pemegang Polis Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 dan Anggota BPA. DPR RI berpandangan para Pemohon bukanlah subjek yang dituju dalam ketentuan Pasal a quo karena ketentuan a quo ditujukan oleh pembentuk undang-undang kepada pemerintah untuk mengatur lebih lanjut mengenai Badan Hukum Usaha Bersama dalam Peraturan Pemerintah.
Bahwa dalam positanya, para Pemohon banyak memberikan argumentasi tentang kedudukan para Pemohon sebagai Anggota BPA Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 dalam mengemban tugas dan 62 amanahnya sebagaimana diamanatkan dalam Anggaran Dasar Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912. Terhadap pernyataan para Pemohon tersebut perlu untuk diperjelas apakah para Pemohon bertindak untuk mewakili BPA Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 atau hanya sebagai perseorangan warga negara Indonesia pemegang polis Asuransi Jiwa Bersama Bumiputra 1912? Jika para Pemohon sebagai BPA Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912, maka para Pemohon harus membuktikan terlebih dahulu sebagai pihak yang mewakili BPA Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912. Sedangkan jika para Pemohon mengajukan diri sebagai perorangan warga negara Indonesia pemegang polis, maka para Pemohon tidak bisa mengajukan pengujian Pasal a quo karena Pasal a quo mengatur tentang pendelegasian dari pembentuk undang-undang kepada pemerintah untuk mengatur mengenai badan hukum usaha bersama dalam peraturan pemerintah. Oleh karenanya para Pemohon bukanlah pihak yang menjadi subjek ( addressat norm ) dari ketentuan Pasal a quo , sehingga para Pemohon tidak memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional untuk mengajukan Permohonan a quo karena tidak memiliki kepentingan hukum langsung terhadap Pasal a quo .
Terkait adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dianggap oleh para Pemohon telah dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang a. para Pemohon merasa dirugikan karena dengan berlakunya frasa “ diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah ” dalam Pasal a quo UU Perasuransian telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013. DPR RI berpandangan bahwa para Pemohon tidak mampu menjelaskan keterkaitan antara keberlakuan Pasal a quo dengan kerugian yang didalilkan oleh para Pemohon karena kerugian yang didalilkan para Pemohon tersebut adalah asumsi yang tidak ada pertautannya dengan ketentuan Pasal a quo sehingga dengan demikian, kerugian yang didalilkan para Pemohon tersebut tidak beralasan hukum. 63 b. para Pemohon merasa dirugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional atas adanya PP 87/2019 karena keberadaan Peraturan Pemerintah tersebut bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013. DPR RI berpandangan bahwa jika para Pemohon beranggapan bahwa materi yang ada di dalam PP 87/2019 tersebut merugikan para Pemohon maka hukum telah menyediakan suatu mekanisme untuk mengujikan Peraturan Pemerintah tersebut ke Mahkamah Agung. Dengan demikian kerugian yang didalilkan oleh para Pemohon tidak benar dan hanya asumsi para Pemohon.
Terkait adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual, atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi Bahwa para Pemohon tidak dapat menguraikan kerugian yang dianggap sebagai kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon dengan ketentuan Pasal yang dimohonkan pengujian. para Pemohon dalam permohonannya lebih menguraikan substansi dalam PP 87/2019 dan tidak fokus terhadap ketentuan Pasal a quo sehingga tidak jelas pertautan antara kerugian para Pemohon dengan pasal a quo . Oleh karenanya tidak terdapat kerugian hak dan/atau konstitusional yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial.
Terkait adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan undang- undang yang dimohonkan pengujian Bahwa sebagaimana yang telah diuraikan oleh DPR RI dalam angka 1, 2, dan 3, kerugian yang didalilkan oleh para Pemohon bukan merupakan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon melainkan hanya asumsi para Pemohon saja. Selain itu para Pemohon tidak dapat menguraikan pertautan antara kerugian yang didalilkan dengan ketentuan Pasal a quo sehingga sudah dapat dipastikan tidak ada hubungan sebab akibat ( causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan oleh para Pemohon dengan Pasal a quo . 64 5. Terkait adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Bahwa karena tidak adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) maka sudah dapat dipastikan bahwa pengujian a quo tidak akan berdampak apapun terhadap para Pemohon. Dengan demikian menjadi tidak relevan lagi bagi Mahkamah Konsitusi untuk memeriksa dan memutus permohonan a quo , karena para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan pokok perkara . Bahwa terkait dengan kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon, DPR RI memberikan pandangan selaras dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-IX/2011 yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari tanggal 15 Juni 2016, yang pada pertimbangan hukum [3.5.2] Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa menurut Mahkamah: ...Dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’interest, point d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “tiada gugatan tanpa hubungan hukum“ (no action without legal connection. Berdasarkan pada hal-hal yang telah disampaikan tersebut DPR RI berpandangan bahwa para Pemohon secara keseluruhan tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, serta tidak memenuhi persyaratan kerugian konstitusional yang diputuskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu. Bahwa para Pemohon dalam permohonan a quo tidak menguraikan secara konkrit mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusionaInya yang dianggap dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, utamanya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionaInya yang dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji tersebut. 65 Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum (legal standing ) para Pemohon, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua dan Anggota Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional. B. PANDANGAN DPR RI TERHADAP POKOK PERMOHONAN 1. Bahwa dalam industri perasuransian, baik secara nasional maupun global, terjadi perkembangan yang pesat yang ditandai dengan meningkatnya volume usaha dan bertambahnya pemanfaatan layanan jasa perasuransian oleh masyarakat. Layanan jasa perasuransian pun semakin bervariasi sejalan dengan perkembangan kebutuhan masyarakat akan pengelolaan risiko dan pengelolaan investasi yang semakin tidak terpisahkan, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kegiatan usaha. Pengaturan dalam UU Perasuransian juga mencerminkan perhatian dan dukungan besar bagi upaya pelindungan konsumen jasa perasuransian, upaya antisipasi lingkungan perdagangan jasa yang lebih terbuka pada tingkat regional, dan penyesuaian terhadap praktik terbaik ( best practices ) di tingkat internasional untuk penyelenggaraan, pengaturan, dan pengawasan industri perasuransian.
Bahwa berdasarkan Naskah Akademik RUU tentang Usaha Perasuransian yang digunakan sebagai dasar pembentukan undang-undang a quo, dapat dikemukakan bahwa pada saat ini, Indonesia tidak memiliki undang-undang khusus mengenai badan hukum usaha bersama. Satu-satunya perusahaan asuransi berbentuk usaha bersama melandaskan keberadaannya pada Keputusan Kerajaan Belanda tanggal 28 Maret 1870 No. 2 Stb. 64 sesuai Sekretaris Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 6 April 1915, yang belum pernah diperbaharui. Ketiadaan undang-undang yang mengatur usaha bersama mengakibatkan ketidakjelasan tata kelola badan usaha ini dan dapat menimbulkan keraguan akan perlindungan hak-hak para pemangku kepentingan. Usaha bersama juga menghadapi tantangan dan hambatan yang sama seperti koperasi dalam hal penyediaan modal yang 66 cukup untuk penyelenggaraan usaha asuransi atau usaha reasuransi, mengingat ketiadaan atau ketidakjelasan mekanisme penambahan modal dengan atau tanpa penambahan anggota baru di dalam usaha bersama tersebut. Perkembangan yang terjadi di negara lain berkenaan dengan penyelenggaraan usaha asuransi menggunakan badan usaha bersama juga mendapat perhatian. Walaupun sejumlah usaha bersama di bidang perasuransian tercatat sebagai perusahaan besar di negara-negara seperti Jepang dan Kanada, banyak di antara mereka sedang menggagas upaya untuk lebih berkembang dengan mengubah diri menjadi Perseroan Terbatas sehingga dapat menggumpulkan modal lebih besar. Sampai dengan saat ini satu-satunya perusahaan perasuransian yang berbentuk usaha bersama di Indonesia, yaitu Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912, sedangkan perusahaan perasuransian yang lain berbentuk Perseroan Terbatas. Mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, dalam RUU Usaha Perasuransian diusulkan agar perusahaan perasuransian berbentuk Perseroan Terbatas. ( Vide Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Usaha Perasuransian hlm. 49-50) 3. Bahwa UU Perasuransian telah mengakomodir bentuk usaha bersama ( mutual ) dalam Pasal 6 ayat (1) UU a quo , bentuk badan hukum penyelenggara usaha perasuransian adalah: a) Perseroan terbatas; b) Koperasi; atau c) Usaha bersama yang telah ada pada saat undang-undang ini di undangkan. Bahwa dengan adanya ketentuan tersebut menunjukkan pembentuk undang-undang masih mengakui adanya usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama dan ketentuan tersebut telah memberi kepastian hukum, dan usaha bersama yang dimaksud adalah AJB Bumiputera 1912 yang menjadi satu-satunya usaha perasuransian berbadan usaha bersama sampai dengan saat ini yang dinyatakan sebagai badan hukum (Naskah Akademik RUU tentang Usaha Perasuransian hlm 50). Bahwa berdasarkan fakta hukum tersebut pembentuk undang-undang menentukan politik hukum pengaturan mengenai ketentuan lebih lanjut mengenai teknis badan usaha 67 bersama didelegasikan kepada Peraturan Pemerintah ( vide Risalah Pembahasan hlm 57-58).
Bahwa para Pemohon mendalilkan: “...hak konstitusional para Pemohon telah dilanggar oleh pembentuk undang-undang tidak menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 yang memerintahkan agar dibentuk undang- undang tersendiri yang mengatur mengenai usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama (mutual).” Terhadap dalil tersebut, DPR RI memberikan pandangan sebagai berikut:
Bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013, menyatakan: Frasa “ ... diatur lebih lanjut dengan undang-undang ” dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Tahun 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, sepanjang tidak dimaknai “...diatur lebih lanjut dengan undang-undang dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan Mahkamah ini diucapkan” .
Bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tersebut mengamanatkan adanya kepastian hukum mengenai pengaturan lebih lanjut tentang usaha bersama ( mutual ), yaitu paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan Mahkamah ini diucapkan. Pembentuk undang-undang segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dengan merumuskan ketentuan Pasal 91 UU a quo yang menyatakan: “Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan terhitung sejak Undang- Undang ini diundangkan. Dengan adanya ketentuan tersebut, maka UU a quo telah memberikan kepastian hukum kepada masyarakat terutama para Pemohon mengenai dasar hukum asuransi usaha perasuransian yang berbentuk badan usaha bersama ( mutual ), dan pembentuk undang-undang telah mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi yang menghendaki adanya kepastian hukum yang mengatur mengenai badan usaha bersama ( mutual ) perasuransian.
Bahwa DPR RI berpandangan dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 tersebut tidak memerintahkan 68 kepada pembentuk undang-undang untuk membuat undang-undang tentang asuransi badan usaha bersama ( mutual ) secara khusus dalam undang-undang tersendiri.
Bahwa pembentuk undang-undang dalam menyusun undang-undang tentunya harus berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011) sebagai pedoman utama dalam membentuk peraturan perundang- undangan.
Bahwa terkait dengan norma pengaturan pendelegasian kewenangan telah diatur berdasarkan Lampiran UU 12/2011 mulai dari angka 198 sampai dengan angka 216. Berdasarkan ketentuan tersebut bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat mendelegasikan lebih lanjut kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Dari teknis segi bahasa, pendelegasian kewenangan dengan menggunakan frasa “diatur dengan” dan “diatur dalam” tidak dimaksudkan untuk memiliki konsekuensi pendelegasian pengaturan lebih lanjut dalam undang-undang tersendiri, tetapi lebih kepada “jumlah materi muatan” yang akan didelegasikan kepada peraturan perundang- undangan yang lebih rendah. Berdasarkan Lampiran angka 205 UU 12/2011 disebutkan bahwa , jika terdapat beberapa materi muatan yang didelegasikan dan materi muatan tersebut tercantum dalam beberapa pasal atau ayat tetapi akan didelegasikan dalam suatu peraturan perundang-undangan gunakan kalimat...”Ketentuan mengenai…diatur dalam…”.
Bahwa sebelum diundangkannya UU 40/2014, Pembentuk undang- undang telah mempertimbangkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013. Namun dalam menindaklanjuti Putusan MK tersebut kedalam undang-undang selain berdasarkan Putusan MK tentunya pembentuk undang-undang memiliki pertimbangan politik hukum tersendiri dengan memperhatikan dinamika hukum yang berkembang dalam masyarakat. Hal ini telah dirundingkan oleh DPR dan Tim Pemerintah dalam Rapat Panja dengan Tim Kementerian Keuangan (Kepala BKF), OJK dan LPS Jumat, 29 Agustus 2014 dan dalam Rapat Panja RUU tentang Usaha Perasuransian dan Rapat 69 Panja dengan Tim Kementerian Keuangan (Kepala BKF), OJK, Sabtu, 30 Agustus 2014. Bahwa dalam rapat-rapat tersebut pada intinya DPR RI setuju dengan usulan Tim Pemerintah yang memandang bahwa kedepannya lebih didorong agar perusahaan asuransi berbadan hukum perseroan untuk dapat memberikan perlindungan terhadap perusahaan dan konsumen asuransi, namun khusus untuk perusahaan asuransi mutual yang telah ada (Bumiputra 1912) tetap diakui keberadaannya. Sedangkan untuk mengakomodir putusan MK Nomor 32/PUU-XI/2013, Pembentuk undang-undang sepakat untuk mengatur perusahaan asuransi mutual dalam UU a quo yang ketentuan teknisnya didelegasikan kedalam peraturan pemerintah. Hal ini dikarenakan jika diatur secara detail dalam UU a quo , akan menimbulkan kemungkinan untuk dijadikan preseden lahirnya perusahaan-perusahaan asuransi mutual lainnya yang memiliki banyak kelemahan dalam tatakelolanya yang juga sudah banyak ditinggalkan oleh banyak negara lain di dunia. Selengkapnya tertulis pada bagian risalah.
Oleh karena itu dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 mengenai pengaturan asuransi usaha bersama ( mutual ) harus ditindaklanjuti dengan undang-undang tersendiri dan tidak diperhatikan oleh Pembentuk Undang-Undang adalah tidak beralasan hukum.
Bahwa dalam positanya para Pemohon banyak menguraikan materi muatan dalam PP 87/2019 yang dianggap menghilangkan eksistensi dan kewenangan Badan Perwakilan Anggota Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 dalam mengelola AJB Bumiputera 1912. Terhadap uraian para Pemohon tersebut DPR RI berpandangan bahwa jika para Pemohon merasa dirugikan dengan ketentuan dalam PP 87/2019 maka para Pemohon seharusnya tidak mengujikannya ke Mahkamah Konstitusi melainkan ke Mahkamah Agung yang memiliki kewenangan menguji Peraturan Perundang-undangan di bawah undang-undang. Oleh karena itu terlihat jelas bahwa permohonan a quo adalah permohonan yang memiliki kesalahan objek ( error in objecto ). 70 C. RISALAH PEMBAHASAN PASAL A QUO UU PERASURANSIAN Selain pandangan secara konstitusional, teoritis, dan yuridis, sebagaimana telah diuraikan di atas, DPR RI melampirkan risalah pembahasan UU Perasuransian yang relevan dengan substansi dalam Permohonan a quo sebagai berikut: • Masa Persidangan I Rapat Panja dengan Tim Kementerian Keuangan (Kepala BKF), OJK, dan LPS dalam Rapat Panja RUU tentang Usaha Perasuransian (Jumat, 29 Agustus 2014) - STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA):
.. Mengenai mutual, kami mempunyai pemikiran pada waktu itu ada 2 yang terpenting : pertama, tidak ada undang-undang yang memberikan landasan hukum yang baik untuk badan hukum mutuall di Indonesia karena itu lah pada waktu itu memang ada perintah untuk dibuatkan undang-undang tersendiri mengenai hal tersebut. Tapi nyatanya pada saat kami menyelesaikan rancangan undang-undang ini, undang-undang itu tidak pernah ada dan artinya badan mutuall ini, badan usaha bersama ini tidak memiliki landasan hukum mengenai keberadaannya, eksistensinya apalagi mengatur mengenai tata kelola. Jadi kalau tadi yang disampaikan oleh Pak Firdaus bahwa tidak ada, sulit untuk mengatur menata tata kelola mereka pada walaupun sekarang OJK sudah berusaha untuk melakukan hal tersebut. Pada saat ini tidak ada landasan hukum untuk melakukan bagaimana mutuall atau usaha bersama ini menyelenggarakan kegiatan hukumnya sebagai suatu entitas hukum. Kemudian yang kedua yang kami pertimbangkan pada waktu itu sebagaimana sudah dikemukakan oleh Pak Firdaus, perusahaan yang ada saat ini satu-satunya yang ada memang memiliki masalah. Dan kami pada waktu itu dengan tulus, dengan sejujurnya kami sampaikan sebetulnya keinginan kami untuk mengatakan semuanya PT adalah memberikan mekanisme elegan dimana disepakati di DPR ini untuk menyelamatkan perusahaan ini dengan mengubahnya menjadi PT sebagai suatu upaya penyelamatan sebetulnya tapi melalui kewajiban di undang-undang. Nah, demikian mungkin saya ingin tadi itu adalah gambaran mengapa Pemerintah mengusulkan didalam rancangan undang-undang akhirnya hany PT. Perkembangannya tadi Undang-Undang Koperasi yang baru dibatalkan secara keseluruhan. Kemudian ada Mahkamah Konstitusi yang mengatakan tidak boleh ditutup ruang untuk upaya usaha bersama ini untuk tetap hidup di Indonesia karena itu juga sesuai dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Kami dari Pemerintah ingin dan sangat menghormati keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut karena itu, kami sekarang berada pada posisi dan kami ingin tetap menghormati keputusan itu artinya memang kita perlu atur bagaimana usaha bersama ini. Kemudian saya sependapat dengan Pak Harry Azhar kalau usaha bersama yang saat ini landasan hukumnya saja minimun, bisa dibilang tidak ada diakomodasi, kita tentu juga harus fair kepada koperasi jadinya. Itu pikiran logis saja, cara berpikir 71 logisnya. Karena itu, Pemerintah sendiri saat ini secara umum melihat oke kami akan bisa menerima kalau koperasi ditambahkan disitu kembali. Tetapi kalau yang usaha bersama kami ingin mengusulkan kita tidak memperluas pada kemungkinan usaha-usaha bersama yang baru. Kami ingin usulkan oke usaha bersama yang ada kita akui bahkan kami bisa berikan misalnya oke kita berdasarkan undang-undang ini kita berikan status badan hukum khusus kepada yang ada sekarang ini. Tapi selain itu kami ingin menambahkan didalam undang-undang ini sebagai konsekuensinya adalah aturan-aturan lain, aturan-aturan prudensial yang akan bisa membantu OJK nanti yang betul-betul ya tidak mungkin ada koperasi baru yang menjalankan kegiatan usaha asuransi, kalau usaha bersama tadi kami usulnya betul-betul kita batasi Pak berdasarkan undang-undang ini hanya itu saja yang kita ini. Kita tidak membuka ruang usaha bersama yang baru. Kalau ada yang mirip-mirip seperti itu jadi koperasi saja karena koperasi sudah kita sudah punya landasan hukum undang-undang yang jelas mengenai hal itu. Untuk yang ada oke, kita akui bahkan kita usulkan, kita berikan status badan hukumnya tapi untuk koperasi maupun usaha bersama khusus yang eksisting ini seandainya tetap kita sepakati untuk kita pertahankan, kami mohon untuk dapat ditambahkan aturan-aturan baru, misalnya yang kami mungkin bisa sampaikan pertama koperasi dan usaha bersama tidak boleh menjual polis asuransi kepada non anggota, dia hanya boleh menjual kepada anggotanya. Mungkin akan ada pertanyaan kalau gitu tidak bisa berkembang. Tentu bisa, kalau dia bisa menarik orang terlebih dahulu menjadi anggotanya baru kemudian menjual polis kepada yang bersangkutan. Yang kedua, yang kami mungkin ingin usulkan adalah, saya menggunakan kata mungkin nanti karena didalam diskusi mungkin berkembang yang lain. Yang kedua, bahwa untuk menjadi anggota ini seseorang ini harus membayar iuran pokok atau iuran wajib apapun namanya yang akan kita sebut. Jadi dengan demikian, setiap perkembangan bisnis dengan bertambahnya anggota ini koperasi atau pun usaha bersama ini sudah terlebih dahulu di back up dengan tambahan modal dari calon pemegang polis tersebut. Kemudian yang ketiga, yang ingin kami usulkan adalah ada ketentuan yang secara tegas disini disampaikan bahwa keuntungan itu dinikmati bersama tentunya secara proporsional, kerugian juga harus ditanggung bersama oleh para anggota. Mengenai aturan pembagiannya pengenaan, pembebanannya dan sebagainya kita bisa serahkan kepada OJK mengenai hal tersebut. Nah, dengan adanya usulan yang ketiga ini apabila dapat diterima ini juga sekaligus mendorong, mendesak pada asuransi usaha bersama pada saat ini itu juga men-declear keuntungannya berapa dan kerugiannya berapa akumulasinya saat ini. Dan kemudian mendorong mereka untuk mengemukakan kepada anggota ini loh akumulasi keuntungan yang bisa dibagi atau ini akumulasi kerugian yang harus ditanggung bersama sehingga dengan demikian OJK juga akan mempunyai kekuasaan atau kewenangan untuk melakukan diskresi nah ternyata seperti ini situasinya, 72 pilihan ada. ini juga akan meng-involve.....