Penghapusan Piutang di Bidang Kepabeanan dan Cukai
Relevan terhadap
PERATURAN MENTERi KEUANGAN TENTANG PENGHAPUSAN PIUTANG DI BIDANG KEPABEANAN DAN CUKAI. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Piutang Kepabeanan dan Cukai yang selanjutnya disebut Piutang adalah tagihan atas bea masuk, bea keluar, dan/atau cukai, yang belum dilunasi termasuk bea masuk jdih.kemenkeu.go.id antidumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, bea masuk pembalasan, sanksi administrasi· berupa denda, dan/atau bunga. 2. Penghapusbukuan adalah proses akuntansi untuk menghapus pencatatan aset berupa Piutang dari neraca dengan tidak menghilangkan hak tagih. 3. Penghapustagihan adalah serangkaian kegiatan untuk menghapus hak tagih atau upaya tagih berdasarkan berbagai kriteria dan prosedur yang ditetapkan. 4. Laporan Keuangan adalah laporan pertanggungjawaban atas pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara berupa laporan realisasi anggaran, neraca, laporan operasional, laporan perubahan ekuitas, dan catatan atas laporan keuangan. 5. Neraca adalah komponen Laporan Keuangan yang menggambarkan posisi keuangan suatu entitas pelaporan mengenai aset, kewajiban, dan ekuitas pada tanggal tertentu. 6. Catatan atas Laporan Keuangan yang selanjutnya disingkat dengan CaLK adalah komponen Laporan Keuangan yang meliputi penjelasan, daftar rincian, dan/atau analisis atas Laporan Keuangan. 7. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. 8. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai. 9. Kantor Wilayah adalah Kantor Wilayah dan Kantor Wilayah Khusus di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. 10. Kantor Pelayanan adalah Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai dan Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai di lingkungan Direktorat J enderal Bea dan Cukai. Pasal 2 (1) Terhadap Piutang dapat dilakukan penghapusan. (2) Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
Penghapusbukuan;dan b. Penghapustagihan. (3) Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)· dilakukan terhadap Piutang yang tercantum dalam:
surat penetapan;
surat tagihan;
Keputusan Direktur Jenderal mengenai keberatan; dan/atau
putusan badan peradilan pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan/ a tau cukai. BAB II KEDALUWARSA Pasal 3 (1) Hak penagihan atas Piutang yang tercantum dalam dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), jdih.kemenkeu.go.id (2) (3) (1) (2) (3) menjadi kedaluwarsa setelah 10 (sepuluh) tahun sejak timbulnya kewajiban membayar. Masa kedaluwarsa atas Piutang di bidang kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diperhitungkan dalam hal:
yang terutang tidak bertempat tinggal di Indonesia;
yang terutang memperoleh penundaan atas kekurangan pembayaran bea masuk dan/ a tau denda administrasi paling lama 12 (dua belas) bulan; atau
yang terutang melakukan pelanggaran di bidang kepabeanan. Masa kedaluwarsa atas Piutang di bidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperhitungkan dalam hal terdapat pengakuan cukai. cukai dapat utang BAB III PENGHAPUSBUKUAN Bagian Kesatu Kriteria Penghapusbukuan Pasal 4 Penghapusbukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a dapat dilakukan dalam hal Piutang tidak memenuhi kriteria pengakuan aset sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai standar akuntansi pemerintahan. Penghapusbukuan sebagaimana dirhaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap Piutang dengan ketentuan sebagai berikut:
hak penagihannya sudah kedaluwarsa se bagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1); pihak yang terutang merupakan orang pribadi, dalam hal:
telah meninggal dunia dan tidak mempunya1 harta warisan atau kekayaan;
pailit; dan/atau
tidak dapat ditemukan;
pihak yang terutang merupakan badan hukum, dalam hal:
telah bubar atau likuidasi;
pailit; dan/atau
tidak dapat ditemukan; atau
hak penagihannya tidak dapat dilaksanakan karena kondisi tertentu sehubungan dengan adanya perubahan kebijakan dan/ a tau berdasarkan pertimbangan yang ditetapkan oleh Menteri. Penghapusbukuan terhadap Piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c, dapat dilakukan setelah dilakukan penagihan aktif. jdih.kemenkeu.go.id Bagian Kedua Pengajuan Penghapusbukuan Pasal 5 (1) Kepala Kantor Pelayanan menyusun daftar usulan Penghapusbukuan dan mengirimkan daftar usulan Penghapusbukuan terhadap Piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) kepada direktur di lingkungan Direktorat J enderal Bea dan Cukai yang mengelola penerimaan. (2) Direktur di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai· yang mengelola penerimaan melakukan rekapitulasi dan validasi data atas daftar usulan Penghapusbukuan se bagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Hasil rekapitulasi dan validasi data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Sekretaris Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. (4) Sekretaris Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melakukan Penghapusbukuan pada Neraca berdasarkan hasil rekapitulasi dan validasi · data sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Piutang yang telah dilakukan Penghapusbukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dicatat secara ekstrakomptabel dan diungkapkan secara memadai dalam CaLK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai standar akuntansi pemerintahan. (6) Piutang yang telah dilakukan Penghapusbukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tetap dikelola sampai dengan dilakukannya Penghapustagihan. (7) Daftar usulan Penghapusbukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. BAB IV PENGHAPUSTAGIHAN Bagian Kesatu Kriteria Penghapustagihan Pasal 6 Penghapustagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b dilakukan terhadap:
piutang yang hak penagihannya sudah kedaluwarsa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1); dan/atau
hak negara untuk melakukan penagihan tidak dapat dilaksanakan karena kondisi tertentu sehubungan dengan- adanya perubahan kebijakan dan/atau berdasarkan pertimbangan yang ditetapkan oleh Menteri. jdih.kemenkeu.go.id Bagian Kedua Tim Penghapustagihan Pasal 7 (1) Dalam rangka pengajuan usulan Piutang yang akan- dilakukan Penghapustagihan se bagaimana dimaksud dalam Pasal 6, dibentuk tim Penghapustagihan. (2) Tim Penghapustagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh:
kepala Kantor Pelayanan;
kepala Kantor Wilayah; atau
Direktur Jenderal. (3) Tim Penghapustagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit beranggotakan:
jurusita bea dan cukai disertai dengan perwakilan dari unit yang mengelola penerimaan dan unit yang mengelola pengawasan untuk Kantor Pelayanan;
perwakilan dari unit yang mengelola penerimaan dan unit yang mengelola pengawasan untuk Kantor Wilayah; dan
perwakilan dari unit eselon II yang mengelola penerimaan dan unit eselon II yang melaksanakan pengawasan untuk kantor pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Bagian Ketiga Pengajuan Penghapustagihan Pasal 8 (1) Tim Penghapustagihan pada Kantor Pelayanan melakukan penelitian administrasi dan/atau penelitian lapangan terhadap Piutang yang diusulkan untuk dilakukan Penghapustagihan. (2) Hasil penelitian administrasi dan/atau hasil penelitian lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam laporan hasil penelitian. (3) Berdasarkan laporan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepala Kantor Pelayanan menyusun daftar usulan Penghapustagihan dan mengajukan daftar usulan Penghapustagihan kepada Menteri secara berjenjang melalui:
kepala Kantor Wilayah, dalam hal daftar usulan Penghapustagihan disampaikart oleh kepala Kantor- Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai; atau
Direktur Jenderal u.p direktur di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang mengelola penerimaan, dalam hal daftar usulan disampaikan oleh kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai. (4) Daftar usulan Penghapustagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. jdih.kemenkeu.go.id Pasal 9 (1) Tim Penghapustagihan pada Kantor Wilayah melakukan penelitian administrasi atas daftar usulan Penghapustagihan yang diusulkan oleh kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai se bagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf a. (2) Dalam hal hasil penelitian administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan:
sesuai, kepala Kantor Wilayah menyusun daftar usulan Penghapustagihan dan menyampaikan daftar usulan Penghapustagihan kepada Direktur Jenderal u.p direktur di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang mengelola penerimaan; atau
tidak sesuai atau masih diperlukan dokumen pendukung, kepala Kantor Wilayah mengembalikan daftar usulan Penghapustagihan dengan disertai alasan pengembalian. (3) Daftar usulan Penghapustagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a disampaikan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 10 (1) Tim Penghapustagihan pada kantor pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melakukan penelitian administrasi atas daftar usulan Penghapustagihan yang- disampaikan oleh kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf b dan daftar usulan Penghapustagihan yang disampaikan oleh kepala Kantor Wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf a. (2) Dalam hal hasil penelitian administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan:
sesuai, Direktur Jenderal menyusun daftar usulan Penghapustagihan dari menyampaikan daftar usulan Penghapustagihan kepada Menteri; atau
tidak sesuai atau masih diperlukan dokumen pendukung, direktur di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang mengelola penerimaan atas nama Direktur Jenderal mengembalikan daftar usulan Penghapustagihan kepada:
kepala Kantor Wilayah, dalam hal daftar usulan Penghapustagihan disampaikan oleh kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai; atau
kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai, dengan disertai alas an pengem balian. (3) Daftar usulan Penghapustagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a disampaikan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. jdih.kemenkeu.go.id Pasai 11 (1) Penyampaian daftar usulan Penghapustagihan kepada Menteri sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 10 ayat (2) huruf a dilakukan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun anggaran. (2) Daftar usulan Penghapustagihan Piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan melalui sistem aplikasi persuratan yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
(2) Bagian Keempat Keputusan Penghapustagihan Pasal 12 Berdasarkan daftar usulan se bagaimana dimaksud dalam Pasal Menteri menerbitkan Keputusan Penghapustagihan. Penghapustagihan 10 ayat (2) huruf a, Menteri mengenai Keputusan Menteri mengenai Penghapustagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 13 Menteri dapat menugaskan Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan untuk melakukan reviu atas daftar usulan Penghapustagihan yang disampaikan oleh Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf a sebelum diterbitkan Keputusan Menteri sebagaimana· dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1). Pasal 14 (1) Kepala Kantor Pelayanan melakukan penghapusan data Piutang pada catatan Piutang berdasarkan Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1). (2) Penghapusan catatan Piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diungkapkan dalam CaLK pada periode terjadinya Penghapustagihan. BABV MONITORING DAN EVALUASI Pasal 15 (1) Dalam rangka menjamin efektivitas kegiatan penghapusan Piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), dilakukan proses monitoring dan evaluasi atas kegiatan penghapusan Piutang yang telah dilakukan pada periode sebelumnya. (2) Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun oleh:
direktur di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang mengelola penerimaan;
kepala Kantor Wilayah; atau
kepala Kantor Pelayanan. jdih.kemenkeu.go.id (3) Hasil monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat digunakan untuk melakukan perbaikan pada kebijakan dan/atau pelaksanaan penghapusan Piutang berikutnya. Pasal 16 (1) Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dilakukan melalui sistem aplikasi perbendaharaan yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. (2) Dalam hal sistem aplikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengalami gangguan operasional a tau belum dapat diterapkan, monito_ring dan evaluasi dilakukan secara manual berdasarkan catatan Piutang. BAB VI KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 17 (1) Kepala Kantor Pelayanan melakukan penelusuran dokumen dalam hal:
dokumen Piutang; dan/atau
dokumen penagihan, atas Piutang yang akan dilakukan Penghapustagihan· tidak ditemukan. (2) Hasil penelusuran dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat · (1) dituangkan dalam berita acara penelusuran dokumen. (3) Berita acara penelusuran dokumert sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat digunakan sebagai usulan Penghapustagihan. Pasal 18 Direktur Jenderal dapat menetapkan petunjuk teknis dalam penghapusan Piutang di bidang kepabeanan dan cukai. BAB VII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 19 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
terhadap usulan penghapusan Piutang yang telah diajukan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini dan' belum diterbitkan Keputusan Menteri mengenai penghapusan Piutang, proses penyelesaiannya dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.04/2012 tentang Tata Cara Penghapusan dan Penetapan Besarnya Penghapusan Piutang Bea Masuk dan/atau Cukai; dan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) tidak berlaku terhadap P~nghapusbukuan atas Piutang yang telah kedaluwarsa sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini. jdih.kemenkeu.go.id BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 20 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.04/2012 tentang Tata Cara Penghapusan dan Penetapan Besamya Penghapusan Piutang Bea Masuk dan/atau Cukai (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 499), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 21 Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan. jdih.kemenkeu.go.id
Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
Relevan terhadap
Undang-Undang ini mulai berlaku pada saat diundangkan. Agar Disahkan di Ja}arta pada tanggal 5 Jan: uari 2022 ttd JOKO WTDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 5 Januari2022 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR l TAHUN 2022 TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH I. UMUM 1. Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara dibentuk dengan tujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Selanjutnya berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas Daerah provinsi, dan Daerah provinsi dibagi atas Daerah kabupaten dan kota. Tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota mempunyai pemerintahan sendiri. Pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota berhak mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Urusan Pemerintahan yang menjadi tanggung jawab Daerah dilaksanakan berdasarkan asas otonomi, sedangkan Urusan Pemerintahan yang bukan merupakan tanggung ^jawab Pemerintah Daerah dilaksanakan berdasarkan asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Pelaksanaan Urusan Pemerintahan dari tingkat pusat hingga Daerah merupalan bagian dari kekuasaan pemerintahan yang berada di tangan Presiden sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga tidak dapat berjalan sendiri-sendiri. Hal ini menuntut adanya sinergisme pendanaan atas urusan tersebut dalam rangka pencapaian tujuan bernegara. 2 Pembagian Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi provinsi, kabupaten, dan kota, dan pembagian Urusan Pemerintahan antarpemerintahan tersebut menimbulkan adanya hubungan wewenang dan hubungan keuangan. Sesuai dengan amanat Pasal 18A ayat (2\ Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun L945, hubungan keuangan, pelayanan umum, serta pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan Undang-Undang. Untuk melaksanakan amanat Pasal 18A ayat (21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut disusunlah Undang-Undang tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Penyusunan Undang-Undang ini juga didasarkan pada pemikiran perlunya menyempurnakan pelaksanaan Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang selama ini dilakukan berdasarkan Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Penyempurnaan implementasi Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dilakukan sebagai upaya untuk menciptakan alokasi sumber daya nasional yang efisien melalui Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan, guna mewujudkan pemerataan layanan publik dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di seluruh pelosok Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam mewujudkan tujuan tersebut, Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah berlandaskan pada 4 (empat) pilar utama, yaitu: mengembangkan sistem Pajak yang mendukung alokasi sumber daya nasional yang efisien, mengembangkan Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dalam meminimalkan ketimpangan vertikal dan horizontal melalui kebijakan TKD dan Pembiayaan Utang Daerah, mendorong peningkatan kualitas Belanja Daerah, serta harmonisasi kebijakan fiskal antara Pemerintah dan Daerah untuk penyelenggaraan layanan publik yang optimal dan menjaga kesinambungan fiskal. 3 2. Sistem Pajak dan Retribusi Dalam rangka mengalokasikan sumber daya nasional secara lebih efisien, Pemerintah memberikan kewenangan kepada Daerah untuk memungut Pajak dan Retribusi dengan penguatan melalui restrukturisasi jenis Pajak, pemberian sumber-sumber perpajakan Daerah yang baru, penyederhanaan jenis Retribusi, dan harmonisasi dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Restrukturisasi Pajak dilakukan melalui reklasifikasi 5 (lima) jenis Pajak yang berbasis konsumsi menjadi satu jenis Pajak, yaitu PBJT. Hal ini memiliki tujuan untuk (i) menyelaraskan Objek Pajak antara pajak pusat dan pajak daerah sehingga menghindari adanya duplikasi pemungutan pajak; (ii) menyederhanakan administrasi perpajakan sehingga manfaat yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan biaya pemungutan; (iii) memudahkan pemantauan pemungutan Pajak terintegrasi oleh Daerah; dan (iv) mempermudah masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, sekaligus mendukung kemudahan berusaha dengan adanya simplifikasi administrasi perpajakan. Selain integrasi pajak-pajak Daerah berbasis konsumsi, PBJT mengatur perluasan Objek Pajak seperti atas parkir uale| objek rekreasi, dan persewaan sarana dan prasarana olahraga (objek olahraga permainan). Pemerintah juga memberikan kewenangan pemungutan Opsen Pajak antara level pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota, yaitu PKB, BBNKB, dan Pajak MBLB. Opsen atas PKB dan BBNKB sejatinya merupakan pengalihan dari bagi hasil pajak provinsi. Hal tersebut dapat meningkatkan kemandirian Daerah tanpa menambah beban Wajib Pajak, karena penerimaan perpajakan akan dicatat sebagai PAD, serta memberikan kepastian atas penerimaan Pajak dan memberikan keleluasan belanja atas penerimaan tersebut pada tiap-tiap level pemerintahan dibandingkan dengan skema bagr hasil. Sementara itu, penambahan Opsen Pajak MBLB untuk provinsi sebagai sumber penerimaan baru diharapkan dapat memperkuat fungsi penerbitan izin dan pengawasan kegiatan pertambangan di Daerah. Hal ini akan mendukung pengelolaan Keuangan Daerah yang lebih berkualitas karena perencanaan, penganggaran, dan realisasi APBD akan lebih baik. Opsen Pajak juga mendorong peran Daerah untuk melakukan ekstensifikasi perpajakan Daerah baik itu bagi pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota. Penyederhanaan Retribusi dilakukan melalui rasionalisasi jumlah Retribusi. Retribusi diklasifikasikan dalam 3 (tiga) jenis, yaitu Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi Perizinan Tertentu. 4 Lebih lanjut, jumlah atas jenis Objek Retribusi disederhanakan dari 32 (tiga puluh dua) jenis menjadi 18 (delapan belas) jenis pelayanan. Rasionalisasi tersebut memiliki tujuan agar Retribusi yang akan dipungut Pemerintah Daerah adalah Retribusi yang dapat dipungut dengan efektif, serta dengan biaya pemungutan dan biaya kepatuhan yang rendah. Selain itu, rasionalisasi dimaksudkan untuk mengurangi beban masyarakat dalam mengakses layanan dasar publik yang menjadi kewajiban Pemerintah Daerah. Rasionalisasi juga sejalan dengan implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentatg Cipta Kerja dalam rangka mendorong kemudahan berusaha, iklim investasi yang kondusif, daya saing Daerah, dan penciptaan lapangan kerja yang lebih luas. Penyelarasan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dilakukan melalui pemberian kewenangan kepada Pemerintah untuk meninjau kembali tarif Pajak Daerah dalam rangka pemberian insentif fiskal untuk mendorong perkembangan investasi di Daerah. Pemerintah dapat menyesuaikan tarif Pajak dan Retribusi dengan penetapan tarif yang berlaku secara nasional, serta melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap Perda mengenai Pajak dan Retribusi yang menghambat ekosistem investasi dan kemudahan dalam berusaha.
TKD TKD sebagai salah satu sumber Pendapatan Daerah ditujukan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antara pusat dan Daerah (vertikal) dan ketimpangan fiskal antar-Daerah (horizontal), sekaligus mendorong kinerja Daerah dalam mewujudkan pemerataan pelayanan publik di seluruh Daerah. TKD meliputi DBH, DAU, DAK, Dana Otonomi Khusus dan Dana Keistimewaan, serta Dana Desa. Dalam rangka mencapai tujuan untuk mengurangi ketimpangan fiskal dan kesenjangan pelayanan antar-Daerah, pengelolaan TKD akan mengedepankan kinerja sehingga dapat memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan di Daerah, sekaligus mendorong tanggung jawab Daerah dalam memberikan pelayanan yang lebih baik secara efisien dan disiplin. Untuk itu, DBH dialokasikan berdasarkan realisasi penerimaan negara yang dibagihasilkan satu tahun sebelumnya dalam rangka memberikan kepastian penerimaan bagi Daerah. Selain itu, pengalokasian DBH akan memperhitungkan kinerja Daerah dalam memperkuat penerimaan negara yang dibagihasilkan ataupun perbaikan lingkungan yang terdampak akibat aktivitas eksploitasi. 5 Reformulasi pengalokasian DAU dilakukan melalui penghitungan kebutuhan fiskal berdasarkan pada unit cost dan target layanan, serta penghitungan kapasitas fiska1 sesuai dengan potensi pendapatan Daerah sehingga lebih mencerminkan kebutuhan dan kapasitas fiskal secara riil. Selain pada aspek pengalokasian, reformulasi DAU dilakukan pada aspek penggunaan yang ditujukan untuk mendorong kinerja pencapaian pelayanan dasar masyarakat. Sementara itu, DAK akan lebih difokuskan pada upaya mendukung Daerah dalam pencapaian prioritas nasional dengan berdasarkan pada target kinerja, sekaligus menjaga pemerataan serta keseimbangan tingkat layanan antar-Daerah TKD juga memasukkan dana transfer yang diatur dalam peraturan perundangan lainnya, yaitu Dana Otonomi Khusus Aceh, Papua, dan Papua Barat, Dana Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yograkarta, dan Dana Desa. Hal ini dimaksudkan untuk menggabungkan dana-dana tersebut dalam taksonomi TKD secara utuh, sekaligus melakukan penguatan dalam rangka mendorong proses alokasi yang lebih tepat, transparan, dan akuntabel, serta mendorong perbaikan kinerja layanan masyarakat melalui penerapan target kinerja. Pemerintah juga dapat memberikan insentif fiskal tertentu kepada Daerah tertentu, sebagai bentuk penghargaan dan sekaligus merangsang kinerja Daerah dalam pengelolaan Keuangan Daerah, pelayanan pemerintahan umum, pelayanan dasar publik, dan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pembiayaan Utang Daerah dan Sinergi Pendanaan Kemampuan Keuangan Daerah masih relatif terbatas dalam mendanai penyediaan sarana dan prasarana publik. Dalam rangka mendukung Daerah dalam pembangunan dan penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat, Daerah dapat mengakses sumber- sumber Pembiayaan Utang Daerah, baik yang berskema konvensional maupun syariah, meliputi Pinjaman Daerah, Obligasi Daerah, dan Sukuk Daerah. Skema Pinjaman Daerah akan didasarkan pada penggunaannya dan bukan pada periodisasi jangka waktu pinjaman, meliputi pinjaman untuk pengelolaan kas, pembiayaan pembangunan infrastruktur Daerah, pengelolaan portofolio utang Daerah, dan penerusan pinjaman dan/atau penyertaan modal BUMD. Se1ain itu, jenis Pinjaman Daerah akan diperluas, yaitu pinjaman tunai dan pinjaman kegiatan. 6 Daerah juga diberi pilihan untuk mengakses Pembiayaan kreatif berupa Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah. Perluasan akses Pembiayaan bagi Daerah juga diikuti dengan penyederhanaan proses pelaksanaan Pembiayaan, antara lain melalui pengintegrasian persetujuan DPRD atas Pembiayaan Utang Daerah dalam proses pembahasan rancangan APBD. Selain itu, Pemerintah mendorong adanya sinergi pendanaan antar-sumber pendapatan dan/atau Pembiayaan Utang Daerah, baik dari PAD, TKD, Pembiayaan Utang Daerah, kerja sama antar-Daerah, dan kerjasama antara Pemerintah Daerah dengan Badan Usaha dalam rangka penguatan sumber pendanaan program/kegiatan agar memberikan manfaat yang lebih signifikan.
Pengelolaan Belanja Daerah Selain perbaikan kebijakan dari aspek input, Undang-Undang ini mendorong peningkatan kualitas Belanja Daerah. Belanja Daerah masih didominasi oleh belanja aparatur dan belanja operasional rutin dan dikelola dengan kurang efisien, serta tidak didukung dengan sumber daya manusia pengelola Keuangan Daerah yang memadai. Belanja Daerah masih dianggarkan relatif minimal dalam mendukung belanja yang berorientasi pada layanan infrastruktur publik sehingga tidak dapat secara optima,l mendukung pencapaian outcome pembangunan Daerah dan pertumbuhan ekonomi Daerah. Selain itu, Belanja Daerah sering kali masih berjalan sendiri-sendiri dengan program dan kegiatan kecil-kecil yang tidak fokus sehingga pada akhirnya output danf alau outcome tidak memberikan dampak perbaikan yang signifikan bagi masyarakat, serta tidak terhubung dengan prioritas nasional dan arah kebijakan fiskal nasional. Untuk itu, diperlukan pengaturan dan penguatan disiplin Belanja Daerah dalam APBD. Perbaikan pengaturan tersebut dilakukan mulai dari penganggaran Belanja Daerah, simplifikasi dan sinkronisasi program prioritas Daerah dengan prioritas nasional, serta penJrusunan Belanja Daerah yang didasarkan atas standar harga (belanja operasi dan tunjangan kinerja Daerah) dan analisis standar belanja. Selain itu, penguatan disiplin Belanja Daerah dilakukan dengan pengaturan alokasi Belanja Daerah, seperti kewajiban untuk memenuhi porsi tertentu atas jenis belanja tertentu, baik yang dimandatkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan maupun dalam Undang- Undang ini, serta optimalisasi penggunaan SiLPA berbasis kinerja. 7 Lebih lanjut, peningkatan kualitas Belanja Daerah juga dilakukan melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia aparatur pengelola keuangan di Pemerintah Daerah dan penguatan aspek pengawasdn. Untuk itu, Undang-Undang ini juga memandatkan adanya sertifikasi bagi aparatur pengelola keuangan di Pemerintah Daerah, dan keterlibatan aparat pengawas intern Pemerintah yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden untuk melakukan pengawasan intern atas rancangan APBD ataupun pelaksanaan atas APBD, dan melakukan penguatan kapabilitas terhadap aparat pengawas intern Pemerintah Daerah. Undang-Undang ini juga memberikan ruang bagi daerah-daerah tertentu yang mempunyai kapasitas fiskal memadai dan telah menyelenggarakan dengan baik segala urusan wajib layanan dasar, untuk dapat membentuk Dana Abadi Daerah yang bertujuan untuk mendapatkan manfaat yang bersifat lintas generasi.
