Pelaporan Pengelolaan Akumulasi Iuran Pensiun Pegawai Negeri Sipil dan Pejabat Negara.
Pengujian UU Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan UU Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan terhadap UUD Negara RI Tahun 1945 ...
Relevan terhadap
(1) Berdasarkan Undang-Undang ini, dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan, yang selanjutnya disebut LPS. (2) LPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah badan hukum. 10. Berkaitan dengan kerugian konstitusional, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 menentukan bahwa terdapat 5 (lima) syarat untuk menyatakan adanya kerugian konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi, yaitu sebagai berikut: a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD _1945; _ b. hak dan/atau kewenangan konstitusional Permohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu _Undang-Undang yang diuji; _ c. kerugian konstitusional yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual, atau setidaknya bersifat potensial yang _menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; _ d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian _dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji; _ e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. 11. Syarat-syarat untuk mengajukan permohonan Pengujian Undang-Undang ini dan adanya kerugian konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 telah terpenuhi sebagaimana diuraikan di bawah ini.
Pemohon berdasarkan Pasal 4 UU LPS mempunyai fungsi sebagai berikut: Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id a) Menjamin simpanan nasabah penyimpan; dan b) Turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya.
Dalam menjalankan fungsinya untuk menjamin nasabah penyimpan, Pemohon mempunyai tugas untuk: (a) merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan penjaminan simpanan; dan (b) melaksanakan penjaminan simpanan.
Sedangkan dalam menjalankan fungsinya untuk turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan, Pemohon mempunyai tugas sebagai berikut:
Merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan;
Merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan penyelesaian Bank Gagal (bank resolution) yang tidak berdampak sistemik; dan
Melaksanakan penanganan Bank Gagal yang berdampak sistemik.
Dalam rangka menjalankan tugasnya melakukan penyelesaian dan penanganan Bank Gagal, berdasarkan Pasal 6 ayat (2) UU LPS Pemohon juga diberikan kewenangan antara lain sebagai berikut:
Mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham, termasuk hak dan wewenang RUPS;
Menguasai dan mengelola aset dan kewajiban Bank Gagal yang diselamatkan;
Menjual dan/atau mengalihkan aset Bank tanpa persetujuan debitur dan/atau kewajiban bank tanpa persetujuan kreditur.
Secara lebih spesifik lagi, berdasarkan Pasal 30, Pasal 38, dan Pasal 42 UU LPS, Pemohon mempunyai kewajiban untuk menjual seluruh saham Bank Gagal yang diselamatkan dalam jangka waktu yang ditentukan, termasuk tanpa memperhatikan tingkat pengembalian yang optimal pada tahun terakhir (tahun ke-5 pada Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik atau tahun ke-6 pada Bank Gagal yang berdampak sistemik). Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id 17. Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Negara Indonesia adalah Negara hukum. Dalam konteks Negara hukum dan dalam konteks penguatan fungsi dan kewenangan LPS dalam rangka menjaga dan memelihara stabilitas sistem perbankan dan penjaminan simpanan nasabah, Pemohon juga dijamin hak konstitusionalnya untuk untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara melalui peran dan fungsi Pemohon sebagai lembaga yang turut aktif dalam menjaga stabilitas sistem perbankan. Hak konstitusional Pemohon ini diatur secara tegas dalam Pasal 28C ayat (2) UUD 1945.
Pemohon mempunyai hak konstitusional untuk memperoieh pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil dalam menjalankan fungsi, tugas dan kewenangannya yang telah diberikan oleh hukum berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas. Hak konstitusional tersebut secara tegas diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Namun demikian, hak-hak konstitusional Pemohon tersebut di atas dilanggar atau setidaknya menjadi terhambat oleh adanya ketentuan- ketentuan dalam UU Pasar Modal dan UU LPS sebagaimana diuraikan di bawah ini:
Kerugian konstitusional terkait dengan Pasal 45 UU Pasar Modal Pasal 45 UU Pasar Modal, khususnya frasa “ atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanyaf”. Pada ketentuan tersebut, frasa “atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanya” dapat dimaknai secara sempit, yaitu bahwa yang dimaksud dengan pihak tersebut semata-mata hanyalah pihak yang diberikan wewenang oleh pemegang rekening/efek (pemegang saham) berdasarkan perjanjian pemberian kuasa. Pemaknaan/penafsiran yang sekedar merujuk kepada adanya pemberian kuasa dimaksud mengakibatkan hak konstitusional Pemohon untuk mendapatkan perlindungan, jaminan dan kepastian hukum dalam menjalankan fungsi, tugas dan kewenangannya berdasarkan UU LPS untuk menjual seluruh saham Bank Gagal, termasuk saham milik pemegang saham lama pada Bank Gagal yang sahamnya diperjualbelikan di bursa, menjadi terhambat atau terhalangi tanpa adanya surat kuasa dari pemegang efek atau Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id pemegang saham lama. Padahal berdasarkan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU LPS, Pemohon telah diwajibkan untuk menjual seluruh saham Bank Gagal yang diselamatkan, termasuk saham milik pemegang saham lama yang diperjuabelikan di bursa (saham publik). Dengan demikian, frasa “ atau pihak yang diberikan wewenang untuk bertindak atas namanya” secara aktual maupun potensial merugikan Pemohon.
Kerugian konstitusional terkait Pasal 6 ayat (1) huruf d UU LPS Pasal 6 ayat (1) huruf d UU LPS khususnya frasa "sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank” __ berdasarkan penalaran yang sederhana juga berpotensi merugikan Pemohon untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum dalam menjalankan fungsi, tugas dan kewenangannya serta dalam rangka memperjuangkan hak secara kolektif untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. Hal ini karena disatu sisi berdasarkan UU LPS Pemohon diberikan hak dan wewenang untuk mendapatkan dokumen atau informasi yang dapat dikategorikan sebagai rahasia bank, bahkan berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Pemohon dalam menjalankan fungsi, tugas dan kewenangannya dapat melakukan pemeriksaan terhadap Bank, akan tetapi dengan adanya frasa “ sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank” mengakibatkan Pemohon dalam menjalankan fungsi, tugas dan kewenangannya menjadi terhambat bahkan berpotensi dianggap melakukan tindak pidana kejahatan perbankan karena terdapat aspek pidana terkait pelanggaran terhadap rahasia bank.
Kerugian Konstitusional terkait Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS Dalam Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5) dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS pada pokoknya dinyatakan apabila tingkat pengembalian yang optimal tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu yang ditentukan termasuk perpanjangannya, maka Pemohon wajib menjual saham Bank Gagal tanpa memperhatikan tingkat pengembalian yang optimal pada 1 (satu) tahun berikutnya (yaitu tahun ke-5 pada Bank Gagal yang Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id tidak berdampak sistemik atau tahun ke-6 pada Bank Gagal yang berdampak sistemik). Dalam hal ini, yang dimaksud tingkat pengembalian yang optimal adalah paling sedikit sebesar nilai Penyertaan Modal Sementara (PMS) yang dikeluarkan oleh Pemohon. Persoalannya, apabila pada tahun ke-5 atau tahun ke-6 Pemohon tetap melaksanakan penjualan tanpa memperhatikan tingkat pengembalian yang optimal, maka berdasarkan penalaran yang wajar terdapat potensi adanya permasalahan hukum yang akan dihadapi oleh Pemohon, yaitu Pemohon dapat dianggap telah merugikan keuangan negara. Sedangkan disisi lain, berdasarkan Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5) dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS, pada tahun ke-5 atau ke-6 Pemohon justru wajib menjual saham Bank Gagal tersebut tanpa perlu memperhatikan tingkat pengembalian yang optimal. Hal ini mengakibatkan hak konstitusional Pomohon untuk mendapatkan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil dalam menjalankan fungsi, tugas dan kewenangannya sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menjadi terlanggar. Oleh karena itu, apabila tidak dimaknai dengan benar maka ketentuan yang diatur dalam Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5) dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS secara aktual ataupun potensial berdasarkan penalaran sederhana atau wajar dapat merugikan Pemohon. Berkenaan dengan kerugian konstitusional tersebut di atas, di bawah ini Pemohon kutip pernyataan dari beberapa narasumber yang membuktikan adanya perbedaan pendapat sehingga berpotensi merugikan hak konstitusional Pemohon. Pro Kontra Nama Hadi Poernomo, Ketua BPK. Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana Anggota Komisi XI DPR, Dolfie OFP Jaksa Ahmad Burhanudin Waktu 04 April 2014 03 Oktober 2013 26 Desember 2013 20 Maret 2014 Pendapat Menurut Kepala Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Hadi Poernomo, dalam menjual Bank Mutiara, sebaiknya tetap mengacu pada Undang-Undang Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menilai, divestasi Bank Mutiara tidak bisa dilandaskan UU No 13/2003 tentang Keuangan Negara Langkah-langkah yang akan dilakukan harus dilakukan di antaranya berkonsultasi terlebih dahulu ke Presiden terkait rencana LPS berasal dari aset negara sehingga kekayaan LPS merupakan aset negara sebagaimana Pasal 81 Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2004 Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id No 24 tahun 2004, tentang Lembaga Penjamin Simpanan Pasal 42. "Kita kembali ke UU LPS Pasal 42 yang jelas bahwa sampai tahun kelima harus sesuai dengan harga talangan. Setelah kelima dijual berapapun juga," katanya di Gedung BPK, Jakarta, Jumat (4/4). dan UU No 31/1999 juncto UU No 20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, melainkan penjualan bank dalam penanganan LPS harus berlandaskan UU LPS. "Dalam pandangan saya, hal ini terjadi karena adanya ketentuan dari satu undang-undang dan undang-undang lain yang saling bertentangan. Bicara LPS, itu semua pihak harus konsentrasi ke undang-undang LPS dan tinggalkan ego sektoral dari UU yang biasa mereka pakai," tegasnya dalam LPS Seminar 2013 dengan topik Peran LPS Dalam Penyelamatan Bank Gagal di Jakarta, Rabu (2/10). Kekayaan LPS juga seharusnya dipisah dari keuangan negara sehingga bila terjadi kerugian negara, maka negara tidak dapat dibebani atas kerugian tersebut seperti halnya diberlakukan pada BUMN. Hikmahanto mengatakan, harus dihindari pandangan bahwa jika tahun depan LPS gagal menjual Mutiara di harga Rp 6,7 triliun itu berarti merugikan negara. tersebut. Pasalnya, Lembaga Penjamin Simpanan bertanggungjawab terhadap Presiden dalam hal ini Presiden SBY. "Hal yang perlu dibicarakan dengan Presiden adalah mengenai batas waktu yang telah dilampaui untuk menjual Bank mutiara dengan harga sesuai dengan PMS yang diterimanya," ujar Anggota Komisi XI DPR, Dolfie OFP saat berbincang dengan SOROT news.com, Kamis (26/12/2013). Dijelaskan Dolfie, Bank Mutiara sudah menerima penyertaan Modal Sementara (PMS) sebesar Rp. 6,7 Triliun ditambah Rp.1,25 Triliun. Oleh karena itu Bank Mutiara harus dijual minimal Rp.7,95 Triliun. ”Batas waktu penjualan kalau sesuai UU adalah 5 tahun sejak pertama kali di tangani LPS tahun 2008. Oleh karena itu tahun ini adalah batas akhir," tandasnya. ”Sesudahnya LPS dapat menjual dengan harga optimal. Jangan sampai harga optimal adalah harga obral. Apalagi BPK telah menyatakan adanya kerugian keuangan negara dalam mem- bailout bank mutiara. Kalau penjualannya di bawah harga, tentang LPS,” kata jaksa Ahmad Burhanudin di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (20/3/2014). Jaksa memaparkan, saat itu telah jatuh tempo pelunasan FPJP. Bank Century pun sampai dengan 4 Februari 2009 telah menerima dana PMS sebesar Rp. 5,797 triliun. Kemudian, Bank Century melunasi FPJP sebesar Rp. 689,394 miliar dan bunganya sebesar Rp. 16,8 miliar sehingga total Rp. 706,194 miliar. ”Perhitungan kerugian negara adalah nyata dan pasti jumlahnya yaitu berdasarkan perhitungan yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan,” lanjut jaksa. Sementara itu, pihak Budi Mulya menilai PMS masih terdapat di Bank Century yang saat ini bernama Bank Mutiara dan dikuasai oleh LPS. Dengan demikian, seharusnya belum dapat dipastikan perhitungan kerugian negaranya. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id maka kerugian negara akan bertambah banyak," tambahnya. Sumber http: //www.akt ual.co/hukum/1 65753ketua- bpk-sesuai-uu- Ips-mutiara- bisa-dijual-di- bawah- bailout - century http: //www.suarapem baruan.com/ekonomi danbisnis/lps-jangan- gentar-tangani- divestasi- mutiara/42886 http: //www.sorotne ws.com/berita/print/ dpr-meminta-lps- konsultasi- ke.5889.html http: //nasional.kom pas.com/read/2014 /03/20/1636361/Ini. Penjelasan.Jaksa.s oal.Kerugian.Negar a.Rp.7.4.Triliun.dal am.Kasus.Century.
Kerugian konstitusional terkait Pasal 85 ayat (2) dan ayat (3) UULPS Pengaturan Pasal 85 ayat (2) dan ayat (3) UU LPS telah melanggar hak konstitusional Pemohon untuk mendapatkan pegakuan, jaminan dan kepastian hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dalam rangka menjalankan fungsi, tugas dan wewenangnya. Hal ini karena adanya kata “dapat” __ pada Pasal 85 ayat (2) UU LPS mengakibatkan Pemohon tidak mendapatkan kepastian hukum untuk memperoieh pinjaman dari Pemerintah apabila Pemohon sedang mengalami kesulitan Iikuiditas. Sedangkan di sisi lain, berdasarkan Pasal 4 UU LPS Pemohon mempunyai tugas yang sangat penting, yaitu turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan dimana sewaktu-waktu memerlukan bantuan pinjaman dari Pemerintah apabila Pemohon sedang mengalami kesulitan Iikuiditas. Selain itu, pengaturan Pasal 85 ayat (3) UU LPS telah mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum bagi Pemohon untuk memperoieh Peraturan Pemerintah mengenai tata cara pemberian pinjaman dari Pemerintah apabila Pemohon mengalami kesulitan Iikuiditas. Hal ini karena berdasarkan Pasal 85 ayat (3) UU LPS, yang perlu diatur dalam Peraturan Pemerintah hanya mengenai tingkat Iikuiditas. Sedangkan ketentuan tersebut justru mengacu kepada Pasal 85 ayat (2) UU LPS yang mengatur mengenai pinjaman Pemerintah kepada Pemohon apabila Pemohon sedang mengalami kesulitan Iikuiditas. Hal ini mengakibatkan adanya ketidakpastian hukum bagi Pemohon untuk memperoleh Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai tata cara pemberian pinjaman dari Pemerintah kepada Pemohon dalam hal Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id Pemohon sedang mengalami kesulitan Iikuiditas dalam menjalankan fungsi, tugas dan kewenangannya.
Berdasarkan penalaran yang sederhana dan wajar telah merugikan Berdasarkan penjelasan di atas, ketentuan-ketentuan yang hendak diuji dalam permohonan Pengujian Undang-Undang ini secara aktual maupun potensial hak konstitusional Pemohon sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Adanya kerugian-kerugian konstitusional di atas secara langsung diakibatkan oleh adanya ketentuan-ketentuan yang hendak diuji dalam permohonan Pengujian Undang-Undang ini. Dengan demikian, terdapat hubungan sebab akibat (kausalitas) antara kerugian (baik aktual maupun potensial) yang dialami Pemohon dengan adanya ketentuan-ketentuan tersebut di atas. Oleh karena itu, permohonan Pengujian Undang-Undang ini dimohonkan Pemohon kepada Yang Mulia Majelis Mahkamah Konstitusi agar kerugian konstitusional dimaksud tidak akan terjadi.
Berdasarkan uraian di atas terbukti bahwa Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) yang sah untuk mengajukan permohonan Pengujian Undang-Undang ini, dan karenanya permohonan pengujian ini sudah sepatutnya dapat diterima untuk selanjutnnya pokok permasalahannya diperiksa dan diputus oleh Yang Mulia Majelis Mahkamah Konstitusi. III. Alasan-Alasan Permohonan III.A. Latar Belakang Pembentukan LPS 23. Industri perbankan merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam perekonomian nasional demi menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Stabilitas sistem perbankan sangat mempengaruhi stabilitas perekonomian secara keseluruhan.
Pada tahun 1998, krisis moneter dan perbankan yang menghantam Indonesia, yang ditandai dengan dilikuidasinya 16 (enam belas) bank, mengakibatkan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat pada sistem perbankan. Untuk mengatasi krisis yang terjadi, Pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan diantaranya memberikan jaminan atas seluruh kewajiban pembayaran bank, termasuk simpanan masyarakat ( blanket Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id guarantee ). Hal ini ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum dan Keputusan Presiden Nomor 193 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat.
Dalam pelaksanaannya, blanket guarantee dimaksud memang dapat menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan, namun ruang lingkup penjaminan yang terlalu luas menyebabkan timbulnya moral hazard baik dari sisi pengelola bank maupun masyarakat.
Untuk mengatasi hal tersebut dan agar tetap menciptakan rasa aman bagi nasabah penyimpan serta turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan, program penjaminan yang sangat luas lingkupnya tersebut perlu digantikan dengan sistem penjaminan yang terbatas.
Pada tanggal 22 September 2004, Presiden Republik Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), suatu lembaga independen yang berfungsi menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan.
Latar belakang pembentukan LPS tersebut pada dasarnya dalam rangka memelihara kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan, yang dilaksanakan melalui 2 (dua) fungsi, yaitu menjamin simpanan nasabah bank serta turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan.
Dalam rangka turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan, Pemohon diberikan tugas dan kewenangan untuk menangani Bank Gagal, baik Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik maupun Bank Gagal yang berdampak sistemik dengan atau tanpa penyertaan dari pemegang saham lama.
Dalam konteks penanganan Bank Gagal ini, terutama Bank Gagal yang berdampak sistemik, Pemohon oleh Undang-Undang telah diberikan kewenangan untuk mengambilalih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham termasuk hak dan wewenang RUPS, kepemilikan, sekaligus juga mempunyai kewajiban untuk pada waktu Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id tertentu menjual seluruh saham Bank Gagal yang diselamatkan.
Namun demikian, terdapat ketentuan-ketentuan yang secara aktual maupun potensial berdasarkan penalaran yang sederhana dan wajar merugikan hak-hak konstitusional Pemohon dalam melaksanakan fungsi, tugas dan kewenangannya. Oleh karena itu, diperlukan adanya permohonan Pengujian Undang-Undang ini terhadap ketentuan- ketentuan dimaksud guna menjamin adanya perlindungan dan kepastian hukum bagi Pemohon dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, termasuk dalam rangka membangun masyarakat, bangsa dan negara melalui peran dan fungsi Pemohon yang diatur dalam UU LPS. III.B. Pemohon Berhak Memajukan Diri Guna Memperjuangkan Haknya Secara Kolektif Untuk Membangun Masyarakat, Bangsa, dan Negara, Serta Mendapatkan Pengakuan, Jaminan, Perlindungan dan Kepastian Hukum Yang Adil Dalam Negara Hukum Republik Indonesia 32. Sejak adanya perubahan terhadap UUD 1945, terdapat perubahan yang mendasar dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.Perubahan tersebut antara lain konsepsi negara hukum atau Rechtsstaat yang sebelumnya hanya dirumuskan dalam Penjelasan UUD 1945, dirumuskan secara tegas dalam Pasal 1 angka 3 UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Dalam konsepsi negara hukum, maka hukum ditempatkan sebagai panglima (supremasi hukum) dalam dinamika kehidupan bernegara.
Selain itu, perubahan lainnya berupa adanya penghormatan yang lebih tegas terhadap hak-hak asasi manusia termasuk hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta hak untuk memajukan diri untuk memperjuangkan haknya secara kolektif dalam membangun masyarakat, bangsa dan negara;
Sebagai konsekuensi yuridis atas hal di atas, setiap orang termasuk badan hukum juga mempunyai hak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. Hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan sebagai berikut: Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.” 35. Lebih lanjut, sebagai konsekuensi yuridis Indonesia sebagai negara hukum, maka setiap orang termasuk badan hukum mempunyai hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum. Hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 28D ayat (1) yang menyatakan sebagai berikut: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan yang sama dihadapan hukum.” 36. Berdasarkan ketentuan di atas, terdapat hak konstitusional bagi setiap orang termasuk Pemohon sebagai badan hukum untuk mendapatkan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta memperjuangkan haknya secara kolektif dalam membangun masyarakat, bangsa dan negara.
Penghormatan atas hak-hak konstitusional Pemohon tersebut di atas sangat penting bagi Pemohon dalam rangka menjalankan fungsi, tugas dan kewenangan dalam rangka memberikan jaminan atas simpanan penyimpan serta turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan.
Dalam rangka turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan, Undang- Undang telah memberikan tugas kepada Pemohon antara lainuntuk menangani dan menyelamatkan Bank Gagal yang berdampak sistemik atau tidak berdampak sistemik, dengan atau tanpa melibatkan pemegang saham lama.
Dalam rangka penanganan dan penyeiamatan Bank Gagal yang berdampak sistemik, Pemohon diberikan kewenangan oleh hukum untuk mengambilalih dan menjalankan segala kewenangan RUPS serta menjual seluruh saham Bank Gagal yang diselamatkan dalam jangka waktu yang ditentukan.
Fungsi, tugas dan kewenangan tersebut di atas telah diberikan secara langsung oleh Undang-Undang dan karenanya Pemohon mempunyai hak konstitusional atas pengakuan, jaminan, perlindungan serta kepastian hukum dalam menjalankan fungsi, tugas dan kewenangannya. Selain itu, Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id Pemohon juga mempunyai hak konstitusional untuk memajukan diri dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara sesuai fungsi, tugas dan kewenangan yang dimiliki oleh Pemohon khususnya dalam rangka turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan.
Namun demikian, terdapat ketentuan-ketentuan dalam undang-undang yangmenghambat dan merugikan hak-hak konstitusional Pemohon dalam melaksanakan fungsi, tugas dan kewenangannya. Hal ini karena ketentuan-ketentuan tersebut telah menimbulkan adanya ketidakpastian hukum atau hilangnya jaminan hukum serta menghambat Pemohon dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. Oleh karena itu, Pemohon mengajukan permohonan untuk menguji ketentuan-ketentuan dalam UU Pasar Modal dan UU LPS yang dinilai telah melanggar hak-hak konstitusional Pemohon dimaksud.
Dengan demikian perlu kami tegaskan kembali bahwa dalam hal ini permohonan Pengujian Undang-Undang yang diajukan oleh Pemohon adalah untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945, khususnya ketententuan-ketentuan tertentu yang ada dalam UU Pasar Modal dan UU LPS yang dinilai telah melanggar hak-hak konstitusional Pemohon dalam melaksanakan fungsi, tugas, kewenangan serta kewajibannya. Ketentuan- ketentuan dimaksud adalah Pasal 45 UU Pasar Modal serta Pasal 6 ayat (1) huruf d, Pasal 30 ayat (5) Pasal 38 ayat (5), Pasal 42 ayat (5), Pasal 85 ayat (2) dan ayat (3) UU LPS. III.C. Pasal 45 UU Pasar Modal Khususnya Frasa ”atau pihak yang diberikan wewenang untuk bertindak atas namanya” bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 43. Kami mohon Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia menguji Pasal 45 UU Pasar Modal khususnya frasa ”atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanya” karena frasa dalam ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Berdasarkan Pasal 6 ayat (2) UU LPS, dalam menangani dan menyelamatkan Bank Gagal, Pemohon secara hukum telah diberikan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id kewenangan untuk mengambilalih segala hak dan wewenang pemegang saham pada Bank Gagal yang diselamatkan. Pasal 6 ayat (2) UU LPS kami kutip sebagai berikut: “LPS dapat melakukan penyelesaian dan penanganan Bank Gagal _dengan kewenangan: _ a. Mengambilalih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham, termasuk hak dan wewenang _RUPS; _ b. Menguasai dan mengelola aset dan kewajiban Bank Gagal yang _diselamatkan; _ c. Meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan/atau mengubah setiap kontrak yang mengikat Bank Gagal yang diselamatkan _dengan pihak ketiga yang merugikan Bank; dan _ d. Menjual dan/atau mengalihkan aset bank tanpa persetujuan debitur dan/atau kewajiban bank tanpa persetujuan kreditur.” 45. Selanjutnya, berdasarkan Pasal 40 huruf a dan Pasal 41 ayat (1) UU LPS, dalam menangani dan menyelamatkan Bank Gagal yang berdampak sistemik, Pemohon oleh hukum diberikan kewenangan untuk mengambilalih segala hak dan kewenangan RUPS, kepemilikan pada Bank Gagal termasuk melakukan pengalihan kepemilikan bank. Ketentuan-ketentuan tersebut kami kutip sebagai berikut: Pasal 40 huruf a UU LPS menyatakan: “Terhitung sejak LPS menetapkan untuk melakukan penanganan Bank Gagal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, maka berdasarkan _Undang-undang ini: _ a. LPS mengambilalih segala hak dan wewenang RUPS, kepemilikan, kepengurusan, dan/atau kepentingan lain pada Bank dimaksud.” Pasal 41 ayat (1) UU LPS menyatakan: "Setelah LPS mengambilalih segala hak dan wewenang RUPS, kepemilikan, kepengurusan, dan/atau kepentingan lain pada Bank tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf a, LPS dapat melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26. ” Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id Pasal 26 UU LPS menyatakan: ”Setelah RUPS menyerahkan hak dan wewenang sebagaimana dimaksud _dalam Pasal 25, LPS dapat melakukan tindakan sebagai berikut: _ a. Menguasai, mengelola, dan melakukan tindakan kepemilikan atas aset _milik atau yang menjadi hak-hak bank dan/atau kewajiban bank; _ _b. Melakukan penyertaan modal sementara; _ c. Menjual atau mengalihkan aset bank tanpa persetujuan Nasabah _Debitur dan/atau kewajiban tanpa persetujuan Nasabah Kreditur; _ _d. Mengalihkan manajemen bank kepada pihak lain; _ _e. Melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain; _ _f. Melakukan pengalihan kepemilikan bank; dan _ g. Meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan/atau mengubah kontrak bank yang mengikat bank dengan pihak ketiga, yang menurut LPS merugikan bank.” 46. Selanjutnya, secara lebih spesifik lagi, berdasarkan Pasal 30 ayat (1), Pasal 38 ayat (1) dan Pasal 42 ayat (1) UU LPS, undang-undang telah memberikan kewajiban kepada Pemohon untuk menjual seluruh saham pada Bank Gagal yang diselamatkan. Ketentuan-ketentuan tersebut kami kutip sebagai berikut: Pasal 30 ayat (1) UU LPS: ”LPS wajib menjualseluruh saham bank yang diselamatkan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.” Pasal 38 ayat (1) UULPS: ”LPS wajib menjual seluruh saham bank dalam penanganan paling lama 3 (tiga) tahun sejak penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf a.” Pasal 42 ayat (1) UU LPS: ”LPS wajib menjual seluruh saham bank dalam penanganan paling lama 3 (tiga) tahun sejak dimulainya penanganan Bank Gagal sebagaimana dimaksud dalam pasal Pasal 39." 47. Dengan adanya frasa “ wajib menjual seluruh saham Bank ” dalam ketentuan-ketentuan di atas telah jelas bahwa Pemohon telah diberikan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id tugas dan karenanya harus menjual seluruh saham Bank Gagal yang diselamatkan, baik saham milik Pemohon yang berasal dari penyertaan modal maupun saham milik pemegang saham lama pada Bank Gagal yang diselamatkan.
Fungsi, tugas, kewenangan, dan kewajiban Pemohon tersebut tidak bertentangan dengan prinsip hak milik pribadi karena dalam konteks penanganan Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik, Pemohon baru melaksanakan tugasnya apabila telah ada berbagai persyaratan yang dipenuhi oleh Bank Gagal yang hendak diselamatkan, antara lain berupa surat pernyataan dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) untuk menyerahkan segala hak dan kewenangannya kepada Pemohon. Apabila persyaratan tersebut telah dipenuhi, maka Pemohon melakukan tindakan- tindakan penyelamatan Bank Gagal.
Sedangkan dalam konteks menangani Bank Gagal yang berdampak sistemik, kewenangan Pemohon untuk mengambilalih segala hak dan kewenangan pemegang saham maupun RUPS diberikan secara langsung oleh Undang-Undang terkait tugas Pemohon untuk turut aktif dalam memelihara stabilitas ssistem perbankan. Dalam hal demikian, maka apabila pada saat penanganan Bank Gagal diserahkan kepada Pemohon ekuitas dari Bank tersebut bernilai negatif atau nol, maka pemegang saham lama tidak memperoleh hak apapun atas hasil penjualan. Sedangkan apabila pada saat diserahkan kepada Pemohon ekuitas bank bernilai positif, maka pemegang saham lama mempunyai hak atas hasil penjualan saham Bank Gagal yang diselamatkan Pemohon. Dengan demikian, segela tindakan pengambilalihan hak dan kewenangan yang dilakukan oleh Pemohon sama sekali tidak melanggar hak milik pribadi dan bahkan dalam penjelasan Pasal 6 ayat (2) huruf b UU LPS, dinyatakan bahwa LPS dapat menguasai, mengelola dan melakukan tindakan kepemilikan seperti halnya sebagai pemilik.
Berkaitan dengan hal di atas, tidak ada pengecualian dalam penerapan ketentuan tersebut. Artinya kewajiban atau kewenangan Pemohon untuk menjual seluruh saham Bank Gagal tersebut dapat diterapkan baik terhadap saham Bank Gagal yang berbentuk perseroan tertutup maupun saham Bank Gagal yang berbentuk perseroan terbuka yang saham- Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id sahamnya tercatat di bursa.
Namun demikian, dalam Pasal 45 UU Pasar Modal terdapat frasa yang dapat menghambat atau menghalangi Pemohon dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya untuk menjual seluruh saham pada Bank Gagal, khususnya saham milik pemegang saham lama yang tercatat di bursa. Ketentuan Pasal 45 UU Pasar Modal secara lengkap kami kutip sebagai berikut: “Kustodian hanya dapat mengeluarkan Efek atau dana yang tercatat pada rekening Efek atas perintah tertulis dari pemegang rekening atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanya ”.
Frasa ”pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanya” dalam Pasal 45 UU Pasar Modal dapat dimaknai secara sempit oleh pihak tertentu termasuk Kustodian dengan menyatakan bahwa Kustodian hanya dapat mengeluarkan efek (saham) yang tercatat pada rekening efek apabila terdapat perintah/persetujuan tertulis dari pemegang rekening/pemegang saham atau pihak yang telah diberikan kuasa oleh pemegang rekening berdasarkan surat pemberian kuasa (kuasanya).
Dengan demikian, apabila pemegang efek/pemegang saham lama tidak memberikan surat kuasa kepada Pemohon untuk mengeluarkan efek tersebut, maka Kustodian tidak dapat mengeluarkan saham/efek tersebut sekalipun terdapat permintaan dari pihak lain ( in casu Pemohon) yang telah diberikan kewenangan berdasarkan undang-undang untuk menjual saham/efek tersebut.
Potensi adanya penafsiran yang sempit di atas dapat menghambat tugas dan kewenangan Pemohon pada saat Pemohon hendak menjual seluruh saham Bank Gagal sebagaimana diamanatkan Pasal 30 ayat (1), Pasal 38 ayat (1) dan Pasal 42 (1) UU LPS. Hal ini dapat mengakibatkan Pemohon tidak dapat menjual saham milik pemegang saham lama yang sahamnya tercatat di bursa karena Kustodian mungkin tidak akan bersedia mengeluarkan efek/saham tersebut apabila Pemohon tidak dapat menunjukan telah adanya surat kuasa dari pemegang saham lama kepada Pemohon. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id 55. Frasa “ atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanya ” seharusnya dimaknai secara lebih luas, yaitu yang dimaksud "pihak" dalam ketentuan tersebut bukan hanya pihak yang diberikan kuasa berdasarkan perjanjian pemberian kuasa dari pemegang efek/pemegang saham kepada kuasanya, melainkan juga termasuk pihak yang diberikan kewenangan secara langsung oleh Undang-Undang tanpa memerlukan adanya surat kuasa dari pemegang rekening/pemegang efek/pemegang saham lama.
Kekhawatiran terhadap adanya penafsiran yang sempit di atas faktanya tidak hanya bersifat potensial, melainkan sudah bersifat aktual pada saat Pemohon menangani PT Bank Mutiara, Tbk (dahulu PT Bank Century, Tbk). Pada saat itu, Pemohon berdasarkan suratnya No. S-139/KE/VIII tanggal 1 Agustus 2013 perihal Penjualan Saham PT Bank Mutiara, Tbk telah meminta Kustodian, yaitu PT. Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) untuk membantu proses penjualan saham PT. Bank Mutiara, Tbk dengan cara membalik nama dari pemegang saham lama kepada calon investor/calon pembeli.
