Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 [Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, angka 3, Pasal 27 dan Pasal 28] ...
Relevan terhadap
_Pada saat peraturan pemerintah pengganti undang-undang ini mulai berlaku: _ 1. ketentuan jangka waktu yang diatur dalam Pasal 11 ayat (21, Pasal 17b ayat (1), Pasal 25 ayat (3), Pasal 26 ayat (1), dan Pasal 36 ayat (1c) Undang- Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 32621 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2oo9 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik 15 Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik _Indonesia Nomor 49991); _ 2. Pasal 55 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Lndonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan undang-undang nomor 6 tahun 2009 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang Nomor 2 tahun 2008 tentang perubahan kedua atas undang-undang Nomor 23 tahun l999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2009 Nomor _7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 49621; _ 3. Pasal 12 ayat (3) beserta penjelasannya, Pasal 15 ayat (5), Pasal 22 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), dan Pasal 28 ayat (3) dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2003 nomor 47, Tambahan _Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4286); _ 4. Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2oo4 nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor _4355); _ 5. Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2004 nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 44201 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 7 tahun 2009 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang- undang Nomor 3 tahun 2008 tentang perubahan atas Undang- Undang Nomor 24 tahun 2oo4 tentang Lembaga Penjamin Simpanan menjadi Undang-Undang (lembaran negara Republik Indonesia tahun 2009 _Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 49631; _ 6. Pasal 27 ayat (1) beserta penjelasannya, Pasal 36, Pasal 83, dan Pasal 107 ayat (2) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran _Negara Republik Indonesia Nomor 4438; _ 7. Pasal 171 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan _Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063); _ 8. Pasal 72 ayat (2) beserta penjelasannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 _Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495); _ 9. Pasal 316 dan Pasal 317 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara _Republik Indonesia Nomor 5679; _ 10. Pasal 177 huruf c angka 2, pasal 180 ayat (6), dan Pasal 182 Undang- Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan 16 Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 5568) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 181, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor _6396); _ 11. Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 70, Tambahan Lembaran _Negara Republik Indonesia Nomor 5872); dan _ 12. Pasal 11 ayat (22), Pasal 40, Pasal 42, dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 198, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6410), Dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-I9) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang ini. 19. Bahwa berdasarkan pasal-pasal dalam Perppu a quo dan dihubungkan dengan hak konstitusional para Pemohon perseorangan adalah WNI pembayar pajak ( tax payer ) jelas terdapat hubungan sebab akibat terkait dengan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang salah satu sumbernya adalah pajak, sehingga ketika akan diubah seharusnya melalui mekanisme sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (1) UUD 1945, serta memperhatikan hak-hak perseorangan WNI para Pembayar pajak khususnya dalam hal ini para Pemohon. Oleh karena itu, menurut para Pemohon, para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) dengan kerugian Konstitusional untuk mengajukan pengujian Pasal 2 ayat (1) huruf 'a' angka 1, angka 2, dan angka 3, dan Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Perpu Nomor 1 Tahun 2020 terhadap __ Pasal 22 ayat (1), Pasal 23 ayat (1), dan Pasal 23A, Pasal 23E ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 2 7 ayat (2), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. __ Alasan Permohonan Pengujian A. Pendahuluan Memasuki 3 bulan penanganan Covid-19 di Indonesia, beragam respon lintas kalangan telah memberikan pengaruh penting dalam tindakan hukum pemerintah. Disaat yang bersamaan, beragam instrumen hukum telah 17 digunakan dalam merespon keadaan bahaya darurat kesehatan ini. Dalam bidang Hukum Tata Negara, tidak hanya dipahami bahwa konstitusi hanya akan mengatur berjalannya negara dalam keadaan normal, namun juga akan mengatur bagaimana negara dalam keadaan darurat. Hal yang menarik adalah instrumen hukum dalam keadaan darurat tidak hanya hukum darurat itu sendiri (baca: Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) melainkan juga berbagai macam Undang-Undang lain yang dimaksudkan untuk merespon keadaan darurat. Khusus keadaan darurat kesehatan. Instrumen hukum yang tersedia jelas adalah UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Kekarantinaan Kesehatan sendiri adalah upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat. Karantina Kesehatan sendiri dimaksudkan untuk merespon Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Kedaruratan Kesehatan masyarakat sendiri adalah kejadian kesehatan masyarakat yang bersifat luar biasa dengan ditandai penyebaran penyakit menular dan/atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi nuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme, dan pangan yang menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas negara. Pada tanggal 31 Maret 2020, Presiden telah menetapkan keadaan darurat kesehatan masyarakat melalui Kepres Nomor 11 Tahun 2020. Selain itu, pemerintah juga menerbitkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan. Selain itu Pemerintah menerbitkan PP Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Para Pemohon setidak-tidaknya mempersoalkan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 terhadap tiga hal, yaitu pertama , Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3 Perppu No 1 Tahun 2020 Bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), (2), dan ayat (3) UUD 1945. Pasal-Pasal tersebut secara umum menurut para pemohon menegasikan makna kedaulatan rakyat dalam hakikat public revenue 18 and expenditure APBN. Kedua, Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 23, Pasal 23A, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 menurut para Pemohon telah menciptakan kekuasaan yang melampaui batas dengan cara menjaminkan imunitas bagi para pejabat keuangan dan ini bertentangan dengan prinsip negara hukum dan hak konstitusional pemohon atas kepastian hukum yang adil. Ketiga , Pasal 28 Perppu No 1 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 22 Ayat (1) juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU- VII/2009, Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Bahwa pada Pasal 28 Perppu No 1 Tahun 2020, terdapat 12 undang-undang yang beberapa ketentuan yang terdapat di dalamnya dinyatakan tidak berlaku sepanjang terkait dengan kebijakan yang ditentukan dalam Perpu Nomor. 