(mic bermasalah) pengawasan dan koreksi terhadap perusahaan asuransi ....usaha bersama...... - STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA): Usaha bersama ini kami sekali ingin mengusul hanya usaha bersama yang ada saat ini tidak untuk dikembangkan lagi. • Terkait dengan Pasal 6 ayat (3) sepanjang frasa “Badan Hukum Usaha Bersama” UU PERASURANSIAN dalam Masa Persidangan I Rapat Panja dengan Tim Kementerian Keuangan (Kepala BKF), OJK dan LPS Jumat, 29 Agustus 2014. Dalam Rapat Panja RUU tentang Usaha Perasuransian: - KETUA RAPAT (H. ANDI RAHMAT, SE): Saya skors ya pak sekitar 2 menit untuk memberikan kesempatan kepada Bank Indonesia keluar dari ruangan ini __ (RAPAT DISKORS) Terima Kasih Pak. (SKORS DICABUT) Selanjutnya Bapak-bapak yang kami muliakan dan saya hormati, ini kita akan lanjutkan sedikit penjelasan dari Bapak Komisioner OJK ini berkaitan dengan bentuk dan badan hukum dari asuransi Pak. Jadi dalam RUU ini ada 2 bentuk saja yang ditawarkan oleh Pemerintah: yang pertama itu koperasi dan kedua adalah perseroan terbatas oh yang perseroan terbatas koperasi dari, kalau saya tidak salah itu koperasi itu usulannya F-PG kalau tidak salah ya, pokoknya paling banyak F-PG yang paling banyak usulannya sampai lupa mengusulkan. Bapak-bapak sekalian, Jadi ada 2 yang saya putuskan dan ini ada tambahan berkaitan dengan mutuall fund ya, lebih spesifik lagi mutuall fund yang di Indonesia ini cuma ada satu Pak yaitu asuransi AJB dan ini yang kita minta penjelasan kepada OJK karena sampai sekarang ini dan sekarang sudah sampai dalam pengawasan OJK Pak. Kita mau lihat bagaimana OJK mengatasi isu yang berkaitan dengan asuransi Bumiputera ini AJB/Asuransi Jasa Bumiputera. Silahkan Pak firdaus ya. Saya kira langsung saja Pemerintah ya langsung kepada Komisionernya saja. Silahkan Pak Firdaus. - OJK (FIRDAUS) : Bismillahirahmanirahim. Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Yang saya hormati Pimpinan Panja RUU Asuransi, Yang saya hormati Bapak-bapak Anggota Panja RUU Asuransi dari Komisi XI, Pertama-tama saya mohon maaf agak terlambat, banyak acara Pak dari habis Magrib itu, ada 2 dulu baru saya jalan agak macet lagi. Bapak-bapak sekalian, Kalau kita baca dari RUU Undang-Undang Asuransi yang lama yang tahun ’92 itu, itu kan memang disitu ada 3 Badan Hukum bentuk asuransi yaitu PT, kemudian Koperasi dan mutuall meskipun waktu tahun ’92 kita bikin memang ada perusahaan asuransi yang berbadan hukum koperasi 1 73 waktu itu tapi kemudian kita cabut izin usahanya oleh Pemerintah itu di tahun 2010 kira-kira dicabut koperasi 1. Kemudian 1 lagi memang berbentuk mutuall. Didalam undang-undang kalau kita baca Undang-Undang Asuransi yang tahun ’92 itu memang disana untuk mutuall kita memberikan amanat bahwa Pemerintah akan membuatkan undang-undang khusus mutuall sehingga belum ada waktu itu pelaksanaannya kita atur dengan peraturan pemerintah. Namun sampai saat ini memang belum dibuatkan undang- undang untuk mutuall. Kemarin ketika ada yang bawa ke Mahkamah Konstitusi maka Mahkamah Konstitusi mengamanatkan agar Pemerintah membuatkan dalam waktu 2,5 tahun sejak keputusan Mahkamah Konstitusi yang keluar 3 bulan yang lalu kira-kira begitu. Nah,sekarang saya ingin katakan bagaimana perkembangannya. Jadi dari 95 asuransi umum, 45 asuransi jiwa dan 41 asuransi itu tidak ada satu pun yang berbentuk koperasi karena memang telah kita cabut. Kalau kita lihat sejarah di perbankan sama Pak di lembaga keuangan lain. Di perbankan juga saat ini juga hanya ada 1 BPR berbentuk koperasi yang lainnya di bank umum maupun BPR yang jumlah lebih dari 1.900 baik yang konvensional maupun yang syariah hanya 1 yang berbentuk koperasi, yang lainnya tidak ada. Yang mutual kita punya juga cuma 1 yaitu ..... Asuransi Bumiputera. Saya ingat ada 2 bank umum : Bukopin pernah bentuk koperasi tapi di tahun ’90 berapa kita ubah, kita rekap itu berubah menjadi PT karena memang ketidakmampuan dari waktu itu pemilik Bukopin adalah juga koperasi-koperasi yang tidak mampu untuk menitip modal sehingga masuk lah pemodal entah itu dari Pemerintah, entah itu dari swasta sehingga berubah menjadi PT Bukopin meskipun kita tetap mempertahankannya namanya Bukopin. Nah, saya bisa mengerti ketika Pemerintah mengajukan itu dalam RUU ini awalnya adalah dalam bentuk PT saja. Kalau lihat kita lihat pernah kita buat juga yang kita yang Pemerintah dan DPR lahirkan yaitu Undang- Undang mengenai Bank Syariah, itu juga hanya berbentuknya PT saja karena kalau kita lihat begini Pak. Koperasi juga sekarang ini kan misalnya itu badan hukum PT, Koperasi, maupun mutuall itu kan tetap saja. Ketika didirikan baru katakanlah dia tetap harus memiliki persyaratan memenuhi persyaratan modal minimum. Kalau koperasi misalnya ketika mau didirikan berarti dia juga harus punya modal misalnya kalau sekarang berlaku ketentuan minimal 100 milyar maka dia harus artinya kalau memang ada koperasi yang mau didirikan asuransi dalam ....koperasi itu harus ada iuran anggota, iuran pokok, dan iuran sukarela dari anggota itu totalnya 100 milyar. Meskipun mungkin bisa tapi rasanya kalau koperasi itu dibentuk barangkali oleh pihak-pihak yang besar mungkin bisa tapi kalau dari masyarakat biasa membentuk koperasi mengumpulkan 100 milyar untuk menjadi modal setor katakanlah begitu untuk sebuah perusahaan asuransi agaknya berat begitu. Mutuall kita lihat Pak. Mutuall itu sejarahnya adalah kalau kita lihat di dunia ini mutuall itu tinggal histori Pak, tinggal sejarah. Kita lihat mutuall-mutuall yang ada di Eropa, ada di Jepang, ada di Canada, ada di Amerika itu memang lahir 200 tahun yang lalu, 150 tahun yang lalu tidak ada yang lahir lagi. Terakhir lagi sebetulnya itu mutuall itu adalah di Fililpina tahun sekitar ‘87 Pak. Itu pun karena begini, ada sebuah perusahaan asuransi BUMN 74 sebetulnya punya anak perusahaan sebetulnya target juga PT limited company. Tapi tiba-tiba dalam rangka agak politis anak perusahaan itu kemudian sahamnya diberikan kepada pemegang polis sehingga diubah dari PT menjadi mutuall karena ciri-ciri dari mutuall itu pemegang polis adalah pemegang saham. Ini terakhir di Filipina tahun ’85-’87. Setelah itu tidak ada lagi di dunia, selain itu usianya memang ratusan tahun. Dia memang kalau survive, survive benar ya seperti di Jepang. Ada yang tidak survive tapi dia di-merger dengan mutuall lainnya karena kalau tidak di-merger dengan mutuall lainnya agak sulit. Nah, kenapa mutuall-mutuall baru tidak lahir lagi di dunia ini? memang kalau kita lihat sekarang di negara lain juga kan modal untuk mendirikan sebuah perusahaan asuransi kan besar sekali Pak. Mungkin juga puluhan triliun, di kita saja yang 100 milyar. Kami bayangkan Pak kalau misalnya ada sebuah mutuall baru mau didirikan agak bayangan kami itu agak imposible. Bagaimana kalau kita lihat menilik sejarah ini misalnya : Bumiputera. Lahir dari 3 orang guru, dia tarifnya cuma kumpul bertiga seperti arisan bilang kalau diantara kita ada yang meninggal ini dari ini ya dari kumpulan kita yang tiap bulan kita bayar sisihkan dari gaji terus berkembang-berkembang. Nah, kalau kita lihat tahun 1912 belum ada pengaturan Pak mengenai persyaratan modal minimum yang harus dipenuhi. Kalau sekarang bagaimana mutuall bisa terbentuk misalnya ketika harus memiliki persyaratan modal 100 milyar yang barangkali yang saya dengar kan dari baik itu dari wacananya kan ingin kedepan ini modal minimum untuk sebuah perusahaan nasional yang baru pun harus dinaikkan karena rasanya 100 milyar sudah tidak cukup sekalian mau menciptakan entry barier hambatan masuk supaya yang masuk di industri asuransi ini tidak lagi perusahaan-perusahaan..... karena kalau kita ingin besarkan usia asuransi kita Pak memang modalnya mahal industri asuransi ini karena memang IT-nya mahal, pengembangan SDM- nya mahal, infrastruktur yang dibangun lain juga mahal. Apalagi kalau kita mau bersaing di dalam kawasan ASEAN ketika berlaku masyarakat ekonomi ASEAN agak sulit kalau ada lahir baru perusahaan-perusahaan asuransi yang modalnya .......tidak besar. Jadi hampir impossible Pak misalnya ada mutuall baru lahir ketika ada pemegang polis yang sepakat untuk kumpulkan uang kira-kira 100 milyar atau lebih untuk mendirikan perusahaan asuransi baru. Sebetulnya ada jalan keluar Pak. Seandainya ini memang tidak ada lagi mutual, mungkin kan dikatakan lah aturan transisinya peralihannya kan bisa dinyatakan bahwa mutuall yang ada tidak dianggap tetap diakui seperti undang-undang yang sekarang berlaku kan dinyatakan bahwa mutuall yang ada tetap dianggap telah memiliki izin dan dianggap sebagai badan hukum ya. Meskipun barangkali perlu dipikirkan saya tidak tahu nanti keputusan Mahkamah Konstitusi menyatakan 2,5 tahun harus dibikinkan undang-undang Mutuall. Memang begini Pak, ketika sebuah asuransi mutuall itu tidak sehat pilihannya tinggal 2, dia tidak bisa suntik modal karena memang perusahaan asuransi mutuall itu kan memang perusahaan yang kita bilang less equity jadi tidak ada ekuitasnya perusahaan asuransi. Kalau PT kan selalu ada Pak, ada aset kemudian ada kewajiban, ada ekuitas. Kalau perusahaan mutuall itu tidak ada ekuitas karena pemegang saham adalah meskipun perusahaan mutual-nya untung seperti negara Jepang mungkin saja ada tapi ekuitasnya dari laba 75 Pak, laba ditahan bukan dari modal. Ketika sebuah mutuall tidak sehat pilihannya ada 3 : apakah dia kalau disuntik sudah tidak bisa, apakah dia itu didapat mutualisasi, diubah badan hukumnya menjadi PT sehingga bisa mengundang pihak investor bisa masuk itu .....mutualisasi, atau kalau tidak dimutualisasi barangkali dia bisa di-merger dengan perusahaan mutuall lainnya sedangkan sekarang kita kan cuma satu-satunya Bumiputera atau dilakukan begini tinggal bilang, pemerintah tinggal bilang kepada pemegang polis yang merangkap juga sebagai pemegang saham karena perusahaan ini rugi, perusahaan ini bermasalah. - KETUA RAPAT : Di AJB itu berapa yang .....berapa sekarang Pak? - OJK (FIRDAUS) : 5 juta Pak. Jadi gini Pak ketika mutuall tidak sehat sebetulnya regulator bisa bilang begini kepada pemegang polis yang sekaligus artinya dia menjadi pemegang saham, dia bilang: “anda nambah artinya membayar premi tambahan untuk menutupi kerugiannya”. Ini kan kalau sebagai pemegang saham kan ada bagi keuntungan, ada bagi rugi kira-kira begitu Pak”. Nah, kalau dia untung dia dapat deviden sebagai pemegang saham. Nah, kalau dia rugi dia harus bagi rugi, bagi rugi kan bisa artinya dia harus nambah preminya untuk menutupi kerugian atau nilai tunai dari polis dia dikurangi, pilihannya itu. Nah, terhadap perusahaan mutuall yang ada tadi ini untuk di ruangan kita saja Pak, memang harus diakui sekarang penyakit yang lama sekali yang sulit sekali mutuall di kita ini kan strukturnya itu ada yang kalau sekarang di Bumipetera ini Pak, ini ada direksi, ada komisaris, ada BPA. BPA itu kan Badan Perwakilan Anggota, dia badan yang mewakili pemegang polis, dipilih itu berdasarkan regional jadi ada katakanlah regional Sumatera, regional Jawa, regional Kalimantan, dan Indonesia bagian timur gitu. Nah, dahulu memang ini tidak tersentuh oleh Pemerintah sehingga mekanisme atau tata kelola pemilihan BPA ini menurut kami ini tidak bagus sehingga siapa yang terpilih menjadi anggota kita itu yang kebanyakan mungkin hampir semuanya tidak ngerti asuransi meksipun dia mungkin barangkali pemegang polis. Siapa BPA itu sekarang? Gubernur, walikota, bupati, rektor, kayak-kayak gitu lah yang jadi Pak yang dianggap barangkali oleh direksi itu mewakili tokoh daerah yang diharapkan dapat menambah bisnis di daerah. Tapi dia sebagai pengambil kebijakan tertinggi karena sidang BPA itu sama dengan RUPS Pak. Semua keputusan-keputusan penting termasuk pertanggungjawaban itu, pergantian direksi dan komisaris itu diputus di Rapat BPA yang kalau di PT adalah RUPS. Nah, mekanisme ini sekarang kami sedang benahi Pak, kami ingin terhadap Bumiputera ini pemilihan BPA misalnya itu harus melalui tata kelola yang benar, yang independen, tidak hanya menunjuk orang yang hanya sekedar tokoh yang tidak mengerti padahal fungsinya sangat penting sebagai itu. Itu didalam struktur organisasi mutuall seperti itu. Nah, kedepan ini memang kami benahi termasuk kami sudah keluarkan aturan OJK ini bahwa BPA yang akan dipilih itu nanti harus lulus fit and proper oleh OJK sehingga kami bisa membantu menyeleksi Pak. __ 76 - KETUA RAPAT : POJK-nya sudah ada Pak? - OJK (FIRDAUS) : Sudah ada Pak POJK-nya sehingga pantas kah dia duduk sebagai BPA karena pengambil keputusan itu menjadi penting. Nah, jadi yang kami sekarang ini apa yang kami lakukan terhadap terus terang memang Bumiputera ini kurang sehat Pak tetapi kami OJK dari dulu dan Pemerintah bertekad tetap harus Bumiputera ini harus eksis karena pemegang polis jumlahnya 5 juta ini Pak karena kejatuhan ini bisa menjatuhkan industri asuransi kira-kira begitu Pak. Kita sering bercanda tetangga dekat kayak Bu, kalau herritage ini kayak Borobudur, dia harus kita pertahankan itu. Jadi ini menjadi sebuah sesuatu yang harus kita pertahankan kira-kira begitu. Tapi kan dia bukan hanya sekedar mempertahankan tapi bagaimana menyebabkan dia harus eksis, harus mampu berbisnis, mampu bersaing kedepan. Nah, kami memang ada rencana beberapa strategi Pak bagaimana menyelamatkan Bumiputera ini karena terus terang kalau kita melakukan the mutualisasi pada Bumiputera agak sulit karena kita belum memiliki Undang-Undang Mutuall. Biasanya proses atau program atau SOP the mutualisasi itu harus kita tempatkan di undang-undang Mutuall. Jadi kalau undang-undang Mutuall itu belum ada, agak sulit kita melakukan the mutualisasi. ...... lain, seperti negara-negara lain .......Pak, ini sekedar gambaran. Misalnya kita akan cari katakan investor strategis dalam negeri Pak, syukur-syukur ini bisa katakanlah misalnya coba cari investor strategisnya katakanlah perusahaan yang mungkin BUMN atau anak perusahaan BUMN. Jadi ini katakan lah BUMN atau anak perusahaan BUMN dia punya asuransi kemudian kita ingin memindahkan ini portofolio bisnis Bumiputera ini kepada anak ini. Ini kita tidak melakukan mutualisasi, ini kita biarkan tetap atau apa induk saja Pak tapi bisnisnya kita kosongkan, portofolionya kita pindahkan kesini sehingga kekurangannya ini kita carikan disini investor yang bisa masuk dana karena dia sudah pindahkan bisnisnya ke anak perusahaan, disini dikosongkan. Hanya dengan begitu Pak, baru kita bisa ini perusahaan asuransi yang dibentuk oleh dalam negeri ini bisa disuntik. Kalau dananya cukup besar barangkali berarti kita coba carikan investor lain bergabung disini entah dari lokal kalau misalnya ada perusahaan asuransi yang mau ikut disini tapi tidak mayority, kita kasih minoritas karena sekedar untuk menutupi lobang yang ada ini katakan lah ketidakseimbangan antara aset dengan liabililties. Nah, kondisinya seperti itu Pak. Tapi percaya lah bahwa kita saat ini sampai saat ini kita tidak ada niatan untuk menghabiskan atau menutup itu tapi justru kita ingin selamat. Tapi lagi dicari kan ini investor strategis yang mau nanti menutup lobang ini dengan cara itu karena kalau langsung masuk Bumiputera tidak bisa Pak, dia sebagai mutuall tidak bisa disuntik. Yang ideal yang sekarang ini lebih mudah kalau tidak dilakukan mutualisasi seperti yang saya ulangi lagi adalah mengalihkan ....... portofolio bisnisnya. OJK diberi wewenang Pak diundang, dia berwenang untuk katakanlah. Kan kita punya wewenang yang namanya bisa menempatkan pengelola statuter, mengganti manajemen. Kalau ada 77 sebuah lembaga keuangan yang sebetulnya masih punya prospek baik tapi kemudian pengelolanya tidak bagus kita minta diganti pemegang sahamnya ga mau ganti karena mungkin ribut bisa saja ini terjadi Pak karena terjadi di sebuah... itu maka OJK seperti yang dikasih wewenang di undang-undang itu bisa mengganti manajemen dengan pengelolaan statuter. OJK juga diberi wewenang seperti yang Bapak-bapak berikan kepada OJK memberikan perintah tertulis, perintah tertulis untuk apa? Memerintahkan perusahaan untuk merger, memaksa perusahaan untuk merger, meminta perusahaan untuk katakanlah kita minta memindahkan portofolio bisnisnya ke perusahaan asuransi sejenis. Kalau bank mungkin ke bank sejenis, dalam upaya apa? Ini semata-mata untuk menyelamatkan pemegang polis. Kalau di bank barangkali untuk menyelamatkan deposan, kita bisa pindahkan portofolio bisnisnya ke lembaga sejenis, jadi itu Pak. Kalau misalnya sekarang ini ada suara-suara misalnya apakah itu kita tetap mengasih izin di undang-undang baru ini PT, kemudian tetap ada koperasi, tetap ada mungkin semangat ’45 nya kemudian ada mutuall katakan seperti yang sekarang ada. Sebetulnya kalau kita bicara realita Pak kedepan pun saya yakin yang akan lahir walaupun ada baru itu hanya PT tapi kalau hanya sekedar menempatkan ya ga ganggu juga bagi kami OJK, toh tidak akan perkirakan kami tidak akan lahir lagi karena yang bentuknya koperasi maupun PT. Sebagai gambaran Pak, kami atau .... mutuall. Kami didatangi oleh katakanlah beberapa koperasi besar. Dia bilang, kami akan bikin asuransi. Saya bilang bentuk hukumnya apa? Malah dia bilang kami akan bentuknya PT Pak anak perusahaan koperasi izinnya karena dia tidak mau bikin perusahaan asuransi bentuknya koperasi, dia bilang nantinya sulit Pak ketika harus nambah modal meminta lagi kepada anggota sulit. Jadi kami akan bikin tapi bentuknya PT sebagai anak perusahaan koperasi, itu sebagai gambaran. Kira-kira begitu Pak kondisinya apa yang sedang kami kerjakan tentang Bumiputera ini. Terus terang kami sekarang melakukan pendekatan kepada investor strategis untuk bisa nantinya menyuntik dalam arti ketika kita gunakan misalnya mekanisme mau memindahkan portofolio bisnis ini ke sebuah perusahaan asuransi yang sudah ada kemudian bisa menyuntik. Yang penting kemudian adalah bagaimana 5 juta pemegang polis Bumiputera ini bisa terselamatkan. Terima Kasih. - KETUA RAPAT : Bapak-bapak sekalian, Tadi sudah ada penjelasan ya dari Pak Firdaus tentang situasi yang dihadapi oleh satu-satunya industri asuransi yang berbadan hukum mutuall fund di Republik ini. Dan berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi ya Pak ya kalau tidak salah juga saya selalu dikasih oleh Pak Isa ini sudah ada keputusan Mahkamah Konstitusi-nya Pak karena kalau saya tadi kan semangatnya PT saja sesuai dengan RUU tapi Pak Isa selalu bilang ada keputusan Mahkamah Konstitusi. Jadi itu memang organ-organ ini tidak bertentangan juga dengan undang-undang gitu. Malah oleh Mahkamah Konstitusi diminta kita untuk mengatur yang namanya mutuall fund ini, kan begitu Pak ya. 78 Nah, sekarang Bapak-bapak sekalian kebetulan asuransi namanya mutuall fund ini namanya Bumiputera. Mungkin Pak Firdaus karena takut dilaporkan buka rahasia, tidak sampaikan kepada kita terus menerus apa yang terjadi didalam Bumiputera ini tetapi kita sama-sama paham lah, tidak perlu disampaikan dalam forum ini bahwa memang ada problem serius di insurance ini sebabnya malam ini kita undang beliau secara khusus disini supaya waktu kita ambil keputusan Pak karena ini terekam semuanya karena sudah mendengarkan apa yang disampaikan. Jadi kalau resiko-resiko berikutnya didalam itu tentu akan dipertanggungjawabkan sesuai dengan aturan undang-undang lah, saya kira begitu ya. Begitu Pak Basuki ya. Bapak -bapak sekalian yang saya hormati, Ini saya mau bertanya kepada Bapak-bapak sekalian, apakah kita akan segera mengambil keputusan atau mendiskusikan materi ini atau kita akan simpan sampai mata kita lebih terang besok pagi? Saya lihat Pak, ini Bapak Edwin saja kondisi kesehatannya masih bagus-bagusnya, ini mengatakan kita ambil keputusan saja. Bagaimana Pak? Memang itu kan yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi itu usaha bersama tapi tafsir yang diapakan di Undang-Undang Dasar secara bersama juga koperasi. Jadi kalau kita tutup itu, kalau di perbankan kita tidak tutup memang artinya tidak boleh ada lagi usaha perbankan, koperasi, dan usaha bersama. Itu artinya kita mematikan Undang-Undang Dasar. Bahwa realitasnya yang tadi disampaikan Pak Firdaus itu tidak jadi masalah, kita yang penting memang tidak melawan Undang-Undang Dasar. __ Jadi saya kira semangat Undang-Undang Dasar itu tidak boleh kita matikan di, kebetulan ini asuransi dibandingkan perbankan memang relatif agak kecil. Siapa tahu nanti muncul tokoh-tokoh mudah yang punya rasa kekeluargaan lebih bagus dari kita sekarang ini. Jadi jangan dimatikan itu yang anunya tetap saja kita apakan, apakah kita nanti diatur oleh undang- undang tersendiri atau apa kita berikan kewenangan kembali kepada OJK untuk mengaturnya seperti didalam Undang-Undang OJK. Kalau usaha bersama itu kan sudah jelas perintah Mahkamah Konstitusi tapi kalau koperasi itu tidak ada perintah atau apa, apakah kita memasukkan dia menjadi menu saja sepanjang Undang-Undang Dasar kita tidak berubah menurut saya menu ini tidak boleh kita matikan. Jadi artinya kalau kita matikan berarti mungkin barangkali 50 tahun yang akan datang kita ubah Undang-Undang Dasar itu kalau seluruh perundang-undanganya kemudian tidak boleh koperasi, tidak boleh mutuall fund. Jadi terjemahan Undang-Undang Dasar menjadi mati didalam undang-undang. - KETUA RAPAT : Ya, pak biasanya Pasal 1 sampai Pasal 4 itu Pak seingat saya. Bapak- bapak sekalian, Ini clear Pak ya. Jadi kita ambil berdasarkan urutan saja Pak. Saya kira bisa kita ambil keputusan ini ya. Bisa ya pak ya? Pemerintah? Oke, silakan kalau mau ada yang ditanggapi. 