PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 194 ...
Relevan terhadap
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk; a. Menguji Undang- Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945; 3. Bahwa berdasarkan kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas para Pemohon mengajukan permohonan agar Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) melakukan pengujian terhadap Pasal 21 ayat (1), Pasal 25 ayat (2), dan Pasal 94 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah selanjutnya disebut UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; 4. Bahwa oleh karena objek permohonan para Pemohon adalah Pasal 21 ayat (1), Pasal 25 ayat (2), dan Pasal 94 ayat (2) UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah maka berdasar hal-hal tersebut di atas Mahkamah berwenang untuk memeriksa dan memutus permohonan pengujian UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) PARA PEMOHON 1. Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, memberikan hak kepada antara lain badan hukum publik mengajukan permohonan judicial review karena hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang; Selengkapnya Pasal 51 ayat (1) tersebut berbunyi sebagai berikut: “ Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan _konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang”, yaitu: _ _a. perorangan warga negara Indonesia; _ b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik _Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang; _ _c. badan hukum publik atau privat; atau _ d. lembaga negara”. 2. Bahwa para Pemohon adalah warga negara Indonesia yang berdomisili di wilayah Provinsi Sulawesi Barat dan dalam kesehariannya bertugas melakukan penagihan atas potensi pendapatan asli daerah baik itu pajak daerah maupun retribusi daerah sesuai kewenangan pemerintah provinsi; 3. Bahwa para Pemohon adalah Pejabat Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Sulawesi Barat ( in casu Dispenda Sulawesi Barat) adalah badan hukum (badan hukum publik) karena merupakan pengemban hak dan kewajiban, legalitas.org
1 PUTUSAN Nomor 97/PUU-X/2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh: [1.2] 1. Nama : H. Mujirin M. Yamin, S.E., M.Si. Pekerjaan : Kepala Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Sulawesi Barat Agama : Islam Alamat : Jalan Abdul Malik Pattana Endeng Mamuju, Kabupaten Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat 2. Nama : Drs. Hasrat Kaimuddin Pekerjaan : Kepala Bidang Pendapatan Lain-lain Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Sulawesi Barat Agama : Islam Alamat : BTN Maspul Blok A, Nomor 22, Mamuju, Kabupaten Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat 3. Nama : Drs. Andi Jalil Andi Laebbe Pekerjaan Kepala Bidang Pajak Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Sulawesi Barat Agama : Islam Alamat : BTN Axuri Blok A Nomor 10 Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa bertanggal 3 September 2012, memberi kuasa kepada Muhammad Hatta, S.H., Imran Eka Saputra, S.H., dan Achmad legalitas.org
memiliki kekayaan, dapat menggugat dan digugat di muka pengadilan; negara, provinsi, kabupaten/kota dan bahkan badan pemerintahan yang merupakan badan organik negara menurut A. Mukthie Fadjar (Makalah Badan Hukum Publik dan Badan Hukum Privat) adalah badan hukum publik Dinas Pendapatan Daerah adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang merupakan bagian dari pemerintah provinsi di mana para Pemohon mendapatkan pendelegasian wewenang dari Gubernur Provinsi Sulawesi Barat berdasarkan Surat Kuasa Nomor 973/3955/X/2012 tertanggal 31 Agustus 2012; 4. Bahwa untuk itu Dinas Pendapatan Provinsi Sulawesi Barat yang terbentuk berdasarkan Peraturan Daerah tentang Kelembagaan Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat adalah sebagai badan hukum publik maka berdasarkan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 berhak mengajukan permohonan judicial review terhadap Undang-Undang karena menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah in casu Pasal 21 ayat (1), Pasal 25 ayat (2), dan Pasal 94 ayat (2); 5. Bahwa berdasarakan tugas dan fungsinya Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Sulawesi Barat adalah lembaga berwenang mengatur regulasi sektor pendapatan asli daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah utamanya pajak air permukaan yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi; 6. Bahwa berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi dalam hal ini menjadi yurisprudensi tetap yakni Putusan Nomor 006 /PUU-III/2005 juncto Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 dan putusan selanjutnya memberikan arti tentang kerugian konstusional dengan berlakunya suatu norma Undang-Undang yaitu: 1) adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; 2) bahwa hak konstitusional tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh berlakuknya Undang-Undang yang akan diuji; 3) kerugian konstitusional dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penaralan yang wajar dan dipastikan dapat terjadi; 4) ada hubungan sebab akibat antara kerugian dan berlakunya Undang- Undang yang dimohonkan untuk diuji; legalitas.org
Pengujian UU No. 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2 ...
Relevan terhadap
Menanggapi permohonan para Pemohon a quo , DPR berpandangan bahwa para Pemohon harus dapat membuktikan terlebih dahulu apakah benar para Pemohon sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, khususnya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagai dampak dari diberlakukannya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji. Terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) tersebut, DPR menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulya untuk mempertimbangkan dan menilai apakah para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) atau tidak sebagaimana yang diatur oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 011/PUU-V/2007DPR menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulya untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana yang diatur oleh Pasal 51 ayat (1) UU tentang Mahkamah Konstitusi dan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 011/PUU- V/2007 2. Pengujian atas Undang-Undang Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 Terhadap permohonan pengujian Pasal 7 ayat (6a) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012, DPR menyampaikan keterangan sebagai berikut: 1. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, maka proses pembahasan dan penetapan Undang-Undang a quo
2012, perubahan APBN 2012 juga dimaksudkan untuk mengakomodir perubahan-perubahan kebijakan dalam rangka mengamankan pelaksanaan APBN 2012. Adapun perubahan kebijakan fiskal dan langkah-langkah antisipatif yang ditetapkan dalam perubahan APBN 2012 adalah sebagai berikut: penambahan dana infrastruktur dan kebutuhan mendesak yang dibiayai dari pemanfaatan saldo anggaran lebih (SAL), kebijakan pengendalian subsidi BBM yang disertai dengan program kompensasi, pemotongan belanja kementerian negara/lembaga nonmodal, serta perluasan defisit anggaran dengan tambahan yang di antaranya dibiayai dari penerbitan surat berharga negara dan penambahan pemanfaatan SAL. Selain itu, langkah-langkah kebijakan tersebut juga disertai dengan optimalisasi pendapatan negara, terutama melalui peningkatan penerimaan negara bukan pajak. Sebagai akibat dari perkembangan berbagai asumsi dasar ekonomi makro yang berubah dari perkiraan semula, serta dengan adanya perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal yang dampaknya cukup signifikan terhadap APBN 2012, maka perubahan APBN 2012 dilakukan secara menyeluruh guna menampung seluruh perubahan dalam pendapatan, belanja, serta defisit dan pembiayaan anggaran, sehingga telah terjadi pula perubahan postur APBN 2012 yang meliputi pendapatan dan hibah, belanja, defisit anggaran, dan pembiayaan. Oleh karena itu, APBN-P 2012 merupakan paket kebijakan yang komprehensif dan terintegrasi yang bertujuan untuk menjaga sustainabilitas fiskai (fiscal sustainability), memperbaiki efisiensi ekonomi, meningkatkan investasi untuk menstimulasi ekonomi, menjaga daya bell masyarakat, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. B. Penjelasan Atas Ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU APBN-P 2012 Terkait dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU APBN-P 2012, dapat Pemerintah sampaikan bahwa meningkatnya alokasi anggaran untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan liquefied petroleum gas (LPG) menjadi sebesar Rp137.379.845.300.000,00 (seratus tiga puluh tujuh triliun tiga ratus tujuh puluh sembilan miliar delapan ratus empat puluh lima juta tiga ratus ribu rupiah) dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) dari yang semula hanya sebesar Rp123.599.674.000.000,00 (seratus dua puluh tiga triliun lima ratus sembilan puluh sembilan miliar enam ratus tujuh puluh empat juta
Pengelolaan Indonesia National Single Window dan Penyelenggaraan Sistem Indonesia National Single Window ...
PUU Nomor 28/2009 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah
Relevan terhadap 6 lainnya
Pendapatan daerah senilai tersebut memang sangat kecil, jika dibandingkan dengan pendapatan negara yang lebih dari Rp1.100 triliun. Namun sangat berarti jika dimanfaatkan untuk memelihara infrastruktur jalan dan jembatan provinsi, kabupaten, dan kota. Memasukkan alat berat sebagai objek PKB dan BPNKB sesuai dengan kriteria prinsip perpajakan, termasuk keadilan. Yang pertama mengenai kriteria pajak yang potensial, mudah diadministrasi, dan berkelanjutan. Meskipun pada dasarnya pemerintah dapat memaksakan pengenaan terhadap suatu objek pajak, namun sesungguhnya tidak mudah mencari objek pajak yang potensial, mudah diadministrasi, dan berkelanjutan. Alat berat atau alat besar sebagai bagian dari objek PKB, memenuhi kriteria tersebut. Jumlah alat besar dan alat berat sangat banyak dan akan terus bertambah seiring kebutuhan pembangunan nasional. Jadi, jika kepemilikan dan pergantian kepemilikan terhadap alat berat dan alat besar dikenai pajak, maka dipastikan potensinya besar bagi pendapatan daerah. Objek pajak ini dipastikan akan terus dan berkelanjutan. Sejalan dengan kriteria di atas, objek pajak yang jelas dan tidak bisa disembunyikan. Salah satu teknis untuk mencari sumber pajak baru bagi sumber pembiayaan pembangunan dalam mencari berbagai jenis objek pajak yang jelas dan tidak bisa disembunyikan. Alat berat dan alat besar adalah benda yang besar, tidak mudah disembunyikan. Seterusnya pajak ini akan sangat mudah diadministrasi, seperti juga pada pajak kendaraan bermotor lainnya. Memungut pajak terhadap alat berat dan alat besar relatif rendah biaya administrasinya karena kepemilikan dan lokasi mudah diindentifikasi. Untuk itu pengenaan pajak terhadap alat berat dan alat besar dipastikan sangat efisien dari sudut pandang administrasi perpajakan. Kriteria kedua mengenai ekonomi efisiensi dan netralitas cara ekonomi. Sebuah pajak dikatakan tidak efisien secara ekonomi, jika menimbulkan dampak terhadap ekonomi, antara lain misalnya menimbulkan ekonomi biaya tinggi, nanti saya akan perlihatkan datanya, dan mengakibatkan keengganan untuk berinvestasi.
NTB dengan persentase 70% untuk bagian pemerintah provinsi, sedangkan 30% untuk bagian kabupaten/kota sewilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat. Bahwa ada pun kendaraan-kendaraan alat-alat berat maupun alat-alat besar yang kami pungut adalah alat-alat berat atau alat-alat besar yang dimiliki oleh objek pajak yang berdomisili di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat. Sedangkan bagi kendaraan alat-alat berat yang tidak dimiliki atau merupakan masyarakat yang tempat tinggalnya di wilayah NTB, kami tidak kenakan PKB maupun BPNKB-nya. Bahwa kontribusi PAD terhadap total APBD di Provinsi NTB relatif kecil. Oleh karena itu masih sangat ketergantungan dari transfer dana dari pemerintah pusat. Oleh karena itu, apabila Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang mengatur tentang PKB dan BPNKB, khususnya alat-alat berat ini akan dihapus, maka akan ada konsekuensi terhadap kemampuan untuk membiayai kegiatan pembangunan dan pemerintahan, baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota se-NTB, Pak. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat telah menindaklanjuti dengan menetapkan Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 1 Tahun 2011 yang pelaksanaannya dimulai pada bulan Februari 2011. Bahwa dampak kerusakan yang diakibatkan dengan beroperasinya tambang yang menggunakan alat-alat berat atau alat-alat besar tersebut, tidak sebanding dengan pajak yang dibayarkan. 3. Said Mukri selaku Kepala Dinas Pendapatan Provinsi Riau diminta oleh Pihak Kementerian Keuangan. gambaran umum Provinsi Riau. Dimana luas Provinsi Riau 8.915.000. 15,09 hektar terdiri dari daratan dan kepulauan, serta memiliki jumlah pendidik penduduk 5.543.031 jiwa yang tersebar di 12 kabupaten kota. bahwa sebelum berlakunya Undang-Undang 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dimana Pemerintah Provinsi Riau dalam hal ini telah melakukan pungutan terhadap pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama kendaraan bermotor, alat-alat berat, alat-alat besar berdasarkan
Kemudian yang dimaksud netral secara ekonomi adalah pajak tersebut tidak mengganggu efisiensi alokasi sumber daya ekonomi. Pengusaha sering mengeluh terhadap pengenaan pajak yang mengakibatkan tambahan biaya produksi, yang tentunya akan menguragi potensi profit. Pemerintah juga sering kali merasa kesulitan untuk menambah pendapatan negara dan daerah karena rendahnya potensi pendapatan berbagai jenis pajak, sehingga cenderung mengenakan pajak yang tinggi bagi yang mudah dipajaki. Di sinilah diperlukan analisis netralitas secara ekonomi. Apabila pengenaan pajak terhadap alat berat, alat besar ini memang telah menurunkan aktivitas ekonomi atau produksi di sebuah wilayah atau negara, maka Pemerintah harus mengevaluasi kebedaan pajak ini. Namun sepanjang pengamatan ahli, hingga saat ini belum terlihat kejadian tersebut. Ahli justru melihat kehati-hatian Pemerintah dalam menetapkan tarif agar tidak sampai menimbulkan disinsentif untuk berusaha. Tarif pajak yang sangat rendah masih jauh dari kemungkinan untuk menurunkan niat pengusaha untuk berinvestasi. Satu alat berat dan mobil, alat berat misalnya Ekskavator, Komatsu Tahun 2010 dengan dasar pengenaan sekitar 875 juta, kemudian Innova Rp. 192.000.000,00. Kita lihat berapa bea balik nama kendaraan bermotor ketika perpindahan kepemilikan pertama atau yang baru, itu untuk ekskavator hanya Rp. 6.500.000,00, sedangkan untuk kendaraan bermotor Innova itu Rp. 38.400.000,00 sehingga jauh sekali harga jualnya naik dibandingkan dengan alat berat. Demikian juga tarif bea balik nama kepemilikan kedua artinya kendaraan bekas, juga tarif pajak kendaraan bermotor. Kita lihat tarif alat berat Ekskavator itu pertahun itu hanya Rp. 875.000,00, di Riau hanya 2 jam sewa itu, 2 jam sewa Ekskavator sudah bisa membayar pajak kendaraan bermotor, pajak alat berat hanya untuk satu tahun pajak. Jadi ini tidak kelihatan bahwa memberatkan dunia usaha. Seterusnya kriteria ketiga mengenai keadilan, Definisi keadilan umumnya dikenal di perpajakkan adalah keadilan vertikal dan keadilan horizontal seperti yang disampaikan oleh Prof. Robert. Keadilan vertikal diartikan sebagai unequal treatment of unequal , perlakuan tidak sama terhadap yang
Hibah Dari Pemerintah Pusat Kepada Pemerintah Daerah dalam Rangka Bantuan Pendanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang ^- Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945.
Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA -2 - 3. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara Pusat yang disetujui oleh Dewan Perwakilan .Rakyat.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan Daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Hibah dari Pemerintah kepada Pemerintah Daerah yang selanjutnya disebut Hibah adalah pemberian dengan pengalihan hak atas sesuatu dari Pemerintah kepada Pemerintah Daerah yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya dan dilakukan melalui perj ^a njian.
Perjanjian Hibah Daerah yang selanjutnya disingkat PHD adalah kesepakatan tertulis mengenai hibah antara Pemerinta ^h dan Pemerintah Daerah yang dituangkan dalam perjanjian atau bentuk lain yang dipersamakan.
Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA ad ^a lah pejabat · pemegang kewenangan penggunaan anggaran kementerian negara/lembaga pemerintah non kemen terian / lem bag a yang bersangku tan.
Pembantu Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PPA adalah unit organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran.
