Uji Materi Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian
Relevan terhadap
(1) Perusahaan asuransi umum hanya dapat _menyelenggarakan: _ a. Usaha Asuransi Umum, termasuk lini usaha asuransi _kesehatan dan lini usaha asuransi kecelakaan diri; dan _ b. Usaha Reasuransi untuk risiko Perusahaan Asuransi Umum lain. (2) Perusahaan asuransi jiwa hanya dapat menyelenggarakan Usaha Asuransi Jiwa termasuk lini usaha anuitas, lini usaha asuransi kesehatan, dan lini usaha asuransi kecelakaan diri. (3) Perusahaan reasuransi hanya dapat menyelenggarakan Usaha Reasuransi. Pasal 3 __ (1) Perusahaan asuransi syariah hanya dapat _menyelenggarakan: _ a. Usaha Asuransi Umum Syariah, termasuk lini usaha asuransi _kesehatan dan lini usaha asuransi kecelakaan diri; dan _ b. Usaha Reasuransi Syariah untuk risiko Perusahaan Asuransi Umum Syariah lain. (2) Perusahaan asuransi jiwa syariah hanya dapat menyelenggarakan Usaha Asuransi Jiwa termasuk lini usaha anuitas, lini usaha asuransi berdasarkan Prinsip Syriah, lini usaha asuransi kesehatan berdasarkan Prinsip Syariah, dan lini usaha kecelakaan diri berdasarkan Prinsip Syariah. (3) Perusahaan reasuransi syariah hanya dapat menyelenggarakan Usaha Reasuransi syariah. 3.9 Bahwa tampak dengan jelas, Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 40/2014 justru membatasi lini usaha asuransi. Sementara, status suretyship kendati masuk dalam kategori lini usaha yang dapat diperluas menurut Pasal 5 ayat (1) UU No. 40/2014 dengan Peraturan OJK, namun perluasan dalam pasal tersebut tidak secara tegas menyebutkan lini usaha suretyship . 18 3.10 Bahwa muncul persoalan ketidaksesuaian pembentukan norma dengan adanya Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU No.1/2016 yang dipastikan menjadi penghalang tidak dapat dilaksanakannya lini usaha suretyship oleh perusahaan asuransi. Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU No.1/2016 menyatakan: (Bukti P–3) “ (1) Setiap orang di luar Lembaga Penjamin yang telah melakukan kegiatan penjaminan sebelum berlakunya Undang-Undang ini wajib menyesuaikan dengan Undang-Undang ini paling lambat tiga tahun sejak berlakunya Undang-Undang ”. “(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap kegiatan penjaminan yang dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri.” 3.11 Bahwa adanya ketidaksesuaian pembentukan norma semakin nampak dengan berlakunya undang-undang lain yang lahir kemudian yaitu Undang-Undang Nomor 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (“UU No.2/2017), suretyship diakui sebagai salah satu lini usaha perusahaan asuransi, selain juga menegaskan adanya lembaga perbankan, dan/atau perusahaan penjaminan seperti yang ditegaskan dalam Pasal 57 ayat (4) yang menyatakan: (Bukti P–4) “ Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dikeluarkan oleh lembaga perbankan, perusahaan asuransi, dan/atau perusahaan penjaminan dalam bentuk bank garansi dan/atau perjanjian terikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.” 3.12 Bahwa penegasan yang sama tentang pengakuan perusahaan asuransi untuk menyelenggarakan asuransi sebagaimana dinyatakan dalam Peraturan Presiden Nomor 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa (“Perpres No. 16/2018”) , pada Pasal 30 menyatakan: (Bukti P–5) “ Jaminan dari Bank Umum, Perusahaan Penjaminan, Perusahaan Asuransi, lembaga keuangan khusus yang menjalankan usaha di bidang pembiayaan, penjaminan dan asuransi untuk mendorong Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di lembaga pembiayaan ekspor Indonesia dapat digunakan untuk semua jenis jaminan”. Norma Pasal 5 ayat (1) UU a quo __ Bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tentang Kepastian Hukum Yang Adil __ 3.13 Bahwa salah satu pilar penting dari terbentuknya negara Indonesia selain bersandar pada prinsip kedaulatan rakyat, juga penegasan pada prinsip negara hukum, hal ini sebagaimana termaktub di dalam ketentuan Pasal 1 19 ayat (3) UUD 1945 yang dengan tegas menyatakan, “ Negara Indonesia adalah Negara Hukum. ” 3.14 Bahwa salah satu unsur dari negara hukum adalah adanya jaminan serta tegaknya prinsip kepastian hukum yang adil, hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Gustav Radbruch yang menjelaskan bahwa cita hukum ( Idee des Rechts ), yang kemudian dilembagakan dalam suatu bentuk negara hukum, dapat diklasifikasikan ke dalam tiga prinsip umum, yaitu: purposiveness— kemanfaatan ( zweckmassigkeit ), __ justice— keadilan ( gerechtigkeit ), dan legal certainty— kepastian hukum ( rechtssicherheit ).
15 Bahwa prinsip ‘kepastian hukum yang adil’ yang dalam tradisi klasik the rule of law disebut sebagai prinsip kepastian hukum (legal certainty) , menurut pendapat dari Friedrich von Hayek dalam Bukunya The Constitution of Liberty, Chapter 14 “The Safeguards of Individual Liberty”, adalah salah satu atribut utama dari the rule of law , selain dua atribut lainnya, yakni atribut berlaku umum ( generality ), dan atribut kesetaraan ( equality ).
16 Bahwa menurut pendapat Hayek kepastian hukum berarti hukum dapat diprediksi, atau memenuhi unsur prediktibilitas, sehingga seorang subjek hukum dapat memperkirakan peraturan apa yang mendasari perilaku mereka, dan bagaimana aturan tersebut ditafsirkan dan dilaksanakan. Kepastian hukum merupakan aspek penting yang sangat terkait dengan kebebasan bertindak dari seseorang.
17 Bahwa sejalan dengan teori mengenai cita hukum tersebut, UUD 1945 juga telah menegaskan adanya jaminan kepastian hukum bagi setiap warga negara dalam ruang negara hukum Indonesia, sebagaimana dituliskan di dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum ”.
18 Bahwa merujuk pada pendapat Prof. Dr. Nurhasan Ismail, sebagaimana dikutip dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3/PUU-VIII/2010 pada Pengujian UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (halaman 74), dikatakan bahwa kepastian hukum didefinisikan adanya kejelasan norma yang menjadi acuan berperilaku 20 bagi setiap orang. Kejelasan norma tentu harus ada indikator dan ukurannya. Tiga indikator untuk menyatakan bahwa sebuah norma itu memberikan kepastian hukum meliput:
Norma mengandung konsistensi, baik secara internal di dalam undang- undang maupun konsistensi horizontal dengan undang-undang yang lain ataupun konsistensi secara vertikal dengan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi, dalam hal ini adalah dengan UUD 1945;
Konsep penormaannya atau rumusan normanya tidak mengandung multi makna, tidak mengandung multitafsir;
Ada suatu implikasi yang sangat jelas terhadap pilihan-pilihan perilaku yang sudah diatur di dalam undang-undang atau di dalam peratura perundang-undangan.
19 Bahwa selain dalam putusan Mahkamah Konstitusi di atas, salah satu asas dalam membentuk peraturan perundang-undangan dalam UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan adalah kejelasan tujuan dan kejelasan rumusan , yang melalui penjelasan Pasal 5 UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan ini diartikan sebagai:
setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai _tujuan yang jelas yang hendak dicapai; _ 2) setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah , serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya . 3.20 Bahwa Pasal 5 ayat (1) UU No. 40/2014 menyebutkan: “ Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat.” 3.21 Bahwa Pasal 5 ayat (1) UU a quo bersifat multitafsir serta tidak memiliki ukuran yang jelas apa yang dimaksud dengan “dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat”. Keadaan ini telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para anggota Pemohon untuk menjalankan lini usahanya. Hal ini ditambahkan dengan tidak adanya penjelasan dalam UU a quo mengenai apa yang dimaksud dalam pasal a quo. 21 3.22 Bahwa persoalan mulai menyeruak ketika UU No. 1/2016 disahkan, khususnya dengan adanya pada Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) yang menyatakan: “ (1) Setiap orang di luar Lembaga Penjamin yang telah melakukan kegiatan penjaminan sebelum berlakunya Undang-Undang ini wajib menyesuaikan dengan Undang-Undang ini paling lambat tiga tahun sejak berlakunya Undang-Undang ”. “(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap kegiatan penjaminan yang dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri.” 3.23 Bahwa munculnya Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 1/2016 ini telah menyebabkan ketidakpastian lini usaha suretyship yang menggunakan landasan hukum berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU No. 40/2014 a quo tentang perluasan lini usaha asuransi __ menjadi tidak jelas. Dalam pengertian, kepastian usaha suretyship yang dilakukan perusahaan asuransi terganggu dan tidak pasti keberlangsungan usahanya bahkan terancam dapat dipidana.
24 Bahwa dengan kata lain, lahirnya Pasal 61 ayat (1) ayat (2) UU No. 1/2016 menyebabkan perusahaan asuransi yang sebelumnya dapat menyelenggarakan suretyship atas dasar Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) __ sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 ayat (3) UU No. 40/2014 harus menyesuaikan dalam waktu 3 (tiga) tahun sejak undang-undang tersebut diundangkan, yaitu pada tanggal 19 Januari 2019, padahal hal itu tidak mungkin dilakukan.
25 Bahwa dalam hal ini, perusahaan asuransi harus mempunyai izin usaha sebagai lembaga penjamin atau perusahaan penjaminan terlebih dahulu agar dapat menjalankan suretyship . Sebab, hanya perusahaan yang berizin saja yang akan diakui keabsahannya secara hukum untuk dapat memasarkan lini usaha tersebut. Namun hal itu tidak dapat terjadi, karena perusahaan asuransi nyatanya tidak secara otomatis dapat memperoleh izin usaha sebagai lembaga atau perusahaan penjaminan.
26 Bahwa izin perusahaan asuransi untuk melaksanakan penjaminan dalam bentuk suretyship diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga yang diberikan kewenangan atributif untuk mengeluarkan peraturan terkait perizinan usaha tersebut __ sebagaimana Pasal 5 ayat (3) UU No. 40/2014 yang menyatakan: 22 “ Ketentuan lebih lanjut mengenai perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.” 3.27 Bahwa sebagai tindak lanjut Pasal 5 ayat (3) UU 40/2014 a quo Otoritas Jasa Keuangan mengeluarkan Peraturan OJK 69/POJK.05/2016 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah (“POJK No.69/2016”) .
28 Bahwa akan tetapi Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 1/2016 yang mewajibkan semua kegiatan penjaminan untuk tunduk pada UU No. 1/2016, kecuali kegiatan penjaminan tersebut dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri, maka dengan demikian POJK yang kedudukannya berada dibawah undang-undang keberlakuannya menjadi tidak efektif karena tidak memiliki kekuatan hierarki yang sejajar dengan Pasal 61 ayat (1) UU a quo .
29 Bahwa situasi tersebut diatas menimbulkan ketidakpastian bagi Pemohon karena membuat OJK sendiri tidak pasti apakah akan mengeluarkan dan/atau memperpanjang izin lini usaha suretyship kepada perusahaan asuransi setelah penyesuaian tiga tahun berakhir pada tanggal 19 Januari 2019.
30 Bahwa inilah persoalan yang merisaukan sebagian besar perusahaan asuransi yang diwakili Pemohon. Situasi ini tentu sangat merugikan perusahaan-perusahaan asuransi yang menjalankan lini usaha suretyship, karena kegiatan usaha di bidang ini menjadi tidak jelas, terhambat, dengan waktu yang tidak bisa diprediksikan kapan persoalan izin tersebut akan diterbitkan oleh OJK.
31 Bahwa kegiatan usaha suretyship semakin tidak memiliki kepastian hukum yang adil, karena perusahaan asuransi terancam pidana dengan hukuman 15 tahun penjara dan denda Rp 100 Milyar sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 57 UU No. 1/2016, jika tetap melaksanakan lini usaha suretyship tersebut. 23 Dengan demikian, Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 a quo yang multitafsir bertentangan dengan prinsip konstitusi yaitu prinsip kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena sejak awal suretyship adalah merupakan lini usaha dari perusahaan asuransi, kemudian terbit UU No. 1/2016 yang tidak membenarkan suretyship dilakukan oleh perusahaan asuransi, namun terbit lagi UU No. 2/2017 dan Perpres No. 16/2018 yang membenarkan suretyship dilakukan oleh perusahaan asuransi. PASAL 5 AYAT (1) UU 40/2014 INKONSTITUSIONAL SEPANJANG TIDAK DIMAKNAI MENCANTUMKAN SURETYSHIP SEBAGAI PERLUASAN __ JENIS USAHA ASURANSI SESUAI DENGAN KEBUTUHAN MASYARAKAT 3.32 Bahwa perusahaan asuransi yang menyelenggarakan suretyship yang memperoleh izin POJK jumlahnya dua kali dua kali lipat lebih banyak dari jumlah perusahaan penjamin baik sebagaimana terlampir dalam data Deputi Komisioner Pengawas IKNB II Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut: (Bukti P–8) DAFTAR PERUSAHAAN ASURANSI YANG DAPAT MEMASARKAN PRODUK SURETY BOND KONSTRUKSI PER 14 AGUSTUS 2018 No. Nama Perusahaan No. Nama Perusahaan 1 PT Arthagraha General Insurance 26 PT Asuransi Rama Satria Wibawa 2 PT Asuransi Adira Dinamika 27 PT Asuransi Ramayana, Tbk 3 PT Asuransi Allianz Utama Indonesia 28 PT Asuransi Sinar 4 PT Asuransi Asoka Mas 29 PT Asuransi Tri Pakarta 5 PT Asuransi Astra Buana 30 PT Asuransi Tugu Kresna Pratama 6 PT Asuransi Bangun Askrida 31 PT Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 7 PT Asuransi Bhakti 32 PT Asuransi Umum Mega 24 Bayangkara 8 PT Asuransi Binagriya Upakara 33 PT Asuransi Umum Videi 9 PT Asuransi Bina Dana Artha, Tbk 34 PT Asuransi Wahana Tata 10 PT Bosowa Asuransi 35 PT Malacca Trust Wuwungan 11 PT Asuransi Bintang, Tbk 36 PT Asuransi Staco Mandiri 12 PT Asuransi Bringin Sejahtera Artha Makmur 37 PT Tugu Pratama Indonesia 13 PT Asuransi Buana Independent 38 PT Victoria Insurance 14 PT Asuransi Central Asia 39 PT Pan Pacific Insurance 15 PT Asuransi Harta Aman Pratama, Tbk 40 PT Chubb General Insurance Indonesia 16 PT Asuransi Himalaya Pelindung 41 PT Berdikari Insurance 17 PT Asuransi Intra Asia 42 PT Lippo General Insurance, Tbk 18 PT Asuransi Jasa Indonesia (Persero) 43 PT Asuransi Kresna Mitra 19 PT Asuransi Jasa Raharja Putera 44 PT Mitra Pelindung Mustika 20 PT Asuransi Jasa Tania, Tbk 45 PT Asuransi Asei Indonesia 21 PT Asuransi Kredit Indonesia (Persero) 46 PT Asuransi Cakrawala Proteksi Indonesia 22 PT Asuransi Mega Pratama 47 PT Mandiri AXA General Insurance 23 PT Asuransi Multi Artha Guna, Tbk 24 PT Asuransi Parolamas 25 25 PT Asuransi Purna Artanugraha Sumber: Surat Deputi Komisioner Pengawas IKNB II Otoritas Jasa Keuangan Nomor: S-595/NB.2/2018, tanggal 4 Oktober 2018. DAFTAR PERUSAHAAN ASURANSI YANG DAPAT MEMASARKAN PRODUK SURETY BOND NON KONSTRUKSI No Nama Perusahaan No Nama Perusahaan 1 PT Arthagraha General Insurance 23 PT Asuransi Purna Artanugraha 2 PT Asuransi Adira Dinamika 24 PT Asuransi Rama Satria Wibawa 3 PT Asuransi Artarindo 25 PT Asuransi Ramayana, Tbk 4 PT Asuransi Asoka Mas 26 PT Asuransi Asei Indonesia 5 PT Asuransi Astra Buana 27 PT Asuransi Cakrawala Proteksi Indonesia 6 PT Asuransi Bangun Askrida 28 PT Asuransi Sinar Mas 7 PT Asuransi Bhakti Bayangkara 29 PT Asuransi Tri Pakarta 8 PT Asuransi Binagriya Upakara 30 PT Asuransi Tugu Kresna Pratama 9 PT Bosowa Asuransi 31 PT Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 10 PT Asuransi Bringin Sejahtera Artha Makmur 32 PT Asuransi Umum Videi 11 PT Asuransi Burma Independent 33 PT Asuransi Wahana Tata 12 PT Asuransi Central Asia 34 PT Asuransi Staco Mandiri 13 PT Harta Aman Pratama, Tbk 35 PT Tugu Pratama Indonesia 26 14 PT Asuransi Himalaya Pelindung 36 PT Victoria Insurance 15 PT Asuransi Intra Asia 37 PT Pan Pacific Insurance 16 PT Asuransi Jasa Indonesia (Persero) 38 PT Mandiri AXA General Insurance 17 PT Asuransi Jasa Raharja Putera 39 PT Chubb General Insurance Indonesia 18 PT Asuransi Jasa Tania, Tbk 40 PT Berdikari Insurance 19 PT Asuransi Kredit Indonesia (Persero) 41 PT Asuransi Kresna Mitra 20 PT Asuransi Mega Pratama 42 PT Mitra Pelindung Mustika 21 PT Asuransi Multi Attila Guna, Tbk 22 PT Asuransi Parolamas DAFTAR PERUSAHAAN PENJAMINAN YANG DAPAT MELAKUKAN PRODUK SURETY BOND KONSTRUKSI No Nama Perusahaan No Nama Perusahaan 1 Perusahaan Umum Jaminan Kredit Indonesia 12 PT Jamkrida Bangka Belitung 2 PT Penjaminan Kredit Pengusaha Indonesia 13 PT Jamkrida Banten 3 PT Jamkrida Jawa Timur 14 PT Jamkrida Kalimantan Timur 4 PT Jamkrida Bali Mandara 15 PT Jamkrida Jawa Tengah 5 PT Jamkrida Riau 16 PT Jamkrida Papua 6 PT Jamkrida Nusa Tenggara Barat Bersaing 17 PT Jamkrida Nusa Tenggara Timur 7 PT Jamkrida Jawa Barat 18 PT Jamkrida Jakarta 8 PT Jamkrida Sumatera Barat 19 PT Jamkrida Sulawesi Selatan 27 D A F T A P PERUSAHAAN PENJAMINAN YANG DAPAT MELAKUKAN PRODUK SURETY BOND NON KONSTRUKSI No Nama Perusahaan No Nama Perusahaan 1 Perusahaan Umum Jaminan Kredit Indonesia 12 PT Jamkrida Bangka Belitung 2 PT Penjaminan Kredit Pengusaha Indonesia 13 PT Jamkrida Banten 3 PT Jamkrida Jawa Timur 14 PT Jamkrida Kalimantan Timur 4 PT Jamkrida Bali Mandara 15 PT Jamkrida Jawa Tengah 5 PT Jamkrida Riau 16 PT Jamkrida Papua 6 PT Jamkrida Nusa Tenggara Barat Bersaing 17 PT Jamkrida Nusa Tenggara Timur 7 PT Jamkrida Jawa Barat 18 PT Jamkrida Jakarta 8 PT Jamkrida Sumatera Barat 19 PT Jamkrida Sulawesi Selatan 9 PT Jamkrida Kalimantan Selatan 20 PT Jamkrida Kalimantan Barat 10 PT Jamkrida Sumatera Selatan 21 PT Jaminan Pembiayaan Askrindo Syariah 11 PT Jamkrida Kalimantan Tengah 22 PT Penjaminan Jamkrindo Syariah 9 PT Jamkrida Kalimantan Selatan 20 PT Jamkrida Kalimantan Barat 10 PT Jamkrida Sumatera Selatan 21 PT Jaminan Pembiayaan Askrindo Syariah 11 PT Jamkrida Kalimantan Tengah 22 PT Penjaminan Jamkrindo Syariah 28 3.33 Bahwa selain perusahaan asuransi, terdapat konsorsium perusahaan asuransi untuk menfasilitasi nilai proyek yang besar yang tidak bisa dilakukan sendiri oleh satu atau dua perusahaan asuransi yang menjalankan suretyship yang terdiri dari 3 (tiga) konsorsium penjaminan, yang seluruh anggotanya adalah perusahaan-perusahaan asuransi seperti yang ada pada tabel berikut: DAFTAR PERUSAHAAN KONSORSIUM PENJAMINAN YANG DAPAT MEMASARKAN PRODUK SURETY BOND KONSTRUKSI No Nama Konsorsium Penjaminan Proyek 1 Konsorsium Penjaminan Proyek yang beranggotakan: • PT Asuransi Sinar Mas (Ketua); • PT Asuransi Purna Arthanugrahra (Anggota); • PT Asuransi Central Asia (Anggota); • PT Asuransi Asei Indonesia (Anggota), • PT Asuransi Cakrawala Proteksi (Anggota); • PT Asuransi Binagriya Upakara (Anggota); • PT Asuransi Bangun Askrida (Anggota); • PT Panin Insurance (Anggota); dan 2 Konsorsium Penjaminan Proyek yang beranggotakan: • PT Jasaraharja Putera (Ketua); • PT Asuransi Kredit Indonesia – Persero (Anggota); • PT Asuransi Wahana Tata (Anggota); • PT Asuransi Astra Buana (Anggota); • PT Asuransi Bringin Sejahtera Artamakmur (Anggota); • PT Asuransi Bintang, Tbk (Anggota); dan • PT Asuransi Umum Videi (Anggota) 3 Konsorsium Penjaminan Proyek yang beranggotakan: • PT Asuransi Jasa Tania (Ketua); 29 • PT Tugu Pratama Indonesia (Anggota); • PT Bosowa Asuransi (Anggota); • PT Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 (Anggota); • PT Asuransi Kresna Mitra, Tbk. (Anggota); • PT Asuransi Bakti Bhayangkara (Anggota); • PT Asuransi Asoka Mas (Anggota); • PT Asuransi Mega Pratama (Anggota); dan • PT Asuransi Tugu Kresna Pratama (Anggota).
34 Bahwa dari data tersebut tampak bahwa sebagian besar pelaku lini usaha suretyship adalah perusahaan-perusahaan asuransi termasuk dengan dibentuknya konsorsium penjaminan yang anggota-anggotanya juga terdiri dari sejumlah perusahaan asuransi, yang tujuan pembentukannya untuk menjamin proyek-proyek bernilai besar, antara lain proyek di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Ini berarti, keberadaan perusahaan asuransi yang menjalankan suretyship merupakan pilihan penting untuk memenuhi kebutuhan masyarakat luas dan kebutuhan proyek pemerintah.
35 Bahwa perusahaan asuransi selaku pelaku usaha memiliki peran yang penting dalam mendukung proses pembangunan sebagaimana yang tertuang dalam Penjelasan UU No. 40/2014 yang menyatakan: “…peran industri perasuransian dalam mendorong pembangunan nasional terjadi apabila industri perasuransian dapat lebih mendukung masyarakat dalam menghadapi risiko yang dihadapinya sehari-hari dan pada saat mereka memulai dan menjalankan kegiatan usaha” “...peran industri perasuransian dalam mendorong pembangunan nasional juga terjadi melalui pemupukan dana jangka panjang dalam jumlah besar, yang selanjutnya menjadi sumber dana pembangunan”. 3.36 Bahwa produk usaha suretyship yang dilakukan oleh perusahaan- perusahaan asuransi sangat vital bagi pembangunan nasional, karena banyak dimanfaatkan untuk menjamin pembangunan infrastruktur di berbagai sektor mulai dari transportasi, sumber daya air, perumahan dan pemukiman, energi hingga informasi dan teknologi. 30 3.37 Bahwa seperti halnya 13 (tiga belas) paket konstruksi yang dicanangkan pemerintah di tahun 2020, salah satu contohnya adalah paket konstruksi pembangunan Bendungan Jragung Jawa Tengah, dengan nilai proyek mencapai Rp 2.72 Triliun. Pembangunan proyek demikian tentu membutuhkan aspek kepastian dan jaminan pelaksanaan yang hanya dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi melalui suretyship karena sulit dilaksanakan oleh perusahaan penjaminan dengan kapasitasnya yang ada dan sulit pula dilakukan melalui bank garansi karena adanya kesulitan bagi pelaksana proyek untuk menyediakan uang tunai pada bank yang mengeluarkan bank garansi.
38 Bahwa adanya Pasal 5 ayat (1) UU No. 40/2014 potensial pasti membatasi hak Pemohon untuk turut serta dalam perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasarkan atas prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan. Apalagi dengan berlakunya Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 1/2016 yang dapat menegasikan kontribusi perusahaan asuransi yang selama ini telah turut serta memberi jaminan bagi berjalannya proyek-proyek tersebut melalui lini usaha suretyship . Jika suretyship tidak dapat dilakukan oleh perusahaan-perusahaan asuransi dipastikan akan menghambat kelanjutan pembangunan nasional sekaligus terhalangnya proyek pembangunan pemerintah.
39 Bahwa untuk mengisi “Kekosongan Hukum” akibat tidak adanya kepastian hukum pengaturan mengenai suretyship tersebut, Mahkamah Konstitusi diharapkan untuk membentuk norma hukum baru sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-IX/2011, yang menguji Pasal 57 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang menyebutkan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi tidak memuat:
amar selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2);
perintah kepada pembuat Undang-Undang; dan
rumusan norma sebagai pengganti norma dari Undang-Undang yang dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 31 Dalam Putusannya, Mahkamah Konstitusi menyebutkan, bahwa terhadap permohonan pengujian Pasal 57 ayat (2a) UU 8/2011, Mahkamah memberikan pertimbangan sebagai berikut: “Menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 57 ayat (2a) UU 8/2011 tersebut bertentangan dengan tujuan pembentukan Mahkamah untuk menegakkan hukum dan keadilan khususnya dalam rangka menegakkan konstitusionalitas norma Undang-Undang sesuai dengan Undang-Undang Dasar. Adanya Pasal 57 ayat (2a) UU 8/2011 tersebut berakibat terhalangnya Mahkamah untuk (i) menguji konstitusionalitas norma; (ii) mengisi kekosongan hukum sebagai akibat putusan Mahkamah yang menyatakan suatu norma bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sementara itu, proses pembentukan Undang-Undang membutuhkan waktu yang cukup lama, sehingga tidak dapat segera mengisi kekosongan hukum tersebut; (iii) melaksanakan kewajiban hakim konstitusi untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat;
Pasal 57 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”.
40 Bahwa Mahkamah Konstitusi juga pernah mengeluarkan putusan yang mengubah norma hukum atau membuat norma hukum baru, antara lain sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, yang menguji Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Selanjutnya Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menyebutkan:
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu 32 pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya;
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.
41 Bahwa berdasarkan kedua Putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu tersebut, maka ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No. 40/2014 adalah inkonstitusional, sepanjang tidak disebutkan secara jelas perluasan usaha yang menjadi ruang lingkup usaha asuransi adalah termasuk suretyship ;
42 Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tentu akan dipatuhi oleh pembentuk Undang-Undang, karena berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf b UU No. 12/2011 yang menyatakan: “Dalam Prolegnas dimuat daftar kumulatif terbuka yang terdiri atas: akibat putusan Mahkamah Konstitusi”. Berdasarkan uraian tersebut beralasan menurut hukum bagi Mahkamah Konstitusi untuk dapat memaknai Pasal 5 ayat (1) UU a quo untuk menyatakan “ Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas termasuk lini usaha suretyship sesuai dengan kebutuhan masyarakat.” __ __ 33 IV. PETITUM Berdasarkan alasan-alasan yang telah diuraikan di atas Pemohon memohonkan kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan memutus uji materil sebagai berikut:
Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5618) bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “ Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas termasuk lini usaha suretyship sesuai dengan kebutuhan masyarakat.” 3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau, apabila Mahkamah berpendapat lain mohon Putusan seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). [2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalilnya, para Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-13 yang telah disahkan dalam persidangan, sebagai berikut:
Bukti P-1 : : Fotokopi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian;
Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Bukti P-3 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan;
Bukti P-4 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi;
Bukti P-5 : Fotokopi Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah; 34 6. Bukti P-6 : Fotokopi Akta Pernyataan Keputusan Kongres ke-V Asosiasi Asuransi Umum Indonesia Nomor 2 tanggal 4 Desember 2018 tentang Perubahan Anggaran Dasar, dibuat dihadapan Notaris Felix F.X. Handojo, S.H.;
Bukti P-7 : Fotokopi Akta Pernyataan Keputusan Kongres ke-V Asosiasi Asuransi Umum Indonesia Nomor 3 tanggal 4 Desember 2018 tentang Perubahan Anggaran Rumah Tangga, dibuat dihadapan Notaris Felix F.X. Handojo, S.H.;
Bukti P-8 : Fotokopi Surat Otoritas Jasa Keuangan Nomor S- 595/NB.2/2018 tertanggal 4 Oktober 2018 perihal Daftar Perusahaan Asuransi Umum, Perusahaan Penjaminan dan Konsorsium Yang Dapat Memasarkan Produk Suretyship per 14 Agustus 2018;
Bukti P-9 : Fotokopi Sertifikat Keanggotaan Asosiasi Asuransi Umum Indonesia/General Insurance Association of Indonesia;
Bukti P-10 : Fotokopi Surat Izin Penerbitan Surety Bond Kepada Perusahaan Asuransi;
Bukti P-11 : Fotokopi Akta Nomor 58 tentang Anggaran Dasar Pendirian Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (“AAUI”) yang dibuat dihadapan Notaris Haji Rizul Sudarmadi, S.H. tanggal 18 April 2002;
Bukti P-12 : Fotokopi Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor C-39.HT.01.03.TH.2007 tanggal 4 Mei 2007 tentang Pengesahan Akta Pendirian Asosiasi Asuransi Umum Indonesia disingkat AAUI dalam Bahasa Inggris disebut General Insurance Association of Indoensia;
Bukti P-13 : Fotokopi Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-0000962.AH.01.08.Tahun 2018 tentang Persetujuan Perubahan Badan Hukum Perkumpulan Perkumpulan Asosiasi Asuransi Umum Indonesia dalam Bahasa Inggris disebut General Insurance Association of Indoensia; 35 Selain itu, Pemohon dalam persidangan tanggal 13 Juli 2020 mengajukan satu orang ahli yakni Prof. Susi Dwi Harijanti, S.H., L.L.M., Ph.D. yang menyampaikan keterangan lisan di bawah sumpah/janji dan dilengkapi keterangan tertulis yang diterima dalam persidangan pada tanggal 13 Juli 2020, dan pada persidangan tanggal 10 September 2020 mengajukan satu orang ahli yakni Dr. Kornelius Simanjuntak, S.H., M.H., AAIK. yang menyampaikan keterangan lisan di bawah sumpah/janji dan dilengkapi keterangan tertulis yang diterima oleh Kepaniteraan Mahkamah tanggal 8 September 2020, serta pada persidangan tanggal 25 Agustus 2020 mengajukan dua orang saksi yakni Tjindra Parma Wignyoprayitno, S.H., M.H., dan Ir. Manahara R. Siahaan , yang menyampaikan keterangan lisan di bawah sumpah/janji pada pokoknya sebagai berikut: Ahli Pemohon 1. Prof. Susi Dwi Harijanti, S.H., L.L.M., Ph.D. Dalam perkara Nomor 5/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian Terhadap Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terdapat lima permasalahan hukum yang disampaikan oleh Pemohon dan akan ahli coba jawab secara akademik, sebagai berikut:
Apakah undang-undang diperkenankan untuk mendelegasikan kewenangan mengatur kepada institusi pemerintah non-kementerian? Dalam hal ini, Ketentuan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian yang mendelegasikan pengaturan mengenai perluasan ruang lingkup usaha perasuransian kepada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Untuk menjawab pertanyaan ini, izinkan ahli menyampaikan dengan lengkap bunyi Pasal 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian sebagai berikut:
Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat .
Perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum , Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa 36 Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penambahan manfaat yang besarnya didasarkan pada hasil pengelolaan dana .
Ketentuan lebih lanjut mengenai perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan . Berdasarkan bunyi ketentuan tersebut, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk menentukan bidang usaha asuransi selain yang telah ditetapkan di dalam Pasal 2 dan Pasal 3, sepanjang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan diatur di dalam Peraturan OJK. Berkaitan dengan hal ini, terdapat dua hal yang menjadi catatan ahli. Pertama , secara teori, ketentuan pendelegasian di dalam undang- undang ditujukan untuk mengatur lebih lanjut ketentuan teknis yang dibutuhkan untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Dengan demikian, peraturan perundang-undangan yang hadir karena perintah undang-undang untuk mengatur hal-hal yang bersifat teknis, ditujukan untuk mewujudkan apa yang menjadi politik hukum peraturan induknya. Artinya, peraturan pelaksana tidak dapat memuat atau mengandung politik hukum baru. Perwujudan teori ini tercermin di dalam Lampiran II, angka 211 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan sebagai berikut: “ Pendelegasian kewenangan mengatur dari Undang-Undang kepada menteri, pemimpin lembaga pemerintah nonkementerian, atau pejabat yang setingkat dengan menteri dibatasi untuk peraturan yang bersifat teknis administratif .” Berkaitan dengan hal ini, jika dilihat kembali ketentuan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Perasuransian, pendelegasian kepada peraturan OJK tidak ditujukan untuk mengatur hal yang bersifat teknis, melainkan untuk menetapkan bidang-bidang usaha asuransi selain yang telah ditetapkan di dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Perasuransian , sepanjang “sesuai dengan kebutuhan masyarakat”. Artinya, OJK memiliki kewenangan 37 untuk mengidentifikasi kebutuhan masyarakat dan menentukan jenis layanan asuransi baru untuk merespon kebutuhan tersebut. Hal ini juga berarti, peraturan OJK tentang perluasan bidang usaha asuransi dapat saja memuat politik hukum baru atas dasar kebutuhan masyarakat. Dengan konstruksi hukum demikian, maka potensi adanya perbedaan politik hukum antara undang-undang perasuransian dengan peraturan OJK sangat dimungkinkan terjadi. Sebenarnya, upaya untuk menjaga politik hukum undang-undang agar tidak bergeser atau berubah akibat kehadiran peraturan pelaksana telah dicantumkan di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 10 ayat (1) huruf e telah secara tegas ( expresis verbis ) menyatakan bahwa merespon kebutuhan hukum masyarakat merupakan materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang memang hanya ditujukan untuk mewujudkan politik hukum yang terkandung di dalam undang-undang tersebut. Selain itu, konstruksi Pasal 5 Undang-Undang Perasuransian yang memberikan kewenangan kepada OJK untuk memperluas ruang lingkup usaha perasuransian jika terdapat kebutuhan dari masyarakat, menurut ahli merupakan konstruksi hukum yang hadir akibat ketidakcermatan pembentuk undang-undang dalam memahami fungsi-fungsi kelembagaan negara. Di dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, dinyatakan bahwa fungsi OJK adalah “menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan”. Tidak ditemukan satupun ketentuan di dalam Undang-Undang tersebut bahwa OJK memiliki fungsi untuk mengagregasi ataupun menyalurkan aspirasi kepentingan masyarakat. Dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, sudah umum dipahami bahwa fungsi agregasi kepentingan dan fungsi penyaluran aspirasi masyarakat merupakan fungsi yang melekat pada lembaga Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan demikian, maka respon terhadap kebutuhan hukum masyarakat harus dilakukan oleh DPR dengan membentuk undang- undang. 38 Kedua , pada dasarnya peraturan OJK yang mengatur perluasan bidang usaha asuransi, merupakan ketentuan “ pengecualian ” dari ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Perasuransian yang telah mengatur ruang lingkup usaha asuransi secara limitatif dengan konstruksi norma yang bersifat tertutup. Konstruksi “pengecualian” terlihat dengan adanya pra-syarat berupa “kebutuhan masyarakat” yang harus terpenuhi sebelum OJK dapat menambahkan atau memperluas ruang lingkup usaha asuransi. Dalam praktik, delegasi semacam ini semakin sering terjadi. Terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi makin seringnya terjadi pendelegasian, yaitu:
DPR mempunyai keterbatasan waktu untuk membahas serta merumuskan secara rinci hal-hal yang perlu diatur dengan undang- undang.
Faktor penguasaan teknis materi yang dibahas. DPR tidak selalu memiliki anggota-anggota yang benar-benar memiliki pengetahuan khusus di bidang tertentu sehingga dapat melakukan analisis secara mendalam setiap aspek yang akan diatur dalam suatu undang-undang.
Faktor kecepatan atau urgensi. Rangkaian pembahasan dalam pembentukan undang-undang dapat menghambat pada saat ada kebutuhan mendesak untuk membuat undang-undang bidang tertentu.
Faktor fleksibilitas. Mengubah udang-undang tidak semudah mengubah peraturan yang lebih rendah. Menghadapi perubahan yang serba cepat dibutuhkan peraturan perundang-undangan yang mudah diubah untuk disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan. Meski delegasi diperbolehkan, namun tidak berarti setiap hal dapat didelegasikan atau delegasi dilakukan tanpa batas-batas tertentu. Terdapat beberapa pembatasan dalam mendelegasikan pengaturan, antara lain, tidak boleh ada delegasi pengaturan yang bersifat umum. Konstruksi pendelegasian yang terdapat dalam Pasal 5 ayat (3) menimbulkan problematika mendasar dari sisi ilmu perundang-undangan, yakni berkaitan dengan asas kepastian hukum. Jika kembali merujuk pada ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Perasuransian, tidak ditemukan kriteria mengenai apa yang dimaksud dengan “kebutuhan masyarakat”. Artinya, 39 penilaian terhadap pemenuhan prasyarat yang ditentukan oleh undang- undang berupa “kebutuhan masyarakat”, semata-mata ditentukan oleh penilaian subjektif OJK. Jika ditafsirkan secara a contrario , maka OJK berwenang pula menilai bahwa suatu layanan perasuransian selain yang telah ditentukan di dalam Pasal 2 dan Pasal 3, bukan lagi merupakan layanan yang dibutuhkan masyarakat, dan karenanya dapat dihapus atau dihentikan. Pada tafsir yang demikian, maka keberadaan atau keberlangsungan sebuah layanan perasuransian selain yang ditentukan di dalam Pasal 2 dan Pasal 3, sangat bergantung pada kewenangan diskresif tunggal dari OJK. Bahkan, Undang-Undang juga tidak memberikan kejelasan mengenai sejauh apa perluasan ruang lingkup usaha asuransi dapat dilakukan. Ketentuan pendelegasian semacam ini dapat dikategorikan sebagai pendelegasian yang bersifat open ended atau bentuk delegasi blangko yang secara normatif dilarang untuk dilakukan berdasarkan Lampiran II angka 210, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Karakter delegasi blangko semacam ini tentu tidak memenuhi asas keketatan ( lex stricta ) yang menjadi salah satu elemen dari asas kepastian hukum.
Bagaimana UUD 1945 mengatur tata cara melaksanakan atau menjalankan undang-undang? Untuk menjawab hal ini, maka perlu merujuk pada ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya ”. Pada ketentuan tersebut terdapat frasa “…menjalankan undang- undang sebagaimana mestinya”, yang berarti bahwa Peraturan Pemerintah berfungsi untuk mengatur lebih lanjut (rincian) dari ketentuan yang telah terdapat dalam undang-undang. Dengan kata lain, setiap ketentuan di dalam Peraturan Pemerintah harus berkaitan dengan satu atau beberapa ketentuan di dalam sebuah undang-undang. Salah satu cara melihat keterkaitan tersebut adalah dengan melihat apakah terdapat perintah yang tercantum secara tegas ( expresis verbis ) di dalam sebuah undang-undang bahwa suatau ketentuan harus diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 40 Meskipun demikian, bukan berarti ketiadaan perintah pengaturan lebih lanjut, menjadikan Presiden tidak berwenang untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah. Sepanjang terdapat kebutuhan untuk mengatur hal- hal yang berkaitan dengan pelaksanaan undang-undang, Presiden dapat menerbitkan Peraturan Pemerintah atau menggunakan instrumen hukum lainnya yang berasal dari fungsi pengaturan Presiden sebagai kepala pemerintahan, yakni instrumen Peraturan Presiden. Peraturan Presiden pada dasarnya berasal dari kewenangan yang melekat pada Presiden karena jabatannya sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan. Bahkan di dalam Penjelasan UUD 1945 (sebelum perubahan) dinyatakan bahwa Presiden ialah penyelenggara pemerintahan negara tertinggi. Ketentuan dan penjelasan tersebut menunjukan bahwa Presiden adalah penanggungjawab dan pimpinan penyelenggara pemerintahan sehari-hari atau pemimpin administrasi ( bestuur ), dan salah satu fungsi administrasi negara adalah membuat keputusan (baik yang bersifat penetapan ( beschikking ) maupun yang bersifat mengatur ( regeling ). Selain wewenang administrasi negara, Presiden mempunyai wewenang mandiri dalam membuat aturan-aturan untuk menyelenggarakan pemerintahan (disamping wewenang yang dilakukan bersama DPR membuat undang-undang). Akibatnya, meskipun Peraturan Presiden secara hierarkhis merupakan peraturan perundang-undangan di bawah Peraturan Pemerintah, namun, bukan berarti bahwa Peraturan Presiden hanya dapat diterbitkan untuk menjalankan Peraturan Pemerintah saja. Pasal 13 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa: “Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.” Dengan demikian, ruang lingkup materi muatan yang dapat diatur oleh Peraturan Presiden lebih luas dari ruang lingkup pengaturan yang dapat diatur oleh Peraturan Pemerintah. Bahkan, Peraturan Presiden dapat pula diterbitkan untuk melaksanakan atau menjalankan UUD 1945 maupun Tap MPR. 41 Sebagaimana yang telah ahli sampaikan sebelumnya, bahwa meskipun ketiadaan perintah pengaturan lebih lanjut di dalam undang- undang mengakibatkan Presiden dapat memilih menggunakan bentuk hukum Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden untuk menjalankan undang-undang, namun terdapat kondisi dimana Presiden sebaiknya menggunakan bentuk hukum Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Kondisi dimaksud yakni jika materi muatan yang hendak diatur merupakan materi yang berkaitan dengan hak dan kewajiban rakyat banyak (misalnya pada perkara a quo dalam bentuk memperluas ruang lingkup usaha asuransi), atau dalam batas-batas tertentu berkaitan dengan hak asasi atau salah satu hak yang dijamin di dalam UUD 1945. Mengutip pendapat Prof. Bagir Manan, praktik di Negeri Belanda, keputusan-keputusan Mahkota ( koninkelijke besluit ) yang mengikat secara umum selalu diatur melalui AMvB ( Algemene Maatsregel van Bestuur/ semacam Peraturan Pemerintah dalam sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia). Berdasarkan uraian tersebut, ahli berpendapat bahwa pendelegasian sebagaimana yang terdapat di dalam Pasal 5 Undang-Undang Perasuransian sedapat mungkin dihindari, terutama jika materi yang hendak didelegasikan merupakan materi yang berkaitan dengan hak-hak warga negara, termasuk dalam hal ini boleh atau tidaknya badan usaha penyelenggara jasa asuransi melakukan atau tidak melakukan kegiatan bisnis tertentu. Demi menjaga keteraturan dan ketertiban hukum, pengaturan materi muatan semacam itu seharusnya diletakkan pada bentuk hukum Peraturan Pemerintah untuk memberikan pokok-pokok pengaturan yang penting terlebih dahulu seperti kejelasan makna “kebutuhan masyarakat”, tata cara mengidentifikasinya, kriteria perluasan yang diperkenankan untuk dilakukan, hingga metode evaluasinya. Materi muatan tersebut penting untuk dikemas dalam bentuk Peraturan Pemerintah sebelum didelegasikan kepada pengaturan teknisnya dalam peraturan OJK. Berbeda dengan peraturan OJK yang dalam pembentukannya tidak melibatkan institusi lain secara formal sehingga dapat dikategorikan sebagai diskresi tunggal, pembentukan Peraturan Pemerintah melibatkan institusi pemerintah lintas sektor dalam 42 bentuk Panitia Antar Kementerian dalam mekanisme pembentukannya secara formal. Selain itu, ahli berpendapat sudah saatnya Mahkamah memberikan pendapat yang tegas berkenaan dengan pendelegasian dari undang- undang kepada peraturan menteri atau peraturan lembaga/badan. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, materi peraturan delegasi acapkali mengatur hal-hal yang berdampak pada masyarakat luas, termasuk dunia usaha sebagaimana diatur dalam Pasal a quo . Bila hal semacam ini dibiarkan, dikhawatirkan terjadi ketidakpastian yang akan menimbulkan kerugian di masa-masa mendatang. Dengan demikian, Mahkamah menjadi lembaga yang sangat fundamental menegakkan UU No. 12 Tahun 2011 karena dalam pandangan ahli, UU No. 12 Tahun 2011 merupakan undang- undang organik yang pembentukannya diperintahkan secara langsung oleh UUD 1945.
Apakah Relasi Antara Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian Dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan, merupakan relasi yang menghadirkan kepastian hukum? Untuk menjawab hal tersebut, izinkan ahli menyampaikan beberapa ketentuan yang dapat mengidentifikasi hubungan diantara kedua undang- undang tersebut sebagai berikut:
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian yang berbunyi sebagai berikut: “ Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak , yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk:
memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti;
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan yang berbunyi sebagai berikut: “Penjaminan adalah kegiatan pemberian jaminan oleh Penjamin atas pemenuhan kewajiban finansial Terjamin kepada Penerima Jaminan.” 43 Berdasarkan kedua ketentuan yang mendefinisikan asuransi dan penjaminan tersebut, ahli berpendapat bahwa pada dasarnya kedua undang-undang mengatur hal yang serupa, yakni pada pokoknya memberikan layanan perlindungan kepada klien atas potensi kerugian akibat ketidakpastian di masa depan. Jikapun terdapat perbedaan, maka perbedaan tersebut bersifat sumir dan gradual. Misalnya, pada definisi asuransi, dinyatakan secara eksplisit bahwa asuransi adalah “perjanjian antara dua pihak”, yakni perusahaan asuransi dan pemegang polis. Frasa ini memperlihatkan karakter hubungan dyadic di dalam hubungan perasuransian. Namun, ditemukan pula frasa “tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga”, yang memperlihatkan pula relasi triadic . Sementara undang-undang penjaminan tidak menyatakan secara tegas karakter keterikatan para pihak di dalam hubungan penjaminan. Namun di dalam ketentuan mengenai definisi penjaminan, terlihat bentuk relasi triadic pula antara penjamin, terjamin, dan penerima jaminan. Di dalam ilmu perundang-undangan, dipahami bahwasanya untuk objek yang sama, tidak dibenarkan diatur dengan peraturan yang berbeda. Oleh karena itu, penting untuk mengidentifikasi politik hukum di kedua undang-undang ini, agar dapat melihat apakah terdapat perbedaan tujuan hukum dari dibentuknya dua undang-undang yang mengatur objek yang serupa tersebut. Untuk dapat mengidentifikasi politik hukum, salah satunya dapat dilakukan dengan pendekatan original intent pembentuk undang- undang. Salah satu caranya dengan melihat pada Bagian Konsideran. Pada Bagian Konsideran huruf b Undang-Undang Perasuransian, dinyatakan bahwa tujuan dibentuknya undang-undang ini adalah: “dalam rangka menyikapi dan mengantisipasi perkembangan industri perasuransian serta perkembangan perekonomian, baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat global…”. Di sisi lain, Konsideran huruf b Undang-Undang Penjaminan menyatakan bahwa tujuan pembentukannya adalah: “untuk mewujudkan kemandirian ekonomi, negara harus memberikan perhatian terhadap dunia usaha, khususnya usaha mikro, kecil, dan menengah serta koperasi yang sering kesulitan mendapatkan akses permodalan dalam bentuk kredit, pembiayaan, atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dari lembaga keuangan dan di luar lembaga keuangan karena terbatasnya jaminan”. 44 Dari kedua Konsideran tersebut, terlihat bahwa politik hukum Undang-Undang Penjaminan ditujukan untuk memudahkan akses permodalan bagi usaha mikro, kecil, dan menengah serta koperasi, yang secara faktual sering kali kesulitan mendapatkan kredit atau pembiayaan akibat terbatasnya aset yang dapat dijaminkan. Di sisi lain, Undang-Undang Perasuransian ditujukan untuk meningkatkan daya saing perasuransian nasional sehingga dapat bertahan pada persaingan global. Berdasarkan kedua politik hukum tersebut, maka norma-norma yang dibangung di dalam undang-undang, harus ditujukan untuk memastikan politik hukumnya tercapai dengan baik. Sayangnya, jika diperhatikan pada norma-norma yang mengatur mengenai ruang lingkup usaha pada masing- masing undang-undang, dijumpai konstruksi pengaturan yang berbeda. Perbedaan ini pada sisi Undang-Undang Perasuransian berpotensi menghadirkan ketidakpastian hukum. Misalnya, di dalam Pasal 2 dan Pasal, 3 Undang-Undang Perasuransian, ruang lingkup usaha diatur dengan norma tertutup yang sangat limitatif dengan menggunakan frasa “hanya dapat” . Limitasi ini tentu berpotensi menghambat pertumbuhan dan perkembangan industri asuransi untuk dapat beradaptasi dan merespon dinamika persaingan global. Dengan demikian, frasa “hanya dapat” merupakan ketentuan yang bersifat rigid/kaku yang tidak sejalan dengan politik hukum undang-undang yang dinyatakan pada bagian konsideran, yakni untuk merespon dinamika persaingan global yang membutuhkan keluwesan. Namun, berbeda dengan Undang-Undang Perasuransian yang dirancang dengan konstruksi pasal tertutup, Pasal 4 Undang-Undang Penjaminan mengatur ruang lingkup usaha penjaminan dengan konstruksi pasal terbuka . Hal ini terlihat dari ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf k yang menyatakan bahwa perusahaan penjaminan dapat melakukan “kegiatan usaha lainnya setelah mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan”. Dengan konstruksi pasal demikian, maka secara normatif dapat ditafsirkan bahwa perkembangan indsutri penjaminan diserahkan pada pelakunya, sementara OJK ditempatkan sebagai lembaga pengawas yang memberikan persetujuan sebagai manifestasi dari fungsi kontrol pemerintah. 45 Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, Undang-undang Perasuransian juga sebenarnya membuka peluang adanya perluasan ruang lingkup usaha perasuransian sebagaimana diatur di dalam Pasal 5 Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2014. Namun, ketentuan Pasal 5 tersebut secara normatif memperlihatkan bahwa inisiasi perluasan ruang lingkup usaha diserahkan pada “ judgment” tunggal OJK untuk menilai kebutuhan masyarakat, dan bukan berasal dari inisiasi dari pelaku usaha. Dengan demikian, secara normatif, konstruksi Pasal 5 Undang-Undang Perasuransian memiliki potensi menghadirkan ketidakpastian jika dihubungkan dengan politik hukum pembentukan Undang-Undang dimaksud. Selain itu, berkaitan dengan lini usaha suretyship atau surety bond yang menjadi pokok permohonan perkara a quo , ahli melihat bahwa undang-undang memang menghendaki jenis usaha ini dapat dilakukan oleh berbagai entitas bisnis. Sebagaimana yang Pemohon uraikan di dalam permohonannya, lini usaha suretyship merupakan hasil perluasan ruang lingkup usaha asuransi yang diatur dalam Peraturan OJK Nomor 69/POJK.05/2016. Pengaturan mengenai objek yang sama juga ditemukan di dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d Undang-Undang Penjaminan dengan terminologi “surety bond ”. Dalam Permohonan dinyatakan bahwa Pasal 57 ayat (4) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi juga mengatur objek yang sama dengan terminologi yang lebih umum yakni “jaminan” yang dapat dilakukan oleh lembaga perbankan, perusahaan asuransi, dan/atau perusahaan penjaminan. Dari seluruh ketentuan tersebut, hanya pada rezim Undang-Undang Perasuransian yang memberikan pengaturan “ suretyship/surety bond ” dengan bentuk hukum yang bersifat diskresional, yakni menggunakan Peraturan OJK dengan syarat adanya kebutuhan masyarakat. Sementara pada rezim yang lain, pengaturan mengenai “ suretyship/surety bond ” diatur di dalam bentuk hukum yang lebih ajeg, yakni norma undang-undang dan tanpa ada prasyarat apapun. Dengan demikian, secara hukum layak untuk dipertanyakan, mengapa objek yang sama, diatur dengan bentuk peraturan yang berbeda? 46 4. Apakah Kehadiran Pasal 61 juncto Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan yang mengatur mengenai kewajiban penyesuaian dan ketentuan pidana bagi penyelenggara penjaminan tanpa izin, merupakan ketentuan yang menghadirkan kepastian hukum bagi penyelenggara perasuransian? Pada masyarakat awam, kehadiran hukum tertulis selalu dianggap sebagai bentuk hadirnya kepastian hukum. Padahal, di dalam ilmu perundang-undangan, tetap terdapat prasyarat yang harus terpenuhi agar hukum tertulis dapat menghadirkan kepastian hukum sebagai berikut:
terdapat kejelasan norma/rumusan norma; 2 . norma harus harmonis dan sinkron dengan norma yang lain, baik yang terdapat dalam undang-undang yang bersangkutan maupun undang- undang yang lain yang mengatur materi sejenis; dan
tersedianya infrastruktur penegakan hukum. Ketentuan Pasal 61 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan yang berbunyi sebagai berikut:
Setiap Orang di luar Lembaga Penjamin yang telah melakukan kegiatan penjaminan sebelum berlakunya Undang-Undang ini wajib menyesuaikan dengan UndangUndang ini dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap kegiatan penjaminan yang dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri. Dari aspek kejelasan rumusan, ketentuan tersebut menurut ahli tidak bersifat multi interpretatif. Karenanya, asas kejelasan rumusan telah terpenuhi. Kehadiran ketentuan ini mencerminkan bahwa undang-undang memang mengakui bahwa kegiatan penjaminan dapat saja dilakukan berdasarkan undang-undang yang lain, dan dilakukan oleh pelaku usaha yang berbeda-beda. Namun, pada sisi harmonisasi, ketentuan Pasal 61 ini berpotensi menghadirkan ketidakpastian hukum dalam hal penyelenggaraan suretyship oleh perusahaan asuransi. Hal ini dikarenakan adanya pengecualian kewajiban untuk menyesuaikan dengan undang- undang penjaminan sebagaimana dinyatakan di dalam Pasal 61 ayat (2), melalui frasa hanya diberikan kepada kegiatan-kegiatan “yang dijalankan 47 berdasarkan undang-undang”. Di sisi lain, penyelenggaraan suretyship oleh perusahaan asuransi merupakan kegiatan yang tidak didasarkan pada undang-undang, melainkan pada Peraturan OJK. Dengan demikian, kegiatan suretyship oleh perusahaan asuransi tidak lagi dapat dilakukan kecuali pada sektor jasa konstruksi karena kegiatan tersebut diatur di dalam undang-undang tersendiri, yakni Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi. Dengan kata lain, konstruksi Pasal 61 secara tidak langsung mempersempit ruang lingkup layanan suretyship yang dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi. Akibatnya, ketentuan pidana yang terdapat dalam Pasal 57 Undang- Undang Penjaminan, berpotensi dikenakan kepada perusahaan asuransi yang menyelenggarakan kegiatan suretyship di luar sektor jasa konstruksi. Ketidakpastian ini terjadi karena, di satu pihak, penyelenggaraan suretyship oleh perusahaan asuransi didasarkan oleh Peraturan OJK yang secara hukum adalah peraturan yang valid sebagai wujud kewenangan atribusi yang dimiliki OJK berdasarkan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Namun, di lain pihak, perusahaan asuransi yang melaksanakan lini usaha suretyship berdasarkan peraturan yang valid, berpotensi terkena ketentuan pidana karena dasar hukum kegiatannya tidak didasarkan pada undang-undang. Ketidakpastian hukum ini menurut ahli bukanlah akibat dari kesalahan perumusan Pasal 61 Undang-Undang Penjaminan. Penggunaan frasa “… yang dijalankan berdasarkan undang-undang” pada Pasal 61 ayat (2) Undang-Undang Penjaminan sebagai pengecualian atas kewajiban penyesuaian terhadap undang-undang penjaminan, disusun dengan asumsi atau penalaran yang wajar bahwa hal-hal yang bersifat pokok dan penting akan diatur secara ajeg di dalam norma undang-undang dan tidak didelegasikan kepada peraturan perundang-undangan yang lain. Menurut ahli, pendelegasian ketentuan yang bersifat pokok dan penting kepada peraturan yang secara hukum hanya dapat mengatur teknis administratif merupakan sebuah anomali. Dengan demikian, masalah utama ketidakpastian hukum ini menurut ahli terletak pada ketidaktaatan asas pada saat pembentukan Undang-Undang Perasuransian, khususnya pada saat merumuskan Pasal 2 dan Pasal 3 yang mengatur ruang lingkup usaha 48 dengan norma tertutup, dan Pasal 5 yang memberikan pengecualian untuk memperluasnya melalui Peraturan OJK dalam bentuk pemberian delegasi blangko.
