Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional di Bidang Keuangan Negara
Relevan terhadap
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN DAN PETUNJUK TEKNIS JABATAN FUNGSIONAL DI BIDANG KEUANGAN NEGARA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah. 2. Pegawai ASN adalah pegawai negeri sipil clan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang- undangan. 3. Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai ASN secara tetap oleh Pejabat Pembina Kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan. jdih.kemenkeu.go.id 4. Jabatan Fungsional yang selanjutnya disingkat JF adalah sekelompok jabatan yang berisi fungsi clan tugas berkaitan dengan pelayanan fungsional yang berdasarkan pada keahlian clan keterampilan tertentu. 5. Jabatan Fungsional di Bidang Keuangan Negara yang selanjutnya disingkat JF di Bidang Keuangan Negara adalah sekelompok Jabatan Fungsional yang mempunyai tugas clan ruang lingkup kegiatan pengelolaan keuangan negara. 6. Jabatan Fungsional Analis Keuangan Negara yang selanjutnya disingkat JF AKN adalah jabatan yang mempunyai tugas clan ruang lingkup kegiatan untuk melakukan kegiatan analisis keuangan negara yang meliputi fiskal clan sektor keuangan, perencanaan clan penganggaran, pajak, kepabeanan clan cukai, penerimaan negara bukan pajak, perbendaharaan, kekayaan negara, penilaian, lelang, hubungan keuangan pusat clan daerah, pembiayaan clan risiko keuangan, pembinaan profesi keuangan, atau investasi pemerintah clan pengelolaan dana. 7. Jabatan Fungsional Pengawas Keuangan Negara yang selanjutnya disingkat JF PKN adalah jabatan yang mempunyai tugas clan ruang lingkup kegiatan untuk melakukan kegiatan pelayanan, pengawasan, clan/ a tau pemeriksaan di bidang pajak, kepabeanan clan cukai, perbendaharaan, kekayaan negara, hubungan keuangan pusat clan daerah, pembiayaan, pengawasan pengelolaan bagian anggaran bendahara umum negara serta badan usaha milik negara clan lembaga nonbadan usaha milik negara, atau advokasi clan penyuluhan di bidang keuangan negara. 8. Jabatan Fungsional Penilai yang selanjutnya disingkat JF Penilai adalah jabatan yang mempunyai tugas clan ruang lingkup kegiatan untuk melakukan kegiatan penilaian clan/ atau pemetaan kekayaan negara clan pajak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang- undangan. 9. Jabatan Fungsional Pelelang yang selanjutnya disingkat JF Pelelang adalah jabatan yang mempunyai tugas clan ruang lingkup kegiatan untuk melakukan kegiatan lelang clan penggalian potensi lelang. 10. Pejabat Fungsional Analis Keuangan Negara yang selanjutnya disebut AKN adalah PNS yang diberikan tugas clan ruang lingkup kegiatan untuk melakukan kegiatan analisis keuangan negara yang meliputi fiskal clan sektor keuangan, perencanaan clan penganggaran, pajak, kepabeanan clan cukai, penerimaan negara bukan pajak, perbendaharaan, kekayaan negara, penilaian, lelang, hubungan keuangan pusat clan daerah, pembiayaan clan risiko keuangan, pembinaan profesi keuangan, atau investasi pemerintah clan pengelolaan dana. 11. Pejabat Fungsional Pengawas Keuangan Negara yang selanjutnya disebut PKN adalah PNS yang diberikan tugas clan ruang lingkup kegiatan untuk melakukan kegiatan pelayanan, pengawasan, clan/ atau pemeriksaan di bidang pajak, kepabeanan clan cukai, perbendaharaan, kekayaan jdih.kemenkeu.go.id negara, hubungan keuangan pusat dan daerah, pembiayaan, pengawasan pengelolaan bagian anggaran bendahara umum negara serta badan usaha milik negara dan lembaga nonbadan usaha milik negara, atau advokasi dan penyuluhan di bidang keuangan negara. 12. Pejabat Fungsional Penilai yang selanjutnya disebut Penilai adalah PNS yang diberikan tugas dan ruang lingkup kegiatan untuk melakukan kegiatan penilaian dan/ a tau pemetaan kekayaan negara, dan pajak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang- undangan. 13. Pejabat Fungsional Pelelang yang selanjutnya disebut Pelelang adalah PNS yang diberikan tugas dan ruang lingkup kegiatan untuk melakukan kegiatan lelang dan penggalian potensi lelang. 14. Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. 15. Pejabat yang Berwenang yang selanjutnya disingkat PyB adalah pejabat yang mempunyai kewenangan melaksanakan proses pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai ASN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 16. Pejabat Pembina Kepegawaian yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang mempunyai kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai ASN dan pembinaan manajemen ASN di instansi pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 1 7. Instansi Pemerintah adalah instansi pusat dan instansi daerah. 18. Instansi Pusat adalah kementerian, lembaga pemerintah non kementerian, kesekretariatan lembaga negara, dan kesekretariatan lembaga nonstruktural. 19. Instansi Daerah adalah perangkat daerah provinsi dan perangkat daerah kabupaten/kota yang meliputi sekretariat daerah, sekretariat dewan perwakilan rakyat daerah, dinas daerah, dan lembaga teknis daerah. 20. Unit Organisasi adalah bagian dari struktur organisasi yang dapat dipimpin oleh pejabat pimpinan tinggi madya, pejabat pimpinan tinggi pratama, pejabat administrator, pejabat pengawas, atau pejabat fungsional yang diangkat untuk memimpin suatu unit kerja mandiri berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. 21. Sasaran Kinerja Pegawai yang selanjutnya disingkat SKP adalah adalah ekspektasi kinerja yang akan dicapai oleh Pegawai setiap tahun. 22. Ekspektasi Kinerja yang selanjutnya disebut Ekspektasi adalah harapan atas hasil kerja dan perilaku kerja Pegawai ASN. 23. Angka Kredit adalah nilai kuantitatif dari hasil kerja AKN, PKN, Penilai, dan Pelelang. jdih.kemenkeu.go.id 24. Angka Kredit Kumulatif adalah akumulasi nilai Angka Kredit yang harus dicapai oleh AKN, PKN, Penilai, dan Pelelang sebagai salah satu syarat kenaikan pangkat dan jabatan. 25. Tim Penilai Kinerja PNS adalah tim yang dibentuk oleh PyB untuk memberikan pertimbangan kepada PPK atas usulan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian dalam jabatan, pengembangan kompetensi, serta pemberian penghargaan bagi PNS. 26. Kebutuhan JF AKN, JF PKN, JF Penilai, dan JF Pelelang yang selanjutnya disebut KJF AKN, KJF PKN, KJF Penilai, dan KJF Pelelang adalah jumlah dan susunan JF AKN, JF PKN, JF Penilai, dan JF Pelelang yang diperlukan oleh Instansi Pusat dan Instansi Daerah untuk dapat melaksanakan tugas pokok di bidang pengelolaan Keuangan Negara dengan baik, efektif, dan efisien dalam jangka waktu lima tahun. 27. Kompetensi adalah karakteristik dan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap/perilaku yang dapat diamati, diukur, dan dikembangkan sesuai tugas dan/ a tau fungsi jabatan. 28. Kompetensi Teknis adalah pengetahuan, keterampilan, dan sikap/perilaku yang dapat diamati, diukur, dikembangkan yang spesifik berkaitan dengan bidang teknis jabatan. 29. Kompetensi Manajerial adalah pengetahuan, keterampilan, dan sikap/perilaku yang dapat diamati, diukur, dan dikembangkan untuk memimpin dan/atau mengelola unit organisasi. 30. Kompetensi Sosial Kultural adalah pengetahuan, keterampilan dan sikap/perilaku yang dapat diamati, diukur, dan dikembangkan terkait dengan pengalaman berinteraksi dengan masyarakat majemuk dalam hal agama, suku dan budaya, perilaku, wawasan kebangsaan, etika, nilai-nilai, moral, emosi dan prinsip, yang harus dipenuhi oleh setiap pemegang jabatan untuk memperoleh hasil kerja sesuai dengan peran, fungsi, dan jabatan. 31. Standar Kompetensi JF AKN, JF PKN, JF Penilai, dan JF Pelelang yang selanjutnya disebut SKJ AKN, SKJ PKN, SKJ Penilai, dan SKJ Pelelang adalah deskripsi Kompetensi yang diperlukan dalam melaksanakan tugas AKN, PKN, Penilai, dan Pelelang yang meliputi Kompetensi Teknis, Kompetensi Manajerial, dan Kompetensi Sosial Kultural. 32. Uji Kompetensi AKN, PKN, Penilai, dan Pelelang yang selanjutnya disebut Uji Kompetensi adalah proses pengujian dan penilaian terhadap Kompetensi Teknis, Kompetensi Manajerial, dan Kompetensi Sosial Kultural dari seorang ASN untuk pemenuhan Standar Kompetensi pada setiap jenjang JF AKN, JF PKN, JF Penilai, dan JF Pelelang. 33. Analisis Jabatan Fungsional di Bidang Keuangan Negara yang selanjutnya disebut Analisis Jabatan Fungsional adalah proses pengumpulan, pencatatan, pengolahan dan penyusunan data JF di Bidang Keuangan Negara. jdih.kemenkeu.go.id 34. Uraian Jabatan adalah uraian terperinci dan lengkap terkait jabatan. 35. Instansi Pembina JF di Bidang Keuangan Negara yang selanjutnya disebut Instansi Pembina adalah kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Keuangan Negara. 36. Instansi Pengguna JF di Bidang Keuangan Negara yang selanjutnya disebut Instansi Pengguna adalah Instansi Pusat dan Instansi Daerah yang menggunakan JF AKN, JF PKN, dan JF Penilai. BAB II JENIS, KATEGORI, JENJANG, KARAKTERISTIK, KEDUDUKAN, DAN TANGGUNG JAWAB Bagian Kesatu Jenis Pasal 2 JF di Bidang Keuangan Negara terdiri atas:
JF AKN;
JF PKN;
JF Penilai; dan
JF Pelelang. Bagian Kedua Kategori Pasal 3 JF AKN, JF PKN, JF Penilai, dan JF Pelelang merupakan JF kategori keahlian dan keterampilan. Bagian Ketiga Jenjang Pasal 4 (1) Jenjang JF AKN, JF PKN, JF Penilai, dan JF Pelelang kategori keahlian dan keterampilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 terdiri atas:
kategori keterampilan:
Jenjang Terampil;
Jenjang Mahir; dan
Jenjang Penyelia; dan
kategori keahlian:
Jenjang Ahli Pertama;
Jenjang Ahli Muda;
Jenjang Ahli Madya; dan
Jenjang Ahli Utama. (2) Jenjang pada JF AKN, JF PKN, JF Penilai dan JF Pelelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan bidang tugas dalam Lampiran huruf A, hurufB, dan huruf C yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. jdih.kemenkeu.go.id Bagian Keempat Karakteristik Pasal 5 (1) Karakteristik JF di Bidang Keuangan Negara terdiri atas:
terbuka, untuk bidang tugas tertentu dapat berkedudukan pada Instansi Pembina clan/ atau Instansi Pengguna; clan b. tertutup, hanya berkedudukan pada lingkup Instansi Pembina. (2) JF di Bidang Keuangan Negara dengan karakteristik terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
JF AKN;
JF PKN; clan c. JF Penilai. (3) JF di Bidang Keuangan Negara dengan karakteristik tertutup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, yaitu JF Pelelang. Bagian Kelima Kedudukan clan Tanggung Jawab Pasal 6 (1) Kedudukan AKN, PKN, clan Penilai sebagai pelaksana teknis di Bidang Keuangan Negara pada Instansi Pembina clan/ atau Instansi Pengguna. (2) Kedudukan Pelelang sebagai pelaksana teknis di Bidang Keuangan Negara pada Instansi Pembina. (3) AKN, PKN, clan Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) clan Pelelang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berkedudukan di bawah clan bertanggung jawab secara langsung kepada pejabat pimpinan tinggi madya, pejabat pimpinan tinggi pratama, pejabat administrator, atau pejabat pengawas yang memiliki keterkaitan dengan pelaksanaan tugas JF di Bidang Keuangan Negara. (4) Dalam hal Unit Organisasi dipimpin oleh pejabat fungsional maka AKN, PKN, Penilai, clan Pelelang dapat berkedudukan di bawah clan bertanggung jawab secara langsung kepada pejabat fungsional yang memimpin Unit Organisasi. (5) Pemetaan kedudukan pejabat fungsional mempertimbangkan kesesuaian tugas clan fungsi serta kesetaraan kelas jabatan antara atasan AKN, PKN, Penilai, clan Pelelang dengan AKN, PKN, Penilai, clan Pelelang berkedudukan. (6) Kedudukan AKN, PKN, Penilai, clan Pelelang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dalam peta jabatan berdasarkan analisis jabatan clan analisis beban kerja yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (7) JF AKN, JF PKN, JF Penilai, clan JF Pelelang merupakan jabatan karier PNS. jdih.kemenkeu.go.id BAB III BIDANG TUGAS, RUANG LINGKUP KEGIATAN, DAN CAKUPAN KEGIATAN Pasal 7 (1) Bidang tugas merupakan tugas yang dapat dilaksanakan oleh pejabat fungsional di Bidang Keuangan Negara berdasarkan fungsi dan peran pengelolaan Keuangan Negara. (2) Ruang lingkup kegiatan merupakan penjelasan rinci dari bidang tugas JF di Bidang Keuangan Negara. (3) Ruang lingkup merupakan penjelasan kompleksitas ruang lingkup kegiatan dari masing-masing jenjang jabatan. (4) Cakupan kegiatan merupakan penjelasan lebih lanjut dari ruang lingkup JF di Bidang Keuangan Negara. (5) Rincian bidang tugas, ruang lingkup kegiatan, ruang lingkup, dan cakupan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) yaitu:
untuk unit kerja di lingkungan Instansi Pembina yang menjalankan fungsi bendahara umum negara sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A;