Sinergi Kebijakan Fiskal Nasional Penguatan tata kelola hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah tidak dapat berdiri sendiri untuk menjawab tantangan dalam mewujudkan tujuan bernegara. Kebijakan frskal terdiri atas fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi sehingga pelaksanaan kebijakan fiskal di Daerah harus sinergis dengan kebijakan fiskal di Pemerintah dalam rangka mengoptimalkan seluruh instrumen kebijakan fiskal dalam mencapai tujuan bernegara. Untuk itu, Undang-Undang ini juga mengatur bagaimana melaksanakan sinergi kebijakan fiskal nasional, yang dilakukan antara lain melalui penyelarasan kebijakan fiskal pusat dan Daerah, penetapan batas maksimal defrsit APBD dan Pembiayaan Utang Daerah, pengendalian dalam kondisi darurat, serta sinergi bagan akun standar. Sinergi kebijakan fiskal nasional tersebut didukung oleh sistem informasi yang dapat mengonsolidasikan laporan keuangan pemerintahan secara nasional sesuai dengan bagan akun standar yang terintegrasi antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah, menyajikan informasi Keuangan Daerah secara nasional, serta menghasilkan kebijakan yang didasarkan pada pemantauan dan evaluasi atas Hubungan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah yang terukur dan terstruktur. 8 Dengan kebijakan yang diatur dalam Undang-Undang ini, diharapkan layanan kepada masyarakat di seluruh pelosok nusantara dapat makin merata dan dengan kualitas yang memadai. Pengaturan- pengaturan yang terkait dengan pengelolaan perpajakan Daerah, TKD, Pembiayaan Utang Daerah, dan pengendalian APBD diharapkan memberikan kemampuan kepada Pemerintah Daerah untuk secara bersama-sama dan sinergis dengan Pemerintah mencapai tujuan pembangunan nasional dalam mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup ^jelas. Pasal 5 Cukup ^jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan "potensinya kurang memadai" adalah potensi penerimaan dari suatu jenis Pajak yang nilainya terlalu kecil sehingga biaya operasional pemungutannya lebih besar dibandingkan dengan hasil pungutannya. Huruf b Cukup jelas. 9 Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Pajak progresif untuk kepemilikan kedua dan seterusnya dibedakan sesuai dengan jenis kendaraan berdasarkan kategori jumlah roda kendaraan. Contoh: Orang pribadi atau Badan yang memiliki satu Kendaraan Bermotor roda 2 (dua), satu Kendaraan Bermotor roda 3 (tiga), dan satu Kendaraan Bermotor roda 4 (empat) masing- masing diperlakukan sebagai kepemilikan pertama sehingga tidak dikenakan pajak progresif. Ayat (2) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Pajak progresif untuk kepemilikan kedua dan seterusnya dibedakan sesuai dengan jenis kendaraan berdasarkan kategori jumlah roda kendaraan. Contoh: Orang pribadi atau Badan yang memiliki satu Kendaraan Bermotor roda 2 (dua), satu Kendaraan Bermotor roda 3 (tiga), dan satu Kendaraan Bermotor roda 4 (empat) masing- masing diperlakukan sebagai kepemilikan pertama sehingga tidak dikenakan pajak progresif. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) BBNKB hanya dikenakan atas penyerahan pertama Kendaraan Bermotor, sedangkan untuk penyerahan kedua dan seterusnya atas Kendaraan Bermotor tersebut (kendaraan bekas) bukan merupakan objek BBNKB. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pemasukan Kendaraan Bermotor untuk dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia merupakan impor sementara yang dimaksudkan untuk diekspor kembali sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang kepabeanan, contoh:
kendaraan yang dibawa oleh wisatawan;
kendaraan yang digunakan teknisi, wartawan, tenaga ahli; dan
kendaraan proyek yang digunakan sementara waktu yang pada saat pengimporannya telah jelas bahwa barang tersebut akan diekspor kembali. Huruf c Cukup jelas. Ayat (s) Cukup ^jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup ^jelas. Pasal 15 Cukup ^jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup ^jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup ^jelas. Pasal 20 Cukup ^jelas. Pasal 2 1 Cukup ^jelas. Pasal 22 Cukup ^jelas. Pasal 23 Cukup ^jelas. Pasal 24 Cukup ^jelas. Pasal 25 Cukup ^jelas. Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Stabilisasi harga dilakukan dalam rangka pengendalian risiko fiskal dan ekonomi. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (21 Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (a) Bobot Air Permukaan dihitung dengan menggunakan indikator-indikator yang menunjukkan dampak pengambilan/pemanfaatan Air Permukaan terhadap lingkungan. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasa] 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup ^jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup ^jelas. Pasal 37 Cukup ^jelas. Pasal 38 Ayat (t) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Yang dimaksud dengan "Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Ma"ss Rapid. Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atatt yang sejenis" adalah jalur rel yang digunakan sebagai infrastruktur perhubungan untuk moda berbasis rel dimaksud, tidak termasuk area lain pada stasiun seperti kantor, gedung parkir, lounge, fasilitas makan/minum, dan fasilitas hiburan di stasiun. Huruf h Cukup ^jelas. Huruf i Cukup jelas. Pasal 39 Cukup ^jelas. Pasal 40 Cukup ^jelas. Pasal 4 1 Cukup ^jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup ^jelas. Pasal 44 Cukup ^jelas. Pasal 45 Cukup ^jelas. Pasal 46 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Perolehan hak karena hibah wasiat atau waris tertentu alrtara lain waris atau hibah wasiat yang berlaku pada kebudayaan dan adat istiadat di Daerah tertentu di mana tanah/bangunan yang diperoleh tidak dapat dijual atau harus diwariskan kembali. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 47 Cukup ^jelas. Pasal 48 Cukup ^jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup ^jelas. Pasal 51 Ayat (1) Huruf a Contoh Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
Toko Roti A melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti A untuk dijual kepada konsumen. Toko Roti A tidak menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu, Toko Roti A tidak memenuhi kriteria Restoran, sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nilai.
Toko 2. Toko Roti dengan merek dagang B pada Mal X di Kota Z melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti B untuk dijual kepada konsumen. Untuk meningkatkan pelayanannya kepada konsumen, Toko Roti B menyediakan meja dan kursi kepada konsumen untuk menyantap di tempat. Oleh karena itu, toko roti dimaksud merupakan Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan terutang PBJT bukan objek pajak pertambahan nilai. 3. Toko Roti dengan merek dagang B pada Pusat Pertokoan Y di Kota Z melakukan produksi (proses pembuatan dan pengolahan bahan menjadi roti) sekaligus penjualan roti kepada konsumen. Toko dimaksud hanya melakukan pembuatan dan penjualan langsung kepada konsumen tanpa menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu, Toko Roti dimaksud tidak memenuhi kriteria Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nilai. Dengan demikian, meskipun atas toko roti yang memiliki merek dagang yang sama, dapat terjadi perbedaan perlakuan perpajakan, bergantung pada pelayanan riil toko roti apakah hanya menjual (distribusi) atau memberikan pelayanan selayaknya Restoran. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Pasal 52 Cukup ^jelas. Pasal 53 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Hurufd Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Hurufh Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Hurufj Yang dimaksud dengan "tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel" adalah rumah, apartemen, dan kondominium yang disediakan sebagai jasa akomodasi selayaknya akomodasi hotel, tetapi tidak termasuk bentuk persewaan (kontrak) jangka panjang (lebih dari satu bulan). Huruf k Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup je1as. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel" adalah ruangan yang disewa oleh pelaku usaha untuk penyelenggaraan kegiatan usaha seperti kantor, toko, atau mesin anjungan tunai mandiri (ATM) di dalam hotel. Pasal 54 Cukup ^jelas. Pasal 55 Ayat (1) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup ^jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Yang dimaksud dengan "permainan ketangkasan" adalah bentuk permainan yang berada di dalam kawasan arena dan/atau taman bermain yang dipungut bayaran, baik yang berada di dalam ruangan maupun di luar ruangan seperti permainan ding-dong, lempar bola ke dalam keranjang, paintball, dan sebagainya. Huruf i Yang dimaksud dengan "olahraga permainan" adalah bentuk persewaan ruang dan alat olahraga seperti tempat kebugaran lfitness center), lapangan futsal, lapangan tenis, kolam renang, dan sebagainya yang dikenakan bayaran atas penggu.naannya. Hurufj Cukup ^jelas. Huruf k Cukup ^jelas. Huruf I Cukup jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Pasal 56 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penjualan atau penyerahan barang dan jasa tertentu oleh Wajib Pajak termasuk penyediaan akomodasi yang dipasarkan oleh pihak ketiga berupa tempat tinggal yang difungsikan sebagai hotel. Dalam kondisi dimaksud, yang menjadi Wajib Pajak PBJT adalah pemilik atau pihak yang menguasai tempat tinggal, yang menyerahkan jasa akomodasi kepada konsumen akhir, bukan penyedia jasa pemasaran atau pengelolaan melalui platform digital. Pasal 57 Cukup ^jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup ^jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Cukup ^jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Ayat (1) Yang dimaksud penggunaan Air pengambilan. Ayat (2) Cukup ^jelas. Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Cukup ^jelas. Pasal 68 Cukup ^jelas. Pasal 69 Cukup ^jelas. Pasal 70 Cukup ^jelas. Pasal 71 Cukup ^jelas. Pasal 72 Cukup ^jelas. "pemanfaatan" adalah ^kegiatan di sumbernya tanpa dilakukan dengan Tanah Pasal 73 Cukup ^jelas. Pasal 74 Cukup ^jelas. Pasal 75 Cukup ^jelas. Pasal 76 Cukup ^jelas. Pasal 77 Cukup ^jelas. Pasal 78 Cukup ^jelas. Pasal 79 Cukup je1as. Pasal 80 Cukup ^jelas. Pasal 81 Cukup ^jelas. Pasal 82 Cukup jelas. Pasal 83 Cukup jelas. Pasal 84 Cukup jelas. Pasal 85 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Penggunaan variabel lainnya dalam bagi hasil PBBKB dengan bobot paling tinggi sebesar 3O%o (tiga puluh persen) merupakan kewenangan Daerah masing-masing sesuai dengan kebijakan Daerah. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 86 Cukup ^jelas. Pasal 87 Cukup ^jelas. Pasal 88 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat 12) Cukup je1as. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (a) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. 23 Ayat (7) Cukup ^jelas. Ayat (8) Penambahan jenis Retribusi misalnya adalah pelayanan pengendalian perkebunan kelapa sawit. Ayat (9) Cukup ^jelas. Pasal 89 Cukup ^jelas. Pasal 90 Cukup ^jelas. Pasal 91 Cukup ^jelas. Pasal 92 Cukup je1as. Pasal 93 Cukup ^jelas. Pasal 94 Cukup jelas. Pasal 95 Cukup jelas. Pasal 96 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi antara lain adalah kemampuan membayar Wajib Pajak atau Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau Wajib Retribusi. Kondisi objek Pajak antara lain adalah lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan bangunan yang ditempati Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dari golongan tertentu, dan nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu. 24 Pasal 97 Cukup ^jelas. Pasal 98 Cukup ^jelas. Pasal 99 Cukup ^jelas. Pasal 100 Cukup ^jelas. Pasal 101 Cukup ^jelas. Pasal 102 Cukup ^jelas. Pasal 103 Cukup jelas. Pasal 104 Cukup jelas. Pasal 105 Cukup ^jelas. Pasal 106 Cukup ^jelas. Pasal 107 Cukup jelas. Pasal 108 Cukup ^jelas. Pasal 109 Cukup jelas. Pasal 110 Cukup ^jelas. Pasal 111 Cukup je1as. Pasal 112 Ayat (1) DBH dari Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pajak Penghasilan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri termasuk yang pemungutannya bersifat final berdasarkan peraturan perundang-undangan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota tempat wajib pajak terdaftar. Ayat (3) Cukup ^jelas. Pasal 113 Cukup jelas. Pasal 114 Cukup jelas. Pasal 115 Ayat (1) Penerimaan sumber daya alam kehutanan yang dibagihasilkan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Ayat (2) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menjadi tempat pengusahaan hutan. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menjadi tempat pengusahaan hutan. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan "provinsi penghasil" adalah provinsi yang menjadi tempat pengusahaan hutan. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 116 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menjadi wilayah pertambangan mineral dan batu bara. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "provinsi penghasil" adalah provinsi yang menjadi wilayah pertambangan mineral dan batu bara. Pertambangan yang berada di atas 12 (dua belas) mil tidak dibagihasilkan mengingat kewenangan batas wilayah Daerah adalah sampai dengan 12 (dua belas) mil laut sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (a) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menjadi lokasi tambang mineral dan batu bara yang telah berproduksi dan menghasilkan komoditas tambang mineral dan batu bara. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota pengolah" adalah kabupaten/kota yang menjadi lokasi pengolahan mineral dan batu bara dan berisiko terkena dampak ekternalitas negatif. Ayat (5) Huruf a Yang dimaksud dengan ^uprovinsi penghasil" adalah provinsi yang menjadi lokasi tambang mineral dan batu bara yang telah berproduksi dan menghasilkan komoditas tambang mineral dan batu bara. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Pasa1 117 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menghasilkan minyak bumi berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh menteri yang membidangi Urusan Pemerintahan di bidang pertambangan minyak dan gas bumi. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota pengolah" adalah kabupaten/kota yang menjadi lokasi pengolahan minyak bumi dan berisiko terkena dampak eksternalitas negatif. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan "provinsi penghasil" adalah provinsi yang menghasilkan minyak bumi berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh menteri yang membidangi Urusan Pemerintahan di bidang pertambangan minyak dan gas bumi. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup ^jelas. Hurufb Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menghasilkan gas bumi berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh menteri yang membidangi Urusan Pemerintahan di bidang pertambangan minyak dan gas bumi. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota pengolah" adalah kabupaten/kota yang menjadi lokasi pengolahan gas bumi dan berisiko terkena dampak eksterna-litas negatif. Ayat (5) Huruf a Yang dimaksud dengan "provinsi penghasil" adalah provinsi yang menghasilkan gas bumi berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh menteri yang membidangi Urusan Pemerintahan di bidang pertambangan minyak dan gas bumi. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Pasal 118 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup je1as. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menjadi wilayah kerja panas bumi. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan'kabupaten/kota pengolah" adalah kabupaten/kota yang menjadi lokasi pengolahan panas bumi dan berisiko terkena dampak eksternalitas negatif. Pasal 119 Cukup ^jelas. Pasal 120 Bagian dari 9O%o (sembilan puluh persen) DBH SDA tersebut, termasuk yang ditujukan untuk:
kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang sama;
kabupaten/kota yang berbatasan langsung baik dalam provinsi yang sama maupun berbeda;
kabupaten/kota pengolah, dengan mempertimbangkan antara lain dampak eksternalitas. Kinerja Pemerintah Daerah merupakan' kinerja Pemerintah Daerah dalam mendukung antara lain optimalisasi penerimaan negara, seperti pajak pusat dan penerimaan negara bukan pajak dan/atau kinerja pemeliharaan lingkungan, seperti pengelolaan lingkungan dan energi ramah lingkungan. Pasal 121 Cukup jelas. Pasal 122 Cukup ^jelas. Pasal 123 Ayat (1) Jenis DBH lainnya antara lain dapat berupa bagi hasil yang terkait dengan perkebunan sawit. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Cukup ^jelas. Pasal 124 Ayat (1) Penghitungan kebutuhan pelayanan publik juga mempertimbangkan kesinergisan pendanaan pelaksanaan urusan antara Pemerintah dan Daerah. Ayat (21 Cukup ^jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "karakteristik tertentu" adalah karakteristik kewilayahan, seperti letak geogralis dan perekonomian Daerah. Pasal 125 Ayat (1) DAU = Celah Fiskal (CF) Ayat (2) Celah Fiskal (CF) = Kebutuhan Fiskal - potensi pendapatan Daerah. Ayat (3) Penghitungan kebutuhan dasar penyelenggaraan pemerintahan memperhitungkan antara lain kebutuhan penggajian aparatur sipil negara, baik PNS maupun PPPK. Ayat (4) Untuk provinsi, PAD tidak termasuk PAD yang dibagihasilkan ke kabupaten dan kota dan untuk kabupaten dan kota termasuk PAD yang dibagihasilkan dari provinsi. Alokasi DAK nonfisik yang diperhitungkan antara lain adalah bidang pendidikan dan kesehatan. Pasal 126 Ayat (1) Jumlah unit target layanan diperoleh dari lembaga statistik Pemerintah dan/atau lembaga Pemerintah yang berwenang menerbitkan data. Ayat (21 Yang dimaksud dengan "biaya investasi" adalah rerata 3 (tiga) tahun Belanja Daerah sektor tertentu dibagi dengan rerata 3 (tiga) tahun target layanan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Karakteristik wilayah misalnya Daerah yang berciri kepulauan dan Daerah dengan basis perekonomian tertentu seperti sektor pariwisata atau sektor pertanian dan perikanan yang mendukung ketahanan pangan. Pasal 127 Cukup jelas. Pasal 128 Ayat (1) DAU Provinsii = Bobot provinsil x jumlah DAU provinsi dalam kelompok provinsi. Ayat (2) Bobot Provi = CF Provi ICF ^Prov dimana, CF Provinsil ICF ^Provinsi = Celah Fiskal untuk provinsil. = iumlah Celah Fiskal seluruh provinsi dalam kelompok provinsi. Pasal 129 Ayat (1) DAU kabupaten/kota1 = Bobot kabupaten/kota1 x jumlah DAU kabupaten dan kota dalam kelompok kabupaten/kota. Ayat (2) CF Kab / Kotai Bobot Kab/Kota,= ^_Vp XatlXon dimana, CF kabupaten/kota.1 Celah Fiskal untuk kabupaten/kota1. jumlah Celah Fiskal seluruh kabupaten dan kota dalam kelompok kabupaten/kota. CF'kabupaten dan kota Pasal 130 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (21 Cukup ^jelas. Ayat (3) Bagi Daerah yang tidak menerima alokasi DAU, untuk mendukung pembangunan sarana dan prasarana serta pemberdayaan masyarakat di kelurahan diperhitungkan dari alokasi DBH. Pasal 131 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. 33 Ayat (4) Penyinergian DAK dengan pendanaan lainnya bertujuan untuk mendukung pencapaian program, kegiatan, dan/atau kebijakan tertentu. Pendanaan lainnya dapat berasal dari TKD lainnya, Pembiayaan Utang Daerah, APBD, kerja sama pemerintah dan badan usaha, kerja sama antar-Daerah, dan belanja kementerian/lembaga. Belanja kementerian/lembaga yang masih mendanai urusan Daerah dialihkan menjadi DAK dalam hal Daerah telah memiliki kinerja baik dalam pengelolaan APBD. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 132 Ayat (1) Dana Otonomi Khusus bertujuan untuk mendukung penyelenggaraan otonomi khusus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Pasal 134 Ayat (1) Dana Desa bertujuan untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan, pembangu.nan, pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan yang menjadi kewenangan desa. Ayat (21 Cukup jelas. Ayat (s) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 135 Cukup ^jelas. Pasal 136 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "lokasi" adalah letak pengusahaan hutan, tambang, kepala sumur minyak bumi atau gas bumi, dan/atau wilayah kerja panas bumi yang menjadi dasar penetapan Daerah penghasil sumber daya alam. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Pasal 137 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "dialokasikan secara mandiri" adalah alokasi TKD dalam statusnya sebagai daerah otonom baru yang perhitungannya sesuai dengan formula yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan mengenai TKD. Ayat (21 Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan ^ulokasi" adalah letak pengusahaan hutan, tambang, kepala sumur minyak bumi atau gas bumi, dan/atau wilayah kerja panas bumi yang menjadi dasar penetapan Daerah penghasil sumber daya alam. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 138 Ayat (1) Penyaluran TKD dapat dilakukan secara langsung ke rekening penerima manfaat, seperti desa dan/atau sekolah. Dalam hal penyaluran TKD dilaksanakan dengan mekanisme tersebut, transaksi dimaksud tetap tercatat dalam APBD. Ayat (2) Dalam rangka pengelolaan kas pemerintahan yang efektif dan efisien, penyaluran dilaksanakan dalam skema pengelolaan kas Daerah yang terpadu. Hal ini dapat dilakukan melalui penggunaan akun tertentu yang dikelola oleh Pemerintah yang merepresentasikan rekening kas tiap-tiap Daerah. Pasal 139 Cukup ^jelas. Pasal 140 Cukup ^jelas. Pasal 141 Cukup jelas. Pasal 142 Cukup jelas. Pasal 143 Cukup ^jelas. Pasal 144 Cukup ^jelas. Pasal 145 Ayat (1) Alokasi belanja untuk mendanai Urusan Pemerintahan Daerah tertentu yang besarannya telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan seperti anggaran pendidikan, anggaran kesehatan, dan alokasi dana desa. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 146 Ayat (1) Belanja pegawai Daerah termasuk di dalamnya aparatur sipil negara, Kepala Daerah, dan anggota DPRD. Belanja pegawai Daerah pada ayat ini tidak termasuk belanja untuk tambahan penghasilan guru, tunjangan khusus guru, tunjangan profesi guru, dan tunjangan sejenis lainnya yang bersumber dari TKD yang telah ditentukan penggunaannya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 147 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "belanja infrastruktur pelayanan publik" adalah belanja infrastruktur Daerah yang langsung terkait dengan percepatan pembangunan dan/atau pemeliharaan fasilitas pelayanan publik yang berorientasi pada pembangunan ekonomi Daerah dalam rangka meningkatkan kesempatan kerja, mengurangi kemiskinan, dan mengurangi kesenjangan penyediaan layanan publik antar-Daerah. Yang dimaksud dengan "belanja bagi hasil dan/atau transfer kepada Daerah dan/atau desa" adalah belanja bagi hasil dan/atau transfer yang diwajibkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, antara lain bagi hasil Pajak provinsi kepada kabupaten/kota, bagi hasil Pajak dan Retribusi kabupaten/kota kepada desa, dan transfer kepada desa yang berasal dari Dana Desa dan alokasi dana desa. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup ^jelas. Pasal 148 Cukup ^jelas. Pasal 149 Cukup ^jelas. Pasal 150 Cukup jelas. Pasal 151 Cukup ^jelas. Pasal 152 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "dalam hal tertentu" adalah dalam rangka menjalankan arahan Presiden untuk kepentingan strategis nasional dan untuk memberikan masukan yang bersifat lintas sektor. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas. Pasal 153 . Cukup jelas. Pasal 154 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (s) Cukup ^jelas. Ayat (6) Cukup ^jelas. Ayat (7) Yang dimaksud "dalam hal tertentu" adalah kondisi kedaruratan yang mengakibatkan perkiraan pendapatan Daerah mengalami penurunan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari APBD. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 155 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Yang dimaksud "lembaga keuangan bank atau lembaga keuangan bukan bank" adalah lembaga keuangan yang dianggap mampu oleh Menteri. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 156 Cukup ^jelas. Pasal 157 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Hasil penjualan Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah digunakan untuk membiayai investasi sektor publik yang menghasilkan penerimaan dan/atau memberikan manfaat bagi masyarakat. Ayat (4) Cukup ^jelas. Ayat (s) Cukup ^jelas. Pasal 158 Ayat (1) Dasar penerbitan Sukuk Daerah tidak dimaksudkan sebagai jaminan penerbitan Sukuk Daerah. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "selain tanah dan/atau bangunan" dapat berupa barang berwujud ataupun barang tidak berwujud yang memiliki nilai ekonomis dan/atau memiliki aliran penerimaan kas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 159 Cukup jelas. Pasal 160 Cukup jelas. Pasal 161 Cukup ^jelas. Pasal 162 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "dana TKD yang tidak ditentukan penggunaannya" adalah DAU dan/atau DBH yang tidak ditentukan penggunaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan. Ayat (2) Cukup jelas. 40 Pasal 163 Cukup jelas. Pasal 164 Cukup ^jelas. Pasal 165 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "investasi yang bebas dari risiko penurunan nilai" adalah penempatan dana pada instrumen keuangan yang ditawarkan oleh lembaga keuangan yang telah diakui kredibilitasnya sehingga nilai pokok/awal investasi tidak dipengaruhi fluktuasi di pasar uang/pasar modal; fluktuasi hanya akan memengaruhi imbal hasil. Contoh penempatan dengan kriteria demikian misalnya adalah investasi pada Surat Berharga Negara hingga jatuh tempo atau tidak merealisasikan kerugian pada saat dijual, serta deposito pada bank yang sehat. Ayat (s) Cukup je1as. Pasal 166 Cukup jelas. Pasal 167 Cukup jelas. Pasal 168 Cukup jelas. Pasal 169 Ayat (1) Sinergi dimaksud dalam rangka mendukung pengelolaan fiskal pusat dan Daerah yang terintegrasi antara lain adalah refocusing, penyesuaian Belanja Daerah dan belanja pusat, mendukung kebijakan anti-cgclical, serta penyelarasan kebijakan fiskal nasional dan target capaian pembangunan nasional. Ayat (21 Cukup ^jelas. Pasal 170 Cukup ^jelas. Pasal 171 Cukup jelas. Pasal 172 Cukup jelas. Pasal 173 Yang dimaksud dengan "kondisi darurat" adalah memburuknya kondisi ekonomi makro dan keuangan yang menyebabkan fungsi dan peran APBN dan APBD tidak dapat berjalan secara efektif dan efisien, antara lain:
proyeksi pertumbuhan ekonomi di bawah asumsi dan deviasi asumsi dasar ekonomi makro lainnya secara signifikan;
proyeksi penurunan pendapatan negara fDaerah dan/atau meningkatnya belanja negara/Daerah secara signifikan; dan/atau
adanya ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Pasal 174 Sinergi bagan akun standar merupakan upaya sinergi dan pengintegrasian antara bagan akun standar pada Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Pasal 175 Cukup ^jelas. Pasal 176 Konsolidasi informasi keuangan Pemerintah Daerah meliputi informasi keuangan, informasi kinerja, informasi publik, informasi eksekutif, dan informasi terkait lainnya termasuk data transaksi Pemerintah Daerah, selaras dengan lagan akun standar untuk Pemerintah Daerah yang terintegrasi dengan bagan akun standar untuk Pemerintah Pusat, dengan tujuan menciptakan statistik keuangan dan laporan keuangan secara nasional yang selaras dan terkonsolidasi yang meliputi perencanaan, penganggaran, pelaksanaan arggaran, dan pelaporan. Pasal L77 Informasi lainnya antara lain adalah informasi kepegawaian dan layanan pengadaan barang dan jasa. Pasal 178 Cukup jelas. Pasal 179 Ayat (1) Pelaksanaan Pemantauan dan evaluasi terhadap Pelaksanaan TKD dan pelaksanaan APBD setidaknya berfokus pada i) pelaksanaan belanja wajib (mandatory spending), seperti belanja pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur; ii) likuiditas Keuangan Daerah; iii) SiLPA; serta iv) pemantauan dan evaluasi terhadap pencapaian outputatas program-program prioritas nasional dan Daerah. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 180 Cukup ^jelas. Pasal 181 Cukup ^jelas. Pasal 182 Cukup jelas. Pasal 183 Cukup ^jelas. Pasal 184 Cukup ^jelas. Pasal 185 Cukup ^jelas. 43 Pasal 186 Cukup ^je1as. Pasa1 187 Cukup ^jelas. Pasal 188 Cukup jelas. Pasal 189 Cukup ^jelas. Pasal 190 Cukup ^jelas. Pasal 191 Cukup ^jelas. Pasal 192 Cukup jelas. Pasal 193 Cukup ^jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6757
Tarif Pajak Reklame ditetapkan paling tinggi sebesar 2 57o (dua puluh lima persen).
Tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perda. Pasal 64 (1) Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasai pengenaan Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dengan tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (21.
Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Reklame tersebut diselenggarakan. (3) Khusus untuk Reklame berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) huruf e, Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat usaha penyelenggara Reklame terdaftar. Paragraf 12 PAT Pasal 65 (1) Objek PAT adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah. (2) Yang dikecualikan dari objek. PAT adalah pengambilan untuk:
keperluan dasar rumah tangga;
pengairan pertanian ralgzat;
perikanan rakyat;
peternakan ralryat;
keperluan keagamaan; dan
kegiatan lainnya yang diatur dengan Perda. Pasal 66 (1) Subjek PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
Wajib PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah. Pasal 67 (1) Dasar pengenaan PAT adalah nilai perolehan Air Tanah. (2) Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah. (3) Harga air baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah.
Bobot Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan atas faktor- faktor berikut:
^jenis sumber air;
lokasi sumber air;
tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
kualitas air; dan
tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air. Pasal 68 (1) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) diatur dengan peraturan gubernur dengan berpedoman pada peraturan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral. (2) Peraturan yang ditetapkan oleh menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan memperhatikan kebijakan kemudahan berinvestasi dan ditetapkan setelah mendapat pertimbangan dari Menteri. Pasal 69 (1) Tarif PAT ditetapkan paling tinggi sebesar 2Oo/o (dua puluh persen).
Tarif PAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perda. Pasal 70 (1) Besaran pokok PAT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) dengan tarif PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2). (2) PAT yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah. (3) Saat terutangnya PAT dihitung sejak pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah. Paragraf 13 Pajak MBLB Pasal 71 (1) Objek Pajak MBLB adalah kegiatan pengambilan MBLB yang meliputi:
asbes;
batu tulis;
batu setengah permata;
batu kapur;
batu apung;
batu permata;
bentonit;
dolomit;
feldspa4 j. garam batu (halite;
grafit;
granit/andesit;
gips;
kalsit;
kaolin;
leusit;
magnesit;
mika;
marmer;
nitrat;
obsidian;
oker;
pasir dan kerikil;
pasir kuarsa;
perlit;
fosfat;
aa. talk;
bb. tanah serap (fullers earth);
cc. tanah diatom;
dd. tanah liat;
ee. tawas (alum);
ff. tras ff. tras;
gg. yarosit;
hh. zeolit;
ii. basal; i,. ^trakhit;
kk. belerang;
MBLB ikutan dalam suatu pertambangan mineral; dan
mm. MBLB lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan penrndang-undangan.
Yang dikecualikan dari objek Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi pengambilan MBLB:
untuk keperluan rumah tangga dan tidak diperjualbelikan/ dipindahtangankan;
untuk keperluan pemancangan tiang listrik/telepon, penanaman kabel, penanaman pipa, dan sejenisnya yang tidak mengubah fungsi permukaan tanah; dan
untuk keperluan lainnya yang ditetapkan dengan Perda. Pasal T2 (1) Subjek Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB. (2) Wajib Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB. Pasal 73 (1) Dasar pengenaan Pajak MBLB adalah nilai jual hasil pengambilan MBLB. (2) Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian volume/tonase pengambilan MBLB dengan harga patokan tiap-tiap jenis MBLB. (3) Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan harga jual rata-rata tiap-tiap ^jenis MBLB pada mulut tambang yang berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan.
Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batu bara. Pasal 74 (1) Tarif Pajak MBLB ditetapkan paling tinggi sebesar 2070 (dua puluh persen).
Khusus untuk Daerah yang setingkat dengan Daerah provinsi yang tidak terbagi dalam Daerah kabupaten/kota otonom, tarif Pajak MBLB ditetapkan paling tinggi sebesar 25o/o (dua puluh lima persen).
Tarif Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Perda. Pasal 75 (1) Besaran pokok Pajak MBLB yang terutang dihituhg dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) dengan tarif Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam PasaL 74 ayat (3).
Pajak MBLB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB. Paragraf 14 Pajak Sarang Burung Walet Pasal 76 (1) Objek Pajak Sarang Burung Walet adalah pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet. (2) Yang dikecualikan dari objek Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
pengambilan sarang Burung Walet yang telah dikenakan penerimaan negara bukan pajak; dan
kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet lainnya yang ditetapkan dengan Perda. Pasal 77 (1) Subjek Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang Burung Walet. (2) Wajib Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang Burung Walet. Pasal 78 (1) Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet adalah nilai jual sarang Burung Walet. (2) Nilai jual sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum sarang Burung Walet yang berlaku di Daerah yang bersangkutan dengan volume sarang Burung Walet. Pasal 79 (1) Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).
Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan dengan Perda.
Opsen dikenakan atas Pajak terutang dari:
PKB;
BBNKB; dan
Pajak MBLB. Pasal 82 Wajib Pajak untuk Opsen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 menrpakan Wajib Pajak atas jenis Pajak:
PKB;
BBNKB; dan
Pajak MBLB. Pasal 83 (1) Tarif Opsen ditetapkan sebagai berikut:
Opsen PKB sebesar 66Vo (enam puluh enam persen);
Opsen BBNKB sebesar 66% (enam puluh enam persen); dan
Opsen Pajak MBLB sebesar 25o/o (dua puluh lima persen), dihitung dari besaran Pajak terutang. (2) Besaran tarif Opsen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perda. Pasal 84 (1) Opsen dipungut secara bersamaan dengan Pajak yang dikenakan Opsen. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Opsen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Paragraf 16 Bagi Hasil Pajak Provinsi Pasal 85 (1) Hasil penerimaan PBBKB dibagihasilkan sebesar 7070 (tujuh puluh persen) kepada kabupaten/kota. (2) Hasil penerimaan PAP dibagihasilkan sebesar 50% (lima puluh persen) kepada kabupaten/kota.
Khusus untuk penerimaan PAP dari sumber air yang berada hanya pada 1 (satu) wilayah kabupaten/kota, hasil penerimaan PAP dimaksud dibagihasilkan kepada kabupaten/kota yang bersangkutan sebesar 80% (delapan puluh persen). (4) Hasil penerimaan Pajak Rokok dibagihasilkan sebesar 70% (tujuh puluh persen) kepada kabupaten/kota. (5) Bagian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat(21, dan ayat (4) ditetapkan sebagai berikut:
PBBKB dibagi secara proporsional paling rendah 70% (tujuh puluh persen) berdasarkan jumlah Kendaraan Bermotor yang terdaftar di kabupaten/kota yang bersangkutan dan selisihnya dibagi rata kepada seluruh kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan;
PAP dibagi secara proporsional paling kurang berdasarkan panjang sungai dan/atau luas daerah tangkapan air; dan
Pajak Rokok dibagi secara proporsional paling kurang berdasarkan jumlah penduduk kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai bagi hasil kepada kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Perda provinsi. Paragraf L7 Penerimaan Pajak yang Diarahkan Penggunaannya Pasal 86 (1) Hasil penerimaan atas jenis pajak berikut:
PKB dan Opsen PKB;
PBJT atas Tenaga Listrik;
Pajak Rokok; dan
PAT, baik bagian provinsi maupun bagian kabupaten/kota dapat dialokasikan untuk mendanai kegiatan yang telah ditentukan penggunaannya.
Besaran persentase tertentu dan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselaraskan dengan pelayanan publik yang berkaitan dengan jenis Pajaknya. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran persentase tertentu dan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2\ diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Bagian Kedua Retribusi Paragraf 1 Jenis dan Objek Retribusi Pasal 87 (1) Jenis Retribusi terdiri atas:
Retribusi Jasa Umum;
Retribusi Jasa Usaha; dan
Retribusi Pedzinan Tertentu. (2) Objek Retribusi adalah penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa dan pemberian izin tertentu kepada orang pribadi atau Badan oleh Pemerintah Daerah. (3) Wajib Retribusi meliputi orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan. (a) Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib membayar atas layanan yang digunakan/ dinikmati. Paragrel 2 Jenis Pelayanan Retribusi Pasal 88 (1) Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) huruf a meliputi:
pelayanankesehatan;
pelayanan kebersihan;
pelayanan parkir di tepi jalan umum;
pelayanan pasar; dan
pengendalian lalu lintas. (2) Jenis pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat tidak dipungut Retribusi apabila potensi penerimaannya kecil dan/atau dalam rangka pelaksanaan kebijakan nasional/daerah untuk memberikan pelayanan tersebut secara cuma-cuma. (3) Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) huruf b meliputi:
penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan;
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/vila;
pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
pelayanan jasa kepelabuhanan;
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air;
penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) huruf c meliputi:
persetujuan bangunan gedung;
penggunaan tenaga kerja asing; dan
pengelolaan pertambangan ralgrat.
Retribusi persetujuan bangunan gedung sebagaim4na dimaksud pada ayat (4) huruf a merupakan pungutan atas penerbitan persetujuan bangunan gedung oleh Daerah. (6) Retribusi penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b merupakan dana kompensasi penggunaan tenaga kerja asing atas pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga kerja asing. (7) Retribusi pengelolaan pertambangan ralgiat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c merupakan pungutan Daerah berupa iuran pertambangan rakyat kepada pemegang izin pertambangan ralqrat oleh Pemerintah Daerah dalam rangka menjalankan delegasi kewenangan Pemerintah di bidang pertambangan mineral dan batu bara. (8) Penambahan jenis Retribusi selain jenis Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. (9) Ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (8) antara lain:
Objek Retribusi;
Subjek dan Wajib Retribusi;
Prinsip dan sasaran penetapan tarif Retribusi; dan
Tata cara penghitungan Retribusi. Pasal 89 Ketentuan lebih lanjut mengenai Retribusi diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Paragraf 3 Tata Cara Penghitungan Retribusi Pasal 90 Besaran Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi. FFTE S I DEN REPUELIK INDONESIA Pasal 91 Tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan. Pasal 92 (1) Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya Retribusi yang terutang. (21 Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditentukan seragam atau bervariasi menurut golongan sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif Retribusi. Pasal 93 (1) Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali. (2) Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi. (3) Penetapan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (21 ditetapkan dengan Perkada. Bagian Ketiga Muatan Perda tentang Pajak dan Retribusi Pasal 94 Jenis Pajak dan Retribusi, Subjek Pajak dan Wajib Pajak, Subjek Retribusi dan Wajib Retribusi, objek Pajak dan Retribusi, dasar pengenaan Pajak, tingkat penggunaan jasa Retribusi, saat terutang Pajak, wilayah pemungutan Pajak, serta tarif Pajak dan Retribusi, untuk seluruh jenis Pajak dan Retribusi ditetapkan dalam 1 (satu) Perda dan menjadi dasar pemungutan Pajak dan Retribusi di Daerah.
Tata Cara Pemberian Fasilitas Penyiapan dan Pelaksanaan Transaksi Pemanfaatan Barang Milik Negara
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Fasilitas Penyiapan dan Pelaksanaan Transaksi yang selanjutnya disebut Fasilitas adalah bantuan dan dukungan yang disediakan oleh Menteri Keuangan kepada penanggung jawab pemanfaatan barang milik negara.
Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban anggaran pendapatan dan belanja negara atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
Dana Fasilitas adalah dana yang digunakan untuk membiayai pelaksanaan Fasilitas.
Penanggung Jawab Pemanfaatan BMN yang selanjutnya disingkat PJPB adalah pengelola barang atau pengguna barang yang bertanggung jawab terhadap pemanfaatan BMN.
Permohonan Fasilitas adalah naskah dinas yang berisi permohonan mengenai penyediaan Fasilitas yang diajukan oleh PJPB kepada Menteri Keuangan atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Surat Persetujuan Fasilitas adalah surat yang ditandatangani oleh Menteri Keuangan yang berisi persetujuan atas pemberian Fasilitas.
Keputusan Penugasan adalah Keputusan Menteri Keuangan yang berisi mengenai penugasan khusus kepada badan usaha milik negara tertentu untuk melaksanakan Fasilitas yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko.
Kesepakatan Induk adalah kesepakatan antara Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko selaku pemberi Fasilitas dengan Pengguna Barang sebagai PJPB selaku penerima Fasilitas.
Perjanjian untuk Penugasan Khusus yang selanjutnya disebut Perjanjian Penugasan adalah perjanjian antara Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dengan direktur utama atau wakil yang sah dari badan usaha milik negara yang ditugaskan untuk melaksanakan Fasilitas.
Perjanjian Pelaksanaan Fasilitas adalah perjanjian antara PJPB dengan direktur utama dari badan usaha milik negara yang ditugaskan untuk melaksanakan Fasilitas.
Tahap Penyiapan adalah tahap kegiatan yang meliputi penyusunan dokumen kajian peningkatan nilai BMN dan skema pemanfaatan, kajian rekomendasi transaksi, daftar BMN dan/atau dokumen pendukung lainnya untuk pelaksanaan transaksi, pelaksanaan penjajakan minat pasar, sehingga dapat selaras dengan rencana Pemanfaatan dan/atau segala kajian dan/atau dokumen pendukung lainnya.
Tahap Pelaksanaan Transaksi adalah tahap setelah diselesaikannya Tahap Penyiapan untuk pelaksanaan tender pemanfaatan BMN.
Penasihat Transaksi adalah pihak yang terdiri atas penasihat/konsultan di bidang teknis, di bidang keuangan, di bidang hukum dan/atau regulasi, di bidang lingkungan, di bidang properti dan/atau bidang lainnya, baik perorangan, badan usaha, lembaga nasional atau lembaga internasional yang bertugas untuk membantu pelaksanaan Fasilitas.
Hasil Keluaran adalah segala kajian, dokumen, dan/atau bentuk lainnya yang disiapkan dan dipergunakan untuk mendukung proses penyiapan dan pelaksanaan transaksi pemanfaatan BMN.
Kajian Peningkatan Nilai BMN dan Skema Pemanfaatan adalah kajian atas upaya peningkatan nilai BMN dan pilihan skema pemanfaatan BMN yang akan digunakan, strategi komunikasi yang tepat, kerangka waktu kerja, rencana keterlibatan pemangku kepentingan.
Kajian Rekomendasi Transaksi adalah kajian yang mencakup rekomendasi transaksi untuk setiap BMN, mekanisme pengumpulan dana atas hasil pemanfaatan BMN, serta pengawasan dan evaluasi.
Data BMN adalah data yang memuat informasi dan penggunaan BMN berupa tanah dan/atau bangunan berikut fasilitas yang melekat pada tanah dan/atau bangunan yang berada pada PJPB untuk disampaikan dalam rangka penyampaian permohonan Fasilitas kepada Menteri Keuangan.
Penjajakan Minat Pasar adalah proses interaksi untuk mengetahui masukan maupun minat badan usaha atas BMN yang akan dimanfaatkan.
Pemanfaatan adalah pendayagunaan BMN yang tidak digunakan untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi kementerian negara/lembaga dan/atau optimalisasi BMN dengan tidak mengubah status kepemilikan.
Bangun Guna Serah yang selanjutnya disingkat BGS adalah Pemanfaatan BMN berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati, untuk selanjutnya diserahkan kembali tanah beserta bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya setelah berakhirnya jangka waktu.
Bangun Serah Guna yang selanjutnya disingkat BSG adalah Pemanfaatan BMN berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, dan setelah selesai pembangunannya diserahkan untuk didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang disepakati.
Kerja Sama Pemanfaatan yang selanjutnya disingkat KSP adalah Pemanfaatan BMN oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dalam rangka peningkatan penerimaan negara bukan pajak dan sumber pembiayaan lainnya.
Pengelola Barang adalah pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab menetapkan kebijakan dan pedoman serta melakukan pengelolaan BMN.
Pengguna Barang adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan BMN.
Kementerian Negara yang selanjutnya disebut Kementerian adalah perangkat pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
Lembaga organisasi non Kementerian Negara dan instansi lain pengguna anggaran yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau peraturan perundang- undangan lainnya.
Menteri/Pimpinan Lembaga adalah pejabat yang bertanggung jawab atas penggunaan BMN pada Kementerian/Lembaga yang bersangkutan.
Menteri adalah Menteri Keuangan.
Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa
Relevan terhadap
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENERAPAN PRINSIP KEWAJARAN DAN KELAZIMAN USAHA DALAM TRANSAKSI YANG DIPENGARUHI HUBUNGAN ISTIMEWA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. 2. Undang-Undang tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 • tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. 3. Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. 4. Harga Transfer adalah harga dalam transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa.
Pihak Afiliasi adalah pihak yang mempunyai hubungan istimewa satu sama lain. 6. Transaksi Afiliasi adalah transaksi yang dilakukan wajib pajak dengan Pihak Afiliasi. 7. Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa adalah transaksi yang meliputi Transaksi Afiliasi dan/atau transaksi yang dilakukan antarpihak yang tidak memiliki hubungan istimewa tetapi Pihak Afiliasi dari salah satu atau kedua pihak yang bertransaksi tersebut menentukan lawan transaksi dan harga transaksi. 8. Transaksi Independen adalah transaksi yang dilakukan antarpihakyang tidak memiliki hubungan istimewa dan tidak dipengaruhi hubungan istimewa. 9. Penentuan Harga Transfer (Transfer Pricing) yang selanjutnya disebut Penentuan Harga Transfer adalah penentuan harga dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa. 10. Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha yang Tidak Dipengaruhi oleh Hubungan Istimewa (Ann's Length Principle/ ALP) yang selanjutnya disebut Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha adalah prinsip yang berlaku di dalam praktik bisnis yang sehat yang dilakukan se bagaimana Transaksi Independen. 11. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/ a tau tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan. 12. Dokumen Penentuan Harga Transfer adalah dokumen yang diselenggarakan oleh wajib pajak yang memuat data dan/ a tau informasi untuk mendukung bahwa transaksi yang dilakukan dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa telah sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman U saha. 13. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. 14. Grup Usaha adalah sekumpulan subjek pajak yang menjalankan kegiatan usaha yang terdiri dari pihak- pihak yang mempunyai hubungan istimewa. 15. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia dan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra untuk mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda dan pengelakan pajak. 16. Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda adalah negara atau yurisdiksi yang terikat dengan Pemerintah Indonesia dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. 1 7. Otoritas Pajak Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda adalah otoritas perpajakan pada Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berwenang melaksanakan ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. 18. Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure/ MAP) yang selanjutnya disebut Prosedur Persetujuan Bersama adalah prosedur administratif yang diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. 19. Pejabat Berwenang terkait pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yang selanjutnya disebut Pejabat Berwenang adalah pejabat di Indonesia atau pejabat di Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berwenang untuk melaksanakan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. 20. Persetujuan Bersama adalah hasil yang telah disepakati dalam penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda oleh Pejabat Berwenang dari Pemerintah Indonesia dan Pejabat Berwenang dari pemerintah Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sehubungan dengan Prosedur Persetujuan Bersama yang telah dilaksanakan. 21. Surat Keputusan Persetujuan Bersama adalah surat keputusan yang diterbitkan untuk menindaklanjuti kesepakatan dalam Persetujuan Bersama. 22. Warga Negara Indonesia yang mengajukan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yang selanjutnya disebut Warga Negara Indonesia adalah Warga Negara Indonesia berdasarkan ketentuan perundang-undangan di bidang kewarganegaraan yang menjadi wajib pajak dalam negeri Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. 23. Pemohon adalah Wajib Pajak dalam negeri atau Warga Negara Indonesia. 24. Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement/ APA) yang selanjutnya disebut Kesepakatan Harga Transfer adalah perjanjian tertulis antara Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak atau Otoritas Pajak Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang menyangkut wajib pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3a) Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan untuk menyepakati kriteria dalam Penentuan Harga Transfer dan/atau menentukan harga wajar atau laba wajar di muka. 25. Naskah Kesepakatan Harga Transfer adalah dokumen yang berisi kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak dalam negeri mengenai kriteria dalam Penentuan Harga Transfer dan Penentuan Harga Transfer di muka sesuai Prinsip Kewajaran dan Kelaziman U saha selama periode kesepakatan harga transfer serta pemberlakuan mundur.
Kesepakatan Harga Transfer Unilateral adalah Kesepakatan Harga Transfer antara Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak dalam negeri. 27. Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral adalah Kesepakatan Harga Transfer antara Direktur Jenderal Pajak dan 1 (satu) atau lebih Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang dilaksanakan berdasarkan permohonan Wajib Pajak dalam negeri. 28. Periode Kesepakatan Harga Transfer adalah tahun pajak yang dicakup di dalam Kesepakatan Harga Transfer sesuai permohonan Wajib Pajak dalam negeri atau sesuai Persetujuan Bersama paling lama 5 (lima) tahun pajak setelah tahun pajak diajukannya permohonan Kesepakatan Harga Transfer. 29. Pemberlakuan Mundur (Roll-back) yang selanjutnya disebut Pemberlakuan Mundur adalah pemberlakuan hasil kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Transfer untuk tahun pajak sebelum Periode Kesepakatan Harga Transfer. 30. Portal Wajib Pajak adalah sarana Wajib Pajak untuk melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan secara elektronik pada laman Direktorat Jenderal Pajak. BAB II HUBUNGAN ISTIMEWA Pasal 2 (1) Hubungan istimewa merupakan hubungan istimewa sebagaimana diatur dalam:
Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan; dan
Undang-Undang tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. (2) Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keadaan ketergantungan atau keterikatan satu • pihak dengan pihak lainnya yang disebabkan oleh:
kepemilikan atau penyertaan modal;
penguasaan; atau
hubungan keluarga sedarah atau semenda. (3) Keadaan ketergantungan atau keterikatan antara satu pihak dan pihak lainnya se bagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan keadaan satu atau lebih pihak:
mengendalikan pihak yang lain; atau
tidak berdiri bebas, dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan. (4) Hubungan istimewa karena kepemilikan atau penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dianggap ada dalam hal:
Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; atau
hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada 2 (dua) Wajib Pajak atau lebih atau hubungan di antara 2 (dua) Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir. (5) Hubungan istimewa karena penguasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dianggap ada dalam hal:
satu pihak menguasai pihak lain atau satu pihak dikuasai oleh pihak lain, secara langsung dan/atau tidak langsung;
dua pihak atau lebih berada di bawah penguasaan pihak yang sama secara langsung dan/atau tidak langsung;
satu pihak menguasai pihak lain atau satu pihak dikuasai oleh pihak lain melalui manajemen atau penggunaan teknologi;
terdapat orang yang sama secara langsung dan/atau tidak langsung terlibat atau berpartisipasi di dalam pengambilan keputusan manajerial atau operasional pada dua pihak a tau le bih;
para pihak yang secara komersial atau finansial diketahui atau menyatakan diri berada dalam satu Grup U saha yang sama; atau
satu pihak menyatakan diri memiliki hubungan istimewa dengan pihak lain. (6) Hubungan istimewa karena hubungan keluarga sedarah atau semenda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dianggap ada dalam hal terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat. BAB III PENERAPAN PRINSIP KEWAJARAN DAN KELAZIMAN USAHA Bagian Kesatu Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha Pasal 3 (1) Wajib Pajak wajib menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman U saha dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban di bidang perpajakan terkait Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan lstimewa. (2) Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan untuk menentukan Harga Transfer yang wajar. (3) Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterapkan dengan membandingkan kondisi dan indikator harga Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dengan kondisi dan indikator harga Transaksi Independen yang sama atau sebanding. (4) Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam hal nilai indikator Harga Transfer sama dengan nilai indikator harga Transaksi Independen yang sebanding. (5) Indikator harga sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa harga transaksi, laba kotor, atau laba operasi bersih berdasarkan nilai absolut atau nilai rasio tertentu. Bagian Kedua Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman U saha dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa Paragraf 1 Pedoman Umum Pasal 4 (1) Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman U saha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) wajib dilakukan:
berdasarkan keadaan yang se benarnya;
pada saat Penentuan Harga Transfer dan/atau saat terjadinya Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa; dan
sesuai dengan tahapan penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman U saha. (2) Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara terpisah untuk setiap jenis Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa. (3) Dalam hal terdapat dua atau lebih jenis Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang saling berkaitan dan memengaruhi satu sama lain dalam Penentuan Harga Transfer sehingga penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman U saha secara terpisah se bagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dilakukan secara andal dan akurat, penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman U saha dapat dilakukan dengan menggabungkan dua atau lebih jenis Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa tersebut. (4) Tahapan penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman U saha se bagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
mengidentifikasi Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dan Pihak Afiliasi;
melakukan analisis industri yang terkait dengan kegiatan usaha Wajib Pajak, termasuk mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi kinerja usaha dalam industri tersebut;
mengidentifikasi hubungan komersial dan/atau keuangan antara Wajib Pajak dan Pihak Afiliasi dengan melakukan analisis atas kondisi transaksi;
melakukan analisis kesebandingan;
menentukan metode Penentuan Harga Transfer; dan
menerapkan metode Penentuan Harga Transfer dan menentukan Harga Transfer yang wajar.
Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha untuk Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa tertentu harus dilakukan dengan tahapan pendahuluan dan tahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (6) Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) meliputi:
transaksi jasa;
transaksi terkait penggunaan atau hak menggunakan harta tidak berwujud;
transaksi keuangan terkait pinjaman;
transaksi keuangan lainnya;
transaksi pengalihan harta;
restrukturisasi usaha; dan
kesepakatan kontribusi biaya. Paragraf 2 Identifikasi Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dan Pihak Afiliasi Pasal 5 Identifikasi Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dan Pihak Afiliasi,sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf a merupakan kegiatan untuk mengidentifikasi:
Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang dilakukan oleh Wajib Pajak;
pihak-pihak yang terlibat dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa sebagaimana dimaksud dalam huruf a; dan
bentuk hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2). Paragraf 3 Analisis Industri Pasal 6 (1) Analisis industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf b merupakan analisis untuk mengidentifikasi faktor-faktor berupa:
jenis produk berupa barang atau jasa;
karakteristik industri dan pasar, seperti pertumbuhan pasar, segmentasi pasar, siklus pasar, teknologi, ukuran pasar, prospek pasar, rantai pasokan, dan rantai nilai;
pesaing dan tingkat persaingan usaha;
tingkat efisiensi dan keunggulan lokasi Wajib Pajak;
keadaan ekonomi yang memengaruhi kinerja usaha dalam industri tersebut, seperti tingkat infl.asi, pertumbuhan ekonomi, suku bunga, dan nilai tukar / kurs;
regulasi yang memengaruhi dan/atau menentukan keberhasilan dalam industri; dan
faktor-faktor selain faktor-faktor sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf f yang memengaruhi kinerja usaha dalam industri terse but.