Agar tercipta kepastian hukum yang adil bagi usaha penerbitan suretyship yang telah berjalan sejak 1978, apakah terdapat cukup alasan konstitusional untuk secara eksplisit mencantum frasa “termasuk lini usaha suretyship ” dari makna “dapat diperluas” dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No. 40 tahun 2014? Kehadiran Mahkamah Konstitusi seringkali dimaknai sebagai “ the negative legislature ”, yakni institusi yang menjadi penyeimbang dari kekuasaan politik untuk membatalkan produk hukum yang dibentuknya. Namun, seringkali “ the negative legislature ” dimaknai secara sempit bahwa Mahkamah Konstitusi tidak dapat membentuk norma hukum baru, melainkan hanya membatalkan norma hukum dan mengembalikan pembentukannya pada cabang kekuasaan politik. Pandangan ini menurut ahli tidak sepenuhnya tepat, apalagi dengan kompleksitas permasalahan ketatanegaraan yang semakin rumit yang sering kali dihadapi Mahkamah Konstitusi. Aharon Barak di dalam bukunya “Judge in Democracy ” mencoba memberikan jawaban mengenai bagaimana pengadilan seharusnya memposisikan dirinya dalam menghadapi perkara-perkara yang kompleks tersebut. Menurutnya, pengadilan secara inheren dibekali kewenangan untuk melakukan “ judicial discretion ”. “Diskresi” dalam pendapat Aharon Barak tersebut dapat dilakukan dalam bentuk menghadirkan perluasan makna dari norma hukum, perubahan makna dari norma konstitusi, penambahan norma baru, hingga putusan yang bersifat “ ultra vires ”. Mengutip pendapat Chief Justice Lord Hewart: “ It is fundamental importance that justice should not only be done, but should manifestly and undoubtedly be seen to be done ”. Artinya, pengadilan harus memastikan keadilan benar-benar dapat dinikmati setiap warga negara dan tidak semata-mata hanya berbunyi di atas kertas. Pandangan ini sejatinya merupakan pandangan yang menolak gagasan tradisional tentang fungsi kekuasaan kehakiman yang sebatas hanya diposisikan sebagai institusi 49 yang menafsirkan hukum dan seringkali dianggap tidak dapat menyelesaikan masalah. Pandangan mengenai judicial discretion ini memang seringkali dikritik dengan alasan dapat mengakibatkan pengadilan berubah menjadi institusi yang “hiperaktif” dan eksesif, serta mencederai prinsip dasar bernegara, yakni demokrasi dan prinsip pemisahan kekuasaan. Namun, Ran Hirschl, seorang pakar political science dalam sebuah artikel yang berjudul: “Constitutional Courts vs Religious Fundamentalism: Three Middle Eastern Tales ”, mengatakan bahwa kritik-kritik terhadap judicial discretion dan dampak buruknya, umumnya didasarkan pada pemahaman yang keliru. Dalam bantahannya, Hirschl mengatakan bahwa pembentukan pengadilan (terutama pengadilan konstitusional) tidak dapat dipisahkan dari latar belakang kenyataan sosial, budaya, politik, dan ekonomi yang terbentuk dari tatanan sistem politik tertentu. Akibatnya, pengadilan tidak mungkin beroperasi pada dimensi yang vakum akan politik dan ideologi. Bagi Hirschl, pengadilan harus menjadi bagian integral untuk dapat memanifestasikan gagasan dan value politik serta ideologi yang melatar belakangi pembentukannya. Berdasarkan pendapat Ran Hirschl tersebut, ahli berpendapat bahwa jika Mahkamah Konstitusi pada awalnya memang dibentuk sebagai “ the guardian of the constitution, and the protector of human rights ”, maka Mahkamah Konstitusi memiliki kewajiban pula untuk memastikan bahwa fungsi-fungsinya tersebut dapat secara langsung dirasakan oleh masyarakat dalam bentuk menghadirkan remedy bagi mereka yang hak konstitusionalnya terlanggar akibat berlakunya sebuah undang-undang. Oleh karena itu, memberikan tafsir konstitusional bersyarat sebagaimana permohonan pemohon, menurut ahli dapat dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi sepanjang pengadilan memutus berdasarkan hukum. Makna memutus berdasarkan hukum diartikan oleh Mark Elliot sebagai sebuah putusan yang dihasilkan dengan cara-cara yang sejalan dengan prinsip-prinsip umum, baik hukum maupun politik, yang mendasari terbentuknya konstitusi. Mengutip pendapat Sir Edward Coke beberapa abad yang lalu: “ Reason is the life of the law ”, artinya legitimasi putusan pengadilan hanya dapat dilihat atau dinilai melalui alasan atau 50 pertimbangan-pertimbangan yang mendasari mengapa sebuah putusan dijatuhkan. Sejarah dunia telah mencatat berbagai putusan yang bersifat membentuk norma baru, ataupun mengubah makna konstitusi selalu mendapatkan penerimaan dengan baik dari masyarakat, sepanjang memiliki legal reasoning yang memadai, sebagaimana terjadi pada putusan landmark Supreme Court Amerika Serikat di perkara Brown v Board of Education tahun 1954 maupun Roe v Wade tahun 1973. Dalam perkara Brown v Board of Education , diskresi pengadilan mengambil bentuk berupa pembatalan precedent atau putusan sebelumnya yang menjadi dasar segregasi rasial di Amerika melalui doktrin separate but equal yang diputuskan dalam perkara Plessy v Ferguson . Fakta sejarah kemudian menunjukan bahwa putusan ini telah memicu perubahan paradigmatik pada dimensi kebijakan publik Amerika terkait hak-hak masyarakat kulit hitam. Pasca putusan ini, kebijakan publik Amerika cenderung mengarah pada desegregasi dan pemberian kebijakan affirmative action bagi masyarakat kulit hitam. Putusan pengadilan dalam perkara Brown v Board of Education dapat dibaca sebagai sebuah upaya melindungi kebebasan dan persamaan bagi masyarakat kulit hitam yang sejatinya telah dijamin di dalam konstitusi. Begitu pula yang terjadi pada perkara Roe v Wade Tahun 1973. Pengadilan membentuk norma baru yang menjamin kebebasan bagi wanita atas fungsi reproduksinya. Dalam putusannya, pengadilan menyatakan bahwa praktik aborsi dapat dibenarkan pada trimester pertama masa kehamilan dengan alasan-alasan tertentu. Hal ini dapat dibaca sebagai bentuk pemenuhan jaminan atas hak diri pribadi ( privacy rights ) sebagaimana telah dijamin di dalam konstitusi. Di Indonesia, praktik serupa beberapa kali dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dengan alasan demi menegakan keadilan substantif. Misalnya, dalam perkara Nomor 102/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Undang- Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden Dan Wakil Presiden, yang menetapkan bahwa masyarakat yang tidak terdaftar pada Daftar Pemilih Tetap (DPT), tetap dapat memilih dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden dengan menunjukan KTP, KK, ataupun Paspor. 51 Dalam perkara lainnya, yakni perkara Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan yang sah tetap dapat memiliki hubungan hukum dengan ayahnya sepanjang dapat dibuktikan secara hukum. Berdasarkan presedent pada perkara terdahulu, dan berdasarkan fungsi-fungsi Mahkamah Konstitusi yang telah diuraikan sebelumnya, ahli berpendapat bahwa pemberian tafsir konstitusional bersyarat dapat dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi sepanjang ditujukan untuk memastikan terciptanya remedy bagi pihak-pihak yang hak konstitusionalnya terlanggar.
Dr. Kornelius Simanjuntak, S.H., M.H., AAIK. Permasalahan: Apakah Ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian tidak cukup kuat dan oleh karenaya mengandung permasalahan hukum, ketidakpastian hukum, dan potensi kerugian dan dapat merambat ke ancaman pidana bagi para Pemohon (yaitu perusahaan-perusahaan asuransi umum) dalam memasarkan dan menerbitkan lini usaha surety bond dan suretyship , sehingga ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian perlu diadakan perubahan. Pertama : Sejarah Singkat Suretyship di Indonesia; Kedua : Definisi Usaha dan Lini Usaha Asuransi Umum; Ketiga : Keunggulan Perusahaan Asuransi dalam memikul risiko dalam produk suretyship ; Keempat : Permasalahan Timbul karena diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Penjaminan, dan Kelima : Potensi Masalah hukum yang dapat merembet ke ranah Pidana bagi direksi dan pejabat perusahaan asuransi umum yang melakukan lini usaha Surety Bond/Suretyship . Pertama: Sejarah Singkat Surety Bond atau Suretyship . Sejak dari awal Tahun 1978 Surety Bond atau Suretyship diadakan di Indonesia, yang diberikan kewenangan untuk melaksanakan dan menerbitkan Surety Bond atau Suretyship adalah Perusahaan Asuransi Umum (dahulu disebut Asuransi Kerugian). 52 Lini usaha atau Produk Surety Bond atau Suretyship sejak diperbolehkan oleh Pemerintah untuk dijalankan di Indonesia pada tahun 1978, yang diberikan hak dan kewenagan untuk melaksanakan, memasarkan, menjual dan menerbitkan lini usaha Surety Bond adalah perusahaan asuransi umum atau asuransi kerugian yaitu PT Jasa Raharja Persero melalui Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1978 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1965 tentang Pendirian Perusahaan Umum Asuransi Kerugian Jasa Raharja. Selanjutnya pada tahun 1980 melalui Keputusan Presiden Nomor 14A Tahun 1980 tentang Pengadaan Barang dan Jasa kemabali ditegaskan bahwa yang dapat menerbitkan Surety Bond adalah Asuransi Kerugian PT Jasa Raharja Persero sebagai Lembaga Keuangan Non Bank atau LKNB. Kemudian pada tahun 1992 perusahaan-perusaan asuransi kerugian (umum) meminta kepada Pemerintah dalam hal ini Departemen Keuangan (sekarang namanya Kementerian Keuangan), supaya pelaksanaan lini usaha Surety Bond tidak dimonopoli oleh perusahaan asuransi kerugian PT Jasa Raharja Persero. Maka pada tahun 1992 dengan diundangkan Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, kepada perusahaan-perusaan asuransi kerugian diberikan izin untuk melaksanakan lini usaha Surety Bond, sementara PT Jasa Raharja Persero dikembalikan fungsi dan tugas pokoknya untuk melaksanakan Asuransi Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 dan Asuransi Dana Kecelakaan Lalu lintas Jalan sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Nomor 34 Tahun 1964. Artinya selama 42 tahun sejak diperkenalkan dan diperbolehkan Surety Bond di Indonesia, lini usaha atau produk Surety Bond adalah lini usaha atau produk asuransi kerugian atau sekarang juga disebut asuransi umum, dengan izin ekslusif pada awalnya kepada asuransi kerugian PT Jasa Raharja Persero, dan kemudian sejak tahun 1992 lini usaha Surety Bond diberikan kepada perusahaan-perusahaan asuransi kerugian (dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian memakai istilah asuransi umum). Dengan demikian sejak diperkenalkan dan diperbolehkan lini usaha Surety Bond di Indonesia pada tahun 1978, lini 53 usaha Surety Bond tersebut adalah sebagai lini usaha asuransi umum, dan hingga saat ini sudah 42 tahun lini usaha Surety Bond adalah lini usaha dari perusahaan asuransi kerugian atau asuransi umum. Kedua: Ruang Lingkup Usaha dan Lini Usaha Asuransi Umum Bersifat Terbuka Ruang lingkup usaha asuransi sesungguhnya secara universal sifatnya terbuka untuk semua jenis produk atau lini usaha yang tergolong dan masuk sebagai jenis asuransi umum, karena itu sesungguhnya tidak perlu ada penyebutan nama-nama setiap produk atau lini usaha asuransi umum, karena macam dan jenis produk atau lini usaha asuransi umum sangat banyak dan selalu berkembang atau bertambah sesuai perkembangan kemajuan dalam berbagai aspek kehidupan manusia yang juga menimbulkan berbagai ragam jenis dan macan risiko. Pengaturan demikian adalah bersifat universal, dan hal itu sesungguhnya juga sudah diadopsi dan dengan perumusan yang baik dalam Pasal 3 huruf a.1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Bunyi selengkapnya adalah sebagai berikut: Pasal 3 huruf a.1 “a.1 Usaha asuransi kerugian yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat, dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti”. Jadi tidak perlu disebutkan satu demi satu jenis produk atau lini usaha seperti asuransi kebakaran rumah, asuransi kendaraan bermotor, asuransi mobil, asuransi pengangkutan, asuransi pencurian, asuransi pesawat terbang, asuransi pengangkutan udara, asuransi penumpang pesawat udara, asuransi kapal laut, asuransi pengangkutan cargo, asuransi pengangkutan penumpang kapal laut, asuransi pengangkutan barang melalui darat dan danau, asuransi pengangkutan barang melalui kereta api, asuransi penumpang kereta api, asuransi tanggung jawab hukum terhadap pihak ketiga, asuransi siber (cyber insurance) , asuransi tanggung jawab hukum siber, dan lain-lain. 54 Tetapi jika ada benturan atau potensi benturan antara dua perusahaan asuransi dengan izin usaha yang berbeda, misalnya antara perusahaan asuransi umum dengan perusahaan asuransi jiwa yang juga dapat secara sah menjual dan menerbitkan produk atau lini usaha yang sama, maka hal itu adalah perlu diatur dalam undang-undang. Pengaturan demikian terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, sebagai berikut: Pasal 2 ayat 1 _(1) Perusahaan asuransi umum hanya dapat menyelenggarakan: _ a. Usaha asuransi umum, termasuk lini usaha asuransi kesehatan, dan lini usaha asuransi kecelakaan diri _; dan _ b. Usaha reasuransi......... (2) Perusahaan asuransi jiwa hanya dapat menyelenggarakan usaha asuransi jiwa termasuk lini usaha anuitas , lini usaha asuransi kesehatan, dan lini usaha asuransi kecelakaan diri. __ Selanjutnya Pasal 3 ayat (1) dan (2) mengatur hal yang sama untuk asuransi umum syariah dan asuransi jiwa syariah. Pada awalnya lini usaha asuransi kesehatan dan asuransi kecelakaan diri adalah produk atau lini usaha dari perusahaan asuransi umum, kemudian dalam perkembangannya perusahaan asuransi jiwa juga melakukan dan menjual lini usaha asuransi kesehatan dan asuransi kecelakaan diri, karena objek asuransinya adalah manusia dan sesuai perkembangan lini-lini usaha asuransi secara universal, maka pemerintah Indonesia juga mengadopsi hal yang sama. Oleh karena itu, adalah penting dan perlu diatur secara tegas dalam undang-undang perasuransian bahwa jika ada dua jenis usaha dari perusahaan asuransi yang sama-sama diberikan hak untuk menjual dan menerbitkan produk atau lini usaha asuransi kesehatan dan lini usaha asuransi kecelakaan diri, dengan demikian tidak akan ada muncul permasalahan di lapangan mengenai apakah perusahaan asuransi jiwa dapat secara sah melakukan dan menerbitkan lini usaha asuransi kesehatan dan lini usaha asuransi kecelakaan diri. Pengaturan demikian menciptakan kepastian hukum, ketertipan dan rasa aman bagi pelaku usaha dalam menjalankan usaha nya masing-masing. 55 Selanjutnya ahli ingin memberikan pendapat dan analisis hukum terhadap ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuansian yang memuat ketentuan tentang ruang lingkup usaha asuransi. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian berbunyi sebagai berikut: (1) Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat _; _ (2) Perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum , Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penambahan manfaat yang besarnya didasarkan pada hasil pengelolaan dana _; _ (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 5 ayat (1) tersebut memuat ketentuan bahwa ruang lingkup usaha asuransi umum, asuransi jiwa, baik yang konvensional maupun syariah dapat diperluas sesuai kebutuhan masyarakat. Pasal 5 ayat (3) memuat ketentuan bahwa ruang lingkup usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Dengan ketentuan ini, maka perkembangan produk dan lini usaha asuransi umum yang dapat dilakukan perusahaan asuransi menjadi dibatasi karena hanya dapat dilakukan melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Dengan ketentuan ini macam dan jenis produk atau lini usaha asuransi untuk asuransi umum, asuransi jiwa baik yang konvensional maupun yang syariah yang merupakan bagian dari lingkup usaha menjadi tertutup dan kaku, tidak dapat lagi mengikuti perkembangan kemajuan produk atau lini usaha di industri jasa asuransi yang sangat dinamis dan cepat, karena untuk menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan akan memakan waktu yang tidak sedikit, dan tidaklah semudah menerbitkan izin usaha produk atau lini usaha. 56 Selama ini setiap kali perusahaan asuransi hendak dan mau melakukan atau memasarkan suatu macan atau jenis produk atau lini usaha, maka perusahaan asuansi wajib dan cukup mengajukan pengajuan dan permohonan izin produk atau lini usaha terlebih dahulu kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk mendapatkan izin produk atau lini usaha dan mendaftarkan produk atau lini usaha tersebut di Otoritas Jasa Keuangan. Setelah disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan barulah perusahaan asuransi dapat secara sah melakukan dan memasarkan atau menjual produk atau lini usaha tersebut, ketentuan tersebut telah diatur dalam Pasal 5 ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 69/POJK.05/2016 tentang Penyelanggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah. Bunyi selengkapnya dari Pasal 5 ayat (2) POJK Nomor 69/POJK.05/2016 tersebut adalah sebagai berikut: “Perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, atau unit syariah pada perusahaan asuransi yang akan melakukan perluasan ruang lingkup usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 wajib terlebih dahulu mendapakan persetujuan dari OJK”. Maka jika memperhatikan dengan cermat bunyi ketentuan Pasal 5 khususnya ayat (3) Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian dan Pasal Pasal 5 ayat (2) POJK Nomor 69/POJK.05/2016 tentang Penyelanggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah, maka pengaturan ketentuan yang ideal dan baik adalah yang diatur dalam POJK Nomor 69/POJK.05/2016 tentang Penyelanggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah, yang mana untuk melakukan dan memasarkan suatu produk atau lini usaha cukup dengan mengajukan permohonan izin produk kepada OJK dan tidak perlu OJK menerbitkan suatu Peraturan OJK yang khusus untuk setiap produk atau lini usaha. Tetapi jika dianalisis dari hirarkhi peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka perluasan lingkup usaha dan lini 57 usaha asuransi untuk produk atau lini usaha Surety Bond/Suretyship seharusnya diatur dalam Undang-Undang Perasuransian supaya tidak menimbulkan ketidak pastian hukum, karena pemberian lingkup usaha untuk menerbitkan produk atau lini usaha Surety Bond/Suretyship kepada perusahaan penjaminan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. Oleh karena itu ahli perpendapat bawa permohonan uji materi yang diajukan oleh Para Pemohon sangatlah mempunyai dasar dan alasan yang kuat, karena dengan diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan, menjadi ada dua jenis perusahaan dengan izin usaha yang berbeda dapat melakukan dan menerbitkan lini usaha penjaminan atau Surety Bond yang merupakan bagaian dari Suretyship. Sehingga persaingan yang tidak sehat di lapangan dan potensi permasalahan dapat dihindari, karena ada kepastian hukum, ketertiban, dan rasa aman bagi pelaku usaha yaitu perusahaan asuransi umum dan perusahaan penjaminan yang sama-sama diberikan kewenangan, hak, untuk dapat secara sah melakukan dan menerbitkan lini usaha Surety Bond yang merupakan bagian dari Suretyship. Ketiga: Keunggulan Perusahaan Asuransi Umum dalam memikul risiko dari Produk atau Lini Usaha Surety Bond/Suretyship Ada paling tidak 4 (empat) keunggulan dari Perusahaan Asuransi Umum dalam memikul risiko dari produk atau lini usaha Surety Bond/Suretyship dibandingkan dengan Perusahaan Penjaminan dan lini usaha bank garansi untuk bank, yaitu:
Sistem Reasuransi atau Pertanggungan Ulang;
Sistem Pool Asuransi;
Pangalaman Yang Telah Teruji Dalam Memikul dan Menjamin Nilai Risiko dari projek Yang Besar, dan;
Proses Penerbitan Sertifikat atau Polis yang lebih sederhana dan tidak memerlukan collateral atau jaminan berupa sejumlah uang, atau asset atau sebuah benda berharga; 58 1. Sistem Reasuransi atau Pertanggungan Ulang Reasuransi atau pertanggungan ulang sudah ratusan tahun dikenal dan diterapkan dalam perasuransian secara universal yang dimulai di Negara Inggris sebagai pusat bisnis asuransi dan reasuransi dunia. Melalui mekanisme reasuransi yang menjadi sistem penyebaran risiko secara nasional, regional dan global, sebuah perusahaan asuransi umum akan dapat secara sah dan mampu memberikan jaminan asuransi dan penjaminan surety bond/suretyship dengan baik meskipun nilai asset atau nilai jaminan surety bond/suretyship sangat jauh melebihi nilai asset atau modal setor perusahaan asuransi umum yang bersangkutan. Oleh karena itu, setiap perusahaan asuransi umum oleh peraturan perundangan diwajibkan memiliki program dan sistem sistem reasuransi atau pertanggungan ulang otomatis sebagaimana diatur dalam Pasal 32 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 69/POJK.05/2016 yang mengatur sebagai berikut: “Setiap Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi wajib memiliki dukungan reasuransi dalam bentuk perjanjian reasuransi atau perjanjian syariah otomatis”. Dengan adanya program reasuransi dari perusahaan asuransi umum, maka sebuah perusahaan asuransi umum akan dapat memikul dan memberikan jaminan asuransi atas berbagai risiko dengan nilai yang diasuransikan jauh melebihi permodalan atau asset dari suatu perusahaan asuransi, karena sesuai ketentuan permodalan perusahaan asuransi yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 67/POJK.05/2016 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah mengatur: “Perusahaan Asuransi harus memiliki modal disetor pada saat pendirian paling sedikit sebesar Rp150.000.000.000.- (seratus lima puluh miliar rupiah)”. 59 Meskipun modal setor atau nilai asset dari sebuah perusahaan asuransi umum hanya mislanya Rp150.000.000.000.- (seratus limapuluh miliar rupiah, tetapi perusahaan asuransi tersebut akan dapat memberikan jaminan pertanggungan atau penjaminan dengan nilai Rp500.000.000.000.- (lima ratus miliar rupiah) atau bahkan Rp1.000.000.000.000.- (satu triliun rupiah) untuk satu objek risiko. Karena sebagian besar nilai resiko polis asuransi atau Surety Bond/Suretyship akan direasuransikan ke perusahaan reasuransi dalam negeri, regional, dan jika perlu ke perusahaan reasuransi di pasar reasuransi global seperti ke pasar reasuransi London, Swiss, German, dan lain-lain. Sementara di perusahaan penjaminan secara global dan internasional tidak dikenal sistem reasuransi.
Sistem Pool Asuransi Di perusahaan asuransi umum juga terdapat sistem pool asuransi dimana sejumlah perusahaan asuransi bekerja sama untuk memikul dan menjamin suatu risiko dengan nilai yang besar atau karena risiko tersebut mempunyai karakteristik yang mengakibatkan risikonya sangat tinggi. Sistem pool asuransi juga diterapkan untuk lini usaha Surety Bond/Suretyship untuk menjamin proyek-proyek dengan nilai yang besar sekali. Di Indonesia beberapa perusahaan asuransi umum telah membentuk suatu sistem pool asuransi untuk menjamin lini usaha custom bond yang merupakan turunan dari Suretyship. 3. Pengalaman Yang Telah Diuji Dalam Memikul dan Menjamin Nilai Risiko dari Projek Yang Besar Perusahaan-perusahaan asuransi umum telah mempunyai pengalaman selama 42 tahun dalam memasarkan dan menerbitkan lini usaha Surety Bond/Suretyship. Perusahaan asuransi umum adalah yang menjadi pioneer dan pertama melakukan dan menerbitkan lini usaha Surety Bond/Suretyship. Perjalanan dan pengalaman mereka selama 42 tahun telah membuktikan bahwa perusahaan asuransi umum dapat dan mampu dengan baik melakukan lini usaha Surety Bond/Suretyship. Oleh karena itu menurut ahli adalah layak dan pantas jika perusahaan 60 asuransi umum tetap diberikan hak dan kewenangan dalam Undang- Undang Nomor 40 tahun 2014 untuk menerbitkan lini usaha Surety Bond/Suretyship. Dari data yang ahli dapatkan dari Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), selama 6 tahun terakhir dari tahun 2014 sampai dengan tahun 2019, perusahaan asuransi umum telah memberikan jaminan lini usaha Surety Bond/Suretyship untuk berbagai projek dengan nilai total jaminan Rp 2.688 triliun dari total nilai projek Rp 38.400 triliun dengan demikian rata-rata nilai jaminan setiap tahun adalah sebesar Rp 448 triliun dari total nilai projek sebesar Rp6.400 triliun untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari tabel dibawah ini: Data Lini Usaha Surety Bond/Suretyship dari Tahun 2014 s.d. 2019 Sumber: Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) 4. Proses Penerbitan Sertifikat atau Polis Yang Lebih Sederhana dan Tidak Memerlukan Collateral atau Jaminan Berupa Sejumlah Uang atau Asset atau sebuah benda berharga Proses Penerbitan Sertifikat atau Polis yang lebih sederhana dan tidak memerlukan collateral atau jaminan berupa sejumlah uang, atau asset atau sebuah benda berharga, sebagaimana diterapkan oleh perbankan. Dengan sistem seperti itu, maka pengusaha kecil dan menengah yang umumnya mempunyai keterbatasan dalam permodalan usaha, mereka juga terbantu dalam menjalankan usahanya dengan adanya lini usaha surety Bond/Suretyship dari perusahaan asuransi umum. 61 Keempat: Permasalahan Timbul karena diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan Selama 38 tahun sejak tahun 1978 hingga tahun 2016 sebelum diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Penjaminan, tidak ada permasalahan hukum yang timbul bagi perusahaan asuransi umum dalam menjalankan lini usaha Surety Bond/ Suretyship . Permasalahan timbul karena diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Penjaminan, dan karena Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian tidak secara tegas mengatur dalam Pasal 2 ayat (1) a. dan Pasal 3 ayat (1) a. untuk asuransi umum syariah bahwa lini usaha Surety Bond/Suretyship adalah lini usaha yang dapat dijalankan oleh perusahaan asuransi umum. Oleh karena itu ahli berpendapat adalah perlu ditegaskan dalam Pasal- pasal tersebut di atas bahwa perusahaan asuransi umum dapat menjalankan lini usaha Surety Bond/Suretyship sebagaimana diajukan pemohon kepada Yang Mulia Ketua dan Majelis Mahkamah Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi Yang Terhormat ini. Hal ini perlu ditegaskan dalam Pasal 2 Undang- Undang Nomor 40 tahun 2014 tentang Perasuransian bahwa usaha assuransi umum dapat menyelenggarakan usaha asuransi umum termasuk lini usaha asuransi kesehatan, lini usaha asuransi kecelakaan diri, dan lini usaha Surety Bond/Suretyship, dengan demikian akan tercipta kepastian hukum bagi perusahaan asuransi umum yang melakukan lini usaha Surety Bond/Suretyship. Karena Undang- Undang Nomor 1 tahun 2016 tentang Penjaminan dalam Pasal 4 ayat (2) memuat ketentuan bahwa perusahaan penjaminan juga dapat melakukan lini usaha Surety Bond, custom bonds yang merupakan bagian dari Suretyship. Kelima: Potensi Masalah hukum dapat merembet ke ranah Pidana bagi direksi dan pejabat perusahaan asuransi umum yang melakukan lini usaha Surety Bond/Suretyship Ketentuan Pasal 61 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan memuat ketentuan sebagai berikut: 62 c. Setiap Orang di luar Lembaga Penjamin yang telah melakukan kegiatan penjaminan sebelum berlakunya Undang-Undang ini wajib menyesuaikan dengan UndangUndang ini dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Undang- Undang ini. d. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap kegiatan penjaminan yang dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri. Ketentuan Pasal 61 tersebut di atas menurut ahli telah menciptakan ketidakpastian hukum untuk perusahaan asuransi umum dalam melakukan dan memasarkan produk atau lini usaha Surety Bond/Suretyship, karena ada kewajiban untuk perusahaan asuransi umum yang sebelum diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan untuk menyesuaikan dengan undang-undang penjaminan sebagaimana dinyatakan di dalam Pasal 61 ayat (1). Dan penyesuaian tersebut haruslah dilakukan melalui undang-undang, tentu bagi perusahaan asuransi adalah Undang-Undang Nomor 40 tahun 2014 tentang Perasuransian. Sementara saat ini, perusahaan asuransi umum melakukan dan memasarkan produk atau lini usaha Surety Bond/Suretyship tidak didasarkan pada undang-undang, akan tetapi didasarkan pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 69/POJK.5/2016 yang diatur dalam Pasal 4. Dan jika ditinjau dari hirarki peraturan perundangan sebagaimana telah dijelaskan ahli sebelumnya, posisi dan kedudukan hukum dari perusahaan asuransi umum tentu termasuk direksi dan pejabatnya adalah lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan penjaminan. Akibatnya, Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan yang memuat ketentuan ancaman hukuman pidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan pidana denda paling banyak Rp100.000.000.000.- (seratur miliar rupiah), berpotensi dan dapat dikenakan kepada direksi dan pejabat perusahaan asuransi umum yang melaksanakan produk atau lini usaha Surety Bond/Suretyship. Oleh karena itu menurut ahli perlu diadakan perubahan sebagai penegasan dalam Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, khususnya dalam pasal 2 ayat (1) untuk menegaskan bahawa perusahaan asuraqnsi umum dapat melakukan/menyelenggarakan lini usaha Surety Bond/Suretyship, sebagaimana dimohon oleh Pemohon dalam pengajuan 63 mereka kepada Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi, supaya ada kepastian hukum, rasa kenyamanan, ketertiban, dan keadilan bagi perusahaan asuransi umum yang telah selama 42 tahun melakukan/menyelenggarakan produk atau lini usaha Surety Bond/Suretyship. Mahkamah Konstitusi Yang Terhormat dan Mulia ini, dibentuk sebagai pengawal konstitusi dan untuk melindungi hak asasi manusia dari warganegara Republik Indonesia, maka Mahkamah Konstitusi memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa tugas dan kewajibannya tersebut dapat secara langsung dirasakan oleh masyarakat pelaku usaha asuransi umum dalam bentuk menghadirkan kepastian hukum dan ketenteraman bagi pelaku usaha asuransi umum dalam melakukan lini usaha Surety Bond/Suretyship, yang hak konstitusionalnya mereka rasakan telah terlanggar dan menimbulkan ketidak pastian serta berpotensi menimbulkan ancaman pidana akibat berlakunya sebuah undang-undang, yaitu Undang- Undang Nomor 1 tahun 2016 tentang Penjaminan. Saksi Pemohon 1. Tjindra Parma Wignyoprayitno, S.H., M.H. - Terdapat tujuh permasalahan hukum yang akan Saksi sampaikan, pertama, persoalan yang berkaitan dengan suretyship atau surety bond yang sudah dikenal sejak abad ke-19, pada 1837 di Amerika sudah lahir surety bond ini dan kemudian di Belanda didirikan sebuah perusahaan yang bernama NV Nationale Borg Maskapai pada tahun 1893. Demikian juga, secara mendunia pada tahun 1928 di Swiss didirikan yang namanya International Credit Insurance and Surety Association; __ - Untuk di Indonesia, suretyship atau surety bond ini mulai dikenal pada tahun 1978 dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 34 yang memberikan kesempatan kepada perusahaan asuransi Jasa Raharja untuk mengeluarkan produk yang berupa surety bond yang waktu itu namanya adalah surety atau bonding. Dalam perkembangannya, menteri keuangan mengubah istilah surety bond ini menjadi suretyship pada tahun 2008 dan menetapkan 20 perusahaan asuransi yang boleh mengeluarkan produk suretyship ini; __ 64 - Kemudian di dunia perasuransian lahirlah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (UU Perasuransian) dan menyusul Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan (UU Penjaminan). Dengan keluarnya kedua undang-undang ini, mulai timbul permasalahan di dalam penerbitan surety bond dan suretyship karena Undang-Undang Perasuransian tidak hanya mendelegasikan pengaturan suretyship ini kepada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK), sedangkan UU Penjaminan menyebut secara rinci apa yang disebut dengan surety bond itu; __ - Bahwa sampai hari ini produk suretyship yang ijin usahanya dikeluarkan oleh OJK masih tetap berlaku, namun kekhawatiran Saksi adalah apabila pihak obligee atau pihak pemberi pekerjaan, pihak pemerintah menanyakan legalitas dari suretyship ini atau memasukkan larangan untuk dipakainya suretyship ini atau memasukkan larangan untuk dipakainya suretyship dalam dokumen lelangnya berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2004 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2005, maka apa yang diharapkan oleh dunia kontraktor menjadi hilang karena suretyship hanya diatur dalam POJK; __ - Saksi mohon agar bisa ketentuan suretyship ini berjalan sesuai dengan apa yang sudah terjadi pada saat ini, maka perlu ada penguatan dari produk hukum dari yang hanya diatur dalam peraturan Otoritas Jasa Keuangan menjadi bagian atau isi daripada Undang-Undang Perasuransian dalam bentuk Keputusan Mahkamah Konstitusi; __ - Perusahaan-perusahaan kontraktor atau prinsipal selalu menggunakan suretyship karena tidak membutuhkan adanya agunan, tidak membutuhkan collateral, dan cukup membayar premi serta sifatnya tetap unconditional. Untuk itu sebetulnya Otoritas Jasa Keuangan telah membentuk tiga konsorsium dari perusahaan asuransi ini, yaitu konsorsium penjaminan proyek, konsorsium jasa surety bond , dan konsorsium penjaminan Indonesia; __ - Di dalam ketiga konsorsium ini bernaung perusahaan-perusahaan asuransi yang bisa memberikan di satu pihak jaminan yang bersifat unconditional, namun di lain pihak perusahaan-perusahaan kontraktor ini tidak 65 memerlukan collateral, tidak memerlukan agunan untuk terbitnya jaminan- jaminan ini. Hal ini yang perlu dikuatkan demi kelangsungan perusahaan asuransi atau juga konsorsium asuransi untuk tetap bisa menerbitkan surety bond agar tidak tunduk kepada ketentuan Undang-Undang Penjaminan karena sangat berbeda produk antara penjaminan di satu pihak dengan asuransi di lain pihak; __ - Bahwa untuk pembangunan-pembangunan yang sedang dilaksanakan sekarang, suretyship yang dikeluarkan oleh perusahaan asuransi dan juga konsorsium asuransi sangat memberikan kemudahan kepada perusahaan kontraktor dan juga jaminan kepada pemerintah, karena suretyship yang dikeluarkan oleh konsorsium asuransi itu bersifat unconditional , tanpa syarat. Apabila ada klaim 14 hari langsung uang cair, dan itulah syarat dalam penggunaan uang pemerintah supaya tidak ada uang yang harus dikejar-kejarlah. Jadi, uangnya tetap hadir dan dapat dipakai untuk kegiatan lain apabila ada permasalahan di dalam perjanjian induk __ 2. Ir. Manahara R. Siahaan - Saksi adalah Ketua Umum Gapeknas sejak tahun 2000 sampa saat ini; - Bahwa pada tahun 1998 lahirlah undang-undang yang menyatakan tidak ada monopoli lagi, saksi adalah salah seorang yang menangkap peluang ini dan mendklarasikan Asosiasi Gapeknas, sehingga di Indonesia tidak lagi ada monopoli asosiasi dan saat ini asosiasi sudah banyak; - Bahwa saksi sebagai kontraktor tunduk kepada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa konstruksi, yang di dalam praktiknya kontraktor membutuhkan empat jenis jaminan; - Bahwa dari pengalaman saksi sebagai Ketua Gapeknas, penggunaan produk suretyship lebih memudahkan para kontraktor dibandingkan dengan bank garansi; __ - Bahwa perusahaan di Indonesia saat ini berjumlah kurang lebih 130.000, terdiri dari 90% adalah perusahaan kecil, menengah, dan sisanya 10% adalah perusahaan besar; __ - Bahwa saksi membutuhkan bank garansi dalam pelaksanaan tender, mulai dari tender sampai dengan penyerahan; __ 66 - Bahwa jika menggunakan fasilitas bank harus diawali dengan kerja sama dengan bank terlebih dahulu, terdapat perjanjian kredit yang harus dibuat dan biasanya biayanya cukup besar; __ - Bahwa bagi perusahaan kecil, ketika bank garansi melakukan perjanjian maka harus memberikan jaminan. Hal inilah yang tidak dimiliki oleh perusahaan kecil, karena umumnya perusahaan kecil tidak memiliki aset untuk diserahkan pada bank; __ - Saksi telah lama mengenal produk asuransi untuk kebutuhan jaminan proyek yaitu melalui surety bond, jadi ketika ada pengajuan penawaran biasanya saksi meminta dari perusahaan asuransi dan bukan dari bank; __ - Saksi butuh kehadiran asuransi sebagaimana diamanatkan dalam Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi khususnya Pasal 57; __ [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat telah memberikan keterangan dalam persidangan tanggal 13 Juli 2020 yang dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 27 Agustus 2020, yang pada pokoknya sebagai berikut: I. KETENTUAN UU PERASURANSIAN YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN TERHADAP UUD NRI TAHUN 1945 Dalam permohonan a quo , Pemohon mengajukan pengujian Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yang berketentuan sebagai berikut: Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian “Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat.” Pemohon mengemukakan bahwa ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang berketentuan sebagai berikut: Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum” 67 Bahwa kerugian yang didalilkan Pemohon adalah ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian tidak mengatur secara pasti lini usaha suretyship yang sudah dijalankan selama puluhan tahun ( vide Perbaikan Permohonan hal. 24 angka 3.8) dan adanya persoalan ketidaksesuaian pembentukan norma dengan adanya Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan (selanjutnya disebut UU Penjaminan) yang dipastikan menjadi penghalang tidak dapat dilaksanakannya lini usaha suretyship oleh perusahaan asuransi ( vide Perbaikan Permohonan hal. 26 angka 3.10). Bahwa Pemohon memohon dalam petitumnya sebagai berikut:
Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5618) bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap sepanjang tidak dimaknai “Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas termasuk lini usaha suretyship sesuai dengan kebutuhan masyarakat.” 3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono) II. KETERANGAN DPR RI A. Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Pemohon Terkait kedudukan hukum (legal standing) Pemohon dalam pengujian undang-undang secara materiil, DPR RI memberikan pandangan dengan berdasarkan 5 (lima) batasan kerugian konstitusional yang tercantum dalam Putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU- V/2007 sebagai berikut: 68 1. Terkait adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945 Bahwa Pemohon adalah badan hukum perkumpulan yang mendalilkan memiliki kedudukan hukum organisasi ( organizational legal standing ) sebagai Pemohon pengujian undang-undang, karena para anggotanya adalah perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang perasuransian. Pemohon mendalilkan keberlakuan Pasal a quo telah merugikan hak konstitusional Pemohon yang diakui, dijamin, dan dilindungi oleh UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Terhadap dalil Pemohon mengenai organizational legal standing tersebut, DPR RI berpandangan bahwa tidak semua organisasi dapat bertindak mewakili kepentingan umum/publik, melainkan hanya organisasi yang memenuhi persyaratan tertentu, sebagaimana ditentukan dalam berbagai peraturan perundang-undangan maupun yurisprudensi. Bahwa Pemohon merupakan perkumpulan asosiasi yang beranggotakan perusahan asuransi umum di Indonesia, sehingga Pemohon hanya mewakili kepentingan anggotanya saja dan bukan kepentingan umum atau kepentingan publik. Doktrin organizational legal standing telah diadopsi dalam peraturan perundangan di Indonesia, seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UU Perlindungan Konsumen) dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut UU PPLH). Bahwa ketentuan Pasal 46 ayat (1) huruf c UU Perlindungan Konsumen menerangkan bahwa: “gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya” Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 92 UU PPLH menyebutkan bahwa organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Sedangkan tidak ada 69 satupun ketentuan dalam UU Perasuransian yang memberikan hak kepada perkumpulan wadah perusahaan asuransi untuk mengajukan gugatan untuk kepentingan publik dalam perasuransian. Bahwa ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU a quo mengatur mengenai ruang lingkup usaha asuransi yang diselenggarakan oleh perusahaan asuransi ( vide Pasal 2 UU a quo ), sehingga addressat dari Pasal a quo adalah perusahaan asuransi. Sedangkan Pemohon sebagaimana diuraikan dalam perbaikan permohonannya adalah badan hukum privat yang didirikan dengan tujuan mewakili kepentingan para anggota Pemohon dalam rangka memajukan industri umum dana reasuransi di Indonesia, sehingga telah jelas bahwa Pemohon tidak menyelenggarakan usaha perasuransian dan bukan merupakan addressat dari ketentuan Pasal a quo . Oleh karena itu Pemohon sebagai perkumpulan tidak memiliki hak konstitusional berdasarkan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang memiliki keterkaitan dengan ketentuan Pasal a quo . Hal tersebut selaras dengan pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 53/PUU-VI/2008 yang menyatakan: “ Bahwa subjek hukum yang diatur dalam Pasal 74 ayat (1) UU 40/2007 adalah perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam, tidak menunjuk pada wadah atau himpunan dari perseroan ..... Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon I, Pemohon II, dan Pemohon III tidak dirugikan secara langsung oleh berlakunya Pasal a quo. ” 2. Terkait adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang Bahwa Pemohon mendalilkan Pasal a quo telah merugikan hak konstitusional Pemohon karena beragam produk yang lahir dan dikembangkan anggota Pemohon dari bidang usaha suretyship secara potensial tidak dapat dilakukan, padahal produk tersebut sangat dibutuhkan untuk menjamin kelangsungan memajukan industri asuransi umum dan reasuransi. Terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR RI menegaskan bahwa sedari awal UU Perasuransian tidak memberikan pengaturan maupun 70 kewenangan apapun kepada asosiasi untuk melaksanakan ketentuan UU a quo , sehingga jika terjadi kerugian yang diakibatkan dari keberlakuan Pasal a quo , maka kerugian tersebut hanya akan berdampak kepada perusahaan asuransi, dan tidak berdampak apa pun kepada perkumpulan asosiasi perusahan asuransi. Bahwa sebagai sebuah perkumpulan, Pemohon tidak dapat mengeluarkan produk- produk suretyship yang didalilkan terancam oleh keberlakuan Pasal a quo . Dalam perbaikan permohonan, Pemohon menyatakan bahwa “ Asosiasi mewakili anggota dalam berbagai forum baik lembaga pemerintah maupun lembaga lainnya ”. Dari pernyataan tersebut, tidak jelas apakah Pemohon sebagai asosiasi dapat mewakili anggotanya di pengadilan ( in casu Mahkamah Konstitusi). Oleh karenanya Pemohon harus dapat membuktikan terlebih dahulu bahwa Pemohon sebagai asosiasi memang diberikan wewenang secara jelas oleh para anggotanya untuk mengajukan Permohonan a quo . Selain itu sesuai dengan ketentuan Pasal 68 ayat (2) UU Perasuransian menyatakan bahwa “ Asosiasi Usaha Perasuransian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat persetujuan tertulis dari OJK ”, sedangkan Pemohon dalam Perbaikan Permohonannya tidak menguraikan mengenai adanya persetujuan tertulis dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai salah satu asosiasi usaha perasuransian. Oleh karena itu Pemohon harus membuktikan terlebih dahulu bahwa Pemohon telah mendapat persetujuan tertulis dari OJK tersebut. Oleh karena ketentuan Pasal a quo tidak berdampak apapun terhadap Pemohon sebagai asosiasi, Pemohon tidak menunjukkan adanya kewenangan untuk mewakili anggota di persidangan, dan Pemohon juga tidak menunjukkan adanya persetujuan tertulis dari OJK sebagai asosiasi usaha perasuransian dalam uraian Perbaikan Permohonan a quo , maka tidak terdapat hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan dengan ketentuan Pasal a quo . 71 3. Terkait adanya kerugian hak konstitusional yang bersifat spesifik dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi DPR RI menerangkan bahwa Pemohon sebagai sebuah asosiasi tidak dapat melaksanakan lini usaha suretyship karena yang dapat melaksanakan adalah perusahaan asuransi dan bukan asosiasi, oleh karenanya Pemohon tidak memiliki kerugian konstitusional. Kerugian yang didalilkan oleh Pemohon adalah kerugian yang disampaikan tanpa ada dasar yang jelas karena perusahaan asuransi tetap dapat menjalankan usaha dan mendapat kepastian hukum serta diakui keberadaannya oleh Pemerintah. Oleh karenanya, hak dan/atau kewenangan konstitusional perusahaan asuransi tidak terganggu dengan keberlakuan Pasal a quo . Berdasarkan uraian tersebut, maka tidak terdapat kerugian konstitusional secara spesifik dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
Terkait adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian hak konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian Bahwa sebagaimana telah dikemukakan pada angka 1, 2, dan 3, kerugian yang dimaksud tidak bersifat spesifik, aktual, maupun potensial terhadap Pemohon. Bahwa tidak ada pertautan antara kerugian yang didalilkan oleh Pemohon sebagai asosiasi dengan ketentuan Pasal a quo yang mengatur dan berlaku terhadap perusahaan perasuransian. Begitupun halnya dengan adanya UU Penjaminan tidak berpengaruh apapun terhadap konstitusionalitas ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian. __ Oleh karena itu, jelas tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang didalilkan oleh Pemohon dengan ketentuan Pasal a quo . __ 5. Terkait adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi Bahwa ada/tidaknya Permohonan a quo ataupun jika Permohonan a quo dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, hak dan/atau kewenangan 72 konstitusional Pemohon tidak akan terganggu karena tidak adanya kerugian konstitusional. Oleh karena tidak ada hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian konstitusional dengan Pasal 5 ayat (1) UU a quo , maka sudah dapat dipastikan bahwa pengujian a quo tidak berdampak apapun pada Pemohon. Dengan demikian tidak relevan Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan memutus permohonan a quo , karena Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ), sehingga sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan pokok perkara. Bahwa terkait dengan kedudukan hukum Pemohon, DPR RI memberikan pandangan senada dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari tanggal 15 Juni 2016, yang pada pertimbangan hukum [3.5.2] Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa menurut Mahkamah: ...Dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’interest, point d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “tiada gugatan tanpa hubungan hukum “(no action without legal connection). Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum (legal standing ) Pemohon, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK dan Putusan MK Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional. B. Keterangan DPR RI terhadap Pokok Permohonan 1. Bahwa layanan jasa perasuransian semakin bervariasi sejalan dengan perkembangan kebutuhan masyarakat akan pengelolaan risiko dan pengelolaan investasi yang semakin tidak terpisahkan, baik dalam 73 kehidupan pribadi maupun dalam kegiatan usaha. Perkembangan di berbagai industri jasa keuangan juga mengakibatkan semakin menipisnya batasan dan perbedaan jenis layanan yang diberikan oleh industri jasa keuangan. Oleh karena itu UU a quo dibuat untuk menciptakan industri perasuransian yang lebih sehat, dapat diandalkan, amanah, dan kompetitif serta meningkatkan perannya dalam mendorong pembangunan nasional.
Bahwa definisi usaha perasuransian berdasarkan Pasal 1 angka 4 UU Perasuransian adalah segala usaha menyangkut jasa pertanggungan atau pengelolaan risiko, pertanggungan ulang risiko, pemasaran dan distribusi produk asuransi atau produk asuransi syariah, konsultasi dan keperantaraan asuransi, asuransi syariah, reasuransi, atau reasuransi syariah, atau penilaian kerugian asuransi atau asuransi syariah.
Bahwa definisi usaha asuransi umum berdasarkan Pasal 1 angka 5 UU Perasuransian adalah usaha jasa pertanggungan risiko yang memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti.
Bahwa perluasan ruang lingkup usaha asuransi umum harus memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
memenuhi asas spesialisasi usaha untuk menghindari adanya perusahaan asuransi umum yang sekaligus menjalankan usaha asuransi jiwa atau sebaliknya;
relevan dengan bisnis utama; dan
perluasan tersebut hanya terbatas pada variasi lini usaha atau produk.
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 4 huruf a Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 69/POJK.05/2016 tentang Penyelenggaraan Usaha Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah (selanjutnya disebut POJK 69/2016), perusahaan asuransi umum hanya dapat melakukan perluasan ruang lingkup usaha pada: 74 a. kegiatan usaha Produk Asuransi Yang Dikaitkan dengan Investasi (PAYDI);
kegiatan usaha berbasis imbalan jasa ( fee-based );
kegiatan usaha asuransi kredit dan suretyship ; dan/atau
kegiatan usaha lain berdasarkan penugasan dari pemerintah.
Bahwa salah satu ruang lingkup usaha yang diperluas oleh POJK 69/2016 adalah asuransi kredit dan suretyship . Bahwa definisi-definisi yang terkait sesuai dengan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dapat disampaikan sebagai berikut:
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 22 POJK 69/2016 bahwa Asuransi Kredit adalah lini usaha asuransi umum yang memberikan jaminan pemenuhan kewajiban finansial penerima kredit apabila penerima kredit tidak mampu memenuhi kewajibannya sesuai dengan perjanjian kredit;
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 23 POJK 69/2016 definisi suretyship adalah lini usaha asuransi umum yang memberikan jaminan atas kemampuan principal dalam melaksanakan kewajiban sesuai perjanjian pokok antara principal dan obligee ;
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU Penjaminan, kegiatan penjaminan didefinisikan sebagai kegiatan pemberian jaminan oleh Penjamin atas pemenuhan kewajiban finansial Terjamin kepada Penerima Jaminan. Dengan merujuk pada definisi-definisi tersebut, maka kegiatan asuransi kredit dan suretyship memenuhi unsur-unsur dari kegiatan penjaminan , yaitu terdapat tiga pihak dan ada perjanjian pokok antara terjamin/ principal dan penerima jaminan/ obligee . Oleh sebab itu lini usaha asuransi kredit dan suretyship lebih mencerminkan usaha penjaminan dibandingkan dengan usaha perasuransian.
Bahwa selama ini dalam praktik terdapat beberapa bentuk suretyship , di antaranya yaitu jaminan penawaran ( bid/tender bond ), jaminan uang muka ( advance payment bond ), jaminan pemeliharaan ( maintenance bond ), jaminan pelaksanaan ( performance bond ), jaminan pembayaran ( payment bond ), dan penjaminan pengadaan barang dan/atau jasa ( surety bond ). Sedangkan jika melihat ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf d 75 UU Penjaminan, salah satu ruang lingkup usaha penjaminan adalah penjaminan pengadaan barang dan/atau jasa ( surety bond ). Dengan demikian pada dasarnya menurut UU Penjaminan, lini usaha suretyship termasuk dalam ruang lingkup usaha penjaminan. Oleh karena itu sudah sepatutnya pelaksanaan suretyship harus tunduk kepada UU Penjaminan.
Bahwa Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Perasuransian membatasi lini usaha asuransi dengan adanya frasa “hanya dapat”, sementara status suretyship kendati masuk dalam kategori lini usaha yang dapat diperluas menurut Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian dengan peraturan OJK, namun perluasan dalam pasal tersebut tidak secara tegas menyebutkan lini usaha suretyship ( vide Perbaikan Permohonan hal. 26). Terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR RI menerangkan sebagai berikut:
Bahwa Pemohon tidak cermat dalam memahami ketentuan pasal- pasal UU a quo karena ketentuan Pasal 1 angka 4 UU Perasuransian telah mendefinisikan secara jelas apa yang dimaksud dengan usaha perasuransian. Sedangkan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Perasuransian pada intinya mengatur tentang ruang lingkup usaha perasuransian.
Jika Pemohon menganggap suretyship bisa saja masuk ke dalam makna definisi Usaha Perasuransian dalam Pasal 1 angka 4 UU a quo ( vide Perbaikan Permohonan hal. 24), maka seharusnya Pemohon tidak perlu mengajukan penambahan frasa termasuk lini usaha suretyship dalam Pasal 5 ayat (1) UU a quo . Hal tersebut dikarenakan baik Pasal 2, Pasal 3, maupun Pasal 5 UU a quo , keseluruhannya mengatur mengenai usaha perasuransian, maka secara legal drafting mengacu kepada definisi Usaha Perasuransian yang diatur di dalam Pasal 1 angka 4 UU a quo yang dianggap Pemohon juga termasuk makna suretyship .
Bahwa frasa “hanya dapat” dalam ketentuan Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 UU a quo dirumuskan oleh pembentuk undang-undang disebabkan karena UU a quo menganut asas spesialisasi usaha, 76 sehingga tiap perusahaan asuransi hanya fokus menjalankan usaha perasuransian sesuai dengan jenis perusahaannya, apakah itu perusahaan asuransi umum, perusahaan asuransi jiwa, perusahaan reasuransi, ataupun perusahaan pialang asuransi. Namun perusahaan asuransi dapat mengembangkan lini usaha selain yang disebutkan dalam UU a quo selama masih termasuk dalam jenis usaha yang sama dan sesuai dengan ketentuan perundang- undangan. Hal ini disampaikan beberapa kali oleh Pemerintah sebagai pengusul RUU Perasuransian dalam rapat-rapat pembahasan berikut ini:
Rapat Panja Senin 10 Februari 2014 Pukul 19.00 • Staf Ahli Kemenkeu (Isa Rahmatawarta) (hal. 60 pdf, hal. 23 file rapat) “... sebetulnya saat ini perusahaan asuransi jiwa maupun perusahaan asuransi umum keduanya boleh menjalankan usaha bisnis asuransi kecelakaan ini maupun asuransi kesehatan. Padahal disisi yang lain, kami ingin mengusulkan azas spesialisasi usaha .” 2) Rapat Panja Senin 24 Februari 2014 Pukul 19.00 • Staf Ahli Kemenkeu (Isa Rahmatawarta) (hal. 129 pdf, hal. 30 file rapat) “Esensi dari komentar atau pun masukan-masukan dari fraksi-fraksi disini adalah penghilangan kata hanya Pak. Nah, ini sekali lagi kami ingin sampaikan bahwa kalau kita mendefinisikan satu kegiatan usaha tentunya harus spesifik, harus limitatif jangan kemudian kita buka menjadi satu usaha yang bisa dikembangkan secara bebas kemana saja. Karena itu penggunaan kata “hanya” itu adalah untuk tujuan tersebut supaya jelas usahanya itu apa limitatif betul, fokusnya itu dimana . Karena itu penggunaan kata “hanya” ini kami pandang tetap diperlukan.” 3) Rapat Panja Jumat 23 Mei 2014 Pukul 20.00 • Staf Ahli Kemenkeu (Isa Rahmatawarta) (hal. 198 pdf, hal. 3 file rapat) “Namun demikian terhadap pendapat dari Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Golkar untuk menghilangkan kata ‘hanya’ ini Pemerintah berpandangan untuk tetap mempertahankan tambahannya itu mengingat di dalam Undang-undang ini kita memang menganut azas spesialisasi usaha . Jadi kalau perusahaan asuransi 77 umum ya hanya menyelenggarakan usaha asuransi umum. Kemudian perusahaan asuransi jiwa ya hanya menyelenggarakan usaha asuransi jiwa. d. Selain itu ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf a dan Pasal 3 ayat (1) huruf a UU a quo menggunakan kata “termasuk”, artinya ketentuan a quo tidak membatasi lini usaha yang hanya ditentukan dalam Pasal a quo , melainkan mungkin saja terdapat lini usaha asuransi yang lain selama termasuk dalam definisi Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Umum Syariah. Hal ini diperkuat lagi dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU a quo yang memungkinkan perluasan ruang lingkup usaha asuransi umum sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu perusahaan asuransi umum tidak memerlukan adanya suatu rumusan norma baru dalam UU a quo untuk menjalankan kegiatan suretyship sebagaimana yang dimaksud oleh Pemohon.
Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 5 ayat (1) UU a quo bersifat multitafsir serta tidak memiliki ukuran yang jelas apa yang dimaksud dengan “dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat”. Keadaan ini telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para anggota Pemohon untuk menjalankan lini usahanya ( vide Perbaikan Permohonan hal. 31). Terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR RI menerangkan bahwa:
Frasa “dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat” dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU a quo telah diperjelas dengan ketentuan Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) UU a quo , yaitu perluasan lingkup usaha dapat berupa penambahan manfaat yang besarnya didasarkan pada hasil pengelolaan dana dan ketentuan lebih lanjut mengenai ruang lingkup usaha perasuransian diatur dalam peraturan OJK;
Bahwa kebutuhan masyarakat akan terus berkembang dan hukum akan selalu mengikuti perkembangan tersebut. Undang-undang tidak mungkin selalu dapat mengakomodir seluruh kebutuhan masyarakat sesuai dengan perkembangan, sehingga perlu pengaturan yang lebih detail dan teknis. Oleh karena itu, diperlukan adanya pendelegasian 78 pengaturan lebih lanjut ke peraturan di bawahnya yang mengatur hal yang lebih teknis. Inilah yang disebut dengan konsep delegated legislation. c. Maria Farida Indrati S. berpandangan bahwa delegasi adalah pelimpahan kewenangan membentuk peraturan perundang- undangan yang dilakukan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kepada peraturan perundangundangan yang lebih rendah, baik pelimpahan dinyatakan dengan tegas maupun tidak (Maria Farida Indrati, S, “Hal-hal Khusus Dalam Perundang- undangan”).
Bahwa suatu undang-undang perlu didelegasikan karena tidak hanya memerlukan pengaturan yang lebih detail, tetapi juga memerlukan pemahaman yang mendalam agar sesuai dengan karakter dari bidang yang akan diatur. Oleh karena itu, pendelegasian wewenang dalam UU a quo yang mengatur mengenai perluasan ruang lingkup usaha perasuransian agar diatur lebih lanjut dalam peraturan OJK ( vide Pasal 5 ayat (3) UU a quo ) telah tepat karena OJK merupakan lembaga yang mengatur dan mengawasi usaha jasa keuangan yang salah satunya adalah usaha perasuransian.
Oleh karena itu, perumusan frasa “dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat” dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU a quo telah tepat __ untuk mengakomodir kebutuhan hukum dalam masyarakat dan memajukan usaha perasuransian di Indonesia.
Pemohon mendalilkan bahwa peraturan OJK yang kedudukannya berada di bawah undang-undang keberlakuannya menjadi tidak efektif karena tidak memiliki kekuatan hierarki yang sejajar dengan Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU Penjaminan sehingga menimbulkan ketidakpastian bagi Pemohon ( vide Perbaikan Permohonan hal. 34). Terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR RI menerangkan bahwa:
Bahwa antara UU Perasuransian dengan UU Penjaminan, meskipun memiliki materi muatan yang bersinggungan namun sesungguhnya saling melengkapi dan tidak bertentangan satu sama lain. Akan tetapi justru keharmonisasian pengaturan antara undang-undang tersebut 79 akan menjadi lebih teratur dengan adanya pengaturan yang ada di dalam POJK 69/2016.
DPR RI berpandangan bahwa kekhawatiran Pemohon tidak beralasan menurut hukum karena perusahaan asuransi termasuk juga lini usaha sebagaimana dimaksud Pemohon sudah diatur secara tersendiri dalam UU Perasuransian. Dengan demikian ketentuan Pasal 61 ayat (1) UU Penjaminan tidak mengikat pada Pemohon sekalipun Pemohon mempunyai lini usaha suretyship .
Terkait dengan dalil Pemohon yang menyatakan bahwa terdapat ketidaksesuaian pembentukan norma dengan adanya Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU Penjaminan yang dipastikan menjadi penghalang tidak dapat dilaksanakannya lini usaha suretyship oleh perusahaan asuransi ( vide Perbaikan Permohonan hal. 26 angka 3.10), DPR RI memberikan pandangan sebagai berikut:
Bahwa tidak ada ketentuan yang melarang perusahaan asuransi untuk menjalankan lini usaha suretyship . Sesuai dengan ketentuan Pasal 61 ayat (1) UU Penjaminan yang mengatur bahwa: “Setiap Orang di luar Lembaga Penjamin yang telah melakukan kegiatan penjaminan sebelum berlakunya Undang-Undang ini wajib menyesuaikan dengan Undang-Undang ini dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Undang- Undang ini.” maka perusahaan asuransi yang telah menjalankan lini usaha suretyship sebelum tahun 2016 (dalam hal ini anggota Pemohon yang telah menjalankannya selama puluhan tahun) tetap dapat melakukan kegiatan penjaminan, namun wajib melakukan penyesuaian dengan UU Penjaminan. Selain itu, pembentuk undang- undang juga telah memberikan jangka waktu penyesuaian tersebut paling lambat 3 (tiga) tahun sejak berlakunya UU Penjaminan, yaitu tanggal 19 Januari 2019. Ketentuan Pasal 61 ayat (1) UU Penjaminan tersebut merupakan landasan bagi perusahaan asuransi yang telah melakukan usaha suretyship agar mengikuti ketentuan yang ada dalam UU Penjaminan, meskipun usaha suretyship didefinisikan sebagai lini usaha asuransi umum oleh POJK 69/2016. Oleh karena itu kekhawatiran Pemohon tidak beralasan menurut 80 hukum karena perusahaan asuransi umum tetap dapat menyelenggarakan kegiatan suretyship .
Pemohon tidak perlu khawatir terkait dengan perizinan perusahaan asuransi yang menjalankan lini usaha suretyship akan tetap berlaku seperti perusahaan asuransi biasa, yang wajib menyesuaikan hanya praktik kegiatan penjaminan.
Bahwa pada saat pembahasan RUU Penjaminan, pembentuk undang-undang telah membicarakan praktik usaha penjaminan yang dilakukan oleh perusahaan asuransi umum, berdasarkan Laporan Singkat Rapat Panja RUU Penjaminan pada hari Senin tanggal 7 Desember 2015. Dalam rapat tersebut Pemerintah mengusulkan agar terdapat pengaturan peralihan terkait dengan adanya usaha penjaminan yang dilakukan oleh perusahaan asuransi umum dan asuransi syariah tetap dapat berjalan tanpa ada izin usaha penjaminan. Namun terhadap usulan tersebut, Anggota Panja memberikan tanggapan bahwa perusahaan asuransi yang telah melakukan usaha penjaminan harus memiliki izin usaha penjaminan sebagaimana diatur dalam RUU tentang Penjaminan, untuk penyesuaiannya akan diberikan tenggang waktu selama 3 (tiga) tahun sejak RUU tentang Penjaminan disahkan. Kemudian kesimpulan rapat pada akhirnya menetapkan bahwa terkait dengan praktik perusahaan asuransi yang masih melakukan usaha penjaminan, diberikan tenggat waktu selama 3 (tiga) tahun untuk melakukan penyesuaian berdasarkan RUU tentang Penjaminan dan diatur dalam aturan peralihan. Oleh karena itu jelas terlihat bahwa Pembentuk UU Penjaminan tidak melarang perusahaan asuransi umum untuk menjalankan usaha penjaminan namun tetap harus melakukan penyesuaian dengan ketentuan UU Penjaminan.
Terhadap petitum Pemohon yang menginginkan penambahan frasa “...termasuk lini usaha suretyship...” dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU a quo , DPR RI menerangkan sebagai berikut:
Bahwa jika petitum Pemohon tersebut dikabulkan, maka akan dapat menimbulkan suatu permasalahan hukum yang baru karena di dalam UU a quo belum terdapat definisi suretyship maupun ketentuan yang 81 mendeskripsikan mengenai bidang usaha apa saja yang masuk ke dalam kategori suretyship . Jika pengaturan mengenai suretyship secara tiba-tiba diatur dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU a quo tanpa diatur definisinya terlebih dahulu, maka akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan justru bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
Bahwa petitum Pemohon bukan termasuk kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai negative legislator , DPR RI mengutip pendapat I Dewa Gede Palguna bahwa: “Mahkamah Konstitusi adalah sebagai negative legislator . Artinya, Mahkamah Konstitusi hanya bisa memutus sebuah norma dalam undang-undang bertentangan dengan konstitusi, tanpa boleh memasukkan norma baru ke dalam undang- undang itu. Itu hakikat Mahkamah Konstitusi.” ( Conditionally Constitutional Pintu Masuk Penambahan Norma : www.hukumonline.com). Dengan demikian pada dasarnya MK tidak dapat mengabulkan petitum konstitusional bersyarat yang diajukan oleh Pemohon.
Bahwa jika Permohonan a quo mengenai lini usaha suretyship sebagai pengembangan lini usaha asuransi yang diatur dalam UU a quo ini dikabulkan, hal tersebut akan menjadi suatu kebiasaan buruk di masyarakat dimana jika merasa ada kebutuhan akan pengaturan lini usaha yang baru, maka masyarakat akan kembali mengajukan permohonan pengujian UU a quo ke Mahkamah Konstitusi, namun tidak memberikan masukan legislative review kepada pembentuk undang-undang. Oleh karenanya jika Pemohon ingin adanya ketentuan yang mengatur mengenai lini usaha suretyship dalam UU Perasuransian, maka Pemohon dapat mengajukan legislative review kepada pembentuk undang-undang, yaitu DPR RI, sebagai masukan atau partisipasi dari masyarakat dalam pembentukan undang- undang. C. Risalah Pembahasan Pasal a quo UU Perasuransian Bahwa selain pandangan sebagaimana yang telah diuraikan di atas, dipandang perlu untuk melihat latar belakang perumusan dan pembahasan pasal dalam UU a quo sebagai berikut: 82 1. Rapat Panja Senin 24 Februari 2014 Pukul 15.00 • Ketua Rapat (H. Andi Rahmat, SE) (hal. 83 pdf, hal. 11 file rapat) “Begini Pak, mengenai asuransi kerugian ini tidak diatur detail dalam undang-undang. Kita hanya mengatur tentang sifat umumnya saja dan mengenai pengembangan pengerjaannya itu nanti akan kita diskresi kan ke OJK kan begitu ya Pak ya nanti kalau kita melihat dalam pasal. Coba diingatkan saja nanti pihak Pemerintah supaya begitu kita masuk kedalam pasal yang memberi ruang diskresi itu kita bisa pastikan bahwa kalau ada pengembangan baru itu bisa dilakukan tetap dengan menjaga konsistensi kita terhadap visi undang-undang itu Pak ya.” 2. Rapat Panja Jumat 23 Mei 2014 Pukul 20.00 • Ketua Rapat (H. Andi Rahmat, SE) (hal. 200 pdf, hal. 5 file rapat) “Sebetulnya sih di dalam peraturan-peraturan Pemerintah Pak ya tingkat PP maupun di PMK itu ada banyak materi yang sudah lazim dilakukan dan diatur oleh Pemerintah tetapi perlu untuk kita angkat sedikit ke atas ke perundang-undangan.” ... “ini kan sayang Pak kalau kita tidak, toh di dalam undang-undang ini tidak harus detail tapi saya kira dikasih ruang lah kepada asuransi ini untuk masuk saja ke dalam sektor ini . Bisa saja begitu Pak tentu dengan memberikan kewenangan pengaturan teknisnya itu kepada OJK .” • Staf Ahli Kemenkeu (Isa Rahmatawarta) (hal. 206 pdf, hal. 11 file rapat) “Pak, memang kalau usaha asuransinya, lini usahanya terutama itu berkembang Pak , lini usahanya Pak jadi lini usaha itu contohnya adalah marine insurance, cargo insurance, fire insurance itu berkembang dan dikemudian hari bisa macam-macam. Tetapi pengelompokan mereka menurut karakter usaha rasanya kita sudah cukup definitif gitu Pak ya dipraktek selama ini, asuransi jiwa, asuransi umum, re asuransi. Jadi kalau kita berbicara mengenai perusahaannya Pak ini maka kita sudah cukup limitatif tidak akan ada ide untuk berkembang lagi karena setiap varian dari itu bisa masukan ke salah satu itu Pak.” 3. Rapat Panja Jumat 3 Juni 2014 Pukul 14.00 • Ketua Rapat (H. Andi Rahmat, SE) (hal. 323 pdf, hal. 60 file rapat) “... ada diskusi tambahan, misalnya di Pasal 2 ayat (5) yang memberi diskresi kepada OJK karena perkembangan waktu itu untuk melakukan adjustment terhadap produk-produk itu...” • F-PG (Dr. H. Harry Azhar Azis, MA) (hal. 326 pdf, hal. 63 file rapat) “... pertanyaannya seberapa besar dibolehkan produk asuransi bertransformasi menjadi bagian dari produk non asuransi.” 83 • Ketua Rapat (H. Andi Rahmat, SE) (hal. 326 pdf, hal. 63 file rapat) “Sebetulnya ada rumahnya ini kalau kita mau diskusi di Pasal 2 pak, padahal di Pasal 2 itu ada ketentuan ayat (5) yang memberi diskresi kepada OJK untuk melakukan penyesuaian terhadap industri , jadi saya kira nanti kita diskusikan di sini tetapi kalau materi ini bisa disepakati oleh teman-teman , kalau yang ini kan tidak ada masalah kan ya, yang kita mau batasi ini adalah materi tentang seberapa besar mereka ini bisa berkembang lebih daripada industri aslinya itu kan begitu, nah itu ada rumahnya di Pasal 2 ayat (5) .” (RAPAT SETUJU) 4. Rapat Panja Sabtu 30 Agustus 2014 Pukul 10.05 • F-PDIP (I Gusti Agung Rai Wirajaya, S.E., M.M.) (hal. 562 pdf, hal. 9 file rapat) “Ini sehubungan dengan adanya perkembangan yang kita lihat di lapangan semakin kedepan kita melihat pertimbangan jauh kedepan. Ini bagaimana kita memberikan kesempatan kepada perusahaan asuransi umum, tidak terbatas dalam rangka menanggung resiko ...” • Staf Ahli Kemenkeu (Isa Rahmatawarta) (hal. 563 pdf, hal. 10 file rapat) “... kami mengusulkan kita buka pintu diskresi kepada OJK untuk meng-access apakah masyarakat memang membutuhkan hal tersebut, apakah perusahaan asuransinya sudah mempunyai kapasitas untuk memenuhi kebutuhan tersebut . Kalau ini disepakati kita mungkin bisa masukkan didalam rancangan undang-undang kami ada di Pasal 5 Pak bahwa ruang lingkup usaha perasuransian dapat diperluas sesuai kebutuhan masyarakat berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.” • Ketua Rapat (H. Andi Rahmat, SE) (hal. 563 pdf, hal. 10 file rapat) “... kita tidak tutup pintu dalam undang-undang ini, silakan. Tapi mengenai timing waktunya persyaratannya itu, itu akan diatur oleh sesuai dengan pengamatan OJK .” (RAPAT: SETUJU) 84 III. PETITUM DPR RI Bahwa berdasarkan keterangan tambahan tersebut, DPR RI memohon agar kiranya, Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut:
Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya;
Menerima keterangan DPR RI secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618) tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat; Apabila Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bon o). [2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Presiden telah memberikan keterangan dalam persidangan tanggal 3 Maret 2020 yang kemudian dilengkapi dengan keterangan tertulis dan keterangan tertulis tambahan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 3 Maret 2020 dan 13 Juli 2020, yang pada pokoknya sebagai berikut: I. POKOK PERMOHONAN PEMOHON Merujuk kepada permohonan Pemohon, pada pokoknya Pemohon menganggap hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya ketentuan- ketentuan sebagai berikut: Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian, yang berbunyi: “Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat .” Terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” 85 Pemohon pada pokoknya menyatakan bahwa alasan timbulnya kerugian konstitusional dimaksud adalah:
Pemohon menyatakan yang menjadi permasalahan dalam permohonan a quo adalah mengenai ruang lingkup kegiatan usaha perusahaan asuransi dalam UU Perasuransian yang tidak mencantumkan secara tegas kegiatan usaha suretyship . Menurut Pemohon hal tersebut melanggar dan bertentangan dengan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil, perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Frasa “ dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat ” dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian tidak mengatur secara tegas tentang suretyship sehingga bersifat multitafsir dan dianggap bertentangan dengan prinsip kepastian hukum dan perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Bahwa kemunculan Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan (UU Penjaminan) telah menyebabkan ketidakpastian penyelenggaraan lini usaha suretyship yang menggunakan landasan hukum berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian sehingga kepastian usaha suretyship yang dilakukan oleh perusahaan asuransi terganggu dan tidak pasti keberlangsungan usahanya bahkan terancam dapat dipidana.
Selain itu, Pemohon juga mendalilkan bahwa ketentuan Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU Penjaminan telah menyebabkan perusahaan asuransi harus mempunyai izin usaha sebagai lembaga penjamin terlebih dahulu agar dapat menjalankan suretyship , yang mana menurut Pemohon bahwa perusahaan asuransi tidak secara otomatis dapat memperoleh izin usaha sebagai lembaga penjaminan.
Izin perusahaan asuransi untuk melaksanakan penjaminan dalam bentuk suretyship diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga yang diberikan kewenangan atributif untuk mengeluarkan peraturan terkait perizinan usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (3) UU Perasuransian.
Bahwa adanya Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU Penjaminan telah mewajibkan kegiatan penjaminan untuk mematuhi UU Penjaminan, kecuali kegiatan penjaminan tersebut dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri, sedangkan kedudukan Peraturan OJK Nomor 69/POJK.05/2016 86 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah (POJK Nomor 69/POJK.05/2016) yang merupakan tindak lanjut Pasal 5 ayat (3) UU Persuransian menurut Pemohon adalah di bawah undang-undang sehingga dianggap kedudukannya tidak sejajar dengan Pasal 61 ayat (1) UU Penjaminan.
Pemohon dalam permohonan a quo pada pokoknya meminta penegasan kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk membentuk norma hukum baru dengan memberikan tafsiran Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yaitu menegaskan perluasan lini usaha asuransi berdasarkan kebutuhan masyarakat adalah termasuk suretyship .
Oleh karena itu, Pemohon dalam permohonan a quo pada pokoknya meminta agar Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian bertentangan dengan Undang-Undang 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Ruang Lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas termasuk lini usaha suretyship sesuai dengan kebutuhan masyarakat”. II. TENTANG LEGAL STANDING PEMOHON 1. Bahwa Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut sebagai UU MK) jelas mengatur Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu Undang- Undang, yang meliputi:
Perorangan Warga Negara Indonesia;
Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
Badan hukum publik atau privat; atau
Lembaga Negara. 87 2. Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut, agar Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan suatu permohonan uji materiil Undang-Undang terhadap UUD 1945, maka harus dibuktikan bahwa:
Para Pemohon memenuhi kualifikasi untuk mengajukan permohonan sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK; dan
Hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon dirugikan akibat berlakunya Undang-Undang yang diuji.
Adapun ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK bersifat imperatif sehingga sekalipun Pemohon memenuhi kualifikasi untuk mengajukan permohonan uji materiil, Pemohon harus mempunyai hak atau kewenangan konstitusional yang dirugikan akibat adanya Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian.
Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 010/PUU-III/2005 telah berpendapat bahwa kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang menurut Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu: • Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; • Adanya hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji; • Kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; • Adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji; • Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai tentang kewenangan Mahkamah dan kedudukan hukum ( legal standing) Pemohon dalam mengajukan permohonan pengujian UU Perasuransian a quo, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK maupun putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu. 88 III. KETERANGAN PEMERINTAH TERHADAP MATERI YANG DIMOHONKAN A. LANDASAN FILOSOFIS 1. Sebelum Pemerintah menyampaikan keterangan terkait norma materi yang dimohonkan untuk diuji oleh Pemohon, terlebih dahulu Pemerintah akan menyampaikan landasan filosofis penyusunan Undang-Undang Perasuransian;
Sesuai amanat founding father yang dicantumkan dalam pembukaan UUD 1945, tujuan negara adalah memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Tujuan bernegara ini diwujudkan dalam landasan idiil sila kelima Pancasila, yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Pencapaian tujuan negara tersebut dilakukan dengan pembangunan berkelanjutan yang melibatkan seluruh masyarakat. Untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan diperlukan kondisi yang mendukung aktivitas produktif masyarakat yang salah satunya diwujudkan dengan adanya pihak yang berperan dalam menanggulangi risiko keuangan yang dihadapi masyarakat. Risiko keuangan tersebut timbul dalam berbagai aspek kehidupan dan membutuhkan pihak yang dapat menanggulanginya. Asuransi merupakan pihak pengambil alih risiko yang mempu memberikan perlindungan kepada masyarakat atas kemungkinan kerugian yang terjadi pada harta benda atau kepentingan finansial yang dimilikinya.
Peningkatan peran industri perasuransian dalam mendorong pembangunan nasional terjadi apabila industri perasuransian dapat lebih mendukung masyarakat dalam menghadapi risiko yang dihadapinya sehari hari dan pada saat mereka memulai dan menjalankan kegiatan usaha. Untuk itu, UU Perasuransian mengatur bahwa objek asuransi di Indonesia hanya dapat diasuransikan pada perusahaan asuransi atau perusahaan asuransi syariah di Indonesia dan penutupan objek asuransi tersebut harus memperhatikan optimalisasi kapasitas perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah dalam negeri. Guna mengimbangi kebijakan ini, Pemerintah dan/atau Otoritas Jasa Keuangan melakukan 89 upaya untuk mendorong peningkatan kapasitas asuransi dan reasuransi dalam negeri.
Dengan adanya perlindungan asuransi diharapkan akan tercipta ketenangan bagi masyarakat dalam menjalankan aktivitas dan mendorong inovasi usaha yang pada akhirnya akan menciptakan kesejahteraan bersama. Perusahaan Perasuransian sebagai suatu institusi keuangan yang melakukan pengumpulan dana masyarakat juga memungkinkan adanya akumulasi dana yang dapat digunakan dalam rangka pembiayaan kegiatan pembangunan nasional. B. SEJARAH DAN KEDUDUKAN PERUSAHAAN ASURANSI DALAM MENJALANKAN LINI USAHA SURETYSHIP 1. Pelaksanaan suretyship oleh perusahaan asuransi telah dilaksanakan sejak tahun 1978 melalui PT Jasa Raharja (Persero). Saat itu, PT Jasa Raharja (Persero) merupakan satu-satunya Lembaga Keuangan Non Bank (LKNB) yang dapat menerbitkan surety bond melalui Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1978 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1965 tentang Pendirian Perusahaan Umum Asuransi Kerugian “Jasa Raharja”.
Pada tahun 1980 melalui Keputusan Presiden Nomor 14A Tahun 1980 tentang Pengadaan Barang dan Jasa yang menegaskan LKNB yang dapat menerbitkan jaminan surety bond adalah PT Jasa Raharja (Persero). Tujuannya adalah tidak terlepas dari peran Pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan pengusaha ekonomi lemah dengan memberikan kemudahan pengurusan penjaminan melalui produk surety bond sebagai alternatif dari Bank Garansi.
Pada tahun 1992, seiring dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, peran PT Jasa Raharja (Persero) dikembalikan sebagai fungsi dan tugas pokoknya sebagai pelaksana Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 Tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 Tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan dan tidak dapat melaksanakan perluasan usaha seperti Surety Bond . 90 4. Di dalam perkembangannya, kedudukan dan ruang lingkup perusahaan asuransi di dalam menjalankan kegiatan lini usaha asuransi kemudian dipertegas dalam UU Perasuransian.
Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk:
memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau
memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.
Selanjutnya, kewenangan perusahaan asuransi di dalam menjalankan lini usaha penjaminan suretyship diberikan peluang dalam Pasal 5 ayat (1) dan (3) UU Perasuransian.
Bahkan dalam melaksanakan amanat Pasal 5 ayat (3) UU Perasuransian, pada Pasal 1 angka 23 POJK Nomor 69/POJK.05/2016 secara tegas diatus bahwa “ Suretyship adalah lini Usaha Asuransi Umum yang memberikan jaminan atas kemampuan principal dalam melaksanakan kewajiban sesuai perjanjian pokok antara principal dan _obligee”; _ 8. Praktik pemberian Suretyship pada umumnya merupakan bentuk penjaminan untuk mendukung pelaksanaan proyek pengadaan barang/jasa seperti misalnya pada proyek infrastruktur atau jasa konstruksi untuk pembuatan jalan raya, jalan tol, rumah sakit, dan lain- lain. Dalam pelaksanaan proyek jasa konstruksi dengan jaminan suretyship ini melibatkan pihak-pihak yaitu pemilik proyek/tender (obligee), pelaksana proyek/tender (principal) dan perusahaan asuransi sebagai penjamin. Peranan perusahaan asuransi dalam suretyship ini terhadap pemilik proyek adalah akan membayar sebesar maksimum nilai jaminan jika pelaksana proyek terbukti wanprestasi. Sedangkan 91 hubungannya dengan pemilik proyek, perusahaan asuransi merupakan pihak yang memberikan jaminan dengan menerbitkan surety bond. 9. Suretyship merupakan produk penjaminan atas proyek pengadaan barang/jasa yang membutuhkan pendanaan yang cukup besar sehingga selama ini terhadap proyek pengadaan barang/jasa yang membutuhkan dana yang besar telah banyak dilakukan oleh perusahaan asuransi guna memastikan terlaksananya proyek pengadaan barang/jasa dimaksud.
Oleh karena itu, dibutuhkan peranan suatu perusahaan dengan kondisi keuangan yang memiliki pendanaan yang cukup besar seperti lembaga asuransi yang mempunyai kemampuan untuk memberikan penjaminan atas proses pengerjaan proyek barang dan jasa yang membutuhkan dana besar.
Beberapa bentuk surety bond yaitu Jaminan Penawaran ( Bid/Tender Bond ), Jaminan Uang Muka ( Advance Payment Bond ), Jaminan Pemeliharaan ( Maintenance Bond ), Jaminan Pelaksanaan ( Performance Bond ), Jaminan Pembayaran ( Payment Bond ), yang berfungsi sebagai jaminan bagi kegiatan suatu proyek sehingga proyek tetap berlangsung sesuai perjanjian yang disepakati.
Pengaturan suretyship di dalam UU Perasuransian dan POJK Nomor 69/POJK.05/2016 menunjukkan bahwa OJK sebagai Lembaga Pengawas atau regulator dapat memberikan peluang untuk dilakukannya perluasan ruang lingkup usaha bagi usaha Asuransi Umum sepanjang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Namun demikian perlu menjadi catatan bahwa perluasan ruang lingkup tersebut harus memperhatikan beberapa hal sebagai berikut: a) memenuhi asas spesialisasi usaha untuk menghindari adanya perusahaan asuransi umum yang sekaligus menjalankan usaha asuransi jiwa atau sebaliknya; b) relevan dengan bisnis utama, dan; c) perluasan tersebut hanya terbatas pada variasi lini usaha atau produk.
Bahwa selanjutnya perluasan ruang lingkup tersebut diterapkan dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yang dengan tegas mengatur bahwa “ Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha 92 Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat.” __ __ 15. Dalil Pemohon yang menyatakan bahwa frasa “dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat” dapat membatasi hak para perusahaan asuransi untuk turut serta dalam perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasarkan atas prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, menunjukkan ketidakpahaman Pemohon dalam memaknai ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian. __ 16. Bahwa pengaturan tentang perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum justru telah diatur lebih lanjut pada Pasal 5 ayat (3) UU Perasuransian yang berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut mengenai perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam _Peraturan Otoritas Jasa Keuangan”; _ 17. Bahwa selanjutnya lebih tegas lagi disebutkan dalam Pasal 4 huruf a POJK Nomor 69/POJK.05/2016 disebutkan: “Perusahaan Asuransi Umum hanya dapat melakukan perluasan _ruang lingkup usaha pada: _ _1. Kegiatan usaha PAYDI; _ _2. Kegiatan usaha berbasis imbalan jasa (fee based); _ _3. Kegiatan usaha Asuransi Kredit dan Suretyship; dan/atau _ 4. Kegiatan usaha lain berdasarkan penugasan dari pemerintah”. 18. Bahwa ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yang kemudian ditegaskan dalam POJK Nomor 69/POJK.05/2016 tidak membatasi bahkan justru memberikan perluasan penyelenggaraan suretyship oleh perusahaan asuransi umum sebagaimana telah dilakukan oleh perusahaan asuransi umum sebelum berlakunya UU Perasuransian yaitu sejak tahun 1978.
Dapat Pemerintah sampaikan bahwa dengan perluasan usaha perusahaan asuransi umum sebagai salah satu penyelenggara penjaminan pengadaan barang dan jasa baik oleh swasta maupun pemerintah melalui suretyship dikarenakan masih dibutuhkannya kapasitas perusahaan asuransi umum untuk menyelenggarakan 93 penjaminan pengadaan barang dan jasa bersama dengan lembaga penjamin lainnya, sehingga dapat dipastikan penyelenggaraan pengadaaan barang dan jasa untuk pembangunan nasional dapat berjalan sesuai dengan target yang telah ditetapkan. C. PERKEMBANGAN KEGIATAN USAHA ASURANSI KREDIT DAN SURETYSHIP OLEH PERUSAHAAN ASURANSI UMUM 1. Dapat Pemerintah sampaikan juga bahwa perkembangan kegiatan usaha asuransi kredit dan suretyship oleh perusahaan asuransi umum cukup signifikan. Perusahaan asuransi umum telah menjalankan usaha asuransi kredit sejak tahun 1971 oleh PT Asuransi Kredit Indonesia, dan usaha suretyship sejak tahun 1978 oleh PT Jasa Raharja (Persero).
Per 30 November 2019, usaha asuransi kredit dan suretyship telah dilakukan oleh 40 perusahaan asuransi umum. Dari sisi pendapatan premi yang diterima sebesar Rp13,88 triliun atau 20,66% dari total pendapatan premi dalam skala nasional. Hal ini menunjukkan porsi Suretyship dalam skala nasional tidak terlalu besar.
Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU Penjaminan menyebabkan ketidakpastian penyelenggaraan lini usaha suretyship oleh perusahaan asuransi umum yang menggunakan landasan hukum Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian tentang perluasan lini usaha asuransi menjadi tidak jelas.
Dalam Pasal 61 ayat (1) UU Penjaminan diatur bahwa pihak di luar Lembaga penjamin yang telah melakukan kegiatan penjaminan agar menyesuaikan dengan Undang-Undang Penjaminan. Namun demkian, di dalam Pasal 61 ayat (2) telah jelas disebutkan bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap kegiatan penjaminan yang dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri .
Ketentuan Pasal 61 ayat (2) UU Penjaminan tersebut dari sudut pandang Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian justru merupakan landasan hukum berlakunya penyelenggaraan usaha suretyship, yang merupakan penyelenggaraan penjaminan oleh lembaga asuransi umum. Mandat undang-undang perasuransian untuk mengatur perluasan usaha asuransi umum antara lain melalui Suretyship telah secara tegas diatur 94 dalam peraturan POJK Nomor 69/POJK.05/2016 sehingga telah sejalan dengan Pasal 61 ayat (2) UU Penjaminan.
Berdasarkan data yang dimiliki Otoritas Jasa Keuangan, kontribusi perusahaan asuransi umum dan perusahaan penjaminan dalam proyek pembangunan Pemerintah cukup tinggi. Pada tahun 2018, total nilai penjaminan atas produk suretyship oleh perusahaan asuransi umum adalah sebesar Rp 142,9 triliun dan nilai penjaminan oleh perusahaan penjaminan hingga bulan Januari tahun 2020 adalah sebesar Rp 35,6 triliun, sehingga total keduanya adalah sebesar Rp 178,61 triliun atau kurang lebih sekitar 43,48% dari total belanja infrastruktur pada tahun 2018 yang sebesar Rp 410,7 triliun.
Kontribusi perusahaan asuransi khususnya terhadap produk suretyship yang sebesar Rp.142,9 triliun pada tahun 2018 menunjukkan fakta yang tidak dapat diabaikan bahwa adanya kebutuhan masyarakat dalam hal ini khususnya pelaku ekonomi atas pelaksanaan suretyship oleh perusahaan asuransi. Dalam proyek Pemerintah, berdasarkan Keputusan Menteri PUPR juga diambil kebijakan untuk memberikan Suretyship bagi perusahaan asuransi. Hal ini antara lain dilandasi pada pertimbangan perlunya kapasitas dana yang cukup besar oleh perusahaan yang menjalankan _suretyship; _ 8. Dalam memperhatikan kebutuhan penjaminan pengadaan barang dan jasa dalam rangka penyelenggaraan proyek pembangunan nasional, maka OJK sebagai Lembaga pengawas dan regulator telah memebrikan izin kepada 3 (tiga) konsorsium penjamian yang beranggotakan 24 (dua puluh empat) perusahaan asuransi dan 1 (satu) perusahaan penjaminan yaitu Perusahaan Umum Jaminan Kredit Indonesia.
Berdasarkan fakta-fakta dan dasar hukum tersebut, pemberian Suretyship oleh perusahaan asuransi umum masih diperlukan untuk menjamin proyek pembangunan nasional bersama dengan perusahaan penjaminan. IV. PETITUM Berdasarkan penjelasan di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian ( constitutional 95 review ) Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian terhadap UUD 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian sepanjang frasa, “dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat” tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
Menyatakan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian sepanjang frasa, “dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat” tetap memiliki kekuatan hukum mengikat. Namun demikian, apabila Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya (ex aequo et bono). Keterangan Tertulis Tambahan bertanggal 13 Juli 2020 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 Juli 2020 yang pada pokoknya sebagai berikut: I. Pertanyaan dari Yang Mulia Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H., M.Hum. A. Apa yang terjadi pada saat pembahasan RUU Perasuransian sehingga pada Pasal 5 ayat (1) terdapat frasa “dapat diperluas sesuai kebutuhan masyarakat” sedangkan dalam ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 terdapat frasa yang membatasi yaitu “hanya dapat”? B. Pada Keterangan Presiden disebutkan bahwa Pasal 61 UU Penjaminan justru memperkuat perusahaan asuransi dalam melaksanakan suretyship dikarenakan perusahaan asuransi memiliki undang-undang tersendiri dan telah dipertegas dengan adanya POJK. Jelaskan maksud dari dari Pasal 61 UU Lembaga Penjaminan kaitannya memberikan penguatan terhadap keberadaan suretyship dalam UU Perasuransian? Jawaban A. Frasa makna “hanya dapat” dari perspektif dengan dapat diperluas 1. Penggunaan frasa “ hanya dapat ” ada pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU Perasuransian. Frasa tersebut dimaksudkan untuk memberikan limitasi bahwa ruang lingkup usaha perasuransian terbagi dalam usaha asuransi 96 umum, asuransi jiwa dan reasuransi (sebagaimana diatur dalam Pasal 2) serta usaha asuransi umum syariah, asuransi jiwa syariah dan reasuransi syariah (sebagaimana diatur dalam Pasal 3). Frasa “hanya dapat” pada Pasal 2 dan 3 UU Perasuransian berisi norma agar usaha asuransi umum tidak melakukan usaha asuransi jiwa ataupun reasuransi, kecuali yang secara tegas dinyatakan yaitu untuk asuransi umum termasuk lini usaha asuransi kesehatan dan asuransi kecelakaan diri serta reasuransi untuk risiko Perusahaan Asuransi Umum lain. Pencantuman tersebut karena lini usaha asuransi kesehatan dan asuransi kecelakaan diri merupakan irisan lini usaha asuransi umum dan asuransi jiwa, sehingga diperlukan anak kalimat tambahan untuk mempertegas bahwa lini usaha asuransi kesehatan dan kecelakaan diri dapat dilakukan baik oleh perusahaan asuransi umum maupun oleh perusahaan asuransi jiwa.
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Perasuransian menjelaskan bahwa “Berdasarkan mekanisme pengelolaan risikonya, lini usaha asuransi kesehatan dan lini usaha asuransi kecelakaan diri lebih tepat digolongkan sebagai Usaha Asuransi Umum. Namun, mengingat Objek Asuransi yang dipertangungkan dalam kedua lini usaha asuransi kecelakaan diri juga dapat digolongkan sebagai Usaha Asuransi Jiwa. Dalam praktiknya, kedua lini usaha asuransi tersebut telah diselenggarakan, baik oleh perusahaan asuransi umum maupun oleh perusahaan asuransi jiwa” .
Adapun perumusan Frasa “ dapat diperluas sesuai kebutuhan masyarakat ” dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian, dimaksudkan menjadi norma yang mengakui bahwa peluang lini usaha asuransi umum akan berkembang seiring dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, sehingga UU Asuransi perlu memberikan mandat perluasan lini usaha tersebut dengan batasan sesuai kebutuhan masyarakat dan adanya penambahan manfaatnya bagi masyarakat serta tidak mengganggu core bussiness nya perusahaan asuransi. Pelaksanaan perluasan ini diberikan kewenangan kepada OJK untuk mengatur lebih lanjut. Pengaturan demikian sejalan dengan drafting perumusan UU 97 yang bersifat norma-norma umum tidak mengatur hal-hal teknis yang dapat diuji secara teoritis maupun best practices. 4. Pengaturan norma tersebut juga didasarkan pada fakta bahwa selain core business perusahaan asuransi, juga ternyata terdapat peluang lain bagi perusahaan asuransi yang bukan merupakan core langsung asuransi sepanjang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sehingga, perluasan ruang lingkup usaha asuransi lain sebagaimana disebutkan dalam norma Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian merupakan open legal policy Pemerintah yang didasarkan pada fakta, pertimbangan sosial dan ekonomis serta best practices di beberapa negara lain . B. Kehadiran UU Penjaminan terhadap Pelaksanaan Suretyship oleh Asuransi Umum Sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan (selanjutnya disebut UU Penjaminan), terbitnya UU Penjaminan dilatarbelakangi keinginan Pemerintah untuk meningkatkan UMKM terhadap akses pembiayaan/kredit. Mengacu Pasal 4 ayat (1) UU Penjaminan, Usaha Penjaminan meliputi:
penjaminan Kredit, Pembiayaan, atau Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah yang diberikan oleh lembaga keuangan, b. penjaminan pinjaman yang disalurkan oleh koperasi simpan pinjam atau koperasi yang mempunyai unit usaha simpan pinjam kepada anggotanya; dan
penjaminan Kredit dan/atau pinjaman program kemitraan yang disalurkan oleh badan usaha milik negara dalam rangka program kemitraan dan bina lingkungan. Adapun penjaminan berupa suretyship diatur dalam Pasal 4 ayat (2) sebagai salah satu bentuk dari usaha lain yang dapat dilakukan perusahaan penjaminan di samping lingkup usaha penjaminan yang diatur dalam Pasal 4 ayat (1). Sejalan dengan prinsip lingkup penjaminan dalam Pasal 4 tersebut, menjadi jelas pilihan open legal policy Pemerintah bersama DPR selaku pembentuk UU menetapkan norma Pasal 61 ayat (2) UU Penjaminan yang mengecualikan kewajiban yang terdapat pada Pasal 61 ayat (1) UU Penjaminan bagi orang atau lembaga yang menjalankan penjaminan di luar perusahaan penjaminan untuk dapat melakukan penyesuaian. Dalam Pasal 61 ayat (2) UU Penjaminan diberikan peluang bagi lembaga yang telah menjalankan penjaminan di luar perusahaan penjaminan tidak wajib tunduk 98 pada Pasal 61 UU Penjaminan sepanjang dijalankan berdasarkan undang- undang tersendiri. Dapat Pemerintah sampaikan norma Pasal 61 ayat (2) berbunyi: “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap kegiatan penjaminan yang dijalankan berdasarkan undang- undang tersendiri”. Dari sisi legal drafting frasa “dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri” memiliki makna yang berbeda dengan frasa “ dinyatakan dengan undang-undang tersendiri ”. Makna kata “dijalankan” pada frasa tersebut mengandung arti bahwa kegiatan penjaminan tersebut dijalankan berdasarkan amanat dari suatu undang-undang. Dalam hal ini, pelaksanaan suretyship sebagai kegiatan penjaminan oleh perusahaan asuransi umum, merupakan pelaksanaan mandat Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian kepada OJK untuk mengatur perluasan usaha Perusahaan Asuransi Umum dan telah dijalankan dengan terbitnya POJK Nomor 69/POJK.05/2016. Oleh karena itu, Pemerintah memandang berlakunya UU Penjaminan tidak mengakibatkan ketidakpastian atas berlakunya Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yang dilaksanakan secara tegas dalam POJK sebagai landasan untuk pelaksanaan suretyship oleh Perusahaan Asuransi. Bahkan dengan norma Pasal 61 ayat (2) UU Penjaminan secara tegas diberikan pengecualian pelaksanaan suretyship oleh lembaga bukan penjaminan yang telah melaksanakan penjaminan sebelum berlakunya UU Penjaminan. II. Pertanyaan Yang Mulia Dr. Suhartoyo, S.H., M.H. A. Mengapa pengaturan mengenai suretyship tidak dipertegas dalam UU Perasuransian? Apa yang menjadi pertimbangan pembuat UU tidak menegaskan hal tersebut dalam bentuk norma? B. Pada tahun 1971 telah ada praktik suretyship di PT Jasa Raharja yang merupakan perusahaan asuransi milik Pemerintah. • Apa yang menjadi dasar Pemerintah dalam memberikan kewenangan kepada PT Jasa Raharja untuk melaksanakan Suretyship? • Apa saja persoalan yang muncul tahun 2014 sehingga pada akhirnya PT Jasa Raharja tidak lagi dapat melaksanakan Suretyship? 99 C. Apakah ada database perusahaan-perusahaan asuransi yang merupakan non-asosiasi (Pemohon)? Jawaban A. Sebagaimana telah dijelaskan, Pasal 5 ayat (3) UU Perasuransian dimaksudkan untuk mampu mengikuti perkembangan industri perasuransian sehingga tidak melimitasi bentuk-bentuk usaha yang dapat dilakukan perusahaan asuransi umum. Hal ini tentu akan sangat mendorong perkembangan industri sesuai perkembangan kebutuhan masyarakat. Pembentuk UU menyadari bahwa OJK selaku regulator akan mampu untuk membuat pengaturan yang lebih teknis untuk memastikan bahwa prinsip umum dalam UU Asuransi dan tambahan manfaat yang tercipta bagi masyakarat maupun pemerintah selaku penerima manfaat usaha perasuransian akan tetap menjadi pedoman dalam pengaturan perluasan lini usaha asuransi umum. Saat ini OJK juga telah mengatur bahwa terdapat 14 lini usaha yang dapat diselenggarakan oleh perusahaan asuransi umum yaitu: No. Lini Usaha 2018 Q3. 2019 Premi (Juta IDR) % Premi (Juta IDR) % 1 Harta Benda (Property) 18,873,914 27% 15,082,200 26% 2 Kendaraan Bermotor 18,488,468 26% 13,917,660 24% 3 Pengangkutan (Marine Cargo) 3,472,992 5% 2,636,740 5% 4 Rangka Kapal (Marine Hull) 1,572,860 2% 1,275,380 2% 5 Rangka Pesawat (Aviation Hull) 1,338,139 2% 1,110,900 2% 6 Satelit 16,138 0% 19,460 0% 7 Energi Onshore (Oil and Gas) 140,319 0% 110,440 0% 8 Energi Offshore (Oil and Gas) 1,370,170 2% 1,050,620 2% 9 Rekayasa (Engineering) 2,533,719 4% 1,852,960 3% 10 Tanggung Gugat (Liability) 1,868,051 3% 1,767,120 3% 11 Kecelakaan Diri & Kesehatan 5,627,705 8% 4,987,560 9% 12 Kredit (Credit) 7,796,238 11% 9,448,130 16% 13 Suretyship 1,454,839 2% 1,127,180 2% 14 Aneka 5,347,438 8% 3,518,460 6% 100 Bahwa terhadap 14 lini usaha tersebut juga tidak diatur dengan tegas di dalam UU Perasuransian. Selain itu, UU Perasuransian juga tidak menyebutkan lini usaha lain yang juga dilakukan oleh perusahaan asuransi umum yaitu lini usaha asuransi aneka, satelit dan kredit. UU Perasuransian hanya menyebutkan lini usaha kecelakaan diri dan kesehatan karena lini usaha itu merupakan irisan antara asuransi umum dan asuransi jiwa sehingga untuk memberi kepastian hukum bahwa lini usaha tersebut dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi umum maupum asuransi jiwa, perlu ditegaskan dalam UU Asuransi. Adanya perkembangan jumlah lini usaha tersebut menunjukkan bahwa perluasan lini usaha ataupun penggabungan atau pengelompokkan dapat dilakukan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, kewenangan OJK yang diberikan oleh Pasal 5 ayat (3) UU Perasuransian untuk mengatur perluasan dimaksud adalah agar kiranya perubahan lini usaha tersebut dapat dilakukan secara fleksibel oleh OJK tanpa harus melalui mekanisme perubahan UU Perasuransian. B. Perusahaan asuransi umum telah menjalankan usaha asuransi kredit sejak tahun 1971 oleh PT Asuransi Kredit Indonesia. Sedangkan, usaha suretyship telah dilaksanakan oleh perusahaan asuransi sejak tahun 1978 oleh PT Jasa Raharja Persero dengan berdasarkan pada PP No.34 tahun 1978 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1965 tentang Pendirian Perusahaan Umum Asuransi Kerugian “Jasa Raharja” (PP 34/1978). Berdasarkan PP 34/1978 tersebut, PT Jasa Raharja yang merupakan perusahaan umum asuransi kerugian diberikan mandat tambahan/tugas baru oleh Pemerintah untuk menerbitkan surat jaminan dalam bentuk Surety Bond . Penunjukan tersebut juga telah menjadikan PT Jasa Raharja sebagai pionir penyelenggara surety bond di Indonesia, di saat perusahaan asuransi lain pada umumnya masih bersifat fronting office dari perusahaan surety di luar negeri sehingga menyebabkan terjadi aliran devisa ke luar negeri untuk kepentingan tersebut. Bahwa mengingat PT Jasa Raharja merupakan perusahaan asuransi kerugian sehingga tugas pokoknya adalah melaksanakan amanat dari UU 101 yaitu memberikan perlindungan terkait dana pertanggungjawaban wajib kecelakaan penumpang dan lalu lintas sebagaimana diatur pada UU Nomor 33 dan UU Nomor 34 Tahun 1964. Selanjutnya, sebagai upaya pengemban rasa tanggung jawab sosial kepada masyarakat khususnya bagi masyarakat yang belum memperoleh perlindungan dalam lingkup UU No.33 dan UU No.34 tahun 1964. Pada tahun 1994, Pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagai penjabaran UU No.2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Peraturan Pemerintah tersebut mengatur antara lain ketentuan yang melarang Perusahaan Asuransi yang telah menyelenggarakan program asuransi sosial untuk menjalankan asuransi lain selain program asuransi sosial. Sejalan dengan ketentuan tersebut, maka terhitung mulai tanggal 1 Januari 1994 hingga saat ini maka PT Jasa Raharja melepaskan usaha asuransi non wajib dan surety bond untuk lebih fokus dalam menjalankan program asuransi sosial yaitu menyelenggarakan Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang sebagaimana diatur dalam UU. No.33 tahun 1964 dan Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan sebagaimana diatur dalam UU. No.34 tahun 1964. C. Berdasarkan data OJK tahun 2019, terdapat 74 perusahaan asuransi umum yang memperoleh izin untuk menyelenggarakan usaha asuransi umum. Berdasarkan Pasal 68 ayat (1) UU Perasuransian, setiap perusahaan asuransi tersebut (74 perusahaan) wajib menjadi angota asosiasi usaha perasuransian yang sesuai dengan jenis usahanya (AAUI). Namun demikian AAUI juga merupakan asosiasi bagi perusahaan reasuransi, yang berdasarkan data OJK tahun 2019 terdapat 6 perusahaan reasuransi. Dari 74 perusahaan asuransi umum tersebut, berdasarkan laporan statistik OJK tahun 2018 terdapat 47 perusahaan asuransi umum yang memperoleh izin usaha untuk menyelenggarakan suretyship, namun demikian 1 perusahaan asuransi umum yaitu PT Asuransi Himalaya Pelindung telah dicabut izin usaha melalui Keputusan Dewan Komisioner (KDK) Nomor 41/KDK.05/2019 tanggal 30 April 2019 sehingga tersisa 46 perusahaan. 102 Berikut data perusahaan asuransi yang menyelenggarakan Suretyship dan yang tidak menyelenggarakan Suretyship. Perusahaan Asuransi Umum yang menyelenggarakan suretyship (46) 1. PT Asuransi ASEI Indonesia 25. PT CHUBB General Insurance Indonesia 2. PT Asuransi Artarindo 26. PT Asuransi Jasa Indonesia (Persero) 3. PT Arthagraha General Insurance 27. PT Asuransi Jasa Raharja Putera 4. PT Asuransi Astra Buana 28. PT Asuransi Kredit Indonesia (Persero) 5. PT Asuransi Axa Indonesia 29. PT Asuransi Kresna Mitra Tbk.
PT Asuransi Bangun Askrida 30. PT Asuransi Sinar Mas 7. PT Berdikari Insurance 31. PT Tugu Pratama Indonesia 8. PT Asuransi Bhakti Bhayangkara 32. PT Asuransi Videi 9. PT Asuransi Binagriya Upakara 33. PT Pan Pacific Insurance 10. PT Asuransi Bintang Tbk. 34. PT Asuransi Parolamas 11. PT Bosowa Asuransi 35. PT Asuransi Purna Artanugraha 12. PT Asuransi Bringin Sejahtera Artamakmur 36. PT Asuransi Rama Satria Wibawa 13. PT Asuransi Buana Independent 37. PT Asuransi Ramayana Tbk.
PT Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 38. PT Asuransi Staco Mandiri 15. PT Asuransi Cakrawala Proteksi Indonesia 39. PT Asuransi Tri Pakarta 16. PT Asuransi Central Asia 40. PT Asuransi Tugu Kresna Pratama 17. PT Asuransi Intra Asia 41. PT Victoria Insurance Tbk.
PT Asuransi Jasa Tania Tbk. 42. PT Asuransi Wahana Tata 19. PT Asuransi Mega Pratama 43. PT Asuransi Allianz Utama Indonesia 20. PT Asuransi Umum Mega 44. PT Asuransi Harta Aman Pratama Tbk.
PT Asuransi Mitra Pelindung Mustika 45. PT Lippo General Insurance Tbk.
PT Asuransi Multi Artha Guna Tbk.
PT Asuransi Etiqa Internasional Indonesia (dulunya PT Asuransi Asoka Mas) 23. PT Malacca Trust Wuwungan Insurance 24. PT Asuransi Adira Dinamika Perusahaan Asuransi Umum yang tidak menyelenggarakan suretyship (28) 47. PT AIG Insurance Indonesia 61. PT Meritz Korindo Insurance 48. PT Avrist General Insurance 62. PT Great Eastern General Insurance Indonesia 103 49. PT Asuransi Umum BCA 63. PT Kookmin Best Insurance Indonesia 50. PT Bess Central Insurance 64. PT. Asuransi Total Bersama 51. PT Asuransi Bina Dana Arta Tbk. 65. PT Asuransi Raksa Pratikara 52. PT China Taiping Insurance Indonesia 66. PT Asuransi Recapital 53. PT Citra International Underwriters 67. PT Asuransi Reliance Indonesia 54. PT Asuransi Dayin Mitra Tbk. 68. PT Asuransi Samsung Tugu 55. PT Asuransi Eka Lloyd Jaya 69. PT Sarana Lindung Upaya 56. PT Asuransi FPG Indonesia 70. PT Asuransi Simas Net 57. PT KSK Insurance Indonesia 71. PT Sompo Insurance Indonesia 58. PT MNC Asuransi Indonesia 72. PT Asuransi Sumit Oto 59. PT Asuransi MSIG Indonesia 73. PT Asuransi Tokio Marine Indonesia 60. PT Mandiri AXA General Insurance 74. PT Zurich Insurance Indonesia Adapun terhadap perusahaan Asuransi yang menjadi anggota Asosiasi Asuransi Umum namun tidak menjadi pemohon uji materi kiranya dapat disampaikan oleh Pemohon. Dapat Pemerintah sampaikan pula beberapa contoh pelaksanaan Suretyship di negara-negara lain ( Benchmarking ) yaitu:
Canada: suretyship diselenggarakan oleh surety companies dan perusahaan asuransi;
USA: suretyship juga diselenggarakan oleh perusahaan asuransi;
Japan: sebagian besar kontrak suretyship diselenggarakan oleh perusahaan asuransi;
Malaysia: biasanya suretyship diselenggarakan oleh perusahan asuransi;
Korea Selatan: perusahaan asuransi umum dapat menyelenggarakan suretyship. Demikian Keterangan Tambahan yang dapat disampaikan oleh Pemerintah terkait dengan Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Oleh sebab itu berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian ( constitutional review ) terhadap Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian terhadap ketentuan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai 104 berikut sebagaimana yang telah dimintakan dalam Keterangan Presiden yang telah disampaikan sebelumnya. [2.5] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Pihak Terkait Otoritas Jasa Keuangan telah memberikan keterangan dalam persidangan tanggal 22 Juni 2020 yang dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 22 Juni 2020, serta keterangan tertulis tambahan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 13 Juli 2020, yang pada pokoknya sebagai berikut: A. Sejarah Pengaturan Kegiatan Usaha Suretyship di Indonesia 1. Bahwa Pemohon berpendapat ruang lingkup kegiatan usaha perusahaan asuransi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian tidak mencantumkan secara tegas kegiatan usaha suretyship , sehingga menurut Pemohon hal tersebut melanggar dan bertentangan dengan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, perlakuan yang sama dihadapan hukum, hak dan memajukan diri dalam memperjuangkan hak secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara, hak untuk melakukan kegiatan perekonomian atas dasar demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan dan efisiensi berkeadilan serta konsepsi negara kesejahteraan (welfare states) sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 . __ 2. Secara historis Indonesia telah mengenal dan mengatur lini usaha suretyship sebagai salah satu produk inovasi perusahaan asuransi guna menjawab tantangan pengambilalihan potensi risiko kerugian yang dapat dialami oleh salah satu pihak dalam perjanjian antara principal dan obligee . Seiring dengan perkembangan pembangunan di Indonesia, Pemerintah semakin menyadari arti penting keberadaan suatu Lembaga Non Perbankan yang dapat menjadi lembaga alternatif untuk memberi jaminan dalam mendukung proyek-proyek pembangunan yang didanai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) mengingat penjaminan yang menggunakan bank garansi memiliki persyaratan cukup berat bagi para penyedia barang dan/atau jasa berupa aset jaminan (full collateral) 100% dari nilai jaminan. __ 105 3. Khusus penerbitan suretyship oleh perusahaan asuransi, sudah dilakukan sejak tahun 1978 yang diatur dalam beberapa peraturan perundang- undangan sebagai berikut: __ a. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1978 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1965 tentang Pendirian Perusahaan Umum Asuransi Kerugian “Jasa Raharja”;
Keppres Nomor 14A tahun 1980 tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; dan
KMK Nomor 271/KMK.011/1980 tentang Penunjukan Bank dan Lembaga Keuangan yang dapat Menerbitkan Jaminan. dalam ketentuan tersebut, Pemerintah telah memberikan kewenangan kepada perusahaan asuransi Jasa Raharja untuk menerbitkan suretyship .
Setelah tahun 1978, dimana sebelumnya penerbitan suretyship hanya bisa dilakukan oleh perusahaan asuransi Jasa Raharja, dalam rangka memperluas usaha penerbitan suretyship Pemerintah melalui Menteri Keuangan menerbitkan:
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 761/KMK.013/1992 Tahun 1992 tentang Penunjukan Bank-Bank Dan Perusahan-Perusahaan Asuransi Yang Dapat Menerbitkan Jaminan; dan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 951/KMK.01/1993 Tentang Penggunaan Surety Bond/Customs Bond Sebagai Jaminan Pembayaran Pungutan Negara Atas Impor Barang Yang Mendapat Fasilitas Impor; yang pada pokoknya telah memberikan kesempatan kepada beberapa perusahaan asuransi swasta untuk dapat menerbitkan suretyship .
Selanjutnya, Pemerintah melalui beberapa peraturan perundang-undangan sejak tahun 2003 sampai dengan tahun 2017, yaitu:
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.010/2008 tanggal 3 September 2008 tentang Penyelenggaraan Lini Asuransi Kredit dan Suretyship ; 106 c. Peraturan Presiden Nomor 4 tahun 2015 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa;
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi; dan
Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang Dan Jasa Pemerintah; telah pula mengatur mengenai penerbitan suretyship yang dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi.
Berkaitan dengan lini usaha suretyship yang diterbitkan oleh perusahaan penjaminan, sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 (selanjutnya disebut UU Penjaminan), berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 222/PMK.020/2008 tentang Perusahaan Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit yang kemudian diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.010/2011, PT Jamkrindo (Persero) dapat melakukan kegiatan usaha lain yaitu antara lain surety bond . B. Pengertian Suretyship dalam Peraturan Perundang-Undangan 1. Sebagaimana dipahami bersama, secara umum pengertian suretyship adalah suatu bentuk penjaminan dimana surety company (perusahaan asuransi/perusahaan penjaminan) menjamin principal (kontraktor/ supplier ) akan melaksanakan kewajiban atau suatu prestasi kepada obligee (penerima manfaat/ beneficiary ) sesuai kontrak atau perjanjian antara principa l dan obligee .
Pengertian suretyship juga dapat ditemukan pada ketentuan peraturan perundang-undangan diantaranya: __ a. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.010/2008 tentang Penyelenggaraan Lini Asuransi Kredit dan Suretyship (selanjutnya disebut PMK Suretyship ) yang mengatur: __ Pasal 1 angka 3: __ “Suretyship adalah lini usaha asuransi umum yang memberikan jaminan atas kemampuan Principal dalam melaksanakan kewajiban sesuai perjanjian pokok antara Principal dan Obligee.” b. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 69/POJK.05/2016 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi 107 Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah (selanjutnya disebut POJK 69/2016) yang mengatur: Pasal 1 angka 23: “Suretyship adalah lini Usaha Asuransi Umum yang memberikan jaminan atas kemampuan principal dalam melaksanakan kewajiban sesuai perjanjian pokok antara principal dan obligee.” c. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (selanjutnya disebut UU Jasa Konstruksi) yang mengatur: __ Pasal 57 ayat (4): “Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dikeluarkan oleh lembaga perbankan, perusahaan asuransi, dan/atau perusahaan penjaminan dalam bentuk bank garansi dan/atau perjanjian terikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.” Penjelasan Pasal 57 ayat (4): __ “Yang dimaksud dengan "perjanjian terikat" (surety bond) adalah asuransi penjaminan antara penjamin dengan pelaksana pekerjaan. Penjamin akan menjamin pelaksana pekerjaan atas pekerjaan atau tanggung jawab yang diberikan pemilik proyek kepada pelaksana pekerjaan. Asuransi penjaminan ini biasanya dikeluarkan oleh perusahaan asuransi kerugian.” 3. Lini usaha suretyship yang dipraktikan di beberapa negara seperti Tiongkok, Singapura, Inggris, dan Filipina, tidak merupakan monopoli dari salah satu bidang usaha tertentu saja seperti asuransi atau penjaminan. Di Negara tersebut, suretyship dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi, perusahaan penjaminan maupun lembaga lainnya sesuai dengan peraturan perundang- undangan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, pengertian suretyship maupun pengaturannya baik di Indonesia maupun di berbagai negara lain, pada prinsipnya produk suretyship tidaklah dapat digolongkan atau dibatasi kepada konsep-konsep kegiatan yang hanya dapat dilakukan oleh bidang- bidang usaha tertentu saja seperti perusahaan asuransi atau perusahaan penjaminan, sehingga suretyship dapat dilaksanakan oleh perusahaan penjaminan maupun asuransi. __ C. Lini Usaha Suretyship oleh Perusahaan Asuransi berdasarkan Pasal 5 UU Perasuransian 1. Setelah membaca pokok permohonan pengujian a quo , dalam halaman 23, halaman 26, dan halaman 32 s.d. halaman 34 permohonannya, Pemohon 108 pada pokoknya menganggap Pasal 61 UU Penjaminan telah menghalangi perusahaan asuransi untuk menjalankan lini usaha suretyship .
Pemahaman terhadap Pasal 61 UU Penjaminan haruslah tetap mengacu kepada ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 11 s.d. angka 13, dan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) UU Penjaminan sebagai berikut: Pasal 1 angka 1: “Penjaminan adalah kegiatan pemberian jaminan oleh Penjamin atas penuhan kewajiban finansial Terjamin kepada Penerima Jaminan.” Pasal 1 angka 11 __ “Penjamin adalah pihak yang melakukan penjaminan.” Pasal 1 angka 12 “Penerima Jaminan adalah lembaga keuangan atau di luar lembaga keuangan yang telah memberikan Kredit, Pembiayaan, Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah atau kontrak jasa kepada Terjamin.” Pasal 1 angka 13 “Terjamin adalah pihak yang telah memperoleh Kredit, Pembiayaan, Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah, atau kontrak jasa dari lembaga keuangan atau di luar lembaga keuangan yang dijamin oleh Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah.” Pasal 4 ayat (1) _Usaha Penjaminan meliputi: _ a. penjaminan Kredit, Pembiayaan, atau Pembiayaan Berdasarkan _Prinsip Syariah yang diberikan oleh lembaga keuangan; _ b. penjaminan pinjaman yang disalurkan oleh koperasi simpan pinjam atau koperasi yang mempunyai unit usaha simpan pinjam kepada _anggotanya; dan _ c. penjaminan Kredit dan/atau pinjaman program kemitraan yang disalurkan oleh badan usaha milik negara dalam rangka program kemitraan dan bina lingkungan. Pasal 4 ayat (2) Selain usaha Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) _Perusahaan Penjaminan dapat melakukan: _ _a. penjaminan atas surat utang; _ _b. penjaminan pembelian barang secara angsuran; _ _c. penjaminan transaksi dagang; _ d. penjaminan pengadaan barang dan/atau jasa (surety bond); __ _e. penjaminan bank garansi (kontra bank garansi); _ _f. penjaminan surat kredit berdokumen dalam negeri; _ _g. penjaminan letter of credit; _ h. penjaminan kepabeanan (customs bond); __ _i. penjaminan cukai; _ j. pemberian jasa konsultasi manajemen terkait dengan kegiatan _usaha Penjaminan; dan _ 109 k. kegiatan usaha lainnya setelah mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan. 3. Apabila melihat definisi Penjaminan, Penjamin, Terjamin, dan Penerima Jaminan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 UU Penjaminan serta ruang lingkup usaha penjaminan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU Penjaminan, pada dasarnya UU Penjaminan telah mengatur secara khusus ruang lingkup dari kegiatan usaha Lembaga Penjamin yaitu yang berkaitan dengan kegiatan pemberian jaminan oleh Penjamin atas pemenuhan kewajiban finansial sehubungan dengan perjanjian kredit Terjamin kepada Penerima Jaminan.
Oleh karena itu, ruang lingkup usaha penjaminan sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UU Penjaminan, keseluruhannya hanya melingkupi adanya kegiatan penjaminan atas pemenuhan kewajiban finansial dari adanya kredit, pembiayaan oleh lembaga keuangan maupun koperasi, serta program kredit kemitraan dan bina lingkungan yang dilakukan oleh badan usaha milik negara.
Namun demikian, dalam UU Penjaminan, Pemerintah dan DPR telah menyepakati adanya lini usaha lain yang dapat dilakukan oleh Perusahaan Penjaminan yang tidak diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU Penjaminan (bersifat accesoir ). Kegiatan usaha lain yang bersifat accesoir tersebut adalah kegiatan lini usaha suretyship sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan yang mencakup kegiatan:
penjaminan atas surat utang;
penjaminan pembelian barang secara angsuran;
penjaminan transaksi dagang;
penjaminan pengadaan barang dan/atau jasa _(surety bond); _ e. penjaminan bank garansi (kontra bank garansi);
penjaminan surat kredit berdokumen dalam negeri;
penjaminan _letter of credit; _ h. penjaminan kepabeanan _(customs bond); _ i. penjaminan cukai;
pemberian jasa konsultasi manajemen terkait dengan kegiatan usaha Penjaminan; dan 110 k. kegiatan usaha lainnya setelah mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan.
Penambahan lini kegiatan usaha penjaminan yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan tersebut di atas, dapat dipahami karena jenis-jenis lini usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan tersebut adalah jenis usaha penjaminan yang bukan merupakan pemenuhan kewajiban finansial dari adanya perjanjian kredit sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 4 ayat (1) UU Penjaminan. __ 7. Selanjutnya, Pasal 61 UU Penjaminan telah mengatur: Pasal 61 (1) Setiap Orang di luar Lembaga Penjamin yang telah melakukan kegiatan penjaminan sebelum berlakunya Undang-Undang ini wajib menyesuaikan dengan Undang-Undang ini dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap kegiatan penjaminan yang dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri. Penjelasan Pasal 61 (1) Kegiatan penjaminan berdasarkan Undang-Undang ini melibatkan 3 (tiga) pihak, memungut imbal jasa penjaminan, terdapat sertifikat penjaminan, adanya klaim dan pembayaran klaim, serta pengalihan hak tagih. Oleh karena itu, penjaminan yang dilakukan tidak berdasarkan pada prinsip tersebut, tidak masuk dalam kategori penjaminan yang dimaksud dalam Undang-Undang ini. (2) Cukup jelas. 8. Sementara itu, Pasal 1 angka 6 UU Penjaminan telah mengatur: “Lembaga Penjamin adalah Perusahaan Penjaminan, Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang, dan Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah yang menjalankan kegiatan penjaminan.” 9. Berkaitan dengan Pasal 61 UU Penjaminan sebagaimana dalam kutipan di atas, menurut pendapat kami perusahaan asuransi yang merupakan perusahaan di luar Lembaga Penjamin haruslah memenuhi persyaratan sebagai Lembaga Penjamin apabila hendak melakukan kegiatan usaha yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 4 ayat (1) UU Penjaminan.
Sedangkan kegiatan lini usaha suretyship sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan, dapat dilakukan asuransi berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yang telah mengatur adanya perluasan ruang lingkup kegiatan usaha perasuransian, hal ini mengingat lini usaha 111 suretyship yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan tidaklah memerlukan persyaratan sebagai Lembaga Penjaminan sebagaimana Pasal 1 angka 1 UU Penjaminan.
Ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian adalah ketentuan yang sudah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 61 UU Penjaminan jika perusahaan asuransi hendak melakukan kegiatan lini usaha suretyship sebagaimana Lembaga Penjaminan juga dapat menjalankannya berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan.
Berdasarkan semua uraian tersebut di atas, menurut pendapat kami kekhawatiran Pemohon dalam pengujian UU a quo yang menganggap kegiatan lini usaha suretyship tidak dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi menjadi tidak tepat mengingat kegiatan suretyship adalah kegiatan penjaminan yang merupakan usaha penjaminan selain yang diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU Penjaminan.
Selain itu, pengaturan mengenai suretyship dalam UU Penjaminan menjadi sejalan dengan pengaturan mengenai surety bond yang diatur dalam pengertian mengenai dalam UU Jasa Konstruksi yang pada pokoknya menyatakan bahwa jaminan dapat dikeluarkan oleh lembaga perbankan, perusahaan asuransi, dan/atau perusahaan penjaminan dalam bentuk antara lain perjanjian terikat [ vide Pasal 57 ayat (4)]. Adapun yang dimaksud dengan “perjanjian terikat” (surety bond) adalah asuransi penjaminan antara penjamin dengan pelaksana pekerjaan atas pekerjaan atau tanggung jawab yang diberikan pemilik proyek kepada pelaksana pekerjaan [ vide Penjelasan Pasal 57 ayat (4)].
Berdaarkan semua uraian di atas, maka semakin jelas kegiatan lini usaha suretyship sebagaimana dimaksud dalam UU Penjaminan dapat dilakukan oleh baik perusahaan penjaminan, perusahaan perasuransian maupun lembaga jasa keuangan lainnya berdasarkan peraturan perundang- undangan. __ 15. Sebagaimana diketahui bersama, Pasal 5 UU Perasuransian telah mengatur beberapa ketentuan yang berkaitan dengan perluasan ruang lingkup kegiatan usaha perusahaan asuransi sebagai berikut: (1) Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah 112 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat. (2) Perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penambahan manfaat yang besarnya didasarkan pada hasil pengelolaan dana. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan . 16. Sebagai pelaksanaan amanat Pasal 5 ayat (3) UU Perasuransian, OJK telah menerbitkan POJK 69/2016 yang memberikan kesempatan kepada perusahaan asuransi untuk menjalankan lini usaha suretyship. 17. Namun demikian, lini usaha suretyship sebagaimana diatur dalam POJK 69/2016 hanya diberikan kepada perusahaan asuransi umum dan tidak diberikan kepada perusahaan asuransi umum syariah, perusahaan asuransi jiwa, dan perusahaan asuransi jiwa syariah. Hal ini diatur dalam Pasal 4 huruf a. POJK 69/2016 yang menyatakan: “ Ruang lingkup usaha Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan _masyarakat dengan ketentuan sebagai berikut: _ a. Perusahaan Asuransi Umum hanya dapat melakukan perluasan _ruang lingkup usaha pada: _ _1. kegiatan usaha PAYDI; _ _2. kegiatan usaha berbasis imbalan jasa (fee based); _ 3. kegiatan usaha Asuransi Kredit dan Suretyship _; dan/atau _ 4. _kegiatan usaha lain berdasarkan penugasan dari pemerintah; _ ” 18. Dengan demikian, lini usaha suretyship yang dilakukan oleh perusahaan asuransi berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian dan diatur lebih lanjut dalam POJK 69/2016 telah sesuai dengan apa yang telah ditentukan dalam Pasal 61 UU Penjaminan, sehingga perusahaan asuransi yang melakukan lini usaha suretyship tidaklah dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana dikhawatirkan oleh Pemohon.
Ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian mengenai frasa “sesuai kebutuhan masyarakat” tidak dapat dipisahkan dari industri perasuransian yang terus berkembang di masyarakat. Dalam Penjelasan Umum UU Perasuransian telah menyebutkan bahwa pengaturan mengenai asuransi dilatarbelakangi oleh perkembangan yang pesat dalam industri 113 perasuransian yang ditandai dengan meningkatnya volume usaha dan bertambahnya pemanfaatan layanan jasa perasuransian oleh masyarakat.
Dengan diaturnya perluasan lini usaha perusahaan asuransi sebagaimana Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian justru untuk mempermudah pengaturan mengenai penambahan lini usaha asuransi sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat terhadap asuransi. Hal ini akan memudahkan OJK selaku otoritas yang diberikan kewenangan untuk mengatur lebih lanjut lini- lini usaha tambahan yang dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat sebagaimana didelegasikan oleh Pasal 5 ayat (3) UU Perasuransian.
Berkaitan dengan petitum Pemohon dalam permohonan a quo , menurut hemat kami, penyisipan frasa “termasuk lini usaha suretyship” dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian, justru tidak memberikan kepastian hukum bagi perusahaan asuransi untuk dapat melakukan perluasan ruang lingkup usaha. Penyisipan frasa “termasuk lini usaha suretyship” menjadi seolah membatasi kemungkinan adanya perluasan ruang lingkup kegiatan perusahaan asuransi selain lini usaha suretyship . Karena maksud dari Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian adalah perluasan ruang lingkup usaha asuransi haruslah didasarkan pada perkembangan kebutuhan masyarakat yang tidak hanya berkaitan dengan lini usaha suretyship .
Selain hal tersebut di atas, apabila permohonan Pemohon untuk menyisipkan frasa “termasuk lini usaha suretyship” dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian dikabulkan, maka hal tersebut justru menjadi tidak sejalan dengan pengaturan dalam POJK 69/2016 yang hanya memberikan kesempatan bagi asuransi umum untuk melakukan lini usaha suretyship yang tidak diberikan kepada asuransi jiwa, asuransi umum syariah, dan asuransi jiwa syariah. D. Data Perkembangan Produk Suretyship oleh Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Penjaminan 1. Berdasarkan data yang dimiliki oleh OJK, kontribusi perusahaan asuransi umum dan perusahaan penjaminan dalam proyek pembangunan pemerintah cukup tinggi. Berdasarkan data APBN 2020, alokasi anggaran untuk belanja pemerintah pusat pada sektor infrastruktur tahun 2020 mencapai Rp423,3 triliun. Apabila diasumsikan bahwa besarnya nilai premi 114 (biaya jasa/ service charge ) adalah 1% maka nilai jaminan yang dapat ditanggung ( coverage ) oleh perusahaan asuransi umum pada tahun 2019 diperkirakan mencapai Rp158,75 triliun. Nilai jaminan tersebut meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2018 yang diperkirakan sebesar Rp144,44 triliun. Sementara itu, nilai penjaminan oleh perusahaan penjaminan per Desember 2019 sebesar Rp71,71 triliun dengan nilai proyek sebesar Rp1.387,43 triliun. __ 2. Dapat kami informasikan, sampai dengan Desember 2019, usaha asuransi kredit dan suretyship yang dilakukan oleh 42 perusahaan asuransi umum menerima 1,98% dari total pendapatan premi dari seluruh lini usaha asuransi umum. Dari 42 perusahaan asuransi umum tersebut terdapat 3 perusahaan asuransi umum yang mendapatkan lebih dari 30% pendapatan preminya yang bersumber dari usaha suretyship . __ 3. Pada perusahaan penjaminan, potensi kapasitas penjaminan dapat dilihat dari ekuitas Perusahaan per Desember 2019 sebesar Rp13,65 triliun, sehingga kemampuan penjaminan maksimum perusahaan penjaminan adalah sebesar Rp273 triliun. Perusahaan penjaminan baru dapat melayani penjaminan kredit produktif dan suretyship sebesar Rp133,98 triliun dengan gearing ratio 9,74 kali. Dengan demikian, berdasarkan gearing ratio per Desember 2019 kapasitas penjaminan oleh perusahaan penjaminan tersedia sebesar Rp140,13 triliun. Adapun imbal jasa penjaminan yang didapatkan dari suretyship per Desember 2019 sebesar Rp511,51 miliar. __ 4. Dalam rancangan teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020 - 2024 memuat program prioritas nasional yang salah satunya yaitu Memperkuat Infrastruktur Untuk Mendukung Pengembangan Ekonomi Dan Pelayanan Dasar dengan perkiraan alokasi sebesar Rp2.176,89 triliun. Dengan alokasi dana yang besar perlu kiranya dukungan penjaminan/ suretyship untuk memastikan proyek pembangunan infrastruktur terlaksana dengan baik. __ PERMOHONAN MENGENAI AMAR PUTUSAN __ Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, kami mohon agar Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian terhadap Pasal 115 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, untuk memberikan putusan sebagai berikut:
Menerima keterangan OJK sebagai Pihak Terkait secara keseluruhan.
Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
Menyatakan, Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian sepanjang frasa “dapat diperluas sesuai kebutuhan masyarakat” tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Menyatakan, Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian sepanjang frasa “dapat diperluas sesuai kebutuhan masyarakat” tetap memiliki kekuatan hukum mengikat. Namun demikian, apabila Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya, ex aequo et bono . Keterangan Tertulis Tambahan Berkaitan dengan beberapa pertanyaan dari Ketua dan Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada persidangan tanggal 22 Juni 2020, yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 Juli 2020, yang pada pokoknya sebagai berikut: A. Landasan yang Menjadi Acuan Otoritas Jasa Keuanga dalam Memberikan Izin bagi Perusahaan Perasuransian dalam Melakukan Lini Usaha Suretyship Bahwa terkait pertanyaan Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah mengenai Pasal 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, untuk selanjutnya disebut UU Perasuransian, atau Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan, untuk selanjutnya disebut UU Penjaminan, sebagai landasan yang menjadi acuan Perusahaan Perasuransian dalam melakukan lini usaha Suretyship , dapat kami sampaikan hal-hal sebagai berikut:
Secara umum, dalam menjalankan kegiatan usahanya, suatu Perusahaan Perasuransian mengacu pada ketentuan yang berlaku yaitu UU Perasuransian yang kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 69/POJK.05/2016 tentang Penyelenggaraan Usaha 116 Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, Dan Perusahaan Reasuransi Syariah, untuk selanjutnya disebut POJK No. 69/2016. __ 2. Dalam UU Perasuransian, perluasan ruang lingkup usaha perasuransian telah diatur secara jelas dalam Pasal 5 yang berbunyi: __ 1) Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat. __ 2) Perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penambahan manfaat yang besarnya didasarkan pada hasil pengelolaan dana. 3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. __ Penjelasan: Cukup Jelas 3. Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian tersebut, dalam frasa ” dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat” pada dasarnya mengandung makna dibuka kesempatan bagi Perusahaan Perasuransian untuk melakukan perluasan usaha selain menyelenggarakan kegiatan usaha yang ditentukan secara limitatif sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) yang diperuntukkan bagi Perusahaan Asuransi Umum dan Pasal 3 ayat (1) dan (2) yang diperuntukkan bagi Perusahaan Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah. __ 4. Selain itu, berdasarkan Pasal 5 ayat (2) UU Perasuransian terdapat pendelegasian pengaturan lebih lanjut mengenai ruang lingkup usaha perasuransian yang diperluas sesuai kebutuhan masyarakat, diatur lebih lanjut dalam POJK No. 69/2016. __ 5. Dapat kami sampaikan, pada bagian ”Mengingat” POJK No. 69/2016 telah disebutkan secara jelas dasar hukum pembentukan POJK No. 69/2016 yaitu: __ 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 117 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia _Nomor 5253); _ 2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, _Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618); _ 6. Penegasan bahwa POJK No. 69/2016 diterbitkan berdasarkan UU Perasuransian juga terlihat di bagian Penjelasan Umum POJK No. 69/2016 dimana beberapa kali disebutkan bahwa UU Perasuransian sebagai dasar hukum diterbitkannya POJK No. 69/2016. ”Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian mengamanatkan penyempurnaan pengaturan dan pengawasan terhadap seluruh kegiatan industri asuransi yang telah berkembang pesat yang ditandai dengan meningkatnya volume usaha, bertambahnya pemanfaatan jasa perasuransian oleh masyarakat, serta layanan jasa perasuransian yang semakin bervariasi sejalan dengan perkembangan kebutuhan masyarakat.” ”Pengaturan mengenai penyelenggaraan usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah adalah salah satu pengaturan yang merupakan penuangan dari amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.” 7. Selanjutnya, terkait dengan lini usaha Suretyship yang merupakan ruang lingkup usaha yang diperluas sesuai kebutuhan masyarakat pada dasarnya telah diatur dalam Pasal 4 huruf a POJK No. 69/2016. __ 8. Oleh sebab itu, yang menjadi landasan utama suatu Perusahaan Perasuransian menjalankan lini usaha Suretyship yaitu Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian, sedangkan Pasal 4 huruf a POJK No. 69/2016 merupakan pengaturan lebih lanjut dari ketentuan dalam UU Perasuransian. Pengaturan lebih lanjut tersebut sesuai dengan pendelegasian kewenangan oleh UU Perasuransian yang mengatur bahwa ketentuan lebih lanjut mengenali perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah diatur dalam POJK (vide Pasal 5 ayat (3) UU Perasuransian). __ 9. Perlu kami sampaikan juga, pendelegasian kewenangan pengaturan lebih lanjut dalam POJK sebagaimana dimaksud pada angka 8 sesuai dengan ketentuan dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur bahwa peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi dapat mendelegasikan kewenangan mengatur lebih lanjut kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah (vide 118 Bab II Huruf A angka 198). Dengan kata lain, pengaturan Suretyship dalam POJK dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum mengenai cakupan dan ruang lingkup kegiatan usaha perasuransian sesuai dengan kebutuhan masyarakat. __ 10. Dapat kami sampaikan pula bahwa mengenai pengaturan Pasal 4 UU Penjaminan pada dasarnya menguatkan pengaturan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian. __ 11. Pasal 4 ayat (1) UU Penjaminan menjelaskan kegiatan usaha utama yang dilakukan oleh Perusahaan Penjaminan, sedangkan Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan menjelaskan kegiatan usaha tambahan yang dapat dilakukan Perusahaan Penjaminan. __ 12. Adapun pengaturan mengenai kegiatan usaha tambahan dalam Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan, telah sejalan dengan pengaturan mengenai perluasan kegiatan usaha sesuai kebutuhan masyarakat dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian. __ 13. Sedangkan kegiatan lini usaha Suretyship sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan, dapat dilakukan Perusahaan Perasuransian berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yang telah mengatur adanya perluasan ruang lingkup kegiatan usaha perasuransian, mengingat lini usaha Suretyship yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan tidaklah memerlukan persyaratan sebagai Lembaga Penjaminan sebagaimana Pasal 1 angka 1 UU Penjaminan.
Ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian merupakan ketentuan yang sudah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 61 UU Penjaminan, jika Perusahaan Perasuransian hendak melakukan kegiatan lini usaha Suretyship sebagaimana Lembaga Penjaminan juga dapat menjalankannya berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan.
Dengan demikian landasan hukum mengenai pengaturan lini usaha Suretyship yang dilakukan oleh Perusahaan Perasuransian pada dasarnya mengacu pada Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yang kemudian ditindaklanjuti dengan POJK No 69/2016 dan sejalan dengan pengaturan pada Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan. __ __ 119 B. Lini Usaha Suretyship Telah Diakomodir dalam Ketentuan UU Penjaminan dan UU Perasuransian Bahwa terkait pertanyaan Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah mengenai alasan OJK menggunakan UU Penjaminan sebagai referensi dalam memberikan keterangan sebagai pihak terkait, dapat kami sampaikan hal-hal sebagai berikut:
Sebagaimana telah OJK sampaikan dalam keterangan sebelumnya, Pemohon berpendapat ruang lingkup kegiatan usaha Perusahaan Perasuransian sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian tidak mencantumkan secara tegas kegiatan usaha Suretyship , sehingga menurut Pemohon hal tersebut melanggar dan bertentangan dengan hak Pemohon __ sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, untuk selanjutnya disebut UUD 1945. __ 2. Pemohon selaku badan hukum yang mewakili anggotanya berupa perusahaan yang bergerak di bidang perasuransian khususnya yang telah menjalankan bidang usaha Suretyship, yang mana praktik Suretyship tersebut telah berlangsung lama selama puluhan tahun dan telah dirasakan manfaatnya bagi pembangunan nasional. __ 3. Di Indonesia, dasar hukum Perusahaan Perasuransian melaksanakan lini usaha Suretyship telah diakomodir sejak tahun 1978 oleh beberapa peraturan terkait, yang kemudian saat ini diakomodir dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian. Namun, menurut Pemohon secara faktual pengaturan mengenai lini usaha Suretyship ini belum diatur secara tegas dalam UU Perasuransian tersebut sehingga berpotensi merugikan hak konstitusional Pemohon yang dilindungi dan dijamin UUD 1945. __ 4. Namun, terkait lini usaha Suretyship , dalam permohonannya juga disebutkan bahwa Perusahaan Penjaminan dapat menjalankan Surety Bond sebagaimana diatur secara tegas dalam Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan. __ Dengan lahirnya UU Penjaminan tersebut dipandang menimbulkan persoalan ketidaksesuaian pembentukan norma, khususnya dengan adanya Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU Penjaminan yang dipastikan akan menjadi penghalang tidak dapat dilaksanakannya lini usaha Suretyship oleh 120 Perusahaan Perasuransian, sebagaimana dinyatakan Pemohon pada halaman 10 angka 3.10 Surat Permohonan. __ 5. Dapat kami sampaikan, bahwa Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU Penjaminan beserta Penjelasannya menyatakan: __ (1) Setiap Orang di luar Lembaga Penjamin yang telah melakukan kegiatan penjaminan sebelum berlakunya Undang-Undang ini wajib menyesuaikan dengan Undang- Undang ini dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Undang- Undang ini. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap kegiatan penjaminan yang dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri. _Penjelasan: _ Ayat (1) Kegiatan penjaminan berdasarkan Undang-Undang ini melibatkan 3 (tiga) pihak, memungut imbal jasa penjaminan, terdapat sertifikat penjaminan, adanya klaim dan pembayaran klaim, serta pengalihan hak tagih. Oleh karena itu, penjaminan yang dilakukan tidak berdasarkan pada prinsip tersebut, tidak masuk dalam kategori penjaminan yang dimaksud dalam Undang-Undang ini. Ayat (2) __ Cukup Jelas 6. Dengan adanya pengaturan tersebut maka timbul kekhawatiran bahwa dengan munculnya Pasal 61 UU Penjaminan tersebut telah menyebabkan ketidakpastian lini usaha Suretyship yang menggunakan landasan hukum Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yang mengatur mengenai perluasan lini usaha asuransi. Hal ini dipertegas oleh Pemohon dalam permohonan pengujian a quo , halaman 23, halaman 26, dan halaman 32 s.d. halaman 34 permohonannya, yang pada pokoknya menganggap Pasal 61 UU Penjaminan telah menghalangi Perusahaan Perasuransian untuk menjalankan lini usaha Suretyship .
Selain itu, keberadaan Pasal 61 UU Penjaminan tersebut terkesan menyebabkan Perusahaan Perasuransian yang mendasarkan kegiatan lini usaha pada POJK No. 69/2016, yang merupakan peraturan pelaksana dari UU Perasuransian, harus tunduk pada peraturan UU Penjaminan tersebut.
Oleh karena itu dalam permohonannya, Pemohon bependapat dalam halaman 35 angka 3.31 secara tegas menyatakan adanya pengaturan dalam UU Penjaminan yang melarang pelaksanaan kegiatan lini usaha 121 Suretyship dilakukan oleh Perusahaan Perasuransian, sebagaimana diuraikan oleh Pemohon sebagai berikut: “ Dengan demikian, Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 a quo yang multitafsir bertentangan dengan prinsip konstitusi yaitu prinsip kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena sejak awal suretyship adalah merupakan lini usaha dari perusahaan asuransi, kemudian terbit UU No 1/2016 yang tidak membenarkan suretyship dilakukan oleh perusahan asuransi, namun terbitlah UU No. 2/2017 dan Perpres No.16/2018 yang membenarkan suretyship dilakukan oleh perusahaan asuransi.” 9. Dengan demikian, sudah sepatutnya OJK dalam memberikan Keterangan sebagai Pihak Terkait juga untuk memperhatikan keberadaan hukum UU Penjaminan yang beririsan dengan UU Perasuransian, khususnya pada Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yang secara khusus mengatur mengenai kegiatan usaha perasuransian yang mencakup lini usaha Suretyship . C. Pembatasan Perusahaan Perasuransian yang Melakukan Lini Usaha Suretyship Berdasarkan POJK 69/2016 1. Ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian merupakan ketentuan yang sudah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 61 UU Penjaminan, jika Perusahaan Perasuransian hendak melakukan kegiatan lini usaha Suretyship sebagaimana Lembaga Penjaminan juga dapat menjalankannya berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan.
Sebagaimana diketahui bersama, Pasal 5 UU Perasuransian telah mengatur beberapa ketentuan yang berkaitan dengan perluasan ruang lingkup kegiatan usaha Perusahaan Perasuransian sebagai berikut: (1) Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat. (2) Perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penambahan manfaat yang besarnya didasarkan pada hasil pengelolaan dana. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan . 122 3. Sebagai pelaksanaan amanat Pasal 5 ayat (3) UU Perasuransian, OJK telah menerbitkan POJK No. 69/2016 yang memberikan kesempatan kepada Perusahaan Perasuransian untuk menjalankan lini usaha Suretyship. 4. Namun demikian, lini usaha Suretyship sebagaimana diatur dalam POJK No. 69/2016 hanya diberikan kepada Perusahaan Asuransi Umum dan tidak diberikan kepada Perusahaan Asuransi Umum Syariah, Perusahaan Asuransi Jiwa, maupun Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah. Hal ini diatur dalam Pasal 4 huruf a. POJK No. 69/2016 yang menyatakan: “ Ruang lingkup usaha Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat _dengan ketentuan sebagai berikut: _ a. Perusahaan Asuransi Umum hanya dapat melakukan _perluasan ruang lingkup usaha pada: _ _5. kegiatan usaha PAYDI; _ _6. kegiatan usaha berbasis imbalan jasa (fee based); _ 7. kegiatan usaha Asuransi Kredit dan Suretyship _; dan/atau _ 8. kegiatan usaha lain berdasarkan penugasan dari _pemerintah; _ ” 5. Yang menjadi dasar pertimbangan OJK dalam memberikan pengaturan hanya Perusahaan Asuransi Umum yang dapat melakukan lini usaha Suretyship adalah bahwa ketentuan dalam Pasal 4 huruf a POJK No. 69/2016 dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum bagi Perusahaan Asuransi Umum di bawah payung hukum UU Perasuransian dalam menyelenggarakan kegiatan Suretyship , yang telah dilaksanakan selama ini dengan menggunakan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.010/2008 tentang Penyelenggaraan Lini Usaha Asuransi Kredit dan Suretyship (PMK 124/2008).
Dalam PMK 124/2008 tersebut, telah diatur mengenai persyaratan modal sendiri bagi Perusahaan Asuransi Umum yang akan memasarkan produk asuransi pada lini usaha asuransi kredit atau Suretyship yaitu paling sedikit sebesar Rp 250.000.000.000,- (dua ratus lima puluh miliar rupiah) ( vide Pasal 3 PMK 124/2008).
Selain itu, berdasarkan Pasal 37 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 72/POJK.05/2016 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi Dan Perusahaan Reasuransi Dengan Prinsip Syariah dan Pasal 34 Peraturan 123 Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 71/POJK.05/2016 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi telah mengatur mengenai Ekuitas minimum yang diwajibkan bagi Perusahaan Perasuransian yaitu:
Bagi Perusahaan Asuransi Syariah sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah);
Bagi Unit Syariah dari Perusahaan Asuransi sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah); dan
Bagi Perusahaan Asuransi yang memiliki unit Syariah sebesar Rp100.000.000.000,00 (serratus miliar rupiah) ditambah dengan kewajiban ekuitas minimum bagi unit Syariah sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) sehingga menjadi Rp125.000.000.000,00 (seratus dua puluh lima miliar rupiah).
Oleh sebab itu, mengingat persyaratan modal sendiri bagi Perusahaan Asuransi Syariah dan Unit Usaha Syariah lebih kecil dari persyaratan modal sendiri bagi Perusahaan Perasuransian yang akan menjalankan kegiatan usaha Suretyship dalam PMK 124/2008 serta nilai penjaminan dalam bisnis Suretyship yang umumnya cukup besar, maka kegiatan usaha Suretyship tidak dibuka untuk Perusahaan Asuransi Syariah dan Unit Usaha Syariah.
Selain itu, yang menjadi pertimbangan lain dalam mengatur hanya Perusahaan Asuransi Umum yang dapat melakukan lini usaha Suretyship adalah karena kegiatan usaha Suretyship berpotensi menggerus kemampuan finansial Perusahaan Asuransi Syariah maupun Unit Syariah yang saat ini masih dalam tahap pengembangan ( infant industry) .
Dengan demikian, oleh karena Perusahaan Asuransi Syariah masih dalam tahap pengembangan dengan kemampuan permodalan dipandang masih belum dapat memenuhi ketentuan dalam PMK 124/2008 yang secara khusus mengatur mengenai Suretyship , maka OJK selaku regulator tidak membuka lini usaha Suretyship untuk dilakukan oleh Perusahaan Asuransi Syariah, dan hanya dilakukan oleh Perusahaan Asuransi Umum. 124 D. Data Perbandingan atau Komparasi Model Pengaturan Negara Lain dengan Indonesia Sebagaimana Telah Dijelaskan Dalam Keterangan sebagai Pihak Terkait Bahwa terkait pertanyaan Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah mengenai data perbandingan __ atau komparasi model pengaturan negara lain, dapat kami sajikan dalam tabel sebagai berikut: Tabel Praktik Suretyship di Beberapa Negara Lain No. Negara Pengaturan Keterangan 1. Tiongkok Article 6: “Suretyship as used in this Law means an agreement pursuant __ to which a surety and a creditor __ agree that the surety shall perform the obligation or bear the liability according to the agreement, when the debtor fails to perform his obligation.” Article 7: A legal person, other organization or a citizen capable of assuming debts may act as a surety . Article 8: “No State organ may act as a surety, except in the case of securing loans, for onlending, from a foreign government or an international economic organization as is approved by the State Council.” _Ref: _ Adopted at the 14 ^th Meeting of the Standing Committee of the Eight National People’s Congress on June 30, promulgated by Order No. 50 of the President of the People’s Republic of China on June 30, 1995, and effective as of October 1, 1995, “Guaranty Law”) Article 95: • Pengaturan mengenai Suretyship di Tiongkok berdasarkan Guarantee Law of the People’s Republic of China (1995) tercantum dalam Article 6 Chapter II (Suretyship) yang menyatakan bahwa Suretyship merupakan suatu perjanjian antara penjamin dengan kreditor, dimana penjamin sepakat untuk menanggung atau melakukan kewajiban berdasarkan perjanjian, jika debitur gagal melakukan kewajibannya. • Guarantee Law pada prinsipnya tidak membatasi pihak yang dapat menjadi penjamin kecuali oleh Guarantee Law ditentukan lain/terdapat pengecualian. • Pengaturan Suretyship dalam regulasi di Tiongkok lebih bersifat umum. Lini usaha Suretyship di Tiongkok pada dasarnya meliputi beberapa area seperti banking dan juga asuransi, dengan catatan bahwa sepanjang pihak (person), organisasi lainnya dan warga negara yang secara legal dan mampu menanggung hutang, dapat bertindak sebagai Penjamin (Surety). • Selain itu, dalam Insurance Law of the People’s Republic 125 The scope of business of an insurance company shall be as follows :
Personal insurance, including life insurance, health insurance, accidential injury insurance, etc.;
Property insurance, including property loss or damage insurance, liability insurance, credit insurance and surety bonds, etc.; and (3) Other insurance-related businesses approved by the insurance regulatory body under the State Council. _Ref: _ Adopted at the 14 ^th Meeting of the Standing Committee of the Eight National People’s Congress on June 30 1995, amended three times on 28 October 2002, on 28 February 2009 and on 24 April 2015, Insurance Law) of China (2015) Article 95 diatur bahwa surety bond merupakan jenis usaha yang dapat dilakukan Perusahaan Perasuransian yang tergolong ke dalam jenis usaha asuransi properti. Bahkan Insurance Law (2015 ) juga memberikan keleluasaan kepada Perusahaan Perasuransian untuk menerbitkan produk usaha lainnya selain Surety Bond , dalam hal ini merupakan bentuk Suretyship lainnya). • Terdapat putusan Supreme Court di Tiongkok terhadap suatu kasus terkait accessory principle apply to surety bonds , bahwasanya Suretyship itu sendiri secara nature merupakan bagian dari perasuransian. Sehingga jika dikaitkan lebih lanjut dengan UU Perasuransian dan UU Penjaminan di Indonesia, walaupun dalam UU Perasuransian tidak disebutkan secara clear pengaturan terkait Suretyship, namun secara praktik, sejarah dan by nature (sebagaimana penjelasan di atas) Suretyship di Indonesia merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari industri perasuransian.
Filipina Title 4 SURETYSHIP Sec. 175. A contract of suretyship is an agreement whereby a party called the surety guarantees the performance by another party called the principal or obligor of an obligation or undertaking in favor of a third party called the obligee. It includes official recognizances, stipulations, bonds or undertakings issued by any company by virtue of and under the • Filipina sebagai negara yang menganut sistem Common Law, mengatur mengenai Suretyship baik dalam Insurance Act/Undang-Undang Asuransi (Republic Act No.2427 of 1914), General Banking Act/Undang-Undang Bank Umum (Republic Act No.8791 of 2000), serta Surety Act/Undang-Undang Surety (Republic Act No.2203 of 1913). • Insurance Act No. 2427/1914 126 provisions of Act No. 536, as amended by Act No. 2206. Sec. 176. The liability of the surety or sureties shall be joint and several with the obligor and shall be limited to the amount of the bond. It is determined strictly by the terms of the contract of suretyship in relation to the principal contract between the obligor and the obligee. (As amended by Presidential Decree No. 1455). Ref: Republic Act No. 2427 An Act Revising The Insurance Laws And Regulating Insurance Business In The Philippine Islands, “Insurance Act 1912”) Sect. 29. Powers of a Commercial Bank. — A commercial bank shall have, in addition to the general powers incident to corporations, all such powers as may be necessary to carry on the business of commercial banking, such as accepting drafts and issuing letters of credit ; discounting and negotiating promissory notes, drafts, bills of exchange, and other evidences of debt; accepting or creating demand deposits; receiving other types of deposits and deposit substitutes; buying and selling foreign exchange and gold or silver bullion; acquiring marketable bonds and other debt securities ; and extending credit, subject to such rules as the Monetary Board may promulgate. These rules may include the determination of bonds and other debt securities eligible for investment, the maturities and aggregate amount of such investment. membagi bisnis asuransi di Filipina dalam empat jenis usaha, yaitu: asuransi umum (Chapter 1), asuransi kelautan (Chapter 2), asuransi kebakaran (Chapter 3), serta asuransi jiwa dan kesehatan (Chapter 4). Dalam Insurance Act 1914 tersebut juga dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Suretyship adalah perjanjan dimana penjamin (Surety) menjamin kinerja oleh pihak Prinsipal (obligor) dari kewajiban kepada Obligee. • Penerbitan Suretyship juga dapat dilakukan oleh Bank sebagaimana diatur dalam The General Banking Act of 2000 , yang bertujuan untuk menanggung kewajiban kontrak nasabah kepada bank. • Sementara, secara spesifik Filipina juga mengatur mengenai kegiatan Surety , yaitu dalam Undang-Undang No. 2203/1913 yang merupakan amandemen atas Undang-Undang No.536. Undang-undang ini mengatur Surety namun sebatas pada empat jenis jaminan, yaitu suatu Pengakuan (recognizance), Ketentuan (stipulation), Surat Utang (bond), dan Pelaksanaan Pekerjaan yang Ditentukan (undertaking specified), Undang-Undang tersebut dimaksudkan sebagai upaya menjamin kinerja suatu kondisi saat dieksekusi, atau dijamin semata-mata oleh perusahaan yang didirikan dengan berdasarkan hukum AS atau negara bagiannya, atau perusahaan apapun yang tunduk pada peraturan perundang-undangan Kepulauan Filipina, kecuali 127 Ref: Republic Act No. 8791 An Act Providing For The Regulation Of The Organization And Operations Of Banks, Quasi-Banks, Trust Entities And For Other Purposes “The General Banking Act of 2000”) perusahaan tersebut diizinkan Pemerintah Kepulauan Filipina untuk menjadi penjamin atas keempat hal tersebut. Pada prinsipnya, suatu penjaminan tidak harus dilaksanakan tersendiri oleh suatu Perusahaan Penjaminan maupun Perusahaan Penjaminan khusus.
Singapura Classification of insurance business and construction of references to matters connected with insurance 2.-(1) For the purposes of this Act, insurance business shall be divided into 2 classes — (a) life business, which means all insurance business concerned with life policies, long-term accident and health policies, or both; and [23/2003 wef 01/01/2004] (b) general business, that is to say, all insurance business which is not life business, and shall include the effecting and carrying out by any person, not being a person licensed, approved, designated or otherwise regulated under the Monetary Authority of Singapore Act (Cap. 186), Banking Act (Cap. 19), Finance Companies Act (Cap. 108) or Securities and Futures Act (Cap. 289); of contracts for fidelity bonds, performance bonds, administration bonds, bail bonds or customs bonds or similar contracts of guarantee, being contracts effected by way of business (and not merely incidental to some other business carried on by the person effecting them) in return for the • Suretyship dalam pengaturan hukum di Singapura diatur dalam Ch. 23 The Law of Guarantees . Seperti halnya Tiongkok dan Inggris, Singapura juga tidak membatasi bidang usaha Suretyship , dengan kata lain banking dan asuransi masuk dalam area praktik surertyship tersebut. • Hanya saja dalam pengaturan tersebut Singapura lebih mengedepankan prinsip utama dalam Suretyship law , yaitu perjanjian penjaminan yang dibuat diantara penjamin (Surety) dan debitor utama harus berdasarkan kesepakatan dan persetujuan dari pihak Surety, sehingga apabila perjanjian tersebut dilakukan tanpa persetujuan dari pihak Surety, maka dapat dipastikan pihak Surety harus dibebaskan dari kewajibannya kecuali dalam kontrak penjaminan menyatakan sebaliknya. • Lebih lanjut berdasarkan pengaturan hukum Singapura dalam Insurance Act, Suretyship merupakan lini usaha yang bisa dijalankan oleh Perusahaan Perasuransian yang tergolong ke dalam ruang lingkup usaha asuransi umum. Sama halnya dengan Inggris, pengaturan 128 payment of one or more premiums. Ref: Insurance Act (Chapter 142) (Original Enactment: Act 46 of 1966) Revised Edition 2002 (31st December 2002)) 27.-(1) Every bank in Singapore shall prepare a statement in respect of each quarter of a year, in such form as may be specified by the Authority, showing as at the end of that quarter all the credit facilities from, all the exposures of the bank to, and all the transactions of the bank with — (a) any person in a director group of the bank; (b)...etc. “credit facilities” means — (a) the granting by a bank of advances, loans and other facilities whereby a customer of the bank has access to funds or financial guarantees ; or (b) the incurring by a bank of other liabilities on behalf of a customer; Ref: Banking Act (Chapter 19) (Original Enactment: Act 41 of 1970), Revised Edition 2008 (31st March 2008) mengenai bentuk Suretyship juga diatur antara lain berupa fidelity bonds, performance bonds, administration bonds, bail bonds, atau __ customs bonds. • Singapura juga tidak membatasi penerbitan Suretyship hanya kepada bidang usaha tertentu. Banking Act memperbolehkan Bank untuk memberikan penjaminan. Dalam proyek pembangunan infrastruktur misalnya, Bank di Singapura juga dapat menerbitkan Suretyship. John Phillips, Michelle Chen, “The Law of Guarantees: Balancing the Interests of the Parties, s. (2014). 2013 Jones Day Professorship of Commercial Law Lecture. https: //ink.library.smu.edu.sg/jday _lect/2 4. Inggris Suretyship 15 -(1) Contracts of insurance against the risks of loss to the persons insured arising from their having to perform contracts of guarantee entered into by them.
Fidelity bonds, performance bonds, administration bonds, bail bonds or customs bonds or similar contracts of guarantee , where these are— • Dalam the Financial Services and Markets Act 2000, Suretyship diartikan sebagai salah satu bentuk kontrak asuransi terhadap risiko kerugian bagi orang yang diasuransikan yang timbul dari kewajian dalam kontrak jaminan antara Obligee dengan Principal. __ • Dalam the Financial Services and Markets Act 2000 disebutkan apa saja yang __ termasuk dalam Suretyship antara lain __ fidelity bonds, 129 (a) effected or carried out by a person not carrying on a banking business; (b) not effected merely incidentally to some other business carried on by the person effecting them; and (c) effected in return for the payment of one or more premiums. Instruments creating or acknowledging indebtedness 77.-(1) Subject to paragraph (2), such of the following as do not fall within article 78— (a) debentures; (b) debenture stock; (c) loan stock; (d) Bonds; (e) certificates of deposit; (f) any other instrument creating or acknowledging indebtedness.
If and to the extent that they would otherwise fall within paragraph (1), there are excluded from that paragraph— (a) an instrument acknowledging or creating indebtedness for, or for money borrowed to defray, the consideration payable under a contract for the supply of goods or services; (b) a cheque or other bill of exchange, a banker’s draft or a letter of credit (but not a bill of exchange accepted by a banker); (c) a banknote, a statement showing a balance on a current, performance bonds, bail bonds or customs bonds. Sehingga pengaturan terkait Suretyship tidak hanya berlaku untuk bidang usaha asuransi saja melainkan juga banking area. __ • Central Unit on Procurement (CPU), HM Treasury, pada tahun 1994, juga pernah menerbitkan pedoman No. 48 tentang Bonds and Guarantees , yang di dalamnya memuat mengenai pelaksanaan Suretyship oleh bank atau Surety Company lainnya. Sebagian besar pengaturan mengenai Suretyship timbul dari putusan pengadilan atas perkara- perkara tertentu yang berkaitan dengan Suretyship yang dikeluarkan oleh Perusahaan Perasuransian maupun bank. __ • Selain itu pengaturan suretyship di Inggris merupakan bagian dari asuransi umum, sebagaimana tercantum dalam Regulated Activities Order terkait kontrak asuransi umum (khususnya terkait risiko kerugian). __ • Dalam the Financial Services and Markets Act 2000 juga diatur mengenai ruang lingkup usaha Bank yang antara lain adalah membuat kontrak asuransi yang dapat merujuk pada Suretyship sebagaimana usaha perasuransian dan termasuk juga menerbitkan letter of credit. • Sebagian besar pengaturan mengenai Suretyship timbul dari putusan pengadilan atas perkara-perkara tertentu yang berkaitan dengan Suretyship yang dikeluarkan oleh Perusahaan Perasuransian maupun Bank. __ James Devenney, Lorna Fox & Mel Kenny, “Standing surety in England and Wales: the sphinx 130 deposit or savings account, a lease or other disposition of property, or a heritable security; and (d) a contract of insurance. Ref: the Financial Services and Markets Act 2000 (Regulated Activities) Order 2001 (SI 2001/544). of procedural protection”, Lloyds Maritime and Commercial Law Quarterly. http: //hdl.handle.net/10036/3451 Bahwa dengan demikian, berdasarkan data perbandingan dan model komparasi pengaturan mengenai lini usaha Suretyship yang dipraktikkan di beberapa negara seperti Tiongkok, Filipina, Singapura, dan Inggris, dapat dilakukan oleh Perusahaan Perasuransian, Perusahaan Penjaminan maupun lembaga lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. [2.6] Menimbang bahwa Mahkamah Konstitusi pada persidangan tanggal 10 September 2020 telah menghadirkan satu orang ahli yaitu Irvan Rahardjo, S.E., M.M., yang telah menyampaikan keterangan pada persidangan tanggal 10 September 2020 dan dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima pada tanggal 10 September 2020, yang pada pokoknya sebagai berikut:
Sejarah lahirnya asuransi dan sejarah asuransi di Indonesia pada umumnya Sejarah asuransi merupakan sejarah panjang ikhtiar umat manusia untuk mengurangi resiko yang lahir dari ketidakpastian dengan membagi atau mengalihkan resiko yang mengancam, pada satu pihak ke pihak lain. Disisi lain, asuransi juga sejarah ikhtiar manusia dalam mengambil keuntungan melalui pengumpulan dana dari masyarakat dengan memberikan janji untuk memberikan manfaat kepada pihak yang hendak menghindarkan diri dari ancaman risiko yang timbul dari ketidakpastian. Dari berbagai sumber diketahui bahwa sejarah awal asuransi sebelum memasuki abad pertengahan dapat dibagi dalam beberapa periode, yaitu masa Babylonia, Yunani dan Romawi. Sejarah asuransi yang tertua dapat ditelusuri sampai sekitar 4000 tahun silam dalam bentuk upaya para pemilik kapal atau para pedagang bangsa Babylonia yang hidup dintara sungai Euphrat dan Tigris - yang sekarang termasuk dalam wilayah Irak-untuk melindungi usaha mereka terhadap ketidakpastian. Pada masa itu mereka dapat meminjam uang dari 131 pedagang lain yang bertindak sebagai kreditor dengan menggunakan kapalnya atau barang dagangan sebagai jaminan. Pemilik kapal atau pedagang akan melunasi hutangnya setelah kapal selamat sampai di tujuan beserta sejumlah biaya tambahan kepada kreditor yang bertindak sebagai penanggung risiko. Peminjam dibebaskan dari hutang apabila kapal atau barang dagangan tidak selamat sampai tujuan. Tambahan biaya tersebut dapat dianggap sebagai premi. Sumber lain menyebutkan bahwa perjanjian dilakukan atas risiko perdagangan dengan angkutan darat ( caravan). Perjanjian yang menggunakan kapal sebagai jaminan pinjaman dan kreditor kehilangan uangnya bila kapal hilang dalam pelayaran tersebut dinamakan bottomry. Bentuk perjanjian tersebut memperoleh kekuatan hukum dibawah Kode Hammurabi (sekitar 2100 sebelum Masehi). Bangsa Phoenicia dan Yunani memberlakukan sistem yang sama bagi perdagangan laut mereka. Berdasarkan sejarah yang lain diketahui pula bahwa untuk mengurangi risiko kehilangan barang selama dalam pelayaran di sungai Hoang Ho di Cina, pada sekian abad sebelum Masehi, para pedagang yang melayari sungai tersebut membagi muatan barang dagangan mereka masing masing kedalam beberapa jung. Apabila dalam setiap pelayaran terdapat jung yang memuat barang mereka mengalami musibah, tingkat kerugian setiap pedagang hanya akan sebatas jumlah barang dagangan yang terdapat didalam jung yang mengalami musibah saja. Pada masa pemerintahan Alexander The Great di Yunani sebagai upaya untuk mengumpulkan dana, pemerintah memberikan jaminan untuk menangkap setiap budak yang melarikan diri atau memberikan penggantian atas harga beli budak yang hilang dengan imbalan pembayaran sejumlah uang. Perjanjian pemberian manfaat tersebut pada dasarnya sama dengan perjanjian asuransi umum dan imbalan uang yang dibayar oleh peserta dapat disebut sebagai premi asuransi. Pada masa tersebut terdapat pula suatu bentuk penjaminan oleh pemerintah yang meminjam uang kepada umum dengan imbalan pemberian bunga setiap bulan sampai pemilik uang wafat dan menyediakan biaya pemakaman bagi pemilik uang. Bentuk penjaminan ini merupakan bentuk asuransi jiwa yang pertama walaupun sebagaimana halnya dengan penjaminan terhadap 132 kehilangan budak, perjanjian ini timbul dari inisiatif pemerintah untuk mengumpulkan dana. Sebagaimana halnya hukum perbankan, hukum asuransi modern berasal dari praktik pedagang pedagang di Genoa, Italia pada awal abad keempat belas yang mengasuransikan kapal kapal dan muatan mereka terhadap risiko perjalanan laut. Perjanjian asuransi atas kapal Santa Clara pada tahun 1347 di Genoa merupakan perjanjian asuransi autentik yang tertua dalam pengertian adanya pengalihan risiko kerugian yang mungkin timbul karena peristiwa yang tidak pasti dengan imbalan sejumlah premi. Pada masa tersebut, lahirlah pribadi pribadi yang bertindak sebagai pihak yang bersedia menanggung sebagian risiko yang dihadapi oleh sesama pedagang dengan imbalan sejumlah bayaran. Praktik ini kemudian diadopsi sebagai dasar model asuransi yang berlaku sampai sekarang di Lloyd’s of London. Selama berabad abad Lloyd’s of London sepenuhnya terdiri dari berbagai sindikat ( syndicate ) yang merupakan pribadi pribadi yang bertindak sebagai underwriter yang melakukan transaksi asuransi, dimulai dari warung kopi Edward Lloyds di masa lalu sampai ke bangunan Lloyds of London saat ini. Pemilik masing masing sindikat memberikan jaminan hak milik pribadi dalam setiap penutupan asuransi. Praktik tersebut akhir akhir ini telah mengalami pergeseran dengan semakin banyaknya sindikat pada Lloyd’s of London yang berbentuk badan hukum dengan tanggung jawab sebatas modal usaha mereka. Penutupan asuransi atau reasuransi oleh Lloyd’s of London hanya dilakukan melalui pialang asuransi yang terdaftar di Lloyd’s of London. Dari perkembangan diatas, nampak bahwa bermula dari perjanjian yang timbul dari peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, landasan hukum perjanjian berkembang menjadi perjanjian yang dikembangkan sesama pedagang atas jaminan yang diberikan untuk kepentingan komersial. Kegiatan yang semula dilakukan sebagai pekerjaan sambilan akhirnya menjadi perjanjian yang dikeluarkan pribadi pribadi dan perusahaan perusahaan yang sepenuhnya bertindak sebagai penanggung. Kegiatan asuransi di bumi Nusantara dikenal pertama kali mengikuti kegiatan bangsa Belanda dalam usaha perkebunan dan perdagangan di negeri 133 jajahannya. Pada awalnya kegiatan asuransi terbatas untuk melindungi kepentingan Belanda, Inggris dan bangsa Eropa lainnya yang melakukan perdagangan dan usaha perkebunan di Indonesia, terutama untuk asuransi pengangkutan dan kebakaran. Asuransi jiwa nasional pertama adalah Bumiputera 1912 yang didirikan pada tahun 1912 di Magelang atas prakarsa seorang guru yang bernama M.Ng Dwidjosewoyo sebagai perusahaan asuransi yang berbentuk badan usaha bersama ( mutual ) pendirian Bumiputera 1912 didorong oleh keprihatinan yang mendalam terhadap nasib para guru kaoem boemipoetra . Pencapaian penting lainnya dalam tonggak sejarah asuransi Indonesia sejak kemerdekaan antara lain adalah terlaksananya Kongres Asuransi Nasional Seluruh Indonesia (KANSI) pertama pada 25 – 30 November 1956 di Bogor. Tujuan dari kongres tersebut antara lain untuk menyatukan pendapat dan bekerjasama memberikan sumbangan yang bermanfaat bagi perekonomian nasional, mengatasi sisa sisa sistem perekonomian kolonial dan peningkatan kesadaran berasuransi. Kongres tersebut antara lain melahirkan kesepakatan pendirian Dewan Asuransi Indonesia (DAI) pada 1 Februari 1957.
Pengaturan Asuransi Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan bahwa sesuatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Menurut Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa yang seorang berjanji kepada seseorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Unsur yang menjadi para pihak dalam suatu perjanjian, kata “orang” dalam pasal 1313 KUH Perdata tersebut, tidak semata mata diartikan “orang per orang” sebagaimana dalam pasal 1792 KUH Perdata tetapi juga “pihak” yakni orang dengan orang, badan dengan orang dan badan dengan badan. Perjanjian asuransi disebutkan sebagai sebuah perjanjian dimana atas imbalan sejumlah premi yang telah disepakati, satu pihak menyanggupi untuk memberikan ganti rugi kepada pihak yang lain atas subyek tertentu sebagai akibat dari bahaya tertentu. 134 3. Sahnya Perjanjian Asuransi Pasal 1320 KUH Perdata menyatakan bahwa terdapat empat syarat sahnya suatu perjanjian yaitu sepakat mereka yang mengikatkannya, adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Ketentuan tersebut dapat dibandingkan dengan elemen elemen perjanjian asuransi pada umumnya yaitu: offer and acceptance, consideration, legal object, competent parties dan legal form. 4. Pengalihan Resiko Dasar hukum perjanjian asuransi sebagaimana diatur dalam Pasal 1774 KUH Perdata menggolongkan perjanjian asuransi kedalam perjanjian untung untungan semata atau bertujuan spekulatif. Sedangkan perjanjian asuransi mempunyai tujuan yang lebih pasti yaitu pengalihan risiko. Namun dengan dimasukkannya asuransi kedalam KUH Dagang menjadikan asuransi sebagai perbuatan ekonomi yang sah oleh hukum dan pengakuan sah tersebut telah diatur dalam berbagai undang undang diluar KUH Dagang antara lain Undang Undang Nomor 2 Tahun 1912 tentang Usaha Perasuransian yang telah diubah dengan Undang Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
Lahirnya Perjanjian Asuransi Menurut pasal 1233 KUH Perdata, suatu perikatan dapat dilahirkan karena persetujuan maupun karena undang undang. Asuransi komersial adalah suatu perjanjian yang lahir karena persetujuan dan dapat lahir karena undang undang. Sedangkan asuransi sosial dan jaminan sosial lahir karena undang undang.
Pengertian Asuransi menurut KUH Dagang Robert Bradgate mengatakan dalam konteks industri asuransi di Inggris dan berbagai peraturan yang berlaku disana dan preseden yang ada, karena begitu luasnya risiko yang dapat ditanggung oleh asuransi, penggunaan definisi “asuransi” dapat dipertanyakan walaupun untuk tujuan tujuan tertentu sebuah definisi mungkin bermanfaat. Pertama , mereka yang menjalankan usaha perasuransian harus tunduk kepada peraturan perundang-undangan tertentu. Kedua, beberapa ketentuan hukum tertentu tidak berlaku terhadap perjanjian asuransi. Ketiga, meskipun perjanjian 135 asuransi adalah sebuah perjanjian yang akan tunduk kepada ketentuan perundang-undangan yang umum atas suatu perjanjian, sejumlah ketentuan khusus berlaku atas perjanjian asuransi (dalam sistem common law ) 7. Pasal 247 & 268 KUH Dagang Meskipun pasal 247 KUH Dagang membatasi asuransi hanya merupakan asuransi terhadap bahaya kebakaran, asuransi pertanian, asuransi jiwa, asuransi pengangkutan laut, darat dan sungai namun pasal 268 KUH Dagang menyebutkan suatu pertanggungan dapat mengenai segala kepentingan yng dapat dinilai dengan uang, dapat diancam oleh sesuatu bahaya dan tidak dikecualikan oleh undang undang. 8. Perkembangan Suretyship dan Surety Bond di Indonesia Bidang usaha yang memberikan jaminan dalam bentuk surety bond bukan merupakan bidang usaha yang baru. Luther E. Mackall dalam bukunya “Security Underwriting Manual” menyebutkan bahwa sudah sejak berabad- abad yang lalu ketika mulainya zaman peradaban, seseorang menyediakan diri bagi kawan kawannya sebagai penjamin kepada pihak ketiga yang berhubungan dengan kewajibannya dengan atau tanpa suatu imbalan (Sianipar, 2000). Setelah zaman berganti maka timbulah badan-badan hukum yang didirikan untuk menampung resiko tersebut. Tercatat Amerika Serikat pada tahun 1837, William L. Watkins mengeluarkan pamflet yang mengusulkan pembentukan The New York Guarantee Company. Di Negeri Belanda tepatnya di Amsterdam berdiri N.V. Nationale Borg Maatsccappij pada tahun 1893. Kemudian Pemerintah Amerika Serikat pada tahun 1894 secara resmi mengakui pemberian jaminan oleh perusahaanperusahaan Surety Bonds Corporation yang sudah berdiri di Amerika Serikat (Sianipar, 2000). Seperti diketahui khususnya dalam asuransi kerugian terdapat jenis-jenis asuransi, seperti asuransi kebakaran, asuransi kendaraan, asuransi pengangkutan, asuransi kecelakaan, asuransi rekayasa, asuransi properti, asuransi tanggung jawab hukum serta asuransi jaminan (surety) Bila dikaitkan dengan surety bond maka pengertian surety bond erat terkait dengan asuransi tanggung jawab hukum dan asuransi jaminan. 136 Di Indonesia sebelum tahun 1978 lembaga jaminan yang mirip surety bond selama ini adalah bank garansi. Barulah pada tanggal 6 Desember 1978 pemerintah memberi peluang melalui Peraturan pemerintah RI, No.34 tahun 1978 untuk Asuransi Kerugian Jasa Raharja melakukan perluasan usahanya dari asuransi wajib di bidang pertanggungan wajib kecelakaan penumpang umum dan kecelakaan lalulintas jalan. Adapun perluasan usaha yang dimaksud adalah pemberian jaminan dalam bentuk surety bond. Ketentuan diatas kini tidak berlaku setelah dikeluarkannya Kepres No. 18 tahun 2000 yang mengatur tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang dan jasa instansi pemerintah. Kepres ini kemudian dilengkapi dengan Keputusan Bersama Menteri Keuangan RI dan Kepala Bappenas No. S-42/A/2000 dan No. S-2262/D.2/05/2000 tertanggal 3 Mei 2000, Isi Keputusan Bersama Menteri tersebut menegaskan bahwa perusahaan asuransi harus dari perusahaan asuransi yang mempunyai program asuransi kerugian (surety bonds) dan harus direasuransikan kepada perusahaan asuransi/reasuransi yang bonafid (Sianipar, 2000). Walaupun langkah untuk memperkenalkan dan mendukung penggunaan produk Surety Bond tersebut telah dilakukan oleh pemerintah antara lain melalui Keppres No. 18 Tahun 2000, tentu saja kesuksesan perusahaan asuransi dalam memasarkan produk penjaminan atau penanggungan tersebut akan sangat ditentukan oleh kepastian pembayaran oleh pihak asuransi itu sendiri sebagai penjamin atau yang lebih dikenal dengan Surety. Sebagai contoh, proyek-proyek yang dibiayai oleh pemerintah yang penawaran pengerjaannya kepada para kontraktor selalu dilakukan melalui tender berdasarkan Keppres No.18 tahun 2000 yang pada umumnya selalu mensyaratkan adanya jaminan (tender bond) dari kontraktor yang memenangkan tender tersebut terhadap kepastian kemampuan dan kualitas dari pelaksanaan proyek yang dimenangkannya tersebut sesuai dengan perjanjian yang disepakati. Begitu pula bila pihak pemberi kerja disepakati untuk terlebih dahulu memberikan uang muka kepada kontraktor untuk memulai pekerjaannya, umumnya pemberi kerja akan memproteksi dirinya dengan meminta jaminan (advance bond) terhadap resiko kerugian bila kontraktor yang telah menerima uang muka tersebut ternyata tidak melaksanakan pengerjaan proyek tersebut seperti yang disepakati. 137 Menteri Keuangan sebagai pengawas dan pembina usaha perasuransian di Indonesia, telah menyadari bahwa konsekuensi hukum dari penerbitan surety bond tersebut tidaklah mudah. Oleh karena itu, ijin untuk menerbitkan surety bond dibatasi secara ketat dan pada awalnya Kepres No. 14A tahun 1980 hanya diberikan pada PT. Persero Asuransi Jasa Raharja, yang dalam perkembangannya kemudian ijin penerbitan tersebut melalui Keputusan Menteri Keuangan RI (KMK RI) No. 761/KMK.013/1992 diperluas kepada 20 perusahaan asuransi, yang kemudian berdasarkan Surat Direktur Asuransi No. S 2272/DK/ 2001 tanggal 16 Mei 2001 yang ditujukan ke Pertamina menyatakan adanya 22 perusahaan asuransi yang berhak untuk menerbitkan surety bond. Surety Bond merupakan suatu produk inovatif yang ditawarkan oleh perusahaan asuransi sebagai upaya pengambilalihan potensi resiko kerugian yang mungkin dapat dialami oleh salah satu pihak, umumnya pemilik proyek ( bouheer) atas kepercayaan yang diberikan kepada pihak lain ( kontraktor) dalam pelaksanaan kontrak pemborongan yang telah disepakati oleh mereka. Jaminan tertulis tersebut secara hukum akan menimbulkan kewajiban bagi perusahaan asuransi selaku penjamin (surety) terhadap pihak penerima jaminan ( obligee/Kreditur) sebagai konsekuensi terhadap wanprestasi dari pihak yang dijamin ( principal/ debitu r) tersebut. Perbedaan Suretyship dan Asuransi No. Surety Bond Asuransi 1. Perjanjian Tanggung Renteng/Suretyship (Pasal 1313 KUH Perdata) dan Perjanjian Pertanggungan (Pasal 246 dst KUH Dagang) Perjanjian Pertanggungan (Pasal 246 KUH Dagang dst) 2. Para pihak terdiri dari Principal, Obligee dan Surety company Para Pihak terdiri dari Penanggung dan Tertanggung 3. Menjamin resiko baik yang berasal dari luar dan dari dalam principal (itikad/moral buruk) Para Pihak terdiri dari Penanggung dan Tertanggung 4. Premi dianggap sebagai biaya pelayanan (provisi/ service charge ) Premi dihimpun dari para tertanggung untuk membayar ganti rugi yang mungkin terjadi 5. Perjanjian suretyship bersifat unconditional, artinya Surety wajib membayar claim sebesar yang diperjanjikan. Misalkan Perjanjian Asuransi bersifat Conditional, artinya Asuransi hanya membayar claim yang 138 diperjanjikan bila principal gagal melaksanakan kontrak konstruksi maka claim surety harus dibayar Rp1 miliar. Ternyata Obligee gagal padahal dia sudah mengerjakan dengan biaya Rp500 juta. Maka pencairan kepada obligee tetap Rp1 miliar. benar-benar diderita Tertanggung, misalnya pertanggungan kebakaran Rp1 Miliar tapi terjadi kebakaran sebagian, maka asuransi hanya membayar claim Rp500 juta 6. Claim dibayar setelah principal dinyatakan gagal. Claim dibayar setelah diketahui penyebab yang dijamin dalam polis 9. Norma-norma UU 1/2016 tentang Penjaminan, UU 21/2011 tentang OJK dan UU Nomor 40/2014 tentang Perasuransian Beberapa norma hukum yang berlaku pada ketiga undang undang dimana eko sistem lini usaha suretyship berada dapat dikemukakan sebagai berikut: Aspek Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian Asas Penyelenggaraan usaha penjaminan berdasarkan asas kepentingan nasional; kepastian hukum; keterbukaan; akuntabilitas; profesionalisme; efisiensi berkeadilan; edukasi dan perlindungan konsumen (Pasal 2) Lembaga independen yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali secara tegas diatur dalam UU ini (Pasal 2 ayat (1)) Tata kelola usaha yang baik (Pasal 11 ayat (1)) perusahaan perasuransian wajib menerapkan standard perilaku usaha (Pasal 26) Tujuan Bertujuan menunjang kebijakan Agar seluruh kegiatan sektor jasa keuangan Untuk menciptakan industri perasuransian yang 139 pemerintah, mendorong kemandirian usaha; meningkatkan akses bagi dunia usaha; mendorong pertumbuhan pembiayaan; meningkatkan kemampuan produksi nasional; mendukung pertumbuhan perekonomian nasional; meningkatkan tingkat inklusivitas keuangan nasional (Pasal 3) terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel; mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat (Pasal 4) lebih sehat, dapat diandalkan, amanah dan kompetitif serta meningkatkan perannya dalam mendorong pembangunan nasional (Penjelasan) Pengawasan Lembaga penjaminan wajib menerapkan tata kelola perusahaan yang baik; wajib menjaga kondisi kesehatan keuangan (Pasal 26) Berwenang menetapkan kebijakan operasional, melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan memberikan perintah tertulis; menetapkan penggunaan pengelola statuter; menetapkan sanksi administratif; memberikan dan mencabut izin usaha/ izin orang Wajib menerapkan tata kelola perusahaan yang baik (Pasal 11 ayat (1)); anggota direksi, dewan komisaris atau yang setara wajib memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan (Pasal 11) 140 perorangan/ efektifnya pernyataan pendaftaran (Pasal 9) Reasuransi Lembaga penjaminan wajib melakukan mitigasi risiko dan mereasuransikan (Pasal 42 ayat (1)) n.a Menteri Keuangan menetapkan kebijakan umum dalam rangka pengembangan pemanfaatan asuransi dan reasuransi untuk mendukung perekonomian nasional (Pasal 57 ayat (2)) Klaim Lembaga penjaminan wajib memiliki cadangan klaim dan cadangan umum (Pasal 44) n.a Perusahaan asuransi wajib menjadi peserta program penjaminan polis (Pasal 53 ayat (1)) Retensi Sendiri Lembaga penjaminan wajib memiliki retensi sendiri (Pasal 49) n.a Wajib mengoptimalkan pemanfaatan kapasitas asuransi dalam negeri (Pasal 36) Penyelesaian Sengketa Dilakukan secara musyawarah mufakat; melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa (Pasal 54 ayat (1) dan (2)); kesepakatan Memfasilitasi penyelesaian pengaduan konsumen mediasi (Pasal 29c) 141 bersifat final dan mengikat Ketentuan Penutup Semua ketentuan mengenai penjaminan dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU ini (Pasal 63) UU No. 2/1992 tentang Usaha Perasuransian; UU No. 7/1992 tentang Perbankan; UU No. 11/1992 tentang Dana Pensiun; UU No. 8/1995 tentang Pasar Modal; UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia; UU No. 21/2008 tentang Perbankan Syariah dan peraturan UU lain di sektor keuangan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangdan belum diganti berdasarkan UU ini (Pasal 70) UU No. 2/1992 tentang Usaha Perasuransian dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (Pasal 90a); semua peraturan pelaksanaan dari UU No. 2/1992 dinyatakan masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU ini (Pasal 90c) 10. Kesimpulan Keteterangan Ahli Berdasarkan uraian tersebut diatas Ahli berkesimpulan sebagai berikut:
Asuransi lahir dan tumbuh sebagai hasil dari perikatan antara kedua pihak atau lebih subjek hukum baik perorangan maupun badan hukum dan sebagai hasil dari undang undang yang mengatur berbagai kehidupan ekonomi masyarakat.
Bahwa sejarah asuransi di dunia maupun di dalam negeri bertujuan untuk membagi dan mengalihkan risiko demi menjaga stabilitas keuangan anggota masyarakat pada khususnya dan kesejahteraan bangsa dan negara pada umumnya. 142 c. Bahwa sejak berdirinya industri asuransi nasional bertekad untuk bekerjasama memberikan sumbangan yang bermanfaat bagi perekonomian nasional, mengatasi sisa sisa sistem perekonomian kolonial dan peningkatan kesadaran berasuransi d. Bahwa lini usaha suretyship telah menjadi praktik bisnis perasuransian yang ditekuni sejumlah pelaku jasa keuangan asuransi dibawah pengaturan dan pengawasan Otoritas Jasa Keuangan yang melakukan pengawasan secara terintegrasi seluruh sektor jasa keuangan termasuk penjaminan. [2.7] Menimbang bahwa Pemohon, Presiden, dan Pihak Terkait menyerahkan kesimpulan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 17 September 2020 dan 18 September 2020 yang pada pokoknya tetap pada pendiriannya. [2.8] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan merujuk berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini.
PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang- Undang terhadap UUD 1945. 143 [3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon adalah permohonan untuk menguji konstitusionalitas norma undang-undang, in casu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618, selanjutnya disebut UU 40/2014) terhadap UUD 1945, maka Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo . Kedudukan Hukum Pemohon [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a; [3.4] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya, telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu: 144 a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh para Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum Pemohon sebagai berikut:
Bahwa norma undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo adalah Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 yang rumusannya adalah, (1) Ruang Lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat;
...
Bahwa Pemohon adalah Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) yaitu badan hukum perkumpulan yang para anggotanya adalah perusahaan- perusahaan yang bergerak di bidang perasuransian (Badan Hukum Privat) yang dalam hal ini diwakili oleh Ketua Dewan Pengurus Pusat AAUI, Wakil Ketua, Bendahara Dewan Pengurus Pusat AAUI, dan Direktur Eksekutif Dewan Pengurus Pusat AAUI, dan berdasarkan Akta Nomor 02 Pernyataan Keputusan Kongres Asosiasi Asuransi Umum Indonesia tentang Perubahan Anggaran Dasar, tanggal 4 Desember 2018 [vide bukti P-6] yang selanjutnya menyatakan bahwa pihak yang dapat bertindak untuk dan atas nama AAUI berdasarkan Pasal 14 dan berwenang menghadap ke pengadilan atas nama Organisasi AAUI berdasarkan Pasal 18 angka 2 adalah Dewan Pengurus Pusat yang 145 sekurang-kurangnya terdiri dari satu orang Ketua, satu orang Wakil Ketua, satu orang Bendahara, dan satu orang Direktur Eksekutif, dan Akta tersebut selanjutnya disahkan dengan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-0000962.AH.01.08 Tahun 2018 tentang Persetujuan Perubahan Badan Hukum Perkumpulan Perkumpulan Asosiasi Asuransi Umum Indonesia Dalam Bahasa Inggris Disebut General Insurance Association of Indonesia, tertanggal 18 Desember 2018, yang pada pokoknya menyebutkan nama-nama susunan pengurus dan pengawas AAUI [vide bukti P-13];
Bahwa Pemohon sebagai badan hukum privat perkumpulan yang berazaskan Pancasila dan berlandaskan UUD Negara Republik Indonesia serta sesuai dengan ketentuan Pasal 6 Anggaran Dasar, didirikan dengan tujuan mewakili kepentingan para anggota AAUI sebagai asosiasi nirlaba yang dibentuk dalam rangka memajukan industri asuransi umum dan reasuransi di Indonesia dengan menciptakan iklim usaha yang kondusif, penegakan etika berusaha dalam tatanan percaturan pasar global [vide bukti P-6];
Bahwa berdasarkan sertifikat keanggotaan [vide Bukti P-9], saat ini terdapat 45 perusahaan asuransi yang menjadi anggota Pemohon yang telah menjalankan bidang usaha suretyship berdasarkan izin dari pihak OJK [vide Bukti P-10];
Bahwa Pemohon menjelaskan suretyship yang __ telah dijalankan sebagai terobosan produk asuransi, dan prakteknya telah berlangsung lama tidak secara tegas dinormakan Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 sehingga bertentangan dengan prinsip kepastian hukum yang adil dan menimbulkan kerugian atau potensial menimbulkan kerugian tidak hanya kepada para anggota dari Pemohon namun juga perusahaan asuransi lainnya yang menjalankan lini usaha suretyship, bahkan telah mengancam lini usaha suretyship yang sudah dijalankan selama puluhan tahun, yang manfaatnya dirasakan bagi pembangunan nasional;
Bahwa Pemohon juga menerangkan Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 juga telah menyebabkan kerugian bagi anggota Pemohon karena beragam produk yang lahir dan dikembangkan anggota Pemohon dari bidang usaha suretyship seperti jaminan penawaran (bid bond) , jaminan pelaksanaan (performance bond) , jaminan uang muka (advance payment bond) , jaminan pemeliharaan (maintenance bond) , jaminan pembayaran serta jaminan kepabeanan (custom bond), __ secara potensial tidak lagi dapat dilakukan, padahal produk tersebut 146 sangat dibutuhkan untuk menjamin kelangsungan proyek pembangunan dengan skala yang besar baik di bidang konstruksi maupun non konstruksi;
Bahwa oleh karenanya menurut Pemohon, kehadiran Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 dengan cara langsung maupun tidak langsung potensial pasti merugikan berbagai macam usaha-usaha yang sudah dilakukan secara terus- menerus oleh Pemohon dalam rangka menjalankan tugas dan peranannya untuk memajukan industri asuransi umum dan reasuransi di Indonesia dengan menciptakan iklim usaha yang kondusif, penegakan etika berusaha dalam tatanan percaturan pasar global. Oleh karenanya, norma Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 yang diajukan dalam Permohonan ini secara faktual atau setidak- tidaknya potensial telah merugikan hak konstitusional Pemohon yang diakui, dijamin, dan dilindungi UUD 1945; Berdasarkan penjelasan Pemohon dalam menerangkan kedudukan hukumnya berkenaan dengan pengujian Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014, Pemohon menyatakan diri sebagai asosiasi yang berbentuk badan hukum yang potensial dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya undang-undang a quo, dan Pemohon telah pula menjelaskan kedudukannya di dalam asosiasi tersebut dengan melampirkan ketentuan yang menyatakan pihak yang dapat mewakili asosiasi tersebut untuk bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan. Oleh karena itu menurut Mahkamah berkaitan dengan kedudukan hukum dalam mengajukan permohonan a quo Pemohon telah dapat membuktikan bahwa Pemohon adalah subjek hukum yang dapat mengajukan permohonan a quo dan Pemohon juga telah dapat menjelaskan adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara anggapan kerugian konstitusional yang bersifat potensial yang dialami dengan berlakunya norma dari pasal yang dimohonkan pengujian. Dengan demikian terlepas dari terbukti atau tidaknya dalil permohonan Pemohon perihal pertentangan norma UU 40/2014 yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo, Mahkamah berpendapat, Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo. [3.6] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo, maka selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon. 147 Pokok Permohonan [3.7] Menimbang bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014, Pemohon mengemukakan argumentasi sebagaimana selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara yang pada pokoknya sebagai berikut:
Bahwa, menurut Pemohon, pemberian penjaminan di Indonesia saat ini dilayani oleh industri yang berbeda-beda, antara lain, industri perbankan terdapat bank umum yang dapat menerbitkan produk bank garansi. Selain itu, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia atau Exim Bank yang juga menerbitkan bank garansi. Berikutnya, perusahaan penjaminan yang menerbitkan surety bond dan industri perasuransian dengan perusahaan asuransi umum yang menerbitkan produk _suretyship; _ 2. Bahwa, menurut Pemohon, dalam konteks peraturan perundang-undangan Indonesia, eksistensi lembaga perbankan dalam menjalankan usaha bank garansi diakomodir secara tegas melalui Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU 7/1992) jo. Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU 10/1992). Demikian pula dengan perusahaan penjaminan dalam menjalankan lini usaha surety bond telah diatur secara eksplisit dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan (UU 1/2016);
Bahwa, menurut Pemohon, konsep suretyship merupakan salah satu bentuk konsep pertanggungan yang diatur dalam Pasal 1316 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kegiatan pertanggungan itu sendiri diantaranya meliputi pertanggungan biasa, bank garansi, serta suretyship . Pada dasarnya, jika dibandingkan antara suretyship dengan bank garansi, misalnya, maka keduanya memiliki fungsi yang sama sebagai pertanggungan pelaksanaan proyek, meski masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda. Namun, secara historis sebenarnya perusahaan-perusahaan asuransi telah menjalankan lini usaha suretyship sejak tahun 1978 bahkan pengaturannya telah dituangkan dalam berbagai macam bentuk perundang-undangan;
Bahwa, menurut Pemohon, dalam perkembangannya, ketika ketentuan yang mengatur asuransi secara khusus (lex specialis) diterbitkan melalui Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (UU 2/1992) 148 hingga UU 40/2014, suretyship masih juga belum diatur secara eksplisit dalam UU a quo , walaupun dalam Pasal 1 angka 4 UU 40/2014 memang disebutkan jasa pertanggungan atau pengelolaan resiko yang bisa saja termasuk makna suretyship, namun tetap saja ruang lingkup lini usaha yang diakui sebagai lini usaha perusahaan asuransi adalah seperti yang ditegaskan pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU 40/2014;
Bahwa, menurut Pemohon, tampak dengan jelas, Pasal 2 dan Pasal 3 UU 40/2014 justru membatasi lini usaha asuransi. Sementara, status suretyship kendati masuk dalam kategori lini usaha yang dapat diperluas menurut Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 dengan Peraturan OJK, namun perluasan dalam pasal tersebut tidak secara tegas menyebutkan lini usaha _suretyship; _ 6. Bahwa, menurut Pemohon, muncul persoalan ketidaksesuaian pembentukan norma dengan adanya Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU 1/2016 yang dipastikan menjadi penghalang tidak dapat dilaksanakannya lini usaha suretyship oleh perusahaan asuransi. Selain itu adanya ketidaksesuaian pembentukan norma semakin nampak dengan berlakunya undang-undang lain yang lahir kemudian yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (UU 2/2017), suretyship diakui sebagai salah satu lini usaha perusahaan asuransi, selain juga menegaskan adanya lembaga perbankan, dan/atau perusahaan penjaminan seperti yang ditegaskan dalam Pasal 57 ayat (4) UU 2/2017;
Bahwa, menurut Pemohon, Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 serta bersifat multitafsir serta tidak memiliki ukuran yang jelas apa yang dimaksud dengan “dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat”. Keadaan ini telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para anggota Pemohon untuk menjalankan lini usahanya. Hal ini ditambahkan dengan tidak adanya penjelasan dalam UU a quo mengenai apa yang dimaksud dalam pasal a quo, padahal sejak awal suretyship adalah merupakan lini usaha dari perusahaan asuransi, kemudian terbit UU 1/2016 yang tidak membenarkan suretyship dilakukan oleh perusahaan asuransi, namun terbit lagi UU 2/2017 dan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres 16/2018) yang membenarkan suretyship dilakukan oleh perusahaan asuransi _; _ 149 8. Bahwa, menurut Pemohon, Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 berpotensi membatasi hak Pemohon untuk turut serta dalam perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasarkan atas prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, dan berkelanjutan. Apalagi dengan berlakunya Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU 1/2016 yang dapat menegasikan kontribusi perusahaan asuransi yang selama ini telah turut serta memberi jaminan bagi berjalannya proyek-proyek tersebut melalui lini usaha suretyship . Jika suretyship tidak dapat dilakukan oleh perusahaan-perusahaan asuransi dipastikan akan menghambat kelanjutan pembangunan nasional sekaligus terhalangnya proyek pembangunan pemerintah;
Bahwa, menurut Pemohon, untuk mengisi kekosongan hukum akibat tidak adanya kepastian hukum pengaturan mengenai suretyship tersebut, Mahkamah Konstitusi diharapkan untuk membentuk norma hukum baru sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-IX/2011 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010;
Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, Pemohon selanjutnya memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap sepanjang tidak dimaknai “Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas termasuk lini usaha suretyship sesuai dengan kebutuhan masyarakat .” [3.8] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalil permohonannya, Pemohon telah mengajukan bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-13 dan dua orang ahli bernama Prof. Susi Dwi Harijanti, S.H., L.L.M., Ph.D. dan Dr. Kornelius Simanjuntak, S.H., M.H., AAIK., yang masing- masing telah didengar keterangannya dalam persidangan dan telah dibaca keterangan tertulisnya, serta dua orang saksi bernama Tjindra Parma Wignyoprayitno, S.H., M.H., dan Ir. Manahara R. Siahaan yang masing-masing telah didengar keterangannya dalam persidangan. Di samping itu Pemohon juga telah menyampaikan kesimpulan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 18 September 2020 (sebagaimana selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara). 150 [3.9] Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat telah memberikan keterangan lisan dalam persidangan pada tanggal 13 Juli 2020 dan dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 27 Agustus 2020 (sebagaimana selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara). [3.10] Menimbang bahwa Presiden pada tanggal 3 Maret 2020 telah memberikan keterangan lisan dan dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima dalam persidangan, serta keterangan tertulis tambahan yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 Juli 2020. Di samping itu Presiden juga telah menyampaikan kesimpulan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 17 September 2020 (sebagaimana selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara). [3.11] Menimbang bahwa Pihak Terkait Otoritas Jasa Keuangan pada tanggal 22 Juni 2020 telah memberikan keterangan lisan dan dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima dalam persidangan, serta keterangan tertulis tambahan yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 Juli 2020. Di samping itu Pihak Terkait juga telah menyampaikan kesimpulan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 18 September 2020 (sebagaimana selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara). [3.12] Menimbang bahwa untuk kepentingan Mahkamah, dalam persidangan tanggal 10 September 2020, Mahkamah telah menghadirkan satu orang ahli bernama Irvan Rahardjo, S.E., M.M. yang keterangan tertulisnya telah diterima Mahkamah pada tanggal 10 September 2020 dan keterangannya telah didengar dalam persidangan sebagaimana tersebut di atas (sebagaimana selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara). [3.13] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan Pemohon beserta bukti-bukti yang diajukan, baik bukti tertulis dan keterangan para ahli serta saksi yang diajukan Pemohon, serta kesimpulan Pemohon, keterangan DPR, keterangan dan kesimpulan Presiden, keterangan dan kesimpulan Pihak Terkait, dan keterangan ahli yang dihadirkan oleh Mahkamah, selanjutnya Mahkamah mempertimbangkan dalil-dalil permohonan Pemohon sebagai berikut: 151 [3.13.1] Bahwa persoalan utama yang dipermasalahkan oleh Pemohon adalah konstitusionalitas norma Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 yang mengatur ruang lingkup kegiatan usaha perusahaan asuransi dengan tidak mencantumkan secara tegas kegiatan suretyship, padahal lini usaha suretyship sejak awal telah diterbitkan oleh perusahaan asuransi, namun saat ini tidak diakomodir di dalam UU 40/2014, selain itu, menurut Pemohon Pasal 61 UU 1/2016 telah menghalangi perusahaan asuransi dalam menjalankan lini usaha _suretyship; _ [3.13.2] Bahwa berkaitan dengan dalil pokok permohonan Pemohon tersebut di atas, sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih jauh, penting bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan hal-hal sebagaimana diuraikan di bawah ini. Bahwa perkembangan asuransi di Indonesia menunjukkan angka kemajuan yang cukup baik selama beberapa tahun belakangan ini. Hal tersebut dapat dilihat dengan semakin banyaknya perusahaan asuransi yang tumbuh, di mana semakin hari semakin banyak nasabah yang menggunakan jasa layanan asuransi dengan berbagai varian di dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan data yang ada hingga Desember 2019 , usaha asuransi dengan lini usaha kredit dan suretyship saja __ yang dilakukan oleh 42 perusahaan asuransi umum menerima pendapatan premi sebesar Rp1,59 triliun atau 1,98% dari total pendapatan premi dari seluruh lini usaha asuransi umum. Dari 42 perusahaan asuransi umum tersebut terdapat 3 perusahaan asuransi umum yang mendapatkan lebih dari 30% pendapatan preminya yang bersumber dari usaha suretyship (vide kesimpulan OJK dalam perkara a quo pada hlm. 28). Bahwa berdasarkan contoh data tersebut tentu saja hal ini menunjukkan variabel yang dapat menjadi ukuran besarnya peluang adanya sebuah keuntungan tersendiri bagi perusahaan yang menyediakan layanan asuransi. Peluang yang dimiliki oleh perusahaan asuransi akan semakin luas, baik pasar yang bisa diolah dan dijadikan sebagai sasaran penjualan produk yang mereka miliki maupun jenis produk asuransi yang dibutuhkan masyarakat. Dengan kata lain, kebutuhan akan jenis asuransi akan selalu beriringan dengan perkembangan kebutuhan masyarakat yang dinamikanya cukup cepat, terutama di dalam mengantisipasi hal- hal yang berkenaan dengan kualitas hidup masyarakat. Bahwa oleh karena itu selain tuntutan untuk selalu meningkatkan pelayanan kepada para nasabahnya, perusahaan asuransi juga harus melakukan inovasi di 152 dalam mengembangkan varian lini usaha dengan berbagai jenis usaha untuk bisa memperluas dan memajukan bisnis yang mereka jalankan dalam industri perasuransian. Salah satu langkah yang dilakukan adalah dengan cara mengeluarkan berbagai produk baru dan lebih inovatif bagi nasabahnya. Bahkan saat ini, produk asuransi tidak hanya terbatas pada jenis asuransi jiwa dan asuransi kesehatan saja, karena pada dasarnya kedua produk inilah yang paling banyak dibutuhkan oleh masyarakat luas. Dalam perkembangan selanjutnya, perusahaan asuransi juga mengeluarkan berbagai macam produk yang bisa dipilih dan digunakan sesuai dengan kebutuhan nasabah dan ada banyak jenis produk asuransi yang bisa dipilih oleh nasabah pengguna asuransi, antara lain: asuransi kesehatan, asuransi dana pendidikan, asuransi dana pensiun, asuransi kendaraan bermotor, asuransi properti, hingga asuransi dengan lini usaha surety bond serta beragam jenis asuransi lainnya. Dengan banyaknya produk yang dikeluarkan oleh perusahaan asuransi, maka akan banyak pilihan dan juga pertimbangan yang bisa diambil oleh nasabah yang akan menggunakan asuransi tersebut. Hal ini juga menciptakan perusahaan dengan kualitas persaingan yang baik di antara perusahaan penyedia layanan asuransi, sehingga industri asuransi akan memberikan layanan terbaik di dalam menawarkan produknya. Lebih lanjut berkaitan dengan asuransi suretyship atau surety bond secara universal dapat dijelaskan produk suretyship atau surety bond sejak diakui keberadaannya di Indonesia yaitu pada tahun 1978, kewenangan/hak untuk melaksanakan, memasarkan, menjual dan menerbitkan lini usaha surety bond adalah perusahaan asuransi umum atau asuransi kerugian pada awalnya diberikan kepada PT Jasa Raharja Persero melalui Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1978 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1965 tentang Pendirian Perusahaan Umum Asuransi Kerugian Jasa Raharja. Selanjutnya pada Tahun 1980 melalui Keputusan Presiden Nomor 14A Tahun 1980 tentang Pengadaan Barang dan Jasa kembali ditegaskan bahwa yang dapat menerbitkan surety bond adalah Asuransi Kerugian PT Jasa Raharja Persero sebagai Lembaga Keuangan Non Bank atau LKNB. Namun dalam perkembangannya, persisnya pada tahun 1992 perusahaan-perusahaan asuransi yang membidangi kegiatan usaha menjamin kerugian (umum) meminta kepada Pemerintah, in casu Kementerian Keuangan, agar pelaksanaan asuransi yang 153 mempunyai lini usaha surety bond tidak dilakukan monopoli oleh perusahaan asuransi kerugian PT Jasa Raharja Persero. Bahwa selanjutnya, melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (UU 2/1992), kepada perusahaan-perusaan asuransi kerugian diberikan izin untuk melaksanakan lini usaha asuransi di bidang surety bond . Konsekuensinya PT Jasa Raharja Persero dikembalikan fungsi dan tugas pokoknya, yaitu melaksanakan asuransi khusus yang menangani dana pertanggungan wajib kecelakaan penumpang, sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Nomor 33 Tahun 1964 dan juga asuransi dana kecelakaan lalu lintas jalan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964. Bahwa berdasarkan perjalanan historis sebagaimana diuraikan di atas, terhadap asuransi dengan lini usaha suretyship atau surety bond telah berjalan di Indonesia hingga saat ini sudah kurang lebih 42 tahun sejak diperkenalkan meskipun secara faktual terhadap asuransi kerugian atau umum baru diberikan izin oleh Kementerian Keuangan untuk menjalankan lini usaha suretyship atau surety bond setelah berlakunya UU 2/1992. Dengan demikian asuransi dengan lini usaha suretyship atau surety bond telah mendapat pengakuan dan juga kesempatan untuk dijalankan oleh perusahaan asuransi kerugian (umum) hingga saat ini. [3.13.3] Bahwa berkaitan dengan asuransi dengan lini usaha suretyship atau surety bond, menurut Mahkamah penting juga untuk menyamakan persepsi antara pengertian suretyship atau surety bond di mana berdasarkan fakta hukum yang diperoleh di persidangan, bahwa suretyship adalah istilah yang digunakan untuk salah satu jenis lini usaha yang bersifat generik, sedangkan surety bond adalah jenis produknya. Sementara itu pengertian suretyship adalah “lini usaha asuransi umum yang memberikan jaminan atas kemampuan Principal dalam melaksanakan kewajiban sesuai perjanjian pokok antara Principal dan Obligee ” __ [vide Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.010/2008 tentang Penyelenggaraan Lini Usaha Asuransi Kredit dan Pasal 1 angka 23 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 69/POJK.05/2016 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah (POJK 69/POJK.05/2016)]; Selanjutnya berkenaan dengan ruang lingkup penjaminan adalah jenis bidang usaha yang berkaitan dengan kegiatan pemberian jaminan oleh Penjamin 154 atas pemenuhan kewajiban finansial Terjamin kepada Penerima Jaminan. (Vide Pasal 1 angka 1 UU 1/2016). Dengan demikian di dalam Lembaga Penjamin terdapat tiga pihak, yaitu Penjamin, Terjamin, dan Penerima Jaminan. (Vide Pasal 1 angka 11, angka 12, dan angka 13 UU 1/2016). Oleh karena itu di dalam lembaga penjamin yang dalam hal ini juga termasuk asuransi dengan lini usaha suretyship atau surety bond terdapat hubungan hukum antara tiga pihak, yaitu penjamin (surety), penerima jaminan ( obligee /kreditur) dan pihak yang dijamin ( principal /debitur). Oleh karenanya secara sederhana dapat diilustrasikan, bahwa apabila dalam sebuah perjanjian antara penerima jaminan (kreditur) dengan pihak yang dijamin (debitur) terjadi wanprestasi maka penjamin ( surety ) akan mendudukkan diri bersama-sama dengan pihak yang dijamin (debitur) untuk kemudian memenuhi prestasi yang diperjanjikan (vide Pasal 1316 KUH Perdata). Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa dengan telah diperolehnya ciri-ciri dari ruang lingkup lembaga penjamin tersebut, maka dapat diketahui perbedaan yang esensial antara pengertian penjaminan dengan asuransi. Sebab, asuransi pada hakikatnya hanya terdiri dari dua pihak, yaitu Tertanggung dan Perusahaan Asuransi. Namun demikian bukan berarti perusahaan asuransi tidak dapat menjalankan lini usaha suretyship atau surety bond, karena secara empirik di Indonesia sebenarnya perusahaan asuransi yang menjalankan lini usaha __ suretyship atau surety bond telah banyak dan hal tersebut sesungguhnya perusahaan asuransi menjalankan fungsi lini usaha yang sedikit berbeda dengan core business yang dimilikinya, meskipun pada dasarnya suretyship atau surety bond adalah lini usaha dari perusahaan asuransi umum . [3.14] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan persoalan konstitusionalitas norma Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 yang dimohonkan pengujiannya oleh Pemohon. Bahwa terhadap permasalahan pokok yang dimohonkan Pemohon tersebut, menurut Mahkamah sesungguhnya praktik suretyship atau surety bond yang menjadi bagian dari lini usaha perusahaan asuransi di Indonesia telah berjalan cukup lama, yaitu sejak Tahun 1978 meskipun pada waktu itu masih menjadi monopoli PT Jasa Raharja Persero dan baru secara resmi menjadi lini usaha perusahaan asuransi umum sejak Tahun 1992. Oleh karena itu bagi perusahaan 155 asuransi umum persoalan lini usaha suretyship atau surety bond tersebut pada hakikatnya tidak pernah ada hambatan di dalam menjalankan praktiknya. Sementara itu berkenaan dengan undang-undang yang mengatur lini usaha suretyship atau surety bond sebagaimana __ diatur dalam UU 1/2016 bukan dalam UU 40/2014. Hal tersebut tentunya tidak dapat dilepaskan dari pengertian dan ruang lingkup lini usaha suretyship atau surety bond yang meskipun merupakan jenis dari produk perusahaan asuransi, namun unsur-unsur yang terkandung di dalamnya adalah penjaminan. Oleh karena itu permasalahan penempatan pengaturan demikian sebenarnya tidak serta-merta menjadikan adanya persoalan konstitusionalitas norma dari pasal yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan lini usaha suretyship atau surety bond. Sebab, apabila diatur dalam UU 40/2014 ternyata secara faktual substansi yang diatur adalah bukan berkenaan dengan jenis dari asuransi akan tetapi berkaitan dengan penjaminan, sedangkan apabila diatur dalam UU 1/2016 ternyata secara faktual substansi yang diatur adalah merupakan bagian dari produk asuransi. Terlebih bagi perusahaan asuransi yang akan menjalankan lini usaha suretyship atau surety bond tidak mendapatkan hambatan dengan adanya pengaturan tersebut, meskipun dalam permohonannya Pemohon beralasan hal tersebut merugikan hak konstitusionalnya. Namun demikian sulit bagi Mahkamah untuk berkesimpulan bahwa terdapat persoalan konstitusionalitas terhadap norma Pasal 5 UU 40/2014. Dengan kata lain, apabila dilihat dari pihak yang melakukan lini usaha suretyship atau surety bond yaitu perusahaan asuransi maka tidaklah salah apabila ketentuan mengenai suretyship atau surety bond dimasukkan ke dalam UU 1/2016, karena konsep suretyship atau surety bond sendiri secara umum sama dengan konsep penjaminan, karenanya tidaklah mungkin pengaturannya dimasukkan ke dalam UU 40/2014. Bahwa lebih lanjut dijelaskan, ketentuan dalam norma Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 mengenai frasa “ sesuai kebutuhan masyarakat ” merupakan ketentuan yang perlu diakomodir dan dipertahankan untuk menyesuaikan perkembangan industri perasuransian di masyarakat, yang apabila dimaknai “termasuk lini usaha suretyship ” sebagaimana yang Pemohon mohonkan di dalam petitum permohonan, justru akan memberikan ketidakpastian hukum bagi perusahaan asuransi untuk dapat melakukan perluasan ruang lingkup usaha dan membatasi kemungkinan adanya perluasan lini usaha lain selain suretyship. Terlebih __ tanpa adanya perluasan makna terhadap frasa “sesuai kebutuhan masyarakat” __ 156 sebagaimana yang dimohonkan Pemohon, sesungguhnya yang diinginkan Pemohon telah terakomodir di dalam UU 1/2016. Oleh karena pengaturan suretyship sudah diatur dalam UU 1/2016 maka sesungguhnya tidak perlu lagi diatur dalam UU 40/2014, sehingga dengan demikian sebenarnya tidak ada persoalan mengenai pengaturan suretyship. Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil Pemohon berkaitan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 tidak beralasan menurut hukum. [3.15] Menimbang bahwa berkenaan dengan dalil Pemohon terhadap norma Pasal 61 UU 1/2016, meskipun tidak dimohonkan oleh Pemohon dalam petitum permohonannya, namun oleh karena didalilkan dalam posita permohonannya dan secara substansi adalah hal yang mendasar yaitu Pemohon menganggap norma pasal a quo telah menghalangi perusahaan asuransi dalam menjalankan lini usaha suretyship. Oleh karena itu Mahkamah perlu untuk menanggapi dalil Pemohon tersebut. Bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut, setelah dicermati sebenarnya __ hanyalah merupakan kekhawatiran Pemohon karena perusahaan asuransi yang merupakan perusahaan di luar lembaga penjamin haruslah memenuhi persyaratan sebagai lembaga penjamin apabila hendak melakukan kegiatan usaha yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 juncto Pasal 4 ayat (1) UU 1/2016. Sedangkan kegiatan lini usaha suretyship (in casu surety bond) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat (2) UU 1/2016 dapat dilakukan perusahaan asuransi yang bersinergi dengan amanat Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 yang telah mengatur perluasan ruang lingkup kegiatan usaha perasuransian. Hal demikian mengingat lini usaha suretyship yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU 1/2016 tidaklah memerlukan persyaratan sebagai lembaga penjamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 UU 1/2016. Sementara itu Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 adalah ketentuan yang mengatur perusahaan asuransi dalam menjalankan lini usaha penjaminan agar menyesuaikan dengan UU 1/2016 berkenaan dengan tenggang waktu sebagaimana ditentukan dalam Pasal 61 ayat (1) UU 1/2016. Dengan demikian, menurut Mahkamah, kekhawatiran Pemohon tidaklah tepat mengingat kegiatan suretyship adalah kegiatan yang mempunyai core business penjaminan yang merupakan lini usaha yang dapat juga dijalankan oleh perusahaan asuransi. 157 Kemudian sebagai pelaksanaan amanat Pasal 5 ayat (3) UU 40/2014, OJK telah menerbitkan POJK 69/2016 yang memberikan kesempatan kepada perusahaan asuransi untuk menjalankan lini usaha suretyship, sehingga telah sesuai dengan apa yang ditentukan dalam Pasal 61 UU 1/2016. Dengan demikian perusahaan asuransi yang melakukan lini usaha suretyship tidaklah dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana kekhawatiran Pemohon; __ [3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan _a quo; _ [4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan; [4.3] Pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554), dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
AMAR PUTUSAN Mengadili: Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya. 158 Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Suhartoyo, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P. Foekh, Arief Hidayat, Manahan M.P. Sitompul, Saldi Isra, dan Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Kamis, tanggal lima, bulan November, tahun dua ribu dua puluh, yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal dua puluh lima, bulan November, tahun dua ribu dua puluh , selesai diucapkan pukul 11.51 WIB , oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Suhartoyo, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P. Foekh, Arief Hidayat, Manahan M.P. Sitompul, Saldi Isra, dan Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Anak Agung Dian Onita sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon/kuasanya, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, Presiden atau yang mewakili, dan Pihak Terkait Otoritas Jasa Keuangan atau yang mewakili. KETUA, ttd. Anwar Usman ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Aswanto ttd. Suhartoyo ttd. Enny Nurbaningsih ttd. Daniel Yusmic P. Foekh 159 ttd. Arief Hidayat ttd. Manahan M.P. Sitompul ttd. Saldi Isra ttd. Wahiduddin Adams PANITERA PENGGANTI, ttd. Anak Agung Dian Onita
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 177/PMK.05/2015 tentang Pedoman Penyusunan dan Penyampaian Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga ...
Tata Laksana Monitoring dan Evaluasi terhadap Penerima Fasilitas Tempat Penimbunan Berikat dan Penerima Fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor ...
Relevan terhadap
Peraturan Direktur Jenderal ini berlaku sejak tanggal ditetapkan. LAMPIRAN I PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER- 02/BC/2019 TENTANG TATA LAKSANA MONITORING DAN EVALUASI TERHADAP PENERIMA FASILITAS TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT DAN FASILITAS KEMUDAHAN IMPOR TUJUAN EKSPOR A. PEDOMAN MONITORING UMUM TPB UNTUK UNIT PELAYANAN KEPABEANAN DAN CUKAI Pedoman monitoring ini dilakukan oleh unit Pelayanan Kepabeanan dan Cukai di KPPBC atau KPU yang bertugas secara rutin sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dalam melakukan pengawasan pada Tempat Penimbunan Berikat (TPB). Pedoman ini merupakan bagian dari monitoring umum secara keseluruhan dengan yang telah dilaksanakan oleh Unit Pengawasan dan menjadi bahan pertimbangan untuk perbaikan pelayanan di TPB. Unit Pelayanan Kepabeanan dan Cukai di KPPBC atau KPU memastikan setiap TPB dalam pengawasannya memenuhi ketentuan:
Persyaratan perizinan TPB 2. Prosedur pemasukan dan pengeluaran barang secara fisik dan administratif 3. Prosedur pembongkaran, penimbunan, pengolahan, pencatatan, dan kegiatan perusahaan yang terkait dengan kepabeanan 4. Existence, Responsibility, Nature of Business, dan Auditability (ERNA) 5. IT Inventory dan CCTV 6. Prosedur lain sesuai peraturan perundang-undangan. Dalam melaksanakan monitoring umum TPB, minimal harus memenuhi setiap kriteria yang ada di dalam check list sebagai berikut: Nama TPB Alamat Tanggal Pelaksanaan NO. KRITERIA KONDISI YA TIDAK KETERANGAN PEMBUKTIAN Izin Usaha perusahaan TPB masih berlaku Cek izin usaha (bisa dilihat dari file arsip yang sudah ada) Cantumkan masa berlaku dalam kolom keterangan Cukup dicentang jika data yang ada masih sama seperti data pada arsip Penanggung jawab TPB yang tercantum dalam izin TPB sesuai dengan akte perusahaan terakhir Cek akte terakhir (bisa dilihat dari file arsip yang sudah ada) Cukup dicentang jika data yang ada masih sama seperti data pada arsip | Pengecekan dilakukan 1 bulan sekali, untuk meyakini kebenaran penanggung jawab TPB dapat dimintakan surat pernyataan dari pimpinan perusahaan. Cantumkan nama jika ada penanggungjawab baru untuk rekomendasi presentasi proses bisnis ulang Di Lokasi TPB dipasang tanda nama perusahaan dan jenis TPB pada tempat yang dapat dilihat jelas oleh umum Foto tanda nama perusahaan (cukup dilakukan centang jika masih ada dan belum berubah) Cukup dicentang jika data yang ada masih sama seperti data pada arsip Tersedia ruang hanggar yang layak dan representatif untuk melakukan tugas berserta sarana penunjangnya Foto tampak luar dan dalam ruang hangar Kriteria layak dan representatif seperti: e Ketersedian ruangan lain sebagai penunjang seperti ruang istirahat dan toilet yang bersih dan memadai e Tersedia sarana pendukung perkantoran seperti pengatur suhu ruangan (AC), meja kerja, kursi, lemari/ruang arsip e Tersedianya Komputer (PC) dan Printer dengan spesifikasi teknis yang mencukupi untuk menggunakan aplikasi-aplikasi perkantoran terkini dengan baik dan dapat dioperasikan dengan baik e Tersedianya sarana komunikasi akses internet 24 jam Cukup dicentang jika data yang ada masih sama seperti data pada arsip Lokasi TPB dapat diakses langsung dari jalan umum dan dapat dilalui oleh sarana pengangkut peti kemas (khusus darat) atau sarana pengangkut lain Foto akses jalan Cukup dicentang jika data yang ada masih sama seperti data pada arsip Lokasi TPB mempunyai batas-batas yang jelas dengan tempat, bangunan, atau TPB lain Bandingkan batas-batas TPB pada izin TPB dengan kondisi fisik Cukup dicentang jika data yang ada masih sama seperti data pada arsip Lokasi TPB tidak berhubungan dengan bangunan lain (Kecuali mesjid, asrama karyawan, klinik, koperasi, kantin, dan bangunan lain untuk mendukung kepentingan karyawan TPB) Cek denah bangunan dengan kondisi fisik Cukup dicentang jika data yang ada masih sama seperti data pada arsip Kesesuaian data pemasukan dan 1. Cek data pada IT Inventory dan data SKP pengeluaran barang ke dan dari ' TPB antara IT Inventory dengan Pemberitahuan Pabean dalam SKP 2. Cek jumlah populasi masing- masing jenis pemberitahuan pabean 3. Uji petik masing-masing jenis pemberitahuan pabean (terutama yang terakhir) Nomor 2 dan 3 dibuatkan kolom hasilnya. Mencatat nomor dokumen yang dilakukan uji petik dalam kolom keterangan IT Inventory mencakup pencatatan:
pemasukan dan pengeluaran barang, b. terdapat field untuk mencatat jenis dokumen pabean, nomor dan tanggal dokumen pabean, c. terdapat menu untuk membuat laporan mutasi atas pemasukan, penimbunan dan pengeluaran barang yang dapat diunduh melalui kantor pabean:
pemberian kode barang secara konsisten. Sebagai atensi perlu diperhatikan adalah untuk pencatatan pada Tt Inventory harus menggunakan nomor pendaftaran dan bukan nomor pengajuan. Screen shoot dan/atau penjelasan di buku manual system Sebagai atensi perlu diperhatikan pencatatan pada IT Inventory harus menggunakan nomor pendaftaran dan bukan nomor pengajuan. Cukup dicentang jika data yang ada masih sama seperti data pada arsip sebelumnya Perubahan data hanya bisa dilakukan oleh user yang mempunyai otoritas tertentu. Spot check dan/atau penjelasan di buku manual system Cukup dicentang jika data yang ada masih sama seperti data pada arsip sebelumnya TPB masih aktif melakukan kegiatan fasilitas Cek kegiatan TPB dan data SKP Tidak aktif berarti:
TPB sudah tidak lagi membuat pemberitahuan pabean pemasukan atau pengeluaran 2. Terdapat pemberitahuan pabean pemasukan atau pengeluaran, tetapi tidak melakukan pengolahan 10 Dalam hal izin TPB dibekukan, TPB tidak memasukkan barang dengan mendapatkan fasilitas 1. Cek sudah ada input “dibekukan” di SILFIANA 2. Cek tempat penimbunan barang, IT Inventory, dan CEISA (antara lain tidak ada dokumen BC 2.3, 4.0, dan 2.7 masuk kecuali pengembalian) 11 Kondisi bangunan TPB dalam keadaan layak untuk mendapatkan fasilitas dari pemerintah dan memenuhi standar keamanan untuk dilakukan penimbunan dan/atau pengolahan barang yang masih terutang pungutan negara Memastikan tidak ada hal-hal berikut:
Tubang/akses/pintu terhubung dengan bangunan/ruangan/tempat lain yang tidak dilaporkan ke DJBC 2. Bagian bangunan lainnya yang rusak Sertakan foto jika terdapat kondisi 1 dan 2 Cukup dicentang jika data yang ada masih sama seperti data pada arsip 12 Terdapat authorized user log in untuk petugas Bea dan Cukai. Maksud authorized user log in adalah kode akses berupa username dan password untuk masuk ke dalam sistem. Melakukan spot check dan/atau melihat penjelasan di buku manual system User admin:
.....
..... dan/atau User unit internal perusahaan:
..... Dicatat jika ada perubahan duthorized user log in baru 13 Laporan IT Inventory dapat diakses secara online oleh DJBC. Membuka tautan IT Inventory perusahaan melalui handphone, komputer, monitoring room, dan/atau perangkat lainnya Cukup dicentang jika sesuai 14 Jumlah dan penempatan CCTV yang dipasang memungkinkan petugas untuk melakukan pengawasan atas pemasu kan, pembongkaran, pemuatan dan pengeluaran barang Mengecek jumlah dan lokasi penempatan CCTV, yaitu:
Pintu pemasukan dan pengeluaran barang dan orang . Lokasi pembongkaran barang . Lokasi pemuatan barang . Lokasi lain yang diperlukan (contoh: Gudang bahan baku, Gudang produksi dan Gudang barang jadi) NO Cukup dicentang jika sesuai, minimal penempatan CCTV pada poin no 1 — 3 harus dipenuhi. 15 CCTV dapat diakses secara realtime dan online dari ruang hangar Mengecek akses CCTV (realtime dan online) Cukup dicentang jika sesuai 16 Hasil pemantauan CCTV dapat direkam dan hasil rekaman CCTV dapat disimpan sekurang- kurangnya 7 (tujuh) hari. Mengecek hasil rekaman CCTV 7 hari yang lalu Cukup dicentang jika sesuai 17 | Gambar CCTV berwarna Mengecek layar monitor CCTV dan dapat dilihat secara jelas dan dapat digunakan Cukup dicentang jika sesuai untuk membantu . pengawasan Kesimpulan Kasubsi Hanggar/ Pejabat yang melaksanakan monitoring: (Nama) B. PEDOMAN MONITORING UMUM TPB MANDIRI UNTUK UNIT PELAYANAN KEPABEANAN DAN CUKAI Pedoman monitoring ini dilakukan oleh unit Pelayanan Kepabeanan dan Cukai di KPPBC atau KPU terhadap TPB Mandiri sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dalam melakukan pengawasan. Pedoman ini merupakan bagian dari monitoring umum secara keseluruhan dengan yang telah dilaksanakan oleh Unit Pengawasan dan menjadi bahan pertimbangan untuk perbaikan pelayanan di TPB. Unit Pelayanan Kepabeanan dan Cukai di KPPBC atau KPU memastikan setiap TPB Mandiri telah melaksanakan tugasnya secara mandiri terhadap prosedur pemasukan dan pengeluaran barang di TPB. Tugas dari unit Pelayanan Kepabeanan dan Cukai di KPPBC atau KPU adalah melakukan pemeriksaan ulang untuk memastikan bahwa tugas tersebut telah dilaksanakan dengan baik dan benar. Dalam melaksanakan monitoring umum TPB, minimal harus memenuhi setiap kriteria yang ada di dalam check list sebagai berikut: Nama TPB Alamat Tanggal Pelaksanaan NO. KRITERIA KONDISI YA TIDAK KETERANGAN PEMBUKTIAN 1 Izin Usaha perusahaan TPB masih berlaku Cek izin usaha (bisa dilihat dari file arsip yang sudah ada) Cantumkan masa berlaku dalam kolom keterangan Cukup dicentang jika data yang ada masih sama seperti data pada arsip Penanggung jawab TPB yang tercantum dalam izin TPB sesuai dengan akte perusahaan terakhir Cek akte terakhir (bisa dilihat dari file arsip yang sudah ada) Cukup dicentang jika data yang ada masih sama seperti data pada arsip Pengecekan dilakukan 1 bulan sekali, untuk meyakini kebenaran penanggung jawab TPB dapat dimintakan surat pernyataan dari pimpinan perusahaan. Cantumkan nama jika penanggungjawab baru rekomendasi presentasi bisnis ulang ada untuk proses Di Lokasi TPB dipasang tanda nama perusahaan dan jenis TPB pada tempat yang dapat dilihat jelas oleh umum Foto tanda nama perusahaan (cukup dilakukan centang jika masih ada dan belum berubah) Cukup dicentang jika data yang ada masih sama seperti data pada arsip Tersedia ruang hanggar yang layak dan representatif untuk melakukan tugas berserta sarana penunjangnya Foto tampak luar dan dalam ruang hangar Kriteria layak dan representatif seperti: e Ketersedian ruangan lain sebagai penunjang seperti ruang istirahat dan toilet yang bersih dan memadai e Tersedia sarana pendukung perkantoran seperti pengatur suhu ruangan (AC), meja kerja, kursi, lemari/ruang arsip e Tersedianya Komputer (PC) dan Printer dengan spesifikasi teknis yang mencukupi untuk menggunakan aplikasi-aplikasi perkantoran terkini dengan baik dan dapat dioperasikan dengan baik e Tersedianya sarana komunikasi akses internet 24 jam Cukup dicentang jika data yang ada masih sama seperti data pada arsip Lokasi TPB dapat diakses langsung dari jalan umum dan dapat dilalui oleh sarana pengangkut peti kemas (khusus darat) atau sarana pengangkut lain Foto akses jalan Cukup dicentang jika data yang ada masih sama seperti data pada arsip Lokasi TPB mempunyai batas-batas yang jelas dengan tempat, bangunan, atau TPB lain Bandingkan batas-batas TPB pada izin TPB dengan kondisi fisik Cukup dicentang jika data yang ada masih sama seperti data pada arsip Lokasi TPB tidak berhubungan dengan bangunan lain (Kecuali mesjid, asrama karyawan, klinik, koperasi, kantin, dan bangunan lain untuk mendukung kepentingan karyawan TPB) Cek denah bangunan dengan kondisi fisik Cukup dicentang jika data yang ada masih sama seperti data pada arsip Kesesuaian data pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari TPB antara IT Inventory dengan Pemberitahuan Pabean dalam SKP 1. Cek data pada IT Inventory dan data SKP 2. Cek jumlah populasi masing- masing jenis pemberitahuan pabean 3. Uji petik masing-masing jenis pemberitahuan pabean (terutama yang terakhir) Nomor 2 dan 3 dibuatkan kolom hasilnya. Mencatat nomor dokumen yang dilakukan uji petik dalam kolom keterangan IT Inventory mencakup pencatatan:
pemasukan dan pengeluaran barang:
terdapat field untuk mencatat jenis dokumen pabean, nomor dan tanggal dokumen pabean, c. terdapat menu untuk membuat laporan mutasi atas pemasukan, penimbunan dan pengeluaran barang yang dapat diunduh melalui kantor pabean, d. pemberian kode barang secara konsisten. Sebagai atensi perlu diperhatikan adalah untuk pencatatan pada IT Inventory harus menggunakan nomor pendaftaran dan bukan nomor pengajuan. Screen shoot dan/atau penjelasan di buku manual system Sebagai atensi perlu diperhatikan pencatatan pada IT Inventory harus menggunakan nomor pendaftaran dan bukan nomor pengajuan. Cukup dicentang jika data yang ada masih sama seperti data pada arsip sebelumnya 10 Perubahan data hanya bisa dilakukan oleh user yang mempunyai otoritas tertentu. Spot check dan/atau penjelasan di buku manual system Cukup dicentang jika data yang ada masih sama seperti data pada arsip sebelumnya TPB masih aktif melakukan kegiatan fasilitas: Cek kegiatan TPB dan data SKP Tidak aktif berarti:
TPB sudah tidak lagi membuat pemberitahuan pabean pemasukan atau pengeluaran 4. Terdapat pemberitahuan pabean pemasukan. atau pengeluaran, tetapi tidak melakukan pengolahan 10 Dalam hal izin TPB dibekukan, TPB tidak memasukkan barang dengan mendapatkan fasilitas 1. Cek sudah ada input “dibekukan” di SILFIANA 2. Cek tempat penimbunan barang, IT Inventory, dan CEISA (antara lain tidak ada dokumen BC 2.3, 4.0, dan 2.7 masuk kecuali pengembalian) 11 Kondisi bangunan TPB dalam keadaan layak | untuk mendapatkan fasilitas dari pemerintah dan memenuhi standar keamanan untuk dilakukan penimbunan dan/atau pengolahan Memastikan tidak ada hal-hal berikut:
lubang/akses/pintu terhubung dengan bangunan/ruangan/tempat lain yang tidak dilaporkan ke DJBC barang yang masih terutang pungutan negara 2. Bagian bangunan lainnya yang rusak Sertakan foto jika terdapat kondisi 1 dan 2 Cukup dicentang jika data yang ada masih sama seperti data pada arsip 12 Terdapat authorized user log in untuk petugas Bea dan Cukai. Maksud authorized user log in adalah kode akses berupa username dan password untuk masuk ke dalam sistem. Melakukan spot check dan/atau melihat penjelasan di buku manual system User admin: dan/atau User unit internal perusahaan:
..... Dicatat jika ada perubahan authorized user log in baru 13 Laporan IT Inventory dapat diakses secara online oleh DJBC. Membuka tautan IT Inventory perusahaan melalui handphone, komputer, monitoring room, dan/atau perangkat lainnya Cukup dicentang jika sesuai 14 Jumlah dan penempatan CCTV yang dipasang memungkinkan petugas untuk melakukan pengawasan atas pemasu kan, pembongkaran, pemuatan dan pengeluaran barang Mengecek jumlah dan lokasi penempatan CCTV, yaitu:
Pintu pemasukan dan pengeluaran barang dan orang 2. Lokasi pembongkaran barang 3. Lokasi pemuatan barang 4. Lokasi lain yang diperlukan (contoh: Gudang bahan baku, Gudang produksi dan Gudang barang jadi) Cukup dicentang jika sesuai, minimal penempatan CCTV pada poin no 1— 3 harus dipenuhi. 15 CCTV dapat diakses secara realtime dan online dari ruang hangar Mengecek akses CCTV (realtime dan online) Cukup dicentang jika sesuai 16 Hasil pemantauan CCTV dapat direkam dan hasil rekaman CCTV dapat disimpan sekurang- kurangnya 7 (tujuh) hari. Mengecek hasil rekaman CCTV 7 hari yang lalu Cukup dicentang jika sesuai 17 Gambar CCTV berwarna dan dapat dilihat secara jelas dan dapat digunakan untuk membantu pengawasan Mengecek layar monitor CCTV Cukup dicentang jika sesuai 18 Setiap pemasukan dan pengeluaran barang telah dilakukan dengan menggunakan pemberitahuan pabean Lakukan uji petik terhadap pemberitahuan pabean pemasukan dan pengeluaran barang pada:
IT Inventory dan SKP. catatan pemasukan dan pengeluaran barang laporan petugas security/ Satpam terhadap (dapat di cek nomor polisi alat angkut) 19 Setiap pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari TPB telah dilakukan pemeriksaan kebenaran peti kemas/ kemasan Cek dokumen pengangkutan dengan dokumen pabean. Lihat Laporan atau catatan bagian yang bertanggung jawab terhadap ekspor-impor dan Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Barang di gudang Lakukan uji petik. 20 Setiap pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari TPB telah dilakukan pemeriksaan keutuhan atau pelekatan tanda pengaman Cek Laporan Pemeriksaan kedatangan dan keberangkatan alat angkut dengan dokumen pabean. Cek dengan Laporan Petugas Security/Satpam dan bagian Exim Lakukan uji sampling. 21 Setiap pembongkaran dan penimbunan barang telah dilakukan dengan baik dan benar Membandingkan kesesuaian jumlah dan/atau jenis kemasan barang dengan Laporan Lihat Laporan atau catatan bagian Exim dan Laporan Penerimaan Barang di gudang Penerimaan Barang dan IT Inventory. Lakukan uji sampling. 22 Setiap pemasukan dan pengeluaran barang telah dilakukan pencatatan pada IT Inventory Membandingkan kesesuaian jumlah dan/atau jenis barang dengan Laporan Penerimaan Barang dan Laporan Pengeluaran Barang dengan IT Inventory. Lakukan uji sampling. Kesimpulan Kasubsi Hanggar/ Pejabat yang melaksanakan monitoring: (Nama) C. PEDOMAN MONITORING UMUM TPB BAGI UNIT PENGAWASAN DI RUANG KENDALI (MONITORING ROOM) Pedoman monitoring ini dilakukan oleh unit Pengawasan di KPPBC atau KPU yang bertugas secara rutin sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dalam melakukan pengawasan pada Tempat Penimbunan Berikat. Pedoman ini merupakan bagian dari monitoring umum secara keseluruhan dengan yang telah dilaksanakan oleh Unit Pelayanan Pabean dan Cukai dan menjadi bahan pertimbangan untuk perbaikan pelayanan dan pengawasan di TPB. Unit Pengawasan yang bertugas mengawasi IT Inventory dan/atau CCTV melalui monitoring room, berdasarkan manajemen risiko terhadap TPB dalam pengawasannya, melakukan hal-hal sebagai berikut: Nama TPB Alamat Tanggal Pelaksanaan 1 Monitoring Umum melalui adalah sebagai berikut: pemanfaatan CCTV |» Melakukan pemeriksaan apakah CCTV dapat diakses. » Keseluruhan CCTV yang dipersyaratkan apakah masih terpasang dan bisa diakses. » Pengawasan seluruh TPB melalui CCTV dan dilakukan pencatatan pada log book yang paling kurang memuat pelaksanaan pengamatan melalui CCTV. berdasarkan manajemen risiko dan dapat dilakukan secara random. Atensi: » CCTV yang tidak dapat diakses pada jam rawan seperti sabtu malam atau minggu malam » CCTV tidak dapat diakses pada saat pembongkaran atau penimbunan barang Catat hasil pengamatan terhadap CCTV jika ada hal yang mencurigakan dan dilakukan konfirmasi jika ada hal yang mencurigakan. 2 Monitoring Umum | Langkah langkah yang dapat dilaksanakan melalui adalah sebagai berikut: pemanfaatan IT Inventory » Melakukan pemeriksaan apakah IT Inventory dapat diakses. » Melakukan pemeriksaan apakah IT Inventory dapat dimanfaatkan. » Uji petik pemanfaatan IT Inventory dengan membandingkan data pada SKP real time dicatatan. Jika tidak, harus diketahui saat TPB melakukan input data pada IT Inventory sesuai SKP. » Unduh data pemasukan dan pengeluaran pada IT Inventory untuk dilakukan uji petik analisis kewajaran. » Catat hasil analisis pada log book Atensi: » TPB yang terlalu lama lag/jeda waktu pencatatannya antara IT Inventory dengan SKP dibandingkan SOP perusahaan, » Kewajaran antara jumlah data pemasukan dan data pengeluaran, » Kewajaran antara jumlah data pada IT Inventory dengan data pada SKP Catat hasil analisis terhadap IT Inventory perusahaan jika ada hal yang mencurigakan Monitoring Umum melalui pemanfaatan CEISA TPB Langkah langkah yang dapat dilaksanakan adalah sebagai berikut: » Unduh data pada CEISA sebagai pembanding untuk keandalan IT Inventory | » Gunakan data pada SKP sebagai sumber database pola bisnis yang dilakukan oleh perusahaan, misalnya: “« pembelian yang dilakukan, “ pekerjaan sub kontrak yang ada dilakukan oleh siapa saja, “ penjualan lokal yang dilakukan, “ penjualan ekspor yang dilakukan, “« barang sisa atau scrap yang dijual “ peggunaan perusahaan jasa transportasi/sarana pengangkut » Unduh BC 2.3 khusus barang modal, barang contoh dan barang lainnya yang memerlukan atensi untuk dilakukan pengawasan lebih lanjut Atensi: » Dokumen BC 2.5 yang besar dan tidak wajar sesuai komposisi penjualan lokal yang ada pada umumnya. » Kondisi yang diluar kebiasaan dari pola bisnis perusahaan TPB » Dalam hal sistem transaksi tidak biasa dalam aplikasi monitoring dan evaluasi belum tersedia secara elektronik, pengawasan dapat dilakukan secara manual. P Dalam hal pelaksanaan monitoring dan evaluasi tidak terdapat sistem transaksi tidak biasa, maka pengawasan monitoring dan evaluasi dilakukan sesuai pedoman ini. Catat hasil analisis terhadap CEISA TPB perusahaan jika ada hal yang mencurigakan 3 Monitoring Umum melalui pemanfaatan data e-seal Monitoring ini dilakukan kepada TPB yang dipersyaratkan penggunaan e-seal. Langkah langkah yang dapat dilaksanakan adalah sebagai berikut: ? Melakukan pemeriksaan apakah data e-seal termasuk pergerakannya dapat diakses. » Melakukan pemeriksaan apakah data log book e-seal dapat diakses. Atensi » Nomor e-seal yang belum tertulis akibat pengiriman di malam hari dimana tidak ada petugas dan harus dilakukan pemeriksaan saat tiba di lokasi » Perubahan pergerakan alat pengangkut sesuai e-seal yang tidak sesuai jalur yang telah diberikan » Perubahan waktu kedatangan yang berbeda dengan waktu kedatangan .yang telah diberikan Catat hasil analisis terhadap penggunaan e- seal yang tidak tepat 4 Barang yang ditimbun TPB selain Kawasan Berikat sesuai dengan yang tercantum dalam izin TPB Uji petik perbandingan barang yang ditimbun dengan izin TPB. Cukup dicentang jika data yang ada masih sama seperti data pada arsip 5 Barang yang dimasukkan atau dikeluarkan ke dan dari TPB sesuai dengan SKEP (selain KB) atau berhubungan dengan hasil produksi (KB) Cek data di SKEP dan pengamatan di tempat penimbunan barang KESIMPULAN: Kasubsi Hanggar/ Pejabat yang melaksanakan monitoring: (Nama) D. FORMAT LAPORAN HASIL PELAKSANAAN MONITORING UMUM TPB NOTA DINAS NOMOR : ND- .../..f uu Kepada : Kepala KPPBC .... Dari : Kepala Seksi PKC / Seksi Penindakan dan Penyidikan Lampiran 11 (satu) berkas checklist monitoring umum TPB Hal : Laporan Pelaksanaan Monitoring Umum TPB ' Tanggal 1. Pada. tanggal sos sampai dengan tanggal ............... , kami yang bertanda tangan di bawah ini telah melakukan monitoring terhadap perusahaan penerima fasilitas Tempat Penimbunan Berikat sebagai berikut: | a. Nama Perusahaan 3 eh akan aemamaAMENN aan b. Alamat/Lokasi ANTA INN ANN UN UNA ANA ENAK HN DAN c. Jenis TPB A Niana d. SKEP terakhir saman ana Sena Materi Monitoring Misalnya: IT Inventory Diisi — hasil: pengamatan dan 1 2 Misalnya: CCTV pemeriksaan apakah sudah baik, kurang dan perlu perbaikan dan 3. | Misalnya: ERNA : kondisi lainnya yang perlu dilaporkan 4. | Lainnya : (kepatuhan, pelanggaran dan kondisi lainnya) | 3. Berdasarkan hasil monitoring tersebut butir 2, kami mengusulkan hal-hal sebagai berikut: Ao anncnraan (misalnya semua kriteria monitoring telah dilaksanakan dengan baik) by seswei (misalnya adanya kekurangan dan temuan yang harus dilaporkan) Ps mncmanmea (misalnya saran perbaikan yang perlu) dst. Demikian disampaikan sebagai laporan. (Nama) Keterangan: Kepala kantor dapat menggunakan hasil monitoring umun sebagai alat pengambilan keputusan dalam melaksanakan pelayanan dan pengawasan terhadap TPB. E. FORMAT SURAT TUGAS PELAKSANAAN MONITORING KHUSUS TPB SURAT TUGAS NOMOR ST-....... BE... / 20.. Berdasarkan Pasal 82 dan 82A Undang-Undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan dengan ini kami pejabat yang bertanda tangan dibawah ini memberi tugas kepada: Nama NIP Pangkat/ Golongan Jabatan Nama NIP Pangkat/ Golongan Jabatan Nama NIP Pangkat/Golongan Jabatan sooonanacn soo.
.ocecavane soo...
...oooo..m untuk melakukan monitoring khusus atas pemenuhan ketentuan pelaksanaan pemberian fasilitas (PLB/KB/GB/TBB/TPPB/Lainnya)" terhadap: Nama Perusahaan: NPWP: Alamat: Obyek Pemeriksaan" Waktu pelaksanaan: teroonesnoneooenooooanoovananacononenenasaooooan s.ccocomcccoocomw.ccomcococ#.nannnaasanaanan 1. Pemeriksaan sewaktu-waktu atas ...................
Pemeriksaan sederhana atas (bahan baku/bahan penolong/ barang dalarn proses/ barang jadi/baran modal/ peralatan perkantoran/sisa dari proses produksi atau limbah/ barang lain yang mendapatkan fasilitas)" pada periode pemeriksaan Sa Sid 3. Analisis mendalam nesvenasunangnsenasanssenosanuenanessssenesaKona Semua informasi yang diperoleh dari Perusahaan dimaksud merupakan rahasia jabatan. Setelah tugas selesai dilaksanakan agar menyampaikan Laporan Hasil Monitoring Khusus kepada Direktur Fasilitas Kepabeanan. Kepada instansi terkait, kami mohon bantuan demi kelancaran pelaksanaan tugas tersebut. Dikeluarkan di :
... Pada tanggal. Sg mesen , 20... Kepala Kantor Wilayah /KPU /KPPBC “ coret yang tidak perlu F. FORMAT LAPORAN HASIL PELAKSANAAN MONITORING KHUSUS TPB NOTA DINAS NOMOR : ND- .../anaf uu Kepada : Kepala KPPBC / KPU / Kanwil.... Dari : Tim Monitoring Khusus Lampiran : 1 (satu) berkas pelaksanaan monitoring khusus sesuai pedoman Hal : Laporan Pelaksanaan Monitoring Khusus TPB Tanggal 1. Identitas perusahaan penerima fasilitas TPB:
Nama Perusahaan b. Alamat TPB 0 0s0.oc.com.nrananunersnaserasasanosuannanananaensesasuasoan 0 s0cocococoooroooooocooooocococomocuavununannannanananaa 0 "escsccococunuasanenanangnsananannasanuanananesanasaasana . Nomor SKEP . Jenis Monitoring Khusus: Ul Pemeriksaan sewaktu-waktu Ul pemeriksaan sederhana Ll Analisis mendalam 0 #ecocococococerecooooconcooomcoorwororconcoorocococcoco.
Dasar pelaksanaan monitoring khusus sebagai berikut: Pia sman (misal Surat Tugas) bs swenswrs (misal Surat Permohonan dari pihak lain) c. dst.
Uraian kegiatan monitoring khusus: B4 sn (lihat pasal 9 dan Lampiran I huruf G Perdirjen Monev) Mie sea (lihat pasal 12 dan Lampiran I huruf J Perdirjen Monev) Oh sena (lihat pasal 14 dan Lampiran I huruf K Perdirjen Monev) 4. Hasil dari pelaksanaan monitoring khusus dapat kami laporkan sebagai berikut: Periode /Pemberntahuan misal : per dokumen pabean (BC 1.6 nomor... tanggal....) 2. | misal : per periode Diisi hasil pemeriksaan yang didapat dan resume terjadinya pemeriksaan temuan tersebut (O1 s.d. 30 November) 3. | dst.
Berdasarkan hasil monitoring khusus, kami mengusulkan hal-hal sebagai berikut: B4 semua (misal: rekomendasi tindak lanjut kepada Kepala Kantor) ba memang (misal: usulan perbaikan terhadap TPB) c. dst.
Demikian disampaikan sebagai laporan. (Nama)“ “Anggota tim dengan jabatan atau pangkat tertinggi G. PEDOMAN PEMERIKSAAN SEWAKTU-WAKTU 1) PEMERIKSAAN ATAS 1 (SATU) ATAU BEBERAPA PEMBERITAHUAN PABEAN No Tujuan Sasaran Prosedur Pemeriksaan pemasukan barang ke TPB (barang akan masuk ke TPB). Pemeriksaan pada titik (fase) ini dimaksudkan untuk melakukan pengujian atas kesesuaian pemberitahuan dalam pemberitahuan pabean. Misalnya jika ada informasi adanya kesalahan atau kecurigaan atas Pemberitahuan Pabean yang akan masuk ke TPB Memastikan kesesuaian jumlah dan jenis barang yang diberitahukan dalam Pemberitahuan Pabean antara lain: e BC1.6 s BC2.3 . BC2.4 se BC2.6.2 e BC2.7 . BC4.0 . BC3.3 » P3BET Lakukan proses pemeriksaan sebagai berikut :
Uji keutuhan - fisik segel/tanda pengaman Bea dan Cukai dan/atau segel pelayaran b. Uji kesesuaian nomor polisi sarana pengangkut dan surat jalan. Lakukan dokumentasi (foto) c. Dalam hal menggunakan e-seal, periksa log book e-seal Penyelenggara TPB untuk memastikan bahwa e-seal utuh. Lakukan dokumentasi (print out) d. Periksa kewajaran waktu perjalanan sarana pengangkut dari tempat pembongkaran/pengiriman ke TPB. Jika terdapat waktu tidak wajar, lakukan pemeriksaan secara lebih mendalam.
Periksa kebenaran nomor, ukuran, dan jenis kontainer atau kemasan. Lakukan dokumentasi (foto) f. Uji kesesuaian pemberitahuan jenis barang dalam pemberitahuan pabean dengan jenis barang pada surat keputusan izin TPB.
Uji kesesuaian pemberitahuan jumlah dan jenis kemasan dalam pemberitahuan pabean dengan dokumen pelengkap pabean. h. Uji kesesuaian pemberitahuan jumlah dan jenis kemasan dalam pemberitahuan pabean dengan melakukan pengawasan atas stripping pembongkaran barang. Pengawasan atas stripping tersebut sekaligus juga sebagai pencacahan fisik barang yang diterima, sesuai dokumen pabean. Tuangkan dalam Berita Acara. Pemeriksaan jumlah dan jenis barang atas barang yang sudah dilakukan penimbunan per Pemberitahuan Tu Pabean Memastikan kesesuaian | Lakukan proses pemeriksaan sebagai dimaksudkan untuk melakukan menangani meta Rein pengujian atas kesesuaian dokumen Jenis hareung -. yah Sa aa Ma aran pabean,ketika barang impor atau Pale ea aan ekspor sudah dilakukan rekaman CCTV. Atensi bahwa pembongkaran dan penimbunan di rekaman CCTV yang dapat diakses gudang. hanya rekaman selama 7 hari kerja b. Uji kesesuaian pemberitahuan jumlah dan jenis barang dalam pemberitahuan pabean dengan dokumen pelengkap pabean (Invoice, Packing List) :
Uji kesesuaian pemberitahuan jenis barang dalam pemberitahuan pabean dengan jenis barang pada surat keputusan izin TPB d. Uji kesesuaian pemberitahuan jumlah dan jenis barang dalam pemberitahuan pabean dengan dokumen penerimaan barang. Kegiatan ini sekaligus untuk melihat keterlacakan / traceability dari penimbunan barang di gudang Pemeriksaan pada titik (fase) ini (misal terhadap dokumen pemasukan dapat segera diketahui lokasi tempat penimbunannya dengan cepat dan tepat).
Uji kesesuaian jumlah dan jenis barang pada dokumen pemasukan barang dengan data pada IT Inventory. Uji kesesuaian jumlah dan jenis barang pada IT Inventory dengan dokumen pengeluaran barang (pemberitahuan pabean BC 2.5, BC 2.6.1, BC 2.7, BC 2.8, BC 3.0, dan BC 4.0 berikut dokumen pelengkap pabean dan dokumen internal perusahaan terkait, misalnya surat jalan, D/O, kartu stock) untuk mendapatkan data pengeluaran barang, dan kemudian tentukan saldo (sisa) barang yang masih ditimbun Gumlah penerimaan barang dikurangi leh jumlah pengeluaran barang) . Lakukan pengujian kebenaran jumlah dan jenis barang yang masih dittmbun sesuai IT Inv / saldo barang yang ditimbun menurut perhitungan dengan melakukan pencacahan sediaan barang (stock opname barang) . Jika terdapat selisih, dilakukan pemeriksaan secara mendalam dengan dilakukan wawancara dan meminta pembuktian untuk mengetahui terdapat unsur kesengajaan atau tidak dan dilakukan tindak lanjut sesuai ketentuan berlaku. Lakukan pengambilan sample atas jenis barang yang dicurigai (apabila jenis barang tersebut masih belum semuanya dikeluarkan atau atas | jenis barang yang sama yang ada di gudang PLB) untuk dilakukan uji Lab (jika diperlukan) dengan membuat Berita Acara Pengambilan Barang (BPA). BPA tersebut ditandangani oleh petugas Bea dan Cukai yang melakukan pemeriksaan, Penyelenggara PLB dan Importir/Pemilik Barang III Pemeriksaan atas barang yang akan atau sudah dikeluarkan menggunakan BC 2.8 Pemeriksaan pada titik ini dimaksudkan untuk melakukan pengujian atas kesesuaian pemberitahuan dalam dokumen pabean atas barang yang akan dan/atau sudah dikeluarkan dari TPB 1. Kesesuaian pemberitahuan dan jenis barang jumlah Lakukan proses pemeriksaan sebagai berikut:
Uji kebenaran proses pemuatan barang (stuffing) dengan melakukan pengecekan kepada rekaman CCTV. Atensi rekaman CCTV yang dapat diakses hanya selama 7 hari.
Uji kesesuaian pemberitahuan jumlah dan jenis barang dalam dokumen pabean dengan dokumen pelengkap pabean (Invoice, Packing List) c. Uji Kesesuaian pemberitahuan Jumlah dan Jenis barang dengan Dokumen internal perusahaan untuk pengeluaran barang (misalnya, surat jalan, D/O, kartu stock, dil). Uji Kesesuaian pemberitahuan Jumlah dan Jenis barang dengan dengan data pengeluaran untuk barang dimaksud dari data IT Inv.
Kebenaran Klasifikasi Tarif dan Lakukan proses pemeriksaan sebagai berikut :
Uji kebenaran tarif dan klasifikasi dengan BTKI b. Jika terjadi kesalahan pada pemeriksaan poin wa dan uji kebenaran jumlah dan jenis barang sesuai poin III 1, cek kembali persyaratan FTA terhadap Pemberitahuan Pabean pemasukan yang telah diuji sebelumnya oleh Pejabat Bea dan Cukai.
Bandingkan pengunaan form FTA dengan ketentuan yang berlaku untuk masing masing skema FTA Lakukan pengambilan sampel atas jenis barang yang dicurigai (hanya terhadap barang yang belum dikeluarkan untuk dilakukan uji Lab (jika diperlukan) dengan membuat Berita Acara Pengambilan Barang (BPA). BPA tersebut ditandangani oleh petugas Bea dan Cukai yang melakukan pemeriksaan, Penyelenggara PLB dan Importir /Pemilik Barang 3. Kesesuaian Nilai Pabean Lakukan proses pemeriksaan sebagai berikut:
Uji pemenuhan persyaratan nilai transaksi apakah dapat diterima sebagai Nilai Pabean sesuai peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai nilai pabean (misalnya adanya hubungan antara importir dan supplier atau tidak adanya transaksi jual beli karena barang impor hanya perpindahan lokasi dari perusahaan yang sama di luar negeri). Jika terjadi kondisi tersebut diatas maka allakukan sesuai butir c.
Uji kesesuaian nilai impor pada BC | 2.8 dengan Invoice dengan meminta bukti pembayaran (Transfer Payment). Jika diperlukan dapat dilakukan penelusuran lebih lanjut pada Rekening Koran Jika kondisi pada butir a dan butir b tersebut tidak dapat dilakukan (misalnya nilai transaksi tidak dapat diterima sebagai nilai pabean atau perusahaan /importir tidak dapat menunjukkan bukti pembayaran yang mendukung), maka petugas pemeriksa sewaktu-waktu menyerahkan kepada Kepala Seksi PKC atau PFPD untuk dilakukan pengujian kebenaran Nilai Transaksi sesuai peraturan perundang- undangan yang mengatur tentang nilai pabean.
Kebenaran pemenuhan Larangan Pembatasan atas | Lakukan proses pemeriksaan sebagai ketentuan | berikut : dan |a. Uji kebenaran jenis barang yang diberitahukan dengan persyaratan larangan dan pembatasan sesuai tarif dan klasifikasinya apakah sudah dipenuhi atau belum. Disesuaikan dengan hasil pengujian tarif dan klasifikasi yang telah dilakukan b. Uji kebenaran dokumen persyaratan larangan dan pembatasan dengan data pada INSW 2) PEMERIKSAAN ATAS IT INVENTORY TPB Pemeriksaan pada titik (fase) ini dimaksudkan untuk melakukan pengujian atas keandalan IT Inventory yang dimiliki TPB, apakah telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. No Tujuan Prosedur 1 Mengetahui SPI perusahaan Melakukan wawancara kepada perusahaan (dihadiri oleh bagian IT, akuntansi, produksi, dan persedian) dengan melakukan penilaian atas:
Proses bisnis /transaksi perusahaan - Apakah job order, manufaktur atau lainnya b. Struktur organisasi dan wewenang - Minta Struktur Organisasi, flow chart dan SOP (standart operating procedure) jika ada c. Aktivitas pengendalian (misalnya: mekanisme persetujuan, otorisasi, verifikasi, rekonsiliasi, evaluasi kinerja, pengelolaan keamanan, supervisi, dan pembentukan dan penyelenggaraan pencatatan- pencatatan atau dokumentasi sebagai bukti pelaksanaan) - Lakukan wawancara dengan masing-masing unit yang bertanggung jawab untuk menjelaskan kesesuain SOP dengan pekerjaan yang dilakukan d. Prosedur dan formulir atau dokumen terkait proses bisnis atau transaksi TPB - Lakukan wawancara dengan masing-masing unit yang bertanggung jawab untuk menjelaskan kesesuain SOP dengan pekerjaan yang dilakukan - Kebijakan akuntansi atas alur transaksi tersebut - Output/laporan yang dihasilkan e. Keandalan laporan atau dokumen - Lakukan uji petik atas 1 (satu) transaksi untuk meyakini kebenaran dan keandalannya, misalnya: Finished Goods Purchase Sales Order (PO) Goods Receipt Report (GRR) Bon permin taan bahan Pemberi | Invoice tahuan pabean “pemberitahuan pabean (misalnya dari bagian ekspor-impor) dicocokkan dengan invoice (misalnya dari bagian akuntansi/ keuangan) dicocokkan dengan P/O (misalnya dari bagian pembelian) dicocokkan dengan GRR dan Bon permintaan bahan (misalnya dari bagian bahan baku/produksi) dan dapat dicocokkan dengan sales (misalnya dari bagian akuntansi/ keuangan) “« tanggal pemberitahuan pabean dapat berbeda dengan tanggal dokumen internal perusahaan lainnya (misalnya invoice, PO, dan GRR) sesuai dengan proses bisnis masing- masing perusahaan f. Lakukan pengamatan atas pelaksanaan sistem informasi atau akuntansi tersebut untuk menguji: a) Kesesuaian dokumentasi dengan pelaksanaan di lapangan b) Keandalan output sistem. Atensi: Pastikan semua transaksi telah dicatat dan pencatatan tersebut dilakukan pada satu aplikasi/sistem yang sama yang terintegrasi Jika kedapatan indikasi terdapat 2 (dua) sistem pencatatan pembukuan maka lakukan pedoman pemeriksaan nomor 2 IT Inventory TPB merupakan subsistem dari sistem akuntansi perusahaan Sistem informasi persediaan merupakan salah satu subsistem dari Sistem Pencatatan Pembukuan yang akan menghasilkan informasi laporan keuangan dan informasi lainnya yang dibutuhkan oleh stakeholder Melakukan spot check saat barang masuk atau keluar Kawasan Berikat dan memastikan bahwa telah dicatat di IT Inventory. Untuk memastikan IT Inventory Kawasan Berikat merupakan subsistem dari sistem akuntansi perusahaan parameter yang dapat digunakan adalah:
Hanya ada satu aplikasi sistem pencatatan pembukuan dan satu database yang dipergunakan dalam mencatat barang yang masuk atau keluar.
Sistem IT Inventory tersebut harus terintegrasi dengan keseluruhan sistem pencatatan pembukuan yang ada di perusahaan, misalnya terintegrasi dengan bagian akuntansi, pembelian, produksi dan penjualan.
Jika IT Inventory menggunakan system yang berbeda dengan system pencatatan perusahaan (misalnya perusahaan telah menggunakan system SAP/System Application and Product in data Processing atau ERP/ Enterprise Resources Planning sedangkan IT Inventory menggunakan system yang lain, maka hal ini dapat diterima dengan syarat: » system tersebut terintegrasi dengan sistem pencatatan pembukuan perusahaan (system pada IT Inventory sebagai interface /antarmuka) » Tujuan interface /antarmuka adalah untuk menampilkan data yang diperlukan oleh DJBC » Untuk memastikan IT Inventory merupakan sub system dari system aplikasi perusahaan maka salah satu langkah yang dapat diambil adalah mengecek apakah data yang digunakan sama dan tidak berbeda, dan sumber data pada IT Inventory digunakan oleh bagian akuntansi dalam penyusunan Laporan Keuangan (Menanyakan ke bagian akuntansi perusahaan, sumber data untuk Laporan Keuangan) Misalnya: - untuk impor bahan baku, IT Inventory menggunakan sumber data dari CEISA TPB namun data tersebut juga digunakan oleh bagian akuntansi sebagai catatan persediaan dan pembelian, oleh bagian Gudang digunakan sebagai dasar pencatatan pemasukan (Goods Receive Notes). Perusahaan biasanya akan menggunakan nomor dokumen yang saling berhubungan dan tercatat pada system pencatatannya. - Untuk pemasukan dan pengeluaran barang jadi, pemasukannya menggunakan dokumen penyerahan barang jadi dari bagian produksi kepada Gudang barang jadi yang akan dicatat dalam Persediaan Barang jadi dan akan dicatat juga di bagian akuntasi sebagai persediaan barang jadi, sedangkan pengeluarannya pada IT Inventory akan menggunakan sumber data dari CEISA TPB dan dalam pencatatan pembukuan perusahaan akan dicatat dalam pengeluaran stock barang jadi di Gudang dan akan dicatat pula dalam Surat Jalan dan Invoice penjualan dari bagian akuntasi. Perusahaan biasanya akan menggunakan nomor dokumen yang saling berhubungan dan tercatat pada system pencatatannya. | Atensi: Jika IT Inventory kedapatan terdapat 2 (dua) sistem pencatatan dan masing-masing berdiri sendiri (masing-masing sistem melakukan pencatatan sendiri) maka IT Inventory ini tidak sesuai dengan ketentuan. 3 Data diinput secara realtime. Pengertian realtime dibagi 2 (dua) jenis: 1, Realtime dalam pencatatan arus barang. Pencatatan data transaksi persediaan pada IT Inventory oleh operator data entry atas pemasukan, pengeluaran, WIP (jika melakukan pencatatan WIP), adjustment, dan stock opname (pergerakan barang) dilakukan sesegera mungkin setelah medapat otorisasi terlebih dahulu dari pegawai perusahaan sesuai kewenangan yang diatur dalam SOP atau SPI perusahaan. Realtime dalam pembaharuan (refresh) data laporan. Setiap proses input ke dalam sistem informasi dapat secara langsung memperbarui database yang digunakan untuk proses pelaporan Meminta SOP atau keterangan dari perusahaan tentang kriteria pencatatan secara real time. Dari hasil informasi tersebut dilakukan pemeriksaan apakah benar SOP yang disampaikan tersebut, misalnya ketika dinyatakan pencatatan dilakukan setelah 2 hari maka dicek atas kegiatan pemasukan dan pengeluaran 2 hari yang lalu apakah sudah tercatat dalam IT Inventory dan selanjutnya kita lakukan uji kebenaran dengan data pada CEISA. 4 IT Inventory mencatat/ menampilkan: Te 2: riwayat perekaman dan penelusuran kegiatan pengguna, riwayat aktivitas yang ditelusuri dalam waktu 2 tahun periode sebelumnya. dapat (dua) Screen shoot dan/atau penjelasan di buku manual system H. FORMAT BERITA ACARA PEMERIKSAAN BARANG KOP SURAT BERITA ACARA PEMERIKSAAN FISIK BARANG NOMOR....... TANGGAL........ Pada hari ini. ......... tanggal ...... Dutta seven tahun telah dilakukan pemeriksaan fisik atas barang yang diberitahukan dengan keterangan sebagai berikut: S Aa 3 e & F : d A 5 s - U 2D E U A - Oo E Oo - “AGtT . Waktu pemeriksaan :
jam/tgl dimulai pemeriksaan barang :
....... 2 mem sang eka b. jam/tgl selesai pemeriksaan barang :
..... » mang semsif Mldurn Foto : tidak / ya" (...... lembar) . Contoh barang Ik 00 9. Kendala pemeriksaan importir/kuasanya tidak ada di tempat pemeriksaan: barang tidak berada di tempat pemeriksaan : buruh tidak siap : peralatan tidak tersedia : (sebutkan:
................. ) lain-lain : dS JT 0 nescocococorocesoooooeverevooooonooneooenocanonn ora casoso ren oveng nano n anna na reraKennagasarananann na anan naas. snnocococoencoooooooocomcocoooooocooooooococoooooc.oooooococococooocrocomococooo.cococooococ cocoa 10.Keterangan : daan (Misal : pemeriksaan telah dilaksanakan dengan baik dan sesuai Berita Acara) sena (Misal : Mengetahui: Penyelenggara/ Pengusaha TPB Pejabat Pemeriksa Barang senoo0osnosano0 Jono nesuawanasosesanann”””————————————————————————————————————————” Geonanunana nanang asas O0 Ooo naa o 0 Oo 9a.0 0 0.00aa “ coret yang tidak perlu I. FORMAT BERITA ACARA PENGAMBILAN SAMPEL Pada hari ini ......... tanggal ...... bulan .......... tahun....... telah dilakukan pengambilan sampel dalam rangka pengujian kebenaran pemberitahuan klasifikasi dan tarif dengan keterangan sebagai berikut:
Foto : tidak / ya" (...... lembar) . Contoh barang S a “3 Ss ah E $ d A 3 s — v 9 5 As 4 Oo E o - AVOTtU c. diminta kembali oleh importir/ kuasanya : ya / tidak “...........
Keterangan : sanam (Misal : pengambilan sampel telah dilaksanakan dengan baik dan sesuai Berita Acara) ananaan (Misal : pengambilan sampel tidak dapat dilakukan karena sainsmsemnsse) Mengetahui: Penyelenggara/ Pengusaha TPB Pejabat Pemeriksa Barang SERLA SBI SNASN TAN ANA NAS ERA TAMAN ERROR 0 Sans Nu auKn “ coret yang tidak perlu J. PEDOMAN PEMERIKSAAN SEDERHANA Ws ai se Aa Aa 3 Menghitung nilai Bea Masuk, | 1. Tentu an cut off (batas waktu) penentuan PPN atau PPN dan PPnBM yang pemeriksaan sederhana. (minimal data masih terutang dalam hal TPB akan pada satu bulan terakhir dan dapat dicabut fasilitasnya diperluas sesuai kondisi masing-masing perusahaan).
Cek data saido awal dari IT Inventory perusahaan TPB. Saldo awal dapat juga menggunakan hasil stock opname perusahaan.
Uji kebenaran data saldo awal pada IT Inventory dengan data internal yang ada di perusahaan (contoh: data Warehouse Management System/WMS, kartu stock, dil) 4. Jika data saldo awal sulit didapatkan seperti pada kondisi TPB yang sudah pailit atau ditinggalkan penanggung jawab pengusaha TPB, maka dapat menggunakan data saldo terakhir yang ada di IT Inventory atau hasil stock opname perusahaan dibandingkan dengan SKP.
Mengetahui jumlah pemasukan |1. Cek data pemasukan pada IT Inventory perusahaan TPB 2. Uji kebenaran dokumen pemasukan (BC 1: 6: BC 2.3, BC 2:
2, BC 2.7. BC 4.0) pada CEISA / SKP 3. Mengetahui jumlah — Il. Cek data pengeluaran pada IT Inventory pengeluaran “| perusahaan TPB 2. Uji kebenaran dokumen pengeluaran (BC 2.5, BC 2.6.1, BC 2.7, BC 4.1, BC 3.0, BC 3.3) pada CEISA / SKP 4. Menentukan Saldo Buku Lakukan perhitungan saldo buku dengan cara data saldo awal barang ditambah dengan data pemasukan barang dikurangi dengan data pengeluaran barang.
Mengetahui Saldo Fisik 1. Lakukan Pemeriksaan sediaan dengan melakukan stock opname 2. Bandingkan saldo buku dengan saldo fisik 6. Menghitung nilai bea masuk | 1. Dapatkan data sesuai stock fisik menjadi dan PDRI yang terutang data dasar jumlah barang yang masih terutang.
Sandingkan dengan data dokumen pabean yang menunjuk pada saldo barang terhutang tersebut 3. Hitung nilai pungutan negara yang masih terutang Bea Masuk dan PDRI Kepatuhan Enam TPB dalata — Kebaera konversi pemakaian 1. Tentukan barang jadi yang akan Pa menjalankan TPB bahan baku yang disampaikan kebenaran konversi pemakaian bahan perusahaan bakunya.
Minta data pemakaian konversi kepada pengusaha TPB 3. Uji data konversi pemakaian bahan baku dengan data pendukung seperti Bill of material, HPP (harga pokok produksi dari bagian akuntansi), kontrak kerja dengan pemberi kontrak, dan data lainnya yang dapat mendukung kebenaran konversi yang diberikan. Jika perlu dapat dimintakan keterangan kepada tenaga ahli di bagian produksi | 4. Untuk mempermudah, tentukan komponen bahan baku utama yang menjadi dasar penyusun utama dari barang jadi yang kita hitung konversinya. Komponen bahan baku utama dapat juga didasarkan pada komponen bahan baku dominan atau yang mempunyai nilai yang tinggi.
Uji kewajaran antara data konversi yang diajukan perusahaan dengan hasil perhitungan konversi yang dilakukan. Misalnya konsistensi konversi yang diajukan.
Bandingkan konversi yang diajukan perusahaan dengan konversi perusahaan lain yang sejenis. Pemeriksaan sederhana u 'denganp an Nas 1 em J Ne peri Jina Inna Panduan pemeriksaan » Pemeriksaan ini bertujuan untuk menguji kepatuhan TPB terhadap kebenaran sistem pencatatan perusahaan. Misalnya ketika Kepala KPU/KPPBC ingin melihat kebenaran dari saldo barang modal yang ada di TPB atau ingin mengetahui jumlah barang sisa/scrap yang ada di TPB. Sasaran pemeriksaan kebenaran sistem pencatatan perusahaan ini mempunyai banyak kegunaan yang bisa digunakan sebagai informasi bagi Kepala KPU/KPPBC dalam pengambilan arah kebijakan terhadap TPB yang dilakukan pemeriksaan sederhana, dan terutama adalah untuk menguji keandalan sistem pencatatan perusahaan. Sebelum melakukan pemeriksaan sederhana ini terlebih dahulu ditentukan lingkup pemeriksaannya, meliputi, a.
bahan penolong, . barang dalam proses, . barangjadi, . barang modal, b e d 8 G 8. h. P bahan baku: peralatan perkantoran, sisa dari proses produksi/limbah (scrap/ waste): dan/atau barang lain yang mendapatkan fasilitas. rosedur pemeriksaan sederhana yang dilakukan sama dengan yang dilakukan pada prosedur pemeriksaan sederhana pada poin 1 (satu) dan hanya ruang Iingkup pemeriksaannya saja yang disesuaikan sesuai kebutuhan dan tidak perlu dilakukan perhitungan nilai bea masuk dan PDRI yang terhutang kecuali terdapat selisih kurang » Konfirmasi atas perbedaan selisih kurang tersebut dengan disertai alasan atau data yang memadai. Kepatuhan Pensi TPB Cal aan menjalankan TPB AN nana, Jumlah Saldo A Awal 1. Tentukan cut off (batas waktu) penentuan pemeriksaan sederhana. (minimal data pada 1 bulan terakhir dan dapat diperluas sesuai kondisi masing-masing perusahaan).
Cek data saldo awal dari Laporan 4 bulanan, IT Inventory atau Berita Acara Stock Opname terakhir 2. Mengetahui jumlah pemasukan Cek data pemasukan dari dokumen pemasukan (BC 1.6, BC 2.3, BC 2.6.2, BC 2.7, BC 4.0) pada CEISA / SKP 3. Mengetahui jumlah pengeluaran Cek data pengeluaran dari dokumen pengeluaran (BC 2.5, BC 2.6.1, BC 2.7, BC 4.1, BC 3.0, BC 3.3) pada CEISA / SKP 4, Menentukan Saldo Buku Lakukan perhitungan saldo buku dengan menjumlahkan saldo awal ditambah pemasukan dan dikurangi pengeluaran 5. Mengetahui Saldo Fisik 1. Lakukan Pemeriksaan sediaan dengan melakukan stock fisik.
Bandingkan saldo buku dengan saldo fisik (dalam hal masih terdapat barang di TPB) K. PEDOMAN ANALISIS MENDALAM Kegiatan ini sebagai optimalisasi dari pemanfaatan ruang kendali (monitoring room) dalam melakukan analisis terhadap kegiatan TPB dengan berdasarkan SKP, IT Inventory, CEISA, CCTV, dan sumber lain yang diperlukan.
Pemenuhan ketentuan pemasukan barang Contoh: ———— paru 5 RISIKO Ta Barang impor diberitahukan dengan tidak |“ Melakukan analisis dengan cara | SKP, IT Inventory, benar membandingkan jenis barang, pemasok, | TPS Online jumlah barang, dll, antara yang diberitahukan dalam BC 2.3 dengan yang dicatat dalam IT Inventory.
Jika ditemukan indikasi adanya pelanggaran, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan. s Dapat dibandingkan berat barang dengan data pada JICT atau TPS Online Ra Barang impor tidak sampai di tempat|“ Meneliti pencatatan waktu pengeluaran | SKP, IT Inventory tujuan barang di kantor bongkar dengan catatan waktu pemasukan barang di perusahaan/kantor pengawas. “ Meneliti apakah ada pemasukan barang/bahan pada pencatatan dalam IT Inventory dan catatan security perusahaan. » Jika ditemukan indikasi adanya pelanggaran, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan.
Barang yang diimpor tidak sesuai|” Melakukan penelitian terhadap importasi yang | SKP, IT Inventory perizinan dilakukan perusahaan dan Lin yang | diberikan, harus berkaitan dengan hasil produksi/sesuai dengan barang yang diizinkan ditimbun atau dijual yang tercantum dalam SKEP/izin ybs. » Jika ditemukan indikasi adanya pelanggaran, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan.
Penghindaran terhadap pungutan BMAD, |s Meneliti HS code barang asal impor yang akan | SKP, IT Inventory BMTP, dan BM Pembalasan dikeluarkan ke TLDDP apakah termasuk dalam HS code barang yang terkena BMAD, BMTP, BM pembalasan. »« Apabila termasuk dalam HS code barang yang terkena BMAD, BMTP, BM pembalasan, maka dilakukan penelitian apakah sudah dilakukan pembayaran. » Jika ditemukan indikasi adanya pelanggaran, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan.
Pemenuhan ketentuan kegiatan di perusahaan Contoh: “ND | Pre : P 1 | NO RISIKK “KEGIATAN YANG DILAKUKA IIA JKEF AN AI SKP, IT Inventory jali 31 3 Membandingkan total jumlah/tonase pemasukan bahan baku dengan total jumlah/tonasehasil produksi selama periode tertentu. “ Apabila ditemukan selisih, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan. Jumlah pemasukan dan pemakaian bahan baku impor yang tidak wajar Penyalahgunaan Subkontrak Menganalisis data . pengiriman subkontrak (tanggal, jenis barang, dan foto bahan baku) dengan data pemasukan barang hasil subkontrak. Menganalisis kontrak/agreement pekerjaan subkontrak. Menganalisis pemasukan hasil pekerjaan subkontrak dengan cara membandingkan jumlah bahan baku dengan konversi untuk pekerjaan subkontrak. Membandingkan berat barang yang disubkontrakkan antara jumlah barang keluar dan barang masuk dengan cara:
BC 2.7 harus sesuai 2) uji sampling Jika ditemukan indikasi adanya dugaan pelanggaran, antara lain barang subkontrak yang tidak kembali dalam batas waktu yang ditentukan, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan. IT Inventory, Berkas kontrak/ agreement terkait Pemberitahuan Konversi tidak benar membandingkan perhitungan konversi dengan konversi atas barang sejenis lainnya dan/atau berdasarkan profesional judgement Petugas. dalam hal ditemukan indikasi ketidakwajaran konversi, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan. SKP, IT Inventory Pelanggaran persentase pengeluaran hasil produksi ke TLDDP Meneliti pencatatan dalam IT Inventory perusahaan, catatan dalam SKP, laporan yang disampaikan perusahaan, dan Keputusan Dirjen BC tentang batasan penjualan lokal. Membandingkan antara nilai dan volume barang yang diimpor dengan nilai dan volume pengeluaran hasil produksi ke TLDDP dalam periode tertentu. SKP, IT Inventory, laporan perusahaan “ Dalam hal ditemukan indikasi ketidakwajaran, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan.
Pemusnahan ' . Membandingkan pemberitahuan pemusnahan | IT Inventory, BAP dengan data yang tercatat dalam IT Inventory. | Pemusnahan » Meneliti frekuensi pengajuan pemberitahuan pemusnahan. e Dalam hal ditemukan indikasi ketidakwajaran, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan.
Pemenuhan ketentuan pengeluaran barang Contoh: SKP, IT Inventory Oo NAN KA AN AMP AN hi Tag CA : Ma ea . — L. Under Invoicing “ Meneliti nilai pabean bahan baku apakah terlalu rendah dengan membandingkan harga pemberitahuan dengan pemberitahuan lainnya. “ Dalam hal hasil penelitian ditemukan adanya ketidakwajaran, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan.
Waktu pengeluaran barang yang tidak |“ Meneliti kewajaran waktu pengeluaran barang | SKP, IT Inventory, wajar dengan membandingkan waktu pemasukan, | CCTV proses produksi,dan waktu pengeluaran dalam IT Inventory. » Atensi terhadap pengeluaran barang yang dilakukan pada waktu yang rawan seperti tengah malam hingga subuh, hari libur, saat sholat Jumat. Jika ditemukan indikasi adanya ketidakwajaran waktu pengeluaran barang, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan. Ekspor fiktif Melakukan penelitian terhadap catatan pembatalan ekspor. Apakah prosedur pembatalan ekspor telah sesuai prosedur. Membandingan frekuensi pembatalan ekspor dan catatan pembatalan ekspor di kantor muat dan di perusahaan. Analisis berat di TPS online Membandingkan jumlah dan jenis barang yang tercantum dalam dokumen PEB dengan pencatatan perusahaan dalam IT Inventory. Menganalisis negara tujuan penerima barang dan profil penerima barang, apabila profil penerima barang tidak jelas maka patut dilakukan pendalaman analisis. Membandingkan nilai dan volume ekspor dengan nilai dan volume impor bahan baku fasilitas selama periode tertentu. Membandingkan nilai dan volume pemasukan bahan baku non fasilitas dengan nilai dan volume penjualan hasil produksi ke TLDDP selama periode tertentu. Jika ditemukan indikasi adanya pelanggaran, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan. SKP, IT Inventory Pengeluaran barang secara ilegal Membandingkan jumlah/tonase pengeluaran barang yang dicatat dalam IT Inventory SKP, IT Inventory dengan jumlah/tonase yang tercantum dalam dokumen kepabeanan selama. periode tertentu. Jika ditemukan indikasi adanya ketidakwajaran waktu pengeluaran barang, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan. Modus pengeluaran bahan baku ke TLDDP dengan cara menyatakan bahan baku tersebut adalah bahan baku rusak. Memerintahkan petugas surveillance untuk melakukan pengecekan terhadap sisa bahan baku apakah benar rusak Melakukan penelitian terhadap jumlah/tonase barang impor dan jumlah/tonase sisa bahan baku yang dikeluarkan ke TLDDP, apabila jumlah tidak wajar maka dapat dipastikan KB tersebut melakukan modus penjualan bahan baku Membandingkan nilai impor bahan baku dengan nilai penjualan sisa bahan baku rusak yang dicatat dalam IT Inventory. Jika ditemukan indikasi adanya pelanggaran, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan. IT Inventory, laporan perusahaan Tempat tujuan pengeluaran sisa bahan baku tidak sesuai Izin yang diberikan Membandingkan frekuensi dan volume pengeluaran sisa bahan baku kepada suatu perusahaan yang dituju. Dalam hal ditemukan frekuensi dan volume pengeluaran sisa bahan baku kepada suatu perusahaan yang dituju sangat tinggi, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan. IT Inventory Penyalahgunaan dokumen BC 4.1 Membandingkan antara BC 4.1 dengan IT Inventory dan aplikasi BC 4.0, untuk SKP, IT Inventory memastikan bahwa barang yang dikeluarkan dengan BC 4.1 adalah barang asal TLDDP. Dalam hal ditemukan indikasi pelanggaran, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan.
Analisis terhadap laporan pertanggungjawaban mutasi barang (untuk KB dan GB) Contoh: 1: Adanya selisih barang yang ditimbun . menguji apakah ada data selisih lebih atau kurang pada Laporan Pertanggungjawaban Mutasi Barang . menguji dengan data Laporan Pemasukan Barang per Dokumen Pabean dan Laporan Pengeluaran Barang per Dokumen Pabean . mengusulkan untuk dilakukan stock opname dan merekomendasikan penelitian ada tidaknya indikasi tindak pidana TATTTI ATA ALAN OI laporan 4-bulanan KB, laporan bulanan GB e. Analisis terhadap laporan posisi barang per dokumen pabean (untuk GB) Contoh: barang per dokumen pabean dengan data | laporan bulanan GB laporan pengeluaran barang per dokumen pabean.
dalam hal ditemukan indikasi pelanggaran, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan. jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal pemasukan f. Analisis atas laporan pemasukan dan pengeluaran barang per dokumen pabean, laporan penjualan barang, dan laporan persediaan barang (untuk TBB) Contoh: ATATITTI ALAI OY. Il: Adanya selisih barang yang ditimbun 1. membandingkan data laporan pemasukan dan | SKP, CEISA, IT pengeluaran barang per dokumen | Inventory, laporan pabeandengan data laporan penjualan barang | bulanan TBB 2. Barang di Toko Bebas Bea dijual kepada dan laporan persediaan barang. ovang yang Cidala berkala 2. dalam hal ditemukan indikasi pelanggaran, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan. L. PEDOMAN MONITORING MANDIRI Pedoman umum 2 Monitoring mandiri ini dilaksanakan oleh perusahaan penerima fasilitas TPB untuk menguji apakah persediaan barang yang ada telah sesuai dengan pencatatan persediaan pada IT Inventory. # Sasaran monitoring mandiri ini adalah agar TPB dapat memperbaiki secara konsisten sistem pencatatan persediaan yang ada agar dapat menghasilkan kinerja perusahaan yang baik. » Pengusaha TPB terlebih dahulu menentukan lingkup pemeriksaannya, meliputi, a) bahan baku, b) bahan penolong, c) barang dalam proses, d) barang jadi: e) barang modal, f) peralatan perkantoran, dan/atau g) sisa dari proses produksi/limbah (scrap/ waste). 2» Dalam hal terdapat selisih, pengusaha TPB: a) Melakukan penelusuran sebab terjadinya selisih tersebut dengan memberikan bukti berupa data dan penjelasan yang logis b) Melakukan pelunasan bea masuk dan PDRI yang terhutang dalam hal terjadi selisih kurang c) Melakukan penyesuaian atas pencatatan pada IT Inventory sesuai saldo fisik barang ala Tenalan ri t off (batas Sale) tensuiian monitoring mandiri. (minimal data pada 1 bulan terakhir dan dapat diperluas sesuai kondisi masing-masing perusahaan).
Cek data saldo awal dari Laporan 4 Kesasanan antara persediaan I a Mengetahui Jumlah Salkto Anal barang dengan pencatatan persediaan pada IT Inventory bulanan, IT Inventory atau Berita Acara Stock Opname terakhir | 2. Mengetahui jumlah pemasukan Cek data pemasukan dari dokumen pemasukan (BC 1.6, BC 2.3, BC 2.6.2, BC 2.7, BC 4.0) pada CEISA / SKP 3. Mengetahui jumlah pengeluaran Cek data pengeluaran dari dokumen pengeluaran (BC 2.5, BC 2.6.1, BC 2.7, BC 4.1, BC 3.0, BC 3.3) pada CEISA / SKP 4. Menentukan Saldo Buku Lakukan perhitungan saldo buku dengan menjumlahkan — saldo awal ditambah pemasukan dan dikurangi pengeluaran 5. Mengetahui Saldo Fisik 1. Lakukan Pemeriksaan sediaan dengan melakukan stock fisik.
Bandingkan saldo buku dengan saldo fisik (dalam hal masih terdapat barang di TPB) Pedoman umum » Monitoring mandiri ini dilaksanakan oleh perusahaan penerima fasilitas TPB untuk menguji apakah persediaan barang yang ada telah sesuai dengan dokumen pabean pemasukan dan pengeluaran. » Sasaran monitoring mandiri ini adalah agar TPB dapat memperbaiki secara konsisten sistem pencatatan persediaan yang ada agar dapat menghasilkan kinerja perusahaan yang baik. » Pengusaha TPB terlebih dahulu menentukan lingkup pemeriksaannya, meliputi, a) BC 1.6: b) BC2.8: CI BC2.5: d) BC 2.6.1, e) BC 2.6.2: 1 BC27:
BC 2.8, h) BC 3.0, ) BC3.3: j) BC 4.0: dan/atau k) BC4.1: » Dalam hal terdapat perbedaan maka, pengusaha TPB: a) Melakukan penelusuran sebab terjadinya selisih tersebut dengan memberikan bukti berupa data dan penjelasan yang logis, misalnya: ketika jumlah barang dalam BC 2.3 berbeda dengan jumlah barang pada saat guality control (OC) yang biasanya terjadi pada industri tekstil ketika roll garment yang masuk setelah dihitung ulang dengan mesin penghitung roll bahan. b) Melakukan pelunasan bea masuk dan PDRI yang terhutang dalam hal terjadi selisih lebih, c) Melakukan penyesuaian atas pencatatan pada IT Inventory sesuai saldo fisik barang Pedoman umum » Monitoring mandiri ini dilaksanakan oleh perusahaan penerima fasilitas TPB untuk menyampaikan kondisi atau permasalahan yang ada sebagai bagiar dari rasa tanggung jawab pengusaha TPB. » Kondisi yang dapat disampaikan adalah:
Prestasi dan peningkatan kinerja perusahaan, seperti terjadinya peningkatan ekspor, penambahan Line produksi.
Pelemahan kinerja seperti, jumlah impor yang berkurang, pengurangan tenaga kerja. M. FORMAT LAPORAN HASIL PELAKSANAAN MONITORING MANDIRI LAPORAN HASIL PELAKSANAAN MONITORING MANDIRI TPB PERIODE...... Bi. ecnawa Identitas perusahaan penerima Fersilitan TPB:
Nama Perusahaan ELEMENT PAN AAMIR sanus b. Alamat/Lokasi 1 munnaana METE iak nee asmara c. Jenis TPB 1 an aan sunan d. Nomor SKEP TPB 1 egnsraran Maa naa NAN MEMAHAMI 1. Dasar pelaksanaan monitoring mandiri TPB sebagai berikut: AS Jaa (misal Surat Pembentukan Tim Monitoring Mandiri) biz seven (misal Surat Permohonan Kepala KPPBC untuk melaksanakan monitoring mandiri) c. dst.
Metode pelaksanaan monitoring mandiri dan alat uji yang digunakan sebagai berikut: AA. (sebagaimana Lampiran I huruf L) b. .. (untuk melakukan pengujian dan pemeriksaan sesuai SOP setiap perusahaan) c. dst.
Hasil dari pelaksanaan menari mandiri dapat kami laporkan sebagai berikut: Misalnya: kebenaran sistem pencatatan 1 perusahaan antara IT Inventory dengan — I persediaan fisik barang Diisi hasil pengamatan dan pemeriksaan apakah sudah baik, kurang dan perlu —- perbaikan dan pemenuhan kewajiban lainnya yang perlu dilaporkan Misalnya: kesesuaian antara 2 pemberitahuan pabean dengan pencatatan — | persediaan pada IT Inventory Misalnya: hal-hal lain yang menurut 3. | pertimbangan penanggung jawab perusahaan perlu dilaporkan 4. Berdasarkan hasil monitoring mandiri, kami sampaikan hal-hal sebagai berikut:
(misal: ketidaksesuaian yang terjadi beserta alasannya) b. (misal: usulan perbaikan, usulan pelayanan, dan usulan pelunasan kewajiban BM dan PDRI yang terutang) c. dst. Demikian disampaikan sebagai laporan. lokasi, tgl/bulan/thn Mengetahui, (Pimpinan Perusahaan) Pelaksana monitoring mandiri, (Nama) (Nama) (Nama) (Jabatan) (Jabatan) (Jabatan) N. FORMAT PERSETUJUAN KEPALA KPUBC ATAU KEPALA KPPBC ATAS HASIL MONITORING MANDIRI TPB bean NaSAeomanN KOP SURAT... Nomor ja... Sifat Semesta Lampiran 24 (satu) berkas hasil pemeriksaan monitoring mandiri TPB Ha! : Persetujuan/penolakan"“ Monitoring Mandiri TPB YEN, ken (nama TPB yang melakukan monitoring mandiri Olssesiwias Sehubungan Gengan pelaksanaan monitoring mandiri yang dilakukan oleh:
Nama c. Alamat d. NPWP e. Surat Pilatadmmia! Monitoring Mandiri nomor dan setelah dilakukan pemeriksaan dan verifikasi atas kebenaran data yang disampaikan oleh perusahaan, dengan ini disampaikan bahwa hasil pelaksanaan monitoring mandiri O diterima, atau OJ ditolak, dengan alasan: Ika meowoaserswwesen (misalnya data yang disampaikan tidak benar) Da Situ tenkn aman ena (misalnya kesalahan yang ada, terbukti terjadi disebabkan karena kesalahan nyata dari perusahaan) 3. dst. Atas penerimaan/penolakan monitoring mandiri tersebut, akan ditindaklanjuti dengan: Ik ato enntenaiaenemata (misalnya penerbitan Surat Penetapan Pabean, mengacu pada pasal 16 ayat (7)) Di eemenamanba naas (misalnya perbaikan IT Inventory atas selisih saldo barang) Ih Keane (misalnya perbaikan pemberitahuan pabean) AL mesen (misalnya penerbitan Surat Tugas monitoring khusus) 5. dst Surat persetujuan/penolakan ini disampaikan sebagai jawaban atas monitoring mandiri yang telah dilakukan perusahaan Demikian disampaikan, atas kerjasamanya diucapkan terima kasih. Kepala Kantor (nama) Tembusan : Kepala kantor Wilayah O. FORMAT LAPORAN HASIL PELAKSANAAN EVALUASI MIKRO TPB KOP SURAT NOTA DINAS NOMOR : ND- “../nafuaan Kepada : Kepala Kanwil/ KPU Dari : Kepala KPPBC Lampiran : 1 (satu) berkas Hal : Laporan Pelaksanaan Evaluasi Mikro TPB Tanggal :
Pada tanggal ............ sampai dengan tanggal ............... , telah dilakukan evaluasi mikro terhadap perusahaan perusahaan penerima fasilitas TPB di dalam wilayah KPPBC TMP en enn en amenan , Sesuai Surat Tugas Tim Evaluasi Mikro nomor ..... tanggal ......., sebagai berikut: Jumlah Perusahaan Penerima Fasilitas TPB Saat pelaporan Periode sebelumnya Keterangan KB : misal (100) : misal (102) : misal (S5 tutup/ 3 baru) PLB Mansnmenamanasa Y membanwwwaaasa 1 mangan GB Giemesreaneatnsa H onawkanaenawaa TI muweanseeasang TBB Muse N Mean ansanan Y sesama TPPB Pemesan U kemasan 1 Kama Lainnya Huninsuswenan D saennnaan 1 kawanan 2. Hasil dari pelaksanaan evaluasi mikro tersebut dapat kami laporkan sebagai berikut: T bea Nfo3 Materi Evaluasi asil Bvaluasi 1 - (bagi KPPBC yang mempunyai TPB dalam jumlah banyak dapat melakukan resume tanpa menjelaskan kondisi per masing masing TPB dan hanya menyampaikan informasi tentang TPB yang mempunyai penilaian yang tidak sesuai saat melaksanakan monitoring umum) - (Sampaikan jika ada prestasi atau kekurangan yang terjadi dari masing masing TPB didapat TPB, nilai profil layanan risiko, berapa kali dan usaha perbaikan yang telah CCTV mati, perbedaan data pada IT Inventory dengan dniaban dilataikan SKP, keaktifan TPB menyampaikan data pengukuran dampak ekonomi, dan informasi lain yang menunjukkan prestasi atau kesalahan TPB) 1 - (tim monitoring TPB minimal dapat merumuskan tingkat 3. | Potensiatau kesehatan . kesehatan perusahaan berdasarkan pengamatan dan perusahaan TPB .. 5 1 ag analisis data laporan keuangan, misalnya: kondisi yang mencerminkan perusahaan dalam keadaan sehat atau kondisi yang mencerminkan perusahaan sedang tidak sehat) 1. | Kondisi masing-masing TPB (Gunakan informasi dari hasil monitoring umum dan informasi lainnya) 2. | Prestasi dan kesalahan yang 3. Berdasarkan hasil evaluasi mikro tersebut butir 2, kami mengusulkan hal-hal sebagai berikut (jika ada): Ak mamenagg (sesuai pasal 18 Perdirjen Monev) Demikian disampaikan sebagai laporan. (nama) P. FORMAT KUESIONER PENGKURAN DAMPAK EKONOMI FASILITAS KEPABEANAN KOP SURAT KUESIONER PENGUKURAN DAMPAK EKONOMI FASILITAS KEPABEANAN - Mohon isikan terlebih dahulu alamat email pribadi pengisi kuesioner Alamat email Sebelum mengisi kuesioner, siapkan terlebih dahulu data-data dan berkas sebagai berikut:
Data jumlah tenaga kerja tahun pengukuran (tenaga kerja asing, tenaga kerja lokal, tenaga kerja terdidik, tenaga kerja tidak terdidik, tenaga kerja laki-laki dan tenaga kerja perempuan).
Data laporan keuangan meliputi nilai ekuitas, beban pajak daerah, beban pajak tidak langsung, beban gaji, beban depresiasi dan laba/rugi perusahaan tahun pengukuran.
Data jumlah industri terkait (seperti vendor, distributor, dil) baik pengguna fasilitas Kawasan Berikat maupun non-pengguna fasilitas Kawasan Berikat, untuk memenuhi data jaringan usaha.
Data jumlah usaha di sekitar pabrik meliputi bidang perdagangan, akomodasi, makanan dan transportasi. Semua data keuangan diisikan dalam mata uang rupiah. Bila nilai masih dalam mata uang asing, mohon dikonversi terlebih dahulu ke mata uang rupiah berdasarkan kurs 31 Desember di tahun tersebut. Isikan dahulu alamat “email pribadi” pengisi kuesioner pada form. BAGIAN I PROFIL PENGISI KUESIONER Nama Lengkap Pengisi Kuesioner : " Jabatan Pengisi Kuesioner : " No. Handphone : “ Alamat Email Penanggung Jawab : (Email Pribadi) BAGIAN II PROFIL PERUSAHAAN Nama Perusahaan : " NPWP: (15 Digit tanpa tanda baca “.” Dan “8x Alamat Email Perusahaan : (jika ada) Alamat Perusahaan: “ Tahun Berdiri : “ Jenis Industri : (Sesuai IUI) “ Alas kaki Bahan kimia Barang dari logam Barang dari plastic, kertas atau kayu Elektronik Farmasi Furniture Kendaraan bermotor atau komponennya Keperluan rumah tangga Makanan dan minuman Tekstil/pakaian/benang (other) .... Jenis Investasi: Penanaman Modal Asing : 100Y6 Penanaman Modal Asing (PMA) : 76 Yo — 99Y Penanaman Modal Asing (PMA) : 51 Y -75 Yo Penanaman Modal Asing (PMA) : 26 4x -50 Y Penanaman Modal Asing (PMA) : « 25 Yo Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) : 1006 0000 oo Tahun mulai menggunakan fasilitas tersebut: “ Hasil Produksi Utama: Tuliskan maksimal 10 hasil utama pada tahun 2017 s.d Juli 2018 (Contoh cara penulisan : Baju, Sepatu, Kaus kaki, Sendal) Merek Hasil Produksi : (dapat dituliskan lebih dari satu, contoh : Adidas, Kopiko, dll) Tujuan penjualan hasil produksi : " O Ekspor : 100Y6o O Ekspor : 76 Yo — 99Yo O Ekspor: S1 4 -75 Xx 0 Ekspor: « 50 Yo Jenis Produksi: O Mass Production, 0 Job Order Maklon, 0 Job Order Non Maklon, 0 Job Order Gabungan (Maklon & Non Maklon) Lokasi Pabrik - Mohon tuliskan Lokasi pabrik yang terbesar / utama. Provinsi Banten DI Yogyakarta DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Timur Kalimantan Selatan Kalimantan tengah Kalimantan Utara NAD Sumatera Utara Sumatera Selatan Sumatera Barat Bengkulu Riau Kepulauan Riau Jambi Lampung Bangka Belitung Bali Nusa Tenggara Timur Nusa Tenggara Barat Gorontalo Sulawesi Barat Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan 00000000090 SO OB 9 IG GI III 9 9 Sulawesi Tenggara Maluku Utara Maluku Papua Barat 00 oo Papua Kota / Kabupaten " Bandung Bekasi Bogor Boyolali Gresik Pasuruan Karawang Semarang Sidoarjo Tangerang (Other) ... 00000000000 Kecamatan " Nama Jalan “ Apakah di sekitar Anda ada perusahaan lain yang menggunakan fasilitas KB? 0 Ya O Tidak O Tidak tahu Jika ya, sebutkan nama perusahaan tersebut ... BAGIAN III DATA TENAGA KERJA - Merupakan total seluruh tenaga kerja perusahaan (baik pegawai tetap, pegawai tidak tetap dan pegawai outsourcing) yang tercatat pada tanggal 31 desember setiap tahun. - Kriteria tenaga kerja terdidik adalah tenaga kerja yang berasal dari lulusan perguruan tinggi. A. PERIODE TAHUN SEBELUM TAHUN PENGUKURAN Total tenaga kerja :
Tenaga kerja asing :
Tenaga kerja terdidik (skilled labor) Y Tenaga kerja wanita : Y Tenaga kerja laki-laki :
Tenaga kerja tidak terdidik (Unskilled labor) “ Tenaga kerja wanita : Y Tenaga kerja laki-laki :
Tenaga kerja lokal :
Tenaga kerja terdidik (skilled labor) Y Tenaga kerja wanita : Y Tenaga kerja laki-laki :
Tenaga kerja tidak terdidik (Unskilled labor) Y Tenaga kerja wanita : Y Tenaga kerja laki-laki : B. PERIODE TAHUN PENGUKURAN Total tenaga kerja : C. Tenaga kerja asing :
Tenaga kerja terdidik (skilled labor) “ Tenaga kerja wanita : Y Tenaga kerja laki-laki :
Tenaga kerja tidak terdidik (Unskilled labor) “ Tenaga kerja wanita : Y Tenaga kerja laki-laki :
Tenaga kerja lokal :
Tenaga kerja terdidik (skilled labor) Y Tenaga kerja wanita : Y Tenaga kerja laki-laki :
Tenaga kerja tidak terdidik (Unskilled labor) “ Tenaga kerja wanita : “ Tenaga kerja laki-laki : BAGIAN IV DATA INVESTASI Dihitung berdasarkan jumlah nilai yang digunakan perusahaan untuk melakukan penambahan barang modal meliputi pengadaan, pembuatan, pembelian barang modal baru dari dalam negeri dan barang modal baru maupun bekas dari luar negeri (termasuk perbaikan besar, transfer atau barter barang modal). Nilai tersebut dikurangi dengan penjualan barang modal (termasuk barang modal yang ditransfer atau barter kepada pihak lain). Barang modal yang dimaksud adalah yang mempunyai umur pemakaian lebih dari satu tahun dan tidak merupakan barang konsumsi. Dapat dilihat di laporan arus kas pada laporan keuangan atau dikonfirmasi ke bagian akuntansi masing-masing. . | Isikan data dengan mata uang rupiah (kurs untuk tahun 2017, 1 USD - Rp 13.458,00 dan per 31 Juli 2018, 1 USD - Rp 14.413,00) Periode tahun sebelum tahun pengukuran (Rupiah) " Periode tahun berjalan (Rupiah) “ Bentuk penambahan investasi: Bangunan Mesin dan perlengkapan Kendaraan Peralatan lainnya Ternak dan hasilnya Tanaman buah-buahan dan holtikultura, atau tanaman lain yang menghasilkan berulang Produk layanan intelektual Other.. d 090000 o Apakah ada barang modal atau mesin-mesin yang disewa dari pihak lain? : O Ada O Tidak Jika ada, apakah jenis barang modal atau mesin-mesin yang disewa dari pihak lain: O Bangunan O Mesin dan perlengkapan O Kendaraan O Peralatan lainnya O Lainnya..... BAGIAN V LABA SEBELUM PAJAK - Jika laba, cukup tulis nominal laba dalam rupiah - Jika rugi, tambahkan tanda kurung, contoh jika rugi 100 juta rupiah, maka diisi :
Berapa persen efisiensi biaya yang diperoleh perusahaan dari pemanfaatan Fasilitas KB? (Dihitung dengan cara membandingkan: Biaya produksi (HPP) perusahaan jika menggunakan fasilitas : Biaya produksi (HPP) perusahaan jika tidak menggunakan fasilitas) 3. Apakah dampak bagi perusahaan jika fasilitas kepabeanan dihilangkan oleh pemerintah? (pilih yang paling signifikan) Persaingan usaha terutama di tingkat internasional semakin sulit Laba perusahaan menurun Beban produksi meningkat Tidak memberikan dampak bagi bisnis perusahaan (Other) ... 0000 0 4. Apakah yang akan dilakukan perusahaan jika fasilitas kepabeanan dihilangkan oleh pemerintah? (pilih yang paling signifikan) Perusahaan akan mengurangi jumlah pegawainya Perusahaan menutup usaha Perusahaan memindahkan usahanya ke negara lain Perusahaan akan tetap melanjutkan usaha di Indonesia (Other)... 00000 5. Negara manakah yang akan menjadi pilihan perusahaan untuk memindahkan usaha jika faslitas kepabeanan dihilangkan oleh pemerintah? (pilih salah satu negara prioritas, hanya jika jawaban pertanyaan 4 adalah memindahkan ke negara lain) Malaysia Brunei Darussalam Thailand Vietnam Laos 00000 oo 6. Kendala apa saja yang dihadapi perusahaan dalam perizinan KB? Ketentuan Lartas dan Perizinannya Ketentuan Perpajakan Ketentuan Prosedural di DJBC U Pengurusan Izin Usaha Industri ti Sistem Aplikasi IL (Other)... Berikan keterangan/alasannya 7. Apa saran anda untuk perbaikan Fasilitas KB kedepannya? 8. Apa saja kendala yang dihadapi dalam proses ekspor dan impor? 9. Apa saran anda untuk pengembangan ke depan dalam rangka mendorong ekspor? Demikian kami sampaikan data pada kuesioner ini dengan sebenar-benarnya. (Nama Penanggung Jawab Perusahaaan TPB) O@. FORMAT LAPORAN HASIL EVALUASI MAKRO TPB OLEH KANWIL ATAU KPU KOP SURAT NOTA DINAS NOMOR : ND- .../..oofuc.. Kepada : Direktur Fasilitas Kepabeanan Dari : Kepala Kanwil / KPU Lampiran : 1 (satu) berkas Hal : Laporan Pelaksanaan Evaluasi Makro TPB Tanggal Sehubungan dengan pelaksanaan evaluasi makro atas pemberian fasilitas Tempat Penimbunan Berikat khususnya di wilayah Kanwil/KPU DJBC ........... , bersama ini kami sampaikan sebagai berikut :
Data jumlah TPB yang berada di bawah pengawasan KWBC/KPUBC....: No Jenis TPB Jumlah Keterangan saat ini Izin yang telah Izin baru dicabut Kawasan Berikat Pusat Logistik Berikat Gudang Berikat Toko Bebas Bea Oa IR Iw IK I- Tempat Penyelenggaraan Pameran Berikat 6 | Lainnya 2. Evaluasi makro ini dilakukan berdasarkan: a) b) c) d) analisis atas laporan hasil evaluasi mikro TPB: analisis atas laporan hasil evaluasi mandiri TPB: analisis atas rekomendasi audit kepabeanan: dan/atau pengumpulan data terkait dampak ekonomi dari pemberian fasilitas TPB.
Hasil evaluasi makro terhadap pemberian fasilitas Kawasan Berikat khususnya di bawah pengawasan KWBC/KPUBC ....... sebagai berikut : An anakan (informasi mengenai pemenuhan /pelaksanaan aturan yang berlaku, pelanggaran yang sering dilakukan, dll) .......... bo naa (informasi mengenai efek dari pemberian fasilitas terkait dengan penyerapan tenaga kerja, peningkatan investasi, peningkatan ekspor, transfer knowledge/skill/technology, pertumbuhan ekonomi sekitar/backward linkage, dll) c. pengumpulan data terkait dampak ekonomi dari pemberian fasilitas TPB (khusus disampaikan pada bulan Agustus) “dapat disampaikan dalam bentuk soft copy 4. Hasil evaluasi makro terhadap pemberian fasilitas Pusat Logistik Berikat khususnya di bawah pengawasan KWBC/KPUBC ....... sebagai berikut : bs regu (informasi mengenai efek dari pemberian fasilitas terkait dengan tujuan yang ingin dicapai seperti kemudahan perusahaan industri sekitar mendapat bahan baku, menggerakkan roda ekonomi sekitar, dll) ...... ca.
dil.
Hasil evaluasi makro terhadap pemberian fasilitas Gudang Berikat khususnya di bawah pengawasan KWBC/KPUBC ....... sebagai berikut : Ok sea (informasi mengenai pemenuhan/pelaksanaan aturan yang berlaku, pelanggaran yang sering dilakukan, dll) .......... Ds mw (informasi mengenai efek dari pemberian fasilitas terkait dengan tujuan yang ingin dicapai seperti kemudahan perusahaan industri sekitar mendapat bahan baku, menggerakkan roda ekonomi sekitar, dll) ..........
dll.
Hasil evaluasi makro terhadap pemberian fasilitas Toko Bebas Bea khususnya di bawah pengawasan KWBC/KPUBC ....... sebagai berikut : Oh san (informasi mengenai pemenuhan /pelaksanaan aturan yang berlaku, pelanggaran yang sering dilakukan, dll) .......... Da: se (informasi mengenai efek dari pemberian fasilitas terkait dengan tujuan yang ingin dicapai seperti apakah keberadaan TBB sudah efektif dimanfaatkan oleh orang yang berhak membeli, dll) ..........
dil.
Rekomendasi: Ak mewmea (sesuai pasal 23 Perdirjen Monev) b. dst.
...Informasi tambahan lainnya. Demikian disampaikan sebagai laporan. (nama) R. FORMAT KERTAS KERJA EVALUASI MAKRO INSIDENTAL TPB No./Tgl. Kertas Kerja 1 KK nnananan , tanggal ......... No./Tgl. Surat Tugas 1 Steunusa , tanggal ......... Nama TPB No sewenwme NPWP T mess Alamat Y moveon Jenis TPB Do oom 1.1. | Pemeriksaan ERNA:
Existence - TPB telah berlokasi di alamat yang sesuai dengan Izinnya yaitu di ..... 5 - Tanda nama dan fasilitas terpasang di « tempat yang terlihat jelas. - Kondisi bangunan layak. - Lokasi memiliki batas yang jelas dan tidak berhubungan dengan bangunan lain. - Memiliki 1 pintu utama.
Responsibility Izin Usaha perusahaan masih berlaku dan kegiatan yang dilakukan sesuai izin Penanggung Jawab hadir saat kegiatan.
Nature of Business Diisi dasar Diisi saran Diisi saran bagi Terdapat SOP dan telah berjalan dengan | pemeriksaan/krit | bagi KPPBC TPB baik. eria Barang yang ditimbun/hasil produksi sesuai izin fasilitas yang diberikan.
Auditability - Perusahaan menyelenggarakan pembukuan sesuai Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia. - Perusahaan telah mendayagunakan IT Inventory yang telah berhubungan langsung dengan pembukuan.
3 Pemeriksaan CCTV Sudah terpasang CCTV pada lokasi. - CCTV memadai untuk memantau pemasukan, pembongkaran, pemuatan, dan pengeluaran barang. - CCTV dapat diakses secara realtime dan online dari KPPBC . - Kualitas gambar di monitor memadai untuk melakukan pengawasan. - Hasil rekaman CCTV dapat diputar kembali sampai 7 hari yang lalu.
Compliance - Secara umum, kepatuhan TPB terhadap dasar peraturan (sudah/belum)" baik. - Syarat lokasi (sesuai/tidak sesuai)" aturan TPB. - Ketentuan IT Inventory dan Ruang Hanggar, dan CCTV (sudah/belum)" terpenuhi. - Catatan lain:
..
Performance & Economy Impact 2 Pss menjadi TPB sejak ..... - Tyjuan distribusi:
.... , senilai Rp...... - Hasil produksi berupa:
.... dengan merek:
...... - Jumlah importasi Rp....... - Catatan lain:
Saran Kepada TPB, agar :
Kesimpulan Pemberian fasilitas kepada TPB PT ...... (layak/tidak layak)" diberikan. S. FORMAT LAPORAN HASIL PELAKSANAAN EVALUASI MAKRO TPB SUBDIREKTORAT TPB KOP SURAT NOTA DINAS NOMOR : ND- .../c.ref ana. Kepada : Direktur Fasilitas Kepabeanan Dari : Kepala Subdirektorat TPB Lampiran : 1 (berkas) Hal : Laporan Pelaksanaan Evaluasi Makro TPB Tanggal Sehubungan dengan telah dilaksanakannya kegiatan Evaluasi Makro sesuai Surat Tugas NoOMOT Lb... tanggal ............ , kami sampaikan sebagai berikut:
Bahwa telah dilaksanakan kegiatan evaluasi terhadap perusahaan penerima fasiltas Tempat Penimbunan Berikat Tujuan kegiatan Evaluasi tersebut adalah untuk melakukan penilaian mengenai dampak dan efektivitas kebijakan pemberian fasilitas TPB Evaluasi makro ini dilakukan berdasarkan: a) analisis atas laporan hasil evaluasi makro TPB, b) analisis atas rekomendasi audit kepabeanan, dan/atau Cc) pengumpulan data terkait dampak ekonomi dari pemberian fasilitas TPB. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dapat kami laporkan kesimpulan bahwa: b) Hasil analisis terhadap KB c) Hasil analisis terhadap PLB d) Hasil analisis terhadap GB e) Hasil analisis terhadap TBB f) Hasil analisis terhadap TPPB g) Lainnya: Bahwa kegiatan evaluasi makro telah dilaksanakan dengan baik dan penuh tanggung jawab dan bersama ini kami sampaikan laporan terhadap evaluasi makro dimaksud. Demikian disampaikan, atas perhatian Direktur kami ucapkan terima kasih. (nama) T. FORMAT LAPORAN HASIL PELAKSANAAN EVALUASI MAKRO TPB INSIDENTAL KOP NOTA DINAS NOTA DINAS NOMOR : ND- .../anaafaaan Kepada : Direktur Fasilitas Kepabeanan Dari : Kepala Subdirektorat TPB Lampiran : 1 (berkas) Hal : Laporan Pelaksanaan Evaluasi Makro TPB Insidental Tanggal Sehubungan dengan telah dilaksanakannya kegiatan Evaluasi Makro Insidental sesuai Surat Tugas Direktur Fasilitas Kepabeanan Nomor ...... tanggal ...... yang telah kami laksanakan pada tanggal........ , dapat kami sampaikan hasil pelaksanaannya sebagai berikut:
Bahwa telah dilaksanakan kegiatan evaluasi terhadap perusahaan TPB yang berada di wilayah pengawasan Kantor Pelayanan Bea dan Cukai ......... , yaitu: s No. Nama Alamat No. dan Jenis Hasil Jenis TPB Perusahaan Tanggal Produksi/ SKEP Barang yang Ditimbun 1: (diisi nama (diisi alamat (diisi nomor (diisi jenis (diisi jenis perusahaan) perusahaan) dan tanggal barang yang TPB) SKEP TPB) ditimbun (KB) atau barang yang ditimbun (selain KB)) 9, dst.
Tujuan kegiatan Evaluasi adalah untuk mengetahui: @. .... (diisi tujuan evaluasi), b. ...., dan/atau Os aer 3. Hasil pelaksanaan evaluasi atas TPB ..... , dapat kami sampaikan sebagai berikut: Aa. .... (diisi ringkasan temuan evaluasi), b. ...., dan/atau Gn send 4. Berdasarkan hasil evaluasi pada butir 3 di atas, kami sampaikan hal-hal sebagai berikut kepada EPBiisaw :
.... (diisi kesimpulan evaluasi): dan/atau b. Demikian kami sampaikan sebagai laporan. DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI LAMPIRAN II PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER- 02/BC/2019 TENTANG TATA LAKSANA MONITORING DAN EVALUASI TERHADAP PENERIMA FASILITAS TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT DAN FASILITAS KEMUDAHAN IMPOR TUJUAN EKSPOR A. PEDOMAN ANALISIS MONITORING UMUM KITE UNTUK UNIT PENGAWASAN DI KANWIL, KPUBC ATAU KPPBC Pedoman monitoring ini dilakukan oleh unit pengawasan di Kanwil, KPUBC atau KPPBC yang bertugas secara rutin sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dalam melakukan pengawasan terhadap perusahaan penerima fasilitas KITE. Pedoman ini merupakan bagian dari monitoring umum secara keseluruhan dengan yang telah dilaksanakan oleh unit Pengawasan di Kanwil, KPUBC, atau KPPBC. Unit pengawasan di Kanwil, KPUBC atau KPPBC memastikan setiap perusahaan penerima fasilitas KITE dalam pengawasannya memenuhi ketentuan:
perizinan fasilitas KITE, 2. impor, ekspor, pergerakan atau mutasi barang dalam rangka subkontrak secara administratif:
IT Inventory perusahaan, dan/atau 4. Modul KITE IKM. Adapun dalam melaksanakan monitoring umum KITE Pembebasan dan/atau KITE Pengembalian, unit pengawasan di Kanwil, KPUBC atau KPPBC, sekurang- kurangnya harus memenuhi setiap kriteria yang ada di dalam check list sebagai berikut: Nama Perusahaan Ae ese nee NA Alamat/Lokasi | Meneeama mano anna Status : aktif/ tidak aktif/beku (“coret yang tidak perlu) Nomor & Tgl SKEP | ee ama deas MTS aa mem MEA meManaa Tanggal Pelaksanaan Ii aaeanemeoaemagannRaBNa Unit yang melakukan monitoring UMUM : “coco oWoooWoWooW NO. URAIAN KONDISI PEMBUKTIAN YA | TIDAK | KET 1 |Apakah — perusahaan masih Mengecek memenuhi persyaratan perizinan persyaratan penerima fasilitas KITE? perizinan fasilitas KITE sesuai dengan list yang tercantum dalam PMK KITE Apakah perusahaan memiliki atau menguasai lokasi untuk kegiatan produksi sesuai dengan ketentuan? (Dalam hal penguasaan lokasi berupa sewa menyewa, jangka waktu sewa pabrik minimal 3 tahun). - Foto lokasi - Bukti kepemilikan / penguasaan lokasi Apakah perusahaan memiliki atau menguasai lokasi tempat penimbunan Bahan Baku dan tempat penimbunan Hasil Produksi sesuai dengan ketentuan, dalam hal tempat tersebut terpisah dari lokasi untuk kegiatan produksi? (Dalam hal penguasaan lokasi berupa sewa menyewa, jangka waktu sewa gudang minimal 6 bulan). - Foto lokasi - Bukti kepemilikan / penguasaan lokasi Apakah perusahaan telah memasang papan nama yang paling sedikit berisi data nama perusahaan dan Nomor dan Tanggal SKEP KITE pada setiap lokasi pabrik dan setiap lokasi penimbunan. Foto papan nama Apakah Izin Usaha Industri perusahaan masih berlaku? Cek izin usaha (bisa dilihat dari file arsip yang sudah ada) Cantumkan masa berlaku dalam kolom keterangan Cukup dicentang Jika data yang ada masih sama seperti data pada arsip Apakah tempat pembongkaran, tempat penimbunan Bahan Baku, tempat penimbunan barang dalam proses produksi, tempat penimbunan Hasil Produksi, tempat penimbunan sisa proses produksi dan pabrik tempat proses produksi sesuai dengan data pada SKEP KITE? - Foto - Cek kesesuaian data pada SKEP KITE Apakah jenis bahan baku yang diimpor sesuai dengan hasil produksi dan jenis usaha? Invoice - Hasil Produksi - Konversi Apakah barang/bahan yang diimpor dengan mendapatkan fasilitas KITE benar milik perusahaan penerima fasilitas KITE? - Invoice - Packing List - Purchase Order Apakah pemasukan barang/bahan yang diimpor dengan mendapatkan fasilitas KITE telah sesuai dengan pemberitahuan? - Analisa data CEISA - BAP dalam hal dilakukan pemeriksaan fisik 10 Apakah perusahaan melengkapi dokumen pelengkap pabean terkait perizinan impor bahan baku yang diberlakukan ketentuan pembatasan? - Dokumen Pelengkap Pabean Ll Apakah jumlah dan jenis barang yang diimpor sesuai dengan yang diberitahukan pada dokumen pabean (BC 2.0 / BC 2.5 / BC 2.8) dan/atau pada data SKEP KITE? - Invoice - Analisis data pada Inward Manifest - Dokumen pemberitahuan pabean (CEISA) 12 Apakah perusahaan benar mengekspor sesuai dengan data yang diberitahukan pada dokumen pabean (PEB)? - Dokumen pemberitahuan pabean (CEISA) - Data hasil rekon 13 Apakah pembatalan ekspor yang diajukan perusahaan telah sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku dan tidak dijadikan sebagai PEB untuk laporan pertanggungjawaban? - Bukti Pembatalan Ekspor - analisa data PEB vs BCLKT - Analisis data pada Outward Manifest 14 Apakah perusahaan sering melakukan pembatalan ekspor? (apabila sering dilakukan pembatalan maka patut dilakukan monitoring khusus) Bukti pembatalan PEB 15 Apakah negara tujuan dan penerima barang diluar negeri memiliki profil yang jelas? (apabila profil penerima barang tidak jelas maka patut dilakukan monitoring khusus) Cukup. dicentang jika sesuai, dan berikan keterangan 16 Apakah antara pemasukan bahan baku, pemakaian bahan baku, dan pengeluaran hasil produksi memiliki keterkaitan? Cukup dicentang jika sesuai, dan berikan keterangan 17 Apakah perusahaan penerima subkon sesuai dengan data SKEP KITEP (dalam hal perusahaan memberikan subkon ke pursahaan lain) Cukup dicentang jika sesuai, dan berikan keterangan 18 Apakah selama ini perusahaan pernah/sering melakukan pelanggaran dibidang kepabeanan dan/atau cukai? | Cukup dicentang jika sesuai, dan berikan keterangan (apabila sering perlu dilakukan evaluasi atas perizinan KITE nya) 19 IT Inventory KITE merupakan bagian dari subsistem akuntansi perusahaan. Data dalam IT Inventory dipergunakan secara langsung dalam menyusun laporan keuangan - Memastikan bahwa barang masuk atau barang keluar telah dicatat di IT Inventory, - Memastikan tidak ada aplikasi lain yang dipergunakan dalam mencatat barang yang masuk atau keluar - Menanyakan ke bagian Akuntansi perusahaan, sumber data untuk laporan keuangan 20 Terdapat pembagian authorized user log in untuk administrator, petugas Bea dan Cukai dan/atau unit internal di perusahaan. Maksud authorized user log in adalah kode akses berupa username dan password untuk masuk ke dalam sistem. Melakukan spot check dan/atau melihat penjelasan di buku manual system/ tampilan screenshoot untuk user log in User admin: dan/atau User unit internal perusahaan: 21 IT Inventory mencakup pencatatan:
pemasukan dan pengeluaran barang, b. terdapat field untuk mencatat jenis dokumen pabean, nomor dan tanggal dokumen pabean:
terdapat menu untuk membuat laporan mutasi atas pemasukan, penimbunan dan pengeluaran barang yang dapat diunduh melalui kantor pabean:
pemberian kode barang secara konsisten: scrap/ waste: dan lain-lain (sesuai VI Screen shoot dan/atau penjelasan di buku manual system ketentuan PER-09/BC/2014) 22 IT Inventory memiliki menu pencatatan penyesuaian/ adjustment. Jika terjadi penyesuaian di dalam IT Inventory, bisa dilihat catatannya pada menu adjustment ini. Screen shoot dan/atau penjelasan di buku manual system 23 Apakah Data diinput secara realtime. Meminta penjelasan kondisi realtime sesuai SOP tertulis dari perusahaan. Misal: SOP menyatakan paling lambat 1 (satu) hari setelah barang masuk ke gudang bahan baku, data harus diinput ke IT Inventory Cukup dicentang Jika data yang ada masih sama seperti data pada arsip sebelumnya ! (keterangan SOP pencatatan secara real time) 24 Apakah Laporan IT Inventory dapat diakses secara online oleh DJBC. Membuka tautan IT Inventory perusahaan melalui handphone, komputer, monitoring room, dan/atau perangkat lainnya Cukup dicentang jika sesuai 25 | Apakah Perubahan data hanya bisa dilakukan oleh user yang mempunyai otoritas tertentu. Spot dan/atau penjelasan di buku manual system Cukup dicentang jika sesuai check 26 | Apakah IT Inventory mencatat/ menampilkan:
riwayat perekaman penelusuran pengguna, b.riwayat aktivitas yang dapat ditelusuri dalam waktu 2 (dua) tahun periode sebelumnya. dan kegiatan Screen dan/atau penjelasan di buku manual system Cukup dicentang jika sesuai shoot | 27 | (Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu) Kesimpulan Pejabat yang melaksanakan monitoring, so..rreraanuasaneananennaan Adapun dalam melaksanakan monitoring umum untuk KITE IKM, unit pengawasan di KPUBC atau KPPBC, sekurang-kurangnya harus memenuhi setiap kriteria yang ada di dalam check list sebagai berikut: Alamat/ Lokasi Status Nomor & Tgl SKEP Tanggal Pelaksanaan Unit yang melakukan monitoring umum : Nama Perusahaan 00.correnenganaranonanunuana naa anu gn angan seenanna sanococenesosagonovenonageneangana senang oososavonaanan Ooceveveeurneeaanakanaan nana sennananan ane enan ana ngannasan gan 8 #00mirenanperenanananeoesenangoenenuosaKa nana se sanuaneanenenn "nannsenangnonunenenananosanangnonyena NO. URAIAN KONDISI TIDAK KET PEMBUKTIAN 1 Apakah perusahaan masih memenuhi persyaratan perizinan fasilitas KITE IKM? Mengecek persyaratan perizinan sesuai dengan list yang tercantum dalam PMK KITE IKM Apakah memenuhi kriteria sebagai IKM (skala industri kecil/ menengah)? perusahaan masih industri Cek keuangan, serta perusahaan dibandingkan dengan kriteria skala industri yang tercantum dalam PMK KITE IKM laporan omset, asset Perusahaan IKM merupakan anak perusahaan atau bukan bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, . atau menjadi bagian, baik langsung maupun tidak usaha menengah atau usaha besar langsung dari Melakukan pengecekan terhadap pendirian perusahaan akta Apakah perusahaan memiliki atau menguasai lokasi untuk kegiatan produksi sesuai dengan ketentuan? - Foto lokasi - Bukti kepemilikan /pe nguasaan lokasi Terkait Modul KITE IKM a. Apakah pengusaha IKM mampu mendayagunakan sistem aplikasi (modul) kepabeanan, b. Apakah pengusaha IKM mencatat setiap transaksi pada modul KITE IKM terkait: - impor Barang dan/atau Bahan, Barang Contoh, dan Mesin, “ pemakaian Barang dan/atau Bahan: “ pemasukan Hasil Produksi: “ ekspor, Penyerahan Produksi IKM, dan Penjualan Hasil Produksi ke TLDDP: “ pemindahtanganan Mesin. Melakukan pengecekan secara langsung terkait penggunaan modul KITE IKM Apakah jumlah pemakaian bahan “Ibaku untuk menghasilkan satu satuan barang jadi dinilai wajar? Melakukan pengecekan pada bagian produksi dan menelusuri kewajaran pemakaian bahan bakunya Apakah bahan baku yang menggunakan fasilitas KITE IKM yang belum dipertanggungjawabkan masih berada di lokasi perusahaan KITE IKM? - Melakukan pengecekan kel gudang penyimpanan bahan baku - Membandingkan data saldo bahan baku yang belum dipertanggungjaw abkan pada CEISA KITE terhadap saldo fisik 8 (Apakah IKM pernah melakukan tindak pidana di bidang perpajakan, kepabeanan dan/atau cukai | Melakukan pengecekan data pelanggaran 9 |Apakah IKM mengekspor dan/atau melakukan Penyerahan Produksi IKM terhadap seluruh Hasil Produksi? (Jika ada penjualan hasil produksi ke TLDDP, agar dihitung persentasenya tidak boleh melebihi 254 dari nilai realisasi ekspor terbesar dalam periode 5 tahun sebelumnya). Melakukan pengecekan data penjualan, ekspor/PEB/ SSTB, dan penjualan lokal (BC.24) 10 |Apakah IKM melaporkan Hasil Produksi yang telah diekspor atau dilakukan Penyerahan Produksi IKM namun belum disampaikan laporan pertanggungjawabannya? Melakukan pengecekan data penjualan, ekspor/PEB/ SSTB, dan CEISA KITE 11 | (Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu) Kesimpulan Pejabat yang melaksanakan monitoring, s0cocoronanarannana B. PEDOMAN MONITORING UMUM KITE UNTUK UNIT DI BIDANG FASILITAS KEPAREANAN DI KANWIL, KPUBC ATAU UNIT DI BIDANG PELAYANAN KEPABEANAN DAN CUKAI (PKC) DI KPPBC Pedoman monitoring ini dilakukan oleh unit di bidang Fasilitas Kepabeanan di Kanwil, KPUBC atau unit di bidang Pelayanan Kepabeanan dan Cukai (PKC) di KPPBC yang bertugas secara rutin sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dalam melakukan pelayanan terhadap perusahaan penerima fasilitas KITE. Pedoman ini merupakan bagian dari monitoring umum secara keseluruhan dengan yang telah dilaksanakan oleh unit di bidang Fasilitas Kepabeanan dan menjadi bahan pertimbangan untuk perbaikan pelayanan di KITE. Unit di bidang Fasilitas Kepabeanan di Kanwil, KPUBC atau unit di bidang Pelayanan Kepabeanan dan Cukai (PKC) di KPPBC memastikan setiap perusahaan penerima fasilitas KITE dalam pengawasannya memenuhi ketentuan:
penyerahan jaminan, 2. penyampaian konversi, dan/atau 3. penyampaian laporan pertanggungjawaban atau penyelesaian barang atau bahan baku. ' Dalam melaksanakan monitoring umum KITE Pembebasan dan/atau KITE Pengembalian, Unit di bidang Fasilitas Kepabeanan di Kanwil atau KPUBC dapat melakukan kegiatan analisa sekurang-kurangnya dengan kriteria yang ada di dalam check list sebagai berikut: Nama Perusahaan Sanata.” ”—— sie Status . aktif / Bana aktif/beku (“coret yang tidak perlu) Nomor & Tgl SKEP Jenis KITE Tanggal Pelaksanaan 0 "0coorerrcennunanananansaneanananaonesanusenonnanananasan Kenaneneseenanoenavananangenanunonoennesannananoaaununana Keneceennenananananunnannagesane saga rena ana au penasananuaan 0 00..ororocoooorecoomenecenenuaneanuangenanaauna naas enanun 0 #occconcrancconunganeraranawunanan NO. KRITERIA KONDISI YA | TIDAK | KET 1 |Apakah perusahaan - Foto kegiatan produksi melakukan kegiatan - Membandingkan total produksi (olah/rakit/ nilai ekspor dengan total pasang) dan terdapat nilai impor apakah lebih penambahan nilai besar dari 1006 (value added) atas bahan baku? PEMBUKTIAN Apakah jenis bahan baku yang dimpor dengan fasilitas terkandung dalam hasil produksi yang diekspor? Melakukan validasi kode bahan baku yang dilaporkan dalam BCLKT.01/02 dengan kode bahan baku dalam database konversi. Apakah perusahaan KITE Pembebasan menyerahkan laporan pertanggungjawaban sesuai dengan batas periode pembebasan atau perpanjangan periode pembebasan? Memonitor dan memberitahukan via portal pengguna jasa atau email resmi perusahaan setiap periode pembebasan atau perpanjangan periode pembebasan akan berakhir dan batas akhir penyerahan laporan pertanggungjawaban. Apakah perusahaan KITE Pengembalian mengajukan permohonan pengembalian dan menyerahkan laporan pemakaian bahan baku sesuai dengan ketentuan? Memonitor dan memberitahukan via portal pengguna jasa atau email resmi perusahaan terkait jangka waktu ekspor Apakah perusahaan memenuhi ketentuan mengenai penyampaian konversi? - Bukti penyerahan konversi Kemudian melakukan : - analisa waktu penyerahan konversi - Analisa konversi jika terdapat perubahan konversi (atensi untuk perusahaan yang sering melakukan perubahan konversi), - analisa keterkaitan antara pemasukan bahan baku, pemakaian bahan baku, dan pengeluaran hasil produksi dalam bentuk konversi Apakah perusahaan memenuhi kewajiban ekspor sesuai dengan batas waktu yang ditentukan? Melakukan validasi jangka waktu impor dengan ekspor masih dalam kurun waktu periode pembebasan atau perpanjangan periode pembebasan, Melakukan validasi jangka waktu ekspor atau perpanjangan jangka waktu ekspor dalam permohonan pengembalian yaitu tanggal nopen PIB dengan tanggal nopen PEB maksimal 12 bulan atau sesuai perpanjangannya, Melakukan validasi jangka waktu permohonan . pengembalian dengan tanggal nopen PEB yaitu maksimal 6 bulan Mencairkan jaminan atas saldo atau sisa saldo atas PIB yang telah jatuh tempo dan tidak dilaporkan dalam laporan pertanggungjawaban (30 hari sejak periode pembebasan berakhir). Apakah perusahaan telah memenuhi kriteria penggunaan jaminan perusahaan atau corporate guarantee? (dalam hal perusahaan menggunakan corporate guarantee) Laporan Keuangan Data Profil Perusahaan Kriteria Rasio Keuangan Perusahaan:
Likuiditas (21) b. Solvabilitas (21) c. Rentabilitas (positif) Apakah perusahaan pengguna corporate guarantee menyerahkan laporan keuangan paling lambat 4 (empat) bulan setelah akhir tahun pajak Bukti Penyampaian Laporan keuangan 9 | Apakah Jaminan dari perusahaan asuransi dalam bentuk Customs Bond termasuk dalam daftar perusahaan asuransi umum yang diizinkan berdasarkan keputusan Menteri? - Hardcopy Customs Bond: - Database dalam daftar perusahaan asuransi umum yang diizinkan berdasarkan keputusan Menteri 10 | (diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu) Kesimpulan Pejabat yang melaksanakan monitoring, Adapun dalam melaksanakan monitoring umum KITE IKM, unit di bidang Pelayanan Kepabeanan dan Cukai (PKC) di KPPBC melakukan kegiatan analisa sekurang-kurangnya dengan kriteria yang ada di dalam check list sebagai berikut: Nama Perusahaan Alamat/Lokasi | engan Status . : aktif/tidak aktif/beku (“coret yang tidak perlu) 0 0nocrnunrenaununangasesanesesanasuoaaan " 0tocecoruncereneneangananangnnoneKa nana Nomor dan Tanggal SKEP KITE Jenis KITE Tanggal Pelaksanaan snnnnrrnan nana naaa an aa masa aa nana Unit yang melakukan monitoring UMUM 3 Le0ooooooWooon anna nana nasa anaaaan NO. KRITERIA KONDISI YA | TIDAK | KET " sococecenenucenangenananunonanesanananana 1 |Apakah perusahaan pernah mengalami over - SIT kuota jaminan ? (dalam hal sering terjadi, dilakukan penelitian mendalam) 2 | Apakah jumlah . Melakukan pengecekan .a ANA aa pada bagian produksi dan sat Suiiha Dewe menelusuri — kewajaran Data 8)J pemakaian bahan dinilai wajar? bakunya 3 Ps sena Melakukan pengecekan Produksi dalam negeri genus . Penjoalan hasil dalam 1 (satu) tahun produksi dalam Hegeri tidak melebihi batasan (engan #jarathanyak 2605 2594 dari nilai ekspor (dua puluh lima persen) dari nilai ekspor dan/atau dan/atau Penyerahan Produksi IKM? Penyerahan Produksi IKM 1 (satu) tahun terbesar yang pernah direalisasikan dalam periode 5 (lima) tahun sebelumnya. Akan tetapi, jika IKM belum pernah melakukan ekspor atau Penyerahan Produksi IKM, IKM dapat melakukan penjualan Hasil Produksi kepada pihak lain di tempat lain dalam daerah pabean dengan jumlah paling banyak 1046 (sepuluh persen) dari nilai kontrak ekspor atau Penyerahan Produksi IKM 4 | Apakah perusahaan : Melakukan pengecekan telah menyampaikan saldo yang masih harus Laporan 2 dipertanggungjawabkan Pertanggungjawaban pada CBISA KITE atas seluruh barang/ bahan yang telah diimpor dengan menggunakan fasilitas KITE IKM? Apakah bahan baku yang menggunakan fasilitas KITE IKM yang belum dipertanggungjawabkan masih berada di lokasi perusahaan KITE IKM? - Melakukan pengecekan ke gudang penyimpanan bahan baku - Membandingkan data saldo bahan baku yang “belum dipertanggungjawabkan pada CEISA KITE Apakah pernah mesin? a.Jika iya, seberapa sering perusahaan mengimpor mesin? b.Apakah mesin yang diimpor tersebut berkaitan dengan proses produksi ? perusahaan mengimpor Melakukan pengecekan PIB atau CEISA KITE terkait impor mesin Analisa frekuensi impor mesin dengan kegiatan produksi Melakukan pengecekan keberadaan fisik mesin Apakah perusahaan pernah mengimpor barang contoh? a. seberapa sering perusahaan mengimpor barang contoh? | b. Apakah barang contoh yang diimpor tersebut berkaitan dengan proses produksi ? Melakukan pengecekan PIB atau CEISA KITE terkait impor barang contoh Analisa frekuensi impor barang contoh dengan kegiatan produksi Melakukan pengecekan keberadaan fisik barang contoh (Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu) Kesimpulan Pejabat yang melaksanakan monitoring, .noc.ocoKoonesanuncanann C. FORMAT LAPORAN HASIL PELAKSANAAN MONITORING UMUM KITE KOP SURAT NOTA DINAS NOMOR : ND-....../...o.i (20... Kepada : Kepala Kanwil, KPUBC atau KPPBC Dari : Kepala Bidang Fasilitas Kepabeanan/Kepala Seksi PKC/ Kepala Seksi Penindakan dan Penyidikan Lampiran : 1 (satu) berkas Hal : Penyampaian Laporan Hasil Pelaksanaan Monitoring Umum KITE Tanggal Aas eta 20... Sehubungan dengan pelaksanaan monitoring umum terhadap perusahaan KITE....., dengan hormat kami sampaikan laporan sebagai berikut:
Bahwa pada tanggal ............. sampai dengan tanggal ................ , kami yang bertanda tangan di bawah ini telah melakukan monitoring umum terhadap perusahaan penerima fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor sebagai berikut: Nama Perusahaan NELLA Alamat/ Lokasi 1 men aaankaNNNNan Nomor dan Tanggal SKEP KITE 5 ....ooooocoooooooooooo oom. Jenis KITE 0 "c..cocenuaenenpananaresengangaoengannngasunanasanasangoaana dS UT u Jenis Industri Bra Naa E Nun 1. | Pemenuhan ketentuan perizinan fasilitas KITE Diisi — hasil — pengamatan — dan pemeriksaan apakah sudah baik, kurang dan perlu perbaikan, serta kondisi lainnya yang perlu dilaporkan 2. (Pemenuhan impor, ekspor, dan/atau pergerakan atau mutasi barang dalata rangka subkontrak 3. | Pemenuhan kewajiban yang dipersyaratkan 4. | (Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu) 3. Hal-hal lain yang perlu disampaikan/dilaporkan :
.................
Berdasarkan hasil monitoring tersebut butir 2, kami mengusulkan hal-hal sebagai berikut : Ob sets (misalnya semua kriteria monitoring telah dilaksanakan dengan baik): bb sn (misalnya adanya kekurangan dan temuan yang harus dilaporkan), Ch mewea (misalnya saran perbaikan yang perlu) dst. Demikian disampaikan sebagai laporan. (Nama) D. FORMAT SURAT TUGAS PELAKSANAAN MONITORING KHUSUS KITE Berdasarkan Pasal .« Undang-Undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan dan .....u. kepada: Nama NIP Pangkat/Golongan Jabatan Nama NIP Pangkat/Golongan Jabatan Nama NIP Pangkat/Golongan Jabatan dengan ini kami pejabat yang bertanda tangan dibawah ini memberi tugas s....... "soo... af wa Anggota untuk melakukan monitoring khusus berupa (pemeriksaan sewaktu-waktu/analisis mendalam)" terhadap pemenuhan ketentuan pelaksanaan pemberian fasilitas son.corocmux en 5) terhadap : Nama Perusahaan NPWP Jenis Fasilitas Alamat Waktu Senencannaanneneasaneresenonnangangasanana noona seecaneeetanennannanaseeanangananenaauannanaaaana secocowecenangonenananunananan angan ana oouoanama "ecareeresenanasereoseneneaseneaananagoaunenanaa enenrnangaeneanengenenasanannanannagannooosanan Semua informasi yang diperoleh dari Perusahaan dimaksud merupakan rahasia jabatan. Setelah tugas selesai dilaksanakan agar menyampaikan laporan hasil monitoring khusus kepada .... (Pejabat yang diberi tugas). Kepada instansi terkait, kami mohon bantuan demi kelancaran pelaksanaan tugas tersebut. | Dikeluarkan di : "u...ooooroooncoococomcoccor E. FORMAT LAPORAN HASIL PELAKSANAAN MONITORING KHUSUS KITE KOP SURAT NOTA DINAS NOMOR : ND- .../axeaf scan Kepada : Direktur so... / Kepala Kanwil/ KPUBC /KPPBC Dari : Tim Monitoring Khusus Lampiran : 1 (satu) berkas Hal : Laporan Pelaksanaan Monitoring Khusus KITE Tanggal oo 20.... Sehubungan dengan kegiatan monitoring: khusus terhadap PT ten sebagai perusahaan penerima fasilitas KITE Surat Tugas Direktur ............... / Kepala Kanwil/ KPUBC /KPPBC nomor ST- Sy atwangkngna tanggal ............., dengan hormat kami laporkan sebagai berikut 1. Identitas perusahaan penerima fasilitas KITE:
Nama Perusahaan b. Alamat/Lokasi c. Nomor dan Tanggal SKEP d. Jenis KITE e. Jenis Monitoring Khusus O Pemeriksaan sewaktu-waktu O Analisa Mendalam Sons occoccooreneneannanaunana naa gen ana sana nanananananuneaa 0 0ocococooco.coc.oounanenaannanunenagngana nana sannana 0 seruvavaneeneeeennananaeunan gan gannaganaaneoannnn anang aoaa #eneneneeaananenanan nana nana nan gan asn conan nano noaman aan 2. Dasar pelaksanaan monitoring khusus/analisis mendalam sebagai berikut: Oi Sab sama .....(misal Surat Tugas) (misal Surat Permohonan dari pihak lain) c. Dst. .
Hasil dari pelaksanaan monitoring khusus dapat kami laporkan sebagai berikut: Senonenesenen0enonoenanananesannoaooe l. D5 Yna 5 Naa Mamasa 3 senosonnonoovnosenocenaenanusenananoan s0coneneroocococecom##ccomm.maK.comu so0orenngnennangananeserananasanann seonvenancncanengneesenunnoauansanosana 4. Hal-hal lain yang perlu disampaikan/dilaporkan :
.....
Berdasarkan hasil monitoring khusus, kami mengusulkan hal-hal sebagai berikut: seso.ceroveeenosenrengananeanseanenganenanunsa sena enegannanaaana soncoceverakanennonaenneeenesanneaoeneonan nano soenanananaanananaaaa Demikian disampaikan sebagai laporan. (Nama) F. PEDOMAN PEMERIKSAAN SEWAKTU-WAKTU KITE PEMBEBASAN DAN/ATAU PENGEMBALIAN Tahap-tahap sebelum melakukan pemeriksaan sewaktu-waktu:
Mengumpulkan semua data yang akan diuji, meliputi:
Data PIB yang menggunakan fasilitas KITE:
Data PIB perusahaan non fasilitas:
SKEP KITE perusahaan, d. Data hasil monitoring umum perusahaan, e. Data dan informasi terkait lainnya.
Menentukan perusahaan yang akan dilakukan monitoring khusus berdasarkan hasil analisa kegiatan poin nomor 1, dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
Perusahaan KITE yang terindikasi melakukan pelanggaran terkait pemasukan, pengeluaran, dan/atau penimbunan barang:
Perusahaan KITE yang belum menyampaikan laporan pertanggungjawaban lebih dari periode pembebasan, c. Perusahaan KITE yang sering memberitahukan konversi secara tidak benar: dan/atau sering mengajukan permohonan perbaikan data:
Perusahaan KITE.dan Perusahaan Penerima Subkontrak yang terindikasi melakukan pelanggaran subkontrak, dan/atau e. Perusahaan KITE yang terindikasi melakukan pelanggaran lainya berdasarkan informasi data yang tersedia.
Membuat Surat Tugas pelaksanaan kegiatan monitoring khusus.
Melakukan pengujian atau analisa terhadap perusahaan KITE sekurang- kurangnya sesuai dengan rincian kegiatan sebagai berikut:
Menguji kebenaran pemberitahuan jumlah dan jenis barang dengan melakukan kegiatan antara lain sebagai berikut: Contoh Melakukan analisis dengan cara 1 membandingkan jumlah dan - Tn dan/atau jenis barang antara yang creen shoot diberitahukan dalam BC 2.0 pencatatan dengan yang dicatat dalam IT pada SKP Inventory. dan/atau IT Inventory - Data PIB Melakukan pemeriksaan fisik 2 terhadap jumlah dan jenis “ KartuStoek, barang yang: - Analisa data a. ditimbun di lokasi pa perusahaan, Inventory, b. akan atau sudah dikeluarkan « Esta Acara dari lokasi perusahaan: Fencacahan, dan/atau “ For c. berada di lokasi perusahaan NI Pa penerima subkontrak. 3 | Memastikan jenis bahan baku yang diimpor dengan fasilitas memiliki keterkaitan dengan Skep KITE, BOM, jenis hasil produksi perusahaan data konversi, dll berdasarkan data SKEP KITE, Konversi, Bill of Material. 4 | (Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu) b.Menguji kebenaran pemberitahuan klasifikasi dan tarif dengan melakukan kegiatan antara lain sebagai berikut: Contoh: 1 Melakukan analisis kesesuaian - SKEP fasilitas pemberitahuan jenis barang KITE, dalam dokumen pabean dengan: - hasil uji lab:
dokumen elengka . Been " Ame Pena pelengkap b. BC Li dan pahsan : Pn Ke Oa - DataBC 1.1 Cc. pemberitahuan jenis barang pada SKEP fasilitas KITE (Dalam hal terdapat kecurigaan perbedaan jenis barang, Pejabat bea dan cukai dapat mengambil sample/contoh barang atau bahan baku untuk dilakukan uji laboratorium) 2 (Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu) c. Menguji kebenaran pemberitahuan jumlah pemakaian bahan baku yang dilaporkan berdasarkan konversi dengan melakukan san antara lain sebagai berikut: Contoh: 'Membandingkan perhitungan konversi dengan:
Bill of Material, dan/atau dokumen lain internal perusahaan terkait pemakaian bahan baku, - Hasil perhitungan konversi dengan konversi atas seperti: dokumen pengeluaran barang dari gudang bahan baku ke bagian produksi, b. konversi atas barang sejenis lainnya dan/atau berdasarkan professional judgement Petugas. barang sejenis lainnya dan/atau berdasarkan professional judgement Petugas, - Data pada CEISA KITE, Analisa data IT Inventory. Menganalisis frekuensi perusahaan melakukan perubahan data konversi - Hasil Pemeriksaan Lapangan - Data CEISA KITE, - data SKEP KITE, - Data IT Inventory Memastikan kebenaran jumlah pemakaian bahan baku yang terkandung dalam hasil produksi berdasarkan konversi. - Data konversi - Analisa data CEISA KITE Membandingkan persentase jumlah/tonase pemusnahan berdasarkan BC 2.4 dengan persentase waste dalam Konversi. - DataBC 2.4 - Berita acara Menganalisa data sisa bahan baku. - Kartu Stock - Analisa data IT Inventory Memastikan kesesuaian bahan baku di WIP berdasarkan konversi. - Data konversi - Analisa data IT Inventory (Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu) d. Menganalisa hasil pencacahan/stock opname dengan catatan pemakaian bahan baku pada IT Inventory dan saldo bahan baku pada CEISA KITE dengan melakukan kegiatan antara lain sebagai berikut: Contoh: Memastikan bahan 5 i 1 bala fasilitas Hasil analisa data terkandung . ia ha dengan dan/atau ata ekspor digunakan dalam hasil produksi yang diekspor 2 Melakukan - Berita Acara pemeriksaan Stock Opname sediaan dengan - Saldo buku melakukan stock - Saldo fisik opname dan membandingkan saldo buku dengan saldo fisik Membandingkan 5 : dan menganalisis “analisa data hasil stock opname saldo Bahan Baku pada dengan catatan CEISA KITE pemakaian bahan Beri k baku pada IT Mean aa Inventory dan saldo Stock Opname bahan baku pada CEISA KITE, 4 Melakukan Hasil perhitungan saldo perhitungan buku dengan saldo buku menjumlahkan dengan saldo awal ditambah menjumlahkan pemasukan dan saldo awal dikurangi ditambah pengeluaran pemasukan dan dikurangi pengeluaran 5 (Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu) e. Menganalisa kesesuaian pencatatan pemasukan, pengeluaran, dan penimbunan barang dalam IT Inventory, termasuk selisih jumlah pemakaian bahan baku dalam hal terdapat perbedaan antara konversi dengan laporan pertanggungjawaban dengan melakukan kegiatan antara lain sebagai berikut: Contoh: Memastikan kesesuaian . Foto pencatatan pemasukan, dan/atau pengeluaran dan penimbunan barang dan/bahan antara IT Inventory dengan dokumen pabean Screen shoot pencatatan pada SKP dan/atau IT Inventory Membandingkan data laporan pemasukan dan pengeluaran barang per dokumen pabean dengan data laporan penjualan barang dan laporan persediaan barang. Foto dan/atau Screen shoot pencatatan pada SKP dan/atau IT Inventory Menganalisa data saldo bahan baku riil yang belum dipertanggungjawabkan dalam BCLKT.O1 yang dilakukan penelitian, berdasarkan pembukuan/catatan internal perusahaan. -.Catatan sisa Bahan Baku - Hasil Analisa data Memastikan jumlah pemakaian bahan baku per Hasil Produksi yaitu dengan mengalikan konversi produksi (Bill of Material) dengan setiap hasil produksi dalam BCL.KT 01. - Bill of Material - Data konversi (Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu).
Menganalisa pemenuhan kewajiban pembatasan dengan melakukan kegiatan antara lain sebagai berikut: Contoh: 1 Melakukan penelitian terhadap importasi yang dilakukan perusahaan dan jin yang diberikan, harus berkaitan dengan hasil produksi/sesuai dengan barang yang diizinkan ditimbun atau dijual yang tercantum dalam SKEP. 2 Menguji kebenaran jenis barang yang diberitahukan dengan persyaratan pembatasan sesuai tarif dan klasifikasinya apakah sudah dipenuhi atau belum. 3 Menguji kebenaran dokumen persyaratan pembatasan dengan data pada INSW. 4 (Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu). g- Menganalisa informasi atau permasalahan lain berdasarkan data yang tersedia dengan melakukan kegiatan antara lain sebagai berikut: Contoh: Menganalisa informasi atau permasalahan lain berdasarkan data yang tersedia dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
karakteristik bahan baku impor, b. tujuan penjualan hasil produksi (ekspor dan lokal): C. perbandingan nilai Ekspor dengan nilai Impor, misal analisis tren, keterkaitan jenis Bahan Baku dengan jenis Hasil Produksi:
negara asal Bahan Baku dan negara tujuan Ekspor Hasil Produksi: - f. frekuensi perubahan Konversi yang tidak wajar:
pengguna fasilitas KITE merupakan Perusahaan yang baru berdiri:
perusahaan melakukan subkontrak untuk kegiatan awal produksi dan/atau kegiatan akhir produksi:
terdapat peningkatan kegiatan pemusnahan, perusakan s dan/atau waste/scrap secara signifikan (khusus KITE Pembebasan): ' j- adanya perpanjangan periode pembebasan, dan/atau k. perusahaan terkena force majeure (Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu) G. PEDOMAN PELAKSANAAN PEMERIKSAAN SEWAKTU-WAKTU KITE IKM 1. Menguji kebenaran pemberitahuan jumlah dan jenis barang kegiatan antara lain sebagai berikut: Contoh Melakukan analisis dengan cara membandingkan jumlah dan jenis barang antara yang diberitahukan dalam BC 2.0 dengan yang dicatat dalam Modul KITE IKM. dengan melakukan Foto . dan/atau Screen shoot pencatatan pada SKP dan/atau Modul KITE IKM Melakukan pemeriksaan fisik terhadap jumlah dan jenis barang yang:
ditimbun di lokasi perusahaan:
akan atau sudah dikeluarkan dari lokasi perusahaan: dan/atau c. berada dilokasi perusahaan penerima subkontrak. Berita Acara Pencacahan, Foto, dll Memastikan jenis bahan baku yang diimpor dengan fasilitas memiliki keterkaitan dengan jenis hasil produksi perusahaan berdasarkan data pada SKEP KITE, Konversi, Bill of Material - Skep KITE - Dokumen PIB, PEB - Data konversi - Bill of Material - Hasil analisa data pada CEISA (Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu) 2. Menguji kebenaran pemberitahuan klasifikasi dan tarif dengan melakukan kegiatan antara lain sebagai berikut: Melakukan analisis kesesuaian pemberitahuan jenis barang dalam dokumen pabean dengan:
dokumen pelengkap pabean:
BC 1.1: dan Cc. pemberitahuan jenis barang pada SKEP fasilitas KITE (Dalam hal. terdapat kecurigaan perbedaan jenis barang, Pejabat bea dan cukai dapat mengambil sample/contoh barang atau bahan baku untuk dilakukan uji laboratorium - SKEP fasilitas KITE, - Data PIB - Hasil analisa data pada CEISA Impor - hasil uji laboratorium (Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu) 3. Menguji kebenaran pemberitahuan jumlah pemakaian bahan baku yang dilaporkan dalam laporan pertanggungjawabandengan melakukan kegiatan antara lain sebagai berikut: Contoh Membandingkan perhitungan pemakaian bahan baku dalam laporan pertanggungjawaban dengan Bill of Material, dan CEISA KITE, Bili of Material, dokumen dokumen internal perusahaan internal terkait pemakaian bahan baku, erusahaan seperti dokumen pengeluaran kait barang dari gudang bahan baku pemakaian ke bag produksi bahan baku 2 Menganalisa data sisa bahan - analisa data baku IT Inventory, - data pembukuan terkait stok bahan baku 3 (Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu) 4. Menganalisa hasil pencacahan/stock opname dengan catatan pemakaian bahan baku pada Modul KITE IKM dan saldo bahan baku pada CEISA KITE dengan melakukan kegiatan antara Iain sebagai berikut: Contoh: Memastikan bahan baku fasilitas 1 terkandung dan/atau digunakan dalam hasil produksi yang diekspor 2 Melakukan pemeriksaan sediaan dengan melakukan stock opname dan membandingkan saldo buku dengan saldo fisik 3 Membandingkan dari menganalisis hasil stock opname dengan catatan pemakaian bahan baku pada Modul KITE IKM dan saldo bahan baku pada CEISA KITE. 4 Melakukan perhitungan saldo buku dengan menjumlahkan saldo awal ditambah pemasukan dan dikurangi pengeluaran 5 (Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu) 5. Menganalisa kesesuaian pencatatan pemasukan, pengeluaran, dan penimbunan barang dalam Modul KITE IKM, dengan melakukan kegiatan antara lain sebagai berikut: Contoh: Memastikan kesesuaian pencatatan pemasukan, pengeluaran dan penimbunan barang dan/bahan antara Modul KTE IKM dengan dokumen pabean Foto dan/atau Screen shoot pencatatan pada SKP dan/atau Modul KITE IKM Membandingkan data laporan pemasukan dan pengeluaran barang per dokumen pabean dengan data laporan penjualan barang dan laporan persediaan barang. - Foto dan/atau Screen shoot pencatatan pada SKP dan/atau Modul KITE IKM - Hasil analisa data pada Modul KITE IKM Menganalisa data saldo bahan baku riil yang belum dipertanggungjawabkan dalam BCLKT.03 yang dilakukan penelitian, berdasarkan pembukuan/catatan internal perusahaan. - Hasil analisa data pada CEISA '” KITE IKM - Melakukan pemeriksaan terhadap pembukuan/c atatan internal perusahaan Memastikan jumlah pemakaian bahan baku per Hasil Produksi yaitu dengan mengalikan konversi produksi (Bill of Material) dengan setiap hasil produksi dalam BCL.KT 03. - Data konversi - Bill of Material (Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu) 6. Menganalisa pemenuhan kewajiban pembatasan dengan melakukan kegiatan antara lain sebagai berikut: Contoh: Apakah bahan/barang yang diimpor menggunakan fasilitas KITE IKM termasuk bahan/barang yang dibatasi impornya (Jika iya, pastikan sudah terpenuhi kewajiban pembatasannya) (Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu) 7. Menganalisa informasi atau permasalahan lain berdasarkan data yang tersedia dengan melakukan kegiatan antara lain sebagai berikut: Contoh: 1 Menganalisa informasi atau permasalahan lain berdasarkan data yang tersedia dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
keterkaitan jenis Bahan Baku dengan jenis Hasil Produksi:
tujuan penjualan hasil produksi (ekspor dan lokal):
perbandingan nilai Ekspor dengan nilai Impor, d. diam 2 (dua) tahun berturut-turut kuota jaminan terlampaui, e. tidak menyampaikan laporan pertanggungjawaban sesuai batas waktu:
terdapat dokumen pemberitahuan pabean impor dan/atau pemasukan yang belum dipertanggungjawabkan lebih dari 19 (sembilan belas) bulan sejak tanggal pendaftaran, g. kelaziman negara asal Barang dan/atau Bahan dan negara tujuan ekspor Hasil Produksi, h. IKM yang melakukan kegiatan usaha industri kurang dari 3 (tiga) tahun, i. terdapat peningkatan yang signifikan atas kegiatan pemusnahan Barang dan/atau Bahan Rusak atau reject, barang dalam proses (work in process) rusak, Hasil Produksi Rusak dan/atau sisa proses produksi (waste/ scrap) j. adanya perpanjangan periode KITE IKM, dan/atau k. perusahaan terkena force majeure 2 (Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu) H. PEDOMAN PENGUJIAN ATAU PENELITIAN ATAS SELISIH ANTARA JUMLAH PEMAKAIAN BAHAN BAKU YANG DILAPORKAN PADA BCL.KT O1 DENGAN JUMLAH PEMAKAIAN BAHAN BAKU BERDASARKAN KONVERSI 1: Dalam hal terdapat selisih antara jumlah pemakaian bahan baku yang dilaporkan pada BCL.KT 01 dengan jumlah pemakaian bahan baku | berdasarkan Konversi sesuai hasil perhitungan pada CEISA KITE yang memiliki nilai Bea Masuk serta PPN atau PPN dan PPnBM lebih dari atau sama dengan Rp10.000.000,- (sepuluh juta rupiah), sebelum dilakukan penetapan, kepala Kantor Wilayah atau KPU atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk melakukan:
konfirmasi kepada Perusahaan KITE Pembebasan dan meminta bukti pendukung, dengan cara menyampaikan pemberitahuan: dan b. penelitian kesesuaian tanggapan dan bukti pendukung yang disampaikan. Selisih sebagaimana dimaksud pada butir 1 sebesar Bea Masuk dan PPN atau PPN dan PPnBM atas bahan baku (per seri PIB) yang dilaporkan dalam 1 (satu) BCL.KT O1, dengan kemungkinan 2 (dua) kondisi, sebagai berikut:
selisih kurang, yaitu dalam hal jumlah pemakaian bahan baku per Hasil Produksi, yang dilaporkan pada BCL.KT O1 lebih kecil dari jumlah pemakaian bahan baku berdasarkan Konversi (BCL.KT 01 « Konversi):
selisih lebih, yaitu dalam hal jumlah pemakaian bahan baku per Hasil Produksi, yang dilaporkan pada BCL.KT O1 lebih besar dari jumlah pemakaian bahan baku berdasarkan Konversi (BCL.KT 01 » Konversi). . Pejabat Bea dan Cukai meneliti/menguji tanggapan atau penjelasan yang disampaikan oleh Perusahaan KITE Pembebasan berdasarkan bukti pendukung yang disampaikan, dengan cara sebagai berikut:
membandingkan Konversi untuk setiap Hasil Produksi pada data Konversi yang diloading dengan data konversi produksi perusahaan (bill of material):
jika terdapat perbedaan, menghitung pemakaian Barang dan Bahan untuk setiap Hasil Produksi pada BCL.KT 01 dengan menggunakan data konversi produksi perusahaan (bill of material: ) Cc. jika perhitungan pemakaian Barang dan Bahan berdasarkan data konversi produksi perusahaan (bill of material) sama dengan pemakaian Barang dan Bahan berdasarkan BCL.KT 01, maka pemakaian Barang dan Bahan diterima berdasarkan BCL.KT 01:
jika perhitungan pemakaian Barang dan Bahan berdasarkan data konversi produksi perusahaan (bill of material) tidak sama dengan pemakaian Barang dan Bahan berdasarkan BCL.KT Ol, atau dalam rangka mendukung atau memperkuat hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada huruf c, dilakukan langkah sebagai berikut:
meneliti dan melakukan rekapitulasi bukti pemasukan dan bukti pemakaian Barang dan Bahan, 2) meneliti saldo Barang dan Bahan berdasarkan kartu stock atau catatan lainnya, 3) meneliti dan melakukan rekapitulasi laporan produksi atau catatan lain terkait pemasukan dan pengeluaran Hasil Produksi berdasarkan bukti pengeluaran Hasil Produksi dan dokumen pemberitahuan pabean ekspor, 4) meneliti saldo Hasil Produksi berdasarkan kartu stock, laporan produksi, atau catatan lainnya, 5) menentukan konversi pemakaian Barang dan Bahan untuk menghasilkan Hasil Produksi dengan cara membagi jumlah pemakaian Barang dan Bahan dengan jumlah pemasukan Hasil Produksi, 6) menghitung jumlah pemakaian Barang dan Bahan atas Hasil Produksi yang dilaporkan dalam BCL.KT O1 dengan cara mengalikan konversi sebagaimana dimaksud pada angka 5) dengan jumlah Hasil Produksi dalam BCL.KT 01.
melakukan kegiatan lain untuk mengetahui penyebab terjadinya selisih dan menentukan pemakaian Barang dan Bahan yang benar:
dalam hal berdasarkan catatan Perusahaan KITE Pembebasan tidak dapat menunjukkan dokumen asal Barang dan Bahan atas Hasil Produksi yang terjadi selisih, digunakan metode First In First Out (FIFO) dalam menguji pemakaian Barang dan Bahan.
Dalam hal berdasarkan hasil penelitian terhadap tanggapan dan bukti pendukung sebagaimana dimaksud pada butir 3 dapat dibuktikan bahwa:
terjadi selisih kurang atau selisih lebih yang disebabkan karena kesalahan Konversi, berlaku ketentuan:
jumlah pemakaian Barang dan Bahan disetujui sesuai jumlah yang dilaporkan dalam laporan pertanggungjawaban, dan 2) Perusahaan KITE Pembebasan harus melakukan perubahan Konversi, apabila Konversi tersebut akan digunakan dalam pertanggungjawaban Barang dan Bahan berikutnya.
terjadi selisih kurang atau selisih lebih yang disebabkan karena kesalahan laporan pertanggungjawaban, Perusahaan KITE Pembebasan dapat melakukan perbaikan laporan pertanggungjawaban, Cc. terjadi selisih kurang atau selisih lebih yang disebabkan karena kesalahan laporan pertanggungjawaban namun atas kesalahan tersebut tidak ada bukti yang memadai untuk dilakukan perbaikan atau Perusahaan KITE Pembebasan tidak melakukan perbaikan, atas selisih tersebut kepala Kantor Wilayah atau KPU melakukan penetapan sebagai dasar bagi Perusahaan KITE Pembebasan untuk melunasi:
Bea Masuk serta PPN atau PPN dan PPnBM atas Barang dan Bahan yang selisih, 2) sanksi administrasi berupa denda sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengenaan sanksi administrasi berupa denda di bidang kepabeanan, dan 3) sanksi administrasi atas PPN atau PPN dan PPnBM sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Dalam hal Perusahaan KITE Pembebasan tidak menyampaikan tanggapan atau penjelasan mengenai penyebab terjadinya selisih dan bukti pendukung dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada butir 4, atas selisih tersebut kepala Kantor Wilayah atau KPU melakukan penetapan sebagai dasar bagi Perusahaan KITE Pembebasan untuk melunasi:
Bea Masuk serta PPN atau PPN dan PPnBM atas Barang dan Bahan yang selisih:
sanksi administrasi berupa denda sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang mengatur tentang pengenaan sanksi administrasi berupa denda di bidang kepabeanan, dan Cc. sanksi administrasi atas PPN atau PPN dan PPnBM sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Berdasarkan hasil penelitian/pengujian sebagaimana dimaksud pada butir 3, Kepala Kanwil/KPU atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk memutuskan untuk menyetujui atau menolak penjelasan serta data pendukung yang disampaikan oleh perusahaan.
Penelitian/pengujian dilakukan dalam periode pemeriksaan BCL.KT 01 sesuai ketentuan perundang-undangan. Contoh Kertas Kerja pengujian atau penelitian atas selisih antara jumlah pemakaian bahan baku yang dilaporkan pada BCL.KT 01 dengan jumlah pemakaian bahan baku berdasarkan konversi: 7 1. Terdapat data selisih: Uraian barang/ Kode BCL.KT O1 Konversi Yo Kode Barang dan Bahan Satuan ZINC ALLOY (NYRSTAR KGM 522,8 5.228,8 90 OVERPELT ZAMAK #5)/ 0395267 2. Perusahaan menyampaikan penjelasan bahwa:
Terdapat kesalahan pada Konversi No. 0004: Barang KONVERSI YANG DISAMPAIKAN SEHARUSNYA Jadi/ Uraian Kode | Koefisien | Uraian Kode | Koefisien Kode barang/ Satuan barang/ | Satuan Satuan Kode Barang Kode dan Bahan Barang dan Bahan 02 C|ZINC ALLOY | KGM 5,2288 ZINC KGM 0,52288010 DA1DR- | (NYRSTAR ALLOY 370 Z/ OVERPELT (NYRSTAR PCR ZAMAK #5)/ OVERPELT 0395267 ZAMAK #5)/ 0395267 b. Bukti pendukung: Berdasarkan:
bill of material:
bukti pengeluaran Hasil Produksi, diketahui bahwa perusahaan memproduksi 02 C DA1DR-370 Z sejumlah 1.000 3. Kesimpulan: Terjadi selisih kurang yang disebabkan karena kesalahan Konversi.
Tindak Lanjut:
jumlah pemakaian Barang dan Bahan disetujui sesuai jumlah yang dilaporkan dalam laporan pertanggungjawaban: dan b. penyampaian informasi kepada Perusahaan KITE Pembebasan untuk melakukan perubahan Konversi, apabila Konversi tersebut akan digunakan dalam pertanggungjawaban Barang dan Bahan berikutnya. I. FORMAT BERITA ACARA PEMERIKSAAN FISIK BARANG Pada hari ini ......... tanggal ...... bulan .......... tahun....... . telah dilakukan pemeriksaan fisik atas barang yang diberitahukan dengan keterangan sebagai berikut: S AN OTW Nomor Surat Tugas Monitoring Khusus: ST.............. Tgl..../..../20... pacomowocoomm&x Lokasi Pemeriksaan :
.......... jaguses Waktu pemeriksaan :
jam/tgl dimulai pemeriksaan barang :
....... pama af 2 Osen b. jam/tgl selesai pemeriksaan barang :
....., ..../..../20... Foto : tidak / ya" (...... lembar) Contoh barang c. diminta kembali oleh importir/kuasanya : ya / tidak “ Kendala pemeriksaan a. importir/kuasanya tidak ada di tempat pemeriksaan:
barang tidak berada di tempat pemeriksaan: Keterangan : teneengoenenenaananneanananenanenoanesanunareeenananeenagenesauakonanuenanuanan esa sa same sang aa pannanasonanenaananana Mengetahui: Perusahaan Penerima fasilitas KITE Pejabat Pemeriksa Barang “ coret yang tidak perlu J. FORMAT BERITA ACARA PENGAMBILAN CONTOH BARANG Pena mynsn MR em ema BERITA ACARA PENGAMBILAN CONTOH BARANG NOMOR....... TANGGAL........ Pada hari ini ......... tanggal ...... bulan aa. tahun....... telah dilakukan pengambilan contoh barang dalam rangka pengujian kebenaran pemberitahuan klasifikasi dan tarif dengan keterangan sebagai berikut:
Nomor Surat Tugas Monitoring Khusus: ST-............. Tgl..../.../20... Foto : tidak / ya" (...... lembar) Contoh barang S5 N “ Tah FE : a g 8 s t K 2 8 Ra S E Oo - NO tw a. Jenis b. Jumlah c. diminta kembali oleh importir/kuasanya : ya / tidak “ sococonurewe sononuanasananoan ..o.o..c.c. Oo . Keterangan : Sama Misal : pengambilan contoh barang telah dilaksanakan dengan baik dan sesuai Berita Acara. Mengetahui: Perusahaan Penerima fasilitas KITE Pejabat Pemeriksa Barang @n.cococoomocoroncoronc.or.cococococooccocc#(c#”””””—————————————————” ep ooneoworceruutunaaanunaussasoananvasunenanuann “ coret yang tidak perlu K. PEDOMAN ANALISIS MENDALAM Kegiatan ini sebagai optimalisasi dari pemanfaatan monitoring room dalam melakukan analisis mendalam terhadap kegiatan perusahaan KITE dengan berdasarkan SKP, IT Inventory, dan sumber lain yang diperlukan untuk identifikasi dan pemetaan risiko pelanggaran terhadap perusahaan penerima fasilitas KITE yang berada dibawah pengawasan Kanwil, KPU, dan/atau KPPBC.
Pemenuhan ketentuan pemasukan barang Contoh: EU AI 1 1 | Barang impor |s Melakukan analisis dengan | SKP, IT diberitahukan dengan cara membandingkan jenis | Inventory tidak benar barang, pemasok, jumlah barang, dil, antara yang diberitahukan dalam BC 2.0 dengan yang dicatat dalam IT Inventory. s Jika ditemukan indikasi adanya pelanggaran, maka direkomendasikan kepada unit - pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan. 2| Barang impor tidak|s Meneliti pencatatan waktu | SKP, IT sampai di tempat tujuan pengeluaran barang di kantor | Inventory bongkar dengan catatan waktu pemasukan barang di perusahaan/kantor pengawas. » Meneliti apakah ada pemasukan barang/ bahan pada pencatatan dalam IT Inventory dan catatan security perusahaan.
Jika ditemukan indikasi adanya pelanggaran, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan. 3|Barang yang diimpor|“ Melakukan penelitian | SKP, IT tidak sesuai perijinan terhadap importasi yang | Inventory dilakukan perusahaan dan ijin yang diberikan, harus berkaitan dengan hasil produksi/sesuai dengan barang yang diizinkan ditimbun atau dijual yang tercantum dalam SKEP. “Jika ditemukan indikasi adanya pelanggaran, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan. Penghindaran terhadap pungutan BMAD, BMTP, dan BM Pembalasan Meneliti HS code barang asal impor yang akan dikeluarkan ke TLDDP apakah termasuk dalam HS code barang yang terkena BMAD, BMTP, BM pembalasan. Apabila termasuk dalam HS code barang yang terkena BMAD, ' BMTP, BM pembalasan, maka dilakukan penelitian apakah sudah dilakukan pembayaran. Jika ditemukan indikasi adanya pelanggaran, ' maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan. SKP, IT Inventory (Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu) b. Pemenuhan ketentuan kegiatan di perusahaan Contoh: Ki Jumlah pemasukan dan pemakaian bahan baku impor yang tidak wajar Membandingkan total jumlah/tonase pemasukan bahan baku dengan total jumlah/tonasehasil produksi selama periode tertentu. Apabila ditemukan selisih, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan. SKP, IT Inventory Penyalahgunaan Subkontrak Menganalisis data pengiriman subkontrak (tanggal, jenis barang, dan foto bahan baku) dengan data pemasukan barang hasil subkontrak. Menganalisis kontrak/agreement pekerjaan subkontrak. Menganalisis pemasukan hasil pekerjaan subkontrak dengan cara membandingkan jumlah bahan baku dengan konversi untuk pekerjaan subkontrak. Jika ditemukan indikasi adanya dugaan pelanggaran, antara lain barang subkontrak yang tidak kembali dalam batas waktu yang ditentukan, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan. IT Inventory, Berkas kontrak/ agreement terkait 3 | Pemberitahuan Konversi |s membandingkan perhitungan | SKP, IT tidak benar konversi dengan konversi atas | Inventory barang sejenis lainnya dan/atau berdasarkan profesional judgement Petugas. “ dalam hal ditemukan indikasi ketidakwajaran konversi, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan. 41 Pelanggaran prosentase |- Meneliti pencatatan dalam IT | SKP, IT pengeluaran hasil Inventory perusahaan, catatan | Inventory, produksi ke TLDDP dalam SKP, laporan yang | laporan disampaikan perusahaan, dan | perusahaan Keputusan Dirjen BC tentang batasan penjualan lokal. “ Membandingkan antara nilai dan volume barang yang diimpor dengan nilai dan volume pengeluaran hasil produksi ke TLDDP dalam periode tertentu. s Dalam hal ditemukan indikasi ketidakwajaran, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan. 2 5 | Pemusnahan » Membandingkan IT Inventory, pemberitahuan pemusnahan | BAP dengan data yang tercatat | Pemusnahan dalam IT Inventory. “ Meneliti frekuensi pengajuan pemberitahuan pemusnahan. “ Dalam hal ditemukan indikasi ketidakwajaran, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan. 6 | (Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu) c. Pemenuhan ketentuan pengeluaran barang Contoh: 1 | Under Invoicing “ Meneliti nilai pabean | SKP, IT bahan baku apakah | Inventory terlalu rendah dengan membandingkan harga pemberitahuan dengan pemberitahuan lainnya. “ Dalam hal hasil penelitian ditemukan adanya ketidakwajaran, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan. Waktu pengeluaran barang yang tidak wajar Meneliti kewajaran waktu pengeluaran barang dengan membandingkan waktu pemasukan, proses produksi,dan waktu pengeluaran dalam IT Inventory. Jika ditemukan indikasi adanya ketidakwajaran waktu pengeluaran barang, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan. SKP, IT Inventory Ekspor fiktif Melakukan terhadap pembatalan ekspor. penelitian catatan Membandingan frekuensi pembatalan ekspor dan catatan pembatalan ekspor di kantor muat dan di perusahaan. Membandingkan jumlah dan jenis barang yang tercantum dalam dokumen PEB dengan pencatatan perusahaan dalam IT Inventory. Menganalisisnegara tujuan penerima barang dan profil penerima barang, apabila profil penerima barang tidak jelas maka patut dilakukan pendalaman analisis. Membandingkan nilai dan volume ekspor dengan nilai dan volume impor bahan baku fasilitas selama periode tertentu. Membandingkan nilai dan volume pemasukan bahan baku non fasilitas dengan nilai dan volume penjualan hasil produksi ke TLDDP selama periode tertentu. Jika ditemukan indikasi adanya pelanggaran, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan. SKP, IT Inventory Pengeluaran barang secara illegal - dengan Membandingkan jumlah/tonase pengeluaran barang yang dicatat dalam IT Inventory jumlah/tonase yang tercantum dalam SKP, IT Inventory dokumen kepabeanan selama periode tertentu. « Jika ditemukan indikasi adanya ketidakwajaran waktu pengeluaran barang, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan. tersebut adalah bahan baku terhadap sisa bahan baku rusak. apakah benar rusak “ Melakukan penelitian terhadap jumlah/tonase barang impor dan jumlah/tonase sisa bahan baku yang dikeluarkan ke TLDDP, apabila jumlah tidak wajar maka dapat dipastikan KB tersebut melakukan modus penjualan bahan baku “ Membandingkan nilai impor bahan baku dengan nilai penjualan sisa bahan baku rusak yang dicatat dalam IT Inventory. “ Jika ditemukan indikasi adanya pelanggaran, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan. S| Modus pengeluaran bahan |- Memerintahkan petugas | IT Inventory, baku ke TLDDP dengan cara surveillance untuk | laporan menyatakan bahan baku melakukan pengecekan | perusahaan sisa bahan baku tidak sesuai dan volume pengeluaran ijin yang diberikan sisa bahan baku kepada suatu perusahaan yang dituju. “ Dalam hal ditemukan frekuensi dan volume pengeluaran sisa bahan baku kepada suatu perusahaan yang dituju sangat tinggi, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan. 6 | Tempat tujuan pengeluaran |- Membandingkan frekuensi IT Inventory d. Analisis terhadap laporan pertanggungjawaban mutasi barang Contoh: Adanya selisih barang yang | 1. menguji apakah ada data selisih lebih ditimbun atau kurang pada Laporan Pertanggungjawaban Mutasi Barang 2. menguji dengan data Laporan Pemasukan Barang per Dokumen Pabean dan Laporan Pengeluaran SKP, IT Inventory Barang per Dokumen Pabean 3. mengusulkan untuk dilakukan stock opname dan merekomendasikan penelitian ada tidaknya indikasi tindak pidana (Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu) e. Analisis terhadap laporan posisi barang per dokumen pabean Contoh: ALA Barang yang ditimbun telah | 1. membandingkan data ” laporan | SKP, IT melewati jangka waktu 12 pemasukan barang per dokumen | Inventory (dua belas) bulan sejak pabean dengan data laporan tangga! pemasukan pengeluaran barang per dokumen pabean.
dalam hal ditemukan indikasi pelanggaran, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan. (Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu) f. Analisis terhadap atas laporan pemasukan dan pengeluaran barang per dokumen pabean, laporan penjualan barang, dan laporan persediaan barang Contoh: 1 Adanya selisih barang yang 1. membandingkan data laporan | SKP, CEISA, ditimbun pemasukan dan pengeluaran | IT Inventory, barang per dokumen pabean | Laporan 9 Dijual lokal (KITE dengan data laporan | Keuangan Pembebasan) penjualan barang dan laporan persediaan barang.
Dalam hal ditemukan indikasi pelanggaran, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan. 3 (Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu) g£- Analisis terhadap pengujian atau penelitian atas perbandingan saldo buku dan saldo fisik. Saldo Saldo PA Suku PIB | Bahan. | Kandungan No Satuan Baku BB atas BJ (Kode | / Bahan Baku Stock Stock CEISA) | Baku ae Opname Opname Kandungan PEB BB atas yang WIP Stock belum di Opname BCLKT Saldo Bahan Baku Fasilitas Yang Belum Dipertanggungjawabkan Selisih Perbandingan Saldo Buku dan Saldo Fisik 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 (6474849) 12 (10-5) 13 1 JABC JA KGM 10.000 2.000 5.000 1.000 2.000 10.000 SESUAI 2 |DEF |A-2 KGM 11.500 5.000 3.000 2.500 2.000 12.500 1.000 LEBIH 3 IGHI |A-3 KGM 9.000 1.000 4.000 500 900 6.400 (2.600) KURANG Catatan: Pan Bahan Baku yang berada dilokasi perusahaan harus dilakukan stock opname. Kandungan BB atas BJ, dan Kandungan BB atas WIP harus dilakukan konversi ke BB terlebih dahulu. PEB yang belum di BCLKT dapat diketahui dari pembukuan perusahaan / surat jalan / data ekspor KITE. Untuk KITE Pengembalian, jika perbandingan saldo buku dan saldo fisik kedapatan :
selisih kurang, maka tidak ditagih karena bisa jadi perusahaan sudah dijual lokal dan tidak dapat diajukan permohonan pengembalian, b. selisih lebih, maka ditagih karena dianggap terdapat kelebihan pengembalian Bea Masuk. Untuk KITE Pembebasan, jika perbandingan saldo buku dan saldo fisik kedapatan :
selisih kurang, maka ditagih bea masuk, ppn, ppnbm dan denda, b. selisih lebih, maka ditagih tanpa denda sepanjang masih dalam periode pembebasan. Adapun jika sudah melewati periode pembebasan maka ditagih bea masuk, ppn, ppnbm dan denda. Untuk menghitung nilai tagihan atas selisih tersebut, dapat dilakukan breakdown PIB dengan metode FIFO atau AVERAGE. L. PEDOMAN ANALISIS AKTIVITAS PERUSAHAAN Membandingkan data CEISA KITE dengan data yang berasal dari IT Inventory untuk periode tertentu. Kegiatan yang dilakukan yaitu analisis aktivitas perusahaan KITE yang berhubungan dengan pemasukan dan pengeluaran barang, | 1 Saldoaw ta Pan Ba Mengetah Saldo Awal akus At MAA BL AL na ui Jumlah misalnya: n Kegiatan///Prosedur "MU h Tentukan cut off (batas waktu) penentuan pemeriksaan sederhana. (minimal data pada 1 bulan terakhir dan dapat diperluas sesuai kondisi masing-masing perusahaan). Cek data saldo awal dari IT Inventory perusahaan KITE Uji kebenaran data saldo awal pada IT Inventory dengan data internal yang ada di perusahaan (contoh: data WMS, kartu stock, dil) 2 Pemasukan Mengetahui jumlah pemasukan Cek data pemasukan Inventory perusahaan KITE Uji kebenaran dokumen pemasukan (BC 2.0) pada IT 3 Pengeluaran Mengetahui jumlah pengeluaran Cek data pengeluaran pada IT Inventory perusahaan KITE Uji kebenaran dokumen pengeluaran (BC 3.0) pada CEISA 4 | Saldo Buku Menentukan Saldo Buku Lakukan perhitungan saldo buku 5 | Saldo Fisik Mengetahui Saldo Fisik 1.
Lakukan Pemeriksaan sediaan dengan melakukan stock opname Bandingkan saldo buku dengan saldo fisik 6 | Perhitungan atas selisih antara jumlah pemakaian bahan baku yang dilaporkan pada 01 jumlah pemakaian baku BCL.KT dengan bahan Menghitung konversi Saldo Awal selisih Lakukan perhitungan selisih konversi TN PN NN AE TAG ang Dar Te Jumlah 1. Tentukan cut off (batas waktu) penentuan pemeriksaan sederhana. (minimal data pada 1 bulan terakhir dan dapat diperluas sesuai kondisi masing-masing perusahaan), Cek data saldo awal dari Laporan 4 bulanan, IT Inventory atau Berita Acara Stock Opname terakhir. Pemasukan Mengetahui jumlah pemasukan Cek data pemasukan dari pencatatan pemasukan pada IT Inventory. Pengeluaran Mengetahui jumlah pengeluaran Cek data pengeluaran dari pencatatan pada IT Inventory. Saldo Buku Menentukan Saldo Buku Lakukan perhitungan saldo buku dengan menjumlahkan saldo awal ditambah pemasukan dan dikurangi pengeluaran Saldo Fisik Mengetahui Saldo Fisik 1. Lakukan Pemeriksaan sediaan dengan melakukan stock Bandingkan saldo buku dengan saldo fisik (dalam hal masih terdapat barang di lokasi penimbunan bahan baku) :
Bandingkan saldo buku dengan saldo fisik Perhitungan Nilai Fasilitas yang terutang Menghitung nilai bea masuk dan PDRI yang terutang 1. Dapatkan data sesuai stock fisik menjadi data dasar jumlah barang yang masih terutang.
Hitung nilai pungutan negara yang masih terutang Bea Masuk dan PDRI (Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu) M. ANALISIS PERMASALAHAN LAIN DALAM PELAKSANAAN MONITORING KHUSUS KITE 1. Melakukan pengecekan IT Inventory: keaktifan (online), keterkaitan dengan dokumen pabean, dan kondisi realtime.
Membandingkan data CEISA KITE dengan data yang berasal dari IT Inventory untuk periode tertentu. Kegiatan yang dilakukan yaitu analisis aktivitas pengusaha KITE yang berhubungan dengan pemasukan dan pengeluaran barang, misalnya: No. Kegiatan Sumber Pembanding Dokumen Pabean | Dokumen Perusahaan Uji Pemasukan Uji Populasi 1, Dokumen Jumlah dokumen pabean pemasukan pada periode tertentu berdasarkan CEISA Impor Jumlah dokumen penerimaan barang berdasarkan laporan pemasukan bahan baku pada IT Inventory Uji Jumlah dan 2. Jenis Jumlah dan jenis barang pada dokumen pabean pemasukan pada periode tertentu berdasarkan CEISA Impor Jumlah dan jenis barang pada dokumen penerimaan barang berdasarkan laporan pemasukan bahan baku pada IT Inventory Uji Pengeluaran Uji Populasi 3. Dokumen Jumlah dokumen pabean pengeluaran pada periode tertentu berdasarkan CEISA Ekspor Jumlah dokumen pengeluaran barang berdasarkan laporan pengeluaran hasil produksi pada IT Inventory Uji Jumlah dan 4. Jenis Jumlah dan jenis barang pada dokumen pabean pengeluaran pada periode tertentu berdasarkan CEISA Ekspor Jumlah dan jenis barang pada dokumen pengeluaran barang berdasarkan laporan: pengeluaran bahan baku pada IT Inventory 5 (Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu) 3. Melakukan analisis kegiatan perusahaan KITE Kegiatan yang dilakukan yaitu analisis aktivitas operasional pengusaha KITE berdasarkan data pada CEISA, data IT Inventory, data perizinan, dan data terkait lainnya, misalnya sebagai berikut: Risiko | karakteristik TN alinea io CEISA KITE CEISA Impor CEISA Ekspor IT Inventory Data SKEP KITE Data Profil Perusahaan « Informasi dan/atau hasil intelijen menganalisis apakah bahan baku yang diimpor merupakan intermediate goods . bahan baku impor . dan/atau barang yang dapat dijual | « . . . dan proses produksi kepada konsumen tanpa memerlukan pengolahan khusus, aksesoris. » menganalisis apakah bahan baku yang diimpor merupakan pengemas. e menganalisis apakah bahan baku yang diimpor merupakan objek ketentuan larangan dan/atau pembatasan. e menganalisis apakah proses produksi contoh: kain, atas bahan baku merupakan proses sederhana, contoh: perakitan, pemasangan, pengemasan (wrapping) . menganalisis apakah jangka waktu dari impor ke ekspor «14 hari. tujuan penjualan hasil produksi (ekspor dan lokal) membandingkan persentase hasil produksi penjualan ke lokal dengan persentase bahan baku fasilitas dan non fasilitas. penjualan untuk ekspor dan CEISA KITE CEISA Impor CEISA Ekspor IT Inventory frekuensi impor dan ekspor menganalisis apakah impor dan ekspor secara rutin dilakukan. CEISA KITE CEISA Impor CEISA Ekspor perbandingan nilai ekspor dengan nilai Impor membandingkan nilai ekspor dengan nilai impor bahan baku fasilitas dalam periode tertentu: melihat grafik (trend) nilai ekspor dan nilai impor bahan baku fasilitas dalam periode tertentu, menghitung rasio nilai ekspor dan nilai impor. co0 ojo sa oeje oo CEISA KITE CEISA Impor CEISA Ekspor Executive Information System Laporan yang dihasilkan IT Inventory keterkaitan jenis Bahan Baku dengan jenis Hasii Produksi menganalisis keterkaitan jenis usaha sesuai IUI dengan jenis bahan baku fasilitas yang diimpor, menganalisis kegunaan, fungsi, dan/atau keterkaitan bahan baku fasilitas yang diimpor dengan jenis hasil produksi yang diekspor. CEISA KITE CEISA Impor CEISA Ekspor Data SKEP KITE negara asal Bahan Baku dan negara tujuan Ekspor Hasil Produksi menganalisis negara asal bahan baku dengan negara tujuan ekspor terkait kualitas barang, menganalisis kewajaran konsumsi negara tujuan ekspor.
... CEISA KITE CEISA Impor CEISA Ekspor Executive Information System Laporan yang dihasilkan IT Inventory frekuensi perubahan Konversi menganalisis kewajaran frekuensi perusahaan melakukan perubahan data konversi, menganalisis apakah terdapat produk baru yang dihasilkan yang dilaporkan dalam Data SKEP KITE, menganalisis persentase selisih pemakaian bahan baku per kode barang berdasarkan Konversi dan laporan BCL.KT O1. CEISA KITE Data SKEP KITE kegiatan subkontrak yang dilakukan untuk kegiatan awal produksi dan/atau kegiatan akhir produksi menganalisis apakah pemasukan dan pengeluaran barang tetap dicatat pada laporan pemasukan dan laporan pengeluaran bahan baku fasilitas pada IT Inventory, menganalis keterkaitan jenis usaha perusahaan penerima subkontrak dengan proses produksi perusahaan KITE. IT Inventory Data SKEP KITE Data pendukung lainnya peningkatan kegiatan pemusnahan, perusakan dan/atau waste/scrap secara signifikan, serta potensi penumpukan dead stock membandingkan persentase jumlah/tonase pemusnahan berdasarkan BC 24 dengan persentase waste dalam Konversi: menganalisis keterkaitan jenis barang yang dimusnahkan dengan bahan baku fasilitas yang diimpor: membandingkan tonase impor bahan baku dengan tonase ekspor barang jadi, kemudian merekapitulasi selisih lebih atas impor setiap bulan untuk » CEISA KITE e Dokumen BC 2.4 dan Berita Pemusnahan e Data lainnya Acara pendukung mengetahui tren pertumbuhan Dead Stock.
frekuensi tidak | menganalisis perbedaan data PEB dan terjadinya data outward manifest. rekonsiliasi antara data PEB dengan outward manifest e CEISA KITE e CEISA Ekspor e CEISA Manifest 11. (Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu) N. PEDOMAN MONITORING MANDIRI KITE Ka Nk an Pedoman umum » Monitoring mandiri ini dilaksanakan oleh perusahaan penerima fasilitas KITE untuk menguji apakah persediaan barang yang ada telah sesuai dengan pencatatan persediaan pada IT Inventory. » Sasaran monitoring mandiri ini adalah agar KITE dapat memperbaiki secara konsisten sistem pencatatan persediaan yang ada agar dapat menghasilkan kinerja perusahaan yang baik. » Perusahaan KITE terlebih dahulu menentukan lingkup pemeriksaannya, meliputi: a) bahan baku: b) bahan penolong: c) barang dalam proses: d) barang jadi, dan/atau e) sisa dari proses produksi/limbah (scrap/ waste). 1 » Dalam hal terdapat selisih, perusahaan KITE: a) Melakukan penelusuran sebab terjadinya selisih tersebut dengan memberikan bukti berupa data dan penjelasan yang logis: b) Melakukan pelunasan bea masuk dan PDRI yang terhutang dalam hal terjadi selisih kurang: dan/atau c) Melakukan penyesuaian atas pencatatan pada IT Inventory sesuai saldo fisik barang. r Ya ALALY/ rose Ina Na ea en antara na Mengetahui 1. ma cut an batan Kan 1 penentuan persediaan barang Jumlah Saldo monitoring mandiri. (minimal data pada 1 dengan pencatatan Awal (satu) bulan terakhir dan dapat diperluas persediaan pada IT sesuai kondisi Inventory perusahaan).
Cek IT Inventory atau Berita Acara Stock Opname terakhir. D. Mengetahui Cek data pemasukan dari dokumen pabean jumlah seperti BC 2.0, BC 2.5, BC 2.8, dan dokumen pemasukan pemasukan lainnya.
Mengetahui Cek data pengeluaran dari dokumen pabean jumlah seperti BC 3.0, BC 3.3, dan dokumen pengeluaran | bengeluaran lainnya. #. Menentukan | Lakukan perhitungan saldo buku dengan Saldo Buku menjumlahkan saldo awal ditambah pemasukan dan dikurangi pengeluaran.
Mengetahui 1. Lakukan pemeriksaan sediaan dengan Saldo Fisik melakukan stock fisik.
Bandingkan saldo buku dengan saldo fisik (dalam hal masih terdapat barang di lokasi perusahaan KITE). masing-masing (Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu) O. FORMAT LAPORAN HASIL PELAKSANAAN MONITORING MANDIRI KITE KOP SURAT PERUSAHAAN Nomor Ian Tanggal 1 sasa Lampiran 11 (satu) berkas Hal : Penyampaian laporan hasil pelaksanaan monitoring mandiri . U) KITE Pembebasan CL) KITE Pengembalian L) KITE Pembebasan dan KITE Pengembalian CJ KITE IKM Yth. Kepala Kantor Wilayah DJBC .... /Kepala KPU BC .... / Kepala KPPBC Sehubungan dengan kegiatan monitoring mandiri sesuai surat tugas perusahaan....... MOMOT ST-saaeeanscnaa. tanggal ............. , dengan hormat kami laporkan sebagai berikut:
Data Perusahaan:
Nama Perusahaan b. Alamat/Lokasi c. Jenis Industri d. Nomor dan Tanggal SKEP 0 vosaguvnunusanasannnasaganaaonnenaananngasawanasanana saka 2 soceconenaanurnansevenaneunenaana nana ana savanannaaananaaa 0 co.cocoorecennuanunuanasaawenaensenanasaanunanannaansaaan 0 #0..wavecnnapanengasaanannuunan namu aa ponan anang ena nan 3. Metode pelaksanaan monitoring mandiri dan alat uji yang digunakan sebagai berikut:
"n00nunsekkesanunanungerenanesenana nan aunnaanenan gn ana nn ana anana 4. Hasil dari pelaksanaan monitoring mandiri dapat kami laporkan sebagai berikut: ND 2.
S. Berdasarkan hasil monitoring mandiri, kami sampaikan hal-hal sebagai berikut: #e.ocococooocorcoconnenanasanangananannann nanang sanecananenananan Demikian disampaikan sebagai laporan. Mengetahui, (Pimpinan Perusahaan) Pelaksana monitoring mandiri, (Nama) (Nama) (Nama) (Jabatan) (Jabatan). (Jabatan) P. FORMAT CHECKLIST PELAKSANAAN KEGIATAN EVALUASI MIKRO CHECKLIST PELAKSANAAN KEGIATAN EVALUASI MIKRO Nama Perusahaan Lokasi Tanggal Pelaksanaan Nomor Surat Tugas A | DATA PERUSAHAAN 1 Nama NPWP SKEP KITE No & Tgl Skep NOlErIwM Lokasi Pabrik do Alamat Kantor w Bidang Industri & Hasil Produksi 9 1Jumlah Tenaga Kerja 3 tahun | Tahun 20... - terakhir Tahun 20... - Tahun 20... - 10 | Data Investasi awal Data Investasi awal (Tahun ...... )- ..... 11 | Data Perpajakan (All tax) 3 tahun terakhir B | EKSISTENSI & KEGIATAN PRODUKSI, IMPOR, EKSPOR 1 Lokasi Pabrik 2 Kegiatan Produksi 3 |Tempat Pembongkaran, Gudang Bahan Baku Gd. WIP Gd. Barang Jadi Gd. Sisa BB/BJ/ Waste Subkontrak tinjlolrnilo Yo Asal Bahan Baku (Impor Fas/Non Fas/ Lokal/lainnya) 9 Penjualan Hasil Produksi (Ekspor/Lokal/Lainnya) 10 |”o Ekspor dari Keseluruhan Hasil Produksi dari BB asal Impor Fasilitas KITE Data Impor (fasilitas) 3 tahun terakhir 13 Data Ekspor (Fasilitas) 3 tahun terakhir 20.... 5 USD ........ 14 Jenis Bahan Baku Fasilitas Fungsi IT INVENTORY | Mencatat pemasukan, pengeluaran BB, BJ, WIP, dan saldo barang, secara berkelanjutan dan realtime Dapat menghasilkan 8 Laporan sesuai yang dipersyaratkan:
Laporan Pemasukan Bahan Baku per dokumen pabean:
Laporan Pemakaian Bahan Baku:
Laporan pemakaian barang dalam proses dalam rangka kegiatan subkontrak, dalam hal terdapat kegiatan produksi yang disubkontrakkan:
Laporan pemasukan hasil produksi:
Laporan pengeluaran hasil produksi, 6) Laporan mutasi bahan baku:
Laporan mutasi hasil produksi:
Laporan penyelesaian waste/ scrap. Keterkaitan dengan dokumen pabean impor/pemasukan BB Keterkaitan dengan dokumen pabean ekspor/pengeluaran BJ Penggunaan kode.yang berbeda atas barang dan/atau bahan yang diimpor Fasilitas dan Non Fasilitas, waste/ scrap Dapat diakses DJBC & IT Inventory digunakan sebagai dasar pembuatan BCLKT ECONOMY IMPACT 1 Seberapa penting Fas. KITE bagi perusahaan Manfaat Fas. KITE bagi perusahaan Going concern perusahaan bila tidak menggunakan Fas. KITE Penyerapan tenaga kerja Investasi Perpajakan/Penerimaan Negara SIinlolirn Economy impact lainnya PERMASALAHAN IMPLEMENTASI KETENTUAN DAN KEBIJAKAN DI BIDANG KIT 1 Apakah terdapat ketentuan dan prosedur saat ini yang menyulitkan dalam penerapan di lapangan Apakah terdapat ketentuan saat ini yang tidak efektif dalam penerapan di lapangan Apakah terdapat kendala dalam pelayanan fasilitas KITE di Kanwil / KPPBC (Sarana prasarana / sistem aplikasi / birokrasi / SDM) CORPORATE GUARANTEE 1 Hasil Audit 2 (dua tahun terakhir) 2 Likuiditas secara umum lancar/utang lancar) (aktiva 2 (dua tahun terakhir) Solvabilitas secara umum aktiva/total utang) (total 2 (dua tahun terakhir) Rentabilitas secara umum bersih/total modal) (laba 2 (dua tahun terakhir) Penyerahan laporan keuangan Misal 2016: Ya/Tidak (Jika Ya, tanggal penyerahan) 2017: Ya/Tidak (Jika Ya, penyerahan: ) tanggal Rasio tambahan: Cash Ratio (kas dan setara kas/utang lancar) 2 (dua tahun terakhir) Apakah terdapat kendala dalam penggunaan CG sampai dengan saat ini? Ada/Tidak Ada. (Alasan:
.....) SPP dan SPSA yang diterbitkan sejak penggunaan CG Ada/Tidak Ada. (Jika Ada, isikan nomor & tanggal SPP dan SPSA) Pelunasan SPP dan SPSA yang diterbitkan sejak penggunaan CG Ada/Tidak ada. Tanggal: LAIN-LAIN 1 Penyelesaian waste/ scrap 2 (Diisi dengan hal dianggap perlu) lainnya yang Daan ai san Pejabat/ Pegawai Yang Melakukan Pihak Perusahaan: Peninjauan: Ttd. Ttd. Nama NIP Jabatan : Ttd. NIP Ttd. NIP O. FORMAT LAPORAN HASIL PELAKSANAAN EVALUASI MIKRO KITE NAMA PERUSAHAAN ALAMAT JENIS FASILITAS DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI KANWIL / KPUBC/KPPBC #erooooenoocenano0o000 SUSUNAN TIM EVALUASI MIKRO KITE Nomor ST : ST- / /20.. Tanggal Ie Na 20.... Nama NIP Pangkat/Golongan Jabatan Nama NIP Pangkat/Golongan Jabatan Nama NIP Pangkat/Golongan Jabatan Anggota I, Anggota II ,» (Nama) (Nama) NIP NIP Ketua Tim, (Nama) NIP TM JAE DAFTAR ISI Pendahuluan 1.
Latar Belakang Maksud dan Tujuan Ruang Lingkup Dasar Aturan Kegiatan Yang Dilaksanakan Hasil Yang Dicapai Kesimpulan Rekomendasi Tindaklanjut Halaman A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Dalam rangka untuk menjamin fasilitas KITE yang diberikan dapat tepat sasaran dan dapat memberikan dampak ekonomi yang baik bagi negara maka diperlukan evaluasi bagi perusahaan penerima fasilitas KITE. Maksud dan Tujuan a. Untuk mengevaluasi implementasi penggunaan fasilitas KITE terhadap perusahaan pengguna fasiltas KITE:
Untuk mengevaluasi corporate guarantee fasilitas KITE:
Untuk mengetahui dampak ekonomi pemberian fasilitas KITE terhadap kinerja perusahaan dan penerimaan perpajakan negara:
Untuk mengetahui masalah dan kendala yang dialami oleh perusahaan di lapangan secara langsung, dan/atau e. Hal-hal lainnya Ruang Lingkup Ruang Lingkup Pelaksanaan Evaluasi adalah Perusahaan KITBE..............i.... yang berada di wilayah pengawasan Kantor Wilayah DJBC ......... yaitu PT sencc.ococooroco.y.ma Dasar Aturan a. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 177/PMK.04/2013 jo. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 253/PMK.04/2011 tentang Pengembalian Bea Masuk atas Impor Barang dan Bahan Untuk Diolah, Dirakit, atau Dipasang Pada Barang Lain dengan Tujuan Untuk Diekspor. Cc. Peraturan Direktur Jenderal nomor PER-05/BC/2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-15/BC/2012 Tentang Tata Laksana Pengembalian Bea Masuk Yang Telah Dibayar Atas Impor Barang dan Bahan Untuk Diolah, Dirakit, atau Dipasang Pada Barang Lain Dengan Tujuan Untuk Diekspor.
Peraturan Direktur Jenderal nomor PER-09/BC/2014 tentang Penerapan Sistem Informasi Persediaan Berbasis Komputer Pada Perusahaan Pengguna Fasilitas Pembebasan, Pengembalian, dan Tempat Penimbunan Berikat, Serta Kerahasiaan Data dan/atau Informasi Oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Dst. B. KEGIATAN YANG DILAKSANAKAN Rincian kegiatan yang dilaksanakan di Perusahaan Penerima Fasilitas KITE disampaikan sebagai berikut: | Ds 3.
Melakukan evaluasi terhadap pendayagunaan IT Inventory perusahaan pengguna Melakukan peninjauan lokasi perusahaan pengguna fasilitas KITE, Melakukan evaluasi terhadap implementasi penggunaan fasilitas KITE pada kegiatan produksi perusahaan pengguna fasiltas KITE: Melakukan evaluasi terhadap corporate guarantee fasilitas KITE: fasilitas KITE:
Mengukur dampak ekonomi pemberian fasilitas KITE terhadap kinerja perusahaan dan penerimaan perpajakan negara, 6. Mengumpulkan masukan atas ketentuan dan kebijakan terkait fasilitas KITE dari perusahaan:
Dst.
HASIL YANG DICAPAI Terhadap kegiatan yang dilaksanakan di PT........iiiicoocooWo.o disampaikan sebagai berikut:
Data Perusahaan nencovevananengerananesanonnesenannanuaenananasunangasananananansanannannan asa gen onnanan s0cococcocomnunanangunnananangasonoaunn terosenenenenenakenernonennanasenangenanneneonevenaoneenassananenasanasenasonaa Kan Lan Nana ran eN Nasa LN aa Nasa aa era ma aa aan au anus uan uaN una BN uNa aa NNN0 BN NA AN BLN AOA. N.A NN a Menara ARA N Gan Bima a Kuas BN Nan Bin sjaa senocnocoreconananana d. Terkait evaluasi mengenai implementasi pendayagunaan IT Inventory, dapat kami sampaikan bahwa: #enecerenaoooaneooennanaoenevenesonaoanaonaneonoaunenangaoovonanna sesonanan SEM Mn Karo anne en eana Nano Manual Mean Ona Nae NON aa KU NN Un Banua saus Nan B san anan Kana asa Naa BO buana Buas f. Terkait Perusahan Implementasi Ketentuan dan Kebijakan di Bidang KITE, dapat kami sampaikan bahwa: #enoc0oooenoenarrenanoaroneneaagngaoeonasncanoanovanaonconovosoonanaounanannaonsanoosonao naa . KESIMPULAN Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dapat kami sampaikan resume sebagai berikut: LA NNANAN NAN UEA NONA MUNAS LAN AAN AKN UN U NAN NN KAB UaN Dela aa B na Oa Aa Naa Oa Na Ne aan Dau ala AD 6 Aa Ber Ba Ka GA BB BBB daan ma Oasonesoaneoo0onnnsosoanoosonoaona anna nanaosananawa anna oonoonanann anang onanuvasancavosa0ananenanasa one oeaaananananonan "0000000nneooo0noneeansoenkaneenanoons ana nawananananannanenuunneanano so runua as esananenoean anne nasa sonen asas ona #roroooo0neoeeeosnenanonoenowennoo nano nanuansonasonugananaona senang sonesanenununaaaosononamooonsosaneoounananaonooa KOP SURAT NOTA DINAS NOMOR : ND- .../aeraf anon Kepada : Kepala Kanwil/ KPU / KPPBC Dari : Kepala Bidang Fasilitas / Kepala Seksi PKC Lampiran : 1 (satu) berkas Hal : Laporan Pelaksanaan Evaluasi Mikro KITE Tanggal "oo oo 20... Sehubungan dengan pelaksanaan evaluasi mikro atas pemberian fasilitas KITE di Kanwil/KPUBC/KPPBGC........... sesuai Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor ........ , bersama ini kami laporkan sebagai berikut :
Pada tanggal ............ sampai dengan tanggal ............... , kami yang bertanda tangan di bawah ini telah melakukan evaluasi terhadap perusahaan penerima fasilitas KITE a.n PT .......iiiiii.... surat tugas Kepala Kanwil/ KPU / KPPBC nomor ST-...../.... /20.. tanggal......... 20.. dengan data sebagai berikut:
Data Perusahaan No | Nama Perusahaan PT... NPWP O1 - NIPER Pembebasan 00000/000/KW.00/0000 Alamat Pabrik Alamat Kantor Bidang Usaha Tahun menggunakan fasilitas KITE snonennanageunesananan Alaloleluwlo nenuncsanoanangnannaan b. Terkait nature of business dan eksistensi perusahaan: #t0c000caneceganeoenennennaeanunanasenasenenana ana unnan ana OTP UNTAN ARENA ANN AN AN NAN NK NAN KRU A NA AA NUN aa ala BA BTAtbin Sala ara Min una Kls ARP UKS AKAL SN Sarana: LOL LNA KALA ANN UNA ANN ON Nee KAN 5 Ne Na B bin Bun wNeO ane sa BU No bias D sa Bawa AN 00-00 0d daa en ceraalOina Sin “000 ena tane rekanan ee neknekannanekan akan ensonansnnsannananasa na nananannnnana no esanon ana 000..ocoooorocececo.eonnenaeanenanoanananenasanananuanasasnananasanga "eoananoounwananenunandeananan ana a2a.o09O0is 000 0aa aan NOUa sana Nan AAU eNa NA Na NOS aa senuanecenangnananesonnosakonanenanoenanannonangnenuunasanonanaasa ss nnoonooann #00000ocooconuanasekerenankennerangonanoeoonanoeoooonnowna nan enenon ana onanusooo f. Terkait mengenai kendala dalam pemenuhan/pelaksanaan implementasi fasilitas KITE: seo coccooracoconocoonanenanangenagaaneonnnoransanaanoaaa Oeneoonooooneveraresonaeasesonneowesesasaongoooun nang Ooo orang an wanasoounananananananaa 2. Adapun tanggapan terkait hasil evaluasi mikro dengan hasil sebagaimana dimaksud pada Laporan Hasil Evaluasi Mikro nomor LAP- | 20, dapat kami sampaikan hal-hal sebagai berikut: #o0occocomwocococooncmonanunanguanunannnn gua aan an ana cugun "On enneaveeeno anon onasanenenononaa soya sanwan ago oaoa0agocooon0ooose0ososenun Oo en neana aaua pos oaaN 3. Rdidisaikan hal-hal sebagaimana dimaksud di atas, kami mengusulkan bahwa: "eccceco0nanernannananananansanoronnunun ena onar asengeana na enan succonasonngenanganasocerusanenaneoanunesancooooenan even aa sana Demikian disampaikan sebagai laporan. (Nama)" “ Kepala Bidang Fasilitas / Kepala Seksi PKC R. FORMAT PEDOMAN KERTAS KERJA EVALUASI MAKRO TERKAIT EFEKTIVITAS KEBIJAKAN PEMBERIAN FASILITAS KITE Pemeriksaan ERNA :
Existence - Perusahaan KITE berlokasi di alamat yang sesuai dengan Izinnya yaitu di - Tanda nama dan fasilitas terpasang di tempat yang terlihat jelas. - Lokasi:
perusahaan.... - dst . Responsibility - Izin Usaha perusahaan masih berlaku dan kegiatan yang dilakukan sesuai izin - Penanggung Jawab hadir saat kegiatan. Nature of Business - Terdapat SOP dan telah berjalan dengan baik. - Barang yang ditimbun/hasil produksi sesuai izin fasilitas yang diberikan. - Hasil produksi berupa :
..... - dst . Auditability - Perusahaan menyelenggarakan pembukuan sesuai Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia. Pemeriksaan IT Inventory Perusahaan telah mendayagunakan IT Inventory yang telah berhubungan langsung ' dengan pembukuan. Sudah ada pencatatan atas persediaan barang (Inventory), Pencatatan persediaan barang (Inventory) dilakukan dengan menggunakan Sistem Informasi Berbasis Komputer / IT Inventory. Terdapat user log in untuk masing-masing operator. Terdapat user log in khusus untuk pegawai Bea Cukai. IT Inventory mencakup pencatatan pemasukan barang ke gudang penimbunan barang. Dalam menu pemasukan barang ke TPB terdapat field untuk mencatat jenis dokumen pabean, nomor dan tanggal dokumen pabean. IT Inventory mencakup pencatatan pengeluaran barang. Aplikasi bisa mendownload data-data Laporan Pertanggungjawaban mutasi barang. - IT Inventory mencakup pencatatan penyesuaian/adjustment (ada menu untuk melakukan penyesuaian / adjustment). - IT Inventory mampu menampilkan riwayat aktivitas (Log) yang dapat ditelusuri dalam waktu 2 (dua) tahun periode sebelumnya. - Kode barang tidak dicantumkan dalam IT inventory. - Telah dilakukan uji petik untuk menguji kehandalan IT Inventory perusahaan (tracebility) dari saat kedatangan barang di gudang sampai dengan menjadi barang jadi, dan kedapatan sesuai. - IT Inventory bisa diakses oleh Petugas Bea dan Cukai di KPPBC.
Melakukan pengisian cheklist pelaksanaan kegiatan evaluasi makro KITE KOP SURAT CHECKLIST PELAKSANAAN KEGIATAN EVALUASI MAKRO KITE Nama Perusahaan Lokasi Tanggal Pelaksanaan Nomor Surat Tugas A | DATA PERUSAHAAN 1 Nama NPWP Jenis SKEP KITE No & Tgl Skep ANTO Lokasi Pabrik Alamat Kantor Bidang Industri Hasil Produksi NloOINnlolja Jumlah Tenaga Kerja” Teeenc ono orang, Terdiri dari: Tenaga Kerja Outsourching - orang Tenaga Kerja Asing - orang Tenaga Kerja Tetap orang 10 | Data Investasi 11 | Data Perpajakan B | EKSISTENSI & KEGIATAN PRODUKSI, IMPOR, EKSPOR 1 Lokasi Pabrik Sesuai / Tidak, Milik Sendiri / Sewa:
.. thn Papan nama/SKEP KITE: ada / tidak Kegiatan Produksi M9 Tempat Pembongkaran, Gudang Bahan Baku Gd. WIP Gd. Barang Jadi Gd. Sisa BB/BJ/Waste Subkontrak tSIimlolnrnio Y& Asal Bahan Baku (Impor Fas/Non Fas/ Lokal/lainnya) ...Y Impor Fasilitas ....Yo Lokal Tujuan (Ekspor/Lokal/) 10 WwEkspor dari Keseluruhan Hasil Produksi dari BB asal Impor Fasilitas KITE 11 Trend Ekspor 3 tahun terakhir Meningkat / Menurun 12 Data Impor Fasilitas KITE Tahun 20.... - US$ ............. Tahun 20.... - US$ ............. Tahun 20.... - US$ ............. 13 Data Ekspor Fasilitas KITE Tahun 20.... - US$ ............. Tahun 20.... - US$ ............. Tahun 20.... - US$ ............. IT INVENTORY 1 Mencatat pemasukan, pengeluaran BB, BJ, WIP, dan saldo barang, secara berkelanjutan dan realtime Dapat menghasilkan 8 Laporan sesuai yang dipersyaratkan:
Laporan Pemasukan Bahan Baku per dokumen pabean, 2) Laporan Pemakaian Bahan Baku:
Laporan pemakaian barang dalam proses dalam rangka kegiatan subkontrak, dalam hal terdapat kegiatan produksi yang disubkontrakkan:
Laporan pemasukan hasil produksi:
Laporan pengeluaran hasil produksi:
Laporan mutasi bahan baku:
Laporan mutasi hasil produksi:
Laporan penyelesaian waste/scrap. Keterkaitan dengan dokumen pabean impor/pemasukan BB Keterkaitan dengan dokumen pabean ekspor/pengeluaran BJ Penggunaan kode yang berbeda atas barang dan/atau bahan yang diimpor Fasilitas dan Nan Fasilitas, waste/ scrap Dapat diakses DJBC & IT digunakan pembuatan BCLKT sebagai dasar Iya/Tidak , Alasan : Alamat web :
..... Username :
... Password :
..... senoc——.o... ..... ECONOMY IMPACT 1 Seberapa penting Fas. perusahaan KITE bagi Manfaat Fas. KITE bagi perusahaan Going concern perusahaan bila tidak menggunakan Fas. KITE Penyerapan tenaga kerja Investasi Perpajakan/Penerimaan Negara 3 (tiga) tahun terakhir 7 Economy impact lainnya PERMASALAHAN IMPLEMENTASI KETENTUAN DAN KEBIJAKAN DI BIDANG KITE 1 Apakah terdapat ketentuan dan prosedur saat ini yang menyulitkan dalam penerapan di lapangan ada/ tidak ada, Apakah terdapat ketentuan saat ini yang tidak efektif dalam penerapan di lapangan ada/ tidak ada, Alasani...... Apakah terdapat kendala dalam pelayanan fasilitas KITE di Kanwil (Sarana prasarana / sistem aplikasi / birokrasi / SDM) ada/ tidak ada, LAIN-LAIN Penyelesaian waste/scrap (Diisi dengan hal dianggap perlu) lainnya yang S. FORMAT PENGUMPULAN DATA TERKAIT DAMPAK EKONOMI FASILITAS KITE DALAM RANGKA EVALUASI MAKRO KOP SURAT PENGUMPULAN DATA TERKAIT DAMPAK EKONOMI FASILITAS KITE DALAM RANGKA EVALUASI MAKRO Nama Perusahaan Periode Tanggal Pelaksanaan Nomor Surat Tugas DATA PENGISI SENSUS Nama Jabatan Alamat email Nomor HP AJAlOolEkIw Nama Perusahaan A | DATA PERUSAHAAN 1 Nama Perusahaan 2 | NPWP 3 Jenis Fasilitas a. KITE Pembebasan b. KITE Pengembalian c. KITE IKM 4 | Nomor dan Tanggal SKEP awal dan perubahan terakhir 5 Lokasi 6 | Alamat perusahaan Jalan Kota/ Kabupaten Provinsi 7 | Alamat Kantor Jalan Kota/ Kabupaten Provinsi 8 | Nomor telepon perusahaan 9 | Alamat email perusahaan 10 | Jenis Industri 11 | Hasil Produksi 12 | Brand Produksi 13 | Tahun memakai fasilitas 14 | Tahun berdiri 15 Jenis Investasi Pilihan (a. PMA b. MPDN c. Lainnya (sebutkan)) 16 Jenis Industri 18 Kanwil (KITE Pembebasan dan/atau Pengembalian 19 KPPBC (KITE IKM) DAMPAK EKONOMI 1 Jumlah Tenaga Kerja Jumlah Upah Tenaga Kerja Nilai Ekuitas 2 3 4 Nilai PMTB (pembentukan modal: tetap bruto) Jumlah PPh Badan Tahun Pajak Terakhir Jumlah Pajak Daerah, Retribusi Daerah, dan Penerimaan Daerah Lainnya Jumlah Jaringan Usaha (Subkon, Distributor, Vendor, dll) yang menggunakan fasilitas Jumlah Jaringan Usaha (Subkon, Distributor, Vendor, dll) yang tidak menggunakan fasilitas Jumlah tenaga kerja pada jaringan usaha yang tidak menggunakan fasilitas 10 CAPEX / Depresiasi 11 Laba/rugi Usaha Sebelum Pajak 12 Jumlah Pajak Tidak Langsung (contoh: PPN, PPnBM, bea masuk, bea keluar, pajak impor) 13 Jumlah All Tax (PPh pasal 21, PPh pasal 22, PPh pasal 23, PPh pasal 25/29, PPh pasal 26, PPh Final) 14 Pajak Daerah (contoh: PBB, pajak kendaraan bermotor) 15 Jumlah nilai Devisa Ekspor 16 Jumlah nilai Devisa Impor 17 Jumlah nilai yang diberikan fasilitas KITE (Jumlah BM & PPN/PPnBM yang dibebaskan/ dikembalikan) PERTANYAAN UMUM 1 Apakah Fasilitas KITE/KB Bermanfaat Bagi Perusahaan? a. Ya b. Tidak, sebutkan alasan Uraian Manfaat Fasilitas KITE Bagi Perusahaan Apakah terdapat ketentuan dan prosedur saat ini yang menyulitkan dalam penerapan di lapangan? Sebutkan. 4 | Apakah terdapat ketentuan saat ini yang tidak efektif dalam penerapan di lapangan? Sebutkan. S5 |Apakah terdapat kendala dalam pelayanan fasilitas di Kanwil DJBC/KPUBC/KPPBC (sarana prasarana/ SKP/ birokrasi/ SDM) 6 | Adakah masukan untuk pengembangan pemberian fasilitas ke depannya? 7 | (Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu) Pejabat/ Pegawai Yang Melakukan Pihak Perusahaan: Peninjauan: Ttd. Ttd. NIP Nama : Jabatan : NIP 3 Ttd. NIP T. FORMAT LAPORAN HASIL PELAKSANAAN KEGIATAN EVALUASI MAKRO KITE TERKAIT PENILAIAN EFEKTIVITAS KEBIJAKAN PEMBERIAN FASILITAS KITE KOP SURAT NOTA DINAS NOMOR : ND- .../ saraf aan. Kepada : Direktur Fasilitas Kepabeanan Dari : Kepala Kanwil / KPUBC Lampiran : 1 (satu) berkas Hal : Laporan Pelaksanaan Evaluasi Makro KITE Dalam Rangka Penilaian Efektivitas Kebijakan Pemberian Fasilitas KITE Sehubungan dengan pelaksanaan evaluasi makro atas pemberian fasilitas KITE di wilayah Kanwil atau KPUBC ...... Kane sesuai Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor ......... , bersama ini kami laporkan sebagai berikut :
Data pertumbuhan perusahaan penerima fasilitas KITE yang berada di bawah pengawasan Kanwil atau KPUBC: Contoh Jumlah Jumlah ad Jumlah SKEP SKEP perusahaan Tahun yang diterbitkan yang penerima fasilitas ana tera dicabut KITE SKEP KITE) 2016 2017 2018 2. Hasil evaluasi makro terhadap pemberian fasilitas KITE di bawah pengawasan Kanwil, KPUBC atau KPPBC ....... sebagai berikut :
Informasi mengenai pemenuhan/pelaksanaan aturan yang berlaku dan pelanggaran yang sering dilakukan: Contoh: No. | Tahun | Kategori Frekuensi Kejadian | Tindak Keterangan Pelanggaran Lanjut 1. 2017 | Pelanggaran | Dalam setahun | Pembekuan subkontrak terdapat .. | fasilitas untuk pelanggaran kegiatan awal produksi D: 2018 | (Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu) b. Informasi mengenai kinerja perusahaan: Profil Status Keterangan jumlah | jumlah | jumlah | Jumlah | Jumlah | Jumlah Tahun low medium | high MITA MITA AEO risk risk risk Prioritas Non Prioritas 2017 Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu) 2018 c. Informasi mengenai kendala dalam pemenuhan/pelaksanaan aturan yang berlaku: Contoh: Kategori Sena gu sg :
No. | Tahun Permasalahan Frekuensi Kejadian Tindak Lanjut 1 2 d. Informasi lainnya yang dipandang perlu: sowunangcestang0nnverenununananesooee Demikian disampaikan sebagai laporan. (Nama) U. FORMAT PENYAMPAIAN PENILAIAN DAN PENGUMPULAN DATA DAMPAK EKONOMI! TERKAIT FASILITAS KITE KOP SURAT NOTA DINAS NOMOR : ND- ... /-xxef sex. Kepada : Direktur Fasilitas Kepabeanan Dari : Kepala Kanwil / KPUBC Lampiran : 1 (satu) berkas Hal : Laporan Pelaksanaan Evaluasi Makro KITE Dalam Rangka Penilaian atas pemberian fasilitas KITE di wilayah Kanwil atau KPUBC Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor dan Penyampaian Data Pemberian Fasilitas KITE Sehubungan dengan pelaksanaan evaluasi makro terkait pengumpulan data mann sesuai smua , bersama ini kami sampaikan bahwa: 1: Pada tanggal ..... ..... 20...., Kanwil atau KPUBC.........ooo telah memberikan memberikan kuesioner kepada seluruh perusahaan penerima fasilitas KIT Eng dibawah pengawasan Kanwil atau KPUBC dengan data terlampir (soft copy data dampak economy). socosrccirenanenanena . Adapun hasil penilaian terkait dampak ekonomi atas pemberian fasilitas KITE dibawah pengawasan Kanwil atau KPUBC............. , secara umum dapat kami sampaikan bahwa ssccacoacoocorocomocoocoooc.coorocoocoasanasangunnag nana ana enrunananaangenan asas Kenasanannnnan sena asannenannnana se ona nek osn sesak ena nn ana sanak aman anna naannananan sena ran ass enenas erangan nan ennan ana nanas seresanasenpensoeenann anon unna0eeaakanana nana san ank enas ea nek ana nenen ae sanenanerane engan non nasansana ena oeranana nan aan sasaran ana secenenananenasenananoneasevanennenoanenunsan essen nan eeen aura none soo nunenasasn sen nana neg aan aanan anang narenan anna nananana nan seneannannenensonannasonanaaanena uan angan an nananan nan sananannanaauaaassen na nuana anna ga nan aa san aan anunnnanaan nana nanang nana ssnccoovorancedonaoooneana nana reren ne aoun ane esro nur so open ganesa sana an eneng onanann angan guna sanaaan sunan ana nana n ana nun aa encaseaaavancannaoanesenounnan nasa asas enda nenen anna na ang naas anna e penekan sasaran nana nga nana nan en aon ea anna ana ana sana nan anna Demikian kami sampaikan sebagai laporan. (Nama) V. FORMAT LAPORAN HASIL PELAKSANAAN EVALUASI MAKRO KITE TERKAIT PENILAIAN EFEKTIVITAS KEBIJAKAN PEMBERIAN FASILITAS KITE KOP SURAT NOTA DINAS NOMOR : ND- .../sarafanan Kepada : Direktur Jenderal Dari : Direktur Fasilitas Kepabeanan Lampiran : 1 (satu) berkas Hal : Laporan Pelaksanaan Evaluasi Makro KITE Sehubungan dengan pelaksanaan evaluasi makro atas pemberian fasilitas KITE sesuai Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor ........ , bersama ini kami laporkan sebagai berikut :
Data pertumbuhan perusahaan penerima fasilitas KITE yang berada di bawah pengawasan Kanwil, KPUBC atau KPPBC: snc.ocococnennonasangnnassanauanana pennennannoneo0aseneauaanaanasanaana 2. Hasil evaluasi makro terhadap pemberian fasilitas KITE, sebagai berikut :
Informasi mengenai pemenuhan/pelaksanaan aturan yang berlaku dan pelanggaran yang sering dilakukan b. Informasi mengenai kinerja perusahaan c. Informasi mengenai kendala dalam pemenuhan/pelaksanaan aturan yang berlaku d. Informasi lainnya yang dipandang perlu Demikian disampaikan sebagai laporan. (Nama) W. FORMAT LAPORAN EVALUASI MAKRO KITE TERKAIT PENGUKURAN DAMPAK EKONOMI PEMBERIAN FASILITAS KITE KOP SURAT NOTA DINAS Nomor: ND- / /20... Yth : Direktur Jenderal Dari : Direktur Fasilitas Kepabeanan Lampiran : 1 (Satu) Berkas Hal : Laporan Evaluasi Makro KITE terkait Pengukuran Dampak Ekonomi Pemberian: Fasilitas KITE Tanggal na. con cWmaaaa 20.... Sehubungan telah dilaksanakannya pengukuran dampak ekonomi fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) dengan hormat kami sampaikan laporan sebagai berikut:
Bahwa pada bulan .............. tahun ekonomi fasilitas KITE.
Kegiatan pengukuran dampak ekonomi ini merupakan kegiatan untuk pengumpulan data melalui tiga sumber yaitu:
Internal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk pengumpulan data terkait ekspor, impor dan nilai fasilitas yang diberikan b. Direktorat Jenderal Pajak untuk mengumpulkan data terkait perpajakan perusahaan penerima fasilitas KITE. sa telah dilaksanakan pengukuran dampak 3. Berikut kami sampaikan laporan hasil pengumpulan data untuk seluruh pengguna penerima fasilitas KITE sebagaimana dimaksud di atas terhadap perusahaan penerima fasilitas:
no.
Data ekspor, impor dan nilai fasilitas yang diberikan. Contoh: Data Perusahaan KITE Tahun Devisa Impor (USD) | Devisa Ekspor (USD) | Rasio 2016 2017 2018 b. Data sensus (data yang terkumpul ....... dari seluruh perusahaan yang diminta untuk melakukan pengisian pengukuran dampak ekonomi). Contoh: Data Perusahaan KITE Nilai Investasi a Kena didasarkan enaga 4 onomic Ma ( sman) Pajak Daerah Kerja | Jaringan Activity (Rp) Industri (orang) (pelaku (Rp) usaha) 2016 2017 2018 c. Perbandingan nilai Contoh: fasilitas yang diberikan kepada perusahaan KITE dibandingkan dengan kontribusi ekonomi yang dihasilkan perusahaan KITE. Data Perusahaan KITE Tahun Nilai Pengembalian/ Pembebasan (Rp) Kontribusi Ekonomi (Rp) Perpajakan (All tax/ Pajak Pusat) Nilai Tambah 2016 TOTAL Perpajakan (All tax/Pajak Pusat) Nilai Tambah 2017 TOTAL Perpajakan (All tax/ Pajak Pusat) Nilai Tambah 2018 TOTAL 4. Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa: Demikian kami sampaikan sebagai laporan. (Nama) LAMPIRAN III PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER- 02/BC/2019 TENTANG TATA LAKSANA MONITORING DAN EVALUASI TERHADAP PENERIMA FASILITAS TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT DAN FASILITAS KEMUDAHAN IMPOR TUJUAN EKSPOR A. FORMAT SURAT PERNYATAAN PEMBERIAN KETERANGAN LISAN/TERTULIS KOP SURAT SURAT PERNYATAAN PEMBERIAN KETERANGAN LISAN / TERTULIS PELAKSANAAN MONITORING ......... ATAU EVALUASI........... Yang bertanda tangan dibawah ini, kami : Nama IT nenen Pekerjaan/Jabatan :
....oooocooco.Wooooo oo Alamat 3 PBNU nimoga mama Dalam hal ini bertindak selaku : CJ Pimpinan D Wakil CJ Kuasa dari Perusahaan” Nama PN an SO RN ISA NPWP rang Alamat Ti PSS esa meme mame aman aK anna dalam rangka pelaksanaan monitoring........ /evaluasi............. terhadap pemenuhan ketentuan tentang pemberian fasilitas pembebasan oleh Tim Monitoring....... /Evaluasi......... Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sesuai dengan Surat Tugas Nomor : Pan tanggal ..e..ocooco.. dengan ini menyatakan telah memberikan keterangan lisan / tulisan 3 dalam pelaksanaan monitoring........ /evaluasi.............. dengan rincian sebagai berikut : sencecenunengannesoann sange onnenasan ena sananananasasensan es eanaanaasagenaananaoneneesan gan anenuanananasananaoagogeoaa nan ana panaananana #enenesesenasennasananaannanaananaannasenasana sana senan ana naaonnununun ana annananu eng awenanana nga nanganenanasanaransanosa nenen enaanenaan @nenenenetanerennsenenanakennakannsereoseseana nenas euauan aa anon anon nana naeua aan aa nusa na sen enn aan nona nanana nana anananaaa senuanaanaa Surat pernyataan ini dibuat dan ditandatangani dengan penuh kesadaran tanpa paksaan dari siapapun serta kami bersedia bertanggung jawab atas segala akibat hukum yang timbul dari pernyataan ini. Yang membuat pernyataan Matera sccoccoooco.cowocorananunaaneenganeneanan Catatan : 3 dipilih sesuai kondisi ”) berilah tanda X pada kotak sesuai kedudukan B. FORMAT SURAT PERNYATAAN PENOLAKAN/TIDAK MEMBANTU” DALAM RANGKA PELAKSANAAN MONITORING/EVALUASI KOP SURAT SURAT PERNYATAAN PENOLAKAN/TIDAK MEMBANTU! PELAKSANAAN MONITORING ......... /ATAU EVALUASI........... Yang bertanda tangan dibawah ini, kami : Nama Tmn Pekerjaan/Jabatan 5 ...ooococoocoooomo.oooooooom. Alamat Ie se Dalam hal ini bertindak selaku : Do Pimpinan Wakil O Kuasa dari Perusahaan” Nama N eta EN NNNEN NAN NPWP Pe nan Alamat d Oeana Nenen EN NN dalam rangka pelaksanaan monitoring dan evaluasi terhadap pemenuhan ketentuan tentang pemberian fasilitas pembebasan oleh Tim Monev Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sesuai dengan Surat Tugas NomOf : “oo tanggal, senarweonemssase dengan ini menyatakan menolak/ tidak mau membantu? pelaksanaan monitoring dan evaluasi dengan alasan : ea aan Naa Nana n nan Nas asn u una a Ba LAU B uu BN BU Na laa BN KN AN BNN BIAN ON NU KAN UN MO esa g ON aa NN naa 0 aa Oa O9a en. Nah 993 Surat pernyataan ini dibuat dan ditandatangani dengan penuh kesadaran tanpa paksaan dari siapapun serta kami bersedia bertanggung jawab atas segala akibat hukum yang timbul dari pernyataan ini.
..oncocow.. penssenennananarankan kanan Yang membuat pernyataan Materai sanonc0ona0ccooooooooooco.occ.coK.. Catatan : 3 dipilih sesuai kondisi “) berilah tanda X pada kotak sesuai kedudukan DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI,
Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Investasi Pemerintah.
Pedoman Penerapan, Penilaian, dan Reviu Pengendalian Intern atas Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat. ...
Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2006.
Penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual pada Pemerintah Pusat.
Pengujuan UU no. 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (Pasal 1 angka 1, Pasal 3 ayat (3), Pasal 4, Pasal 21 ayat (2), Pasal 22, dan pasal ayat (2 ...
Pengujuan UU no. 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (Pasal 1 angka 1 dan angka 7, Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (1), Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6 ...
Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/ Lembaga dan Pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran. ...