untuk unit kerja di lingkungan Instansi Pengguna pada Instansi Pusat sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B; dan
untuk unit kerja di lingkungan Instansi Pengguna pada Instansi Daerah sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf C, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (6) Perluasan cakupan kegiatan yang akan dijadikan rujukan dalam penyusunan SKP untuk mencapai tujuan organisasi, dapat dilakukan oleh pimpinan unit kerja JF di Bidang Keuangan Negara berkedudukan dengan memperhatikan kesesuaian bidang tugas dan kompetensi JF. (7) Perluasan cakupan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditetapkan paling rendah oleh pejabat pimpinan tinggi pratama. (8) Penggunaan bidang tugas JF pada Instansi Pengguna selain yang tercantum dalam Lampiran hurufB dan huruf C dapat dilakukan oleh pejabat pimpinan tinggi madya yang membidangi kesekretariatan pada Instansi Pengguna dengan terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari pejabat pimpinan tinggi madya yang membidangi kesekretariatan pada Instansi Pembina. (9) Instansi Pembina dapat melakukan perluasan/penyesuaian ruang lingkup kegiatan dan ruang lingkup setiap jenjang jabatan dengan mempertimbangkan dinamika pengelolaan Keuangan Negara. (10) Dalam hal terdapat tugas fungsi baru di bidang pengelolaan Keuangan Negara yang tidak tercakup dalam salah satu bidang tugas pada JF AKN, JF PKN, JF Penilai, dan JF Pelelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jdih.kemenkeu.go.id Instansi Pembina dapat melakukan penyesuaian tanpa membentuk JF baru. (11) Penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dilakukan dengan terlebih dahulu mengajukan izin kepada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi. BAB IV PENGELOLAAN KINERJA PEJABAT FUNGSIONAL Pasal 8 (1) Pengelolaan kinerja pejabat fungsional terdiri atas:
perencanaan kinerja yang meliputi penetapan dan klarifikasi Ekspektasi;
pelaksanaan, pemantauan, dan pembinaan kinerja yang meliputi pendokumentasian kinerja, pemberian umpan balik berkelanjutan, dan pengembangan kinerja pejabat fungsional;
penilaian kinerja pejabat fungsional yang meliputi evaluasi kinerja pejabat fungsional; dan
tindak lanjut hasil evaluasi kinerja pejabat fungsional yang meliputi pemberian penghargaan dan sanksi. (2) Pengelolaan kinerja pejabat fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berorientasi pada:
pengembangan kinerja pejabat fungsional;
pemenuhan Ekspektasi pimpinan;
dialog kinerja yang intens antara p1mp1nan dan pejabat fungsional;
pencapaian kinerja organisasi; dan
hasil kerja dan perilaku kerja pejabat fungsional. (3) Pengelolaan kinerja pejabat fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan kinerja Pegawai ASN. Pasal 9 (1) Evaluasi kinerja pejabat fungsional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf c dilaksanakan secara periodik maupun tahunan. (2) Evaluasi kinerja periodik pejabat fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan minimal 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun dan ditetapkan dalam predikat kinerja periodik pejabat fungsional. (3) Evaluasi kinerja tahunan pejabat fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam predikat kinerja tahunan pejabat fungsional. (4) Predikat kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) terdiri atas:
sangat baik;
baik;
cukup/butuh perbaikan;
kurang; atau
sangat kurang. (5) Penetapan predikat kinerja dilakukan oleh pejabat penilai kinerja. jdih.kemenkeu.go.id Pasal 10 (1) Predikat kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dikonversikan ke dalam perolehan Angka Kredit tahunan dengan ketentuan sebagai berikut:
sangat baik, ditetapkan nilai kuantitatif sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dari koefisien Angka Kredit tahunan sesuai dengan jenjang JF;
baik, ditetapkan nilai kuantitatif sebesar 100% (seratus persen) dari koefisien Angka Kredit tahunan sesuai dengan jenjang JF;
cukup/butuh perbaikan, ditetapkan nilai kuantitatif sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari koefisien Angka Kredit tahunan sesuai dengan jenjang JF;
kurang, ditetapkan nilai kuantitatif sebesar 50% (lima puluh persen) dari koefisien Angka Kredit tahunan sesuai dengan jenjang JF; dan
sangat kurang, ditetapkan nilai kuantitatif sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari koefisien Angka Kredit tahunan sesuai dengan jenjang JF. (2) Dalam hal pejabat fungsional memperoleh ijazah pendidikan formal yang lebih tinggi dan telah diakui secara kedinasan, diberikan tambahan Angka Kredit sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari Angka Kredit Kumulatif kenaikan pangkat sesuai jenjangnya untuk 1 (satu) kali penilaian. (3) Selama pejabat fungsional melaksanakan tugas di daerah terpencil, berbahaya, rawan, dan/ a tau konflik, dapat diberikan tambahan Angka Kredit sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari Angka Kredit Kumulatif kenaikan pangkat sesuai jenjangnya untuk setiap kenaikan pangkat. (4) Penetapan daerah terpencil, berbahaya, rawan, dan/atau konflik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (5) Tambahan Angka Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) hanya diberikan bagi pejabat fungsional dengan predikat kinerja paling rendah baik. (6) Dalam hal predikat kinerja diperoleh melalui evaluasi kinerja yang dilaksanakan secara periodik maupun tahunan, konversi predikat kinerja ke dalam Angka Kredit dapat dihitung secara proporsional berdasarkan periode penilaian yang berjalan sepanjang terpenuhi Ekspektasi. (7) Konversi predikat kinerja ke dalam Angka Kredit dan penetapan Angka Kredit dilakukan oleh pejabat penilai kinerja dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 11 (1) Penetapan Angka Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (7) bagi JF AKN, JF PKN, JF Penilai, dan JF Pelelang dilakukan berdasarkan konversi predikat kinerja yang diperoleh secara kumulatif pada satu periode kenaikan pangkat dan/atau jenjang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. jdih.kemenkeu.go.id (2) Dalam hal terdapat kebutuhan tertentu, penetapan Angka Kredit bagi JF AKN, JF PKN, JF Penilai, dan JF Pelelang dapat dilakukan di luar periode kenaikan pangkat dan/atau jenjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 12 (1) Angka Kredit hasil konversi predikat kinerja ditetapkan oleh atasan langsung atau pejabat lain yang diberikan pendelegasian kewenangan. (2) Dalam ha! atasan langsung selaku pejabat penilai kinerja berhalangan tetap, maka penetapan Angka Kredit hasil konversi predikat kinerja dilakukan oleh atasan dari pejabat penilai kinerja secara berjenjang. (3) Atasan dari pejabat penilai kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mendelegasikan kewenangan evaluasi kinerja pegawai kepada pelaksana tugas atau pelaksana harian. BABV SERTIFIKASI, KEBUTUHAN JABATAN FUNGSIONAL, PENGANGKATAN, KENAIKAN PANGKAT, KENAIKAN JENJANG, PEMBERHENTIAN DAN PENGANGKATAN KEMBALI, TIM PENILAI KINERJA PNS SERTA PELANTIKAN DAN PENGAMBILAN SUMPAH/JANJI Bagian Kesatu Sertifikasi Pasal 13 Dalam hal pelaksanaan tugas JF di Bidang Keuangan Negara mensyaratkan adanya sertifikat dan/ a tau surat keputusan dari PyB, sertifikasi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Kedua Kebutuhan Jabatan Fungsional Pasal 14 (1) KJF AKN, KJF PKN, KJF Penilai, dan KJF Pelelang ditetapkan berdasarkan jenis JF pada Unit Organisasi Instansi Pembina dan/atau Instansi Pengguna. (2) Perhitungan, pengusulan, dan penetapan KJF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Ketiga Pengangkatan Pasal 15 (1) Pengangkatan PNS dalam JF AKN, JF PKN, JF Penilai, dan JF Pelelang dilakukan melalui:
pengangkatan pertama;
perpindahan dari jabatan lain;
penyesuaian; dan
promos1. jdih.kemenkeu.go.id (2) Pengangkatan PNS ke dalam JF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta mempertimbangkan kebutuhan organisasi dan ketersediaan anggaran. (3) Perpindahan dari kategori keterampilan ke kategori keahlian dalam JF yang sama, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Perpindahan antar kelompok JF dari JF di luar JF AKN, JF PKN, JF Penilai, dan JF Pelelang ke dalam JF AKN, JF PKN, JF Penilai, dan JF Pelelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengangkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan oleh pejabat pimpinan tinggi madya yang membidangi kesekretariatan pada Instansi Pembina untuk dan atas nama Menteri Keuangan. Pasal 16 (1) Perpindahan dalam JF di Bidang Keuangan Negara, terdiri atas:
perpindahan antar JF AKN, JF PKN, JF Penilai, dan JF Pelelang dalam bidang tugas yang sama;
perpindahan antar JF AKN, JF PKN, JF Penilai, dan JF Pelelang dalam bidang tugas yang berbeda; dan
perpindahan antar bidang tugas dalam satu JF yang sama. (2) Perpindahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam keputusan PyB. (3) Perpindahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan memperhatikan ketentuan terkait pola karir dan mutasi yang berlaku pada masing- masing Instansi Pembina dan/ a tau Instansi Pengguna. Bagian Keempat Kenaikan Pangkat Pasal 17 (1) Kenaikan pangkat bagi AKN, PKN, Penilai, dan Pelelang dapat dipertimbangkan apabila capaian Angka Kredit telah memenuhi Angka Kredit Kumulatif yang dipersyaratkan. (2) Dalam ha! AKN, PKN, Penilai, dan Pelelang telah memenuhi Angka Kredit Kumulatif untuk kenaikan pangkat bersamaan dengan kenaikan jenjang, namun belum tersedia lowongan KJF AKN, KJF PKN, KJF Penilai, dan KJF Pelelang pada jenjang jabatan yang akan diduduki, AKN, PKN, Penilai, dan Pelelang dapat diberikan kenaikan pangkat satu tingkat lebih tinggi setelah mengikuti dan lulus Uji Kompetensi. (3) Ketersediaan lowongan KJF sebagaimana dimaksud pada ayat (2), merupakan KJF AKN, KJF PKN, KJF Penilai, dan KJF Pelelang pada 1 (satu) Instansi Pembina dan/atau Instansi Pengguna. jdih.kemenkeu.go.id Bagian Kelima Kenaikan Jenjang Pasal 18 (1) Kenaikan jenjang JF AKN, JF PKN, JF Penilai, dan JF Pelelang dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Kenaikanjenjang JF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari promosi jabatan. Bagian Keenam Pemberhentian dan Pengangkatan Kembali Pasal 19 Pemberhentian dan pengangkatan kembali dalam JF AKN, JF PKN, JF Penilai, dan JF Pelelang dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Ketujuh Tim Penilai Kinerja Pegawai Negeri Sipil Pasal 20 (1) Untuk membantu pelaksanaan tugas PyB, dibentuk Tim Penilai Kinerja PNS. (2) Tim Penilai Kinerja PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk forum koordinasi/pembahasan rencana jabatan target. (3) Ketentuan terkait Tim Penilai Kinerja PNS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Kedelapan Pelantikan dan Pengambilan Sumpah/Janji Pasal 21 (1) Setiap PNS yang diangkat menjadi AKN, PKN, Penilai, dan Pelelang wajib dilantik dan diambil sumpah/janji menurut agama atau kepercayaannya kepada Tuhan Yang MahaEsa. (2) Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB VI ANALISIS JABATAN FUNGSIONAL Pasal 22 (1) Untuk keperluan Analisis Jabatan Fungsional, Instansi Pengguna dapat menyusun uraian jabatan dengan merujuk kepada ruang lingkup kegiatan maupun cakupan kegiatan JF berkenaan sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B dan huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (2) Analisis Jabatan Fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. jdih.kemenkeu.go.id BAB VII UJI KOMPETENSI Pasal 23 (1) Uji Kompetensi terdiri atas:
Manajerial;
Sosial kultural; dan
Teknis. (2) Uji Kompetensi bertujuan untuk menilai kesesuaian kompetensi yang dimiliki pegawai dengan kompetensi jabatan yang dipersyaratkan. (3) Uji Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk pengangkatan JF melalui perpindahan dari jabatan lain dan promosi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Uji Kompetensi Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan untuk pengangkatan JF melalui perpindahan dalam JF di Bidang Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a dan huruf b dilaksanakan paling sedikit melalui penilaian portofolio oleh Instansi Pengguna, dengan mempertimbangkan kebutuhan organisasi. (5) Pengangkatan JF melalui perpindahan dalam JF di Bidang Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c dilakukan tanpa Uji Kompetensi. Pasal 24 (1) Penyelenggaraan Uji Kompetensi Teknis pengangkatan JF melalui:
promos1; untuk b. perpindahan antar kelompok JF dari JF di luar JF di Bidang Keuangan Negara ke dalam JF di Bidang Keuangan Negara; dan
