JDIHN LogoKemenkeu Logo
  • Dokumen Hukum
    • Peraturan
    • Monografi
    • Artikel Hukum
    • Putusan Pengadilan
  • Informasi
    • Regulasi
      • Infografis Regulasi
      • Simplifikasi Regulasi
      • Direktori Regulasi
      • Video Sosialisasi
      • Kamus Hukum
    • Informasi Penunjang
      • Tarif Bunga
      • Kurs Menteri Keuangan
      • Berita
      • Jurnal HKN
      • Statistik
  • Perihal
    • Tentang Kami
    • Struktur Organisasi
    • Anggota JDIHN
    • Prasyarat
    • Kebijakan Privasi
    • FAQ
    • Website Lama
    • Hubungi Kami
  • Situs Lama
JDIHN LogoKemenkeu Logo
  • Situs Lama

Filter

Jenis Dokumen Hukum
Publikasi
Status
Tajuk Entri Utama
Nomor
Tahun
Tema
Label
Tersedia Konsolidasi
Tersedia Terjemahan

FAQ
Prasyarat
Hubungi Kami
Kemenkeu Logo

Hak Cipta Kementerian Keuangan.

  • Gedung Djuanda I Lantai G Jl. Dr. Wahidin Raya No 1 Jakarta 10710
  • Email:jdih@kemenkeu.go.id
  • Situs JDIH Build No. 12824
JDIH Kemenkeu
  • Profil
  • Struktur Organisasi
  • Berita JDIH
  • Statistik
  • Situs Lama
Tautan JDIH
  • JDIH Nasional
  • Sekretariat Negara
  • Sekretariat Kabinet
  • Kemenko Perekonomian
  • Anggota Lainnya
Temukan Kami
Ditemukan 965 hasil yang relevan dengan "kebijakan fiskal untuk pelaku usaha "
Dalam 0.018 detik
Thumbnail
HUKUM KEUANGAN NEGARA | BIDANG FISKAL
PMK 9 TAHUN 2024

Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Bat ...

  • Ditetapkan: 12 Feb 2024
  • Diundangkan: 15 Feb 2024

Relevan terhadap

Pasal 2Tutup
(1)

PPnBM yang terutang atas impor KBL Berbasis Baterai CBU Roda Empat tertentu oleh Pelaku Usaha ditanggung Pemerintah untuk tahun anggaran 2024.

(2)

PPnBM yang terutang atas penyerahan KBL Berbasis Baterai Roda Empat tertentu yang berasal dari produksi KBL Berbasis Baterai CKD Roda Empat oleh Pelaku Usaha ditanggung Pemerintah untuk tahun anggaran 2024.

(3)

Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

(4)

KBL Berbasis Baterai CBU Roda Empat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan KBL Berbasis Baterai Roda Empat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan KBL Berbasis Baterai Roda Empat yang memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi yang mengatur mengenai pedoman dan tata kelola pemberian insentif impor dan/atau penyerahan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai roda empat dalam rangka percepatan investasi.

(5)

Pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibuktikan dengan surat persetujuan pemanfaatan insentif impor dan/atau penyerahan KBL Berbasis Baterai Roda Empat yang diterbitkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi.

MenimbangTutup
a.

bahwa untuk mendorong kebijakan pemerintah dalam melakukan peralihan dari penggunaan energi fosil ke energi listrik, menarik minat investasi, meningkatkan produksi kendaraan bermotor listrik berbasis baterai di dalam negeri, dan mendukung program percepatan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai, perlu dukungan pemerintah berupa kebijakan pemberian insentif fiskal;

b.

bahwa sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai ( Battery Electric Vehicle ) untuk Transportasi Jalan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai ( Battery Electric Vehicle ) untuk Transportasi Jalan, salah satu insentif fiskal yang dapat diberikan pemerintah berupa pajak penjualan atas barang mewah atas impor dan/atau penyerahan barang kena pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor listrik berbasis baterai roda empat tertentu ditanggung pemerintah;

c.

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 19A ayat (5) Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai ( Battery Electric Vehicle ) untuk Transportasi Jalan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai Roda Empat Tertentu yang Ditanggung Pemerintah Tahun Anggaran 2024;

Pasal 1Tutup

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1.

Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPN adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

2.

Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang selanjutnya disebut PPnBM adalah Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPN.

3.

Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan barang kena pajak dan/atau penyerahan jasa kena pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN.

4.

Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan barang kena pajak atau penyerahan jasa kena pajak.

5.

Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi wajib pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu sebagaimana ditentukan dalam Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

6.

Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai Roda Empat yang selanjutnya disebut KBL Berbasis Baterai Roda Empat adalah kendaraan beroda empat yang digerakkan dengan motor listrik dan mendapatkan pasokan sumber daya tenaga listrik dari baterai secara langsung di kendaraan maupun dari luar.

7.

KBL Berbasis Baterai Dalam Keadaan Utuh ( Completely Built-Up ) Roda Empat yang selanjutnya disebut KBL Berbasis Baterai CBU Roda Empat adalah kendaraan bermotor yang diimpor dalam keadaan utuh sebagai KBL Berbasis Baterai Roda Empat.

8.

KBL Berbasis Baterai Dalam Keadaan Terurai Lengkap ( Completely Knocked-Down ) Roda Empat yang selanjutnya disebut KBL Berbasis Baterai CKD Roda Empat adalah kendaraan bermotor yang diimpor dalam keadaan terurai dan lengkap sebagai KBL Berbasis Baterai Roda Empat.

9.

Pelaku Usaha adalah perusahaan yang berbadan hukum di Indonesia yang melakukan kegiatan usaha di bidang industri atau manufaktur yang memproduksi KBL Berbasis Baterai Roda Empat, baik yang dilakukan sendiri atau dalam rangka kontrak melalui kerja sama produksi dengan industri perakitan kendaraan bermotor dan/atau industri perakitan pemegang merek KBL Berbasis Baterai Roda Empat lainnya.

10.

Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan barang kena pajak dan/atau penyerahan jasa kena pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.

11.

Tingkat Komponen Dalam Negeri yang selanjutnya disingkat TKDN adalah besaran kandungan dalam negeri pada KBL Berbasis Baterai.

Thumbnail
DUKUNGAN PEMERINTAH | SINERGI PENDANAAN
PMK 84 TAHUN 2024

Dukungan Pemerintah untuk Sinergi Pendanaan oleh Pemerintah Daerah

  • Ditetapkan: 25 Okt 2024
  • Diundangkan: 02 Des 2024

Relevan terhadap

MenimbangTutup

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 86 ayat (7) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2024 tentang Harmonisasi Kebijakan Fiskal Nasional, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Dukungan Pemerintah untuk Sinergi Pendanaan oleh Pemerintah Daerah;

Pasal 1Tutup

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1.

Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.

2.

Kepala Daerah adalah gubernur bagi daerah otonom provinsi atau bupati bagi daerah otonom kabupaten atau wali kota bagi daerah otonom kota.

3.

Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

4.

Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

5.

Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.

6.

Sinergi Pendanaan adalah sinergi sumber-sumber pendanaan dari anggaran pendapatan dan belanja Daerah dan selain anggaran pendapatan dan belanja Daerah dalam rangka pelaksanaan program prioritas nasional dan/atau Daerah.

7.

Rencana Sinergi Pendanaan adalah dokumen rencana pelaksanaan Sinergi Pendanaan yang ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah.

8.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

9.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

10.

Transfer ke Daerah yang selanjutnya disingkat TKD adalah dana yang bersumber dari APBN dan merupakan bagian dari belanja negara yang dialokasikan dan disalurkan kepada Daerah untuk dikelola oleh Daerah dalam rangka mendanai penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.

11.

Infrastruktur adalah fasilitas teknis, fisik, sistem, perangkat keras, dan lunak yang diperlukan untuk melakukan pelayanan kepada masyarakat dan mendukung jaringan struktur agar pertumbuhan ekonomi dan sosial masyarakat dapat berjalan dengan baik.

12.

Pembiayaan Utang Daerah yang selanjutnya disingkat PUD adalah setiap penerimaan Daerah yang harus dibayar kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya.

13.

Kerja sama Pemerintah Daerah dan Badan Usaha yang selanjutnya disingkat KPDBU adalah kerja sama antara pemerintah daerah dan badan usaha dalam Penyediaan Infrastruktur untuk kepentingan umum dengan mengacu pada spesifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya oleh Kepala Daerah selaku Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK), yang sebagian atau seluruhnya menggunakan sumber daya badan usaha dengan memperhatikan pembagian risiko di antara para pihak.

14.

Kapasitas Fiskal Daerah adalah kemampuan keuangan masing-masing daerah yang dihitung berdasarkan formula yang ditetapkan oleh Menteri untuk berbagai kepentingan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Thumbnail
PAJAK PENGHASILAN | WAJIB PAJAK BADAN
PMK 69 TAHUN 2024

Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2020 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan ...

  • Ditetapkan: 08 Okt 2024
  • Diundangkan: 09 Okt 2024

Relevan terhadap

MemutuskanTutup

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 130/PMK.010/2020 TENTANG PEMBERIAN FASILITAS PENGURANGAN PAJAK PENGHASILAN BADAN. Pasall Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2020 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 1088), diubah sebagai berikut:

1.

Ketentuan angka 1 Pasal 1 diubah, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1.

Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 ten tang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang- Undang. 2. Industri Pionir adalah industri yang memiliki keterkaitan yang luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional. 3. Kegiatan Usaha Utama adalah bidang usaha dan jenis produksi sebagaimana tercantum dalam izin prinsip, izin investasi, pendaftaran penanaman modal, atau izin usaha Wajib Pajak pada saat pengajuan permohonan pengurangan Pajak Penghasilan badan, termasuk perluasan dan perubahannya sepanjang termasuk dalam kriteria Industri Pionir. 4. Saat Mulai Berproduksi Komersial adalah saat pertama kali hasil produksi dari Kegiatan U saha Utama dijual ke pasaran dan/atau digunakan sendiri untuk proses produksi lebih lanjut. 5. Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik atau Online Single Submission yang selanjutnya disingkat ass adalah perizinan berusaha yang diterbitkan oleh Lembaga ass untuk dan atas nama menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/walikota kepada pelaku usaha melalui sistem elektronik yang terintegrasi. 6. Lembaga Pengelola dan Penyelenggara ass yang selanjutnya disebut Lembaga ass adalah lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal.

Thumbnail
HUKUM KEUANGAN NEGARA | BIDANG BEA CUKAI
PP 54 TAHUN 2023

Penghentian Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Cukai untuk Kepentingan Penerimaan Negara

  • Ditetapkan: 22 Nov 2023
  • Diundangkan: 22 Nov 2023
Thumbnail
BIDANG KEKAYAAN NEGARA | HUKUM KEUANGAN NEGARA
UU 1 TAHUN 2025

Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara

  • Ditetapkan: 24 Feb 2025
  • Diundangkan: 24 Feb 2025

Relevan terhadap

Pasal 38Tutup

Ayat (1) Menteri sebagai perwakilan pemilik modal Perum menetapkan kebijakan pengembangan Perum yang bertujuan menetapkan arah dalam mencapai tujuan perusahaan baik menyangkut kebUakan investasi, pembiayaan usaha, sumber pembiayaannya, penggunaan basil usaha perusahaan, dan kebijakan pengembangan lainnya. Mengingat Dewan Pengawas akan mengawasi pelaksanaan kebijakan tersebut, usulan Direksi Perum kepada Menteri harus didahului dengan persetujuan dari Dewan Pengawas. Angka 74 Menteri sangat berkepentingan dengan modal negara yang tertanam dalam Perum untuk dapat dikembangkan. Untuk itu masalah investasi, pembiayaan, serta pemanfaatan basil usaha Perum perlu diarahkan dengan jelas dalam suatu kebijakan pengembangan perusahaan. Dalam rangka memberikan persetujuan atas usul Direksi Perum tersebut, Menteri dapat mengadakan pembicaraan hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan sektoral. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 56eTutup
(1)

Jabatan anggota Dewan Pengawas berhenti apabila:

a.

meninggal dunia atau berhalangan tetap;

b.

masa jabatannya berakhir; atau

c.

diberhentikan sebelum masa jabatannya berakhir karena tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56A atau diberhentikan oleh Menteri.

(2)

Dalam hal anggota Dewan Pengawas diberhentikan sebelum jabatannya berakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, Menteri wajib memberi kesempatan pada Dewan Pengawas yang bersangkutan untuk membela diri. Pasal 56F (1) Dewan Pengawas melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai Perum maupun usaha Perum, dan memberi nasihat kepada Direksi Perum.

(2)

Pengawasan dan pemberian nasihat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk kepentingan Perum dan sesuai dengan tujuan Perum.

Pasal 27eTutup
(1)

Jabatan anggota Dewan Komisaris berhenti apabila:

a.

meninggal dunia atau berhalangan tetap;

b.

masa jabatannya berakhir; atau

c.

diberhentikan sebelum masa jabatannya berakhir karena tidak la.gi memenuhi persyaratan sebagai Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A atau diberhentikan oleh RUPS. (2) Dalam hal anggota Dewan Komisaris diberhentikan sebelum ja.batannya berakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, RUPS wajib memberi kesempatan pada Dewan Komisaris yang bersangkutan untuk membela diri. Pasal 27F (1) Dewan Komisaris melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai Persero : maupun usaha Persero, dan memberi nasihat kepada Direksi Persero. (2) Pengawasan dan pemberian nasihat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk kepentingan Persero dan sesuai dengan tujuan Persero. (3) Dewan Komisaris dalam melakukan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkewajiban untuk:

a.

memberikan pendapat dan saran kepada RUPS mengenai rencana kerja yang diusulkan Direksi Persero;

b.

mengikuti perkembangan kegiatan Persero, memberikan pendapat dan saran kepada RUPS mengenai setiap masalah yang dianggap penting bagi pengurusan Persero;

c.

melaporkan dengan segera kepada pemegang saham apabila terjadi gejala menurunnya kinerja Persero;

d.

memberikan nasihat kepada Direksi Persero dalam melaksanakan pengurusan Persero; dan

e.

melakukan tugas pengawasan lain yang ditetapkan anggaran dasar Persero dan/atau berdasarkan keputusan RUPS.