Hasil analisis industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan dalam mengidentifikasi perbedaan antara kondisi Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan lstimewa yang diuji dan kondisi transaksi calon pembanding saat melakukan analisis kesebandingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf d. Paragraf 4 Analisis atas Kondisi Transaksi Pasal 7 (1) Kondisi transaksi se bagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf c merupakan karakteristik ekonomi yang relevan, berupa:
keten tuan kon traktual;
fungsi yang dilakukan, aset yang digunakan, dan risiko yang di tanggung;
karakteristik produk yang ditransaksikan;
keadaan ekonomi; dan
strategi bisnis yang dijalankan para pihak yang bertransaksi. (2) Ketentuan kontraktual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan ketentuan yang dilaksanakan dan/atau berlaku bagi para pihak yang bertransaksi sesuai keadaan yang se benarnya, baik secara tertulis atau tidak tertulis. (3) Fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan aktivitas dan/ a tau tanggung jawab pihak- pihak yang bertransaksi dalam menjalankan kegiatan usaha. (4) Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan aset berwujud, aset tidak berwujud, aset keuangan, dan/atau aset non-keuangan yang berpengaruh dalam pembentukan nilai (value creation), termasuk akses dan tingkat penguasaan pasar di Indonesia. (5) Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan dampak dari kondisi ketidakpastian dalam mencapai tujuan usaha yang ditanggung pihak-pihak yang bertransaksi. (6) Karakteristik produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan karakteristik spesifik dari barang atau jasa yang ditransaksikan dan secara signifikan memengaruhi penetapan harga dalam pasar terbuka. (7) Keadaan ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan kondisi ekonomi dari:
para pihak yang bertransaksi; dan
pasar tempat para pihak bertransaksi. (8) Strategi bisnis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e merupakan strategi yang dijalankan perusahaan dalam menjalankan usaha di pasar terbuka. Paragraf 5 Analisis Kesebandingan Pasal 8 (1) Analisis kesebandingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf d dilakukan untuk menentukan kesebandingan antara Transaksi Independen dan Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa atas kondisi transaksi se bagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1). (2) Transaksi Independen sama atau sebanding dengan Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang diuji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) sepanJang:
kondisi Transaksi Independen sama atau serupa dengan kondisi Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang diuji;
kondisi Transaksi Independen berbeda dengan kondisi Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang diuji, tetapi perbedaan kondisi tersebut tidak memengaruhi penentuan harga; atau
kondisi Transaksi Independen berbeda dengan kondisi Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang diuji dan perbedaan kondisi tersebut memengaruhi penentuan harga, tetapi penyesuaian yang akurat dapat dilakukan secara memadai terhadap Transaksi lndependen untuk menghilangkan dampak material perbedaan kondisi tersebut terhadap penentuan harga. (3) Analisis kesebandingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:
memahami karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang sedang diuji berdasarkan hasil identifikasi hubungan komersial dan/atau keuangan antara Wajib Pajak dan Pihak Afiliasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf c dan menentukan karakteristik usaha masing-masing pihak yang bertransaksi;
mengidentifikasi keberadaan Transaksi Independen yang menjadi calon pembanding yang andal;
menentukan pihak yang diuji indikator harganya dalam hal metode Penentuan Harga Transfer yang digunakan merupakan metode yang berbasis laba;
mengidentifikasi perbedaan kondisi antara Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan lstimewa yang diuji dan calon pembanding;
melakukan penyesuaian yang akurat secara layak atas calon pembanding untuk menghilangkan dampak material perbedaan kondisi sebagaimana dimaksud dalam huruf d terhadap indikator harga transaksi; dan
menentukan Transaksi Independen yang menjadi pembanding terpilih. (4) Pihak yang diuji indikator harganya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c merupakan pihak dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang memiliki fungsi, aset, dan risiko yang lebih sederhana dengan mempertimbangkan:
penerapan metode Penentuan Harga Transfer; dan
ketersediaan data, yang paling andal dan dapat digunakan. (5) Pembanding sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf f dapat berupa pembanding internal atau pembanding eksternal. (6) Pembanding internal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan transaksi antara pihak yang independen dan:
Wajib Pajak; atau
Pihak Afiliasi yang merupakan lawan transaksi. (7) Pembanding eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan transaksi antarpihak yang independen selain pembanding internal. (8) Dalam hal tersedia pembanding internal dan pembanding eksternal dengan tingkat kesebandingan dan keandalan yang sama, pembanding internal yang dipilih dan digunakan sebagai pembanding. (9) Dalam hal tersedia lebih dari satu pembanding eksternal dengan tingkat kese bandingan dan keandalan yang sama, pembanding eksternal yang berasal dari negara atau yurisdiksi yang sama dengan pihak yang diuji, dipilih dan digunakan sebagai pembanding. Paragraf 6 Metode Penentuan Harga Transfer Pasal 9 (1) Metode Penentuan Harga Transfer dalam tahapan penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf e dapat berupa:
metode perbandingan harga antarpihak yang independen ( _comparable uncontrolled price method); _ b. metode harga penjualan kembali (resale price _method); _ c. metode biaya-plus (cost plus _method); _ atau d. metode lainnya, seperti:
metode pembagian laba _(profit split method); _ 2. metode laba bersih transaksional ( transactional net _margin method); _ 3. metode perbandingan transaksi independen ( _comparable uncontrolled transaction method); _ 4. metode dalam penilaian harta berwujud dan/atau harta tidak berwujud (tangible asset and intangible asset _valuation); _ a tau 5. metode dalam penilaian bisnis ( business valuation). (2) Metode sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih berdasarkan ketepatan dan keandalan metode, yang dinilai dari:
kesesuaian metode Penentuan Harga Transfer dengan karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang diuji dan karakteristik usaha para pihak yang bertransaksi;
kelebihan dan kekurangan setiap metode yang dapat diterapkan;
ketersediaan Transaksi Independen yang menjadi pembanding yang andal;
tingkat kesebandingan antara Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dan Transaksi Independen yang menjadi pembanding; dan
keakuratan penyesuaian yang dibuat dalam hal terdapat perbedaan kondisi antara Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dan Transaksi Independen yang menjadi pembanding. (3) Metode perbandingan harga antarpihak yang independen ( comparable uncontrolled price method) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sesuai un tuk karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa sebagai berikut:
transaksi produk komoditas; dan
transaksi barang atau jasa dengan karakteristik barang atau jasa yang sama atau serupa dengan karakteristik barang atau jasa pada Transaksi Independen dalam kondisi yang sebanding. (4) Metode harga penjualan kembali (resale price method) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sesuai untuk karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan lstimewa dan karakteristik usaha para pihak yang bertransaksi sebagai berikut:
Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dilakukan dengan melibatkan distributor atau reseller yang melakukan penjualan kembali barang atau jasa kepada pihak yang independen atau kepada Pihak Afiliasi dengan harga yang telah memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha;dan b. distributor atau reseller sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak menanggung risiko bisnis yang signifikan, tidak memiliki kontribusi unik dan bernilai terhadap Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa, atau tidak memberikan nilai tambah yang signifikan terhadap barang atau jasa yang ditransaksikan. (5) Metode biaya-plus (cost plus method) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c sesuai untuk karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dan karakteristik usaha para pihak yang bertransaksi sebagai berikut:
Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dilakukan dengan melibatkan pabrikan atau penyedia jasa yang membeli bahan baku dan/atau faktor produksi lainnya dari pihak yang independen atau dari Pihak Afiliasi dengan harga yang telah memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha;dan b. pabrikan atau penyedia jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak menanggung risiko bisnis yang signifikan dan tidak memiliki kontribusi unik dan bernilai terhadap Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa. (6) Metode pembagian laba (profit split method) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d angka 1 sesuai untuk karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan lstimewa dan karakteristik usaha para pihak yang bertransaksi sebagai berikut:
Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dilakukan oleh para pihak yang memiliki kontribusi unik dan bernilai terhadap Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa;
kegiatan usaha para pihak yang bertransaksi merupakan kegiatan usaha yang sangat terintegrasi (highly integrated) sehingga kontribusi masing- masing pihak yang bertransaksi tidak dapat dilakukan analisis secara terpisah; dan
para pihak yang bertransaksi saling berbagi risiko bisnis yang signifikan secara ekonomi (share the assumption of economically significant risks) atau secara terpisah menanggung risiko bisnis yang saling berkaitan (separately assume closely related risks). (7) Metode laba bersih transaksional ( transactional net margin method) se bagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d angka 2 dapat dipilih sepanjang pembanding yang andal dan sebanding di tingkat harga dan laba kotor tidak tersedia dan sesuai untuk karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dan karakteristik usaha para pihak yang bertransaksi sebagai berikut:
Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dilakukan oleh salah satu pihak atau para pihak yang tidak memiliki kontribusi unik dan bernilai terhadap Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa;
kegiatan usaha para pihak yang bertransaksi merupakan kegiatan usaha yang tidak terintegrasi _(non-highly integrated); _ dan c. para pihak yang bertransaksi tidak saling berbagi risiko bisnis yang signifikan secara ekonomi ( not sharing of the assumption of economically significant risks) atau secara terpisah tidak menanggung risiko bisnis yang saling berkaitan (separately not assuming closely related risks). (8) Metode perbandingan Transaksi Independen ( comparable uncontrolled transaction method) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d angka 3 sesuai untuk karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan lstimewa yang secara komersial dinilai berdasarkan basis tertentu, berupa tingkat suku bunga, diskonto, provisi, komisi, dan persentase royalti terhadap penjualan atau laba operasi. (9) Metode dalam penilaian harta berwujud dan/atau harta tidak berwujud (tangible asset and intangible asset valuation) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d angka 4 sesuai untuk karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan lstimewa berupa:
transaksi pengalihan harta berwujud dan/atau harta tidak berwujud;
transaksi penyewaan harta berwujud;
transaksi sehubungan dengan penggunaan atau hak menggunakan harta tidak berwujud;
transaksi pengalihan aset keuangan;
transaksi pengalihan hak sehubungan dengan pengusahaan wilayah pertambangan dan/atau hak sejenis lainnya; dan
transaksi pengalihan hak sehubungan dengan pengusahaan perkebunan, kehutanan, dan/atau hak sej enis lainnya. (10) Metode dalam penilaian bisnis (business valuation) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d angka 5 sesuai untuk karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa berupa:
transaksi sehubungan dengan restrukturisasi usaha, termasuk pengalihan fungsi, aset, dan/atau risiko antar-Pihak Afiliasi;
transaksi pengalihan harta selain kas kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal _(inbreng); _ dan c. transaksi pengalihan harta selain kas kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota dari perseroan, persekutuan, atau badan lainnya. (11) Kontribusi yang unik dan bernilai sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a merupakan kontribusi yang:
lebih signifikan dari kontribusi yang diberikan oleh pihak yang independen dalam kondisi yang sebanding; dan
menjadi sumber utama manfaat ekonomi aktual atau potensial dalam kegiatan usaha. (12) Dalam hal metode sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau ayat (1) huruf d angka 3 dan metode yang lain dapat digunakan dan memiliki keandalan yang setara, maka metode sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau ayat (1) huruf d angka 3 lebih diutamakan daripada metode yang lain. (13) Dalam hal metode sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, ayat (1) huruf c, ayat (1) huruf d angka 1, dan ayat (1) huruf d angka 2 dapat digunakan dan memiliki keandalan yang setara, maka metode sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b atau ayat (1) huruf c lebih diutamakan daripada metode sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d angka 1 dan ayat (1) huruf d angka 2. Paragraf 7 Penerapan Metode Penentuan Harga Transfer dan Penentuan Harga Transfer yang Wajar Pasal 10 (1) Metode perbandingan harga antarpihak yang independen (comparable uncontrolled price method) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a dilakukan dengan membandingkan harga antara Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang diuji dan Transaksi Independen. (2) Metode harga penjualan kembali (resale price method) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b dilakukan dengan mengurangkan laba kotor yang wajar untuk distributor atau reseller terhadap harga jual kembali. (3) Metode biaya-plus (cost plus method) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c dilakukan dengan menambahkan tingkat laba kotor wajar pabrikan atau penyedia jasa terhadap harga pokok penjualan barang atau jasa. (4) Metode pembagian laba (profit split method) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d angka 1 dilakukan dengan membagi laba gabungan transaksi yang relevan berdasarkan fungsi, aset, risiko, dan/atau kontribusi para pihak di dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa. (5) Metode laba bersih transaksional (transactional net margin method) se bagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d angka 2 dilakukan dengan membandingkan tingkat laba operasi bersih pihak yang diuji dengan tingkat laba operasi bersih pembanding. (6) Metode perbandingan Transaksi lndependen (comparable uncontrolled transaction) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d angka 3 dilakukan dengan membandingkan harga atau laba transaksi terhadap basis tertentu antara Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dan Transaksi Independen. (7) Metode dalam penilaian harta berwujud dan/atau harta tidak berwujud (tangible asset and intangible asset valuation) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d angka 4 dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara penilaian untuk tujuan perpajakan. (8) Metode dalam penilaian bisnis (business valuation) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d angka 5 dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara penilaian untuk tujuan perpajakan. Pasal 11 (1) Pembagian laba gabungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) dapat dilakukan di tingkat laba kotor atau laba operasi bersih. (2) Tingkat laba gabungan yang dibagi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan oleh tingkat integrasi fungsi, penggunaan aset, dan/atau pembagian risiko bisnis yang signifikan secara ekonomi dari para pihak yang bertransaksi dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa. (3) Laba gabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibagi dengan menggunakan:
pendekatan berbasis kontribusi (contribution _analysis); _ atau b. pendekatan berbasis laba residu (residual analysis). (4) Pendekatan berbasis kontribusi (contribution analysis) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dilakukan dengan membagi laba gabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan faktor pembagi. (5) Pendekatan berbasis laba residu (residual analysis) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dilakukan dengan memisahkan laba gabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi:
laba yang berasal dari kontribusi masing-masing pihak yang bertransaksi yang dapat diperoleh secara andal pembandingnya dalam Transaksi Independen; dan
sisa laba gabungan setelah dikurangi laba sebagaimana dimaksud dalam huruf a, yang dapat bernilai positif ataupun negatif. (6) Sisa laba gabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b dibagi berdasarkan faktor pembagi. (7) Faktor pembagi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (6) dapat berupa:
persentase pembagian laba oleh pihak-pihak dalam Transaksi Independen yang se banding; a tau b. nilai relatif atau persentase kontribusi para pihak yang bertransaksi dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa, dalam hal data sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak tersedia. (8) Faktor pembagi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
terbebas dari Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa;
dapat diverifikasi; dan
didukung oleh data pembanding atau data internal pihak-pihak yang bertransaksi dan/atau data lainnya yang relevan. Pasal 12 (1) Nilai indikator harga Transaksi Independen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) dapat berupa:
titik kewajaran (ann's length _point); _ atau b. titik di dalam rentang kewajaran (ann's length range). (2) Nilai indikator harga Transaksi Independen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk berdasarkan data pembanding tahun tunggal (single year). (3) Nilai indikator harga Transaksi Independen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibentuk berdasarkan data pembanding tahun jamak (multiple year) sepanjang dapat meningkatkan kesebandingan. (4) Data pembanding tahun tunggal (single year) atau tahun jamak (multiple year) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) merupakan data yang tersedia dan paling mendekati pada saat Penentuan Harga Transfer dan/atau terjadinya Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa. (5) Titik kewajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan titik indikator harga yang terbentuk dari satu atau lebih pembanding yang memiliki nilai indikator harga yang sama. (6) Rentang kewajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan rentang indikator harga yang terbentuk dari dua atau lebih pembanding yang memiliki nilai indikator harga yang berbeda, berupa:
nilai minimum sampai dengan nilai maksimum (full range), dalam hal terbentuk dari dua pembanding; atau
nilai kuartil satu sampai dengan nilai kuartil tiga (interquartile range), dalam hal terbentuk dari tiga atau lebih pembanding. (7) Dalam hal Harga Transfer tidak memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), Penentuan Harga Transfer dilakukan sebagaimana penentuan harga dalam Transaksi Independen dengan menggunakan:
titik kewajaran;
titik yang paling tepat di dalam rentang kewajaran sesuai kesebandingannya; atau
titik tengah (median) di dalam rentang kewajaran, dalam hal tidak dapat ditentukan titik paling tepat sebagaimana dimaksud dalam huruf b. Paragraf 8 Tahapan Pendahuluan Pasal 13 (1) Tahapan pendahuluan untuk transaksi jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6) huruf a meliputi pembuktian bahwa jasa terse but:
secara nyata telah diberikan oleh pemberi jasa dan diperoleh penerima jasa;
dibutuhkan oleh penerima jasa;
memberikan manfaat ekonomis kepada penenma jasa;
bukan merupakan aktivitas untuk kepentingan pemegang saham atau jenis kepemilikan lainnya yang modalnya tidak terbagi atas saham (shareholder _activity); _ e. bukan merupakan aktivitas yang memberikan manfaat kepada suatu pihak semata-mata karena pihak tersebut menjadi bagian dari Grup Usaha (passive _association); _ f. bukan merupakan duplikasi atas kegiatan yang telah dilaksanakan sendiri oleh Wajib Pajak;
bukan merupakan jasa yang memberi manfaat insidental; dan
dalam hal j asa siaga ( on-call services), bukan merupakan jasa yang dapat diperoleh segera dari pihak yang independen tanpa adanya perjanjian siaga (on-call contract) terlebih dahulu.
Biaya sehubungan dengan transaksi jasa yang tidak memenuhi pembuktian bahwa jasa tersebut bukan merupakan aktivitas untuk kepentingan pemegang saham atau jenis kepemilikan lainnya yang modalnya tidak terbagi atas saham (shareholder activity) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, berupa:
biayajasa terkait administrasi entitas induk, seperti biaya sehubungan rapat pemegang saham entitas induk, biaya jasa sehubungan penerbitan saham entitas induk, biaya jasa sehubungan pencatatan saham entitas induk di bursa efek, dan biaya jasa sehubungan dengan terkait pengurus entitas induk;
biaya jasa terkait kewajiban pelaporan entitas induk, termasuk biaya jasa penyusunan laporan keuangan, biaya jasa penyusunan laporan audit, dan biaya jasa penyusunan laporan keuangan konsolidasi entitas induk;
biaya jasa terkait perolehan dana atau modal yang digunakan untuk pengambilalihan kepemilikan oleh entitas induk;
biayajasa terkait kepatuhan entitas induk terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku;
biaya jasa terkait perlindungan kepemilikan modal entitas induk pada perusahaan anak; dan
biaya jasa terkait tata kelola Grup Usaha secara keseluruhan. (3) Tahapan pendahuluan untuk transaksi terkait penggunaan atau hak menggunakan harta tidak berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6) huruf b meliputi pembuktian atas:
keberadaan (eksistensi) harta tidak berwujud;
jenis harta tidak berwujud;
nilai harta tidak berwujud;
pihak yang memiliki harta tidak berwujud secara legal;
pihak yang memiliki harta tidak berwujud secara ekonomis;
penggunaan atau hak untuk menggunakan harta tidak berwujud;
pihak-pihak yang berkontribusi dan melakukan aktivitas pengembangan, peningkatan, pemeliharaan, proteksi, dan eksploitasi ( development, enhancement, maintenance, protection, and exploitation) atas harta tidak berwujud; dan
manfaat ekonomis yang diperoleh pihak yang menggunakan harta tidak berwujud. (4) Tahapan pendahuluan untuk transaksi keuangan terkait pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6) huruf c meliputi pembuktian bahwa pinjaman terse but:
sesuai dengan substansi dan keadaan sebenarnya;
dibutuhkan oleh peminjam;
digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan sesua1 ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak penghasilan;
memenuhi karakteristik pinjaman, minimal berupa:
kreditur mengakui pinjaman secara ekonomis dan secara legal;
adanya tanggal jatuh tempo pinjaman;
adanya kewajiban untuk membayar kembali pokok pinjaman;
adanya pembayaran sesuai jadwal pembayaran yang telah ditetapkan baik untuk pokok pinjaman dan imbal hasilnya;
pada saat pmJaman diperoleh, pemmJam memiliki kemampuan untuk: a) mendapatkan pmJaman dari kreditur independen; dan b) membayar kembali pokok pinjaman dan imbal hasil pinjaman sebagaimana debitur independen;
didasarkan pada perjanjian pinjaman yang dibuat sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;
adanya konsekuensi hukum apabila peminjam gagal dalam mengembalikan pokok pmJaman dan/atau imbal hasilnya; dan
adanya hak tagih bagi pemberi pinjaman sebagaimana kreditur independen; dan
memberikan manfaat ekonomis kepada penerima pmJaman. (5) Tahapan pendahuluan untuk transaksi keuangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6) huruf d meliputi pembuktian atas:
kesesuaian transaksi keuangan lainnya dengan substansi dan keadaan yang sebenarnya;
jenis transaksi keuangan lainnya;
pengakuan secara ekonomis dan secara legal oleh para pihak yang melakukan transaksi keuangan lainnya;
motif, tujuan, dan alasan ekonomis (economic rationale) transaksi keuangan lainnya; dan
manfaat yang diharapkan (expected benefit) dari transaksi keuangan lainnya. (6) Tahapan pendahuluan untuk transaksi pengalihan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6) huruf e meliputi pembuktian atas:
motif, tujuan, dan alasan ekonomis ( economic rationale) transaksi pengalihan harta;
pengalihan harta sesuai dengan substansi dan keadaan yang se benarnya;
manfaat yang diharapkan ( expected benefit) dari pengalihan harta; dan
pengalihan harta tersebut merupakan pilihan terbaik dari berbagai pilihan lain yang tersedia. (7) Tahapan pendahuluan untuk restrukturisasi usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6) huruf f meliputi pembuktian atas:
motif, tujuan, dan alasan ekonomis ( economic rationale) dari restrukturisasi usaha;
restrukturisasi usaha sesuai dengan substansi dan keadaan yang se benarnya;
manfaat yang diharapkan ( expected benefit) dari restrukturisasi usaha; dan
restrukturisasi usaha tersebut merupakan pilihan terbaik dari berbagai pilihan lain yang tersedia. (8) Tahapan pendahuluan untuk kesepakatan kontribusi biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6) huruf g meliputi pembuktian bahwa kesepakatan kontribusi biaya tersebut:
dibuat sebagaimana kesepakatan antarpihak yang in depend en;
dibutuhkan oleh pihak yang melakukan kesepakatan; dan
memberikan manfaat ekonomis kepada pihak yang melakukan kesepakatan. (9) Tahapan pendahuluan meliputi pembuktian atas manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, ayat (3) huruf h, ayat (4) huruf e, ayat (5) huruf e, ayat (6) huruf c, ayat (7) huruf c, ayat (8) huruf c berupa peningkatan penjualan, penurunan biaya, perlindungan atas posisi komersial, atau pemenuhan kebutuhan kegiatan komersial lainnya termasuk untuk kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Pasal 14 Dalam hal Wajib Pajak tidak dapat membuktikan Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa tertentu berdasarkan tahapan pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa tersebut tidak memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3). Bagian Ketiga Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa atas Wajib Pajak Dalam Negeri yang Memenuhi Ketentuan Sebagai Bentuk Usaha Tetap Pasal 15 (1) Dalam hal Wajib Pajak dalam negeri yang melakukan Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa memenuhi ketentuan sebagai bentuk usaha tetap sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penentuan bentuk usaha tetap, Wajib Pajak dalam negeri tersebut juga ditetapkan sebagai bentuk usaha tetap. (2) Bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyampaikan seluruh data dan/atau informasi terkait transaksi yang dilakukan oleh Pihak Afiliasi di luar negeri yang terkait dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap.
Penyampaian seluruh data dan/atau informasi terkait transaksi yang dilakukan oleh Pihak Afiliasi di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan. (4) Data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan dalam menentukan nilai transaksi bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Dalam hal bentuk usaha tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), nilai transaksi ditentukan dengan menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman U saha. (6) Pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan yang sebelumnya telah dilaksanakan Wajib Pajak dalam negeri diperhitungkan dalam pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (7) Pemenuhan kewajiban perpajakan bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. BAB IV DOKUMENTASI PENERAPAN PRINSIP KEWAJARAN DAN KELAZIMAN USAHA Pasal 16 (1) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) wajib menyelenggarakan dan menyimpan dokumen yang memuat data dan/ a tau informasi untuk mendukung bahwa transaksi yang dilakukan dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa telah sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha. (2) Dokumen yang memuat data dan/atau informasi untuk mendukung bahwa transaksi yang dilakukan dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa telah sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Dokumen Penentuan Harga Transfer yang terdiri atas:
dokumen induk;
dokumen lokal; dan
laporan per negara. (3) Wajib Pajak yang melakukan Transaksi Afiliasi dengan:
nilai peredaran bruto tahun pajak sebelumnya dalam satu tahun pajak lebih dari RpS0.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah);
nilai Transaksi Afiliasi tahun pajak sebelumnya dalam satu tahun pajak:
lebih dari Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) untuk transaksi barang berwujud; atau
lebih dari RpS.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) untuk masing-masing penyediaan jasa, pembayaran bunga, pemanfaatan barang tidak berwujud, atau Transaksi Afiliasi lainnya; atau
Pihak Afiliasi yang berada di negara atau yurisdiksi dengan tarif pajak penghasilan lebih rendah daripada tarif pajak penghasilan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang pajak penghasilan, wajib menyelenggarakan dan menyimpan Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b sebagai bagian dari kewajiban menyimpan dokumen lain sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan. (4) Wajib Pajak dalam negeri yang merupakan entitas induk dari suatu Grup Usaha yang memiliki peredaran bruto konsolidasi paling sedikit Rpl l.000.000.000.000,00 (sebelas triliun rupiah) pada tahun pajak sebelum tahun pajak yang dilaporkan wajib menyelenggarakan dan menyimpan Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c sebagai bagian dari kewajiban menyimpan dokumen lain sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. (5) Dalam hal Wajib Pajak dalam negeri berkedudukan sebagai entitas konstituen dan entitas induk dari Grup Usaha merupakan subjek pajak luar negeri, Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan laporan per negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c sepanjang negara atau yurisdiksi tempat entitas induk berdomisili:
tidak mewajibkan penyampaian laporan per negara;
tidak memiliki perjanjian dengan Pemerintah Indonesia mengenai pertukaran informasi perpajakan; atau
memiliki perjanjian dengan Pemerintah Indonesia mengenai pertukaran informasi perpajakan, namun laporan per negara tidak dapat diperoleh Pemerintah Indonesia dari negara atau yurisdiksi tersebut. (6) Batasan nilai peredaran bruto dan nilai Transaksi Afiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihitung dengan cara disetahunkan dalam hal tahun pajak diperolehnya peredaran bruto dan/atau dilakukannya Transaksi Afiliasi meliputijangka waktu kurang dari 12 (dua belas) bulan. (7) Dalam hal Wajib Pajak memiliki Transaksi Afiliasi namun tidak diwajibkan untuk menyelenggarakan dan menyimpan Dokumen Penentuan Harga Transfer berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), atau ayat (5), Wajib Pajak tetap diwajibkan untuk memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. (8) Dalam hal Wajib Pajak telah mendapat izin Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain rupiah, batasan nilai uang dalam mata uang rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) setara dengan nilai mata uang selain rupiah berdasarkan nilai kurs yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan untuk penghitungan pajak pada akhir tahun pajak. (9) Peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (6) merupakan penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh dari kegiatan usaha dan dari luar kegiatan usaha setelah dikurangi dengan retur dan pengurangan penjualan serta potongan tunai, sebelum dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. (10) Contoh penentuan Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan dan menyimpan Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (6) tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 17 (1) Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf a dan huruf b, wajib diselenggarakan berdasarkan data dan informasi yang tersedia pada saat dilakukan Transaksi Afiliasi. (2) Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf c wajib diselenggarakan berdasarkan data dan informasi yang tersedia sampai dengan akhir tahun pajak. Pasal 18 (1) Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf a dan huruf b harus tersedia paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir tahun pajak. (2) Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf c harus tersedia paling lama 12 (dua belas) bulan setelah akhir tahun pajak. (3) Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan surat pernyataan mengenai saat tersedianya Dokumen Penentuan Harga Transfer terse but yang ditandatangani oleh pihak yang menyediakan Dokumen Penentuan Harga Transfer. Pasal 19 (1) Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf a dan huruf b wajib dibuat ikhtisar. (2) Ikhtisar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan sebagai lampiran surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan tahun pajak yang bersangku tan. (3) Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf c wajib disampaikan sebagai lampiran surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan tahun pajak berikutnya. (4) Ikhtisar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 20 (1) Wajib Pajak dalam negeri yang merupakan entitas induk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4) merupakan entitas yang:
memiliki secara langsung atau tidak langsung satu atau lebih anggota lain dalam Grup Usaha;
mempunyai kewajiban untuk menyelenggarakan laporan keuangan konsolidasi berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia dan/atau berdasarkan ketentuan yang mengikat emiten bursa efek di Indonesia; dan
tidak dimiliki secara langsung atau tidak langsung oleh entitas konstituen lain dalam Grup Usaha atau dimiliki secara langsung atau tidak langsung oleh entitas konstituen lain, tetapi entitas konstituen lain tersebut tidak diwajibkan mengonsolidasi laporan keuangan entitas induk dimaksud. (2) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperbolehkan menunjuk entitas konstituen lainnya untuk menggantikannya dalam memenuhi kewajiban penyampaian laporan per negara, baik di Indonesia maupun di negara atau yurisdiksi lainnya. Pasal 21 (1) Entitas konstituen sebagaimana dimaksud dalam 16 ayat (5) merupakan:
setiap entitas usaha terpisah yang ·merupakan anggota Grup U saha multinasional dan dimasukkan dalam laporan keuangan konsolidasi entitas induk untuk keperluan pelaporan keuangan;
setiap entitas usaha yang merupakan anggota Grup U saha multinasional yang tidak dimasukkan dalam laporan keuangan konsolidasi semata-mata karena pertimbangan ukuran usaha atau materialitas; dan/atau
setiap bentuk usaha tetap dari entitas usaha sebagaimana dimaksud dalam huruf a atau huruf b sepanjang bentuk usaha tetap tersebut memiliki laporan keuangan yang terpisah untuk keperluan pelaporan keuangan, pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan, pelaporan pajak, atau untuk tujuan pengendalian manajemen perusahaan. (2) Dalam hal entitas induk dari Grup Usaha yang merupakan subjek pajak luar negeri telah menunjuk entitas konstituen lainnya di luar negeri sebagai pengganti entitas induk, Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5) tidak diwajibkan menyampaikan laporan per negara sepanjang memenuhi ketentuan sebagai berikut:
Wajib Pajak dalam negeri menyampaikan pemberitahuan mengenai entitas konstituen lainnya yang ditunjuk sebagai pengganti entitas induk tersebut kepada Direktur Jenderal Pajak; dan
negara atau yurisdiksi tempat entitas konstituen lainnya yang ditunjuk sebagai pengganti entitas induk tersebut berdomisili:
mewajibkan penyampaian laporan per negara; dan
memiliki persetujuan pejabat berwenang yang memenuhi kualifikasi (qualifying competent authority agreement) serta laporan per negara dapat diperoleh Pemerintah Indonesia dari negara mitra atau yurisdiksi mitra dimaksud. (3) Entitas konstituen yang ditunjuk sebagai pengganti entitas induk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan satu-satunya entitas konstituen yang ditunjuk untuk menggantikan entitas induk tersebut dalam menyampaikan laporan per negara kepada otoritas pajak di negara atau yurisdiksi tempat anggota Grup Usaha yang ditunjuk dimaksud berdomisili. (4) Dalam hal terdapat lebih dari satu Wajib Pajak dalam negeri yang merupakan entitas konstituen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5), entitas induk yang merupakan subjek pajak luar negeri dapat menunjuk salah satu entitas konstituen yang merupakan Wajib Pajak dalam negeri untuk menyampaikan laporan per negara ke Direktorat Jenderal Pajak. Pasal 22 (1) Entitas induk yang merupakan subjek pajak luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5) merupakan entitas yang:
memiliki secara langsung atau tidak langsung satu atau lebih anggota lain dalam Grup Usaha multinasional;
mempunyai kewajiban untuk menyelenggarakan laporan keuangan konsolidasi berdasarkan standar akuntansi keuangan atau ketentuan yang berlaku di negara atau yurisdiksi tempat entitas induk dimaksud berdomisili;
tidak dimiliki secara langsung atau tidak langsung oleh entitas konstituen lain dalam Grup Usaha multinasional atau dimiliki secara langsung atau tidak langsung oleh entitas konstituen lain, tetapi entitas konstituen lain tersebut tidak diwajibkan mengonsolidasi laporan keuangan entitas induk dimaksud; dan
memiliki peredaran bruto konsolidasi pada tahun pajak sebelum tahun pajak yang dilaporkan paling sedikit:
setara dengan €750,000,000.00 (tujuh ratus lima puluh juta euro) berdasarkan nilai tukar mata uang fungsional entitas induk dimaksud dalam hal negara atau yurisdiksi tempat entitas induk dimaksud berdomisili tidak mewajibkan penyampaian laporan per negara; atau
sebesar batasan peredaran bruto konsolidasi yang menjadi dasar penentuan kewajiban penyampaian laporan per negara sebagaimana diatur di negara atau yurisdiksi tempat entitas induk dimaksud berdomisili. (2) Negara atau yurisdiksi tempat entitas induk berdomisili yang tidak memiliki perjanjian dengan Pemerintah Indonesia mengenai pertukaran informasi perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5) huruf b merupakan negara atau yurisdiksi tempat entitas induk berdomisili yang memiliki perjanjian internasional yang mengatur mengenai pertukaran informasi perpajakan dengan Pemerintah Indonesia tetapi tidak memiliki persetujuan pejabat berwenang yang memenuhi kualifikasi (qualifying competent authority agreement). (3) Kondisi laporan per negara tidak dapat diperoleh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5) huruf c disebabkan oleh tidak dapat diperolehnya laporan per negara melalui pertukaran informasi secara otomatis karena:
adanya penundaan pertukaran laporan per negara secara otomatis karena hal-hal selain yang diatur dalam persetujuan pejabat berwenang yang memenuhi kualifikasi (qualifying competent _authority agreement); _ atau b. terj a din ya kegagalan secara berulang un tuk mempertukarkan laporan per negara secara otomatis dengan negara mitra atau yurisdiksi mitra. (4) Dalam hal terdapat kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5) harus menyampaikan laporan per negara dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah diumumkannya daftar negara mitra atau yurisdiksi mitra yang laporan per negaranya tidak dapat diperoleh. (5) Dalam hal laporan per negara tidak disampaikan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Direktur Jenderal Pajak melalui pejabat berwenang yang membidangi pertukaran informasi berwenang meminta Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5) untuk menyampaikan laporan per negara. Pasal 23 (1) Wajib Pajak dalam negeri yang merupakan anggota Grup Usaha atau yang memiliki Transaksi Afiliasi yang tercakup dalam laporan per negara wajib menyampaikan notifikasi ke Direktorat Jenderal Pajak melalui Portal Wajib Pajak. (2) Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki kewajiban penyampaian laporan per negara se bagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4) dan ayat (5), Wajib Pajak dimaksud wajib menyampaikan laporan per negara bersamaan dengan penyampaian notifikasi ke Direktorat Jenderal Pajak melalui Portal Wajib Pajak. (3) Laporan per negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang disampaikan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4) dilampiri kertas kerja laporan per negara. (4) N otifikasi se bagaimana dimaksud pada ayat (1) dan laporan per negara se bagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak dalam batas waktu paling lama 12 (dua belas) bulan setelah akhir tahun pajak. (5) Terhadap penyampaian notifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penyampaian laporan per negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan tanda terima. (6) Tanda terima penyampaian laporan per negara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat digunakan sebagai pengganti laporan per negara, yang harus dilampirkan dalam surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (3). (7) Dalam hal terdapat kesalahan dalam penyampaian laporan per negara, Direktur Jenderal Pajak menyampaikan pemberitahuan kepada Wajib Pajak mengenai kesalahan dalam penyampaian laporan per negara. (8) Atas pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) atau atas kemauan sendiri, Wajib Pajak dapat menyampaikan pembetulan laporan per negara dengan menyampaikan kembali laporan per negara yang telah dibetulkan. Pasal 24 (1) Notifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) berisi pernyataan mengenai:
identifikasi Wajib Pajak dalam negen yang merupakan entitas induk;
identifikasi Wajib Pajak dalam negeri yang bukan merupakan entitas induk; dan
pernyataan kewajiban penyampaian laporan per negara. (2) Notifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 25 (1) Laporan per negara yang disampaikan oleh:
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4) diselenggarakan berdasarkan data dan informasi yang tersedia sampai dengan akhir tahun pajak Wajib Pajak dimaksud; atau
Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5) diselenggarakan berdasarkan data dan informasi yang tersedia sampai dengan akhir tahun pajak entitas induk yang merupakan subjek pajak luar negeri. (2) Laporan per negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus diselenggarakan melalui pembentukan kertas kerja laporan per negara dalam bentuk salinan digital (softcopy) dengan ekstensi extensible markup language (xml). Pasal 26 (1) Direktur Jenderal Pajak melakukan pertukaran laporan per negara secara otomatis dengan negara mitra atau yurisdiksi mitra yang memiliki persetujuan pejabat berwenang yang memenuhi kualifikasi (qualifying competent authority agreement). (2) Pelaksanaan pertukaran laporan per negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pejabat berwenang yang membidangi pertukaran informasi. Pasal 27 Dalam rangka pelaksanaan kewajiban penyampaian laporan per negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5), Direktur Jenderal Pajak mengumumkan daftar negara mitra atau yurisdiksi mitra yang memiliki:
perjanjian internasional yang mengatur mengenai pertukaran informasi perpajakan;
persetujuan pejabat berwenang yang memenuhi kualifikasi _(qualifying competent authority agreement); _ dan c. persetujuan pejabat berwenang yang memenuhi kualifikasi (qualifying competent authority agreement) tetapi laporan per negara tidak dapat diperoleh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3), di laman resmi Direktorat Jenderal Pajak pada setiap akhir tahun atau setiap terjadi perubahan daftar negara mitra atau yurisdiksi mitra sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c. Pasal 28 Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Pasal 17, Pasal 19, dan Pasal 23 dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Pasal 29 (1) Dokumen induk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf a harus memuat informasi mengenai Grup Usaha paling sedikit sebagai berikut:
struktur dan bagan kepemilikan serta negara atau yurisdiksi masing-masing anggota;
kegiatan usaha yang dilakukan;
harta tidak berwujud yang dimiliki;
aktivitas keuangan dan pembiayaan; dan
laporan keuangan konsolidasi entitas induk dan informasi perpajakan terkait Transaksi Afiliasi.