1 Tahun 2020 tersebut. Ke-12 undang-undang tersebut masih tetap ada dan berlaku, tetapi sebagian ketentuan pasal-pasal yang terdapat di dalamnya dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-I9) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang ini. Artinya, dengan Perpu ini, ketentuan pasal-pasal yang tersebut dalam ke-12 undang- undang itu ditangguhkan atau dikesampingkan berlakunya untuk sementara waktu, hingga tujuan tercapai atau krisis Covid-19 dinyatakan sudah berakhir. Ketentuan ini jelas bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU- VII/2009 yang telah menentukan syarat objektif untuk melahirkan perppu. Guna memperluas khazanah, maka diuraikan komparasi kebijakan hukum dalam penanggulangan Covid-19 di berbagai negara yang menurut berapa media internasional dianggap berhasil dan tanggap dalam menanggulangi Covid-19. Dalam konteks ini perbandingan yang dimaksud adalah apakah negara tersebut menggunakan (menerapkan) keadaan dan/atau hukum darurat atau justru mengoptimalisasikan instrumen hukum yang telah ada. Taiwan Sejak tanggal 31 Desember 2019, Pusat Pengendalian Penyakit Taiwan (CDC) telah melaporkan Peraturan Kesehatan Internasional (IHR) di bawah 19 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan sejak saat itu, Taiwan sudah memprakarsai langkah-langkah pencegahan epidemi COVID-19. Hingga tanggal 19 April 2020, banyak mendorong penggunaan hukum darurat, semacam perppu di Indonesia, sesuai dengan Pasal 2 (3) dari Artikel Tambahan dari Konstitusi Republik Tiongkok Taiwan yang berbunyi: " The president may, by resolution of the Executive Yuan Council, issue emergency decrees and take all necessary measures to avert imminent danger affecting the security of the State or of the people or to cope with any serious financial or economic crisis, the restrictions in Article 43 of the Constitution notwithstanding. However, such decrees shall, within ten days of issuance, be presented to the Legislative Yuan for ratification. Shoulsd the Legislative Yuan withhold ratification, the said emergency decrees shall forthwith cease to be valid.” Namun, hingga saat ini Taiwan masih belum memberlakukan dan menerbitkan keadaan dan hukum darurat. Hal ini ditenggarai oleh tiga alasan, Pertama, Taiwan telah belajar dari pengalaman buruk penanganan SARS tahun 2002, pada masa itu Taiwan menerbitkan UU Darurat Sars yang diberlakukan dari tanggal 15 Maret 2003 hingga 31 Desember 2004. Sejak saat itu kemudian Taiwan memiliki undang-undang pengendalian penyakit menular ( Communicable Disease Control Act ). Undang-Undang ini telah beberapa kali diamandemen dan terakhir tahun 2019, segala macam tindakan kedaruratan kesehatan serta prosedurnya diatur lengkap. Kedua , di tepatnya 13: 56 pada 25 Februari 2020, Parlemen Taiwan telah mengeluarkan Undang-Undang untuk Tindakan Pencegahan, Pertolongan dan Revitalisasi untuk Corona Virus Dieses -19 (selanjutnya disebut UU-Covid 19). Interval antara berlakunya dan diundangkan hanya memakan waktu sekitar 2 jam. Undang-undang ini berlaku mulai 15 Januari 2020 hingga 30 Juni 2021. Setelah tanggal kedaluwarsanya, jangka waktu Undang-Undang ini dapat diperpanjang dengan persetujuan Parlemen. Meskipun tidak ada batasan waktu untuk perpanjangan, UU tersebut tidak mungkin diperpanjang dari pengalaman dalam mengimplementasikan UU SARS. Dalam hal prosedur legislatif dan efektivitas peraturan, Undang-Undang Khusus COVID-19 memiliki efek yang setara dengan penerbitan keputusan darurat. Ketiga, terdapat penafsiran Mahkamah Konstitusi Taiwan dalam Putusan No JY 2002 No. 543, yang menyatakan: “penerapan hukum darurat harus bersifat sontak segera dan detil sehingga tanpa butuh dukungan peraturan tambahan yang bersifat petunjuk teknis.” Selain itu, Mahkamah Konstitusi 20 Taiwan menegaskan bahwa diperlukan adanya ratifikasi parlemen sebelum hukum darurat tersebut dinyatakan berlaku. Jerman Hingga medio April 2020, 120,000 kasus Covid-19 melanda Jerman. Sedari awal Pandemi Covid-19 menerpa perdebatan muncul tentang apakah keadaan darurat dapat diumumkan untuk digunakan. Sesungguhnya Konstitusi federal Jerman ( Grundgesetz ) telah mengatur dan menyediakan pengaturan mengenai kekuasaan dalam keadaan darurat di beberapa pasal seperti Pasal 12a III-VI, 53a, 57a, 87a, 91, dan Pasal 115a. Meskipun tersedia instrumen tersebut, namun sejarah kelam penggunaan kekuasaan darurat menurut konstitusi di Jerman tidak dapat dihindari. Khususnya apa yang pernah terjadi merujuk kepada insiden penggunaan kekuasaan darurat menurut Pasal 48 Konstitusi Weimar pada kasus Kebakaran Reichstag (gedung parlemen) pada tahun 1933. Pada masa itu, Hitler meyakinkan Presiden Von Hindenburg untuk menggunakan Pasal 48 Konstitusi Weimar, yang memberikan kekuasaan diktator presiden kepada Hitler membuat undang-undang untuk semua negara teritorial Jerman. Hitler dan kabinet dengan cepat membuat Keputusan yang lebih permanen dan luas untuk Perlindungan Rakyat dan Negara (dikenal sebagai Keputusan Kebakaran Reichstag ), yang menangguhkan hak untuk berkumpul, kebebasan pers, kebebasan berbicara, dan perlindungan konstitusional lainnya. Apabila merujuk kepada kekuasaan darurat di Jerman menurut Pasal 91 Konstitusi Jerman, maka hanya keadaan darurat internal hanya dapat dideklarasikan apabila “order to avert an imminent danger to the existence or free democratic basic order of the Federation or of a Land”. Kondisi Covid-19 jelas tidak termasuk keadaan mengancam demokrasi, sehingga hingga saat ini tidak ada hukum darurat semacam perppu di Indonesia yang diterbitkan. Namun, meskipun persyaratan untuk deklarasi keadaan darurat internal tidak terpenuhi sebagaimana Pasal 91 Konstitusi Federal Jerman, saat ini Bundeswehr (militer Federal) dikerahkan di 14 dari 16 Länder . Sebagai bagian dari misi sipil, Bundeswehr membantu para dokter, staf perawat, dan peralatan medis yang dibutuhkan. Misi ini didasarkan pada Pasal 35 ayat 1 Konstitusi Federal Jerman yang mengatur tata administrasi dan segala bantuannya dalam keadaaan bencana yang mewajibkan semua federal dan otoritas