Namun demikian, pada saat itu KSEI berdasarkan surat tanggapannya Nomor KSEI-2498/DIR/0813 tanggal 16 Agustus 2013 menyatakan bahwa apabila Pemohon hendak menjual atau mengalihkan kepemilikan efek/ saham yang tersimpan di KSEI, Pemohon harus melaksanakan mekanisme dan prosedur peralihan kepemilikan saham sebagaimana diatur dalam Pasal 45 UU Pasar Modal. Dengan demikian, berdasarkan tanggapan tersebut Pemohon disyaratkan terlebih dahulu harus mendapatkan perintah/persetujuan dari pemegang efek (pemegang saham lama) atau kuasanya apabila hendak mengeluarkan saham. Dengan demikian, apabila tidak ada perintah secara tertulis dari pemegang saham lama atau kuasanya, maka KSEI tidak dapat memenuhi permintaan Pemohon untuk mengeluarkan atau membalik nama kepemilikan saham dari pemegang saham lama kepada calon investor/ pembeli sehingga Pemohon tidak dapat menjual saham Bank Gagal yang sahamnya diperjualbelikan di bursa.
Adanya tangggapan dari KSEI di atas menunjukkan bahwa KSEI tidak memandang Pemohon sebagai pihak yang telah diberikan kewenangan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id berdasarkan Undang-Undang guna memerintahkan KSEI untuk mengeluarkan saham dimaksud. Hal ini karena KSEI secara sempit telah memaknai bahwa yang dimaksud dengan frasa ”atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas __ namanya” semata-mata __ adalah pihak yang diberikan surat pemberian kuasa oleh pemegang saham/pemegang rekening. Padahal kewenangan Pemohon untuk menjual saham pada Bank Gagal, termasuk saham milik pemegang saham lama yang tercatat di bursa, telah diberikan secara langsung oleh Undang-Undang sebagaimana telah kami jelaskan di atas.
Berdasarkan penjelasan di atas, Pasal 45 UU Pasar Modal khususnya frasa ” atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanya” bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 sepanjang pengertian ”pihak” dalam frasa ”atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak untuk atas namanya” dalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal tersebut tidak dimaknai termasuk pula pihak yang diberikan wewenang berdasarkan Undang-Undang. Hal ini karena apabila tidak dimaknai demikian maka penafsiran atas ketentuan tersebut telah dan dapat menghambat atau menghilangkan hak konstitusional Pemohon untuk menjual atau mengalihkan saham tersebut dalam rangka Pemohon menjalankan tugas dan kewenangannya untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara melalui penjualan saham Bank Gagal yang diselamatkan. Selain itu, Pasal 45 UU Pasar Modal khususnya frasa ”atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanya” dalam Pasal 45 UU Pasar Modal bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sepanjang pengertian ”pihak” dalam frasa ”atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak untuk atas namanya” dalam pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal tersebut tidak dimaknai termasuk pula pihak yang diberikan wewenang berdasarkan Undang-Undang.Hal ini karena apabila ketentuan tersebut dimaknai secara sempit akan mengakibatkan Pemohon tidak dapat menjual atau mengalihkan saham milik pemegang saham lama yang tercatat di bursa karena Kustodian tidak bersedia mengeluarkan efek atau saham tersebut Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id tanpa adanya surat kuasa dari pemegang efek/pemegang saham lama kepada Pemohon.
Oleh karena itu, selanjutnya kami mohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia untuk menyatakan Pasal 45 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal khususnya pada frasa ”atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanya” __ tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang pengertian ”pihak” dalam frasa ”atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak untuk atas namanya” dalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal tersebut tidak dimaknai termasuk pula pihak yang diberikan wewenang berdasarkan Undang-Undang. III.D Pasal 6 ayat (1) huruf d UU LPS Khususnya Frasa ”sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank” Bertentangan Dengan Pasal Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 61. Pemohon mohon Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian terhadap frasa “sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank” dalam __ Pasal 6 ayat (1) huruf d UU LPS karena frasa tersebut bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Berdasarkan Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, sebagaimana telah diubah berdasarkan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan), yang dimaksud dengan Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya.
Dalam UU LPS terdapat banyak ketentuan yang menunjukkan bahwa Pemohon mempunyai hak untuk memperoleh dokumen, data atau informasi yang dapat dikategorikan sebagai rahasia bank. Ketentuan- ketentuan tersebut antara lain sebagai berikut: Pasal 8 ayat (1) UU LPS: “Setiap Bank yang melakukan kegiatan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia wajib menjadi peserta Penjaminan”. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id Pasal 9 UU LPS menyatakan: “Sebagai peserta Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, _setiap Bank wajib: _ e. memberikan data, informasi, dan dokumen yang dibutuhkan dalam rangka penyelenggaraan Penjaminan.” Pasal 16 ayat (2) UU LPS: ”LPS berhak memperoieh data Nasabah Penyimpan dan informasi lain yang diperlukan per tanggal pencabutan izin usaha dari LPP dan/atau bank dalam rangka penghitungan dan pembayaran klaim Penjaminan”. 64. Berdasarkan ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa Pemohon secara nyata telah dikecualikan dari prinsip kerahasiaan bank karena faktanya Pemohon dalam menjalankan fungsi, tugas dan wewenangnya mempunyai hak untuk mendapatkan data, informasi atau dokumen yang dapat dikategorikan sebagai rahasia bank.
Selain itu, berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) Pemohon diberikan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan terhadap Bank dalam rangka menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya. Pasal 42 UU OJK sebagai berikut: “Lembaga Penjamin Simpanan dapat melakukan pemeriksaan terhadap bank yang terkait dengan fungsi, tugas dan wewenangnya, serta berkoordinasi terlebih dahulu dengan OJK”. 66. Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, secara hukum Pemohon telah diberikan hak untuk mendapatkan data, dokumen, atau informasi yang dapat dikategorikan sebagai rahasia bank. Namun demikian, dalam Pasal 6 ayat (1) huruf d UU LPS terdapat frasa “sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank” __ Pasal 6 ayat (1) huruf d UU LPS sebagai berikut: “Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal _5, LPS mempunyai wewenang sebagai berikut: _ d. mendapatkan data simpanan nasabah, data kesehatan bank, laporan keuangan bank, dan laporan hasil pemeriksaan bank sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank” Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id 67. Frasa ”sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank” tersebut dengan jelas melanggar Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena mengakibatkan hak konstitusional Pemohon untuk mendapatkan perlindungan, jaminan, dan kepastian hukum dalam menjalankan fungsi, tugas dan kewenangannya menjadi terabaikan. Dengan adanya frasa tersebut, Pemohon dan pihak lain yang memberikan informasi yang dapat dikategorikan sebagai rahasia bank setiap saat dapat menghadapi dugaan pelanggaran tindak pidana karena dalam UU Perbankan terdapat sanksi pidana bagi pihak yang telah melanggar kerahasiaan perbankan.
Selain itu, frasa ”sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank” dalam Pasal 6 ayat (1) huruf d UU LPS juga bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945. Hal ini karena frasa tersebut mengakibatkan hak Pemohon untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif dalam membangun masyarakat, bangsa dan negara melalui peran dan kedudukan Pemohon sebagai Lembaga Penjamin Simpanan menjadi terabaikan atau terhambat.
Berdasarkan uraian di atas, Pemohon mohon Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Pengujian Undang- Undang ini dengan menyatakan frasa ”sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank” __ dalam Pasal 6 ayat (1) UU LPS telah melanggar Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sehingga frasa ”sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank” dalam Pasal 6 ayat (1) huruf d UU LPS harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. III.E. Pengaturan Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5) dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS Bertentangan Dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 70. Pemohon mohon Majelis Hakim Mahkamah Konstitsi Yang Mulia menguji Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5) dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS karena ketentuan-ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dengan alasan-alasan sebagaimana diuraikan di bawah ini. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id 71. Pasal 30 ayat (5) UU LPS menyatakan: “Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka LPS menjual saham bank tanpa memperhatikan ketentuan ayat (3) dalam waktu 1 (satu) tahun berikutnya”. 72. Pasal 38 ayat (5) UU LPS menyatakan: “Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka LPS menjual saham bank tanpa memperhatikan ketentuan ayat (3) dalam jangka waktu 1 (satu) tahun berikutnya”. 73. Pasal 42 ayat (5) UU LPS menyatakan: “Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka LPS menjual saham bank tanpa memperhatikan ketentuan ayat (3) dalam jangka waktu 1 (satu) tahun berikutnya”. 74. Berdasarkan ketentuan di atas, Pemohon tidak memiliki pilihan lain selain wajib menjual saham Bank Gagal yang diselamatkan pada tahun terakhir, yaitu tahun ke-5 (pada Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik) atau tahun ke-6 (pada Bank Gagal yang berdampak sistemik) tanpa memperhatikan tingkat pengembalian yang optimal. Yang dimaksud dengan tingkat pengembalian yang optimal adalah paling sedikit sebesar seluruh Penempatan Modal Sementara (PMS) yang dikeluarkan oleh Pemohon.
Penjualan pada tahun ke-5 atau ke-6 tersebut dilakukan apabila Pemohon tidak dapat menjual saham Bank Gagal minimal sesuai dengan tingkat pengembalian yang optimal dalam jangka waktu yang ditentukan beserta perpanjangannya sesuai yang diatur dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 38 ayat (1) dan ayat (4), dan Pasal 42 ayat (1) dan ayat (4) UU LPS. Jangka waktu untuk menjual saham Bank Gagal dengan memperhatikan tingkat pengembalian yang optimal masing-masing selama 4 (empat) Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id tahun (pada Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik) dan 5 (lima) tahun (pada Bank Gagal yang berdampak sistemik). Apabila dalam jangka waktu tersebut saham Bank Gagal tidak dapat dijual dengan memperhatikan tingkat pengembalian yang optimal, maka pada tahun ke- 5 (pada Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik) atau tahun ke-6 (pada Bank Gagal yang berdampak sistemik), Pemohon menjual saham Bank Gagal tersebut tanpa memperhatikan tingkat pengembalian yang optimal.
Adanya mekanisme penjualan di atas berkaitan dengan latar belakang Pemohon dalam menangani dan menyelamatkan Bank Gagal bersifat sementara, sehingga dalam batas waktu tertentu Pemohon harus menjual seluruh saham Bank Gagal kepada calon investor tanpa perlu memperhatikan tingkat pengembalian yang optimal. Tujuan pemohon untuk menangani dan menyelamatkan Bank Gagal juga bukan dalam rangka mencari keuntungan, melainkan semata-mata untuk turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan melalui penyelamatan Bank Gagal, terutama Bank Gagal yang berdampak sistemik yang dapat merusak stabilitas sistem perbankan nasional.
Selain itu, apabila kepemilikan atas saham Bank Gagal tidak segera dilepaskan, maka Bank Gagal tersebut secara terus menerus akan membebani Pemohon serta tidak dapat dikeluarkan statusnya sebagai Bank Gagal dalam penanganan Pemohon. Oleh karena itu, dalam batas waktu tertentu atau pada tahun terakhir Pemohon menjual saham Bank Gagal tersebut tanpa memperhatikan tingkat pengembalian yang optimal.
Namun demikian, persoalannya berdasarkan penalaran yang sederhana dan wajar terdapat potensi adanya permasalahan hukum yang dapat dialami Pemohon apabila nilai penjualan saham pada tahun ke-5 (pada Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik) atau tahun ke-6 (pada Bank Gagal yang berdampak sistemik) berada di bawah tingkat pengembalian yang optimal (di bawah nilai PMS). Hal ini dapat saja terjadi sekalipun Pemohon telah menjual saham Bank Gagal tersebut secara terbuka dan transparan sesuai yang diamanatkan Pasal 30 ayat (2), Pasal 38 ayat (2) dan Pasal 42 ayat (2) UU LPS. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id 79. Berdasarkan penalaran yang sederhana dan wajar potensi adanya permasalahan hukum sangat mungkin terjadi karena hal tersebut mengakibatkan terdapat selisih kurang antara nilai PMS dengan hasil penjualan saham Bank Gagal yang diselamatkan. Oleh karena itu, apabila Pemohon terpaksa menjual saham Bank Gagal di bawah tingkat pengembalian yang optimal atau di bawah nilai PMS, maka Pemohon dianggap telah merugikan keuangan negara sehingga lebih lanjut berdasarkan penalaran yang sederhana dan wajar terdapat potensi adanya permasalahan hukum yang akan dihadapi oleh Pemohon.
Berdasarkan penjelasan di atas, terdapat potensi adanya permasalahan hukum yang akan dialami oleh Pemohon apabila Pemohon pada tahun ke- 5 (pada Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik) atau tahun ke-6 (pada Bank Gagal yang berdampak sistemik) menjual saham Bank Gagal di bawah tingkat pengembalian yang optimal atau di bawah nilai PMS, yaitu Pemohon dianggap telah merugikan keuangan negara.
Berkaitan dengan hal di atas, nilai PMS yang dikeluarkan oleh Pemohon tidak dapat begitu saja dijadikan sebagai patokan dalam menentukan nilai harga penjualan saham Bank Gagal. Hal ini karena nilai PMS pada dasarnya merupakan biaya ( cost ) yang harus dikeluarkan untuk melakukan penanganan dan penyelamatan Bank Gagal.
Fakta bahwa nilai PMS merupakan biaya adalah sesuai dengan Pasal 27, Pasal 37 ayat (2), dan Pasal 41 ayat (2) UU LPS yang menyatakan sebagai berikut: Pasal 27 UU LPS: “Seluruh biaya __ penyeiamatan bank yang dikeluarkan oleh LPS menjadi penyertaan modal sementara LPS pada bank” Pasal 37 ayat (2) UU LPS: “Biaya penanganan Bank Gagal yang dikeluarkan oleh LPS menjadi penyertaan modal sementara LPS pada bank”. Pasal 41 ayat (2) UU LPS: “Seluruh biaya __ penanganan Bank Gagal yang dikeluarkan oleh LPS menjadi penyertaan modal sementara LPS pada bank”. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id 83. Berdasarkan ketentuan di atas telah jelas bahwa penempatan modal sementara (PMS) merupakan biaya (cost) yang harus dikeluarkan oleh Pemohon dalam melakukan penyelamatkan dan penanganan Bank Gagal. Karena berdasarkan ketentuan tersebut nilai PMS merupakan biaya, maka apabila terdapat selisih kurang antara nilai PMS dengan nilai harga penjualan saham Bank Gagal, maka selisih tersebut juga harus dipandang sebagai biaya dan tidak dapat dipandang sebagai kerugian.
Selain itu, nilai harga penjualan saham Bank Gagal juga dipengaruhi atau tunduk pada mekanisme harga pasar ( benchmark ) pada saat dilakukan penjualan. Nilai penjualan saham Bank Gagal juga sangat bergantung atas penawaran harga terbaik ( best price ) yang disampaikan para calon investor/pembeli pada saat tender penjualan saham Bank Gagal. Kedua hal tersebut sepenuhnya berada di luar kendali Pemohon.
Lebih lanjut, penempatan modal sementara yang dilakukan LPS juga bukan bertujuan untuk mencari keuntungan ( non-profit oriented ), melainkan semata-mata untuk menangani dan menyelamatkan Bank Gagal dengan tujuan yang lebih penting, yaitu dalam rangka memelihara stabilitas sistem perbankan, sesuai dengan amanat Pasal 4 dan Pasal 5 UU LPS.
Namun demikian, berdasarkan penalaran yang wajar tetap terdapat potensi adanya permasalahan hukum di kemudian hari terhadap Pemohon apabila Pemohon menjual harga saham Bank Gagal pada tahun ke-5 (pada Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik) atau tahun ke-6 (pada Bank Gagal yang berdampak sistemik) di bawah tingkat pengembalian yang optimal.
Dengan demikian, berdasarkan penjelasan di atas, Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang ketentuan tersebut tidak dimaknai bahwa tindakan penjualan yang dilakukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan pada tahun ke-5 (pada Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik) atau tahun ke-6 (pada Bank Gagal yang berdampak sistemik) Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id tanpa memperhatikan tingkat pengembalian yang optimal merupakan tindakan yang sah dalam menjalankan kewajiban hukum secara terbuka dan transparan dan karenanya tidak dapat dituntut.
Dengan demikian, sebagai konsekuensinya, kami mohon Majelis Hakim Yang Mulia menyatakan bahwa Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5) dan Pasal 42 ayat (5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang ketentuan tersebut tidak dimaknai bahwa tindakan penjualan yang dilakukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan pada tahun ke-5 (pada Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik) atau tahun ke-6 (pada Bank Gagal yang berdampak sistemik) tanpa memperhatikan tingkat pengembalian yang optimal merupakan tindakan yang sah dalam menjalankan kewajiban hukum secara terbuka dan transparan dan karenanya tidak dapat dituntut. III.F. Pasal 85 ayat (2) dan (3) UU LPS Bertentangan Dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 89. Kami mohon Majelis Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian terhadap Pasal 85 ayat (2) dan ayat (3) UU LPS karena ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 1 angka (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dengan penjelasan sebagaimana diuraikan di bawah ini.
Pasal 85 ayat (2) dan ayat (3) UU LPS menyatakan: ”(2). Dalam hal LPS mengalami kesulitan Iikuiditas, LPS dapat memperoieh pinjaman dari Pemerintah. (3). Ketentuan mengenai tingkat Iikuiditas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah” 91. Dengan adanya kata ” dapat” maka dapat ditafsirkan bahwa tidak ada jaminan atau kepastian bagi Pemohon akan mendapatkan pinjaman dari Pemerintah pada saat Pemohon sedang mengalami kesulitan likuditas. Hal ini karena sifat pemberian pinjaman tersebut dapat dipandang bersifat optional.
Lebih lanjut, dalam Pasal 85 ayat (3) UU LPS juga tidak ada kejelasan/kepastian apakah Pemerintah akan membuat Peraturan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id Pemerintah untuk mengatur mengenai tata cara pemberian pinjaman karena ketentuan tersebut hanya mengacu kepada tingkat Iikuiditas.
Sedangkan di sisi lain, Pemohon merupakan badan hukum publik yang menjalankan fungsi pemerintahan di bidang penjaminan dana nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan. Selain itu, Pemohon juga bertanggung jawab terhadap Presiden. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 2 dan Pasal 4 UU LPS.
Secara lebih spesifik, dalam rangka turut aktif dalam memelihara sistem perbankan, Pemohon mempunyai tugas dan fungsi untuk melaksanakan kebijakan penyelesaian Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik maupun penanganan Bank Gagal yang berdampak sistemik. Hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 5 UU LPS.
Dengan demikian telah jelas bahwa status, kedudukan dan tugas dan fungsi Pemohon adalah dalam rangka menjalankan tugas dan kebijakan Pemerintah. Oleh karena itu, apabila Pemohon sedang mengalami kesulitan Iikuiditas dan mengajukan permintaan pinjaman dari Pemerintah, maka sudah seharusnya Pemerintah wajib memberikan pinjaman kepada Pemohon, dimana tata cara pemberian pinjamannya perlu diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Perlu adanya kepastian dalam pemberian pinjaman dari Pemerintah tersebut karena dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya Pemohon dapat saja mengalami kekurangan Iikuiditas sewaktu-waktu akibat proses penyelesaian dan/atau penanganan Bank Gagal. Sedangkan di sisi lain, Pemohon mempunyai tugas yang sangat penting untuk menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas perbankan sehingga Pemohon harus memastikan tersedianya Iikuiditas yang cukup dalam rangka menjalankan fungsi dan tugas tersebut.
Apabila terdapat permasalahan Iikuiditas pada Pemohon yang tidak dapat diatasi secara cepat,maka hal demikian dapat menjadi penghambat Pemohon untuk menjalankan tugas dan kewenangannya, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi stabilitas sistem perbankan nasional. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id 98. Perlunya LPS mendapatkan bantuan Iikuiditas dari Pemerintah tersebut sudah dinyatakan dalam Penjelasan Pasal 22 ayat (3) UU LPS yang menyatakan dalam hal LPS diperkirakan akan mengalami kesulitan Iikuiditas atau modal dan cadangan penjaminan tidak cukup untuk membiayai penanganan Bank Gagal, Komite Koordinasi memutuskan bentuk bantuan dana bagi LPS termasuk tambahan modal.
Namun demikian, dengan adanya kata ”dapat” pada Pasal 85 ayat (2) UU LPS telah menimbulkan adanya ketidakpastian hukum bagi Pemohon untuk mendapatkan pinjaman dari Pemerintah apabila Pemohon mengalami kesulitan Iikuiditas. Oleh karena itu, kata ”dapat” pada Pasal 85 ayat (2) UU LPS telah bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Sebagai konsekuensinya, kami mohon kata ”dapat” pada Pasal 85 ayat (2) UU LPS dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Selain itu, ketentuan Pasal 85 ayat (3) UU LPS juga telah melanggar Pasal 1 angka (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena dapat mengakibatkan tidak akan pernah ada Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai tata cara pemberian pinjaman karena yang diamanatkan dalam ketentuan tersebut hanya mengenai tingkat likuiditas. Sedangkan di sisi lain ketentuan tersebut justru merujuk pada Pasal 85 ayat (2) UU LPS yang mengatur mengenai pemberian pinjaman dari Pemerintah apabila Pemohon mengalami kesulitan Iikuiditas.
Oleh karena itu, kami mohon Majelis Hakim Yang Mulia Menyatakan Pasal 85 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang ketentuan tersebut tidak dimaknai bahwa yang harus diatur dalam Peraturan Pemerintah bukan hanya mengenai tingkat Iikuiditas, melainkan juga mengenai tata cara pemberian pinjaman dari Pemerintah kepada Lembaga Penjamin Simpanan dalam hal Lembaga Penjamin Simpanan mengalami kesulitan Iikuiditas.
Lebih lanjut, sebagai konseksuensinya, Pemohon mohon Majelis Hakim Yang Mulia menyatakan Pasal 85 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang ketentuan tersebut tidak dimaknai bahwa yang harus diatur dalam Peraturan Pemerintah bukan hanya mengenai tingkat Iikuiditas, melainkan juga mengenai tata cara pemberian pinjaman dari Pemerintah kepada Lembaga Penjamin Simpanan dalam hal Lembaga Penjamin Simpanan mengalami kesulitan Iikuiditas. IV. Permohonan Pemeriksaan Prioritas 103. Pemohon dengan ini mengajukan permohonan kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi agar sekiranya memberikan prioritas untuk segera memeriksa dan memutus Permohonan ini dalam waktu yang sesegera mungkin sesuai dengan prosedur dan mekanisme yang berlaku di Mahkamah Konstitusi.
Perlunya permohonan pengujian ini agar segera diperiksa dan diputus supaya segera adanya kepastian hukum bagi Pemohon dalam melaksanakan tugas, kewajiban dan kewenangannya, termasuk guna menangani Bank Gagal baik yang tidak berdampak sistemik maupun berdampak sistemik.
Selain itu, pelaksanaan tugas, kewajiban dan kewenangan Pemohon juga akan dapat berjalan secara lebih efektif dan efisien apabila Mahkamah Konstitusi telah adanya kepastian dari Mahkamah Konstitusi mengenai hal-hal yang diajukan untuk diuji di hadapan Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, kami mohon agar Majelis Yang Mulia Mahkamah Konstitusi dapat segera memeriksa dan memutus permohonan Pengujian Undang-Undang ini.
Sebagai informasi, pada tanggal 21 Maret 2014, Pemohon juga telah menyampaikan surat Nomor 0388/01/28/14 Perihal Permohonan Pemeriksaan Prioritas Perkara Nomor 27/PUU-XII/2014 yang telah disampaikan melalui kepaniteraan Mahkamah Konstitusi dan telah diterima pada tanggal 21 Maret 2014, permohonan mana yang secara khusus berkenaan dengan permohonan pemeriksaan prioritas dimaksud. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id V. Petitum Berdasarkan uraian tersebut di atas dan bukti-bukti yang kami lampirkan, Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk berkenan memutus permohonan Pengujian Undang-Undang ini dengan amar putusan sebagai berikut: Primair 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal khususnya frasa ”atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanya” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang pengertian ”pihak” dalam frasa ”atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak untuk atas namana” dalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal tersebut tidak dimaknai termasuk pula pihak yang diberikan wewenang berdasarkan Undang-Undang;
Menyatakan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal khususnya frasa ”atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanya” tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang pengertian ”pihak” dalam frasa ”atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak untuk atas namanya” dalam Pasal 45 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal tersebut tidak dimaknai termasuk pula pihak yang diberikan wewenang berdasarkan Undang- Undang;
Menyatakan Pasal 6 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan khususnya frasa ”sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Menyatakan Pasal 6 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan khususnya frasa ”sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank” tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat;
Menyatakan bahwa Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5) dan Pasal 42 ayat (5) Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 37 Indonesia Tahun 1945 sepanjang ketentuan tersebut tidak dimaknai bahwa tindakan penjualan yang dilakukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan pada tahun ke-5 (pada Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik) atau tahun ke-6 (pada Bank Gagal yang berdampak sistemik) tanpa memperhatikan tingkat pengembalian yang optimal merupakan tindakan yang sah dalam menjalankan kewajiban hukum Lembaga Penjamin Simpanan secara terbuka dan transparan dan karenanya tidak dapat dituntut.
Menyatakan bahwa Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang ketentuan tersebut tidak dimaknai bahwa tindakan penjualan yang dilakukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan pada tahun ke-5 (pada Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik) atau tahun ke-6 (pada Bank Gagal yang berdampak sistemik) tanpa memperhatikan tingkat pengembalian yang optimal merupakan tindakan yang sah dalam menjalankan kewajiban hukum Lembaga Penjamin Simpanan secara terbuka dan transparan dan karenanya tidak dapat dituntut.
Menyatakan Pasal 85 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan khususnya kata ”dapat” pada ketentuan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Menyatakan Pasal 85 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan khususnya kata ”dapat” pada ketentuan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Menyatakan Pasal 85 ayat (3) Undang-Undang Nomor24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang ketentuan tersebut tidak dimaknai bahwa yang harus diatur dalam Peraturan Pemerintah bukan hanya mengenai tingkat Iikuiditas, melainkan juga mengenai tata cara pemberian pinjaman dari Pemerintah kepada Lembaga Penjamin Simpanan dalam hal Lembaga Penjamin Simpanan mengalami kesulitan likuiditas; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 38 11. Menyatakan Pasal 85 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang ketentuan tersebut tidak dimaknai bahwa yang harus diatur dalam Peraturan Pemerintah bukan hanya mengenai tingkat likuiditas, melainkan juga mengenai tata cara pemberian pinjaman dari Pemerintah kepada Lembaga Penjamin Simpanan dalam hal Lembaga Penjamin Simpanan mengalami kesulitan Iikuiditas.
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Subsidair Bilamana setelah dengan seksama memeriksa Permohonan ini Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, maka Pemohon mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). [2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 dan bukti P-9, sebagai berikut:
Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan;
Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan menjadi Undang-Undang;
Bukti P-3 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan;
Bukti P-5 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal;
Bukti P-6 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan;
Bukti P-7 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 39 7. Bukti P-8 : Fotokopi Keputusan Presiden Nomor 150/M Tahun 2013 tertanggal 12 Desember 2013;
Bukti P-9 : Fotokopi Keputusan Dewan Komisioner Nomor KEP- 050/DK/X/2013 tentang Perubahan Keputusan Dewan Komisioner Nomor 009/DK-LPS/VII/2006 tentang Tugas dan Wewenang Kepala Eksekutif untuk Melaksanakan Kegiatan Operasional tertanggal 31 Oktober 2013; Selain itu Pemohon juga mengajukan 3 (tiga) ahli yang menyampaikan keterangan secara lisan pada sidang tanggal 1 September 2014, yang pada pokoknya sebagai berikut.
Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LL.M. LPS harus merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan penyelesaian bank gagal yang tidak berdampak sistemik. Sedangkan yang berdampak sistemik, LPS wajib untuk melaksanakan penanganan bank gagal tersebut. LPS adalah badan hukum yang dibuat oleh negara untuk melakukan langkah-langkah penyelamatan demi stabilitas sistem keuangan berdasarkan apa yang telah diputuskan oleh Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK). Pasal 44 UU 21/2001 tentang Otoritas Jasa Keuangan ditentukan bahwa untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, dibentuk Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan dengan anggota yang terdiri dari Menteri Keuangan selaku anggota merangkap koordinator, Gubernur Bank Indonesia selaku anggota, Ketua Dewan Komisioner OJK selaku anggota, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan sebagai selaku anggota. Begitu keputusan penyelamatan bank diambil, maka LPS terikat dengan keputusan tersebut tanpa dapat melakukan perlawanan [vide Pasal 45 ayat (5) UU OJK]. Dalam konteks penyelamatan perbankan, LPS bukanlah lembaga yang dapat melakukan langkah pilihan untuk melakukan penyelamatan atau tidak, meskipun boleh jadi telah tahu bahwa bank tersebut tidak sehat dan tidak dapat dipertahankan. Adalah tidak tepat secara hukum jika lembaga yang dibuat khusus untuk melakukan penyelamatan, namun tidak dapat menolak untuk melakukan penyelamatan, dan dalam kerja penyelamatan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 40 tersebut sangat mungkin mengeluarkan biaya-biaya penyelamatan yang karena tanpa perlindungan hukum maka dapat dianggap merugikan keuangan negara. Terdapat ketentuan bahwa bank gagal yang telah ditangani oleh LPS, wajib dijual pada batasan waktu tertentu, yaitu tahun yang ditentukan oleh UU LPS. Dalam tahapan pertama, harus berupa pengembalian secara optimal nilai uang berdasarkan penyertaan modal sementara yang diberikan oleh LPS. Jika dalam batas waktu tahun tertentu tidak bisa, maka dapat diperpanjang beberapa kali hingga batasan waktu yang ditentukan dapat dijual pada nilai penawaran tertinggi yang ada. Ketentuan seperti ini cukup aneh karena menempatkan LPS pada posisi tidak menguntungkan di hadapan pihak yang akan melakukan pembelian. Ketentuan seperti ini membuat LPS hampir dapat dipastikan selalu merugi oleh sikap pembeli yang akan menunggu hingga batas akhir penjualan untuk dapat membeli dengan harga yang terendah. Sikap pasar akan sangat mungkin menunggu hingga batas akhir penjualan, sehingga dapat membeli dengan harga yang sangat jauh dari nilai optimal. Ketentuan tersebut mengakibatkan posisi LPS tidak berimbang di hadapan para pembeli, apalagi tidak ada pula aturan yang dapat melindungi LPS dari kemungkinan tuduhan melakukan tindakan yang merugikan keuangan negara, karena keuangan LPS juga berasal dari uang negara (vide Pasal 81). Model penjualan berbatas seperti yang diatur dalam pasal-pasal yang diujikan oleh Pemohon, sesungguhnya selama ini potensial mendatangkan kerugian keuangan negara. Dalam pembuatan peraturan perundangundangan, terdapat asas-asas yang penting untuk diperhatikan, antara lain asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan antara kepentingan individu, masyarakat, serta kepentingan bangsa dan negara. Pasal-pasal yang diujikan telah menempatkan ketidakseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan bangsa dan negara yang diwakili LPS. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 41 Tindakan LPS dalam penyelamatan bank adalah menggunakan uang negara dan uang publik dalam premi yang dibayarkan oleh nasabah. Karena itu pasal-pasal yang dapat menyebabkan kerugian bagi LPS sebenarnya juga dapat menyebabkan kerugian keuangan negara dan kerugian publik atas premi yang mereka bayarkan kepada LPS. Terdapat dua kemungkinan yang dapat dilakukan terhadap pasal-pasal yang dimintakan pengujian, yaitu:
pasal-pasal mengenai penjualan tersebut haruslah dibatalkan secara keseluruhan, dengan disertai tafsiran MK untuk menutup kemungkinan kevakuman aturan hukum mengenai mekanisme penjualan yang lebih berimbang, dan dapat menutup potensi kerugian keuangan negara dan kerugian publik atas premi yang ada di LPS.
pasal-pasal tersebut tidak dibatalkan namun MK menentukan poin-poin yang harus dilakukan oleh LPS dalam meminimalisasi kemungkinan kerugian negara dan publik akibat pasal yang berpotensi merugikan tersebut. Ketika ada suatu hal yang dilanggar, misalnya tidak melakukan secara terbuka, tidak melakukan secara transparan, tidak memperlakukan sama semua penawaran, maka hal demikian dapat dianggap bagian dari intensi, dan karenanya dapat dipidana. Namun jika alat ukurnya dipenuhi, misalnya terbuka, transparan, memberikan kesempatan yang sama, dan alat ukur lain yang biasanya ada dalam hukum bisnis, maka tindakan demikian dianggap tindakan yang benar secara hukum.
Prof. Dr. Nindyo Pramono, S.H., M.S. Pengertian keuangan negara dapat ditemukan dalam UU 31/1992 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001, yaitu seluruh kekayaan negara dalam bentuk apa pun, yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:
berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah.
berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban BUMN, BUMD, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 42 menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara. UU 17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU 15/2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, Pasal 1 angka 1 dan Pasal 1 angka 7 memberikan batasan bahwa keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu, baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Pasal 2 UU 17/2003 menyatakan bahwa keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 tersebut meliputi:
Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan, dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman.
Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintah negara dan membayar tagihan pihak ketiga.
