JDIHN LogoKemenkeu Logo
  • Dokumen Hukum
    • Peraturan
    • Monografi
    • Artikel Hukum
    • Putusan Pengadilan
  • Informasi
    • Regulasi
      • Infografis Regulasi
      • Simplifikasi Regulasi
      • Direktori Regulasi
      • Video Sosialisasi
      • Kamus Hukum
    • Informasi Penunjang
      • Tarif Bunga
      • Kurs Menteri Keuangan
      • Berita
      • Jurnal HKN
      • Statistik
  • Perihal
    • Tentang Kami
    • Struktur Organisasi
    • Anggota JDIHN
    • Prasyarat
    • Kebijakan Privasi
    • FAQ
    • Website Lama
    • Hubungi Kami
  • Situs Lama
JDIHN LogoKemenkeu Logo
  • Situs Lama

Filter

Jenis Dokumen Hukum
Publikasi
Status
Tajuk Entri Utama
Nomor
Tahun
Tema
Label
Tersedia Konsolidasi
Tersedia Terjemahan

FAQ
Prasyarat
Hubungi Kami
Kemenkeu Logo

Hak Cipta Kementerian Keuangan.

  • Gedung Djuanda I Lantai G Jl. Dr. Wahidin Raya No 1 Jakarta 10710
  • Email:jdih@kemenkeu.go.id
  • Situs JDIH Build No. 12763
JDIH Kemenkeu
  • Profil
  • Struktur Organisasi
  • Berita JDIH
  • Statistik
  • Situs Lama
Tautan JDIH
  • JDIH Nasional
  • Sekretariat Negara
  • Sekretariat Kabinet
  • Kemenko Perekonomian
  • Anggota Lainnya
Temukan Kami
Ditemukan 659 hasil yang relevan dengan "insentif pajak untuk pemulihan ekonomi "
Dalam 0.038 detik
Thumbnail
Tidak Berlaku
PENANAMAN MODAL | BIDANG USAHA TERTENTU
16/PMK.010/2020

Pemberian Fasilitas Pengurangan Penghasilan Neto atas Penanaman Modal Baru atau Perluasan Usaha pada Bidang Usaha Tertentu yang Merupakan Industri Pad ...

  • Ditetapkan: 09 Mar 2020
  • Diundangkan: 09 Mar 2020

Relevan terhadap

Pasal 10Tutup

Penanaman Modal yang telah memperoleh:

a.

Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah mengenai fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu;

b.

Fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan; atau

c.

Fasilitas Pajak Penghasilan pada Kawasan Ekonomi Khusus sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai fasilitas dan kemudahan di Kawasan Ekonomi Khusus, tidak dapat diberikan fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Menteri ini.

Pasal 11Tutup

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, terhadap Wajib Pajak dengan izin prinsip, izin investasi, pendaftaran Penanaman Modal yang diterbitkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal/instansi pemerintahan lainnya sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku, atau izin usaha yang diterbitkan oleh Lembaga OSS yang diterbitkan sebelum Peraturan Menteri ini berlaku, dapat diberikan fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Menteri ini, sepanjang:

a.

izin prinsip, izin investasi, dan pendaftaran Penanaman Modal yang diterbitkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal/instansi Pemerintah lainnya sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku, atau izin usaha yang diterbitkan oleh Lembaga OSS tersebut belum pernah diterbitkan keputusan persetujuan atau penolakan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu, Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan badan, atau Fasilitas Pajak Penghasilan pada Kawasan Ekonomi Khusus;

b.

bidang usaha sesuai dengan Lampiran Peraturan Menteri ini;

c.

memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf c;

d.

permohonan diajukan sebelum Saat Mulai Berproduksi Komersial; dan

e.

permohonan diajukan paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Menteri ini berlaku.

Thumbnail
Tidak Berlaku
COVID-19 Covid-19 | COVID 19 DAN PEN Covid 19 dan PEN | BIDANG BEA CUKAI | KAWASAN BERIKAT
31/PMK.04/2020

Insentif Tambahan untuk Perusahaan Penerima Fasilitas Kawasan Berikat dan/atau Kemudahan Impor Tujuan Ekspor untuk Penanganan Dampak Bencana Penyakit ...

  • Ditetapkan: 13 Apr 2020
  • Diundangkan: 13 Apr 2020

Relevan terhadap

MenimbangTutup
a.

bahwa penyebaran penyakit __ virus corona __ ( Coronavirus Disease 2019 /COVID -19) __ telah menjadi pandemi global dan menghambat pertumbuhan ekonomi global yang mengakibatkan gangguan rantai pasok dalam negeri;

b.

bahwa telah terjadi keadaan tertentu berupa bencana dengan adanya penyakit __ virus corona __ ( Coronavirus Disease 2019 /COVID -19) di Indonesia yang perlu diantisipasi dampaknya terhadap industri dalam negeri dan ketersediaan barang di dalam negeri;

c.

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Insentif Tambahan untuk Perusahaan Penerima Fasilitas Kawasan Berikat dan/atau Kemudahan Impor Tujuan Ekspor untuk Penanganan Dampak Bencana Penyakit Virus Corona ( Coronavirus Disease 2019/ COVID -19);

Pasal 1Tutup

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1.

Kawasan Berikat adalah tempat penimbunan berikat untuk menimbun barang impor dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah pabean guna diolah atau digabungkan sebelum diekspor atau diimpor untuk dipakai.

2.

Kemudahan Impor Tujuan Ekspor Pembebasan, yang selanjutnya disebut KITE Pembebasan, adalah pembebasan Bea Masuk, serta Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah terutang tidak dipungut atas impor atau pemasukan barang dan bahan yang berasal dari luar daerah pabean untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor.

3.

Kemudahan Impor Tujuan Ekspor Pengembalian, yang selanjutnya disebut KITE Pengembalian, adalah pengembalian Bea Masuk, yang telah dibayar atas impor atau pemasukan barang dan bahan yang berasal dari luar daerah pabean untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor.

4.

Kemudahan Impor Tujuan Ekspor untuk Industri Kecil Menengah, yang selanjutnya disebut KITE IKM, kemudahan berupa pembebasan Bea Masuk, serta Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terutang tidak dipungut atas impor dan/atau pemasukan barang dan/ atau bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan ekspor dan/atau penyerahan produksi IKM.

5.

Industri Kecil dan Menengah, yang selanjutnya disingkat IKM adalah badan usaha yang melakukan kegiatan ekonomi produktif yang memenuhi kriteria usaha kecil atau usaha menengah sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang usaha mikro, kecil, dan menengah.

6.

Perusahaan KITE Pembebasan adalah badan usaha yang ditetapkan sebagai penerima fasilitas KITE Pembebasan.

7.

Perusahaan KITE Pengembalian adalah badan usaha yang ditetapkan sebagai penerima fasilitas KITE Pengembalian.

8.

Pembatasan Sosial Berskala Besar adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi Corona Virus Diseasae (COVID-19) sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran Corona Virus Diseasae (COVID-19). 9. Perusahaan KITE IKM adalah badan usaha yang memenuhi kriteria industri kecil atau industri menengah dan telah ditetapkan sebagai penerima fasilitas KITE IKM.

10.

Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean sesuai dengan ketentuan undang- undang di bidang kepabeanan dan/atau cukai.

Thumbnail
Tidak Berlaku
COVID-19 Covid-19 | BIDANG PAJAK | FASILITAS PAJAK
28/PMK.03/2020

Pemberian Fasilitas Pajak Terhadap Barang dan Jasa yang Diperlukan dalam Rangka Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 ...

  • Ditetapkan: 06 Apr 2020
  • Diundangkan: 06 Apr 2020

Relevan terhadap

Pasal 1Tutup

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1.

Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPN, adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

2.

Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPh, adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

3.

Pajak Pertambahan Nilai, yang selanjutnya disingkat PPN, adalah Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPN.

4.

Pajak Penghasilan, yang selanjutnya disingkat PPh, adalah Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang PPh.

5.

Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

6.

Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN.

7.

Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN.

8.

Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN.

9.

Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara diatasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang didalamnya berlaku Undang-Undang Kepabeanan.

10.

Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

11.

Surat Keterangan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, yang selanjutnya disebut SKJLN, adalah surat keterangan yang menyatakan bahwa Wajib Pajak melakukan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

12.

Kantor Pelayanan Pajak, yang selanjutnya disebut KPP, adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak.

13.

Pihak Tertentu adalah pihak yang menerima insentif perpajakan.

14.

Badan/Instansi Pemerintah adalah badan/instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah, yang ditunjuk untuk melakukan penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

15.

Rumah Sakit adalah rumah sakit yang ditunjuk sebagai rumah sakit rujukan untuk penanganan pasien pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

16.

Pihak Lain adalah pihak selain Badan/Instansi Pemerintah atau Rumah Sakit yang ditunjuk oleh Badan/Instansi Pemerintah atau Rumah Sakit untuk membantu penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

17.

Pihak Ketiga adalah pihak yang bertransaksi dengan Badan/Instansi Pemerintah, Rumah Sakit atau Pihak Lain untuk penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

18.

Saluran Tertentu adalah saluran yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai sarana layanan pengajuan permohonan perpajakan tanpa tatap muka melalui email resmi masing-masing KPP yang diumumkan melalui akun media sosial KPP atau di laman www.pajak.go.id/unit-kerja.

Pasal 2Tutup
(1)

Insentif PPN diberikan kepada Pihak Tertentu atas impor atau perolehan Barang Kena Pajak, perolehan Jasa Kena Pajak, dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang diperlukan dalam rangka penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dalam Masa Pajak April 2020 sampai dengan Masa Pajak September 2020.

(2)

Pihak Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1): meliputi:

a.

Badan/Instansi Pemerintah;

b.

Rumah Sakit; atau

c.

Pihak Lain.

(3)

Barang Kena Pajak yang diperlukan dalam rangka penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:

a.

obat-obatan;

b.

vaksin;

c.

peralatan laboratorium;

d.

peralatan pendeteksi;

e.

peralatan pelindung diri;

f.

peralatan untuk perawatan pasien; dan/atau

g.

peralatan pendukung lainnya yang dinyatakan untuk keperluan penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

(4)

Jasa Kena Pajak yang diperlukan dalam rangka penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:

a.

jasa konstruksi;

b.

jasa konsultasi, teknik, dan manajemen;

c.

jasa persewaan; dan/atau

d.

jasa pendukung lainnya yang dinyatakan untuk keperluan penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

(5)

PPN yang terutang atas:

a.

impor Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) oleh Pihak Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak dipungut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

b.

penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) oleh Pengusaha Kena Pajak kepada Pihak Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditanggung pemerintah; dan

c.

pemanfaatan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean oleh Pihak Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditanggung pemerintah.

(6)

Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b, termasuk juga penyerahan berupa pemberian cuma- cuma.

(7)

Dalam hal Pihak Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan impor Barang Kena Pajak yang digunakan untuk kegiatan pemanfaatan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, impor Barang Kena Pajak tersebut tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai sepanjang Pihak Tertentu dimaksud memiliki SKJLN sebelum melakukan impor, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Thumbnail
KEPUTUSAN/PERATURAN MENTERI KEUANGAN | PENCABUTAN
213/PMK.03/2018

Pencabutan Keputusan Menteri Keuangan dan Peraturan Menteri Keuangan di Bidang Pajak Penghasilan

  • Ditetapkan: 31 Des 2018
  • Diundangkan: 31 Des 2018

Relevan terhadap

Pasal 1Tutup
a.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 957/KMK.04/1983 tentang Penentuan Bidang-Bidang Tertentu yang Memberikan Penghasilan Kepada Dana Pensiun yang Tidak Termasuk Sebagai Obyek Pajak dari Pajak Penghasilan se bagaimana tel ah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1228/KMK.011/ 1984 tentang Penyempurnaan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 957 /KMK.04 / 1983 tentang Penentuan Bidang-Bidang Tertentu yang Memberikan Penghasilan Kepada Dana Pensiun yang Tidak Termasuk Sebagai Obyek Pajak dari Pajak Penghasilan;

b.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 965/KMK.04/ 1983 tentang Badan-Badan Tertentu yang Ditetapkan Sebagai Pemungut Pajak atas Penghasilan dari Wajib Pajak yang Melakukan Kegiatan U saha, Dasar Pemungutan, Tarif, serta Tata Cara Pelaksanaannya;

c.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 456/KMK.012/1984 tentang Tata Cara Perhitungan dan Penyetoran Kewajiban Pertamina Kepada Pemerintah atas Hasil Operasi Pertamina Sendiri;

d.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 458/KMK.012/ 1984 tentang Tata Cara Perhitungan dan Pembayaran Pajak Penghasilan yang Terutang oleh Kontraktor yang Mengadakan Kontrak Production Sharing Dalam Eksplorasi dan Eksploitasi Minyak dan Gas Bumi dengan Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina) sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 815/KMK.012/ 1985 tentang Penyempurnaan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 458/KMK.012/1984 tentang Tata Cara Perhitungan dan Pembayaran Pajak Penghasilan yang Terutang oleh Kontraktor Yang Mengadakan Kontrak Production Sharing Dalam Eksplorasi dan Eksploitasi Minyak dan Gas Bumi dengan Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina);

e.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 714/KMK.04/ 1984 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Kena Pajak dari Wajib Pajak Badan yang Melakukan Kegiatan U saha di Bidang Penge boran Min yak dan Gas Bumi serta Angsuran Pajak Dalam Tahun Berjalan oleh Wajib Pajak Sendiri;

f.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 715/KMK.04/ 1984 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Kena Pajak Sebagai Dasar Penghitungan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pekerja Tenaga Asing yang Bekerja pada Wajib Pajak Badan Pengeboran Minyak dan Gas Bumi di Indonesia;

g.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 84/KMK.04/ 1986 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Badan yang Melakukan Kegiatan U saha di Bidang Penge boran Min yak dan Gas Bumi serta Angsuran Pajak Dalam Tahun Berjalan oleh Wajib Pajak Sendiri;

h.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 356/KMK.04/ 1986 tentang Pelaksanaan Pemotongan Pajak Penghasilan atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan dari Tenaga Ahli atau Persekutuan Tenaga Ahli Sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri Berupa Honorarium atau Pembayaran Lain Sebagai Imbalan atas Jasa Profesi yang Dilakukan di Indonesia;

1.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 759 /KMK.04 / 1986 tentang Besarnya Peredaran Usaha atau Penerimaan Bruto Pekerjaan Bebas bagi Wajib Pajak yang Dapat Menggunakan Norma Penghitungan; J. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 828/KMK.04/1986 tentang Pelaksanaan Pemberian Surat Keterangan Fiskal Luar Negeri;

k.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 830/KMK.04/ 1986 tentang Pembebasan dari Pemilikan Surat Keterangan Fiskal Luar Negeri (SKFLN) bagi Warga Negara Indonesia yang Bertempat Tinggal Tetap di Luar Wilayah Republik Indonesia; I. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 914/KMK.04/ 1986 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1986 tentang Penyesuaian Harga atau Nilai Perolehan Harta Berkenaan dengan Perubahan Nilai Tukar Rupiah;

m.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1442/KMK.04/ 1988 tentang Pengembalian Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito Berjangka, Sertifikat Deposito dan Tabungan;

n.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 78/KMK.01/ 1990 tentang Faktor Penyesuaian Tahun 1989 untuk Penghitungan Pajak Penghasilan;

o.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 747/KMK.04/1990 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan bagi Investasi di Wilayah Tertentu;

p.

Keputusan Menteri Keuangan 770/KMK.04/ 1990 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Biaya Latihan Karyawan, Pemagangan dan Bea Siswa;

q.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1075/KMK.04/ 1992 tentang Faktor Penghasilan dari Tahun 1992; Penyesuaian Penjualan untuk Penghitungan atau Pengalihan Harta r. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 632/KMK.04/ 1993 tentang Faktor Penyesuaian untuk Penghitungan Penghasilan dari Penjualan atau Pengalihan Harta Tahun 1993;

s.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 795/KMK.04/1993 tentang Besarnya Faktor Penyesuaian Peredaran Usaha atau Penerimaan Bruto Pekerjaan Bebas bagi Wajib Pajak yang Dapat Menggunakan Norma Penghitungan;

t.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 928/KMK.04/1993 tentang Faktor Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak;

u.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 422/KMK.04/ 1994 tentang Faktor Penyesuaian untuk Penghitungan Pajak Penghasilan dari Penjualan atau Pengalihan Harta Tahun 1994;

v.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 604/KMK.04/1994 ten tang Badan-Badan dan Pengusaha Kecil yang Menerima Harta Hibahan yang Tidak Termasuk Sebagai Objek Pajak Penghasilan;

w.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 649/KMK.04/1994 tentang Organisasi Internasional yang Tidak Berkewajiban Memotong Pajak Penghasilan Pasal 21 dan Pasal 26 Ayat (1) Huruf d;

x.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 505/KMK.04/ 1995 tentang Pegangan Penyusunan Norma Penghitungan Peredaran Bruto dan Norma Penghitungan Penghasilan Neto;

y.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 61/KMK.016/1996 tentang Bantuan Badan Usaha Milik Negara untuk Pembinaan Keluarga Pra Sejahtera dan Keluarga Sej ah tera I;

z.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 597/KMK.04/1997 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Terhadap Selisih Kurs Valuta Asing Dalam Tahun 1997;

aa. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 44/KMK.04/1998 tentang Pajak Penghasilan yang Ditanggung Pemerintah atas Penghasilan Wajib Pajak Badan untuk Usaha Industri Tertentu Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1996 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 358/KMK.04/ 1999 tentang Perubahan atas KMK 44/KMK.04/1998 tentang Pajak Penghasilan yang Ditanggung Pemerintah atas Penghasilan Wajib Pajak Badan untuk Usaha Industri Tertentu Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1996;

ab. Keputusan Menteri Keuangan 361/KMK.04/1998 tentang Faktor Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak;

ac. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 83/KMK.04/ 1999 tentang Penyusutan atas Harta Berwujud yang Dimiliki dan Digunakan Kontraktor yang Melakukan Kontrak bagi Hasil di Bidang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi di Wilayah Kerjasama Zona A Celah Timor;

ad. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 391/KMK.04/2000 tentang Pelabuhan atau Tempat Pemberangkatan ke Luar Negeri Dalam Daerah Kerjasama Ekonomi Sub Regional ASEAN yang Dikecualikan dari Kewajiban Pembayaran Pajak Penghasilan Orang Pribadi yang Akan Bertolak ke Luar Negeri Dalam Kawasan Kerjasama Ekonomi Sub Regional ASEAN sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 499/KMK.03/2003 tentang Perubahan Kedua atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 391/KMK.04/2000 tentang Pelabuhan atau Tempat Pemberangkatan ke Luar Negeri Dalam Daerah Kerjasama Ekonomi Sub Regional ASEAN yang Dikecualikan dari Kewajiban Pembayaran Pajak Penghasilan Orang Pribadi yang Akan Bertolak ke Luar Negeri Dalam Kawasan Kerjasama Ekonomi Sub Regional ASEAN;

ae. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 571/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan kepada Wajib Pajak yang Melakukan Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah- daerah Tertentu;

af. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 113/KMK.03/2001 tentang Pemberian Keringanan Pajak Penghasilan Kepada Wajib Pajak yang Melakukan Restrukturisasi /() Utang Usaha Melalui Lembaga Khusus yang Dibentuk Pemerintah;

ag. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 486/KMK.03/2003 tentang Pajak Penghasilan yang Ditanggung oleh Pemerintah atas Penghasilan Pekerja dari Pekerjaan;

ah. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 609/PMK . 03/2004 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Bantuan Kemanusiaan Bencana Alam di Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara;

ai. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 14/PMK.03/2005 tentang Persyaratan Sumbangan serta Tata Cara Pendaftaran dan Pelaporan oleh Penampung, Penyalur, dan/atau Pengelola Sumbangan Dalam Rangka Bantuan Kemanusiaan Bencana Alam di Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara; aJ. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137 /PMK.03/2005 ten tang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak;

ak. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.03/2006 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Bantuan Kemanusiaan Bencana Alam Gempa Bumi di Provinsi Daerah lstimewa Yogyakarta dan Sebagian Provinsi Jawa Tengah serta Gempa Bumi dan Tsunami di Pesisir Pantai Selatan Pulau Jawa;

al. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.03/2006 tentang Persyaratan Sumbangan serta Tata Cara Pendaftaran dan Pelaporan oleh Penampung, Penyalur, dan/atau Pengelola Sumbangan Dalam Rangka Bantuan Kemanusiaan Bencana Alam Gempa Bumi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Sebagian Provinsi Jawa Tengah Serta Gempa Bumi dan Tsunami di Pesisir Pantai Selatan Pulau Jawa;

am. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 01/PMK.03/2007 tentang Penyesuaian Besarnya Peredaran Bruto bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang Boleh Menghitung Penghasilan Neto dengan Menggunakan Penghitungan Penghasilan Neto; dan Norma I www.jdih.kemenkeu.go.id an. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.011/2013 tentang Pengurangan Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Penundaan Pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 Tahun 2013 bagi Wajib Pajak Industri Tertentu (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 1066), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Thumbnail
BARANG IMPOR | TARIF BEA MASUK
72/PMK.04/2021

Tata Cara Pengenaan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor Berdasarkan Memorandum Saling Pengertian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Ne ...

  • Ditetapkan: 23 Jun 2021
  • Diundangkan: 24 Jun 2021

Relevan terhadap

Pasal 1Tutup

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1.

Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang Kepabeanan.

2.

Kawasan yang Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disebut Kawasan Bebas adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari Daerah Pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan cukai.

3.

Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disingkat KEK adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu.

4.

Tempat Penimbunan Berikat yang selanjutnya disingkat TPB adalah bangunan, tempat, atau kawasan, yang memenuhi persyaratan tertentu yang digunakan untuk menimbun barang dengan tujuan tertentu dengan mendapatkan penangguhan bea masuk.

5.

Pusat Logistik Berikat yang selanjutnya disingkat PLB adalah TPB untuk menimbun barang asal luar Daerah Pabean dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah pabean, dapat disertai dengan __ 1 (satu) atau lebih kegiatan sederhana dalam jangka waktu tertentu untuk dikeluarkan kembali.

6.

Tempat Lain Dalam Daerah Pabean yang selanjutnya __ disingkat TLDDP adalah Daerah Pabean selain Kawasan Bebas dan TPB.

7.

Importir adalah orang perseorangan atau badan hukum yang melakukan kegiatan memasukkan barang ke dalam Daerah Pabean.

8.

Penyelenggara/Pengusaha TPB adalah:

a.

penyelenggara kawasan berikat;

b.

penyelenggara kawasan berikat sekaligus pengusaha kawasan berikat;

c.

pengusaha di kawasan berikat merangkap penyelenggara di kawasan berikat;

d.

penyelenggara gudang berikat;

e.

penyelenggara gudang berikat sekaligus pengusaha gudang berikat; atau

f.

pengusaha di gudang berikat merangkap penyelenggara di gudang berikat.

9.

Penyelenggara/Pengusaha PLB adalah:

a.

penyelenggara PLB;

b.

penyelenggara PLB sekaligus pengusaha PLB; atau

c.

pengusaha di PLB merangkap sebagai penyelenggara di PLB.

10.

Badan Usaha/Pelaku Usaha KEK adalah:

a.

Badan Usaha KEK;

b.

Pelaku Usaha di KEK; atau

c.

Badan Usaha KEK sekaligus Pelaku Usaha di KEK.

11.

Tarif Preferensi adalah tarif bea masuk berdasarkan Memorandum Saling Pengertian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Negara Palestina tentang Fasilitasi Perdagangan untuk Produk Tertentu yang Berasal dari Wilayah Palestina yang besarannya ditetapkan dalam Peraturan Menteri mengenai penetapan tarif bea masuk dalam rangka Fasilitasi Perdagangan untuk Produk Tertentu yang Berasal dari Wilayah Palestina.

12.

PPFTZ dengan Kode 01 yang selanjutnya disebut PPFTZ- 01 adalah pemberitahuan pabean untuk pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas dari dan ke luar Daerah Pabean, dan pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke TLDDP.

13.

Harmonized Commodity Description and Coding System yang selanjutnya disebut Harmonized System (HS) adalah standar internasional atas sistem penamaan dan penomoran yang digunakan untuk pengklasifikasian produk perdagangan dan turunannya yang dikelola oleh World Customs Organization (WCO).

14.

Penelitian Ulang adalah penelitian kembali atas tarif dan/atau nilai pabean yang diberitahukan dalam dokumen pemberitahuan pabean impor dan penelitian kembali atas tarif, harga, jenis, dan/atau jumlah barang yang diberitahukan dalam dokumen pemberitahuan pabean ekspor melalui pengujian dengan data, informasi dan dokumen lain terkait.

15.

Audit Kepabeanan adalah kegiatan pemeriksaan laporan keuangan, buku, catatan, dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik, surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan, dan/atau sediaan barang dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.

16.

Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean sesuai dengan Undang-Undang Kepabeanan.

17.

Sistem Komputer Pelayanan yang selanjutnya disingkat SKP adalah sistem komputer yang digunakan oleh Kantor Pabean dalam rangka pengawasan dan pelayanan kepabeanan.

18.

Ketentuan Asal Barang __ ( Rules of Origin ) yang selanjutnya disebut Ketentuan Asal Barang adalah ketentuan khusus yang ditetapkan berdasarkan Memorandum Saling Pengertian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Negara Palestina tentang Fasilitasi Perdagangan untuk Produk Tertentu yang Berasal dari Wilayah Palestina untuk menentukan negara asal barang.

19.

Negara Anggota adalah negara yang menandatangani Memorandum Saling Pengertian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Negara Palestina tentang Fasilitasi Perdagangan untuk Produk Tertentu yang Berasal dari Wilayah Palestina.

20.

Bahan Originating adalah bahan yang memenuhi Ketentuan Asal Barang berdasarkan __ Memorandum Saling Pengertian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Negara Palestina tentang Fasilitasi Perdagangan untuk Produk Tertentu yang Berasal dari Wilayah Palestina.

21.

Barang Originating adalah barang yang memenuhi Ketentuan Asal Barang berdasarkan __ Memorandum Saling Pengertian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Negara Palestina tentang Fasilitasi Perdagangan untuk Produk Tertentu yang Berasal dari Wilayah Palestina.

22.

Bahan Non-Originating adalah bahan yang berasal dari luar Wilayah Palestina atau bahan yang tidak memenuhi Ketentuan Asal Barang berdasarkan __ Memorandum Saling Pengertian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Negara Palestina tentang Fasilitasi Perdagangan untuk Produk Tertentu yang Berasal dari Wilayah Palestina.

23.

Aturan Khusus Produk ( Product Specific Rules ) yang selanjutnya disebut PSR adalah aturan yang merinci mengenai:

a.

barang yang seluruhnya diperoleh atau diproduksi di Wilayah Palestina ( wholly obtained atau produced );

b.

proses produksi suatu barang yang menggunakan Bahan Non-Originating, dan Bahan Non-Originating tersebut harus mengalami perubahan klasifikasi atau Change in Tariff Classification (CTC);

c.

barang yang proses produksinya menggunakan Bahan Non-Originating yang memenuhi kriteria kandungan sejumlah nilai tertentu yang dinyatakan dalam persentase;

d.

barang yang mengalami suatu proses pabrikasi atau proses operasional tertentu; atau

e.

kombinasi dari setiap kriteria tersebut.

24.

Instansi Penerbit Surat Keterangan Asal yang selanjutnya disebut Instansi Penerbit SKA adalah instansi pemerintah atau institusi yang ditunjuk pemerintah di Negara Anggota pengekspor yang diberi kewenangan untuk menerbitkan SKA Form P atas barang yang akan diekspor.

25.

Surat Keterangan Asal ( Certificate of Origin ) Memorandum Saling Pengertian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Negara Palestina tentang Fasilitasi Perdagangan untuk Produk Tertentu yang Berasal dari Wilayah Palestina yang selanjutnya disebut SKA Form P adalah dokumen pelengkap pabean yang diterbitkan oleh Instansi Penerbit SKA yang akan digunakan sebagai dasar pemberian Tarif Preferensi.

26.

Overleaf Notes adalah halaman sebalik SKA Form P yang berisi ketentuan mengenai pengisian SKA Form P dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari SKA Form P.

27.

Dokumen Pelengkap Pabean adalah semua dokumen yang digunakan sebagai pelengkap pemberitahuan pabean, misalnya invoice, packing list, bill of lading / airway bill, manifest , dan dokumen lainnya yang dipersyaratkan.

28.

Surat Keterangan Asal Elektronik Form D yang selanjutnya disebut e-Form D adalah SKA Form D yang disusun sesuai dengan e- ATIGA Form D Process Specification and Message Implementation Guideline, dan dikirim secara elektronik antar Negara Anggota.

29.

Invoice dari Negara/Pihak Ketiga __ yang selanjutnya disebut Third Country Invoice / Third Party Invoice adalah invoice yang diterbitkan oleh perusahaan lain yang berlokasi di Negara/pihak ketiga (baik Negara Anggota atau selain Negara Anggota) atau yang berlokasi di negara yang sama dengan negara tempat diterbitkannya SKA.

30.

Surat Keterangan Asal Back - to - Back yang selanjutnya disebut SKA Back-to-Back adalah SKA yang diterbitkan oleh Negara Anggota pengekspor kedua berdasarkan SKA yang diterbitkan oleh Negara Anggota pengekspor pertama.

31.

Tanggal Pengapalan atau Tanggal Eksportasi adalah tanggal bill of lading untuk moda pengangkutan laut, tanggal airway bill untuk moda pengangkutan udara, atau tanggal dokumen pengangkutan darat untuk moda pengangkutan darat.

32.

Permintaan Retroactive Check adalah permintaan yang dilakukan oleh pejabat bea dan cukai kepada Instansi Penerbit SKA untuk mendapatkan informasi mengenai __ pemenuhan Ketentuan Asal Barang dan/atau keabsahan SKA Form P.

33.

Verification Visit adalah kegiatan yang dilakukan oleh pejabat bea dan cukai di Negara Anggota penerbit SKA Form P untuk memperoleh data atau informasi mengenai pemenuhan __ Ketentuan Asal Barang dan/atau keabsahan SKA Form P.

34.

Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.

35.

Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.

36.

Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan.

Thumbnail
HUKUM KEUANGAN NEGARA | BIDANG PERBENDAHARAAN
PMK 173 TAHUN 2023

Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pusat

  • Ditetapkan: 29 Des 2023
  • Diundangkan: 29 Des 2023
Thumbnail
Tidak Berlaku
HUKUM KEUANGAN NEGARA | BIDANG UMUM
118/PMK.01/2021

Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan

  • Ditetapkan: 08 Sep 2021
  • Diundangkan: 09 Sep 2021

Relevan terhadap 1 lainnya

Pasal 727Tutup

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 726, Subdirektorat Intelijen Penggalian Potensi menyelenggarakan fungsi:

a.

penyiapan dan penyaJian bahan sebagai sarana penggalian potensi perpajakan;

b.

pengelolaan, pengkoordinasian, dan pengawalan kegiatan extra effort penggalian potensi penerimaan pajak;

c.

pelaksanaan analisis dan pemetaan potensi pajak berbasis analisis ekonomi secara makro maupun mikro;

d.

pelaksanaan analisis proses bisnis dan modus ketidakpatuhan wajib pajak;

e.

pelaksanaan validasi dan optimalisasi pemanfaatan data perpajakan internal dan eksternal Direktorat Jenderal Pajak;

f.

pemberian rekomendasi untuk peningkatan kualitas data perpajakan internal dan eksternal Direktorat Jenderal Pajak;

g.

pelaksanaan evaluasi atas penggalian potensi perpajakan; dan h. penyiapan bahan dan intelijen di lapangan penelaahan usulan kegiatan dalam rangka pengawasan kepatuhan wajib pajak, analisis ekonomi, proses bisnis, dan modus ketidakpatuhan wajib pajak.

Pasal 249Tutup
(1)

Seksi Analisis Ekonomi Makro mempunyai tugas melakukan analisis kebijakan clan prospek perkembangan ekonomi makro, analisis sensitivitas dampak ekonomi makro terhadap Anggaran Pendapatan clan Belanja Negara, clan pengelolaan data dan model dampak ekonomi makro dalam penyusunan dokumen-dokumen Anggaran Pendapatan clan Belanja Negara dan Rancangan Undang- Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

(2)

Seksi Analisis Penerimaan Perpajakan dan Hibah mempunyai tugas melakukan analisis kebijakan, perkembangan realisasi, sasaran penerimaan perpajakan, hibah, sensitivitas perpajakan, pemantauan, evaluasi, clan pengelolaan data dan model penerimaan perpajakan clan hibah dalam penyusunan dokumen-dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Rancangan Undang- Undang Anggaran Pendapatan clan Belanja Negara.

(3)

Seksi Analisis Penerimaan Negara Bukan Pajak mempunyai tugas melakukan analisis kebijakan, perkembangan realisasi, sasaran Penerimaan Negara Bukan Pajak, sensitivitas Penerimaan Negara Bukan Pajak, serta pemantauan, evaluasi, clan pengelolaan data clan model Penerimaan Negara Bukan Pajak dalam penyusunan dokumen-dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan clan Belanja Negara.

(4)

Seksi Analisis clan Konsolidasi Penyusunan Postur Anggaran Pendapatan clan Belanja Negara mempunyai tugas melakukan analisis perkembangan kondisi fiskal clan kerangka Anggaran Pendapatan clan Belanja Negara (postur Anggaran Pendapatan clan Belanja Negara), pemantauan clan evaluasi atau pemantauan dini Anggaran Pendapatan clan Belanja Negara, dan koordinasi pengolahan data Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara clan data fiskal lainnya dalam Proyeksi Postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk keperluan penyusunan dokumen-dokumen Anggaran Pendapatan clan Belanja Negara clan Rancangan Undang- Undang Anggaran Pendapatan clan Belanja Negara.

Pasal 1970Tutup
(1)

Selain melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1969:

a.

Staf Ahli Bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Pajak, Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak, clan Staf Ahli Bidang Pengawasan Pajak, ditugaskan untuk membantu Direktur Jenderal Pajak dalam mengoordinasikan dan memimpin pelaksanaan tugas clan fungsi di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak;

b.

Staf Ahli Bidang Penerimaan Negara, Staf Ahli Bidang Pengeluaran Negara, Staf Ahli Bidang Ekonomi Makro clan Keuangan Internasional, Staf Ahli Bidang Jasa Keuangan clan Pasar Modal, Staf Ahli Bidang Organisasi, Birokrasi, dan Teknologi Informasi, dan Staf Ahli Bidang Hukum dan Hubungan Kelembagaan, dapat ditugaskan untuk membantu Pim pinan Unit Eselon I di lingkungan Kernen terian Keuangan dalam mengoordinasikan pelaksanaan tugas.

(2)

Pengaturan lebih lanjut mengenai penugasan clan tata kerja Staf Ahli Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Menteri Keuangan.

Thumbnail
ANALIS ANGGARAN | STANDAR KOMPETENSI
103/PMK.02/2017

Standar dan Uji Kompetensi Serta Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Fungsional Analis Anggaran.

  • Ditetapkan: 18 Jul 2017
  • Diundangkan: 18 Jul 2017

Relevan terhadap

Pasal 6Tutup
(1)

Kompetensi Teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a terdiri atas unit kompetensi yang meliputi kemampuan untuk:

a.

menerapkan prinsip-prinsip penganggaran dalam pengelolaan APBN;

b.

melakukan analisis bahan dan materi penyusunan dokumen APBN;

c.

melakukan analisis perkembangan APBN dan indikator ekonomi makro;

d.

menyajikan dan merekomendasikan opsi-opsi terbaik dalam penentuan postur APBN;

e.

menyusun mekanisme dan model perhitungan APBN dan indikator ekonomi makro;

f.

melakukan analisis alokasi pagu Kementerian Negara/Lembaga dan Bendahara Umum Negara;

g.

menyusun dokumen penganggaran;

h.

menelaah dokumen penganggaran;

i.

melakukan monitoring dan evaluasi kinerja penganggaran aspek implementasi;

j.

melakukan evaluasi kinerja penganggaran aspek konteks dan manfaat;

k.

melakukan analisis perencanaan Penerimaan Negara Bukan Pajak;

l.

melakukan analisis pelaksanaan Penerimaan Negara Bukan Pajak;

m.

melakukan analisis monitoring, evaluasi dan rekomendasi pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak;

n.

merumuskan/mengharmonisasikan peraturan/ kebijakan penganggaran;

o.

merumuskan efisiensi biaya dalam penganggaran;

p.

melakukan analisis dampak peraturan/kebijakan penganggaran;

q.

melakukan kajian di bidang penganggaran; dan

r.

melakukan bimbingan teknis di bidang Penganggaran.

(2)

Kompetensi Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf g, huruf h, huruf i, huruf q, dan huruf r berlaku untuk jenjang Analis Anggaran Pertama/Ahli Pertama.

(3)

Kompetensi Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf f, huruf k, dan huruf l berlaku untuk jenjang Analis Anggaran Muda/Ahli Muda.

(4)

Kompetensi Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, huruf j, huruf m, huruf n, dan huruf o berlaku untuk jenjang Analis Anggaran Madya/Ahli Madya.

(5)

Kompetensi Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan huruf p berlaku untuk jenjang Analis Anggaran Utama/Ahli Utama.

(6)

Pemetaan, daftar unit, format, pemaketan, dan uraian unit Kompetensi Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Thumbnail
Tidak Berlaku
HUKUM KEUANGAN NEGARA | BIDANG PERIMBANGAN KEUANGAN
207/PMK.07/2020

Tata Cara Penundaan Penyaluran Dana Transfer Umum atas Pemenuhan Kewajiban Pemerintah Daerah untuk Mengalokasikan Belanja Wajib ...

  • Ditetapkan: 18 Des 2020
  • Diundangkan: 21 Des 2020

Relevan terhadap

Pasal 3Tutup
(1)

Belanja pendidikan sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (2) huruf a paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari total Belanja Daerah yang dianggarkan dalam APBD dan/atau perubahan APBD tahun anggaran berkenaan.

(2)

Belanja kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari total Belanja Daerah tidak termasuk belanja gaji yang dianggarkan dalam APBD dan/atau perubahan APBD tahun anggaran berkenaan atau persentase tertentu yang ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3)

Belanja gaji sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa gaji pokok dan tunjangan yang melekat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4)

Belanja Wajib yang Bersumber dari DTU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c ditetapkan paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) atau persentase yang ditetapkan dalam Undang-Undang mengenai APBN tahun anggaran berkenaan.

(5)

DTU sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sebesar DTU yang dianggarkan dalam APBN atau perubahan APBN tahun anggaran berkenaan.

(6)

DTU sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikurangi dengan:

a.

DBH Cukai Hasil Tembakau;

b.

DBH Sumber Daya Alam Kehutanan Dana Reboisasi; dan c. ADD.

(7)

Belanja Wajib yang Bersumber dari DTU sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa belanja yang langsung untuk mendukug program pemulihan ekonomi daerah yang terkait dengan pembangunan infrastruktur untuk percepatan penyediaan sarana dan prasarana layanan publik dan ekonomi dalam rangka meningkatkan kesempatan kerja, mengurangi kemiskinan, dan mengurangi kesenjangan penyediaan layanan publik antarDaerah termasuk pembangunan sumber daya manusia dukungan pendidikan.

(8)

ADD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari DTU yang dialokasikan kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota yang memiliki desa atau persentase tertentu yang di tetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

(9)

Ketentuan mengenai tata cara penundaan dan/atau pemotongan DTU terhadap Daerah yang tidak memenuhi ADD sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan tersendiri.

Thumbnail
HUKUM KEUANGAN NEGARA | BIDANG ANGGARAN
PMK 39 TAHUN 2024

Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2025

  • Ditetapkan: 31 Mei 2024
  • Diundangkan: 05 Jul 2024
  • 1
  • ...
  • 27
  • 28
  • 29
  • ...
  • 66