Pedoman Teknis Implementasi Organisasi Pembelajar (Learning Organization) di Lingkungan Kementerian Keuangan ...
Relevan terhadap
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PEDOMAN TEKNIS IMPLEMENTASI ORGANISASI PEMBELAJAR ( LEARNING ORGANIZATION) DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KEUANGAN . PERTAMA : Menetapkan pedoman teknis implementasi organisasi pembelajar ( learning organization) di lingkungan Kementerian Keuangan, sebagai acuan operasional pelaksanaan organisasi pembelajar ( learning organization) bagi __ Unit Eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan dan Unit non Eselon yang bertanggung jawab secara langsung kepada Menteri Keuangan. KEDUA : Implementasi organisasi pembelajar ( learning organization) sebagaimana dimaksud dalam Diktum PERTAMA, dilakukan dengan tujuan untuk:
mengantisipasi perubahan yang semakin cepat, disrupsi dan ketidakpastian di tingkat nasional dan global, dengan mewujudkan organisasi yang agile , adaptif, dan inovatif;
meningkatkan budaya pembelajaran kolaboratif, digital, kreatif, dan mandiri bagi seluruh pegawai di lingkungan Kementerian Keuangan;
meningkatkan kompetensi sumber daya manusia yang handal, akuntabel, dan kompeten, serta dapat menyelesaikan tugas dengan efektif dan efisien;
meningkatkan kinerja individu, tim, dan organisasi dalam mencapai visi, misi, dan sasaran strategis Kementerian Keuangan;
memelihara aset intelektual organisasi melalui manajemen pengetahuan; dan
meningkatkan budaya berbagi pengetahuan baik di tingkat individu, tim, maupun organisasi. KETIGA : Implementasi organisasi pembelajar ( learning organization ) sebagaimana dimaksud dalam Diktum PERTAMA mengacu pada pendekatan sistem komponen yang terdapat dalam Enterprise Learning System yang telah disesuaikan dengan karakteristik operasional Kementerian Keuangan, sesuai penjelasan dalam skema dan konsep sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Menteri ini. KEEMPAT : Implementasi organisasi pembelajar ( learning organization ) sebagaimana dimaksud dalam Diktum PERTAMA terdiri dari atas teknis implementasi dengan komponen sebagai berikut:
_Strategic Fit and Management Commitment; _ b. _Learning Function Organization; _ c. _Learners; _ d. _Knowledge Management Implementation; _ e. _Learning Value Chain; _ f. _Learning Solutions; _ g. _Learning Spaces; _ h. _Learners' Performance; _ i. _Leaders' Participation in Learning Process; dan _ j. Feedback. KELIMA : Teknis implementasi untuk setiap komponen sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEEMPAT, terdiri atas:
deskripsi komponen;
ruang lingkup komponen;
tujuan komponen; dan
strategi implementasi, dengan penjelasan sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B sampai dengan huruf K yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Menteri ini. KEENAM : Dalam pelaksanaan implementasi organisasi pembelajar ( learning organization ) sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri ini, Unit Eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan dan Unit non Eselon yang bertanggung jawab secara langsung kepada Menteri Keuangan berkoordinasi dengan Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan. KETUJUH : Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Salinan Keputusan Menteri ini disampaikan kepada:
Menteri Keuangan;
Wakil Menteri Keuangan;
Sekretaris Jenderal, Inspektur Jenderal, para Direktur Jenderal, dan para Kepala Badan di lingkungan Kementerian Keuangan;
Kepala Lembaga _National Single Window; _ 5. Kepala Biro Umum, para Sekretaris Direktorat Jenderal, Inspektorat Jenderal, dan Sekretaris Badan di lingkungan Kementerian Keuangan;
Kepala Biro Sumber Daya Manusia, Sekretariat Jenderal;
Kepala Biro Organisasi dan Ketatalaksanaan, Sekretariat Jenderal;
Para Kepala Pusat di lingkungan Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan;
Sekretaris Lembaga National Single Window ;
Direktur Politeknik Keuangan Negara STAN; dan
Para Kepala Balai di lingkungan Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 September 2021 a.n. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KEPALA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN, ttd. ANDIN HADIYANTO PEDOMAN TEKNIS IMPLEMENTASI ORGANISASI PEMBELAJAR ( LEARNING ORGANIZATION) DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KEUANGAN A. Skema dan Konsep Learning Organization (LO) Kementerian Keuangan LO merupakan organisasi yang secara terus menerus dan terencana memfasilitasi anggotanya agar mampu terus menerus berkembang dan mentransformasi diri, baik secara kolektif maupun individual, dalam upaya mencapai hasil yang lebih baik dan sesuai dengan kebutuhan yang dirasakan bersama antara organisasi dan individu di dalamnya. Implementasi LO di Kementerian Keuangan mengacu pada sebuah pendekatan sistem yang terdiri dari 10 (sepuluh) komponen penggerak yang ada dalam Enterprise Learning System yang telah dimodifikasi, menyesuaikan dengan karakteristik operasional Kementerian Keuangan. Kesepuluh komponen tersebut meliputi strategic fit and management commitment, learning function organization, learners, knowledge management implementation, learning value chain, learning solutions, learning spaces, learners’ performance , leaders’ participation in learning process, dan feedback . Komponen dimaksud dapat diilustrasikan dalam gambar berikut: Gambar: Bagan Alur Komponen LO Bagan alur komponen LO dapat dijelaskan sebagai berikut:
Komponen strategic fit and management commitment merupakan strategi dan komitmen pimpinan terhadap upaya membangun budaya belajar sebagai elemen penting terwujudnya LO. Pucuk pimpinan Kementerian LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR-1/KM.11/2021 TENTANG PEDOMAN TEKNIS IMPLEMENTASI ORGANISASI PEMBELAJAR ( LEARNING ORGANIZATION) DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KEUANGAN Keuangan diharapkan dapat menjadi inisiator budaya belajar dengan cara merumuskan kebijakan terkait visi, budaya, strategi, dan struktur yang mendukung proses belajar di Kementerian Keuangan.
Learning function organization memastikan bahwa organisasi menjalankan fungsinya dengan baik dalam kaitannya dengan aktivitas belajar di dalam organisasi. Komponen ini merupakan tindak lanjut dari komponen strategic fit and management commitment dimana setiap strategi dan komitmen pimpinan ditindaklanjuti dan dilaksanakan oleh organisasi, baik itu terkait pelaksanaan visi, implementasi strategi, pembangunan budaya belajar, dan penguatan struktur pendukung pembelajaran.
Dengan dukungan organisasi yang memadai, seluruh pegawai di lingkungan Kementerian Keuangan harus membangun sikap mental, motivasi dan kebiasaan belajar baru sebagai learners atau pemelajar, baik di tingkat individu, tim maupun organisasi. Kebiasaan belajar baru tersebut dibangun oleh pemelajar dengan secara aktif melakukan pembelajaran, baik yang terstruktur maupun yang tidak terstruktur, untuk meningkatkan kinerja.
Knowledge management implementation memfasilitasi pembelajaran, mendorong penciptaan pengetahuan ( knowledge creation ), mendukung penyebarluasan pengetahuan, dan memperkuat retensi aset intelektual. Proses Knowledge Management (KM) terdiri dari identifikasi, dokumentasi, pengorganisasian, penyebarluasan, penerapan dan pemantauan pengetahuan. Dalam penerapannya, KM __ didukung dengan salah satunya melalui pengembangan Knowledge Management System (KMS) yang menjadi repository aset intelektual di lingkungan Kementerian Keuangan yang kita kenal sebagai Kemenkeu Learning Center (KLC).
Berbeda dengan komponen knowledge management implementation yang mencerminkan penciptaan dan diseminasi pengetahuan, komponen learning value chain menggambarkan proses pengelolaan pembelajaran di Kementerian Keuangan. Komponen ini mencakup proses analisis, desain, implementasi, dan evaluasi yang dilakukan organisasi untuk melaksanakan pembelajaran yang aplikatif, relevan, mudah diakses, dan berdampak tinggi sesuai kebutuhan organisasi.
Untuk mencapai target yang sudah disepakati, organisasi perlu menentukan model pembelajaran seperti apa yang paling tepat. Model pembelajaran dapat berupa belajar sendiri, belajar terstruktur, belajar dari orang lain, dan/atau belajar sambil bekerja. Penentuan model pembelajaran ini diatur dalam komponen learning solution . Dengan model pembelajaran yang tepat, target yang sudah disepakati dapat tercapai dengan lebih efektif dan efisien.
Dalam pelaksanaan pembelajaran, organisasi perlu memfasilitasi pembelajaran itu melalui komponen learning spaces yang meliputi penyediaan ruangan, peralatan, jaringan internet dan intranet, akses sumber belajar, kesempatan belajar, dan dukungan teknis. Kombinasi antara learning value chain , model pembelajaran, dan penyediaan fasilitas sangat penting dalam menunjang pembelajaran yang dilakukan learners .
Setelah melakukan pembelajaran, learners perlu mengimplementasikan hasil pembelajarannya agar bermanfaat bagi diri sendiri, tim kerjanya, maupun organisasi. Hal ini sejalan dengan prinsip LO yang tidak sebatas pada perolehan dan penyimpanan pengetahuan, namun juga pengimplementasian dan pemanfaatan pengetahuan. Hasilnya digunakan untuk perbaikan berkelanjutan, peningkatan kinerja, dan bahkan penciptaan inovasi. Implementasi dan pemanfaatan hasil belajar ini adalah fokus dari komponen Learners Performance yakni untuk memastikan budaya belajar dan proses pengelolaan pengetahuan berjalan dengan optimal, agar organisasi mampu beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan sehingga menjadi organisasi yang lebih baik.
Dalam keseluruhan rangkaian proses pembelajaran, dukungan pimpinan sangat penting untuk menjaga keterkaitan antara kegiatan belajar dengan tujuan strategis Kemenkeu. Tidak hanya itu, peran pimpinan yang dijabarkan di dalam komponen leader participation in learning process juga mencakup peran pimpinan sebagai role models, teachers, coaches, mentors, counsellors dan forward-thinking leadership .
Setelah semua komponen telah diimplementasikan, organisasi perlu melakukan evaluasi secara menyeluruh untuk mendapatkan gambaran yang jelas atas kualitas implementasi LO dalam suatu periode. Evaluasi ini dilakukan dengan mengumpulkan dan menganalisis umpan balik atau feedback dari semua unsur yang berpartisipasi dalam proses belajar, baik dari internal maupun eksternal organisasi. Hasil evaluasi ini menjadi informasi berharga yang dapat dipergunakan sebagai tolok ukur untuk memastikan penerapan LO yang lebih terarah, sistematis, dan berkelanjutan. B. Teknis Implementasi Komponen Strategic Fit and Management Commitment 1. Deskripsi a. Komponen Strategic Fit and Management Commitment mendeskripsikan komitmen pimpinan untuk berupaya membangun budaya belajar yang menjadi warna keseharian setiap unsur di dalam organisasi.
Inisiatif untuk melakukan perubahan organisasi bisa berasal dari pimpinan tertinggi atau sekelompok pimpinan pada level menengah.
Setiap unsur di dalam organisasi harus memahami bahwa kesuksesan pencapaian kinerja organisasi bergantung, salah satunya, kepada keberhasilan penerapan budaya belajar itu sendiri.
Kinerja yang ingin dicapai oleh organisasi dijadikan sebagai acuan dalam menentukan prioritas serta strategi pencapaiannya.
Setiap strategi yang akan diimplementasikan hendaknya sejalan dengan tujuan organisasi baik jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang.
Ruang Lingkup a. Komitmen terhadap pembelajaran mencakup seluruh kebijakan yang diimplementasikan bagi seluruh pegawai di lingkungan Unit Eselon I dan Unit Non Eselon yang bertanggung jawab secara langsung kepada Menteri Keuangan.
Komitmen ini melibatkan seluruh kegiatan pembelajaran, sepanjang kegiatan tersebut sejalan dengan tujuan strategi organisasi.
Tujuan Tujuan dari komponen strategic fit and management commitment yaitu untuk menyediakan acuan bagi pimpinan Unit Eselon I dan Unit Non Eselon yang bertanggung jawab secara langsung kepada Menteri Keuangan dan Eselon II yang memiliki kewenangan strategis dalam penetapan arah dan tujuan organisasi serta pengelolaan sumber daya organisasi dalam hal mendukung implementasi LO dalam bentuk arahan serta kebijakan yang akan mengikat dan menjadi dasar bagi seluruh unsur di dalam organisasi untuk membangun dan menerapkan budaya belajar.
Strategi Implementasi No Subkomponen Strategi Implementasi a. Visi Organisasi 1) Organisasi memiliki visi yang mencakup rencana pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) secara menyeluruh yang sejalan dengan target kinerja organisasi.
Visi yang mencakup rencana pengembangan SDM ditunjukkan dengan organisasi mempunyai visi terukur dilengkapi dengan tahapan pencapaiannya yang tertuang dalam dokumen rencana strategis organisasi.
Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Organisasi, dengan contoh kegiatan sebagai berikut: a) Organisasi mempunyai visi yang tertuang pada rencana strategis dan menjadi rujukan dalam menjalankan organisasi. Visi ini disusun dengan melibatkan elemen organisasi serta No Subkomponen Strategi Implementasi disosialisasikan dan dimonitor secara berkala dan berjenjang. b) Organisasi memiliki dokumen yang menjadi rujukan dalam mengelola SDM. Dokumen ini merujuk kepada ketentuan lain yang berlaku di lingkungan Kementerian Keuangan di mana setiap pegawai mendapatkan kesempatan yang sama untuk mengakses dan/atau menerima sosialisasi. c) visi yang disusun dengan melibatkan seluruh komponen organisasi dan dikomunikasikan secara berjenjang serta dievaluasi secara berkala. d) terdapat pernyataan dan/atau penjelasan dalam visi bahwa organisasi akan mengembangkan SDM secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan organisasi.
Budaya Organisasi 1) Organisasi memiliki budaya yang diwujudkan dalam kebijakan dan tercermin dalam aktivitas harian guna memberikan kesempatan bagi seluruh pegawai untuk senantiasa mengembangkan diri dengan belajar sambil bekerja dan bekerja sambil belajar yang dapat dilakukan kapan saja, dimana saja, dan dengan siapa saja.
Perwujudan budaya dalam kebijakan tercermin pada aktivitas pimpinan dalam membuat komitmen bersama untuk mewujudkan implementasi LO dan merumuskan regulasi yang menunjang implementasi LO tersebut pada level Unit Eselon I dan Unit Non Eselon yang bertanggung jawab secara langsung kepada Menteri Keuangan.
Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Individu dan Organisasi, melalui aktivitas memberikan kesempatan bagi pegawai untuk mengembangkan diri dilakukan dengan cara terstruktur maupun tidak terstruktur, dengan contoh kegiatan sebagai berikut: a) Pada tingkatan Individu, Pimpinan unit kerja selaku individu yang menduduki struktur pemilik peta strategi dan kewenangan No Subkomponen Strategi Implementasi pengelolaan sumber daya organisasi senantiasa berinisiatif serta menjadi inspirasi bagi seluruh elemen organisasi dalam menerapkan budaya belajar. b) Pada tingkatan Organisasi, memiliki dokumen yang mengatur pelaksanaan budaya belajar bagi seluruh pegawai. Dokumen ini berupa produk hukum yang diberlakukan di lingkungan Unit Eselon I dan Unit Non Eselon yang bertanggung jawab secara langsung kepada Menteri Keuangan dan memuat jenis kegiatan, tata cara, waktu, dan pelaku kegiatan belajar. c) Pada tingkatan Organisasi, memiliki regulasi untuk membiasakan belajar dalam bekerja dan bekerja dalam belajar, dalam konteks apapun, kapan saja, dimana saja, dengan/kepada siapa saja, dan oleh siapapun juga.
Strategi Organisasi 1) Organisasi memiliki strategi yang mencakup rencana kebutuhan pengembangan, pola karier, standar kompetensi, dan learning journey bagi seluruh pegawai yang sejalan dengan target kinerja organisasi.
Kepemilikan strategi tercermin pada tersedianya rencana strategis organisasi, rencana kebutuhan dan pengembangan SDM, pola karir pegawai, standar kompetensi teknis – jabatan yang secara terstruktur disusun dan disosialisasikan kepada pegawai, learning journey bagi pegawai berdasarkan kondisi SDM serta kerangka strategis organisasi yang akan menjadi pijakan dalam pelaksanaan Analisis Kebutuhan Pembelajaran (AKP) yang bersifat strategis organisasi, jabatan, maupun individu.
Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Organisasi, dengan contoh kegiatan sebagai berikut: Tersedianya dokumen rencana strategis organisasi, rencana kebutuhan dan pengembangan SDM, pola karir pegawai, standar kompetensi teknis – jabatan, learning journey, dan/atau yang sejenis (bisa No Subkomponen Strategi Implementasi ditambahkan dokumen lain sesuai karakteristik masing-masing organisasi) yang secara legal dan terbuka dapat diakses dan/atau disosialisasikan kepada pegawai.
Struktur Organisasi 1) Organisasi memiliki pimpinan yang mempunyai kewenangan dalam menentukan arah dan kebijakan pengembangan SDM yang sejalan dengan target kinerja organisasi.
Kepemilikan pimpinan yang menentukan arah dan kebijakan tercermin pada keberadaan struktur Eselon I dan Unit Non Eselon yang bertanggung jawab secara langsung kepada Menteri Keuangan dan Eselon II yang mempunyai kewenangan dalam penetapan rencana strategis organisasi serta pengelolaan SDM pendukung sebagai penggerak utama perubahan organisasi.
Pimpinan dalam level ini juga diharapkan mampu menciptakan atmosfer keterbukaan informasi, desentralisasi kewenangan dan tanggung jawab, kolaborasi yang harmonis di dalam maupun luar organisasi.
Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Organisasi, dengan contoh kegiatan sebagai berikut: Pimpinan unit kerja yang memiliki peta strategi dan kewenangan pengelolaan sumber daya organisasi menjadi pihak yang mempunyai inisiatif dalam penentuan target kinerja organisasi, penetapan strategi pencapaiannya, serta mekanisme pengelolaan sumber daya yang dimiliki. C. Teknis Implementasi Komponen Learning Function Organization 1. Deskripsi Komponen Learning Function Organization mendeskripsikan kemampuan organisasi dalam menerapkan visi, budaya, strategi, dan struktur yang berorientasi pada pembelajaran.
Ruang Lingkup Komponen Learning Function Organization mencakup penerapan visi, budaya, strategi, dan struktur yang berorientasi pada pembelajaran dalam mendukung perwujudan LO.
Tujuan Tujuan dari komponen Learning Function Organization yaitu mendorong terwujudnya organisasi yang menerapkan visi, budaya, strategi, dan struktur yang berorientasi pada pembelajaran (baik pembelajaran individu, tim, maupun organisasi) sehingga perwujudan LO dapat terlaksana secara lebih terarah, sistematis dan berkelanjutan.
Strategi Implementasi No Subkomponen Strategi Implementasi a. Penerapan visi organisasi 1) Organisasi mengelola agar visi yang telah ditetapkan dapat dicapai melalui adanya proses pembelajaran (baik pembelajaran individu, pembelajaran tim, maupun pembelajaran organisasi) yang berkelanjutan.
Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Organisasi melalui aktivitas mengelola visi yang dilakukan dengan cara: a) Pimpinan organisasi menjalankan perannya sebagai Learning Council dalam penentuan kebutuhan strategis unit kerjanya yang perlu didukung melalui pembelajaran. Contoh: Direktur Jenderal hadir tanpa diwakili dan aktif menyampaikan arah kebijakan pengembangan SDM dalam Learning Council Meeting (LCM). b) Pimpinan organisasi menjalankan perannya dalam penyusunan kebijakan pengembangan kompetensi SDM di unit masing-masing, yang dikaitkan dengan No Subkomponen Strategi Implementasi arah strategi dan kebijakan Kementerian Keuangan. Contoh: Inspektur Jenderal menentukan fokus pengembangan SDM Inspektorat Jenderal tahun berkenaan berupa pengembangan kemampuan generik dalam pengelolaan keuangan negara. c) Pimpinan organisasi menjalankan perannya dalam penyusunan kebijakan manajemen pengetahuan ( knowledge management ) di unit masing-masing, yang dikaitkan dengan arah strategi dan kebijakan Kementerian Keuangan. Contoh: Kepala Badan menentukan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebagai tema prioritas dalam melakukan dokumentasi pengetahuan ( knowledge documentation) dalam bentuk buku.
Penerapan budaya organisasi 1) Organisasi menerapkan program budaya yang mencakup kebiasaan, nilai-nilai, maupun praktik dalam organisasi, khususnya terkait dengan pembelajaran.
Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Organisasi melalui aktivitas penerapan program budaya yang dilakukan dengan cara: a) memastikan implementasi Nilai-nilai Kementerian Keuangan di unitnya. Contoh: Implementasi nilai “kesempurnaan”, di mana seluruh pegawai dan pimpinan di Kementerian Keuangan perlu senantiasa No Subkomponen Strategi Implementasi melakukan upaya perbaikan di segala bidang untuk menjadi dan memberikan yang terbaik. Dalam hal ini, dibutuhkan adanya pembelajaran yang melekat dalam organisasi agar nilai kesempurnaan tersebut dapat terwujud. b) memastikan pelaksanaan kode etik dan kode perilaku PNS Kementerian Keuangan di unitnya. Contoh: Organisasi mendorong setiap pegawai untuk:
bersedia berbagi solusi, informasi dan/atau data sesuai kewenangan untuk menyelesaikan masalah yang terkait dengan pekerjaan;
terbuka terhadap informasi atau pengetahuan baru; dan
tidak menghalangi kreativitas/gagasan/ pendapat yang bernilai tambah bagi kemajuan organisasi. Aktivitas-aktivitas tersebut perlu menjadi kebiasaan yang melekat dalam praktik pelaksanaan pekerjaan. c) mengembangkan dan menjalankan program budaya belajar di unitnya. Contoh: Dijalankannya Program Budaya di Lingkungan Kemenkeu Tahun 2013 yang salah satunya adalah “satu informasi setiap hari” dalam rangka mendorong pegawai mencari informasi yang positif dan membaginya ( sharing ) untuk pengetahuan bersama. Program budaya belajar dapat pula diinisiasi oleh masing-masing unit organisasi sehingga perwujudan LO dapat lebih terdorong. No Subkomponen Strategi Implementasi c. Penerapan strategi organisasi 1) Organisasi menerapkan strategi yang mencakup rencana aksi, metode, maupun langkah-langkah terkait pembelajaran dalam organisasi untuk mencapai visi dan target kinerjanya.
Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Organisasi melalui aktivitas penerapan strategi yang dilakukan dengan cara: a) pimpinan organisasi melakukan koordinasi dengan pimpinan di unit pengelola dalam pelaksanaan kegiatan pengembangan kompetensi SDM. Contoh: Sekretaris Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) selaku pimpinan unit pelaksana AKP utama menyusun Laporan Hasil Pengumpulan Data AKP dan mengkoordinasikannya dengan Kepala Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan (Pusdiklat AP), BPPK. b) pimpinan organisasi memberikan rekomendasi pemilik rumpun keahlian/ Skill Group Owner (SGO) dalam pelaksanaan pengembangan kompetensi SDM. Contoh: Sekretaris Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK) merekomendasikan Widyaiswara Pusdiklat Keuangan Umum (Pusdiklat KU) selaku SGO program pembelajaran untuk berperan dalam penyusunan desain e-learning pengenalan pembelajaran terintegrasi. No Subkomponen Strategi Implementasi c) organisasi terlibat dalam keseluruhan proses learning value chain antara lain dalam:
pelaksanaan AKP;
penyusunan program dan desain pembelajaran;
penyelenggaraan pembelajaran; dan
pelaksanaan evaluasi pembelajaran dan evaluasi pascapembelajaran. Contoh: Sekretariat DJPPR berpartisipasi aktif dalam proses pengumpulan data kinerja individu sebelum dan setelah pembelajaran dalam rangka evaluasi pascapembelajaran yang diselenggarakan oleh Pusdiklat KU. d) organisasi mendorong implementasi manajemen pengetahuan. Contoh: Sekretariat BPPK memasukkan kegiatan pendokumentasian pengetahuan yang merupakan bentuk aktualisasi pembelajaran ke dalam Indikator Kinerja Utama (IKU) untuk seluruh pegawai di lingkungan BPPK. e) organisasi memastikan ketersediaan dan mengelola infrastruktur pengembangan kompetensi. Contoh: Lembaga National Single Window (LNSW) melakukan proses pemetaan pegawai sesuai dengan ketentuan yang berlaku. f) organisasi melaksanakan manajemen talenta yang meliputi serangkaian kegiatan No Subkomponen Strategi Implementasi terencana dan terukur untuk mengelola pegawai terbaik yang memiliki kualifikasi, kompetensi, dan kinerja optimal berlandaskan sistem merit. Contoh: Pengelola manajemen talenta unit Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) melakukan analisis kebutuhan talent , identifikasi talent , penetapan talent , pengembangan talent , retensi talent dan evaluasi talent bagi pelaksana yang ditargetkan untuk menduduki Jabatan Pengawas.
Penerapan struktur organisasi 1) Organisasi melakukan penataan kelembagaan dengan menghilangkan sekat komunikasi antar struktur sehingga mempermudah arus komunikasi serta meningkatnya hubungan dan kolaborasi kerja di dalam organisasi, termasuk komunikasi mengenai yaitu pertukaran kebijaksanaan ( wisdom ), pengetahuan ( knowledge ), informasi ( information ), dan data ( data ).
Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Organisasi melalui aktivitas penataan organisasi dengan menghilangkan sekat komunikasi antar struktur yang dilakukan dengan cara menjalankan Rencana Strategis Kemenkeu tahun 2020-2024 dalam rangka mewujudkan organisasi yang ramping dan tanpa sekat- sekat ( flatter and boundaryless organization ). Contoh: Unit melakukan penataan organisasi dengan merampingkan jabatan struktural dan memperbanyak fungsional analis kebijakan yang bekerja dalam tim lintas bidang. D. Teknis Implementasi Komponen Learners 1. Deskripsi a. Komponen Learners mendeskripsikan proses akulturasi budaya belajar dan keleluasaan pembelajaran, baik secara individu maupun tim, dalam memperoleh pembelajaran sesuai arah pengembangan organisasi.
Akulturasi budaya belajar direpresentasikan dengan persepsi pegawai terhadap budaya belajar dan pengaplikasiannya, baik di lingkup individu, tim maupun organisasi.
Sedangkan keleluasaan pegawai dalam memperoleh pembelajaran direpresentasikan dengan tingkat kemudahan setiap pegawai mendapatkan pembelajaran yang dibutuhkan ( accessible ).
Agar proses akulturasi budaya belajar dan keleluasaan pembelajaran tersebut selaras dengan arah pengembangan organisasi, organisasi sebagai pemelajar berperan penting dalam mendorong terciptanya lingkungan belajar yang kondusif dan berkelanjutan.
Ruang Lingkup a. Komponen Learners mencakup bagaimana individu, tim, dan organisasi menempatkan dirinya sebagai pemelajar.
Aktivitas sebagai learners meliputi bagaimana pandangan dalam mendefinisikan kebutuhan belajarnya, pemenuhan media/metodologi pembelajaran, persepsi atas kontribusi atas hasil belajar, serta persepsi atas dukungan organisasi terhadap proses pembelajaran 3. Tujuan Tujuan dari komponen Learners yaitu terciptanya pemelajar, baik secara individu, tim, maupun organisasi, dengan ciri yang melekat, yakni:
memiliki inisiatif dan motivasi tinggi untuk terus belajar secara berkesinambungan;
aktif mencari dan/atau menggali potensi yang tersimpan di dalam diri dan mengubahnya menjadi sesuatu yang berkontribusi terhadap kinerja;
memiliki sikap dan mental yang positif terhadap tantangan dan hal yang baru;
mampu menginternalisasi hasil belajar untuk pengembangan diri, tim kerja dan organisasi secara menyeluruh guna mendukung kinerja organisasi 4. Strategi Implementasi No Subkomponen Strategi Implementasi a. Individu sebagai Learners 1) Mengidentifikasi, menyusun dan mengimplementasikan rencana pengembangan individu yang merefleksikan pemahaman utuh atas kebutuhan pengembangan kompetensinya No Subkomponen Strategi Implementasi dan mengupayakan pemenuhan kebutuhan pengembangan kompetensi tersebut, terutama atas inisiatif pribadi, dalam rangka budaya belajar berkelanjutan ( continuous learning ). a) Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Individu melalui aktivitas identifikasi rencana pengembangan individu yang dilakukan dengan cara aktif mempelajari dokumen terkait tujuan organisasi/arahan pimpinan, melakukan diskusi, dan/atau cara lain untuk mengidentifikasi potensi dan kesenjangan diri guna mendukung organisasi. Contoh:
Pegawai mempelajari dokumen- dokumen terkait visi, misi, tugas, fungsi di unit kerjanya serta kondisi terkini.
Kemudian pegawai tersebut mengidentifikasi potensi dan kesenjangan yang dimilikinya saat ini.
Hasil identifikasi tersebut digunakan untuk menentukan arah pengembangan diri yang diharmonisasikan dengan minat yang ada pada diri pegawai.
Guna mempertajam hasil identifikasi, pegawai mendiskusikan rencana pengembangan diri tersebut dengan peers , atasan, dan pihak-pihak lain yang kompeten. b) Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Individu melalui aktivitas penyusunan rencana pengembangan individu yang dilakukan dengan cara menyusun dokumen tertulis minimal berisi rencana dan tujuan pengembangan diri. Contoh: Pegawai memiliki catatan/jurnal/bentuk dokumen apapun yang minimal memuat No Subkomponen Strategi Implementasi rencana pengembangan dirinya dan target yang diharapkan, baik yang berasal dari penerjemahan atas tujuan organisasi/ arahan pimpinan maupun yang berasal dari penggalian potensi dan kesenjangan dirinya masing-masing guna mendukung tercapainya tujuan organisasi. c) Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Individu melalui aktivitas mengupayakan implementasi rencana pengembangan individu yang dilakukan dengan cara menyeleksi sumber dan metodologi pembelajaran yang tepat untuk memenuhi kebutuhannya dan merencanakan waktu pemenuhan pengembangan diri tersebut serta mengkomunikasikannya dengan (minimal) atasan langsung. Contoh: Pegawai menyeleksi sumber dan metodologi pembelajaran yang tepat untuk memenuhi kebutuhannya (misalkan melalui: mentoring, coaching , free access e-learning/ microlearning, Penugasan Pelatihan/ Pelatihan Jarak Jauh (PJJ)/ e-learning , membaca buku-buku/ jurnal/ literatur/ self-funded training program, dll), merencanakan waktu pemenuhannya dan mengkomunikasikan hal tersebut kepada atasan langsungnya.
Secara rutin mengalokasikan waktu untuk belajar dari berbagai sumber, baik pembelajaran terstruktur maupun tidak terstruktur untuk mendukung kinerja individu, tim, dan organisasi. Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Individu yang dilakukan dengan cara secara rutin menjadwalkan dan/atau menyisihkan waktu untuk belajar dari berbagai sumber guna pengembangan diri yang berkelanjutan. No Subkomponen Strategi Implementasi Contoh: a) pegawai membaca buku-buku dan jurnal guna menambah pengetahuan untuk efisiensi proses kerja. b) pegawai mempelajari cara-cara mengoptimalisasi aplikasi office dengan memanfaatkan Visual Basic (VB) untuk otomatisasi event. c) pegawai mengikuti konferensi secara online . d) pegawai secara rutin mempelajari cara-cara menyusun infografis untuk melaporkan kegiatan. e) pegawai mengikuti free access microlearning/e-learning atas inisiatif mandiri. f) pegawai mengikuti Pelatihan/ PJJ/ e- learning sesuai penugasan untuk meningkatkan kompetensinya. g) pegawai melaksanakan mentoring dengan atasan langsungnya untuk mendalami implementasi hasil belajar. h) pegawai melakukan berbagai kegiatan pengembangan diri lainnya.
Memiliki perspektif dan sikap mental yang positif terhadap tantangan, perubahan dan inovasi serta memiliki motivasi dan inisiatif untuk turut menciptakan sesuatu bagi organisasi secara menyeluruh. Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Individu melalui aktivitas: a) Pegawai memiliki perspektif dan sikap mental yang positif ditunjukkan dengan sikap antusias dan terbuka terhadap tantangan penugasan baru dan inovasi dalam proses pembelajaran baik untuk memperbaiki tugas dan fungsinya maupun hal lain untuk menunjang target organisasi. Contoh: Pegawai terbuka dan menerima tantangan tugas baru dari atasannya untuk membuat No Subkomponen Strategi Implementasi dashboard pengolahan data guna menunjang target unit. Pegawai tersebut kemudian siap dan antusias untuk ditugaskan dalam program pembelajaran yang disertai dengan pembelajaran terintegrasi dimana dalam jangka waktu tertentu harus dapat menyelesaikan penyusunan dashboard sesuai target atasannya. b) Pegawai memiliki motivasi dan inisiatif ditunjukkan dengan aktivitas mencari dan mengelaborasi ide, cara atau tantangan baru serta terlibat aktif dalam pencetusan ide, cara atau tantangan baru tersebut. Contoh: Pegawai memiliki motivasi tinggi dan berinisiatif untuk memetakan kebutuhan organisasinya akan otomasi data dan mendesain rancangan dashboard yang kiranya sesuai untuk dikembangkan. Dalam prosesnya, pegawai aktif berdiskusi dengan peers dan atasan langsungnya untuk mendapatkan saran dan masukan yang membangun.
Secara aktif mempelajari dan mengimplementasikan hasil belajar, di antaranya yaitu cara-cara baru dalam bekerja yang lebih baik. Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Individu melalui aktivitas: a) belajar dilakukan dengan cara selalu menginisiasi inisiatif pribadi untuk belajar secara berkesinambungan ( continuous learning ) di dalam setiap kesempatan. Contoh: pegawai mempelajari secara mandiri dari berbagai literatur terkait cara mengoptimalisasikan handphone sebagai pengganti kamera notebook supaya tampilan pada online meeting lebih baik dan mengimplementasikannya dalam tugas keseharian. No Subkomponen Strategi Implementasi b) mengimplementasikan hasil belajar dilakukan dengan cara mengujicobakan ide, cara atau tantangan baru yang didapatkan dari pembelajaran pada aktivitas dan pekerjaan sehari-hari yang berpotensi dapat meningkatkan kinerja. Contoh: pegawai mencoba menggunakan kombinasi google sheet dan data studio untuk optimalisasi pengolahan data sebagai implementasi hasil belajar dari Program Pelatihan Pengolahan Data dan Visualisasi Pelaporan.
Meningkatkan kinerja tim dan organisasi melalui eskalasi dari implementasi hasil belajarnya. Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Individu melalui aktivitas: a) meningkatkan kinerja tim dilakukan dengan cara aktif mendiseminasikan hasil pembelajaran kepada peers atau tim kerja sehingga tercipta duplikasi dan/atau pengembangan hasil pembelajaran tersebut pada tingkat tim kerja. Contoh: Pegawai berhasil mengoptimalisasikan handphone sebagai pengganti kamera notebook dan mengimplementasikannya dalam tugas keseharian. Kemudian, pegawai dimaksud membagi ilmu tersebut kepada peers /tim kerjanya melalui diskusi secara aktif ketika berkegiatan sehingga pada akhirnya peers/ tim kerjanya juga dapat mengoptimalisasikan handphone sebagai pengganti kamera notebook. __ b) meningkatkan kinerja organisasi dilakukan dengan cara aktif menyempurnakan dan menyelaraskan hasil pembelajaran sesuai dengan kebutuhan organisasi dan dinamika perkembangan lingkungan. No Subkomponen Strategi Implementasi Contoh: Pegawai mencoba menggunakan kombinasi __ Microsoft Excel dan google data studio untuk optimalisasi pengolahan data sebagai implementasi hasil belajar dari Program Pelatihan Pengolahan Data dan Visualisasi Pelaporan dan menciptakan suatu dashboard yang memudahkan unit kerjanya untuk memperoleh otomasi data dan melakukan pemantauan.
Mendokumentasikan implementasi hasil belajar (baik success maupun failure ) untuk menjadi lesson learned yang kemudian ditindaklanjuti dengan kegiatan berbagi pengetahuan dan/atau penyebarluasan lesson learned tersebut ke rekan kerja, tim, maupun organisasi secara menyeluruh. Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Individu melalui aktivitas: a) mendokumentasikan lesson learned dilakukan dengan cara mendokumentasikan setiap proses, tantangan, tips/trik, dan pelajaran lain yang didapat selama mengimplementasikan hasil belajar melalui berbagai cara/metode/media yang diterapkan di lingkungan organisasi untuk dapat memperluas dampak pembelajaran. Contoh:
pegawai secara aktif berdiskusi dan memberikan masukan pada forum Community of Practice (CoP) __ terkait Microsoft Excel.
pegawai menyusun artikel terkait cara mengoptimalkan Microsoft Excel untuk visualisasi data supaya bisa lebih mudah dicerna. b) penyebarluasan lesson learned dilakukan dengan cara aktif mendiseminasikan setiap proses, tantangan, tips/trik, dan pelajaran lain yang didapat dari proses pembelajaran pada setiap kesempatan. No Subkomponen Strategi Implementasi Contoh:
pegawai menjadi pembicara pada mini class yang diadakan di lingkungan kantornya.
pegawai mendiseminasi artikel terkait cara mengoptimalkan Microsoft Excel untuk visualisasi data yang telah disusunnya melalui Knowledge Management System (KMS) __ sehingga dapat diakses oleh setiap orang pada unit organisasinya.
Dapat menjadi inspirasi, mendorong dan mendukung orang lain untuk berkembang dan mempelajari hal-hal yang baru. Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Individu melalui aktivitas: a) Menjadi inspirasi yang ditunjukkan dengan cara berupaya menjadi yang terdepan dalam mengimplementasikan hasil belajar, menunjukkan kontribusi akan implementasi hasil belajarnya bagi organisasi dan aktif melakukan sharing akan prestasi pencapaiannya. Contoh: pegawai menjadi pembicara dalam kegiatan- kegiatan terkait sharing knowledge/ discussion. __ b) mendorong dan mendukung orang lain yang dilakukan dengan cara menyebarkan sikap positif pada peers/ tim kerja dalam setiap kesempatan dan melalui berbagai aktivitas yang mendorong pembelajaran. Contoh:
Pegawai menjadi panitia dalam kegiatan Learning Organization Knowledge Room (LOKER) dan mengajak rekan kerjanya untuk berani menjadi host /panitia.
Pegawai menjadi penggiat adanya sharing session rutin guna membantu No Subkomponen Strategi Implementasi peningkatan literasi data dan analisis data di unit organisasinya.
Tim sebagai Learners 1) Mendorong organisasi mencapai tujuan strategisnya melalui pembentukan kelompok belajar. Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Tim melalui aktivitas pembentukan kelompok: a) untuk menyelesaikan suatu penugasan/pekerjaan tertentu dan didasari oleh suatu dokumen penugasan. Contoh: Tim Pengelola Program Reformasi Birokrasi dan Transformasi Kelembagaan dan Tim Pengembang LO. b) untuk memperlancar proses bisnis tertentu yang didasari oleh inisiatif dan kebutuhan kolaborasi tanpa adanya dokumen penugasan Contoh: Kolaborasi antar PIC setiap Subbidang yang berinisiatif membuat dashboard manajemen rapat pimpinan untuk mempermudah mengagendakan rapat suatu bidang. c) sebagai suatu wahana untuk berdiskusi akan suatu topik secara berkesinambungan. Contoh: Community of Practice (CoP). d) karena adanya kepercayaan interpersonal para anggotanya ( Interdependence, Social Cohesion, Task Cohesion, Group Potency dan Psychological Safety ) sehingga mendorong perilaku belajar tim dan saling sharing pengetahuan, awareness, dan kondisi bersama guna meningkatkan kinerja. No Subkomponen Strategi Implementasi Contoh: Komunitas Data Analytics Kementerian Keuangan/ __ Ministry of Finance- Data Analytics Community (MoF-DAC). e) secara sistematis dan terintegrasi dalam program pembelajaran yang dibatasi dengan tenggat waktu serta di dalamnya mencakup input, proses, dan output . __ Contoh: tim untuk menyelesaikan suatu action learning project sebagai implementasi dari suatu program pembelajaran. __ 2) Secara terus-menerus menggerakkan aktivitas belajar di dalam tim dengan metode belajar, seperti: briefing , mentoring , meeting , job rotation , kerja sama tim, inquiry , konsultasi, reading assignment, monitoring, studi banding, belajar dari organisasi lain, belajar dari mitra, dan belajar dari pengalaman. Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Tim dengan cara project team-based action learning . Contoh: a) menyusun rencana project yang disesuaikan dengan sasaran strategis yang akan dicapai melalui action learning project . b) membangun tim yang bersifat lintas unit dan memperhatikan keragaman keahlian. c) menetapkan keanggotaan, tugas, dan peran masing-masing anggota tim sehingga anggota tim paham dengan baik tugas dan perannya, memiliki kesadaran terhadap tujuan bersama, dan berani untuk berbeda pendapat. d) mengajukan penugasan agar pejabat struktural/fungsional dapat berperan sebagai reviewer project . e) mengajukan permohonan agar pimpinan dengan keahlian yang relevan dapat berperan sebagai coach dan/atau mentor . No Subkomponen Strategi Implementasi f) menyusun linimasa project . Pelaksanaan project sedapat mungkin selaras dengan pelaksanaan tugas dan pekerjaan rutin. g) mengidentifikasi kebutuhan pengetahuan dan menyusun rencana pembelajaran yang akan dilakukan untuk mendukung pelaksanaan project . h) melakukan knowledge sharing atas pengetahuan yang tercipta pada setiap tahapan proses implementasi project . Hal ini dilakukan, selain agar tercipta proses pembelajaran yang efektif dan kolaboratif, juga agar terjadi proses transfer pengetahuan baik di dalam tim maupun kepada pegawai lain yang terkait. i) setelah project dilaksanakan, tim menyusun laporan pelaksanaan project , individu menyusun laporan analisis pembelajaran apa saja yang didapat individu pegawai selama melaksanakan project . j) melakukan proses dokumentasi terhadap semua proses yang dilalui dalam menyelesaikan action learning project dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, rencana pembelajaran, dan hasilnya (termasuk inovasi yang mengemuka) sebagai keseluruhan pengetahuan yang diperoleh dari pelaksanaan action learning project . Dokumentasi ini juga mencakup penyempurnaan atas proses dan hasil dari proses sebelumnya, sehingga terjadi continuous improvement atas hasil-hasil yang sudah tercipta tersebut. k) pemanfaatan dan pemanfaatan kembali pengetahuan yang dihasilkan dari seluruh proses pelaksanaan action learning project. 3. Organisasi sebagai Learners 1) Mendorong terjadinya pertukaran, diseminasi, dan pengaplikasian pengetahuan secara kolektif di tingkat organisasi. Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Organisasi dengan cara menginisiasi, mengembangkan dan memelihara aktivitas-aktivitas yang dapat No Subkomponen Strategi Implementasi menjadi wadah untuk mendukung pembelajaran di tingkat organisasi yang dilakukan dalam berbagai kesempatan dengan melibatkan kegiatan dialogue , baik one-on-one atau group discussion . Contoh: a) unit kerja mengembangkan Community of Practice (CoP). b) unit kerja mengembangkan kegiatan knowledge sharing (misal: One Day One Information ) yang diselenggarakan secara rutin.
Memfasilitasi implementasi budaya belajar. Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Organisasi melalui aktivitas: a) pemberian dukungan secara aktif dan rutin terhadap inovasi guna membangun keyakinan yang mendorong munculnya gagasan-gagasan baru melalui penyelenggaraan kegiatan yang dapat menumbuhkan ide dan mendorong inovasi. Contoh: unit kerja secara rutin mengadakan kegiatan gathering yang didalamnya dikomunikasikan tujuan/target organisasi dan diberi dorongan kepada setiap individu dan/atau tim untuk melakukan pengembangan diri secara berkesinambungan melalui innovation day , lomba inovasi antar subbidang/bagian, dan lain-lain. b) pemberian keamanan secara psikologis guna membangun keyakinan untuk bebas melakukan diskusi-diskusi dengan memperhatikan kode etik yang dilakukan dengan cara penanaman rasa aman dan nyaman untuk belajar dan mengujicobakan hasil pembelajaran, dalam setiap kesempatan yang ada, dengan tetap memperhatikan tahapan implementasi hasil pembelajaran. No Subkomponen Strategi Implementasi Contoh: pimpinan unit kerja menyampaikan arahan bahwa atasan langsung diharapkan tidak memberikan teguran apabila pegawai membuat kesalahan/kegagalan dalam mengimplementasikan hasil belajarnya, namun memberikan kesempatan pegawai tersebut untuk belajar dan memperbaiki kesalahan/kegagalan tersebut. c) penanaman mindset yang mendorong pengembangan budaya belajar organisasi yang dilakukan dengan cara aktif mendorong kemauan para pegawai, baik individu maupun tim, untuk terus belajar melalui berbagai cara, metode, dan aktivitas. Contoh: pimpinan unit kerja mendorong agar atasan langsung turut berperan aktif dalam pelaksanaan proses pembelajaran sehingga menjadi panutan __ bagi mitra kerjanya. d) pembangunan rasa percaya (trust) bahwa Leaders mendukung adanya ide-ide baru yang dilakukan dengan cara pemberian dukungan, pujian, penghargaan, dan pengakuan akan ide-ide baru pegawai. Contoh: pimpinan unit kerja memberikan tantangan agar setiap unit mengusulkan dan mengimplementasikan cara-cara baru dalam bekerja yang lebih efektif dan efisien, terutama di era new normal. 3) Membangun komitmen belajar di tingkat organisasi dengan memberikan jaminan keamanan secara psikologis berupa pemberian keyakinan untuk memiliki keberanian dalam mengutarakan pendapat. Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Organisasi dengan cara memberikan keyakinan pada pegawai untuk memiliki keberanian No Subkomponen Strategi Implementasi mengambil risiko dan mengutarakan pendapat. Contoh: a) pimpinan unit kerja memberikan arahan terkait pentingnya pengembangan diri dan implementasinya terhadap diri, tim dan organisasi. b) di dalam komunikasi antara pimpinan dan pelaksana pada suatu unit dalam kesehariannya menyeimbangkan antara kebutuhan organisasi dengan kebutuhan pembelajaran. c) pimpinan unit kerja __ selalu memberikan ruang diskusi untuk setiap kebijakan yang akan disusun terkait pembelajaran.
Organisasi melalui peran para pemimpinnya: a) memfasilitasi dan mendorong pembelajaran di level organisasi melalui dukungan terhadap pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada angka 1), angka 2) dan angka 3). Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Organisasi dengan cara memberikan kesempatan dan membuka peluang untuk pembelajaran dapat terjadi dalam setiap kesempatan. Contoh: pimpinan unit kerja di dalam kegiatan Dialog Kinerja Organisasi, menyatakan pentingnya pembelajaran untuk mendukung kinerja unit dan sangat terbuka untuk memfasilitasi para pegawai untuk mengikuti pembelajaran, baik yang bersifat terstruktur (Pelatihan/PJJ/ e- Learning, dll) maupun tidak terstruktur ( Mentoring, FGD, benchmarking, dll). b) mengalokasikan sumber daya, menetapkan agenda-agenda organisasi, memberikan penghargaan, dan mendisiplinkan anggotanya dalam aktivitas pembelajaran. Strategi implementasi atas subkomponen No Subkomponen Strategi Implementasi ini dilaksanakan pada tingkatan Organisasi melalui aktivitas:
alokasi sumber daya dilakukan dengan cara memastikan terjaganya sumber daya yang sesuai untuk memicu dan memelihara pembelajaran tetap terjaga. Contoh: pimpinan unit kerja memastikan pengiriman peserta untuk mengikuti program pembelajaran sesuai dengan tugas dan fungsi yang dilakukan.
menetapkan agenda organisasi dilakukan dengan cara mempertimbangkan dan memasukkan unsur pembelajaran dalam setiap agenda-agenda strategis organisasi. Contoh: pimpinan unit kerja mengagendakan sharing session pada setiap pertemuan internal yang membahas pemantauan kinerja.
memberikan penghargaan dilakukan dengan cara memberikan apresiasi dan pengakuan atas hasil pembelajaran yang dihasilkan oleh pegawai dan/atau tim. Apresiasi dan pengakuan tidak selalu diidentikkan dengan materi. Contoh: pimpinan unit kerja mengumumkan capaian pegawai/tim di lingkungan internal organisasi dan memberikan surat keterangan yang berisi penghargaan atas capaian pegawai/tim dalam mengimplementasikan hasil belajar.
mendisiplinkan dilakukan dengan cara pembentukan perilaku yang taat dan patuh terhadap aturan dan norma pembelajaran yang ada melalui serangkaian sistem kontrol atau pengawasan secara merata dan adil. No Subkomponen Strategi Implementasi Contoh: pimpinan unit kerja menyampaikan arahan agar atasan langsung memberikan teguran secara lisan kepada pegawai yang tidak mengerjakan e-learning yang telah dijadwalkan untuk diikuti tanpa alasan yang sah. c) menunjukkan toleransi terhadap kesalahan, sabar dan memiliki kemauan menjadi coach , memberikan contoh, menjadi role model , serta mengembangkan gagasan-gagasan untuk melakukan persuasi para anggota organisasi. Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Organisasi melalui aktivitas:
menunjukkan toleransi dilakukan dengan cara peka terhadap adanya perbedaan dan menerima serta menjadikannya sebagai akselerator pembelajaran . Contoh: pimpinan unit kerja memberikan arahan agar jajaran leaders bersifat terbuka dan mau mendengarkan pendapat/ masukan/argumen atas kesalahan mitra kerjanya dan bersama-sama merumuskan langkah perbaikan.
organisasi mendukung para pemimpinnya untuk memiliki kemauan menjadi coach dilakukan dengan cara inisiatif dari seluruh jajaran leaders untuk selalu siap menjadi coach dalam proses dan setiap tahapan pembelajaran yang terjadi di lingkungan unit kerjanya. Contoh: Seluruh jajaran leaders berinisiatif untuk mendiseminasikan tacit knowledge atas kompetensi teknis maupun manajerial yang mereka miliki kepada mitra kerjanya dalam upaya No Subkomponen Strategi Implementasi pengembangan kompetensi masing- masing mitra kerjanya. __ __ (3) organisasi mendukung para pemimpinnya menjadi role model dilakukan dengan cara seluruh jajaran leaders secara aktif dan berkesinambungan menjadi yang terdepan dalam mengimplementasikan dan mendukung pengembangan budaya belajar. Contoh: Seluruh jajaran leaders secara rutin membaca buku/artikel terkait dengan bidang kerjanya serta mencoba mengimplementasikan insight dari apa yang dipelajarinya sehingga rutinitas tersebut dapat ditiru oleh mitra kerjanya.
mengembangkan gagasan dilakukan dengan cara melibatkan seluruh komponen/anggota organisasi dalam proses pembentukan dan pengembangan embrio gagasan. Contoh: untuk memanfaatkan momentum dari ide yang dicetuskan oleh pegawai/tim terkait penggunaan Computable General Equilibrium (CGE) untuk memodelkan/mensimulasikan dampak peningkatan pajak terhadap perekonomian, pimpinan unit kerja memfasilitasi pegawai pengusul gagasan untuk mengikuti pelatihan dan mengalokasikan anggaran organisasi untuk membeli lisensi perangkat lunak untuk dapat menggunakan CGE tersebut.
Organisasi agile terhadap perubahan dan memanfaatkan momentum tersebut untuk pembelajaran. Strategi implementasi atas No Subkomponen Strategi Implementasi subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Organisasi dengan cara, organisasi: a) mendorong para anggota organisasi untuk belajar dengan melakukan aktivitas- aktivitas yang tercakup pada aspek struktural, kultural, dan psikologi. Contoh: unit kerja secara rutin menyelenggarakan kegiatan membaca pada waktu-waktu tertentu untuk mengakulturasi budaya membaca. b) mendorong diperolehnya skill baru yang benar-benar mengubah proses bisnis yaitu perubahan kapasitas pada level organisasi. Contoh: unit kerja mengkoordinasikan Dialog Kinerja Organisasi sesuai ketentuan yang berlaku. E. Teknis Implementasi Rincian Komponen Knowledge Management Implementation 1. Deskripsi Komponen Knowledge Management Implementation mendeskripsikan penerapan enam proses manajemen pengetahuan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai manajemen pengetahuan di lingkungan Kementerian Keuangan yang dilakukan oleh Pelaku Manajemen Pengetahuan tingkat Kementerian Keuangan, Pelaku Manajemen Pengetahuan tingkat Unit Jabatan Pimpinan Tinggi Madya, Penyusun Aset Intelektual.
Ruang Lingkup Komponen Knowledge Management Implementation mencakup penerapan manajemen pengetahuan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan mengenai manajemen pengetahuan di lingkungan Kementerian Keuangan.
Tujuan Tujuan Knowledge Management Implementation yaitu untuk memastikan manajemen pengetahuan diterapkan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai manajemen pengetahuan di lingkungan Kementerian Keuangan.
Strategi Implementasi No Subkomponen Strategi Implementasi a. Identifikasi 1) Organisasi menentukan pengetahuan yang akan didokumentasikan sebagai aset intelektual dengan kriteria merupakan pengetahuan di bidang keuangan negara; dan/atau terkait dengan pelaksanaan tugas dan fungsi Kementerian Keuangan. Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Organisasi melalui aktivitas penentuan pengetahuan yang dilakukan dengan: a) identifikasi kebutuhan aset intelektual. Kegiatan ini dilakukan dengan cara memetakan kebutuhan pengetahuan ( Knowldege Mapping ) untuk setiap rumpun dan jenjang jabatan yang akan dilakukan pendokumentasian pengetahuan berdasarkan nomenklatur kompetensi jabatan berdasarkan jenjang kompetensi teknis maupun fungsional. Contoh: Pusdiklat KU mengidentifikasi pengetahuan dan keterampilan yang sudah dimiliki dan yang dibutuhkan unitnya di bidang penyusunan dan pengembangan kurikulum, metode pembelajaran, media pembelajaran dengan memanfaatkan teknologi informasi dan materi pendidikan dan pelatihan. Hasil dari identifikasi ini kemudian diusulkan ke Sekretariat BPPK selaku unit pengelola manajemen pengetahuan tingkat Jabatan Pimpinan Tinggi Madya. b) dialog pimpinan dan bawahan. Kegiatan ini dilakukan dengan cara pemberian arahan oleh pimpinan No Subkomponen Strategi Implementasi maupun diskusi antara pimpinan dengan bawahan terkait kebutuhan pendokumentasian aset intelektual. Contoh:
pada pertemuan LCM, Menteri Keuangan memberi arahan untuk melakukan pen- dokumentasian pengetahuan terkait PEN pasca krisis melanda dunia tahun 2008.
Kepala Kantor Pelayanan secara rutin mengumpulkan seluruh jajarannya baik struktural maupun fungsional untuk berdiskusi dan menyampaikan ide/masukan terkait kebutuhan pendokumentasian pengetahuan dalam rangka menunjang tugas sehari-hari.
pelaksana Subbidang Kurikulum Pusdiklat Pajak menemui kesulitan dalam menyelesaikan penugasan penyusunan bahan ajar berbasis multimedia, kemudian menyampaikan usulan kebutuhan pendokumentasian pengetahuan terkait hal tersebut ke Kepala Subbidang Kurikulum.
Organisasi mendukung penyusun aset intelektual untuk melakukan identifikasi aset intelektual, seperti memberikan penugasan dan mendorong inisiatif. Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Individu dan Organisasi yang dilakukan dengan cara: a) pada tingkatan Individu, Pegawai memiliki kemampuan untuk membedakan data, informasi dan No Subkomponen Strategi Implementasi pengetahuan dalam konteks Manajemen Pengetahuan. Contoh: pegawai menyusun rencana knowledge capture yang dituangkan dalam dokumen tertulis, misal dalam Kerangka Acuan Kerja. b) pada tingkatan Organisasi, membekali penyusun aset intelektual dengan kompetensi teknis terkait data, informasi, dan pengetahuan. Contoh: memberikan kesempatan belajar kepada pegawai agar pegawai memiliki kemampuan untuk membedakan data, informasi dan pengetahuan dalam konteks Manajemen Pengetahuan sesuai Peraturan Menteri Keuangan mengenai manajemen pengetahuan di lingkungan Kementerian Keuangan. c) pada tingkatan Organisasi, memberikan penugasan untuk melakukan identifikasi kebutuhan aset intelektual. Contoh: Kepala Kantor Wilayah menugaskan seluruh Kepala Kantor Pelayanan di wilayahnya untuk melakukan identifikasi kebutuhan aset intelektual yang mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi pada kantornya masing-masing. d) pada tingkatan Organisasi, mendorong inisiatif untuk menyampaikan kebutuhan aset intelektual melalui forum diskusi, No Subkomponen Strategi Implementasi dialog pimpinan dan bawahan, dan sejenisnya. Contoh: pada kegiatan rutin dialog pimpinan dan bawahan, Kepala Kantor Pelayanan memberikan kesempatan kepada peserta untuk berinisiatif menyampaikan pendapatnya terkait kebutuhan aset intelektual sebagai penunjang tugas sehari-hari.
Dokumentasi 1) Organisasi melakukan kegiatan pendokumentasian Knowledge Capture (KC) untuk menghasilkan aset intelektual melalui metode di antaranya: wawancara; pengamatan; diskusi kelompok terarah; dan/atau komunitas belajar (CoP). Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Individu yang dilakukan dengan cara melakukan pendokumentasian pengetahuan yang bersifat tacit menjadi eksplisit (KC) untuk dijadikan aset intelektual dari kegiatan sehari- hari, pelaksanaan wawancara; pengamatan; diskusi kelompok terarah; dan/atau komunitas belajar (CoP) Contoh: a) pegawai mewawancarai Dirjen Anggaran dalam acara Chasing Knowledge. b) pegawai mendokumentasikan kegiatan job shadowing yang dilakukannya. c) pegawai menyusun catatan ringkas sebagai hasil dari COP berupa lesson learned dari pemecahan masalah.
Organisasi menghasilkan aset intelektual yang dituangkan dalam No Subkomponen Strategi Implementasi bentuk audio, visual, dan audiovisual. Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Individu dan Tim yang dilakukan dengan cara konversi hasil pendokumentasi pengetahuan yang berasal dari wawancara; pengamatan; diskusi kelompok terarah; dan/atau komunitas belajar (CoP) menjadi dalam bentuk audio, visual, dan/atau audiovisual. Contoh: a) pada tingkatan Individu, bahan/materi hasil wawancara dengan Dirjen Anggaran dalam acara Chasing Knowledge disusun kembali dalam bentuk Video KC yang sudah siap diunggah pada Software KMS. b) pada tingkatan Tim, SGO di unit teknis bersama dengan Widyaiswara Pusdiklat berkolaborasi melakukan pendokumentasian pengetahuan (KC) untuk menghasilkan aset intelektual.
Organisasi mendukung penyusun aset intelektual untuk melakukan dokumentasi aset intelektual, seperti memberikan penugasan atau mendorong inisiatif. Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Organisasi dengan cara: a) memberikan penugasan dan/atau target pendokumentasian pengetahuan kepada masing- masing pegawai yang dituangkan dalam dokumen resmi. No Subkomponen Strategi Implementasi Contoh: Kepala BPPK membuat kebijakan/arahan yang dituangkan dalam IKU setiap pegawai di lingkungan BPPK untuk melakukan pendokumentasian pengetahuan dari kegiatan After Action Review (AAR) masing- masing pegawai. b) menyampaikan arah kebijakan strategis terkait pendokumentasian pengetahuan. Contoh: Sekretaris Badan memberikan arahan untuk dapat melakukan knowledge capture dengan tema proses bisnis inti BPPK.
Pengorganisasian 1) Organisasi melakukan kegiatan penataan aset intelektual. Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Individu dan Organisasi dengan cara menyimpan dan mengorganisasikan aset intelektual dalam KMS, melalui aktivitas: a) katalogisasi dan klasifikasi yang didasarkan pada bidang keilmuan terkait keuangan negara, fungsi unit jabatan pimpinan tinggi madya di lingkungan Kementerian Keuangan, dan/atau standar kompetensi jabatan. Contoh: pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) membuat dokumen pengetahuan mengenai barang kimia berbahaya kemudian diberikan klasifikasi sebagai aset intelektual dengan tema “pemeriksaan barang impor” dan diupload di software KMS. No Subkomponen Strategi Implementasi b) abstraksi, dengan menyusun deskripsi sederhana atas aset intelektual. Contoh: memberikan deskripsi singkat atas aset intelektual sebagai informasi untuk pengguna aset intelektual. c) pemberian indeks, dengan melakukan mekanisme pengolahan aset intelektual yang dilakukan secara automasi. Contoh penyusun aset intelektual mengupload dokumentasi pengetahuan dalam KMS kemudian secara otomatis diperoleh indeks atas pengetahuan dimaksud.
Organisasi melakukan proses penjaminan mutu secara terstruktur dengan penunjukan panitia penjamin mutu. Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Tim dan Organisasi dengan cara: a) pada tingkatan Organisasi, membentuk panitia penjaminan mutu yang terdiri dari sekurang- kurangnya 2 (dua) orang dari Unit Eselon I dan Unit Non Eselon yang bertanggung jawab secara langsung kepada Menteri Keuangan dan 1 (satu) orang dari BPPK (Pusdiklat Tematik) untuk memastikan kesahihan dan kelayakan Aset Intelektual, serta menentukan level akses Aset Intelektual. Contoh: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menunjuk sekelompok orang yang No Subkomponen Strategi Implementasi terdiri dari para account representative terbaik sebagai panitia penjaminan mutu untuk aset intelektual dengan tema “pelayanan terhadap wajib pajak” dan berkolaborasi dengan Widyaiswara Pusdiklat Pajak. b) pada tingkatan Tim, menjalankan peran Panitia Penjaminan Mutu Contoh:
Tim Panitia Penjaminan Mutu melakukan validasi untuk memastikan kesahihan dan kelayakan aset intelektual.
Tim Panitia Penjaminan Mutu menentukan level akses Aset Intelektual.
Penyebarluasan 1) Organisasi menyediakan aset intelektual pada laman antar muka perangkat lunak sistem manajemen pengetahuan (software KMS ). 2) Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Tim dan Organisasi melalui aktivitas penyediaan aset intelektual dilakukan dengan cara mengunggah aset intelektual pada software KMS untuk dapat diakses oleh pengguna software KMS. __ Contoh: a) pada tingkatan Tim, Tim kerja menyediakan Aset Intelektual level 1 pada KMS untuk dapat diakses oleh Tim/Individu tertentu. b) pada tingkatan Tim, tim kerja menyediakan Aset Intelektual mengenai pengisian Surat Pemberitahuan/SPT tahunan untuk umum yang ditempatkan No Subkomponen Strategi Implementasi pada KMS dengan akses level 4 ( public ) sehingga dapat dinikmati oleh masyarakat luas. c) pada tingkatan Organisasi, Unit kerja menyediakan Aset Intelektual level 2, 3, dan 4 pada KMS untuk dapat diakses oleh pengguna KMS sesuai dengan tingkatan levelnya.
Penerapan 1) Organisasi memberikan kesempatan untuk melakukan pengaplikasian atau pemanfaatan aset intelektual oleh pengguna perangkat lunak sistem manajemen pengetahuan (software knowledge management system) untuk mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi yang bersangkutan.
Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Individu, Tim dan Organisasi melalui pemberian kesempatan yang tercermin pada aktivitas pekerjaan sehari-hari pegawai yang memanfaatkan pengetahuan yang telah didapatkan dari KMS. Contoh: a) Pada tingkatan Individu, (1) pegawai baru pada Subbidang Kurikulum memanfaatkan video “tips dan trik penyusunan kurikulum” untuk mengakselerasi kompetensi pegawai yang bersangkutan dalam penyusunan kurikulum.
pegawai menunjukkan video mengenai pengelolaan risiko di lingkungan Kementerian Keuangan untuk memberikan perspektif yang sama dengan No Subkomponen Strategi Implementasi pegawai lain dan juga atasannya.
pegawai (baik itu pimpinan, pejabat struktural, pejabat fungsional, staf pelaksana) terlibat dalam aktivitas berbagi pengetahuan dengan sesama pegawai di unit kerja. b) pada tingkatan Tim, Tim kerja memanfaatkan aset intelektual dalam software KMS sebagai pedoman pelaksanaan tugas dan fungsi tim kerja. c) pada tingkatan Organisasi, (1) Unit kerja membentuk komunitas sesuai dengan keahlian/ kompetensi yang mendukung proses bisnis organisasi dalam bentuk CoP.
Unit kerja membentuk komunitas berdasarkan peminatan pegawai dalam bentuk Community of Interest .
Pemantauan 1) Organisasi memastikan kesesuaian antara aset intelektual yang terdapat dalam perangkat lunak sistem manajemen pengetahuan (software knowledge management system) dengan kebutuhan pengguna perangkat lunak sistem manajemen pengetahuan (software knowledge management system). __ 2) Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Tim dan Organisasi melalui aktivitas memastikan kesesuaian dilakukan dengan cara melakukan kegiatan pemutakhiran untuk memastikan kesesuaian antara aset No Subkomponen Strategi Implementasi intelektual yang terdapat dalam Software KMS dengan kebutuhan Pengguna Software KMS sesuai dinamika dan kebutuhan organisasi. Contoh: a) pada tingkatan Individu, pegawai memberikan feedback atas aset intelektual dalam software KMS terkait kesesuaian aset intelektual dengan dinamika dan kebutuhan organisasi b) pada tingkatan Tim, (1) penyusun aset intelektual mengenai “Pajak Penghasilan Pasal 21” melakukan pemutakhiran Aset Intelektual dengan mengakomodir perubahan berdasarkan Undang-Undang mengenai cipta kerja.
penyusun aset intelektual mengenai “tata cara penggunaan KLC” melakukan pemutakhiran Aset Intelektual dengan menyesuaikan pada aplikasi terbaru yaitu KLC versi 2.
SGO di unit teknis bersama dengan Widyaiswara Pusdiklat berkolaborasi melakukan pemutakhiran Aset Intelektual. c) pada tingkatan Organisasi, unit kerja melakukan pemutakhiran Aset Intelektual dalam KMS (baik KMS Unit Kerja maupun KMS Kemenkeu) sesuai dengan dinamika dan kebutuhan organisasi. F. Teknis Implementasi Komponen Learning Value Chain 1. Deskripsi a. Komponen Learning Value Chain dideskripsikan sebagai serangkaian proses analisis, desain, implementasi, dan evaluasi untuk melaksanakan pembelajaran yang relevan, aplikatif, berdampak tinggi, dan mudah diakses (RAIA) yang sesuai kebutuhan strategis organisasi.
Program pembelajaran yang memenuhi kualifikasi RAIA, merupakan salah satu hal penting yang harus dikembangkan oleh organisasi dalam rangka mewujudkan organisasi pembelajar.
Ilustrasi Komponen Learning Value Chain dapat dilihat pada gambar berikut:
Learning Value Chain dimulai dengan tahapan AKP, yang merupakan serangkaian proses analisis terhadap kesenjangan pengetahuan, keterampilan, dan sikap dalam rangka pengembangan SDM dengan program pembelajaran guna mendukung pencapaian target kinerja organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan.
Proses AKP dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai pedoman AKP di lingkungan Kementerian Keuangan.
Untuk mengembangkan program pembelajaran yang berdampak tinggi, disusun desain pembelajaran yang merupakan seperangkat rencana dan pengaturan pembelajaran yang berisi tujuan, sasaran, deskripsi, silabus mata pelajaran, dan metode pembelajaran.
Proses penyusunan desain pembelajaran dilakukan sesuai dengan ketentuan mengenai pedoman desain pembelajaran di lingkungan Kementerian Keuangan.
Tahapan berikutnya yaitu penyelenggaraan pembelajaran sesuai dengan desain yang telah disusun untuk meningkatkan kompetensi SDM dalam rangka mendukung pencapaian sasaran kinerja organisasi.
Penyelenggaraan pembelajaran dapat dilakukan melalui jalur klasikal dan/atau nonklasikal yang dikelola oleh Unit Pengelola.
Namun demikian Unit Pengguna diberikan kesempatan untuk menyelenggarakan pembelajaran baik jalur klasikal maupun non klasikal di luar pelatihan, kursus, penataran, e-learning dan PJJ.
Tahap terakhir dalam Learning Value Chain yaitu evaluasi pembelajaran, yang merupakan proses penilaian dan pengukuran atas peserta, pengajar, dan penyelenggara yang dilakukan baik pada saat berakhirnya kegiatan Pembelajaran maupun setelah peserta kembali ke tempat kerja.
Evaluasi pembelajaran terdiri dari 4 level, yaitu 1) evaluasi level 1 mengukur bagaimana peserta pembelajaran bereaksi terhadap pembelajaran yang diikuti, atau dengan kata lain mengukur kepuasan peserta pembelajaran ( customer satisfaction );
evaluasi level 2 mengukur proses belajar dalam pembelajaran, yaitu terjadinya transfer pengetahuan ( transfer of learning ), dengan kata lain mengukur sejauh mana pembelajaran terjadi;
evaluasi level 3 melihat apakah alumni kegiatan pembelajaran memanfaatkan apa yang mereka pelajari di tempat kerja misalnya terkait perubahan perilaku; dan
evaluasi level 4 menentukan apakah kegiatan pembelajaran tersebut berdampak positif pada kinerja organisasi.
Ruang Lingkup Komponen Learning Value Chain mencakup bagaimana organisasi menjalankan peranannya dalam setiap tahapan learning value chain yang terdiri dari AKP, desain pembelajaran, penyelenggaraan pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran.
Tujuan Tujuan dari komponen Learning Value Chain yaitu memberikan gambaran proses tahapan pembelajaran yang optimal mulai dari analisis, desain, pengembangan, implementasi, dan evaluasi untuk menghasilkan kegiatan pembelajaran yang relevan, aplikatif, berdampak tinggi, dan mudah diakses sesuai kebutuhan strategis organisasi.
Strategi Implementasi No Sub Komponen Strategi Implementasi a. Analisis Kebutuhan Pembelajaran 1) Unit pengguna berpartisipasi secara aktif dalam AKP yang terdiri atas penyiapan landasan AKP, pertemuan learning council , pengumpulan data AKP, verifikasi Laporan Hasil Pengumpulan Data AKP, dan harmonisasi hasil AKP sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai pedoman AKP di lingkungan Kementerian Keuangan. Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Individu, Tim, dan Organisasi melalui: No Sub Komponen Strategi Implementasi a) Pada tingkatan Individu, pegawai mengusulkan kebutuhan pembelajaran sebagai sarana pengembangan kompetensi diri dan mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi. Contoh: Pegawai menyampaikan kepada atasan langsung mengenai kebutuhan pembelajaran melalui kegiatan Dialog Kinerja Individu (DKI) maupun pada saat AKP Jabatan/Individu dilakukan oleh Unit Pelaksana AKP Utama. b) Pada tingkatan Tim, (1) Tim melakukan pembahasan untuk mengidentifikasi kegiatan pembelajaran yang dibutuhkan dalam mendukung pencapaian target kinerja Tim.
Tim mengusulkan kebutuhan kegiatan pembelajaran dalam mendukung pencapaian target kinerja Tim secara berjenjang kepada Unit Pelaksana AKP Utama. Contoh: Tim Pengembang Aplikasi lintas unit di BPPK menyampaikan kebutuhan pembelajaran terkait dengan pengembangan aplikasi Flutter kepada Bagian Kepegawaian BPPK c.q Subbagian Pengembangan Pegawai. c) Pada tingkatan Organisasi, berpartisipasi aktif dalam penyiapan landasan AKP ditunjukkan dengan aktivitas menyiapkan dokumen sesuai yang dibutuhkan. Contoh:
Bagian Kepegawaian menyiapkan dokumen renstra, perubahan proses bisnis, perubahan peraturan, standar kompetensi jabatan, dan rencana pengembangan SDM sebagai landasan dalam melaksanakan AKP di lingkungan Unit Eselon I dan Unit Non Eselon yang bertanggung jawab secara langsung kepada Menteri Keuangan.
Sekretaris Ditjen menugaskan SGO dalam membantu penyiapan dokumen-dokumen dimaksud dan juga melakukan analisis kebutuhan pengembangan SDM. No Sub Komponen Strategi Implementasi d) Pada tingkatan Organisasi, berpartisipasi aktif dalam pertemuan learning council ditunjukkan dengan aktivitas:
melakukan rekapitulasi kebutuhan strategis yang telah ditentukan dalam pertemuan learning council ;
menganalisis hasil rekapitulasi kebutuhan strategis yang berdampak pada pemenuhan kompetensi jabatan; dan
menentukan kebijakan pengembangan pegawai negeri sipil yang dapat diakomodasi melalui AKP Individu berdasarkan arahan dalam pertemuan learning council . Contoh: Bagian Pengembangan SDM berkoordinasi dengan Skill Group Owner (SGO) dalam menyusun daftar/dokumen isu strategis dan kebutuhan performansi yang sesuai dengan hasil pertemuan learning council . e) Pada tingkatan Organisasi, berpartisipasi aktif dalam pengumpulan data ditunjukkan dengan aktivitas pengkajian dan koordinasi penyelesaian pengumpulan data yang meliputi:
melakukan pengkajian atas kebutuhan pengembangan SDM yang perlu didukung melalui Pembelajaran untuk tahun anggaran berjalan dan menyampaikan permintaan tertulis kebutuhan insidental kepada Unit Pengelola. Contoh: Sekretariat DJBC dalam tahun berjalan menyampaikan permintaan kebutuhan pembelajaran untuk ketua auditor kepabeanan dan cukai sub unsur audit kepabeanan dan cukai kepada Pusdiklat Bea dan Cukai sebagai tindak lanjut atas pemenuhan kompetensi untuk ketua auditor baru di lingkungan DJBC.
melakukan pembahasan bersama dengan SGO untuk menentukan sampel AKP Strategis (dapat juga melibatkan Unit Pengelola). No Sub Komponen Strategi Implementasi Contoh: Sekretariat DJP mengundang SGO yang berasal dari direktorat teknis yang terkait isu strategis untuk membahas sampel AKP Strategis di lingkungan DJP.
bersama dengan SGO mengumpulkan data AKP Strategis dengan berpedoman pada Dokumen Rekapitulasi Kebutuhan Strategis dan Dokumen Rencana Pengambilan Sampel AKP Strategis (dapat juga melibatkan Unit Pengelola). Contoh: Sekretariat Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) bersama dengan SGO melakukan penggalian data melalui penyebaran kuesioner dan wawancara kepada seluruh sampel AKP strategis di lingkungan DJPb.
membandingkan kompetensi setiap pegawai dengan kompetensi jabatan yang diduduki dan yang akan diduduki berdasarkan landasan AKP Jabatan. Contoh: Bagian SDM membandingkan kompetensi seluruh Kasubbag Umum/calon Kasubbag dengan Standar Kompetensi Jabatan, Standar Kompetensi Teknis dan Rencana Pengembangan Jabatan bagi Kasubbag Umum.
dalam hal belum terdapat landasan AKP Jabatan, menyusun dan menyebarkan kuesioner pelaksanaan AKP Jabatan berdasarkan tugas dan fungsi, uraian jabatan, laporan individual assessment center, hasil tes potensi, hasil pengukuran kompetensi teknis, dan/atau pedoman lain yang ditentukan oleh Unit Pengelola dan Unit Pembina Sumber Daya Manusia. Contoh: Bagian Kepegawaian memetakan kebutuhan kompetensi pejabat administrator yang baru dilantik berdasarkan laporan individual assessment No Sub Komponen Strategi Implementasi center , hasil tes potensi, hasil pengukuran kompetensi teknis dan riwayat pelatihan.
menyampaikan kepada Unit Pelaksana AKP Unit Kerja mengenai kebijakan Learning Council terkait pengembangan pegawai yang dapat diakomodasi melalui AKP Individu dan program yang dapat dipilih sebagai pemenuhan AKP Individu. Contoh: Sekretaris DJKN mengirimkan nota dinas yang berisi daftar program pembelajaran yang dapat dipilih sebagai pemenuhan AKP Individu kepada seluruh unit kerja di lingkungan DJKN.
menyampaikan Laporan Hasil Pengumpulan Data AKP Strategis, Jabatan dan Individu kepada Unit Pengelola. Contoh: Sekretariat Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) mengirimkan nota dinas mengenai laporan hasil pengumpulan data AKP kepada Pusdiklat Kekayaan Negara dan Perimbangan Keuangan (KNPK).
menyusun perencanaan untuk kegiatan pembelajaran selain pelatihan, kursus, penataran, e-learning dan PJJ yang akan dikelola secara mandiri. Contoh: Bagian Pengembangan Kepegawaian DJBC menyusun kerangka acuan kerja dari kegiatan Workshop Pengolahan Data Analis Kepabeanan dan Cukai Menggunakan Tools Rapid Miner. f) Pada tingkatan Organisasi, berpartisipasi aktif dalam verifikasi hasil pengumpulan ditunjukkan dengan aktivitas koordinasi dengan pihak terkait yang meliputi:
bersama dengan perwakilan SGO dan Unit Pengelola melakukan Verifikasi Laporan Hasil Pengumpulan Data AKP Strategis, Jabatan dan Individu. No Sub Komponen Strategi Implementasi Contoh: Bagian Pengembangan Pegawai dan SGO DJPb menghadiri undangan Rapat Verifikasi Laporan Hasil Pengumpulan Data AKP dari Pusdiklat AP.
bersama dengan perwakilan SGO dan Unit Pengelola melaksanakan koordinasi untuk mengambil keputusan terkait prioritas utama dan prioritas pendukung serta pemenuhan kebutuhan Pembelajaran. Contoh: Bagian SDM DJA dan SGO memberikan pendapat terkait prioritas utama dan prioritas pendukung dari daftar kebutuhan pelatihan yang dibahas pada Rapat Verifikasi Laporan Hasil Pengumpulan Data AKP. Selain itu, Bagian SDM dan SGO juga menyampaikan pendapat terkait dengan rencana pemenuhan kebutuhan pembelajaran yang meliputi: (a) jalur pembelajaran; (b) program pembelajaran; (c) jumlah peserta; (d) target peserta; dan (e) rencana lokasi dan waktu penyelenggaraan. g) Pada tingkatan Organisasi, berpartisipasi aktif dalam harmonisasi AKP ditunjukkan dengan aktivitas melakukan pembahasan hasil harmonisasi dengan unit pengelola untuk memperoleh persetujuan bersama. Contoh: Bagian SDM Badan Kebijakan Fiskal menghadiri undangan Rapat Harmonisasi AKP dari Pusdiklat KU untuk melakukan pembahasan dan menyusun kesepakatan bersama terkait rencana penyelenggaraan dan kalender pembelajaran.
Unit pengguna menunjuk pemilik rumpun keahlian (SGO) untuk membantu pelaksanaan AKP termasuk terlibat dalam implementasi hasil AKP. Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Organisasi melalui aktivitas: No Sub Komponen Strategi Implementasi a) SGO membantu pelaksanaan AKP pada penyiapan landasan dilakukan dengan cara membantu penyiapan dokumen sesuai yang dibutuhkan yang meliputi dokumen proses bisnis, perubahan peraturan, standar kompetensi jabatan, dan rencana pengembangan SDM. Contoh: SGO di lingkungan DJP menyampaikan perubahan proses bisnis dan perubahan peraturan yang mengakibatkan adanya kebutuhan pengembangan kompetensi dan menjadi landasan dalam pelaksanaan AKP kepada Direktorat Kepatuhan Internal dan Sumber Daya Aparatur. b) Aktivitas SGO dalam membantu pelaksanaan AKP pada pengumpulan data yang dilakukan dengan cara:
membantu Unit Pelaksana AKP Utama dalam melakukan pengkajian atas kebutuhan pengembangan SDM yang perlu didukung melalui Pembelajaran untuk tahun anggaran berjalan. Contoh: SGO menyampaikan pendapat atas pengembangan kompetensi teknis pegawai sesuai kebutuhan organisasi pada tahun berjalan dalam forum bersama dengan Bagian Pengembangan Pegawai.
melakukan pembahasan bersama dengan Unit Pelaksana AKP Utama untuk menentukan sampel AKP Strategis. Contoh: SGO menyampaikan pendapat terkait pemilihan sampel AKP Strategis yang akan menjadi responden dalam pengumpulan data AKP Strategis dalam forum bersama dengan Bagian Pengembangan Pegawai.
bersama dengan Unit Pelaksana AKP Utama mengumpulkan data AKP Strategis dengan berpedoman pada Dokumen Rekapitulasi Kebutuhan Strategis dan No Sub Komponen Strategi Implementasi Dokumen Rencana Pengambilan Sampel AKP Strategis. Contoh: SGO membantu Bagian Pengembangan Pegawai dengan melakukan survei dan wawancara AKP Strategis kepada Kanwil yang menjadi sampel.
membantu Unit Pelaksana AKP Utama dalam menyusun perencanaan untuk kegiatan pembelajaran selain pelatihan, kursus, penataran, e-learning , dan PJJ yang akan dikelola secara mandiri oleh Unit Organisasi. Contoh: SGO menghadiri rapat koordinasi yang diadakan oleh Bagian Pengembangan Pegawai dan menyampaikan kebutuhan kegiatan pengembangan kompetensi yang dapat dikelola secara mandiri. c) SGO membantu pelaksanaan AKP pada verifikasi hasil pengumpulan yang dilakukan dengan cara:
bersama dengan Unit Pengelola dan Unit Pelaksana AKP Utama melakukan verifikasi Laporan Hasil Pengumpulan Data AKP Strategis, Jabatan dan Individu. Contoh: SGO bersama dengan Bagian Pengembangan Pegawai menghadiri undangan Rapat Verifikasi Hasil Pengumpulan Data AKP dari Pusdiklat di lingkungan BPPK.
bersama dengan Unit Pengelola dan Unit Pelaksana AKP Utama melaksanakan koordinasi untuk mengambil keputusan terkait prioritas utama dan prioritas pendukung serta pemenuhan kebutuhan Pembelajaran. Contoh: SGO memberikan pendapat terkait prioritas utama dan prioritas pendukung dari daftar kebutuhan pelatihan yang dibahas pada Rapat Verifikasi Laporan Hasil Pengumpulan Data AKP. Selain itu, No Sub Komponen Strategi Implementasi SGO juga menyampaikan pendapat terkait dengan rencana pemenuhan kebutuhan pembelajaran yang meliputi: (a) jalur pembelajaran; (b) program pembelajaran; (c) jumlah peserta; (d) target peserta; dan (e) rencana lokasi dan waktu penyelenggaraan.
Desain Pembelajaran 1) Organisasi berpartisipasi secara aktif dalam penyusunan dan/atau pengembangan desain pembelajaran, seperti memberi masukan dan mereviu atas konsep desain pembelajaran. Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Organisasi melalui aktivitas: a) melakukan reviu atas konsep desain pembelajaran yang disusun oleh unit pengelola sebagai bahan pemberian masukan dalam rapat desain pembelajaran. Contoh: Bagian SDM DJA melakukan reviu terhadap konsep desain pelatihan jabatan fungsional analis anggaran yang dikirimkan oleh Pusdiklat AP. b) memberikan masukan untuk kebutuhan peningkatan kompetensi ( competency issue ) SDM, khususnya untuk pembelajaran yang bertujuan memenuhi AKP Jabatan. Contoh: Bagian SDM DJA menghadiri undangan Rapat Desain Pembelajaran dari Pusdiklat AP dan menyampaikan pendapat terkait konsep desain pembelajaran yang disusun untuk memenuhi kebutuhan kompetensi hasil AKP Jabatan. c) memberikan konfirmasi atas desain pembelajaran yang telah disusun oleh Pusdiklat sesuai dengan hasil rapat desain pembelajaran. Contoh: Bagian SDM DJA melakukan final check dan memberikan konfirmasi atas konsep desain No Sub Komponen Strategi Implementasi pembelajaran yang disampaikan oleh Pusdiklat AP.
Organisasi menugasi SGO untuk memberi masukan kesesuaian antara desain pembelajaran dengan kebutuhan strategis ( learning outcome ), kebutuhan kinerja ( learning output ), dan kebutuhan kompetensi ( learning goals ). Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Organisasi melalui aktivitas: a) melakukan reviu atas konsep desain pembelajaran yang disusun oleh unit pengelola sebagai bahan pemberian masukan dalam rapat desain pembelajaran. Contoh: SGO di lingkungan DJPb melakukan reviu terhadap konsep desain Pelatihan Penyiapan Tenaga Pendamping Penyusun Laporan Keuangan K/L yang dikirimkan oleh Pusdiklat AP sebagai bahan masukan pada rapat desain pembelajaran yang akan dilaksanakan. b) memberikan masukan kesesuaian antara desain pembelajaran dengan kebutuhan strategis ( learning outcome ), kebutuhan kinerja ( learning output), dan kebutuhan kompetensi __ ( learning goals ) __ serta kesesuaian metode pembelajaran dengan kebutuhan organisasi, khususnya untuk metode-metode yang digunakan dalam pembelajaran terintegrasi. Contoh: SGO di lingkungan DJPb membandingkan konsep desain pembelajaran dengan kebutuhan strategis ( learning outcome ), kebutuhan kinerja ( learning output ) , dan kebutuhan kompetensi (learning goals) serta __ metode pembelajaran yang digunakan dengan kebutuhan organisasi. Selanjutnya, SGO menghadiri rapat desain pembelajaran dan memberikan masukan mengenai kesesuaian beberapa hal dimaksud.
Penyelenggaraan Pembelajaran 1) Organisasi berpartisipasi secara aktif dalam penyelenggaraan pembelajaran pada tahap persiapan dan kegiatan pembelajaran. Strategi implementasi atas subkomponen ini No Sub Komponen Strategi Implementasi dilaksanakan pada tingkatan Individu, Tim, dan Organisasi melalui: a) Pada tingkatan Individu, (1) Pegawai membaca dan memahami Kerangka Acuan Pembelajaran sebelum kegiatan pembelajaran dilaksanakan agar dapat mengikuti kegiatan pembelajaran dengan lebih terarah dan mendapatkan hasil yang optimal.
Pegawai mengikuti kegiatan pembelajaran dengan penuh komitmen dan tanggung jawab untuk mendapatkan hasil yang terbaik. Contoh: Pegawai mengikuti e-learning Manajemen Pengetahuan: Dokumentasi Pengetahuan dengan terlebih dahulu mengetahui tujuannya serta melaksanakan seluruh action learning yang telah ditugaskan pada e-learning dimaksud. b) Pada tingkatan Tim, (1) Tim membaca, memahami dan mendiskusikan Kerangka Acuan Pembelajaran sebelum kegiatan pembelajaran dilaksanakan agar dapat mengikuti kegiatan pembelajaran dengan lebih terarah dan mendapatkan hasil yang optimal.
Tim mengikuti kegiatan pembelajaran dengan penuh komitmen dan tanggung jawab untuk mendapatkan hasil yang terbaik. Contoh: Tim Pengembang Aplikasi mengikuti PJJ Pengembangan Aplikasi Berbasis Flutter dengan terlebih dahulu mengetahui tujuannya dan melaksanakan seluruh action learning yang telah ditugaskan pada PJJ dimaksud, serta mengaplikasikan kompetensi yang diperoleh dalam pekerjaan sehari-hari. c) Pada tingkatan Organisasi, berpartisipasi aktif dalam persiapan penyelenggaraan pembelajaran dilakukan dengan cara: No Sub Komponen Strategi Implementasi (1) memproses penugasan dan pengiriman peserta kegiatan pembelajaran sesuai dengan hasil AKP dan desain pembelajaran. Contoh: Sekretariat DJKN memproses penugasan peserta pelatihan sesuai dengan hasil AKP dan desain pembelajaran.
memproses penugasan SGO/Pejabat/ Pegawai yang memiliki keahlian khusus untuk menjadi tenaga pengajar dalam kegiatan pembelajaran sesuai dengan permintaan dari penyelenggara pembelajaran (dalam hal tidak ada penugasan mendesak lainnya). Contoh: Bagian SDM DJPb memproses penugasan pegawai pada Direktorat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan untuk menjadi tenaga pengajar pada Pelatihan Penyiapan Tenaga Pendamping Penyusun Laporan Keuangan K/L untuk menindaklanjuti permintaan tenaga pengajar dari Pusdiklat AP .
membantu pelaksanaan aktivitas pembelajaran terintegrasi di lingkungan unitnya antara lain melalui coaching , __ mentoring , __ benchmarking , __ dan __ job shadowing. Contoh: Bagian SDM DJPb berkoordinasi dengan Direktorat Teknis dalam menyediakan dukungan pelaksanaan mentoring action learning (capstone project) Inisiatif Strategis Data Analytics sebagai rangkaian dari PJJ Bootcamp Data Analytics II. d) Pada tingkatan Organisasi, berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan pembelajaran dilakukan dengan cara melakukan asistensi terhadap aktivitas pembelajaran terintegrasi yang dilakukan oleh peserta pembelajaran di tempat kerja. Contoh: Bagian SDM DJPb berkoordinasi dengan Direktorat Teknis dalam memastikan aktivitas mentoring action learning (capstone No Sub Komponen Strategi Implementasi project) Inisiatif Strategis Data Analytics yang menjadi rangkaian dari PJJ Bootcamp Data Analytics II berjalan dengan baik. e) Pada tingkatan Organisasi, melakukan pemantauan penyelenggaraan kegiatan pembelajaran dan memberikan saran kepada Unit Pengelola dalam rangka peningkatan kualitas penyelenggaraan pembelajaran. Contoh: Sekretariat BPPK c.q Bagian Kepegawaian melakukan observasi atas aktivitas peserta BPPK dalam pembelajaran serta menyampaikan usulan kepada Pusdiklat KU untuk perbaikan pelaksanaan pembelajaran yang sedang berjalan. f) Pada tingkatan Organisasi, melakukan pemantauan terhadap aktivitas pembelajaran terintegrasi yang dilakukan oleh peserta pembelajaran di tempat kerja. Contoh: Sekretariat BPPK c.q Bagian Kepegawaian memastikan bahwa peserta melaksanakan kegiatan pembelajaran yang merupakan bagian dari Talent Development Program (misal: job shadowing, learning while working dan coaching mentoring ).
Organisasi menyelenggarakan kegiatan pembelajaran yang dapat dilaksanakan secara mandiri (pembelajaran selain pelatihan, kursus, penataran, e-learning , dan PJJ) berkoordinasi dengan BPPK. Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Organisasi melalui: a) menyiapkan administrasi, sarana, dan prasarana yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan secara mandiri (pembelajaran selain pelatihan, kursus, penataran, e-learning , dan PJJ). Contoh: Bagian SDM DJPb mempersiapkan administrasi yang dibutuhkan dalam rangka pelaksanaan kegiatan bimbingan teknis yang No Sub Komponen Strategi Implementasi antara lain berupa surat tugas, daftar hadir dan dokumentasi kegiatan. b) menyelenggarakan kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan secara mandiri (pembelajaran selain pelatihan, kursus, penataran, e-learning , dan PJJ). Contoh: Bagian SDM DJPb bekerjasama dengan Direktorat Teknis dalam menyelenggarakan bimbingan teknis bagi pegawai di lingkungan DJPb. c) menginformasikan penyelenggaraan kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan secara mandiri (pembelajaran selain pelatihan, kursus, penataran, e-learning , dan PJJ) kepada BPPK dengan tembusan kepada Biro SDM, Sekretariat Jenderal. Contoh: Bagian SDM DJPb menyusun rekapitulasi kegiatan pembelajaran yang dikelola secara mandiri berupa seminar, bimbingan teknis, dan pengembangan SDM lainnya serta menyampaikan rekapitulasi kegiatan tersebut kepada Sekretariat Badan, BPPK dengan tembusan kepada Biro SDM, Sekretariat Jenderal.
Evaluasi Pembelajaran 1) Organisasi berpartisipasi secara aktif dalam proses evaluasi pembelajaran yang meliputi evaluasi penyelenggaraan, evaluasi pengajar, evaluasi hasil pembelajaran peserta, dan evaluasi pascapembelajaran (evaluasi implementasi hasil pembelajaran dan evaluasi dampak pembelajaran). Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Individu, Tim, dan Organisasi melalui: a) Pada tingkatan Individu, peserta kegiatan pembelajaran mengikuti seluruh tahapan evaluasi pembelajaran dengan persiapan yang memadai untuk memperoleh hasil yang terbaik. Contoh: Pegawai yang menjadi peserta Latsar mempersiapkan terlebih dahulu kebutuhan aktualisasi serta mendiskusikannya kepada No Sub Komponen Strategi Implementasi mentor untuk memastikan pelaksanaan aktualisasi berjalan dengan lancar. b) Pada tingkatan Tim, (1) Anggota tim mengikuti seluruh tahapan evaluasi pembelajaran dengan persiapan yang memadai untuk memperoleh hasil yang terbaik.
Tim mengadakan forum diskusi untuk membahas hasil pembelajaran dan merencanakan implementasi hasil pembelajaran dalam kerja tim. Contoh: (a) Tim Pengembang Aplikasi setelah mengikuti PJJ Pengembangan Aplikasi Berbasis Flutter mempelajari kembali materi pembelajaran untuk persiapan pelaksanaan ujian. (b) Tim Pengembang Aplikasi yang menjadi alumni PJJ Pengembangan Aplikasi Berbasis Flutter melakukan pembahasan bersama mengenai konten pembelajaran yang diperoleh, merencanakan penerapan konten, dan menyusun aplikasi Android berbasis Flutter sebagai implementasi hasil belajarnya. c) Pada tingkatan Organisasi, berpartisipasi aktif dalam proses evaluasi penyelenggaraan dan pengajar ditunjukkan dengan aktivitas menindaklanjuti hasil dan rekomendasi evaluasi penyelenggaraan dan evaluasi pengajar yang terkait dengan bagian tugasnya. Contoh: Bagian SDM DJKN menindaklanjuti hasil evaluasi yang diberikan peserta atas fasilitasi dalam kegiatan mentoring / action learning yang menjadi bagian dalam pembelajaran terintegrasi. d) Pada tingkatan Organisasi, menyelenggarakan evaluasi sederhana terhadap kegiatan pembelajaran selain pelatihan, kursus, penataran, PJJ dan e-learning yang dikelola secara mandiri oleh unit organisasi. No Sub Komponen Strategi Implementasi Contoh: Biro Organisasi dan Tata Laksana, Sekretariat Jenderal melakukan evaluasi dengan penyebaran kuesioner terhadap peserta kegiatan Seminar/Workshop terkait Manual Book Terbaru Aplikasi Nadine. e) Pada tingkatan Organisasi, berpartisipasi aktif dalam proses evaluasi hasil pembelajaran peserta ditunjukkan dengan cara memotivasi peserta untuk dapat memperoleh hasil yang optimal dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Contoh: Kepala Bagian SDM DJKN memberikan arahan dan motivasi kepada para CPNS yang akan ditugaskan untuk mengikuti Diklat Teknis Substantif Dasar agar mengikuti pelatihan dengan semangat dan mencapai hasil terbaik. f) Pada tingkatan Organisasi, memperhitungkan hasil evaluasi pembelajaran peserta sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam menetapkan penempatan dan pengembangan karier pegawai sesuai ketentuan yang berlaku. Contoh: Bagian Kepegawaian, Sekretariat Badan, BPPK untuk kepentingan penempatan, mutasi, dan promosi menyajikan data terkait dengan hasil evaluasi pembelajaran, prestasi belajar, serta penghargaan sebagai salah satu pertimbangan untuk pengambilan keputusan dalam forum pimpinan, Tim Penilai Kinerja, dan/atau Baperjakat. g) Pada tingkatan Organisasi, berpartisipasi aktif dalam proses evaluasi pascapembelajaran ditunjukkan dengan aktivitas:
menugasi SGO untuk menghadiri rapat pembahasan instrumen evaluasi pascapembelajaran dan memberikan masukan dalam perumusan instrumen evaluasi pascapembelajaran. Contoh: SGO di lingkungan Direktorat Lelang, DJKN memenuhi undangan rapat No Sub Komponen Strategi Implementasi pembahasan instrumen evaluasi pascapembelajaran dari Pusdiklat KNPK dan memberikan masukan mengenai kuesioner evaluasi pascapembelajaran.
melakukan koordinasi dengan unit terkait di lingkungan Unit Pengguna dalam tahap pengumpulan data. Contoh: Bagian SDM DJKN berkoordinasi dengan unit terkait dalam mendorong alumni kegiatan pembelajaran untuk mengisi kuesioner evaluasi pascapembelajaran.
melakukan tindak lanjut atas rekomendasi evaluasi pascapembelajaran yang terkait dengan bidang tugasnya. Contoh: Pusdiklat KNPK memberikan rekomendasi pada laporan evaluasi pascapembelajaran PJJ Analisis Kelayakan Bisnis Properti agar: (a) pengiriman peserta pelatihan sesuai dengan hasil AKP. (b) tidak memberikan penugasan lain bagi peserta pada saat mengikuti kegiatan pembelajaran. Kemudian Bagian SDM DJKN menindaklanjuti rekomendasi tersebut pada kegiatan pembelajaran berikutnya.
menugaskan alumni melakukan knowledge sharing untuk mendukung penerapan hasil pembelajaran ke dalam pelaksanaan pekerjaan. Contoh: Pegawai BPPK berdasarkan arahan Sekretaris Badan menyusun KC dalam bentuk video dengan tema “tips dan trik menyusun dokumen pengetahuan” berdasarkan pengalamannya dalam menerapkan hasil e-learning Manajemen Pengetahuan: Dokumentasi Pengetahuan. G. Teknis Implementasi Komponen Learning Solutions 1. Deskripsi a. Komponen Learning Solutions mendeskripsikan implementasi model pembelajaran yang terdiri atas self-learning, structured learning, social learning/learning from others , dan learning from experience/learning while working untuk mendukung tujuan organisasi yang direncanakan. Model ini merupakan adaptasi dari model pembelajaran 70: 20:
Belajar sendiri ( self-learning ) merupakan proses pemelajar berinisiatif, dengan atau tanpa bantuan pihak lain, dalam mengidentifikasi kebutuhan belajar, memformulasi tujuan belajar, mengidentifikasi sumber pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, dan mengevaluasi hasil belajar, sesuai kebutuhannya. Dalam self-learning , pemelajar berperan secara aktif dan tidak tergantung kepada pihak lain dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran yang dilakukan.
Pembelajaran melalui metode yang terstruktur dalam berbagai pelatihan di dalam kelas (klasikal) maupun di luar kelas (non klasikal) yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan dan pelatihan.
Belajar di lingkungan sosial atau belajar dari orang lain ( social learning/learning from others ) merupakan aktivitas pembelajaran kolaboratif yang dilakukan pegawai, baik secara individu maupun berkelompok, dalam sebuah komunitas maupun bimbingan di luar kelas, melalui interaksi atau dengan mengobservasi pihak/orang lain, seperti coaching & mentoring (di luar DKI), knowledge sharing , patok banding ( benchmarking ), dan keikutsertaan dalam komunitas belajar (CoP).
Social learning/learning from others dapat dilaksanakan:
dengan metode tatap muka langsung, tatap muka virtual, dan/atau non-tatap muka; dan
setiap saat sesuai kebutuhan/kebijakan yang ditetapkan oleh Unit Eselon I dan Unit Non Eselon yang bertanggung jawab secara langsung kepada Menteri Keuangan terkait.
Pembelajaran terintegrasi di tempat kerja melalui praktik langsung ( learning from experience/learning while working ) merupakan aktivitas pembelajaran terintegrasi yang dilakukan pegawai, baik secara individu maupun berkelompok di tempat kerja melalui praktik langsung seperti magang/praktik kerja, detasering ( secondment ), action learning , gugus tugas, tugas tambahan, pertukaran antara pegawai negeri sipil dengan pegawai swasta/Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah.
Ruang Lingkup Komponen Learning Solutions mencakup implementasi model pembelajaran dalam rangka peningkatan kompetensi pegawai dan optimalisasi kinerja organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran utama yang telah direncanakan.
Tujuan Tujuan dari Komponen Learning Solutions yaitu organisasi dapat mengimplementasikan model pembelajaran yang efektif, efisien, adaptif, sehingga kinerja organisasi meningkat dan tujuan serta sasaran utama ( ultimate goals ) yang telah direncanakan tercapai.
Strategi Implementasi No Subkomponen Strategi Implementasi a. Belajar sendiri (self-learning) Organisasi memfasilitasi dan memberi kesempatan pemelajar untuk berinisiatif, dengan atau tanpa bantuan orang lain, dalam mengidentifikasi kebutuhan belajar, memformulasi tujuan belajar, mengidentifikasi sumber pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, dan mengevaluasi hasil belajar, sesuai kebutuhannya secara individu. Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Individu, Tim dan Organisasi, dengan aktivitas sebagai berikut:
pada tingkatan Individu, a) Pegawai mengidentifikasi sumber dan waktu pembelajaran. b) Pegawai melaporkan ke atasan bahwa akan melakukan kegiatan self-learning. c) Pegawai mengevaluasi hasil belajar apakah proses pembelajaran sudah memenuhi tujuan pribadi yang diinginkan. d) Pegawai menyampaikan laporan pelaksanaan self-learning ke atasan langsung yang dilampiri dokumentasi hasil belajar. Contoh: Pegawai pada unit Teknologi, Informasi, dan Komunikasi (TIK) menghimpun bahan belajar dari video pengetahuan dalam KLC, kemudian melakukan pembelajaran, dan melakukan evaluasi diri terhadap hasil pembelajaran serta melaporkannya kepada atasan untuk dibuatkan surat keterangan melaksanakan pengembangan kompetensi sesuai ketentuan yang berlaku. No Subkomponen Strategi Implementasi 2) Pada tingkatan Tim, a) Tim kerja mengidentifikasi sumber dan waktu pembelajaran. b) Perwakilan tim kerja melaporkan ke unit yang menangani pengembangan kompetensi bahwa akan melakukan kegiatan self-learning. c) Tim kerja mengevaluasi hasil belajar apakah proses pembelajaran sudah memenuhi tujuan yang diinginkan. d) Tim kerja menyampaikan laporan pelaksanaan self-learning ke unit yang menangani pengembangan kompetensi dengan dilampiri dokumentasi hasil belajar. Contoh: Komite LO menyusun bahan belajar dari jurnal terakreditasi internasional, kemudian melakukan diskusi dan pengambilan lesson learned untuk kemudian melaporkannya kepada pimpinan disertai dengan hasil kajian yang berupa konsep LO Kemenkeu.
Pada tingkatan Organisasi, aktivitas pemberian fasilitas untuk dapat berinisiatif dalam belajar (termasuk identifikasi kebutuhan belajar, memformulasi tujuan belajar, identifikasi sumber belajar, dan mengevaluasi hasil belajar sesuai kebutuhannya) dilakukan dengan menginformasikan cara melaksanakan self-learning serta menyediakan dokumen dan sarana pendukung yang diperlukan. Contoh: a) Sekretariat Badan menyusun pedoman dan melakukan sosialisasi mengenai self- learning. b) Sekretaris Badan memberikan informasi mengenai sumber-sumber belajar yang relevan untuk dapat dipelajari secara sendiri. c) Bagian TIK Sekretariat Badan memberikan akses bagi pegawai untuk mengunggah No Subkomponen Strategi Implementasi hasil belajar ke dalam KMS atau melakukan sharing mengenai materi yang dipelajari. d) Direktorat Sistem Perbendaharaan menyediakan narasumber untuk belajar sendiri yang dikemas dalam bentuk seminar/konferensi/sarasehan/ workshop / lokakarya, bimbingan teknis, dan sosialisasi untuk pengembangan kompetensi pegawai dalam rangka mendukung pencapaian tujuan organisasi.
Pada tingkatan Organisasi, aktivitas pemberian kesempatan untuk berinisiatif dalam belajar termasuk identifikasi kebutuhan belajar, memformulasi tujuan belajar, identifikasi sumber belajar, dan mengevaluasi hasil belajar sesuai kebutuhannya dilakukan dengan cara memberikan kebebasan bereksperimen untuk perbaikan proses bisnis. Contoh: Bagian TIK Sekretariat Badan mempersilakan pegawainya untuk mempelajari dan mencoba serta melakukan perbaikan aplikasi Semantik.
Pembelajaran terstruktur ( structured learning ) Organisasi merencanakan, memfasilitasi, dan memberi kesempatan kepada setiap pegawai baik secara individu maupun berkelompok melakukan pembelajaran yang terstruktur baik di dalam kelas (klasikal) maupun di luar kelas yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan dan pelatihan. Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Individu dan Organisasi, dengan aktivitas sebagai berikut:
Pada tingkatan Individu: a) Pegawai menginformasikan jadwal pelatihan (structured learning) yang akan diikuti kepada atasan langsung. b) Pegawai menyampaikan laporan pelaksanaan pelatihan (structured learning) ke atasan langsung yang dilampiri dokumentasi hasil belajar. Contoh: Pegawai pada unit OTL, menyampaikan rencana pelaksanaan e-learning Manajemen No Subkomponen Strategi Implementasi Pengetahuan: Dokumentasi Pengetahuan yang akan diikuti kepada atasan langsung, kemudian menyampaikan hasil dokumen pengetahuan pada akhir e-learning.
Pada tingkatan Organisasi, a) aktivitas perencanaan pelaksanaan pembelajaran terstruktur bagi individu dan/atau kelompok dilakukan dengan cara melakukan identifikasi kebutuhan structured learning , menjaring pegawai/kelompok pegawai yang berminat, dan menyiapkan alokasi anggarannya. Contoh:
Biro Umum Sekretariat Jenderal melakukan identifikasi kegiatan structured learning yang akan dilaksanakan, baik yang bersifat mandatory maupun hasil AKP.
Biro Umum Sekretariat Jenderal menginformasikan daftar dan jadwal structured learning kepada seluruh pegawai dan mengimbau pegawai untuk mendaftar.
Biro Umum Sekretariat Jenderal mengalokasikan biaya untuk pelaksanaan structured learning .
Biro Umum Sekretariat Jenderal menginformasikan jadwal structured learning kepada pegawai yang akan ditugaskan untuk mengikutinya. b) aktivitas fasilitasi pelaksanaan pembelajaran terstruktur bagi individu dan/atau kelompok dilakukan dengan cara menyediakan dokumen dan sarana pendukung yang diperlukan untuk melaksanakan rangkaian structured learning. Contoh:
Sekretariat Badan menyiapkan dokumen-dokumen yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan structured learning , misalnya Surat No Subkomponen Strategi Implementasi Tugas dan dokumen Surat Perintah Perjalanan Dinas.
Sekretariat Badan membiayai pegawai untuk melaksanakan pembelajaran terstruktur.
Sekretariat Badan memberikan akses bagi pegawai untuk mengunggah hasil belajar ke dalam KMS __ atau melakukan sharing mengenai materi yang dipelajari. c) aktivitas pemberian kesempatan pelaksanaan pembelajaran terstruktur bagi individu dan/atau kelompok dilakukan dengan cara menyediakan waktu bagi pegawai/kelompok pegawai untuk melakukan structured learning . Contoh: Bagian Kepegawaian memberikan kesempatan pada pegawai untuk mengusulkan pelatihan berdasarkan kebutuhan individu.
Belajar di lingkungan sosial/belajar dari orang lain ( social learning/learning from others ) Organisasi merencanakan, memfasilitasi, dan memberi kesempatan kepada setiap pegawai baik secara individu maupun berkelompok melakukan pembelajaran kolaboratif dalam sebuah komunitas maupun melalui bimbingan di luar kelas, melalui interaksi atau dengan mengobservasi pihak/orang lain, seperti coaching & mentoring (di luar DKI), knowledge sharing , patok banding ( benchmarking ), dan keikutsertaan dalam komunitas belajar (CoP). Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Individu, Tim dan Organisasi, dengan aktivitas sebagai berikut:
Pada tingkatan Individu, a) Pegawai bergabung dalam CoP dan berpartisipasi aktif. b) Pegawai menyampaikan laporan bahwa telah bergabung dalam suatu CoP ke atasan langsung dan unit yang menangani pengembangan kompetensi. Contoh: Pegawai Bagian TIK berinisiatif bergabung dengan MoF-DAC dan menyampaikannnya No Subkomponen Strategi Implementasi kepada atasan langsung dan Subbagian Pengembangan Pegawai di unitnya.
Pada tingkatan Tim, a) Calon Coachee dan Mentee dalam satu unit kerja menerima masukan awal mengenai proses atau hasil pekerjaan yang belum memenuhi standar kualitas pekerjaan. b) Coachee dan Mentee dalam satu unit kerja berdiskusi dengan atasan mengenai permasalahan/kendala yang dihadapi dan menyepakati solusi yang akan dilaksanakan. Contoh: Pegawai OJT dalam kegiatan pembelajaran Latsar secara aktif berdiskusi dengan Coach dan Mentornya untuk penyelesaian proyek Landing Page Manajemen Risiko UPR.
Pada tingkatan Organisasi, a) aktivitas perencanaan pelaksanaan pembelajaran di lingkungan sosial/belajar dari orang lain bagi individu/kelompok dilakukan dengan cara identifikasi kebutuhan social learning/learning from others dan menyiapkan alokasi anggarannya. Contoh: Sekretariat Badan menyusun perencanaan dan penganggaran terkait kegiatan benchmarking mengenai gamification untuk tahun anggaran 2021. b) aktivitas pemberian fasilitasi pelaksanaan pembelajaran di lingkungan sosial/belajar dari orang lain bagi individu/kelompok dilakukan dengan cara memberi kejelasan mekanisme social learning/learning from others . Contoh: Pusdiklat KU menyediakan wadah berbagi pengetahuan bagi seluruh pegawai BPPK melalui kegiatan knowledge sharing yang No Subkomponen Strategi Implementasi dikemas dalam acara Rabu Biru (Rasa Baru Bincang Corporate University ). c) aktivitas pemberian kesempatan pelaksanaan pembelajaran di lingkungan sosial/belajar dari orang lain bagi individu/kelompok dilakukan dengan cara memberikan kebebasan bagi pegawai untuk melakukan pembelajaran pada lingkungan sosial yang mendukung pengembangan kompetensinya. Contoh: terdapat pegawai di Bagian TIK Sekretariat Badan, membutuhkan pengembangan kompetensi data analytics , Kepala Bagian TIK mengenalkan pegawai tersebut kepada komunitas MoF-DAC.
Belajar dari pengalaman/bel ajar sambil bekerja ( learning from experiences/lear ning while working ) Organisasi merencanakan, memfasilitasi, dan memberi kesempatan kepada setiap pegawai baik secara individu maupun berkelompok melakukan pembelajaran terintegrasi di tempat kerja melalui praktik langsung seperti magang/praktik kerja, detasering ( secondment ), action learning, gugus tugas, tugas tambahan, pertukaran antara pegawai negeri sipil dengan pegawai swasta/Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah. Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Individu dan Organisasi, dengan aktivitas sebagai berikut:
Pada tingkatan Individu: a) Pegawai mengajukan usulan untuk mengikuti kegiatan learning from experiences/learning while working yang ditawarkan. b) Pegawai membuat laporan kegiatan learning from experiences/learning while working yang dilampiri dokumentasi hasil belajar. Contoh: Pegawai talent melaksanakan kegiatan Talent Development Program dengan mengusulkan dan melaksanakan pembelajaran sekaligus melaksanakan pekerjaan sehari-hari, kemudian menyusun dokumentasi lesson No Subkomponen Strategi Implementasi learned terhadap kegiatan dimaksud dan melaporkannya kepada atasan langsung untuk perbaikan pekerjaan sehari-hari.
Pada tingkatan Organisasi, a) aktivitas perencanaan pelaksanaan pembelajaran dari pengalaman/sambil bekerja bagi pegawai/kelompok pegawai dilakukan dengan cara identifikasi kebutuhan learning from experiences/learning while working dan menyiapkan alokasi anggarannya. Contoh:
Bagian Kepegawaian Sekretariat BPPK, menawarkan kegiatan magang/praktik kerja, detasering (secondment), pertukaran antara pegawai negeri sipil dengan pegawai swasta/Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah kepada pegawai.
Sekretariat Badan mengalokasikan anggaran biaya untuk mendukung pelaksanaan learning from experiences/learning while working . b) aktivitas fasilitasi pelaksanaan pembelajaran dari pengalaman/sambil bekerja bagi pegawai/kelompok pegawai dilakukan dengan memberi kejelasan mekanisme learning from experiences/learning while working. Contoh:
Bagian Kepegawaian memberikan sosialisasi terkait pelaksanaan magang, secondment, dan pertukaran pegawai sesuai ketentuan yang berlaku di Kementerian Keuangan.
Bagian Kepegawaian Sekretariat BPPK menugaskan pegawai Bagian TIK untuk melaksanakan secondment di Biro Komunikasi dan Layanan Informasi. c) aktivitas pemberian kesempatan pelaksanaan pembelajaran dari No Subkomponen Strategi Implementasi pengalaman/sambil bekerja bagi pegawai/kelompok pegawai dilakukan dengan memberikan kebebasan bagi pegawai untuk melakukan learning from experiences/learning while working . Contoh:
Sekretariat Badan menyetujui usulan pegawai untuk melakukan secondment yang selaras dengan kebutuhan organisasi.
BPPK menugaskan pegawai dalam tim Pengembang LO (lintas Unit Eselon I dan Unit Non Eselon yang bertanggung jawab secara langsung kepada Menteri Keuangan) dan melakukan transfer knowledge kepada tim LO Pusdiklat.
Sekretaris Badan menugaskan pegawai yang selesai melakukan secondment untuk melakukan dokumentasi pengetahuan atas lesson learned yang didapat. H. Teknis Implementasi Komponen Learning Spaces 1. Deskripsi a. Komponen Learning Spaces mendeskripsikan adanya ketersediaan kesempatan, infrastruktur, dan SDM yang mendukung kegiatan belajar, berbagi pengetahuan, dan pendokumentasian pengetahuan.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa fasilitas dan infrastruktur pembelajaran yang mendukung pembelajaran aktif dapat meningkatkan efektivitas pembelajaran dan mendorong terciptanya metode-metode pembelajaran baru. Organisasi perlu menyediakan learning spaces yang berupa ruangan, peralatan, jaringan internet dan intranet, akses sumber belajar, kesempatan belajar, dan dukungan teknis.
Ruang Lingkup Komponen Learning Spaces mencakup:
Kesempatan untuk belajar, berbagi pengetahuan dan mendokumentasikan pengetahuan;
Infrastruktur untuk mendukung kegiatan belajar, berbagi pengetahuan dan dokumentasi pengetahuan; dan
SDM untuk mendukung kegiatan belajar, berbagi pengetahuan dan dokumentasi pengetahuan 3. Tujuan Tujuan dari Komponen Learning Spaces yaitu organisasi dapat memberikan lingkungan yang mendukung keleluasaan dalam terciptanya budaya belajar, berbagi pengetahuan, serta melaksanakan dokumentasi pengetahuan.
Strategi Implementasi No Subkomponen Strategi Implementasi a. Ruangan Organisasi memastikan ketersediaan ruangan yang memadai untuk mendukung kegiatan belajar dan berbagi pengetahuan di lingkungan kantor pada unit kerja, seperti ruang belajar, ruang diskusi, open space , perpustakaan, dan yang sejenis. Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Organisasi melalui aktivitas memastikan ketersediaan ruangan yang memadai dengan cara menggunakan, memultifungsikan, dan/atau membangun ruangan untuk dapat dimanfaatkan pegawai Kementerian Keuangan serta memonitor ketersediaanya. Contoh:
Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bogor memanfaatkan ruang kerja pegawai yang sudah tersedia sebagai ruang belajar.
Kepala Kantor Wilayah DJKN Sumatera Utara melakukan monitoring ketersediaan ruang diskusi pada satker dibawahnya untuk dapat dipergunakan oleh satker dibawahnya maupun satker unit eselon I lainnya di lingkungan Kementerian Keuangan.
Sekretariat Direktorat Penilaian memultifungsikan sebagian ruang kerja pegawai menjadi open space .
Peralatan Organisasi memastikan ketersediaan:
peralatan berupa komputer atau laptop yang mendukung kegiatan belajar dan berbagi pengetahuan bagi seluruh pegawai;
perangkat lunak untuk mendukung kegiatan belajar dan berbagi pengetahuan bagi seluruh pegawai, seperti operating system , Microsoft Office, browser , Zoom Meeting, dan yang sejenis; dan No Subkomponen Strategi Implementasi 3) peralatan untuk mendukung pelaksanaan dokumentasi pengetahuan, seperti kamera, microphone , aplikasi penunjang multimedia, dan yang sejenis. Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Organisasi melalui aktivitas pemastian ketersediaan peralatan yang dilakukan dengan cara: a) penyediaan sesuai peruntukan pegawai yang membutuhkan. Contoh:
Pusdiklat Bea dan Cukai meminjamkan laptop yang telah di-install dengan perangkat lunak berlisensi untuk pegawai yang akan belajar.
Pusdiklat KNPK meminjamkan kamera dan microphone bagi pegawai yang akan melakukan dokumentasi pengetahuan. b) monitoring distribusi peralatan bagi pegawai yang membutuhkan. Contoh: Bagian Tata Usaha Pusdiklat Bea dan Cukai mengecek distribusi peralatan dan perangkat lunak sesuai dengan kebutuhan pegawai. c) memenuhi kebutuhan peralatan bagi pegawai sesuai hasil monitoring. Contoh: Bagian Tata Usaha Pusdiklat Bea dan Cukai meminjamkan peralatan kepada pegawai yang belum mendapatkan sesuai hasil monitoring.
Jaringan Internet dan Intranet Organisasi memastikan ketersediaan jaringan internet, intranet dan jaringan komunikasi lain yang memadai untuk mendukung kegiatan belajar dan berbagi pengetahuan bagi seluruh pegawai. Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Organisasi melalui aktivitas:
pemastian ketersediaan jaringan internet dan intranet yang dilakukan dengan cara No Subkomponen Strategi Implementasi berkoordinasi dengan Pusat Informasi dan Teknologi Keuangan/Pusintek. Contoh: Sekretariat Badan meminta penambahan bandwith untuk memenuhi kebutuhan belajar pegawai.
pemastian ketersediaan jaringan komunikasi lain yang dilakukan dengan cara melakukan monitoring atas jaringan komunikasi yang dibutuhkan oleh pegawai. Contoh: Sekretariat Badan memberikan bantuan komunikasi bagi pegawai yang melaksanakan work from home (WFH) mengingat sesuai hasil monitoring pegawai membutuhkan jaringan komunikasi lain yang tidak disediakan oleh unit.
Akses Sumber Belajar Organisasi memastikan ketersediaan akses terhadap sumber belajar untuk mendukung kegiatan belajar dan berbagi pengetahuan bagi seluruh pegawai, seperti akun KLC, akses jurnal EBSCO , kartu keanggotaan perpustakaan, dan yang sejenis. Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Organisasi melalui aktivitas pemastian ketersediaan akses terhadap sumber belajar yang dilakukan dengan cara mengecek pemanfaatan sumber belajar oleh pegawai. Contoh: PKN STAN menyusun daftar penggunaan/akses KLC/jurnal EBSCO oleh pegawai, dalam hal terdapat kebutuhan pegawai untuk mengakses sumber belajar lain maka akan dipenuhi oleh unit.
Kesempatan Belajar Organisasi memberikan kesempatan bagi seluruh pegawai untuk melakukan kegiatan belajar dan berbagi pengetahuan secara daring ( online ) dan luring ( offline ) __ pada jam kerja. Contoh daring meliputi mengikuti e-learning /PJJ/webinar, mengakses KLC/jurnal nasional/jurnal internasional/perpustakaan online , dan kegiatan lainnya yang sejenis. Contoh luring meliputi mengikuti No Subkomponen Strategi Implementasi pelatihan/seminar/ Forum Group Discussion /magang/ diskusi kelompok dan kegiatan lainnya yang sejenis. Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Organisasi melalui aktivitas pemberian kesempatan bagi seluruh pegawai untuk melakukan kegiatan belajar yang dilakukan dengan cara menyediakan waktu khusus untuk pegawai belajar. Contoh: Sekretariat Badan tidak mengagendakan rapat/kegiatan lain pada hari Jumat selama satu jam dan mengalokasikan waktu tersebut untuk pegawai belajar.
Dukungan Teknis Organisasi menyediakan SDM yang dapat memberikan dukungan teknis untuk memastikan:
kelancaran jaringan internet dan intranet sebagai pendukung kegiatan belajar serta berbagi pengetahuan bagi seluruh pegawai;
ketersediaan akses terhadap sumber belajar sebagai pendukung kegiatan belajar dan berbagi pengetahuan bagi seluruh pegawai; dan
kelancaran pelaksanaan dokumentasi pengetahuan. Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Organisasi melalui aktivitas penyediaan SDM pendukung yang dilakukan dengan cara menugaskan ahli tertentu untuk mengajari pegawai dalam melakukan troubleshooting atas jaringan internet, mengatasi permasalahan akses terhadap sumber belajar dan membantu melakukan dokumentasi pengetahuan. Contoh: a) Sekretariat Badan menugaskan Jabatan Fungsional (JF) Pranata Komputer untuk memeriksa kualitas jaringan internet dan mengajarkan troubleshooting kepada pegawai saat terjadi permasalahan jaringan/akses. b) Pusdiklat Pengembangan Sumber Daya Manusia menugaskan JF Pengembang Teknologi Pembelajaran untuk No Subkomponen Strategi Implementasi mengajarkan cara praktis melakukan dokumentasi pengetahuan melalui aplikasi Canva, dalam hal terdapat kesulitan dalam pelaksanaannya maka akan dibantu oleh JF Pengembang Teknologi Pembelajaran. I. Teknis Implementasi Komponen Learners’ Performance 1. Deskripsi a. Komponen Learners’ Performance mendeskripsikan hasil pembelajaran pemelajar dalam meningkatkan kinerja individu ( individual performance ), tim ( team performance ) dan organisasi ( organizational performance ) untuk mewujudkan kinerja organisasi. Pembelajaran terjadi jika anggota organisasi sebagai individu dan/atau tim mengalami proses pemahaman terhadap konsep-konsep baru yang selanjutnya meningkatnya kemampuan dan pengalaman individu untuk merealisasikan konsep tersebut, sehingga terjadi perubahan atau perbaikan nilai tambah pada tim kerja dan organisasi.
Individual performance merupakan implementasi hasil pembelajaran individu setelah (pasca) mengikuti pembelajaran yang dapat diukur dengan menggunakan model evaluasi The Kirkpatrick Model dan dapat dilihat dari ada atau tidaknya ide/gagasan baru (inovasi) dalam cara bekerja dan hasil kerja.
Team performance merupakan implementasi hasil pembelajaran tim yang dapat dicapai antara lain melalui penyelesaian tugas atau proyek tertentu sesuai dengan yang dibebankan pada tim tersebut.
Pencapaian hasil belajar tim dapat dilihat dari:
kontribusi individual, akan berdampak pada peningkatan kinerja tim; atau
kontribusi secara bersama di dalam tim, yang dapat dilihat dari adanya cara-cara baru (inovasi) yang diciptakan oleh tim.
Pengukuran dapat menggunakan model evaluasi The Kirkpatrick Model . Apabila hasil evaluasi menunjukkan hasil yang baik/bagus maka peningkatan kinerja individu ini akan berdampak pada perubahan perilaku dan peningkatan kinerja tim f. Organizational performance merupakan implementasi hasil pembelajaran individu dan tim yang menciptakan perubahan perilaku dan perbaikan kinerja dalam organisasi.
Organizational performance dapat dilihat dari:
hasil pembelajaran individu dan/atau tim dimanfaatkan oleh organisasi untuk memperbaiki kesalahan dan/atau merubah cara kerjanya agar mendapatkan hasil/kinerja yang lebih baik; dan/atau
adanya keterkaitan pembelajaran dengan pengembangan karir pegawai dimana hasil pembelajaran yang digunakan oleh organisasi sebagai salah satu pertimbangan dalam pengembangan karir pegawai dalam rangka mutasi, promosi, dan/atau penugasan di luar Kementerian Keuangan akan membantu pencapaian tujuan organisasi h. Individu dan tim kerja yang mampu mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan pengalaman dari hasil pembelajarannya untuk menciptakan atau memperbaiki produk, proses, dan/atau sistem yang baru, yang memberikan nilai yang berarti atau secara signifikan, akan menjadi individu dan tim yang inovatif dan pada akhirnya akan mendorong organisasi menjadi organisasi yang inovatif.
Ruang Lingkup Komponen Learners Performance mencakup implementasi dan pemanfaatan hasil pembelajaran yang dapat dilihat dari terjadinya continuous improvement , peningkatan kinerja pemelajar, dan terciptanya inovasi serta pemanfaatan hasil pembelajaran sebagai salah satu pertimbangan dalam pengembangan karir pegawai.
Tujuan Tujuan Komponen Learners Performance yaitu mendorong organisasi memastikan hasil pembelajaran memberikan kontribusi dalam mewujudkan organisasi yang mampu mendapatkan, memanfaatkan, menciptakan dan mentransformasikan pengetahuan serta memodifikasi perilakunya sesuai dengan pengetahuan dan gagasan baru yang diperoleh untuk dapat beradaptasi terhadap lingkungan yang dinamis.
Strategi Implementasi No Subkomponen Strategi Implementasi a. Individual performance Organisasi memastikan hasil pembelajaran diimplementasikan oleh individu dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya serta memanfaatkan hasil pembelajaran untuk melakukan perbaikan berkelanjutan dan/atau peningkatan kinerja dan menciptakan inovasi. Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada No Subkomponen Strategi Implementasi tingkatan Individu dan Organisasi melalui aktivitas:
pada tingkatan Individu, pemanfaatan hasil pembelajaran untuk perbaikan berkelanjutan dan/atau peningkatan kinerja dilakukan dengan cara pegawai menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang didapat dari pembelajaran untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pekerjaan. Contoh: Pegawai Subbidang Pengolahan Hasil Diklat, Pusdiklat Pajak mengolah data survei evaluasi pascapembelajaran dengan menggunakan aplikasi SPSS sesuai metode yang diajarkan dalam Pelatihan Pengantar Statistika.
pada tingkatan Organisasi, a) pemastian implementasi hasil pembelajaran oleh individu dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya dilakukan dengan cara memberikan tugas kepada pegawai untuk melakukan aktualisasi pembelajaran dan mengevaluasi pegawai yang telah mengikuti pembelajaran. Contoh:
Kepala Subbagian Komunikasi Publik, Sekretariat BPPK, memberikan tugas kepada bawahannya yang telah mengikuti pelatihan desain grafis untuk membuat desain poster sebagai unggahan informasi di media sosial BPPK.
BPPK melaksanakan evaluasi pascapembelajaran terhadap alumni Pelatihan Teknis Pemeriksaan Barang Impor Lanjutan untuk mengukur peningkatan kinerja pemeriksa barang impor di lingkungan DJBC. No Subkomponen Strategi Implementasi (3) Bagian Kepegawaian BPPK melakukan evaluasi dalam bentuk survei kemanfaatan hasil pelatihan kepada pegawai yang telah mengikuti pelatihan secara berkala. b) pemanfaatan hasil pembelajaran untuk menciptakan inovasi dilakukan dengan cara membuat kebijakan agar tercipta budaya inovasi. Contoh:
BPPK memberikan surat keterangan kreativitas kepada Pranata Komputer yang telah melakukan inovasi dengan mengembangkan prototype aplikasi Semantik (Aplikasi Manajemen Pembelajaran di BPPK).
Unit kerja mengadakan event /lomba/kompetisi bagi para pegawai untuk menciptakan inovasi.
Team performance Organisasi memastikan hasil pembelajaran diimplementasikan oleh tim dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya serta memanfaatkan hasil pembelajaran untuk melakukan perbaikan berkelanjutan dan/atau peningkatan kinerja dan menciptakan inovasi. Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Tim dan Organisasi melalui aktivitas:
pada tingkatan Tim, melakukan diskusi untuk mereviu suatu kegiatan tim yang sedang berlangsung atau sudah berakhir guna mengetahui penyebab utama keberhasilan dan/atau kegagalan sebagai bentuk pembelajaran dalam rangka peningkatan kinerja organisasi. No Subkomponen Strategi Implementasi Contoh: Panitia Penulisan Buku Sinopsis Series melakukan After Action Review (AAR) terhadap kegiatan wawancara narasumber yang telah dilakukan sesuai hasil pembelajaran tentang teknik wawancara untuk mendapatkan lesson learned agar kegiatan selanjutnya berjalan dengan lebih baik.
pada tingkatan Organisasi a) pemastian implementasi hasil pembelajaran oleh tim dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya dilakukan dengan cara mengevaluasi kinerja tim yang anggotanya telah mengikuti pelatihan. Contoh: Sekretariat BPPK melakukan evaluasi kinerja Tim Penjaminan Mutu yang anggotanya telah mengikuti Pelatihan Manajemen Mutu Pembelajaran. b) pemanfaatan hasil pembelajaran oleh tim untuk perbaikan berkelanjutan dan/atau peningkatan kinerja dilakukan dengan cara menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang didapat dari pembelajaran untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi kerja tim. Contoh: Tim Pengembang Aplikasi Mobile Subbagian Sistem Informasi, BPPK setelah mengikuti Pelatihan Aplikasi Data Flutter menggunakan framework Flutter dalam mengembangkan aplikasi KLC Mobile. c) pemanfaatan hasil pembelajaran oleh tim untuk menciptakan inovasi dilakukan dengan cara No Subkomponen Strategi Implementasi membuat kebijakan agar tercipta budaya inovasi Contoh: Sekretariat Jenderal a.n. Menteri Keuangan memberikan sertifikat inovator pada para pegawai yang terlibat dalam tim pengembangan inovasi Sistem Aplikasi Barang Penumpang (SIAPBANG).
Organizational Performance 1) Organisasi memastikan hasil pembelajaran berkontribusi pada peningkatan kinerja organisasi. Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Organisasi dengan cara melakukan evaluasi kinerja. __ Contoh: DJP memanfaatkan hasil evaluasi pascapembelajaran (evaluasi dampak pembelajaran) Pelatihan Staf PPK untuk mengevaluasi kinerja staf PPK di lingkungan DJP. __ 2) Organisasi memastikan terciptanya inovasi dari hasil pembelajaran. Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Organisasi melalui aktivitas membuat kebijakan yang mendorong terciptanya budaya inovasi seperti membuat kompetisi inovasi secara berkala. __ Contoh: Sekretariat BPPK menyelenggarakan Liga Inovasi BPPK untuk mendorong terciptanya budaya inovasi di lingkungan BPPK. __ 3) Organisasi memanfaatkan inovasi dari hasil pembelajaran pegawai sebagai individu dan tim untuk meningkatkan kinerja organisasi. Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Organisasi melalui aktivitas No Subkomponen Strategi Implementasi menggunakan ide baru dari individu dan tim untuk perbaikan kebijakan di unitnya. __ Contoh: a) DJPb memanfaatkan aplikasi SAKATO (Sistem Aplikasi Kabar, Antrian, dan Tolakan) yang telah memenangkan Top 5 Inovasi Terbaik dalam Kompetisi Inovasi Kementerian Keuangan Tahun 2020 untuk diterapkan pada proses pemberian layanan di Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara. b) BPPK menggunakan KLC Mobile yang dikembangkan oleh Tim Pengembang Aplikasi Mobile menjadi salah satu sarana pendukung modern e-learning di Kementerian Keuangan. __ 4) Organisasi menggunakan hasil pembelajaran pegawai sebagai salah satu pertimbangan dalam pengembangan karier pegawai. Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Organisasi melalui aktivitas mempertimbangkan hasil pembelajaran dalam mutasi, promosi, dan/atau penugasan di luar Kementerian Keuangan pegawai. __ Contoh: DJBC mempertimbangkan pegawai yang memperoleh hasil pembelajaran terbaik dalam Pelatihan Layanan Informasi Kepabeanan dan Cukai untuk ditempatkan sebagai Petugas Contact Center . J. Teknis Implementasi Komponen Leaders’ Participation in Learning Process 1. Deskripsi a. Komponen Leaders’ Participation in Learning Process mendeskripsikan peran penting leaders dalam mengomunikasikan dan mendorong individu menuju visi bersama ( shared vision ), memahami kebutuhan pembelajaran organisasi, membangun iklim yang mendukung proses pembelajaran, serta membimbing dan mendorong bawahan dan semua elemen organisasi untuk selalu belajar baik dari setiap aktivitas formal maupun informal.
Organisasi perlu mendorong leaders agar mampu berperan menjadi teladan dalam pembelajaran, menyelaraskan visi bersama ( shared vision ), membimbing dan mendorong seluruh elemen organisasi untuk senantiasa terus-menerus belajar dalam rangka mencapai tujuan organisasi.
Peran leaders tersebut sangat erat kaitannya dengan karakteristik kepemimpinan transformasi ( transformational leadership ), di antaranya pemimpin menjadi contoh moral dalam organisasi dan mendorong orang lain untuk melakukan hal yang sama, membangun budaya dan visi bersama, menumbuhkan lingkungan kerja yang mendukung pembelajaran, serta memotivasi bawahan agar kreatif dan inovatif.
Leaders merupakan seluruh pejabat struktural baik setingkat pejabat pengawas, pejabat administrator, dan pejabat pimpinan tinggi, serta pejabat fungsional dan pejabat non-eselon yang disetarakan dengan jabatan struktural (memiliki fungsi pembinaan).
Ruang Lingkup Komponen Leaders’ Participation in Learning Process mencakup peran leaders dalam bentuk keterikatan ( engagement ) dan keterlibatan ( involvement ) dalam proses pembelajaran setiap individu, tim, maupun organisasi pada unitnya masing-masing.
Tujuan Tujuan Komponen Leaders’ Participation in Learning Process yaitu mendorong dan mengoptimalkan peran leaders dalam menyelaraskan proses pembelajaran setiap individu, tim, maupun organisasi dengan tujuan organisasi. Apabila peran tersebut dijalankan oleh seluruh leaders dalam lingkungan kerjanya maka pada akhirnya akan terbentuk sebuah budaya belajar ( learning culture ) yang tidak hanya meningkatkan kompetensi dan kinerja individu tetapi juga berdampak pada peningkatan kinerja organisasi.
Strategi Implementasi No Subkomponen Strategi Implementasi a. Leaders as Role Models Organisasi mendorong Leaders untuk menjadi teladan dan menginspirasi bawahan untuk terus menerus belajar dengan ikut serta dalam pembelajaran sebagai Learners, berbagi pengetahuan ( knowledge sharing ), dan menerapkan hasil pembelajaran dalam pekerjaan No Subkomponen Strategi Implementasi sehari-hari dalam rangka peningkatan kinerja ( transfer of training ). Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Individu melalui aktivitas:
leaders menjadi teladan bawahan untuk terus menerus belajar, dilakukan dengan cara menunjukkan contoh melakukan kegiatan perbaikan organisasi yang didasarkan pada kaidah ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Contoh: Sekretaris BPPK menganjurkan pelaksanaan After Action Review (AAR) bagi seluruh satuan kerja di lingkungan BPPK dengan terlebih dahulu melaksanakan AAR di Sekretariat BPPK.
leaders menginspirasi bawahan dilakukan dengan cara menjadi pegawai yang memiliki prestasi bergengsi. Contoh: a) Sekretaris Jenderal memperoleh penghargaan Tanda Kehormatan Satyalancana Wira Karya atas Prestasi di Bidang Tata Kelola Barang Milik Negara. b) Direktur Jenderal Perbendaharaan menerima penghargaan Pejabat Pimpinan Tinggi Madya Teladan Nasional dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB).
leaders mengikuti pembelajaran dilakukan dengan cara mengikuti kegiatan untuk peningkatan kompetensi. Contoh: a) Menteri Keuangan dan para Pejabat Pimpinan Tinggi Madya mengikuti No Subkomponen Strategi Implementasi kegiatan Ministrial Lecture sebagai peserta. b) Kepala Subdit Integrasi Proses Bisnis LNSW menjadi peserta e- learning Manajemen Keuangan Negara.
leaders dalam berbagi pengetahuan dilakukan dengan cara menyusun dan membagikan pengetahuan yang diperoleh dari hasil pembelajaran ( knowledge sharing ). Contoh: Pengendali Teknis Tim Auditor membuat dokumentasi pengetahuan atas tacit knowledge- nya sendiri dan diunggah ke KLC.
leaders menerapkan hasil pembelajaran dalam pelaksanaan pekerjaan sehari- hari dalam rangka peningkatan kinerja ( transfer of training ) dilakukan dengan cara mengaktualisasikan pengetahuan yang diperoleh. Contoh: Ketua Program Studi D-III Akuntansi menyusun regulasi pembelajaran new normal berdasarkan hasil benchmarking best practice perguruan tinggi se- Indonesia.
Leaders as Teachers Organisasi mendorong Leaders untuk berperan sebagai pihak yang mengajarkan pihak lain baik internal maupun eksternal unit kerjanya dalam rangka improvement pelaksanaan pekerjaan dan pencapaian tujuan organisasi. Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Individu melalui aktivitas:
leaders dalam berperan sebagai pengajar internal dilakukan dengan cara menjadi penceramah, pengajar, narasumber pada kegiatan yang diselenggarakan oleh unit kerjanya. No Subkomponen Strategi Implementasi Contoh: Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama Kebayoran Lama menjadi narasumber dalam workshop transfer pricing di unitnya.
leaders dalam berperan sebagai pengajar eksternal dilakukan dengan cara menjadi penceramah, pengajar, narasumber pada kegiatan yang diselenggarakan oleh unit selain unit kerjanya. Contoh: a) Pengendali Mutu Tim Auditor menjadi pengajar di BPPK. b) Inspektur Jenderal menjadi narasumber dalam Bincang Transformasi. c) Kepala Subdirektorat Dana Bagi Hasil menjadi narasumber pada sosialisasi terkait keuangan negara kepada Kementerian/Lembaga/ Instansi Daerah.
Leaders as Coaches, Mentors, Counsellors Organisasi mendorong Leaders untuk berperan sebagai coaches , mentors , dan/atau counsellors bagi pegawai. Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Individu melalui pelaksanaan coaching , mentoring , dan/atau counselling (di luar kegiatan DKI) dengan cara:
membantu pegawai terkait pekerjaan. Aktivitas membantu pegawai terkait pekerjaan dilakukan dengan menunjukkan cara praktis menyelesaikan pekerjaan tertentu. Contoh: Kepala Subbagian Organisasi memberikan contoh penggunaan shortcut dalam Ms. Word. No Subkomponen Strategi Implementasi 2) membimbing pegawai dalam menemukan solusi atas permasalahan yang dihadapi melalui self-learning, structured learning, social learning/learning from others , dan learning from experience/learning while working . Aktivitas membimbing pegawai dalam menemukan solusi dilakukan dengan cara menggali akar permasalahan dan mengelaborasi pemecahan masalah tersebut dari ide-ide orisinal bawahannya. Contoh: Kepala Subbagian Akuntansi dan Pelaporan melakukan brainstorming dengan bawahannya terkait permasalahan manajemen waktu dalam penyelesaian deadline pekerjaan dan menemukan alternatif solusi berdasarkan kesepakatan bersama.
melakukan supervisi pekerjaan. Aktivitas melakukan supervisi pekerjaan dilakukan dengan cara menyusun daftar pekerjaan dan mengelompokkannya sesuai dengan tingkat urgensi dan kepentingannya serta memeriksa hasilnya sebelum deadline . Contoh: a) Kepala Subbidang Informasi dan Pelaporan Kinerja menagih laporan kinerja yang disusun oleh bawahannya tiga hari sebelum deadline . b) Leaders memastikan rencana aksi ( action plan ) dilaksanakan sesuai komitmen yang disepakati.
memberikan kesempatan untuk mencoba keahlian baru. Aktivitas pemberian kesempatan bagi pegawai untuk mencoba keahlian baru dilakukan dengan cara mengizinkan No Subkomponen Strategi Implementasi pegawai mencoba menerapkan pengetahuan baru dalam penyusunan produk dari tusi tertentu. Contoh: Kepala Subbagian Akuntansi dan Pelaporan memberikan kesempatan pada bawahannya untuk membuat ringkasan laporan keuangan dalam bentuk infografis.
memberikan instruksi yang jelas terkait pekerjaan kepada bawahan. Aktivitas pemberian instruksi yang jelas dilakukan dengan cara memberikan arahan yang konkret dan sistematis atas suatu penyelesaian pekerjaan. Contoh: Kepala Bagian Organisasi dan Kepatuhan Internal meminta bawahannya untuk membuat paparan dan memberikan outline materi apa saja yang harus tercantum dalam paparan tersebut.
memberikan feedback atas kinerja sebagai bagian pembelajaran berkelanjutan. Aktivitas pemberian feedback kepada bawahan dilakukan dengan cara memberikan umpan balik atas penyelesaian pekerjaan. Contoh: a) Kepala Bidang Perencanaan dan Pengembangan Diklat memberikan masukan kepada Kepala Subbidang Kurikulum atas konsep Kerangka Acuan Program yang disusun. b) Kepala Seksi Pelayanan memberikan masukan atas gaya komunikasi petugas pelayanan setelah mengamati pelayanan yang diberikan oleh petugas. No Subkomponen Strategi Implementasi 7) memberikan reward and recognition . a) Aktivitas pemberian reward dilakukan dengan cara memberikan penghargaan kepada bawahan yang berprestasi dan mampu mencapai target tertentu. Contoh:
Menteri Keuangan memberikan apresiasi melalui media sosial dan merayakan keberhasilan pegawai Kementerian Keuangan yang memenangkan kompetisi Bedah Data APBD 2021.
Kepala Direktorat Transformasi Proses Bisnis mengusulkan pegawai yang mengembangkan inovasi di unitnya untuk mengikuti diklat luar badan/ short course sesuai dengan minatnya. b) Aktivitas pemberian recognition dilakukan dengan cara memberikan pengakuan atas keberhasilan kinerja pegawai. Contoh:
Pengelola Kepegawaian mencantumkan keahlian khusus pegawai dalam dalam HRIS.
Kepala BDK Cimahi memberikan kategori employee of the month bagi pegawai dengan kinerja sangat baik dan diumumkan di media sosial.
Sekretaris Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko memasukkan pegawai di unit nya yang memiliki kualifikasi, kompetensi, dan kinerja optimal untuk diusulkan ke dalam Manajemen Talenta.
Forward-thinking Leadership Organisasi mendorong leaders untuk menjaga konsistensi keterkaitan kegiatan No Subkomponen Strategi Implementasi belajar dengan tujuan strategis organisasi. Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Individu dengan cara:
memahami kebutuhan pembelajaran dan menyelaraskannya dengan tujuan organisasi. a) Aktivitas pemahaman kebutuhan pembelajaran ditunjukkan dengan cara memberikan arahan konkret dalam pengembangan kompetensi pegawai. Contoh: Kepala KPKNL Bukittinggi memiliki peta kelebihan dan kekurangan pegawai atas kompetensi yang dimiliki dan rencana pengembangannya. b) Aktivitas penyelarasan kebutuhan pembelajaran dengan tujuan organisasi dilakukan dengan cara mempertimbangkan hasil AKP dan gap kompetensi pegawai dalam memberikan penugasan pembelajaran. Contoh: Sekretaris DJPK menugaskan pegawai untuk melakukan pembelajaran sesuai dengan yang telah direncanakan, agar pegawai dimaksud dapat memiliki kesempatan mengembangkan diri.
melibatkan pegawai dalam membangun visi bersama pembelajaran. Aktivitas melibatkan pegawai dalam membangun visi pembelajaran dilakukan dengan cara mengajak pegawai diskusi mengenai pengembangan kompetensi yang akan dilakukannya. No Subkomponen Strategi Implementasi Contoh: Kepala Subbagian Tata Usaha mendiskusikan rencana dan evaluasi pengembangan kompetensi bawahannya dalam forum informal.
memberikan akses dan kesempatan belajar kepada pegawai baik secara mandiri maupun melalui pembelajaran terintegrasi sesuai dengan kebutuhan kompetensi. a) Aktivitas pemberian akses belajar dilakukan dengan cara menghilangkan batasan-batasan bagi pegawai dalam belajar. Contoh: Direktur PKN STAN menyetujui pengajuan anggaran untuk berlangganan jurnal internasional yang dapat dimanfaatkan oleh pegawai di lingkungan PKN STAN. b) Aktivitas pemberian kesempatan belajar cara membebastugaskan pegawai dari pekerjaan kantor selama mengikuti penugasan pembelajaran. Contoh: a) Kepala Bagian OTL memberikan kebebasan dari tugas sehari-hari kepada Kepala Subbagian Hukum dan Kerjasama yang sedang melaksanakan PJJ. b) Kepala Bagian TIK meluangkan waktu untuk melakukan pembimbingan kepada bawahannya dalam melaksanakan action learning pada Pelatihan Aplikasi Berbasis Flutter. K. Teknis Implementasi Rincian Komponen Feedback 1. Deskripsi a. Komponen Feedback mendeskripsikan input/masukan, pengaruh, dan informasi berupa gap antara harapan/target dan kenyataan/hasil yang diberikan oleh pegawai, unit pengelola kinerja organisasi dan pengembangan SDM pada Unit Eselon I dan Unit Non Eselon yang bertanggung jawab secara langsung kepada Menteri Keuangan, Pimpinan Unit Eselon I dan Unit Non Eselon yang bertanggung jawab secara langsung kepada Menteri Keuangan, dan Tim Penilai Komite LO atas pelaksanaan LO yang telah dilaksanakan pada tahun berjalan.
Feedback digunakan sebagai alat untuk menjaga perbaikan berkelanjutan dalam implementasi LO.
Ruang Lingkup Komponen Feedback mencakup implementasi tindak lanjut dan respon yang meliputi input/masukan, pengaruh, dan informasi berupa gap antara harapan/target dan kenyataan/hasil yang diberikan oleh pegawai, unit pengelola kinerja organisasi dan pengembangan SDM pada Unit Eselon I dan Unit Non Eselon yang bertanggung jawab secara langsung kepada Menteri Keuangan, Pimpinan Unit Eselon I dan Unit Non Eselon yang bertanggung jawab secara langsung kepada Menteri Keuangan, serta Tim Penilai Komite LO atas pelaksanaan LO yang telah dilaksanakan pada tahun sebelumnya dan tahun berjalan.
Tujuan Tujuan Komponen Feedback yaitu untuk mewujudkan terlaksananya pengukuran seluruh komponen dalam implementasi LO di Kementerian Keuangan yang secara berkesinambungan dapat mendukung dan mendorong pembelajaran individu, tim, dan organisasi dalam mewujudkan LO __ yang lebih terarah, sistematis, dan berkelanjutan.
Strategi Implementasi No Subkomponen Strategi Implementasi a. Feedback internal 1) Organisasi mendorong pejabat dan/atau pegawainya untuk memberikan feedback atas pelaksanaan seluruh komponen dalam implementasi LO. Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Individu dan Organisasi melalui aktivitas: __ __ No Subkomponen Strategi Implementasi a) pada tingkatan Individu, Pegawai melakukan pengisian survei dalam implementasi LO maupun pemberian feedback kepada tim maupun organisasi melalui saluran yang tersedia terkait seluruh komponen yang telah dilaksanakan dalam LO pada tahun sebelumnya. Contoh: Pegawai Sekretariat Badan terlibat secara aktif dalam pembahasan terkait pematangan konsepsi feedback untuk disampaikan kepada pimpinan. __ b) pada tingkatan Organisasi, __ (1) mendorong pejabat memberikan feedback pada komponen implementasi LO yang dilakukan dengan cara memfasilitasi pelaksanaan feedback melalui penyelenggaraan dialog implementasi LO __ dalam bentuk __ townhall atau group discussion. Contoh: Bagian Kepegawaian, Sekretariat BPPK menyelenggarakan kegiatan Townhall Meeting dengan tema __ LO sebagai wadah bagi seluruh pejabat dan pegawai untuk melakukan diskusi mengenai implementasi LO __ di lingkungan BPPK . (2) mendorong pegawai memberikan feedback pada komponen implementasi LO __ dilakukan dengan cara menyelenggarakan diseminasi, survei, atau one-on-one meeting dengan pegawai terkait . No Subkomponen Strategi Implementasi Contoh: Sekretariat BPPK menyelenggarakan diseminasi implementasi LO yang diikuti oleh seluruh pegawai melalui kegiatan pertemuan yang dikemas dalam acara Learning Organization Knowledge Room (LOKeR).
Organisasi menindaklanjuti feedback internal atas pelaksanaan seluruh komponen dalam implementasi LO, strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Organisasi melalui: __ __ a) Aktivitas menindaklanjuti feedback internal dilakukan dengan cara mendokumentasikan feedback atas penilaian LO pada tahun sebelumnya baik yang berupa keberhasilan maupun kegagalan untuk menjadi bahan pembelajaran pegawai, tim, dan organisasi. __ Contoh:
Sekretariat BPPK menyusun laporan feedback atas implementasi LO __ dan menyampaikannya kepada Pusdiklat dan BDK dalam bentuk poin-poin utama dan infografis.
Unit pengelola kinerja organisasi dan pengembangan pegawai mengumpulkan feedback dari pegawai, unit pengelola kinerja organisasi dan pengembangan SDM pada Unit Eselon I, Pimpinan Unit Eselon I, dan Tim Penilai Komite LO atas pelaksanaan LO pada tahun berjalan. No Subkomponen Strategi Implementasi b) Aktivitas menindaklanjuti feedback internal dilakukan dengan cara mendiseminasikan implementasi feedback atas penilaian LO . Contoh:
Sekretariat BPPK menyelenggarakan diseminasi pembahasan hasil feedback implementasi LO tahun lalu dengan seluruh unit di lingkungan BPPK.
Unit pengelola kinerja organisasi dan pengembangan pegawai melaksanakan kegiatan pengembangan terencana berdasarkan hasil feedback atas penilaian LO pada tahun sebelumnya c) Aktivitas menindaklanjuti feedback internal dilakukan dengan cara melakukan identifikasi dan menyusun kebutuhan pengembangan dalam pelaksanaan feedback , serta memastikan pelaksanaan dan pengembangan poin-poin feedback atas penilaian LO pada tahun sebelumnya . Contoh: Bagian Organisasi dan Tata Laksana bersama dengan Bagian Kepegawaian, Sekretariat BPPK melakukan rencana pengembangan organisasi dan SDM dengan menggunakan data hasil feedback .
Feedback eksternal 1) Organisasi menelaah feedback eksternal atas pelaksanaan seluruh komponen dalam implementasi LO, Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Organisasi melalui aktivitas No Subkomponen Strategi Implementasi penelaahan feedback eksternal dilakukan dengan cara mendiseminasikan feedback yang diberikan oleh Tim Penilai Komite LO __ atas hasil survei tahun sebelumnya. Contoh: a) Sekretariat BPPK menyelenggarakan rapat pembahasan hasil feedback dengan seluruh unit di lingkungan BPPK yang mendapat feedback dari Tim Penilai Komite LO. b) Unit pengelola kinerja organisasi dan pengembangan pegawai menyelenggarakan diseminasi kepada pegawai, grup, dan organisasi secara menyeluruh atas dokumentasi implementasi feedback. c) Unit pengelola kinerja organisasi dan pengembangan pegawai melakukan identifikasi dan menyusun kebutuhan pengembangan dalam pelaksanaan feedback , serta memastikan pelaksanaan dan pengembangan poin-poin feedback atas penilaian LO pada tahun sebelumnya.
Organisasi menindaklanjuti feedback eksternal atas pelaksanaan seluruh komponen dalam implementasi LO. Strategi implementasi atas subkomponen ini dilaksanakan pada tingkatan Organisasi melalui aktivitas tindak lanjut feedback eksternal dilakukan dengan cara menyelenggarakan rapat tindak lanjut hasil feedback dengan seluruh unit terkait untuk mengomunikasikan dan mengidentifikasi langkah tindak lanjut maupun perbaikan. Contoh: a) Sekretariat BPPK menyelenggarakan rapat one-on- No Subkomponen Strategi Implementasi one untuk membahas tindak lanjut feedback yang telah diselesaikan oleh unit. b) Setiap pimpinan organisasi mendorong dan mendukung pelaksanaan tindak lanjut feedback yang telah diberikan oleh Tim Penilai Komite LO atas penilaian LO pada tahun sebelumnya. c) Setiap pimpinan organisasi mendorong dan mendukung pelaksanaan tindak lanjut feedback yang telah diusulkan oleh organisasi atas penilaian LO pada tahun sebelumnya.
n. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KEPALA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN, ttd. ANDIN HADIYANTO
Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan ...
Uji Formil dan Uji Materi Pasal 2 dan Pasal 27 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 mengenai Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penan ...
Relevan terhadap
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Bahwa pasal-pasal UUD NRI Tahun 1945 yang dijadikan batu uji adalah Pasal 1, Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (2), Pasal 18 ayat (2) dan (3), Pasal 20A, 72 Pasal 20A ayat (1), Pasal 22, Pasal 22 ayat (1), Pasal 22D ayat (2), Pasal 23, Pasal 23A, Pasal 23C, Pasal 23D, Pasal 23E, Pasal 24, Pasal 24A ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan (2), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (1), Pasal 28I ayat (2) dan Pasal 31 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. II. KETERANGAN DPR RI Dengan ini DPR RI menyampaikan keterangan terhadap permohonan pengujian materiil UU 2/2020 terhadap UUD NRI Tahun 1945 dalam Perkara nomor 37, 42, 43, 45, 47, 49 dan 75/PUU-XVIII/2020 sebagai berikut: A. KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) PARA PEMOHON 1. Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Para Pemohon dalam Pengujian Secara Formil Terkait kedudukan hukum (legal standing) Para Pemohon dalam pengujian undang-undang secara formil, DPR RI memberikan pandangan dengan berdasarkan 2 (dua) batasan kerugian konstitusional yang disimpulkan dari Pertimbangan Hukum dalam Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 27/PUU-VII/2009, yaitu:
Para Pemohon merupakan perorangan yang telah melaksanakan hak pilih sebagai pemegang kedaulatan yang telah memberikan kepercayaan dan mandat kepada wakil sebagai fiduciary duty dalam pemilihan umum;
Berdasarkan uraian kedudukannya, Pemohon Badan Hukum Perkara 37 dan Para Pemohon Badan Hukum Perkara 75 yang merupakan Badan Hukum tentunya tidak memiliki hak dan/atau kewenangan untuk turut serta dalam pemilihan umum.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 34 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Pemilih adalah Warga Negara Indonesia yang sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin. Oleh karena itu, Pemohon Badan Hukum Perkara 37 dan Para Pemohon Badan Hukum Perkara 75 telah jelas tidak dapat membuktikan bahwa telah memberikan kepercayaan dan 73 mandat kepada anggota DPR RI masa keanggotaan periode tahun 2014-2019 karena Pemohon Badan Hukum Perkara 37 dan Para Pemohon Badan Hukum Perkara 75 bukanlah perorangan yang telah melaksanakan hak pilih sebagai pemegang kedaulatan yang telah memberikan kepercayaan dan mandat kepada wakil sebagai fiduciary duty dalam pemilihan umum 3) Para Pemohon Perorangan Perkara 37, Para Pemohon Perkara 43, dan Para Pemohon Perorangan Perkara 75 dalam perbaikan permohonannya tidak memberikan uraian argumentasi sebagai perorangan yang telah melaksanakan hak pilih sebagai pemegang kedaulatan dalam Pemilihan Umum. Selain itu, Para Pemohon tersebut diatas juga tidak melampirkan bukti-bukti keikutsertaannya dalam Pemilihan Umum dan menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan anggota DPR RI sebagai bentuk pemberian mandat kepada wakil sebagai fiduciary duty . Hal ini menunjukkan bahwa Para Pemohon tersebut tidak memahami kedudukan hukumnya sebagai perseorangan warga negara yang memiliki hak konstitusional sebagai pemberi mandat dalam Pemilihan Umum dan tidak memperhatikan ketentuan dalam pengujian undang-undang secara formil.
Para Pemohon mempunyai hubungan pertautan yang langsung dengan Undang-Undang yang dimohonkan.
Bahwa terkait dengan pengajuan pengujian UU a quo secara formil, para Pemohon secara keseluruhan tidak menguraikan pertautannya. Namun dapat dipahami dalam uraian dalil- dalilnya, Para Pemohon hanya menyatakan bahwa UU a quo telah menimbulkan ketidakpastian hukum, melahirkan penafsiran yang ambigu, tidak jelas dan multi tafsir serta berpotensi menghambat pemenuhan hak-hak konstitusional Para Pemohon dan warga negara pada umumnya. 74 2) Meskipun demikian, Para Pemohon tidak memberikan uraian yang berkaitan dengan pertautannya secara langsung terhadap UU a quo yang dimohonkan pengujiannya secara formil. Dengan demikian telah jelas, tidak terdapat keterkaitan secara langsung antara Para Pemohon Perkara 37, Para Pemohon Perkara 43, dan Para Pemohon Perkara 75 dengan UU a quo, sehingga Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam pengujian formil UU a quo terhadap UUD NRI Tahun 1945.
Terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) Para Pemohon Perkara 37, Para Pemohon Perkara 43, dan Para Pemohon Perkara 75 dalam pengujian formil, DPR RI memohon kepada Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi agar benar-benar menilai apakah Para Pemohon tersebut memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam pengajuan Permohonan perkara-perkara a quo sesuai dengan parameter kerugian hak dan/atau kerugian konstitusional dalam pengajuan permohonan pengujian formil undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana disebutkan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Pertimbangan Hukum pada Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009.
Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Para Pemohon dalam Pengujian Secara Materiil Terkait kedudukan hukum ( legal standing ) Para Pemohon dalam pengujian undang-undang secara materiil, DPR RI memberikan pandangan dengan berdasarkan 5 (lima) batasan kerugian konstitusional yang tercantum dalam __ Putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007 sebagai berikut:
Perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 Bahwa Para Pemohon Perkara 37 mendalilkan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diatur dalam ketentuan 75 Pasal 23 ayat (1), Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Terhadap hal tersebut, DPR RI menerangkan bahwa ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mengatur mengenai APBN yang jelas-jelas tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan Warga Negara. Sehingga ketentuan ini tidak memiliki pertautan hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon Perkara 37. Bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon Perkara 37 sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 28C ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 tidak terciderai dengan berlakunya ketentuan pasal-pasal yang dimohonkan pengujiannya karena Para Pemohon Perkara 37 tetap dapat memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya. Terkait dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, Para Pemohon Perkara 37 juga tetap mendapatkan haknya atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Bahwa Para Pemohon Perkara 37 mendalilkan diri sebagai pembayar pajak ( tax payer ), oleh karenanya DPR RI mengutip pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 40/PUU-XVI/2018 pada paragraf [3.7] sebagai berikut: …menurut Mahkamah, para Pemohon sebagai pembayar pajak ( tax payer ) tidak serta merta memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam mengajukan setiap permohonan pengujian undang-undang. Para Pemohon dapat memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) apabila para Pemohon dapat menjelaskan adanya keterkaitan logis dan causal verband bahwa pelanggaran hak konstitusional atas berlakunya undang-undang yang diuji adalah dalam kaitannya dengan status para Pemohon sebagai pembayar pajak ( tax payer ) memang menunjukkan kerugian yang nyata. Dalam permohonan a quo , para Pemohon Perkara 37 dituntut bukan hanya sekedar menyatakan dirinya sebagai pembayar pajak ( tax payer ), tetapi terkait statusnya sebagai pembayar pajak 76 harus dijelaskan adanya keterkaitannya secara logis dengan kerugian konstitusional Para Pemohon Perkara 37 yang diakibatkan dengan berlakunya pasal-pasal a quo . Terkait dengan ketentuan UUD NRI Tahun 1945 yang oleh para Pemohon Perkara 37 dipertentangkan dengan ketentuan dalam UU a quo , Para Pemohon Perkara 37 tidak mengurai pertautan antara keduanya demikian pula terkait dengan pertautannya dengan Para Pemohon Perkara 37. Maka semakin tidak jelas adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon terkait dengan pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dan keberadaan hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara dalil kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon Perkara 37 dengan ketentuan pasal-pasal a quo yang dimohonkan pengujiannya.
Perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020 Bahwa Para Pemohon Perkara 42 tidak konsisten dalam menyebutkan batu uji yang digunakan dalam pengujian pasal- pasal a quo dalam uraian kedudukan hukumnya dengan ketentuan UUD NRI Tahun 1945 yang tertulis dalam bagian Pokok Permasalahan. Lebih lanjut, dalam uraian permohonannya, Para Pemohon Perkara 42 mempertentangkan ketentuan pasal- pasal a quo dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), (2), (3), dan Pasal 23A UUD NRI Tahun 1945 yang sama sekali tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional warga negara. Terkait dengan kerugian hak konstitusionalnya yang dijamin dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, para Pemohon Perkara 42 tidak menguraikan bentuk konkrit (aktual) maupun potensial atas kerugian konstitusional yang didalilkan tersebut dengan diri para Pemohon Perkara 42 dan justru para Pemohon Perkara 42 banyak menyampaikan asumsi-asumsi dan kekhawatirannya atas pemberlakuan pasal-pasal a quo terhadap negara yang jelas 77 sangat mengada-ada. Selain itu, Para Pemohon Perkara 42 tidak dapat menunjukkan adanya pertautan secara langsung dengan ketentuan pasal-pasal a quo sehingga tidak jelas sebab akibat atas dalil kerugian konstitusional yang didalilkan Para Pemohon Perkara 42 dengan berlakunya ketentuan pasal-pasal a quo .
Perkara Nomor Perkara 43/PUU-XVIII/2020 Bahwa Para Pemohon Perkara 43 tersebut masing-masing tidak berdiri dalam posisi yang jelas atas kepentingan siapakah para Pemohon Perkara 43 hendak mengemukakan kerugian konstitusionalnya. Selain itu, Para Pemohon Perkara 43 dalam permohonannya tidak mampu menjelaskan secara spesifik dalam hal apa para Pemohon Perkara 43 dirugikan dengan keberlakuan pasal UU a quo tersebut terhadap diri para Pemohon Perkara 43 maupun terhadap profesi Para Pemohon Perkara 43. Bahwa para Pemohon Perkara 43 dalam permohonannya tidak mampu menjelaskan secara spesifik dalam hal apa Para Pemohon Perkara 43 dirugikan dengan keberlakuan pasal a quo tersebut terhadap diri Para Pemohon Perkara 43 maupun terhadap profesi Para Pemohon Perkara 43 sehingga tidak jelas pula hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian konstitusional yang didalilkan oleh Para Pemohon Perkara 43 dengan pasal-pasal a quo yang dimohonkan pengujiannya terhadap UUD NRI Tahun 1945.
Perkara Nomor Perkara 45/PUU-XVIII/2020 Bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (2), Pasal 20 ayat (1), Pasal 20A ayat (1),Pasal 23, Pasal 23E, Pasal 24, Pasal 24A ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang dijadikan batu uji oleh Pemohon Perkara 45 tidak mengatur mengenai hak konstitusional warga negara, melainkan mengatur mengenai bentuk dan kedaulatan negara, kekuasaan pemerintah, tugas dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat, hal keuangan negara, kelembagaan BPK, 78 Kekuasaan Kehakiman, tanggung jawab negara dalam mengelola keuangan negara yang ditetapkan setiap tahun dengan undang- undang untuk dapat dilaksanakan secara terbuka dan untuk kemakmuran rakyat, dan kewajiban warga negara untuk menjunjung hukum dan pemerintahan tanpa terkecuali. Oleh karena itu tidaklah relevan untuk dijadikan sebagai batu uji dalam Permohonan a quo . Bahwa dalam Permohonan a quo , Pemohon Perkara 45 tidak menguraikan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon Perkara 45 yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Pemohon Perkara 45 hanya menyatakan hak Pemohon sebagai rakyat dalam memantau Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan Kekuasaan Kehakiman dapat menjalankan tugas dan fungsinya, tanpa menjelaskan kerugian spesifik apa yang ditimbulkan dari berlakunya ketentuan pasal-pasal a quo . Sehingga jelas kerugian yang didalilkan oleh Pemohon Perkara 45 hanya merupakan asumsi tanpa adanya pertautan dengan hak konstitusional Pemohon Perkara 45.
Perkara Nomor Perkara 47/PUU-XVIII/2020 Bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 telah ditetapkan menjadi undang-undang yakni UU a quo , artinya substansi di dalamnya telah dibahas dan disetujui antara Pemerintah bersama dengan DPR dan telah dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Bahwa ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional melainkan mengatur mengenai penetapan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban APBN. Salah satu fungsi yang dimiliki oleh DPR adalah fungsi anggaran dengan tugas dan wewenang berupa pemberian persetujuan atas RUU tentang 79 APBN yang diajukan oleh Presiden. UU APBN tersebut kemudian dilaksanakan secara terbuka oleh Pemerintah untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat. Para Pemohon Perkara 47 mendalilkan dengan berlakunya pasal a quo , berpotensi dana desa dihentikan, dengan demikian jelas kerugian yang didalilkan tersebut hanya asumsi Para Pemohon Perkara 47, karena kenyataannya dana desa tetap ada meskipun selama penanganan pandemi Covid-19 ini besarannya dikurangi karena adanya kebijakan pengalihan mandatory expenses yang diamanatkan oleh UU Desa.
Perkara Nomor Perkara 49/PUU-XVIII/2020 Bahwa Pemohon Perkara 49 menyatakan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1), (2) dan (3) serta Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 namun dalam uraian Positanya, Pemohon Perkara 49 mendalilkan ketentuan pasal a quo bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Meskipun demikian, DPR menerangkan bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (1), (2) dan (3) serta Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional warga Negara. Ketentuan Pasal 1 ayat (1), (2) dan (3) serta Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mengatur mengenai Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik, kedaulatan berada di tangan rakyat, Indonesia adalah Negara hukum dan APBN sebagai wujud dari pengelolaan keuangan Negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Bahwa Pemohon Perkara 49 dalam perbaikan permohonannya menguraikan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1), (2) dan (3) serta Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang jelas-jelas 80 tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan warga Negara. Selain itu, Pemohon Perkara 49 tidak menguraikan kerugian konsitusionalnya berdasarkan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dan hanya mendalilkan pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Pemohon Perkara 49 juga sama sekali tidak menyampaikan argumentasi tentang pertentangan antara pasal yang dimohonkan pengujian dengan pasal-pasal yang menjadi dasar pengujian dalam UUD NRI Tahun 1945. Oleh karena itu, telah sangat jelas Pemohon Perkara 49 tidak memiliki hak dan/atau kewenangan kontitusional yang dirugikan dengan berlakunya UU 2/2020. Bahwa Pemohon Perkara 49 dan banyak menguraikan mengenai asumsi-asumsinya atas pengaturan yang terdapat dalam pasal a quo , maka DPR RI menerangkan tidak terdapat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon Perkara 49 yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi pada Pemohon Perkara 49, maka jelas tidak terdapat hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.
Perkara Nomor Perkara 75/PUU-XVIII/2020 Bahwa mayoritas para Pemohon Perkara 75 mengajukan kembali Permohonan 51/PUU-XVIII/2020 yang telah ditarik kembali pada tanggal 19 Agustus 2020 dan Mahkamah Konstitusi sudah menerbitkan Ketetapan Putusan Nomor 51/PUU- XVIII/2020 yang diucapkan pada tanggal 27 Agustus 2020. Para Pemohon Perkara 75 berdalil bahwa dapat mengajukan kembali permohonan yang telah ditarik sebelumnya tersebut karena sudah dilakukan perubahan dalam isi materi permohonan sehingga tidak mempunyai kesamaan dalam permohonan sebelumnya baik dalam permohonan pengujian formil maupun 81 materiil yang diajukan sehingga Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa dan mengadilinya. Terhadap dalil tersebut, DPR RI memberikan pandangan bahwa berdasarkan ketentuan dalam Pasal 35 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan: ayat (1) “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan”. ayat (1a) “Dalam hal pemohon menarik kembali Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Panitera Mahkamah Konstitusi menerbitkan Akta Pembatalan Registrasi Permohonan dan memberitahukan kepada Pemohon disertai dengan pengembalian berkas Permohonan”. ayat (2) “Penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Permohonan tidak dapat diajukan kembali”. Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa Permohonan yang sudah ditarik kembali dan sudah diputus tidak dapat diajukan kembali. Selain itu, setelah melihat isi dari permohonan Para Pemohon Perkara 75, baik dari segi formil maupun materiil memiliki materi permohonan yang sama dengan permohonan sebelumnya yang sudah ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan penarikan kembali permohonan perkara 51/PUU-XVIII/2020 tersebut oleh Para Pemohon perkara 51/PUU-XVIII/2020, yang merupakan mayoritas Para Pemohon Perkara 75. Walaupun Para Pemohon Perkara 75 memberikan tambahan batu uji Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 27 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 namun batu uji Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 tersebut tidak mengatur mengenai hak konstitusional warga negara. Begitupun halnya dengan tambahan batu uji Pasal 27 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, ketentuan yang ada pada UU a quo tidak menghalangi Para Pemohon Perkara 75 untuk mendapatkan hak 82 konstitusionalnya berupa pekerjaan dan penghidupan yang layak. Sehingga tidaklah tepat jika para Pemohon Perkara 75 masih mengajukan permohonan yang sama dengan permohonan yang sudah ditarik kembali dan ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi. Bahwa para Pemohon Perkara 75 juga mendalilkan diri sebagai pembayar pajak ( tax payer ), oleh karenanya DPR RI mengutip pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 40/PUU-XVI/2018 pada paragraf [3.7] sebagai berikut: …menurut Mahkamah, para Pemohon sebagai pembayar pajak ( tax payer ) tidak serta merta memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam mengajukan setiap permohonan pengujian undang-undang. Para Pemohon dapat memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) apabila para Pemohon dapat menjelaskan adanya keterkaitan logis dan causal verband bahwa pelanggaran hak konstitusional atas berlakunya undang-undang yang diuji adalah dalam kaitannya dengan status para Pemohon sebagai pembayar pajak ( tax payer ) memang menunjukkan kerugian yang nyata. Dalam permohonan a quo , para Pemohon Perkara 75 dituntut bukan hanya sekedar menyatakan dirinya sebagai pembayar pajak ( tax payer ), tetapi terkait statusnya sebagai pembayar pajak harus dijelaskan adanya keterkaitannya secara logis dengan kerugian konstitusional para Pemohon Perkara 75 yang diakibatkan dengan berlakunya pasal-pasal a quo . Bahwa terkait dengan kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon, DPR RI memberikan pandangan selaras dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam sidang Pleno MK terbuka untuk umum pada tanggal 15 Juni 2016, yang pada pertimbangan hukum [3.5.2] MK menyatakan bahwa menurut Mahkamah:
.. dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’ interest point d’ action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang . Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (RV) 83 khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “tiada gugatan tanpa hubungan hukum” ( no action without legal connection ). Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) Para Pemohon secara materiil, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Perkara Nomor 011/PUU- V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional. B. PANDANGAN UMUM DPR 1. Penyebaran COVID-19 terus meluas di seluruh dunia yang didorong oleh mobilitas manusia. Hingga akhir Februari 2020, penyebaran COVID-19 secara global telah mencapai 86.000 kasus dengan jumlah kematian hampir 3.000 orang. Pandemi COVID-19 yang menyebar secara cepat dan mengancam kesehatan publik, mendorong negara- negara untuk mengambil berbagai langkah pencegahan yang ekstrim. Salah satu langkah kebijakan yang diambil hampir semua negara adalah pelarangan atau pembatasan perjalanan ( travel ban/restriction ), penutupan perbatasan, serta memperketat lalu lintas manusia antar wilayah/negara. Di dalam skala domestik, beberapa negara memberlakukan lockdown yakni penutupan wilayah dan penghentian segala aktivitas publik kecuali yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan pangan dan medis. Physical distancing serta karantina mandiri termasuk dengan memindahkan aktivitas kantor, belajar, dan beribadah di rumah juga diimplementasikan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Berbagai kegiatan yang bersifat pengumpulan massa dikurangi atau bahkan dilarang dengan pengawasan ketat dari aparat hukum. Di Indonesia, Pemerintah memberlakukan status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dan menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sejak 84 tanggal 31 Maret 2020. Sebelumnya, Pemerintah juga telah memberlakukan larangan penerbangan termasuk dari dan ke Tiongkok, membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, memberlakukan kebijakan physical distancing , serta menetapkan status keadaan darurat bencana COVID-19. Berbagai himbauan termasuk menganjurkan dan bahkan melarang masyarakat untuk tidak melakukan pulang kampung termasuk dalam rangka mudik Hari Raya Idul Fitri 1441 Hijriah telah dilakukan. Anjuran untuk meningkatkan pola hidup bersih dan sehat juga terus digencarkan. Penyebaran COVID-19 yang terjadi secara cepat dan eksponensial dikhawatirkan juga tidak dapat diimbangi dengan ketersediaan fasilitas kesehatan serta tenaga medis yang ada, sehingga bisa berujung pada krisis kesehatan. Langkah-langkah tersebut diimplementasikan dengan dasar bahwa kesehatan dan keselamatan masyarakat adalah prioritas. Namun demikian, langkah-langkah tersebut menimbulkan penurunan aktivitas ekonomi yang cukup signifikan .
Bentuk perlindungan yang diberikan oleh negara tidak sebatas perlindungan dari ancaman fisik namun juga perlindungan terhadap keseluruhan aspek kehidupan dan keselamatan 269 juta jiwa penduduk Indonesia. Negara harus mampu menjaga ketahanan seluruh elemen bangsa dari segala ancaman yang membahayakan negara dan masyarakat. Dengan segala sumber daya yang ada, kita harus mewujudkan ketahanan negara yang kokoh dari segala ancaman, termasuk ancaman terhadap perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan yang menimbulkan implikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat.
Bahwa penyebaran pandemi COVID-19 yang memberikan dampak dan mengancam pertumbuhan ekonomi Indonesia antara lain karena menurunnya penerimaan negara serta ketidakpastian ekonomi global, memerlukan kebijakan dan langkah-langkah luar biasa di bidang keuangan negara termasuk di bidang perpajakan dan keuangan 85 daerah, dan sektor keuangan, yang harus segera diambil Pemerintah dan lembaga-lembaga terkait guna mengatasi kondisi mendesak tersebut dalam rangka penyelamatan kesehatan, perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja kesehatan, jaring pengaman sosial (social safety net), serta pemulihan dunia usaha yang terdampak. Oleh karena itu, diperlukan perangkat hukum yang memadai untuk memberikan landasan yang kuat bagi Pemerintah dan lembaga-lembaga terkait untuk pengambilan kebijakan dan langkah- langkah dimaksud.
Bahwa berdasarkan ketentuan dalam Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan: “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang- undang”. Mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU- VII/2009, parameter kegentingan yang memaksa dalam rangka penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang antara lain: - karena adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; - Undang-Undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau tidak memadainya Undang-Undang yang saat ini ada; dan - Kondisi kekosongan hukum yang tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa yang memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Bahwa Perpu 1/2020 telah dikeluarkan oleh Presiden pada tanggal 31 Maret 2020 karena keadaan genting dan kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat dan untuk menyelamatkan perekonomian dari krisis yang diprediksi akan terjadi. Bahwa dalam keadaan mendesak tersebut diperlukan pemberian kewenangan bagi Pemerintah diantaranya agar dapat melakukan 86 realokasi dan refocussing anggaran yang sebelumnya telah dialokasikan dalam APBN tahun 2020. Melalui realokasi dan refocussing yang bersifat segera diharapkan dapat segera memulihkan ekonomi dalam rangka mendukung Program Pemulihan Ekonomi Nasional sebagai akibat dari Pandemi Covid-19. 6. Bahwa oleh karenanya ketentuan dalam UU 2/2020 diharapkan dapat memberi fondasi hukum bagi pemerintah terhadap otoritas perbankan dan otoritas keuangan untuk mengambil langkah luar biasa guna menjamin kesehatan masyarakat, menyelamatkan perekonomian nasional, dan stabilitas sistem keuangan sebagaimana diatur UU a quo yang perlu menetapkan kebijakan keuangan negara dan kebijakan stabilitas sistem keuangan diantaranya dengan menetapkan batasan defisit anggaran, melakukan penyesuaian besaran belanja wajib ( mandatory spending ), dan melakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarfungsi, dan/atau antarprogram.
Bahwa urgensi sebagai dasar dibentuknya Perpu 1/2020 merupakan pertimbangan subjektif dari Presiden sebagai pihak yang berhak membentuk suatu perppu. Pertimbangan subjektif tersebut perlu untuk dinilai secara objektif oleh rakyat yang direpresentasikan oleh wakilnya, yaitu DPR, sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Pasal 22 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Dengan disahkannya Perpu 1/2020 menjadi UU 2/2020, maka DPR sebagai wakil rakyat telah menilai urgensi tersebut merupakan hal yang nyata dan mendesak sehingga perlu memberikan persetujuan atas Perpu 1/2020 untuk menjadi undang-undang sehingga dapat digunakan Pemerintah sebagai dasar hukum yang lebih kuat untuk bereaksi secara cepat menghadap situasi Pandemi Covid-19. C. KETERANGAN DPR TERHADAP PENGUJIAN FORMIL UU 2/2020 Berdasarkan kewenangan MK yang diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, maka batu uji yang digunakan oleh MK untuk melakukan pengujian formil haruslah berdasarkan Pasal 20 UUD NRI Tahun 1945, terutama Pasal 20 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang 87 menyatakan bahwa “ Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama” . Frasa “ persetujuan bersama” dalam ketentuan tersebut merupakan esensi berlakunya __ asas legalitas sehingga frase “ persetujuan bersama ” merupakan norma yang sangat fundamental sebagai dasar terbentuknya undang-undang. Jika proses pembentukan undang-undang telah memenuhi unsur legalitas, yakni telah adanya “ persetujuan bersama ”, dan tidak adanya kegagalan dalam mendapatkan “ persetujuan bersama ” DPR dan Presiden, maka secara konstitusional undang-undang tersebut menjadi sah secara formil. Sesuai landasan konstitusional kewenangan MK menguji undang- undang terhadap UUD NRI Tahun 1945, maka pengujian undang-undang secara formil hanya dapat dinyatakan cacat prosedur jika telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Namun demikian, jika Yang Mulia Hakim Konstitusi berpendapat lain, maka mohon pertimbangan yang seadil-adilnya, dan DPR tetap bersikap kooperatif dengan menerangkan lebih lanjut hal-hal yang dipermasalahkan oleh Para Pemohon dalam pengujian formil.
Tanggapan DPR terhadap dalil Para Pemohon Perkara 75 mengenai batasan waktu 45 hari dalam pengujian formil undang- undang harus dikesampingkan karena tidak berdasarkan pada UUD NRI Tahun 1945. a) Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam konteks ketatanegaraan Indonesia dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi ( the guardian of constitution ) dan sebagai pengawal demokrasi ( the guardian of democracy ) yang diberikan kewenangan oleh UUD NRI Tahun 1945 untuk dapat menguji undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945. Kewenangan ini diberikan sebagai fungsi Mahkamah Konstitusi dalam menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat. Namun di sisi lain, Mahkamah Konstitusi juga bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi 88 dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan bertanggungjawab. b) Bahwa undang-undang bersifat mengikat dan memaksa bagi semua warga negara, sehingga agar dapat dilaksanakan harus diundangkan dalam Lembaran Negara agar setiap orang dianggap mengetahui atas undang-undang tersebut. Hal ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum kepada masyarakat atas keberlakuan suatu undang-undang. c) Bahwa untuk menjamin kepastian hukum, pengujian undang- undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 diperlukan pembatasan waktu untuk dapat diuji secara formil. Pembatasan waktu ini tidak boleh terlalu lama dari waktu diundangkannya suatu undang- undang dalam Lembaran Negara, karena karakteristik pengujian formil berbeda dengan pengujian materiil yang hanya menguji kata, frasa, ayat dan/atau pasal saja dalam undang-undang atas dasar kerugian konstitusional pemohon. Sedangkan pengujian formil didasarkan atas undang-undang yang merugikan konstitusi yang proses pembentukannya tidak sesuai dengan ketentuan dalam UUD NRI Tahun 1945, sehingga dapat membatalkan keseluruhan undang-undang. d) Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam menjaga hal tersebut harus berhati-hati dalam menguji formalitas suatu undang-undang, karena yang menjadi fokus pengujian formil bukanlah atas dasar dalil kerugian pemohon, namun Mahkamah Konstitusi harus mengutamakan keadilan dan kebenaran konstitusional. Mahkamah Konstitusi harus memahami ruh, ide, landasan filosofis, dan suasana kebatinan yang terjadi selama penyusunan undang-undang sehingga dapat memahami urgensi suatu undang-undang harus segera ditetapkan. e) Bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi ( the guardian of constitution ) dan sebagai pengawal demokrasi ( the guardian of democracy ) telah tepat memberikan pembatasan 89 waktu pengujian formil 45 hari setelah suatu undang-undang diundangkan dalam Lembaran Negara dalam menjaga kepastian hukum. Pembatasan ini sebagaimana Putusan Nomor 27/PUU- VII/2009 poin [3.34] yang menyatakan, “Menimbang bahwa terlepas dari putusan dalam pokok permohonan a quo Mahkamah memandang perlu untuk memberikan batasan waktu atau tenggat suatu Undang- Undang dapat diuji secara formil. Pertimbangan pembatasan tenggat ini diperlukan mengingat karakteristik dari pengujian formil berbeda dengan pengujian materiil. Sebuah Undang- Undang yang dibentuk tidak berdasarkan tata cara sebagaimana ditentukan oleh UUD 1945 akan dapat mudah diketahui dibandingkan dengan Undang-Undang yang substansinya bertentangan dengan UUD 1945. Untuk kepastian hukum, sebuah Undang-Undang perlu dapat lebih cepat diketahui statusnya apakah telah dibuat secara sah atau tidak, sebab pengujian secara formil akan menyebabkan Undang-Undang batal sejak awal. Mahkamah memandang bahwa tenggat 45 (empat puluh lima) hari setelah Undang-Undang dimuat dalam Lembaran Negara sebagai waktu yang cukup untuk mengajukan pengujian formil terhadap Undang-Undang; ” f) Bahwa terkait hukum acara pembatasan waktu 45 hari dalam mengajukan pengujian formil di Mahkamah Konstitusi merupakan materi yang seharusnya diatur dalam undang-undang oleh pembentuk undang-undang, namun selama belum diatur dalam undang-undang Mahkamah Konstitusi dapat mengatur hukum acara yang bersifat teknis untuk mengisi kekosongan hukum. Dalam hal ini, UUD NRI Tahun 1945 sebagai Konstitusi tidak mungkin mengatur secara rinci mengenai hal teknis batasan hari seperti yang didalilkan oleh Para Pemohon, karena dibutuhkan Undang-Undang lain untuk mengatur mengenai hal tersebut. Sehingga Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk mengatur sendiri hukum acara yang bersifat teknis dalam sidang pengadilan selama belum diatur dalam Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi. g) Bahwa terhadap pengujian perkara nomor 75/PUU-XVIII/2020 yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi pada tanggal 90 9 September 2020 sesungguhnya telah melewati batas waktu pengujian formil 45 hari sejak diundangkannya UU a quo , yakni pada tanggal 18 Mei 2020 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516. Oleh karenanya berdasarkan fakta hukum tersebut DPR berpandangan permohonan Perkara nomor 75/PUU-XVIII/2020 tidak memenuhi ketentuan batas waktu 45 hari yang ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi, sehingga sepatutnya Mahkamah Konstitusi menyatakan Permohonan 75/PUU-XVIII/2020 tidak dapat diterima.
Tanggapan DPR terhadap dalil Para Pemohon Perkara 37 dan Perkara 75 mengenai prosedur konstitusional pengesahan telah disimpangi dengan tidak adanya keterlibatan DPD. Bahwa Para Pemohon Perkara 37 dan Perkara 75 dalam perbaikan permohonannya mendalilkan tidak adanya keterlibatan DPD dalam pembahasan Perppu yang telah ditetapkan menjadi UU dengan UU 2/2020 bertentangan dengan prinsip negara hukum, prinsip kedaulatan rakyat dan kewenangan legislasi DPD. Terhadap dalil tersebut DPR menerangkan sebagai berikut: a) Bahwa berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 ditentukan kewenangan untuk membentuk undang-undang ada pada DPR. Adapun terkait UUD NRI Tahun 1945 menghendaki bahwa setiap RUU dibahas antara DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama (Pasal 20 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945). b) Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 22D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 mengatur bahwa Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan 91 undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. c) Bahwa keikutsertaan DPD dalam pembahasan RUU hanya sebatas yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Hal ini juga sesuai dengan Pasal 65 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 (selanjutnya disebut UU 12/2011). d) Bahwa Perpu 1/2020 pada intinya secara garis besar mengatur mengenai kebijakan keuangan negara, apabila dalam pelaksanaannya memiliki dampak terhadap alokasi perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerintahan daerah, hal itu merupakan konsekuensi bahwa keuangan daerah merupakan bagian dari keuangan negara. Sehingga telah jelas bahwa Perpu tersebut tidak mengatur secara khusus mengenai otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah . Selain itu UU 2/2020 yang dipermasalahkan oleh para Pemohon merupakan pengesahan Perpu 1/2020 sehingga pembentuk undang-undang tidak berkewajiban untuk mengikutsertakan DPD dalam pembahasan RUU penetapan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang. e) Berdasarkan Pasal 71 huruf d dan Pasal 249 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 (UU MD3) bahwa DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber 92 daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah . RUU Penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU tidak memiliki pertautan dengan bidang yang mengharuskan keikutsertaan DPD dalam pembahasannya melainkan mengenai DPR memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan, sehingga DPD tidak memiliki kewenangan untuk ikut membahas RUU tersebut.
Tanggapan DPR terhadap dalil Para Pemohon Perkara 37, Para Pemohon Perkara 43 dan Para Pemohon Perkara 75 mengenai rapat virtual yang berpotensi dihadiri tidak secara konkret karena kuorum rapat dibuktikan dengan tandatangan sebelum menghadiri rapat. a) Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, Perppu 1/2020 dibentuk pada intinya untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional yang terdampak dari Pandemi Covid- 19 . Bahwa pada saat Perppu 1/2020 tersebut diajukan oleh Pemerintah kepada DPR untuk menjadi undang-undang, negara dalam kondisi darurat bencana yang menimbulkan kepanikan di masyarakat. b) Dalam kondisi demikian, maka DPR sebagai wakil rakyat harus tetap melaksanakan tugasnya untuk membahas Perppu 1/2020 bersama dengan Pemerintah. Bahwa pada saat itu peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum pembentuk undang-undang melaksanakan tugasnya masih belum menjangkau penggunaan sarana informasi dan teknologi dalam pembahasan dan pengesahan undang-undang. Hal tersebut disebabkan tidak terprediksinya kondisi yang diakibatkan dari penyebaran Pandemi Covid-19 yang begitu masif dan berdampak pada timbulnya korban jiwa. Adapun pada saat munculnya kasus pertama penyebaran Covid-19 di Indonesia hingga saat ini, Pemerintah telah membuat kebijakan mengenai salah satu upaya penanggulangan penyebaran Pandemi Covid-19 adalah dengan 93 melakukan pembatasan sosial berskala besar dengan mengharuskan tiap orang menjaga jarak. c) Adapun salah satu kebijakan Pemerintah dalam upaya penanggulangan penyebaran pandemi Covid-19 adalah dengan melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dilaksanakan di beberapa daerah di Indonesia. Sebagai lembaga yang berkedudukan di DKI Jakarta yang juga menerapkan PSBB, maka DPR dan Presiden juga harus mengikuti kebijakan yang telah ditetapkan Pemerintah Daerah tersebut. Meskipun demikian, tugas pokok dan fungsi sebagai lembaga tetap harus berjalan, sehingga sebagai alternatif pelaksanaan rapat dan koordinasi supaya tugas dan fungsi DPR dan Presiden tetap berjalan adalah dengan menggunakan sarana informasi dan teknologi berupa video meeting atau virtual meeting. d) Pada saat kondisi demikian agar tugas pembentukan undang- undang tidak terbengkalai, DPR perlu melakukan terobosan hukum, yaitu dengan menetapkan Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib DPR 2020) yang mulai berlaku pada tanggal 2 April 2020. Berdasarkan Tatib DPR 2020 tersebut di dalam ketentuan Pasal 254 ayat (4) dinyatakan bahwa: “Semua jenis rapat DPR dihadiri oleh Anggota, kecuali dalam keadaan tertentu, yakni keadaan bahaya, kegentingan yang memaksa, keadaan luar biasa, keadaan konflik, bencana alam, dan keadaan tertentu lain yang memastikan adanya urgensi nasional, rapat dapat dilaksanakan secara virtual dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi.” Dengan menggunakan dasar hukum tersebut, maka DPR melalui Badan Anggaran bersama Pemerintah melakukan Pembahasan Tingkat I UU a quo pada tanggal 4 Mei 2020 dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi melalui rapat virtual. Begitu pun halnya dengan Pembahasan Tingkat II yang menyetujui Perppu 1/2020 menjadi UU pada Rapat Paripurna tanggal 12 Mei 2020 dilaksanakan dengan menggunakan rapat 94 kombinasi secara fisik maupun dengan teknologi informasi dan komunikasi melalui rapat virtual . e) Menanggapi dalil Para Pemohon Perkara 37, Para Pemohon Perkara 43 dan Para Pemohon Perkara 75 tersebut, DPR menerangkan bahwa pelaksanaan rapat yang dihadiri secara virtual telah diatur secara jelas dalam Pasal 279 ayat (6) Tatib DPR 2020 yang menyatakan bahwa: “Dalam hal penandatanganan daftar hadir Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak dapat dilakukan dan disebabkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 254 ayat (4), kehadiran Anggota dalam semua jenis rapat DPR dilakukan berdasarkan kehadiran secara virtual.” Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 279 ayat (7) Tatib DPR 2020 menyatakan bahwa: “Bukti kehadiran secara virtual sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat dikonfirmasi dan diverifikasi keabsahannya melalui Sekretariat Jenderal DPR.” Oleh karena itu berdasarkan dokumen sebagaimana terlampir dalam Lampiran I, maka Pembahasan Tingkat II yang menyetujui Perppu 1/2020 menjadi UU pada Rapat Paripurna tanggal 12 Mei 2020 yang dilakukan secara virtual tersebut, maka kehadiran pembentuk undang-undang telah memenuhi ketentuan perundang-undangan. f) Oleh karena itu dalil para Pemohon Perkara 37, Para Pemohon Perkara 43 dan Para Pemohon Perkara 75 tersebut hanya merupakan asumsi karena jelas bahwa pembahasan dan pengesahan undang-undang dengan menggunakan sarana teknologi dan informasi telah memiliki dasar hukum melalui Tatib DPR 2020. Selain itu berdasarkan risalah Rapat Paripurna bahwa dengan Pimpinan DPR memberikan keputusan penetapan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang artinya memberikan persetujuan dan juga mengikat anggota yang hadir baik secara fisik dan virtual (non fisik) (Lampiran II) 95 4. Tanggapan DPR terhadap dalil Para Pemohon Perkara 43 mengenai UU 2/2020 tidak memenuhi syarat Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011 terkait frasa “ persidangan yang berikut ”. a) Bahwa di dalam Rapat Kerja Badan Anggaran DPR RI bersama Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan tertanggal 4 Mei 2020 bahwa pada saat itu terdapat 9 (sembilan) fraksi yang menyetujui Perppu 1/2020 untuk ditetapkan menjadi undang-undang, hanya fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) yang belum menyatakan persetujuannya. Berdasarkan rapat pada saat itu, DPR RI menerangkan bahwa UU a quo disetujui untuk ditetapkan menjadi undang-undang, dari titik tolak pemikiran bahwa Alinea keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 dinyatakan bahwa tujuan dibentuknya Pemerintahan Negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap rakyat Indonesia. Dengan demikian asas keselamatan rakyat Indonesia adalah yang diutamakan, untuk memberikan keyakinan bahwa Perppu 1/2020 tersebut harus dibahas segera dan secepatnya untuk memenuhi asas keselamatan rakyat yang diamanatkan di dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 tersebut. b) Bahwa Perpu 1/2020 merupakan kewenangan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam kondisi darurat yang bersifat fundamental dan krusial yang berdampak pada stabilitas perekonomian nasional jangka panjang, maka pengaturan hal tersebut perlu untuk diberikan dasar legalitas yang lebih kuat dalam bentuk undang-undang. c) Bahwa DPR selain memiliki fungsi legislasi sebagai pembentuk undang-undang berdasarkan Pasal 20A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, juga memiliki fungsi anggaran. Berkaitan dengan Perppu 1/2020 sebagai peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang berfokus pada penataan ulang anggaran 96 hingga beberapa tahun ke depan yang tentu saja memiliki dampak terhadap APBN, dimana sesuai dengan UUD NRI Tahun 1945 pembahasan dan pengesahan dalam Perppu 1/2020 menjadi UU sangat memerlukan peran DPR dalam melaksanakan fungsi anggaran sebagai kerangka representasi rakyat. Oleh karena itu, penting bagi DPR untuk segera membahas dan menetapkan Perppu 1/2020 menjadi UU dalam waktu yang cepat karena adanya kebutuhan mendesak yang dapat berdampak terhadap stabilitas perekonomian nasional. d) Dengan adanya situasi pandemi Covid-19 tersebut yang memiliki dampak bukan hanya terhadap kesehatan dan keselamatan rakyat, tetapi juga memiliki dampak terhadap perekonomian negara dalam jangka panjang, oleh karenanya proses penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU yang harus dilakukan secepatnya oleh DPR merupakan langkah cepat DPR dalam menghadapi keadaan darurat negara. Keadaan darurat tersebut tetap harus dipahami dalam pandangan yang sesuai dengan alas fakta yang terjadi pada saat keadaan darurat, dan tidak menggunakan parameter dan indikator keadaan normal. Oleh sebab itu, keputusan DPR yang secara cepat mengesahkan Perppu 1/2020 menjadi UU merupakan langkah yang tepat dan mencerminkan asas prosesual bahwa penundaan yang tidak beralasan ( undue delay ) harus dihindarkan, hal ini adalah demi kepentingan negara dan kepentingan umum yang harus dilindungi. e) Hal tersebut menunjukkan bahwa DPR memiliki kesamaan pandangan dengan Pemerintah mengenai adanya kegentingan memaksa dan perlunya kebijakan serta tindakan yang harus segera dilakukan dalam menghadapi pandemi Covid-19. Persetujuan DPR dimaksud menjadikan norma tersebut memenuhi amanat UUD NRI Tahun 1945 dan memberikan kepastian hukum bagi keberlanjutan langkah-langkah Pemerintah dalam penanganan situasi extraordinary pandemi Covid-19, yang telah 97 secara nyata menimbulkan pemburukan ekonomi dan ancaman krisis apabila tidak segera ditangani. Dengan adanya legitimasi tersebut, Pemerintah memiliki fleksibilitas melakukan recovery terhadap situasi dan kondisi perekonomian. Semakin mampu Pemerintah menangani dampak yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19 seiring dengan perkembangan/perlambatan penyebaran virus ( flattening the curve ), semakin mempercepat negara keluar dari pemburukan ekonomi. D. KETERANGAN DPR TERHADAP PENGUJIAN MATERIIL UU 2/2020 1. Pandangan DPR RI terhadap pengujian judul UU 2/2020:
Berdasarkan metode penafsiran secara gramatikal yaitu metode penafsiran melalui pendekatan tatabahasa yang ada pada rumusan UU, dalam memahami UU, tanda baca, diksi, dan pola susunan kalimat sedemikan rupa benar benar diperhatikan. Berdasarkan metode penafsiran tersebut judul Lampiran UU 2/2020 sudah jelas, tidak ambigu, memang yang diatur dalam Lampiran UU 2/2020 ini adalah langkah Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan dikarenakan adanya pandemi Covid 19 yang saat ini terjadi. Bukan mengatur tentang langkah tindakan Pemerintah untuk menangani Covid 19. Yang menjadi subyek dari judul ini adalah Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19. Dua subyek tersebut adalah dua hal yang berbeda namun satu kesatuan yang diatur dalam Lampiran UU 2/2020 ini.
Judul dan materi muatan sudah sesuai, materi muatan terdiri atas 6 bab yang hampir semuanya mengatur mengenai langkah-langkah kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan yang akan dijalankan pemerintah, dan tidak mengatur mengenai langkah-langkah untuk menangani pandemi Covid-19.
Berdasarkan Ketentuan dalam UU 12/2011 Lampiran II Bagian A mengatur bahwa: 98 ● Judul Peraturan Perundang–undangan memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun pengundangan atau penetapan, dan nama Peraturan Perundang–undangan; ● Judul Peraturan Perundang-undangan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin tanpa diakhiri tanda baca; ● Pada nama Peraturan Pemerintah Pengganti Undang–Undang (Perpu) yang ditetapkan menjadi Undang–Undang, ditambahkan kata penetapan di depan judul Peraturan Perundang–undangan yang ditetapkan dan diakhiri dengan frasa menjadi Undang-Undang; Berdasarkan ketentuan tersebut, judul yang tertulis pada UU 2/2020 maupun Perppu 1/2020 yang merupakan lampiran dari UU 2/2020 telah sesuai dengan ketentuan dalam UU 12/2011.
Pandangan DPR terhadap materi muatan kebijakan pelebaran defisit anggaran sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU a quo . __ a. Bahwa sesuai amanat konstitusi, APBN digunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat, namun ketika keadaan darurat karena Covid-19 yang telah secara nyata memberikan dampak pada perekonomian negara seperti saat ini maka penggunaan APBN dapat disesuaikan untuk kepentingan yang lebih besar yaitu menyelamatkan perekonomian negara yang mana hal ini justru untuk menciptakan manfaat yang lebih besar.
Implikasi pandemi Covid-19 telah berdampak pula terhadap ancaman semakin memburuknya sistem keuangan yang berisiko pada ketidakstabilan makro ekonomi dan sistem keuangan yang perlu dimitigasi bersama oleh Pemerintah dan lembaga terkait dengan melakukan tindakan antisipasi guna menjaga stabilitas sektor keuangan. Bahwa kedalaman implikasi Covid-19 terhadap perekonomian sulit diukur karena puncak pandemi Covid-19 belum dapat dipastikan waktunya. Implikasi ekonomi yang ditimbulkan oleh Covid-19 terhadap perekonomian sangat dalam sehingga 99 semua skenario perlu disiapkan untuk menghadapi situasi yang paling buruk, bahkan dalam bentuk “ worst case scenario ”. Maka pemerintah dan lembaga terkait perlu mengambil langkah luar biasa dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional dengan berbagai kebijakan relaksasi yang berkaitan dengan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan melakukan peningkatan belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial dan pemulihan perekonomian, serta memperkuat kewenangan berbagai lembaga dalam sektor keuangan.
Bahwa Para Pemohon Perkara 37 dan Pemohon Perkara 45 mendalilkan UU a quo melampaui dari ruang lingkup yang diatur di dalam Pasal 1 karenanya senyatanya Pasal 2 ayat (1) huruf a justru mengatur dalam jangka waktu sampai dengan 2022 bahkan sampai 2023. Selain itu, negara-negara lain, pemerintahnya tidak diberi kewenangan khusus dalam bidang anggaran selama bertahun-tahun. Terhadap dalil tersebut, DPR berpandangan sebagai berikut:
Dalam Lampiran UU 2/2020 tetap terdapat pembatasan- pembatasan yaitu: Pertama, kewenangan menetapkan defisit melampaui 3% dari PDB hanya berlaku paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022 (dalam jangka waktu kurang lebih 2 tahun atau bisa kurang dari waktu tersebut jika recovery ekonomi dapat berjalan lebih cepat); dan penyesuaian besaran defisit tersebut dilakukan secara bertahap. Sebagai perbandingan dengan negara lain, Amerika Serikat, Australia, Singapura, dan Malaysia telah mengeluarkan stimulus fiskal yang mencapai lebih dari 10% PDB-nya. Amerika Serikat hanya dalam waktu kurang dari 3 bulan menambah utang dengan 3 Triliun US$ yang jumlah tersebut sama dengan jumlah 3 kali PDB Indonesia. (Lampiran II). Kedua, pelebaran defisit tersebut tetap dalam koridor jumlah pinjaman yang dapat dilakukan dalam rangka 100 pelaksanaan pelebaran defisit tersebut yaitu di batasi maksimal 60% (enam puluh persen) dari PDB sesuai UU Keuangan Negara 2) Bahwa defisit anggaran yang tidak dapat dihindari tersebut tentunya butuh penanganan sehingga meningkatnya besaran utang negara adalah suatu hal yang pasti terjadi. Solusi ini adalah satu diantara upaya-upaya yang dilakukan oleh Pemerintah selain melakukan penyesuaian besaran belanja wajib, pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar fungsi dan/atau antar program dan lain sebagainya sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2 Lampiran UU 2/2020.
Bahwa konsekuensi dari pelebaran defisit tersebut tentunya berdampak pada tahun-tahun berikutnya. Sehingga penentuan atau pembatasan APBN sampai tahun anggaran 2022 merupakan pilihan kebijakan yang logis. Oleh karena itu Pemerintah memberikan prediksi dengan menetapkan batasan defisit anggaran melampaui 3% dari PDB sampai dengan tahun anggaran 2022. Sedangkan pada tahun anggaran 2023, Pemerintah optimis besaran defisit anggaran akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% dari PDB. Hal ini merupakan optimisme Pemerintah dalam mengupayakan perbaikan kondisi perekonomian dan keuangan nasional. Hal ini harus dipahami oleh Para Pemohon a quo mengingat kondisi dan kemampuan setiap negara berikut kebijakan- kebijakan yang diambil tidak dapat disamaratakan karena karakteristik dan tren pertumbuhan perekonomiannya yang juga tidak sama.
Bahwa APBN Tahun Anggaran 2021 dan Tahun 2022 dalam lampiran UU 2/2020 ini tidak diatur karena UU APBN Tahun Anggaran 2021 dan Tahun Anggaran 2022 belum disusun dan diundangkan ketika pengundangan UU 2/2020. Dalam penyusunan APBN Tahun Anggaran 2021 dan Tahun 101 Anggaran 2022 tetap diberlakukan mekanisme penyusunan APBN sebagaimana diatur dalam peraturan perundang- undangan sehingga esensi Pasal 23 UUD NRI Tahun 1945 tetap terjaga.
DPR menerangkan pembentukan Perpu merupakan kewenangan konstitusional Presiden sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Baru selanjutnya diberlakukan ketentuan Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang merupakan kewenangan konstitusional DPR RI untuk memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan atas Perppu yang dibentuk oleh Presiden pada masa sidang yang berikutnya. Karakter hukum UU APBN yang merupakan undang-undang penetapan, berbeda dengan undang-undang pengaturan pada umumnya. Karena sifat hukumnya tersebut, UU APBN sebenarnya merupakan domain pemerintah dalam perumusan dan perencanaannya, yang kemudian membutuhkan hak budget DPR untuk menyetujui atau tidak. Dalam hal kondisi kedaruratan, persetujuan tidak ditempatkan di awal, melainkan sekalian di akhir pelaksanaan dengan maksud terjadinya perubahan konsep hak budget DPR yang sebelumnya menguji pengeluaran negara untuk kebutuhan di tahun berjalan, menjadi menguji pengeluaran negara untuk kemanfataan di tahun berjalan. Keduanya sama-sama tetap menggunakan dan menjalankan hak budget DPR, di mana hak budget keadaan normal, alokasi yang tidak disetujui DPR karena belum menjadi kebutuhan akan dicoret atau ditarik. Sedangkan dalam keadaan darurat, alokasi yang tidak disetujui karena tidak sesuai kemanfaatannya harus dipertanggungjawabkan pemerintah dalam berbagai bentuk, yaitu meminta Badan Pemeriksa Keuangan melakukan pemeriksaan dan melaporkannya kepada DPR, meminta 102 pemerintah melakukan koreksi dan pengembalian sesuai dengan rekomendasi pemeriksaan BPK, atau DPR dapat menggunakan hak yang dimilikinya dalam mengawasi penggunaan APBN keadaan darurat.
Selain itu terkait keinginan Pemohon Perkara 45 agar RUU APBN Tahun 2021 dibahas Pemerintah dengan DPR RI senyatanya sudah disampaikan Pemerintah dalam rangkaian rapat paripurna tertanggal 12 Mei 2020, 14 Juli 2020, dan 14 Agustus 2020 (Lampiran II, Lampiran III dan lampiran IV). Sebagai tambahan informasi, pada 25 September 2020, Kemenkeu selaku yang mewakili Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2021 di Banggar dan Pemerintah bersama DPR telah menyetujui defisit anggaran sebesar 5,7% dari PDB pada Rapat Paripurna DPR tanggal 29 September 2020. Semua fraksi DPR juga menyampaikan bahwa kondisi Covid-19 masih belum memberikan kepastian pada tahun 2021, sehingga Pemerintah dengan pimpinan Banggar dan para anggota Banggar bersama-sama memformulasikan RUU APBN 2021 yang disatu sisi memberikan signal kepada masyarakat, dunia usaha bahwa pemerintah terus melakukan support agar mereka bisa pulih dan bangkit kembali, namun di sisi lain juga memberikan sinyal kehati-hatian, sinyal prudent atau kebijakan dalam menjaga keseluruhan dan keberlangsungan APBN.
Oleh karenanya dalil bahwa kewenangan penetapan UU APBN oleh DPR menjadi nihil, (dalam hal ini dalil tersebut juga disampaikan oleh Para Pemohon Perkara 42) adalah anggapan yang salah. Hal ini disebabkan perubahan mekanismenya saja, yang sebelumnya Hak Budget DPR dilakukan di awal menjadi di akhir setelah diterbitkannya 103 LKPP. Selain itu, dalam memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap penetapan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang tersebut, tentunya DPR mengkaji terlebih dahulu urgensi dan implikasi pemberlakuan ketentuan dalam Perppu tersebut sebagai undang-undang sebelum dilakukan penetapan Perppu tersebut sebagai undang- undang. Pengaturan dalam Perppu ini tidak berarti menghilangkan mekanisme persetujuan DPR dalam penetapan UU APBN mengingat UU APBN Tahun Anggaran 2020 telah ditetapkan, dan UU APBN Tahun Anggaran 2021 telah dibahas oleh DPR dan Pemerintah, dan UU APBN Tahun Anggaran 2022 masih belum disusun dan belum diajukan oleh Pemerintah kepada DPR RI.
Pandangan DPR terkait penggunaan dana yang bersumber dari Dana Abadi Pendidikan untuk penanganan Pandemi Covid-19, DPR.
Akumulasi dana abadi pendidikan yang dimaksud dalam Pasal a quo adalah akumulasi dana abadi dari tahun-tahun sebelumnya dan tidak termasuk porsi dana abadi pendidikan yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun berjalan ( vide Penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf e UU a quo ).
Anggaran dana pendidikan yang sudah dialokasikan dalam UU APBN tahun berjalan tidak termasuk dalam objek yang diatur dalam ketentuan Pasal a quo sehingga kewajiban Pemerintah untuk memenuhi mandatory spending dana pendidikan sebesar 20% tetap dilaksanakan. Oleh karena itu yang dapat digunakan oleh Pemerintah dalam realokasi penggunaan dana abadi pendidikan dan akumulasi dana pendidikan untuk penanganan Pandemi Covid-19 tidak mengganggu alokasi dana pendidikan yang sudah ditetapkan dalam UU APBN sebesar 20%.
Bahwa penggunaan dana abadi sebagai sumber pembiayaan APBN tahun berjalan merupakan salah satu opsi yang 104 dipersiapkan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19. Opsi tersebut hanya akan dipergunakan apabila seluruh pembiayaan lain yang tersedia tidak memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19. Namun demikian, pemanfaatannya akan tetap memperhitungkan efektivitas dan ketepatan dibandingkan dengan surnber-sumber lain yang ada.
Pandangan DPR terkait kewenangan Pemerintah untuk menerbitkan Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara dengan tujuan tertentu dan independensi Bank Indonesia a. Bahwa dasar hukum penerbitan SUN adalah Pasal 55 Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (selanjutnya di sebut UU BI), yang berketentuan:
Dalam hal Pemerintah akan menerbitkan surat-surat utang negara, Pemerintah wajib terlebih dahulu berkonsultasi dengan Bank Indonesia.
Sebelum menerbitkan surat utang negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah wajib berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
Bank Indonesia dapat membantu penerbitan surat-surat utang negara yang diterbitkan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
.... Dalam penerbitan Surat Utang Negara tersebut, terdapat peran DPR dalam mekanisme penerbitan surat utang negara berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (3) UU Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (UU SUN) yang mengatur bahwa Penerbitan Surat Utang Negara harus terlebih dahulu mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat yang diberikan pada saat pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Mekanisme ini harus tetap dilakukan oleh Pemerintah.
Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (UU SBSN) diatur bahwa SBSN diterbitkan dengan tujuan untuk membiayai Anggaran Pendapatan 105 dan Belanja Negara termasuk membiayai pembangunan proyek. Kewenangan menerbitkan SBSN berada pada Pemerintah dilaksanakan oleh Menteri dapat dilaksanakan secara langsung oleh Pemerintah atau melalui Perusahaan Penerbit SBSN. Dalam hal akan dilakukan penerbitan SBSN untuk tujuan membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara termasuk membiayai pembangunan proyek, Menteri terlebih dahulu berkoordinasi dengan Bank Indonesia.
Ketentuan Pasal 8 UU SBSN mengatur bahwa Penerbitan SBSN harus terlebih dahulu mendapat persetujuan DPR pada saat pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diperhitungkan sebagai bagian dari Nilai Bersih Maksimal Surat Berharga Negara yang akan diterbitkan oleh Pemerintah dalam satu tahun anggaran. Dalam rangka kedaruratan penanganan Covid-19 dan implikasinya terhadap kondisi perekonomian nasional, hal ini juga menjadi pertimbangan Presiden dalam penyusunan Perppu 1/2020 dan penetapannya sebagai undang- undang oleh DPR melalui UU 2/2020. Ketentuan Pasal 8 UU SBSN ini tidak disebutkan dalam ketentuan Pasal 28 lampiran UU 2/2020, sehingga masih berlaku dan harus dilaksanakan oleh Pemerintah.
Pasal 2 ayat (1) huruf f, Pasal 16 ayat (1) huruf c, dan Pasal 19 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 mengatur bahwa Bl dapat membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana atau primer. Pengaturan tersebut melengkapi ketentuan Pasal 55 ayat (4) UU Bl yang memberikan kewenangan Bl untuk membeli SUN di pasar primer atau perdana berjangka pendek yang diperlukan oleh Bl untuk operasi pengendalian moneter. Pengaturan pada Pasal 55 ayat (4) UU Bl dimaksudkan untuk menjalankan tugas Bl dalam kondisi normal. Sementara saat ini, Presiden telah memutuskan kondisi kegentingan yang memaksa serta kekosongan hukum karena pandemi Covid-19 sehingga diterbitkan Perppu 1/2020. Dalarn 106 mengatasi kondisi tersebut, diperlukan stimulus fiskal yang dapat berimplikasi pada pelebaran defisit APBN. Oleh karena itu, peran Bl perlu diperluas sehingga Bl dapat melakukan pembelian SUN dan/atau SBSN jangka panjang di pasar perdana khususnya dalam rangka penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Covid-19.
Ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) hurut c Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk memberikan kelengkapan payung hukum bagi Bl untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan pembelian SUN dan/atau SBSN berjangka panjang di pasar perdana untuk penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Covid-19. Dengan adanya ketentuan-ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020, terbuka ruang baru bagi Bl dalam rnerumuskan dan rnelaksanakan kebijakan moneter melalui pembelian SUN di pasar primer atau perdana, baik yang berjangka pendek maupun panjang, untuk digunakan dalam operasi pengendalian moneter maupun yang diperlukan untuk pemulihan ekonomi nasional.
Pembelian SUN dan/atau SBSN oleh Bl di pasar perdana dilakukan untuk membantu pemerintah dalam pemenuhan pembiayaan APBN dan pembiayaan pelaksanaan pemulihan ekonomi nasional termasuk menjaga stabilitas sistem keuangan nasional yang menjadi peran Bl sebagai otoritas moneter dan bukan mengintervensi Bl dalam pelaksanaan tugasnya. Proses untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana merupakan mandat yang diberikan oleh UU 2/2020 sehingga sama sekali tidak ada intervensi terhadap independensi Bl. 107 g. Perlu dicermati pula bahwa SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan oleh Pemerintah tidak wajib untuk dibeli oleh Bl. Rumusan- rumusan ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020 terkait kewenangan Bl untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana memuat kata "dapat". Penggunaan frasa "dapat" dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf f dan Pasal 19 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 dimaknai bahwa tidak ada unsur kewajiban bagi Bl yang dapat menghilangkan independensi Bl sebagai bank sentral untuk memutuskan pembelian SUN dan/atau SBSN di pasar perdana. Pembelian SUN dan/atau SBSN didasarkan sesuai pertimbangan Bl dalam menjalankan tugasnya.
Kewenangan Bl untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana sebagaimana diatur dalam Lampiran UU 2/2020 dilaksanakan dengan tetap menjaga independensi Bl. Pasal 23D UUD NRI Tahun 1945 jo. Pasal 4 ayat (2) UU Bl telah mengatur bahwa Bl merupakan lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak lain. Pelaksanaan tugas dan wewenang Bl akan tetap berjalan secara efektif dengan berlakunya ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (3) UU a quo , kewenangan tersebut harus memenuhi skema dan mekanisme pembelian yang diatur bersama antara Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia dengan Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur Bl Nomor 190/KMK.08/2020 dan Nomor 22/4/KEP.GBl/2020 tanggal 16 April 2020 dengan menerapkan prinsip:
mengutamakan mekanisme pasar;
mempertimbangkan dampaknya terhadap inflasi secara terukur;
SUN dan/atau SBSN yang dapat dibeli oleh Bl bersifat tradable dan marketable ; dan 108 d. Bl sebagai pembeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana merupakan last resort __ dalam hal kapasitas pasar tidak mampu menyerap dan/atau menyebabkan kenaikan yield yang terlalu tinggi.
Pandangan DPR terkait penetapan sumber-sumber pembiayaan Anggaran yang berasal dari dalam dan/atau luar negeri dan pengaturan perubahan postur APBN melalui Peraturan Presiden sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan tersebut meliputi kewenangan yang bersifat umum dan kewenangan yang bersifat khusus. Untuk membantu Presiden dalam penyelenggaraan kekuasaan dimaksud, sebagian dari kekuasaan tersebut dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku Pengelola Fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan, serta kepada Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya. Menteri Keuangan sebagai pembantu Presiden dalam bidang keuangan pada hakekatnya adalah Chief Financial Officer (CFO) Pemerintah Republik Indonesia, sementara setiap menteri/pimpinan lembaga pada hakekatnya adalah Chief Operational Officer (COO) untuk suatu bidang tertentu pemerintahan. Prinsip ini perlu dilaksanakan secara konsisten agar terdapat kejelasan dalam pembagian wewenang dan tanggung jawab, terlaksananya mekanisme checks and balances serta untuk mendorong upaya peningkatan profesionalisme dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan. Sub bidang pengelolaan fiskal meliputi fungsi-fungsi pengelolaan kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro, penganggaran, administrasi perpajakan, administrasi kepabeanan, perbendaharaan, dan pengawasan keuangan. 109 b. Pengecualian Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara dalam Perppu ini sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (2) lampiran UU 2/2020 a quo : “Perubahan postur dan/atau rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara dan langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 11 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden.” Ketentuan tersebut hanya berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Covid- 19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Perppu ini ( Vide Pasal 28 lampiran UU 2/2020). Dalam kondisi kembali normal semua ketentuan dalam UU MD3 berlaku seperti semula termasuk dalam hal mekanisme pembahasan APBN dan APBNP yang harus tetap mendapatkan persetujuan DPR. Selain itu meskipun APBN Perubahan ditetapkan dengan Peraturan Presiden karena situasi yang mendesak berdasarkan Perppu 1/2020 yang selanjutnya menjadi lampiran UU 2/2020, tetapi pertanggungjawaban APBN tetap kepada DPR.
Bahwa terkait dengan sumber-sumber pembiayaan negara, Pasal 12 ayat (3) UU Keuangan Negara mengatur bahwa dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Undang-undang tentang APBN. Dan penjelasan Pasal 12 ayat (3) UU Keuangan Negara tersebut mengatur bahwa jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari Produk Domestik Bruto. Ketentuan dalam penjelasan ini juga menjadi bagian yang dinyatakan tidak berlaku dalam Pasal 28 angka 3 lampiran UU 2/2020. Namun pada dasarnya, penetapan sumber-sumber pembiayaan tersebut diperbolehkan hanya saja batasan yang ada dalam penjelasan pasal tersebut tidak diberlakukan selama penanganan Covid-19 ini atau hingga tahun 2021 . Selain itu, persebaran Covid-19 yang 110 masif dan cepat ini membutuhkan penanganan cepat namun yang tidak dapat dilaksanakan melalui mekanisme APBN, sehingga telah jelas tidak ada pelanggaran prinsip pengelolaan keuangan negara dan tetap sejalan dengan prinsip negara hukum sebagaimana diatur oleh Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.
Ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 sama sekali tidak menghilangkan peran dan fungsi DPR, karena dengan telah disetujui dan ditetapkannya Perppu1/2020 menjadi UU 2/2020, telah menunjukkan bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dengan Peraturan Presiden yang diatur dalam ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 tersebut telah mendapat persetujuan DPR. Selain itu, dalam pembentukan Peraturan Presiden tentang perubahan postur dan/atau rincian APBN, Pemerintah selalu mengkomunikasikannya dan melakukan pembahasan bersama dengan DPR. DPR dapat memberikan masukan dan rekomendasi kepada Pemerintah terkait postur dan/atau rincian APBN tersebut. Oleh karena itu, Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 __ yang mengatur bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dilakukan dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden, sama sekali tidak menghilangkan peran dan fungsi DPR. Pengaturan perubahan postur dan/atau rincian APBN dalam ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 telah diselaraskan dengan dicabutnya ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU Keuangan Negara, Pasal 177 huruf c angka 2 dan Pasal 182 UU MD3, serta Pasal 40 UU APBN 2020 (vide ketentuan Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020). Pencabutan berbagai ketentuan yang diatur dalam Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020 tersebut, merupakan upaya harmonisasi agar tidak ada dualisme aturan atas satu permasalahan. Dengan demikian, ketentuan Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020 telah memberikan kepastian hukum atas pelaksanaan ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020, yaitu bahwa 111 perubahan postur dan/atau rincian APBN dilakukan dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden.
Pandangan DPR Terhadap Kebijakan Di Bidang Keuangan Daerah sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945, Pemerintah Daerah telah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendi r i urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Penjelasan umum UU Pemda menyatakan bahwa pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip negara kesatuan. Dalam negara kesatuan, kedaulatan hanya ada pada pemerintahan negara atau pemerintahan nasional dan tidak terdapat kedaulatan pada pemerintahan daerah. Oleh karena itu, seluas apapun otonomi yang diberikan kepada daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan pemerintahan daerah akan tetap ada di tangan pemerintah pusat. Untuk itu pemerintahan daerah pada negara kesatuan merupakan satu kesatuan dengan pemerintahan nasional.
Kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh daerah merupakan bagian integral dari kebijakan nasional. Pembedanya, terletak pada bagaimana memanfaatkan kearifan, potensi, inovasi, daya saing, dan kreativitas daerah untuk mencapai tujuan nasional tersebut di tingkat lokal yang pada gilirannya akan mendukung pencapaian tujuan nasional secara keseluruhan. Pada kondisi pandemi Covid-19, hal yang perlu diperhatikan dalarn pelaksanaan kebijakan keuangan di daerah adalah kecepatan dan ketepatan untuk menyesuaikan anggaran sehingga tepat sasaran. Lebih lanjut, berdasarkan dengan Pasa l 6 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara), kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari 112 kekuasaan pemerintahan, telah diserahkan kepada kepada gubernur/bupati/wali kota untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili Pemerintah Daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Namun demikian, dalam pelaksanaannya, penyelenggaraan pemerintahan daerah, termasuk keuangan daerah, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam UU Pemda sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015. Dalam ketentuan Pasal 9 ayat (2) UU Pemda disebutkan urusan absolut adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat. Lebih Ianjut dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf e UU Pemda disebutkan jika salah satu urusan pemerintahan absolut tersebut adalah urusan moneter dan fiskal nasional. Dalam menangani pandemi Covid-19 dan menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, kebijakan yang diterapkan di bidang keuangan negara yang memberikan relaksasi untuk refocusing APBN, sudah seharusnya juga diterapkan pada pemerintahan daerah, khususnya dalam hal relaksasi untuk refocusing APBD. Oleh karena itu, kebersarnaan dan gotong royong oleh pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah dapat menuntaskan permasalahan kesehatan dan ekonomi dampak Covid-19.
Sesuai ketentuan Pasal 8 UU Pemda, telah diatur bahwa pembinaan dan pengawasan terhadap urusan penyelenggaraan pemerintahan oleh daerah dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri. Hal tersebut dapat menjadi landasan Kementerian Dalam Negeri untuk memberikan petunjuk/pedoman tentang keuangan daerah kepada Pemerintah Daerah agar penggunaan realokasil refocusing seragam dan terarah bagi seluruh daerah. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 280 UU Pemda, dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang diserahkan 113 dan/atau ditugaskan, penyelenggara pemerintahan daerah memiliki kewajiban dalam pengelolaan keuangan daerah antara lain meliputi sinkronisasi pencapaian sasaran program daerah dalam APBD dengan program pemerintah pusat.
Sejalan dengan hal tersebut, guna mencapai penanganan yang bersifat holistik dan terpadu atas pandemi Covid-19 dan dampaknya, maka diperlukan pula peran daerah melalui APBD. Untuk itu, Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk melakukan refocusing, perubahan alokasi dan penggunaan APBD. Dalam rangka memberikan pedoman/guidance kepada Pemerintah Daerah, maka Kemendagri telah menerbitkan Permendagri Nomor 39 Tahun 2020 tentang Pengutamaan Penggunaan Alokasi Anggaran Untuk Kegiatan Tertentu, Perubahan Alokasi dan Penggunaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah yang mengatur ketentuan umum dan teknis pelaksanaan refocusing, perubahan alokasi, dan penggunaan APBD untuk penanganan pandemi Covid-19 beserta dampaknya di daerah. Dengan demikian, Permendagri tersebut tidak akan mendikte Pemerintah Daerah dalam melakukan refocusing, perubahan alokasi dan penggunaan APBD, melainkan sebatas memberikan petunjuk dan menciptakan keseragaman tindak lanjut kedaruratan dalam melakukan refocusing guna mencapai tujuan nasional. Selain itu, dengan tidak diajukannya pengujian ketentuan Pasal 3 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 oleh Pemohon, maka Pemohon telah menyadari dan rnernahami bahwa pemberian kewenangan kepada daerah untuk melakukan refocusing, perubahan alokasi, dan penggunaan APBD, merupakan kebijakan yang penting dan diperlukan Pemerintah Daerah dalam penanganan dampak Covid-19. 114 7. Pandangan DPR Terhadap Materi Muatan mengenai “Kebijakan Di Bidang Perpajakan dan Kepabeanan” sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Terkait dengan perpajakan, Kementerian keuangan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.04/2020 tentang Pemberian Fasilitas Kepabeanan Dan/Atau Cukai Serta Perpajakan Atas Impor Barang Untuk Keperluan Penanganan pandemi Covid-19 sebagaimana telah diubah dengan PMK 83/PMK.04/2020 dengan pertimbangan untuk percepatan pelayanan dalam pemberian fasilitas fiskal atas impor barang yang diperlukan dalarn penanganan pandemi Covid-19, perlu mengatur ketentuan mengenai perlakuan kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan atas impor barang yang diperlukan dalam penanganan pandemi Covid-19. Dalam PMK tersebut diatur Atas impor barang untuk keperluan penanganan pandemi Covid-19 diberikan fasilitas kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan berupa: a) pembebasan bea masuk dan/atau cukai; b) tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; dan c) dibebaskan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22. terhadap jenis barang yang tercantum dalam Lampiran Huruf A PMK tersebut yang dapat dilakukan melalui pusat logistik berikat.
Pengaturan Pasal 10 lampiran UU 2/2020 ini tidak bertentangan dengan Pasal 25 dan Pasal 26 UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang telah diubah dengan UU Nomor 17 Tahun 2006 (UU Kepabeanan). Pengaturan perubahan ketentuan Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (1) UU Kepabeanan tersebut dalam rangka penanganan Covid-19 ini tentukan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan tentu tidak dapat serta merta dianggap kesalahan karena anggapan Para Pemohon bahwa ketentuan 115 dalam UU tidak dapat diubah melalui peraturan perundang- undangan yang tidak setara. Hal ini dilakukan karena apa yang terjadi dan butuh penanganan cepat tidak sesuai dan tidak termasuk dalam pengaturan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (1) UU Kepabeanan. Barang-barang tersebut tidak termasuk barang yang dipergunakan untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak termasuk obat-obatan yang pengadaannya menggunakan anggaran keuangan negara.
Perubahan ketentuan Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (1) UU Kepabeanan tersebut dengan UU perubahan tentu akan memerlukan waktu yang lama mengingat prosedur penyusunan UU beserta tahapan-tahapannya tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat. Penentuan ini juga tentunya memperhatikan pengaturan yang ada dalam Pasal 25 ayat (3) UU Kepabeanan yang menyatakan “ Ketentuan tentang pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri ” dan Pasal 26 ayat (3) UU Kepabeanan yang menyatakan “ Ketentuan mengenai pembebasan atau keringanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan Menteri”. Sejalan dengan adanya amanat pengaturan peraturan pelaksanaan UU sebagaimana dalam Pasal 25 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (3) UU Kepabeanan, maka hal ini jelas ditujukan untuk simplifikasi proses dalam kondisi yang genting, yang sudah jelas tidak berarti bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana yang telah didalilkan oleh Para Pemohon Perkara 37.
Tidak adanya pernyataan Presiden bahwa negara dalam kondisi krisis sehingga tidak diperlukan adanya program stabilitasi perekonomian dan keuangan nasional termasuk pengurangan pajak dan bea masuk barang impor sebagaimana yang dinyatakan Para Pemohon Perkara 42, hal tersebut tidaklah benar. Dalam berbagai pidatonya, Presiden, DPR dan Menteri keuangan 116 berulang kali menyampaikan kondisi perekonomian nasional dan kekhawatiran apabila tidak dilakukan upaya penanganan segera tanpa perlu menyatakan “Indonesia dalam keadaan krisis” pun keadaan tersebut dirasakan oleh masyarakat secara luas khususnya setelah adanya pandemi Covid-19. Pengurangan pajak dilakukan karena pajak dipungut dari warga negara dan kondisi perekonomian nasional sedang tidak dalam keadaan baik. Hal ini justru akan membebani masyarakat apabila tidak dilakukan pengurangan pajak. Selain itu, kebijakan terkait bea masuk barang impor tidak diberlakukan pada seluruh objek bea masuk melainkan pada alat-alat kesehatan dan obat-obatan yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam rangka penanganan pandemi Covid-19. Oleh karenanya, pengaturan dan pengawasan pengelolaan keuangan negara selama masa pandemi Covid-19 ini terlapor secara jelas kepada DPR dan dilaksanakan sesuai dengan asas-asas pengelolaan keuangan negara dan asas-asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
Bahwa terkait dalil Para Pemohon Perkara 37 yang menyatakan bahwa pemberian keringanan pajak tanpa dibarengi dengan adanya larangan PHK tidaklah tepat. DPR menerangkan bahwa pelarangan PHK tidak dapat diberlakukan oleh Pemerintah mengingat kondisi keuangan setiap perusahaan tidak sama satu sama lain berikut besar skalanya. Keringanan pajak tersebut diberikan dengan harapan mampu menstimulus perkembangan perusahaan sehingga besarnyapun tidak akan sama bagi setiap perusahaan tergantung pada skala perusahaan dan bidang usaha perusahaan tersebut. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) mengatur bahwa Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah. Dalam UU Ketenagakerjaan tersebut telah diatur mengenai pemutusan hubungan kerja dan 117 adanya perjanjian kerja. Selain itu, ketenagakerjaan merupakan hubungan perdata antara pekerja dan pemberi kerja/pengusaha.
Bahwa terkait dalil Para Pemohon Perkara 37 mengenai pajak untuk perdagangan melalui sistem elektronik tidak memenuhi unsur kegentingan yang memaksa dan seharusnya diatur dalam undang- undang, DPR menerangkan bahwa:
Langkah-langkah pencegahan yang relatif ketat untuk membatasi meluasnya penyebaran pandemi Covid-19 menyebabkan turunnya permintaan atas produk nasional. Dampak selanjutnya, banyak perusahaan yang mengalami kesulitan cash flow sehingga menurunkan kemampuan dalam membayar pajak. Akibatnya, penerimaan perpajakan seperti PPh Badan mengalami penurunan secara signifikan. Berkurangnya aktivitas perdagangan internasional secara signifikan juga mengakibatkan turunnya penerimaan pajak dari impor dan bea masuk. Selain itu, penerimaan perpajakan juga mengalami tekanan dari turunnya harga minyak dunia, bahan mineral, dan CPO yang merupakan komponen penting dalam menghitung PPh migas dan bea keluar. Kinerja penerimaan perpajakan diperkirakan akan melemah pada tahun 2020 dengan tax ratio berpotensi berada di bawah 9 persen, terendah dalam dua dekade terakhir.
Menghadapi kondisi perekonomian dan pandemi Covid-19, kebijakan dan strategi perpajakan jangka menengah ditujukan untuk mendorong percepatan pemulihan ekonomi nasional pasca pandemi Covid-19 dan meningkatkan pendapatan negara. Di tengah ketidakpastian akan akhir dari pandemi Covid-19, dukungan terhadap dunia usaha mutlak diperlukan dalam rangka memitigasi dampak ekonomi yang timbul dan mendorong percepatan pemulihan ekonomi nasional. Untuk itu, langkah reformasi perpajakan yang pertama dilakukan adalah dengan memberikan relaksasi perpajakan kepada 118 dunia usaha. Relaksasi perpajakan tersebut dimaksudkan untuk mengurangi beban kegiatan usaha dan membantu meningkatkan kondisi cash flow perusahaan, khususnya selama dan pasca pendemi Covid-19. Perusahaan dapat menggunakan pengurangan atau pembebasan pajak untuk menutupi kenaikan harga bahan input maupun penurunan penjualan sehingga tetap beroperasi secara normal. Efek selanjutnya adalah perusahaan diharapkan tidak melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sehingga karyawan mempunyai gaji untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pada gilirannya hal tersebut akan kembali menggairahkan perekonomian nasional, baik dari sisi produksi maupun sisi konsumsi. Melalui penurunan tarif PPh badan, pembebasan PPh impor dan bea masuk sektor tertentu, serta berbagai fasilitas perpajakan lainnya, Pemerintah juga bermaksud meningkatkan daya saing guna mendorong aktivitas investasi sehingga dapat memacu pertumbuhan ekonomi nasional.
Dalam rangka meningkatkan pendapatan negara, khususnya penerimaan perpajakan, Pemerintah melakukan upaya perluasan basis pemajakan dan perbaikan administrasi perpajakan. Penambahan objek pajak baru yang dipungut oleh Negara sangat diperlukan dalam rangka meningkatkan tax ratio . Sebagai tahap awal, Pemerintah akan memungut pajak atas Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) atau yang lebih popular dengan sebutan e-commerce . Dalam beberapa tahun terakhir, transaksi online berkembang begitu cepat dan berpotensi menggantikan pasar konvensional. Selain menjadi sumber pendapatan Negara, pemungutan pajak terhadap sektor PMSE juga dimaksudkan untuk memastikan terpenuhinya prinsip pemajakan yang berkeadilan ( fairness) antara semua pelaku usaha dan menciptakan level of playing field yang sama bagi pengusaha di dalam negeri 119 untuk bertahan dan meningkatkan daya saingnya di tengah pandemi Covid-19. Selama ini, pelaku usaha ekonomi digital luar negeri mendapatkan penghasilan secara signifikan dari Indonesia tanpa perlu membayar pajak di Indonesia. Untuk itu, pemajakan atas PMSE diharapkan mampu menjadi sumber penting pendapatan negara mengingat nilai transaksinya yang besar di masa yang akan datang. Dengan demikian pengaturan obyek pajak baru dan mekanisme mekanisme peningkatan efektifitas pajak menjadi hal yang harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan belanja negara yang semakin tinggi dengan kondisi pemasukan negara yang tidak mencukupi.
Apabila pemajakan terhadap PMSE tidak segera diterapkan di Indonesia maka terjadi kekosongan hukum dan menjadi loopholes untuk penghindaran dan pengelakan pajak yang menyebabkan hilangnya potensi penerimaan pajak. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa akan memerlukan waktu yang cukup lama, apalagi di tengah pandemi Covid-19. Dengan demikian, kebijakan pemajakan PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 sangat diperlukan sebagai dasar legal formal pemajakan atas PMSE. Dalam pelaksanaan PMSE tersebut, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, Dan Penyetoran, Serta Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud Dan/Atau Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean Di Dalam Daerah Pabean Melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Peraturan tersebut tentunya tidak lepas dari pengaturan dalam Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali 120 diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. Maka dengan diaturnya PSME dalam Perppu 1/2020 yang keberlakuannya setara dengan Undang-Undang dan telah ditetapkan sebagai Undang-Undang melalui UU 2/2020, maka dalil Para Pemohon Perkara 37 mengenai PSME harus diatur dalam undang-undang menjadi tidak beralasan menurut hukum.
Pandangan DPR Terhadap Keterbukaan Pemerintah Terhadap Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara Sebagaimana Diatur dalam Ketentuan UU a quo .
Setiap penyelenggara negara wajib mengelola keuangan negara secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Pengelolaan dimaksud dalam UU Keuangan Negara mencakup keseluruhan kegiatan perencanaan, penguasaan, penggunaan, pengawasan, dan pertanggung-jawaban. Oleh karenanya, APBN, perubahan APBN, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN setiap tahun ditetapkan dengan undang-undang. Sedangkan APBD, perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Dengan ditetapkannya APBN, Perubahan APBN berikut pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dalam Undang-Undang dan APBD, perubahan APBD berikut pertangungjawaban pelaksanaan APBD dalam Peraturan daerah, maka berlakulah fiksi hukum dalam masyarakat. Asas Fiksi Hukum beranggapan bahwa ketika suatu peraturan perundang-undangan telah diundangkan maka pada saat itu setiap orang dianggap tahu ( presumption iures 121 de iure ) dan ketentuan tersebut berlaku mengikat sehingga ketidaktahuan seseorang akan hukum tidak dapat membebaskan/memaafkannya dari tuntutan hukum ( ignorantia jurist non excusat ). Keberadaan asas fiksi hukum, telah dinormakan di dalam penjelasan Pasal 81 ketentuan UU 12/2011 yakni " Dengan diundangkannya Peraturan Perundang-undangan dalam lembaran resmi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini, setiap orang dianggap telah mengetahuinya ". Adapun lembaran resmi yang dimaksud di dalam ketentuan Pasal 81 terdiri dari 7 jenis yakni a. Lembaran Negara Republik Indonesia, b.Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, c.Berita Negara Republik Indonesia, d. Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, e.Lembaran Daerah, f. Tambahan Lembaran Daerah, atau g. Berita Daerah.
Dalam rangka akuntabilitas pengelolaan keuangan negara menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota selaku pengguna anggaran/pengguna barang bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD, dari segi manfaat/hasil ( outcome ). Sedangkan Pimpinan unit organisasi kementerian negara/lembaga bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan dalam undang-undang tentang APBN, demikian pula Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang APBD, dari segi barang dan/atau jasa yang disediakan ( output ).
Oleh karena itu, dalam UU Perbendaharaan Negara diatur sanksi yang berlaku bagi menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/ walikota, serta Pimpinan unit organisasi kementerian negara/lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan/kegiatan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang tentang APBN/Peraturan 122 Daerah tentang APBD. Ketentuan sanksi tersebut dimaksudkan sebagai upaya preventif dan represif, serta berfungsi sebagai jaminan atas ditaatinya Undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD yang bersangkutan. Selain itu perlu ditegaskan prinsip yang berlaku universal bahwa barang siapa yang diberi wewenang untuk menerima, menyimpan dan membayar atau menyerahkan uang, surat berharga atau barang milik negara bertanggungjawab secara pribadi atas semua kekurangan yang terjadi dalam pengurusannya. Kewajiban untuk mengganti kerugian keuangan negara oleh para pengelola keuangan negara dimaksud merupakan unsur pengendalian intern yang andal.
Anggapan Para Pemohon Perkara 42 dan Para Pemohon Perkara 43 atas tidak terjadinya krisis perekonomian karena tidak adanya pernyataan dari Presiden terkait kondisi tersebut, hal ini sungguh tidak beralasan menurut hukum dan justru menunjukkan sikap ketidakpedulian Para Pemohon Perkara 42 dan Para Pemohon Perkara 43 atas kondisi negara dan kondisi yang ada dalam masyarakat secara umum. Dengan perkembangan teknologi dan akses berita yang mudah dan luas sekarang ini, informasi mengenai keuangan negara dapat diakses dengan mudah. Hal ini merupakan wujud transparansi pengelolaan keuangan negara karena keuangan negara menyangkut kepentingan publik.
Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dijelaskan bahwa Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik. Salah satu asas dalam UU tersebut adalah bahwa setiap Informasi Publik bersifat terbuka dan 123 dapat diakses oleh setiap Pengguna Informasi Publik, kecuali terdapat ketentuan pengecualiannya. Informasi Publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan undang-undang, kepatutan, dan kepentingan umum didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah dipertimbangkan dengan saksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya. Dalam hal ini, keuangan negara merupakan informasi yang tidak dikecualikan dan dengan jelas diatur adanya mekanisme-mekanisme penyampaian informasi keuangan negara dalam UU Keuangan Negara.
Pandangan DPR terkait penambahan kewenangan terhadap OJK sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Setidaknya terdapat tiga kewenangan OJK dalam UU a quo . Salah satu amanat dari UU 2/2020 seperti yang tercantum dalam Pasal 23 ayat (1) yaitu memberi kewenangan dan pelaksanaan kebijakan OJK untuk memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan melakukan penggabungan , peleburan, pengambilalihan, integrasi dan/atau konversi . Langkah tersebut dapat dilakukan apabila diperlukan untuk mengantisipasi krisis jasa keuangan yang dapat membahayakan perekonomian nasional. Dalam menghadapi kondisi penuh risiko saat ini akibat Covid-19 maka daya tahan lembaga jasa keuangan sangat dibutuhkan khususnya dari sisi permodalan. Sehingga, salah satu cara untuk memperkuat daya tahan lembaga jasa keuangan tersebut dilakukan dengan cara penggabungan atau merger. Aksi merger tersebut diperlukan karena terdapat risiko besar akibat Covid-19 yang mengganggu kemampuan pembayaran perusahaan jasa keuangan khususnya perbankan, meskipun saat ini perbankan tetap masih membayarkan bunga deposito kepada nasabah tepat waktu. Di sisi lain, kemampuan membayar debitur atau peminjam dalam 124 kondisi tidak stabil karena perlambatan ekonomi di berbagai sektor. Sehingga, aksi merger tersebut diharapkan dapat memperkuat daya tahan perusahaan jasa keuangan.
Otoritas Jasa Keuangan mengeluarkan berbagai kebijakan stimulus untuk mengantisipasi dampak pandemi Covid-19 di bidang lembaga jasa keuangan. Sejauh ini, setidaknya OJK telah menerbitkan lima Peraturan OJK (POJK) pada 21 April 2020 sebagai tindak lanjut kewenangan OJK dalam pelaksanaan UU 2/2020 Kebijakan stimulus ini salah satunya adalah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Corona virus Disease 2019.
Kekhawatiran para Pemohon Perkara 37 dan para Pemohon Perkara 42 terkait potensi kesewenang-wenangan OJK dalam melaksanakan kewenangannya yang diberikan oleh UU 2/2020 tentunya telah diantisipasi oleh Pemerintah dan OJK dengan adanya pedoman pelaksanaan kewenangan-kewenangan tersebut. Selain itu, bagi OJK selaku pelaksana kewenangan yang diberikan oleh UU 2/2020 juga berlaku ketentuan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik sebagaimana diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Pandangan DPR terkait pinjaman kepada LPS sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Ketentuan Pasal 2 ayat (3) UU LPS, LPS merupakan lembaga yang independen. Sesuai ketentuan tersebut, telah jelas bahwa kedudukan LPS merupakan lembaga independen, bukan merupakan lembaga yang berada di bawah pemerintah. Pemberian kewenangan kepada LPS sebagaimana yang tercantum dalam Lampiran UU 2/2020, pada prinsipnya merupakan kewenangan yang telah diberikan oleh UU LPS, UU OJK , dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang 125 Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK). Kewenangan yang diberikan kepada LPS sesuai Pasal 20 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 sifatnya lebih mempertegas guna mendukung pelaksanaan fungsi LPS dalam kondisi adanya pandemi Covid-19 dan/atau adanya ancaman perekonomian dan/atau stabilitas sistem keuangan. Kewenangan tersebut sudah jelas melekat dan seharusnya diberikan kepada LPS untuk dapat melaksanakan fungsi LPS sebagaimana diatur dalam UU LPS, yaitu menjamin simpanan nasabah penyimpan dan menjaga stabilitas sistem perbankan. Pemberian kewenangan bagi LPS untuk melaksanakan langkah-langkah penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan juga diiringi dengan wewenang bagi Pemerintah untuk mengatur lebih lanjut pelaksanaan kewenangan tersebut dalam Peraturan Pemerintah (vide Pasal 20 ayat (2) Lampira n UU 2/2020). Adanya atribusi dan mandat untuk melakukan pengaturan dalam peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dimaksudkan untuk memberikan koridor dalam pelaksanaan kewenangan LPS. Hal tersebut dimaksudkan selain untuk memberikan kepastian hukum, juga untuk menghindari LPS menginterpretasikan kewenangan yang diberikan dalam Lampiran UU 2/2020 secara luas yang dapat mengakibatkan penyalahgunaan wewenang.
Berdasarkan UU LPS, fungsi LPS adalah menjamin simpanan nasabah di bank dan turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai kewenangannya. Berdasaran ketentuan dalam Pasal 85 ayat (1) UU LPS, dalam hal modal LPS menjadi kurang dari modal awal, Pemerintah dengan persetujuan DPR menutup kekurangan tersebut. Modal awal LPS ditetapkan sekurang- kurangnya Rp 4 triliun dan sebesar-besarnya Rp 8 triliun.
UU 2/2020 memberikan kewenangan kepada LPS yang di antaranya adalah melakukan pemeriksaan penanganan dan peningkatan intensitas persiapan Penanganan Bank bersama OJK 126 dan melakukan pemilihan cara penanganan Bank Selain Bank Sistemik yang dinyatakan sebagai Bank Gagal dengan tidak hanya mempertimbangkan perkiraan biaya yang paling rendah ( least cost test ), tetapi juga mempertimbangkan kondisi perekonomian, kompleksitas permasalahan perbankan, kebutuhan waktu penanganan, ketersediaan investor, dan/atau efektivitas penanganan permasalahan Bank.
Sehubungan dengan kewenangan tersebut, UU 2/2020 mendelegasikan pengaturan kewenangan dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kewenangan LPS dalam Rangka Melaksanakan Langkah-Langkah Penanganan Permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah tersebut, LPS melakukan pemeriksaan bersama dalam rangka persiapan Penanganan Bank dan peningkatan intensitas persiapan Penanganan Bank serta melakukan pemilihan cara penanganan Bank Selain Bank Sistemik yang dinyatakan sebagai Bank Gagal.
Berdasarkan kewenangan dimaksud, dalam hal terdapat Bank yang mengalami permasalahan solvabilitas, LPS melakukan pemeriksaan bersama dengan OJK untuk penanganan permasalahan solvabilitas Bank. Disamping itu, selama pemulihan ekonomi sebagai akibat pandemi Covid-19, LPS dapat melakukan penempatan dana pada Bank untuk mengelola dan/atau meningkatkan likuiditas LPS dan/atau mengantisipasi dan/atau melakukan penanganan permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan yang dapat menyebabkan terjadinya kegagalan Bank sebagai bagian dari tindakan antisipasi ( forward looking ) LPS untuk menjaga Stabilitas Sistem Keuangan.
Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 3 Tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan Dalam Rangka Melaksanakan Langkah- 127 Langkah Penanganan Permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan, juga mengatur bahwa untuk penanganan pandemi Covid-19 untuk mengelola dan/atau meningkatkan likuiditas LPS dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, LPS dalam rangka pengambilan keputusan untuk melakukan penanganan Bank Selain Bank Sistemik yang dinyatakan sebagai Bank Gagal oleh OJK, tidak hanya mempertimbangkan perkiraan biaya yang paling rendah ( least cost test ) tetapi juga dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian, kompleksitas permasalahan bank, kebutuhan waktu penanganan, ketersediaan investor, dan/atau efektivitas dalam rangka penanganan permasalahan bank.
Berdasarkan ketentuan dalam lampiran UU 2/2020, LPS dapat menaikkan nilai penjaminan simpanan dari saat ini Rp 2 miliar per rekening untuk menjamin adanya kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan. LPS juga bisa menambah pembiayaan dengan menerbitkan surat utang. Penambahan pendanaan ini bertujuan untuk membantu LPS apabila mengalami kesulitan likuiditas dalam menangani bank gagal. Pembiayaan dari surat utang merupakan salah satu opsi yang dapat dilakukan LPS untuk menjalankan fungsi penjaminan simpanan maupun penanganan bank berdampak sistemik. Selama ini, LPS mendapatkan pembiayaan dari premi yang dibayarkan dari bank sebesar 0,2 persen per tahun dari rata-rata simpanan. LPS juga bisa mendapatkan biaya dari penanganan bank gagal serta memperoleh pinjaman dari pemerintah apabila modal sudah berada di bawah Rp 4 triliun.
Resiko pembiayaan yang dikeluarkan untuk stabilitas kondisi perekonomian dan keuangan nasional salah satunya adalah kewajiban kontinjensi pemerintah pusat. Kewajiban kontinjensi merupakan kewajiban potensial bagi Pemerintah yang timbul akibat adanya peristiwa masa lalu dan keberadaannya menjadi 128 pasti dengan terjadinya atau tidak terjadinya suatu peristiwa ( event ), yang tidak sepenuhnya. berada dalam kendali Pemerintah. Kewajiban kontinjensi bersumber dari pemberian dukungan dan/atau jaminan pemerintah atas proyek-proyek infrastruktur; program jaminan sosial nasional; kewajiban Pemerintah untuk menambahkan modal jika modal lembaga keuangan, yaitu Bank Indonesia (BI), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), di bawah jumlah yang diatur dalam Undang-Undang; dan tuntutan hukum kepada Pemerintah.
Berbagai opsi pendanaan tambahan ini diperlukan untuk memberikan kepercayaan kepada masyarakat sehingga persoalan solvabilitas bank dapat selesai dengan baik. Oleh karenanya, LPS harus menentramkan masyarakat bahwa dana mereka aman dan mampu memulihkan fungsi intermediasi perbankan. Dengan demikian, kekhawatiran yang didalilkan para Pemohon Perkara 42 dalam permohonannya menjadi hal yang tidak benar karena dalam pelaksanaan pemberian pinjaman terhadap LPS jelas akan dikonsultasikan dengan DPR dan keberadaan pengaturan tersebut adalah salah satu upaya yang terbuka bagi pemerintah apabila kondisi perbankan nasional memburuk.
Pengaturan dalam pasal 20 ayat (1) huruf b UU 2/2020 yang menyatakan bahwa LPS diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan (i) penjualan/repo SBN yang dimiliki kepada Bank Indonesia; (ii) penerbitan surat utang; (iii) pinjaman kepada pihak lain; dan/atau (iv) pinjaman kepada Pemerintah, dalam hal LPS diperkirakan akan mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan Bank Gagal, selain memberikan alternatif sumber pendanaan bagi LPS yang berlaku, baik untuk Bank Sistemik dan Bank Selain Bank Sistemik juga diharapkan dapat memberikan waktu yang cukup bagi LPS dalam mempersiapkan sumber dana tersebut sebelum terdapat Bank Gagal. Transaksi antara LPS 129 dengan Bl sebagai salah satu langkah untuk pemenuhan likuiditas LPS yang diperluas sehingga LPS selain dapat melakukan penjualan SBN miliknya, juga dapat melakukan transaksi Repo. Selain penjualan dan/atau repo kepada Bl, LPS juga mempunyai alternatif pendanaan berupa pinjaman kepada pihak lain yang dimaksudkan untuk menjaring pihak-pihak (dalam dan/atau luar negeri) yang mempunyai kemampuan pendanaan sehingga tersedia alternatif pendanaan yang lebih luas bagi LPS. Pinjaman LPS dari pihak lain merupakan salah satu opsi untuk menjaga likuiditas sehingga pemanfaatan dana tersebut untuk melaksanakan tugas dan fungsi LPS sebagai lembaga resolusi perbankan dalam hal terdapat Bank Gagal sesuai tata kelola yang diatur dalarn UU LPS.
Pandangan DPR terkait dalil Para Pemohon mengenai adanya hak imunitas bagi pelaksana kebijakan keuangan dan kerugian yang timbul dari pelaksanaan UU a quo bukan merupakan kerugian negara berdasarkan UU a quo adalah sebagai berikut a. Bahwa dukungan pembiayaan anggaran untuk penanganan Covid- 19 yang besar adalah dalam rangka mendukung Program Pemulihan Ekonomi Nasional. Rincian kebutuhan anggaran ini berdampak pada sisi belanja dan juga pendapatan negara dalam APBN 2020. Biaya yang dikeluarkan pemerintah ini adalah biaya ekonomi yang bertujuan untuk penyelamatan negara dari krisis dan tidak bisa dianggap sebagai merupakan kerugian negara. APBN sebagai alat untuk mencapai tujuan negara, digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Ketika keadaan mendesak dan darurat, maka APBN sebagai alat tersebut dapat disesuaikan penggunaannya untuk menjadi penolong keselamatan negara. Biaya yang dikeluarkan ini disadari tidak akan sepenuhnya kembali dan juga hilangnya potensi penerimaan negara, namun di sisi lain telah timbul manfaat yang lebih besar yaitu pulihnya perekonomian dan dunia usaha sehingga dapat menyelamatkan ekonomi 130 Indonesia. Sehingga biaya yang dikeluarkan tidak bisa disebut sebagai kerugian negara.
Biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah ini adalah biaya ekonomi yang bertujuan untuk penyelamatan negara dari krisis dan tidak bisa dianggap sebagai merupakan kerugian negara. APBN sebagai alat untuk mencapai tujuan negara, digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Ketika keadaan mendesak dan darurat, maka APBN sebagai alat tersebut dapat disesuaikan penggunaanya untuk menjadi penolong keselamatan negara. Biaya yang dikeluarkan ini disadari tidak akan sepenuhnya kembali dan juga hilangnya penerimaan negara, namun di sisi lain telah menimbulkan manfaat yang lebih besar yaitu pulihnya perekonomian dan dunia usaha sehingga dapat menyelamatkan ekonomi Indonesia. Sehingga biaya yang dikeluarkan tidak bisa disebut sebagai kerugian negara. Penggunaan biaya ekonomi ini lah yang disebutkan dalam Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 yang dimaksudkan untuk penyelamatan perekonomian dari krisis sehingga bukan merupakan kerugian negara.
Mengutip Pendapat Dr. Dian Puji Nugraha Simatupang dalam tulisannya yang berjudul “ Ekuilibrium Kebijakan __ Keuangan Negara Menghadapi Keadaan Negara Darurat Akibat Penyebaran Covid- 19 Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang _Nomor 1 Tahun 2020”: _ “Biaya yang telah dialokasikan UU APBN dan/atau realisasi keuangan pemerintah untuk keadaan darurat tidaklah dapat dikategorikan sebagai kerugian negara dengan alasan: Pertama, biaya tersebut dialokasikan dalam UU APBN dan/atau laporan realisasi anggaran sebagai dasar hukum pengeluaran uang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2004 j.o. Pasal 27 ayat (4) UU Nomor 17 Tahun 2003; Kedua, biaya tersebut dikeluarkan untuk memenuhi kewajiban pemerintah untuk melindungi segenap tumpah darah rakyat Indonesia atau memenuhi asas kemanfaatan umum (doelmatigheid), dan untuk menghindari situasi dan keadaan yang lebih membahayakan keuangan negara dan perekonomian secara keseluruhan; Ketiga, biaya tersebut tetap diukur dalam satuan yang dikendalikan dan 131 ditetapkan pedomannya oleh pemerintah dengan memperhatikan masukan dari lembaga terkait yang relevan untuk melakukan pengawasan intern. Menyangkut norma dalam Pasal 27 ayat (1) Perpu Nomor 1 Tahun 2020 hakikatnya dimaknai sebagai biaya sebagai sebab terjadinya keadaan darurat uang mempengaruhi stabilitas keuangan negara dan perekonomian nasional. Dalam hukum keuangan publik, hal demikian merupakan biaya resiko yang harus dibebankan ke dalam UU APBN untuk maksud mewujudkan tujuan negara, yaitu melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Biaya dalam keadaan darurat merupakan konsekuensi logis dalam upaya mewujudkan tindakan kepemerintahan yang cepat dan luar biasa diperlukan dalam kondisi yang tidak sempurna. Kecepatan dan ketepatan pemerintahan dalam penanganan keadaan darurat Covid-19 tidak dapat menggunakan parameter dan indikator yang biasa karena justru tidak prosesual atau tidak memenuhi ekuilibrium kebijakan keuangan publik jika suatu alas fakta yang berbeda menggunakan syarat prosedur yang normal atau kondisi yang sempurna, padahal alas fakta jelas terdapat perbedaan dan situasi yang darurat.” d. Bahwa dalam memaknai ketentuan Pasal 27 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020 tidak dapat dimaknai secara parsial melainkan harus dimaknai sebagai satu kesatuan. Adanya suatu kerugian keuangan negara, penyalah gunaan kewenangan melalui suatu kebijakan maupun produk hukum lain yang dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan UU 2/2020 tetap harus dibuktikan secara hukum dengan parameter yang tentunya tidak bisa disamakan dengan apa yang ada dalam keadaan normal. Adanya frasa “iktikad baik” dan “sesuai peraturan perundang-undangan” merupakan batasan koridor pelaksanaan kewenangan dalam penggunaan keuangan negara dan mengeluarkan suatu produk hukum dalam rangka pelaksanaan UU 2/2020.
Bahwa dalam perspektif hukum keuangan publik, kerugian negara adalah “ kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti sebagai akibat perbuatan melawan hukum atau kelalaian ,” berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 22 UU Perbendaharaan Negara. Artinya disini kerugian Negara tersebut harus dibuktikan sebagai akibat dari suatu perbuatan yang 132 melawan hukum atau karena kelalaian. Biaya yang telah dialokasikan UU APBN dan/atau realisasi keuangan pemerintah untuk keadaan darurat tidaklah dapat dikatagorikan sebagai kerugian negara dengan alasan: a) biaya tersebut dialokasikan dalam UU APBN dan/atau laporan realisasi anggaran sebagai dasar hukum pengeluaran uang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara jo. Pasal 27 ayat (4) UU Keuangan Negara; b) biaya tersebut dikeluarkan untuk memenuhi kewajiban pemerintah untuk melindungi segenap tumpah rakyat Indonesia atau memenuhi asas kemanfaatan umum ( doelmatigheid ), dan untuk menghindari situasi dan keadaan yang lebih membahayakan keuangan negara dan perekonomian nasional secara keseluruhan; c) biaya tersebut tetap diukur dalam satuan yang dikendalikan dan ditetapkan pedomannya oleh pemerintah dengan memperhatikan masukan dari lembaga terkait yang relevan untuk melakukan pengawasan intern;
Bahwa di samping itu, makna kerugian negara juga berkaitan dengan administrasi pemerintahan karena dengan adanya Pasal 20 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU- XIV/2016, kerugian negara juga mempunyai relevansi dengan persoalan hukum administrasi negara dalam hal terjadinya kesalahan administrasi. Bahwa biaya dalam keadaan darurat merupakan konsekuensi logis dalam upaya mewujudkan tindakan kepemerintahan yang cepat dan luar biasa diperlukan dalam kondisi yang tidak sempurna. Kecepatan dan ketepatan pemerintahan dalam penanganan keadaan darurat akibat Covid- 19 tidak dapat menggunakan parameter dan indikator yang biasa karena tidak justru tidak prosesual atau tidak memenuhi 133 ekuilibrium kebijakan keuangan publik jika suatu alas fakta yang berbeda menggunakan syarat prosedur yang normal atau kondisi yang sempurna, padahal alas fakta jelas terdapat perbedaan dan situasi yang darurat. Di samping itu, biaya tersebut juga akan sampai pada muaranya untuk diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan juga hasilnya disampaikan kepada DPR untuk memperoleh persetujuan berkaitan dengan manfaatnya dalam LKPP. Dengan demikian, proses dan sistem pembiayaan tersebut tetap akuntabel dan memenuhi asas umum pemerintahan yang baik dalam suatu syarat prosedur yang darurat.
Bahwa kewenangan BPK sudah sangat tegas diatur dalam Pasal 23E ayat (1) UUD NRI 1945. Dalam ketentuan peraturan perundang-undangan maka BPK juga diatur dalam UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK sesuai dengan fungsi dan kewenangannya serta dikaitkan pula dengan Bab VIII UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang mengatur bahwa pelaksanaan APBN dan APBD diperiksa oleh BPK sebelum akhirnya Presiden/Kepala Daerah menyampaikan RUU/Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD kepada DPR/DPRD. Di samping itu, dalam UU a quo harus dipahami dan dicermati bahwa tidak ada satu pun pasal dalam UU a quo yang mengecualikan atau menghalang-halangi fungsi BPK untuk melakukan audit.
Bahwa hal demikian kemudian dilaksanakan dengan iktikad baik bagi pejabat administrasi pemerintahan. Dalam hukum administrasi negara, iktikad baik lebih tepat menggunakan istilah asas-asas umum pemerintahan yang baik. Dalam hal ini pejabat administrasi pemerintahan menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan alas hukum dan alas fakta secara memadai, serta keputusan dan kebijakan ditetapkan dengan motivasi untuk melindungi kepentingan umum ( bestuurzorg ). Dengan kondisi demikian, tepat pelaksanaan tindakan kepemerintahan tersebut 134 tidak menjadi objek keputusan tata usaha negara karena peraturan dasarnya telah berubah, tidak pada peraturan dalam keadaan negara normal. Dengan demikian, keputusan tersebut dikecualikan sebagai objek pengadilan tata usaha negara karena validitasnya didasarkan pada peraturan dasar tersendiri yang dibentuk dalam keadaan darurat.
Dalam hal masyarakat atau pihak lain mengajukan keberatan dalam keputusan administrasi pemerintahan dalam masa darurat, dapat menggunakan instrumen administrasi pemerintahan itu sendiri, yang kemudian dapat dilakukan penyelesaian menurut Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2016 tentang Pengenaan Sanksi Administrasi bagi Pejabat Administrasi Pemerintahan dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2016 tentang Pengenaan Ganti Kerugian oleh Pejabat Bukan Bendahara. Dalam hal keberatan tersebut juga masih ada warga masyarakat dapat mengajukan pengaduan ke DPR dalam rangka pengawasan, sehingga DPR dapat menggunakan seluruh hak yang dimilikinya dalam rangka pengawasan eksternal terhadap tindakan administrasi pemerintahan.
Konsep iktikad baik tetap meletakkan pada aspek pengambilan keputusan dan kebijakan tidak mengandung unsur suap, paksaan/ancaman, dan tipuan guna menguntungkan secara melawan hukum. Akan tetapi, jika pengambilan keputusan dan kebijakan disebabkan adanya kesalahan administrasi, tuntutan pidana tidak dapat dilakukan. Konsep iktikad baik dalam konsep hukum administrasi negara menurut Safri Nugraha dimaknai sebagai wujud asas umum pemerintahan yang baik di mana pelaksanaan pemerintahan dijalankan dengan prinsip akuntabilitas dan transparansi yang mendorong sistem pemerintahan berjalan dengan sistem yang jelas dan terukur. Dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, pengelolaan dan pertanggungjawaban wewenang pemerintahan akan sejalan motivasinya yang layak. 135 Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 50 KUHP disebutkan bahwa: “Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana " Selain itu dalam pasal 51 ayat 1 KUHP disebutkan bahwa: “barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana”.
Mengutip Pendapat Dr. Dian Puji Nugraha Simatupang dalam tulisannya yang berjudul “ Ekuilibrium Kebijakan Keuangan Negara Menghadapi Keadaan Negara Darurat Akibat Penyebaran Covid- 19 Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang _Nomor 1 Tahun 2020”: _ “Adanya norma mengesampingkan tuntutan pidana, gugatan perdata, dan tata usaha negara harus dimaknai secara lengkap adanya syarat itikad baik atau asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam hukum administrasi negara. Dengan demikian, ada kejelasan mengenai konsep hukum perdata, hukum administrasi, dan hukum pidana dalam konsep pelaksanaan pengambilan keputusan dan kebijakan dalam kondisi darurat agar pejabat administrasi pemerintahan tidak ragu, cepat, tepat, dan akuntabel untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia” l. Bahwa ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 juga bukan merupakan kekebalan absolut karena dalam ketentuan tersebut mereka terdapat parameter “dengan iktikad tidak baik” dan “tidak sesuai peraturan perundang-undangan”. Asas iktikad baik awalnya adalah suatu asas yang berlaku dibidang hukum perjanjian yang kini telah berkembang dan diterima sebagai asas di bidang-bidang atau cabang-cabang hukum yang lain, baik yang sesama keluarga hukum privat maupun yang merupakan bidang hukum publik. Dalam perkembangan hukum, terdapat prinsip- prinsip umum ataupun asas-asas umum yang dijadikan sebagai sumber hukum sekaligus asas yang mendasari pelaksanaan hukum itu sendiri. Oleh karenanya asas iktikad baik yang tadinya merupakan suatu asas hukum khusus kini telah berkembang menjadi suatu asas hukum umum. Selain asas iktikad baik, juga 136 ada frasa “tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan”. Ini adalah 2 parameter yang bersifat kumulatif. Artinya semua pejabat pemerintah yang menjalankan ketentuan pasal tersebut harus berdasarkan 2 kriteria ini secara kumulatif.
Dalam hukum dikenal suatu adagium yang berbunyi “tiada hukum tanpa pengecualian“ atau dalam bahasa belanda dikenal dengan istilah “ geen recht zonder uit zondering ”. Pengecualian dapat dilakukan sepanjang tidak merugikan pihak-pihak yang terkena aturan tersebut karena hukum ditujukan untuk mengayomi dan mensejahterakan masyarakat ( Rosjidi Ranggawidjaja, Ilmu Perundang-undangan, CV Mandar Maju ). Dalam kaitannya dengan hak Presiden untuk mengeluarkan Perpu yang berisi langkah- langkah yang luar biasa dalam keadaan yang memang tidak normal maka meskipun dalam suatu Perpu ada materi-materi yang dipandang tidak lazim, mengenyampingkan, atau memberlakukan ketentuan bersifat pengecualian dari apa yang telah diatur maka pengecualian itu dapat saja diberlakukan atau dapat diadakan pengecualian sepanjang diatur batasannya dalam Perpu itu sendiri.
Adapun frasa “iktikad baik” adalah apabila dalam melaksanakan tugasnya tidak untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok, dan/atau tindakan lain yang berindikasi korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme. Bahwa apabila nantinya terbukti itikad baik tersebut dilanggar maka sudah jelas konsekuensinya yaitu mereka harus ditempuh prosedur hukum karena tindakan tersebut mengatur unsur mens rea (adanya niat jahat atau iktikad tidak baik) dan actus reus (perbuatan yang melanggar). Dengan demikian asas equality before the law dan asas kepastian hukum dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 tetap terjamin.
UU 2/2020 tidak melindungi pejabat negara atau tidak memberikan imunitas kepada pejabat negara. Pasal a quo diperlukan karena 137 para pihak tersebut merupakan orang-orang yang mengambil keputusan penting. Mengutip pandangan Misbakhun selaku Anggota Komisi XI DPR RI dalam program Indonesia Lawyers Club (ILC) 21 April 2020: “Penanganan Covid -19 melalui physical distancing merupakan pukulan yang paling berat bagi masyarakat karena tidak dapat melakukan interaksi sosial dan merupakan pukulan berat bagi perekonomian. Dampak dari pandemi Covid-19 yaitu faktor produksi tidak jalan sedangkan permintaan (demand) tetap ada. Kedalaman implikasi Covid- 19 terhadap perekonomian sulit diukur karena puncak pandemi Covid-19 belum bisa dipastikan waktunya. Implikasi ekonomi yang ditimbulkan oleh Covid-19 terhadap perekonomian sangat dalam sehingga semua skenario perlu disiapkan untuk menghadapi situasi yang paling buruk. Sebelum pandemi Covid-19 ini terjadi struktur perekonomian Indonesia tidak dalam kondisi yang sehat. Hal ini karena perekonomian Indonesia sedang menghadapi dampak perang dagang antara China dengan Amerika. Permasalahannya dalam situasi seperti ini, negara dalam keadaan yang tidak normal. Dalam keadaan yang tidak normal tersebut jangan berhadap statistik ekonomi menjadi bagus. Sehingga menghadapi keadaan yang tidak normal tersebut juga harus diselesaikan dengan cara yang tidak normal. Pihak yang paling terdampak oleh pandemi Covid-19 adalah pekerja harian/pekerja lepas (informal) yang pemenuhan biaya hidupnya ditentukan oleh aktivitas harian. Jika tidak keluar maka mereka tidak dapat makan. Pihak yang terdampak selanjutnya adalah para pelaku UMKM dan kelompok kelas menengah. Kehadiran negara dibutuhkan baik oleh rakyat jelata, pelaku UMKM, masyarakat kelas menengah, maupun masyarakat kelas atas sehingga negara tidak boleh membeda-bedakan. Aktivitas sektor produksi yang menjadi berhenti mengakibatkan permintaan menjadi terbatas. Pemerintah harus memanfaatkan ruang ketatanegaraan yang tersedia untuk mengatasi situasi ini karena UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mempunyai keterbatasan. Untuk memulihkan perekonomian akibat Covid-19, Pemerintah perlu dana untuk membiayai program-program pemerintah. Satu-satunya cara Pemerintah harus berhutang jika SAL dan dana lainnya tidak mencukupi. Hutang bukan tujuan, tetapi hanya sebagai cara agar dapat keluar dari masalah ini. Negara lain juga menggunakan cara yang sama. Anggaran yang disediakan Pemerintah untuk menangani pandemi Covid-19 sebesar 405 Triliun atau sekitar 2,75% dari PDB. Hal yang utama bukan negara 138 berhutang tetapi hutang tersebut dimanfaatkan seperti menolong rakyat jelata.” p. Keberadaan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk memberikan confidence bagi pihak yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya sesuai Lampiran UU 2/2020 telah didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan prinsip hukum imunitas terbatas bagi negara dan/atau perwakilannya, bukan imunitas absolut sehingga melanggar asas keadilan dan kesamaan dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana pemahaman Para Pemohon. Dari perspektif teori imunitas, perlindungan hukum yang diberikan dalam Pasal 27 ayat (2) termasuk kategori imunitas terbatas. Teori imunitas terbatas ini memberikan perlindungan/imunitas kepada negara dan perwakilannya terhadap upaya hukum pihak lain baik secara pidana ataupun perdata, sepanjang tindakan yang dilakukan memenuhi syarat dalam hal ini harus beriktikad baik dan menjalankan kewenangan serta kebijakannya sesuai peraturan perundang-undangan. Secara a contrario, imunitas tersebut gugur apabila perbuatan yang dilakukan didasarkan atau terdapat niat jahat (mens rea) dan perbuatannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Sampai dengan saat ini sudah ada UU lain yang mengatur perlindungan hukum kepada otoritas yang berwenang dalam pengambilan kebijakan, contohnya: • Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan. Dalam Pasal 48 ayat (1) UU disebutkan bahwa kecuali terdapat unsur penyalahgunaan wewenang, anggota KSSK dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, BI, OJK dan LPS tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana atas pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang berdasarkan Undang-Undang 139 PPSK. Hal ini untuk melindungi secara hukum kebijakan yang diambil dalam kondisi krisis yang tentu saja tidak bias disamakan dengan kondisi normal. • ^Pasal 22 UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak menyebutkan bahwa Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Adapun itikad baik dijelaskan apabila dalam melaksanakan tugasnya tidak untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok, dan/atau tindakan lain yang berindikasi korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme. • UU Bank Indonesia disebutkan dalam Pasal 45 yang berbunyi “Gubernur, Deputi Gubernur, dan/atau pejabat Bank Indonesia tidak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini sepanjang dilakukan dengan iktikad baik”. • UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman dalam Pasal 10 menyatakan bahwa “Dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Ombudsman tidak dapat ditangkap, ditahan, diinterogasi, dituntut, atau digugat di muka pengadilan”. • UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dalam Pasal 16 menyatakan bahwa Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan. • UU MD3 Perlindungan hukum bagi anggota DPR disebutkan dalam Pasal 224 UU ayat (1) yaitu: Anggota DPR tidak dapat 140 dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR. Oleh karena itu pengaturan dalam UU mengenai perlindungan hukum bagi pihak yang menjalankan UU bukanlah hal yang baru, dan dapat dibenarkan selama ada pengaturan mengenai batasan atau kriteria tertentu.
Dengan demikian, perlindungan hukum dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 diperlukan untuk memberikan kepastian hukum kepada para pengambil kebijakan bahwa tindakan dan keputusan yang diambil dengan iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan akan dilindungi oleh hukum. Dengan demikian tidak ada hak warga negara yang ditangguhkan dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020. Bahkan Pasal 49 UU PTUN telah memberikan imunitas atau perlindungan hukum dari sengketa di peradilan tata usaha negara atas tindakan dan/atau keputusan pejabat tata usaha negara yang dilakukan dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pasal 49 UU PTUN ini menjadi landasan untuk diadopsi dalam Pasal 27 ayat (3) UU 2/2020. Sebagaimana Majelis Hakim maklumi, ketentuan perlindungan hukum pernah beberapa kali dilakukan pengujian konstitusionalitasnya di Mahkamah Konstitusi (UU Advokat dan UU Pengampunan Pajak). Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi terdapat pertimbangan sebagai berikut: “pihak-pihak yang disebut dalam ketentuan a quo memang sudah seharusnya tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” 141 Sebagai best practices , standar internasional yang ditetapkan oleh lembaga keuangan internasional ( Financial Stability Board, Basel Committee on Banking Supervision , dan IMF) juga menetapkan adanya pengaturan perlindungan hukum bagi pengambil dan pelaksana kebijakan di bidang sektor keuangan.
Pandangan DPR terkait ketentuan UU yang dinyatakan tidak berlaku sepanjang keterkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Perppu sebagaimana dimaksud dalam UU a quo .
Bahwa pengaturan Pasal 28 lampiran UU 2/2020, telah sesuai dengan ketentuan Lampiran 137 UU 12/2011 yang mengatur bahwa pada umumnya Ketentuan Penutup memuat ketentuan mengenai:
penunjukan organ atau alat kelengkapan yang melaksanakan Peraturan Perundang-undangan;
nama singkat Peraturan Perundang-undangan;
status Peraturan Perundang- undangan yang sudah ada; dan
saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan.
Bahwa memang benar bahwa sudah ada beberapa undang- undang yang mungkin dapat menjadi payung hukum penyelesaian masalah yang timbul akibat COVID-19. Hanya saja tidak pula dapat disalahkan, apabila dalam pandangan subjektif Presiden, undang-undang yang telah ada tersebut dianggap belum mampu menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi. Kondisi serupa juga pernah terjadi ketika Presiden menerbitkan beberapa Perppu yang lahir karena tidak memadainya Peraturan Peundang-undangan yang ada, yang kemudian menyimpangi/menyatakan tidak berlaku sebagian materi dari beberapa undang-undang misalnya Perppu Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan menyatakan beberapa ketentuan dalam UU tentang 142 Perbankan dan Perpajakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan pelaksanaan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan berdasarkan Perppu tersebut.
Bahwa dalam beberapa undang-undang yang ada tersebut memang telah mengatur berbagai dasar kebijakan keuangan negara materi muatan undang-undang yang sudah ada belum mengatur mengenai kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Selain itu, beberapa ketentuan yang terdapat dalam undang- undang tersebut hanya dapat diberlakukan jika negara dalam keadaan normal, bukan dalam kegentingan/keadaan yang memaksa. Oleh karena itu, Pasal 28 lampiran UU 2/2020 ini tidak memberlakukan beberapa ketentuan dalam undang-undang tersebut sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan UU 2/2020.
Bahwa tidak diberlakukannya ketentuan undang-undang yang disebutkan dalam Pasal 28 lampiran UU 2/2020 selama pemberlakuan UU 2/2020 dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan peraturan perundang- undangan dan tidak terjadi disharmoni pengaturan karena adanya dua pengaturan yang berbeda yang mengatur hal yang sama.
Pandangan DPR terkait penyesuaian mandatory spending dana desa a. Bahwa terkait dengan permasalahan dana desa yang disampaikan oleh Para Pemohon Perkara 47, ketentuan Pasal 1 ayat (4) huruf b Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 143 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 (PP 72/2020) tetap menetapkan adanya anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa sebesar Rp763.925.645.050.000 (tujuh ratus enam puluh tiga triliun sembilan ratus dua puluh lima miliar enam ratus empat puluh lima juta lima puluh ribu rupiah), termasuk tambahan belanja untuk penanganan pandemi Covid-19 sebesar Rp5.000.000.000.000 (lima triliun rupiah). Ketentuan Pasal 3 ayat (4) PP 72/2020 menyatakan bahwa rincian anggaran transfer ke daerah dan dana desa tersebut tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari PP 72/2020. Dalam Lampiran VI.15 mengenai Rincian Dana Desa Menurut Provinsi/Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2020 menyatakan bahwa seluruh daerah kabupaten para Pemohon Perkara 47 tetap mendapatkan alokasi dana desa. Berdasarkan ketentuan tersebut maka kekhawatiran Para Pemohon Perkara 47 tidak beralasan menurut hukum karena ketentuan Pasal a quo tidak menyebabkan dana desa dihentikan dan desa Para Pemohon tetap mendapatkan alokasi dari anggaran belanja negara.
Bahwa alokasi dari APBN merupakan salah satu sumber pendapatan desa. Berdasarkan ketentuan Pasal 72 ayat (1) UU Desa pendapatan desa bersumber dari pendapatan asli desa, alokasi APBN, bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota, alokasi dana desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota, bantuan keuangan dari APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota, hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga, dan lain- lain pendapatan desa yang sah. Dengan banyak sumber pendapatan desa tersebut, maka Para Pemohon tidak hanya mengandalkan APBN dan memaksimalkan sumber-sumber pendapatan desa lainnya. Dengan upaya yang maksimal tersebut maka pembangunan yang sudah dicanangkan oleh para 144 Pemohon dan perangkat desa dalam musrenbangdes dan RPJM desa untuk kesejahteraan dan kemakmuran warga desa Para Pemohon tetap dapat terealisasikan.
Bahwa pemohon perkara 47 telah salah dalam mengartikan Pasal 28 angka 8 UU 2/2020, karena Dana Desa tidak dihentikan paska disahkannya UU 2/2020, hal ini tercantum dalam Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2020 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2020 (Permendes 7/2020), yang pada bagian menimbangnya menyatakan: “bahwa berdasarkan Undang–Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang–Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disesase 2019 (COVID- 19) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang–Undang, penggunaan Dana Desa dapat digunakan untuk bantuan langsung tunai kepada miskin di Desa” Pada Pasal 8A ayat (1) Permendes 7/2020 disebutkan bahwa, “Bencana Non-alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf d merupakan bencana yang terjadi sebagai akibat kejadian luar biasa berupa penyebaran penyakit yang mengancam dan/atau menimpa warga masyarakat secara luas _atau skala besar, meliputi:
Pandemi Corona Virus Diseases_ 2019” dan pada Pasal 8A ayat (2) Permendes 7/2020 disebutkan bahwa “Penanganan dampak Pandemi Corona Virus Diseases 2019 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat berupa BLT Dana Desa kepada keluarga miskin di Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang–undangan. d. Bahwa ketentuan Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk menyatakan tidak berlakunya ketentuan mandatory spending alokasi Dana Desa sebesar 10% dari belanja pemerintah pusat, sebagaimana yang disebutkan dalam Penjelasan Pasal 72 ayat (2) UU Desa. Ketidakberlakuan 145 ketentuan mandatory spending dana desa bersifat temporer. Dengan adanya penyesuaian mandatory spending dana desa, Pemerintah dapat memiliki fleksibilitas dalam melakukan refocusing belanja untuk mencegah, menangani, dan memulihkan dampak pandemi Covid-19. Dengan adanya mandat ini maka untuk menjamin fleksibilitas penggunaan dana desa dalam rangka sepanjang masih terdapat kebutuhan untuk penanganan Covid-19 di daerah/desa maka Pasal 72 ayat (2) harus dinyatakan tidak berlaku sehingga tidak terdapat dualisme aturan. Penyesuaian mandatory spending Dana Desa tersebut dimaksudkan agar pelaksanaan program Pemerintah dapat dilakukan lebih efektif, efisien, dan tepat sasaran mengingat penyebaran dampak pandemi Covid-19 bersifat masif di seluruh wilayah Indonesia. Dengan demikian Dana Desa tidak dihentikan namun dialihkan dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai dan program–program Dana Desa dibuat skala prioritas yang bertujuan untuk kesejahteraan dan kemakmuran warga desa bukan untuk pembangunan infrastuktur saja. E. KETERANGAN TAMBAHAN Terkait dengan pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi mengenai mekanisme pembahasan perppu untuk mencapai persetujuan atau pencabutan perppu, DPR RI menerangkan sebagai berikut:
Bahwa sebagaimana disampaikan oleh Presiden yang diwakili oleh Menteri Keuangan, pembahasan penetapan perppu menjadi Undang- Undang/pencabutan perpu Pasal 71 UU 12/2011 diatur:
Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dilaksanakan melalui mekanisme yang sama dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang.
Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang dilaksanakan melalui mekanisme khusus yang dikecualikan dari mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang. 146 (3) Ketentuan mengenai mekanisme khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan tata cara sebagai berikut:
Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diajukan oleh DPR atau Presiden;
Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf a diajukan pada saat Rapat Paripurna DPR tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden; dan
Pengambilan keputusan persetujuan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf b dilaksanakan dalam Rapat Paripurna DPR yang sama dengan rapat paripurna penetapan tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut.
Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut diatas, pembahasan suatu rancangan Undang-Undang dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan (vide Pasal 66 UU 12/2011) yang dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang ditugasi (vide Pasal 65 ayat (1) UU 12/2011) yang diuraikan lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 67- Pasal 70 UU 12/2011).
Bahwa pembicaraan tingkat I dilakukan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat Panitia Khusus dengan kegiatan pengantar musyawarah, pembahasan daftar inventarisasi masalah, dan penyampaian pendapat mini.
Bahwa dalam pembahasan tingkat I tersebut Pemerintah selaku pihak yang mengajukan RUU Penetapan Perppu menjadi Undang- Undang dan juga pihak yang mengeluarkan Perppu tersebut harus menjelaskan kepada DPR RI dalam rapat pembahasan tingkat I yang pelaksanaannya telah dijelaskan oleh DPR RI dalam keterangan ini. Penjelasan tersebutlah yang menjadi pertimbangan DPR RI untuk menyetujui atau tidak menyetujui Perppu tersebut menjadi Undang- Undang.
Bahwa sebagaimana telah disampaikan, Berdasarkan Pasal 71 huruf d dan Pasal 249 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 17 Tahun 147 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 (UU MD3) bahwa DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. RUU Penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU tidak memiliki pertautan dengan bidang yang mengharuskan keikutsertaan DPD dalam pembahasannya melainkan mengenai DPR memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan, sehingga DPD tidak memiliki kewenangan untuk ikut membahas RUU tersebut.
Bahwa hal ini juga telah jelas sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang mengatur bahwa Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut. Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut. Dalam ketentuan tersebut, tidak diatur bahwa dalam hal penetapan Perppu menjadi Undang- Undang dapat atau bahkan harus mengikutsertakan DPD dalam pembahasannya. Sebaliknya, mengikutsertakan DPD justru menjadi suatu hal yang tidak sesuai dengan apa yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945, UU 12/2011 dan UU MD3. Terkait dengan pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi mengenai penetapan Perppu bukan pada “masa sidang yang berikut”, DPR RI menerangkan sebagai berikut: Bahwa sejauh ini DPR belum pernah melakukan penetapan perppu yang dalam masa sidang yang sama atau bukan pada “masa sidang yang berikut”. Setelah dikeluarkannya Perppu 1/2020, Presiden juga telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga atas Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan 148 Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang yang disahkan pada 4 Mei 2020 dan ditetapkan sebagai Undang-Undang melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang menjadi Undang-Undang yang disahkan dan diundangkan pada 11 Agustus 2020 pada masa sidang ketiga tahun 2020 yang terhitung pada 15 Juni 2020 hingga 13 Agustus 2020. Sehingga penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang adalah yang pertama kali dilakukan dengan tidak memenuhi ketentuan “masa sidang yang berikut” mengingat urgensi penetapannya yang harus dilakukan dengan segera. Terkait dengan pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi mengenai pembahasan RAPBN 2021 yang kemudian disepakati dalam paripurna pada 29 September 2020, DPR RI menerangkan:
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 13 ayat (1) UU Keuangan Negara, Pemerintah Pusat menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran berikutnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat selambat-lambatnya pertengahan bulan Mei tahun berjalan. Pasal 15 ayat (1) UU keuangan Negara mengatur bahwa Pemerintah Pusat mengajukan Rancangan Undang-undang tentang APBN, disertai nota keuangan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada bulan Agustus tahun sebelumnya. Dan pada ketentuan Pasal 15 ayat (4) dan ayat (6) UU keuangan Negara diatur Pengambilan keputusan oleh Dewan Perwakilan Rakyat mengenai Rancangan Undangundang tentang APBN dilakukan selambat- lambatnya 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan dan apabila DPR tidak menyetujui Rancangan Undang-undang tersebut, Pemerintah Pusat dapat 149 melakukan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBN tahun anggaran sebelumnya.
Bahwa penyampaian pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran tahun 2021 telah disampaikan oleh pemerintah dalam rapat paripurna DPR RI pada dalam rangkaian rapat paripurna tertanggal 12 Mei 2020, 14 Juli 2020, dan 14 Agustus 2020 (Lampiran II, Lampiran III dan Lampiran IV). Sebagai tambahan informasi, pada 25 September 2020, Kemenkeu selaku yang mewakili Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2021 di Banggar dan Pemerintah bersama DPR telah menyetujui defisit anggaran sebesar 5,7% dari PDB pada Rapat Paripurna DPR tanggal 29 September 2020.
Pembahasan RUU APBN 2021 dilakukan di banggar yang pelaksanaannya disampaikan risalahnya (lampiran V, lampiran VI, lampiran VII) F. RISALAH PEMBAHASAN UU 2/2020 Risalah Pembahasan UU 2/2020 ini terlampir berbagai dokumen pendukung mengenai pembahasan UU 2/2020 sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Keterangan DPR ini. III. PETITUM DPR Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, DPR memohon agar kiranya Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut:
Menyatakan bahwa Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya;
Menerima keterangan DPR RI secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa proses pembentukan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 150 Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134; Tambahan Lembaran Negara Republlik Indonesia Nomor 6516) telah sesuai dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan telah memenuhi ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 183, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6398);
Menyatakan Judul, Pasal 1 ayat (3); Pasal 1 ayat (5); Pasal 2; Pasal 3 ayat (2); Pasal 4 ayat (1) huruf a; Pasal 4 ayat (1) huruf d; Pasal 4 ayat (2); Pasal 5 ayat (1) huruf a; Pasal 5 ayat (1) huruf b; Pasal 6; Pasal 7; Pasal 9; Pasal 10 ayat (1); Pasal 10 ayat (2); Pasal 11 ayat (3); Pasal 12 ayat (1); Pasal 12 ayat (2); Pasal 14; Pasal 16 ayat (1) huruf c; Pasal 19;
Uji Materi Pasal 2, Pasal 12 ayat (2), Pasal 27 dan Pasal 28 angka 3 dan 10 Lampiran UU Nomor 2 tahun 2020 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 ...
Uji Materi Pasal 28 ayat (8) lampiran UU Nomor 2 tahun 2020Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan ...
Pengujian Formil dan Materiil (Pasal 2 ayat (1), Pasal 6 ayat (12), Pasal 27 dan Pasal 28 Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan ...
Relevan terhadap
Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang- undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
Rancangan anggaran undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah;
Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu.
Bahwa sudah menjadi communis opinion doctorum , hakikat atau falsafah Keuangan Publik/Anggaran Negara adalah kedaulatan. Pandangan yang demikian di antaranya dikemukakan oleh Rene Stroum, ‘The constitutional right which a nation possesses to authotixe public revenue and expenditures does not originates from the fact that the members of the nation contribute the payments. This right is based on a loftier idea. The idea of sovereignty’ . Pandangan ini menerangkan bahwa kewenangan negara untuk menetapkan anggaran pendapatan dan belanja bukan semata-mata berangkat dari fakta bahwa masyarakat memiliki kontribusi dengan melakukan pembayaran pajak kepada negara, melainkan berangkat dari hal/idea yang lebih tinggi, yang disebut kedaulatan. Pandangan demikian juga diamini dan dirujuk oleh Prof. Arifin P. Soeria Atmadja, yang mengemukakan bahwa hakikat public revenue 29 and expenditure APBN adalah kedaulatan, bukan yang lain. Apabila yang berdaulat adalah raja, maka rajalah yang berhak sepenuhnya untuk menetapkan APBN, sebaliknya jika rakyat yang berdaulat, maka rakyatlah yang berhak menetapkan APBN;
Bahwa sejak negara Indonesia didirikan oleh para pendiri bangsa dan memiliki sebuah konstitusi, sejak itu pula kita mengakui bahwa yang berdaulat adalah rakyat, menurut Pasal (1) ayat (2) UUD 1945 sebelum amandemen. Hal ini bahkan semakin dipertegas dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 setelah amandemen yang menentukan ‘ Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar’. Ketentuan ini merupakan penegasan tentang kedaulatan rakyat dan sekaligus menjadi salah satu asas fundamental dalam hukum tata negara. Jika dalam lapangan politik kedaulatan rakyat sering didengungkan dengan adagium ‘ dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat’, maka dalam konteks anggaran negara, kedaulatan rakyat itu dapat juga didengungkan dengan adagium ‘dari mana sumber uang (pendapatan) dan untuk apa uang digunakan (belanja) harus dilakukan dengan persetujuan rakyat’;
Bahwa kedaulatan rakyat terhadap anggaran negara ini selengkapnya dirumuskan dalam Pasal 23 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, sebagaimana telah dikutip dalam uraian angka ‘4’ di atas. Dalam Pasal a quo, kedaulatan rakyat terhadap anggaran negara ini dikonstruksikan menjadi 3 (tiga) bentuk: Pertama, APBN harus ditetapkan dengan undang-undang, bukan jenis Peraturan Perundang-Undangan yang lain; Kedua, APBN harus mendapatkan persetujuan DPR; Kedua, Undang-Undang APBN bersifat periodik (ditetapkan setiap satu tahun);
Bahwa Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menetapkan batas defisit dengan dua ketentuan: Pertama, membuka batasan defisit di atas 3% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) tanpa batas maksimal; dan , Kedua, pemberlakukan batas defisi di atas 3% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sampai dengan tahun anggaran 2022;
Bahwa sekilas materi muatan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 tidak 30 mengatur tentang APBN secara langsung. Akan tetapi jika diselami lebih dalam, pengaturan yang demikian sejatinya telah menjangkau ‘jantungnya’ APBN, karena defisit itu sendiri merupakan selisih kurang dari akumulasi seluruh rencana Pendapatan ( revenue ) dan rencana Pengeluaran ( expenditure );
Bahwa pentingnya pos defisit tidak bisa dilepaskan dari perkembangan format postur Undang-Undang APBN, khususnya setelah pengalaman krisis di penghujung tahun 90-an. Sejak APBN Tahun Anggaran 2000, format postur APBN dari yang sebelumnya disusun dalam bentuk T-account diubah menjadi format I-account . Format ini diterapkan untuk menggantikan dan sekaligus sebagai kritik terhadap berbagai kelemahan dari format dan prinsip APBN pada masa Orde Baru. Sebagaimana diketahui, format postur APBN pada masa Orde Baru hanya terdiri dari ‘Rencana Penerimaan/Pendapatan’ dan ‘Rencana Pengeluaran/Belanja’, yang dalam penyusunannya menekankan prinsip ‘berimbang’. Dengan format dan prinsip demikian, penyusunan APBN diupayakan untuk menyeimbangkan antara pos penerimaan dan pos pengeluaran. Mengingat orientasi kebijakan Orde Baru yang menekankan pada konsep pembangunan ( developmentalism ), sering kali penerimaan dalam negeri tidak mencukupi pengeluaran negara/pengeluaran negara lebih besar dari seluruh penerimaan dalam negeri. Maka, dengan prinsip ‘berimbang’, selisih kurang antara penerimaan dan pengeluaran negara tersebut, kemudian dibuat berimbang (sama) melalui ‘pinjaman luar ngeri’. Artinya, prinsip ‘berimbang’ menjadi dasar bagi pemerintah untuk melakukan pinjaman luar negeri, dengan tujuan menyeimbangkan jumlah antara penerimaan dan pengeluaran;
Bahwa format dan prinsip yang demikian ternyata dalam sejarah APBN di Indonesia, justru menjadi sumber rentannya APBN terhadap terpaan krisis, khususnya pengalaman krisis ekonomi Indonesia di penghujung kekuasaan Orde Baru. Hal ini dikarenakan format dan prinsip APBN tersebut mengandalkan penerimaan pembangunan yang berasal dari luar negeri. Konsekuensi yang terjadi pada APBN adalah meleburnya pinjaman yang digunakan untuk menutup defisit dalam pos penerimaan, sehingga menjadi tidak jelas, mana sumber daya dan dana yang serta-merta menjadi hak milik negara dan mana sumber dana yang harus dikembalikan. Yang dapat 31 diketahui dari format dan prinsip APBN yang demikian, adalah setiap tahun APBN harus mengeluarkan sejumlah dana untuk membayar cicilan utang luar negeri, baik pokok pinjaman maupun bunganya;
Bahwa pengalaman APBN dengan format dan prinsip pada masa Orde Baru, mendorong format/postur APBN kemudian diubah, tepatnya dalam RAPBN tahun anggaran 2000/2001, dari yang sebelumnya menggunakan format T- account menjadi format I-account . Dengan format I-account , postur APBN mengalami pengelompokkan kembali (reklasifikasi) pos-pos pendapatan dan belanja, termasuk pemisahan secara tegas terhadap beberapa komponen pembiayaan anggaran yang selama ini dimasukan kedalam pos-pos pendapatan dan belanja negara. Maka jika dalam format postur APBN masa Orde Baru APBN hanya terdiri dari pos ‘penerimaan’ dan ‘pengeluaran, maka format postur APBN yang terbaru terdiri atas:
Pendapatan;
Belanja;
Keseimbangan Primer;
Surplu/Defisit Anggaran; dan , (5) Pembiayaan;
Bahwa format I-account menjadikan APBN berbasis kinerja, yang konsekuensinya adalah anggaran dapat disusun secara defisit atau surplus, bukan disusun untuk mencapai keseimbangan antara penerimaan dan pengeluaran sebagaimana dalam format T-account . Dengan format yang baru, dimaksudkan untuk meningkatkan akuntabilitas, efisiensi, dan transparansi dalam penyusunan dan pelaksanaan APBN. Hal ini menjadi demikian penting, terutama ketika APBN disusun secara defisit. Pos defisit/surplus menceminkan selisih antara akumulasi pendapatan dan belanja. Manakala dalam penyusunan APBN total pendapatan lebih besar dari pada total pos belanja, maka yang terjadi adalah surplus anggaran. Sebaliknya, jika dalam penyusunan APBN total pos pendapatan lebih kecil dari pada total pos belanja, maka yang terjadi adalah anggaran defisit. Ketika anggaran defisit, maka disinilah fungsi pos pembiayaan untuk menutup defisit anggaran tersebut;
Bahwa pos defisit dalam APBN memiliki posisi yang penting, sebagai alat untuk mengendalikan agar selisih kurang antara total pendapatan dan belanja tidak terlalu besar. Untuk menghindari telalu besarnya selisih kurang antara total pendapatan dan belanja, maka ditentukan bahwa batas maksimal defisit adalah 3% terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Hal ini sebagaimana ditentukan dalam penjelasan Pasal 12 ayat (3) Undang- 32 Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara: “Defisit anggaran dimaksud dibatasi maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto. Jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari Produk Domestik Bruto.” __ Artinya, walaupun Pemerintah dimungkinkan untuk menyusun anggaran secara defisit, akan tetapi besaran defisit tersebut tidak bisa dibuat terlalu besar, tetapi ada batasannya, yakni maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Batasan ini ditentukan agar pos pembiayaan yang akan digunakan dalam menutupi defisit juga tidak semakin membesar, baik yang bersumber dari dalam negeri maupun luar negeri;
Bahwa uraian di atas menunjukkan pos defisit yang dibatasi maksimal 3% PDB, sejatinya memiliki posisi yang sama penting dengan pos pendapatan dan pos belanja dalam APBN dengan format I-account . Kedaulatan rakyat terhadap anggaran Negara memiliki nilai yang sama dalam seluruh pos APBN, baik dalam Pos Pendapatan, Pos Belanja, Pos Keseimbangan Primer, Pos Surplu/Defisit Anggaran, dan Pos Pembiayaan. Dalam UU APBN dengan format I-account , pos defisit memiliki posisi yang sangat penting karena beberapa alas an: Pertama, pos defisit mencerminkan selisih kurang antara total seluruh pendapatan dan total seluruh belanja belanja. Sehingga, setiap perubahan pada pos defisit secara langsung seluruh pos dalam APBN, baik Pendapatan, Belanja, Keseimbangan Primer, pos defisit itu sendiri, termasuk pos pembiayaan; Kedua, pos defisit menjadi alat kendali agar selisih kurang antara total seluruh pendapatan dan total seluruh belanja tidak terlalu besar. Apabila selisih kurang antara total seluruh pendapatan dan total seluruh belanja tidak terlalu besar, maka pos pembiayaan juga tidak akan membengkak, terutama pembiayaan terutama yang berasal dari luar negeri. yang dikemudian hari akan menjadi beban bagi APBN di tahun-tahun selanjutnya;
Bahwa berdasarkan alasan tentang pentingnya posisi pos defisit dalam sebuah UU APBN dalam format I-account , maka menjadi jelas bahwa norma dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020, telah melegitimasi sebuah Perppu untuk mengatur materi muatan APBN yang seharusnya diatur dalam sebuah Undang-Undang, sebagaimana amanat Pasal 23 ayat (1) UUD 1945; 33 16. Dibukanya keran defisit di atas 3% dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 PERPPU Nomor 1 Tahun 2020, akan berimplikasi pada berubahnya hampir seluruh Pos dalam Undang-Undang APBN Tahun Anggaran 2020, terutama Pos Belanja, Pos Keseimbangan Primer, Pos Defisit itu sendiri, dan yang terpenting adalah Pos Pembiayaan. Terlebih ketentuan tentang batas defisit ini tidak hanya mengingat UU APBN Tahun Anggaran 2020, melainkan menjangkau UU APBN Tahun Anggaran 2021 dan UU APBN Tahun Anggaran 2022;
Bahwa terhadap UU APBN Tahun Anggaran 2021 dan UU APBN Tahun Anggaran 2022, walaupun produk hukumnya belum ditetapkan, akan tetapi berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 UU Nomor 2 Tahun 2020, maka dapat dipastikan bahwa seluruh Pos dalam APBN Tahun Anggaran dua tahun kedepan dengan sendirinya terikat pada ketentuan tentang batasan defisit di atas 3% yang tanpa batas maksimal itu;
Bahwa hal ini secara terang menjelaskan bahwa norma dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 secara langsung telah menyusup masuk kedalam materi muatan Undang-Undang APBN, setidaknya untuk 3 (tiga) Tahun Anggaran, dan karenanya adalah jells dan nyata bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang mengharuskan APBN ditetapkan dalam sebuah Undang-Undang, bukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
Bahwa disamping APBN harus ditetapkan dalam sebuah Undang-Undang dan bukan PERPPU yang kemudian disahkan menjadi Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020, APBN menurut Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 harus mendapatkan persetujuan DPR, sebagai bentuk kedaualatan rakyat terhadap setiap rupiah yang ada dalam APBN. Persetujuan DPR bersifat mutlak dan tidak bisa dikesampingkan dengan alasan apapun;
Bahwa demikian pentingnya persetujuan DPR, disebabkan hak anggaran ( budget ) itu sendiri merupakan milik DPR. Itulah sebabnya, dalam penyusunan UU APBN, posisi DPR adalah lebih kuat dan lebih menentukan dari pada Pemerintah. Lebih kuatnya posisi DPR, bahkan ditegaskan dalam Pasal 23 ayat (3) UUD 1945, bahwa apabila DPR tidak menyetujuan Ranncangan Undang-Undang tentang APBN yang diajukan oleh Pemerintah, 34 maka Pemerintah tidak punya pilihan lain, selain menggunakan UU APBN tahun sebelumnya. Hal ini merupakan konsekuensi dari prinsip kedaulatan rakyat yang sejak awal telah ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945;
Bahwa dalam ilmu hukum tata negara, persetujuan DPR terhadap UU APBN merupakan sebuah otorisasi (kuasa) yang diberikan kepada pemerintah untuk melakukan pembelanjaan sejumlah uang yang ditentukan dalam UU APBN, serta mencari pendapatan untuk melakukan belanja tersebut. Persetujuan DPR sebagai sebuah otorisasi (kuasa) juga dikemukakan oleh Molenaar, bahwa sebagian besar sarjana hukum di Perancis dan Jerman mengatakan bahwa peretujuan DPR adalah kuasa. Dalam sejarah ketatanegaraan RI, ada keterangan rsmi dari pemerintah yang menyatakan bahwa persetujuan DPR dianggap sebagai ‘kuasa’;
Persetujuan DPR terhadap UU APBN merupakan sebuah otorisasi (kuasa) menurut Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, perlu didudukan dalam kaitannya dengan pelaksanaan APBN. Dalam hal ini dipahami bahwa sebagai sebuah otorisasi (kuasa), maka pemerintah memiliki kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban terhadap pelaksanaan UU APBN itu sendiri;
Bahwa norma dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 telah menjadikan Persetujuan DPR yang menurut Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 bersifat mutlak , berubah menjadi bersifat relatif . Hal ini disebabkan beberapa alasan:
Pasal 2 ayat (1) Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 dirumuskan dengan menggunakan frasa ‘Dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Pemerintah berwenang’ . Digunakannya frasa ‘pemerintah berwenang’, bermakna bahwa kekuasaan untuk menetapkan batasan defisit anggaran sebagai salah satu pos anggaran yang esensial dalam sisitem APBN dengan format I-account , telah diambil alih menjadi kewenangan eksekutif. Hal ini secara jelas telah mengambil hak mutlak milik DPR oleh cabang kekuasaan eksekutif;
Terhadap UU APBN Tahun Anggaran 2020. Bahwa UU APBN TA 2020 yang telah ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 35 tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 dan telah disetujui oleh DPR justru dimentahkan. Sebagaimana telah dikemukakan pada point ‘17’ alasan permohonan, bahwa dibukanya batas defisit di atas 3% berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU No. 2 Tahun 2020, akan berimplikasi pada berubahnya hampir seluruh Pos dalam Undang- Undang APBN Tahun Anggaran 2020, terutama Pos Belanja, Pos Keseimbangan Primer, Pos Defisit itu sendiri, dan Pos Pembiayaan. Artinya, dengan berlakunya Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020, secara terang dan jelas bertentangan dengan Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3), karena telah merubah arti penting persetujuan DPR terhadap UU APBN yang bersifat ‘mutak’ menjadi bersifat ‘relatif’;
Terhadap UU APBN Tahun Anggaran 2021 dan UU APBN Tahun Anggaran 2022. Sebagaimana diketahui, bahwa kedua UU APBN Anggaran 2021 dan 2022 belum ada prodak hukumnya. Akan tetapi berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 UU Nomor 2 Tahun 2020, kedua UU APBN yang masih berstatus ius constituendum , dalam penyusunannya dikemudian hari akan terikat pada norma Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020, yang secara langsung mempengaruhi seluruh pos anggaran pada APBN. Dengan demikian, persetujuan DPR yang dimaksudkan bersifat ‘mutlak’ menurut Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, jelas dilanggar dan dicederai oleh Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020.
Bahwa seluruh uraian di atas secara terang dan jelas menunjukkan bahwa norma dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 adalah bertentangan dengan Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, dan karenanya adalah beralasan hukum untuk dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi;
Bahwa disamping harus ditetapkan dengan sebuah Undang-Undang dan mendaptakan persetujuan DPR, berdasarkan Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945 meneguhkan bahwa UU APBN memiliki karakter atau 36 ‘periodik’, sebuah hal yang membedakannya dengan undang-undang lain pada umumnya. Dalam kaitanya dengan hal tersebut, Goedhart mendefiniskan anggaran negara sebagai; ‘keseluruhan undang-undang yang ditetapkan secara periodik, yang memberikan kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan pengeluaran mengenai periode tertentu dan menunjukkan alat pembiayaan yang diperlukan untuk menutup pengeluaran tersebut’. Pandangan Goedhart di atas, menegaskan bahwa unsur periodik merupakan unsur yang terdapat pada seluruh anggaran Negara;
Bahwa unsur periodik dimaksud terkandung dalam keseluruhan Pasal 23 ayat (1), (2), dan ayat (3) UUD 1945. Dalam ayat (1) ditentukan bahwa APBN ditetapkan setiap tahun (periodik) dengan undang-undang, artinya ada sifat periodik. Selanjutnya dalam ayat (2) dan ayat (3) secara berturut-turut menentukan bahwa UU APBN harus mendapatkan persetujuan DPR, dan apabila terjadi kondisi di mana DPR tidak menyetujui UU APBN, maka pemerintah harus menggunakan UU APBN tahun sebelumnya. Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 ini semakin meneguhkan unsur ‘periodi’ dalam UU APBN, dimana ada masa berlaku APBN setiap satu tahun;
Bahwa norma dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 secara jelas menggugurkan karakter periodik dari UU APBN yang diamanatkan oleh Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945. Hal ini dikarenakan dibukanya batasan defisit di atas 3% terhadap PDB, dalam Pasal a quo , adalah diberlakukan terhadap 3 (tiga) tahun anggaran sekaligus, artinya mengikat dan menjangkau tiga Undang-Undang APBN sekaligus. Hal yang demikian jelas menihilkan arti penting unsur periodik Undang-Undang APBN yang harus ditetapkan setiap satu tahun;
Bahwa berasarkan uraian di atas, adalah jelas bahwa norma dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 adalah bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945 karena3 (tiga) alasan utama yang telah diuraikan sebelumnya, yakni: Pertama, APBN harus ditetapkan dalam jenis peraturan perundang-undangn yang bernama undang-undang, bukan yang lain, termasuk bukan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Kedua, Undang-Undang APBN harus mendapatkan persetujuan DPR, dan 37 persetujuan DPR bersifat mutlak sebagai pengenjawantahan kedaulatan rakyat terhadap anggaran negara; dan , ketiga, Undang-Undang APBN memiliki unsur periodik, yakni harus ditetapkan setiap satu tahun;
Bahwa mengacu pada tiga kriteria dari Undang-Undang APBN sebagai amanat Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945 ini, maka menjadi jelas dan terang bahwa pemberian kewenangan bagi pemerintah untuk menetapkan batas defisit anggaran di atas 3% terhadap PDB berdasarkan;
Bahwa disamping bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945, Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 berkenaan dengan Kebijakan Keuangan Negara tidak memiliki urgensi dan alasan hukum yang kuat, karena Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara telah mengatur mekanisme pelaksanan APBN dalam keadaan tidak normal atau darurat, tanpa perlu mengeluarkan PERPPU yang memang sama sekali tidak dikenal dalam rezim penyusunan Anggaran Negara/Keuangan Publik yang kemudian dikebut untuk disetujui menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menentukan:
Penyesuaian APBN dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dibahas bersama DPR dengan Pemerintah Pusat dalam rangka penyusunan prakiraan perubahan atas APBN tahun anggaran yang bersangkutan apabila terjadi:
Perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asusmsi yang digunakan dalam APBN;
Perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal;
Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran antar unit, organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanjan;
Keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan;
Dalam keadaan darurat Pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rencana perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran; 38 31. Bahwa berdasarkan ketentuan di atas, rezim perundang-undangan di bidang Keuangan Negara telah menyediakan 2 (dua) mekanisme luar biasa dalam pelaksanaan APBN dengan tetap memperhatikan prinsip kedaulatan rakyat yang menjadi esensi Anggaran Negara/Keuangan Publik. Mekanisme atau skema tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, adalah melalui skema Undang-Undang APBNP (Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Perubahan) manakala terjadi keadaan sebagaimana disebutkan dalam huruf ‘a’ sampai dengan huruf ‘d’ Pasal 27 ayat (3) UU Keuangan Negara. Skema ini memberikan jalan bagi Pemerintah untuk melakukan Perubahan UU APBN dalam periode yang sama, denga ketentuan bahwa setiap perubahan harus terlebidahulu mendapatkan Persetujuan DPR sebelum dilaksanakan, artinya pemerintah diberikan peluang untuk melakukan perubahan dalam tahun anggaran berjalan, tanpa mengesampingkan kedaulatan sebagai esensi anggaran negara yang diamanatkan oleh Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, dan sifat periodik (setiap tahun) UU APBN yang diatur dalam Pasal 23 ayat (1) UUD 1945; Kedua, adalah skema yang digunakan dalam keadaan darurat. Dalam skema ini Pemerintah dalam melakukan pergeseran anggaran, termasuk melakukan Belanja (Pengeluaran) untuk keperluan yang tidak ada pagu anggarannya dalam UU APBN periode yang sedang berjalan. Belanja (Pengeluaran) dalam skema darurat ini dapat dilakukan tanpa perlu mendapat persetujuan DPR terlebih dahulu, dengan ketentuan dipersyaratkan adanya keadaan darurat yang mengancam keselamatan jiwa atau keutuhan negara, seperti darurat kesehatan akibat virus Covid-19 yang saat ini dihadapi Indonesia. Persetujuan DPR dapat dimintakan setelah realisasi anggaran dilakukan, untuk kemudian dituangkan dalam UU APBN Perubahan dan/atau dilaporkan dalam Laporan Realisasi Anggaran.
Kedua skema Pelaksanaan APBN dalam UU Keuangan Negara ini sejatinya dapat menjadi pilihan pemerintah dalam menghadapi kemungkinan permasalahan perekonomian sebagai akibat dari wabah virus Covid-19. Terlebih berbagai kebijakan keuangan negara yang diatur dalam Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 seperti pergeseran anggaran antar unit, antar organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanja, serta penggunaan saldo 39 anggaran lebih tahun sebelumnya untuk pembiayaan anggaran yang berjalan, telah diakomodasi oleh UU Keuangan Negara;
Satu-satunya yang tidak diakomodir dalam skema ini adalah tentang membuka kemungkinan defisit yang tinggi. Hal ini patut dicurigai sebagai agenda politik anggaran yang disusupkan, agar Pemerintah mendapatkan legitimasi hukum untuk berakrobat dalam menyusun anggaran negara sampai 3 tahun kedepan, khususnya sebagai legitimasi untuk menambah jumlah pinjaman luar negeri yang dianggap sebagai jalan paling rasional untuk melakukan pemulihan ekonomi pasca wabah Covid-19, dengan konsekuensi APBN kita dimasa yang akan datang semakin tergerus dan terbebani untuk melunasi pinjaman luar negeri Indonesia yang semakin membengkak. Terlebih dalam Pasal 27 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 memuat ketentuan yang seolah menciptakan pelindung atau imunitas bagi pelaksanaan Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 untuk kebal dari segala perbuatan melanggara hukum, dan tidak dapat dituntut, baik secara Perdata, Pidana, bahkan tidak bisa diperkarakan di PTUN;
Bahwa dari uraian poin sebelumnya menunjukan bahwa dari tiga hal tersebut tidak terpenuhi dengan keluarnya Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020. Sebab yang dibahas dalam Perppu itu adalah tentang masalah keuangan dan anggaran negara. Sementara Anggaran Negara sudah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Undang-Undang APBN tidak boleh di Perppu, bukan hanya tidak boleh, tetapi haram, dan hanya boleh direvisi dengan melalui APBN Perubahan apalagi kemudian disahkan menjadi UU melalui UU Nomor 2 Tahun 2020. Sehingga alasan Covid-19 menjadi alasan kekosongan hukum karena tidak ada prosedur hukum, juga tidak terpenuhi. Hadirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan yang sangat jelas dan terang untuk dijadikan sebagai dasar hukum dalam mengambil kebijakan penanganan wabah covid-19. Alasan mendesak pun tidak terpenuhi dalam Perppu ini, sebab DPR masih bersidang dan belum memasuki masa reses, bahkan sampai hari ini masih membahas Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dan pemindahan ibukota negara. Artinya Pemegang Kekuasaan pembentuk undang-undang masih berfungsi dalam menjalankan tugasnya; 40 35. Bahwa berdasarkan uraian di atas, maka disimpulkan bahwa ketentuan dalam Pasal 1 dan Pasal 2 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020, disamping secara terang dan jelas bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945. B.4. Pasal 6 ayat (12) Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 Bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945.
Bahwa Pasal 23A UUD 1945 menegaskan bahwa, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang- undang”. Ketentuan dalam Pasal 23A UUD 1945 secara eksplisit dinyatakan secara tegas bahwa pengaturan tentang pajak dan pungutan-pungutan lain yang sifatnya memaksa dan digunakan untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Dengan demikian maka produk hokum yang digunakan untuk mengatur pajak dan pungutan-pungutan lain harus menggunakan undang-undang, dan tidak dalam bentuk lainnya.
Bahwa pajak yang sifatnya memaksa tidak bisa diatur dan ditentukan oleh satu lembaga negara saja, melainkan perlu melibatkan lembaga lainnya dalam hal ini adalah DPR dan DPD sebagai representasi dari rakyat. Bila pengaturan pajak yang sifatnya memaksa dan tidak melibatkan lembaga yang merepresentasikan rakyat, maka dapat dipastikan pungutan pajak tersebut bukan atas kehendak rakyat, melainkan lebih pada penggunaan kesewenangan pemerintah.
Bahwa setiap penetapan kebijakan pajak dan pungutan lainnya harus melibatkan DPR dan Pemerintah, serta DPD dalam pembahasannya, sedangkan dalam penetapan keputusan atas kebijakan tersebut, merupakan kewenangan DPR dan Pemerintah, dalam hal ini Presiden. Dengan demikian, kebijakan penetapan pajak dan pungutan lain tidak dibenarkan dalam bentuk selain undang-undang;
Bahwa dalam ketentuan Pasal 6 ayat (12) Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 menyatakan “Besarnya tarif, dasar pengenaan, dan tata cara penghitungan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan pajak transaksi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah”. Ketentuan a quo mengatur mengenai pajak yaitu pajak penghasilan dalam hal besarnya tarif, dasar pengenaan, dan tata cara penghitunganya yang diatur dengan atau berdasarkan 41 Peraturan Pemerintah. Produk hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (12) Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 tentu menyalahi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 23A UUD 1945, karena pengaturan mengenai pajak dan pungutan-pungutan lainnya dinyatakan secara tegas dalam Pasal 23A UUD 1945 harus menggunakan undang-undang yang disetujui oleh DPR, sedangkan di dalam pengaturan Pasal 6 ayat (12) Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 dinyatakan pengaturan pajak diatur dengan Peraturan Pemerintah. B.5.Pasal 6 ayat (12) Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 Bertentangan dengan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945.
Bahwa ketentuan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 menentukan “Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.” Dalam ketentuan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 tersebut diantaranya mengandung makna bahwa DPD diberikan hak dan/atau kewenangan memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak. __ 2. Bahwa dalam ketentuan Pasal 6 ayat (12) Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 yang mengatur perihal pajak ditentukan agar diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Ketentuan a quo yang merumuskan kebijaan perihal pajak ditentukan agar diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah secara tersirat telah menghilangkan hak dan/atau kewenangan DPD dalam memberikan pertimbangan yang berkaitan dengan pajak.
Bahwa oleh karena DPD sebagai lembaga negara yang berfungsi sebagai pengakomodir aspirasi daerah dan/atau kepentingan daerah, maka dalam hal membahas suatu rancangan undang-undang dapat membawa aspirasi daerah dan/atau kepentingan daerah untuk dijadikan sebagai masukan dalam menyusun suatu rancangan undang-undang dengan cara mengikuti pembahasan suatu rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, 42 dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
Bahwa Pemohon I sampai dengan Pemohon LVII merupakan masyarakat yang juga berkepentingan untuk memajukan daerah mengharapkan agar setiap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan daerah, termasuk perihal pajak, pendidikan dan agama, __ DPD dapat menyuarakannya. Namun demikian ketentuan Pasal 6 ayat (12) Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 telah menutup DPD sebagai representasi dari kepentingan daerah untuk turutserta membahasnya, padahal secara tegas dinyatakan dalam Pasal 22D ayat (2) UUD 1945, DPD hal-hal yang diantaranya berkaitan dengan pajak. Dengan demikian, maka ketentuan Pasal 6 ayat (12) Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 tidak selaras dengan ketentuan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945. __ B.6. Pasal 27 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 Bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 23, Pasal 23A, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Bahwa Pasal 27 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 pada pokoknya mengatur imunitas antara lain sebagai berikut (1) Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.
Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perrrndang-undangan.
Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.
Bahwa merujuk kepada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa “Indonesia adalah negara hukum”. salah satu aspek makna negara hukum 43 adalah adanya pembatasan kekuasaan. Adanya pembatasan kekuasaan Negara dan organ-organ Negara dilakukan dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara horizontal. Sesuai dengan hukum besi kekuasaan, setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenang-wenang, seperti dikemukakan oleh Lord Acton: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely” . Karena itu, kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat ‘checks and balances’ dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi dan mengendalikan satu sama lain. Pembatasan kekuasaan juga dilakukan dengan membagi-bagi kekuasaan ke dalam beberapa organ yang tersusun secara vertical. Dengan begitu, kekuasaan tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu organ atau satu tangan yang memungkinkan terjadinya kesewenang-wenangan.
Bahwa Pasal 27 pada pokoknya mengatur mengenai hak imunnitas. Hak imunitas atau yang dikenal sebagai Sovereign Immunity merupakan turunan dari asumsi kekuasaan klasik di era common law yaitu raja tidak dapat salah (King can do no wrong). Prinsip klasik ini sudah muncul sejak Raja Edward I, yang berbunyi bahwa The Crown of England has not been sueable unless it has specifically consented to suit . Prinsip ini bertentangan dengan maxim utama dalam negara hukum yaitu: no one, not even the government, is above the law . Konsep Imunitas sendiri bahkan menurut Erwin Chemerinsky dalam karyanya yang berjudul “Against Sovereign Immunity” (Stanford Law Review, Vol 53 No 1201, 2001) dinyatakan olehnya bukan merupakan prinsip yang sesuai dengan konstitusionalisme. Bahkan menurutnya, konsep imunitas harus dianggap bukan sebagai prinsip hukum. hal ini sesungguhnya bersesuaian dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Pasal 27 dan Pasal 28D (1) UUD 1945 yang menentukan bahwa kedudukan setiap orang sama dihadapan hukum. berdasarkan communis opinio doctorum mengenai konsep immunitas yang tidak memiliki basis konstitusional yang jelas dan bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusionalisme maka Pasal 27 UU No. 2 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Pasal 27 dan Pasal 28D (1) UUD 1945.
Bahwa Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 yang memungkinkan terjadinya potensi tindak pidana korupsi. Karena dalam pasal itu 44 disebutkan biaya yang dikeluarkan pemerintah selama penanganan pandemi Covid-19 termasuk di dalamnya kebijakan bidang perpajakan keuangan daerah dan pemulihan ekonomi nasional bukan merupakan kerugian negara. Ketentuan ini juga bertentangan dengan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang menyatakan: ‘Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.
000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)’. ayat (2) disebutkan ‘Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan’. Selanjutnya, dalam ayat (2) dijelaskan “yang dimaksud dengan ‘keadaan tertentu’ dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku , pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. ” Ketentuan ini menunjukan bahwa tindak pidana korupsi dalam keadaan bahaya justru mengalami pemberatan bahkan hukuman mati, namun Pasal 27 Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 justru mengeyampingkan dan mengimunitaskan pejabat- pejabat tertentu.
Bahwa dalam upaya penagakkan hukum, terdapat maxim Lucius Calpurnius Piso Caesoninus (43 SM) yang nenyatakan bahwa “Fiat justitia ruat coelum” yang artinya tegakkan keadilan walaupun langit akan runtuh. Adagium tersebut dapat dimaknai bahwa dalam kondisi apapun hukum harus menjunjung tinggi kebenaran yang bernalar (orthos logos) dan keadilan, sehingga tidak ada kejadian atau kondisi apapun yang mentolerir ketidakadilan ada dalam rongga- rongga hukum. Ketentuan Pasal 27 Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 memuat suatu rumusan norma yang menjadikan penegakkan hukum tidaklah adil. Sebab di dalam ketentuan Pasal 27 Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 mengandung rumusan norma yang memberikan perlindungan bagi mereka yang berlaku tidak 45 adil atau melakukan sesuatu yang dapat merugikan bangsa dan Negara. Konstruksi yang demikian ini jelas Pasal 27 Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Pasal 27 dan Pasal 28D (1) UUD 1945.
Bahwa apabila merujuk kepada pasal 23E ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan ”Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri”; selain itua apabila merujuk kepada Pasal 23E ayat (2) UUD 1945 yang menentukan “hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan kewenangannya” maka apabila merujuk kepada Pasal 27 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 menujukan bahwa Badan Pemeriksa Kekuangan (BPK) yang diberi amanat oleh UUD untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara tidak dapat melakukan melaksanakan pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara dan secara otomatis DPR tidak dapat mengawasi penggunaan anggaran tersebut. Oleh karena itu jelas Pasal 27 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 ini selain melahirkan kebijakan yang berpotensi merugikan negara juga berpotensi melahirkan kebijakan ekonomi yang otoriter, sehingga Pasal 27 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 23E ayat (2) UUD 1945.
Bahwa Pasal 27 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 memiliki isi dan makna yang serupa dengan Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan yang berbunyi “Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, dan/atau pihak yang melaksanakan tugas sesuai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini tidak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini”. Pada saat yang sama Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan juga dianggap memberi wewenang di sangat luar batas kepada Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam menetapkan status bank bermasalah dan penanganannya. KSSK hanya terdiri dari Menteri Keuangan sebagai ketua dan Gubernur BI sebagai anggota. Selain itu, kekuasaan yang sangat mutlak ada pada Menteri Keuangan. Karena kalau terjadi selisih pendapat antara Menteri 46 Keuangan sebagai ketua KSSK dengan anggota KSSK yang lain, maka Menteri Keuangan dapat menetapkan keputusan sendiri. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan juga dianggap memberi wewenang absolut kepada KSSK untuk menghilangkan fungsi dan wewenang DPR terkait keuangan negara. Karena Menteri Keuangan dapat mengeluarkan uang negara atas nama krisis tanpa minta persetujuan DPR. Padahal kewenangan DPR itu telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Akhirnya dari 10 fraksi yang mengikuti Rapat Paripurna Pada Desember 2008, hanya 4 fraksi yang menyetujui RUU JPSK jadi UU. Fraksi itu adalah Fraksi Demokrat, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP), Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) dan Fraksi Partai Damai Sejahtera (FPDS). Sisanya, Fraksi Partai Golongkan Karya (F-Golkar), Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP), Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB), Fraksi Partai Amanat nasional (FPAN), Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi (FBPD) dan Fraksi Bintang Reformasi (FBR), menolak RUU tersebut menjadi UU. Sekarang terbukti keputusan DPR ketika itu ternyata tepat. Dana pinjaman likuiditas yang diberikan kepada Bank Century ternyata bermasalah. Merugikan keuangan negara. Karena Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan tidak disahkan, maka tidak ada pihak yang kebal hukum. Beberapa pihak yang terlibat merugikan keuangan negara diproses secara hukum. Pengadilan menyatakan mereka bersalah, baik dari Bank Century maupun Bank Indonesia.
Bahwa sebagaimana terurai di atas bahwa pemberian hak imunitas sebagaimana dalam Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan yang kemudian kembali diadopsi dalam Pasal 27 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 berpotensi terjadinya penyalahgunaan wewenang. Selain kasus century yang pernah terjadi, maka kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia pada masa krisis ekonomi tahun 1998 merupakan contoh kelam dari penyalahgunaan keadaan darurat. Ketika itu, Bank Indonesia dikuras untuk menyehatkan perbankan yang katanya mengalami rush tetapi kenyataannya cuma modus dari para pemilik bank untuk mendapatkan dana segar untuk menyelamatkan grup usahanya. Berdasarkan hal tersebut maka Konstruksi yang demikian ini jelas Pasal 27 Lampiran UU 47 Nomor 2 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Pasal 27 dan Pasal 28D (1) UUD 1945.
Bahwa berdasarkan uraian di atas, maka disimpulkan bahwa ketentuan dalam Pasal 27 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Pasal 27 dan Pasal 28D (1) UUD 1945. B.7. Pasal 28 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Bahwa Pasal 28 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 memuat ketentuan yang menyatakan tidak berlakunya 12 undang-undang sepanjang terkait dengan kebijakan yang ditentukan dalam UU Nomor 2 Tahun 2020 tersebut. Ke-12 undang-undang tersebut masih tetap ada dan berlaku, namun sebagian ketentuan pasal-pasal yang terdapat di dalamnya dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-I9) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang ini. Artinya, dengan Perppu ini, ketentuan pasal-pasal yang tersebut dalam ke-12 undang-undang itu ditangguhkan atau dikesampingkan berlakunya untuk sementara waktu, hingga tujuan tercapai atau krisis Covid-9 dinyatakan sudah berakhir.
Bahwa 12 ketentuan itu antara lain:
ketentuan jangka waktu yang diatur dalam Pasal 11 ayat (21), Pasal 17b ayat (1), Pasal 25 ayat (3), Pasal 26 ayat (1), dan Pasal 36 ayat (1c) Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 32621 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 49991); 48 b. Pasal 55 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Lndonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan undang-undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun l999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 49621;
Pasal 12 ayat (3) beserta penjelasannya, Pasal 15 ayat (5), Pasal 22 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), dan Pasal 28 ayat (3) dalam Undang- Undang Nomor 17 Thun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4286);
Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 44201 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 49631;
Pasal 27 ayat (1) beserta Penjelasannya, Pasal 36, Pasal 83, dan Pasal 107 ayat (2) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438;
Pasal 171 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063); 49 h. Pasal 72 ayat (2) beserta penjelasannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495);
Pasal 316 dan Pasal 317 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679;
Pasal 177 huruf c angka 2, pasal 180 ayat (6), dan Pasal 182 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 181, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6396);
Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5872); dan
Pasal 11 ayat (22), Pasal 40, Pasal 42, dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 nomor 198, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 6410).
Bahwa apabila merujuk kepada pengenyampingan yang ke-12 yaitu penangguhan untuk UU APBN, maka ketentuan ini identik dengan perubahan anggaran, yang menyangkut kewenangan DPR untuk menyatakan setuju atau tidaknya. Presiden tidak boleh secara sepihak menentukan sendiri perubahan 50 anggaran itu, hanya karena ada keadaan kegentingan yang memaksa yang ditafsirkan sendiri secara sepihak oleh Presiden. Pasal 28 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 menyatakan menangguhkan berlakunya 11 undang-undang untuk sementara waktu keadaan darurat Covid-19, dan sekaligus mengubah 1 undang-undang, yaitu undang-undang tentang APBN Tahun Anggaran 2020. Ketentuan ini jelas bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), (2), dan ayat (3) UUD 1945.
Bahwa Pasal 28 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 jelas menerapkan prinsip metode Omnibus. Apabila merujuk kepada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU- VII/2009 tidak memenuhi tiga unsur dan khususnya unsur “Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai”; UU yang telah ada saat ini sudah mumpuni untuk menyelesaikan persoalan darurat yang dihadapi UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, dan UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Hal ini sesungguhnya sejalan dengan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Darurat Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 ( Covid-19 ). Maka apabila lahirnya Pasal 28 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 yang justru menentukan pengeyampingan (tidak berlakunya) UU tertentu, jelas bertentangan dengan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU- VII/2009.
Bahwa apabila merujuk kepada prinsip hukum Islam mengenai masalah batasan darurat yang memperbolehkan sesuatu yang diharamkan ini dikalangan para ulama ahli fiqh dan beberapa pendapat yang maknanya tidak jauh berbeda antara satu dan lainnya diantaranya sebagai berikut:
Menurut ulama dari mazhab Hanafi, makna darurat yang menyangkut rasa lapar ialah seandainya seseorang tidak mau mengkonsumsi barang yang diharamkan dikhawatirkan ia bisa meninggal dunia atau setidaknya ada anggota tubuh yang menjadi cacat. Seseorang yang dipaksa akan di bunuh atau dipotong salah satu anggota tubuhnya apabila ia tidak mau memakan atau meminum sesuatu yang diharamkan, itu berarti ia sedang dalam keadaan darurat yang memperbolehkan ia memakan bangkai, karena ia mengkhawatirkan nyawanya atau salah satu anggota tubuhnya. (Abdul 51 Rosyad Sidiq, Fiqh Darurat, Jakarta, Pustaka Azzam, 2001. hal. 31). Dan berdasarkan syariat ia berdosa kalau memang ia tahu bahwa hal itu sebenarnya bisa menggugurkan keharaman. Tetapi kalau memang ia tidak tahu bahwa hal itu merupakan keringanan baginya, ia masih bisa diharapkan tidak berdosa soalnya ia bermaksud menegakkan kebenaran syariat dengan cara tetap menjaga diri untuk tidak mau melanggar keharaman menurut anggapannya. Keharaman menjadi gugur kalau memang pemaksaannya disertai dengan ancaman yang berisiko sangat menyakitkan tetapi kalau ancamanannya tidak terlalu berat seperti hanya akan ditahan selama setahun atau dihukum dengan di ikat namun masih tetap diberi jatah makan dan minum itu berarti ia masih punya pilihan artinya ia tidak sedang dalam keadaan darurat. Firman Allah Swt dalam surat al-Baqarah: 173, Maka barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya serta tidak melampaui batas maka tiada dosa baginya. Melihat ayat di atas, tidak semua keterpaksaan itu membolehkan yang haram, namun keterpaksaan itu dibatasi dengan keterpaksaan yang benar-benar tiada jalan lain kecuali hanya melakukan itu dalam kondisi ini maka semua haram dapat diperbolehkan memakainya, misalkan seorang dihutan tiada makanan sama sekali kecuali ada babi hutan dan bila ia tidak makan menjadi mati, maka babi hutan itu boleh dimakan sebatas keperluannya.
Menurut ulama dari mazhab Maliki, darurat yang memperbolehkan mengkonsumsi sesuatu yang diharamkan ialah rasa takut akan keselamatan nyawa baik berdasarkan keyakinan atau sekedar dugaan namun ada juga yang berpendapat darurat ialah menjaga jiwa dari kematian atau dari bahaya yang sangat berat, menurut pendapat di atas hal itu tidak disyaratkan harus menunggu sampai benar-benar menjelang kematian, atau sudah dalam keadaan sakaratul maut , karena makan dalam keadaan seperti itu sudah tidak ada gunanya lagi.
Menurut ulama mazhab Syafi’i, sesungguhnya rasa lapar yang teramat sangat itu tidak cukup hanya di atasi dengan memakan bangkai dan sebagainya, seperti halnya ulama-ulama mazhab lain mereka semua sepakat tidak wajib harus menunggu sampai kematian itu sebentar lagi datang. Karena pada saat-saat kritis seperti itu tidak ada gunanya makan bahkan pada sampai batas seperti itu tidak dihalalkan makan karena ia memang tidak 52 ada gunanya. Mereka juga sepakat bahwa seseorang diperbolehkan makan kalau ia mengkhawatirkan dirinya bisa kelaparan, atau tidak kuat berjalan, atau kuat naik kendaraan atau terpisah dari rombongannya atau tersesat dan lain sebagainya, kalau sampai ia tidak makan kekhawatiran seseorang terhadap munculnya penyakit yang menakutkan adalah sama seperti kekhawatiran datangnya kematian, sekalipun ia merasa takut selama sakit.
Menurut para ulama dari mazhab Hambali, darurat yang memperbolehkan seseorang memakan sesuatu yang diharamkan adalah yang membuatnya merasa khawatir dan akan mati kalau sampai ia tidak memakannya. Sedangkan menurut Imam Ahmad, apabila seseorang hanya karena tidak mau makan barang yang haram merasa khawatir dirinya bisa kelaparan atau takut tidak kuat berjalan sehingga terpisah dari rombongannya atau tidak kuat naik kendaraan maka ia harus memakannya tanpa dibatasi waktu tertentu. (Abdul Rosyad Sidiq, Fiqh Darurat, Jakarta, Pustaka Azzam, 2001. hal.
Tiada keharaman bagi darurat dan tiada kemakmuran bagi kebutuhan . __ (Abdul Rosyad Sidiq, Fiqh Darurat, Jakarta, Pustaka Azzam, 2001. hal. 35). Apabila dua mafsadat bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih besar madaratnya dengan memilih yang lebih ringan madaratnya . __ Dari pendapat di atas yang menerangkan tentang batasan atau kriteria darurat yang memperbolehkan seseorang memakan sesuatu yang haram mempunyai pengertian yang mirip. Jadi seperti yang dikatakan oleh Imam Hambali, dharurat ialahlah posisi seseorang yang sudah berada dalam batasan maksimal dan tidak ada alternatif lain jika ia tidak mau mengkonsumsi yang dilarang agama ia bisa mati atau hampir mati. (Muhlis Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta, Raja Grafindo Persada, cet. Ke-4, 2002, hal. 134). Atau dikhawatirkan salah satu anggota tubuhnya bisa celaka. Pada dasarnya hal itu karena sesuatu yang diharamkan itu tidak boleh dilakukan dan diterjang kecuali karena ada alasan darurat. Darurat itu pun punya standar sendiri apabila seseorang sampai pada batas yang apabila ia tidak mau mengkonsumsi sesuatu yang diharamkan oleh agama ia bisa mati atau hampir mati. Maka itu artinya ia sudah berada pada batas puncak darurat yang berarti ia boleh memakan sesuatu yang diharamkan. 53 Bahwa apabila merujuk lahirnya Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 khususnya berkenaan dengan lahirnya Pasal 28 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 yang mengeyampingkan 12 undang-undang sekaligus tidak memenuhi keadaan darurat karena diterbitkan melalui Perppu Nomor 1 Tahun 2020 sebelum kemudian disahkan menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020. Terlepas dari telah berubahnya Perpu tersebut menjadi UU akan tetapi proses pembentukannya bukan UU yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 juncto Pasal 20 UUD 1945. Oleh sebab itu, adanya Pasal 28 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 justru seolah menyatakan tidak ada instrumen hukum sebagai tidak ada alternatif lain dan dalam kondisi maksimal. Padahal instrumen __ hukum yang ada UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, dan UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana serta Pasal 27 ayat (3) UU Nomor 17 Tahun 2003 telah mengakomodir segala kehendak yang dimaksud dalam UU Nomor 2 Tahun 2020.
Bahwa berdasarkan uraian di atas jelas telah Pasal 28 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 berpotensi melahirkan kekuasaan presiden berlebihan yang berpotensi berkembang menjadi kekuasaan absolut dan sewenang-wenang namun berlindung dari kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Potensi constitutional dictactorship dalam bentuknya yang negatif akan lebih muncul apabila bentuk pengabaian prinsip-prinsip negara hukum disampingkan dibandingkan merespon keadaan darurat kesehatan dengan mengunakan instrumen hukum yang telah ada yaitu UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, dan UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana serta Pasal 27 ayat (3) UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Bahwa berdasarkan uraian di atas, para Pemohon beranggapan pola constitutional dictactorship dapat dihindari apabila beranggapan Pasal 28 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 22 ayat (1) __ dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. PETITUM Berdasarkan uraian-uraian sebagaimana disebutkan di atas, izinkanlah para Pemohon meminta kepada yang mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang 54 memeriksa dan mengadili permohonan ini untuk memutuskan hal-hal sebagai berikut:
Mengabulkan Permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan Pembentukan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang terhadap UUD 1945 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Menyatakan Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, huruf a angka 2, dan huruf a angka 3, Pasal 6 ayat (12), Pasal 27 dan Pasal 28 Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional da/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang terhadap UUD 1945 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya Atau Jika Majelis Hakim Konstitusi Republik Indonesia mempunyai keputusan lain, mohon putusan yang seadil-adilnya, ex aequo et bono. [2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalilnya, Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-70 sebagai berikut:
Bukti P-1 : Fotokopi KTP M. Sirajuddin Syamsuddin; 55 2. Bukti P-2 : Fotokopi KTP dan NPWP Prof. Dr. Sri Edi Swasono;
Bukti P-3 : Fotokopi KTP dan NPWP Prof. Dr. HM. Amien Rais, MA;
Bukti P-4 : Fotokopi KTP dan NPWP Marwan Batubara;
Bukti P-5 : Fotokopi KTP dan NPWP M. Hatta Taliwang;
Bukti P-6 : Fotokopi KTP dan NPWP Prof. Dr. Daniel M. Rosyid;
Bukti P-7 : Fotokopi KTP dan NPWP Dr. Syamsul Balda, SE., MM., MBA;
Bukti P-8 : Fotokopi KTP dan NPWP Dr. Abdullah Hehamahua;
Bukti P-9 : Fotokopi KTP dan NPWP Dr. H. MS. Kaban, SE., MSI;
Bukti P-10 : Fotokopi KTP dan NPWP Adhie M. Masardi;
Bukti P-11 : Fotokopi KTP dan NPWP Dr. Ahmad Redi, SH., MH;
Bukti P-12 : Fotokopi KTP dan NPWP Dr. Masri Sitanggang, IR., MP;
Bukti P-13 : Fotokopi KTP dan NPWP Ir. Sayuti Asyathri;
Bukti P-14 : Fotokopi KTP dan NPWP Roosalina Berlian;
Bukti P-15 : Fotokopi KTP dan NPWP Ir. Gunawan Adji MSC;
Bukti P-16 : Fotokopi KTP dan NPWP Djoko Edhi Soetjipto;
Bukti P-17 : Fotokopi KTP dan NPWP Ir. H. Ansufri Id Sambo;
Bukti P-18 : Fotokopi KTP dan NPWP Ir. Bambang Tri Puspito;
Bukti P-19 : Fotokopi KTP dan NPWP Slamet Ma’arif;
Bukti P-20 : Fotokopi KTP dan NPWP Dr. Imam Addaruqurni MA;
Bukti P-21 : Fotokopi KTP dan NPWP Agus Solachul Aam;
Bukti P-22 : Fotokopi KTP dan NPWP Auliya Khasanofa;
Bukti P-23 : Fotokopi KTP dan NPWP Abdurrahman Syebubakar;
Bukti P-24 : Fotokopi KTP dan NPWP M. Ramli Kamidin;
Bukti P-25 : Fotokopi KTP Darmayanto;
Bukti P-26 : Fotokopi KTP Indra Wardhana;
Bukti P-27 : Fotokopi KTP Agus Muhammad Mahsum;
Bukti P-28 : Fotokopi KTP Dr. Ma’mun Murod;
Bukti P-29 : Fotokopi KTP dan NPWP Ir. Indra Adil;
Bukti P-30 : Fotokopi KTP dan NPWP Muslim Arbi;
Bukti P-31 : Fotokopi KTP dan NPWP Taufan Maulamin;
Bukti P-32 : Fotokopi KTP Bambang Sutedjo;
Bukti P-33 : Fotokopi KTP dan NPWP Agung Mozin;
Bukti P-34 : Fotokopi KTP dan NPWP Nur Aini;
Bukti P-35 : Fotokopi KTP dan NPWP Edy Mulyadi;
Bukti P-36 : Fotokopi KTP Abdurrahman Tardjo SH; 56 37. Bukti P-37 : Fotokopi KTP dan NPWP Anhar Nasution SE;
Bukti P-38 : Fotokopi KTP dan NPWP Ir. Abdullah Sodik;
Bukti P-39 : Fotokopi KTP H. Moh Ismail;
Bukti P-40 : Fotokopi KTP dan NPWP Hersubeno Arief;
Bukti P-41 : Fotokopi KTP dan NPWP Ir. Irwansyah;
Bukti P-42 : Fotokopi KTP Furqan Jurdi;
Bukti P-43 : Fotokopi KTP dan NPWP Ibnu Tadji H. Nurwendo;
Bukti P-44 : Fotokopi KTP dan NPWP Kisman Latumakulita;
Bukti P-45 : Fotokopi KTP Djudju Purwantoro;
Bukti P-46 : Fotokopi KTP dan NPWP Burhanuddin;
Bukti P-47 : Fotokopi KTP dan NPWP Rina Triningsih;
Bukti P-48 : Fotokopi KTP Yogi Yogaswara;
Bukti P-49 : Fotokopi KTP Atum SH;
Bukti P-50 : Fotokopi KTP dan NPWP M. Mossadeq Nahri;
Bukti P-51 : Fotokopi KTP dan NPWP M. Asri Anas;
Bukti P-52 : Fotokopi KTP dan NPWP Rukminiwati;
Bukti P-53 : Fotokopi KTP dan NPWP Dr. Muh. Mu’inudinillah;
Bukti P-54 : Fotokopi KTP dan NPWP Ratna Ningsih Fatimah;
Bukti P-55 : Fotokopi KTP dan NPWP Mustaris SH;
Bukti P-56 : Fotokopi KTP dan NPWP Narliswandi;
Bukti P-57 : Fotokopi KTP Arief Agus Djunarjanto;
Bukti P-58 : Fotokopi SK Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-000252.AH.01.08.TAHUN 2015 tentang Persetujuan Perubahan Badan Hukum Perkumpulan Perkumpulan Persatuan Islam; Fotokopi SK Pimpinan Pusat Persatuan Islam Nomor 0001/B.1-C.1/PP/2015 perihal Tasykil Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PP. PERSIS) Masa Jihad 2015-2020;
Bukti P-59 : Fotokopi SK Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-0009540.AH.01.07.TAHUN 2017 tentang Pengesahan Badan Hukum dan Pengurus Wanita Al- Irsyad; Fotokopi SK Pengurus Besar Wanita Al- Irsyad Nomor 025-SK-PBW-1440 tentang Pengesahan dan Pengangkatan Susunan Personalia Pengurus Besar Wanita Al- Irsyad Masa Bakti 1439-1444H/2017-2022M;
Bukti P-60 : Fotokopi SK Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-234.AH.01.08.Tahun 2013 tentang Persetujuan Perubahan Anngaran Dasar; 57 Fotokopi SK Pengurus Besar Pemuda Al- Irsyad Nomor 025/SK/PB/2020 tentang Perubahan Susunan Dan Personalia Pengurus Besar Pemuda Al-Irsyad Masa Bakti 1439-1444 H/ 2017-2022 M;
Bukti P-61 : Fotokopi Surat Keterangan Nomor 01-00-00/089/ D.IV.1/IX/2016 Terdaftar Dewan Pimpinan Nasional Amanat Kejujuran Untuk Rakyat (AKURAT INDONESIA);
Bukti P-62 : Fotokopi AD/ART Yayasan LBH Catur Bhakti;
Bukti P-63 : Fotokopi SK Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-0000372.AH.01.08.TAHUN 2020 tentang Persetujuan Perubahan Badan Hukum Perkumpulan Perkumpulan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia; Fotokopi SK Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia Nmor 01/SK/KU.i/KAMMI/II2020 tentang Struktur Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (PP KAMMI) Periode 2019-2021;
Bukti P-64 : Fotokopi SK Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-0013162.AH.01.07.TAHUN 2018 tentang Pengesahan Pengesahan Badan Hukum Perkumpulan Wanita Islam; Fotokopi SK Pengurus Pusat Wanita Islam Nomor 015/PP/SKEP/SEK/IV/2018 tentang Penyempurnaan Pengurus Pusat Wanita Islam Periode 2016-2021;
Bukti P-65 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional da/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang- Undang terhadap UUD 1945 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6485);
Bukti P-66 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Bukti P-67 : Fotokopi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 23/PUU- XVIII/2020;
Bukti P-68 : Fotokopi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib;
Bukti P-69 : Fotokopi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU- VII/2009;
Bukti P-70 : Fotokopi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 004/PUU-I/2003. 58 Selain itu, para Pemohon juga mengajukan 2 (dua) orang ahli yang didengar keterangannya di bawah sumpah dalam persidangan secara daring tanggal 7 Desember 2020 yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut.
Dr. Ir. H. Muhammad Said Didu, M.Si, IPU Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan disahkan menjadi UU pada Sidang Paripurna DPR pada 12 Mei 2020. Perppu Nomor 2/2020 telah ditandatangani dengan segera oleh Presiden Jokowi menjadi UU Nomor 2/2020 pada 16 Mei 2020. Menurut pemerintah UU Nomor 2/2020 atau UU Korona bertujuan merelaksasi sejumlah peraturan yang berlaku saat ini guna menghadapi Covid-19 dan menjaga stabilitas sistem keuangan. Menkeu Sri Mulyani mengatakan UU korona menjadi landasan hukum agar pemerintah dan otoritas terkait dapat mengambil langkah–langkah luar biasa secara cepat dan akuntabel guna menangani pandemi korona. Ditambahkan, upaya tersebut diperlukan mengingat pandemi Covid-19 bukan hanya masalah kesehatan, tetapi juga masalah kemanusiaan yang berdampak pada aspek sosial, ekonomi, dan mempengaruhi fundamental perekonomian nasional (14/4/2020). Kami menganggap pandemi Covid-19 memang masalah serius menyangkut berbagai aspek kehidupan manusia yang dihadapi bukan saja oleh Indonesia tetapi seluruh negara di dunia. Namun, terlepas dari serius dan mendesaknya mangatasi berbagai permasalahan, kami menilai penanganannya harus tetap dilakukan dalam koridor hukum yang berlaku. Untuk itu, penyelenggara negara, terutama pihak eksekutif yang berada dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) harus tetap tunduk kepada konstitusi dan undang-undang berlaku saat ini. Faktanya, berbagai kalangan telah menanggapi dan menganggap bahwa sejumlah ketentuan dan UU Korona melanggar konstitusi dan bertentangan dengan beberapa undang-undang yang berlaku saat ini. Bahkan Pasal 27 UU No.2/2020 memberi hak impunitas kepada eksekutif dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan terkait Covid-19. Oleh sebab itu, tak heran jika sejumlah kalangan pun 59 telah mengajukan judicial review terhadap UU Korona ke Mahkamah Konstitusi (MK), termasuk Koalisi Masyarakat Penegak Kedaulatan (KMPK). Sejalan dengan hal di atas, kami pun telah diminta oleh KMPK untuk menjadi Saksi Ahli atas gugatan judicial review tersebut. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa dalam UU Korona terdapat berbagai hal yang dianggap bermasalah dan bertentangan dengan konstitusi, sehingga UU tersebut seharusnya dibatalkan oleh MK. Terlepas dari banyaknya hal -hal lain yang kami anggap bermasalah dan inskonstitusional dalam UU Nomor 2/2020, sebagian dari permasalahan tersebut kami diuraikan berikut ini.
Pembentukan Perppu tidak memenuhi kaidah kegentingan memaksa Pembentukan Perppu/UU Nomor 2/2020 boleh dilakukan saat negara menghadapi kegentingan memaksa. Namun kegentingan memaksa dimaksud, harus memenuhi kaidah dan asas yang diatur dalam UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3). Selain itu Perppu tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945, TAP MPR, dan UU lain yang berlaku. Faktanya dasar kegentingan memaksa Perppu Nomor 1/2020 tidak jelas dan tidak memenuhi kaidah UU P3, sehingga seharusnya secara formil UU Korona batal demi hukum.
Tidak terdapat uraian jelas bagaimana pendemi Covid-19 diatasi Dalam butir menimbang UU Korona dinyatakan pandemi korona merupakan penyebab ancaman bahaya perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan. Namun dalam isi Perppu berupa kebijakan dan aturan, tidak ditemukan ketentuan jelas bagaimana pandemi diatasi. Perppu/UU Korona justru sangat dominan membahas ketentuan terkait perekonomian dan stabilitas sistem keuangan yang dinilai sarat kepentingan oligarki yang berada di belakang pemerintah.
Perppu Nomor 1/2020 melanggar batas defisit dan membuat utang naik tak terkendali. Pasal 23 UUD 1945 tentang hak budget DPR berbunyi: 1) APBN sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan UU dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab _untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; _ 2) Rancangan UU APBN diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama DPR _dengan memperhatikan pertimbangan DPD; _ 3) Apabila DPR tidak menyetujui R-APBN yang diusulkan Presiden, Pemerintah menjalankan APBN tahun yang lalu. 60 Ternyata, Pasal 2 Perppu Nomor 1/2020 memberi kewenangan bagi pemerintah menentukan batas defisit anggaran di atas 3% untuk UU APBN sampai 2022. Kewenangan ini jelas bertentangan dengan sifat dan pola ‘priodik’ UU APBN sesuai Pasal 23 ayat (1) UUD 1945, karena: • Pertama, Pasal 2 Perppu tidak menentukan batas maksimal persentase defisit , sehingga membuka peluang Pemerintah menentukan presentase defisit tanpa batas. Hal ini dapat berimplikasi pada membengkaknya Pos Pembiayaan APBN, termasuk meningkatkan jumlah utang negara yang akan menjadi beban rakyat yang sudah sangat tinggi; • Kedua, persentase PDB tanpa batas berlaku sampai 2022. Artinya ketentuan ini beraku dan mengikat 3 (tiga) UU APBN sekaligus, yakni UU APBN TA 2020, UU APBN TA 2021, dan UU APBN TA 2022. Hal ini secara nyata bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945, yang menentukan bahwa APBN ditetapkan setiap tahun. Bahkan UU APBN 2021 dan 2022 belum ada produk hukumnya, sehingga penetapan APBN setiap tahun sesuai konstitusi menjadi tidak bermakna.
Perppu Nomor 1/2020 mengeliminasi Hak DPR menetapkan APBN dan Defisit APBN Pasal 2 Perppu di atas juga bertentangan dengan Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, karena membuka peluang defisit anggaran diatas 3% tanpa batas maksimal dan mengikat. Hal ini secara langsung membatasi kewenangan DPR memberikan persetujuan APBN, khususnya berkenaan dengan defisit anggaran harusnya maksimum 3% PDB. DPR tidak leluasa menggunakan hak, tetapi dipatok dengan batas minimal 3% PBD, tanpa ada batas maksimal. Kewenangan konstitusional DPR dalam menetapkan budget sangat besar dan menentukan seperti tercermin dalam ayat (3) Pasal 23 UUD 1945. Bahkan jika DPR tidak menyetujui suatu RUU APBN, maka Pemerintah harus menggunakan UU APBN tahun sebelumnya. Bagaimana bisa pemerintah melalui Pasal 2 Perppu Nomor 1/2020 melawan konstitusi dan seenaknya menihilkan hak DPR dalam penetapan APBN? Implementasi UU Nomor 2/2020 pro-oligarki kekuasaan adalah terbitnya Perpres Nomor 54/2020 dan Perpres Nomor 72/2020. Kedua Perpres ini berfungsi sebagai APBN-P yang berubah hanya dalam waktu 2 bulan dan telah ditetapkan 61 secara sepihak oleh pemerintah tanpa partisipasi DPR sebagai pemegang hak konstitusional budgeting dan sebagai wakil rakyat untuk memperoleh keadilan dalam pemanfaatan uang negara di APBN. Persetujuan DPR atas APBN sebagai pemegang hak budget dalam konstitusi sangat vital, karena merupakan cermin kedaulatan rakyat. Jika hak budget DPR dieliminasi Perppu Nomor 1/2020, berarti hak dan kedaulatan rakyat pun ikut dihilangkan. Perppu/UU Nomor 2/2020 memang bernuansa oligarkis karena sejak semula direkayasa dan diusulkan pemerintah yang pro oligarki. Artinya pemerintah memilih melindungi oligarki dibanding membela dan melindungi rakyat (lihat Lampiran 1: Melawan Pelumpuhan Hak Budget DPR).
Membuka peluang terjadinya moral hazard dan ketidakadilan sesame anak bangsa. Pasal 11 UU Korona tidak mengatur program pemulihan ekonomi melalui pembiayaan investasi pemerintah berupa modal negara (PMN), penempatan dana investasi dan penjaminan secara rinci , sehingga membuka peluang terjadinya moral hazard. Dalam hal ini antara lain diperlukan kejelasan objek, sektor, parameter, mekanisme, lembaga pelaksana, penjaminan dan sasaran strategisnya. Model pemulihan yang tidak jelas dan terbuka seperti ini membuka peluang moral hazard yang tinggi, sehingga dana penjaminan justru potensial dinikmati sejumlah pihak bagian dari oligarki. Peluang moral hazard juga terbuka karena UU Nomor 2/2020 memuat ketentuan (Pasal 22) di mana guna mencegah krisis sistem keuangan, pemerintah dapat membuat program penjaminan di luar program penjaminan simpanan seperti diatur UU LPS. Karena kriteria tak jelas, yang akan dibantu LPS secara full garanteee justru bisa saja bank dan para pengusaha yang kesulitan likuiditas bukan karena pandemi korona. Hal ini akan membuka peluang moral hazard yang kelak akan menjadi beban keuangan negara. Moral hazard pun potensial terjadi karena dihapusnya berbagai ketentuan dalam “ 12 UU yang berlaku saat ini”, seperti ditetapkan dalam Pasal 28 UU Korona. Dengan begitu, banyak peraturan perundangan yang disusun puluhan tahun oleh sejumlah pemerintahan dan DPR sebelumnya, termasuk yang menjadi amanat reformasi, dinyatakan tidak berlaku! Hal ini akan menimbulkan dampak negatif terhadap sistem otorisasi dan tata kelola APBN, keuangan negara dan 62 moneter. Kondisi ini menjadikan kewenangan Presiden sangat besar dan berpotensi menimbulkan abuse of power . Mengingat peran DPR dihilangkan dan pembentukan dan pelaksanaan UU No.2/2020 berada di tangan segelintir orang dalam oligarki kekukasaan yang cenderung pro-pengusaha dan pro-kapitalis, maka ke depan ekonomi dan kehidupan ratusan juta rakyat berada dalam kondisi ketidakadilan dan jauh dari rasa kebersamaan. Indonesia akan berada dalam cengkeraman segelinitr orang dalam oligarki kekuasaan dan para pemilik modal. Pada gilrannya, hal ini akan mengancam kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara Indonesia. Dengan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 28 UU Nomor 2/2020 yang inkonstitusional, maka bukannya terhindar atau bebas moral hazard, UU No.2/2020 justru membuka peluang terjadinya moral hazard dalam pelaksanaan berbagai kebijakan dan program yang berpangkal pada UU tersebut. Dalam hal ini dapat dikatakan pemerintah telah mengawali penanganan pandemi Covid-19 dan dampaknya terhadap permasalahan sosial, keuangan dan perekonomian nasional dengan membuat peraturan yang justru sarat moral hazard! Ternyata saat ini peran oligarki penguasa-pengusaha tetap ada, dan bahkan semakin exist dibanding masa lalu. Atas nama Covid-19, APBN ditetapkan dengan jumlah belanja yang semakin besar karena kebutuhan mengamankan kepentingan para pengusaha. Belanja APBN yang besar ditutup dengan utang yang semakin besar dan tanpa kendali. Dalam hal ini, peran pengusaha dalam oligarki kekuasaan bernuansa moral hazard terasa cukup dominan. Ke depan pola kekuasaan bernauansa moral hazard ini akan berdampak pada kehidupan rakyat yang semakin jauh dari rasa keadilan dan kebersamaan yang diamanatkan Pancasila. Ironi dan nestapa tersebut dapat dicegah jika Mahakamah Konstitusi bisa bekerja bebas “intervensi” memutus gugatan judicial review sejumlah elemen publik terhadap UU Nomor 2/2020, fungsi budget DPR dipulihkan, peran BI dan LPS dijalankan sesuai UU, dan krisis diatasi secara berkeadilan sesuai perintah UU PPKSK, serta pengaruh moral hazard dan dominasi pengusaha dalam oligarki kekuasaan dihilangkan.
Kerugian negara ratusan triliun Rp menangani krisis keuangan 1997-1998 akan terulang. 63 Belajar dari krisis keuangan 1997-1998 dan krisis ekonomi 2008, Pemerintah dan DPR telah melakukan perbaikan dan membangun sistem keuangan yang siap menghadapi krisis sistem keuangan. Upaya perbaikan meliputi penataan kelembagaan, pembentukan dan amendemen UU Nomor 23/1999 tentang BI, pendirian Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sesuai UU Nomor 24/2004 dan pendirian Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sesuai UU Nomor 21/2011. Dibentuk pula UU Nomor 9/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK). UU ini dipersiapkan dalam rangka memenuhi kebutuhan payung hukum untuk mengatur upaya pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan. Jika dicermati, UU BI dibentuk dan dirubah agar BI dapat menjadi lembaga otonom, independen, dan bebas dari campur tangan pemerintah dan pihak-pihak lain, sehingga pengendalian moneter dapat dilakukan efektif dan efisien. Begitu juga dengan UU-UU tentang LPS, OJK dan PPKSK yang dibentuk dalam upaya mewujudkan stabilitas sistem keuangan yang kuat mencegah dan menangani krisis sistem keuangan, termasuk mencegah moral hazard. UU PPKSK Nomor 9/2016 secara spesifik mengatur prinsip-prinsip dalam pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan yang tidak diatur sebelumnya. UU PPKSK mengatur skema bail-in dalam penanganan bank sistemik dengan mengoptimalkan kemampuan bank baik melalui penambahan modal maupun pengubahan utang atau investasi menjadi penyertaan. Saling keterkaitan sektor jasa keuangan menuntut kebijakan makroprudensial yang bersifat melengkapi kebijakan mikroprudensial dan pengawasan sektor keuangan terintegrasi. Ternyata, meskipun berbagai perangkat dan peraturan mengantisipasi dan menangani krisis ekonomi dan keuangan telah tersedia, pemerintahan Jokowi tidak menggubris dan justru dengan sengaja mengeliminasinya! Secara khusus, pemerintah sengaja mengeliminasi peran UU PPKSK dalam Pasal 28 (poin 11) UU Nomor 2/2020. Padahal, berbagai perangkat tersebut disusun setelah belajar dari dampak negatif penanganan krisis eknomi dan keuangan masa lalu. Saat itu penanganan krisis sangat merugikan keuangan negara, dan penyebab utamanya adalah prilaku moral hazard penyelenggara negara dan para pengusaha. Prilaku pemerintah seperti di atas jelas menunjukkan sikap yang lebih berpihak kepada pengusaha yang menjadi bagian oligarki kekuasaan. Karena itu, tak heran jika UU Nomor 2/2020 lebih banyak memuat ketentuan menangani 64 kepentingan pengusaha dan penyelamatan sistem keuangan dan perbankan. Segelintir pengusaha memperoleh bagian yang besar, termasuk insentif fiskal dan pemotongan pajak, sedang ratusan juta rakyat justru tidak mendapat bagian dan penanganan memadai serta berkeadilan dalam hal keselamatan dan jaring pengaman sosial. Kita telah melihat dan merasakan prilaku moral hazard telah mewaranai dan sangat menentukan kehidupan rakyat di masa lalu dengan perekonomian dan beban utang yang sangat besar. Megaskandal BLBI telah meninggalkan utang negara Rp 640 triliun dan akan menjadi beban APBN dan beban rakyat hingga tahun 2033, itu pun jika pokok utang dilunasi. Megaskandal ini tidak dapat dituntaskan meskipun telah ditangani oleh 4 periode pemerintahan, terutama karena kuatnya pengaruh oligarki pengidap moral hazard (lihat Lampiran 2: UU Korona Nomor 2/2020: Melanjutkan Ketidakadilan Modus Megaskandal BLBI). Lampiran 1 Melawan Pelumpuhan DPR Dalam UU Korona Nomor 2/2020! UU Nomor 2/2020 adalah tentang Penetapan Perppu Nomor 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan. UU Nomor 2/2020 diyakini melanggar konstitusi karena bertentangan dengan konstitusi. Salah satu pelanggaran terfatal, dilumpuhkannya hak budget DPR dalam Pasal 23 UUD 1945:
APBN sebagai wujud pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan UU dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
RUU APBN diajukan Presiden untuk dibahas bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD;
Apabila DPR tidak menyetujui R-APBN yang diusulkan Presiden, Pemerintah menjalankan APBN tahun lalu. Tulisan ini membahas ketentuan UU Nomor 2/2020 yang melanggar konstitusi. Dibahas juga motif yang diyakini ada di balik pelanggaran, terutama Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 12 ayat (2). Pertama , pada Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 2/2020 disebutkan pemerintah berwenang menetapkan batasan defisit:
melampaui 3% dari PDB selama masa penanganan COVID-19 dan/atau untuk menghadapi ancaman membahayakan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan paling lama sampai 2022;
sejak 2023 besaran defisit akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% dari PDB; dan, 3) penyesuaian besaran defisit dilakukan bertahap. 65 Pasal 2 UU Nomor 2/2020 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, karena meskipun defisit APBN perlu dinaikkan melebihi 3% dari PDB, DPR sama sekali tidak dilibatkan menentukan batas defisit tersebut. Padahal, persetujuan DPR atas APBN sebagai pemegang hak konstitusional budgeting merupakan cermin kedaulatan rakyat. Jika hak budegt dieliminasi, maka kedaulatan rakyat menentukan APBN pun hilang! Dengan hilangnya hak DPR menentukan defisit, maka nilai maksimum defisit menjadi terbuka tanpa batas. Nilai belanja APBN yang hanya terpusat di tangan pemerintah pun akan ditetapkan nyaris tanpa kontrol. Sehingga, APBN dapat dialokasikan pada program-program pro pengusaha, pro oligarki, tidak prioritas, dan berpotensi moral hazard. Atas nama korona, stabilitas ekonomi dan keuangan, APBN yang sebagian besar ditutup dengan menambah beban utang rakyat, berpotensi diselewengkan dan dikorupsi! Kedua, pada Pasal 12 ayat 2 UU Nomor 2/2020 dinyatakan perubahan postur dan/atau rincian APBN dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara hanya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres). Ini mempertegas niat buruk pemerintah menetapkan APBN secara tunggal, sekaligus menjadi alat menyingkirkan DPR ikut membahas APBN. Pemerintah telah bertindak inskonstitusional dan menghalalkan segala cara. Padahal pada Pasal 23 UUD 1945 disebutkan kedudukan dan status APBN adalah UU yang ditetapkan setiap tahun. RAPBN harus diajukan Presiden untuk dibahas dan disetujui DPR. Dengan pembahasan, terjadi proses check and balances dan APBN dapat pula dialokasikan sesuai prioritas. Ironis, DPR malah menyambut baik UU Korona yang telah melucuti haknya. Terlepas partisipasi DPR dan DPD dalam menetapkan budget mungkin dapat mengurangi kecepatan mengambil keputusan, konstitusi telah menjamin bahwa kedua lembaga memiliki hak ikut membahas dan menetapkan APBN dan APBN-P setiap tahun. Kondisi memaksa yang dipakai melegalkan eliminasi hak DPR seperti diatur Pasal 2 dan Pasal 12 UU Nomor 2/2020 merupakan perbuatan illegal sarat moral hazad. Menurut logika, tidak mungkin konstitusi dibuat sedemikian rupa sehingga ketentuan di dalamnya conflicting satu sama lain, atau bisa saling meniadakan hanya karena adanya satu sebab, seperti kegentingan memaksa Pasal 22 UUD 66 1945. Karena itu banyak kalangan telah menggugat UU Nomor 2/2020 ke Mahkamah Konstitusi, termasuk KMPK. Faktanya, dengan telah ditetapkannya Perppu Nomor 2020 menjadi UU Nomor 2/2020 pada 16 Mei 2020, pemerintah telah menerbitkan Perpres tentang Perubahan UU APBN 2020, yang selama ini dikenal sebagai UU APBN-P sebanyak dua kali, yaitu Perpres Nomor 54/2020 pada 3 April 2020 dan Perpres Nomor 72/2020 pada 24 Juni 2020. Kedua Perpres diterbitkan sewenang-wenang oleh pemerintah dalam kurun waktu tidak sampai 3 bulan, tanpa keterlibatan DPR. Dari kedua Perpres diperoleh biaya penanganan pendemi korona naik dari Rp 405 triliun menjadi Rp 695 triliun. Dana dukuangan bidang usaha (Rp 430T) lebih besar dibanding kesehatan dan jaring pengaman sosial (Rp 291T). Sedangkan defisit APBN naik dari Rp 852 triliun (3,07%) jadi Rp 1039 triliun (6,34%). Karena pandemi, penerimaan negara turun cukup besar dan belanja naik signifikan, sehingga defisit ditutup dengan utang, Rp 1220 triliun. Dalam kondisi keuangan negara yang demikian memprihatinkan, dan mestinya dibahas seluruh lembaga terkait, keputusan justru diambil oleh hanya segelintir pejabat pemerintah. Patut diduga sejumlah lembaga non pemerintah, pengusaha dan konglomerat ikut terlibat mempengaruhi Perpres guna mengamankan kepentingan. DPR sengaja dilumpuhkan agar agenda oligarki yang diduga sarat moral hazard berlangsung mulus. Jika dicermati lebih lanjut, beberapa skandal yang muncul belakangan ini dapat mengkonfirmasi kuatnya peran oligarki dan nuansa moral hazard dalam penyusunan Perpres Nomor 54/2020 atau Nomor 72/2020. Salah satu contoh adalah tentang Program Kartu Prakerja, yang semula mendapat alokasi anggaran berdasar Perpres Nomor 36/2020. Karena banyak protes publik dan temuan penyelewengan KPK, landasan hukum berubah jadi Perpres Nomor 76/2020. Padahal, menjadikan Perpres sebagai landasan legal tanpa adanya rujukan UU merupakan pelanggaran hukum serius. Terjadi rekayasa busuk: uang yang seharusnya diberikan secara utuh kepada rakyat, sebagian malah diberikan tanpa lelang pada 8 provider mitra penyedia pelatihan dengan anggaran Rp1 juta per orang, untuk 5,6 juta orang. Empat di antara provider adalah PMA. Melalui Perpres Nomor 76/2020, pemerintah memaksakan agar sebagian anggaran program dapat dinikmati mitra pelatihan yang sebagian berlatar belakang oligarki! 67 Artinya, program yang berkedok merakyat sebetulnya ditunggangi kepentingan oligarki berburu rente. Padahal modul pelatihan dapat diakses cuma- cuma di internet atau lembaga milik pemerintah. Jika ada empati terhadap penderitaan rakyat terdampak pandemi dan temuan KPK diperhatikan, maka tanpa dituntut program wajar berhenti. Namun karena matinya empati, niat korupsi dan status kebal hukum UU Nomor 2/2020, maka program tetap dilanjutkan. Kasus lain adalah tentang perubahan peran LPS yang wewenangnya ditingkatkan sepihak sesuai PP Nomor 33/2020 melebihi ketentuan dalam UU Nomor 4/2004 tentang LPS. Dengan itu, LPS dapat dimanfaatkan membail-out bank-bank atau perusahaan bermasalah. Pemanfaatan ini akan berjalan lancar karena minimnya prosedur/syarat rujukan dan transparansi. Cara ini mirip megaskandal BLBI, negara menolong bank dan bisnis para pengusaha bermasalah melalui proses yang sarat moral hazard, sehingga mewariskan beban utang besar pada rakyat. Berikutnya adalah pemanfaatan APBN untuk membantu pengusaha melalui dana yang dialokasikan sebagai bantuan UMKM sebesar Rp 123,46 triliun sesuai PP No.23/2020 tentang Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Dana telah diserahkan secara simbolis Rp 1 triliun oleh Presiden Jokowi pada 23 Juli 2020 di Istana Negara. Hal yang dikhawatirkan adalah siapa dan bagaimana cara, syarat serta prosedur bantuan dijalankan, yang minim pengawasan. Konsultasi dan pengawasan oleh DPR tidak optimal, sedangkan dasar kebijakan, peraturan operasional dan syarat pelaksanaan belum tersedia komprehensif dan berpotensi moral hazard. Sehingga, sebagian dana bantuan UMKM dapat berfungsi menjadi dana talangan bagi bank atau kredit macet, termasuk sektor propeti dan kredit lainnya. Padahal kredit macet timbul bukan karena pandemi, tetapi akibat pelanggaran aturan, ignorance, penyimpangan, kegiatan spekulatif, dll. Besarnya dana talangan dapat membesar karena motif untuk luar UMKM. Dalam PP Nomor 23/2020 disebutkan bank peserta meenyediakan dana penyangga liquiditas bagi bank pelaksana yakni bank umum konvensional dan bank syariah. Selain itu bank peserta dapat bertindak sebagai bank pelaksana berfungsi merestrukturisasi kredit dan pembiayaan. Mekanisme seperti ini dapat dianggap sebagai pola talangan atau bailout bank atas nama bantuan UMKM. Bantuan ini 68 tidak mengacu persyaratan kondisi darurat tetapi pada kondisi normal, sehingga bank lebih leluasa mengeruk dana UMKM. Akhirnya, dana bantuan UMKM dapat lebih banyak dinikmati pengusaha besar oligarkis dibanding UMKM. Uraian di atas telah memperlihatkan bagaimana UU Nomor 2/2020 disusun untuk membuka jalan bagi penggunaan APBN pro oligarki yang bernuansa moral hazard. Praktek seperti ini sudah biasa dilakukan para pengusaha berpengalaman dalam berbagai kasus, terutama megaskandal BLBI. Para veteran perampok BLBI ini sangat berpengaruh dan berhasil mengintervensi penguasa untuk menerbitkan Inpres Nomor 8/2002, tentang release and discharge. Dalam buku Skandal BLBI (2008) mantan Menko Ekuin Kwik Kian Gie menceritakan pengalaman betapa kuatnya pengaruh para konglomerat bersama menteri pro-oligarki membahas penyelesaian kasus BLBI pada November- Desember 2002: Ada seorang menteri yang mengatakan supaya jangan main-main dengan para pengusaha pengutang BLBI itu, karena mereka para konglomerat yang sudah bermain di Hongkong dan Singapura dengan jaringannya yang luas. Jadi, mereka sudah merupakan perusahaan multinasional. Akhirnya para konglomerat perampok BLBI memang mendapat status bebas pidana korupsi dari pemerintah yang pro pengusaha melalui Inpres Nomor 8/2002. Mereka ini sekarang tetap berkibar sebagai bagian dari oligarki kekuasaan dan bahkan tumbuh lebih besar. Saat ini, ikatan oligarki penguasa-pengusaha jauh lebih erat dan menentukan dibanding Era Megawati. Buktinya, karpet merah kebijakan dan peraturan bahkan sudah dipersiapkan sejak awal untuk memuluskan agenda para konglomerat, sebelum adanya program! Pada Era Jokowi yang mengusung UU Nomor 2/2020, segalanya mudah bagi oligarki, termasuk melumpuhkan DPR. Bahkan yang dilumpuhkan pun malah senang. Rakyat tak perlu buang waktu untuk heran. Mari bangkit untuk melawan. Lampiran 2 UU Korona Nomor 2/2020: Melanjutkan Ketidakadilan Modus Megaskandal BLBI Salah satu ketentuan yang berpotensi merugikan rakyat dalam UU Korona No.2/2020 adalah tentang perubahan kewenangan Bank Indonesia (BI). Pasal 16 69 (1) UU Korona antara lain memberi BI kewenangan untuk: (a) memberikan pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah kepada Bank Sistemik atau bank selain Bank Sistemik; (b) memberikan Pinjaman Likuiditas Khusus kepada Bank Sistemik yang mengalami kesulitan likuiditas dan tidak memenuhi persyaratan pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah yang dijamin oleh Pemerintah dan diberikan berdasarkan Keputusan KSSK; dan (d) membeli/repo surat berharga negara yang dimiliki Lembaga Penjamin Simpanan untuk biaya penanganan permasalahan solvabilitas Bank Sistemik dan bank selain Bank Sistemik. Ketentuan Pasal 16 (1) UU Korona membuka peluang terjadinya penyelamatan sektor keuangan melalui skema pemberian dana talangan atau bail- out oleh negara. Kebijakan seperti ini tentu tidak adil bagi seluruh rakyat. Segelintir orang atau pemilik bank memperoleh bantuan khusus negara atas nama penyelamatan sektor keuangan dalam kondisi mayoritas rakyat sedang menderita, yang justru jauh lebih layak memperoleh bantuan. Apalagi jika bank-bank tersebut bermasalah akibat berbagai pelanggaran aturan dan prilaku moral hazard para pemilik. Di sisi lain, guna menyelamatkan sektor keuangan yang diakui dapat berdampak sistemik, tersedia mekanisme lebih adil, yaitu melalui skema bail-in. Dalam skema bail-in, pemegang saham atau group bisnis dalam suatu konglomerasi dapat saling bantu menyelamatkan sektor bisnis yang bermasalah. Ketentuan tentang mekanisme bail-in ini pun telah diatur dalam UU No. 9/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK). Para pemilik pemilik bank umumnya konglomerat yang berbisnis dibanyak sektor, sehingga akan mampu dan berkeadilan menerapkan skema bail-in . Namun langkah ini diabaikan. Skema bail-out berpotensi melahirkan skandal penyimpangan kekuasaan keuangan negara atas penanganan krisis yang menimbulkan biaya sangat besar bagi negara. Megaskandal BLBI akibat krisis ekonomi 1997-1998 telah membuat negara menanggung beban Rp640.9 triliun, terdiri dari BLBI Rp144,5 triliun, program penjaminan Rp53,8 triliun, penjaminan Bank Exim Rp 20 triliun dan obligasi rekap perbankan Rp422,6 triliun. Beban negara ini harus ditanggung rakyat secara keseluruhan melalui beban pajak dan inflasi yang berkelanjutan hingga sekarang. 70 Ternyata sebagian besar pengusaha dan konglomerat penikmat kebijakan zolim fasilitas BLBI (termasuk obligasi rekap) saat ini bukan saja survive tetapi bahkan tumbuh jauh lebih besar. Posisi mereka sebagai bagian dari oligarki kekuasaan tetap memperoleh berbabagi fasilitas dan hak istimewa dari pemerintah seperti terjadi sebelumnya, sehingga mereka dapat menguasai dan mencengkeram berbagai sektor ekonomi dan keuangan nasional. Bahkan sebagian konglomerat telah merambah sektor sosial dan politik, sehingga dapat mempengaruhi pembuatan aneka kebijakan, undang-undang dan peraturan pro oligarki, seperti UU No. 2/2020. Kombinasi sejumlah ketentuan dalam UU Korona No. 2/2020, yakni Pasal 16 terkait bail-out, Pasal 20 tentang peran LPS, Pasal 22 tentang penjaminan dan Pasal 28 terkait eliminasi ketentuan dalam 12 UU berlaku, akan berpotensi lahirnya kebijakan penjaminan penuh simpanan nasabah kaya ( blanket guarantee ). Di samping tidak adil, berbagai ketentuan tersebut berpotensi memunculkan moral hazard , termasuk oleh pejabat negara, sehingga dapat menimbulkan terulangnya megaskandal BLBI. Pada Pasal 20 UU No. 2/2020 LPS diberikan kewenangan merumuskan dan melaksanakan kebijakan penjaminan simpanan untuk kelompok nasabah dengan mempertimbangkan sumber dana dan/atau peruntukkan simpanan serta besaran nilai yang dijamin bagi kelompok nasabah tersebut yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pada pasal 22 disebutkan guna mencegah krisis sistem keuangan, pemerintah dapat menyelenggarakan program penjaminan di luar program penjaminan simpanan yang diatur dalam UU tentang LPS. Dengan skema penjaminan penuh ( full guarantee ) maka simpanan konglomerat di perbankan seluruhnya dijamin pemerintah yang berpotensi moral hazard . Menurut BPK tindakan moral hazard penguasa, pengusaha dan konglomerat yang mengkorupsi uang negara pada megaskandal BLBI dilakukan dalam berbagai modus. Laporan BPK No. 06/VII/2000 menyimpulkan terjadi berbagai tindak pidana, sehingga para pelakunya harus diproses secara hukum sebagai berikut: • Penggunaan BLBI di luar kepentingan yang telah ditentukan (yaitu untuk pembayaran dana nasabah), seperti untuk melunasi pinjaman dan kewajiban pembayaran yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya, membayar utang kepada kelompok usahanya sendiri, transaksi surat berharga, melunasi dana 71 pihak ketiga yang melanggar ketentuan, membiayai kontrak derivatif baru, membiayai ekspansi kredit, membiayai investasi dalam bentuk aktiva tetap, dan membiayai overhead (biaya operasional bank). Total penyimpangan yang terjadi adalah senilai R84,84 triliun) atau 58,70% dari jumlah BLBI yang dikucurkan per 29 Januari 1999 (sebesar Rp144,5 triliun); • Pelanggaran BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit), yaitu nilai maksimum kredit yang dapat dikucurkan perbankan pada kelompok usaha sendiri. Pelanggaran BMPK sesuai dengan Pasal 49 ayat (2) jo Pasal 50 juncto Pasal 50 A UU Nomor 10 Tahun 1998, merupakan tindak pidana yang harus diproses hukum; • Pemberian fasilitas oleh BI yang mengizinkan perbankan untuk tetap mengikuti proses kliring walaupun rekening gironya di BI telah bersaldo negatif; • Penggelembungan nilai aset oleh para obligor BLBI untuk menutupi kewajiban yang harus dilunasi dalam skema pola Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham. Salim Group , misalnya, menyatakan nilai seluruh aset yang diserahkan pada 1998 adalah Rp 52 triliun (hal ini diterima oleh konsultan BPPN, yakni Lehman Brothers, PT Danareksa, dan PT Bahana tanpa financial due diligence lebih dulu). Namun, audit PricewaterhouseCoopers pada 2000 ternyata menemukan nilai aset Salim hanya berkisar Rp12 triliun-Rp20 triliun. Temuan BPK di atas menunjukkan tindakan moral hazard dalam megaskandal BLBI, di samping oleh para konglomerat, juga dilakukan pejabat negara baik di BI maupun lembaga terkait lain. BPK juga menemukan berbagai pelanggaran oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sebagai berikut: • Mengonversi BLBI bank-bank take-over (BTO) menjadi penyertaan modal sementara (PMS); • Mengalihkan utang ke bank pemegang saham pengendali melalui pola penyelesaian kewajiban pemegang saham pengendali (PKPS), dengan menandatangani APU; • Memerankan diri sebagai agen dari pihak penerima bantuan dari pada sebagai wakil pemerintah yang berhak menarik bantuan likuiditas yang telah diberikan; • Aset yang dibayarkan berdasar pengakuan penerima BLBI jauh di atas nilai berlaku. Salah satu contoh, aset tambak udang Dipasena, Lampung milik 72 Sjamsul Nursalim diserahkan kepada BPPN dengan nilai Rp20 triliun. Padahal menurut perhitungan Menko Ekiun masa itu, Kwik Kian Gie, nilai pasar tambak Dipasena hanya Rp 2 triliun • Dalam menjual aset yang dibayarkan penerima bantuan dalam rangka mengonversi aktiva tetap menjadi uang kas kerap jauh di bawah nilai pasar. Kasus BLBI merupakan megaskandal karena menyangkut jumlah dana sangat besar, Rp 640 triliun. Para konglomerat penerima BLBI masa orde baru menguasai perekonomian nasional dari hulu sampai hilir. Ternyata saat ini, dominasi mereka bukan hanya pada sektor ekonomi dan keuangan, tetapi juga merambah hampir seluruh aspek kehidupan. Kalau dulu mereka berhasil mempengaruhi pemerintahan Megawati menerbitkan Inpres No. 8/2002 agar bebas pidana, maka pada pemerintahan Jokowi, cengekraman mereka semakin kuat, sehingga mampu berperan dalam pembentukan UU No. 2/2020 yang berpotensi lebih menyengsarakan rakyat. Akibat megaskandal BLBI yang membuat besarnya beban utang negara, maka guna membayar bunga utang, setiap tahun pemerintah harus mengurangi beberapa pos anggaran untuk sektor-sektor mendasar kehidupan rakyat, termasuk untuk pendidikan dan kesehatan. Akibatnya program pos pelayanan terpadu menghilang, biaya berobat naik, atau biaya pendidikan naik dan harga-harga barang/jasa pun naik. Meskipun mungkin terdapat perdebatan atas terjadinya penurunan anggaran kesejahteraan publik di tingkat makro, namun kian beratnya beban hidup menjadikan puluhan juta rakyat tetap hidup susah dan miskin. Salah satu cara untuk mengurangi kemiskinan adalah menegakkan hukum dan keadilan terhadap para koruptor BLBI. Minimal sebagian aset mereka harus disita untuk didistribusikan kepada rakyat melalui mekanisme APBN. Namun, dengan ditetapkannya UU Korona No. 2/2020, kebijakan dan aturan tersebut bukan saja mengulang kesalahan dan kejahatan sarat moral hazard masa lalu yang semakin memihak konglomerat, tetapi malah akan menambah kesengsaraan rakyat dan jumlah orang miskin itu sendiri. Menurut CORE, pada kuartal-2 2020, akibat pendemi korona penduduk miskin Indonesia akan bertambah sesuai skenario moderat 5,1 juta hingga sangat berat 12,2 juta jiwa. Artinya, akhir 2020 jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan menjadi 37,9 juta jiwa (14,35%). Situasi akan semakin parah jika anggaran 73 perlindungan sosial lebih rendah dibanding anggaran pemulihan ekonomi yang ditengarai pro pengusaha, seperti pada megaskandal BLBI. Rakyat pun harus bangkit menolak UU Korona pro oligarki tersebut.
Prof. Anthony Budiawan, M.Sc., CMA. PENDAHULUAN Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) menyebabkan pertumbuhan ekonomi turun, baik ekonomi dunia maupun ekonomi Indonesia. Dampak pandemi Covid-19 terhadap ekonomi bisa sangat serius. Pertumbuhan ekonomi bahkan bisa terkontraksi, artinya pertumbuhan negatif atau minus. Dalam krisis pandemi Covid-19, ada dua peristiwa yang terjadi di mana peristiwa satu menyebabkan peristiwa lainnya. Artinya, dalam hal ini, ada hubungan sebab dan akibat yang sangat jelas. Pandemi Covid-19 adalah penyebab, dan penurunan pertumbuhan ekonomi adalah akibat. Bukan sebaliknya. Artinya, peristiwa pandemi Covid-19 menyebabkan peristiwa pertumbuhan ekonomi turun. Oleh karena itu, berapa besar penurunan pertumbuhan ekonomi sangat tergantung dari berapa parah dan berapa lama penyebaran pandemi Covid-19 berlangsung. Semakin lama peristiwa pandemi Covid-19 berlangsung maka semakin dalam penurunan pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Sebaliknya, apabila penyebaran pandemi Covid-19 dapat segera teratasi, maka penurunan pertumbuhan ekonomi akan lebih ringan. Artinya, penurunan pertumbuhan ekonomi akan terjadi secara gradual seiring berlangsungnya waktu penyebaran dan penanganan pandemi Covid-19. Hubungan sebab-akibat ini juga dinyatakan secara tegas dalam pertimbangan penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem, selanjutnya disebut Perppu No 1/2020, yang ditetapkan pada 31 Maret 2020. Butir Menimbang pada Perppu No 1/2020 menyatakan:
bahwa penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang dinyatakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia ( World Health Organization ) sebagai pandemi pada sebagian besar negara-negara di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu dan telah menimbulkan korban jiwa, dan kerugian material yang semakin besar, sehingga berimplikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat; 74 b. bahwa implikasi pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) telah berdampak antara lain terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan, sehingga diperlukan berbagai upaya Pemerintah untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial (social safety net), serta pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak; Butir Menimbang ini menegaskan bahwa penyebaran Covid-19 merupakan sebab dari perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional. Sedangkan salah satu maksud dan tujuan Perppu Nomor 1/2020 yang tersurat dari judulnya adalah untuk penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Apa yang dimaksud dengan “untuk penanganan pandemi Covid-19” tidak jelas dan tidak diatur sama sekali di dalam Perppu Nomor 1/2020. Tidak ada satu Bab dan Pasal di dalam Perppu Nomor 1/2020 yang mengatur bagaimana menangani Covid-19 yang menjadi sumber permasalahan. Perppu Nomor 1/2020 hanya mengatur tentang penanganan dampak Covid-19 terhadap perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan. Bahwa telah terjadi pandemi Covid-19 yang menimbulkan korban jiwa serta berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi nasional dan kesejahteraan masyarakat adalah sebuah fakta yang tidak terbantahkan. Tetapi, apakah ada hal ihwal kegentingan yang memaksa sehingga Presiden harus menetapkan Perppu Nomor 1/2020 perlu disikapi dan diuji secara lebih hati-hati. Pertama kali diketahui ada pasien terinfeksi Covid-19 di Indonesia pada 2 Maret 2020. Sedangkan pemerintah menetapkan Perppu Nomor 1/2020 pada 31 Maret 2020. Dalam waktu satu bulan, pemerintah menetapkan ada hal ihwal kegentingan yang memaksa sehubungan dengan Covid-19 yang dapat mengancam stabilitas sistem keuangan dan/atau membahayakan perekonomian nasional. Mengingat dampak krisis ekonomi terhadap penurunan ekonomi berlangsung secara gradual, pemerintah seharusnya mempunyai cukup waktu untuk membahas perubahan undang-undang yang perlu diubah bersama DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), misalnya terkait perubahan postur pada anggaran pendapat dan belanja negara, melalui proses normal, melalui pengajuan Rancangan Undang-Undang (RUU). Perlu digaris bawahi, DPR pada tanggal 30 Maret 2020 sudah mulai masuk masa sidang. Menurut pengalaman sebelumnya, pembahasan APBN-P untuk tahun 75 anggaran 2017 hanya memerlukan 24 hari kalender sejak Rancangan APBN-P diterima DPR sampai disetujui, dari 3 Juli 2020 sampai 27 Juli 2007. PANDANGAN UMUM Identifikasi Permasalahan Presiden dapat menetapkan Perppu apabila merasa ada hal ihwal kegentingan yang memaksa atas hal tertentu yang belum ada undang-undangnya, atau ada undang- undangnya tetapi tidak cukup. Dalam hal ini, hal tertentu tersebut adalah kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan nasional. Kemudian, Perppu yang ditetapkan harus disahkan DPR pada masa persidangan berikutnya. Artinya, penetapan Perppu hanya bersifat sementara waktu, yaitu dari tanggal penetapan Perppu sampai tanggal sidang DPR berikutnya. Dalam hal ini, sejak 31 Maret 2020 hingga 12 Mei 2020. Pemerintah khawatir, dalam periode tersebut terjadi permasalahan ekonomi yang tidak bisa ditangani oleh UU yang berlaku, sehingga terdorong menetapkan Perppu. Hal ihwal kegentingan yang memaksa di sini melibatkan dua unsur. Pertama, unsur subjektif Presiden dalam menilai bahwa saat ini tidak ada undang-undang, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai, tentang kebijakan keuangaan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk menangani dampak pandemi Covid-19 terhadap perlambatan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan. Kedua, unsur waktu dan Jumlah di mana dampak pandemi Covid-19 terhadap penurunan pertumbuhan ekonomi dikhawatirkan terjadi dalam waktu cepat, sehingga Presiden tidak bisa menunggu mengubah undang-undang yang dirasa tidak memadai melalui prosedur normal dengan cara mengusulkan Rancangan Undang-Undang kepada DPR untuk dibahas bersama. Krisis Ekonomi Berlangsung Bertahap Perjalanan krisis ekonomi di dunia menunjukkan bahwa krisis ekonomi tidak terjadi secara mendadak bagaikan bencana alam yang bisa mengakibatkan kerusakan seketika. Krisis ekonomi umumnya berlangsung secara bertahap dari waktu ke waktu. Berikut ini diberikan contoh beberapa kasus krisis ekonomi yang dialami Indonesia. Krisis Moneter Asia 1997/1998 krisis moneter Asia berawal dari Thailand pada awal Juli 1997 melalui serangan spekulatif terhadap mata uang baht Thailand, yang kemudian menyebar 76 ke Indonesia, Korea Selatan, Malaysia dan Philipina. Kurs rupiah yang ketika itu menggunakan sistem kurs tetap mendapat serangan spekulatif yang membuat kurs rupiah terdepresiasi tajam. Kurs rupiah terhadap dolar AS pada triwulan III-1997, triwulan IV-1997 dan triwulan I-1998 masing-masing turun 34,5 persen, 69,7 persen dan 56,8 persen: dari Rp 2.431,5 per dolar AS pada 30 Juni 1997 turun menjadi Rp 3.270 per dolar AS pada 30 September 1997, Rp5.550 per dolar AS pada 31 Desember 1997, dan Rp8.000 per dolar AS pada 31 Maret 1998. Krisis sektor finansial berdampak pada perekonomian nasional. Kurs rupiah yang turun tajam membuat banyak perusahaan yang mempunyai utang dalam dolar mengalami gagal bayar dan bangkrut, dan akhirnya menyeret sektor perbankan. Krisis valuta akhirnya menjadi krisis sektor finansial dan krisis ekonomi secara gradual. Pertumbuhan ekonomi pada triwulan III-1997, triwulan IV-1997 dan Triwulan I-1998 masing-masing 5,2 persen, 1,4 persen dan minus 4,9 persen. Indonesia tidak bisa keluar dari krisis valuta ketika itu karena fundamental ekonomi Indonesia sangat lemah. Neraca transaksi berjalan mengalami defisit sangat besar bertahun-tahun lamanya. Dalam kondisi seperti ini, kurs rupiah akan tertekan dan terdepresiasi. Kurs rupiah hanya bisa menguat kalau ada aliran dana (modal atau investasi) asing masuk ke Indonesia untuk membiayai defisit neraca transaksi berjalan tersebut. Aliran dana (modal atau investasi) asing bisa dalam bentuk utang kepada asing (utang luar negeri), penanaman modal asing, atau investasi asing di pasar modal (pasar saham dan pasar surat berharga). Kondisi seperti ini berlangsung cukup lama sehingga uang asing di Indonesia ketika itu terakumulasi sangat besar. Akibatnya, ketika investor dan kreditor asing menarik uangnya kembali secara tiba-tiba maka kurs rupiah terdepresiasi tajam. Dan ini berlanjut terus sampai kondisi cadangan devisa terkuras. Indonesia akhirnya harus mengajukan pinjaman kepada IMF (International Monetary Fund) dan negara asing (bilateral) untuk menutupi keperluan devisa yang ditarik keluar negeri. 77 Krisis Finansial Global 2007/2008 Awal krisis finansial global mulai berkembang sejak April 2007 di sektor kredit perumahan di Amerika Serikat, yang kemudian berkembang menjadi krisis finansial global, meluas ke Eropa dan belahan dunia lainnya pada tahun berikutnya. Pertumbuhan ekonomi dunia mengalami koreksi tajam dari 4,32 persen pada 2007 menjadi 1,85 persen pada 2008 dan minus 1,68 persen pada 2009. Pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat turun tajam dari positif 1,88 persen pada 2007 menjadi minus 0,14 persen pada 2008 dan minus 2,54 persen pada 2009. Pertumbuhan ekonomi Inggris juga turun dari 2,43 persen pada 2007 menjadi minus 0,28 persen pada 2008 dan minus 4,25 persen pada 2009. Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga melemah dari 6,35 persen pada 2007 menjadi 6,01 persen pada 2008, dan kemudian menjadi 4,63 persen pada 2009. Tidak terlalu buruk. Meskipun demikian, pemerintah Indonesia menetapkan tiga Perppu hampir bersamaan waktunya untuk mengantisipasi ancaman stabilitas sektor keuangan. Antara lain menetapkan Perppu No 4 tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) pada 15 Oktober 2008, sebagai payung hukum untuk menyelamatkan sektor keuangan dari ancaman krisis keuangan. Penetapan Perppu No 4/2008 sulit dimengerti mengingat waktu penetapan dan sidang DPR berikutnya sangat berdekatan, hanya selisih 2 bulan. Tidak lama setelah penetapan Perppu, Bank Indonesia memberi pinjaman likuiditas kepada Bank Century yang mempunyai masalah likuiditas, dan dianggap sebagai Bank Sistemik. Artinya, permasalahan Bank Century dapat merembet ke bank lainnya yang bisa mengancam stabilitas sistem keuangan, sehingga harus diselamatkan. Tetapi, ternyata penyelamatan Bank Century merugikan keuangan negara, dan pihak yang bersalah dihukum. Perppu Nomor 4/2008 tidak disetujui oleh DPR dalam pembahasan di sidang Paripurna pada 18 Desember 2008. Sepanjang tahun 2009, sektor keuangan Indonesia baik-baik saja. Pertumbuhan ekonomi 2009 juga cukup tinggi, sebesar 4,63 persen. Keputusan DPR tidak mengesahkan Perppu Nomor 4/2008 menjadi UU ternyata tepat. Dua unsur Kegentingan yang memaksa tidak terpenuhi. Ancaman krisis finansial global secara substansi tidak terbukti membuat sektor keuangan Indonesia 78 runtuh dalam waktu singkat. Dalam hal ini dari sejak tanggal penetapan Perppu Nomor 4/2008 pada 15 Oktober 2008 hingga sidang DPR berikutnya pada 18 Desember 2008. Oleh karena itu, pemerintah seharusnya mengajukan Rancangan Undang-Undang untuk mengisi kekosongan undang-undang atau memperbaiki undang-undang yang ada yang dirasakan kurang memadai. Singkatnya, hal ihwal kegentingan yang memaksa tidak terbukti pada krisis finansial global 2007/2008, dan pendapat subyektif Presiden harus disikapi secara hati-hati. Apalagi di dalam Perppu Nomor 4/2008 dimuat pasal-pasal yang mengatur imunitas atau kekebalan hukum para pejabat pemerintah pelaksana Perppu. Pasal imunitas ini seharusnya menjadi bukti ada iktikad tidak baik dalam melaksanakan Perppu tersebut. Hal ini diperkuat dalam kasus penyelamatan Bank Century ternyata terbukti merugikan keuangan negara. PERMASALAHAN HUKUM DALAM PENETAPAN PERPPU NOMOR 1 TAHUN 2020 Kronologis kasus dan penetapan status Covid-19 di Indonesia. Pada 2 Maret 2020 pemerintah mengumumkan ada dua pasien terinfeksi Covid-19. Pada 17 Maret 2020 Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menetapkan Covid-19 sebagai keadaan tertentu darurat bencana wabah penyakit akibat virus Corona dengan durasi sampai 29 Mei 2020. Nampaknya ada perbedaan penetapan status antara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dengan pemerintah Indonesia. WHO pada 13 Maret 2020 menetapkan Covid-19 sebagai pandemi global. Sedangkan pemerintah Indonesia belum menetapkan status darurat nasional, sebagai tindak lanjut status pandemi global. Pada 31 Maret 2020 pemerintah menetapkan Perppu Nomor 1/2020. Penetapan Perppu Nomor 1/2020 hanya dalam waktu satu bulan setelah kasus pertama Covid-19 diumumkan cukup mengejutkan banyak pihak. Karena sebelumnya pemerintah selalu mengatakan kondisi Indonesia baik-baik saja, dan Indonesia siap menghadapi Covid-19. Mengejutkan karena DPR juga sudah masuk masa persidangan pada 30 Maret 2020 sehingga proses perubahan undang-undang melalui prosedur normal dapat dilakukan. Penetapan Perppu Nomor 1/2020 dirasakan tidak tepat dengan alasan-alasan berikut ini. 79 Covid-19 sebagai Bukan Darurat Nasional Pemerintah tidak pernah menyatakan bahwa Covid-19 merupakan darurat nasional. Oleh karena itu, Covid-19 bukan merupakan bagian dari kegentingan yang memaksa yang menjadi alasan penetapan Perppu Nomor 1/2020. Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa tidak ada satu pasal pun di dalam Perppu Nomor 1/2020 yang mengatur penanganan Covid-19. Penetapan Perppu Nomor 1/2020 menjadi tidak tepat karena tanpa ada upaya penanganan Covid-19 secara benar dan secepat-cepatnya sehingga dampak Covid-19 terhadap ekonomi berpotensi semakin memburuk. Akibatnya, biaya untuk menyelamatkan stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional menjadi tidak menentu. Semakin lama penanganan Covid-19 berlangsung, semakin tinggi biaya krisis ekonomi yang harus ditanggung. Oleh karena itu, pemerintah harus mengintegrasikan kebijakan penanganan Covid- 19 dengan kebijakan ekonomi dengan tujuan memotong mata rantai penyebaran secepat-cepatnya. Ancaman Stabilitas Sistem Keuangan dan Perekonomian Nasional Tidak Tepat sebagai Faktor Kegentingan yang Memaksa Pertama, dalam keadaan mendesak yang mengancam stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional, pemerintah sudah mempunyai perangkat hukum untuk mengatasi itu, sehingga tidak tepat hal ini dijadikan hal ihwal kegentingan yang memaksa untuk menetapkan Perppu Nomor 1/2020. Untuk mengatasi ancaman stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional, pemerintah mempunyai undang-undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU Nomor 9/2016) yang diundangkan pada 15 April 2016. UU Nomor 9/2016 relatif masih baru untuk dapat menjawab tantangan sistem keuangan terkini. UU Nomor 9/2016 khusus dibuat untuk pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan yang mencakup bidang fiskal, moneter, makroprudensial dan mikroprudensial jasa keuangan, pasar keuangan, infrastruktur keuangan, termasuk sistem pembayaran dan penjaminan simpanan, dan resolusi bank [Pasal 3 ayat (2) UU Nomor 9/2016]. Sesuai Penjelasan atas UU Nomor 9/2016, UU ini dibuat untuk memperbaiki dan membangun sistem keuangan yang tangguh dan siap menghadapi krisis sistem 80 keuangan, berdasarkan pengalaman krisis keuangan 1997-1998 dan krisis keuangan global 2008. Selanjutnya, seperti dikutip dari Penjelasan: “Titik berat Undang-Undang ini terletak pada pencegahan dan penanganan permasalahan bank sistemik sebagai bagian penting dari sistem keuangan. Meskipun demikian, pemantauan, pemeliharaan, dan penanganan permasalahan sistem keuangan dilakukan juga terhadap bidang fiskal, moneter, lembaga jasa keuangan, pasar keuangan, dan infrastruktur keuangan, termasuk sistem pembayaran. Hal ini didasarkan pada dua pertimbangan utama. Pertama, permasalahan bank sistemik dapat menyebabkan gagalnya sistem pembayaran yang mengakibatkan tidak berfungsinya sistem keuangan secara efektif dan berdampak langsung pada jalannya roda perekonomian. Kedua, sebagian besar dana masyarakat saat ini dikelola oleh sektor perbankan, khususnya bank sistemik, dan perlu dijaga keamanannya dari kemungkinan kegagalan bank. Pencegahan dan penanganan permasalahan pasar keuangan dan lembaga jasa keuangan lain dilaksanakan oleh lembaga sesuai dengan wewenang yang diatur dalam Undang-Undang mengenai perbankan, perasuransian, pasar modal, surat utang negara, Lembaga Penjamin Simpanan, Otoritas Jasa Keuangan, dan Bank Indonesia.” Oleh karena itu, pemerintah lebih tepat menggunakan UU Nomor 9/2016 untuk mencegah dan menangani krisis sistem keuangan, sehingga Perppu Nomor 1/2020 tidak tepat untuk menangani ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan. Pasal 6 huruf c UU Nomor 9/2016 menjelaskan bahwa KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan) berwenang menetapkan kriteria dan indikator untuk penilaian kondisi Stabilitas Sistem Keuangan. Artinya, pemerintah senantiasa memantau kondisi Stabilitas Sistem Keuangan sehingga dapat mendeteksi kondisi Stabilitas Sistem Keuangan sejak awal dan menyiapkan solusi penanganan yang tepat. Dengan demikian, tidak ada unsur keterdesakan yang dapat dikategorikan kegentingan yang memaksa yang membuat pemerintah menetapkan Perppu Nomor 1/2020. Hingga Perppu Nomor 1/2020 ditetapkan pada 31 Maret 2020, masyarakat tidak mendengar stabilitas sistem keuangan dalam kondisi krisis. Sehingga seharusnya Perppu Nomor 1/2020 tidak memenuhi persyaratan kegentingan yang memaksa. 81 Hal ini diperkuat dengan pernyataan Kepala Eksekutif LPS, salah satu anggota KSSK, pada 20 Maret di media dengan judul Ada Corona, LPS Pastikan Likuiditas Sektor Keuangan RI Aman . ( https: //www.cnbcindonesia.com/market/ ri-aman ). Kemudian, Bank Indonesia, juga sebagai salah satu anggota KSSK, pada 20 Maret 2020 menyatakan Stabilitas sistem keuangan tetap terjaga, meskipun fungsi intermediasi perbankan terus menjadi perhatian . Oleh karena itu, penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 bertentangan dengan pernyataan dua anggota KSSK bahwa stabilitas sistem keuangan dan perekonomian Indonesia masih terjaga dan aman. Dengan kata lain, tidak ada kegentingan memaksa. Penyesuaian Fiskal dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tidak Tepat sebagai Faktor Kegentingan yang Memaksa Kedua, Covid-19 membuat asumsi dasar dan postur APBN 2020 melenceng. Realisasi APBN 2020 diperkirakan akan menyimpang dari target. Oleh karena itu, pemerintah merasa perlu melakukan perubahan APBN untuk tahun anggaran (TA) 2020. Sehubungan dengan Covid-19, pemerintah memilih melakukan perubahan postur APBN (APBN-P) tahun anggaran 2020 melalui penetapan Perppu No 1/2020. Sebenarnya sudah ada mekanisme UU yang mengatur perubahan APBN. Pasal 27 ayat (3) UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Nomor 17/2003) membolehkan pemerintah melakukan penyesuaian APBN dengan kondisi perekonomian terkini. Pasal 27 ayat (4) mengatur kondisi darurat: dalam keadaan darurat pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran. UU Nomor 20 Tahun 2019 tentang APBN Tahun Anggaran 2020 (UU Nomor 20/2019) juga memuat mekanisme penyesuaian APBN TA 2020 secara lebih detil, yang harus disampaikan dalam Rancangan Undang-Undang mengenai Perubahan atas UU APBN Tahun Anggaran 2020. Pasal 41 UU Nomor 20/2019 mengatur mekanisme perubahan anggaran dalam keadaan darurat, di mana, dalam hal ini, DPR harus memberikan persetujuan dalam waktu 1 kali 24 jam setelah disampaikan pemerintah. 82 Oleh karena itu, dari unsur waktu, tidak ada alasan yang memadai untuk menetapkan Perppu Nomor 1/2020. Perppu ditetapkan ketika ada kondisi kegentingan yang memaksa, atau darurat. Sedangkan kondisi darurat ini sudah diatur dalam undang-undang tentang Keuangan Negara, khususnya UU Nomor 20/2019, termasuk persetujuan dari DPR yang harus diberikan dalam waktu 1 kali 24 jam. Selanjutnya, pembahasan perubahan APBN juga dapat dilakukan cukup cepat sehingga tidak diperlukan Perppu untuk melakukan perubahan APBN. Hal ini terbukti pada pembahasan Perubahan APBN Tahun Anggaran 2017 yang hanya memerlukan waktu 24 hari kalender. RUU Perubahan APBN diajukan presiden pada 3 Juli 2017 dan disahkan DPR pada 27 Juli 2017. http: //www.anggaran. kemenkeu.go.id/dja/edef-konten-view.asp?id=1291 Untuk dimensi jumlah, alasan kegentingan yang memaksa juga tidak terpenuhi. Target defisit anggaran pada APBN 2020 ditetapkan Rp 307 triliun, atau setara 1,8 persen dari PDB. Menurut UU Keuangan Negara, defisit anggaran boleh mencapai 3 persen dari PDB. Artinya, defisit anggaran pada APBN 2020 bisa ditingkatkan menjadi Rp513 triliun. Jumlah ini seharusnya cukup untuk membiayai APBN hingga RUU Perubahan APBN disahkan melalui prosedur normal. Hal ini juga terbukti, defisit anggaran sampai akhir Juni 2020 hanya Rp257,8 triliun. Jauh lebih rendah dari target defisit anggaran APBN 2020 (Rp307 triliun) maupun target defisit anggaran yang dibolehkan oleh UU (Rp513 triliun). Adapun defisit anggaran sampai Juli dan Agustus 2020 masing-masing Rp330,2 triliun dan Rp500,5 triliun. Masih dalam jangkauan batasan defisit yang dibolehkan menurut UU Keuangan Negara. Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan tidak ada hal ihwal kegentingan yang memaksa yang menjadi prasyarat penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020. Sebagai konsekuensi, Perppu bisa cacat hukum karena melanggar prasyarat Pasal 22 ayat (1) UUD NRI: Tidak ada kebutuhan mendesak; Tidak ada kekosongan hukum (kecuali batas defisit anggaran 3 persen dari PDB); Kekosongan hukum batas defisit anggaran ini dapat diatasi dengan membuat UU melalui prosedur normal. Bahaya Penetapan Perppu Nomor 1/2020 Terhadap Perekonomian Nasional dan Stabilitas Sistem Keuangan Perubahan APBN 2020 dilakukan melalui penetapan Perppu Nomor 1/2020 untuk tujuan tertentu. Pertama untuk menaikkan batas defisit anggaran maksimal 3 persen dari PDB seperti diatur di dalam UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara 83 menjadi defisit anggaran tidak terbatas selama 3 tahun masing-masing untuk anggaran 2020, 2021 dan 2022. Kedua, Perppu Nomor 1/2020 menghapus beberapa pasal dari UU lain seperti tercantum pada pasal 28 butir 1 hingga butir 12. Sedangkan Perppu Nomor 1/2020 akan berlaku permanen setelah disahkan menjadi UU nomor 2 Tahun 2020. Sebagai contoh, • Bank Indonesia boleh seterusnya membeli surat berharga negara di pasar primer akibat Pasal 55 ayat (4) UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang melarang pembelian tersebut dihapus. • APBN tidak perlu lagi terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan dan jenis belanja karena Pasal 15 ayat (5) UU Nomor 17/2003 yang mengharuskan rincian APBN dihapus. • Pemerintah dapat memberikan pinjaman dan/atau hibah kepada pemerintah daerah dan pemerintah/lembaga asing tanpa mendapat persetujuan DPR, karena pasal yang mengatur persetujuan sudah dihapus. • Dan masih banyak lainnya. Begitu juga dengan Pasal 27 Perppu Nomor 1/2020 akan berlaku permanen. Mengakibatkan para pejabat KSSK dan pengguna anggaran APBN tidak bisa dituntut secara perdata maupun pidana serta tidak bisa digugat di peradilan tata usaha negara, dan semua biaya yang telah dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara. Implikasi Pasal 28 Perppu Nomor 1/2020 Perppu Nomor 1/2020 menghapus banyak pasal-pasal dari berbagai undang- undang lainnya seperti tercantum pada Pasal 28 Perppu Nomor 1/2020. Penghapusan pasal-pasal tersebut mempunyai implikasi bahwa Perppu Nomor 1/2020 berpotensi melanggar undang-undang yang mempunyai hierarki lebih tinggi dari Perppu secara umum, yaitu Undang-Undang Dasar dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR), karena pasal-pasal yang dihapus tersebut sebenarnya penjabaran atau pelaksanaan dari Undang-Undang Dasar atau TAP MPR. 84 Penghapusan pasal-pasal tersebut juga membahayakan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan. Karena Perppu Nomor 1 Tahun 2020 bukan mengisi kekosongan hukum. Melainkan menghapus peraturan (pasal) terkait ekonomi dan keuangan yang awalnya harmonis menjadi disharmonis. Karena penghapusan peraturan (pasal) tersebut bersifat permanen. PEMBAHASAN PASAL-PASAL PADA PERPPU NOMOR 1 TAHUN 2020 Sehubungan dengan Covid-19, pemerintah perlu menetapkan kebijakan keuangan negara dan kebijakan stabilitas sistem keuangan, yang tertuang dalam Perppu Nomor 1/2020. Di bawah ini membahas pasal-pasal sehubungan dengan kedua kebijakan tersebut dan potensi bertentangan dengan UUD, TAP MPR atau dengan UU lainnya.
Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1 Perppu Nomor 1/2020 Pemerintah berwenang menetapkan batasan defisit anggaran melampaui 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB)...… paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022. Pendapat Defist anggaran melampaui 3% dari PDB berarti boleh melampaui tanpa batas. Defisit anggaran tanpa batas bisa membahayakan perekonomian nasional dan keuangan negara. Defisit anggaran berarti pemerintah harus menarik utang baru. Utang pemerintah saat ini sudah sangat besar. Pembayaran bunga pinjaman sangat membebani belanja negara, sehingga rakyat dirugikan karena anggaran belanja untuk kepentingan rakyat jauh berkurang. Hal ini bisa bertentangan dengan Pasal 23 UUD NRI agar pemerintah mengelola keuangan negara untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat . Rasio beban bunga terhadap penerimaan pajak tahun 2019 mencapai 17,9 persen. Rasio ini jauh lebih besar dari rasio menurut prinsip kehati-hatian berdasarkan patokan IMF ( International Monetary Fund ) sebesar 10 persen. Kalau penambahan utang pemerintah melonjak tinggi akibat batas defisit dibuat tanpa batas, rasio beban bunga pinjaman terhadap penerimaan pajak akan naik pesat, sehingga dapat membahayakan ketersediaan anggaran belanja negara untuk kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, defisit anggaran boleh melampaui 3 persen dari PDB tidak bisa diterima karena tanpa ada batasan yang jelas yang dapat membahayakan keuangan negara dan perekonomian nasional. 85 Terkait unsur waktu, batasan defisit anggaran dalam persentase tertentu seharusnya hanya terbatas untuk tahun 2020 saja, mengingat kegentingan yang memaksa yang menjadi dasar penetapan Perppu Nomor 1/2020, yaitu Pasal 22 ayat (1) UUD NRI, harus diatasi secepatnya sesuai persyaratan penetapan Perppu. Artinya, Covid-19 seharusnya sudah dapat diatasi dalam tahun ini, sehingga kondisi kegentingan yang memaksa menjadi tidak relevan lagi pada tahun depan, dan oleh karena itu kondisi fiskal APBN bisa menjadi normal kembali. Sementara itu, untuk tahun-tahun berikutnya, pemerintah bisa menempuh cara wajar dalam pembentukan undang-undang sesuai yang diatur Pasal 20 UUD NRI dengan mengajukan rancangan undang-undang apabila merasa perlu mengubah peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini karena masih banyak waktu untuk membuat perubahan undang-undang yang dapat digunakan mulai tahun 2021. Kesimpulan:
Defisit anggaran melampaui 3 persen dari PDB selama tiga tahun bertentangan dengan Pasal 22 ayat (1) UUD NRI di mana unsur kegentingan yang memaksa, khususnya dimensi waktu, tidak terpenuhi.
Defisit anggaran melampaui 3 persen dari PDB selama tiga tahun tanpa perlu mendapat persetujan DPR bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD NRI di mana APBN harus ditetapkan setiap tahun dengan persetujuan DPR. Penetapan APBN tanpa persetujuan DPR termasuk praktek pengelolaan keuangan negara yang dapat membahayakan perekonomian nasional sehingga unsur untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tidak terpenuhi seperti dimaksud Pasal 23 ayat (1).
Penetapan defisit anggaran tanpa persetujuan DPR melanggar Pasal 20A UUD NRI karena memangkas wewenang DPR yang diberikan UUD: Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. 2. Pasal 2 ayat (1) huruf c Perppu Nomor 1/2020 Pengelolaan anggaran dan keuangan negara sepatutnya harus terinci sampai unit organisasi, fungsi, dan program seperti berulang kali ditegaskan dalam undang- undang lainnya, seperti Pasal 180 ayat (6) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 86 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020. Penghapusan pasal-pasal tersebut di atas yang mewajibkan anggaran disusun sampai unit organisasi, fungsi, dan program pada hakekatnya menghalangi peran dan fungsi BPK sebagai pemeriksa keuangan negara yang ditugaskan oleh UUD NRI. Pasal 9 ayat (1) huruf b menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugasnya, BPK berwenang meminta keterangan dan/atau dokumen yang wajib diberikan oleh setiap orang, unit organisasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara; Dengan tidak ada rincian anggaran sampai unit organisasi, fungsi dan program, maka BPK tidak bisa memeriksa setiap pihak yang mengelola keuangan negara, sehingga BPK tidak bisa menjalankan fungsi dan tugasnya sesuai perintah UU BPK dan UUD NRI. __ Di lain pihak, Pasal 11 ayat (5) UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mewajibkan belanja negara dirinci menurut organisasi, fungsi dan jenis belanja. Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 juga mewajibkan Anggaran Belanja Pemerintah Pusat dikelompokkan menurut fungsi, organisasi, dan program. Kedua pasal ini masih berlaku karena tidak dihapus di dalam Perppu Nomor 1/2020. Sebagai tindak lanjut Perppu Nomor 1/2020, pemerintah sudah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 (Perpres Nomor 54/2020) beserta Lampirannya. Di dalam Postur Perubahan APBN 2020 tersebut, tidak ada rincian anggaran sampai organisasi, fungsi, dan program. Dalam hal ini, pemerintah melalui menteri keuangan mendapat wewenang yang sangat besar sekali, bahkan dapat dikatakan wewenang absolut, dalam menggunakan anggaran. • Hal ini tersurat di dalam Perpres Nomor 54/2020 di mana Menteri Keuangan dapat menetapkan perubahan atas rincian Perubahan Postur APBN TA 2020 (Pasal 3 ayat (2)) secara sepihak, tanpa perlu mendapat persetujuan DPR. Perubahan atas rincian Perubahan Postur APBN TA 2020 tidak sampai unit 87 organisasi, fungsi, dan program mengakibatkan BPK tidak dapat menjalankan fungsi dan tugasnya sebagaimana perintah UUD. Berdasarkan peraturan perundang-undangan, dalam kondisi apapun, pemerintah tidak bisa menghilangkan fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan DPR serta tidak bisa menghilangkan fungsi dan tugas BPK, seperti yang diamanatkan UUD NRI. Kesimpulan:
Penghapusan rincian anggaran sampai unit organisasi, fungsi, dan program bertentangan dengan Pasal 20A ayat (1) dan Pasal 23E ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI karena membuat BPK tidak bisa melaksanakan tugasnya sesuai Pasal 9 ayat (3) UU Nomor 15/2006 tentang BPK.
Pasal 2 ayat (1) huruf d melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban APBN, yang anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut belum tersedia atau tidak cukup tersedia, serta menentukan proses dan metode pengadaan barang/jasa. Penentuan proses dan metode pengadaan barang dan jasa harus sesuai, dan tidak boleh bertentangan, dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Terkait hal ini, kasus Kartu Prakerja sudah menuai kontroversi dan keresahan di masyarakat. Kartu Prakerja adalah bantuan nontunai dari pemerintah kepada para pihak yang tidak bekerja, atau kepada pihak yang tertarik, untuk digunakan mengikuti pelatihan dengan tujuan meningkatkan kompetensi. Untuk melaksanakan tugas ini, pemerintah bekerja sama dengan rekanan atau mitra untuk pelatihan online (Platform Digital). Kontroversi dan keresahan disebabkan pertama, dari mana sumber anggaran untuk membiayai Kartu Prakerja tersebut. Karena tidak ada rincian anggaran sampai unit organisasi, fungsi dan program akibat dihapus di Perppu Nomor 1/2020, maka BPK akan kesulitan melaksanakan pemeriksaan sampai ke pengelola anggaran sesuai standar pemeriksaan keuangan negara. Kedua, proses pemilihan rekanan atau mitra kerjasama pemerintah dengan 8 platform digital mengandung kontroversi dan tercium aroma KKN yang dilarang di dalam TAP MPR. Kalau pemberian bantuan nontunai adalah hak penerima sesuai kriteria yang ditetapkan, maka pemerintah tidak ada hak lagi untuk mengatur bagaimana penerima atau pemilik nontunai membelanjakan bantuan nontunai 88 tersebut. Terlebih, pemerintah tidak bisa menjalin kerjasama dengan mitra 8 platform dengan mengatasnamakan pihak penerima bantuan nontunai. Perjanjian seperti ini tidak ada dasar hukumnya dan menjadi tidak sah. Kecuali pemerintah mengatakan bantuan nontunai adalah dalam bentuk barang/jasa. Dalam hal ini, pemerintah bisa mengadakan perjanjian kerjasama dengan mitra pemilik 8 platform digital. Sebagai konsekuensi, biaya Kartu Prakerja dan pemilihan mitra dapat diperiksa oleh BPK dan dapat dinilai apakah ada kerugian negara dalam pelaksanaan kerjasama tersebut. Dalam hal ini, mitra juga bisa diperiksa apakah terjadi mark-up yang merugikan keuangan negara. Implikasi Pasal 2 ayat (1) huruf d adalah pemberian wewenang yang sangat besar kepada pemerintah karena dapat melakukan pengeluaran meskipun anggarannya belum cukup tersedia atau tidak tersedia, bahkan dapat menentukan proses dan metode pengadaan barang/jasa. Wewenang yang tidak terkontrol ini bertentangan dengan fungsi DPR seperti tercantum di Pasal 20A ayat (1) UUD NRI dan BPK seperti tercantum di Pasal 23E ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI.
Pasal 2 ayat (1) huruf f Pemerintah berwenang menerbitkan Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) untuk dapat dibeli oleh Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), investor korporasi, dan/atau investor ritel; Di dalam PERPPU 1/2020 harus dijelaskan tujuan tertentu yang di maksud dalam “penerbitan surat utang negara/surat berharga syariah negara dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Covid-19”, sehingga tujuan tertentu tersebut tidak berkembang menjadi banyak tujuan tertentu. Pertama, menurut Pasal 55 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (UU 23/1999), yang dihapus bersamaan dengan terbitnya PERPPU 1/2020, Bank Indonesia dilarang membeli surat-surat utang negara untuk diri sendiri di pasar primer, kecuali surat utang negara berjangka pendek yang diperlukan oleh Bank Indonesia untuk operasi pengendalian moneter. Pelarangan pembelian surat- surat utang negara oleh BI di pasar primer sangat penting untuk menjaga independensi BI sesuai perintah Pasal 9 Ketetapan MPR Nomor XVI/MPR/1998 (TAP MPR XVI/MPR/1998) dan Pasal 23D UUD NRI. 89 Pasal 9 TAP MPR XVI/1998 berbunyi: Dalam rangka pengelolaan ekonomi keuangan nasional yang sehat. Bank Indonesia sebagai Bank Sentral harus mandiri, bebas dari campur tangan pemerintah dan pihak luar lainnya dan kinerjanya dapat diawasi dan dipertanggungjawabkan. Pasal 23D UUD NRI berbunyi: Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang. Pelaksanaan kedua pasal di atas menghasilkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang mandiri, bebas dari campur tangan pemerintah, dan independen. Nilai-nilai tersebut dicapai melalui Pasal 55 ayat (4) UU Nomor 23/1999 tersebut. Yaitu, Bank Indonesia dilarang membeli untuk diri sendiri surat- surat utang negara kecuali di pasar sekunder. Independensi Bank Indonesia dicapai antara lain melalui pemisahan kebijakan moneter dari kebijakan fiskal yang menjadi tujuan utama Pasal 55 ayat (4) UU 23/1999. Penghapusan Pasal 55 ayat (4) di dalam Perppu Nomor 1/2020 membuat BI boleh membeli surat-surat utang negara secara langsung untuk diri sendiri di pasar primer membuat BI menjadi tidak independen lagi. Pembelian surat utang negara di pasar sekunder oleh BI merupakan bagian dari pelaksanaan tugas dalam menjalankan kebijakan moneter. Kalau BI boleh, dan dipaksa, membeli surat utang negara di pasar primer maka BI kehilangan independensi yang dapat membahayakan kebijakan moneter nasional. Pada hakekatnya, penerbitan surat utang negara oleh pemerintah adalah domein kebijakan fiskal. Sedangkan pembelian surat-surat utang negara oleh BI merupakan domein kebijakan moneter. Pembelian surat utang negara oleh BI secara langsung dari pemerintah di pasar primer berarti BI tidak independen lagi dalam menjalankan kebijakan moneternya. Terlebih lagi bahwa batasan defisit anggaran dalam Perppu Nomor 1/2020 dibuat tanpa batas ( melampaui 3% artinya bisa sebesar-besarnya) sehingga membahayakan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan. Kebijakan moneter yang tidak independen berdampak negatif terhadap perekonomian nasional. 90 Alasan BI hanya boleh beli surat berharga negara di pasar sekunder agar BI dapat membeli surat berharga negara tersebut sesuai kebutuhan dalam melaksanakan kebijakan moneter yang menjadi tanggung jawabnya. Dengan kata lain, sesuai mandat TAP MPR XVI/MPR/1998 dan UUD NRI. Sebagai konsekuensi, Pasal 2 ayat (1) butir f Perppu Nomor 1/2020 merupakan kemunduran luar biasa pada sektor keuangan pasca krisis 1998, dan mengantar kembali ke sistem moneter era Orde Baru yang turut menjadi penyebab utama terjadinya krisis ekonomi 1997/1998 dan timbulnya kasus bermasalah BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Peru digaris bawahi, Perppu Nomor 1/2020 memberi dampak BI boleh membeli surat utang negara di pasar primer untuk jangka waktu tidak terbatas, sehingga kebijakan dan peraturan undang-undang ini menjadi permanen. Mengingat Perppu Nomor 1/2020 diterbitkan karena ada kegentingan yang memaksa, maka implikasi kebijakan menjadi permanen bertentangan dengan alasan diterbitkannya Perppu Nomor 1/2020 yang bersifat sementara. Oleh karena itu, Pasal 2 ayat (1) huruf f Perppu No 1/2020 bertentangan dengan Pasal 9 TAP MPR XVI/MPR/1998 dan Pasal 23D UUD NRI.
Pasal 2 ayat (1) huruf g Pemerintah berwenang menetapkan sumber-sumber pembiayaan Anggaran yang berasal dari dalam dan/atau luar negeri. Sumber pembiayaan terkait penanganan Covid-19 harusnya diperoleh dari dalam negeri, mengingat utang luar negeri pemerintah khususnya, dan utang luar negeri Indonesia secara keseluruhan, sudah dalam tingkat mengkhawatirkan, dan memberi kontribusi besar terhadap instabilitas sistem keuangan dan moneter dewasa ini. Menurut pedoman IMF, batas utang luar negeri yang aman tidak melebihi 30 persen dari PDB. Rasio utang luar negeri Indonesia meningkat terus, mencapai 36,13 persen dari PDB pada akhir 2019. Rasio utang luar negeri terhadap ekspor juga dalam kondisi mengkhawatirkan, mencapai sekitar 242 persen pada akhir 2019. Yang lebih mengkhawatirkan, rasio ini meningkat tajam dalam satu tahun terakhir, dari 210 persen pada 2018 menjadi 242 persen pada 2019. Peningkatan rasio ini menunjukkan kemampuan Indonesia dalam memenuhi kebutuhan mata uang asing untuk membayar utang luar negeri semakin lemah, dan dapat memicu krisis valuta dan mengakibatkan nilai tukar rupiah terdepresiasi tajam, seperti yang terjadi pada 91 awal April 2020 yang lalu di mana kurs rupiah sempat tembus Rp17.000 per dolar AS, yang merupakan kurs terendah sepanjang masa. Anjloknya kurs rupiah membuat harga impor untuk bahan baku, bahan setengah jadi dan barang modal naik. Oleh karena itu, pembatasan utang luar negeri menjadi sangat penting untuk menyelamatkan perekonomian nasional dan stabilitas moneter di waktu yang akan datang, sesuai BAB IV Butir A angka 2 huruf g TAP MPR X/MPR/1998 dan Pasal 10 TAP MPR XVI/MPR/1998. BAB IV Butir A angka 2 huruf g TAP MPR X/MPR/1998 Membentuk sistem pengawasan dan pemantauan utang luar negeri baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun dunia usaha. Pasal 10 TAP MPR XVI/MPR/1998 Seluruh pinjaman luar negeri Pemerintah harus memperkuat perekonomian nasional dilaksanakan oleh Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dan dimasukan kedalam rencana anggaran tahunan. Oleh karena itu, pembiayaan anggaran seharusnya dari dalam negeri. Sumber pembiayaan dari luar negeri harus sepertujuan DPR sesuai TAP MPR tersebut di atas. Artinya, Pasal 2 ayat (1) huruf g bertentangan dengan TAP MPR di atas. Belum lama berselang, pemerintah sudah menerbitkan surat utang senilai 4,3 miliar dolar AS pada 7 April 2020. Selain itu, Bank Indonesia sudah mengikat perjanjian fasilitas repo (repurchase agreement Line) dengan lembaga asing the Federal Reserve, Bank Sentral Amerika Serikat, senilai 60 miliar dolar AS. Fasilitas repo adalah semacam fasilitas kredit beragunan jangka pendek. Kedua peristiwa tersebut sudah melanggar kedua TAP MPR di atas serta Pasal 11 ayat (2) UUD NRI, karena harus mendapat persetujuan DPR terlebih dahulu.
Pasal 11 Inti Pasal 11 Perpu Nomor 1/2020 adalah pemerintah menjalankan program pemulihan ekonomi nasional, dapat dilaksanakan melalui Penyertaan Modal Negara (PMN), penempatan dana dan/atau investasi Pemerintah, dan/atau kegiatan penjaminan dengan skema yang ditetapkan oleh Pemerintah. PMN dilakukan melalui BUMN yang ditunjuk. Penempatan dana dan/atau investasi Pemerintah dapat dilakukan langsung oleh Pemerintah dan/atau melalui lembaga keuangan, manajer investasi, dan/atau lembaga lain yang ditunjuk. 92 Pasal 24 ayat (7) UU Nomor 17/2003 sudah mengatur, untuk penyelamatan perekonomian nasional, Pemerintah (Pusat) dapat memberikan pinjaman dan/atau melakukan penyertaan modal kepada perusahaan swasta setelah mendapat persetujuan DPR . Oleh karena itu, penyertaan modal atau pinjaman kepada perusahaan swasta tanpa mendapat persetujuan DPR seperti di maksud Pasal 11 Perppu Nomor 1/2020 bertentangan dengan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Pasal 20A ayat (21) UUD NRI mengenai fungsi pengawasan DPR.
Pasal 12 ayat (1) Pelaksanaan kebijakan keuangan negara dan langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 11 dilakukan dengan tetap memperhatikan tata kelola yang baik. “Memperhatikan tata kelola yang baik” tidak berarti dapat menghilangkan tugas pengawasan dan pemeriksaan dari badan yang berwenang sesuai UUD NRI, yaitu DPR RI dan BPK RI. Sebaliknya, Pasal 27 Perppu Nomor 1/2020 yang memberi kekebalan (imunitas) hukum kepada semua pihak yang disebut dalam pasal tersebut jelas menunjukkan intensi tata kelola keuangan yang tidak baik , dan bertentangan dengan muatan materi pasal 12 ayat (1).
Pasal 13 Penggunaan anggaran dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara dan langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 12 dilaporkan Pemerintah dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat. Berdasarkan UUD NRI, BPK wajib memeriksa Laporan Keuangan Pemerintah Pusat, serta menyatakan apakah ada kerugian negara akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara. Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 15/2006 tentang BPK BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara. 93 Pasal ini merupakan penjabaran dari Pasal 23E UUD NRI mengenai fungsi dan wewenang BPK sehingga pelanggaran atas Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 15/2006 tentang BPK juga akan melanggar Pasal 23E UUD NRI.
Pasal 16 ayat (1) huruf a Bank Indonesia diberikan kewenangan untuk memberikan pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah kepada Bank Sistemik atau bank selain Bank Sistemik. Penyelamatan bank yang mempunyai masalah likuiditas maupun solvabilitas seharusnya menggunakan UU Nomor 9/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan. Tetapi, Bank Indonesia kemudian memainkan peran lebih aktif terkait pencegahan dan Penanganan krisis sistem keuangan menimbulkan banyak tanda tanya. Tetapi, praktek pemberian pinjaman dan pembiayaan likuiditas seperti dimaksud dalam Perppu Nomor 1/2020 ini bertentangan dengan status independensi Bank Indonesia sesuai amanat Pasal 23D UUD NRI (dan TAP MPR XVI/MPR/1998). Selain itu, praktek pemberian pinjaman dan pembiayaan likuiditas seperti dimaksud dalam Perppu Nomor 1/2020 juga merupakan langkah mundur dalam pengelolaan sektor moneter dan keuangan Indonesia, dan membawa kembali ke dalam praktek Orde Baru di mana Bank Indonesia bisa langsung memberi pinjaman atau pembiayaan likuiditas kepada bank (sistemik atau selain sistemik), yang kemudian berakhir dengan penyalahgunaan BLBI tahun 1998 sebesar Rp138 triliun dari total pinjaman BLBI Rp144,5 triliun. Untuk menjaga agar peristiwa ini tidak terulang, maka dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan sebagai lembaga independen untuk menilai dan memutuskan mekanisme pemberian pinjaman kepada bank sistemik maupun tidak sistemik (dan membebankan kepada APBN). Praktek Bank Indonesia kembali ke Orde Baru dapat membahayakan sistem moneter dan keuangan Indonesia sehingga melanggar Pasal 23 ayat (1) UUD NRI.
Pasal 16 ayat (1) huruf b Bank Indonesia diberikan kewenangan memberikan Pinjaman Likuiditas Khusus kepada Bank Sistemik yang mengalami kesulitan likuiditas dan tidak memenuhi persyaratan pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan 94 likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah yang dijamin oleh Pemerintah dan diberikan berdasarkan Keputusan KSSK. Pasal ini mengatur BI dapat memberi pinjaman kepada bank yang pada prinsipnya mempunyai masalah solvabilitas, yaitu keadaan (mendekati) bangkrut . Wewenang ini sangat rawan disalahgunakan seperti peristiwa BLBI 1998 dan Bank Century 2008. Bank Century ketika itu menghadapi masalah solvabilitas tetapi akhirnya dipaksakan untuk diselamatkan dengan mengubah berbagai peraturan. Seperti diketahui bersama, pinjaman likuiditas ini ternyata disalahgunakan dan merugikan keuangan negara. Atas pembelajaran kasus Bank Century 2008 dan kasus BLBI 1998, maka dibuat Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan. Tetapi, UU yang masih relatif baru tersebut tidak digunakan dalam menghadapi ancaman stabilitas sistem keuangan. Hal ini mengundang tanda tanya, dan seharusnya pemerintah konsistem menerapkan UU Nomor 9/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan. Penyelamatan bank adalah domein kebijakan fiskal, sehingga BI seharusnya tidak ikut campur untuk mempertahankan independensinya. Bank Indonesia hanya dapat memberi pinjaman likuiditas kepada Bank bermasalah dengan membeli surat berharga bank bersangkutan. Pemerintah dapat memberi pinjaman kepada Bank bermasalah melalui penerbitan surat berharga setelah mendapat persetujuan DPR. Bank bermasalah dapat menjual surat berharga negara tersebut kepada Bank Indonesia. Oleh karena itu, Pasal 16 ayat (1) huruf a dan huruf b bertentangan dengan UU yang mewajibkan Bank Indonesia sebagai bank sentral yang independen sesuai amanat Pasal 23D UUD NRI. Untuk menghadapi kondisi krisis perbankan, hal tersebut diatur Pasal 33 UU BI dan UU Nomor 9/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan.
Pasal 16 ayat (1) huruf c Bank Indonesia diberikan kewenangan membeli Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara berjangka panjang di pasar perdana untuk penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, 95 termasuk Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Lihat penjelasan butir 4 di atas untuk Pasal 2 ayat (1) huruf f. Sebenarnya, Pasal 16 ayat (1) huruf c ini juga bertentangan dengan pasal 4 ayat (2) UU Nomor 23/1999 tentang Bank Indonesia yang menjelaskan bahwa Bank Indonesia harus bebas independen dan bebas dari campur tangan pemerintah atau pihak lain. Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 1999 Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-undang ini. Berdasarkan uraian diatas, pasal 16 ayat (1) huruf c bertentangan dengan Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 23/1999, bertentangan dengan Pasal 9 TAP MPR XVI/MPR/1998 serta bertentangan dengan Pasal 23D UUD NRI, untuk membangun Bank Indonesia yang independen dan bebas campur tangan pemerintah dan/atau pihak lain.
Pasal 19 ayat (1) Lihat penjelasan pada butir 9 (Pasal 16 ayat (1) huruf a), butir 10 [Pasal 16 ayat (1) huruf b, butir 11 (Pasal 16 ayat (1) huruf c)] di atas.
Pasal 20 ayat (1) huruf b angka 2 dan angka 3 Pasal 20 ayat (1) huruf b angka 2 dan angka 3 yang memberi wewenang LPS untuk menerbitkan surat utang dan meminjam kepada pihak lain bertentangan dengan Pasal 85 UU Nomor 24/2004 tentang LPS yang mengatur: • Dalam hal LPS mengalami kesulitan likuiditas, LPS dapat memperoleh pinjaman dari Pemerintah. • Dalam hal modal LPS kurang dari modal awal, Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menutup kekurangan tersebut. Pasal 20 ayat (1) huruf b angka 2 dan angka 3 berpotensi menghilangkan wewenang DPR sehingga bertentangan dengan Pasal 20A UUD NRI. 96 Pasal 85 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2004 Dalam hal modal LPS kurang dari modal awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1), Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menutup kekurangan tersebut. Pasal 85 ayat (2) UU Nomor 24 Tahun 2004 Dalam hal LPS mengalami kesulitan likuiditas, LPS dapat memperoleh pinjaman dari Pemerintah.
Pasal 27 ayat (1) Pasal 27 ayat (1) Perppu 1/2020 menyatakan bahwa semua biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara. Berdasarkan Pasal 23E ayat (1) UUD NRI, BPK ditugaskan oleh konstitusi untuk memeriksa pengelolaan keuangan negara secara bebas dan mandiri, dalam kondisi apapun termasuk pengelolaan keuangan negara ketika ada bencana alam seperti bencana alam tsunami Aceh atau bencana gempa-tsunami Sulawesi Tengah. Kemudian, BPK harus dapat memberi penilaian dan/atau penetapan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh semua pihak penyelenggara pengelolaan keuangan negara. Hasil pemeriksaan BPK atas pengelolaan keuangan negara harus diserahkan kepada DPR, salah satu alasan karena DPR harus melaksanakan fungsi pengawasan sesuai Pasal 20A ayat (1) UUD NRI. Oleh karena itu, pasal 27 ayat (1) Perppu Nomor 1/2020 bertentangan dengan Pasal 23E dan Pasal 20A UUD NRI. Pasal ini juga bertentangan dengan TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme, khususnya Pasal 3 ayat (3) bahwa upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dilakukan secara tegas dengan melaksanakan secara konsisten undang-undang tindak pidana korupsi, dan Pasal 4 yang menegaskan bahwa upaya pemberantasan 97 korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat, dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia. Pasal 27 ayat (1) bertentangan dengan UU No 31/1999, Pasal 3 ayat (3) dan Pasal 4 TAP MPR XI/MPR 1998, dan Pasal 23E UUD NRI. Pasal 7A UUD NRI secara tegas menyatakan bahkan Presiden dan Wakil Presiden dapat diberhentikan dari jabatannya apabila, antara lain, terlibat korupsi. Artinya pengelolaan keuangan negara harus bersih dan bebas korupsi, sehingga semua biaya harus dapat dipertanggung jawabkan, dan diperiksa oleh BPK.
Pasal 27 ayat (2) KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kasus BLBI 1998 dan Bank Century 2008 dapat menjadi pelajaran bahwa di dalam krisis justru pengawasan pengelolaan keuangan negara harus diperketat karena kondisi krisis dapat dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Pasal 27 ayat (2) terkait erat dengan pasal 27 ayat (1). Kalau Pasal 27 ayat (1) gugur dan BPK dapat melakukan pemeriksaan terhadap semua pihak pengelola anggaran negara, dan BPK dapat menilai atau menetapkan kerugian negara apabila ada, maka Pasal 27 ayat (2) secara otomatis akan gugur juga. Pasal 27 ayat (2) Perppu 1/2020 di atas bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD NRI: Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal ini juga bertentangan dengan Pasal 28D UUD NRI: Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. 98 Pasal ini juga bertentangan dengan UU 31/1999 yang memuat materi bahwa setiap orang , termasuk pegawai negeri dan korporasi, yang melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Selanjutnya, moral kekuasaan tidak boleh diserahkan pada niat, itikad ataupun sifat- sifat pribadi seseorang yang kebetulan sedang memegangnya. Iktikad baik tidak bisa membuat seseorang mendapat keistimewaan hukum dan kebal hukum baik secara perdata maupun pidana. Iktikad baik hanya bisa menjadi pertimbangan dalam menetapkan tingkat hukuman.
Pasal 27 ayat (3) ….
Pasal 28 Pasal 28 angka 1 sampai dengan 12 memuat daftar pasal-pasal yang dihapus di 12 undang-undang lainnya. Penghapusan pasal-pasal di 12 undang-undang tersebut membuat Perppu Nomor 1/2020 bertentangan dengan UUD NRI. Karena undang- undang tersebut merupakan penjabaran atau pelaksanaan dari UUD NRI, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sedangkan materi muatan pada pasal- pasal yang dihapus merupakan inti dari penjabaran dan pelaksanaan UUD dimaksud. Misalnya, undang-undang tentang Bank Indonesia merupakan pelaksanaan perintah secara langsung dari Pasal 23D UUD NRI. Undang-Undang tentang Bank Sentral yang kemudian dinamakan Bank Indonesia tidak boleh bertentangan dengan Pasl 23D UUD NRI tersebut. Artinya, Bank Indonesia harus independen, yang independensinya diatur di dalam undang-undang tentang Bank Indonesia (bank sentral) tersebut. 99 Pasal 28 angka 2: Dampak Penghapusan Pasal pada UU Lainnya Penghapuasan Pasal 55 ayat (4) UU Nomor 23/1999 Pasal yang mengatur independensi Bank Indonesia terletak di Pasal 55 ayat (4) dan ayat (5) UU Nomor 23/1999 tentang Bank Indonesia. Yaitu:
Bank Indonesia dilarang membeli untuk diri sendiri surat-surat utang negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kecuali di pasar sekunder.
Perbuatan hukum Bank Indonesia membeli surat utang negara untuk diri sendiri tidak di pasar sekunder sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dinyatakan batal demi hukum. Independensi Bank Indonesia dicapai melalui pemisahan kebijakan moneter dan kebijakan fiskal. Penerbitan surat utang negara (di pasar primer) oleh pemerintah merupakan bagian dari kebijakan fiskal. Sedangkan pembelian surat utang negara di pasar sekunder oleh BI merupakan bagian dari kebijakan moneter Bank Indonesia. Surat utang negara yang beredar di pasar sekunder sudah tidak terkait lagi dengan kebijakan fiskal, tetapi bisa berpengaruh terhadap tingkat suku bunga. Oleh karena itu Bank Indonesia berwenang melakukan pembelian surat utang negara di pasar sekunder untuk memberi pengaruh antara lain terhadap tingkat suku bunga. Penghapusan pasal 55 ayat (4) UU Nomor 23/1999 ini membuat Bank Indonesia tidak independen lagi, karena fungsi moneter Bank Indonesia menjadi bagian dari instrumen kebijakan fiskal pemerintah karena BI dalam kondisi tertentu “dipaksa” membeli surat utang negara di pasar primer (perdana). Oleh karena itu, penghapusan Pasal 55 ayat (4) UU Nomor 23/1999 bertentangan dengan Pasal 23D UUD NRI. Dampak Bank Indonesia boleh seterusnya membeli surat berharga negara di pasar primer akibat Pasal 55 ayat (4) UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang melarang pembelian tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 28 butir 3: Penghapusan Pasal 15 ayat (5), Pasal 22 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), dan Pasal 28 ayat (3) dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 100 Pasal 15 ayat (5) dihapus: APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Penghapusan pasal ini mengakibatkan APBN tidak perlu terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Sedangkan pengelola anggaran ada di satuan detil sampai unit organisasi, fungsi, program, kegiatan dan jenis belanja. Prosedur pengelolaan anggaran negara juga ada di stauan detil tersebut. Penghapusan pasal ini membuat BPK tidak bisa melaksanakan tugasnya secara bebas dan mandiri sesuai perintah Pasal 23E ayat (1) UUD NRI. Akibatnya, BPK tidak bisa menyerahkan hasil pemeriksaan pengelolaan keuangan negara kepada DPR, DPD atau DPRD, sesuai Pasal 23E ayat (2) UUD NRI. Akibatnya, DPR tidak bisa melakukan fungsi pengawasan yang menjadi tugasnya sesuai Pasal 20A ayat (1) UUD NRI. [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat menyampaikan keterangan dalam persidangan secara daring tanggal 15 Oktober 2020 dan menyerahkan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 10 Desember 2020 yang pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut: A. KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) PARA PEMOHON 1. Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) para Pemohon dalam Pengujian Secara Formil Terkait kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon dalam pengujian undang-undang secara formil, DPR RI memberikan pandangan dengan berdasarkan 2 (dua) batasan kerugian konstitusional yang disimpulkan dari Pertimbangan Hukum dalam Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 27/PUU- VII/2009, yaitu:
Para Pemohon merupakan perorangan yang telah melaksanakan hak pilih sebagai pemegang kedaulatan yang telah memberikan kepercayaan dan mandat kepada wakil sebagai fiduciary duty dalam pemilihan umum;
Berdasarkan uraian kedudukannya, Pemohon Badan Hukum Perkara 37 dan para Pemohon Badan Hukum Perkara 75 yang merupakan Badan Hukum tentunya tidak memiliki hak dan/atau kewenangan untuk turut serta dalam pemilihan umum. 101 2) Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 34 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Pemilih adalah Warga Negara Indonesia yang sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin. Oleh karena itu, Pemohon Badan Hukum Perkara 37 dan para Pemohon Badan Hukum Perkara 75 telah jelas tidak dapat membuktikan bahwa telah memberikan kepercayaan dan mandat kepada anggota DPR RI masa keanggotaan periode tahun 2014-2019 karena Pemohon Badan Hukum Perkara 37 dan para Pemohon Badan Hukum Perkara 75 bukanlah perorangan yang telah melaksanakan hak pilih sebagai pemegang kedaulatan yang telah memberikan kepercayaan dan mandat kepada wakil sebagai fiduciary duty dalam pemilihan umum 3) Para Pemohon Perorangan Perkara 37, para Pemohon Perkara 43, dan para Pemohon Perorangan Perkara 75 dalam perbaikan permohonannya tidak memberikan uraian argumentasi sebagai perorangan yang telah melaksanakan hak pilih sebagai pemegang kedaulatan dalam Pemilihan Umum. Selain itu, para Pemohon tersebut diatas juga tidak melampirkan bukti-bukti keikutsertaannya dalam Pemilihan Umum dan menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan anggota DPR RI sebagai bentuk pemberian mandat kepada wakil sebagai fiduciary duty . Hal ini menunjukkan bahwa para Pemohon tersebut tidak memahami kedudukan hukumnya sebagai perseorangan warga negara yang memiliki hak konstitusional sebagai pemberi mandat dalam Pemilihan Umum dan tidak memperhatikan ketentuan dalam pengujian undang-undang secara formil.
Para Pemohon mempunyai hubungan pertautan yang langsung dengan Undang-Undang yang dimohonkan 1) Bahwa terkait dengan pengajuan pengujian UU a quo secara formil, para Pemohon secara keseluruhan tidak menguraikan pertautannya. Namun dapat dipahami dalam uraian dalil-dalilnya, para Pemohon hanya menyatakan bahwa UU a quo telah menimbulkan ketidakpastian hukum, melahirkan penafsiran yang ambigu, tidak jelas dan multitafsir serta berpotensi menghambat pemenuhan hak-hak konstitusional para Pemohon dan warga negara pada umumnya. 102 2) Meskipun demikian, para Pemohon tidak memberikan uraian yang berkaitan dengan pertautannya secara langsung terhadap UU a quo yang dimohonkan pengujiannya secara formil. Dengan demikian telah jelas, tidak terdapat keterkaitan secara langsung antara Para Pemohon Perkara 37, para Pemohon Perkara 43, dan para Pemohon Perkara 75 dengan UU a quo, sehingga para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam pengujian formil UU a quo terhadap UUD NRI Tahun 1945. Terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon Perkara 37, para Pemohon Perkara 43, dan para Pemohon Perkara 75 dalam pengujian formil, DPR RI memohon kepada Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi agar benar-benar menilai apakah Para Pemohon tersebut memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam pengajuan Permohonan perkara-perkara a quo sesuai dengan parameter kerugian hak dan/atau kerugian konstitusional dalam pengajuan permohonan pengujian formil undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana disebutkan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Pertimbangan Hukum pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009.
Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) para Pemohon dalam Pengujian Secara Materiil Terkait kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon dalam pengujian undang-undang secara materiil, DPR RI memberikan pandangan dengan berdasarkan 5 (lima) batasan kerugian konstitusional yang tercantum dalam __ Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011/PUU-V/2007 sebagai berikut:
Perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 Bahwa para Pemohon Perkara 37 mendalilkan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diatur dalam ketentuan Pasal 23 ayat (1), Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Terhadap hal tersebut, DPR RI menerangkan bahwa ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mengatur mengenai APBN yang jelas-jelas tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan Warga Negara. Sehingga ketentuan ini tidak memiliki pertautan hak dan/atau 103 kewenangan konstitusional para Pemohon Perkara 37. Bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon Perkara 37 sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 28C ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 tidak terciderai dengan berlakunya ketentuan pasal-pasal yang dimohonkan pengujiannya karena para Pemohon Perkara 37 tetap dapat memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya. Terkait dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, para Pemohon Perkara 37 juga tetap mendapatkan haknya atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Bahwa Para Pemohon Perkara 37 mendalilkan diri sebagai pembayar pajak ( tax payer ), oleh karenanya DPR RI mengutip pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 40/PUU-XVI/2018 pada paragraf [3.7] sebagai berikut: …menurut Mahkamah, para Pemohon sebagai pembayar pajak (tax payer) tidak serta merta memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam mengajukan setiap permohonan pengujian undang-undang. Para Pemohon dapat memiliki kedudukan hukum (legal standing) apabila para Pemohon dapat menjelaskan adanya keterkaitan logis dan causal verband bahwa pelanggaran hak konstitusional atas berlakunya undang-undang yang diuji adalah dalam kaitannya dengan status para Pemohon sebagai pembayar pajak (tax payer) memang menunjukkan kerugian yang nyata . Dalam permohonan a quo , para Pemohon perkara 37 dituntut bukan hanya sekedar menyatakan dirinya sebagai pembayar pajak ( tax payer ), tetapi terkait statusnya sebagai pembayar pajak harus dijelaskan adanya keterkaitannya secara logis dengan kerugian konstitusional para Pemohon Perkara 37 yang diakibatkan dengan berlakunya pasal-pasal a quo . Terkait dengan ketentuan UUD NRI Tahun 1945 yang oleh para Pemohon perkara 37 dipertentangkan dengan ketentuan dalam UU a quo , para Pemohon perkara 37 tidak mengurai pertautan antara keduanya demikian pula terkait dengan pertautannya dengan para Pemohon perkara 37. Maka semakin tidak jelas adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon terkait dengan pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dan keberadaan hubungan sebab akibat ( causal 104 verband ) antara dalil kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon perkara 37 dengan ketentuan pasal-pasal a quo yang dimohonkan pengujiannya.
Perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020 Bahwa para Pemohon perkara 42 tidak konsisten dalam menyebutkan batu uji yang digunakan dalam pengujian pasal-pasal a quo dalam uraian kedudukan hukumnya dengan ketentuan UUD NRI Tahun 1945 yang tertulis dalam bagian Pokok Permasalahan. Lebih lanjut, dalam uraian permohonannya, para Pemohon perkara 42 mempertentangkan ketentuan pasal-pasal a quo dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), (2), (3), dan Pasal 23A UUD NRI Tahun 1945 yang sama sekali tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional warga negara. Terkait dengan kerugian hak konstitusionalnya yang dijamin dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, para Pemohon perkara 42 tidak menguraikan bentuk konkrit (aktual) maupun potensial atas kerugian konstitusional yang didalilkan tersebut dengan diri para Pemohon perkara 42 dan justru para Pemohon Perkara 42 banyak menyampaikan asumsi-asumsi dan kekhawatirannya atas pemberlakuan pasal-pasal a quo terhadap negara yang jelas sangat mengada-ada. Selain itu, para Pemohon perkara 42 tidak dapat menunjukkan adanya pertautan secara langsung dengan ketentuan pasal-pasal a quo sehingga tidak jelas sebab akibat atas dalil kerugian konstitusional yang didalilkan para Pemohon perkara 42 dengan berlakunya ketentuan pasal-pasal a quo .
Perkara Nomor 43/PUU-XVIII/2020 Bahwa para Pemohon perkara 43 tersebut masing-masing tidak berdiri dalam posisi yang jelas atas kepentingan siapakah para Pemohon perkara 43 hendak mengemukakan kerugian konstitusionalnya. Selain itu, para Pemohon perkara 43 dalam permohonannya tidak mampu menjelaskan secara spesifik dalam hal apa para Pemohon perkara 43 dirugikan dengan keberlakuan pasal UU a quo tersebut terhadap diri para Pemohon perkara 43 maupun terhadap profesi para Pemohon perkara 43. Bahwa para Pemohon perkara 43 dalam permohonannya tidak mampu menjelaskan secara spesifik dalam hal apa para Pemohon perkara 43 105 dirugikan dengan keberlakuan pasal a quo tersebut terhadap diri para Pemohon perkara 43 maupun terhadap profesi para Pemohon perkara 43 sehingga tidak jelas pula hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian konstitusional yang didalilkan oleh para Pemohon perkara 43 dengan pasal-pasal a quo yang dimohonkan pengujiannya terhadap UUD NRI Tahun 1945.
Perkara Nomor 45/PUU-XVIII/2020 Bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (2), Pasal 20 ayat (1), Pasal 20A ayat (1),Pasal 23, Pasal 23E, Pasal 24, Pasal 24A ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang dijadikan batu uji oleh Pemohon perkara 45 tidak mengatur mengenai hak konstitusional warga negara, melainkan mengatur mengenai bentuk dan kedaulatan negara, kekuasaan pemerintah, tugas dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat, hal keuangan negara, kelembagaan BPK, Kekuasaan Kehakiman, tanggung jawab negara dalam mengelola keuangan negara yang ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang untuk dapat dilaksanakan secara terbuka dan untuk kemakmuran rakyat, dan kewajiban warga negara untuk menjunjung hukum dan pemerintahan tanpa terkecuali. Oleh karena itu, tidaklah relevan untuk dijadikan sebagai batu uji dalam Permohonan a quo . Bahwa dalam Permohonan a quo , Pemohon perkara 45 tidak menguraikan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon perkara 45 yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Pemohon perkara 45 hanya menyatakan hak Pemohon sebagai rakyat dalam memantau Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan Kekuasaan Kehakiman dapat menjalankan tugas dan fungsinya, tanpa menjelaskan kerugian spesifik apa yang ditimbulkan dari berlakunya ketentuan pasal-pasal a quo . Sehingga jelas kerugian yang didalilkan oleh Pemohon perkara 45 hanya merupakan asumsi tanpa adanya pertautan dengan hak konstitusional Pemohon perkara 45.
Perkara Nomor 47/PUU-XVIII/2020 Bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 telah ditetapkan menjadi undang-undang yakni UU a quo , artinya 106 substansi di dalamnya telah dibahas dan disetujui antara Pemerintah bersama dengan DPR dan telah dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Bahwa ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional melainkan mengatur mengenai penetapan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban APBN. Salah satu fungsi yang dimiliki oleh DPR adalah fungsi anggaran dengan tugas dan wewenang berupa pemberian persetujuan atas RUU tentang APBN yang diajukan oleh Presiden. UU APBN tersebut kemudian dilaksanakan secara terbuka oleh Pemerintah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Para Pemohon perkara 47 mendalilkan dengan berlakunya pasal a quo , berpotensi dana desa dihentikan, dengan demikian jelas kerugian yang didalilkan tersebut hanya asumsi para Pemohon perkara 47, karena kenyataannya dana desa tetap ada meskipun selama penanganan pandemi Covid-19 ini besarannya dikurangi karena adanya kebijakan pengalihan mandatory expenses yang diamanatkan oleh UU Desa.
Perkara Nomor 49/PUU-XVIII/2020 Bahwa Pemohon Perkara 49 menyatakan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1), (2) dan (3) serta Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 namun dalam uraian Positanya, Pemohon perkara 49 mendalilkan ketentuan pasal a quo bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Meskipun demikian, DPR menerangkan bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional warga Negara. Ketentuan Pasal 1 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mengatur mengenai Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik, kedaulatan berada di tangan rakyat, Indonesia adalah Negara hukum dan APBN sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Bahwa Pemohon perkara 49 dalam perbaikan permohonannya menguraikan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional 107 berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang jelas-jelas tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan warga negara. Selain itu, Pemohon perkara 49 tidak menguraikan kerugian konsitusionalnya berdasarkan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dan hanya mendalilkan pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Pemohon perkara 49 juga sama sekali tidak menyampaikan argumentasi tentang pertentangan antara pasal yang dimohonkan pengujian dengan pasal-pasal yang menjadi dasar pengujian dalam UUD NRI Tahun 1945. Oleh karena itu, telah sangat jelas Pemohon perkara 49 tidak memiliki hak dan/atau kewenangan kontitusional yang dirugikan dengan berlakunya UU 2/2020. Bahwa Pemohon perkara 49 dan banyak menguraikan mengenai asumsi- asumsinya atas pengaturan yang terdapat dalam pasal a quo , maka DPR RI menerangkan tidak terdapat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon perkara 49 yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi pada Pemohon perkara 49, maka jelas tidak terdapat hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.
Perkara Nomor 75/PUU-XVIII/2020 Bahwa mayoritas para Pemohon perkara 75 mengajukan kembali Permohonan 51/PUU-XVIII/2020 yang telah ditarik kembali pada tanggal 19 Agustus 2020 dan Mahkamah Konstitusi sudah menerbitkan Ketetapan Putusan Nomor 51/PUU-XVIII/2020 yang diucapkan pada tanggal 27 Agustus 2020. Para Pemohon perkara 75 berdalil bahwa dapat mengajukan kembali permohonan yang telah ditarik sebelumnya tersebut karena sudah dilakukan perubahan dalam isi materi permohonan sehingga tidak mempunyai kesamaan dalam permohonan sebelumnya baik dalam permohonan pengujian formil maupun materiil yang diajukan sehingga Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa dan mengadilinya. Terhadap dalil tersebut, DPR RI memberikan pandangan bahwa berdasarkan ketentuan dalam Pasal 35 Undang- 108 Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan: ayat (1) “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan”. ayat (1a) “Dalam hal pemohon menarik kembali Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Panitera Mahkamah Konstitusi menerbitkan Akta Pembatalan Registrasi Permohonan dan memberitahukan kepada Pemohon disertai dengan pengembalian berkas Permohonan”. ayat (2) “Penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Permohonan tidak dapat diajukan kembali”. Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa Permohonan yang sudah ditarik kembali dan sudah diputus tidak dapat diajukan kembali. Selain itu, setelah melihat isi dari permohonan para Pemohon Perkara 75, baik dari segi formil maupun materiil memiliki materi permohonan yang sama dengan permohonan sebelumnya yang sudah ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan penarikan kembali permohonan perkara Nomor 51/PUU-XVIII/2020 tersebut oleh para Pemohon perkara Nomor 51/PUU-XVIII/2020, yang merupakan mayoritas para Pemohon perkara 75. Walaupun para Pemohon perkara 75 memberikan tambahan batu uji Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 27 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 namun batu uji Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 tersebut tidak mengatur mengenai hak konstitusional warga negara. Begitupun halnya dengan tambahan batu uji Pasal 27 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, ketentuan yang ada pada UU __ a quo tidak menghalangi para Pemohon perkara 75 untuk mendapatkan hak konstitusionalnya berupa pekerjaan dan penghidupan yang layak. Sehingga tidaklah tepat jika para Pemohon perkara 75 masih mengajukan permohonan yang sama dengan permohonan yang sudah ditarik kembali dan ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi. Bahwa para Pemohon perkara 75 juga mendalilkan diri sebagai pembayar pajak ( tax payer ), oleh karenanya DPR RI mengutip pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 40/PUU-XVI/2018 pada paragraf [3.7] sebagai berikut: 109 …menurut Mahkamah, para Pemohon sebagai pembayar pajak (tax payer) tidak serta merta memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam mengajukan setiap permohonan pengujian undang-undang. Para Pemohon dapat memiliki kedudukan hukum (legal standing) apabila para Pemohon dapat menjelaskan adanya keterkaitan logis dan causal verband bahwa pelanggaran hak konstitusional atas berlakunya undang-undang yang diuji adalah dalam kaitannya dengan status para Pemohon sebagai pembayar pajak (tax payer) memang menunjukkan kerugian yang nyata . Dalam permohonan a quo , para Pemohon perkara 75 dituntut bukan hanya sekedar menyatakan dirinya sebagai pembayar pajak ( tax payer ), tetapi terkait statusnya sebagai pembayar pajak harus dijelaskan adanya keterkaitannya secara logis dengan kerugian konstitusional para Pemohon perkara 75 yang diakibatkan dengan berlakunya pasal-pasal a quo . Bahwa terkait dengan kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon, DPR RI memberikan pandangan selaras dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam sidang Pleno MK terbuka untuk umum pada tanggal 15 Juni 2016, yang pada pertimbangan hukum [3.5.2] MK menyatakan bahwa menurut Mahkamah: ... dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’ interest point d’ action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (RV) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “ tiada gugatan tanpa hubungan hukum” ( no action without legal connection ). Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon secara materiil, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai apakah para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional. 110 B. PANDANGAN UMUM DPR 1. Penyebaran Covid-19 terus meluas di seluruh dunia yang didorong oleh mobilitas manusia. Hingga akhir Februari 2020, penyebaran Covid-19 secara global telah mencapai 86.000 kasus dengan jumlah kematian hampir 3.000 orang. Pandemi Covid-19 yang menyebar secara cepat dan mengancam kesehatan publik, mendorong negara-negara untuk mengambil berbagai langkah pencegahan yang ekstrim. Salah satu langkah kebijakan yang diambil hampir semua negara adalah pelarangan atau pembatasan perjalanan ( travel ban/restriction ), penutupan perbatasan, serta memperketat lalu lintas manusia antar wilayah/negara. Di dalam skala domestik, beberapa negara memberlakukan lockdown yakni penutupan wilayah dan penghentian segala aktivitas publik kecuali yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan pangan dan medis. Physical distancing serta karantina mandiri termasuk dengan memindahkan aktivitas kantor, belajar, dan beribadah di rumah juga diimplementasikan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Berbagai kegiatan yang bersifat pengumpulan massa dikurangi atau bahkan dilarang dengan pengawasan ketat dari aparat hukum. Di Indonesia, Pemerintah memberlakukan status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dan menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sejak tanggal 31 Maret 2020. Sebelumnya, Pemerintah juga telah memberlakukan larangan penerbangan termasuk dari dan ke Tiongkok, membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, memberlakukan kebijakan physical distancing , serta menetapkan status keadaan darurat bencana Covid-19. Berbagai himbauan termasuk menganjurkan dan bahkan melarang masyarakat untuk tidak melakukan pulang kampung termasuk dalam rangka mudik Hari Raya Idul Fitri 1441 Hijriah telah dilakukan. Anjuran untuk meningkatkan pola hidup bersih dan sehat juga terus digencarkan. Penyebaran Covid-19 yang terjadi secara cepat dan eksponensial dikhawatirkan juga tidak dapat diimbangi dengan ketersediaan fasilitas kesehatan serta tenaga medis yang ada, sehingga bisa berujung pada krisis kesehatan. Langkah-langkah tersebut diimplementasikan dengan dasar bahwa kesehatan dan keselamatan masyarakat adalah prioritas. Namun demikian, langkah-langkah 111 tersebut menimbulkan penurunan aktivitas ekonomi yang cukup signifikan.
Bentuk perlindungan yang diberikan oleh negara tidak sebatas perlindungan dari ancaman fisik namun juga perlindungan terhadap keseluruhan aspek kehidupan dan keselamatan 269 juta jiwa penduduk Indonesia. Negara harus mampu menjaga ketahanan seluruh elemen bangsa dari segala ancaman yang membahayakan negara dan masyarakat. Dengan segala sumber daya yang ada, kita harus mewujudkan ketahanan negara yang kokoh dari segala ancaman, termasuk ancaman terhadap perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan yang menimbulkan implikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat.
Bahwa penyebaran pandemi Covid-19 yang memberikan dampak dan mengancam pertumbuhan ekonomi Indonesia antara lain karena menurunnya penerimaan negara serta ketidakpastian ekonomi global, memerlukan kebijakan dan langkah-langkah luar biasa di bidang keuangan negara termasuk di bidang perpajakan dan keuangan daerah, dan sektor keuangan, yang harus segera diambil Pemerintah dan lembaga-lembaga terkait guna mengatasi kondisi mendesak tersebut dalam rangka penyelamatan kesehatan, perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja kesehatan, jaring pengaman sosial (social safety net), serta pemulihan dunia usaha yang terdampak. Oleh karena itu, diperlukan perangkat hukum yang memadai untuk memberikan landasan yang kuat bagi Pemerintah dan lembaga-lembaga terkait untuk pengambilan kebijakan dan langkah-langkah dimaksud.
Bahwa berdasarkan ketentuan dalam Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan: “ Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang ”. Mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, parameter kegentingan yang memaksa dalam rangka penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang antara lain: - karena adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan _masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; _ 112 - Undang-Undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau tidak memadainya Undang-Undang _yang saat ini ada; dan _ - Kondisi kekosongan hukum yang tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa yang memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. 5. Bahwa Perppu 1/2020 telah dikeluarkan oleh Presiden pada tanggal 31 Maret 2020 karena keadaan genting dan kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat dan untuk menyelamatkan perekonomian dari krisis yang diprediksi akan terjadi. Bahwa dalam keadaan mendesak tersebut diperlukan pemberian kewenangan bagi Pemerintah diantaranya agar dapat melakukan realokasi dan refocussing anggaran yang sebelumnya telah dialokasikan dalam APBN tahun 2020. Melalui realokasi dan refocussing yang bersifat segera diharapkan dapat segera memulihkan ekonomi dalam rangka mendukung Program Pemulihan Ekonomi Nasional sebagai akibat dari Pandemi Covid-19. 6. Bahwa oleh karenanya ketentuan dalam UU 2/2020 diharapkan dapat memberi fondasi hukum bagi pemerintah terhadap otoritas perbankan dan otoritas keuangan untuk mengambil langkah luar biasa guna menjamin kesehatan masyarakat, menyelamatkan perekonomian nasional, dan stabilitas sistem keuangan sebagaimana diatur UU a quo yang perlu menetapkan kebijakan keuangan negara dan kebijakan stabilitas sistem keuangan diantaranya dengan menetapkan batasan defisit anggaran, melakukan penyesuaian besaran belanja wajib ( mandatory spending ), dan melakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarfungsi, dan/atau antar program.
Bahwa urgensi sebagai dasar dibentuknya Perppu 1/2020 merupakan pertimbangan subjektif dari Presiden sebagai pihak yang berhak membentuk suatu perppu. Pertimbangan subjektif tersebut perlu untuk dinilai secara objektif oleh rakyat yang direpresentasikan oleh wakilnya, yaitu DPR, sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Pasal 22 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Dengan disahkannya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020, maka DPR sebagai wakil rakyat telah menilai urgensi tersebut merupakan hal yang nyata dan mendesak sehingga perlu 113 memberikan persetujuan atas Perppu 1/2020 untuk menjadi undang- undang sehingga dapat digunakan Pemerintah sebagai dasar hukum yang lebih kuat untuk bereaksi secara cepat menghadap situasi Pandemi Covid-19. C. KETERANGAN DPR TERHADAP PENGUJIAN FORMIL UU 2/2020 Berdasarkan kewenangan MK yang diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, maka batu uji yang digunakan oleh MK untuk melakukan pengujian formil haruslah berdasarkan Pasal 20 UUD NRI Tahun 1945, terutama Pasal 20 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”. Frasa “ persetujuan bersama” dalam ketentuan tersebut merupakan esensi berlakunya __ asas legalitas sehingga frase “persetujuan bersama” merupakan norma yang sangat fundamental sebagai dasar terbentuknya undang- undang. Jika proses pembentukan undang-undang telah memenuhi unsur legalitas, yakni telah adanya “persetujuan bersama”, dan tidak adanya kegagalan dalam mendapatkan “persetujuan bersama” DPR dan Presiden, maka secara konstitusional undang-undang tersebut menjadi sah secara formil. Sesuai landasan konstitusional kewenangan MK menguji undang- undang terhadap UUD NRI Tahun 1945, maka pengujian undang-undang secara formil hanya dapat dinyatakan cacat prosedur jika telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Namun demikian, jika Yang Mulia Hakim Konstitusi berpendapat lain, maka mohon pertimbangan yang seadil-adilnya, dan DPR tetap bersikap kooperatif dengan menerangkan lebih lanjut hal-hal yang dipermasalahkan oleh para Pemohon dalam pengujian formil.
Tanggapan DPR terhadap dalil Para Pemohon Perkara 75 mengenai batasan waktu 45 hari dalam pengujian formil undang-undang harus dikesampingkan karena tidak berdasarkan pada UUD NRI Tahun 1945. a) Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam konteks ketatanegaraan Indonesia dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi ( the guardian of constitution ) dan sebagai pengawal demokrasi ( the guardian of 114 democracy ) yang diberikan kewenangan oleh UUD NRI Tahun 1945 untuk dapat menguji undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945. Kewenangan ini diberikan sebagai fungsi Mahkamah Konstitusi dalam menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat. Namun di sisi lain, Mahkamah Konstitusi juga bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan bertanggungjawab. b) Bahwa undang-undang bersifat mengikat dan memaksa bagi semua warga negara, sehingga agar dapat dilaksanakan harus diundangkan dalam Lembaran Negara agar setiap orang dianggap mengetahui atas undang-undang tersebut. Hal ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum kepada masyarakat atas keberlakuan suatu undang- undang. c) Bahwa untuk menjamin kepastian hukum, pengujian undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 diperlukan pembatasan waktu untuk dapat diuji secara formil. Pembatasan waktu ini tidak boleh terlalu lama dari waktu diundangkannya suatu undang-undang dalam Lembaran Negara, karena karakteristik pengujian formil berbeda dengan pengujian materiil yang hanya menguji kata, frasa, ayat dan/atau pasal saja dalam undang-undang atas dasar kerugian konstitusional pemohon. Sedangkan pengujian formil didasarkan atas undang- undang yang merugikan konstitusi yang proses pembentukannya tidak sesuai dengan ketentuan dalam UUD NRI Tahun 1945, sehingga dapat membatalkan keseluruhan undang-undang. d) Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam menjaga hal tersebut harus berhati-hati dalam menguji formalitas suatu undang-undang, karena yang menjadi fokus pengujian formil bukanlah atas dasar dalil kerugian pemohon, namun Mahkamah Konstitusi harus mengutamakan keadilan dan kebenaran konstitusional. Mahkamah Konstitusi harus memahami ruh, ide, landasan filosofis, dan suasana kebatinan yang terjadi selama penyusunan undang-undang sehingga dapat memahami urgensi suatu undang-undang harus segera ditetapkan. e) Bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi ( the guardian of constitution ) dan sebagai pengawal demokrasi ( the 115 guardian of democracy ) telah tepat memberikan pembatasan waktu pengujian formil 45 hari setelah suatu undang-undang diundangkan dalam Lembaran Negara dalam menjaga kepastian hukum. Pembatasan ini sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009 poin [3.34] yang menyatakan, “Menimbang bahwa terlepas dari putusan dalam pokok permohonan a quo Mahkamah memandang perlu untuk memberikan batasan waktu atau tenggat suatu Undang-Undang dapat diuji secara formil. Pertimbangan pembatasan tenggat ini diperlukan mengingat karakteristik dari pengujian formil berbeda dengan pengujian materiil. Sebuah Undang-Undang yang dibentuk tidak berdasarkan tata cara sebagaimana ditentukan oleh UUD 1945 akan dapat mudah diketahui dibandingkan dengan Undang-Undang yang substansinya bertentangan dengan UUD 1945. Untuk kepastian hukum , sebuah Undang-Undang perlu dapat lebih cepat diketahui statusnya apakah telah dibuat secara sah atau tidak, sebab pengujian secara formil akan menyebabkan Undang-Undang batal sejak awal. Mahkamah memandang bahwa tenggat 45 (empat puluh lima) hari setelah Undang-Undang dimuat dalam Lembaran Negara sebagai waktu yang cukup untuk mengajukan pengujian formil terhadap Undang-Undang; ” f) Bahwa terkait hukum acara pembatasan waktu 45 hari dalam mengajukan pengujian formil di Mahkamah Konstitusi merupakan materi yang seharusnya diatur dalam undang-undang oleh pembentuk undang-undang, namun selama belum diatur dalam undang-undang Mahkamah Konstitusi dapat mengatur hukum acara yang bersifat teknis untuk mengisi kekosongan hukum. Dalam hal ini, UUD NRI Tahun 1945 sebagai Konstitusi tidak mungkin mengatur secara rinci mengenai hal teknis batasan hari seperti yang didalilkan oleh para Pemohon, karena dibutuhkan Undang-Undang lain untuk mengatur mengenai hal tersebut. Sehingga Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk mengatur sendiri hukum acara yang bersifat teknis dalam sidang pengadilan selama belum diatur dalam Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi. g) Bahwa terhadap pengujian perkara Nomor 75/PUU-XVIII/2020 yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi pada tanggal 9 September 2020 sesungguhnya telah melewati batas waktu pengujian formil 45 hari sejak diundangkannya UU a quo , yakni pada tanggal 18 Mei 2020 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134 116 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516. Oleh karenanya berdasarkan fakta hukum tersebut DPR berpandangan permohonan perkara Nomor 75/PUU-XVIII/2020 tidak memenuhi ketentuan batas waktu 45 hari yang ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi, sehingga sepatutnya Mahkamah Konstitusi menyatakan Permohonan perkara Nomor 75/PUU-XVIII/2020 tidak dapat diterima.
Tanggapan DPR terhadap dalil para Pemohon Perkara 37 dan Perkara 75 mengenai prosedur konstitusional pengesahan telah disimpangi dengan tidak adanya keterlibatan DPD. Bahwa para Pemohon perkara 37 dan perkara 75 dalam perbaikan permohonannya mendalilkan tidak adanya keterlibatan DPD dalam pembahasan Perppu yang telah ditetapkan menjadi UU dengan UU 2/2020 bertentangan dengan prinsip negara hukum, prinsip kedaulatan rakyat dan kewenangan legislasi DPD. Terhadap dalil tersebut DPR menerangkan sebagai berikut: a) Bahwa berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 ditentukan kewenangan untuk membentuk undang-undang ada pada DPR. Adapun terkait UUD NRI Tahun 1945 menghendaki bahwa setiap RUU dibahas antara DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama [Pasal 20 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945]. b) Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 22D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 mengatur bahwa Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang- undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan _daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; _ pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. c) Bahwa keikutsertaan DPD dalam pembahasan RUU hanya sebatas yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah . Hal ini juga sesuai dengan Pasal 65 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan 117 Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 (selanjutnya disebut UU 12/2011). d) Bahwa Perppu 1/2020 pada intinya secara garis besar mengatur mengenai kebijakan keuangan negara, apabila dalam pelaksanaannya memiliki dampak terhadap alokasi perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerintahan daerah, hal itu merupakan konsekuensi bahwa keuangan daerah merupakan bagian dari keuangan negara. Sehingga telah jelas bahwa Perppu tersebut tidak mengatur secara khusus mengenai otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Selain itu UU 2/2020 yang dipermasalahkan oleh Para Pemohon merupakan pengesahan Perppu 1/2020 sehingga pembentuk undang-undang tidak berkewajiban untuk mengikutsertakan DPD dalam pembahasan RUU penetapan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang. e) Berdasarkan Pasal 71 huruf d dan Pasal 249 ayat (1) huruf b Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2019 (UU MD3) bahwa DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. RUU Penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU tidak memiliki pertautan dengan bidang yang mengharuskan keikutsertaan DPD dalam pembahasannya melainkan mengenai DPR memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan, sehingga DPD tidak memiliki kewenangan untuk ikut membahas RUU tersebut.
Tanggapan DPR terhadap dalil para Pemohon perkara 37, para Pemohon perkara 43 dan para Pemohon perkara 75 mengenai rapat virtual yang berpotensi dihadiri tidak secara konkret karena kuorum rapat dibuktikan dengan tandatangan sebelum menghadiri rapat. a) Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, Perppu 1/2020 dibentuk pada intinya untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan 118 perekonomian nasional yang terdampak dari Pandemi Covid-19. Bahwa pada saat Perppu 1/2020 tersebut diajukan oleh Pemerintah kepada DPR untuk menjadi undang-undang, negara dalam kondisi darurat bencana yang menimbulkan kepanikan di masyarakat. b) Dalam kondisi demikian, maka DPR sebagai wakil rakyat harus tetap melaksanakan tugasnya untuk membahas Perppu 1/2020 bersama dengan Pemerintah. Bahwa pada saat itu peraturan perundang- undangan yang menjadi dasar hukum pembentuk undang-undang melaksanakan tugasnya masih belum menjangkau penggunaan sarana informasi dan teknologi dalam pembahasan dan pengesahan undang- undang. Hal tersebut disebabkan tidak terprediksinya kondisi yang diakibatkan dari penyebaran Pandemi Covid-19 yang begitu masif dan berdampak pada timbulnya korban jiwa. Adapun pada saat munculnya kasus pertama penyebaran Covid-19 di Indonesia hingga saat ini, Pemerintah telah membuat kebijakan mengenai salah satu upaya penanggulangan penyebaran Pandemi Covid-19 adalah dengan melakukan pembatasan sosial berskala besar dengan mengharuskan tiap orang menjaga jarak. c) Adapun salah satu kebijakan Pemerintah dalam upaya penanggulangan penyebaran pandemi Covid-19 adalah dengan melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dilaksanakan di beberapa daerah di Indonesia. Sebagai lembaga yang berkedudukan di DKI Jakarta yang juga menerapkan PSBB, maka DPR dan Presiden juga harus mengikuti kebijakan yang telah ditetapkan Pemerintah Daerah tersebut. Meskipun demikian, tugas pokok dan fungsi sebagai lembaga tetap harus berjalan, sehingga sebagai alternatif pelaksanaan rapat dan koordinasi supaya tugas dan fungsi DPR dan Presiden tetap berjalan adalah dengan menggunakan sarana informasi dan teknologi berupa video meeting atau virtual meeting. d) Pada saat kondisi demikian agar tugas pembentukan undang-undang tidak terbengkalai, DPR perlu melakukan terobosan hukum, yaitu dengan menetapkan Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib DPR 2020) yang mulai berlaku pada tanggal 2 April 2020. 119 Berdasarkan Tatib DPR 2020 tersebut di dalam ketentuan Pasal 254 ayat (4) dinyatakan bahwa: “ Semua jenis rapat DPR dihadiri oleh Anggota, kecuali dalam keadaan tertentu, yakni keadaan bahaya, kegentingan yang memaksa, keadaan luar biasa, keadaan konflik, bencana alam, dan keadaan tertentu lain yang memastikan adanya urgensi nasional, rapat dapat dilaksanakan secara virtual dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi. ” Dengan menggunakan dasar hukum tersebut, maka DPR melalui Badan Anggaran bersama Pemerintah melakukan Pembahasan Tingkat I UU a quo pada tanggal 4 Mei 2020 dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi melalui rapat virtual. Begitu pun halnya dengan Pembahasan Tingkat II yang menyetujui Perppu 1/2020 menjadi UU pada Rapat Paripurna tanggal 12 Mei 2020 dilaksanakan dengan menggunakan rapat kombinasi secara fisik maupun dengan teknologi informasi dan komunikasi melalui rapat virtual . e) Menanggapi dalil para Pemohon perkara 37, para Pemohon perkara 43 dan para Pemohon perkara 75 tersebut, DPR menerangkan bahwa pelaksanaan rapat yang dihadiri secara virtual telah diatur secara jelas dalam Pasal 279 ayat (6) Tatib DPR 2020 yang menyatakan bahwa: “Dalam hal penandatanganan daftar hadir Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak dapat dilakukan dan disebabkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 254 ayat (4), kehadiran Anggota dalam semua jenis rapat DPR dilakukan berdasarkan kehadiran secara virtual.” Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 279 ayat (7) Tatib DPR 2020 menyatakan bahwa: “Bukti kehadiran secara virtual sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat dikonfirmasi dan diverifikasi keabsahannya melalui Sekretariat Jenderal DPR.” Oleh karena itu berdasarkan dokumen sebagaimana terlampir dalam Lampiran I, maka Pembahasan Tingkat II yang menyetujui Perppu 1/2020 menjadi UU pada Rapat Paripurna tanggal 12 Mei 2020 yang dilakukan secara virtual tersebut, maka kehadiran pembentuk undang- undang telah memenuhi ketentuan perundang-undangan. f) Oleh karena itu dalil para Pemohon perkara 37, para Pemohon perkara 43 dan para Pemohon perkara 75 tersebut hanya merupakan asumsi karena jelas bahwa pembahasan dan pengesahan undang-undang 120 dengan menggunakan sarana teknologi dan informasi telah memiliki dasar hukum melalui Tatib DPR 2020. Selain itu berdasarkan risalah Rapat Paripurna bahwa dengan Pimpinan DPR memberikan keputusan penetapan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang artinya memberikan persetujuan dan juga mengikat anggota yang hadir baik secara fisik dan virtual (non fisik) (Lampiran II) 4. Tanggapan DPR terhadap dalil para Pemohon Perkara 43 mengenai UU 2/2020 tidak memenuhi syarat Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011 terkait frasa “ persidangan yang berikut ”. a) Bahwa di dalam Rapat Kerja Badan Anggaran DPR RI bersama Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan tertanggal 4 Mei 2020 bahwa pada saat itu terdapat 9 (sembilan) fraksi yang menyetujui Perppu 1/2020 untuk ditetapkan menjadi undang-undang, hanya fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) yang belum menyatakan persetujuannya. Berdasarkan rapat pada saat itu, DPR RI menerangkan bahwa UU a quo disetujui untuk ditetapkan menjadi undang-undang, dari titik tolak pemikiran bahwa Alinea keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 dinyatakan bahwa tujuan dibentuknya Pemerintahan Negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap rakyat Indonesia. Dengan demikian asas keselamatan rakyat Indonesia adalah yang diutamakan, untuk memberikan keyakinan bahwa Perppu 1/2020 tersebut harus dibahas segera dan secepatnya untuk memenuhi asas keselamatan rakyat yang diamanatkan di dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 tersebut. b) Bahwa Perppu 1/2020 merupakan kewenangan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam kondisi darurat yang bersifat fundamental dan krusial yang berdampak pada stabilitas perekonomian nasional jangka panjang, maka pengaturan hal tersebut perlu untuk diberikan dasar legalitas yang lebih kuat dalam bentuk undang-undang. c) Bahwa DPR selain memiliki fungsi legislasi sebagai pembentuk undang- undang berdasarkan Pasal 20A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, juga memiliki fungsi anggaran. Berkaitan dengan Perppu 1/2020 sebagai peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang 121 berfokus pada penataan ulang anggaran hingga beberapa tahun ke depan yang tentu saja memiliki dampak terhadap APBN, dimana sesuai dengan UUD NRI Tahun 1945 pembahasan dan pengesahan dalam Perppu 1/2020 menjadi UU sangat memerlukan peran DPR dalam melaksanakan fungsi anggaran sebagai kerangka representasi rakyat. Oleh karena itu, penting bagi DPR untuk segera membahas dan menetapkan Perppu 1/2020 menjadi UU dalam waktu yang cepat karena adanya kebutuhan mendesak yang dapat berdampak terhadap stabilitas perekonomian nasional. d) Dengan adanya situasi pandemi Covid-19 tersebut yang memiliki dampak bukan hanya terhadap kesehatan dan keselamatan rakyat, tetapi juga memiliki dampak terhadap perekonomian negara dalam jangka panjang, oleh karenanya proses penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU yang harus dilakukan secepatnya oleh DPR merupakan langkah cepat DPR dalam menghadapi keadaan darurat negara. Keadaan darurat tersebut tetap harus dipahami dalam pandangan yang sesuai dengan alas fakta yang terjadi pada saat keadaan darurat, dan tidak menggunakan parameter dan indikator keadaan normal. Oleh sebab itu, keputusan DPR yang secara cepat mengesahkan Perppu 1/2020 menjadi UU merupakan langkah yang tepat dan mencerminkan asas prosesual bahwa penundaan yang tidak beralasan ( undue delay ) harus dihindarkan, hal ini adalah demi kepentingan negara dan kepentingan umum yang harus dilindungi. e) Hal tersebut menunjukkan bahwa DPR memiliki kesamaan pandangan dengan Pemerintah mengenai adanya kegentingan memaksa dan perlunya kebijakan serta tindakan yang harus segera dilakukan dalam menghadapi pandemi Covid-19. Persetujuan DPR dimaksud menjadikan norma tersebut memenuhi amanat UUD NRI Tahun 1945 dan memberikan kepastian hukum bagi keberlanjutan langkah-langkah Pemerintah dalam penanganan situasi extraordinary pandemi Covid-19, yang telah secara nyata menimbulkan pemburukan ekonomi dan ancaman krisis apabila tidak segera ditangani. Dengan adanya legitimasi tersebut, Pemerintah memiliki fleksibilitas melakukan recovery terhadap situasi dan kondisi perekonomian. Semakin mampu 122 Pemerintah menangani dampak yang ditimbulkan oleh pandemi Covid- 19 seiring dengan perkembangan/perlambatan penyebaran virus ( flattening the curve ), semakin mempercepat negara keluar dari pemburukan ekonomi. D. KETERANGAN DPR TERHADAP PENGUJIAN MATERIIL UU 2/2020 1. Pandangan DPR RI terhadap pengujian judul UU 2/2020:
Berdasarkan metode penafsiran secara gramatikal yaitu metode penafsiran melalui pendekatan tatabahasa yang ada pada rumusan UU, dalam memahami UU, tanda baca, diksi, dan pola susunan kalimat sedemikan rupa benar benar diperhatikan. Berdasarkan metode penafsiran tersebut judul Lampiran UU 2/2020 sudah jelas, tidak ambigu, memang yang diatur dalam Lampiran UU 2/2020 ini adalah langkah Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan dikarenakan adanya pandemi Covid-19 yang saat ini terjadi. Bukan mengatur tentang langkah tindakan Pemerintah untuk menangani Covid-19. Yang menjadi subyek dari judul ini adalah Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19. Dua subyek tersebut adalah dua hal yang berbeda namun satu kesatuan yang diatur dalam Lampiran UU 2/2020 ini.
Judul dan materi muatan sudah sesuai, materi muatan terdiri atas 6 bab yang hampir semuanya mengatur mengenai langkah-langkah kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan yang akan dijalankan pemerintah, dan tidak mengatur mengenai langkah-langkah untuk menangani pandemi Covid-19.
Berdasarkan Ketentuan dalam UU 12/2011 Lampiran II Bagian A mengatur bahwa: ● Judul Peraturan Perundang–undangan memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun pengundangan atau penetapan, dan nama Peraturan Perundang–undangan; ● Judul Peraturan Perundang-undangan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin tanpa diakhiri tanda baca; ● Pada nama Peraturan Pemerintah Pengganti Undang–Undang (Perpu) yang ditetapkan menjadi Undang–Undang, ditambahkan 123 kata penetapan di depan judul Peraturan Perundang–undangan yang ditetapkan dan diakhiri dengan frasa menjadi Undang-Undang; Berdasarkan ketentuan tersebut, judul yang tertulis pada UU 2/2020 maupun Perppu 1/2020 yang merupakan lampiran dari UU 2/2020 telah sesuai dengan ketentuan dalam UU 12/2011.
Pandangan DPR terhadap materi muatan kebijakan pelebaran defisit anggaran sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU a quo . __ a. Bahwa sesuai amanat konstitusi, APBN digunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat, namun ketika keadaan darurat karena Covid-19 yang telah secara nyata memberikan dampak pada perekonomian negara seperti saat ini maka penggunaan APBN dapat disesuaikan untuk kepentingan yang lebih besar yaitu menyelamatkan perekonomian negara yang mana hal ini justru untuk menciptakan manfaat yang lebih besar.
Implikasi pandemi Covid-19 telah berdampak pula terhadap ancaman semakin memburuknya sistem keuangan yang berisiko pada ketidakstabilan makro ekonomi dan sistem keuangan yang perlu dimitigasi bersama oleh Pemerintah dan lembaga terkait dengan melakukan tindakan antisipasi guna menjaga stabilitas sektor keuangan. Bahwa kedalaman implikasi Covid-19 terhadap perekonomian sulit diukur karena puncak pandemi Covid-19 belum dapat dipastikan waktunya. Implikasi ekonomi yang ditimbulkan oleh Covid-19 terhadap perekonomian sangat dalam sehingga semua skenario perlu disiapkan untuk menghadapi situasi yang paling buruk, bahkan dalam bentuk “ worst case scenario ”. Maka pemerintah dan lembaga terkait perlu mengambil langkah luar biasa dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional dengan berbagai kebijakan relaksasi yang berkaitan dengan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan melakukan peningkatan belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial dan pemulihan perekonomian, serta memperkuat kewenangan berbagai lembaga dalam sektor keuangan.
Bahwa para Pemohon perkara 37 dan Pemohon perkara 45 mendalilkan UU a quo melampaui dari ruang lingkup yang diatur di dalam Pasal 1 karenanya senyatanya Pasal 2 ayat (1) huruf a justru mengatur dalam 124 jangka waktu sampai dengan 2022 bahkan sampai 2023. Selain itu, negara-negara lain, pemerintahnya tidak diberi kewenangan khusus dalam bidang anggaran selama bertahun-tahun. Terhadap dalil tersebut, DPR berpandangan sebagai berikut:
Dalam Lampiran UU 2/2020 tetap terdapat pembatasan-pembatasan yaitu: Pertama, kewenangan menetapkan defisit melampaui 3% dari PDB hanya berlaku paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022 (dalam jangka waktu kurang lebih 2 tahun atau bisa kurang dari waktu tersebut jika recovery ekonomi dapat berjalan lebih cepat); dan penyesuaian besaran defisit tersebut dilakukan secara bertahap. Sebagai perbandingan dengan negara lain, Amerika Serikat, Australia, Singapura, dan Malaysia telah mengeluarkan stimulus fiskal yang mencapai lebih dari 10% PDB-nya. Amerika Serikat hanya dalam waktu kurang dari 3 bulan menambah utang dengan 3 Triliun US$ yang jumlah tersebut sama dengan jumlah 3 kali PDB Indonesia. ( Lampiran II ). Kedua, pelebaran defisit tersebut tetap dalam koridor jumlah pinjaman yang dapat dilakukan dalam rangka pelaksanaan pelebaran defisit tersebut yaitu di batasi maksimal 60% (enam puluh persen) dari PDB sesuai UU Keuangan Negara 2) Bahwa defisit anggaran yang tidak dapat dihindari tersebut tentunya butuh penanganan sehingga meningkatnya besaran utang negara adalah suatu hal yang pasti terjadi. Solusi ini adalah satu diantara upaya-upaya yang dilakukan oleh Pemerintah selain melakukan penyesuaian besaran belanja wajib, pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar fungsi dan/atau antar program dan lain sebagainya sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2 Lampiran UU 2/2020.
Bahwa konsekuensi dari pelebaran defisit tersebut tentunya berdampak pada tahun-tahun berikutnya. Sehingga penentuan atau pembatasan APBN sampai tahun anggaran 2022 merupakan pilihan kebijakan yang logis. Oleh karena itu Pemerintah memberikan prediksi dengan menetapkan batasan defisit anggaran melampaui 3% dari PDB sampai dengan tahun anggaran 2022. Sedangkan pada tahun anggaran 2023, Pemerintah optimis besaran defisit anggaran 125 akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% dari PDB. Hal ini merupakan optimisme Pemerintah dalam mengupayakan perbaikan kondisi perekonomian dan keuangan nasional. Hal ini harus dipahami oleh para Pemohon a quo mengingat kondisi dan kemampuan setiap negara berikut kebijakan-kebijakan yang diambil tidak dapat disamaratakan karena karakteristik dan tren pertumbuhan perekonomiannya yang juga tidak sama.
Bahwa APBN Tahun Anggaran 2021 dan Tahun 2022 dalam lampiran UU 2/2020 ini tidak diatur karena UU APBN Tahun Anggaran 2021 dan Tahun Anggaran 2022 belum disusun dan diundangkan ketika pengundangan UU 2/2020. Dalam penyusunan APBN Tahun Anggaran 2021 dan Tahun Anggaran 2022 tetap diberlakukan mekanisme penyusunan APBN sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan sehingga esensi Pasal 23 UUD NRI Tahun 1945 tetap terjaga.
DPR menerangkan pembentukan Perppu merupakan kewenangan konstitusional Presiden sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Baru selanjutnya diberlakukan ketentuan Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang merupakan kewenangan konstitusional DPR RI untuk memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan atas Perppu yang dibentuk oleh Presiden pada masa sidang yang berikutnya. Karakter hukum UU APBN yang merupakan undang-undang penetapan, berbeda dengan undang-undang pengaturan pada umumnya. Karena sifat hukumnya tersebut, UU APBN sebenarnya merupakan domain pemerintah dalam perumusan dan perencanaannya, yang kemudian membutuhkan hak budget DPR untuk menyetujui atau tidak. Dalam hal kondisi kedaruratan, persetujuan tidak ditempatkan di awal, melainkan sekalian di akhir pelaksanaan dengan maksud terjadinya perubahan konsep hak budget DPR yang sebelumnya menguji pengeluaran negara untuk kebutuhan di tahun berjalan, menjadi menguji pengeluaran negara untuk kemanfataan di tahun berjalan. Keduanya sama-sama tetap menggunakan dan menjalankan hak budget DPR, di mana hak budget keadaan normal, alokasi yang tidak 126 disetujui DPR karena belum menjadi kebutuhan akan dicoret atau ditarik. Sedangkan dalam keadaan darurat, alokasi yang tidak disetujui karena tidak sesuai kemanfaatannya harus dipertanggungjawabkan pemerintah dalam berbagai bentuk, yaitu meminta Badan Pemeriksa Keuangan melakukan pemeriksaan dan melaporkannya kepada DPR, meminta pemerintah melakukan koreksi dan pengembalian sesuai dengan rekomendasi pemeriksaan BPK, atau DPR dapat menggunakan hak yang dimilikinya dalam mengawasi penggunaan APBN keadaan darurat.
Selain itu terkait keinginan Pemohon perkara 45 agar RUU APBN Tahun 2021 dibahas Pemerintah dengan DPR RI senyatanya sudah disampaikan Pemerintah dalam rangkaian rapat paripurna tertanggal 12 Mei 2020, 14 Juli 2020, dan 14 Agustus 2020 (Lampiran II, Lampiran III dan lampiran IV). Sebagai tambahan informasi, pada 25 September 2020, Kemenkeu selaku yang mewakili Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2021 di Banggar dan Pemerintah bersama DPR telah menyetujui defisit anggaran sebesar 5,7% dari PDB pada Rapat Paripurna DPR tanggal 29 September 2020. Semua fraksi DPR juga menyampaikan bahwa kondisi Covid-19 masih belum memberikan kepastian pada tahun 2021, sehingga Pemerintah dengan pimpinan Banggar dan para anggota Banggar bersama-sama memformulasikan RUU APBN 2021 yang disatu sisi memberikan signal kepada masyarakat, dunia usaha bahwa pemerintah terus melakukan support agar mereka bisa pulih dan bangkit kembali, namun di sisi lain juga memberikan sinyal kehati-hatian, sinyal prudent atau kebijakan dalam menjaga keseluruhan dan keberlangsungan APBN.
Oleh karenanya dalil bahwa kewenangan penetapan UU APBN oleh DPR menjadi nihil, (dalam hal ini dalil tersebut juga disampaikan oleh para Pemohon perkara 42) adalah anggapan yang salah. Hal ini disebabkan perubahan mekanismenya saja, yang sebelumnya Hak Budget DPR dilakukan di awal menjadi di akhir setelah diterbitkannya 127 LKPP. Selain itu, dalam memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap penetapan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang tersebut, tentunya DPR mengkaji terlebih dahulu urgensi dan implikasi pemberlakuan ketentuan dalam Perppu tersebut sebagai undang-undang sebelum dilakukan penetapan Perppu tersebut sebagai undang-undang. Pengaturan dalam Perppu ini tidak berarti menghilangkan mekanisme persetujuan DPR dalam penetapan UU APBN mengingat UU APBN Tahun Anggaran 2020 telah ditetapkan, dan UU APBN Tahun Anggaran 2021 telah dibahas oleh DPR dan Pemerintah, dan UU APBN Tahun Anggaran 2022 masih belum disusun dan belum diajukan oleh Pemerintah kepada DPR RI.
Pandangan DPR terkait penggunaan dana yang bersumber dari Dana Abadi Pendidikan untuk penanganan Pandemi Covid-19, DPR.
Akumulasi dana abadi pendidikan yang dimaksud dalam Pasal a quo adalah akumulasi dana abadi dari tahun-tahun sebelumnya dan tidak termasuk porsi dana abadi pendidikan yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun berjalan [vide Penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf e UU a quo ].
Anggaran dana pendidikan yang sudah dialokasikan dalam UU APBN tahun berjalan tidak termasuk dalam objek yang diatur dalam ketentuan Pasal a quo sehingga kewajiban Pemerintah untuk memenuhi mandatory spending dana pendidikan sebesar 20% tetap dilaksanakan. Oleh karena itu, yang dapat digunakan oleh Pemerintah dalam realokasi penggunaan dana abadi pendidikan dan akumulasi dana pendidikan untuk penanganan Pandemi Covid-19 tidak mengganggu alokasi dana pendidikan yang sudah ditetapkan dalam UU APBN sebesar 20%.
Bahwa penggunaan dana abadi sebagai sumber pembiayaan APBN tahun berjalan merupakan salah satu opsi yang dipersiapkan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19. Opsi tersebut hanya akan dipergunakan apabila seluruh pembiayaan lain yang tersedia tidak memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19. Namun demikian, pemanfaatannya akan tetap memperhitungkan efektivitas dan ketepatan dibandingkan dengan surnber-sumber lain yang ada. 128 4. Pandangan DPR terkait kewenangan Pemerintah untuk menerbitkan Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara dengan tujuan tertentu dan independensi Bank Indonesia a. Bahwa dasar hukum penerbitan SUN adalah Pasal 55 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (selanjutnya di sebut UU BI), yang berketentuan:
Dalam hal Pemerintah akan menerbitkan surat-surat utang negara, Pemerintah wajib terlebih dahulu berkonsultasi dengan Bank Indonesia.
Sebelum menerbitkan surat utang negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah wajib berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
Bank Indonesia dapat membantu penerbitan surat-surat utang negara yang diterbitkan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
.... Dalam penerbitan Surat Utang Negara tersebut, terdapat peran DPR dalam mekanisme penerbitan surat utang negara berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (3) UU Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (UU SUN) yang mengatur bahwa Penerbitan Surat Utang Negara harus terlebih dahulu mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat yang diberikan pada saat pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Mekanisme ini harus tetap dilakukan oleh Pemerintah.
Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (UU SBSN) diatur bahwa SBSN diterbitkan dengan tujuan untuk membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara termasuk membiayai pembangunan proyek. Kewenangan menerbitkan SBSN berada pada Pemerintah dilaksanakan oleh Menteri dapat dilaksanakan secara langsung oleh Pemerintah atau melalui Perusahaan Penerbit SBSN. Dalam hal akan dilakukan penerbitan SBSN untuk tujuan membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara termasuk membiayai pembangunan proyek, Menteri terlebih dahulu berkoordinasi dengan Bank Indonesia.
Ketentuan Pasal 8 UU SBSN mengatur bahwa Penerbitan SBSN harus terlebih dahulu mendapat persetujuan DPR pada saat pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diperhitungkan 129 sebagai bagian dari Nilai Bersih Maksimal Surat Berharga Negara yang akan diterbitkan oleh Pemerintah dalam satu tahun anggaran. Dalam rangka kedaruratan penanganan Covid-19 dan implikasinya terhadap kondisi perekonomian nasional, hal ini juga menjadi pertimbangan Presiden dalam penyusunan Perppu 1/2020 dan penetapannya sebagai undang-undang oleh DPR melalui UU 2/2020. Ketentuan Pasal 8 UU SBSN ini tidak disebutkan dalam ketentuan Pasal 28 lampiran UU 2/2020, sehingga masih berlaku dan harus dilaksanakan oleh Pemerintah.
Pasal 2 ayat (1) huruf f, Pasal 16 ayat (1) huruf c, dan Pasal 19 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 mengatur bahwa Bl dapat membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana atau primer. Pengaturan tersebut melengkapi ketentuan Pasal 55 ayat (4) UU Bl yang memberikan kewenangan Bl untuk membeli SUN di pasar primer atau perdana berjangka pendek yang diperlukan oleh Bl untuk operasi pengendalian moneter. Pengaturan pada Pasal 55 ayat (4) UU Bl dimaksudkan untuk menjalankan tugas Bl dalam kondisi normal. Sementara saat ini, Presiden telah memutuskan kondisi kegentingan yang memaksa serta kekosongan hukum karena pandemi Covid-19 sehingga diterbitkan Perppu 1/2020. Dalam mengatasi kondisi tersebut, diperlukan stimulus fiskal yang dapat berimplikasi pada pelebaran defisit APBN. Oleh karena itu, peran Bl perlu diperluas sehingga Bl dapat melakukan pembelian SUN dan/atau SBSN jangka panjang di pasar perdana khususnya dalam rangka penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Covid-19.
Ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) hurut c Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk memberikan kelengkapan payung hukum bagi Bl untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan pembelian SUN dan/atau SBSN berjangka panjang di pasar perdana untuk penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Covid-19. Dengan 130 adanya ketentuan-ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020, terbuka ruang baru bagi Bl dalam rnerumuskan dan rnelaksanakan kebijakan moneter melalui pembelian SUN di pasar primer atau perdana, baik yang berjangka pendek maupun panjang, untuk digunakan dalam operasi pengendalian moneter maupun yang diperlukan untuk pemulihan ekonomi nasional.
Pembelian SUN dan/atau SBSN oleh Bl di pasar perdana dilakukan untuk membantu pemerintah dalam pemenuhan pembiayaan APBN dan pembiayaan pelaksanaan pemulihan ekonomi nasional termasuk menjaga stabilitas sistem keuangan nasional yang menjadi peran Bl sebagai otoritas moneter dan bukan mengintervensi Bl dalam pelaksanaan tugasnya. Proses untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana merupakan mandat yang diberikan oleh UU 2/2020 sehingga sama sekali tidak ada intervensi terhadap independensi Bl.
Perlu dicermati pula bahwa SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan oleh Pemerintah tidak wajib untuk dibeli oleh Bl. Rumusan-rumusan ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020 terkait kewenangan Bl untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana memuat kata "dapat". Penggunaan frasa "dapat" dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf f dan Pasal 19 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 dimaknai bahwa tidak ada unsur kewajiban bagi Bl yang dapat menghilangkan independensi Bl sebagai bank sentral untuk memutuskan pembelian SUN dan/atau SBSN di pasar perdana. Pembelian SUN dan/atau SBSN didasarkan sesuai pertimbangan Bl dalam menjalankan tugasnya.
Kewenangan Bl untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana sebagaimana diatur dalam Lampiran UU 2/2020 dilaksanakan dengan tetap menjaga independensi Bl . Pasal 23D UUD NRI Tahun 1945 juncto Pasal 4 ayat (2) UU Bl telah mengatur bahwa Bl merupakan lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak lain. Pelaksanaan tugas dan wewenang Bl akan tetap berjalan secara efektif dengan berlakunya ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020. 131 i. Sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (3) UU a quo , kewenangan tersebut harus memenuhi skema dan mekanisme pembelian yang diatur bersama antara Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia dengan Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur Bl Nomor 190/KMK.08/2020 dan Nomor 22/4/KEP.GBl/2020 tanggal 16 April 2020 dengan menerapkan prinsip:
mengutamakan mekanisme pasar;
mempertimbangkan dampaknya terhadap inflasi secara terukur;
SUN dan/atau SBSN yang dapat dibeli oleh Bl bersifat tradable dan marketable ; dan
Bl sebagai pembeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana merupakan last resort dalam hal kapasitas pasar tidak mampu menyerap dan/atau menyebabkan kenaikan yield yang terlalu tinggi.
Pandangan DPR terkait penetapan sumber-sumber pembiayaan Anggaran yang berasal dari dalam dan/atau luar negeri dan pengaturan perubahan postur APBN melalui Peraturan Presiden sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan tersebut meliputi kewenangan yang bersifat umum dan kewenangan yang bersifat khusus. Untuk membantu Presiden dalam penyelenggaraan kekuasaan dimaksud, sebagian dari kekuasaan tersebut dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku Pengelola Fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan, serta kepada Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya. Menteri Keuangan sebagai pembantu Presiden dalam bidang keuangan pada hakekatnya adalah Chief Financial Officer (CFO) Pemerintah Republik Indonesia, sementara setiap menteri/pimpinan lembaga pada hakekatnya adalah Chief Operational Officer (COO) untuk suatu bidang tertentu pemerintahan. Prinsip ini perlu dilaksanakan secara konsisten agar terdapat kejelasan dalam pembagian wewenang dan tanggung jawab, terlaksananya mekanisme checks and balances 132 serta untuk mendorong upaya peningkatan profesionalisme dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan. Sub bidang pengelolaan fiskal meliputi fungsi-fungsi pengelolaan kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro, penganggaran, administrasi perpajakan, administrasi kepabeanan, perbendaharaan, dan pengawasan keuangan.
Pengecualian Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara dalam Perppu ini sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (2) lampiran UU 2/2020 a quo : “Perubahan postur dan/atau rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara dan langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 11 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden.” Ketentuan tersebut hanya berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Perppu ini (vide Pasal 28 lampiran UU 2/2020). Dalam kondisi kembali normal semua ketentuan dalam UU MD3 berlaku seperti semula termasuk dalam hal mekanisme pembahasan APBN dan APBNP yang harus tetap mendapatkan persetujuan DPR. Selain itu meskipun APBN Perubahan ditetapkan dengan Peraturan Presiden karena situasi yang mendesak berdasarkan Perppu 1/2020 yang selanjutnya menjadi lampiran UU 2/2020, tetapi pertanggungjawaban APBN tetap kepada DPR.
Bahwa terkait dengan sumber-sumber pembiayaan negara, Pasal 12 ayat (3) UU Keuangan Negara mengatur bahwa dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Undang-undang tentang APBN. Dan penjelasan Pasal 12 ayat (3) UU Keuangan Negara tersebut mengatur bahwa jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari Produk Domestik Bruto. Ketentuan dalam penjelasan ini juga menjadi bagian yang dinyatakan tidak berlaku dalam Pasal 28 angka 3 lampiran UU 2/2020. Namun pada dasarnya, penetapan sumber-sumber pembiayaan tersebut diperbolehkan hanya saja batasan yang ada dalam 133 penjelasan pasal tersebut tidak diberlakukan selama penanganan Covid-19 ini atau hingga tahun 2021. Selain itu, persebaran Covid-19 yang masif dan cepat ini membutuhkan penanganan cepat namun yang tidak dapat dilaksanakan melalui mekanisme APBN, sehingga telah jelas tidak ada pelanggaran prinsip pengelolaan keuangan negara dan tetap sejalan dengan prinsip negara hukum sebagaimana diatur oleh Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.
Ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 sama sekali tidak menghilangkan peran dan fungsi DPR, karena dengan telah disetujui dan ditetapkannya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020, telah menunjukkan bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dengan Peraturan Presiden yang diatur dalam ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 tersebut telah mendapat persetujuan DPR. Selain itu, dalam pembentukan Peraturan Presiden tentang perubahan postur dan/atau rincian APBN, Pemerintah selalu mengkomunikasikannya dan melakukan pembahasan bersama dengan DPR. DPR dapat memberikan masukan dan rekomendasi kepada Pemerintah terkait postur dan/atau rincian APBN tersebut. Oleh karena itu, Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 __ yang mengatur bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dilakukan dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden, sama sekali tidak menghilangkan peran dan fungsi DPR. Pengaturan perubahan postur dan/atau rincian APBN dalam ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 telah diselaraskan dengan dicabutnya ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU Keuangan Negara, Pasal 177 huruf c angka 2 dan Pasal 182 UU MD3, serta Pasal 40 UU APBN 2020 ( vide __ ketentuan Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020). Pencabutan berbagai ketentuan yang diatur dalam Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020 tersebut, merupakan upaya harmonisasi agar tidak ada dualisme aturan atas satu permasalahan. Dengan demikian, ketentuan Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020 telah memberikan kepastian hukum atas pelaksanaan ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020, yaitu bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dilakukan dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden. 134 6. Pandangan DPR Terhadap Kebijakan Di Bidang Keuangan Daerah sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945, Pemerintah Daerah telah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendi r i urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Penjelasan umum UU Pemda menyatakan bahwa pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip negara kesatuan. Dalam negara kesatuan, kedaulatan hanya ada pada pemerintahan negara atau pemerintahan nasional dan tidak terdapat kedaulatan pada pemerintahan daerah. Oleh karena itu, seluas apapun otonomi yang diberikan kepada daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan pemerintahan daerah akan tetap ada di tangan pemerintah pusat. Untuk itu pemerintahan daerah pada negara kesatuan merupakan satu kesatuan dengan pemerintahan nasional.
Kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh daerah merupakan bagian integral dari kebijakan nasional. Pembedanya, terletak pada bagaimana memanfaatkan kearifan, potensi, inovasi, daya saing, dan kreativitas daerah untuk mencapai tujuan nasional tersebut di tingkat lokal yang pada gilirannya akan mendukung pencapaian tujuan nasional secara keseluruhan. Pada kondisi pandemi Covid-19, hal yang perlu diperhatikan dalarn pelaksanaan kebijakan keuangan di daerah adalah kecepatan dan ketepatan untuk menyesuaikan anggaran sehingga tepat sasaran. Lebih lanjut, berdasarkan dengan Pasa l 6 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara), kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan, telah diserahkan kepada kepada gubernur/ bupati/wali kota untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili Pemerintah Daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Namun demikian, dalam pelaksanaannya, penyelenggaraan pemerintahan daerah, termasuk keuangan daerah, dilaksanakan sesuai 135 dengan ketentuan dalam UU Pemda sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015. Dalam ketentuan Pasal 9 ayat (2) UU Pemda disebutkan urusan absolut adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat. Lebih Ianjut dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf e UU Pemda disebutkan jika salah satu urusan pemerintahan absolut tersebut adalah urusan moneter dan fiskal nasional. Dalam menangani pandemi Covid-19 dan menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, kebijakan yang diterapkan di bidang keuangan negara yang memberikan relaksasi untuk refocusing APBN, sudah seharusnya juga diterapkan pada pemerintahan daerah, khususnya dalam hal relaksasi untuk refocusing APBD. Oleh karena itu, kebersarnaan dan gotong royong oleh pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah dapat menuntaskan permasalahan kesehatan dan ekonomi dampak Covid-19.
Sesuai ketentuan Pasal 8 UU Pemda, telah diatur bahwa pembinaan dan pengawasan terhadap urusan penyelenggaraan pemerintahan oleh daerah dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri. Hal tersebut dapat menjadi landasan Kementerian Dalam Negeri untuk memberikan petunjuk/pedoman tentang keuangan daerah kepada Pemerintah Daerah agar penggunaan realokasil refocusing seragam dan terarah bagi seluruh daerah. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 280 UU Pemda, dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang diserahkan dan/atau ditugaskan, penyelenggara pemerintahan daerah memiliki kewajiban dalam pengelolaan keuangan daerah antara lain meliputi sinkronisasi pencapaian sasaran program daerah dalam APBD dengan program pemerintah pusat.
Sejalan dengan hal tersebut, guna mencapai penanganan yang bersifat holistik dan terpadu atas pandemi Covid-19 dan dampaknya, maka diperlukan pula peran daerah melalui APBD. Untuk itu, Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk melakukan refocusing, perubahan alokasi dan penggunaan APBD. Dalam rangka memberikan pedoman/ guidance kepada Pemerintah Daerah, maka Kemendagri telah menerbitkan Permendagri Nomor 39 Tahun 2020 tentang Pengutamaan 136 Penggunaan Alokasi Anggaran Untuk Kegiatan Tertentu, Perubahan Alokasi dan Penggunaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah yang mengatur ketentuan umum dan teknis pelaksanaan refocusing, perubahan alokasi, dan penggunaan APBD untuk penanganan pandemi Covid-19 beserta dampaknya di daerah. Dengan demikian, Permendagri tersebut tidak akan mendikte Pemerintah Daerah dalam melakukan refocusing, perubahan alokasi dan penggunaan APBD, melainkan sebatas memberikan petunjuk dan menciptakan keseragaman tindak lanjut kedaruratan dalam melakukan refocusing guna mencapai tujuan nasional. Selain itu, dengan tidak diajukannya pengujian ketentuan Pasal 3 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 oleh Pemohon, maka Pemohon telah menyadari dan rnernahami bahwa pemberian kewenangan kepada daerah untuk melakukan refocusing, perubahan alokasi, dan penggunaan APBD, merupakan kebijakan yang penting dan diperlukan Pemerintah Daerah dalam penanganan dampak Covid-19.
Pandangan DPR Terhadap Materi Muatan mengenai “Kebijakan Di Bidang Perpajakan dan Kepabeanan” sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Terkait dengan perpajakan, Kementerian keuangan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.04/2020 tentang Pemberian Fasilitas Kepabeanan Dan/Atau Cukai Serta Perpajakan Atas Impor Barang Untuk Keperluan Penanganan pandemi Covid-19 sebagaimana telah diubah dengan PMK 83/PMK.04/2020 dengan pertimbangan untuk percepatan pelayanan dalam pemberian fasilitas fiskal atas impor barang yang diperlukan dalarn penanganan pandemi Covid-19, perlu mengatur ketentuan mengenai perlakuan kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan atas impor barang yang diperlukan dalam penanganan pandemi Covid-19. Dalam PMK tersebut diatur atas impor barang untuk keperluan penanganan pandemi Covid-19 diberikan fasilitas kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan berupa: a) pembebasan bea masuk dan/atau cukai; b) tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; dan c) dibebaskan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22. 137 terhadap jenis barang yang tercantum dalam Lampiran Huruf A PMK tersebut yang dapat dilakukan melalui pusat logistik berikat.
Pengaturan Pasal 10 lampiran UU 2/2020 ini tidak bertentangan dengan Pasal 25 dan Pasal 26 UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang telah diubah dengan UU Nomor 17 Tahun 2006 (UU Kepabeanan). Pengaturan perubahan ketentuan Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (1) UU Kepabeanan tersebut dalam rangka penanganan Covid-19 ini tentukan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan tentu tidak dapat serta merta dianggap kesalahan karena anggapan para Pemohon bahwa ketentuan dalam UU tidak dapat diubah melalui peraturan perundang-undangan yang tidak setara. Hal ini dilakukan karena apa yang terjadi dan butuh penanganan cepat tidak sesuai dan tidak termasuk dalam pengaturan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (1) UU Kepabeanan. Barang- barang tersebut tidak termasuk barang yang dipergunakan untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak termasuk obat-obatan yang pengadaannya menggunakan anggaran keuangan negara.
Perubahan ketentuan Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (1) UU Kepabeanan tersebut dengan UU perubahan tentu akan memerlukan waktu yang lama mengingat prosedur penyusunan UU beserta tahapan- tahapannya tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat. Penentuan ini juga tentunya memperhatikan pengaturan yang ada dalam Pasal 25 ayat (3) UU Kepabeanan yang menyatakan “Ketentuan tentang pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri” dan Pasal 26 ayat (3) UU Kepabeanan yang menyatakan “Ketentuan mengenai pembebasan atau keringanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan Menteri”. Sejalan dengan adanya amanat pengaturan peraturan pelaksanaan UU sebagaimana dalam Pasal 25 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (3) UU Kepabeanan, maka hal ini jelas ditujukan untuk simplifikasi proses dalam kondisi yang genting, yang sudah jelas tidak berarti bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana yang telah didalilkan oleh para Pemohon perkara 37. 138 d. Tidak adanya pernyataan Presiden bahwa negara dalam kondisi krisis sehingga tidak diperlukan adanya program stabilitasi perekonomian dan keuangan nasional termasuk pengurangan pajak dan bea masuk barang impor sebagaimana yang dinyatakan para Pemohon perkara 42, hal tersebut tidaklah benar. Dalam berbagai pidatonya, Presiden, DPR dan Menteri keuangan berulang kali menyampaikan kondisi perekonomian nasional dan kekhawatiran apabila tidak dilakukan upaya penanganan segera tanpa perlu menyatakan “Indonesia dalam keadaan krisis” pun keadaan tersebut dirasakan oleh masyarakat secara luas khususnya setelah adanya pandemi Covid-19. Pengurangan pajak dilakukan karena pajak dipungut dari warga negara dan kondisi perekonomian nasional sedang tidak dalam keadaan baik. Hal ini justru akan membebani masyarakat apabila tidak dilakukan pengurangan pajak. Selain itu, kebijakan terkait bea masuk barang impor tidak diberlakukan pada seluruh objek bea masuk melainkan pada alat-alat kesehatan dan obat-obatan yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam rangka penanganan pandemi Covid-19. Oleh karenanya, pengaturan dan pengawasan pengelolaan keuangan negara selama masa pandemi Covid-19 ini terlapor secara jelas kepada DPR dan dilaksanakan sesuai dengan asas-asas pengelolaan keuangan negara dan asas-asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
Bahwa terkait dalil para Pemohon perkara 37 yang menyatakan bahwa pemberian keringanan pajak tanpa dibarengi dengan adanya larangan PHK tidaklah tepat. DPR menerangkan bahwa pelarangan PHK tidak dapat diberlakukan oleh Pemerintah mengingat kondisi keuangan setiap perusahaan tidak sama satu sama lain berikut besar skalanya. Keringanan pajak tersebut diberikan dengan harapan mampu menstimulus perkembangan perusahaan sehingga besarnyapun tidak akan sama bagi setiap perusahaan tergantung pada skala perusahaan dan bidang usaha perusahaan tersebut. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) mengatur bahwa Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah. Dalam UU Ketenagakerjaan tersebut telah diatur mengenai pemutusan 139 hubungan kerja dan adanya perjanjian kerja. Selain itu, ketenagakerjaan merupakan hubungan perdata antara pekerja dan pemberi kerja/pengusaha.
Bahwa terkait dalil para Pemohon perkara 37 mengenai pajak untuk perdagangan melalui sistem elektronik tidak memenuhi unsur kegentingan yang memaksa dan seharusnya diatur dalam undang-undang, DPR menerangkan bahwa:
Langkah-langkah pencegahan yang relatif ketat untuk membatasi meluasnya penyebaran pandemi Covid-19 menyebabkan turunnya permintaan atas produk nasional. Dampak selanjutnya, banyak perusahaan yang mengalami kesulitan cash flow sehingga menurunkan kemampuan dalam membayar pajak. Akibatnya, penerimaan perpajakan seperti PPh Badan mengalami penurunan secara signifikan. Berkurangnya aktivitas perdagangan internasional secara signifikan juga mengakibatkan turunnya penerimaan pajak dari impor dan bea masuk. Selain itu, penerimaan perpajakan juga mengalami tekanan dari turunnya harga minyak dunia, bahan mineral, dan CPO yang merupakan komponen penting dalam menghitung PPh migas dan bea keluar. Kinerja penerimaan perpajakan diperkirakan akan melemah pada tahun 2020 dengan tax ratio berpotensi berada di bawah 9 persen, terendah dalam dua dekade terakhir.
Menghadapi kondisi perekonomian dan pandemi Covid-19, kebijakan dan strategi perpajakan jangka menengah ditujukan untuk mendorong percepatan pemulihan ekonomi nasional pasca pandemi Covid-19 dan meningkatkan pendapatan negara. Di tengah ketidakpastian akan akhir dari pandemi Covid-19, dukungan terhadap dunia usaha mutlak diperlukan dalam rangka memitigasi dampak ekonomi yang timbul dan mendorong percepatan pemulihan ekonomi nasional. Untuk itu, langkah reformasi perpajakan yang pertama dilakukan adalah dengan memberikan relaksasi perpajakan kepada dunia usaha. Relaksasi perpajakan tersebut dimaksudkan untuk mengurangi beban kegiatan usaha dan membantu meningkatkan kondisi cash flow perusahaan, khususnya selama dan pasca pendemi Covid-19. Perusahaan dapat menggunakan pengurangan atau pembebasan pajak untuk menutupi 140 kenaikan harga bahan input maupun penurunan penjualan sehingga tetap beroperasi secara normal. Efek selanjutnya adalah perusahaan diharapkan tidak melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sehingga karyawan mempunyai gaji untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pada gilirannya hal tersebut akan kembali menggairahkan perekonomian nasional, baik dari sisi produksi maupun sisi konsumsi. Melalui penurunan tarif PPh badan, pembebasan PPh impor dan bea masuk sektor tertentu, serta berbagai fasilitas perpajakan lainnya, Pemerintah juga bermaksud meningkatkan daya saing guna mendorong aktivitas investasi sehingga dapat memacu pertumbuhan ekonomi nasional.
Dalam rangka meningkatkan pendapatan negara, khususnya penerimaan perpajakan, Pemerintah melakukan upaya perluasan basis pemajakan dan perbaikan administrasi perpajakan. Penambahan objek pajak baru yang dipungut oleh Negara sangat diperlukan dalam rangka meningkatkan tax ratio . Sebagai tahap awal, Pemerintah akan memungut pajak atas Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) atau yang lebih popular dengan sebutan e-commerce . Dalam beberapa tahun terakhir, transaksi online berkembang begitu cepat dan berpotensi menggantikan pasar konvensional. Selain menjadi sumber pendapatan Negara, pemungutan pajak terhadap sektor PMSE juga dimaksudkan untuk memastikan terpenuhinya prinsip pemajakan yang berkeadilan ( fairness) antara semua pelaku usaha dan menciptakan level of playing field yang sama bagi pengusaha di dalam negeri untuk bertahan dan meningkatkan daya saingnya di tengah pandemi Covid-19. Selama ini, pelaku usaha ekonomi digital luar negeri mendapatkan penghasilan secara signifikan dari Indonesia tanpa perlu membayar pajak di Indonesia. Untuk itu, pemajakan atas PMSE diharapkan mampu menjadi sumber penting pendapatan negara mengingat nilai transaksinya yang besar di masa yang akan datang. Dengan demikian, pengaturan objek pajak baru dan mekanisme mekanisme peningkatan efektivitas pajak menjadi hal yang harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan belanja negara yang semakin tinggi dengan kondisi pemasukan negara yang tidak mencukupi. 141 4) Apabila pemajakan terhadap PMSE tidak segera diterapkan di Indonesia maka terjadi kekosongan hukum dan menjadi loopholes untuk penghindaran dan pengelakan pajak yang menyebabkan hilangnya potensi penerimaan pajak. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa akan memerlukan waktu yang cukup lama, apalagi di tengah pandemi Covid-19. Dengan demikian, kebijakan pemajakan PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 sangat diperlukan sebagai dasar legal formal pemajakan atas PMSE. Dalam pelaksanaan PMSE tersebut, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, Dan Penyetoran, Serta Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud Dan/Atau Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean Di Dalam Daerah Pabean Melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Peraturan tersebut tentunya tidak lepas dari pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. Maka dengan diaturnya PSME dalam Perppu 1/2020 yang keberlakuannya setara dengan Undang-Undang dan telah ditetapkan sebagai Undang- Undang melalui UU 2/2020, maka dalil para Pemohon Perkara 37 mengenai PSME harus diatur dalam undang-undang menjadi tidak beralasan menurut hukum.
Pandangan DPR Terhadap Keterbukaan Pemerintah Terhadap Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara Sebagaimana Diatur dalam Ketentuan UU a quo .
Setiap penyelenggara negara wajib mengelola keuangan negara secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Pengelolaan dimaksud dalam UU Keuangan Negara 142 mencakup keseluruhan kegiatan perencanaan, penguasaan, penggunaan, pengawasan, dan pertanggung-jawaban. Oleh karenanya, APBN, perubahan APBN, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN setiap tahun ditetapkan dengan undang-undang. Sedangkan APBD, perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Dengan ditetapkannya APBN, Perubahan APBN berikut pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dalam Undang-Undang dan APBD, perubahan APBD berikut pertangungjawaban pelaksanaan APBD dalam Peraturan daerah, maka berlakulah fiksi hukum dalam masyarakat. Asas Fiksi Hukum beranggapan bahwa ketika suatu peraturan perundang- undangan telah diundangkan maka pada saat itu setiap orang dianggap tahu ( presumption iures de iure ) dan ketentuan tersebut berlaku mengikat sehingga ketidaktahuan seseorang akan hukum tidak dapat membebaskan/memaafkannya dari tuntutan hukum ( ignorantia jurist non excusat ). Keberadaan asas fiksi hukum, telah dinormakan di dalam Penjelasan Pasal 81 ketentuan UU 12/2011 yakni "Dengan diundangkannya Peraturan Perundang-undangan dalam lembaran resmi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini, setiap orang dianggap telah mengetahuinya". Adapun lembaran resmi yang dimaksud di dalam ketentuan Pasal 81 terdiri dari 7 jenis yakni a. Lembaran Negara Republik Indonesia, b.Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, c.Berita Negara Republik Indonesia, d. Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, e.Lembaran Daerah, f. Tambahan Lembaran Daerah, atau g. Berita Daerah.
Dalam rangka akuntabilitas pengelolaan keuangan negara menteri/ pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota selaku pengguna anggaran/ pengguna barang bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD, dari segi manfaat/hasil ( outcome ). Sedangkan Pimpinan unit organisasi kementerian negara/lembaga bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan dalam undang-undang tentang APBN, demikian pula Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan dalam Peraturan 143 Daerah tentang APBD, dari segi barang dan/atau jasa yang disediakan ( output ).
Oleh karena itu, dalam UU Perbendaharaan Negara diatur sanksi yang berlaku bagi menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota, serta Pimpinan unit organisasi kementerian negara/lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan/kegiatan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD. Ketentuan sanksi tersebut dimaksudkan sebagai upaya preventif dan represif, serta berfungsi sebagai jaminan atas ditaatinya Undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD yang bersangkutan. Selain itu perlu ditegaskan prinsip yang berlaku universal bahwa barang siapa yang diberi wewenang untuk menerima, menyimpan dan membayar atau menyerahkan uang, surat berharga atau barang milik negara bertanggungjawab secara pribadi atas semua kekurangan yang terjadi dalam pengurusannya. Kewajiban untuk mengganti kerugian keuangan negara oleh para pengelola keuangan negara dimaksud merupakan unsur pengendalian intern yang andal.
Anggapan para Pemohon perkara 42 dan para Pemohon perkara 43 atas tidak terjadinya krisis perekonomian karena tidak adanya pernyataan dari Presiden terkait kondisi tersebut, hal ini sungguh tidak beralasan menurut hukum dan justru menunjukkan sikap ketidakpedulian para Pemohon perkara 42 dan para Pemohon perkara 43 atas kondisi negara dan kondisi yang ada dalam masyarakat secara umum. Dengan perkembangan teknologi dan akses berita yang mudah dan luas sekarang ini, informasi mengenai keuangan negara dapat diakses dengan mudah. Hal ini merupakan wujud transparansi pengelolaan keuangan negara karena keuangan negara menyangkut kepentingan publik.
Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dijelaskan bahwa Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang 144 berkaitan dengan kepentingan publik. Salah satu asas dalam UU tersebut adalah bahwa setiap Informasi Publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap Pengguna Informasi Publik, kecuali terdapat ketentuan pengecualiannya. Informasi Publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan undang-undang, kepatutan, dan kepentingan umum didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah dipertimbangkan dengan saksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya. Dalam hal ini, keuangan negara merupakan informasi yang tidak dikecualikan dan dengan jelas diatur adanya mekanisme-mekanisme penyampaian informasi keuangan negara dalam UU Keuangan Negara.
Pandangan DPR terkait penambahan kewenangan terhadap OJK sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Setidaknya terdapat tiga kewenangan OJK dalam UU a quo . Salah satu amanat dari UU 2/2020 seperti yang tercantum dalam Pasal 23 ayat (1) yaitu memberi kewenangan dan pelaksanaan kebijakan OJK untuk memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, integrasi dan/atau konversi. Langkah tersebut dapat dilakukan apabila diperlukan untuk mengantisipasi krisis jasa keuangan yang dapat membahayakan perekonomian nasional. Dalam menghadapi kondisi penuh risiko saat ini akibat Covid-19 maka daya tahan lembaga jasa keuangan sangat dibutuhkan khususnya dari sisi permodalan. Sehingga, salah satu cara untuk memperkuat daya tahan lembaga jasa keuangan tersebut dilakukan dengan cara penggabungan atau merger. Aksi merger tersebut diperlukan karena terdapat risiko besar akibat Covid-19 yang mengganggu kemampuan pembayaran perusahaan jasa keuangan khususnya perbankan, meskipun saat ini perbankan tetap masih membayarkan bunga deposito kepada nasabah tepat waktu. Di sisi lain, kemampuan membayar debitur atau peminjam dalam kondisi tidak stabil karena perlambatan ekonomi di berbagai sektor. Sehingga, aksi merger tersebut diharapkan dapat memperkuat daya tahan perusahaan jasa keuangan. 145 b. Otoritas Jasa Keuangan mengeluarkan berbagai kebijakan stimulus untuk mengantisipasi dampak pandemi Covid-19 di bidang lembaga jasa keuangan. Sejauh ini, setidaknya OJK telah menerbitkan lima Peraturan OJK (POJK) pada 21 April 2020 sebagai tindak lanjut kewenangan OJK dalam pelaksanaan UU 2/2020 Kebijakan stimulus ini salah satunya adalah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Corona Virus Disease 2019.
Kekhawatiran para Pemohon perkara 37 dan para Pemohon perkara 42 terkait potensi kesewenang-wenangan OJK dalam melaksanakan kewenangannya yang diberikan oleh UU 2/2020 tentunya telah diantisipasi oleh Pemerintah dan OJK dengan adanya pedoman pelaksanaan kewenangan-kewenangan tersebut. Selain itu, bagi OJK selaku pelaksana kewenangan yang diberikan oleh UU 2/2020 juga berlaku ketentuan Asas- Asas Umum Pemerintahan yang Baik sebagaimana diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Pandangan DPR terkait pinjaman kepada LPS sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Ketentuan Pasal 2 ayat (3) UU LPS, LPS merupakan lembaga yang independen. Sesuai ketentuan tersebut, telah jelas bahwa kedudukan LPS merupakan lembaga independen, bukan merupakan lembaga yang berada di bawah pemerintah. Pemberian kewenangan kepada LPS sebagaimana yang tercantum dalam Lampiran UU 2/2020, pada prinsipnya merupakan kewenangan yang telah diberikan oleh UU LPS, UU OJK , dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK). Kewenangan yang diberikan kepada LPS sesuai Pasal 20 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 sifatnya lebih mempertegas guna mendukung pelaksanaan fungsi LPS dalam kondisi adanya pandemi Covid-19 dan/atau adanya ancaman perekonomian dan/atau stabilitas sistem keuangan. Kewenangan tersebut sudah jelas melekat dan seharusnya diberikan kepada LPS untuk dapat melaksanakan fungsi LPS sebagaimana diatur dalam UU LPS, yaitu menjamin simpanan nasabah penyimpan dan menjaga stabilitas sistem 146 perbankan. Pemberian kewenangan bagi LPS untuk melaksanakan langkah-langkah penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan juga diiringi dengan wewenang bagi Pemerintah untuk mengatur lebih lanjut pelaksanaan kewenangan tersebut dalam Peraturan Pemerintah [vide Pasal 20 ayat (2) Lampira n UU 2/2020]. Adanya atribusi dan mandat untuk melakukan pengaturan dalam peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dimaksudkan untuk memberikan koridor dalam pelaksanaan kewenangan LPS. Hal tersebut dimaksudkan selain untuk memberikan kepastian hukum, juga untuk menghindari LPS menginterpretasikan kewenangan yang diberikan dalam Lampiran UU 2/2020 secara luas yang dapat mengakibatkan penyalahgunaan wewenang.
Berdasarkan UU LPS, fungsi LPS adalah menjamin simpanan nasabah di bank dan turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai kewenangannya. Berdasaran ketentuan dalam Pasal 85 ayat (1) UU LPS, dalam hal modal LPS menjadi kurang dari modal awal, Pemerintah dengan persetujuan DPR menutup kekurangan tersebut. Modal awal LPS ditetapkan sekurang-kurangnya Rp 4 triliun dan sebesar-besarnya Rp 8 triliun.
UU 2/2020 memberikan kewenangan kepada LPS yang di antaranya adalah melakukan pemeriksaan penanganan dan peningkatan intensitas persiapan Penanganan Bank bersama OJK dan melakukan pemilihan cara penanganan Bank Selain Bank Sistemik yang dinyatakan sebagai Bank Gagal dengan tidak hanya mempertimbangkan perkiraan biaya yang paling rendah ( least cost test ), tetapi juga mempertimbangkan kondisi perekonomian, kompleksitas permasalahan perbankan, kebutuhan waktu penanganan, ketersediaan investor, dan/atau efektivitas penanganan permasalahan Bank.
Sehubungan dengan kewenangan tersebut, UU 2/2020 mendelegasikan pengaturan kewenangan dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kewenangan LPS dalam Rangka Melaksanakan Langkah-Langkah Penanganan Permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah tersebut, LPS melakukan pemeriksaan bersama dalam rangka persiapan Penanganan 147 Bank dan peningkatan intensitas persiapan Penanganan Bank serta melakukan pemilihan cara penanganan Bank Selain Bank Sistemik yang dinyatakan sebagai Bank Gagal.
Berdasarkan kewenangan dimaksud, dalam hal terdapat Bank yang mengalami permasalahan solvabilitas, LPS melakukan pemeriksaan bersama dengan OJK untuk penanganan permasalahan solvabilitas Bank. Disamping itu, selama pemulihan ekonomi sebagai akibat pandemi Covid-19, LPS dapat melakukan penempatan dana pada Bank untuk mengelola dan/atau meningkatkan likuiditas LPS dan/atau mengantisipasi dan/atau melakukan penanganan permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan yang dapat menyebabkan terjadinya kegagalan Bank sebagai bagian dari tindakan antisipasi ( forward looking ) LPS untuk menjaga Stabilitas Sistem Keuangan.
Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 3 Tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan Dalam Rangka Melaksanakan Langkah-Langkah Penanganan Permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan, juga mengatur bahwa untuk penanganan pandemi Covid-19 untuk mengelola dan/atau meningkatkan likuiditas LPS dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, LPS dalam rangka pengambilan keputusan untuk melakukan penanganan Bank Selain Bank Sistemik yang dinyatakan sebagai Bank Gagal oleh OJK, tidak hanya mempertimbangkan perkiraan biaya yang paling rendah ( least cost test ) tetapi juga dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian, kompleksitas permasalahan bank, kebutuhan waktu penanganan, ketersediaan investor, dan/atau efektivitas dalam rangka penanganan permasalahan bank.
Berdasarkan ketentuan dalam lampiran UU 2/2020, LPS dapat menaikkan nilai penjaminan simpanan dari saat ini Rp2 miliar per rekening untuk menjamin adanya kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan. LPS juga bisa menambah pembiayaan dengan menerbitkan surat utang. Penambahan pendanaan ini bertujuan untuk membantu LPS apabila mengalami kesulitan likuiditas dalam menangani bank gagal. 148 Pembiayaan dari surat utang merupakan salah satu opsi yang dapat dilakukan LPS untuk menjalankan fungsi penjaminan simpanan maupun penanganan bank berdampak sistemik. Selama ini, LPS mendapatkan pembiayaan dari premi yang dibayarkan dari bank sebesar 0,2 persen per tahun dari rata-rata simpanan. LPS juga bisa mendapatkan biaya dari penanganan bank gagal serta memperoleh pinjaman dari pemerintah apabila modal sudah berada di bawah Rp4 triliun.
Resiko pembiayaan yang dikeluarkan untuk stabilitas kondisi perekonomian dan keuangan nasional salah satunya adalah kewajiban kontinjensi pemerintah pusat. Kewajiban kontinjensi merupakan kewajiban potensial bagi Pemerintah yang timbul akibat adanya peristiwa masa lalu dan keberadaannya menjadi pasti dengan terjadinya atau tidak terjadinya suatu peristiwa ( event ), yang tidak sepenuhnya. berada dalam kendali Pemerintah. Kewajiban kontinjensi bersumber dari pemberian dukungan dan/atau jaminan pemerintah atas proyek-proyek infrastruktur; program jaminan sosial nasional; kewajiban Pemerintah untuk menambahkan modal jika modal lembaga keuangan, yaitu Bank Indonesia (BI), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), di bawah jumlah yang diatur dalam Undang-Undang; dan tuntutan hukum kepada Pemerintah.
Berbagai opsi pendanaan tambahan ini diperlukan untuk memberikan kepercayaan kepada masyarakat sehingga persoalan solvabilitas bank dapat selesai dengan baik. Oleh karenanya, LPS harus menentramkan masyarakat bahwa dana mereka aman dan mampu memulihkan fungsi intermediasi perbankan. Dengan demikian, kekhawatiran yang didalilkan para Pemohon perkara 42 dalam permohonannya menjadi hal yang tidak benar karena dalam pelaksanaan pemberian pinjaman terhadap LPS jelas akan dikonsultasikan dengan DPR dan keberadaan pengaturan tersebut adalah salah satu upaya yang terbuka bagi pemerintah apabila kondisi perbankan nasional memburuk.
Pengaturan dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b UU 2/2020 yang menyatakan bahwa LPS diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan (i) penjualan/repo SBN yang dimiliki kepada Bank Indonesia; (ii) penerbitan surat utang; (iii) pinjaman kepada pihak lain; dan/atau (iv) pinjaman 149 kepada Pemerintah, dalam hal LPS diperkirakan akan mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan Bank Gagal, selain memberikan alternatif sumber pendanaan bagi LPS yang berlaku, baik untuk Bank Sistemik dan Bank Selain Bank Sistemik juga diharapkan dapat memberikan waktu yang cukup bagi LPS dalam mempersiapkan sumber dana tersebut sebelum terdapat Bank Gagal. Transaksi antara LPS dengan Bl sebagai salah satu langkah untuk pemenuhan likuiditas LPS yang diperluas sehingga LPS selain dapat melakukan penjualan SBN miliknya, juga dapat melakukan transaksi Repo. Selain penjualan dan/atau repo kepada Bl, LPS juga mempunyai alternatif pendanaan berupa pinjaman kepada pihak lain yang dimaksudkan untuk menjaring pihak-pihak (dalam dan/atau luar negeri) yang mempunyai kemampuan pendanaan sehingga tersedia alternatif pendanaan yang lebih luas bagi LPS. Pinjaman LPS dari pihak lain merupakan salah satu opsi untuk menjaga likuiditas sehingga pemanfaatan dana tersebut untuk melaksanakan tugas dan fungsi LPS sebagai lembaga resolusi perbankan dalam hal terdapat Bank Gagal sesuai tata kelola yang diatur dalarn UU LPS.
Pandangan DPR terkait dalil para Pemohon mengenai adanya hak imunitas bagi pelaksana kebijakan keuangan dan kerugian yang timbul dari pelaksanaan UU a quo bukan merupakan kerugian negara berdasarkan UU a quo adalah sebagai berikut a. Bahwa dukungan pembiayaan anggaran untuk penanganan Covid-19 yang besar adalah dalam rangka mendukung Program Pemulihan Ekonomi Nasional. Rincian kebutuhan anggaran ini berdampak pada sisi belanja dan juga pendapatan negara dalam APBN 2020. Biaya yang dikeluarkan pemerintah ini adalah biaya ekonomi yang bertujuan untuk penyelamatan negara dari krisis dan tidak bisa dianggap sebagai merupakan kerugian negara. APBN sebagai alat untuk mencapai tujuan negara, digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Ketika keadaan mendesak dan darurat, maka APBN sebagai alat tersebut dapat disesuaikan penggunaannya untuk menjadi penolong keselamatan negara. Biaya yang dikeluarkan ini disadari tidak akan sepenuhnya kembali dan juga hilangnya potensi penerimaan negara, namun di sisi lain 150 telah timbul manfaat yang lebih besar yaitu pulihnya perekonomian dan dunia usaha sehingga dapat menyelamatkan ekonomi Indonesia. Sehingga biaya yang dikeluarkan tidak bisa disebut sebagai kerugian negara.
Biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah ini adalah biaya ekonomi yang bertujuan untuk penyelamatan negara dari krisis dan tidak bisa dianggap sebagai merupakan kerugian negara. APBN sebagai alat untuk mencapai tujuan negara, digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Ketika keadaan mendesak dan darurat, maka APBN sebagai alat tersebut dapat disesuaikan penggunaanya untuk menjadi penolong keselamatan negara. Biaya yang dikeluarkan ini disadari tidak akan sepenuhnya kembali dan juga hilangnya penerimaan negara, namun di sisi lain telah menimbulkan manfaat yang lebih besar yaitu pulihnya perekonomian dan dunia usaha sehingga dapat menyelamatkan ekonomi Indonesia. Sehingga biaya yang dikeluarkan tidak bisa disebut sebagai kerugian negara. Penggunaan biaya ekonomi ini lah yang disebutkan dalam Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 yang dimaksudkan untuk penyelamatan perekonomian dari krisis sehingga bukan merupakan kerugian negara.
Mengutip Pendapat Dr. Dian Puji Nugraha Simatupang dalam tulisannya yang berjudul “Ekuilibrium Kebijakan Keuangan Negara Menghadapi Keadaan Negara Darurat Akibat Penyebaran Covid-19 Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020”: “Biaya yang telah dialokasikan UU APBN dan/atau realisasi keuangan pemerintah untuk keadaan darurat tidaklah dapat dikategorikan sebagai kerugian negara dengan alasan : Pertama, biaya tersebut dialokasikan dalam UU APBN dan/atau laporan realisasi anggaran sebagai dasar hukum pengeluaran uang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2004 j.o. Pasal 27 ayat (4) UU Nomor 17 Tahun 2003; Kedua, biaya tersebut dikeluarkan untuk memenuhi kewajiban pemerintah untuk melindungi segenap tumpah darah rakyat Indonesia atau memenuhi asas kemanfaatan umum (doelmatigheid), dan untuk menghindari situasi dan keadaan yang lebih membahayakan keuangan negara dan perekonomian secara keseluruhan; Ketiga , biaya tersebut tetap diukur dalam satuan yang dikendalikan dan ditetapkan pedomannya oleh pemerintah dengan memperhatikan masukan dari lembaga terkait yang relevan untuk melakukan pengawasan intern. Menyangkut norma dalam Pasal 27 ayat (1) Perpu Nomor 1 Tahun 2020 hakikatnya dimaknai sebagai biaya sebagai sebab terjadinya keadaan darurat uang mempengaruhi stabilitas keuangan negara dan perekonomian nasional. Dalam 151 hukum keuangan publik, hal demikian merupakan biaya resiko yang harus dibebankan ke dalam UU APBN untuk maksud mewujudkan tujuan negara, yaitu melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Biaya dalam keadaan darurat merupakan konsekuensi logis dalam upaya mewujudkan tindakan kepemerintahan yang cepat dan luar biasa diperlukan dalam kondisi yang tidak sempurna. Kecepatan dan ketepatan pemerintahan dalam penanganan keadaan darurat Covid-19 tidak dapat menggunakan parameter dan indikator yang biasa karena justru tidak prosesual atau tidak memenuhi ekuilibrium kebijakan keuangan publik jika suatu alas fakta yang berbeda menggunakan syarat prosedur yang normal atau kondisi yang sempurna, padahal alas fakta jelas terdapat perbedaan dan situasi yang darurat.” d. Bahwa dalam memaknai ketentuan Pasal 27 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020 tidak dapat dimaknai secara parsial melainkan harus dimaknai sebagai satu kesatuan. Adanya suatu kerugian keuangan negara, penyalah gunaan kewenangan melalui suatu kebijakan maupun produk hukum lain yang dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan UU 2/2020 tetap harus dibuktikan secara hukum dengan parameter yang tentunya tidak bisa disamakan dengan apa yang ada dalam keadaan normal. Adanya frasa “iktikad baik” dan “sesuai peraturan perundang- undangan” merupakan batasan koridor pelaksanaan kewenangan dalam penggunaan keuangan negara dan mengeluarkan suatu produk hukum dalam rangka pelaksanaan UU 2/2020.
Bahwa dalam perspektif hukum keuangan publik, kerugian negara adalah “kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti sebagai akibat perbuatan melawan hukum atau kelalaian,” berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 22 UU Perbendaharaan Negara. Artinya disini kerugian Negara tersebut harus dibuktikan sebagai akibat dari suatu perbuatan yang melawan hukum atau karena kelalaian. Biaya yang telah dialokasikan UU APBN dan/atau realisasi keuangan pemerintah untuk keadaan darurat tidaklah dapat dikatagorikan sebagai kerugian negara dengan alasan: a) biaya tersebut dialokasikan dalam UU APBN dan/atau laporan realisasi anggaran sebagai dasar hukum pengeluaran uang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara jo. Pasal 27 ayat (4) UU Keuangan Negara; 152 b) biaya tersebut dikeluarkan untuk memenuhi kewajiban pemerintah untuk melindungi segenap tumpah rakyat Indonesia atau memenuhi asas kemanfaatan umum ( doelmatigheid ), dan untuk menghindari situasi dan keadaan yang lebih membahayakan keuangan negara dan perekonomian nasional secara keseluruhan; c) biaya tersebut tetap diukur dalam satuan yang dikendalikan dan ditetapkan pedomannya oleh pemerintah dengan memperhatikan masukan dari lembaga terkait yang relevan untuk melakukan pengawasan intern;
Bahwa di samping itu, makna kerugian negara juga berkaitan dengan administrasi pemerintahan karena dengan adanya Pasal 20 Undang- undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016, kerugian negara juga mempunyai relevansi dengan persoalan hukum administrasi negara dalam hal terjadinya kesalahan administrasi. Bahwa biaya dalam keadaan darurat merupakan konsekuensi logis dalam upaya mewujudkan tindakan kepemerintahan yang cepat dan luar biasa diperlukan dalam kondisi yang tidak sempurna. Kecepatan dan ketepatan pemerintahan dalam penanganan keadaan darurat akibat Covid-19 tidak dapat menggunakan parameter dan indikator yang biasa karena tidak justru tidak prosesual atau tidak memenuhi ekuilibrium kebijakan keuangan publik jika suatu alas fakta yang berbeda menggunakan syarat prosedur yang normal atau kondisi yang sempurna, padahal alas fakta jelas terdapat perbedaan dan situasi yang darurat. Di samping itu, biaya tersebut juga akan sampai pada muaranya untuk diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan juga hasilnya disampaikan kepada DPR untuk memperoleh persetujuan berkaitan dengan manfaatnya dalam LKPP. Dengan demikian, proses dan sistem pembiayaan tersebut tetap akuntabel dan memenuhi asas umum pemerintahan yang baik dalam suatu syarat prosedur yang darurat.
Bahwa kewenangan BPK sudah sangat tegas diatur dalam Pasal 23E ayat (1) UUD NRI 1945. Dalam ketentuan peraturan perundang-undangan maka BPK juga diatur dalam UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK sesuai dengan fungsi dan kewenangannya serta dikaitkan pula dengan Bab VIII UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang 153 mengatur bahwa pelaksanaan APBN dan APBD diperiksa oleh BPK sebelum akhirnya Presiden/Kepala Daerah menyampaikan RUU/Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD kepada DPR/DPRD. Di samping itu, dalam UU a quo harus dipahami dan dicermati bahwa tidak ada satu pun pasal dalam UU a quo yang mengecualikan atau menghalang-halangi fungsi BPK untuk melakukan audit.
Bahwa hal demikian kemudian dilaksanakan dengan iktikad baik bagi pejabat administrasi pemerintahan. Dalam hukum administrasi negara, iktikad baik lebih tepat menggunakan istilah asas-asas umum pemerintahan yang baik. Dalam hal ini pejabat administrasi pemerintahan menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan alas hukum dan alas fakta secara memadai, serta keputusan dan kebijakan ditetapkan dengan motivasi untuk melindungi kepentingan umum (bestuurzorg). Dengan kondisi demikian, tepat pelaksanaan tindakan kepemerintahan tersebut tidak menjadi objek keputusan tata usaha negara karena peraturan dasarnya telah berubah, tidak pada peraturan dalam keadaan negara normal. Dengan demikian, keputusan tersebut dikecualikan sebagai objek pengadilan tata usaha negara karena validitasnya didasarkan pada peraturan dasar tersendiri yang dibentuk dalam keadaan darurat.
Dalam hal masyarakat atau pihak lain mengajukan keberatan dalam keputusan administrasi pemerintahan dalam masa darurat, dapat menggunakan instrumen administrasi pemerintahan itu sendiri, yang kemudian dapat dilakukan penyelesaian menurut Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2016 tentang Pengenaan Sanksi Administrasi bagi Pejabat Administrasi Pemerintahan dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2016 tentang Pengenaan Ganti Kerugian oleh Pejabat Bukan Bendahara. Dalam hal keberatan tersebut juga masih ada warga masyarakat dapat mengajukan pengaduan ke DPR dalam rangka pengawasan, sehingga DPR dapat menggunakan seluruh hak yang dimilikinya dalam rangka pengawasan eksternal terhadap tindakan administrasi pemerintahan.
Konsep iktikad baik tetap meletakkan pada aspek pengambilan keputusan dan kebijakan tidak mengandung unsur suap, paksaan/ancaman, dan tipuan guna menguntungkan secara melawan hukum. Akan tetapi, jika 154 pengambilan keputusan dan kebijakan disebabkan adanya kesalahan administrasi, tuntutan pidana tidak dapat dilakukan. Konsep iktikad baik dalam konsep hukum administrasi negara menurut Safri Nugraha dimaknai sebagai wujud asas umum pemerintahan yang baik di mana pelaksanaan pemerintahan dijalankan dengan prinsip akuntabilitas dan transparansi yang mendorong sistem pemerintahan berjalan dengan sistem yang jelas dan terukur. Dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, pengelolaan dan pertanggungjawaban wewenang pemerintahan akan sejalan motivasinya yang layak. Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 50 KUHP disebutkan bahwa: “Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana" Selain itu dalam Pasal 51 ayat (1) KUHP disebutkan bahwa: “Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana”.
Mengutip Pendapat Dr. Dian Puji Nugraha Simatupang dalam tulisannya yang berjudul “Ekuilibrium Kebijakan Keuangan Negara Menghadapi Keadaan Negara Darurat Akibat Penyebaran Covid-19 __ Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020”: “Adanya norma mengesampingkan tuntutan pidana, gugatan perdata, dan tata usaha negara harus dimaknai secara lengkap adanya syarat itikad baik atau asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam hukum administrasi negara. Dengan demikian, ada kejelasan mengenai konsep hukum perdata, hukum administrasi, dan hukum pidana dalam konsep pelaksanaan pengambilan keputusan dan kebijakan dalam kondisi darurat agar pejabat administrasi pemerintahan tidak ragu, cepat, tepat, dan akuntabel untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia ” l. Bahwa ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 juga bukan merupakan kekebalan absolut karena dalam ketentuan tersebut mereka terdapat parameter “dengan iktikad tidak baik” dan “tidak sesuai peraturan perundang-undangan”. Asas iktikad baik awalnya adalah suatu asas yang berlaku dibidang hukum perjanjian yang kini telah berkembang dan diterima sebagai asas di bidang-bidang atau cabang- cabang hukum yang lain, baik yang sesama keluarga hukum privat maupun yang merupakan bidang hukum publik. Dalam perkembangan hukum, terdapat prinsip-prinsip umum ataupun asas-asas umum yang 155 dijadikan sebagai sumber hukum sekaligus asas yang mendasari pelaksanaan hukum itu sendiri. Oleh karenanya asas iktikad baik yang tadinya merupakan suatu asas hukum khusus kini telah berkembang menjadi suatu asas hukum umum. Selain asas iktikad baik, juga ada frasa “ tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Ini adalah 2 parameter yang bersifat kumulatif. Artinya semua pejabat pemerintah yang menjalankan ketentuan pasal tersebut harus berdasarkan 2 kriteria ini secara kumulatif.
Dalam hukum dikenal suatu adagium yang berbunyi “tiada hukum tanpa pengecualian“ atau dalam bahasa belanda dikenal dengan istilah “ geen recht zonder uit zondering ”. Pengecualian dapat dilakukan sepanjang tidak merugikan pihak-pihak yang terkena aturan tersebut karena hukum ditujukan untuk mengayomi dan mensejahterakan masyarakat (Rosjidi Ranggawidjaja, Ilmu Perundang-undangan, CV Mandar Maju). Dalam kaitannya dengan hak Presiden untuk mengeluarkan Perpu yang berisi langkah-langkah yang luar biasa dalam keadaan yang memang tidak normal maka meskipun dalam suatu Perppu ada materi-materi yang dipandang tidak lazim, mengenyampingkan, atau memberlakukan ketentuan bersifat pengecualian dari apa yang telah diatur maka pengecualian itu dapat saja diberlakukan atau dapat diadakan pengecualian sepanjang diatur batasannya dalam Perppu itu sendiri.
Adapun frasa “iktikad baik” adalah apabila dalam melaksanakan tugasnya tidak untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok , dan/atau tindakan lain yang berindikasi korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme. Bahwa apabila nantinya terbukti itikad baik tersebut dilanggar maka sudah jelas konsekuensinya yaitu mereka harus ditempuh prosedur hukum karena tindakan tersebut mengatur unsur mens rea (adanya niat jahat atau iktikad tidak baik) dan actus reus (perbuatan yang melanggar). Dengan demikian asas equality before the law dan asas kepastian hukum dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 tetap terjamin.
UU 2/2020 tidak melindungi pejabat negara atau tidak memberikan imunitas kepada pejabat negara. Pasal a quo diperlukan karena para pihak tersebut merupakan orang-orang yang mengambil keputusan 156 penting. Mengutip pandangan Misbakhun selaku Anggota Komisi XI DPR RI dalam program Indonesia Lawyers Club (ILC) 21 April 2020: “Penanganan Covid -19 melalui physical distancing merupakan pukulan yang paling berat bagi masyarakat karena tidak dapat melakukan interaksi sosial dan merupakan pukulan berat bagi perekonomian. Dampak dari pandemi Covid-19 yaitu faktor produksi tidak jalan sedangkan permintaan (demand) tetap ada. Kedalaman implikasi Covid-19 terhadap perekonomian sulit diukur karena puncak pandemi Covid-19 belum bisa dipastikan waktunya. Implikasi ekonomi yang ditimbulkan oleh Covid-19 terhadap perekonomian sangat dalam sehingga semua skenario perlu disiapkan untuk menghadapi situasi yang paling buruk. Sebelum pandemi Covid-19 ini terjadi struktur perekonomian Indonesia tidak dalam kondisi yang sehat. Hal ini karena perekonomian Indonesia sedang menghadapi dampak perang dagang antara China dengan Amerika. Permasalahannya dalam situasi seperti ini, negara dalam keadaan yang tidak normal. Dalam keadaan yang tidak normal tersebut jangan berhadap statistik ekonomi menjadi bagus. Sehingga menghadapi keadaan yang tidak normal tersebut juga harus diselesaikan dengan cara yang tidak normal . Pihak yang paling terdampak oleh pandemi Covid-19 adalah pekerja harian/pekerja lepas (informal) yang pemenuhan biaya hidupnya ditentukan oleh aktivitas harian. Jika tidak keluar maka mereka tidak dapat makan. Pihak yang terdampak selanjutnya adalah para pelaku UMKM dan kelompok kelas menengah. Kehadiran negara dibutuhkan baik oleh rakyat jelata, pelaku UMKM, masyarakat kelas menengah, maupun masyarakat kelas atas sehingga negara tidak boleh membeda-bedakan. Aktivitas sektor produksi yang menjadi berhenti mengakibatkan permintaan menjadi terbatas. Pemerintah harus memanfaatkan ruang ketatanegaraan yang tersedia untuk mengatasi situasi ini karena UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mempunyai keterbatasan. Untuk memulihkan perekonomian akibat Covid-19, Pemerintah perlu dana untuk membiayai program-program pemerintah. Satu-satunya cara Pemerintah harus berhutang jika SAL dan dana lainnya tidak mencukupi. Hutang bukan tujuan, tetapi hanya sebagai cara agar dapat keluar dari masalah ini. Negara lain juga menggunakan cara yang sama. Anggaran yang disediakan Pemerintah untuk menangani pandemi Covid-19 sebesar 405 Triliun atau sekitar 2,75% dari PDB. Hal yang utama bukan negara berhutang tetapi hutang tersebut dimanfaatkan seperti menolong rakyat jelata .” p. Keberadaan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk memberikan confidence bagi pihak yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya sesuai Lampiran UU 2/2020 telah didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan prinsip hukum imunitas terbatas bagi negara dan/atau perwakilannya, bukan imunitas absolut sehingga melanggar asas keadilan 157 dan kesamaan dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana pemahaman para Pemohon. Dari perspektif teori imunitas, perlindungan hukum yang diberikan dalam Pasal 27 ayat (2) termasuk kategori imunitas terbatas. Teori imunitas terbatas ini memberikan perlindungan/imunitas kepada negara dan perwakilannya terhadap upaya hukum pihak lain baik secara pidana ataupun perdata, sepanjang tindakan yang dilakukan memenuhi syarat dalam hal ini harus beriktikad baik dan menjalankan kewenangan serta kebijakannya sesuai peraturan perundang-undangan. Secara a contrario , imunitas tersebut gugur apabila perbuatan yang dilakukan didasarkan atau terdapat niat jahat ( mens rea ) dan perbuatannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Sampai dengan saat ini sudah ada UU lain yang mengatur perlindungan hukum kepada otoritas yang berwenang dalam pengambilan kebijakan, contohnya: ● Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan. Dalam Pasal 48 ayat (1) UU disebutkan bahwa kecuali terdapat unsur penyalahgunaan wewenang, anggota KSSK dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, BI, OJK dan LPS tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana atas pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang berdasarkan Undang- Undang PPSK. Hal ini untuk melindungi secara hukum kebijakan yang diambil dalam kondisi krisis yang tentu saja tidak bias disamakan dengan kondisi normal. ● Pasal 22 UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak menyebutkan bahwa Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Adapun itikad baik dijelaskan apabila dalam melaksanakan tugasnya tidak untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok, dan/atau tindakan lain yang berindikasi korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme. 158 ● UU Bank Indonesia disebutkan dalam Pasal 45 yang berbunyi “Gubernur, Deputi Gubernur, dan/atau pejabat Bank Indonesia tidak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini sepanjang dilakukan dengan iktikad baik”. ● UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman dalam Pasal 10 menyatakan bahwa “Dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Ombudsman tidak dapat ditangkap, ditahan, diinterogasi, dituntut, atau digugat di muka pengadilan”. ● UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dalam Pasal 16 menyatakan bahwa Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan. ● UU MD3 Perlindungan hukum bagi anggota DPR disebutkan dalam Pasal 224 UU ayat (1) yaitu: Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR. Oleh karena itu, pengaturan dalam UU mengenai perlindungan hukum bagi pihak yang menjalankan UU bukanlah hal yang baru, dan dapat dibenarkan selama ada pengaturan mengenai batasan atau kriteria tertentu.
Dengan demikian, perlindungan hukum dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 diperlukan untuk memberikan kepastian hukum kepada para pengambil kebijakan bahwa tindakan dan keputusan yang diambil dengan iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan akan dilindungi oleh hukum. Dengan demikian tidak ada hak warga negara yang ditangguhkan dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020. Bahkan Pasal 49 UU PTUN telah memberikan imunitas atau perlindungan hukum dari sengketa di peradilan tata usaha negara atas tindakan dan/atau keputusan pejabat tata usaha negara yang dilakukan dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan 159 Pasal 49 UU PTUN ini menjadi landasan untuk diadopsi dalam Pasal 27 ayat (3) UU 2/2020. Sebagaimana Majelis Hakim maklumi, ketentuan perlindungan hukum pernah beberapa kali dilakukan pengujian konstitusionalitasnya di Mahkamah Konstitusi (UU Advokat dan UU Pengampunan Pajak). Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi terdapat pertimbangan sebagai berikut: “pihak-pihak yang disebut dalam ketentuan a quo memang sudah seharusnya tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” Sebagai best practices , standar internasional yang ditetapkan oleh lembaga keuangan internasional ( Financial Stability Board, Basel Committee on Banking Supervision , dan IMF) juga menetapkan adanya pengaturan perlindungan hukum bagi pengambil dan pelaksana kebijakan di bidang sektor keuangan.
Pandangan DPR terkait ketentuan UU yang dinyatakan tidak berlaku sepanjang keterkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Perppu sebagaimana dimaksud dalam UU a quo .
Bahwa pengaturan Pasal 28 lampiran UU 2/2020, telah sesuai dengan ketentuan Lampiran 137 UU 12/2011 yang mengatur bahwa pada umumnya Ketentuan Penutup memuat ketentuan mengenai:
penunjukan organ atau alat kelengkapan yang melaksanakan Peraturan Perundang-undangan;
nama singkat Peraturan Perundang- undangan;
status Peraturan Perundang-undangan yang sudah ada; dan d. saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan.
Bahwa memang benar bahwa sudah ada beberapa undang-undang yang mungkin dapat menjadi payung hukum penyelesaian masalah yang timbul akibat Covid-19. Hanya saja tidak pula dapat disalahkan, apabila dalam pandangan subjektif Presiden, undang-undang yang telah ada tersebut dianggap belum mampu menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi. Kondisi serupa juga pernah terjadi ketika Presiden menerbitkan beberapa 160 Perppu yang lahir karena tidak memadainya Peraturan Perundang- undangan yang ada, yang kemudian menyimpangi/menyatakan tidak berlaku sebagian materi dari beberapa undang-undang misalnya Perppu Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan menyatakan beberapa ketentuan dalam UU tentang Perbankan dan Perpajakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan pelaksanaan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan berdasarkan Perppu tersebut.
Bahwa dalam beberapa undang-undang yang ada tersebut memang telah mengatur berbagai dasar kebijakan keuangan negara materi muatan undang-undang yang sudah ada belum mengatur mengenai kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Selain itu, beberapa ketentuan yang terdapat dalam undang- undang tersebut hanya dapat diberlakukan jika negara dalam keadaan normal, bukan dalam kegentingan/keadaan yang memaksa. Oleh karena itu, Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 ini tidak memberlakukan beberapa ketentuan dalam undang-undang tersebut sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan UU 2/2020.
Bahwa tidak diberlakukannya ketentuan undang-undang yang disebutkan dalam Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 selama pemberlakuan UU 2/2020 dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan tidak terjadi disharmoni pengaturan karena adanya dua pengaturan yang berbeda yang mengatur hal yang sama.
Pandangan DPR terkait penyesuaian mandatory spending dana desa a. Bahwa terkait dengan permasalahan dana desa yang disampaikan oleh para Pemohon perkara 47, ketentuan Pasal 1 ayat (4) huruf b Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian 161 Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 (PP 72/2020) tetap menetapkan adanya anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa sebesar Rp763.925.645.050.000 (tujuh ratus enam puluh tiga triliun sembilan ratus dua puluh lima miliar enam ratus empat puluh lima juta lima puluh ribu rupiah), termasuk tambahan belanja untuk penanganan pandemi Covid-19 sebesar Rp5.000.000.000.000 (lima triliun rupiah). Ketentuan Pasal 3 ayat (4) PP 72/2020 menyatakan bahwa rincian anggaran transfer ke daerah dan dana desa tersebut tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari PP 72/2020. Dalam Lampiran VI.15 mengenai Rincian Dana Desa Menurut Provinsi/ Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2020 menyatakan bahwa seluruh daerah kabupaten Para Pemohon perkara 47 tetap mendapatkan alokasi dana desa . Berdasarkan ketentuan tersebut maka kekhawatiran para Pemohon perkara 47 tidak beralasan menurut hukum karena ketentuan Pasal a quo tidak menyebabkan dana desa dihentikan dan desa Para Pemohon tetap mendapatkan alokasi dari anggaran belanja negara .
Bahwa alokasi dari APBN merupakan salah satu sumber pendapatan desa. Berdasarkan ketentuan Pasal 72 ayat (1) UU Desa pendapatan desa bersumber dari pendapatan asli desa, alokasi APBN, bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota, alokasi dana desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota, bantuan keuangan dari APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota, hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga, dan lain-lain pendapatan desa yang sah. Dengan banyak sumber pendapatan desa tersebut, maka para Pemohon tidak hanya mengandalkan APBN dan memaksimalkan sumber-sumber pendapatan desa lainnya. Dengan upaya yang maksimal tersebut maka pembangunan yang sudah dicanangkan oleh para Pemohon dan perangkat desa dalam musrenbangdes dan RPJM desa untuk kesejahteraan dan kemakmuran warga desa para Pemohon tetap dapat terealisasikan.
Bahwa Pemohon perkara 47 telah salah dalam mengartikan Pasal 28 angka 8 UU 2/2020, karena Dana Desa tidak dihentikan paska disahkannya UU 2/2020, hal ini tercantum dalam Peraturan Menteri Desa, 162 Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2020 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2020 (Permendes 7/2020), yang pada bagian menimbangnya menyatakan: “bahwa berdasarkan Undang–Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang–Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disesase 2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang–Undang, penggunaan Dana Desa dapat digunakan untuk bantuan langsung tunai kepada miskin di Desa” Pada Pasal 8A ayat (1) Permendes 7/2020 disebutkan bahwa “ Bencana Non-alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf d merupakan bencana yang terjadi sebagai akibat kejadian luar biasa berupa penyebaran penyakit yang mengancam dan/atau menimpa warga masyarakat secara luas atau skala besar, meliputi:
Pandemi Corona Virus Diseases 2019” dan pada Pasal 8A ayat (2) Permendes 7/2020 disebutkan bahwa “Penanganan dampak Pandemi Corona Virus Diseases 2019 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat berupa BLT Dana Desa kepada keluarga miskin di Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang–undangan . d. Bahwa ketentuan Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk menyatakan tidak berlakunya ketentuan mandatory spending alokasi Dana Desa sebesar 10% dari belanja pemerintah pusat, sebagaimana yang disebutkan dalam Penjelasan Pasal 72 ayat (2) UU Desa. Ketidakberlakuan ketentuan mandatory spending dana desa bersifat temporer. Dengan adanya penyesuaian mandatory spending dana desa, Pemerintah dapat memiliki fleksibilitas dalam melakukan refocusing belanja untuk mencegah, menangani, dan memulihkan dampak pandemi Covid-19. Dengan adanya mandat ini maka untuk menjamin fleksibilitas penggunaan dana desa dalam rangka sepanjang masih terdapat kebutuhan untuk penanganan Covid-19 di daerah/desa maka Pasal 72 ayat (2) harus dinyatakan tidak berlaku sehingga tidak terdapat dualisme aturan. Penyesuaian mandatory spending Dana Desa tersebut dimaksudkan agar pelaksanaan program Pemerintah dapat dilakukan lebih 163 efektif, efisien, dan tepat sasaran mengingat penyebaran dampak pandemi Covid-19 bersifat masif di seluruh wilayah Indonesia. Dengan demikian, Dana Desa tidak dihentikan namun dialihkan dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai dan program-program Dana Desa dibuat skala prioritas yang bertujuan untuk kesejahteraan dan kemakmuran warga desa bukan untuk pembangunan infrastuktur saja. E. KETERANGAN TAMBAHAN Terkait dengan pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi mengenai mekanisme pembahasan Perppu untuk mencapai persetujuan atau pencabutan perppu, DPR RI menerangkan sebagai berikut:
Bahwa sebagaimana disampaikan oleh Presiden yang diwakili oleh Menteri Keuangan, pembahasan penetapan perppu menjadi Undang- Undang/pencabutan Perppu Pasal 71 UU 12/2011 diatur:
Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dilaksanakan melalui mekanisme yang sama dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang.
Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang dilaksanakan melalui mekanisme khusus yang dikecualikan dari mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang.
Ketentuan mengenai mekanisme khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan tata cara sebagai berikut:
Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diajukan oleh DPR atau Presiden;
Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf a diajukan pada saat Rapat Paripurna DPR tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden; dan c. Pengambilan keputusan persetujuan terhadap Rancangan Undang- Undang tentang Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf b dilaksanakan dalam Rapat Paripurna DPR yang sama dengan rapat paripurna penetapan tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut. __ 2. Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut diatas, pembahasan suatu rancangan Undang-Undang dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan (vide Pasal 66 UU 12/2011) yang dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang ditugasi [vide Pasal 65 ayat (1) UU 164 12/2011] yang diuraikan lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 67-Pasal 70 UU 12/2011.
Bahwa pembicaraan tingkat I dilakukan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat Panitia Khusus dengan kegiatan pengantar musyawarah, pembahasan daftar inventarisasi masalah, dan penyampaian pendapat mini.
Bahwa dalam pembahasan tingkat I tersebut Pemerintah selaku pihak yang mengajukan RUU Penetapan Perppu menjadi Undang-Undang dan juga pihak yang mengeluarkan Perppu tersebut harus menjelaskan kepada DPR RI dalam rapat pembahasan tingkat I yang pelaksanaannya telah dijelaskan oleh DPR RI dalam keterangan ini. Penjelasan tersebutlah yang menjadi pertimbangan DPR RI untuk menyetujui atau tidak menyetujui Perppu tersebut menjadi Undang-Undang.
Bahwa sebagaimana telah disampaikan, Berdasarkan Pasal 71 huruf d dan Pasal 249 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 (UU MD3) bahwa DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. RUU Penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU tidak memiliki pertautan dengan bidang yang mengharuskan keikutsertaan DPD dalam pembahasannya melainkan mengenai DPR memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan, sehingga DPD tidak memiliki kewenangan untuk ikut membahas RUU tersebut.
Bahwa hal ini juga telah jelas sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang mengatur bahwa Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut. Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut. Dalam ketentuan tersebut, tidak diatur bahwa dalam hal penetapan Perppu menjadi Undang-Undang dapat atau bahkan harus mengikutsertakan DPD dalam pembahasannya. 165 Sebaliknya, mengikutsertakan DPD justru menjadi suatu hal yang tidak sesuai dengan apa yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945, UU 12/2011 dan UU MD3. Terkait dengan pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi mengenai penetapan Perppu bukan pada “masa sidang yang berikut”, DPR RI menerangkan sebagai berikut: Bahwa sejauh ini DPR belum pernah melakukan penetapan perppu yang dalam masa sidang yang sama atau bukan pada “masa sidang yang berikut”. Setelah dikeluarkannya Perppu 1/2020, Presiden juga telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang yang disahkan pada 4 Mei 2020 dan ditetapkan sebagai Undang-Undang melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang- Undang menjadi Undang-Undang yang disahkan dan diundangkan pada 11 Agustus 2020 pada masa sidang ketiga tahun 2020 yang terhitung pada 15 Juni 2020 hingga 13 Agustus 2020. Sehingga penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang adalah yang pertama kali dilakukan dengan tidak memenuhi ketentuan “masa sidang yang berikut” mengingat urgensi penetapannya yang harus dilakukan dengan segera. Terkait dengan pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi mengenai pembahasan RAPBN 2021 yang kemudian disepakati dalam paripurna pada 29 September 2020, DPR RI menerangkan:
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 13 ayat (1) UU Keuangan Negara, Pemerintah Pusat menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran berikutnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat selambat-lambatnya pertengahan bulan Mei tahun berjalan. Pasal 15 ayat (1) UU keuangan Negara mengatur bahwa 166 Pemerintah Pusat mengajukan Rancangan Undang-undang tentang APBN, disertai nota keuangan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada bulan Agustus tahun sebelumnya. Dan pada ketentuan Pasal 15 ayat (4) dan ayat (6) UU keuangan Negara diatur Pengambilan keputusan oleh Dewan Perwakilan Rakyat mengenai Rancangan Undangundang tentang APBN dilakukan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan dan apabila DPR tidak menyetujui Rancangan Undang-undang tersebut, Pemerintah Pusat dapat melakukan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBN tahun anggaran sebelumnya.
Bahwa penyampaian pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran tahun 2021 telah disampaikan oleh pemerintah dalam rapat paripurna DPR RI pada dalam rangkaian rapat paripurna tertanggal 12 Mei 2020, 14 Juli 2020, dan 14 Agustus 2020 (Lampiran II, Lampiran III dan Lampiran IV). Sebagai tambahan informasi, pada 25 September 2020, Kemenkeu selaku yang mewakili Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati Rancangan Undang- Undang (RUU) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2021 di Banggar dan Pemerintah bersama DPR telah menyetujui defisit anggaran sebesar 5,7% dari PDB pada Rapat Paripurna DPR tanggal 29 September 2020.
Pembahasan RUU APBN 2021 dilakukan di banggar yang pelaksanaannya disampaikan risalahnya (lampiran V, lampiran VI, lampiran VII) F. RISALAH PEMBAHASAN UU 2/2020 Risalah Pembahasan UU 2/2020 ini terlampir berbagai dokumen pendukung mengenai pembahasan UU 2/2020 sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Keterangan DPR ini. I. PETITUM DPR Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, DPR memohon agar kiranya Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut: 167 1. Menyatakan bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya;
Menerima keterangan DPR RI secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa proses pembentukan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134; Tambahan Lembaran Negara Republlik Indonesia Nomor 6516) telah sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan telah memenuhi ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 183, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6398);
Menyatakan Judul, Pasal 1 ayat (3); Pasal 1 ayat (5); Pasal 2; Pasal 3 ayat (2); Pasal 4 ayat (1) huruf a; Pasal 4 ayat (1) huruf d; Pasal 4 ayat (2); Pasal 5 ayat (1) huruf a; Pasal 5 ayat (1) huruf b; Pasal 6; Pasal 7; Pasal 9; Pasal 10 ayat (1); Pasal 10 ayat (2); Pasal 11 ayat (3); Pasal 12 ayat (1);
Pengujian Materiil dan Formil Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2 ...
Relevan terhadap
ayat (1) huruf b angka (1); Pasal 20 ayat (1) huruf b angka (3); Pasal 20 ayat (1) huruf c; Pasal 22 ayat (1); Pasal 23 ayat (1) huruf a; Pasal 24 ayat (1); Pasal 25; Pasal 26 ayat (1); Pasal 27; Pasal 28 dan Pasal 29 Lampiran UU 2/2020 yang berketentuan sebagai berikut: Judul Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang. Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 1 ayat (5) (3) Untuk melaksanakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) _sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dalam rangka: _ a. _penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID- 191; _ dan/atau b. menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, perlu __ menetapkan kebijakan keuangan negara dan kebijakan stabilitas sistem keuangan (5) Kebijakan stabilitas sistem keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi kebijakan untuk penanganan permasalahan lembaga keuangan yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Pasal 2 (1) Dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara sebagaimana _dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4), Pemerintah berwenang untuk: _ a. menetapkan batasan defisit anggaran, dengan ketentuan sebagai _berikut: _ 1. melampaui 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama masa penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) dan/atau untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling _lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022; _ 2. sejak Tahun Anggaran 2023 besaran defisit akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto _(PDB); dan
penyesuaian besaran defisit sebagaimana dimaksud_ pada angka 1 menjadi sebagaimana dimaksud pada angka 2 dilakukan secara bertahap. 3. Penyesuaian besaran defisit sebagaimana dimaksud pada angka 1 menjadi sebagaimana dimakud pada angka 2 dilakukan secara bertahap. b. melakukan penyesuaian besaran belanja wajib (mandatory spending) sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang- _undangan terkait; _ 20 c. melakukan pergeseran anggaran antar unit organisasi, antarfungsi, _dan/atau antarprogram; _ d. melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut belum tersedia atau tidak cukup tersedia, serta menentukan proses dan metode pengadaan _barang/jasa; _ _e. menggunakan anggaran yang bersumber dari: _ _1. Sisa Anggaran Lebih (SAL); _ _2. dana abadi dan akumulasi dana abadipendidikan; _ _3. dana yang dikuasai negara dengan kriteriatertentu; _ _4. dana yang dikelola oleh Badan Layanan Umum; dan/atau _ 5. dana yang berasal dari pengurangan PenyertaanModal Negara _pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN); _ f. menerbitkan Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-l9) untuk dapat dibeli oleh Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), investor korporasi, _dan/atau investor ritel; _ g. menetapkan sumber-sumber pembiayaan Anggaran yang berasal _dari dalarn dan/atau luar negeri; _ _h. memberikan pinjaman kepada Lembaga PenjaminSimpanan; _ i. melakukan pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu (refoansing), penyesuaian alokasi, dan/atau pemotongan/penundaan penyaluran anggaran Transfer ke Daerah _dan Dana Desa, dengan kriteria tertentu; _ _j. memberikan hibah kepada Pemerintah Daerah; dan/atau _ k. melakukan penyederhanaan mekanisme dan simplifikasi dokumen di bidang keuangan negara (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan keuangan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 3 ayat (2) Ketentuan mengenai pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu (refocusing), perubahan alokasi, dan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri. Pasal 4 ayat (1) huruf a dan huruf d (1) Kebijakan di bidang perpajakan sebagaimana dimaksuddalam Pasal 1 _ayat (4) meliputi: _ a. penyesuaian tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri _dan bentuk usaha tetap; _ b. _…; _ c. _…; _ d. pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk memberikan fasilitas kepabeanan berupapembebasan atau keringanan bea masuk dalam rangka penanganan kondisi darurat serta pemulihan dan penguatan ekonomi nasional. 21 Pasal 4 ayat (2) (2) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik. Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b (1) Penyesuaian tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap sebagaimanadimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a berupa penurunan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang-Undang _mengenai Pajak Penghasilan menjadi: _ a. sebesar 22% (dua puluh dua persen) yang berlaku pada Tahun Pajak _2020 dan Tahun Pajak 2021; dan _ b. sebesar 20% (dua puluh persen) yang mulai berlaku pada Tahun Pajak 2022. Pasal 6 (1) Perlakuan perpajakan dalam kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) _huruf b berupa: _ a. pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean melalui _PerdaganganMelalui Sistem Elektronik (PMSE); dan _ b. pengenaan Pajak Penghasilan atau pajak transaksi elektronik atas kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) yang dilakukan oleh subjek pajak luar negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan (2) Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. (3) Pajak Pertambahan Nilai yang dikenakan atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujuddan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean didalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipungut, disetorkan, dan dilaporkan oleh pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri, dan/atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) dalamnegeri, yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. (4) Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan pelaku usaha penyedia sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan. (5) Pedagang luar negeri atau penyedia jasa luar negerisebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan orangpribadi atau badan yang bertempat tinggal ataubertempat kedudukan di luar Daerah Pabean 22 yangmelakukan transaksi dengan pembeli barang ataupenerima jasa di dalam Daerah Pabean melalui system elektronik. (6) Pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan/atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan dapat diperlakukan sebagai bentuk usaha tetap dan dikenakan Pajak Penghasilan. (7) Ketentuan kehadiran ekonomi signifikan sebagaimana dimaksud pada _ayat (6) berupa: _ a. peredaran bruto konsolidasi grup usaha sampai dengan jumlah _tertentu; _ _b. penjualan di Indonesia sampai dengan jumlah tertentu; dan/atau _ c. pengguna aktif media digital di Indonesia sampaidengan jumlah tertentu. (8) Dalam hal penetapan sebagai bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak dapat dilakukan karena penerapan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak, pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan/atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan, dikenakan pajak transaksi elektronik. (9) Pajak transaksi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dikenakan atas transaksi penjualan barangdan/atau jasa dari luar Indonesia melalui PerdaganganMelalui Sistem Elektronik (PMSE) kepada pembeli atau pengguna di Indonesia yang dilakukan oleh subjekpajak luar negeri, baik secara langsung maupun melalui Penyelenggara Perdagangan Melalui SistemElektronik (PPMSE) luar negeri. (10) Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) atau pajak transaksi elektronik sebagaimana dimaksudpada ayat (8) dibayar dan dilaporkan oleh pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan/atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri. (11) Pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri,dan/atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri sebagaimana dimaksudpada ayat (3) dan ayat (10), dapat menunjuk perwakilan yang berkedudukan di Indonesia untuk memungut, menyetorkan, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilaiyang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan/atau untuk memenuhi kewajiban Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) atau pajak transaksi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (8). (12) Besarnya tarif, dasar pengenaan, dan tata cara penghitungan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan pajak transaksi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. _(13) Ketentuan lebih lanjut mengenai: _ a. tata cara penunjukan, pemungutan, danpenyetoran, serta pelaporan _Pajak PertambahanNilai sebagaimana dimaksud pada ayat (3); _ 23 b. kehadiran ekonomi signifikan sebagaimanadimaksud pada ayat (7), tata cara pembayaran dan pelaporan Pajak Penghasilan atau pajak _transaksielektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (10); dan _ c. tata cara penunjukan perwakilan sebagaimanadimaksud pada ayat (11), diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 7 (1) Pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri,Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri, dan/atau PenyelenggaraPerdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) dalam negeri yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimanadimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dan pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan/atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (10), dikenai sanksi administratif sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009. (2) Ketentuan mengenai penetapan, penagihan, dan upayahukum atas pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean didalam Daerah Pabean melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) serta pengenaan Pajak Penghasilan atau pajak transaksi elektronik atas subjekpajak luar negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 76 Tahun 2009. (3) Terhadap pelaku kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), selain dikenai sanksi administratif juga dikenai sanksi berupa pemutusan akses setelah diberi teguran. (4) Pemutusan akses sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) atau Pasal 6 ayat (10) tidak dipenuhi sampai dengan batas waktu yang ditentukan dalam teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika berwenang untuk melakukan pemutusan akses berdasarkan permintaan Menteri Keuangan. (6) Ketentuan mengenai tata cara pemutusan akses sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang informasi dan transaksi elektronik. (7) _Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara: _ a. _pemberian teguran sebagaimana dimaksud padaayat (3); dan _ b. permintaan pemutusan akses sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan __ 24 Pasal 9 Menteri Keuangan memiliki kewenangan untuk memberikan fasilitas kepabeanan berupa pembebasan atau keringanan bea masuk dalam _rangka: _ _a. penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19); dan/atau _ b. menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan Pasal 10 (1) Perubahan atas barang impor yang diberikan pembebasan bea masuk berdasarkan tujuan pemakaiannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995, diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. (2) Perubahan atas barang impor yang dapat diberikan pembebasan atau keringanan bea masuk berdasarkan tujuan pemakaiannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995, diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 11 ayat (3) Program pemulihan ekonomi nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dilaksanakan melalui Penyertaan Modal Negara, penempatan dana dan/atau investasi Pemerintah, dan/atau kegiatan penjaminan dengan skema yang ditetapkan oleh Pemerintah. Pasal 12 (1) Pelaksanaan kebijakan keuangan negara dan langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 11 dilakukan dengan tetap memperhatikan tata kelola yang baik. (2) Perubahan postur dan/atau rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara dan langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 11 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden. Pasal 14 Dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan ditengah-tengah kondisi terjadinya pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau untuk menghadapi ancaman krisis ekonomi dan/atau stabilitas sistem keuangan, perlu menetapkan kebijakan stabilitas sistem keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (5). Pasal 16 ayat (1) huruf c (1) Untuk mendukung pelaksanaan kewenangan KSSK dalam rangka penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), Bank Indonesia diberikan _kewenangan untuk: _ 25 c. membeli Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara berjangka panjang dipasar perdana untuk penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya _dalam rangka pandemi Corona Virus Disease 2019 (covid- 19); _ Pasal 19 (1) Bank Indonesia dapat membeli Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara berjangka panjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c di pasar perdana yang diperuntukkan sebagai sumber pendanaan bagi Pemerintah. (2) Sumber pendanaan bagi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipergunakan dalam rangka pemulihan ekonomi nasional termasuk menjaga kesinambungan pengelolaan keuangan negara, memberikan pinjaman dan penambahan modal kepada Lembaga Penjamin Simpanan, serta pendanaan untuk restrukturisasi perbankan pada saat krisis. Pasal 20 ayat (1) huruf b angka (1) dan angka (3) dan Pasal 20 ayat (1) huruf c (1) Untuk mendukung pelaksanaan kewenangan KSSK dalam rangka penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), Lembaga Penjamin Simpanan _diberikan kewenangan untuk: _ b. _melakukan tindakan: _ 1. penjualan/repo Surat Berharga Negara yang dimiliki kepada Bank _Indonesia; _ _2....; _ _3. pinjaman kepada pihak lain; dan/atau _ 4..... dalam hal Lembaga Penjamin Simpanan diperkirakan akan mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan bank gagal. c. melakukan pengambilan keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan penyelamatan bank selain Bank Sistemik yang dinyatakan sebagai bank gagal dengan mempertimbangkan antara lain kondisi perekonomian, kompleksitas permasalahan bank, kebutuhan waktu penanganan, ketersediaan investor, dan/atau efektivitas penanganan permasalahan bank serta tidak hanya mempertimbangkan perkiraan _biaya yang paling rendah (least cost test); _ Pasal 22 ayat (1) (1) Untuk mencegah krisis sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, Pemerintah dapat menyelenggarakan program penjaminan di luar program penjaminan simpanan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang mengenai lembaga penjamin simpanan. __ 26 Pasal 23 ayat (1) huruf a (1) Untuk mendukung pelaksanaan kewenangan KSSK dalam rangka penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan diberikan _kewenangan untuk: _ a. memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan untuk melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, integrasi dan/atau konversi Pasal 24 ayat (1) (1) Untuk mendukung pelaksanaan kewenangan KSSK dalam rangka penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), Pemerintah diberikan kewenangan untuk memberikan pinjaman kepada Lembaga Penjamin Simpanan. Pasal 25 Pemberian pinjaman oleh Pemerintah kepada Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dilakukan dalam hal Lembaga Penjamin Simpanan mengaiami kesulitan likuiditas yang membahayakan perekonomian dan sistem keuangan sebagai dampak pandemi Corona Virus Disease (COVID-19). Pasal 26 ayat (1) (1) Setiap orang yang dengan sengaja mengabaikan, tidak memenuhi, tidak melaksanakan atau menghambat pelaksanaan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) atau pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar rupiah). Pasal 27 1. Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan dibidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara. 2. Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 3. Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara. 27 Pasal 28 Pada saat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai _berlaku: _ 1. ketentuan jangka waktu yang diatur dalam Pasal 1 1 ayat (2), Pasal l7B ayat (1), Pasal 25 ayat (3), Pasal 26 ayat (1), dan Pasal 36 ayat (1c) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran _Negara Republik Indonesia Nomor 4999); _ 2. Pasal 55 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik _Indonesia Nomor 4962); _ 3. Pasal 12 ayat (3) beserta penjelasannya, Pasal 15 ayat (5), Pasal 22 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), dan Pasal 28 ayal (3) dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan _Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286); _ 4. Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor _4355); _ 5. Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik _Indonesia Nomor 4963); _ 6. Pasal 27 ayat (1) beserta penjelasannya, Pasal 36, Pasal 83, dan Pasal 107 ayat (2) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, _Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438); _ 28 7. Pasal 171 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, _Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063); _ 8. Pasal 72 ayat (2) beserta penjelasannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 _Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495); _ 9. Pasal 316 dan Pasal 317 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan _Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); _ 10. Pasal 177 huruf c angka 2, Pasal 180 ayat (6), dan Pasal 182 Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Ralryat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 181, Tambahan Lembaran _Negara Republik Indonesia Nomor 6396); _ 11. Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 70, Tambahan _Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5872); dan _ 12. Pasal 11 ayat (22), Pasal 40, Pasal 42, dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 198, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6410), dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini. Pasal 29 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Bahwa pasal-pasal UUD NRI Tahun 1945 yang dijadikan batu uji adalah Pasal 1, Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (2), Pasal 18 ayat (2) dan (3), Pasal 20A, Pasal 29 20A ayat (1), Pasal 22, Pasal 22 ayat (1), Pasal 22D ayat (2), Pasal 23, Pasal 23A, Pasal 23C, Pasal 23D, Pasal 23E, Pasal 24, Pasal 24A ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan (2), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (1), Pasal 28I ayat (2) dan Pasal 31 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. II. Keterangan DPR RI Dengan ini DPR RI menyampaikan keterangan terhadap permohonan pengujian materiil UU 2/2020 terhadap UUD NRI Tahun 1945 dalam Perkara nomor 37, 42, 43, 45, 47, 49 dan 75/PUU-XVIII/2020 sebagai berikut: A. Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Para Pemohon 1. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon dalam Pengujian Secara Formil Terkait kedudukan hukum (legal standing) Para Pemohon dalam pengujian undang-undang secara formil, DPR RI memberikan pandangan dengan berdasarkan 2 (dua) batasan kerugian konstitusional yang disimpulkan dari Pertimbangan Hukum dalam Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 27/PUU-VII/2009, yaitu:
Para Pemohon merupakan perorangan yang telah melaksanakan hak pilih sebagai pemegang kedaulatan yang telah memberikan kepercayaan dan mandat kepada wakil sebagai fiduciary duty dalam pemilihan umum;
Berdasarkan uraian kedudukannya, Pemohon Badan Hukum Perkara 37 dan Para Pemohon Badan Hukum Perkara 75 yang merupakan Badan Hukum tentunya tidak memiliki hak dan/atau kewenangan untuk turut serta dalam pemilihan umum.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 34 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Pemilih adalah Warga Negara Indonesia yang sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin. Oleh karena itu, Pemohon Badan Hukum Perkara 37 dan Para Pemohon Badan Hukum Perkara 75 telah jelas tidak dapat membuktikan bahwa telah memberikan kepercayaan dan mandat kepada anggota DPR RI masa keanggotaan periode tahun 2014-2019 karena Pemohon Badan Hukum Perkara 37 dan Para Pemohon Badan Hukum Perkara 75 30 bukanlah perorangan yang telah melaksanakan hak pilih sebagai pemegang kedaulatan yang telah memberikan kepercayaan dan mandat kepada wakil sebagai fiduciary duty dalam pemilihan umum.
Para Pemohon Perorangan Perkara 37, Para Pemohon Perkara 43, dan Para Pemohon Perorangan Perkara 75 dalam perbaikan permohonannya tidak memberikan uraian argumentasi sebagai perorangan yang telah melaksanakan hak pilih sebagai pemegang kedaulatan dalam Pemilihan Umum. Selain itu, Para Pemohon tersebut diatas juga tidak melampirkan bukti-bukti keikutsertaannya dalam Pemilihan Umum dan menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan anggota DPR RI sebagai bentuk pemberian mandat kepada wakil sebagai fiduciary duty . Hal ini menunjukkan bahwa Para Pemohon tersebut tidak memahami kedudukan hukumnya sebagai perseorangan warga negara yang memiliki hak konstitusional sebagai pemberi mandat dalam Pemilihan Umum dan tidak memperhatikan ketentuan dalam pengujian undang-undang secara formil.
Para Pemohon mempunyai hubungan pertautan yang langsung dengan Undang-Undang yang dimohonkan.
Bahwa terkait dengan pengajuan pengujian UU a quo secara formil, Para Pemohon secara keseluruhan tidak menguraikan pertautannya. Namun dapat dipahami dalam uraian dalil-dalilnya, Para Pemohon hanya menyatakan bahwa UU a quo telah menimbulkan ketidakpastian hukum, melahirkan penafsiran yang ambigu, tidak jelas dan multi tafsir serta berpotensi menghambat pemenuhan hak-hak konstitusional Para Pemohon dan warga negara pada umumnya.
Meskipun demikian, Para Pemohon tidak memberikan uraian yang berkaitan dengan pertautannya secara langsung terhadap UU a quo yang dimohonkan pengujiannya secara formil. Dengan demikian telah jelas, tidak terdapat keterkaitan secara langsung antara Para Pemohon Perkara 37, Para Pemohon Perkara 43, dan Para Pemohon Perkara 75 dengan UU a quo, sehingga Para Pemohon 31 tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam pengujian formil UU a quo terhadap UUD NRI Tahun 1945. Terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) Para Pemohon Perkara 37, Para Pemohon Perkara 43, dan Para Pemohon Perkara 75 dalam pengujian formil, DPR RI memohon kepada Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi agar benar-benar menilai apakah Para Pemohon tersebut memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam pengajuan Permohonan perkara-perkara a quo sesuai dengan parameter kerugian hak dan/atau kerugian konstitusional dalam pengajuan permohonan pengujian formil undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana disebutkan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Pertimbangan Hukum pada Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009.
Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Para Pemohon dalam Pengujian Secara Materiil Terkait kedudukan hukum ( legal standing ) Para Pemohon dalam pengujian undang-undang secara materiil, DPR RI memberikan pandangan dengan berdasarkan 5 (lima) batasan kerugian konstitusional yang tercantum dalam __ Putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007 sebagai berikut:
Perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 Bahwa Para Pemohon Perkara 37 mendalilkan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diatur dalam ketentuan Pasal 23 ayat (1), Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Terhadap hal tersebut, DPR RI menerangkan bahwa ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mengatur mengenai APBN yang jelas-jelas tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan Warga Negara. Sehingga ketentuan ini tidak memiliki pertautan hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon Perkara 37. Bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon Perkara 37 sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 28C ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 tidak terciderai dengan berlakunya ketentuan pasal-pasal yang dimohonkan pengujiannya karena Para Pemohon Perkara 37 tetap dapat memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan 32 negaranya. Terkait dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, Para Pemohon Perkara 37 juga tetap mendapatkan haknya atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Bahwa Para Pemohon Perkara 37 mendalilkan diri sebagai pembayar pajak ( tax payer ), oleh karenanya DPR RI mengutip pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 40/PUU- XVI/2018 pada Paragraf [3.7] sebagai berikut: …menurut Mahkamah, para Pemohon sebagai pembayar pajak (tax payer) tidak serta merta memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam mengajukan setiap permohonan pengujian undang-undang. Para Pemohon dapat memiliki kedudukan hukum (legal standing) apabila para Pemohon dapat menjelaskan adanya keterkaitan logis dan causal verband bahwa pelanggaran hak konstitusional atas berlakunya undang-undang yang diuji adalah dalam kaitannya dengan status para Pemohon sebagai pembayar pajak (tax payer) memang menunjukkan kerugian yang nyata . Dalam permohonan a quo , Para Pemohon Perkara 37 dituntut bukan hanya sekedar menyatakan dirinya sebagai pembayar pajak ( tax payer ), tetapi terkait statusnya sebagai pembayar pajak harus dijelaskan adanya keterkaitannya secara logis dengan kerugian konstitusional Para Pemohon Perkara 37 yang diakibatkan dengan berlakunya pasal-pasal a quo . Terkait dengan ketentuan UUD NRI Tahun 1945 yang oleh Para Pemohon Perkara 37 dipertentangkan dengan ketentuan dalam UU a quo , Para Pemohon Perkara 37 tidak mengurai pertautan antara keduanya demikian pula terkait dengan pertautannya dengan Para Pemohon Perkara 37. Maka semakin tidak jelas adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon terkait dengan pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dan keberadaan hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara dalil kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon Perkara 37 dengan ketentuan pasal-pasal a quo yang dimohonkan pengujiannya.
Perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020 Bahwa Para Pemohon Perkara 42 tidak konsisten dalam menyebutkan batu uji yang digunakan dalam pengujian pasal-pasal a quo dalam uraian kedudukan hukumnya dengan ketentuan UUD NRI Tahun 1945 33 yang tertulis dalam bagian Pokok Permasalahan. Lebih lanjut, dalam uraian permohonannya, Para Pemohon Perkara 42 mempertentangkan ketentuan pasal-pasal a quo dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), (2), (3), dan Pasal 23A UUD NRI Tahun 1945 yang sama sekali tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional warga negara. Terkait dengan kerugian hak konstitusionalnya yang dijamin dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, Para Pemohon Perkara 42 tidak menguraikan bentuk konkret (aktual) maupun potensial atas kerugian konstitusional yang didalilkan tersebut dengan diri Para Pemohon Perkara 42 dan justru Para Pemohon Perkara 42 banyak menyampaikan asumsi-asumsi dan kekhawatirannya atas pemberlakuan pasal-pasal a quo terhadap negara yang jelas sangat mengada-ada. Selain itu, Para Pemohon Perkara 42 tidak dapat menunjukkan adanya pertautan secara langsung dengan ketentuan pasal-pasal a quo sehingga tidak jelas sebab akibat atas dalil kerugian konstitusional yang didalilkan Para Pemohon Perkara 42 dengan berlakunya ketentuan pasal-pasal a quo .
Perkara Nomor Perkara 43/PUU-XVIII/2020 Bahwa Para Pemohon Perkara 43 tersebut masing-masing tidak berdiri dalam posisi yang jelas atas kepentingan siapakah Para Pemohon Perkara 43 hendak mengemukakan kerugian konstitusionalnya. Selain itu, Para Pemohon Perkara 43 dalam permohonannya tidak mampu menjelaskan secara spesifik dalam hal apa Para Pemohon Perkara 43 dirugikan dengan keberlakuan pasal UU a quo tersebut terhadap diri Para Pemohon Perkara 43 maupun terhadap profesi Para Pemohon Perkara 43. Bahwa Para Pemohon Perkara 43 dalam permohonannya tidak mampu menjelaskan secara spesifik dalam hal apa Para Pemohon Perkara 43 dirugikan dengan keberlakuan pasal a quo tersebut terhadap diri Para Pemohon Perkara 43 maupun terhadap profesi Para Pemohon Perkara 43 sehingga tidak jelas pula hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian konstitusional yang didalilkan 34 oleh Para Pemohon Perkara 43 dengan pasal-pasal a quo yang dimohonkan pengujiannya terhadap UUD NRI Tahun 1945.
Perkara Nomor Perkara 45/PUU-XVIII/2020 Bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (2), Pasal 20 ayat (1), Pasal 20A ayat (1),Pasal 23, Pasal 23E, Pasal 24, Pasal 24A ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang dijadikan batu uji oleh Pemohon Perkara 45 tidak mengatur mengenai hak konstitusional warga negara, melainkan mengatur mengenai bentuk dan kedaulatan negara, kekuasaan pemerintah, tugas dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat, hal keuangan negara, kelembagaan BPK, Kekuasaan Kehakiman, tanggung jawab negara dalam mengelola keuangan negara yang ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang untuk dapat dilaksanakan secara terbuka dan untuk kemakmuran rakyat, dan kewajiban warga negara untuk menjunjung hukum dan pemerintahan tanpa terkecuali. Oleh karena itu tidaklah relevan untuk dijadikan sebagai batu uji dalam Permohonan a quo . Bahwa dalam Permohonan a quo , Pemohon Perkara 45 tidak menguraikan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon Perkara 45 yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Pemohon Perkara 45 hanya menyatakan hak Pemohon sebagai rakyat dalam memantau Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan Kekuasaan Kehakiman dapat menjalankan tugas dan fungsinya, tanpa menjelaskan kerugian spesifik apa yang ditimbulkan dari berlakunya ketentuan pasal-pasal a quo . Sehingga jelas kerugian yang didalilkan oleh Pemohon Perkara 45 hanya merupakan asumsi tanpa adanya pertautan dengan hak konstitusional Pemohon Perkara 45.
Perkara Nomor Perkara 47/PUU-XVIII/2020 Bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 telah ditetapkan menjadi undang-undang yakni UU a quo , artinya substansi di dalamnya telah dibahas dan disetujui antara Pemerintah bersama dengan DPR dan telah dilakukan sesuai dengan 35 ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Bahwa ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional melainkan mengatur mengenai penetapan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban APBN. Salah satu fungsi yang dimiliki oleh DPR adalah fungsi anggaran dengan tugas dan wewenang berupa pemberian persetujuan atas RUU tentang APBN yang diajukan oleh Presiden. UU APBN tersebut kemudian dilaksanakan secara terbuka oleh Pemerintah untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat. Para Pemohon Perkara 47 mendalilkan dengan berlakunya pasal a quo , berpotensi dana desa dihentikan, dengan demikian jelas kerugian yang didalilkan tersebut hanya asumsi Para Pemohon Perkara 47, karena kenyataannya dana desa tetap ada meskipun selama penanganan pandemi Covid-19 ini besarannya dikurangi karena adanya kebijakan pengalihan mandatory expenses yang diamanatkan oleh UU Desa.
Perkara Nomor Perkara 49/PUU-XVIII/2020 Bahwa Pemohon Perkara 49 menyatakan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1), (2) dan (3) serta Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 namun dalam uraian Positanya, Pemohon Perkara 49 mendalilkan ketentuan pasal a quo bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Meskipun demikian, DPR menerangkan bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (1), (2) dan (3) serta Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional warga Negara. Ketentuan Pasal 1 ayat (1), (2) dan (3) serta Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mengatur mengenai Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik, kedaulatan berada di tangan rakyat, Indonesia adalah Negara hukum dan APBN sebagai wujud dari pengelolaan keuangan Negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 36 Bahwa Pemohon Perkara 49 dalam perbaikan permohonannya menguraikan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1), (2) dan (3) serta Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang jelas-jelas tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan warga Negara. Selain itu, Pemohon Perkara 49 tidak menguraikan kerugian konsitusionalnya berdasarkan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dan hanya mendalilkan pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Pemohon Perkara 49 juga sama sekali tidak menyampaikan argumentasi tentang pertentangan antara pasal yang dimohonkan pengujian dengan pasal-pasal yang menjadi dasar pengujian dalam UUD NRI Tahun 1945. Oleh karena itu, telah sangat jelas Pemohon Perkara 49 tidak memiliki hak dan/atau kewenangan kontitusional yang dirugikan dengan berlakunya UU 2/2020. Bahwa Pemohon Perkara 49 dan banyak menguraikan mengenai asumsi-asumsinya atas pengaturan yang terdapat dalam pasal a quo , maka DPR RI menerangkan tidak terdapat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon Perkara 49 yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi pada Pemohon Perkara 49, maka jelas tidak terdapat hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya undang- undang yang dimohonkan pengujian.
Perkara Nomor Perkara 75/PUU-XVIII/2020 Bahwa mayoritas Para Pemohon Perkara 75 mengajukan kembali Permohonan 51/PUU-XVIII/2020 yang telah ditarik kembali pada tanggal 19 Agustus 2020 dan Mahkamah Konstitusi sudah menerbitkan Ketetapan Putusan Nomor 51/PUU-XVIII/2020 yang diucapkan pada tanggal 27 Agustus 2020. Para Pemohon Perkara 75 berdalil bahwa dapat mengajukan kembali permohonan yang telah ditarik sebelumnya tersebut karena sudah dilakukan perubahan dalam isi materi permohonan sehingga tidak mempunyai kesamaan dalam permohonan sebelumnya baik dalam permohonan pengujian formil maupun materiil yang diajukan sehingga Mahkamah Konstitusi 37 berwenang untuk memeriksa dan mengadilinya. Terhadap dalil tersebut, DPR RI memberikan pandangan bahwa berdasarkan ketentuan dalam Pasal 35 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan: ayat (1) “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan”. ayat (1a) “Dalam hal pemohon menarik kembali Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Panitera Mahkamah Konstitusi menerbitkan Akta Pembatalan Registrasi Permohonan dan memberitahukan kepada Pemohon disertai dengan pengembalian berkas Permohonan”. ayat (2) “Penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Permohonan tidak dapat diajukan kembali”. Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa Permohonan yang sudah ditarik kembali dan sudah diputus tidak dapat diajukan kembali. Selain itu, setelah melihat isi dari permohonan Para Pemohon Perkara 75, baik dari segi formil maupun materiil memiliki materi permohonan yang sama dengan permohonan sebelumnya yang sudah ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan penarikan kembali permohonan perkara 51/PUU- XVIII/2020 tersebut oleh Para Pemohon perkara 51/PUU-XVIII/2020, yang merupakan mayoritas Para Pemohon Perkara 75. Walaupun Para Pemohon Perkara 75 memberikan tambahan batu uji Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 27 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 namun batu uji Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 tersebut tidak mengatur mengenai hak konstitusional warga negara. Begitupun halnya dengan tambahan batu uji Pasal 27 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, ketentuan yang ada pada UU a quo tidak menghalangi Para Pemohon Perkara 75 untuk mendapatkan hak konstitusionalnya berupa pekerjaan dan penghidupan yang layak. Sehingga tidaklah tepat jika Para Pemohon Perkara 75 masih mengajukan permohonan yang sama dengan permohonan yang sudah ditarik kembali dan ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi. 38 Bahwa Para Pemohon Perkara 75 juga mendalilkan diri sebagai pembayar pajak ( tax payer ), oleh karenanya DPR RI mengutip pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 40/PUU-XVI/2018 pada Paragraf [3.7] sebagai berikut: …menurut Mahkamah, para Pemohon sebagai pembayar pajak (tax payer) tidak serta merta memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam mengajukan setiap permohonan pengujian undang-undang. Para Pemohon dapat memiliki kedudukan hukum (legal standing) apabila para Pemohon dapat menjelaskan adanya keterkaitan logis dan causal verband bahwa pelanggaran hak konstitusional atas berlakunya undang-undang yang diuji adalah dalam kaitannya dengan status para Pemohon sebagai pembayar pajak (tax payer) memang menunjukkan kerugian yang nyata . Dalam permohonan a quo , Para Pemohon Perkara 75 dituntut bukan hanya sekedar menyatakan dirinya sebagai pembayar pajak ( tax payer ), tetapi terkait statusnya sebagai pembayar pajak harus dijelaskan adanya keterkaitannya secara logis dengan kerugian konstitusional Para Pemohon Perkara 75 yang diakibatkan dengan berlakunya pasal-pasal a quo . Bahwa terkait dengan kedudukan hukum ( legal standing ) Para Pemohon, DPR RI memberikan pandangan selaras dengan Putusan MK Nomor 22/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam sidang Pleno MK terbuka untuk umum pada tanggal 15 Juni 2016, yang pada pertimbangan hukum [3.5.2] MK menyatakan bahwa menurut Mahkamah: ... dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’ interest point d’ action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (RV) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “ tiada gugatan tanpa hubungan hukum” ( no action without legal connection ). Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) Para Pemohon secara materiil, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan 39 perkara Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional. B. Pandangan Umum DPR 1. Penyebaran COVID-19 terus meluas di seluruh dunia yang didorong oleh mobilitas manusia. Hingga akhir Februari 2020, penyebaran COVID-19 secara global telah mencapai 86.000 kasus dengan jumlah kematian hampir 3.000 orang. Pandemi COVID-19 yang menyebar secara cepat dan mengancam kesehatan publik, mendorong negara-negara untuk mengambil berbagai langkah pencegahan yang ekstrim. Salah satu langkah kebijakan yang diambil hampir semua negara adalah pelarangan atau pembatasan perjalanan ( travel ban/restriction ), penutupan perbatasan, serta memperketat lalu lintas manusia antar wilayah/negara. Di dalam skala domestik, beberapa negara memberlakukan lockdown yakni penutupan wilayah dan penghentian segala aktivitas publik kecuali yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan pangan dan medis. Physical distancing serta karantina mandiri termasuk dengan memindahkan aktivitas kantor, belajar, dan beribadah di rumah juga diimplementasikan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Berbagai kegiatan yang bersifat pengumpulan massa dikurangi atau bahkan dilarang dengan pengawasan ketat dari aparat hukum. Di Indonesia, Pemerintah memberlakukan status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dan menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sejak tanggal 31 Maret 2020. Sebelumnya, Pemerintah juga telah memberlakukan larangan penerbangan termasuk dari dan ke Tiongkok, membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, memberlakukan kebijakan physical distancing , serta menetapkan status keadaan darurat bencana COVID-19. Berbagai himbauan termasuk menganjurkan dan bahkan melarang masyarakat untuk tidak melakukan pulang kampung termasuk dalam rangka mudik Hari Raya Idul Fitri 1441 Hijriah telah dilakukan. Anjuran untuk meningkatkan pola hidup bersih dan sehat juga terus digencarkan. Penyebaran COVID-19 yang terjadi secara cepat dan eksponensial dikhawatirkan juga tidak dapat diimbangi dengan ketersediaan fasilitas kesehatan serta tenaga medis yang ada, sehingga bisa berujung pada krisis kesehatan. Langkah-langkah tersebut 40 diimplementasikan dengan dasar bahwa kesehatan dan keselamatan masyarakat adalah prioritas. Namun demikian, langkah-langkah tersebut menimbulkan penurunan aktivitas ekonomi yang cukup signifikan.
Bentuk perlindungan yang diberikan oleh negara tidak sebatas perlindungan dari ancaman fisik namun juga perlindungan terhadap keseluruhan aspek kehidupan dan keselamatan 269 juta jiwa penduduk Indonesia. Negara harus mampu menjaga ketahanan seluruh elemen bangsa dari segala ancaman yang membahayakan negara dan masyarakat. Dengan segala sumber daya yang ada, kita harus mewujudkan ketahanan negara yang kokoh dari segala ancaman, termasuk ancaman terhadap perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan yang menimbulkan implikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat.
Bahwa penyebaran pandemi COVID-19 yang memberikan dampak dan mengancam pertumbuhan ekonomi Indonesia antara lain karena menurunnya penerimaan negara serta ketidakpastian ekonomi global, memerlukan kebijakan dan langkah-langkah luar biasa di bidang keuangan negara termasuk di bidang perpajakan dan keuangan daerah, dan sektor keuangan, yang harus segera diambil Pemerintah dan lembaga-lembaga terkait guna mengatasi kondisi mendesak tersebut dalam rangka penyelamatan kesehatan, perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja kesehatan, jaring pengaman sosial (social safety net), serta pemulihan dunia usaha yang terdampak. Oleh karena itu, diperlukan perangkat hukum yang memadai untuk memberikan landasan yang kuat bagi Pemerintah dan lembaga-lembaga terkait untuk pengambilan kebijakan dan langkah-langkah dimaksud.
Bahwa berdasarkan ketentuan dalam Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan: “ Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang ”. Mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, parameter kegentingan yang memaksa dalam rangka penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang antara lain: 41 - karena adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan _masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; _ - Undang-Undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau tidak memadainya Undang-Undang yang _saat ini ada; dan _ - Kondisi kekosongan hukum yang tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa yang memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. 5. Bahwa Perppu 1/2020 telah dikeluarkan oleh Presiden pada tanggal 31 Maret 2020 karena keadaan genting dan kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat dan untuk menyelamatkan perekonomian dari krisis yang diprediksi akan terjadi. Bahwa dalam keadaan mendesak tersebut diperlukan pemberian kewenangan bagi Pemerintah diantaranya agar dapat melakukan realokasi dan refocussing anggaran yang sebelumnya telah dialokasikan dalam APBN tahun 2020. Melalui realokasi dan refocussing yang bersifat segera diharapkan dapat segera memulihkan ekonomi dalam rangka mendukung Program Pemulihan Ekonomi Nasional sebagai akibat dari Pandemi Covid-19. 6. Bahwa oleh karenanya ketentuan dalam UU 2/2020 diharapkan dapat memberi fondasi hukum bagi pemerintah terhadap otoritas perbankan dan otoritas keuangan untuk mengambil langkah luar biasa guna menjamin kesehatan masyarakat, menyelamatkan perekonomian nasional, dan stabilitas sistem keuangan sebagaimana diatur UU a quo yang perlu menetapkan kebijakan keuangan negara dan kebijakan stabilitas sistem keuangan diantaranya dengan menetapkan batasan defisit anggaran, melakukan penyesuaian besaran belanja wajib ( mandatory spending ), dan melakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarfungsi, dan/atau antarprogram.
Bahwa urgensi sebagai dasar dibentuknya Perppu 1/2020 merupakan pertimbangan subjektif dari Presiden sebagai pihak yang berhak membentuk suatu perppu. Pertimbangan subjektif tersebut perlu untuk dinilai secara objektif oleh rakyat yang direpresentasikan oleh wakilnya, yaitu DPR, sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Pasal 22 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Dengan disahkannya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020, maka DPR sebagai wakil rakyat telah menilai urgensi tersebut merupakan hal yang nyata dan mendesak sehingga perlu memberikan 42 persetujuan atas Perppu 1/2020 untuk menjadi undang-undang sehingga dapat digunakan Pemerintah sebagai dasar hukum yang lebih kuat untuk bereaksi secara cepat menghadap situasi Pandemi Covid-19. C. Keterangan DPR Terhadap Pengujian Formil UU 2/2020 Berdasarkan kewenangan MK yang diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, maka batu uji yang digunakan oleh MK untuk melakukan pengujian formil haruslah berdasarkan Pasal 20 UUD NRI Tahun 1945, terutama Pasal 20 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “ Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama” . Frasa “ persetujuan bersama” dalam ketentuan tersebut merupakan esensi berlakunya __ asas legalitas sehingga frase “ persetujuan bersama ” merupakan norma yang sangat fundamental sebagai dasar terbentuknya undang- undang. Jika proses pembentukan undang-undang telah memenuhi unsur legalitas, yakni telah adanya “ persetujuan bersama ”, dan tidak adanya kegagalan dalam mendapatkan “ persetujuan bersama ” DPR dan Presiden, maka secara konstitusional undang-undang tersebut menjadi sah secara formil. Sesuai landasan konstitusional kewenangan MK menguji undang- undang terhadap UUD NRI Tahun 1945, maka pengujian undang-undang secara formil hanya dapat dinyatakan cacat prosedur jika telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Namun demikian, jika Yang Mulia Hakim Konstitusi berpendapat lain, maka mohon pertimbangan yang seadil-adilnya, dan DPR tetap bersikap kooperatif dengan menerangkan lebih lanjut hal-hal yang dipermasalahkan oleh Para Pemohon dalam pengujian formil.
Tanggapan DPR terhadap dalil Para Pemohon Perkara 75 mengenai batasan waktu 45 hari dalam pengujian formil undang-undang harus dikesampingkan karena tidak berdasarkan pada UUD NRI Tahun 1945. a) Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam konteks ketatanegaraan Indonesia dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi ( the guardian of constitution ) dan sebagai pengawal demokrasi ( the guardian of 43 democracy ) yang diberikan kewenangan oleh UUD NRI Tahun 1945 untuk dapat menguji undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945. Kewenangan ini diberikan sebagai fungsi Mahkamah Konstitusi dalam menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat. Namun di sisi lain, Mahkamah Konstitusi juga bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan bertanggungjawab. b) Bahwa undang-undang bersifat mengikat dan memaksa bagi semua warga negara, sehingga agar dapat dilaksanakan harus diundangkan dalam Lembaran Negara agar setiap orang dianggap mengetahui atas undang-undang tersebut. Hal ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum kepada masyarakat atas keberlakuan suatu undang- undang. c) Bahwa untuk menjamin kepastian hukum, pengujian undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 diperlukan pembatasan waktu untuk dapat diuji secara formil. Pembatasan waktu ini tidak boleh terlalu lama dari waktu diundangkannya suatu undang-undang dalam Lembaran Negara, karena karakteristik pengujian formil berbeda dengan pengujian materiil yang hanya menguji kata, frasa, ayat dan/atau pasal saja dalam undang-undang atas dasar kerugian konstitusional pemohon. Sedangkan pengujian formil didasarkan atas undang- undang yang merugikan konstitusi yang proses pembentukannya tidak sesuai dengan ketentuan dalam UUD NRI Tahun 1945, sehingga dapat membatalkan keseluruhan undang-undang. d) Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam menjaga hal tersebut harus berhati-hati dalam menguji formalitas suatu undang-undang, karena yang menjadi fokus pengujian formil bukanlah atas dasar dalil kerugian pemohon, namun Mahkamah Konstitusi harus mengutamakan keadilan dan kebenaran konstitusional. Mahkamah Konstitusi harus memahami ruh, ide, landasan filosofis, dan suasana kebatinan yang terjadi selama penyusunan undang-undang sehingga dapat memahami urgensi suatu undang-undang harus segera ditetapkan. e) Bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi ( the guardian of constitution ) dan sebagai pengawal demokrasi ( the 44 guardian of democracy ) telah tepat memberikan pembatasan waktu pengujian formil 45 hari setelah suatu undang-undang diundangkan dalam Lembaran Negara dalam menjaga kepastian hukum. Pembatasan ini sebagaimana Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009 Paragraf [3.34] yang menyatakan, “ Menimbang bahwa terlepas dari putusan dalam pokok permohonan a quo Mahkamah memandang perlu untuk memberikan batasan waktu atau tenggat suatu Undang-Undang dapat diuji secara formil. Pertimbangan pembatasan tenggat ini diperlukan mengingat karakteristik dari pengujian formil berbeda dengan pengujian materiil. Sebuah Undang-Undang yang dibentuk tidak berdasarkan tata cara sebagaimana ditentukan oleh UUD 1945 akan dapat mudah diketahui dibandingkan dengan Undang-Undang yang substansinya bertentangan dengan UUD 1945. Untuk kepastian hukum , sebuah Undang- Undang perlu dapat lebih cepat diketahui statusnya apakah telah dibuat secara sah atau tidak, sebab pengujian secara formil akan menyebabkan Undang-Undang batal sejak awal. Mahkamah memandang bahwa tenggat 45 (empat puluh lima) hari setelah Undang-Undang dimuat dalam Lembaran Negara sebagai waktu yang cukup untuk mengajukan pengujian formil terhadap Undang-Undang; ” f) Bahwa terkait hukum acara pembatasan waktu 45 hari dalam mengajukan pengujian formil di Mahkamah Konstitusi merupakan materi yang seharusnya diatur dalam undang-undang oleh pembentuk undang-undang, namun selama belum diatur dalam undang-undang Mahkamah Konstitusi dapat mengatur hukum acara yang bersifat teknis untuk mengisi kekosongan hukum. Dalam hal ini, UUD NRI Tahun 1945 sebagai Konstitusi tidak mungkin mengatur secara rinci mengenai hal teknis batasan hari seperti yang didalilkan oleh Para Pemohon, karena dibutuhkan Undang-Undang lain untuk mengatur mengenai hal tersebut. Sehingga Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk mengatur sendiri hukum acara yang bersifat teknis dalam sidang pengadilan selama belum diatur dalam Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi. g) Bahwa terhadap pengujian perkara nomor 75/PUU-XVIII/2020 yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi pada tanggal 9 September 2020 sesungguhnya telah melewati batas waktu pengujian formil 45 hari sejak diundangkannya UU a quo , yakni pada tanggal 18 Mei 2020 45 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516. Oleh karenanya berdasarkan fakta hukum tersebut DPR berpandangan permohonan Perkara nomor 75/PUU-XVIII/2020 tidak memenuhi ketentuan batas waktu 45 hari yang ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi, sehingga sepatutnya Mahkamah Konstitusi menyatakan Permohonan 75/PUU-XVIII/2020 tidak dapat diterima.
Tanggapan DPR terhadap dalil Para Pemohon Perkara 37 dan Perkara 75 mengenai prosedur konstitusional pengesahan telah disimpangi dengan tidak adanya keterlibatan DPD. Bahwa Para Pemohon Perkara 37 dan Perkara 75 dalam perbaikan permohonannya mendalilkan tidak adanya keterlibatan DPD dalam pembahasan Perppu yang telah ditetapkan menjadi UU dengan UU 2/2020 bertentangan dengan prinsip negara hukum, prinsip kedaulatan rakyat dan kewenangan legislasi DPD. Terhadap dalil tersebut DPR menerangkan sebagai berikut: a) Bahwa berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 ditentukan kewenangan untuk membentuk undang-undang ada pada DPR. Adapun terkait UUD NRI Tahun 1945 menghendaki bahwa setiap RUU dibahas antara DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama (Pasal 20 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945). b) Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 22D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 mengatur bahwa Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang- undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya _ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; _ serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. c) Bahwa keikutsertaan DPD dalam pembahasan RUU hanya sebatas yang berkaitan dengan _otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; _ pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta 46 perimbangan keuangan pusat dan daerah. Hal ini juga sesuai dengan Pasal 65 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 (selanjutnya disebut UU 12/2011). d) Bahwa Perppu 1/2020 pada intinya secara garis besar mengatur mengenai kebijakan keuangan negara, apabila dalam pelaksanaannya memiliki dampak terhadap alokasi perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerintahan daerah, hal itu merupakan konsekuensi bahwa keuangan daerah merupakan bagian dari keuangan negara. Sehingga telah jelas bahwa Perppu tersebut tidak mengatur secara khusus mengenai _otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; _ pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah . Selain itu UU 2/2020 yang dipermasalahkan oleh Para Pemohon merupakan pengesahan Perppu 1/2020 sehingga pembentuk undang-undang tidak berkewajiban untuk mengikutsertakan DPD dalam pembahasan RUU penetapan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang. e) Berdasarkan Pasal 71 huruf d dan Pasal 249 ayat (1) huruf b Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2019 (UU MD3) bahwa DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan _daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; _ pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah . RUU Penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU tidak memiliki pertautan dengan bidang yang mengharuskan keikutsertaan DPD dalam pembahasannya melainkan mengenai DPR memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan, sehingga DPD tidak memiliki kewenangan untuk ikut membahas RUU tersebut. 47 3. Tanggapan DPR terhadap dalil Para Pemohon Perkara 37, Para Pemohon Perkara 43 dan Para Pemohon Perkara 75 mengenai rapat virtual yang berpotensi dihadiri tidak secara konkret karena kuorum rapat dibuktikan dengan tandatangan sebelum menghadiri rapat. a) Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, Perppu 1/2020 dibentuk pada intinya untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional yang terdampak dari Pandemi Covid-19 . Bahwa pada saat Perppu 1/2020 tersebut diajukan oleh Pemerintah kepada DPR untuk menjadi undang-undang, negara dalam kondisi darurat bencana yang menimbulkan kepanikan di masyarakat. b) Dalam kondisi demikian, maka DPR sebagai wakil rakyat harus tetap melaksanakan tugasnya untuk membahas Perppu 1/2020 bersama dengan Pemerintah. Bahwa pada saat itu peraturan perundang- undangan yang menjadi dasar hukum pembentuk undang-undang melaksanakan tugasnya masih belum menjangkau penggunaan sarana informasi dan teknologi dalam pembahasan dan pengesahan undang-undang. Hal tersebut disebabkan tidak terprediksinya kondisi yang diakibatkan dari penyebaran Pandemi Covid-19 yang begitu masif dan berdampak pada timbulnya korban jiwa. Adapun pada saat munculnya kasus pertama penyebaran Covid-19 di Indonesia hingga saat ini, Pemerintah telah membuat kebijakan mengenai salah satu upaya penanggulangan penyebaran Pandemi Covid-19 adalah dengan melakukan pembatasan sosial berskala besar dengan mengharuskan tiap orang menjaga jarak. c) Adapun salah satu kebijakan Pemerintah dalam upaya penanggulangan penyebaran pandemi Covid-19 adalah dengan melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dilaksanakan di beberapa daerah di Indonesia. Sebagai lembaga yang berkedudukan di DKI Jakarta yang juga menerapkan PSBB, maka DPR dan Presiden juga harus mengikuti kebijakan yang telah ditetapkan Pemerintah Daerah tersebut. Meskipun demikian, tugas pokok dan fungsi sebagai lembaga tetap harus berjalan, sehingga sebagai alternatif pelaksanaan rapat dan koordinasi supaya tugas dan fungsi 48 DPR dan Presiden tetap berjalan adalah dengan menggunakan sarana informasi dan teknologi berupa video meeting atau virtual meeting. d) Pada saat kondisi demikian agar tugas pembentukan undang-undang tidak terbengkalai, DPR perlu melakukan terobosan hukum, yaitu dengan menetapkan Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib DPR 2020) yang mulai berlaku pada tanggal 2 April 2020. Berdasarkan Tatib DPR 2020 tersebut di dalam ketentuan Pasal 254 ayat (4) dinyatakan bahwa: “ Semua jenis rapat DPR dihadiri oleh Anggota, kecuali dalam keadaan tertentu, yakni keadaan bahaya, kegentingan yang memaksa, keadaan luar biasa, keadaan konflik, bencana alam, dan keadaan tertentu lain yang memastikan adanya urgensi nasional, rapat dapat dilaksanakan secara virtual dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi. ” Dengan menggunakan dasar hukum tersebut, maka DPR melalui Badan Anggaran bersama Pemerintah melakukan Pembahasan Tingkat I UU a quo pada tanggal 4 Mei 2020 dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi melalui rapat virtual. Begitu pun halnya dengan Pembahasan Tingkat II yang menyetujui Perppu 1/2020 menjadi UU pada Rapat Paripurna tanggal 12 Mei 2020 dilaksanakan dengan menggunakan rapat kombinasi secara fisik maupun dengan teknologi informasi dan komunikasi melalui rapat virtual . e) Menanggapi dalil Para Pemohon Perkara 37, Para Pemohon Perkara 43 dan Para Pemohon Perkara 75 tersebut, DPR menerangkan bahwa pelaksanaan rapat yang dihadiri secara virtual telah diatur secara jelas dalam Pasal 279 ayat (6) Tatib DPR 2020 yang menyatakan bahwa: “ Dalam hal penandatanganan daftar hadir Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak dapat dilakukan dan disebabkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 254 ayat (4), kehadiran Anggota dalam semua jenis rapat DPR dilakukan berdasarkan kehadiran secara virtual. ” Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 279 ayat (7) Tatib DPR 2020 menyatakan bahwa: “ Bukti kehadiran secara virtual sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat dikonfirmasi dan diverifikasi keabsahannya melalui Sekretariat Jenderal DPR. ” 49 Oleh karena itu berdasarkan dokumen sebagaimana terlampir dalam Lampiran I, maka Pembahasan Tingkat II yang menyetujui Perppu 1/2020 menjadi UU pada Rapat Paripurna tanggal 12 Mei 2020 yang dilakukan secara virtual tersebut, maka kehadiran pembentuk undang- undang telah memenuhi ketentuan perundang-undangan. f) Oleh karena itu dalil Para Pemohon Perkara 37, Para Pemohon Perkara 43 dan Para Pemohon Perkara 75 tersebut hanya merupakan asumsi karena jelas bahwa pembahasan dan pengesahan undang- undang dengan menggunakan sarana teknologi dan informasi telah memiliki dasar hukum melalui Tatib DPR 2020. Selain itu berdasarkan risalah Rapat Paripurna bahwa dengan Pimpinan DPR memberikan keputusan penetapan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang artinya memberikan persetujuan dan juga mengikat anggota yang hadir baik secara fisik dan virtual (non fisik) (Lampiran II) 4. Tanggapan DPR terhadap dalil Para Pemohon Perkara 43 mengenai UU 2/2020 tidak memenuhi syarat Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011 terkait frasa “ persidangan yang berikut ”. a) Bahwa di dalam Rapat Kerja Badan Anggaran DPR RI bersama Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan tertanggal 4 Mei 2020 bahwa pada saat itu terdapat 9 (sembilan) fraksi yang menyetujui Perppu 1/2020 untuk ditetapkan menjadi undang-undang, hanya fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) yang belum menyatakan persetujuannya. Berdasarkan rapat pada saat itu, DPR RI menerangkan bahwa UU a quo disetujui untuk ditetapkan menjadi undang-undang, dari titik tolak pemikiran bahwa Alinea keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 dinyatakan bahwa tujuan dibentuknya Pemerintahan Negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap rakyat Indonesia. Dengan demikian asas keselamatan rakyat Indonesia adalah yang diutamakan, untuk memberikan keyakinan bahwa Perppu 1/2020 tersebut harus dibahas segera dan secepatnya untuk memenuhi asas keselamatan rakyat yang diamanatkan di dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 tersebut. 50 b) Bahwa Perppu 1/2020 merupakan kewenangan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam kondisi darurat yang bersifat fundamental dan krusial yang berdampak pada stabilitas perekonomian nasional jangka panjang, maka pengaturan hal tersebut perlu untuk diberikan dasar legalitas yang lebih kuat dalam bentuk undang-undang. c) Bahwa DPR selain memiliki fungsi legislasi sebagai pembentuk undang-undang berdasarkan Pasal 20A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, juga memiliki fungsi anggaran. Berkaitan dengan Perppu 1/2020 sebagai peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang berfokus pada penataan ulang anggaran hingga beberapa tahun ke depan yang tentu saja memiliki dampak terhadap APBN, dimana sesuai dengan UUD NRI Tahun 1945 pembahasan dan pengesahan dalam Perppu 1/2020 menjadi UU sangat memerlukan peran DPR dalam melaksanakan fungsi anggaran sebagai kerangka representasi rakyat. Oleh karena itu, penting bagi DPR untuk segera membahas dan menetapkan Perppu 1/2020 menjadi UU dalam waktu yang cepat karena adanya kebutuhan mendesak yang dapat berdampak terhadap stabilitas perekonomian nasional. d) Dengan adanya situasi pandemi Covid-19 tersebut yang memiliki dampak bukan hanya terhadap kesehatan dan keselamatan rakyat, tetapi juga memiliki dampak terhadap perekonomian negara dalam jangka panjang, oleh karenanya proses penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU yang harus dilakukan secepatnya oleh DPR merupakan langkah cepat DPR dalam menghadapi keadaan darurat negara. Keadaan darurat tersebut tetap harus dipahami dalam pandangan yang sesuai dengan alas fakta yang terjadi pada saat keadaan darurat, dan tidak menggunakan parameter dan indikator keadaan normal. Oleh sebab itu, keputusan DPR yang secara cepat mengesahkan Perppu 1/2020 menjadi UU merupakan langkah yang tepat dan mencerminkan asas prosesual bahwa penundaan yang tidak beralasan ( undue delay ) harus dihindarkan, hal ini adalah demi kepentingan negara dan kepentingan umum yang harus dilindungi. e) Hal tersebut menunjukkan bahwa DPR memiliki kesamaan pandangan dengan Pemerintah mengenai adanya kegentingan memaksa dan 51 perlunya kebijakan serta tindakan yang harus segera dilakukan dalam menghadapi pandemi Covid-19. Persetujuan DPR dimaksud menjadikan norma tersebut memenuhi amanat UUD NRI Tahun 1945 dan memberikan kepastian hukum bagi keberlanjutan langkah-langkah Pemerintah dalam penanganan situasi extraordinary pandemi Covid- 19, yang telah secara nyata menimbulkan pemburukan ekonomi dan ancaman krisis apabila tidak segera ditangani. Dengan adanya legitimasi tersebut, Pemerintah memiliki fleksibilitas melakukan recovery terhadap situasi dan kondisi perekonomian. Semakin mampu Pemerintah menangani dampak yang ditimbulkan oleh pandemi Covid- 19 seiring dengan perkembangan/perlambatan penyebaran virus ( flattening the curve ), semakin mempercepat negara keluar dari pemburukan ekonomi. D. Keterangan DPR Terhadap Pengujian Materiil UU 2/2020 5. Pandangan DPR RI terhadap pengujian judul UU 2/2020:
Berdasarkan metode penafsiran secara gramatikal yaitu metode penafsiran melalui pendekatan tatabahasa yang ada pada rumusan UU, dalam memahami UU, tanda baca, diksi, dan pola susunan kalimat sedemikan rupa benar benar diperhatikan. Berdasarkan metode penafsiran tersebut judul Lampiran UU 2/2020 sudah jelas, tidak ambigu, memang yang diatur dalam Lampiran UU 2/2020 ini adalah langkah Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan dikarenakan adanya pandemi Covid 19 yang saat ini terjadi. Bukan mengatur tentang langkah tindakan Pemerintah untuk menangani Covid 19. Yang menjadi subyek dari judul ini adalah Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19. Dua subyek tersebut adalah dua hal yang berbeda namun satu kesatuan yang diatur dalam Lampiran UU 2/2020 ini.
Judul dan materi muatan sudah sesuai, materi muatan terdiri atas 6 bab yang hampir semuanya mengatur mengenai langkah-langkah kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan yang akan dijalankan pemerintah, dan tidak mengatur mengenai langkah-langkah untuk menangani pandemi Covid-19. 52 c. Berdasarkan Ketentuan dalam UU 12/2011 Lampiran II Bagian A mengatur bahwa: ● Judul Peraturan Perundang–undangan memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun pengundangan atau penetapan, dan nama Peraturan Perundang–undangan; ● Judul Peraturan Perundang-undangan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin tanpa diakhiri tanda baca; ● Pada nama Peraturan Pemerintah Pengganti Undang–Undang (Perpu) yang ditetapkan menjadi Undang–Undang, ditambahkan kata penetapan di depan judul Peraturan Perundang–undangan yang ditetapkan dan diakhiri dengan frasa menjadi Undang-Undang; Berdasarkan ketentuan tersebut, judul yang tertulis pada UU 2/2020 maupun Perppu 1/2020 yang merupakan lampiran dari UU 2/2020 telah sesuai dengan ketentuan dalam UU 12/2011.
Pandangan DPR terhadap materi muatan kebijakan pelebaran defisit anggaran sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU a quo . __ a. Bahwa sesuai amanat konstitusi, APBN digunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat, namun ketika keadaan darurat karena Covid-19 yang telah secara nyata memberikan dampak pada perekonomian negara seperti saat ini maka penggunaan APBN dapat disesuaikan untuk kepentingan yang lebih besar yaitu menyelamatkan perekonomian negara yang mana hal ini justru untuk menciptakan manfaat yang lebih besar.
Implikasi pandemi Covid-19 telah berdampak pula terhadap ancaman semakin memburuknya sistem keuangan yang berisiko pada ketidakstabilan makro ekonomi dan sistem keuangan yang perlu dimitigasi bersama oleh Pemerintah dan lembaga terkait dengan melakukan tindakan antisipasi guna menjaga stabilitas sektor keuangan. Bahwa kedalaman implikasi Covid-19 terhadap perekonomian sulit diukur karena puncak pandemi Covid-19 belum dapat dipastikan waktunya. Implikasi ekonomi yang ditimbulkan oleh Covid-19 terhadap perekonomian sangat dalam sehingga semua skenario perlu disiapkan untuk menghadapi situasi yang paling buruk, bahkan dalam bentuk 53 “ worst case scenario ”. Maka pemerintah dan lembaga terkait perlu mengambil langkah luar biasa dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional dengan berbagai kebijakan relaksasi yang berkaitan dengan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan melakukan peningkatan belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial dan pemulihan perekonomian, serta memperkuat kewenangan berbagai lembaga dalam sektor keuangan.
Bahwa Para Pemohon Perkara 37 dan Pemohon Perkara 45 mendalilkan UU a quo melampaui dari ruang lingkup yang diatur di dalam Pasal 1 karenanya senyatanya Pasal 2 ayat (1) huruf a justru mengatur dalam jangka waktu sampai dengan 2022 bahkan sampai 2023. Selain itu, negara-negara lain, pemerintahnya tidak diberi kewenangan khusus dalam bidang anggaran selama bertahun-tahun. Terhadap dalil tersebut, DPR berpandangan sebagai berikut:
Dalam Lampiran UU 2/2020 tetap terdapat pembatasan- pembatasan yaitu: Pertama, kewenangan menetapkan defisit melampaui 3% dari PDB hanya berlaku paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022 (dalam jangka waktu kurang lebih 2 tahun atau bisa kurang dari waktu tersebut jika recovery ekonomi dapat berjalan lebih cepat); dan penyesuaian besaran defisit tersebut dilakukan secara bertahap. Sebagai perbandingan dengan negara lain, Amerika Serikat, Australia, Singapura, dan Malaysia telah mengeluarkan stimulus fiskal yang mencapai lebih dari 10% PDB-nya. Amerika Serikat hanya dalam waktu kurang dari 3 bulan menambah utang dengan 3 Triliun US$ yang jumlah tersebut sama dengan jumlah 3 kali PDB Indonesia. (Lampiran II). Kedua , pelebaran defisit tersebut tetap dalam koridor jumlah pinjaman yang dapat dilakukan dalam rangka pelaksanaan pelebaran defisit tersebut yaitu di batasi maksimal 60% (enam puluh persen) dari PDB sesuai UU Keuangan Negara 2) Bahwa defisit anggaran yang tidak dapat dihindari tersebut tentunya butuh penanganan sehingga meningkatnya besaran utang negara adalah suatu hal yang pasti terjadi. Solusi ini adalah satu diantara upaya-upaya yang dilakukan oleh Pemerintah selain 54 melakukan penyesuaian besaran belanja wajib, pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar fungsi dan/atau antar program dan lain sebagainya sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2 Lampiran UU 2/2020.
Bahwa konsekuensi dari pelebaran defisit tersebut tentunya berdampak pada tahun-tahun berikutnya. Sehingga penentuan atau pembatasan APBN sampai tahun anggaran 2022 merupakan pilihan kebijakan yang logis. Oleh karena itu, Pemerintah memberikan prediksi dengan menetapkan batasan defisit anggaran melampaui 3% dari PDB sampai dengan tahun anggaran 2022. Sedangkan pada tahun anggaran 2023, Pemerintah optimis besaran defisit anggaran akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% dari PDB. Hal ini merupakan optimisme Pemerintah dalam mengupayakan perbaikan kondisi perekonomian dan keuangan nasional. Hal ini harus dipahami oleh Para Pemohon a quo mengingat kondisi dan kemampuan setiap negara berikut kebijakan-kebijakan yang diambil tidak dapat disamaratakan karena karakteristik dan tren pertumbuhan perekonomiannya yang juga tidak sama.
Bahwa APBN Tahun Anggaran 2021 dan Tahun 2022 dalam lampiran UU 2/2020 ini tidak diatur karena UU APBN Tahun Anggaran 2021 dan Tahun Anggaran 2022 belum disusun dan diundangkan ketika pengundangan UU 2/2020. Dalam penyusunan APBN Tahun Anggaran 2021 dan Tahun Anggaran 2022 tetap diberlakukan mekanisme penyusunan APBN sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan sehingga esensi Pasal 23 UUD NRI Tahun 1945 tetap terjaga.
DPR menerangkan pembentukan Perppu merupakan kewenangan konstitusional Presiden sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Baru selanjutnya diberlakukan ketentuan Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang merupakan kewenangan konstitusional DPR RI untuk memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan atas Perppu yang dibentuk oleh Presiden pada masa sidang yang berikutnya. 55 Karakter hukum UU APBN yang merupakan undang-undang penetapan, berbeda dengan undang-undang pengaturan pada umumnya. Karena sifat hukumnya tersebut, UU APBN sebenarnya merupakan domain pemerintah dalam perumusan dan perencanaannya, yang kemudian membutuhkan hak budget DPR untuk menyetujui atau tidak. Dalam hal kondisi kedaruratan, persetujuan tidak ditempatkan di awal, melainkan sekalian di akhir pelaksanaan dengan maksud terjadinya perubahan konsep hak budget DPR yang sebelumnya menguji pengeluaran negara untuk kebutuhan di tahun berjalan, menjadi menguji pengeluaran negara untuk kemanfataan di tahun berjalan. Keduanya sama-sama tetap menggunakan dan menjalankan hak budget DPR, di mana hak budget keadaan normal, alokasi yang tidak disetujui DPR karena belum menjadi kebutuhan akan dicoret atau ditarik. Sedangkan dalam keadaan darurat, alokasi yang tidak disetujui karena tidak sesuai kemanfaatannya harus dipertanggungjawabkan pemerintah dalam berbagai bentuk, yaitu meminta Badan Pemeriksa Keuangan melakukan pemeriksaan dan melaporkannya kepada DPR, meminta pemerintah melakukan koreksi dan pengembalian sesuai dengan rekomendasi pemeriksaan BPK, atau DPR dapat menggunakan hak yang dimilikinya dalam mengawasi penggunaan APBN keadaan darurat.
Selain itu terkait keinginan Pemohon Perkara 45 agar RUU APBN Tahun 2021 dibahas Pemerintah dengan DPR RI senyatanya sudah disampaikan Pemerintah dalam rangkaian rapat paripurna tertanggal 12 Mei 2020, 14 Juli 2020, dan 14 Agustus 2020 (Lampiran II, Lampiran III dan lampiran IV). Sebagai tambahan informasi, pada 25 September 2020, Kemenkeu selaku yang mewakili Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2021 di Banggar dan Pemerintah bersama DPR telah menyetujui defisit anggaran sebesar 5,7% dari PDB pada Rapat Paripurna DPR tanggal 29 September 2020. Semua fraksi DPR juga 56 menyampaikan bahwa kondisi Covid-19 masih belum memberikan kepastian pada tahun 2021, sehingga Pemerintah dengan pimpinan Banggar dan para anggota Banggar bersama-sama memformulasikan RUU APBN 2021 yang disatu sisi memberikan signal kepada masyarakat, dunia usaha bahwa pemerintah terus melakukan support agar mereka bisa pulih dan bangkit kembali, namun di sisi lain juga memberikan sinyal kehati-hatian, sinyal prudent atau kebijakan dalam menjaga keseluruhan dan keberlangsungan APBN.
Oleh karenanya dalil bahwa kewenangan penetapan UU APBN oleh DPR menjadi nihil, (dalam hal ini dalil tersebut juga disampaikan oleh Para Pemohon Perkara 42) adalah anggapan yang salah. Hal ini disebabkan perubahan mekanismenya saja, yang sebelumnya Hak Budget DPR dilakukan di awal menjadi di akhir setelah diterbitkannya LKPP. Selain itu, dalam memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap penetapan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang tersebut, tentunya DPR mengkaji terlebih dahulu urgensi dan implikasi pemberlakuan ketentuan dalam Perppu tersebut sebagai undang-undang sebelum dilakukan penetapan Perppu tersebut sebagai undang-undang. Pengaturan dalam Perppu ini tidak berarti menghilangkan mekanisme persetujuan DPR dalam penetapan UU APBN mengingat UU APBN Tahun Anggaran 2020 telah ditetapkan, dan UU APBN Tahun Anggaran 2021 telah dibahas oleh DPR dan Pemerintah, dan UU APBN Tahun Anggaran 2022 masih belum disusun dan belum diajukan oleh Pemerintah kepada DPR RI.
Pandangan DPR terkait penggunaan dana yang bersumber dari Dana Abadi Pendidikan untuk penanganan Pandemi Covid-19, DPR.
Akumulasi dana abadi pendidikan yang dimaksud dalam Pasal a quo adalah akumulasi dana abadi dari tahun-tahun sebelumnya dan tidak termasuk porsi dana abadi pendidikan yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun berjalan ( vide Penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf e UU a quo ). 57 b. Anggaran dana pendidikan yang sudah dialokasikan dalam UU APBN tahun berjalan tidak termasuk dalam objek yang diatur dalam ketentuan Pasal a quo sehingga kewajiban Pemerintah untuk memenuhi mandatory spending dana pendidikan sebesar 20% tetap dilaksanakan. Oleh karena itu yang dapat digunakan oleh Pemerintah dalam realokasi penggunaan dana abadi pendidikan dan akumulasi dana pendidikan untuk penanganan Pandemi Covid-19 tidak mengganggu alokasi dana pendidikan yang sudah ditetapkan dalam UU APBN sebesar 20%.
Bahwa penggunaan dana abadi sebagai sumber pembiayaan APBN tahun berjalan merupakan salah satu opsi yang dipersiapkan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19. Opsi tersebut hanya akan dipergunakan apabila seluruh pembiayaan lain yang tersedia tidak memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19. Namun demikian, pemanfaatannya akan tetap memperhitungkan efektivitas dan ketepatan dibandingkan dengan surnber-sumber lain yang ada.
Pandangan DPR terkait kewenangan Pemerintah untuk menerbitkan Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara dengan tujuan tertentu dan independensi Bank Indonesia a. Bahwa dasar hukum penerbitan SUN adalah Pasal 55 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (selanjutnya di sebut UU BI), yang berketentuan: ( 1) Dalam hal Pemerintah akan menerbitkan surat-surat utang negara, Pemerintah wajib terlebih dahulu berkonsultasi dengan Bank Indonesia. (2) Sebelum menerbitkan surat utang negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah wajib berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat. (3 ) Bank Indonesia dapat membantu penerbitan surat-surat utang negara yang diterbitkan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4).... Dalam penerbitan Surat Utang Negara tersebut, terdapat peran DPR dalam mekanisme penerbitan surat utang negara berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (3) UU Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (UU SUN) yang mengatur bahwa Penerbitan Surat Utang Negara harus terlebih dahulu mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat yang diberikan pada saat 58 pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Mekanisme ini harus tetap dilakukan oleh Pemerintah.
Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (UU SBSN) diatur bahwa SBSN diterbitkan dengan tujuan untuk membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara termasuk membiayai pembangunan proyek. Kewenangan menerbitkan SBSN berada pada Pemerintah dilaksanakan oleh Menteri dapat dilaksanakan secara langsung oleh Pemerintah atau melalui Perusahaan Penerbit SBSN. Dalam hal akan dilakukan penerbitan SBSN untuk tujuan membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara termasuk membiayai pembangunan proyek, Menteri terlebih dahulu berkoordinasi dengan Bank Indonesia.
Ketentuan Pasal 8 UU SBSN mengatur bahwa Penerbitan SBSN harus terlebih dahulu mendapat persetujuan DPR pada saat pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diperhitungkan sebagai bagian dari Nilai Bersih Maksimal Surat Berharga Negara yang akan diterbitkan oleh Pemerintah dalam satu tahun anggaran. Dalam rangka kedaruratan penanganan Covid-19 dan implikasinya terhadap kondisi perekonomian nasional, hal ini juga menjadi pertimbangan Presiden dalam penyusunan Perppu 1/2020 dan penetapannya sebagai undang-undang oleh DPR melalui UU 2/2020. Ketentuan Pasal 8 UU SBSN ini tidak disebutkan dalam ketentuan Pasal 28 lampiran UU 2/2020, sehingga masih berlaku dan harus dilaksanakan oleh Pemerintah.
Pasal 2 ayat (1) huruf f, Pasal 16 ayat (1) huruf c, dan Pasal 19 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 mengatur bahwa Bl dapat membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana atau primer. Pengaturan tersebut melengkapi ketentuan Pasal 55 ayat (4) UU Bl yang memberikan kewenangan Bl untuk membeli SUN di pasar primer atau perdana berjangka pendek yang diperlukan oleh Bl untuk operasi pengendalian moneter. Pengaturan pada Pasal 55 ayat (4) UU Bl dimaksudkan untuk menjalankan tugas Bl dalam kondisi normal. Sementara saat ini, Presiden telah memutuskan kondisi kegentingan yang memaksa serta kekosongan hukum karena pandemi Covid-19 sehingga diterbitkan 59 Perppu 1/2020. Dalarn mengatasi kondisi tersebut, diperlukan stimulus fiskal yang dapat berimplikasi pada pelebaran defisit APBN. Oleh karena itu, peran Bl perlu diperluas sehingga Bl dapat melakukan pembelian SUN dan/atau SBSN jangka panjang di pasar perdana khususnya dalam rangka penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Covid-19.
Ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) hurut c Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk memberikan kelengkapan payung hukum bagi Bl untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan pembelian SUN dan/atau SBSN berjangka panjang di pasar perdana untuk penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Covid-19. Dengan adanya ketentuan-ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020, terbuka ruang baru bagi Bl dalam rnerumuskan dan rnelaksanakan kebijakan moneter melalui pembelian SUN di pasar primer atau perdana, baik yang berjangka pendek maupun panjang, untuk digunakan dalam operasi pengendalian moneter maupun yang diperlukan untuk pemulihan ekonomi nasional.
Pembelian SUN dan/atau SBSN oleh Bl di pasar perdana dilakukan untuk membantu pemerintah dalam pemenuhan pembiayaan APBN dan pembiayaan pelaksanaan pemulihan ekonomi nasional termasuk menjaga stabilitas sistem keuangan nasional yang menjadi peran Bl sebagai otoritas moneter dan bukan mengintervensi Bl dalam pelaksanaan tugasnya. Proses untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana merupakan mandat yang diberikan oleh UU 2/2020 sehingga sama sekali tidak ada intervensi terhadap independensi Bl.
Perlu dicermati pula bahwa SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan oleh Pemerintah tidak wajib untuk dibeli oleh Bl. Rumusan-rumusan ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020 terkait kewenangan Bl untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana memuat kata "dapat". Penggunaan frasa "dapat" dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf f dan 60 Pasal 19 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 dimaknai bahwa tidak ada unsur kewajiban bagi Bl yang dapat menghilangkan independensi Bl sebagai bank sentral untuk memutuskan pembelian SUN dan/atau SBSN di pasar perdana. Pembelian SUN dan/atau SBSN didasarkan sesuai pertimbangan Bl dalam menjalankan tugasnya.
Kewenangan Bl untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana sebagaimana diatur dalam Lampiran UU 2/2020 dilaksanakan dengan tetap menjaga independensi Bl. Pasal 23D UUD NRI Tahun 1945 jo. Pasal 4 ayat (2) UU Bl telah mengatur bahwa Bl merupakan lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak lain. Pelaksanaan tugas dan wewenang Bl akan tetap berjalan secara efektif dengan berlakunya ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (3) UU a quo , kewenangan tersebut harus memenuhi skema dan mekanisme pembelian yang diatur bersama antara Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia dengan Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur Bl Nomor 190/KMK.08/2020 dan Nomor 22/4/KEP.GBl/2020 tanggal 16 April 2020 dengan menerapkan prinsip:
mengutamakan mekanisme pasar;
mempertimbangkan dampaknya terhadap inflasi secara terukur;
SUN dan/atau SBSN yang dapat dibeli oleh Bl bersifat tradable dan marketable ; dan
Bl sebagai pembeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana merupakan last resort dalam hal kapasitas pasar tidak mampu menyerap dan/atau menyebabkan kenaikan yield yang terlalu tinggi.
Pandangan DPR terkait penetapan sumber-sumber pembiayaan Anggaran yang berasal dari dalam dan/atau luar negeri dan pengaturan perubahan postur APBN melalui Peraturan Presiden sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan tersebut meliputi kewenangan yang bersifat 61 umum dan kewenangan yang bersifat khusus. Untuk membantu Presiden dalam penyelenggaraan kekuasaan dimaksud, sebagian dari kekuasaan tersebut dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku Pengelola Fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan, serta kepada Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya. Menteri Keuangan sebagai pembantu Presiden dalam bidang keuangan pada hakekatnya adalah Chief Financial Officer (CFO) Pemerintah Republik Indonesia, sementara setiap menteri/pimpinan lembaga pada hakekatnya adalah Chief Operational Officer (COO) untuk suatu bidang tertentu pemerintahan. Prinsip ini perlu dilaksanakan secara konsisten agar terdapat kejelasan dalam pembagian wewenang dan tanggung jawab, terlaksananya mekanisme checks and balances serta untuk mendorong upaya peningkatan profesionalisme dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan. Sub bidang pengelolaan fiskal meliputi fungsi-fungsi pengelolaan kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro, penganggaran, administrasi perpajakan, administrasi kepabeanan, perbendaharaan, dan pengawasan keuangan.
Pengecualian Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara dalam Perppu ini sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (2) lampiran UU 2/2020 a quo : “ Perubahan postur dan/atau rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara dan langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 11 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden.” Ketentuan tersebut hanya berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Perppu ini ( Vide Pasal 28 lampiran UU 2/2020). Dalam kondisi kembali normal semua ketentuan dalam UU MD3 berlaku seperti semula termasuk dalam hal mekanisme pembahasan APBN dan APBNP yang harus tetap mendapatkan persetujuan DPR. Selain itu meskipun APBN 62 Perubahan ditetapkan dengan Peraturan Presiden karena situasi yang mendesak berdasarkan Perppu 1/2020 yang selanjutnya menjadi lampiran UU 2/2020, tetapi pertanggungjawaban APBN tetap kepada DPR.
Bahwa terkait dengan sumber-sumber pembiayaan negara, Pasal 12 ayat (3) UU Keuangan Negara mengatur bahwa dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Undang-undang tentang APBN. Dan penjelasan Pasal 12 ayat (3) UU Keuangan Negara tersebut mengatur bahwa jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari Produk Domestik Bruto. Ketentuan dalam penjelasan ini juga menjadi bagian yang dinyatakan tidak berlaku dalam Pasal 28 angka 3 lampiran UU 2/2020. Namun pada dasarnya, penetapan sumber-sumber pembiayaan tersebut diperbolehkan hanya saja batasan yang ada dalam penjelasan pasal tersebut tidak diberlakukan selama penanganan Covid-19 ini atau hingga tahun 2021. Selain itu, persebaran Covid-19 yang masif dan cepat ini membutuhkan penanganan cepat namun yang tidak dapat dilaksanakan melalui mekanisme APBN, sehingga telah jelas tidak ada pelanggaran prinsip pengelolaan keuangan negara dan tetap sejalan dengan prinsip negara hukum sebagaimana diatur oleh Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.
Ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 sama sekali tidak menghilangkan peran dan fungsi DPR, karena dengan telah disetujui dan ditetapkannya Perppu1/2020 menjadi UU 2/2020, telah menunjukkan bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dengan Peraturan Presiden yang diatur dalam ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 tersebut telah mendapat persetujuan DPR. Selain itu, dalam pembentukan Peraturan Presiden tentang perubahan postur dan/atau rincian APBN, Pemerintah selalu mengkomunikasikannya dan melakukan pembahasan bersama dengan DPR. DPR dapat memberikan masukan dan rekomendasi kepada Pemerintah terkait postur dan/atau rincian APBN tersebut. Oleh karena itu, Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 __ yang mengatur bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dilakukan dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden, sama sekali 63 tidak menghilangkan peran dan fungsi DPR. Pengaturan perubahan postur dan/atau rincian APBN dalam ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 telah diselaraskan dengan dicabutnya ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU Keuangan Negara, Pasal 177 huruf c angka 2 dan Pasal 182 UU MD3, serta Pasal 40 UU APBN 2020 (vide ketentuan Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020). Pencabutan berbagai ketentuan yang diatur dalam Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020 tersebut, merupakan upaya harmonisasi agar tidak ada dualisme aturan atas satu permasalahan. Dengan demikian, ketentuan Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020 telah memberikan kepastian hukum atas pelaksanaan ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020, yaitu bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dilakukan dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden.
Pandangan DPR Terhadap Kebijakan Di Bidang Keuangan Daerah sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945, Pemerintah Daerah telah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendi r i urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Penjelasan umum UU Pemda menyatakan bahwa pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip negara kesatuan. Dalam negara kesatuan, kedaulatan hanya ada pada pemerintahan negara atau pemerintahan nasional dan tidak terdapat kedaulatan pada pemerintahan daerah. Oleh karena itu, seluas apapun otonomi yang diberikan kepada daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan pemerintahan daerah akan tetap ada di tangan pemerintah pusat. Untuk itu pemerintahan daerah pada negara kesatuan merupakan satu kesatuan dengan pemerintahan nasional.
Kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh daerah merupakan bagian integral dari kebijakan nasional. Pembedanya, terletak pada bagaimana memanfaatkan kearifan, potensi, inovasi, daya saing, dan kreativitas daerah untuk mencapai tujuan nasional tersebut di tingkat lokal yang 64 pada gilirannya akan mendukung pencapaian tujuan nasional secara keseluruhan. Pada kondisi pandemi Covid-19, hal yang perlu diperhatikan dalarn pelaksanaan kebijakan keuangan di daerah adalah kecepatan dan ketepatan untuk menyesuaikan anggaran sehingga tepat sasaran. Lebih lanjut, berdasarkan dengan Pasa l 6 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara), kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan, telah diserahkan kepada kepada gubernur/bupati/wali kota untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili Pemerintah Daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Namun demikian, dalam pelaksanaannya, penyelenggaraan pemerintahan daerah, termasuk keuangan daerah, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam UU Pemda sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015. Dalam ketentuan Pasal 9 ayat (2) UU Pemda disebutkan urusan absolut adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat. Lebih Ianjut dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf e UU Pemda disebutkan jika salah satu urusan pemerintahan absolut tersebut adalah urusan moneter dan fiskal nasional. Dalam menangani pandemi Covid-19 dan menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, kebijakan yang diterapkan di bidang keuangan negara yang memberikan relaksasi untuk refocusing APBN, sudah seharusnya juga diterapkan pada pemerintahan daerah, khususnya dalam hal relaksasi untuk refocusing APBD. Oleh karena itu, kebersarnaan dan gotong royong oleh pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah dapat menuntaskan permasalahan kesehatan dan ekonomi dampak Covid-19.
Sesuai ketentuan Pasal 8 UU Pemda, telah diatur bahwa pembinaan dan pengawasan terhadap urusan penyelenggaraan pemerintahan oleh daerah dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri. Hal tersebut dapat menjadi landasan Kementerian Dalam Negeri untuk memberikan petunjuk/pedoman tentang keuangan daerah kepada Pemerintah Daerah agar penggunaan realokasil refocusing seragam dan terarah 65 bagi seluruh daerah. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 280 UU Pemda, dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang diserahkan dan/atau ditugaskan, penyelenggara pemerintahan daerah memiliki kewajiban dalam pengelolaan keuangan daerah antara lain meliputi sinkronisasi pencapaian sasaran program daerah dalam APBD dengan program pemerintah pusat.
Sejalan dengan hal tersebut, guna mencapai penanganan yang bersifat holistik dan terpadu atas pandemi Covid-19 dan dampaknya, maka diperlukan pula peran daerah melalui APBD. Untuk itu, Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk melakukan refocusing, perubahan alokasi dan penggunaan APBD. Dalam rangka memberikan pedoman/guidance kepada Pemerintah Daerah, maka Kemendagri telah menerbitkan Permendagri Nomor 39 Tahun 2020 tentang Pengutamaan Penggunaan Alokasi Anggaran Untuk Kegiatan Tertentu, Perubahan Alokasi dan Penggunaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah yang mengatur ketentuan umum dan teknis pelaksanaan refocusing, perubahan alokasi, dan penggunaan APBD untuk penanganan pandemi Covid-19 beserta dampaknya di daerah. Dengan demikian, Permendagri tersebut tidak akan mendikte Pemerintah Daerah dalam melakukan refocusing, perubahan alokasi dan penggunaan APBD, melainkan sebatas memberikan petunjuk dan menciptakan keseragaman tindak lanjut kedaruratan dalam melakukan refocusing guna mencapai tujuan nasional. Selain itu, dengan tidak diajukannya pengujian ketentuan Pasal 3 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 oleh Pemohon, maka Pemohon telah menyadari dan rnernahami bahwa pemberian kewenangan kepada daerah untuk melakukan refocusing, perubahan alokasi, dan penggunaan APBD, merupakan kebijakan yang penting dan diperlukan Pemerintah Daerah dalam penanganan dampak Covid-19.
Pandangan DPR Terhadap Materi Muatan mengenai “Kebijakan Di Bidang Perpajakan dan Kepabeanan” sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Terkait dengan perpajakan, Kementerian keuangan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.04/2020 tentang Pemberian Fasilitas Kepabeanan Dan/Atau Cukai Serta Perpajakan Atas 66 Impor Barang Untuk Keperluan Penanganan pandemi Covid-19 sebagaimana telah diubah dengan PMK 83/PMK.04/2020 dengan pertimbangan untuk percepatan pelayanan dalam pemberian fasilitas fiskal atas impor barang yang diperlukan dalarn penanganan pandemi Covid-19, perlu mengatur ketentuan mengenai perlakuan kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan atas impor barang yang diperlukan dalam penanganan pandemi Covid-19. Dalam PMK tersebut diatur Atas impor barang untuk keperluan penanganan pandemi Covid-19 diberikan fasilitas kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan berupa: a) pembebasan bea masuk dan/atau cukai; b) tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; dan c) dibebaskan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22. terhadap jenis barang yang tercantum dalam Lampiran Huruf A PMK tersebut yang dapat dilakukan melalui pusat logistik berikat.
Pengaturan Pasal 10 lampiran UU 2/2020 ini tidak bertentangan dengan Pasal 25 dan Pasal 26 UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang telah diubah dengan UU Nomor 17 Tahun 2006 (UU Kepabeanan). Pengaturan perubahan ketentuan Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (1) UU Kepabeanan tersebut dalam rangka penanganan Covid-19 ini tentukan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan tentu tidak dapat serta merta dianggap kesalahan karena anggapan Para Pemohon bahwa ketentuan dalam UU tidak dapat diubah melalui peraturan perundang-undangan yang tidak setara. Hal ini dilakukan karena apa yang terjadi dan butuh penanganan cepat tidak sesuai dan tidak termasuk dalam pengaturan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (1) UU Kepabeanan. Barang-barang tersebut tidak termasuk barang yang dipergunakan untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak termasuk obat-obatan yang pengadaannya menggunakan anggaran keuangan negara.
Perubahan ketentuan Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (1) UU Kepabeanan tersebut dengan UU perubahan tentu akan memerlukan waktu yang lama mengingat prosedur penyusunan UU beserta tahapan- tahapannya tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat. Penentuan ini 67 juga tentunya memperhatikan pengaturan yang ada dalam Pasal 25 ayat (3) UU Kepabeanan yang menyatakan “ Ketentuan tentang pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri ” dan Pasal 26 ayat (3) UU Kepabeanan yang menyatakan “ Ketentuan mengenai pembebasan atau keringanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan Menteri”. Sejalan dengan adanya amanat pengaturan peraturan pelaksanaan UU sebagaimana dalam Pasal 25 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (3) UU Kepabeanan, maka hal ini jelas ditujukan untuk simplifikasi proses dalam kondisi yang genting, yang sudah jelas tidak berarti bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana yang telah didalilkan oleh Para Pemohon Perkara 37.
Tidak adanya pernyataan Presiden bahwa negara dalam kondisi krisis sehingga tidak diperlukan adanya program stabilitasi perekonomian dan keuangan nasional termasuk pengurangan pajak dan bea masuk barang impor sebagaimana yang dinyatakan Para Pemohon Perkara 42, hal tersebut tidaklah benar. Dalam berbagai pidatonya, Presiden, DPR dan Menteri keuangan berulang kali menyampaikan kondisi perekonomian nasional dan kekhawatiran apabila tidak dilakukan upaya penanganan segera tanpa perlu menyatakan “Indonesia dalam keadaan krisis” pun keadaan tersebut dirasakan oleh masyarakat secara luas khususnya setelah adanya pandemi Covid-19. Pengurangan pajak dilakukan karena pajak dipungut dari warga negara dan kondisi perekonomian nasional sedang tidak dalam keadaan baik. Hal ini justru akan membebani masyarakat apabila tidak dilakukan pengurangan pajak. Selain itu, kebijakan terkait bea masuk barang impor tidak diberlakukan pada seluruh objek bea masuk melainkan pada alat-alat kesehatan dan obat- obatan yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam rangka penanganan pandemi Covid-19. Oleh karenanya, pengaturan dan pengawasan pengelolaan keuangan negara selama masa pandemi Covid-19 ini terlapor secara jelas kepada DPR dan dilaksanakan sesuai dengan asas- asas pengelolaan keuangan negara dan asas-asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang baik. 68 e. Bahwa terkait dalil Para Pemohon Perkara 37 yang menyatakan bahwa pemberian keringanan pajak tanpa dibarengi dengan adanya larangan PHK tidaklah tepat. DPR menerangkan bahwa pelarangan PHK tidak dapat diberlakukan oleh Pemerintah mengingat kondisi keuangan setiap perusahaan tidak sama satu sama lain berikut besar skalanya. Keringanan pajak tersebut diberikan dengan harapan mampu menstimulus perkembangan perusahaan sehingga besarnyapun tidak akan sama bagi setiap perusahaan tergantung pada skala perusahaan dan bidang usaha perusahaan tersebut. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) mengatur bahwa Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah. Dalam UU Ketenagakerjaan tersebut telah diatur mengenai pemutusan hubungan kerja dan adanya perjanjian kerja. Selain itu, ketenagakerjaan merupakan hubungan perdata antara pekerja dan pemberi kerja/pengusaha.
Bahwa terkait dalil Para Pemohon Perkara 37 mengenai pajak untuk perdagangan melalui sistem elektronik tidak memenuhi unsur kegentingan yang memaksa dan seharusnya diatur dalam undang- undang, DPR menerangkan bahwa:
Langkah-langkah pencegahan yang relatif ketat untuk membatasi meluasnya penyebaran pandemi Covid-19 menyebabkan turunnya permintaan atas produk nasional. Dampak selanjutnya, banyak perusahaan yang mengalami kesulitan cash flow sehingga menurunkan kemampuan dalam membayar pajak. Akibatnya, penerimaan perpajakan seperti PPh Badan mengalami penurunan secara signifikan. Berkurangnya aktivitas perdagangan internasional secara signifikan juga mengakibatkan turunnya penerimaan pajak dari impor dan bea masuk. Selain itu, penerimaan perpajakan juga mengalami tekanan dari turunnya harga minyak dunia, bahan mineral, dan CPO yang merupakan komponen penting dalam menghitung PPh migas dan bea keluar. Kinerja penerimaan perpajakan diperkirakan akan melemah pada 69 tahun 2020 dengan tax ratio berpotensi berada di bawah 9 persen, terendah dalam dua dekade terakhir.
Menghadapi kondisi perekonomian dan pandemi Covid-19, kebijakan dan strategi perpajakan jangka menengah ditujukan untuk mendorong percepatan pemulihan ekonomi nasional pasca pandemi Covid-19 dan meningkatkan pendapatan negara. Di tengah ketidakpastian akan akhir dari pandemi Covid-19, dukungan terhadap dunia usaha mutlak diperlukan dalam rangka memitigasi dampak ekonomi yang timbul dan mendorong percepatan pemulihan ekonomi nasional. Untuk itu, langkah reformasi perpajakan yang pertama dilakukan adalah dengan memberikan relaksasi perpajakan kepada dunia usaha. Relaksasi perpajakan tersebut dimaksudkan untuk mengurangi beban kegiatan usaha dan membantu meningkatkan kondisi cash flow perusahaan, khususnya selama dan pasca pendemi Covid-19. Perusahaan dapat menggunakan pengurangan atau pembebasan pajak untuk menutupi kenaikan harga bahan input maupun penurunan penjualan sehingga tetap beroperasi secara normal. Efek selanjutnya adalah perusahaan diharapkan tidak melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sehingga karyawan mempunyai gaji untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pada gilirannya hal tersebut akan kembali menggairahkan perekonomian nasional, baik dari sisi produksi maupun sisi konsumsi. Melalui penurunan tarif PPh badan, pembebasan PPh impor dan bea masuk sektor tertentu, serta berbagai fasilitas perpajakan lainnya, Pemerintah juga bermaksud meningkatkan daya saing guna mendorong aktivitas investasi sehingga dapat memacu pertumbuhan ekonomi nasional.
Dalam rangka meningkatkan pendapatan negara, khususnya penerimaan perpajakan, Pemerintah melakukan upaya perluasan basis pemajakan dan perbaikan administrasi perpajakan. Penambahan objek pajak baru yang dipungut oleh Negara sangat diperlukan dalam rangka meningkatkan tax ratio . Sebagai tahap awal, Pemerintah akan memungut pajak atas Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) atau yang lebih popular dengan sebutan 70 e-commerce . Dalam beberapa tahun terakhir, transaksi online berkembang begitu cepat dan berpotensi menggantikan pasar konvensional. Selain menjadi sumber pendapatan Negara, pemungutan pajak terhadap sektor PMSE juga dimaksudkan untuk memastikan terpenuhinya prinsip pemajakan yang berkeadilan ( fairness) antara semua pelaku usaha dan menciptakan level of playing field yang sama bagi pengusaha di dalam negeri untuk bertahan dan meningkatkan daya saingnya di tengah pandemi Covid-19. Selama ini, pelaku usaha ekonomi digital luar negeri mendapatkan penghasilan secara signifikan dari Indonesia tanpa perlu membayar pajak di Indonesia. Untuk itu, pemajakan atas PMSE diharapkan mampu menjadi sumber penting pendapatan negara mengingat nilai transaksinya yang besar di masa yang akan datang. Dengan demikian pengaturan obyek pajak baru dan mekanisme mekanisme peningkatan efektifitas pajak menjadi hal yang harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan belanja negara yang semakin tinggi dengan kondisi pemasukan negara yang tidak mencukupi.
Apabila pemajakan terhadap PMSE tidak segera diterapkan di Indonesia maka terjadi kekosongan hukum dan menjadi loopholes untuk penghindaran dan pengelakan pajak yang menyebabkan hilangnya potensi penerimaan pajak. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa akan memerlukan waktu yang cukup lama, apalagi di tengah pandemi Covid-19. Dengan demikian, kebijakan pemajakan PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 sangat diperlukan sebagai dasar legal formal pemajakan atas PMSE. Dalam pelaksanaan PMSE tersebut, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, Dan Penyetoran, Serta Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud Dan/Atau Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean Di Dalam Daerah Pabean Melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Peraturan tersebut tentunya tidak lepas 71 dari pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. Maka dengan diaturnya PSME dalam Perppu 1/2020 yang keberlakuannya setara dengan Undang-Undang dan telah ditetapkan sebagai Undang-Undang melalui UU 2/2020, maka dalil Para Pemohon Perkara 37 mengenai PSME harus diatur dalam undang-undang menjadi tidak beralasan menurut hukum.
Pandangan DPR Terhadap Keterbukaan Pemerintah Terhadap Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara Sebagaimana Diatur dalam Ketentuan UU a quo .
Setiap penyelenggara negara wajib mengelola keuangan negara secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Pengelolaan dimaksud dalam UU Keuangan Negara mencakup keseluruhan kegiatan perencanaan, penguasaan, penggunaan, pengawasan, dan pertanggung-jawaban. Oleh karenanya, APBN, perubahan APBN, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN setiap tahun ditetapkan dengan undang-undang. Sedangkan APBD, perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Dengan ditetapkannya APBN, Perubahan APBN berikut pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dalam Undang-Undang dan APBD, perubahan APBD berikut pertangungjawaban pelaksanaan APBD dalam Peraturan daerah, maka berlakulah fiksi hukum dalam masyarakat. Asas Fiksi Hukum beranggapan bahwa ketika suatu peraturan perundang- undangan telah diundangkan maka pada saat itu setiap orang dianggap tahu ( presumption iures de iure ) dan ketentuan tersebut berlaku mengikat sehingga ketidaktahuan seseorang akan hukum tidak dapat membebaskan/memaafkannya dari tuntutan hukum ( ignorantia jurist non 72 excusat ). Keberadaan asas fiksi hukum, telah dinormakan di dalam penjelasan Pasal 81 ketentuan UU 12/2011 yakni " Dengan diundangkannya Peraturan Perundang-undangan dalam lembaran resmi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini, setiap orang dianggap telah mengetahuinya ". Adapun lembaran resmi yang dimaksud di dalam ketentuan Pasal 81 terdiri dari 7 jenis yakni a. Lembaran Negara Republik Indonesia, b.Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, c.Berita Negara Republik Indonesia, d. Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, e.Lembaran Daerah, f. Tambahan Lembaran Daerah, atau g. Berita Daerah.
Dalam rangka akuntabilitas pengelolaan keuangan negara menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota selaku pengguna anggaran/pengguna barang bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD, dari segi manfaat/hasil ( outcome ). Sedangkan Pimpinan unit organisasi kementerian negara/lembaga bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan dalam undang-undang tentang APBN, demikian pula Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang APBD, dari segi barang dan/atau jasa yang disediakan ( output ).
Oleh karena itu, dalam UU Perbendaharaan Negara diatur sanksi yang berlaku bagi menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota, serta Pimpinan unit organisasi kementerian negara/lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan/kegiatan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD. Ketentuan sanksi tersebut dimaksudkan sebagai upaya preventif dan represif, serta berfungsi sebagai jaminan atas ditaatinya Undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD yang bersangkutan. Selain itu perlu ditegaskan prinsip yang berlaku universal bahwa barang siapa yang diberi wewenang untuk menerima, menyimpan dan membayar atau menyerahkan uang, surat berharga atau barang milik negara bertanggungjawab secara pribadi atas semua kekurangan yang terjadi dalam pengurusannya. Kewajiban 73 untuk mengganti kerugian keuangan negara oleh para pengelola keuangan negara dimaksud merupakan unsur pengendalian intern yang andal.
Anggapan Para Pemohon Perkara 42 dan Para Pemohon Perkara 43 atas tidak terjadinya krisis perekonomian karena tidak adanya pernyataan dari Presiden terkait kondisi tersebut, hal ini sungguh tidak beralasan menurut hukum dan justru menunjukkan sikap ketidakpedulian Para Pemohon Perkara 42 dan Para Pemohon Perkara 43 atas kondisi negara dan kondisi yang ada dalam masyarakat secara umum. Dengan perkembangan teknologi dan akses berita yang mudah dan luas sekarang ini, informasi mengenai keuangan negara dapat diakses dengan mudah. Hal ini merupakan wujud transparansi pengelolaan keuangan negara karena keuangan negara menyangkut kepentingan publik.
Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dijelaskan bahwa Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik. Salah satu asas dalam UU tersebut adalah bahwa setiap Informasi Publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap Pengguna Informasi Publik, kecuali terdapat ketentuan pengecualiannya. Informasi Publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan undang-undang, kepatutan, dan kepentingan umum didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah dipertimbangkan dengan saksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya. Dalam hal ini, keuangan negara merupakan informasi yang tidak dikecualikan dan dengan jelas diatur adanya mekanisme-mekanisme penyampaian informasi keuangan negara dalam UU Keuangan Negara. 74 13. Pandangan DPR terkait penambahan kewenangan terhadap OJK sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Setidaknya terdapat tiga kewenangan OJK dalam UU a quo . Salah satu amanat dari UU 2/2020 seperti yang tercantum dalam Pasal 23 ayat (1) yaitu memberi kewenangan dan pelaksanaan kebijakan OJK untuk memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan melakukan penggabungan , peleburan, pengambilalihan, integrasi dan/atau konversi . Langkah tersebut dapat dilakukan apabila diperlukan untuk mengantisipasi krisis jasa keuangan yang dapat membahayakan perekonomian nasional. Dalam menghadapi kondisi penuh risiko saat ini akibat Covid-19 maka daya tahan lembaga jasa keuangan sangat dibutuhkan khususnya dari sisi permodalan. Sehingga, salah satu cara untuk memperkuat daya tahan lembaga jasa keuangan tersebut dilakukan dengan cara penggabungan atau merger. Aksi merger tersebut diperlukan karena terdapat risiko besar akibat Covid-19 yang mengganggu kemampuan pembayaran perusahaan jasa keuangan khususnya perbankan, meskipun saat ini perbankan tetap masih membayarkan bunga deposito kepada nasabah tepat waktu. Di sisi lain, kemampuan membayar debitur atau peminjam dalam kondisi tidak stabil karena perlambatan ekonomi di berbagai sektor. Sehingga, aksi merger tersebut diharapkan dapat memperkuat daya tahan perusahaan jasa keuangan.
Otoritas Jasa Keuangan mengeluarkan berbagai kebijakan stimulus untuk mengantisipasi dampak pandemi Covid-19 di bidang lembaga jasa keuangan. Sejauh ini, setidaknya OJK telah menerbitkan lima Peraturan OJK (POJK) pada 21 April 2020 sebagai tindak lanjut kewenangan OJK dalam pelaksanaan UU 2/2020 Kebijakan stimulus ini salah satunya adalah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Corona Virus Disease 2019.
Kekhawatiran Para Pemohon Perkara 37 dan Para Pemohon Perkara 42 terkait potensi kesewenang-wenangan OJK dalam melaksanakan kewenangannya yang diberikan oleh UU 2/2020 tentunya telah diantisipasi oleh Pemerintah dan OJK dengan adanya pedoman pelaksanaan kewenangan-kewenangan tersebut. Selain itu, bagi OJK selaku pelaksana 75 kewenangan yang diberikan oleh UU 2/2020 juga berlaku ketentuan Asas- Asas Umum Pemerintahan yang Baik sebagaimana diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Pandangan DPR terkait pinjaman kepada LPS sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Ketentuan Pasal 2 ayat (3) UU LPS, LPS merupakan lembaga yang independen. Sesuai ketentuan tersebut, telah jelas bahwa kedudukan LPS merupakan lembaga independen, bukan merupakan lembaga yang berada di bawah pemerintah. Pemberian kewenangan kepada LPS sebagaimana yang tercantum dalam Lampiran UU 2/2020, pada prinsipnya merupakan kewenangan yang telah diberikan oleh UU LPS, UU OJK , dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK). Kewenangan yang diberikan kepada LPS sesuai Pasal 20 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 sifatnya lebih mempertegas guna mendukung pelaksanaan fungsi LPS dalam kondisi adanya pandemi Covid-19 dan/atau adanya ancaman perekonomian dan/atau stabilitas sistem keuangan. Kewenangan tersebut sudah jelas melekat dan seharusnya diberikan kepada LPS untuk dapat melaksanakan fungsi LPS sebagaimana diatur dalam UU LPS, yaitu menjamin simpanan nasabah penyimpan dan menjaga stabilitas sistem perbankan. Pemberian kewenangan bagi LPS untuk melaksanakan langkah-langkah penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan juga diiringi dengan wewenang bagi Pemerintah untuk mengatur lebih lanjut pelaksanaan kewenangan tersebut dalam Peraturan Pemerintah (vide Pasal 20 ayat (2) Lampira n UU 2/2020). Adanya atribusi dan mandat untuk melakukan pengaturan dalam peraturan perundang- undangan di bawah undang-undang dimaksudkan untuk memberikan koridor dalam pelaksanaan kewenangan LPS. Hal tersebut dimaksudkan selain untuk memberikan kepastian hukum, juga untuk menghindari LPS menginterpretasikan kewenangan yang diberikan dalam Lampiran UU 2/2020 secara luas yang dapat mengakibatkan penyalahgunaan wewenang. 76 b. Berdasarkan UU LPS, fungsi LPS adalah menjamin simpanan nasabah di bank dan turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai kewenangannya. Berdasaran ketentuan dalam Pasal 85 ayat (1) UU LPS, dalam hal modal LPS menjadi kurang dari modal awal, Pemerintah dengan persetujuan DPR menutup kekurangan tersebut. Modal awal LPS ditetapkan sekurang-kurangnya Rp 4 triliun dan sebesar-besarnya Rp 8 triliun.
UU 2/2020 memberikan kewenangan kepada LPS yang di antaranya adalah melakukan pemeriksaan penanganan dan peningkatan intensitas persiapan Penanganan Bank bersama OJK dan melakukan pemilihan cara penanganan Bank Selain Bank Sistemik yang dinyatakan sebagai Bank Gagal dengan tidak hanya mempertimbangkan perkiraan biaya yang paling rendah ( least cost test ), tetapi juga mempertimbangkan kondisi perekonomian, kompleksitas permasalahan perbankan, kebutuhan waktu penanganan, ketersediaan investor, dan/atau efektivitas penanganan permasalahan Bank.
Sehubungan dengan kewenangan tersebut, UU 2/2020 mendelegasikan pengaturan kewenangan dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kewenangan LPS dalam Rangka Melaksanakan Langkah-Langkah Penanganan Permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah tersebut, LPS melakukan pemeriksaan bersama dalam rangka persiapan Penanganan Bank dan peningkatan intensitas persiapan Penanganan Bank serta melakukan pemilihan cara penanganan Bank Selain Bank Sistemik yang dinyatakan sebagai Bank Gagal.
Berdasarkan kewenangan dimaksud, dalam hal terdapat Bank yang mengalami permasalahan solvabilitas, LPS melakukan pemeriksaan bersama dengan OJK untuk penanganan permasalahan solvabilitas Bank. Disamping itu, selama pemulihan ekonomi sebagai akibat pandemi Covid-19, LPS dapat melakukan penempatan dana pada Bank untuk mengelola dan/atau meningkatkan likuiditas LPS dan/atau mengantisipasi dan/atau melakukan penanganan permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan yang dapat menyebabkan terjadinya kegagalan Bank sebagai 77 bagian dari tindakan antisipasi ( forward looking ) LPS untuk menjaga Stabilitas Sistem Keuangan.
Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 3 Tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan Dalam Rangka Melaksanakan Langkah-Langkah Penanganan Permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan, juga mengatur bahwa untuk penanganan pandemi Covid-19 untuk mengelola dan/atau meningkatkan likuiditas LPS dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, LPS dalam rangka pengambilan keputusan untuk melakukan penanganan Bank Selain Bank Sistemik yang dinyatakan sebagai Bank Gagal oleh OJK, tidak hanya mempertimbangkan perkiraan biaya yang paling rendah ( least cost test ) tetapi juga dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian, kompleksitas permasalahan bank, kebutuhan waktu penanganan, ketersediaan investor, dan/atau efektivitas dalam rangka penanganan permasalahan bank.
Berdasarkan ketentuan dalam lampiran UU 2/2020, LPS dapat menaikkan nilai penjaminan simpanan dari saat ini Rp 2 miliar per rekening untuk menjamin adanya kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan. LPS juga bisa menambah pembiayaan dengan menerbitkan surat utang. Penambahan pendanaan ini bertujuan untuk membantu LPS apabila mengalami kesulitan likuiditas dalam menangani bank gagal. Pembiayaan dari surat utang merupakan salah satu opsi yang dapat dilakukan LPS untuk menjalankan fungsi penjaminan simpanan maupun penanganan bank berdampak sistemik. Selama ini, LPS mendapatkan pembiayaan dari premi yang dibayarkan dari bank sebesar 0,2 persen per tahun dari rata-rata simpanan. LPS juga bisa mendapatkan biaya dari penanganan bank gagal serta memperoleh pinjaman dari pemerintah apabila modal sudah berada di bawah Rp 4 triliun.
Risiko pembiayaan yang dikeluarkan untuk stabilitas kondisi perekonomian dan keuangan nasional salah satunya adalah kewajiban kontinjensi pemerintah pusat. Kewajiban kontinjensi merupakan kewajiban potensial bagi Pemerintah yang timbul akibat adanya peristiwa 78 masa lalu dan keberadaannya menjadi pasti dengan terjadinya atau tidak terjadinya suatu peristiwa ( event ), yang tidak sepenuhnya. berada dalam kendali Pemerintah. Kewajiban kontinjensi bersumber dari pemberian dukungan dan/atau jaminan pemerintah atas proyek-proyek infrastruktur; program jaminan sosial nasional; kewajiban Pemerintah untuk menambahkan modal jika modal lembaga keuangan, yaitu Bank Indonesia (BI), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), di bawah jumlah yang diatur dalam Undang-Undang; dan tuntutan hukum kepada Pemerintah.
Berbagai opsi pendanaan tambahan ini diperlukan untuk memberikan kepercayaan kepada masyarakat sehingga persoalan solvabilitas bank dapat selesai dengan baik. Oleh karenanya, LPS harus menentramkan masyarakat bahwa dana mereka aman dan mampu memulihkan fungsi intermediasi perbankan. Dengan demikian, kekhawatiran yang didalilkan Para Pemohon Perkara 42 dalam permohonannya menjadi hal yang tidak benar karena dalam pelaksanaan pemberian pinjaman terhadap LPS jelas akan dikonsultasikan dengan DPR dan keberadaan pengaturan tersebut adalah salah satu upaya yang terbuka bagi pemerintah apabila kondisi perbankan nasional memburuk.
Pengaturan dalam pasal 20 ayat (1) huruf b UU 2/2020 yang menyatakan bahwa LPS diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan (i) penjualan/repo SBN yang dimiliki kepada Bank Indonesia; (ii) penerbitan surat utang; (iii) pinjaman kepada pihak lain; dan/atau (iv) pinjaman kepada Pemerintah, dalam hal LPS diperkirakan akan mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan Bank Gagal, selain memberikan alternatif sumber pendanaan bagi LPS yang berlaku, baik untuk Bank Sistemik dan Bank Selain Bank Sistemik juga diharapkan dapat memberikan waktu yang cukup bagi LPS dalam mempersiapkan sumber dana tersebut sebelum terdapat Bank Gagal. Transaksi antara LPS dengan Bl sebagai salah satu langkah untuk pemenuhan likuiditas LPS yang diperluas sehingga LPS selain dapat melakukan penjualan SBN miliknya, juga dapat melakukan transaksi Repo. Selain penjualan dan/atau repo kepada Bl, LPS juga mempunyai alternatif pendanaan berupa pinjaman kepada pihak lain yang dimaksudkan untuk menjaring 79 pihak-pihak (dalam dan/atau luar negeri) yang mempunyai kemampuan pendanaan sehingga tersedia alternatif pendanaan yang lebih luas bagi LPS. Pinjaman LPS dari pihak lain merupakan salah satu opsi untuk menjaga likuiditas sehingga pemanfaatan dana tersebut untuk melaksanakan tugas dan fungsi LPS sebagai lembaga resolusi perbankan dalam hal terdapat Bank Gagal sesuai tata kelola yang diatur dalarn UU LPS.
Pandangan DPR terkait dalil Para Pemohon mengenai adanya hak imunitas bagi pelaksana kebijakan keuangan dan kerugian yang timbul dari pelaksanaan UU a quo bukan merupakan kerugian negara berdasarkan UU a quo adalah sebagai berikut a. Bahwa dukungan pembiayaan anggaran untuk penanganan Covid-19 yang besar adalah dalam rangka mendukung Program Pemulihan Ekonomi Nasional. Rincian kebutuhan anggaran ini berdampak pada sisi belanja dan juga pendapatan negara dalam APBN 2020. Biaya yang dikeluarkan pemerintah ini adalah biaya ekonomi yang bertujuan untuk penyelamatan negara dari krisis dan tidak bisa dianggap sebagai merupakan kerugian negara. APBN sebagai alat untuk mencapai tujuan negara, digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Ketika keadaan mendesak dan darurat, maka APBN sebagai alat tersebut dapat disesuaikan penggunaannya untuk menjadi penolong keselamatan negara. Biaya yang dikeluarkan ini disadari tidak akan sepenuhnya kembali dan juga hilangnya potensi penerimaan negara, namun di sisi lain telah timbul manfaat yang lebih besar yaitu pulihnya perekonomian dan dunia usaha sehingga dapat menyelamatkan ekonomi Indonesia. Sehingga biaya yang dikeluarkan tidak bisa disebut sebagai kerugian negara.
Biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah ini adalah biaya ekonomi yang bertujuan untuk penyelamatan negara dari krisis dan tidak bisa dianggap sebagai merupakan kerugian negara. APBN sebagai alat untuk mencapai tujuan negara, digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Ketika keadaan mendesak dan darurat, maka APBN sebagai alat tersebut dapat disesuaikan penggunaanya untuk menjadi penolong keselamatan negara. Biaya yang dikeluarkan ini disadari tidak akan sepenuhnya kembali dan 80 juga hilangnya penerimaan negara, namun di sisi lain telah menimbulkan manfaat yang lebih besar yaitu pulihnya perekonomian dan dunia usaha sehingga dapat menyelamatkan ekonomi Indonesia. Sehingga biaya yang dikeluarkan tidak bisa disebut sebagai kerugian negara. Penggunaan biaya ekonomi ini lah yang disebutkan dalam Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 yang dimaksudkan untuk penyelamatan perekonomian dari krisis sehingga bukan merupakan kerugian negara.
Mengutip Pendapat Dr. Dian Puji Nugraha Simatupang dalam tulisannya yang berjudul “ Ekuilibrium Kebijakan Keuangan Negara Menghadapi Keadaan Negara Darurat Akibat Penyebaran Covid-19 Dalam Peraturan _Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020”: _ “Biaya yang telah dialokasikan UU APBN dan/atau realisasi keuangan pemerintah untuk keadaan darurat tidaklah dapat dikategorikan sebagai kerugian negara dengan alasan: Pertama, biaya tersebut dialokasikan dalam UU APBN dan/atau laporan realisasi anggaran sebagai dasar hukum pengeluaran uang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2004 j.o. Pasal 27 ayat (4) UU Nomor 17 Tahun 2003; Kedua, biaya tersebut dikeluarkan untuk memenuhi kewajiban pemerintah untuk melindungi segenap tumpah darah rakyat Indonesia atau memenuhi asas kemanfaatan umum (doelmatigheid), dan untuk menghindari situasi dan keadaan yang lebih membahayakan keuangan negara dan perekonomian secara keseluruhan; Ketiga, biaya tersebut tetap diukur dalam satuan yang dikendalikan dan ditetapkan pedomannya oleh pemerintah dengan memperhatikan masukan dari lembaga terkait yang relevan untuk melakukan pengawasan intern. Menyangkut norma dalam Pasal 27 ayat (1) Perpu Nomor 1 Tahun 2020 hakikatnya dimaknai sebagai biaya sebagai sebab terjadinya keadaan darurat uang mempengaruhi stabilitas keuangan negara dan perekonomian nasional. Dalam hukum keuangan publik, hal demikian merupakan biaya resiko yang harus dibebankan ke dalam UU APBN untuk maksud mewujudkan tujuan negara, yaitu melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Biaya dalam keadaan darurat merupakan konsekuensi logis dalam upaya mewujudkan tindakan kepemerintahan yang cepat dan luar biasa diperlukan dalam kondisi yang tidak sempurna. Kecepatan dan ketepatan pemerintahan dalam penanganan keadaan darurat Covid- 19 tidak dapat menggunakan parameter dan indikator yang biasa karena justru tidak prosesual atau tidak memenuhi ekuilibrium kebijakan keuangan publik jika suatu alas fakta yang berbeda menggunakan syarat prosedur yang normal atau kondisi yang sempurna, padahal alas fakta jelas terdapat perbedaan dan situasi yang darurat.” d. Bahwa dalam memaknai ketentuan Pasal 27 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020 tidak dapat dimaknai secara parsial melainkan 81 harus dimaknai sebagai satu kesatuan. Adanya suatu kerugian keuangan negara, penyalah gunaan kewenangan melalui suatu kebijakan maupun produk hukum lain yang dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan UU 2/2020 tetap harus dibuktikan secara hukum dengan parameter yang tentunya tidak bisa disamakan dengan apa yang ada dalam keadaan normal. Adanya frasa “iktikad baik” dan “sesuai peraturan perundang- undangan” merupakan batasan koridor pelaksanaan kewenangan dalam penggunaan keuangan negara dan mengeluarkan suatu produk hukum dalam rangka pelaksanaan UU 2/2020.
Bahwa dalam perspektif hukum keuangan publik, kerugian negara adalah “ kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti sebagai akibat perbuatan melawan hukum atau kelalaian ,” berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 22 UU Perbendaharaan Negara. Artinya disini kerugian Negara tersebut harus dibuktikan sebagai akibat dari suatu perbuatan yang melawan hukum atau karena kelalaian. Biaya yang telah dialokasikan UU APBN dan/atau realisasi keuangan pemerintah untuk keadaan darurat tidaklah dapat dikatagorikan sebagai kerugian negara dengan alasan: a) biaya tersebut dialokasikan dalam UU APBN dan/atau laporan realisasi anggaran sebagai dasar hukum pengeluaran uang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara jo . Pasal 27 ayat (4) UU Keuangan Negara; b) biaya tersebut dikeluarkan untuk memenuhi kewajiban pemerintah untuk melindungi segenap tumpah rakyat Indonesia atau memenuhi asas kemanfaatan umum ( doelmatigheid ), dan untuk menghindari situasi dan keadaan yang lebih membahayakan keuangan negara dan perekonomian nasional secara keseluruhan; c) biaya tersebut tetap diukur dalam satuan yang dikendalikan dan ditetapkan pedomannya oleh pemerintah dengan memperhatikan masukan dari lembaga terkait yang relevan untuk melakukan pengawasan intern;
Bahwa di samping itu, makna kerugian negara juga berkaitan dengan administrasi pemerintahan karena dengan adanya Pasal 20 Undang- 82 undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016, kerugian negara juga mempunyai relevansi dengan persoalan hukum administrasi negara dalam hal terjadinya kesalahan administrasi. Bahwa biaya dalam keadaan darurat merupakan konsekuensi logis dalam upaya mewujudkan tindakan kepemerintahan yang cepat dan luar biasa diperlukan dalam kondisi yang tidak sempurna. Kecepatan dan ketepatan pemerintahan dalam penanganan keadaan darurat akibat Covid-19 tidak dapat menggunakan parameter dan indikator yang biasa karena tidak justru tidak prosesual atau tidak memenuhi ekuilibrium kebijakan keuangan publik jika suatu alas fakta yang berbeda menggunakan syarat prosedur yang normal atau kondisi yang sempurna, padahal alas fakta jelas terdapat perbedaan dan situasi yang darurat. Di samping itu, biaya tersebut juga akan sampai pada muaranya untuk diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan juga hasilnya disampaikan kepada DPR untuk memperoleh persetujuan berkaitan dengan manfaatnya dalam LKPP. Dengan demikian, proses dan sistem pembiayaan tersebut tetap akuntabel dan memenuhi asas umum pemerintahan yang baik dalam suatu syarat prosedur yang darurat.
Bahwa kewenangan BPK sudah sangat tegas diatur dalam Pasal 23E ayat (1) UUD NRI 1945. Dalam ketentuan peraturan perundang-undangan maka BPK juga diatur dalam UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK sesuai dengan fungsi dan kewenangannya serta dikaitkan pula dengan Bab VIII UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang mengatur bahwa pelaksanaan APBN dan APBD diperiksa oleh BPK sebelum akhirnya Presiden/Kepala Daerah menyampaikan RUU/Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD kepada DPR/DPRD. Di samping itu, dalam UU a quo harus dipahami dan dicermati bahwa tidak ada satu pun pasal dalam UU a quo yang mengecualikan atau menghalang-halangi fungsi BPK untuk melakukan audit.
Bahwa hal demikian kemudian dilaksanakan dengan iktikad baik bagi pejabat administrasi pemerintahan. Dalam hukum administrasi negara, iktikad baik lebih tepat menggunakan istilah asas-asas umum 83 pemerintahan yang baik. Dalam hal ini pejabat administrasi pemerintahan menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan alas hukum dan alas fakta secara memadai, serta keputusan dan kebijakan ditetapkan dengan motivasi untuk melindungi kepentingan umum ( bestuurzorg ). Dengan kondisi demikian, tepat pelaksanaan tindakan kepemerintahan tersebut tidak menjadi objek keputusan tata usaha negara karena peraturan dasarnya telah berubah, tidak pada peraturan dalam keadaan negara normal. Dengan demikian, keputusan tersebut dikecualikan sebagai objek pengadilan tata usaha negara karena validitasnya didasarkan pada peraturan dasar tersendiri yang dibentuk dalam keadaan darurat.
Dalam hal masyarakat atau pihak lain mengajukan keberatan dalam keputusan administrasi pemerintahan dalam masa darurat, dapat menggunakan instrumen administrasi pemerintahan itu sendiri, yang kemudian dapat dilakukan penyelesaian menurut Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2016 tentang Pengenaan Sanksi Administrasi bagi Pejabat Administrasi Pemerintahan dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2016 tentang Pengenaan Ganti Kerugian oleh Pejabat Bukan Bendahara. Dalam hal keberatan tersebut juga masih ada warga masyarakat dapat mengajukan pengaduan ke DPR dalam rangka pengawasan, sehingga DPR dapat menggunakan seluruh hak yang dimilikinya dalam rangka pengawasan eksternal terhadap tindakan administrasi pemerintahan.
Konsep iktikad baik tetap meletakkan pada aspek pengambilan keputusan dan kebijakan tidak mengandung unsur suap, paksaan/ancaman, dan tipuan guna menguntungkan secara melawan hukum. Akan tetapi, jika pengambilan keputusan dan kebijakan disebabkan adanya kesalahan administrasi, tuntutan pidana tidak dapat dilakukan. Konsep iktikad baik dalam konsep hukum administrasi negara menurut Safri Nugraha dimaknai sebagai wujud asas umum pemerintahan yang baik di mana pelaksanaan pemerintahan dijalankan dengan prinsip akuntabilitas dan transparansi yang mendorong sistem pemerintahan berjalan dengan sistem yang jelas dan terukur. Dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, pengelolaan dan pertanggungjawaban wewenang 84 pemerintahan akan sejalan motivasinya yang layak. Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 50 KUHP disebutkan bahwa: “Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana" Selain itu dalam pasal 51 ayat 1 KUHP disebutkan bahwa: “barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana”. k. Mengutip Pendapat Dr. Dian Puji Nugraha Simatupang dalam tulisannya yang berjudul “ Ekuilibrium Kebijakan Keuangan Negara Menghadapi __ Keadaan Negara Darurat Akibat Penyebaran Covid-19 Dalam Peraturan _Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020”: _ “ Adanya norma mengesampingkan tuntutan pidana, gugatan perdata, dan tata usaha negara harus dimaknai secara lengkap adanya syarat itikad baik atau asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam hukum administrasi negara. Dengan demikian, ada kejelasan mengenai konsep hukum perdata, hukum administrasi, dan hukum pidana dalam konsep pelaksanaan pengambilan keputusan dan kebijakan dalam kondisi darurat agar pejabat administrasi pemerintahan tidak ragu, cepat, tepat, dan akuntabel untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia.” l. Bahwa ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 juga bukan merupakan kekebalan absolut karena dalam ketentuan tersebut mereka terdapat parameter “dengan iktikad tidak baik” dan “tidak sesuai peraturan perundang-undangan”. Asas iktikad baik awalnya adalah suatu asas yang berlaku dibidang hukum perjanjian yang kini telah berkembang dan diterima sebagai asas di bidang-bidang atau cabang-cabang hukum yang lain, baik yang sesama keluarga hukum privat maupun yang merupakan bidang hukum publik. Dalam perkembangan hukum, terdapat prinsip- prinsip umum ataupun asas-asas umum yang dijadikan sebagai sumber hukum sekaligus asas yang mendasari pelaksanaan hukum itu sendiri. Oleh karenanya asas iktikad baik yang tadinya merupakan suatu asas hukum khusus kini telah berkembang menjadi suatu asas hukum umum. Selain asas iktikad baik, juga ada frasa “tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Ini adalah 2 parameter yang bersifat kumulatif. Artinya semua pejabat pemerintah yang menjalankan ketentuan pasal tersebut harus berdasarkan 2 kriteria ini secara kumulatif. 85 m. Dalam hukum dikenal suatu adagium yang berbunyi “tiada hukum tanpa pengecualian“ atau dalam bahasa belanda dikenal dengan istilah “ geen recht zonder uit zondering ”. Pengecualian dapat dilakukan sepanjang tidak merugikan pihak-pihak yang terkena aturan tersebut karena hukum ditujukan untuk mengayomi dan mensejahterakan masyarakat ( Rosjidi Ranggawidjaja, Ilmu Perundang-undangan, CV Mandar Maju ). Dalam kaitannya dengan hak Presiden untuk mengeluarkan Perpu yang berisi langkah-langkah yang luar biasa dalam keadaan yang memang tidak normal maka meskipun dalam suatu Perpu ada materi-materi yang dipandang tidak lazim, mengenyampingkan, atau memberlakukan ketentuan bersifat pengecualian dari apa yang telah diatur maka pengecualian itu dapat saja diberlakukan atau dapat diadakan pengecualian sepanjang diatur batasannya dalam Perpu itu sendiri.
Adapun frasa “iktikad baik” adalah apabila dalam melaksanakan tugasnya tidak untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok, dan/atau tindakan lain yang berindikasi korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme. Bahwa apabila nantinya terbukti iktikad baik tersebut dilanggar maka sudah jelas konsekuensinya yaitu mereka harus ditempuh prosedur hukum karena tindakan tersebut mengatur unsur mens rea (adanya niat jahat atau iktikad tidak baik) dan actus reus (perbuatan yang melanggar). Dengan demikian asas equality before the law dan asas kepastian hukum dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 tetap terjamin.
UU 2/2020 tidak melindungi pejabat negara atau tidak memberikan imunitas kepada pejabat negara. Pasal a quo diperlukan karena para pihak tersebut merupakan orang-orang yang mengambil keputusan penting. Mengutip pandangan Misbakhun selaku Anggota Komisi XI DPR RI dalam program Indonesia Lawyers Club (ILC) 21 April 2020: “ Penanganan Covid -19 melalui physical distancing merupakan pukulan yang paling berat bagi masyarakat karena tidak dapat melakukan interaksi sosial dan merupakan pukulan berat bagi perekonomian. Dampak dari pandemi Covid-19 yaitu faktor produksi tidak jalan sedangkan permintaan (demand) tetap ada. Kedalaman implikasi Covid-19 terhadap perekonomian sulit diukur karena puncak pandemi Covid-19 belum bisa dipastikan waktunya. Implikasi ekonomi yang ditimbulkan oleh Covid-19 terhadap perekonomian sangat dalam sehingga semua skenario perlu disiapkan untuk menghadapi situasi yang paling buruk. Sebelum pandemi Covid-19 ini terjadi struktur perekonomian Indonesia tidak dalam kondisi yang sehat. Hal ini 86 karena perekonomian Indonesia sedang menghadapi dampak perang dagang antara China dengan Amerika. Permasalahannya dalam situasi seperti ini, negara dalam keadaan yang tidak normal. Dalam keadaan yang tidak normal tersebut jangan berhadap statistik ekonomi menjadi bagus. Sehingga menghadapi keadaan yang tidak normal tersebut juga harus diselesaikan dengan cara yang tidak normal. Pihak yang paling terdampak oleh pandemi Covid-19 adalah pekerja harian/pekerja lepas (informal) yang pemenuhan biaya hidupnya ditentukan oleh aktivitas harian. Jika tidak keluar maka mereka tidak dapat makan. Pihak yang terdampak selanjutnya adalah para pelaku UMKM dan kelompok kelas menengah. Kehadiran negara dibutuhkan baik oleh rakyat jelata, pelaku UMKM, masyarakat kelas menengah, maupun masyarakat kelas atas sehingga negara tidak boleh membeda-bedakan. Aktivitas sektor produksi yang menjadi berhenti mengakibatkan permintaan menjadi terbatas. Pemerintah harus memanfaatkan ruang ketatanegaraan yang tersedia untuk mengatasi situasi ini karena UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mempunyai keterbatasan. Untuk memulihkan perekonomian akibat Covid-19, Pemerintah perlu dana untuk membiayai program- program pemerintah. Satu-satunya cara Pemerintah harus berhutang jika SAL dan dana lainnya tidak mencukupi. Hutang bukan tujuan, tetapi hanya sebagai cara agar dapat keluar dari masalah ini. Negara lain juga menggunakan cara yang sama. Anggaran yang disediakan Pemerintah untuk menangani pandemi Covid-19 sebesar 405 Triliun atau sekitar 2,75% dari PDB. Hal yang utama bukan negara berhutang tetapi hutang tersebut dimanfaatkan seperti menolong rakyat jelata.” p. Keberadaan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk memberikan confidence bagi pihak yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya sesuai Lampiran UU 2/2020 telah didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan prinsip hukum imunitas terbatas bagi negara dan/atau perwakilannya, bukan imunitas absolut sehingga melanggar asas keadilan dan kesamaan dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana pemahaman Para Pemohon. Dari perspektif teori imunitas, perlindungan hukum yang diberikan dalam Pasal 27 ayat (2) termasuk kategori imunitas terbatas. Teori imunitas terbatas ini memberikan perlindungan/imunitas kepada negara dan perwakilannya terhadap upaya hukum pihak lain baik secara pidana ataupun perdata, sepanjang tindakan yang dilakukan memenuhi syarat dalam hal ini harus beriktikad baik dan menjalankan kewenangan serta kebijakannya sesuai peraturan perundang-undangan. Secara a contrario , imunitas tersebut gugur apabila perbuatan yang 87 dilakukan didasarkan atau terdapat niat jahat ( mens rea ) dan perbuatannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Sampai dengan saat ini sudah ada UU lain yang mengatur perlindungan hukum kepada otoritas yang berwenang dalam pengambilan kebijakan, contohnya: ● Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan. Dalam Pasal 48 ayat (1) UU disebutkan bahwa kecuali terdapat unsur penyalahgunaan wewenang, anggota KSSK dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, BI, OJK dan LPS tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana atas pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang berdasarkan Undang-Undang PPSK. Hal ini untuk melindungi secara hukum kebijakan yang diambil dalam kondisi krisis yang tentu saja tidak bias disamakan dengan kondisi normal. ● Pasal 22 UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak menyebutkan bahwa Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Adapun itikad baik dijelaskan apabila dalam melaksanakan tugasnya tidak untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok, dan/atau tindakan lain yang berindikasi korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme. ● UU Bank Indonesia disebutkan dalam Pasal 45 yang berbunyi “Gubernur, Deputi Gubernur, dan/atau pejabat Bank Indonesia tidak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini sepanjang dilakukan dengan iktikad baik”. ● UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman dalam Pasal 10 menyatakan bahwa “Dalam rangka pelaksanaan tugas dan 88 wewenangnya, Ombudsman tidak dapat ditangkap, ditahan, diinterogasi, dituntut, atau digugat di muka pengadilan”. ● UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dalam Pasal 16 menyatakan bahwa Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan. ● UU MD3 Perlindungan hukum bagi anggota DPR disebutkan dalam Pasal 224 UU ayat (1) yaitu: Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR. Oleh karena itu pengaturan dalam UU mengenai perlindungan hukum bagi pihak yang menjalankan UU bukanlah hal yang baru, dan dapat dibenarkan selama ada pengaturan mengenai batasan atau kriteria tertentu.
Dengan demikian, perlindungan hukum dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 diperlukan untuk memberikan kepastian hukum kepada para pengambil kebijakan bahwa tindakan dan keputusan yang diambil dengan iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan akan dilindungi oleh hukum. Dengan demikian tidak ada hak warga negara yang ditangguhkan dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020. Bahkan Pasal 49 UU PTUN telah memberikan imunitas atau perlindungan hukum dari sengketa di peradilan tata usaha negara atas tindakan dan/atau keputusan pejabat tata usaha negara yang dilakukan dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pasal 49 UU PTUN ini menjadi landasan untuk diadopsi dalam Pasal 27 ayat (3) UU 2/2020. Sebagaimana Majelis Hakim maklumi, ketentuan perlindungan hukum pernah beberapa kali dilakukan pengujian konstitusionalitasnya di Mahkamah Konstitusi (UU Advokat dan UU Pengampunan Pajak). Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi terdapat pertimbangan sebagai berikut: “ pihak-pihak yang disebut dalam ketentuan a quo memang sudah seharusnya tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, 89 dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” Sebagai best practices , standar internasional yang ditetapkan oleh lembaga keuangan internasional ( Financial Stability Board, Basel Committee on Banking Supervision , dan IMF) juga menetapkan adanya pengaturan perlindungan hukum bagi pengambil dan pelaksana kebijakan di bidang sektor keuangan.
Pandangan DPR terkait ketentuan UU yang dinyatakan tidak berlaku sepanjang keterkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Perppu sebagaimana dimaksud dalam UU a quo .
Bahwa pengaturan Pasal 28 lampiran UU 2/2020, telah sesuai dengan ketentuan Lampiran 137 UU 12/2011 yang mengatur bahwa pada umumnya Ketentuan Penutup memuat ketentuan mengenai:
penunjukan organ atau alat kelengkapan yang melaksanakan Peraturan Perundang-undangan;
nama singkat Peraturan Perundang-undangan;
status Peraturan Perundang-undangan yang sudah ada; dan
saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan.
Bahwa memang benar bahwa sudah ada beberapa undang-undang yang mungkin dapat menjadi payung hukum penyelesaian masalah yang timbul akibat COVID-19. Hanya saja tidak pula dapat disalahkan, apabila dalam pandangan subjektif Presiden, undang-undang yang telah ada tersebut dianggap belum mampu menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi. Kondisi serupa juga pernah terjadi ketika Presiden menerbitkan beberapa Perppu yang lahir karena tidak memadainya Peraturan Peundang- undangan yang ada, yang kemudian menyimpangi/menyatakan tidak berlaku sebagian materi dari beberapa undang-undang misalnya Perppu Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan menyatakan beberapa ketentuan dalam UU tentang Perbankan dan Perpajakan tidak berlaku sepanjang berkaitan 90 dengan pelaksanaan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan berdasarkan Perppu tersebut.
Bahwa dalam beberapa undang-undang yang ada tersebut memang telah mengatur berbagai dasar kebijakan keuangan negara materi muatan undang-undang yang sudah ada belum mengatur mengenai kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Selain itu, beberapa ketentuan yang terdapat dalam undang- undang tersebut hanya dapat diberlakukan jika negara dalam keadaan normal, bukan dalam kegentingan/keadaan yang memaksa. Oleh karena itu, Pasal 28 lampiran UU 2/2020 ini tidak memberlakukan beberapa ketentuan dalam undang-undang tersebut sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan UU 2/2020.
Bahwa tidak diberlakukannya ketentuan undang-undang yang disebutkan dalam Pasal 28 lampiran UU 2/2020 selama pemberlakuan UU 2/2020 dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan tidak terjadi disharmoni pengaturan karena adanya dua pengaturan yang berbeda yang mengatur hal yang sama.
Pandangan DPR terkait penyesuaian mandatory spending dana desa a. Bahwa terkait dengan permasalahan dana desa yang disampaikan oleh Para Pemohon Perkara 47, ketentuan Pasal 1 ayat (4) huruf b Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 (PP 72/2020) tetap menetapkan adanya anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa sebesar Rp763.925.645.050.000 (tujuh ratus enam puluh tiga triliun sembilan ratus dua puluh lima miliar enam ratus empat puluh lima juta lima puluh ribu rupiah), termasuk tambahan belanja untuk penanganan pandemi Covid-19 sebesar Rp5.000.000.000.000 (lima 91 triliun rupiah). Ketentuan Pasal 3 ayat (4) PP 72/2020 menyatakan bahwa rincian anggaran transfer ke daerah dan dana desa tersebut tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari PP 72/2020. Dalam Lampiran VI.15 mengenai Rincian Dana Desa Menurut Provinsi/Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2020 menyatakan bahwa seluruh daerah kabupaten Para Pemohon Perkara 47 tetap mendapatkan alokasi dana desa. Berdasarkan ketentuan tersebut maka kekhawatiran Para Pemohon Perkara 47 tidak beralasan menurut hukum karena ketentuan Pasal a quo tidak menyebabkan dana desa dihentikan dan desa Para Pemohon tetap mendapatkan alokasi dari anggaran belanja negara.
Bahwa alokasi dari APBN merupakan salah satu sumber pendapatan desa. Berdasarkan ketentuan Pasal 72 ayat (1) UU Desa pendapatan desa bersumber dari pendapatan asli desa, alokasi APBN, bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota, alokasi dana desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota, bantuan keuangan dari APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota, hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga, dan lain-lain pendapatan desa yang sah. Dengan banyak sumber pendapatan desa tersebut, maka Para Pemohon tidak hanya mengandalkan APBN dan memaksimalkan sumber-sumber pendapatan desa lainnya. Dengan upaya yang maksimal tersebut maka pembangunan yang sudah dicanangkan oleh para Pemohon dan perangkat desa dalam musrenbangdes dan RPJM desa untuk kesejahteraan dan kemakmuran warga desa Para Pemohon tetap dapat terealisasikan.
Bahwa pemohon perkara 47 telah salah dalam mengartikan Pasal 28 angka 8 UU 2/2020, karena Dana Desa tidak dihentikan paska disahkannya UU 2/2020, hal ini tercantum dalam Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2020 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2020 (Permendes 7/2020), yang pada bagian menimbangnya menyatakan: “bahwa berdasarkan Undang–Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang–Undang Nomor 92 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disesase 2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang–Undang, penggunaan Dana Desa dapat digunakan untuk bantuan langsung tunai kepada miskin di Desa” Pada Pasal 8A ayat (1) Permendes 7/2020 disebutkan bahwa “Bencana Non-alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf d merupakan bencana yang terjadi sebagai akibat kejadian luar biasa berupa penyebaran penyakit yang mengancam dan/atau menimpa warga _masyarakat secara luas atau skala besar, meliputi:
Pandemi Corona_ Virus Diseases 2019” dan pada Pasal 8A ayat (2) Permendes 7/2020 disebutkan bahwa “Penanganan dampak Pandemi Corona Virus Diseases 2019 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat berupa BLT Dana Desa kepada keluarga miskin di Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang–undangan. d. Bahwa ketentuan Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk menyatakan tidak berlakunya ketentuan mandatory spending alokasi Dana Desa sebesar 10% dari belanja pemerintah pusat, sebagaimana yang disebutkan dalam Penjelasan Pasal 72 ayat (2) UU Desa. Ketidakberlakuan ketentuan mandatory spending dana desa bersifat temporer. Dengan adanya penyesuaian mandatory spending dana desa, Pemerintah dapat memiliki fleksibilitas dalam melakukan refocusing belanja untuk mencegah, menangani, dan memulihkan dampak pandemi Covid-19. Dengan adanya mandat ini maka untuk menjamin fleksibilitas penggunaan dana desa dalam rangka sepanjang masih terdapat kebutuhan untuk penanganan Covid-19 di daerah/desa maka Pasal 72 ayat (2) harus dinyatakan tidak berlaku sehingga tidak terdapat dualisme aturan. Penyesuaian mandatory spending Dana Desa tersebut dimaksudkan agar pelaksanaan program Pemerintah dapat dilakukan lebih efektif, efisien, dan tepat sasaran mengingat penyebaran dampak pandemi Covid-19 bersifat masif di seluruh wilayah Indonesia. Dengan demikian Dana Desa tidak dihentikan namun dialihkan dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai dan program–program Dana Desa 93 dibuat skala prioritas yang bertujuan untuk kesejahteraan dan kemakmuran warga desa bukan untuk pembangunan infrastuktur saja. E. Keterangan Tambahan Terkait dengan pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi mengenai mekanisme pembahasan perppu untuk mencapai persetujuan atau pencabutan Perppu, DPR RI menerangkan sebagai berikut:
Bahwa sebagaimana disampaikan oleh Presiden yang diwakili oleh Menteri Keuangan, pembahasan penetapan Perppu menjadi Undang- Undang/pencabutan perppu Pasal 71 UU 12/2011 diatur: (1) Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dilaksanakan melalui mekanisme yang sama dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang. (2) Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang dilaksanakan melalui mekanisme khusus yang dikecualikan dari mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang. (3) Ketentuan mengenai mekanisme khusus sebagaimana dimaksud _pada ayat (2) dilaksanakan dengan tata cara sebagai berikut: _ a. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diajukan oleh DPR atau _Presiden; _ b. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf a diajukan pada saat Rapat Paripurna DPR tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah _Pengganti Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden; dan _ c. Pengambilan keputusan persetujuan terhadap Rancangan Undang- Undang tentang Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf b dilaksanakan dalam Rapat Paripurna DPR yang sama dengan rapat paripurna penetapan tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut. 2. Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut diatas, pembahasan suatu rancangan Undang-Undang dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan (vide Pasal 66 UU 12/2011) yang dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang ditugasi (vide Pasal 65 ayat (1) UU 12/2011) yang diuraikan lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 67 - Pasal 70 UU 12/2011).
Bahwa pembicaraan tingkat I dilakukan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau 94 rapat Panitia Khusus dengan kegiatan pengantar musyawarah, pembahasan daftar inventarisasi masalah, dan penyampaian pendapat mini.
Bahwa dalam pembahasan tingkat I tersebut Pemerintah selaku pihak yang mengajukan RUU Penetapan Perppu menjadi Undang-Undang dan juga pihak yang mengeluarkan Perppu tersebut harus menjelaskan kepada DPR RI dalam rapat pembahasan tingkat I yang pelaksanaannya telah dijelaskan oleh DPR RI dalam keterangan ini. Penjelasan tersebutlah yang menjadi pertimbangan DPR RI untuk menyetujui atau tidak menyetujui Perppu tersebut menjadi Undang-Undang.
Bahwa sebagaimana telah disampaikan, Berdasarkan Pasal 71 huruf d dan Pasal 249 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 (UU MD3) bahwa DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. RUU Penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU tidak memiliki pertautan dengan bidang yang mengharuskan keikutsertaan DPD dalam pembahasannya melainkan mengenai DPR memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan, sehingga DPD tidak memiliki kewenangan untuk ikut membahas RUU tersebut.
Bahwa hal ini juga telah jelas sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang mengatur bahwa Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut. Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut. Dalam ketentuan tersebut, tidak diatur bahwa dalam hal penetapan Perppu menjadi Undang-Undang dapat atau bahkan harus mengikutsertakan DPD dalam pembahasannya. Sebaliknya, mengikutsertakan DPD justru menjadi suatu hal yang tidak sesuai dengan apa yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945, UU 12/2011 dan UU MD3. 95 Terkait dengan pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi mengenai penetapan Perppu bukan pada “masa sidang yang berikut”, DPR RI menerangkan sebagai berikut: Bahwa sejauh ini DPR belum pernah melakukan penetapan perppu yang dalam masa sidang yang sama atau bukan pada “masa sidang yang berikut”. Setelah dikeluarkannya Perppu 1/2020, Presiden juga telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang yang disahkan pada 4 Mei 2020 dan ditetapkan sebagai Undang-Undang melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang- Undang menjadi Undang-Undang yang disahkan dan diundangkan pada 11 Agustus 2020 pada masa sidang ketiga tahun 2020 yang terhitung pada 15 Juni 2020 hingga 13 Agustus 2020. Sehingga penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang adalah yang pertama kali dilakukan dengan tidak memenuhi ketentuan “masa sidang yang berikut” mengingat urgensi penetapannya yang harus dilakukan dengan segera. Terkait dengan pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi mengenai pembahasan RAPBN 2021 yang kemudian disepakati dalam paripurna pada 29 September 2020, DPR RI menerangkan:
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 13 ayat (1) UU Keuangan Negara, Pemerintah Pusat menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran berikutnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat selambat-lambatnya pertengahan bulan Mei tahun berjalan. Pasal 15 ayat (1) UU keuangan Negara mengatur bahwa Pemerintah Pusat mengajukan Rancangan Undang-undang tentang APBN, disertai nota keuangan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada bulan Agustus tahun 96 sebelumnya. Dan pada ketentuan Pasal 15 ayat (4) dan ayat (6) UU keuangan Negara diatur Pengambilan keputusan oleh Dewan Perwakilan Rakyat mengenai Rancangan Undangundang tentang APBN dilakukan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan dan apabila DPR tidak menyetujui Rancangan Undang-undang tersebut, Pemerintah Pusat dapat melakukan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBN tahun anggaran sebelumnya.
Bahwa penyampaian pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran tahun 2021 telah disampaikan oleh pemerintah dalam rapat paripurna DPR RI pada dalam rangkaian rapat paripurna tertanggal 12 Mei 2020, 14 Juli 2020, dan 14 Agustus 2020 (Lampiran II, Lampiran III dan Lampiran IV). Sebagai tambahan informasi, pada 25 September 2020, Kemenkeu selaku yang mewakili Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati Rancangan Undang- Undang (RUU) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2021 di Banggar dan Pemerintah bersama DPR telah menyetujui defisit anggaran sebesar 5,7% dari PDB pada Rapat Paripurna DPR tanggal 29 September 2020.
Pembahasan RUU APBN 2021 dilakukan di banggar yang pelaksanaannya disampaikan risalahnya (lampiran V, lampiran VI, lampiran VII) F. Risalah Pembahasan UU 2/2020 Risalah Pembahasan UU 2/2020 ini terlampir berbagai dokumen pendukung mengenai pembahasan UU 2/2020 sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Keterangan DPR ini. III. Petitum DPR Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, DPR memohon agar kiranya Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut:
Menyatakan bahwa Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard ); 97 2. Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya;
Menerima keterangan DPR RI secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa proses pembentukan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134; Tambahan Lembaran Negara Republlik Indonesia Nomor 6516) telah sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan telah memenuhi ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 183, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6398);
Menyatakan Judul, Pasal 1 ayat (3); Pasal 1 ayat (5); Pasal 2; Pasal 3 ayat (2); Pasal 4 ayat (1) huruf a; Pasal 4 ayat (1) huruf d; Pasal 4 ayat (2); Pasal 5 ayat (1) huruf a; Pasal 5 ayat (1) huruf b; Pasal 6; Pasal 7; Pasal 9; Pasal 10 ayat (1); Pasal 10 ayat (2); Pasal 11 ayat (3); Pasal 12 ayat (1);
Uji Materi Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian
Relevan terhadap
(1) Perusahaan asuransi umum hanya dapat _menyelenggarakan: _ a. Usaha Asuransi Umum, termasuk lini usaha asuransi _kesehatan dan lini usaha asuransi kecelakaan diri; dan _ b. Usaha Reasuransi untuk risiko Perusahaan Asuransi Umum lain. (2) Perusahaan asuransi jiwa hanya dapat menyelenggarakan Usaha Asuransi Jiwa termasuk lini usaha anuitas, lini usaha asuransi kesehatan, dan lini usaha asuransi kecelakaan diri. (3) Perusahaan reasuransi hanya dapat menyelenggarakan Usaha Reasuransi. Pasal 3 __ (1) Perusahaan asuransi syariah hanya dapat _menyelenggarakan: _ a. Usaha Asuransi Umum Syariah, termasuk lini usaha asuransi _kesehatan dan lini usaha asuransi kecelakaan diri; dan _ b. Usaha Reasuransi Syariah untuk risiko Perusahaan Asuransi Umum Syariah lain. (2) Perusahaan asuransi jiwa syariah hanya dapat menyelenggarakan Usaha Asuransi Jiwa termasuk lini usaha anuitas, lini usaha asuransi berdasarkan Prinsip Syriah, lini usaha asuransi kesehatan berdasarkan Prinsip Syariah, dan lini usaha kecelakaan diri berdasarkan Prinsip Syariah. (3) Perusahaan reasuransi syariah hanya dapat menyelenggarakan Usaha Reasuransi syariah. 3.9 Bahwa tampak dengan jelas, Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 40/2014 justru membatasi lini usaha asuransi. Sementara, status suretyship kendati masuk dalam kategori lini usaha yang dapat diperluas menurut Pasal 5 ayat (1) UU No. 40/2014 dengan Peraturan OJK, namun perluasan dalam pasal tersebut tidak secara tegas menyebutkan lini usaha suretyship . 18 3.10 Bahwa muncul persoalan ketidaksesuaian pembentukan norma dengan adanya Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU No.1/2016 yang dipastikan menjadi penghalang tidak dapat dilaksanakannya lini usaha suretyship oleh perusahaan asuransi. Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU No.1/2016 menyatakan: (Bukti P–3) “ (1) Setiap orang di luar Lembaga Penjamin yang telah melakukan kegiatan penjaminan sebelum berlakunya Undang-Undang ini wajib menyesuaikan dengan Undang-Undang ini paling lambat tiga tahun sejak berlakunya Undang-Undang ”. “(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap kegiatan penjaminan yang dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri.” 3.11 Bahwa adanya ketidaksesuaian pembentukan norma semakin nampak dengan berlakunya undang-undang lain yang lahir kemudian yaitu Undang-Undang Nomor 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (“UU No.2/2017), suretyship diakui sebagai salah satu lini usaha perusahaan asuransi, selain juga menegaskan adanya lembaga perbankan, dan/atau perusahaan penjaminan seperti yang ditegaskan dalam Pasal 57 ayat (4) yang menyatakan: (Bukti P–4) “ Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dikeluarkan oleh lembaga perbankan, perusahaan asuransi, dan/atau perusahaan penjaminan dalam bentuk bank garansi dan/atau perjanjian terikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.” 3.12 Bahwa penegasan yang sama tentang pengakuan perusahaan asuransi untuk menyelenggarakan asuransi sebagaimana dinyatakan dalam Peraturan Presiden Nomor 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa (“Perpres No. 16/2018”) , pada Pasal 30 menyatakan: (Bukti P–5) “ Jaminan dari Bank Umum, Perusahaan Penjaminan, Perusahaan Asuransi, lembaga keuangan khusus yang menjalankan usaha di bidang pembiayaan, penjaminan dan asuransi untuk mendorong Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di lembaga pembiayaan ekspor Indonesia dapat digunakan untuk semua jenis jaminan”. Norma Pasal 5 ayat (1) UU a quo __ Bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tentang Kepastian Hukum Yang Adil __ 3.13 Bahwa salah satu pilar penting dari terbentuknya negara Indonesia selain bersandar pada prinsip kedaulatan rakyat, juga penegasan pada prinsip negara hukum, hal ini sebagaimana termaktub di dalam ketentuan Pasal 1 19 ayat (3) UUD 1945 yang dengan tegas menyatakan, “ Negara Indonesia adalah Negara Hukum. ” 3.14 Bahwa salah satu unsur dari negara hukum adalah adanya jaminan serta tegaknya prinsip kepastian hukum yang adil, hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Gustav Radbruch yang menjelaskan bahwa cita hukum ( Idee des Rechts ), yang kemudian dilembagakan dalam suatu bentuk negara hukum, dapat diklasifikasikan ke dalam tiga prinsip umum, yaitu: purposiveness— kemanfaatan ( zweckmassigkeit ), __ justice— keadilan ( gerechtigkeit ), dan legal certainty— kepastian hukum ( rechtssicherheit ).
15 Bahwa prinsip ‘kepastian hukum yang adil’ yang dalam tradisi klasik the rule of law disebut sebagai prinsip kepastian hukum (legal certainty) , menurut pendapat dari Friedrich von Hayek dalam Bukunya The Constitution of Liberty, Chapter 14 “The Safeguards of Individual Liberty”, adalah salah satu atribut utama dari the rule of law , selain dua atribut lainnya, yakni atribut berlaku umum ( generality ), dan atribut kesetaraan ( equality ).
16 Bahwa menurut pendapat Hayek kepastian hukum berarti hukum dapat diprediksi, atau memenuhi unsur prediktibilitas, sehingga seorang subjek hukum dapat memperkirakan peraturan apa yang mendasari perilaku mereka, dan bagaimana aturan tersebut ditafsirkan dan dilaksanakan. Kepastian hukum merupakan aspek penting yang sangat terkait dengan kebebasan bertindak dari seseorang.
17 Bahwa sejalan dengan teori mengenai cita hukum tersebut, UUD 1945 juga telah menegaskan adanya jaminan kepastian hukum bagi setiap warga negara dalam ruang negara hukum Indonesia, sebagaimana dituliskan di dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum ”.
18 Bahwa merujuk pada pendapat Prof. Dr. Nurhasan Ismail, sebagaimana dikutip dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3/PUU-VIII/2010 pada Pengujian UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (halaman 74), dikatakan bahwa kepastian hukum didefinisikan adanya kejelasan norma yang menjadi acuan berperilaku 20 bagi setiap orang. Kejelasan norma tentu harus ada indikator dan ukurannya. Tiga indikator untuk menyatakan bahwa sebuah norma itu memberikan kepastian hukum meliput:
Norma mengandung konsistensi, baik secara internal di dalam undang- undang maupun konsistensi horizontal dengan undang-undang yang lain ataupun konsistensi secara vertikal dengan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi, dalam hal ini adalah dengan UUD 1945;
Konsep penormaannya atau rumusan normanya tidak mengandung multi makna, tidak mengandung multitafsir;
Ada suatu implikasi yang sangat jelas terhadap pilihan-pilihan perilaku yang sudah diatur di dalam undang-undang atau di dalam peratura perundang-undangan.
19 Bahwa selain dalam putusan Mahkamah Konstitusi di atas, salah satu asas dalam membentuk peraturan perundang-undangan dalam UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan adalah kejelasan tujuan dan kejelasan rumusan , yang melalui penjelasan Pasal 5 UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan ini diartikan sebagai:
setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai _tujuan yang jelas yang hendak dicapai; _ 2) setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah , serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya . 3.20 Bahwa Pasal 5 ayat (1) UU No. 40/2014 menyebutkan: “ Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat.” 3.21 Bahwa Pasal 5 ayat (1) UU a quo bersifat multitafsir serta tidak memiliki ukuran yang jelas apa yang dimaksud dengan “dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat”. Keadaan ini telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para anggota Pemohon untuk menjalankan lini usahanya. Hal ini ditambahkan dengan tidak adanya penjelasan dalam UU a quo mengenai apa yang dimaksud dalam pasal a quo. 21 3.22 Bahwa persoalan mulai menyeruak ketika UU No. 1/2016 disahkan, khususnya dengan adanya pada Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) yang menyatakan: “ (1) Setiap orang di luar Lembaga Penjamin yang telah melakukan kegiatan penjaminan sebelum berlakunya Undang-Undang ini wajib menyesuaikan dengan Undang-Undang ini paling lambat tiga tahun sejak berlakunya Undang-Undang ”. “(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap kegiatan penjaminan yang dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri.” 3.23 Bahwa munculnya Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 1/2016 ini telah menyebabkan ketidakpastian lini usaha suretyship yang menggunakan landasan hukum berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU No. 40/2014 a quo tentang perluasan lini usaha asuransi __ menjadi tidak jelas. Dalam pengertian, kepastian usaha suretyship yang dilakukan perusahaan asuransi terganggu dan tidak pasti keberlangsungan usahanya bahkan terancam dapat dipidana.
24 Bahwa dengan kata lain, lahirnya Pasal 61 ayat (1) ayat (2) UU No. 1/2016 menyebabkan perusahaan asuransi yang sebelumnya dapat menyelenggarakan suretyship atas dasar Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) __ sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 ayat (3) UU No. 40/2014 harus menyesuaikan dalam waktu 3 (tiga) tahun sejak undang-undang tersebut diundangkan, yaitu pada tanggal 19 Januari 2019, padahal hal itu tidak mungkin dilakukan.
25 Bahwa dalam hal ini, perusahaan asuransi harus mempunyai izin usaha sebagai lembaga penjamin atau perusahaan penjaminan terlebih dahulu agar dapat menjalankan suretyship . Sebab, hanya perusahaan yang berizin saja yang akan diakui keabsahannya secara hukum untuk dapat memasarkan lini usaha tersebut. Namun hal itu tidak dapat terjadi, karena perusahaan asuransi nyatanya tidak secara otomatis dapat memperoleh izin usaha sebagai lembaga atau perusahaan penjaminan.
26 Bahwa izin perusahaan asuransi untuk melaksanakan penjaminan dalam bentuk suretyship diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga yang diberikan kewenangan atributif untuk mengeluarkan peraturan terkait perizinan usaha tersebut __ sebagaimana Pasal 5 ayat (3) UU No. 40/2014 yang menyatakan: 22 “ Ketentuan lebih lanjut mengenai perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.” 3.27 Bahwa sebagai tindak lanjut Pasal 5 ayat (3) UU 40/2014 a quo Otoritas Jasa Keuangan mengeluarkan Peraturan OJK 69/POJK.05/2016 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah (“POJK No.69/2016”) .
28 Bahwa akan tetapi Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 1/2016 yang mewajibkan semua kegiatan penjaminan untuk tunduk pada UU No. 1/2016, kecuali kegiatan penjaminan tersebut dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri, maka dengan demikian POJK yang kedudukannya berada dibawah undang-undang keberlakuannya menjadi tidak efektif karena tidak memiliki kekuatan hierarki yang sejajar dengan Pasal 61 ayat (1) UU a quo .
29 Bahwa situasi tersebut diatas menimbulkan ketidakpastian bagi Pemohon karena membuat OJK sendiri tidak pasti apakah akan mengeluarkan dan/atau memperpanjang izin lini usaha suretyship kepada perusahaan asuransi setelah penyesuaian tiga tahun berakhir pada tanggal 19 Januari 2019.
30 Bahwa inilah persoalan yang merisaukan sebagian besar perusahaan asuransi yang diwakili Pemohon. Situasi ini tentu sangat merugikan perusahaan-perusahaan asuransi yang menjalankan lini usaha suretyship, karena kegiatan usaha di bidang ini menjadi tidak jelas, terhambat, dengan waktu yang tidak bisa diprediksikan kapan persoalan izin tersebut akan diterbitkan oleh OJK.
31 Bahwa kegiatan usaha suretyship semakin tidak memiliki kepastian hukum yang adil, karena perusahaan asuransi terancam pidana dengan hukuman 15 tahun penjara dan denda Rp 100 Milyar sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 57 UU No. 1/2016, jika tetap melaksanakan lini usaha suretyship tersebut. 23 Dengan demikian, Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 a quo yang multitafsir bertentangan dengan prinsip konstitusi yaitu prinsip kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena sejak awal suretyship adalah merupakan lini usaha dari perusahaan asuransi, kemudian terbit UU No. 1/2016 yang tidak membenarkan suretyship dilakukan oleh perusahaan asuransi, namun terbit lagi UU No. 2/2017 dan Perpres No. 16/2018 yang membenarkan suretyship dilakukan oleh perusahaan asuransi. PASAL 5 AYAT (1) UU 40/2014 INKONSTITUSIONAL SEPANJANG TIDAK DIMAKNAI MENCANTUMKAN SURETYSHIP SEBAGAI PERLUASAN __ JENIS USAHA ASURANSI SESUAI DENGAN KEBUTUHAN MASYARAKAT 3.32 Bahwa perusahaan asuransi yang menyelenggarakan suretyship yang memperoleh izin POJK jumlahnya dua kali dua kali lipat lebih banyak dari jumlah perusahaan penjamin baik sebagaimana terlampir dalam data Deputi Komisioner Pengawas IKNB II Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut: (Bukti P–8) DAFTAR PERUSAHAAN ASURANSI YANG DAPAT MEMASARKAN PRODUK SURETY BOND KONSTRUKSI PER 14 AGUSTUS 2018 No. Nama Perusahaan No. Nama Perusahaan 1 PT Arthagraha General Insurance 26 PT Asuransi Rama Satria Wibawa 2 PT Asuransi Adira Dinamika 27 PT Asuransi Ramayana, Tbk 3 PT Asuransi Allianz Utama Indonesia 28 PT Asuransi Sinar 4 PT Asuransi Asoka Mas 29 PT Asuransi Tri Pakarta 5 PT Asuransi Astra Buana 30 PT Asuransi Tugu Kresna Pratama 6 PT Asuransi Bangun Askrida 31 PT Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 7 PT Asuransi Bhakti 32 PT Asuransi Umum Mega 24 Bayangkara 8 PT Asuransi Binagriya Upakara 33 PT Asuransi Umum Videi 9 PT Asuransi Bina Dana Artha, Tbk 34 PT Asuransi Wahana Tata 10 PT Bosowa Asuransi 35 PT Malacca Trust Wuwungan 11 PT Asuransi Bintang, Tbk 36 PT Asuransi Staco Mandiri 12 PT Asuransi Bringin Sejahtera Artha Makmur 37 PT Tugu Pratama Indonesia 13 PT Asuransi Buana Independent 38 PT Victoria Insurance 14 PT Asuransi Central Asia 39 PT Pan Pacific Insurance 15 PT Asuransi Harta Aman Pratama, Tbk 40 PT Chubb General Insurance Indonesia 16 PT Asuransi Himalaya Pelindung 41 PT Berdikari Insurance 17 PT Asuransi Intra Asia 42 PT Lippo General Insurance, Tbk 18 PT Asuransi Jasa Indonesia (Persero) 43 PT Asuransi Kresna Mitra 19 PT Asuransi Jasa Raharja Putera 44 PT Mitra Pelindung Mustika 20 PT Asuransi Jasa Tania, Tbk 45 PT Asuransi Asei Indonesia 21 PT Asuransi Kredit Indonesia (Persero) 46 PT Asuransi Cakrawala Proteksi Indonesia 22 PT Asuransi Mega Pratama 47 PT Mandiri AXA General Insurance 23 PT Asuransi Multi Artha Guna, Tbk 24 PT Asuransi Parolamas 25 25 PT Asuransi Purna Artanugraha Sumber: Surat Deputi Komisioner Pengawas IKNB II Otoritas Jasa Keuangan Nomor: S-595/NB.2/2018, tanggal 4 Oktober 2018. DAFTAR PERUSAHAAN ASURANSI YANG DAPAT MEMASARKAN PRODUK SURETY BOND NON KONSTRUKSI No Nama Perusahaan No Nama Perusahaan 1 PT Arthagraha General Insurance 23 PT Asuransi Purna Artanugraha 2 PT Asuransi Adira Dinamika 24 PT Asuransi Rama Satria Wibawa 3 PT Asuransi Artarindo 25 PT Asuransi Ramayana, Tbk 4 PT Asuransi Asoka Mas 26 PT Asuransi Asei Indonesia 5 PT Asuransi Astra Buana 27 PT Asuransi Cakrawala Proteksi Indonesia 6 PT Asuransi Bangun Askrida 28 PT Asuransi Sinar Mas 7 PT Asuransi Bhakti Bayangkara 29 PT Asuransi Tri Pakarta 8 PT Asuransi Binagriya Upakara 30 PT Asuransi Tugu Kresna Pratama 9 PT Bosowa Asuransi 31 PT Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 10 PT Asuransi Bringin Sejahtera Artha Makmur 32 PT Asuransi Umum Videi 11 PT Asuransi Burma Independent 33 PT Asuransi Wahana Tata 12 PT Asuransi Central Asia 34 PT Asuransi Staco Mandiri 13 PT Harta Aman Pratama, Tbk 35 PT Tugu Pratama Indonesia 26 14 PT Asuransi Himalaya Pelindung 36 PT Victoria Insurance 15 PT Asuransi Intra Asia 37 PT Pan Pacific Insurance 16 PT Asuransi Jasa Indonesia (Persero) 38 PT Mandiri AXA General Insurance 17 PT Asuransi Jasa Raharja Putera 39 PT Chubb General Insurance Indonesia 18 PT Asuransi Jasa Tania, Tbk 40 PT Berdikari Insurance 19 PT Asuransi Kredit Indonesia (Persero) 41 PT Asuransi Kresna Mitra 20 PT Asuransi Mega Pratama 42 PT Mitra Pelindung Mustika 21 PT Asuransi Multi Attila Guna, Tbk 22 PT Asuransi Parolamas DAFTAR PERUSAHAAN PENJAMINAN YANG DAPAT MELAKUKAN PRODUK SURETY BOND KONSTRUKSI No Nama Perusahaan No Nama Perusahaan 1 Perusahaan Umum Jaminan Kredit Indonesia 12 PT Jamkrida Bangka Belitung 2 PT Penjaminan Kredit Pengusaha Indonesia 13 PT Jamkrida Banten 3 PT Jamkrida Jawa Timur 14 PT Jamkrida Kalimantan Timur 4 PT Jamkrida Bali Mandara 15 PT Jamkrida Jawa Tengah 5 PT Jamkrida Riau 16 PT Jamkrida Papua 6 PT Jamkrida Nusa Tenggara Barat Bersaing 17 PT Jamkrida Nusa Tenggara Timur 7 PT Jamkrida Jawa Barat 18 PT Jamkrida Jakarta 8 PT Jamkrida Sumatera Barat 19 PT Jamkrida Sulawesi Selatan 27 D A F T A P PERUSAHAAN PENJAMINAN YANG DAPAT MELAKUKAN PRODUK SURETY BOND NON KONSTRUKSI No Nama Perusahaan No Nama Perusahaan 1 Perusahaan Umum Jaminan Kredit Indonesia 12 PT Jamkrida Bangka Belitung 2 PT Penjaminan Kredit Pengusaha Indonesia 13 PT Jamkrida Banten 3 PT Jamkrida Jawa Timur 14 PT Jamkrida Kalimantan Timur 4 PT Jamkrida Bali Mandara 15 PT Jamkrida Jawa Tengah 5 PT Jamkrida Riau 16 PT Jamkrida Papua 6 PT Jamkrida Nusa Tenggara Barat Bersaing 17 PT Jamkrida Nusa Tenggara Timur 7 PT Jamkrida Jawa Barat 18 PT Jamkrida Jakarta 8 PT Jamkrida Sumatera Barat 19 PT Jamkrida Sulawesi Selatan 9 PT Jamkrida Kalimantan Selatan 20 PT Jamkrida Kalimantan Barat 10 PT Jamkrida Sumatera Selatan 21 PT Jaminan Pembiayaan Askrindo Syariah 11 PT Jamkrida Kalimantan Tengah 22 PT Penjaminan Jamkrindo Syariah 9 PT Jamkrida Kalimantan Selatan 20 PT Jamkrida Kalimantan Barat 10 PT Jamkrida Sumatera Selatan 21 PT Jaminan Pembiayaan Askrindo Syariah 11 PT Jamkrida Kalimantan Tengah 22 PT Penjaminan Jamkrindo Syariah 28 3.33 Bahwa selain perusahaan asuransi, terdapat konsorsium perusahaan asuransi untuk menfasilitasi nilai proyek yang besar yang tidak bisa dilakukan sendiri oleh satu atau dua perusahaan asuransi yang menjalankan suretyship yang terdiri dari 3 (tiga) konsorsium penjaminan, yang seluruh anggotanya adalah perusahaan-perusahaan asuransi seperti yang ada pada tabel berikut: DAFTAR PERUSAHAAN KONSORSIUM PENJAMINAN YANG DAPAT MEMASARKAN PRODUK SURETY BOND KONSTRUKSI No Nama Konsorsium Penjaminan Proyek 1 Konsorsium Penjaminan Proyek yang beranggotakan: • PT Asuransi Sinar Mas (Ketua); • PT Asuransi Purna Arthanugrahra (Anggota); • PT Asuransi Central Asia (Anggota); • PT Asuransi Asei Indonesia (Anggota), • PT Asuransi Cakrawala Proteksi (Anggota); • PT Asuransi Binagriya Upakara (Anggota); • PT Asuransi Bangun Askrida (Anggota); • PT Panin Insurance (Anggota); dan 2 Konsorsium Penjaminan Proyek yang beranggotakan: • PT Jasaraharja Putera (Ketua); • PT Asuransi Kredit Indonesia – Persero (Anggota); • PT Asuransi Wahana Tata (Anggota); • PT Asuransi Astra Buana (Anggota); • PT Asuransi Bringin Sejahtera Artamakmur (Anggota); • PT Asuransi Bintang, Tbk (Anggota); dan • PT Asuransi Umum Videi (Anggota) 3 Konsorsium Penjaminan Proyek yang beranggotakan: • PT Asuransi Jasa Tania (Ketua); 29 • PT Tugu Pratama Indonesia (Anggota); • PT Bosowa Asuransi (Anggota); • PT Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 (Anggota); • PT Asuransi Kresna Mitra, Tbk. (Anggota); • PT Asuransi Bakti Bhayangkara (Anggota); • PT Asuransi Asoka Mas (Anggota); • PT Asuransi Mega Pratama (Anggota); dan • PT Asuransi Tugu Kresna Pratama (Anggota).
34 Bahwa dari data tersebut tampak bahwa sebagian besar pelaku lini usaha suretyship adalah perusahaan-perusahaan asuransi termasuk dengan dibentuknya konsorsium penjaminan yang anggota-anggotanya juga terdiri dari sejumlah perusahaan asuransi, yang tujuan pembentukannya untuk menjamin proyek-proyek bernilai besar, antara lain proyek di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Ini berarti, keberadaan perusahaan asuransi yang menjalankan suretyship merupakan pilihan penting untuk memenuhi kebutuhan masyarakat luas dan kebutuhan proyek pemerintah.
35 Bahwa perusahaan asuransi selaku pelaku usaha memiliki peran yang penting dalam mendukung proses pembangunan sebagaimana yang tertuang dalam Penjelasan UU No. 40/2014 yang menyatakan: “…peran industri perasuransian dalam mendorong pembangunan nasional terjadi apabila industri perasuransian dapat lebih mendukung masyarakat dalam menghadapi risiko yang dihadapinya sehari-hari dan pada saat mereka memulai dan menjalankan kegiatan usaha” “...peran industri perasuransian dalam mendorong pembangunan nasional juga terjadi melalui pemupukan dana jangka panjang dalam jumlah besar, yang selanjutnya menjadi sumber dana pembangunan”. 3.36 Bahwa produk usaha suretyship yang dilakukan oleh perusahaan- perusahaan asuransi sangat vital bagi pembangunan nasional, karena banyak dimanfaatkan untuk menjamin pembangunan infrastruktur di berbagai sektor mulai dari transportasi, sumber daya air, perumahan dan pemukiman, energi hingga informasi dan teknologi. 30 3.37 Bahwa seperti halnya 13 (tiga belas) paket konstruksi yang dicanangkan pemerintah di tahun 2020, salah satu contohnya adalah paket konstruksi pembangunan Bendungan Jragung Jawa Tengah, dengan nilai proyek mencapai Rp 2.72 Triliun. Pembangunan proyek demikian tentu membutuhkan aspek kepastian dan jaminan pelaksanaan yang hanya dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi melalui suretyship karena sulit dilaksanakan oleh perusahaan penjaminan dengan kapasitasnya yang ada dan sulit pula dilakukan melalui bank garansi karena adanya kesulitan bagi pelaksana proyek untuk menyediakan uang tunai pada bank yang mengeluarkan bank garansi.
38 Bahwa adanya Pasal 5 ayat (1) UU No. 40/2014 potensial pasti membatasi hak Pemohon untuk turut serta dalam perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasarkan atas prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan. Apalagi dengan berlakunya Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 1/2016 yang dapat menegasikan kontribusi perusahaan asuransi yang selama ini telah turut serta memberi jaminan bagi berjalannya proyek-proyek tersebut melalui lini usaha suretyship . Jika suretyship tidak dapat dilakukan oleh perusahaan-perusahaan asuransi dipastikan akan menghambat kelanjutan pembangunan nasional sekaligus terhalangnya proyek pembangunan pemerintah.
39 Bahwa untuk mengisi “Kekosongan Hukum” akibat tidak adanya kepastian hukum pengaturan mengenai suretyship tersebut, Mahkamah Konstitusi diharapkan untuk membentuk norma hukum baru sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-IX/2011, yang menguji Pasal 57 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang menyebutkan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi tidak memuat:
amar selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2);
perintah kepada pembuat Undang-Undang; dan
rumusan norma sebagai pengganti norma dari Undang-Undang yang dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 31 Dalam Putusannya, Mahkamah Konstitusi menyebutkan, bahwa terhadap permohonan pengujian Pasal 57 ayat (2a) UU 8/2011, Mahkamah memberikan pertimbangan sebagai berikut: “Menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 57 ayat (2a) UU 8/2011 tersebut bertentangan dengan tujuan pembentukan Mahkamah untuk menegakkan hukum dan keadilan khususnya dalam rangka menegakkan konstitusionalitas norma Undang-Undang sesuai dengan Undang-Undang Dasar. Adanya Pasal 57 ayat (2a) UU 8/2011 tersebut berakibat terhalangnya Mahkamah untuk (i) menguji konstitusionalitas norma; (ii) mengisi kekosongan hukum sebagai akibat putusan Mahkamah yang menyatakan suatu norma bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sementara itu, proses pembentukan Undang-Undang membutuhkan waktu yang cukup lama, sehingga tidak dapat segera mengisi kekosongan hukum tersebut; (iii) melaksanakan kewajiban hakim konstitusi untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat;
Pasal 57 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”.
40 Bahwa Mahkamah Konstitusi juga pernah mengeluarkan putusan yang mengubah norma hukum atau membuat norma hukum baru, antara lain sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, yang menguji Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Selanjutnya Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menyebutkan:
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu 32 pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya;
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.
41 Bahwa berdasarkan kedua Putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu tersebut, maka ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No. 40/2014 adalah inkonstitusional, sepanjang tidak disebutkan secara jelas perluasan usaha yang menjadi ruang lingkup usaha asuransi adalah termasuk suretyship ;
42 Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tentu akan dipatuhi oleh pembentuk Undang-Undang, karena berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf b UU No. 12/2011 yang menyatakan: “Dalam Prolegnas dimuat daftar kumulatif terbuka yang terdiri atas: akibat putusan Mahkamah Konstitusi”. Berdasarkan uraian tersebut beralasan menurut hukum bagi Mahkamah Konstitusi untuk dapat memaknai Pasal 5 ayat (1) UU a quo untuk menyatakan “ Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas termasuk lini usaha suretyship sesuai dengan kebutuhan masyarakat.” __ __ 33 IV. PETITUM Berdasarkan alasan-alasan yang telah diuraikan di atas Pemohon memohonkan kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan memutus uji materil sebagai berikut:
Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5618) bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “ Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas termasuk lini usaha suretyship sesuai dengan kebutuhan masyarakat.” 3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau, apabila Mahkamah berpendapat lain mohon Putusan seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). [2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalilnya, para Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-13 yang telah disahkan dalam persidangan, sebagai berikut:
Bukti P-1 : : Fotokopi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian;
Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Bukti P-3 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan;
Bukti P-4 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi;
Bukti P-5 : Fotokopi Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah; 34 6. Bukti P-6 : Fotokopi Akta Pernyataan Keputusan Kongres ke-V Asosiasi Asuransi Umum Indonesia Nomor 2 tanggal 4 Desember 2018 tentang Perubahan Anggaran Dasar, dibuat dihadapan Notaris Felix F.X. Handojo, S.H.;
Bukti P-7 : Fotokopi Akta Pernyataan Keputusan Kongres ke-V Asosiasi Asuransi Umum Indonesia Nomor 3 tanggal 4 Desember 2018 tentang Perubahan Anggaran Rumah Tangga, dibuat dihadapan Notaris Felix F.X. Handojo, S.H.;
Bukti P-8 : Fotokopi Surat Otoritas Jasa Keuangan Nomor S- 595/NB.2/2018 tertanggal 4 Oktober 2018 perihal Daftar Perusahaan Asuransi Umum, Perusahaan Penjaminan dan Konsorsium Yang Dapat Memasarkan Produk Suretyship per 14 Agustus 2018;
Bukti P-9 : Fotokopi Sertifikat Keanggotaan Asosiasi Asuransi Umum Indonesia/General Insurance Association of Indonesia;
Bukti P-10 : Fotokopi Surat Izin Penerbitan Surety Bond Kepada Perusahaan Asuransi;
Bukti P-11 : Fotokopi Akta Nomor 58 tentang Anggaran Dasar Pendirian Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (“AAUI”) yang dibuat dihadapan Notaris Haji Rizul Sudarmadi, S.H. tanggal 18 April 2002;
Bukti P-12 : Fotokopi Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor C-39.HT.01.03.TH.2007 tanggal 4 Mei 2007 tentang Pengesahan Akta Pendirian Asosiasi Asuransi Umum Indonesia disingkat AAUI dalam Bahasa Inggris disebut General Insurance Association of Indoensia;
Bukti P-13 : Fotokopi Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-0000962.AH.01.08.Tahun 2018 tentang Persetujuan Perubahan Badan Hukum Perkumpulan Perkumpulan Asosiasi Asuransi Umum Indonesia dalam Bahasa Inggris disebut General Insurance Association of Indoensia; 35 Selain itu, Pemohon dalam persidangan tanggal 13 Juli 2020 mengajukan satu orang ahli yakni Prof. Susi Dwi Harijanti, S.H., L.L.M., Ph.D. yang menyampaikan keterangan lisan di bawah sumpah/janji dan dilengkapi keterangan tertulis yang diterima dalam persidangan pada tanggal 13 Juli 2020, dan pada persidangan tanggal 10 September 2020 mengajukan satu orang ahli yakni Dr. Kornelius Simanjuntak, S.H., M.H., AAIK. yang menyampaikan keterangan lisan di bawah sumpah/janji dan dilengkapi keterangan tertulis yang diterima oleh Kepaniteraan Mahkamah tanggal 8 September 2020, serta pada persidangan tanggal 25 Agustus 2020 mengajukan dua orang saksi yakni Tjindra Parma Wignyoprayitno, S.H., M.H., dan Ir. Manahara R. Siahaan , yang menyampaikan keterangan lisan di bawah sumpah/janji pada pokoknya sebagai berikut: Ahli Pemohon 1. Prof. Susi Dwi Harijanti, S.H., L.L.M., Ph.D. Dalam perkara Nomor 5/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian Terhadap Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terdapat lima permasalahan hukum yang disampaikan oleh Pemohon dan akan ahli coba jawab secara akademik, sebagai berikut:
Apakah undang-undang diperkenankan untuk mendelegasikan kewenangan mengatur kepada institusi pemerintah non-kementerian? Dalam hal ini, Ketentuan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian yang mendelegasikan pengaturan mengenai perluasan ruang lingkup usaha perasuransian kepada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Untuk menjawab pertanyaan ini, izinkan ahli menyampaikan dengan lengkap bunyi Pasal 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian sebagai berikut:
Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat .
Perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum , Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa 36 Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penambahan manfaat yang besarnya didasarkan pada hasil pengelolaan dana .
Ketentuan lebih lanjut mengenai perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan . Berdasarkan bunyi ketentuan tersebut, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk menentukan bidang usaha asuransi selain yang telah ditetapkan di dalam Pasal 2 dan Pasal 3, sepanjang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan diatur di dalam Peraturan OJK. Berkaitan dengan hal ini, terdapat dua hal yang menjadi catatan ahli. Pertama , secara teori, ketentuan pendelegasian di dalam undang- undang ditujukan untuk mengatur lebih lanjut ketentuan teknis yang dibutuhkan untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Dengan demikian, peraturan perundang-undangan yang hadir karena perintah undang-undang untuk mengatur hal-hal yang bersifat teknis, ditujukan untuk mewujudkan apa yang menjadi politik hukum peraturan induknya. Artinya, peraturan pelaksana tidak dapat memuat atau mengandung politik hukum baru. Perwujudan teori ini tercermin di dalam Lampiran II, angka 211 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan sebagai berikut: “ Pendelegasian kewenangan mengatur dari Undang-Undang kepada menteri, pemimpin lembaga pemerintah nonkementerian, atau pejabat yang setingkat dengan menteri dibatasi untuk peraturan yang bersifat teknis administratif .” Berkaitan dengan hal ini, jika dilihat kembali ketentuan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Perasuransian, pendelegasian kepada peraturan OJK tidak ditujukan untuk mengatur hal yang bersifat teknis, melainkan untuk menetapkan bidang-bidang usaha asuransi selain yang telah ditetapkan di dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Perasuransian , sepanjang “sesuai dengan kebutuhan masyarakat”. Artinya, OJK memiliki kewenangan 37 untuk mengidentifikasi kebutuhan masyarakat dan menentukan jenis layanan asuransi baru untuk merespon kebutuhan tersebut. Hal ini juga berarti, peraturan OJK tentang perluasan bidang usaha asuransi dapat saja memuat politik hukum baru atas dasar kebutuhan masyarakat. Dengan konstruksi hukum demikian, maka potensi adanya perbedaan politik hukum antara undang-undang perasuransian dengan peraturan OJK sangat dimungkinkan terjadi. Sebenarnya, upaya untuk menjaga politik hukum undang-undang agar tidak bergeser atau berubah akibat kehadiran peraturan pelaksana telah dicantumkan di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 10 ayat (1) huruf e telah secara tegas ( expresis verbis ) menyatakan bahwa merespon kebutuhan hukum masyarakat merupakan materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang memang hanya ditujukan untuk mewujudkan politik hukum yang terkandung di dalam undang-undang tersebut. Selain itu, konstruksi Pasal 5 Undang-Undang Perasuransian yang memberikan kewenangan kepada OJK untuk memperluas ruang lingkup usaha perasuransian jika terdapat kebutuhan dari masyarakat, menurut ahli merupakan konstruksi hukum yang hadir akibat ketidakcermatan pembentuk undang-undang dalam memahami fungsi-fungsi kelembagaan negara. Di dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, dinyatakan bahwa fungsi OJK adalah “menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan”. Tidak ditemukan satupun ketentuan di dalam Undang-Undang tersebut bahwa OJK memiliki fungsi untuk mengagregasi ataupun menyalurkan aspirasi kepentingan masyarakat. Dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, sudah umum dipahami bahwa fungsi agregasi kepentingan dan fungsi penyaluran aspirasi masyarakat merupakan fungsi yang melekat pada lembaga Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan demikian, maka respon terhadap kebutuhan hukum masyarakat harus dilakukan oleh DPR dengan membentuk undang- undang. 38 Kedua , pada dasarnya peraturan OJK yang mengatur perluasan bidang usaha asuransi, merupakan ketentuan “ pengecualian ” dari ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Perasuransian yang telah mengatur ruang lingkup usaha asuransi secara limitatif dengan konstruksi norma yang bersifat tertutup. Konstruksi “pengecualian” terlihat dengan adanya pra-syarat berupa “kebutuhan masyarakat” yang harus terpenuhi sebelum OJK dapat menambahkan atau memperluas ruang lingkup usaha asuransi. Dalam praktik, delegasi semacam ini semakin sering terjadi. Terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi makin seringnya terjadi pendelegasian, yaitu:
DPR mempunyai keterbatasan waktu untuk membahas serta merumuskan secara rinci hal-hal yang perlu diatur dengan undang- undang.
Faktor penguasaan teknis materi yang dibahas. DPR tidak selalu memiliki anggota-anggota yang benar-benar memiliki pengetahuan khusus di bidang tertentu sehingga dapat melakukan analisis secara mendalam setiap aspek yang akan diatur dalam suatu undang-undang.
Faktor kecepatan atau urgensi. Rangkaian pembahasan dalam pembentukan undang-undang dapat menghambat pada saat ada kebutuhan mendesak untuk membuat undang-undang bidang tertentu.
Faktor fleksibilitas. Mengubah udang-undang tidak semudah mengubah peraturan yang lebih rendah. Menghadapi perubahan yang serba cepat dibutuhkan peraturan perundang-undangan yang mudah diubah untuk disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan. Meski delegasi diperbolehkan, namun tidak berarti setiap hal dapat didelegasikan atau delegasi dilakukan tanpa batas-batas tertentu. Terdapat beberapa pembatasan dalam mendelegasikan pengaturan, antara lain, tidak boleh ada delegasi pengaturan yang bersifat umum. Konstruksi pendelegasian yang terdapat dalam Pasal 5 ayat (3) menimbulkan problematika mendasar dari sisi ilmu perundang-undangan, yakni berkaitan dengan asas kepastian hukum. Jika kembali merujuk pada ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Perasuransian, tidak ditemukan kriteria mengenai apa yang dimaksud dengan “kebutuhan masyarakat”. Artinya, 39 penilaian terhadap pemenuhan prasyarat yang ditentukan oleh undang- undang berupa “kebutuhan masyarakat”, semata-mata ditentukan oleh penilaian subjektif OJK. Jika ditafsirkan secara a contrario , maka OJK berwenang pula menilai bahwa suatu layanan perasuransian selain yang telah ditentukan di dalam Pasal 2 dan Pasal 3, bukan lagi merupakan layanan yang dibutuhkan masyarakat, dan karenanya dapat dihapus atau dihentikan. Pada tafsir yang demikian, maka keberadaan atau keberlangsungan sebuah layanan perasuransian selain yang ditentukan di dalam Pasal 2 dan Pasal 3, sangat bergantung pada kewenangan diskresif tunggal dari OJK. Bahkan, Undang-Undang juga tidak memberikan kejelasan mengenai sejauh apa perluasan ruang lingkup usaha asuransi dapat dilakukan. Ketentuan pendelegasian semacam ini dapat dikategorikan sebagai pendelegasian yang bersifat open ended atau bentuk delegasi blangko yang secara normatif dilarang untuk dilakukan berdasarkan Lampiran II angka 210, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Karakter delegasi blangko semacam ini tentu tidak memenuhi asas keketatan ( lex stricta ) yang menjadi salah satu elemen dari asas kepastian hukum.
Bagaimana UUD 1945 mengatur tata cara melaksanakan atau menjalankan undang-undang? Untuk menjawab hal ini, maka perlu merujuk pada ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya ”. Pada ketentuan tersebut terdapat frasa “…menjalankan undang- undang sebagaimana mestinya”, yang berarti bahwa Peraturan Pemerintah berfungsi untuk mengatur lebih lanjut (rincian) dari ketentuan yang telah terdapat dalam undang-undang. Dengan kata lain, setiap ketentuan di dalam Peraturan Pemerintah harus berkaitan dengan satu atau beberapa ketentuan di dalam sebuah undang-undang. Salah satu cara melihat keterkaitan tersebut adalah dengan melihat apakah terdapat perintah yang tercantum secara tegas ( expresis verbis ) di dalam sebuah undang-undang bahwa suatau ketentuan harus diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 40 Meskipun demikian, bukan berarti ketiadaan perintah pengaturan lebih lanjut, menjadikan Presiden tidak berwenang untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah. Sepanjang terdapat kebutuhan untuk mengatur hal- hal yang berkaitan dengan pelaksanaan undang-undang, Presiden dapat menerbitkan Peraturan Pemerintah atau menggunakan instrumen hukum lainnya yang berasal dari fungsi pengaturan Presiden sebagai kepala pemerintahan, yakni instrumen Peraturan Presiden. Peraturan Presiden pada dasarnya berasal dari kewenangan yang melekat pada Presiden karena jabatannya sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan. Bahkan di dalam Penjelasan UUD 1945 (sebelum perubahan) dinyatakan bahwa Presiden ialah penyelenggara pemerintahan negara tertinggi. Ketentuan dan penjelasan tersebut menunjukan bahwa Presiden adalah penanggungjawab dan pimpinan penyelenggara pemerintahan sehari-hari atau pemimpin administrasi ( bestuur ), dan salah satu fungsi administrasi negara adalah membuat keputusan (baik yang bersifat penetapan ( beschikking ) maupun yang bersifat mengatur ( regeling ). Selain wewenang administrasi negara, Presiden mempunyai wewenang mandiri dalam membuat aturan-aturan untuk menyelenggarakan pemerintahan (disamping wewenang yang dilakukan bersama DPR membuat undang-undang). Akibatnya, meskipun Peraturan Presiden secara hierarkhis merupakan peraturan perundang-undangan di bawah Peraturan Pemerintah, namun, bukan berarti bahwa Peraturan Presiden hanya dapat diterbitkan untuk menjalankan Peraturan Pemerintah saja. Pasal 13 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa: “Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.” Dengan demikian, ruang lingkup materi muatan yang dapat diatur oleh Peraturan Presiden lebih luas dari ruang lingkup pengaturan yang dapat diatur oleh Peraturan Pemerintah. Bahkan, Peraturan Presiden dapat pula diterbitkan untuk melaksanakan atau menjalankan UUD 1945 maupun Tap MPR. 41 Sebagaimana yang telah ahli sampaikan sebelumnya, bahwa meskipun ketiadaan perintah pengaturan lebih lanjut di dalam undang- undang mengakibatkan Presiden dapat memilih menggunakan bentuk hukum Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden untuk menjalankan undang-undang, namun terdapat kondisi dimana Presiden sebaiknya menggunakan bentuk hukum Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Kondisi dimaksud yakni jika materi muatan yang hendak diatur merupakan materi yang berkaitan dengan hak dan kewajiban rakyat banyak (misalnya pada perkara a quo dalam bentuk memperluas ruang lingkup usaha asuransi), atau dalam batas-batas tertentu berkaitan dengan hak asasi atau salah satu hak yang dijamin di dalam UUD 1945. Mengutip pendapat Prof. Bagir Manan, praktik di Negeri Belanda, keputusan-keputusan Mahkota ( koninkelijke besluit ) yang mengikat secara umum selalu diatur melalui AMvB ( Algemene Maatsregel van Bestuur/ semacam Peraturan Pemerintah dalam sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia). Berdasarkan uraian tersebut, ahli berpendapat bahwa pendelegasian sebagaimana yang terdapat di dalam Pasal 5 Undang-Undang Perasuransian sedapat mungkin dihindari, terutama jika materi yang hendak didelegasikan merupakan materi yang berkaitan dengan hak-hak warga negara, termasuk dalam hal ini boleh atau tidaknya badan usaha penyelenggara jasa asuransi melakukan atau tidak melakukan kegiatan bisnis tertentu. Demi menjaga keteraturan dan ketertiban hukum, pengaturan materi muatan semacam itu seharusnya diletakkan pada bentuk hukum Peraturan Pemerintah untuk memberikan pokok-pokok pengaturan yang penting terlebih dahulu seperti kejelasan makna “kebutuhan masyarakat”, tata cara mengidentifikasinya, kriteria perluasan yang diperkenankan untuk dilakukan, hingga metode evaluasinya. Materi muatan tersebut penting untuk dikemas dalam bentuk Peraturan Pemerintah sebelum didelegasikan kepada pengaturan teknisnya dalam peraturan OJK. Berbeda dengan peraturan OJK yang dalam pembentukannya tidak melibatkan institusi lain secara formal sehingga dapat dikategorikan sebagai diskresi tunggal, pembentukan Peraturan Pemerintah melibatkan institusi pemerintah lintas sektor dalam 42 bentuk Panitia Antar Kementerian dalam mekanisme pembentukannya secara formal. Selain itu, ahli berpendapat sudah saatnya Mahkamah memberikan pendapat yang tegas berkenaan dengan pendelegasian dari undang- undang kepada peraturan menteri atau peraturan lembaga/badan. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, materi peraturan delegasi acapkali mengatur hal-hal yang berdampak pada masyarakat luas, termasuk dunia usaha sebagaimana diatur dalam Pasal a quo . Bila hal semacam ini dibiarkan, dikhawatirkan terjadi ketidakpastian yang akan menimbulkan kerugian di masa-masa mendatang. Dengan demikian, Mahkamah menjadi lembaga yang sangat fundamental menegakkan UU No. 12 Tahun 2011 karena dalam pandangan ahli, UU No. 12 Tahun 2011 merupakan undang- undang organik yang pembentukannya diperintahkan secara langsung oleh UUD 1945.
Apakah Relasi Antara Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian Dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan, merupakan relasi yang menghadirkan kepastian hukum? Untuk menjawab hal tersebut, izinkan ahli menyampaikan beberapa ketentuan yang dapat mengidentifikasi hubungan diantara kedua undang- undang tersebut sebagai berikut:
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian yang berbunyi sebagai berikut: “ Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak , yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk:
memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti;
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan yang berbunyi sebagai berikut: “Penjaminan adalah kegiatan pemberian jaminan oleh Penjamin atas pemenuhan kewajiban finansial Terjamin kepada Penerima Jaminan.” 43 Berdasarkan kedua ketentuan yang mendefinisikan asuransi dan penjaminan tersebut, ahli berpendapat bahwa pada dasarnya kedua undang-undang mengatur hal yang serupa, yakni pada pokoknya memberikan layanan perlindungan kepada klien atas potensi kerugian akibat ketidakpastian di masa depan. Jikapun terdapat perbedaan, maka perbedaan tersebut bersifat sumir dan gradual. Misalnya, pada definisi asuransi, dinyatakan secara eksplisit bahwa asuransi adalah “perjanjian antara dua pihak”, yakni perusahaan asuransi dan pemegang polis. Frasa ini memperlihatkan karakter hubungan dyadic di dalam hubungan perasuransian. Namun, ditemukan pula frasa “tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga”, yang memperlihatkan pula relasi triadic . Sementara undang-undang penjaminan tidak menyatakan secara tegas karakter keterikatan para pihak di dalam hubungan penjaminan. Namun di dalam ketentuan mengenai definisi penjaminan, terlihat bentuk relasi triadic pula antara penjamin, terjamin, dan penerima jaminan. Di dalam ilmu perundang-undangan, dipahami bahwasanya untuk objek yang sama, tidak dibenarkan diatur dengan peraturan yang berbeda. Oleh karena itu, penting untuk mengidentifikasi politik hukum di kedua undang-undang ini, agar dapat melihat apakah terdapat perbedaan tujuan hukum dari dibentuknya dua undang-undang yang mengatur objek yang serupa tersebut. Untuk dapat mengidentifikasi politik hukum, salah satunya dapat dilakukan dengan pendekatan original intent pembentuk undang- undang. Salah satu caranya dengan melihat pada Bagian Konsideran. Pada Bagian Konsideran huruf b Undang-Undang Perasuransian, dinyatakan bahwa tujuan dibentuknya undang-undang ini adalah: “dalam rangka menyikapi dan mengantisipasi perkembangan industri perasuransian serta perkembangan perekonomian, baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat global…”. Di sisi lain, Konsideran huruf b Undang-Undang Penjaminan menyatakan bahwa tujuan pembentukannya adalah: “untuk mewujudkan kemandirian ekonomi, negara harus memberikan perhatian terhadap dunia usaha, khususnya usaha mikro, kecil, dan menengah serta koperasi yang sering kesulitan mendapatkan akses permodalan dalam bentuk kredit, pembiayaan, atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dari lembaga keuangan dan di luar lembaga keuangan karena terbatasnya jaminan”. 44 Dari kedua Konsideran tersebut, terlihat bahwa politik hukum Undang-Undang Penjaminan ditujukan untuk memudahkan akses permodalan bagi usaha mikro, kecil, dan menengah serta koperasi, yang secara faktual sering kali kesulitan mendapatkan kredit atau pembiayaan akibat terbatasnya aset yang dapat dijaminkan. Di sisi lain, Undang-Undang Perasuransian ditujukan untuk meningkatkan daya saing perasuransian nasional sehingga dapat bertahan pada persaingan global. Berdasarkan kedua politik hukum tersebut, maka norma-norma yang dibangung di dalam undang-undang, harus ditujukan untuk memastikan politik hukumnya tercapai dengan baik. Sayangnya, jika diperhatikan pada norma-norma yang mengatur mengenai ruang lingkup usaha pada masing- masing undang-undang, dijumpai konstruksi pengaturan yang berbeda. Perbedaan ini pada sisi Undang-Undang Perasuransian berpotensi menghadirkan ketidakpastian hukum. Misalnya, di dalam Pasal 2 dan Pasal, 3 Undang-Undang Perasuransian, ruang lingkup usaha diatur dengan norma tertutup yang sangat limitatif dengan menggunakan frasa “hanya dapat” . Limitasi ini tentu berpotensi menghambat pertumbuhan dan perkembangan industri asuransi untuk dapat beradaptasi dan merespon dinamika persaingan global. Dengan demikian, frasa “hanya dapat” merupakan ketentuan yang bersifat rigid/kaku yang tidak sejalan dengan politik hukum undang-undang yang dinyatakan pada bagian konsideran, yakni untuk merespon dinamika persaingan global yang membutuhkan keluwesan. Namun, berbeda dengan Undang-Undang Perasuransian yang dirancang dengan konstruksi pasal tertutup, Pasal 4 Undang-Undang Penjaminan mengatur ruang lingkup usaha penjaminan dengan konstruksi pasal terbuka . Hal ini terlihat dari ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf k yang menyatakan bahwa perusahaan penjaminan dapat melakukan “kegiatan usaha lainnya setelah mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan”. Dengan konstruksi pasal demikian, maka secara normatif dapat ditafsirkan bahwa perkembangan indsutri penjaminan diserahkan pada pelakunya, sementara OJK ditempatkan sebagai lembaga pengawas yang memberikan persetujuan sebagai manifestasi dari fungsi kontrol pemerintah. 45 Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, Undang-undang Perasuransian juga sebenarnya membuka peluang adanya perluasan ruang lingkup usaha perasuransian sebagaimana diatur di dalam Pasal 5 Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2014. Namun, ketentuan Pasal 5 tersebut secara normatif memperlihatkan bahwa inisiasi perluasan ruang lingkup usaha diserahkan pada “ judgment” tunggal OJK untuk menilai kebutuhan masyarakat, dan bukan berasal dari inisiasi dari pelaku usaha. Dengan demikian, secara normatif, konstruksi Pasal 5 Undang-Undang Perasuransian memiliki potensi menghadirkan ketidakpastian jika dihubungkan dengan politik hukum pembentukan Undang-Undang dimaksud. Selain itu, berkaitan dengan lini usaha suretyship atau surety bond yang menjadi pokok permohonan perkara a quo , ahli melihat bahwa undang-undang memang menghendaki jenis usaha ini dapat dilakukan oleh berbagai entitas bisnis. Sebagaimana yang Pemohon uraikan di dalam permohonannya, lini usaha suretyship merupakan hasil perluasan ruang lingkup usaha asuransi yang diatur dalam Peraturan OJK Nomor 69/POJK.05/2016. Pengaturan mengenai objek yang sama juga ditemukan di dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d Undang-Undang Penjaminan dengan terminologi “surety bond ”. Dalam Permohonan dinyatakan bahwa Pasal 57 ayat (4) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi juga mengatur objek yang sama dengan terminologi yang lebih umum yakni “jaminan” yang dapat dilakukan oleh lembaga perbankan, perusahaan asuransi, dan/atau perusahaan penjaminan. Dari seluruh ketentuan tersebut, hanya pada rezim Undang-Undang Perasuransian yang memberikan pengaturan “ suretyship/surety bond ” dengan bentuk hukum yang bersifat diskresional, yakni menggunakan Peraturan OJK dengan syarat adanya kebutuhan masyarakat. Sementara pada rezim yang lain, pengaturan mengenai “ suretyship/surety bond ” diatur di dalam bentuk hukum yang lebih ajeg, yakni norma undang-undang dan tanpa ada prasyarat apapun. Dengan demikian, secara hukum layak untuk dipertanyakan, mengapa objek yang sama, diatur dengan bentuk peraturan yang berbeda? 46 4. Apakah Kehadiran Pasal 61 juncto Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan yang mengatur mengenai kewajiban penyesuaian dan ketentuan pidana bagi penyelenggara penjaminan tanpa izin, merupakan ketentuan yang menghadirkan kepastian hukum bagi penyelenggara perasuransian? Pada masyarakat awam, kehadiran hukum tertulis selalu dianggap sebagai bentuk hadirnya kepastian hukum. Padahal, di dalam ilmu perundang-undangan, tetap terdapat prasyarat yang harus terpenuhi agar hukum tertulis dapat menghadirkan kepastian hukum sebagai berikut:
terdapat kejelasan norma/rumusan norma; 2 . norma harus harmonis dan sinkron dengan norma yang lain, baik yang terdapat dalam undang-undang yang bersangkutan maupun undang- undang yang lain yang mengatur materi sejenis; dan
tersedianya infrastruktur penegakan hukum. Ketentuan Pasal 61 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan yang berbunyi sebagai berikut:
Setiap Orang di luar Lembaga Penjamin yang telah melakukan kegiatan penjaminan sebelum berlakunya Undang-Undang ini wajib menyesuaikan dengan UndangUndang ini dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap kegiatan penjaminan yang dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri. Dari aspek kejelasan rumusan, ketentuan tersebut menurut ahli tidak bersifat multi interpretatif. Karenanya, asas kejelasan rumusan telah terpenuhi. Kehadiran ketentuan ini mencerminkan bahwa undang-undang memang mengakui bahwa kegiatan penjaminan dapat saja dilakukan berdasarkan undang-undang yang lain, dan dilakukan oleh pelaku usaha yang berbeda-beda. Namun, pada sisi harmonisasi, ketentuan Pasal 61 ini berpotensi menghadirkan ketidakpastian hukum dalam hal penyelenggaraan suretyship oleh perusahaan asuransi. Hal ini dikarenakan adanya pengecualian kewajiban untuk menyesuaikan dengan undang- undang penjaminan sebagaimana dinyatakan di dalam Pasal 61 ayat (2), melalui frasa hanya diberikan kepada kegiatan-kegiatan “yang dijalankan 47 berdasarkan undang-undang”. Di sisi lain, penyelenggaraan suretyship oleh perusahaan asuransi merupakan kegiatan yang tidak didasarkan pada undang-undang, melainkan pada Peraturan OJK. Dengan demikian, kegiatan suretyship oleh perusahaan asuransi tidak lagi dapat dilakukan kecuali pada sektor jasa konstruksi karena kegiatan tersebut diatur di dalam undang-undang tersendiri, yakni Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi. Dengan kata lain, konstruksi Pasal 61 secara tidak langsung mempersempit ruang lingkup layanan suretyship yang dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi. Akibatnya, ketentuan pidana yang terdapat dalam Pasal 57 Undang- Undang Penjaminan, berpotensi dikenakan kepada perusahaan asuransi yang menyelenggarakan kegiatan suretyship di luar sektor jasa konstruksi. Ketidakpastian ini terjadi karena, di satu pihak, penyelenggaraan suretyship oleh perusahaan asuransi didasarkan oleh Peraturan OJK yang secara hukum adalah peraturan yang valid sebagai wujud kewenangan atribusi yang dimiliki OJK berdasarkan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Namun, di lain pihak, perusahaan asuransi yang melaksanakan lini usaha suretyship berdasarkan peraturan yang valid, berpotensi terkena ketentuan pidana karena dasar hukum kegiatannya tidak didasarkan pada undang-undang. Ketidakpastian hukum ini menurut ahli bukanlah akibat dari kesalahan perumusan Pasal 61 Undang-Undang Penjaminan. Penggunaan frasa “… yang dijalankan berdasarkan undang-undang” pada Pasal 61 ayat (2) Undang-Undang Penjaminan sebagai pengecualian atas kewajiban penyesuaian terhadap undang-undang penjaminan, disusun dengan asumsi atau penalaran yang wajar bahwa hal-hal yang bersifat pokok dan penting akan diatur secara ajeg di dalam norma undang-undang dan tidak didelegasikan kepada peraturan perundang-undangan yang lain. Menurut ahli, pendelegasian ketentuan yang bersifat pokok dan penting kepada peraturan yang secara hukum hanya dapat mengatur teknis administratif merupakan sebuah anomali. Dengan demikian, masalah utama ketidakpastian hukum ini menurut ahli terletak pada ketidaktaatan asas pada saat pembentukan Undang-Undang Perasuransian, khususnya pada saat merumuskan Pasal 2 dan Pasal 3 yang mengatur ruang lingkup usaha 48 dengan norma tertutup, dan Pasal 5 yang memberikan pengecualian untuk memperluasnya melalui Peraturan OJK dalam bentuk pemberian delegasi blangko.
Agar tercipta kepastian hukum yang adil bagi usaha penerbitan suretyship yang telah berjalan sejak 1978, apakah terdapat cukup alasan konstitusional untuk secara eksplisit mencantum frasa “termasuk lini usaha suretyship ” dari makna “dapat diperluas” dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No. 40 tahun 2014? Kehadiran Mahkamah Konstitusi seringkali dimaknai sebagai “ the negative legislature ”, yakni institusi yang menjadi penyeimbang dari kekuasaan politik untuk membatalkan produk hukum yang dibentuknya. Namun, seringkali “ the negative legislature ” dimaknai secara sempit bahwa Mahkamah Konstitusi tidak dapat membentuk norma hukum baru, melainkan hanya membatalkan norma hukum dan mengembalikan pembentukannya pada cabang kekuasaan politik. Pandangan ini menurut ahli tidak sepenuhnya tepat, apalagi dengan kompleksitas permasalahan ketatanegaraan yang semakin rumit yang sering kali dihadapi Mahkamah Konstitusi. Aharon Barak di dalam bukunya “Judge in Democracy ” mencoba memberikan jawaban mengenai bagaimana pengadilan seharusnya memposisikan dirinya dalam menghadapi perkara-perkara yang kompleks tersebut. Menurutnya, pengadilan secara inheren dibekali kewenangan untuk melakukan “ judicial discretion ”. “Diskresi” dalam pendapat Aharon Barak tersebut dapat dilakukan dalam bentuk menghadirkan perluasan makna dari norma hukum, perubahan makna dari norma konstitusi, penambahan norma baru, hingga putusan yang bersifat “ ultra vires ”. Mengutip pendapat Chief Justice Lord Hewart: “ It is fundamental importance that justice should not only be done, but should manifestly and undoubtedly be seen to be done ”. Artinya, pengadilan harus memastikan keadilan benar-benar dapat dinikmati setiap warga negara dan tidak semata-mata hanya berbunyi di atas kertas. Pandangan ini sejatinya merupakan pandangan yang menolak gagasan tradisional tentang fungsi kekuasaan kehakiman yang sebatas hanya diposisikan sebagai institusi 49 yang menafsirkan hukum dan seringkali dianggap tidak dapat menyelesaikan masalah. Pandangan mengenai judicial discretion ini memang seringkali dikritik dengan alasan dapat mengakibatkan pengadilan berubah menjadi institusi yang “hiperaktif” dan eksesif, serta mencederai prinsip dasar bernegara, yakni demokrasi dan prinsip pemisahan kekuasaan. Namun, Ran Hirschl, seorang pakar political science dalam sebuah artikel yang berjudul: “Constitutional Courts vs Religious Fundamentalism: Three Middle Eastern Tales ”, mengatakan bahwa kritik-kritik terhadap judicial discretion dan dampak buruknya, umumnya didasarkan pada pemahaman yang keliru. Dalam bantahannya, Hirschl mengatakan bahwa pembentukan pengadilan (terutama pengadilan konstitusional) tidak dapat dipisahkan dari latar belakang kenyataan sosial, budaya, politik, dan ekonomi yang terbentuk dari tatanan sistem politik tertentu. Akibatnya, pengadilan tidak mungkin beroperasi pada dimensi yang vakum akan politik dan ideologi. Bagi Hirschl, pengadilan harus menjadi bagian integral untuk dapat memanifestasikan gagasan dan value politik serta ideologi yang melatar belakangi pembentukannya. Berdasarkan pendapat Ran Hirschl tersebut, ahli berpendapat bahwa jika Mahkamah Konstitusi pada awalnya memang dibentuk sebagai “ the guardian of the constitution, and the protector of human rights ”, maka Mahkamah Konstitusi memiliki kewajiban pula untuk memastikan bahwa fungsi-fungsinya tersebut dapat secara langsung dirasakan oleh masyarakat dalam bentuk menghadirkan remedy bagi mereka yang hak konstitusionalnya terlanggar akibat berlakunya sebuah undang-undang. Oleh karena itu, memberikan tafsir konstitusional bersyarat sebagaimana permohonan pemohon, menurut ahli dapat dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi sepanjang pengadilan memutus berdasarkan hukum. Makna memutus berdasarkan hukum diartikan oleh Mark Elliot sebagai sebuah putusan yang dihasilkan dengan cara-cara yang sejalan dengan prinsip-prinsip umum, baik hukum maupun politik, yang mendasari terbentuknya konstitusi. Mengutip pendapat Sir Edward Coke beberapa abad yang lalu: “ Reason is the life of the law ”, artinya legitimasi putusan pengadilan hanya dapat dilihat atau dinilai melalui alasan atau 50 pertimbangan-pertimbangan yang mendasari mengapa sebuah putusan dijatuhkan. Sejarah dunia telah mencatat berbagai putusan yang bersifat membentuk norma baru, ataupun mengubah makna konstitusi selalu mendapatkan penerimaan dengan baik dari masyarakat, sepanjang memiliki legal reasoning yang memadai, sebagaimana terjadi pada putusan landmark Supreme Court Amerika Serikat di perkara Brown v Board of Education tahun 1954 maupun Roe v Wade tahun 1973. Dalam perkara Brown v Board of Education , diskresi pengadilan mengambil bentuk berupa pembatalan precedent atau putusan sebelumnya yang menjadi dasar segregasi rasial di Amerika melalui doktrin separate but equal yang diputuskan dalam perkara Plessy v Ferguson . Fakta sejarah kemudian menunjukan bahwa putusan ini telah memicu perubahan paradigmatik pada dimensi kebijakan publik Amerika terkait hak-hak masyarakat kulit hitam. Pasca putusan ini, kebijakan publik Amerika cenderung mengarah pada desegregasi dan pemberian kebijakan affirmative action bagi masyarakat kulit hitam. Putusan pengadilan dalam perkara Brown v Board of Education dapat dibaca sebagai sebuah upaya melindungi kebebasan dan persamaan bagi masyarakat kulit hitam yang sejatinya telah dijamin di dalam konstitusi. Begitu pula yang terjadi pada perkara Roe v Wade Tahun 1973. Pengadilan membentuk norma baru yang menjamin kebebasan bagi wanita atas fungsi reproduksinya. Dalam putusannya, pengadilan menyatakan bahwa praktik aborsi dapat dibenarkan pada trimester pertama masa kehamilan dengan alasan-alasan tertentu. Hal ini dapat dibaca sebagai bentuk pemenuhan jaminan atas hak diri pribadi ( privacy rights ) sebagaimana telah dijamin di dalam konstitusi. Di Indonesia, praktik serupa beberapa kali dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dengan alasan demi menegakan keadilan substantif. Misalnya, dalam perkara Nomor 102/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Undang- Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden Dan Wakil Presiden, yang menetapkan bahwa masyarakat yang tidak terdaftar pada Daftar Pemilih Tetap (DPT), tetap dapat memilih dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden dengan menunjukan KTP, KK, ataupun Paspor. 51 Dalam perkara lainnya, yakni perkara Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan yang sah tetap dapat memiliki hubungan hukum dengan ayahnya sepanjang dapat dibuktikan secara hukum. Berdasarkan presedent pada perkara terdahulu, dan berdasarkan fungsi-fungsi Mahkamah Konstitusi yang telah diuraikan sebelumnya, ahli berpendapat bahwa pemberian tafsir konstitusional bersyarat dapat dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi sepanjang ditujukan untuk memastikan terciptanya remedy bagi pihak-pihak yang hak konstitusionalnya terlanggar.
Dr. Kornelius Simanjuntak, S.H., M.H., AAIK. Permasalahan: Apakah Ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian tidak cukup kuat dan oleh karenaya mengandung permasalahan hukum, ketidakpastian hukum, dan potensi kerugian dan dapat merambat ke ancaman pidana bagi para Pemohon (yaitu perusahaan-perusahaan asuransi umum) dalam memasarkan dan menerbitkan lini usaha surety bond dan suretyship , sehingga ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian perlu diadakan perubahan. Pertama : Sejarah Singkat Suretyship di Indonesia; Kedua : Definisi Usaha dan Lini Usaha Asuransi Umum; Ketiga : Keunggulan Perusahaan Asuransi dalam memikul risiko dalam produk suretyship ; Keempat : Permasalahan Timbul karena diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Penjaminan, dan Kelima : Potensi Masalah hukum yang dapat merembet ke ranah Pidana bagi direksi dan pejabat perusahaan asuransi umum yang melakukan lini usaha Surety Bond/Suretyship . Pertama: Sejarah Singkat Surety Bond atau Suretyship . Sejak dari awal Tahun 1978 Surety Bond atau Suretyship diadakan di Indonesia, yang diberikan kewenangan untuk melaksanakan dan menerbitkan Surety Bond atau Suretyship adalah Perusahaan Asuransi Umum (dahulu disebut Asuransi Kerugian). 52 Lini usaha atau Produk Surety Bond atau Suretyship sejak diperbolehkan oleh Pemerintah untuk dijalankan di Indonesia pada tahun 1978, yang diberikan hak dan kewenagan untuk melaksanakan, memasarkan, menjual dan menerbitkan lini usaha Surety Bond adalah perusahaan asuransi umum atau asuransi kerugian yaitu PT Jasa Raharja Persero melalui Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1978 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1965 tentang Pendirian Perusahaan Umum Asuransi Kerugian Jasa Raharja. Selanjutnya pada tahun 1980 melalui Keputusan Presiden Nomor 14A Tahun 1980 tentang Pengadaan Barang dan Jasa kemabali ditegaskan bahwa yang dapat menerbitkan Surety Bond adalah Asuransi Kerugian PT Jasa Raharja Persero sebagai Lembaga Keuangan Non Bank atau LKNB. Kemudian pada tahun 1992 perusahaan-perusaan asuransi kerugian (umum) meminta kepada Pemerintah dalam hal ini Departemen Keuangan (sekarang namanya Kementerian Keuangan), supaya pelaksanaan lini usaha Surety Bond tidak dimonopoli oleh perusahaan asuransi kerugian PT Jasa Raharja Persero. Maka pada tahun 1992 dengan diundangkan Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, kepada perusahaan-perusaan asuransi kerugian diberikan izin untuk melaksanakan lini usaha Surety Bond, sementara PT Jasa Raharja Persero dikembalikan fungsi dan tugas pokoknya untuk melaksanakan Asuransi Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 dan Asuransi Dana Kecelakaan Lalu lintas Jalan sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Nomor 34 Tahun 1964. Artinya selama 42 tahun sejak diperkenalkan dan diperbolehkan Surety Bond di Indonesia, lini usaha atau produk Surety Bond adalah lini usaha atau produk asuransi kerugian atau sekarang juga disebut asuransi umum, dengan izin ekslusif pada awalnya kepada asuransi kerugian PT Jasa Raharja Persero, dan kemudian sejak tahun 1992 lini usaha Surety Bond diberikan kepada perusahaan-perusahaan asuransi kerugian (dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian memakai istilah asuransi umum). Dengan demikian sejak diperkenalkan dan diperbolehkan lini usaha Surety Bond di Indonesia pada tahun 1978, lini 53 usaha Surety Bond tersebut adalah sebagai lini usaha asuransi umum, dan hingga saat ini sudah 42 tahun lini usaha Surety Bond adalah lini usaha dari perusahaan asuransi kerugian atau asuransi umum. Kedua: Ruang Lingkup Usaha dan Lini Usaha Asuransi Umum Bersifat Terbuka Ruang lingkup usaha asuransi sesungguhnya secara universal sifatnya terbuka untuk semua jenis produk atau lini usaha yang tergolong dan masuk sebagai jenis asuransi umum, karena itu sesungguhnya tidak perlu ada penyebutan nama-nama setiap produk atau lini usaha asuransi umum, karena macam dan jenis produk atau lini usaha asuransi umum sangat banyak dan selalu berkembang atau bertambah sesuai perkembangan kemajuan dalam berbagai aspek kehidupan manusia yang juga menimbulkan berbagai ragam jenis dan macan risiko. Pengaturan demikian adalah bersifat universal, dan hal itu sesungguhnya juga sudah diadopsi dan dengan perumusan yang baik dalam Pasal 3 huruf a.1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Bunyi selengkapnya adalah sebagai berikut: Pasal 3 huruf a.1 “a.1 Usaha asuransi kerugian yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat, dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti”. Jadi tidak perlu disebutkan satu demi satu jenis produk atau lini usaha seperti asuransi kebakaran rumah, asuransi kendaraan bermotor, asuransi mobil, asuransi pengangkutan, asuransi pencurian, asuransi pesawat terbang, asuransi pengangkutan udara, asuransi penumpang pesawat udara, asuransi kapal laut, asuransi pengangkutan cargo, asuransi pengangkutan penumpang kapal laut, asuransi pengangkutan barang melalui darat dan danau, asuransi pengangkutan barang melalui kereta api, asuransi penumpang kereta api, asuransi tanggung jawab hukum terhadap pihak ketiga, asuransi siber (cyber insurance) , asuransi tanggung jawab hukum siber, dan lain-lain. 54 Tetapi jika ada benturan atau potensi benturan antara dua perusahaan asuransi dengan izin usaha yang berbeda, misalnya antara perusahaan asuransi umum dengan perusahaan asuransi jiwa yang juga dapat secara sah menjual dan menerbitkan produk atau lini usaha yang sama, maka hal itu adalah perlu diatur dalam undang-undang. Pengaturan demikian terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, sebagai berikut: Pasal 2 ayat 1 _(1) Perusahaan asuransi umum hanya dapat menyelenggarakan: _ a. Usaha asuransi umum, termasuk lini usaha asuransi kesehatan, dan lini usaha asuransi kecelakaan diri _; dan _ b. Usaha reasuransi......... (2) Perusahaan asuransi jiwa hanya dapat menyelenggarakan usaha asuransi jiwa termasuk lini usaha anuitas , lini usaha asuransi kesehatan, dan lini usaha asuransi kecelakaan diri. __ Selanjutnya Pasal 3 ayat (1) dan (2) mengatur hal yang sama untuk asuransi umum syariah dan asuransi jiwa syariah. Pada awalnya lini usaha asuransi kesehatan dan asuransi kecelakaan diri adalah produk atau lini usaha dari perusahaan asuransi umum, kemudian dalam perkembangannya perusahaan asuransi jiwa juga melakukan dan menjual lini usaha asuransi kesehatan dan asuransi kecelakaan diri, karena objek asuransinya adalah manusia dan sesuai perkembangan lini-lini usaha asuransi secara universal, maka pemerintah Indonesia juga mengadopsi hal yang sama. Oleh karena itu, adalah penting dan perlu diatur secara tegas dalam undang-undang perasuransian bahwa jika ada dua jenis usaha dari perusahaan asuransi yang sama-sama diberikan hak untuk menjual dan menerbitkan produk atau lini usaha asuransi kesehatan dan lini usaha asuransi kecelakaan diri, dengan demikian tidak akan ada muncul permasalahan di lapangan mengenai apakah perusahaan asuransi jiwa dapat secara sah melakukan dan menerbitkan lini usaha asuransi kesehatan dan lini usaha asuransi kecelakaan diri. Pengaturan demikian menciptakan kepastian hukum, ketertipan dan rasa aman bagi pelaku usaha dalam menjalankan usaha nya masing-masing. 55 Selanjutnya ahli ingin memberikan pendapat dan analisis hukum terhadap ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuansian yang memuat ketentuan tentang ruang lingkup usaha asuransi. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian berbunyi sebagai berikut: (1) Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat _; _ (2) Perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum , Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penambahan manfaat yang besarnya didasarkan pada hasil pengelolaan dana _; _ (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 5 ayat (1) tersebut memuat ketentuan bahwa ruang lingkup usaha asuransi umum, asuransi jiwa, baik yang konvensional maupun syariah dapat diperluas sesuai kebutuhan masyarakat. Pasal 5 ayat (3) memuat ketentuan bahwa ruang lingkup usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Dengan ketentuan ini, maka perkembangan produk dan lini usaha asuransi umum yang dapat dilakukan perusahaan asuransi menjadi dibatasi karena hanya dapat dilakukan melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Dengan ketentuan ini macam dan jenis produk atau lini usaha asuransi untuk asuransi umum, asuransi jiwa baik yang konvensional maupun yang syariah yang merupakan bagian dari lingkup usaha menjadi tertutup dan kaku, tidak dapat lagi mengikuti perkembangan kemajuan produk atau lini usaha di industri jasa asuransi yang sangat dinamis dan cepat, karena untuk menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan akan memakan waktu yang tidak sedikit, dan tidaklah semudah menerbitkan izin usaha produk atau lini usaha. 56 Selama ini setiap kali perusahaan asuransi hendak dan mau melakukan atau memasarkan suatu macan atau jenis produk atau lini usaha, maka perusahaan asuansi wajib dan cukup mengajukan pengajuan dan permohonan izin produk atau lini usaha terlebih dahulu kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk mendapatkan izin produk atau lini usaha dan mendaftarkan produk atau lini usaha tersebut di Otoritas Jasa Keuangan. Setelah disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan barulah perusahaan asuransi dapat secara sah melakukan dan memasarkan atau menjual produk atau lini usaha tersebut, ketentuan tersebut telah diatur dalam Pasal 5 ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 69/POJK.05/2016 tentang Penyelanggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah. Bunyi selengkapnya dari Pasal 5 ayat (2) POJK Nomor 69/POJK.05/2016 tersebut adalah sebagai berikut: “Perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, atau unit syariah pada perusahaan asuransi yang akan melakukan perluasan ruang lingkup usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 wajib terlebih dahulu mendapakan persetujuan dari OJK”. Maka jika memperhatikan dengan cermat bunyi ketentuan Pasal 5 khususnya ayat (3) Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian dan Pasal Pasal 5 ayat (2) POJK Nomor 69/POJK.05/2016 tentang Penyelanggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah, maka pengaturan ketentuan yang ideal dan baik adalah yang diatur dalam POJK Nomor 69/POJK.05/2016 tentang Penyelanggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah, yang mana untuk melakukan dan memasarkan suatu produk atau lini usaha cukup dengan mengajukan permohonan izin produk kepada OJK dan tidak perlu OJK menerbitkan suatu Peraturan OJK yang khusus untuk setiap produk atau lini usaha. Tetapi jika dianalisis dari hirarkhi peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka perluasan lingkup usaha dan lini 57 usaha asuransi untuk produk atau lini usaha Surety Bond/Suretyship seharusnya diatur dalam Undang-Undang Perasuransian supaya tidak menimbulkan ketidak pastian hukum, karena pemberian lingkup usaha untuk menerbitkan produk atau lini usaha Surety Bond/Suretyship kepada perusahaan penjaminan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. Oleh karena itu ahli perpendapat bawa permohonan uji materi yang diajukan oleh Para Pemohon sangatlah mempunyai dasar dan alasan yang kuat, karena dengan diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan, menjadi ada dua jenis perusahaan dengan izin usaha yang berbeda dapat melakukan dan menerbitkan lini usaha penjaminan atau Surety Bond yang merupakan bagaian dari Suretyship. Sehingga persaingan yang tidak sehat di lapangan dan potensi permasalahan dapat dihindari, karena ada kepastian hukum, ketertiban, dan rasa aman bagi pelaku usaha yaitu perusahaan asuransi umum dan perusahaan penjaminan yang sama-sama diberikan kewenangan, hak, untuk dapat secara sah melakukan dan menerbitkan lini usaha Surety Bond yang merupakan bagian dari Suretyship. Ketiga: Keunggulan Perusahaan Asuransi Umum dalam memikul risiko dari Produk atau Lini Usaha Surety Bond/Suretyship Ada paling tidak 4 (empat) keunggulan dari Perusahaan Asuransi Umum dalam memikul risiko dari produk atau lini usaha Surety Bond/Suretyship dibandingkan dengan Perusahaan Penjaminan dan lini usaha bank garansi untuk bank, yaitu:
Sistem Reasuransi atau Pertanggungan Ulang;
Sistem Pool Asuransi;
Pangalaman Yang Telah Teruji Dalam Memikul dan Menjamin Nilai Risiko dari projek Yang Besar, dan;
Proses Penerbitan Sertifikat atau Polis yang lebih sederhana dan tidak memerlukan collateral atau jaminan berupa sejumlah uang, atau asset atau sebuah benda berharga; 58 1. Sistem Reasuransi atau Pertanggungan Ulang Reasuransi atau pertanggungan ulang sudah ratusan tahun dikenal dan diterapkan dalam perasuransian secara universal yang dimulai di Negara Inggris sebagai pusat bisnis asuransi dan reasuransi dunia. Melalui mekanisme reasuransi yang menjadi sistem penyebaran risiko secara nasional, regional dan global, sebuah perusahaan asuransi umum akan dapat secara sah dan mampu memberikan jaminan asuransi dan penjaminan surety bond/suretyship dengan baik meskipun nilai asset atau nilai jaminan surety bond/suretyship sangat jauh melebihi nilai asset atau modal setor perusahaan asuransi umum yang bersangkutan. Oleh karena itu, setiap perusahaan asuransi umum oleh peraturan perundangan diwajibkan memiliki program dan sistem sistem reasuransi atau pertanggungan ulang otomatis sebagaimana diatur dalam Pasal 32 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 69/POJK.05/2016 yang mengatur sebagai berikut: “Setiap Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi wajib memiliki dukungan reasuransi dalam bentuk perjanjian reasuransi atau perjanjian syariah otomatis”. Dengan adanya program reasuransi dari perusahaan asuransi umum, maka sebuah perusahaan asuransi umum akan dapat memikul dan memberikan jaminan asuransi atas berbagai risiko dengan nilai yang diasuransikan jauh melebihi permodalan atau asset dari suatu perusahaan asuransi, karena sesuai ketentuan permodalan perusahaan asuransi yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 67/POJK.05/2016 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah mengatur: “Perusahaan Asuransi harus memiliki modal disetor pada saat pendirian paling sedikit sebesar Rp150.000.000.000.- (seratus lima puluh miliar rupiah)”. 59 Meskipun modal setor atau nilai asset dari sebuah perusahaan asuransi umum hanya mislanya Rp150.000.000.000.- (seratus limapuluh miliar rupiah, tetapi perusahaan asuransi tersebut akan dapat memberikan jaminan pertanggungan atau penjaminan dengan nilai Rp500.000.000.000.- (lima ratus miliar rupiah) atau bahkan Rp1.000.000.000.000.- (satu triliun rupiah) untuk satu objek risiko. Karena sebagian besar nilai resiko polis asuransi atau Surety Bond/Suretyship akan direasuransikan ke perusahaan reasuransi dalam negeri, regional, dan jika perlu ke perusahaan reasuransi di pasar reasuransi global seperti ke pasar reasuransi London, Swiss, German, dan lain-lain. Sementara di perusahaan penjaminan secara global dan internasional tidak dikenal sistem reasuransi.
Sistem Pool Asuransi Di perusahaan asuransi umum juga terdapat sistem pool asuransi dimana sejumlah perusahaan asuransi bekerja sama untuk memikul dan menjamin suatu risiko dengan nilai yang besar atau karena risiko tersebut mempunyai karakteristik yang mengakibatkan risikonya sangat tinggi. Sistem pool asuransi juga diterapkan untuk lini usaha Surety Bond/Suretyship untuk menjamin proyek-proyek dengan nilai yang besar sekali. Di Indonesia beberapa perusahaan asuransi umum telah membentuk suatu sistem pool asuransi untuk menjamin lini usaha custom bond yang merupakan turunan dari Suretyship. 3. Pengalaman Yang Telah Diuji Dalam Memikul dan Menjamin Nilai Risiko dari Projek Yang Besar Perusahaan-perusahaan asuransi umum telah mempunyai pengalaman selama 42 tahun dalam memasarkan dan menerbitkan lini usaha Surety Bond/Suretyship. Perusahaan asuransi umum adalah yang menjadi pioneer dan pertama melakukan dan menerbitkan lini usaha Surety Bond/Suretyship. Perjalanan dan pengalaman mereka selama 42 tahun telah membuktikan bahwa perusahaan asuransi umum dapat dan mampu dengan baik melakukan lini usaha Surety Bond/Suretyship. Oleh karena itu menurut ahli adalah layak dan pantas jika perusahaan 60 asuransi umum tetap diberikan hak dan kewenangan dalam Undang- Undang Nomor 40 tahun 2014 untuk menerbitkan lini usaha Surety Bond/Suretyship. Dari data yang ahli dapatkan dari Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), selama 6 tahun terakhir dari tahun 2014 sampai dengan tahun 2019, perusahaan asuransi umum telah memberikan jaminan lini usaha Surety Bond/Suretyship untuk berbagai projek dengan nilai total jaminan Rp 2.688 triliun dari total nilai projek Rp 38.400 triliun dengan demikian rata-rata nilai jaminan setiap tahun adalah sebesar Rp 448 triliun dari total nilai projek sebesar Rp6.400 triliun untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari tabel dibawah ini: Data Lini Usaha Surety Bond/Suretyship dari Tahun 2014 s.d. 2019 Sumber: Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) 4. Proses Penerbitan Sertifikat atau Polis Yang Lebih Sederhana dan Tidak Memerlukan Collateral atau Jaminan Berupa Sejumlah Uang atau Asset atau sebuah benda berharga Proses Penerbitan Sertifikat atau Polis yang lebih sederhana dan tidak memerlukan collateral atau jaminan berupa sejumlah uang, atau asset atau sebuah benda berharga, sebagaimana diterapkan oleh perbankan. Dengan sistem seperti itu, maka pengusaha kecil dan menengah yang umumnya mempunyai keterbatasan dalam permodalan usaha, mereka juga terbantu dalam menjalankan usahanya dengan adanya lini usaha surety Bond/Suretyship dari perusahaan asuransi umum. 61 Keempat: Permasalahan Timbul karena diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan Selama 38 tahun sejak tahun 1978 hingga tahun 2016 sebelum diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Penjaminan, tidak ada permasalahan hukum yang timbul bagi perusahaan asuransi umum dalam menjalankan lini usaha Surety Bond/ Suretyship . Permasalahan timbul karena diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Penjaminan, dan karena Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian tidak secara tegas mengatur dalam Pasal 2 ayat (1) a. dan Pasal 3 ayat (1) a. untuk asuransi umum syariah bahwa lini usaha Surety Bond/Suretyship adalah lini usaha yang dapat dijalankan oleh perusahaan asuransi umum. Oleh karena itu ahli berpendapat adalah perlu ditegaskan dalam Pasal- pasal tersebut di atas bahwa perusahaan asuransi umum dapat menjalankan lini usaha Surety Bond/Suretyship sebagaimana diajukan pemohon kepada Yang Mulia Ketua dan Majelis Mahkamah Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi Yang Terhormat ini. Hal ini perlu ditegaskan dalam Pasal 2 Undang- Undang Nomor 40 tahun 2014 tentang Perasuransian bahwa usaha assuransi umum dapat menyelenggarakan usaha asuransi umum termasuk lini usaha asuransi kesehatan, lini usaha asuransi kecelakaan diri, dan lini usaha Surety Bond/Suretyship, dengan demikian akan tercipta kepastian hukum bagi perusahaan asuransi umum yang melakukan lini usaha Surety Bond/Suretyship. Karena Undang- Undang Nomor 1 tahun 2016 tentang Penjaminan dalam Pasal 4 ayat (2) memuat ketentuan bahwa perusahaan penjaminan juga dapat melakukan lini usaha Surety Bond, custom bonds yang merupakan bagian dari Suretyship. Kelima: Potensi Masalah hukum dapat merembet ke ranah Pidana bagi direksi dan pejabat perusahaan asuransi umum yang melakukan lini usaha Surety Bond/Suretyship Ketentuan Pasal 61 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan memuat ketentuan sebagai berikut: 62 c. Setiap Orang di luar Lembaga Penjamin yang telah melakukan kegiatan penjaminan sebelum berlakunya Undang-Undang ini wajib menyesuaikan dengan UndangUndang ini dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Undang- Undang ini. d. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap kegiatan penjaminan yang dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri. Ketentuan Pasal 61 tersebut di atas menurut ahli telah menciptakan ketidakpastian hukum untuk perusahaan asuransi umum dalam melakukan dan memasarkan produk atau lini usaha Surety Bond/Suretyship, karena ada kewajiban untuk perusahaan asuransi umum yang sebelum diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan untuk menyesuaikan dengan undang-undang penjaminan sebagaimana dinyatakan di dalam Pasal 61 ayat (1). Dan penyesuaian tersebut haruslah dilakukan melalui undang-undang, tentu bagi perusahaan asuransi adalah Undang-Undang Nomor 40 tahun 2014 tentang Perasuransian. Sementara saat ini, perusahaan asuransi umum melakukan dan memasarkan produk atau lini usaha Surety Bond/Suretyship tidak didasarkan pada undang-undang, akan tetapi didasarkan pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 69/POJK.5/2016 yang diatur dalam Pasal 4. Dan jika ditinjau dari hirarki peraturan perundangan sebagaimana telah dijelaskan ahli sebelumnya, posisi dan kedudukan hukum dari perusahaan asuransi umum tentu termasuk direksi dan pejabatnya adalah lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan penjaminan. Akibatnya, Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan yang memuat ketentuan ancaman hukuman pidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan pidana denda paling banyak Rp100.000.000.000.- (seratur miliar rupiah), berpotensi dan dapat dikenakan kepada direksi dan pejabat perusahaan asuransi umum yang melaksanakan produk atau lini usaha Surety Bond/Suretyship. Oleh karena itu menurut ahli perlu diadakan perubahan sebagai penegasan dalam Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, khususnya dalam pasal 2 ayat (1) untuk menegaskan bahawa perusahaan asuraqnsi umum dapat melakukan/menyelenggarakan lini usaha Surety Bond/Suretyship, sebagaimana dimohon oleh Pemohon dalam pengajuan 63 mereka kepada Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi, supaya ada kepastian hukum, rasa kenyamanan, ketertiban, dan keadilan bagi perusahaan asuransi umum yang telah selama 42 tahun melakukan/menyelenggarakan produk atau lini usaha Surety Bond/Suretyship. Mahkamah Konstitusi Yang Terhormat dan Mulia ini, dibentuk sebagai pengawal konstitusi dan untuk melindungi hak asasi manusia dari warganegara Republik Indonesia, maka Mahkamah Konstitusi memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa tugas dan kewajibannya tersebut dapat secara langsung dirasakan oleh masyarakat pelaku usaha asuransi umum dalam bentuk menghadirkan kepastian hukum dan ketenteraman bagi pelaku usaha asuransi umum dalam melakukan lini usaha Surety Bond/Suretyship, yang hak konstitusionalnya mereka rasakan telah terlanggar dan menimbulkan ketidak pastian serta berpotensi menimbulkan ancaman pidana akibat berlakunya sebuah undang-undang, yaitu Undang- Undang Nomor 1 tahun 2016 tentang Penjaminan. Saksi Pemohon 1. Tjindra Parma Wignyoprayitno, S.H., M.H. - Terdapat tujuh permasalahan hukum yang akan Saksi sampaikan, pertama, persoalan yang berkaitan dengan suretyship atau surety bond yang sudah dikenal sejak abad ke-19, pada 1837 di Amerika sudah lahir surety bond ini dan kemudian di Belanda didirikan sebuah perusahaan yang bernama NV Nationale Borg Maskapai pada tahun 1893. Demikian juga, secara mendunia pada tahun 1928 di Swiss didirikan yang namanya International Credit Insurance and Surety Association; __ - Untuk di Indonesia, suretyship atau surety bond ini mulai dikenal pada tahun 1978 dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 34 yang memberikan kesempatan kepada perusahaan asuransi Jasa Raharja untuk mengeluarkan produk yang berupa surety bond yang waktu itu namanya adalah surety atau bonding. Dalam perkembangannya, menteri keuangan mengubah istilah surety bond ini menjadi suretyship pada tahun 2008 dan menetapkan 20 perusahaan asuransi yang boleh mengeluarkan produk suretyship ini; __ 64 - Kemudian di dunia perasuransian lahirlah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (UU Perasuransian) dan menyusul Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan (UU Penjaminan). Dengan keluarnya kedua undang-undang ini, mulai timbul permasalahan di dalam penerbitan surety bond dan suretyship karena Undang-Undang Perasuransian tidak hanya mendelegasikan pengaturan suretyship ini kepada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK), sedangkan UU Penjaminan menyebut secara rinci apa yang disebut dengan surety bond itu; __ - Bahwa sampai hari ini produk suretyship yang ijin usahanya dikeluarkan oleh OJK masih tetap berlaku, namun kekhawatiran Saksi adalah apabila pihak obligee atau pihak pemberi pekerjaan, pihak pemerintah menanyakan legalitas dari suretyship ini atau memasukkan larangan untuk dipakainya suretyship ini atau memasukkan larangan untuk dipakainya suretyship dalam dokumen lelangnya berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2004 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2005, maka apa yang diharapkan oleh dunia kontraktor menjadi hilang karena suretyship hanya diatur dalam POJK; __ - Saksi mohon agar bisa ketentuan suretyship ini berjalan sesuai dengan apa yang sudah terjadi pada saat ini, maka perlu ada penguatan dari produk hukum dari yang hanya diatur dalam peraturan Otoritas Jasa Keuangan menjadi bagian atau isi daripada Undang-Undang Perasuransian dalam bentuk Keputusan Mahkamah Konstitusi; __ - Perusahaan-perusahaan kontraktor atau prinsipal selalu menggunakan suretyship karena tidak membutuhkan adanya agunan, tidak membutuhkan collateral, dan cukup membayar premi serta sifatnya tetap unconditional. Untuk itu sebetulnya Otoritas Jasa Keuangan telah membentuk tiga konsorsium dari perusahaan asuransi ini, yaitu konsorsium penjaminan proyek, konsorsium jasa surety bond , dan konsorsium penjaminan Indonesia; __ - Di dalam ketiga konsorsium ini bernaung perusahaan-perusahaan asuransi yang bisa memberikan di satu pihak jaminan yang bersifat unconditional, namun di lain pihak perusahaan-perusahaan kontraktor ini tidak 65 memerlukan collateral, tidak memerlukan agunan untuk terbitnya jaminan- jaminan ini. Hal ini yang perlu dikuatkan demi kelangsungan perusahaan asuransi atau juga konsorsium asuransi untuk tetap bisa menerbitkan surety bond agar tidak tunduk kepada ketentuan Undang-Undang Penjaminan karena sangat berbeda produk antara penjaminan di satu pihak dengan asuransi di lain pihak; __ - Bahwa untuk pembangunan-pembangunan yang sedang dilaksanakan sekarang, suretyship yang dikeluarkan oleh perusahaan asuransi dan juga konsorsium asuransi sangat memberikan kemudahan kepada perusahaan kontraktor dan juga jaminan kepada pemerintah, karena suretyship yang dikeluarkan oleh konsorsium asuransi itu bersifat unconditional , tanpa syarat. Apabila ada klaim 14 hari langsung uang cair, dan itulah syarat dalam penggunaan uang pemerintah supaya tidak ada uang yang harus dikejar-kejarlah. Jadi, uangnya tetap hadir dan dapat dipakai untuk kegiatan lain apabila ada permasalahan di dalam perjanjian induk __ 2. Ir. Manahara R. Siahaan - Saksi adalah Ketua Umum Gapeknas sejak tahun 2000 sampa saat ini; - Bahwa pada tahun 1998 lahirlah undang-undang yang menyatakan tidak ada monopoli lagi, saksi adalah salah seorang yang menangkap peluang ini dan mendklarasikan Asosiasi Gapeknas, sehingga di Indonesia tidak lagi ada monopoli asosiasi dan saat ini asosiasi sudah banyak; - Bahwa saksi sebagai kontraktor tunduk kepada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa konstruksi, yang di dalam praktiknya kontraktor membutuhkan empat jenis jaminan; - Bahwa dari pengalaman saksi sebagai Ketua Gapeknas, penggunaan produk suretyship lebih memudahkan para kontraktor dibandingkan dengan bank garansi; __ - Bahwa perusahaan di Indonesia saat ini berjumlah kurang lebih 130.000, terdiri dari 90% adalah perusahaan kecil, menengah, dan sisanya 10% adalah perusahaan besar; __ - Bahwa saksi membutuhkan bank garansi dalam pelaksanaan tender, mulai dari tender sampai dengan penyerahan; __ 66 - Bahwa jika menggunakan fasilitas bank harus diawali dengan kerja sama dengan bank terlebih dahulu, terdapat perjanjian kredit yang harus dibuat dan biasanya biayanya cukup besar; __ - Bahwa bagi perusahaan kecil, ketika bank garansi melakukan perjanjian maka harus memberikan jaminan. Hal inilah yang tidak dimiliki oleh perusahaan kecil, karena umumnya perusahaan kecil tidak memiliki aset untuk diserahkan pada bank; __ - Saksi telah lama mengenal produk asuransi untuk kebutuhan jaminan proyek yaitu melalui surety bond, jadi ketika ada pengajuan penawaran biasanya saksi meminta dari perusahaan asuransi dan bukan dari bank; __ - Saksi butuh kehadiran asuransi sebagaimana diamanatkan dalam Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi khususnya Pasal 57; __ [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat telah memberikan keterangan dalam persidangan tanggal 13 Juli 2020 yang dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 27 Agustus 2020, yang pada pokoknya sebagai berikut: I. KETENTUAN UU PERASURANSIAN YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN TERHADAP UUD NRI TAHUN 1945 Dalam permohonan a quo , Pemohon mengajukan pengujian Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yang berketentuan sebagai berikut: Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian “Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat.” Pemohon mengemukakan bahwa ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang berketentuan sebagai berikut: Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum” 67 Bahwa kerugian yang didalilkan Pemohon adalah ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian tidak mengatur secara pasti lini usaha suretyship yang sudah dijalankan selama puluhan tahun ( vide Perbaikan Permohonan hal. 24 angka 3.8) dan adanya persoalan ketidaksesuaian pembentukan norma dengan adanya Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan (selanjutnya disebut UU Penjaminan) yang dipastikan menjadi penghalang tidak dapat dilaksanakannya lini usaha suretyship oleh perusahaan asuransi ( vide Perbaikan Permohonan hal. 26 angka 3.10). Bahwa Pemohon memohon dalam petitumnya sebagai berikut:
Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5618) bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap sepanjang tidak dimaknai “Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas termasuk lini usaha suretyship sesuai dengan kebutuhan masyarakat.” 3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono) II. KETERANGAN DPR RI A. Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Pemohon Terkait kedudukan hukum (legal standing) Pemohon dalam pengujian undang-undang secara materiil, DPR RI memberikan pandangan dengan berdasarkan 5 (lima) batasan kerugian konstitusional yang tercantum dalam Putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU- V/2007 sebagai berikut: 68 1. Terkait adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945 Bahwa Pemohon adalah badan hukum perkumpulan yang mendalilkan memiliki kedudukan hukum organisasi ( organizational legal standing ) sebagai Pemohon pengujian undang-undang, karena para anggotanya adalah perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang perasuransian. Pemohon mendalilkan keberlakuan Pasal a quo telah merugikan hak konstitusional Pemohon yang diakui, dijamin, dan dilindungi oleh UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Terhadap dalil Pemohon mengenai organizational legal standing tersebut, DPR RI berpandangan bahwa tidak semua organisasi dapat bertindak mewakili kepentingan umum/publik, melainkan hanya organisasi yang memenuhi persyaratan tertentu, sebagaimana ditentukan dalam berbagai peraturan perundang-undangan maupun yurisprudensi. Bahwa Pemohon merupakan perkumpulan asosiasi yang beranggotakan perusahan asuransi umum di Indonesia, sehingga Pemohon hanya mewakili kepentingan anggotanya saja dan bukan kepentingan umum atau kepentingan publik. Doktrin organizational legal standing telah diadopsi dalam peraturan perundangan di Indonesia, seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UU Perlindungan Konsumen) dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut UU PPLH). Bahwa ketentuan Pasal 46 ayat (1) huruf c UU Perlindungan Konsumen menerangkan bahwa: “gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya” Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 92 UU PPLH menyebutkan bahwa organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Sedangkan tidak ada 69 satupun ketentuan dalam UU Perasuransian yang memberikan hak kepada perkumpulan wadah perusahaan asuransi untuk mengajukan gugatan untuk kepentingan publik dalam perasuransian. Bahwa ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU a quo mengatur mengenai ruang lingkup usaha asuransi yang diselenggarakan oleh perusahaan asuransi ( vide Pasal 2 UU a quo ), sehingga addressat dari Pasal a quo adalah perusahaan asuransi. Sedangkan Pemohon sebagaimana diuraikan dalam perbaikan permohonannya adalah badan hukum privat yang didirikan dengan tujuan mewakili kepentingan para anggota Pemohon dalam rangka memajukan industri umum dana reasuransi di Indonesia, sehingga telah jelas bahwa Pemohon tidak menyelenggarakan usaha perasuransian dan bukan merupakan addressat dari ketentuan Pasal a quo . Oleh karena itu Pemohon sebagai perkumpulan tidak memiliki hak konstitusional berdasarkan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang memiliki keterkaitan dengan ketentuan Pasal a quo . Hal tersebut selaras dengan pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 53/PUU-VI/2008 yang menyatakan: “ Bahwa subjek hukum yang diatur dalam Pasal 74 ayat (1) UU 40/2007 adalah perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam, tidak menunjuk pada wadah atau himpunan dari perseroan ..... Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon I, Pemohon II, dan Pemohon III tidak dirugikan secara langsung oleh berlakunya Pasal a quo. ” 2. Terkait adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang Bahwa Pemohon mendalilkan Pasal a quo telah merugikan hak konstitusional Pemohon karena beragam produk yang lahir dan dikembangkan anggota Pemohon dari bidang usaha suretyship secara potensial tidak dapat dilakukan, padahal produk tersebut sangat dibutuhkan untuk menjamin kelangsungan memajukan industri asuransi umum dan reasuransi. Terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR RI menegaskan bahwa sedari awal UU Perasuransian tidak memberikan pengaturan maupun 70 kewenangan apapun kepada asosiasi untuk melaksanakan ketentuan UU a quo , sehingga jika terjadi kerugian yang diakibatkan dari keberlakuan Pasal a quo , maka kerugian tersebut hanya akan berdampak kepada perusahaan asuransi, dan tidak berdampak apa pun kepada perkumpulan asosiasi perusahan asuransi. Bahwa sebagai sebuah perkumpulan, Pemohon tidak dapat mengeluarkan produk- produk suretyship yang didalilkan terancam oleh keberlakuan Pasal a quo . Dalam perbaikan permohonan, Pemohon menyatakan bahwa “ Asosiasi mewakili anggota dalam berbagai forum baik lembaga pemerintah maupun lembaga lainnya ”. Dari pernyataan tersebut, tidak jelas apakah Pemohon sebagai asosiasi dapat mewakili anggotanya di pengadilan ( in casu Mahkamah Konstitusi). Oleh karenanya Pemohon harus dapat membuktikan terlebih dahulu bahwa Pemohon sebagai asosiasi memang diberikan wewenang secara jelas oleh para anggotanya untuk mengajukan Permohonan a quo . Selain itu sesuai dengan ketentuan Pasal 68 ayat (2) UU Perasuransian menyatakan bahwa “ Asosiasi Usaha Perasuransian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat persetujuan tertulis dari OJK ”, sedangkan Pemohon dalam Perbaikan Permohonannya tidak menguraikan mengenai adanya persetujuan tertulis dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai salah satu asosiasi usaha perasuransian. Oleh karena itu Pemohon harus membuktikan terlebih dahulu bahwa Pemohon telah mendapat persetujuan tertulis dari OJK tersebut. Oleh karena ketentuan Pasal a quo tidak berdampak apapun terhadap Pemohon sebagai asosiasi, Pemohon tidak menunjukkan adanya kewenangan untuk mewakili anggota di persidangan, dan Pemohon juga tidak menunjukkan adanya persetujuan tertulis dari OJK sebagai asosiasi usaha perasuransian dalam uraian Perbaikan Permohonan a quo , maka tidak terdapat hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan dengan ketentuan Pasal a quo . 71 3. Terkait adanya kerugian hak konstitusional yang bersifat spesifik dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi DPR RI menerangkan bahwa Pemohon sebagai sebuah asosiasi tidak dapat melaksanakan lini usaha suretyship karena yang dapat melaksanakan adalah perusahaan asuransi dan bukan asosiasi, oleh karenanya Pemohon tidak memiliki kerugian konstitusional. Kerugian yang didalilkan oleh Pemohon adalah kerugian yang disampaikan tanpa ada dasar yang jelas karena perusahaan asuransi tetap dapat menjalankan usaha dan mendapat kepastian hukum serta diakui keberadaannya oleh Pemerintah. Oleh karenanya, hak dan/atau kewenangan konstitusional perusahaan asuransi tidak terganggu dengan keberlakuan Pasal a quo . Berdasarkan uraian tersebut, maka tidak terdapat kerugian konstitusional secara spesifik dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
Terkait adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian hak konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian Bahwa sebagaimana telah dikemukakan pada angka 1, 2, dan 3, kerugian yang dimaksud tidak bersifat spesifik, aktual, maupun potensial terhadap Pemohon. Bahwa tidak ada pertautan antara kerugian yang didalilkan oleh Pemohon sebagai asosiasi dengan ketentuan Pasal a quo yang mengatur dan berlaku terhadap perusahaan perasuransian. Begitupun halnya dengan adanya UU Penjaminan tidak berpengaruh apapun terhadap konstitusionalitas ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian. __ Oleh karena itu, jelas tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang didalilkan oleh Pemohon dengan ketentuan Pasal a quo . __ 5. Terkait adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi Bahwa ada/tidaknya Permohonan a quo ataupun jika Permohonan a quo dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, hak dan/atau kewenangan 72 konstitusional Pemohon tidak akan terganggu karena tidak adanya kerugian konstitusional. Oleh karena tidak ada hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian konstitusional dengan Pasal 5 ayat (1) UU a quo , maka sudah dapat dipastikan bahwa pengujian a quo tidak berdampak apapun pada Pemohon. Dengan demikian tidak relevan Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan memutus permohonan a quo , karena Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ), sehingga sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan pokok perkara. Bahwa terkait dengan kedudukan hukum Pemohon, DPR RI memberikan pandangan senada dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari tanggal 15 Juni 2016, yang pada pertimbangan hukum [3.5.2] Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa menurut Mahkamah: ...Dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’interest, point d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “tiada gugatan tanpa hubungan hukum “(no action without legal connection). Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum (legal standing ) Pemohon, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK dan Putusan MK Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional. B. Keterangan DPR RI terhadap Pokok Permohonan 1. Bahwa layanan jasa perasuransian semakin bervariasi sejalan dengan perkembangan kebutuhan masyarakat akan pengelolaan risiko dan pengelolaan investasi yang semakin tidak terpisahkan, baik dalam 73 kehidupan pribadi maupun dalam kegiatan usaha. Perkembangan di berbagai industri jasa keuangan juga mengakibatkan semakin menipisnya batasan dan perbedaan jenis layanan yang diberikan oleh industri jasa keuangan. Oleh karena itu UU a quo dibuat untuk menciptakan industri perasuransian yang lebih sehat, dapat diandalkan, amanah, dan kompetitif serta meningkatkan perannya dalam mendorong pembangunan nasional.
Bahwa definisi usaha perasuransian berdasarkan Pasal 1 angka 4 UU Perasuransian adalah segala usaha menyangkut jasa pertanggungan atau pengelolaan risiko, pertanggungan ulang risiko, pemasaran dan distribusi produk asuransi atau produk asuransi syariah, konsultasi dan keperantaraan asuransi, asuransi syariah, reasuransi, atau reasuransi syariah, atau penilaian kerugian asuransi atau asuransi syariah.
Bahwa definisi usaha asuransi umum berdasarkan Pasal 1 angka 5 UU Perasuransian adalah usaha jasa pertanggungan risiko yang memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti.
Bahwa perluasan ruang lingkup usaha asuransi umum harus memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
memenuhi asas spesialisasi usaha untuk menghindari adanya perusahaan asuransi umum yang sekaligus menjalankan usaha asuransi jiwa atau sebaliknya;
relevan dengan bisnis utama; dan
perluasan tersebut hanya terbatas pada variasi lini usaha atau produk.
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 4 huruf a Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 69/POJK.05/2016 tentang Penyelenggaraan Usaha Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah (selanjutnya disebut POJK 69/2016), perusahaan asuransi umum hanya dapat melakukan perluasan ruang lingkup usaha pada: 74 a. kegiatan usaha Produk Asuransi Yang Dikaitkan dengan Investasi (PAYDI);
kegiatan usaha berbasis imbalan jasa ( fee-based );
kegiatan usaha asuransi kredit dan suretyship ; dan/atau
kegiatan usaha lain berdasarkan penugasan dari pemerintah.
Bahwa salah satu ruang lingkup usaha yang diperluas oleh POJK 69/2016 adalah asuransi kredit dan suretyship . Bahwa definisi-definisi yang terkait sesuai dengan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dapat disampaikan sebagai berikut:
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 22 POJK 69/2016 bahwa Asuransi Kredit adalah lini usaha asuransi umum yang memberikan jaminan pemenuhan kewajiban finansial penerima kredit apabila penerima kredit tidak mampu memenuhi kewajibannya sesuai dengan perjanjian kredit;
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 23 POJK 69/2016 definisi suretyship adalah lini usaha asuransi umum yang memberikan jaminan atas kemampuan principal dalam melaksanakan kewajiban sesuai perjanjian pokok antara principal dan obligee ;
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU Penjaminan, kegiatan penjaminan didefinisikan sebagai kegiatan pemberian jaminan oleh Penjamin atas pemenuhan kewajiban finansial Terjamin kepada Penerima Jaminan. Dengan merujuk pada definisi-definisi tersebut, maka kegiatan asuransi kredit dan suretyship memenuhi unsur-unsur dari kegiatan penjaminan , yaitu terdapat tiga pihak dan ada perjanjian pokok antara terjamin/ principal dan penerima jaminan/ obligee . Oleh sebab itu lini usaha asuransi kredit dan suretyship lebih mencerminkan usaha penjaminan dibandingkan dengan usaha perasuransian.
Bahwa selama ini dalam praktik terdapat beberapa bentuk suretyship , di antaranya yaitu jaminan penawaran ( bid/tender bond ), jaminan uang muka ( advance payment bond ), jaminan pemeliharaan ( maintenance bond ), jaminan pelaksanaan ( performance bond ), jaminan pembayaran ( payment bond ), dan penjaminan pengadaan barang dan/atau jasa ( surety bond ). Sedangkan jika melihat ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf d 75 UU Penjaminan, salah satu ruang lingkup usaha penjaminan adalah penjaminan pengadaan barang dan/atau jasa ( surety bond ). Dengan demikian pada dasarnya menurut UU Penjaminan, lini usaha suretyship termasuk dalam ruang lingkup usaha penjaminan. Oleh karena itu sudah sepatutnya pelaksanaan suretyship harus tunduk kepada UU Penjaminan.
Bahwa Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Perasuransian membatasi lini usaha asuransi dengan adanya frasa “hanya dapat”, sementara status suretyship kendati masuk dalam kategori lini usaha yang dapat diperluas menurut Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian dengan peraturan OJK, namun perluasan dalam pasal tersebut tidak secara tegas menyebutkan lini usaha suretyship ( vide Perbaikan Permohonan hal. 26). Terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR RI menerangkan sebagai berikut:
Bahwa Pemohon tidak cermat dalam memahami ketentuan pasal- pasal UU a quo karena ketentuan Pasal 1 angka 4 UU Perasuransian telah mendefinisikan secara jelas apa yang dimaksud dengan usaha perasuransian. Sedangkan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Perasuransian pada intinya mengatur tentang ruang lingkup usaha perasuransian.
Jika Pemohon menganggap suretyship bisa saja masuk ke dalam makna definisi Usaha Perasuransian dalam Pasal 1 angka 4 UU a quo ( vide Perbaikan Permohonan hal. 24), maka seharusnya Pemohon tidak perlu mengajukan penambahan frasa termasuk lini usaha suretyship dalam Pasal 5 ayat (1) UU a quo . Hal tersebut dikarenakan baik Pasal 2, Pasal 3, maupun Pasal 5 UU a quo , keseluruhannya mengatur mengenai usaha perasuransian, maka secara legal drafting mengacu kepada definisi Usaha Perasuransian yang diatur di dalam Pasal 1 angka 4 UU a quo yang dianggap Pemohon juga termasuk makna suretyship .
Bahwa frasa “hanya dapat” dalam ketentuan Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 UU a quo dirumuskan oleh pembentuk undang-undang disebabkan karena UU a quo menganut asas spesialisasi usaha, 76 sehingga tiap perusahaan asuransi hanya fokus menjalankan usaha perasuransian sesuai dengan jenis perusahaannya, apakah itu perusahaan asuransi umum, perusahaan asuransi jiwa, perusahaan reasuransi, ataupun perusahaan pialang asuransi. Namun perusahaan asuransi dapat mengembangkan lini usaha selain yang disebutkan dalam UU a quo selama masih termasuk dalam jenis usaha yang sama dan sesuai dengan ketentuan perundang- undangan. Hal ini disampaikan beberapa kali oleh Pemerintah sebagai pengusul RUU Perasuransian dalam rapat-rapat pembahasan berikut ini:
Rapat Panja Senin 10 Februari 2014 Pukul 19.00 • Staf Ahli Kemenkeu (Isa Rahmatawarta) (hal. 60 pdf, hal. 23 file rapat) “... sebetulnya saat ini perusahaan asuransi jiwa maupun perusahaan asuransi umum keduanya boleh menjalankan usaha bisnis asuransi kecelakaan ini maupun asuransi kesehatan. Padahal disisi yang lain, kami ingin mengusulkan azas spesialisasi usaha .” 2) Rapat Panja Senin 24 Februari 2014 Pukul 19.00 • Staf Ahli Kemenkeu (Isa Rahmatawarta) (hal. 129 pdf, hal. 30 file rapat) “Esensi dari komentar atau pun masukan-masukan dari fraksi-fraksi disini adalah penghilangan kata hanya Pak. Nah, ini sekali lagi kami ingin sampaikan bahwa kalau kita mendefinisikan satu kegiatan usaha tentunya harus spesifik, harus limitatif jangan kemudian kita buka menjadi satu usaha yang bisa dikembangkan secara bebas kemana saja. Karena itu penggunaan kata “hanya” itu adalah untuk tujuan tersebut supaya jelas usahanya itu apa limitatif betul, fokusnya itu dimana . Karena itu penggunaan kata “hanya” ini kami pandang tetap diperlukan.” 3) Rapat Panja Jumat 23 Mei 2014 Pukul 20.00 • Staf Ahli Kemenkeu (Isa Rahmatawarta) (hal. 198 pdf, hal. 3 file rapat) “Namun demikian terhadap pendapat dari Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Golkar untuk menghilangkan kata ‘hanya’ ini Pemerintah berpandangan untuk tetap mempertahankan tambahannya itu mengingat di dalam Undang-undang ini kita memang menganut azas spesialisasi usaha . Jadi kalau perusahaan asuransi 77 umum ya hanya menyelenggarakan usaha asuransi umum. Kemudian perusahaan asuransi jiwa ya hanya menyelenggarakan usaha asuransi jiwa. d. Selain itu ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf a dan Pasal 3 ayat (1) huruf a UU a quo menggunakan kata “termasuk”, artinya ketentuan a quo tidak membatasi lini usaha yang hanya ditentukan dalam Pasal a quo , melainkan mungkin saja terdapat lini usaha asuransi yang lain selama termasuk dalam definisi Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Umum Syariah. Hal ini diperkuat lagi dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU a quo yang memungkinkan perluasan ruang lingkup usaha asuransi umum sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu perusahaan asuransi umum tidak memerlukan adanya suatu rumusan norma baru dalam UU a quo untuk menjalankan kegiatan suretyship sebagaimana yang dimaksud oleh Pemohon.
Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 5 ayat (1) UU a quo bersifat multitafsir serta tidak memiliki ukuran yang jelas apa yang dimaksud dengan “dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat”. Keadaan ini telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para anggota Pemohon untuk menjalankan lini usahanya ( vide Perbaikan Permohonan hal. 31). Terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR RI menerangkan bahwa:
Frasa “dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat” dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU a quo telah diperjelas dengan ketentuan Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) UU a quo , yaitu perluasan lingkup usaha dapat berupa penambahan manfaat yang besarnya didasarkan pada hasil pengelolaan dana dan ketentuan lebih lanjut mengenai ruang lingkup usaha perasuransian diatur dalam peraturan OJK;
Bahwa kebutuhan masyarakat akan terus berkembang dan hukum akan selalu mengikuti perkembangan tersebut. Undang-undang tidak mungkin selalu dapat mengakomodir seluruh kebutuhan masyarakat sesuai dengan perkembangan, sehingga perlu pengaturan yang lebih detail dan teknis. Oleh karena itu, diperlukan adanya pendelegasian 78 pengaturan lebih lanjut ke peraturan di bawahnya yang mengatur hal yang lebih teknis. Inilah yang disebut dengan konsep delegated legislation. c. Maria Farida Indrati S. berpandangan bahwa delegasi adalah pelimpahan kewenangan membentuk peraturan perundang- undangan yang dilakukan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kepada peraturan perundangundangan yang lebih rendah, baik pelimpahan dinyatakan dengan tegas maupun tidak (Maria Farida Indrati, S, “Hal-hal Khusus Dalam Perundang- undangan”).
Bahwa suatu undang-undang perlu didelegasikan karena tidak hanya memerlukan pengaturan yang lebih detail, tetapi juga memerlukan pemahaman yang mendalam agar sesuai dengan karakter dari bidang yang akan diatur. Oleh karena itu, pendelegasian wewenang dalam UU a quo yang mengatur mengenai perluasan ruang lingkup usaha perasuransian agar diatur lebih lanjut dalam peraturan OJK ( vide Pasal 5 ayat (3) UU a quo ) telah tepat karena OJK merupakan lembaga yang mengatur dan mengawasi usaha jasa keuangan yang salah satunya adalah usaha perasuransian.
Oleh karena itu, perumusan frasa “dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat” dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU a quo telah tepat __ untuk mengakomodir kebutuhan hukum dalam masyarakat dan memajukan usaha perasuransian di Indonesia.
Pemohon mendalilkan bahwa peraturan OJK yang kedudukannya berada di bawah undang-undang keberlakuannya menjadi tidak efektif karena tidak memiliki kekuatan hierarki yang sejajar dengan Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU Penjaminan sehingga menimbulkan ketidakpastian bagi Pemohon ( vide Perbaikan Permohonan hal. 34). Terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR RI menerangkan bahwa:
Bahwa antara UU Perasuransian dengan UU Penjaminan, meskipun memiliki materi muatan yang bersinggungan namun sesungguhnya saling melengkapi dan tidak bertentangan satu sama lain. Akan tetapi justru keharmonisasian pengaturan antara undang-undang tersebut 79 akan menjadi lebih teratur dengan adanya pengaturan yang ada di dalam POJK 69/2016.
DPR RI berpandangan bahwa kekhawatiran Pemohon tidak beralasan menurut hukum karena perusahaan asuransi termasuk juga lini usaha sebagaimana dimaksud Pemohon sudah diatur secara tersendiri dalam UU Perasuransian. Dengan demikian ketentuan Pasal 61 ayat (1) UU Penjaminan tidak mengikat pada Pemohon sekalipun Pemohon mempunyai lini usaha suretyship .
Terkait dengan dalil Pemohon yang menyatakan bahwa terdapat ketidaksesuaian pembentukan norma dengan adanya Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU Penjaminan yang dipastikan menjadi penghalang tidak dapat dilaksanakannya lini usaha suretyship oleh perusahaan asuransi ( vide Perbaikan Permohonan hal. 26 angka 3.10), DPR RI memberikan pandangan sebagai berikut:
Bahwa tidak ada ketentuan yang melarang perusahaan asuransi untuk menjalankan lini usaha suretyship . Sesuai dengan ketentuan Pasal 61 ayat (1) UU Penjaminan yang mengatur bahwa: “Setiap Orang di luar Lembaga Penjamin yang telah melakukan kegiatan penjaminan sebelum berlakunya Undang-Undang ini wajib menyesuaikan dengan Undang-Undang ini dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Undang- Undang ini.” maka perusahaan asuransi yang telah menjalankan lini usaha suretyship sebelum tahun 2016 (dalam hal ini anggota Pemohon yang telah menjalankannya selama puluhan tahun) tetap dapat melakukan kegiatan penjaminan, namun wajib melakukan penyesuaian dengan UU Penjaminan. Selain itu, pembentuk undang- undang juga telah memberikan jangka waktu penyesuaian tersebut paling lambat 3 (tiga) tahun sejak berlakunya UU Penjaminan, yaitu tanggal 19 Januari 2019. Ketentuan Pasal 61 ayat (1) UU Penjaminan tersebut merupakan landasan bagi perusahaan asuransi yang telah melakukan usaha suretyship agar mengikuti ketentuan yang ada dalam UU Penjaminan, meskipun usaha suretyship didefinisikan sebagai lini usaha asuransi umum oleh POJK 69/2016. Oleh karena itu kekhawatiran Pemohon tidak beralasan menurut 80 hukum karena perusahaan asuransi umum tetap dapat menyelenggarakan kegiatan suretyship .
Pemohon tidak perlu khawatir terkait dengan perizinan perusahaan asuransi yang menjalankan lini usaha suretyship akan tetap berlaku seperti perusahaan asuransi biasa, yang wajib menyesuaikan hanya praktik kegiatan penjaminan.
Bahwa pada saat pembahasan RUU Penjaminan, pembentuk undang-undang telah membicarakan praktik usaha penjaminan yang dilakukan oleh perusahaan asuransi umum, berdasarkan Laporan Singkat Rapat Panja RUU Penjaminan pada hari Senin tanggal 7 Desember 2015. Dalam rapat tersebut Pemerintah mengusulkan agar terdapat pengaturan peralihan terkait dengan adanya usaha penjaminan yang dilakukan oleh perusahaan asuransi umum dan asuransi syariah tetap dapat berjalan tanpa ada izin usaha penjaminan. Namun terhadap usulan tersebut, Anggota Panja memberikan tanggapan bahwa perusahaan asuransi yang telah melakukan usaha penjaminan harus memiliki izin usaha penjaminan sebagaimana diatur dalam RUU tentang Penjaminan, untuk penyesuaiannya akan diberikan tenggang waktu selama 3 (tiga) tahun sejak RUU tentang Penjaminan disahkan. Kemudian kesimpulan rapat pada akhirnya menetapkan bahwa terkait dengan praktik perusahaan asuransi yang masih melakukan usaha penjaminan, diberikan tenggat waktu selama 3 (tiga) tahun untuk melakukan penyesuaian berdasarkan RUU tentang Penjaminan dan diatur dalam aturan peralihan. Oleh karena itu jelas terlihat bahwa Pembentuk UU Penjaminan tidak melarang perusahaan asuransi umum untuk menjalankan usaha penjaminan namun tetap harus melakukan penyesuaian dengan ketentuan UU Penjaminan.
Terhadap petitum Pemohon yang menginginkan penambahan frasa “...termasuk lini usaha suretyship...” dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU a quo , DPR RI menerangkan sebagai berikut:
Bahwa jika petitum Pemohon tersebut dikabulkan, maka akan dapat menimbulkan suatu permasalahan hukum yang baru karena di dalam UU a quo belum terdapat definisi suretyship maupun ketentuan yang 81 mendeskripsikan mengenai bidang usaha apa saja yang masuk ke dalam kategori suretyship . Jika pengaturan mengenai suretyship secara tiba-tiba diatur dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU a quo tanpa diatur definisinya terlebih dahulu, maka akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan justru bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
Bahwa petitum Pemohon bukan termasuk kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai negative legislator , DPR RI mengutip pendapat I Dewa Gede Palguna bahwa: “Mahkamah Konstitusi adalah sebagai negative legislator . Artinya, Mahkamah Konstitusi hanya bisa memutus sebuah norma dalam undang-undang bertentangan dengan konstitusi, tanpa boleh memasukkan norma baru ke dalam undang- undang itu. Itu hakikat Mahkamah Konstitusi.” ( Conditionally Constitutional Pintu Masuk Penambahan Norma : www.hukumonline.com). Dengan demikian pada dasarnya MK tidak dapat mengabulkan petitum konstitusional bersyarat yang diajukan oleh Pemohon.
Bahwa jika Permohonan a quo mengenai lini usaha suretyship sebagai pengembangan lini usaha asuransi yang diatur dalam UU a quo ini dikabulkan, hal tersebut akan menjadi suatu kebiasaan buruk di masyarakat dimana jika merasa ada kebutuhan akan pengaturan lini usaha yang baru, maka masyarakat akan kembali mengajukan permohonan pengujian UU a quo ke Mahkamah Konstitusi, namun tidak memberikan masukan legislative review kepada pembentuk undang-undang. Oleh karenanya jika Pemohon ingin adanya ketentuan yang mengatur mengenai lini usaha suretyship dalam UU Perasuransian, maka Pemohon dapat mengajukan legislative review kepada pembentuk undang-undang, yaitu DPR RI, sebagai masukan atau partisipasi dari masyarakat dalam pembentukan undang- undang. C. Risalah Pembahasan Pasal a quo UU Perasuransian Bahwa selain pandangan sebagaimana yang telah diuraikan di atas, dipandang perlu untuk melihat latar belakang perumusan dan pembahasan pasal dalam UU a quo sebagai berikut: 82 1. Rapat Panja Senin 24 Februari 2014 Pukul 15.00 • Ketua Rapat (H. Andi Rahmat, SE) (hal. 83 pdf, hal. 11 file rapat) “Begini Pak, mengenai asuransi kerugian ini tidak diatur detail dalam undang-undang. Kita hanya mengatur tentang sifat umumnya saja dan mengenai pengembangan pengerjaannya itu nanti akan kita diskresi kan ke OJK kan begitu ya Pak ya nanti kalau kita melihat dalam pasal. Coba diingatkan saja nanti pihak Pemerintah supaya begitu kita masuk kedalam pasal yang memberi ruang diskresi itu kita bisa pastikan bahwa kalau ada pengembangan baru itu bisa dilakukan tetap dengan menjaga konsistensi kita terhadap visi undang-undang itu Pak ya.” 2. Rapat Panja Jumat 23 Mei 2014 Pukul 20.00 • Ketua Rapat (H. Andi Rahmat, SE) (hal. 200 pdf, hal. 5 file rapat) “Sebetulnya sih di dalam peraturan-peraturan Pemerintah Pak ya tingkat PP maupun di PMK itu ada banyak materi yang sudah lazim dilakukan dan diatur oleh Pemerintah tetapi perlu untuk kita angkat sedikit ke atas ke perundang-undangan.” ... “ini kan sayang Pak kalau kita tidak, toh di dalam undang-undang ini tidak harus detail tapi saya kira dikasih ruang lah kepada asuransi ini untuk masuk saja ke dalam sektor ini . Bisa saja begitu Pak tentu dengan memberikan kewenangan pengaturan teknisnya itu kepada OJK .” • Staf Ahli Kemenkeu (Isa Rahmatawarta) (hal. 206 pdf, hal. 11 file rapat) “Pak, memang kalau usaha asuransinya, lini usahanya terutama itu berkembang Pak , lini usahanya Pak jadi lini usaha itu contohnya adalah marine insurance, cargo insurance, fire insurance itu berkembang dan dikemudian hari bisa macam-macam. Tetapi pengelompokan mereka menurut karakter usaha rasanya kita sudah cukup definitif gitu Pak ya dipraktek selama ini, asuransi jiwa, asuransi umum, re asuransi. Jadi kalau kita berbicara mengenai perusahaannya Pak ini maka kita sudah cukup limitatif tidak akan ada ide untuk berkembang lagi karena setiap varian dari itu bisa masukan ke salah satu itu Pak.” 3. Rapat Panja Jumat 3 Juni 2014 Pukul 14.00 • Ketua Rapat (H. Andi Rahmat, SE) (hal. 323 pdf, hal. 60 file rapat) “... ada diskusi tambahan, misalnya di Pasal 2 ayat (5) yang memberi diskresi kepada OJK karena perkembangan waktu itu untuk melakukan adjustment terhadap produk-produk itu...” • F-PG (Dr. H. Harry Azhar Azis, MA) (hal. 326 pdf, hal. 63 file rapat) “... pertanyaannya seberapa besar dibolehkan produk asuransi bertransformasi menjadi bagian dari produk non asuransi.” 83 • Ketua Rapat (H. Andi Rahmat, SE) (hal. 326 pdf, hal. 63 file rapat) “Sebetulnya ada rumahnya ini kalau kita mau diskusi di Pasal 2 pak, padahal di Pasal 2 itu ada ketentuan ayat (5) yang memberi diskresi kepada OJK untuk melakukan penyesuaian terhadap industri , jadi saya kira nanti kita diskusikan di sini tetapi kalau materi ini bisa disepakati oleh teman-teman , kalau yang ini kan tidak ada masalah kan ya, yang kita mau batasi ini adalah materi tentang seberapa besar mereka ini bisa berkembang lebih daripada industri aslinya itu kan begitu, nah itu ada rumahnya di Pasal 2 ayat (5) .” (RAPAT SETUJU) 4. Rapat Panja Sabtu 30 Agustus 2014 Pukul 10.05 • F-PDIP (I Gusti Agung Rai Wirajaya, S.E., M.M.) (hal. 562 pdf, hal. 9 file rapat) “Ini sehubungan dengan adanya perkembangan yang kita lihat di lapangan semakin kedepan kita melihat pertimbangan jauh kedepan. Ini bagaimana kita memberikan kesempatan kepada perusahaan asuransi umum, tidak terbatas dalam rangka menanggung resiko ...” • Staf Ahli Kemenkeu (Isa Rahmatawarta) (hal. 563 pdf, hal. 10 file rapat) “... kami mengusulkan kita buka pintu diskresi kepada OJK untuk meng-access apakah masyarakat memang membutuhkan hal tersebut, apakah perusahaan asuransinya sudah mempunyai kapasitas untuk memenuhi kebutuhan tersebut . Kalau ini disepakati kita mungkin bisa masukkan didalam rancangan undang-undang kami ada di Pasal 5 Pak bahwa ruang lingkup usaha perasuransian dapat diperluas sesuai kebutuhan masyarakat berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.” • Ketua Rapat (H. Andi Rahmat, SE) (hal. 563 pdf, hal. 10 file rapat) “... kita tidak tutup pintu dalam undang-undang ini, silakan. Tapi mengenai timing waktunya persyaratannya itu, itu akan diatur oleh sesuai dengan pengamatan OJK .” (RAPAT: SETUJU) 84 III. PETITUM DPR RI Bahwa berdasarkan keterangan tambahan tersebut, DPR RI memohon agar kiranya, Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut:
Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya;
Menerima keterangan DPR RI secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618) tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat; Apabila Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bon o). [2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Presiden telah memberikan keterangan dalam persidangan tanggal 3 Maret 2020 yang kemudian dilengkapi dengan keterangan tertulis dan keterangan tertulis tambahan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 3 Maret 2020 dan 13 Juli 2020, yang pada pokoknya sebagai berikut: I. POKOK PERMOHONAN PEMOHON Merujuk kepada permohonan Pemohon, pada pokoknya Pemohon menganggap hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya ketentuan- ketentuan sebagai berikut: Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian, yang berbunyi: “Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat .” Terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” 85 Pemohon pada pokoknya menyatakan bahwa alasan timbulnya kerugian konstitusional dimaksud adalah:
Pemohon menyatakan yang menjadi permasalahan dalam permohonan a quo adalah mengenai ruang lingkup kegiatan usaha perusahaan asuransi dalam UU Perasuransian yang tidak mencantumkan secara tegas kegiatan usaha suretyship . Menurut Pemohon hal tersebut melanggar dan bertentangan dengan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil, perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Frasa “ dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat ” dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian tidak mengatur secara tegas tentang suretyship sehingga bersifat multitafsir dan dianggap bertentangan dengan prinsip kepastian hukum dan perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Bahwa kemunculan Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan (UU Penjaminan) telah menyebabkan ketidakpastian penyelenggaraan lini usaha suretyship yang menggunakan landasan hukum berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian sehingga kepastian usaha suretyship yang dilakukan oleh perusahaan asuransi terganggu dan tidak pasti keberlangsungan usahanya bahkan terancam dapat dipidana.
Selain itu, Pemohon juga mendalilkan bahwa ketentuan Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU Penjaminan telah menyebabkan perusahaan asuransi harus mempunyai izin usaha sebagai lembaga penjamin terlebih dahulu agar dapat menjalankan suretyship , yang mana menurut Pemohon bahwa perusahaan asuransi tidak secara otomatis dapat memperoleh izin usaha sebagai lembaga penjaminan.
Izin perusahaan asuransi untuk melaksanakan penjaminan dalam bentuk suretyship diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga yang diberikan kewenangan atributif untuk mengeluarkan peraturan terkait perizinan usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (3) UU Perasuransian.
Bahwa adanya Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU Penjaminan telah mewajibkan kegiatan penjaminan untuk mematuhi UU Penjaminan, kecuali kegiatan penjaminan tersebut dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri, sedangkan kedudukan Peraturan OJK Nomor 69/POJK.05/2016 86 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah (POJK Nomor 69/POJK.05/2016) yang merupakan tindak lanjut Pasal 5 ayat (3) UU Persuransian menurut Pemohon adalah di bawah undang-undang sehingga dianggap kedudukannya tidak sejajar dengan Pasal 61 ayat (1) UU Penjaminan.
Pemohon dalam permohonan a quo pada pokoknya meminta penegasan kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk membentuk norma hukum baru dengan memberikan tafsiran Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yaitu menegaskan perluasan lini usaha asuransi berdasarkan kebutuhan masyarakat adalah termasuk suretyship .
Oleh karena itu, Pemohon dalam permohonan a quo pada pokoknya meminta agar Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian bertentangan dengan Undang-Undang 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Ruang Lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas termasuk lini usaha suretyship sesuai dengan kebutuhan masyarakat”. II. TENTANG LEGAL STANDING PEMOHON 1. Bahwa Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut sebagai UU MK) jelas mengatur Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu Undang- Undang, yang meliputi:
Perorangan Warga Negara Indonesia;
Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
Badan hukum publik atau privat; atau
Lembaga Negara. 87 2. Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut, agar Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan suatu permohonan uji materiil Undang-Undang terhadap UUD 1945, maka harus dibuktikan bahwa:
Para Pemohon memenuhi kualifikasi untuk mengajukan permohonan sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK; dan
Hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon dirugikan akibat berlakunya Undang-Undang yang diuji.
Adapun ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK bersifat imperatif sehingga sekalipun Pemohon memenuhi kualifikasi untuk mengajukan permohonan uji materiil, Pemohon harus mempunyai hak atau kewenangan konstitusional yang dirugikan akibat adanya Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian.
Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 010/PUU-III/2005 telah berpendapat bahwa kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang menurut Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu: • Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; • Adanya hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji; • Kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; • Adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji; • Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai tentang kewenangan Mahkamah dan kedudukan hukum ( legal standing) Pemohon dalam mengajukan permohonan pengujian UU Perasuransian a quo, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK maupun putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu. 88 III. KETERANGAN PEMERINTAH TERHADAP MATERI YANG DIMOHONKAN A. LANDASAN FILOSOFIS 1. Sebelum Pemerintah menyampaikan keterangan terkait norma materi yang dimohonkan untuk diuji oleh Pemohon, terlebih dahulu Pemerintah akan menyampaikan landasan filosofis penyusunan Undang-Undang Perasuransian;
Sesuai amanat founding father yang dicantumkan dalam pembukaan UUD 1945, tujuan negara adalah memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Tujuan bernegara ini diwujudkan dalam landasan idiil sila kelima Pancasila, yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Pencapaian tujuan negara tersebut dilakukan dengan pembangunan berkelanjutan yang melibatkan seluruh masyarakat. Untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan diperlukan kondisi yang mendukung aktivitas produktif masyarakat yang salah satunya diwujudkan dengan adanya pihak yang berperan dalam menanggulangi risiko keuangan yang dihadapi masyarakat. Risiko keuangan tersebut timbul dalam berbagai aspek kehidupan dan membutuhkan pihak yang dapat menanggulanginya. Asuransi merupakan pihak pengambil alih risiko yang mempu memberikan perlindungan kepada masyarakat atas kemungkinan kerugian yang terjadi pada harta benda atau kepentingan finansial yang dimilikinya.
Peningkatan peran industri perasuransian dalam mendorong pembangunan nasional terjadi apabila industri perasuransian dapat lebih mendukung masyarakat dalam menghadapi risiko yang dihadapinya sehari hari dan pada saat mereka memulai dan menjalankan kegiatan usaha. Untuk itu, UU Perasuransian mengatur bahwa objek asuransi di Indonesia hanya dapat diasuransikan pada perusahaan asuransi atau perusahaan asuransi syariah di Indonesia dan penutupan objek asuransi tersebut harus memperhatikan optimalisasi kapasitas perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah dalam negeri. Guna mengimbangi kebijakan ini, Pemerintah dan/atau Otoritas Jasa Keuangan melakukan 89 upaya untuk mendorong peningkatan kapasitas asuransi dan reasuransi dalam negeri.
Dengan adanya perlindungan asuransi diharapkan akan tercipta ketenangan bagi masyarakat dalam menjalankan aktivitas dan mendorong inovasi usaha yang pada akhirnya akan menciptakan kesejahteraan bersama. Perusahaan Perasuransian sebagai suatu institusi keuangan yang melakukan pengumpulan dana masyarakat juga memungkinkan adanya akumulasi dana yang dapat digunakan dalam rangka pembiayaan kegiatan pembangunan nasional. B. SEJARAH DAN KEDUDUKAN PERUSAHAAN ASURANSI DALAM MENJALANKAN LINI USAHA SURETYSHIP 1. Pelaksanaan suretyship oleh perusahaan asuransi telah dilaksanakan sejak tahun 1978 melalui PT Jasa Raharja (Persero). Saat itu, PT Jasa Raharja (Persero) merupakan satu-satunya Lembaga Keuangan Non Bank (LKNB) yang dapat menerbitkan surety bond melalui Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1978 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1965 tentang Pendirian Perusahaan Umum Asuransi Kerugian “Jasa Raharja”.
Pada tahun 1980 melalui Keputusan Presiden Nomor 14A Tahun 1980 tentang Pengadaan Barang dan Jasa yang menegaskan LKNB yang dapat menerbitkan jaminan surety bond adalah PT Jasa Raharja (Persero). Tujuannya adalah tidak terlepas dari peran Pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan pengusaha ekonomi lemah dengan memberikan kemudahan pengurusan penjaminan melalui produk surety bond sebagai alternatif dari Bank Garansi.
Pada tahun 1992, seiring dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, peran PT Jasa Raharja (Persero) dikembalikan sebagai fungsi dan tugas pokoknya sebagai pelaksana Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 Tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 Tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan dan tidak dapat melaksanakan perluasan usaha seperti Surety Bond . 90 4. Di dalam perkembangannya, kedudukan dan ruang lingkup perusahaan asuransi di dalam menjalankan kegiatan lini usaha asuransi kemudian dipertegas dalam UU Perasuransian.
Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk:
memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau
memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.
Selanjutnya, kewenangan perusahaan asuransi di dalam menjalankan lini usaha penjaminan suretyship diberikan peluang dalam Pasal 5 ayat (1) dan (3) UU Perasuransian.
Bahkan dalam melaksanakan amanat Pasal 5 ayat (3) UU Perasuransian, pada Pasal 1 angka 23 POJK Nomor 69/POJK.05/2016 secara tegas diatus bahwa “ Suretyship adalah lini Usaha Asuransi Umum yang memberikan jaminan atas kemampuan principal dalam melaksanakan kewajiban sesuai perjanjian pokok antara principal dan _obligee”; _ 8. Praktik pemberian Suretyship pada umumnya merupakan bentuk penjaminan untuk mendukung pelaksanaan proyek pengadaan barang/jasa seperti misalnya pada proyek infrastruktur atau jasa konstruksi untuk pembuatan jalan raya, jalan tol, rumah sakit, dan lain- lain. Dalam pelaksanaan proyek jasa konstruksi dengan jaminan suretyship ini melibatkan pihak-pihak yaitu pemilik proyek/tender (obligee), pelaksana proyek/tender (principal) dan perusahaan asuransi sebagai penjamin. Peranan perusahaan asuransi dalam suretyship ini terhadap pemilik proyek adalah akan membayar sebesar maksimum nilai jaminan jika pelaksana proyek terbukti wanprestasi. Sedangkan 91 hubungannya dengan pemilik proyek, perusahaan asuransi merupakan pihak yang memberikan jaminan dengan menerbitkan surety bond. 9. Suretyship merupakan produk penjaminan atas proyek pengadaan barang/jasa yang membutuhkan pendanaan yang cukup besar sehingga selama ini terhadap proyek pengadaan barang/jasa yang membutuhkan dana yang besar telah banyak dilakukan oleh perusahaan asuransi guna memastikan terlaksananya proyek pengadaan barang/jasa dimaksud.
Oleh karena itu, dibutuhkan peranan suatu perusahaan dengan kondisi keuangan yang memiliki pendanaan yang cukup besar seperti lembaga asuransi yang mempunyai kemampuan untuk memberikan penjaminan atas proses pengerjaan proyek barang dan jasa yang membutuhkan dana besar.
Beberapa bentuk surety bond yaitu Jaminan Penawaran ( Bid/Tender Bond ), Jaminan Uang Muka ( Advance Payment Bond ), Jaminan Pemeliharaan ( Maintenance Bond ), Jaminan Pelaksanaan ( Performance Bond ), Jaminan Pembayaran ( Payment Bond ), yang berfungsi sebagai jaminan bagi kegiatan suatu proyek sehingga proyek tetap berlangsung sesuai perjanjian yang disepakati.
Pengaturan suretyship di dalam UU Perasuransian dan POJK Nomor 69/POJK.05/2016 menunjukkan bahwa OJK sebagai Lembaga Pengawas atau regulator dapat memberikan peluang untuk dilakukannya perluasan ruang lingkup usaha bagi usaha Asuransi Umum sepanjang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Namun demikian perlu menjadi catatan bahwa perluasan ruang lingkup tersebut harus memperhatikan beberapa hal sebagai berikut: a) memenuhi asas spesialisasi usaha untuk menghindari adanya perusahaan asuransi umum yang sekaligus menjalankan usaha asuransi jiwa atau sebaliknya; b) relevan dengan bisnis utama, dan; c) perluasan tersebut hanya terbatas pada variasi lini usaha atau produk.
Bahwa selanjutnya perluasan ruang lingkup tersebut diterapkan dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yang dengan tegas mengatur bahwa “ Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha 92 Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat.” __ __ 15. Dalil Pemohon yang menyatakan bahwa frasa “dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat” dapat membatasi hak para perusahaan asuransi untuk turut serta dalam perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasarkan atas prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, menunjukkan ketidakpahaman Pemohon dalam memaknai ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian. __ 16. Bahwa pengaturan tentang perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum justru telah diatur lebih lanjut pada Pasal 5 ayat (3) UU Perasuransian yang berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut mengenai perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam _Peraturan Otoritas Jasa Keuangan”; _ 17. Bahwa selanjutnya lebih tegas lagi disebutkan dalam Pasal 4 huruf a POJK Nomor 69/POJK.05/2016 disebutkan: “Perusahaan Asuransi Umum hanya dapat melakukan perluasan _ruang lingkup usaha pada: _ _1. Kegiatan usaha PAYDI; _ _2. Kegiatan usaha berbasis imbalan jasa (fee based); _ _3. Kegiatan usaha Asuransi Kredit dan Suretyship; dan/atau _ 4. Kegiatan usaha lain berdasarkan penugasan dari pemerintah”. 18. Bahwa ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yang kemudian ditegaskan dalam POJK Nomor 69/POJK.05/2016 tidak membatasi bahkan justru memberikan perluasan penyelenggaraan suretyship oleh perusahaan asuransi umum sebagaimana telah dilakukan oleh perusahaan asuransi umum sebelum berlakunya UU Perasuransian yaitu sejak tahun 1978.
Dapat Pemerintah sampaikan bahwa dengan perluasan usaha perusahaan asuransi umum sebagai salah satu penyelenggara penjaminan pengadaan barang dan jasa baik oleh swasta maupun pemerintah melalui suretyship dikarenakan masih dibutuhkannya kapasitas perusahaan asuransi umum untuk menyelenggarakan 93 penjaminan pengadaan barang dan jasa bersama dengan lembaga penjamin lainnya, sehingga dapat dipastikan penyelenggaraan pengadaaan barang dan jasa untuk pembangunan nasional dapat berjalan sesuai dengan target yang telah ditetapkan. C. PERKEMBANGAN KEGIATAN USAHA ASURANSI KREDIT DAN SURETYSHIP OLEH PERUSAHAAN ASURANSI UMUM 1. Dapat Pemerintah sampaikan juga bahwa perkembangan kegiatan usaha asuransi kredit dan suretyship oleh perusahaan asuransi umum cukup signifikan. Perusahaan asuransi umum telah menjalankan usaha asuransi kredit sejak tahun 1971 oleh PT Asuransi Kredit Indonesia, dan usaha suretyship sejak tahun 1978 oleh PT Jasa Raharja (Persero).
Per 30 November 2019, usaha asuransi kredit dan suretyship telah dilakukan oleh 40 perusahaan asuransi umum. Dari sisi pendapatan premi yang diterima sebesar Rp13,88 triliun atau 20,66% dari total pendapatan premi dalam skala nasional. Hal ini menunjukkan porsi Suretyship dalam skala nasional tidak terlalu besar.
Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU Penjaminan menyebabkan ketidakpastian penyelenggaraan lini usaha suretyship oleh perusahaan asuransi umum yang menggunakan landasan hukum Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian tentang perluasan lini usaha asuransi menjadi tidak jelas.
Dalam Pasal 61 ayat (1) UU Penjaminan diatur bahwa pihak di luar Lembaga penjamin yang telah melakukan kegiatan penjaminan agar menyesuaikan dengan Undang-Undang Penjaminan. Namun demkian, di dalam Pasal 61 ayat (2) telah jelas disebutkan bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap kegiatan penjaminan yang dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri .
Ketentuan Pasal 61 ayat (2) UU Penjaminan tersebut dari sudut pandang Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian justru merupakan landasan hukum berlakunya penyelenggaraan usaha suretyship, yang merupakan penyelenggaraan penjaminan oleh lembaga asuransi umum. Mandat undang-undang perasuransian untuk mengatur perluasan usaha asuransi umum antara lain melalui Suretyship telah secara tegas diatur 94 dalam peraturan POJK Nomor 69/POJK.05/2016 sehingga telah sejalan dengan Pasal 61 ayat (2) UU Penjaminan.
Berdasarkan data yang dimiliki Otoritas Jasa Keuangan, kontribusi perusahaan asuransi umum dan perusahaan penjaminan dalam proyek pembangunan Pemerintah cukup tinggi. Pada tahun 2018, total nilai penjaminan atas produk suretyship oleh perusahaan asuransi umum adalah sebesar Rp 142,9 triliun dan nilai penjaminan oleh perusahaan penjaminan hingga bulan Januari tahun 2020 adalah sebesar Rp 35,6 triliun, sehingga total keduanya adalah sebesar Rp 178,61 triliun atau kurang lebih sekitar 43,48% dari total belanja infrastruktur pada tahun 2018 yang sebesar Rp 410,7 triliun.
Kontribusi perusahaan asuransi khususnya terhadap produk suretyship yang sebesar Rp.142,9 triliun pada tahun 2018 menunjukkan fakta yang tidak dapat diabaikan bahwa adanya kebutuhan masyarakat dalam hal ini khususnya pelaku ekonomi atas pelaksanaan suretyship oleh perusahaan asuransi. Dalam proyek Pemerintah, berdasarkan Keputusan Menteri PUPR juga diambil kebijakan untuk memberikan Suretyship bagi perusahaan asuransi. Hal ini antara lain dilandasi pada pertimbangan perlunya kapasitas dana yang cukup besar oleh perusahaan yang menjalankan _suretyship; _ 8. Dalam memperhatikan kebutuhan penjaminan pengadaan barang dan jasa dalam rangka penyelenggaraan proyek pembangunan nasional, maka OJK sebagai Lembaga pengawas dan regulator telah memebrikan izin kepada 3 (tiga) konsorsium penjamian yang beranggotakan 24 (dua puluh empat) perusahaan asuransi dan 1 (satu) perusahaan penjaminan yaitu Perusahaan Umum Jaminan Kredit Indonesia.
Berdasarkan fakta-fakta dan dasar hukum tersebut, pemberian Suretyship oleh perusahaan asuransi umum masih diperlukan untuk menjamin proyek pembangunan nasional bersama dengan perusahaan penjaminan. IV. PETITUM Berdasarkan penjelasan di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian ( constitutional 95 review ) Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian terhadap UUD 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian sepanjang frasa, “dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat” tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
Menyatakan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian sepanjang frasa, “dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat” tetap memiliki kekuatan hukum mengikat. Namun demikian, apabila Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya (ex aequo et bono). Keterangan Tertulis Tambahan bertanggal 13 Juli 2020 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 Juli 2020 yang pada pokoknya sebagai berikut: I. Pertanyaan dari Yang Mulia Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H., M.Hum. A. Apa yang terjadi pada saat pembahasan RUU Perasuransian sehingga pada Pasal 5 ayat (1) terdapat frasa “dapat diperluas sesuai kebutuhan masyarakat” sedangkan dalam ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 terdapat frasa yang membatasi yaitu “hanya dapat”? B. Pada Keterangan Presiden disebutkan bahwa Pasal 61 UU Penjaminan justru memperkuat perusahaan asuransi dalam melaksanakan suretyship dikarenakan perusahaan asuransi memiliki undang-undang tersendiri dan telah dipertegas dengan adanya POJK. Jelaskan maksud dari dari Pasal 61 UU Lembaga Penjaminan kaitannya memberikan penguatan terhadap keberadaan suretyship dalam UU Perasuransian? Jawaban A. Frasa makna “hanya dapat” dari perspektif dengan dapat diperluas 1. Penggunaan frasa “ hanya dapat ” ada pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU Perasuransian. Frasa tersebut dimaksudkan untuk memberikan limitasi bahwa ruang lingkup usaha perasuransian terbagi dalam usaha asuransi 96 umum, asuransi jiwa dan reasuransi (sebagaimana diatur dalam Pasal 2) serta usaha asuransi umum syariah, asuransi jiwa syariah dan reasuransi syariah (sebagaimana diatur dalam Pasal 3). Frasa “hanya dapat” pada Pasal 2 dan 3 UU Perasuransian berisi norma agar usaha asuransi umum tidak melakukan usaha asuransi jiwa ataupun reasuransi, kecuali yang secara tegas dinyatakan yaitu untuk asuransi umum termasuk lini usaha asuransi kesehatan dan asuransi kecelakaan diri serta reasuransi untuk risiko Perusahaan Asuransi Umum lain. Pencantuman tersebut karena lini usaha asuransi kesehatan dan asuransi kecelakaan diri merupakan irisan lini usaha asuransi umum dan asuransi jiwa, sehingga diperlukan anak kalimat tambahan untuk mempertegas bahwa lini usaha asuransi kesehatan dan kecelakaan diri dapat dilakukan baik oleh perusahaan asuransi umum maupun oleh perusahaan asuransi jiwa.
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Perasuransian menjelaskan bahwa “Berdasarkan mekanisme pengelolaan risikonya, lini usaha asuransi kesehatan dan lini usaha asuransi kecelakaan diri lebih tepat digolongkan sebagai Usaha Asuransi Umum. Namun, mengingat Objek Asuransi yang dipertangungkan dalam kedua lini usaha asuransi kecelakaan diri juga dapat digolongkan sebagai Usaha Asuransi Jiwa. Dalam praktiknya, kedua lini usaha asuransi tersebut telah diselenggarakan, baik oleh perusahaan asuransi umum maupun oleh perusahaan asuransi jiwa” .
Adapun perumusan Frasa “ dapat diperluas sesuai kebutuhan masyarakat ” dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian, dimaksudkan menjadi norma yang mengakui bahwa peluang lini usaha asuransi umum akan berkembang seiring dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, sehingga UU Asuransi perlu memberikan mandat perluasan lini usaha tersebut dengan batasan sesuai kebutuhan masyarakat dan adanya penambahan manfaatnya bagi masyarakat serta tidak mengganggu core bussiness nya perusahaan asuransi. Pelaksanaan perluasan ini diberikan kewenangan kepada OJK untuk mengatur lebih lanjut. Pengaturan demikian sejalan dengan drafting perumusan UU 97 yang bersifat norma-norma umum tidak mengatur hal-hal teknis yang dapat diuji secara teoritis maupun best practices. 4. Pengaturan norma tersebut juga didasarkan pada fakta bahwa selain core business perusahaan asuransi, juga ternyata terdapat peluang lain bagi perusahaan asuransi yang bukan merupakan core langsung asuransi sepanjang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sehingga, perluasan ruang lingkup usaha asuransi lain sebagaimana disebutkan dalam norma Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian merupakan open legal policy Pemerintah yang didasarkan pada fakta, pertimbangan sosial dan ekonomis serta best practices di beberapa negara lain . B. Kehadiran UU Penjaminan terhadap Pelaksanaan Suretyship oleh Asuransi Umum Sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan (selanjutnya disebut UU Penjaminan), terbitnya UU Penjaminan dilatarbelakangi keinginan Pemerintah untuk meningkatkan UMKM terhadap akses pembiayaan/kredit. Mengacu Pasal 4 ayat (1) UU Penjaminan, Usaha Penjaminan meliputi:
penjaminan Kredit, Pembiayaan, atau Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah yang diberikan oleh lembaga keuangan, b. penjaminan pinjaman yang disalurkan oleh koperasi simpan pinjam atau koperasi yang mempunyai unit usaha simpan pinjam kepada anggotanya; dan
penjaminan Kredit dan/atau pinjaman program kemitraan yang disalurkan oleh badan usaha milik negara dalam rangka program kemitraan dan bina lingkungan. Adapun penjaminan berupa suretyship diatur dalam Pasal 4 ayat (2) sebagai salah satu bentuk dari usaha lain yang dapat dilakukan perusahaan penjaminan di samping lingkup usaha penjaminan yang diatur dalam Pasal 4 ayat (1). Sejalan dengan prinsip lingkup penjaminan dalam Pasal 4 tersebut, menjadi jelas pilihan open legal policy Pemerintah bersama DPR selaku pembentuk UU menetapkan norma Pasal 61 ayat (2) UU Penjaminan yang mengecualikan kewajiban yang terdapat pada Pasal 61 ayat (1) UU Penjaminan bagi orang atau lembaga yang menjalankan penjaminan di luar perusahaan penjaminan untuk dapat melakukan penyesuaian. Dalam Pasal 61 ayat (2) UU Penjaminan diberikan peluang bagi lembaga yang telah menjalankan penjaminan di luar perusahaan penjaminan tidak wajib tunduk 98 pada Pasal 61 UU Penjaminan sepanjang dijalankan berdasarkan undang- undang tersendiri. Dapat Pemerintah sampaikan norma Pasal 61 ayat (2) berbunyi: “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap kegiatan penjaminan yang dijalankan berdasarkan undang- undang tersendiri”. Dari sisi legal drafting frasa “dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri” memiliki makna yang berbeda dengan frasa “ dinyatakan dengan undang-undang tersendiri ”. Makna kata “dijalankan” pada frasa tersebut mengandung arti bahwa kegiatan penjaminan tersebut dijalankan berdasarkan amanat dari suatu undang-undang. Dalam hal ini, pelaksanaan suretyship sebagai kegiatan penjaminan oleh perusahaan asuransi umum, merupakan pelaksanaan mandat Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian kepada OJK untuk mengatur perluasan usaha Perusahaan Asuransi Umum dan telah dijalankan dengan terbitnya POJK Nomor 69/POJK.05/2016. Oleh karena itu, Pemerintah memandang berlakunya UU Penjaminan tidak mengakibatkan ketidakpastian atas berlakunya Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yang dilaksanakan secara tegas dalam POJK sebagai landasan untuk pelaksanaan suretyship oleh Perusahaan Asuransi. Bahkan dengan norma Pasal 61 ayat (2) UU Penjaminan secara tegas diberikan pengecualian pelaksanaan suretyship oleh lembaga bukan penjaminan yang telah melaksanakan penjaminan sebelum berlakunya UU Penjaminan. II. Pertanyaan Yang Mulia Dr. Suhartoyo, S.H., M.H. A. Mengapa pengaturan mengenai suretyship tidak dipertegas dalam UU Perasuransian? Apa yang menjadi pertimbangan pembuat UU tidak menegaskan hal tersebut dalam bentuk norma? B. Pada tahun 1971 telah ada praktik suretyship di PT Jasa Raharja yang merupakan perusahaan asuransi milik Pemerintah. • Apa yang menjadi dasar Pemerintah dalam memberikan kewenangan kepada PT Jasa Raharja untuk melaksanakan Suretyship? • Apa saja persoalan yang muncul tahun 2014 sehingga pada akhirnya PT Jasa Raharja tidak lagi dapat melaksanakan Suretyship? 99 C. Apakah ada database perusahaan-perusahaan asuransi yang merupakan non-asosiasi (Pemohon)? Jawaban A. Sebagaimana telah dijelaskan, Pasal 5 ayat (3) UU Perasuransian dimaksudkan untuk mampu mengikuti perkembangan industri perasuransian sehingga tidak melimitasi bentuk-bentuk usaha yang dapat dilakukan perusahaan asuransi umum. Hal ini tentu akan sangat mendorong perkembangan industri sesuai perkembangan kebutuhan masyarakat. Pembentuk UU menyadari bahwa OJK selaku regulator akan mampu untuk membuat pengaturan yang lebih teknis untuk memastikan bahwa prinsip umum dalam UU Asuransi dan tambahan manfaat yang tercipta bagi masyakarat maupun pemerintah selaku penerima manfaat usaha perasuransian akan tetap menjadi pedoman dalam pengaturan perluasan lini usaha asuransi umum. Saat ini OJK juga telah mengatur bahwa terdapat 14 lini usaha yang dapat diselenggarakan oleh perusahaan asuransi umum yaitu: No. Lini Usaha 2018 Q3. 2019 Premi (Juta IDR) % Premi (Juta IDR) % 1 Harta Benda (Property) 18,873,914 27% 15,082,200 26% 2 Kendaraan Bermotor 18,488,468 26% 13,917,660 24% 3 Pengangkutan (Marine Cargo) 3,472,992 5% 2,636,740 5% 4 Rangka Kapal (Marine Hull) 1,572,860 2% 1,275,380 2% 5 Rangka Pesawat (Aviation Hull) 1,338,139 2% 1,110,900 2% 6 Satelit 16,138 0% 19,460 0% 7 Energi Onshore (Oil and Gas) 140,319 0% 110,440 0% 8 Energi Offshore (Oil and Gas) 1,370,170 2% 1,050,620 2% 9 Rekayasa (Engineering) 2,533,719 4% 1,852,960 3% 10 Tanggung Gugat (Liability) 1,868,051 3% 1,767,120 3% 11 Kecelakaan Diri & Kesehatan 5,627,705 8% 4,987,560 9% 12 Kredit (Credit) 7,796,238 11% 9,448,130 16% 13 Suretyship 1,454,839 2% 1,127,180 2% 14 Aneka 5,347,438 8% 3,518,460 6% 100 Bahwa terhadap 14 lini usaha tersebut juga tidak diatur dengan tegas di dalam UU Perasuransian. Selain itu, UU Perasuransian juga tidak menyebutkan lini usaha lain yang juga dilakukan oleh perusahaan asuransi umum yaitu lini usaha asuransi aneka, satelit dan kredit. UU Perasuransian hanya menyebutkan lini usaha kecelakaan diri dan kesehatan karena lini usaha itu merupakan irisan antara asuransi umum dan asuransi jiwa sehingga untuk memberi kepastian hukum bahwa lini usaha tersebut dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi umum maupum asuransi jiwa, perlu ditegaskan dalam UU Asuransi. Adanya perkembangan jumlah lini usaha tersebut menunjukkan bahwa perluasan lini usaha ataupun penggabungan atau pengelompokkan dapat dilakukan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, kewenangan OJK yang diberikan oleh Pasal 5 ayat (3) UU Perasuransian untuk mengatur perluasan dimaksud adalah agar kiranya perubahan lini usaha tersebut dapat dilakukan secara fleksibel oleh OJK tanpa harus melalui mekanisme perubahan UU Perasuransian. B. Perusahaan asuransi umum telah menjalankan usaha asuransi kredit sejak tahun 1971 oleh PT Asuransi Kredit Indonesia. Sedangkan, usaha suretyship telah dilaksanakan oleh perusahaan asuransi sejak tahun 1978 oleh PT Jasa Raharja Persero dengan berdasarkan pada PP No.34 tahun 1978 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1965 tentang Pendirian Perusahaan Umum Asuransi Kerugian “Jasa Raharja” (PP 34/1978). Berdasarkan PP 34/1978 tersebut, PT Jasa Raharja yang merupakan perusahaan umum asuransi kerugian diberikan mandat tambahan/tugas baru oleh Pemerintah untuk menerbitkan surat jaminan dalam bentuk Surety Bond . Penunjukan tersebut juga telah menjadikan PT Jasa Raharja sebagai pionir penyelenggara surety bond di Indonesia, di saat perusahaan asuransi lain pada umumnya masih bersifat fronting office dari perusahaan surety di luar negeri sehingga menyebabkan terjadi aliran devisa ke luar negeri untuk kepentingan tersebut. Bahwa mengingat PT Jasa Raharja merupakan perusahaan asuransi kerugian sehingga tugas pokoknya adalah melaksanakan amanat dari UU 101 yaitu memberikan perlindungan terkait dana pertanggungjawaban wajib kecelakaan penumpang dan lalu lintas sebagaimana diatur pada UU Nomor 33 dan UU Nomor 34 Tahun 1964. Selanjutnya, sebagai upaya pengemban rasa tanggung jawab sosial kepada masyarakat khususnya bagi masyarakat yang belum memperoleh perlindungan dalam lingkup UU No.33 dan UU No.34 tahun 1964. Pada tahun 1994, Pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagai penjabaran UU No.2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Peraturan Pemerintah tersebut mengatur antara lain ketentuan yang melarang Perusahaan Asuransi yang telah menyelenggarakan program asuransi sosial untuk menjalankan asuransi lain selain program asuransi sosial. Sejalan dengan ketentuan tersebut, maka terhitung mulai tanggal 1 Januari 1994 hingga saat ini maka PT Jasa Raharja melepaskan usaha asuransi non wajib dan surety bond untuk lebih fokus dalam menjalankan program asuransi sosial yaitu menyelenggarakan Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang sebagaimana diatur dalam UU. No.33 tahun 1964 dan Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan sebagaimana diatur dalam UU. No.34 tahun 1964. C. Berdasarkan data OJK tahun 2019, terdapat 74 perusahaan asuransi umum yang memperoleh izin untuk menyelenggarakan usaha asuransi umum. Berdasarkan Pasal 68 ayat (1) UU Perasuransian, setiap perusahaan asuransi tersebut (74 perusahaan) wajib menjadi angota asosiasi usaha perasuransian yang sesuai dengan jenis usahanya (AAUI). Namun demikian AAUI juga merupakan asosiasi bagi perusahaan reasuransi, yang berdasarkan data OJK tahun 2019 terdapat 6 perusahaan reasuransi. Dari 74 perusahaan asuransi umum tersebut, berdasarkan laporan statistik OJK tahun 2018 terdapat 47 perusahaan asuransi umum yang memperoleh izin usaha untuk menyelenggarakan suretyship, namun demikian 1 perusahaan asuransi umum yaitu PT Asuransi Himalaya Pelindung telah dicabut izin usaha melalui Keputusan Dewan Komisioner (KDK) Nomor 41/KDK.05/2019 tanggal 30 April 2019 sehingga tersisa 46 perusahaan. 102 Berikut data perusahaan asuransi yang menyelenggarakan Suretyship dan yang tidak menyelenggarakan Suretyship. Perusahaan Asuransi Umum yang menyelenggarakan suretyship (46) 1. PT Asuransi ASEI Indonesia 25. PT CHUBB General Insurance Indonesia 2. PT Asuransi Artarindo 26. PT Asuransi Jasa Indonesia (Persero) 3. PT Arthagraha General Insurance 27. PT Asuransi Jasa Raharja Putera 4. PT Asuransi Astra Buana 28. PT Asuransi Kredit Indonesia (Persero) 5. PT Asuransi Axa Indonesia 29. PT Asuransi Kresna Mitra Tbk.
PT Asuransi Bangun Askrida 30. PT Asuransi Sinar Mas 7. PT Berdikari Insurance 31. PT Tugu Pratama Indonesia 8. PT Asuransi Bhakti Bhayangkara 32. PT Asuransi Videi 9. PT Asuransi Binagriya Upakara 33. PT Pan Pacific Insurance 10. PT Asuransi Bintang Tbk. 34. PT Asuransi Parolamas 11. PT Bosowa Asuransi 35. PT Asuransi Purna Artanugraha 12. PT Asuransi Bringin Sejahtera Artamakmur 36. PT Asuransi Rama Satria Wibawa 13. PT Asuransi Buana Independent 37. PT Asuransi Ramayana Tbk.
PT Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 38. PT Asuransi Staco Mandiri 15. PT Asuransi Cakrawala Proteksi Indonesia 39. PT Asuransi Tri Pakarta 16. PT Asuransi Central Asia 40. PT Asuransi Tugu Kresna Pratama 17. PT Asuransi Intra Asia 41. PT Victoria Insurance Tbk.
PT Asuransi Jasa Tania Tbk. 42. PT Asuransi Wahana Tata 19. PT Asuransi Mega Pratama 43. PT Asuransi Allianz Utama Indonesia 20. PT Asuransi Umum Mega 44. PT Asuransi Harta Aman Pratama Tbk.
PT Asuransi Mitra Pelindung Mustika 45. PT Lippo General Insurance Tbk.
PT Asuransi Multi Artha Guna Tbk.
PT Asuransi Etiqa Internasional Indonesia (dulunya PT Asuransi Asoka Mas) 23. PT Malacca Trust Wuwungan Insurance 24. PT Asuransi Adira Dinamika Perusahaan Asuransi Umum yang tidak menyelenggarakan suretyship (28) 47. PT AIG Insurance Indonesia 61. PT Meritz Korindo Insurance 48. PT Avrist General Insurance 62. PT Great Eastern General Insurance Indonesia 103 49. PT Asuransi Umum BCA 63. PT Kookmin Best Insurance Indonesia 50. PT Bess Central Insurance 64. PT. Asuransi Total Bersama 51. PT Asuransi Bina Dana Arta Tbk. 65. PT Asuransi Raksa Pratikara 52. PT China Taiping Insurance Indonesia 66. PT Asuransi Recapital 53. PT Citra International Underwriters 67. PT Asuransi Reliance Indonesia 54. PT Asuransi Dayin Mitra Tbk. 68. PT Asuransi Samsung Tugu 55. PT Asuransi Eka Lloyd Jaya 69. PT Sarana Lindung Upaya 56. PT Asuransi FPG Indonesia 70. PT Asuransi Simas Net 57. PT KSK Insurance Indonesia 71. PT Sompo Insurance Indonesia 58. PT MNC Asuransi Indonesia 72. PT Asuransi Sumit Oto 59. PT Asuransi MSIG Indonesia 73. PT Asuransi Tokio Marine Indonesia 60. PT Mandiri AXA General Insurance 74. PT Zurich Insurance Indonesia Adapun terhadap perusahaan Asuransi yang menjadi anggota Asosiasi Asuransi Umum namun tidak menjadi pemohon uji materi kiranya dapat disampaikan oleh Pemohon. Dapat Pemerintah sampaikan pula beberapa contoh pelaksanaan Suretyship di negara-negara lain ( Benchmarking ) yaitu:
Canada: suretyship diselenggarakan oleh surety companies dan perusahaan asuransi;
USA: suretyship juga diselenggarakan oleh perusahaan asuransi;
Japan: sebagian besar kontrak suretyship diselenggarakan oleh perusahaan asuransi;
Malaysia: biasanya suretyship diselenggarakan oleh perusahan asuransi;
Korea Selatan: perusahaan asuransi umum dapat menyelenggarakan suretyship. Demikian Keterangan Tambahan yang dapat disampaikan oleh Pemerintah terkait dengan Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Oleh sebab itu berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian ( constitutional review ) terhadap Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian terhadap ketentuan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai 104 berikut sebagaimana yang telah dimintakan dalam Keterangan Presiden yang telah disampaikan sebelumnya. [2.5] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Pihak Terkait Otoritas Jasa Keuangan telah memberikan keterangan dalam persidangan tanggal 22 Juni 2020 yang dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 22 Juni 2020, serta keterangan tertulis tambahan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 13 Juli 2020, yang pada pokoknya sebagai berikut: A. Sejarah Pengaturan Kegiatan Usaha Suretyship di Indonesia 1. Bahwa Pemohon berpendapat ruang lingkup kegiatan usaha perusahaan asuransi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian tidak mencantumkan secara tegas kegiatan usaha suretyship , sehingga menurut Pemohon hal tersebut melanggar dan bertentangan dengan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, perlakuan yang sama dihadapan hukum, hak dan memajukan diri dalam memperjuangkan hak secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara, hak untuk melakukan kegiatan perekonomian atas dasar demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan dan efisiensi berkeadilan serta konsepsi negara kesejahteraan (welfare states) sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 . __ 2. Secara historis Indonesia telah mengenal dan mengatur lini usaha suretyship sebagai salah satu produk inovasi perusahaan asuransi guna menjawab tantangan pengambilalihan potensi risiko kerugian yang dapat dialami oleh salah satu pihak dalam perjanjian antara principal dan obligee . Seiring dengan perkembangan pembangunan di Indonesia, Pemerintah semakin menyadari arti penting keberadaan suatu Lembaga Non Perbankan yang dapat menjadi lembaga alternatif untuk memberi jaminan dalam mendukung proyek-proyek pembangunan yang didanai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) mengingat penjaminan yang menggunakan bank garansi memiliki persyaratan cukup berat bagi para penyedia barang dan/atau jasa berupa aset jaminan (full collateral) 100% dari nilai jaminan. __ 105 3. Khusus penerbitan suretyship oleh perusahaan asuransi, sudah dilakukan sejak tahun 1978 yang diatur dalam beberapa peraturan perundang- undangan sebagai berikut: __ a. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1978 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1965 tentang Pendirian Perusahaan Umum Asuransi Kerugian “Jasa Raharja”;
Keppres Nomor 14A tahun 1980 tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; dan
KMK Nomor 271/KMK.011/1980 tentang Penunjukan Bank dan Lembaga Keuangan yang dapat Menerbitkan Jaminan. dalam ketentuan tersebut, Pemerintah telah memberikan kewenangan kepada perusahaan asuransi Jasa Raharja untuk menerbitkan suretyship .
Setelah tahun 1978, dimana sebelumnya penerbitan suretyship hanya bisa dilakukan oleh perusahaan asuransi Jasa Raharja, dalam rangka memperluas usaha penerbitan suretyship Pemerintah melalui Menteri Keuangan menerbitkan:
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 761/KMK.013/1992 Tahun 1992 tentang Penunjukan Bank-Bank Dan Perusahan-Perusahaan Asuransi Yang Dapat Menerbitkan Jaminan; dan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 951/KMK.01/1993 Tentang Penggunaan Surety Bond/Customs Bond Sebagai Jaminan Pembayaran Pungutan Negara Atas Impor Barang Yang Mendapat Fasilitas Impor; yang pada pokoknya telah memberikan kesempatan kepada beberapa perusahaan asuransi swasta untuk dapat menerbitkan suretyship .
Selanjutnya, Pemerintah melalui beberapa peraturan perundang-undangan sejak tahun 2003 sampai dengan tahun 2017, yaitu:
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.010/2008 tanggal 3 September 2008 tentang Penyelenggaraan Lini Asuransi Kredit dan Suretyship ; 106 c. Peraturan Presiden Nomor 4 tahun 2015 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa;
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi; dan
Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang Dan Jasa Pemerintah; telah pula mengatur mengenai penerbitan suretyship yang dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi.
Berkaitan dengan lini usaha suretyship yang diterbitkan oleh perusahaan penjaminan, sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 (selanjutnya disebut UU Penjaminan), berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 222/PMK.020/2008 tentang Perusahaan Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit yang kemudian diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.010/2011, PT Jamkrindo (Persero) dapat melakukan kegiatan usaha lain yaitu antara lain surety bond . B. Pengertian Suretyship dalam Peraturan Perundang-Undangan 1. Sebagaimana dipahami bersama, secara umum pengertian suretyship adalah suatu bentuk penjaminan dimana surety company (perusahaan asuransi/perusahaan penjaminan) menjamin principal (kontraktor/ supplier ) akan melaksanakan kewajiban atau suatu prestasi kepada obligee (penerima manfaat/ beneficiary ) sesuai kontrak atau perjanjian antara principa l dan obligee .
Pengertian suretyship juga dapat ditemukan pada ketentuan peraturan perundang-undangan diantaranya: __ a. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.010/2008 tentang Penyelenggaraan Lini Asuransi Kredit dan Suretyship (selanjutnya disebut PMK Suretyship ) yang mengatur: __ Pasal 1 angka 3: __ “Suretyship adalah lini usaha asuransi umum yang memberikan jaminan atas kemampuan Principal dalam melaksanakan kewajiban sesuai perjanjian pokok antara Principal dan Obligee.” b. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 69/POJK.05/2016 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi 107 Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah (selanjutnya disebut POJK 69/2016) yang mengatur: Pasal 1 angka 23: “Suretyship adalah lini Usaha Asuransi Umum yang memberikan jaminan atas kemampuan principal dalam melaksanakan kewajiban sesuai perjanjian pokok antara principal dan obligee.” c. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (selanjutnya disebut UU Jasa Konstruksi) yang mengatur: __ Pasal 57 ayat (4): “Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dikeluarkan oleh lembaga perbankan, perusahaan asuransi, dan/atau perusahaan penjaminan dalam bentuk bank garansi dan/atau perjanjian terikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.” Penjelasan Pasal 57 ayat (4): __ “Yang dimaksud dengan "perjanjian terikat" (surety bond) adalah asuransi penjaminan antara penjamin dengan pelaksana pekerjaan. Penjamin akan menjamin pelaksana pekerjaan atas pekerjaan atau tanggung jawab yang diberikan pemilik proyek kepada pelaksana pekerjaan. Asuransi penjaminan ini biasanya dikeluarkan oleh perusahaan asuransi kerugian.” 3. Lini usaha suretyship yang dipraktikan di beberapa negara seperti Tiongkok, Singapura, Inggris, dan Filipina, tidak merupakan monopoli dari salah satu bidang usaha tertentu saja seperti asuransi atau penjaminan. Di Negara tersebut, suretyship dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi, perusahaan penjaminan maupun lembaga lainnya sesuai dengan peraturan perundang- undangan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, pengertian suretyship maupun pengaturannya baik di Indonesia maupun di berbagai negara lain, pada prinsipnya produk suretyship tidaklah dapat digolongkan atau dibatasi kepada konsep-konsep kegiatan yang hanya dapat dilakukan oleh bidang- bidang usaha tertentu saja seperti perusahaan asuransi atau perusahaan penjaminan, sehingga suretyship dapat dilaksanakan oleh perusahaan penjaminan maupun asuransi. __ C. Lini Usaha Suretyship oleh Perusahaan Asuransi berdasarkan Pasal 5 UU Perasuransian 1. Setelah membaca pokok permohonan pengujian a quo , dalam halaman 23, halaman 26, dan halaman 32 s.d. halaman 34 permohonannya, Pemohon 108 pada pokoknya menganggap Pasal 61 UU Penjaminan telah menghalangi perusahaan asuransi untuk menjalankan lini usaha suretyship .
Pemahaman terhadap Pasal 61 UU Penjaminan haruslah tetap mengacu kepada ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 11 s.d. angka 13, dan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) UU Penjaminan sebagai berikut: Pasal 1 angka 1: “Penjaminan adalah kegiatan pemberian jaminan oleh Penjamin atas penuhan kewajiban finansial Terjamin kepada Penerima Jaminan.” Pasal 1 angka 11 __ “Penjamin adalah pihak yang melakukan penjaminan.” Pasal 1 angka 12 “Penerima Jaminan adalah lembaga keuangan atau di luar lembaga keuangan yang telah memberikan Kredit, Pembiayaan, Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah atau kontrak jasa kepada Terjamin.” Pasal 1 angka 13 “Terjamin adalah pihak yang telah memperoleh Kredit, Pembiayaan, Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah, atau kontrak jasa dari lembaga keuangan atau di luar lembaga keuangan yang dijamin oleh Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah.” Pasal 4 ayat (1) _Usaha Penjaminan meliputi: _ a. penjaminan Kredit, Pembiayaan, atau Pembiayaan Berdasarkan _Prinsip Syariah yang diberikan oleh lembaga keuangan; _ b. penjaminan pinjaman yang disalurkan oleh koperasi simpan pinjam atau koperasi yang mempunyai unit usaha simpan pinjam kepada _anggotanya; dan _ c. penjaminan Kredit dan/atau pinjaman program kemitraan yang disalurkan oleh badan usaha milik negara dalam rangka program kemitraan dan bina lingkungan. Pasal 4 ayat (2) Selain usaha Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) _Perusahaan Penjaminan dapat melakukan: _ _a. penjaminan atas surat utang; _ _b. penjaminan pembelian barang secara angsuran; _ _c. penjaminan transaksi dagang; _ d. penjaminan pengadaan barang dan/atau jasa (surety bond); __ _e. penjaminan bank garansi (kontra bank garansi); _ _f. penjaminan surat kredit berdokumen dalam negeri; _ _g. penjaminan letter of credit; _ h. penjaminan kepabeanan (customs bond); __ _i. penjaminan cukai; _ j. pemberian jasa konsultasi manajemen terkait dengan kegiatan _usaha Penjaminan; dan _ 109 k. kegiatan usaha lainnya setelah mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan. 3. Apabila melihat definisi Penjaminan, Penjamin, Terjamin, dan Penerima Jaminan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 UU Penjaminan serta ruang lingkup usaha penjaminan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU Penjaminan, pada dasarnya UU Penjaminan telah mengatur secara khusus ruang lingkup dari kegiatan usaha Lembaga Penjamin yaitu yang berkaitan dengan kegiatan pemberian jaminan oleh Penjamin atas pemenuhan kewajiban finansial sehubungan dengan perjanjian kredit Terjamin kepada Penerima Jaminan.
Oleh karena itu, ruang lingkup usaha penjaminan sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UU Penjaminan, keseluruhannya hanya melingkupi adanya kegiatan penjaminan atas pemenuhan kewajiban finansial dari adanya kredit, pembiayaan oleh lembaga keuangan maupun koperasi, serta program kredit kemitraan dan bina lingkungan yang dilakukan oleh badan usaha milik negara.
Namun demikian, dalam UU Penjaminan, Pemerintah dan DPR telah menyepakati adanya lini usaha lain yang dapat dilakukan oleh Perusahaan Penjaminan yang tidak diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU Penjaminan (bersifat accesoir ). Kegiatan usaha lain yang bersifat accesoir tersebut adalah kegiatan lini usaha suretyship sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan yang mencakup kegiatan:
penjaminan atas surat utang;
penjaminan pembelian barang secara angsuran;
penjaminan transaksi dagang;
penjaminan pengadaan barang dan/atau jasa _(surety bond); _ e. penjaminan bank garansi (kontra bank garansi);
penjaminan surat kredit berdokumen dalam negeri;
penjaminan _letter of credit; _ h. penjaminan kepabeanan _(customs bond); _ i. penjaminan cukai;
pemberian jasa konsultasi manajemen terkait dengan kegiatan usaha Penjaminan; dan 110 k. kegiatan usaha lainnya setelah mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan.
Penambahan lini kegiatan usaha penjaminan yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan tersebut di atas, dapat dipahami karena jenis-jenis lini usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan tersebut adalah jenis usaha penjaminan yang bukan merupakan pemenuhan kewajiban finansial dari adanya perjanjian kredit sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 4 ayat (1) UU Penjaminan. __ 7. Selanjutnya, Pasal 61 UU Penjaminan telah mengatur: Pasal 61 (1) Setiap Orang di luar Lembaga Penjamin yang telah melakukan kegiatan penjaminan sebelum berlakunya Undang-Undang ini wajib menyesuaikan dengan Undang-Undang ini dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap kegiatan penjaminan yang dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri. Penjelasan Pasal 61 (1) Kegiatan penjaminan berdasarkan Undang-Undang ini melibatkan 3 (tiga) pihak, memungut imbal jasa penjaminan, terdapat sertifikat penjaminan, adanya klaim dan pembayaran klaim, serta pengalihan hak tagih. Oleh karena itu, penjaminan yang dilakukan tidak berdasarkan pada prinsip tersebut, tidak masuk dalam kategori penjaminan yang dimaksud dalam Undang-Undang ini. (2) Cukup jelas. 8. Sementara itu, Pasal 1 angka 6 UU Penjaminan telah mengatur: “Lembaga Penjamin adalah Perusahaan Penjaminan, Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang, dan Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah yang menjalankan kegiatan penjaminan.” 9. Berkaitan dengan Pasal 61 UU Penjaminan sebagaimana dalam kutipan di atas, menurut pendapat kami perusahaan asuransi yang merupakan perusahaan di luar Lembaga Penjamin haruslah memenuhi persyaratan sebagai Lembaga Penjamin apabila hendak melakukan kegiatan usaha yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 4 ayat (1) UU Penjaminan.
Sedangkan kegiatan lini usaha suretyship sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan, dapat dilakukan asuransi berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yang telah mengatur adanya perluasan ruang lingkup kegiatan usaha perasuransian, hal ini mengingat lini usaha 111 suretyship yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan tidaklah memerlukan persyaratan sebagai Lembaga Penjaminan sebagaimana Pasal 1 angka 1 UU Penjaminan.
Ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian adalah ketentuan yang sudah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 61 UU Penjaminan jika perusahaan asuransi hendak melakukan kegiatan lini usaha suretyship sebagaimana Lembaga Penjaminan juga dapat menjalankannya berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan.
Berdasarkan semua uraian tersebut di atas, menurut pendapat kami kekhawatiran Pemohon dalam pengujian UU a quo yang menganggap kegiatan lini usaha suretyship tidak dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi menjadi tidak tepat mengingat kegiatan suretyship adalah kegiatan penjaminan yang merupakan usaha penjaminan selain yang diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU Penjaminan.
Selain itu, pengaturan mengenai suretyship dalam UU Penjaminan menjadi sejalan dengan pengaturan mengenai surety bond yang diatur dalam pengertian mengenai dalam UU Jasa Konstruksi yang pada pokoknya menyatakan bahwa jaminan dapat dikeluarkan oleh lembaga perbankan, perusahaan asuransi, dan/atau perusahaan penjaminan dalam bentuk antara lain perjanjian terikat [ vide Pasal 57 ayat (4)]. Adapun yang dimaksud dengan “perjanjian terikat” (surety bond) adalah asuransi penjaminan antara penjamin dengan pelaksana pekerjaan atas pekerjaan atau tanggung jawab yang diberikan pemilik proyek kepada pelaksana pekerjaan [ vide Penjelasan Pasal 57 ayat (4)].
Berdaarkan semua uraian di atas, maka semakin jelas kegiatan lini usaha suretyship sebagaimana dimaksud dalam UU Penjaminan dapat dilakukan oleh baik perusahaan penjaminan, perusahaan perasuransian maupun lembaga jasa keuangan lainnya berdasarkan peraturan perundang- undangan. __ 15. Sebagaimana diketahui bersama, Pasal 5 UU Perasuransian telah mengatur beberapa ketentuan yang berkaitan dengan perluasan ruang lingkup kegiatan usaha perusahaan asuransi sebagai berikut: (1) Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah 112 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat. (2) Perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penambahan manfaat yang besarnya didasarkan pada hasil pengelolaan dana. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan . 16. Sebagai pelaksanaan amanat Pasal 5 ayat (3) UU Perasuransian, OJK telah menerbitkan POJK 69/2016 yang memberikan kesempatan kepada perusahaan asuransi untuk menjalankan lini usaha suretyship. 17. Namun demikian, lini usaha suretyship sebagaimana diatur dalam POJK 69/2016 hanya diberikan kepada perusahaan asuransi umum dan tidak diberikan kepada perusahaan asuransi umum syariah, perusahaan asuransi jiwa, dan perusahaan asuransi jiwa syariah. Hal ini diatur dalam Pasal 4 huruf a. POJK 69/2016 yang menyatakan: “ Ruang lingkup usaha Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan _masyarakat dengan ketentuan sebagai berikut: _ a. Perusahaan Asuransi Umum hanya dapat melakukan perluasan _ruang lingkup usaha pada: _ _1. kegiatan usaha PAYDI; _ _2. kegiatan usaha berbasis imbalan jasa (fee based); _ 3. kegiatan usaha Asuransi Kredit dan Suretyship _; dan/atau _ 4. _kegiatan usaha lain berdasarkan penugasan dari pemerintah; _ ” 18. Dengan demikian, lini usaha suretyship yang dilakukan oleh perusahaan asuransi berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian dan diatur lebih lanjut dalam POJK 69/2016 telah sesuai dengan apa yang telah ditentukan dalam Pasal 61 UU Penjaminan, sehingga perusahaan asuransi yang melakukan lini usaha suretyship tidaklah dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana dikhawatirkan oleh Pemohon.
Ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian mengenai frasa “sesuai kebutuhan masyarakat” tidak dapat dipisahkan dari industri perasuransian yang terus berkembang di masyarakat. Dalam Penjelasan Umum UU Perasuransian telah menyebutkan bahwa pengaturan mengenai asuransi dilatarbelakangi oleh perkembangan yang pesat dalam industri 113 perasuransian yang ditandai dengan meningkatnya volume usaha dan bertambahnya pemanfaatan layanan jasa perasuransian oleh masyarakat.
Dengan diaturnya perluasan lini usaha perusahaan asuransi sebagaimana Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian justru untuk mempermudah pengaturan mengenai penambahan lini usaha asuransi sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat terhadap asuransi. Hal ini akan memudahkan OJK selaku otoritas yang diberikan kewenangan untuk mengatur lebih lanjut lini- lini usaha tambahan yang dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat sebagaimana didelegasikan oleh Pasal 5 ayat (3) UU Perasuransian.
Berkaitan dengan petitum Pemohon dalam permohonan a quo , menurut hemat kami, penyisipan frasa “termasuk lini usaha suretyship” dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian, justru tidak memberikan kepastian hukum bagi perusahaan asuransi untuk dapat melakukan perluasan ruang lingkup usaha. Penyisipan frasa “termasuk lini usaha suretyship” menjadi seolah membatasi kemungkinan adanya perluasan ruang lingkup kegiatan perusahaan asuransi selain lini usaha suretyship . Karena maksud dari Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian adalah perluasan ruang lingkup usaha asuransi haruslah didasarkan pada perkembangan kebutuhan masyarakat yang tidak hanya berkaitan dengan lini usaha suretyship .
Selain hal tersebut di atas, apabila permohonan Pemohon untuk menyisipkan frasa “termasuk lini usaha suretyship” dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian dikabulkan, maka hal tersebut justru menjadi tidak sejalan dengan pengaturan dalam POJK 69/2016 yang hanya memberikan kesempatan bagi asuransi umum untuk melakukan lini usaha suretyship yang tidak diberikan kepada asuransi jiwa, asuransi umum syariah, dan asuransi jiwa syariah. D. Data Perkembangan Produk Suretyship oleh Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Penjaminan 1. Berdasarkan data yang dimiliki oleh OJK, kontribusi perusahaan asuransi umum dan perusahaan penjaminan dalam proyek pembangunan pemerintah cukup tinggi. Berdasarkan data APBN 2020, alokasi anggaran untuk belanja pemerintah pusat pada sektor infrastruktur tahun 2020 mencapai Rp423,3 triliun. Apabila diasumsikan bahwa besarnya nilai premi 114 (biaya jasa/ service charge ) adalah 1% maka nilai jaminan yang dapat ditanggung ( coverage ) oleh perusahaan asuransi umum pada tahun 2019 diperkirakan mencapai Rp158,75 triliun. Nilai jaminan tersebut meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2018 yang diperkirakan sebesar Rp144,44 triliun. Sementara itu, nilai penjaminan oleh perusahaan penjaminan per Desember 2019 sebesar Rp71,71 triliun dengan nilai proyek sebesar Rp1.387,43 triliun. __ 2. Dapat kami informasikan, sampai dengan Desember 2019, usaha asuransi kredit dan suretyship yang dilakukan oleh 42 perusahaan asuransi umum menerima 1,98% dari total pendapatan premi dari seluruh lini usaha asuransi umum. Dari 42 perusahaan asuransi umum tersebut terdapat 3 perusahaan asuransi umum yang mendapatkan lebih dari 30% pendapatan preminya yang bersumber dari usaha suretyship . __ 3. Pada perusahaan penjaminan, potensi kapasitas penjaminan dapat dilihat dari ekuitas Perusahaan per Desember 2019 sebesar Rp13,65 triliun, sehingga kemampuan penjaminan maksimum perusahaan penjaminan adalah sebesar Rp273 triliun. Perusahaan penjaminan baru dapat melayani penjaminan kredit produktif dan suretyship sebesar Rp133,98 triliun dengan gearing ratio 9,74 kali. Dengan demikian, berdasarkan gearing ratio per Desember 2019 kapasitas penjaminan oleh perusahaan penjaminan tersedia sebesar Rp140,13 triliun. Adapun imbal jasa penjaminan yang didapatkan dari suretyship per Desember 2019 sebesar Rp511,51 miliar. __ 4. Dalam rancangan teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020 - 2024 memuat program prioritas nasional yang salah satunya yaitu Memperkuat Infrastruktur Untuk Mendukung Pengembangan Ekonomi Dan Pelayanan Dasar dengan perkiraan alokasi sebesar Rp2.176,89 triliun. Dengan alokasi dana yang besar perlu kiranya dukungan penjaminan/ suretyship untuk memastikan proyek pembangunan infrastruktur terlaksana dengan baik. __ PERMOHONAN MENGENAI AMAR PUTUSAN __ Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, kami mohon agar Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian terhadap Pasal 115 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, untuk memberikan putusan sebagai berikut:
Menerima keterangan OJK sebagai Pihak Terkait secara keseluruhan.
Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
Menyatakan, Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian sepanjang frasa “dapat diperluas sesuai kebutuhan masyarakat” tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Menyatakan, Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian sepanjang frasa “dapat diperluas sesuai kebutuhan masyarakat” tetap memiliki kekuatan hukum mengikat. Namun demikian, apabila Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya, ex aequo et bono . Keterangan Tertulis Tambahan Berkaitan dengan beberapa pertanyaan dari Ketua dan Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada persidangan tanggal 22 Juni 2020, yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 Juli 2020, yang pada pokoknya sebagai berikut: A. Landasan yang Menjadi Acuan Otoritas Jasa Keuanga dalam Memberikan Izin bagi Perusahaan Perasuransian dalam Melakukan Lini Usaha Suretyship Bahwa terkait pertanyaan Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah mengenai Pasal 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, untuk selanjutnya disebut UU Perasuransian, atau Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan, untuk selanjutnya disebut UU Penjaminan, sebagai landasan yang menjadi acuan Perusahaan Perasuransian dalam melakukan lini usaha Suretyship , dapat kami sampaikan hal-hal sebagai berikut:
Secara umum, dalam menjalankan kegiatan usahanya, suatu Perusahaan Perasuransian mengacu pada ketentuan yang berlaku yaitu UU Perasuransian yang kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 69/POJK.05/2016 tentang Penyelenggaraan Usaha 116 Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, Dan Perusahaan Reasuransi Syariah, untuk selanjutnya disebut POJK No. 69/2016. __ 2. Dalam UU Perasuransian, perluasan ruang lingkup usaha perasuransian telah diatur secara jelas dalam Pasal 5 yang berbunyi: __ 1) Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat. __ 2) Perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penambahan manfaat yang besarnya didasarkan pada hasil pengelolaan dana. 3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. __ Penjelasan: Cukup Jelas 3. Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian tersebut, dalam frasa ” dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat” pada dasarnya mengandung makna dibuka kesempatan bagi Perusahaan Perasuransian untuk melakukan perluasan usaha selain menyelenggarakan kegiatan usaha yang ditentukan secara limitatif sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) yang diperuntukkan bagi Perusahaan Asuransi Umum dan Pasal 3 ayat (1) dan (2) yang diperuntukkan bagi Perusahaan Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah. __ 4. Selain itu, berdasarkan Pasal 5 ayat (2) UU Perasuransian terdapat pendelegasian pengaturan lebih lanjut mengenai ruang lingkup usaha perasuransian yang diperluas sesuai kebutuhan masyarakat, diatur lebih lanjut dalam POJK No. 69/2016. __ 5. Dapat kami sampaikan, pada bagian ”Mengingat” POJK No. 69/2016 telah disebutkan secara jelas dasar hukum pembentukan POJK No. 69/2016 yaitu: __ 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 117 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia _Nomor 5253); _ 2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, _Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618); _ 6. Penegasan bahwa POJK No. 69/2016 diterbitkan berdasarkan UU Perasuransian juga terlihat di bagian Penjelasan Umum POJK No. 69/2016 dimana beberapa kali disebutkan bahwa UU Perasuransian sebagai dasar hukum diterbitkannya POJK No. 69/2016. ”Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian mengamanatkan penyempurnaan pengaturan dan pengawasan terhadap seluruh kegiatan industri asuransi yang telah berkembang pesat yang ditandai dengan meningkatnya volume usaha, bertambahnya pemanfaatan jasa perasuransian oleh masyarakat, serta layanan jasa perasuransian yang semakin bervariasi sejalan dengan perkembangan kebutuhan masyarakat.” ”Pengaturan mengenai penyelenggaraan usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah adalah salah satu pengaturan yang merupakan penuangan dari amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.” 7. Selanjutnya, terkait dengan lini usaha Suretyship yang merupakan ruang lingkup usaha yang diperluas sesuai kebutuhan masyarakat pada dasarnya telah diatur dalam Pasal 4 huruf a POJK No. 69/2016. __ 8. Oleh sebab itu, yang menjadi landasan utama suatu Perusahaan Perasuransian menjalankan lini usaha Suretyship yaitu Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian, sedangkan Pasal 4 huruf a POJK No. 69/2016 merupakan pengaturan lebih lanjut dari ketentuan dalam UU Perasuransian. Pengaturan lebih lanjut tersebut sesuai dengan pendelegasian kewenangan oleh UU Perasuransian yang mengatur bahwa ketentuan lebih lanjut mengenali perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah diatur dalam POJK (vide Pasal 5 ayat (3) UU Perasuransian). __ 9. Perlu kami sampaikan juga, pendelegasian kewenangan pengaturan lebih lanjut dalam POJK sebagaimana dimaksud pada angka 8 sesuai dengan ketentuan dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur bahwa peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi dapat mendelegasikan kewenangan mengatur lebih lanjut kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah (vide 118 Bab II Huruf A angka 198). Dengan kata lain, pengaturan Suretyship dalam POJK dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum mengenai cakupan dan ruang lingkup kegiatan usaha perasuransian sesuai dengan kebutuhan masyarakat. __ 10. Dapat kami sampaikan pula bahwa mengenai pengaturan Pasal 4 UU Penjaminan pada dasarnya menguatkan pengaturan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian. __ 11. Pasal 4 ayat (1) UU Penjaminan menjelaskan kegiatan usaha utama yang dilakukan oleh Perusahaan Penjaminan, sedangkan Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan menjelaskan kegiatan usaha tambahan yang dapat dilakukan Perusahaan Penjaminan. __ 12. Adapun pengaturan mengenai kegiatan usaha tambahan dalam Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan, telah sejalan dengan pengaturan mengenai perluasan kegiatan usaha sesuai kebutuhan masyarakat dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian. __ 13. Sedangkan kegiatan lini usaha Suretyship sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan, dapat dilakukan Perusahaan Perasuransian berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yang telah mengatur adanya perluasan ruang lingkup kegiatan usaha perasuransian, mengingat lini usaha Suretyship yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan tidaklah memerlukan persyaratan sebagai Lembaga Penjaminan sebagaimana Pasal 1 angka 1 UU Penjaminan.
Ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian merupakan ketentuan yang sudah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 61 UU Penjaminan, jika Perusahaan Perasuransian hendak melakukan kegiatan lini usaha Suretyship sebagaimana Lembaga Penjaminan juga dapat menjalankannya berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan.
Dengan demikian landasan hukum mengenai pengaturan lini usaha Suretyship yang dilakukan oleh Perusahaan Perasuransian pada dasarnya mengacu pada Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yang kemudian ditindaklanjuti dengan POJK No 69/2016 dan sejalan dengan pengaturan pada Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan. __ __ 119 B. Lini Usaha Suretyship Telah Diakomodir dalam Ketentuan UU Penjaminan dan UU Perasuransian Bahwa terkait pertanyaan Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah mengenai alasan OJK menggunakan UU Penjaminan sebagai referensi dalam memberikan keterangan sebagai pihak terkait, dapat kami sampaikan hal-hal sebagai berikut:
Sebagaimana telah OJK sampaikan dalam keterangan sebelumnya, Pemohon berpendapat ruang lingkup kegiatan usaha Perusahaan Perasuransian sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian tidak mencantumkan secara tegas kegiatan usaha Suretyship , sehingga menurut Pemohon hal tersebut melanggar dan bertentangan dengan hak Pemohon __ sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, untuk selanjutnya disebut UUD 1945. __ 2. Pemohon selaku badan hukum yang mewakili anggotanya berupa perusahaan yang bergerak di bidang perasuransian khususnya yang telah menjalankan bidang usaha Suretyship, yang mana praktik Suretyship tersebut telah berlangsung lama selama puluhan tahun dan telah dirasakan manfaatnya bagi pembangunan nasional. __ 3. Di Indonesia, dasar hukum Perusahaan Perasuransian melaksanakan lini usaha Suretyship telah diakomodir sejak tahun 1978 oleh beberapa peraturan terkait, yang kemudian saat ini diakomodir dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian. Namun, menurut Pemohon secara faktual pengaturan mengenai lini usaha Suretyship ini belum diatur secara tegas dalam UU Perasuransian tersebut sehingga berpotensi merugikan hak konstitusional Pemohon yang dilindungi dan dijamin UUD 1945. __ 4. Namun, terkait lini usaha Suretyship , dalam permohonannya juga disebutkan bahwa Perusahaan Penjaminan dapat menjalankan Surety Bond sebagaimana diatur secara tegas dalam Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan. __ Dengan lahirnya UU Penjaminan tersebut dipandang menimbulkan persoalan ketidaksesuaian pembentukan norma, khususnya dengan adanya Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU Penjaminan yang dipastikan akan menjadi penghalang tidak dapat dilaksanakannya lini usaha Suretyship oleh 120 Perusahaan Perasuransian, sebagaimana dinyatakan Pemohon pada halaman 10 angka 3.10 Surat Permohonan. __ 5. Dapat kami sampaikan, bahwa Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU Penjaminan beserta Penjelasannya menyatakan: __ (1) Setiap Orang di luar Lembaga Penjamin yang telah melakukan kegiatan penjaminan sebelum berlakunya Undang-Undang ini wajib menyesuaikan dengan Undang- Undang ini dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Undang- Undang ini. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap kegiatan penjaminan yang dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri. _Penjelasan: _ Ayat (1) Kegiatan penjaminan berdasarkan Undang-Undang ini melibatkan 3 (tiga) pihak, memungut imbal jasa penjaminan, terdapat sertifikat penjaminan, adanya klaim dan pembayaran klaim, serta pengalihan hak tagih. Oleh karena itu, penjaminan yang dilakukan tidak berdasarkan pada prinsip tersebut, tidak masuk dalam kategori penjaminan yang dimaksud dalam Undang-Undang ini. Ayat (2) __ Cukup Jelas 6. Dengan adanya pengaturan tersebut maka timbul kekhawatiran bahwa dengan munculnya Pasal 61 UU Penjaminan tersebut telah menyebabkan ketidakpastian lini usaha Suretyship yang menggunakan landasan hukum Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yang mengatur mengenai perluasan lini usaha asuransi. Hal ini dipertegas oleh Pemohon dalam permohonan pengujian a quo , halaman 23, halaman 26, dan halaman 32 s.d. halaman 34 permohonannya, yang pada pokoknya menganggap Pasal 61 UU Penjaminan telah menghalangi Perusahaan Perasuransian untuk menjalankan lini usaha Suretyship .
Selain itu, keberadaan Pasal 61 UU Penjaminan tersebut terkesan menyebabkan Perusahaan Perasuransian yang mendasarkan kegiatan lini usaha pada POJK No. 69/2016, yang merupakan peraturan pelaksana dari UU Perasuransian, harus tunduk pada peraturan UU Penjaminan tersebut.
Oleh karena itu dalam permohonannya, Pemohon bependapat dalam halaman 35 angka 3.31 secara tegas menyatakan adanya pengaturan dalam UU Penjaminan yang melarang pelaksanaan kegiatan lini usaha 121 Suretyship dilakukan oleh Perusahaan Perasuransian, sebagaimana diuraikan oleh Pemohon sebagai berikut: “ Dengan demikian, Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 a quo yang multitafsir bertentangan dengan prinsip konstitusi yaitu prinsip kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena sejak awal suretyship adalah merupakan lini usaha dari perusahaan asuransi, kemudian terbit UU No 1/2016 yang tidak membenarkan suretyship dilakukan oleh perusahan asuransi, namun terbitlah UU No. 2/2017 dan Perpres No.16/2018 yang membenarkan suretyship dilakukan oleh perusahaan asuransi.” 9. Dengan demikian, sudah sepatutnya OJK dalam memberikan Keterangan sebagai Pihak Terkait juga untuk memperhatikan keberadaan hukum UU Penjaminan yang beririsan dengan UU Perasuransian, khususnya pada Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yang secara khusus mengatur mengenai kegiatan usaha perasuransian yang mencakup lini usaha Suretyship . C. Pembatasan Perusahaan Perasuransian yang Melakukan Lini Usaha Suretyship Berdasarkan POJK 69/2016 1. Ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian merupakan ketentuan yang sudah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 61 UU Penjaminan, jika Perusahaan Perasuransian hendak melakukan kegiatan lini usaha Suretyship sebagaimana Lembaga Penjaminan juga dapat menjalankannya berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan.
Sebagaimana diketahui bersama, Pasal 5 UU Perasuransian telah mengatur beberapa ketentuan yang berkaitan dengan perluasan ruang lingkup kegiatan usaha Perusahaan Perasuransian sebagai berikut: (1) Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat. (2) Perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penambahan manfaat yang besarnya didasarkan pada hasil pengelolaan dana. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan . 122 3. Sebagai pelaksanaan amanat Pasal 5 ayat (3) UU Perasuransian, OJK telah menerbitkan POJK No. 69/2016 yang memberikan kesempatan kepada Perusahaan Perasuransian untuk menjalankan lini usaha Suretyship. 4. Namun demikian, lini usaha Suretyship sebagaimana diatur dalam POJK No. 69/2016 hanya diberikan kepada Perusahaan Asuransi Umum dan tidak diberikan kepada Perusahaan Asuransi Umum Syariah, Perusahaan Asuransi Jiwa, maupun Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah. Hal ini diatur dalam Pasal 4 huruf a. POJK No. 69/2016 yang menyatakan: “ Ruang lingkup usaha Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat _dengan ketentuan sebagai berikut: _ a. Perusahaan Asuransi Umum hanya dapat melakukan _perluasan ruang lingkup usaha pada: _ _5. kegiatan usaha PAYDI; _ _6. kegiatan usaha berbasis imbalan jasa (fee based); _ 7. kegiatan usaha Asuransi Kredit dan Suretyship _; dan/atau _ 8. kegiatan usaha lain berdasarkan penugasan dari _pemerintah; _ ” 5. Yang menjadi dasar pertimbangan OJK dalam memberikan pengaturan hanya Perusahaan Asuransi Umum yang dapat melakukan lini usaha Suretyship adalah bahwa ketentuan dalam Pasal 4 huruf a POJK No. 69/2016 dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum bagi Perusahaan Asuransi Umum di bawah payung hukum UU Perasuransian dalam menyelenggarakan kegiatan Suretyship , yang telah dilaksanakan selama ini dengan menggunakan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.010/2008 tentang Penyelenggaraan Lini Usaha Asuransi Kredit dan Suretyship (PMK 124/2008).
Dalam PMK 124/2008 tersebut, telah diatur mengenai persyaratan modal sendiri bagi Perusahaan Asuransi Umum yang akan memasarkan produk asuransi pada lini usaha asuransi kredit atau Suretyship yaitu paling sedikit sebesar Rp 250.000.000.000,- (dua ratus lima puluh miliar rupiah) ( vide Pasal 3 PMK 124/2008).
Selain itu, berdasarkan Pasal 37 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 72/POJK.05/2016 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi Dan Perusahaan Reasuransi Dengan Prinsip Syariah dan Pasal 34 Peraturan 123 Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 71/POJK.05/2016 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi telah mengatur mengenai Ekuitas minimum yang diwajibkan bagi Perusahaan Perasuransian yaitu:
Bagi Perusahaan Asuransi Syariah sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah);
Bagi Unit Syariah dari Perusahaan Asuransi sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah); dan
Bagi Perusahaan Asuransi yang memiliki unit Syariah sebesar Rp100.000.000.000,00 (serratus miliar rupiah) ditambah dengan kewajiban ekuitas minimum bagi unit Syariah sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) sehingga menjadi Rp125.000.000.000,00 (seratus dua puluh lima miliar rupiah).
Oleh sebab itu, mengingat persyaratan modal sendiri bagi Perusahaan Asuransi Syariah dan Unit Usaha Syariah lebih kecil dari persyaratan modal sendiri bagi Perusahaan Perasuransian yang akan menjalankan kegiatan usaha Suretyship dalam PMK 124/2008 serta nilai penjaminan dalam bisnis Suretyship yang umumnya cukup besar, maka kegiatan usaha Suretyship tidak dibuka untuk Perusahaan Asuransi Syariah dan Unit Usaha Syariah.
Selain itu, yang menjadi pertimbangan lain dalam mengatur hanya Perusahaan Asuransi Umum yang dapat melakukan lini usaha Suretyship adalah karena kegiatan usaha Suretyship berpotensi menggerus kemampuan finansial Perusahaan Asuransi Syariah maupun Unit Syariah yang saat ini masih dalam tahap pengembangan ( infant industry) .
Dengan demikian, oleh karena Perusahaan Asuransi Syariah masih dalam tahap pengembangan dengan kemampuan permodalan dipandang masih belum dapat memenuhi ketentuan dalam PMK 124/2008 yang secara khusus mengatur mengenai Suretyship , maka OJK selaku regulator tidak membuka lini usaha Suretyship untuk dilakukan oleh Perusahaan Asuransi Syariah, dan hanya dilakukan oleh Perusahaan Asuransi Umum. 124 D. Data Perbandingan atau Komparasi Model Pengaturan Negara Lain dengan Indonesia Sebagaimana Telah Dijelaskan Dalam Keterangan sebagai Pihak Terkait Bahwa terkait pertanyaan Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah mengenai data perbandingan __ atau komparasi model pengaturan negara lain, dapat kami sajikan dalam tabel sebagai berikut: Tabel Praktik Suretyship di Beberapa Negara Lain No. Negara Pengaturan Keterangan 1. Tiongkok Article 6: “Suretyship as used in this Law means an agreement pursuant __ to which a surety and a creditor __ agree that the surety shall perform the obligation or bear the liability according to the agreement, when the debtor fails to perform his obligation.” Article 7: A legal person, other organization or a citizen capable of assuming debts may act as a surety . Article 8: “No State organ may act as a surety, except in the case of securing loans, for onlending, from a foreign government or an international economic organization as is approved by the State Council.” _Ref: _ Adopted at the 14 ^th Meeting of the Standing Committee of the Eight National People’s Congress on June 30, promulgated by Order No. 50 of the President of the People’s Republic of China on June 30, 1995, and effective as of October 1, 1995, “Guaranty Law”) Article 95: • Pengaturan mengenai Suretyship di Tiongkok berdasarkan Guarantee Law of the People’s Republic of China (1995) tercantum dalam Article 6 Chapter II (Suretyship) yang menyatakan bahwa Suretyship merupakan suatu perjanjian antara penjamin dengan kreditor, dimana penjamin sepakat untuk menanggung atau melakukan kewajiban berdasarkan perjanjian, jika debitur gagal melakukan kewajibannya. • Guarantee Law pada prinsipnya tidak membatasi pihak yang dapat menjadi penjamin kecuali oleh Guarantee Law ditentukan lain/terdapat pengecualian. • Pengaturan Suretyship dalam regulasi di Tiongkok lebih bersifat umum. Lini usaha Suretyship di Tiongkok pada dasarnya meliputi beberapa area seperti banking dan juga asuransi, dengan catatan bahwa sepanjang pihak (person), organisasi lainnya dan warga negara yang secara legal dan mampu menanggung hutang, dapat bertindak sebagai Penjamin (Surety). • Selain itu, dalam Insurance Law of the People’s Republic 125 The scope of business of an insurance company shall be as follows :
Personal insurance, including life insurance, health insurance, accidential injury insurance, etc.;
Property insurance, including property loss or damage insurance, liability insurance, credit insurance and surety bonds, etc.; and (3) Other insurance-related businesses approved by the insurance regulatory body under the State Council. _Ref: _ Adopted at the 14 ^th Meeting of the Standing Committee of the Eight National People’s Congress on June 30 1995, amended three times on 28 October 2002, on 28 February 2009 and on 24 April 2015, Insurance Law) of China (2015) Article 95 diatur bahwa surety bond merupakan jenis usaha yang dapat dilakukan Perusahaan Perasuransian yang tergolong ke dalam jenis usaha asuransi properti. Bahkan Insurance Law (2015 ) juga memberikan keleluasaan kepada Perusahaan Perasuransian untuk menerbitkan produk usaha lainnya selain Surety Bond , dalam hal ini merupakan bentuk Suretyship lainnya). • Terdapat putusan Supreme Court di Tiongkok terhadap suatu kasus terkait accessory principle apply to surety bonds , bahwasanya Suretyship itu sendiri secara nature merupakan bagian dari perasuransian. Sehingga jika dikaitkan lebih lanjut dengan UU Perasuransian dan UU Penjaminan di Indonesia, walaupun dalam UU Perasuransian tidak disebutkan secara clear pengaturan terkait Suretyship, namun secara praktik, sejarah dan by nature (sebagaimana penjelasan di atas) Suretyship di Indonesia merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari industri perasuransian.
Filipina Title 4 SURETYSHIP Sec. 175. A contract of suretyship is an agreement whereby a party called the surety guarantees the performance by another party called the principal or obligor of an obligation or undertaking in favor of a third party called the obligee. It includes official recognizances, stipulations, bonds or undertakings issued by any company by virtue of and under the • Filipina sebagai negara yang menganut sistem Common Law, mengatur mengenai Suretyship baik dalam Insurance Act/Undang-Undang Asuransi (Republic Act No.2427 of 1914), General Banking Act/Undang-Undang Bank Umum (Republic Act No.8791 of 2000), serta Surety Act/Undang-Undang Surety (Republic Act No.2203 of 1913). • Insurance Act No. 2427/1914 126 provisions of Act No. 536, as amended by Act No. 2206. Sec. 176. The liability of the surety or sureties shall be joint and several with the obligor and shall be limited to the amount of the bond. It is determined strictly by the terms of the contract of suretyship in relation to the principal contract between the obligor and the obligee. (As amended by Presidential Decree No. 1455). Ref: Republic Act No. 2427 An Act Revising The Insurance Laws And Regulating Insurance Business In The Philippine Islands, “Insurance Act 1912”) Sect. 29. Powers of a Commercial Bank. — A commercial bank shall have, in addition to the general powers incident to corporations, all such powers as may be necessary to carry on the business of commercial banking, such as accepting drafts and issuing letters of credit ; discounting and negotiating promissory notes, drafts, bills of exchange, and other evidences of debt; accepting or creating demand deposits; receiving other types of deposits and deposit substitutes; buying and selling foreign exchange and gold or silver bullion; acquiring marketable bonds and other debt securities ; and extending credit, subject to such rules as the Monetary Board may promulgate. These rules may include the determination of bonds and other debt securities eligible for investment, the maturities and aggregate amount of such investment. membagi bisnis asuransi di Filipina dalam empat jenis usaha, yaitu: asuransi umum (Chapter 1), asuransi kelautan (Chapter 2), asuransi kebakaran (Chapter 3), serta asuransi jiwa dan kesehatan (Chapter 4). Dalam Insurance Act 1914 tersebut juga dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Suretyship adalah perjanjan dimana penjamin (Surety) menjamin kinerja oleh pihak Prinsipal (obligor) dari kewajiban kepada Obligee. • Penerbitan Suretyship juga dapat dilakukan oleh Bank sebagaimana diatur dalam The General Banking Act of 2000 , yang bertujuan untuk menanggung kewajiban kontrak nasabah kepada bank. • Sementara, secara spesifik Filipina juga mengatur mengenai kegiatan Surety , yaitu dalam Undang-Undang No. 2203/1913 yang merupakan amandemen atas Undang-Undang No.536. Undang-undang ini mengatur Surety namun sebatas pada empat jenis jaminan, yaitu suatu Pengakuan (recognizance), Ketentuan (stipulation), Surat Utang (bond), dan Pelaksanaan Pekerjaan yang Ditentukan (undertaking specified), Undang-Undang tersebut dimaksudkan sebagai upaya menjamin kinerja suatu kondisi saat dieksekusi, atau dijamin semata-mata oleh perusahaan yang didirikan dengan berdasarkan hukum AS atau negara bagiannya, atau perusahaan apapun yang tunduk pada peraturan perundang-undangan Kepulauan Filipina, kecuali 127 Ref: Republic Act No. 8791 An Act Providing For The Regulation Of The Organization And Operations Of Banks, Quasi-Banks, Trust Entities And For Other Purposes “The General Banking Act of 2000”) perusahaan tersebut diizinkan Pemerintah Kepulauan Filipina untuk menjadi penjamin atas keempat hal tersebut. Pada prinsipnya, suatu penjaminan tidak harus dilaksanakan tersendiri oleh suatu Perusahaan Penjaminan maupun Perusahaan Penjaminan khusus.
Singapura Classification of insurance business and construction of references to matters connected with insurance 2.-(1) For the purposes of this Act, insurance business shall be divided into 2 classes — (a) life business, which means all insurance business concerned with life policies, long-term accident and health policies, or both; and [23/2003 wef 01/01/2004] (b) general business, that is to say, all insurance business which is not life business, and shall include the effecting and carrying out by any person, not being a person licensed, approved, designated or otherwise regulated under the Monetary Authority of Singapore Act (Cap. 186), Banking Act (Cap. 19), Finance Companies Act (Cap. 108) or Securities and Futures Act (Cap. 289); of contracts for fidelity bonds, performance bonds, administration bonds, bail bonds or customs bonds or similar contracts of guarantee, being contracts effected by way of business (and not merely incidental to some other business carried on by the person effecting them) in return for the • Suretyship dalam pengaturan hukum di Singapura diatur dalam Ch. 23 The Law of Guarantees . Seperti halnya Tiongkok dan Inggris, Singapura juga tidak membatasi bidang usaha Suretyship , dengan kata lain banking dan asuransi masuk dalam area praktik surertyship tersebut. • Hanya saja dalam pengaturan tersebut Singapura lebih mengedepankan prinsip utama dalam Suretyship law , yaitu perjanjian penjaminan yang dibuat diantara penjamin (Surety) dan debitor utama harus berdasarkan kesepakatan dan persetujuan dari pihak Surety, sehingga apabila perjanjian tersebut dilakukan tanpa persetujuan dari pihak Surety, maka dapat dipastikan pihak Surety harus dibebaskan dari kewajibannya kecuali dalam kontrak penjaminan menyatakan sebaliknya. • Lebih lanjut berdasarkan pengaturan hukum Singapura dalam Insurance Act, Suretyship merupakan lini usaha yang bisa dijalankan oleh Perusahaan Perasuransian yang tergolong ke dalam ruang lingkup usaha asuransi umum. Sama halnya dengan Inggris, pengaturan 128 payment of one or more premiums. Ref: Insurance Act (Chapter 142) (Original Enactment: Act 46 of 1966) Revised Edition 2002 (31st December 2002)) 27.-(1) Every bank in Singapore shall prepare a statement in respect of each quarter of a year, in such form as may be specified by the Authority, showing as at the end of that quarter all the credit facilities from, all the exposures of the bank to, and all the transactions of the bank with — (a) any person in a director group of the bank; (b)...etc. “credit facilities” means — (a) the granting by a bank of advances, loans and other facilities whereby a customer of the bank has access to funds or financial guarantees ; or (b) the incurring by a bank of other liabilities on behalf of a customer; Ref: Banking Act (Chapter 19) (Original Enactment: Act 41 of 1970), Revised Edition 2008 (31st March 2008) mengenai bentuk Suretyship juga diatur antara lain berupa fidelity bonds, performance bonds, administration bonds, bail bonds, atau __ customs bonds. • Singapura juga tidak membatasi penerbitan Suretyship hanya kepada bidang usaha tertentu. Banking Act memperbolehkan Bank untuk memberikan penjaminan. Dalam proyek pembangunan infrastruktur misalnya, Bank di Singapura juga dapat menerbitkan Suretyship. John Phillips, Michelle Chen, “The Law of Guarantees: Balancing the Interests of the Parties, s. (2014). 2013 Jones Day Professorship of Commercial Law Lecture. https: //ink.library.smu.edu.sg/jday _lect/2 4. Inggris Suretyship 15 -(1) Contracts of insurance against the risks of loss to the persons insured arising from their having to perform contracts of guarantee entered into by them.
Fidelity bonds, performance bonds, administration bonds, bail bonds or customs bonds or similar contracts of guarantee , where these are— • Dalam the Financial Services and Markets Act 2000, Suretyship diartikan sebagai salah satu bentuk kontrak asuransi terhadap risiko kerugian bagi orang yang diasuransikan yang timbul dari kewajian dalam kontrak jaminan antara Obligee dengan Principal. __ • Dalam the Financial Services and Markets Act 2000 disebutkan apa saja yang __ termasuk dalam Suretyship antara lain __ fidelity bonds, 129 (a) effected or carried out by a person not carrying on a banking business; (b) not effected merely incidentally to some other business carried on by the person effecting them; and (c) effected in return for the payment of one or more premiums. Instruments creating or acknowledging indebtedness 77.-(1) Subject to paragraph (2), such of the following as do not fall within article 78— (a) debentures; (b) debenture stock; (c) loan stock; (d) Bonds; (e) certificates of deposit; (f) any other instrument creating or acknowledging indebtedness.
If and to the extent that they would otherwise fall within paragraph (1), there are excluded from that paragraph— (a) an instrument acknowledging or creating indebtedness for, or for money borrowed to defray, the consideration payable under a contract for the supply of goods or services; (b) a cheque or other bill of exchange, a banker’s draft or a letter of credit (but not a bill of exchange accepted by a banker); (c) a banknote, a statement showing a balance on a current, performance bonds, bail bonds or customs bonds. Sehingga pengaturan terkait Suretyship tidak hanya berlaku untuk bidang usaha asuransi saja melainkan juga banking area. __ • Central Unit on Procurement (CPU), HM Treasury, pada tahun 1994, juga pernah menerbitkan pedoman No. 48 tentang Bonds and Guarantees , yang di dalamnya memuat mengenai pelaksanaan Suretyship oleh bank atau Surety Company lainnya. Sebagian besar pengaturan mengenai Suretyship timbul dari putusan pengadilan atas perkara- perkara tertentu yang berkaitan dengan Suretyship yang dikeluarkan oleh Perusahaan Perasuransian maupun bank. __ • Selain itu pengaturan suretyship di Inggris merupakan bagian dari asuransi umum, sebagaimana tercantum dalam Regulated Activities Order terkait kontrak asuransi umum (khususnya terkait risiko kerugian). __ • Dalam the Financial Services and Markets Act 2000 juga diatur mengenai ruang lingkup usaha Bank yang antara lain adalah membuat kontrak asuransi yang dapat merujuk pada Suretyship sebagaimana usaha perasuransian dan termasuk juga menerbitkan letter of credit. • Sebagian besar pengaturan mengenai Suretyship timbul dari putusan pengadilan atas perkara-perkara tertentu yang berkaitan dengan Suretyship yang dikeluarkan oleh Perusahaan Perasuransian maupun Bank. __ James Devenney, Lorna Fox & Mel Kenny, “Standing surety in England and Wales: the sphinx 130 deposit or savings account, a lease or other disposition of property, or a heritable security; and (d) a contract of insurance. Ref: the Financial Services and Markets Act 2000 (Regulated Activities) Order 2001 (SI 2001/544). of procedural protection”, Lloyds Maritime and Commercial Law Quarterly. http: //hdl.handle.net/10036/3451 Bahwa dengan demikian, berdasarkan data perbandingan dan model komparasi pengaturan mengenai lini usaha Suretyship yang dipraktikkan di beberapa negara seperti Tiongkok, Filipina, Singapura, dan Inggris, dapat dilakukan oleh Perusahaan Perasuransian, Perusahaan Penjaminan maupun lembaga lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. [2.6] Menimbang bahwa Mahkamah Konstitusi pada persidangan tanggal 10 September 2020 telah menghadirkan satu orang ahli yaitu Irvan Rahardjo, S.E., M.M., yang telah menyampaikan keterangan pada persidangan tanggal 10 September 2020 dan dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima pada tanggal 10 September 2020, yang pada pokoknya sebagai berikut:
Sejarah lahirnya asuransi dan sejarah asuransi di Indonesia pada umumnya Sejarah asuransi merupakan sejarah panjang ikhtiar umat manusia untuk mengurangi resiko yang lahir dari ketidakpastian dengan membagi atau mengalihkan resiko yang mengancam, pada satu pihak ke pihak lain. Disisi lain, asuransi juga sejarah ikhtiar manusia dalam mengambil keuntungan melalui pengumpulan dana dari masyarakat dengan memberikan janji untuk memberikan manfaat kepada pihak yang hendak menghindarkan diri dari ancaman risiko yang timbul dari ketidakpastian. Dari berbagai sumber diketahui bahwa sejarah awal asuransi sebelum memasuki abad pertengahan dapat dibagi dalam beberapa periode, yaitu masa Babylonia, Yunani dan Romawi. Sejarah asuransi yang tertua dapat ditelusuri sampai sekitar 4000 tahun silam dalam bentuk upaya para pemilik kapal atau para pedagang bangsa Babylonia yang hidup dintara sungai Euphrat dan Tigris - yang sekarang termasuk dalam wilayah Irak-untuk melindungi usaha mereka terhadap ketidakpastian. Pada masa itu mereka dapat meminjam uang dari 131 pedagang lain yang bertindak sebagai kreditor dengan menggunakan kapalnya atau barang dagangan sebagai jaminan. Pemilik kapal atau pedagang akan melunasi hutangnya setelah kapal selamat sampai di tujuan beserta sejumlah biaya tambahan kepada kreditor yang bertindak sebagai penanggung risiko. Peminjam dibebaskan dari hutang apabila kapal atau barang dagangan tidak selamat sampai tujuan. Tambahan biaya tersebut dapat dianggap sebagai premi. Sumber lain menyebutkan bahwa perjanjian dilakukan atas risiko perdagangan dengan angkutan darat ( caravan). Perjanjian yang menggunakan kapal sebagai jaminan pinjaman dan kreditor kehilangan uangnya bila kapal hilang dalam pelayaran tersebut dinamakan bottomry. Bentuk perjanjian tersebut memperoleh kekuatan hukum dibawah Kode Hammurabi (sekitar 2100 sebelum Masehi). Bangsa Phoenicia dan Yunani memberlakukan sistem yang sama bagi perdagangan laut mereka. Berdasarkan sejarah yang lain diketahui pula bahwa untuk mengurangi risiko kehilangan barang selama dalam pelayaran di sungai Hoang Ho di Cina, pada sekian abad sebelum Masehi, para pedagang yang melayari sungai tersebut membagi muatan barang dagangan mereka masing masing kedalam beberapa jung. Apabila dalam setiap pelayaran terdapat jung yang memuat barang mereka mengalami musibah, tingkat kerugian setiap pedagang hanya akan sebatas jumlah barang dagangan yang terdapat didalam jung yang mengalami musibah saja. Pada masa pemerintahan Alexander The Great di Yunani sebagai upaya untuk mengumpulkan dana, pemerintah memberikan jaminan untuk menangkap setiap budak yang melarikan diri atau memberikan penggantian atas harga beli budak yang hilang dengan imbalan pembayaran sejumlah uang. Perjanjian pemberian manfaat tersebut pada dasarnya sama dengan perjanjian asuransi umum dan imbalan uang yang dibayar oleh peserta dapat disebut sebagai premi asuransi. Pada masa tersebut terdapat pula suatu bentuk penjaminan oleh pemerintah yang meminjam uang kepada umum dengan imbalan pemberian bunga setiap bulan sampai pemilik uang wafat dan menyediakan biaya pemakaman bagi pemilik uang. Bentuk penjaminan ini merupakan bentuk asuransi jiwa yang pertama walaupun sebagaimana halnya dengan penjaminan terhadap 132 kehilangan budak, perjanjian ini timbul dari inisiatif pemerintah untuk mengumpulkan dana. Sebagaimana halnya hukum perbankan, hukum asuransi modern berasal dari praktik pedagang pedagang di Genoa, Italia pada awal abad keempat belas yang mengasuransikan kapal kapal dan muatan mereka terhadap risiko perjalanan laut. Perjanjian asuransi atas kapal Santa Clara pada tahun 1347 di Genoa merupakan perjanjian asuransi autentik yang tertua dalam pengertian adanya pengalihan risiko kerugian yang mungkin timbul karena peristiwa yang tidak pasti dengan imbalan sejumlah premi. Pada masa tersebut, lahirlah pribadi pribadi yang bertindak sebagai pihak yang bersedia menanggung sebagian risiko yang dihadapi oleh sesama pedagang dengan imbalan sejumlah bayaran. Praktik ini kemudian diadopsi sebagai dasar model asuransi yang berlaku sampai sekarang di Lloyd’s of London. Selama berabad abad Lloyd’s of London sepenuhnya terdiri dari berbagai sindikat ( syndicate ) yang merupakan pribadi pribadi yang bertindak sebagai underwriter yang melakukan transaksi asuransi, dimulai dari warung kopi Edward Lloyds di masa lalu sampai ke bangunan Lloyds of London saat ini. Pemilik masing masing sindikat memberikan jaminan hak milik pribadi dalam setiap penutupan asuransi. Praktik tersebut akhir akhir ini telah mengalami pergeseran dengan semakin banyaknya sindikat pada Lloyd’s of London yang berbentuk badan hukum dengan tanggung jawab sebatas modal usaha mereka. Penutupan asuransi atau reasuransi oleh Lloyd’s of London hanya dilakukan melalui pialang asuransi yang terdaftar di Lloyd’s of London. Dari perkembangan diatas, nampak bahwa bermula dari perjanjian yang timbul dari peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, landasan hukum perjanjian berkembang menjadi perjanjian yang dikembangkan sesama pedagang atas jaminan yang diberikan untuk kepentingan komersial. Kegiatan yang semula dilakukan sebagai pekerjaan sambilan akhirnya menjadi perjanjian yang dikeluarkan pribadi pribadi dan perusahaan perusahaan yang sepenuhnya bertindak sebagai penanggung. Kegiatan asuransi di bumi Nusantara dikenal pertama kali mengikuti kegiatan bangsa Belanda dalam usaha perkebunan dan perdagangan di negeri 133 jajahannya. Pada awalnya kegiatan asuransi terbatas untuk melindungi kepentingan Belanda, Inggris dan bangsa Eropa lainnya yang melakukan perdagangan dan usaha perkebunan di Indonesia, terutama untuk asuransi pengangkutan dan kebakaran. Asuransi jiwa nasional pertama adalah Bumiputera 1912 yang didirikan pada tahun 1912 di Magelang atas prakarsa seorang guru yang bernama M.Ng Dwidjosewoyo sebagai perusahaan asuransi yang berbentuk badan usaha bersama ( mutual ) pendirian Bumiputera 1912 didorong oleh keprihatinan yang mendalam terhadap nasib para guru kaoem boemipoetra . Pencapaian penting lainnya dalam tonggak sejarah asuransi Indonesia sejak kemerdekaan antara lain adalah terlaksananya Kongres Asuransi Nasional Seluruh Indonesia (KANSI) pertama pada 25 – 30 November 1956 di Bogor. Tujuan dari kongres tersebut antara lain untuk menyatukan pendapat dan bekerjasama memberikan sumbangan yang bermanfaat bagi perekonomian nasional, mengatasi sisa sisa sistem perekonomian kolonial dan peningkatan kesadaran berasuransi. Kongres tersebut antara lain melahirkan kesepakatan pendirian Dewan Asuransi Indonesia (DAI) pada 1 Februari 1957.
Pengaturan Asuransi Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan bahwa sesuatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Menurut Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa yang seorang berjanji kepada seseorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Unsur yang menjadi para pihak dalam suatu perjanjian, kata “orang” dalam pasal 1313 KUH Perdata tersebut, tidak semata mata diartikan “orang per orang” sebagaimana dalam pasal 1792 KUH Perdata tetapi juga “pihak” yakni orang dengan orang, badan dengan orang dan badan dengan badan. Perjanjian asuransi disebutkan sebagai sebuah perjanjian dimana atas imbalan sejumlah premi yang telah disepakati, satu pihak menyanggupi untuk memberikan ganti rugi kepada pihak yang lain atas subyek tertentu sebagai akibat dari bahaya tertentu. 134 3. Sahnya Perjanjian Asuransi Pasal 1320 KUH Perdata menyatakan bahwa terdapat empat syarat sahnya suatu perjanjian yaitu sepakat mereka yang mengikatkannya, adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Ketentuan tersebut dapat dibandingkan dengan elemen elemen perjanjian asuransi pada umumnya yaitu: offer and acceptance, consideration, legal object, competent parties dan legal form. 4. Pengalihan Resiko Dasar hukum perjanjian asuransi sebagaimana diatur dalam Pasal 1774 KUH Perdata menggolongkan perjanjian asuransi kedalam perjanjian untung untungan semata atau bertujuan spekulatif. Sedangkan perjanjian asuransi mempunyai tujuan yang lebih pasti yaitu pengalihan risiko. Namun dengan dimasukkannya asuransi kedalam KUH Dagang menjadikan asuransi sebagai perbuatan ekonomi yang sah oleh hukum dan pengakuan sah tersebut telah diatur dalam berbagai undang undang diluar KUH Dagang antara lain Undang Undang Nomor 2 Tahun 1912 tentang Usaha Perasuransian yang telah diubah dengan Undang Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
Lahirnya Perjanjian Asuransi Menurut pasal 1233 KUH Perdata, suatu perikatan dapat dilahirkan karena persetujuan maupun karena undang undang. Asuransi komersial adalah suatu perjanjian yang lahir karena persetujuan dan dapat lahir karena undang undang. Sedangkan asuransi sosial dan jaminan sosial lahir karena undang undang.
Pengertian Asuransi menurut KUH Dagang Robert Bradgate mengatakan dalam konteks industri asuransi di Inggris dan berbagai peraturan yang berlaku disana dan preseden yang ada, karena begitu luasnya risiko yang dapat ditanggung oleh asuransi, penggunaan definisi “asuransi” dapat dipertanyakan walaupun untuk tujuan tujuan tertentu sebuah definisi mungkin bermanfaat. Pertama , mereka yang menjalankan usaha perasuransian harus tunduk kepada peraturan perundang-undangan tertentu. Kedua, beberapa ketentuan hukum tertentu tidak berlaku terhadap perjanjian asuransi. Ketiga, meskipun perjanjian 135 asuransi adalah sebuah perjanjian yang akan tunduk kepada ketentuan perundang-undangan yang umum atas suatu perjanjian, sejumlah ketentuan khusus berlaku atas perjanjian asuransi (dalam sistem common law ) 7. Pasal 247 & 268 KUH Dagang Meskipun pasal 247 KUH Dagang membatasi asuransi hanya merupakan asuransi terhadap bahaya kebakaran, asuransi pertanian, asuransi jiwa, asuransi pengangkutan laut, darat dan sungai namun pasal 268 KUH Dagang menyebutkan suatu pertanggungan dapat mengenai segala kepentingan yng dapat dinilai dengan uang, dapat diancam oleh sesuatu bahaya dan tidak dikecualikan oleh undang undang. 8. Perkembangan Suretyship dan Surety Bond di Indonesia Bidang usaha yang memberikan jaminan dalam bentuk surety bond bukan merupakan bidang usaha yang baru. Luther E. Mackall dalam bukunya “Security Underwriting Manual” menyebutkan bahwa sudah sejak berabad- abad yang lalu ketika mulainya zaman peradaban, seseorang menyediakan diri bagi kawan kawannya sebagai penjamin kepada pihak ketiga yang berhubungan dengan kewajibannya dengan atau tanpa suatu imbalan (Sianipar, 2000). Setelah zaman berganti maka timbulah badan-badan hukum yang didirikan untuk menampung resiko tersebut. Tercatat Amerika Serikat pada tahun 1837, William L. Watkins mengeluarkan pamflet yang mengusulkan pembentukan The New York Guarantee Company. Di Negeri Belanda tepatnya di Amsterdam berdiri N.V. Nationale Borg Maatsccappij pada tahun 1893. Kemudian Pemerintah Amerika Serikat pada tahun 1894 secara resmi mengakui pemberian jaminan oleh perusahaanperusahaan Surety Bonds Corporation yang sudah berdiri di Amerika Serikat (Sianipar, 2000). Seperti diketahui khususnya dalam asuransi kerugian terdapat jenis-jenis asuransi, seperti asuransi kebakaran, asuransi kendaraan, asuransi pengangkutan, asuransi kecelakaan, asuransi rekayasa, asuransi properti, asuransi tanggung jawab hukum serta asuransi jaminan (surety) Bila dikaitkan dengan surety bond maka pengertian surety bond erat terkait dengan asuransi tanggung jawab hukum dan asuransi jaminan. 136 Di Indonesia sebelum tahun 1978 lembaga jaminan yang mirip surety bond selama ini adalah bank garansi. Barulah pada tanggal 6 Desember 1978 pemerintah memberi peluang melalui Peraturan pemerintah RI, No.34 tahun 1978 untuk Asuransi Kerugian Jasa Raharja melakukan perluasan usahanya dari asuransi wajib di bidang pertanggungan wajib kecelakaan penumpang umum dan kecelakaan lalulintas jalan. Adapun perluasan usaha yang dimaksud adalah pemberian jaminan dalam bentuk surety bond. Ketentuan diatas kini tidak berlaku setelah dikeluarkannya Kepres No. 18 tahun 2000 yang mengatur tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang dan jasa instansi pemerintah. Kepres ini kemudian dilengkapi dengan Keputusan Bersama Menteri Keuangan RI dan Kepala Bappenas No. S-42/A/2000 dan No. S-2262/D.2/05/2000 tertanggal 3 Mei 2000, Isi Keputusan Bersama Menteri tersebut menegaskan bahwa perusahaan asuransi harus dari perusahaan asuransi yang mempunyai program asuransi kerugian (surety bonds) dan harus direasuransikan kepada perusahaan asuransi/reasuransi yang bonafid (Sianipar, 2000). Walaupun langkah untuk memperkenalkan dan mendukung penggunaan produk Surety Bond tersebut telah dilakukan oleh pemerintah antara lain melalui Keppres No. 18 Tahun 2000, tentu saja kesuksesan perusahaan asuransi dalam memasarkan produk penjaminan atau penanggungan tersebut akan sangat ditentukan oleh kepastian pembayaran oleh pihak asuransi itu sendiri sebagai penjamin atau yang lebih dikenal dengan Surety. Sebagai contoh, proyek-proyek yang dibiayai oleh pemerintah yang penawaran pengerjaannya kepada para kontraktor selalu dilakukan melalui tender berdasarkan Keppres No.18 tahun 2000 yang pada umumnya selalu mensyaratkan adanya jaminan (tender bond) dari kontraktor yang memenangkan tender tersebut terhadap kepastian kemampuan dan kualitas dari pelaksanaan proyek yang dimenangkannya tersebut sesuai dengan perjanjian yang disepakati. Begitu pula bila pihak pemberi kerja disepakati untuk terlebih dahulu memberikan uang muka kepada kontraktor untuk memulai pekerjaannya, umumnya pemberi kerja akan memproteksi dirinya dengan meminta jaminan (advance bond) terhadap resiko kerugian bila kontraktor yang telah menerima uang muka tersebut ternyata tidak melaksanakan pengerjaan proyek tersebut seperti yang disepakati. 137 Menteri Keuangan sebagai pengawas dan pembina usaha perasuransian di Indonesia, telah menyadari bahwa konsekuensi hukum dari penerbitan surety bond tersebut tidaklah mudah. Oleh karena itu, ijin untuk menerbitkan surety bond dibatasi secara ketat dan pada awalnya Kepres No. 14A tahun 1980 hanya diberikan pada PT. Persero Asuransi Jasa Raharja, yang dalam perkembangannya kemudian ijin penerbitan tersebut melalui Keputusan Menteri Keuangan RI (KMK RI) No. 761/KMK.013/1992 diperluas kepada 20 perusahaan asuransi, yang kemudian berdasarkan Surat Direktur Asuransi No. S 2272/DK/ 2001 tanggal 16 Mei 2001 yang ditujukan ke Pertamina menyatakan adanya 22 perusahaan asuransi yang berhak untuk menerbitkan surety bond. Surety Bond merupakan suatu produk inovatif yang ditawarkan oleh perusahaan asuransi sebagai upaya pengambilalihan potensi resiko kerugian yang mungkin dapat dialami oleh salah satu pihak, umumnya pemilik proyek ( bouheer) atas kepercayaan yang diberikan kepada pihak lain ( kontraktor) dalam pelaksanaan kontrak pemborongan yang telah disepakati oleh mereka. Jaminan tertulis tersebut secara hukum akan menimbulkan kewajiban bagi perusahaan asuransi selaku penjamin (surety) terhadap pihak penerima jaminan ( obligee/Kreditur) sebagai konsekuensi terhadap wanprestasi dari pihak yang dijamin ( principal/ debitu r) tersebut. Perbedaan Suretyship dan Asuransi No. Surety Bond Asuransi 1. Perjanjian Tanggung Renteng/Suretyship (Pasal 1313 KUH Perdata) dan Perjanjian Pertanggungan (Pasal 246 dst KUH Dagang) Perjanjian Pertanggungan (Pasal 246 KUH Dagang dst) 2. Para pihak terdiri dari Principal, Obligee dan Surety company Para Pihak terdiri dari Penanggung dan Tertanggung 3. Menjamin resiko baik yang berasal dari luar dan dari dalam principal (itikad/moral buruk) Para Pihak terdiri dari Penanggung dan Tertanggung 4. Premi dianggap sebagai biaya pelayanan (provisi/ service charge ) Premi dihimpun dari para tertanggung untuk membayar ganti rugi yang mungkin terjadi 5. Perjanjian suretyship bersifat unconditional, artinya Surety wajib membayar claim sebesar yang diperjanjikan. Misalkan Perjanjian Asuransi bersifat Conditional, artinya Asuransi hanya membayar claim yang 138 diperjanjikan bila principal gagal melaksanakan kontrak konstruksi maka claim surety harus dibayar Rp1 miliar. Ternyata Obligee gagal padahal dia sudah mengerjakan dengan biaya Rp500 juta. Maka pencairan kepada obligee tetap Rp1 miliar. benar-benar diderita Tertanggung, misalnya pertanggungan kebakaran Rp1 Miliar tapi terjadi kebakaran sebagian, maka asuransi hanya membayar claim Rp500 juta 6. Claim dibayar setelah principal dinyatakan gagal. Claim dibayar setelah diketahui penyebab yang dijamin dalam polis 9. Norma-norma UU 1/2016 tentang Penjaminan, UU 21/2011 tentang OJK dan UU Nomor 40/2014 tentang Perasuransian Beberapa norma hukum yang berlaku pada ketiga undang undang dimana eko sistem lini usaha suretyship berada dapat dikemukakan sebagai berikut: Aspek Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian Asas Penyelenggaraan usaha penjaminan berdasarkan asas kepentingan nasional; kepastian hukum; keterbukaan; akuntabilitas; profesionalisme; efisiensi berkeadilan; edukasi dan perlindungan konsumen (Pasal 2) Lembaga independen yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali secara tegas diatur dalam UU ini (Pasal 2 ayat (1)) Tata kelola usaha yang baik (Pasal 11 ayat (1)) perusahaan perasuransian wajib menerapkan standard perilaku usaha (Pasal 26) Tujuan Bertujuan menunjang kebijakan Agar seluruh kegiatan sektor jasa keuangan Untuk menciptakan industri perasuransian yang 139 pemerintah, mendorong kemandirian usaha; meningkatkan akses bagi dunia usaha; mendorong pertumbuhan pembiayaan; meningkatkan kemampuan produksi nasional; mendukung pertumbuhan perekonomian nasional; meningkatkan tingkat inklusivitas keuangan nasional (Pasal 3) terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel; mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat (Pasal 4) lebih sehat, dapat diandalkan, amanah dan kompetitif serta meningkatkan perannya dalam mendorong pembangunan nasional (Penjelasan) Pengawasan Lembaga penjaminan wajib menerapkan tata kelola perusahaan yang baik; wajib menjaga kondisi kesehatan keuangan (Pasal 26) Berwenang menetapkan kebijakan operasional, melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan memberikan perintah tertulis; menetapkan penggunaan pengelola statuter; menetapkan sanksi administratif; memberikan dan mencabut izin usaha/ izin orang Wajib menerapkan tata kelola perusahaan yang baik (Pasal 11 ayat (1)); anggota direksi, dewan komisaris atau yang setara wajib memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan (Pasal 11) 140 perorangan/ efektifnya pernyataan pendaftaran (Pasal 9) Reasuransi Lembaga penjaminan wajib melakukan mitigasi risiko dan mereasuransikan (Pasal 42 ayat (1)) n.a Menteri Keuangan menetapkan kebijakan umum dalam rangka pengembangan pemanfaatan asuransi dan reasuransi untuk mendukung perekonomian nasional (Pasal 57 ayat (2)) Klaim Lembaga penjaminan wajib memiliki cadangan klaim dan cadangan umum (Pasal 44) n.a Perusahaan asuransi wajib menjadi peserta program penjaminan polis (Pasal 53 ayat (1)) Retensi Sendiri Lembaga penjaminan wajib memiliki retensi sendiri (Pasal 49) n.a Wajib mengoptimalkan pemanfaatan kapasitas asuransi dalam negeri (Pasal 36) Penyelesaian Sengketa Dilakukan secara musyawarah mufakat; melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa (Pasal 54 ayat (1) dan (2)); kesepakatan Memfasilitasi penyelesaian pengaduan konsumen mediasi (Pasal 29c) 141 bersifat final dan mengikat Ketentuan Penutup Semua ketentuan mengenai penjaminan dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU ini (Pasal 63) UU No. 2/1992 tentang Usaha Perasuransian; UU No. 7/1992 tentang Perbankan; UU No. 11/1992 tentang Dana Pensiun; UU No. 8/1995 tentang Pasar Modal; UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia; UU No. 21/2008 tentang Perbankan Syariah dan peraturan UU lain di sektor keuangan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangdan belum diganti berdasarkan UU ini (Pasal 70) UU No. 2/1992 tentang Usaha Perasuransian dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (Pasal 90a); semua peraturan pelaksanaan dari UU No. 2/1992 dinyatakan masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU ini (Pasal 90c) 10. Kesimpulan Keteterangan Ahli Berdasarkan uraian tersebut diatas Ahli berkesimpulan sebagai berikut:
Asuransi lahir dan tumbuh sebagai hasil dari perikatan antara kedua pihak atau lebih subjek hukum baik perorangan maupun badan hukum dan sebagai hasil dari undang undang yang mengatur berbagai kehidupan ekonomi masyarakat.
Bahwa sejarah asuransi di dunia maupun di dalam negeri bertujuan untuk membagi dan mengalihkan risiko demi menjaga stabilitas keuangan anggota masyarakat pada khususnya dan kesejahteraan bangsa dan negara pada umumnya. 142 c. Bahwa sejak berdirinya industri asuransi nasional bertekad untuk bekerjasama memberikan sumbangan yang bermanfaat bagi perekonomian nasional, mengatasi sisa sisa sistem perekonomian kolonial dan peningkatan kesadaran berasuransi d. Bahwa lini usaha suretyship telah menjadi praktik bisnis perasuransian yang ditekuni sejumlah pelaku jasa keuangan asuransi dibawah pengaturan dan pengawasan Otoritas Jasa Keuangan yang melakukan pengawasan secara terintegrasi seluruh sektor jasa keuangan termasuk penjaminan. [2.7] Menimbang bahwa Pemohon, Presiden, dan Pihak Terkait menyerahkan kesimpulan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 17 September 2020 dan 18 September 2020 yang pada pokoknya tetap pada pendiriannya. [2.8] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan merujuk berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini.
PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang- Undang terhadap UUD 1945. 143 [3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon adalah permohonan untuk menguji konstitusionalitas norma undang-undang, in casu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618, selanjutnya disebut UU 40/2014) terhadap UUD 1945, maka Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo . Kedudukan Hukum Pemohon [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a; [3.4] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya, telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu: 144 a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh para Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum Pemohon sebagai berikut:
Bahwa norma undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo adalah Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 yang rumusannya adalah, (1) Ruang Lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat;
...
Bahwa Pemohon adalah Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) yaitu badan hukum perkumpulan yang para anggotanya adalah perusahaan- perusahaan yang bergerak di bidang perasuransian (Badan Hukum Privat) yang dalam hal ini diwakili oleh Ketua Dewan Pengurus Pusat AAUI, Wakil Ketua, Bendahara Dewan Pengurus Pusat AAUI, dan Direktur Eksekutif Dewan Pengurus Pusat AAUI, dan berdasarkan Akta Nomor 02 Pernyataan Keputusan Kongres Asosiasi Asuransi Umum Indonesia tentang Perubahan Anggaran Dasar, tanggal 4 Desember 2018 [vide bukti P-6] yang selanjutnya menyatakan bahwa pihak yang dapat bertindak untuk dan atas nama AAUI berdasarkan Pasal 14 dan berwenang menghadap ke pengadilan atas nama Organisasi AAUI berdasarkan Pasal 18 angka 2 adalah Dewan Pengurus Pusat yang 145 sekurang-kurangnya terdiri dari satu orang Ketua, satu orang Wakil Ketua, satu orang Bendahara, dan satu orang Direktur Eksekutif, dan Akta tersebut selanjutnya disahkan dengan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-0000962.AH.01.08 Tahun 2018 tentang Persetujuan Perubahan Badan Hukum Perkumpulan Perkumpulan Asosiasi Asuransi Umum Indonesia Dalam Bahasa Inggris Disebut General Insurance Association of Indonesia, tertanggal 18 Desember 2018, yang pada pokoknya menyebutkan nama-nama susunan pengurus dan pengawas AAUI [vide bukti P-13];
Bahwa Pemohon sebagai badan hukum privat perkumpulan yang berazaskan Pancasila dan berlandaskan UUD Negara Republik Indonesia serta sesuai dengan ketentuan Pasal 6 Anggaran Dasar, didirikan dengan tujuan mewakili kepentingan para anggota AAUI sebagai asosiasi nirlaba yang dibentuk dalam rangka memajukan industri asuransi umum dan reasuransi di Indonesia dengan menciptakan iklim usaha yang kondusif, penegakan etika berusaha dalam tatanan percaturan pasar global [vide bukti P-6];
Bahwa berdasarkan sertifikat keanggotaan [vide Bukti P-9], saat ini terdapat 45 perusahaan asuransi yang menjadi anggota Pemohon yang telah menjalankan bidang usaha suretyship berdasarkan izin dari pihak OJK [vide Bukti P-10];
Bahwa Pemohon menjelaskan suretyship yang __ telah dijalankan sebagai terobosan produk asuransi, dan prakteknya telah berlangsung lama tidak secara tegas dinormakan Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 sehingga bertentangan dengan prinsip kepastian hukum yang adil dan menimbulkan kerugian atau potensial menimbulkan kerugian tidak hanya kepada para anggota dari Pemohon namun juga perusahaan asuransi lainnya yang menjalankan lini usaha suretyship, bahkan telah mengancam lini usaha suretyship yang sudah dijalankan selama puluhan tahun, yang manfaatnya dirasakan bagi pembangunan nasional;
Bahwa Pemohon juga menerangkan Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 juga telah menyebabkan kerugian bagi anggota Pemohon karena beragam produk yang lahir dan dikembangkan anggota Pemohon dari bidang usaha suretyship seperti jaminan penawaran (bid bond) , jaminan pelaksanaan (performance bond) , jaminan uang muka (advance payment bond) , jaminan pemeliharaan (maintenance bond) , jaminan pembayaran serta jaminan kepabeanan (custom bond), __ secara potensial tidak lagi dapat dilakukan, padahal produk tersebut 146 sangat dibutuhkan untuk menjamin kelangsungan proyek pembangunan dengan skala yang besar baik di bidang konstruksi maupun non konstruksi;
Bahwa oleh karenanya menurut Pemohon, kehadiran Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 dengan cara langsung maupun tidak langsung potensial pasti merugikan berbagai macam usaha-usaha yang sudah dilakukan secara terus- menerus oleh Pemohon dalam rangka menjalankan tugas dan peranannya untuk memajukan industri asuransi umum dan reasuransi di Indonesia dengan menciptakan iklim usaha yang kondusif, penegakan etika berusaha dalam tatanan percaturan pasar global. Oleh karenanya, norma Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 yang diajukan dalam Permohonan ini secara faktual atau setidak- tidaknya potensial telah merugikan hak konstitusional Pemohon yang diakui, dijamin, dan dilindungi UUD 1945; Berdasarkan penjelasan Pemohon dalam menerangkan kedudukan hukumnya berkenaan dengan pengujian Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014, Pemohon menyatakan diri sebagai asosiasi yang berbentuk badan hukum yang potensial dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya undang-undang a quo, dan Pemohon telah pula menjelaskan kedudukannya di dalam asosiasi tersebut dengan melampirkan ketentuan yang menyatakan pihak yang dapat mewakili asosiasi tersebut untuk bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan. Oleh karena itu menurut Mahkamah berkaitan dengan kedudukan hukum dalam mengajukan permohonan a quo Pemohon telah dapat membuktikan bahwa Pemohon adalah subjek hukum yang dapat mengajukan permohonan a quo dan Pemohon juga telah dapat menjelaskan adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara anggapan kerugian konstitusional yang bersifat potensial yang dialami dengan berlakunya norma dari pasal yang dimohonkan pengujian. Dengan demikian terlepas dari terbukti atau tidaknya dalil permohonan Pemohon perihal pertentangan norma UU 40/2014 yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo, Mahkamah berpendapat, Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo. [3.6] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo, maka selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon. 147 Pokok Permohonan [3.7] Menimbang bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014, Pemohon mengemukakan argumentasi sebagaimana selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara yang pada pokoknya sebagai berikut:
Bahwa, menurut Pemohon, pemberian penjaminan di Indonesia saat ini dilayani oleh industri yang berbeda-beda, antara lain, industri perbankan terdapat bank umum yang dapat menerbitkan produk bank garansi. Selain itu, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia atau Exim Bank yang juga menerbitkan bank garansi. Berikutnya, perusahaan penjaminan yang menerbitkan surety bond dan industri perasuransian dengan perusahaan asuransi umum yang menerbitkan produk _suretyship; _ 2. Bahwa, menurut Pemohon, dalam konteks peraturan perundang-undangan Indonesia, eksistensi lembaga perbankan dalam menjalankan usaha bank garansi diakomodir secara tegas melalui Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU 7/1992) jo. Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU 10/1992). Demikian pula dengan perusahaan penjaminan dalam menjalankan lini usaha surety bond telah diatur secara eksplisit dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan (UU 1/2016);
Bahwa, menurut Pemohon, konsep suretyship merupakan salah satu bentuk konsep pertanggungan yang diatur dalam Pasal 1316 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kegiatan pertanggungan itu sendiri diantaranya meliputi pertanggungan biasa, bank garansi, serta suretyship . Pada dasarnya, jika dibandingkan antara suretyship dengan bank garansi, misalnya, maka keduanya memiliki fungsi yang sama sebagai pertanggungan pelaksanaan proyek, meski masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda. Namun, secara historis sebenarnya perusahaan-perusahaan asuransi telah menjalankan lini usaha suretyship sejak tahun 1978 bahkan pengaturannya telah dituangkan dalam berbagai macam bentuk perundang-undangan;
Bahwa, menurut Pemohon, dalam perkembangannya, ketika ketentuan yang mengatur asuransi secara khusus (lex specialis) diterbitkan melalui Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (UU 2/1992) 148 hingga UU 40/2014, suretyship masih juga belum diatur secara eksplisit dalam UU a quo , walaupun dalam Pasal 1 angka 4 UU 40/2014 memang disebutkan jasa pertanggungan atau pengelolaan resiko yang bisa saja termasuk makna suretyship, namun tetap saja ruang lingkup lini usaha yang diakui sebagai lini usaha perusahaan asuransi adalah seperti yang ditegaskan pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU 40/2014;
Bahwa, menurut Pemohon, tampak dengan jelas, Pasal 2 dan Pasal 3 UU 40/2014 justru membatasi lini usaha asuransi. Sementara, status suretyship kendati masuk dalam kategori lini usaha yang dapat diperluas menurut Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 dengan Peraturan OJK, namun perluasan dalam pasal tersebut tidak secara tegas menyebutkan lini usaha _suretyship; _ 6. Bahwa, menurut Pemohon, muncul persoalan ketidaksesuaian pembentukan norma dengan adanya Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU 1/2016 yang dipastikan menjadi penghalang tidak dapat dilaksanakannya lini usaha suretyship oleh perusahaan asuransi. Selain itu adanya ketidaksesuaian pembentukan norma semakin nampak dengan berlakunya undang-undang lain yang lahir kemudian yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (UU 2/2017), suretyship diakui sebagai salah satu lini usaha perusahaan asuransi, selain juga menegaskan adanya lembaga perbankan, dan/atau perusahaan penjaminan seperti yang ditegaskan dalam Pasal 57 ayat (4) UU 2/2017;
Bahwa, menurut Pemohon, Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 serta bersifat multitafsir serta tidak memiliki ukuran yang jelas apa yang dimaksud dengan “dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat”. Keadaan ini telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para anggota Pemohon untuk menjalankan lini usahanya. Hal ini ditambahkan dengan tidak adanya penjelasan dalam UU a quo mengenai apa yang dimaksud dalam pasal a quo, padahal sejak awal suretyship adalah merupakan lini usaha dari perusahaan asuransi, kemudian terbit UU 1/2016 yang tidak membenarkan suretyship dilakukan oleh perusahaan asuransi, namun terbit lagi UU 2/2017 dan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres 16/2018) yang membenarkan suretyship dilakukan oleh perusahaan asuransi _; _ 149 8. Bahwa, menurut Pemohon, Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 berpotensi membatasi hak Pemohon untuk turut serta dalam perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasarkan atas prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, dan berkelanjutan. Apalagi dengan berlakunya Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU 1/2016 yang dapat menegasikan kontribusi perusahaan asuransi yang selama ini telah turut serta memberi jaminan bagi berjalannya proyek-proyek tersebut melalui lini usaha suretyship . Jika suretyship tidak dapat dilakukan oleh perusahaan-perusahaan asuransi dipastikan akan menghambat kelanjutan pembangunan nasional sekaligus terhalangnya proyek pembangunan pemerintah;
Bahwa, menurut Pemohon, untuk mengisi kekosongan hukum akibat tidak adanya kepastian hukum pengaturan mengenai suretyship tersebut, Mahkamah Konstitusi diharapkan untuk membentuk norma hukum baru sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-IX/2011 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010;
Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, Pemohon selanjutnya memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap sepanjang tidak dimaknai “Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas termasuk lini usaha suretyship sesuai dengan kebutuhan masyarakat .” [3.8] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalil permohonannya, Pemohon telah mengajukan bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-13 dan dua orang ahli bernama Prof. Susi Dwi Harijanti, S.H., L.L.M., Ph.D. dan Dr. Kornelius Simanjuntak, S.H., M.H., AAIK., yang masing- masing telah didengar keterangannya dalam persidangan dan telah dibaca keterangan tertulisnya, serta dua orang saksi bernama Tjindra Parma Wignyoprayitno, S.H., M.H., dan Ir. Manahara R. Siahaan yang masing-masing telah didengar keterangannya dalam persidangan. Di samping itu Pemohon juga telah menyampaikan kesimpulan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 18 September 2020 (sebagaimana selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara). 150 [3.9] Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat telah memberikan keterangan lisan dalam persidangan pada tanggal 13 Juli 2020 dan dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 27 Agustus 2020 (sebagaimana selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara). [3.10] Menimbang bahwa Presiden pada tanggal 3 Maret 2020 telah memberikan keterangan lisan dan dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima dalam persidangan, serta keterangan tertulis tambahan yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 Juli 2020. Di samping itu Presiden juga telah menyampaikan kesimpulan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 17 September 2020 (sebagaimana selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara). [3.11] Menimbang bahwa Pihak Terkait Otoritas Jasa Keuangan pada tanggal 22 Juni 2020 telah memberikan keterangan lisan dan dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima dalam persidangan, serta keterangan tertulis tambahan yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 Juli 2020. Di samping itu Pihak Terkait juga telah menyampaikan kesimpulan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 18 September 2020 (sebagaimana selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara). [3.12] Menimbang bahwa untuk kepentingan Mahkamah, dalam persidangan tanggal 10 September 2020, Mahkamah telah menghadirkan satu orang ahli bernama Irvan Rahardjo, S.E., M.M. yang keterangan tertulisnya telah diterima Mahkamah pada tanggal 10 September 2020 dan keterangannya telah didengar dalam persidangan sebagaimana tersebut di atas (sebagaimana selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara). [3.13] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan Pemohon beserta bukti-bukti yang diajukan, baik bukti tertulis dan keterangan para ahli serta saksi yang diajukan Pemohon, serta kesimpulan Pemohon, keterangan DPR, keterangan dan kesimpulan Presiden, keterangan dan kesimpulan Pihak Terkait, dan keterangan ahli yang dihadirkan oleh Mahkamah, selanjutnya Mahkamah mempertimbangkan dalil-dalil permohonan Pemohon sebagai berikut: 151 [3.13.1] Bahwa persoalan utama yang dipermasalahkan oleh Pemohon adalah konstitusionalitas norma Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 yang mengatur ruang lingkup kegiatan usaha perusahaan asuransi dengan tidak mencantumkan secara tegas kegiatan suretyship, padahal lini usaha suretyship sejak awal telah diterbitkan oleh perusahaan asuransi, namun saat ini tidak diakomodir di dalam UU 40/2014, selain itu, menurut Pemohon Pasal 61 UU 1/2016 telah menghalangi perusahaan asuransi dalam menjalankan lini usaha _suretyship; _ [3.13.2] Bahwa berkaitan dengan dalil pokok permohonan Pemohon tersebut di atas, sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih jauh, penting bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan hal-hal sebagaimana diuraikan di bawah ini. Bahwa perkembangan asuransi di Indonesia menunjukkan angka kemajuan yang cukup baik selama beberapa tahun belakangan ini. Hal tersebut dapat dilihat dengan semakin banyaknya perusahaan asuransi yang tumbuh, di mana semakin hari semakin banyak nasabah yang menggunakan jasa layanan asuransi dengan berbagai varian di dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan data yang ada hingga Desember 2019 , usaha asuransi dengan lini usaha kredit dan suretyship saja __ yang dilakukan oleh 42 perusahaan asuransi umum menerima pendapatan premi sebesar Rp1,59 triliun atau 1,98% dari total pendapatan premi dari seluruh lini usaha asuransi umum. Dari 42 perusahaan asuransi umum tersebut terdapat 3 perusahaan asuransi umum yang mendapatkan lebih dari 30% pendapatan preminya yang bersumber dari usaha suretyship (vide kesimpulan OJK dalam perkara a quo pada hlm. 28). Bahwa berdasarkan contoh data tersebut tentu saja hal ini menunjukkan variabel yang dapat menjadi ukuran besarnya peluang adanya sebuah keuntungan tersendiri bagi perusahaan yang menyediakan layanan asuransi. Peluang yang dimiliki oleh perusahaan asuransi akan semakin luas, baik pasar yang bisa diolah dan dijadikan sebagai sasaran penjualan produk yang mereka miliki maupun jenis produk asuransi yang dibutuhkan masyarakat. Dengan kata lain, kebutuhan akan jenis asuransi akan selalu beriringan dengan perkembangan kebutuhan masyarakat yang dinamikanya cukup cepat, terutama di dalam mengantisipasi hal- hal yang berkenaan dengan kualitas hidup masyarakat. Bahwa oleh karena itu selain tuntutan untuk selalu meningkatkan pelayanan kepada para nasabahnya, perusahaan asuransi juga harus melakukan inovasi di 152 dalam mengembangkan varian lini usaha dengan berbagai jenis usaha untuk bisa memperluas dan memajukan bisnis yang mereka jalankan dalam industri perasuransian. Salah satu langkah yang dilakukan adalah dengan cara mengeluarkan berbagai produk baru dan lebih inovatif bagi nasabahnya. Bahkan saat ini, produk asuransi tidak hanya terbatas pada jenis asuransi jiwa dan asuransi kesehatan saja, karena pada dasarnya kedua produk inilah yang paling banyak dibutuhkan oleh masyarakat luas. Dalam perkembangan selanjutnya, perusahaan asuransi juga mengeluarkan berbagai macam produk yang bisa dipilih dan digunakan sesuai dengan kebutuhan nasabah dan ada banyak jenis produk asuransi yang bisa dipilih oleh nasabah pengguna asuransi, antara lain: asuransi kesehatan, asuransi dana pendidikan, asuransi dana pensiun, asuransi kendaraan bermotor, asuransi properti, hingga asuransi dengan lini usaha surety bond serta beragam jenis asuransi lainnya. Dengan banyaknya produk yang dikeluarkan oleh perusahaan asuransi, maka akan banyak pilihan dan juga pertimbangan yang bisa diambil oleh nasabah yang akan menggunakan asuransi tersebut. Hal ini juga menciptakan perusahaan dengan kualitas persaingan yang baik di antara perusahaan penyedia layanan asuransi, sehingga industri asuransi akan memberikan layanan terbaik di dalam menawarkan produknya. Lebih lanjut berkaitan dengan asuransi suretyship atau surety bond secara universal dapat dijelaskan produk suretyship atau surety bond sejak diakui keberadaannya di Indonesia yaitu pada tahun 1978, kewenangan/hak untuk melaksanakan, memasarkan, menjual dan menerbitkan lini usaha surety bond adalah perusahaan asuransi umum atau asuransi kerugian pada awalnya diberikan kepada PT Jasa Raharja Persero melalui Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1978 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1965 tentang Pendirian Perusahaan Umum Asuransi Kerugian Jasa Raharja. Selanjutnya pada Tahun 1980 melalui Keputusan Presiden Nomor 14A Tahun 1980 tentang Pengadaan Barang dan Jasa kembali ditegaskan bahwa yang dapat menerbitkan surety bond adalah Asuransi Kerugian PT Jasa Raharja Persero sebagai Lembaga Keuangan Non Bank atau LKNB. Namun dalam perkembangannya, persisnya pada tahun 1992 perusahaan-perusahaan asuransi yang membidangi kegiatan usaha menjamin kerugian (umum) meminta kepada Pemerintah, in casu Kementerian Keuangan, agar pelaksanaan asuransi yang 153 mempunyai lini usaha surety bond tidak dilakukan monopoli oleh perusahaan asuransi kerugian PT Jasa Raharja Persero. Bahwa selanjutnya, melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (UU 2/1992), kepada perusahaan-perusaan asuransi kerugian diberikan izin untuk melaksanakan lini usaha asuransi di bidang surety bond . Konsekuensinya PT Jasa Raharja Persero dikembalikan fungsi dan tugas pokoknya, yaitu melaksanakan asuransi khusus yang menangani dana pertanggungan wajib kecelakaan penumpang, sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Nomor 33 Tahun 1964 dan juga asuransi dana kecelakaan lalu lintas jalan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964. Bahwa berdasarkan perjalanan historis sebagaimana diuraikan di atas, terhadap asuransi dengan lini usaha suretyship atau surety bond telah berjalan di Indonesia hingga saat ini sudah kurang lebih 42 tahun sejak diperkenalkan meskipun secara faktual terhadap asuransi kerugian atau umum baru diberikan izin oleh Kementerian Keuangan untuk menjalankan lini usaha suretyship atau surety bond setelah berlakunya UU 2/1992. Dengan demikian asuransi dengan lini usaha suretyship atau surety bond telah mendapat pengakuan dan juga kesempatan untuk dijalankan oleh perusahaan asuransi kerugian (umum) hingga saat ini. [3.13.3] Bahwa berkaitan dengan asuransi dengan lini usaha suretyship atau surety bond, menurut Mahkamah penting juga untuk menyamakan persepsi antara pengertian suretyship atau surety bond di mana berdasarkan fakta hukum yang diperoleh di persidangan, bahwa suretyship adalah istilah yang digunakan untuk salah satu jenis lini usaha yang bersifat generik, sedangkan surety bond adalah jenis produknya. Sementara itu pengertian suretyship adalah “lini usaha asuransi umum yang memberikan jaminan atas kemampuan Principal dalam melaksanakan kewajiban sesuai perjanjian pokok antara Principal dan Obligee ” __ [vide Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.010/2008 tentang Penyelenggaraan Lini Usaha Asuransi Kredit dan Pasal 1 angka 23 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 69/POJK.05/2016 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah (POJK 69/POJK.05/2016)]; Selanjutnya berkenaan dengan ruang lingkup penjaminan adalah jenis bidang usaha yang berkaitan dengan kegiatan pemberian jaminan oleh Penjamin 154 atas pemenuhan kewajiban finansial Terjamin kepada Penerima Jaminan. (Vide Pasal 1 angka 1 UU 1/2016). Dengan demikian di dalam Lembaga Penjamin terdapat tiga pihak, yaitu Penjamin, Terjamin, dan Penerima Jaminan. (Vide Pasal 1 angka 11, angka 12, dan angka 13 UU 1/2016). Oleh karena itu di dalam lembaga penjamin yang dalam hal ini juga termasuk asuransi dengan lini usaha suretyship atau surety bond terdapat hubungan hukum antara tiga pihak, yaitu penjamin (surety), penerima jaminan ( obligee /kreditur) dan pihak yang dijamin ( principal /debitur). Oleh karenanya secara sederhana dapat diilustrasikan, bahwa apabila dalam sebuah perjanjian antara penerima jaminan (kreditur) dengan pihak yang dijamin (debitur) terjadi wanprestasi maka penjamin ( surety ) akan mendudukkan diri bersama-sama dengan pihak yang dijamin (debitur) untuk kemudian memenuhi prestasi yang diperjanjikan (vide Pasal 1316 KUH Perdata). Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa dengan telah diperolehnya ciri-ciri dari ruang lingkup lembaga penjamin tersebut, maka dapat diketahui perbedaan yang esensial antara pengertian penjaminan dengan asuransi. Sebab, asuransi pada hakikatnya hanya terdiri dari dua pihak, yaitu Tertanggung dan Perusahaan Asuransi. Namun demikian bukan berarti perusahaan asuransi tidak dapat menjalankan lini usaha suretyship atau surety bond, karena secara empirik di Indonesia sebenarnya perusahaan asuransi yang menjalankan lini usaha __ suretyship atau surety bond telah banyak dan hal tersebut sesungguhnya perusahaan asuransi menjalankan fungsi lini usaha yang sedikit berbeda dengan core business yang dimilikinya, meskipun pada dasarnya suretyship atau surety bond adalah lini usaha dari perusahaan asuransi umum . [3.14] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan persoalan konstitusionalitas norma Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 yang dimohonkan pengujiannya oleh Pemohon. Bahwa terhadap permasalahan pokok yang dimohonkan Pemohon tersebut, menurut Mahkamah sesungguhnya praktik suretyship atau surety bond yang menjadi bagian dari lini usaha perusahaan asuransi di Indonesia telah berjalan cukup lama, yaitu sejak Tahun 1978 meskipun pada waktu itu masih menjadi monopoli PT Jasa Raharja Persero dan baru secara resmi menjadi lini usaha perusahaan asuransi umum sejak Tahun 1992. Oleh karena itu bagi perusahaan 155 asuransi umum persoalan lini usaha suretyship atau surety bond tersebut pada hakikatnya tidak pernah ada hambatan di dalam menjalankan praktiknya. Sementara itu berkenaan dengan undang-undang yang mengatur lini usaha suretyship atau surety bond sebagaimana __ diatur dalam UU 1/2016 bukan dalam UU 40/2014. Hal tersebut tentunya tidak dapat dilepaskan dari pengertian dan ruang lingkup lini usaha suretyship atau surety bond yang meskipun merupakan jenis dari produk perusahaan asuransi, namun unsur-unsur yang terkandung di dalamnya adalah penjaminan. Oleh karena itu permasalahan penempatan pengaturan demikian sebenarnya tidak serta-merta menjadikan adanya persoalan konstitusionalitas norma dari pasal yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan lini usaha suretyship atau surety bond. Sebab, apabila diatur dalam UU 40/2014 ternyata secara faktual substansi yang diatur adalah bukan berkenaan dengan jenis dari asuransi akan tetapi berkaitan dengan penjaminan, sedangkan apabila diatur dalam UU 1/2016 ternyata secara faktual substansi yang diatur adalah merupakan bagian dari produk asuransi. Terlebih bagi perusahaan asuransi yang akan menjalankan lini usaha suretyship atau surety bond tidak mendapatkan hambatan dengan adanya pengaturan tersebut, meskipun dalam permohonannya Pemohon beralasan hal tersebut merugikan hak konstitusionalnya. Namun demikian sulit bagi Mahkamah untuk berkesimpulan bahwa terdapat persoalan konstitusionalitas terhadap norma Pasal 5 UU 40/2014. Dengan kata lain, apabila dilihat dari pihak yang melakukan lini usaha suretyship atau surety bond yaitu perusahaan asuransi maka tidaklah salah apabila ketentuan mengenai suretyship atau surety bond dimasukkan ke dalam UU 1/2016, karena konsep suretyship atau surety bond sendiri secara umum sama dengan konsep penjaminan, karenanya tidaklah mungkin pengaturannya dimasukkan ke dalam UU 40/2014. Bahwa lebih lanjut dijelaskan, ketentuan dalam norma Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 mengenai frasa “ sesuai kebutuhan masyarakat ” merupakan ketentuan yang perlu diakomodir dan dipertahankan untuk menyesuaikan perkembangan industri perasuransian di masyarakat, yang apabila dimaknai “termasuk lini usaha suretyship ” sebagaimana yang Pemohon mohonkan di dalam petitum permohonan, justru akan memberikan ketidakpastian hukum bagi perusahaan asuransi untuk dapat melakukan perluasan ruang lingkup usaha dan membatasi kemungkinan adanya perluasan lini usaha lain selain suretyship. Terlebih __ tanpa adanya perluasan makna terhadap frasa “sesuai kebutuhan masyarakat” __ 156 sebagaimana yang dimohonkan Pemohon, sesungguhnya yang diinginkan Pemohon telah terakomodir di dalam UU 1/2016. Oleh karena pengaturan suretyship sudah diatur dalam UU 1/2016 maka sesungguhnya tidak perlu lagi diatur dalam UU 40/2014, sehingga dengan demikian sebenarnya tidak ada persoalan mengenai pengaturan suretyship. Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil Pemohon berkaitan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 tidak beralasan menurut hukum. [3.15] Menimbang bahwa berkenaan dengan dalil Pemohon terhadap norma Pasal 61 UU 1/2016, meskipun tidak dimohonkan oleh Pemohon dalam petitum permohonannya, namun oleh karena didalilkan dalam posita permohonannya dan secara substansi adalah hal yang mendasar yaitu Pemohon menganggap norma pasal a quo telah menghalangi perusahaan asuransi dalam menjalankan lini usaha suretyship. Oleh karena itu Mahkamah perlu untuk menanggapi dalil Pemohon tersebut. Bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut, setelah dicermati sebenarnya __ hanyalah merupakan kekhawatiran Pemohon karena perusahaan asuransi yang merupakan perusahaan di luar lembaga penjamin haruslah memenuhi persyaratan sebagai lembaga penjamin apabila hendak melakukan kegiatan usaha yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 juncto Pasal 4 ayat (1) UU 1/2016. Sedangkan kegiatan lini usaha suretyship (in casu surety bond) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat (2) UU 1/2016 dapat dilakukan perusahaan asuransi yang bersinergi dengan amanat Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 yang telah mengatur perluasan ruang lingkup kegiatan usaha perasuransian. Hal demikian mengingat lini usaha suretyship yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU 1/2016 tidaklah memerlukan persyaratan sebagai lembaga penjamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 UU 1/2016. Sementara itu Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 adalah ketentuan yang mengatur perusahaan asuransi dalam menjalankan lini usaha penjaminan agar menyesuaikan dengan UU 1/2016 berkenaan dengan tenggang waktu sebagaimana ditentukan dalam Pasal 61 ayat (1) UU 1/2016. Dengan demikian, menurut Mahkamah, kekhawatiran Pemohon tidaklah tepat mengingat kegiatan suretyship adalah kegiatan yang mempunyai core business penjaminan yang merupakan lini usaha yang dapat juga dijalankan oleh perusahaan asuransi. 157 Kemudian sebagai pelaksanaan amanat Pasal 5 ayat (3) UU 40/2014, OJK telah menerbitkan POJK 69/2016 yang memberikan kesempatan kepada perusahaan asuransi untuk menjalankan lini usaha suretyship, sehingga telah sesuai dengan apa yang ditentukan dalam Pasal 61 UU 1/2016. Dengan demikian perusahaan asuransi yang melakukan lini usaha suretyship tidaklah dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana kekhawatiran Pemohon; __ [3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan _a quo; _ [4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan; [4.3] Pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554), dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
AMAR PUTUSAN Mengadili: Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya. 158 Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Suhartoyo, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P. Foekh, Arief Hidayat, Manahan M.P. Sitompul, Saldi Isra, dan Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Kamis, tanggal lima, bulan November, tahun dua ribu dua puluh, yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal dua puluh lima, bulan November, tahun dua ribu dua puluh , selesai diucapkan pukul 11.51 WIB , oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Suhartoyo, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P. Foekh, Arief Hidayat, Manahan M.P. Sitompul, Saldi Isra, dan Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Anak Agung Dian Onita sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon/kuasanya, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, Presiden atau yang mewakili, dan Pihak Terkait Otoritas Jasa Keuangan atau yang mewakili. KETUA, ttd. Anwar Usman ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Aswanto ttd. Suhartoyo ttd. Enny Nurbaningsih ttd. Daniel Yusmic P. Foekh 159 ttd. Arief Hidayat ttd. Manahan M.P. Sitompul ttd. Saldi Isra ttd. Wahiduddin Adams PANITERA PENGGANTI, ttd. Anak Agung Dian Onita
Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuanga ...
Relevan terhadap
ayat (1) huruf b angka (1); Pasal 20 ayat (1) huruf b angka (3); Pasal 20 ayat (1) huruf c; Pasal 22 ayat (1); Pasal 23 ayat (1) huruf a; Pasal 24 ayat (1); Pasal 25; Pasal 26 ayat (1); Pasal 27; Pasal 28 dan Pasal 29 Lampiran UU 2/2020 yang berketentuan sebagai berikut: Judul Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang. Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 1 ayat (5) (3) Untuk melaksanakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) _sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dalam rangka: _ a. _penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID- 191; _ dan/atau b. menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, perlu __ menetapkan kebijakan keuangan negara dan kebijakan stabilitas sistem keuangan (5) Kebijakan stabilitas sistem keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi kebijakan untuk penanganan permasalahan lembaga keuangan yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Pasal 2 (1) Dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara sebagaimana _dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4), Pemerintah berwenang untuk: _ a. menetapkan batasan defisit anggaran, dengan ketentuan sebagai _berikut: _ 1. melampaui 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama masa penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) dan/atau untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling _lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022; _ 2. sejak Tahun Anggaran 2023 besaran defisit akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto _(PDB); dan
penyesuaian besaran defisit sebagaimana dimaksud_ 102 pada angka 1 menjadi sebagaimana dimaksud pada angka 2 dilakukan secara bertahap. 3. Penyesuaian besaran defisit sebagaimana dimaksud pada angka 1 menjadi sebagaimana dimakud pada angka 2 dilakukan secara bertahap. b. melakukan penyesuaian besaran belanja wajib (mandatory spending) sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang- _undangan terkait; _ c. melakukan pergeseran anggaran antar unit organisasi, antarfungsi, _dan/atau antarprogram; _ d. melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut belum tersedia atau tidak cukup tersedia, serta menentukan proses dan metode pengadaan _barang/jasa; _ _e. menggunakan anggaran yang bersumber dari: _ _1. Sisa Anggaran Lebih (SAL); _ _2. dana abadi dan akumulasi dana abadipendidikan; _ _3. dana yang dikuasai negara dengan kriteriatertentu; _ _4. dana yang dikelola oleh Badan Layanan Umum; dan/atau _ 5. dana yang berasal dari pengurangan PenyertaanModal Negara _pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN); _ f. menerbitkan Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-l9) untuk dapat dibeli oleh Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), investor korporasi, _dan/atau investor ritel; _ g. menetapkan sumber-sumber pembiayaan Anggaran yang berasal _dari dalarn dan/atau luar negeri; _ _h. memberikan pinjaman kepada Lembaga PenjaminSimpanan; _ i. melakukan pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu (refoansing), penyesuaian alokasi, dan/atau pemotongan/penundaan penyaluran anggaran Transfer ke Daerah _dan Dana Desa, dengan kriteria tertentu; _ _j. memberikan hibah kepada Pemerintah Daerah; dan/atau _ k. melakukan penyederhanaan mekanisme dan simplifikasi dokumen di bidang keuangan negara (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan keuangan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 3 ayat (2) Ketentuan mengenai pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu (refocusing), perubahan alokasi, dan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri. __ __ __ 103 Pasal 4 ayat (1) huruf a dan huruf d (1) Kebijakan di bidang perpajakan sebagaimana dimaksuddalam Pasal 1 _ayat (4) meliputi: _ a. penyesuaian tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri _dan bentuk usaha tetap; _ b. _…; _ c. _…; _ d. pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk memberikan fasilitas kepabeanan berupapembebasan atau keringanan bea masuk dalam rangka penanganan kondisi darurat serta pemulihan dan penguatan ekonomi nasional. Pasal 4 ayat (2) (2) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik. Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b (1) Penyesuaian tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap sebagaimanadimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a berupa penurunan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang-Undang _mengenai Pajak Penghasilan menjadi: _ a. sebesar 22% (dua puluh dua persen) yang berlaku pada Tahun Pajak _2020 dan Tahun Pajak 2021; dan _ b. sebesar 20% (dua puluh persen) yang mulai berlaku pada Tahun Pajak 2022. Pasal 6 (1) Perlakuan perpajakan dalam kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) _huruf b berupa: _ a. pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean melalui _PerdaganganMelalui Sistem Elektronik (PMSE); dan _ b. pengenaan Pajak Penghasilan atau pajak transaksi elektronik atas kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) yang dilakukan oleh subjek pajak luar negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan (2) Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. (3) Pajak Pertambahan Nilai yang dikenakan atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujuddan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean didalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipungut, disetorkan, dan dilaporkan oleh pedagang luar negeri, 104 penyedia jasa luar negeri, Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri, dan/atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) dalamnegeri, yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. (4) Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan pelaku usaha penyedia sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan. (5) Pedagang luar negeri atau penyedia jasa luar negerisebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan orangpribadi atau badan yang bertempat tinggal ataubertempat kedudukan di luar Daerah Pabean yangmelakukan transaksi dengan pembeli barang ataupenerima jasa di dalam Daerah Pabean melalui system elektronik. (6) Pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan/atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan dapat diperlakukan sebagai bentuk usaha tetap dan dikenakan Pajak Penghasilan. (7) Ketentuan kehadiran ekonomi signifikan sebagaimana dimaksud pada _ayat (6) berupa: _ a. peredaran bruto konsolidasi grup usaha sampai dengan jumlah _tertentu; _ _b. penjualan di Indonesia sampai dengan jumlah tertentu; dan/atau _ c. pengguna aktif media digital di Indonesia sampaidengan jumlah tertentu. (8) Dalam hal penetapan sebagai bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak dapat dilakukan karena penerapan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak, pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan/atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan, dikenakan pajak transaksi elektronik. (9) Pajak transaksi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dikenakan atas transaksi penjualan barangdan/atau jasa dari luar Indonesia melalui PerdaganganMelalui Sistem Elektronik (PMSE) kepada pembeli atau pengguna di Indonesia yang dilakukan oleh subjekpajak luar negeri, baik secara langsung maupun melalui Penyelenggara Perdagangan Melalui SistemElektronik (PPMSE) luar negeri. (10) Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) atau pajak transaksi elektronik sebagaimana dimaksudpada ayat (8) dibayar dan dilaporkan oleh pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan/atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri. (11) Pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri,dan/atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri sebagaimana dimaksudpada ayat (3) dan ayat (10), dapat menunjuk perwakilan yang berkedudukan di Indonesia untuk memungut, menyetorkan, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilaiyang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan/atau 105 untuk memenuhi kewajiban Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) atau pajak transaksi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (8). (12) Besarnya tarif, dasar pengenaan, dan tata cara penghitungan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan pajak transaksi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. _(13) Ketentuan lebih lanjut mengenai: _ a. tata cara penunjukan, pemungutan, danpenyetoran, serta pelaporan _Pajak PertambahanNilai sebagaimana dimaksud pada ayat (3); _ b. kehadiran ekonomi signifikan sebagaimanadimaksud pada ayat (7), tata cara pembayaran dan pelaporan Pajak Penghasilan atau pajak _transaksielektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (10); dan _ c. tata cara penunjukan perwakilan sebagaimanadimaksud pada ayat (11), diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 7 (1) Pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri,Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri, dan/atau PenyelenggaraPerdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) dalam negeri yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimanadimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dan pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan/atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (10), dikenai sanksi administratif sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009. (2) Ketentuan mengenai penetapan, penagihan, dan upayahukum atas pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean didalam Daerah Pabean melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) serta pengenaan Pajak Penghasilan atau pajak transaksi elektronik atas subjekpajak luar negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 76 Tahun 2009. (3) Terhadap pelaku kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), selain dikenai sanksi administratif juga dikenai sanksi berupa pemutusan akses setelah diberi teguran. (4) Pemutusan akses sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) atau Pasal 6 ayat (10) tidak dipenuhi sampai dengan batas waktu yang ditentukan dalam teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika berwenang untuk melakukan pemutusan akses berdasarkan permintaan Menteri Keuangan. 106 (6) Ketentuan mengenai tata cara pemutusan akses sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang informasi dan transaksi elektronik. (7) _Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara: _ a. _pemberian teguran sebagaimana dimaksud padaayat (3); dan _ b. permintaan pemutusan akses sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan Pasal 9 Menteri Keuangan memiliki kewenangan untuk memberikan fasilitas kepabeanan berupa pembebasan atau keringanan bea masuk dalam _rangka: _ _a. penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19); dan/atau _ b. menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan Pasal 10 (1) Perubahan atas barang impor yang diberikan pembebasan bea masuk berdasarkan tujuan pemakaiannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995, diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. (2) Perubahan atas barang impor yang dapat diberikan pembebasan atau keringanan bea masuk berdasarkan tujuan pemakaiannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995, diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 11 ayat (3) Program pemulihan ekonomi nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dilaksanakan melalui Penyertaan Modal Negara, penempatan dana dan/atau investasi Pemerintah, dan/atau kegiatan penjaminan dengan skema yang ditetapkan oleh Pemerintah. Pasal 12 (1) Pelaksanaan kebijakan keuangan negara dan langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 11 dilakukan dengan tetap memperhatikan tata kelola yang baik. (2) Perubahan postur dan/atau rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara dan langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 11 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden. Pasal 14 Dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan ditengah-tengah kondisi terjadinya pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau untuk 107 menghadapi ancaman krisis ekonomi dan/atau stabilitas sistem keuangan, perlu menetapkan kebijakan stabilitas sistem keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (5). Pasal 16 ayat (1) huruf c (1) Untuk mendukung pelaksanaan kewenangan KSSK dalam rangka penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), Bank Indonesia diberikan _kewenangan untuk: _ c. membeli Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara berjangka panjang dipasar perdana untuk penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya _dalam rangka pandemi Corona Virus Disease 2019 (covid- 19); _ Pasal 19 (1) Bank Indonesia dapat membeli Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara berjangka panjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c di pasar perdana yang diperuntukkan sebagai sumber pendanaan bagi Pemerintah. (2) Sumber pendanaan bagi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipergunakan dalam rangka pemulihan ekonomi nasional termasuk menjaga kesinambungan pengelolaan keuangan negara, memberikan pinjaman dan penambahan modal kepada Lembaga Penjamin Simpanan, serta pendanaan untuk restrukturisasi perbankan pada saat krisis. Pasal 20 ayat (1) huruf b angka (1) dan angka (3) dan Pasal 20 ayat (1) huruf c (1) Untuk mendukung pelaksanaan kewenangan KSSK dalam rangka penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), Lembaga Penjamin Simpanan _diberikan kewenangan untuk: _ b. _melakukan tindakan: _ 1. penjualan/repo Surat Berharga Negara yang dimiliki kepada Bank _Indonesia; _ _ _3. pinjaman kepada pihak lain; dan/atau _ 4..... dalam hal Lembaga Penjamin Simpanan diperkirakan akan mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan bank gagal. c. melakukan pengambilan keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan penyelamatan bank selain Bank Sistemik yang dinyatakan sebagai bank gagal dengan mempertimbangkan antara lain kondisi perekonomian, kompleksitas permasalahan bank, kebutuhan waktu penanganan, ketersediaan investor, dan/atau efektivitas penanganan permasalahan bank serta tidak hanya mempertimbangkan perkiraan _biaya yang paling rendah (least cost test); _ 108 Pasal 22 ayat (1) (1) Untuk mencegah krisis sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, Pemerintah dapat menyelenggarakan program penjaminan di luar program penjaminan simpanan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang mengenai lembaga penjamin simpanan. Pasal 23 ayat (1) huruf a (1) Untuk mendukung pelaksanaan kewenangan KSSK dalam rangka penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan diberikan _kewenangan untuk: _ a. memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan untuk melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, integrasi dan/atau konversi Pasal 24 ayat (1) (1) Untuk mendukung pelaksanaan kewenangan KSSK dalam rangka penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), Pemerintah diberikan kewenangan untuk memberikan pinjaman kepada Lembaga Penjamin Simpanan. Pasal 25 Pemberian pinjaman oleh Pemerintah kepada Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dilakukan dalam hal Lembaga Penjamin Simpanan mengaiami kesulitan likuiditas yang membahayakan perekonomian dan sistem keuangan sebagai dampak pandemi Corona Virus Disease (COVID-19). Pasal 26 ayat (1) (1) Setiap orang yang dengan sengaja mengabaikan, tidak memenuhi, tidak melaksanakan atau menghambat pelaksanaan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) atau pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar rupiah). Pasal 27 1. Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan dibidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara. 2. Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti 109 Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 3. Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara. Pasal 28 Pada saat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai _berlaku: _ 1. ketentuan jangka waktu yang diatur dalam Pasal 1 1 ayat (2), Pasal l7B ayat (1), Pasal 25 ayat (3), Pasal 26 ayat (1), dan Pasal 36 ayat (1c) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran _Negara Republik Indonesia Nomor 4999); _ 2. Pasal 55 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik _Indonesia Nomor 4962); _ 3. Pasal 12 ayat (3) beserta penjelasannya, Pasal 15 ayat (5), Pasal 22 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), dan Pasal 28 ayal (3) dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan _Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286); _ 4. Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor _4355); _ 5. Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik _Indonesia Nomor 4963); _ 110 6. Pasal 27 ayat (1) beserta penjelasannya, Pasal 36, Pasal 83, dan Pasal 107 ayat (2) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, _Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438); _ 7. Pasal 171 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, _Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063); _ 8. Pasal 72 ayat (2) beserta penjelasannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 _Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495); _ 9. Pasal 316 dan Pasal 317 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan _Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); _ 10. Pasal 177 huruf c angka 2, Pasal 180 ayat (6), dan Pasal 182 Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Ralryat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 181, Tambahan Lembaran _Negara Republik Indonesia Nomor 6396); _ 11. Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 70, Tambahan _Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5872); dan _ 12. Pasal 11 ayat (22), Pasal 40, Pasal 42, dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 198, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6410), dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini. Pasal 29 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. 111 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Bahwa pasal-pasal UUD NRI Tahun 1945 yang dijadikan batu uji adalah Pasal 1, Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (2), Pasal 18 ayat (2) dan (3), Pasal 20A, Pasal 20A ayat (1), Pasal 22, Pasal 22 ayat (1), Pasal 22D ayat (2), Pasal 23, Pasal 23A, Pasal 23C, Pasal 23D, Pasal 23E, Pasal 24, Pasal 24A ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan (2), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (1), Pasal 28I ayat (2) dan Pasal 31 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. II. Keterangan DPR RI Dengan ini DPR RI menyampaikan keterangan terhadap permohonan pengujian materiil UU 2/2020 terhadap UUD NRI Tahun 1945 dalam Perkara nomor 37, 42, 43, 45, 47, 49 dan 75/PUU-XVIII/2020 sebagai berikut: A. Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Para Pemohon 1. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon dalam Pengujian Secara Formil Terkait kedudukan hukum (legal standing) Para Pemohon dalam pengujian undang-undang secara formil, DPR RI memberikan pandangan dengan berdasarkan 2 (dua) batasan kerugian konstitusional yang disimpulkan dari Pertimbangan Hukum dalam Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 27/PUU-VII/2009, yaitu:
Para Pemohon merupakan perorangan yang telah melaksanakan hak pilih sebagai pemegang kedaulatan yang telah memberikan kepercayaan dan mandat kepada wakil sebagai fiduciary duty dalam pemilihan umum;
Berdasarkan uraian kedudukannya, Pemohon Badan Hukum Perkara 37 dan Para Pemohon Badan Hukum Perkara 75 yang merupakan Badan Hukum tentunya tidak memiliki hak dan/atau kewenangan untuk turut serta dalam pemilihan umum.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 34 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Pemilih adalah Warga Negara Indonesia yang sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin. Oleh karena itu, Pemohon Badan 112 Hukum Perkara 37 dan Para Pemohon Badan Hukum Perkara 75 telah jelas tidak dapat membuktikan bahwa telah memberikan kepercayaan dan mandat kepada anggota DPR RI masa keanggotaan periode tahun 2014-2019 karena Pemohon Badan Hukum Perkara 37 dan Para Pemohon Badan Hukum Perkara 75 bukanlah perorangan yang telah melaksanakan hak pilih sebagai pemegang kedaulatan yang telah memberikan kepercayaan dan mandat kepada wakil sebagai fiduciary duty dalam pemilihan umum.
Para Pemohon Perorangan Perkara 37, Para Pemohon Perkara 43, dan Para Pemohon Perorangan Perkara 75 dalam perbaikan permohonannya tidak memberikan uraian argumentasi sebagai perorangan yang telah melaksanakan hak pilih sebagai pemegang kedaulatan dalam Pemilihan Umum. Selain itu, Para Pemohon tersebut diatas juga tidak melampirkan bukti-bukti keikutsertaannya dalam Pemilihan Umum dan menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan anggota DPR RI sebagai bentuk pemberian mandat kepada wakil sebagai fiduciary duty . Hal ini menunjukkan bahwa Para Pemohon tersebut tidak memahami kedudukan hukumnya sebagai perseorangan warga negara yang memiliki hak konstitusional sebagai pemberi mandat dalam Pemilihan Umum dan tidak memperhatikan ketentuan dalam pengujian undang-undang secara formil.
Para Pemohon mempunyai hubungan pertautan yang langsung dengan Undang-Undang yang dimohonkan.
Bahwa terkait dengan pengajuan pengujian UU a quo secara formil, Para Pemohon secara keseluruhan tidak menguraikan pertautannya. Namun dapat dipahami dalam uraian dalil-dalilnya, Para Pemohon hanya menyatakan bahwa UU a quo telah menimbulkan ketidakpastian hukum, melahirkan penafsiran yang ambigu, tidak jelas dan multi tafsir serta berpotensi menghambat pemenuhan hak-hak konstitusional Para Pemohon dan warga negara pada umumnya.
Meskipun demikian, Para Pemohon tidak memberikan uraian yang berkaitan dengan pertautannya secara langsung terhadap UU a quo 113 yang dimohonkan pengujiannya secara formil. Dengan demikian telah jelas, tidak terdapat keterkaitan secara langsung antara Para Pemohon Perkara 37, Para Pemohon Perkara 43, dan Para Pemohon Perkara 75 dengan UU a quo, sehingga Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam pengujian formil UU a quo terhadap UUD NRI Tahun 1945. Terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) Para Pemohon Perkara 37, Para Pemohon Perkara 43, dan Para Pemohon Perkara 75 dalam pengujian formil, DPR RI memohon kepada Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi agar benar-benar menilai apakah Para Pemohon tersebut memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam pengajuan Permohonan perkara-perkara a quo sesuai dengan parameter kerugian hak dan/atau kerugian konstitusional dalam pengajuan permohonan pengujian formil undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana disebutkan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Pertimbangan Hukum pada Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009.
Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Para Pemohon dalam Pengujian Secara Materiil Terkait kedudukan hukum ( legal standing ) Para Pemohon dalam pengujian undang-undang secara materiil, DPR RI memberikan pandangan dengan berdasarkan 5 (lima) batasan kerugian konstitusional yang tercantum dalam __ Putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007 sebagai berikut:
Perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 Bahwa Para Pemohon Perkara 37 mendalilkan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diatur dalam ketentuan Pasal 23 ayat (1), Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Terhadap hal tersebut, DPR RI menerangkan bahwa ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mengatur mengenai APBN yang jelas-jelas tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan Warga Negara. Sehingga ketentuan ini tidak memiliki pertautan hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon Perkara 37. Bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon Perkara 37 sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 28C ayat (2) UUD NRI 114 Tahun 1945 tidak terciderai dengan berlakunya ketentuan pasal-pasal yang dimohonkan pengujiannya karena Para Pemohon Perkara 37 tetap dapat memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya. Terkait dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, Para Pemohon Perkara 37 juga tetap mendapatkan haknya atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Bahwa Para Pemohon Perkara 37 mendalilkan diri sebagai pembayar pajak ( tax payer ), oleh karenanya DPR RI mengutip pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 40/PUU- XVI/2018 pada Paragraf [3.7] sebagai berikut: …menurut Mahkamah, para Pemohon sebagai pembayar pajak (tax payer) tidak serta merta memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam mengajukan setiap permohonan pengujian undang-undang. Para Pemohon dapat memiliki kedudukan hukum (legal standing) apabila para Pemohon dapat menjelaskan adanya keterkaitan logis dan causal verband bahwa pelanggaran hak konstitusional atas berlakunya undang-undang yang diuji adalah dalam kaitannya dengan status para Pemohon sebagai pembayar pajak (tax payer) memang menunjukkan kerugian yang nyata . Dalam permohonan a quo , Para Pemohon Perkara 37 dituntut bukan hanya sekedar menyatakan dirinya sebagai pembayar pajak ( tax payer ), tetapi terkait statusnya sebagai pembayar pajak harus dijelaskan adanya keterkaitannya secara logis dengan kerugian konstitusional Para Pemohon Perkara 37 yang diakibatkan dengan berlakunya pasal-pasal a quo . Terkait dengan ketentuan UUD NRI Tahun 1945 yang oleh Para Pemohon Perkara 37 dipertentangkan dengan ketentuan dalam UU a quo , Para Pemohon Perkara 37 tidak mengurai pertautan antara keduanya demikian pula terkait dengan pertautannya dengan Para Pemohon Perkara 37. Maka semakin tidak jelas adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon terkait dengan pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dan keberadaan hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara dalil kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon Perkara 37 dengan ketentuan pasal-pasal a quo yang dimohonkan pengujiannya. 115 b. Perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020 Bahwa Para Pemohon Perkara 42 tidak konsisten dalam menyebutkan batu uji yang digunakan dalam pengujian pasal-pasal a quo dalam uraian kedudukan hukumnya dengan ketentuan UUD NRI Tahun 1945 yang tertulis dalam bagian Pokok Permasalahan. Lebih lanjut, dalam uraian permohonannya, Para Pemohon Perkara 42 mempertentangkan ketentuan pasal-pasal a quo dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), (2), (3), dan Pasal 23A UUD NRI Tahun 1945 yang sama sekali tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional warga negara. Terkait dengan kerugian hak konstitusionalnya yang dijamin dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, Para Pemohon Perkara 42 tidak menguraikan bentuk konkret (aktual) maupun potensial atas kerugian konstitusional yang didalilkan tersebut dengan diri Para Pemohon Perkara 42 dan justru Para Pemohon Perkara 42 banyak menyampaikan asumsi-asumsi dan kekhawatirannya atas pemberlakuan pasal-pasal a quo terhadap negara yang jelas sangat mengada-ada. Selain itu, Para Pemohon Perkara 42 tidak dapat menunjukkan adanya pertautan secara langsung dengan ketentuan pasal-pasal a quo sehingga tidak jelas sebab akibat atas dalil kerugian konstitusional yang didalilkan Para Pemohon Perkara 42 dengan berlakunya ketentuan pasal-pasal a quo .
Perkara Nomor Perkara 43/PUU-XVIII/2020 Bahwa Para Pemohon Perkara 43 tersebut masing-masing tidak berdiri dalam posisi yang jelas atas kepentingan siapakah Para Pemohon Perkara 43 hendak mengemukakan kerugian konstitusionalnya. Selain itu, Para Pemohon Perkara 43 dalam permohonannya tidak mampu menjelaskan secara spesifik dalam hal apa Para Pemohon Perkara 43 dirugikan dengan keberlakuan pasal UU a quo tersebut terhadap diri Para Pemohon Perkara 43 maupun terhadap profesi Para Pemohon Perkara 43. Bahwa Para Pemohon Perkara 43 dalam permohonannya tidak mampu menjelaskan secara spesifik dalam hal apa Para Pemohon Perkara 43 dirugikan dengan keberlakuan pasal a quo tersebut 116 terhadap diri Para Pemohon Perkara 43 maupun terhadap profesi Para Pemohon Perkara 43 sehingga tidak jelas pula hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian konstitusional yang didalilkan oleh Para Pemohon Perkara 43 dengan pasal-pasal a quo yang dimohonkan pengujiannya terhadap UUD NRI Tahun 1945.
Perkara Nomor Perkara 45/PUU-XVIII/2020 Bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (2), Pasal 20 ayat (1), Pasal 20A ayat (1),Pasal 23, Pasal 23E, Pasal 24, Pasal 24A ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang dijadikan batu uji oleh Pemohon Perkara 45 tidak mengatur mengenai hak konstitusional warga negara, melainkan mengatur mengenai bentuk dan kedaulatan negara, kekuasaan pemerintah, tugas dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat, hal keuangan negara, kelembagaan BPK, Kekuasaan Kehakiman, tanggung jawab negara dalam mengelola keuangan negara yang ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang untuk dapat dilaksanakan secara terbuka dan untuk kemakmuran rakyat, dan kewajiban warga negara untuk menjunjung hukum dan pemerintahan tanpa terkecuali. Oleh karena itu tidaklah relevan untuk dijadikan sebagai batu uji dalam Permohonan a quo . Bahwa dalam Permohonan a quo , Pemohon Perkara 45 tidak menguraikan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon Perkara 45 yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Pemohon Perkara 45 hanya menyatakan hak Pemohon sebagai rakyat dalam memantau Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan Kekuasaan Kehakiman dapat menjalankan tugas dan fungsinya, tanpa menjelaskan kerugian spesifik apa yang ditimbulkan dari berlakunya ketentuan pasal-pasal a quo . Sehingga jelas kerugian yang didalilkan oleh Pemohon Perkara 45 hanya merupakan asumsi tanpa adanya pertautan dengan hak konstitusional Pemohon Perkara 45. 117 e. Perkara Nomor Perkara 47/PUU-XVIII/2020 Bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 telah ditetapkan menjadi undang-undang yakni UU a quo , artinya substansi di dalamnya telah dibahas dan disetujui antara Pemerintah bersama dengan DPR dan telah dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Bahwa ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional melainkan mengatur mengenai penetapan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban APBN. Salah satu fungsi yang dimiliki oleh DPR adalah fungsi anggaran dengan tugas dan wewenang berupa pemberian persetujuan atas RUU tentang APBN yang diajukan oleh Presiden. UU APBN tersebut kemudian dilaksanakan secara terbuka oleh Pemerintah untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat. Para Pemohon Perkara 47 mendalilkan dengan berlakunya pasal a quo , berpotensi dana desa dihentikan, dengan demikian jelas kerugian yang didalilkan tersebut hanya asumsi Para Pemohon Perkara 47, karena kenyataannya dana desa tetap ada meskipun selama penanganan pandemi Covid-19 ini besarannya dikurangi karena adanya kebijakan pengalihan mandatory expenses yang diamanatkan oleh UU Desa.
Perkara Nomor Perkara 49/PUU-XVIII/2020 Bahwa Pemohon Perkara 49 menyatakan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1), (2) dan (3) serta Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 namun dalam uraian Positanya, Pemohon Perkara 49 mendalilkan ketentuan pasal a quo bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Meskipun demikian, DPR menerangkan bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (1), (2) dan (3) serta Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional warga Negara. Ketentuan Pasal 1 ayat (1), (2) dan (3) serta Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mengatur mengenai Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik, kedaulatan berada di tangan rakyat, Indonesia adalah Negara hukum 118 dan APBN sebagai wujud dari pengelolaan keuangan Negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Bahwa Pemohon Perkara 49 dalam perbaikan permohonannya menguraikan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1), (2) dan (3) serta Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang jelas-jelas tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan warga Negara. Selain itu, Pemohon Perkara 49 tidak menguraikan kerugian konsitusionalnya berdasarkan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dan hanya mendalilkan pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Pemohon Perkara 49 juga sama sekali tidak menyampaikan argumentasi tentang pertentangan antara pasal yang dimohonkan pengujian dengan pasal-pasal yang menjadi dasar pengujian dalam UUD NRI Tahun 1945. Oleh karena itu, telah sangat jelas Pemohon Perkara 49 tidak memiliki hak dan/atau kewenangan kontitusional yang dirugikan dengan berlakunya UU 2/2020. Bahwa Pemohon Perkara 49 dan banyak menguraikan mengenai asumsi-asumsinya atas pengaturan yang terdapat dalam pasal a quo , maka DPR RI menerangkan tidak terdapat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon Perkara 49 yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi pada Pemohon Perkara 49, maka jelas tidak terdapat hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya undang- undang yang dimohonkan pengujian.
Perkara Nomor Perkara 75/PUU-XVIII/2020 Bahwa mayoritas Para Pemohon Perkara 75 mengajukan kembali Permohonan 51/PUU-XVIII/2020 yang telah ditarik kembali pada tanggal 19 Agustus 2020 dan Mahkamah Konstitusi sudah menerbitkan Ketetapan Putusan Nomor 51/PUU-XVIII/2020 yang diucapkan pada tanggal 27 Agustus 2020. Para Pemohon Perkara 75 berdalil bahwa dapat mengajukan kembali permohonan yang telah 119 ditarik sebelumnya tersebut karena sudah dilakukan perubahan dalam isi materi permohonan sehingga tidak mempunyai kesamaan dalam permohonan sebelumnya baik dalam permohonan pengujian formil maupun materiil yang diajukan sehingga Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa dan mengadilinya. Terhadap dalil tersebut, DPR RI memberikan pandangan bahwa berdasarkan ketentuan dalam Pasal 35 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan: ayat (1) “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan”. ayat (1a) “Dalam hal pemohon menarik kembali Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Panitera Mahkamah Konstitusi menerbitkan Akta Pembatalan Registrasi Permohonan dan memberitahukan kepada Pemohon disertai dengan pengembalian berkas Permohonan”. ayat (2) “Penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Permohonan tidak dapat diajukan kembali”. Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa Permohonan yang sudah ditarik kembali dan sudah diputus tidak dapat diajukan kembali. Selain itu, setelah melihat isi dari permohonan Para Pemohon Perkara 75, baik dari segi formil maupun materiil memiliki materi permohonan yang sama dengan permohonan sebelumnya yang sudah ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan penarikan kembali permohonan perkara 51/PUU- XVIII/2020 tersebut oleh Para Pemohon perkara 51/PUU-XVIII/2020, yang merupakan mayoritas Para Pemohon Perkara 75. Walaupun Para Pemohon Perkara 75 memberikan tambahan batu uji Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 27 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 namun batu uji Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 tersebut tidak mengatur mengenai hak konstitusional warga negara. Begitupun halnya dengan tambahan batu uji Pasal 27 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, ketentuan yang ada pada UU a quo tidak menghalangi Para Pemohon Perkara 75 untuk mendapatkan hak 120 konstitusionalnya berupa pekerjaan dan penghidupan yang layak. Sehingga tidaklah tepat jika Para Pemohon Perkara 75 masih mengajukan permohonan yang sama dengan permohonan yang sudah ditarik kembali dan ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi. Bahwa Para Pemohon Perkara 75 juga mendalilkan diri sebagai pembayar pajak ( tax payer ), oleh karenanya DPR RI mengutip pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 40/PUU-XVI/2018 pada Paragraf [3.7] sebagai berikut: …menurut Mahkamah, para Pemohon sebagai pembayar pajak (tax payer) tidak serta merta memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam mengajukan setiap permohonan pengujian undang-undang. Para Pemohon dapat memiliki kedudukan hukum (legal standing) apabila para Pemohon dapat menjelaskan adanya keterkaitan logis dan causal verband bahwa pelanggaran hak konstitusional atas berlakunya undang-undang yang diuji adalah dalam kaitannya dengan status para Pemohon sebagai pembayar pajak (tax payer) memang menunjukkan kerugian yang nyata . Dalam permohonan a quo , Para Pemohon Perkara 75 dituntut bukan hanya sekedar menyatakan dirinya sebagai pembayar pajak ( tax payer ), tetapi terkait statusnya sebagai pembayar pajak harus dijelaskan adanya keterkaitannya secara logis dengan kerugian konstitusional Para Pemohon Perkara 75 yang diakibatkan dengan berlakunya pasal-pasal a quo . Bahwa terkait dengan kedudukan hukum ( legal standing ) Para Pemohon, DPR RI memberikan pandangan selaras dengan Putusan MK Nomor 22/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam sidang Pleno MK terbuka untuk umum pada tanggal 15 Juni 2016, yang pada pertimbangan hukum [3.5.2] MK menyatakan bahwa menurut Mahkamah: ... dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’ interest point d’ action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (RV) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “ tiada gugatan tanpa hubungan hukum” ( no action without legal connection ). Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) Para Pemohon secara materiil, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi untuk 121 mempertimbangkan dan menilai apakah Para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional. B. Pandangan Umum DPR 1. Penyebaran COVID-19 terus meluas di seluruh dunia yang didorong oleh mobilitas manusia. Hingga akhir Februari 2020, penyebaran COVID-19 secara global telah mencapai 86.000 kasus dengan jumlah kematian hampir 3.000 orang. Pandemi COVID-19 yang menyebar secara cepat dan mengancam kesehatan publik, mendorong negara-negara untuk mengambil berbagai langkah pencegahan yang ekstrim. Salah satu langkah kebijakan yang diambil hampir semua negara adalah pelarangan atau pembatasan perjalanan ( travel ban/restriction ), penutupan perbatasan, serta memperketat lalu lintas manusia antar wilayah/negara. Di dalam skala domestik, beberapa negara memberlakukan lockdown yakni penutupan wilayah dan penghentian segala aktivitas publik kecuali yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan pangan dan medis. Physical distancing serta karantina mandiri termasuk dengan memindahkan aktivitas kantor, belajar, dan beribadah di rumah juga diimplementasikan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Berbagai kegiatan yang bersifat pengumpulan massa dikurangi atau bahkan dilarang dengan pengawasan ketat dari aparat hukum. Di Indonesia, Pemerintah memberlakukan status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dan menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sejak tanggal 31 Maret 2020. Sebelumnya, Pemerintah juga telah memberlakukan larangan penerbangan termasuk dari dan ke Tiongkok, membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, memberlakukan kebijakan physical distancing , serta menetapkan status keadaan darurat bencana COVID-19. Berbagai himbauan termasuk menganjurkan dan bahkan melarang masyarakat untuk tidak melakukan pulang kampung termasuk dalam rangka mudik Hari Raya Idul Fitri 1441 Hijriah telah dilakukan. Anjuran untuk meningkatkan pola hidup bersih dan 122 sehat juga terus digencarkan. Penyebaran COVID-19 yang terjadi secara cepat dan eksponensial dikhawatirkan juga tidak dapat diimbangi dengan ketersediaan fasilitas kesehatan serta tenaga medis yang ada, sehingga bisa berujung pada krisis kesehatan. Langkah-langkah tersebut diimplementasikan dengan dasar bahwa kesehatan dan keselamatan masyarakat adalah prioritas. Namun demikian, langkah-langkah tersebut menimbulkan penurunan aktivitas ekonomi yang cukup signifikan.
Bentuk perlindungan yang diberikan oleh negara tidak sebatas perlindungan dari ancaman fisik namun juga perlindungan terhadap keseluruhan aspek kehidupan dan keselamatan 269 juta jiwa penduduk Indonesia. Negara harus mampu menjaga ketahanan seluruh elemen bangsa dari segala ancaman yang membahayakan negara dan masyarakat. Dengan segala sumber daya yang ada, kita harus mewujudkan ketahanan negara yang kokoh dari segala ancaman, termasuk ancaman terhadap perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan yang menimbulkan implikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat.
Bahwa penyebaran pandemi COVID-19 yang memberikan dampak dan mengancam pertumbuhan ekonomi Indonesia antara lain karena menurunnya penerimaan negara serta ketidakpastian ekonomi global, memerlukan kebijakan dan langkah-langkah luar biasa di bidang keuangan negara termasuk di bidang perpajakan dan keuangan daerah, dan sektor keuangan, yang harus segera diambil Pemerintah dan lembaga-lembaga terkait guna mengatasi kondisi mendesak tersebut dalam rangka penyelamatan kesehatan, perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja kesehatan, jaring pengaman sosial (social safety net), serta pemulihan dunia usaha yang terdampak. Oleh karena itu, diperlukan perangkat hukum yang memadai untuk memberikan landasan yang kuat bagi Pemerintah dan lembaga-lembaga terkait untuk pengambilan kebijakan dan langkah-langkah dimaksud.
Bahwa berdasarkan ketentuan dalam Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan: “ Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang ”. 123 Mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, parameter kegentingan yang memaksa dalam rangka penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang antara lain: - karena adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan _masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; _ - Undang-Undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau tidak memadainya Undang-Undang yang _saat ini ada; dan _ - Kondisi kekosongan hukum yang tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa yang memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. 5. Bahwa Perppu 1/2020 telah dikeluarkan oleh Presiden pada tanggal 31 Maret 2020 karena keadaan genting dan kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat dan untuk menyelamatkan perekonomian dari krisis yang diprediksi akan terjadi. Bahwa dalam keadaan mendesak tersebut diperlukan pemberian kewenangan bagi Pemerintah diantaranya agar dapat melakukan realokasi dan refocussing anggaran yang sebelumnya telah dialokasikan dalam APBN tahun 2020. Melalui realokasi dan refocussing yang bersifat segera diharapkan dapat segera memulihkan ekonomi dalam rangka mendukung Program Pemulihan Ekonomi Nasional sebagai akibat dari Pandemi Covid-19. 6. Bahwa oleh karenanya ketentuan dalam UU 2/2020 diharapkan dapat memberi fondasi hukum bagi pemerintah terhadap otoritas perbankan dan otoritas keuangan untuk mengambil langkah luar biasa guna menjamin kesehatan masyarakat, menyelamatkan perekonomian nasional, dan stabilitas sistem keuangan sebagaimana diatur UU a quo yang perlu menetapkan kebijakan keuangan negara dan kebijakan stabilitas sistem keuangan diantaranya dengan menetapkan batasan defisit anggaran, melakukan penyesuaian besaran belanja wajib ( mandatory spending ), dan melakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarfungsi, dan/atau antarprogram.
Bahwa urgensi sebagai dasar dibentuknya Perppu 1/2020 merupakan pertimbangan subjektif dari Presiden sebagai pihak yang berhak membentuk suatu perppu. Pertimbangan subjektif tersebut perlu untuk dinilai secara objektif oleh rakyat yang direpresentasikan oleh wakilnya, yaitu DPR, sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Pasal 22 ayat (2) 124 UUD NRI Tahun 1945. Dengan disahkannya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020, maka DPR sebagai wakil rakyat telah menilai urgensi tersebut merupakan hal yang nyata dan mendesak sehingga perlu memberikan persetujuan atas Perppu 1/2020 untuk menjadi undang-undang sehingga dapat digunakan Pemerintah sebagai dasar hukum yang lebih kuat untuk bereaksi secara cepat menghadap situasi Pandemi Covid-19. C. Keterangan DPR Terhadap Pengujian Formil UU 2/2020 Berdasarkan kewenangan MK yang diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, maka batu uji yang digunakan oleh MK untuk melakukan pengujian formil haruslah berdasarkan Pasal 20 UUD NRI Tahun 1945, terutama Pasal 20 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “ Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama” . Frasa “ persetujuan bersama” dalam ketentuan tersebut merupakan esensi berlakunya __ asas legalitas sehingga frase “ persetujuan bersama ” merupakan norma yang sangat fundamental sebagai dasar terbentuknya undang- undang. Jika proses pembentukan undang-undang telah memenuhi unsur legalitas, yakni telah adanya “ persetujuan bersama ”, dan tidak adanya kegagalan dalam mendapatkan “ persetujuan bersama ” DPR dan Presiden, maka secara konstitusional undang-undang tersebut menjadi sah secara formil. Sesuai landasan konstitusional kewenangan MK menguji undang- undang terhadap UUD NRI Tahun 1945, maka pengujian undang-undang secara formil hanya dapat dinyatakan cacat prosedur jika telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Namun demikian, jika Yang Mulia Hakim Konstitusi berpendapat lain, maka mohon pertimbangan yang seadil-adilnya, dan DPR tetap bersikap kooperatif dengan menerangkan lebih lanjut hal-hal yang dipermasalahkan oleh Para Pemohon dalam pengujian formil. 125 1. Tanggapan DPR terhadap dalil Para Pemohon Perkara 75 mengenai batasan waktu 45 hari dalam pengujian formil undang-undang harus dikesampingkan karena tidak berdasarkan pada UUD NRI Tahun 1945. a) Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam konteks ketatanegaraan Indonesia dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi ( the guardian of constitution ) dan sebagai pengawal demokrasi ( the guardian of democracy ) yang diberikan kewenangan oleh UUD NRI Tahun 1945 untuk dapat menguji undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945. Kewenangan ini diberikan sebagai fungsi Mahkamah Konstitusi dalam menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat. Namun di sisi lain, Mahkamah Konstitusi juga bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan bertanggungjawab. b) Bahwa undang-undang bersifat mengikat dan memaksa bagi semua warga negara, sehingga agar dapat dilaksanakan harus diundangkan dalam Lembaran Negara agar setiap orang dianggap mengetahui atas undang-undang tersebut. Hal ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum kepada masyarakat atas keberlakuan suatu undang- undang. c) Bahwa untuk menjamin kepastian hukum, pengujian undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 diperlukan pembatasan waktu untuk dapat diuji secara formil. Pembatasan waktu ini tidak boleh terlalu lama dari waktu diundangkannya suatu undang-undang dalam Lembaran Negara, karena karakteristik pengujian formil berbeda dengan pengujian materiil yang hanya menguji kata, frasa, ayat dan/atau pasal saja dalam undang-undang atas dasar kerugian konstitusional pemohon. Sedangkan pengujian formil didasarkan atas undang- undang yang merugikan konstitusi yang proses pembentukannya tidak sesuai dengan ketentuan dalam UUD NRI Tahun 1945, sehingga dapat membatalkan keseluruhan undang-undang. d) Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam menjaga hal tersebut harus berhati-hati dalam menguji formalitas suatu undang-undang, karena yang menjadi fokus pengujian formil bukanlah atas dasar dalil kerugian 126 pemohon, namun Mahkamah Konstitusi harus mengutamakan keadilan dan kebenaran konstitusional. Mahkamah Konstitusi harus memahami ruh, ide, landasan filosofis, dan suasana kebatinan yang terjadi selama penyusunan undang-undang sehingga dapat memahami urgensi suatu undang-undang harus segera ditetapkan. e) Bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi ( the guardian of constitution ) dan sebagai pengawal demokrasi ( the guardian of democracy ) telah tepat memberikan pembatasan waktu pengujian formil 45 hari setelah suatu undang-undang diundangkan dalam Lembaran Negara dalam menjaga kepastian hukum. Pembatasan ini sebagaimana Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009 Paragraf [3.34] yang menyatakan, “ Menimbang bahwa terlepas dari putusan dalam pokok permohonan a quo Mahkamah memandang perlu untuk memberikan batasan waktu atau tenggat suatu Undang-Undang dapat diuji secara formil. Pertimbangan pembatasan tenggat ini diperlukan mengingat karakteristik dari pengujian formil berbeda dengan pengujian materiil. Sebuah Undang-Undang yang dibentuk tidak berdasarkan tata cara sebagaimana ditentukan oleh UUD 1945 akan dapat mudah diketahui dibandingkan dengan Undang-Undang yang substansinya bertentangan dengan UUD 1945. Untuk kepastian hukum , sebuah Undang- Undang perlu dapat lebih cepat diketahui statusnya apakah telah dibuat secara sah atau tidak, sebab pengujian secara formil akan menyebabkan Undang-Undang batal sejak awal. Mahkamah memandang bahwa tenggat 45 (empat puluh lima) hari setelah Undang-Undang dimuat dalam Lembaran Negara sebagai waktu yang cukup untuk mengajukan pengujian formil terhadap Undang-Undang; ” f) Bahwa terkait hukum acara pembatasan waktu 45 hari dalam mengajukan pengujian formil di Mahkamah Konstitusi merupakan materi yang seharusnya diatur dalam undang-undang oleh pembentuk undang-undang, namun selama belum diatur dalam undang-undang Mahkamah Konstitusi dapat mengatur hukum acara yang bersifat teknis untuk mengisi kekosongan hukum. Dalam hal ini, UUD NRI Tahun 1945 sebagai Konstitusi tidak mungkin mengatur secara rinci mengenai hal teknis batasan hari seperti yang didalilkan oleh Para Pemohon, karena dibutuhkan Undang-Undang lain untuk mengatur mengenai hal tersebut. Sehingga Mahkamah Konstitusi memiliki 127 kewenangan untuk mengatur sendiri hukum acara yang bersifat teknis dalam sidang pengadilan selama belum diatur dalam Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi. g) Bahwa terhadap pengujian perkara nomor 75/PUU-XVIII/2020 yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi pada tanggal 9 September 2020 sesungguhnya telah melewati batas waktu pengujian formil 45 hari sejak diundangkannya UU a quo , yakni pada tanggal 18 Mei 2020 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516. Oleh karenanya berdasarkan fakta hukum tersebut DPR berpandangan permohonan Perkara nomor 75/PUU-XVIII/2020 tidak memenuhi ketentuan batas waktu 45 hari yang ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi, sehingga sepatutnya Mahkamah Konstitusi menyatakan Permohonan 75/PUU-XVIII/2020 tidak dapat diterima.
Tanggapan DPR terhadap dalil Para Pemohon Perkara 37 dan Perkara 75 mengenai prosedur konstitusional pengesahan telah disimpangi dengan tidak adanya keterlibatan DPD. Bahwa Para Pemohon Perkara 37 dan Perkara 75 dalam perbaikan permohonannya mendalilkan tidak adanya keterlibatan DPD dalam pembahasan Perppu yang telah ditetapkan menjadi UU dengan UU 2/2020 bertentangan dengan prinsip negara hukum, prinsip kedaulatan rakyat dan kewenangan legislasi DPD. Terhadap dalil tersebut DPR menerangkan sebagai berikut: a) Bahwa berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 ditentukan kewenangan untuk membentuk undang-undang ada pada DPR. Adapun terkait UUD NRI Tahun 1945 menghendaki bahwa setiap RUU dibahas antara DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama (Pasal 20 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945). b) Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 22D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 mengatur bahwa Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang- undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya _ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; _ 128 serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. c) Bahwa keikutsertaan DPD dalam pembahasan RUU hanya sebatas yang berkaitan dengan _otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; _ pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Hal ini juga sesuai dengan Pasal 65 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 (selanjutnya disebut UU 12/2011). d) Bahwa Perppu 1/2020 pada intinya secara garis besar mengatur mengenai kebijakan keuangan negara, apabila dalam pelaksanaannya memiliki dampak terhadap alokasi perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerintahan daerah, hal itu merupakan konsekuensi bahwa keuangan daerah merupakan bagian dari keuangan negara. Sehingga telah jelas bahwa Perppu tersebut tidak mengatur secara khusus mengenai _otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; _ pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah . Selain itu UU 2/2020 yang dipermasalahkan oleh Para Pemohon merupakan pengesahan Perppu 1/2020 sehingga pembentuk undang-undang tidak berkewajiban untuk mengikutsertakan DPD dalam pembahasan RUU penetapan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang. e) Berdasarkan Pasal 71 huruf d dan Pasal 249 ayat (1) huruf b Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2019 (UU MD3) bahwa DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan _daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; _ pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah . RUU Penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU tidak memiliki pertautan dengan bidang 129 yang mengharuskan keikutsertaan DPD dalam pembahasannya melainkan mengenai DPR memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan, sehingga DPD tidak memiliki kewenangan untuk ikut membahas RUU tersebut.
Tanggapan DPR terhadap dalil Para Pemohon Perkara 37, Para Pemohon Perkara 43 dan Para Pemohon Perkara 75 mengenai rapat virtual yang berpotensi dihadiri tidak secara konkret karena kuorum rapat dibuktikan dengan tandatangan sebelum menghadiri rapat. a) Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, Perppu 1/2020 dibentuk pada intinya untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional yang terdampak dari Pandemi Covid-19 . Bahwa pada saat Perppu 1/2020 tersebut diajukan oleh Pemerintah kepada DPR untuk menjadi undang-undang, negara dalam kondisi darurat bencana yang menimbulkan kepanikan di masyarakat. b) Dalam kondisi demikian, maka DPR sebagai wakil rakyat harus tetap melaksanakan tugasnya untuk membahas Perppu 1/2020 bersama dengan Pemerintah. Bahwa pada saat itu peraturan perundang- undangan yang menjadi dasar hukum pembentuk undang-undang melaksanakan tugasnya masih belum menjangkau penggunaan sarana informasi dan teknologi dalam pembahasan dan pengesahan undang-undang. Hal tersebut disebabkan tidak terprediksinya kondisi yang diakibatkan dari penyebaran Pandemi Covid-19 yang begitu masif dan berdampak pada timbulnya korban jiwa. Adapun pada saat munculnya kasus pertama penyebaran Covid-19 di Indonesia hingga saat ini, Pemerintah telah membuat kebijakan mengenai salah satu upaya penanggulangan penyebaran Pandemi Covid-19 adalah dengan melakukan pembatasan sosial berskala besar dengan mengharuskan tiap orang menjaga jarak. c) Adapun salah satu kebijakan Pemerintah dalam upaya penanggulangan penyebaran pandemi Covid-19 adalah dengan melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dilaksanakan di beberapa daerah di Indonesia. Sebagai lembaga yang berkedudukan di DKI Jakarta yang juga menerapkan PSBB, maka DPR dan Presiden juga harus mengikuti kebijakan yang telah ditetapkan 130 Pemerintah Daerah tersebut. Meskipun demikian, tugas pokok dan fungsi sebagai lembaga tetap harus berjalan, sehingga sebagai alternatif pelaksanaan rapat dan koordinasi supaya tugas dan fungsi DPR dan Presiden tetap berjalan adalah dengan menggunakan sarana informasi dan teknologi berupa video meeting atau virtual meeting. d) Pada saat kondisi demikian agar tugas pembentukan undang-undang tidak terbengkalai, DPR perlu melakukan terobosan hukum, yaitu dengan menetapkan Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib DPR 2020) yang mulai berlaku pada tanggal 2 April 2020. Berdasarkan Tatib DPR 2020 tersebut di dalam ketentuan Pasal 254 ayat (4) dinyatakan bahwa: “ Semua jenis rapat DPR dihadiri oleh Anggota, kecuali dalam keadaan tertentu, yakni keadaan bahaya, kegentingan yang memaksa, keadaan luar biasa, keadaan konflik, bencana alam, dan keadaan tertentu lain yang memastikan adanya urgensi nasional, rapat dapat dilaksanakan secara virtual dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi. ” Dengan menggunakan dasar hukum tersebut, maka DPR melalui Badan Anggaran bersama Pemerintah melakukan Pembahasan Tingkat I UU a quo pada tanggal 4 Mei 2020 dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi melalui rapat virtual. Begitu pun halnya dengan Pembahasan Tingkat II yang menyetujui Perppu 1/2020 menjadi UU pada Rapat Paripurna tanggal 12 Mei 2020 dilaksanakan dengan menggunakan rapat kombinasi secara fisik maupun dengan teknologi informasi dan komunikasi melalui rapat virtual . e) Menanggapi dalil Para Pemohon Perkara 37, Para Pemohon Perkara 43 dan Para Pemohon Perkara 75 tersebut, DPR menerangkan bahwa pelaksanaan rapat yang dihadiri secara virtual telah diatur secara jelas dalam Pasal 279 ayat (6) Tatib DPR 2020 yang menyatakan bahwa: “ Dalam hal penandatanganan daftar hadir Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak dapat dilakukan dan disebabkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 254 ayat (4), kehadiran Anggota dalam semua jenis rapat DPR dilakukan berdasarkan kehadiran secara virtual. ” Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 279 ayat (7) Tatib DPR 2020 menyatakan bahwa: 131 “ Bukti kehadiran secara virtual sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat dikonfirmasi dan diverifikasi keabsahannya melalui Sekretariat Jenderal DPR. ” Oleh karena itu berdasarkan dokumen sebagaimana terlampir dalam Lampiran I, maka Pembahasan Tingkat II yang menyetujui Perppu 1/2020 menjadi UU pada Rapat Paripurna tanggal 12 Mei 2020 yang dilakukan secara virtual tersebut, maka kehadiran pembentuk undang- undang telah memenuhi ketentuan perundang-undangan. f) Oleh karena itu dalil Para Pemohon Perkara 37, Para Pemohon Perkara 43 dan Para Pemohon Perkara 75 tersebut hanya merupakan asumsi karena jelas bahwa pembahasan dan pengesahan undang- undang dengan menggunakan sarana teknologi dan informasi telah memiliki dasar hukum melalui Tatib DPR 2020. Selain itu berdasarkan risalah Rapat Paripurna bahwa dengan Pimpinan DPR memberikan keputusan penetapan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang artinya memberikan persetujuan dan juga mengikat anggota yang hadir baik secara fisik dan virtual (non fisik) (Lampiran II) 4. Tanggapan DPR terhadap dalil Para Pemohon Perkara 43 mengenai UU 2/2020 tidak memenuhi syarat Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011 terkait frasa “ persidangan yang berikut ”. a) Bahwa di dalam Rapat Kerja Badan Anggaran DPR RI bersama Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan tertanggal 4 Mei 2020 bahwa pada saat itu terdapat 9 (sembilan) fraksi yang menyetujui Perppu 1/2020 untuk ditetapkan menjadi undang-undang, hanya fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) yang belum menyatakan persetujuannya. Berdasarkan rapat pada saat itu, DPR RI menerangkan bahwa UU a quo disetujui untuk ditetapkan menjadi undang-undang, dari titik tolak pemikiran bahwa Alinea keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 dinyatakan bahwa tujuan dibentuknya Pemerintahan Negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap rakyat Indonesia. Dengan demikian asas keselamatan rakyat Indonesia adalah yang diutamakan, untuk memberikan keyakinan bahwa Perppu 1/2020 tersebut harus dibahas 132 segera dan secepatnya untuk memenuhi asas keselamatan rakyat yang diamanatkan di dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 tersebut. b) Bahwa Perppu 1/2020 merupakan kewenangan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam kondisi darurat yang bersifat fundamental dan krusial yang berdampak pada stabilitas perekonomian nasional jangka panjang, maka pengaturan hal tersebut perlu untuk diberikan dasar legalitas yang lebih kuat dalam bentuk undang-undang. c) Bahwa DPR selain memiliki fungsi legislasi sebagai pembentuk undang-undang berdasarkan Pasal 20A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, juga memiliki fungsi anggaran. Berkaitan dengan Perppu 1/2020 sebagai peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang berfokus pada penataan ulang anggaran hingga beberapa tahun ke depan yang tentu saja memiliki dampak terhadap APBN, dimana sesuai dengan UUD NRI Tahun 1945 pembahasan dan pengesahan dalam Perppu 1/2020 menjadi UU sangat memerlukan peran DPR dalam melaksanakan fungsi anggaran sebagai kerangka representasi rakyat. Oleh karena itu, penting bagi DPR untuk segera membahas dan menetapkan Perppu 1/2020 menjadi UU dalam waktu yang cepat karena adanya kebutuhan mendesak yang dapat berdampak terhadap stabilitas perekonomian nasional. d) Dengan adanya situasi pandemi Covid-19 tersebut yang memiliki dampak bukan hanya terhadap kesehatan dan keselamatan rakyat, tetapi juga memiliki dampak terhadap perekonomian negara dalam jangka panjang, oleh karenanya proses penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU yang harus dilakukan secepatnya oleh DPR merupakan langkah cepat DPR dalam menghadapi keadaan darurat negara. Keadaan darurat tersebut tetap harus dipahami dalam pandangan yang sesuai dengan alas fakta yang terjadi pada saat keadaan darurat, dan tidak menggunakan parameter dan indikator keadaan normal. Oleh sebab itu, keputusan DPR yang secara cepat mengesahkan Perppu 1/2020 menjadi UU merupakan langkah yang tepat dan mencerminkan asas prosesual bahwa penundaan yang tidak beralasan ( undue delay ) 133 harus dihindarkan, hal ini adalah demi kepentingan negara dan kepentingan umum yang harus dilindungi. e) Hal tersebut menunjukkan bahwa DPR memiliki kesamaan pandangan dengan Pemerintah mengenai adanya kegentingan memaksa dan perlunya kebijakan serta tindakan yang harus segera dilakukan dalam menghadapi pandemi Covid-19. Persetujuan DPR dimaksud menjadikan norma tersebut memenuhi amanat UUD NRI Tahun 1945 dan memberikan kepastian hukum bagi keberlanjutan langkah-langkah Pemerintah dalam penanganan situasi extraordinary pandemi Covid- 19, yang telah secara nyata menimbulkan pemburukan ekonomi dan ancaman krisis apabila tidak segera ditangani. Dengan adanya legitimasi tersebut, Pemerintah memiliki fleksibilitas melakukan recovery terhadap situasi dan kondisi perekonomian. Semakin mampu Pemerintah menangani dampak yang ditimbulkan oleh pandemi Covid- 19 seiring dengan perkembangan/perlambatan penyebaran virus ( flattening the curve ), semakin mempercepat negara keluar dari pemburukan ekonomi. D. Keterangan DPR Terhadap Pengujian Materiil UU 2/2020 1. Pandangan DPR RI terhadap pengujian judul UU 2/2020:
Berdasarkan metode penafsiran secara gramatikal yaitu metode penafsiran melalui pendekatan tatabahasa yang ada pada rumusan UU, dalam memahami UU, tanda baca, diksi, dan pola susunan kalimat sedemikan rupa benar benar diperhatikan. Berdasarkan metode penafsiran tersebut judul Lampiran UU 2/2020 sudah jelas, tidak ambigu, memang yang diatur dalam Lampiran UU 2/2020 ini adalah langkah Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan dikarenakan adanya pandemi Covid 19 yang saat ini terjadi. Bukan mengatur tentang langkah tindakan Pemerintah untuk menangani Covid 19. Yang menjadi subyek dari judul ini adalah Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19. Dua subyek tersebut adalah dua hal yang berbeda namun satu kesatuan yang diatur dalam Lampiran UU 2/2020 ini.
Judul dan materi muatan sudah sesuai, materi muatan terdiri atas 6 bab yang hampir semuanya mengatur mengenai langkah-langkah 134 kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan yang akan dijalankan pemerintah, dan tidak mengatur mengenai langkah-langkah untuk menangani pandemi Covid-19.
Berdasarkan Ketentuan dalam UU 12/2011 Lampiran II Bagian A mengatur bahwa: ● Judul Peraturan Perundang–undangan memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun pengundangan atau penetapan, dan nama Peraturan Perundang–undangan; ● Judul Peraturan Perundang-undangan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin tanpa diakhiri tanda baca; ● Pada nama Peraturan Pemerintah Pengganti Undang–Undang (Perpu) yang ditetapkan menjadi Undang–Undang, ditambahkan kata penetapan di depan judul Peraturan Perundang–undangan yang ditetapkan dan diakhiri dengan frasa menjadi Undang-Undang; Berdasarkan ketentuan tersebut, judul yang tertulis pada UU 2/2020 maupun Perppu 1/2020 yang merupakan lampiran dari UU 2/2020 telah sesuai dengan ketentuan dalam UU 12/2011.
Pandangan DPR terhadap materi muatan kebijakan pelebaran defisit anggaran sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU a quo . __ a. Bahwa sesuai amanat konstitusi, APBN digunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat, namun ketika keadaan darurat karena Covid-19 yang telah secara nyata memberikan dampak pada perekonomian negara seperti saat ini maka penggunaan APBN dapat disesuaikan untuk kepentingan yang lebih besar yaitu menyelamatkan perekonomian negara yang mana hal ini justru untuk menciptakan manfaat yang lebih besar.
Implikasi pandemi Covid-19 telah berdampak pula terhadap ancaman semakin memburuknya sistem keuangan yang berisiko pada ketidakstabilan makro ekonomi dan sistem keuangan yang perlu dimitigasi bersama oleh Pemerintah dan lembaga terkait dengan melakukan tindakan antisipasi guna menjaga stabilitas sektor keuangan. Bahwa kedalaman implikasi Covid-19 terhadap perekonomian sulit diukur karena puncak pandemi Covid-19 belum dapat dipastikan 135 waktunya. Implikasi ekonomi yang ditimbulkan oleh Covid-19 terhadap perekonomian sangat dalam sehingga semua skenario perlu disiapkan untuk menghadapi situasi yang paling buruk, bahkan dalam bentuk “ worst case scenario ”. Maka pemerintah dan lembaga terkait perlu mengambil langkah luar biasa dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional dengan berbagai kebijakan relaksasi yang berkaitan dengan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan melakukan peningkatan belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial dan pemulihan perekonomian, serta memperkuat kewenangan berbagai lembaga dalam sektor keuangan.
Bahwa Para Pemohon Perkara 37 dan Pemohon Perkara 45 mendalilkan UU a quo melampaui dari ruang lingkup yang diatur di dalam Pasal 1 karenanya senyatanya Pasal 2 ayat (1) huruf a justru mengatur dalam jangka waktu sampai dengan 2022 bahkan sampai 2023. Selain itu, negara-negara lain, pemerintahnya tidak diberi kewenangan khusus dalam bidang anggaran selama bertahun-tahun. Terhadap dalil tersebut, DPR berpandangan sebagai berikut:
Dalam Lampiran UU 2/2020 tetap terdapat pembatasan- pembatasan yaitu: Pertama, kewenangan menetapkan defisit melampaui 3% dari PDB hanya berlaku paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022 (dalam jangka waktu kurang lebih 2 tahun atau bisa kurang dari waktu tersebut jika recovery ekonomi dapat berjalan lebih cepat); dan penyesuaian besaran defisit tersebut dilakukan secara bertahap. Sebagai perbandingan dengan negara lain, Amerika Serikat, Australia, Singapura, dan Malaysia telah mengeluarkan stimulus fiskal yang mencapai lebih dari 10% PDB-nya. Amerika Serikat hanya dalam waktu kurang dari 3 bulan menambah utang dengan 3 Triliun US$ yang jumlah tersebut sama dengan jumlah 3 kali PDB Indonesia. (Lampiran II). Kedua , pelebaran defisit tersebut tetap dalam koridor jumlah pinjaman yang dapat dilakukan dalam rangka pelaksanaan pelebaran defisit tersebut yaitu di batasi maksimal 60% (enam puluh persen) dari PDB sesuai UU Keuangan Negara 136 2) Bahwa defisit anggaran yang tidak dapat dihindari tersebut tentunya butuh penanganan sehingga meningkatnya besaran utang negara adalah suatu hal yang pasti terjadi. Solusi ini adalah satu diantara upaya-upaya yang dilakukan oleh Pemerintah selain melakukan penyesuaian besaran belanja wajib, pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar fungsi dan/atau antar program dan lain sebagainya sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2 Lampiran UU 2/2020.
Bahwa konsekuensi dari pelebaran defisit tersebut tentunya berdampak pada tahun-tahun berikutnya. Sehingga penentuan atau pembatasan APBN sampai tahun anggaran 2022 merupakan pilihan kebijakan yang logis. Oleh karena itu, Pemerintah memberikan prediksi dengan menetapkan batasan defisit anggaran melampaui 3% dari PDB sampai dengan tahun anggaran 2022. Sedangkan pada tahun anggaran 2023, Pemerintah optimis besaran defisit anggaran akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% dari PDB. Hal ini merupakan optimisme Pemerintah dalam mengupayakan perbaikan kondisi perekonomian dan keuangan nasional. Hal ini harus dipahami oleh Para Pemohon a quo mengingat kondisi dan kemampuan setiap negara berikut kebijakan-kebijakan yang diambil tidak dapat disamaratakan karena karakteristik dan tren pertumbuhan perekonomiannya yang juga tidak sama.
Bahwa APBN Tahun Anggaran 2021 dan Tahun 2022 dalam lampiran UU 2/2020 ini tidak diatur karena UU APBN Tahun Anggaran 2021 dan Tahun Anggaran 2022 belum disusun dan diundangkan ketika pengundangan UU 2/2020. Dalam penyusunan APBN Tahun Anggaran 2021 dan Tahun Anggaran 2022 tetap diberlakukan mekanisme penyusunan APBN sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan sehingga esensi Pasal 23 UUD NRI Tahun 1945 tetap terjaga.
DPR menerangkan pembentukan Perppu merupakan kewenangan konstitusional Presiden sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Baru selanjutnya diberlakukan 137 ketentuan Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang merupakan kewenangan konstitusional DPR RI untuk memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan atas Perppu yang dibentuk oleh Presiden pada masa sidang yang berikutnya. Karakter hukum UU APBN yang merupakan undang-undang penetapan, berbeda dengan undang-undang pengaturan pada umumnya. Karena sifat hukumnya tersebut, UU APBN sebenarnya merupakan domain pemerintah dalam perumusan dan perencanaannya, yang kemudian membutuhkan hak budget DPR untuk menyetujui atau tidak. Dalam hal kondisi kedaruratan, persetujuan tidak ditempatkan di awal, melainkan sekalian di akhir pelaksanaan dengan maksud terjadinya perubahan konsep hak budget DPR yang sebelumnya menguji pengeluaran negara untuk kebutuhan di tahun berjalan, menjadi menguji pengeluaran negara untuk kemanfataan di tahun berjalan. Keduanya sama-sama tetap menggunakan dan menjalankan hak budget DPR, di mana hak budget keadaan normal, alokasi yang tidak disetujui DPR karena belum menjadi kebutuhan akan dicoret atau ditarik. Sedangkan dalam keadaan darurat, alokasi yang tidak disetujui karena tidak sesuai kemanfaatannya harus dipertanggungjawabkan pemerintah dalam berbagai bentuk, yaitu meminta Badan Pemeriksa Keuangan melakukan pemeriksaan dan melaporkannya kepada DPR, meminta pemerintah melakukan koreksi dan pengembalian sesuai dengan rekomendasi pemeriksaan BPK, atau DPR dapat menggunakan hak yang dimilikinya dalam mengawasi penggunaan APBN keadaan darurat.
Selain itu terkait keinginan Pemohon Perkara 45 agar RUU APBN Tahun 2021 dibahas Pemerintah dengan DPR RI senyatanya sudah disampaikan Pemerintah dalam rangkaian rapat paripurna tertanggal 12 Mei 2020, 14 Juli 2020, dan 14 Agustus 2020 (Lampiran II, Lampiran III dan lampiran IV). Sebagai tambahan informasi, pada 25 September 2020, Kemenkeu selaku yang mewakili Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) Anggaran 138 Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2021 di Banggar dan Pemerintah bersama DPR telah menyetujui defisit anggaran sebesar 5,7% dari PDB pada Rapat Paripurna DPR tanggal 29 September 2020. Semua fraksi DPR juga menyampaikan bahwa kondisi Covid-19 masih belum memberikan kepastian pada tahun 2021, sehingga Pemerintah dengan pimpinan Banggar dan para anggota Banggar bersama-sama memformulasikan RUU APBN 2021 yang disatu sisi memberikan signal kepada masyarakat, dunia usaha bahwa pemerintah terus melakukan support agar mereka bisa pulih dan bangkit kembali, namun di sisi lain juga memberikan sinyal kehati-hatian, sinyal prudent atau kebijakan dalam menjaga keseluruhan dan keberlangsungan APBN.
Oleh karenanya dalil bahwa kewenangan penetapan UU APBN oleh DPR menjadi nihil, (dalam hal ini dalil tersebut juga disampaikan oleh Para Pemohon Perkara 42) adalah anggapan yang salah. Hal ini disebabkan perubahan mekanismenya saja, yang sebelumnya Hak Budget DPR dilakukan di awal menjadi di akhir setelah diterbitkannya LKPP. Selain itu, dalam memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap penetapan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang tersebut, tentunya DPR mengkaji terlebih dahulu urgensi dan implikasi pemberlakuan ketentuan dalam Perppu tersebut sebagai undang-undang sebelum dilakukan penetapan Perppu tersebut sebagai undang-undang. Pengaturan dalam Perppu ini tidak berarti menghilangkan mekanisme persetujuan DPR dalam penetapan UU APBN mengingat UU APBN Tahun Anggaran 2020 telah ditetapkan, dan UU APBN Tahun Anggaran 2021 telah dibahas oleh DPR dan Pemerintah, dan UU APBN Tahun Anggaran 2022 masih belum disusun dan belum diajukan oleh Pemerintah kepada DPR RI.
Pandangan DPR terkait penggunaan dana yang bersumber dari Dana Abadi Pendidikan untuk penanganan Pandemi Covid-19, DPR.
Akumulasi dana abadi pendidikan yang dimaksud dalam Pasal a quo adalah akumulasi dana abadi dari tahun-tahun sebelumnya dan tidak 139 termasuk porsi dana abadi pendidikan yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun berjalan ( vide Penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf e UU a quo ).
Anggaran dana pendidikan yang sudah dialokasikan dalam UU APBN tahun berjalan tidak termasuk dalam objek yang diatur dalam ketentuan Pasal a quo sehingga kewajiban Pemerintah untuk memenuhi mandatory spending dana pendidikan sebesar 20% tetap dilaksanakan. Oleh karena itu yang dapat digunakan oleh Pemerintah dalam realokasi penggunaan dana abadi pendidikan dan akumulasi dana pendidikan untuk penanganan Pandemi Covid-19 tidak mengganggu alokasi dana pendidikan yang sudah ditetapkan dalam UU APBN sebesar 20%.
Bahwa penggunaan dana abadi sebagai sumber pembiayaan APBN tahun berjalan merupakan salah satu opsi yang dipersiapkan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19. Opsi tersebut hanya akan dipergunakan apabila seluruh pembiayaan lain yang tersedia tidak memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19. Namun demikian, pemanfaatannya akan tetap memperhitungkan efektivitas dan ketepatan dibandingkan dengan surnber-sumber lain yang ada.
Pandangan DPR terkait kewenangan Pemerintah untuk menerbitkan Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara dengan tujuan tertentu dan independensi Bank Indonesia a. Bahwa dasar hukum penerbitan SUN adalah Pasal 55 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (selanjutnya di sebut UU BI), yang berketentuan: ( 1) Dalam hal Pemerintah akan menerbitkan surat-surat utang negara, Pemerintah wajib terlebih dahulu berkonsultasi dengan Bank Indonesia. (2) Sebelum menerbitkan surat utang negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah wajib berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat. (3 ) Bank Indonesia dapat membantu penerbitan surat-surat utang negara yang diterbitkan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Dalam penerbitan Surat Utang Negara tersebut, terdapat peran DPR dalam mekanisme penerbitan surat utang negara berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (3) UU Nomor 24 Tahun 2002 140 tentang Surat Utang Negara (UU SUN) yang mengatur bahwa Penerbitan Surat Utang Negara harus terlebih dahulu mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat yang diberikan pada saat pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Mekanisme ini harus tetap dilakukan oleh Pemerintah.
Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (UU SBSN) diatur bahwa SBSN diterbitkan dengan tujuan untuk membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara termasuk membiayai pembangunan proyek. Kewenangan menerbitkan SBSN berada pada Pemerintah dilaksanakan oleh Menteri dapat dilaksanakan secara langsung oleh Pemerintah atau melalui Perusahaan Penerbit SBSN. Dalam hal akan dilakukan penerbitan SBSN untuk tujuan membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara termasuk membiayai pembangunan proyek, Menteri terlebih dahulu berkoordinasi dengan Bank Indonesia.
Ketentuan Pasal 8 UU SBSN mengatur bahwa Penerbitan SBSN harus terlebih dahulu mendapat persetujuan DPR pada saat pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diperhitungkan sebagai bagian dari Nilai Bersih Maksimal Surat Berharga Negara yang akan diterbitkan oleh Pemerintah dalam satu tahun anggaran. Dalam rangka kedaruratan penanganan Covid-19 dan implikasinya terhadap kondisi perekonomian nasional, hal ini juga menjadi pertimbangan Presiden dalam penyusunan Perppu 1/2020 dan penetapannya sebagai undang-undang oleh DPR melalui UU 2/2020. Ketentuan Pasal 8 UU SBSN ini tidak disebutkan dalam ketentuan Pasal 28 lampiran UU 2/2020, sehingga masih berlaku dan harus dilaksanakan oleh Pemerintah.
Pasal 2 ayat (1) huruf f, Pasal 16 ayat (1) huruf c, dan Pasal 19 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 mengatur bahwa Bl dapat membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana atau primer. Pengaturan tersebut melengkapi ketentuan Pasal 55 ayat (4) UU Bl yang memberikan kewenangan Bl untuk membeli SUN di pasar primer atau perdana berjangka pendek yang diperlukan oleh Bl untuk operasi pengendalian moneter. Pengaturan pada Pasal 55 ayat (4) UU Bl dimaksudkan untuk 141 menjalankan tugas Bl dalam kondisi normal. Sementara saat ini, Presiden telah memutuskan kondisi kegentingan yang memaksa serta kekosongan hukum karena pandemi Covid-19 sehingga diterbitkan Perppu 1/2020. Dalarn mengatasi kondisi tersebut, diperlukan stimulus fiskal yang dapat berimplikasi pada pelebaran defisit APBN. Oleh karena itu, peran Bl perlu diperluas sehingga Bl dapat melakukan pembelian SUN dan/atau SBSN jangka panjang di pasar perdana khususnya dalam rangka penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Covid-19.
Ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) hurut c Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk memberikan kelengkapan payung hukum bagi Bl untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan pembelian SUN dan/atau SBSN berjangka panjang di pasar perdana untuk penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Covid-19. Dengan adanya ketentuan-ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020, terbuka ruang baru bagi Bl dalam rnerumuskan dan rnelaksanakan kebijakan moneter melalui pembelian SUN di pasar primer atau perdana, baik yang berjangka pendek maupun panjang, untuk digunakan dalam operasi pengendalian moneter maupun yang diperlukan untuk pemulihan ekonomi nasional.
Pembelian SUN dan/atau SBSN oleh Bl di pasar perdana dilakukan untuk membantu pemerintah dalam pemenuhan pembiayaan APBN dan pembiayaan pelaksanaan pemulihan ekonomi nasional termasuk menjaga stabilitas sistem keuangan nasional yang menjadi peran Bl sebagai otoritas moneter dan bukan mengintervensi Bl dalam pelaksanaan tugasnya. Proses untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana merupakan mandat yang diberikan oleh UU 2/2020 sehingga sama sekali tidak ada intervensi terhadap independensi Bl.
Perlu dicermati pula bahwa SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan oleh Pemerintah tidak wajib untuk dibeli oleh Bl. Rumusan-rumusan 142 ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020 terkait kewenangan Bl untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana memuat kata "dapat". Penggunaan frasa "dapat" dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf f dan Pasal 19 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 dimaknai bahwa tidak ada unsur kewajiban bagi Bl yang dapat menghilangkan independensi Bl sebagai bank sentral untuk memutuskan pembelian SUN dan/atau SBSN di pasar perdana. Pembelian SUN dan/atau SBSN didasarkan sesuai pertimbangan Bl dalam menjalankan tugasnya.
Kewenangan Bl untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana sebagaimana diatur dalam Lampiran UU 2/2020 dilaksanakan dengan tetap menjaga independensi Bl. Pasal 23D UUD NRI Tahun 1945 jo. Pasal 4 ayat (2) UU Bl telah mengatur bahwa Bl merupakan lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak lain. Pelaksanaan tugas dan wewenang Bl akan tetap berjalan secara efektif dengan berlakunya ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (3) UU a quo , kewenangan tersebut harus memenuhi skema dan mekanisme pembelian yang diatur bersama antara Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia dengan Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur Bl Nomor 190/KMK.08/2020 dan Nomor 22/4/KEP.GBl/2020 tanggal 16 April 2020 dengan menerapkan prinsip:
mengutamakan mekanisme pasar;
mempertimbangkan dampaknya terhadap inflasi secara terukur;
SUN dan/atau SBSN yang dapat dibeli oleh Bl bersifat tradable dan marketable ; dan
Bl sebagai pembeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana merupakan last resort dalam hal kapasitas pasar tidak mampu menyerap dan/atau menyebabkan kenaikan yield yang terlalu tinggi. 143 5. Pandangan DPR terkait penetapan sumber-sumber pembiayaan Anggaran yang berasal dari dalam dan/atau luar negeri dan pengaturan perubahan postur APBN melalui Peraturan Presiden sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan tersebut meliputi kewenangan yang bersifat umum dan kewenangan yang bersifat khusus. Untuk membantu Presiden dalam penyelenggaraan kekuasaan dimaksud, sebagian dari kekuasaan tersebut dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku Pengelola Fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan, serta kepada Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya. Menteri Keuangan sebagai pembantu Presiden dalam bidang keuangan pada hakekatnya adalah Chief Financial Officer (CFO) Pemerintah Republik Indonesia, sementara setiap menteri/pimpinan lembaga pada hakekatnya adalah Chief Operational Officer (COO) untuk suatu bidang tertentu pemerintahan. Prinsip ini perlu dilaksanakan secara konsisten agar terdapat kejelasan dalam pembagian wewenang dan tanggung jawab, terlaksananya mekanisme checks and balances serta untuk mendorong upaya peningkatan profesionalisme dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan. Sub bidang pengelolaan fiskal meliputi fungsi-fungsi pengelolaan kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro, penganggaran, administrasi perpajakan, administrasi kepabeanan, perbendaharaan, dan pengawasan keuangan.
Pengecualian Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara dalam Perppu ini sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (2) lampiran UU 2/2020 a quo : “ Perubahan postur dan/atau rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara dan langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 11 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden.” 144 Ketentuan tersebut hanya berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Perppu ini ( Vide Pasal 28 lampiran UU 2/2020). Dalam kondisi kembali normal semua ketentuan dalam UU MD3 berlaku seperti semula termasuk dalam hal mekanisme pembahasan APBN dan APBNP yang harus tetap mendapatkan persetujuan DPR. Selain itu meskipun APBN Perubahan ditetapkan dengan Peraturan Presiden karena situasi yang mendesak berdasarkan Perppu 1/2020 yang selanjutnya menjadi lampiran UU 2/2020, tetapi pertanggungjawaban APBN tetap kepada DPR.
Bahwa terkait dengan sumber-sumber pembiayaan negara, Pasal 12 ayat (3) UU Keuangan Negara mengatur bahwa dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Undang-undang tentang APBN. Dan penjelasan Pasal 12 ayat (3) UU Keuangan Negara tersebut mengatur bahwa jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari Produk Domestik Bruto. Ketentuan dalam penjelasan ini juga menjadi bagian yang dinyatakan tidak berlaku dalam Pasal 28 angka 3 lampiran UU 2/2020. Namun pada dasarnya, penetapan sumber-sumber pembiayaan tersebut diperbolehkan hanya saja batasan yang ada dalam penjelasan pasal tersebut tidak diberlakukan selama penanganan Covid-19 ini atau hingga tahun 2021. Selain itu, persebaran Covid-19 yang masif dan cepat ini membutuhkan penanganan cepat namun yang tidak dapat dilaksanakan melalui mekanisme APBN, sehingga telah jelas tidak ada pelanggaran prinsip pengelolaan keuangan negara dan tetap sejalan dengan prinsip negara hukum sebagaimana diatur oleh Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.
Ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 sama sekali tidak menghilangkan peran dan fungsi DPR, karena dengan telah disetujui dan ditetapkannya Perppu1/2020 menjadi UU 2/2020, telah menunjukkan bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dengan Peraturan Presiden yang diatur dalam ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 145 2/2020 tersebut telah mendapat persetujuan DPR. Selain itu, dalam pembentukan Peraturan Presiden tentang perubahan postur dan/atau rincian APBN, Pemerintah selalu mengkomunikasikannya dan melakukan pembahasan bersama dengan DPR. DPR dapat memberikan masukan dan rekomendasi kepada Pemerintah terkait postur dan/atau rincian APBN tersebut. Oleh karena itu, Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 __ yang mengatur bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dilakukan dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden, sama sekali tidak menghilangkan peran dan fungsi DPR. Pengaturan perubahan postur dan/atau rincian APBN dalam ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 telah diselaraskan dengan dicabutnya ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU Keuangan Negara, Pasal 177 huruf c angka 2 dan Pasal 182 UU MD3, serta Pasal 40 UU APBN 2020 (vide ketentuan Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020). Pencabutan berbagai ketentuan yang diatur dalam Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020 tersebut, merupakan upaya harmonisasi agar tidak ada dualisme aturan atas satu permasalahan. Dengan demikian, ketentuan Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020 telah memberikan kepastian hukum atas pelaksanaan ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020, yaitu bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dilakukan dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden.
Pandangan DPR Terhadap Kebijakan Di Bidang Keuangan Daerah sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945, Pemerintah Daerah telah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendi r i urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Penjelasan umum UU Pemda menyatakan bahwa pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip negara kesatuan. Dalam negara kesatuan, kedaulatan hanya ada pada pemerintahan negara atau pemerintahan nasional dan tidak terdapat kedaulatan pada pemerintahan daerah. Oleh karena itu, seluas apapun otonomi yang 146 diberikan kepada daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan pemerintahan daerah akan tetap ada di tangan pemerintah pusat. Untuk itu pemerintahan daerah pada negara kesatuan merupakan satu kesatuan dengan pemerintahan nasional.
Kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh daerah merupakan bagian integral dari kebijakan nasional. Pembedanya, terletak pada bagaimana memanfaatkan kearifan, potensi, inovasi, daya saing, dan kreativitas daerah untuk mencapai tujuan nasional tersebut di tingkat lokal yang pada gilirannya akan mendukung pencapaian tujuan nasional secara keseluruhan. Pada kondisi pandemi Covid-19, hal yang perlu diperhatikan dalarn pelaksanaan kebijakan keuangan di daerah adalah kecepatan dan ketepatan untuk menyesuaikan anggaran sehingga tepat sasaran. Lebih lanjut, berdasarkan dengan Pasa l 6 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara), kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan, telah diserahkan kepada kepada gubernur/bupati/wali kota untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili Pemerintah Daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Namun demikian, dalam pelaksanaannya, penyelenggaraan pemerintahan daerah, termasuk keuangan daerah, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam UU Pemda sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015. Dalam ketentuan Pasal 9 ayat (2) UU Pemda disebutkan urusan absolut adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat. Lebih Ianjut dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf e UU Pemda disebutkan jika salah satu urusan pemerintahan absolut tersebut adalah urusan moneter dan fiskal nasional. Dalam menangani pandemi Covid-19 dan menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, kebijakan yang diterapkan di bidang keuangan negara yang memberikan relaksasi untuk refocusing APBN, sudah seharusnya juga diterapkan pada pemerintahan daerah, khususnya dalam hal relaksasi untuk refocusing APBD. Oleh karena itu, kebersarnaan dan gotong royong oleh 147 pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah dapat menuntaskan permasalahan kesehatan dan ekonomi dampak Covid-19.
Sesuai ketentuan Pasal 8 UU Pemda, telah diatur bahwa pembinaan dan pengawasan terhadap urusan penyelenggaraan pemerintahan oleh daerah dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri. Hal tersebut dapat menjadi landasan Kementerian Dalam Negeri untuk memberikan petunjuk/pedoman tentang keuangan daerah kepada Pemerintah Daerah agar penggunaan realokasil refocusing seragam dan terarah bagi seluruh daerah. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 280 UU Pemda, dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang diserahkan dan/atau ditugaskan, penyelenggara pemerintahan daerah memiliki kewajiban dalam pengelolaan keuangan daerah antara lain meliputi sinkronisasi pencapaian sasaran program daerah dalam APBD dengan program pemerintah pusat.
Sejalan dengan hal tersebut, guna mencapai penanganan yang bersifat holistik dan terpadu atas pandemi Covid-19 dan dampaknya, maka diperlukan pula peran daerah melalui APBD. Untuk itu, Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk melakukan refocusing, perubahan alokasi dan penggunaan APBD. Dalam rangka memberikan pedoman/guidance kepada Pemerintah Daerah, maka Kemendagri telah menerbitkan Permendagri Nomor 39 Tahun 2020 tentang Pengutamaan Penggunaan Alokasi Anggaran Untuk Kegiatan Tertentu, Perubahan Alokasi dan Penggunaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah yang mengatur ketentuan umum dan teknis pelaksanaan refocusing, perubahan alokasi, dan penggunaan APBD untuk penanganan pandemi Covid-19 beserta dampaknya di daerah. Dengan demikian, Permendagri tersebut tidak akan mendikte Pemerintah Daerah dalam melakukan refocusing, perubahan alokasi dan penggunaan APBD, melainkan sebatas memberikan petunjuk dan menciptakan keseragaman tindak lanjut kedaruratan dalam melakukan refocusing guna mencapai tujuan nasional. Selain itu, dengan tidak diajukannya pengujian ketentuan Pasal 3 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 oleh Pemohon, maka Pemohon telah menyadari dan rnernahami bahwa pemberian kewenangan kepada daerah untuk melakukan refocusing, perubahan alokasi, dan 148 penggunaan APBD, merupakan kebijakan yang penting dan diperlukan Pemerintah Daerah dalam penanganan dampak Covid-19.
Pandangan DPR Terhadap Materi Muatan mengenai “Kebijakan Di Bidang Perpajakan dan Kepabeanan” sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Terkait dengan perpajakan, Kementerian keuangan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.04/2020 tentang Pemberian Fasilitas Kepabeanan Dan/Atau Cukai Serta Perpajakan Atas Impor Barang Untuk Keperluan Penanganan pandemi Covid-19 sebagaimana telah diubah dengan PMK 83/PMK.04/2020 dengan pertimbangan untuk percepatan pelayanan dalam pemberian fasilitas fiskal atas impor barang yang diperlukan dalarn penanganan pandemi Covid-19, perlu mengatur ketentuan mengenai perlakuan kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan atas impor barang yang diperlukan dalam penanganan pandemi Covid-19. Dalam PMK tersebut diatur Atas impor barang untuk keperluan penanganan pandemi Covid-19 diberikan fasilitas kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan berupa: a) pembebasan bea masuk dan/atau cukai; b) tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; dan c) dibebaskan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22. terhadap jenis barang yang tercantum dalam Lampiran Huruf A PMK tersebut yang dapat dilakukan melalui pusat logistik berikat.
Pengaturan Pasal 10 lampiran UU 2/2020 ini tidak bertentangan dengan Pasal 25 dan Pasal 26 UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang telah diubah dengan UU Nomor 17 Tahun 2006 (UU Kepabeanan). Pengaturan perubahan ketentuan Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (1) UU Kepabeanan tersebut dalam rangka penanganan Covid-19 ini tentukan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan tentu tidak dapat serta merta dianggap kesalahan karena anggapan Para Pemohon bahwa ketentuan dalam UU tidak dapat diubah melalui peraturan perundang-undangan yang tidak setara. Hal ini dilakukan karena apa yang terjadi dan butuh penanganan cepat tidak sesuai dan tidak termasuk dalam pengaturan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 ayat 149 (1) UU Kepabeanan. Barang-barang tersebut tidak termasuk barang yang dipergunakan untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak termasuk obat-obatan yang pengadaannya menggunakan anggaran keuangan negara.
Perubahan ketentuan Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (1) UU Kepabeanan tersebut dengan UU perubahan tentu akan memerlukan waktu yang lama mengingat prosedur penyusunan UU beserta tahapan- tahapannya tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat. Penentuan ini juga tentunya memperhatikan pengaturan yang ada dalam Pasal 25 ayat (3) UU Kepabeanan yang menyatakan “ Ketentuan tentang pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri ” dan Pasal 26 ayat (3) UU Kepabeanan yang menyatakan “ Ketentuan mengenai pembebasan atau keringanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan Menteri”. Sejalan dengan adanya amanat pengaturan peraturan pelaksanaan UU sebagaimana dalam Pasal 25 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (3) UU Kepabeanan, maka hal ini jelas ditujukan untuk simplifikasi proses dalam kondisi yang genting, yang sudah jelas tidak berarti bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana yang telah didalilkan oleh Para Pemohon Perkara 37.
Tidak adanya pernyataan Presiden bahwa negara dalam kondisi krisis sehingga tidak diperlukan adanya program stabilitasi perekonomian dan keuangan nasional termasuk pengurangan pajak dan bea masuk barang impor sebagaimana yang dinyatakan Para Pemohon Perkara 42, hal tersebut tidaklah benar. Dalam berbagai pidatonya, Presiden, DPR dan Menteri keuangan berulang kali menyampaikan kondisi perekonomian nasional dan kekhawatiran apabila tidak dilakukan upaya penanganan segera tanpa perlu menyatakan “Indonesia dalam keadaan krisis” pun keadaan tersebut dirasakan oleh masyarakat secara luas khususnya setelah adanya pandemi Covid-19. Pengurangan pajak dilakukan karena pajak dipungut dari warga negara dan kondisi perekonomian nasional sedang tidak dalam keadaan baik. Hal ini justru akan membebani masyarakat apabila tidak dilakukan pengurangan pajak. Selain itu, 150 kebijakan terkait bea masuk barang impor tidak diberlakukan pada seluruh objek bea masuk melainkan pada alat-alat kesehatan dan obat- obatan yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam rangka penanganan pandemi Covid-19. Oleh karenanya, pengaturan dan pengawasan pengelolaan keuangan negara selama masa pandemi Covid-19 ini terlapor secara jelas kepada DPR dan dilaksanakan sesuai dengan asas- asas pengelolaan keuangan negara dan asas-asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
Bahwa terkait dalil Para Pemohon Perkara 37 yang menyatakan bahwa pemberian keringanan pajak tanpa dibarengi dengan adanya larangan PHK tidaklah tepat. DPR menerangkan bahwa pelarangan PHK tidak dapat diberlakukan oleh Pemerintah mengingat kondisi keuangan setiap perusahaan tidak sama satu sama lain berikut besar skalanya. Keringanan pajak tersebut diberikan dengan harapan mampu menstimulus perkembangan perusahaan sehingga besarnyapun tidak akan sama bagi setiap perusahaan tergantung pada skala perusahaan dan bidang usaha perusahaan tersebut. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) mengatur bahwa Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah. Dalam UU Ketenagakerjaan tersebut telah diatur mengenai pemutusan hubungan kerja dan adanya perjanjian kerja. Selain itu, ketenagakerjaan merupakan hubungan perdata antara pekerja dan pemberi kerja/pengusaha.
Bahwa terkait dalil Para Pemohon Perkara 37 mengenai pajak untuk perdagangan melalui sistem elektronik tidak memenuhi unsur kegentingan yang memaksa dan seharusnya diatur dalam undang- undang, DPR menerangkan bahwa:
Langkah-langkah pencegahan yang relatif ketat untuk membatasi meluasnya penyebaran pandemi Covid-19 menyebabkan turunnya permintaan atas produk nasional. Dampak selanjutnya, banyak perusahaan yang mengalami kesulitan cash flow sehingga menurunkan kemampuan dalam membayar pajak. Akibatnya, penerimaan perpajakan seperti PPh Badan mengalami penurunan 151 secara signifikan. Berkurangnya aktivitas perdagangan internasional secara signifikan juga mengakibatkan turunnya penerimaan pajak dari impor dan bea masuk. Selain itu, penerimaan perpajakan juga mengalami tekanan dari turunnya harga minyak dunia, bahan mineral, dan CPO yang merupakan komponen penting dalam menghitung PPh migas dan bea keluar. Kinerja penerimaan perpajakan diperkirakan akan melemah pada tahun 2020 dengan tax ratio berpotensi berada di bawah 9 persen, terendah dalam dua dekade terakhir.
Menghadapi kondisi perekonomian dan pandemi Covid-19, kebijakan dan strategi perpajakan jangka menengah ditujukan untuk mendorong percepatan pemulihan ekonomi nasional pasca pandemi Covid-19 dan meningkatkan pendapatan negara. Di tengah ketidakpastian akan akhir dari pandemi Covid-19, dukungan terhadap dunia usaha mutlak diperlukan dalam rangka memitigasi dampak ekonomi yang timbul dan mendorong percepatan pemulihan ekonomi nasional. Untuk itu, langkah reformasi perpajakan yang pertama dilakukan adalah dengan memberikan relaksasi perpajakan kepada dunia usaha. Relaksasi perpajakan tersebut dimaksudkan untuk mengurangi beban kegiatan usaha dan membantu meningkatkan kondisi cash flow perusahaan, khususnya selama dan pasca pendemi Covid-19. Perusahaan dapat menggunakan pengurangan atau pembebasan pajak untuk menutupi kenaikan harga bahan input maupun penurunan penjualan sehingga tetap beroperasi secara normal. Efek selanjutnya adalah perusahaan diharapkan tidak melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sehingga karyawan mempunyai gaji untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pada gilirannya hal tersebut akan kembali menggairahkan perekonomian nasional, baik dari sisi produksi maupun sisi konsumsi. Melalui penurunan tarif PPh badan, pembebasan PPh impor dan bea masuk sektor tertentu, serta berbagai fasilitas perpajakan lainnya, Pemerintah juga bermaksud meningkatkan daya saing guna mendorong aktivitas investasi sehingga dapat memacu pertumbuhan ekonomi nasional. 152 3) Dalam rangka meningkatkan pendapatan negara, khususnya penerimaan perpajakan, Pemerintah melakukan upaya perluasan basis pemajakan dan perbaikan administrasi perpajakan. Penambahan objek pajak baru yang dipungut oleh Negara sangat diperlukan dalam rangka meningkatkan tax ratio . Sebagai tahap awal, Pemerintah akan memungut pajak atas Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) atau yang lebih popular dengan sebutan e-commerce . Dalam beberapa tahun terakhir, transaksi online berkembang begitu cepat dan berpotensi menggantikan pasar konvensional. Selain menjadi sumber pendapatan Negara, pemungutan pajak terhadap sektor PMSE juga dimaksudkan untuk memastikan terpenuhinya prinsip pemajakan yang berkeadilan ( fairness) antara semua pelaku usaha dan menciptakan level of playing field yang sama bagi pengusaha di dalam negeri untuk bertahan dan meningkatkan daya saingnya di tengah pandemi Covid-19. Selama ini, pelaku usaha ekonomi digital luar negeri mendapatkan penghasilan secara signifikan dari Indonesia tanpa perlu membayar pajak di Indonesia. Untuk itu, pemajakan atas PMSE diharapkan mampu menjadi sumber penting pendapatan negara mengingat nilai transaksinya yang besar di masa yang akan datang. Dengan demikian pengaturan obyek pajak baru dan mekanisme mekanisme peningkatan efektifitas pajak menjadi hal yang harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan belanja negara yang semakin tinggi dengan kondisi pemasukan negara yang tidak mencukupi.
Apabila pemajakan terhadap PMSE tidak segera diterapkan di Indonesia maka terjadi kekosongan hukum dan menjadi loopholes untuk penghindaran dan pengelakan pajak yang menyebabkan hilangnya potensi penerimaan pajak. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa akan memerlukan waktu yang cukup lama, apalagi di tengah pandemi Covid-19. Dengan demikian, kebijakan pemajakan PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 sangat diperlukan sebagai dasar legal formal pemajakan atas PMSE. Dalam 153 pelaksanaan PMSE tersebut, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, Dan Penyetoran, Serta Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud Dan/Atau Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean Di Dalam Daerah Pabean Melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Peraturan tersebut tentunya tidak lepas dari pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. Maka dengan diaturnya PSME dalam Perppu 1/2020 yang keberlakuannya setara dengan Undang-Undang dan telah ditetapkan sebagai Undang-Undang melalui UU 2/2020, maka dalil Para Pemohon Perkara 37 mengenai PSME harus diatur dalam undang-undang menjadi tidak beralasan menurut hukum.
Pandangan DPR Terhadap Keterbukaan Pemerintah Terhadap Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara Sebagaimana Diatur dalam Ketentuan UU a quo .
Setiap penyelenggara negara wajib mengelola keuangan negara secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Pengelolaan dimaksud dalam UU Keuangan Negara mencakup keseluruhan kegiatan perencanaan, penguasaan, penggunaan, pengawasan, dan pertanggung-jawaban. Oleh karenanya, APBN, perubahan APBN, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN setiap tahun ditetapkan dengan undang-undang. Sedangkan APBD, perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Dengan ditetapkannya APBN, Perubahan APBN berikut pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dalam Undang-Undang dan 154 APBD, perubahan APBD berikut pertangungjawaban pelaksanaan APBD dalam Peraturan daerah, maka berlakulah fiksi hukum dalam masyarakat. Asas Fiksi Hukum beranggapan bahwa ketika suatu peraturan perundang- undangan telah diundangkan maka pada saat itu setiap orang dianggap tahu ( presumption iures de iure ) dan ketentuan tersebut berlaku mengikat sehingga ketidaktahuan seseorang akan hukum tidak dapat membebaskan/memaafkannya dari tuntutan hukum ( ignorantia jurist non excusat ). Keberadaan asas fiksi hukum, telah dinormakan di dalam penjelasan Pasal 81 ketentuan UU 12/2011 yakni " Dengan diundangkannya Peraturan Perundang-undangan dalam lembaran resmi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini, setiap orang dianggap telah mengetahuinya ". Adapun lembaran resmi yang dimaksud di dalam ketentuan Pasal 81 terdiri dari 7 jenis yakni a. Lembaran Negara Republik Indonesia, b.Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, c.Berita Negara Republik Indonesia, d. Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, e.Lembaran Daerah, f. Tambahan Lembaran Daerah, atau g. Berita Daerah.
Dalam rangka akuntabilitas pengelolaan keuangan negara menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota selaku pengguna anggaran/pengguna barang bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD, dari segi manfaat/hasil ( outcome ). Sedangkan Pimpinan unit organisasi kementerian negara/lembaga bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan dalam undang-undang tentang APBN, demikian pula Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang APBD, dari segi barang dan/atau jasa yang disediakan ( output ).
Oleh karena itu, dalam UU Perbendaharaan Negara diatur sanksi yang berlaku bagi menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota, serta Pimpinan unit organisasi kementerian negara/lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan/kegiatan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD. Ketentuan sanksi tersebut 155 dimaksudkan sebagai upaya preventif dan represif, serta berfungsi sebagai jaminan atas ditaatinya Undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD yang bersangkutan. Selain itu perlu ditegaskan prinsip yang berlaku universal bahwa barang siapa yang diberi wewenang untuk menerima, menyimpan dan membayar atau menyerahkan uang, surat berharga atau barang milik negara bertanggungjawab secara pribadi atas semua kekurangan yang terjadi dalam pengurusannya. Kewajiban untuk mengganti kerugian keuangan negara oleh para pengelola keuangan negara dimaksud merupakan unsur pengendalian intern yang andal.
Anggapan Para Pemohon Perkara 42 dan Para Pemohon Perkara 43 atas tidak terjadinya krisis perekonomian karena tidak adanya pernyataan dari Presiden terkait kondisi tersebut, hal ini sungguh tidak beralasan menurut hukum dan justru menunjukkan sikap ketidakpedulian Para Pemohon Perkara 42 dan Para Pemohon Perkara 43 atas kondisi negara dan kondisi yang ada dalam masyarakat secara umum. Dengan perkembangan teknologi dan akses berita yang mudah dan luas sekarang ini, informasi mengenai keuangan negara dapat diakses dengan mudah. Hal ini merupakan wujud transparansi pengelolaan keuangan negara karena keuangan negara menyangkut kepentingan publik.
Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dijelaskan bahwa Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik. Salah satu asas dalam UU tersebut adalah bahwa setiap Informasi Publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap Pengguna Informasi Publik, kecuali terdapat ketentuan pengecualiannya. Informasi Publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan undang-undang, kepatutan, dan kepentingan umum didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah dipertimbangkan dengan saksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindungi 156 kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya. Dalam hal ini, keuangan negara merupakan informasi yang tidak dikecualikan dan dengan jelas diatur adanya mekanisme-mekanisme penyampaian informasi keuangan negara dalam UU Keuangan Negara.
Pandangan DPR terkait penambahan kewenangan terhadap OJK sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Setidaknya terdapat tiga kewenangan OJK dalam UU a quo . Salah satu amanat dari UU 2/2020 seperti yang tercantum dalam Pasal 23 ayat (1) yaitu memberi kewenangan dan pelaksanaan kebijakan OJK untuk memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan melakukan penggabungan , peleburan, pengambilalihan, integrasi dan/atau konversi . Langkah tersebut dapat dilakukan apabila diperlukan untuk mengantisipasi krisis jasa keuangan yang dapat membahayakan perekonomian nasional. Dalam menghadapi kondisi penuh risiko saat ini akibat Covid-19 maka daya tahan lembaga jasa keuangan sangat dibutuhkan khususnya dari sisi permodalan. Sehingga, salah satu cara untuk memperkuat daya tahan lembaga jasa keuangan tersebut dilakukan dengan cara penggabungan atau merger. Aksi merger tersebut diperlukan karena terdapat risiko besar akibat Covid-19 yang mengganggu kemampuan pembayaran perusahaan jasa keuangan khususnya perbankan, meskipun saat ini perbankan tetap masih membayarkan bunga deposito kepada nasabah tepat waktu. Di sisi lain, kemampuan membayar debitur atau peminjam dalam kondisi tidak stabil karena perlambatan ekonomi di berbagai sektor. Sehingga, aksi merger tersebut diharapkan dapat memperkuat daya tahan perusahaan jasa keuangan.
Otoritas Jasa Keuangan mengeluarkan berbagai kebijakan stimulus untuk mengantisipasi dampak pandemi Covid-19 di bidang lembaga jasa keuangan. Sejauh ini, setidaknya OJK telah menerbitkan lima Peraturan OJK (POJK) pada 21 April 2020 sebagai tindak lanjut kewenangan OJK dalam pelaksanaan UU 2/2020 Kebijakan stimulus ini salah satunya adalah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Corona Virus Disease 2019. 157 c. Kekhawatiran Para Pemohon Perkara 37 dan Para Pemohon Perkara 42 terkait potensi kesewenang-wenangan OJK dalam melaksanakan kewenangannya yang diberikan oleh UU 2/2020 tentunya telah diantisipasi oleh Pemerintah dan OJK dengan adanya pedoman pelaksanaan kewenangan-kewenangan tersebut. Selain itu, bagi OJK selaku pelaksana kewenangan yang diberikan oleh UU 2/2020 juga berlaku ketentuan Asas- Asas Umum Pemerintahan yang Baik sebagaimana diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Pandangan DPR terkait pinjaman kepada LPS sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Ketentuan Pasal 2 ayat (3) UU LPS, LPS merupakan lembaga yang independen. Sesuai ketentuan tersebut, telah jelas bahwa kedudukan LPS merupakan lembaga independen, bukan merupakan lembaga yang berada di bawah pemerintah. Pemberian kewenangan kepada LPS sebagaimana yang tercantum dalam Lampiran UU 2/2020, pada prinsipnya merupakan kewenangan yang telah diberikan oleh UU LPS, UU OJK , dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK). Kewenangan yang diberikan kepada LPS sesuai Pasal 20 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 sifatnya lebih mempertegas guna mendukung pelaksanaan fungsi LPS dalam kondisi adanya pandemi Covid-19 dan/atau adanya ancaman perekonomian dan/atau stabilitas sistem keuangan. Kewenangan tersebut sudah jelas melekat dan seharusnya diberikan kepada LPS untuk dapat melaksanakan fungsi LPS sebagaimana diatur dalam UU LPS, yaitu menjamin simpanan nasabah penyimpan dan menjaga stabilitas sistem perbankan. Pemberian kewenangan bagi LPS untuk melaksanakan langkah-langkah penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan juga diiringi dengan wewenang bagi Pemerintah untuk mengatur lebih lanjut pelaksanaan kewenangan tersebut dalam Peraturan Pemerintah (vide Pasal 20 ayat (2) Lampira n UU 2/2020). Adanya atribusi dan mandat untuk melakukan pengaturan dalam peraturan perundang- undangan di bawah undang-undang dimaksudkan untuk memberikan koridor dalam pelaksanaan kewenangan LPS. Hal tersebut dimaksudkan 158 selain untuk memberikan kepastian hukum, juga untuk menghindari LPS menginterpretasikan kewenangan yang diberikan dalam Lampiran UU 2/2020 secara luas yang dapat mengakibatkan penyalahgunaan wewenang.
Berdasarkan UU LPS, fungsi LPS adalah menjamin simpanan nasabah di bank dan turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai kewenangannya. Berdasaran ketentuan dalam Pasal 85 ayat (1) UU LPS, dalam hal modal LPS menjadi kurang dari modal awal, Pemerintah dengan persetujuan DPR menutup kekurangan tersebut. Modal awal LPS ditetapkan sekurang-kurangnya Rp 4 triliun dan sebesar-besarnya Rp 8 triliun.
UU 2/2020 memberikan kewenangan kepada LPS yang di antaranya adalah melakukan pemeriksaan penanganan dan peningkatan intensitas persiapan Penanganan Bank bersama OJK dan melakukan pemilihan cara penanganan Bank Selain Bank Sistemik yang dinyatakan sebagai Bank Gagal dengan tidak hanya mempertimbangkan perkiraan biaya yang paling rendah ( least cost test ), tetapi juga mempertimbangkan kondisi perekonomian, kompleksitas permasalahan perbankan, kebutuhan waktu penanganan, ketersediaan investor, dan/atau efektivitas penanganan permasalahan Bank.
Sehubungan dengan kewenangan tersebut, UU 2/2020 mendelegasikan pengaturan kewenangan dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kewenangan LPS dalam Rangka Melaksanakan Langkah-Langkah Penanganan Permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah tersebut, LPS melakukan pemeriksaan bersama dalam rangka persiapan Penanganan Bank dan peningkatan intensitas persiapan Penanganan Bank serta melakukan pemilihan cara penanganan Bank Selain Bank Sistemik yang dinyatakan sebagai Bank Gagal.
Berdasarkan kewenangan dimaksud, dalam hal terdapat Bank yang mengalami permasalahan solvabilitas, LPS melakukan pemeriksaan bersama dengan OJK untuk penanganan permasalahan solvabilitas Bank. Disamping itu, selama pemulihan ekonomi sebagai akibat pandemi Covid-19, LPS dapat melakukan penempatan dana pada Bank untuk 159 mengelola dan/atau meningkatkan likuiditas LPS dan/atau mengantisipasi dan/atau melakukan penanganan permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan yang dapat menyebabkan terjadinya kegagalan Bank sebagai bagian dari tindakan antisipasi ( forward looking ) LPS untuk menjaga Stabilitas Sistem Keuangan.
Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 3 Tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan Dalam Rangka Melaksanakan Langkah-Langkah Penanganan Permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan, juga mengatur bahwa untuk penanganan pandemi Covid-19 untuk mengelola dan/atau meningkatkan likuiditas LPS dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, LPS dalam rangka pengambilan keputusan untuk melakukan penanganan Bank Selain Bank Sistemik yang dinyatakan sebagai Bank Gagal oleh OJK, tidak hanya mempertimbangkan perkiraan biaya yang paling rendah ( least cost test ) tetapi juga dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian, kompleksitas permasalahan bank, kebutuhan waktu penanganan, ketersediaan investor, dan/atau efektivitas dalam rangka penanganan permasalahan bank.
Berdasarkan ketentuan dalam lampiran UU 2/2020, LPS dapat menaikkan nilai penjaminan simpanan dari saat ini Rp 2 miliar per rekening untuk menjamin adanya kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan. LPS juga bisa menambah pembiayaan dengan menerbitkan surat utang. Penambahan pendanaan ini bertujuan untuk membantu LPS apabila mengalami kesulitan likuiditas dalam menangani bank gagal. Pembiayaan dari surat utang merupakan salah satu opsi yang dapat dilakukan LPS untuk menjalankan fungsi penjaminan simpanan maupun penanganan bank berdampak sistemik. Selama ini, LPS mendapatkan pembiayaan dari premi yang dibayarkan dari bank sebesar 0,2 persen per tahun dari rata-rata simpanan. LPS juga bisa mendapatkan biaya dari penanganan bank gagal serta memperoleh pinjaman dari pemerintah apabila modal sudah berada di bawah Rp 4 triliun. 160 h. Risiko pembiayaan yang dikeluarkan untuk stabilitas kondisi perekonomian dan keuangan nasional salah satunya adalah kewajiban kontinjensi pemerintah pusat. Kewajiban kontinjensi merupakan kewajiban potensial bagi Pemerintah yang timbul akibat adanya peristiwa masa lalu dan keberadaannya menjadi pasti dengan terjadinya atau tidak terjadinya suatu peristiwa ( event ), yang tidak sepenuhnya. berada dalam kendali Pemerintah. Kewajiban kontinjensi bersumber dari pemberian dukungan dan/atau jaminan pemerintah atas proyek-proyek infrastruktur; program jaminan sosial nasional; kewajiban Pemerintah untuk menambahkan modal jika modal lembaga keuangan, yaitu Bank Indonesia (BI), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), di bawah jumlah yang diatur dalam Undang-Undang; dan tuntutan hukum kepada Pemerintah.
Berbagai opsi pendanaan tambahan ini diperlukan untuk memberikan kepercayaan kepada masyarakat sehingga persoalan solvabilitas bank dapat selesai dengan baik. Oleh karenanya, LPS harus menentramkan masyarakat bahwa dana mereka aman dan mampu memulihkan fungsi intermediasi perbankan. Dengan demikian, kekhawatiran yang didalilkan Para Pemohon Perkara 42 dalam permohonannya menjadi hal yang tidak benar karena dalam pelaksanaan pemberian pinjaman terhadap LPS jelas akan dikonsultasikan dengan DPR dan keberadaan pengaturan tersebut adalah salah satu upaya yang terbuka bagi pemerintah apabila kondisi perbankan nasional memburuk.
Pengaturan dalam pasal 20 ayat (1) huruf b UU 2/2020 yang menyatakan bahwa LPS diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan (i) penjualan/repo SBN yang dimiliki kepada Bank Indonesia; (ii) penerbitan surat utang; (iii) pinjaman kepada pihak lain; dan/atau (iv) pinjaman kepada Pemerintah, dalam hal LPS diperkirakan akan mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan Bank Gagal, selain memberikan alternatif sumber pendanaan bagi LPS yang berlaku, baik untuk Bank Sistemik dan Bank Selain Bank Sistemik juga diharapkan dapat memberikan waktu yang cukup bagi LPS dalam mempersiapkan sumber dana tersebut sebelum terdapat Bank Gagal. Transaksi antara LPS dengan Bl sebagai salah satu langkah untuk pemenuhan likuiditas LPS 161 yang diperluas sehingga LPS selain dapat melakukan penjualan SBN miliknya, juga dapat melakukan transaksi Repo. Selain penjualan dan/atau repo kepada Bl, LPS juga mempunyai alternatif pendanaan berupa pinjaman kepada pihak lain yang dimaksudkan untuk menjaring pihak-pihak (dalam dan/atau luar negeri) yang mempunyai kemampuan pendanaan sehingga tersedia alternatif pendanaan yang lebih luas bagi LPS. Pinjaman LPS dari pihak lain merupakan salah satu opsi untuk menjaga likuiditas sehingga pemanfaatan dana tersebut untuk melaksanakan tugas dan fungsi LPS sebagai lembaga resolusi perbankan dalam hal terdapat Bank Gagal sesuai tata kelola yang diatur dalarn UU LPS.
Pandangan DPR terkait dalil Para Pemohon mengenai adanya hak imunitas bagi pelaksana kebijakan keuangan dan kerugian yang timbul dari pelaksanaan UU a quo bukan merupakan kerugian negara berdasarkan UU a quo adalah sebagai berikut a. Bahwa dukungan pembiayaan anggaran untuk penanganan Covid-19 yang besar adalah dalam rangka mendukung Program Pemulihan Ekonomi Nasional. Rincian kebutuhan anggaran ini berdampak pada sisi belanja dan juga pendapatan negara dalam APBN 2020. Biaya yang dikeluarkan pemerintah ini adalah biaya ekonomi yang bertujuan untuk penyelamatan negara dari krisis dan tidak bisa dianggap sebagai merupakan kerugian negara. APBN sebagai alat untuk mencapai tujuan negara, digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Ketika keadaan mendesak dan darurat, maka APBN sebagai alat tersebut dapat disesuaikan penggunaannya untuk menjadi penolong keselamatan negara. Biaya yang dikeluarkan ini disadari tidak akan sepenuhnya kembali dan juga hilangnya potensi penerimaan negara, namun di sisi lain telah timbul manfaat yang lebih besar yaitu pulihnya perekonomian dan dunia usaha sehingga dapat menyelamatkan ekonomi Indonesia. Sehingga biaya yang dikeluarkan tidak bisa disebut sebagai kerugian negara.
Biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah ini adalah biaya ekonomi yang bertujuan untuk penyelamatan negara dari krisis dan tidak bisa dianggap sebagai merupakan kerugian negara. APBN sebagai alat untuk mencapai 162 tujuan negara, digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Ketika keadaan mendesak dan darurat, maka APBN sebagai alat tersebut dapat disesuaikan penggunaanya untuk menjadi penolong keselamatan negara. Biaya yang dikeluarkan ini disadari tidak akan sepenuhnya kembali dan juga hilangnya penerimaan negara, namun di sisi lain telah menimbulkan manfaat yang lebih besar yaitu pulihnya perekonomian dan dunia usaha sehingga dapat menyelamatkan ekonomi Indonesia. Sehingga biaya yang dikeluarkan tidak bisa disebut sebagai kerugian negara. Penggunaan biaya ekonomi ini lah yang disebutkan dalam Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 yang dimaksudkan untuk penyelamatan perekonomian dari krisis sehingga bukan merupakan kerugian negara.
Mengutip Pendapat Dr. Dian Puji Nugraha Simatupang dalam tulisannya yang berjudul “ Ekuilibrium Kebijakan Keuangan Negara Menghadapi Keadaan Negara Darurat Akibat Penyebaran Covid-19 Dalam Peraturan _Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020”: _ “Biaya yang telah dialokasikan UU APBN dan/atau realisasi keuangan pemerintah untuk keadaan darurat tidaklah dapat dikategorikan sebagai kerugian negara dengan alasan: Pertama, biaya tersebut dialokasikan dalam UU APBN dan/atau laporan realisasi anggaran sebagai dasar hukum pengeluaran uang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2004 j.o. Pasal 27 ayat (4) UU Nomor 17 Tahun 2003; Kedua, biaya tersebut dikeluarkan untuk memenuhi kewajiban pemerintah untuk melindungi segenap tumpah darah rakyat Indonesia atau memenuhi asas kemanfaatan umum (doelmatigheid), dan untuk menghindari situasi dan keadaan yang lebih membahayakan keuangan negara dan perekonomian secara keseluruhan; Ketiga, biaya tersebut tetap diukur dalam satuan yang dikendalikan dan ditetapkan pedomannya oleh pemerintah dengan memperhatikan masukan dari lembaga terkait yang relevan untuk melakukan pengawasan intern. Menyangkut norma dalam Pasal 27 ayat (1) Perpu Nomor 1 Tahun 2020 hakikatnya dimaknai sebagai biaya sebagai sebab terjadinya keadaan darurat uang mempengaruhi stabilitas keuangan negara dan perekonomian nasional. Dalam hukum keuangan publik, hal demikian merupakan biaya resiko yang harus dibebankan ke dalam UU APBN untuk maksud mewujudkan tujuan negara, yaitu melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Biaya dalam keadaan darurat merupakan konsekuensi logis dalam upaya mewujudkan tindakan kepemerintahan yang cepat dan luar biasa diperlukan dalam kondisi yang tidak sempurna. Kecepatan dan ketepatan pemerintahan dalam penanganan keadaan darurat Covid- 19 tidak dapat menggunakan parameter dan indikator yang biasa karena justru tidak prosesual atau tidak memenuhi ekuilibrium kebijakan keuangan publik jika suatu alas fakta yang berbeda menggunakan syarat prosedur yang normal atau kondisi yang 163 sempurna, padahal alas fakta jelas terdapat perbedaan dan situasi yang darurat.” d. Bahwa dalam memaknai ketentuan Pasal 27 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020 tidak dapat dimaknai secara parsial melainkan harus dimaknai sebagai satu kesatuan. Adanya suatu kerugian keuangan negara, penyalah gunaan kewenangan melalui suatu kebijakan maupun produk hukum lain yang dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan UU 2/2020 tetap harus dibuktikan secara hukum dengan parameter yang tentunya tidak bisa disamakan dengan apa yang ada dalam keadaan normal. Adanya frasa “iktikad baik” dan “sesuai peraturan perundang- undangan” merupakan batasan koridor pelaksanaan kewenangan dalam penggunaan keuangan negara dan mengeluarkan suatu produk hukum dalam rangka pelaksanaan UU 2/2020.
Bahwa dalam perspektif hukum keuangan publik, kerugian negara adalah “ kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti sebagai akibat perbuatan melawan hukum atau kelalaian ,” berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 22 UU Perbendaharaan Negara. Artinya disini kerugian Negara tersebut harus dibuktikan sebagai akibat dari suatu perbuatan yang melawan hukum atau karena kelalaian. Biaya yang telah dialokasikan UU APBN dan/atau realisasi keuangan pemerintah untuk keadaan darurat tidaklah dapat dikatagorikan sebagai kerugian negara dengan alasan: a) biaya tersebut dialokasikan dalam UU APBN dan/atau laporan realisasi anggaran sebagai dasar hukum pengeluaran uang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara jo . Pasal 27 ayat (4) UU Keuangan Negara; b) biaya tersebut dikeluarkan untuk memenuhi kewajiban pemerintah untuk melindungi segenap tumpah rakyat Indonesia atau memenuhi asas kemanfaatan umum ( doelmatigheid ), dan untuk menghindari situasi dan keadaan yang lebih membahayakan keuangan negara dan perekonomian nasional secara keseluruhan; c) biaya tersebut tetap diukur dalam satuan yang dikendalikan dan ditetapkan pedomannya oleh pemerintah dengan memperhatikan 164 masukan dari lembaga terkait yang relevan untuk melakukan pengawasan intern;
Bahwa di samping itu, makna kerugian negara juga berkaitan dengan administrasi pemerintahan karena dengan adanya Pasal 20 Undang- undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016, kerugian negara juga mempunyai relevansi dengan persoalan hukum administrasi negara dalam hal terjadinya kesalahan administrasi. Bahwa biaya dalam keadaan darurat merupakan konsekuensi logis dalam upaya mewujudkan tindakan kepemerintahan yang cepat dan luar biasa diperlukan dalam kondisi yang tidak sempurna. Kecepatan dan ketepatan pemerintahan dalam penanganan keadaan darurat akibat Covid-19 tidak dapat menggunakan parameter dan indikator yang biasa karena tidak justru tidak prosesual atau tidak memenuhi ekuilibrium kebijakan keuangan publik jika suatu alas fakta yang berbeda menggunakan syarat prosedur yang normal atau kondisi yang sempurna, padahal alas fakta jelas terdapat perbedaan dan situasi yang darurat. Di samping itu, biaya tersebut juga akan sampai pada muaranya untuk diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan juga hasilnya disampaikan kepada DPR untuk memperoleh persetujuan berkaitan dengan manfaatnya dalam LKPP. Dengan demikian, proses dan sistem pembiayaan tersebut tetap akuntabel dan memenuhi asas umum pemerintahan yang baik dalam suatu syarat prosedur yang darurat.
Bahwa kewenangan BPK sudah sangat tegas diatur dalam Pasal 23E ayat (1) UUD NRI 1945. Dalam ketentuan peraturan perundang-undangan maka BPK juga diatur dalam UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK sesuai dengan fungsi dan kewenangannya serta dikaitkan pula dengan Bab VIII UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang mengatur bahwa pelaksanaan APBN dan APBD diperiksa oleh BPK sebelum akhirnya Presiden/Kepala Daerah menyampaikan RUU/Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD kepada DPR/DPRD. Di samping itu, dalam UU a quo harus dipahami dan dicermati bahwa tidak ada satu pun pasal dalam UU a quo yang 165 mengecualikan atau menghalang-halangi fungsi BPK untuk melakukan audit.
Bahwa hal demikian kemudian dilaksanakan dengan iktikad baik bagi pejabat administrasi pemerintahan. Dalam hukum administrasi negara, iktikad baik lebih tepat menggunakan istilah asas-asas umum pemerintahan yang baik. Dalam hal ini pejabat administrasi pemerintahan menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan alas hukum dan alas fakta secara memadai, serta keputusan dan kebijakan ditetapkan dengan motivasi untuk melindungi kepentingan umum ( bestuurzorg ). Dengan kondisi demikian, tepat pelaksanaan tindakan kepemerintahan tersebut tidak menjadi objek keputusan tata usaha negara karena peraturan dasarnya telah berubah, tidak pada peraturan dalam keadaan negara normal. Dengan demikian, keputusan tersebut dikecualikan sebagai objek pengadilan tata usaha negara karena validitasnya didasarkan pada peraturan dasar tersendiri yang dibentuk dalam keadaan darurat.
Dalam hal masyarakat atau pihak lain mengajukan keberatan dalam keputusan administrasi pemerintahan dalam masa darurat, dapat menggunakan instrumen administrasi pemerintahan itu sendiri, yang kemudian dapat dilakukan penyelesaian menurut Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2016 tentang Pengenaan Sanksi Administrasi bagi Pejabat Administrasi Pemerintahan dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2016 tentang Pengenaan Ganti Kerugian oleh Pejabat Bukan Bendahara. Dalam hal keberatan tersebut juga masih ada warga masyarakat dapat mengajukan pengaduan ke DPR dalam rangka pengawasan, sehingga DPR dapat menggunakan seluruh hak yang dimilikinya dalam rangka pengawasan eksternal terhadap tindakan administrasi pemerintahan.
Konsep iktikad baik tetap meletakkan pada aspek pengambilan keputusan dan kebijakan tidak mengandung unsur suap, paksaan/ancaman, dan tipuan guna menguntungkan secara melawan hukum. Akan tetapi, jika pengambilan keputusan dan kebijakan disebabkan adanya kesalahan administrasi, tuntutan pidana tidak dapat dilakukan. Konsep iktikad baik dalam konsep hukum administrasi negara menurut Safri Nugraha 166 dimaknai sebagai wujud asas umum pemerintahan yang baik di mana pelaksanaan pemerintahan dijalankan dengan prinsip akuntabilitas dan transparansi yang mendorong sistem pemerintahan berjalan dengan sistem yang jelas dan terukur. Dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, pengelolaan dan pertanggungjawaban wewenang pemerintahan akan sejalan motivasinya yang layak. Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 50 KUHP disebutkan bahwa: “Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana" Selain itu dalam pasal 51 ayat 1 KUHP disebutkan bahwa: “barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana”. k. Mengutip Pendapat Dr. Dian Puji Nugraha Simatupang dalam tulisannya yang berjudul “ Ekuilibrium Kebijakan Keuangan Negara Menghadapi __ Keadaan Negara Darurat Akibat Penyebaran Covid-19 Dalam Peraturan _Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020”: _ “ Adanya norma mengesampingkan tuntutan pidana, gugatan perdata, dan tata usaha negara harus dimaknai secara lengkap adanya syarat itikad baik atau asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam hukum administrasi negara. Dengan demikian, ada kejelasan mengenai konsep hukum perdata, hukum administrasi, dan hukum pidana dalam konsep pelaksanaan pengambilan keputusan dan kebijakan dalam kondisi darurat agar pejabat administrasi pemerintahan tidak ragu, cepat, tepat, dan akuntabel untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia.” l. Bahwa ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 juga bukan merupakan kekebalan absolut karena dalam ketentuan tersebut mereka terdapat parameter “dengan iktikad tidak baik” dan “tidak sesuai peraturan perundang-undangan”. Asas iktikad baik awalnya adalah suatu asas yang berlaku dibidang hukum perjanjian yang kini telah berkembang dan diterima sebagai asas di bidang-bidang atau cabang-cabang hukum yang lain, baik yang sesama keluarga hukum privat maupun yang merupakan bidang hukum publik. Dalam perkembangan hukum, terdapat prinsip- prinsip umum ataupun asas-asas umum yang dijadikan sebagai sumber hukum sekaligus asas yang mendasari pelaksanaan hukum itu sendiri. Oleh karenanya asas iktikad baik yang tadinya merupakan suatu asas 167 hukum khusus kini telah berkembang menjadi suatu asas hukum umum. Selain asas iktikad baik, juga ada frasa “tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Ini adalah 2 parameter yang bersifat kumulatif. Artinya semua pejabat pemerintah yang menjalankan ketentuan pasal tersebut harus berdasarkan 2 kriteria ini secara kumulatif.
Dalam hukum dikenal suatu adagium yang berbunyi “tiada hukum tanpa pengecualian“ atau dalam bahasa belanda dikenal dengan istilah “ geen recht zonder uit zondering ”. Pengecualian dapat dilakukan sepanjang tidak merugikan pihak-pihak yang terkena aturan tersebut karena hukum ditujukan untuk mengayomi dan mensejahterakan masyarakat ( Rosjidi Ranggawidjaja, Ilmu Perundang-undangan, CV Mandar Maju ). Dalam kaitannya dengan hak Presiden untuk mengeluarkan Perpu yang berisi langkah-langkah yang luar biasa dalam keadaan yang memang tidak normal maka meskipun dalam suatu Perpu ada materi-materi yang dipandang tidak lazim, mengenyampingkan, atau memberlakukan ketentuan bersifat pengecualian dari apa yang telah diatur maka pengecualian itu dapat saja diberlakukan atau dapat diadakan pengecualian sepanjang diatur batasannya dalam Perpu itu sendiri.
Adapun frasa “iktikad baik” adalah apabila dalam melaksanakan tugasnya tidak untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok, dan/atau tindakan lain yang berindikasi korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme. Bahwa apabila nantinya terbukti iktikad baik tersebut dilanggar maka sudah jelas konsekuensinya yaitu mereka harus ditempuh prosedur hukum karena tindakan tersebut mengatur unsur mens rea (adanya niat jahat atau iktikad tidak baik) dan actus reus (perbuatan yang melanggar). Dengan demikian asas equality before the law dan asas kepastian hukum dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 tetap terjamin.
UU 2/2020 tidak melindungi pejabat negara atau tidak memberikan imunitas kepada pejabat negara. Pasal a quo diperlukan karena para pihak tersebut merupakan orang-orang yang mengambil keputusan penting. Mengutip pandangan Misbakhun selaku Anggota Komisi XI DPR RI dalam program Indonesia Lawyers Club (ILC) 21 April 2020: “ Penanganan Covid -19 melalui physical distancing merupakan pukulan yang paling berat bagi masyarakat karena tidak dapat melakukan interaksi sosial dan merupakan pukulan berat bagi 168 perekonomian. Dampak dari pandemi Covid-19 yaitu faktor produksi tidak jalan sedangkan permintaan (demand) tetap ada. Kedalaman implikasi Covid-19 terhadap perekonomian sulit diukur karena puncak pandemi Covid-19 belum bisa dipastikan waktunya. Implikasi ekonomi yang ditimbulkan oleh Covid-19 terhadap perekonomian sangat dalam sehingga semua skenario perlu disiapkan untuk menghadapi situasi yang paling buruk. Sebelum pandemi Covid-19 ini terjadi struktur perekonomian Indonesia tidak dalam kondisi yang sehat. Hal ini karena perekonomian Indonesia sedang menghadapi dampak perang dagang antara China dengan Amerika. Permasalahannya dalam situasi seperti ini, negara dalam keadaan yang tidak normal. Dalam keadaan yang tidak normal tersebut jangan berhadap statistik ekonomi menjadi bagus. Sehingga menghadapi keadaan yang tidak normal tersebut juga harus diselesaikan dengan cara yang tidak normal. Pihak yang paling terdampak oleh pandemi Covid-19 adalah pekerja harian/pekerja lepas (informal) yang pemenuhan biaya hidupnya ditentukan oleh aktivitas harian. Jika tidak keluar maka mereka tidak dapat makan. Pihak yang terdampak selanjutnya adalah para pelaku UMKM dan kelompok kelas menengah. Kehadiran negara dibutuhkan baik oleh rakyat jelata, pelaku UMKM, masyarakat kelas menengah, maupun masyarakat kelas atas sehingga negara tidak boleh membeda-bedakan. Aktivitas sektor produksi yang menjadi berhenti mengakibatkan permintaan menjadi terbatas. Pemerintah harus memanfaatkan ruang ketatanegaraan yang tersedia untuk mengatasi situasi ini karena UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mempunyai keterbatasan. Untuk memulihkan perekonomian akibat Covid-19, Pemerintah perlu dana untuk membiayai program- program pemerintah. Satu-satunya cara Pemerintah harus berhutang jika SAL dan dana lainnya tidak mencukupi. Hutang bukan tujuan, tetapi hanya sebagai cara agar dapat keluar dari masalah ini. Negara lain juga menggunakan cara yang sama. Anggaran yang disediakan Pemerintah untuk menangani pandemi Covid-19 sebesar 405 Triliun atau sekitar 2,75% dari PDB. Hal yang utama bukan negara berhutang tetapi hutang tersebut dimanfaatkan seperti menolong rakyat jelata.” p. Keberadaan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk memberikan confidence bagi pihak yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya sesuai Lampiran UU 2/2020 telah didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan prinsip hukum imunitas terbatas bagi negara dan/atau perwakilannya, bukan imunitas absolut sehingga melanggar asas keadilan dan kesamaan dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana pemahaman Para Pemohon. Dari perspektif teori imunitas, perlindungan hukum yang diberikan dalam Pasal 27 ayat (2) termasuk kategori imunitas terbatas. Teori imunitas terbatas ini memberikan perlindungan/imunitas kepada negara dan perwakilannya terhadap upaya hukum pihak lain baik 169 secara pidana ataupun perdata, sepanjang tindakan yang dilakukan memenuhi syarat dalam hal ini harus beriktikad baik dan menjalankan kewenangan serta kebijakannya sesuai peraturan perundang-undangan. Secara a contrario , imunitas tersebut gugur apabila perbuatan yang dilakukan didasarkan atau terdapat niat jahat ( mens rea ) dan perbuatannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Sampai dengan saat ini sudah ada UU lain yang mengatur perlindungan hukum kepada otoritas yang berwenang dalam pengambilan kebijakan, contohnya: ● Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan. Dalam Pasal 48 ayat (1) UU disebutkan bahwa kecuali terdapat unsur penyalahgunaan wewenang, anggota KSSK dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, BI, OJK dan LPS tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana atas pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang berdasarkan Undang-Undang PPSK. Hal ini untuk melindungi secara hukum kebijakan yang diambil dalam kondisi krisis yang tentu saja tidak bias disamakan dengan kondisi normal. ● Pasal 22 UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak menyebutkan bahwa Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Adapun itikad baik dijelaskan apabila dalam melaksanakan tugasnya tidak untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok, dan/atau tindakan lain yang berindikasi korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme. ● UU Bank Indonesia disebutkan dalam Pasal 45 yang berbunyi “Gubernur, Deputi Gubernur, dan/atau pejabat Bank Indonesia tidak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana 170 dimaksud dalam undang-undang ini sepanjang dilakukan dengan iktikad baik”. ● UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman dalam Pasal 10 menyatakan bahwa “Dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Ombudsman tidak dapat ditangkap, ditahan, diinterogasi, dituntut, atau digugat di muka pengadilan”. ● UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dalam Pasal 16 menyatakan bahwa Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan. ● UU MD3 Perlindungan hukum bagi anggota DPR disebutkan dalam Pasal 224 UU ayat (1) yaitu: Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR. Oleh karena itu pengaturan dalam UU mengenai perlindungan hukum bagi pihak yang menjalankan UU bukanlah hal yang baru, dan dapat dibenarkan selama ada pengaturan mengenai batasan atau kriteria tertentu.
Dengan demikian, perlindungan hukum dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 diperlukan untuk memberikan kepastian hukum kepada para pengambil kebijakan bahwa tindakan dan keputusan yang diambil dengan iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan akan dilindungi oleh hukum. Dengan demikian tidak ada hak warga negara yang ditangguhkan dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020. Bahkan Pasal 49 UU PTUN telah memberikan imunitas atau perlindungan hukum dari sengketa di peradilan tata usaha negara atas tindakan dan/atau keputusan pejabat tata usaha negara yang dilakukan dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pasal 49 UU PTUN ini menjadi landasan untuk diadopsi dalam Pasal 27 ayat (3) UU 2/2020. Sebagaimana Majelis Hakim maklumi, ketentuan perlindungan hukum pernah beberapa kali dilakukan pengujian 171 konstitusionalitasnya di Mahkamah Konstitusi (UU Advokat dan UU Pengampunan Pajak). Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi terdapat pertimbangan sebagai berikut: “ pihak-pihak yang disebut dalam ketentuan a quo memang sudah seharusnya tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” Sebagai best practices , standar internasional yang ditetapkan oleh lembaga keuangan internasional ( Financial Stability Board, Basel Committee on Banking Supervision , dan IMF) juga menetapkan adanya pengaturan perlindungan hukum bagi pengambil dan pelaksana kebijakan di bidang sektor keuangan.
Pandangan DPR terkait ketentuan UU yang dinyatakan tidak berlaku sepanjang keterkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Perppu sebagaimana dimaksud dalam UU a quo .
Bahwa pengaturan Pasal 28 lampiran UU 2/2020, telah sesuai dengan ketentuan Lampiran 137 UU 12/2011 yang mengatur bahwa pada umumnya Ketentuan Penutup memuat ketentuan mengenai:
penunjukan organ atau alat kelengkapan yang melaksanakan Peraturan Perundang-undangan;
nama singkat Peraturan Perundang-undangan;
status Peraturan Perundang-undangan yang sudah ada; dan
saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan.
Bahwa memang benar bahwa sudah ada beberapa undang-undang yang mungkin dapat menjadi payung hukum penyelesaian masalah yang timbul akibat COVID-19. Hanya saja tidak pula dapat disalahkan, apabila dalam pandangan subjektif Presiden, undang-undang yang telah ada tersebut dianggap belum mampu menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi. Kondisi serupa juga pernah terjadi ketika Presiden menerbitkan beberapa Perppu yang lahir karena tidak memadainya Peraturan Peundang- undangan yang ada, yang kemudian menyimpangi/menyatakan tidak berlaku sebagian materi dari beberapa undang-undang misalnya Perppu 172 Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan menyatakan beberapa ketentuan dalam UU tentang Perbankan dan Perpajakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan pelaksanaan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan berdasarkan Perppu tersebut.
Bahwa dalam beberapa undang-undang yang ada tersebut memang telah mengatur berbagai dasar kebijakan keuangan negara materi muatan undang-undang yang sudah ada belum mengatur mengenai kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Selain itu, beberapa ketentuan yang terdapat dalam undang- undang tersebut hanya dapat diberlakukan jika negara dalam keadaan normal, bukan dalam kegentingan/keadaan yang memaksa. Oleh karena itu, Pasal 28 lampiran UU 2/2020 ini tidak memberlakukan beberapa ketentuan dalam undang-undang tersebut sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan UU 2/2020.
Bahwa tidak diberlakukannya ketentuan undang-undang yang disebutkan dalam Pasal 28 lampiran UU 2/2020 selama pemberlakuan UU 2/2020 dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan tidak terjadi disharmoni pengaturan karena adanya dua pengaturan yang berbeda yang mengatur hal yang sama.
Pandangan DPR terkait penyesuaian mandatory spending dana desa a. Bahwa terkait dengan permasalahan dana desa yang disampaikan oleh Para Pemohon Perkara 47, ketentuan Pasal 1 ayat (4) huruf b Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 (PP 72/2020) tetap menetapkan adanya anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa sebesar Rp763.925.645.050.000 (tujuh ratus enam puluh tiga 173 triliun sembilan ratus dua puluh lima miliar enam ratus empat puluh lima juta lima puluh ribu rupiah), termasuk tambahan belanja untuk penanganan pandemi Covid-19 sebesar Rp5.000.000.000.000 (lima triliun rupiah). Ketentuan Pasal 3 ayat (4) PP 72/2020 menyatakan bahwa rincian anggaran transfer ke daerah dan dana desa tersebut tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari PP 72/2020. Dalam Lampiran VI.15 mengenai Rincian Dana Desa Menurut Provinsi/Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2020 menyatakan bahwa seluruh daerah kabupaten Para Pemohon Perkara 47 tetap mendapatkan alokasi dana desa. Berdasarkan ketentuan tersebut maka kekhawatiran Para Pemohon Perkara 47 tidak beralasan menurut hukum karena ketentuan Pasal a quo tidak menyebabkan dana desa dihentikan dan desa Para Pemohon tetap mendapatkan alokasi dari anggaran belanja negara.
Bahwa alokasi dari APBN merupakan salah satu sumber pendapatan desa. Berdasarkan ketentuan Pasal 72 ayat (1) UU Desa pendapatan desa bersumber dari pendapatan asli desa, alokasi APBN, bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota, alokasi dana desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota, bantuan keuangan dari APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota, hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga, dan lain-lain pendapatan desa yang sah. Dengan banyak sumber pendapatan desa tersebut, maka Para Pemohon tidak hanya mengandalkan APBN dan memaksimalkan sumber-sumber pendapatan desa lainnya. Dengan upaya yang maksimal tersebut maka pembangunan yang sudah dicanangkan oleh para Pemohon dan perangkat desa dalam musrenbangdes dan RPJM desa untuk kesejahteraan dan kemakmuran warga desa Para Pemohon tetap dapat terealisasikan.
Bahwa pemohon perkara 47 telah salah dalam mengartikan Pasal 28 angka 8 UU 2/2020, karena Dana Desa tidak dihentikan paska disahkannya UU 2/2020, hal ini tercantum dalam Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2020 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 174 2020 (Permendes 7/2020), yang pada bagian menimbangnya menyatakan: “bahwa berdasarkan Undang–Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang–Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disesase 2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang–Undang, penggunaan Dana Desa dapat digunakan untuk bantuan langsung tunai kepada miskin di Desa” Pada Pasal 8A ayat (1) Permendes 7/2020 disebutkan bahwa “Bencana Non-alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf d merupakan bencana yang terjadi sebagai akibat kejadian luar biasa berupa penyebaran penyakit yang mengancam dan/atau menimpa warga _masyarakat secara luas atau skala besar, meliputi:
Pandemi Corona_ Virus Diseases 2019” dan pada Pasal 8A ayat (2) Permendes 7/2020 disebutkan bahwa “Penanganan dampak Pandemi Corona Virus Diseases 2019 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat berupa BLT Dana Desa kepada keluarga miskin di Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang–undangan. d. Bahwa ketentuan Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk menyatakan tidak berlakunya ketentuan mandatory spending alokasi Dana Desa sebesar 10% dari belanja pemerintah pusat, sebagaimana yang disebutkan dalam Penjelasan Pasal 72 ayat (2) UU Desa. Ketidakberlakuan ketentuan mandatory spending dana desa bersifat temporer. Dengan adanya penyesuaian mandatory spending dana desa, Pemerintah dapat memiliki fleksibilitas dalam melakukan refocusing belanja untuk mencegah, menangani, dan memulihkan dampak pandemi Covid-19. Dengan adanya mandat ini maka untuk menjamin fleksibilitas penggunaan dana desa dalam rangka sepanjang masih terdapat kebutuhan untuk penanganan Covid-19 di daerah/desa maka Pasal 72 ayat (2) harus dinyatakan tidak berlaku sehingga tidak terdapat dualisme aturan. Penyesuaian mandatory spending Dana Desa tersebut dimaksudkan agar pelaksanaan program Pemerintah dapat dilakukan lebih efektif, efisien, dan tepat sasaran mengingat penyebaran dampak pandemi Covid-19 bersifat masif di seluruh wilayah Indonesia. 175 Dengan demikian Dana Desa tidak dihentikan namun dialihkan dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai dan program–program Dana Desa dibuat skala prioritas yang bertujuan untuk kesejahteraan dan kemakmuran warga desa bukan untuk pembangunan infrastuktur saja. E. Keterangan Tambahan Terkait dengan pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi mengenai mekanisme pembahasan perppu untuk mencapai persetujuan atau pencabutan Perppu, DPR RI menerangkan sebagai berikut:
Bahwa sebagaimana disampaikan oleh Presiden yang diwakili oleh Menteri Keuangan, pembahasan penetapan Perppu menjadi Undang- Undang/pencabutan perppu Pasal 71 UU 12/2011 diatur: (1) Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dilaksanakan melalui mekanisme yang sama dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang. (2) Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang dilaksanakan melalui mekanisme khusus yang dikecualikan dari mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang. (3) Ketentuan mengenai mekanisme khusus sebagaimana dimaksud _pada ayat (2) dilaksanakan dengan tata cara sebagai berikut: _ a. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diajukan oleh DPR atau _Presiden; _ b. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf a diajukan pada saat Rapat Paripurna DPR tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah _Pengganti Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden; dan _ c. Pengambilan keputusan persetujuan terhadap Rancangan Undang- Undang tentang Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf b dilaksanakan dalam Rapat Paripurna DPR yang sama dengan rapat paripurna penetapan tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut. 2. Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut diatas, pembahasan suatu rancangan Undang-Undang dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan (vide Pasal 66 UU 12/2011) yang dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang ditugasi (vide Pasal 65 ayat (1) UU 12/2011) yang diuraikan lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 67 - Pasal 70 UU 12/2011). 176 3. Bahwa pembicaraan tingkat I dilakukan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat Panitia Khusus dengan kegiatan pengantar musyawarah, pembahasan daftar inventarisasi masalah, dan penyampaian pendapat mini.
Bahwa dalam pembahasan tingkat I tersebut Pemerintah selaku pihak yang mengajukan RUU Penetapan Perppu menjadi Undang-Undang dan juga pihak yang mengeluarkan Perppu tersebut harus menjelaskan kepada DPR RI dalam rapat pembahasan tingkat I yang pelaksanaannya telah dijelaskan oleh DPR RI dalam keterangan ini. Penjelasan tersebutlah yang menjadi pertimbangan DPR RI untuk menyetujui atau tidak menyetujui Perppu tersebut menjadi Undang-Undang.
Bahwa sebagaimana telah disampaikan, Berdasarkan Pasal 71 huruf d dan Pasal 249 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 (UU MD3) bahwa DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. RUU Penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU tidak memiliki pertautan dengan bidang yang mengharuskan keikutsertaan DPD dalam pembahasannya melainkan mengenai DPR memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan, sehingga DPD tidak memiliki kewenangan untuk ikut membahas RUU tersebut.
Bahwa hal ini juga telah jelas sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang mengatur bahwa Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut. Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut. Dalam ketentuan tersebut, tidak diatur bahwa dalam hal penetapan Perppu menjadi Undang-Undang dapat atau bahkan harus mengikutsertakan DPD dalam pembahasannya. Sebaliknya, mengikutsertakan DPD justru menjadi suatu hal yang tidak 177 sesuai dengan apa yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945, UU 12/2011 dan UU MD3. Terkait dengan pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi mengenai penetapan Perppu bukan pada “masa sidang yang berikut”, DPR RI menerangkan sebagai berikut: Bahwa sejauh ini DPR belum pernah melakukan penetapan perppu yang dalam masa sidang yang sama atau bukan pada “masa sidang yang berikut”. Setelah dikeluarkannya Perppu 1/2020, Presiden juga telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang yang disahkan pada 4 Mei 2020 dan ditetapkan sebagai Undang-Undang melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang- Undang menjadi Undang-Undang yang disahkan dan diundangkan pada 11 Agustus 2020 pada masa sidang ketiga tahun 2020 yang terhitung pada 15 Juni 2020 hingga 13 Agustus 2020. Sehingga penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang adalah yang pertama kali dilakukan dengan tidak memenuhi ketentuan “masa sidang yang berikut” mengingat urgensi penetapannya yang harus dilakukan dengan segera. Terkait dengan pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi mengenai pembahasan RAPBN 2021 yang kemudian disepakati dalam paripurna pada 29 September 2020, DPR RI menerangkan:
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 13 ayat (1) UU Keuangan Negara, Pemerintah Pusat menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran berikutnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat selambat-lambatnya pertengahan bulan Mei tahun berjalan. Pasal 15 ayat (1) UU keuangan Negara mengatur bahwa 178 Pemerintah Pusat mengajukan Rancangan Undang-undang tentang APBN, disertai nota keuangan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada bulan Agustus tahun sebelumnya. Dan pada ketentuan Pasal 15 ayat (4) dan ayat (6) UU keuangan Negara diatur Pengambilan keputusan oleh Dewan Perwakilan Rakyat mengenai Rancangan Undangundang tentang APBN dilakukan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan dan apabila DPR tidak menyetujui Rancangan Undang-undang tersebut, Pemerintah Pusat dapat melakukan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBN tahun anggaran sebelumnya.
Bahwa penyampaian pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran tahun 2021 telah disampaikan oleh pemerintah dalam rapat paripurna DPR RI pada dalam rangkaian rapat paripurna tertanggal 12 Mei 2020, 14 Juli 2020, dan 14 Agustus 2020 (Lampiran II, Lampiran III dan Lampiran IV). Sebagai tambahan informasi, pada 25 September 2020, Kemenkeu selaku yang mewakili Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati Rancangan Undang- Undang (RUU) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2021 di Banggar dan Pemerintah bersama DPR telah menyetujui defisit anggaran sebesar 5,7% dari PDB pada Rapat Paripurna DPR tanggal 29 September 2020.
Pembahasan RUU APBN 2021 dilakukan di banggar yang pelaksanaannya disampaikan risalahnya (lampiran V, lampiran VI, lampiran VII) F. Risalah Pembahasan UU 2/2020 Risalah Pembahasan UU 2/2020 ini terlampir berbagai dokumen pendukung mengenai pembahasan UU 2/2020 sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Keterangan DPR ini. III. Petitum DPR Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, DPR memohon agar kiranya Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut: 179 1. Menyatakan bahwa Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya;
Menerima keterangan DPR RI secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa proses pembentukan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134; Tambahan Lembaran Negara Republlik Indonesia Nomor 6516) telah sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan telah memenuhi ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 183, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6398);
Menyatakan Judul, Pasal 1 ayat (3); Pasal 1 ayat (5); Pasal 2; Pasal 3 ayat (2); Pasal 4 ayat (1) huruf a; Pasal 4 ayat (1) huruf d; Pasal 4 ayat (2); Pasal 5 ayat (1) huruf a; Pasal 5 ayat (1) huruf b; Pasal 6; Pasal 7; Pasal 9; Pasal 10 ayat (1); Pasal 10 ayat (2); Pasal 11 ayat (3); Pasal 12 ayat (1);
ayat (1) huruf a dan huruf b; Pasal 6; Pasal 7; Pasal 9; Pasal 10 ayat (1) dan 33 ayat (2); Pasal 12 ayat (1); Pasal 16 ayat (1) huruf c; Pasal 19; Pasal 23 ayat (1) huruf a; Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3); serta Pasal 29. Pelanggaran pasal-pasal UUD 1945 yang terjadi ialah sebagai berikut: Tabel IV Ketentuan dalam Pengujian Materiil No. Bagian yang Diujikan Norma UUD 1945 yang Dilanggar 1. Judul dan Pasal 1 ayat (3) huruf b tentang ruang lingkup UU dan lampirannya Pasal 1 Ayat (3) Negara Indonesia adalah negara hukum. Pasal 28D Ayat (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Pasal 22 UUD 1945 (1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.
Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.
Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3 tentang pelebaran batasan defisit menjadi di atas 3% (tiga persen) Pasal 1 Ayat (2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Pasal 1 Ayat (3) Pasal 20A Ayat (1) Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Pasal 23 Ayat (2) Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama 34 Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah.
Pasal 2 ayat (1) huruf e angka 2 tentang dana abadi pendidikan yang dialokasikan untuk penanganan Covid-19 Pasal 31 Ayat (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Pasal 28D Ayat (1) 4. Pasal 2 ayat (1) huruf f jo. Pasal 16 ayat (1) huruf c dan Pasal 19 tentang penerbitan SUN/SBSN oleh pemerintah secara sepihak dan pembelian SUN/SBSN oleh Bank Indonesia di pasar perdana Pasal 1 Ayat (3), Pasal 20A Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1) Pasal 23D Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang.
Pasal 2 ayat (1) huruf g tentang penentuan sumber- sumber pembiayaan oleh pemerintah secara sepihak Pasal 1 Ayat (2), Pasal 1 Ayat (3), Pasal 20A Ayat (1), dan Pasal 23 Ayat (2) 6. Pasal 3 ayat (2) tentang pengaturan refocusing anggaran pemerintahan daerah melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Pasal 18 Ayat (2) dan Ayat (5) (2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. (5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluasluasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undangundang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
Pasal 4 ayat (1) huruf a jo. Pasal 5 huruf a dan huruf b tentang insentif perpajakan Pasal 28D Ayat (1) Pasal 28D Ayat (2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Pasal 4 ayat (1) huruf b, Pasal 4 ayat (2), Pasal 6, dan Pasal 7 tentang pajak untuk Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) Pasal 22 Ayat (1) Pasal 23A Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. 35 9. Pasal 9 serta Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) tentang pembebasan bea masuk Pasal 1 Ayat (3) dan Pasal 28D Ayat (1) 10. Pasal 12 ayat (1) tentang tata Kelola anggaran Covid-19 Pasal 23 Ayat (1) dan Pasal 28D Ayat (1) 11. Pasal 23 ayat (1) huruf a tentang wewenang OJK untuk memberikan perintah restrukturisasi Pasal 1 Ayat (3) dan Pasal 28D Ayat (1) 12. Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan (3) tentang pendanaan berdasarkan UU a quo bukan merupakan kerugian negara, imunitas penyelenggara negara, dan penutupan upaya hukum TUN Pasal 1 Ayat (3), Pasal 23 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1) Pasal 23E Ayat (1) Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri. Pasal 24 Ayat (1) dan Ayat (2) (1) Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Pasal 27 Ayat (1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Pasal 29 tentang penutup Pasal 1 Ayat (3) dan Pasal 28D Ayat (1) 58. Bahwa pada prinsipnya, pengujian materiil yang disampaikan oleh Para Pemohon didasarkan oleh empat bangunan argumentasi, yaitu (1) ruang 36 lingkup UU a quo meluas, tidak hanya untuk menyelesaikan krisis akibat pandemi Covid-19, tetapi juga untuk krisis ekonomi lainnya yang tidak ada hubungannya dengan pandemi Covid-19;
UU a quo tidak mencerminkan dasar hukum pengelolaan keuangan negara yang konstitusional;
menegasikan fungsi dan kewenangan pengawasan lembaga perwakilan rakyat, Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya, dan publik secara luas serta melegalisasi praktik korupsi lumbung dana penanganan bencana; dan
berpotensi menimbulkan penyalahgunaan dan ketidaktepatan penggunaan dana yang digelontarkan untuk penanganan pandemi Covid-19;
Bahwa penerbitan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang telah disahkan menjadi Undang-Undang harus dibaca sebagai satu rangkaian kebijakan pemerintah untuk merespon status darurat kesehatan masyarakat akibat pandemi virus Covid-19 yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), tanggal 31 Maret 2020 dan perpanjangan masa darurat penanganan Covid-19 terhitung sejak 29 Februari 2020 hingga 29 Mei 2020 berdasarkan Surat Keputusan Kepala Badan Nasional Penanggulanagan Bencana (BNPB) Nomor 13 A Tahun 2020. Penetapan status kedaruratan kesehatan masyarakat ini merupakan amanat dari Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (selanjutnya “UU Kekarantinaan Kesehatan”), yang memberikan wewenang bagi Pemerintah Pusat untuk menetapkan dan mencabut kedaruratan kesehatan masyarakat dengan terlebih dahulu menetapkan jenis penyakit dan faktor risiko yang dapat menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat, seperti yang tercantum dalam Pasal 10 ayat (3) UU Kekarantinaan Kesehatan;
Bahwa penetapan status darurat kesehatan dan darurat penanganan Covid- 19 ini tidak terlepas dari fakta bahwa kian hari, kasus terkonfirmasi virus Covid-19 terus bertambah secara signifikan dan tak terkendali, wabah ini pun telah menjatuhkan ribuan korban meninggal. Hal yang berbahaya pula, virus ini telah menyebar ke seluruh wilayah provinsi di Indonesia. Pandemi Covid- 19 juga memberikan dampak yang sangat luas bagi kehidupan masyarakat, tidak hanya berdampak pada kesehatan, tetapi juga kepada aspek lain, 37 seperti aspek sosial, pendidikan, perekonomian nasional, ketenagakerjaan, dan berbagai aspek lainnya;
Bahwa lebih jauh, harus ditarik garis konstitusional dari Pasal 12 UUD 1945 untuk menerbitkan Perppu. Pasal 12 UUD 1945 mengatur bahwa Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang. Pasal ini menjadi landasan bagi presiden untuk menerbitkan Perppu yang ditujukan untuk menyelesaikan persoalan state of emergency setelah ditetapkan keadaan bahaya, seperti yang terjadi pada kondisi pandemi Covid-19 saat ini. Dengan demikian, benang merah antara Pasal 12 dan Pasal 22 UUD 1945 dapat tergambarkan, yaitu bahwa harus terdapat hubungan causal verband tentang adanya deklarasi keadaan bahaya dengan penerbitan Perppu;
Bahwa dengan membaca dan mengaitkan penerbitan Perppu a quo dengan kondisi darurat kesehatan masyarakat saat ini, maka penilaian dalam pengujian Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 ini tidak hanya akan menyandingkan aturan Lampiran UU ini dengan norma konstitusi, melainkan juga dengan melakukan penilaian berdasarkan anasir-anasir sebagai berikut:
adanya ancaman yang membahayakan ( dangerous threat );
adanya kebutuhan yang mengharuskan dan bersifat proporsional ( reasonable necessity and proportionality );
adanya batas waktu ( limited time ) ( vide Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat , Jakarta: PT Rajawali Grafindo Persadar, 2007, hlm. 207); dan
adanya jaminan pengawasan legislatif dan yudisial ( vide Tom Ginsburg dan Mila Versteeg, Statef of _Emergency: _ Part II , <https: //blog.harvardlawreview.org/states-of- emergencies-part-ii/>, diakses pada [27/06/2020];
Bahwa pertama , adanya dangerous threat berarti menilai apakah memang terdapat kegentingan yang memaksa atau keadaan darurat yang perlu segera diselesaikan, bukan sekadar karena adanya kekosongan hukum ( legal vacuum ). Kedua , kebutuhan yang mengharuskan dan proporsionalitas berarti menilai apakah tujuan yang ingin dicapai dari penerbitan perppu dan apakah aturan tersebut sah dan penting? Apakah ada hubungan rasional antara tujuan yang ingin dicapai dengan cara-cara yang dipilih untuk mewujudkannya melalui kebijakan hukum darurat? Apakah penting bagi negara untuk mencapai tujuan tersebut? Dan apakah proporsionalitas telah 38 tercapai antara kepentingan publik dengan dampak terhadap kepentingan atau hak konstitusional individu? Ketiga , berarti menilai perlunya pembatasan waktu untuk menyelesaikan keadaan darurat dengan suatu hukum darurat. Keempat , berarti menilai dan memastikan bahwa tindakan-tindakan luar biasa ( extraordinary conduct ) yang dilakukan di masa darurat dan berdasarkan pada hukum darurat berada di bawah pengawasan ketat lembaga legislatif dan lembaga yudisial. Dengan menggunakan penilaian tersebut di atas, diharapkan pengujian konstitusionalitas ini dapat menghindari apa yang disebut oleh Stefanus Hendrianto sebagai “… abusive constitutionalism in Indonesia, with the government’s management of the pandemic as a pretext ”, yang artinya konstitusionalisme yang sewenang- wenang, dengan penanganan pandemi oleh pemerintah sebagai dalihnya ( vide Stefanus Hendrianto, Early Warning Signs of Abusive Constitutionalism in Indonesia: Pandemic as Pretext, Int’l J. Const. L. Blog _, Jun. 20, 2020, pada: _ http: //www.iconnectblog.com/2020/06/early-warning-signs-of-abusive- constitutionalism-in-indonesia-pandemic-as-pretext/ );
Bahwa Pasal 22 UUD 1945 mempersyaratkan pembentukan perppu harus didasarkan pada “hal ihwal kegentingan yang memaksa”. Selanjutnya, dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009, tanggal 08 Februari 2010, MK memberikan penafsiran tentang “kegentingan yang memaksa”, yaitu harus memenuhi keadaan sebagai berikut:
adanya keadaan, yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang;
undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada, sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai;
kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan; A. Judul dan Pasal 1 ayat (3) huruf b Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 Bertentangan dengan Prinsip Negara Hukum, Asas Perlindungan, Jaminan, dan Kepastian Hukum yang Adil, dan Prasyarat “Kegentingan yang Memaksa” dalam Penerbitan Perppu 39 65. Bahwa di lain putusan, yaitu Putusan MK Nomor 1-2/PUU-XII/2014 dan Putusan MK Nomor 118-119-125-126-127-129-130-135/PUU-XII/2014, MK menafsirkan bahwa perppu yang telah diterbitkan harus menyelesaikan masalah yang timbul seketika itu juga atau bersifat “sontak segera”. Selengkapnya, pernyataan MK ialah sebagai berikut: Putusan MK Nomor 1-2/PUU-XII/2014 “ [3.25]... PERPU harus mempunyai akibat prompt immediately yaitu “sontak segera” untuk memecahkan permasalahan hukum. ” Putusan MK Nomor 118-119-125-126-127-129-130-135/PUU-XII/2014 “ [3.12] …Bahwa Perpu pada dasarnya dibutuhkan oleh penyelenggara negara dan Pemerintah agar negara dapat berjalan dengan baik guna mengatasi permasalahan yang sewaktu-waktu dapat muncul, dan untuk itu diperlukan solusi yang segera dapat dilaksanakan untuk mengisi keadaan yang genting dan memaksa serta perlu diselesaikan seketika itu juga. Perpu bukanlah suatu alat kekuasaan politik, dalam hal ini Perpu merupakan ‘ escape clause ’ kepada Presiden sebagai pemegang hak subjektif yang dibatasi oleh konstitusi ,” 66. Bahwa dalam teknik pembentukan peraturan perundang-undangan, kata “dan/atau” bertujuan untuk menguraikan rincian kumulatif dan alternatif ( vide Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, hlm. 29). Artinya penggunaan kata “dan/atau” memberikan opsi:
memilih seluruh rincian yang dijabarkan; atau (2) memilih salah satu atau sebagian rincian yang dijabarkan;
Bahwa Judul dari Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 ialah tentang “Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan”. Oleh karena itu, Perppu a quo ditujukan untuk menyelesaikan persoalan:
penanganan pandemi Covid- 19;
menghadapi ancaman yang membahayakan perkonomian nasional di luar implikasi pandemi Covid-19; dan
menghadapi ancaman yang membahayakan stabilitas sistem keuangan di luar implikasi pandemi Covid- 19. Hal ini terkonfirmasi dalam ruang lingkup pengaturan yang diatur dalam Pasal 1 ayat (3) huruf b UU Lampiran No. 2 Tahun 2020 yang mengatur sebagai berikut: 40 Pasal 1 ayat (3) Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 “Untuk melaksanakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) _sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dalam rangka: _ a. penanganan pandemi Corona Virus Disease __ 2019 _(COVID- l9); dan/atau _ b. menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, perlu menetapkan kebijakan keuangan negara dan kebijakan stabilitas sistem keuangan, ”;
Bahwa respon terhadap keadaan darurat kesehatan tecermin dalam konsiderans UU a quo yang menjabarkan sebagai berikut:
bahwa penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang dinyatakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia ( World Health Organization ) sebagai pandemi pada sebagian besar negara-negara di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu dan telah menimbulkan korban jiwa, dan kerugian material yang semakin besar, sehingga berimplikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat;
bahwa implikasi pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) telah berdampak antara lain terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan, sehingga diperlukan berbagai upaya Pemerintah untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial ( social safety net ), serta pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak;
bahwa implikasi pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid- 19) telah berdampak pula terhadap memburuknya sistem keuangan yang ditunjukkan dengan penurunan berbagai aktivitas ekonomi domestik sehingga perlu dimitigasi bersama oleh Pemerintah dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk melakukan tindakan antisipasi ( forward looking ) dalam rangka menjaga stabilitas sektor keuangan;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, Pemerintah dan lembaga terkait perlu segera mengambil kebijakan dan langkah-langkah luar biasa dalam rangka 41 penyelamatan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan melalui berbagai kebijakan relaksasi yang berkaitan dengan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) khususnya dengan melakukan peningkatan belanja untuk kesehatan, pengeluaran untuk jaring pengaman sosial ( social safety net ), dan pemulihan perekonomian, serta memperkuat kewenangan berbagai lembaga dalam sektor keuangan; Apabila dicermati, konsiderans UU ini mengarahkan pada kegentingan yang memaksa untuk menangani pandemi Covid-19 sekaligus implikasi yang terjadi sektor perekonomian nasional, fiskal, dan moneter;
Bahwa apabila Judul dan Pasal 1 ayat (3) Lampiran UU ini dikaitkan dengan konsiderans pembentukan Perppu, terlihat terdapat kontradiksi mengenai ruang lingkup pengaturan. Konsiderans menghendaki segala upaya luar biasa pemerintah ditujukan untuk menghadapi pandemi Covid-19, tetapi Judul dan ruang lingkup dalam Pasal 1 ayat (3) Perppu ini ditujukan untuk menangani persoalan krisis ekonomi dan sistem keuangan dalam lingkup yang lebih luas lagi di luar yang bersangkutan dengan implikasi Covid-19;
Bahwa seyogianya, ruang lingkup dalam UU ini dibatasi hanya untuk penanganan dan penyelesaian implikasi pandemi Covid-19 saja, sebab klausul inilah yang memenuhi aspek “kegentingan yang memaksa”, mengingat imminent danger telah berada di depan mata dan telah memenuhi prasyarat perppu yang harus berlaku sontak segera, sehingga hal ini belum memenuhi aspek necessity dan proportionality pembentukan hukum darurat. Pembatasan ini juga penting untuk memenuhi asas negara hukum, terutama perihal pembatasan kekuasaan. Perluasan materi akan memberikan keleluasaan bagi pemerintah untuk menjalankan tindakan-tindakan luar biasa terhadap krisis perekonomian nasional dan krisis sistem keuangan yang tidak ada sangkut pautnya dengan pandemi Covid-19 dan hal ini berpotensi untuk membuka pintu kesewenang-wenangan penyelenggaraan pemerintahan. Oleh karena itu, demi memberikan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil bagi Pemohon dan rakyat, mengingat penanganan krisis ini bertautan dengan pengelolaan APBN pula, maka perlu untuk melimitasi ruang lingkup UU a quo , yaitu hanya untuk penanganan dan penyelesaian implikasi pandemi Covid-19 saja; 42 71. Bahwa dengan demikian, Judul dan Pasal 1 ayat (3) huruf b Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 sepanjang frasa “… dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan ” bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3), Pasal 28D Ayat (1), dan Pasal 22 UUD 1945. B. Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3 Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 Bertentangan dengan Prinsip Negara Hukum, Prinsip Kedaulatan Rakyat, Fungsi Pengawasan dan Fungsi Anggaran DPR, serta Prinsip Pengelolaan Keuangan Negara 72. Bahwa Pasal 2 ayat (1) huruf a Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 memberikan kewenangan bagi pemerintah untuk menetapkan secara unilateral batasan defisit anggaran dalam menghadapi pandemi Covid-19 tanpa adanya persetujuan dan evaluasi dari DPR. Selengkapnya, pasal tersebut mengatur sebagai berikut: Pasal 2 ayat (1) huruf a Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 “ Dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara sebagaimana _dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4), Pemerintah berwenang untuk: _ a. menetapkan batasan defisit anggaran, dengan ketentuan sebagai _berikut: _ 1. melampaui 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama masa penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) dan/atau untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling _lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022; _ 2. sejak Tahun Anggaran 2023 besaran defisit akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto _(PDB); dan _ 3. penyesuaian besaran defisit sebagaimana dimaksud pada angka 1 menjadi sebagaimana dimaksud pada angka 2 dilakukan secara bertahap . __ Dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf a, disebutkan bahwa “… Jumlah pinjaman yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan pelebaran defisit tersebut dibatasi maksimal 60% (enam puluh persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB) ;
Bahwa Pasal 2 ayat (1) huruf a Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 merupakan perubahan atas Penjelasan Pasal 12 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (selanjutnya disebut “UU Keuangan 43 Negara”) untuk menyesuaikan dengan keadaan darurat kesehatan Covid-19. Selengkapnya, pasal tersebut menguraikan: Penjelasan Pasal 12 ayat (3) UU Keuangan Negara “ Defisit anggaran dimaksud dibatasi maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto. Jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari Produk Domestik Bruto ”;
Bahwa di saat negara berada dalam keadaan darurat atau krisis, pemegang kekuasaan eksekutif, dalam hal ini Presiden, mendapatkan kewenangan sentral dan lebih luas untuk melancarkan tindakan-tindakan luar biasa secara lebih cepat dan segera guna mengatasi krisis yang dihadapi. Pandangan ini sejalan dengan pemikiran Bruce Ackerman yang menyatakan, “ The paradigm case for emergency power has been an imminent threat to the very existence of the state, which necessitates empowering the Executive to take extraordinary measures .” (Bruce Ackerman, “The Emergency Constitution”, The Yale Law Journal Vol. _113: _ 1029 , diakses melalui <https: //digitalcommons.law.yale.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1120&cont ext=fss_papers>, 2004, hlm. 1031) Artinya, paradigma kasus dari kekuasaan darurat ialah adanya ancaman yang segera terhadap suatu negara yang mengharuskan kekuasaan eksekutif untuk mengambil tindakan-tindakan luar biasa;
Bahwa kendati kekuasaan eksekutif ditempatkan secara sentral dengan segala wewenangnya untuk menangani keadaan darurat, dalam konteks keadaan darurat, prinsip checks and balances untuk saling mengawasi dan menyeimbangi pelaksanaan wewenang antarlembaga tidak dapat serta merta dinegasikan. Sebagai negara hukum, penting untuk mengejawantahkan prinsip pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan negara, kekuasaan eksekutif harus tetap dikontrol agar tidak mengarah kepada kesewenang-wenangan;
Bahwa di masa darurat kesehatan masyarakat seperti ini, kontrol lembaga legislatif (DPR) terhadap lembaga eksekutif (Presiden) seharusnya diperkuat, untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan kekuasaan darurat. Mekanisme pengawasan dan kontrol yang khusus untuk keadaan darurat dari DPR ( special measures of legislative oversight ) harus dijalankan oleh DPR untuk mengimbangi kekuasaan Presiden di masa darurat. Pasal 20A Ayat (1) UUD 1945 mengatur bahwa DPR memiliki tiga fungsi, yaitu fungsi legislasi, 44 fungsi pengawasan, dan fungsi anggaran. Di masa darurat, DPR harus lebih fokus pada pelaksanaan fungsi pengawasan dan fungsi anggaran;
Bahwa penyusunan dan pengelolaan keuangan negara, dalam hal ini yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), bertalian erat dengan asas kedaulatan rakyat. Semua kekayaan dan keuangan negara adalah milik rakyat yang berdaulat, pemerintah hanya bertindak sebagai pengurus dan pengelola uang dan harta rakyat (Jimly Asshiddiqie, Fungsi Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat , disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Badan Anggaran DPR RI, 2011, hlm. 5). Artinya, penyusunan, perubahan, dan pengelolaan APBN harus didasarkan pada persetujuan rakyat yang direpresentasikan oleh DPR melalui pelaksanaan fungsi pengawasan dan fungsi anggaran;
Bahwa terdapat empat catatan penting mengenai Pasal 2 ayat (1) huruf a Lampiran UU No. 2 Tahun 2020. Pertama , pemerintah berwenang menetapkan sendiri batasan defisit anggaran tanpa memerlukan persetujuan DPR dan pertimbangan DPD. Kedua , pasal ini tidak mengatur secara eksplisit persentase pelebaran defisit anggaran, aturan ini hanya menetapkan besaran defisit akibat penanganan Covid-19 di atas 3% (tiga persen). Ketiga , batasan defisit di atas 3% ditetapkan hingga paling lama sampai dengan Tahun Anggaran 2022 berakhir tanpa adanya mekanisme evaluasi mengenai besaran defisit di setiap tahun anggaran, aturan ini hanya mengatur penyesuaian penetapan defisit dengan keadaan krisis dilakukan secara bertahap. Keempat , pelebaran defisit anggaran tidak hanya ditujukan untuk menangani krisis akibat pandemi Covid-19, tetapi juga meluas untuk menghadapi segala bentuk ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan di luar dampak wabah Covid-19;
Bahwa pelebaran defisit anggaran merupakan konsekuensi dari pengeluaran negara yang lebih tinggi daripada pendapatan akibat peningkatan belanja negara dan pembiayaan untuk penanganan pandemi Covid-19. Semakin tinggi persentase defisit anggaran, maka akan berdampak pada sumber pembiayaan, pemerintah berpotensi untuk menerbitkan surat utang untuk menutupi defisit tersebut. Persoalannya, Pasal a quo tidak memberikan rambu-rambu pembatasan angka tertinggi defisit anggaran, apalagi pelebaran ini tidak hanya ditujukan untuk menangani krisis akibat Covid-19, 45 melainkan juga untuk menangani ancaman dan krisis akibat kondisi lain di luar Covid-19. Oleh karena itu, untuk memberikan kepastian hukum yang adil dan menutup ruang bagi penyelenggara negara untuk memperlebar persoalan ataupun dijadikan dasar penyelundupan tindakan-tindakan hukum yang kontraproduktif bagi perekonomian nasional dan stabilitas keuangan negara, maka peruntukan pelebaran neraca defisit harus dibatasi hanya untuk menangani Covid-19 dan krisis yang timbul akibat Covid-19 saja;
Bahwa penentuan pelebaran defisit semestinya tidak dilakukan oleh pemerintah secara sepihak, melainkan melibatkan DPR dan pertimbangan DPD sebagai penyeimbang yang akan mengontrol, menilai rasionalitas, dan memberikan persetujuan terhadap penetapan batasan defisit sebagai pengejawantahan fungsi konstitusional DPR, yaitu fungsi pengawasan dan fungsi anggaran ( vide Pasal 20A Ayat [1] UUD 1945) dan fungsi pertimbangan DPD ( vide Pasal 23 Ayat [2] UUD 1945). Selain itu, DPR hendaknya juga berperan dalam mengevaluasi besaran defisit dan kemampuan keuangan negara pada setiap tahun anggaran, sehingga penyesuaian besaran defisit ditentukan berdasarkan fungsi kontrol yang dilakukan oleh DPR. Hal ini penting, sebab di masa darurat, Presiden sebagai pemegang kekuasaan penyelenggaraan negara dilengkapi kewenangan untuk mengupayakan tindakan-tindakan luar biasa. Namun demikian, supaya tidak menyimpang dari konstitusi, kekuasaan Presiden di masa darurat tetap harus diimbangi oleh kekuasaan legislatif yang melakukan extraordinary measures of legislative oversight (tindakan-tindakan luar biasa dalam pengawasan legislatif);
Bahwa dengan demikian Pasal 2 ayat (1) huruf a Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (2), Pasal 1 Ayat (3), Pasal 20A Ayat (1), dan Pasal 23 Ayat (2) UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai:
penetapan batasan defisit anggaran oleh Presiden dilakukan setelah dibahas bersama dan disetujui DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD;
penetapan batasan defisit anggaran melampaui 3% dari PDB selama masa penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022 dengan didahului evaluasi di setiap Tahun Anggaran. 46 C. Pasal 2 ayat (1) huruf e angka 2 Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 Bertentangan dengan Kewajiban Negara Memenuhi Hak Atas Pendidikan dan Jaminan, Perlindungan, serta Kepastian Hukum yang Adil 82. Bahwa Pasal 2 ayat (1) huruf e angka 2 Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 mengatur sebagai berikut: Pasal 2 ayat (1) huruf e Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 “ Dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara sebagaimana _dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4), Pemerintah berwenang untuk:
..e._ _menggunakan anggaran yang bersumber dari:
..2. dana abadi dan_ akumulasi dana abadi pendidikan ,” Penjelasan: “ Yang dimaksud dengan ‘akumulasi dana abadi pendidikan’ adalah akumulasi dana abadi dari tahun-tahun sebelumnya dan tidak termasuk porsi dana abadi pendidikan yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun berjalan ,”;
Bahwa Pasal 2 ayat (1) huruf e angka 2 Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 memberikan kewenangan bagi pemerintah untuk dapat menggunakan dana yang bersumber dari dana abadi pendidikan untuk penanganan pandemi Covid-19. Hal ini bertentangan dengan esensi dari dana abadi pendidikan, yaitu untuk menjamin keberlangsungan program pendidikan bagi generasi berikutnya sebagai bentuk pertanggungjawaban antargenerasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2019 tentang Dana Abadi Pendidikan (selanjutnya disebut “Perpres Dana Abadi Pendidikan”). Adapun, dana abadi pendidikan ditujukan untuk melaksanakan program layanan, operasional, dan/atau untuk menambah dana abadi pendidikan. Program layanan meliputi beasiswa gelar dan nongelar serta pendanaan riset. Sementara itu, program layanan dan program layanan lainnya ditetapkan oleh Dewan Penyantun ( vide Pasal 10 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Perpres Dana Abadi Pendidikan);
Bahwa Pasal 31 Ayat (1) UUD 1945 menjamin, setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Artinya, menjadi tanggung jawab negara untuk memenuhi hak atas pendidikan setiap warga negara, salah satunya dengan mengelola dana abadi pendidikan agar kesinambungan penyelenggaraan pendidikan nasional tetap terjamin; 47 85. Bahwa penggunaan dana abadi pendidikan untuk melaksanakan kebijakan keuangan negara dalam rangka penanganan Covid-19 menimbulkan ketidakpastian hukum, sebab telah mereduksi hakekat dari dana abadi pendidikan. Pemerintah pun berpotensi mengesampingkan tanggung jawab dan kewajibannya untuk memenuhi hak atas pendidikan warga negara secara berkelanjutan dan lintas generasi. Oleh karena itu, aturan ini harus dibatalkan karena bertentangan dengan norma konstitusi;
Bahwa masih terdapat sumber anggaran lain yang dapat dialokasikan untuk penanganan Covid-19 selain menggunakan dana abadi pendidikan, merujuk pada Pasal 2 ayat (1) huruf e Lampiran UU No. 2 Tahun 2020, yaitu sisa anggaran lebih (SAL), dana yang dikuasai negara dengan kriteria tertentu, dana yang dikelola oleh Badan Layanan Umum, dan dana yang berasal dari pengurangan penyertaan modal negara pada Badan Usaha Milik Negara;
Bahwa dengan demikian, Pasal 2 ayat (1) huruf e angka 2 Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 31 Ayat (1) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. D. Pasal 2 ayat (1) huruf f jo. Pasal 16 ayat (1) huruf c dan Pasal 19 Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 Bertentangan dengan Prinsip Negara Hukum, Prinsip Kedaulatan Rakyat, Fungsi Pengawasan dan Fungsi Anggaran DPR, Independensi Bank Indonesia, dan Prinsip Kepastian Hukum yang Adil 88. Bahwa Pasal 2 ayat (1) huruf f, Pasal 16 ayat (1) huruf c, serta Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 mengatur sebagai berikut: Pasal 2 ayat (1) huruf f Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 “ Dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara sebagaimana _dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4), Pemerintah berwenang untuk:
..d._ menerbitkan Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) untuk dapat dibeli oleh Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), investor korporasi, dan/atau investor ritel ” Pasal 16 ayat (1) huruf c Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 “ Untuk mendukung pelaksanaan kewenangan KSSK dalam rangka penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), Bank Indonesia diberikan kewenangan _untuk:
..c. membeli Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah_ Negara berjangka pajang di pasar perdana untuk untuk penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah 48 Negara yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) ” __ Pasal 19 Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 (1) Bank Indonesia dapat membeli Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara berjangka panjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c di pasar perdana yang diperuntukkan sebagai sumber pendanaan bagi Pemerintah. (2) Sumber pendanaan bagi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipergunakan dalam rangka pemulihan ekonomi nasional termasuk menjaga kesinambungan pengelolaan keuangan negara, memberikan pinjaman dan penambahan modal kepada Lembaga Penjamin Simpanan, serta pendanaan untuk restrukturisasi perbankan pada saat krisis ; __ 89. Bahwa dalam ketiga pasal di atas, terdapat isu-isu krusial yang menjadi catatan penting bagi Para Pemohon, yaitu:
penerbitan Surat Utang Negara (SUN) dan/atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dapat dilakukan secara sepihak oleh pemerintah tanpa melibatkan persetujuan DPR terlebih dahulu;
Bank Indonesia (BI) dapat membeli SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan pemerintah di pasar perdana; dan
salah satu tujuan penggunaan dana pembelian SUN dan/atau SBSN oleh BI ialah untuk menjaga kesinambungan pengelolaan keuangan negara;
Bahwa penerbitan SUN dan SBSN merupakan salah satu potensi sumber pembiayaan dalam APBN. Tujuan penerbitan SUN menurut Pasal 4 Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (selanjutnya disebut “UU SUN”), yaitu:
membiayai defisit APBN;
menutup kekurangan kas jangka pendek akibat ketidaksesuaian antara arus kas penerimaan dan pengeluaran dari Rekening Kas Negara dalam satu tahun anggaran;
mengelola portofolio utang negara. Sementara itu, tujuan penerbitan SBSN menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (selanjutnya disebut “UU SBSN”) ialah untuk membiayai APBN termasuk membiayai pembangunan proyek. Dalam Penjelasan Pasal ini, “membiayai pembangunan proyek” adalah membiyai pembangunan proyek-proyek yang telah mendapatkan alokasi dalam APBN, termasuk proyek infrastruktur dalam sektor energi, telekomunikasi, perhubungan, pertanian, industri manufaktur, dan perumahan rakyat; 49 91. Bahwa merujuk pada UU SUN dan UU SBSN, sebagai salah bagian dari sumber pembiayaan APBN dalam keadaan tertentu, penerbitan SUN dan SBSN harus terlebih dahulu mendapat persetujuan DPR. Hal ini ditegaskan dalam pengaturan sebagai berikut: Tabel V Prasyarat Penerbitan SUN dan SBSN Pasal 7 UU SUN Pasal 8 UU SBSN (1) Penerbitan Surat Utang Negara harus terlebih dahulu mendapat persetujuan DPR.
Persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan atas nilai bersih maksimal Surat Utang Negara yang akan diterbitkan dalam satu tahun anggaran.
Persetujuan DPR sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diberikan pada saat pengesahan APBN.
Dalam hal-hal tertentu, Menteri dapat menerbitkan Surat Utang Negara melebihi nilai bersih maksimal yang telah disetujui DPR sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) setelah mendapat persetujuan terlebih dahulu dari DPR dan dilaporkan sebagai Perubahan APBN tahun yang bersangkutan.
Penerbitan SBSN harus terlebih dahulu mendapat persetujuan DPR pada saat pengesahan APBN yang diperhitungkan sebagai bagian dari Nilai Bersih Maksimal Surat Berharga Negara yang akan diterbitkan oleh Pemerintah dalam satu tahun anggaran.
Menteri berwenang menetapkan komposisi Surat Berharga Negara dalam rupiah maupun valuta asing, serta menetapkan komposisi Surat Berharga Negara dalam bentuk Surat Utang Negara maupun SBSN dan hal-hal lain yang diperlukan untuk menjamin penerbitan Surat Berharga Negara secara hati- hati.
Dalam hal-hal tertentu, SBSN dapat diterbitkan melebihi Nilai Bersih Maksimal yang telah disetujui DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang selanjutnya dilaporkan sebagai Perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran tahun yang bersangkutan. 50 92. Bahwa menilik pasal tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa DPR memiliki peran penting dalam penerbitan surat utang, yaitu memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan. Penerbitan utang negara dapat memberikan implikasi yang luas bagi pengelolaan keuangan negara pada lintas generasi. Di sini, DPR berperan untuk memberikan kontrol bagi pemerintah guna memastikan peruntukan penerbitan utang tersebut sudah tepat, ditentukan berdasarkan prinsip kehati-hatian, dan masih dalam jumlah, suku bunga, dan jangka jatuh tempo yang rasional dan tidak memberatkan pemerintahan di periode selanjutnya;
Bahwa dalam konteks keadaan darurat kesehatan masyarakat, pengawasan ( oversight ) DPR terhadap Presiden tidak dapat dinegasikan dengan alasan kebutuhan secepat-cepatnya, malah pengawasan DPR harusnya diperkuat untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan. Fungsi pengawasan adalah fungsi konstitusional yang melekat pada DPR, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20A Ayat (1) UUD 1945, sehingga tidak dapat direduksi di masa kedaruratan seperti ini. Mekanisme pengawasan dan kontrol yang khusus untuk keadaan darurat dari DPR ( special measures of legislative oversight ) harus dijalankan oleh DPR untuk mengimbangi kekuasaan Presiden di masa darurat;
Bahwa dengan demikian, Pasal 2 ayat (1) huruf f Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (2), Pasal 1 Ayat (3), dan Pasal 20A Ayat (1) UUD 1945 jika tidak dimaknai ”… menerbitkan Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dengan terlebih dahulu mendapatkan persetujuan DPR…” ;
Bahwa isu selanjutnya ialah berkenaan dengan BI yang dapat membeli SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan pemerintah di pasar perdana atau quantitative easing . Adanya klausul ini berpotensi mencoreng independensi BI sebagai bank sentral yang diamanatkan dalam Pasal 23D UUD 1945 yang kemudian ditegaskan kembali dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, sebagaimana telah diubah beberapa kali dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 (selanjutnya disebut “UU Bank Indonesia”), yaitu Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen dalam melaksanakan 51 tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang- Undang ini;
Bahwa setidaknya terdapat 5 (lima) alasan mengapa praktik quantitative easing perlu dihindari, yaitu:
berpotensi melanggar prinsip independensi BI yang dijamin oleh konstitusi, sebab ketika BI dapat membeli surat utang melalui pasar primer, bukan pasar sekunder, maka secara tidak langsung BI ditempatkan sebagai subordinat pemerintah, sebab dalam hal ini, BI didorong untuk terus mencetak uang demi memenuhi pembelian surat utang;
adanya risiko obstruction of prudent principle karena praktik ini mencampuradukkan rezim fiskal dan moneter. BI sebagai bank sentral merupakan lembaga yang berwenang untuk menetapkan kebijakan moneter guna memelihara stabilitas mata uang dan mengendalikan inflasi, sedangkan kewenangan pengaturan kebijakan fiskal untuk mengelola dan mengorientasikan perekonomian ialah tanggung jawab yang dipegang oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan. Pembelian surat utang di pasar primer merupakan tindakan untuk menutup defisit anggaran yang tergolong sebagai bentuk kebijakan fiskal. Tindakan ini bisa menjadi celah intervensi pemerintah terhadap BI;
dapat menimbulkan risiko pembelian tanpa batas. BI ditempatkan sebagai last resort dalam pembelian surat utang negara. Meskipun begitu, praktik ini dapat berujung pada hilangnya kapasitas BI untuk menentukan kapan harus membeli surat utang dan kapan harus berhenti. Dikhawatirkan, sisa global bond yang tidak laku di pasar, akan dibebankan kepada BI seluruhnya;
dapat menimbulkan risiko emisi di pasar primer. Pencetakan emisi baru bersifat lebih rentan, belum tentu dapat lebih fleksibel untuk dijual akibat harganya yang sangat tinggi;
berpotensi menimbulkan risiko maximum deficit pada kebijakan fiskal yang mendorong kecenderungan pemerintah untuk menerapkan belanja dengan batas defisit maksimum, sebab ada BI yang sudah ditempatkan sebagai last resort untuk membeli surat utang negara di pasar perdana; 52 97. Bahwa berdasarkan argumentasi di atas, 2 ayat (1) huruf f sepanjang frasa “ Bank Indonesia ” serta Pasal 16 ayat (1) huruf c dan Pasal 19 Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 yang mengatur BI dapat membeli SUN dan/atau SBSN di pasar primer bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 23D dan 28D Ayat (1) UUD 1945. E. Pasal 2 ayat (1) huruf g Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 Bertentangan dengan Prinsip Negara Hukum, Prinsip Kedaulatan Rakyat, serta Fungsi Pengawasan dan Fungsi Anggaran DPR, serta Prinsip Pengelolaan Keuangan Negara 98. Bahwa 2 ayat (1) huruf g Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 mengatur sebagai berikut: Pasal 2 ayat (1) huruf g Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 “ Dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara sebagaimana _dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4), Pemerintah berwenang untuk:
_ menetapkan sumber-sumber pembiayaan Anggaran yang berasal dari dalam dan/atau luar negeri, ”;
Bahwa ketentuan ini memberikan keleluasaan bagi pemerintah untuk menentukan sumber-sumber pembiayaan Anggaran untuk penanganan Covid-19 beserta dampaknya terhadap multiaspek secara unilateral. Pembacaan aturan ini perlu dibarengi dengan Pasal 2 ayat (1) huruf a Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 yang memberikan kewenangan bagi pemerintah untuk melebarkan batasan defisit menjadi di atas 3% (tiga persen). Dengan kata lain, penetapan sumber-sumber pembiayaan ini secara khusus ditujukan untuk menutup kemungkinan defisit di atas 3% (tiga persen) tersebut;
Bahwa berdasarkan Pasal 11 ayat (2) UU Keuangan Negara, APBN terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan. Ketika anggaran diperkirakan defisit, Pasal 12 ayat (3) UU Keuangan Negara memberikan kewenangan untuk menetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Undang-Undang tentang APBN. Hal ini menunjukkan bahwa sumber-sumber pembiayaan berikut penggunaannya merupakan bagian dari pengelolaan APBN yang menurut Pasal 23 Ayat (2) UUD diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD. Keterlibatan lembaga legislatif 53 diperlukan untuk mengontrol pemerintah supaya tidak keliru dan sewenang- wenang dalam menetapkan sumber pembiayaan, seperti yang terjadi dalam Pasal 2 ayat (1) huruf e angka 2 Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 yang menggunakan anggaran yang berasal dari dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan;
Bahwa dengan tidak dilibatkannya DPR dalam penentuan sumber-sumber pembiayaan berarti telah mengesampingkan fungsi pengawasan dan fungsi anggaran DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 serta menegasikan keberadaan DPR sebagai representasi rakyat untuk memastikan pengelolaan keuangan negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
Bahwa dengan demikian, Pasal 2 ayat (1) huruf g Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (2), Pasal 1 Ayat (3), Pasal 20A Ayat (1), dan Pasal 23 Ayat (2) UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “ menetapkan sumber-sumber pembiayaan Anggaran yang berasal dari dalam dan/atau luar negeri setelah dibahas bersama dan disetujui DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD ”; F. Pasal 3 ayat (2) Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 Bertentangan dengan Asas Otonomi Daerah 103. Bahwa Pasal 3 Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 mengatur sebagai berikut: Pasal 3 Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 Dalam rangka pelaksanaan kebijakan di bidang keuangan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4), Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk melakukan pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu ( refocusing ), perubahan alokasi, dan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. (1) Ketentuan mengenai pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu ( refocusing ), perubahan alokasi, dan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri. 104. Bahwa Pasal 3 Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 memberikan kewenangan bagi pemerintah daerah untuk melakukan refocusing anggaran yang merujuk pada arahan dari pemerintah, dalam hal ini Menteri Dalam Negeri atau dengan kata lain, pemerintah daerah berpotensi untuk didikte oleh pemerintah pusat mengenai pengutamaan penggunaan alokasi anggaran dalam penanganan Covid-19, terlebih apabila Peraturan Menteri Dalam 54 Negeri kelak mengatur hal-hal yang bersifat teknis rincian penggunaan anggaran, bukan sekadar guidelines atau arahan penggunaan anggaran;
Bahwa hal demikian dapat mereduksi pelaksanaan otonomi daerah, sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Ayat (2) dan Ayat (5) UUD 1945. Dalam hal ini, pemerintah daerah tidak diberikan kemandirian atau ruang untuk menentukan sendiri penyesuaian dan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), padahal, penyusunan dan pengelolaan APBD adalah salah satu aspek penting pelaksanaan otonomi daerah. Di sisi lain, tiap-tiap daerah menghadapi tantangan, kompleksitas, kebutuhan, dan kemampuan yang berbeda dalam penanganan Covid-19, sehingga pemerintah daerah lah yang semestinya memegang kendali penyesuaian anggaran untuk menghadapi Covid-19;
Bahwa dengan demikian Pasal 3 ayat (2) Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) UUD 1945. G. Pasal 4 ayat (1) huruf a jo. Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 Bertentangan dengan Prinsip Perlakuan yang Adil dan Layak dalam Hubungan Kerja serta Jaminan, Perlindungan, dan Kepastian Hukum yang Adil 107. Bahwa Pasal 4 ayat (1) huruf a Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 mengatur sebagai berikut: Pasal 4 ayat (1) huruf a Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 “ Kebijakan di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat _(4) meliputi:
penyesuaian tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam_ negeri dan bentuk usaha tetap, ” Pasal 5 ayat (1) Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 memberikan rincian keringan pajak, yaitu sebagai berikut: Pasal 5 ayat (1) Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 “ Penyesuaian tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a berupa penurunan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang-Undang mengenai _Pajak Penghasilan menjadi: _ a. sebesar 22% (dua puluh dua persen) yang berlaku pada Tahun Pajak _2O2O dan Tahun Pajak 2021; dan _ b. sebesar 20% (dua puluh persen) yang mulai berlaku pada Tahun Pajak 2022 ,” 55 108. Bahwa pandemi Covid-19 menimbulkan dampak kepada lintas bidang, tidak hanya bidang kesehatan, melainkan pula salah satunya, bidang ekonomi dan bisnis. Akibat pandemi Covid-19, produktivitas penyelenggaraan perekonomian semakin menurun. Untuk menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi, daya beli masyarakat, dan produktivitas sektor bisnis, penting untuk memberikan insentif berupa keringanan pajak untuk wajib pajak badan yang terdampak;
Bahwa namun demikian, pemberian insentif ini harus diiringi dengan kebijakan larangan pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh perusahaan. Dampak dari PHK tentu akan memberikan implikasi baru terhadap menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan yang dirilis pada 20 April 2020, lebih dari 2 juta penduduk Indonesia kehilangan pekerjaan akibat imbas dari pandemi Covid-19. Berikut merupakan rinciannya: Tabel VI Data Pemutusan Hubungan Kerja Selama Masa Pandemi Covid-19 No. Sektor Jumlah Perusahaan yang Melakukan PHK Jumlah Pekerja yang di-PHK 2. Formal 84.926 1.546.208 3. Informal 31.444 538.385 TOTAL 116.370 2.084.593 Sumber : Liputan 6, 2 Juta Pekerja dan UMKM Jadi Korban, Ini Fakta-Fakta PHK Akibat Virus Corona , <https: //www.liputan6.com/bisnis/read/4235008/2- juta-pekerja-dan-umkm-jadi-korban-ini-fakta-fakta-phk-akibat-virus- corona#>, [11/05/2020], 2020;
Bahwa oleh karena itu, menjadi penting untuk menambahkan larangan PHK secara permanen oleh perusahaan yang akan diberikan insentif berupa pengurangan pajak. Hal ini ditujukan untuk memastikan agar krisis tidak berlanjut dan pekerja mendapat jaminan dan kepastian untuk memperoleh pekerjaannya kembali pasca pandemi Covid-19 terakhir, serta untuk mewujudkan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja;
Bahwa berkenaan dengan rincian insentif keringanan pajak, untuk menciptakan keringanan insentif yang adil dan berkepastian hukum, persentase tidak dapat dipukul rata untuk semua perusahaan. Persentase 22% di Tahun Pajak 2020 dan Tahun Pajak 2021 serta persentase 20% di 56 Tahun Pajak 2022 mesti ditafsirkan sebagai persentase paling tinggi. Khusus bagi perusahaan yang bergerak di bidang riset dan pengembangan, khususnya yang memiliki andil dalam penanganan Covid-19 dapat ditetapkan insentif keringanan maksimal agar kegiatan riset dan pengembangan terus berlanjut guna berkontribusi bagi percepatan penanganan Covid-19;
Bahwa dengan demikian, Pasal 4 ayat (1) huruf a Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945 apabila tidak dimaknai “ penyesuaian tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap dan larangan pemutusan hubungan kerja (PHK)” . Kemudian, Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “ a. paling tinggi sebesar 22% (dua puluh dua persen) dan sebesar 22% (dua puluh dua persen) khusus untuk badan dalam negeri yang bergerak di bidang riset dan pengembangan untuk penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang berlaku pada _Tahun Pajak 2020 dan Tahun Pajak 2021; dan
paling tinggi sebesar 20%_ (dua puluh persen) dan sebesar 20% (dua puluh persen) khusus untuk badan dalam negeri yang bergerak di bidang riset dan pengembangan untuk penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang mulai berlaku pada Tahun Pajak 2022 ”. H. Pasal 4 ayat (1) huruf b, Pasal 4 ayat (2), Pasal 6, dan Pasal 7 Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 Bertentangan dengan Pengaturan Perpajakan, Kepastian Hukum yang Adil, dan Prasyarat “Kegentingan yang Memaksa” dalam Penerbitan Perppu 113. Bahwa Pasal 4 ayat (1) huruf b, Pasal 4 ayat (2), Pasal 6, dan Pasal 7 Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 kesemuanya merupakan pengaturan tentang pajak untuk Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Ketentuan ini pada dasarnya merupakan rumusan Pasal 14 – Pasal 17 Omnibus Law Rancangan Undang-Undang Perpajakan yang dititipkan sedemikian rupa dalam Perppu ini. Selengkapnya, aturan tersebut berbunyi: Pasal 4 ayat (1) huruf b Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 “ Kebijakan di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat _(4) meliputi:
..b. perlakuan perpajakan dalam kegiatan Perdagangan Melalui_ Sistem Elektronik ”. 57 Pasal 4 ayat (2) Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 “ Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik ”. Pasal 6 Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 (1) Perlakuan perpajakan dalam kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf _b berupa: _ a. pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan _Melalui Sistem Elektronik (PMSE); dan _ b. pengenaan Pajak Penghasilan atau pajak transaksi elektronik atas kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) yang dilakukan oleh subjek pajak luar negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan. (2) Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. (3) Pajak Pertambahan Nilai yang dikenakan atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipungut, disetorkan, dan dilaporkan oleh pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri, dan/atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) dalam negeri, yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. (4) Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan pelaku usaha penyedia sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan. (5) Pedagang luar negeri atau penyedia jasa luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Daerah Pabean yang melakukan transaksi dengan pembeli barang atau penerima jasa di dalam Daerah Pabean melalui sistem elektronik. (6) Pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan/atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan dapat diperlakukan sebagai bentuk usaha tetap dan dikenakan Pajak Penghasilan. (7) Ketentuan kehadiran ekonomi signifikan sebagaimana dimaksud pada _ayat (6) berupa: _ a. peredaran bruto konsolidasi grup usaha sampai dengan jumlah _tertentu; _ b. _penjualan di Indonesia sampai dengan jumlah tertentu; dan/atau _ c. pengguna aktif media digital di Indonesia sampai dengan jumlah tertentu. 58 (8) Dalam hal penetapan sebagai bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak dapat dilakukan karena penerapan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak, pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan/atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan, dikenakan pajak transaksi elektronik. (9) Pajak transaksi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dikenakan atas transaksi penjualan barang dan/atau jasa dari luar Indonesia melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) kepada pembeli atau pengguna di Indonesia yang dilakukan oleh subjek pajak luar negeri, baik secara langsung maupun melalui Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri. (10) Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) atau pajak transaksi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dibayar dan dilaporkan oleh pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan/atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri. (11) Pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan/atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (10), dapat menunjuk perwakilan yang berkedudukan di Indonesia untuk memungut, menyetorkan, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan/atau untuk memenuhi kewajiban Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) atau pajak transaksi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (8). (12) Besarnya tarif, dasar pengenaan, dan tata cara penghitungan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan pajak transaksi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. (13) _Ketentuan lebih lanjut mengenai: _ a. tata cara penunjukan, pemungutan, dan penyetoran, serta pelaporan _Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (3); _ b. kehadiran ekonomi signifikan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), tata cara pembayaran dan pelaporan Pajak Penghasilan atau pajak _transaksi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (10); dan _ c. tata cara penunjukan perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat (11), diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 7 Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 (1) Pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri, dan/atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) dalam negeri yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dan pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan/atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (10), dikenai sanksi administratif sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum 59 dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2OO9. (2) Ketentuan mengenai penetapan, penagihan, dan upaya hukum atas pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) serta pengenaan Pajak Penghasilan atau pajak transaksi elektronik atas subjek pajak luar negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2OO9. (3) Terhadap pelaku kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), selain dikenai sanksi administratif juga dikenai sanksi berupa pemutusan akses setelah diberi teguran. (4) Pemutusan akses sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) atau Pasal 6 ayat (10) tidak dipenuhi sampai dengan batas waktu yang ditentukan dalam teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika berwenang untuk melakukan pemutusan akses berdasarkan permintaan Menteri Keuangan. (6) Ketentuan mengenai tata cara pemutusan akses sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang informasi dan transaksi elektronik. (7) _Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara: _ _a. pemberian teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (3); dan _ b. permintaan pemutusan akses sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. 114. Bahwa pengaturan Pasal 4 ayat (1) huruf b, Pasal 4 ayat (2), Pasal 6, dan Pasal 7 Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 tidak memenuhi unsur kegentingan yang memaksa sebagai prasyarat fundamental pembentukan perppu, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 jo. Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 dan Putusan MK Nomor 1-2/PUU-XII/2014. Terlebih, pengaturan mengenai perpajakan PMSE tidak secara langsung bertautan dengan penanganan pandemi Covid-19. Apabila tetap dibutuhkan pengaturan mengenai pajak PMSE, seyogianya DPR menggunakan fungsi legislasi untuk membentuk undang-undang yang mengatur tentang hal ini;
Bahwa selain itu, pengaturan pajak terhadap PMSE di atas semestinya diatur di dalam suatu undang-undang tersendiri, tidak disisipkan di dalam Perppu a quo . Sejatinya, UUD 1945 memberikan landasan terkait pengaturan pajak dan pungutan lainnya, dalam hal ini kepabeanan, yang harus diatur dengan 60 undang-undang, sebagaimana diatur dalam Pasal 23A UUD 1945 yang berbunyi: “ Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang ”. Frasa “ diatur dengan undang- undang ” berarti aturan tentang pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara semestinya memiliki alas hukum tersendiri berupa undang-undang dan tidak dicampur atau dititipkan dalam produk hukum lain. Hal ini diperkuat oleh tafsiran MK dalam Putusan Nomor 012- menyatakan: “ Dari segi teknik perundang-undangan, frasa ‘diatur dengan undang- undang’ berarti harus diatur dengan undang-undang tersendiri. Di samping itu, frasa ‘diatur dengan undang-undang’ juga berarti bahwa hal dimaksud harus diatur dengan peraturan perundang-undangan dalam bentuk undang-undang, bukan dalam bentuk peraturan perundang- undangan lainnya ”;
Bahwa dengan tidak adanya unsur kemendesakan dan tidak diatur di dalam satu jenis undang-undang tersendiri, ketentuan mengenai pajak terhadap PMSE tidak memberikan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil (Pasal 28D ayat [1] UUD 1945). Sebab secara formal, jenis peraturan perundang-undangan yang dipilih telah bernilai inkonstitusional;
Bahwa dengan demikian, berdasarkan alasan-alasan di atas, Pasal 4 ayat (1) huruf b, Pasal 4 ayat (2), Pasal 6, dan Pasal 7 Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 karena bertentangan dengan Pasal 23A dan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 jo. Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 dan Putusan MK Nomor 1- 2/PUU-XII/2014; I. Pasal 9 serta 10 ayat (1) dan ayat (2) Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 bertentangan dengan Prinsip Negara Hukum, Prinsip Perlindungan, Jaminan, dan Kepastian Hukum yang Adil, serta Prinsip Prasyarat “Kegentingan yang Memaksa” dalam Penerbitan Perppu 118. Bahwa Pasal 9 dan Pasal 10 Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 mengatur tentang pembebasan bea masuk, yang selengkapnya sebagai berikut: Pasal 9 Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 “ Menteri Keuangan memiliki kewenangan untuk memberikan fasilitas _kepabeanan berupa pembebasan atau keringanan bea masuk dalam rangka: _ _a. penanganan pandemi Corona Vints Disease 2019 (COVID- 19); dan/atau _ 61 b. menghadapi perekonomian keuangan yang membahayakan dan/atau stabilitas sistem ancaman nasional ” Pasal 10 Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 Perubahan atas barang impor yang diberikan pembebasan bea masuk berdasarkan tujuan pemakaiannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995, diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. (1) Perubahan atas barang impor yang dapat diberikan pembebasan atau keringanan bea masuk berdasarkan tujuan pemakaiannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995, diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Adapun Pasal 25 ayat (1) UU Kepabeanan berbunyi: “ _Pembebasan bea masuk diberikan atas impor: _ a. barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas _di Indonesia berdasarkan asas timbal balik; _ b. barang untuk keperluan badan internasional beserta pejabatnya yang _bertugas di Indonesia; _ _c. buku ilmu pengetahuan; _ d. barang kiriman hadiah/hibah untuk keperluan ibadah untuk umum, amal, sosial, kebudayaan atau untuk kepentingan penanggulangan bencana _alam; _ e. barang untuk keperluan museum, kebun binatang, dan tempat lain semacam itu yang terbuka untuk umum serta barang untuk konservasi _alam; _ _f. barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan; _ g. barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat _lainnya; _ h. persenjataan, amunisi, perlengkapan militer dan kepolisian, termasuk suku cadang yang diperuntukkan bagi keperluan pertahanan dan _keamanan negara; _ i. barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi _keperluan pertahanan dan keamanan negara; _ _j. barang contoh yang tidak untuk diperdagangkan; _ _k. peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah; _ _l. barang pindahan; _ m. barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan _barang kiriman sampai batas nilai pabean dan/atau jumlah tertentu; _ n. obat-obatan yang diimpor dengan menggunakan anggaran pemerintah _yang diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat; _ o. barang yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan, dan _pengujian; _ p. barang yang telah diekspor kemudian diimpor kembali dalam kualitas _yang sama dengan kualitas pada saat diekspor; _ q. bahan terapi manusia, pengelompokan darah, dan bahan penjenisan jaringan .” 62 Kemudian, Pasal 26 ayat (1) UU Kepabeanan berbunyi: “ _Pembebasan atau keringanan bea masuk dapat diberikan atas impor: _ a. barang dan bahan untuk pembangunan dan pengembangan industri _dalam rangka penanaman modal; _ _b. mesin untuk pembangunan dan pengembangan industri; _ c. barang dan bahan dalam rangka pembangunan dan pengembangan _industri untuk jangka waktu tertentu; _ d. peralatan dan bahan yang digunakan untuk mencegah pencemaran _lingkungan; _ e. bibit dan benih untuk pembangunan dan pengembangan industri _pertanian, peternakan, atau perikanan; _ f. hasil laut yang ditangkap dengan sarana penangkap yang telah mendapat _izin; _ g. barang yang mengalami kerusakan, penurunan mutu, kemusnahan, atau penyusutan volume atau berat karena alamiah antara saat diangkut ke _dalam daerah pabean dan saat diberikan persetujuan impor untuk dipakai; _ h. barang oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang ditujukan _untuk kepentingan umum; _ i. barang untuk keperluan olahraga yang diimpor oleh induk organisasi _olahraga nasional; _ j. barang untuk keperluan proyek pemerintah yang dibiayai dengan _pinjaman dan/atau hibah dari luar negeri; _ k. barang dan bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor. ” 119. Bahwa ketentuan mengenai pembebasan atau keringanan bea masuk, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 ditujukan pada ruang lingkup yang sangat luas, tidak sebatas untuk penanganan pandemi Covid-19, melainkan pula ditujukan untuk menghadapi krisis perekonomian dan/atau stabilitas sistem keuangan yang disebabkan selain oleh pandemi Covid-19. Ketentuan ini seyogianya dibatasi dan fokus hanya untuk penanganan Covid-19 saja yang persoalannya sudah berada di depan mata, supaya tidak terjadi penyelundupan tindakan-tindakan dan/atau kebijakan-kebijakan inkonstitusional yang dibalut legalitas aturan hukum;
Bahwa kemudian, Pasal 10 Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 membuka jalan untuk mengubah ketentuan pembebasan bea masuk atas barang impor berdasarkan tujuan pemakaiannya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (1) UU Kepabeanan, melalui Peraturan Menteri Keuangan. Ketentuan ini telah bertentangan dengan hierarki peraturan perundang-undangan, sebab perubahan hukum hanya dapat dilakukan oleh hukum yang kedudukannya lebih tinggi atau yang setara. Peraturan menteri secara hierarkis lebih rendah daripada undang-undang, sehingga tidak tepat 63 apabila perubahan materi muatan undang-undang diatur di dalam Peraturan Menteri Keuangan;
Bahwa untuk melaksanakan ketentuan UU a quo , Menteri Keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.04/2020 tentang Pemberian Fasilitas Kepabeanan dan/atau Cukai serta Perpajakan atas Impor Barang untuk Keperluan Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) (selanjutnya disebut “PMK Nomor 34/PMK.04/2020”). Di dalam PMK a quo , Menteri Keuangan telah memberikan pembebasan bea terhadap barang-barang impor yang ditujukan untuk keperluan penanganan pandemi Covid-19 yang terbagi atas jenis-jenis berikut:
hand sanitizer dan produk mengandung disinfektan;
test kit dan reagent laboratorium;
virus transfer media;
obat dan vitamin;
peralatan medis; dan
alat pelindung diri (APD);
Bahwa pada prinsipnya, barang-barang yang diatur di dalam PMK 34/PMK.04/2020 merupakan perlengkapan yang akan sangat menunjang percepatan penanganan pandemi Covid-19 di bidang kesehatan. Akan tetapi, di sisi lain, pengaturan dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) Lampiran UU a quo menyalahi asas penting dalam pembentukan peraturan perundang- undangan. Mempertahankan aturan ini akan menimbulkan preseden buruk dan potensi penyalahgunaan di kemudian hari. Oleh karena itu, agar aturan pembebasan bea terhadap alat-alat penunjang percepatan penanganan Covid-19 tetap konstitusional, perlu melakukan perubahan bunyi pasal, yaitu pengaturan melalui PMK tidak ditujukan untuk mengubah klausul dalam UU Kepabeanan, melainkan sebagai delegasi pengaturan Pasal 9 huruf a Lampiran UU No. 2 Tahun 2020;
Bahwa berdasarkan alasan di atas, Pasal 9 Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 sepanjang frasa “… _dan/atau;
menghadapi ancaman yang membahayakan_ perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan ” bertentangan dengan Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945 jo. Putusan MK Nomor 138/PUU- VII/2009 dan Putusan MK Nomor 1-2/PUU-XII/2014. Kemudian, Pasal 10 ayat (1) Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 sepanjang frasa “ diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan ” bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 secara bersyarat apabila tidak dimaknai “ diatur 64 dengan undang-undang ini untuk lebih lanjut ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan ”. Selanjutnya, Pasal 10 ayat (2) Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. J. Pasal 12 ayat (1) Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 Bertentangan dengan Prinsip Pengelolaan Keuangan Negara yang Transparan dan Akuntabel untuk Sebesar-Besarnya Kemakmuran Rakyat serta Prinsip Jaminan, Perlindungan, dan Kepastian Hukum yang Adil 124. Bahwa Pasal 12 ayat (1) Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 mengatur sebagai berikut: Pasal 12 ayat (1) Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 “ Pelaksanaan kebijakan keuangan negara dan langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 11 dilakukan dengan tetap memperhatikan tata kelola yang baik ”.
Bahwa pada prinsipnya, pasal ini merupakan pakem agar pengelolaan kebijakan keuangan negara untuk penanganan Covid-19 dilakukan dengan memperhatikan tata kelola yang baik. Pengelolaan keuangan negara ini harus digunakan secara tepat sasaran dan ditujukan sepenuhnya untuk penanganan Covid-19 dan krisis akibatnya. Tata kelola keuangan negara yang baik harus dapat dipertanggungjawabkan dan setiap sen alokasinya harus dapat diketahui dan diawasi oleh publik secara terbuka agar peruntukkan anggaran ditujukan sepenuhnya untuk rakyat;
Bahwa pemerintah perlu menetapkan suatu akun rekening khusus yang menampung alokasi dana khusus penanganan Covid-19 dan krisis akibat Covid-19 untuk memastikan setiap uang negara yang dialokasikan berdasarkan UU a quo tepat sasaran. Selain itu, adanya rekening khusus ini akan memberikan kepastian hukum dan kemudahan bagi pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara di satu sisi dan di sisi lain juga memudahkan publik untuk mengawal penggunaan anggaran penanganganan Covid-19 dan penanganan krisis akibat Covid-19. Penggunaan rekening khusus ini juga dipraktikkan di Perancis selama masa pandemi Covid-19. Perancis memformulasikan program anggaran yang memungkinkan untuk mengelompokkan pengeluaran tambahan selama pandemi Covid-19 ke dalam suatu amplop anggaran ( budgetary envelope ) 65 terkhusus untuk merespon Covid-19 yang disebut “ Emergency plan for health crisis ” (Helene Barroy, Ding Wang, Claudia Pescetto, dan Joseph Kutzin, How to Budget for COVID-19 Response? A Rapid Scan of Budgetary Mechanism in Highly Affected Countries , World Health Organization, <https: //www.who.int/docs/default-source/health-financing/how-to-budget- for-covid-19-english.pdf?sfvrsn=356a8077_1>, 2020, hlm. 3);
Bahwa keberadaan akun khusus anggaran Covid-19 merupakan hal krusial, sebab potensi penyimpangan anggaran Covid-19 sangat besar. Berkaca pada kasus pengelolaan dana bencana di Indonesia, penyimpangan dana bantuan bencana menjadi tidak terhindarkan. Berikut merupakan kasus korupsi dana penanggulangan bencana alam yang pernah terjadi di Indonesia: Tabel VII Kasus Korupsi Dana Penanggulangan Bencana di Indonesia No. Kasus Korupsi Terdakwa Peristiwa Nilai Kasus Korupsi Vonis 1. Korupsi dana bencana gempa untuk rehabilitasi gedung sekolah Kota Mataram Ketua Komisi IV DPRD Kota Mataram Tahun 2018 4,2 Milyar 2 tahun penjara, denda 50 juta subsidair 2 bulan kurungan 2. Korupsi dana bantuan bencana tsunami Kabupaten Nias Eks. Bupati Nias dan anggota DPRD Kab. Nias Tahun 2011 Rp 3,7 miliar dari Rp 9,4 miliar 5 tahun penjara denda Rp 200 juta subsidair 4 bulan kurungan 3. Suap proyek pembangunan sistem penyediaan air minum (SPAM) di Donggala, Palu, Sulawesi Tengah 8 pejabat Kementerian PUPR Tahun 2018 Nilai suap Rp 5,3 miliar, USD 5 ribu dan SGD 22.100. Total nilai proyek Rp 429 miliar Anggiat dituntut 8 tahun penjara, denda Rp 400 juta subsidair 4 bulan kurungan. Sementara 66 itu Meina dituntut 5,5 tahun penjara, denda Rp 300 juta subsidair 3 bulan kurungan. Nazar dituntut 8 tahun penjara, denda Rp 500 juta subsidair 4 bulan kurungan, sedangkan Donny dituntut 5,5 tahun denda Rp 300 juta subsidair 3 bulan kurungan 4. Bantuan rehab masjid terdampak gempa tsunami Nusa Tenggara Barat ASN dari Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Agama (Kemenag) NTB Tahun 2019 6 Miliyar 4 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsidair dua bulan kurungan Data diolah dari berbagai sumber.
Bahwa dengan demikian, Pasal 12 ayat (1) Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 23 Ayat (1) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “ Pelaksanaan kebijakan keuangan negara dan langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 11 dilakukan dengan memperhatikan tata kelola yang baik melalui penggunaan rekening khusus untuk pengelolaan anggaran penanganan 67 COVID-19 dan penanganan krisis akibat pandemi COVID-19 dengan memperhatikan prinsip transparansi dan prinsip akuntabilitas, ”; K. Pasal 23 ayat (1) huruf a Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 Bertentangan dengan Prinsip Negara Hukum dan Prinsip Jaminan, Perlindungan, dan Kepastian Hukum yang Adil 129. Bahwa Pasal 23 ayat (1) Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 memberikan kewenangan bagi Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut “OJK”) untuk mendukung pelaksanaan kewenangan KSSK dalam rangka penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan, yaitu untuk: “… a. memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan untuk melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, integrasi, dan/atau konversi ”;
Bahwa Pasal a quo memberikan kewenangan yang besar bagi OJK untuk merestrukturisasi lembaga jasa keuangan yang berpotensi mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya secara cepat di tengah pandemi Covid-19 atau dengan kata lain, OJK dapat memaksa bank bermasalah untuk direstrukturisasi dan memaksa bank yang sehat untuk bergabung, melebur, mengambil alih, berintegrasi dengan bank bermasalah. Sebelumnya, dalam kondisi normal, OJK hanya dapat memberikan imbauan restrukturisasi dengan terlebih dahulu menjalankan mekanisme pengawasan intensif dan pengawasan khusus kepada lembaga jasa keuangan yang bersangkutan;
Bahwa klausul ini berpotensi untuk disalahgunakan dan menimbulkan moral hazard yang kontraproduktif bagi kesehatan perbankan dan stabilitas keuangan secara umum. Bank-bank yang sebelumnya telah “sakit” akibat kesalahan pengelolaan dapat diselamatkan atas nama pandemi Covid-19. Praktik ini tengah terjadi, yaitu merger antara PT Bank Pembangunan Daerah Bantek Tbk. (Bank Banten) dengan PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk. (Bank BJB) untuk mengantisipasi tekanan bisnis yang lebih besar bagi Bank Banten akibat Covid-19. Bank Banten telah bermasalah sebelum pandemi Covid-19 terjadi. Sejak tahun 2017, saham Bank Banten stagnan di level Rp50 dan harganya tidak berubah sepanjang tahun. Berdasarkan laporan keuangan pada 2018, Bank Banten mencatat rugi bersih senilai Rp131,07 miliar, sedangkan pada tahun 2019, Bank Banten rugi bersih meningkat menjadi senilai Rp180,70 miliar. Pada tahun 2019, 68 modal inti Bank Banten terkikis dari Rp334,07 miliar menjadi Rp154,13 miliar. Kemampuan modal ( capital adequacy ratio ) Bank Banten pun tercatat mengalami penurunan ke level 9,01% (Bisnis.com, Merger Bank Banten dan Bank BJB. Siapa yang Diuntungkan? , <https: //finansial.bisnis.com/read/20200423/90/1232013/merger-bank- banten-dan-bank-bjb.-siapa-yang-diuntungkan>, [14/05/2020], 2020;
Bahwa kendati modal bermasalah dan terus merugi, sejak tahun 2017, Bank Banten tidak lagi di bawah status pengawasan khusus OJK, melainkan dalam status pengawasan normal (Media Indonesia, Bank Banten Lepas dari Pengawasan Khusus , <https: //mediaindonesia.com/read/detail/96648-bank- banten-lepas-dari-pengawasan-khusus>, [14/05/2020], 2020). Terlebih lagi, BPK menemukan permasalahan dalam pengawasan OJK terhadap Bank Banten. Temuan tersebut merupakan hasil audit BPK terhadap pelaksanaan pengawasan bank umum yang diselenggarakan OJK pada 2017-2019 dan termuat dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II 2019. Berdasarkan temuan BPK, OJK tidak memberikan rekomendasi kepada Bank Banten untuk melakukan koreksi atas nonperforming loan (NPL), cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN), dan/atau kewajiban penyediaan modal minimum sesuai hasil pemeriksaan tahun 2018. Hal ini berakibat pada status pengawasan Bank Banten per Desember 2018 tidak mencerminkan dan tidak dapat mengantisipasi kondisi terkini (Katadata, BPK Temukan Kelalaian OJK dalam Mengawasi Tujuh Bank, Ini Rinciannya , <https: //katadata.co.id/berita/2020/05/12/bpk-temukan-kelalaian-ojk-dalam- mengawasi-tujuh-bank-ini-rinciannya>, [14/05/2020], 2020);
Bahwa berdasarkan pada fakta di atas, OJK dalam menjalankan fungsi pengawasan dan regulasi dalam keadaan normal belum dilakukan secara optimal, akan menjadi irasional dan berbahaya apabila di tengah pandemi Covid-19 OJK diberikan wewenang yang lebih luas lagi untuk memaksa restrukturisasi lembaga jasa keuangan. Penambahan wewenang ini tidak sejalan dengan prinsip pembatasan kekuasaan yang disarikan dari Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Di masa darurat seperti ini, penambahan kewenangan lembaga tertentu dengan menggunakan dasar hukum darurat (perppu) adalah satu 69 praktik yang harus dihindari, sebab dapat mengarah kepada perluasan kekuasaan dan abuse of power dari kekuasaan yang diperoleh tersebut;
Bahwa untuk menangani krisis akibat Covid-19, OJK dapat merujuk pada pelaksanaan wewenang OJK dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (selanjutnya disebut “UU PPKSK”). Oleh karena itu, untuk menyesuaikan dengan prinsip negara hukum dan memberikan perlindungan, jaminan, dan kepastian hukum yang adil bagi stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional, patutlah Pasal a quo dibatalkan oleh MK;
Bahwa dengan demikian, Pasal 23 ayat (1) huruf a Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 dan 28D Ayat (1) UUD 1945. L. Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 Bertentangan dengan Prinsip Negara Hukum, Prinsip Pengelolaan Keuangan Negara, Kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Kewenangan Kekuasaan Kehakiman, Prinsip Persamaan di Mata Hukum ( Equality Before the Law ), dan Prinsip Jaminan, Perlindungan, dan Kepastian Hukum yang Adil 136. Bahwa Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 memberikan imunitas bagi penyelenggara negara agar terbebas dari tuntutan hukum dalam melaksanakan ketentuan Perppu a quo . Di sisi lain, pasal tersebut juga menghindarkan pengelolaan keuangan negara dari jeratan pasal tindak pidana korupsi, sebab segala pendanaan yang dikeluarkan untuk melaksanakan Perppu ini tidak dapat dianggap sebagai kerugian negara. Selain itu, pasal ini juga menutup pintu bagi warga negara untuk menggugat kebijakan dan tindakan pelaksanaan Perppu ini di peradilan tata usaha negara. Selengkapnya, pasal-pasal tersebut mengatur sebagai berikut: Pasal 27 Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 (1) Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi 70 untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara. (2) Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota secretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara .
Bahwa dengan membaca Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 secara sistematis atau dalam satu nafas, sesungguhnya ketentuan ini kontraproduktif dengan asas negara hukum, semangat antikorupsi dalam penyelenggaraan pemerintah yang bersih dan bebas korupsi serta dalam praktiknya, serta berpotensi mengesampingkan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) dalam pengelolaan keuangan negara dalam rangka penanganan pandemi Covid-19. Keberadaan Pasal ini mengindikasikan adanya posibilitas penyelenggara negara menggunakan Pasal ini sebagai justifikasi untuk melakukan tindakan- tindakan inkonstitusional dalam rangka penanganan pandemi Covid-19. Padahal, merujuk pada Tabel VII yang telah diuraikan sebelumnya, tindakan korupsi dana penanggulangan bencana merupakan suatu ironi yang tak terhindarkan, sebagaimana terjadi di Kota Mataram, Kabupaten Nias, Kota Palu, dan Provinsi Nusa Tenggara Barat;
Bahwa dianutnya asas negara hukum dalam UUD 1945 ditujukan agar penyelenggaraan negara tunduk pada hukum. Adapun cerminan dari asas negara hukum ialah negara tunduk pada supremasi hukum, adanya persamaan di mata hukum ( equality before the law ), pembatasan kekuasaan agar tidak terjadi tindakan kesewenang-wenangan, dan terbukanya akses atau kesempatan bagi warga negara untuk menggugat keputusan pejabat administrasi negara di Peradilan Tata Usaha Negara. Setiap produk hukum, kebijakan, dan tindakan yang diambil harus merefleksikan asas negara hukum; 71 Argumentasi Pengujian Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 139. Bahwa perubahan mendasar UUD 1945 adalah desain ketatanegaraan melalui perubahan fungsi lembaga-lembaga negara yang mana penerapan corak pembagian kekuasaan ( distribution of power ) serta adanya pembatasan kekuasaan secara horizontal yaitu dengan mendudukan lembaga-lembaga negara tersebut sebagai lembaga tinggi Negara, sekaligus dihapusnya Majelis Permusyawarakatan Rakyat (MPR) sebagai lebaga tertinggi Negara di atas lembaga-lembaga tinggi Negara yang ada saat ini dengan harapan terciptanya desain ketatanegaraan yang saling mengawasi dan keberimbangan ( check and balances );
Bahwa apabila dicermati, UUD 1945 setelah amandemen sedikitnya mengatur delapan kekuasaan Negara yang kesemuanya berada pada lembaga-lembaga negara yang secara eksplisit disebutkan dalam UUD 1945 antara lain Kekuasaan Mengubah dan Menetapkan UUD (MPR), Kekuasaan Pemerintahan Negara, Kekuasaan Diplomatik, Kekuasaan Militer, Kekuasaan Pemberian Gelar Tanda Kehormatan ada pada Presiden, Kekuasaan Pembuatan UU (DPR-Presiden), Kekuasaan Kehakiman (MA dan MK), Kekuasaan Keuangan Negara (Presiden-DPR), Kekuasaan Fiskal Moneter (Bank Sentral/Bank Indonesia). Kesemuanya merupakan lembaga negara dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing saling terikat dengan mengedepankan prinsip saling mengawasi dan keberimbangan ( check and balances );
Bahwa pelaksanaan prinsip saling mengawasi dan keberimbangan ( check and balances ) dalam konteks pengelolaan keuangan negara, UUD 1945 mengamanatkan tanggung jawab pengelolaan keuangan negara terletak pada Presiden bersama-sama dengan DPR untuk merumuskan APBN maupun APBN Perubahan. Selain itu, DPR melaksanakan fungsi pengawasan terhadap anggaran. Amendemen UUD 945 juga menempatkan kedudukan lembaga negara yang memiliki tugas pokok dan fungsi pengawasan keuangan negara, yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), sehingga ikhwal kekuasaan keuangan negara, tanggung jawab penyusunan dan pengelolaannya berada pada Presiden dan diawasi oleh DPR, kemudian BPK yang khusus diberikan kewenangan konstitusional untuk memeriksa 72 pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara ( vide Pasal 23E Ayat [1] UUD 1945);
Bahwa kewenangan konstitusional BPK dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (selanjutnya disebut “UU BPK”) sebagai aturan derivatif Pasal 23E UUD 1945, yaitu untuk melakukan pemeriksaan melalui serangkaian proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara guna menemukan adanya kerugian negara/daerah yang meliputi kekuarangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai;
Bahwa dalam pandangan yang demikian, antara kekuasaan pengelolaan keuangan negara dengan kewenangan konstitusional pengawasan BPK atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara untuk menemukan adanya kerugian negara/daerah menjadi satu kesatuan fungsi yang tak terpisahkan melekat sebagai kewenangan konstitusional BPK. Oleh karena itu, kekuasaan Keuangan Negara selain menjadi kewenangan Presiden dan DPR, juga melekat di dalamnya kewenangan BPK yang menjalankan kekuasaan Keuangan Negara dalam fungsi pengawasan dan tanggung jawab pengelolaannya;
Bahwa Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU No. 2 Tahun 2020, khususnya terhadap frasa “ bukan merupakan kerugian negara ” secara faktual telah menegasikan desain ketatanegaraan yang telah terumus dalam UUD 1945 yang mana pelaksanaan Keuangan Negara dalam ketentuan Pasal 23 Ayat (1) UUD 1945 wajib dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab. Apabila menggunakan pendekatan sistematis, prinsip keterbukaan dan bertanggung jawab tersebut merupakan sumber lahirnya kewenangan dari suatu Badan Pemeriksa Keuangan ( vide Pasal 23E Ayat [1] UUD 1945) yang pada pokoknya melaksanakan kewenangan pemeriksaan terhadap keuangan negara yang berpotensi terdapat unsur kerugian negara akibat perbuatan melawan hukum karena kesengajaan mapun lalai, semata-mata 73 mengejawantahkan pengelolaan keuangan negara yang berprinsip “terbuka dan bertanggung jawab”;
Bahwa menetapkan tindakan-tindakan administratif pemerintahan yang berkaitan dengan pelaksanaan pengelolaan keuangan negara ke dalam suatu norma dengan memberikan pengaturan yang bersifat menegasikan prinsip keterbukaan dan bertanggung jawab dengan merumuskan frasa “ bukan merupakan kerugian negara ” merupakan rumusan norma yang kontradiktif karena kerugian keuangan negara tersebut haruslah diposisikan melekat sebagai unsur keuangan negara (pidana). Kemudian, apakah dalam pengelolaan keuangan negara terdapat unsur kerugian negara akibat dari kesengajaan atau kelalaian, ini merupakan ranah pembuktian yang menjadi kewenangan BPK untuk menelusuri potensi adanya kerugian negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) UU BPK sebagai derivasi pengaturan Pasal 23 Ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan: Pasal 10 ayat (1) UU BPK “ BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum, bai secara sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara ”;
Bahwa apabila melihat kebijakan pemidanaan, khususnya dalam penanganan tindak pidana korupsi, DPR bersama-sama dengan Presiden telah bersepakat menetapkan dan merumuskan “kerugian negara” sebagai unsur pembentuk dari pada perbuatan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah dibuah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (selanjutnya disebut “UU Tipikor”), yaitu unsur “merugikan keuangan negara”. Apabila mendasarkan pada penerapan prinsip legalitas dalam hukum pidana, yaitu perbuatan merugikan keuangan negara merupakan rumusan delik pidana korupsi yang diatur dalam UU Tipikor, sehingga tidak tepat merumuskan norma penghapusan pemidanaan dalam norma Perppu tersebut. Oleh karena itu, pasal ini bertentangan dengan semangat antikorupsi dalam penyelenggaraan Pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi ( vide UU No 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme); 74 147. Bahwa selain itu, dalam Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 perlu ada penegasan bahwa dana yang dikeluarkan oleh pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis yang ditimbulkan akibat pandemi Covid-19. Hal ini ditujukan untuk memberikan kepastian hukum dan memiliki ruang lingkup yang terfokus pada implikasi pandemi Covid-19, supaya tidak terjadi penyelundupan anggaran untuk krisis ekonomi di luar akibat pandemi Covid-19;
Bahwa dengan demikian, jelas dan gamblang, frasa “ bukan kerugian negara ” dalam Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 tidak mencerminkan pengelolaan Keuangan Negara yang demokratis, transparan, dan bertanggung jawab serta bertentangan dengan Pasal 23 Ayat (1) dan Pasal 23E Ayat (1) UUD 1945. Selain itu, pendanaan berdasarkan Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 harus dimaknai untuk penyelamatan perekonomian dari krisis yang timbul akibat pandemi Covid-19; Argumentasi Pengujian Pasal 27 ayat (2) dan ayat (3) Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 149. Bahwa amandemen UUD 1945 melahirkan konsepsi bernegara berdasarkan negara hukum ( vide Pasal 1 Ayat [3] UUD 1945) yang mana menurut Jimly Asshiddiqie dalam “ Gagasan Negara Hukum ” berarti, konsepsi negara hukum selalu diidealkan bahwa yang harus dijadikan panglima dalam bernegara adalah hukum, bukan politik ataupun ekonomi ( the rule of law, not of man );
Prinsip Negara hukum dalam ketentuan Pasal 1 Ayat (3) UUD Tahun 1945 menjadi dasar adanya pengakuan hak konstitusional warga Negara atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. prinsip tersebut secara sederhana dapat dimaknai tidak ada satupun warga Negara baik dalam kualitas apapun yang kebal terhadap hukum. Bahkan seorang warga Negara yang menjabat sebagai Presiden pun dapat diberhentikan (dimakzulkan) apabila dapat dibuktikan yang bersangkutan memenuhi syarat pemberhentian ( vide Pasal 7A UUD 1945). Bahkan, DPR RI yang secara ekplisit disebutkan dalam Pasal 20A Ayat (3) UUD 1945 memiliki hak imunitas akan tetapi hak imunitas tersebut terbatas dalam ranah pelaksanaan tugas dan fungsinya. Akan tetapi, 75 apabila yang bersangkutan melakukan tindak pidana maka tetap dapat dilakukan dilakukan prosedur hukum penyelidikan-penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan pengadilan;
Bahwa keberlakuan Pasal 27 ayat (2) dan ayat (3) Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 secara terang benderang telah melanggar prinsip negara hukum sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945, serta bertentangan dengan prinsip perlakuan yang sama di hadapan hukum Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945;
Bahwa norma Pasal 27 ayat (2) dan ayat (3) Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 telah menutup ruang masyarakat untuk mencari keadian ( access to justice ) akibat pemberian imunitas terhadap organ pelaksana Lampiran UU No. 2 Tahun 2020. Imunitas itu memberikan kekebalan terhadap organ pelaksana Perppu tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana. Selain itu, imunitas lainya yaitu mendudukan keputusan dan tindakan administrasi organ pelaksana Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 dikecualikan sebagai objek yang dapat digugat secara administrasi melalui Pengadilan Tata Usaha Negara. Klausul pasal ini telah jelas-jelas mengesampingkan makna dan konsep negara hukum yang diatur dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945;
Bahwa lebih jauh dalam norma Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 yang mengatur “ tidak dapat dituntut secara pidana dan perdata jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikat baik ”, kedudukan iktikad baik dalam norma tersebut merupakan ranah yang perlu harus dibuktikan dan dapat diukur melalui serangkaian pembuktian di peradilan (persidangan) dan bagaimana mungkin suatu peristiwa yang masih perlu dilakukan pembuktian apakah terdapat unsur iktikad baiknya atau tidak akan tetapi di awal sudah dieliminasi dan tertutup ruang pembuktiannya;
Bahwa bernegara berdasarkan hukum tentu memiliki konsekuensi logis adanya sistem penegakan hukum yang mandiri dan tidak memihak ( independent and impartial ) sebagaimana prinsip tersebut melekat kepada kekuasan kehakiman yang secara konstitusional menjadi kewenangan Mahkamah Agung yang membawahi lingkungan peradilan umum khususnya peradilan khusus tindak pidana korupsi dan perdata dan peradilan tata usaha negara, dan Mahkamah Konstitusi, sebagaimana diatur dalam Pasal 24 Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945; 76 155. Bahwa oleh karena itu, penerapan Pasal 27 ayat (2) dan ayat (3) Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 a quo secara nyata telah melanggar prinsip negara hukum dan prinsip perlakuan sama di hadapan hukum sekaligus telah menggurangi dan mengambil kewenangan organ kekuasaan kehakiman yang independen dan mandiri untuk memutus apakah hal ikhwal ada atau tidaknya iktikad baik dan menutup akses untuk mencari keadialan karena tertutupnya pertanggungjawaban secara administrasi di Pengadilan Tata Usaha Negara. M. Pasal 29 Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 Bertentangan dengan Prinsip Negara Hukum dan Prinsip Jaminan, Perlindungan, dan Kepastian Hukum yang Adil 156. Bahwa pada 31 Maret 2020, Presiden Republik Indonesia mengumumkan status kedaruratan kesehatan masyarakat akibat Covid-19 yang semakin mewabah, menyebar luas, dan menjatuhkan banyak korban, yang didasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) (selanjutnya “Keppres Nomor 11 Tahun 2020”) atas amanat Pasal 10 ayat (1) UU Kekarantinaan Kesehatan. Penetapan status kedaruratan ini juga tidak terlepas dari pandemi memberikan dampak yang luar biasa, hingga meliputi aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, serta kesejahteraan masyarakat di Indonesia. Penetapan status ini membuka jalan bagi pemerintah untuk menjalankan upaya-upaya luar biasa yang bersifat lintas sektor untuk menanganani dan meredam pandemi Covid-19 berikut implikasinya, salah satu upaya yang dilakukan ialah menerbitkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020;
Bahwa menilik bagian konsiderans Lampiran UU No. 2 Tahun 2020, sejatinya UU a quo ditujukan untuk mengatasi problema di bidang keuangan negara dan perpajakan yang timbul akibat pandemi Covid-19. Perppu ini perlu dilimitasi sebagai dasar bagi pemerintah untuk melakukan tindakan-tindakan luar biasa dalam rangka menyelamatkan kemerosotan di bidang kesehatan dan perekonomian nasional akibat pandemi Covid-19. Dengan demikian, Perppu ini semestinya hanya dapat berlaku sebagai dasar hukum tindakan luar biasa pemerintah di masa darurat penanganan Covid-19. Limitasi masa berlaku ini sejalan dengan ruh negara hukum dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 77 1945, sejatinya, kekuasaan di masa darurat harus dibatasi agar tidak menimbulkan abuse of power , dengan cara, salah satunya, membatasi jangka waktu keberlakuan suatu hukum darurat;
Bahwa Pasal 29 Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 mengatur: “ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan ”. Sebagai penutup, pasal ini tidak memberikan jangka waktu keberlakuan UU ini kendati telah diterbitkan untuk menyelesaikan persoalan di masa darurat kesehatan masyarakat. The nature of emergency law ditujukan untuk menyelesaikan persoalan krisis yang telah nyata-nyata terjadi di depan mata, supaya kembali ke keadaan normal. Tidak mungkin negara terus mempertahankan UU ini yang hendak menyelesaikan masalah krisis akibat pandemi Covid-19 dan juga terus mempertahankan status kedaruratan kesehatan masyarakat;
Bahwa di sisi lain, baik UU Kedaruratan Kesehatan dan Keppres Nomor 11 Tahun 2020 tidak mengatur sama sekal batasan waktu keberlakuan status darurat kesehatan ini. Padahal di satu sisi, mengutip Daniel Yusmic Foekh, perppu, sebagai hukum darurat harus ada pembatasan masa waktu. Berdasarkan konvensi ketatanegaraan di dunia, keadaan darurat bisa selama 3 (tiga) bulan, lalu boleh diperpanjang selama 6 (enam) bulan. Setiap perpanjangan waktu tersebut hendaknya dilakukan oleh pelaku kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Konstitusi ( vide HukumOnline, Berbincang Seputar Seluk Beluk Perppu dengan Daniel Yusmic , < https: //www.hukumonline.com/berita/baca/lt595cb74e1f3fe/berbincang- seputar-seluk-beluk-perppu-dengan-daniel-yusmic/>, diakses pada [25/06/2020], 2017);
Bahwa oleh karena itu, untuk menciptakan kepastian hukum yang adil, perlu dilakukan pembatasan atau limitasi masa berlaku UU ini. Dalam hal ini, para pemohon berpedoman pada hingga status kedaruratan kesehatan masyarakat Corona Virus Disease 2019 dicabut oleh Presiden;
Bahwa dengan demikian, Pasal 29 Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan hingga Presiden Republik 78 Indonesia mencabut status ‘Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) ”. V. PERMOHONAN PRIORITAS PENANGANAN PERKARA 162. Bahwa Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 ditujukan untuk menangani krisis kesehatan dan perekonomian yang timbul akibat wabah Covid-19. Perppu ini berlaku dan memiliki kekuatan hukum mengikat sebagai landasan bagi pemerintah untuk melakukan tindakan-tindakan luar biasa di bidang keuangan negara dan perpajakan di masa Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Oleh karena itu, setiap tindakan dan kebijakan yang dilaksanakan oleh penyelenggara negara berdasarkan Perppu ini selama masa darurat akan memberikan implikasi hukum, kendati terdapat pasal- pasal bernilai inkonstitusional dan berpotensi untuk melanggar hak-hak konstitusional warga negara dan kewenangan konstitusional lembaga negara yang dijamin dalam UUD 1945;
Bahwa dengan demikian, sebagai bentuk special measures of judicial oversight di tengah kondisi kedaruratan kesehatan masyarakat, penting bagi MK untuk memprioritaskan dan mempercepat proses persidangan dan pemberian putusan perkara a quo untuk menjamin bahwa segala tindakan- tindakan dan kebijakan yang diambil oleh penyelenggara negara berdasarkan Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 sejalan dengan nilai-nilai UUD 1945 dan tidak menabrak hak-hak dan/atau kewenangan konstitusional warga negara dan lembaga negara;
Bahwa berdasarkan argumentasi di atas, Para Pemohon memohon kepada MK untuk memprioritaskan penanganan perkara untuk menjamin agar norma dan pelaksanaan Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 sebagai landasan hukum penanganan krisis Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Dis ease 2019 (COVID-2019) sejalan dengan UUD 1945. VI. PETITUM Berdasarkan argumentasi yang telah dipaparkan di atas, Para Pemohon memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk dapat mengabulkan permohonan Para Pemohon sebagai berikut: 79 Dalam Pokok Perkara Pengujian Formil 1. Mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang dan Lampirannya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6485), cacat formil dan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
Memerintahkan putusan ini dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. atau setidak-tidaknya; Dalam Pokok Perkara Pengujian Materiil 1. Mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan Judul Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang dan Judul dalam Lampirannya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6485) sepanjang frasa “… dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan ” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat; 80 3. Menyatakan Pasal 1 ayat (3) Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6485) sepanjang frasa “ dan/atau b. menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan ,” __ bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat; ” 4. Menyatakan Pasal 2 ayat (1) huruf a Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6485) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “ menetapkan batasan defisit anggaran setelah dibahas bersama dan disetujui DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD ”;
Menyatakan Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1 Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem 81 Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6485) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “… melampaui 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama masa penanganan dampak Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022 dengan didahului evaluasi di setiap Tahun Anggaran” ;
Menyatakan Pasal 2 ayat (1) huruf f Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6485) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “ menerbitkan Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dengan terlebih dahulu mendapatkan persetujuan DPR untuk dapat dibeli oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), investor korporasi, dan/atau investor ritel ”;
Menyatakan Pasal 2 ayat (1) huruf g Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia 82 Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6485) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “ menetapkan sumber-sumber pembiayaan Anggaran yang berasal dari dalam dan/atau luar negeri setelah dibahas bersama dan disetujui DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD” ;
Menyatakan Pasal 4 ayat (1) huruf a Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6485) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “ penyesuaian tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap dan larangan pemutusan hubungan kerja (PHK)” ;
Menyatakan Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6485) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “ a. paling 83 tinggi sebesar 22% (dua puluh dua persen) dan sebesar 22% (dua puluh dua persen) khusus untuk badan dalam negeri yang bergerak di bidang riset dan pengembangan untuk penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) _yang berlaku pada Tahun Pajak 2020 dan Tahun Pajak 2021; dan
paling_ tinggi sebesar 20% (dua puluh persen) dan sebesar 20% (dua puluh persen) khusus untuk badan dalam negeri yang bergerak di bidang riset dan pengembangan untuk penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang mulai berlaku pada Tahun Pajak 2022” ;
Menyatakan Pasal 9 Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6485) sepanjang frasa “… _dan/atau;
menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian_ nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan ” bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
Menyatakan Pasal 10 ayat (1) Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6485) sepanjang frasa “ diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan ” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak 84 memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “ diatur dengan undang-undang ini untuk lebih lanjut ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan ”;
Menyatakan Pasal 12 ayat (1) Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6485) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “ Pelaksanaan kebijakan keuangan negara dan langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 11 dilakukan dengan memperhatikan tata kelola yang baik dan melalui penggunaan rekening khusus untuk pengelolaan anggaran penanganan COVID-19 dan penanganan krisis akibat COVID-19 dengan memperhatikan prinsip transparansi dan prinsip akuntabilitas ”;
Menyatakan Pasal 27 ayat (1) Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6485) sepanjang frasa “… dan bukan merupakan kerugian negara ” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat; 85 14. Menyatakan Pasal 27 ayat (1) Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6485) sepanjang frasa “… untuk penyelamatan perekonomian dari krisis ” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “… untuk penyelamatan perekonomian dari krisis akibat pandemi COVID-19 ”;
Menyatakan Pasal 29 Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6485) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan hingga Presiden Republik Indonesia mencabut status ‘Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) ”;
Menyatakan Pasal 2 ayat (1) huruf e angka 2, Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 ayat (2), Pasal 6, Pasal 7, Pasal 10 ayat (2), Pasal 16 ayat (1) huruf c, Pasal 19, Pasal 23 ayat (1) huruf a, serta Pasal 27 ayat (2) dan ayat (3) Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan 86 Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6485) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
Memerintahkan putusan ini dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memiliki pendapat lain, mohon untuk diputus yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). [2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalilnya, Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-34 sebagai berikut:
Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemrrintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid- 19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang;
Bukti P-2 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk para Pemohon;
Bukti P-3 : Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak para Pemohon;
Bukti P-4 : Fotokopi Tambahan Berita Negara RI, tanggal 2/2-2007, Nomor 10;
Bukti P-5 : Fotokopi Surat Keputusan Pengurus YAPPIKA Nomor 004/SK-DP/PEGAWAI/YAPPIKA/IV/2016, tetang Pengangkatan dan Penunjukan Direktur Eksekutif YAPPIKA;
Bukti P-6 : Fotokopi Surat Keterangan Nomor 46/EKS-IDEA/VI/2020;
Bukti P-7 : Fotokopi Laporan Tahunan YAPIKKA-ActionAid 2017; 87 8. Bukti P-8 : Fotokopi Laporan Hasil Independen Monitoring Implementasi Open Government Partnership Di Indonesia 2012-2013;
Bukti P-9 : Fotokopi Pembaruan Komisi Informasi Menuju Komisi Informasi yang Mandiri dan Profesional;
Bukti P-10 : Fotokopi Melawan Korupsi Dari Advokasi Hingga Pemantauan Masyarakat;
Bukti P-11 : Fotokopi Tinjauan Kritis Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Di Indonesia;
Bukti P-12 : Fotokopi Berita dari detik news yang berjudul, “Mengulik Anggaran Penanganan Virus Corona”;
Bukti P-13 : Fotokopi tulisan berjudul, “Mengawal Anggaran Covid 19”;
Bukti P-14 : Fotokopi sampul buku yang berjudul, “Mewujudkan Proyek Tanpa Korupsi”; 15, Bukti P-15 : Fotokopi sampul buku yang berjudul, “ Traffic Light APBD”;
Bukti P-16 : Fotokopi sampul buku yang berjudul, “Pengawasan Terencana Dana Pendidikan”;
Bukti P-17 : Fotokopi media rilis berjudul, “Tidak Transparan Ke Publik, Anggaran Covid 19 Rawan Disalahgunakan”;
Bukti P-18 : Fotokopi e-paper yang berjudul, “Hari Ini DPD Bahas UU dan Dua Perppu Pilkada”;
Bukti P-19 : Fotokopi tulisan mengenai Aturan Rapat Virtual Di DPR;
Bukti P-20 : Fotokopi tulisan mengenai 2 Juta Pekerja dan UMKM Jadi Korban, Ini fakta-Fakta PHK Akibat Virus Corona, serta mengenai Pekerja UMKM Paling Banyak Terkena PHK;
Bukti P-21 : Fotokopi tulisan berjudul, “Merger Bank Banten dan BJB, Siapa Yang Diuntungkan?”;
Bukti P-22 : Fotokopi tulisan berjudul, “Berbincang Seputar Seluk Beluk Perppu Dengan Daniel Yusmic”;
Bukti P-23 : Fotokopi artikel berjudul, “Serapan Anggaran Buruk: Corona Tak Tertangani, Ekonomi Tak Terbantu;
Bukti P-24 : Fotokopi artikel berjudul, “Pembagian Bansos Tidak Merata, Perbaiki Data dan Sistem Penyaluran”;
Bukti P-25 : Fotokopi artikel berjudul, “Aduan yang Diterima Ombudsman, Dari Bansos Tak Merata Hingga Tak Jelasnya Relaksasi Kredit”;
Bukti P-26 : Fotokopi artikel berjudul, “Kajian KPK Atas Kartu Prakerja: Konflik Kepentingan Hingga Potensi Kerugian Negara”;
Bukti P-27 : Fotokopi artikel berjudul, “Kalung Anti Corona Kementan yang Menyesatkan”;
Bukti P-28 : Fotokopi Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19); (tidak disahkan karena penyerahan berbarengan dengan kesimpulan) 88 29. Bukti P-29 : Fotokopi Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagai Bencana Nasional; (tidak disahkan karena penyerahan berbarengan dengan kesimpulan) 30. Bukti P-30 : Fotokopi Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pencegahan Penyebaran dan Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 di Lingkungan Pemerintah Daerah; (tidak disahkan karena penyerahan berbarengan dengan kesimpulan) 31. Bukti P-31 : Fotokopi berita CNN Indonesia, Mengenal Permasalahan yang Membelit Krakatau Steel ; (tidak disahkan karena penyerahan berbarengan dengan kesimpulan) 32. Bukti P-32 : Fotokopi berita Kompas.com, Meski Terus Merugi, Krakatau Steel Dapat Suntikan APBN Rp 2,2 T ; (tidak disahkan karena penyerahan berbarengan dengan kesimpulan) 33. Bukti P-33 : Tangkapan layar website DJPB Bersama Indonesia Lawan Corona; (tidak disahkan karena penyerahan berbarengan dengan kesimpulan) 34. Bukti P-34 : Fotokopi berita iNewsYogya.id, Pemkot Yogyakarta Tak Akan Refocusing Anggaran untuk Penanganan Covid-19, Ini Alasannya ; (tidak disahkan karena penyerahan berbarengan dengan kesimpulan). Selain itu, para Pemohon mengajukan ahli yang didengar keterangannya di depan persidangan dan juga menyerahkan keterangan tertulis ahli serta tambahan keterangan yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: Yuna Farhan, Ph.D:
Bahwa anggaran merupakan refleksi antara relasi kekuasaan antarpolitik dan cabang pemerintahan. Dan anggaran juga merefleksikan sebetulnya bagaimana tarik-menarik antara kepentingan yang ada di dalam negara kita termasuk juga pejabat terpilih memobilisasi sumber daya untuk mengatasi persoalan warga;
Bahwa tanggung jawab legislatif untuk melakukan kontrol politik itu menjadi fondasi untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas anggaran terhadap Pemerintah. Legislatif merupakan representasi warga yang notabene transparansi dan akuntabilitas adalah bentuk dari fungsi check and balances dari legislatif. 89 3. Bahwa di beberapa hal yang terkait dengan temuan riset ahli sebelumnya sebetulnya proses anggaran yang terjadi saat ini di Indonesia adalah kombinasi, tidak terlepas dari sistem pemerintahan, presidential multiparty , dan sistem Pemilu, serta kekuasaan anggaran konstitusional, dan juga yang paling penting ada informasi informal kelembagaan yang menjadi dasar dari interaksi antarpemain anggaran yang berada di dalam prosesnya;
Bahwa sebetulnya kami sendiri atau di berbagai negara pun juga telah menyadari bahwa dalam kondisi darurat, kecepatan dan fleksibilitas dalam putusan anggaran itu sangat diperlukan. Karena Pemerintah harus merepons secara cepat kebutuhan-kebutuhan belanja negara dan juga mengatasi kondisi dari dampak dan situasi darurat tersebut. Namun, hal ini tidak boleh mengabaikan aspek dari transparansi dan akuntabilitas. Silakan Pemerintah melakukan apa saja, tetapi receipt-nya harus disimpan. Menurut pandangan Ahli ini juga tidaklah cukup karena warga maupun DPR pun sebetulnya juga tidak akan bisa melihat apa yang menjadi receipt dari pengeluaran yang telah dilakukan oleh Pemerintah. Nanti pada saat BPK melakukan audit dan itu pun tidak seluruhnya;
Bahwa beberapa hal yang ahli kutip misalnya, terkait dengan bahwa kekuasaan yang terjadi saat krisis, dimana akan sangat mungkin terjadi improvisasi- improvisasi anggaran dan yang berkonsekuensi terhadap terbatasnya kewenangan legislatif. Jadi, banyak negara juga memang sebetulnya membatasi kewenangan legislatif daripada bekerja sama dengan legislatif;
Sebetulnya beberapa jalan tengah yang dilakukan beberapa negara dalam mengatasi kebutuhan pada masa krisis ketika pemerintah dan legislatifnya tidak bisa melakukan persidangan, salah satunya dengan menggunakan jalur cepat persetujuan anggaran dengan memangkas waktu dari persetujuan anggaran;
Bahwa beberapa negara, seperti UK, memangkas persetujuan hanya 4 hari dari normal sebelumnya 11 minggu. Begitu juga dengan Swedia dari 2 hari, yang sebelumnya normalnya beberapa minggu. Namun memang pemangkasan waktu tersebut kalau kita mamahami bahwa sebetulnya negara-negara di UK dan Swedia adalah merupakan negara-negara yang sifatnya parlementer yang notabene adalah kabinet juga merupakan representasi dari parlemennya;
Di negara kita multipartai, presidensial yang justru kita tidak melihat proses check and balances dalam proses pembahasan perubahan RAPBN 2020. Kemudian, 90 memang ada risiko ketika proses ataupun sebetulnya bisa dikatakan ada ruang atau diskresi yang luas diberikan kepada pemerintah, itu dapat memasukkan agenda-agenda yang tidak terkait dengan krisis, seperti inisiatif kebijakan yang tidak populer ataupun kepentingan politik semata-mata;
Bahwa beberapa praktik di berbagai negara, dimana legislatifnya tetap melakukan kontrol, misalnya, dan beberapa contoh yang mereka lakukan adalah menggunakan dana darurat di awal dan persetujuan di belakang dari legislatif. Ini jadi sifatnya expose approval, pemerintah dapat mengeluarkan terlebih dahulu, namun tetap, apakah pengeluaran itu disetujui atau tidak oleh legislatif, pada saat pengeluaran itu telah dilakukan;
Bahwa membentuk komite khusus Covid-19 atau memberikan kekuasaan penuh pada komisi atau badan yang sudah eksis yang ada di legislatif tersebut. Jadi, misalnya ada satu badan di DPR, maka itu diberi kewenangan untuk menjadikan tempat pemerintah dalam waktu untuk membahas anggaran darurat, agar prosesnya menjadi lebih cepat. Hal tersebut terjadi di New Zeland, Norway, dan juga Israel, dan Spanyol;
Bahwa yang menarik juga sebetulnya legislatif di Australia karena memberikan batas atas dana darurat. Bisa dikatakan praktik yang cukup baik dan sebetulnya ada terbuka juga ruang bagi legislatif memberikan batasan waktu atau pembaharuan masa darurat. Jadi, walaupun diskresi diberikan kepada eksekutifnya, namun ada review atau pembaharuan, misalnya di Kanada memberikan waktu 1 tahun, di UK=6 bulan, Swedia dan Irlandia melakukan hal yang sama. Jika setuju diberikan diskresi, tetapi ada batas waktunya bahwa diskresi ini nantinya harus di- review kembali, apakah anggaran darurat yang sudah dialokasikan itu memadai atau tidak. Jika memang itu dianggap masih kurang, itu bisa dibahas kembali oleh legislatif. Kemudian legislatif juga bisa sebetulnya menetapkan jadwal monitoring dan laporan secara rutin untuk diminta kepada pemerintah, serta melibatkan pemeriksa keuangan atau audit distribution sejak pelaksanaan anggaran darurat tersebut.
Bahwa berkaitan dengan praktik yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 menurut pandangan ahli, ruang lingkup diskresi yang diberikan kepada pemerintah, yaitu terkait dengan pergeseran belanja, pengalokasian belanja yang belum ada alokasinya, kemudian juga terkait dengan perpajakan, dan batas defisit. Hal tersebut sebetulnya kalau kita lihat mengacu kepada Pasal 91 1 ayat (2) yang merupakan konteksnya APBN 2020. Jadi, dari awal sebetulnya kalau kita mencermati nafas atau ruh sebetulnya dari Perppu itu, berkaitan dengan bahwa perlu dilakukan tindakan darurat dalam Undang-Undang APBN 2020. Namun kalau kita lihat pada konteks pelonggaran batasan devisit misalnya, hal tersebut justru dilakukan sampai tahun 2022. Jadi seperti ada kesimpangsiuran atau ketidakkonsistenan di sini. Padahal praktik di negara lain batasan devisit itu sangat diperlukan dan ini sebenarnya merupakan dari konsesi di negara-negara Uni Eropa pada tahun 1991 di Maastricht, mereka mengharuskan anggota negara Uni Eropa untuk membatasi defisitnya 3% karena hal tersebut berkaitan dengan keberlanjutan fiskal. Dan kita pun sebenarnya punya sejarah mengapa kita memberikan batasan defisit 3%. Krisis ekonomi tahun 1998 itu memberikan pelajaran, bagaimana rupiah terdepresiasi dan utang kita melonjak tinggi membatasi batas defisit, sehingga kita melakukan reformasi keuangan melalui paket Undang-Undang Keuangan Negara yang salah satunya mengatur batas defisit dan juga batasan besaran utang maksimal berdasarkan PDB kita.
Bahwa tidak ada batasan diskresi dalam melakukan pergeseran anggaran pengeluaran yang belum tersedia. Jadi ini yang kami cermati bahwa proses usulan kegiatan Covid-19 berada di internal KL, kemudian nanti disetujui oleh Kementerian Keuangan. Ini praktik yang terjadi di internal.
Diskresi pemerintah terkait kebijakan penyesuaian tarif pajak penghasilan badan dan juga perpajakan perdagangan, PMSE, dan itu tidak terkait dengan penanganan Covid-19 dan tidak memiliki batas waktu.
Bahwa sebetulnya dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 mengenai Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang dibatasi adalah terkait dengan diskresi pemerintah untuk dapat merespons kondisi darurat pada APBN 2020. Namun dalam undang-undang ini juga justru tidak ada batasan waktu terkait dengan kebijakan penyusuaian tarif pajak penghasilan badan, yaitu potongan pajak badan hingga 20% mulai 2022 dan juga perdagangan yang menurut kami ini tidak sama sekali terkait dengan penanganan Covid-19.
Bahwa beberapa praktik yang ahli kira cukup penting untuk dicermati. Pertama, terkait dengan perubahan APBN 2020 yang dilakukan tanpa adanya undang- undang, yaitu melalui Perpres. Ini praktik yang merupakan implikasi dari Perppu yang memberikan diskresi kepada pemerintah. 92 17. Bahwa proses perubahan APBN 2020 tanpa menggunakan undang-undang, konsekuensinya tidak ada proposal dan nota keuangan berkaitan dengan perubahan anggaran. Ketika tidak ada proposal dan nota keuangan pada perubahan anggaran, publik maupun DPR tidak mengetahui apa saja anggaran yang direlokasi. Apa saja rencana anggaran yang akan digunakan? Jika kita cermati perkembangan terakhir misalnya per 19 Agustus, masih ada sekitar 25% atau 27% atau sekitar 180-an triliun anggaran yang belum ada DIPA-nya, artinya sudah ada anggarannya, tapi belum tahu anggaran tersebut mau digunakan untuk apa.
Bahwa terkait dengan defisit. Berdasarkan perpres ataupun perubahan APBN yang pertama, yang telah ahli coba hitung, sebetulnya melebarnya defisit anggaran hingga 5,07% PDB yang perubahan pertama, yang perubahan kedua hampir 6% dikarenakan berkurangnya pendapatan negara sebesar 42 triliun dibandingkan peningkatan belanja.
Bahwa menurunnya pendapatan ini sendiri, bukan tidak langsung terkait dengan Covid-19. Setelah ahli telusuri karena memang ada pasal di Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 atau di Perppu ini yang terkait dengan penurunan PPh badan yang jumlahnya itu hampir setara dengan tambahan alokasi angka kesehatan.
Bahwa hal tersebut menjadi pertanyaan ahli sebetulnya dan pasal ini merupakan pasal yang sama, yang berada dalam rancangan Undang-Undang Omnibus Law Perpajakan. Artinya, bahwa sebetulnya sebelum adanya Covid-19, pemerintah memang merencanakan untuk melakukan pemotongan terhadap PPh badan. Namun dengan adanya Covid-19 kemudian dikeluarkan Perppu dan ditetapkan menjadi undang-undang, pasal ini kemudian diadopsi. Padahal kita tahu bahwa Perppu dan undang-undang ini, dan diskresi yang diberikan kepada pemerintah, itu dalam kondisi konteks menangani krisis, tetapi justru di sini ada pasal yang memang sudah direncanakan terlebih dahulu terkait dengan PPh badan. Dan itu menurut ahli menjadi sama sekali tidak terkait dengan penanganan darurat Covid-19. 93 Tambahan Keterangan Ahli para Pemohon Daftar Pertanyaan untuk Ahli Yuna Farhan, Ph.D. Pertanyaan Pemohon:
Berdasarkan keterangan Menteri Keuangan dalam persidangan (yang juga diamini oleh DPR), Perppu atau UU a quo ditujukan untuk memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan di masa COVID-19. Disampaikan pula pengelolaan ini akan dilakukan secara terukur dan hati-hati. Bagaimanapun, fleksibilitas pengalokasian dan pelaksanaan anggaran harus diimbangi dengan prinsip akuntabilitas dan transparansi. Kemudian, pengelolaan keuangan negara yang “terukur dan hati-hati” tidak bisa disandarkan pada statement berdasarkan good faith semata. Dalam pandangan Ahli, apakah UU a quo telah mencerminkan keselarasan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas serta prinsip keterukuran dan kehati-hatian untuk menciptakan pengelolaan keuangan negara yang konstitusional? a. Fleksibilitas diperlukan dalam keadaan darurat untuk merespon cepat kebutuhan dan persoalan yang terjadi. Namun transparansi, akuntabilitas dan kehatian-hatian tidak bisa dipertukarkan atau diabaikan b. Prinsip transparansi, akuntabilias, kehati-hatian dan keterukuran mengalami pengabaian: Konsekuensi Perppu memberikan diskresi pemerintah dalam bentuk anggaran PEN menimbulkan beberapa persoalan:
Terkait keterukuran dan akuntabilitas. Setiap rupiah yang dikeluarkan harus bisa dipertangungjawabkan dan diukur efektivitasnya. Anggaran PEN dirumuskan tanpa tujuan kebijakan dan indikator kinerja yang jelas yang dapat memfasilitasi penelusuran belanja dan memonitor kinerja, yang dibutuhkan DPR untuk menilai pertanggungjawaban anggaran PEN yang dialokasikan ( France ). Tidak adanya tujuan kebijakan dan indikator kinerja tercermin dari, Sampai dengan Agustus, masih terdapat 27,2 % anggaran atau Rp. 189 t yang belum memiliki DIPA, tanpa DIPA belum ada kegiatan yang mau dilakukan.
Lemahya Akuntabilitas dan keterhatian-hatian dari diskresi pemerintah melakukan perubahan anggaran juga terlcermin dalam realisasi anggaran PEN yang terus mengalami perubahan. Perubahan ini terjadi hanya dalam kurun waktu 3 bulan, mulai dari Rp 405,1 triliyun, menjadi Rp 677,2 94 triliyun dan terakhir Rp 695,2 trilyun. Sementara baru terserap 43,8 persen atau 300 T.
Ahli mengilustrasikan bahwa pelebaran defisit anggaran selama COVID-19 disebabkan oleh berkurangnya pendapatan negara, bukan akibat meningkatnya belanja negara sebagai bentuk respon pemerintah menghadapi COVID-19 dan implikasinya. Lantas, dalam pengamatan Ahli, apakah pengalokasian anggaran telah dilakukan secara tepat dan fokus untuk penanganan COVID-19? Jika belum tepat, bagaimana pembacaan Ahli tentang potensi fraud atau korupsi dalam pengelolaan anggaran COVID, terlebih jika dikaitkan dengan minimnya checks and balances yang dapat dilakukan oleh DPR dan lembaga peradilan sebagaimana diatur dalam UU ini? a. Potensi adanya fraud dan korupsi dalam pengelolaan anggaran jauh lebih besar dibandingkan kondisi normal, kondisi darurat membuka ruang akan masuknya kepentingan tertentu untuk memperoleh kepentingan pribadi dan menjadikannya kritikan terhadap penyalahgunaan anggaran dan korupsi. Kasus2 penggunaan anggaran darurat mengkonfirmasi hal ini. Diskresi pemerintah melakukan perubahan anggaran dan pengalokasian anggaran yang belum tersedia, pemangkasan prosesn tender, serta tanpa ada pengawasan DPR membuka ruang terjadi potensi freud.
Pelebaran defisit terjadi bukan karena adanya tambahan belanja untuk Program PEN namun juga pengeluaran pada kompnen pembiayaan. PEN memberikan dukungan pembiayaan untuk BUMN mencapai 152,7 t untuk PMN, Modal kerja dan kompensasi. Beberapa BUMN mendapatkan dukungan ini tidak terkait dengan Covid dan memang sudah mengalami sakit sebelum adanya Covid, sehingga sulit untuk membedakan apakah BUMN2 terdampak atau berperan dalam penanganan Covid atau dukungan yang berikan lebih karena BUMN2 ini sudah sakit dari sebelum adanya Covid.
Bagaimana pandangan Ahli tentang proses pembahasan anggaran dalam keadaan normal dan di masa darurat? Bagaimana pandangan Ahli tentang pembahasan APBN 2021 yang melibatkan DPR, sedangkan di UU COVID sendiri, banyak aturan yang justru memangkas kewenangan pengawasan dan anggaran DPR, bahkan kewenangan konstitusional yang mulanya “memberikan persetujuan” jadi sebatas konsultasi pada praktiknya? Bagaimana peran ideal 95 DPR dalam mengimbangi pemerintah? Dalam perbandingan dengan negara lain yang disampaikan oleh Ahli, lembaga legislatif aktif menjadi counterpart pemerintah sebagai penyeimbang.
DPR merupakan represntasi warga, dengan system presidensial multiparty seperti Indonesia dalam kondisi normal peran DPR memperkuat mekanisme chek and balances. Sebagaimana yang disampaikan dalam presentasi, negara2 parlementer yang notabene cabinetnya adalah anggota parlementer itu sendiri justru melakukan pembahasan anggaran dengan mempercepat atau membuat komite khusus yang menjadi partner pemerintah untuk menyetujui anggaran. DPR juga harus memberikan batasan defisit atau plafon maksimal anggaran penanganan Covid yang memungkinkan untuk ditinjau dalam kurun waktu tertentu.
Peran DPR untuk membahas APBN 2021 sudah tepat, karena APBN yang menjadi diskresi atau pembahasan pemerintah hanya berlaku untuk perubahan APBN 2020 sebagaimana yang ditetapkan dalam pasal 1 ayat 2 UU No 2 tahun 2020, 4. Bagaimana pandangan Ahli tentang implementasi Rekening Khusus anggaran COVID-19 saat ini? Apakah sudah cukup transparan dan akuntabel dalam memberikan update rincian pengelolaan keuangan COVID yang bisa diakses publik? Apakah sudah cukup efisien dan efektif dalam membantu pemerintah merealisasikan pos anggaran COVID? a. Menurut PMK pemerintah telah membuat akun atau rekening khusus Covid- 19 dimana seluruh pengeluaran Covid harus dicatatkan dalam akun ini. Pemerinta juga menyampaikan realisasi anggaran covid secara umum setiap bulannya dalam APBN kita.
Namun demikian, informasi yang disampaikan masih sebatas realisasi anggaran PEN secara umum, sampai saat ini baik DPR maupun publik tidak dapat mengakses rincial pengeluaran apa saja yang dilakukan pemerintah terkait Covid. penggunaan anggaran Penanganan Covid tidak cukup hanya melihat dari realisasi anggaran secara umum, namun juga kualitas dari belanja itu sendiri. Surat Dirjen pembendaharaan terkait pencatatan apa saja yang dapat di klaim sebagai anggaran covid, tidak terkait langsung dengan Covid sepert biaya rapid test perjalan dinas PNS, biaya membeli software 96 online atau pulsa PNS mengikuti training, atau narasumber2 yang dilakukan secara online.
Mengenai keberlakuan UU Keuangan Negara untuk COVID, Pasal 2 yang mengatur tentang pelebaran defisit, diberlakukan hingga Tahun Anggaran 2022 berakhir. Di tahun 2023, batasan defisit akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% dengan penyesuaian secara bertahap. Artinya, ada batasan waktu soal persentase defisit dan persentase ini akan kembali ke angka normal (seperti diatur dalam UU Keuangan Negara 2003). Namun, aturan mengenai pemotongan pajak badan diberlakukan di tahun 2020 dan 2021 untuk penurunan sebesar 22% dan mulai 2022 diberlakukan penurunan sebesar 20%, jauh lebih besar dari sebelumnya, seolah aturan ini tidak disesuaikan dengan asumsi keadaan kembali normal. Begitu pula dengan aturan Pajak PMSE (perdagangan melalui sistem elektronik) yang diterapkan tanpa batasan waktu tertentu. Kami mau memastikan bahwa Pasal ini Pasal selundupan dari Omnibus Law Pajak yang tidak ditujukan untuk menangani krisis. Bagaimana pandangan Ahli mengenai inkonsistensi aturan ini? Apakah aturan ini konstitusional? a. Seluruh pasal yang mengatur kewenangan pemerintah termasuk pergeseran belanja, anggaran yang belum ada alokasinya, pajak, defisit dan keuangan daerah mengacu pada konteks pasal 1 ayat 2 tentang apbn 2020 ini konteks, perubahan pada b. Batasan defisit sejarah pertemuan dengara2 eropa di massrtich, kemudian krisis 97/98 dimana hutang kita melonjak tajam karena depriasi rupiah, sehingga diperlukan batasan defisit agar pengelolaan fiskal kita berkelanjutan. Menjadi pertanyaan soal inkonsistensi, dan defisit bukan disebabkan adanya tambahan anggaran PEN c. Terkait pemotongan PPh Badan dan PMSE, selain tidak konsisten, pasal ini sebelumnya ada di RUU Omnibus Perpajakan. Artinya, pemotongan PPh Badan dan PMSE tidak terkait dengan kondisi darurat sebagaimana ruh dari UU ini. Dan pasal ini juga belaku selamanya, dimana seharunsya kondisi darurat memiliki batasan waktu tertentu. 97 Pertanyaan Kementerian Keuangan 1. Meminta gambaran dari negara-negara lain yang mengatur batasan defisit di masa pandemik. Kondisi Covid-19 menyebabkan, hampir semua negara Uni Eropa diperkirakan akan melebihi batasan defisit di atas 3 %. Bahkan China yang ekonominya pulih defisit 5,7 % dan New Zealand memperkirakan defisit 9,3% GDP sampai 2022. Yang perlu menjadi penekanan adalah besaran batasan dana darurat atau pemulihan ekonomi yang berjangka dan mendapat persetujuan bersama dengan DPR sebagaimana yang saya sampaikan pada presentasi.
Aturan tentang pajak harusnya bagaimana? Kalau dianggap sebagai selundupan-selundupan. Seharusnya pengaturan tentang pemotongan PPh Badan dan PMSE diatur dalam UU tersendiri karena ini berlaku bukan hanya masa darurat dan sudah ada di rencana pemerintah jauh sebelum terjadinya Covid-19. Pertanyaan Yang Mulia Dr. Suhartoyo, S.H., M.H.
Kalau norma mengatakan boleh melampaui 3% itu kemudian, bisa ditafsirkan boleh tanpa batas? Bukannya sebenarnya, titik kehati-hatiannya ada di angka 3%? Jangan secara a contrario ditarik pemaknaan bahwa ini boleh. Benar sekali yang Mulia, batasan defisit 3% adalah batas kehati-hatian untuk keberlanjutan fiskal. Sejarah lahirnya batasan 3% defisiti lahir di Maastrich atau perjanjian Maastrich pada tahun 1992 sebagai prasyarat bergabungnya negara-negara Uni Eropa untuk mengendalikan keberlanjutan fiskal negara- negara anggotanya. Di Indonesia, batasan defisit muncul setelah krisis ekonomi 1997/8 yang merupakan paket reformasi keuangan untuk menjaga keberlanjutan fiskal dan tidak terjebak utang. Memang dengan melebihi batasan defisit di atas 3 % bukan berarti bisa sebesar-besarnya, APBN 2021 menunjukan kepercayaan pemerintah menurunkan Kembali batasan defisit. Yang menjadi persoalan adalah perlu adanya batasan atas defisit.
Prinsip-prinsip penggunaan anggaran dalam keadaan darurat, termasuk prinsip menggunakan dana darurat di awal. Ada improvisasi membentuk komite khusus COVID dan memberikan kekuasaan penuh. Apakah di Indonesia pembentukan Komite Khusus sama sekali tidak dilakukan oleh pemerintah? Dengan nomenklatur atau tupoksi yang sama digunakan oleh 98 negara-negara lain? NZ dan Norwegia kondisi COVID-nya tidak separah negara lain. Apakah kemudian pembentukan komite khusus, yang diberikan kekuasaan penuh untuk mengelola anggaran. Apakah disesuaikan dengan tingkat penyebaran Covid di masing-masing negara? Benar yang mulia, kondisi covid 19 di masing-masing Negara berbeda, begitu juga dengan respon yang dilakukan. Yang kami maksud dengan Komite khusus adalah, komite khusus DPR untuk menjadi counterpart Pemerintah dalam membahas penganggaran Covid, sehingga pemerintah tidak perlu melakukan konsultasi keseluruh komisi atau jalur normal pembahasan anggaran, namun DPR sebagai representasi Rakyat tetap dapat dilibatkan meskipun tidak secara optimal.
Soal batasan waktu, karena masing-masing negara punya penanganan yang berbeda, sejauh mana tingkat percepatan meredanya atau landainya COVID ini tidak sama. Bagaimana benchmark bisa dijadikan role model seolah-olah ini menjadi compatible di Indonesia. Yang Ahli sampaikan mengenai praktek-praktek di Negara lain adalah referensi yang bisa dijadikan acuan, bahwa dalam kondisi krisis aspek transparansi dan akuntabilitasi tidak bisa dinegasikan meskipun bersifat minimalis, tentunya dalam konteks Indonesia hal ini juga dapat dilakukan dengan modifikasi sesuai situasi dan kondisi negara kita. Pertanyaan Yang Mulia Dr. Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, S.H., M.H.
Tadi mengangkat diskresi. Ada karakteristiknya pada setiap keadaan darurat. Dalam konteks diskresi lebih kepada tataran administrasi pemerintahan yang sudah diatur batasan-batasan penggunaan diskresi. Dalam konteks darurat, ini dua hal yang berbeda. Diskresi: welverstaat. Darurat: Ada berbagai macam tingkatnya. Diskresi ini diskresi darurat atau diskresi pemerintahan Yang kami maksud diskresi disini lebih kepada kewenangan pemerintah yang dijamin oleh UU ini dalam situasi darurat. Seperti yang kami sampaikan, Pemerintah perlu diberikan kewenangan untuk menjamin fleksibilitas dan kecepatan dalam merespon kondisi darurat, namun lagi-lagi aspek transparansi dan akuntabilitas tidak dapat dikesampingkan. Kondisi darurat kerap kali dimanfaatkan free rider untuk memperoleh keuntungan pribadi. 99 Pertanyaan Yang Mulia Prof. Dr. Saldi Isra., S.H., MPA.
Politik penganggaran dalam konteks Indo. Izinkan mengajak ahli untuk melihat ketentuan konstitusi. Apa bedanya proses penyusunan RAPB menjadi UU APBN dalam konteks sistem kita. Di Konstitusi kita ada pola yang berbeda, sengaja didesain, UU APBN berbeda dengan yang lain. UU APBN kewenangan pembentuk UU jauh lebih terbatas ketika menyusun UU biasa, sehingga secara konstitusional, konstitusi kita menempatkan UU APBN pada proses pembentukan UU biasa. Bagaimana Ahli meletakkan perbedaan ini dikaitkan dengan mengatasi situasi darurat ketika kita menangani Covid? Ketika Donald Trump menghadapi Covid, sebelum minta pendapat ke Senat dan setelah itu mendapat persetujuan Kongres, dia sudah men-declare, US akan menyediakan 32rb T untuk mengatasi Covid. Dia lempar dulu ke Senat karena dia tau, di Senat republik jauh lebih besar dari demokrat, baru setelah itu dia ke HoR, karena dia tau jumlah pendukung anggota DPR lebih besar dari Republik. Situasi seperti ini tidak mungkin dimainkan dalam kondisi anggaran kita, karena semua disusun pemerintah dan DPR hanya memberikan persetujuan tanpa mengotak-atik anggaran. Perppu ini strategis dalam menghadapi situasi Covid, tidak full menghadapi konteks anggaran. Bagaimana desain fungsi anggaran dalam konstitusi kita? Benar sekali yang Mulia, konteks fungsi anggaran dalam politik pembahasan anggaran sangat ditentukan dari system politik dan konstitusi yang mengaturnya. Di Amerika, sistem politik presidensial dengan dua partai dan system 2 kamar murni. Perbedaan partai pemerintah dan oposisi sangat jelas disana, dan konstitusi Amerika juga menjamin peran Senat dan DPR yang kuat untuk menolak Anggaran Pemerintah, sehingga Ketika legislative tidak menyetujui usulan anggaran eksekutif, dapat mengakibatkan shutdown, pemerintah tidak dapat mengeluarkan anggaran. Di Indonesia dengan system presidential multiparty membawa konsekuensi Presiden harus membentuk koalisi besar untuk menjamin agenda-agendanya dapat berjalan. Sejak reformasi hampir semua presiden menguasai kursi mayoritas di DPR. Konsekuensi kita juga membatasi fungsi anggaran DPR. UU APBN adalah satu2nya UU yang hanya dating dari Pemerintah, berbeda dengan UU lain yang dapat menjadi Inisiatif DPR. Fungsi anggaran DPR juga dibatasi untuk pembahasan anggaran dapat merubah pendapatan dan 100 belanja sepanjang tidak melebihi defisit yang diajukan pemerintah. Meskipun DPR dapat tidak memberikan persetujuan usulan RUU APBN, namun pemerintah dapat tetap membelanjakan APBN dengan mengacu APBN sebelumnya. Artinya, dengan fungsi anggaran yang terbatas, seharusnya tidak ada alasan perubahan UU APBN tidak melalui DPR. Pembahasan DPR adalah ruang bagi warga terhadap jaminan transparansi dan partisipasi dalam pembahasannya. [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyampaikan keterangan lisan di depan persidangan dan menyerahkan keterangan tertulis beserta lampirannya yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: I. Ketentuan UU 2/2020 yang Dimohonkan Pengujian Terhadap UUD NRI Tahun 1945 ● Dalam Pengujian Formil: Bahwa pengujian UU 2/2020 dimohonkan pengujian secara formil dalam Perkara Nomor 37, 43, dan 75/PUU-XVIII/2020 yang pada intinya didalilkan bahwa:
Prosedur konstitusional pengesahan telah disimpangi dengan tidak adanya keterlibatan DPD.
Rapat virtual yang berpotensi dihadiri tidak secara konkret karena kuorum rapat dibuktikan dengan tandatangan sebelum menghadiri rapat.
UU 2/2020 tidak memenuhi syarat Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUD Tahun 1945 dan Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011 terkait frasa “persidangan yang berikut”.
Pengujian formil yang dibatasi hanya 45 hari setelah undang-undang dimuat dalam Lembaran Negara tidak sesuai dengan UUD NRI Tahun 1945.
Pengambilan keputusan pada sidang Paripurna terdapat 1 fraksi yang tidak setuju, namun pimpinan rapat mengambil keputusan berdasarkan mufakat dan bukan berdasarkan suara terbanyak. ● Dalam Pengujian Materiil: Pengajuan pengujian UU 2/2020 secara materiil terdapat dalam Permohonan Perkara 37, 42, 43, 45, 47, 49, dan 75/PUU-XVIII/2020, 101 ketentuan yang dimohonkan pengujian terhadap UUD NRI Tahun 1945 adalah Judul UU 2/2020, Pasal 1 ayat (3); Pasal 1 ayat (5); Pasal 2;
ayat (1) huruf a dan huruf b; Pasal 6; Pasal 7; Pasal 9; Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2); Pasal 12 ayat (1); Pasal 16 ayat (1) huruf c; Pasal 19; Pasal 23 ayat (1) huruf a; Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3); serta Pasal 29 Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut “UU No. 2 Tahun 2020”). Pengujian Judul dan Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 merupakan objek pengujian materiil yang merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dalam undang-undang. Tidak berhenti sampai di situ, sejumlah pasal dalam pengujian a quo menimbulkan ketidakpastian hukum, melahirkan penafsiran yang ambigu, tidak jelas, dan multitafsir serta berpotensi menghambat pemenuhan hak-hak konstitusional para Pemohon dan warga negara pada umumnya, sehingga dibutuhkan penafsiran bersyarat dari MK untuk menjaga konstitusionalitas UU a quo ;
Bahwa berdasarkan argumentasi di atas, MK berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo karena permohonan ini merupakan permohonan uji formil dan materiil UU No. 2 Tahun 2020 dan Lampirannya terhadap UUD 1945, sebagaimana ditetapkan dalam UUD 1945, UU Mahkamah Konstitusi, UU Kekuasaan Kehakiman. II. KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) PARA PEMOHON 8. Bahwa salah satu fungsi fundamental MK ialah mengawal dan menjaga hak- hak konstitusional warga negara sebagai bagian dari hak asasi manusia. Dalam hal ini, MK memastikan bahwa tidak ada produk hukum legislasi maupun Perppu yang mencederai hak-hak konstitusional yang melekat pada 6 warga negara. Dengan kesadaran ini, Para Pemohon memutuskan untuk mengujikan konstitusionalitas UU No. 2 Tahun 2020 beserta lampirannya;
Bahwa Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi mengatur, “ Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya _dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: _ _a. perorangan warga negara Indonesia; _ b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan _Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; _ _c. badan hukum publik atau privat; _ d. lembaga negara. __ __ Selanjutnya, penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi menyatakan, “ Yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945 ”;
Bahwa berdasarkan Putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan MK Nomor 11/PUU-V/2007, MK menentukan lima syarat mengenai kerugian konstitusional yang dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi, yaitu sebagai berikut: a. harus ada hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang _diberikan oleh UUD 1945; _ b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut dianggap telah _dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; _ c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut bersifat spesifik dan aktual, setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut _penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; _ d. ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan undang-undang yang _dimohonkan pengujian; dan _ e. ada kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi ;
Bahwa selain kelima syarat di atas, MK dalam yurisprudensi putusannya juga menyebutkan sejumlah persyaratan lain untuk menjadi pemohon, ditegaskan oleh MK dalam Putusan MK Nomor 27/PUU-VII/2009, “ Dari praktik 7 Mahkamah (2003-2009), perorangan WNI, terutama pembayar pajak ( tax payer, vide Putusan Nomor 003/PUU-I/2003) berbagai asosiasi dan NGO/LSM yang concern terhadap suatu Undang-Undang demi kepentingan publik, badan hukum, pemerintah daerah, lembaga negara, dan lain-lain, oleh Mahkamah dianggap memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian, baik formil maupun materil, Undang-Undang terhadap Undang- Undang Dasar 1945 ”;
Bahwa pandangan MK mengenai syarat menjadi Pemohon dalam perkara pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar tersebut di atas telah diperkuat kembali dalam Putusan MK Nomor 022/PUU-XII/2014, yang menyebutkan bahwa “ Warga masyarakat pembayar pajak ( tax payers ) dipandang memiliki kepentingan sesuai dengan Pasal 51 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Hal ini sesuai dengan adagium ‘ no taxation without participation ’ dan sebaliknya ‘ no participation without tax ’ ”. MK mengungkapkan, “ Setiap warga negara pembayar pajak mempunyai hak konstitusional untuk mempersoalkan setiap undang- undang ”. Sebagai penegasan, dalam Putusan MK Nomor 36/PUU-XVI/2018 dan Putusan MK Nomor 40/PUU-XVI/2018, kedudukan hukum sebagai pembayar pajak ( tax payer ) perlu menjelaskan adanya keterkaitan logis dan causal verband bahwa pelanggaran konstitusional atas berlakunya undang- undang yang diuji adalah dalam kaitannya dengan status pemohon sebagai pembayar pajak ( tax payer );
Bahwa khusus untuk pengujian formil, MK dalam Putusan MK Nomor 27/PUU-VII/2009, tanggal 16 Juni 2010, telah memberikan pedoman tentang legal standing pemohon untuk mengajukan pengujian formil atas pembentukan undang-undang terhadap UUD 1945. Dalam putusan tersebut, ukuran atau pedoman kedudukan hukum pemohon dalam pengujian formil mempunyai karakteristik yang tidak sama dengan pengujian materiil. Oleh karena itu, persyaratan legal standing yang telah ditetapkan oleh MK dalam pengujian materiil tidak dapat diterapkan untuk pengujian formil. Putusan MK tersebut menukilkan bahwa syarat legal standing dalam pengujian formil undang-undang adalah Pemohon mempunyai hubungan pertautan yang langsung dengan undang-udang yang dimohonkan. Namun demikian, syarat terpenuhinya hubungan pertautan yang langsung dalam pengujian formil 8 tersebut tidaklah sampai sekuat dengan adanya kepentingan dalam pengujian materiil karena tentu saja akan menghambat para pencari keadilan ( justitia bellen ), yaitu pemohon yang dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi, termasuk Para Pemohon, untuk mengajukan pengujian secara formil;
Bahwa dalam permohonan a quo , terdapat empat pemohon, yaitu Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA) atau Pemohon I sebagai pemohon badan hukum privat serta pemohon perorangan Warga Negara Indonesia (WNI), yaitu Desiana Samosir (Pemohon II), Muhammad Maulana (Pemohon III), dan Syamsuddin Alimsyah (Pemohon IV) yang seluruhnya tergabung dalam Aliansi Advokasi untuk Keuangan Negara Konstitusional (Aliansi Akar Konstitusi);
Bahwa pada dasarnya, kekhawatiran pemohon mengenai keberlakuan UU a quo merupakan ancaman terhadap hak konstitusional warga negara pada umumnya karena sifatnya yang universal dan berdampak luas bagi publik. Secara fundamental, pengujian undang-undang a quo berangkat dari kekhawatiran para pemohon terkait pengelolaan anggaran negara untuk penanganan Covid-19 dan agenda terselubung di baliknya berdasarkan UU No. 2 Tahun 2020 dan lampirannya. Kekhawatiran ini dilandaskan pada alasan bahwa (1) ruang lingkup UU a quo meluas, tidak hanya untuk menyelesaikan krisis akibat pandemi Covid-19, tetapi juga untuk krisis ekonomi lainnya yang tidak ada hubungannya dengan pandemi Covid-19;
UU a quo tidak mencerminkan dasar hukum pengelolaan keuangan negara yang konstitusional;
menegasikan fungsi dan kewenangan pengawasan lembaga perwakilan rakyat, Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya, dan publik secara luas serta melegalisasi praktik korupsi lumbung dana penanganan bencana; dan
berpotensi menimbulkan penyalahgunaan dan ketidaktepatan penggunaan dana yang digelontorkan untuk penanganan pandemi Covid-19;
Bahwa selain itu, proses pembentukan UU a quo pun melanggar konstitusi, sebab menihilkan peran DPD dalam proses pembahasan untuk mengesahkan atau tidak mengesahkan Perppu No. 1 Tahun 2020 dan kehadiran virtual dan kuorum pengambilan keputusan dalam rapat paripurna pengesahan Perppu No. 1 Tahun 2020 menjadi undang-undang berpotensi 9 tidak dihadiri secara konkret. Apabila dibiarkan, praktik demikian dapat menjadi preseden buruk dalam perumusan undang-undang ke depan, yaitu kontraproduktif dengan sendi-sendi demokrasi, negara hukum, dan kedaulatan rakyat; Pemohon Badan Hukum Privat 17. Bahwa Pemohon I adalah Organisasi Non-Pemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tumbuh dan berkembang secara swadaya, atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat yang didirikan atas dasar moralitas dengan menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 dalam rangka turut serta mewujudkan terlaksananya sistem demokratisasi dalam tatanan kehidupan bernegara. Pemohon I memiliki visi untuk terwujudnya masyarakat sipil yang demokratis, mandiri, dan berkebajikan dalam memperjuangkan hak-hak warga. Untuk mewujudkan visi tersebut, Pemohon I memiliki misi untuk:
mengembangkan YAPPIKA sebagai wahana pembelajaran demokrasi berdasarkan pengalaman nyata lapangan secara terus-menerus;
melakukan penguatan kapabilitas organisasi masyarakat sipil dalam rangka membangun kemandirian, kewarganegaraan, dan kebajikan publik;
melakukan advokasi kebijakan dalam rangka pemenuhan hak-hak dasar rakyat;
memperjuangkan lingkungan yang kondusif bagi tumbuh kembangnya masyarakat sipil yang sehat. Aktivitas Pemohon I berfokus di bidang sosial dan kemanusiaan;
Bahwa Pasal 3 Anggaran Dasar (selanjutnya disebut “AD”) mengatur untuk mencapai maksud dan tujuannya Pemohon I menjalankan kegiatan sebagai berikut;
Di bidang sosial:
Meningkatkan partisipasi dan prakarsa rakyat dalam rangka pemberdayaan masyarakat dalam bidang sosial;
Meningkatkan taraf hidup masyarakat miskin dan terpinggirkan (marginal);
Mewujudkan pembangunan manusia ( human development ), atas dasar prinsip kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, dalam berbagai dimensinya sehingga tercipta manusia seutuhnya;
Mengadakan, menyelenggarakan, pembinaan pada masyarakat dalam bidang pendidikan; 10 e. Mengadakan, menyelenggarakan, dan mendirikan lembaga pendidikan, keterampilan dan pelatihan baik formal maupun non formal;
Mengadakan, menyelenggarakan, penelitian di bidang ilmu pengetahuan mengenai kemasyarakatan, kemanusiaan, lingkungan hidup;
Mengadakan, menyelenggarakan studi banding;
Mengadakan, menyelenggarakan dokumentasi dan penyebaran informasi dalam bidang pendidikan melalui penerbitan buku-buku, media massa elektronik maupun non elektronik;
Di bidang kemanusiaan:
Memberi bantuan kepada korban bencana alam;
Memberikan bantuan kepada pengungsi akibat kekerasan (konflik);
Menyelenggarakan, meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat ( comunity based natural health care );
Menyelenggarakan dan meningkatkan pendidikan kerakyatan ( civic/popular education );
Memberikan perlindungan konsumen ( consumers protection );
Meningkatkan persahabatan antar bangsa dan kerjasama internasional dalam bidang kemanusiaan;
Mengadakan pelayanan kemanusiaan;
Melakukan kegiatan kunjungan ke daerah-daerah, pertukaran informasi, magang dan bantuan teknis dalam bidang kemanusiaan;
Melestarikan lingkungan hidup;
Menyelenggarakan, mengadakan seminar, lokakarya, pameran pendidikan;
Bahwa kontribusi Pemohon I dalam mengejawantahkan maksud dan tujuan sebagaimana termaksud dalam Pasal 3 AD di atas misalnya dengan menyelenggarakan aktivitas untuk mendorong tata kelola pemerintahan yang baik, bersih, transparan, dan akuntabel di bidang sosial dan kemanusiaan, yaitu di antaranya sebagai berikut:
Program Sekolah Aman (#SafeSchool) untuk berkontribusi pada pemenuhan hak anak atas infrastruktur pendidikan dasar yang layak; 11 b. Program Promoting Civil Society-led Initiatives for Inclusive and Quality Education in Indonesia (Pro-InQluEd) untuk mempromosikan tata kelola yang baik dan akuntabilitas di sektor pendidikan di Indonesia sejalan dengan SDG4;
Menjadi koordinator jaringan yang melakukan advokasi isu pelayanan publik bernama Masyarakat Peduli Pelayanan Publik (MP3), seperti melakukan judicial review UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD ke MK dan advokasi implementasi UU Keterbukaan Informasi Publik;
Membentuk evidence-based policy making melalui partisipasi masyarakat via LAPOR-SP4N untuk memperbaiki kualitas dan akuntabilitas pelayanan publik; dan lain sebagainya;
Bahwa keterlibatan Pemohon I dalam pengujian ini merupakan upaya untuk memulihkan hak konstitusional pemohon yang faktual atau setidak-tidaknya potensial dilanggar akibat keberlakuan UU ini, yaitu: - Pasal 23 Ayat (1) UUD 1945: “ Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ”; - Pasal 28C Ayat (2) UUD 1945: “ Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya ”; dan - Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945: “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum ” Upaya-upaya pemohon dalam mewujudkan misi organisasi untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negara di bidang sosial dan kemanusiaan melalui advokasi kebijakan dalam rangka pemenuhan hak-hak dasar rakyat, terutama untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat miskin dan terpinggirkan (marginal) (Pasal 3 ayat [1] huruf b AD), mengadakan, menyelenggarakan, pembinaan pada masyarakat dalam bidang pendidikan (Pasal 3 ayat [1] huruf d AD), meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat (Pasal 3 ayat [2] huruf c AD), dan menyelenggarakan dan meningkatkan pendidikan kerakyatan (Pasal 3 ayat [2] huruf d AD) pada 12 konteks penanganan wabah Covid-19 serta untuk memperoleh kepastian hukum dan pengelolaan keuangan negara yang transparan, akuntabel, dan tepat sasaran untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat menjadi terhalang dan tercederai akibat ditetapkannya UU No. 2 Tahun 2020 beserta lampirannya, terutama akibat berlakunya pasal-pasal sebagai berikut: Tabel I Alasan dan Hubungan Sebab Akibat Ketentuan yang Merugikan Pemohon I No. Ketentuan yang Merugikan Hak Konstitusional Pemohon I Alasan dan Hubungan Sebab Akibat 1. Proses pembahasan tidak melibatkan DPD dan rapat virtual yang berpotensi tidak dihadiri secara konkret Kondisi ini melanggar hak konstitusional pemohon karena telah mengingkari upaya- upaya pemohon untuk mengadvokasikan dan memengaruhi penerapan good governance , dalam hal ini ketaatan pada prosedur konstitusional penyusunan UU penetapan Perppu 2. Judul dan Pasal 1 ayat (3) huruf b Luasnya ruang lingkup UU a quo berpotensi memberikan keleluasaan bagi pemerintah untuk menjalankan tindakan- tindakan luar biasa terhadap ancaman keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan yang tidak berkaitan dengan penanganan pandemi Covid-19 dan implikasinya, sehingga alokasi keuangan negara untuk meningkatkan pelayanan kesehatan selama Covid-19 dan jaring pengaman sosial bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan, sebagai salah satu perhatian pelaksanaan tujuan organisasi pemohon, berpotensi terabaikan. __ 3. 1. Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3;
Pasal 2 ayat (1) huruf f jo. Pasal 16 ayat (1) huruf c dan Pasal 19;
Pasal 2 ayat (1) huruf g 1. Menghapuskan kontrol dari DPR dan DPD dengan memberikan kekuasaan yang besar bagi pemerintah untuk menentukan batasan defisit anggaran secara sepihak tanpa memerlukan persetujuan DPR dan pertimbangan DPD.
Menghapuskan fungsi pengawasan dan fungsi anggaran DPR dalam hal penerbitan SUN dan SBSN serta mengancam independensi Bank 13 Indonesia karena didorong untuk membeli surat utang melalui pasar primer.
Menghapuskan fungsi pengawasan dan fungsi anggaran DPR, sebab pemerintah diberikan keleluasaan secara sepihak untuk menentukan sumber-sumber pembiayaan anggaran. Mereduksi pengawasan lembaga legislatif dapat berujung pada kesewenang- wenangan dan tindakan koruptif oleh pemerintah, sedangkan ancaman terhadap independensi BI berpotensi menjauhkan dari tujuan pengelolaan kebijakan moneter untuk keuangan negara yang konstitusional. Oleh karena itu, pasal-pasal ini melanggar hak konstitusional pemohon untuk mengadvokasikan dan memperoleh pengelolaan keuangan negara yang akuntabel, transparan, dan tepat sasaran untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat di masa pandemi Covid-19.
Pasal 2 ayat (1) huruf e angka 2 Menghapuskan esensi dana abadi pendidikan, padalah prioritas penganggaran pendidikan sangat erat kaitanya dengan tujuan untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa. Hal ini mengingkari dan menghalangi upaya pemohon selama ini untuk melakukan pembinaan dan advokasi di bidang pendidikan untuk rakyat 5. 1. Pasal 4 ayat (1) huruf a jo. Pasal 5 huruf a dan huruf b;
Pasal 4 ayat (1) huruf b, Pasal 4 ayat (2), Pasal 6, dan Pasal 7;
Pasal 9 serta Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) 1. Memberikan keringanan pajak tanpa dibarengi dengan larangan PHK akibat Covid-19 dan keringanan pajak semestinya tidak bersifat pukul rata bagi semua badan, melainkan diatur dengan skala paling tinggi sebesar 22%.
Pajak untuk Perdagangan Melalui Sistem Elektronik tidak memenuhi unsur kegentingan yang memaksa terkait penanganan Covid-19 dan semestinya diatur di dalam suatu undang-undang tersendiri agar lebih komprehensif dan memberikan kepastian hukum. 14 3. Menghendaki perubahan substansi undang-undang kepabeanan dengan peraturan Menteri. Pasal ini melanggar hak konstitusional pemohon, sebab menghambat dan mempersulit upaya pemohon untuk mengadvokasikan peningkatan taraf hidup masyarakat miskin dan termarjinalkan akibat PHK. Selain itu, aturan ini berpotensi menimbulkan pengelolaan pajak dan bea yang tidak memberikan kepastian hukum yang adil dan tidak sejalan dengan prinsip pengelolaan APBD untuk pelayanan publik, sebagaimana terus diupayakan oleh pemohon melalui aktivitas pemohon. __ 6. Pasal 12 ayat (1) Pasal ini perlu dibarengi dengan pembentukan akun rekening khusus penanganan Covid-19 agar pemerintah lebih optimal, tepat sasaran, transparan, dan akuntabel dalam mengelola anggaran Covid-19. Tanpa rekening khusus, aturan ini melanggar hak konstitusional pemohon untuk memperoleh pengelolaan keuangan negara yang akuntabel dan transparan 7. Pasal 23 ayat (1) huruf a Berpotensi disalahgunakan dengan memaksa bank yang sehat untuk bergabung, melebur, mengambil alih, dan berintegrasi dengan bank bermasalah yang diakibatkan kesalahan pengurusan sejak awal, bukan akibat pandemi Covid-19. Dengan demikian, penggunaan APBN __ berpotensi disalahgunakan untuk tindakan seperti ini dan pemohon pun tidak memperoleh pengelolaan keuangan yang akuntabel, transparan, dan tepat sasaran di bidang kesehatan, sosial, dan kemanusiaan 8. Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan (3) Melegitimasi penyelewengan pengelolaan keuangan negara dan membebaskan penyelenggara negara dari jeratan pasal tindak pidana korupsi serta menutup access to justice bagi pemohon untuk melakukan pengawasan, advokasi, upaya hukum, dan memperoleh keadilan ketika 15 adanya potensi penyalahgunaan anggaran negara yang tidak ditujukan untuk kebutuhan sosial, kesehatan, dan kemanusiaan selama Covid-19, serta berpotensi menyelewengkan pajak yang Pemohon bayarkan sebagai tax payer yang tidak ditujukan untuk covid-19 9. Pasal 29 Tanpa adanya batas waktu keberlakuan perppu, pemerintah berpotensi sewenang- wenang dan pemohon tidak mendapatkan kepastian hukum yang adil serta pengelolaan keuangan negara yang akuntabel untuk kepentingan sosial dan kemanusiaan yang difokuskan untuk Covid-19 21. Bahwa berdasarkan uraian di atas, sejumlah ketentuan dalam Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 telah atau setidak-tidaknya berpotensi menghambat upaya pemohon untuk mewujudkan tujuan-tujuan organisasi pemohon di bidang sosial dan kemanusiaan, khususnya dikaitkan dengan konteks penanganan pandemi Covid-19 saat ini. Oleh karena itu, Pemohon I menilai manakala permohonan a quo dikabulkan oleh MK, maka kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon I tidak akan terjadi;
Bahwa berdasarkan Pasal 16 ayat (5) AD Pemohon I , “ Pengurus berhak mewakili Yayasan di dalam dan di luar Pengadilan tentang segala hal dan dalam segala kejadian ”. Selanjutnya, ketentuan Pasal 18 ayat (1) mengatur “ Ketua Umum bersama-sama dengan salah seorang anggota Pengurus lainnya berwenang bertindak untuk dan atas nama Pengurus serta mewakili Yayasan ”. Dengan demikian, dalam hal ini, Pemohon I diwakili oleh Fransisca Fitri Kurnia Sri selaku Direktur Eksekutif Yappika; Pemohon Perorangan WNI 23. Bahwa Pemohon II, Pemohon III, dan Pemohon IV merupakan aktivis yang memperjuangkan tata kelola pemerintahan yang baik ( good governance ), baik di tataran pusat maupun daerah, dari aspek pengelolaan keuangan negara yang transparan, akuntabel, dan tepat sasaran, aspek keterbukaan informasi publik, aspek pelayanan publik yang baik, hingga aspek pemerintahan antikorupsi. Melakukan pengujian UU No. 2 Tahun 2020 dan 16 lampirannya merupakan upaya Para Pemohon untuk memperjuangkan tata kelola keuangan negara yang konstitusional, sekaligus memulihkan hak-hak konstitusional Para Pemohon yang dilanggar akibat keberlakuan UU a quo ;
Bahwa Pemohon II merupakan pegiat dalam advokasi keterbukaan informasi publik bersama Koalisi Freedom of Information Network Indonesia (FOINI), yang sehari-hari mengawal implementasi UU KIP dan Open Government Partnership di Indonesia. Perhatian Pemohon terhadap upaya mendorong keterbukaan informasi publik dan Open Government Partnership di Indonesia, juga ditujukan dengan keseriusan Pemohon mengkaji berbagai hal yang terkait dengan keterbukaan informasi dan Open Government Partnership di Indonesia. Hal ini salah satunya ditunjukan dengan publikasi Pemohon tentang Open Government Partnership di Indonesia (Buku “Pembaruan Komisi Informasi: Menuju Komisi Informasi yang Mandiri dan Profesional”, “Laporan Hasil Independen Monitoring Implementasi Open Government Partnership di Indonesia 2012-2013”, “Melawan Korupsi, dari Advokasi hingga Pemantauan Masyarakat”). Selain melakukan kajian, Pemohon saat ini juga tengah aktif melakukan pemantauan akses informasi publik di masa tanggap bencana Covid-19 dari UU a quo ;
Bahwa Pemohon III yang bekerja sebagai sebagai Peneliti, juga merupakan pegiat dalam advokasi anggaran publik untuk mewujudkan tata kelola keuangan negara yang baik, sesuai dengan prinsip good governance . Perhatian Pemohon III terhadap upaya mendorong tata kelola anggaran yang baik di Indonesia, juga ditujukan dengan keseriusan Pemohon III melakukan kajian-kajian terkait dengan isu-isu tata kelola anggaran publik. Hal ini ditunjukan dengan publikasi Pemohon III seputar tata kelola keuangan negara di Indonesia (Buku “Integrasi Perencanaan Penganggaran”, Artikel “Mengawal Anggaran Covid-19”, “Mengulik Anggaran Penanganan Wabah Corona”). Selain melakukan kajian, Pemohon III saat ini juga tengah aktif melakukan pemantauan tata kelola anggaran publik di masa tanggap bencana Covid-19 berdasarkan UU a quo ;
Bahwa Pemohon IV adalah perorangan warga negara Indonesia yang aktif dalam organisasi kemasyarakat yang memiliki konsen terhadap kebijakan dan pelayanan publik, serta konsen terhadap isu-isu anti korupsi. Pada tahun 2001-2006, Pemohon IV merupakan Koordinator Koalisi Kebijakan 17 Partisipatif (KKP) Simpul Sulawesi Selatan, selain itu tahun 2008-2013 sebagai Koordinator Koalisi Masyarakat Pedulli Pelayanan Publik (MP3) Simpul Sulawesi Selatan, dan juga tahun 2002 – Sekarang aktif sebagai Inisiator Pembentukan sekaligus Presidium Koalisi Masyarakat Anti Korupsi (KMAK) Sulawesi Selatan. Perhatian Pemohon IV terhadap upaya mendorong kebijakan dan pelayanan publik yang anti korupsi salah satunya ditunjukan dengan publikasi Pemohon IV dengan menulis buku “Mewujudkan Proyek Tanpa Korupsi”, “Pengawasan Terencana Dana Pendidikan, Panduan Teknis bagi DPRD”, dan “Traffic Light APBD: Best Practices & Lesson Learned Advokasi Anggaran di Sulawesi”;
Bahwa Pemohon II, Pemohon III, dan Pemohon IV, sebagai perorangan WNI, memiliki hak konstitusional sebagaimana diatur dalam pasal berikut: - Pasal 23 Ayat (1) UUD 1945: “ Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ” - Pasal 28C Ayat (2) UUD 1945: “ Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya ”; dan - Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945: “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum ”. Keberlakuan sejumlah aturan dalam Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 telah mencoreng hak konstitusional para pemohon dengan mengingkari dan menghambat upaya aktivisme Pemohon II s/d IV untuk memajukan masyarakat, bangsa, dan negara dalam mendorong dan memengaruhi kebijakan dan pelaksanaan prinsip good governance , terutama pada aspek transparansi, akuntabilitas, dan ketepatan tata kelola anggaran negara, dalam hal ini untuk penanganan wabah Covid-19. Hambatan tersebut juga secara faktual ditunjukkan dengan keberlakuan sejumlah aturan dalam UU a quo yang tidak memberikan jaminan dan kepastian hukum yang adil bagi Pemohon II s/d IV dalam mengawal dan memastikan pengelolaan keuangan negara untuk Covid-19 bernilai konstitusional; 18 28. Bahwa selain mengacu pada alas hukum di atas, Pemohon II s/d IV juga merupakan pembayar pajak ( tax payer ) __ yang dibuktikan dengan fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Bahwa sebagai pembayar pajak, Pemohon II s/d IV sangat berkepentingan dengan pengujian UU a quo mengingat substansi yang diujikan berkaitan langsung dengan pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk penanganan Covid-19, yang salah satunya bersumber dari pajak yang dibayarkan oleh Para Pemohon. Dalam hal ini, Pemohon menuntut aturan hukum yang konstitusional, sehingga anggaran yang salah satunya berasal dari pajak para pemohon dikelola secara akuntabel, transparan, dan tepat sasaran untuk mempercepat penanganan pandemi Covid-19 berikut implikasinya;
Bahwa secara konkret atau setidak-tidaknya potensial, hak-hak konstitusional Pemohon II s/d IV dicederai akibat keberlakuan pasal-pasal dalam Lampiran UU No. 2 Tahun 2020, yaitu sebagai berikut: Tabel II Alasan dan Hubungan Sebab Akibat Ketentuan yang Merugikan Pemohon II s/d IV No. Pasal yang Merugikan Hak Konstitusional Pemohon II s/d IV Alasan dan Hubungan Sebab Akibat 1. Proses pembahasan tidak melibatkan DPD dan rapat virtual yang berpotensi tidak dihadiri secara konkret Kondisi ini melanggar hak konstitusional para pemohon karena telah mengingkari upaya- upaya pemohon untuk mengadvokasikan dan memengaruhi penerapan good governance , dalam hal ini ketaatan pada prosedur konstitusional penyusunan UU penetapan Perppu.
Judul dan Pasal 1 ayat (3) huruf b Menyebabkan ruang lingkup UU a quo menjadi sangat luas dan berpotensi memberikan keleluasaan bagi pemerintah untuk menjalankan tindakan-tindakan luar biasa terhadap ancaman keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan yang tidak berkaitan dengan penanganan pandemi Covid-19 dan implikasinya. Hal ini berpotensi menimbulkan penyalahgunaan anggaran negara secara masif, sehingga melanggar hak konstitusional pemohon untuk mengadvokasikan dan memperoleh pengelolaan keuangan negara 19 yang akuntabel dan tepat sasaran untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat di masa pandemi Covid-19. __ 3. Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3; Pasal 2 ayat (1) huruf f jo. Pasal 16 ayat (1) huruf c dan Pasal 19; Pasal 2 ayat (1) huruf g 1. Menghapuskan kontrol dari DPR dan DPD dengan memberikan kekuasaan yang besar bagi pemerintah untuk menentukan batasan defisit anggaran secara sepihak tanpa memerlukan persetujuan DPR dan pertimbangan DPD.
Menghapuskan fungsi pengawasan dan fungsi anggaran DPR dalam hal penerbitan SUN dan SBSN serta mengancam independensi Bank Indonesia karena didorong untuk membeli surat utang melalui pasar primer.
Menghapuskan fungsi pengawasan dan fungsi anggaran DPR, sebab pemerintah diberikan keleluasaan secara sepihak untuk menentukan sumber-sumber pembiayaan anggaran. Mereduksi pengawasan lembaga legislatif dapat berujung pada kesewenang-wenangan dan tindakan koruptif oleh pemerintah, sedangkan ancaman terhadap independensi BI berpotensi menjauhkan dari tujuan pengelolaan kebijakan moneter untuk keuangan negara yang konstitusional. Oleh karena itu, pasal-pasal ini melanggar hak konstitusional pemohon untuk mengadvokasikan dan memperoleh pengelolaan keuangan negara yang akuntabel, transparan, dan tepat sasaran untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat di masa pandemi Covid-19.
Pasal 2 ayat (1) huruf e angka 2 Menghapuskan esensi dana abadi pendidikan, sehingga bertentangan dengan aspek pengelolaan keuangan negara untuk pendidikan. Pasal ini melanggar hak konstitusional pemohon untuk memperoleh pengelolaan keuangan negara yang akuntabel, transparan, dan tepat sasaran untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat di masa pandemi Covid-19. 20 5. Pasal 3 ayat (2) Dapat mereduksi pelaksanaan otonomi daerah, sebab pemerintah pusat berpotensi mendikte pemerintah daerah dalam menentukan detail realokasi anggaran penanganan Covid-19. Pasal ini melanggar hak konstitusional pemohon untuk mengadvokasikan dan memperoleh pengelolaan keuangan daerah yang akuntabel, transparan, dan tepat sasaran untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat di masa pandemi Covid-19.
Pasal 4 ayat (1) huruf a jo. Pasal 5 huruf a dan huruf b; Pasal 4 ayat (1) huruf b, Pasal 4 ayat (2), Pasal 6, dan Pasal 7; Pasal 9 serta Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) 1. Memberikan keringanan pajak tanpa dibarengi dengan larangan PHK akibat Covid-19 dan keringanan pajak semestinya tidak bersifat pukul rata bagi semua badan, melainkan diatur dengan skala paling tinggi sebesar 22%.
Pajak untuk Perdagangan Melalui Sistem Elektronik tidak memenuhi unsur kegentingan yang memaksa terkait penanganan Covid-19 dan semestinya diatur di dalam suatu undang-undang tersendiri agar lebih komprehensif dan memberikan kepastian hukum.
Menghendaki perubahan substansi undang- undang kepabeanan dengan peraturan Menteri. Pasal ini melanggar hak konstitusional pemohon sebagai tax payer karena berpotensi menimbulkan relaksasi pajak dan penggunaan pajak dan bea yang tidak tepat sasaran, serta pengelolaan pajak dan bea yang tidak memberikan jaminan dan kepastian hukum yang adil.
Pasal 12 ayat (1) Pasal ini perlu dibarengi dengan pembentukan akun rekening khusus penanganan Covid-19 untuk memenuhi hak konstitusional pemohon sebagai tax payer agar pemerintah lebih optimal, tepat sasaran, transparan, dan akuntabel dalam mengelola anggaran Covid- 19.
Pasal 23 ayat (1) huruf a Berpotensi disalahgunakan dengan memaksa bank yang sehat untuk bergabung, melebur, mengambil alih, dan berintegrasi dengan bank bermasalah yang diakibatkan kesalahan 21 pengurusan sejak awal, bukan akibat pandemi Covid-19. Dengan demikian, pajak yang dibayarkan oleh pemohon sebagai tax payer berpotensi disalahgunakan untuk tindakan seperti ini dan pemohon pun tidak memperoleh pengelolaan APBN yang akuntabel, transparan, dan tepat sasaran untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat di masa pandemi Covid-19.
Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan (3) Melegitimasi penyelewengan pengelolaan keuangan negara dan membebaskan penyelenggara negara dari jeratan pasal tindak pidana korupsi serta menutup access to justice bagi masyarakat, termasuk para pemohon. Pasal ini mencederai hak konstitusional pemohon untuk mengadvokasikan good governance dan pengelolaan keuangan negara antikorupsi, serta berpotensi menyelewengkan pajak yang pemohon bayarkan sebagai tax payer yang tidak ditujukan untuk penanganan Covid-19 __ 10. Pasal 29 Perlu mengatur tentang pembatasan keberlakukan UU a quo , yaitu hingga status kedaruratan kesehatan masyarakat akibat Covid-19 dicabut agar para pemohon memperoleh kepastian hukum yang adil mengenai batasan waktu pengelolaan keuangan negara untuk Covid-19 berdasarkan mekanisme state of emergency .
Bahwa dalam memperjuangkan dan mewakili kepentingan publik melalui upaya pengujian undang-undang, Para Pemohon (Pemohon I sebagai badan hukum dan Pemohon II sebagai perorangan warga negara Indonesia) pernah mengajukan permohonan Pengujian Undang-Undang di MK dan MK menilai Pemohon I dan Pemohon II memiliki kedudukan hukum, seperti yang tertuang dalam Putusan Perkara Nomor 77/PUU-XIV/2016 dalam Pengujian Undang- Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Sementara itu, Pemohon IV, dalam memperjuangkan dan mewakili kepentingan publik melalui upaya pengujian undang-undang, pernah mengajukan permohonan Pengujian Undang-Undang di MK dan MK menilai 22 Pemohon memiliki kedudukan hukum, seperti tertuang dalam Putusan Perkara Nomor 62/PUU-VIII/2010 dalam Pengujian Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia dan Undang- Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Pemohon IV sebagai salah satu Pemohon dinyatakan memiliki kedudukan hukum ( legal standing );
Bahwa berdasarkan uraian argumentasi di atas, jelas Para Pemohon telah memenuhi kualitas maupun kapasitas sebagai Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, baik secara formil maupun materiil. Oleh karenanya, jelas pula Para Pemohon memiliki hak dan kepentingan hukum mewakili kepentingan publik untuk mengajukan Permohonan Pengujian UU No. 2 Tahun 2020 terhadap UUD 1945. III. TENGGANG WAKTU PENGAJUAN PERMOHONAN PENGUJIAN FORMIL 32. Bahwa berdasarkan Putusan MK Nomor 27/PUU-VII/2009, tanggal 16 Juni 2010, pengujian formil undang-undang hanya dapat diajukan dalam tenggat waktu 45 (empat puluh lima) hari setelah undang-undang dimuat dalam Lembaran Negara. Selengkapnya MK menyatakan: “ [3.34] …Sebuah undang-undang yang dibentuk tidak berdasarkan tata cara sebagaimana ditentukan oleh UUD 1945 akan dapat mudah diketahui dibandingkan dengan undang-undang yang substansinya bertentangan dengan UUD 1945. Untuk kepastian hukum, sebuah undang-undang perlu dapat lebih cepat diketahui statusnya apakah telah dibuat secara sah atau tidak, sebab pengujian secara formil akan menyebabkan undang-undang batal sejak awal. Mahkamah memandang bahwa tenggat 45 (empat puluh lima) hari setelah undang-undang dimuat dalam Lembaran Negara sebagai waktu yang cukup untuk mengajukan pengujian terhadap undang-undang .”;
Bahwa UU No. 2 Tahun 2020 dicatatkan di dalam Lembaga Negara pada 18 Mei 2020, sehingga batas waktu pengajuan permohonan pengujian formil undang-undang a quo ialah tanggal 02 Juli 2020;
Bahwa permohonan a quo pertama didaftarkan pada tanggal 15 Mei 2020 dan perbaikan permohonan diajukan pada tanggal 01 Juli 2020 (berdasarkan akta penerimaan berkas); 23 35. Bahwa berdasarkan uraian di atas, pengajuan permohonan ini masih dalam tenggat waktu pengujian formil sebagaimana dipersyaratkan oleh Putusan MK. IV. ALASAN-ALASAN PERMOHONAN IV-1. ALASAN-ALASAN PENGUJIAN FORMIL 36. Bahwa penilaian terhadap konstitusionalitas suatu undang-undang bertumpu pada dua titik, yaitu penilaian secara materiil dan penilaian secara formil. Penilaian secara materiil ditujukan untuk menilai konstitusionalitas materi muatan undang-undang, sedangkan penilaian secara formil ditujukan untuk menilai konstitusionalitas prosedural pembentukan undang-undang dan hal- hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil. Jimly Asshiddiqie, berdasarkan paham Hans Kelsen, membagi dua jenis judicial review berdasarkan objek yang diuji secara umum ( toetsingrecht ), yaitu meliputi (a) formele toetsingrecht dan materiele toetsingrecht , sehingga dalam judicial review terdapat pula jenis formal judicial review dan materiil judicial review . Bila merujuk pada pendapat Sri Soematri terkait hak menguji formil, hal ini didefinisikan sebagai wewenang untuk menilai apakah suatu produk legislatif seperti undang-undang misalnya terbentuk melalui cara-cara (prosedur) sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak. Jadi, dalam bahasa yang ringkas, review terhadap formalitas suatu produk perundang-undangan adalah pengujian terhadap suatu prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan;
Bahwa pengujian formil, layaknya pengujian materiil, penting untuk ditilik secara serius, sebab ketaatan terhadap proses pembentukan undang- undang ( due process of law-making ) merupakan satu tolak ukur untuk menilai ketaatan pembentuk undang-undang mencerminkan moralitas hukum dengan menjalankan prosedur konstitusional untuk menjaga keberlangsung proses demokrasi. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari konstruksi Indonesia sebagai negara yang berdasarkan pada kedaulatan rakyat (Pasal 1 Ayat [2] UUD 1945) dan sebagai negara hukum (Pasal 1 Ayat [3] UUD 1945). Artinya, proses pembentukan undang-undang mesti sesuai dengan hukum yang berlaku dan mesti menjalankan kehendak rakyat. Selain itu, upaya ini juga merupakan bentuk koreksi dari MK terhadap proses pembentukan undang-undang yang unlawful agar dapat menghasilkan 24 produk hukum yang konstitusional dan berkualitas sebagai kerangka pengaturan bernegara;
Bahwa persoalan pelanggaran formil juga meliputi konsekuensi dari pelanggarannya, yaitu legitimasi atas keberlakuan suatu produk hukum. Jika dalam pengujian formil terbukti bahwa undang-undang tersebut cacat formil, maka akan berdampak pada pembatalan sebuah undang-undang secara keseluruhan;
Bahwa persoalan prosedural yang timbul dalam proses penetapan Perppu No. 1 Tahun 2020 menjadi UU No. 2 Tahun 2020 ialah:
tidak dilibatkannya DPD dalam proses pembahasan untuk menentukan apakah undang-undang disetujui atau tidak;
rapat virtual yang berpotensi tidak dihadiri secara konkret;
Bahwa sebagaimana dipertimbangkan dalam Putusan MK Nomor 27/PUU- VII/2009, tanggal 16 Juni 2010, ketika UUD 1945 tidak secara lengkap mengatur tentang prosedur pembentukan undang-undang, maka penilaian terhadap pengujian formil undang-undang dapat didasarkan pada undang- undang, tata tertib produk lembaga negara, dan peraturan perundang- undangan yang mengatur mekanisme atau formil-prosedural yang mengalir dari delegasi kewenangan menurut konstitusi. Selengkapnya, MK mengungkapkan: “ [3.19] Menimbang bahwa oleh karenanya sudah sejak Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003, Mahkamah berpendapat Peraturan Tata Tertib DPR RI Nomor 08/DPR RI/I/2005.2006 (yang selanjutnya disebut Tatib DPR) adalah merupakan bagian yang sangat penting dalam perkara a quo untuk melakukan pengujian formil UU 3/2009 terhadap UUD 1945, karena hanya dengan berdasarkan Peraturan Tata Tertib tersebut dapat ditentukan apakah DPR telah memberikan persetujuan terhadap RUU yang dibahasnya sebagai syarat pembentukan undang- _undang yang diharuskan oleh UUD 1945; _ Terkait dengan hal-hal tersebut, menurut Mahkamah jika tolok ukur pengujian formil harus selalu berdasarkan pasal-pasal UUD 1945 saja, maka hampir dapat dipastikan tidak akan pernah ada pengujian formil karena UUD 1945 hanya memuat hal-hal prinsip dan tidak mengatur secara jelas aspek formil-proseduralnya. Padahal dari logika tertib tata hukum sesuai dengan konstitusi, pengujian secara formil itu harus dapat dilakukan. Oleh sebab itu, sepanjang undang-undang, tata tertib produk lembaga negara, dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mekanisme atau formil-prosedural itu mengalir dari delegasi kewenangan menurut konstitusi, maka peraturan perundang-undangan itu dapat dipergunakan atau dipertimbangkan sebagai tolok ukur atau 25 batu uji dalam pengujian formil ”; (Putusan MK Nomor 27/PUU-VII/2009, hlm. 83);
Bahwa selain itu, merujuk kepada Pasal 51A ayat (3) UU No. 8 Tahun 2011, “ Dalam hal permohonan pengujian berupa permohonan pengujian formil, pemeriksaan dan putusan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan ”; A. Tidak Adanya Keterlibatan DPD dalam Pembahasan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang Telah Ditetapkan dalam UU Nomor 2 Tahun 2020 Bertentangan dengan Prinsip Negara Hukum, Prinsip Kedaulatan Rakyat, dan Kewenangan Legislasi DPD 42. Bahwa terdapat pelanggaran konstitusional pada tahapan pembahasan untuk mempertimbangkan persetujuan atau ketidaksetujuan terhadap Perppu No. 1 Tahun 2020, khususnya pelanggaran terhadap Pasal 1 Ayat (2), Pasal 1 Ayat (3), dan Pasal 22D Ayat (1) UUD 1945, sebab DPD tidak berperan untuk ikut membahas dan memberikan pertimbangan. Selengkapnya pasal- pasal tersebut berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang- Undang Dasar. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Negara Indonesia adalah negara hukum. Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 DPD ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama. Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD.
Bahwa objek pembahasan RUU ialah tentang penetapan Perppu No. 1 Tahun 2020. Merujuk pada Pasal 22 UUD 1945, perppu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan berikutnya. Jika tidak, maka peraturan 26 pemerintah itu harus dicabut. Adapun, menurut Pasal 52 ayat (1) dan (2) UU No. 12 Tahun 2011 sebagai undang-undang delegasi pengaturan tentang pembentukan peraturan perundang-undangan berdasarkan Pasal 22A UUD 1945, pengajuan perppu ke DPR dilakukan dalam bentuk pengajuan Rancangan Undang-Undang tentang penetapan Perppu Menjadi Undang- Undang. Selengkapnya, pasal tersebut berbunyi sebagai berikut: Pasal 22 UUD 1945 (1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.
Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut. Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut.
Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk pengajuan Rancangan Undang-Undang tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang;
Bahwa UUD 1945, utamanya Pasal 22, tidak mengatur secara eksplisit peran DPD dalam pembahasan Perppu. Namun demikian, dalam Perppu No. 1 Tahun 2020, secara jelas terdapat materi muatan yang merupakan bagian dari kewenangan pembahasan dan pemberian pertimbangan oleh DPD yang termaktub dalam Pasal 22D Ayat (2) dan Pasal 23 Ayat (2) UUD 1945. Apalagi, menurut Pasal 71 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011, mekanisme pembahasan RUU tentang penetapan Perppu dilaksanakan melalui mekanisme yang sama dengan pembahasan rancangan undang-undang. Selengkapnya sebagai berikut: Pasal 71 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 “Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dilaksanakan melalui mekanisme yang sama dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang” 45. Bahwa keterlibatan DPD dalam ikut membahas dan memberikan pertimbangan soal persetujuan atau ketidaksetujuan terhadap Perppu No. 1 Tahun 2020 adalah krusial, sebab dalam Perppu ini, setidaknya terdapat 6 27 (enam) materi yang meliputi ruang lingkup kewenangan pembahasan dan pertimbangan DPD, yaitu: Tabel III Materi Pengaturan dan Potensi Peran Konstitusional DPD No. Pasal Materi Pengaturan Tema Pengaturan Potensi Peran Konstitusional DPD Materi yang termasuk objek pengujian para pemohon 1. Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3 Kekuasaan yang besar bagi pemerintah untuk menentukan batasan defisit anggaran secara sepihak tanpa memerlukan persetujuan DPR dan pertimbangan DPD Materi UU APBN Memberikan pertimbangan RUU (Pasal 23 Ayat [2] UUD 1945) 2. Pasal 2 ayat (1) huruf e angka 2 Dana abadi pendidikan dapat dialokasikan untuk penanganan Covid-19 Pendidikan Memberikan pertimbangan RUU (Pasal 22D Ayat [2] UUD 1945) 3. Pasal 3 ayat (2) Kebijakan di bidang keuangan daerah Otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah Ikut membahas RUU (Pasal 22D Ayat [2] UUD 1945) 4. Pasal 4 ayat (1) huruf a jo. Pasal 5 huruf a dan huruf b Penyesuaian tarif pajak penghasilan wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap Pajak Memberikan pertimbangan RUU (Pasal 22D Ayat [2] UUD 1945) 5. Pasal 4 ayat (1) huruf b, Pasal 4 ayat (2), Pasal 6, dan Pasal 7 Pajak untuk Perdagangan Melalui Sistem Elektronik Pajak Memberikan pertimbangan RUU (Pasal 22D Ayat [2] UUD 1945) Materi yang tidak termasuk objek pengujian Para Pemohon 6. Pasal 28 Pencabutan sejumlah ketentuan UU lainnya Pajak, perimbangan Ikut membahas dan 28 sepanjang berkaitan dengan ketentuan dalam UU a quo keuangan antara pusat dan daerah, otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, dan APBN memberikan pertimbangan RUU (Pasal 22D Ayat [2] dan Pasal 23 Ayat [2] UUD 1945) Bahwa keterlibatan DPD dalam pembahasan penetapan perppu harus ditafsirkan secara sistematis dengan menarik benang merah antara Pasal 22 dan Pasal 22D UUD 1945, sehingga seharusnya DPD dapat turut berperan dalam pembahasan Perppu yang telah disahkan menjadi UU a quo . Apalagi, dalam Perppu a quo , aspek-aspek yang diatur meliputi koor bisnis DPD yang diatur secara eksplisit oleh UUD 1945. Dengan demikian, pelibatan DPD dalam rangka melaksanakan checks and balances terhadap kekuasaan eksekutif dalam penerbitan perppu di masa darurat tidak dapat dinihilkan;
Bahwa MK pun telah berulang kali memperkuat posisi tawar DPD dalam menjalankan fungsi checks and balances berupa pelaksanaan fungsi legislasi melalui Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012, tanggal 27 Maret 2013 dan Putusan MK Nomor 79/PUU-XII/2014, tanggal 22 September 2015. Secara khusus, dalam Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012, tanggal 27 Maret 2013, MK telah membuka ruang bagi DPD untuk turut serta dalam pembahasan perppu, khususnya untuk mencabut Perppu tertentu. Dalam putusan tersebut, MK menafsirkan sebagai berikut: [Amar Putusan, 1.18.27] “ Pasal 71 ayat (3) [UU No. 12 Tahun 2011] bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Ketentuan mengenai mekanisme khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) _dilaksanakan dengan tata cara sebagai berikut: _ a. RUU tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diajukan oleh DPR, Presiden, atau DPD dalam hal RUU berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan _daerah; _ dst. ” (cetak tebal oleh MK. Putusan MK Nomor 92/PUU- X/2012, hlm. 263-264) __ 47. Bahwa tidak dilibatkannya DPD dalam pembahasan perppu yang substansinya berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintah daerah mereduksi nilai-nilai rule of law (Pasal 1 Ayat [3] UUD 1945). Salah satu 29 aspek kristalisasi dari nilai rule of law ialah adanya pembatasan kekuasaan. Dlam hal ini, praktik pembatasan-pembatasan kekuasaan melalui fungsi checks and balances kekuasaan DPD dikurangi akibat ketiadaan peran DPD untuk ikut membahas dan memberikan pertimbangan terhadap isu tidak diaplikasikan secara maksimal;
Bahwa selain itu, DPD juga membawa amanat representasi regional rakyat sebagai wujud kedaulatan rakyat dalam Pasal 1 Ayat [2] UUD 1945. Kondisi darurat kesehatan masyarakat akibat Covid-19 di Indonesia memberikan dampak sosial, kesehatan, ekonomi, dan lain sebagainya hingga ke level regional. Tak ada satu provinsi pun di Indonesia yang luput dari penyebaran Covid-19. Peran DPD di sini sangat krusial untuk menerjemahkan aspirasi dan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam menghadapi Covid-19;
Bahwa dalam praktik ketatanegaraan Indonesia pun, DPD telah turut serta dalam pembahasan perppu, misalnya dalam pembahasan Perppu Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ( vide Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012) dan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota ( vide Uji Agung Santosa [ed], Hari Ini DPD Bahas UU dan Dua Perppu Pilkada , <https: //nasional.kontan.co.id/news/hari-ini-dpd-bahas-uu-dan-dua-perppu- pilkada>, diakses pada [28/06/2020], 2014; Koran Sindo, DPD Siap Kawal Perppu Pilkada , <https: //nasional.sindonews.com/berita/950253/149/dpd- siap-kawal-perppu-pilkada>, diakses pada [28/06/2020], 2015). Bahkan saat ini, Komite I DPD pun gencar merespon Perppu Nomor 2 Tahun 2020 yang mengatur tentang penundaan pemilihan kepala daerah di masa pandemi Covid-19 sebagaimana tertuang dalam Surat DPD RI No. PU.04/1097/DPDRI/VI/2020 tentang Pernyataan Sikap Penolakan terhadap Penyelenggaraan Pilkada Serentak Tahun 2020 ( vide Kalteng Pos, Komite I DPD RI Sepakat Menolak Pelaksanaan Pilkada Desember 2020 , <https: //kaltengpos.co/berita/-47238- Komite_I_DPD_RI_Sepakat_Menolak_Pelaksanaan_Pilkada_Desember_20 20.html>, diakses pada [28/06/2020], 2020). Praktik ketatanegaraan ini membuktikan bahwa tidak ada alasan yang dapat menegasikan peran DPD 30 dalam pembahasan perppu, terutama Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang telah ditetapkan dengan UU Nomor 2 Tahun 2020;
Bahwa dengan demikian, tidak terlibatnya DPD dalam pembahasan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang telah ditetapkan dengan UU Nomor 2 Tahun 2020 merupakan suatu kecacatan formil pembentuk undang-undang, sehingga pembentukan UU Nomor 2 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (2), Pasal 1 Ayat (3), Pasal 22D Ayat (2), dan Pasal 23 Ayat (2) UUD 1945. B. Pengambilan Keputusan Melalui Rapat Virtual Berpotensi Melanggar Kedaulatan Rakyat 51. Bahwa pandemi Covid-19 mendorong modernisasi penggunaan teknologi untuk menunjang kebutuhan manusia di berbagai aspek, tidak terkecuali DPR. Pasca ditetapkan status kedaruratan kesehatan masyarakat, DPR mengubah pola kinerja dan komunikasi dengan model jarak jauh secara daring atau virtual. Perubahan ini dilakukan dengan merevisi Peraturan Tata Tertib DPR RI yang memperbolehkan rapat dilaksanakan secara virtual dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi ( vide Marselinus Gual, Aturan Rapat Virtual di DPR , <https: //www.alinea.id/infografis/aturan- rapat-virtual-di-dpr-b1ZLo9thY>, diakses pada [29/06/2020], 2020). Aturan mengenai kuorum pun juga berubah, yaitu adanya syarat rapat paripurna harus ada kehadiran fisik paling sedikit tiga pimpinan DPR dan separuh lebih anggota hadir untuk memenuhi kuorum ( vide Irfan Fathurohman, Keputusan secara Virtual, Jimly Sebut Paripurna DPR Langgar Demokrasi , <https: //www.idntimes.com/news/indonesia/irfanfathurohman/keputusan- secara-virtual-jimly-sebut-paripurna-dpr-langgar-demokrasi/1>, diakses pada [29/06/2020], 2020). Lalu, berdasarkan keterangan tertulis Ketua DPR RI Puan Maharani kepada Tempo, anggota yang tidak hadir secara fisik dalam rapat dapat mengikuti jalannya rapat melalui live streaming di TV Parlemen dan virtual melalui aplikasi Zoom room meeting ( vide Budiarti Utami Putri, Ketua DPR Sebut Rapat Paripurna Tetap Harus Kuorum Meski Virtual , <https: //nasional.tempo.co/read/1325381/ketua-dpr-sebut-rapat-paripurna- tetap-harus-kuorum-meski-virtual/full&view=ok>, diakses pada [29/06/2020], 2020). Pemohon hanya dapat mengutip aturan Revisi Tata Tertib DPR RI secara parsial berdasarkan pemberitaan media, sebab hingga perbaikan permohonan ini disampaikan ke MK, aturan tersebut masih tidak dapat 31 diakses, baik melalui website DPR maupun permohonan ke Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Sekretariat Jenderal DPR;
Bahwa praktik rapat virtual ini pun terjadi dalam rapat pembahasan penetapan Perppu No. 1 Tahun 2020 menjadi undang-undang, yaitu pada Pembicaraan Tingkat I di Badan Anggaran DPR pada 04 Mei 2020 ( vide Antara News, Banggar DPR Setujui Perppu COVID-19 Jadi UU , <https: //www.antaranews.com/berita/1466313/banggar-dpr-setujui-perppu- covid-19-jadi-uu>, diakses pada [27/06/2020], 2020) dan Pembicaraan Tingkat II di Rapat Paripurna Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2020 Menjadi UU pada 12 Mei 2020 ( vide DPR RI, Video Live Streaming – Rapat Paripurna DPR RI Ke-15 Masa Persidangan III Tahun Sidang 2019-2020 , < https: //www.youtube.com/watch?v=vt6OefngMXU&t=9626s>, diakses pada [25/06/2020], 2020);
Bahwa pelanggaran konstitusional terhadap penggunaan rapat virtual muncul ketika kehadiran anggota DPR dalam rapat virtual tidak dapat betul-betul dipastikan. Benar, pada Rapat Paripurna Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2020 Menjadi UU, peserta yang hadir memenuhi kuorum, yaitu terdapat 296 anggota dengan 255 hadir secara virtual dan 41 hadir secara fisik. Namun demikian, tidak dapat dipastikan apakah yang bersangkutan benar-benar hadir mengikuti rapat, bisa saja sekadar log in untuk sekadar absen, kemudian log out untuk melakukan kegiatan lain. Bisa jadi juga akun yang digunakan tetap stand by , tetapi yang bersangkutan tidak betul-betul mengikuti jalannya rapat. Atau yang lebih fatal, yang bersangkutan hanya mengikuti rapat melalui live streaming di kanal TV Parlemen atau di Youtube. Kondisi demikian akan merambat dan berakibat fatal kepada agenda-agenda persidangan setelahnya, seperti dalam hal pengambilan keputusan. Anggota yang tidak benar-benar hadir secara konkret akan melewatkan penyampaian pandangan dan suaranya mengenai problem tertentu;
Bahwa menurut Para Pemohon, adanya potensi kehadiran secara tidak konkret dan sekadar “titip absen” bernilai inkonstitusional karena telah mereduksi esensi pelaksanaan mandat rakyat yang dititipkan kepada para wakilnya di DPR dan juga mereduksi nilai-nilai demokrasi, sebagaimana dikristalkan dalam Pasal 1 Ayat [2] UUD 1945. Kehadiran konkret menjadi kompas untuk mengarahkan konstitusionalitas suatu pembahasan legislasi. 32 Menurut Hakim Konstitusi Saldi Isra yang berkapasitas sebagai ahli dalam Putusan MK Nomor 27/PUU-VII/2009, tanggal 16 Juni 2010, halaman 28, terdapat tiga alasan mendasar mengapa kehadiran secara konkret penting:
sebagai bentuk konkret dari pelaksanaan konsep perwakilan rakyat. Sekiranya anggota perwakilan rakyat (sebagai representasi rakyat) tidak hadir dalam proses pengambilan keputusan, rakyat sebenarnya absen dalam pengambilan keputusan penting dan strategis;
memberikan kesempatan bagi anggota lembaga legislatif yang sejak semula tidak ikut membahas sebuah rancangan keputusan penting (misalnya rancangan Undang- Undang) karena mekanisme internal lembaga legislatif menyerahkan kepada bagian yang mengurusi bidang tertentu; dan
untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya penentuan/pengambilan putusan akhir keputusan akhir melalui mekanisme pemungutan suara ( voting ). Jika pengambilan keputusan melalui voting tidak terhindarkan, setidaknya sesuai dengan persyaratan minimal yang diperlukan, sebagaimana dikemukakan dalam Black's Law Dictionary dan Robert L. Madex bahwa anggota lembaga legislatif must be present terutama to pass certain types of legislation ;
Bahwa pengujian formil terhadap rapat virtual bukanlah resistensi Para Pemohon terhadap pemanfaatan teknologi dan informasi. Para Pemohon justru mendukung digitalisasi untuk mempermudah kinerja penyelenggara negara dan pelayanan publik bagi masyarakat. Namun demikian, aturan main dari penggunaan teknologi harus ditetapkan secara tegas dan menutup ruang bagi penyimpangan-penyimpangan yang mengurangi esensi kedaulatan rakyat dan pelaksanaan demokrasi konstitusional;
Bahwa dengan demikian, pengambilan keputusan melalui rapat virtual tanpa kehadiran konkret berpotensi cacat formil dan melanggar Pasal 1 Ayat [2] UUD 1945. IV-2. ALASAN-ALASAN PENGUJIAN MATERIIL 57. Bahwa pengujian materiil pada perkara a quo ditujukan untuk menguji konstitusionalitas Lampiran UU No. 2 Tahun 2020, khususnya bagian Judul; Pasal 1 ayat (3); Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3; Pasal 2 ayat (1) huruf e angka 2; Pasal 2 ayat (1) huruf f; Pasal 2 ayat (1) huruf g; Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 ayat (1) huruf a; Pasal 4 ayat (2);