Penerimaan negara.
Pengeluaran negara.
Penerimaan daerah.
Pengeluaran daerah.
Kekayaan negara atau kekayaan daerah yang dikelola sendiri, atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara atau perusahaan daerah.
Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum.
Kekayaan pihak lain yang dikelola dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah. Pasal 6 ayat (1) UU BPK mengatur bahwa BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga negara lainnya, Bank Indonesia, badan usaha milik negara, badan layanan umum, badan usaha milik daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara. Dari ketiga Undang-Undang tersebut terdapat dua definisi tentang keuangan negara yang di dalamnya memasukkan kekayaan negara yang Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 43 dipisahkan sebagai bagian dari keuangan negara. Namun kedua definisi itu tidak memberikan batasan pengertian yang sama atau tolok ukur yang sama tentang apa yang merupakan unsur-unsur dari keuangan negara. UU 31/1999 juncto UU 20/2001 memberikan batasan pengertian yang sangat luas, yaitu meliputi seluruh kekayaan negara dalam bentuk apa pun, sedangkan UU 17/2003 juncto UU 15/2006 memberikan batasan pengertian keuangan negara lebih sempit, yaitu sebagai hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang. Dari sudut pandang hukum perdata, hukum bisnis merupakan objek hukum, sedangkan wujud dan unsurnya adalah hak dan kewajiban. Dari sudut pandang hukum bisnis, dia adalah subjek hukum. Subjek hukum adalah penyandang hak dan kewajiban. Badan hukum ( recht persoon atau legal body ) dalam teori hukum adalah subjek hukum di samping orang ( natuurlijk persoon ). Sedangkan harta kekayaan, zat, atau aset adalah segala sesuatu atau objek yang dapat dimiliki atau dikuasai oleh suatu subjek hukum yang menyandang hak dan kewajiban itu. UU 31/1999 juncto UU 20/2001 mengartikan keuangan negara dari sudut pandang objeknya, sedangkan UU 17/2003 dan UU 15/2006 mengartikan keuangan negara dari sudut subjeknya. Dari sini jika masing-masing yang terlibat dalam pelaksanaan undang-undang tersebut tidak menggunakan kriteria atau pendekatan atau tolok ukur yang sama, dapat dipastikan dalam pelaksanaannya akan menimbulkan permasalahan. Definisi kerugian negara dalam tindak pidana korupsi justru tidak ditemukan dalam UU Tipikor, namun dapat ditemukan di UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU 15/2006 tentang BPK. Dalam Pasal 1 angka 22 dan Pasal 1 angka 15 kedua Undang-Undang tersebut ditentukan bahwa yang dimaksud dengan kerugian negara adalah kerugian uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai. Pengertian kerugian negara dalam UU Tipikor selalu merujuk kepada definisi kedua Undang-Undang tersebut. Berdasarkan Pasal 30 ayat (5) UU 24/2004 tentang LPS, untuk bank gagal yang tidak berdampak sistemik, ditentukan bahwa dalam hal tingkat Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 44 pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka LPS menjual saham bank tanpa memerhatikan ketentuan ayat (3) dalam waktu satu tahun berikutnya. Menurut ahli, tahun yang dimaksud adalah tahun kelima. Pasal 38 ayat (5) dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS menentukan bahwa dalam hal tingkat pengembalian yang optimal, sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), yaitu pada tahun kelima, maka LPS menjual saham bank tanpa memerhatikan ketentuan ayat-ayat sebelumnya [yaitu ayat (2) dan ayat (3)] dalam jangka waktu satu tahun berikutnya. Tahun yang dimaksud adalah tahun keenam. Dari Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS, dapat diketahui bahwa LPS mempunyai kewajiban untuk menjual saham yang berada dalam penanganannya, baik bank gagal yang tidak berdampak sistemik maupun bank gagal yang berdampak sistemik. Jika merujuk kepada Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS, memang tidak ada kata wajib pada pasal tersebut. Apabila ketentuan ayat (5) tersebut dikaitkan dengan Pasal 30 ayat (1), Pasal 38 ayat (1), dan Pasal 42 ayat (1) UU LPS, maka perbuatan hukum melakukan penjualan pada tahun kelima pada bank gagal yang tidak berdampak sistemik atau tahun keenam pada bank gagal yang berdampak sistemik tanpa harus mempertimbangkan tingkat pengembalian yang optimal, merupakan suatu tindakan yang harus dilakukan oleh LPS. Oleh karena itu, meskipun tidak ada kata wajib dalam ketentuan Pasal 42 ayat (5), namun kaidah tersebut harus diartikan bahwa LPS wajib menjual saham tersebut jika ketentuan Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS telah dipenuhi. Ratio legis -nya bahwa LPS dalam penanganan atau penyelamatan bank gagal adalah tidak untuk maksud dan tujuan menguasai atau memiliki saham bank tersebut selamanya. Oleh sebab itu penempatan modal tersebut hanya bersifat temporer. Dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS, perbuatan hukum LPS menjual saham bank di bawah tingkat pengembalian yang optimal atau di bawah tingkat Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 45 penyertaan modal sementara adalah perbuatan hukum yang sah, yang dilindungi oleh UU LPS dan tidak dapat dikategorikan sebagai telah merugikan keuangan negara yang dapat dikenai ancaman UU Tipikor. Jika dikaitkan dengan pengertian keuangan negara dan kerugian negara sebagaimana diatur di dalam UU Tipikor, UU Perbendaharaan Negara, UU Keuangan Negara, serta UU BPK, maka terdapat uang negara di LPS sebagai badan hukum publik, sebagai modal awal LPS yang diambil dari aset negara yang dipisahkan. Pasal 81 ayat (2) UU LPS mengatakan, Kekayaan LPS merupakan aset negara yang dipisahkan.” Dari Pasal 2 ayat (1) UU LPS diketahui bahwa LPS didirikan atau dibentuk berdasarkan UU LPS, maka LPS adalah badan hukum yang didirikan oleh penguasa atau atas dasar kekuasaan umum, dalam hal ini pemerintah atau negara. Berdasarkan ketentuan Pasal 1653 KUH Perdata, pemerintah yang menjalankan kekuasaan hukum dapat mendirikan perkumpulan atau suatu badan hukum untuk suatu tujuan tertentu. Dalam teori hukum, aset yang dipisahkan merupakan ciri utama dari suatu badan hukum. Aset yang dipisahkan yang dijadikan modal awal suatu badan hukum, termasuk di sini adalah modal awal LPS, secara hukum harus diakui sebagai aset LPS sebagai badan hukum. Tidak tepat jika aset tersebut diklaim atau dikategorikan sebagai bagian dari aset negara sebagaimana diatur dalam UU Tipikor, UU Perbendaharaan Negara, UU Keuangan Negara, UU BPK, atau undang-undang publik lainnya. Terdapat ketidakharmonisan antara UU LPS di satu pihak berhadapan dengan UU Tipikor, UU Perbendaharaan Negara, UU Keuangan Negara, dan UU BPK di pihak lain. Terdapat kegamangan pimpinan LPS jika harus melaksanakan ketentuan Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS, yaitu manakala penjualan saham bank gagal tersebut yang sudah dapat dipastikan akan terjadi di bawah tingkat pengembalian yang optimal atau di bawah nilai, di sisi lain akan dapat diartikan oleh aparat penegak hukum dengan menggunakan tolok ukur Undang-Undang lain, sebagai merugikan keuangan negara, yang ujungnya berpotensi dikenai UU Tipikor. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 46 Doktrin hukum memberikan solusi terhadap ketidakharmonisan norma. Adagium lex specialis derogat legi generalis dan adagium lex posterior derogat legi priori dapat dipergunakan sebagai rujukan mencari jalan keluar atas ketidakharmonisan norma. Dalam risalah rapat proses pembahasan RUU LPS di DPR, terdapat keterangan bahwa UU LPS adalah hukum khusus. Jika pimpinan LPS membuat keputusan untuk menjual saham bank sebagai pelaksanaan Pasal 30 ayat (5) dan Pasal 38 ayat (5) UU LPS, yang sudah pasti berpotensi mengakibatkan kekurangan uang jika dibandingkan dengan modal awal atau penyertaan sementara awal pada saat menangani bank gagal, hal demikian tidak dapat dikualifikasikan atau dikategorikan sebagai kerugian negara. Rumusan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor sangat luas dan abstrak, sehingga memberikan ruang gerak yang luas bahkan cenderung eksesif. Penjelasan Pasal 2 tersebut menyatakan bahwa unsur melawan hukum mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yang berarti bahwa perbuatan yang dituduhkan tidak harus melanggar peraturan perundang-undangan. Perbuatan tersebut dikatakan melawan hukum kalau perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan dan norma kehidupan sosial dalam masyarakat. Kesimpulannya, jika pimpinan LPS melaksanakan ketentuan Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 UU LPS, perbuatan hukum tersebut adalah perbuatan yang sah menurut hukum yang tidak benar jika kemudian dimaknai secara berbeda menurut ketentuan undang-undang lain yang dapat dikualifikasikan sebagai telah merugikan keuangan negara yang akhirnya akan dapat dikenai ketentuan UU Tipikor. Ketentuan Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 apabila tidak dimaknai bahwa tindakan penjualan yang dilakukan LPS pada tahun kelima pada bank gagal yang tidak berdampak sistemik atau tahun keenam pada bank gagal yang berdampak sistemik tanpa memerhatikan tingkat pengembalian yang optimal, merupakan tindakan yang sah menurut hukum. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 47 Dari perspektif hukum bisnis, kriteria sah adalah jika Pimpinan LPS sudah memenuhi ketentuan Pasal 32 ayat (5), Pasal 38, dan Pasal 42. Jika Pimpinan LPS menjual murah, tetapi ada intensi di dalamnya seperti menerima suap atau ada deal tertentu dengan calon investor, jelas hal demikian tidak sah.
Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, S.H., M.Hum. Terdapat konflik norma antara UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Keuangan Negara di satu sisi, dengan UU Perseroan Terbatas dan UU BUMN di sisi lain, khususnya berkaitan dengan terminologi keuangan negara. Konflik norma tersebut memberikan dampak adanya ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan suatu Undang-Undang. Dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terdapat 30 perbuatan yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi. Ketigapuluh perbuatan tersebut dapat dibagi ke dalam tujuh kategori yang salah satu kategorinya adalah korupsi yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara (vide Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang a quo ). Apabila ketujuh kategori tersebut diperas lagi, maka sebenarnya inti tindak pidana korupsi adalah suatu penyuapan ( bribery ). Bila suatu perbuatan menjalankan tugas sebagai elemen negara atau pemerintah, terdapat penyuapan di dalamnya, maka tidak lain dan tidak bukan perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai suatu tindak pidana korupsi. Kerugian keuangan negara dalam perkara tindak pidana korupsi adalah suatu kerugian keuangan yang dialami negara akibat adanya penyuapan ( bribery ) dalam menjalankan tugas oleh instrumen negara atau pemerintah tersebut. Tidak setiap kerugian keuangan negara adalah tindak pidana korupsi, karena sangat mungkin bahwa kerugian keuangan negara tersebut diakibatkan suatu perbuatan yang secara murni masuk dalam ranah hukum perdata atau administrasi. UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah memuat dan mengatur hal-hal atau keadaan-keadaan yang mana telah terjadi kerugian negara namun bukan diakibatkan oleh suatu tindak pidana, termasuk tindak pidana korupsi, maka cukuplah dilakukan upaya hukum berupa gugatan perdata dengan tujuan utama mengembalikan kerugian keuangan negara. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 48 Kerugian keuangan negara yang terjadi akibat suatu perbuatan pidana, tidak serta-merta merupakan tindak pidana korupsi. Beberapa undang- undang mengenal kerugian keuangan negara, tetapi tidak termasuk dalam ranah tindak pidana korupsi. Antara lain, UU Pokok Ketentuan Perpajakan dan UU Perbankan. Apabila pada tahun kelima pada bank gagal yang tidak berdampak sistemik, atau tahun keenam pada bank gagal yang berdampak sistemik, LPS secara transparan dan terbuka menjual saham bank gagal tersebut di bawah tingkat pengembalian yang optimal atau di bawah tingkat penyertaan modal sementara, perbuatan demikian dapat dikualifikasikan sebagai kebijakan bisnis yang tentunya tidak terlepas dari adanya risiko bisnis. Skala kesalahan ( culpability scale ) dari Cooter dan Ullen yang dikutip Romli Atmasasmita, dipergunakan ahli sebagai parameter untuk menilai apakah suatu perbuatan dapat dijerat dengan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau tidak. Dalam skala tersebut, perbuatan pelaku bisnis ditempatkan di antara careful blameless dan negligent blameless dengan presumsi bahwa skala careful blameless berada di bawah negligent blameless , dan skala negligent blameless berada di bawah skala intentional blameless . Jika pelaku bisnis melampaui batas skala negligent blameless , maka yang bersangkutan telah memasuki lingkup batas yang disebut criminal wrongs , sehingga dapat dipidana. Adapun jika perbuatan pelaku bisnis masih dalam batas civil wrongs , maka terhadap yang bersangkutan masih dapat diterapkan penegakan hukum perdata ataupun administrasi. Hanya perbuatan yang telah melampaui batas ( cross-border ), kategori fault (kesalahan), dan memasuki kategori guilt (kesengajaan), ahli istilahkan dengan intention , yang dapat dijatuhi sanksi pidana. Jika hanya memenuhi parameter sebagai fault , maka cukup diberikan sanksi perdata atau peringatan tertulis. Tindakan penjualan yang dilakukan oleh LPS pada tahun kelima atau keenam, dikategorikan sebagai tindakan atau perbuatan hukum dalam rangka melaksanakan kewajiban LPS yang tegas-tegas diatur dalam UU. Jadi terlihat dengan jelas adanya kewajiban hukum LPS untuk melakukan penjualan saham bank (vide Pasal 30, Pasal 38, Pasal 42 UU LPS). Adanya Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 49 kata wajib pada Pasal 30 ayat (1) tersebut membuat LPS tidak memiliki pilihan selain melaksanakan kewajiban untuk menjual seluruh saham bank gagal dan dalam batas waktu yang telah ditentukan UU LPS tanpa perlu memerhatikan tingkat pengembalian yang optimal. LPS atau Pimpinan LPS tidak dapat dituntut atas perbuatan hukum yang dilakukannya karena apa yang dilakukan tersebut adalah perintah undang- undang, sehingga tidak ada sifat melawan hukumnya. Dengan kata lain, tindakan penjualan pada tahun kelima atau tahun keenam tanpa memerhatikan tingkat pengembalian yang optimal yang dilakukan oleh LPS atau Pimpinan LPS merupakan tindakan yang sah. Subjek hukum dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang, yaitu orang perseorangan, termasuk di dalamnya adalah korporasi. Adapun korporasi sendiri didefinisikan sebagai kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Melaksanakan perintah undang-undang sebagai alasan penghapus pidana umum sebagaimana diatur dalam Pasal 50 KUHP, memorie van Toelichting menjelaskan pasal tersebut sebagai berikut, yaitu tidaklah bertindak setiap orang yang menggunakan haknya untuk melakukan suatu perbuatan, yakni telah melakukan suatu berdasarkan perbuatan tertentu untuk menerapkan peraturan. Ketentuan Pasal 50 KUHP merupakan pertentangan antara dua kewajiban hukum, artinya perbuatan tersebut di satu sisi menaati peraturan, namun di sisi lain perbuatan tersebut melanggar peraturan yang lain. Oleh karena itu, untuk melaksanakan perintah Undang-Undang digunakan lesser evils principle atau teori tingkat kejahatan yang lebih ringan. Dengan demikian, melaksanakan perintah Undang-Undang merupakan dasar alasan pembenar yang menghapus elemen melawan hukumnya suatu perbuatan. Dalam melaksanakan perintah Undang-Undang, prinsip yang dipakai adalah subsidiaritas dan proporsionalitas. Prinsip subsidiaritas adalah melaksanakan peraturan undang-undang dan mewajibkan pelaku berbuat demikian. Prinsip proporsionalitas, yaitu pelaku hanya dibenarkan jika dalam pertentangan antara dua kewajiban hukum, maka kewajiban hukum yang lebih besarlah yang diutamakan. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 50 Hal lain yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan perintah undang- undang adalah karakter dari pelaku, yaitu apakah pelaku selalu melaksanakan tugas-tugas dengan itikad baik atau sebaliknya. Contoh melaksanakan perintah Undang-Undang adalah ketika seorang juru sita yang dalam rangka mengosongkan rumah menaruh barang-barang yang disitanya di jalan. Hal ini bertentangan dengan peraturan yang melarang menaruh barang-barang di jalan, akan tetapi perbuatan juru sita ini dibenarkan karena harus mengeksekusi, dalam hal ini mengosongkan rumah, berdasarkan putusan pengadilan. Berdasarkan teori-teori di atas, disimpulkan bahwa seseorang atau badan hukum tidak dapat dituntut apabila melaksanakan tindakan yang diperintahkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tentunya menggambarkan tiada niat jahat dalam melakukan tugas tersebut. Dalam hukum pidana, niat jahat ( mens rea ) merupakan salah satu unsur mutlak untuk menentukan adanya suatu kesalahan pada diri pelaku perbuatan pidana. Dengan tiadanya kesalahan, maka tiada pindana di dalamnya ( geen straf zonder schuld ). Dengan demikian, LPS atau Pimpinan LPS tidak dapat dituntut atau dengan kata lain tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila apa yang dilakukan tersebut adalah demi melaksanakan perintah undang-undang, dalam hal ini UU LPS. Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU 24/2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang ketentuan tersebut tidak dimaknai bahwa tindakan penjualan yang dilakukan LPS pada tahun kelima pada bank gagal yang tidak berdampak sistemik atau tahun keenam pada bank gagal yang berdampak sistemik tanpa memerhatikan tingkat pengembalian yang optimal merupakan tindakan yang sah dalam menjalankan kewajiban hukum LPS secara terbuka dan transparan dan karenanya tidak dapat dituntut. Orang yang telah melaksanakan perintah Undang-Undang sesuai dengan apa yang tercantum di dalam Undang-Undang tersebut termasuk parameternya, dia tidak dapat dituntut secara pidana. Untuk mengukur apakah seseorang memiliki intensi atau tidak, hal demikian tidak mungkin terlepas dari kasus konkret. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 51 Ketika seorang pejabat telah bekerja sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh undang-undang, maka dia memiliki kekebalan dalam pengertian tidak dapat dituntut. (atas pertanyaan Majelis) Dalam kasus Syahril Sabirin, Hakim menilai terdapat intensi sehingga Syahril Sabirin sebagai Gubernur BI dianggap mendapat intervensi. [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Presiden menyampaikan keterangan __ secara __ lisan dalam persidangan tanggal 5 Mei 2014 dan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 15 September 2015, sebagai berikut. I. Sesuai dengan tembusan surat kuasa hukum Pemohon kepada Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 0849/04/28/06/14 tanggal 13 Juni 2014 ( copy terlampir) bahwa LPS bermaksud mencabut sebagian materi pengujian sehingga yang tetap dimohonkan pengujiannya adalah terhadap ketentuan Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS. II. Sesuai dengan hasil persidangan di Mahkamah Konstitusi tanggal 1 September 2014, Majelis Hakim telah menetapkan bahwa permohonan Pemohon tersebut di atas telah dicatat secara resmi sehingga yang dimohonkan pengujiannya hanya Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5). Oleh karena itu, dalam Keterangan Presiden ini kami hanya memberikan keterangan sekaligus kesimpulan terkait dengan pasal yang dimohonkan pengujiannya sebagai berikut: A. Bahwa dalam permohonannya, Pemohon pada pokoknya keberatan atas ketentuan dalam Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), Pasal 42 ayat (5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Lembaga Penjamin Simpanan mengenai penjualan seluruh saham bank gagal dengan nilai penjualan paling sedikit sebesar Penempatan Modal Sementara (PMS) yang telah dikeluarkan oleh LPS. B. Ketentuan pasal-pasal yang dimohonkan pengujiannya tersebut selengkapnya berbunyi sebagai berikut: Pasal 30 ayat (5), ”Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 52 maka LPS menjual saham bank tanpa memperhatikan ketentuan ayat (3) dalam waktu 1 (satu) tahun berikutnya.” Pasal 36 ayat (5), ”Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka LPS menjual saham bank tanpa memperhatikan ketentuan ayat (3) dalam jangka waktu 1 (satu) tahun berikutnya.” Pasal 42 ayat (5) UU LPS, ”Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka LPS menjual saham bank tanpa memperhatikan ketentuan ayat (3) dalam jangka waktu 1 (satu) tahun berikutnya.” Terhadap permohonan Pemohon tersebut di atas, Pemerintah mendukungnya karena telah dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Mengenai substansi permohonannya, Pemerintah menyerahkan sepenuhnya hal tersebut kepada Mahkamah Konstitusi. C. Bahwa menurut Pemohon, adanya pengaturan mengenai penjualan seluruh saham Bank Gagal dengan nilai penjualan paling sedikit sebesar Penempatan Modal Sementara (PMS) yang telah dikeluarkan oleh LPS, yang terdapat dalam beberapa pasal tersebut di atas, dianggap telah melanggar hak konstitusional Pemohon yaitu hak untuk mendapat perlindungan dan kepastian hukum, sebagai lembaga yang tugas, fungsi dan kewajibannya antara lain:
Menjamin dan melaksanakan simpanan nasabah penyimpan;
Turut aktif dalam menjaga stabilitas sistem perbankan;
Merumuskan dan menetapkan kebijakan penjaminan;
Menjual seluruh saham Bank Gagal yang diselamatkan dalam jangka waktu tertentu. Oleh karena itu, Pemohon menganggap beberapa ketentuan tersebut di atas bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. D. Bahwa menurut Pemohon, pelanggaran hak konstitusional tersebut didasarkan atas penalaran yang wajar, yakni apabila penjualan saham tersebut dilakukan tanpa memperhatikan nilai PMS yang telah dikeluarkan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 53 oleh Pemohon, maka Pemohon khawatir tindakan penjualan dimaksud dianggap telah merugikan keuangan negara. E. Terhadap upaya permohonan Pemohon tersebut di atas, Pemerintah mendukungnya karena telah dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Mengenai substansi permohonannya, Pemerintah menyerahkan sepenuhnya hal tersebut kepada Mahkamah Konstitusi. III. Kesimpulan Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah mendukung langkah yang ditempuh oleh Pemohon khususnya terkait dengan pengujian terhadap ketentuan Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5) dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS, sehingga tidak Iagi ada kekhawatiran bagi LPS dalam penjualan saham dimaksud, dan menyerahkan keputusannya kepada Mahkamah Konstitusi. [2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat menyampaikan keterangan __ secara __ tertulis tanpa tanggal bulan September 2014, sebagai berikut.
Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Pemohon Mengenai kedudukan hukum ( legal standing ) Pemohon, DPR berpandangan bahwa para Pemohon harus dapat membuktikan terlebih dahulu apakah benar Pemohin sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, khususnya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagai dampak dari diberlakukannya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji. Terkait dengan kedudukan hukum ( Iegal standing ) Pemohon, DPR menyerahkan sepenuhnya kepada Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) atau tidak sebagaimana yang diatur oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 011/PUU-V/2007.
Pokok Pengujian UU LPS Terhadap permohonan pengujian Pasal 6 ayat (1) huruf d, Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), Pasal 42 ayat (5), Pasal 85 ayat (2) dan ayat (3) Undang- Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 54 Undang LPS serta Pasal 45 Undang-Undang Pasar Modal, DPR menyampaikan keterangan sebagai berikut:
Bahwa terkait dalil Pemohon menyangkut Pasal 6 ayat (1) huruf d Undang- Undang LPS sepanjang frasa ”sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank” yang dianggap menimbulkan hambatan bagi Pemohon dalam melaksanakan tugas dan kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang LPS dan berpotensi akan menghadapi permasalahan hukum karena terdapat sanksi pidana dalam Undang-Undang Perbankan terhadap pihak- pihak yang melanggar kerahasiaan Bank, dapat dijelaskan sebagai berikut:
Bahwa prinsip kerahasiaan bank harus dipegang teguh oleh siapa saja demi menjaga kepercayaan nasabah karena bisnis perbankan pada dasarnya merupakan bisnis kepercayaan. Namun demikian tidak ada hukum tanpa pengecualian. Dalam berbagai peraturan perundang- undangan yang didalamnya terdapat ketentuan mengenai kerahasiaan hampir selalu terdapat pengecualian-pengecualian, tidak terkecuali di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan) itu sendiri. Tentu saja dalam UU Perbankan tidak menyebut secara tertulis LPS sebagai pihak yang dapat dikecualikan dalam hal kerahasiaan bank, yang dapat dipahami karena UU Perbankan ada sebelum lahirnya LPS. Jika ditarik kembali kepada UU LPS [Pasal 6 ayat (1) huruf d] maka sesungguhnya celah dalam UU Perbankan tersebut dengan sendirinya dapat ditutupi. Selain Pasal 6 ayat (1) huruf d, keberwenangan dalam mendapatkan data-data perbankan juga telah diberikan dalam Pasal 16 ayat (2) UU LPS bahwa LPS berhak memperoleh data Nasabah Penyimpan dan informasi lain yang diperlukan per tanggal pencabutan izin usaha dari LPP dan/atau bank dalam rangka perhitungan dan pembayaran klaim Penjaminan.
Adapun mengenai frasa ” sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank ” seharusnya dipahami dalam konteks bahwa dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, sebuah lembaga juga harus tunduk kepada ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada dan tidak boleh melakukan ” abuse of power ” atau menyalahgunakan wewenang. Rambu-rambu tentang bagaimana memperoleh data-data perbankan yang diperlukan dalam konteks terkait pelaksanaan tugas dan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 55 wewenang lembaga tertentu dan bagaimana penggunaannya telah diatur dalam UU Perbankan secara komprehensif. Dari ketentuan dalam UU Perbankan tersebut dapat dipahami bahwa kerahasiaan bank hakekatnya dapat buka/dikecualikan jika diperlukan untuk kepentingan pelaksanaan tugas pihak-pihak terkait yang berwenang. Bagaimana LPS memperoleh data-data perbankan juga sesungguhnya telah diatur dalam penjelasan dari Pasal 6 ayat (1) huruf d UU LPS itu sendiri yang menyatakan ”data dan Iaporan dapat diperoleh langsung dari bank atau dari LPP yang isi dan mekanismenya diatur dalam nota kesepakatan antara LPS dan LPP”. Artinya LPS dalam memperoleh data-data perbankan tetap berada dalam koridor yang diatur UU Perbankan maupun UU LPS itu sendiri. Demikian pula terkait kerahasiaan data jika merujuk kepada risalah pembahasan UU LPS dikatakan bahwa kepentingan LPS menyangkut data nasabah penyimpan, data kesehatan bank, bukan bersifat data individual. Lagi pula LPS juga harus mendapat persetujuan dari LPP (sebagai otoritas berwenang mengawasi perbankan) berdasarkan nota kesepakatan yang dibuat dengan LPS. Oleh karenanya, maka kekhawatiran Pemohon akan terkena sanksi pidana karena melanggar kerahasiaan bank dalam UU Perbankan sesungguhnya tidak beralasan.
Bahwa terkait Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) Undang-Undang LPS sepanjang frasa ”..., maka LPS menjual saham bank tanpa memperhatikan ketentuan ayat (3) dalam waktu 1 (satu) tahun berikutnya”, yang dianggap Pemohon menimbulkan potensi adanya permasalahan hukum di kemudian hari terhadap Pemohon apabila Pemohon menjual harga saham Bank Gagal pada tahun ke-5 (pada Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik) atau tahun ke-6 (pada Bank Gagal yang berdampak sistemik) di bawah tingkat pengembalian yang optimal yang dikaitkan dengan adanya hambatan karena berlakunya Pasal 45 UU Pasar modal sepanjang frasa ”pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanya”. Terhadap dalil Pemohon ini dapat dijelaskan bahwa sesungguhnya LPS dengan undang-undang organiknya telah diberi dasar hukum yang kuat dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. LPS diberikan kewenangan oleh Undang-Undang untuk melakukan tindakan- Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 56 tindakan yang dianggap perlu termasuk di antaranya dalam penyelesaian dan penanganan Bank Gagal yang tercantum di dalam Pasal 6 ayat (2) UU LPS, berupa:
mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham, termasuk hak dan wewenang RUPS;
menguasai dan mengelola aset dan kewajiban Bank Gagal yang diselamatkan;
meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan/atau mengubah setiap kontrak yang mengikat Bank Gagal yang diselamatkan dengan pihak ketiga yang merugikan bank; dan
menjual dan/atau mengalihkan aset bank tanpa persetujuan debitur dan/atau kewaiiban bank tanpa persetujuan kreditur.
Adapun terkait Pasal 45 UU Pasar Modal sesungguhnya pasal tersebut dapat dipahami sebagai norma umum yang berlaku dalam pasar modal. Perintah tertulis dari pemegang rekening atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas nama pemegang rekening diperlukan karena hakekatnya efek yang disimpan atau dicatat pada rekening efek bukan merupakan harta kustodian. Namun demikian, dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenang LPS (khususnya dalam melaksanakan tugasnya mengusahakan tingkat pengembalian yang optimal dengan menjual saham bank), LPS dengan kewenangannya yang diberikan undang-undang dengan sendirinya dapat mengenyampingkan mekanisme yang berlaku umum sebagaimana terdapat dalam Pasal 45 UU Pasar Modal. Apalagi jika hal ini dikaitkan dengan pertanggungjawaban pemegang saham bank yang bermasalah yang harus ditangani oleh LPS. Karena tugas LPS yang utama ketika terjadi penutupan bank, selain membayar penjaminan adalah mengembalikan dana peminjaman, sehingga LPS dalam hal ini diberi kewenangan untuk menggantikan kedudukan RUPS agar dapat menjual asset bank yang bersangkutan. Jika tidak demikian, maka tujuan dari dibentuknya LPS sebagai bagian dari sistem untuk mendukung terciptanya perbankan yang sehat dan stabil, akan sulit tercapai. Oleh karenanya. keberadaan Pasal 45 UU Pasar Modal dan Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS, bukan lah sesuatu hal yang harus dipertentangkan. UU LPS yang bersifat lebih khusus dalam hal-hal yang Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 57 belum diatur dalam UU Pasar Modal dan terbentuk lebih akhir, sesungguhnya dapat dilihat sebagai ketentuan pelengkap dari yang sudah ada sebelumnya.
Bahwa terkait dalil Pemohon terhadap Pasal 85 ayat (2) sepanjang kata ”dapat”, ditafsirkan oleh Pemohon bahwa tidak ada jaminan atau kepastian bagi Pemohon akan mendapatkan pinjaman dari Pemerintah pada saat Pemohon sedang mengalami kesulitan likuiditas. Demikian pula terhadap Pasal 85 ayat (3) Undang-Undang LPS yang dianggap Pemohon tidak memberikan kepastian apakah Pemerintah akan membuat Peraturan Pemerintah untuk mengatur mengenai tata cara pemberian pinjaman karena ketentuan tersebut hanya mengacu kepada tingkat likuiditas, sedangkan ketentuan mengenai perlunya pembuatan Peraturan Pemerintah justru mengacu kepada Pasal 85 ayat (2) Undang-Undang LPS. Terhadap dalil Pemohon sepanjang mengenai kata ”dapat” dalam Pasal 85 ayat (2) dapat diberikan penjelasan bahwa sesungguhnya kata ”dapat” dimaksudkan sebagai bentuk fakultatif yang kejadiannya digantungkan kepada ada atau tidaknya kondisi yang disyaratkan untuk terjadinya tindakan tertentu, dalam hal ini pemberian pinjaman Pemerintah untuk mengatasi kesulitan likuiditas LPS. Dengan kata Iain, pinjaman dari Pemerintah dapat diberikan jika diperlukan untuk mengatasi kesulitan likuiditas. Terhadap Pasal 85 ayat (3) tentunya juga tidak dapat dilepaskan dari Pasal 85 ayat (2) dimana mengenai tingkat likuiditas dari LPS ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Artinya, ukuran atau parameter LPS dianggap mengalami kesulitan likuiditas mengacu kepada tingkat likuiditas LPS yang ditetapkan Pemerintah dengan Peraturan Pemerintah tersebut. [2.5] Menimbang bahwa Pemohon menyampaikan kesimpulan tertulis bertanggal 10 September 2014 yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 10 September 2014, dan Presiden menyampaikan kesimpulan tanpa tanggal yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 15 September 2014, yang pada pokoknya masing-masing tetap pada pendirian; [2.6] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 58 persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini;
PERTIMBANGAN HUKUM [3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan a quo adalah memohon pengujian konstitusionalitas Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608, selanjutnya disebut UU Pasar Modal), Pasal 6 ayat (1), Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), Pasal 42 ayat (5), serta Pasal 85 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4963, selanjutnya disebut UU LPS) yang menyatakan: UU Pasar Modal Pasal 45 : “Kustodian hanya dapat mengeluarkan Efek atau dana yang tercatat pada rekening Efek atas perintah tertulis dari pemegang rekening atau Pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanya,” khususnya __ frasa “ atau Pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanya.” UU LPS Pasal 6 ayat (1) huruf d : “ Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, LPS mempunyai wewenang _sebagai berikut:
.. d. mendapatkan data simpanan_ nasabah, data kesehatan bank, laporan keuangan bank, dan laporan hasil pemeriksaan bank sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank, ” khususnya frasa “ sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank”. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 59 Pasal 30 ayat (5) : “ Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka LPS menjual saham bank tanpa memperhatikan ketentuan ayat (3) dalam waktu 1 (satu) tahun berikutnya. ” Pasal 38 ayat (5) : “ Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka LPS menjual saham bank tanpa memperhatikan ketentuan ayat (3) dalam waktu 1 (satu) tahun berikutnya. ” Pasal 42 ayat (5) : “ Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka LPS menjual saham bank tanpa memperhatikan ketentuan ayat (3) dalam jangka waktu 1 (satu) tahun berikutnya. ” Pasal 85 ayat (2) : “ Dalam hal LPS mengalami kesulitan likuiditas, LPS dapat memperoleh pinjaman dari Pemerintah, ” khususnya kata “ dapat ”. Pasal 85 ayat (3) : “ Ketentuan mengenai tingkat likuiditas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. ” terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), yang menyatakan: Pasal 1 ayat (3) : “ Negara Indonnesia adalah negara hukum. ” Pasal 28C ayat (2) : “ Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. ” Pasal 28D ayat (1) : “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum” . Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 60 [3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan mempertimbangkan:
kewenangan Mahkamah mengadili permohonan a quo ;
kedudukan hukum ( legal standing) Pemohon untuk mengajukan permohonan __ _a quo; _ Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: Kewenangan Mahkamah [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU Nomor 48/2009), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar; [3.4] Menimbang bahwa permohonan Pemohon adalah untuk menguji konstitusionalitas norma Pasal 45 UU Pasar Modal serta Pasal 6 ayat (1), Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), Pasal 42 ayat (5), dan Pasal 85 ayat (2) dan ayat (3) UU LPS terhadap UUD 1945, yang menjadi salah satu kewenangan Mahkamah, sehingga oleh karenanya Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo ; Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu: Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 61 a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; [3.6] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005, bertanggal 31 Mei 2005, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal 20 September 2007, serta putusan selanjutnya berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; c kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat ( causal verband ) __ antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 62 [3.7] Menimbang bahwa berdasarkan uraian sebagaimana tersebut pada paragraf [3.5] dan [3.6] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan mengenai kedudukan hukum ( legal standing ) Pemohon sebagai berikut: [3.8] Menimbang bahwa pada pokoknya Pemohon mendalilkan sebagai badan hukum publik bernama Lembaga Penjamin Simpanan, yang diwakili oleh Kepala Eksekutif bernama Kartika Wirjoatmodjo, yang hak konstitusionalnya dirugikan akibat berlakunya Pasal 45 UU Pasar Modal serta Pasal 6 ayat (1), Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), Pasal 42 ayat (5), dan Pasal 85 ayat (2) dan ayat (3) UU LPS. Menurut Pemohon pasal dan/atau ayat dimaksud menghambat pelaksanaan fungsi, tugas, dan kewenangan Pemohon untuk menjual seluruh saham Bank Gagal, bahkan pasal dan/atau ayat tersebut menimbulkan potensi Pemohon dianggap melakukan tindak pidana kejahatan serta merugikan keuangan negara. [3.9] Menimbang bahwa kedudukan Pemohon sebagai Lembaga Penjamin Simpanan, yang dalam perkara pengujian Undang-Undang ini diwakili oleh Kepala Eksekutif, telah dibuktikan dengan Keputusan Presiden Nomor 150/M Tahun 2013, bertanggal 12 Desember 2013 dan Keputusan Dewan Komisioner Nomor KEP- 050/DK/X/2013 tentang Perubahan Keputusan Dewan Komisioner Nomor 009/DK- LPS/VII/2006 tentang Tugas dan Wewenang Kepala Eksekutif Untuk Melaksanakan Kegiatan Operasional, bertanggal 31 Oktober 2013 (vide bukti P-8 dan bukti P-9 ). Menurut Mahkamah, pasal dan/atau ayat yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh Pemohon memiliki hubungan sebab akibat ( causal verband ) berupa potensi timbulnya kerugian konstitusional bagi Pemohon. Potensi kerugian konstitusional demikian dimungkinkan untuk tidak lagi terjadi seandainya Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon. Dengan demikian, Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan _a quo; _ [3.10] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo , dan Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo maka selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 63 Pendapat Mahkamah [3.11] Menimbang bahwa Kepaniteraan Mahkamah telah menerima Surat Nomor 0849/04/28/06/14 perihal “Perkara No. 27/PUU-XII/2014”, bertanggal 13 Juni 2014, dari Pemohon yang pada pokoknya mencabut sebagian pasal dan/atau ayat yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya, yaitu Pasal 45 UU Pasar Modal, Pasal 6 ayat (1), serta Pasal 85 ayat (2) dan ayat (3) UU LPS. Adapun Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS tetap dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya. Pencabutan atau penarikan sebagian permohonan dimaksud ditegaskan kembali oleh Pemohon di hadapan sidang pleno pemeriksaan pada tanggal 1 September 2014; [3.12] Menimbang bahwa berdasarkan pencabutan/penarikan sebagian permohonan sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah menyatakan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 45 UU Pasar Modal, Pasal 6 ayat (1), serta Pasal 85 ayat (2) dan ayat (3) UU LPS terhadap UUD1945 telah ditarik kembali. Sebagai konsekuensi hukum dari penarikan/pencabutan tersebut, sesuai dengan ketentuan Pasal 35 ayat (2) UU MK, Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan pengujian konstitusionalitas pasal-pasal dimaksud terhadap UUD 1945; Pokok Permohonan [3.13] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Terhadap permohonan pengujian konstitusional yang diajukan Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut. Pasal 30 ayat (5) UU LPS [3.14] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan pengaturan Pasal 30 ayat (5) UU LPS telah mewajibkan Pemohon (LPS) untuk menjual saham Bank Gagal, yang tidak berdampak sistemik, pada tahun kelima tanpa memperhatikan tingkat pengembalian optimal. Adapun menurut Pasal 30 ayat (3), Pasal 38 ayat (3), dan Pasal 42 ayat (3) UU LPS, tingkat pengembalian optimal adalah sebesar minimal Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 64 seluruh penempatan modal sementara (PMS) yang telah dikeluarkan oleh Pemohon. Sebelum mempertimbangkan lebih lanjut dalil Pemohon tersebut, Mahkamah menegaskan bahwa secara hukum LPS adalah badan hukum independen yang memiliki fungsi menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan [vide Pasal 4 UU LPS]. Untuk menjalankan fungsi tersebut, LPS memiliki tugas yang salah satunya adalah melaksanakan penanganan Bank Gagal, baik yang berdampak sistemik maupun yang tidak berdampak sistemik [vide Pasal 5 ayat (2) UU LPS]. [3.14.1] Menimbang bahwa menurut Mahkamah, makna/arti Pasal 30 ayat (5) UU LPS tidak dapat dilepaskan dari makna/arti Pasal 30 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU LPS, yang selengkapnya menyatakan sebagai berikut: Pasal 30 ayat (1) : “ LPS wajib menjual seluruh saham bank yang diselamatkan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ”. Pasal 30 ayat (2) : “ Penjualan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terbuka dan transparan, dengan tetap mempertimbangkan tingkat pengembalian yang optimal bagi LPS. ” Pasal 30 ayat (3) : “ Tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit sebesar seluruh penempatan modal sementara yang dikeluarkan oleh LPS. ” Pasal 30 ayat (4) : “ Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang sebanyak-banyaknya 2 (dua) kali dengan masing-masing perpanjangan selama 1 (satu) tahun. ” Pasal 30 ayat (5) : “ Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka LPS menjual Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 65 saham bank tanpa memperhatikan ketentuan ayat (3) dalam waktu 1 (satu) tahun berikutnya. ” [3.14.2] Menimbang bahwa dari rangkaian ketentuan Pasal 30 UU LPS serta pasal dan/atau ayat lain dalam UU LPS yang terkait dengan Pasal 30 tersebut, Mahkamah menemukan adanya ketentuan bahwa dalam hal penyelamatan Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik, LPS memiliki kewajiban untuk mengelola Bank Gagal tersebut dan kemudian wajib menjual saham Bank Gagal tersebut maksimal dalam waktu 5 (lima) tahun sejak RUPS bank bersangkutan menyerahkan segala hak dan wewenangnya kepada LPS. Jangka waktu maksimal 5 (lima) tahun tersebut merupakan akumulasi dari jangka waktu selama 2 (dua tahun) yang diatur dalam Pasal 30 ayat (1); ditambah jangka waktu perpanjangan selama 1 (satu) tahun kali 2 (dua) yang diatur dalam Pasal 30 ayat (4); dan ditambah selama 1 (satu) tahun lagi yang diatur dalam Pasal 30 ayat (5) UU LPS. Bahwa ketentuan Pasal 30 ayat (5) UU LPS menurut Mahkamah memang menunjukkan adanya kewajiban bagi LPS untuk menjual saham Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik tersebut selambat-lambatnya pada tahun kelima meskipun tidak mencapai tingkat pengembalian yang optimal bagi LPS. Dengan perkataan lain, ketentuan tersebut memerintahkan LPS untuk menjual saham Bank Gagal, yang tidak berdampak sistemik tersebut, meskipun terdapat potensi kerugian bagi LPS, yaitu kerugian, dalam arti nilai jual saham Bank Gagal tidak sepadan dengan nilai Penempatan Modal Sementara (PMS) yang telah dikeluarkan oleh LPS dalam pengelolaan Bank Gagal tersebut. [3.14.3] Menimbang bahwa menurut Pemohon, seandainya terjadi kerugian atau selisih kurang antara nilai Penempatan Modal Sementara (PMS) dengan hasil penjualan saham Bank Gagal, Pemohon akan potensial dianggap merugikan keuangan negara, karena modal sementara yang ditempatkan Pemohon pada Bank Gagal tersebut adalah uang negara dan kekayaan LPS merupakan aset negara yang dipisahkan [vide Pasal 81 ayat (2) UU LPS]. Dengan mengingat adanya potensi bagi Pemohon untuk dianggap merugikan keuangan negara sebagaimana diuraikan di atas maka Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 30 ayat (5) UU LPS bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa tindakan penjualan yang dilakukan oleh LPS pada Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik tanpa memperhatikan tingkat pengembalian Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 66 yang optimal merupakan tindakan yang sah dalam menjalankan kewajiban hukum secara terbuka dan transparan yang karena itu tidak dapat dituntut di muka hukum. Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa tindakan penjualan saham Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik oleh LPS di tahun kelima, meskipun tidak mencapai tingkat pengembalian yang optimal, tidak dapat dimaknai lain selain sebagai perintah UU LPS, terutama Pasal 30 ayat (5). Menurut Mahkamah rumusan makna Pasal 30 ayat (5) telah sangat jelas dan tidak dapat dimaknai atau ditafsirkan lain selain sebagai perintah kepada LPS untuk melaksanakan penjualan saham bank dan atas dasar perintah Undang-Undang tersebut maka tindakan penjualan saham Bank Gagal oleh LPS tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan/perbuatan pidana yang merugikan keuangan negara, meskipun nilai jual Bank Gagal tersebut tidak mencapai tingkat pengembalian yang optimal. Mahkamah menilai bahwa UU LPS merupakan Undang-Undang yang memerintahkan kepada LPS untuk menjual aset Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik sehingga apabila hal itu dilakukan meskipun dengan harga yang tidak optimal tidak dapat digolongkan merugikan keuangan negara. Oleh karenanya tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana, sepanjang telah memenuhi syarat sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 30 ayat (2) UU LPS, yaitu penjualan dilakukan secara terbuka dan transparan. Makna ketentuan Pasal 30 ayat (5) menurut Mahkamah telah menjamin dan memberikan kepastian serta perlindungan hukum bagi LPS dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, sehingga keberadaan norma pasal a quo tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pasal 38 ayat (5) UU LPS [3.15] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan pengaturan Pasal 38 ayat (5) UU LPS telah mewajibkan Pemohon (LPS) untuk menjual saham Bank Gagal, yang berdampak sistemik dengan penyetoran modal oleh pemegang saham, pada tahun keenam tanpa memperhatikan tingkat pengembalian optimal. Menurut Pemohon, sebagaimana halnya dengan dalil Pemohon mengenai Pasal 30 ayat (5) UU LPS, ketentuan Pasal 38 ayat (5) memunculkan potensi bahwa Pemohon akan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 67 dianggap merugikan keuangan negara ketika nilai penjualan Bank Gagal dimaksud kurang dari tingkat pengembalian optimal yang dikehendaki oleh UU LPS. Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat pengaturan penjualan Bank Gagal yang berdampak sistemik, dalam kaitannya dengan tingkat pengembalian yang optimal dan jangka waktu penanganan Bank Gagal tersebut oleh LPS, yang diatur dalam Pasal 38 ayat (5) UU LPS, memiliki kesamaan substansi dengan pengaturan penjualan Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik yang diatur dalam Pasal 30 ayat (5) UU LPS, sebagaimana telah dipertimbangkan oleh Mahkamah pada paragraf [3.14.1] sampai dengan paragraf [3.14.3] . Dengan demikian, menurut Mahkamah substansi pertimbangan hukum Mahkamah pada paragraf [3.14.3] berlaku mutatis mutandis bagi pertimbangan hukum pengujian konstitusionalitas Pasal 38 ayat (5) UU LPS. Mahkamah menegaskan bahwa tindakan penjualan saham Bank Gagal yang berdampak sistemik oleh LPS di tahun keenam, meskipun tidak mencapai tingkat pengembalian yang optimal, tidak dapat dimaknai lain selain sebagai perintah Undang-Undang, yaitu Pasal 38 ayat (5) UU LPS. Atas dasar perintah dari Undang-Undang tersebut maka tindakan penjualan saham Bank Gagal oleh LPS tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan/perbuatan pidana yang merugikan keuangan negara, meskipun nilai jual Bank Gagal tersebut tidak mencapai tingkat pengembalian yang optimal, selama penjualan dimaksud dilakukan secara terbuka dan transparan sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (2) UU LPS. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah menilai ketentuan Pasal 38 ayat (5) UU LPS tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sehingga permohonan pengujian konstitusionalitas pasal a quo tidak beralasan menurut hukum. Pasal 42 ayat (5) UU LPS [3.16] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan pengaturan Pasal 42 ayat (5) UU LPS telah mewajibkan Pemohon (LPS) untuk menjual saham Bank Gagal, yang berdampak sistemik tanpa penyetoran modal oleh pemegang saham, pada tahun keenam tanpa memperhatikan tingkat pengembalian optimal. Menurut Pemohon, sebagaimana halnya dengan dalil Pemohon mengenai Pasal 30 ayat (5) dan Pasal 38 ayat (5) UU LPS, ketentuan Pasal 42 ayat (5) memunculkan potensi Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 68 bahwa Pemohon akan dianggap merugikan keuangan negara ketika nilai penjualan Bank Gagal dimaksud kurang dari tingkat pengembalian optimal yang dikehendaki oleh UU LPS. Substansi permohonan Pemohon mengenai Pasal 42 ayat (5) UU LPS menurut Mahkamah sama dengan substansi permohonan Pemohon mengenai Pasal 30 ayat (5) dan Pasal 38 ayat (5) UU LPS yang telah dipertimbangkan sebelumnya. Terkait dengan Pasal 42 ayat (5) Undang-Undang a quo , tingkat pengembalian optimal yang dimaksud adalah tingkat pengembalian optimal yang diatur dalam Pasal 42 ayat (3) UU LPS. Oleh karena secara substansi permohonan tersebut memiliki kesamaan maka menurut Mahkamah pertimbangan hukum Mahkamah pada paragraf [3.14.3] berlaku mutatis mutandis bagi pertimbangan hukum pengujian konstitusionalitas Pasal 42 ayat (5) UU LPS. Tindakan LPS pada tahun keenam menjual saham Bank Gagal, yang berdampak sistemik tanpa penyetoran modal oleh pemegang saham, meskipun nilai jualnya tidak mencapai tingkat pengembalian yang optimal, menurut Mahkamah tindakan tersebut adalah perintah Undang-Undang, yaitu perintah Pasal 42 ayat (5) UU LPS. Atas dasar perintah dari Undang-Undang tersebut maka tindakan penjualan saham Bank Gagal oleh LPS tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan/perbuatan pidana yang merugikan keuangan negara, selama penjualan saham Bank Gagal dimaksud telah dilakukan secara terbuka dan transparan sebagaimana diatur dalam Pasal 42 ayat (2) UU LPS. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, Mahkamah berpendapat ketentuan Pasal 42 ayat (5) UU LPS tidak melanggar atau tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sehingga permohonan Pemohon mengenai pasal a quo tidak beralasan menurut hukum. [3.17] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, serta fakta bahwa pemaknaan atas Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh Pemohon dalam petitum permohonannya, ternyata sesuai, sama atau tidak berbeda dengan makna Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS, sehingga menurut Mahkamah tidak diperlukan pemaknaan baru atas pasal dan/atau ayat yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya tersebut. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 69 Dengan demikian Mahkamah berpendapat pengujian konstitusionalitas Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS yang dimohonkan oleh Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo ; [4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), d a n Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
AMAR P UTU S AN Mengadili, Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh delapan Hakim Konstitusi yaitu Arief Hidayat, selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, Patrialis Akbar, Aswanto, dan Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Selasa, tanggal delapan belas bulan November tahun dua ribu empat belas, yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal dua puluh delapan bulan Januari tahun dua ribu lima belas, selesai diucapkan pada pukul 16.04 WIB , oleh delapan Hakim Konstitusi, yaitu Arief Hidayat, selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 70 Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, Patrialis Akbar, Wahiduddin Adams, I Dewa Gede Palguna, dan Suhartoyo, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Mardian Wibowo sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon/Kuasanya, Presiden atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili. KETUA, ttd. Arief Hidayat ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Anwar Usman ttd. Maria Farida Indrati ttd. Muhammad Alim ttd. Patrialis Akbar ttd. Wahiduddin Adams ttd. I Dewa Gede Palguna ttd. Suhartoyo PANITERA PENGGANTI, ttd. Mardian Wibowo Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
Tata Cara Penyediaan Anggaran, Penghitungan, Pembayaran, dan Pertanggungjawaban Subsidi Pupuk.
Relevan terhadap
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4297);
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400);
Undang–Undang Nomor 47 Tahun 2009 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2010 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5075) sebagaimana telah diubah dengan Undang–Undang Nomor 2 Tahun 2010 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 69; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5132);
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4556);
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4614);
Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 73; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4212) sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 72 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 92; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4418);
Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 08/PMK.02/2005 tentang Pengelolaan Bagian Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan;
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 134/KMK.05/2005 tentang Pedoman Pembayaran Dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.05/2007 tentang Tata Cara Pencairan Dana Atas Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Melalui Rekening Kas Umum Negara;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 171/PMK.05/2007 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 196/PMK.05/2008 tentang Tata Cara Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Belanja Subsidi dan Belanja Lain-Lain pada Bagian Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 119/PMK.02/2009 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga dan Penyusunan, Penelaahan, Pengesahan, dan Pelaksanaan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Tahun Anggaran 2010; Memperhatikan :
Keputusan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor KEP-183/MBU/2003 tentang Komponen Harga Pokok Penjualan Pupuk Bersubsidi;
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 03/M-DAG/PER/2/2006 tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi Untuk Sektor Pertanian sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 47/M-DAG/ PER/2/2009;
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 50/Permentan/ SR.130/11/2009 tentang Kebutuhan dan Harga Eceran Tertinggi (HET) Pupuk Bersubsidi Untuk Sektor Pertanian Tahun Anggaran 2010 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 32/Permentan/SR.130/4/2010;
Pedoman Penerapan, Penilaian, dan Reviu Pengendalian Intern atas Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat. ...
Tata Cara Penyediaan, Penghitungan, Pembayaran, dan Pertanggungjawaban Dana Cadangan Beras Pemerintah. ...
Relevan terhadap
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4297);
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400);
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2011 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5167);
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2003 tentang Pendirian Perusahaan Umum (Perum) BULOG (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 8) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2003 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 142);
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4556);
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4614);
Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4212) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2010;
Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.05/2007 tentang Bagan Akun Standar;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 171/PMK.05/2007 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 196/PMK.05/ 2008 tentang Tata Cara Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Belanja Subsidi dan Belanja Lain- Lain Pada Bagian Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 250/PMK.05/2010 tentang Tata Cara Pencairan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Atas Beban Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Pada Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara; Memperhatikan :
Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2009 tentang Kebijakan Perberasan;
Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2011 tentang Kebijakan Pengamanan Cadangan Beras yang Dikelola oleh Pemerintah Dalam Menghadapi Kondisi Iklim Ekstrim;
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22/M-DAG/ PER/10/2005 tentang Penggunaan Cadangan Beras Pemerintah Untuk Pengendalian Gejolak Harga;
Peraturan Menteri Sosial Nomor 29/HUK/2006 tentang Pelaksanaan Penggunaan Cadangan Beras Pemerintah Untuk Penanggulangan Keadaan Darurat ( emergency relief ) dan Penanganan Pasca Bencana;
Peraturan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Nomor 03 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Cadangan Beras Pemerintah untuk Bantuan Sosial;
Keputusan Bersama Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Nomor KEP-46/M.EKON/ 08/2005 dan 34/KEP/MENKO/KESRA/ VIII/2005 tentang Pedoman Umum Koordinasi Pengelolaan Cadangan Beras Pemerintah;
Pelaksanaan Pemantauan dan Evaluasi Transfer Ke Daerah yang Penggunaannya Sudah Ditentukan.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2010.
Relevan terhadap
Dalam Undang-Undang ini, yang dimaksud dengan:
Pendapatan negara dan hibah adalah semua penerimaan negara yang berasal dari penerimaan perpajakan, penerimaan negara bukan pajak, serta penerimaan hibah dari dalam negeri dan luar negeri.
Penerimaan perpajakan adalah semua penerimaan negara yang terdiri atas pajak dalam negeri dan pajak perdagangan internasional.
Pajak dalam negeri adalah semua penerimaan negara yang berasal dari pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah, pajak bumi dan bangunan, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, cukai, dan pajak lainnya.
Pajak perdagangan internasional adalah semua penerimaan negara yang berasal dari bea masuk dan bea keluar. Ditjen Peraturan Perundang-undangan 6. Cost recovery adalah pengembalian atas biaya-biaya yang telah dikeluarkan dalam rangka operasi perminyakan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dengan menggunakan hasil produksi minyak dan/atau gas bumi (migas) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Penerimaan hibah adalah semua penerimaan negara yang berasal dari sumbangan oleh pihak swasta dalam negeri dan pemerintah daerah serta sumbangan oleh pihak swasta luar negeri dan pemerintah luar negeri yang tidak perlu dibayar kembali, bersifat tidak wajib dan tidak mengikat, serta tidak secara terus menerus, dialokasikan untuk mendanai kegiatan tertentu.
Belanja negara adalah semua pengeluaran negara yang digunakan untuk membiayai belanja Pemerintah Pusat dan transfer ke daerah.
Belanja Pemerintah Pusat menurut organisasi adalah belanja Pemerintah Pusat yang dialokasikan kepada kementerian negara/lembaga (K/L), sesuai dengan program-program Rencana Kerja Pemerintah yang akan dijalankan.
Belanja Pemerintah Pusat menurut fungsi adalah belanja Pemerintah Pusat yang digunakan untuk menjalankan fungsi pelayanan umum, fungsi pertahanan, fungsi ketertiban dan keamanan, fungsi ekonomi, fungsi lingkungan hidup, fungsi perumahan dan fasilitas umum, fungsi kesehatan, fungsi pariwisata dan budaya, fungsi agama, fungsi pendidikan, dan fungsi perlindungan sosial.
Belanja Pemerintah Pusat menurut jenis adalah belanja Pemerintah Pusat yang digunakan untuk membiayai belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, pembayaran bunga utang, subsidi, belanja hibah, bantuan sosial, dan belanja lain-lain. Ditjen Peraturan Perundang-undangan 13. Belanja barang adalah belanja Pemerintah Pusat yang digunakan untuk membiayai pembelian barang dan jasa yang habis pakai untuk memproduksi barang dan jasa, baik yang dipasarkan maupun yang tidak dipasarkan, dan pengadaan barang yang dimaksudkan untuk diserahkan atau dijual kepada masyarakat, serta belanja perjalanan.
Belanja modal adalah belanja Pemerintah Pusat yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jaringan, serta dalam bentuk fisik lainnya.
Pembayaran bunga utang adalah belanja Pemerintah Pusat yang digunakan untuk membayar kewajiban atas penggunaan pokok utang ( principal outstanding ) baik utang dalam negeri maupun luar negeri, yang dihitung berdasarkan ketentuan dan persyaratan utang yang sudah ada dan utang baru, termasuk untuk biaya terkait dengan pengelolaan utang.
Subsidi adalah alokasi anggaran yang diberikan kepada perusahaan/lembaga yang memproduksi, menjual, mengekspor, atau mengimpor barang dan jasa, yang memenuhi hajat hidup orang banyak sedemikian rupa sehingga harga jualnya dapat dijangkau oleh masyarakat.
Subsidi energi adalah alokasi anggaran yang diberikan kepada perusahaan atau lembaga yang memproduksi dan/atau menjual bahan bakar minyak (BBM), bahan bakar nabati (BBN), Liquefied Petroleum Gas (LPG), dan tenaga listrik sehingga harga jualnya terjangkau oleh masyarakat yang membutuhkan. Ditjen Peraturan Perundang-undangan 19. Bantuan sosial adalah semua pengeluaran negara dalam bentuk transfer uang/barang yang diberikan kepada masyarakat guna melindungi masyarakat dari kemungkinan terjadinya berbagai risiko sosial.
Belanja lain-lain adalah semua pengeluaran atau belanja Pemerintah Pusat yang tidak dapat diklasifikasikan ke dalam jenis-jenis belanja sebagaimana dimaksud pada angka 12 (dua belas) sampai dengan angka 19 (sembilan belas), dan dana cadangan umum.
Transfer ke daerah adalah pengeluaran negara dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal berupa dana perimbangan, dana otonomi khusus, dan dana penyesuaian.
Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi yang terdiri atas dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Dana bagi hasil, selanjutnya disingkat DBH, adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Ditjen Peraturan Perundang-undangan 25. Dana alokasi khusus, selanjutnya disingkat DAK, adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Dana otonomi khusus adalah dana yang dialokasikan untuk membiayai pelaksanaan otonomi khusus suatu daerah, sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi Undang-Undang dan Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Dana penyesuaian adalah dana yang dialokasikan untuk membantu daerah dalam rangka melaksanakan kebijakan Pemerintah Pusat dan membantu mendukung percepatan pembangunan di daerah.
Sisa lebih pembiayaan anggaran, selanjutnya disingkat Silpa, adalah selisih lebih realisasi pembiayaan atas realisasi defisit anggaran yang terjadi.
Pembiayaan defisit anggaran adalah semua jenis penerimaan pembiayaan yang digunakan untuk menutup defisit anggaran negara dalam APBN dan kebutuhan pengeluaran pembiayaan. Ditjen Peraturan Perundang-undangan 31. Privatisasi adalah penjualan saham persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas kepemilikan saham oleh masyarakat, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
Surat berharga negara, selanjutnya disingkat SBN, meliputi surat utang negara dan surat berharga syariah negara.
Surat utang negara, selanjutnya disingkat SUN, adalah surat berharga berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia sesuai dengan masa berlakunya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara.
Surat berharga syariah negara, selanjutnya disingkat SBSN, atau dapat disebut sukuk negara, adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara.
Dana Investasi Pemerintah adalah dukungan Pemerintah dalam bentuk kompensasi finansial dan/atau kompensasi dalam bentuk lain yang diberikan oleh Pemerintah kepada Badan Usaha.
Restrukturisasi BUMN adalah upaya yang dilakukan dalam rangka penyehatan BUMN, yang merupakan salah satu langkah strategis untuk memperbaiki kondisi internal perusahaan guna memperbaiki kinerja dan meningkatkan nilai perusahaan. Ditjen Peraturan Perundang-undangan 38. Kewajiban penjaminan adalah kewajiban yang menjadi beban Pemerintah akibat pemberian jaminan kepada BUMN dan/atau BUMD dalam hal BUMN dan/atau BUMD dimaksud tidak dapat membayar kewajibannya kepada kreditor sesuai perjanjian pinjaman.
Pembiayaan luar negeri neto adalah semua pembiayaan yang berasal dari penarikan pinjaman luar negeri yang terdiri atas pinjaman program dan pinjaman proyek dikurangi dengan pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri.
Pinjaman program adalah pinjaman yang diterima dalam bentuk tunai ( cash financing ) dimana pencairannya mensyaratkan dipenuhinya kondisi tertentu yang disepakati kedua belah pihak seperti matrik kebijakan ( policy matrix ) atau dilaksanakannya kegiatan tertentu.
Pinjaman proyek adalah pinjaman luar negeri yang digunakan untuk membiayai kegiatan tertentu kementerian negara/lembaga dan/atau pemerintah daerah dan BUMN melalui penerusan pinjaman yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005–2025 dan berdasarkan Undang- Undang ini.
Anggaran pendidikan adalah alokasi anggaran pada fungsi pendidikan yang dianggarkan melalui kementerian negara/lembaga dan alokasi anggaran pendidikan melalui transfer ke daerah, termasuk gaji pendidik, tetapi tidak termasuk anggaran pendidikan kedinasan, untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan yang menjadi tanggung jawab Pemerintah.
Persentase anggaran pendidikan adalah perbandingan alokasi anggaran pendidikan terhadap total anggaran belanja negara.
Tahun anggaran 2010 adalah masa 1 (satu) tahun terhitung mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember 2010. Ditjen Peraturan Perundang-undangan (1) Anggaran pendapatan negara dan hibah tahun anggaran 2010 diperoleh dari sumber-sumber:
penerimaan perpajakan;
penerimaan negara bukan pajak; dan
penerimaan hibah.
Penerimaan perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a direncanakan sebesar Rp742.738.045.000.000,00 (tujuh ratus empat puluh dua triliun tujuh ratus tiga puluh delapan miliar empat puluh lima juta rupiah).
Penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b direncanakan sebesar Rp205.411.304.114.000,00 (dua ratus lima triliun empat ratus sebelas miliar tiga ratus empat juta seratus empat belas ribu rupiah).
Penerimaan hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c direncanakan sebesar Rp1.506.766.000.000,00 (satu triliun lima ratus enam miliar tujuh ratus enam puluh enam juta rupiah).
Jumlah anggaran pendapatan negara dan hibah tahun anggaran 2010 sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) direncanakan sebesar Rp949.656.115.114.000,00 (sembilan ratus empat puluh sembilan triliun enam ratus lima puluh enam miliar seratus lima belas juta seratus empat belas ribu rupiah).
Pengelolaan Kekayaan Negara yang berasal dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional oleh PT Perusahaan Pengelolaan Aset (Persero) ...
Relevan terhadap
Pengelola Aset dapa: t mengbadiri dan m.enga: mbil kepu tusan dalam Rapat Umum. Pemegang Saba:
(RUPS) dengan. tunduk pada ket entuan anggaran dasar masing-masing perusaha:
an.
Penga: mbilan keputusan oleh Pengelola Aset dala: m RUPS sebagaimana dimaksud pada aya: t (1) tidak dimaksudkan untuk melakukan p ena: m baban modal Negara pa: da perusaha: an dala: m bentuk tunai (3) Pengelola Aset wajib melakukan ka: jian terlebih dahulu sebelum menga: mbll keputusan dala: m RUPS seba: ga: imana dimaksud pada: aya: t (1) dan m elapo r kan basil kepu tusan RUPS kepada Menteri Keuangan.
Pasal 20 (1.) Dahm pcr1j: uabn 1\s: : t Sʗb; Jm. pad<1. pcrusʘ= publik termasu k Warrant dan atau Rights, Pengelola Aset dapat menawarkan Aset Saha:
melalui bursa maupun di luar bursa d en gan tunduk pada pera turan di bidang pasar modal dan peraturan terkait lainnya:
(2) Dala:
melakukan penjualan Aset Saham pada perusahaan tertutup, Pengelola Aset dapat mena: warkan Aset Saham:
melalui Penawaran Terbuka. yang bukan m eru pakan penawaran umum sebagaimana dimaksud dala: m peraturan di bidang pasar modal;atau ; 1'1-1-'1--- 1'Llli1AUIUUt _(quasi-reorgmtizatum); _ MENTERIKEUANGAN h. melalui Penawaran Terhatas dengan mengacu pada anggaran dasar atau pada perikatan yang telah ada yang mengatur pemba tasan pemindahan hak.
Pengel.ola Aset melakukan penjualan: Aset Saham dengan harga paling sedilcit sa: ma dengan harga dasar sehagaimana d: imaksud dalam Pasal 6 setelah dikurangi dengan peneriin aan yang tercatat sebagai pengurang niJai AsetSaham. (4} Pengelola Aset melakukan penjualan Warrant danfatau Rights yang diperoleh dari hasil pengelolaan Aset Saham dengan mempertimhangkan harga pasar. BABV PENGELOLAAN ASEI REKSADANA Pasa121 (1) Pengel.ola Aset melak-ukan pemeliharaan Aset Reksadana meliputi.: a pemutakhiran data Aset Reksadana;
penyimp anan dan penatausahaan dokumen Aset Reksadana; dan
pencatatan kepemilikan alas Aset Reksadana pada mana jer investasi (2) Pengelolaan Aset Reksadana dilakukan dengan cara melakukan p eman tauan dan pencairan/penjualan kembali (redemption) atas Aset Reksadana (3) Dalam hal di1akukan penjualan Asel: Reksadana kepada pihak selain manajer investasi, dilaksanakan melalui Penawaran Terbuka BABVI BIAYA DAN HASIL PENGELOLAAN ASET Pasa122 (1) Pengelola Aset melakukan pembayaran te.rlebih dahulu atas Biaya Pengelolaan_ untuk selanjutnya diperhitungkan dengan Hasil Pengelolaan Aset. {2) Biaya Pengelolaan dimaksud pada ayat {1) meliputi: a Biaya operasional pengelolaan;
·siaya non operasional pengelolaan;
pajak-pajak atas butir a dan b. {3) Pengelola Aset melakukan pencatatan Biaya Pengelolaan dan menyimpan bukti dok-umen asli atas setiap pengel uaran. biaya sebagaimana ' MENTER! KEUANGAN (4) Menteri Keuangan atau pihak Jain yang ditunjok berwenang me.lakukan verifikasi atas Biaya Pengelolaan sebagaimana dimaksnd pada ayat (2).
Pengclola Aset berhak menagih terlebih dahulu 13iaya Pengelolaan yang limbul kepada Menteri Keuangan dalam hal:
selama 1 (satu) tahun anggaran berjalan Pengelola Aset belum memperoleh Hasil Pertgelolaan Aset;
Hasil Pengelolaan Aset dalam suatu periode tahun anggaran berjalan tidak mencukupi menggantikan realisasi Biaya Pengelolaan periode tersebut. (6} Setiap penagihan sebagalin.ana dimaksnd pada ayat (5}barus disertai dengan boktiwbokti pendukung yang. memadai dalam. rangka melakokan pengganlian Biaya Pengelolaan.
Pengelola Aset diberi kewenangan untok membayar tunggakan biaya yang melekat pada Kekayaan Negara yang terjadi sebelum penyerahan pengelolaan Kekayaan Negara kepada Pengelola Aset.
Penibayaran tunggakan biaya sebagalin.ana dimaksud pad a ayat (7) lidak termasok .daJam. Biaya Pengel.olaan sebag alln.ana dimaksud pada ayat (2) dan selarijutnya diperhitungkan langsung sebagai pengurang dari setoran Hasil Pengelolaan Aset.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan :
Aset Piutang adalah aset yang berupa piutang atau tagihan dalam. bentuk kredit, surat berharga dan tagihan lainnya. u ' . ,, • ' . . MENTERI KEUANGAN 2. Aset Prope.rti adalah aset yang berupa tanah, bangunan dan/atau satuan romah susun j apartemen ber: ikut bendaĚbenda }'<Ulg melekat dan mernpakan satu kesatuan atau kelengkapan aset tersebut.
Aset Reksadana adalah aset yang berupa unit peny ertaan reksadana baik yang diterbitkan oleh badan hukum. Indonesia maupun badan hukum asing.
Aset Saham adalah aset yang berupa saham pada pe.rseroan.
Badan Penyehatan Perbankan Nasional atau clisingkat BPPN adalah badan khusus sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1999 tentang Badan Penyehatan Perbankan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3814) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan P eratur an Pemer: intah Nomor 47 Tahun 2001 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 71, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4102).
Biaya Pengelolaan adalah seluruh realisasi biaya operasional maupun biaya non operasional pengelolaa n Aset yang dihittmg secara periodik (periodic cost) untak satu tahun bukn.
Biaya Ope.rasional adalah seluruh pengeluaran yang terkait dengan kegiatan restruktur: is asi, penjualan, penagihan. peng amanan , pemeb"haraan, inventarisasi, ver: ifikasi dokumen serta biaya daya danjasa 8. Biaya Non Operasional adalah biaya yang tidak terkait langsung dengan kegiatan ope.rasional seperti biaya penyambungan kembali daya, denda atas tunggakan biaya daya dan jasa serta biaya depresiasi/ amortisasi aset yang digunakan untak menunjang kegiatan ope.rasionaal Pengelola Aset.
Dana Cadangan Biaya Pengelolaan adalah dana yang dialokasikan oleh Menter: i Keuangan kepada Pengelola Aset untak mendukung l:
etr!rser.H!llln. rhna. ʛnge1oJ?.an Kel.: aya; m Neg"Til.
Hasil Pengelolaan Aset adalah setiap pen erimaan tunai yang berasal dari restruktur: isasi, kerj asam a dengan pfuak lain, penagihan piutang, penjualan, penyewaan, dividen, kupon/bunga dan atau pener: imaan lain yang berasal dari Aset yang dikelola dari transaksi yang sudah se1esai.
Insentif Kinerja Perusahaan adalah im.balan yang dfuer: ikan oleh Menter: i Keuangan kepada Pengelola Aset yang dihitung berdasarkan pr osentas i tertentu atas selisih Hasil Pengelolaan Aset dengan Biaya Pengelolaan dan Nilai Kekayaan Negara. u . . MENTERI KEUANGAN ' 12. Kekayaan Negara adalah selnruh aset yang berasal dari BPPN yang tidak terkait perkara di lemhaga peradilan, berupa Aset Piutang, Aset Properti,. Aset Saham dan Aset Reksadana 13. Lelang adalah penjualan yang dilakukan oleh Pengelola Aset yang terbuka untuk umum baik secara langsung maupun melalui media elektronik dengan cara penawaran harga secara lisan dan atau tertulis yang didahului dengan usaha mengumpulkan peminat yang dilakukan dihadapan Pejabat Lelang Negara 14. Penawaran Terbuka adalah penjualan yang dilakukan oleh Pengelola Aset yang penaw arann ya dilakukan terbuka untuk umum baik secara langsung maupun melalui media elektronik dengan cara penawaran harga secara lisan dan atau tertulis yang didahului dengan. usaha mengumpulkan peminat yang dilakukan oleh PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero).
Penawaran Terbatas adalah penjualan yang dilakukan oleh Pengelola Aset yang penawaraunya dilakukan terbatas kepada pihak-pihak tertentu dengan mengacu kepada perjanjian/ketentuan yang telah ada sebelumnya atau anggaran dasar perusahaan.
Pengelola Aset adalah PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero) yang didirikan berdasarkan Pera turan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2004.
Waran (Warrants) dan atau Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (Rights) adalah hak-hak yang telah diperoleh atau akan timbul sehubungan dengan saham.
Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Penilai Pemerintah.
Uji Materiil atas Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut UU OJK) te ...
Relevan terhadap
(1) Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang dipekerjakan di OJK hanya dapat ditarik dengan pemberitahuan paling singkat 6 (enam) bulan sebelum penarikan dan tidak sedang menangani perkara. (2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil diharuskan bekerja sama dengan instansi terkait. 33 46. Bahwa apabila kita melihat rumusan Pasal 27 ayat (2) OJK, terhadap kata "dapat" secara gramatikal bukan merupakan unsur yang mutlak "harus ada". Artinya sifatnya temporary . Kemudian dalam Pasal 51 ayat (1) terdapat frasa "yang dipekerjakan". Artinya keberadaan Penyidik PNS di Lembaga OJK merupakan perbantuan dari Penyidik PNS di instansi yang berkaitan. Hal tentunya bertentangan dengan asas " Supremacy of the law ", dimana hukum seharusnya disangga, ditegakkan oleh penegak hukum dalam suatu integrated criminal justice system dan tidak didasarkan pada kewenangan temporary pada suatu masa atau rentang waktu tertentu saja. Bahwa berdasarkan seluruh uraian di atas maka Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK terhadap frasa "Penyidikan", yang memberikan wewenang penyidikan bertentangan dengan Asas " Due Process of Law " dalam Sistem Penegakan Hukum Pidana (Criminal Justice System) sebagai jaminan yang harus ada dalam Negara Hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, serta tidak memberikan kepastian hukum yang adil bagi seseorang yang t disangka melakukan tindak pidana disektor jasa keuangan saat menjalankan proses penyidikan yang dilakukan oleh lembaga OJK dimana seharusnya setiap warga Negara mendapatkan jaminan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. lV. PETITUM Berdasarkan seluruh alasan-alasan Permohonan para pemohon tersebut diatas, mohon kiranya Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi berkenan memutus dengan amar putusan: Menyatakan:
Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan Pasal 1 angka 1 terhadap kata " dan Penyidikan " Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Menyatakan Pasal 9 huruf c terhadap kata " Penyidikan " Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara 34 Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau, apabila Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). [2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalilnya, Pemohon mengajukan bukti surat atau tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-14 sebagai berikut:
Bukti P- 1 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan;
Bukti P- 2 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Bukti P- 3 : Fotokopi KTP Pemohon I;
Bukti P- 4 : Fotokopi Nomor Induk Dosen Nasional Pemohon I;
Bukti P- 5 : Fotokopi KTA Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi (MAHUPIKI) Pemohon I;
Bukti P- 6 : Fotokopi KTA PERADI Pemohon I;
Bukti P- 7 : Fotokopi Berita Acara Sumpah Pemohon I;
Bukti P- 8 : Fotokopi KTP Pemohon II;
Bukti P- 9 : Fotokopi Nomor Induk Dosen Nasional Pemohon II;
Bukti P- 10 : Fotokopi KTP Pemohon III;
Bukti P- 11 : Fotokopi Nomor Induk Dosen Nasional Pemohon III;
Bukti P- 12 : Fotokopi KTA Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia (APPTHI) Pemohon III;
Bukti P- 13 : Fotokopi KTP Pemohon IV;
Bukti P- 14 : Fotokopi Nomor Induk Dosen Nasional Pemohon IV;
Bukti P- 15 : Fotokopi KTP Pemohon V;
Bukti P- 16 : Fotokopi Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan yang membuktikan Pemohon V adalah Karyawan di PT. SNP;
Bukti P- 17 : Fotokopi KTP Pemohon VI;
Bukti P- 18 : Fotokopi Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan yang membuktikan Pemohon V adalah Karyawan di PT. SNP. 35 Selain itu, Para Pemohon Mengajukan Ahli Prof. Drs. Ratno Lukito, MA., DCL. dan Prof. Dr. Nindyo Pramono, S.H., M.S . yang didengarkan keterangannya pada persidangan tanggal 18 Februari 2019 dan Ahli Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, S.H., M.Hum ( Eddy O.S Hiariej) dan Dr. Bernard L. Tanya, S.H., M.H yang didengarkan keterangannya pada persidangan tanggal 28 Februari 2019 dan pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut:
Prof. Drs. Ratno Lukito, MA., DCL. Ahli adalah seorang ahli Perbandingan Hukum ( Comparative Law ), ahli menguraikan beberapa hal diantaranya:
Dalam pertimbangan historisnya, UU OJK dibentuk karena kesadaran akan pentingnya lembaga pengawasan sektor jasa keuangan di Tanah Air yang mampu untuk memastikan berjalannya lembaga perekonomian yang sehat dan kredibel. Utamanya dalam rangka menghadapi krisis ekonomi dunia di akhir 1990an, lembaga pengawasan jasa keuangan tentu sangat diharapkan kehadirannya untuk memastikan kestabilan perekonomian di suatu negara. Martinez dan Rose (2003) dalam penelitiannya di 14 negara menyebutkan bahwa sejak akhir 2001 jumlah usaha jasa keuangan dalam sektor-sektor perbankan naik drastis (71%), sedangkan industri asuransi dan sekuritas masing-masing naik di angka 70% dan 63%. Kecenderungan kenaikan bisnis jasa keuangan ini juga dialami di negara- negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Hidayat (2003) mencatat bahwa di akhir 2003 diestimasikan terdapat 10 bank di Indonesia yang menawarkan jasa asuransi ( bancassurance ) dengan potensi pasar sekitar 14 triliun rupiah, dan investasi dalam bentuk reksadana (mutual funds) ditawarkan tidak kurang oleh 15 lembaga perbankan dengan estimasi nilai sekitar 58 triliun rupiah. Kondisi ini mengakibatkan munculnya kebutuhan akan sistem regulasi dan pengawasan terhadap sektor keuangan yang lebih efektif lagi disesuaikan dengan kebutuhan akan jasa keuangan yang terus meningkat. Dalam kajian-kajian sebelumnya (Taylor dan Fleming, 1999; Mwend dan Fleming, 2001; Claessens, 2002) telah dibuktikan bahwa sistem pengawasan lembaga keuangan yang tidak terintergrasi akan cenderung lemah untuk mengawasi berbagai macam penyelewengan dalam bisnis keuangan 36 karena banyaknya faktor risiko yang muncul di dalamnya. Hal inilah yang mendorong kemunculan rejim pembentuk regulasi dan pengawasan terhadap lembaga perbankan dan sektor-sektor jasa keuangan lainnya yang lebih terintegratif lagi. Martinez dan Rose menyebutkan bahwa di akhir 2002 telah ada setidaknya 46 negara yang mengadopsi model pengawasan terhadap jasa keuangan yang terpusat (integrated single supervisory agency). Tradisi pengawasan seperti inilah yang sejatinya sudah diadopsi oleh negara-negara Scandinavian (Denmark, Norwegia dan Swedia) sejak akhir tahun 1980an. Inggris dan Korea Selatan kemudian mengikuti langkah ini satu dekade kemudian, 1997, dengan membentuk lembaga sejenis meski dengan nama yang berbeda ( Financial Supervisory Authority di Inggris dan Financial Supervisory Service di Korea Selatan). Negara-negara lain pun, seperti Jerman, Estonia, Irlandia dan Malta juga menerima model integratif ini dan menerapkannya pada beberapa tahun kemudian. Secara berurut negara-negara yang tercatat sejak akhir 1980an sudah mengadopsi sistem pengawasan jasa keuangan yang terpadu itu diantaranya: Norwegia pada 1986, Kanada 1987, Denmark 1988, Swedia 1991, Jepang 2000, Inggris 2001, Jerman dan Austria 2002 dan Irlandia 2003. Tren integrated financial supervisory di atas juga beresonansi ke Indonesia sejalan dengan peningkatan kuantitas lembaga keuangan paska kejatuhan ekonomi negeri ini pada akhir 1997. Pada saat itu, Indonesia masih membagi kekuasaan pengaturan dan supervisi terhadap lembaga keuangan kepada tiga institusi besar. Sesuai dengan UU No. 23 Tahun 1999, Bank Indonesia (BI) memiliki otoritas pengaturan (regulative) dan pengawasan (supervisory) terhadap lembaga perbankan. Kementerian Keuangan berkewajiban melakukan pengawasan terhadap lembaga asuransi, sedangkan Bapepam terhadap lembaga pasar modal (the stock exchange). Dengan kata lain, Indonesia hingga tahun 2000an masih mengikuti model pengawasan terhadap lembaga keuangan yang tersebar (dispersed). Pendekatan seperti ini kemudian berubah ketika pada tahun 2004 muncul peraturan baru dengan UU No. 3 Tahun 2004 yang merupakan perubahan dari UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank 37 Indonesia. UU tahun 1999 sejatinya sudah mengamanatkan pada pasal 34 dan 35 nya bahwa tugas pengawasan bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang. Artinya, bahwa lembaga pengawasan terhadap jasa keuangan tidak akan dilakukan oleh BI namun oleh lembaga independen. Dan karenanya sejak 1999 pemerintah Indonesia sudah menginginkan untuk mengikuti model yang telah dilakukan oleh Korea Selatan dan Inggris yang menciptakan lembaga pengawasan jasa keuangan yang terpisah dari lembaga perbankan. Menariknya, UU No. 3 Tahun 2004 kemudian mengalami beberapa kali perubahan, yaitu melalui UU No. 2 Tahun 2008 dan UU No. 6 Tahun 2009. Dan akhirnya terbentuk lembaga pengawasan terhadap sektor jasa keuangan itu melalui UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang menjadikan lembaga OJK ini sebagai lembaga yang memiliki otoritas penuh terhadap kegiatan pengawasan maupun pengaturan terhadap jasa keuangan secara terpadu. Pembentukan lembaga pengawasan jasa keuangan yang terpadu atau integratif ini jelas mengikuti pola integrated financial supervisory model yang sekarang ini semakin menjadi mainstream dalam lembaga keuangan di berbagai negara di seluruh dunia.
Melalui lembaga OJK, model terpadu dalam pengawasan dan pengaturan jasa keuangan itu tergambar dengan jelas, utamanya pada Pasal 1 UU OJK yang menyebutkan bahwa: “Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang ini.” Menurut para ahli, pembentukan lembaga pengawasan dan pengaturan sektor jasa keuangan yang terpadu sejatinya didasari atas suatu pertimbangan manfaat, utamanya yaitu: untuk meningkatkan efektifitas monitoring dan pengaturan berbagai lembaga keuangan yang ada, disamping untuk mengejar nilai ekonomis dari lembaga pengawas jasa keuangan tersebut (Taylor dan Fleming, 1999). Lebih jauh menurut 38 Martinez dan Rose (2003), integrative model juga memberikan dampak positif yaitu bahwa tingkat akuntabilitas lembaga keuangan dapat terjaga dikala terjadi kegagalan pada aspek regulasi, disamping tentu saja harmonisasi antara lembaga jasa keuangan akan lebih mudah tercapai. Dan ini pula yang sejatinya ingin dicapai dalam pembentukan lembaga OJK melalui produk UU No. 21 Tahun 2011 tersebut. Efektifitas pengawasan dan pengaturan berbagai jasa keuangan akan diharapkan semakin meningkat di samping faktor biaya yang dapat ditekan. Dengan sistem yang terpadu maka harmonisasi antar lembaga penyedia jasa keuangan juga akan semakin mudah dilakukan. Namun demikian, model integratif tersebut juga memiliki potensi kelemahan. Menurut Abrams dan Taylor (2000), keefektifan lembaga pengawas jasa keuangan yang integratif sangat tergantung kepada lembaga-lembaga pengawas yang ada sebelumnya. Jika lembaga pengawas dan regulator sebelumnya lemah maka pengintegrasian itu tidak akan menghasilkan prospek lembaga pengawas yang kuat dengan segera. Disitulah mengapa Martinez dan Rose menyarankan untuk meningkatkan kestabilan lembaga-lembaga pengawas dan regulator jasa keuangan yang telah ada terlebih dahulu sebelum memikirkan pengintegrasiannya. Pengalaman di beberapa negara, pengadopsian lembaga pengawas jasa keuangan tersebut efektivitas pengawasannya tidak dengan mudah ditingkatkan, karena pada kenyataannya berbagai faktor non-teknis sangat mempengaruhi peningkatan mutu dan efektivitas lembaga tersebut. Di Indonesia, langkah integrasi semua lembaga pengawas dan regulator jasa keuangan sepertinya dilakukan dengan serta merta dan tanpa memperhatikan kondisi sosial, politik dan hukum yang melingkupi persoalan ini. Indonesia agaknya mengikuti langkah Korea Selatan dan Inggris. Korea Selatan, misalnya, sejak 1997 mengambil langkah penyatuan lembaga-lembaga tersebut dengan agak revolusioner, yaitu hanya dalam proses dua tahun. Pendekatan “Big Bang” ini dilakukan pemerintah Korea Selatan untuk menghadapi krisis ekonomi 1997, yang kemudian pada 1 Januari 1999, empat lembaga: The Office Bank of Supervision, the Securities Supervisory Board, the Insurance Supervisory 39 Board dan the Non-Bank Supervisory Board disatukan dalam lembaga baru the Financial Supervisory Service . Pendekatan seperti ini tidak bersifat gradual seperti yang dilakukan oleh negara-negara Skandinavia seperti Denmark, Norwegia dan Swedia (Reza Y. Siregar and James E. Williams, 2004). Namun demikian, perlu dicatat bahwa langkah penyatuan lembaga- lembaga pengawasan dan pengaturan jasa keuangan yang dilakukan di Indonesia agaknya mempunyai karakter dan pemahaman yang berbeda bila dibandingkan dengan makna penyatuan di negara-negara Barat maupun Asia. Jika di negara-negara lain, pengintegrasian itu dilakukan umumnya untuk menyatukan lembaga-lembaga pengawasan terhadap jasa keuangan sektor perbankan dengan pengawasan sektor-sektor industri keuangan lainnya, seperti sekuritas dan asuransi (dengan istilah Anthony Amicelle, “ professional of finance ”), pengintegrasian di Indonesia di sisi lain lebih ditekankan pada hal teknis pengawasan dan pengaturan (“ professional of security ”). Kompetensi OJK untuk melakukan pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan terhadap semua jasa keuangan namun di sisi lain masih menyerahkan hal-hal yang berhubungan dengan kebijakan moneter (yaitu menjaga kestabilan nilai rupiah) kepada Bank Indonesia merupakan bukti nyata bahwa model integrasi yang diambil lebih ditekankan pada aspek keamanan ( security ) dari industri keuangan tersebut ketimbang aspek finance-nya. Penekanan yang berlebihan pada aspek security ini tampak lebih tegas ketika kewenangan OJK tidak melulu hanya pada aspek pengaturan, pengawasan dan pemeriksaan (penyelidikan) namun juga dalam hal penyidikan. Pemberian kewenangan dalam hal penyidikan seperti ini jelas tidak lazim bila dibandingkan dengan model financial supervisory system yang berkembang di dunia, baik di negara yang memilih model integrated maupun non-integrated . Dengan kewenangan penyidikan tersebut maka OJK tidak hanya berperan sebagai lembaga pengawasan dan pengaturan lembaga jasa keuangan yang bersifat administratif saja namun juga bersifat quasi-judicial , dalam arti menangani aspek pro-justitia dalam kasus-kasus yang berhubungan dengan kejahatan keuangan. Di negara- 40 negara dengan sistem pengawasan yang tidak terintegrasi, seperti Australia dan Amerika Serikat misalnya, bidang penyidikan dan penyelidikan terhadap kasus-kasus kriminal keuangan ditangani secara khusus dalam lembaga yang fokus dalam persoalan kejahatan keuangan, seperti pencucian uang, pendanaan terorisme, ketidakwajaran dalam perdagangan valuta asing, dan bentuk-bentuk kejahatan keuangan lainnya. Di Australia, lembaga ini disebut “ The Royal Commission into Misconduct in the Banking, Superannuation and Financial Services Industry ” dan di Amerika Serikat dikenal dengan “ Financial Crimes Enforcement Network (FinCEN) ”. Dengan kata lain, lembaga pengawasan keuangan tidak menangani permasalahan kejahatan keuangan ( financial crimes ) karena memang lebih konsern dengan pengawasan administratifnya. Di negara-negara dengan model integrated financial supervisory, misal di Jepang dan Korea Selatan, karena penyatuan lembaga itu lebih ditekankan pada subyek jenis jasa keuangannya (“ professional of finance ”) --utamanya tiga besar jenis jasa yaitu perbankan, asuransi dan sekuritas--, maka pengaturan dan pengawasan yang lebih bersifat administratif dipisahkan dengan aspek-aspek pro-justitia yang lebih berhubungan dengan aspek “ professional of security ”. Di Jepang, sistem pengawasan yang integratif terhadap jasa keuangan diwujudkan dalam satu lembaga induk “ Financial Service Agency ”, namun untuk menangani kasus-kasus kriminal keuangan secara khusus ditangani dalam lembaga terpisah yaitu “ Securities and Exchange Surveillance Commission ” ( shouken torihikitou kanshi iinkai , SESC). Lembaga ini didirikan pada 20 Juli 1992 untuk menangani kasus-kasus skandal sekuritas maupun keuangan pada umumnya. Bahkan pada 1998, lembaga ini dipisahkan dari kementerian keuangan. Namun demikian, lembaga ini tidak punya hak untuk memberikan hukuman kepada pelanggar undang-undang atau peraturan yang berhubungan dengan keuangan, namun sekedar memberikan rekomendasi dari hasil penyelidikan dan penyidikannya ( enforcement- investigation ) kepada lembaga hukum terkait. Di Korea Selatan, sistem penyatuan diwujudkan dalam pembentukan dua lembaga utama yaitu 41 “ Financial Services Commission ” (FSC) dan “Financial Supervisory Services” (FSS). FSC merupakan lembaga tertinggi pembuat aturan dan kebijakan ( policy-making authority ) yang berhubungan dengan keuangan, sedang FSS lebih merupakan lembaga pengawasan (supervisi) terhadap semua lembaga keuangan yang ada di seluruh negeri. Sebagai lembaga pengawasan dan pengujian, FSS hanya memiliki 5 tugas: menstabilkan sistem keuangan, melindungi pengguna jasa keuangan, melindungi masyarakat dengan ekonomi rendah dan perusahaan menengah ke bawah, melakukan inovasi terhadap sistem pengawasan, dan melakukan komunikasi yang open-minded dengan para pelaku usaha. Dengan demikian, tampak sekali bahwa lembaga pengawasan jasa keuangan tersebut sama sekali tidak menangani permasalahan-permasalahan pro- justitia yang berhubungan dengan tindak kriminal keuangan.
Penjelasan di atas pada dasarnya menegaskan bahwa secara komparatif, kebijakan pemberian wewenang penyidikan kepada OJK sebagai satu lembaga regulatif dan pengawasan terhadap berbagai bentuk jasa keuangan di Tanah Air adalah tidak lazim. Ketidak-laziman itu karena UU OJK yang mencampur-adukkan antara hak pengawasan yang sifatnya administratif (pemeriksaan atau penyelidikan) dengan pengawasan di bidang law enforcement yang pro-justitia oriented (yaitu kegiatan penyidikan) jelas tidak sejalan dengan skema dan model financial supervisory yang diterapkan di negara-negara lain. Sebagaimana yang ditemui pada lembaga-lembaga pengawasan jasa keuangan di hampir seluruh negara di dunia, fungsi financial supervisory system yang diciptakan berperan sebagai lembaga penegak hukum dalam konteks yang administratif saja, karenanya bentuk pengaturan dan sangsinya pun lebih bersifat administratif. Pada negara dengan model lembaga pengawasan yang integratif, penanganan terhadap kejahatan keuangan ditangani oleh lembaga penegakan hukum yang reguler (kepolisian dan lembaga peradilan). Dan untuk itu, lembaga pengawas keuangan umumnya berperan untuk memberikan rekomendasi dan laporan hasil investigasi atau pemeriksaan terhadap kasus yang bersangkutan. Sedangkan pada negara dengan model lembaga pengawas jasa keuangan yang terpisah- 42 pisah, fungsi penegakan hukum terhadap kasus kriminal keuangan itu dilakukan oleh lembaga khusus yang fokus kepada kasus tindak pidana keuangan. Lembaga-lembaga sejenis FinCEN di Amerika Serikat didirikan untuk secara khusus menangani kasus pidana keuangan yang memang bersifat pro-justitia. Sedangkan lembaga pengawas jasa keuangan yang lainnya tidak memiliki hak untuk melakukan intervensi terhadap lembaga quasi-judicial tersebut karena hanya memiliki wilayah administratif saja. Ini berarti bahwa peran dan fungsi OJK sebagaimana yang diamanatkan oleh UU No. 21 Tahun 2011 tidak mengikuti frame dan pendekatan model financial supervisory terhadap lembaga jasa keuangan yang berlaku secara jamak di dunia. Sebagaimana yang dapat dilihat dalam beberapa poin berikut: a) Integrated financial supervisiory model yang dilakukan oleh hampir semua negara di dunia lebih menekankan pada kebersatuan dalam hal jenis jasa keuangannya (“ professional of finance ”), dimana di dalamnya disatukan semua jenis jasa keuangan yang ada, baik yang masuk dalam kategori perbankan, asuransi hingga sekuritas. Di sisi lain, OJK lebih cenderung pada penyatuan fungsi pengawasannya (“ professional of security ”) sehingga aspek pengawasan administratif dan non-judisial disatukan dengan fungsi pengawasan dan investigasi yang judisial ( pro-justitia ), dimana keduanya ditangani oleh satu lembaga terpadu, yaitu OJK tersebut. Karena itu, kita melihat peran OJK yang menyeluruh dalam hal pengawasan dan pengaturan yaitu pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan dapat menimbulkan situasi kekacauan karena dimungkinkan munculnya problem overlaping antara lembaga penegakan hukum yang reguler sifatnya dengan lembaga penegakan hukum (penyidikan) yang ada dalam skop OJK. b) Ditinjau dari aspek wewenang penyidikan, OJK dapat dikatakan menyelisihi kebiasaan model manajemen lembaga jasa keuangan yang berlaku secara umum juga. Pada umumnya, negara-negara di dunia tidak menyatukan antara fungsi pengawasan yang administrative-oriented dengan yang pro-justitia-oriented . Baik negara 43 yang menggunakan model integratif maupun yang tersebar (dispersed) dalam penanganan lembaga jasa keuangannya, mereka tidak mencampurkan antara kedua fungsi pengawasan yang berbeda karakternya tersebut. Penyelewengan yang terjadi dalam lembaga jasa keuangan yang bersifat administratif ditangani oleh lembaga tersendiri dan terpisah dari lembaga pengawasan yang khusus menangani tindakan-tindakan kriminal keuangan yang memerlukan penanganan yang pro-justitia . Dengan argumen di atas maka dapat disimpulkan bahwa wewenang penyidikan yang dimiliki oleh OJK bukanlah merupakan suatu kelaziman dan karenanya lebih tepat untuk dicabut. Dengan pencabutan wewenang penyidikan tersebut maka OJK dapat memfokuskan diri pada peran dan fungsinya sebagai lembaga pengaturan dan pengawasan terhadap jasa keuangan yang lebih bersifat administratif. Sebagaimana yang berlaku di negara-negara lain, penanganan penyidikan dan penegakan hukum terhadap berbagai kasus kejahatan keuangan yang dilakukan dalam lembaga jasa keuangan dapat diserahkan kepada lembaga khusus yang secara ad-hoc diciptakan untuk menangani kasus itu atau oleh lembaga penegak hukum yang reguler.
Prof. Dr. Nindyo Pramono, S.H., M.S. Bahwa jika mempelajari latar belakang lahirnya UU OJK, dapat diketahui bahwa pertimbangan pembentukan UU a quo adalah:
untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, diperlukan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan, stabil, mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.
Memenuhi amanat dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia bahwa tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang- undang. 44 3. Hasil kompromi untuk menghindari jalan buntu pembahasan undang- undang tentang Bank Indonesia oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) waktu itu. Pada awal pemerintahan Presiden Habibie, pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Bank Indonesia yang memberikan independensi kepada bank sentral tersebut. RUU itu di samping memberikan independensi tetapi juga mengeluarkan fungsi pengawasan perbankan dari Bank Indonesia (BI) dan diberikan kepada OJK. Ide pemisahan fungsi pengawasan dari bank sentral ini datang dari Helmut Schlesinger, mantan Gubernur Bundesbank (Bank Sentral Jerman) yang pada waktu itu bertindak sebagai konsultan dalam penyusunan RUU yang kemudian menjadi Undang-Undang No. 23 Tahun 1999. Bahwa secara teoritis, mengacu kepada fungsi ekonomis, bank adalah lembaga yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perannya sebagai “ financial intermediary ” atas jasa transaksi kepada konsumen dan masyarakat. Pendekatan fungsi ekonomis ini yang dianggap paling memuaskan untuk menjelaskan fungsi lembaga perbankan. Sebagai “ financial intermediary ” bank akan mengambil uang dari nasabah, mengumpulkan, menanamkan kembali dana tersebut pada perusahaan lain dalam bentuk: kredit, saham, go public ke pasar modal, dll. Bank adalah institusi yang berada diantara investor (nasabah awal) dengan investor (nasabah paling akhir/peminjam). Untuk menjamin fungsi intermediary itulah diperlukan adanya lembaga pengatur dan pengawas yang independen untuk melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa latar belakang pembentukan OJK adalah adanya kebutuhan lembaga pengatur dan pengawas sektor jasa keuangan baik perbankan maupun non perbankan yang mampu berfungsi sebagai pengatur dan pengawas yang mempunyai otoritas terhadap seluruh lembaga keuangan baik perbankan, non perbankan termasuk pasar modal, sehingga tidak ada tumpang tindih kewenangan. Bagi industri perbankan tujuan dari pengaturan dan pengawasan perbankan adalah menciptakan sistem perbankan yang sehat, yang memenuhi aspek sebagai lembaga yang dapat memelihara kepentingan masyarakat dengan baik, berkembang secara 45 wajar, dalam arti wajib memerhatikan faktor risiko seperti kemampuan, baik dari sistem, finansial, maupun sumber daya manusia. Dengan demikian terlihat bahwa desain lembaga OJK sebagai lembaga pengatur dan pengawas perbankan pada awalnya memang hanya mengemban dua fungsi utama yakni fungsi “Pengaturan” dan fungsi “Pengawasan”. Hal tersebut juga dapat kita lihat dalam Naskah Akademik Rancanan UU OJK, yang mengatakan: OJK harus memenuhi struktur yang memiliki unsur check and balances. Hal ini diwujudkan dengan melakukan pemisahan yang jelas antara fungsi pengaturan dan fungi pengawasan , dimana fungsi pengaturan dilakukan oleh Dewan Komisioner sedangkan fungsi pengawasan dilakukan masing-masing oleh Pengawas Perbankan, Pengawas Pasar Modal dan Pengawas Industri Keuangan Non Bank. Pemisahan antara Dewan Komisioner dan tiga pengawas ini dimaksudkan untuk:
menciptakan ketegasan pemisahan antara tanggung jawab regulator (Dewan Komisioner) dengan penanggung jawab supervisior (Kepala Eksekutif masing-masing Pengawas) 2) menghindari pemusatan kekuasaan yang terlalu besar pada satu pihak agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan 3) mendorong terjadinya pembagian kerja (division of labor) sehingga dari spesialisasi di masing-masing fungsi pengaturan dan pengawasan. (Lihat: Naskah Akademik Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Otoritas Jasa Keuangan , 2010, hal. 4). Bahwa terhadap fungsi pengawasan yang diberikan kepada lembaga OJK jika mengacu pada model pengawasan industri jasa keuangan di berbagai Negara yang diklasifikasikan dalam 3 kelompok besar, yaitu: ▪ Multi Supervisiory Model yaitu pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan seperti perbankan, pasar modal, asuransi, dan lembaga jasa keuangan lainnya diatur dan diawasi oleh masing-masing regulator yang berbeda model ini diterapkan oleh beberapa neagra seperti Amerika Serikat dan Republik Rakyat China , ▪ Twin Peak Supervisiory Model, yaitu pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan yang dilakukan oleh dua otoritas utama yang pembagiannya didasarkan pada aspek prudential dan aspek market conduct. Dalam model ini lembaga keuangan prudensial seperti bank dan perusahaan asuransi berada dalam satu jurisdiksi pengaturan dan pengawasan tersendiri, sedangkan perusahaan efek dan lembaga keuangan lainnya serta produk-produk jasa keuangan berada dalam satu jurisdiksi pengaturan dan pengawasan tersendiri pula. Model ini diterapkan oleh Negara-negara seperti Australia dan Canada. ▪ Unified Supervisiory Model, yaitu pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan oleh otoritas yang terintegrasi dibawah satu lembaga atau 46 badan yang memiliki otoritas pengaturan dan pengawasan terhadap seluruh sektor jasa keuangan mencangkup perbankan, pasar modal, asuransi, dan lembaga keuangan lainnya. Sampai saat ini sudah lebih dari 30 negara menerapkan model ini, seperti Negara-negara yang sektor keuangannya cukup besar dan maju seperti Inggris, Jepang, Korea Selatan, dan Jerman. Bahwa dari 3 model pengawasan tersebut diatas, model pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan yang dipandang sesuai dengan Indonesia adalah Unified Supervisiory Model , yaitu suatu system pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi di dalam suatu lembaga tunggal yang disebut OJK. Istilah otoritas digunakan untuk mencerminkan bahwa lembaga tersebut menjalankan fungsi pengaturan (regulasi) dan fungsi pengawasan ( supervisi) . Yang menjadi masalah utama dalam Uji Materi saat ini adalah bahwa fungsi “pengaturan” dan “pengawasan” dalam perumusan penjabaran normanya dalam UU OJK, dalam kaitannya dengan fungsi “pengawasan” ditambahkan frasa “penyidikan” yang masuk dalam lingkup fungsi pengawasan tersebut. Kemudian oleh Pemohon dipandang sebagai norma yang tidak sejalan dengan Integrated Criminal Justise System dan Due Prosess of Law , dalam system penegakan hukum pidana. Memang jika mencermati ketentuan Pasal 9 huruf c UU OJK, yang menyatakan bahwa untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang: (c).……penyidikan……… Jelas di sini bahwa OJK mempunyai wewenang penyidikan atas tindak pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang di sektor jasa keuangan. Bahkan Hadi Utomo dalam abstrak Desertasinya yang membahas tentang Kewenangan Penyidik Pada Lembaga OJK, mengatakan bahwa kewenangan penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan yang dimiliki oleh OJK tergolong luas. Namun demikian, jika kita pelajari lebih lanjut ketentuan Pasal 9 huruf c, khusus frasa “penyidikan“ ini dikaitkan dengan ketentuan Pasal 49 ayat (1) UU OJK, yang menentukan bahwa: “Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkup tugas dan tanggung jawabnya yang meliputi sektor jasa keuangan di lingkungan OJK, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, akan terlihat adanya konflik norma. Konflik norma itu 47 membuat Departemen Penyidikan Sektor Jasa Keuangan (DPJK) OJK dalam melaksanakan kegiatan penyidikan terhadap dugaan kasus-kasus tindak pidana di sektor jasa keuangan menghadapi permasalahan yang terkait dengan hal-hal antara lain berkenaan dengan legalitas dan kewenangan Penyidik Polri dan PPNS di OJK. Selaku Penyidik dalam melakukan Penyidikan, UU OJK hanya mengatur secara jelas mengenai kewenangan PPNS, sedangkan kewenangan Penyidik Polri yang dipekerjakan atau diperbantukan di OJK tidak terdapat dasar hukum yang jelas. Lebih jauh lagi, UU OJK tidak mengatur kewenangan Penyidik Polri dalam proses penyerahan berkas perkara. Muaranya adalah ketentuan Pasal 49 UUPJK tersebut. Menurut Pasal 49 UUOJK, kewenangan penyidikan diberikan kepada dua pejabat penyidik, yaitu: Polri dan PPNS di lingkungan OJK. PPNS diatur secara lebih detail, namun untuk Penyidik Polri tidak demikian. Pegawai OJK sendiri yang bukan masuk sebagai bagian dari Aparatur Sipil Negara atau Pegawai Negeri tidak mungkin bisa menjadi PPNS. Sejauh mana efektifitas dari penyidik OJK dalam menanggulangi kejahatan Jasa Keuangan di Indonesia menjadi dipertanyakan banyak pihak. Dari sini terlibat bahwa tampaknya, pembentuk UU memang lebih menghendaki pada pemberian wewenang penyidikan kepada PPNS (seperti model Bapepam dahulu) dan bukan kepada Penyidik Polri, juga bukan kepada Pegawai OJK. Dari frasa “selain pejabat Penyidik Kepolisian” dalam Pasal 49 ayat (1) terlihat bahwa wewenang atribusi penyidikan lebih diberikan kepada PPNS dan bukan kepada Penyidik Polri (masih mirip dengan Bapepam dahulu) dan bukan kepada Pegawai OJK. Hal ini diperkuat dengan frase di dalam Pasal 49 ayat (1) selanjutnya yang menyatakan:
... “diberi wewenang khusus” sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam KUHAP. Sementara itu, problem kembali muncul bahwa OJK adalah lembaga independen non Departemen pegawainya tidak berstatus sebagai PNS, sehingga kehadiran PPNS pun, melalui frasa “...PPNS yang diberi wewenang khusus sebagai Penyidik ...dst, tidak bisa diberlakukan atau diberikan kepada Pegawai OJK. Hal ini dipertegas oleh norma dalam Pasal 49 ayat (2) bahwa Penyidik dalam lembaga OJK adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diambil dari instansi lain yang lingkupnya terkait dengan sektor Jasa Keuangan sebagaimana diatur dalam norma Pasal 27 ayat (2) yang menyatakan: 48 “ OJK dapat mempekerjakan pegawai negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan .” Jadi terlihat bahwa dengan dibentuknya OJK sebagai lembaga pengatur dan pengawas sektor jasa keuangan baik perbankan maupun non perbankan, di mana status pegawainya bukan Pegawai Negeri Sipil, maka timbul masalah jika kepada Pegawai OJK akan diberikan wewenang sebagai Penyidik (semacam Penyidik PPNS) di samping Polri. Mengapa bermasalah, karena Polisi sebagai penyidik tindak pidana perbankan sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, yakni pada Pasal 6 ayat (1) _Penyidik adalah: _ a. _pejabat polisi Negara Republik Indonesia; _ b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Selain itu Polisi sebagai Penyidik juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, Pasal 14 ayat (1) a: “Melaksanakan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Dengan demikian Polisi sebagai penyidik mempunyai wewenang penyidikan terhadap semua tindak pidana, tentu termasuk tindak pidana di sektor jasa keuangan – perbankan, non perbankan maupun pasar modal --. Begitu juga Kejaksaan. Jaksa sebagai Penyidik juga mempunyai wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu seperti tindak pidana korupsi, tentu termasuk juga korupsi di sektor jasa keuangan, bahkan juga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Dapat disimpulkan sebenarnya sejak dibentuknya UU OJK, fungsi pengawasan OJK tidak dimaksudkan untuk mengatur wewenang Penyidikan sendiri selain model penyidikan yang dikenal dalam KUHAP, yaitu: Penyidik Polri dan PPNS. Jika OJK dalam menjalankan fungsi Pengawasan diberikan wewenang Penyidikan, maka hal itu akan berbenturan dengan KUHAP, yang berarti berbenturan dengan Doktrin Integrated Criminal Justise System . Namun kemudian yang terjadi adalah Undang-undang Otoritas Jasa Keuangan menyelipkan aturan tentang fungsi pengawasan yang dijabarkan termasuk di dalamnya adalah fungsi penyidikan. Hal inilah yang kemudian dikritisi oleh banyak pihak karena akan menimbulkan pertanyaan akankah terjadi 49 penyidikan oleh penyidik OJK di dalam tindak pidana yang sama, dimana hak dan kewenangan penyidikan pada tindak pidana OJK dipunyai juga oleh penyidik lain yang telah ada, yaitu Kepolisian dan Kejaksaan. Keadaan ini nampaknya akan tidak selaras dengan Integrated Criminal Justice System. Integrated Criminal Justice System mempunyai pengertian adanya keterpaduan penyidik bidang tindak pidana. Salah satu pilar dari sistem penanganan terpadu, adalah harus adanya koordinasi dari para penyidik. Dengan adanya penyidik OJK, hal ini bisa menimbulkan “konflik” dalam penanganan perkara dalam penyidikan tindak pidana OJK dan akan terjadi tumpang tindih kewenangan yang berujung kepada benturan dengan doktrin nebis in idem . Oleh sebab itu, Ahli dapat memahami jika kemudian muncul pandangan bahwa wewenang yang diberikan oleh UU kepada OJK dalam rangka menjalankan tugas pengawasan di sektor jasa keuangan, adalah wewenang yang seharusnya diletakan dalam bingkai penegakan hukum Administrasi Negara, yakni hanya terbatas pada proses pemeriksaan dan/atau penyelidikan, itupun dalam konteks fungsi administrative atau verifikasi laporan seseorang tentang adanya dugaan tindak pidana di sektor jasa keuangan dengan cara mengumpulkan bukti yang cukup sebagai kelengkapan dan kejelasan laporan klarifikasi, laporan hasil kajian, hasil penelitian dan hasil pengawasan dalam rangka penegakan hukum disektor jasa keuangan, bukan dalam pengertian pro justitia sebagaimana diatur dalam KUHAP. Pandangan ini sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap kewenangan penyelidikan yang dimiliki oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam Putusan MK No. 85/PUU-XIV/2016 (vide Paragraf [3.14.6] hal. 192- 193). Bahwa jika dikaji lebih lanjut, munculnya frasa “dan penyidikan” dalam ketentuan Norma Pasal 1 angka 1 juncto kata “penyidikan” dalam ketentuan norma Pasal 9 huruf c UU OJK akan menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap kedudukan lembaga OJK, karena faktanya bukan Pegawai OJK sendiri yang mempunyai wewenang Penyidikan itu. Penyidik OJK hanyalah Penyidik Polri dan PPNS yang diperbantukan di OJK, agar wewenang “Penyidikan” yang merupakan suatu tindakan pro justitia dapat dipandang sejalan dengan Integrated Criminal Justise System . Pada hal kepada financial supervisiory institution in casu OJK diberikan wewenang penyidikan adalah praktek yang tidak lazim di Negara 50 berkembang maupun negara maju. Apabila merujuk kepada lembaga sejenis di beberapa Negara berkembang ataupun Negara maju tidak ada satupun lembaga sejenis OJK yang diberikan wewenang “penyidikan”. Hadi Utomo, dalam kesimpulan Disertasinya justru menyarankan OJK sebagai mitra penyidik Kepolisian dan Penyidik PNS, sebagaimana diterapkan di Negara Jepang dan Jerman. Jangan seperti yang terjadi di Inggris. Model Finasial Servise Authority di Inggris mengalami kegagalan sehingga pengawasan perbankan diserahkan kembali ke Bank of England . Ahli memahami, kekhawatiran akan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan fungsi penyidikan OJK dengan masih timbulnya pro kontra eksistensi Lembaga OJK sebagai penyidik sebagaimana diatur dalam UU OJK saat ini. Setiap orang mengharapkan dapat diterapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa yang konkrit. Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku, pada dasarnya hukum tidak boleh menyimpang: fiat justitia et pereat mundus . Itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum. Sebaliknya masyarakat juga mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Hukum itu harus memberi manfaat dan rasa keadilan. Terlalu menitikberatkan pada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati peraturan hukum akibatnya kaku dan akan menimbulkan rasa tidak adil bagi masyarakat. Apapun yang terjadi peraturannya adalah demikian dan harus ditaati atau dilaksanakan. Jika demikian maka undang- undang itu akan terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat: lex dura, sed tamen scripta , yang artinya undang-undang itu kejam, tetapi memang demikianlah bunyinya. Namun perlu dipahami bahwa undang-undang itu tidak sempurna. Memang tidak mungkin undang-undang itu mengatur segala kegiatan kehidupan manusia secara tuntas. Ada kalanya undang-undang itu tidak lengkap dan ada kalanya undang-undang itu tidak jelas. Oleh karena itu, kita harus mencari atau menemukan hukumnya. Lebih lanjut Prof. Sudikno mengajarkan kepada kita bahwa hukum itu merupakan satu kesatuan sistem. Salah satu tungku hukum yang penting adalah tungku “kepastian hukum”, di samping tungku yang lain yaitu “keadilan” dan “kemanfaatan”. Sebagai suatu sistem hukum dalam penegakannya tidak menghendaki adanya konflik. Jikapun terdapat konflik maka harus diselesaikan di dalam sistem itu. Oleh sebab itu diperlukan “harmonisasi kaedah- kaedah hukum” di dalam lapangan-lapangan hukum tersebut, agar konflik yang 51 terjadi di dalam sistem hukum tersebut dapat terurai dan diselesaikan demi tegaknya tungku hukum. Ada doktrin lex specialis derogate legi generali , ada doktrin lex superiori derogate legi inferiori, lex posterior derogate legi priori dan sebagainya. Doktrin-doktrin di atas dapat menjadi acuan jika di dalam praktek terdapat benturan atau ketidakharmonisan norma antara satu undang-undang dengan undang-undang yang lain. Ahli meminta agar menyikapi permasalahan ini dengan obyektif penegakan hukum yang memberikan keadilan, sekaligus memberikan kepastian hukum dan manfaat bagi masyarakat. Oleh sebab itu, jika memang tidak sesuai dengan doktrin Integrited Criminal Justise System yang sudah menjadi communis opinion doctorum , bahwa “wewenang penyidikan yang diberikan kepada OJK, yang faktanya pun hanya mengambil Penyidik dari PPNS dan Penyidik Polri yang berpotensi menimbulkan tumpang tindih dan konflik kepentingan, maka harus dengan lapang dada, hal tersebut disikapi secara bijak dan terbuka untuk adanya perbaikan norma tersebut.
Eddy O.S Hiariej Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan menyebutkan, “Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam undang- undang ini”. Selanjutnya Pasal 9C Undang-Undang a quo menyatakan, “Untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaskud dalam Pasal 6, OJK mempunyai kewenangan: melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan konsumen dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan”. Demikian pula Pasal 49 Undang-Undang a quo yang memberi sejumlah kewenangan kepada OJK sebaai penyidik. Pertanyaan lebih lanjut, apakah kewenangan penyidikan yang ada pada OJK sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang a quo bertentangan dengan kepastian hukum sebagai salah salah satu prinsip utama dalam negara hukum. 52 Terhadap pertanyaan tersebut, ahli terlebih dulu menyampaikan hal-hal sebagai berikut: PERTAMA, penyidikian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diartikan sebagai serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Dengan demikian tidakan penyidikan adalah bersifat projustisia yang merupakan langkah awal untuk memproses seseorang yang diduga melakukan suatu tindak pidana dalam kerangka sistem peradilan pidana. KEDUA, perlu dipahami bahwa landasan filosofis hukum acara pidana adalah untuk mengontrol aparat penegak hukum agar tidak melakaukan tindakan sewenang-wenang terhadap individu. Berdasarkan landasan filosofis itulah, selain bersifat keresmian, hukum acara pidana berpegang pada prinsip lex scripta, lex certa dan lex stricta . Lex scripta mengandung pengertian bahwa hukum acara pidana harus tertulis. Sedangkan lex certa berarti hukum acara pidana harus jelas sehingga tidak menimbulkan ketidakpastian hukum. Sementara lex stricta memiliki makna bahwa hukum acara pidana haruslah diatur secara ketat. Tegasnya, segala kewenangan yang ada pada aparat penegak hukum tidaklah dapat diinterpretasikan lain selain dari apa yang tertulis. Jika ada penafsiran, maka harus diartikan secara sempit dan tidak merugikan individu yang sedang diproses. Hal ini adalah pengejawantahan asas exeptio firmat regulam . KETIGA, masih berkaitan dengan landasan filosofis tersebut di atas, bekerjanya hukum acara pidana disadari penuh bahwa sedikit – banyak akan mengekang hak asasi manusia. Upaya paksa dapat dilakukan pada tahap penyidikan apakah itu penangkapan, penahanan, pemblokiran, penggledahan dan penyitaan terhadap harta kekayaan, padahal belum tentu pada akhirnya seseroang yang dikenakan upaya paksa akan dinyatakan bersalah oleh pengadilan. Oleh karena itu prinsip legalitas dalam hukum acara pidana, di satu sisi memiliki fungsi perlindungan, sedangkan di sisi lain memiliki fungsi instrumental. Fungsi perlindungan adalah melindungai individu dari kesewenang-wenangan negara, sementara fungsi instrumental adalah bahwa dalam batas-batas yang ditentukan secara tegas oleh undang-undang, negara boleh melakukan tindakan hukum terhadap seseorang yang diduga melakukan suatu tindak pidana. 53 KEEMPAT, pasca-Perang Dunia Kedua, pertumbuhan hukum pidana di luar kodifikasi sangatlah masif. Hal ini membawa konsekuensi terhadap penegakan hukum. Di samping Polri sebagai penyidik suatu tindak pidana, keberadaan penyidik pegawai negeri sipil atau PPNS adalah suatu keniscayaan terhadap tindak pidana tertentu, baik dalam konteks hukum pidana khusus internal maupun hukum pidana khusus eksternal. Akan tetapi, dalam kerangka integrated criminal justice system , Polri melaksanakan fungsi pengawasan dan koordinasi terhadap PPNS. KELIMA, masih berkaitan dengan pertumbuhan hukum pidana di luar kodifikasi, adanya hukum acara yang menyimpang dari ketentuan KUHAP, selain berkaitan erat dengan sifat dan karakteristrik dari kejahatan tersebut, juga memiliki core crime yang jelas dan tegas. Sebagai misal terhadap tindak pidana yang bersifat extraordinary crime seperti korupsi, terorisme dan narkotika, selain Polri sebagai penyidik juga ada PPNS. Bahkan dibentuk lembaga khusus seperti KPK, BNN, BNPT, Komnas HAM dan PPATK. Demikian pula tindak pidana yang bukan extraordinary crime namun memiliki core crime yang jelas dan tegas seperti kejahatan kehutanan, kejahatan perikanan dan kejahatan kepabeanan yang penegakkan hukumnya dilakukan oleh PPNS. Namun ada juga tindak pidana yang hukum acaranya menyimpang dari KUIHAP namun memilik core crime yang jelas dan tegas seperti kejahatan perbankan dan kejahatan asuransi yang penegakkan hukumnya dilakukan oleh Polri. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, bila dihubungkan in casu a quo dengan uji materiil yang sedang diperiksa saat ini, adapun argumentasi AHLI sebagai berikut: PERTAMA, ketentuan pidana yang terdapat dalam Undang- Undang a quo bersifat hukum pidana administrasi yang termasuk dalam hukum pidana khusus eksternal. Konsekuensinya, hukum pidana bersifat ultimum remidium. Artinya, hukum pidana adalah sarana penegakkan hukum yang paling akhir digunakan bilamana sarana pengakkan hukum lainnya tidak lagi berfungsi. KEDUA, ketentuan pidana dalam Undang-Undang a quo yang terdapat dalam Pasal 52, Pasal 53 dan Pasal 54 semata-mata berkaitan dengan masalah administrasi dalam lembaga OJK dan mengenai pembukaan rahasia. Artinya, tindak pidana yang terdapat dalam Undang-Undang a quo tidaklah bersifat spesifik, dalam pengertian memiliki core crime tertentu. 54 KETIGA, berkaitan erat dengan argumentasi kedua, karena Undang- Undang a quo tidak mengatur core crime yang jelas dan tegas maka secara mutatis mutandis keberadaan PPNS yang memiliki kewenangan penyidikan tidaklah relevan. Hal ini berbeda dengan kejahatan lainnya yang memiliki core crime yang jelas dan tegas. Sebagai misal, tindak pidana di bidang perbankan yang diatur dalam undang-undang perbankan dan undang-undang Bank Indonesia secara jelas dan tegas memuat core crime seperti pendirian bank ilegal, membocorkan kerahasiaan bank, pemalsuan dokumen perbankan dan tidak melaksanakan prinsip kehati-hatian serta ketentuan-ketentuan lainnya. Demikian pula dalam undang-undang perasuransian yang memiliki core crime yang jelas dan tegas seperti praktik asuransi ilegal, membocorkan informasi, pemalsuan dokumen dan penggelapan polis. KEEMPAT, keweangan penyidikan yang ada dalam Undang-Undang a quo menimbulkan ketidakpastian hukum karena Undang-Undang a quo tidak menyebutkan secara expressive verbis kewenangan PPNS untuk melakukan penyidikan terhadap sejumlah tindak pidana yang berkaitan dengan jasa keuangan. Sebagai misal, jika terjadi tindak pidana perbankan, siapakah yang berwenang untuk melakukan penyidikan, apakah Polri ataukah PPNS pada OJK? Dalam konteks ini, kewenangan penyidikan pada OJK bertentangan dengan lex certa dalam hukum acara pidana yang berujung pada ketidakpastian hukum. KELIMA, Pasal 1 angka 4 Undang-Undang a quo menyatakan bahwa Lembaga Jasa Keuangan adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan. Ketentuan ini mengindikasikan bahwa Undang-Undang a quo adalah undang-undang yang bersifat umum sebagai lex generalis , sedangkan undang-undang perbankan, undang-undang, undang-undang pasar modal dan undang-undang perasuransian adalah lex specialis . Penerapan asas preferansi lex specialis derogat legi generali dalam konteks criminal policy , seyogyanya keberadaan PPNS yang melaksanakan fungsi penyidikan ada pada lex specialis karena memiliki core crime yang jelas dan tegas seperti dalam Undang-Undang Perbankan, Undang-Undang Pasar Modal dan Undang-Undang Perasuransian. 55 KEENAM, kewenangan penyidikan oleh OJK bertentangan dengan prinsip due process of law dalam sistem peradilan pidana. Due process of law menghasilkan substansi perlindungan terhadap individu dan seperangkat prosedur yang disyaratkan oleh hukum sebagai standar beracara. Dalam konteks perlindungan terhadap individu, kejahatan apa yang diatur dalam undang-undang haruslah jelas dan tegas, sedangkan prosedur bercara haruslah menjamin kepastian hukum. Dalam Undang-Undang a quo , selain tidak terdapat core crime , berikut elemets of crime dari tindak pidana OJK, juga menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penyidikan karena undang-undang tersebut tidak mencabut kewenangan Polri untuk menyidik tindak pidana perbankan, tindak pidana pasar modal dan tindak pidana lainnya yang berkaitan dengan jasa keuangan. KETUJUH, Mahkamah Konstitusi dalam berbagai uji materiil yang berkaitan dengan hukum acara pidana, sering menyatakan dalam putusannya bahwa proses beracara haruslah merujuk pada due process of law yang menjamin kepastian hukum, oleh karena itu kewenangan penyidikan oleh OJK bertentangan dengan prinsip due process of law yang secara mutatis mutandis tindak memberikan jaminan kepastian hukum. Berdasarkan berbagai argumentasi dan analisis tersebut di atas, kewenagan penyidikan, bahkan keberadaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang berada pada Otoritas Jasa Keuangan, menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga bertentangan prinsip negara hukum sebagaiman dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.
Bernard L. Tanya Pokok soal yang diajukan para Pemohon untuk diuji konstitusionalitasnya, adalah: Frasa “dan Penyidikan” dalam ketentuan norma Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Norma tersebut dinilai oleh Pemohon bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Ahli sebagai pengkaji filsafat hukum akan membahas persoalan itu dengan menggunakan skema 3 anak tangga Socrates. Menurut skema ini, kenormalan ataupun ketidaknormalan suatu hal (dalam hal ini, kewenangan penyidikan OJK) dapat diukur dari 3 hal, yakni: (i). Apakah sesuatu itu memang benar dan dapat dibenarkan berdasarkan prinsip dan asas? (ii). Apakah sesuatu itu begitu urgen 56 dan mendesak serta tidak ada pilihan lain? (iii). Apakah sesuatu hal itu memang berimplikasi positif atau justru sebaliknya? Semua itu adalah ukuran akuntabilitas secara filosofis, yakni pengungkapan kenormalan sesuatu secara utuh, baik dari segi keabsahannya maupun dari segi urgensi dan kebutuhan, serta manfaat dan implikasinya. Dengan begitu, setiap orang dapat menalar secara wajar alur logika serta kenormalan/ketidaknormalan suatu aturan.
Benar dan Dapat Dibenarkan? Berdasarkan prinsip ini, untuk mengecek kenormalan maupun ketidaknormalan Frasa “dan Penyidikan” dalam ketentuan norma Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU No. 21 Tahun 2011, maka perlu ditempatkan dalam konteks raison d’etre atau alasan hadirnya aturan/UU tersebut. Di situlah, menurut Plato, letak motif dan tujuan aturan/UU dimaksud. Ia menjadi panduan bagi batang-tubuh. Roh atau spirit suatu UU ada di situ. Idealnya, ada keterhubungan logis antara Roh atau spirit suatu UU, dengan isi kaidah atau norma dalam batang tubuh UU a quo . Bagaimana dengan UU OJK? Jika kita membaca preambule UU OJK, maka pertimbangan utama pembentukan UU a quo adalah untuk menjamin kegiatan dalam sektor jasa keuangan, agar terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan, stabil, mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Dalilnya adalah: pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi menjadi salah satu faktor penentu berjalannya sektor jasa keuangan yang sehat dan kredibel. Dalil tersebut memiliki korelasi dengan keadaan sebelum UU a quo dibuat. Pada saat itu, kekuasaan pengaturan dan supervisi terhadap lembaga keuangan berada pada tiga institusi: (i). Bank Indonesia (BI) memiliki otoritas pengaturan ( regulative ) dan pengawasan ( supervisory ) terhadap lembaga perbankan (UU No. 23 Tahun 1999). (ii). Kementerian Keuangan berwenang melakukan pengawasan terhadap lembaga asuransi. (iii). Bapepam berwenang melakukan pengawasan terhadap lembaga pasar modal ( the stock exchange ). Jadi misinya adalah mengintegrasikan pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan agar berjalan sehat dan kredibel. Dalam konteks UU No. 21 Tahun 2011 sebagai UU administrasi, maka misi pengintegrasian itu sesungguhnya bersifat administratif. 57 Maka menjadi sedikit anomalis ketika OJK dalam misi pengintegrasian seperti disebut di atas, diberi kewenangan penyidikan (yang dari sisi asas maupun doktrin merupakan kewenangan pro justitia yang melekat eksklusif pada lembaga / aparat penegak hukum pidana). Menurut ahli, misi pengintegrasian pengaturan dan pengawasan jasa keuangan yang melekat pada OJK, tidak boleh dijadikan semacam visa atau lisensi untuk beralih status menjadi lembaga/aparat penegak hukum pidana. Dengan demikian, kewenangan penyidikan yang diberikan kepada OJK, tidak saja bertentangan dengan raison d’etre UU a quo , melainkan juga tidak sesuai dengan asas kewenangan pro justitia dalam hukum pidana. Sekali lagi, terminologi pengawasan dalam UU a quo , apalagi dikaitkan dengan raison d’etre UU tersebut, adalah pengawasan dalam konteks administratif. Oleh karena itu, lagi-lagi menjadi sangat aneh jika dalam lingkup pengawasan tersebut dicantolkan pula kewenangan penyidikan, yang dalam konteks hukum pidana (dalam hal ini hukum acara pidana) merupakan tahap pencarian bukti dan menemukan pelaku suatu suatu tindak pidana secara pro justitita. Jadi, tidak ada kaitan logis maupun teoretis antara kewenangan pengawasan yang bersifat administratif dalam UU OJK dengan kewenangan penyidikan delik yang melekat eksklusif pada lembaga/aparat penegak hukum pidana.
Urgen dan mendesak? Hemat ahli, pemberian kewenangan penyidikan pada OJK bukanlah sesuatu yang urgen dan sangat-sangat mendesak. Pertama, tidak ada delik khusus yang memerlukan penanganan khusus oleh OJK. Kejahatan-kejahatan di bidang jasa keuangan memang ada. Namun tidak ada yang begitu spesifik sedemikian rupa yang secara mutlak harus ditangani khusus oleh OJK. Sebut saja misalnya: penipuan, kejahatan elektronik, pencucian uang, pendanaan teroris, suap dan korupsi, penyalahgunaan pasar dan insider dealing dan informasi keamanan, serta penipuan berkedok investasi yang merugikan masyarakat. Semua bentuk kejahatan tersebut relatif umum dan lembaga/aparat penegak hukum konvensional (kepolisian, kejaksaan, KPK) dapat melakukan penanganan secara rutin sebagaimana kejahatan-kejahatan lain. Dalam konteks ini, seharusnya OJK cukup diberi tugas mensuport penegak hukum yang ada, terutama untuk hal- hal yang sangat teknis. Tidak perlu diberi kewenangan penyidikan secara khusus. 58 Kedua, OJK adalah lembaga independen non Departemen dan pegawainya tidak berstatus sebagai PNS atau ASN sehingga tidak mungkin menjadi PPNS yang memiliki kewenangan penyidikan/ pro justitia sebagaimana disyaratkan KUHAP. Persis di titik ini, menurut ahli, tidak ada urgensinya memberi kewenangan penyidikan kepada sebuah lembaga yang secara hukum tidak memenuhi syarat sebagai penyidik. Meminjam/memakai tenaga penyidik dari lembaga lain sebagaimana dilakukan OJK selama ini, menurut hemat ahli, bukanlah cara yang solutif. Selain terkesan hanya menciptakan birokrasi baru dalam penegakan hukum (tanpa aparat sendiri), masalah lain yang potensil muncul adalah masalah koordinasi antar lembaga yang dapat saja timbul di kemudian hari. Tentu saja, kemungkinan lain yang bisa muncul adalah tumpang- tindih dan konflik kewenangan dalam penanganan perkara. Ujung dari semua kemungkinan tersebut adalah terancamnya hak konstitusional warga negara dan rakyat untuk memperoleh pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil sebagaimana norma Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dalam konteks reformasi yang sedang berjalan, maka keseimbangan- keseimbangan baru yang berbasis hak konstitusional warga negara dan rakyat untuk memperoleh pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil sebagaimana norma Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tersebut harus dilihat sebagai ingsutan paradigma—yang tidak hanya menyodorkan peluang untuk “memperbaiki” apa yang ada—tetapi juga menyertakan apa yang oleh Alfred Schutz disebut accent of reality, yakni kebaruan memandang realitas, dalam arti, ada segi yang ditambahkan dan ada yang dihilangkan—karena bobot suatu kenyataan berbeda terkait dengan cara muncul dan kondisi yang dihadapi. Dalam konteks kebaruan tersebut, dapat dikatakan bahwa jaminan hak konstitusional warga negara bernilai kategorisher imperativ seperti dimaksud Immanuel Kant. Yakni, wajib tanpa syarat, sebab merupakan tugas moral dan demokrasi. Ia tidak bisa digugurkan oleh pertimbangan-pertimbangan yang sifatnya prima facie dan kondisional. Kewenangan penyidikan yang ditempelkan begitu saja pada OJK merupakan soal yang bersifat prima facie , dan karena itu tidak boleh mengugurkan jaminan hak konstitusional warga negara yang bernilai imperatif kategoris. 59 3. Implikasi Salah satu bahaya yang potensil muncul jika kewenangan penyidikan tetap diberikan kepada OJK, adalah pemusatan kekuasaan yang terlalu besar pada satu tangan ( kewenangan regulasi + pengawasan + penyidikan ). Kondisi ini membuka ruang bagi perangai negatif kekuasaan . Pelajaran paling dasar yang kita petik dari perjalanan semua peradaban kekuasaan, adalah bahwa kekuasaan mesti dibatasi. Inilah yang menjadi salah satu jantung pergulatan pemikiran kebanyakan filsuf dan ilmuwan sosial-politik sepanjang masa. Kekuasaan di terima kehadiranya, tapi ia mesti dikendalikan agar tidak senantiasa memproduksi bencana bagi manusia dan kemanusiaan. Dalam mengekpresikan kebutuhan di atas, Plato mengintroduksi konsep Philosoper-Kings . Sama halnya ajaran Konfusionisme, Plato merumuskan keharusan untuk membatasi kekuasaan lewat konsep moral kepemimpinan. Inilah racikan rumusan yang kini dikenal sebagai etika ataupun moralitas kekuasaan. Moral pemegangnya diandaikan bisa berfungsi sebagai kekuatan self-control atas perangai kekuasaan. Tetapi realitas membuktikan, kekuasaan terlampau besar untuk bisa dijinakkan hanya dengan moral ataupun etika. Kata Nietzsche, will to power adalah naluri dasar manusia. Karenanya, dalam perkembangan lebih modern, pembatasan kekuasaan diekspresikan dalam raut yang bervariasi. Pada tingkat pertama, kekuasaan diyakini bisa di kontrol oleh kekusaan pula. Ini menjadi fondasi dari pembagian atau pemisahan kekuasaan seperti yang terungkap dalam konsep Trias Politika ataupun prinsip checks and balances . Ini pula fondasi yang melegalisasi ide distribusi kekuasaan yang mengukuhkan diferensiasi struktur dan spealisasi fungsi dalam birokrasi modern. Semua ide pembatasan kekuasaan tersebut, didasarkan pada sebuah pengandaian bahwa sumber malapetaka yang diturunkan dari kekuasaan terletak pada derajat konsentrasi kekuasaan yang berlebihan ataupun ketiadaan limitasi yang rigid terhadap kekuasaan tersebut. Karenanya, ia mesti dipencarkan dan dibatasi secara ketat. Kekuasaan yang dibangun dengan sejuta impian mulia, bisa bertukar raut menjadi horor yang bersifat permanen ketika naluri kesewenang- wenang menggendongnya ke arah yang tak terhingga. 60 Mengingat adanya kelemahan yang cukup serius dalam pemberian kewenangan penyidikan kepada OJK sebagaimana ahli uraikan di atas, maka menurut hemat ahli diperlukan tafsir konstitusional oleh Mahkamah untuk mencegah munculnya kerumitan-kerumitan eksesif di kemudian hari. [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Presiden telah menyampaikan keterangan tertulis sama dengan keterangan Presiden yang dibacakan dalam persidangan Mahkamah tanggal 7 Februari 2019 yang kemudian dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 6 Februari 2019 yang pada pokoknya sebagai berikut: I. POKOK PERMOHONAN PARA PEMOHON 1. Bahwa para Pemohon berpendapat Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK terhadap frasa “Penyidikan” bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Bahwa Frasa “ penyidikan ” menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap Lembaga Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut “OJK”), karena tindakan pro justitia kepada financial supervisiory institution in casu OJK sangat tidak lazim. Wewenang Penyidikan Lembaga OJK mengaburkan Integrated Criminal Justice System sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidakjelasan ruang lingkup dan sistem kerja penyidikan serta legalitas penyidik karena UU OJK tidak mengatur jenis Tindak Pidana sektor Jasa Keuangan baik sektor perbankan ataupun non perbankan. Selain itu menimbulkan tumpang tindih kewenangan Polri, KPK dan OJK. Adanya wewenang penyidikan yang dimiliki lembaga OJK dalam UU OJK tanpa adanya “ Due Process of Law ” dalam proses penegakan hukum pidana ( Criminal Justice System ) di sektor Jasa Keuangan telah melanggar adanya suatu jaminan Kepastian Hukum yang adil dalam proses penegakan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. II. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, mempunyai peranan penting dalam usaha menegakkan konstitusi dan prinsip Negara hukum sesuai dengan tugas dan wewenangnya 61 sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945. Dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 (selanjutnya disebut UU MK), bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk: _a. Menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945; _ b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang _kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; _ _c. Memutus pembubaran partai politik, dan; _ d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum Bahwa terhadap kewenangan menguji UU terhadap UUD 1945, pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor: 51-52-59/PUU- VI/2008 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap UUD 1945 (“Putusan 59/PUU-VI/2008 ”), menyatakan demikian: “ menimbang bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan Undang-Undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang. Pandangan hukum yang demikian sejalan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 010/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 tentang Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah ”. Bahwa, berdasarkan putusan tersebut Mahkamah Kosntitusi mengakui kewenangan open legal policy pembentuk UU mengatur lebih lanjut norma umum yang ditetapkan dalam UUD 1945. Sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Terhadap UU OJK, Mahkamah konstitusi dalam putusan 25/PUUXIII/2014 terkait pengujian konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan berpendapat: 62 persoalan pengaturan dan pengawasan di bidang perekonomian dan sektor keuangan, baik yang bersifat macroprudential maupun microprudential dengan tujuan untuk menjaga kestabilan dan pertumbuhan ekonomi, yang semula disatukan dalam kewenangan bank sentral dan saat ini dilaksanakan oleh dua lembaga, BI dan OJK, merupakan kebijakan hukum terbuka ( open legal policy ) pembentuk undang-undang dan bukanlah merupakan persoalan konstitusionalitas,” (hlm 288) Meskipun putusan 25/PUUXIII/2014 tersebut terkait dengan pengujian materi UU secara khusus terkait dengan independensi OJK, Pemerintah memaknai pertimbangan Mahkamah Konsitusi bahwa UU OJK merupakan open legal policy juga __ masih sangat relevan dalam pengujian Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK karena kewenangan penyidikan yang diberikan Pasal a quo kepada OJK juga merupakan open legal policy yang __ dimiliki pembentuk UU, karena pemberian kewenangan penyidikan sebagai pilihan kebijakan tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bahkan pada dasarnya dalam putusan a quo Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi pada pokoknya Pasal 1 angka 1 UU OJK yang dimohonkan pengujiannya telah dinyatakan konstitusional kecuali terhadap frasa “ dan bebas dari campur tangan pihak lain ” , sehingga dapat dikatakan permohonan a quo adalah ne bis in idem dengan Putusan No. 25/PUU- XII/2014. __ Pembentukan UU OJK bahkan sangat jelas merupakan implementasi Pasal 33 ayat (5) UUD 1945 kepada pembentuk UU untuk mengatur lebih lanjut hal mengenai pelaksanaan pengelolaan perekonomian nasional dan perwujudan amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (selanjutnya disebut sebagai UU BI) yang menyatakan bahwa “ Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang ”. Dalam implementasi kewenangan tersebut, OJK mendasarkan pada ketentuan peraturan perundangan baik dari sisi ketentuan sektor jasa keuangan juga dari sisi hukum acara pidana yang digunakan. Bahwa selain itu, setelah membaca dengan cermat permohonan para Pemohon, Pemerintah berpendapat bahwa yang dipermasalahkan para Pemohon adalah penerapan norma ( implementasi ) suatu Undang-Undang in casu UU OJK atau pengaduan konstitusi ( constitutional complaint) . Namun 63 oleh para Pemohon permasalahan tersebut diajukan sebagai permohonan pengujian Undang-undang terhadap UUD 1945, dengan dalil bahwa ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK yang dimohonkan pengujian itu bertentangan dengan pasal-pasal UUD 1945. Hal ini tentunya akan mengaburkan makna constitutional review yang di batu ujikan terhadap norma nilai dalam UUD 1945 . Quod non Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara a quo , maka harus dibedakan antara pengujian konstitusionalitas norma Undang-Undang ( constitutional review ) dan persoalan yang timbul sebagai akibat dari penerapan suatu norma Undang-Undang yang di sejumlah Negara dimasukkan ke dalam ruang lingkup persoalan gugatan atau pengaduan konstitusional ( constitutional complaint ). UUD 1945 jelas menyatakan kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu norma Undang-Undang yang bertentangan dengan konstitusi ( constitutional review ) dan tidak mengatur tentang constitutional complaint sebagaimana yang didalilkan Para Pemohon. __ Oleh karena itu, sudah sepatutnya permohonan uji materiil ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK tersebut tidak dapat diajukan pengujian materiil di Mahkamah Konstitusi dan atasnya patut untuk dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvenkelijke verklaard ). III. KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) PARA PEMOHON Bahwa Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut sebagai UU MK) jelas mengatur Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yang meliputi:
Perorangan Warga Negara Indonesia;
Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonsia yang diatur dalam undang-undang;
Badan hukum publik atau privat; atau 64 d. Lembaga Negara. Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut, agar Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan suatu permohonan uji materiil undang-undang terhadap UUD 1945, maka harus dibuktikan bahwa:
Pemohon memenuhi kualifikasi untuk mengajukan permohonan sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK; dan
Hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon dirugikan akibat berlakunya undang-undang yang diuji. Bahwa para Pemohon terdiri dari 6 (enam) orang Warga Negara Indonesia (selanjutnya disebut sebagai WNI). Alasan Para Pemohon mengajukan uji materiil terhadap Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK adalah sebagai berikut: - Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III dan Pemohon IV yang berprofesi sebagai Dosen di Fakultas Hukum Universitas Surakarta merasa dirugikan dengan adanya ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK karena secara keilmuan hukum pidana yang dipelajari oleh Pemohon I, Pemohon II dan Pemohon III, dalam pemberlakuan “ criminal justice system ” di Indonesia yang mengakui asas “ due process of law ” sebagai suatu proses yang harus dijalankan oleh Negara cq. Aparat Penegak Hukum yang telah diatur dalam KUHAP, menganggap hal tersebut diabaikan dengan berlakunya UU OJK. - Pemohon I yang juga berprofesi sebagai Advokat merasa dirugikan karena UU OJK tidak mengatur secara jelas hak-hak seseorang yang disangka melakukan suatu tindak pidana di sektor jasa keuangan, sehingga apabila mendapatkan klien yang bergerak di bidang jasa keuangan Pemohon I menganggap akan mengalami kesulitan untuk memberikan bantuan hukum kepada kliennya tersebut. - Pemohon IV merasa dirugikan dengan kewenangan penyidikan yang diberikan kepada lembaga OJK tanpa ada penjelasan tujuan diberikannya kewenangan a quo karena menganggap akan membuat Pemohon IV dirugikan ketika menjelaskan kepada mahasiswa maupun dalam forum- forum akademis. - Pemohon V dan Pemohon VI merasa dirugikan karena menjadi salah 65 satu yang disangka melakukan tindak pidana di sektor jasa keuangan. Adapun ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK bersifat imperatif sehingga sekalipun para Pemohon memenuhi kualifikasi untuk mengajukan permohonan uji materiil, para Pemohon harus mempunyai hak atau kewenangan konstitusional yang dirugikan akibat adanya Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK. Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 010/PUU-III/2005 telah berpendapat bahwa kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang menurut Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat kumlatif, yaitu:
Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
Adanya hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
Kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
Adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji; dan
Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dicermati apakah hak konstitusional para Pemohon dirugikan secara spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya berpotensi menurut penalaran yang wajar pasti akan terjadi dengan berlakunya Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK terhadap frasa “ penyidikan ”? Selain itu perlu dipertimbangkan apakah terdapat hubungan sebab akibat antara kerugian para Pemohon tersebut dengan berlakunya Pasal a quo ? Terhadap hal-hal tersebut Pemerintah berpendapat sebagai berikut:
Bahwa tugas dan wewenang OJK termasuk dengan kewenangan penyidikan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK. Frasa “ penyidikan ” yang dimohonkan pengujiannya oleh para Pemohon dimaksukan untuk memberikan kepastian hukum berupa wewenang OJK untuk melakukan penyidikan, yang pelaksanannya tetap 66 berpedoman pada peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam penyelenggaraannya. Hal ini dibuktikan dengan pengangkatan penyidik yang berasal dari POLRI maupun Penyidik PPNS, dan melalui proses sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut sebagai KUHAP) sebagaimana diatur Pasal 49 ayat (1) UU OJK yaitu: “ Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya yang meliputi pengawasan sektor jasa keuangan di lingkungan OJK, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana .” Berdasarkan uraian di atas, Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK jelas telah didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan sama sekali tidak mengabaikan ketentuan yang telah diatur dalam KUHAP sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon.
Bahwa dikaitkan dengan dalil Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III dan Pemohon IV yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan oleh keberadaan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK, tidak dijelaskan secara spesifik kerugian yang terjadi kepada para Pemohon atau setidak- tidaknya berpotensi terjadi karena berlakunya pasal a quo .
Bahwa demikian juga Pemerintah berpendapat dalil Pemohon I yang merasa dirugikan dengan berlakunya pasal a quo terhadap profesi Pemohon I sebagai Advokat merupakan dalil yang mengada-ada karena UU OJK jelas sudah menundukkan diri pada KUHAP sehingga tidak mungkin tuntutan sama sekali tidak mempunyai hubungan sebab akibat dengan eksistensi pasal a quo . Perlu Pemerintah tegaskan sebagai suatu Lembaga yang dibentuk berdasarkan amanat undang-undang, penerapan UU OJK yang berarti di dalamnya termasuk proses penyidikan telah diatur secara jelas dan transparan untuk dilaksanakan OJK dengan berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang sektor jasa keuangan maupun proses penyidikan yang diatur dalam KUHAP dan sesuai dengan salah satu asas good governance OJK yaitu 67 asas keterbukaan , dimana ketentuan-ketentuan dalam UU OJK diterapkan dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi dan golongan.
Bahwa atas legal standing Pemohon V dan Pemohon VI, setelah membaca dan meneliti permohonan yang diajukan oleh para Pemohon, Pemerintah berpendapat dalil kerugian yang dikemukakan sangat kabur dan cenderung memaksakan bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh ketentuan a quo . Pemerintah juga tidak menemukan adanya hubungan sebab akibat ( causa verband ) antara dalil yang disampaikan oleh Pemohon V dan Pemohon VI dengan ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK. Tindakan penahanan yang dijalani oleh Pemohon V dan Pemohon VI tersebut bukan dilakukan atas penyidikan yang dilakukan oleh OJK terhadap Pemohon. Pemohon V dan Pemohon VI menjalani masa tahanan di Polda Metro Jaya dalam pemeriksaan pidana umum karena kedudukannya selaku karyawan PT. SNP sehubungan status Coll 2 yang diberikan Bank yang menjadi kreditur perusahaan a quo. Bahwa status Coll 2 tersebut yang diberikan oleh Bank karena adanya teguran OJK terhadap Bank tidak dapat dianggap bahwa penahanan Pemohon V dan Pemohon VI karena frase penyidikan dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK. Sebagaimana dijelaskan Para Pemohon sendiri, teguran OJK terhadap bank didasarkan pada fakta adanya retrukturisasi yang dilakukan Bank terhadap PT SNP. Restrukturisasi seharusnya diikuti dengan penurunan grade Perusahaan selaku debitur karena memperlihatkan adanya kegagalan dalam pembayaran kewajiban. PT SNP belum mendapatkan penurunan grade oleh bank namun tidak dilakukan sehingga OJK selaku pengawas bank berkewajiban untuk menegur bank.
Bahwa terkait Audit yang kemudian dilakukan OJK terhadap PT. SNP tidak terdapat penjelasan kaitan audit ini dengan penahanan Pemohon V dan Pemohon VI. Meskipun demikian, secara substansi tindakan audit tersebut jelas bukan merupakan tindak penyidikan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU OJK maupun KUHAP, sehingga merupakan suatu dalil yang mengada-ada apabila para Pemohon menyamakan pelaksanaan 68 audit dengan proses penyidikan. Apalagi pada dasarnya tindak pidana yang dikenakan atas para Pemohon V dan Pemohon VI sehingga keduanya ditahan oleh Kepolisian merupakan tindak pidana umum yang proses penyidikannya jelas dilakukan oleh pihak Kepolisian RI, bukan OJK. Dengan demikian Pemohon V dan Pemohon VI pun jelas tidak memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan a quo .
Bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, menurut Pemerintah para Pemohon dalam permohonan a quo tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum (legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo di hadapan Mahkamah Konstitusi, sehingga sangatlah berdasarkan hukum apabila Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa dan mengadili perkara a quo secara bijaksana menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard ) . Namun demikian, Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilainya apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) atau tidak dalam permohonan Pengujian Undang-Undang a quo , sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK maupun putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu. IV. PERMOHONAN PENGUJIAN YANG DIAJUKAN PARA PEMOHON TELAH DINILAI DAN DIPUTUS OLEH YANG MULIA MAJELIS MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PERKARA NOMOR 25/PUU-XII/2014 ( NEBIS IN IDEM ).
Sesuai dengan ketentuan Pasal 60 UU MK menyatakan, ” Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam Undang- Undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. ” 2. Pada tanggal 14 Agustus 2015, Mahkamah Konstitusi telah memeriksa dan memutus rumusan keseluruhan Pasal 1 angka 1 UU OJK terhadap UUD 1945 dalam putusan perkara NOMOR 25/PUU-XII/2014, sehingga Pasal 1 angka 1 UU OJK selengkapnya menjadi berbunyi: “ Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah Lembaga yang Independen, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.” 69 3. Berdasarkan pendapat Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam persidangan tanggal 18 Desember 2018 yang dituangkan dalam halaman 13 risalah sidang perkara Nomor 102/PUU-XVI/2018, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi pada pokoknya menyatakan kewenangan penyidikan yang terdapat pada Pasal 1 angka 1 UU OJK telah dinyatakan konstitusional dalam Putusan sebelumnya dan apabila ketentuan tersebut hendak dikoreksi maka Pemohon harus memberikan argumentasi yang jauh lebih kuat.
Berdasarkan hal tersebut di atas, setelah mempelajari Permohonan a quo , baik pada Surat Permohonan pertama maupun pada Surat Perbaikan Permohonan, menurut pandangan Pemerintah, Pemohon belum memberikan argumentasi-argumentasi yang jauh lebih kuat atas permohonan pengujian Pasal 1 angka 1 UU OJK yang telah dinyatakan konstitusional dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU- XII/2014.
Dengan demikian, permohonan a quo dapat dikategorikan sebagai permohonan yang nebis in idem , dan mohon kiranya Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dapat memberikan pertimbangan mengenai apakah terhadap materi muatan yang dimohonkan oleh para Pemohon dapat dianggap sebagai pasal yang telah diuji dan tidak dapat dimohonkan kembali. IV. KETERANGAN PRESIDEN ATAS MATERI PERMOHONAN YANG DIMOHONKAN UNTUK DIUJI LANDASAN FILOSOFIS Sebelum Pemerintah menyampaikan keterangan terkait norma materi yang dimohonkan untuk diuji oleh para Pemohon, terlebih dahulu Pemerintah akan menyampaikan landasan filosofis terkait dengan Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut: Bahwa untuk mencapai cita-cita Negara Republik Indonesia menjadi negara yang adil dan makmur serta mensejahterakan kehidupan bangsa dibutuhkan suatu sistem perekonomian nasional yang mampu tumbuh dengan stabil dan berkelanjutan. Mengingat pentingnya hal tersebut maka dalam Pasal 33 UUD 1945 telah diatur prinsip-prinsip dasar pengelolaan perekonomian nasional. 70 Pasal 33 ayat (5) UUD 1945 selanjutnya memberikan amanat kepada pembentuk undang-undang untuk mengatur pelaksanaan pasal a quo dalam undang-undang. Dengan demikian dalam rangka mewujudkan amanat konstitusi tersebut maka telah diterbitkan perundang-undangan mengenai pengelolaan perekonomian nasional berdasarkan prinsip-prinsip dasar sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945, yang salah satunya adalah UU OJK. Pembentukan UU OJK secara tegas diamanatkan Pasal 34 ayat (1) Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (selanjutnya disebut sebagai UU BI) yang menyatakan bahwa “ Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang ”. __ Dengan demikian, pembentukan UU OJK tersebut adalah dalam rangka mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh dengan stabil dan berkelanjutan, menciptakan kesempatan kerja yang luas dan seimbang di semua sektor perekonomian, serta memberikan kesejahteraan secara adil kepada seluruh rakyat Indonesia. Didasarkan pada pengalaman adanya krisis keuangan yang pernah terjadi di Indonesia, struktur dan sistem keuangan yang saat itu berlaku dan best practices di beberapa Negara, pembentuk Undang-Undang menilai bahwa salah satu upaya mewujudkan perekonomian yang tumbuh stabil dan berkelanjutan maka sistem keuangan yang paling sesuai dengan Indonesia adalah model unified supervisory model , yakni suatu sistem pengaturan dan pengawasan industri jasa keuangan yang terintegrasi dalam suatu lembaga tunggal yang kemudian dinamakan Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan UU OJK. Kesadaran pembentuk UU pentingnya sistem pengaturan dan pengawasan industri jasa keuangan yang terintegrasi oleh OJK menjadi pilihan kebijakan hukum yang diwujudkan dengan mengamanatkan Pembentukan Lembaga OJK melalui UU OJK dalam Pasal 34 ayat (1) UU BI, dengan tujuan agar seluruh kegiatan jasa keuangan dalam sektor jasa keuangan dapat terselenggara secara teratur, transparan dan akuntabel serta dapat mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil. Sebagai lembaga yang berwenang untuk melakukan pengawasan pada 71 seluruh kegiatan di bidang sektor jasa keuangan, maka pembentuk UU telah sepakat bahwa OJK diberikan kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap pelaku kegiatan usaha di bidang Perbankan, Pasar Modal atau Industri Keuangan Non Bank (IKNB) yang diduga melakukan pelanggaran. Sebagai bukti UU OJK bersesuaian sistem hukum pidana, UU OJK dengan jelas mengatur bahwa Penyidikan tersebut dilakukan oleh Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia (selanjutnya disebut sebagai Penyidik Polri) dan Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya meliputi pengawasan kegiatan sektor jasa keuangan di lingkungan OJK yang diberikan wewenang khusus sebagai penyidik (selanjutnya disebut sebagai PPNS). Pelaksanaan kewenangan penyidikan ini dalam peraturan lebih teknis berupa Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 22/POJK.01/2015 secara tegas menundukkan diri pada ketentuan perundang- undangan sektoral baik mengenai jenis tindak pidana sektor jasa keuangan yang berpedoman pada UU sektoral masing (UU Bank Indonesia, UU Perbankan, UU Pasar Modal, UU Dana Pensiun, UU Asuransi, UU Perbankan Syariah, UU Lembaga Keuangan Mikro, UU Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan UU Jasa Keuangan lainnya) maupun KUHAP sebagai hukum acara pidana yang digunakan. Pemberian kewenangan penyidikan tindak pidana di bidang jasa keuangan kepada OJK dimaksudkan untuk terlaksananya penyidikan secara cepat dan murah. Secara cepat mengingat tindak pidana di bidang jasa keuangan yang tidak secara cepat tersidik untuk selanjutnya diproses penuntutannya dapat membahayakan sistem keuangan nasional secara makro yang dapat mengakibatkan krisis keuangan nasional, secara mikro juga menimbulkan risiko kerugian masyarakat yang ikut serta dalam industri jasa keuangan. KETERANGAN PEMERINTAH Sehubungan dengan dalil-dalil para Pemohon dalam permohonannya untuk frase “penyidikan” dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK yang berbunyi: Pasal 1 angka 1 UU OJK : “ Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan __ 72 sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. ” Pasal 9 huruf c UU OJK : “ Untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud _dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang: _ a.... b.... c. Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan , perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang- _undangan di sektor jasa keuangan; _ d.... dst. ” dinyatakan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan: Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 : “ Negara Indonesia adalah Negara Hukum. ” Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 : “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. ” Pemerintah dapat menyampaikan keterangan sebagai berikut: A. OJK sebagai Lembaga Pengawas Sektor Jasa Keuangan sejak pendiriannya telah memiliki kewenangan melakukan penyidikan 1. Bahwa sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, dan sebagaimana Putusan Nomor 25/PUU-XII/2014 tanggal 04 Agustus 2015, pembentukan UU OJK merupakan pilihan kebijakan pembentuk UU dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 33 ayat (5) UUD 1945 dan amanat Pasal 34 ayat (1) UU BI untuk membentuk suatu lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen yang berfungsi untuk menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan yang bergerak di sektor jasa keuangan agar kegiatan tersebut dapat terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel untuk mewujudkan sistem keuangan yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi melindungi kepentingan konsumen dan 73 masyarakat.
Bahwa dengan semakin pesatnya pertumbuhan dan kompleksitas kegiatan jasa keuangan sebagai dampak dari berkembangnya bidang teknologi dan inovasi produk finansial yang canggih ( sophisticated ) yang diiringi dengan kecenderungan dari entitas bisnis berbentuk konglomerasi dan adanya praktek-praktek arbitrase peraturan ( regulatory arbitrage ), lack of transparency, abuse of economic power dari entitas bisnis jasa keuangan, pembentuk UU OJK memandang perlunya suatu lembaga yang memiliki otoritas pengawasan secara integrasi. Salah satu kewenangan pengawasan yang diberikan UU OJK adalah penyidikan sehingga OJK mampu untuk memenuhi tujuan pembentukannya tersebut khususnya perlindungan kepentingan konsumen dan masyarakat.
Bahwa Pemohon dalam permohonan mengutip Naskah Akademik UU OJK antara lain terkait dengan model pengawasan industri jasa keuangan yang tepat untuk Indonesia adalah Unified Supervisiory Model yang merupakan otoritas pengawas terintegrasi. Dengan membaca Naskah Akademis tersebut tentunya Pemohon telah sepakat dengan Pemerintah bahwa sejak awal model pengawasan OJK adalah pengawasan terintegrasi. Dengan model pengawasan terintegrasi, kewenangan penyidikan OJK tidak dilakukan sbagai penyalahgunaan wewenang, melainkan dengan governance yang jelas sebagaimana diatur dalam POJK sehingga tentu sejalan dengan ketentuan hukum pidana dan peraturan perundangan di bidang sektor jasa keuangan. Selama ini penyidikan OJK uga telah didukung oleh aparat penegak hukum, sebagai upaya pengamanan sistem keuangan nasional melalui pengawasan entitas lembaga keuangan secara invidu oleh OJK menurut Pemerintah perlu terus dipertahankan. B. Kewenangan Penyidikan OJK Merupakan Salah Satu Bentuk Pengawasan Lembaga OJK dan Tidak Mengaburkan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia 1. Bahwa selanjutnya terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK yang berkaitan dengan 74 frasa “ penyidikan ” mengaburkan integrated justice system dan due process of law dan oleh karenanya bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dapat ditanggapi Pemerintah sebagai berikut:
Bahwa seiring dengan semakin berkembangnya produk dan layanan jasa keuangan maupun ilmu pengetahuan dan teknologi informasi bersamaan dengan era globalisasi transaksi keuangan, perkembangan tersebut di satu sisi dapat mendukung kemajuan sektor jasa keuangan, tetapi di sisi lain dapat mengganggu stabilitas sistem keuangan karena munculnya berbagai modus kejahatan yang lebih kompleks termasuk tindak pidana di sektor jasa keuangan. Untuk mengatasi tindak pidana yang terjadi di sektor jasa keuangan tersebut secara cepat dan tepat, maka perlu dilakukan proses penyidikan untuk membuat terang tindak pidana di sektor jasa keuangan.
Bahwa tindakan penyidikan tersebut mengacu pada Pasal 1 butir (2) KUHAP yang dengan jelas menyatakan bahwa “ Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya” . Berdasarkan rumusan Pasal a quo , dapat ditarik unsur-unsur untuk suatu tindakan dinyatakan sebagai tindakan penyidikan, yaitu:
Serangkaian tindakan yang saling berhubungan satu dengan yang lain;
Dilakukan oleh pejabat publik yang disebut penyidik;
Dilakukan dengan didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
Bertujuan untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dapat membuat terang suatu tindak pidana yang terjadi dan juga menemukan tersangkanya.
Bahwa berdasarkan uraian di atas, maka apabila terjadi suatu tindak pidana di sektor jasa keuangan, perlu dilakukan tindakan penyidikan secara cepat, biaya ringan dan sederhana untuk membuat terang 75 tindak pidana yang terjadi guna mewujudkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, menumbuhkan dan menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sektor jasa keuangan serta memperkuat stabilitas sistem jasa keuangan.
Bahwa pelaksanaan kewenangan penyidikan OJK dilakukan sejalan dan sesuai ( in harmony ), dengan ketentuan pidana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan sebagaimana dengan jelas diatur dalam Pasal 1 ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 22/POJK.01/2015 tentang Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan (selanjutnya disebut POJK Penyidikan) bahwa: “ Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan adalah setiap perbuatan/peristiwa yang diancam pidana yang diatur dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai OJK, Perbankan, Perbankan Syariah, Pasar Modal, Dana Pensiun, Lembaga Keuangan Mikro, Perasuransian, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Bank Indonesia sepanjang berkaitan dengan campur tangan terhadap pelaksanaan tugas OJK dalam pengaturan dan pengawasan bank, serta Undang-Undang mengenai Lembaga Jasa Keuangan lainnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK .” 6. Bahwa ketentuan-ketentuan yang mengatur terkait kewenangan penyidikan OJK di UU OJK telah diatur secara sistematis dan jelas. Ruang lingkup penyidikan OJK sebagaimana diatur dalam Pasal 9 huruf c UU OJK adalah penyidikan terhadap lembaga jasa keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. Sebagai bagian dari tugas pengawasan yang dilakukan OJK, kewenangan penyidikan OJK juga terbatas terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (vide Pasal 6 UU OJK).
Bahwa Pemerintah merasa perlu menginformasikan per tanggal 26 Januari 2019 ini pelaksanaan kewenangan penyidikan oleh OJK telah membuahkan 9 (sembilan) putusan inkracht dan 13 (tiga belas) perkara yang masih dalam proses di Pengadilan. Dengan telah terdapatnya putusan-putusan yang telah berkekuatan hukum tetap 76 tersebut berarti secara hukum formal dan material Majelis Hakim Pengadilan menerima, mengakui, dan memandang kesesuaian keseluruhan tindak pidana yang disangkakan, termasuk dengan kesesuaian proses penanganannya dengan koridor hukum peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga dapat dikatakan, kehadiran Penyidik OJK justru semakin menguatkan integrated criminal justice system di Indonesia pada kekhususan tindak pidana di sektor jasa keuangan . 8. Bahwa argumentasi para Pemohon yang menyatakan wewenang penyidik OJK secara khusus pada Pasal 49 ayat (3) huruf d, huruf f, dan huruf k melanggar asas ” due process of law ” dan dapat menimbulkan kesewenang-wenangan dari penyidik OJK karena sama sekali tidak mengaitkan pada KUHAP serta tidak berkoodinasi dengan aparat penegak hukum lainnya merupakan suatu dalil yang menurut Pemerintah secara sengaja mengabaikan fakta hukum sehingga sangat keliru dan menyesatkan karena OJK dalam melakukan proses penyidikan tetap berkoordinasi dengan penegak hukum dan instansi, lembaga dan/atau pihak lain yang memiliki kewenangan di bidang penegakan hukum. Hal ini jelas terbukti dengan langkah OJK membuat landasan hukum terkait koordinasi dengan Jaksa selaku salah satu aparat penegak hukum melalui POJK Penyidikan ( vide Pasal 6 POJK Penyidikan) dan tetap mengacu pada ketentuan yang diatur dalam KUHAP.
Bahwa lebih lanjut, koordinasi penindakan tindak pidana di sektor jasa keuangan ditindaklanjuti oleh OJK dengan membuat berbagai Nota Kesepahaman diikuti dengan Perjanjian Kerjasama bersama dengan beberapa institusi/lembaga yang memiliki fungsi penyidikan, antara lain dengan: Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksanaan Agung Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
Bahwa argumentasi para Pemohon yang menyatakan dalam UU OJK tidak terdapat adanya jaminan ” due process of law ” dalam proses penegakan hukum pidana ( criminal justice system ) di sektor jasa 77 keuangan telah melanggar adanya suatu jaminan atas kepastian hukum yang adil dalam penegakan hukum yang adil di negara Republik Indonesia yang dijamin dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menurut Pemerintah merupakan dalil yang mengada-ada, tidak cukup bukti dan tidak beralasan karena sebagaimana telah dijelaskan penyidikan yang dilakukan OJK tetap mengacu pada KUHAP sebagaimana praktik yang selama ini telah dilaksanakan oleh Penyidik OJK sesuai dengan POJK 22.
Pengertian dari Hukum Acara (dalam hal ini hukum acara formil) ialah “ Hukum Acara Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang memberi dasar-dasar dan aturan yang menentukan dengan cara dan prosedur macam apa ancaman pidana yang ada pada suatu perbuatan pidana dapat dilaksanakan apabila ada sangkaan bahwa orang telah melakukan delik tersebut ” ( Prof Moeljatno, 2015: hal. 1 ). Hal ini tepat disandingkan pada KUHAP yang menyatakan ruang lingkup berlakunya KUHAP, yaitu untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan peradilan umum pada semua tingkat peradilan ( vide Pasal 2 KUHAP). Sehingga apabila dibandingkan antara KUHAP dengan POJK Penyidikan adalah tidak sebanding dan salah alamat. POJK Penyidikan merupakan peraturan pelaksanaan tentang tindakan penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik OJK terkait adanya dugaan tindak pidana di bidang Perbankan, Pasar Modal, dan/atau Industri Keuangan Non-Bank. Kedudukan POJK Penyidikan ini sama halnya dengan peraturan- peraturan yang dikeluarkan oleh Polri sebagai pengaturan yang lebih teknis dari pelaksanaan kewenangannya, yaitu Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
Bahwa penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan yang dilakukan oleh OJK secara terkoordinasi dengan lembaga penegak hukum lain antara lain pihak Kepolisian dan Kejaksaan merupakan bagian dari “ criminal justice system ” atau Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Hal tersebut telah ditegaskan dalam Pasal 49 ayat (1) UU 78 OJK yang berbunyi demikian: “ Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya yang meliputi pengawasan sektor jasa keuangan di lingkungan OJK, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ”. Pasal a quo jelas menyebutkan bahwa wewenang khusus sebagai penyidik yang melekat pada PPNS tidak lepas dari ketentuan KUHAP, dan Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP jelas menyatakan demikian: Pasal 7 ayat (2) KUHAP: “ Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing __ dan dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a ”. Pasal 7 ayat (3) KUHAP: “ Dalam melakukan tugasnya sebagimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku ”.
Bahwa KUHAP jelas mengatur hubungan koordinasi fungsional dan instasional antara penyidik Polri dan PPNS terkait pelaksanaan penyidikan dalam Pasal 107 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) KUHAP. Pasal 107 ayat (1) KUHAP: “ Untuk kepentingan penyidikan, penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a memberikan petunjuk kepada penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan”. Pasal 107 ayat (2) KUHAP: “ Dalam hal suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana sedang dalam penyidikan oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b dan kemudian ditemukan bukti yang kuat untuk diajukan kepada penuntut umum, penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b melaporkan hal itu kepada penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a”. Pasal 107 ayat (3) KUHAP: 79 “ Dalam hal tindak pidana telah selesai disidik oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b, ia segera menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a ”. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik Polri memberikan petunjuk kepada PPNS dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan. Setelah itu PPNS harus melaporkan kepada penyidik Polri tentang adanya suatu tindak pidana yang disidiknya jika ditemukan bukti yang kuat untuk mengajukan tindak pidana tersebut kepada penuntut umum. Apabila PPNS telah selesai melakukan penyidikan, hasil penyidikan tersebut harus diserahkan kepada penuntut umum melalui penyidik Polri. Penyidik Polri kemudian dapat mengembalikan hasil penyidikan PPNS yang dianggap belum sempurna untuk diperbaiki seperlunya. Dengan berpatokan pada salah satu prinsip dari asas Lex Specialis Derogat Legi Generali (aturan hukum yang lebih khusus menyampingkan aturan hukum yang lebih umum) yaitu ketentuan- ketentuan yang diatur dalam aturan hukum yang lebih umum tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dalam aturan hukum khusus tersebut, maka proses koordinasi antara PPNS OJK dengan penyidik Polri tetap dilaksanakan sesuai dengan ketentuan pasal 107 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) KUHAP sebagaimana telah diuraikan di atas.
Bahwa pasal-pasal tersebut di atas menegaskan bahwa tindakan penyidikan yang dilakukan OJK tetap melalui koordinasi dan pengawasan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sehingga sama sekali bukan merupakan tindakan yang bertentangan dengan integrated justice system sebagaimana yang didalilkan oleh Para Pemohon.
Bahwa sistem peradilan pidana ( criminal justice system ) di Indonesia mempunyai beberapa sub-sistem yaitu, penyidikan yang kewenangannya melekat pada kepolisian, jaksa dengan wewenang penuntutan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan serta dilengkapi dengan pemberi bantuan hukum/advokat. Terkait dengan kewenangan penyidikan yang melekat pada kepolisian, Pasal 1 angka 1 KUHAP 80 secara tegas menyatakan bahwa “ Penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan ”. Pasal a quo jelas menegaskan bahwa kewenangan untuk melakukan penyidikan bukan hanya ada pada polisi, tetapi juga kepada pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberikan wewenang khusus berdasarkan undang-undang untuk menyidik, dalam hal ini dikenal sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (selanjutnya disebut sebagai PPNS). Dengan demikian apabila dalam proses penyidikan tersebut KUHAP menyatakan Penyidik terdiri dari Penyidik Polri dan PPNS, maka PPNS merupakan bagian dari sistem peradilan pidana itu sendiri. Ketentuan Pasal 6 ayat (1) KUHAP dengan jelas telah menyatakan bahwa Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang (PPNS). PPNS sebagai aparat penyidik tindak pidana dalam ruang lingkup tugasnya melaksanakan penyidikan di bawah koordinasi penyidik Polri adalah bagian dari sistem peradilan pidana karena dalam melaksanakan tugas dan fungsinya bekerja sama dan berinteraksi dengan sub-sistem penegak hukum lain dalam kerangka sistem peradilan pidana. Sekalipun PPNS mempunyai tugas dan wewenang tersendiri sesuai dengan tugas dan spesialisasinya, PPNS tetap merupakan bagian dari sub-sistem kepolisian yang merupakan salah satu sub-sistem peradilan pidana.
Bahwa dengan demikian pada dasarnya UU OJK tetap memberikan kewenangan kepada Polri untuk melaksanakan penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan. OJK dan Polri sama-sama mengemban amanah Undang-Undang OJK untuk melakukan penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan. Dalam rangka mencapai sinergi dalam melaksanakan amanat Undang-Undang OJK tersebut, diperlukan koordinasi yang baik antara OJK dan Polri yang secara formal dituangkan dalam Nota Kesepahaman. Adapun ruang lingkup kerja sama yang diatur dalam Nota Kesepahaman ini adalah 81 sebagai berikut:
Bidang pencegahan tindak pidana di sektor jasa keuangan, melalui kegiatan-kegiatan penyampaian informasi dan edukasi kepada pelaku industri jasa keuangan dan masyarakat, baik tentang tindak pidana di sektor jasa keuangan maupun tindak pidana lain yang memiliki dampak terhadap sektor jasa keuangan;
Bidang penegakan hukum, melalui pertukaran data dan/atau informasi; dan bantuan dalam penyidikan maupun yang bersifat teknis maupun taktis;
Bidang pengamanan, melalui kegiatan pengamanan OJK dan kegiatan OJK;
Bidang koordinasi, melalui pembentukan forum koordinasi antara Pimpinan OJK dan Polri maupun antar pejabat pengendali guna membahas arah dan strategi penegakan hukum di sektor jasa keuangan, juga pembahasan efektivitas penyelesaian penanganan, analisis dan evaluasi pelaksanaan penanganan tindak pidana di sektor jasa keuangan. Selain itu dalam rangka koordinasi tersebut akan dibentuk kelompok kerja dalam tataran yang lebih teknis yang melibatkan unsur pimpinan OJK dan Polri di daerah;
Bidang penugasan dan pengakhiran penugasan anggota Polri (SDM Penyidik) melalui penempatan personil Penydidik Polri di OJK untuk melaksanakan tugas penyidikan; dan
Bidang pendidikan dan pelatihan, melalui kegiatan peningkatan kualitas dan kompetensi sumber daya manusia OJK maupun Polri khususnya terkait pelaksanaan fungsi penyidikan, baik kompetensi mengenai sektor jasa keuangan maupun keahlian teknis penyidikan.
Bahwa oleh sebab itu adalah tidak berdasar hukum apabila Para Pemohon berpendapat kewenangan penyidikan yang melekat pada OJK mengaburkan integrated justice system dan due process of law sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan sebab itu bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, karena kewenangan 82 penyidikan OJK yang secara khusus berlaku atas setiap tindak pidana yang terjadi di sektor jasa keuangan justru merupakan tindakan yang menunjang terlaksananya suatu sistem peradilan pidana yang terintegrasi. Penyidik PNS OJK Tidak Bertentangan Dengan Asas Penegakan Hukum ( Supremacy of Law ) 18. Bahwa keberadaan PPNS telah ada sejak zaman Kolonial Hindia Belanda yang diatur dalam Het Herziene Inlands Reglement (selanjutnya disebut sebagai HIR) Staatblad Tahun 1941 No. 44. Pasal 1 sub 5 dan 6 HIR memberikan kewenangan pejabat yang diberi tugas kepolisian preventif, dan Pasal 39 sub 5 dan 6 HIR memberikan kewenangan pejabat yang diberi tugas mencari kejahatan dan pelanggaran (kepolisian represif baik yang bersifat non-yustisial maupun pro-yustisial). Pasal 1 sub 5 dan 6 HIR: “ Melakukan tugas kepolisian pada bangsa Indonesia dan pada bangsa Asing, menurut perbedaan yang diadakan dalam reglemen ini, diwajibkan pada pegawai, penjabat-penjabat dan orang-orang yang teristimewa disebut dibawah ini, masing-masing sekian keluasan _daerah, untuk mana ia diangkat: _ _1....; _ _2....; _ _3....; _ _4....; _ 5. Semua pegawai, penjabat dan orang-orang lain, dalam perkara yang diserahkan kepadanya supaya dijaganya, menurut aturan _undang-undang yang istimewa; _ 6. Pegawai-pegawai polisi yang tidak dapat gaji masing-masing mengenai kekuasaan yang diberikan padanya dalam surat angkatannya yang diangkat sedemikian dengan mengingat aturan-aturan yang akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Pasal 39 sub 5 dan 6 HIR: “ Hal mencari kejahatan dan pelanggaran pada bangsa Indonesia dan bangsa Asing, menurut perbedaan yang dibuat pada reglemen ini dan pada peraturan undang-undang yang lain, diwajibkan kepada pegawai, pejabat dan orang-orang yang teristimewa yang tersebut di _bawah ini, masing-masing dalam seluruh daerah pegangannya: _ 83 _3....; _ _4....; _ 5. Mereka, yang dengan peraturan undang-undang yang khusus disuruh memegang peraturan itu atau supaya peraturan itu diturut orang dan yang disuruh mencari perbuatan yang dapat dihukum yang dimaksud di dalam peraturan itu, yakni sekedar, yang _mengenai perbuatan yang dimaksud itu; _ 6. Pegawai polisi yang tidak dapat gaji, yang diangkat sebagai polisi dengan mengingat peraturan yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah, masing-masing menurut kekuasaan yang diberikan kepadanya pada Akte angkatannya. 19. Bahwa dari beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang PPNS seperti KUHAP, Pedoman Pelaksanaan KUHAP dan Undang-Undang Kepolisian pada dasarnya merumuskan PPNS dengan unsur-unsur sebagai berikut:
PPNS adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang;
Wewenang khusus tersebut adalah wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana;
Tindak pidana yang dimaksud adalah tindak pidana tertentu yang menjadi ruang lingkup tugas dari suatu instansi/lembaga; dan
Dalam melaksanakan wewenang penyidikan berada di bawah koordinasi dan pengawasan dari Penyidik Polri.
Bahwa dari unsur-unsur tersebut di atas, jelas bahwa wewenang penyidikan yang dilakukan oleh seorang PPNS menuntut keahlian dan spesialiasi khusus sesuai dengan tindak pidana tertentu yang menjadi ruang lingkup tugas dari suatu instansi/lembaga.
Dalam rangka memenuhi kebutuhan penyidik OJK, berdasarkan ketentuan Pasal 27 ayat (2) UU OJK dan penjelasannya, OJK diberikan hak untuk mempekerjakan penyidik yang berasal dari Kepolisian Negara Republik Indonesia maupun Pegawai Negeri Sipil. Pasal 27 ayat (2) “ OJK dapat mempekerjakan pegawai negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. ” 84 Penjelasan Pasal 27 ayat (2) “...Pegawai negeri yang bekerja pada OJK dapat berstatus dipekerjakan atau status lainnya dalam rangka menunjang kewenangan OJK di bidang pemeriksaan, penyidikan, atau tugas- tugas yang bersifat khusus. Pegawai negeri tersebut antara lain berasal dari pejabat penyidik pegawai negeri sipil dan/atau Pejabat Penyidik Kepolisian. Hak dan kewajiban pegawai negeri tersebut disetarakan dengan hak dan kewajiban pegawai OJK. ” 29. Bahwa dipekerjakannya penyidik Polri dan PPNS merupakan salah satu upaya OJK untuk memperkuat pelaksanaan fungsi penyidikan di sektor jasa keuangan karena sudah barang tentu yang dapat menjadi penyidik sesuai dengan yang diketahui dalam KUHAP hanya berasal dari 2 (dua) unsur, yaitu pejabat polisi negara Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang [vide Pasal 6 ayat (1) KUHAP].
Bahwa terkait dengan kewenangan Penyidik OJK diatur dalam 2 (dua) tempat, yaitu bagi Penyidik Polri telah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP dan bagi Penyidik PPNS diatur secara khusus dalam Pasal 49 ayat (3) UU OJK. Hal ini telah sesuai sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP yang berbunyi “Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat ( 1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a ”. Hal ini memiliki 2 (dua) arti, yaitu: Pertama, kewenangan Penyidik PPNS hanya sebatas kewenangan yang diatur dalam undang-undangnya masing-masing; dan Kedua, dalam pelaksanaan tugasnya, penyidik yang berasal dari PNS tetap berkoordinasi dengan penyidik Polri.
Bahwa sehubungan dengan dalil Para Pemohon yang menyadur Pasal 109 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (selanjutnya disebut UU ASN), tentu saja UU ASN tidak tepat dijadikan dasar hukum pada permasalahan a quo . Status kepegawaian di OJK tidak tunduk pada UU ASN karena berdasarkan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU OJK, pihak yang bekerja di OJK 85 berstatus sebagai pegawai OJK, bukan sebagai ASN. Begitu pula dengan seluruh penyidik Polri yang dipekerjakan OJK tidak tunduk pula dengan UU ASN, melainkan pada UU Nomor 2 Tahun 2002. Dengan begitu, penyidik Polri yang dipekerjakan di OJK tidak harus mengundurkan diri sebagaimana diatur dalam Pasal 109 ayat (2) UU ASN.
Bahwa argumentasi para Pemohon kata ”dapat” pada Pasal 27 ayat (2) UU OJK berarti bersifat sementara sehingga keberadaan PPNS di OJK tidak didasarkan pada kewenangan temporer pada suatu masa atau rentang waktu tertentu saja. Dalam Pasal 51 UU OJK telah mengatur ketentuan minimal penarikan kembali para Penyidik PPNS tersebut, yaitu 6 (enam) bulan dan sedang tidak menangani perkara. Ketentuan yang diatur dalam UU OJK ini mengandung arti bahwa alasan penarikan Penyidik PPNS tersebut harus dilakukan dengan cermat dan dipastikan tidak menghalangi jalannya proses penyidikan yang sedang berlangsung di OJK.
Bahwa Pasal 27 ayat (2) UU OJK telah menyatakan, “ OJK dapat mempekerjakan pegawai negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ”. Selanjutnya dalam penjelasan pasal a quo , pegawai negeri yang dipekerjakan di OJK bertujuan untuk mengefektifkan tugas dan wewenang OJK di bidang pemeriksaan, penyidikan atau tugas-tugas yang bersifat khusus. Dengan demikian keberadaan PPNS OJK yang bertugas untuk melaksanakan penyidikan sebagai bentuk pengawasan lembaga OJK sama sekali tidak bertentangan dengan penegakan hukum sebagaimana yang dijamin dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 karena keberadaan PPNS OJK telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. V. DAMPAK APABILA PERMOHONAN DIKABULKAN Sebagaimana telah Pemerintah jelaskan di atas, bahwa kewenangan penyidikan yang melekat pada OJK merupakan salah satu bentuk fungsi pengawasan OJK demi terlaksananya kegiatan-kegiatan di sektor jasa 86 keuangan dengan teratur, adil, transparan dan akuntabel, mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh stabil dan berkelanjutan serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Apabila permohonan a quo dikabulkan maka tindak pidana di sektor jasa keuangan tidak akan teratasi dengan cepat dan tepat sehingga menimbulkan kekacauan ( chaos ) dalam sistem keuangan di Indonesia dan dapat mengakibatkan kerugian besar bagi perekonomian nasional dan membawa dampak bagi kesejahteraan rakyat Indonesia. Untuk itu, Pemerintah berpendapat terhadap kewenangan penyidikan ini, kiranya Mahkamah masih akan tetap berpendapat sebagai open legal policy yang tidak bisa dibatalkan oleh Mahkamah karena tidak bertentangan dengan UUD 1945, sebagaimana pertimbangan Mahkamah dalam Putusan 25 yang merupakan putusan atas pasal yang sama yang bahkan lebih prinsip dari permohonan ini karena meminta pembatalan Pasal 1 angka 1 secara keseluruhan. VI. PETITUM Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Konstitusi yang memeriksa, mengadili dan memutus permohonan pengujian (constitusional review) ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan terhadap ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang dimohonkan untuk diuji bukanlah merupakan objek yang dapat diajukan uji materiil di Mahkamah Konstitusi;
Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( Legal Standing );
Menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima ( niet onvankelijke verklaard );
Menyatakan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan tidak bertentangan dengan 87 Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Presiden menyampaikan Keterangan tertulis tambahan pada tanggal 28 Februari 2019 atas pertanyaan-pertanyaan dari Hakim Konstitusi, yang pada pokoknya sebagai berikut: A. Jawaban terhadap pertanyaan dari Hakim Konstitusi Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., MPA 1. Putusan inkracht atas perkara yang proses penyidikannya dilakukan oleh OJK. Jawaban Pemerintah Sebagaimana telah disampaikan dalam Keterangan Presiden sebelumnya, terdapat 9 (sembilan) perkara tindak pidana di sektor jasa keuangan yang penyidikannya dilakukan oleh Penyidik OJK dan telah memiliki kekuatan hukum tetap ( inkracht ). Berikut ini beberapa putusan inkracht yang salinan resminya telah diperoleh OJK (terlampir) yaitu:
Putusan Nomor 484/Pid.Sus/2018/PN.Dpk tanggal 10 Januari 2019;
Putusan Nomor 182/Pid.B/2018/PN.Bil tanggal 30 Agustus 2018;
Putusan Nomor 221/Pid.B/2017/PN.Sbr tanggal 30 Agustus 2017;
Putusan Nomor 457/Pid.Sus/2017/PN.Smn tanggal 19 Desember 2017; dan 5. Putusan Nomor 310/Pid.Sus/2018/PN.Jkt.Pst tanggal 21 Mei 2018. Perkara-perkara di atas merupakan tindak pidana di sektor jasa keuangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU Perbankan) dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UU Perbankan Syariah). Selain itu terdapat 1 putusan yang berkaitan dengan kewenangan penyidikan OJK yaitu perkara pra peradilan di Pengadilan Negeri Palu dengan perkara Nomor 7/Pid.Pra/2018/PN.Pal tanggal 5 November 2018 (putusan terlampir), Perkara a quo dimohonkan oleh Pemohon (Komisaris Utama PT. BPR Akarumi) terhadap Termohon in casu Penyidik OJK. Dalam pertimbangan hukumnya (halaman 42) Hakim menyatakan OJK mempunyai kewenangan untuk melakukan penyidikan dalam perkara meliputi dugaan 88 tindak pidana di bidang perbankan, pasar modal, dan industri keuangan non bank (IKNB). Bahwa dapat kami tambahkan, terhadap dalil Pemohon yang menyatakan tidak adanya pranata pra peradilan pada proses penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan, maka adanya 3 perkara perkara pra peradilan yang melibatkan OJK sebagai pihak menjadi bantahan terhadap dalil Pemohon dimaksud. Terlebih dengan diakuinya kewenangan penyidikan dalam Putusan Pra Peradilan Nomor 7/Pid.Pra/2018/PN.Pal tersebut di atas membuktikan bahwa dalam pranata pra peradilan pun kewenangan penyidikan OJK telah diakui oleh Hakim.
Mekanisme penanganan tindak pidana di sektor jasa keuangan yang proses penyidikannya dilakukan oleh OJK Jawaban Presiden Terkait dengan proses penyidikan yang dilaksanakan oleh OJK, bersama keterangan ini juga dilampirkan alur penyidikan OJK sesuai dengan Keputusan Deputi Komisioner Penyidikan, Organisasi dan SDM Nomor KEP-10/MS.2/2017 tentang Standar Prosedur Operasional di Lingkungan Departemen Penyidikan Sektor Jasa Keuangan. Tabel berikut merupakan gambaran secara singkat alur penyidikan OJK sesuai dengan Keputusan Deputi Komisioner Penyidikan Organisasi dan SDM tersebut di atas: No. JENIS KEGIATAN KETERANGAN 1. Penerimaan pelimpahan laporan dan/atau informasi • Dapat berasal dari:
Satker Pemeriksaan/Investigasi OJK b. Perseorangan c. Penyidik • Dalam hal pelimpahan berasal dari huruf (a) maka Penyidik OJK melakukan proses penyelidikan dan/atau penyidikan; • Dalam hal pelimpahan berasal dari huruf (b) dan huruf (c) maka Penyidik OJK melakukan koordinasi dengan Satker Pemeriksaan/Investigasi OJK 2. Persiapan, pelaksanaan dan pelaporan Gelar Perkara • Gelar Perkara dilakukan sebelum dan selama proses penyidikan. • Gelar Perkara yang dilakukan sebelum penyidikan adalah dalam rangka peningkatan status penanganan perkara dari penyelidikan ke 89 penyidikan • Gelar Perkara yang dilakukan selama proses penyidikan adalah dalam rangka:
penetapan status tersangka;
pemantauan perkembangan penyidikan;
penyidikan bersama ( joint investigation ); dan persiapan pelimpahan berkas perkara. • Gelar Perkara dihadiri oleh Satker Pengawasan terkait, Departemen Hukum OJK, Audit Internal OJK; dan Departemen Penyidikan.
Penyelidikan/Penyidi kan • Penyidik menerbitkan Surat Perintah Penyidikan dan Surat Perintah Kerja kegiatan penyelidikan/penelitian. • Kegiatan Penyelidikan/Penyidikan meliputi:
Peristiwa tindak pidana apa yang terjadi;
Bagaimana terjadinya tindak pidana 3) Mengapa terjadinya Tindak Pidana 4) Apa dan bagaimana modus operandi tindak pidana 5) Dimana tempat/lokasi terjadinya tindak pidana 6) Benda apa saja yang terkait dengan tindak pidana 7) Siapa pelaku korban dan saksi 8) Kapan peristiwa tindak pidana terjadi a. Pemanggilan Obyek pemanggilan: kepada saksi, tersangka, dan/atau ahli b. Penahanan • Didasarkan pada Laporan Gelar Perkara, syarat formil, dan syarat materiil. • Penitipan tahanan di Rutan.
Penggeledahan • Penyidik OJK melakukan persiapan penggeledahan dari sisi kelengkapan materiil, formil, dan peralatan. • Penyidik OJK meminta bantuan dari Kepolisian Republik Indonesia (Kepolisian). • Penyidik OJK membuat Berita Acara Penggeledahan yang ditandatangani oleh Penyidik OJK dan disampaikan kepada pihak yang dilakukan penggeledahan, paling lama 2 (dua) hari setelah dilakukan penggeledahan.
Penyitaan Penyitaan dilakukan berdasarkan permohonan izin penetapan pengadilan, dalam situasi: kegiatan penggeledahan, kegiatan penangkapan, dan/atau kegiatan tertangkap tangan.
Pemblokiran, Pembukaan Rekening Bank atau Lembaga Keuangan lainnya atau dari pihak yang terlibat 1. Penyidik menemukan adanya bukti tindak pidana pada rekening Bank atau Lembaga Keuangan lainnya.
Penyidik melakukan permohonan pemblokiran rekening dengan menyertakan bukti adanya hasil tindak pidana pada rekening dimaksud.
Penyidik menyerahkan permohonan tersebut kepada Bank atau Lembaga Jasa Keuangan lainnya. 90 4. Penyusunan dan Pelimpahan Berkas Perkara • Inventarisasi komponen berkas perkara, yang terdiri dari: laporan kejadian, surat perintah penyidikan, surat panggilan saksi/tersangka, dan surat perintah penangkapan terhadap tersangka (jika ada). • Melakukan penelitian kelengkapan berkas perkara • Menyusun resume perkara dan membuat surat pengantar pelimpahan yang ditujukan kepada:
Kepala Kejaksaan Negeri untuk Perkara acara pemeriksaan biasa;
Kepala Pengadilan Negeri/Tinggi untuk perkara acara pemeriksaan cepar; dan
Kepala Kejaksaan Negeri/Tinggi untuk perkara yang ditangani oleh Penyidik PPNS • Apabila sebelum batas waktu 14 (empat belas) hari berakhir berkas perkara dikembalikan dan disertai petunjuk Jaksa Penuntut Umum (P.19) maka Penyidik OJK segera melakukan penyidikan tambahan guna melengkapi berkas perkara sesuai petunjuk teknis • Apabila berkas perkara tidak dikembalikan atau sebelum batas waktu telah ada pemberitahuan bahwa hasil penyidikan telah lengkap (P.21) maka Penyidik OJK segera melimpahkan tanggung jawab kepada Kepala Kejaksaan Alur penyidikan dimaksud telah membuktikan bahwa proses penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik OJK telah berpegang pada prinsip due process of law dan tidak menyimpang dari KUHAP dan UU OJK sebagai acuan untuk pelaksanaan penyidikan OJK. Alur proses penyidikan dimaksud juga menggambarkan adanya koordinasi antara Penyidik OJK dengan Kepolisian RI sebagai bentuk pelaksanaan integrated criminal justice system .
Berikan komparasi dengan negara lain yang juga memiliki Lembaga Pengawas Jasa Keuangan seperti OJK dan mempunyai kewenangan penyidikan. Jawaban Presiden: Berkaitan dengan perbandingan kepemilikan wewenang penyidikan pada Lembaga Pengawas Jasa Keuangan di Negara lain, perlu dipahami terlebih dahulu bahwa bentuk Lembaga Pengawas Jasa Keuangan di Negara lain bervariasi sesuai dengan sistem ketatanegaraan dan sistem hukumnya masing-masing. Beberapa Negara memiliki Lembaga Pengawas di Sektor 91 Jasa Keuangan yang bersifat sektoral tetapi tetap memiliki kewenangan penyidikan. Sebagai contoh, di Jepang , lembaga pengawasan pasar modal yaitu Securities and Exchanges Survaillance Commission memiliki Criminal Investigation Division . Lembaga tersebut berkoordinasi dengan Japan Financial Services Agency dalam pelaksanaan tugasnya (sumber: www.fsa.go.jp/common/about/h30FSAsOrganizationChartOutline.pdf ). Contoh lainnya adalah Negara Inggris , dimana FCA ( Financial Conduct Authority ) memiliki kewenangan untuk melakukan “ bringing criminal prosecution to tackle financial crime, such as insider dealing, unauthorized business and false crime to be FCA authorized (sumber: www.fca.org.uk/about/enforcement ) dan Article 401 pada Financial Services and Markets Act 2000 yang menyatakan “ P roceedings for an offence may be instituted in England and Wales only—(a) by the Authority ” . B. Jawaban terhadap pertanyaan Hakim Konstitusi Dr. Suhartoyo, S.H., M.H. dan Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H., M.S.
Filosofis Kelembagaan OJK a. Secara mandat, pembentukan Lembaga OJK didasarkan pada amanat Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Bank Indonesia (UU BI) untuk mengatur dalam suatu UU pembentukan suatu lembaga pengawasan di sektor jasa keuangan yang independen dan berfungsi untuk menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan yang bergerak di sektor jasa keuangan. Terkait dengan pembentukan OJK yang hanya dimandatkan oleh UU BI bukan secara langsung oleh UUD 1945, Majelis Hakim Konstitusi dalam Putusan Perkara Permohonan Uji Materiil Nomor 25/PUU-XII/2014 tanggal 4 Agustus 2015 halaman 289 menyatakan bahwa “oleh karena independensi OJK merupakan penjabaran dari UU BI, sedangkan independensi bank sentral berasal dari Pasal 23D UUD 1945 maka untuk memahami independensi OJK harus dikaitkan dengan independensi Bank Indonesia sebagai bank sentral. Independensi bank sentral dimaksudkan agar bank sentral memiliki kebebasan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang dan keputusan- 92 keputusan yang diambil dalam mencapai tujuannya tersebut tidak dapat diintervensi oleh pemerintah dan cabang-cabang kekuasaan negara lainnya. Dikaitkan dengan hal tersebut maka independensi OJK bukan berarti OJK dapat menentukan sendiri tujuannya, karena tujuan pembentukan OJK telah ditentukan dalam UU OJK, di antaranya dalam Pasal 4 UU OJK disebutkan bahwa OJK dibentuk dengan tujuan agar seluruh kegiatan dalam sektor jasa keuangan terselenggara dengan teratur, adil, transparan dan akuntabel; dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Berdasarkan tujuan pembentukan OJK yang langsung berkenaan dengan bidang ekonomi, maka sudah tepat Pasal 33 UUD 1945 dijadikan sebagai dasar hukum kewenangan pembentukan OJK . Selanjutnya terkait dengan kedudukan/hubungan kelembagaan OJK dengan pemerintahan, Mahkamah dalam pertimbangan Putusan Perkara Permohonan Uji Materiil Nomor 25/PUU-XII/2014 menyatakan: “penjelasan demikian (yaitu penjelasan umum UU OJK) harus dimaknai tetap ada kaitannya dengan pemerintah, sebab semua urusan yang diberikan kepada OJK tidak dapat dilepaskan dengan urusan penyelenggaraan pemerintahan, sehingga OJK bukanlah bagian yang dipisahkan dari negara yang karenanya seakan-akan OJK merupakan negara dalam negara. Hal demikian juga terbukti dari adanya unsur-unsur perwakilan pemerintah di OJK serta koordinasi, kerjasama, dan harmonisasi kebijakan dengan lembaga-lembaga lain.” Berdasarkan pada pertimbangan dalam Putusan Perkara Permohonan Uji Materiil Nomor 25/PUU-XII/2014 tersebut di atas, Pemerintah berpendapat pandangan Pemerintah bahwa OJK adalah lembaga negara yang menyelenggarakan urusan Pemerintahan memiliki landasan yuridis, filosofis dan sosiologis yang sangat kuat. Selanjutnya dikaitkan dengan jenis lembaga negara main organ dan auxsiliary organ, memperhatikan pengklasifikasin lembaga negara oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 36/PUU-XV/2017 menyatakan: “Secara teori dan praktik, lembaga-lembaga negara tersebut dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yakni (i) lembaga negara mandiri yang disebut lembaga negara utama ( main state organs ) dan (ii) lembaga negara yang mempunyai fungsi 93 melayani yang disebut lembaga negara penunjang ( auxiliary state organs ). Lembaga negara yang termasuk main state organs ialah MPR, DPR, DPD, Presiden-Wakil Presiden, BPK, MA, dan MK” . Sebagai lembaga negara yang independen, yang dasar kewenangan pembentukannya mengacu pada Pasal 33 UUD 1945 serta yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam rangka pencapaian tujuan bernegara sebagaimana dimandatkan UUD 1945, maka menjadi sangat berdasar hukum apabila kedudukan OJK disematkan sebagai lembaga negara utama ( main organ ) bukan auxiliary organ yang menjadi penunjang lembaga negara lainnya.
Dengan kedudukan sebagai main organ lembaga negara, dalam penjelasan ketentuan umum dalam UU OJK, disebutkan bahwa untuk mewujudkan koordinasi, kerjasama dan harmonisasi kebijakan yang baik, OJK harus merupakan bagian dari sistem penyelenggaraan urusan pemerintahan yang berinteraksi secara baik dengan lembaga-lembaga negara dan pemerintahan lainnya dalam mencapai tujuan dan cita-cita kemerdekaan Indonesia yang tercantum dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian adalah jelas OJK merupakan suatu lembaga negara yang sekalipun kedudukannya berada diluar sistem pemerintahan, OJK tetap menjadi bagian dari sistem penyelenggaraan urusan pemerintahan. Hal tersebut bersesuaian dengan pendapat dari Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum yang disampaikan dalam Keterangan Ahli untuk Permohonan Uji Materiil Nomor 25/PUU-XII/2014, yang menyatakan bahwa fungsi OJK tidak lepas dari fungsi pemerintahan ( sturen ) yang melekat pada wewenang pemerintah ( bestuurbovegheid ). Dalam melaksanakan fungsi sturen , pemerintah diberikan kewenangan untuk melaksanakan fungsi pengawasan dan penegakan hukum administrasi negara. Dimensi perlindungan hukum dalam pelaksanaan fungsi sturen ( sturende functie ) terdapat dalam Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 UU OJK, yang pada intinya dimaksudkan untuk melindungi rakyat yang menjadi pengguna jasa keuangan dari praktek-praktek yang melanggar prinsip tata kelola 94 perbankan dan non-perbankan yang baik ( good financial government ).
Kedudukan OJK sebagai lembaga negara yang menjalankan fungsi pemerintahan juga sangat jelas terlihat dengan peralihan kewenangan yang melekat Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia untuk menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan yang terkait dengan pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat (1) dan ayat (2) UU OJK yang berbunyi: