Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019
Relevan terhadap 2 lainnya
PKPdapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak sebagai PKP berisiko rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4c) Undang- Undang PPN.
PKP yang diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat:
memiliki Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf P yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini;
telah ditetapkan sebagai Perusahaan KITE, atau c. telah mendapatkan izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB;
(3) PKP harus memilih pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak berdasarkan Pasal 9 ayat (4c) Undang-Undang PPN pada Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai untuk memperoleh pengembalian pendahuluan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Selain syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), PKP harus menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai lebih bayar restitusi dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan Klasifikasi Lapangan Usaha yang tercantum pada:
SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2018 atau pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Tahun Pajak 2018, yang telah dilaporkan Wajib Pajak; atau
data yang terdapat dalam administrasi perpajakan ( masterfile ) Wajib Pajak pusat bagi Wajib Pajak belum atau tidak memiliki kewajiban penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Tahun Pajak 2018.
Ketentuan mengenai Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berlaku bagi Wajib Pajak Berstatus Pusat maupun Wajib Pajak Berstatus Cabang.
PKP yang telah mendapatkan fasilitas KITE sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b harus melampirkan Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai perusahaan yang mendapat fasilitas KITE, dalam Surat Pemberitahuan Masa PPN yang diajukan permohonan pengembalian pendahuluan.
PKP yang telah mendapatkan izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c harus melampirkan Keputusan Menteri mengenai izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB, dalam Surat Pemberitahuan Masa PPN yang diajukan permohonan pengembalian pendahuluan.
Surat Pemberitahuan Masa PPN yang diberikan pengembalian pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi Surat Pemberitahuan Masa PPN termasuk pembetulan Surat Pemberitahuan Masa PPN, untuk Masa Pajak April 2020 sampai dengan Masa Pajak Desember 2020 dan disampaikan paling lama tanggal 31 Januari 2021.
Termasuk yang diperhitungkan dalam pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak yaitu kompensasi kelebihan pajak dari Masa Pajak sebelumnya yang diperhitungkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak yang dimintakan pengembalian pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (9).
Pengembalian pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (9), tetap diberikan kepada PKP meskipun kelebihan pajak disebabkan adanya kompensasi Masa Pajak sebelumnya.
PKP berisiko rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan pengembalian pendahuluan berdasarkan kriteria tertentu.
Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (12) meliputi:
PKP dimaksud tidak perlu menyampaikan permohonan penetapan sebagai PKP berisiko rendah;
Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan keputusan penetapan secara jabatan sebagai PKP berisiko rendah; dan
PKP memiliki Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf P yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini, fasilitas KITE atau izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB yang diberikan kepada PKP masih berlaku pada saat penyampaian Surat Pemberitahuan lebih bayar restitusi.
Petunjuk bagi PKP berisiko rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk mengajukan permohonan pengembalian pendahuluan melalui Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf Q merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Tata cara atas pengembalian pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali penelitian terhadap pemenuhan kegiatan tertentu, dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri mengenai tata cara pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak.
Wajib Pajak yang:
memiliki kode Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf M yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini;
telah ditetapkan sebagai Perusahaan KITE; atau
telah mendapatkan izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB; diberikan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebesar 30% (tiga puluh persen) dari angsuran PPh Pasal 25 yang seharusnya terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah sebagaimana Klasifikasi Lapangan Usaha yang tercantum pada:
SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2018 yang telah dilaporkan Wajib Pajak; atau
data yang terdapat dalam administrasi perpajakan ( masterfile ) Wajib Pajak, bagi Wajib Pajak yang baru terdaftar setelah tahun 2018.
Wajib Pajak menyampaikan pemberitahuan kepada kepala KPP tempat Wajib Pajak terdaftar melalui saluran tertentu pada laman www.pajak.go.id dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini untuk memanfaatkan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku sejak Masa Pajak pemberitahuan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan sampai dengan Masa Pajak Desember 2020.
Contoh penghitungan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf N yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
bahwa untuk melakukan penanganan dampak pandemic Corona Virus Disease 2019 (COVID 19) saat ini, perlu dilakukan perluasan sektor yang akan diberikan insentif perpajakan yang diperlukan selama masa pemulihan ekonomi nasional dengan memberikan kemudahan pemanfaatan insentif yang lebih luas;
bahwa pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID 19) merupakan bencana nasional yang mempengaruhi stabilitas ekonomi dan produktivitas masyarakat sebagai pekerja maupun pelaku usaha sehingga perlu dilakukan upaya pengaturan pemberian insentif untuk mendukung penanggulangan dampak Corona Virus Disease 2019 (COVID 19);
bahwa Peraturan Menteri Keuangan Nomor 44/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID 19) dinilai sudah tidak tepat, sehingga perlu dicabut, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 17C ayat (7) dan Pasal 17D ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjadi Undang-Undang, Pasal 22 ayat (2) dan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, dan Pasal 9 ayat (4d) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; d. __ bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID 19); __
Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Transaksi Khusus
Relevan terhadap
Menetapkan PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG SISTEM AKUNTANSI DAN PELAPORAN KEUANGAN TRANSAKSI KHUSUS. BABI KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi bendahara umum negara. 2. Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Transaksi Khusus yang selanjutnya disingkat SATK adalah serangkaian prosedur manual maupun yang terkomputerisasi mulai dari pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran, sampai dengan pelaporan untuk seluruh transaksi penerimaan dan pengeluaran serta aset dan kewajiban pemerintah yang terkait dengan fungsi khusus Menteri Keuangan selaku BUN, serta tidak tercakup dalam sub sistem akuntansi BUN lainnya. 3. Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA I jdih.kemenkeu.go.id untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada kementerian/ lembaga yang bersangkutan. 4. Kuasa Pengguna Barang yang selanjutnya disingkat KPB adalah kepala satuan kerja atau pejabat yang ditunjuk oleh pengguna barang untuk menggunakan barang yang berada dalam penguasaannya dengan se baik-baiknya. 5. Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus yang selanjutnya disingkat UAKPA BUN TK adalah unit akuntansi yang melakukan kegiatan akuntansi dan pelaporan keuangan transaksi khusus pada tingkat satuan kerja di lingkup BUN. 6. Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Koordinator Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus yang selanjutnya disingkat UAKKPA BUN TK adalah unit akuntansi yang menjadi koordinator dan bertugas melakukan kegiatan penggabungan laporan keuangan seluruh UAKPA BUN TK yang berada langsung di bawahnya. 7. Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pembantu Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus yang selanjutnya disingkat UAP BUN TK adalah unit akuntansi pada unit eselon I Kementerian Keuangan yang melakukan penggabungan laporan keuangan seluruh UAKPA BUN TK dan/atau UAKKPA BUN TK. 8. Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Koordinator Pembantu Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus yang selanjutnya disingkat UAKP BUN TK adalah unit akuntansi pada unit eselon I Kementerian Keuangan yang melakukan penggabungan laporan seluruh UAP BUNTK. 9. Direktorat Jenderal Anggaran yang selanjutnya disingkat DJA adalah unit eselon I pada Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang penganggaran. 10. Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang selanjutnya disingkat DJPb adalah unit eselon I pada Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang perbendaharaan negara. 11. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang selanjutnya disingkat DJKN adalah unit eselon I pada Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang kekayaan negara, piutang negara, dan lelang. 12. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan yang selanjutnya disingkat DJPK adalah unit eselon I pada Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang perimbangan keuangan. 13. Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko yang selanjutnya disingkat DJPPR adalah unit eselon I pada Kementerian Keuangan yang bertugas f jdih.kemenkeu.go.id merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis di bidang pengelolaan pembiayaan dan risiko. 14. Badan Kebijakan Fiskal yang selanjutnya disingkat BKF adalah unit eselon I pada Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas melaksanakan analisis di bidang kebijakan fiskal. 15. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal DJPb yang bertugas untuk melaksanakan kewenangan perbendaharaan dan BUN, penyaluran pembiayaan atas beban anggaran, serta penatausahaan penerimaan dan pengeluaran anggaran melalui dan dari kas negara. 16. Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah pungutan yang dibayar oleh orang pribadi atau badan dengan memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung atas layanan atau pemanfaatan sumber daya dan hak yang diperoleh negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang menjadi penerimaan pemerintah pusat di luar penerimaan perpajakan dan hibah dan dikelola dalam mekanisme anggaran pendapatan dan belanja negara. 17. PNBP BUN Pengelolaan Kas Negara yang selanjutnya disingkat PNBP BUN PKN adalah PNBP yang berasal dari pelaksanaan kewenangan Menteri Keuangan selaku BUN yang dikelola oleh DJPb. 18. Fasilitas Penyiapan Proyek adalah fasilitas fiskal yang disediakan oleh Menteri Keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 19. Dukungan Kelayakan adalah dukungan pemerintah dalam bentuk kontribusi fiskal yang bersifat finansial yang diberikan terhadap proyek kerja sama pemerintah dan badan usaha oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang keuangan dan kekayaan negara. 20. Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban anggaran pendapatan dan belanja negara atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. 21. BMN Idle adalah BMN berupa tanah dan/atau bangunan yang tidak digunakan untuk kepentingan penyelenggaraan tugas dan fungsi kementerian/ lembaga. 22. BMN Eks BMN Idle adalah BMN Idle yang telah diserahkan kepada Pengelola Barang berdasarkan berita acara serah terima. 23. Aset Bekas Milik Asing/Tionghoa adalah aset yang dikuasai Negara berdasarkan:
Peraturan Penguasa Perang Pusat Nomor Prt/032/PEPERPU/ 1958 tentang Larangan Adanya Organisasi yang Didirikan oleh dan/ a tau untuk Orang-Orang Warga Negara dari Negara Asing yang Tidak Mempunyai Hubungan Diplomatik dengan Negara Republik Indonesia jo. Keputusan Penguasa Perang Pusat Nomor Kpts/Peperpu/0439 / 1958 tentang Penempatan jdih.kemenkeu.go.id Semua Sekolah/Kursus yang Sebagian atau Seluruhnya Milik dan/atau Diusahakan oleh Organisasi yang Didirikan oleh dan/ a tau Orang- Orang Tionghoa Perantauan (Hoa Kiauw) yang Bukan Warga Negara dari Negara Asing, yang Telah Mempunyai Hubungan Diplomatik dengan Republik Indonesia dan/atau Telah Memperoleh Pengakuan dari Negara Republik Indonesia di Bawah Pengawasan Pemerintah Republik Indonesia jo. Undang-Undang Nomor 50 Prp. Tahun 1960 tentang Larangan Organisasi- organisasi dan Pengawasan Terhadap Perusahaan- Perusahaan Orang Asing Tertentu;
Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1962 tentang Larangan Adanya Organisasi yang Tidak sesuai dengan Kepribadian Indonesia, Menghambat Penyelesaian Revolusi atau Bertentangan dengan Cita-Cita Sosialisme Indonesia;
Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1962 tentang Keadaan Tertib Nasional jo. Keputusan Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi Nomor 52/KOTI/ 1964; dan
Instruksi Radiogram Kaskogam Nomor T-0403/G- 5/5/66 tentang Pengawasan PEPELRADA terhadap Pengambilalihan Sekolah-Sekolah Tionghoa oleh Mahasiswa-Mahasiswa dan Pelajar- Pelajar Setempat. 24. Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang selanjutnya disingkat KKKS adalah badan usaha atau bentuk badan usaha tetap yang diberikan kewenangan untuk melaksanakan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi pada suatu wilayah kerja berdasarkan kontrak kerja sama dengan Pemerintah. 25. Kontraktor Perjanjian Kerja Sama/Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara yang selanjutnya disebut Kontraktor adalah badan usaha yang melakukan kegiatan usaha pertambangan batubara, baik untuk penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri. 26. BMN Hulu Minyak dan Gas Bumi yang selanjutnya disebut BMN Hulu Migas adalah semua barang yang berasal dari pelaksanaan kontrak kerja sama antara Kontraktor dengan pemerintah, termasuk yang berasal dari kontrak karya/ contract of work (CoW) dalam pelaksanaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi. 27. BMN yang berasal dari Perjanjian Kerja Sama/Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara yang selanjutnya disingkat BMN PKP2B adalah seluruh barang dan peralatan yang diperoleh dan/atau dibeli Kontraktor untuk kegiatan usaha pertambangan batubara dan/atau barang dan peralatan yang tidak terjual, tidak dipindahkan atau tidak dialihkan oleh Kontraktor setelah pengakhiran perjanjian yang telah melewati jangka waktu yang telah ditetapkan menjadi milik pemerintah, termasuk barang kontraktor yang jdih.kemenkeu.go.id pada pengakhiran perjanjian akan dipergunakan untuk kepentingan umum. 28. Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat BLBI adalah fasilitas yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada perbankan untuk menjaga kestabilan sistem pembayaran dan sistem perbankan, agar tidak terganggu oleh adanya ketidakseimbangan likuiditas, antara penerimaan dan penarikan dana pada bank-bank. 29. Aset Eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional yang selanjutnya disebut Aset Eks BPPN adalah kekayaan negara yang dikelola oleh Menteri Keuangan yang berasal dari kekayaan eks BPPN. 30. Aset Eks Pertamina adalah aset-aset yang tidak turut dijadikan penyertaan modal negara dalam Neraca Pembukaan PT. Pertamina sebagaimana ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 23/PMK.06/2008 tentang Penetapan Neraca Pembukaan Perseroan (Persero) PT. Pertamina Per 17 September 2003, serta telah ditetapkan sebagai BMN yang berasal dari Aset Eks Pertamina berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 92/KK.06/2008 tentang Penetapan Status Aset Eks Pertamina Sebagai Barang Milik Negara. 31. Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh pemerintah pusat. 32. Perusahaan Umum Bulog yang selanjutnya disebut dengan Perum Bulog adalah badan usaha milik negara yang didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2003 tentang Pendirian Perusahaan Umum (Perum) Bulog sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2003. 33. Selisih Kurs adalah selisih yang dihasilkan dari pelaporan jumlah unit mata uang asing yang sama dalam mata uang pelaporan pada kurs yang berbeda. 34. Dokumen Sumber adalah dokumen yang berhubungan dengan transaksi keuangan yang digunakan sebagai sumber atau bukti untuk menghasilkan data akuntansi. 35. Buku Besar Kas adalah kumpulan akun-akun yang digunakan untuk meringkas transaksi yang telah dicatat dalam jurnal akuntansi berdasarkan basis kas. 36. Buku Besar Akrual adalah kumpulan akun-akun yang digunakan untuk meringkas transaksi yang telah dicatat dalam jurnal akuntansi berdasarkan basis akrual. 37. Laporan Keuangan adalah bentuk pertanggungjawaban pemerintah atas pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara berupa laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas, laporan operasional, laporan perubahan ekuitas, laporan perubahan saldo anggaran lebih, dan catatan atas laporan keuangan. 38. Laporan Realisasi Anggaran yang selanjutnya disingkat LRA adalah laporan yang menyajikan informasi realisasi pendapatan, belanja, transfer, surplus/defisit dan pembiayaan, s1sa lebih/kurang pembiayaan jdih.kemenkeu.go.id anggaran yang masing-masing diperbandingkan dengan anggarannya dalam 1 (satu) periode. 39. Neraca adalah laporan yang menyajikan informasi posisi keuangan pemerintah yaitu aset, utang, dan ekuitas pada tanggal tertentu. 40. Laporan Operasional yang selanjutnya disingkat LO adalah laporan yang menyajikan ikhtisar sumber daya ekonomi yang menambah ekuitas dan penggunaannya yang dikelola oleh pemerintah pusat/ daerah untuk kegiatan penyelenggaraan pemerintah dalam 1 (satu) periode pelaporan. 41. Laporan Perubahan Ekuitas yang selanjutnya disingkat LPE adalah laporan yang menyajikan informasi kenaikan atau penurunan ekuitas tahun pelaporan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. 42. Catatan atas Laporan Keuangan yang selanjutnya disingkat CaLK adalah laporan yang menyajikan informasi tentang penjelasan atau daftar terinci atau analisis atas nilai suatu pos yang disajikan dalam LRA, Neraca, laporan arus kas, LO, LPE, dan laporan perubahan saldo anggaran lebih untuk pengungkapan yang memadai. 43. Reviu adalah prosedur penelusuran angka-angka dalam Laporan Keuangan, permintaan keterangan, dan analitik yang menjadi dasar memadai bagi aparat pengawas intern pemerintah untuk memberi keyakinan terbatas bahwa tidak ada modifikasi material yang harus dilakukan atas Laporan Keuangan tersebut sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan. 44. Transaksi Dalam Konfirmasi Penerimaan yang selanjutnya disingkat TDK Penerimaan adalah transaksi penerimaan yang diterima kasnya di kas negara tetapi tidak teridentifikasi dan/atau tidak diakui oleh satuan kerja pada kementerian/lembaga dan bagian anggaran BUN. Pasal 2 Peraturan Menteri m1 mengatur mengenai SATK yang meliputi:
belanja/beban pengeluaran untuk keperluan hubungan internasional;
belanja/beban Fasilitas Penyiapan Proyek;
belanja/beban Dukungan Kelayakan;
PNBP yang dikelola oleh DJA;
transaksi aset dan belanja/beban yang berada dalam pengelolaan DJKN;
belanja/beban jaminan sosial, belanja/beban selisih harga beras Perum Bulog, dan pelaporan akumulasi iuran pensiun;
pendapatan dan belanja/beban pengelolaan kas negara;
transaksi penggunaan PNBP BUN PKN;
utang perhitungan fihak ketiga pegawai; J. utang perhitungan fihak ketiga Pajak Rokok;
pendapatan dan beban untuk pengelolaan penerimaan negara; jdih.kemenkeu.go.id 1. belanja/beban pengeluaran untuk keperluan layanan perbankan; dan
pendapatan dan beban untuk pengelolaan rekening valuta asing pada kuasa BUN daerah. Pasal 3 (1) Belanja/beban pengeluaran untuk keperluan hubungan internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a meliputi:
pengeluaran kerja sama internasional yang mencakup pembayaran iuran keikutsertaan pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi internasional dan tidak menimbulkan hak suara di luar ketentuan Keputusan Presiden Nomor 64 Tahun 1999 tentang Keanggotaan Indonesia dan Kontribusi Pemerintah Republik Indonesia pada Organisasi-Organisasi Internasional, yang dibiayai dari bagian anggaran BUN seperti trust fund dan kontribusi;
pengeluaran perjanjian internasional yang mencakup transaksi yang timbul sebagai akibat dari perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan pihak lain di dunia internasional dan dibiayai dari bagian anggaran BUN; dan
pendapatan dan belanja/beban selisih kurs dan biaya transfer atas pengeluaran untuk keperluan hubungan in ternasional. (2) Belanja/beban Fasilitas Penyiapan Proyek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b meliputi:
fasilitas untuk penyiapan dan pelaksanaan transaksi kerja sama pemerintah dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur;
fasilitas untuk penyiapan proyek, pelaksanaan transaksi, proyek dan/atau pelaksanaan perjanjian untuk penyediaan infrastruktur ibu kota negara melalui skema kerja sama pemerintah dengan badan usaha dan/atau pembiayaan kreatif;
fasilitas untuk penyusunan dokumen penyiapan penyediaan infrastruktur pada kawasan di ibu kota nusantara;
fasilitas untuk penyiapan dan pelaksanaan transaksi pemanfaatan BMN dan/atau pemindahtanganan BMN untuk persiapan, pembangunan, dan pemindahan ibu kota negara; dan
fasilitas terkait penyiapan proyek atau pengembangan skema pembiayaan lainnya yang mendapat penugasan dari pemerintah. (3) Belanja/beban Dukungan Kelayakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c merupakan kontribusi fiskal dalam bentuk finansial atas sebagian biaya pembangunan proyek yang dilaksanakan melalui skema kerja sama pemerintah dengan badan usaha untuk penyediaan layanan infrastruktur yang terjangkau bagi masyarakat. t jdih.kemenkeu.go.id (4) PNBP yang dikelola oleh DJA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d meliputi:
pendapatan minyak bumi dan gas bumi;
pendapatan panas bumi; dan
setoran lainnya, meliputi setoran sisa surplus dari basil kegiatan Bank Indonesia, surplus, dan/atau bagian dari surplus lembaga. (5) Transaksi aset dan belanja/beban yang berada dalam pengelolaan DJKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf e meliputi:
Aset Bekas Milik Asing/Tionghoa;
BMN yang berasal dari pertambangan meliputi:
BMN Hulu Migas; dan
BMN PKP2B;
Aset Eks Pertamina;
BMN Eks BMN _Idle; _ e. Aset yang timbul dari pemberian BLBI meliputi:
piutang pada bank dalam likuidasi; dan
Aset Eks BPPN;
Aset lainnya dalam pengelolaan DJKN meliputi:
barang gratifikasi;
BMN yang diperoleh dari pelaksanaan perjanjian kerja sama antara pemerintah Republik Indonesia dengan badan internasional dan/atau negara asing;
BMN yang diperoleh dari pembubaran badan yang dibentuk kementerian/lembaga, seperti unit pelaksana teknis yang dibentuk oleh kemen terian/ lembaga;
BMN yang diperoleh dari pembubaran badan- badan ad _hoc; _ atau 5. BMN yang diperoleh dari pembubaran yayasan sebagai tindak lanjut temuan pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan;
piutang untuk dana antisipasi penanggulangan lumpur Sidoarjo;
piutang kepada yayasan supersemar; dan
penggantian biaya dan margin yang wajar atas investasi pemerintah untuk program pemulihan ekonomi nasional. (6) Belanja/beban jaminan sosial, belanja/beban selisih harga beras Perum Bulog, dan pelaporan akumulasi iuran pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf f meliputi:
belanja/beban pensiun;
belanja/beban jaminan layanan kesehatan;
belanja/beban jaminan kesehatan menteri dan pejabat tertentu;
belanja/beban jaminan kesehatan utama;
belanja/bebanjaminan kesehatan lainnya;
belanja/bebanjaminan kecelakaan kerja;
belanja/bebanjaminan kematian;
belanja/beban program tunjangan hari tua;
belanja/beban selisih harga beras Perum Bulog; dan J. pelaporan akumulasi iuran pensiun. jdih.kemenkeu.go.id (7) Pendapatan dan belanja/beban untuk pengelolaan kas negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf g meliputi:
pendapatan berupa selisih lebih dalam pengelolaan kele bihan / kekurangan kas;
pendapatan selisih kurs terealisasi dalam pengelolaan rekening milik BUN;
pendapatan lainnya dalam pengelolaan kas negara;
belanja/beban berupa selisih kurang dalam pengelolaan kelebihan/kekurangan kas;
belanja/beban selisih kurs terealisasi dalam pengelolaan rekening milik BUN; dan
belanja/beban transaksi pengelolaan kas negara. (8) Transaksi penggunaan PNBP BUN PKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf h meliputi:
belanja/beban penggunaan PNBP BUN PKN;
perolehan BMN dari belanja/beban penggunaan PNBP BUN PKN; dan
penetapan status penggunaan BMN. (9) Utang perhitungan fihak ketiga pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf i merupakan selisih le bih / kurang an tara penerimaan setoran / potongan perhitungan fihak ketiga pegawai dan pembayaran pengembalian penerimaan perhitungan fihak ketiga pegawru.
Utang perhitungan fihak ketiga Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf j merupakan selisih lebih/kurang antara penerimaan setoran perhitungan fihak ketiga Pajak Rokok dan pembayaran pengembalian penerimaan perhitungan fihak ketiga Pajak Rokok. (11) Pendapatan dan beban untuk pengelolaan penerimaan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf k meliputi:
hasil koreksi atas terjadinya TDK Penerimaan; dan
pendapatan dan beban selisih kurs belum terealisasi atas pengelolaan rekening penerimaan negara dalam valuta asing pada KPPN yang menangani pengelolaan penerimaan negara. (12) Belanja/beban pengeluaran untuk keperluan layanan perbankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf 1 meliputi:
belanja/beban pajak pertambahan nilai real time gross settlement Bank Indonesia;
pembayaran bunga negatif;
pembayaran imbalan jasa pelayanan bank/ pos perseps1;
pembayaran pajak pertambahan nilai atas transaksi real time gross settlement bank operasional; dan
fee bank kustodian. (13) Pendapatan dan beban untuk pengelolaan rekening valuta asing pada kuasa BUN daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf m merupakan pendapatan dan beban selisih kurs belum terealisasi dalam pengelolaan rekening valuta asing milik kuasa BUN daerah. jdih.kemenkeu.go.id BAB II UNIT AKUNTANSI DAN PELAPORAN KEUANGAN Bagian Kesatu Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Transaksi Khusus Pasal 4 (1) SATK merupakan subsistem dari sistem akuntansi BUN. (2) SATK menghasilkan Laporan Keuangan yang terdiri atas:
LRA;
LO; C. LPE;
Neraca; dan
CaLK. (3) Untuk pelaksanaan SATK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibentuk unit akuntansi yang terdiri atas:
UAKPA BUN TK;
UAKKPA BUN TK;
UAP BUN TK; dan
UAKP BUN TK. (4) SATK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan untuk penyusunan dan penyampaian Laporan Keuangan bagian anggaran BUN Transaksi Khusus dengan menggunakan sistem aplikasi terin tegrasi. (5) Sistem aplikasi terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan sistem aplikasi yang mengintegrasikan seluruh proses yang terkait dengan pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja negara dimulai dari proses penganggaran, pelaksanaan, dan pelaporan pada BUN dan kementerian/lembaga. Bagian Kedua Tingkat Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus Pasal 5 UAKPA BUN TK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
UAKPA BUN TK pengelola pengeluaran keperluan kerja sama internasional dan perjanjian internasional dilaksanakan oleh pusat di BKF yang ditunjuk oleh Kepala BKF;
UAKPA BUN TK pengelola pembayaran Fasilitas Penyiapan Proyek dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
dilaksanakan oleh direktorat di DJPPR yang menangani pengelolaan dukungan pemerintah dan pembiayaan infrastruktur dalam hal Fasilitas Penyiapan Proyek dilaksanakan melalui penugasan khusus kepada Badan Usaha Milik Negara; dan/atau t jdih.kemenkeu.go.id 2. dilaksanakan oleh unit kerja di kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral yang ditunjuk sebagai KPA dalam hal Fasilitas Penyiapan Proyek dilaksanakan melalui kerja sama penyediaan infrastruktur dengan lembaga internasional dalam pembangunan dan/atau pengembangan kilang minyak di dalam negeri;
UAKPA BUN TK pengelola pembayaran Dukungan Kelayakan dilaksanakan oleh unit kerja KPA BUN yang ditunjuk di kementerian/lembaga;
UAKPA BUN TK pengelola PNBP minyak bumi dan gas bumi dilaksanakan oleh direktorat di DJA yang menangani pengelolaan PNBP sumber daya alam dan kekayaan negara dipisahkan;
UAKPA BUN TK pengelola PNBP panas bumi dilaksanakan oleh direktorat di DJA yang menangani pengelolaan PNBP sumber daya alam dan kekayaan negara dipisahkan;
UAKPA BUN TK pengelola setoran lainnya dilaksanakan oleh direktorat di DJA yang menangani pengelolaan PNBP sumber daya alam dan kekayaan negara dipisahkan;
UAKPA BUN TK pengelola Aset Bekas Milik Asing/Tionghoa dilaksanakan oleh direktorat di DJKN yang menangani pengelolaan kekayaan negara;
UAKPA BUN TK pengelola BMN Hulu Migas dilaksanakan oleh unit sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai pedoman akuntansi dan pelaporan keuangan atas BMN Hulu Migas;
UAKPA BUN TK pengelola BMN PKP2B dilaksanakan oleh unit sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai pedoman akuntansi dan pelaporan aset berupa BMN PKP2B; J. UAKPA BUN TK pengelola Aset Eks Pertamina dilaksanakan oleh direktorat di DJKN yang menangani pengelolaan kekayaan negara;
UAKPA BUN TK pengelola BMN Eks BMN Idle dilaksanakan oleh direktorat di DJKN yang menangani perumusan kebijakan kekayaan negara; I. UAKPA BUN TK pengelola aset yang timbul dari pemberian BLBI dilaksanakan oleh direktorat di DJKN yang menangani pengelolaan kekayaan negara;
UAKPA BUN TK pengelola aset lainnya dalam pengelolaan DJKN dilaksanakan oleh direktorat di DJKN yang menangani pengelolaan kekayaan negara;
UAKPA BUN TK pengelola piutang untuk dana antisipasi penanganan lumpur Sidoarjo dilaksanakan oleh unit kerja KPA BUN yang ditunjuk di kementerian/lembaga;
UAKPA BUN TK pengelola piutang kepada yayasan supersemar dilaksanakan oleh direktorat di DJKN yang menangani pengelolaan kekayaan negara;
UAKPA BUN TK pengelola penggantian biaya dan margin yang wajar atas investasi pemerintah untuk t jdih.kemenkeu.go.id program pemulihan ekonomi nasional dilaksanakan oleh direktorat di DJKN yang menangani kekayaan negara yang dipisahkan;
UAKPA BUN TK pengelola belanja/beban jaminan sosial, belanja/beban selisih harga beras Perum Bulog, dan pelaporan akumulasi iuran pensiun dilaksanakan oleh direktorat di DJPb yang menangani pengelolaan belanja/beban jaminan sosial, belanja/beban selisih harga beras Perum Bulog, dan pelaporan akumulasi . . 1uran pens1un;
UAKPA BUN TK pengelola pendapatan dan belanja/beban untuk pengelolaan kas negara dilaksanakan oleh direktorat di DJPb yang menangani pengelolaan kas negara;
UAKPA BUN TK transaksi penggunaan PNBP BUN PKN dilaksanakan oleh satuan kerja pengelolaan, pengembangan, dan pengawasan BUN;
UAKPA BUN TK pengelola utang perhitungan fihak ketiga pegawai dilaksanakan oleh direktorat di DJPb yang menangani pengelolaan perhitungan fihak ketiga pegawru;
UAKPA BUN TK pengelola utang perhitungan fihak ketiga Pajak Rokok dilaksanakan oleh direktorat di DJPK yang menangani penyusunan laporan keuangan atas penerimaan dan penyetoran Pajak Rokok;
UAKPA BUN TK pengelola penerimaan negara dilaksanakan oleh KPPN yang menangani pengelolaan penerimaan negara;
UAKPA BUN TK pengelola belanja/beban pengeluaran untuk keperluan layanan perbankan dilaksanakan oleh direktorat di DJPb yang menangani pengelolaan pengeluaran keperluan layanan perbankan; dan
UAKPA BUN TK pengelola pendapatan dan belanja/beban untuk pengelolaan rekening valuta asing pada kuasa BUN daerah dilaksanakan oleh KPPN yang memiliki rekening valuta asing. Bagian Ketiga Tingkat Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Koordinator Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus Pasal 6 (1) UAKKPA BUN TK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf b merupakan UAKKPA BUN TK Pengelola BMN Hulu Migas. (2) UAKKPA BUN TK Pengelola BMN Hulu Migas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas untuk menggabungkan Laporan Keuangan UAKPA BUN TK BMN Hulu Migas. (3) UAKKPA BUN TK Pengelola BMN Hulu Migas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh unit sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai pedoman akuntansi dan pelaporan keuangan atas BMN Hulu Migas. jdih.kemenkeu.go.id Bagian Keempat Tingkat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pembantu Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus Pasal 7 (1) UAP BUN TK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf c dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
UAP BUN TK atas pengelola pengeluaran keperluan hubungan internasional dilaksanakan oleh BKF;
UAP BUN TK atas:
pengelola pembayaran Fasilitas Penyiapan Proyek; dan
pengelola pembayaran Dukungan Kelayakan, dilaksanakan oleh DJPPR;
UAP BUN TK atas pengelola PNBP yang dikelola DJA dilaksanakan oleh DJA;
UAP BUN TK atas pengelola transaksi aset dan belanja/beban yang berada dalam pengelolaan DJKN dilaksanakan oleh DJKN;
UAP BUN TK atas:
pengelola belanja/beban jaminan sosial, belanja/beban selisih harga beras Perum Bulog, dan pelaporan akumulasi iuran pensiun;
pengelola pendapatan dan belanja/beban untuk pengelolaan kas negara;
transaksi penggunaan PNBP BUN PKN;
pengelola utang perhitungan fihak ketiga pegawai;
pengelola penerimaan negara;
pengelola belanja/beban pengeluaran untuk keperluan layanan perbankan; dan
pengelola pendapatan dan beban untuk pengelolaan rekening valuta asing pada kuasa BUN daerah, dilaksanakan oleh DJPb; dan
UAP BUN TK atas pengelola utang perhitungan fihak ketiga Pajak Rokok dilaksanakan oleh DJPK. (2) UAP BUN TK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas untuk menggabungkan Laporan Keuangan seluruh UAKPA BUN TK dan UAKKPA BUN TK yang berada langsung di bawahnya. Bagian Kelima Tingkat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Koordinator Pembantu Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus Pasal 8 (1) UAKP BUN TK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf d dilaksanakan oleh DJPb. (2) UAKP BUN TK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas untuk menggabungkan Laporan Keuangan seluruh UAP BUN TK. jdih.kemenkeu.go.id BAB III AKUNTANSI DAN PELAPORAN KEUANGAN Bagian Kesatu Tingkat Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus Pasal 9 (1) UAKPA BUN TK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 menyelenggarakan akuntansi yang meliputi proses pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan atas transaksi khusus. (2) Penyelenggaraan akuntansi untuk UAKPA BUN TK pengelola PNBP minyak bumi dan gas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf d, UAKPA BUN TK pengelola PNBP panas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf e, UAKPA BUN TK pengelola BMN Hulu Migas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf h, dan UAKPA BUN TK pengelola BMN PKP2B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf i diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan tersendiri. (3) Penyelenggaraan akuntansi selain UAKPA BUN TK pada ayat (2) berpedoman pada Modul SATK sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 10 (1) Untuk penyusunan Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), UAKPA BUN TK memproses dokumen sumber transaksi keuangan atas penerimaan dan/atau pengeluaran transaksi khusus. (2) Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun setiap bulanan, semesteran, dan tahunan. (3) Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun setelah dilakukan verifikasi data sistem aplikasi terintegrasi dengan dokumen sumber milik UAKPA BUN TK. (4) Apabila terdapat perbedaan data atas hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), UAKPA BUN TK dapat melakukan konfirmasi kepada KPPN mitra kerja dan/ a tau dengan pihak terkait. Pasal 11 (1) UAKPA BUN TK menyampaikan Laporan Keuangan dengan ketentuan sebagai berikut:
UAKPA BUN TK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf j, huruf k, huruf 1, huruf m, hurufn,hurufo,hurufp,hurufq,hurufr,hurufs, huruf t, huruf u, huruf v, huruf w, dan huruf x menyampaikan Laporan Keuangan kepada UAP BUNTK; dan jdih.kemenkeu.go.id b. UAKPA BUN TK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf h dan huruf i menyampaikan Laporan Keuangan kepada UAKKPA BUN TK. (2) Periode penyampaian Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanak: an dengan ketentuan sebagai berikut:
LRA dan Neraca disampaikan setiap bulan; dan
LRA, LO, LPE, Neraca, dan CaLK disampaikan setiap semesteran dan tahunan. (3) Penyampaian Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan jadwal penyampaian Laporan Keuangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara penyusunan dan penyampaian Laporan Keuangan BUN. Bagian Kedua Tingkat Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Koordinator Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus Pasal 12 (1) Berdasarkan Laporan Keuangan yang disampaikan oleh UAKPA BUN TK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2), UAKKPA BUN TK menyusun Laporan Keuangan bulanan, semesteran, dan tahunan. (2) Dalam hal UAKKPA BUN TK belum menggunakan sistem aplikasi terintegrasi, penyusunan Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara manual. Pasal 13 (1) UAKKPA BUN TK menyampaikan Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) kepada UAP BUN TK dengan ketentuan sebagai berikut:
LRA dan Neraca disampaikan setiap bulan; dan
LRA, LO, LPE, Neraca, dan CaLK disampaikan setiap semesteran dan tahunan. (2) Penyampaian Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan jadwal penyampaian Laporan Keuangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara penyusunan dan penyampaian Laporan Keuangan BUN. Bagian Ketiga Tingkat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pembantu Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus Pasal 14 (1) Berdasarkan Laporan Keuangan yang disampaikan UAKPA BUN TK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b dan/atau UAKKPA BUN TK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b, UAP BUN TK menyusun Laporan Keuangan semesteran dan tahunan. jdih.kemenkeu.go.id (2) Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun setelah dilakukan verifikasi data sis tern aplikasi terintegrasi dengan dokumen sumber milik UAPBUNTK. (3) Apabila terdapat perbedaan data atas hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), UAP BUN TK dapat melakukan konfirmasi kepada KPPN mitra kerja dan/ a tau dengan pihak terkait. (4) Dalam hal Laporan Keuangan yang disampaikan oleh UAKKPA BUN TK masih disusun secara manual, UAP BUN TK pengelola transaksi aset dan belanja/beban yang berada dalam Pengelolaan DJKN menyusun Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan Laporan Keuangan seluruh UAKPA BUN TK yang berada di bawahnya. Pasal 15 (1) UAP BUN TK menyampaikan Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) kepada UAKPBUNTK. (2) Penyampaian Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan jadwal penyampaian Laporan Keuangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara penyusunan dan penyampaian Laporan Keuangan BUN. Bagian Keempat Tingkat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Koordinator Pembantu Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus Pasal 16 Berdasarkan Laporan Keuangan yang disampaikan oleh UAP BUN TK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), UAKP BUN TK menyusun Laporan Keuangan semesteran dan tahunan. Pasal 17 (1) UAKP BUN TK menyampaikan Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 kepada UA BUN. (2) Penyampaian Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan jadwal penyampaian Laporan Keuangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara penyusunan dan penyampaian Laporan Keuangan BUN. BAB IV PERNYATAAN TANGGUNG JAWAB Bagian Kesatu Pernyataan Tanggung Jawab jdih.kemenkeu.go.id Pasal 18 (1) Setiap unit akuntansi pada SATK membuat pernyataan tanggung jawab atas Laporan Keuangan yang disusunnya dan dilampirkan pada Laporan Keuangan semesteran dan tahunan. (2) Pernyataan tanggung jawab yang dibuat oleh UAKPA BUN TK, UAKKPA BUN TK, dan UAP BUN TK memuat pernyataan bahwa penyusunan Laporan Keuangan merupakan tanggung jawabnya, telah disusun berdasarkan sistem pengendalian internal yang memadai, dan isinya telah menyajikan informasi secara layak sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan. (3) Pernyataan tanggung jawab yang dibuat oleh UAKP BUN TK memuat pernyataan bahwa penggabungan Laporan Keuangan merupakan tanggung jawabnya, sedangkan substansi Laporan Keuangan dari masing- masing unit di bawahnya merupakan tanggung jawab UAP BUN TK, telah disusun berdasarkan sistem pengendalian internal yang memadai, dan isinya telah menyajikan informasi secara layak sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan. (4) Pernyataan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dapat diberikan paragraf penjelasan atas suatu kejadian yang belum termuat dalam Laporan Keuangan. Pasal 19 (1) Pernyataan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) untuk tingkat UAKPA BUN TK ditandatangani dengan ketentuan sebagai berikut:
Pernyataan tanggung jawab UAKPA BUN TK pengelola pengeluaran kerja sama internasional dan perjanjian internasional ditandatangani oleh kepala pusat di BKF yang ditunjuk sebagai KPA;
Pernyataan tanggung jawab UAKPA BUN TK pengelola pembayaran Fasilitas Penyiapan Proyek penugasan khusus kepada Badan Usaha Milik Negara ditandatangani oleh direktur di DJPPR yang ditunjuk sebagai KPA;
Pernyataan tanggung jawab UAKPA BUN TK pengelola pembayaran Fasilitas Penyiapan Proyek penyediaan infrastruktur dengan lembaga internasional dalam pembangunan dan/atau pengembangan kilang minyak di dalam negeri ditandatangani oleh pejabat yang ditunjuk sebagai KPA di kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang energ1 dan sumber daya mineral;
Pernyataan tanggung jawab UAKPA BUN TK pengelola pembayaran Dukungan Kelayakan ditandatangani oleh pejabat di kementerian/lembaga yang ditunjuk sebagai KPA;
Pernyataan tanggung jawab UAKPA BUN TK pengelola PNBP minyak bumi dan gas bumi ditandatangani oleh direktur di DJA yang mengelola i jdih.kemenkeu.go.id PNBP sumber daya alam dan kekayaan negara dipisahkan;
Pernyataan tanggung jawab UAKPA BUN TK pengelola PNBP panas bumi ditandatangani oleh direktur di DJA yang mengelola PNBP sumber daya alam dan kekayaan negara dipisahkan;
Pernyataan tanggung jawab UAKPA BUN TK pengelola setoran lainnya ditandatangani oleh direktur di DJA yang mengelola PNBP sumber daya alam dan kekayaan negara dipisahkan;
Pernyataan tanggung jawab UAKPA BUN TK pengelola Aset Bekas Milik Asing/Tionghoa ditandatangani oleh direktur di DJKN yang menangani pengelolaan kekayaan negara;
Pernyataan tanggung jawab UAKPA BUN TK pengelola BMN Hulu Migas ditandatangani oleh kepala pusat atau deputi yang menangani pengelolaan BMN Hulu Migas; J. Pernyataan tanggung jawab UAKPA BUN TK pengelola BMN PKP2B ditandatangani oleh kepala pusat yang menangani pengelolaan BMN PKP2B pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral;
Pernyataan tanggung jawab UAKPA BUN TK pengelola Aset Eks Pertamina ditandatangani oleh direktur di DJKN yang menangani pengelolaan kekayaan negara; I. Pernyataan tanggung jawab UAKPA BUN TK pengelola BMN Eks BMN Idle ditandatangani oleh direktur di DJKN yang menangani perumusan kebijakan kekayaan negara;
Pernyataan tanggung jawab UAKPA BUN TK pengelola aset yang timbul dari pemberian BLBI ditandatangani oleh direktur di DJKN yang menangani pengelolaan kekayaan negara;
Pernyataan tanggung jawab UAKPA BUN TK pengelola aset lainnya dalam pengelolaan DJKN ditandatangani oleh direktur di DJKN yang menangani pengelolaan kekayaan negara;
Pernyataan tanggung jawab UAKPA BUN TK pengelola piutang untuk dana antisipasi penanggulangan lumpur Sidoarjo ditandatangani oleh pejabat di unit kerja pada kementerian/lembaga yang ditunjuk selaku KPA;
Pernyataan tanggung jawab UAKPA BUN TK pengelola piutang kepada yayasan supersemar ditandatangani oleh direktur di DJKN yang menangani pengelolaan kekayaan negara;
Pernyataan tanggung jawab UAKPA BUN TK penggantian biaya dan margin yang wajar atas investasi pemerintah untuk program pemulihan ekonomi nasional ditandatangani oleh direktur di DJKN yang menangani kekayaan negara yang dipisahkan; jdih.kemenkeu.go.id r. Pernyataan tanggung jawab UAKPA BUN TK pengelola belanja/beban jaminan sosial, belanja/beban selisih harga beras Perum Bulog, dan pelaporan akumulasi iuran pensiun ditandatangani oleh direktur di DJPb yang ditunjuk sebagai KPA;
Pernyataan tanggung jawab UAKPA BUN TK pengelola pendapatan dan belanja/beban untuk pengelolaan kas negara ditandatangani oleh direktur di DJPb yang menangani pengelolaan kas negara;
Pernyataan tanggung jawab UAKPA BUN TK transaksi penggunaan PNBP BUN PKN ditandatangani oleh KPA satuan kerja pengelolaan, pengembangan, dan pengawasan BUN;
Pernyataan tanggung jawab UAKPA BUN TK pengelola utang perhitungan fihak ketiga ditandatangani oleh direktur di DJPb yang ditunjuk sebagai KPA;
Pernyataan tanggung jawab UAKPA BUN TK Pengelola utang perhitungan fihak ketiga Pajak Rokok ditandatangani oleh direktur di DJPK yang menangani penyusunan laporan keuangan atas penerimaan dan penyetoran pajak rokok;
Pernyataan tanggung jawab UAKPA BUN TK pengelola pendapatan dan be ban untuk pengelolaan penerimaan negara ditandatangani oleh kepala KPPN yang menangani pengelolaan penerimaan negara selaku kuasa BUN daerah;
Pernyataan tanggung jawab UAKPA BUN TK pengelola belanja/beban pengeluaran untuk keperluan layanan perbankan ditandatangani oleh direktur di DJPb yang ditunjuk sebagai KPA; dan
Pernyataan tanggung jawab UAKPA BUN TK pengelola pendapatan dan be ban untuk pengelolaan rekening valuta asing pada kuasa BUN daerah ditandatangani oleh kepala KPPN selaku kuasa BUN daerah yang memiliki rekening valuta asing. (2) Pernyataan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) untuk UAKKPA BUN TK pengelola BMN Hulu Migas ditandatangani oleh kepala biro yang menangani keuangan pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral. (3) Pernyataan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) untuk tingkat UAP BUN TK ditandatangani dengan ketentuan sebagai berikut:
Pernyataan tanggung jawab UAP BUN TK pengelola pengeluaran keperluan hubungan internasional ditandatangani oleh kepala BKF;
Pernyataan tanggung jawab UAP BUN TK pengelola:
pembayaran Fasilitas Penyiapan Proyek; dan
pembayaran Dukungan Kelayakan, ditandatangani oleh Direktur Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko; jdih.kemenkeu.go.id c. Pernyataan tanggung jawab UAP BUN TK pengelola PNBP yang dikelola oleh DJA ditandatangani oleh Direktur J enderal Anggaran;
Pernyataan tanggung jawab UAP BUN TK pengelola transaksi aset dan belanja/beban yang berada dalam pengelolaan DJKN ditandatangani oleh Direktur Jenderal Kekayaan Negara;
Pernyataan tanggung jawab UAP BUN TK Pengelola:
belanja/beban jaminan sosial, belanja/beban selisih harga beras Perum Bulog, dan pelaporan akumulasi iuran pensiun;
pendapatan dan belanja/beban pengelolaan kas negara;
transaksi penggunaan PNBP BUN PKN;
utang perhitungan fihak ketiga pegawai;
pendapatan dan beban untuk pengelolaan penerimaan negara;
belanja/beban pengeluaran untuk keperluan layanan perbankan; dan
pendapatan dan beban untuk pengelolaan rekening valuta asing pada kuasa BUN daerah, ditandatangani oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan; dan
Pernyataan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) untuk tingkat UAKP BUN TK ditandatangani oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan. BABV MODUL SISTEM AKUNTANSI DAN PELAPORAN KEUANGAN TRANSAKSI KHUSUS Pasal 20 Tata cara penyusunan dan penyampaian Laporan Keuangan pada SATK dilaksanakan dengan berpedoman pada Modul SATK sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri 1n1. BAB VI PERNYATAAN TELAH DIREVIU Pasal 21 (1) Untuk meyakinkan keandalan informasi yang disajikan dalam Laporan Keuangan, dilakukan Reviu atas Laporan Keuangan bagian anggaran BUN pengelolaan transaksi khusus. (2) Reviu atas Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan mengenai Reviu atas Laporan Keuangan BUN. BAB VII KETENTUAN LAIN-LAIN jdih.kemenkeu.go.id Pasal 22 Dalam hal transaksi layanan perbankan belum memiliki daftar isian pelaksanaan anggaran tersendiri, akuntansi dan pelaporan keuangan atas transaksi tersebut dilaksanakan oleh UAKPA BUN TK pengelola belanja/beban jaminan sosial, belanja/beban selisih harga beras Perum Bulog, dan pelaporan akumulasi iuran pensiun. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 23 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 256/PMK.05/2015 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Transaksi Khusus (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 2054) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 127 /PMK.05/2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 256/PMK.05/2015 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Transaksi Khusus (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1347), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 24 Peraturan Menteri 1n1 mulai berlaku pada tanggal diundangkan. jdih.kemenkeu.go.id
Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Kehutanan Dana Reboisasi.
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah dana yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu dari pendapatan negara untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam yang selanjutnya disingkat DBH SDA adalah bagian daerah yang berasal dari penerimaan sumber daya alam kehutanan, mineral dan batubara, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan pengusahaan panas bumi.
Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Kehutanan Dana Reboisasi yang selanjutnya disebut DBH DR adalah bagian daerah yang berasal dari penerimaan sumber daya alam kehutanan dana reboisasi.
Dana Reboisasi yang selanjutnya disingkat DR adalah dana untuk reboisasi dan rehabilitasi hutan serta kegiatan pendukungnya yang dipungut dari pemegang izin usaha pemanfatan hasil hutan dari hutan alam yang berupa kayu.
Provisi Sumber Daya Hutan selanjutnya disingkat PSDH adalah pungutan yang dikenakan sebagai pengganti nilai intrinsik dari hasil yang dipungut dari Hutan Negara.
Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan selanjutnya disingkat IIUPH adalah pungutan yang dikenakan kepada Pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hutan atas suatu kawasan hutan tertentu yang dilakukan sekali pada saat izin tersebut diberikan.
Reboisasi adalah upaya penanaman jenis pohon pada Kawasan Hutan, untuk mengembalikan fungsi Hutan.
Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disingkat DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.
Penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS yang selanjutnya disebut Penanaman Rehabilitasi DAS adalah penanaman di dalam dan di luar kawasan hutan yang merupakan salah satu kewajiban pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan dan pemegang Keputusan Menteri tentang Pelepasan Kawasan Hutan akibat tukar menukar kawasan hutan sebagai upaya untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi DAS.
Penghijauan adalah kegiatan untuk memulihkan dan meningkatkan daya dukung lahan di luar Kawasan Hutan untuk mengembalikan fungsi lahan.
Perhutanan Sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan, dan dinamika sosial budaya dalam bentuk hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan rakyat, hutan adat, dan kemitraan kehutanan.
Pemberdayaan Masyarakat adalah upaya mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat.
Kesatuan Pengelola Hutan yang selanjutnya disebut KPH adalah wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya yang dapat dikelola secara efisien dan lestari.
Hasil Hutan Kayu adalah benda-benda hayati yang berupa Hasil Hutan Kayu yang dipungut dari hutan alam.
Hasil Hutan Bukan Kayu yang selanjutnya disingkat HHBK adalah hasil hutan hayati selain kayu baik nabati maupun hewani beserta produk turunan dan budidaya yang berasal dari hutan negara.
Sisa DBH DR Provinsi adalah selisih lebih antara alokasi DBH DR dengan realisasi penggunaan DBH DR yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan selama satu periode tahun anggaran dan/atau beberapa tahun anggaran.
Sisa DBH DR Kabupaten/Kota adalah DBH Kehutanan dari Dana Reboisasi yang merupakan bagian kabupaten/kota sampai dengan tahun anggaran 2016, yang masih terdapat di Rekening Kas Umum Daerah.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
Kepala Daerah adalah gubernur bagi provinsi atau bupati bagi kabupaten atau wali kota bagi kota.
Rancangan Kegiatan dan Penganggaran Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi yang selanjutnya disebut RKP DBH DR adalah rencana kegiatan dan penganggaran yang dapat dibiayai oleh DBH Kehutanan Dana Reboisasi sesuai ketentuan perundangan yang berlaku, dan diselaraskan dengan program kerja Pemerintah Daerah pada tahun anggaran berjalan.
Pembina Teknis merupakan pejabat/pegawai di unit Eselon I KLHK yang memiliki kewenangan sesuai tugas pokok dan fungsi untuk melakukan pemantauan program/kegiatan baik melalui peninjauan lapangan atau analisis data sekunder.
Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan serta Penerbitan, Penandatanganan, dan Pengiriman Keputusan atau Ketetapan Pajak secara E ...
Relevan terhadap
Penandatanganan Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) oleh Wajib Pajak orang pribadi dilakukan dengan menggunakan Sertifikat Elektronik atau Kode Otorisasi DJP Wajib Pajak orang pribadi dimaksud.
Penandatanganan Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) oleh Wajib Pajak selain Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan menggunakan Sertifikat Elektronik atau Kode Otorisasi DJP orang pribadi yang merupakan wakil Wajib Pajak.
Wakil Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu:
pengurus, bagi Wajib Pajak badan;
kurator, bagi Wajib Pajak badan yang dinyatakan pailit;
orang atau orang pribadi yang mewakili badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan, bagi Wajib Pajak badan dalam pembubaran;
likuidator, bagi Wajib Pajak badan dalam likuidasi;
salah seorang ahli waris, pelaksana wasiat, atau pihak yang mengurus harta peninggalan, bagi Wajib Pajak warisan belum terbagi;
wali atau pengampu, bagi anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan; atau
bagi Instansi Pemerintah diwakili oleh:
kepala Instansi Pemerintah pusat, kuasa pengguna anggaran, atau pejabat yang melaksanakan fungsi tata usaha keuangan pada Instansi Pemerintah pusat, untuk Instansi Pemerintah pusat;
kepala Instansi Pemerintah daerah atau pejabat yang melaksanakan fungsi tata usaha keuangan pada satuan kerja perangkat daerah, untuk Instansi Pemerintah daerah; atau
kepala desa atau perangkat desa yang melaksanakan pengelolaan keuangan desa berdasarkan keputusan kepala desa, untuk Instansi Pemerintah desa.
Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi atau badan menunjuk seorang kuasa, kuasa Wajib Pajak tersebut menandatangani Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dengan menggunakan Sertifikat Elektronik atau Kode Otorisasi DJP kuasa Wajib Pajak tersebut.
Dokumen Elektronik yang ditandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) memiliki kekuatan hukum yang sama dengan dokumen cetakan (manual) yang ditandatangani selain dengan menggunakan Tanda Tangan Elekronik.
Wajib Pajak dapat melakukan perubahan penggunaan Tanda Tangan Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) dan ayat (5) dari:
Sertifikat Elektronik menjadi Kode Otorisasi DJP;
Kode Otorisasi DJP menjadi Sertifikat Elektronik; atau c. Sertifikat Elektronik dari Penyelenggara Sertifikasi Elektronik menjadi Sertifikat Elektronik dari Penyelenggara Sertifikasi Elektronik lainnya.
Perubahan penggunaan Tanda Tangan Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan dengan menyampaikan pemberitahuan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui laman Direktorat Jenderal Pajak atau laman lain yang terintegrasi dengan laman Direktorat Jenderal Pajak sebelum perubahan penggunaan Tanda Tangan Elektronik tersebut dilakukan.
Wajib Pajak menyampaikan Dokumen Elektronik yang telah ditandatangani oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) melalui:
laman Direktorat Jenderal Pajak;
laman atau aplikasi lain yang terintegrasi dengan sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak; dan/atau c. Contact Center.
Berdasarkan penyampaian Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (8), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan BPE.
Tanggal yang tercantum dalam BPE sebagaimana dimaksud pada ayat (9) merupakan tanggal diterimanya Dokumen Elektronik sesuai dengan tanggal pengiriman secara elektronik dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak atau sistem administrasi yang terintegrasi dengan sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak.
Dokumen Elektronik yang telah diterbitkan BPE sebagaimana dimaksud pada ayat (9), ditindaklanjuti:
secara otomatis oleh sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak;
oleh pejabat atau petugas Contact Center ; atau
oleh pejabat atau petugas di KP2KP, KPP, Kantor Wilayah DJP, atau kantor pusat Direktorat Jenderal Pajak, sesuai dengan tata cara sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Permohonan Keberatan Hak Uji Materiil Terhadap Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Pengh ...
Relevan terhadap 6 lainnya
ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 88 dari 111 halaman. Putusan Nomor 34 P/HUM/2020 berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia; o. Salah satu jenis Standar Akuntansi Keuangan (SAK), yang berlaku di Indonesia yang diperuntukkan untuk Wajib Pajak orang pribadi tertentu (yang melaksanakan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya di bawah Rp4,8 miliar setahun) adalah Standar Akuntansi Keuangan Entitas Mikro, Kecil, dan Menengah. Dalam Standar Akuntansi Keuangan Entitas Mikro, Kecil, dan Menengah tersebut terdapat pengaturan terkait akuntansi translasi untuk transaksi dalam mata uang asing yang menimbulkan keuntungan atau kerugian selisih kurs; p. Oleh karena itu, pada Wajib Pajak orang pribadi tertentu tidak akan akan timbul pertentangan antara Standar Akuntansi Keuangan Entitas Mikro, Kecil, dan Menengah, Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah 94 Tahun 2010, dan Pasal 28 ayat (2) dan ayat (12) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cata Perpajakan terkait keuntungan selisih kurs mata uang asing bagi Wajib Pajak orang pribadi tertentu; q. Bahwa yang dipermasalahkan oleh Wajib Pajak sejatinya adalah Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia khususnya yang mengatur mengenai selisih kurs, bukan terkait pertentangan antara Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tidak bertentangan dengan Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cata Perpajakan; r. Berdasarkan uraian di atas, semakin jelas bahwa ketentuan Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tidak bertentangan dengan Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cata Perpajakan; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 88
ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 87 dari 111 halaman. Putusan Nomor 34 P/HUM/2020 melakukan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas. Dengan adanya pengaturan terkait standar atau pedoman justru menimbulkan kepastian hukum karena semua Wajib Pajak yang menyelenggarakan pembukuan menggunakan standar yang sama sesuai dengan keadaan atau entitasnya masing-masing; k. Bahwa berdasarkan Pasal 28 ayat (12) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cata Perpajakan, Bentuk dan tata cara pencatatan untuk Wajib Pajak Orang Pribadi tertentu diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, yaitu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pencatatan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, yang kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-4/PJ/2009 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pencatatan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi (PER- 4/PJ/2009); l. Bahwa dalam PER-4/PJ/2009 di atur bahwa pencatatan yang harus diselenggaran oleh Wajib Pajak Orang Pribadi tertentu salah satunya adalah penghasilan bruto yang diterima dari luar kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas yang penghasilannya merupakan objek pajak yang tidak dikenai pajak bersifat final, termasuk biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan tersebut, dan total penghasilan neto dari penghasilan tersebut, serta melakukan pencatatan atas harta dan kewajiban yang dimilikinya; m. Salah satu jenis penghasilan dari luar kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas sebagaimana huruf l yang dilakukan pencatatan berupa penghasilan bruto, biaya (pengurang), dan penghasilan netonya adalah keuntungan selisih kurs yang diterima Wajib Pajak orang pribadi tertentu; n. Bahwa ketentuan Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah 94 Tahun 2010 menyatakan keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing diakui sebagai penghasilan atau biaya Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 87
ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 49 dari 111 halaman. Putusan Nomor 34 P/HUM/2020 1. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal; 2. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya; 3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambil alihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun; 4. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihakpihak yang bersangkutan; dan 5. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan; e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak; f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 49
Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan.
Relevan terhadap
Wajib Pajak yang telah memperoleh Keputusan Menteri Keuangan mengenai pengurangan Pajak Penghasilan badan berdasarkan Peraturan Menteri ini, tidak dapat diberikan fasilitas Pajak Penghasilan untuk penanaman modal di bidang usaha tertentu dan/atau di daerah tertentu sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah mengenai fasilitas Pajak Penghasilan untuk penanaman modal di bidang usaha tertentu dan/atau di daerah tertentu sebelum berakhirnya jangka waktu pemanfaatan pengurangan Pajak Penghasilan badan.
Wajib Pajak yang telah selesai memanfaatkan pengurangan Pajak Penghasilan badan berdasarkan Peraturan Menteri ini, dapat diberikan fasilitas Pajak Penghasilan untuk penanaman modal di bidang usaha tertentu dan/atau di daerah tertentu sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah mengenai fasilitas Pajak Penghasilan untuk penanaman modal di bidang usaha tertentu dan/atau di daerah tertentu sepanjang memenuhi ketentuan yang berlaku.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) juga berlaku bagi:
Wajib Pajak yang mendapatkan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.011/2011 tentang Pemberian Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.011/2014 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.011/2011 tentang Pemberian Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan; atau
Wajib Pajak yang mendapatkan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 159/PMK.010/2015 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 103/PMK.010/2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 159/PMK.010/2015 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan.
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Industri Pionir adalah industri yang memiliki keterkaitan yang luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional.
Kegiatan Usaha Utama adalah bidang usaha dan jenis produksi sebagaimana tercantum dalam izin prinsip, izin investasi, atau pendaftaran penanaman modal Wajib Pajak pada saat pengajuan permohonan pengurangan Pajak Penghasilan badan, termasuk perluasan dan perubahannya sepanjang termasuk dalam kriteria Industri Pionir.
Saat Mulai Berproduksi Komersial adalah saat pertama kali hasil produksi dari Kegiatan Usaha Utama dijual ke pasaran dan/atau digunakan sendiri untuk proses produksi lebih lanjut.
Wajib Pajak yang memperoleh pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2:
harus menyelenggarakan pembukuan secara terpisah atas penghasilan yang mendapatkan pengurangan Pajak Penghasilan badan dan penghasilan lainnya yang tidak mendapatkan pengurangan Pajak Penghasilan badan; dan
tetap melaksanakan kewajiban pemotongan dan pemungutan pajak kepada pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Biaya bersama bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang tidak dapat dipisahkan dalam rangka penghitungan besarnya Penghasilan Kena Pajak, pembebanannya dialokasikan secara proporsional.
Penghasilan yang diterima dan diperoleh Wajib Pajak dari Kegiatan Usaha Utama, tidak dilakukan pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan selama periode pemanfaatan pengurangan Pajak Penghasilan badan tanpa penerbitan surat keterangan bebas pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan.
Penghasilan yang diterima dan diperoleh Wajib Pajak dari luar Kegiatan Usaha Utama, tetap dilakukan pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan.
Pedoman Penggunaan Sistem Informasi Kredit Program.
Relevan terhadap
Penggunaan SIKP bertujuan untuk:
menghubungkan para pemangku kepentingan Kredit Program dengan fitur layanan sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini;
meningkatkan akurasi basis data pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah sebagai sasaran penerima Kredit Program;
menyediakan basis data tunggal sebagai dasar perumusan kebijakan Kredit Program;
memberikan layanan informasi yang cepat, akurat, dan terintegrasi dalam implementasi KUR dan/atau skema lain yang ditetapkan oleh Pemerintah; dan
meningkatkan akurasi perhitungan dan kecepatan pembayaran Subsidi Bunga dan/atau fasilitas lainnya.
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
Menteri Keuangan yang selanjutnya disebut Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. t 2. Sistem Informasi Kredit Program yang selanjutnya disingkat SIKP adalah sistem informasi elektronik yang digunakan untuk menatausahakan dan menyediakan informasi penyaluran Kredit Program.
Kredit Program adalah kredit/pembiayaan usaha yang disalurkan oleh lembaga keuangan, badan layanan umum atau koperasi simpan pinjam yang memperoleh fasilitas dari pemerintah untuk pembiayaan usaha mikro, kecil, dan menengah.
Kredit Usaha Rakyat yang selanjutnya disingkat KUR adalah kredit/pembiayaan modal kerja dan/atau investasi kepada debitur usaha yang produktif dan layak namun belum memiliki agunan tambahan atau agunan tambahan belum cukup.
Subsidi Bunga KUR yang selanjutnya disebut dengan Subsidi Bunga adalah subsidi berupa bagian bunga yang menjadi beban pemerintah sebesar selisih antara tingkat bunga yang diterima oleh penyalur KUR dengan tingkat bunga yang dibebankan kepada penerima KUR.
Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan.
Pengelola SIKP adalah unit yang berwenang mengelola SIKP.
Penyedia SIKP adalah pihak yang membangun dan mengembangkan SIKP.
Pengguna SIKP adalah pihak yang memiliki Hak Akses un tuk menggunakan SIKP.
Komite Kebijakan Pembiayaan bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang selanjutnya disebut Komite Kebijakan adalah komite yang dibentuk oleh Presiden melalui Keputusan Presiden yang diberi kewenangan dalam memberikan arahan kebijakan pembiayaan bagi usaha mikro, kecil, dan menengah. 1 1. Kementerian/Lembaga adalah Kernen terian Negara/Lembaga pelaksana teknis yang menjadi anggota Komite Kebijakan.
Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang mem1mpm pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
Penyalur adalah lembaga keuangan, badan layanan umum atau koperasi simpan pinjam yang ditunjuk untuk menyalurkan Kredit Program.
Penjamin adalah perusahaan penJamm yang ditunjuk untuk memberikan penjaminan atas Kredit Program. 1 5. Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kewenangan dan tanggung jawab dari Pengguna Anggaran untuk menggunakan anggaran pemberian fasilitas pembiayaan bagi usaha mikro, kecil dan menengah yang dikuasakan kepadanya.
Kode Pengguna adalah kode kewenangan Pengguna SIKP yang diberikan oleh Pengelola SIKP.
Kode Akses adalah angka, huruf, simbol, karakter lainnya atau kombinasi di antaranya, yang merupakan kunci untuk dapat mengakses SIKP.
Hak Akses adalah hak untuk melakukan interaksi dengan SIKP.
Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan.
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 129/PMK.05/2020 tentang Pedoman Pengelolaan Badan Layanan Umum ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Badan Layanan Umum yang selanjutnya disingkat BLU adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.
Praktik Bisnis yang Sehat adalah penyelenggaraan fungsi organisasi berdasarkan kaidah-kaidah manajemen yang baik dalam rangka pemberian layanan yang bermutu dan berkesinambungan.
Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum yang selanjutnya disingkat PPK-BLU adalah pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan Praktik Bisnis yang Sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai pengelolaan keuangan BLU, sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan negara pada umumnya.
Pemerintah adalah pemerintah pusat.
Menteri/Pimpinan Lembaga adalah pejabat yang bertanggung jawab atas bidang tugas BLU yang bersangkutan.
Kementerian Negara/Lembaga adalah kementerian negara/lembaga Pemerintah yang dipimpin oleh Menteri/Pimpinan Lembaga yang bertanggung jawab atas bidang tugas yang diemban oleh suatu BLU.
Satuan Kerja Instansi Pemerintah yang selanjutnya disebut Satker adalah setiap kantor atau satuan kerja di lingkungan Pemerintah yang berkedudukan sebagai pengguna anggaran/barang atau kuasa pengguna anggaran/barang.
Pejabat Pengelola BLU yang selanjutnya disebut Pejabat Pengelola adalah pegawai negeri sipil dan/atau tenaga profesional nonpegawai negeri sipil yang bertanggung jawab terhadap kinerja operasional dan keuangan BLU, yang terdiri dari pemimpin, pejabat keuangan, dan pejabat teknis, yang sebutannya dapat disesuaikan dengan nomenklatur yang berlaku pada BLU yang bersangkutan.
Dewan Pengawas BLU yang selanjutnya disebut Dewan Pengawas adalah organ BLU yang bertugas melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada Pejabat Pengelola dalam menjalankan pengelolaan BLU dengan didukung oleh Sekretaris Dewan Pengawas yang dapat dibantu oleh Sekretariat Dewan Pengawas, dan dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya dapat dibantu oleh Komite Audit.
Pemimpin BLU adalah Pejabat Pengelola yang bertugas sebagai penanggung jawab umum operasional dan keuangan BLU.
Pejabat Keuangan BLU yang selanjutnya disebut Pejabat Keuangan adalah Pejabat Pengelola yang berfungsi sebagai penanggung jawab keuangan BLU.
Pejabat Teknis BLU yang selanjutnya disebut Pejabat Teknis adalah Pejabat Pengelola yang berfungsi sebagai penanggung jawab teknis di bidang masing- masing pada BLU.
Sekretaris Dewan Pengawas BLU yang selanjutnya disebut Sekretaris Dewan Pengawas adalah orang perseorangan yang diangkat untuk mendukung penyelenggaraan tugas Dewan Pengawas.
Komite Audit adalah komite yang dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada Dewan Pengawas untuk membantu pelaksanaan tugas dan fungsi Dewan Pengawas. 14A. Sekretariat Dewan Pengawas BLU yang selanjutnya disebut Sekretariat Dewan Pengawas adalah orang perseorangan dan/atau tim yang diangkat untuk membantu Sekretaris Dewan Pengawas dalam penyelenggaraan tugas teknis dan administratif kesekretariatan Dewan Pengawas.
Pegawai BLU yang selanjutnya disebut Pegawai adalah pegawai negeri sipil dan/atau tenaga profesional nonpegawai negeri sipil yang mendukung kinerja BLU sesuai dengan kebutuhan BLU.
Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga yang selanjutnya disingkat RKA-K/L adalah dokumen rencana keuangan tahunan Kementerian Negara/Lembaga yang disusun menurut Bagian Anggaran Kementerian Negara/Lembaga.
Rencana Strategis Bisnis BLU yang selanjutnya disingkat RSB adalah dokumen perencanaan lima tahunan yang disusun oleh Pemimpin BLU dengan mengacu kepada rencana strategis Kementerian Negara/Lembaga.
Rencana Bisnis dan Anggaran BLU yang selanjutnya disingkat RBA adalah dokumen perencanaan bisnis dan penganggaran yang berisi program, kegiatan, target kinerja, dan anggaran suatu BLU.
RBA Definitif adalah RBA yang telah disesuaikan dengan RKA-K/L dan Peraturan Presiden mengenai rincian anggaran pendapatan dan belanja negara yang telah disahkan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga.
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Petikan BLU yang selanjutnya disebut DIPA Petikan BLU adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran per Satker BLU yang dicetak secara otomatis melalui sistem, yang berisi mengenai informasi kinerja, rincian pengeluaran, rencana penarikan dana dan perkiraan penerimaan, dan catatan, yang berfungsi sebagai dasar dalam pelaksanaan kegiatan Satker BLU.
Pola Anggaran Fleksibel adalah pola anggaran yang belanjanya dapat bertambah atau berkurang dari yang dianggarkan sepanjang pendapatan terkait bertambah atau berkurang setidaknya proporsional.
Persentase Ambang Batas adalah besaran persentase realisasi belanja yang diperkenankan melampaui anggaran dalam DIPA Petikan BLU.
Ikhtisar RBA adalah ringkasan RBA yang berisikan program, kegiatan dan sumber pendapatan, dan jenis belanja serta pembiayaan sesuai dengan format RKA-K/L dan format DIPA Petikan BLU.
Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Rekening Operasional BLU adalah rekening lainnya dalam bentuk giro milik BLU yang dipergunakan untuk menampung seluruh penerimaan atau membayar seluruh pengeluaran BLU yang dananya bersumber dari penerimaan negara bukan pajak BLU pada Bank Umum.
Rekening Operasional Penerimaan BLU adalah Rekening Operasional BLU yang dipergunakan untuk menampung seluruh penerimaan BLU yang dananya bersumber dari penerimaan negara bukan pajak BLU pada Bank Umum.
Rekening Operasional Pengeluaran BLU adalah Rekening Operasional BLU yang dipergunakan untuk membayar seluruh pengeluaran BLU yang dananya bersumber dari penerimaan negara bukan pajak BLU pada Bank Umum.
Rekening Pengelolaan Kas BLU adalah rekening lainnya milik BLU yang dapat berbentuk deposito pada Bank Umum dan/atau rekening pada bank kustodian untuk penempatan idle cash yang terkait dengan pengelolaan kas BLU.
Rekening Dana Kelolaan BLU adalah rekening lainnya dalam bentuk giro milik BLU yang dipergunakan untuk menampung dana yang tidak dapat dimasukkan ke dalam Rekening Operasional BLU dan Rekening Pengelolaan Kas BLU pada Bank Umum, untuk menampung dana yang dapat berasal dari alokasi bagian anggaran bendahara umum negara, salah satunya dana bergulir dan/atau dana yang belum menjadi hak BLU.
Beauty Contest adalah metode pemilihan penyedia jasa lainnya dengan mengundang seseorang/pelaku usaha untuk melakukan peragaan/pemaparan profil perusahaan yang dilakukan karena alasan efektivitas dan efisiensi dengan berpedoman pada aturan yang ditetapkan oleh Pemimpin BLU.
Piutang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah dan/atau hak Pemerintah yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah.
Piutang BLU adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada BLU dan/atau hak BLU yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah.
Panitia Urusan Piutang Negara yang selanjutnya disingkat PUPN adalah panitia yang bersifat interdepartemental dan bertugas mengurus Piutang Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960.
Penanggung Utang kepada BLU yang selanjutnya disebut Penanggung Utang adalah badan atau orang yang berutang kepada BLU menurut peraturan, perjanjian atau sebab apapun termasuk badan atau orang yang menjamin seluruh penyelesaian utang penanggung utang.
PSBDT adalah Piutang Negara Sementara Belum Dapat Ditagih.
Pinjaman BLU yang selanjutnya disebut Pinjaman adalah semua transaksi yang mengakibatkan BLU menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain sehingga BLU tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali.
Perjanjian Pinjaman adalah naskah perjanjian atau naskah lain yang dipersamakan yang memuat kesepakatan mengenai Pinjaman antara BLU dengan pemberi Pinjaman.
Aset BLU adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh BLU sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh serta dapat diukur dalam satuan uang, dan sumber-sumber daya yang dipelihara karena alasan sejarah dan budaya.
Aset Lancar BLU adalah Aset BLU yang diperkirakan akan direalisasi atau dimiliki untuk dijual atau digunakan dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dimiliki untuk diperdagangkan atau untuk tujuan jangka pendek yang diharapkan akan direalisasi dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan dari tanggal neraca, dan/atau berupa kas atau setara kas yang penggunaannya tidak dibatasi, meliputi kas dan setara kas, investasi jangka pendek, piutang usaha, piutang lain-lain, persediaan, uang muka, dan biaya dibayar di muka.
Aset Tetap BLU adalah Aset BLU yang berwujud dan mempunyai masa manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk digunakan, atau dimaksudkan untuk digunakan, dalam kegiatan Pemerintah atau dimanfaatkan oleh masyarakat umum.
Aset Lainnya BLU adalah Aset BLU selain Aset Lancar BLU, investasi jangka panjang BLU, dan Aset Tetap BLU.
Pemanfaatan Aset adalah pendayagunaan Aset BLU dan/atau aset milik pihak lain untuk kegiatan yang terkait atau dalam rangka mendukung pelaksanaan Tugas dan Fungsi BLU, melalui kerja sama antara BLU dengan pihak lain yang dituangkan dalam naskah perjanjian dengan tidak mengubah status kepemilikan.
Kerja Sama Sumber Daya Manusia dan/atau Manajemen yang selanjutnya disebut KSM adalah pendayagunaan Aset BLU dan/atau aset milik pihak lain dengan mengikutsertakan sumber daya manusia dan/atau kemampuan manajerial dari BLU dan/atau pihak lain, dalam rangka mengembangkan kapasitas layanan dan meningkatkan daya guna, nilai tambah, dan manfaat ekonomi dari Aset BLU.
Mitra Pemanfaatan Aset atau KSM yang selanjutnya disebut Mitra adalah pihak lain yang melakukan perikatan dengan BLU dalam rangka Pemanfaatan Aset atau KSM.
Tugas dan Fungsi BLU adalah kegiatan/aktivitas yang dilaksanakan oleh Pejabat Pengelola dan/atau Pegawai pada BLU dalam rangka memberikan dan/atau meningkatkan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan struktur organisasi dan tata kerja pada BLU yang telah ditetapkan Menteri/Pimpinan Lembaga.
Pemanfaatan Aset Tanah dan Bangunan adalah pendayagunaan atas tanah dan/atau gedung dan bangunan milik BLU untuk digunakan BLU dan/atau Mitra, sesuai dengan perjanjian.
Pemanfaatan Aset Selain Tanah dan/atau Bangunan adalah pendayagunaan atas aset selain tanah dan/atau bangunan yang dikuasai atau dimiliki oleh BLU untuk digunakan BLU dan/atau Mitra, sesuai dengan perjanjian.
Kas Negara adalah tempat menyimpan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara.
Dana Kelolaan adalah dana yang dikelola oleh BLU yang bersumber dari bagian anggaran bendahara umum negara pengelolaan investasi Pemerintah.
Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh kantor pelayanan perbendaharaan negara selaku kuasa bendahara umum negara untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban anggaran pendapatan dan belanja negara berdasarkan surat perintah membayar.
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang memperoleh kuasa dari bendahara umum negara untuk melaksanakan sebagian fungsi kuasa bendahara umum negara.
Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari pengguna anggaran untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan.
Surat Keterangan Telah Dibukukan yang selanjutnya disingkat SKTB adalah surat keterangan yang diterbitkan oleh KPPN yang menyatakan bahwa surplus anggaran dan/atau Dana Kelolaan telah disetor dan dibukukan KPPN.
Tata Kelola yang Baik pada BLU yang selanjutnya disebut Tata Kelola yang Baik adalah suatu sistem yang dirancang untuk mengarahkan pengelolaan BLU berdasarkan prinsip-prinsip transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban, dan kewajaran, untuk pencapaian penyelenggaraan kegiatan BLU yang memperhatikan kepentingan setiap pihak yang terkait dalam penyelenggaraan kegiatan BLU, berlandaskan peraturan perundang- undangan dan Praktik Bisnis yang Sehat. 54A. Penilaian Tata Kelola dan Kinerja BLU adalah suatu cara dalam menilai pengelolaan BLU dengan menggunakan basis hasil dan proses pada aspek dan indikator yang selaras dan ekuivalen untuk seluruh BLU berdasarkan prinsip dasar penilaian maturitas yang terdiri atas 5 (lima) tingkatan utama.
Nilai Omzet adalah jumlah seluruh pendapatan operasional yang diterima oleh BLU yang berasal dari jasa layanan yang diberikan kepada masyarakat, hasil kerja sama BLU dengan pihak lain dan/atau hasil usaha lainnya, dalam satu tahun anggaran.
Nilai Aset adalah jumlah aset yang tercantum dalam neraca BLU pada akhir suatu tahun buku tertentu.
Sistem Pengendalian Intern adalah proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh Pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan.
Pengawasan Intern adalah suatu kegiatan pemberian keyakinan dan konsultasi yang bersifat independen dan objektif, dengan tujuan untuk meningkatkan nilai dan memperbaiki operasional BLU, melalui pendekatan yang sistematis, dengan cara mengevaluasi dan meningkatkan efektivitas manajemen risiko, pengendalian, dan proses tata kelola BLU.
Satuan Pengawasan Intern BLU yang selanjutnya disingkat SPI adalah unit kerja BLU yang menjalankan fungsi pengawasan intern.
Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
Gaji adalah imbalan kerja berupa uang yang bersifat tetap yang diterima oleh Pejabat Pengelola dan Pegawai setiap bulan.
Honorarium adalah imbalan kerja berupa uang yang bersifat tetap, yang diterima oleh Dewan Pengawas, Sekretaris Dewan Pengawas, anggota Komite Audit, dan anggota Sekretariat Dewan Pengawas setiap bulan.
Tunjangan Tetap adalah imbalan kerja berupa uang yang bersifat tambahan pendapatan di luar Gaji, yang diterima oleh pimpinan BLU setiap bulan.
Insentif adalah imbalan kerja berupa uang yang bersifat tambahan pendapatan di luar Gaji/Honorarium, yang diterima oleh Pejabat Pengelola, Pegawai, Dewan Pengawas, Sekretaris Dewan Pengawas, anggota Komite Audit, dan anggota Sekretariat Dewan Pengawas.
Hari Raya adalah Hari Raya Idul Fitri.
Setelah ketentuan ayat (10) Pasal 4 ditambahkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (11) sehingga Pasal 4 berbunyi sebagai berikut:
Pengelolaan Barang Milik Negara yang Berasal dari Benda Muatan Kapal Tenggelam
Relevan terhadap
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA YANG BERASAL DARI BENDA MUATAN KAPAL TENGGELAM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
Benda Muatan Kapal Tenggelam yang selanjutnya disingkat BMKT adalah benda muatan kapal tenggelam yang memiliki nilai sejarah, ilmu pengetahuan, budaya, dan/atau ekonomi yang berada di dasar laut. 3. BMN yang Berasal Dari BMKT yang selanjutnya disebut BMN BMKT adalah semua BMKT yang merupakan bagian Pemerintah Pusat yang ditetapkan sebagai BMN berdasarkan ketentuan peraturan perundangan- undangan yang mengatur mengenai pengelolaan BMKT. 4. Objek yang Diduga Cagar Budaya yang selanjutnya disingkat ODCB adalah benda, bangunan, struktur, dan/atau lokasi yang diduga memenuhi kriteria sebagai cagar budaya. 5. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 6. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. 7. Pengelola Barang BMN BMKT adalah pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab menetapkan kebijakan dan pedoman serta melakukan pengelolaan BMN BMKT. 8. Pengguna Barang BMN BMKT adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan BMN BMKT. 9. Menteri Keuangan yang selanjutnya disebut Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. 10. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang selanjutnya disebut Kemendikbudristek adalah kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan, kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi. 11. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang selanjutnya disebut Mendikbudristek adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan, kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi. 12. Kementerian Kelautan dan Perikanan adalah kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan. 13. Menteri Kelautan dan Perikanan adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan. 14. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang selanjutnya disebut Direktorat Jenderal adalah unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang kekayaan negara, penilaian, dan lelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Direktur Jenderal Kekayaan Negara yang selanjutnya disebut Direktur Jenderal adalah pejabat eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang kekayaan negara, penilaian, dan lelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. 16. Direktur adalah pejabat eselon II padEt kantor pusat Direktorat Jenderal yang memiliki kewenangan, tugas, dan fungsi di bidang pengelolaan BMN BMKT. 1 7. Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang yang selanjutnya disebut Kantor Pelayanan adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal yang berada dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal. 18. Pemindahtanganan adalah pengalihan kepemilikan BMN. 19. Hibah adalah pengalihan kepemilikan BMN dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah/Desa atau dari Pemerintah Pusat kepada Pihak Lain, tanpa memperoleh penggantian. 20. Penjualan adalah pengalihan kepemilikan BMN kepada Pihak Lain dengan menerima penggantian dalam bentuk uang. 21. Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/ a tau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi, yang didahului dengan pengumuman Lelang. 22. Pemanfaatan adalah pendayagunaan BMN yang belum atau tidak digunakan secara optimal dengan tidak mengubah status kepemilikan. 23. Sewa adalah Pemanfaatan dalam jangka waktu tertentu dengan membayar imbalan dalam bentuk uang kepada negara. 24. Pinjam Pakai adalah Pemanfaatan oleh Pemerintah Daerah dalam jangka waktu tertentu tanpa membayar imbalan. 25. Penggunaan adalah kegiatan yang dilakukan oleh pengguna barang dalam mengelola dan menatausahakan BMN yang sesuai dengan tugas dan fungsi instansi yang bersangkutan. 26. Penggunaan Sementara adalah Penggunaan oleh Kementerian/Lembaga selain Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kemendikbudristek yang dilakukan dalam jangka waktu tertentu. 27. Penetapan Status Penggunaan adalah keputusan pengelola barang atas BMN kepada Pengguna Barang untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi Kementerian/ Lembaga. 28. Penghapusan adalah tindakan menghapus BMN dari daftar barang dengan menerbitkan keputusan dari pejabat yang berwenang untuk membebaskan pengelola barang dan pengguna barang dari tanggung jawab administrasi dan fisik atas barang yang berada dalam penguasaannya.
Penatausahaan adalah rangkaian kegiatan yang meliputi pencatatan dan pelaporan BMN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 30. Penilaian adalah proses kegiatan untuk memberikan suatu opini nilai atas suatu objek penilaian pada saat tertentu. 31. Penilai Pemerintah adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melakukan Penilaian, termasuk atas hasil penilaiannya secara independen sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. 32. Penilai Publik adalah Penilai selain Penilai Pemerintah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penilai publik. 33. Nilai Wajar adalah estimasi harga yang akan diterima dari penjualan aset atau dibayarkan untuk penyelesaian kewajiban antara pelaku pasar yang memahami dan berkeinginan untuk melakukan transaksi wajar pada tanggal penilaian. 34. Nilai Limit adalah nilai minimal barang yang akan dilelang dan ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan. 35. Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau badan usaha yang melakukan usaha dan/ a tau kegiatan pada bidang tertentu. 36. Pihak Lain adalah pihak selain Pemerintah Pusat/Daerah/Desa, Pelaku Usaha, dan pihak yang terlibat langsung dalam pelaksanaan kegiatan pada bidang pengelolaan BMKT. Pasal 2 Peraturan Menteri ini mengatur pengelolaan BMN BMKT yang meliputi:
BMN BMKT berupa ODCB; dan
BMN BMKT berupa bukan ODCB, yang merupakan bagian Pemerintah Pusat berdasarkan peraturan perundang-undangan mengenai Pengelolaan BMKT. Pasal 3 (1) Kewenangan Mendikbudristek dan Menteri Kelautan dan Perikanan dalam pengelolaan BMKT yang merupakan bagian pemerintah pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMKT. (2) Berdasarkan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
Mendikbudristek menetapkan BMKT berupa ODCB yang merupakan bagian Pemerintah Pusat sebagai BMNBMKT. b. Menteri Kelautan dan Perikanan menetapkan BMKT berupa bukan ODCB yang merupakan bagian Pemerintah Pusat sebagai BMN BMKT. BAB II KEWENANGAN Pasal 4 Menteri selaku pengelola barang melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. Pasal 5 (1) Mendikbudristek selaku Pengguna Barang BMN BMKT memiliki kewenangan dan tanggung jawab:
melakukan Penatausahaan atas BMN BMKT berupa ODCB;
melakukan pengamanan administrasi, pengamanan fisik, dan pengamanan hukum terhadap BMN BMKT berupa ODCB yang berada dalam penguasaannya;
mengajukan permohonan persetujuan Hibah dan Penghapusan atas BMN BMKT berupa ODCB kepada Menteri;
mengajukan usulan Pemanfaatan, Penggunaan Sementara, dan Penetapan Status Penggunaan BMN BMKT berupa ODCB kepada Menteri; dan
menandatangani perjanjian Sewa, perjanjian Pinjam Pakai, dan Penggunaan Sementara BMN BMKT berupa ODCB. (2) Kewenangan dan tanggungjawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilimpahkan kepada pejabat struktural sesuai dengan mekanisme pendelegasian kewenangan di lingkungan Kemendikbudristek. Pasal 6 (1) Menteri Kelau tan dan Perikanan selaku Pengguna Barang BMN BMKT memiliki kewenangan dan tanggung jawab:
melakukan Penatausahaan BMN BMKT berupa bukan ODCB;
melakukan pengamanan administrasi, pengamanan fisik, dan pengamanan hukum terhadap BMN BMKT berupa bukan ODCB yang berada dalam penguasaannya;
mengajukan permohonan persetujuan Pemindahtanganan dan Penghapusan atas BMN BMKT berupa bukan ODCB;
mengajukan usulan Pemanfaatan, Penggunaan Sementara, dan Penetapan Status Penggunaan BMN BMKT berupa bukan ODCB kepada Menteri; dan
menandatangani perjanjian Sewa, perjanjian Pinjam Pakai, dan Penggunaan Sementara BMN BMKT. (2) Dalam hal BMN BMKT dilakukan penjualan melalui Lelang, Menteri Kelautan dan Perikanan selaku penjual Lelang:
mengajukan permohonan Penilaian atas BMN BMKT berupa bukan ODCB;
menetapkan Nilai Limit Penjualan secara Lelang atas BMN BMKT berupa bukan ODCB; dan
mengajukan permohonan Penjualan secara lelang atas BMN BMKT berupa bukan ODCB. (3) Kewenangan dan tanggungjawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilimpahkan kepada pejabat struktural sesuai dengan mekanisme pendelegasian kewenangan di lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan. BAB III PEMINDAHTANGANAN,PEMANFAATAN,PENGGUNAAN,DAN PENATAUSAHAAN BARANG MILIK NEGARA YANG BERASAL DARI BENDA MUATAN KAPAL TENGGELAM Bagian Kesatu Umum Pasal 7 (1) Pengelolaan BMN BMKT meliputi:
Pemindahtanganan;
Pemanfaatan;
Penggunaan Sementara;
Penetapan Status Penggunaan;
Penghapusan; dan
Penatausahaan. (2) Pengelolaan BMN BMKT sepanjang tidak diatur dalam Peraturan Menteri ini, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang BMN. Bagian Kedua Pemindahtanganan Pasal 8 (1) BMN BMKT dilakukan Pemindahtanganan melalui:
Penjualan; atau
Hibah. (2) Pemindahtanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a hanya meliputi BMN BMKT berupa bukan ODCB. (3) Pemindahtanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah mendapatkan persetujuan Menteri. Paragraf 1 Penjualan Pasal 9 (1) Penjualan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a dilakukan secara Lelang melalui Kantor Pelayanan tempat BMN BMKT berada atas permohonan Menteri Kelautan dan Perikanan. (2) Terhadap BMN BMKT yang menjadi objek Penjualan harus dilakukan Penilaian. (3) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Penilai Pemerintah atau Penilai Publik untuk mendapatkan Nilai Wajar.
Nilai Wajar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi dasar bagi Menteri Kelautan dan Perikanan dalam menetapkan Nilai Limit. (5) Nilai Limit sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan setelah mempertimbangkan bea Lelang pembeli sebagai pengurang dari Nilai Wajar sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (6) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Penilaian. Pasal 10 (1) Dalam hal Penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dilakukan oleh Penilai Pemerintah, Menteri Kelautan dan Perikanan mengajukan permohonan Penilaian kepada Kantor Pelayanan tempat BMN BMKT berada. (2) Permohonan Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), melampirkan dokumen berupa daftar BMN BMKT yang dimohonkan Penilaian. Pasal 11 (1) Penjualan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut:
Menteri Kelautan dan Perikanan mengajukan permohonan persetujuan Penjualan melalui Lelang kepada Menteri;
permohonan persetujuan Penjualan sebagaimana dimaksud pada huruf a, melampirkan dokumen berupa:
daftar BMN BMKT yang dimohonkan Penjualan; dan
laporan Penilaian;
Menteri melakukan penelitian administratif atas permohonan persetujuan Penjualan sebagaimana dimaksud pada huruf b;
berdasarkan penelitian administratif sebagaimana dimaksud pada huruf c:
dalam hal permohonan disetujui, Menteri menerbitkan surat persetujuan; atau
dalam hal permohonan tidak disetujui, Menteri menerbitkan surat penolakan; dan
surat persetujuan atau penolakan Menteri diterbitkan paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak permohonan dari Menteri Kelautan dan Perikanan diterima secara lengkap. (2) Surat persetujuan atau penolakan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d ditandatangani oleh Direktur atas nama Menteri. (3) Persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d angka 1 berlaku selama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal persetujuan diterbitkan. Pasal 12 (1) Berdasarkan persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf d angka 1, Menteri Kelautan dan Perikanan mengajukan permohonan Penjualan melalui Lelang kepada Kantor Pelayanan dengan melampirkan dokumen sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Lelang. (2) Hasil bersih Penjualan melalui Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetorkan ke Kas Negara. (3) Hasil bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan hasil Penjualan setelah dikurangi dengan bea lelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang Lelang. Pasal 13 (1) Dalam hal BMN BMKT laku terjual dalam Penjualan melalui Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Menteri Kelautan dan Perikanan melaksanakan serah terima BMN BMKT kepada pembeli Lelang, yang dituangkan dalam suatu berita acara serah terima. (2) Menteri Kelautan dan Perikanan melaporkan pelaksanaan Penjualan melalui Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri dengan melampirkan Salinan Risalah Lelang, bukti setor ke Kas Negara, dan beri ta acara serah terima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak .berita acara serah terima ditandatangani. Pasal 14 (1) Dalam hal BMN BMKT tidak laku terjual dalam Penjualan melalui Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Menteri Kelau tan dan Perikanan dapat mengajukan permohonan Lelang ulang kepada Kantor Pelayanan tempat BMN BMKT berada. (2) Proses Penjualan melalui Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13 berlaku secara mutatis mutandis terhadap penjualan melalui Lelang ulang se bagaimana dimaksud pada ayat (1). Paragraf 2 Hibah Pasal 15 (1) Hibah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b dilakukan dengan pertimbangan untuk kepentingan sosial, budaya, keagamaan, kemanusiaan, pendidikan yang bersifat non komersial, dan/atau penyelenggaraan pemerintahan daerah/ desa. (2) Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan Menteri. (3) Hibah atas BMN BMKT berupa ODCB diberikan kepada Pemerintah Daerah.
Hibah atas BMN BMKT berupa bukan ODCB diberikan kepada:
lembaga sosial, lembaga budaya, lembaga keagamaan, lembaga kemanusiaan, atau lembaga pendidikan yang bersifat non komersial; atau
Pemerintah Daerah/Desa. (5) Untuk dapat diberikan Hibah, Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a harus menyertakan bukti dokumen berupa akta pendirian, anggaran dasar/rumah tangga, atau pernyataan tertulis dari instansi teknis yang kompeten· bahwa lembaga yang bersangkutan merupakan lembaga termaksud dalam permohonan Hibah. (6) BMN BMKT yang telah dihibahkan digunakan sesuai peruntukan Hibah dan tidak diperbolehkan untuk dimanfaatkan oleh dan/atau dipindahtangankan kepada Pihak Lain. Pasal 16 (1) Permohonan Hibah BMN BMKT diajukan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek kepada Menteri. (2) Permohonan Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat data/keterangan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai hibah BMN. (3) Permohonan Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), melampirkan dokumen berupa:
berita acara pemeriksaan administrasi dan/atau fisik; dan
dokumen pembuktian suatu lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (5). (4) Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek mengusulkan Hibah dengan nilai yang didasarkan pada nilai perolehan BMN BMKT. (5) Menteri melakukan penelitian administratif atas permohonan Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (6) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (5):
permohonan Hibah disetujui, Menteri menerbitkan surat persetujuan; atau
permohonan Hibah tidak disetujui, Menteri menerbitkan surat penolakan. (7) Surat persetujuan atau penolakan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diterbitkan paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak permohonan dari Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek diterima secara lengkap. Pasal 17 (1) Persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (6) huruf a ditandatangani oleh Direktur atas nama Menteri. (2) Persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat data/keterangan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai hi bah BMN.
Berdasarkan persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek melaksanakan Hibah paling lama 1 (satu) bulan sejak persetujuan diterbitkan. (4) Pelaksanaan Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dituangkan dalam naskah Hibah dan suatu berita acara serah terima. (5) Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek menyampaikan laporan pelaksanaan Hibah kepada Menteri dengan melampirkan salinan naskah Hibah dan berita acara serah terima sebagaimana dimaksud pada ayat (4), paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak berita acara serah terima ditandatangani. Bagian Ketiga Pemanfaatan Pasal 18 (1) BMN BMKT dapat dilakukan Pemanfaatan. (2) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengubah status objek Pemanfaatan sebagai BMN BMKT. (3) BMN BMKT yang menjadi objek Pemanfaatan dilarang untuk:
dipindahtangankan; dan / a tau b. digadaikan atau dijadikan objekjaminan, oleh Pihak Lain yang melakukan Pemanfaatan. Pasal 19 (1) BMN BMKT dilakukan Pemanfaatan dalam bentuk:
Sewa; atau
Pin jam Pakai. (2) Pemanfaatan BMN BMKT dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan Menteri. (3) Jangka waktu Pemanfaatan BMN BMKT paling lama 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang. (4) Pihak Lain yang melakukan Pemanfaatan BMN BMKT wajib menyerahkan kembali BMN BMKT pada saat berakhirnya Pemanfaatan dalam kondisi baik. Paragraf 1 Sewa Pasal 20 (1) Sewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf a dilakukan oleh Pihak Lain. (2) Pihak Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengajukan permohonan Sewa secara tertulis kepada Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, dengan tembusan kepada Menteri, disertai dengan alasan yang mendasarinya. (3) Permohonan Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) minimal memuat data/keterangan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai sewa BMN.
Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, melakukan penelitian administratif terhadap permohonan Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang hasilnya dituangkan dalam suatu berita acara. (5) Berdasarkan berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dalam hal:
Permohonan ditindaklanjuti, Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, menyampaikan usulan persetujuan Sewa kepada Menteri; atau
permohonan tidak ditindaklanjuti, Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek menolak permohonan Sewa. (6) Usulan persetujuan kepada Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a minimal memuat:
ringkasan permohonan yang memuat identitas pemohon Sewa, rincian objek Sewa, peruntukan Sewa, jangka waktu Sewa, dan usulan besaran Sewa; dan
pertimbangan usulan persetujuan. (7) Menteri melakukan penelitian administratif atas usulan persetujuan Sewa dari Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek. (8) Berdasarkan penelitian administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (7), dalam hal:
Usulan ditindaklanjuti, Menteri menindaklanjuti dengan mengajukan permohonan Penilaian dalam rangka Sewa; atau
usulan tidak ditindaklanjuti, Menteri menolak usulan Sewa. (9) Permohonan Penilaian dalam rangka Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf a, melampirkan dokumen berupa:
daftar BMN BMKT yang dimohonkan Penilaian; dan
surat permohonan Sewa dari Pihak Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (10) Pelaksanaan Penilaian dalam rangka Sewa berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Penilaian. (11) Surat persetujuan atau penolakan Menteri diterbitkan paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak permohonan dari Menteri Kelau tan dan Perikanan a tau Mendikbudristek diterima secara lengkap. Pasal 21 (1) Sewa oleh Pihak Lain se bagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan Menteri. (2) Persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh Direktur atas nama Menteri dan minimal memuat data/keterangan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai sewa BMN, di tam bah dengan:
keterangan mengenai cara pembayaran Sewa;
kewajiban penyewa untuk membayar besaran uang Sewa dan melakukan pengamanan dan pemeliharaan objek Sewa; dan
kewajiban Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek untuk melakukan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan Sewa. (3) Besaran uang Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c merupakan hasil perkalian dari:
tarif pokok Sewa; dan
faktor penyesuai Sewa. (4) Penentuan tarif pokok Sewa dan faktor penyesuai Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pemanfaatan BMN. (5) Pembayaran uang Sewa dilakukan dengan penyetoran ke Kas Negara. (6) Pembayaran uang Sewa dibayarkan secara sekaligus sebelum penandatanganan perjanjian Sewa. (7) Dalam hal Pihak Lain tidak melakukan pembayaran sampai dengan batas waktu pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan tidak berlaku. (8) Berdasarkan persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan bukti setor ke Kas Negara untuk pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (6):
Menteri Kelautan dan Perikanan atau pejabat struktural yang berwenang di lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan, atau b. Mendikbudristek atau pejabat struktural yang berwenang di lingkungan Kemendikbudristek, dan Pihak Lain selaku penyewa menandatangani perjanjian Sewa. (9) Perjanjian Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (8) minimal memuat data/keterangan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai sewa BMN. Pasal 22 Pihak Lain yang menyewa BMN BMKT wajib:
membayar uang Sewa, yang ditetapkan oleh Menteri;
melakukan pengamanan dan pemeliharaan atas BMN BMKT yang menjadi objek Sewa; dan
mengembalikan objek Sewa dalam kondisi baik pada saat berakhirnya perjanjian Sewa. Pasal 23 (1) Jangka waktu Sewa atas BMN BMKT dapat diperpanjang dengan ketentuan setiap perpanjangan dilakukan untuk paling lama 3 (tiga) tahun. (2) Permohonan perpanjangan jangka waktu Sewa diajukan paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya jangka waktu Sewa.
Ketentuan mengenai permohonan, usulan, penelitian, persetujuan, dan tindak lanjut persetujuan Sewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22 berlaku secara mutatis mutandis terhadap perpanjangan jangka waktu Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Paragraf 2 Pinjam Pakai Pasal 24 (1) Pinjam Pakai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf b dilakukan oleh Pemerintah Daerah. (2) Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengajukan permohonan Pinjam Pakai secara tertulis kepada Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, dengan tembusan kepada Menteri, disertai dengan alasan yang mendasarinya. (3) Permohonan Pinjam Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat:
identitas Pemerintah Daerah selaku pemohon;
deskripsi BMN BMKT yang menjadi objek permohonan Pinjam Pakai;
peruntukan Pinjam Pakai; dan
jangka waktu Pinjam Pakai. (4) Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, melakukan penelitian terhadap permohonan Pinjam Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang hasilnya dituangkan dalam suatu berita acara. (5) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan penelitian administratif, yang dapat disertai pula dengan pemeriksaan fisik jika diperlukan dan hasilnya dituangkan dalam berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (6) Berdasarkan pada berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau ayat (5), dalam hal:
permohonan dapat ditindaklanjuti, Menteri Kelautan dan Perikanan a tau Mendikbudristek, menyampaikan usulan persetujuan Pinjam Pakai kepada Menteri; atau
permohonan tidak dapat ditindaklanjuti, Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, menolak permohonan Pinjam Pakai kepada Pemerintah Daerah. (7) Usulan persetujuan kepada Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a minimal memuat:
ringkasan permohonan yang memuat identitas Pemerintah Daerah, rincian objek Pinjam Pakai, peruntukan Pinjam Pakai, dan jangka waktu Pinjam Pakai; dan
pertimbangan usulan persetujuan. (8) Menteri melakukan penelitian administratif atas usulan persetujuan Pinjam Pakai dari Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek.
Berdasarkan hasil penelitian administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (8), dalam hal:
permohonan Pinjam Pakai disetujui, Menteri menerbitkan surat persetujuan; atau
permohonan Pinjam Pakai tidak disetujui, Menteri menerbitkan surat penolakan dan menyampaikannya kepada Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, dengan tembusan Pemerintah Daerah selaku pemohon. (10) Surat persetujuan atau penolakan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (9) diterbitkan paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak permohonan dari Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek diterima secara lengkap. Pasal 25 (1) Pinjam Pakai oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan Menteri. (2) Persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh Direktur atas nama Menteri dan minimal memuat:
identitas BMN BMKT yang menjadi objek Pinjam Pakai;
identitas Pemerintah Daerah yang menjadi peminjam pakai;
jangka waktu Pinjam Pakai;
kewajiban pemmJam pakai untuk melakukan pengamanan dan pemeliharaan BMN BMKT yang menjadi objek Pinjam Pakai selama jangka waktu Pinjam Pakai;
larangan kepada peminjam pakai untuk:
mengalihkan Pinjam Pakai; dan
menggunakan BMN BMKT yang menjadi objek Pinjam Pakai selain dari yang telah ditentukan dalam persetujuan Menteri;
pernyataan bahwa Pinjam Pakai tidak mengubah status kepemilikan BMN BMKT yang menjadi objek Pinjam Pakai; dan
kewajiban Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek untuk melakukan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan Pinjam Pakai. (3) Berdasarkan persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
Menteri Kelautan dan Perikanan atau pejabat struktural yang berwenang di lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan; atau
Mendikbudristek atau pejabat struktural yang berwenang di lingkungan Kemendikbudristek, dan Pemerintah Daerah selaku peminjam pakai membuat dan menandatangani Perjanjian Pinjam Pakai paling lama 1 (satu) bulan setelah tanggal persetujuan Menteri diterbitkan. Pasal 26 Pemerintah Daerah selaku peminjam pakai:
melakukan pengamanan dan pemeliharaan atas BMN BMKT yang menjadi objek Pinjam Pakai; dan
mengembalikan objek Pinjam Pakai dalam kondisi baik pada saat berakhirnya perjanjian Pinjam Pakai. Pasal 27 (1) Jangka waktu Pinjam Pakai atas BMN BMKT dapat diperpanjang dengan ketentuan setiap perpanjangan dilakukan untuk paling lama 3 (tiga) tahun. (2) Permohonan perpanjangan jangka waktu Pinjam Pakai diajukan paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya jangka waktu Pinjam Pakai. (3) Ketentuan mengenai permohonan, usulan, penelitian, persetujuan, dan tindak lanjut persetujuan Pinjam Pakai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, Pasal 25, dan Pasal 26 berlaku secara mutatis mutandis terhadap perpanjangan jangka waktu Pinjam Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Bagian Keempat Penggunaan Sementara Pasal 28 (1) BMN BMKT dapat dilakukan Penggunaan Sementara. (2) Penggunaan Sementara dilaksanakan oleh Kementerian/Lembaga selain Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kemendikbudristek setelah mendapat persetujuan Menteri. (3) Penggunaan Sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengubah status objek Penggunaan Sementara sebagai BMN BMKT. (4) Pemeliharaan atas BMN BMKT yang menjadi objek Penggunaan Sementara dibebankan pada anggaran pihak yang melakukan Penggunaan Sementara. (5) Penggunaan Sementara dilakukan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang. (6) Pihak yang melakukan Penggunaan Sementara wajib menyerahkan kembali BMN BMKT pada saat berakhirnya Penggunaan Sementara dalam kondisi baik. Pasal 29 (1) Kementerian/Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) mengajukan permohonan Penggunaan Sementara secara tertulis kepada Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, dengan tembusan kepada Menteri, disertai dengan alasan yang mendasarinya. (2) Permohonan Penggunaan Sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat data/keterangan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan sementara BMN.
Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, melakukan penelitian terhadap permohonan Penggunaan Sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang hasilnya dituangkan dalam suatu berita acara. (4) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan penelitian administratif, yang dapat disertai pula dengan pemeriksaan fisik jika diperlukan dan hasilnya dituangkan dalam berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Berdasarkan pada berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau ayat (4), dalam hal:
permohonan dapat ditindaklanjuti, Menteri Kelautan dan Perikanan a tau Mendikbudristek, menyampaikan usulan persetujuan Penggunaan Sementara kepada Menteri; atau
permohonan tidak dapat ditindaklanjuti, Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, menolak permohonan Penggunaan Sementara kepada Kementerian/Lembaga selaku pemohon. (6) Usulan persetujuan kepada Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a minimal memuat:
ringkasan permohonan yang memuat identitas Kernen terian / Lembaga, rincian o bjek Penggunaan Sementara, peruntukan Penggunaan Sementara, dan jangka waktu Penggunaan Sementara; dan
pertimbangan usulan persetujuan. (7) Menteri melakukan penelitian administratif atas usulan persetujuan Penggunaan Sementara dari Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek. (8) Berdasarkan hasil penelitian administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (7), dalam hal:
permohonan Penggunaan Sementara disetujui, Menteri menerbitkan surat persetujuan; atau
permohonan Penggunaan Sementara tidak disetujui, Menteri menerbitkan surat penolakan dan menyampaikannya kepada Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, dengan tembusan Kementerian/ Lembaga selaku pemohon. (9) Surat persetujuan atau penolakan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diterbitkan paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak permohonan dari Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek diterima secara lengkap. Pasal 30 (1) Penggunaan Sementara oleh Kementerian/Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan Menteri. (2) Persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh Direktur atas nama Menteri dan minimal memuat data/keterangan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengguanaan sementara BMN, ditambah dengan:
larangan kepada pengguna sementara untuk:
mengalihkan Penggunaan Sementara; dan
menggunakan BMN BMKT yang menjadi objek Penggunaan Sementara selain dari yang telah ditentukan dalam persetujuan Menteri;
pernyataan bahwa Penggunaan Sementara tidak mengubah status kepemilikan BMN BMKT yang menjadi objek Penggunaan Sementara; dan
kewajiban Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek untuk melakukan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan Penggunaan Sementara. (3) Berdasarkan persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
Menteri Kelautan dan Perikanan atau pejabat struktural yang berwenang di lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan, atau b. Mendikbudristek atau pejabat struktural yang berwenang di lingkungan Kemendikbudristek, dan Kementerian/Lembaga selaku pengguna sementara membuat dan menandatangani perjanjian Penggunaan Sementara paling lama 1 (satu) bulan setelah tanggal persetujuan Menteri diterbitkan. Pasal 31 Kementerian/ Lembaga selaku pengguna sementara:
melakukan pengamanan dan pemeliharaan atas BMN BMKTyang menjadi objek Penggunaan Sementara; dan
mengembalikan objek Penggunaan Sementara dalam kondisi baik pada saat berakhirnya perjanjian Penggunaan Sementara. Pasal 32 (1) Jangka waktu Penggunaan Sementara BMN BMKT dapat diperpanjang dengan ketentuan setiap perpanjangan dilakukan untuk paling lama 2 (dua) tahun. (2) Permohonan perpanjangan jangka waktu Penggunaan Sementara diajukan paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya jangka waktu Penggunaan Sementara. (3) Ketentuan mengenai permohonan, usulan, penelitian, persetujuan, dan tindak lanjut persetujuan Penggunaan Sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, dan Pasal 31 berlaku secara mutatis mutandis terhadap perpanjangan jangka waktu Penggunaan Sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Bagian Kelima Penetapan Status Penggunaan Pasal 33 (1) Penetapan Status Penggunaan BMN BMKT dilakukan oleh Menteri. (2) BMN BMKT yang menjadi objek Penetapan Status Penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi BMKT berupa ODCB dan BMKT berupa bukan ODCB.
Penetapan Status Penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan terhadap BMN BMKT yang digunakan untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. Pasal 34 (1) Permohonan Penetapan Status Penggunaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 diajukan secara tertulis oleh Menteri/Pimpinan Lembaga selaku pemohon kepada Menteri melalui Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, disertai dengan dasar pertimbangan dan rencana peruntukan. (2) Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, melakukan penelitian terhadap permohonan Penetapan Status Penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang hasilnya dituangkan dalam suatu berita acara. (3) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan penelitian administratif, yang dapat disertai pula dengan pemeriksaan fisik jika diperlukan dan hasilnya dituangkan dalam berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Berdasarkan berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau ayat (3), dalam hal:
permohonan dapat ditindaklanjuti, Menteri Kelautan dan Perikanan a tau Mendikbudristek, menyampaikan usulan Penetapan Status Penggunaan kepada Menteri; atau
permohonan tidak dapat ditindaklanjuti, Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, menolak permohonan Penetapan Status Penggunaan dan menyampaikannya kepada Menteri/Pimpinan Lembaga selaku pemohon dengan tembusan Menteri. (5) Menteri melakukan penelitian administratif atas usulan Penetapan Status Penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a. (6) Dalam hal berdasarkan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (5):
permohonan disetujui, Menteri menerbitkan surat keputusan Penetapan Status Penggunaan; atau
permohonan ditolak, Menteri menerbitkan surat penolakan dan menyampaikannya kepada Menteri/Pimpinan Lembaga selaku pemohon. (7) Surat keputusan atau penolakan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diterbitkan paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak permohonan dari Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek diterima secara lengkap. (8) Surat keputusan atau penolakan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditandatangani oleh Direktur atas nama Menteri. Pasal 35 (1) Berdasarkan surat keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (6) huruf a dilakukan serah terima BMN BMKT dari Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, kepada Menteri/Pimpinan Lembaga paling lama 1 (satu) bulan sejak surat keputusan Menteri ditetapkan, yang dituangkan dalam suatu berita acara serah terima. (2) Berdasarkan berita acara serah terima sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri/Pimpinan Lembaga melakukan pencatatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. Bagian Keenam Penghapusan Pasal 36 (1) Menteri Kelautan dan Perikanan dan Mendikbudristek dapat mengajukan permohonan Penghapusan BMN BMKT. (2) Tata cara Penghapusan BMN BMKT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. Bagian Ketujuh Penatausahaan Pasal 37 (1) Penatausahaan BMN BMKT meliputi pencatatan dan pelaporan. (2) Penatausahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara:
manual; dan/atau
elektronik melalui sistem aplikasi pendukung. Pasal 38 (1) Menteri Kelautan dan Perikanan serta Mendikbudristek melakukan pencatatan BMN BMKT dalam daftar BMN BMKT. (2) Pencatatan BMN BMKT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan secara semesteran dan tahunan kepada Menteri. (3) Informasi perubahan daftar BMN BMKT, dicantumkan dalam laporan semesteran dan tahunan. (4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan dalam pelaksanaan pengelolaan termasuk untuk pengawasan dan pengendalian BMN BMKT. BABV PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN Pasal 39 (1) Direktur melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap pengelolaan atas BMN BMKT.
Direktur melaporkan hasil pengawasan dan pengendalian kepada Direktur J enderal. (3) Pengawasan dan pengendalian terhadap pengelolaan atas BMN BMKT dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 40 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Nomor 184/PMK.06/2009 tentang Tata Cara Penetapan Status Penggunaan dan Penjualan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 440), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 41 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.