79 - STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA) : Terima kasih. Bapak Pimpinan, Bapak-bapak Anggota yang kami hormati, Sedikit saja mengklarifikasi karena memang pasal ini, DIM ini, ini langsung kita masukkan ke buku III Pak pada waktu itu. Jadi kami belum memberikan gambaran mengenai itu tapi dengan penjelasan dari Pak Firdaus tadi tentu kami akan tentu akan ringkaskan penjelasan. __ Pada saat kami menyusun rancangan undang-undang ini, kami memperhitungkan seperti yang tadi disampaikan oleh Pak Firdaus bahwa didalam praktek nanti tidak mudah bagi koperasi dan usaha bersama atau mutuall ini untuk bisa mendapatkan modal yang cukup untuk berusaha di bidang asuransi. Apalagi kalau kemudian dia menghadapi masalah kekurangan modal dan sebagainya yang tidak mempunyai mekanisme untuk menambah modal dia. Kemudian didalam perkembangannya, kami terus terang memang tergoda untuk melihat cara pandang yang lain dengan Undang-Undang Koperasi yang baru yang pada akhirnya dicabut secara keseluruhan oleh Mahkamah Konstitusi. Pada saat Undang- Undang Koperasi yang baru itu ada, ada mekanisme-mekanisme dimana koperasi dimungkinkan untuk menambah modal dengan menerbitkan sertifikat modal koperasi atau apa namanya begitu. Jadi memang cenderung menyerupai mekanisme-mekanisme yang bisa diterapkan di koperasi cenderung menyerupai PT pada saat Undang-Undang Koperasi yang terbaru waktu itu masih ada. Karena itu kami waktu itu membuka kembali diskusi dan pada saat itu kami pun mempertimbangkan untuk menyetujui usulan dari beberapa fraksi didalam DIM yang menginginkan koperasi tetap ada disitu. Tentu kami pemikiran ini menjadi sulit bagi kami setelah Undang-Undang Koperasi ini yang terbaru itu dibatalkan secara keseluruhan dan kita kembali kepada Undang-Undang Koperasi yang lama yang tahun ’92. Mengenai mutuall, kami mempunyai pemikiran pada waktu itu ada 2 yang terpenting : pertama, tidak ada undang-undang yang memberikan landasan hukum yang baik untuk badan hukum mutuall di Indonesia karena itu lah pada waktu itu memang ada perintah untuk dibuatkan undang-undang tersendiri mengenai hal tersebut. Tapi nyatanya pada saat kami menyelesaikan rancangan undang-undang ini, undang-undang itu tidak pernah ada dan artinya badan mutuall ini, badan usaha bersama ini tidak memiliki landasan hukum mengenai keberadaan, eksistensinya apalagi mengatur tata kelola. Jadi kalau tadi yang disampaikan oleh Pak Firdaus bahwa tidak ada, sulit untuk mengatur menata tata kelola mereka pada walaupun sekarang OJK sudah berusaha untuk melakukan hal tersebut. Pada saat ini tidak ada landasan hukum untuk melakukan bagaimana mutuall atau usaha bersama ini menyelenggarakan kegiatan hukumnya sebagai suatu entitas hukum. Kemudian yang kedua yang kami pertimbangkan pada waktu itu sebagaimana sudah dikemukakan oleh Pak Firdaus, perusahaan yang ada saat ini satu-satunya yang ada memang memiliki masalah. Dan kami pada waktu itu dengan tulus, dengan sejujurnya kami sampaikan sebetulnya keinginan kami untuk mengatakan semuanya PT adalah memberikan 80 mekanisme elegan dimana disepakati di DPR ini untuk menyelamatkan perusahaan ini dengan mengubahnya menjadi PT sebagai suatu upaya penyelamatan sebetulnya tapi melalui kewajiban di undang-undang. Nah, demikian mungkin saya ingin tadi itu adalah gambaran mengapa Pemerintah mengusulkan didalam rancangan undang-undang akhirnya hany PT. Perkembangannya tadi Undang-Undang Koperasi yang baru dibatalkan secara keseluruhan. Kemudian ada Mahkamah Konstitusi yang mengatakan tidak boleh ditutup ruang untuk upaya usaha bersama ini untuk tetap hidup di Indonesia karena itu juga sesuai dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Kami dari Pemerintah ingin dan sangat menghormati keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut karena itu, kami sekarang berada pada posisi dan kami ingin tetap menghormati keputusan itu artinya memang kita perlu atur bagaimana usaha bersama ini. Kemudian saya sependapat dengan Pak Harry Azhar kalau usaha bersama yang saat ini landasan hukumnya saja minimun, bisa dibilang tidak ada diakomodasi, kita tentu juga harus fair kepada koperasi jadinya. Itu pikiran logis saja, cara berpikir logisnya. Karena itu, Pemerintah sendiri saat ini secara umum melihat oke kami akan bisa menerima kalau koperasi ditambahkan disitu kembali. Tetapi kalau yang usaha bersama kami ingin mengusulkan kita tidak memperluas pada kemungkinan usaha-usaha bersama yang baru. Kami ingin usulkan oke usaha bersama yang ada kita akui bahkan kami bisa berikan misalnya oke kita berdasarkan undang-undang ini kita berikan status badan hukum khusus kepada yang ada sekarang ini. Tapi selain itu kami ingin menambahkan didalam undang-undang ini sebagai konsekuensinya adalah aturan-aturan lain, aturan-aturan prudensial yang akan bisa membantu OJK nanti yang betul-betul ya tidak mungkin ada koperasi baru yang menjalankan kegiatan usaha asuransi, kalau usaha bersama tadi kami usulnya betul-betul kita batasi Pak berdasarkan undang-undang ini hanya itu saja yang kita ini. Kita tidak membuka ruang usaha bersama yang baru. Kalau ada yang mirip-mirip seperti itu jadi koperasi saja karena koperasi sudah kita sudah punya landasan hukum undang-undang yang jelas mengenai hal itu. Untuk yang ada oke, kita akui bahkan kita usulkan, kita berikan status badan hukumnya tapi untuk koperasi maupun usaha bersama khusus yang eksisting ini seandainya tetap kita sepakati untuk kita pertahankan, kami mohon untuk dapat ditambahkan aturanaturan baru, misalnya yang kami mungkin bisa sampaikan pertama koperasi dan usaha bersama tidak boleh menjual polis asuransi kepada non anggota, dia hanya boleh menjual kepada anggotanya. Mungkin akan ada pertanyaan kalau gitu tidak bisa berkembang. Tentu bisa, kalau dia bisa menarik orang terlebih dahulu menjadi anggotanya baru kemudian menjual polis kepada yang bersangkutan. Yang kedua , yang kami mungkin ingin usulkan adalah, saya menggunakan kata mungkin nanti karena didalam diskusi mungkin berkembang yang lain. Yang kedua, bahwa untuk menjadi anggota ini seseorang ini harus membayar iuran pokok atau iuran wajib apapun namanya yang akan kita sebut. Jadi dengan demikian, setiap 81 perkembangan bisnis dengan bertambahnya anggota ini koperasi atau pun usaha bersama ini sudah terlebih dahulu di back up dengan tambahan modal dari calon pemegang polis tersebut. Kemudian yang ketiga , yang ingin kami usulkan adalah ada ketentuan yang secara tegas disini disampaikan bahwa keuntungan itu dinikmati bersama tentunya secara proporsional, kerugian juga harus ditanggung bersama oleh para anggota. Mengenai aturan pembagiannya pengenaan, pembebanannya dan sebagainya kita bisa serahkan kepada OJK mengenai hal tersebut. Nah, dengan adanya usulan yang ketiga ini apabila dapat diterima ini juga sekaligus mendorong, mendesak pada asuransi usaha bersama pada saat ini itu juga men-declear keuntungannya berapa dan kerugiannya berapa akumulasinya saat ini. Dan kemudian mendorong mereka untuk mengemukakan kepada anggota ini loh akumulasi keuntungan yang bisa dibagi atau ini akumulasi kerugian yang harus ditanggung bersama sehingga dengan demikian OJK juga akan mempunyai kekuasaan atau kewenangan untuk melakukan kekuasaan atau kewenangan untuk melakukan diskresi nah ternyata seperti ini situasinya, pilihan ada. ini juga akan meng-involve.....(mic bermasalah) pengawasan dan koreksi terhadap perusahaan asuransi ....usaha bersama...... Apa yang di 3 tadi, Pak Isa coba diulangi? - STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA) : Pertama Pak, kami usulkan pertama dia tidak boleh menjual polis kepada non anggota. Kedua, untuk menjadi anggota orang harus melihat......, yang ketiga ...... akumulasi keuntungan atau akumulasi kerugian .... ( suara tidak terdengar ) - KETUA RAPAT: Bapak-bapak sekalian, Sudah nyala belum Pak? - F-PG (DR. H. HARRY AZHAR AZIS, M.A.): Kalau perlu kita berikan kewenangan kepada OJK untuk penjelasan atau ketentuan lebih lanjut kita berikan kewenangan kepada OJK untuk membuat dalam bentuk POJK itu. Saya kira dengan demikian tapi bentuknya dia sebagai menu tetap hidup tapi OJK jangan kecendrungannya untuk mematikan. Jadi justru dalam peraturan OJK itu bagaimana merangsang artinya ada insentif-insentif orang lebih tertarik menjadi anggota usaha bersama atau anggota koperasi. Itu yang harus diapakan. Bahwa dia tidak hidup ya itu realitas yang ada memang tapi jangan kita berikan kewenangan nanti kecendrungan OJK justru mematikan gitu atau meniadakan. Itu yang harus kita kasih pesan yang kuat gitu. Jadi apakah nanti insentif-insentif itu nanti akan apa itu silakan OJK memikirkannya, jangan kita lah yang memikirkannya. - STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA) : Terima kasih Pak. 82 Kami memang sependapat kalau memang dibuka menunya tentu tidak boleh kemudian secara diskriminatif atau pun secara tendesius gitu kemudian tetap dimatikan tentu kita harus fair gitu. Tapi juga kami nanti tentu mengharapkan OJK juga tidak membuatnya menjadi begitu mudah sehingga malah mengganggu kesehatan perusahaan itu sendiri jadi tetap harus seimbang antara kemudahan dan juga kemampuan perusahaan itu nantinya untuk menjaga kesehatan untuk menjaga keseimbangan antara kewajiban dan sebagainya didalam pelaksanaannya. Kalau begitu kita masukkan juga. Jadi ada semacam konversi pengertian kesehatan di PT itu konversinya di kesehatan koperasi, konversinya di kesehatan di usaha bersama itu kita minta OJK merumuskannya. Konversi mengenai good governance tadi misalnya pernyataan Pak Firdaus, BPA itu menjadi RUPS, nah itu bagaimana konversinya. Itu harus dibuat menjadi governance betul. Nah, kalau di perbankan itu ada satu tambahan yaitu kontribusinya bagi perekonomian nasional mana yang lebih besar. Nah, itu yang nanti orang pada akhirnya itu berebut dan itu kan tujuan dari Undang-Undang Dasar kita dulu yang seperti itu yang sampai sekarang masih hidup jiwanya, tubuhnya saja tidak ada, jiwanya masih ada. Jadi kalau kita sepakat saya kira tinggal dirumuskan bagaimana, nanti baru dalam tim perumus kita apakan. STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA) : Bapak Pimpinan yang kami hormati, Bapak-bapak Anggota Panja, Ada satu sedikit hal lagi. Ini yang mungkin satu hal lagi yang kami mohon pertimbangan juga yaitu segala hal yang terkait dengan ini masih terbuka untuk diskusi, segala hal yang terkait dengan prudensial dari perusahaan asuransi yang berbentuk koperasi atau usaha bersama ini sudah jelas itu adalah wilayah OJK. Jadi mengenai ketentuan kesehatannya, mengenai berapa kira-kira iuran pokok atau iuran wajib yang harus dibayarkan sebelum menjadi anggota dan sebagainya karena itu terkait dengan kekuatan perusahaan, kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban dan sebagainya. __ Hal yang spesifik yang ingin kami sampaikan adalah terkait dengan status badn hukumnya dan juga mengenai hal-hal isu yang meyangkut tata kelolanya. Dalam pandangan sementara kami, melihat kesetaraan- kesetaraan juga bagaimana PT, koperasi, itu mengenai ke- badanhukuman-nya itu adalah tetap itu tetap adalah Pemerintah yang memberikan status dan sebagainya itu. Tapi bahwa izin usaha dan sebagainya ada di otoritas. Jadi kami ingin mengusulkan bahwa aspek badan hukum dan tata kelola ini tetap ada pada Pemerintah ya, tetap pada Pemerintah dalam hal ini nanti lebih spesifik sebetulnya nanti adalah Kementerian Hukum dan HAM yang mengenai hal ini. Tapi hal-hal lain yang menyangkut isu kesehatan keuangan kemudian persyaratan untuk menjadi anggota yang sebetulnya yang tentunya berpengaruh kepada kesehatan perusahaan tentu adalah wilayah OJK untuk mengaturnya lebih lanjut. __ Demikian mungkin sedikit tambahan usulan mengenai hal tersebut Pak. 83 - KETUA RAPAT : Bapak-bapak sekalian, Saya kira hal ini sudah padat sekali penjelasannya Pak ya. Sampai- sampai saya ini sudah penjelasan tambahan kayaknya sudah lewat saja, sudah tidak nampung lagi kepala saya, sudah terlalu banyak betul penjelasannya. Jadi sudah tidak muat kepala ini. __ Bapak-bapak sekalian, Mungkin kita bisa ambil keputusan Pak kelihatannya ini. Jadi kita masuk ke bentuk badan hukum ya, bentuk badan hukum itu yang pertama Perseroan Terbatas ya Pak ya, penguasa gimana Pak? penguasa sendiri tidak, penguasan itu sendiri, bagaimana penguasa setuju? Setuju Pak ya? __ (RAPAT : SETUJU) Penguasa sendiri saja duduk, belum mau bagi-bagi sama kita kekuasaan ya. Yang kedua, usaha koperasi, setuju Pak ya? Nah, ini lain ini ada pendapat? Silakan Pak. __ Terima kasih. Didalam Undang-Undang Dasar memang dimungkinkan adanya usaha bersama tapi apakah artinya luas, artinya semua kegiatan usaha memberikan peluang terbukanya usaha bersama atau kah kita bisa batasi bahwa tidak semua jenis usaha harus dilakukan secara bersama kan tidak berarti semua harus dibuka seluas-luasnya untuk bersama kan? Bia tidak diartikan demikian? kalau bisa diartikan demikian maka apakah asuransi merupakan salah satu jenis usaha yang tidak dilakukan bersama? Ini hanya sebagai .....saja. - KETUA RAPAT : Pak, saya perlu ini barangkali ini ada buku menarik ini. Doktor Muhammad Hatta, penjabaran Pasal 33 Undang-Undang Dasar ’45, ini buku sudah tua sekali Pak sampai warnanya saja sudah berubah, tadi saya dikasih dari belakang. Saya kira perlu ini Pak, kuliah ekonomi juga mestinya kasih buku begini kalau.....konstitusi ini. Saya ......oleh Doktor pendiri negara kita ini, Pasal 33 Undang-Undang Dasar kita tidak bersumber kepada falsafat pragmatisme demikian itu melainkan bersumber kepada falsafat negara Pancasila kita. Dengan jelas ayat (1) dimulai dengan ketegasan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Ada 2 keywords, ada 2 kata kunci disini yaitu kata usaha bersama dan kata asas kekeluargaan dirangkaikan menjadi satu kalimat maka kata kunci itu tidak mungkin memberikan tafsiran lain daripada bahwa yang dimaksud dalam ayat itu adalah usaha dan aktivitas koperasi. Jelas ini Muhammad Hatta yang tulis tapi bukan Hatta kita ini kalau Hatta kita ini belum nulis buku dia, sebab kedua istilah itu berasal dari dunia pergerakan koperasi baik didalam maupun didalam negeri. Jadi menarik buku ini, saya sudah copy buku ini nanti dibagi-bagi semua ini termasuk Pak Firdaus, jangan terlalu liberal Pak Firdaus. Kalau Pak Isa ini sudah jelas alirannya agak sosialis Pak Isa. ini. Ya, oke itu Pak ya kalau begitu Pak ya koperasi, setuju Pak? 84 (RAPAT : SETUJU) Yang ketiga adalah usaha bersama, bahasanya ini jadi mutuall Pak. Bagaimana Pak? - STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA) : Usaha bersama ini kami sekali ingin mengusul hanya usaha bersama yang ada saat ini tidak untuk dikembangkan lagi. - KETUA RAPAT : Jadi usaha bersama yang ada sekarang ini, begitu Pak ya. Yang eksisting ini saja ya AJB nanti dimasukkan dalam penjelasannya ya Pak usaha bersama yang dimaksud. Dengan catatan kalau muncul lagi itu diarahkan ke bentuk usaha koperasi. Nah, itu tadi pengertiannya Pak Edwin itu tadi. Jadi kita batasi didalam undang-undang ini tapi yang sudah ada kita tidak matikan ya. - KETUA RAPAT : Begitu Pak ya? oke. __ (RAPAT : SETUJU) Jadi usaha bersama dengan catatan penjelasan bahwa yang dimaksudkan itu dengan eksiting sekarang ini dan mendorong agar supaya di masa mendatang kalau ada yang menghendaki jenis usaha yang sama agar mengambil badan hukum yang berbentuk koperasi. Kira-kira begitu lah Pak ya, nanti kita formulasikan bahasanya. - KETUA RAPAT : Bapak-bapak sekalian, Ini ada saya mau urutannya ini keputusannya terurut ya Pak ya. Jadi kembali kepada tadi perseroan terbatas, koperasi, dan usaha bersama Pak ya yang ada saat ini, begitu ya keputusannya ya. __ (RAPAT : SETUJU) Dan kemudian ada beberapa keputusan tambahan karena itu berkaitan dengan materinya Pak ya, materi yang pertama berkaitan dengan pengaturan tambahan mengenai koperasi usaha bersama. Ini akan kita diskusikan besok pagi Pak ya karena kalau didiskusikan ini malam, ini juga sudah tidak jelas kemana ini. Setuju Pak Isa ya? Jadi peraturan lebih lanjut mengenai koperasi usaha bersama ini akan kita diskusikan besok. Saya harap teman-teman OJK ini, Bapak-bapak OJK ini bisa masih hadir besok tapi Pak Firdaus ini rupanya besok wisuda, anak apa cucu Pak? oh anak makanya saya kaget juga ini, ini jangan salah pilih kita ini, kakek- kakek kita pilih ya tidak Pak ya? selamat Pak wisuda anaknya, selamat, besok ada wisuda. Saya kira Pak Dumoli sama Pak Alim harus tetap bertahan disini. Gitu Pak ya? jadi peraturan lebih lanjutnya lagi akan kita lanjutkan. Mengenai PP Pak ini tambahan saja Pak sekedar pertimbangan 85 juga sebelum besok kita masuk, saya dibisiki dari staf ahli saya juga mungkin dari MenkumHAM juga bisa kasih pertimbangan. Perintah petita- nya Mahkamah Konstitusi itu mengatakan membentuk Undang-Undang tentang Usaha Bersama Pak kalau tidak salah. Jadi kalau saya dikasih masukan, apakah tidak mendegradasi keputusan kalau kita bikinnya itu memerintahkan lagi kepada PP gitu jadi harus dicari celahnya menurut saya gitu ya yang mungkin kita atur ini adalah celahnya gitu tentang usaha bersama ini. Tapi tentu yang kita bicarakan disini usaha bersama dibidang asuransi ya kan, asuransi usaha bersama di bidang non asuransi ada ga Pak? ga ada. Mutuall fund sebenarnya dikenal dalam bidang keuangan tetapi bukan asuransi Pak, itu pengumpulan dana apa yang disebut dengan mutuall fund itu di Amerika itu banyak juga perusahaannya tapi bukan asuransi. Kalau tidak salah saya di Amerika itu bentuknya bukan asuransi istilahnya disebut sebagai mutuall fund, mutuall fund juga ya untuk investasi, fund saja gitu loh. Jadi gitu ya dipertimbangkan saja. - STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA): Terima kasih Pimpinan. Saya sekedar ini saja untuk kita diskusikan besok mengenai hal tersebut. Keputusan Mahkamah Konstitusi itu menambahkan saja frasa setelah kalimat yang ada di UndangUndang Nomor 2 tahun ’92. Saat ini undang- undang ini tanpa tambahan dari Mahkamah Konstitusi bunyinya : ”ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama diatur lebih lanjut dengan undang-undang”. Jadi yang diperintahkan diatur dengan undang-undang ini adalah ketentuan mengenai usaha perasuransian oleh usaha bersama bukan mengenai usaha bersamanya sendiri. Itu satu. Kemudian Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi menambahkan anak kalimat setelah itu paling lama 2 tahun 6 bulan sejak putusan Mahkamah Konstitusi, kira-kira 3 bulan yang lalu Pak. Jadi kalau kita membaca ini secara lengkap, ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama diatur lebih lanjut dengan undang-undang paling lama 2 tahun bulan setelah atau sejak, nanti kita cek, putusan Mahkamah Konstitusi dibacakan atau diucapkan. Dengan demikian kami sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011, kami melihat ada peluang kita menjalankan keputusan Mahkamah Konstitusi itu dengan mengatur mengenai usaha perasuransian yang dilakukan oleh usaha bersama dengan undang-undang yang akan kita buat ini. Tapi boleh besok pagi kita eksplor lebih lanjut pandangan hukumnya. Itu pandangan kami, kajian-kajian yang kami lakukan secara internal di Kementerian Keuangan. __ Adapun mengenai bentuk hukum dari usaha bersama