Rincian dan/atau penjelasan dari informasi dalam dokumen induk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat informasi sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 30 (1) Dokumen lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf b harus memuat informasi mengenai Wajib Pajak paling sedikit sebagai berikut:
identitas dan kegiatan usaha yang dilakukan;
informasi Transaksi Afiliasi dan Transaksi Independen yang dilakukan;
penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1);
informasi keuangan; dan
peristiwa-peristiwa/kejadian-kejadian/fakta-fakta non-keuangan yang memengaruhi pem bentukan harga atau tingkat laba. (2) Rincian dan/atau penjelasan dari informasi dalam dokumen lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat informasi sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf E yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (3) Dalam hal Wajib Pajak mempunyai lebih dari satu kegiatan usaha dengan karakterisasi usaha yang berbeda, dokumen lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disajikan secara tersegmentasi sesua1 dengan karakterisasi usaha yang dimiliki. Pasal 31 (1) Laporan per negara se bagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf c harus memuat informasi sebagai berikut:
alokasi penghasilan, pajak yang dibayar, dan aktivitas usaha per negara atau yurisdiksi dari seluruh anggota Grup Usaha baik di dalam negeri maupun luar negeri, yang meliputi nama negara atau yurisdiksi, penghasilan bruto, laba (rugi) sebelum pajak, pajak penghasilan yang telah dipotong, dipungut, atau dibayar sendiri, pajak penghasilan terutang, modal, akumulasi laba ditahan, jumlah pegawai tetap, dan harta berwujud selain kas dan setara kas; dan
daftar anggota Grup Usaha dan kegiatan usaha utama per negara atau yurisdiksi. (2) Laporan per negara yang memuat informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf F yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (3) Laporan per negara yang memuat informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf G yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (4) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan hanya dalam rangka penilaian risiko penghindaran pajak. (5) Sebelum menyusun laporan per negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak harus menyusun kertas kerja laporan per negara. (6) Kertas kerja laporan per negara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf H yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 32 (1) Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf a dan huruf b wajib dibuat oleh Wajib Pajak dalam bahasa Indonesia. (2) Wajib Pajak dapat membuat Dokumen Penentuan Harga Transfer dalam bahasa asing setelah mendapat 1zm Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa asing dan mata uang selain rupiah. (3) Dalam hal Wajib Pajak telah mendapat izin Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Dokumen Penentuan Harga Transfer dibuat sesuai dengan bahasa asing yang tercan tum dalam izin penyelenggaraan pembukuan dimaksud dan disertai dengan terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Pasal 33 Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf c diterima dan dikelola secara khusus oleh Direktur Jenderal Pajak. Pasal 34 (1) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan permintaan Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf a dan huruf b. (2) Wajib Pajak wajib menyampaikan Dokumen Penentuan Harga Transfer paling lama 1 (satu) bulan sejak disampaikan permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam rangka pengawasan kepatuhan dan Pemeriksaan. (3) Wajib Pajak menyampaikan Dokumen Penentuan Harga Transfer sehubungan dengan permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan selain dalam rangka pengawasan kepatuhan dan Pemeriksaan. Pasal 35 Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. BABV PENGUJIAN KEPATUHAN PENERAPAN PRINSIP KEWAJARAN DAN KELAZIMAN USAHA Pasal 36 (1) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan/ a tau pengurangan untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak melalui pengujian kepatuhan penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha. (2) Pengujian kepatuhan penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengujian atas:
pemenuhan ketentuan penyelenggaraan Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 34 ayat (2), dan Pasal 34 ayat (3); dan
penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. (3) Terhadap Wajib Pajak yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dilakukan pengujian penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dengan menelusuri kebenaran Dokumen Penentuan Harga Transfer dibandingkan dengan keadaan sebenarnya dari Wajib Pajak. (4) Terhadap Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dilakukan pengujian penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dengan menelusuri keadaan sebenarnya dari Wajib Pajak. (5) Dalam hal berdasarkan pengujian penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diketahui bahwa:
Wajib Pajak tidak menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman U saha se bagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3);
penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha yang dilakukan Wajib Pajak tidak sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1);
Wajib Pajak tidak dapat membuktikan Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa tertentu berdasarkan tahapan pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14; atau
Harga Transfer yang ditentukan Wajib Pajak tidak memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman U saha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), Direktur Jenderal Pajak menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau pengurangan untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Penentuan kembali besarnya penghasilan dan/ a tau pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan dengan:
menentukan Harga Transfer sesuai Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak; dan
mempertimbangkan tahapan penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha Wajib Pajak yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pas al 3. Pasal 37 (1) Dalam hal pada saat:
Direktur Jenderal Pajak menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau pengurangan untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (5); atau
Wajib Pajak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), ditemukan selisih antara nilai Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang tidak sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman U saha dan nilai Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha, selisih tersebut merupakan pembagian laba secara tidak langsung kepada Pihak Afiliasi yang diperlakukan sebagai dividen. (2) Pembagian laba secara tidak langsung kepada Pihak Afiliasi yang diperlakukan sebagai dividen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai pajak penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan. (3) Pembagian laba secara tidak langsung kepada Pihak Afiliasi yang diperlakukan sebagai dividen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terutang pajak penghasilan pada saat:
dibayarkannya penghasilan tersebut;
disediakan untuk dibayarkannya penghasilan tersebut; atau
jatuh temponya pembayaran penghasilan tersebut, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku, dalam hal:
terjadi penambahan dan/atau pengembalian kas atau setara kas sebesar selisih sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan/atau
Wajib Pajak menyetujui Penentuan Harga Transfer oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (6). (5) Penambahan dan/ a tau pengembalian kas atau setara kas sebesar selisih sebagaimana ayat (4) huruf a dilakukan sebelum terbitnya surat ketetapan pajak. Pasal 38 (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) berlaku untuk:
transaksi dalam bentuk transaksi lintas batas negara maupun transaksi dalam negeri; dan
seluruh bentuk hubungan istimewa. (2) Terhadap pengenaan pajak penghasilan atas pembagian laba secara tidak langsung kepada Pihak Afiliasi yang diperlakukan sebagai dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) dapat memperoleh manfaat Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. Pasal 39 (1) Direktur Jenderal Pajak mempunyai kewenangan melakukan penyesuaian harga jual atau penggantian yang dipengaruhi oleh hubungan istimewa sebagai dasar untuk menghitung pajak pertambahan nilai yang terutang. (2) Penyesuaian harga jual atau penggantian yang dipengaruhi oleh hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung atas dasar harga pasar wajar pada saat penyerahan barang kena pajak atau jasa kena pajak dalam hal hargajual atau penggantian tersebut lebih rendah dari harga pasar wajar. (3) Penyesuaian harga jual atau penggantian yang dipengaruhi oleh hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dapat dilakukan dalam hal terdapat Penentuan Harga Transfer oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (6) yang dapat dialokasikan pada setiap transaksi penyerahan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak. (4) Penyesuaian terhadap harga jual atau penggantian yang dipengaruhi oleh hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) kepada pengusaha kena pajak penjual atau penyedia jasa tidak mengakibatkan penyesuaian pajak masukan bagi pengusaha kena pajak pembeli barang kena pajak atau penerima jasa kena pajak. (5) Pengusaha kena pajak pembeli barang kena pajak atau penerimajasa kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tetap dapat mengkreditkan pajak pertambahan nilai yang tercantum dalam faktur pajak yang diterbitkan oleh pengusaha kena pajak yang melakukan penyerahan barang kena pajak dan/ a tau penyerahan jasa kena pajak sepanjang memenuhi ketentuan pengkreditan pajak masukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak pertambahan nilai. BAB VI PENYESUAIAN KETERKAITAN Pasal 40 (1) Dalam hal terdapat:
Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (6) oleh Direktur Jenderal Pajak melalui Pemeriksaan; atau
koreksi Penentuan Harga Transfer oleh Otoritas Pajak Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda atas subjek pajak luar negeri, yang menyebabkan terjadinya pengenaan pajak berganda, Wajib Pajak dalam negeri yang merupakan lawan transaksi dapat melakukan penyesuaian keterkaitan. (2) Penyesuaian keterkaitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penyesuaian materi Penentuan Harga Transfer dalam penghitungan penghasilan kena pajak Wajib Pajak dalam negeri yang merupakan lawan transaksi:
Wajib Pajak dalam negeri yang dilakukan Penentuan Harga Transfer oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; atau
subjek pajak luar negeri yang dilakukan koreksi Penentuan Harga Transfer oleh Otoritas Pajak Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. (3) Penyesuaian keterkaitan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat dilakukan dalam hal Wajib Pajak dalam negeri yang dilakukan Penentuan Harga Transfer oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (6):
menyetujui Penentuan Harga Transfer oleh Direktur Jenderal Pajak; dan
tidak mengajukan upaya hukum terkait surat ketetapan pajak, atas materi Penentuan Harga Transfer oleh Direktur Jenderal Pajak terkait Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a. (4) Penyesuaian keterkaitan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan:
pembetulan surat pemberitahuan tahunan dengan memperhitungkan Penentuan Harga Transfer oleh Direktur Jenderal Pajak sepanjang terhadap Wajib Pajak dalam negeri se bagaimana dimaksud pada ayat (1) belum dilakukan Pemeriksaan dan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terpenuhi;
penerbitan surat ketetapan pajak dengan mempertimbangkan Penentuan Harga Transfer oleh Direktur Jenderal Pajak sepanjang terhadap Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sedang dilakukan Pemeriksaan dan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terpenuhi; atau
pembetulan surat ketetapan pajak dengan mempertimbangkan Penentuan Harga Transfer oleh Direktur Jenderal Pajak sepanjang Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah diterbitkan surat ketetapan pajak dan tidak mengajukan upaya hukum atas materi penyesuaian keterkaitan serta ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terpenuhi. (5) Pembetulan surat pemberitahuan tahunan, penerbitan surat ketetapan pajak, dan pembetulan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang ketentuan umum dan tata cara perpajakan. (6) Pembetulan surat pemberitahuan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dilakukan dengan disertai pemberitahuan secara tertulis oleh Wajib Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar mengenai informasi Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (7) Penyesuaian keterkaitan melalui penerbitan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dilakukan dalam hal:
Wajib Pajak telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6); atau
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a menyampaikan pengungkapan ketidakbenaran pengisian surat pemberitahuan sesuai informasi Penentuan Harga Transfer oleh Direktur Jenderal Pajak. (8) Penyesuaian keterkaitan melalui pembetulan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c dilakukan secara jabatan oleh Direktur Jenderal Pajak. (9) Penyesuaian keterkaitan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c didahului dengan pemberitahuan secara tertulis Wajib Pajak dalam negeri yang merupakan lawan transaksi kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar mengenai informasi Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (10) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (9) serta pengungkapan ketidakbenaran pengisian surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dapat disampaikan:
secara langsung;
melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau
secara elektronik. (11) Penyampaian pemberitahuan secara tertulis dan pengungkapan ketidakbenaran peng1s1an surat pemberitahuan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (10) huruf c dilakukan dalam hal sistem sudah tersedia.
Tata cara penyampaian pemberitahuan secara tertulis dan pengungkapan ketidakbenaran pengisian surat pemberitahuan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (10) huruf c dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan serta penerbitan, penandatanganan, dan pengiriman keputusan atau ketetapan pajak secara elektronik. (13) Penyesuaian keterkaitan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan melalui Prosedur Persetujuan Bersama. BAB VII PROSEDUR PERSETUJUAN BERSAMA Bagian Kesatu Pengajuan Permintaan Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama Pasal 41 (1) Direktur Jenderal Pajak berwenang melaksanakan Prosedur Persetujuan Bersama untuk mencegah atau menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. (2) Direktur Jenderal Pajak dapat melimpahkan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk delegasi kepada pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak. (3) Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan berdasarkan permin taan:
Wajib Pajak dalam negeri;
Warga Negara Indonesia;
Direktur Jenderal Pajak; atau
Otoritas Pajak Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda melalui Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sesuai dengan ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. (4) Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dapat mengajukan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama kepada Direktur Jenderal Pajak sebagai Pejabat Berwenang Indonesia dalam rangka penyesuaian keterkaitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (13). (5) Selain penyesuaian keterkaitan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf ajuga dapat mengajukan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama kepada Direktur Jenderal Pajak dalam hal terjadi perlakuan perpajakan oleh Otoritas Pajak Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang tidak sesuai dengan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
Perlakuan perpajakan oleh Otoritas Pajak Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang tidak sesuai dengan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana dimaksud pada ayat (5) terdiri atas:
pengenaan pajak oleh Otoritas Pajak Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang mengakibatkan terjadinya pengenaan pajak berganda yang disebabkan oleh:
koreksi Penentuan Harga Transfer;
koreksi terkait keberadaan dan/atau laba bentuk usaha tetap; dan/atau
koreksi objek pajak penghasilan lainnya;
pengenaan pajak termasuk pemotongan atau pemungutan pajak penghasilan di Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda;
penentuan status sebagai subjek pajak dalam negeri oleh Otoritas Pajak Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda;
diskriminasi perfakuan perpajakan di Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda; dan/atau
penafsiran ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. (7) Permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b diajukan atas segala bentuk perlakuan diskriminatif di Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang bertentangan dengan ketentuan mengena1 nondiskriminasi se bagaimana diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. (8) Permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dapat diajukan dalam rangka:
menindaklanjuti usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama oleh Wajib Pajak dalam negeri; dan/atau
menindaklanjuti permohonan Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral yang disampaikan oleh Wajib Pajak dalam negeri sesuai dengan tata cara pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer. (9) U sulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf a dapat diajukan dalam hal menurut Wajib Pajak dalam negeri terjadi perlakuan perpajakan oleh Direktur Jenderal Pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. (10) Perlakuan perpajakan oleh Direktur Jenderal Pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda menurut Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (9) terdiri atas:
pengenaan pajak berganda yang disebabkan oleh Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (6); dan/atau
perbedaan penafsiran ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. (11) Permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, huruf c, dan huruf d dapat diajukan bersamaan dengan permohonan Wajib Pajak dalam negen untuk mengajukan:
permohonan gugatan sebagaimana diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
permohonan keberatan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
permohonan banding sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang- Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; atau
permohonan penmJauan kembali sebagaimana diatur dalam Pasal 77 ayat (3) Undang-Undang tentang Pengadilan Pajak. (12) Permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak menunda:
kewajiban membayar pajak yang terutang;
pelaksanaan penagihan pajak; dan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan. Pasal 42 (1) Permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yang diajukan oleh Pemohon harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
mengemukakan ketidaksesuaian penerapan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda menurut Pemohon;
diajukan dalam batas waktu sebagaimana diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda atau paling lambat 3 (tiga) tahun dalam hal tidak diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, terhitung sejak:
tanggal surat ketetapan pajak;
tanggal bukti pembayaran, pemotongan, atau pemungutan pajak penghasilan; atau
saat terjadinya perlakuan perpajakan yang tidak sesuai dengan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda;
ditandatangani oleh Pemohon atau wakil Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; dan
dilampiri dengan:
surat keterangan domisili atau dokumen lain yang berisi identitas wajib pajak dalam negeri Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (6) huruf a dan huruf b;
daftar informasi dan/atau bukti atau keterangan yang dimiliki oleh Pemohon yang menunjukkan bahwa perlakuan perpajakan oleh Otoritas Pajak Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda atau perlakuan diskriminatif di Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda tidak sesuai dengan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (6) dan Pasal 41 ayat (7); dan/atau
surat pernyataan yang menyatakan kesediaan Pemohon untuk menyampaikan informasi dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud pada angka 2 secara lengkap dan tepat waktu. (2) Usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (8) huruf a harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
mengemukakan perlakuan perpajakan oleh Direktur Jenderal Pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda menurut Wajib Pajak dalam negeri;
diajukan dalam batas waktu sebagaimana diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda atau paling lambat 3 (tiga) tahun dalam hal tidak diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, terhitung sejak saat terjadinya perlakuan perpajakan yang tidak sesuai dengan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda;
ditandatangani oleh Wajib Pajak dalam negeri atau wakil Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; dan
dilampiri dengan bukti yang menunjukkan terjadinya perlakuan perpajakan oleh Direktur Jenderal Pajak yang tidak sesuai ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. (3) Permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf d diajukan dalam batas waktu sebagaimana diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
Permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf d, dan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (8) huruf a diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui:
Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak dalam negeri terdaftar, dalam hal Permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Wajib Pajak dalam negeri; atau
Direktorat Perpajakan lnternasional, dalam hal:
permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh Warga Negara Indonesia;
permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf d oleh Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda; atau
usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama se bagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (8) huruf a oleh Wajib Pajak dalam negeri. (5) Permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf a, huruf b, dan huruf d, serta usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (8) huruf a dapat diajukan:
secara langsung; atau
melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat. (6) Permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf b dan huruf d, serta usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (8) huruf a juga dapat diajukan melalui pos elektronik. (7) Permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf a juga dapat diajukan secara elektronik. (8) Pengajuan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilakukan dalam hal sistem sudah tersedia. (9) Tata cara pengajuan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan serta penerbitan, penandatanganan, dan pengiriman keputusan atau ketetapan pajak secara elektronik.
Surat permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam:
Lampiran huruf I. 1., untuk Pemohon Wajib Pajak dalam negeri; atau
Lampiran huruf I.2., untuk Pemohon Warga Negara Indonesia, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (11) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e angka 3 dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf 1.3. yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(2) (3) Bagian Kedua Penanganan Permintaan Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama Pasal 43 Direktur Jenderal Pajak melakukan penelitian terhadap:
permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf a, huruf b, dan huruf d; dan
usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (8) huruf a. Penelitian terhadap permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan atas:
kelengkapan pemenuhan persyaratan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) atau ayat (3); dan
kesesuaian materi yang diajukan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama dengan perlakuan perpajakan yang dapat 'diajukan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama se bagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf d, ayat (6), atau ayat (7), untuk menentukan dapat atau tidaknya permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama ditindaklanjuti. Penelitian terhadap usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan atas:
kelengkapan pemenuhan persyaratan usulan permintaan pelaksanaan Persetujuan Bersama sebagaimana dalam Pasal 42 ayat (2); dan pengajuan Prosedur dimaksud b. kesesuaian materi yang diajukan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama dengan perlakuan perpajakan yang dapat diajukan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (9), untuk menentukan dapat atau tidaknya usulan ditindaklanjuti men jadi permin taan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama oleh Direktur Jenderal Pajak kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. (4) Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terkait permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yang diajukan oleh Pemohon dengan menerbitkan:
pemberitahuan tertulis kepada Pemohon bahwa permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama dapat ditindaklanjuti dan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama secara tertulis kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, dalam hal permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama memenuhi persyaratan dan kesesuaian materi; atau
surat penolakan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama kepada Pemohon yang mencantumkan hal-hal yang menjadi dasar penolakan, dalam hal permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama tidak memenuhi persyaratan dan/atau tidak memenuhi kesesuaian materi, dalam batas waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama. (5) Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terkait permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yang diajukan oleh Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dengan menerbitkan:
pemberitahuan tertulis kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dan Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama bahwa permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama dapat ditindaklanjuti, dalam hal permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama memenuhi persyaratan dan kesesuaian materi; atau
surat penolakan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang mencantumkan hal-hal yang menjadi dasar penolakan, dalam hal permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama tidak memenuhi persyaratan dan/atau kesesuaian materi, dalam batas waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama.
Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dengan menerbitkan:
pemberitahuan tertulis kepada Wajib Pajak dalam negeri bahwa usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama dapat ditindaklanjuti dan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama secara tertulis kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, dalam hal usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama memenuhi persyaratan dan kesesuaian materi; atau
surat penolakan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama kepada Wajib Pajak dalam negeri yang mencantumkan hal-hal yang menjadi dasar penolakan, dalam hal usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama tidak memenuhi persyaratan dan/ a tau tidak memenuhi kesesuaian materi, dalam batas waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama. (7) Dalam hal batas waktu se bagaimana dimaksud pada ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan pem beritahuan tertulis, permin taan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama atau usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama dianggap dapat ditindaklanjuti dan Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat pemberitahuan tertulis paling lama 1 (satu) bulan setelah batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) terlampaui. (8) Dalam hal permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dan ayat (6) huruf a tidak mendapatkan jawaban tertulis dari Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dalam batas waktu paling lama 8 (delapan) bulan sejak disampaikan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan pemberitahuan tertulis kepada:
Pemohon atau Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf c dan huruf d bahwa permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama tidak dapat ditindaklanjuti; dan
Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bahwa permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama dicabut. (9) Atas permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yang ditolak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yang ditolak sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b, dan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yang tidak dapat ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf a, Pemohon dapat mengajukan kembali permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama atau Wajib Pajak dalam negeri dapat mengajukan kembali usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sepanjang batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) huruf c atau Pasal 42 ayat (2) huruf c belum terlampaui. Pasal 44 (1) Dalam hal permin taan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yang diajukan oleh Pemohon dapat ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4) huruf a, Pemohon harus menyampaikan informasi dan/atau bukti atau keterangan yang tercan tum dalam daftar informasi dan/atau bukti atau keterangan yang dimiliki oleh Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) huruf e angka 2 kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Direktorat Perpajakan Internasional. (2) Penyampaian informasi dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk salinan cetak (hardcopy) dan/atau salinan digital (softcopy). (3) Pemohon harus menyampaikan informasi dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 2 (dua) bulan setelah:
tanggal diterbitkannya pemberitahuan tertulis bahwa permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama dapat ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4) huruf a; atau
terlampauinya batas waktu 1 (satu) bulan sehingga permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yang diajukan oleh Pemohon dianggap dapat ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (7). (4) Informasi dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan:
secara langsung;
melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau
melalui pos elektronik. Pasal 45 (1) Dalam rangka pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama, Direktur Jenderal Pajak melakukan perundingan dengan Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
Perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kegiatan korespondensi, pengujian material, dan pertemuan Pejabat Berwenang dengan tujuan untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. (3) Perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan terhitung sejak:
diterimanya permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama secara tertulis dari Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda se bagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf d; atau
diajukannya permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama secara tertulis kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda se bagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4) huruf a dan Pasal 43 ayat (6) huruf a. (4) Jangka waktu perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diperpanjang 1 (satu) kali paling lama 24 (dua puluh empat) bulan untuk setiap permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama. (5) Perpanjangan jangka waktu perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dilakukan sebelum j angka waktu perundingan berakhir dalam hal telah dihasilkan kesepakatan awal yang termuat dalam risalah perundingan (minutes of meeting) atau dokumen lainnya mengenai:
keberadaan transaksi, pemilihan pendekatan analisis transaksi, pemilihan pihak yang diuji, pemilihan metode Penentuan Harga Transfer, dan pemilihan indikator harga atas permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama terkait koreksi Penentuan Harga Transfer atau terkait Kesepakatan Harga Tran sf er Bilateral a tau Multilateral; atau
penafsiran ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, atas permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a. (6) Perpanjangan jangka waktu perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dituangkan dalam risalah perundingan (minutes of meeting) atau dokumen lain dalam periode 6 ( enam) bulan se belum berakhirnya jangka waktu perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal 46 (1) Dalam rangka pengujian material sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2), Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk:
meminta informasi dan/atau bukti atau keterangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) huruf e angka 2 atau Pasal 42 ayat (2) huruf e kepada:
Pemohon;
Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf c dan huruf d; dan / a tau 3. pihak terkait lainnya;
melakukan pembahasan dengan Pemohon, Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf c dan huruf d, dan/atau pihak terkait lainnya;
melakukan peninjauan ke tempat kegiatan usaha Pemohon dan/atau Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf c dan huruf d;
melakukan pertukaran informasi perpajakan dalam rangka Prosedur Persetujuan Bersama kepada Otoritas Pajak Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda; dan / a tau e. melakukan Pemeriksaan untuk tujuan lain dan/atau penilaian dalam rangka Prosedur Persetujuan Bersama untuk mendapatkan informasi dan/ a tau bukti atau keterangan yang diperlukan dalam rangka penyelesaian Prosedur Persetujuan Bersama. (2) Pemohon dan Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama se bagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf c dan huruf d wajib:
memberikan informasi dan/ a tau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a;
menghadiri pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b; dan
memberikan kesempatan peninjauan ke tempat kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c. (3) Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dapat meminta informasi dan/ a tau bukti atau keterangan kepada pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (4) Permintaan informasi dan/atau bukti atau keterangan oleh Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya dapat diajukan melalui:
prosedur pertukaran informasi berdasarkan permintaan kepada Direktur Jenderal Pajak sebagaimana diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda atau perjanjian internasional yang mengatur mengenai pertukaran informasi perpajakan; dan / a tau b. permintaan secara langsung selama proses pertemuan Pejabat Berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2). Pasal 47 (1) Pertemuan Pejabat Berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) dilakukan melalui:
pertemuan langsung;
sambungan telepon;
konferensi video; dan/atau
saluran lain yang disepakati oleh Direktur Jenderal Pajak dan Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. (2) Pertemuan Pejabat Berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam risalah perundingan (minutes of meeting) atau dokumen lain yang dipersamakan. Pasal 48 (1) Dalam rangka perundingan se bagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1), Direktur Jenderal Pajak menyusun posisi dalam perundingan. (2) Posisi dalam perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi penjelasan tertulis mengenai pendapat Pejabat Berwenang Indonesia terkait hal yang diajukan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama. (3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) belum menghasilkan Persetujuan Bersama sampai dengan putusan banding atau putusan peninjauan kembali diucapkan, Direktur Jenderal Pajak:
melanjutkan perundingan, dalam hal materi sengketayang diputus dalam putusan banding atau putusan peninjauan kembali bukan merupakan materi sengketa yang diajukan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama;
menggunakan putusan banding sebagai posisi dalam perundingan a tau menghentikan perundingan dalam hal:
putusan banding tidak diajukan permohonan peninjauan kembali; dan
materi sengketa dalam putusan banding merupakan materi sengketa yang diajukan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama; atau
menggunakan putusan peninjauan kembali sebagai posisi dalam perundingan atau menghentikan perundingan, dalam hal materi sengketa dalam putusan peninjauan kembali merupakan materi sengketa yang diajukan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama. Pasal 49 (1) Hasil perundingan se bagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) dituangkan dalam Persetujuan Bersama yang dapat berisi kesepakatan atau ketidaksepakatan yang telah disepakati atas materi yang diajukan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama. (2) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan pemberitahuan tertulis mengenai hasil perundingan yang berisi kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Pemohon atau Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimak.sud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf c dan huruf d paling lama 14 (empat belas) hari kalender setelah tanggal Persetujuan Bersama. (3) Pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat disertai:
permintaan untuk menyampaikan surat pernyataan tidak mengajukan penyelesaian sengketa di luar Prosedur Persetujuan Bersama; atau
permintaan untuk menyampaikan surat pernyataan pencabutan atau penyesuaian yang dilampiri dengan persetujuan tertulis dari Pengadilan Pajak atau Mahkamah Agung mengenai pencabutan atau penyesuaian sengketa dalam hal materi sengketa yang diajukan Prosedur Persetujuan Bersama juga diajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam· Pasal 41 ayat (11). (4) Surat pernyataan tidak mengajukan penyelesaian sengketa di luar Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a harus disampaikan oleh Pemohon atau Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf c dan huruf d kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama 14 (empat belas) hari kalender setelah tanggal pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (5) Surat pernyataan pencabutan atau penyesuaian yang dilampiri dengan persetujuan tertulis dari Pengadilan Pajak atau Mahkamah Agung mengenai pencabutan atau penyesuaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b harus disampaikan oleh Pemohon atau Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf c dan huruf d kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama 8 (delapan) bulan setelah tanggal pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (6) Direktur Jenderal Pajak menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bahwa Persetujuan Bersama dapat atau tidak dapat dilaksanakan setelah penerbitan pemberitahuan tertulis mengenai hasil perundingan yang berisi kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). (7) Dalam hal Direktur Jenderal Pajak melakukan permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyampaian pemberitahuan tertulis kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bahwa Persetujuan Bersama dapat dilaksanakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan setelah Pemohon atau Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf c dan huruf d memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau ayat (5). (8) Dalam hal Pemohon atau Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau ayat (5), Direktur Jenderal Pajak menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Bergarida bahwa Persetujuan Bersama tidak dapat dilaksanakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6). (9) Dalam hal hasil perundingan berisi ketidaksepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan:
pemberitahuan tertulis hasil perundingan yang berisi ketidaksepakatan kepada Pemohon atau Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama se bagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf c dan huruf d; dan
pemberitahuan tertulis kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, paling lama 14 (empat belas) hari kalender setelah tanggal Persetujuan Bersama. (10) Surat pernyataan tidak mengajukan penyelesaian sengketa di luar Prosedur Persetujuan Bersama dan surat pernyataan pencabutan atau penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam:
Lampiran huruf J .1., untuk surat pernyataan tidak mengajukan penyelesaian sengketa di luar Prosedur Persetujuan Bersama; atau
Lampiran huruf J.2., untuk surat pernyataan pencabutan atau penyesuaian, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 50 (1) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak:
tanggal diterimanya pemberitahuan tertulis dari Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bahwa Persetujuan Bersama dapat dilaksanakan; dan
tanggal disampaikannya pemberitahuan tertulis kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bahwa Persetujuan Bersama dapat dilaksanakan.
Dalam hal hasil perundingan yang berisi kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) terkait dengan permohonan Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral, Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti Persetujuan Bersama dengan menerbitkan surat keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Transfer sesuai dengan tata cara pelaksanaan Kesepakatan Harga Tran sf er. (3) Surat Keputusan Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam:
Lampiran huruf J.3., untuk Persetujuan Bersama terkait pengenaan pajak berganda; atau
Lampiran huruf J.4., untuk Persetujuan Bersama selain terkait pengenaan pajak berganda, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (4) Surat Keputusan Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada:
Pemohon;
Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf c dan huruf d; dan/atau
unit kerja di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang menindaklanjuti. Pasal 51 (1) Direktur Jenderal Pajak dapat menghentikan perundingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) dalam hal:
Pemohon tidak menyampaikan informasi dan/ a tau bukti atau keterangan dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (3);
Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda meminta informasi dan/atau bukti atau keterangan tidak sesuai dengan ketentuan se bagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (4);
perundingan tidak menghasilkan kesepakatan sampai dengan berakhirnya batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3) atau ayat (4);
telah terlampauinya daluwarsa penetapan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan untuk tahun pajak, bagian tahun pajak, atau masa pajak yang dicakup dalam permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama dan perundingan belum menghasilkan kesepakatan;
Wajib Pajak dalam negeri mengikuti program pengampunan pajak sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan untuk tahun pajak, bagian tahun pajak, atau masa pajak yang dicakup dalam permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama;
telah terbit putusan banding atau peninjauan kembali, dalam hal materi yang diputus merupakan materi yang Prosedur Persetujuan Bersama; putusan sengketa diajukan g. Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda tidak menyepakati posisi dalam perundingan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (3) huruf b atau huruf c; atau
telah terbit putusan gugatan dengan amar membatalkan surat ketetapan pajak yang terkait dengan Prosedur Persetujuan Bersama. (2) Direktur Jenderal Pajak menyampaikan pemberitahuan tertulis mengenai penghen tian perundingan se bagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada:
Pemohon;
Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama se bagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf c dan huruf d; dan/atau
Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. Bagian Ketiga Pencabutan Permintaan Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama Pasal 52 (1) Atas permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) dapat diajukan permohonan pencabutan oleh:
Wajib Pajak dalam negeri;
Warga Negara Indonesia;
Direktur Jenderal Pajak; atau
Otoritas Pajak Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda melalui Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sesuai dengan ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. (2) Direktur Jenderal Pajak dapat mencabut permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dalam rangka:
menindaklanjuti permohonan pencabutan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama oleh Wajib Pajak dalam negeri; dan/atau
menindaklanjuti pencabutan permohonan Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral yang diajukan oleh Wajib Pajak dalam negeri sesuai dengan tata cara pelaksanaan Kesepakatan Harga Tran sf er. (3) Permohonan pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf d serta permohonan pen ca bu tan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama oleh Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Direktur Perpajakan lnternasional. (4) Permohonan pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b serta permohonan pencabutan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama oleh Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
diajukan dalam batas waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak dimulainya perundingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);
mencantumkan alasan pencabutan; dan
ditandatangani oleh Pemohon, Wajib Pajak dalam negeri, atau wakil Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. (5) Atas permohonan pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b serta permohonan pencabutan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama oleh Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, Direktur Jenderal Pajak melakukan penelitian pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (6) Berdasarkan penelitian atas permohonan pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan pemberitahuan tertulis kepada:
Pemohon bahwa permohonan pencabutan disetujui atau tidak disetujui; dan
Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bahwa permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama dicabut, dalam hal permohonan pencabutan disetujui dan diajukan setelah dimulainya perundingan, paling lama 21 (dua puluh satu) hari kalender setelah tanggal permohonan pencabutan diterima oleh Direktur Jenderal Pajak. (7) Berdasarkan penelitian atas permohonan pencabutan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama oleh Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan pemberitahuan tertulis kepada:
Wajib Pajak dalam negeri bahwa permohonan pencabutan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama disetujui atau tidak disetujui; dan
Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bahwa permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama oleh Direktur Jenderal Pajak dicabut, dalam hal permohonan pencabutan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama disetujui dan diajukan setelah dimulainya perundingan, paling lama 21 (dua puluh satu) hari kalender setelah tanggal permohonan pencabutan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama diterima oleh Direktur Jenderal Pajak. (8) Dalam hal batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) atau ayat (7) telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan pemberitahuan tertulis, permohonan pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b serta permohonan pencabutan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama oleh Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dianggap disetujui dan Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat pemberitahuan tertulis paling lama 14 (empat belas) hari kalender setelah batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) atau ayat (7) terlampaui. (9) Permohonan pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b serta permohonan pencabutan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat diajukan:
secara langsung;
melalui pos atau jasa ekspedisi dengan bukti pengiriman tercatat; atau
melalui pos elektronik. (10) Permohonan pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a juga dapat diajukan secara elektronik. (11) Pengajuan permohonan pencabutan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dilakukan dalam hal sistem sudah tersedia. (12) Tata cara pengajuan permohonan pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan serta penerbitan, penandatanganan, dan pengiriman keputusan atau ketetapan pajak secara elektronik. (13) Surat permohonan pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf K.1. yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (14) Surat permohonan pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf K.2. yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (15) Surat permohonan pencabutan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama oleh Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf K.3., yang meru pakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (16) Pengajuan permohonan pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dapat dilaksanakan sepanjang permohonan diajukan sebelum diperoleh Persetujuan Bersama. (17) Atas permohonan pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yang diajukan oleh Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Direktur Jenderal Pajak meneliti pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (16) dan menerbitkan pemberitahuan tertulis kepada:
Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bahwa permohonan pencabutan disetujui atau tidak disetujui; dan
Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama oleh Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bahwa perundingan dihentikan, dalam hal permohonan pencabutan disetujui. Bagian Keempat Tindak Lanjut Persetujuan Bersama Pasal 53 (1) Surat Keputusan Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) merupakan dasar pengembalian pajak atau dasar penagihan pajak sesuai dengan Pasal 27C ayat (6) Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. (2) Dalam hal Surat Keputusan Persetujuan Bersama diterbitkan sebelum surat ketetapan pajak terbit, Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama harus menghitung kembali besarnya pajak terutang berdasarkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama dengan menyampaikan pembetulan surat pemberitahuan atau pengungkapan ketidakbenaran pengisian surat pemberitahuan dalam batas waktu sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. (3) Dalam hal Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama tidak melakukan:
pembetulan surat pemberitahuan; atau
pengungkapan ketidakbenaran pengisian surat pemberitahuan, dalam batas waktu 3 (tiga) bulan sejak diterbitkannya Surat Keputusan Persetujuan Bersama atau dengan memperhatikan daluwarsa penetapan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak dengan memperhitungkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama. (4) Dalam hal Surat Keputusan Persetujuan Bersama diterbitkan setelah surat ketetapan pajak terbit dan atas surat ketetapan pajak tersebut:
tidak diajukan ke beratan se bagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (11) hurufb;
tidak diajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar se bagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (11) huruf d;
diajukan keberatan atau permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar tetapi tidak dipertimbangkan;
diajukan keberatan atau permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar namun dicabut; atau
diajukan keberatan namun telah disesuaikan dari materi yang disepakati dalam Persetujuan Bersama, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama dengan menghitung kembali besarnya pajak terutang dalam surat ketetapan pajak. (5) Dalam hal Surat Keputusan Persetujuan Bersama diterbitkan setelah surat keputusan pengurangan ketetapan pajak atau surat keputusan pembatalan ketetapan pajak terbit, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama dengan menghitung kembali besarnya pajak terutang dalam surat keputusan pengurangan ketetapan pajak atau surat keputusan pembatalan ketetapan pajak. (6) Dalam hal Surat Keputusan Persetujuan Bersama diterbitkan setelah putusan gugatan dengan amar membatalkan terbit terhadap:
surat keputusan pengurangan ketetapan pajak;
surat keputusan pembatalan ketetapan pajak; atau
surat keputusan keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam peraturan perundang- undangan di bidang perpaj akan, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama dengan menghitung kembali besarnya pajak terutang dalam surat ketetapan pajak. (7) Dalam hal Surat Keputusan Persetujuan Bersama diterbitkan setelah surat keputusan keberatan terbit dan atas surat keputusan keberatan tersebut:
tidak diajukan banding;
diajukan banding tetapi dicabut dan Pengadilan Pajak telah memberikan persetujuan tertulis atas pencabutan tersebut;
diajukan banding namun telah disesuaikan dari materi yang disepakati dalam Persetujuan Bersama dan Pengadilan Pajak telah memberikan persetujuan tertulis atas penyesuaian tersebut; atau
diajukan banding tetapi terbit putusan Pengadilan Pajak dengan amar putusan tidak dapat diterima, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama dengan menghitung kembali besarnya pajak terutang dalam surat keputusan keberatan. (8) Dalam hal terdapat materi sengketa lain yang tidak dicakup dalam Surat Keputusan Persetujuan Bersama, namun memiliki keterkaitan dengan materi sengketa yang dicakup dalam Surat Keputusan Persetujuan Bersama, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keputusan keberatan a tau surat keputusan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar dengan mempertimbangkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama. (9) Dalam hal Surat Keputusan Persetujuan Bersama diterbitkan pada saat Wajib Pajak mengajukan permohonan banding atas materi sengketa yang tidak dicakup dalam Surat Keputusan Persetujuan Bersama, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama dengan menghitung kembali besarnya pajak terutang dalam surat keputusan keberatan. (10) Dalam hal Surat Keputusan Persetujuan Bersama diterbitkan setelah putusan banding atau peninjauan kembali yang mencakup materi sengketa selain yang tercakup dalam Surat Keputusan Persetujuan Bersama terbit, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama dengan menghitung kembali besarnya pajak terutang dalam surat pelaksanaan putusan banding atau surat pelaksanaan putusan peninjauan kembali. (11) Dalam hal Surat Keputusan Persetujuan Bersama:
terbit sebelum surat ketetapan pajak; dan
menyebabkan kelebihan atas pemotongan dan/atau pemungutan pajak penghasilan yang terutang, wajib pajak dalam negeri Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dapat menyampaikan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpaj akan. Pasal 54 Dalam hal kepada Wajib Pajak diterbitkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama se bagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) setelah penerbitan keputusan keberatan, putusan banding, dan/atau putusan peninjauan kembali, dasar pengenaan sanksi administratif dalam surat tagihan pajak sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai tata cara penerbitan surat ketetapan pajak dan surat tagihan pajak juga memperhitungkan jumlah pajak dalam Surat Keputusan Persetujuan Bersama. BAB VIII KESEPAKATAN HARGA TRANSFER Bagian Kesatu Tata Cara Penyampaian Permohonan Kesepakatan Harga Tran sf er Pasal 55 (1) Direktur Jenderal Pajak berwenang membuat Kesepakatan Harga Transfer dengan Wajib Pajak atau Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda untuk menentukan Harga Transfer yang wajar sesuai Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), yang berlaku selama suatu periode tertentu berdasarkan permohonan Kesepakatan Harga Transfer yang disampaikan oleh Wajib Pajak dalam negeri. (2) Direktur Jenderal Pajak dapat melimpahkan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk delegasi kepada pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak. (3) Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menyampaikan permohonan Kesepakatan Harga Transfer atas Transaksi Afiliasi berdasarkan:
inisiatif Wajib Pajak, berupa permohonan Kesepakatan Harga Transfer Unilateral atau Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral; atau
pemberitahuan tertulis dari Direktur Jenderal Pajak sehubungan dengan permohonan Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral yang diajukan subjek pajak luar negeri kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. (4) Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mencakup seluruh atau sebagian Transaksi Afiliasi selama Periode Kesepakatan Harga Transfer dan Pemberlakuan Mundur dalam hal Wajib Pajak meminta Pemberlakuan Mundur dalam permohonan Kesepakatan Harga Transfer. (5) Transaksi Afiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa Transaksi Afiliasi antara Wajib Pajak dan Wajib Pajak dalam negeri lainnya dan/atau subjek pajak luar negeri. (6) Pemberlakuan Mundur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berlaku sepanjang atas tahun pajak tersebut:
fakta dan kondisi Transaksi Afiliasi tidak berbeda secara material dengan fakta dan kondisi Transaksi Afiliasi yang telah disepakati dalam Kesepakatan Harga Transfer;
belum daluwarsa penetapan;
belum diterbitkan surat ketetapan pajak penghasilan badan; dan
tidak sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan, persidangan tindak. pidana di bidang perpajakan, atau menjalani hukuman pidana di bidang perpajakan. (7) Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa kesepakatan:
kriteria dalam Penentuan Harga Transfer; dan
Penentuan Harga Transfer di muka, untuk Periode Kesepakatan Harga Transfer dan Pemberlakuan Mundur dalam hal Wajib Pajak meminta Pemberlakuan Mundur dalam permohonan Kesepakatan Harga Transfer. (8) Kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a paling sedikit memuat:
identitas Pihak Afiliasi yang dicakup dalam Kesepakatan Harga Tran sf er;
Transaksi Afiliasi yang dicakup dalam Kesepakatan Harga Tran sf er;
metode Penentuan Harga Transfer yang digunakan;
cara penerapan metode Penentuan Harga Transfer yang disepakati; dan
asumsi kritis yang memengaruhi Penentuan Harga Transfer. (9) Asumsi kritis sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf e paling sedikit memuat:
ketentuan kontraktual tertulis dan tidak tertulis terkait Transaksi Afiliasi;
fungsi yang dilakukan masing-masing pihak yang bertransaksi, aktiva yang digunakan, dan risiko yang diasumsikan terjadi dan ditanggung oleh para pihak tersebut;
karakteristik transaksi dan karakteristik para pihak yang melakukan Transaksi Afiliasi; dan
kondisi ekonomi yang memengaruhi Penentuan Harga Tran sf er. (10) Penentuan Harga Transfer di muka sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf b dilakukan dengan menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sesuai kondisi yang telah terjadi dan yang diperkirakan akan terjadi selama Periode Kesepakatan Harga Transfer. Pasal 56 (1) Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (3) dapat menyampaikan permohonan Kesepakatan Harga Transfer sepanjang:
telah memenuhi kewajiban untuk menyampaikan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan selama 3 (tiga) tahun pajak berturut-turut sebelum tahun pajak diajukannya permohonan Kesepakatan Harga Transfer;
telah diwajibkan dan telah memenuhi kewajiban untuk menyelenggarakan dan menyimpan Dokumen Penentuan Harga Transfer berupa dokumen induk dan dokumen lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf a dan huruf b selama 3 (tiga) tahun pajak berturut-turut sebelum tahun pajak diajukannya permohonan Kesepakatan Harga Transfer;
tidak sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan, persidangan tindak pidana di bidang perpajakan, atau menjalani hukuman pidana di bidang perpajakan;
Transaksi Afiliasi yang diusulkan untuk dicakup dalam permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (3) merupakan Transaksi Afiliasi yang telah dilaporkan oleh Wajib Pajak dalam surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam huruf a; dan
usulan Penentuan Harga Transfer dalam permohonan Kesepakatan Harga Transfer dibuat berdasarkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dan tidak mengakibatkan laba operasi Wajib Pajak lebih kecil daripada laba operasi yang telah dilaporkan dalam surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam huruf a. (2) Wajib Pajak dalam negeri yang menyampaikan permohonan Kesepakatan Harga Transfer se bagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyampaikan permohonan tersebut kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar. (3) Penyampaian permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
disampaikan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengisi formulir permohonan Kesepakatan Harga Transfer menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf L yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini;
ditandatangani oleh pengurus yang namanya tercantum dalam:
akta pendirian; atau
akta perubahan, dalam hal terjadi perubahan pengurus;
disampaikan:
dalam periode 12 (dua belas) bulan sampai dengan 6 ( enam) bulan se belum dimulainya Peri ode Kesepakatan Harga Tran sf er, dalam hal permohonan se bagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (3) huruf a; atau
sebelum dimulainya Periode Kesepakatan Harga Transfer, dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (3) huruf b; dan
dilampiri dengan:
surat pernyataan bahwa Wajib Pajak bersedia untuk melengkapi seluruh dokumen yang diperlukan dalam proses Kesepakatan Harga Transfer; dan
surat pernyataan bahwa Wajib Pajak bersedia untuk melaksanakan kesepakatan yang tercantum dalam Kesepakatan Harga Transfer. (4) Ketentuan mengenai usulan Penentuan Harga Transfer dalam permohonan Kesepakatan Harga Transfer tidak mengakibatkan laba operasi Wajib Pajak lebih kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e terpenuhi sepanjang tingkat laba yang paling rendah dalam proyeksi la po ran keuangan selama Periode Kesepakatan Harga Transfer lebih besar atau sama dengan tingkat laba yang paling rendah dalam surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan 3 (tiga) tahun pajak sebelum tahun pajak disampaikannya permohonan Kesepakatan Harga Transfer. (5) Tingkat laba sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan rasio antara laba sebelum pajak atau penghasilan neto komersial dan peredaran usaha atau rasio antara laba sebelum pajak atau penghasilan neto komersial dengan total biaya. (6) Dalam hal permohonan Kesepakatan Harga Transfer diajukan oleh Wajib Pajak yang usahanya terdampak negatif bencana nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, tingkat laba dalam proyeksi laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan tingkat laba hasil penyesuaian pada kondisi normal. (7) Proyeksi laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf M yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (8) Penyampaian permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan:
secaralangsung; atau
secara elektronik. (9) Penyampaian permohonan Kesepakatan Harga Transfer secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf b dilakukan dalam hal sistem sudah tersedia. (10) Tata cara penyampaian permohonan Kesepakatan Harga Tran sf er secara elektronik se bagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf b dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan serta penerbitan, penandatanganan, dan pengiriman keputusan atau ketetapan pajak secara elektronik. (11) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan bukti penerimaan atas penyampaian permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (12) Tanggal yang tercantum dalam bukti penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (11) merupakan tanggal penerimaan permohonan Kesepakatan Harga Transfer.
(2) (3) (4) Pasal 57 Atas permohonan Kesepakatan Harga se bagaimana dimaksud dalam Pasal 56 Direktur Jenderal Pajak melakukan terhadap: Transfer ayat (2), penelitian a. kelengkapan pemenuhan persyaratan pengajuan permohonan Kesepakatan Harga Transfer berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3); dan
pemenuhan ketentuan Wajib Pajak yang dapat mengajukan permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1). Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan menerbitkan pemberitahuan tertulis dapat atau tidak dapat ditindaklanjutinya permohonan Kesepakatan Harga Tran sf er kepada:
Wajib Pajak; dan/atau
Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, dalam hal permohonan Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral, dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan setelah tanggal penerimaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (12). Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan pemberitahuan tertulis, permohonan Kesepakatan Harga Transfer yang disampaikan oleh Wajib Pajak dianggap dapat ditindaklanjuti dan Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat pemberitahuan tertulis paling lama 1 (satu) bulan setelah batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terlampaui. Dalam hal pemberitahuan permohonan Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda tidak mendapatkan jawaban tertulis dalam jangka waktu 8 (delapan) bulan sejak tanggal pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan pemberitahuan tertulis penghentian proses Kesepakatan Harga Transfer kepada:
Wajib Pajak yang menyampaikan permohonan Kesepakatan Harga Transfer; dan
Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. (5) Dalam hal permohonan Kesepakatan Harga Transfer tidak dapat ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan permohonan Kesepakatan Harga Transfer dihentikan prosesnya sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Wajib Pajak dapat menyampaikan kembali permohonan Kesepakatan Harga Transfer sepanjang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) dan ayat (3). Pasal 58 (1) Atas permohonan Kesepakatan Harga Transfer yang dapat ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) atau dianggap dapat ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (3), Wajib Pajak harus menyampaikan kelengkapan permohonan Kesepakatan Harga Transfer secara langsung kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Direktur Perpajakan Internasional dalam bentuk salinan cetak (hardcopy) dan/atau salinan digital (softcopy). (2) Kelengkapan permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lama 2 (dua) bulan setelah tanggal pemberitahuan bahwa permohonan Kesepakatan Harga Transfer dapat ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) atau ayat (3). (3) Kelengkapan permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa:
laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik untuk 3 (tiga) tahun pajak terakhir sebelum tahun pajak diajukannya permohonan Kesepakatan Harga Tran sf er;
Dokumen Penentuan Harga Transfer untuk 3 (tiga) tahun pajak terakhir sebelum tahun pajak diajukannya permohonan Kesepakatan Harga Tran sf er; dan
dokumen yang berisi penjelasan rinci atas penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha untuk setiap Transaksi Afiliasi yang diusulkan un tuk dicakup dalam Kesepakatan Harga Transfer dalam bahasa Indonesia. (4) Penjelasan rinci sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c paling sedikit memuat informasi sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf N yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (5) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan bukti penerimaan atas penyampaian kelengkapan permohonan Kesepakatan Harga Tran sf er secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (6) Tanggal yang tercantum dalam bukti penerimaan kelengkapan permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan tanggal penerimaan kelengkapan permohonan Kesepakatan Harga Tran sf er.
Dalam hal kelengkapan permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak disampaikan oleh Wajib Pajak dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan pemberitahuan tertulis penghentian proses Kesepakatan Harga Transfer kepada:
Wajib Pajak; dan
Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, dalam hal permohonan Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral. (8) Dalam hal permohonan Kesepakatan Harga Transfer dihentikan prosesnya sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Wajib Pajak dapat menyampaikan kembali permohonan Kesepakatan Harga Transfer sepanjang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) dan ayat (3). Bagian Kedua Tata Cara Penyelesaian Permohonan Kesepakatan Harga Tran sf er Paragraf 1 Pengujian Material Penyelesaian Permohonan Kesepakatan Harga Tran sf er Pasal 59 (1) Atas permohonan Kesepakatan Harga Transfer yang telah memenuhi kelengkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (3), Direktur J enderal Pajak melaksanakan pengujian material. (2) Dalam pengujian material sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk:
melakukan pembahasan dengan Wajib Pajak terkait dengan permohonan Kesepakatan Harga Transfer Wajib Pajak;
melakukan peninjauan ke tempat kegiatan usaha Wajib Pajak dan/atau Pihak Afiliasi;
mewawancarai pengurus dan/atau karyawan Wajib Pajak;
meminta tambahan data dan/atau informasi dalam bentuk bukti, baik berupa dokumen atau keterangan, dari Wajib Pajak;
meminta data dan/atau informasi dalam bentuk bukti, baik berupa dokumen atau keterangan, dari Pihak Afiliasi atau pihak lainnya yang terkait;
meminta pertukaran informasi perpajakan ( exchange of _infonnation); _ g. meminta informasi dan/atau bukti atau keterangan dari Lembaga Jasa Keuangan, Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, dan/atau entitas lain; dan/atau
meminta dilakukannya kegiatan penilaian. (3) Dalam hal diperlukan untuk pengujian material sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak dapat melaksanakan Pemeriksaan untuk tujuan lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. (4) Pemeriksaan untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan dalam hal Wajib Pajak:
belum pernah dilakukan Pemeriksaan terkait Penentuan Harga Transfer atas Transaksi Afiliasi yang diusulkan untuk dicakup dalam Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (3) sampai dengan 3 (tiga) tahun pajak sebelum tahun pajak disampaikannya permohonan Kesepakatan Harga Transfer; dan/atau
mengajukan permintaan Pemberlakuan Mundur dalam permohonan Kesepakatan Harga Transfer. (5) Pengujian material sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha. (6) Dalam pengujian material sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (3) wajib:
menghadiri pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a;
memberikan kesempatan peninjauan ke tempat kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b;
memberikan kesempatan Direktur Jenderal Pajak untuk mewawancarai pengurus dan/atau karyawan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hurufc;dan d. memberikan tambahan data dan/atau informasi dalam bentuk bukti, baik berupa dokumen atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d. (7) Dokumen Wajib Pajak yang digunakan selama proses pengujian material sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat digunakan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai dasar untuk melakukan Pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Paragraf 2 Perundingan Kesepakatan Harga Transfer Pasal 60 (1) Direktur Jenderal Pajak melaksanakan perundingan Kesepakatan Harga Tran sf er dengan:
Wajib Pajak, dalam hal Kesepakatan Harga Transfer Unilateral; atau
Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, dalam hal Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral. (2) Perundingan Kesepakatan Harga Transfer Unilateral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus:
dimulai paling lambat 6 (enam) bulan sejak Wajib Pajak menyampaikan kelengkapan permohonan Kesepakatan Harga Transfer dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (2); dan
diselesaikan dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak dimulainya perundingan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam huruf a. (3) Perundingan Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hurufb diselesaikan dalamjangka waktu sesuai dengan ketentuan mengenai Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3) dan ayat (4). (4) Dalam hal pada saat perundingan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diketahui bahwa Wajib Pajak sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan, persidangan tindak pidana di bidang perpajakan, atau menjalani hukuman pidana di bidang perpajakan, Direktur Jenderal Pajak menghentikan proses Kesepakatan Harga Transfer dan menerbi tkan pemberitahuan tertulis penghen tian proses Kesepakatan Harga Transfer kepada:
Wajib Pajak; dan
Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, dalam hal permohonan Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral. Pasal 61 (1) Hasil perundingan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) dapat berisi kesepakatan atau ketidaksepakatan atas kriteria dalam Penentuan Harga Transfer dan Penentuan Harga Transfer di muka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (7). (2) Dalam perundingan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1), Direktur Jenderal Pajak dapat tidak menyepakati Kesepakatan Harga Transfer dalam hal:
Transaksi Afiliasi tidak didasari oleh motif ekonomi;
substansi ekonomi Transaksi Afiliasi berbeda dengan bentuk formalnya;
Transaksi Afiliasi dilakukan dengan salah satu tujuan untuk meminimalkan beban pajak;
informasi dan/atau bukti atau keterangan yang disampaikan oleh Wajib Pajak tidak benar atau tidak sesuai dengan kondisi yang se benarnya;
informasi dan/ a tau bukti atau keterangan terkait dengan pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf d tidak dapat diperoleh Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 21 (dua puluh satu) hari kalender setelah tanggal permintaan tertulis; dan/atau
tahun pajak dalam Periode Kesepakatan Harga Transfer atau Pemberlakuan Mundur telah diterbitkan surat ketetapan pajak penghasilan badan.
Hasil perundingan Kesepakatan Harga Transfer dianggap berisi ketidaksepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal:
perundingan Kesepakatan Harga Tran sf er tidak menghasilkan kesepakatan sampai dengan berakhirnya jangka waktu perundingan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) a tau ayat (3); a tau b. Direktur Jenderal Pajak menerima pemberitahuan tertulis dari Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bahwa perundingan Kesepakatan Harga Transfer tidak dapat dilakukan. (4) Dalam hal perundingan Kesepakatan Harga Transfer menghasilkan ketidaksepakatan se bagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak menghentikan proses Kesepakatan Harga Transfer dan menerbitkan pemberitahuan tertulis kepada Wajib Pajak. (5) Hasil perundingan Kesepakatan Harga Transfer yang berisi kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam:
Naskah Kesepakatan Harga Transfer, dalam hal Kesepakatan Harga Transfer Unilateral; atau
Persetujuan Bersama sesuai dengan Prosedur Persetujuan Bersama, dalam hal Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral. (6) Naskah Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf O yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (7) Berdasarkan Naskah Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Transfer dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak Naskah Kesepakatan Harga Transfer ditandatangani. (8) Berdasarkan Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Transfer dalamjangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak:
tanggal diterimanya pemberitahuan tertulis dari Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bahwa Persetujuan Bersama dapat dilaksanakan;dan b. tanggal disampaikannya pemberitahuan tertulis kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bahwa Persetujuan Bersama dapat dilaksanakan. (9) Surat keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf P dan Q yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Surat keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8) disampaikan kepada:
Wajib Pajak yang menyampaikan permohonan Kesepakatan Harga Transfer; dan
unit kerja di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang menindaklanjuti. Pasal 62 (1) Dalam hal:
perundingan Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral menghasilkan ketidaksepakatan se bagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1); atau
proses Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral dihentikan karena Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda tidak menyampaikan jawaban tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (4), Wajib Pajak dapat menyampaikan permohonan Kesepakatan Harga Transfer Unilateral dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 ayat (3) huruf a dan huruf b, kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar paling lama 14 (empat belas) hari kalender setelah tanggal pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (4) atau Pasal 57 ayat (4). (2) Atas permohonan Kesepakatan Harga Transfer Unilateral yang disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak melaksanakan perundingan dengan Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama:
6 (enam) bulan sejak diterimanya permohonan, dalam hal permohonan tersebut disampaikan karena Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral menghasilkan ketidaksepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; atau
12 (dua belas) bulan sejak diterimanya permohonan, dalam hal permohonan tersebut disampaikan karena proses Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral dihentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b. (3) Dalam hal sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum dicapai kesepakatan, hasil perundingan Kesepakatan Harga Transfer Unilateral dianggap berupa ketidaksepakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1). Bagian Ketiga Tata Cara Pencabutan Permohonan Kesepakatan Harga Transfer Pasal 63 (1) Permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (3) dapat diajukan pencabutan permohonan Kesepakatan Harga Transfer oleh Wajib Pajak. (2) Pencabutan permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mencantumkan alasan pencabutan;
diajukan sebelum diperoleh kesepakatan; dan
ditandatangani oleh pengurus yang namanya tercantum dalam akta pendirian atau akta perubahan, dalam hal terjadi perubahan pengurus. (3) Pencabutan permohonan Kesepakatan Harga Transfer se bagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Wajib Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Direktur Perpajakan Internasional. (4) Pencabutan permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf R yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (5) Permohonan pencabutan yang diajukan oleh Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan:
secara langsung; atau
secara elektronik. (6) Penyampaian permohonan pencabutan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b dilakukan dalam hal sistem sudah tersedia. (7) Tata cara penyampaian permohonan pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) hurufb dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan serta penerbitan, penandatanganan, dan pengiriman keputusan atau ketetapan pajak secara elektronik. (8) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan bukti penerimaan atas pengajuan pencabutan permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal 64 (1) Atas pencabutan permohonan Kesepakatan Harga Transfer yang diajukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1), Direktur Jenderal Pajak melakukan penelitian terhadap pemenuhan persyaratan pencabutan permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2). (2) Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan menerbitkan pemberitahuan tertulis disetujui atau tidak disetujuinya pen ca bu tan permohonan Kesepakatan Harga Transfer kepada:
Wajib Pajak; dan
Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, dalam hal Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral, dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kalender setelah tanggal penerimaan pencabutan permohonan Kesepakatan Harga Transfer se bagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (8). (3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan pemberitahuan tertulis, pencabutan permohonan Kesepakatan Harga Transfer dianggap disetujui dan Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat pemberitahuan tertulis paling lama 14 (empat belas) hari kalender setelah batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terlampaui. (4) Dalam hal berdasarkan penelitian pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pencabutan permohonan Kesepakatan Harga Transfer tidak memenuhi persyaratan, pencabutan permohonan Kesepakatan Harga Transfer tidak disetujui dan permohonan Kesepakatan Harga Transfer tetap dilanjutkan. (5) Dalam hal pencabutan permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) diajukan setelah perundingan Kesepakatan Harga Transfer dimulai, Wajib Pajak tidak dapat mengajukan kembali permohonan Kesepakatan Harga Transfer untuk tahun pajak yang dicakup dalam permohonan Kesepakatan Harga Transfer yang dicabut. Pasal 65 (1) Dalam hal:
pencabutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (5) dilakukan atas permohonan Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral; dan
pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf a memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2), Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan Kesepakatan Harga Tran sf er Unilateral dengan memperhatikan ketentuan se bagaimana dimaksud dalam pasal 56 ayat (3) huruf a dan huruf b kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar paling lama 14 (empat belas) hari kalender setelah tanggal pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (2) atau ayat (3). (2) Atas permohonan Kesepakatan Harga Transfer Unilateral sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak melaksanakan perundingan Kesepakatan Harga Transfer dengan Wajib Pajak dalam jangka waktu:
6 (enam) bulan, dalam hal telah dilakukan perundingan Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral; atau
12 (dua belas) bulan, dalam hal belum dilakukan perundingan Kesepakatan Harga Tran sf er Bilateral a tau Multilateral, sejak tanggal diterimanya permohonan Kesepakatan Harga Transfer Unilateral sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Permohonan Kesepakatan Harga Transfer Unilateral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan menggunakan contoh format pengajuan permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3). (4) Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum dicapai kesepakatan, hasil perundingan Kesepakatan Harga Tran sf er Unilateral dianggap berupa ketidaksepakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1). (5) Pemberitahuan tertulis yang disampaikan Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda mengenai pencabutan atas permohonan Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral dianggap sebagai pemberitahuan tertulis dari Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bahwa perundingan Kesepakatan Harga Transfer tidak dapat dilakukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (3) huruf b. Bagian Keempat Tata Cara Pelaksanaan Kesepakatan Harga Tran sf er Pasal 66 (1) Wajib Pajak wajib melaksanakan Kesepakatan Harga Transfer yang dimuat dalam surat keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (7) atau ayat (8) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan. (2) Kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diimplementasikan dalam kebijakan Penentuan Harga Transfer Wajib Pajak dan pelaksanaannya harus dituangkan dalam Dokumen Penentuan Harga Transfer untuk Periode Kesepakatan Harga Transfer. (3) Dalam hal atas Periode Kesepakatan Harga Transfer dan/atau Pemberlakuan Mundur:
telah disampaikan surat pemberitahuan tahunan paj ak penghasilan badan;
Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan Pemeriksaan; dan
terdapat kekurangan pembayaran pajak penghasilan yang terutang dihitung berdasarkan kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Transfer, Wajib Pajak harus melakukan pembetulan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan sesuai dengan Kesepakatan Harga Tran sf er yang dimuat dalam surat keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Transfer paling lambat 1 (satu) bulan setelah diterbitkannya keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Transfer. (4) Dalam hal atas Periode Kesepakatan Harga Transfer dan/atau Pemberlakuan Mundur, surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a sedang dilakukan tindakan Pemeriksaan, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak dengan memperhitungkan Kesepakatan Harga Transfer yang dimuat dalam surat keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Tran sf er. (5) Dalam hal atas tahun pajak dalam Periode Kesepakatan Harga Transfer telah diterbitkan surat ketetapan pajak, Direktur Jenderal Pajak melakukan pembetulan atas surat ketetapan pajak secara jabatan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dengan memperhitungkan Kesepakatan Harga Transfer yang dimuat dalam surat keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Transfer. (6) Dalam hal terdapat sanksi administratif yang timbul sebagai akibat:
pembetulan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan se bagaimana dimaksud pada ayat (3);
penerbitan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4); atau
pembetulan atas surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Direktur Jenderal Pajak menghapuskan sanksi administratif sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Pasal 67 (1) Kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) tidak menghalangi Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan tindakan Pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan. (2) Dalam hal Wajib Pajak melaksanakan kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Transfer dan sedang dilakukan tindakan Pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak tidak dapat melakukan koreksi atas Penentuan Harga Transfer transaksi yang dicakup dalam Kesepakatan Harga Transfer. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal Wajib Pajak:
menyampaikan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan yang Penentuan Harga Transfernya tidak sesuai dengan kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Transfer;
tidak menyampaikan pembetulan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (3);
menyampaikan pembetulan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan yang Penentuan Harga Tran sf ernya tidak sesuai dengan kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Transfer; atau
tidak menyampaikan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan untuk tahun pajak dalam Periode Kesepakatan Harga Transfer. Bagian Kelima Tata Cara Evaluasi Kesepakatan Harga Transfer Paragraf 1 Kewenangan Direktur Jenderal Pajak Melakukan Evaluasi Kesepakatan Harga Tran sf er Pasal 68 (1) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer oleh Wajib Pajak. (2) Pengawasan terhadap pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui evaluasi atas:
kepatuhan pelaksanaan kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Transfer; dan
kesesuaian kriteria dalam Penentuan Harga Transfer pada kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Tran sf er. (3) Dalam rangka evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk:
melakukan pembahasan dengan Wajib Pajak terkait dengan pelaksanaan kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Tran sf er;
meminta Wajib Pajak untuk memberikan informasi dan/ a tau bukti atau keterangan yang diperlukan;
melakukan peninjauan ke tempat kegiatan usaha Wajib Pajak dan/atau Pihak Afiliasi Wajib Pajak;
mewawancarai pengurus dan/atau karyawan Wajib Pajak; dan/atau
meminta informasi dan/atau bukti atau keterangan dari Pihak Afiliasi atau pihak lainnya yang terkait. (4) Dalam evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wajib Pajak wajib:
menghadiri pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a;
memberikan informasi dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b;
memberikan kesempatan peninjauan ke tempat kegiatan usaha se bagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c; dan/atau
memberikan kesempatan Direktur Jenderal Pajak untuk mewawancarai pengurus dan/atau karyawan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d. (5) Dalam hal berdasarkan hasil evaluasi atas kepatuhan pelaksanaan kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diketahui bahwa Wajib Pajak tidak melaksanakan Kesepakatan Harga Transfer yang dimuat dalam surat keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Transfer, Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. (6) Tindak lanjut Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan dengan melaksanakan Kesepakatan Harga Transfer yang dimuat dalam surat keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Transfer. (7) Berdasarkan hasil evaluasi se bagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan:
peninjauan kembali Kesepakatan Harga Transfer, sepanjang terdapat perubahan material atas fakta dan kondisi Transaksi Afiliasi yang dicakup dalam Kesepakatan Harga Transfer dengan asumsi kritis yang disepakati dalam Kesepakatan Harga Tran sf er; atau
pembatalan Kesepakatan Harga Transfer yang dimuat dalam surat keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Tran sf er, sebelum Periode Kesepakatan Harga Transfer berakhir. Paragraf 2 Peninjauan Kembali Kesepakatan Harga Transfer Pasal 69 (1) Peninjauan kembali Kesepakatan Harga Transfer dilakukan berdasarkan:
hasil evaluasi atas kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Transfer se bagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (7); a tau b. permohonan pen1nJauan kembali Kesepakatan Harga Transfer yang disampaikan oleh Wajib Pajak. (2) Berdasarkan hasil evaluasi atas kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan pemberitahuan tertulis kepada Wajib Pajak. (3) Pemberitahuan tertulis kepada Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat:
perubahan material atas fakta dan kondisi Transaksi Afiliasi yang dicakup dalam Kesepakatan Harga Transfer dengan asumsi kri tis yang disepakati dalam Kesepakatan Harga Transfer; dan
pelaksanaan perundingan Kesepakatan Harga Transfer dalam rangka peninjauan kembali Kesepakatan Harga Transfer. (4) Pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan sebelum tahun pajak yang akan dilakukan peninjauan kembali Kesepakatan Harga Transfer berakhir. t (5) Permohonan penmJauan kembali Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Direktur Perpajakan Internasional dengan mengisi formulir permohonan peninjauan kembali Kesepakatan Harga Tran sf er. (6) Formulir permohonan penmJauan kembali Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf S yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (7) Penyampaian permohonan penmJauan kembali Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat dilakukan:
secara langsung; atau
secara elektronik. (8) Penyampaian permohonan penmJauan kembali Kesepakatan Harga Transfer secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (7) hurufb dilakukan dalam hal sistem sudah tersedia. (9) Tata cara penyampaian permohonan penmJauan kembali Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf b dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan serta penerbitan, penandatanganan, dan pengiriman keputusan atau ketetapan pajak secara elektronik. (10) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan bukti penerimaan atas penyampaian permohonan peninjauan kembali Kesepakatan Harga Transfer se bagaimana dimaksud pada ayat (7). (11) Tanggal yang tercantum dalam bukti penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) merupakan tanggal penerimaan permohonan peninjauan kembali Kesepakatan Harga Transfer. (12) Ketentuan mengenai penelitian, penyampaian kelengkapan permohonan, pengujian material, dan perundingan atas permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 sampai dengan Pasal 60 berlaku secara mutatis mutandis atas permohonan penmJauan kembali Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (5). (13) Hasil perundingan peninjauan kembali Kesepakatan Harga Transfer dituangkan dalam perubahan Naskah Kesepakatan Harga Transfer atau Persetujuan Bersama. (14) Atas perubahan Naskah Kesepakatan Harga Transfer atau perubahan Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (13), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan mengenai perubahan Kesepakatan Harga Transfer dengan mencantumkan tahun pajak dalam Periode Kesepakatan Harga Transfer yang ditinjau kembali.
Keputusan mengenai perubahan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (14) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf T dan U yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Paragraf 3 Pembatalan Kesepakatan Harga Transfer Pasal 70 (1) Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (7) terdapat indikasi bahwa Wajib Pajak:
menyampaikan informasi dan/atau bukti a tau keterangan yang tidak benar atau tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya; dan/atau
tidak menyampaikan informasi dan/ a tau bukti atau keterangan yang:
diketahui atau patut diketahui oleh Wajib Pajak; dan
dapat memengaruhi hasil kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Transfer, Direktur Jenderal Pajak mengirimkan pemberitahuan tertulis kepada Wajib Pajak untuk melakukan klarifikasi atas ketidaksesuaian informasi dan/ a tau bukti atau keterangan yang disampaikan selama proses Kesepakatan Harga Transfer. (2) Wajib Pajak harus menyampaikan tanggapan tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Direktur Perpajakan Internasional atas pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu 21 (dua puluh satu) hari kalender setelah tanggal pemberitahuan tertulis. (3) Direktur Jenderal Pajak melakukan penelitian atas tanggapan tertulis Wajib Pajak yang disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Direktur Jenderal Pajak membatalkan Kesepakatan Harga Transfer yang dimuat dalam surat keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (7) atau ayat (8) dalam hal Wajib Pajak:
terbukti memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berdasarkan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (3); atau
tidak menyampaikan tanggapan tertulis atau menyampaikan tanggapan tertulis tetapi melebihi jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (5) Dalam rangka pembatalan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan:
surat keputusan pembatalan Kesepakatan Harga Transfer kepada Wajib Pajak yang dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini; dan
pemberitahuan pembatalan Kesepakatan Harga Transfer kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, dalam hal Kesepakatan Harga Tran sf er Bilateral a tau Multilateral. (6) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keputusan pembatalan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a kepada Wajib Pajak dalam jangka waktu 21 (dua puluh satu) hari kalender setelah:
diterimanya tanggapan tertulis Wajib Pajak, dalam hal pembatalan kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Transfer berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (3); atau
terlampauinya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (7) Dalam hal Direktur Jenderal Pajak membatalkan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (4):
Wajib Pajak tidak dapat mengajukan kembali permohonan Kesepakatan Harga Transfer untuk Periode Kesepakatan Harga Transfer dan/ a tau Pemberlakuan Mundur yang dicakup dalam Kesepakatan Harga Transfer yang dibatalkan; dan
Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan tindakan Pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, dan/ a tau penyidikan tindak pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Bagian Keenam Tata Cara Pembaruan Kesepakatan Harga Transfer Pasal 71 (1) Wajib Pajak dapat menyampaikan permohonan pembaruan Kesepakatan Harga Transfer kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar. (2) Permohonan pembaruan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan dalam periode 12 (dua belas) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan sebelum Periode Kesepakatan Harga Transfer yang diajukan pembaruan dimulai. (3) Formulir permohonan pembaruan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf W yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (4) Penyampaian permohonan pembaruan Kesepakatan Harga Tran sf er se bagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan:
secara langsung; atau
secara elektronik.
(6) (7) (8) (9) (10) (11) Penyampaian permohonan pembaruan Kesepakatan Harga Transfer secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dilakukan dalam hal sistem sudah tersedia. Tata cara penyampaian permohonan pembaruan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan serta penerbitan, penandatanganan, dan pengiriman keputusan atau ketetapan pajak secara elektronik. Direktur Jenderal Pajak menerbitkan bukti penerimaan atas penyampaian permohonan pembaruan Kesepakatan Harga Transfer se bagaimana dimaksud pada ayat (1). Tanggal yang tercantum dalam bukti se bagaimana dimaksud pada ayat (7) tanggal penerimaan permohonan Kesepakatan Harga Transfer. penenmaan merupakan pembaruan Atas permohonan pembaruan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Wajib Pajak harus menyampaikan kelengkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) dan ayat (2). Ketentuan mengenai penyampaian kelengkapan permohonan, pengujian material, dan perundingan atas permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 sampai dengan Pasal 60 berlaku secara mutatis mutandis atas permohonan pembaruan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pembaruan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan 1 (satu) kali untuk 1 (satu) Periode Kesepakatan Harga Transfer. BAB IX PENYAMPAIAN DOKUMEN DAN SURAT KEPUTUSAN Pasal 72 (1) Penyampaian dokumen dan surat keputusan dalam rangka penyelesaian Prosedur Persetujuan Bersama dan Kesepakatan Harga Transfer dapat dilakukan:
secara langsung;
melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau
secara elektronik. (2) Penyampaian dokumen dan surat keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan dalam hal sistem sudah tersedia. (3) Tata cara penyampaian dokumen dan surat keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c sesuai dengan Peraturan Menteri yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan serta penerbitan, penandatanganan, dan peng1nman keputusan atau ketetapan pajak secara elektronik. BABX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 73 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
terhadap permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yang dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 49/PMK.03/2019 tentang Tata Cara Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 468) dan belum diterbitkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama, ditindaklanjuti berdasarkan Peraturan Menteri ini;
terhadap permohonan Kesepakatan Harga Transfer yang dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement) (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 262) dan belum diterbitkan surat keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Transfer, surat keputusan mengenai perubahan Kesepakatan Harga Transfer, atau surat keputusan pembatalan kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Transfer, ditindaklanjuti berdasarkan Peraturan Menteri ini; dan
terhadap kewajiban menyelenggarakan, menyimpan, dan menyampaikan Dokumen Penentuan Harga Transfer untuk tahun pajak 2024 dan seterusnya dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri ini. BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 74 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, ketentuan dalam:
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.03/2016 tentang Jenis Dokumen dan/atau Informasi Tambahan yang Wajib Disimpan oleh Wajib Pajak yang Melakukan Transaksi dengan Para Pihak yang Mempunyai Hubungan lstimewa dan Tata Cara Pengelolaannya (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 2120);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 49/PMK.03/2019 tentang Tata Cara Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 468); dan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Pembentukan dan Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement) (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 262), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 75 Peraturan Menteri m1 mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Permohonan Keberatan Hak Uji Materiil Terhadap Pasal 2 ayat (4), ayat (7) dan Lampiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 85 Tahun 2021 ten ...
Relevan terhadap
ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 28 dari 113 halaman. Putusan Nomor 38 P/HUM/2022 _c. aspek keadilan; dan/atau _ 12. Bahwa kenaikan dan atau target Penerimaan Negara Bukan Pajak pada sektor perikanan dari tahun ke tahun sebagaimana ditunjukkan dalam tabel di atas sudah menunjukkan perkembangan yang bagus dengan mengedepankan dan mempertimbangkan nilai manfaat, kadar, atau kualitas sumber daya alam, dampak pengenaan tarif terhadap masyarakat, dunia usaha, pelestarian alam dan lingkungan, serta sosial budaya serta aspek keadilan, dan/atau kebijakan Pemerintah; __ Tabel 5 Perkembangan PNBP Perikanan Uraian 2013 2014 2015 2016 2017 2018 Target (Miliar) 250,00 250,00 578,80 693,00 950,00 600,00 Realisasi (Miliar) 229,35 216,37 79,27 362,12 491,03 448,73 Pertumbuhan (%) 6% -6% -63% 357% 36% -9% Realisasi Terhadap Target (%) 91,7% 86,5% 13,7% 52,3% 51,7% 74,8% Sumber: Kementerian Keuangan (2020) 13. Bahwa namun demikian, kenaikan yang berlipat-lipat dan target Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (4) dan Lampiran PP Nomor 85 Tahun 2021, justru mengesampingkan dan tidak mempertimbangkan nilai manfaat, kadar, atau kualitas sumber daya alam, dampak pengenaan tarif terhadap masyarakat, dunia usaha, pelestarian alam dan lingkungan, serta sosial budaya serta aspek keadilan, dan/atau kebijakan Pemerintah; __ 14. Bahwa antara Realisasi Anggaran Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) dengan Perolehan Pungutan Negara Bukan Pajak (PNBP) Perikanan Tangkap memiliki korelasi yang sangat erat. Adapun data yang ada sejak tahun 2014 s.d. 2020 adalah sebagai berikut: - Pagu Anggaran KKP 2014 sebesar Rp5,7 Triliun; PNBP Perikanan Tangkap 2014 sebesar Rp214,446 Milyar; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 28
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 77 /PMK.01/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020-2024 ...
Pengelolaan Insentif Fiskal Tahun Anggaran 2024 untuk Penghargaan Kinerja Tahun Sebelumnya
Relevan terhadap
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENGELOLAAN INSENTIF FISKAL TAHUN ANGGARAN 2024 UNTUK PENGHARGAAN KINERJA TAHUN SEBELUMNYA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas- batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3. Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. 4. Kepala Daerah adalah gubernur bagi Daerah provinsi atau bupati bagi Daerah kabupaten atau wali kota bagi Daerah kota. 5. Daerah Tertinggal adalah Daerah kabupaten yang wilayah serta masyarakatnya kurang berkembang dibandingkan dengan Daerah lain dalam skala nasional. 6. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. 7. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang. selanjutnya disingkat APED adalah rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan dengan peraturan Daerah. 8. Transfer ke Daerah yang selanjutnya disingkat TKD adalah dana yang bersumber dari APBN dan merupakan bagian dari belanja negara yang dialokasikan dan disalurkan jdih.kemenkeu.go.id mendanai penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. 9. Insentif Fiskal adalah dana yang bersumber dari APBN yang diberikan kepada Daerah atas pencapaian Kinerja berdasarkan kriteria tertentu berupa perbaikan dan/atau pencapaian Kinerja pemerintahan daerah antara lain pengelolaan keuangan daerah, pelayanan umum pemerintahan, pelayanan dasar, dukungan terhadap kebijakan strategis nasional, dan/atau pelaksanaan kebijakan fiskal nasional. 10. Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi bendahara umum negara. 11. Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BA BUN adalah bagian anggaran yang tidak dikelompokkan dalam bagian anggaran kementerian negara/lembaga. 12. Rencana Kerja dan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKA BUN adalah dokumen rencana keuangan tahunan dari BUN yang memuat rincian kegiatan, anggaran, dan target kinerja dari pembantu pengguna anggaran BUN, yang disusun menurut BA BUN. 13. Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat PPA BUN adalah unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan bertanggungjawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN. 14. Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat KPA BUN adalah pejabat pada satuan kerja dari masing-masing PPA BUN baik di kantor pusat maupun kantor Daerah atau satuan kerja di kementerian negara/lembaga yang memperoleh penugasan dari Menteri Keuangan untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN. 15. Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat DIPA BUN adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh KPA BUN. 16. Indikasi Kebutuhan Dana Transfer ke Daerah yang selanjutnya disebut Indikasi Kebutuhan Dana TKD adalah indikasi dana yang perlu dianggarkan dalam rangka pelaksanaan TKD. 17. Rekening Kas Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKUN adalah rekening tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku BUN untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara pada bank sentral. 18. Rekening Kas Umum Daerah yang selanjutnya disingkat RKUD adalah rekening tempat penyimpanan uang Daerah yang ditentukan oleh Kepala Daerah untuk menampung seluruh penerimaan Daerah dan membayar seluruh pengeluaran Daerah pada bank yang ditetapkan. 19. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. jdih.kemenkeu.go.id 20. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat J enderal Perbendaharaan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada kepala kantor wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan. 21. Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh pejabat pembuat komitmen, yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara. 22. Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh pejabat penandatangan surat perintah membayar untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA. 23. Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku kuasa BUN untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM. 24. Verifikasi adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan dan kesesuaian formil dokumen persyaratan penyaluran Insentif Fiskal. 25. Administrator Pusat adalah pegawai negeri sipil yang bertugas untuk melakukan penelitian terhadap persyaratan penyaluran Insentif Fiskal. 26. Administrator Daerah adalah aparatur sipil negara Daerah yang ditugaskan untuk mengelola, menyusun, dan menyampaikan persyaratan penyaluran Insentif Fiskal. Pasal 2 Ruang lingkup Peraturan Menteri ini meliputi pengelolaan Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya. BAB II PEJABAT PERBENDAHARAAN NEGARA PENGELOLAAN INSENTIF FISKAL Pasal 3 (1) Dalam rangka pengelolaan Insentif Fiskal, Menteri selaku Pengguna Anggaran BUN Pengelola TKD menetapkan:
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan sebagai pemimpin PPA BUN Pengelola TKD;
Direktur Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sebagai KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan;
Kepala KPPN sebagai KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan; dan
Direktur Pelaksanaan Anggaran sebagai koordinator KPA BUN Penyaluran TKD. (2) Kepala KPPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan Kepala KPPN yang wilayah kerjanya meliputi Daerah provinsi/kabupaten/kota penerima alokasi Insentif Fiskal. jdih.kemenkeu.go.id (3) Dalam ha! pejabat yang ditetapkan sebagai KPA BUN Pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berhalangan, Menteri menunjuk Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai pelaksana tugas KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan. (4) Dalam ha! pejabat yang ditetapkan sebagai KPA BUN Penyaluran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berhalangan, Menteri menunjuk pejabat pelaksana tugas/pelaksana harian Kepala KPPN sebagai pelaksana tugas KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan. (5) Keadaan berhalangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), merupakan suatu keadaan yang menyebabkan pejabat definitifyang ditetapkan sebagai KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan/atau KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c:
tidak terisi dan menimbulkan lowongan jabatan. b. masih terisi namun pejabat definitif yang ditetapkan sebagai KPA BUN tidak dapat melaksanakan tugas. (6) Pejabat pelaksana tugas KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan Pejabat pelaksana tugas KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), memiliki kewenangan dan tanggung jawab yang sama dengan KPA definitif. (7) Penunjukan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir dalam ha! Direktur Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan/atau Kepala KPPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c telah terisi kembali oleh pejabat definitif atau dapat melaksanakan tugas kembali sebagai KPABUN. (8) Pemimpin PPA BUN Pengelola TKD dapat mengusulkan penggantian KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan. (9) Penggantian KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) ditetapkan dengan Keputusan Menteri. jdih.kemenkeu.go.id (1) (2) Pasal 4 KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut:
mengajukan usulan Indikasi Kebutuhan Dana TKD untuk Insentif Fiskal kepada pemimpin PPA BUN Pengelola TKD yang dilengkapi dengan dokumen pendukung;
menyusun RKA BUN TKD untuk Insentif Fiskal beserta dokumen pendukung yang berasal dari pihak terkait;
menyampaikan RKA BUN TKD untuk Insentif Fiskal beserta dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam huruf b kepada Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan untuk direviu;
menandatangani RKA BUN TKD untuk Insentif Fiskal yang telah direviu oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan dan menyampaikannya kepada pemimpin PPA BUN Pengelola TKD; menyusun DIPA BUN TKD untuk Insentif Fiskal; dan menyusun dan menyampaikan rekomendasi penyaluran dan/atau penundaan Insentif Fiskal e. f. kepada KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan melalui koordinator KPA BUN Penyaluran TKD. KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut:
menetapkan pejabat pembuat komitmen dan pejabat penandatangan SPM;
menyusun proyeksi penyaluran dan rencana penarikan dana TKD untuk Insentif Fiskal;
mengawasi penatausahaan dokumen dan transaksi yang berkaitan dengan pelaksanaan penyaluran Insentif Fiskal;
menyusun dan menyampaikan laporan keuangan atas penyaluran Insentif Fiskal kepada PPA BUN Pengelola TKD melalui koordinator KPA BUN Penyaluran TKD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan;
melakukan verifikasi terhadap rekomendasi BUN Pengelola Khusus, dan f. penyaluran Insentif Fiskal dari KPA Dana Desa, Insentif, Otonomi Keistimewaan; melaksanakan penyaluran InsentifFiskal berdasarkan rekomendasi penyaluran dari KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
menyusun dan menyampaikan laporan realisasi penyaluran Insentif Fiskal kepada PPA BUN Pengelola TKD melalui koordinator KPA BUN Penyaluran TKD jdih.kemenkeu.go.id menggunakan aplikasi online monitoring sistem perbendaharaan dan anggaran negara; dan
melakukan pengisian dan menyampaikan capaian kinerja penyaluran Insentif Fiskal melalui aplikasi sistem monitoring dan evaluasi kinerja terpadu BUN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (3) Koordinator KPA BUN Penyaluran TKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut:
menyusun dan menyampaikan laporan realisasi penyaluran Insentif Fiskal kepada PPA BUN Pengelola TKD melalui aplikasi online monitoring sistem perbendaharaan dan anggaran negara;
menyusun proyeksi penyaluran Insentif Fiskal sampai dengan akhir tahun berdasarkan rekapitulasi laporan dari KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan melalui aplikasi cash planning _information network; _ dan c. menyusun dan menyampaikan konsolidasi laporan keuangan atas pelaksanaan anggaran kepada PPA BUN Pengelola TKD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 5 Pemimpin PPA BUN Pengelola TKD, KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan, KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan, serta koordinator KPA BUN Penyaluran TKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) tidak bertanggung jawab atas penggunaan Insentif Fiskal oleh Pemerintah Daerah. BAB III PENGANGGARAN Pasal 6 (1) KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan mengusulkan Indikasi Kebutuhan Dana TKD untuk Insentif Fiskal kepada pemimpin PPA BUN Pengelola TKD. (2) Indikasi Kebutuhan Dana TKD untuk Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan memperhatikan:
perkembangan dana insentif daerah dan/atau Insentif Fiskal dalam 3 (tiga) tahun terakhir;
arah kebijakan Insentif Fiskal; dan/atau
kemampuan keuangan negara. (3) Berdasarkan usulan Indikasi Kebutuhan Dana TKD untuk Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemimpin PPA BUN Pengelola TKD menyusun Indikasi Kebutuhan Dana TKD untuk Insentif Fiskal. (4) Pemimpin PPA BUN Pengelola TKD menyampaikan Indikasi Kebutuhan Dana TKD sebagaimana dimaksud pada ayat jdih.kemenkeu.go.id (2) kepada Direktur Jenderal Anggaran paling lambat bulan Februari tahun anggaran sebelumnya. (5) Penyusunan dan penyampaian Indikasi Kebutuhan Dana TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) berdasarkan Peraturan Menteri mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan. (6) Menteri menetapkan pagu indikatif Insentif Fiskal dengan mempertimbangkan Indikasi Kebutuhan Dana TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (3). BAB IV PENGALOKASIAN Pasal 7 (1) Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan penghitungan alokasi Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya berdasarkan pagu indikatif Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6). (2) Penghitungan alokasi Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan penilaian kinerja Daerah. (3) Penilaian kinerja Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada:
nilai peningkatan kinerja; dan / a tau b. nilai capaian kinerja tahun terakhir. (4) Alokasi Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibagikan kepada Daerah yang berkinerja baik. Pasal 8 Pengalokasian Insentif Fiskal setiap Daerah untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) berdasarkan:
klaster Daerah;
kriteria utama; dan
kategori kinerja. Pasal 9 (1) Klaster Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a terdiri atas:
klaster A, merupakan Daerah dengan kapasitas fiskal sangat tinggi dan tinggi menurut provinsi/kabupaten/kota, dan tidak termasuk kategori Daerah Tertinggal;
klaster B, merupakan Daerah dengan kapasitas fiskal sedang menurut provinsi/kabupaten/kota, dan tidak termasuk kategori Daerah Tertinggal;
klaster C, merupakan Daerah dengan kapasitas fiskal rendah dan sangat rendah menurut provinsi/kabupaten/kota, dan tidak termasuk kategori Daerah Tertinggal; dan jdih.kemenkeu.go.id d. klaster D, merupakan Daerah dengan kategori Daerah Tertinggal. (2) Kapasitas fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c sesuai Peraturan Menteri mengenai kapasitas fiskal Daerah. (3) Daerah Tertinggal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d sesuai Peraturan Presiden mengenai Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2020-2024. Pasal 10 (1) Kriteria utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b diatur dengan ketentuan:
klaster A menggunakan indikator:
opini wajar tanpa pengecualian atas laporan keuangan Pemerintah Daerah 5 (lima) tahun terakhir; dan
ketepatan waktu atas penetapan Peraturan Daerah mengenai APBD dalam 1 (satu) tahun terakhir. b. klaster B menggunakan indikator:
opini wajar tanpa pengecualian atas laporan keuangan Pemerintah Daerah untuk 2 (dua) tahun terakhir; dan
ketepatan waktu atas penetapan Peraturan Daerah mengenai APBD, dalam 1 (satu) tahun terakhir. c. klaster C menggunakan indikator ketepatan waktu atas penetapan Peraturan Daerah mengenai APBD, dalam 1 (satu) tahun terakhir. d. klaster D tidak menggunakan kriteria utama. (2) Ketepatan waktu atas penetapan Peraturan Daerah mengenai APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 2, huruf b angka 2, dan huruf c paling lambat tanggal 31 Desember tahun anggaran sebelumnya. Pasal 11 (1) Kategori kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c terdiri atas:
kinerja pengelolaan keuangan pemerintah;
kinerja pelayanan dasar;
kinerja dukungan terhadap fokus kebijakan nasional; dan
kinerja sinergi kebijakan pemerintah. (2) Kategori kinerja pengelolaan keuangan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri atas variabel:
tingkat kemandirian Daerah yang didasarkan pada perbandingan realisasi penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah terhadap produk domestik regional bruto non minyak dan gas bumi;
interkoneksi sistem informasi keuangan daerah; dan
sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintahan. (3) Kategori kinerja pelayanan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdiri atas variabel: jdih.kemenkeu.go.id a. bayi dibawah 2 (dua) tahun yang mendapat imunisasi lengkap;
indeks standar pelayanan minimal pendidikan;
akses sanitasi layak;
pengelolaan air minum;
penurunan tingkat pengangguran terbuka; dan
indeks pembangunan manusia. (4) Kategori kinerja dukungan terhadap fokus kebijakan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, terdiri atas variabel:
penurunan prevalensi _stunting; _ b. penurunan presentase penduduk miskin; dan
pengendalian inflasi daerah. (5) Kategori kinerja sinergi kebijakan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, terdiri atas:
kelompok inovasi, meliputi variabel:
inovasi Daerah;
inovasi pelayanan publik; dan
pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan;
kelompok pelayanan, meliputi variabel:
penghargaan pembangunan daerah;
pelayanan terpadu satu pintu dan percepatan pelaksanaan berusaha; dan
percepatan dan perluasan digitalisasi daerah; dan
kelompok integritas meliputi variabel tingkat persepsi korupsi. Pasal 12 (1) Data indikator opini wajar tanpa pengecualian atas laporan keuangan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a angka 1 dan huruf b angka 1 bersumber dari Badan Pemeriksa Keuangan. (2) Data:
indikator penetapan Peraturan Daerah mengenai APBD tepat waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a angka 2, huruf b angka 2, dan huruf c; dan
realisasi penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a bersumber dari Kementerian Keuangan. (3) Data interkoneksi sistem informasi keuangan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b merupakan hasil penilaian dari Kementerian Keuangan. (4) Data:
produk domestik regional bruto non minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a;
akses sanitasi layak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) huruf c;
penurunan tingkat pengangguran terbuka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) huruf e;
indeks pembangunan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) huruf f; dan jdih.kemenkeu.go.id e. penurunan persentase penduduk miskin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) buruf b, bersumber dari Badan Pusat Statistik. (5) Data sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) buruf c dan data inovasi pelayanan publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) buruf a angka 2 merupakan basil penilaian dari Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. (6) Data bayi di bawah 2 (dua) tabun yang mendapat imunisasi lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) buruf a dan penurunan prevalensi stunting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) buruf a bersumber dari Kementerian Kesebatan. (7) Data indeks standar pelayanan minimal pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) buruf b merupakan basil penilaian dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. (8) Data pengelolaan air minum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) buruf d merupakan basil penilaian dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. (9) Data pengendalian inflasi Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) buruf c merupakan basil penilaian Tim Pengendali Inflasi Daerab dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. (10) Data inovasi Daerab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) buruf a angka 1 merupakan basil penilaian dari Kementerian Dalam Negeri. (11) Data pengelolaan lingkungan bidup dan kebutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) buruf a angka 3 merupakan basil penilaian dari Kementerian Kebutanan dan Lingkungan Hidup. (12) Data pengbargaan pembangunan Daerab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) buruf b angka 1 merupakan basil penilaian dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. (13) Data pelayanan terpadu satu pintu dan percepatan pelaksanaan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) buruf b angka 2 merupakan basil penilaian dari Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal. (14) Data tingkat persepsi korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) buruf c merupakan basil survei penilaian integritas dari Komisi Pemberantasan Korupsi.
Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Kebutuhan Mendesak atas Pelayanan Penerbitan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang yang Berla ...
Relevan terhadap
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah pungutan yang dibayar oleh orang pribadi atau badan dengan memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung atas layanan atau pemanfaatan sumber daya dan hak yang diperoleh negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang menjadi penerimaan pemerintah pusat di luar penerimaan perpajakan dan hibah dan dikelola dalam mekanisme anggaran pendapatan dan belanja negara.
Rencana Tata Ruang yang selanjutnya disingkat RTR adalah hasil perencanaan tata ruang.
Rencana Detail Tata Ruang yang selanjutnya disingkat RDTR adalah rencana secara terperinci tentang tata ruang wilayah kabupaten/kota yang dilengkapi dengan peraturan zonasi kabupaten/kota.
Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang yang selanjutnya disingkat KKPR adalah kesesuaian antara rencana kegiatan pemanfaatan ruang dengan RTR.
Konfirmasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang yang selanjutnya disingkat KKKPR adalah dokumen yang menyatakan kesesuaian antara rencana kegiatan pemanfaatan ruang dengan RDTR.
Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang yang selanjutnya disingkat PKKPR adalah dokumen yang menyatakan kesesuaian antara rencana kegiatan pemanfaatan ruang dengan RTR selain RDTR.
Rekomendasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang yang selanjutnya disingkat RKKPR adalah dokumen yang menyatakan kesesuaian rencana kegiatan pemanfaatan ruang yang didasarkan pada kebijakan nasional yang bersifat strategis dan belum diatur dalam RTR dengan mempertimbangkan asas dan tujuan penyelenggaraan penataan ruang.
Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya.
Kegiatan Berusaha adalah kegiatan pemanfaatan ruang yang memerlukan Perizinan Berusaha.
Kegiatan yang Bersifat Strategis Nasional adalah kegiatan pemanfaatan ruang yang memiliki sifat strategis untuk peningkatan pertumbuhan dan pemerataan pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah, serta mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang ditetapkan sebagai warisan negara yang ditetapkan sebagai kebijakan Pemerintah Pusat melalui peraturan perundang- undangan.
Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Indeks Jenis Usaha adalah nilai pengali tarif PNBP yang dibedakan berdasarkan jenis usaha permohonan KKPR untuk mengakomodir variasi intensitas pemanfaatan ruang berdasarkan jenis usaha.
Indeks Daerah adalah nilai pengali tarif PNBP yang dibedakan berdasarkan lokasi objek permohonan KKPR untuk mengakomodir variasi intensitas pemanfaatan ruang serta dampak yang akan ditimbulkan di skala kabupaten/kota.
Luas Lahan adalah luasan lahan permohonan KKPR dalam satuan Hektar.
Usaha Mikro dan Kecil yang selanjutnya disingkat UMK adalah usaha mikro dan usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2023
Relevan terhadap
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Pendapatan Negara adalah hak Pemerintah Pusat yang diakui sebagai penambah kekayaan bersih yang terdiri atas Penerimaan Perpajakan, Penerimaan Negara Bukan Pajak, dan Penerimaan Hibah.
Penerimaan Perpajakan adalah semua penerimaan negara yang terdiri atas pendapatan pajak dalam negen dan pendapatan pajak perdagangan in ternasional.
Pendapatan Pajak Dalam Negeri adalah semua penerimaan negara yang berasal dari pendapatan pajak penghasilan, pendapatan pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah, pendapatan pajak bumi dan bangunan, pendapatan cukai, dan pendapatan pajak lainnya.
Pendapatan Pajak Perdagangan Internasional adalah semua penerimaan negara yang berasal dari pendapatan bea masuk dan pendapatan bea keluar.
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah pungutan yang dibayar oleh orang pribadi atau badan dengan memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung atas layanan atau pemanfaatan sumber daya dan hak yang diperoleh Negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang menjadi penerimaan Pemerintah Pusat di luar penerimaan perpajakan dan hibah dan dikelola dalam mekanisme anggaran pendapatan dan belanja negara. Penerimaan Hi bah adalah semua penerimaan negara baik dalam bentuk devisa dan/atau devisa yang dirupiahkan, rupiah, jasa, dan/atau surat berharga yang diperoleh dari pemberi hibah yang tidak perlu dibayar kembali dan yang tidak mengikat, baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Belanja Negara adalah kewajiban Pemerintah Pusat yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih yang terdiri atas belanja Pemerintah Pusat dan Transfer ke Daerah. Belanja Pemerintah Pusat Menurut Fungsi adalah belanja Pemerintah Pusat yang digunakan untuk menjalankan fungsi pelayanan umum, fungsi pertahanan, fungsi ketertiban dan keamanan, fungsi ekonomi, fungsi perlindungan lingkungan hidup, fungsi perumahan dan fasilitas umum, fungsi kesehatan, fungsi pariwisata, fungsi agama, fungsi pendidikan, dan fungsi perlindungan sosial. Belanja Pemerintah Pusat Menurut Organisasi adalah belanja Pemerintah Pusat yang dialokasikan kepada kementerian negara/lembaga dan Bendahara Umum Negara. Belanja Pemerintah Pusat Menurut Program adalah belanja Pemerintah Pusat yang dialokasikan untuk mencapai basil (outcome) tertentu pada Bagian Anggaran kementerian negara/lembaga dan Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara.
1 7. Program Pengelolaan Subsidi adalah pemberian dukungan dalam bentuk pengalokasian anggaran kepada perusahaan negara, lembaga pemerintah, atau pihak ketiga berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku untuk menyediakan barang atau jasa yang bersifat strategis atau menguasai hajat hidup orang banyak, dan/atau disalurkan langsung kepada penerima manfaat, sesuai kemampuan keuangan negara. Transfer ke Daerah yang selanjutnya disingkat TKD adalah dana yang bersumber dari APBN dan merupakan bagian dari belanja negara yang dialokasikan dan disalurkan kepada daerah untuk dikelola oleh daerah dalam rangka mendanai penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah bagian dari TKD yang dialokasikan berdasarkan persentase atas pendapatan tertentu dalam APBN dan kinerja tertentu, yang dibagikan kepada daerah penghasil dengan tujuan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antara Pemerintah dan daerah, serta kepada daerah lain non penghasil dalam rangka menanggulangi eksternalitas negatif dan/atau meningkatkan pemerataan dalam satu wilayah. Dana Alokasi Umum yang selanjutnya disingkat DAU adalah bagian dari TKD yang dialokasikan dengan tujuan mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan dan layanan publik antardaerah. Dana Alokasi Khusus yang selanjutnya disingkat DAK adalah bagian dari TKD yang dialokasikan dengan tujuan untuk mendanai program, kegiatan, dan/atau kebijakan tertentu yang menjadi prioritas nasional dan membantu operasionalisasi layanan publik, yang penggunaannya telah ditentukan oleh Pemerintah. Dana Otonomi Khusus adalah bagian dari TKD yang dialokasikan kepada daerah tertentu untuk mendanai pelaksanaan otonomi khusus sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang mengenai otonomi khusus.
Dana Tambahan Infrastruktur Dalam Rangka Otonomi Khusus bagi provinsi-provinsi di wilayah Papua yang selanjutnya disingkat DTI adalah dana tambahan dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya ditetapkan antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dilakukan berdasarkan usulan Provinsi pada setiap tahun anggaran yang ditujukan untuk pendanaan pembangunan infrastruktur perhubungan, energi listrik, air bersih, telekomunikasi, dan sanitasi lingkungan. Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta yang selanjutnya disebut Dana Keistimewaan adalah bagian dari TKD yang dialokasikan untuk mendukung urusan keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagaimana ditetapkan dalam Undang- Undang mengenai keistimewaan Yogyakarta. Dana Desa adalah bagian dari TKD yang diperuntukkan bagi desa dengan tujuan untuk mendukung pendanaan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan. In sen tif Fiskal adalah dana yang bersum ber dari APBN yang diberikan kepada daerah berdasarkan kriteria tertentu berupa perbaikan dan/atau pencapaian kinerja di bidang dapat berupa tata kelola keuangan daerah, pelayanan umum pemerintahan, dan pelayanan dasar yang mendukung kebijakan strategis nasional dan/atau pelaksanaan kebijakan fiskal nasional. Pembiayaan Anggaran adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali, penerimaan kembali atas pengeluaran pembiayaan tahun-tahun anggaran sebelumnya, pengeluaran kembali atas penerimaan pembiayaan tahun-tahun anggaran sebelumnya, penggunaan saldo anggaran lebih, dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun- tahun anggaran berikutnya.
Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran yang selanjutnya disebut SiLPA adalah selisih lebih antara realisasi pendapatan dan belanja, serta penerimaan dan pengeluaran pembiayaan dalam APBN selama satu periode pelaporan. Saldo Anggaran Lebih yang selanjutnya disingkat SAL adalah akumulasi neto dari SiLPA dan Sisa Kurang Pembiayaan Anggaran tahun-tahun anggaran yang lalu dan tahun anggaran yang bersangkutan setelah ditutup, ditambah/dikurangi dengan koreksi pembukuan. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN meliputi surat utang negara dan surat berharga syariah negara. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah surat berharga berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia sesuai dengan masa berlakunya. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN atau dapat disebut sukuk negara adalah SBN yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing. Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. Bantuan Pemerintah Yang Belum Ditetapkan Statusnya yang selanjutnya disingkat BPYBDS adalah bantuan Pemerintah berupa BMN yang berasal dari APBN, yang telah dioperasikan dan/atau digunakan oleh Badan Usaha Milik Negara berdasarkan Berita Acara Serah Terima dan sampai saat ini tercatat pada laporan keuangan kementerian negara/lembaga atau pada Badan Usaha Milik Negara.
Penyertaan Modal Negara yang selanjutnya disingkat PMN adalah pemisahan kekayaan negara dari APSN untuk dijadikan sebagai modal Perusahaan Negara dan/atau Perseroan Terbatas lainnya serta Lembaga/Sadan Lainnya, yang pengelolaannya dilakukan secara korporasi. Investasi Pemerintah adalah penempatan sejumlah dana dan/atau aset keuangan dalam jangka panjang untuk investasi dalam bentuk saham, surat utang, dan/atau investasi langsung guna memperoleh manfaat ekonomi, dan/atau sosial, dan/atau manfaat lainnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dana Sergulir adalah dana yang dikelola oleh Sadan Layanan Umum tertentu untuk dipinjamkan dan digulirkan kepada masyarakat/lembaga dengan tujuan untuk meningkatkan ekonomi rakyat dan tujuan lainnya. Pinjaman Dalam Negeri adalah setiap pinjaman oleh Pemerintah yang diperoleh dari pemberi pinjaman dalam negeri yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu, sesuai dengan masa berlakunya. Kewajiban Penjaminan adalah kewajiban yang menjadi beban Pemerintah akibat pemberian jaminan kepada kementerian negara/lembaga, pemerintah daerah, Sadan Usaha Milik Negara, Sadan Usaha Milik Daerah, dan pelaku usaha dalam program pemulihan ekonomi nasional, dalam hal kementerian negara/lembaga, pemerintah daerah, Sadan Usaha Milik Negara, Sadan Usaha Milik Daerah, dan pelaku usaha dalam program pemulihan ekonomi nasional, dimaksud tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada kreditur dan/atau badan usaha sesuai perjanjian pinjaman atau perjanjian kerja sama. Pinjaman Luar Negeri Neto adalah semua pembiayaan yang berasal dari penarikan pinjaman luar negeri yang terdiri atas pinjaman tunai dan pinjaman kegiatan dikurangi dengan pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri.
Pinjaman Tunai adalah pmJaman luar negeri dalam bentuk devisa dan/atau rupiah yang digunakan untuk pembiayaan defisit APBN dan pengelolaan portofolio utang.
Pinjaman Kegiatan adalah pinjaman luar negeri yang digunakan untuk pembiayaan kegiatan tertentu kementerian negara/lembaga, pmJaman yang diteruspinjamkan kepada pemerintah daerah dan/atau Badan Usaha Milik Negara, dan pinjaman yang diterushibahkan kepada pemerintah daerah.
Pemberian Pinjaman adalah pinjaman Pemerintah Pusat kepada pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara, Lembaga, dan/atau badan lainnya yang harus dibayar kembali dengan ketentuan dan persyaratan tertentu.
Anggaran Pendidikan adalah alokasi anggaran pendidikan melalui kementerian negara/lembaga dan nonkementerian negara/lembaga, alokasi anggaran pendidikan melalui transfer ke daerah, dan alokasi anggaran pendidikan melalui pengeluaran pembiayaan, termasuk gaji pendidik, untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan yang menjadi tanggung jawab Pemerintah, tetapi tidak termasuk anggaran pendidikan kedinasan.
Persentase Anggaran Pendidikan adalah perbandingan alokasi anggaran pendidikan terhadap total anggaran belanja negara pada saat Undang- Undang mengenai APBN ditetapkan.
Tahun Anggaran 2023 adalah masa 1 (satu) tahun terhitung mulai dari tanggal 1 Januari 2023 sampa1 dengan tanggal 31 Desember 2023.
Mekanisme Pelaksanaan Anggaran Belanja Negara yang Bersumber Dari Penerimaan Negara Bukan Pajak di Lingkungan Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasio ...