Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia Ke dalam Modal Perusahaan Umum (Perum) Jaminan Kredit Indonesia. ...
Relevan terhadap
bahwa untuk memperkuat struktur permodalan dan meningkatkan kapasitas usaha Perusahaan Umum (Perum) Jaminan Kredit Indonesia dalam rangka pelaksanaan penjaminan kredit usaha rakyat bagi kelangsungan dan perkembangan kegiatan sektor riil oleh usaha mikro, kecil, dan menengah serta koperasi guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, perlu melakukan penambahan penyertaan modal Negara Republik Indonesia ke dalam modal Perusahaan Umum (Perum) Jaminan Kredit Indonesia yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2011;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia Ke Dalam Modal Perusahaan Umum (Perum) Jaminan Kredit Indonesia; Mengingat 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70 , Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4297);
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2011 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5167) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2011 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 81, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5233);
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4555);
Tata Cara Revisi Anggaran Tahun Anggaran 2019
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1 . Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. 2 . Revisi Anggaran adalah perubahan rincian anggaran yang telah ditetapkan berdasarkan APBN Tahun Anggaran 3. 20 1 9 dan disahkan dalarn Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Tahun Anggaran 20 1 9 . Kernen terian Kernenterian Negara adalah yang selanjutnya disebut perangkat Pernerintah yang rnernbidangi urusan tertentu dalarn pernerintahan. 4 . Lernbaga adalah orgamsas1 non-Kernenterian dan instansi lain pengguna anggaran yang dibentuk untuk rnelaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1 945 atau peraturan perundang-undangan lainnya.
Bagian Anggaran Bendahara Urnurn Negara yang selanjutnya disingkat BA BUN adalah bagian anggaran yang tidak dikelornpokkan dalarn bagian anggaran Kernenterian/ Lernbaga.
Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pernegang kewenangan penggunaan anggaran Kernenterian / Lernbaga.
Pernbantu Pengguna Anggaran Bendahara Urnurn Negara yang selanjutnya disingkat PPA BUN adalah unit organisasi di lingkungan Kernen terian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN.
Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang rnernperoleh kuasa dari PA untuk rnelaksanakan sebagian kewenangan tanggung jawab penggunaan anggaran Kernenterian/ Lernbaga yang bersangkutan. dan pada 9 . Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Urnurn Negara yang selanjutnya disingkat KPA BUN adalah pejabat pada satuan kerja dari rnasing-rnasing PPA BUN baik di kantor pusat rnaupun kantor daerah atau satuan kerja di Kernenterian/ Lernbaga yang rnernperoleh penugasan dari Menteri Keuangan untuk rnelaksanakan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN.
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disebut DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh PA/ KPA. 1 1 . DIPA Petikan adalah DIPA per satuan kerja yang dicetak secara otomatis melalui sistem, yang berisi mengenai informasi kinerja, nncian pengeluaran, rencana penarikan dana dan perkiraan penerimaan, dan catatan, yang berfungsi se bagai dasar dalam pelaksanaan kegiatan satuan kerja. 1 2 . Pagu Anggaran adalah alokasi anggaran yang ditetapkan dalam DIPA untuk mendanai belanja pemerintah pusat dan/atau pembiayaan anggaran dalam APBN Tahun Anggaran 20 1 9 . 1 3 . Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/ Lembaga yang selanjutnya disingkat RKA-K/ L adalah dokumen rencana keuangan tahunan Kernen terian/ Lembaga yang disusun menurut bagian anggaran Kementerian/ Lembaga. 1 4 . Rencana Kerja dan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKA BUN adalah dokumen perencanaan anggaran BA BUN yang memuat rmcian kebutuhan dana baik yang berbentuk anggaran belanja maupun pembiayaan untuk pemenuhan kewajiban pemerintah pusat dan transfer ke daerah dan dana desa tahunan yang disusun oleh KPA BUN. 1 5. Satuan Kerja yang selanjutnya disebut Satker adalah bagian dari suatu unit organisasi pada Kementerian/ Lembaga yang melaksanakan 1 (satu) atau beberapa program/kegiatan dan membebani dana APBN.
Penelaahan Revisi Anggaran adalah forum antara Kementerian Keuangan dan Kementerian/ Lembaga untuk memastikan kesesuaian usulan perubahan anggaran dengan pencapaian target-target yang telah ditetapkan dalam dokumen rencana kerja pemerintah, rencana kerja Kementerian/ Lembaga, dan RKA-K/ L DIPA beserta alokasi anggarannya. 1 7. Kesesuaian adalah keterkaitan atal.l relevansi antara objek dengan instrumen yang digunakan. 1 8 . Daftar Hasil Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/ Lembaga yang selanjutnya disingkat DHP RKA-K/L adalah dokumen yang berisi rangkuman RKA-K/ L per unit eselon I dan program dalam suatu Kementerian/ Lembaga yang ditetapkan berdasarkan hasil penelaahan. 1 9 . Daftar Hasil Penelaahan Rencana Dana Pengeluaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat DHP RDP BUN adalah dokumen hasil penelaahan RDP BUN yang memuat alokasi anggaran menurut unit orgamsas1, fungsi, dan program yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Anggaran atau pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Anggaran.
Rumusan Kinerja adalah rumusan yang ditetapkan sebagai acuan dalam pelaksanaan program dan kegiatan termasuk sasaran kinerja yang akan dicapai serta indikator sebagai alat ukur pencapaian kinerja meliputi rumusan program, hasil (outcome), kegiatan, keluaran (output) , indikator kinerja utama, dan indikator kinerja kegiatan. 2 1 . Program adalah penjabaran dari kebijakan sesuai dengan visi dan misi Kementerian/ Lembaga yang rumusannya mencerminkan tugas dan fungsi unit eselon I atau unit Kementerian/ Lembaga yang berisi kegiatan untuk mencapai hasil (outcome) dengan indikator kinerja yang terukur.
Prioritas Pembangunan adalah serangkaian kebijakan yang dilaksanakan melalui prioritas nasional, program prioritas, kegiatan prioritas, dan proyek prioritas.
Prioritas Nasional adalah program/kegiatan/ proyek untuk pencapaian Sasaran Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional dan kebijakan Presiden lainnya.
Program Prioritas adalah Program yang bersifat signifikan dan strategis untuk mencapai Prioritas Nasional. 25 . Kegiatan adalah penjabaran dari Program yang rumusannya mencerminkan tugas dan fungsi Satker atau penugasan tertentu Kementerian/ Lembaga yang berisi komponen kegiatan untuk mencapai keluaran (output) dengan indikator kinerja yang terukur.
Kegiatan Prioritas adalah Kegiatan yang bersifat signifikan dan strategis untuk mencapai Program Prioritas.
Kebijakan Prioritas Pemerintah Yang Telah Ditetapkan adalah Program/ Kegiatan/keluaran (output) yang ditetapkan oleh Pemerintah setelah rencana kerja pemerintah ditetapkan dan/atau ditetapkan pada Tahun Anggaran 20 1 9 . 2 8 . Proyek Prioritas adalah proyek yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau badan usaha yang memiliki sifat strategis dan jangka waktu tertentu untuk mendukung pencapaian Prioritas Pembangunan. 29 . Belanja Operasional adalah anggaran yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan sebuah Satker dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sesua1 dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai petunjuk penyusunan dan penelaahan RKA-K/ L dan pengesahan DIPA, dan Peraturan Menteri Keuangan mengenai klasifikasi anggaran.
Pemberian Pinjaman adalah pinjaman Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, Lembaga, dan/atau badan lainnya yang harus dibayar kembali dengan ketentuan dan persyaratan tertentu. 3 1 . Lanjutan Pinjaman/Hibah Luar Negeri atau Pinjaman/Hibah Dalam Negeri adalah penggunaan kembali s1sa alokasi anggaran yang bersumber dari pinjaman/hibah luar negeri atau pinjaman/hibah dalam negeri yang tidak terserap / tidak digunakan pada Tahun Anggaran 20 1 8, termasuk lanjutan untuk pelaksanaan Kegiatan pemberian hibah dan Pemberian Pinjaman.
Percepatan Penarikan Pinjaman/Hibah Luar Negeri atau Pinjaman/Hibah Dalam Negeri adalah tambahan alokasi anggaran yang berasal dari sisa komitmen pinjaman/ hibah luar negeri atau pinjaman/hibah dalam negeri yang belum ditarik untuk memenuhi kebutuhan pendanaan Kegiatan untuk percepatan penyelesaian pekerjaan dan/atau memenuhi kebutuhan anggaran yang belum tersedia pada Tahun Anggaran 20 19, termasuk percepatan untuk pelaksanaan Kegiatan pemberian hibah dan Pemberian Pinjaman.
Ineligible Expenditure adalah pengeluaran-pengeluaran yang tidak diperkenankan dibiayai dari dana pinjaman/ hibah luar negeri karena tidak sesuai dengan naskah perjanjian pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
Subsidi Energi adalah subsidi dalam bentuk subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) Jenis BBM Tertentu (JBT) dan bahan bakar gas cair (Lique fied Petroleum Gas/ LPG) tabung 3 (tiga) kilogram untuk konsumsi rumah tangga dan usaha mikro, dan subsidi listrik.
Transfer ke Daerah adalah bagian dari belanja negara dalam rangka mendanai pelaksanaan desentralisasi fiskal berupa Dana Perimbangan, Dana Insentif Daerah, Dana Otonomi Khusus, dan Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Y ogyakarta.
Dana Desa adalah dana yang bersumber dari APBN yang diperuntukkan bagi desa yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerin tahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat.
Penyertaan Modal Negara yang selanjutnya disingkat PMN adalah pemisahan kekayaan negara dari APBN untuk dijadikan sebagai modal Perusahaan Negara dan/atau Perseroan Terbatas lainnya serta lembaga/ badan lainnya, yang pengelolaannya dilakukan secara korporasi. 38 . Sekretaris Jenderal/ Sekretaris Utama/ Sekretaris/ Pejabat Eselon I Kementerian/ Lembaga adalah Pejabat Eselon I selaku penanggung jawab Program yang memiliki alokasi anggaran (portofolio) pada bagian anggaran Kernen terian/ Lembaga. 39 . Aparat Pengawasan Intern Pemerintah Kementerian Negara/ Lembaga yang selanjutnya disingkat APIP K/L adalah Inspektorat Jenderal/Inspektorat Utama/ Inspektorat atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan pengawasan intern yang bertanggung jawab langsung kepada menteri/pimpinan lembaga.
Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN atau dapat disebut sukuk negara adalah Surat Berharga Negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing. 4 1 . Sistem Aplikasi adalah sistem informasi atau aplikasi yang dibangun oleh Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan untuk mendukung proses penyusunan dan penelaahan anggaran, pengesahan DIPA, dan perubahan DIPA. 42 . Sisa Anggaran Kontraktual adalah selisih lebih antara alokasi anggaran keluaran (output) yang tercantum dalam DIPA dengan nilai kontrak pengadaan barang/jasa untuk menghasilkan keluaran (output) sesuai dengan volume keluaran (output) yang ditetapkan dalam DIPA.
Sisa Anggaran Swakelola adalah selisih lebih antara alokasi anggaran keluaran (output) yang tercantum dalam DIPA dengan realisasi anggaran untuk mencapai volume keluaran (output) yang sudah selesai dilaksanakan.
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah semua penerimaan Pemerintah Pusat yang diterima dalam bentuk pendapatan Sumber Daya Alam, pendapatan dari Kekayaan Negara Dipisahkan, pendapatan PNBP lainnya, dan pendapatan Badan Layanan Umum.
Tata Cara Penyetoran, Pelaporan, dan Pengecualian Pengenaan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak atas Tanah Dan/ atau Bangunan, dan ...
Relevan terhadap
Dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (3) adalah:
orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan jumlah bruto pengalihannya kurang dari Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah;
orang pribadi yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemili ^k an, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
badan yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah kepada badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau ·orang pribacli yang menjalankan usaha mikro clan kecil, yang ketentuannya cliatur lebih lanjut clengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut ticlak acla hubungan clengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
cl. pengalihan harta berupa tanah clan/ atau bangunan karena waris;
baclan yang melakukan pengalihan harta berupa tanah clan/atau bangunan clalam rangka penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha yang telah clitetapkan oleh Menteri Keuangan untuk menggunakan nilai buku;
orang pribacli atau baclan yang melakukan pengalihan harta beru pa bangunan clalam rangka melaksanakan perjanjian bangun guna serah, bangun serah guna, atau pemanfaatan barang milik negara berupa tanah clan/ atau bangunan; a tau g. orang pribacli atau baclan yang ticlak termasuk subjek pajak yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan.
Pengecualian dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana climaksud pada ayat (1) cliberikan clengan penerbitan Surat · Keterangan Bebas Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan atau perjanjian pengikatan jual beli atas tanah clan/ atau bangunan beserta perubahannya. Pasal 1 1 (1) Dalam hal terclapat pengalihan hak atas tanah clan/ atau bangunan melalui perjanjian atau kerja sama antara pemilik tanah clan/atau bangunan clan orang pribadi atau badan lain yang secara substansi merupakan pembeli hak atas tanah dan/atau bangunan, serta selanjutnya orang pribadi atau badan / - 16 - lain dimaksud mengalihkan hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut kepada pihak ketiga, perJanJian atau kerja sama tersebut merupakan perJanJian pengikatan jual beli yang dikenai Pajak Penghasilan.
Penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan yang memiliki tanah dan/atau bangunan dari orang pribadi atau badan lain yang secara substansi merupakan pembeli tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (5) huruf a.
Penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan lain yang secara substansi merupakan pembeli hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dari pihak ketiga merupakan penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (5) huruf b.
Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan keten tuan se bagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan/atau ayat (3) .
Uji materiil terhadap Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 116/PMK.010/2017, tentang Barang Kebutuhan Pokok Yang Tidak Dikenai Pajak Pe ...
Relevan terhadap
ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 4 dari 56 halaman. Putusan Nomor. 32 P/HUM/2018 7. Bahwa komoditi pangan yang diperdagangkan oleh Pemohon dikecualikan dari pengenaan bebas Pajak Pertambahan Nilai meskipun bahan pangan konsumsi dan perdagangan Pemohon juga merupakan bahan pangan yang diperlukan rakyat banyak, serta termasuk kedalam komoditi pangan yang dapat dikategorikan kebutuhan dasar karena Kandungan gizi yang sangat tinggi; 8. Bahwa Pemenuhan hak Pemohon serta masyarakat luas pada umumnya akan kebutuhan pangan sehari-hari tersebut menjadi “mahal”, “ekslusif”, dan semakin “berat” untuk dapat terpenuhi karena akibat berlakunya Pasal aquo , menjadikan potensi pengembangan diri melalui usaha perdagangan atas komoditi-komoditi pangan tersebut menjadi terhambat; 9. Bahwa seharusnya Pemerintah memperhatikan hal ini dan bukannya hanya membuat peraturan yang justru semakin menjerat pelaku usaha kecil; II. Kepentingan Hukum Pemohon Keberatan; 10. Bahwa dalam pengajuan permohonan ini, Pemohon memiliki kepentingan hukum dalam mengajukan permohonan ini karena: Pemohon adalah pedagang pasar yang menjual ikan dan kacang-kacangan dimana kedua komoditi tersebut merupakan komoditi pangan yang juga sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak namun dikenakan PPN; Pemohon sebagai pedagang merasakan dampak secara langsung dari kebijakan sebagaimana diatur dalam Pasal a quo dan menyebabkan barang dagangan Pemohon menjadi tidak terlalu laku dibandingkan komoditas lainnya; Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan membuat peraturan yang justru semakin menyuburkan praktek-praktek penyelundupan serta membuat produk lokal menjadi kalah bersaing; 11. Bahwa akibat pengenaan PPN atas komoditi pangan selain 13 jenis komoditas yang diatur dalam Pasal a quo menyebabkan terjadinya beberapa hal, antara lain : Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4
Pengesahan Protocol Amending the Marrakesh Agreement Establishing tlw World Trade Organization (Protokol Perubahan Persetujuan Marrakesh mengenai Pemb ...
Pengujuan UU no. 20 tahun 1997 tentang PNBP dan UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terhadap UUD Negara RI 1945 ...
Relevan terhadap
enggan untuk diatur dan diawasi. Belum lagi mengingat bahwa iuran badan usaha yang satu berbeda dengan iuran badan usaha yang lain, sehingga BPH Migas berpotensi selektif dalam pengaturan dan pengawasannya. Untuk pengusaha dengan iuran lebih besar akan memperoleh pengawasan dan pengaturan yang kurang ketat dibanding dengan badan usaha dengan iuran lebih kecil. Benturan kepentingan kedua, adalah antara kepentingan BPH Migas untuk menciptakan kemakmuran bagi dunia usaha dan masyarakat pada umumnya , berbenturan dengan kepentingan BPH Migas untuk memperoleh iuran sebanyak- banyak demi kelancaran operasinya, yang berarti mengurangi kemakmuran pihak yang diatumya. Dari segi independensi maka BPH Migas sebagai regulator akan bias ketika harus tegas melakukan pengawasan terhadap pihak yang diaturnya, yaitu para pengusaha migas di tingkat hilir, karena kehidupan dan eksistensi BPH Migas bergantung dari iuran yang diterima dari para pengusaha tersebut. Dari segi teori pemungutan "daya beli”, dengan adanya pemungutan iuran dari BPH Migas maka yang terjadi BPH Migas akan mendahulukan kepentingannya daripada kepentingan kemaslahatan dunia usaha pada umumnya. Akhirnya Ahli berpendapat bahwa demi menyebutkan life line negara dan untuk menghindari benturan kepentingan maka regulator/Badan Pemerintah seperti BPH Migas, untuk membiayai dirinya harus hanya bersumber dari pajak melalui APBN (uang negara), bukan dari iuran atau uang rekanan atau pengusaha di bawah supervisi datau pengawasannya. SAKSI PEMOHON 1. Eddy Asmanto • Saksi mewakili perusahaan yang bergerak pada niaga gas bumi melalui pipa, yaitu PT. Surya Cipta Internusa. Sejak perusahaan mendapatkan hak khusus dari BPH Migas yaitu pada bulan November 2013, perusahaan dibebani atau diwajibkan untuk membayar iuran badan usaha sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2006 yaitu sebesar Rp 1,00/mil dari volume gas yang diperdagangkan dikalikan dengan harga gas. Jadi, Rp 1,00/mil dari omset penjualan, sehingga atas dasar itu kami mendapatkan beban kewajiban iuran rata-rata berkisar antara Rp 350.000.000-400.000.000 per bulan, atau sekitar lebih dari Rp 4 miliar per tahun. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2017 tentang Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpa ...
Pengelolaan Indonesia National Single Window dan Penyelenggaraan Sistem Indonesia National Single Window ...
Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak.
Relevan terhadap
Menetapkan : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PERSETUJUAN PERPANJANGAN JANGKA WAKTU PELUNASAN PAJAK BAGI WAJIB PAJAK USAHA KECIL/WAJIB PAJAK DI DAERAH TERTENTU*). PERTAMA : Menyetujui memberikan persetujuan kepada: Wajib Pajak :
..……………………(11) NPWP :
..……………………(12) Alamat :
..……………………(13). untuk memperpanjang jangka waktu pelunasan pajak berdasarkan...………..(14) Nomor...………..(15) Masa/Tahun*) Pajak ……………(16) yang jatuh tempo pada tanggal...….…….(17) sebesar Rp.………..…(18) dengan ketentuan bahwa jatuh tempo pembayaran pajak ditunda sampai dengan tanggal...…….(19). KEDUA : Keputusan Direktur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di ................... (20) pada tanggal .................... (21) a.n. DIREKTUR JENDERAL PAJAK ........................................(22) NIP ...................................(23) PETUNJUK PENGISIAN SURAT KEPUTUSAN PERSETUJUAN PERPANJANGAN JANGKA WAKTU PELUNASAN PAJAK BAGI WAJIB PAJAK USAHA KECIL/WAJIB PAJAK DI DAERAH TERTENTU*) Nomor (1) : Diisi dengan nomor keputusan. Nomor (2) : Diisi dengan nama Wajib Pajak yang mengajukan surat permohonan perpanjangan jangka waktu pelunasan pajak bagi Wajib Pajak usaha kecil/Wajib Pajak di daerah tertentu. Nomor (3) : Diisi dengan nomor surat permohonan perpanjangan jangka waktu pelunasan pajak bagi Wajib Pajak usaha kecil/Wajib Pajak di daerah tertentu. Nomor (4) : Diisi dengan tanggal surat permohonan perpanjangan jangka waktu pelunasan pajak bagi Wajib Pajak usaha kecil/Wajib Pajak di daerah tertentu. Nomor (5) : Diisi dengan nama Kantor Pelayanan Pajak yang menerima surat permohonan perpanjangan jangka waktu pelunasan pajak bagi Wajib Pajak usaha kecil. Nomor (6) : Diisi dengan tanggal surat Wajib Pajak diterima di Kantor Pelayanan Pajak. Nomor (7) : Diisi dengan nomor lembar pengawasan arus dokumen. Nomor (8) : Diisi dengan tanggal lembar pengawasan arus dokumen. Nomor (9) : Diisi dengan nomor laporan penelitian perpanjangan jangka waktu pelunasan pajak bagi Wajib Pajak usaha kecil/Wajib Pajak di daerah tertentu. Nomor (10) : Diisi dengan tanggal laporan penelitian perpanjangan jangka waktu pelunasan pajak bagi Wajib Pajak usaha kecil/Wajib Pajak di daerah tertentu. Nomor (11) : Diisi dengan nama Wajib Pajak. Nomor (12) : Diisi dengan Nomor Pokok Wajib Pajak Wajib Pajak. Nomor (13) : Diisi dengan alamat Wajib Pajak. Nomor (14) : Diisi dengan STP, SKPKB, SKPKBT, SK Pembetulan, SK Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang diajukan permohonan. Nomor (15) : Diisi dengan Nomor STP, SKPKB, SKPKBT, SK Pembetulan, SK Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang diajukan permohonan. Nomor (16) : Diisi dengan Masa/Tahun Pajak STP, SKPKB, SKPKBT, SK Pembetulan, SK Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang diajukan permohonan. Nomor (17) : Diisi dengan tanggal jatuh tempo STP, SKPKB, SKPKBT, SK Pembetulan, SK Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang diajukan permohonan. Nomor (18) : Diisi dengan besarnya utang pajak yang disetujui untuk diberikan perpanjangan jangka waktu pelunasan. Nomor (19) : Diisi dengan tanggal jatuh tempo perpanjangan jangka waktu pembayaran pajak yang disetujui. Nomor (20) : Diisi dengan nama kota tempat keputusan diterbitkan. Nomor (21) : Diisi dengan tanggal keputusan diterbitkan. Nomor (22) : Diisi dengan jabatan pejabat yang menandatangani keputusan. Nomor (23) Diisi dengan nama, NIP, dan tanda tangan pejabat yang menandatangani keputusan. ) : Coret/hapus salah satu yang tidak sesuai. C. CONTOH FORMAT KEPUTUSAN PENOLAKAN PERPANJANGAN JANGKA WAKTU PELUNASAN PAJAK BAGI WAJIB PAJAK USAHA KECIL/WAJIB PAJAK DI DAERAH TERTENTU: KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR KEP- ..........................(1) TENTANG PENOLAKAN PERPANJANGAN JANGKA WAKTU PELUNASAN PAJAK BAGI WAJIB PAJAK USAHA KECIL/ WAJIB PAJAK DI DAERAH TERTENTU) DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Bagi Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu, jangka waktu pelunasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dapat diperpanjang menjadi paling lama 2 (dua) bulan sejak tanggal penerbitan.
Wajib Pajak usaha kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari Wajib Pajak orang pribadi dan Wajib Pajak badan.
Wajib Pajak orang pribadi usaha kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
Wajib Pajak orang pribadi; dan
menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
Wajib Pajak badan usaha kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
Wajib Pajak badan tidak termasuk BUT; dan
menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
Untuk mendapatkan perpanjangan jangka waktu pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak usaha kecil atau Wajib Pajak di daerah tertentu harus mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu pelunasan kepada Direktur Jenderal Pajak, paling lama 9 (sembilan) hari kerja sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran dengan menggunakan surat permohonan perpanjangan jangka waktu pelunasan.
Atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal diterimanya permohonan.
Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat berupa:
menyetujui; atau
menolak permohonan Wajib Pajak.
Dalam hal permohonan Wajib Pajak disetujui sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan persetujuan perpanjangan jangka waktu pelunasan pajak.
Dalam hal permohonan Wajib Pajak ditolak sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf b, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan penolakan perpanjangan jangka waktu pelunasan pajak.
Apabila jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (6) telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan suatu keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap diterima.
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 88/KMK.04/1991 tentang Tata Cara Pembayaran Pajak Melalui Pemindahbukuan;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 187/PMK.03/2007 tentang Jangka Waktu Pelunasan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, serta Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, dan Putusan Peninjauan Kembali, yang Menyebabkan Jumlah Pajak yang Harus Dibayar Bertambah Bagi Wajib Pajak Usaha Kecil dan Wajib Pajak di Daerah Tertentu;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 167/PMK.03/2007 tentang Penunjukan Tempat dan Tata Cara Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata Cara Pembayaran Pajak, Penyetoran dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata Cara Pembayaran Pajak, Penyetoran dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak; dan
Ketentuan mengenai penggunaan Surat Setoran Pajak PBB untuk pembayaran PBB Migas dan PBB Panas Bumi sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (5) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.03/2013 tentang Penatausahaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan Untuk Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas Bumi, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Tata Cara Pemungutan dan Pengembalian Bea Masuk dalam Rangka Tindakan Antidumping, Tindakan Lmbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan. ...
Relevan terhadap
Pengembalian Bea Masuk dalam rangka Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, Tindakan Pengamanan, atau Tindakan Sementara, termasuk Bea Masuk Tindakan Pengamanan sementara dapat diberikan kepada pihak yang berhak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 terhadap seluruh atau sebagian Bea Masuk yang telah dibayar dalam hal:
kelebihan pembayaran Bea Masuk karena penetapan tarif Bea Masuk dan/atau nilai pabean oleh Pejabat Bea dan Cukai;
kelebihan pembayaran Bea Masuk karena penetapan _, kembali tarif Bea Masuk dan/ a tau nilai pabean oleh I DirektMr Jenderill Be ad Cuk i, ___ - - t t www.jdih.kemenkeu.go.id MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 13 - c. kelebihan pembayaran Bea Masuk karena kesalahan tata usaha;
ban1ng impor yang dikecualikan dari pengenaan Bea Mas-qk Antidumping, Bea Masuk Antidumping Sementara, Bea Masuk Imbalan, Bea Masuk Imbalan Sementara, dan Bea Masuk Tindakan Pengamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5);
impor barang yang oleh sebab tertentu harus diekspor kembali · a tau dimusnahkan di bawah pengawasan Pejabat Bea dan Cukai;
impor barang yang sebelum diberikan persetujuan Impor Untuk Dipakai kedapatan jumlah yang sebenarnya lebih kecil daripada yang telah dibayar Bea Masuknya, cacat, bukan barang yang dipesan, atau berkualitas lebih rendah;
kelebihan pembayaran Bea Masuk sebagai akibat keputusan keberatan;
kelebihan pembayaran Bea Masuk sebagai akibat Putusan Pengadilan Pajak; atau
kelebihan pembayaran Bea Masuk sebagai akibat Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Pengembalian Bea Masuk dalam rangka Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, atau Tindakan Sementara kepada pihak yang berhak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dapat juga diberikan terhadap seluruh atau sebagian Bea Masuk dalam rangka Tindakan Sementara dalam hal:
Menteri me: righentikan Tindakan Sementara dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai pengakhiran Tindakan Sementara;
barang impor yang di Impor Untuk Dipakai dengan menyerahkan PIB dan dilunasi Bea Masuknya tidak termasuk barang dari negara, eksportir, dan/ a tau pemasok yang dikenai Bea Masuk Antidumping atau Bea Masuk Imbalan;
. barang impor yang di Impor Untuk Dipakai dengan menyerahkan PIB dan dilunasi Bea Masuknya tidak termasuk dalam jangka waktu pemberlakuan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai pengenaan Bea Masuk Antidumping atau Bea Masuk Imbalan; atau
Besaran tarif Bea Masuk dalam rangka Tindakan Antidumpillg atau Tmdakan I b - a=- d1tetapk= lebi I . MENTERI KEUANGAN REPUBLI K INDONESIA - 14 - kecil dari besaran tarif Bea Masuk Dalam Rangka Tindakan Sementara.
Pengembalian Bea Masuk Tindakan Pengamanan sementara kepada pihak yang berhak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dapat juga diberikan terhadap seluruh atau sebagian Bea Masuk Tindakan Pengamanan sementara dalam hal laporan akhir hasil penyelidikan Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia tidak ditemukan lonjakan jumlah barang impor yang mengakibatkan kerugian serius atau ancaman kerugian serius terhadap industri dalam negeri.
Pengembalian Bea Masuk dalam rangka Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, Tindakan Pengamanan atau Tindakan Sementara, termasuk Bea Masuk Tindakan Pengamanan sementara kepada pihak yang berhak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dapat juga diberikan terhadap seluruh atau sebagian Bea Masuk dalam rangka Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, Tindakan Pengamanan, atau Tindakan Sementara termasuk Bea Masuk Tindakan Pengamanan sementara atas barang dan bahan yang diimpor untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengari tujuan untuk diekspor dalam hal, barang diekspor kembali sesuai ketentuan.