Kuasa Pengguna Ariggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan ^d an tanggung jawab penggunaan artggaran kementerian negara/lembaga pemerintah non kementerian yang bersangkutan.
Surat Penetapan Pemberian Hibah adalah surat yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan atau pejabat yang diberi kuasa kepada Pemerintah Daerah yang memuat keg ^l atan dan be ^s aran Hibah yang bersumber dari penerimaan dalam negeri dan/atau pinjaman luar negeri 11. Rencana Kegiatan dan Anggaran yang selanjutnya disingkat RKA adalah dokumen yang memuat rincian kegiatan dan besaran pendanaan selama 12 (dua ^b elas) bulan.
Rencana Dana · Pengeluaran a tau dokumen yang dipersamakan yang selanjutnya disebut RDP adalah dokumen perencanaan anggaran yang · memuat rincian kebutuhan dana yang berbentuk anggaran belanja hibah dalam rangka bantuan pendanaan rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana yang merupakan himpunan dari RKA. MENTER! KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA -3 - 13. Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disingkat DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh PA/KPA.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana yang selanjutnya disingkat BNPB adalah lembaga pemerintah non kementerian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang dalam hal m1 bertindak sebagai Executing Agency yang bertanggungjawab terhadap program hibah dalaih rangka bantuan pendanaan rehabilitasi dan · rekonstruksi pascabencana ..
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang memperoleh kuasa dari · untuk melaksanakan sebagian fungsi Bendahara Umum Negara.
Dokumen Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disingkat DPA adalah dokumen yang memuat pendapatan dan belanja Pemerintah Daerah yang digunakan sebagai dasar pelaksanaan oleh PA.
Rekening Kas Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKUN adalah rekening tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara pada bank sen tral.
Rekening Kas Umum Daerah yang selanjutnya disingkat RKUD adalah rekening tempat penyimpanan uang daerah yarig ditentukan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota untuk menampung seluruh penerimaan daerah dan membayar seluruh pengeluaran daerah pada bank yang ditetapkan.
Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak yang selanjutnya disingkat SPTJM adalah surat pernyataan dari pengguna dana yang menyatakan bahwa pengguna dana bertanggung jawab secara formal dan mqterial kepada KPA atas kegiatan yang dibiayai dengan dana tersebut.
Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh PA/KPA atau pejabat lain yarig ditunjuk untuk mencairkan dan: a yang bersumber dari DIPA atau dokumen lain yang dipersamakan.
Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh Kuasa Bendahara Umum Negara untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM. A MENTER! KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA -4 - 22. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyakarat yang disebabkan, baik oleh faktor alam clan/ atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana.
Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana, kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat.
Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Investasi Pemerintah.
Relevan terhadap 1 lainnya
Realisasi pengeluaran pembiayaan untuk keperluan perolehan Investasi Jangka Panjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b melalui pengesahan dari BA BUN Investasi Pemerintah diakui pada saat pengesahan dokumen sebagai realisasi pembiayaan oleh kuasa BUN.
Realisasi pengeluaran pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diukur sebesar Nilai Nominal sesua1 dengan Surat Perintah Membayar (SPM) yang telah · diterbitkan SP2D atau dokumen yang dipersamakan berdasarkan asas bruto.
Nilai realisasi pengeluaran pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disajikan sebagai pengeluaran pembiayaan di LRA pada pos Pengeluaran Pembiayaan. Paragraf 4 Penilaian Investasi Jangka Panjang Pasal 1 5 (1) Investasi Jangka Panjang yang dimiliki pemerintah dilakukan analisis penilaian pada akhir tahun untuk menentukan metode akuntansi Investasi Pemerintah dalam rangka perlakuan penyaJian Investasi dan perlakuan hasil Investasi.
Metode akuntansi Investasi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu:
Metode Biaya;
Metode Ekuitas; dan
Metode Nilai Bersih Yang Dapat Direalisasikan.
Metode Biaya dan Metode Ekuitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b digunakan untuk melakukan analisis penilaian pada Investasi Permanen.
Metode Nilai Bersih Yang Dapat Direalisasikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c digunakan untuk melakukan analisis penilaian pada Investasi N onpermanen.
Penilaian Investasi Permanen dengan Metode Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dalam hal Investasi Permanen mempunyai tingkat kepemilikan Investasi atau tingkat pengaruh atau tingkat pengendalian terhadap badan usaha penerima Investasi (investee) kurang dari 20% (dua puluh persen) .
Penilaian Investasi Permanen dengan Metode Ekuitas sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilakukan dalam hal Investasi Permanen memiliki karakteristik:
Tingkat kepemilikan Investasi atau tingkat pengaruh atau tingkat pengendalian terhadap badan usaha penerima Investasi (investee) antara 20% (dua puluh persen) sampai dengan 50% (lima puluh persen) tetapi memiliki pengaruh yang signifikan;
Tingkat kepemilikan Investasi atau tingkat pengaruh atau tingkat pengendalian terhadap badan usaha penerima Investasi (investee) kurang dari 20% (dua puluh persen) tetapi memiliki pengaruh yang signifikan; atau
Tingkat kepemilikan Investasi atau tingkat pengaruh atau tingkat pengendalian terhadap badan usaha penerima Investasi (investee) lebih dari 50% (lima puluh persen) .
Pemerintah menggunakan Metode Nilai Bersih Yang Dapat Direalisasikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, dalam hal memiliki karakteristik:
Investasi Nonpermanen yang akan dilepas/ dijual;
Investasi Nonpermanen berupa tagihan, seperti bantuan modal kerja secara bergulir kepada kelompok masyarakat; atau
Investasi Nonpermanen yang dimaksudkan untuk penyehatan atau penyelamatan perekonomian. Pasal 1 6 (1) Penilaian menggunakan Metode Nilai Bersih yang Dapat Direalisasikan untuk Investasi Nonpermanen dalam bentuk obligasi atau surat utang jangka panjang yang dimaksudkan tidak untuk dimiliki berkelanjutan, dilakukan amortisasi atas nilai diskonto atau premium yang perolehan Investasi Nonpermanennya secara disko: hto atau premium.
Amortisasi atas nilai diskonto atau premium sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara periodik sampai dengan jatuh tempo.
Amortisasi atas nilai diskonto Investasi Nonpermanen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) , dicatat menambah nilai pendapatan bunga di LO dalam pos kegiatan operasional, dan menambah nilai Investasi Nonpermanen di Neraca dalam pos Investasi.
Amortisasi atas premium Investasi Nonpermanen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) , dicatat mengurangi nilai pendapatan di LO dalam pos kegiatan operasional, dan mengurangi nilai Nonpermanen di Neraca dalam pos Investasi.
Pencatatan pendapatan bunga atas Investasi Investasi Nonpermanen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) herupa kas yang dicatat dan disajikan di LRA tidak dipengaruhi nilainya oleh perhitungan nilai amortisasi pada setiap periode atas diskonto atau premium. - www.jdih.kemenkeu.go.id Paragraf 5 Hasil Investasi Jangka Panjang Pasal 1 7 (1) Hasil Investasi Jangka Panjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf d yang telah menjadi hak pemerintah, dicatat sebagai piutang bukan pajak di Neraca clan pendapatan bagian pemerintah atas laba Investasi di LO.
Realisasi penerimaan hasil Investasi yang diterima tunai, diakui sebagai pengurang nilai atas piutang bukan pajak di Neraca sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan sebagai pendapatan bagian pemerintah atas laba Investasi di LRA pada saat kas ditei: -ima di rekening kas negara.
Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Penerimaan Negara Dalam Rangka Kepabeanan dan Cukai Secara Elektronik ...
Relevan terhadap
Peraturan Direktur J enderal · ini mulai berlaku terhitung sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta, pada tanggal 1 Agustus 2016 · DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, - ttd- HERU PAMBUDI Kade Dok. 01 02 03 04 IAMPIRAN I PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAJ NOMO R PER- /BC/ 2016 TE NTANG TATA CARA PENYETORAN PE NE RIMAAN NEGARA DAl.AM RANGKA KEPABEANAN DAN CUKAl SECARA ELEKTRONIK DOKUMEN DASAR KEPABEANAN DAN CUKAJ DALAM RANGKA PENERBITAN KODE BILLING Nama Dokumen Pembuat Billing Waktu Pembuatan Billing J atuh Tempo Billing BC 2.0 PIB Biasa SKP, Mandiri sebelum/ sesudah 5 hari mengajukan PIB BC 2.0 PIB Fas. Mandiri sesudah mengajukan PIB Tanggal jatuh tempo pembayaran Pembayaran Berkala berkala BC 2.0 PIB Fas. Penangguhan BC 2.0 PIB Impor Sementara setelah diterbitkan surat a. Pembebasan Pejabat Bea dan Cukai perintah pencairan jaminan, pencairan jaminan: 12 hart kerja dengan mengacu pada sejak billing dibuat dokumen dasar (PIB) - Mandiri sebelum/ sesudah ~ hart mengajukan PIB setelah diterbitkan surat b. Kertnganan perintah pencairan jaminan Pejabat Bea dan Cukai ( dengan mengacu pada pencairan jaminan: 12 hart kerja dokumen PIB) sejak billing dibuat Kode Nama Dokumen Dok. Pembuat Billing Waktu Pembuatan Billing J atuh Tempo Billing 05 BC 2.1 PIBK sesudah PIBK ditetapkan oleh 30 hart a. PIBK (BC 2.1) Pejabat Bea dan Cukai (sesuai keten t uan terkait Pejabat Bea dan Cukai BTD/BMN) b. PIBK PJT Mandiri sesudah PIBK ditetapkan oleh 5 hart sejak SPPB Pejabat Bea dan Cukai 06 SPKPBM a . pembayaran lunas Pejabat Bea dan Cukai atas permintaan wajib bayar 2 hart b. pembayaran cicilan Pejabat Bea dan Cukai atas permintaan wajib bayar 2 hart c. pembayaran Untuk Banding Pejabat Bea dan Cukai atas permintaan wajib bayar 2 hart d. Pembayaran Banding Ditolak Pejabat Bea dan Cukai atas permintaan wajib bayar 2 hart 07 Pemesanan Pita Cukai HT (CK - 1) a. Tonai - Mandiri setelah dokumen CKI Tanggal dokumen CK- I ( 1 hari ) - Pejabat Bea dan Cukai mendapatkan nomor b. Kredit - Mandiri setelah dokumen CK 1 Tanggal jatuh temp o CK-1 kr e dit - Pejabat Bea dan Cukai mendapatkan nomor - Mandiri sebelum/ sesudah 5 hart 08 BC 2.0 PIB Berkala - Pejabat Bea dan Cukai menyerahkan PIB Kode Dok. Nama Dokumen Pembuat Billing Waktu Pembuatan Billing Jatuh Tempo Billing 10 Surat Penetapan Sanksi Administrasi (SPSA) a. Pembayaran Lunas - Pejabat Bea dan Cukai setelah SPSA diterbitkan Tanggal jatuh tempo SPSA - Mandiri b. Cicilan Pejabat Bea dan Cukai ketika akan membayar cicilan Tanggal jatuh tempo cicilan SPSA 13 Inward Manifest (BC.1.1) 14 Outward Manifest (BC.1.1) BC 2.0 PIB Fas. setelah diterbitkan surat pencairan jaminan: 12 hari kerja 15 Pejabat Bea dan Cukai perintah pencairan jaminan Penundaan sejak billing dibu at (mengacu pada dokumen PIB) 16 BC 2.0 PIB Tanpa Pungutan 17 PPKP Pejabat Bea dan Cukai setelah dok PPKP dtterbitkan 60 hari sejak PPKP dit erb i tkan . 