sendiri, ini bukan secara spesifik menjadi aspek yang diatur diperintahkan oleh Pasal 7 ayat (3) undang-undang yang ada sekarang. Jadi seandainya toh kita atur mengenai usaha perasuransian berbentuk usaha bersama didalam undang-undang yang akan kita buat ini, menurut hemat kami itu dapat kita lakukan. Jadi sekaligus kita penuhi juga keputusan Mahkamah Konstitusi. Kemudian khusus mengenai aspek ke-badanhukuman-nya ya undang- undang ini bisa mendelegasikan kepada siapa saja dan hal ini usulan kami 86 adalah kepada Peraturan Pemerintah. Tapi kami tetap terbuka kalau besok ada diskusi-diskusi lebih lanjut dari aspek legal mengenai hal ini. Terima kasih Pak Pimpinan. __ - KETUA RAPAT : Bapak-bapak sekalian, Saya kita itu sekedar tambahan saja. Kita sudah ada keputusan, badan hukumnya ada 3 : perseroan terbatas, koperasi, usaha bersama ....catatannya tadi itu ada diatas Pak. Selanjutnya besok kita akan membicarakan lebih detail lagi mengenai aspek-aspek tambahan dalam Undang-Undang Koperasi itu Pak ya materinya. __ Saya kira kita skors rapat kita ini sampai besok pagi jam 09.00 ya, betul Pak? ya, 09.35 lah kira-kira begitu ya. Jadi kita skors sampai jam 09.30 besok pagi. • Terkait dengan Pasal 6 ayat (3) sepanjang frasa “Badan Hukum Usaha Bersama” UU PERASURANSIAN dalam Masa Persidangan IV Rapat Panja dengan Tim Kementerian Keuangan (Kepala BKF), OJK, Sabtu, 30 Agustus 2014. Dalam Rapat Panja RUU tentang Usaha Perasuransian: - KETUA RAPAT: Bapak-bapak sekalian yang saya hormati, Kita dapat tugas tadi malam untuk melanjutkan materi yang berkaitan dengan usaha bersama ini. Jadi ini masih ada ......soal usaha bersama ini, interpretasinya ini soal undang-undang atau apakah kita undang- undangkan atau cukup Peraturan Pemerintah. Saya kira silakan Pemerintah. - STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA): Bapak Pimpinan, Bapak-bapak yang saya hormati, __ Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Berkenaan dengan pandangan mengenai peraturan lebih detail mengenai bentuk badan hukum atau mengenai badan hukum....... kami sebagaimana kami kemukakan tadi malam juga berpandangan bahwa pertama keputusan Mahkamah Konstitusi sebetulnya adalah tidak mengubah secara signifikan dari ketentuan Pasal 7 ayat (3) tahun.........kecuali menambahkan jangka waktu atau harus diselesaikannya undang-undang yang mengatur mengenai usaha perasuransian berbentuk usaha bersama. Jadi sekali lagi kami sampaikan bahwa kalau kemudian kita membaca Pasal 7 ayat (3) yang sudah dilengkapi dengan hasil keputusan Mahkamah Konstitusi maka kita akan mendapatkan kalimat ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama. Jadi yang perlu diatur adalah usaha perasuransian oleh badan usaha yang berbentuk usaha bersama diatur lebih lanjut dengan undang-undang, paling lama 2 tahun 6 bulan setelah atau sejak dibacakannya putusan Mahkamah Konstitusi. Dari kalimat tersebut, pemahaman kami adalah yang perlu diatur dengan undang-undang itu adalah ketentuan mengenai usaha perasuransian oleh usaha bersama, tidak secara spesifik mengenai badan hukum usaha bersamanya itu sendiri tapi mengenai usaha perasuransian oleh badan 87 hukum yang berbentuk usaha bersama karena itu sepanjang kita sudah memuat beberapa aturan pokok mengenai kegiatan usaha perasuransian yang dilakukan oleh usaha bersama maka undang-undang ini juga bisa dipakai sebagai bukti bahwa DPR dan Pemerintah sudah memenuhi keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut karena disini juga digunakan, diatur dengan undang-undang. Artinya tidak harus spesifik undang-undang khusus mengenai hal tersebut, bisa dilakukan di undang-undang mana pun. Ada pun yang kami pandang sebagai aturan mengenai usaha perasuransian oleh usaha bersama itu bisa aturannya spesifik, bisa juga aturan yang diberlakukan sama untuk usaha bersama maupun untuk badan-badan usaha lain PT, koperasi dan sebagainya. Dengan kata lain, didalam undang-undang ini bisa jadi ada peraturan-peraturan yang spesifik mengenai pengaturan usaha perasuransian oleh usaha bersama, kami kemarin juga sudah sampaikan beberapa pemikiran yang mungkin bisa ditambahkan disitu yang merupakan kekhasan dari usaha perasuransian oleh usaha bersamam dan koperasi. Semalam kami usulkan ada 3 hal yaitu bahwa dia tidak boleh menjual polis kepada non anggota, kemudian untuk menjadi anggota orang diminta untuk membayar iuran pokok atau iuran apa pun nanti namanya, kemudian yang ketiga akumulasi keuntungan, akumulasi kerugian itu pada dasarnya harus didistribusikan secara merata kepada seluruh anggota. Itu adalah aturan-aturan mengenai usaha perasuransian yang sifatnya khas, yang sifatnya spesifik bagi usaha bersama. Yang kebetulan nanti kita terapkan untuk koperasi. Sementara aturan yang lain mengenai tingkat solvabilitas, mengenai kewajiban untuk mendapatkan izin usaha, kewajiban untuk memiliki tata kelola membuat aturan tertentu yang ditetapkan oleh OJK. Seluruhnya mungkin kita bisa persamakan antara PT dan koperasi dan usaha bersama atau ya nanti tergantung kita serahkan diskresi kepada OJK didalam peraturan-peraturan pelaksanaannya, peraturan OJKnya apakah memang perlu dibedakan antara PT, usaha bersama dan koperasi. Oleh karena itu, Bapak Pimpinan, Bapak-bapak Anggota Panja yang kami hormati, dalam pandangan kami kalau kita sudah membuat pengaturan pertama menyatakan bahwa badan usaha bersama ini adalah badan hukum dan dapat tetap melanjutkan kegiatan usaha perasuransiannya. Kemudian kita menambahkan 3 atau mungkin beberapa yang nanti spesifik mengenai usaha perasuransian. Kemudian kita mendelegasikan pengaturan lebih lanjut mengenai tata kelola, mengenai tata cara perubahan bentuk badan hukum dan sebagainya kepada PP dan mengenai aturan-aturan prudensial lain kepada POJK. Menurut kami itu sudah menunjukkan DPR dan Pemerintah sudah membuat undang- undang, ketentuan didalam undang-undang yang mengatur mengenai usaha perasuransian oleh badan hukum berbentuk usaha bersama. Demikian mungkin pandangan-pandangan dan argumen yang kami sampaikan sehingga dalam pandangan kami oh ada satu lagi Bapak Pimpinan, Bapak-bapak yang kami hormati. Kalau untuk misalnya saya sangat mengerti argumen kita harus membuat sebetulnya ketentuan mengenai satu badan hukum, paling tepat idealnya adalah undang- undang. Saya bisa memahami logika itu. Tapi karena kita juga semalam sudah bersepakat, kita tidak membuka usaha bersama yang lain hanya 88 yang eksisting ini dan di kemudian hari kalau ada yang ingin menerapkan pola yang serupa kita dorong untuk menggunakan koperasi. Akan terlalu mahal kita Pak untuk kita mengupayakan undang-undang yang hanya mengatur satu badan hukum private di Indonesia ini. Itu argumen lain yang ingin kami sampaikan sehingga kami melihat bahwa ini bisa kita akomodasi di undang-undang ini, pernyataan badan hukumnya ada di undang-undang yaitu undang-undang ini memang ini satu kekhususan. Kemudian pengaturan-pengaturan lain kita serahkan kepada Peraturan Pemerintah menyangkut tata kelola dan POJK untuk yang menyangkut prudensial di bidang usaha perasuransian. Demikian Pak. Terima Kasih. - KETUA RAPAT : Bapak-bapak sekalian, Intinya kita sudah mengadopsi keberadaan usaha bersama ini. Soal undang-undangnya nanti juga saya perhatikan perseroan terbatas kan sudah ada undang-undang, koperasi juga sudah ada undang-undang. Nah, usaha bersama ini belum ada, akan dibentuk 2,5 tahun. Ini kan putusannya kapan? 2014? Masih lama Pak, masih ada 2 tahun lagi. Jadi kita ga perlu tambahkan didalam undang-undang ini frasa untuk memerintahkan membentuk lagi undang-undang begitu loh, itu hanya menimbulkan konflik dengan keputusan yang lebih tinggi daripada kita. Jadi cukup kita mengatur bahwa badan usaha didalam asuransi itu ada 3 bentuk hukumnya : perseroan terbatas, koperasi, usaha bersama sudah begitu Pak. Usaha bersama itu ya memang sudah ada memang untuk memberikan alasan hukum saja kepada asuransi, saya juga sudah baca salinan putusan Mahkamah Konstitusi itu walaupun sekilas memang ya sudah begitu Pak. Dan kedua, Pak Isa sebetulnya sih undang-undang ini yang mengatur satu jenis usaha itu banyak Pak, misalnya : BPJS itu kan Jamsostek saja itu yang berubah kan misalnya diubah menjadi BPJS, macam-macam. Jadi ada banyak kan, undang-undang 32, 34 itu tentang pengendara juga cuma satu juga kan. Jadi biarlah itu menjadi materi yang diperintahkan oleh Mahkamah Konstitusi dan menjadi PR Pemerintah dan DPR ya untuk membentuk Undang-Undang tentang Usaha Bersama, apakah nanti itu diputuskan hanya untuk mutuall fund Bumiputera atau apakah nanti Pemerintah baru dia pikir-pikir karena perlu juga mutuall fund yang lain lagi, silakan saja itu kita kasih kesempatan bagi mereka untuk memikirkan. Yang pasti kita dalam undang-undang ini cukup bahwa yang ada sekarang ini sudah kita kasih alas hukum dan oleh karena itu mereka tidak perlu merasa terdiskriminasi lagi. Dan tadi malam sudah dijelaskan Pak Firdaus jan road map penyelesaiannya itu, kalau tidak selesai-selesai ya OJK-nya yang kita ikut ini ya Pak Sugi ya kalau tidak selesai-selesai juga biar.... namanya asuransi jasa Bumiputera. Kalau tidak bisa juga OJK baru kita kirim Pak Isa untuk beresin itu, apakah likuidasi atau ya kan gitu kira-kira. Jadi Pak ya oke ya. Nah, sekarang yang ketiga saya ingin tambahkan Pak ini untuk usaha bersama ini menurut saya ada satu pasal yang mesti kita masukkan tambahan sedikit khusus untuk usaha bersama ini. Kalau koperasi ini banyak di dalam catatan saya ini ada beberapa materi yang akan kita putuskan untuk koperasi dan usaha bersama harus ada pengaturan yang 89 jelas mengenai: satu, polis hanya dapat dijual kepada anggota ya Pak ya? _begitu Pak ya? jadi materi yang mau kita atur itu:
Polis hanya dapat_ dijual kepada anggota. Cuma dalam catatan hukum teman-teman tadi malam itu tidak masalah ya? itu polis hanya dapat dijual kepada anggota, tadi malam sudah dijelaskan Pak Isa. Ada tanggapan Pak? Ga apa-apa ya? kita ketok palu ini kalau tidak ada tanggapan? Pak Isa, mau diubah pendapatnya? Bapak tidak ragu-ragu? Ya, sudah yakin ya sudah kita ketok palu. Jadi materinya itu polis hanya dapat dijual kepada anggota yang kita atur dalam bentuk pasal sendiri ya nantinya, ketentuan sendiri. (RAPAT : SETUJU) PETITUM DPR RI Bahwa berdasarkan keterangan tersebut di atas, DPR RI memohon agar kiranya, Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut:
Menyatakan bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga Permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menolak Permohonan a quo untuk seluruhnya;
Menerima keterangan DPR RI secara keseluruhan;
Menyatakan Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618) tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat; dan
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita negara republik Indonesia sebagaimana mestinya. Apabila Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). [2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Presiden memberikan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 18 Agustus 2020 dan didengarkan dalam persidangan pada tanggal 19 Agustus 2020, serta keterangan tambahan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 7 September 2020, yang pada pokoknya mengemukakan hal sebagai berikut: 90 TENTANG KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) PARA PEMOHON Sebelum memberikan penjelasan mengenai pokok permasalahannya, perlu kiranya terlebih dahulu dilakukan pengujian terhadap aspek formal yakni legal standing para Pemohon. Untuk itu perkenankan kami memberikan pendapat sebagai berikut:
Bahwa dalam permohonannya, para Pemohon keberatan terhadap keberlakuan pasal a quo karena pengaturan lebih lanjut mengenai badan hukum Perusahaan Asuransi berbentuk Usaha Bersama ke dalam Peraturan Pemerintah, dianggap bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-XI/2013 yang bersifat final dan mengikat.
Bahwa oleh karena yang dijadikan batu uji para Pemohon adalah putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-XI/2013, maka perkenankan terlebih dahulu kami menyampaikan hal-hal terkait dengan putusan dimaksud:
Bahwa permohonan uji materi tersebut diajukan oleh para Pemegang Polis (Pemilik Badan Usaha) Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera terhadap ketentuan Pasal 7 ayat (3) UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian dengan alasan ketentuan pasal tersebut mengamanatkan pengaturan tentang usaha perasuransian dengan bentuk Usaha Bersama diatur dengan undang-undang, sedangkan sampai dengan permohonan uji materi tersebut diajukan, masih belum diterbitkan undang-undang tersebut.
Bahwa terhadap permohonan tersebut, Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan putusan yang amarnya pada pokoknya menyatakan bahwa ketentuan Pasal 7 ayat (3) UU 2 Tahun 1992 yang diajukan permohonan uji materinya tersebut, dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “... diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang’ dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan Mahkamah ini diucapkan.
Bahwa dapat kami sampaikan, pada saat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dibacakan, sedang dilakukan pembahasan perubahan UU 2 Tahun 1992. Oleh karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi dimaksud, juga dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam perumusan perubahan UU 2 Tahun 1992, yang selanjutnya kami kutip sebagai berikut: “… dengan mempertimbangkan putusan MK tersebut, kepastian hukum bagi badan hukum asuransi Usaha Bersama akan terpenuhi jika amanat 91 putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dilaksanakan. Oleh karena itu, pengakuan atau penetapan perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama sebagai suatu badan hukum, perlu dituangkan dalam undang- undang ini, untuk mengakomodir keberadaan satu-satunya perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama yang sudah ada di Indonesia, yaitu Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912. Di samping itu, ketentuan mengenai tata kelola, persyaratan, tata cara persyaratan menjadi badan hukum perseoran terbatas atau koperasi, dan tata cara pembubaran serta ketentuan lain bagi perusahaan perasuransian yang berbentuk badan hukum Usaha Bersama, akan diatur dalam bentuk Peraturan Pemerintah ( vide Naskah Akademik RUU tentang Perasuransian halaman 63 alinea 3).
Bahwa apabila dikaitkan dengan tenggang waktu yang diamanatkan oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam putusan No.32/PUU-XI/2013, maka Pembuat Undang-Undang sebelum tenggang waktu 2 tahun 6 bulan sejak putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dibacakan, tepatnya pada tanggal 17 Oktober 2014, telah menetapkan UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (UU 40 Tahun 2014) yang didalamnya juga mengatur tentang usaha perasuransian dengan bentuk Usaha Bersama. Sehingga Pemerintah telah menjalankan amanat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas dengan menerbitkan UU 40 Tahun 2014 dalam jangka waktu sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi.
Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, maka maksud dari permohonan para Pemohon, telah terpenuhi yakni dengan telah diakuinya perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama yang telah ada pada saat UU 40 Tahun 2014 diundangkan, sebagai badan hukum penyelenggara Usaha Perasuransian. Selain itu, permohonan para Pemohon juga telah terpenuhi dengan diaturnya usaha perasuransian dengan bentuk Usaha Bersama dalam UU 40 Tahun 2014.
Bahwa dengan terpenuhinya permohonan para Pemohon tersebut, maka apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2011, yang mensyaratkan Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang , maka para Pemohon a quo tidak 92 memenuhi syarat-syarat tersebut, karena pada kenyataannya putusan Mahkamah Konstitusi No.32/PUU-XI/2013 telah ditaati oleh pembuat UU 40 Tahun 2014 sebagaimana telah kami kemukakan di atas.
Bahwa selain tidak memenuhi legal standing , permohonan a quo juga telah kehilangan obyek dengan telah diaturnya jenis usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama dalam UU 40 Tahun 2014. PENJELASAN PEMERINTAH ATAS MATERI PERMOHONAN YANG DIMOHONKAN UNTUK DIUJI A. Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian Sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya, Pada saat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dibacakan, Pembentuk Undang-Undang tengah melakukan pembahasan perubahan UU 2 Tahun 1992. Oleh karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi dimaksud, juga dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam perumusan perubahan UU 2 Tahun 1992, sebagaimana disebutkan dalam halaman 63 alinea 3 Naskah Akademik RUU tentang Perasuransian. Bahwa selain itu, lahirnya UU 40 Tahun 2014, dilatarbelakangi oleh suatu keadaan dimana peraturan perundang-undangan sektor jasa keuangan yang ada pada saat itu, khususnya di bidang perasuransian telah tertinggal dibanding dengan kemajuan dan perkembangan di industri maupun standar di praktek internasional. Akibatnya, banyak celah hukum yang apabila tidak segera ditangani dan diantisipasi, berpotensi menimbulkan keadaan yang merugikan masyarakat dan kontra produktif bagi pertumbuhan dan perkembangan industri perasuransian serta sektor jasa keuangan dan perekonomian nasional pada umumnya. Oleh karena itu, Pembuat Undang-Undang, pada saat itu pembentukan UU 40 Tahun 2014, telah melakukan identifikasi masalah, dalam rangka menyusun kerangka pembaharuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian. Ada beberapa hal yang menjadi perhatian dalam pembaharuan peraturan bidang perasuransian, yakni:
Perlunya Penyesuaian Pengaturan Dan Pengawasan Industri Perasuransian Di Indonesia Yang Selaras Dengan Standar Praktik Terbaik ( Best Practices ) Yang Berlaku Secara Internasional. Standar praktik terbaik internasional di bidang perasuransian adalah Insurance Core Principles, Standards, Guidance and Assesment Methodology 93 (selanjutnya disebut ICPs) yang diterbitkan oleh International Association of Insurance Supervisors (selanjutnya disebut IAIS), selaku organisasi internasional yang menaungi para regulator atau supervisor di bidang perasuransian. ICPS tersebut ditetapkan pada tahun 2000 dan terakhir kali diperbaharui pada Oktober 2011. ICPs telah menjadi panduan bagi regulator atau pengawas perasuransian di seluruh dunia dalam melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan terhadap industri perasuransian. Sebagai bagian dari komunitas global, Indonesia harus berkomitmen agar pelaksanaan fungsi pengaturan dan pengawasan industri perasuransian selaras dengan standar praktik terbaik ( best-practice standard ), sebagaimana ditetapkan dalam ICPs. Dalam upaya meningkatkan daya saing industri perasuransian di Indonesia, baik di kawasan regional maupun internasional, penerapan standar praktik terbaik baik pada sisi pengaturan maupun pengawasannya, merupakan hal yang tidak dapat dihindari lagi. Oleh karena itu, peraturan terkait perasuransian harus memuat pengaturan mengenai prinsip-prinsip dasar asuransi sesuai dengan ICPs yang telah ditetapkan oleh IAIS. Sistim Pengawasan Usaha Perasuransian di Indonesia Sebagaimana telah kami kemukakan di atas, bahwa usaha perasuransian sangat memerlukan pengawasan dan tidak terkecuali usaha perasuransian di Indonesia. Agar sesuai dengan standar internasional, maka sistem pengawasan asuransi di Indonesia, yang sebelumnya dilakukan oleh Bapepam-LK di bawah Kementerian Keuangan, juga dilakukan penyempurnaan dengan membentuk lembaga baru yang independen yakni Otoritas Jasa Keuangan, yang diatur dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK). Dengan telah disahkannya UU OJK, maka sistem pengaturan dan pengawasan menjadi terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan, dalam hal ini termasuk usaha perasuransian di Indonesia. Dengan demikian, diharapkan keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel, sehingga mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. 94 Usaha perasuransian senantiasa mengalami dinamika, tentunya hal ini juga membawa konsekuensi perlu diimbangi dengan dinamika pengaturan dan pengawasannya, agar pelaksanaannya tidak merugikan masyarakat pengguna jasa asuransi. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengawasan yang dilakukan oleh OJK sejatinya adalah merupakan upaya pemerintah untuk melakukan pengawasan terhadap seluruh bentuk usaha perasuransian, baik perseroan terbatas, koperasi dan Usaha Bersama, agar tercipta iklim asuransi yang sehat yang dapat melindungi seluruh masyarakat sebagaimana acuan standar praktik terbaik ( best-practice standard ) internasional di bidang perasuransian. Sehingga hendaknya tidak semata-mata diartikan sebagai bentuk intervensi Pemerintah dalam pengurusan internal suatu perusahaan perasuransian.
Perlindungan Hukum Kepada Masyarakat Pengguna Jasa Perasuransian Perlindungan hukum kepada masyarakat pengguna jasa asuransi juga merupakan salah satu hal yang diperhatikan oleh pembuat undang-undang. Ketersediaan perlindungan dimaksud ditujukan kepada masyarakat pemegang polis, tertanggung atau peserta secara proporsional dan tepat sasaran. Kedudukan pemegang polis, tertanggung atau peserta dalam perjanjian yang disepakati relatif lemah, karena pengikatannya yang bersifat sukarela dari tertanggung kepada penanggung untuk menyerahkan sejumlah uang berupa premi asuransi dengan harapan Penanggung akan melakukan penggantian kepada Tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung, yang timbul dari peristiwa tidak pasti di kemudian hari. Dalam beberapa kasus, ternyata masyarakat pemegang polis, tertanggung atau peserta berpotensi kehilangan haknya atas manfaat ekonomis secara material dan signifikan ketika perusahaan asuransi bubar, likuidasi atau pailit. Terjadinya pembubaran, likuidasi atau pailitnya perusahaan asuransi umumnya disebabkan oleh kekeliruan dan kesalahan pelaksanaan prinsip- prinsip tata Kelola perusahaan yang baik (good corporate governance ) sehingga menyebabkan perusahaan mengalami kondisi keuangan yang tidak sehat ( insolvent ). Pada tingkat tertentu, kondisi tersebut dapat mengakibatkan 95 ketidakpercayaan masyarakat ( public distrust) dalam memanfaatkan perusahaan perasuransian untuk tujuan memproteksi risiko-risikonya. Kekhawatiran serupa, khususnya di sektor perbankan, dapat dikurangi dengan keberadaan Lembaga Penjamin Simpanan (selanjutnya disebut LPS) yang berfungsi untuk melindungi dan menjamin dana para nasabah perbankan. Oleh karenanya, dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat ( public confidence ) dan memberikan arena berkompetisi ( level playing field ) yang setara di antara lembaga-lembaga keuangan di Indonesia, dipandang perlu agar industri perasuransian dilengkapi dengan sistem dan mekanisme perlindungan bagi pemegang polis, tertanggung, atau peserta secara proporsional dan tepat sasaran, baik semasa perusahaan perasuransian masih beroperasi normal maupun saat dibubarkan, dilikuidasi atau dipailitkan.
Kepastian Hukum Bagi Penyelenggara Usaha Perasuransian UU 40 Tahun 2014 yang dimaksudkan sebagai pengganti UU 2 Tahun 1992, pada dasarnya merupakan salah satu upaya untuk lebih memperkuat industri perasuransian di Indonesia, baik penguatan pada sisi industrinya itu sendiri maupun penguatan pada sisi pengawasannya. Penguatan pada sisi industri diharapkan akan menghasilkan industri perasuransian yang sehat, dapat diandalkan, amanah, dan kompetitif sehingga tahan dari goncangan ekonomi, mampu bersaing dengan industri perasuransian lain, baik secara regional maupun internasional, serta menjadi industri yang senantiasa mampu memberikan pelayanan yang terbaik bagi para pihak yang berkepentingan, khususnya kepada pemegang polis, tertanggung, atau peserta. Sebagai bagian dari strategi dalam rangka penguatan industri perasuransian, UU 40 Tahun 2014 juga diharapkan dapat lebih memberikan kepastian hukum bagi para pelaku usaha asuransi. Selain itu, kepastian hukum diperlukan juga dalam upaya memberikan perlindungan bagi pemegang polis, tertanggung, atau peserta. Hal ini didasari oleh pertimbangan bahwa kekuatan industri perasuransian di Indonesia, pada akhirnya, sangat dipengaruhi oleh kepercayaan masyarakat pengguna jasa usaha perasuransian. Peningkatan kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap industri perasuransian salah satunya dapat dilakukan melalui keberadaan program penjaminan bagi pemegang polis, tertanggung, atau peserta dan penyelesaian 96 sengketa antara pemegang polis, tertanggung, atau peserta dengan perusahaan dengan bantuan lembaga mediasi yang independen dan imparsial. Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian mengusulkan adanya program penjaminan bagi pemegang polis, tertanggung, atau peserta dan penguatan keberadaan lembaga mediasi yang independen dan imparsial. Berdasarkan ketiga hal yang menjadi perhatian dalam pembaharuan peraturan bidang perasuransian tersebut di atas, Pembuat Undang-Undang menyadari bahwa untuk meciptakan iklim perasuransian yang sehat, yang dapat melindungi seluruh masyarakat, haruslah memenuhi ketiga hal pokok tersebut di atas, oleh karena itu, seluruh usaha perasuransian harus memiliki peraturan tentang standar tata kelola yang baik, yang dituangkan dalam suatu peraturan perundang- undangan. B. Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama Merupakan Bagian Dari Industri Asuransi. Pembuat UU 2 Tahun 1992 juga telah memikirkan bentuk badan hukum usaha perasuransian, termasuk jenis usaha asuransi yang berbentuk Usaha Bersama, selain usaha asuransi berbentuk perseroan terbatas dan koperasi. Sehingga, dalam UU 2 Tahun 1992 terdapat tiga bentuk usaha asuransi yang diakui, yaitu perseroan terbatas, koperasi dan Usaha Bersama. Bahwa ketiga bentuk badan usaha tersebut di atas memiliki karakteristik yang berbeda, yakni:
Karakteristik usaha asuransi berbentuk perseroan terbatas antara lain:
Kelangsungan perusahaan lebih terjamin karena tidak tergantung pada milik tertentu.
Kepemilikan dapat berubah dengan cara memindah atau menjual sahamnya kepada pihak lain.
Perusahaan dapat diperbesar dengan cara dilakukan penambahan modal dengan mengeluarkan saham baru. Kepentingan para pemangku kepentingan dapat terlindungi dengan baik karena kejelasan tata kelolanya.
Telah terdapat undang-undang sendiri yakni Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Karakteristik usaha asuransi berbentuk koperasi antara lain:
Penerapan asas kekeluargaan kebersamaan dan keadilan. 97 b. Telah memiliki undang-undang sendiri yakni UU No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian.
Pengelolaan dilakukan secara demokratis.
Pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil dan sebanding dengan besar jasa masing-masing anggota, dan lain-lain.
Usaha asuransi berbentuk Usaha Bersama: Saat itu, Indonesia belum memiliki pengaturan mengenai badan hukum Usaha Bersama. Satu-satunya perusahaan asuransi yang berbentuk Usaha Bersama, melandaskan keberadaannya pada Keputusan Kerajaan Belanda tanggal 28 Maret 1870 No. 2 Stb. 64 sesuai dengan Sekretaris Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 6 April 1915. Usaha Bersama, meskipun telah diakui di dalam UU 2 Tahun 1992, namun dari sisi tata kelola masih menghadapi tantangan mengingat pada saat itu, belum terdapat ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang status badan hukum termasuk tata kelola perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama sebagaimana halnya usaha perasuransian berbentuk perseroan terbatas dan koperasi. Pembuat undang-undang, saat pembentukan UU 40 Tahun 2014, berpendapat dari ketiga bentuk badan hukum tersebut di atas, perseroan terbatas merupakan bentuk yang paling ideal dalam menjalankan usaha perasuransian, dengan pertimbangan bahwa mekanisme tata kelolanya telah diatur, sebagaimana telah kami sebut di atas. Demikian juga halnya usaha perasuransian berbentuk koperasi. Namun demikian, Pembuat Undang-Undang Perasuransian tetap berkomitmen untuk melindungi dan mengakui seluruh bentuk usaha asuransi yang telah ada dengan tetap memerikan ruang bagi asuransi Usaha Bersama. Oleh karena itu, dalam UU 40 Tahun 2014, Pembentuk Undang-Undang sepakat untuk memberikan pengakuan hukum kepada usaha asuransi berbentuk Usaha Bersama sebagai salah satu bentuk badan hukum perusahaan perasuransian di Indonesia. ( vide pasal 6 ayat (2) UU 40 Tahun 2014. Hal tersebut seharusnya telah memberikan kepastian hukum bagi AJB Bumiputera dalam menyelanggarakan usaha asuransi dengan bentuk Usaha Bersama di Indonesia. 98 C. Perusahaan Asuransi Usaha Bersama dalam Undang-Undang No.40 Tahun 2014 tentang Perasuransian Usaha Bersama yang telah ada sebagai salah satu bentuk usaha perasuranasian mendapatkan pengesahan sebagai salah satu badan hukum usaha perasuransian di Indonesia sebagaimana disebutkan dalam pasal 6 ayat (2) UU 40 Tahun 2014. Pembuat UU telah menetapkan pilihan kebijakan ( open legal policy ) bahwa berlakunya UU 40 Tahun 2014untuk menjamin kepentingan masyarakat sebagai pemegang polis, maka usaha bersama yang dapat menjalankan usaha perasuransian hanya usaha bersama yang telah ada. Dengan klasul “usaha bersama yang telah ada” maka open legal policy Pembuat Undang- Undang tidak lagi memberi peluang lahirnya usaha bersama yang baru yang akan menjalankan usaha perasuransian. Dengan demikian AJB Bumi Putera adalah satu-satunya usaha bersama yang menjalankan usaha perasuransian. Dari sisi tata kelola, usaha perasuransian berbentuk Usaha Bersama masih menghadapi tantangan mengingat sebelum UU 40 Tahun 2014 diterbitkan, belum terdapat ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tata kelola perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama sebagaimana halnya usaha perasuransian berbentuk perseroan terbatas dan koperasi. Tata kelola suatu perusahaan merupakan hal yang sangat penting. Dalam kasus tertentu, kesalahan tata Kelola atau kecurangan ( fraud ) dalam pengurusan perusahaan asuransi, akan lebih memperbesar peluang timbulnya ketidakmampuan perusahaan asuransi dalam memenuhi kewajiban sebagaimana tertuang dalam polis asuransi yang telah diterbitkan. Secara umum, penyelesaian permasalahan kesehatan keuangan perusahaan asuransi berbentuk perseroan terbatas adalah dengan kewajiban untuk menambah modal sehingga rasio kesehatan keuangan memenuhi persyaratan otoritas. Dalam Usaha Bersama, penambahan modal tidak dapat dilakukan karena karakteristik Usaha Bersama tidak membolehkan adanya penambahan modal dari pihak luar selain dari anggota. Disisi lain, karakteristik usaha perasuransian adalah bisnis yang memerlukan modal usaha besar. Dengan mempertimbangkan keterbatasan kemampuan Usaha Bersama dalam menambah modal, dengan pemahaman Usaha Bersama sebagai kumpulan pihak dan bukan kumpulan modal, sementara di sisi lain Usaha Bersama tetap harus 99 memastikan kemampuannya untuk memenuhi kewajiban kepada Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta, maka terhadap Perasuransian Berbentuk Usaha Bersama yang telah ada, agar dapat tetap menjalankan usaha dengan memiliki standar perusahaan asuransi yang ideal, perlu diatur pembatasan ruang lingkup asuransi Usaha Bersama dan penyempurnaan ketentuan mengenai tata kelola perusahaan perusahaan asuransi Usaha Bersama. Menyikapi kebutuhan pengaturan akan tata kelola usaha perasuransian berbentuk Usaha Bersama, selain pengakuan atas eksistensi satu-satunya perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama sebagai suatu badan hukum yang menyelenggarakan usaha perasuransian, di dalam UU 40 Tahun 2014 juga memuat mandat pengaturan ketentuan mengenai tata kelola usaha perasuransian berbentuk Usaha Bersama dalam batang tubuhnya, diantaranya sebagai berikut: Pasal 35 ayat (1) UU 40 Tahun 2014: Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah berbentuk koperasi atau Usaha Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c hanya dapat menyelenggarakan jasa asuransi atau jasa asuransi syariah bagi anggotanya . Pasal 35 ayat (2) UU 40 Tahun 2014: Setiap anggota dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah berbentuk koperasi atau anggota Usaha Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c wajib menjadi Pemegang Polis dari perusahaan yang bersangkutan . Pasal 35 ayat (3) UU 40 Tahun 2014: Keanggotaan pada Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah berbentuk koperasi atau keanggotaan pada Usaha Bersama sebagaimana _dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c berakhir apabila: _ a. anggota meninggal dunia ;
anggota tidak lagi memiliki polis asuransi dari Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang bersangkutan selama 6 (enam) bulan _berturut-turut; _ atau c. sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan, keanggotaan harus berakhir . Pasal 35 ayat (4) UU 40 Tahun 2014: Anggota dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah berbentuk koperasi atau anggota dari Usaha Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c berhak atas seluruh keuntungan dan wajib menanggung seluruh kerugian dari kegiatan usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan . 100 Pasal 35 ayat (5) UU 40 Tahun 2014: Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan keuangan untuk menjadi anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) serta pemanfaatan keuntungan oleh anggota dan pembebanan kerugian di antara anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah berbentuk koperasi atau anggota dari Usaha Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan . D. Penguatan Tata Kelola Perusahaan Asuransi Usaha Bersama dalam Undang-Undang No.40 Tahun 2014 tentang Perasuransian Bahwa UU 40 Tahun 2014 telah mengakomodir kebutuhan hukum perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama pada pasal-pasal dalam batang tubuhnya, meskipun demikian, sebagai upaya penguatan terhadap Perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama yang telah ada agar memiliki standar sebagai perusahaan perasuransian yang ideal serta memberikan perlindungan bagi para anggotanya, maka Pembuat Undang-Undang juga memperhatikan hal tersebut dengan mengatur lebih lanjut mengenai badan hukum Usaha Perasuransian berbentuk Usaha Bersama dengan Peraturan Pemerintah. E. Penerbitan PP 87/2019 Merupakan Bentuk Perlindungan Hukum Bagi para Pemegang Polis Yang Merupakan Anggota Usaha Perasuransian Berbentuk Usaha Bersama Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, asuransi sebagai industri yang menggalang dana dari masyarakat, memerlukan sistem pengawasan terintegrasi, baik eksternal, yang selama ini dilakukan oleh OJK, maupun sistem kontrol dari mekanisme pengambilan keputusan organ perusahaan asuransi itu sendiri. Sistem kontrol pada perusahaan asuransi berbentuk PT dapat dilihat dari adanya pembatasan kekuasaan organ/pengurus perusahaan, antara lain dalam hal pengambilan keputusan oleh direksi pada level tertentu, harus mendapatkan persetujuan dari pemegang saham. Selain itu, direksi yang karena kelalaiannya menyebabkan kerugian bagi perusahaan, bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian tersebut. Pada koperasi, adanya sistem kontrol internal dapat dilihat dari adanya mekanisme pengambilan keputusan yang melibatkan anggota koperasi melalui Rapat Anggota dengan mengutamakan musyawarah mufakat, dan apabila tidak tercapai, maka dilakukan dengan suara terbanyak. Pengambilan keputusan dengan 101 musyawarah mufakat dianggap sebagai cara yang paling baik, karena keputusan yang dihasilkan diharapkan membawa keuntungan bagi seluruh pemegang polis. Dari kedua bentuk usaha PT maupun koperasi, telah terbentuk adanya mekanisme sistem kontrol pengambilan keputusan bagi organ perusahaan, sehingga diharapkan keputusan yang dihasilkan bukan hanya membawa dampak positif bagi kelangsungan perusahaan tetapi juga memberikan perlindungan hukum bagi seluruh anggota polis. Sebelum UU 40 Tahun 2014 dan PP Usaha Bersama diterbitkan, belum terdapat sistem kontrol pada bentuk Usaha Bersama sebagaimana telah diatur dalam usaha perasuransian berbentuk PT maupun Koperasi. Padahal keberadaan sistem kontrol dalam suatu perusahaan sangat diperlukan sebagai salah satu indikator bahwa suatu perusahaan telah dikelola berdasarkan pada prinsip tata kelola perusahaan yang baik ( Good Corporate Governance ). Untuk mengatasi hal tersebut, dalam PP Usaha Bersama, diatur pembatasan terhadap organ Usaha Bersama. Aturan mengenai pembatasan ini diharapkan tidak hanya dipandang dari sisi Pemohon sebagai anggota pengurus Usaha Bersama, melainkan harus dipandang sebagai upaya Pemerintah agar mekanisme pengambilan keputusan pada usaha perasuransian berbentuk Usaha Bersama benar-benar dilakukan bukan hanya untuk kepentingan konstituen semata, melainkan untuk kepentingan dan kesejahteraan seluruh anggota pemegang polis. Bahwa apabila kemudian para Pemohon mempermasalahkan PP 87/2019 dan dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum, menurut pendapat kami hal tersebut tidak tepat karena PP 87/2019 tersebut tidak mengurangi pemberian kepastian hukum bagi Usaha Bersama yang telah ada pada saat UU 40 Tahun 2014 diundangkan dalam menyelenggarakan usahanya, tetapi justru memberikan kejelasan mengenai teknis penyelenggaraan usaha asuransi berbentuk Usaha Bersama sehingga diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum bagi para pemegang polis. Bahwa Penerbitan PP 87/2019 yang merupakan delegasi dari pasal 6 ayat (3) UU No. 40 tahun 2014 tentang Perasuransian tidak bertentangan dengan Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan, serta merupakan bentuk perlindungan hukum bagi para pemegang polis yang merupakan anggota Usaha Bersama. 102 F. Pemohon Telah Keliru Dalam Memaknai Putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-XI/2013 Bahwa para Pemohon telah keliru memaknai putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-XI/2013 seolah-olah Mahkamah Konstitusi mengamanatkan semua hal yang terkait dengan asuransi Usaha Bersama diatur dalam undang-undang tersendiri. Bahwa amar putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-XI/2013 antara lain berbunyi, “Frasa ".... diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang" dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang tidak dimaknai ".... ’diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang' dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan _setelah putusan Mahkamah ini diucapkan"; _ Bahwa amar putusan tersebut, mengamanatkan pembentuk undang-undang untuk merealisasikan ketentuan Pasal 7 ayat (3) UU No. 2 Tahun 1992 yaitu untuk mengatur usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (Mutual) ke dalam undang-undang dalam kurun waktu paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan setelah putusan Mahkamah diucapkan. G. Pemerintah Telah Melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi perkara Nomor 32/PUU-XI/2013 tertanggal 3 April 2014 Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 tanggal 3 April 2014 sejatinya telah ditindaklanjuti dengan wujud konkrit dari Pembuat Undang-Undang, yaitu dengan merumuskan dan mengatur ketentuan terkait usaha asuransi berbentuk Usaha Bersama dalam batang tubuh UU 40 Tahun 2014, diantaranya:
Penegasan mengenai status Usaha Bersama yang telah ada pada saat UU 40 Tahun 2014 diundangkan sebagai badan hukum penyelenggara usaha perasuransian, dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) dan (2);
Perizinan usaha Usaha Bersama, dalam ketentuan Pasal 8;
Penyelenggaraan usaha perasuransian (termasuk Usaha Bersama) sesuai dengan tata kelola yang baik, dalam Pasal 11;
Pengaturan kewajiban organ perusahaan (termasuk Usaha Bersama) untuk memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan, dalam Pasal 12; 103 5. Pengaturan mengenai prinsip dasar penyelenggaraan Usaha Bersama, dalam Pasal 35;
Larangan bagi organ perusahaan (termasuk Usaha Bersama) jika izin usaha perusahaan perasuransian dicabut dalam Pasal 43;
Kewenangan organ perusahaan (termasuk Usaha Bersama) jika tim likuidasi telah terbentuk, dalam Pasal 46;
Kewenangan OJK untuk menonaktifkan organ perusahaan (termasuk Usaha Bersama) dan menetapkan pengelola statuter; serta mengatur mengenai pengenaan sanksi bagi perusahaan perasuransian dan organ perusahaan yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, dalam Pasal 60;
Pemeriksaan perusahaan asuransi baik secara berkala atau sewakutu-waktu, dalam Pasal 61;
Kewenangan OJK untuk memerintahkan penggantian direksi, dewan komisaris, dalam Pasal 72;
Ketentuan pidana bagi organ perusahaan yang melanggar ketentuan dalam UU 40 Tahun 2014, dalam Pasal 74; dan
Ketentuan peralihan bagi Usaha Bersama, dalam Pasal 86. Bahwa dengan demikian, berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemohon telah keliru menafsirkan putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-XI/2013 dan dengan telah diakomodirnya pengaturan tentang kebutuhan hukum usaha perasuransian dengan bentuk Usaha Bersama dalam UU 40 Tahun 2014 sebagaimana telah kami uraikan tersebut di atas, maka amanat putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-XI/2013 tanggal 3 April 2014 dimaksud untuk mengatur ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama dengan Undang-undang dalam kurun waktu paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan, telah terpenuhi. KESIMPULAN Berdasarkan keterangan dan argumentasi tersebut di atas, dapat kami sampaikan kesimpulan bahwa kami berpendapat para Pemohon tidak memenuhi persyaratan kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana yang telah ditentukan dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, dan tidak memenuhi syarat kerugian konstitusional sebagaimana pendirian Mahkamah Konstitusi sejak Putusan Mahkamah Konstitusi 104 Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007. Selanjutnya, berdasarkan seluruh uraian tersebut di atas menurut kami tidak terdapat alasan yang tepat untuk menyatakan bahwa ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian inkonstitusional, apalagi bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, Pemerintah mohon agar Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, mengadili dan memutuskan permohonan pengujian Pasal 6 ayat (3) UU No.40 Tahun 2014 tentang Perasuransian beserta penjelasannya, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menyatakan para Pemohon tidak memiliki dan tidak memenuhi persyaratan kedudukan hukum ( legal standing );
Menolak permohonan para Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima;
Menyatakan ketentuan Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. POKOK-POKOK TAMBAHAN KETERANGAN PRESIDEN Bahwa pada persidangan hari Rabu tanggal 19 Agustus 2020, Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi meminta kepada Pemerintah untuk memberi tambahan Keterangan Presiden atas beberapa pertanyaan sebagai berikut:
Terkait pertanyaan mengenai pertimbangan dan pilihan politik hukum dari Pembuat Undang-Undang yang tidak mengatur Usaha Bersama dalam suatu undang-undang tersendiri, dapat kami jelaskan sebagai berikut:
Pada saat perumusan Rancangan Undang-undang No. 40 Tahun 2014, undang-undang Usaha Perasuransian yang lama yakni Undang-undang No. 2 Tahun 1992 tentang Perasuransian telah berusia dua puluh tahun lebih, sehingga harus segera disesuaikan dengan tantangan, situasi terkini dan kondisi perkembangan sektor jasa keuangan, yang membutuhkan kepastian hukum dan jaminan perlindungan hak-hak nasabah.
Penyesuaian tersebut membuat adanya perbedaan pilihan kebijakan ( open legal policy ) yang dirumuskan Pembuat Undang-Undang dalam penyusunan norma Pasal 7 ayat (3) UU 2 Tahun 1992 dengan pasal 6 UU 105 40 Tahun 2014 mengenai pengaturan badan hukum Usaha Bersama sebagai badan hukum yang menyelenggarakan usaha perasuransian.
Norma yang terdapat dalam Pasal 7 ayat (1) UU 2 Tahun 1992 UU 2 Tahun 1992 membuka pintu selebar-lebarnya bagi lahirnya Usaha Bersama sebagai badan hukum yang menyelenggarakan usaha perasuransian, sebagaimana tercermin dalam rumusannya yang tidak memberi batasan apapun pada usaha bersama sebagai badan hukum penyelenggara usaha perasuransian, sejajar dengan norma bagi koperasi dan perusahaan perseroan.
Namun demikian, saat uji materi 32/2013 diajukan, dan saat yang sama dilakukan penyusunan perubahan UU 2/1992, ternyata AJB Bumiputera yang telah ada sejak tahun 1912, merupakan satu-satunya perusahaan perasuransian berbentuk Usaha Bersama yang menjalankan usaha perasuransian di Indonesia. Dengan adanya kondisi ini, ditambah terbitnya putusan MK No.32/2013, mendorong Pembuat Undang-Undang yang saat itu sedang melakukan pembahasan RUU perubahan UU 2/1992 untuk melakukan kajian. Salah satu yang menjadi perhatian adalah bentuk badan hukum usaha perasuransian, yakni:
Perusahaan asuransi merupakan perusahaan padat modal, sehingga perlu dipikirkan apabila perusahaan tersebut mengalami kebangkrutan dan memerlukan suntikan modal.
ii. Sistim pertanggungjawaban pengurus yang terpisah dari pemegang polis sebagai konsumen.
Setelah dilakukan kajian, agar tujuan tersebut di atas tercapai, maka bentuk badan hukum yang paling ideal / yang paling tepat bagi perusahaan perasuransian ke depan diarahkan berbentuk Perseroan Terbatas, dengan pertimbangan :
Dari sisi permodalan sesuai dengan karakteristiknya, usaha asuransi merupakan bentuk usaha yang memerlukan modal besar untuk operasional usahannya. Kebutuhan modal yang besar tersebut dimaksudkan agar perusahaan asuransi dapat terus melakukan ekspansi usaha dan memastikan bahwa kewajiban perusahaan kepada pemegang polis dapat dipenuhi. 106 Pemenuhan kebutuhan modal tersebut hanya dapat dipenuhi apabila badan hukum tersebut memiliki mekanisme penambahan modal dari investor atau pemegang saham, dimana mekanisme tersebut tidak memungkinkan untuk dilakukan oleh bentuk badan hukum usaha bersama. Dalam hal perusahaan asuransi sedang menghadapi permasalahan kesehatan keuangan maka investor atau pemegang saham dapat melakukan penambahan modal sesuai dengan rencana penyehatan keuangan perusahaan. Dengan adanya mekanisme tersebut maka keberlangsungan usaha dapat tetap terjaga. Selain itu, peluang pengembangan usaha perasuransian yang sehat, dapat diandalkan, amanah dan kompetitif sehingga mampu bersaing dalam era globalisasi dan perdagangan bebas dapat terwujud dengan struktur permodalan yang kuat. Praktek di negara-negara maju seperti Jepang dan Kanada, banyak di antara mereka yang sedang menggagas upaya untuk lebih berkembang dengan mengubah diri menjadi Perseroan Terbatas, sehingga dapat mengumpulkan modal lebih besar.
ii. Dari sisi perlindungan terhadap pemegang polis Pada bentuk Perseroan Terbatas atas Koperasi, pertanggung jawaban perusahaan ada pada pengurus perusahaan dan pemegang saham, sedangkan pemegang polis bukan merupakan pemilik atau pemagang saham perusahaan sehingga tidak ikut menanggung kerugian. Sehingga apabila terjadi kesalahan tata kelola oleh pengurus yang merugikan konsumen, maka hanya pengurus dan pemegang saham dapat dimintakan pertanggungjawaban. Berbeda dengan bentuk Usaha Bersama, pemegang polis merupakan anggota usaha bersama yang berhak atas keuntungan dan wajib menanggung seluruh kerugian dari kegiatan usaha Usaha Bersama. Dengan demikian posisi pemegang polis, selain merupakan anggota juga merupakan pemilik usaha bersama sehingga dalam hal usaha bersama mengalami permasalahan kesehatan keuangan maka sebagai pemilik, pemegang polis juga ikut bertanggung jawab dalam upaya penyehatannya, padahal yang mengendalikan perusahaan 107 usaha bersama hanya beberapa pemegang polis yang dipilih menjadi Badan Perwakilan Anggota (BPA). Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Pembuat undang-undang menganggap karakteristik Usaha Bersama tidak tepat dengan kebutuhan pengembangan usaha perasuransian, sehingga dengan mempertimbangkan perkembangan situasi sektor jasa keuangan, yang membutuhkan kepastian hukum dan jaminan perlindungan hak-hak nasabah, maka Pembuat Undang-Undang menetapkan open legal policy dengan membatasi penyelenggaraan usaha perasuransian oleh badan hukum usaha bersama hanya untuk perusahaan berbentuk badan hukum usaha bersama yang telah ada pada saat UU Nomor 40 Tahun 2004 diundangkan, yang tercermin dalam rumusan Pasal 6 ayat (1) UU 40/2014. Mempertimbangkan hanya terdapat satu perusahaan asuransi berbentuk usaha bersama yang diperbolehkan untuk menyelenggarakan usaha asuransi maka Pembuat Undang-Undang tidak melihat adanya kebutuhan untuk mengatur perusahaan asuransi berbentuk badan hukum Usaha Bersama dalam undang-undang tersendiri.
Namun demikian, Pembuat Undang-undang berkomitmen untuk tetap mengakui dan melindungi keberadaan usaha Perasuransian dalam bentuk Usaha Bersama yang telah ada, dengan mengatur Usaha Bersama dalam beberapa pasal dalam undang-undang No. 40 tahun 2014 tentang Perasuransian (UU 40/2014) termasuk memperkuat tata kelolanya.
Mengingat tata kelola tersebut juga menyangkut hal-hal yang bersifat teknis, maka pembuat Undang-Undang memandang hal tersebut diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah, in casu Peraturan Pemerintah No.87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama (PP 87/2019).
Terkait pertanyaan Majelis Hakim mengenai pembatasan-pembatasan yang diatur dalam PP 87/2019, dapat kami sampaikan penjelasan sebagai berikut:
Sebagaimana telah kami kemukakan di atas, sebelum pembentukan UU Nomor 40 Tahun 2014, perusahaan asuransi berbentuk usaha bersama belum memiliki pengaturan mengenai tata kelola penyelenggaran usaha oleh Usaha Bersama. Oleh karena itu, sesuai dengan penjelasan Pasal 6 ayat (3) UU Nomor 40 Tahun 2014, dalam PP 87/2019 diatur mengenai tata kelola, 108 persyaratan dan tata cara perubahan menjadi badan hukum perseroan terbatas atau koperasi, serta persyaratan dan tata cara pembubaran badan hukum usaha bersama, termasuk pembatasan-pembatasan wewenang Peserta Rapat Umum Anggota (sebelumnya BPA) dengan tujuan agar Peserta RUA dalam menjalankan tugasnya dapat bertindak secara independen dan terbebas dari konflik kepentingan.
Terkait dengan pengawasan dari OJK, yang dianggap sebagai intervensi terhadap kewenangan Peserta Rapat Umum Anggota (sebelumnya BPA). Dapat kami sampaikan bahwa pengawasan yang dilakukan oleh OJK tersebut sejatinya adalah merupakan upaya pemerintah untuk melakukan perbaikan dan pembenahan atas penyelenggaran usaha asuransi oleh satu- satunya perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama. Diharapkan dengan upaya tersebut dapat tercipat tercipta iklim asuransi yang sehat yang dapat melindungi kepentingan masyarakat khususnya pemegang polis sebagaimana acuan standar praktik terbaik ( best-practice standard ) internasional di bidang perasuransian. Sehingga hendaknya pengaturan pengawasan oleh OJK dalam PP-87/2019 tidak semata-mata diartikan sebagai bentuk intervensi Pemerintah dalam pengurusan internal suatu perusahaan perasuransian.
Terkait dengan pertanyaan Majelis Hakim mengenai AJB Bumiputera menjadi satu-satunya usaha bersama yang tersisa, dapat kami berikan penjelasan bahwa hal tersebut telah tertulis pada halaman 62 aline 3 Naskah Akademik Rancangan Undang-undang tentang Perasuransian Tahun 2014, yakni “… Satu-satunya Perusahaan Asuransi yang berbentuk Usaha Bersama, melandaskan keberadaannya pada Keputusan Kerajaan Belanda tanggal 28 Maret 1870 No. 2 Stb. 64 sesuai Sekretaris Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 6 April 1915, yang belum pernah diperbaharui. Sejak tahun 2013, yakni pada saat kewenangan pengawasan perusahaan asuransi beralih dari Kementerian Keuangan kepada Otoritas Jasa Keuangan hingga periode Juni 2020, AJB Bumiputera merupakan perusahaan asuransi berbentuk badan hukum Usaha Bersama. Sebagai satu-satunya Perusahaan Asuransi berbadan hukum usaha bersama, posisi AJB Bumiputera di industri asuransi jiwa berdasarkan aset perusahaan selama kurun waktu tahun 2013 hingga Juni 2020, dapat terlihat sebagaimana tabel di bawah ini. 109 Uraian 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019* Juni 2020* Jumlah Pelaku Asuransi (Termasuk Syariah) ● Bentuk Badan Hukum Perseroan 134 135 140 140 146 145 144 146 - Asuransi Jiwa 48 49 54 54 60 59 59 60 - Asuransi Umum 82 81 80 80 79 79 78 79 - Reasuransi 4 5 6 6 7 7 7 7 ● Bentuk Badan Hukum Usaha Bersama 1 1 1 1 1 1 1 1 - AJB Bumiputera 1912 1 1 1 1 1 1 1 1 Jumlah Aset Industri Asuransi Komersial (Termasuk Syariah) ● Total Aset Industri Asuransi Komersial(dala m Triliun Rp)**) 388,8 482,5 504,5 582,5 688,8 716,4 769,0 720,9 ● Total Aset Industri Asuransi Jiwa Komersial (dalam Triliun Rp) *) 281,4 355,7 365,7 438,7 534,3 543,0 578,4 522,8 ● Total Aset AJB Bumiputera 1912 (dalam Triliun Rp) ) 10,9 14,2 15,0 13,4 11,9 10,5 10,2 10,1 ● Aset Share AJB Bumiputera 1912 di Industri Asuransi Komersial 2,8% 2,9% 3,0% 2,3% 1,7% 1,5% 1,3% 1,3% ● Aset Share AJB Bumiputera 1912 di Industri Asuransi Jiwa Komersial __ 3,9% 4,0% 4,1% 3,1% 2,2% 1,9% 1,8% 1,8% ● Peringkat Aset AJB Bumiputera Diantara Industri Asuransi Jiwa) 9 10 9 10 13 12 16 16 110 Keterangan: *) berdasarkan laporan keuangan anaudited **) Jumlah Aset Industri Asuransi Komersial, total aset industri asuransi jiwa komersial, dan aset AJB Bumiputera 1912 tidak termasuk aset lain berupa cadangan premi yang ditangguhkan AJB Bumiputera 1912 sebesar Rp12,34 triliun. ***) penentuan posisi peringkat aset AJB Bumiputera 1912 tidak memasukan aset lain berupa cadangan premi yang ditangguhkan AJB Bumiputera 1912 sebesar Rp12,34 triliun. Selain dari sisi aset, jumlah peserta yang menjadi tertanggung dalam polis AJB Bumiputera 1912, dapat kami sampaikan bahwa terdapat kecenderungan penurunan jumlah peserta yang menjadi tertanggung dalam polis AJB Bumiputera 1912 berdasarkan data dari periode tahun 2017 hingga Juni 2020, sebagaimana tercatat sebagai berikut: No Portofolio Peserta Desember 2017 Desember 2018 Desember 2019 Juni 2020 1 Asuransi Perorangan 2.927.050 2.521.233 2.204.934 2.008.470 2 Asuransi Kumpulan 2.014.736 1.470.877 983.775 847.246 3 Jumlah (1+2) 4.941.786 3.992.110 3.188.709 2.855.716 4. Terkait dengan pertanyaan Majelis Hakim mengenai kapan naskah akademik diterbitkan, apakah setelah putusan MK atau sebelum putusan MK. Terhadap hal tersebut dapat kami sampaikan bahwa pada saat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut diucapkan, Pemerintah sedang melakukan perumusan perubahan UU Nomor 2 Tahun 1992. Oleh karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi dimaksud, juga dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam perumusan Rancangan Undang-Undang Perasuransian sebagaimana tertuang dalam halaman 63 alinea 3 Naskah Akademik, sebagai berikut: “… dengan mempertimbangkan putusan MK tersebut, kepastian hukum bagi badan hukum asuransi Usaha Bersama akan terpenuhi jika amanat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dilaksanakan. Oleh karena itu, pengakuan atau penetapan perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama sebagai suatu badan hukum, perlu dituangkan dalam undang- undang ini, untuk mengakomodir keberadaan satu-satunya perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama yang sudah ada di Indonesia, yaitu Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912. Di samping itu, ketentuan mengenai tata kelola, persyaratan, tata cara persyaratan menjadi badan hukum perseoran terbatas atau koperasi, dan tata cara pembubaran serta 111 ketentuan lain bagi perusahaan perasuransian yang berbentuk badan hukum Usaha Bersama, akan diatur dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dilihat bahwa dalam naskah akademis terdapat respon Pembuat Undang-Undang atas Putusan MK No. 32/2013. Pembuat Undang-Undang menghormati Putusan MK No. 32/2013 dengan mengakui dan mengatur secara umum bentuk badan hukum usaha bersama (yang telah ada pada saat UU Nomor 40 Tahun 2014 diundangkan) dalam suatu undang-undang, yaitu UU Nomor 40 Tahun 2014 itu sendiri. Sedangkan, peraturan lebih lanjutnya diatur dalam suatu peraturan pemerintah. Dengan demikian, konsep pilihan hukum yang dituangkan dalam naskah akademis sudah barang tentu memperhatikan putusan MK No. 32/2013. Selain itu, untuk mendukung keterangannya, Presiden juga mengajukan keterangan saksi atas nama Isa Rachmatarwata dan Wicipto Setiadi , yang masing-masing didengarkan keterangannya dalam persidangan pada tanggal 20 Oktober 2020 dan 5 November 2020, yang pada pokoknya adalah sebagai berikut: A. Isa Rachmatarwata − Saksi merupakan salah satu penyusun UU 40/2014 dan pada saat itu saksi merupakan Kepala Biro Perasuransian di Bapepam-LK; − Latar belakang dibentuknya UU 40/2014 adalah pemerintah merasa perlu untuk melakukan perbaikan dalam hal pengaturan maupun pengawasan dalam penyelenggaraan usaha perasuransian. Penyelenggaraan usaha perasuransian pada waktu itu harus dibenahi agar kualitas penyelenggaraannya meningkat, pertama, dalam hal permodalan UU 40/2014 dapat memberikan kepastian hukum baik bagi pemodal maupun konsumen, dengan adanya UU a quo diharapkan dapat mendatangkan modal yang berasal dari investor lebih banyak terhadap usaha perasuransian di Indonesia karena Indonesia tidak boleh menutup kemungkinan masuknya investor kedalam industri usaha asuransi apapun bentuknya, pemerintah dalam hal ini memberikan berbagai pengukutan tingkat kesehatan perusahaan asuransi dalam hal permodalan juga dimana hal ini perlu dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas industri perasuransian di Indonesia. Kedua adalah risk management , dimana pemerintah menginginkan seluruh perusahaan asuransi yang sudah ada, apapun 112 bentuknya, dapat meningkat kualitas risk management- nya karena investor terutama investor asing tentunya mempertimbangkan hal tersebut ketika akan menanamkan modalnya pada perusahaan asuransi. Ketiga , pemerintah juga perlu menyediakan exit strategy untuk perusahaan-perusahaan asuransi yang tidak mampu memenuhi persyaratan baik dalam hal permodalan, manajemen resiko dan lain-lain supaya dapat meninggalkan industri asuransi dengan baik dan tetap menjaga kepentingan para pemegang polis. Keempat, pengawasan dalam industri perasuransian pun dibenahi, apakah tetap berada pada Kementerian Keuangan atau beralih kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK)? Keempat hal tersebut merupakan beberapa hal yang dibenahi terkait dengan industri perasuransian yang diatur dalam UU 40/2014. − Terkait dengan Asuransi Usaha Bersama, merupakan salah satu bentuk badan usaha asuransi yang paling terbatas akses terhadap permodalan, hal ini tentunya berbeda dengan asuransi yang berbentuk perseroan terbatas dan juga koperasi terlebih lagi pengaturan terhadap badan usaha asuransi berbentuk usaha bersama sebelum UU 40/2014 belum diatur baik dalam UU 2/1992 maupun peraturan perundang-undangan dibawahnya. Padahal bentuk badan usaha asuransi usaha bersama ini juga membutuhkan modal dalam rangka memperkuat usahanya. Dalam perkembangannya, salah satu perusahaan yang menjalankan usaha asuransi usaha bersama yaitu AJB Bumiputera mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri terhadap ketentuan kesehatan perusahaan asuransi dan karena itu kemudia pemerintah membentuk UU 40/2014 yang memberikan pengaturan terhadap asuransi usaha bersama. − Saksi menjelaskan terkait dengan usulan pengaturan dari pemerintah mengenai bentuk badan usaha bersama, dimana pada konsep UU yang dibuat oleh pemerintah dan kemudian disampaikan kepada DPR, bentuk badan hukum yang disampaikan memang hanya 2 bentuk yaitu perseroan terbatas dan koperasi, namun di dalam peraturan peralihan, pemerintah tetap mengakui keberadaan AJB Bumiputera yang merupakan satu-satunya bentuk badan usaha bersama yang telah ada. Setelah beberapa kali diskusi yang dilakukan di DPR bersama dengan sejumlah perwakilan industri, pemerintah mendapatkan masukan bahwa asuransi dalam bentuk usaha 113 bersama harus dimuat dalam ketentuan pokok dan kemudian pemerintah kemudian menyetujui dan bersama dengan DPR bersepakat untuk menambahkan usaha bersama sebagai salah satu badan usaha asuransi. Namun, dikarenakan pengaturan dalam UU a quo cukup banyak dan tidak mungkin mengatur secara detil terkait tata kelola badan usaha asuransi usaha bersama ini dalam UU a quo maka kemudian dalam Pasal 6 ayat (3) UU a quo dimuat pengaturan terkait tata kelola lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Sedangkan pengawasan terhadap asuransi usaha bersama, pada saat itu pembentuk undang-undang meyakini OJK dapat mengaturnya di dalam peraturan perundang-undangan yang bisa diterbitkan oleh OJK. − Menurut saksi, pada saat disusunnya UU 40/2014, tidak ada lagi usaha asuransi dalam bentuk usaha koperasi. Pernah ada, namun asuransi berbentuk koperasi tersebut tidak mampu memenuhi beberapa kewajibannya dan tidak mampu mendapatkan modal tambahan untuk dapat memenuhi kewajiban-kewajiban tersebut. B. Wicipto Setiadi − Saksi menjabat sebagai kepala BPHN dan sebelumnya menjabat sebagai Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan di Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan pada saat UU 40/2014 disusun. − Rancangan UU 40/2014 merupakan inisiatif pemerintah dan merupakan salah satu RUU yang dimasukan dalam prolegnas pada waktu itu. − Pada saat pembahasan terkait dengan asuransi usaha bersama memang terjadi diskusi terkait pengaturannya dan pemerintah harus menaati putusan Mahkamah yang ada, diskusi pun akhirnya tertuju pada apakah diatur dengan undang-undang tersendiri atau tidak. Namun, atas kajian dari Kementerian Keuangan serta stakeholder yang mengatur bisnis perasuransian pada saat itu, keberadaan asuransi usaha bersama hanya terdapat satu dan sesuai dengan diskusi yang berkembang pada saat itu menjadi tidak efektif jika diatur dalam undang-undang tersendiri. Atas dasar pertimbangan tersebut maka asuransi usaha bersama dalam UU 40/2014 tetap diakui keberadaannya dan disepakati pula untuk ketentuan lebih lanjut diatur dengan peraturan pemerintah. Dan hasil dari rancangan UU 40/2014 pada waktu itu pula disepakati pada saat rancangan undang-undang a quo dibahas di DPR. 114 − Pertimbangan untuk tidak mengatur asuransi usaha bersama dalam undang- undang tersendiri sebenarnya terkait dengan perkembangan dari bisnis asuransi usaha bersama tersebut, karena dari hasil kajian bersama nampaknya pemerintah tidak akan membuka lagi asuransi dalam bentuk badan usaha bersama. Jika keadaannya demikian maka pengaturan terkait asuransi dalam bentuk badan usaha bersama telah diatur dalam UU 40/2014 dan pengaturan tata kelola sajalah yang diatur dalam peraturan pemerintah, hal demikian dianggap lebih efektif serta efisien dibanding dengan membentuk undang-undang tersendiri, karena jika memang harus dalam undang-undang maka pada waktu itu belum tentu dapat dimasukan dalam prolegnas sehingga membutuhkan waktu lagi untuk membentuk undang- undang terkait asuransi usaha bersama tersebut. [2.5] Menimbang bahwa Mahkamah telah menerima kesimpulan para Pemohon yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 November 2020, yang pada pokoknya para Pemohon tetap pada pendiriannya; [2.6] Menimbang bahwa Mahkamah telah menerima kesimpulan Presiden yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 November 2020, yang pada pokoknya Presiden tetap pada pendiriannya; [2.7] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini.
PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan 115 Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK) dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU Nomor 48/2009). Salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945; [3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan para Pemohon adalah permohonan untuk menguji konstitusionalitas norma undang-undang, in casu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618, selanjutnya disebut UU 40/2014) terhadap UUD 1945, Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo ; Kedudukan Hukum Pemohon [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK; 116 b. ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a; [3.4] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya, telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh para Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksudkan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan dalam Paragraf [3.3] dan Paragraf [3.4] di atas, selanjutnya Mahkamah mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut:
Bahwa norma undang-undang yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya dalam permohonan a quo adalah frasa “diatur dalam Peraturan Pemerintah” dalam Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 terhadap Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang rumusannya sebagai berikut: Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam peraturan pemerintah. 117 2. Bahwa Pemohon I sampai dengan Pemohon VIII (selanjutnya disebut sebagai para Pemohon) adalah perseorangan warga negara Indonesia yang juga merupakan pemegang polis Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 dan juga anggota Badan Perwakilan Anggota (BPA) AJB Bumiputera 1912. Kedudukan para Pemohon baik sebagai pemegang polis asuransi maupun sebagai anggota BPA AJB Bumiputera 1912 tidak dapat dipisahkan. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari bentuk usaha perasuransian AJB Bumiputera 1912 yang berbentuk Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance ) dimana pemegang polis sekaligus sebagai pemilik dari AJB Bumiputera 1912 dan sama-sama memiliki hak suara untuk memilih maupun dipilih sebagai anggota BPA.
Dalam kualifikasinya tersebut para Pemohon menganggap hak konstitusionalnya atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 terhalangi dengan berlakunya frasa “diatur dalam Peraturan Pemerintah” dalam Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014. Seperti diterangkan para Pemohon, ketentuan dalam norma a quo telah menyebabkan para Pemohon baik sebagai pemegang polis maupun sebagai anggota BPA AJB Bumiputera 1912 tidak memiliki kepastian hukum dan juga perlakuan tidak adil atas penyelenggaraan usaha perasuransian dalam bentuk Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance ).
Bahwa untuk membuktikan kualifikasinya sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang juga merupakan pemegang polis asuransi juwa bersama (AJB) Bumiputera 1912 dan juga anggota Badan Perwakilan Anggota (BPA) AJB Bumiputera 1912, para Pemohon mengajukan alat bukti berupa identitas diri yaitu fotokopi kartu tanda penduduk (KTP) [vide bukti P-3], fotokopi Surat Pemegang Polis [vide bukti P-8 sampai dengan bukti P-12 dan bukti P-14 serta bukti P-15] dan Akta Pernyataan Keputusan Sidang Luar Biasa Badan Perwakilan Anggota Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 Nomor 05 tanggal 02 Agustus 2016 [vide bukti P-4]. Bahwa berdasarkan uraian dari para Pemohon tersebut di atas, baik dalam kualifikasi para Pemohon sebagai pemegang polis maupun anggota Badan Perwakilan anggota (BPA) AJB Bumiputera 1912, menurut Mahkamah secara faktual para Pemohon telah dapat menjelaskan hak-hak konstitusional yang 118 dimilikinya dan hak dimaksud dapat dianggap dirugikan dan anggapan kerugian dimaksud menurut penalaran wajar dapat dipastikan akan terjadi apabila para Pemohon tetap menjalankan usaha perasuransian AJB Bumiputera 1912 yang didasarkan pada norma yang dimohonkan pengujian. Di samping uraian pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah para Pemohon juga telah dapat menjelaskan adanya hubungan sebab-akibat (kausalitas) antara kerugian hak-hak konstitusional yang dimilikinya yang dianggap dirugikan dengan berlakunya frasa “diatur dalam Peraturan Pemerintah” dalam Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 yang dimohonkan pengujian. Oleh karena itu para Pemohon beranggapan bahwa jika permohonan ini dikabulkan maka kerugian sebagaimana diuraikan di atas tidak akan terjadi. Dengan demikian terlepas terbukti atau tidaknya dalil permohonan para Pemohon berkaitan dengan pokok permohonan, Mahkamah berpendapat, para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam Permohonan a quo . [3.6] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo , selanjutnya Mahkamah mempertimbangkan pokok permohonan. Pokok Permohonan [3.7] Menimbang bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas norma frasa “diatur dalam Peraturan Pemerintah” dalam Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014, para Pemohon mengemukakan dalil-dalil (selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara) yang pada pokoknya sebagai berikut:
Bahwa menurut para Pemohon dalam permohonannya, AJB Bumiputera 1912 merupakan asuransi yang berbentuk usaha bersama dan satu-satunya di Indonesia, dimana dengan bentuk usaha bersama tersebut memiliki perbedaan pengelolaan dengan asuransi yang berbentuk perseroan terbatas;
Bahwa menurut para Pemohon dalam permohonannya, terkait dengan isu pengaturan usaha perasuransian berbentuk usaha bersama yang sebelumnya termuat dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang 119 Usaha Perasuransian (UU 2/1992) telah pernah diajukan ke Mahkamah dan telah diputus melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013, dan Mahkamah telah menegaskan terhadap ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Namun, hal tersebut tidak dilakukan oleh pembentuk undang- undang ketika membentuk UU 40/2014 dimana substansi yang diatur dalam Pasal 7 ayat (3) UU 2/1992 diubah dengan Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 yang mengatur ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum penyelenggara usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Sehingga norma a quo tersebut justru bertentangan dengan Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 32/PUU-XI/2013;
Bahwa menurut para Pemohon dalam permohonannya, dengan berlakunya Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 tersebut yang justru bertentangan dengan Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 selain berdampak pada kewibawaan lembaga pemutusnya juga berdampak pada penegakan hukum serta konstitusi yang sedang berlangsung dimana dalam hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum serta keadilan bagi para Pemohon yang sebelumnya telah mendapatkannya dalam Putusan Mahkamah sebelumnya menjadi terhalangi.
Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, para Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan frasa “diatur dalam Peraturan Pemerintah” dalam Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “diatur dengan Undang- Undang”. [3.8] Menimbang bahwa untuk mendukung dalil-dalil permohonannya, para Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-15 dan keterangan ahli, atas nama Dr. Bayu Dwi Anggono, S.H., M.H., Dr. Margarito Kamis, S.H., M.Hum, dan Dr. Kornelius Simanjuntak, S.H., M.H., AAIK., yang masing-masing didengarkan keterangannya dalam persidangan pada tanggal 8 September 2020, 24 September 2020, dan 20 Oktober 2020, selain itu para Pemohon pun menyerahkan kesimpulan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 November 2020 (selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara); 120 [3.9] Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat telah menyampaikan keterangan yang didengarkan dalam persidangan pada tanggal 8 September 2020 beserta keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 22 September 2020 (selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara); [3.10] Menimbang bahwa Presiden telah menyampaikan keterangan tertulis yang diterima oleh Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 18 Agustus 2020 dan didengar dalam persidangan pada tanggal 19 Agustus 2020, dan telah mengajukan 2 (dua) orang saksi, yaitu Isa Rachmatarwata dan Wicipto Setiadi yang masing- masing didengar keterangannya dalam persidangan pada tanggal 20 Oktober 2020 dan 5 November 2020, serta telah menyerahkan kesimpulan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 November 2020 (selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara); [3.11] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama permohonan para Pemohon, keterangan DPR, keterangan Presiden, keterangan ahli para Pemohon, keterangan saksi Presiden, bukti-bukti surat/tulisan yang diajukan oleh para Pemohon, kesimpulan tertulis para Pemohon, dan kesimpulan tertulis Presiden sebagaimana termuat pada bagian Duduk Perkara, Mahkamah selanjutnya mempertimbangkan dalil-dalil permohonan para Pemohon. [3.12] Menimbang bahwa para Pemohon pada pokoknya mendalilkan Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 yang menyatakan, “Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum ”, menurut para Pemohon, Pasal 6 ayat (3) tersebut tidak sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013, tanggal 3 April 2014 yang dalam pertimbangan hukum dan amarnya memerintahkan kepada Pembentuk undang-undang untuk membuat norma bahwa Asuransi Usaha Bersama diatur lebih lanjut dengan undang- undang, dan Mahkamah memberi waktu dua tahun enam bulan kepada Pembentuk undang-undang untuk membentuk Undang-Undang tentang Asuransi Usaha Bersama. Namun, ternyata Perubahan Undang-Undang tentang Perasuransian, in casu UU 40/2014 tidak mengakomodir Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 121 32/PUU-XI/2013, yang menyatakan bahwa Asuransi Usaha Bersama diatur dengan undang-undang. Pembentuk undang-undang justru mendegradasinya menjadi mengatur dengan peraturan pemerintah. Oleh karena itu menurut para Pemohon, ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; [3.13] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut mengenai konstitusionalitas norma Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014, Mahkamah terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal berikut: [3.13.1] Bahwa berkenaan dengan perekonomian sebagai ‘Usaha Bersama’, sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945 , Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan, “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...”. Pembukaan UUD 1945 tersebut kemudian dijabarkan salah satunya dalam Pasal 33 UUD 1945, khususnya ayat (1) yang menyatakan Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Artinya, perekonomian Indonesia harus disusun sebagai usaha bersama dengan asas kekeluargaan, namun tidak menutup ruang usaha dalam bentuk lain. Lebih lanjut Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 merupakan pedoman bagi negara untuk menyusun perekonomian sebagai usaha bersama yang berasaskan kekeluargaan dengan tujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum sebagaimana dimaktubkan dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945. Dari aspek historis, sebagaimana termuat dalam lampiran UUD 1945 (sebelum perubahan), Pasal 33 dicantumkan untuk menegaskan bahwa kemakmuran masyarakat adalah utama, perekonomian disusun berdasar asas kekeluargaan, cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai Negara, hanya cabang produksi yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak yang boleh ada di tangan individu/swasta, sedangkan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah termasuk cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak itu. 122 Mohammad Hatta selaku perancang Pasal 33 UUD 1945 menyatakan bahwa kemunculan norma pasal tersebut dilatarbelakangi oleh semangat kolektivitas yang didasarkan pada semangat tolong-menolong ( Mohammad Hatta , Beberapa Fasal Ekonomi: Djalan Keekonomian dan Koperasi, Jakarta: Perpustakaan Perguruan Kementerian PP&K, 1954, __ halaman 265 ). Selain Mohammad Hatta, Soepomo sebagai salah seorang founding fathers berpandangan __ bahwa ..the private sectors may be involved only in non-startegic sectors-that do not effect the lives of most people...if the state does not control the strategic sectors, they will fall under the control of private-individuals and the people will be oppressed by them” (terjemahan bebas, sektor swasta mungkin hanya terlibat dalam sektor non strategis yang tidak mempengaruhi kehidupan kebanyakan orang ... jika negara tidak mengontrol sektor-sektor strategis, mereka akan berada di bawah kendali swasta-individu dan rakyat akan ditindas oleh mereka (Jurnal Konstitusi, Volume 7 Nomor 1, Februari Tahun 2010, hlm. 121). Bahwa selain itu, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-XI/2013, tanggal 8 Mei 2014, (alinea pertama hlm. 240) telah mempertimbangkan makna usaha bersama sebagai berikut: Berdasarkan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 beserta Penjelasannya tersebut, koperasi merupakan bagian penting dari tata susunan ekonomi nasional atau tata susunan ekonomi Indonesia. Suatu tata susunan ekonomi mesti dirancang sesuai dengan nilai yang dijunjung tinggi oleh bangsa yang membentuk negara ini, nilai yang kemudian menjadi karakternya sebagaimana diuraikan di muka, yaitu nilai dan karakter kolektif, yang merupakan kebalikan dari nilai individualistik yang tidak dianut oleh UUD 1945. Koperasi sebagai bagian dari suatu tata susunan ekonomi mesti didesain, disosialisasikan, diperjuangkan, dan dilaksanakan, bukan tata susunan yang diserahkan kepada mekanisme pasar, meski pasar harus menjadi perhatian penting dalam percaturan perekonomian internasional. Dengan demikian maka sistem perekonomian nasional adalah merupakan sistem perekonomian yang berkarakter. Nilai yang dijunjung tinggi yang kemudian menjadi karakternya tersebut telah dirumuskan dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, yaitu suatu tata susunan ekonomi sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Artinya, nilai sosial yang dijunjung tinggi dan diimplementasikan oleh bangsa yang kemudian menjadi karakternya tersebut di dalam UUD 1945 dirumuskan menjadi demokrasi ekonomi yang bertumpu pada dasar usaha bersama dan asas kekeluargaan. Dengan demikian, berdasarkan uraian pertimbangan di atas, maka telah jelas bahwa usaha bersama sebagaimana dimaksud Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 adalah amanat tegas agar negara membentuk perekonomian dengan asas kekeluargaan yang saling bergotong-royong untuk meningkatkan perekonomian 123 demi memajukan kesejahteraan umum, bukan individu semata sebagai perwujudan tujuan dari Pembukaan UUD 1945. [3.13.2] Bahwa lebih lanjut berkaitan dengan Perusahaan Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance) sebagaimana praktik yang sudah berlangsung, yaitu adanya Asuransi Usaha Bersama seperti AJB Bumi Putera 1912, telah ternyata membuktikan bahwa perusahaan usaha bersama tersebut tidak hanya berbentuk koperasi melainkan juga perusahaan asuransi, yaitu asuransi jiwa bersama. Penegasan tersebut sebagaimana telah dipertimbangkan dalam Putusan Nomor 32/PUU-XI/2013, tanggal 3 April 2014, dalam Paragraf [3.10.3] , khususnya baris terakhir menyatakan: … Bahwa eksistensi Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumi Putera 1912 sebagai salah satu bukti sejarah konsep asuransi dengan prinsip dan asas kebersamaan atau usaha bersama ( mutual ). Dengan demikian, sejarah perasuransian di Indonesia untuk pertama kali telah dibentuk perusahaan Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance ) yang dikenal dengan AJB Bumi Putera 1912 yang bertahan sampai saat ini. Artinya, Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 telah diejawantahkan bahwa usaha bersama yang dapat berbentuk koperasi maupun usaha bersama yang berbentuk perusahaan Asuransi Usaha Bersama yang dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan derajat bangsa Indonesia (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013). Bahwa sesuai fakta sejarah mengenai Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance ) yang ada sejak sebelum Indonesia merdeka tersebut, pembentuk undang-undang dalam Undang-Undang Perasuransian sebelum dilakukan perubahan telah memberi penguatan terhadap Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance ), yaitu dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian yang menyatakan, “Ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama ( mutual ) diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang“ . Dengan demikian, keberadaan Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance ) diakui dan diberi penguatan oleh pembentuk undang-undang untuk berkembang dan bersaing baik dengan usaha asuransi dalam bentuk perseroan maupun usaha asuransi dalam bentuk koperasi, dan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 semakin mengukuhkan penguatan Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance ) dengan memerintahkan pembentuk 124 undang-undang dalam waktu dua tahun enam bulan sejak putusan diucapkan untuk membentuk dan mengundangkan Undang-Undang tentang Asuransi Usaha Bersama di luar undang-undang tentang usaha perasuransian. Oleh karena itu berdasarkan uraian pertimbangan di atas, maka Asuransi Usaha Bersama merupakan usaha yang harus dibentuk dengan undang-undang sebagai amanah Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. [3.13.3] Bahwa lebih lanjut, praktik usaha asuransi berbentuk usaha bersama di Indonesia memang hanya dimiliki oleh AJB Bumiputera. Namun, usaha asuransi berbentuk usaha bersama di negara lain berkembang dan maju menjadi perusahaan asuransi yang besar seperti di Jepang, Perancis, Denmark, Norwegia, Swedia, Belgia, Finlandia, Polandia, Slovenia, Spanyol, Amerika Serikat, serta di Afrika Selatan. Di Selandia Baru justru diadopsi dan didominasi oleh perusahaan asuransi jiwa. Bahkan perusahaan asuransi yang mengadopsi bentuk usaha bersama justru berkembang dengan sukses dan menjadi perusahaan multi-nasional yang memiliki cabang di banyak negara, seperti The Folksam Group di negara Swedia, Liberty Mutual Insurance di Amerika Serikat, The MACIF Group di negara Perancis, dan Old Mutual Life Assurance Company di negara Afrika Selatan. Keberhasilan perusahaan asuransi dalam bentuk usaha bersama di berbagai negara tersebut didukung dengan memberikan ruang pengaturannya dalam bentuk undang-undang, antara lain seperti: Selandia Baru, dengan Insurance (Prudential Supervision) Act 2010 dan Farmers’ Mutual Group Act 2007 Number 1 Private Act , Kanada, dengan Mutual Insurance Companies Act Chapter 306 of Revised Statutes 1989 dan Mutual Fire Insurance Companies Act 1960- Chapter 262, Inggris dan Scotlandia (United Kingdom), dengan Friendly Societies Act 1992, Perancis, dengan Code de la Mutualié, Jerman, dengan Versichegerungsaufsichtsgezetz yang telah diubah terakhir pada Tahun 2020. Dengan demikian, maka terlihat dengan jelas bahwa untuk mendukung Asuransi Usaha Bersama perlu diatur dengan undang-undang; [3.13.4] Bahwa selain penegasan tersebut di atas, hal yang tidak dapat diabaikan adalah kekuatan eksekutorial putusan badan peradilan. Sebagaimana diketahui bahwa secara universal putusan pengadilan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya, ini tidak berarti semata-mata hanya menetapkan hak atau hukumnya 125 saja, melainkan juga pelaksanaannya atau eksekusinya secara paksa. Suatu putusan dapat dilaksanakan apabila kepala putusan atau disebut irah-irah memuat kalimat yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” , pencantuman irah-irah ini memberikan kekuatan eksekutorial pada putusan tersebut. Sehingga, peniadaan irah-irah tersebut mengakibatkan putusan menjadi batal demi hukum. Selain itu, pada asasnya, putusan yang dapat dieksekusi adalah putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, karena dalam putusan yang telah berkekuatan hukum yang tetap telah terkandung wujud hubungan hukum yang tetap dan pasti serta mengikat antara para pihak yang berperkara. Bahwa terkait dengan kekuatan eksekutorial putusan badan peradilan, secara doktriner, bahwa putusan badan peradilan yang memerlukan eksekusi nyata (riil) adalah amar putusan yang bersifat condemnatoir (penghukuman), sedangkan putusan yang bersifat constitutief atau declaratoir tidak memerlukan eksekusi nyata (riil). Namun demikian terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan norma dari undang-undang adalah inkonstitusional dan kemudian diikuti amar yang memerintahkan kepada pembentuk undang-undang dalam jangka waktu tertentu untuk membentuk undang-undang sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013, maka kedua amar tersebut di samping mengandung amar yang bersifat constitutief atau declaratoir juga memuat amar yang bersifat penghukuman ( condemnatoir) . Artinya, amar putusan Mahkamah Konstitusi tersebut juga memuat perintah untuk melakukan suatu tindakan, yaitu membentuk undang-undang yang baru/tersendiri dalam jangka waktu dua setengah tahun sejak putusan itu diucapkan. Dalam konteks Putusan Mahkamah Konstitusi, putusan yang berkekuatan hukum tetap tercermin dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar,...”. Kemudian Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 tersebut ditegaskan kembali dalam Pasal 10 ayat (1) UU MK yang menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Kata “final” dalam kedua pasal tersebut di atas, dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU MK, yaitu: 126 Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat ( final and binding ). Dengan demikian, putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang berkekuatan hukum tetap dan mengikat bagi semua pihak sejak putusan itu diucapkan, terutama dalam hal ini pembentuk undang-undang. Artinya, semua putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang mempunyai kekuatan eksekutorial, terlebih terhadap putusan yang disertai amar yang bersifat penghukuman ( condemnatoir ), sebagaimana diuraikan di atas. Bahwa oleh karena itu persoalan yang menjadi pertanyaan penting dan fundamental adalah apa akibat hukum apabila putusan Mahkamah Konstitusi yang amarnya mengabulkan permohonan para Pemohon bahkan terkandung permintaan agar pembentuk undang-undang atau pihak lain untuk melakukan perbuatan tertentu tidak ditaati. Menurut Mahkamah, tindakan tidak mentaati putusan adalah ‘pembangkangan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang juga merupakan bentuk pembangkangan terhadap konstitusi’. Hal tersebut berakibat adanya ketidakpastian hukum yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi. Akibat lainnya adalah terjadinya penundaan keadilan ( constitutionalism justice delay ) yang basisnya adalah nilai-nilai konstitusi Indonesia. Akibat hukum lain yang dapat ditimbulkan adalah ketidaktaatan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang dapat memunculkan rivalitas lembaga negara yang diperlihatkan oleh DPR dan Presiden melalui pembentukan undang-undang yang dikeluarkan seolah mengabaikan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, keadaan demikian tentu dapat menyebabkan ketidakstabilan negara hukum utamanya penegakan nilai-nilai konstitusi sebagaimana tertuang dalam UUD 1945. Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi adalah hukum yang dibentuk oleh badan peradilan yang kewenangannya didasarkan langsung dari UUD 1945, di mana ketika Mahkamah Konstitusi mengadili suatu perkara mendasarkan pada pasal-pasal yang termuat di dalam UUD 1945 sebagai hukum materiil. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan Indonesia adalah negara hukum. Kata hukum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tidak hanya UUD 1945 serta peraturan perundang-undangan di bawahnya melainkan juga termasuk putusan pengadilan. 127 Sehingga ketidaktaatan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi adalah pengabaian terhadap UUD 1945. Bahwa dalam hal putusan Mahkamah Konstitusi karena alasan-alasan yang bersifat kekinian sehingga tidak tepat lagi untuk diakomodir/dipenuhi atau tidak dapat dilaksanakan oleh pembentuk undang-undang ataupun pihak lain, sepanjang alasan tersebut berkaitan dengan konstitusionalitas suatu norma, bukan semata- mata alasan yang bersifat teknis dan pragmatis, maka terhadap putusan Mahkamah Konstitusi demikian dapat diajukan pengujian kembali untuk dilakukan ‘peninjauan’ terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, sebagaimana hal demikian telah pernah dikabulkan oleh Mahkamah. Bukan dengan sengaja menafsirkan putusan dimaksud dan selanjutnya tidak mentaatinya. [3.13.5] Bahwa selanjutnya berkaitan dengan konstitusionalitas norma Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 yang dipersoalkan oleh para Pemohon yang sangat terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013. Menurut Mahkamah, sesungguhnya dalam putusan tersebut, baik dalam pertimbangan hukum maupun amarnya secara expressis verbis memerintahkan Pembentuk undang-undang untuk membentuk Undang-Undang tentang Asuransi Usaha Bersama dalam dua tahun enam bulan sejak putusan diucapkan. Selengkapnya amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 menyatakan: Mengadili, Menyatakan:
Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya. Bahwa sesuai amar Putusan Mahkamah tersebut maka pembentuk undang-undang diberi waktu dua tahun enam bulan untuk membentuk Undang- Undang tentang Asuransi Usaha Bersama ( Mutual Insurance ). Namun, kenyataannya pembentuk undang-undang bukan membentuk undang-undang sebagaimana perintah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 melainkan hanya memuat satu pasal dalam UU 40/2014 bahkan pembentuk undang-undang mendegradasi amanah Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang kemudian oleh Mahkamah juga telah diputus bahwa Asuransi Usaha Bersama dibentuk dengan undang-undang. Bahwa dalam persidangan baik Presiden maupun Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan yang pada pokoknya:
Perusahaan AJB Bumi Putera 1912 hanya satu-satunya dan tidak dimungkinkan akan ada penambahan perusahaan Asuransi Usaha Bersama ( mutua l) lagi di Indonesia.
Dalam Usaha Bersama, penambahan modal tidak dapat dilakukan karena karakteristik Usaha Bersama tidak membolehkan adanya penambahan modal dari pihak luar selain dari anggota. Di sisi lain, karakteristik usaha perasuransian adalah bisnis yang memerlukan modal usaha besar.
Dengan mempertimbangkan keterbatasan kemampuan Usaha Bersama dalam menambah modal, dengan pemahaman Usaha Bersama sebagai kumpulan pihak dan bukan kumpulan modal, sementara di sisi lain Usaha Bersama tetap harus memastikan kemampuannya untuk memenuhi kewajiban kepada Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta, maka terhadap Perasuransian Berbentuk Usaha Bersama yang telah ada, agar dapat tetap menjalankan usaha dengan memiliki standar perusahaan asuransi yang ideal, perlu diatur pembatasan ruang lingkup Asuransi Usaha Bersama dan penyempurnaan ketentuan mengenai tata kelola perusahaan-perusahaan Asuransi Usaha Bersama.
Bahwa UU 40/2014 telah mengakomodir kebutuhan hukum perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama pada pasal-pasal dalam batang tubuhnya, meskipun demikian, sebagai upaya penguatan terhadap perusahaan asuransi 129 berbentuk Usaha Bersama yang telah ada agar memiliki standar sebagai perusahaan perasuransian yang ideal serta memberikan perlindungan bagi para anggotanya, maka pembuat undang-undang juga memperhatikan hal tersebut dengan mengatur lebih lanjut mengenai badan hukum Usaha Perasuransian berbentuk Usaha Bersama dengan Peraturan Pemerintah. Bahwa penjelasan Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat tersebut, menurut Mahkamah telah menafsirkan lain dari maksud Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013. Putusan Mahkamah Konstitusi a quo sangat jelas dan gamblang menyatakan bahwa frasa “...diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang” dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “... ‘diatur lebih lanjut dengan Undang- Undang’ dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan Mahkamah ini diucapkan ”. Artinya, ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama ( Mutual ) harus diatur lebih lanjut dengan Undang- Undang tersendiri terpisah dari asuransi berbentuk perseroan dan asuransi berbentuk koperasi. Bahwa tindakan pembentuk undang-undang yang menafsirkan berbeda dari maksud Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 merupakan tindakan yang keliru bahkan secara faktual tindakan pembentuk undang-undang yang tidak melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi yang memiliki kekuatan eksekutorial merupakan bentuk ketiadaktaatan terhadap hukum. Terlebih lagi, pembentuk undang-undang secara sadar menafsirkan lain yang justru mendegradasi amanah Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013. Tindakan menafsirkan amar suatu putusan badan peradilan adalah juga merupakan bentuk pengingkaran terhadap asas universal ‘ res judicata pro viratate habetur’ yang menjadi landasan setiap putusan hakim yang harus dianggap benar, sepanjang putusan itu tidak dibatalkan kemudian oleh putusan hakim yang lain. Dengan kata lain, putusan hakim tidak boleh ditafsirkan lain dan harus dilaksanakan sebagaimana bunyi amar putusannya dan bunyi amar putusan dimaksud dianggap benar hingga dibatalkan oleh putusan hakim yang lainnya. 130 Bahwa alasan pembentuk undang-undang sebagaimana telah diuraikan di atas, bukan merupakan alasan konstitusional melainkan alasan teknis-pragmatis belaka. Seharusnya pembentuk undang-undang membuat undang-undang mengenai Asuransi Usaha Bersama agar menjadi maju dan berkembang sehingga dapat bersaing dengan asuransi perseroan dan asuransi koperasi. Sebagaimana di negara-negara lain seperti yang telah Mahkamah uraikan dalam Paragraf [3.13.3] , terlebih untuk Indonesia yang secara fakta sejarah telah memiliki Asuransi Usaha Bersama dalam hal ini AJB Bumiputera 1912 yang sampai saat ini keberadaannya masih diakui, justru harus didorong agar dapat mengembangkan industri perasuransian dengan bentuk usaha bersama, apalagi hal itu merupakan amanah Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. Di samping alasan tersebut di atas, penguatan eksistensi Asuransi Usaha Bersama juga mencerminkan adanya tekad dari negara dalam mempertahankan warisan kultur dan semangat gotong royong ( legacy ) dalam membangun perekonomian yang hingga saat ini masih relevan dibutuhkan yang menjadi ciri utama falsafah bangsa Indonesia. Sebab, mengakomodir pengaturan asuransi sebagai usaha bersama ( mutual) , sebagaimana AJB Bumi Putera 1912 di dalam undang-undang adalah juga bagian dari bentuk legitimasi bangsa Indonesia terhadap aspek legacy tersebut di atas. [3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian tersebut di atas, menurut Mahkamah permohonan para Pemohon mengenai ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 bertentangan dengan UUD 1945 beralasan menurut hukum, yaitu mengganti frasa yang semula berbunyi “diatur dalam Peraturan Pemerintah” menjadi “diatur dengan undang-undang”, sehingga ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 selengkapnya berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Undang- Undang”. Perubahan norma dimaksud semata-mata agar tidak bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 33 ayat (1) yang telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013. Oleh karenanya, adalah tindakan inkonstitusional jika pembentuk undang-undang menafsirkan lain atau berbeda dengan apa yang telah diputuskan oleh Mahkamah. [3.15] Menimbang bahwa untuk menyelesaikan pembentukan Undang-Undang tentang Asuransi Usaha Bersama sebagaimana dikemukakan di atas, Mahkamah berpendapat diperlukan jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan ini 131 diucapkan. Waktu dua tahun adalah waktu yang cukup bagi pembentuk undang- undang (DPR dan Presiden) untuk menyelesaikan Undang-Undang tentang Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance ). [3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, dalil permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum 4. KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan _a quo; _ __ [4.2] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554), dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076).
AMAR PUTUSAN Mengadili, 1. Mengabulkan permohonan para Pemohon;
1 Menyatakan frasa “... diatur dalam Peraturan Pemerintah ” dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618 ), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum 132 mengikat; __ __ 1.2 Menyatakan frasa “... diatur dalam Peraturan Pemerintah ” dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618 ), diubah sehingga menjadi diatur dengan Undang-Undang, sehingga selengkapnya Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618 ), menjadi “ Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Undang- Undang”. __ 1.3 Memerintahkan DPR dan Presiden untuk menyelesaikan Undang-Undang tentang Asuransi Usaha Bersama dalam waktu paling lama dua tahun sejak putusan ini diucapkan. __ 2. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. -------------------------------------------------------------------------------- 6. PENDAPAT BERBEDA ( DISSENTING OPINION ) Terhadap putusan Mahkamah ini, terdapat dua orang Hakim Konstitusi yaitu Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams yang memiliki pendapat berbeda ( dissenting opinion ) sebagai berikut: [6.1] Menimbang bahwa para Pemohon pada pokoknya mempersoalkan frasa “diatur dalam Peraturan Pemerintah” dalam ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014. Para Pemohon memohonkan agar pasal a quo dimaknai menjadi “diatur dengan Undang-Undang” sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu yaitu Putusan Nomor 32/PUU-XI/2013, bertanggal 3 April 2014, yang amarnya menyatakan “ diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan Mahkamah ini diucapkan”. Berkenaan dengan permohonan para Pemohon tersebut, Kami memberikan pendapat berbeda. 133 [6.2] Menimbang bahwa setelah dicermati secara saksama, para Pemohon menerangkan kedudukan hukumnya sebagai perseorangan warga negara Indonesia, Pemegang Polis AJB Bumiputera 1912 serta sebagai Anggota Badan Perwakilan Anggota (BPA) dari berbagai daerah perwakilan. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 para Pemohon sebagai perseorangan dan pemegang polis diberikan kedudukan hukum karena pemilik badan usaha adalah para Pemegang Polis sebagaimana diatur dan disebutkan dalam Anggaran Dasar AJB Bumiputera 1912 pada bagian Mukadimah, maupun dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 5, Pasal 7, dan Pasal 36 sampai dengan Pasal 45. Namun demikian, pemberian kedudukan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 tidaklah serta merta dapat diberikan untuk perkara a quo dikarenakan pada saat Perkara Nomor 32/PUU-XI/2013 diajukan belum ada kejelasan status badan hukum usaha bersama. Namun, setelah diundangkannya UU 40/2014 usaha bersama yang telah ada dikukuhkan statusnya sebagai badan hukum usaha bersama dan organ badan hukum usaha bersama diatur dalam peraturan pelaksana UU 40/2014 yaitu PP 87/2019. Ketentuan Pasal 1 angka 8 PP 87/2019 mengatur adanya organ direksi, di mana direksi sebagai organ usaha bersama berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan usaha bersama untuk kepentingan usaha bersama, sesuai dengan maksud dan tujuan usaha bersama, serta mewakili usaha bersama baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan PP a quo dan anggaran dasar usaha bersama. Ketentuan Pasal 1 angka 8 PP 87/2019 dikuatkan kembali dalam Pasal 54 ayat (1) PP a quo yang menyatakan bahwa “Direksi baik sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama berwenang mewakili usaha bersama baik di dalam maupun di luar pengadilan”. Kewenangan Direksi untuk mewakili usaha bersama tidak terbatas dan tidak bersyarat, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan, Anggaran Dasar, atau keputusan Rapat Umum Anggota (RUA). Bahwa selanjutnya, terkait dengan anggapan kerugian hak konstitusionalnya, para Pemohon menjelaskan kedudukannya sebagai Badan Perwakilan Anggota (BPA) untuk berbagai daerah pemilihan. Namun, pada saat UU 40/2014 dan PP 87/2019 berlaku sudah tidak ada lagi istilah BPA karena ketentuan Pasal 120 ayat (3) PP 87/2019 menyatakan bahwa BPA usaha bersama yang telah ada pada saat PP 87/2019 diundangkan, dinyatakan sebagai RUA dan memiliki tugas serta kewenangan sesuai dengan ketentuan dalam PP a quo . Adapun anggota 134 BPA __ yang telah ada pada saat PP a quo diundangkan, tanggal 26 Desember 2019, dinyatakan sebagai Peserta RUA [vide Pasal 120 ayat (4) PP 87/2019]. [6.3] Menimbang bahwa dengan mencermati secara saksama uraian para Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukumnya telah ternyata tidak tampak adanya hubungan kausal ( causal verband ) antara anggapan kerugian konstitusional yang diderita para Pemohon dengan berlakunya norma Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014. Karena, pada pokoknya yang dipersoalkan para Pemohon adalah beberapa ketentuan dalam PP 87/2019 yang dianggap para Pemohon telah menghilangkan eksistensi BPA karena mengubahnya menjadi RUA, dan mengurangi kewenangan BPA dalam mengelola AJB Bumiputera 1912. Termasuk di dalamnya para Pemohon juga mempersoalkan masa jabatan anggota BPA yang beralih menjadi anggota RUA sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 120 PP a quo yang menentukan selama satu tahun. Menurut para Pemohon, ketentuan demikian merugikan karena semula masa jabatan anggota BPA adalah lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk maksimal dua periode berturut-turut. [6.3.1] Bahwa Jika mencermati secara saksama PP 87/2019, masa jabatan anggota RUA tersebut pada prinsipnya sama dengan anggota BPA yakni lima tahun dan dapat dipilih kembali. Ketentuan satu tahun yang dipersoalkan para Pemohon sebagai anggapan kerugian konstitusional tersebut hanyalah Ketentuan Peralihan dari anggota BPA menjadi anggota RUA yang sifatnya sementara waktu ( temporary ) sampai terbentuknya anggota RUA (vide Pasal 120 ayat (4) dan ayat (5) PP 87/2019). Selain itu, para Pemohon juga mempersoalkan anggapan kerugian yang dialaminya dikaitkan dengan tidak dibolehkannya anggota/pengurus partai politik, calon/anggota legislatif, calon kepala/wakil kepala daerah, atau kepala/wakil kepala daerah menjadi peserta RUA sebagaimana termaktub dalam Pasal 31 ayat (3) PP 87/2019 yang dikaitkan dengan adanya pembatasan terhadap hak seseorang, in casu anggota/pengurus partai politik, calon/anggota legislatif, calon kepala/wakil kepala daerah, atau kepala/wakil kepala daerah untuk menjadi pemegang polis. [6.3.2] Bahwa uraian alasan para Pemohon yang mengait-kaitkan hak untuk menjadi anggota (pemegang polis) dan syarat untuk menjadi anggota RUA dalam batas penalaran yang wajar sungguh sulit untuk dipahami korelasinya dengan anggapan kerugian hak konstitusional yang dialaminya. Karena, pada prinsipnya 135 siapapun dapat menjadi pemegang polis AJB Bumiputera atau anggota sepanjang memenuhi syarat keanggotaan yaitu perseorangan berkewarganegaraan Indonesia atau pemegang polis badan hukum, lembaga, kelompok, atau perkumpulan yang tunduk pada hukum Indonesia (vide Pasal 8 PP 87/2019). Sementara itu, pembatasan yang dipersoalkan oleh para Pemohon pada prinsipnya pembatasan atau syarat menjadi anggota RUA. Salah satu pembatasan tersebut adalah tidak membolehkan anggota/pengurus partai politik, calon/anggota legislatif, calon kepala/wakil kepala daerah, atau kepala/wakil kepala daerah. Pembatasan demikian adalah wajar dan tidak bertentangan dengan konstitusi di mana secara filosofis bertujuan untuk menjamin agar keputusan yang diambil oleh RUA dalam melaksanakan kewenangannya, yang tidak dimiliki oleh direksi atau dewan komisaris, tidak berafiliasi dengan kepentingan politik apapun atau independen. [6.3.3] Bahwa Lebih lanjut, para Pemohon juga menjelaskan anggapan kerugian hak konstitusionalnya dikaitkan dengan adanya kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang dianggap para Pemohon telah mengintervensi kewenangan BPA AJB Bumiputera 1912 sebagaimana menurut para Pemohon intervensi tersebut termaktub antara lain dalam ketentuan Pasal 5 ayat (2), Pasal 7 ayat (2), Pasal 19, Pasal 23 ayat (4), ayat (5), ayat (6), Pasal 24 ayat (6), ayat (7), ayat (8), Pasal 35 UU 40/2014 sehingga menurut para pemohon intervensi demikian dapat memperlambat proses pengambilan keputusan RUA (vide. permohonan para Pemohon hlm. 14 sampai dengan hlm. 17). Istilah RUA yang dimaksud dulunya adalah BPA. Berkenaan dengan uraian para Pemohon tersebut, penting ditegaskan bahwa pada saat BPA dibentuk tidak ada keterlibatan OJK dalam penyelenggaraan asuransi karena OJK sendiri baru dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU 21/2011). Artinya, pada saat BPA dibentuk memang belum ada OJK sebagai lembaga independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang memiliki fungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan (Pasal 5 UU 21/2011). Sebagai lembaga pengatur dan pengawas sektor jasa keuangan OJK berwenang mengatur dan mengawasi perusahaan asuransi apapun dalam rangka memberikan perlindungan bagi para anggotanya, termasuk di dalamnya mengatur dan mengawasi badan hukum usaha bersama AJB Bumiputera 1912. 136 [6.4] Menimbang bahwa berdasarkan uraian kedudukan hukum di atas, telah jelas para Pemohon tidak dapat menguraikan apa sesungguhnya kerugian hak konstitusional yang dialami para Pemohon dengan berlakunya norma Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014, sehingga tidak ada hubungan kausal ( causal verband ) antara kerugian para Pemohon dengan berlakunya norma pasal a quo . Dengan demikian seharusnya Mahkamah menyatakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian norma Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014. [6.5] Menimbang bahwa uraian/pendapat hukum mengenai PP 87/2019 di atas bukan ditujukan untuk menilai keabsahan (legalitas) PP 87/2019 terhadap Undang- Undang atau bahkan terhadap UUD 1945, melainkan semata-mata karena para Pemohon dalam menjelaskan kerugian konstitusionalnya selalu merujuk pada PP 87/2019 a quo. [6.6] Menimbang bahwa andaipun para Pemohon memiliki kedudukan hukum, quod non, tidak terdapat pula persoalan konstitusionalitas norma Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 dikarenakan Pasal 6 ayat (1) UU 40/2014 menentukan bentuk badan hukum penyelenggara usaha perasuransian adalah perseroan terbatas, koperasi, dan usaha bersama. Badan hukum usaha bersama dimaksud adalah usaha bersama yang telah ada pada saat UU 40/2014 diundangkan yang dikukuhkan oleh UU a quo sebagai badan hukum usaha bersama. Sampai saat UU a quo diundangkan hanya ada satu badan hukum usaha bersama yaitu AJB Bumiputera 1912. UU a quo telah ternyata tidak hanya mengukuhkan AJB Bumiputera 1912 sebagai badan hukum usaha bersama tetapi juga mengatur secara garis besar mengenai tata kelola penyelenggara perasuransian oleh badan hukum usaha bersama. Pengaturan tersebut meliputi perizinan usaha bersama (Pasal 8 UU 40/2014); penerapan tata kelola perusahaan asuransi yang baik, termasuk usaha bersama (Pasal 11 UU 40/2014); pengaturan kewajiban organ perusahaan perasuransian, termasuk usaha bersama untuk memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan (Pasal 12 UU 40/2014); pengaturan prinsip dasar penyelenggaraan usaha bersama (Pasal 35 UU 40/2014); larangan bagi organ perusahaan asuransi, termasuk usaha bersama jika izin usaha perusahaan dicabut (Pasal 43 UU 40/2014); kewenangan organ perusahaan, termasuk usaha bersama, jika tim likuidasi telah dibentuk (Pasal 46 UU 40/2014); kewenangan OJK menonaktifkan 137 organ perusahaan, termasuk usaha bersama, dan menetapkan pengelola statuter, serta mengatur mengenai pengenaan sanksi bagi perusahaan perasuransian dan organ perusahaan yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 60 UU 40/2014); pemeriksanaan perusahaan perasuransian secara berkala atau sewaktu-waktu (Pasal 61 UU 40/2014); kewenangan OJK untuk memerintahkan penggantian direksi dan dewan komisaris (Pasal 72 UU 40/2014); ketentuan pidana bagi organ perusahaan yang melanggar UU 40/2014, dan ketentuan peralihan untuk penyesuaian usaha bersama dalam kurun waktu paling lama tiga tahun (Pasal 86 UU 40/2014). [6.6.1] Bahwa lebih lanjut, UU 40/2014 menjelaskan bahwa apabila di kemudian hari setelah UU 40/2014 diundangkan ada pihak-pihak yang akan menyelenggarakan usaha asuransi umum, usaha asuransi jiwa, usaha asuransi umum syariah, atau usaha asuransi jiwa syariah dengan bentuk usaha bersama, UU a quo menjelaskan agar bentuk badan hukumnya didorong berbentuk koperasi dengan pertimbangan kejelasan tata kelola dan prinsip usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan (vide Penjelasan Pasal 6 UU 40/2014). Artinya, dengan UU 40/2014 pembentuk undang-undang telah mengukuhkan AJB Bumiputera 1912 sebagai satu-satunya badan hukum usaha bersama. Namun, ke depannya usaha bersama apabila ada lagi oleh UU a quo didorong dalam bentuk koperasi. Koperasi pada hakikatnya adalah wadah usaha bersama untuk memenuhi aspirasi dan kebutuhan ekonomi. Bentuk badan usaha bersama ( mutual ) ini sejiwa dengan badan usaha koperasi sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, yang dalam usahanya bertumpu kepada kemampuan anggotanya serta berorientasi pada peningkatan kesejahteraan para anggotanya, bukan seperti perusahaan yang lebih berpihak dan menguntungkan para pemilik modal. Dengan demikian, bentuk koperasi untuk usaha bersama seandainya ke depan akan dibentuk adalah sejalan dengan amanat Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. [6.6.2] Bahwa berdasarkan pengaturan tersebut di atas maka pembentuk undang- undang, in casu Pembentuk UU 40/2014 pada prinsipnya telah melaksanakan amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 walaupun tidak diatur dalam undang-undang tersendiri. Selain itu, UU 40/2014 tidak hanya mengukuhkan status badan hukum usaha bersama tetapi juga mengatur tata kelolanya, di mana untuk pengaturan lebih lanjutnya ditetapkan dalam PP 87/2019. 138 Dengan penjelasan dan argumentasi di atas dapat disimpulkan bahwa Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 tidak bertentangan dengan Konstitusi karena status hukum bagi usaha bersama yang ada yaitu AJB Bumiputera 1912 sebagai badan hukum telah ditegaskan dalam UU 40/2014 [vide Pasal 6 ayat (1) huruf c dan ayat (2)]. Selain telah memberikan kepastian hukum bahwa perusahaan asuransi berbentuk usaha bersama adalah badan hukum dan ditegaskan pula bahwa AJB Bumiputera 1912 merupakan satu-satunya usaha bersama yang menyelenggarakan usaha perasuransian; telah diaturnya prinsip-prinsip umum tata kelola suatu perusahaan asuransi yang berlaku bagi usaha bersama dalam UU 40/2014 dan kekhususan bidang AJB Bumiputera 1912 di bidang asuransi; serta adanya fakta hukum bahwa hanya ada satu objek hukum atas pengaturan tata kelola usaha bersama, maka kebijakan pembentuk undang-undang (Presiden dan DPR) yang mendelegasikan pengaturan tata kelola usaha bersama ke dalam Peraturan Pemerintah telah didasarkan pada landasan hukum dan pemikiran yang jelas dan berdaya guna serta berhasil guna sesuai dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan [vide Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan] sehingga memberikan kepastian hukum. Dengan demikian tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 sebagaimana didalilkan para Pemohon. [6.7] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, Kami berpendapat bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum, oleh karenanya seharusnya permohonan para Pemohon tidak diterima. Seandainyapun para Pemohon memiliki kedudukan hukum, quod non , seharusnya Mahkamah menyatakan pokok permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum. *** Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Suhartoyo, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P. Foekh, Manahan M.P. Sitompul, Wahiduddin Adams, Arief Hidayat, dan Saldi Isra, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Kamis, tanggal sepuluh, bulan Desember, tahun dua ribu dua puluh , yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum 139 pada hari Kamis, tanggal empat belas, bulan Januari, tahun dua ribu dua puluh satu , selesai diucapkan pukul 13.26 WIB , oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Suhartoyo, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P. Foekh, Manahan M.P. Sitompul, Wahiduddin Adams, Arief Hidayat, dan Saldi Isra, masing-masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Dian Chusnul Chatimah sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon atau kuasanya, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan Presiden atau yang mewakili. KETUA, ttd. Anwar Usman ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Aswanto ttd. Suhartoyo ttd. Enny Nurbaningsih ttd. Daniel Yusmic P. Foekh ttd. Manahan M.P. Sitompul ttd. Wahiduddin Adams ttd. Arief Hidayat ttd. Saldi Isra PANITERA PENGGANTI, ttd. Dian Chusnul Chatimah
Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ...
Relevan terhadap