Thumbnail
NERACA KOMODITAS | HUKUM KEUANGAN NEGARA
PERPRES 32 TAHUN 2022

Neraca Komoditas

  • Ditetapkan: 21 Feb 2022
  • Diundangkan: 21 Feb 2022

Relevan terhadap 5 lainnya

Pasal 7Tutup
(1)

Rencana Kebutuhan disusun berdasarkan usulan kebutuhan dari Pelaku Usaha.

(2)

Usulan kebutuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Pelaku U saha melalui SNANK.

(3)

Usulan kebutuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kebutuhan untuk tahun berikutnya setelah penetapan Neraca Komoditas.

Pasal 17Tutup

Pelaku Usaha mengajukan permohonan perizinan berusaha untuk menunjang kegiatan usaha di bidang Ekspor dan di bidang Imper kepada menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian terkait melalui SNANK. jdih.kemenkeu.go.id

Pasal 10Tutup
(1)

Setelah menerima usulan kebutuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) atau mengakses usulan kebutuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4), kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian pembina sektor komoditas dapat melakukan verifikasi berdasarkan manajemen risiko.

(2)

Hasil dari verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat rincian data dan informasi mengenai:

a.

profil perusahaan;

b.

data produksi untuk Pelaku Usaha manufaktur;

c.

data Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong;

d.

data distribusi;

e.

data dokumen syarat/ data khusus; dan/atau

f.

kesimpulan hasil verifikasi.

(3)

Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi standar SNANK.

(4)

Pelaksanaan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh:

a.

unit kerja pada kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian pembina sektor komoditas;

b.

dinas daerah yang menangani komoditas terkait; atau

c.

lem baga pelaksana verifikasi independen. jdih.kemenkeu.go.id (5) Pelaksana verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditunjuk oleh menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian pembina sektor komoditas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(6)

Pelaksanaan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a clan huruf b dibiayai dari:

a.

anggaran pendapatan dan belanja negara; atau

b.

Pelaku Usaha, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

(7)

Pelaksanaan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c dibiayai oleh Pelaku Usaha yang dibayarkan kepada lembaga pelaksana verifikasi independen.

(8)

Biaya verifikasi yang dibebankan kepada Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b yang dibayarkan kepada unit kerja pada kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian pembina sektor komoditas merupakan penerimaan negara bukan pajak yang mengacu pada peraturan perundang-undangan mengenai penerimaan negara bukan pajak.

(9)

Dalam hal Pelaku Usaha mengajukan usulan kebutuhan untuk 2 (dua) atau lebih komoditas, verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan oleh 1 (satu) pelaksana verifikasi.

Thumbnail
BIDANG BEA CUKAI | HUKUM KEUANGAN NEGARA
PMK 41 TAHUN 2024

Pembebasan Bea Masuk atas Impor Bibit dan Benih untuk Pembangunan dan Pengembangan Industri Pertanian, Peternakan, atau Perikanan ...

  • Ditetapkan: 21 Jun 2024
  • Diundangkan: 04 Jul 2024

Relevan terhadap 4 lainnya

Pasal 13Tutup
(1)

Pelaku Usaha mengajukan pemberitahuan kesiapan pemeriksaan fisik kepada Kepala Kantor Pabean tempat penyelesaian kewajiban pabean setelah mendapatkan izin pemusnahan Bibit dan Benih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3).

(2)

Pejabat bea dan cukai yang ditunjuk melakukan pemeriksaan fisik terhadap barang yang akan dimusnahkan setelah menerima pemberitahuan kesiapan pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3)

Hasil pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam laporan hasil pemeriksaan fisik.

(4)

Dalam hal hasil pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dinyatakan sesuai, pemusnahan Bibit dan Benih dilakukan oleh pihak yang ditunjuk Pelaku Usaha dengan disaksikan oleh:

a.

perwakilan Pelaku Usaha;

b.

pejabat bea dan cukai; dan

c.

perwakilan dari kementerian terkait yang memberikan rekomendasi untuk dapat diberikan pembebasan bea masuk, serta dituangkan dalam berita acara pemusnahan.

(5)

Pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan cara merusak Bibit dan Benih sehingga menjadi tidak dapat dimanfaatkan kembali.

(6)

Segala biaya yang timbul atas pelaksanaan pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditanggung oleh pihak Pelaku Usaha.

(7)

Dalam hal hasil pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dinyatakan tidak sesuai, atas Bibit dan Benih yang dinyatakan tidak sesuai tersebut tidak dapat dilakukan pemusnahan.

(8)

Laporan hasil pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf F yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

(9)

Berita acara pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), diterbitkan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf G yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 8Tutup
(1)

Pelaku Usaha wajib menyampaikan laporan pemanfaatan Bibit dan Benih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) kepada Kepala Kantor Pabean tempat penyelesaian kewajiban pabean.

(2)

Laporan pemanfaatan Bibit dan Benih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara elektronik ke Portal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melalui SINSW.

(3)

Dalam hal Portal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan/atau SINSW belum dapat diterapkan atau mengalami gangguan operasional, laporan pemanfaatan Bibit dan Benih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara manual dengan menyampaikan laporan dalam bentuk salinan cetak ( hard copy ) atau salinan digital ( soft copy ).

(4)

Laporan pemanfaatan Bibit dan Benih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan setiap 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal pemberitahuan pabean sampai dengan terealisasinya tujuan untuk dikembangbiakkan lebih lanjut dalam rangka pengembangan bidang pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, atau perikanan.

(5)

Dalam hal Pelaku Usaha tidak menyampaikan laporan pemanfaatan Bibit dan Benih dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Pelaku Usaha dikenakan penundaan pelayanan pemberian pembebasan bea masuk berikutnya sampai dengan diserahkannya laporan pemanfaatan Bibit dan Benih tersebut.

(6)

Laporan pemanfaatan Bibit dan Benih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 4Tutup
(1)

Untuk memperoleh pembebasan bea masuk atas impor atau pengeluaran Bibit dan Benih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pelaku Usaha mengajukan permohonan kepada Menteri melalui Kepala Kantor Pabean tempat penyelesaian kewajiban pabean.

(2)

Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), minimal memuat informasi mengenai:

a.

nama dan alamat Pelaku Usaha;

b.

nomor pokok wajib pajak;

c.

rincian jumlah, jenis, perkiraan harga;

d.

pelabuhan pemasukan Bibit dan Benih; dan

e.

nomor dan tanggal invoice atau dokumen yang dipersamakan.

(3)

Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal dilampiri dengan dokumen pendukung berupa:

a.

rekomendasi untuk dapat diberikan pembebasan bea masuk dari pejabat paling rendah setingkat pimpinan tinggi pratama di lingkungan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang:

1.

pertanian;

2.

lingkungan hidup dan kehutanan; dan/atau

3.

kelautan dan perikanan; dan

b.

invoice atau dokumen yang dipersamakan dengan invoice yang dikeluarkan/diterbitkan oleh penjual/ supplier .

(4)

Rekomendasi untuk dapat diberikan pembebasan bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, minimal memuat:

a.

nama dan alamat Pelaku Usaha;

b.

nomor pokok wajib pajak;

c.

rincian jumlah dan jenis barang beserta perkiraan nilai pabeannya; dan

d.

uraian mengenai kegiatan yang dilakukan dalam rangka pembangunan dan pengembangan bidang pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, atau perikanan.

(5)

Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (3), disampaikan secara elektronik ke Portal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melalui SINSW.

(6)

Dalam hal Portal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan/atau SINSW belum dapat diterapkan atau mengalami gangguan operasional, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan secara manual disertai dengan:

a.

lampiran permohonan dalam bentuk salinan cetak ( hard copy ); dan

b.

salinan digital ( soft copy ) hasil pindaian dari dokumen asli dalam media penyimpan data elektronik.

Thumbnail
BIDANG PERBENDAHARAAN | HUKUM KEUANGAN NEGARA
PMK 167 TAHUN 2023

Tata Cara Pelaksanaan Subsidi Bunga/Subsidi Margin Kredit Usaha Alat dan Mesin Pertanian

  • Ditetapkan: 29 Des 2023
  • Diundangkan: 29 Des 2023

Relevan terhadap

Pasal 8Tutup
(1)

Untuk menyusun pengalokasian subsidi penyaluran Kredit Alsintan, KPA Alsintan berkoordinasi dengan sekretariat Komite Kebijakan untuk melaksanakan rapat sinkronisasi kebijakan Kredit Alsintan.

(2)

Rapat sinkronisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari unsur:

a.

sekretariat Komite Kebijakan;

b.

KPA Alsintan;

c.

Kementerian Keuangan; dan

d.

Kementerian/Lembaga yang terkait dengan penyusunan arah kebijakan Kredit Alsintan.

(3)

Unsur Kementerian Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c terdiri dari unit kerja eselon I yang memiliki tugas dan fungsi di bidang:

a.

fiskal dan sektor keuangan;

b.

penganggaran dan penerimaan negara bukan pajak; dan c. perbendaharaan negara.

(4)

Rapat sinkronisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membahas persiapan penyusunan pengalokasian subsidi penyaluran Kredit Alsintan dengan minimal mempertimbangkan:

a.

hasil penilaian dan evaluasi atas kinerja penyaluran Kredit Alsintan periode sebelumnya;

b.

RTP Kredit Alsintan;

c.

kapasitas fiskal keuangan negara;

d.

hasil reviu BPKP; dan

e.

kebijakan pelaksanaan Kredit Alsintan.

(5)

Hasil rapat sinkronisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menghasilkan usulan pengalokasian subsidi Kredit Alsintan sebagai bahan pertimbangan dalam rapat koordinasi Komite Kebijakan.

(6)

Rapat sinkronisasi kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sebelum pelaksanaan rapat koordinasi Komite Kebijakan.

MenimbangTutup
a.

bahwa berdasarkan Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 3 Tahun 2023 tentang Pedoman Pelaksanaan Kredit Usaha Alat dan Mesin Pertanian, pemerintah memberikan subsidi bunga/subsidi margin penyaluran kredit alat dan mesin pertanian yang besarannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan;

b.

bahwa berdasarkan Pasal 8 Keputusan Presiden Nomor 14 Tahun 2015 tentang Komite Kebijakan Pembiayaan bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 14 Tahun 2015 tentang Komite Kebijakan Pembiayaan bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, ketentuan mengenai imbal jasa penjaminan, subsidi bunga, dan fasilitas lainnya untuk pelaksanaan kebijakan pembiayaan bagi usaha mikro, kecil, dan menengah diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan;

c.

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pelaksanaan Subsidi Bunga/Subsidi Margin Kredit Usaha Alat dan Mesin Pertanian;

Pasal 1Tutup

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1.

Alat dan Mesin Pertanian yang selanjutnya disebut Alsintan adalah peralatan yang dioperasikan dengan motor penggerak ataupun tanpa motor penggerak untuk kegiatan budi daya Pertanian.

2.

Taksi Alsintan adalah kegiatan model tata kelola usaha jasa Alsintan dengan sistem jasa sewa atau kepemilikan Alsintan, dengan dukungan pemanfaatan teknologi informasi untuk penguatan usaha/bisnis kelembagaan pengelola Alsintan.

3.

Kredit Usaha Alat dan Mesin Pertanian yang selanjutnya disebut Kredit Alsintan adalah kredit/pembiayaan investasi yang dikhususkan untuk pembelian Alat dan Mesin Pertanian yang diusahakan sebagai Taksi Alsintan yang diberikan oleh penyalur Kredit Alsintan kepada penerima Kredit Alsintan yang memperoleh subsidi bunga dari pemerintah.

4.

Subsidi Bunga adalah bagian bunga yang menjadi beban pemerintah sebesar selisih antara tingkat bunga yang seharusnya diterima oleh penyalur Kredit Alsintan dengan tingkat bunga yang dibebankan kepada penerima Kredit Alsintan.

5.

Subsidi Margin adalah bagian margin yang menjadi beban pemerintah sebesar selisih antara margin yang seharusnya diterima oleh penyalur Kredit Alsintan dengan margin yang dibebankan kepada penerima Kredit Alsintan dalam skema pembiayaan syariah.

6.

Menteri Keuangan yang selanjutnya disebut Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.

7.

Kementerian Negara yang selanjutnya disebut Kementerian adalah perangkat pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.

8.

Lembaga adalah organisasi nonkementerian negara dan instansi lain pengguna anggaran yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya.

9.

Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab atas penggunaan anggaran pada Kementerian/Lembaga yang bersangkutan.

10.

Kuasa Pengguna Anggaran Subsidi Kredit Usaha Alat Mesin Pertanian yang selanjutnya disingkat KPA Alsintan adalah pejabat yang memperoleh kewenangan dan tanggung jawab dari PA untuk menggunakan anggaran untuk pembayaran subsidi atas Kredit Alsintan.

11.

Komite Kebijakan Pembiayaan Bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang selanjutnya disebut Komite Kebijakan adalah komite yang dibentuk oleh Presiden dengan Keputusan Presiden yang diberi kewenangan dalam memberikan arahan terhadap kebijakan program Kredit Alsintan.

12.

Penerima Kredit Alsintan adalah pihak yang memenuhi kriteria untuk menerima Kredit Alsintan sesuai dengan Pedoman Pelaksanaan Kredit Alsintan.

13.

Penyalur Kredit Alsintan adalah lembaga keuangan atau koperasi yang memenuhi persyaratan untuk menyalurkan Kredit Alsintan sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai pedoman pelaksanaan Kredit Alsintan.

14.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

15.

Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi bendahara umum negara.

16.

Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat PPA BUN adalah unit organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri dan bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari Bagian Anggaran BUN Belanja Subsidi.

17.

Baki Debet adalah sisa pokok pinjaman/sisa pokok pembiayaan yang wajib dibayar kembali oleh Penerima Kredit Alsintan kepada Penyalur Kredit Alsintan.

18.

Sistem Informasi Kredit Program yang selanjutnya disingkat SIKP adalah sistem informasi elektronik yang digunakan untuk menatausahakan dan menyediakan informasi penyaluran kredit program.

19.

Tahun Penyaluran adalah periode penyaluran Kredit Alsintan mulai bulan Januari sampai dengan Desember berdasarkan kebijakan yang ditetapkan Komite Kebijakan.

20.

Rencana Target Penyaluran yang selanjutnya disingkat RTP adalah rencana yang disusun oleh Penyalur Kredit Alsintan untuk menyalurkan Kredit Alsintan selama Tahun Penyaluran.

21.

Indikasi Kebutuhan Dana Pengeluaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat IKD adalah indikasi dana untuk pemenuhan kewajiban pemerintah yang penganggarannya hanya ditampung pada bagian anggaran BUN.

22.

Penjamin Kredit Alsintan adalah perusahaan penjaminan dan perusahaan lain yang ditunjuk untuk memberikan penjaminan Kredit Alsintan.

23.

Penjaminan adalah kegiatan pemberian jaminan atas pemenuhan kewajiban finansial debitur Kredit Alsintan oleh Penjamin Kredit Alsintan baik berdasarkan prinsip konvensional maupun syariah.

24.

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan yang selanjutnya disingkat BPKP merupakan aparat pengawasan intern pemerintah yang mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan keuangan negara/daerah dan pembangunan nasional.

Thumbnail
ANGGARAN TRANSFER KE DAERAH | PROVINSI PAPUA BARAT DAYA
206/PMK.07/2022

Alokasi Transfer ke Daerah untuk Provinsi/Kabupaten/Kota di Wilayah Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua Barat Daya Tahun Anggaran 2023 ...

  • Ditetapkan: 27 Des 2022
  • Diundangkan: 28 Des 2022

Relevan terhadap

Pasal 1Tutup

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1.

Transfer ke Daerah yang selanjutnya disingkat TKD adalah dana yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan merupakan bagian dari belanja negara yang dialokasikan dan disalurkan kepada daerah otonom untuk dikelola oleh daerah otonom dalam rangka mendanai penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah.

2.

Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah bagian dari TKD yang dialokasikan berdasarkan persentase atas pendapatan tertentu dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan kinerja tertentu, yang dibagikan kepada daerah otonom penghasil dengan tujuan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antara pemerintah pusat dan daerah otonom, serta kepada daerah otonom lain nonpenghasil dalam rangka menanggulangi eksternalitas negatif dan/atau meningkatkan pemerataan dalam satu wilayah.

3.

Dana Alokasi Umum yang selanjutnya disingkat DAU adalah bagian dari TKD yang dialokasikan dengan tujuan mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan dan layanan publik antardaerah otonom.

4.

Dana Alokasi Khusus yang selanjutnya disingkat DAK adalah bagian dari TKD yang dialokasikan dengan tujuan untuk mendanai program, kegiatan, dan/atau kebijakan tertentu yang menjadi prioritas nasional dan membantu operasionalisasi layanan publik, yang penggunaannya telah ditentukan oleh pemerintah pusat.

5.

Dana Otonomi Khusus adalah bagian dari TKD yang dialokasikan kepada daerah tertentu untuk mendanai pelaksanaan otonomi khusus sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang mengenai otonomi khusus.

6.

Dana Desa adalah bagian dari TKD yang diperuntukkan bagi desa dengan tujuan untuk mendukung pendanaan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan.

7.

Insentif Fiskal adalah dana yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara yang diberikan kepada daerah otonom berdasarkan kriteria tertentu berupa perbaikan dan/atau pencapaian kinerja di bidang dapat berupa tata kelola keuangan daerah, pelayanan umum pemerintahan, dan pelayanan dasar yang mendukung kebijakan strategis nasional dan/atau pelaksanaan kebijakan fiskal nasional.

8.

Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.

Thumbnail
CIPTA KERJA Cipta Kerja | HUKUM KEUANGAN NEGARA | BIDANG FISKAL
33/PMK.010/2021

Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 237 /PMK.010/2020 tentang Perlakuan Perpajakan, Kepabeanan, dan Cukai pada Kawasan Ekonomi Khusus ...

  • Ditetapkan: 01 Apr 2021
  • Diundangkan: 01 Apr 2021

Relevan terhadap 10 lainnya

Pasal 67aTutup
(1)

Barang Konsumsi yang diberikan fasilitas pembebasan bea masuk dan tidak dipungut PDRI atas pemasukan untuk Pelaku Usaha jasa sebagaimana dimaksud pada Pasal 67 ayat (2) huruf a dari luar Daerah Pabean, harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:

a.

sesuai dengan bidang usahanya;

b.

dimasukkan dalam jumlah yang wajar sesuai dengan kebutuhan usahanya; dan

c.

digunakan untuk kegiatan produksi jasa di KEK.

(2)

Jenis Barang Konsumsi untuk Pelaku Usaha jasa yang dapat diberikan pembebasan bea masuk dan tidak dipungut PDRI, dicantumkan dalam daftar barang yang ditetapkan oleh Dewan Nasional.

(3)

Jenis dan jumlah Barang Konsumsi untuk Pelaku Usaha jasa yang boleh diimpor, ditetapkan oleh Administrator KEK dengan menggunakan skema/kriteria yang ditetapkan oleh Dewan Nasional.

(4)

Dalam hal Barang Konsumsi untuk Pelaku Usaha jasa berupa barang kena cukai, harus dilunasi cukainya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai pada saat pemasukkannya.

(5)

Ketentuan larangan impor dan ekspor di KEK berlaku sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang larangan dan pembatasan impor dan ekspor.

(6)

Pemasukan Barang Konsumsi untuk Pelaku Usaha jasa dari luar Daerah Pabean ke KEK belum diberlakukan ketentuan pembatasan dan tata niaga di bidang impor kecuali ditentukan lain berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(7)

Barang Konsumsi asal luar Daerah Pabean hanya dapat dikeluarkan dari KEK Pariwisata dalam hal status KEK dicabut dan tetap melunasi Bea Masuk, PDRI, dan/atau cukai bagi barang kena cukai.

21.

Ketentuan ayat (6) dan ayat (7) Pasal 68 diubah, sehingga Pasal 68 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 48Tutup
(1)

Penggunaan Surat Keterangan Asal (SKA) yang diterbitkan oleh negara asal barang di luar negeri dapat diberlakukan pada saat pemasukan ke KEK.

(2)

Penggunaan Surat Keterangan Asal (SKA) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diberlakukan pada saat pemasukan barang ke Pelaku Usaha Pengolahan dan/atau Pelaku Usaha Logistik, dan atas barang dimaksud diberlakukan tarif bea masuk sesuai dengan skema tarif preferensi pada saat dikeluarkan dari Pelaku Usaha Pengolahan dan/atau Pelaku Usaha Logistik ke TLDDP.

(3)

Pengeluaran barang dari Pelaku Usaha Pengolahan dan/atau Pelaku Usaha Logistik ke TLDDP sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat dilakukan secara parsial dengan menggunakan pemotongan kuota.

(4)

Besaran tarif bea masuk sesuai dengan skema tarif preferensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam Peraturan Menteri mengenai penetapan tarif bea masuk dalam rangka perjanjian atau kesepakatan internasional.

(5)

Tata cara pengenaan tarif bea masuk sesuai dengan skema tarif preferensi untuk KEK dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri mengenai tata cara pengenaan tarif bea masuk atas barang impor berdasarkan perjanjian atau kesepakatan internasional.

(6)

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dapat melakukan pengujian atas validitas penerbitan Surat Keterangan Asal (SKA).

15.

Ketentuan ayat (3) dan ayat (5) Pasal 51 diubah, sehingga Pasal 51 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 3Tutup
(1)

Untuk mendapatkan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d, Badan Usaha atau Pelaku Usaha di KEK dalam kegiatan pemasukan, perpindahan dan pengeluaran barang wajib melalui Sistem Aplikasi KEK.

(2)

Untuk mendapatkan fasilitas penangguhan bea masuk, Badan Usaha atau Pelaku Usaha wajib mendayagunakan sistem persediaan berbasis teknologi informasi (IT inventory) .

(3)

Sistem Aplikasi KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan prinsip:

a.

dokumen tunggal __ ( single document );

b.

melalui sistem elektronik;

c.

integrasi dengan sistem informasi persediaan berbasis komputer (IT inventory) ;

d.

standardisasi dan pertukaran data SINSW dengan Sistem Komputer Pelayanan Bea dan Cukai; dan

e.

integrasi SINSW dengan sistem perpajakan.

(4)

Badan Usaha atau Pelaku Usaha di KEK yang telah menyelesaikan masa Pembangunan atau Pengembangan, harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada Saat Mulai Berproduksi Komersial.

4.

Ketentuan ayat (5) Pasal 11 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

  • 1
  • 2
  • 3
  • 4
  • 5
  • ...
  • 97