perpindahan dari jabatan pimpinan tinggi dan/atau jabatan administrasi ke dalam JF di Bidang Keuangan Negara, dikoordinasikan oleh unit organisasi pada Instansi Pembina yang ditunjuk menjalankan fungsi pembinaan teknis JF dan pengembangan kompetensi JF di Bidang Keuangan Negara. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kelola penyelenggaraan Uji Kompetensi Teknis JF di Bidang Keuangan Negara ditetapkan oleh pejabat pimpinan tinggi madya yang membidangi fungsi pembinaan teknis JF dan pengembangan kompetensi JF di Bidang Keuangan Negara untuk dan atas nama Menteri Keuangan. BAB VIII PENGELOLAAN DAN PEMBINAAN JABATAN FUNGSIONAL Pasal 25 Fungsi pengelolaan dan pembinaan JF di Bidang Keuangan Negara minimal terdiri atas:
perencanaan JF;
pembinaan JF; dan
pemantauan dan evaluasi JF. jdih.kemenkeu.go.id Pasal 26 (1) Perencanaan JF sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf a merupakan kegiatan analisis kebutuhan penggunaan JF di Bidang Keuangan Negara dalam suatu Unit Organisasi dengan mempertimbangkan arah pengembangan organisasi dan kesesuaian ruang lingkup tugas JF di Bidang Keuangan Negara dengan tugas dan fungsi Unit Organisasi. (2) Pembinaan JF sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf b merupakan kegiatan untuk menjamin terwujudnya standar kualitas dan profesionalitas JF di Bidang Keuangan Negara, serta mengoptimalkan kualitas pengelolaan JF di Bidang Keuangan Negara, yang dilaksanakan oleh:
unit yang melaksanakan fungsi koordinasi pembinaan JF di Bidang Keuangan Negara;
unit yang melaksanakan fungsi pembinaan teknis JF dan pengembangan kompetensi JF di Bidang Keuangan Negara;
unit yang melaksanakan fungsi pembinaan kepegawaian JF; dan
unit yang melaksanakan fungsi konsultansi teknis berdasarkan kepakaran (subject matter expert) dalam pelaksanaan tugas JF di Bidang Keuangan Negara, di lingkungan Kementerian Keuangan. (3) Pemantauan dan evaluasi JF sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf c merupakan kegiatan terpadu yang dilakukan secara berkala dalam rangka memastikan bahwa implementasi JF di Bidang Keuangan Negara dan pelaksanaan tugas pembinaan JF di Bidang Keuangan Negara telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 27 Dalam melaksanakan pengelolaan dan pembinaan JF di Bidang Keuangan Negara di lingkungan Instansi Pengguna, Instansi Pengguna dapat berkoordinasi dengan unit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2). Pasal 28 Ketentuan mengenai pengelolaan dan pembinaan JF di Bidang Keuangan Negara di lingkungan Instansi Pembina ditetapkan oleh pejabat pimpinan tinggi madya yang membidangi kesekretariatan untuk dan atas nama Menteri Keuangan. BAB IX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 29 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
PPK melakukan penyesuaian nomenklatur JF dengan ketentuan sebagai berikut:
JF AKN Ahli Pertama untuk PNS yang menduduki JF: a) Analis Anggaran Ahli Pertama; b) Pemeriksa Pajak Ahli Pertama; c) Penilai Pajak Ahli Pertama; jdih.kemenkeu.go.id d) Pemeriksa Bea dan Cukai Ahli Pertama; e) Analis Perbendaharaan Negara Ahli Pertama; f) Penilai Pemerintah Ahli Pertama; g) Pelelang Ahli Pertama; h) Analis Keuangan Pusat dan Daerah Ahli Pertama; i) Analis Pembiayaan dan Risiko Keuangan Ahli Pertama; dan j) Pembina Profesi Keuangan Ahli Pertama;
JF AKN Ahli Muda untuk PNS yang menduduki JF: a) Analis Anggaran Ahli Muda; b) Pemeriksa Pajak Ahli Muda; c) Penilai Pajak Ahli Muda; d) Pemeriksa Bea dan Cukai Ahli Muda; e) Analis Perbendaharaan Negara Ahli Muda; f) Penilai Pemerintah Ahli Muda; g) Pelelang Ahli Muda; h) Analis Keuangan Pusat dan Daerah Ahli Muda; i) Analis Pembiayaan dan Risiko Keuangan Ahli Muda; dan j) Pembina Profesi Keuangan Ahli Muda;
JF AKN Ahli Madya untuk PNS yang menduduki JF: a) Analis Anggaran Ahli Madya; b) Pemeriksa Pajak Ahli Madya; c) Penilai Pajak Ahli Madya; d) Pemeriksa Bea dan Cukai Ahli Madya; e) Analis Perbendaharaan Negara Ahli Madya; f) Penilai Pemerintah Ahli Madya; g) Pelelang Ahli Madya; h) Analis Keuangan Pusat dan Daerah Ahli Madya; i) Analis Pembiayaan dan Risiko Keuangan Ahli Madya; dan j) Pembina Profesi Keuangan Ahli Madya;
JF AKN Ahli Utama untuk PNS yang menduduki JF: a) Analis Anggaran Ahli Utama; b) Pemeriksa Pajak Ahli Utama; c) Pemeriksa Bea dan Cukai Ahli Utama; d) Analis Perbendaharaan Negara Ahli Utama; e) Penilai Pemerintah Ahli Utama; f) Analis Keuangan Pusat dan Daerah Ahli Utama; g) Analis Pembiayaan dan Risiko Keuangan Ahli Utama; dan h) Pembina Profesi Keuangan Ahli Utama;
JF PKN Ahli Pertama untuk PNS yang menduduki JF: a) Pemeriksa Pajak Ahli Pertama; b) Penyuluh Pajak Ahli Pertama; c) Pemeriksa Bea dan Cukai Ahli Pertama; d) Analis Perbendaharaan Negara Ahli Pertama; dan e) Analis Pengelola Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Ahli Pertama;
JF PKN Ahli Muda untuk PNS yang menduduki JF: a) Pemeriksa Pajak Ahli Muda; b) Penyuluh Pajak Ahli Muda; c) Pemeriksa Bea dan Cukai Ahli Muda; d) Analis Perbendaharaan Negara Ahli Muda; dan e) Analis Pengelola Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Ahli Muda; jdih.kemenkeu.go.id 7. JF PKN Ahli Madya untuk PNS yang menduduki JF: a) Pemeriksa Pajak Ahli Madya; b) Penyuluh Pajak Ahli Madya; c) Pemeriksa Bea dan Cukai Ahli Madya; d) Analis Perbendaharaan Negara Ahli Madya; dan e) Analis Pengelola Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Ahli Madya;
JF Penilai Ahli Pertama untuk PNS yang menduduki JF: a) Penilai Pajak Ahli Pertama; dan b) Penilai Pemerintah Ahli Pertama;
JF Penilai Ahli Muda untuk PNS yang menduduki JF: a) Penilai Pajak Ahli Muda; dan b) Penilai Pemerintah Ahli Muda;
JF Penilai Ahli Madya untuk PNS yang menduduki JF: a) Penilai Pajak Ahli Madya; dan b) Penilai Pemerintah Ahli Madya;
JF Penilai Ahli Utama untuk PNS yang menduduki JF Penilai Pemerintah Ahli Utama;
JF AKN Terampil untuk PNS yang menduduki JF: a) Asisten Pemeriksa Pajak Terampil/Pemeriksa Pajak Terampil; dan b) Asisten Pembina Profesi Keuangan Terampil;
JF AKN Mahir untuk PNS yang menduduki JF: a) Asisten Pemeriksa Pajak Mahir/Pemeriksa Pajak Mahir; dan b) Asisten Pembina Profesi Keuangan Mahir;
JF AKN Penyelia untuk PNS yang menduduki JF: a) Asisten Pemeriksa Pajak Penyelia/Pemeriksa Pajak Penyelia; dan b) Asisten Pembina Profesi Keuangan Penyelia;
JF PKN Terampil untuk PNS yang menduduki JF: a) Asisten Pemeriksa Pajak Terampil/Pemeriksa Pajak Terampil; b) Asisten Penyuluh Pajak Terampil; c) Asisten Pemeriksa Bea dan Cukai Terampil/Pemeriksa Bea dan Cukai Terampil; d) Pembina Teknis Perbendaharaan Negara Terampil; e) Pranata Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Terampil; dan f) Penata Laksana Barang Terampil;
JF PKN Mahir untuk PNS yang menduduki JF: a) Asisten Pemeriksa Pajak Mahir/Pemeriksa Pajak Mahir; b) Asisten Penyuluh Pajak Mahir; c) Asisten Pemeriksa Bea dan Cukai Mahir / Pemeriksa Bea dan Cukai Mahir; d) Pembina Teknis Perbendaharaan Negara Mahir; e) Pranata Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Mahir; dan f) Penata Laksana Barang Mahir;
JF PKN Penyelia untuk PNS yang menduduki JF: a) Asisten Pemeriksa Pajak Penyelia/Pemeriksa Pajak Penyelia; b) Asisten Penyuluh Pajak Penyelia; jdih.kemenkeu.go.id c) Asisten Pemeriksa Bea clan Cukai Penyelia/ Pemeriksa Bea clan Cukai Penyelia; d) Pembina Teknis Perbendaharaan Negara Penyelia; e) Pranata Keuangan Anggaran Pendapatan clan Belanja Negara Penyelia; clan f) Penata Laksana Barang Penyelia;
JF Penilai Terampil untuk PNS yang menduduki JF Asisten Penilai Pajak Terampil;
JF Penilai Mahir untuk PNS yang menduduki JF Asisten Penilai Pajak Mahir; clan 20. JF Penilai Penyelia untuk PNS yang menduduki JF Asisten Penilai Pajak Penyelia, paling lambat tanggal 7 Agustus 2025;
dalam hal terdapat kebutuhan Instansi Pengguna untuk melakukan perubahan nomenklatur selain sebagaimana ditentukan pada huruf a, pejabat pimpinan tinggi madya yang membidangi kesekretariatan pada Instansi Pengguna mengajukan pengusulan perubahan nomenklatur dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini;
pengusulan sebagaimana dimaksud dalam huruf b wajib mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari pejabat pimpinan tinggi madya yang membidangi kesekretariatan pada Instansi Pembina;
pelaksanaan penyesuaian nomenklatur baru JF di Bidang Keuangan Negara sebagaimana dimaksud pada huruf a ditetapkan dengan keputusan pengangkatan dengan mencantumkan Angka Kredit yang telah diperoleh dari JF sebelumnya;
Instansi Pengguna yang telah melaksanakan penyesuaian nomenklatur sebagaimana dimaksud pada huruf d harus menyampaikan laporan hasil penyesuaian nomenklatur dengan melampirkan surat keputusan pengangkatan ke dalam JF di Bidang Keuangan Negara kepada Instansi Pembina paling lambat 1 (satu) bulan sejak dilakukan penyesuaian nomenklatur;
dalam ha! Instansi Pembina dan/atau Instansi Pengguna telah memiliki persetujuan kebutuhan dengan nomenklatur JF Analis Anggaran, JF Analis Keuangan Pusat clan Daerah, JF Analis Pembiayaan clan Risiko Keuangan, JF Analis Pengelola Keuangan Anggaran Pendapatan clan Belanja Negara, JF Pranata Keuangan Anggaran Pendapatan clan Belanja Negara, JF Penata Laksana Barang, JF Penilai Pemerintah, JF Penilai Pajak, JF Asisten Penilai Pajak, JF Penyuluh Pajak, JF Asisten Penyuluh Pajak, JF Pelelang, JF Pemeriksa Pajak, JF Asisten Pemeriksa Pajak/Pemeriksa Pajak kategori keterampilan, JF Pemeriksa Bea clan Cukai, JF Asisten Pemeriksa Bea clan Cukai/ Pemeriksa Bea clan Cukai kategori keterampilan, JF Analis Perbendaharaan Negara, JF Pembina Teknis Perbendaharaan, JF Pembina Profesi Keuangan, clan JF Asisten Pembina Profesi Keuangan, maka Instansi Pembina clan/ a tau Instansi Pengguna tetap dapat melaksanakan pengangkatan dalam JF sesuai dengan nomenklatur berdasarkan persetujuan yang telah jdih.kemenkeu.go.id diberikan, dengan mekanisme sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan paling lambat tanggal 7 Agustus 2025;
kebutuhan JF Analis Anggaran, JF Analis Keuangan Pusat dan Daerah, JF Analis Pembiayaan dan Risiko Keuangan, JF Analis Pengelola Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, JF Pranata Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, JF Penata Laksana Barang, JF Penilai Pemerintah, JF Penilai Pajak, JF sisten Penilai Pajak, JF Penyuluh Pajak, JF Asisten Penyuluh Pajak, JF Pelelang, JF Pemeriksa Pajak, JF Asisten Pemeriksa Pajak/Pemeriksa Pajak kategori keterampilan, Jabatan Fungsional Pemeriksa Bea dan Cukai, JF Asisten Pemeriksa Bea dan Cukai/ Pemeriksa Bea dan Cukai kategori keterampilan, JF Analis Perbendaharaan Negara, JF Pembina Teknis Perbendaharaan, JF Pembina Profesi Keuangan, dan JF Asisten Pembina Profesi Keuangan yang telah mendapatkan persetujuan dari menteri yang membidangi urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi, dinyatakan tetap berlaku paling lambat tanggal 7 Agustus 2025;
kebutuhan JF sebagaimana dimaksud pada huruf g ditetapkan sebagai KJF AKN, KJF PKN, KJF Penilai, dan KJF Pelelang oleh menteri yang membidangi urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan rekomendasi kepada Instansi Pembina;
Uji Kompetensi dapat dilaksanakan dengan mengacu kepada standar kompetensi JF Analis Anggaran, JF Analis Keuangan Pusat dan Daerah, JF Analis Pembiayaan dan Risiko Keuangan, JF Analis Pengelola Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, JF Pranata Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, JF Penata Laksana Barang, JF Penilai Pemerintah, JF Penilai Pajak, JF Asisten Penilai Pajak, JF Penyuluh Pajak, JF Asisten Penyuluh Pajak, JF Pelelang, JF Pemeriksa Pajak, JF Asisten Pemeriksa Pajak/Pemeriksa Pajak kategori keterampilan, JF Pemeriksa Bea dan Cukai, JF Asisten Pemeriksa Bea dan Cukai/ Pemeriksa Bea dan Cukai kategori keterampilan, JF Analis Perbendaharaan Negara, JF Pembina Teknis Perbendaharaan, JF Pembina Profesi Keuangan, dan JF Asisten Pembina Profesi Keuangan yang telah ditetapkan sebelumnya, paling lambat tanggal 7 Agustus 2025; J- dalam hal terdapat PNS yang telah melaksanakan Uji Kompetensi dan/ a tau telah mendapatkan rekomendasi hasil Uji Kompetensi dengan nomenklatur JF Analis Anggaran, JF Analis Keuangan Pusat dan Daerah JF Analis Pembiayaan dan Risiko Keuangan, JF Analis Pengelola Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, JF Pranata Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, JF Penata Laksana Barang, JF Penilai Pemerintah, JF Penilai Pajak, JF Asisten Penilai Pajak, JF Penyuluh Pajak, JF Asisten Penyuluh Pajak, JF Pelelang, jdih.kemenkeu.go.id JF Pemeriksa Pajak, JF Asisten Pemeriksa Pajak/Pemeriksa Pajak kategori keterampilan, JF Pemeriksa Bea dan Cukai, JF Asisten Pemeriksa Bea dan Cukai/Pemeriksa Bea clan Cukai kategori keterampilan, JF Analis Perbendaharaan Negara, JF Pembina Teknis Perbendaharaan, JF Pembina Profesi Keuangan, clan JF Asisten Pembina Profesi Keuangan, tetap dapat dilakukan pengangkatan berdasarkan nomenklatur JF sesua1 rekomendasi basil Uji Kompetensi;
PNS yang menduduki JF sebagaimana dimaksud dalam huruf a dengan pendidikan di bawah kualifikasi pendidikan yang dipersyaratkan tetap dapat melaksanakan tugas JF yang diduduki sesuai jenjang jabatannya; I. PNS sebagaimana dimaksud dalam huruf k harus memiliki kualifikasi pendidikan sesuai dengan syarat jabatan paling lama tanggal 7 Agustus 2027; clan m. dalam ha! PNS sebagaimana dimaksud dalam huruf k tidak memenuhi kualifikasi pendidikan sampai dengan batas waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam huruf I, PNS terse but diberhentikan dari JF. BABX KETENTUAN PENUTUP Pasal 30 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 27 /PMK.01/2014 tentang Pedoman Pembentukan clan Penggunaan Jabatan Fungsional Tertentu di Lingkungan Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 172);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 38/PMK.06/2017 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Pelelang (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 375) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 4/PMK.06/2020 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 38/PMK.06/2017 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Pelelang (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 8);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61/PMK.02/2017 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Analis Anggaran (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 688);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37/PMK.07/2019 Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Analis Keuangan Pusat clan Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 369);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 55/PMK.06/2019 Tahun 2019 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Penata Laksana Barang (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 498);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147 /PMK.03/2019 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Penilai Pajak jdih.kemenkeu.go.id dan Asisten Penilai Pajak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1250);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 148/PMK.05/2019 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Pembina Teknis Perbendaharaan Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1225);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 149/PMK.05/2019 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Analis Perbendaharaan Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1226);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.05/2019 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Analis Pengelolaan Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1227) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.05/2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.05/2019 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Analis Pengelolaan Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 1142); J. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 151/PMK.05/2019 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Pranata Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1228) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 162/PMK.05/2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 151/PMK.05/2019 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Pranata Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 1140);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 58/PMK.03/2021 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Penyuluh Pajak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 639);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 59/PMK.03/2021 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Asisten Penyuluh Pajak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 640);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 195/PMK.06/2021 ten tang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Penilai Pemerintah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1394);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131/PMK.03/2022 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Pemeriksa Pajak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 898); dan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132/PMK.03/2022 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Asisten Pemeriksa Pajak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 899), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. jdih.kemenkeu.go.id Pasal 31 Peraturan Menteri m1 mulai berlaku pada tanggal diundangkan. jdih.kemenkeu.go.id
Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Bersifat Volatil yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan ...
Relevan terhadap
LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2025 TENTANG JENIS DAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERSIFAT VOLATIL YANG BERLAKU PADA KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN JENIS DAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERSIFAT VOLATIL YANG BERLAKU PADA KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SATUAN TARIF (RUPIAH) I. JASA PENGUJIAN LABORATORIUM A. Pengujian Kualitas Air dan Lingkungan pada Seluruh Tahapan Unit Usaha Sektor Kelautan dan Perikanan 1. Biotik a. Fitoplankton dan Zooplankton ( Setting Volume/Displacement Volume ) Per Contoh 20.000,00 b. Identifikasi Fitoplankton sampai Genus Per Contoh 75.000,00 c. Identifikasi Fitoplankton sampai Spesies Per Contoh 100.000,00 d. Identifikasi Zooplankton sampai Genus Per Contoh 75.000,00 e. Identifikasi Zooplankton sampai Spesies Per Contoh 100.000,00 f. Identifikasi Makrobenthos sampai Genus Per Contoh 50.000,00 g. Identifikasi Makrobenthos sampai Spesies Per Contoh 100.000,00 h. Indeks keragaman, keseragaman, dominansi Fitoplankton Per Contoh 70.000,00 i. Indeks keragaman, keseragaman, dominansi Zooplankton Per Contoh 70.000,00 j. Indeks keragaman, keseragaman, dominansi Makrobenthos Per Contoh 50.000,00 k. Analisis isi saluran pencernaan Per Contoh 100.000,00 l. Fekunditas Per Contoh 70.000,00 m. Diameter Telur Per Contoh 35.000,00 n. Taksonomi Ikan Per Contoh 35.000,00 o. Air untuk Penanganan dan/atau Pengolahan Produk Perikanan
Penerbitan dan Penjualan Surat Berharga Syariah Negara Ritel di Pasar Perdana Domestik
Relevan terhadap
Penerbitan SBSN Ritel dapat dilakukan:
secara langsung oleh Pemerintah; atau
melalui Perusahaan Penerbit SBSN.
Kegiatan persiapan dan pelaksanaan dalam rangka penerbitan SBSN Ritel secara langsung oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diselenggarakan oleh Menteri.
Penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko c.q. Direktorat Pembiayaan Syariah.
Kegiatan persiapan dan pelaksanaan dalam rangka penerbitan SBSN Ritel melalui Perusahaan Penerbit SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dibantu oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko c.q. Direktorat Pembiayaan Syariah.
Dalam melaksanakan penerbitan SBSN Ritel sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko c.q. Direktorat Pembiayaan Syariah berkoordinasi dengan satuan kerja di lingkungan Kementerian Keuangan, Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan/atau kementerian/lembaga terkait lainnya.
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN, atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing.
Perusahaan Penerbit SBSN adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan ketentuan Undang-Undang tentang Surat Berharga Syariah Negara untuk melaksanakan kegiatan penerbitan SBSN.
Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
SBSN Ritel adalah SBSN yang dijual oleh Pemerintah kepada investor ritel di pasar perdana domestik.
SBSN Ritel yang Dapat Diperdagangkan adalah SBSN Ritel yang dapat diperjualbelikan di pasar sekunder.
SBSN Ritel yang Tidak Dapat Diperdagangkan adalah SBSN Ritel yang tidak dapat diperjualbelikan di pasar sekunder.
Pasar Perdana Domestik adalah kegiatan penawaran dan/atau penjualan SBSN Ritel yang dilakukan untuk pertama kali di wilayah Negara Republik Indonesia.
Investor Ritel adalah individu atau orang perseorangan sebagaimana tertuang dalam memorandum informasi SBSN Ritel maupun dalam ketentuan dan persyaratan SBSN yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko yang selanjutnya disebut Direktur Jenderal adalah pimpinan unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang membidangi urusan pengelolaan pembiayaan dan risiko.
Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara Anggaran Pengelolaan Utang (BA 999.01) yang selanjutnya disebut KPA adalah pejabat pada Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko yang memperoleh penugasan dari Menteri untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan anggaran utang yang berasal dari Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Pengelolaan Utang.
Pejabat Pembuat Komitmen Bagian Anggaran Pengelolaan Utang (BA 999.01) dalam rangka Penjualan SBSN kepada Investor Ritel di Pasar Perdana Domestik yang selanjutnya disebut PPK adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh KPA untuk mengambil keputusan dan/atau melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja negara pengelolaan utang atas pelaksanaan penjualan SBSN.
Mitra Distribusi adalah pihak yang membantu Pemerintah dalam pemasaran, penawaran, dan/atau penjualan SBSN Ritel.
Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perbankan.
Perusahaan Efek adalah perusahaan efek sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai pasar modal yang melakukan kegiatan usaha sebagai penjamin emisi efek, perantara pedagang efek, dan/atau manajer investasi.
Perusahaan Financial Technology yang selanjutnya disebut Perusahaan Fintech adalah badan hukum Indonesia yang menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan jasa keuangan berbasis teknologi informasi.
Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang selanjutnya disingkat PPMSE adalah pelaku usaha penyedia sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan.
Perantara Pedagang Efek untuk Efek Bersifat Utang dan Sukuk yang selanjutnya disingkat PPE-EBUS adalah pihak yang melakukan kegiatan usaha jual beli efek bersifat utang dan sukuk untuk kepentingan sendiri dan/atau nasabahnya sebagaimana diatur dalam peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai perantara pedagang efek untuk efek bersifat utang dan sukuk.
Konsultan Hukum adalah pihak yang ditunjuk untuk memberikan pendapat hukum dan membantu penyusunan dokumen hukum maupun dokumen transaksi lainnya dalam rangka penerbitan SBSN Ritel.
Aset SBSN adalah objek pembiayaan SBSN dan/atau barang milik negara yang memiliki nilai ekonomis, berupa tanah dan/atau bangunan maupun selain tanah dan/atau bangunan, yang dalam rangka penerbitan SBSN dijadikan sebagai dasar penerbitan SBSN.
Akad adalah perjanjian tertulis yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Imbalan adalah pembayaran yang dapat berupa sewa, bagi hasil atau margin, atau bentuk pembayaran lainnya sesuai dengan Akad penerbitan SBSN Ritel, yang diberikan kepada pemegang SBSN Ritel sampai dengan berakhirnya periode SBSN Ritel.
Nomor Tunggal Identitas Pemodal ( Single Investor Identification ) yang selanjutnya disebut SID adalah kode tunggal dan khusus yang diterbitkan oleh PT Kustodian Sentral Efek Indonesia selaku lembaga penyimpanan dan penyelesaian.
Pemesanan Pembelian adalah pengajuan pemesanan pembelian SBSN Ritel oleh Investor Ritel di Pasar Perdana Domestik.
Memorandum Informasi adalah informasi tertulis kepada publik mengenai penawaran SBSN Ritel yang ditujukan untuk Investor Ritel.
Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan informasi elektronik yang disediakan oleh Kementerian Keuangan dan Mitra Distribusi.
Keadaan Kahar adalah suatu kejadian yang terjadi di luar kemampuan dan kendali manusia, tidak dapat dihindarkan, dapat berupa bencana alam, kebakaran, banjir, pemogokan umum, perang (dinyatakan atau tidak dinyatakan), pemberontakan, revolusi, makar, huru-hara, terorisme, wabah/epidemi, dan diketahui secara luas yang mengakibatkan gangguan atau kerusakan pada perangkat keras, perangkat lunak, jaringan komunikasi, maupun sarana pendukung teknologi informasi termasuk sumber daya yang mengoperasikan teknologi informasi.
Setelmen adalah penyelesaian transaksi dalam rangka penjualan SBSN Ritel, yang terdiri dari setelmen dana dan setelmen kepemilikan SBSN.
Hari Kerja adalah hari operasional sistem pembayaran terkait penatausahaan surat berharga negara yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2025
Relevan terhadap
4L 42 43 44 45 46 48 47 49 50 5l 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 o60 063 0,64 065 066 o67 068 075 074 076 077 078 088 o89 090 092 093 095 100 103 o83 084 085 086 o87 KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN LEMBAGA KEIAHANAN NASIONAL BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL BADAN NARKOTIKA NASIONAL KEMENTERIAN DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL DAN TRANSMIGRASI BADAN KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA BERENCANA NASIONAL KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSlA BADAN METEOROI.OGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA KOMISI PEMILIHAN UMUM MAHKAMAH KONSTITUSI RI PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN BADAN INFORMASI GEOSPASIAL BADAN STANDARDISASI NASIONAL BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN KEMENTERIAN PERDAGANGAN KEMENTERIAN PEMUDA DAN OL,AH RAGA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DEWAN PERWAKII,AN DAERAH KOMISI YUDISIAL RI BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA 126.620.300.810 2.560.935.743 ra7.o75.a4a 681.880.285 2.455.081.387 2.314.806.849 4.400.176.544 t60.523.737 2.826.897.302 3.062.3tt.327 6t1.477.O78 354.560.O77 352.289.126 223.867.r2r 156.725.426 328.488.668 293.795.636 79A342.99L 2.473.743.926 1.853.277.5t6 2.330.383.940 L.237.441.326 1.303.654.261 184.526.343 7.427.574.663 65
Pasal 18 Ayat (1) Kenaikan PNBP sumber daya alam yang dibagihasilkan dan diperhitungkan dengan persentase tertentu atas peningkatan belanja subsidi energi dan/atau kompensasi, tidak dibagihasilkan ke daerah dan tidak diperhitungkan sebagai kurang bayar DBH. Ayat (2) Cukup ^jelas. Pasal 19 Cukup ^jelas. Pasal 2O Ayat (1) Huruf a Perubahan anggaran belanja yang bersumber dari PNBP yang merupakan pengguna€rn PNBP melebihi target yang telah ditetapkan, dilakukan analisis kebutuhan riil kementerian / lembaga oleh Kementerian Keuangan dengan memperhatikan fleksibilitas instansi pemerintah yang menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. Dalam hal realisasi PNBP yang melampaui target penerimaan dalam APBN, dapat digunakan untuk belanja dengan ketentuan sebagai berikut: 1. digunakan untuk belanja kementerian / lembaga tertentu paling tinggi sebesar 7,5% (tujuh koma lima persen) dari tambahan realisasi penerimaan PNBP dalam APBN; atau 2. digunakan untuk belanja kementerian/ lembaga tertentu lebih dari 7,5% (tqjuh koma lima persen) dari tambahan realisasi penerimaan PNBP dalam APBN, setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Ralqfat dalam hal ini Badan Anggaran Dewan Perwakilan Ralyat. Ketentuan tersebut di atas dikecualikan untuk PNBP yang diperoleh dari: a. layanan yang membutuhkan biaya untuk pelaksanaan layanan berkenaan, sehingga dapat diberikan sesuai kebutuhan, antara lain: untuk penyelenggaraan pendidikan, kesehatan, penelitian, pengujian laboratorium, pengujian dalam rangka sertifikasi, advis teknis, penilaian, pelatihan, dan diklat kepemimpinan;
Ayat (2) Pelaksanaan transaksi Lindung Nilai dilaporkan Pemerintah dalam laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2025. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Kewajiban yang timbul dari transaksi Lindung Nilai bukan merupakan kerugian keuangan negara karena ditujukan untuk melindungi pembayaran bunga utang dan pengeluaran cicilan pokok utang dari risiko fluktuasi mata uang dan tingkat bunga. Selain itu, transaksi Lindung Nilai tidak ditujukan untuk spekulasi mendapatkan keuntungan. Ayat (5) Cukup ^jelas. Pasal 4O Laporan paling sedikit memuat capaian sasaran program prioritas nasional yang mengaitkan indikator kementerian /lembaga, program, dan anggarannya. Pasal 4l Ayat (1) Yang dimaksud dengan "keadaan darurat" adalah memburuknya kondisi ekonomi makro dan keuangan yang menyebabkan fungsi dan peran APBN tidak dapat bedalan secara efektjf dan efisien, antara lain: a. proyeksi pertumbuhan ekonomi di bawah asumsi dan deviasi asumsi dasar ekonomi malro lainnya secara signifikan; b. proyeksi penurunan pendapatan negara dan/atau meningkatnya belanja negara secara signilikan; dan/atau c. kenaikan biaya utang, khususnya imbal hasil SBN secara signifikan. Ayat (2) Cukup ^jelas.
Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pengelola Dana Pendidikan
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2020 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan ...
Tata Kelola Pengawasan Intern di Lingkungan Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
Inspektorat Jenderal harus menyusun rencana strategis dengan mengacu pada rencana strategis Kementerian Keuangan dan memperhatikan rencana strategis Unit Organisasi.
Rencana strategis Inspektorat Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijabarkan dalam perencanaan tahunan yang memuat kebijakan dan program kerja Pengawasan Intern.
Penyusunan perencanaan tahunan Inspektorat Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada:
amanat dalam ketentuan perundang-undangan;
arahan pimpinan Kementerian Keuangan;
profil risiko yang dihasilkan dari proses manajemen risiko Unit Organisasi dan Kementerian Keuangan;
permasalahan yang berkembang di masyarakat;
hasil pemeriksaan BPK dan pengawasan BPKP; dan
hal lain yang berkaitan dengan risiko Kementerian Keuangan.
Perencanaan tahunan yang telah disahkan oleh Inspektur Jenderal disampaikan kepada Menteri Keuangan untuk mendapatkan persetujuan.
Inspektorat Jenderal mengomunikasikan perencanaan tahunan yang telah mendapatkan persetujuan Menteri Keuangan kepada Unit Organisasi.
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Pengawasan Intern adalah kegiatan yang independen dan objektif dalam bentuk pemberian keyakinan/asurans (assurance activities) dan konsultansi (consulting activities) , yang dirancang untuk memberi nilai tambah dan meningkatkan efektivitas dari proses tata kelola, manajemen risiko, dan pengendalian intern.
Piagam Pengawasan Intern adalah dokumen yang menyatakan penegasan komitmen dari pimpinan Kementerian Keuangan terhadap arti pentingnya fungsi Pengawasan Intern di lingkungan Kementerian Keuangan.
Komite Audit adalah komite pengawasan independen ( oversight committee ) yang dibentuk dengan penugasan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Tim Pengawasan adalah tim yang ditunjuk dengan surat tugas Pimpinan Inspektorat Jenderal untuk melaksanakan Pengawasan Intern.
Unit Organisasi adalah unit Eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan dan unit organisasi non Eselon yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Keuangan.
Klien Pengawasan (Auditi) yang selanjutnya disebut Klien Pengawasan adalah Unit Organisasi yang menjadi objek pelaksanaan Pengawasan Intern oleh Inspektorat Jenderal.
Peta Kegiatan Asurans ( Assurance Map ) yang selanjutnya disebut Peta Asurans adalah instrumen untuk menyajikan secara visual seluruh aktivitas pemberi jasa asurans, baik internal maupun eksternal, yang dapat digunakan untuk melaksanakan koordinasi dan/atau menghindari duplikasi pengawasan.
Aparat Pengawasan Intern Pemerintah yang selanjutnya disingkat APIP adalah Instansi Pemerintah yang dibentuk dengan tugas melaksanakan Pengawasan Intern di lingkungan pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah.
Pihak Terkait Lainnya adalah lembaga yang terkait dengan kegiatan Pengawasan Intern seperti Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Komisi Pengawas Perpajakan, dan Ombudsman Republik Indonesia.
Unit Kepatuhan Internal yang selanjutnya disingkat UKI adalah unit kerja pada setiap tingkatan Unit Organisasi yang menyelenggarakan fungsi kepatuhan internal sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai organisasi dan tata kerja Kementerian Keuangan.
Badan Pemeriksa Keuangan yang selanjutnya disingkat BPK adalah lembaga negara yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan yang selanjutnya disingkat BPKP adalah APIP yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Aparat Penegak Hukum yang selanjutnya disingkat APH adalah lembaga atau badan yang mendapat wewenang untuk melakukan fungsi penegakan hukum berdasarkan amanat peraturan perundang-undangan.
Keadaan Memaksa ( Force Majeur ) yang selanjutnya disebut Force Majeur adalah suatu keadaan yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya atau di luar kendali yang wajar seperti peperangan, kerusuhan, revolusi, bencana alam/non alam, pemogokan, kebakaran dan gangguan lainnya.
Satuan Pengawasan Intern Badan Layanan Umum yang selanjutnya disingkat SPI BLU adalah satuan kerja badan layanan umum yang menjalankan fungsi Pengawasan Intern badan layanan umum di lingkungan Kementerian Keuangan.
Tata Cara Pemberian Penjaminan Pemerintah Dalam Rangka Penyelenggaraan Cadangan Pangan Pemerintah
Relevan terhadap
Terhadap permohonan Penjaminan Pemerintah yang disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dilakukan evaluasi oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dalam hal ini Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara dengan berkoordinasi dengan unit terkait lainnya di lingkungan Kementerian Keuangan.
Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara melakukan evaluasi atas permohonan Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersama dengan Badan Usaha Penjaminan.
Dalam melakukan evaluasi bersama dengan Badan Usaha Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara dapat meminta konfirmasi kapasitas penjaminan Badan Usaha Penjaminan.
Badan Usaha Penjaminan menyampaikan konfirmasi atas kapasitas penjaminan Badan Usaha Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah diterimanya permintaan konfirmasi dari Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara.
Evaluasi dilakukan sejak permohonan Penjaminan Pemerintah dan seluruh lampiran yang menjadi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3), telah diterima secara lengkap dan benar oleh Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara.
Evaluasi dilakukan dengan cara:
memeriksa kelengkapan dokumen beserta seluruh lampirannya;
memeriksa informasi terkait:
peruntukan Pinjaman; dan
kelayakan penugasan Penyelenggara CPP, c. melakukan verifikasi terhadap syarat dan ketentuan (terms and conditions ) di dalam rancangan perjanjian Pinjaman; dan
dalam hal Pinjaman diperuntukkan bagi kegiatan investasi, pemeriksaan dilakukan terhadap studi kelayakan yang terdiri atas:
aspek teknis sehubungan dengan dapat tidaknya kegiatan investasi dilaksanakan dari sisi teknis;
manfaat ekonomi dari kegiatan investasi, yang dicerminkan dari manfaat langsung maupun tidak langsung kegiatan investasi terhadap masyarakat dan/atau terhadap fiskal (APBN);
manfaat keuangan yang dicerminkan oleh penurunan biaya dan/atau peningkatan laba dari Pemohon Jaminan; dan
dokumen mengenai analisis dampak lingkungan dan sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara mempertimbangkan Batas Maksimal Penjaminan.
Dalam rangka pelaksanaan evaluasi, Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara dapat meminta keterangan atau penjelasan dari Pemohon Jaminan.
Dalam rangka pelaksanaan evaluasi, Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara menggunakan pinjaman Pemerintah dan/atau pinjaman BUMN yang mendapatkan Penjaminan Pemerintah sebagai pembanding untuk menilai kewajaran syarat dan ketentuan (terms and conditions ) Pinjaman yang dijamin.
Syarat dan ketentuan (terms and conditions ) yang diperbandingkan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) meliputi:
harga ( pricing ) Pinjaman;
jangka waktu Pinjaman; dan
syarat dan ketentuan (terms and conditions ) Pinjaman lainnya.
Hasil evaluasi atas permohonan Penjaminan Pemerintah dituangkan dalam berita acara evaluasi dan dilaporkan kepada Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko.
Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (11), Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko menyampaikan rekomendasi kepada Menteri untuk dapat memberikan persetujuan atau penolakan atas:
syarat dan ketentuan (terms and conditions ) perjanjian Pinjaman; dan
usulan pihak yang akan melakukan penjaminan.
Usulan pihak yang akan melakukan penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (12) huruf b terdiri atas:
Pemerintah;
Pemerintah bersama dengan Badan Usaha Penjaminan; atau
Badan Usaha Penjaminan.
Dalam hal Pinjaman yang diajukan oleh Penyelenggara CPP diberikan subsidi, tingkat suku bunga yang dikenakan oleh Pemberi Pinjaman sebelum diberikan subsidi merupakan tingkat suku bunga yang telah disetujui oleh Pemerintah berdasarkan persetujuan syarat dan ketentuan (terms and conditions ) Pinjaman.
Pemohon Jaminan menyampaikan permohonan penerbitan surat jaminan kepada Menteri dalam hal ini Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dengan melampirkan:
perjanjian Pinjaman yang telah ditandatangani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3); dan
dokumen rencana mitigasi risiko.
Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara melakukan penelaahan untuk melihat kesesuaian antara syarat dan ketentuan ( terms and conditions) perjanjian Pinjaman yang telah ditandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dengan syarat dan ketentuan ( terms and conditions) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (12) huruf a, berkoordinasi dengan unit terkait di lingkungan Kementerian Keuangan.
Dalam melakukan penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara dapat melibatkan Badan Usaha Penjaminan.
Dokumen rencana mitigasi risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b memuat ketentuan minimal mengenai:
peta risiko;
langkah-langkah mitigasi risiko baik terkait risiko korporasi maupun risiko program; dan
upaya terbaik Terjamin untuk memenuhi pembayaran Pinjaman.
Dokumen rencana mitigasi risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilampiri surat pernyataan yang ditandatangani oleh direksi Terjamin mengenai kesanggupan Terjamin untuk:
melakukan pemantauan terhadap risiko gagal bayar bersama dengan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dalam hal ini Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara dan/atau Badan Usaha Penjaminan; dan
menandatangani perjanjian penyelesaian Regres dan membayar utang Regres kepada Badan Usaha Penjaminan dan/atau Pemerintah.
Dalam hal Badan Usaha Penjaminan telah melaksanakan kewajibannya selaku Penjamin kepada Penerima Jaminan berdasarkan surat jaminan, Terjamin harus memenuhi Regres.
Pemenuhan Regres oleh Terjamin kepada Badan Usaha Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan secara bertahap atau sekaligus sesuai dengan kemampuan keuangan Terjamin.
Badan Usaha Penjaminan menyampaikan surat pemberitahuan Regres kepada Terjamin pada saat atau segera setelah Regres timbul dengan tembusan kepada Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang BUMN atau Kepala Badan.
Setelah surat pemberitahuan Regres disampaikan kepada Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang BUMN atau Kepala Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Badan Usaha Penjaminan dan Terjamin menuangkan kesepakatan mengenai penyelesaian Regres dengan pembayaran secara bertahap atau sekaligus ke dalam perjanjian penyelesaian Regres yang ditandatangani oleh wakil yang sah dari kedua belah pihak.
Dalam perjanjian penyelesaian Regres sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Terjamin menyatakan dan menyepakati minimal hal-hal sebagai berikut:
pengakuan berutang Terjamin kepada Badan Usaha Penjaminan sebagai akibat dari timbulnya Regres;
jumlah utang yang wajib dibayar Terjamin kepada Badan Usaha Penjaminan;
tingkat bunga;
tahapan pembayaran yang disanggupi Terjamin untuk membayar utangnya kepada Badan Usaha Penjaminan hingga lunas; dan
mekanisme pembayaran yang disetujui untuk melaksanakan tahapan pembayaran sebagaimana dimaksud pada huruf d.
Kesepakatan mengenai hal-hal yang perlu diatur dalam perjanjian penyelesaian Regres sebagaimana diatur pada ayat (5) dilakukan paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah pembayaran klaim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17.
Badan Usaha Penjaminan dan Terjamin yang memiliki utang Regres melaporkan kesepakatan mengenai penyelesaian utang yang dituangkan dalam perjanjian penyelesaian Regres kepada Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang BUMN atau Kepala Badan.
Menteri dalam hal ini Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko melakukan pemantauan terhadap penyelesaian Regres, dan melakukan koordinasi dengan Kementerian BUMN atau Kepala Badan untuk memastikan agar penyelesaian Regres sebagaimana tertuang dalam perjanjian penyelesaian Regres dapat diselesaikan oleh Terjamin.
Organisasi dan Tata Kerja Balai Laboratorium Bea dan Cukai
Relevan terhadap
Subbagian Umum dan Kepatuhan Internal mempunyai tugas melakukan urusan tata usaha, kearsipan, rumah tangga, sumber daya manusia, keuangan, dan pengelolaan kinerja dan risiko, komunikasi publik, pemantauan tindak lanjut hasil pemeriksaan, pengendalian intern, serta kepatuhan terhadap kode etik dan disiplin.
Seksi Teknis Laboratorium mempunyai tugas melakukan pelaksanaan asistensi teknis dan pengujian barang secara laboratoris dan/atau identifikasi barang, serta pengelolaan, pemeliharaan, perawatan sarana laboratorium, dan perencanaan pengadaan peralatan khusus yang berkaitan dengan pengujian barang secara laboratoris dan/atau identifikasi barang.
Seksi Penjaminan Mutu Laboratorium mempunyai tugas melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi atas sistem manajemen laboratorium berdasarkan standar internasional, pelaksanaan standardisasi dan pembakuan metode pengujian barang, pelaksanaan pengendalian mutu pengujian barang, pelaksanaan analisis hasil dan/atau metode atas pengujian barang, pelaksanaan pengembangan metode pengujian dan/atau identifikasi barang, serta penyiapan pelaksanaan kerja sama dengan lembaga nasional dan/atau internasional di bidang pengujian barang secara laboratoris dan/atau identifikasi barang di bidang kepabeanan dan cukai.
Subbagian Umum dan Kepatuhan Internal mempunyai tugas melakukan urusan tata usaha, kearsipan, rumah tangga, sumber daya manusia, keuangan, dan pengelolaan kinerja dan risiko, komunikasi publik, pemantauan tindak lanjut hasil pemeriksaan, pengendalian intern, serta kepatuhan terhadap kode etik dan disiplin.
Seksi Teknis Laboratorium mempunyai tugas melakukan pelaksanaan asistensi teknis dan pengujian barang secara laboratoris dan/atau identifikasi barang, serta pengelolaan, pemeliharaan, perawatan sarana laboratorium, dan perencanaan pengadaan peralatan khusus yang berkaitan dengan pengujian barang secara laboratoris dan/atau identifikasi barang.
Seksi Penjaminan Mutu Laboratorium mempunyai tugas melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi atas sistem manajemen laboratorium berdasarkan standar internasional, pelaksanaan standardisasi dan pembakuan metode pengujian barang, pelaksanaan pengendalian mutu pengujian barang, pelaksanaan analisis hasil dan/atau metode atas pengujian barang, pelaksanaan pengembangan metode pengujian dan/atau identifikasi barang, serta penyiapan pelaksanaan kerja sama dengan lembaga nasional dan/atau internasional di bidang pengujian barang secara laboratoris dan/atau identifikasi barang di bidang kepabeanan dan cukai.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Balai Laboratorium Bea dan Cukai menyelenggarakan fungsi:
pelaksanaan pengujian barang secara laboratoris dan/atau identifikasi barang di bidang kepabeanan dan cukai;
pelaksanaan asistensi teknis terkait pengujian barang secara laboratoris dan/atau identifikasi barang di lingkungan Direktorat Jenderal;
pengelolaan, pemeliharaan, perawatan sarana laboratorium, serta perencanaan pengadaan peralatan khusus yang berkaitan dengan pengujian barang secara laboratoris dan/atau identifikasi barang di lingkungan Balai Laboratorium Bea dan Cukai;
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi atas sistem manajemen laboratorium berdasarkan standar internasional di lingkungan Balai Laboratorium Bea dan Cukai;
pelaksanaan standardisasi dan pembakuan metode pengujian barang secara laboratoris dan/atau identifikasi barang di lingkungan Balai Laboratorium Bea dan Cukai;
pelaksanaan pengendalian mutu pengujian barang secara laboratoris dan/atau identifikasi barang di lingkungan Balai Laboratorium Bea dan Cukai;
pelaksanaan analisis hasil dan/atau metode atas pengujian barang secara laboratoris dan/atau identifikasi barang di bidang kepabeanan dan cukai;
pelaksanaan pengembangan metode pengujian dan/atau identifikasi barang di bidang kepabeanan dan cukai;
penyiapan pelaksanaan kerja sama dengan lembaga nasional dan/atau internasional di bidang pengujian barang secara laboratoris dan/atau identifikasi barang di bidang kepabeanan dan cukai;
pemantauan tindak lanjut hasil pemeriksaan, pengendalian intern, dan kepatuhan terhadap kode etik dan disiplin di lingkungan Balai Laboratorium Bea dan Cukai; dan
pelaksanaan urusan tata usaha, kearsipan, rumah tangga, sumber daya manusia, keuangan, dan pengelolaan kinerja dan risiko, dan komunikasi publik Balai Laboratorium Bea dan Cukai.
Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Penjaminan Pemerintah untuk Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta dan Bandung ...
Relevan terhadap
Menetapkan PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PEMBERIAN PENJAMINAN PEMERINTAH UNTUK PERCEPATAN PENYELENGGARAAN PRASARANA DAN SARANA KERETA CEPAT ANTARA JAKARTA DAN BANDUNG. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Penjaminan Pemerintah adalah penjaminan yang diberikan untuk dan atas nama pemerintah oleh menteri keuangan baik secara langsung atau secara bersama dengan badan usaha penjaminan infrastruktur yang ditunjuk sebagai penjamin atas pemenuhan kewajiban finansial terjamin kepada penerima jaminan dalam rangka percepatan penyelenggaraan prasarana dan sarana kereta cepat antara Jakarta dan Bandung. 2. Komite Kereta Cepat antara Jakarta dan Bandung yang selanjutnya disebut Komite adalah komite yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden mengenai percepatan penyelenggaraan prasarana dan sarana kereta cepat antara Jakarta dan Bandung. 3. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 4. PT Kereta Api Indonesia (Persero) yang selanjutnya disingkat PT KAI adalah Perusahaan Perseroan (Persero) yang mendapatkan penugasan dari Pemerintah sebagai pimpinan konsorsium badan usaha milik negara dalam rangka percepatan penyelenggaraan prasarana dan sarana kereta cepat antara Jakarta dan Bandung sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Presiden mengenai percepatan penyelenggaraan prasarana dan sarana kereta cepat antara Jakarta dan Bandung. 5. Menteri Keuangan yang selanjutnya disebut Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. 6. Pinjaman PT KAI yang selanjutnya disebut Pinjaman adalah setiap pembiayaan dari kreditur berupa sejumlah uang atau jdih.kemenkeu.go.id tagihan yang dipersamakan dengan itu yang menimbulkan kewajiban finansial berdasarkan Perjanjian Pinjaman. 7. Kreditur adalah lembaga keuangan internasional dan/atau domestik yang memberikan fasilitas Pinjaman kepada PT KAI dalam rangka pendanaan kenaikan dan/atau perubahan biaya ( cost overrun) proyek kereta cepat antara Jakarta dan Bandung. 8. Perjanjian Pinjaman adalah perjanjian yang dibuat antara PT KAI dan Kreditur dalam rangka memperoleh Pinjaman untuk pendanaan kenaikan dan/atau perubahan biaya (cost overrun) proyek kereta cepat antara Jakarta dan Bandung. 9. Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur yang selanjutnya disingkat BUPI adalah PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero). 10. Penjamin adalah Pemerintah atau Pemerintah bersama BUPI. 11. Perno hon J aminan adalah PT KAI yang mengajukan permohonan untuk mendapatkan Penjaminan Pemerintah. 12. Terjamin adalah PT KAI yang mendapatkan Penjaminan Pemerintah. 13. Penerima Jaminan adalah Kreditur. 14. Imbal Jasa Penjaminan yang selanjutnya disingkat IJP adalah sejumlah uang yang diterima oleh BUPI dalam rangka kegiatan penjaminan. 15. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. 16. Regres adalah hak Penjamin untuk menagih Terjamin atas apa yang telah dibayarkan oleh Penjamin kepada Penerima Jaminan untuk memenuhi kewajiban Terjamin tersebut. 17. Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari pengguna anggaran untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada bendahara umum negara. 18. Batas Maksimal Penjaminan adalah nilai maksimal yang diperkenankan dalam penerbitan penjaminan terhadap Pinjaman yang diusulkan untuk memperoleh penjaminan pada tahun tertentu. 19. First Loss adalah besaran porsi penjaminan dari BUPI yang mendapat penugasan untuk melakukan Penjaminan Pemerintah. Pasal 2 Penjaminan Pemerintah untuk percepatan penyelenggaraan prasarana dan sarana kereta cepat antara Jakarta dan Bandung dalam Peraturan Menteri ini disediakan dalam rangka memperoleh pendanaan atas kenaikan dan/atau perubahan biaya (cost overrun) sesuai dengan hasil keputusan Komite. Pasal 3 Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diberikan dengan mempertimbangkan prinsip sebagai berikut:
kemampuan keuangan negara; jdih.kemenkeu.go.id b. kesinambungan fiskal; dan
pengelolaan risiko fiskal. Pasal 4 (1) Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diberikan atas keseluruhan dari kewajiban finansial PT KAI terhadap Kreditur berdasarkan Perjanjian Pinjaman. (2) Kewajiban finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
pokok Pinjaman;
bunga Pinjaman; dan/atau
biaya lain yang timbul, sehubungan dengan Perjanjian Pinjaman. BAB II TATA CARA PENJAMINAN PEMERINTAH Bagian Kesatu Permohonan Jaminan Pasal 5 (1) Pemohon Jaminan mengajukan permohonan Penjaminan Pemerintah kepada Menteri dalam hal ini Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko. (2) Permohonan Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan setelah adanya keputusan Komite. (3) Permohonan Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat keterangan minimal:
keputusan Komite mengenai pemberian dukungan berupa Penjaminan Pemerintah kepada PT KAI untuk mengatasi masalah kenaikan dan/atau perubahan biaya (cost overrun) proyek kereta cepat antara Jakarta dan Bandung;
alasan diperlukannya Penjaminan Pemerintah;
nilai Pinjaman yang akan dijamin oleh Pemerintah;
calon Kreditur; dan
pernyataan mengenai kebenaran atas segala informasi, keterangan, dan/atau pernyataan yang termuat dalam dokumen permohonan Penjaminan Pemerintah. (4) Permohonan Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan dengan melampirkan minimal:
surat keputusan Komite mengenai pemberian dukungan berupa Penjaminan Pemerintah kepada PT KAI untuk mengatasi masalah kenaikan dan/ a tau perubahan biaya ( cost overrun) proyek kereta cepat antara Jakarta dan Bandung;
surat pernyataan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang badan usaha milik negara, yang memuat:
persetujuan penerimaan Pinjaman dengan Penjaminan Pemerintah; dan jdih.kemenkeu.go.id 2. pernyataan mengenai kemampuan keuangan dan kemampuan bayar PT KAI atas kewajiban finansial yang timbul dari proyek kereta cepat antara Jakarta dan Bandung;
surat pernyataan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan yang menyatakan dukungan kepada PT KAI terkait kebijakan sektor perkeretaapian;
rencana peruntukan pendanaan melalui Pinjaman;
rancangan final Perjanjian Pinjaman;
profil calon Kreditur;
surat yang disampaikan oleh calon Kreditur yang memuat harga Pinjaman serta syarat dan ketentuan (terms and conditions) Pinjaman;
rencana sumber dana pelunasan Pinjaman;
laporan keuangan 3 (tiga) tahun terakhir yang telah diaudit oleh auditor independen;
proyeksi keuangan PT KAI sampa1 dengan masa Pinjaman berakhir;
proyeksi keuangan proyek kereta cepat antara Jakarta dan Bandung;
rancangan dokumen rencana mitigasi risiko gagal bayar;
persetujuan organ perusahaan Pemohon Jaminan sesuai dengan anggaran dasar mengena1 rencana Pinjaman; dan
surat pertanggungjawaban mutlak atas kesesuaian penggunaan Pinjaman yang ditandatangani oleh direktur utama PT KAI. Bagian Kedua Evaluasi Permohonan Jaminan Pasal 6 (1) Terhadap permohonan Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dilakukan evaluasi oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dalam hal ini Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara dengan berkoordinasi dengan unit terkait lainnya di lingkungan Kementerian Keuangan. (2) Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara melakukan evaluasi atas permohonan Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersama dengan BUPI. (3) Dalam melakukan evaluasi bersama dengan BUPI sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara dapat meminta konfirmasi kapasitas penjaminan BUPI. (4) BUPI menyampaikan konfirmasi atas kapasitas penjaminan BUPI sebagaimana dimaksud pada ayat (3), paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah diterimanya permintaan konfirmasi dari Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara. (5) Evaluasi dilakukan sejak permohonan Penjaminan Pemerintah dan seluruh lampiran yang menjadi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) jdih.kemenkeu.go.id dan ayat (4), telah diterima secara lengkap dan benar oleh Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara. (6) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara:
memeriksa kelengkapan dokumen dan informasi yang tersedia dalam permohonan Penjaminan Pemerintah beserta seluruh lampirannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5;
memverifikasi atas kesesuaian dokumen permohonan Penjaminan Pemerintah dengan hasil keputusan Komite; dan
memverifikasi terhadap syarat dan ketentuan (tenns and conditions) di dalam rancangan final Perjanjian Pinjaman. (7) Dalam hal Komite menetapkan persetujuan atas syarat dan ketentuan (tenns and conditions) Pinjaman di dalam surat keputusan Komite sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) huruf a, Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara menggunakan keputusan Komite tersebut untuk memverifikasi kesesuaian terhadap syarat dan ketentuan (tenns and conditions) di dalam rancangan final Perjanjian Pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf c. (8) Dalam hal Komite tidak menetapkan persetujuan atas syarat dan ketentuan (tenns and conditions) Pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara menggunakan pinjaman Pemerintah dan/atau pinjaman badan usaha milik negara yang mendapatkan penjaminan Pemerintah sebagai pembanding untuk menilai kewajaran syarat dan ketentuan (tenns and conditions) Pinjaman yang dijamin. (9) Dalam melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara mempertimbangkan Batas Maksimal Penjaminan. (10) Dalam rangka pelaksanaan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara dapat meminta keterangan atau penjelasan dari Pemohon Jaminan. (11) Hasil evaluasi atas permohonan Penjaminan Pemerintah dituangkan dalam berita acara evaluasi dan dilaporkan kepada Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko. (12) Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (11), Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko menyampaikan rekomendasi kepada Menteri mengenai:
penerbitan persetujuan atas syarat dan ketentuan (tenns and conditions) Perjanjian Pinjaman; dan
usulan pihak yang akan melakukan penjaminan, dengan mempertimbangkan konfirmasi atas kapasitas penjaminan BUPI sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (13) Usulan pihak yang akan melakukan penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (12) huruf b terdiri atas:
Pemerintah bersama dengan BUPI; atau
Pemerintah. jdih.kemenkeu.go.id Pasal 7 (1) Dalam hal usulan pihak yang akan melakukan penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (13) huruf a disetujui Menteri, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko atas nama Menteri menetapkan keputusan Menteri mengenai penugasan kepada BUPI untuk melakukan penjaminan bersama dengan Pemerintah. (2) Penugasan kepada BUPI sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan berdasarkan hasil analisis yang menunjukkan bahwa:
penugasan kepada BUPI untuk melakukan penjaminan dapat memberikan manfaat fiskal; dan
BUPI memiliki kapasitas untuk memberikan porsi jaminan yang akan ditugaskan. (3) Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat minimal sebagai berikut:
nama Pemohon Jaminan selaku Terjamin;
nama Kreditur yang akan menerima penjaminan;
porsi yang ditanggung oleh BUPI sebagai First _Loss; _ dan d. hak BUPI untuk mendapatkan IJP yang dibayar oleh Terjamin. (4) Penentuan porsi yang ditanggung oleh BUPI dilakukan berdasarkan analisis kapasitas penjaminan BUPI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b. Bagian Ketiga Persetujuan Syarat dan Ketentuan (terms and conditions) Perjanjian Pinjaman Pasal 8 (1) Persetujuan atas syarat dan ketentuan (terms and conditions) Perjanjian Pinjaman diterbitkan oleh Menteri dalam hal ini Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dalam bentuk surat yang ditujukan kepada PT KAI berdasarkan rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (12). (2) Persetujuan atas syarat dan ketentuan (terms and conditions) Perjanjian Pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memiliki kekuatan hukum apapun yang mengikat Menteri untuk menerbitkan Penjaminan Pemerintah, sebelum dilakukan penelaahan terhadap rancangan final Perjanjian Pinjaman. (3) Persetujuan atas syarat dan ketentuan (terms and conditions) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan kepada Pemohon Jaminan untuk dilakukan penandatanganan Perjanjian Pinjaman. Bagian Keempat Penerbitan Jaminan Pasal 9 (1) Pemohon Jaminan menyampaikan permohonan penerbitan dokumen penjaminan atas Penjaminan Pemerintah kepada Menteri dalam hal ini Direktur jdih.kemenkeu.go.id Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dengan melampirkan:
Perjanjian Pinjaman yang telah ditandatangani; dan
dokumen rencana mitigasi risiko gagal bayar. (2) Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara melakukan penelaahan untuk melihat kesesuaian antara syarat dan ketentuan (terms and conditions) Perjanjian Pinjaman yang telah ditandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dengan syarat dan ketentuan (terms and conditions) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), berkoordinasi dengan unit terkait di lingkungan Kementerian Keuangan. (3) Dalam melakukan penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara dapat melibatkan BUPI. (4) Dokumen rencana mitigasi risiko gagal bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b memuat ketentuan minimal mengenai:
peta risiko gagal bayar;
langkah-langkah mitigasi risiko gagal bayar; dan
upaya terbaik Terjamin untuk memenuhi pembayaran Pinjaman. (5) Dokumen rencana mitigasi risiko gagal bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilampiri surat pernyataan yang ditandatangani oleh direksi Terjamin mengenai kesanggupan Terjamin untuk:
melakukan pemantauan terhadap risiko gagal bayar bersama dengan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dalam hal ini Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara dan/atau BUPI; dan
menandatangani perjanjian penyelesaian Regres dan membayar utang Regres kepada BUPI dan/atau Pemerintah. Pasal 10 (1) Dalam hal syarat dan ketentuan (terms and conditions) dalam Perjanjian Pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a telah sesuai dengan persetujuan syarat dan ketentuan (terms and conditions) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), diterbitkan dokumen penjaminan (2) Dokumen penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk:
surat jaminan; atau
perjanjian jaminan, sesuai dengan kesepakatan antara Penjamin dan Penerima Jaminan. (3) Dalam hal penerbitan dokumen penjaminan berbentuk surat jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan dengan ketentuan:
surat jaminan ditandatangani oleh Menteri dalam hal ini Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, yang ditujukan kepada wakil yang sah dari Penerima Jaminan; atau
surat jaminan yang ditandatangani oleh Menteri jdih.kemenkeu.go.id dalam hal m1 Direktur J enderal Pengelolaan Pem biayaan dan Risiko bersama dengan wakil yang sah dari BUPI, yang ditujukan kepada wakil yang sah dari Penerima Jaminan. (4) Dalam hal penerbitan dokumen penjaminan berbentuk perjanjian jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan dengan ketentuan:
perjanjian jaminan yang ditandatangani oleh Menteri dalam hal m1 Direktur J enderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dan wakil yang sah dari Penerima Jaminan; atau
perjanjian jaminan yang ditandatangani oleh Menteri dalam hal m1 Direktur J enderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, wakil yang sah dari BUPI, dan wakil yang sah dari Penerima Jaminan. (5) Dokumen penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditembuskan kepada Terjamin. (6) Atas penerbitan dokumen penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur J enderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko melaporkan kepada Menteri. (7) Penjaminan Pemerintah melalui dokumen penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara penuh (full guarantee), tanpa syarat (unconditionaij, dan tidak dapat dicabut kembali (irrevocable) serta mengikat Penjamin sesuai dengan ketentuan dalam dokumen penjaminan. (8) Penjaminan Pemerintah berlaku sejak tanggal penerbitan dokumen penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sampai dengan seluruh kewajiban finansial Terjamin kepada Kreditur berdasarkan Perjanjian Pinjaman terpenuhi. (9) Penjaminan Pemerintah serta merta berakhir atau tidak berlaku dengan berakhirnya atau tidak berlakunya Perjanjian Pinjaman. BAB III DUKUNGAN PEMERINTAH ATAS PENUGASAN BUPI Pasal 11 (1) Dalam rangka penugasan atas Penjaminan Pemerintah, Pemerintah dalam hal ini Menteri memberikan dukungan kepada BUPI berupa:
meningkatkan kredibilitas penjaminan BUPI;
menjaga kecukupan modal BUPI; dan/atau
memastikan penyelesaian piutang Regres sesua1 dengan perjanjian penyelesaian Regres, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Dalam rangka menjaga kecukupan modal BUPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Pemerintah dapat memberikan penyertaan modal negara. Pasal 12 (1) Dalam rangka penugasan atas Penjaminan Pemerintah, BUPI dapat mengenakan biaya atas pelaksanaan pemberian penjaminan dalam bentuk IJP kepada Terjamin sesua1 dengan mekanisme korporasi sebagaimana jdih.kemenkeu.go.id dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf d. (2) Jumlah IJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan memperhatikan:
porsi penjaminan yang ditanggung;
tingkat risiko Terjamin;
biaya yang dikeluarkan; dan
marjin yang wajar. (3) Dalam hal BUPI telah melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) namun tidak diberikan penugasan untuk melakukan Penjaminan Pemerintah, BUPI dapat mengenakan biaya jasa kepada Terjamin atas pelaksanaan evaluasi penjaminan, yang diperhitungkan terhadap biaya yang dikeluarkan dalam rangka evaluasi dan marjin yang wajar. BAB IV PENYELESAIAN AKIBAT PELAKSANAAN PENJAMINAN PEMERINTAH Bagian Kesatu Klaim atas Penjaminan Pemerintah Pasal 13 (1) Klaim Penjaminan Pemerintah dilaksanakan dalam hal Terjamin selaku penerima Pinjaman berada dalam keadaan tidak mampu untuk memenuhi kewajiban finansial kepada Penerima Jaminan berdasarkan Perjanjian Pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2). (2) Terjamin menyampaikan pemberitahuan kepada BUPI atas keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Pemberitahuan kepada BUPI mengenai keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditembuskan kepada Penerima J aminan atas keadaan se bagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 15 (lima belas) hari sebelum kewajiban finansial berdasarkan Perjanjian Pinjaman jatuh tempo. (4) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditembuskan pula kepada Menteri dalam hal ini Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko oleh Terjamin. Pasal 14 (1) Berdasarkan keadaan tidak mampu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), Penerima J aminan menyampaikan pengajuan klaim atas Penjaminan Pemerintah secara tertulis kepada BUPI dan Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, dengan tembusan kepada direksi Terjamin. (2) Pengajuan klaim sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan oleh Penerima Jaminan setelah Terjamin tidak memenuhi kewajiban finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) pada tanggaljatuh tempo. (3) Pengajuan klaim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat keterangan minimal sebagai berikut: jdih.kemenkeu.go.id a. ketidakmampuan Terjamin untuk memenuhi kewajibannya berdasarkan Perjanjian Pinjaman;
kewajiban Pemerintah selaku Penjamin untuk membayar kepada Penerima Jaminan berdasarkan dokumen penjaminan;
jumlah kewajiban sebagaimana dimaksud pada hurufa;dan d. tujuan pembayaran yang terdiri atas nama dan nomor rekening Penerima Jaminan. (4) Pengajuan klaim atas penjaminan Pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan dengan melampirkan dokumen sebagai berikut:
Perjanjian Pinjaman;
salinan dokumen penjaminan;
rincian kewajiban yang harus dipenuhi oleh Penjamin; dan
rincian Pinjaman. Pasal 15 (1) BUPI melakukan verifikasi terhadap klaim atas Penjaminan Pemerintah yang diajukan oleh Penerima Jaminan baik untuk porsi BUPI maupun Pemerintah. (2) Dalam rangka melaksanakan verifikasi terhadap klaim atas Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BUPI dapat berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dan pihak lain terkait. (3) Untuk keperluan verifikasi terhadap klaim atas Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BUPI dapat meminta Terjamin untuk menyampaikan surat pernyataan mengenai tidak adanya keberatan dan/atau perselisihan apapun mengenai jumlah klaim yang diajukan. (4) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan oleh Terjamin dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak permintaan tersebut disampaikan. (5) Verifikasi terhadap klaim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk memastikan:
kesesuaian antara jumlah klaim dengan jumlah kewajiban berdasarkan Perjanjian Pinjaman yang menjadi kewajiban Terjamin berdasarkan tagihan dari Penerima J aminan;
tidak adanya keberatan dan/atau perselisihan antara Terjamin dengan Penerima Jaminan mengenai klaim dan/ataujumlah klaim yang diajukan; dan
tujuan pembayaran yang meliputi nama dan nomor rekening yang ditujukan Penerima Jaminan. (6) Hasil verifikasi terhadap klaim dituangkan dalam berita acara verifikasi yang ditandatangani oleh Terjamin, Penerima Jaminan, dan BUPI. (7) Berita acara verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan salinannya kepada Menteri dalam hal ini Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko. (8) Dalam hal hasil verifikasi menunjukkan bahwa Pemerintah perlu melakukan pembayaran klaim untuk jdih.kemenkeu.go.id porsi Pemerintah, KPA turut menandatangani berita acara verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6). (9) Penunjukan KPA sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pengelolaan dana cadangan penjaminan untuk pelaksanaan kewajiban penjaminan Pemerintah. Pasal 16 (1) Pembayaran klaim atas Penjaminan Pemerintah dilakukan apabila hasil verifikasi menunjukkan sebagai berikut:
terdapat kesesuaian antara jumlah klaim yang diajukan oleh Penerima Jaminan kepada Penjamin dan jumlah kewajiban Terjamin yang terhutang berdasarkan Perjanjian Pinjaman; dan
tidak adanya keberatan dari Terjamin dan/atau perselisihan apapun antara Terjamin dengan Penerima Jaminan mengenai klaim dan/atau jumlah klaim yang diajukan oleh Penerima Jaminan. (2) Berdasarkan hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BUPI membayar klaim yang menjadi porsi penjaminannya kepada Penerima Jaminan. (3) Apabila jumlah klaim melebihi porsi yang ditanggung oleh BUPI sebagai First Loss, BUPI menyampaikan tagihan atas kelebihan jumlah klaim yang menjadi porsi Pemerintah kepada KPA atas kewajiban Penjaminan Pemerintah. (4) Pemerintah membayar kelebihan klaim dari porsi penjaminan BUPI sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Penerima Jaminan. (5) Dalam rangka pelaksanaan pembayaran kelebihan klaim dari porsi penjaminan BUPI sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Pemerintah melalui Menteri dapat menggunakan dana yang bersumber dari dana cadangan penjaminan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (6) Pelaksanaan pembayaran klaim porsi Pemerintah kepada Penerima Jaminan dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pengelolaan dana cadangan penjaminan untuk pelaksanaan kewajiban penjaminan Pemerintah. Bagian Kedua Pelaksanaan Regres Pasal 17 (1) Dalam hal BUPI telah melaksanakan kewajibannya selaku Penjamin kepada Penerima Jaminan berdasarkan dokumen penjaminan, Terjamin harus memenuhi Regres. (2) Pemenuhan Regres oleh Terjamin kepada BUPI se bagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan secara bertahap atau sekaligus sesuai dengan kemampuan keuangan Terjamin. (3) BUPI menyampaikan surat pemberitahuan Regres kepada Terjamin pada saat atau segera setelah Regres timbul dengan tembusan kepada Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang badan jdih.kemenkeu.go.id usaha milik negara. (4) Setelah surat pemberitahuan Regres disampaikan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), BUPI dan Terjamin menuangkan kesepakatan mengenai penyelesaian Regres dengan pembayaran secara bertahap atau sekaligus ke dalam perjanjian penyelesaian Regres yang ditandatangani oleh wakil yang sah dari kedua belah pihak. (5) Dalam perjanjian penyelesaian Regres sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Terjamin menyatakan dan menyepakati minimal hal-hal sebagai berikut:
pengakuan berutang Terjamin kepada BUPI sebagai akibat dari timbulnya Regres;
jumlah utang yang wajib dibayar Terjamin kepada BUPI;
tingkat bunga;
tahapan pembayaran yang disanggupi Terjamin untuk membayar utangnya kepada BUPI hingga lunas; dan
mekanisme pembayaran yang disetujui untuk melaksanakan tahapan pembayaran sebagaimana dimaksud pada huruf d. (6) Kesepakatan mengenai hal-hal yang perlu diatur dalam perjanjian penyelesaian Regres sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah pembayaran klaim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16. (7) BUPI dan Terjamin yang memiliki utang Regres melaporkan kesepakatan mengenai penyelesaian utang yang dituangkan dalam perjanjian penyelesaian Regres kepada Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang badan usaha milik negara. (8) Menteri dalam hal ini Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko melakukan pemantauan terhadap penyelesaian Regres, dan melakukan koordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang badan usaha milik negara untuk memastikan agar penyelesaian Regres sebagaimana tertuang dalam perjanjian penyelesaian Regres dapat diselesaikan oleh Terjamin. Pasal 18 (1) Dalam hal Pemerintah melakukan pembayaran klaim Penjaminan Pemerintah kepada Penerima Jaminan atas porsinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4), timbul piutang dalam bentuk Regres kepada Terjamin. (2) Ketentuan mengenai penyelesaian piutang dalam bentuk Regres kepada BUPI berlaku pula secara mutatis mutandis untuk penyelesaian piutang dalam bentuk Regres kepada Pemerintah. (3) Kewenangan untuk melakukan penyelesaian piutang dalam bentuk Regres kepada Terjamin didelegasikan oleh Menteri kepada Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko. jdih.kemenkeu.go.id BABV PENGELOLAAN RISIKO Bagian Kesatu Mitigasi Risiko Pasal 19 (1) Terjamin wajib melakukan upaya terbaik untuk melakukan pengelolaan risiko terhadap kemungkinan terjadinya gagal bayar atau segala peristiwa yang mempengaruhi kemampuan Terjamin untuk memenuhi kewajiban finansial. (2) Kewajiban pengelolaan risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sesuai dengan masa berlaku Perjanjian Pinjaman. (3) Terjamin harus melakukan pembaruan dokumen rencana mitigasi risiko gagal bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b secara berkala setiap 6 (enam) bulan. (4) Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dalam hal ini Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara dapat memberikan masukan kepada Terjamin mengenai rancangan dokumen rencana mitigasi risiko gagal bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) huruf l dan pembaruan atas dokumen rencana mitigasi risiko gagal bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Dalam hal BUPI mendapatkan penugasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), BUPI turut memberikan masukan kepada Terjamin mengenai rancangan dokumen rencana mitigasi risiko gagal bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) huruf 1 dan pembaruan atas dokumen rencana mitigasi risiko gagal bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (6) Dokumen rencana mitigasi risiko gagal bayar yang telah mendapatkan masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5), ditandatangani oleh direksi Terjamin untuk disampaikan kepada Menteri dalam hal ini Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko. (7) Dalam hal BUPI mendapatkan penugasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Terjamin menyampaikan tembusan dokumen rencana mitigasi risiko gagal bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (6) kepada BUPI. Bagian Kedua Pemantauan atas Pengelolaan Risiko Gagal Bayar Pasal 20 (1) Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dalam hal ini Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara melakukan pemantauan terhadap pengelolaan risiko gagal bayar yang dilakukan Terjamin sesuai dengan dokumen rencana mitigasi risiko gagal bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (6). (2) Dalam hal BUPI mendapatkan penugasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), BUPI turut melakukan pemantauan terhadap pengelolaan risiko yang dilakukan jdih.kemenkeu.go.id (3) Terjamin sebagaimana dimaksud pada berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Pembiayaan dan Risiko dalam hal ini Pengelolaan Risiko Keuangan Negara. ayat (1), Pengelolaan Direktorat Dalam rangka pemantauan terhadap pengelolaan risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dalam hal ini Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara, BUPI, dan Terjamin dapat mengadakan pertemuan secara berkala untuk membahas mengenai pelaksanaan rencana mitigasi risiko gagal bayar sebagaimana tertuang dalam dokumen rencana mitigasi risiko gagal bayar oleh Terjamin. Pasal 21 (1) Terjamin wajib membuka rekening khusus (sinking fund) sebagai mitigasi risiko terhadap Penjaminan Pemerintah. (2) Terjamin wajib menempatkan dan menjaga keutuhan dana di dalam rekening khusus (sinking fund) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal sebesar setara dengan jumlah cicilan pokok dan bunga Pinjaman yang akan jatuh tempo pada 3 (tiga) periode pembayaran kewajiban selanjutnya atas Pinjaman. (3) Dana yang ditempatkan di dalam rekening khusus (sinking fund) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bersumber dari dana hasil kebijakan Pemerintah dalam rangka memperkuat keuangan PT KAI, dana internal PT KAI, dan/atau sumber dana lainnya. (4) Rekening khusus (sinking fund) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak diterbitkannya Penjaminan Pemerintah. (5) Dana di dalam rekening khusus (sinking fund) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat digunakan oleh Terjamin untuk membayar Pinjaman atas proyek kereta cepat antara Jakarta dan Bandung. (6) Dalam hal Terjamin menggunakan dana di dalam rekening khusus (sinking fund) sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Terjamin wajib memulihkan keutuhan dana di dalam rekening khusus (sinking fund) sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak dana di dalam rekening khusus (sinking fund) digunakan. (7) Terjamin wajib memberikan akses pada rekening khusus (sinking fund) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko. (8) Terjamin menyampaikan pemberitahuan mengenai pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) kepada Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko. (9) Dalam hal BUPI mendapatkan penugasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), pemberian akses terhadap rekening khusus (sinking fund) sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan penyampaian pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) juga dilakukan oleh Terjamin kepada BUPI. jdih.kemenkeu.go.id Pasal 22 (1) Penggunaan kele bihan penyertaan modal negara kepada PT KAI yang ditujukan untuk pendanaan atas kenaikan dan/atau perubahan biaya (cost overrun) proyek kereta cepat antara Jakarta dan Bandung dapat ditampung dalam rekening khusus (sinking fund) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1). (2) Kelebihan penyertaan modal negara kepada PT KAI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan saldo tambahan yang harus dijaga oleh Terjamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2). (3) Kelebihan penyertaan modal negara kepada PT KAI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat digunakan untuk pembayaran kewajiban Terjamin atas Pinjaman. (4) Penggunaan kelebihan penyertaan modal negara kepada PT KAI sebagaimana dimaksud pada ayat (3), hanya dapat dilakukan atas persetujuan Menteri melalui Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko. Pasal 23 (1) Terhitung sejak diterbitkannya Penjaminan Pemerintah, Terjamin wajib menyusun laporan secara triwulanan pada periode yang berakhir pada bulan Maret, Juni, September, dan Desember. (2) Pelaporan secara triwulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
penggunaan dana dari penarikan atas Pinjaman;
laporan keuangan Terjamin secara triwulanan dan tahunan yang belum diaudit _(unaudited); _ c. kemampuan bayar Terjamin, termasuk proyeksi kemungkinan terjadinya risiko gagal bayar pada Terjamin untuk 1 (satu) tahun ke depan;
laporan arus kas pada saat diperlukan berdasarkan permintaan Pemerintah dan/ a tau BUPI sebelum tanggal jatuh tempo atas pembayaran Pinjaman berdasarkan Perjanjian Pinjaman;
pelaksanaan rencana mitigasi risiko gagal bayar;
pengadaan pembiayaan lainnya;
perkembangan kegiatan operasi PT KAI dan PT Kereta Cepat Indonesia China, termasuk penyelenggaraan prasarana dan sarana kereta cepat antara Jakarta dan Bandung; dan
pelaksanaan dukungan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang badan usaha milik negara dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) huruf b dan huruf c. (3) Terjamin menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dalam hal ini Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara, paling lambat tanggal 20 (dua puluh) pada bulan berikutnya. (4) Terjamin wajib menyampaikan laporan keuangan tahunan jdih.kemenkeu.go.id yang telah diaudit paling lambat 10 (sepuluh) hari kalender sejak diterbitkannya laporan keuangan yang telah diaudit kepada Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dalam hal ini Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara. (5) Dalam hal BUPI mendapatkan penugasan Penjaminan Pemerintah, penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penyampaian laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) juga dilakukan oleh Terjamin kepada BUPI. BAB VI PENGANGGARAN DANA CADANGAN PENJAMINAN Pasal 24 (1) Pemerintah melalui Menteri mengalokasikan anggaran kewajiban Penjaminan Pemerintah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara perencanaan, penelaahan, dan penetapan alokasi anggaran bagian anggaran bendahara umum negara dan pengesahan daftar isian pelaksanaan anggaran bendahara umum negara. (2) Pengelolaan dana cadangan Penjaminan Pemerintah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai tata cara pengelolaan dana cadangan penJamman untuk pelaksanaan kewajiban Penjaminan Pemerintah. BAB VII PEMBUKUAN DAN PELAPORAN PELAKSANAAN PENUGASAN Pasal 25 (1) Dalam melaksanakan penugasan Penjaminan Pemerintah, BUPI menyelenggarakan pembukuan berdasarkan ketentuan mengenai standar akuntansi yang berlaku. (2) Pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disajikan sebagai informasi segmen dalam catatan atas laporan keuangan pada laporan keuangan BUPI. Pasal 26 (1) BUPI menyampaikan laporan semesteran dan laporan tahunan atas pelaksanaan penugasan Penjaminan Pemerintah kepada Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat minimal:
perkembangan Pinjaman;
analisis risiko gagal bayar Terjamin, yang dilengkapi dengan mitigasi risiko;
kepatuhan Terjamin atas pengelolaan rekening khusus (sinking fund) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 22;
pelaksanaan dukungan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang badan usaha milik negara dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang jdih.kemenkeu.go.id perhubungan se bagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) huruf b dan huruf c; dan
informasi lain yang dianggap penting. (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender setelah periode pelaporan dimaksud berakhir. BAB VIII PEMANTAUAN DAN EVALUASI Pasa127 (1) Dalam rangka pelaksanaan Penjaminan Pemerintah, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap:
pelaksanaan pembiayaan serta pemenuhan kewajiban Terjamin; dan
pelaksanaan penugasan Penjaminan Pemerintah melalui BUPI. (2) Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko mengadakan pertemuan secara berkala dengan Terjamin dan BUPI untuk membahas dan memberikan masukan mengenai pelaksanaan pengelolaan risiko atas pelaksanaan pembiayaan serta pemenuhan kewajiban Terjamin dan pelaksanaan penugasan Penjaminan Pemerintah melalui BUPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk bahan penyusunan laporan secara berkala dan/atau rekomendasi kepada Menteri. (4) Dalam rangka menjaga kredibilitas dan kemampuan BUPI dalam melaksanakan Penjaminan Pemerintah, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko memverifikasi kemampuan BUPI untuk melaksanakan pembayaran klaim dalam hal terdapat pengajuan klaim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1). BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 28 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. jdih.kemenkeu.go.id