18 Customs Declaration Pejabat Bea dan Cukai setelah diterbitkan penetapan 2 hari (BC 2.2) BC2.2 19 PEB (BC 3 .0) - SKP sebelum/ setelah pengajuan Tanggal perkiraan ekspor - Mandiri PEB Pemberitahuan dan 20 Perhitungan Bea Keluar Pejabat Bea dan Cukai setelah diterbitkan surat 2 hari Ekspor Barang Bawaan pen eta pan dan Kiriman (BC 3.2) Kode Dok. Nama Dokumen Pembuat Billing Waktu Pembuatan Billing Jatuh Tempo Billing 21 BC 2.3 Surat Penetapan Tarif 22 dan/atau Nilai Pabean (SPTNP) a. pembayaran lunas - Pejabat Bea dan Cukai setelah SPTNP diterbitkan Tanggal jatuh tempo SPTNP - Mandiri b. pembayaran cicilan ketika akan membayar cicilan Tanggal jatuh te mpo cicilan Pejabat Bea dan Cukai SPTNP 26 Surat Penetapan Pabean (SPF) a. pembayaran lunas - Pejabat Bea dan Cukai setelah SPP diterbitkan Tanggal jatuh tempo SPP - Mandiri b. pembayaran cicilan Pejabat Bea dan Cukai ketika akan membayar cicilan Tanggal jatuh te mpo cicilan SPP Surat Penetapan Kembali 30 Tarif dan/ a tau Nilai Pabean (SPKTNP) a. pembayaran lunas - Pejabat Bea dan Cukai setelah SPKTNP diterbitkan Tanggal jatuh tempo SPKTNP - Mandiri b . pembayaran cicilan ketika akan membayar cicilan Tanggal jatuh tempo cicilan Pejabat Bea dan Cukai SPKTNP c. pembayaran 50% - Pejabat Bea dan Cukai sebelum diajukannya Tanggal jatuh tempo SPKTNP atau Untuk Banding - Mandiri permohonan banding SPKPBK Kade · Dok. Nama Dokumen Pembuat Billing Waktu Pembuatan Billing Jatuh Tempo Billing d. Pembayaran 50% setelah putusan banding di pencairanjaminan: 12 hart kerja Banding Ditolak Pejabat Bea dan Cukai terima sejak billing dibuat (Surat Pencairan Jaminan) bersamaan/ sebelum Tanggal terakhir periode - SKP pengajuan dokumen BC2.4 31 BC 2.4 - Mandiri berlakunya kurs bayar Surat Penetapan 35 Perhitungan Bea Keluar (SPPBK) a. pembayaran lunas - Pejab~t Bea dan Cuka..i setelah SPPBK diterbitkan Tanggal jatuh tempo SPPBK - Mandiri b. pembayaran cicilan ketika akan membayar cicilan Tanggal jatuh tem po cicilan Pejabat Bea dan Cuka..i SPPBK -·· c. pembayaran 50% - Pejabat Bea dan Cukai sebelum diajukannya Tanggal ja t uh te mpo SPKTNP a tau Untuk Banding - Mandiri permohonan banding SPKPBK d. Pembayaran 50% setelah putusan banding di pencairan jaminan: 12 hart kerja Banding Ditolak Pejabat Bea dan Cukai terima sejak billing dibuat (Surat Pencairan Jaminan) Surat Penetapan Kembali 39 Perhitungan Bea Keluar (SPKPBK) a. pembayaran lunas - Pejabat Bea dan Cukai setelah SPKPBK diterbitkan Tanggal jatuh tempo SPKPBK - Mandiri b. pembayaran cicilan ketika akan membayar cicilan Tanggal jatuh tempo cicilan Pejabat Bea dan Cukai SPKPBK Kade Dok. Nama Dokumen Pembuat Billing Waktu Pembuatan Billing J atuh Tempo Billing - SKP bersamaan/ sebelum Tanggal terakhir periode 41 BC 2.5 pengajuan dokumen BC2 .5 - Mandiri bayar berlakunya kurs Surat Perintah 43 Melaksanakan Penyitaan (SPMP) Pemesanan Pita Cukai - SKP 47 - Pejabat Bea dan Cukai setelah pengajuan CK- lA Tanggal dokumen CK- lA untuk MMEA (CK-lA) - Mandiri (dapat nomor) 48 Pemberitahuan Mutasi BKC (CK-5) a. CK-5 Bayar - Pejabat Bea dan Cukai setelah dapat nomor Tanggal dokumen CK-5 - Mandiri pendaptaran b. CK-5 Berkala - Pejabat Bea dan Cukai setelah dapat nomor Tanggal jatuh tempo pembayaran - Mandiri pendaptaran berkala 49 Surat Tagihan Cukai (STCK-1) a. pembayaran lunas - Pejabat Bea dan Cukai bersamaan/ sesaat setelah sesuai Tanggal jatuh te mpo STCK-1 - Mandiri STCK-1 diterbitkan (30 hart sejak STCK-1 diterbitkan) b. pembayaran cicilan Pejabat Bea dan Cukai ketika pengguna jasa akan Tanggal jatuh tempo cicilan membayar STCK-1 50 Surat Tagihan Cukai Kode Waktu Pembuatan Billing Jatuh Tempo Billing Dok. Nama Dokumen Pembuat Billing Surat Pemberitahuan dan bersamaan/ sesaat setelah 53 Penagihan Biaya Pejabat Bea dan Cukai 30 hari sejak tanggal SPPBP-1 SPPBP diterbitkan Pengganti (SPPBP-1) Surat Pelimpahan bersamaan/ sesaat setelah xx Penagihan Biaya Pejabat Bea dan Cukai 30 hari s eja k tanggal SPPBP-2 SPPBP diterbitkan Pengganti (SPPBP-2) bersamaan/ sesaat setelah Tanggal jatuh tempo Sur at 54 Surat Teguran Pejabat Bea dan Cukai Teguran (21 hari sejak Surat Teguran diterbitkan diterbitkan ) ketika surat paksa Tanggal jatuli tempo Surat Paksa 55 Surat Paksa Pejabat Bea dan Cukai diberitahukan kepada (2 x 24 jam setelah surat paksa diberitahukan) pengguna jasa 56 Surat Peringatan Pejabat Bea dan Cukai ketika surat peringatan Tanggal jatuh tempo Sur at diterbitkan Peringatan ·- 57 Surat Tagihan 58 Buku Pas Lintas Batas Pejabat Bea dan Cukai setelah diterbitkan surat 2 hari (BPBLB) pen eta pan 59 Kep. Dirjen BC Keberatan Pejabat Bea dan Cukai setelah terbit Kep Dirjen 60 har.i sejak tanggal Kep Keberatan - .-~ . 60 Putusan Pengadilan Pejabat Bea dan Cukai setelah putusan pengadilan 60 hari sejak tanggal Ke p Bandin g Pajak diterima sebelum jatuh tempo 62 Kep. Dirjen BC Pejabat Bea dan Cukai sebagaimana tersebut dalam Tanggal jatuh tempo penundaan Penundaan Kep Kode Dok. Nama Dokumen Pembuat Billing Waktu Pembuatan Billing Jatuh Tempo Billing Kep. Dirjen BC selain 63 Tarif dan/atau Nilai Pejabat Bea dan Cukai setelah terbit Kep Dirjen Tanggal jatuh tempo penetapan Pabean mandiri : sebelum 64 PPFIZ-01 Mandiri penyampaian dokumen sesuai jatuh tempo kurs official : setelah . pen yampaian dokumen (belum dapat nopen) 65 PPFIZ-02 Mandiri mandiri: sebelum sesuai jatuh tempo kurs penyampaian dokumen 66 Pemberitahuan Pabean ~ Pejabat Bea dan Cukai rriandiri : sebelum sesuai jatuh tempo kurs Barang Tertentu (PPBT) - Mandiri penyampaian dokumen 67 Surat Teguran Cukai - Pejabat Bea dan Cukai bersamaan/ sesaat setelah sesuai Tanggal j at uh te mpo (STCK-2) - Mandiri STCK-2 diterbitkan STCK-2 Surat Pemberitahuan - Pejabat Bea dan Cukai bersamaan/ sesaat setelah sesuai Tanggal jatuh tempo 68 Pengenaan Sanksi - Mandiri SPPSA diterbitkan I SPPSA Administrasi (SPPSA) 69 Surat Pemberitahuan Pajak Rokok (SPPR) a . pembayaran lunas , - Pejabat Bea dan Cukai saat penyampaian dok CK-1 Tanggal dokumen CK-1 - Mandiri b. pembayaran cicilan - Pejabat Bea dan Cukai ketika pengguna jasa akan Tanggal Jatuh Tempo Ck - 1 - Mandiri membayar 70 Surat Tanda Bukti Pejabat Bea dan Cukai setelah diterbitkan CK-2 30 Harl Perusakan PC (CK-2) Kode Nama Dokumen Dok. Pembuat Billing Waktu Pembuatan Billing Jatuh Tempo Billing 71 Surat Tanda Bukti Pejabat Bea dan Cukai setelah diterbitkan CK-3 30 Hart Pengembalian PC (CK-3) Surat Pemberitahuan sesuai Tanggal jatuh tempo PR-3 72 Kekurangan Pembayaran Pejabat Bea dan Cukai setelah diterbitkan PR-3 Pajak Rokok (PR-3) (30 hart sejak PR-3 dit erb itkan) 73 SPPBMCP Pejabat Bea dan Cukai setelah diterbitkan SPPBMCP 14 hart sejak diterbitkan SPPBMCP 74 BC 2.8 Pengeluaran dart - SKP bersamaan/ sebelum Tanggal te rakhir periode I PLB ke TLDDP · - Mandiri pengajuan dokumen BC 2 .8 berlakunya kurs 75 BC 2.8 Pembayaran Mandiri sesudah mengajukan PIB Tanggal jatuh tempo pemba yaran Berkala berkala setelah terbit surat pencairan pencairan jaminan: 12 hart kerja 76 Pencairan J aminan BC Pejabat Bea dan Cukai jaminan dan sejak billing dibuat 2. 6.1 (subkontrak) setelah terbit SPSA SPSA : sesuai jatuh tempo SPSA penyelesaian impor 14 hart sejak diterbitkan 77 sementara, fasilitas impor Pejabat Bea dan Cukai setelah diterbitkan SPPBMCP BKPM (pindah tangan} SPPBMCP 78 penyelesaian pindah Pejabat Bea dan Cukai setelah diterbitkan SPPBMCP 14 hart sejak diterbitkan tangan mobil ex- dubes SPPBMCP 79 Denda pembawaan uang Pejabat Bea dan Cukai saat diterbitkan surat 2 hart tunai lebih dart 100 juta pen eta pan PNBP hasil lelang setelah pembayaran hasil 2 hart 80 Pejabat Bea dan Cukai lelang masuk ke rekening BDN,BMN bendahara penerimaan Kode Narna Dokurnen Dok. PNBP atas sisa hasil 81 lelang DJBC PNBP hasil uji 82 laboratoriurn BPIB 83 PNBP surat sita 84 BC3 .3 85 Pernbayaran Inisiatif · (Voluntary Payment) 99 Lain lain Pembuat Billing Waktu Pernbuatan Billing J atuh Tempo Billing setelah pernbayaran hasil Pejabat Bea dan Cukai lelang masuk ke rekening 2 hart bendahara penerirnaan setelah pernbayaran hasil 2 hart Pejabat Bea dan Cukai lelang rnasuk ke rekening bendahara penerirnaan - Pejabat Bea dan Cukai ketika akan dilakukan 2 hart - Mandiri pernbayaran -Mandiri Sebelurn/ saat pengajuan 5 hart - SKP dokurnen . . Mandiri ketika akan dilakukan 2 hart pernbayaran Pejabat Bea dan Cukai saat terbit dokurn en dasar sesuai rnasa berlaku yang ditetapkan pada · dokumen d asar DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAJ, -ttd- HERU PAMBUDI LAMPIRAN II PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CU KAI NOMOR PER- /BC / 2016 TENTANG TATA CARA PENYETORAN PENERIMAAN NEGARA DALAM RANGKA KEPABEANAN DAN CUKAJ SECARA ELEKTRONIK (!) KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI Kant or Kade Kantor BUKTI PENERIMAAN PEMBAYARAN MANUAL (BPPM) A. JENIS PENERIMAAN NEGARA B.JENIS IDENTITAS NOMOR NAMA ALAMAT C. DOKUMEN DASAR PEMBAYARAN NOMOR Tanggal D. PEMBAYARAN PENERIMAAN NEGARA AKUN KODE AKUN JUMLAH PE MBA YARAN - Rp . Rp. Rp . PPN lmpor NPWP Rp. PPN Hasil Tembakau/ ON NPWP Rp. PPh Pasal 22 lmpor NPWP Rp . PPnBM lmpor NPWP Rp. E. Jumlah Pembayaran Penerimaan Negara Dengan huruf Diterima Oleh : NPWP Nama Kantor Kode Kantor Nomor BPPM Tanggal Nama cetak 2 lembar : untuk bendanara penerimaan dan untuk pengguna jasa I. PETUNJUK UMUM:
Pengisian BPPM dilakukan pada fonnulir yang tersedia di portal sistem aplikasi Bukti Penerimaan Pembayaran Manual dengan alamat bppm beacukaLgo . id 2. Dalam hal terjadi kesalahan pengisian terhadap BPPM yang belum mendapat pengesahan atau nomor BPPM dari Bendahara Penerimaan, wajib bayar harus mengganti dengan BPPM yang baru .
Kesalahan pengisian akan merugikan Wajib Bayar sendiri. II. PETUNJUK PENGISIAN:
Pada kolom kantor diisi Kantor Bea dan Cukai tempat pemenuhan kewajiban pabean dan/atau cukai .
Huruf A Diisi dengan memilih jenis pe nerimaan negara yang dibayar . 3 . HurufB Diisi jenis identitas wajib bayar:
Jenis Identitas : diisi dengan memilih jenis identitas yang dipergunakan. b . Nomor : diisi nomor identitas sesuai dengan yang tercantum dalam jenis identitas yang dipergunakan .
Nama : diisi nama wajib bayar sesuai dengan yang tercantum dalam jenis identitas yang dipergunakan. d. Alamat : diisi alamat wajib bayar sesuai dengan yang tercantum dalam jenif. identitas yang dipergunakan. 4. Huruf C Pada isian dokumen dasar pe mb a yaran diisi dengan memilih nama dokumen yang digunakan sebagai dasar pembayaran. 5. HurufD Diisi jenis pe mbayaran pen~rimaan negara yang dilakukan sesuai dengan akun dan kode akun be rdasarkan klasi: fikasi pada Bagan Akun Standar (BAS) . Akun- akun yang perlu diperhatikan perinciannya yakni:
Akun Bea Masuk dengan kode akun 412111, b. Akun Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BM DTP) dengan kode akun 412112, c. Akun · Bea Masuk Dalam Rangka Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) dengan kode 412114 , • d. Akun Be a Masuk Anti Dumping (BMAD) dengan kode akun 412121 , e. Akun Bea Masuk Imbalan (BMI) dengan kode akun 412122 f. Akun Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) dengan kode akun 412123, g. Pendapatan Pabean Lainnya de ngan kode akun 412119 meliputi: • Bunga atas Bea Masuk ; • Bunga atas Denda Administrasi Pabean ; • Bunga atas Denda Administrasi Bea Keluar; • Denda Administrasi Ekspor selain Bea Keluar; dan • Bunga atas Denda Administrasi Ekspor selain Bea Keluar. h. Pendapatan Cukai Lainnya dengan kode akun 411519 meliputi: • Bunga atas Utang Cukai; • Bunga atas Kekurangan Cukai; • Bunga atas Denda Administrasi Cukai; • Biaya Pengganti Pencetakan Pita Cukai; dan • Biaya Pengganti Pembuatan Label Tanda Pengawasan Cukai. i. PNBP /Pendapatan DJBC dengan kode akun 423216 meliputi: • Biaya Pemberitahuan atas Penagihan Bea Masuk dan Cukai dengan Surat Paksa; • Biaya Pelaksanaan Penyitaanatas Penagihan Bea Masuk dan Cukai; • Biaya Pencacahan Barang Lelang • Biaya Pengujian Laboratorium Bea dan Cukai atas permintaan penggunaan jasa Pada kolom jumlah pembayaran, diisi jumlah Penerimaan Negara yang dibayar sesuai dengan yang tercantum dalam dokumen dasar pembayaran. 6. Pengisian NPWP untuk PPN Impor , PPnBM Impor, dan PPh Pasal 22 Impor, dan atau PPN Hasil Tembakau/DN diisikan NPWP wajib bayar, yaitu NPWP. importir atau NPWP pemilik barang, sesuai dengan lokasi pembayaran penerimaan pajak tersebut. Dalam hal wajib bayar bukan merupakan importir maka nomor identitas NPWP diisi ciengan nomor identitas NPWP pemilik barang di dalam Daerah Pabean, yang menyuruh importir mengimpor barang "unt uk dan atas kepentingannya". Contoh: Importir adalah PT. Sumber Makmur dengan NPWP 01.061.747.0- 092 . 000, Penlilik Barang Impor adalah PT. Abadi Jaya Industri dengan NPWP 01.034.453.0-094.000 rnaka cara pengisian NPWP: pada kolom huruf B diisi dengan NPWP Importir (PT. Sumber Makmur); pada kolom huruf D diisi dengan NPWP Pemilik Barang di dalam Daerah Pabean, yang menyuruh imp ortir mengimpor barang "untuk dan atas kepentingannya" (PT.Abadi Jay a lndustri). 7. Huruf E: Diisi jumlah seluruh pembayaran dengan angka dan huruf. 8. Pada kolom pengesahan diisi: • NPWP Bendahara Penerimaan; • nama kantor tempat dilakukan pembayaran; • kode dart kantor tempat dilakukan pembayaran;
.. ' • nomor BPPM; format nomor BPPM 16 digit, dengan urutan: dua digit pertama: Tahun pembayaran enarn digit kedua: kode kantor 1 digit ketiga: Kode bulan pembayaran dalam huruf besar (misal bulan · Juni maka F) 7 digit keempat : no urut BPPM. • tanggal, bulan dan tahun pembayaran; • tanda tangan dan nama jelas petugas Kantor Bea dan Cukai atau Kantor Pos serta NIP petugas ; tanda tangan dan nama · dapat dilakukan dengan hasil tulis tangan, hasil cap basah atau hasil elektrohik; dan • cap dinas kantor Bea dan Cukai atau Kantor Pos, cap d inas dapat dilakukan dengan hasil cap basah atau hasil elektronik; UL UKURAN DAN WARNA .1. Ukuran: A4 (210 x 297 MM) 2. Wama: Putih DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, -ttd - HERU PAMBUDI LAMPIRAN llI PERATURAN DIREKrUR JENDERAL BEA DAN CU KAI NO MOR PER- / B C/20 16 TENTANG TATA CARA PENYETORAN PENERIMAAN NEGA RA DALAM RANGKA KEPABEANAN DAN CU KAJ SE C ARA ELEKrRONIK Form Permohonan Perubahan Data Billing Yang bertanda tangan dibawah ini: Nama :
................ (1) ............... ......... . Jabatan :
................ (2) ........ - ... .. ... .. ..... . Nama Perusahaan :
...... .......... (3) ... ............. ... .... . . NPWP Perusahaan :
................ (4) . ... ... ................. . Dengan ini mengajukan permohonan perubahan data billing sebagai berikut: Nomor Billing :
................ (5) ... ..... ... ... . ..... . ... . Tanggal Billing :
................ (6) ....... ...... ... ... ... .. . Perubahan atas 1. Kode Kantor 2. Jenis Dokumen 3. Nomor & Tanggal dokumen 4. Identitas Wajib Bayar (NPWP) Terekam .. ......... ... ... (7) .. .. .... ..... ..... . .............. ... (9) ................ .. .
........ . ....... (11) ..... ....... ..... . Header: Detail Seharusnva . ... ............. (8) ....... ........... .
........ . ....... (10) .......... . ...... .
.......... . ..... (12) ...... .... .. ..... . Header: Detail : Kode akun ................. (13)...... ................. ..... ....... (14) ................. . De mikian surat permohonan ini kami ajukan dan atas kerja sama yang baik kami ucapkan terima kasih .. .... ... (15) ............... , . ..... - .. ..... .. (16) ....... ..... .... . PERSETUJUAN / PENOLAKAN Pejabat Bea dan Cukai Nama :
.......... (17) ....... . ........ .. NIP :
.......... (18) ............ .. .. . . Dengan ini menyatakan SETUJU / MENOLAK untuk melakukan perubahan* Nomor Persetujuan :
....... / ..... / ..... (kode kantor/bulan/no urut) Tanggal Persetuju an : Cap dan tanda tangan ( ...... ., ............... (20) .............. ............... .......... ) *) cor et yang t idak pe rlu Copy untuk arsip, lembar asli uniulc penggunajasa Nomor (1) Nomor (2) Nomor (3) Nomor (4) Nomor (5) Nomor (6) Nomor (7) Nomor (8) Nomor (9) Nomor (10) Nomor (11) Nomor (12) Nomor (13) Nomor (14) Nomor (15) Nomor (16) Nomor (17) ·: Nomor (18) Nomor (19) Nomor (20) Nomor (21) PETUNJUK PENGISIAN diisi nama pemohon koreksi billing diisi jabatan pemohon di perusahaan diisi nama perusahaan yang mengajukan koreksi billing diisi NPWP Perusahaan yang i: nengajukan koreksi billing diisi Nomor kode billing yang diajukan koreksi diisi tanggal kode billing yang diajukan koreksi diisi kode kantor yang tert e ra di setruk billing diisi kod e kantor yang seharusnya diisi je nis dokumen yang tertera di setruk billing diisi jenis dokumen yang se harusnya diisi Nomor & Tanggal dokumen yang tertera di setruk billing diisi Nomor & Tanggal dokumen yang se harusnya diisi kod e akun yang te rter a di setruk billing diisi kod e akun yang seharusnya diisi tempat dan tanggal pengajuan permohonan koreksi billing diisi tanda tartgan dan nama te rang pemohon diisi nama peg a wai yang me meriksa permohonan koreksi billing diisi NIP pegawai yang memeriksa permohonan koreksi billing diisi tanggal pers e tujuan/ penolakan koreksi billing diisi nama pe gawai yang menyetujui/ menolak koreksi billing serta me mberikan stempel KPPBC diisi NIP pegawai yang menyetujui/ menolak koreksi billing DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI , - ttd - HERD PAMBUDI
Uji materiil terhadap PP 33 tahun 2014 ttg jenis dan tarif atas PNBP yg berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan di luar kegiatan kehut ...
Relevan terhadap 5 lainnya
Ayat (1) : Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak ditetapkan dengan memperhatikan dampak pengenaan terhadap masyarakat dan kegiatan usahanya, biaya penyelenggaraan kegiatan Pemerintah sehubungan dengan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersangkutan, dan aspek keadilan dalam pengenaan beban kepada masyarakat. Ayat (2): Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah yang menetapkan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersangkutan. Penjelasan Pasal 3 Ayat (1) : Tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak perlu ditetapkan dengan pertimbangan secermat mungkin karena hal ini membebani masyarakat. Pertimbangan dampak pengenaan terhadap masyarakat dan kegiatan usahanya, dan beban biaya yang ditanggung pemerintah atas penyelenggaraan kegiatan pelayanan, dan pengaturan oleh pemerintah yang berkaitan langsung dengan jenis penerimaan negara bukan pajak yang bersangkutan serta aspek keadilan yang dimaksudkan agar beban yang wajib ditanggung masyarakat adalah wajar, memberikan kemungkinan perolehan keuntungan atau tidak menghambat kegiatan usaha yang dilakukan masyarakat. Bahwa mempertimbangkan kembali esensi ketentuan Pasal 23A UUD RI dan dihubungkan dengan esensi ketentuan Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) serta penjelasan ketentuan Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 1997 maka dalam merumuskan dan mencantumkan (serta memberlakukan) norma tentang kewajiban pengenaan dan pembayaran PNBP atas penggunaan seluruh area kawasan hutan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 110 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 111 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 yang dipinjam-pakaikan dan seluruh area perjanjian pinjam pakai kawasan hutan khususnya dalam rangka kegiatan pertambangan sepatutnya memperhatikan norma-norma sebagai berikut:
PNBP dalam rangka kegiatan pertambangan sebagai bentuk pungutan lain yang bersifat memaksa demi kepentingan negara harus dalam bentuk norma Undang-Undang dan bukan dalam bentuk norma Peraturan Pemerintah;
Walaupun dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan ketentuan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (selanjutnya disebut “UU Nomor 20 Tahun 1997”) mengatur tentang adanya peluang pengaturan dalam bentuk Peraturan Pemerintah namun berpedoman pada ketentuan Pasal 5 huruf c dan huruf d (dan penjelasan Pasal 5 huruf c dan huruf d) dan ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf g (dan penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf g) UU Nomor 12 Tahun 2011 maka pengaturan tentang pungutan PNBP dalam bentuk Peraturan Pemerintah, secara muatan materi dan hierarki, adalah bertentangan dan tidak didasarkan pada ketaatan asas kesesuaian jenis, hierarki dan materi muatan serta asas dapat dilaksanakan termasuk halnya juga bertentangan asas keadilan. Hal ini didasarkan pada argumentasi-argumentasi sebagai berikut :
1). Menurut asas kesesuaian jenis dan hierarki serta materi muatan yang diatur maka berpedoman pada amanat yang diatur secara tegas dalam ketentuan Pasal 23A UUD RI 1945 dijelaskan bahwa pengaturan PNBP yang dikategorikan sebagai jenis pungutan yang bersifat memaksa diatur dalam bentuk Undang-Undang;
2). Dalam ketentuan Pasal 3 UU Nomor 12 Tahun 2011 menjelaskan secara tegas bahwa dalam penyusunan dan pembentukan Perturan Perundang-Undangan harus berpedoman pada UUD RI 1945 sebagai hukum dasar pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Oleh karena itu, ditinjau dari konsistensi asas hierarki dan materi muatan serta jenisnya, maka walaupun dalam Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 111 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 112 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan ketentuan Pasal 3 ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 1997 diberikan peluang pengaturan PNBP dalam bentuk Peraturan Pemerintah maka hal tersebut secara yuridis normatif juga bertentangan dengan norma dasar dalam ketentuan Pasal 23A UUD RI 1945 dan ketentuan Pasal 3 UU Nomor 12 Tahun 2011;
3). Apabila dicermati kembali esensi dalam ketentuan Pasal 45 ayat (1) dan ayat (3) UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (selanjutnya disebut dengan “UU Nomor 41 Tahun 1999”) – sebagai ketentuan khusus ( lex specialis ) dan sektoral yang mengatur secara khusus tentang bidang kehutanan – maka hanya mengatur tentang dua hal pokok, yaitu 1). Adanya kewajiban untuk melakukan reklamasi dan rehabilitasi kepada pemegang Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (selanjutnya disebut “IPPKH”) atas timbulnya kerusakan hutan dari adanya penggunaan kawasan hutan dan 2). Adanya kewajiban pembayaran dana jaminan reklamasi dan rehabilitasi. Dengan demikian, UU Nomor 41 Tahun 1999 secara tegas tidak pernah mengatur dan menyebutkan tentang adanya pengenaan PNBP sebagai kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH atas timbulnya kerusakan hutan dari adanya penggunaan kawasan hutan. Sebaliknya, UU Nomor 41 Tahun 1999 hanya mengatur dan merekognisi adanya kewajiban yang limitatif bagi pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH yaitu berupa melakukan reklamasi dan rehabilitasi serta membayar dana jaminan reklamasi dan rehabilitasi. oleh karena itu, berdasarkan argumentasi tersebut maka pengenaan dan pengaturan norma kewajiban pembayaran PNBP dalam bentuk Peraturan Pemerintah, telah bertentangan secara filosofis dan yuridis dari segi materi muatan dan hierarkinya.
4). Dalam ketentuan Pasal 45 ayat (1) dan ayat (3) UU Nomor 41 Tahun 1999 telah dijelaskan secara tegas bahwa Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 112 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 113 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 batasan tolok ukur pengenaan kewajiban melakukan reklamasi dan rehabilitasi hanya terbatas pada kawasan hutan yang secara nyata telah timbul kerusakan (limitatif) dan bukan terhadap seluruh kawasan hutan yang dipinjam-pakaikan. Sebaliknya, pengenaan kewajiban PNBP dalam PP RI Nomor 33 Tahun 2014 – yang secara filosofis dan yuridis telah bertentangan dengan asas kesesuaian jenis, hierarki dan materi muatan – tidak didasarkan pada batasan kawasan hutan yang secara nyata telah timbul kerusakan secara limitatif melainkan dikenakan terhadap seluruh kawasan hutan yang dipinjam- pakaikan. Adanya pengenaan dan pengaturan norma kewajiban pembayaran PNBP – yang secara filosofis dan yuridis telah bertentangan dengan asas kesesuaian jenis, hierarki dan materi muatan – terhadap seluruh area kawasan hutan yang dipinjam-pakaikan maka secara sosiologis pasti menimbulkan dampak berupa adanya beban secara ekonoms yang harus ditanggung secara tidak proporsional oleh para pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH yang menggunakan pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan usaha pertambangan (non kegiatan usaha kehutanan). Hal ini tentunya menimbulkan adanya ketidakadilan bagi pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH tersebut dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Adanya dampak berupa tambahan beban secara ekonomis terhadap adanya pengenaan pungutan PNBP yang merupakan pungutan imajiner dan liar serta multi pungutan (dalam hal mana sebidang tanah atau obyek yang sama tidak boleh dikenakan pungutan lebih dari satu pungutan/berkali-kali) – yang secara hierarki tidak pernah diatur dan tidak pernah direkognisi serta bertentangan dengan ketentuan Pasal 45 Ayat (1) dan Ayat (3) UU Nomor 41 Tahun 1999 – bagi para pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH tentunya mengakibatkan bahwa norma yang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 113 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 114 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 mengatur tentang pengenaan PNBP dalam bentuk Peraturan Pemerintah – in casu ketentuan Pasal 5 ayat (2) huruf b angka 1, Pasal 19 ayat (1) huruf d, Pasal 22 huruf e dan huruf r angka 4 dan Pasal 47 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf c Permen LHK RI Nomor 50 Tahun 2016 – juga bertentangan dengan asas dapat dilaksanakan dan asas keadilan ; Dasar argumentasi atas Multi Pungutan dijabarkan sebagai berikut : MULTI PUNGUTAN TERHADAP SATU OBJEK (LAHAN) YANG SAMA UNTUK INDUSTRI PERTAMBANGAN PEMEGANG IPPKH No. Jenis Pungutan Dibayar ke Instansi M etode dan Tarif Perhitungan 1 Pajak : PBB Pem erintah Daerah Tahap Eksplorasi On Shore: Dibayar setiap tahun berdasarkan luas lahan dan luas bangunan dikalikan dengan NJOP dan tarif tertentu yang ditetapkan oleh instansi pajak. Tubuh Bum i : Dibayar setiap tahun berdasarkan luas khusus areal potensi/cadangan dikalikan NJOP dan faktor/tarif tertentu yang ditetapkan oleh instansi pajak. Tahap Operasi Produksi On Shore : Dibayar setiap tahun berdasarkan luas lahan dan bangunan dikalikan dengan NJOP dan tarif tertentu yang ditetapkan oleh instansi pajak. Tubuh Bum i : Dibayar setiap tahun berdasarkan hasil produksi tahun sebelum nya dikalikan harga kom oditas setelah dikurangi biaya-biaya sesuai peraturan pajak, kem udian dikalikan faktor kapitalisasi dan faktor/tarif tertentu yang ditetapkan oleh instansi pajak. 2 Pungutan : Dead Rent / Iuran tetap Kem enterian ESDM M etode : Dibayar setiap tahun berdasarkan luas lahan (Ha) dikalikan tariff sesuai tahap kegiatan Tarif : USD 2 atau USD 4/Ha setiap tahun sesuai tahap kegiatan (Eksplorasi atau Operasi Produksi) 3 Pungutan : PNBP-PKH Kem enterian LHK M etode : Dibayar setiap tahun berdasarkan luas lahan sesuai status hutan dan kriteria penggunaan lahan. Tarif A. Hutan Produksi : Rp. 1.750.000 dan Rp. 3.500.000/Ha/Tahun M engikuti kriteria penggunaan lahan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 114 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 115 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 B. Hutan Lindung : Rp. 2.000.000 dan Rp. 4.000.000/Ha/Tahun M engikuti kriteria penggunaan lahan Kriteria penggunaan lahan: L1 : Areal terganggu untuk bukaan tam bang aktif, sarana prasarana penunjang yang bersifat perm anen dan areal pengem bangan/ penyangga L2 : Areal terganggu yang bersifat tem porer yang secara teknis dapat dilakukan reklam asi L3 : Areal terganggu yang m engalam i kerusakan perm anen yang tidak dapat dilakukan reklam asi secara optim al Form ula perhitungan: L1 : [1 x Rp. 3.500.000 x luas (Ha) areal terganggu untuk tam bang aktif dan sarana prasarana] + [1 x Rp. 1.750.000 x luas (Ha) areal belum digunakan/areal penyangga] L2 : 4 x Rp. 3.500.000 x luas (Ha) areal terganggu bersifat tem porer L3 : 7 x Rp. 3.500.000 x luas (Ha) areal terganggu bersifat perm anen + Kewajiban PNBP PKH = L1 + L2 + L3 2.5). Perumusan dan pemberlakuan norma tentang pengenaan PNBP atas penggunaan seluruh area kawasan hutan yang dipinjam-pakaikan dan seluruh area perjanjian pinjam pakai kawasan hutan khususnya dalam rangka kegiatan pertambangan, secara sosiologis, tidak mencerminkan dan juga bertentangan dengan asas dapat dilaksanakan dan asas keadilan sebagaimana diatur dalam Ketentuan Pasal 5 Huruf c dan Huruf d serta Ketentuan Pasal 6 Ayat (1) Huruf g UU Nomor 12 Tahun 2011. Hal ini dapat dilihat dari adanya reaksi dan tanggapan secara sosiologis dari beberapa pelaku usaha bidang pertambangan melalui Pemohon I dan Pemohon II yang sungguh sangat berkeberatan dengan dikenakannya kewajiban pembayaran PNBP atas penggunaan kawasan hutan yang dipinjam pakai untuk kegiatan pertambangan (non kegiatan kehutanan). Pada kenyataannya, konsekuensi dari adanya pengenaan pungutan PNBP yang merupakan pungutan imajiner dan liar serta multi pungutan – yang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 115 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 116 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 secara hierarki tidak pernah diatur dan tidak pernah direkognisi serta bertentangan dengan ketentuan Pasal 45 Ayat (1) dan Ayat (3) UU Nomor 41 Tahun 1999 – telah memberikan beban ekonomis yang sangat luar biasa yang harus ditanggung oleh para pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH berupa munculnya multi pungutan dan perlakuan diskriminatif dari adanya pengenaan PNBP tersebut. Adanya beban multi pungutan dan perlakuan diskriminatif tersebut memberikan dampak kerugian yang sangat signifikan bagi para pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH. Hal ini sebagaimana pernah dikemukakan oleh Para Pemohon melalui korespondensi tertulis yang ditujukan kepada Para Termohon dalam rangka pembentukan dan penyusunan Peraturan Pemerintah Tentang PNBP (Bukti P-10A, Bukti P-10B, Bukti P-10C, Bukti P-10D, Bukti P-10E, Bukti P-10F dan Bukti P-10G). Dampak kerugian dari adanya multi pungutan tersebut dapat dilihat dari adanya data yang menjelaskan bahwa sebagian pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH telah melakukan pengembalian kawasan hutan yang dipinjam-pakaikan kepada pihak yang berwenang – in casu kepada Termohon II dan perangkat kelembagaannya – sedangkan sebagian lain dari para pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH juga merasakan kecemasan terhadap adanya potensi berhentinya dan/atau terhambatnya keberlanjutan/ kelangsungan kegiatan usaha sebagai akibat dari besarnya beban finansial yang harus ditanggung dan dibayarkan secara rutin per tahun – termasuk halnya beban atas pungutan imajiner dan liar serta multi pungutan yang bernama PNBP Penggunaan Kawasan Hutan (Bukti P–11A, Bukti P–11B, Bukti P–11C dan Bukti P–11D) . Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 116 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 117 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Dalam rangka mendukung argumentasi tentang adanya beban multi pungutan dan perlakuan diskriminatif tersebut maka berikut kami berikan uraian ilustrasi dan penjelasannya dalam bentuk kolom matriks dibawah ini : Contoh Ilustrasi Perhitungan PNBP: PT. XYC merupakan Pengguna kawasan hutan produksi untuk bukaan tambang aktif dan sarana prasarana penunjangnya serta area pengembangan dan atau area penyangga :
Luas wilayah perjanjian = 50.000 ha yang operasional tambangnya dari tahun 2008 - 2036, Luas izin pinjam pakai kawasan hutan pada kawasan hutan produksi tahun 2008 - 2011 teridentifikasi = 12.500 ha, dengan rincian:
. Area yang digunakan direncanakan pada tahun pertama adalah sebagai berikut: a) Bukaan tambang aktif, (L1) = 1.400 ha b) Sarana prasarana (jalan, perumahan, sarana pengolahan), (L1) = 800 ha c) Penimbunan material/waste dump, (L2) = 2.400 ha d) Areal Pengembangan/Penyangga, (L1) = 7.900 ha 2) Perhitungan PNBP pada menjelang akhir tambang, dimana area penggunaan kawasan hutan yang mengalami kerusakan permanen atau area L3 yaitu seluas 1400 ha, maka formula PNBP adalah: No. Kriteria Luas (Ha) Tarif (Rp) Jumlah L1 1 Bukaan Tambang Aktif 0 Rp. 3.500.000 Rp. 0 2 Sarana Prasarana 800 Ha Rp. 3.500.000 Rp. 2.800.000.000 3 Areal Pengembangan/Penyangga 7900 Ha Rp. 1.750.000 Rp. 13.825.000.000 Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 117 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 118 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 MATRIK : TABEL PERBANDINGAN TENTANG JENIS KEWAJIBAN YANG DIBEBANKAN KEPADA INDUSTRI KEHUTANAN DAN INDUSTRI PERTAMBANGAN No. Bidang Usaha Peraturan Jenis Kewajiban (Utam a) M etode Perhitungan Ulasan 1 Perusahaan Kehutanan (Pem egang Izin Usaha Pem anfaatan Hutan/IUPH) Undang-Undang Nom or 41 Tahun 1999 Pasal 35 a. Iuran izin usaha b. Provisi Sum ber Daya Hutan c. Dana Reboisasi d. Dana Jam inan Kinerja Luas (Ha) x Tarif dilakukan hanya sekali pada saat izin diberikan Volum e kayu (m 3 ) x Tarif dalam rupiah sesuai realisasi penebangan pohon Volum e kayu (m 3 ) x Tarif dalam US Dollar sesuai realisasi penebangan pohon Jam inan usaha pem anfaatan hutan Pem bayaran tidak berulang Berlaku sam a dengan perusahaan pertambangan Berlaku sam a dengan perusahaan pertambangan Jam inan ini dapat dikem balikan (bukan biaya) TOTAL L 1 Rp. 16.625.000.000 L2 1 Penimbunan Materi/Waste Dump 2400 Ha Rp.3.500.000 Rp. 33.600.000.000 TOTAL L 2 Rp. 33.600.000.000 L3 1 Bukaan tambang yang tidak dapat direklamasi 1400 Ha Rp.3.500.000 Rp. 34.300.000.000 TOTAL PNBP ( L 1, L 2 DAN L3) Rp. 84.525.000.000 Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 118 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 119 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 2 Perusahaan Pertam bangan (Pem egang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan/IPPKH) I.Undang- Undang Nom or 41 Tahun 1999 Pasal 35 dan Peraturan M enteri LHK Nom or P.50/Setjen /Kum .1/6/2016
Ayat (1) : Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak ditetapkan dengan memperhatikan dampak pengenaan terhadap masyarakat dan kegiatan usahanya, biaya penyelenggaraan kegiatan Pemerintah sehubungan dengan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersangkutan, dan aspek keadilan dalam pengenaan beban kepada masyarakat. Ayat (2): Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah yang menetapkan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersangkutan. Penjelasan Pasal 3 Ayat (1): Tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak perlu ditetapkan dengan pertimbangan secermat mungkin karena hal ini membebani masyarakat. Pertimbangan dampak pengenaan terhadap masyarakat dan kegiatan usahanya, dan beban biaya yang ditanggung Pemerintah atas penyelenggaraan kegiatan pelayanan, dan pengaturan oleh Pemerintah yang berkaitan langsung dengan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersangkutan serta aspek keadilan yang dimaksudkan agar beban yang wajib ditanggung masyarakat adalah wajar, memberikan kemungkinan perolehan keuntungan atau tidak menghambat kegiatan usaha yang dilakukan masyarakat. Bahwa mempertimbangkan kembali esensi ketentuan Pasal 23A UUD RI dan dihubungkan dengan esensi pemahaman tentang ketentuan Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) serta penjelasan ketentuan Pasal 3 ayat (1) UU Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 33 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 34 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Nomor 20 Tahun 1997 maka dalam merumuskan dan mencantumkan (serta memberlakukan) norma tentang pengenaan PNBP atas seluruh area kawasan hutan yang dipinjam-pakaikan dan seluruh area perjanjian pinjam pakai kawasan hutan khususnya dalam rangka kegiatan pertambangan sepatutnya memperhatikan norma-norma sebagai berikut:
PNBP dalam rangka kegiatan pertambangan sebagai bentuk pungutan lain yang bersifat memaksa demi kepentingan negara harus dalam bentuk norma undang-undang dan bukan dalam bentuk norma peraturan pemerintah;
Walaupun dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan ketentuan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (selanjutnya disebut “UU Nomor 20 Tahun 1997”) mengatur tentang adanya peluang pengaturan dalam bentuk peraturan pemerintah namun berpedoman pada ketentuan Pasal 5 huruf c dan huruf D (dan penjelasan Pasal 5 huruf c dan huruf D) dan ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf g (dan penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf G) UU Nomor 12 Tahun 2011 maka pengaturan tentang pungutan PNBP dalam bentuk peraturan pemerintah, secara muatan materi dan hierarki, adalah bertentangan dan tidak didasarkan pada ketaatan Asas Kesesuaian Jenis, Hierarki Dan Materi Muatan serta asas dapat dilaksanakan termasuk halnya juga bertentangan Asas Keadilan. hal ini didasarkan pada argumentasi-argumentasi sebagai berikut :
1). Menurut Asas Kesesuaian Jenis Dan Hierarki Serta Materi Muatan yang diatur maka berpedoman pada amanat yang diatur secara tegas dalam ketentuan Pasal 23A UUD RI 1945 dijelaskan bahwa pengaturan PNBP yang dikategorikan sebagai jenis pungutan yang bersifat memaksa diatur dalam bentuk undang-undang;
2). Dalam ketentuan Pasal 3 UU Nomor 12 Tahun 2011 menjelaskan secara tegas bahwa dalam penyusunan dan pembentukan perturan perundang-undangan harus berpedoman pada UUD RI 1945 sebagai hukum dasar pembentukan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, ditinjau dari konsistensi Asas Hierarki Dan Materi Muatan Serta Jenisnya, maka walaupun dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 34 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 35 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 ketentuan Pasal 3 ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 1997 diberikan peluang pengaturan PNBP dalam bentuk peraturan pemerintah maka hal tersebut secara yuridis normatif juga bertentangan dengan norma dasar dalam ketentuan Pasal 23A UUD RI 1945 dan ketentuan Pasal 3 Uu Nomor 12 Tahun 2011;
3). Apabila dicermati kembali esensi dalam ketentuan Pasal 45 ayat (1) dan ayat (3) UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (selanjutnya disebut dengan “UU Nomor 41 Tahun 1999”) – sebagai ketentuan khusus ( lex specialis ) dan sektoral yang mengatur secara khusus tentang bidang kehutanan – maka hanya mengatur tentang dua hal pokok, yaitu 1). adanya kewajiban untuk melakukan reklamasi dan rehabilitasi kepada pemegang Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (selanjutnya disebut “IPPKH”) atas timbulnya kerusakan hutan dari adanya penggunaan kawasan hutan dan 2). Adanya kewajiban pembayaran Dana Jaminan Reklamasi Dan Rehabilitasi. Dengan demikian, UU Nomor 41 Tahun 1999 secara tegas tidak pernah mengatur dan menyebutkan tentang adanya pengenaan PNBP sebagai kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH atas timbulnya kerusakan hutan dari adanya penggunaan kawasan hutan. Sebaliknya, UU Nomor 41 Tahun 1999 hanya mengatur dan merekognisi adanya kewajiban yang limitatif bagi pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH yaitu berupa melakukan reklamasi dan rehabilitasi serta membayar dana jaminan reklamasi dan rehabilitasi. Oleh karena itu, berdasarkan argumentasi tersebut maka pengenaan dan pengaturan norma kewajiban pembayaran PNBP dalam bentuk peraturan pemerintah, telah bertentangan secara filosofis dan yuridis dari segi materi muatan dan hierarkinya.
4). Dalam ketentuan Pasal 45 ayat (1) dan ayat (3) UU Nomor 41 Tahun 1999 telah dijelaskan secara tegas bahwa batasan tolok ukur pengenaan kewajiban melakukan reklamasi dan rehabilitasi hanya terbatas pada kawasan hutan yang secara nyata telah timbul kerusakan (limitatif) dan bukan terhadap Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 35 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 36 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 seluruh kawasan hutan yang dipinjam-pakaikan. sebaliknya, pengenaan kewajiban PNBP dalam PP RI Nomor 33 Tahun 2014 – yang secara filosofis dan yuridis telah bertentangan dengan Asas Kesesuaian Jenis, Hierarki Dan Materi Muatan – tidak didasarkan pada batasan kawasan hutan yang secara nyata telah timbul kerusakan secara limitatif melainkan dikenakan terhadap seluruh kawasan hutan yang dipinjam- pakaikan. Adanya pengenaan dan pengaturan norma kewajiban pembayaran PNBP – yang secara filosofis dan yuridis telah bertentangan dengan Asas Kesesuaian Jenis, Hierarki Dan Materi Muatan – terhadap seluruh area kawasan hutan yang dipinjam-pakaikan maka secara sosiologis pasti menimbulkan dampak berupa adanya beban secara ekonoms yang harus ditanggung secara tidak proporsional oleh para pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH yang menggunakan pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan usaha pertambangan (non kegiatan usaha kehutanan). Hal ini tentunya menimbulkan adanya ketidakadilan bagi pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH tersebut dalam melaksanakan kegiatan usahanya. adanya dampak berupa tambahan beban secara ekonomis terhadap adanya pengenaan pungutan PNBP yang merupakan pungutan imajiner dan liar serta multi pungutan (dalam hal mana sebidang tanah atau obyek yang sama tidak boleh dikenakan pungutan lebih dari satu pungutan/berkali-kali) – yang secara hierarki tidak pernah diatur dan tidak pernah direkognisi serta bertentangan dengan ketentuan Pasal 45 Ayat (1) dan Ayat (3) UU Nomor 41 Tahun 1999 – bagi para pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH tentunya mengakibatkan bahwa norma yang mengatur tentang pengenaan PNBP dalam bentuk peraturan pemerintah – in casu Ketentuan Pasal 1 Ayat 2, Ayat 3 Dan Ayat 5 PP RI Nomor 33 Tahun 2014 Dan Lampiran PP RI Nomor 33 Tahun 2014 Angka 1, Angka 2 Dan Angka 3 PP RI Nomor 33 Tahun 2014 – juga bertentangan dengan asas dapat dilaksanakan dan asas keadilan; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 36 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 37 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Dasar argumentasi atas Multi Pungutan dijabarkan sebagai berikut : MULTI PUNGUTAN TERHADAP SATU OBJEK (LAHAN) YANG SAMA UNTUK INDUSTRI PERTAMBANGAN PEMEGANG IPPKH No. Jenis Pungutan Dibayar ke Instansi Metode dan Tarif Perhitungan 1 Pajak : PBB Pemerintah Daerah Tahap Eksplorasi On Shore : Dibayar setiap tahun berdasarkan luas lahan dan luas bangunan dikalikan dengan NJOP dan tarif tertentu yang ditetapkan oleh instansi pajak. Tubuh Bumi : Dibayar setiap tahun berdasarkan luas khusus areal potensi/cadangan dikalikan NJOP dan faktor/tarif tertentu yang ditetapkan oleh instansi pajak. Tahap Operasi Produksi On Shore : Dibayar setiap tahun berdasarkan luas lahan dan bangunan dikalikan dengan NJOP dan tarif tertentu yang ditetapkan oleh instansi pajak. Tubuh Bumi : Dibayar setiap tahun berdasarkan hasil produksi tahun sebelumnya dikalikan harga komoditas setelah dikurangi biaya-biaya sesuai peraturan pajak, kemudian dikalikan faktor kapitalisasi dan faktor/tarif tertentu yang ditetapkan oleh instansi pajak. 2 Pungutan : Dead Rent / Iuran tetap Kementerian ESDM Metode : Dibayar setiap tahun berdasarkan luas lahan (Ha) dikalikan tariff sesuai tahap kegiatan Tarif : USD 2 atau USD 4/Ha setiap tahun sesuai tahap kegiatan (Eksplorasi atau Operasi Produksi) 3 Pungutan : PNBP- PKH Kementerian LHK Metode : Dibayar setiap tahun berdasarkan luas lahan sesuai status hutan dan kriteria penggunaan lahan. Tarif A. Hutan Produksi : Rp. 1.750.000 dan Rp. 3.500.000/Ha/Tahun Mengikuti kriteria penggunaan lahan B. Hutan Lindung : Rp. 2.000.000 dan Rp. 4.000.000/Ha/Tahun Mengikuti kriteria penggunaan lahan Kriteria penggunaan lahan : L1 : Areal terganggu untuk bukaan tambang aktif, sarana prasarana penunjang yang bersifat permanen dan areal pengembangan / penyangga L2 : Areal terganggu yang bersifat temporer yang secara teknis dapat dilakukan reklamasi L3 : Areal terganggu yang mengalami kerusakan permanen yang tidak dapat dilakukan reklamasi secara optimal Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 37 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 38 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Formula perhitungan : L1 : [1 x Rp. 3.500.000 x luas (Ha) areal terganggu untuk tambang aktif dan sarana prasarana] + [1 x Rp. 1.750.000 x luas (Ha) areal belum digunakan/areal penyangga] L2 : 4 x Rp. 3.500.000 x luas (Ha) areal terganggu bersifat temporer L3 : 7 x Rp. 3.500.000 x luas (Ha) areal terganggu bersifat permanen + Kewajiban PNBP PKH = L1 + L2 + L3 2.5). Perumusan dan pemberlakuan norma tentang pengenaan PNBP atas penggunaan seluruh area kawasan hutan yang dipinjam-pakaikan dan seluruh area perjanjian pinjam pakai kawasan hutan khususnya dalam rangka kegiatan pertambangan, secara sosiologis, tidak mencerminkan dan juga bertentangan dengan asas dapat dilaksanakan dan asas keadilan sebagaimana diatur dalam Ketentuan Pasal 5 Huruf c dan Huruf d serta Ketentuan Pasal 6 Ayat (1) Huruf g UU Nomor 12 Tahun 2011. Hal ini dapat dilihat dari adanya reaksi dan tanggapan secara sosiologis dari beberapa pelaku usaha bidang pertambangan melalui PEMOHON I dan PEMOHON II yang sungguh sangat berkeberatan dengan dikenakannya kewajiban pembayaran PNBP atas penggunaan kawasan hutan yang dipinjam pakai untuk kegiatan pertambangan (non kegiatan kehutanan). Pada kenyataannya, konsekuensi dari adanya pengenaan pungutan PNBP yang merupakan pungutan imajiner dan liar serta multi pungutan – yang secara hierarki tidak pernah diatur dan tidak pernah direkognisi serta bertentangan dengan ketentuan Pasal 45 Ayat (1) dan Ayat (3) UU Nomor 41 Tahun 1999 – telah memberikan beban ekonomis yang sangat luar biasa yang harus ditanggung oleh para pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH berupa munculnya multi pungutan dan perlakuan diskriminatif dari adanya pengenaan PNBP tersebut. Adanya beban multi pungutan dan perlakuan diskriminatif tersebut memberikan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 38 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 39 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 dampak kerugian yang sangat signifikan bagi para pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH. Hal ini sebagaimana pernah dikemukakan oleh Para Pemohon melalui korespondensi tertulis yang ditujukan kepada Para Termohon dalam rangka pembentukan dan penyusunan peraturan pemerintah tentang PNBP (Bukti P-10A, Bukti P-10B, Bukti P- 10C, Bukti P-10D, Bukti P-10E, Bukti P-10F dan Bukti P-10G). Dampak kerugian dari adanya multi pungutan tersebut dapat dilihat dari adanya data yang menjelaskan bahwa sebagian pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH telah melakukan pengembalian kawasan hutan yang dipinjam- pakaikan kepada pihak yang berwenang – in casu kepada TERMOHON II dan perangkat kelembagaannya – sedangkan sebagian lain dari para pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH juga merasakan kecemasan terhadap adanya potensi berhentinya dan/atau terhambatnya keberlanjutan/kelangsungan kegiatan usaha sebagai akibat dari besarnya beban finansial yang harus ditanggung dan dibayarkan secara rutin per tahun – termasuk halnya beban atas pungutan imajiner dan liar serta multi pungutan yang bernama PNBP Penggunaan Kawasan Hutan (Bukti P–11A, Bukti P–11B, Bukti P–11C dan Bukti P–11D) . Dalam rangka mendukung argumentasi tentang adanya beban multi pungutan dan perlakuan diskriminatif tersebut maka berikut kami berikan uraian ilustrasi dan penjelasannya dalam bentuk kolom matriks dibawah ini: Contoh Ilustrasi Perhitungan PNBP : PT. XYC merupakan Pengguna kawasan hutan produksi untuk bukaan tambang aktif dan sarana prasarana penunjangnya serta area pengembangan dan atau area penyangga :
Luas wilayah perjanjian = 50.000 ha yang operasional tambangnya dari tahun 2008 - 2036, Luas izin pinjam pakai kawasan hutan pada kawasan hutan produksi tahun 2008 - 2011 teridentifikasi = 12.500 ha, dengan rincian: Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 39 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 40 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 1). Area yang digunakan direncanakan pada tahun pertama adalah sebagai berikut: a) Bukaan tambang aktif, (L1) = 1.400 ha b) Sarana prasarana (jalan, perumahan, sarana pengolahan), (L1) = 800 ha c) Penimbunan material/waste dump, (L2) = 2.400 ha d) Areal Pengembangan/Penyangga, (L1) = 7.900 ha 2) Perhitungan PNBP pada menjelang akhir tambang, dimana area penggunaan kawasan hutan yang mengalami kerusakan permanen atau area L3 yaitu seluas 1400 ha, maka formula PNBP adalah: MATRIK : TABEL PERBANDINGAN TENTANG JENIS KEWAJIBAN YANG DIBEBANKAN KEPADA INDUSTRI KEHUTANAN DAN INDUSTRI PERTAMBANGAN No. Bidang Usaha Peraturan Jenis Kewajiban (Utam a) M etode Perhitungan Ulasan 1 Perusahaan Kehutanan (Pem egang Izin Usaha Pem anfaatan Hutan/IUPH) Undang-Undang Nom or 41 Tahun 1999 Pasal 35 a. Iuran izin usaha b. Provisi Sum ber Daya Hutan Luas (Ha) x Tarif dilakukan hanya sekali pada saat izin diberikan Volum e kayu (m 3 ) x Tarif dalam rupiah sesuai realisasi Pem bayaran tidak berulang Berlaku sam a dengan perusahaan pertambangan No. Kriteria Luas (Ha) Tarif (Rp) Jumlah L1 1 Bukaan Tambang Aktif 0 Rp. 3.500.000 Rp. 0 2 Sarana Prasarana 800 Ha Rp. 3.500.000 Rp. 2.800.000.000 3 Areal Pengembangan/Penyangga 7900 Ha Rp. 1.750.000 Rp. 13.825.000.000 TOTAL L 1 Rp. 16.625.000.000 L2 1 Penimbunan Materi/Waste Dump 2400 Ha Rp.3.500.000 Rp. 33.600.000.000 TOTAL L 2 Rp. 33.600.000.000 L3 1 Bukaan tambang yang tidak dapat direklamasi 1400 Ha Rp.3.500.000 Rp. 34.300.000.000 TOTAL PNBP ( L 1, L 2 DAN L3) Rp. 84.525.000.000 Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 40 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 41 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 c. Dana Reboisasi d. Dana Jam inan Kinerja penebangan pohon Volum e kayu (m 3 ) x Tarif dalam US Dollar sesuai realisasi penebangan pohon Jam inan usaha pem anfaatan hutan Berlaku sam a dengan perusahaan pertambangan Jam inan ini dapat dikem balikan (bukan biaya) 2 Perusahaan Pertam bangan (Pem egang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan/IPPKH) I. Undang- Undang Nom or 41 Tahun 1999 Pasal 35 dan Peraturan M enteri LHK Nom or P.50/Setjen /Kum .1/6/20 16Pasal 22 II. Peraturan Pem erintah Nom or 9 Tahun 2012 III. Peraturan a. PNBP Penggunaan Kawasan Hutan b. Provisi Sum ber Daya Hutan c. Dana Reboisasi d. Ganti Rugi Nilai Tegakan hasil rehabilitasi e. Rehabilitasi DAS f. Reklam asi a. Iuran Tetap b. Iuran Produksi/Royalty a. Jam inan Reklam asi Dibayar setiap tahun berdasarkan IPPKH sesuai status hutan dan kriteria penggunaan lahan Volum e kayu (m 3 ) x Tarif dalam rupiah sesuai realisasi penebangan pohon Volum e kayu (m 3 ) x Tarif dalam US Dollar sesuai realisasi penebangan pohon Luas areal tum pang tindih (Ha) dan volum e kayu tegakan (m 3 ) Penanam an seluas IPPKH di luar areal IPPKH M elakukan reklam asi pada areal IPPKH Dibayar setiap tahun berdasarkan luas lahan (Ha) dikalikan tarif tertentu dalam US Dollar sesuai tahap kegiatan yang ditetapkan Pem erintah. Harga kom oditas hasil penjualan setiap ton dikurangi biaya-biaya sesuai peraturan, kem udian dikalikan tarif tertentu yang ditetapkan oleh Pem erintah. Penem patan dana Pem bayaran berulang setiap tahun Berlaku sam a dengan perusahaan kehutanan Berlaku sam a dengan perusahaan kehutanan Kewajiban ini berlaku bila terjadi tum pang tindih dengan areal rehabilitasi Tidak diberlakukan pada perusahaan kehutanan Dilaksanakan pada areal yang telah digunakan Diberlakukan setiap tahun bagi perusahaan pertam bangan. Hasil penjualan dari produksi tam bang juga m erupakan objek dalam perhitungan pem bayaran PBB (tubuh bum i tahap Operasi Produksi) bagi perusahaan pertambangan. - Dilaksanakan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 41 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 42 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Pem erintah Nom or 78 Tahun 2010 b. Jam inan Pasca tam bang di m uka setiap tahun sebagai jam inan pelaksanaan reklam asi untuk lokasi kerja tahun berjalan. Penem patan dana di m uka secara bertahap hingga 2 tahun sebelum tam bang berakhir sebagai jam inan pelaksanaan Pasca tam bang. pada areal yang telah digunakan - Jam inan ini dapat dikem balikan (bukan biaya) setelah penem patan dana jam inan untuk tahun berikutnya sesuai dengan lokasi kerja. Jam inan ini dapat dikem balikan (bukan biaya) dalam periode Pascatam bang (3-4 tahun setelah tam bang berakhir).
. Berpedoman pada undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (selanjutnya disebut “UU Nomor 41 Tahun 1999”), yang berdasarkan kedudukannya, merupakan jenis undang-undang sektoral yang mengatur secara khusus ( lex specialis ) tentang kehutanan dalam arti sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu maka pengenaan jenis pungutan yang bersifat memaksa yang diakui dan disebutkan secara tegas adalah Iuran Izin Usaha, Provisi Sumber Daya Hutan, Dana Reboisasi, Dana Jaminan Kinerja Dan Dana Pelestarian Hutan. sedangkan mengenai pungutan PNBP – khususnya untuk penggunaan pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan (kegiatan non kehutanan) – tidak pernah diatur dan juga tidak pernah disebutkan secara jelas dan tegas dalam undang- undang sektoral yang mengatur secara khusus ( lex specialis ) tentang kehutanan in casu Uu Nomor 41 Tahun 1999; (Bukti P-13) 4). Dalam melakukan pembentukan dan penyusunan norma pengenaan PNBP atas seluruh area kawasan hutan yang dipinjam- pakaikan dan seluruh area perjanjian pinjam pakai kawasan hutan khususnya dalam rangka kegiatan pertambangan maka agar memperhatikan tentang dampak sosiologis dari adanya pengenaan terhadap masyarakat dan kegiatan usahanya serta aspek keadilan yang dimaksudkan agar beban yang wajib ditanggung masyarakat – Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 42 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 43 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 in casu pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH – adalah wajar, memberikan kemungkinan perolehan keuntungan atau tidak menghambat kegiatan usaha yang dilakukan masyarakat. Bahwa selain itu, secara sosiologis, pengenaan PNBP atas seluruh area kawasan hutan yang dipinjam-pakaikan dan seluruh area perjanjian pinjam pakai kawasan hutan khususnya dalam rangka kegiatan pertambangan juga tidak memperhatikan aspek dampak pengenaannya terhadap Para Pemohon in casu para anggota dari Para Pemohon yang notabene melaksanakan kegiatan usaha pertambangan yang menggunakan pinjam pakai kawasan hutan dan juga tidak memperhatikan aspek keadilan dalam hal mana tidak adanya kewajaran terhadap beban yang harus ditanggung oleh Para Pemohon in casu para anggota dari Para Pemohon yang notabene merupakan pelaku usaha yang melaksanakan kegiatan usaha pertambangan yang menggunakan pinjam pakai kawasan hutan;
Bahwa pengenaan dan pemberlakuan norma tentang pengenaan PNBP atas seluruh area kawasan hutan yang dipinjam-pakaikan dan seluruh area perjanjian pinjam pakai kawasan hutan khususnya dalam rangka kegiatan pertambangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat 2, ayat 3 dan ayat 5 PP RI Nomor 33 Tahun 2014 dan lampiran PP RI Nomor 33 Tahun 2014 angka 1, angka 2 dan angka 3 telah bertentangan dengan UU Nomor 41 Tahun 1999 yang berdasarkan kedudukannya, merupakan jenis undang-undang sektoral yang mengatur secara khusus ( lex specialis ) tentang kehutanan dalam arti sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu. Dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 – sebagai undang-undang sektoral yang mengatur secara khusus ( lex specialis ) tentang kehutanan – tidak pernah diatur dan juga tidak pernah disebutkan secara jelas dan tegas mengenai adanya PNBP atas penggunaan pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan (kegiatan non kehutanan); Bahwa berpedoman pada alasan-alasan sebagaimana yang kami jelaskan dalam huruf a sampai dengan huruf d di atas dalam hal mana dikarenakan sifat dari PNBP tersebut merupakan pungutan yang bersifat memaksa dan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 43 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 44 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 dapat ditagih secara memaksa maka pencantuman dan pemberlakuan PNBP sebagai jenis pungutan yang bersifat memaksa dalam norma yang berbentuk Peraturan Pemerintah ( in casu ketentuan ketentuan Pasal 5 ayat (2) huruf b angka 1, Pasal 19 ayat (1) huruf d, Pasal 22 huruf e dan huruf r angka 4 dan Pasal 47 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf c Permen LHK RI Nomor 50 Tahun 2016) telah merugikan hak PARA PEMOHON in casu para anggota dari PARA PEMOHON; Berdasarkan argumentasi-argumentasi tersebut diatas maka pencantuman dan pemberlakuan norma PNBP sebagai jenis pungutan yang bersifat memaksa menurut ketentuan Pasal 23A UUD RI 1945 tidak dapat diatur dalam bentuk peraturan pemerintah. Adanya pengaturan tentang pencantuman dan pemberlakuan norma PNBP sebagai jenis pungutan yang bersifat memaksa dalam bentuk peraturan menteri merupakan bentuk penyelundupan norma yang mengingkari dan bertentangan dengan ketentuan Pasal 23A UUD RI 1945 yang menjadi hukum dasar atau norma dasar bagi pembentukan peraturan perundang-undangan, ketentuan Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 1997, Pasal 3 Ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 dan UU Nomor 41 Tahun 1999; Oleh karena itu, maka ketentuan ketentuan Pasal 1 ayat 2, ayat 3 dan ayat 5 PP RI Nomor 33 Tahun 2014 dan lampiran PP RI Nomor 33 Tahun 2014 angka 1, angka 2 dan angka 3 sangat beralasan secara hukum untuk dapat dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (tidak sah) dan batal demi hukum serta tidak berlaku umum;
Bahwa pengenaan dan pemberlakuan norma tentang pengenaan PNBP atas penggunaan seluruh area kawasan hutan yang dipinjam- pakaikan dan seluruh area perjanjian pinjam pakai kawasan hutan khususnya dalam rangka kegiatan pertambangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 21 ayat (1) huruf a PP RI Nomor 24 Tahun 2010 telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 23A UUD RI PP RI NOM OR 24 TAHUN 2010 BERTENTANGAN DENGAN UNDANG-UNDANG DASAR REPUBLIK INDONESIA 1945, UNDANG-UNDANG NOM OR 20 TAHUN 1997 TENTANG PENERIM AAN NEGARA BUKAN PAJAK, UNDANG-UNDANG NOM OR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DAN UNDANG-UNDANG NOM OR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEM BENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 44 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 45 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 1945, yang secara lengkap berbunyi sebagai berikut : ( Vide Bukti P- 4A) “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang.” Bahwa, mencermati kembali ketentuan Pasal 23A UUD RI 1945 tersebut maka dijelaskan secara tegas bahwa pungutan lain yang bersifat memaksa diatur dengan undang-undang. Apabila dilihat dari esensinya, maka PNBP dapat dikategorikan sebagai jenis pungutan lain yang bersifat memaksa menurut ketentuan Pasal 23A UUD RI 1945 tersebut. Berdasarkan hal tersebut maka, pengaturan mengenai pencantuman dan pengenaan dan pemberlakuan norma tentang pengenaan PNBP atas penggunaan seluruh area kawasan hutan yang dipinjam- pakaikan dan seluruh area perjanjian pinjam pakai kawasan hutan khususnya dalam rangka kegiatan pertambangan sebagai jenis pungutan lain yang bersifat memaksa harus diatur dalam bentuk undang-undang.
Bahwa digunakannya ketentuan Pasal 23A UUD RI 1945 sebagai pedoman untuk pengaturan mengenai pencantuman dan pengenaan dan pemberlakuan norma pengenaan PNBP atas penggunaan seluruh area kawasan hutan yang dipinjam-pakaikan dan seluruh area perjanjian pinjam pakai kawasan hutan khususnya dalam rangka kegiatan pertambangan sebagai jenis pungutan lain yang bersifat memaksa tersebut dalam bentuk undang-undang juga ditegaskan dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1) ketentuan Pasal 5 huruf c dan huruf d serta ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (selanjutnya disebut “UU Nomor 12 Tahun 2011”) , yang pada pokoknya berbunyi sebagai berikut : ( Vide Bukti P-7) :
Ayat (1): Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak ditetapkan dengan memperhatikan dampak pengenaan terhadap masyarakat dan kegiatan usahanya, biaya penyelenggaraan kegiatan Pemerintah sehubungan dengan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersangkutan, dan aspek keadilan dalam pengenaan beban kepada masyarakat. Ayat (2): Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah yang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 57 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 58 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 menetapkan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersangkutan. Penjelasan Pasal 3 Ayat (1): Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak perlu ditetapkan dengan pertimbangan secermat mungkin karena hal ini membebani masyarakat. Pertimbangan dampak pengenaan terhadap masyarakat dan kegiatan usahanya, dan beban biaya yang ditanggung Pemerintah atas penyelenggaraan kegiatan pelayanan, dan pengaturan oleh Pemerintah yang berkaitan langsung dengan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersangkutan serta aspek keadilan yang dimaksudkan agar beban yang wajib ditanggung masyarakat adalah wajar, memberikan kemungkinan perolehan keuntungan atau tidak menghambat kegiatan usaha yang dilakukan masyarakat. Bahwa mempertimbangkan kembali esensi ketentuan Pasal 23A UUD RI dan dihubungkan dengan esensi pemahaman tentang ketentuan Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) serta penjelasan ketentuan Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 1997 maka dalam merumuskan dan mencantumkan (serta memberlakukan) norma tentang pengenaan PNBP atas penggunaan seluruh area kawasan hutan yang dipinjam-pakaikan dan seluruh area perjanjian pinjam pakai kawasan hutan khususnya dalam rangka kegiatan pertambangan sepatutnya memperhatikan norma-norma sebagai berikut :
PNBP dalam rangka kegiatan pertambangan sebagai bentuk pungutan lain yang bersifat memaksa demi kepentingan negara harus dalam bentuk norma undang-undang dan bukan dalam bentuk norma peraturan pemerintah ;
Walaupun dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan ketentuan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (selanjutnya disebut “UU Nomor 20 Tahun 1997”) mengatur tentang adanya peluang pengaturan dalam bentuk peraturan pemerintah namun berpedoman pada ketentuan Pasal 5 huruf c dan huruf d (dan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 58 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 59 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 penjelasan Pasal 5 huruf c dan huruf d) dan ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf g (dan penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf g) UU Nomor 12 Tahun 2011 maka pengaturan tentang pungutan PNBP dalam bentuk peraturan pemerintah, secara muatan materi dan hierarki, adalah bertentangan dan tidak didasarkan pada ketaatan asas kesesuaian jenis, hierarki dan materi muatan serta asas dapat dilaksanakan termasuk halnya juga bertentangan asas keadilan. hal ini didasarkan pada argumentasi-argumentasi sebagai berikut:
1). Menurut asas kesesuaian jenis dan hierarki serta materi muatan yang diatur maka berpedoman pada amanat yang diatur secara tegas dalam ketentuan Pasal 23A UUD RI 1945 dijelaskan bahwa pengaturan PNBP yang dikategorikan sebagai jenis pungutan yang bersifat memaksa diatur dalam bentuk Undang-Undang;
2). Dalam ketentuan Pasal 3 UU Nomor 12 Tahun 2011 menjelaskan secara tegas bahwa dalam penyusunan dan pembentukan perturan perundang-undangan harus berpedoman pada UUD RI 1945 sebagai hukum dasar Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Oleh karena itu, ditinjau dari konsistensi asas hierarki dan materi muatan serta jenisnya, maka walaupun dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan ketentuan Pasal 3 ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 1997 diberikan peluang pengaturan PNBP dalam bentuk Peraturan Pemerintah maka hal tersebut secara yuridis normatif juga bertentangan dengan norma dasar dalam ketentuan Pasal 23A UUD RI 1945 dan ketentuan Pasal 3 UU Nomor 12 Tahun 2011;
3). Apabila dicermati kembali esensi dalam ketentuan Pasal 45 ayat (1) dan ayat (3) UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (selanjutnya disebut dengan “UU Nomor 41 Tahun 1999”) – sebagai ketentuan khusus ( lex specialis ) dan sektoral yang mengatur secara khusus tentang bidang kehutanan – maka hanya mengatur tentang dua hal pokok, yaitu 1). Adanya kewajiban untuk Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 59 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 60 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 melakukan reklamasi dan rehabilitasi kepada pemegang Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (selanjutnya disebut “IPPKH”) atas timbulnya kerusakan hutan dari adanya penggunaan kawasan hutan dan 2). Adanya kewajiban pembayaran dana jaminan reklamasi dan rehabilitasi. Dengan demikian, UU Nomor 41 Tahun 1999 secara tegas tidak pernah mengatur dan menyebutkan tentang adanya pengenaan PNBP sebagai kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH atas timbulnya kerusakan hutan dari adanya penggunaan kawasan hutan. Sebaliknya, UU Nomor 41 Tahun 1999 hanya mengatur dan merekognisi adanya kewajiban yang limitatif bagi pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH yaitu berupa melakukan reklamasi dan rehabilitasi serta membayar dana jaminan reklamasi dan rehabilitasi. Oleh karena itu, berdasarkan argumentasi tersebut maka pengenaan dan pengaturan norma kewajiban pembayaran PNBP dalam bentuk Peraturan Pemerintah, telah bertentangan secara filosofis dan yuridis dari segi materi muatan dan hierarkinya.
4). Dalam ketentuan Pasal 45 ayat (1) dan ayat (3) UU Nomor 41 Tahun 1999 telah dijelaskan secara tegas bahwa batasan tolok ukur pengenaan kewajiban melakukan reklamasi dan rehabilitasi hanya terbatas pada kawasan hutan yang secara nyata telah timbul kerusakan (limitatif) dan bukan terhadap seluruh kawasan hutan yang dipinjam-pakaikan. Sebaliknya, pengenaan kewajiban PNBP dalam PP RI Nomor 33 Tahun 2014 – yang secara filosofis dan yuridis telah bertentangan dengan asas kesesuaian jenis, hierarki dan materi muatan – tidak didasarkan pada batasan kawasan hutan yang secara nyata telah timbul kerusakan secara limitatif melainkan dikenakan terhadap seluruh kawasan hutan yang dipinjam- pakaikan. Adanya pengenaan dan pengaturan norma kewajiban pembayaran PNBP – yang secara filosofis dan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 60 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 61 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 yuridis telah bertentangan dengan asas kesesuaian jenis, hierarki dan materi muatan – terhadap seluruh area kawasan hutan yang dipinjam-pakaikan maka secara sosiologis pasti menimbulkan dampak berupa adanya beban secara ekonoms yang harus ditanggung secara tidak proporsional oleh para pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH yang menggunakan pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan usaha pertambangan (non kegiatan usaha kehutanan). Hal ini tentunya menimbulkan adanya ketidakadilan bagi pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH tersebut dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Adanya dampak berupa tambahan beban secara ekonomis terhadap adanya pengenaan pungutan pnbp yang merupakan pungutan imajiner dan liar serta multi pungutan (dalam hal mana sebidang tanah atau obyek yang sama tidak boleh dikenakan pungutan lebih dari satu pungutan/berkali-kali) – yang secara hierarki tidak pernah diatur dan tidak pernah direkognisi serta bertentangan dengan ketentuan Pasal 45 ayat (1) dan ayat (3) UU Nomor 41 Tahun 1999 – bagi para pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH tentunya mengakibatkan bahwa norma yang mengatur tentang pengenaan PNBP dalam bentuk Peraturan Pemerintah – in casu ketentuan Pasal 21 ayat (1) huruf a PP RI Nomor 24 Tahun 2010 – juga bertentangan dengan asas dapat dilaksanakan dan asas keadilan; Dasar argumentasi atas Multi Pungutan dijabarkan sebagai berikut : MULTI PUNGUTAN TERHADAP SATU OBJEK (LAHAN) YANG SAMA UNTUK INDUSTRI PERTAMBANGAN PEMEGANG IPPKH Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 61 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 62 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 No. Jenis Pungutan Dibayar ke Instansi M etode dan Tarif Perhitungan 1 Pajak : PBB Pem erintah Daerah Tahap Eksplorasi On Shore: Dibayar setiap tahun berdasarkan luas lahan dan luas bangunan dikalikan dengan NJOP dan tarif tertentu yang ditetapkan oleh instansi pajak. Tubuh Bum i : Dibayar setiap tahun berdasarkan luas khusus areal potensi/cadangan dikalikan NJOP dan faktor/tarif tertentu yang ditetapkan oleh instansi pajak. Tahap Operasi Produksi On Shore : Dibayar setiap tahun berdasarkan luas lahan dan bangunan dikalikan dengan NJOP dan tarif tertentu yang ditetapkan oleh instansi pajak. Tubuh Bum i : Dibayar setiap tahun berdasarkan hasil produksi tahun sebelum nya dikalikan harga kom oditas setelah dikurangi biaya-biaya sesuai peraturan pajak, kem udian dikalikan faktor kapitalisasi dan faktor/tarif tertentu yang ditetapkan oleh instansi pajak. 2 Pungutan : Dead Rent / Iuran tetap Kem enterian ESDM M etode : Dibayar setiap tahun berdasarkan luas lahan (Ha) dikalikan tariff sesuai tahap kegiatan Tarif : USD 2 atau USD 4/Ha setiap tahun sesuai tahap kegiatan (Eksplorasi atau Operasi Produksi) 3 Pungutan : PNBP-PKH Kem enterian LHK M etode : Dibayar setiap tahun berdasarkan luas lahan sesuai status hutan dan kriteria penggunaan lahan. Tarif A. Hutan Produksi : Rp. 1.750.000 dan Rp. 3.500.000/Ha/Tahun M engikuti kriteria penggunaan lahan B. Hutan Lindung : Rp. 2.000.000 dan Rp. 4.000.000/Ha/Tahun M engikuti kriteria penggunaan lahan Kriteria penggunaan lahan: L1 : Areal terganggu untuk bukaan tam bang aktif, sarana prasarana penunjang yang bersifat perm anen dan areal pengem bangan/ penyangga L2 : Areal terganggu yang bersifat tem porer yang secara teknis dapat dilakukan reklam asi L3 : Areal terganggu yang m engalam i kerusakan perm anen yang tidak dapat dilakukan reklam asi secara optim al Form ula perhitungan: L1 : [1 x Rp. 3.500.000 x luas (Ha) areal terganggu untuk tam bang aktif dan sarana prasarana] + [1 x Rp. 1.750.000 x luas (Ha) areal belum digunakan/areal penyangga] L2 : Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 62 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 63 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 2.5). Perumusan dan pemberlakuan norma tentang pengenaan PNBP atas penggunaan seluruh area kawasan hutan yang dipinjam-pakaikan dan seluruh area perjanjian pinjam pakai kawasan hutan khususnya dalam rangka kegiatan pertambangan, secara sosiologis, tidak mencerminkan dan juga bertentangan dengan asas dapat dilaksanakan dan asas keadilan sebagaimana diatur dalam Ketentuan Pasal 5 Huruf c dan Huruf d serta Ketentuan Pasal 6 Ayat (1) Huruf g UU Nomor 12 Tahun 2011. Hal ini dapat dilihat dari adanya reaksi dan tanggapan secara sosiologis dari beberapa pelaku usaha bidang pertambangan melalui PEMOHON I dan PEMOHON II yang sungguh sangat berkeberatan dengan dikenakannya kewajiban pembayaran PNBP atas penggunaan kawasan hutan yang dipinjam pakai untuk kegiatan pertambangan (non kegiatan kehutanan). Pada kenyataannya, konsekuensi dari adanya pengenaan pungutan PNBP yang merupakan pungutan imajiner dan liar serta multi pungutan – yang secara hierarki tidak pernah diatur dan tidak pernah direkognisi serta bertentangan dengan ketentuan Pasal 45 ayat (1) dan ayat (3) UU Nomor 41 Tahun 1999 – telah memberikan beban ekonomis yang sangat luar biasa yang harus ditanggung oleh para pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH berupa munculnya multi pungutan dan perlakuan diskriminatif dari adanya pengenaan PNBP tersebut. Adanya beban multi pungutan dan perlakuan diskriminatif tersebut memberikan dampak kerugian yang sangat signifikan bagi para pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH. Hal ini 4 x Rp. 3.500.000 x luas (Ha) areal terganggu bersifat tem porer L3 : 7 x Rp. 3.500.000 x luas (Ha) areal terganggu bersifat perm anen + Kewajiban PNBP PKH = L1 + L2 + L3 Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 63 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 64 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 sebagaimana pernah dikemukakan oleh Para Pemohon melalui korespondensi tertulis yang ditujukan kepada para termohon dalam rangka pembentukan dan penyusunan peraturan pemerintah tentang PNBP (Bukti P-10A, Bukti P-10B, Bukti P-10C, Bukti P-10D, Bukti P-10E, Bukti P-10F dan Bukti P-10G). Dampak kerugian dari adanya multi pungutan tersebut dapat dilihat dari adanya data yang menjelaskan bahwa sebagian pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH telah melakukan pengembalian kawasan hutan yang dipinjam-pakaikan kepada pihak yang berwenang – in casu kepada TERMOHON II dan perangkat kelembagaannya – sedangkan sebagian lain dari para pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH juga merasakan kecemasan terhadap adanya potensi berhentinya dan/atau terhambatnya keberlanjutan/ kelangsungan kegiatan usaha sebagai akibat dari besarnya beban finansial yang harus ditanggung dan dibayarkan secara rutin per tahun – termasuk halnya beban atas pungutan imajiner dan liar serta multi pungutan yang bernama PNBP penggunaan kawasan hutan (Bukti P–11A, Bukti P–11B, Bukti P–11C dan Bukti P–11D) . Dalam rangka mendukung argumentasi tentang adanya beban multi pungutan dan perlakuan diskriminatif tersebut maka berikut kami berikan uraian ilustrasi dan penjelasannya dalam bentuk kolom matriks dibawah ini: Contoh Ilustrasi Perhitungan PNBP: PT. XYC merupakan Pengguna kawasan hutan produksi untuk bukaan tambang aktif dan sarana prasarana penunjangnya serta area pengembangan dan atau area penyangga:
Luas wilayah perjanjian = 50.000 ha yang operasional tambangnya dari tahun 2008 - 2036, Luas izin pinjam pakai kawasan hutan pada Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 64 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 65 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 kawasan hutan produksi tahun 2008 - 2011 teridentifikasi = 12.500 ha, dengan rincian:
. Area yang digunakan direncanakan pada tahun pertama adalah sebagai berikut: a) Bukaan tambang aktif, (L1) = 1.400 ha b) Sarana prasarana (jalan, perumahan, sarana pengolahan), (L1) = 800 ha c) Penimbunan material/waste dump, (L2) = 2.400 ha d) Areal Pengembangan/Penyangga, (L1) = 7.900 ha 2) Perhitungan PNBP pada menjelang akhir tambang, dimana area penggunaan kawasan hutan yang mengalami kerusakan permanen atau area L3 yaitu seluas 1400 ha, maka formula PNBP adalah: MATRIK : TABEL PERBANDINGAN TENTANG JENIS KEWAJIBAN YANG DIBEBANKAN KEPADA INDUSTRI KEHUTANAN DAN INDUSTRI PERTAMBANGAN No. Kriteria Luas (Ha) Tarif (Rp) Jumlah L1 1 Bukaan Tambang Aktif 0 Rp. 3.500.000 Rp. 0 2 Sarana Prasarana 800 Ha Rp. 3.500.000 Rp. 2.800.000.000 3 Areal Pengembangan/Penyangga 7900 Ha Rp. 1.750.000 Rp. 13.825.000.000 TOTAL L 1 Rp. 16.625.000.000 L2 1 Penimbunan Materi/Waste Dump 2400 Ha Rp.3.500.000 Rp. 33.600.000.000 TOTAL L 2 Rp. 33.600.000.000 L3 1 Bukaan tambang yang tidak dapat direklamasi 1400 Ha Rp.3.500.000 Rp. 34.300.000.000 TOTAL PNBP ( L 1, L 2 DAN L3) Rp. 84.525.000.000 Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 65 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 66 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 No. Bidang Usaha Peraturan Jenis Kewajiban (Utam a) M etode Perhitungan Ulasan 1 Perusahaan Kehutanan (Pem egang Izin Usaha Pem anfaatan Hutan/IUPH) Undang-Undang Nom or 41 Tahun 1999 Pasal 35 a. Iuran izin usaha b. Provisi Sum ber Daya Hutan c. Dana Reboisasi d. Dana Jam inan Kinerja Luas (Ha) x Tarif dilakukan hanya sekali pada saat izin diberikan Volum e kayu (m 3 ) x Tarif dalam rupiah sesuai realisasi penebangan pohon Volum e kayu (m 3 ) x Tarif dalam US Dollar sesuai realisasi penebangan pohon Jam inan usaha pem anfaatan hutan Pem bayaran tidak berulang Berlaku sam a dengan perusahaan pertambangan Berlaku sam a dengan perusahaan pertambangan Jam inan ini dapat dikem balikan (bukan biaya) 2 Perusahaan Pertam bangan (Pem egang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan/IPPKH) I. Undang- Undang Nom or 41 Tahun 1999 Pasal 35 dan Peraturan M enteri LHK Nom or P.50/Setjen /Kum .1/6/20 16Pasal 22 II. Peraturan Pem erintah Nom or 9 Tahun 2012 a. PNBP Penggunaan Kawasan Hutan b. Provisi Sum ber Daya Hutan c. Dana Reboisasi d. Ganti Rugi Nilai Tegakan hasil rehabilitasi e. Rehabilitasi DAS f. Reklam asi a. Iuran Tetap Dibayar setiap tahun berdasarkan IPPKH sesuai status hutan dan kriteria penggunaan lahan Volum e kayu (m 3 ) x Tarif dalam rupiah sesuai realisasi penebangan pohon Volum e kayu (m 3 ) x Tarif dalam US Dollar sesuai realisasi penebangan pohon Luas areal tum pang tindih (Ha) dan volum e kayu tegakan (m 3 ) Penanam an seluas IPPKH di luar areal IPPKH M elakukan reklam asi pada areal IPPKH Dibayar setiap tahun berdasarkan luas lahan (Ha) dikalikan tarif tertentu dalam US Dollar sesuai tahap kegiatan yang ditetapkan Pem erintah. Pem bayaran berulang setiap tahun Berlaku sam a dengan perusahaan kehutanan Berlaku sam a dengan perusahaan kehutanan Kewajiban ini berlaku bila terjadi tum pang tindih dengan areal rehabilitasi Tidak diberlakukan pada perusahaan kehutanan Dilaksanakan pada areal yang telah digunakan Diberlakukan setiap tahun bagi perusahaan pertam bangan. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 66 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 67 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 III. Peraturan Pem erintah Nom or 78 Tahun 2010 b. Iuran Produksi/Royalty a. Jam inan Reklam asi b. Jam inan Pasca tam bang Harga kom oditas hasil penjualan setiap ton dikurangi biaya-biaya sesuai peraturan, kem udian dikalikan tarif tertentu yang ditetapkan oleh Pem erintah. Penem patan dana di m uka setiap tahun sebagai jam inan pelaksanaan reklam asi untuk lokasi kerja tahun berjalan. Penem patan dana di m uka secara bertahap hingga 2 tahun sebelum tam bang berakhir sebagai jam inan pelaksanaan Pasca tam bang. Hasil penjualan dari produksi tam bang juga m erupakan objek dalam perhitungan pem bayaran PBB (tubuh bum i tahap Operasi Produksi) bagi perusahaan pertambangan. - Dilaksanakan pada areal yang telah digunakan - Jam inan ini dapat dikem balikan (bukan biaya) setelah penem patan dana jam inan untuk tahun berikutnya sesuai dengan lokasi kerja. Jam inan ini dapat dikem balikan (bukan biaya) dalam periode Pascatam bang (3-4 tahun setelah tambang berakhir).
Berpedoman pada UU Nomor 41 Tahun 1999, yang berdasarkan kedudukannya, merupakan jenis undang-undang sektoral yang mengatur secara khusus ( lex specialis ) tentang kehutanan dalam arti sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu maka pengenaan jenis pungutan yang bersifat memaksa yang diakui dan disebutkan secara tegas adalah iuran izin usaha, provisi sumber daya hutan, dana reboisasi, dana jaminan kinerja dan dana pelestarian hutan. Sedangkan mengenai pungutan PNBP – khususnya untuk penggunaan pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan (kegiatan non kehutanan) – tidak pernah diatur dan juga tidak pernah disebutkan secara jelas dan tegas dalam undang-undang sektoral yang mengatur secara khusus ( lex specialis ) tentang kehutanan in casu UU Nomor 41 Tahun 1999; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 67 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 68 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 4) Dalam melakukan pembentukan dan penyusunan norma tentang pengenaan PNBP atas penggunaan seluruh area kawasan hutan yang dipinjam-pakaikan dan seluruh area perjanjian pinjam pakai kawasan hutan khususnya dalam rangka kegiatan pertambangan maka agar memperhatikan tentang dampak sosiologis dari adanya pengenaan terhadap masyarakat dan kegiatan usahanya serta aspek keadilan yang dimaksudkan agar beban yang wajib ditanggung masyarakat – in casu pelaku usaha – adalah wajar, memberikan kemungkinan perolehan keuntungan atau tidak menghambat kegiatan usaha yang dilakukan masyarakat. Bahwa selain itu, secara sosiologis, pengenaan PNBP atas penggunaan seluruh area kawasan hutan yang dipinjam-pakaikan dan seluruh area perjanjian pinjam pakai kawasan hutan khususnya dalam rangka kegiatan pertambangan juga tidak memperhatikan aspek dampak pengenaannya terhadap Para Pemohon in casu para anggota dari Para Pemohon yang notabene melaksanakan kegiatan usaha pertambangan yang menggunakan pinjam pakai kawasan hutan dan juga tidak memperhatikan aspek keadilan dalam hal mana tidak adanya kewajaran terhadap beban yang harus ditanggung oleh Para Pemohon in casu para anggota dari Para Pemohon yang notabene merupakan pelaku usaha yang melaksanakan kegiatan usaha pertambangan yang menggunakan pinjam pakai kawasan hutan;
Bahwa pengenaan dan pemberlakuan norma tentang pengenaan PNBP atas penggunaan seluruh area kawasan hutan yang dipinjam- pakaikan dan seluruh area perjanjian pinjam pakai kawasan hutan khususnya dalam rangka kegiatan pertambangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 21 ayat (1) huruf a PP RI Nomor 24 Tahun 2010 telah bertentangan dengan UU Nomor 41 Tahun 1999 yang berdasarkan kedudukannya, merupakan jenis undang-undang sektoral yang mengatur secara khusus ( lex specialis ) tentang kehutanan dalam arti sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu. Dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 – sebagai undang- Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 68 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 69 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 undang sektoral yang mengatur secara khusus ( lex specialis ) tentang kehutanan – tidak pernah diatur dan juga tidak pernah disebutkan secara jelas dan tegas mengenai adanya PNBP atas penggunaan pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan (kegiatan non kehutanan); Bahwa berpedoman pada alasan-alasan sebagaimana yang kami jelaskan dalam huruf a sampai dengan huruf d di atas dalam hal mana dikarenakan sifat dari PNBP tersebut merupakan pungutan yang bersifat memaksa dan dapat ditagih secara memaksa maka pencantuman dan pemberlakuan PNBP sebagai jenis pungutan yang bersifat memaksa dalam norma yang berbentuk Peraturan Pemerintah ( in casu ketentuan Ketentuan Pasal 21 Ayat (1) huruf A PP RI Nomor 24 Tahun 2010 telah merugikan hak Para Pemohon in casu para anggota dari Para Pemohon; Berdasarkan argumentasi-argumentasi tersebut diatas maka pencantuman dan pemberlakuan norma PNBP sebagai jenis pungutan yang bersifat memaksa menurut ketentuan Pasal 23A UUD RI 1945 tidak dapat diatur dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Adanya pengaturan tentang pencantuman dan pemberlakuan norma PNBP sebagai jenis pungutan yang bersifat memaksa dalam bentuk Peraturan Pemerintah merupakan bentuk penyelundupan norma yang mengingkari dan bertentangan dengan ketentuan Pasal 23A UUD RI 1945 yang menjadi hukum dasar atau norma dasar bagi Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, ketentuan Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 1997, Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 DAN UU Nomor 41 Tahun 1999 Oleh karena itu, maka ketentuan ketentuan Pasal 21 ayat (1) huruf a PP RI Nomor 24 Tahun 2010 sangat beralasan secara hukum untuk dapat dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (tidak sah) dan batal demi hukum serta tidak berlaku umum;
PP RI NOM OR 105 TAHUN 2016 BERTENTANGAN DENGAN UNDANG-UNDANG DASAR REPUBLIK INDONESIA 1945, UNDANG-UNDANG NOM OR 20 TAHUN 1997 TENTANG PENERIM AAN NEGARA BUKAN PAJAK, UNDANG-UNDANG NOM OR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DAN UNDANG-UNDANG NOM OR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEM BENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 69 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 70 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 a. Bahwa pengenaan dan pemberlakuan norma tentang pengenaan kewajiban pembayaran PNBP atas penggunaan seluruh area kawasan hutan yang dipinjam-pakaikan dan seluruh area perjanjian pinjam pakai kawasan hutan khususnya dalam rangka kegiatan pertambangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 6 ayat (2) huruf b angka 1 dan Pasal 15 ayat (1) huruf b PP RI Nomor 105 Tahun 2015 telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 23A UUD RI 1945, yang secara lengkap berbunyi sebagai berikut : (Vide Bukti P- 4) “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang.” Bahwa, mencermati kembali ketentuan Pasal 23A UUD RI 1945 tersebut maka dijelaskan secara tegas bahwa pungutan lain yang bersifat memaksa diatur dengan Undang-Undang. Apabila dilihat dari esensinya, maka PNBP dapat dikategorikan sebagai jenis pungutan lain yang bersifat memaksa menurut ketentuan Pasal 23A UUD RI tersebut. Berdasarkan hal tersebut maka, pengaturan mengenai pencantuman dan pengenaan dan pemberlakuan norma tentang kewajiban pembayaran PNBP atas penggunaan seluruh area kawasan hutan yang dipinjam-pakaikan dan seluruh area perjanjian pinjam pakai kawasan hutan khususnya dalam rangka kegiatan pertambangan sebagai jenis pungutan lain yang bersifat memaksa harus diatur dalam bentuk Undang-Undang.
Bahwa digunakannya ketentuan Pasal 23A UUD RI 1945 sebagai pedoman untuk pengaturan mengenai pencantuman dan pengenaan dan pemberlakuan norma pengenaan pnbp atas penggunaan seluruh area kawasan hutan yang dipinjam-pakaikan dan seluruh area perjanjian pinjam pakai kawasan hutan khususnya dalam rangka kegiatan pertambangan sebagai jenis pungutan lain yang bersifat memaksa tersebut dalam bentuk Undang-Undang juga ditegaskan dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1), Pasal 5 huruf c dan huruf d serta ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 70 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 71 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 (selanjutnya disebut “UU Nomor 12 Tahun 2011”) , yang pada pokoknya berbunyi sebagai berikut : (Vide Bukti P-7) :
Uji materiil atas pasal 25 ayat (9) dan Pasal 27 ayat (5d) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang perubahan ketiga Atas Undang-undang Nomor 6 Tahu ...
Relevan terhadap 2 lainnya
void) atau dapat dibatalkan (vernietigbaar, atau voidable). Pada umumnya sanksi didapati pada hukum publik kecuali hukum tata negara. Itupun bukan sesuatu yang absolut. Kaidah hukum tata negara seperti yang didapati dalam UUD acap kali dikuatkan dengan sanksi seperti pranata pemakzulan atau impeachment. Bahkan hukum pidana lebih dikenal sebagai hukum bersanksi (santierecht). Bagaimana dengan hukum pajak atau hukum perpajakan? Sebelum menjawab persoalan ini akan lebih dahulu dijawab pertanyaan: Dimana letak Undang-Undang perpajakan dalam tatanan sistem perundang-undangan? Apakah termasuk regelenrecht atau dwingendrecht? Hukum pajak dalam ilmu hukum adalah hukum administrasi khusus (speciale administratiefrecht, atau speciale bestuursrecht). Sebagai hukum administrasi khusus, semua asas dan kaidah hukum administrasi umum (algemeen bestuursrecht) tetap berlaku dan dapat dipergunakan dalam atau oleh hukum pajak, kecuali terhadap hal-hal yang diatur khusus oleh hukum pajak. Prinsip ini sesuai dengan asas lex specialis derogat lex generalis. Dalam kaitan ini, Ahli mohon perhatian terhadap sekurang-kurangnya dua hal: _Pertama; _ dalam ilmu hukum, hukum administrasi (HAN) adalah hukum publik, karena itu, hukum pajak sebagai hukum administrasi khusus dengan sendirinya adalah hukum publik. _Kedua; _ hukum pajak adalah hukum yang bersifat memaksa (dwingendrecht). Selain sebagai hukum publik, sifat memaksa lahir dari pengertian, tujuan, dan fungsi pajak itu sendiri. Pajak adalah pungutan negara yang bersifat memaksa sebagai perwujudan kewajiban pembayar pajak terhadap negara. Pajak sebagai pendapatan negara bertalian langsung dengan kewajiban negara untuk menjamin dan menjalankan kepentingan umum, maupun kepentingan negara sendiri seperti menjamin keamanan nasional dan lain-lain. Fungsi pajak tidak semata-mata untuk menjamin keadilan (redistribution of income), tetapi tidak kalah penting adalah fungsi ketertiban umum (public order). Berdasarkan pengertian, tujuan, dan fungsi tersebut, sanksi sebagai instrumen menjalankan atau menjamin ketaatan terhadap hukum pajak merupakan satu kemestian. Tidak ada hukum pajak tanpa disertai suatu sanksi.
Pengujian UU Nomor 17/2003
Relevan terhadap
Padahal BUMN __ sebagai badan hukum ( rechtpersoon) atau yang dipersamakan dengan orang __ adalah subjek hukum yang mempunyai kekayaan sendiri terlepas dari kekayaan pemegang sahamnya (negara), kekayaan komisarisnya (sebagai pengawas dan penasehat) dan kekayaan direksinya (sebagai pengurus). Pasal 2 huruf i UU Keuangan Negara menyatakan bahwa: __ “(i). Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan Pemerintah”. Padahal perusahan-perusahaan sebagai badan hukum mendapat fasilitas dari Pemerintah, antara lain, dalam bentuk insentif pajak ( tax holiday) ¸ apakah kekayaan perusahaan-perusahaan tersebut dengan sendirinya menjadi kekayaan negara. __ 7. Bahwa dalam Pasal 1 UU BUMN disebutkan bahwa BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan: __ a. Selanjutnya penjelasan Pasal 4 UU BUMN menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kekayaan negara yang dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN yang untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat. b. Secara gamblang, dalam Pasal 11 UU BUMN ditegaskan bahwa terhadap Persero (BUMN) berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip bagi perseroan terbatas sebagaimana yang diatur dalam UU Perseroan Terbatas dan ketentuan Pasar Modal bagi BUMN yang telah menjadi perusahaan terbuka ( go public ) . Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id