pertahanan 21 untuk memberikan bantuan administrasi, hukum dan pertanahan. Oleh karena itu, semua otoritas Federasi serta Länder dapat meminta Bundeswehr untuk dukungan teknis-logistik, yang Länder dibutuhkan. Menurut beberapa ahli, saat ini Bundeswehr sedang menjalankan misi terbesarnya sejak didirikan pada tahun 1955. Namun, Artikel 35 ayat (1) Konstitusi Jerman tidak mencakup misi bersenjata, sehingga, bahkan pada masa Covid-19, kompetensi Bundeswehr terbatas. Jerman tidak melahirkan hukum darurat, namun parlemen tetap bekerja seperti biasa dan melahirkan ketentuan-ketentuan yang dimaksudkan untuk melindungi dampak ekonomi Covid-19 seperti penambahkan Pasal 240 dalam Pembukaan KUHPER ( Einführungsgesetz zum Bürgerlichen Gesetzbuche ) Jerman. Pasal ini memuat ketentuan untuk melindungi penyewa yang tidak bisa lagi membayar sewa karena krisis. Secara bersamaan, Bundestag (Parlemen Federal) mengadopsi paket bantuan terbesar dalam sejarah Jerman. Selain itu untuk membangun perlindungan bagi karyawan, wiraswasta dan bisnis dengan menerbitkan bantuan pinjaman baru dengan total sekitar 156 miliar Euro . Korea Selatan Korea Selatan dihitung sebagai salah satu negara yang "sangat terpukul" oleh penyebaran Covid-19 yang muncul dari Wuhan, Cina. Menurut data terbaru Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Korea (KCDC), medio akhir Maret 2020, Korea Selatan telah melaporkan lebih dari 8.900 kasus dan 111 kematian. Namun sejak tanggal 3 Maret 2020, Presiden Korea merasa tidak perlu menetapkan keadaan darurat atau kekuasaan darurat. Tindakan yang justru diambil adalah menunjuk Tim Penanggulangan Bencana dan Keselamatan ( Central Disaster and Safety Countermeasure Headquarters ), dan dukungan dari fasilitas militer cukup untuk mengamankan tempat tidur untuk pasien yang dikonfirmasi Covid-19. Apabila merujuk kepada Konstitusi Korea Selatan, maka dapat dipahami bahwa ada dua jenis keadaan darurat menurut Pasal 76 Konstitusi Korea Selatan dan produk hukumnya yaitu "perintah keuangan darurat" (Pasal 76 (1) Konstitusi Korea Selatan) dan "perintah darurat" (Pasal 76 (2) Korea Selatan) selengkapnya berbunyi sebagai berikut: Art. 76 (1) Konstitusi Korea Selatan: “In time of internal turmoil, external menace, natural calamity or a grave financial or economic crisis […] the President may take in respect to them the minimum necessary financial and economic actions or issue orders having the effect of 22 Act, […] only when […] there is no time to await the convocation of the National Assembly.” : Art. 76 (2) hanya akan diadopsi dalam situasi berikut: “In case of major hostilities affecting national security […] the President may issue orders […] only when […] it is impossible to convene the National Assembly.” Saat ini beberapa regulasi yang berlaku di Korea terkait penangan Covid- 19 antara lain:
UU Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Menular, 2. UU Pengelolaan Bencana dan Keselamatan, 3. UU Kekarantinaan, 4. UU Kesehatan Masyarakat Daerah, dan 5. UU Pencegahan Acquired Immunodeficiency Syndrome (UU AIDS) UU Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Menular ( Infectious Disease Control and Prevention Act (IDCPA), No. 14286, diubah pada 2 Desember 2016 dalam bahasa Inggris, dan versi terbaru di Korea, yang telah diamandemen pada 4 Maret 2020) adalah undang-undang paling relevan yang berlaku mengenai wabah COVID-19 yang meledak di Korea Selatan. IDCPA memberikan pemerintah sarana yang sangat spesifik untuk mendistribusikan sumber daya dan memobilisasi dan merangsang berbagai pelaku di seluruh masyarakat dalam upaya untuk memerangi penyebaran penyakit menular. UU lahir dari keterpukulan Korea Selatan akibat mewabahnya penyakit Middle East Respiratory Syndrome (MERS) Tahun 2015 lalu. Pada pokoknya UU ini bahkan mengatur konsekuesni ekonomi yang timbul akibat mewabahnya suatu penyakit. Kanada Hingga saat ini, kanada belum menyatakan keadaan darurat federal dalam hal merujuk kepada UU Darurat Tahun 1985. Setidaknya ada 4 alasan: Pertama, kesehatan adalah yurisdiksi provinsi dalam sistem federal Kanada, dan provinsi telah menggunakan wewenang hukum mereka untuk memaksakan keadaan darurat tingkat provinsi yang hanya bervariasi dalam detail kecil. Kedua, UU federal mengenai Karantina Kesehatan tahun 2005 sudah memberikan kekuasaan darurat yang luas kepada pemerintah. Pada tanggal 25 Maret 2020 Menteri Kesehatan Kanada mengumumkan Perintah Darurat di 23 bawah UU yang mengharuskan setiap orang yang memasuki Kanada melalui udara, laut atau darat diwajibkan mengisolasi diri selama 14 hari untuk memastikan apakah mereka memiliki gejala Covid-19. Hukuman pelanggaran ketentuan tersebut adalah denda hingga $ 750.000 dan/atau penjara hingga enam bulan. Hukuman meningkat bagi siapa saja yang dengan sengaja atau sembrono menyebabkan risiko kematian yang akan segera terjadi atau cedera tubuh yang serius terhadap orang lain yang bertentangan dengan Undang- undang atau peraturan yang dibuat di bawahnya. Ketiga, ada faktor budaya yang berperan. Kanada memiliki sistem kesehatan masyarakat yang berfungsi dengan baik. Tingkat kepercayaan pada para ahli kesehatan masyarakat, sehingga bahkan para perdana menteri provinsi yang telah menggoda dalam beberapa tahun terakhir dengan politik populis gaya Trump namun kehendak tersebut akhirnya diurungkan, Kanada banyak belajar dari pengalaman mereka dalam menghadapi SARS di tahun 2002. Keempat, struktur yuridis __ UU Darurat, dipahami dalam konteks politik dan hukumnya, yang harus membuat pemerintah federal ragu untuk menerapkannya. Pembukaan Undang-Undang ini mencerminkan fakta bahwa undang-undang itu diberlakukan tiga tahun setelah Charter of Rights and Freedoms menjadi bagian dari tatanan konstitusional Kanada: AND WHEREAS the Governor in Council, in taking such special temporary measures, would be subject to the Canadian Charter of Rights and Freedoms … and must have regard to the International Covenant on Civil and Political Rights , particularly with respect to those fundamental rights that are not to be limited or abridged even in a national emergency Undang-Undang ini tidak hanya tunduk pada komitmen penghormatan terhadap hak domestik dan internasional Kanada, tetapi Bagian 3 menetapkan bahwa 'darurat nasional' dapat dinyatakan hanya jika ada 'situasi darurat dan kritis yang bersifat sementara yang: (a) sangat membahayakan kehidupan, kesehatan atau keselamatan warga Kanada dan memiliki proporsi atau sifat seperti melebihi kapasitas atau wewenang provinsi untuk menghadapinya, atau 24 (b) secara serius mengancam kemampuan Pemerintah federal kanada untuk menjaga kedaulatan, keamanan dan integritas wilayah dan itu tidak dapat secara efektif ditangani berdasarkan hukum Kanada lainnya. Jika keadaan darurat diumumkan, maka menjadi 'Keadaan Darurat Kesehatan Masyarakat' yang berakhir pada akhir sembilan puluh hari kecuali jika diteruskan sesuai dengan Undang-Undang. Bagian 8 (3) (a) menyatakan bahwa wewenang berdasarkan Undang-Undang ini akan dilaksanakan atau dilakukan:
dengan cara yang tidak mengganggu kemampuan provinsi mana pun untuk mengambil tindakan, berdasarkan Undang-undang parlemen di Provinsi, dan b. dengan pandangan untuk mencapai tindakan secara bersama-sama dengan masing-masing provinsi. Bagian 10 mengatur bahwa Parlemen dapat mencabut deklarasi darurat kesejahteraan publik. Bagian 58 mensyaratkan bahwa penjelasan tentang alasan deklarasi, termasuk konsultasi dengan provinsi (diamanatkan oleh Bagian 14), harus diletakkan di depan kedua Gedung Parlemen dalam waktu tujuh hari duduk dari deklarasi, sementara Bagian 59 mengizinkan sejumlah kecil anggota dari salah satu DPR mengajukan mosi agar deklarasi dicabut. Bagian 62 mensyaratkan bahwa komite bersama dibentuk untuk meninjau 'kinerja tugas dan fungsi sesuai dengan deklarasi darurat'. Singkatnya, UU Keadaan Darurat di Kanada tidak dipilih sebagai instrumen hukum dikarenakan prinsipnya tidak memberikan “kekebalan hukum” dan secara politis dikarenakan pengaturannya yang sangat ketat, lalu keharusan tidak melanggar piagam hak asasi manusia. Selain itu, bagaimana bagi pemerintah Kanada bagaimana konstruksi hukum darurat ketika Parlemen dan pengadilan tidak mampu beroperasi sebagaimana mestinya Bahkan upaya pemerintah federal untuk mengusulkan adanya undang-undang memberikan kekuasaan kepada pemerintah untuk membelanjakan, meminjam, dan pajak tanpa persetujuan Parlemen sampai Desember 2021, urung dilakukan dikarenakan resistensi parlemen yang tinggi di Kanada. Selandia Baru Lain halnya dengan yang terjadi di Selandia Baru, dalam menanggulangi Covid 19. Keadaan darurat nasional telah dinyatakan pada jam 12: 21 PM pada 25 tanggal 25 Maret 2020. Sebelum berbicara mengenai hukum darurat di Selandia baru, maka penting untuk diketahui bahwa di Selandia Baru memiliki panduan (non regulasi) mengenai sistem deteksi darurat Covid-19 berjenjang. Sistem ini memiliki 4 Jenjang (level) yaitu jenjang persiapan (level 1), jenjang meminimalisir (level 2), jenjang pelarangan (level 3) dan jenjang penguncian (level 4). Setiap jenjang ini memiliki dampak dan jangkauan peran pemerintah dalam penanggulangan Covid-19. Sejak Jam 11: 59 PM, 27 April 2020, Pemerintah Selandia Baru telah menetapkan jenjang pelarangan (level 3). Kembali kepada keadaan darurat sebagaimana diuraikan diatas, Ketentuan Keadaan darurat nasional diatur dalam UU Manajemen Pertahanan Sipil Darurat tahun 2002 ( Civil Defence Emergency Management Act 2002). Pasal 8 ayat (1) dan (2) UU UU Manajemen Pertahanan Sipil Darurat mengatur bahwa Perdana Menteri menunjuk Direktur Pertahanan Sipil Darurat yang bertugas untuk mengoordinasikan respons nasional, serta memungkinkannya untuk mengerahkan berbagai arahan darurat dan kekuatan permintaan (yang belum digunakan). Menurut UU Manajemen Pertahan Sipil Darurat Tahun 2002, Keadaan darurat ini perlu diperbarui setiap 7 hari tetapi telah diperbarui sekali dan diharapkan akan berulang kali untuk periode yang signifikan. Sejauh ini keadaan darurat telah terus diperpanjang selama pertama pada 9: 27am tanggal 31 Maret 2020, kedua kalinya pada 9: 25am tanggal 2 April 2020, ketiga kalinya pada 12: 21pm tanggal 8 April 2020, keempat kalinya pada 12: 21pm tanggal 15 April 2020, kelima kalinya, pada 12: 21pm tanggal 22 April 2020, keenam kalinya pada 12: 21pm tanggal 29 April 2020 hingga akan diperpanjang untuk ketujuh kalinya pada 12: 21 pm pada hari Rabu 6 Mei 2020 kecuali dinyatakan sebaliknya. Di saat penerapan UU Manajemen Pertahanan Sipil Darurat tahun 2002, penanggulangan Covid-19 juga dilakukan penerapan UU Kesiapan Penanggulangan Epidemi Tahun 2006 ( Epidemic Preparedness Act 2006). Penggunaan instrumen hukum ini memiliki sejumlah konsekuensi: (a) petugas medis kesehatan diberdayakan untuk menggunakan berbagai kekuasaan darurat khusus; (b) menteri dapat mengaktifkan (dan telah mengaktifkan) sejumlah ketentuan darurat spesifik yang tersebar di seluruh undang-undang jaminan sosial, imigrasi, hukuman dan pembebasan bersyarat; dan (c) menteri dapat mengeluarkan pemberitahuan untuk 'memodifikasi' persyaratan atau 26 pembatasan kekuasaan yang telah diatur dalam undang-undang. Kekuasaan ini merupakan Konvensi kekuasaan Henry VIII, namun sejauh ini hanya diminta sekali. Hal ini disebabkan tradisi waspada terhadap penggunaannya. Berdasarkan Pasal 70 huruf m UU Kesehatan Tahun 1956 sesungguhnya telah mengatur mengenai kewenangan Menteri Kesehatan untuk langsung me- “ lockdown ”. Kewenangan ini termasuk didalamnya mengkarantina tempat- tempat strategis dan vital seperti pertokoan, tempat ibadah, sekolah, namun dikecualikan pengadilan. Bahkan terkait dengan Pasal 70 UU Kesehatan, Polisi diberikan kewenangan khusus berdasarkan Pasal 71A UU Kesehatan dan Pasal 91 UU Manajemen Pertahanan Sipil Darurat untuk membantu, meminta dan mengarahkan dalam penanggulangan darurat kesehatan. Dalam merespon persoalan, ekonomi, Selandia Baru mengeluarkan beberapa kebijakan seperti pertama, stimulus dunia usaha dan kesejahteraan masyarakat senilai $12 Milyar; kedua, Rancangan UU APBN-P yang membolehkan penambahan anggaran penganan Covid-19 senilai $52 Milyar; dan (c) amandemen beberapa perundang-undangan dibidang kesejahteraan seperti sewa-menyewa, keuangan pusat dan daerah, pendidikan and Informasi Publik, untuk mengatasi beberapa masalah mendesak yang disebabkan oleh gangguan Covid-19. Berdasarkan uraian diatas, maka disimpulkan bahwa pada umumnya tidak terdapat negara yang dinyatakan berhasil menggunakan instrumen hukum daruratnya. WHO melalui artikel resminya yang berjudul “ How to budget for COVID-19 response? a rapid scan of budgetary mechanisms in highly affected countries ” penulis, Hélène Barroy, Ding Wang, Claudia Pescetto, and Joseph Kutzin. Mengemukakan bahwa every country must develop specific processes for allocating budget funds to the response . Selanjutnya rekomendasi yang diusulkan antara lain adalah: 1. Using existing budgetary flexibility and exceptional spending procedures to fund first measures 2. Accelerating revision of finance laws to secure a budget for the response through expenditure earmarkin 3. Releasing public funds to frontline service providers timely and facilitating expenditure tracking 27 Berdasarkan rekomendasi yang diusulkan tersebut, diakhir kesimpulannya artikel tersebut menyebutkan Ensuring an appropriate balance between flexibility and accountability is relevant now more than ever under these exceptional circumstances. Governments and legislature need to ensure sufficient budgetary funds, by reprogramming existing spending and earmarking additional funds. Apabila merujuk kepada instrumen hukum yang ada, maka semuanya telah memadai. Apabila menghendaki fleksibilitas untuk merespon dampak Covid-19, maka Pasal 27 ayat (3), dan ayat (4) UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara telah menentukan:
Penyesuaian APBN dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dibahas bersama DPR dengan Pemerintah Pusat dalam rangka penyusunan prakiraan perubahan atas APBN tahun anggaran yang bersangkutan apabila terjadi:
Perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asusmsi yang digunakan dalam APBN;
Perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal;
Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran antar unit, organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanjan;
Keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan;
Dalam keadaan darurat Pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rencana perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran; Opsi yang diambil melalui Pasal 2 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 jelas bertentangan dengan hak konstitusional para pemohon melalui DPR untuk membahas setiap rupiah dalam APBN sebagai representasi kedaulatan rakyat. apalagi kemudian, instrumen hukum yang ada saat ini yaitu adalah UU No 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana masih berlaku dan dapat dioptimalkan. Disaat yang bersamaan kehadiran Pasal 27 dan 28 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 telah menunjukan bahwa adanya hak imunitas dan pengenyampingan hukum yang berlaku, ini berdampak kepada dilanggarnya hak konstitusionalitas para Pemohon khususnya Pasal 27 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, selanjutnya dijelaskan secara detil alasan-alasan hukum sebagaimana diurai diatas sebagai berikut: 28 B. Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, angka 3 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 23 dan Pasal 23A UUD 1945 1. Bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pendemi Corona Virus Disease 2019 (Covid- 19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan, dimaksudkan untuk menanggulangi dampak Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang menurut pandangan Pemerintah telah menciptakan keadaan ‘kegentingan yang memaksa’ terhadap 2 (dua) segi kehidupan sekaligus, yakni dalam hal keselamatan Jiwa Warga Negara dan Perekonomian Nasional. Akan tetapi secara materi muatan, Perpu Nomor 1 Tahun 2020 secara spesifik hanya memuat tentang berbagai kebijakan dalam rangka penyelamatan perekonomian Negara, yang secara garis besar terbagi dalam 2 (dua) bentuk, yakni Kebijakan Keuangan Negara disatu sisi dan Stabilitas Sistem Keuangan disisi yang lain;
Bahwa salah satu Kebijakan Keuangan Negara yang diatur dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2020, adalah memberikan kewenangan bagi pemerintah untuk menetapkan batasan defisit anggaran melampaui 3% (tiga persen) Produk Domestik Bruto (PDB) sampai dengan tahun anggaran 2022, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3: (1) Dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara sebagaimana _dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Pemerintah berwenang: _ a. Menetapkan batasan defisit anggaran, dengan ketentuan sebagai _berikut: _ 1. Melampaui 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama masa penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) dan/atau untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling _lama samapai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022; _ 2. Sejak Tahun Anggaran 2023 besaran defisit akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB); dan , 3. Penyesuaian besaran defisit sebagaimana dimaksud pada angka 1 menjadi sebagaimana dimaksud pada angka 2 dilakukan secara bertahap. 29 3. Bahwa ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3 di atas, adalah bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), (2) dan ayat (3) UUD 1945 yang menentukan: Pasal 23 (1) Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang- undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk _sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; _ (2) Rancangan anggaran undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan _Perwakilan Daerah; _ (3) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu. 4. Bahwa sudah menjadi communis opinion doctorum , hakikat atau falsafah Keuangan Publik/Anggaran Negara adalah Kedaulatan. Pandangan yang demikian di antaranya dikemukakan oleh Rene Stroum, ‘The constitutional right which a nation possesses to authorize public revenue and expenditures does not originates from the fact that the members of the nation contribute the payments. This right is based on a loftier idea. The idea of sovereignty’ . Pandangan ini menerangkan bahwa kewenangan negara untuk menetapkan anggaran pendapatan dan belanja bukan semata-mata berangkat dari fakta bahwa masyarakat memiliki kontribusi dengan melakukan pembayaran pajak kepada negara, melainkan berangkat dari hal/idea yang lebih tinggi, yang disebut kedaulatan. Pandangan demikian juga diamini dan dirujuk oleh Prof. Arifin P. Soeria Atmadja, yang mengemukakan bahwa hakikat public revenue and expenditure APBN adalah kedaulatan, bukan yang lain. Apabila yang berdaulat adalah raja, maka rajalah yang berhak sepenuhnya untuk menetapkan APBN, sebaliknya jika rakyat yang berdaulat, maka rakyatlah yang berhak menetapkan APBN;
Bahwa sejak Negara Indonesia didirikan oleh para Pendiri Bangsa dan memiliki sebuah konstitusi, sejak itu pula kita mengakui bahwa yang berdaulat adalah rakyat, menurut Pasal (1) ayat (2) UUD 1945 sebelum amandemen. Hal ini bahkan semakin dipertegas dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 setelah amandemen yang menentukan ‘Kedaulatan berada di 30 tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar’ . Ketentuan ini merupakan penegasan tentang kedaulatan rakyat dan sekaligus menjadi salah satu asas fundamental dalam hukum tata negara. Jika dalam lapangan politik kedaulatan rakyat sering didengungkan dengan adagium ‘dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat’ , maka dalam konteks anggaran negara, kedaulatan rakyat itu dapat juga didengungkan dengan adagium ‘dari mana sumber uang (pendapatan) dan untuk apa uang digunakan (belanja) harus dilakukan dengan persetujuan rakyat’ ;
Bahwa kedaulatan rakyat terhadap anggaran negara ini selengkapnya dirumuskan dalam Pasal 23 ayat (1), (2) dan ayat (3) UUD 1945, sebagaimana telah dikutip dalam uraian angka ‘4’ di atas. Dalam Pasal a quo, kedaulatan rakyat terhadap anggaran negara ini dikonstruksikan menjadi 3 (tiga) bentuk: Pertama, APBN harus ditetapkan dengan Undang- Undang, bukan jenis Peraturan Perundang-Undangan yang lain; Kedua, APBN harus mendapatkan persetujuan DPR; Kedua, Undang-Undang APBN bersifat periodik (ditetapkan setiap satu tahun);
Bahwa Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menetapkan batas defisit dengan dua ketentuan: Pertama, membuka batasan defisit di atas 3% dari Pendapatan Domestik Brotu (PDB) tanpa batas maksimal; dan , Kedua, pemberlakukan batas defisi di atas 3% dari Pendapatan Domestik Brotu (PDB) sampai dengan tahun anggaran 2022;
Bahwa sekilas materi muatan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 tidak mengatur tentang APBN secara langsung. Akan tetapi jika diselami lebih dalam, pengaturan yang demikian sejatinya telah menjangkau ‘jantungnya’ APBN, karena defisit itu sendiri merupakan selisih kurang dari akumulasi seluruh rencana Pendapatan ( revenue ) dan rencana Pengeluaran ( expenditure );
Bahwa pentingnya pos defisit tidak bisa dilepaskan dari perkembangan format postur Undang-Undang APBN, khususnya setelah pengalaman krisis di penghujung tahun 90-an. Sejak APBN Tahun Anggaran 2000, format postur APBN dari yang sebelumnya disusun dalam bentuk T-account diubah menjadi format I-account . Format ini diterapkan untuk menggantikan dan sekaligus sebagai kritik terhadap berbagai kelemahan dari format dan 31 prinsip APBN pada masa Orde Baru. Sebagaimana diketahui, format postur APBN pada masa Orde Baru hanya terdiri dari ‘Rencana Penerimaan/Pendapatan’ dan ‘Rencana Pengeluaran/Belanja’, yang dalam penyusunannya menekankan prinsip ‘berimbang’. Dengan format dan prinsip demikian, penyusunan APBN diupayakan untuk menyeimbangkan antara pos penerimaan dan pos pengeluaran. Mengingat orientasi kebijakan Orde Baru yang menekankan pada konsep pembangunan ( developmentalism ), sering kali penerimaan dalam negeri tidak mencukupi pengeluaran negara/pengeluaran negara lebih besar dari seluruh penerimaan dalam negeri. Maka, dengan prinsip ‘berimbang’, selisih kurang antara penerimaan dan pengeluaran negara tersebut, kemudian dibuat berimbang (sama) melalui ‘pinjaman luar ngeri’. Artinya, prinsip ‘berimbang’ menjadi dasar bagi pemerintah untuk melakukan pinjaman luar negeri, dengan tujuan menyeimbangkan jumlah antara penerimaan dan pengeluaran;
Bahwa format dan prinsip yang demikian ternyata dalam sejarah APBN di Indonesia, justru menjadi sumber rentannya APBN terhadap terpaan krisis, khususnya pengalaman krisis ekonomi Indonesia di penghujung kekuasaan Orde Baru. Hal ini dikarenakan format dan prinsip APBN tersebut mengandalkan penerimaan pembangunan yang berasal dari luar negeri. Konsekuensi yang terjadi pada APBN adalah meleburnya pinjaman yang digunakan untuk menutup defisit dalam pos penerimaan, sehingga menjadi tidak jelas, mana sumber daya dan dana yang serta-merta menjadi hak milik negara dan mana sumber dana yang harus dikembalikan. Yang dapat diketahui dari format dan prinsip APBN yang demikian, adalah setiap tahun APBN harus mengeluarkan sejumlah dana untuk membayar cicilan utang luar negeri, baik pokok pinjaman maupun bunganya;
Bahwa pengalaman APBN dengan format dan prinsip pada masa Orde Baru, mendorong format/postur APBN kemudian diubah, tepatnya dalam RAPBN tahun anggaran 2000/2001, dari yang sebelumnya menggunakan format T-account menjadi format I-account . Dengan format I-account , postur APBN mengalami pengelompokkan kembali (reklasifikasi) pos-pos pendapatan dan belanja, termasuk pemisahan secara tegas terhadap beberapa komponen pembiayaan anggaran yang selama ini dimasukan 32 kedalam pos-pos pendapatan dan belanja negara. Maka jika dalam format postur APBN masa Orde Baru APBN hanya terdiri dari pos ‘penerimaan’ dan ‘pengeluaran, maka format postur APBN yang terbaru terdiri atas:
Pendapatan;
Belanja;
Keseimbangan Primer;
Surplu/Defisit Anggaran; dan , (5) Pembiayaan;
Bahwa format I-account menjadikan APBN berbasis kinerja, yang konsekuensinya adalah anggaran dapat disusun secara defisit atau surplus, bukan disusun untuk mencapai keseimbangan antara penerimaan dan pengeluaran sebagaimana dalam format T-account . Dengan format yang baru, dimaksudkan untuk meningkatkan akuntabilitas, efisiensi, dan transparansi dalam penyusunan dan pelaksanaan APBN. Hal ini menjadi demikian penting, terutama ketika APBN disusun secara defisit. Pos defisit/surplus menceminkan selisih antara akumulasi pendapatan dan belanja. Manakala dalam penyusunan APBN total pendapatan lebih besar dari pada total pos belanja, maka yang terjadi adalah surplus anggaran. Sebaliknya, jika dalam penyusunan APBN total pos pendapatan lebih kecil dari pada total pos belanja, maka yang terjadi adalah anggaran defisit. Ketika anggaran defisit, maka disinilah fungsi pos pembiayaan untuk menutup defisit anggaran tersebut;
Bahwa pos defisit dalam APBN memiliki posisi yang penting, sebagai alat untuk mengendalikan agar selisih kurang antara total pendapatan dan belanja tidak terlalu besar. Untuk menghindari telalu besarnya selisih kurang antara total pendapatan dan belanja, maka ditentukan bahwa batas maksimal defisit adalah 3% terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Hal ini sebagaimana ditentukan dalam penjelasan Pasal 12 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara: “Defisit anggaran dimaksud dibatasi maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto. Jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari Produk Domestik Bruto.” Artinya, walaupun Pemerintah dimungkinkan untuk menyusun anggaran secara defisit, akan tetapi besaran defisit tersebut tidak bisa dibuat terlalu besar, tetapi ada batasannya, yakni maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Batasan ini ditentukan agar pos pembiayaan yang akan digunakan dalam menutupi defisit juga tidak semakin membesar, baik yang bersumber dari dalam negeri maupun luar negeri; __ 33 14. Bahwa uraian di atas menunjukkan pos defisit yang dibatasi maksimal 3% PDB, sejatinya memiliki posisi yang sama penting dengan pos pendapatan dan pos belanja dalam APBN dengan format I-account . Kedaulatan rakyat terhadap anggaran Negara memiliki nilai yang sama dalam seluruh pos APBN, baik dalam Pos Pendapatan, Pos Belanja, Pos Keseimbangan Primer, Pos Surplu/Defisit Anggaran, dan Pos Pembiayaan. Dalam UU APBN dengan format I-account , pos defisit memiliki posisi yang sangat penting karena beberapa alasan: Pertama, pos defisit mencerminkan selisih kurang antara total seluruh pendapatan dan total seluruh belanja belanja. Sehingga, setiap perubahan pada pos defisit secara langsung seluruh pos dalam APBN, baik Pendapatan, Belanja, Keseimbangan Primer, pos defisit itu sendiri, termasuk pos pembiayaan; Kedua, pos defisit menjadi alat kendali agar selisih kurang antara total seluruh pendapatan dan total seluruh belanja tidak terlalu besar. Apabila selisih kurang antara total seluruh pendapatan dan total seluruh belanja tidak terlalu besar, maka pos pembiayaan juga tidak akan membengkak, terutama pembiayaan terutama yang berasal dari luar negeri. yang dikemudian hari akan menjadi beban bagi APBN di tahun-tahun selanjutnya;
Bahwa berdasarkan alasan tentang pentingnya posisi pos defisit dalam sebuah UU APBN dalam format I-account , maka menjadi jelas bahwa norma dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3 Perpu Nomor 1 Tahun 2020, telah melegitimasi sebuah Perppu untuk mengatur materi muatan APBN yang seharusnya diatur dalam sebuah Undang-Undang, sebagaimana amanat Pasal 23 ayat (1) UUD 1945;
Dibukanya keran defisit di atas 3% dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3 Perpu Nomor 1 Tahun 2020, akan berimplikasi pada berubahnya hampir seluruh Pos dalam Undang-Undang APBN Tahun Anggaran 2020, terutama Pos Belanja, Pos Keseimbangan Primer, Pos Defisit itu sendiri, dan yang terpenting adalah Pos Pembiayaan. Terlebih ketentuan tentang batas defisit ini tidak hanya mengingat UU APBN Tahun Anggaran 2020, melainkan menjangkau UU APBN Tahun Anggaran 2021 dan UU APBN Tahun Anggaran 2022;
Bahwa terhadap UU APBN Tahun Anggaran 2021 dan UU APBN Tahun Anggaran 2022, walaupun produk hukumnya belum ditetapkan, akan tetapi 34 berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3 Perppu Nomor 1 Tahun 2020, maka dapat dipastikan bahwa seluruh Pos dalam APBN Tahun Anggaran dua tahun kedapan dengan sendirinya terikat pada ketentuan tentang batasan defisit di atas 3% yang tanpa batas maksimal itu;
Bahwa hal ini secara terang menjelaskan bahwa norma dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 secara langsung telah menyusup masuk kedalam materi muatan Undang-Undang APBN, setidaknya untuk 3 (tiga) Tahun Anggaran, dan karenanya adalah jells dan nyata bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang mengharuskan APBN ditetapkan dalam sebuah Undang-Undang, bukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
Bahwa disamping APBN harus ditetapkan dalam sebuah Undang-Undang dan bukan PERPPU, APBN menurut Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 harus mendapatkan persetujuan DPR, sebagai bentuk kedaualatan rakyat terhadap setiap rupiah yang ada dalam APBN. Persetujuan DPR bersifat mutlak dan tidak bisa dikesampingkan dengan alasan apapun;
Bahwa demikian pentingnya persetujuan DPR, disebabkan hak anggaran ( budget ) itu sendiri merupakan milik DPR. Itulah sebabnya, dalam penyusunan UU APBN, posisi DPR adalah lebih kuat dan lebih menentukan dari pada Pemerintah. Lebih kuatnya posisi DPR, bahkan ditegaskan dalam Pasal 23 ayat (3) UUD 1945, bahwa apabila DPR tidak menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang APBN yang diajukan oleh Pemerintah, maka Pemerintah tidak punya pilihan lain, selain menggunakan UU APBN tahun sebelumnya. Hal ini merupakan konsekuensi dari prinsip kedaualatn rakyat yang sejak awal telah ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945;
Bahwa dalam ilmu hukum tata negara, persetujuan DPR terhadap UU APBN merupakan sebuah otorisasi (kuasa) yang diberikan kepada pemerintah untuk melakukan pembelanjaan sejumlah uang yang ditentukan dalam UU APBN, serta mencari pendapatan untuk melakukan belanja tersebut. Persetujuan DPR sebagai sebuah otorisasi (kuasa) juga dikemukakan oleh Molenaar, bahwa sebagian besar sarjana hukum di Perancis dan Jerman mengatakan bahwa peretujuan DPR adalah kuasa. Dalam sejarah ketatanegaraan RI, ada keterangan rsmi dari pemerintah yang menyatakan bahwa persetujuan DPR dianggap sebagai ‘kuasa’; 35 22. Persetujuan DPR terhadap UU APBN merupakan sebuah otorisasi (kuasa) menurut Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, perlu didudukkan dalam kaitannya dengan pelaksanaan APBN. Dalam hal ini dipahami bahwa sebagai sebuah otorisasi (kuasa), maka pemerintah memiliki kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban terhadap pelaksanaan UU APBN itu sendiri;
Bahwa norma dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 telah menjadikan Persetujuan DPR yang menurut Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 bersifat mutlak , berubah menjadi bersifat relatif . Hal ini disebabkan beberapa alasan:
Pasal 2 ayat (1) Perppu Nomor 1 Tahun 2020 dirumuskan dengan menggunakan frasa ‘Dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Pemerintah berwenang’ . Digunakannya frasa ‘pemerintah berwenang’, bermakna bahwa kekuasaan untuk menetapkan batasan defisit anggaran sebagai salah satu pos anggaran yang esensial dalam sisitem APBN dengan format I-account , telah diambil alih menjadi kewenangan eksekutif. Hal ini secara jelas telah mengambil hak mutlak milik DPR oleh cabang kekuasaan eksekutif;
Terhadap UU APBN Tahun Anggaran 2020. Bahwa UU APBN TA 2020 yang telah ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 dan telah disetujui oleh DPR justru dimentahkan. Sebagaimana telah dikemukakan pada point ‘17’ alasan permohonan, bahwa dibukanya batas defisit di atas 3% berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3 Perpu Nomor 1 Tahun 2020, akan berimplikasi pada berubahnya hampir seluruh Pos dalam Undang- Undang APBN Tahun Anggaran 2020, terutama Pos Belanja, Pos Keseimbangan Primer, Pos Defisit itu sendiri, dan Pos Pembiayaan. Artinya, dengan berlakunya Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3 Perpu Nomor 1 Tahun 2020, secara terang dan jelas bertentangan dengan Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3), karena telah merubah arti penting persetujuan DPR terhadap UU APBN yang bersifat ‘mutak’ menjadi bersifat ‘relatif’; 36 c. Terhadap UU APBN Tahun Anggaran 2021 dan UU APBN Tahun Anggaran 2022. Sebagaimana diketahui, bahwa kedua UU APBN Aanggaran 2021 dan 2022 belum ada prodak hukumnya. Akan tetapi berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3 Perppu Nomor 1 Tahun 2020, kedua UU APBN yang masih berstatus ius constituendum , dalam penyusunannya dikemudian hari akan terikat pada norma Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, angka 2, dan angka 3 Perppu Nomor 1 Tahun 2020, yang secara langsung mempengaruhi seluruh pos anggaran pada APBN. Dengan demikian, persetujuan DPR yang dimaksudkan bersifat ‘mutlak’ menurut Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, jelas dilanggar dan dicederai oleh Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3 Perppu No. 1 Tahun 2020.
Bahwa seluruh uraian di atas secara terang dan jelas menunjukkan bahwa norma dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 adalah bertentangan dengan Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, dan karenanya adalah beralasan hukum untuk dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi;
Bahwa di samping harus ditetapkan dengan sebuah Undang-Undang dan mendaptakan persetujuan DPR, berdasarkan Pasal 23 ayat (1), (2) dan ayat (3) UUD 1945 meneguhkan bahwa UU APBN memiliki karakter atau ‘periodik’, sebuah hal yang membedakannya dengan Undang-Undang lain pada umumnya. Dalam kaitanya dengan hal tersebut, Goedhart mendefiniskan anggaran Negara sebagai; ‘keseluruhan undang-undang yang ditetapkan secara periodik , yang memberikan kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan pengeluaran mengenai periode tertentu dan menunjukkan alat pembiayaan yang diperlukan untuk menutup pengeluaran tersebut’ . Pandangan Goedhart di atas, menegaskan bahwa unsur periodic merupakan unsur yang terdapat pada seluruh anggaran Negara;
Bahwa unsur Periodik dimaksud terkandung dalam keseluruhan Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945. Dalam ayat (1) ditentukan bahwa APBN ditetapkan setiap tahun (periodik) dengan Undang-Undang, artinya ada sifat periodik. Selanjutnya dalam ayat (2) dan ayat (3) secara berturut- turut menentukan bahwa UU APBN harus mendapatkan persetujuan DPR, dan apabila terjadi kondisi di mana DPR tidak menyetujui UU APBN, maka 37 pemerintah harus menggunakan UU APBN tahun sebelumnya. Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 ini semakin meneguhkan unsur ‘periodik’ dalam UU APBN, dimana ada masa berlaku APBN setiap satu tahun;
Bahwa norma dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, angka 2, dan angka 3 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 secara jelas menggugurkan karakter periodik dari UU APBN yang diamanatkan oleh Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945. Hal ini dikarenakan dibukanya batasan defisit di atas 3% terhadap PDB, dalam Pasal a quo , adalah diberlakukan terhadap 3 (tiga) Tahun Anggaran sekaligus, artinya mengikat dan menjangkau tiga Undang-Undang APBN sekaligus. Hal yang demikian jelas menihilkan arti penting unsur periodik Undang-Undang APBN yang harus ditetapkan setiap satu tahun;
Bahwa berasarkan uraian di atas, adalah jelas bahwa norma dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, angka 2, dan angka 3 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 adalah bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945 karena 3 (tiga) alasan utama yang telah diuraikan sebelumnya, yakni: Pertama, APBN harus ditetapkan dalam jenis Peraturan Perundang- Undangn yang bernama Undang-Undang, bukan yang lain, termasuk bukan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Kedua, Undang- Undang APBN harus mendapatkan persetujuan DPR, dan persetujuan DPR bersifat mutlak sebagai pengenjawantahan kedaulatan rakyat terhadap anggaran Negara; dan , ketiga, Undang-Undang APBN memiliki unsur periodik, yakni harus ditetapkan setiap satu tahun;
Bahwa mengacu pada tiga kriteria dari Undang-Undang APBN sebagai amanat Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945 ini, maka menjadi jelas dan terang bahwa pemberian kewenangan bagi pemerintah untuk menetapkan batas defisit anggaran di atas 3% terhadap PDB berdasarkan;
Bahwa disamping bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945, Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka (1), angka (2), dan angka (3) Perppu No. 1 Tahun 2020 berkenaan dengan Kebijakan Keuangan Negara tidak memiliki urgensi dan alasan hukum yang kuat, karena Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara telah mengatur mekanisme pelaksanan APBN dalam keadaan tidak normal atau darurat, tanpa perlu mengeluarkan Perppu yang memang sama sekali tidak dikenal 38 dalam rezim penyusunan Anggaran Negara/Keuangan Publik. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menentukan:
Penyesuaian APBN dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dibahas bersama DPR dengan Pemerintah Pusat dalam rangka penyusunan prakiraan perubahan atas APBN tahun anggaran yang bersangkutan apabila terjadi:
Perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asusmsi yang digunakan dalam APBN;
Perubahan pokok-pokok kebijakan fiscal;
Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran antar unit, organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanjan;
Keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan;
Dalam keadaan darurat Pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rencana perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran;
Bahwa berdasarkan ketentuan diatas, rezim perundang-undangan di bidang Keuangan Negara telah menyediakan 2 (dua) mekanisme luar biasa dalam pelaksanaan APBN dengan tetap memperhatikan prinsip kedaulatan rakyat yang menjadi esensi Anggaran Negara/Keuangan Publik. Mekanisme atau skema tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, adalah melalui skema Undang-Undang APBNP (Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Perubahan) manakala terjadi keadaan sebagaimana disebutkan dalam huruf ‘a’ sampai dengan huruf ‘d’ Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Keuangan Negara. Skema ini memberikan jalan bagi Pemerintah untuk melakukan Perubahan Undang-Undang APBN dalam periode yang sama, denga ketentuan bahwa setiap perubahan harus terlebih dahulu mendapatkan Persetujuan DPR sebelum dilaksanakan, artinya pemerintah diberikan peluang untuk melakukan perubahan dalam tahun anggaran berjalan, tanpa mengesampingkan kedaulatan sebagai 39 esensi anggaran negara yang diamanatkan oleh Pasal 23 ayat (2) dan (3) UUD 1945, dan sifat periodik (setiap tahun) Undang-Undang APBN yang diatur dalam Pasal 23 ayat (1) UUD 1945; Kedua, adalah skema yang digunakan dalam keadaan darurat. Dalam skema ini Pemerintah dalam melakukan pergeseran anggaran, termasuk melakukan Belanja (Pengeluaran) untuk keperluan yang tidak ada pagu anggarannya dalam Undang-Undang APBN periode yang sedang berjalan. Belanja (Pengeluaran) dalam skema darurat ini dapat dilakukan tanpa perlu mendapat persetujuan DPR terlebih dahulu, dengan ketentuan dipersyaratkan adanya keadaan darurat yang mengancam Keselamatan Jiwa atau Keutuhan Negara, seperti Darurat Kesehatan akibat virus Covid- 19 yang saat ini dihadapi Indonesia. Persetujuan DPR dapat dimintakan setelah realisasi anggaran dilakukan, untuk kemudian dituangkan dalam Undang-Undang APBN Perubahan dan/atau dilaporkan dalam Laporan Realisasi Anggaran.
Kedua skema Pelaksanaan APBN dalam Undang-Undang Keuangan Negara ini sejatinya dapat menjadi pilihan pemerintah dalam menghadapi kemungkinan permasalahan perekonomian sebagai akibat dari wabah Virus Covid-19. Terlebih berbagai kebijakan keuangan negara yang diatur dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2020 seperti pergeseran anggaran antar unit, antar organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanja, serta penggunaan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya untuk pembiayaan anggaran yang berjalan, telah diakomodasi oleh Undang-Undang Keuangan Negara;
Satu-satunya yang tidak diakomodir dalam skema ini adalah tentang membuka kemungkinan defisit yang tinggi. Hal ini patut dicurigai sebagai agenda politik anggaran yang disusupkan, agar Pemerintah mendapatkan legitimasi hukum untuk berakrobat dalam menyususn Anggaran Negara sampai 3 tahun kedepan, khususnya sebagai legitimasi untuk menambah jumlah pinjaman luar negeri yang dianggap sebagai jalan paling rasional untuk melakukan pemulihan ekonomi pasca wabah Covid-19, dengan konsekuensi APBN kita dimasa yang akan datang semakin tergerus dan terbebani untuk melunasi pinjaman luar negeri Indonesia yang semakin membengkak. Terlebih dalam Pasal 27 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 memuat ketentuan yang seolah menciptakan pelindung atau imunitas bagi 40 pelaksanaan Perpu untuk kebal dari segala perbuatan melanggar hukum, dan tidak dapat dituntut, baik secara perdata, pidana, bahkan tidak bisa diperkarakan di PTUN;
Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009, menyebut ada tiga syarat sebagai parameter adanya “kegentingan yang memaksa” bagi Presiden untuk menetapkan Perppu, yaitu: Pertama , Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; Kedua, Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai; Ketiga , Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan;
Bahwa dari uraian poin sebelumnya menunjukan bahwa dari tiga hal tersebut tidak terpenuhi dengan keluarnya Perpu Nomor 1 tahun 2020. Sebab yang dibahas dalam Perppu itu adalah tentang masalah keuangan dan anggaran negara. Sementara Anggaran Negara sudah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Undang-Undang APBN tidak boleh di Perppu, bukan hanya tidak boleh, tetapi haram, dan hanya boleh direvisi dengan melalui APBN Perubahan. Sehingga alasan Covid-19 menjadi alasan kekosongan hukum karena tidak ada prosedur hukum, juga tidak terpenuhi. hadirnya Undang-Undang Nomor 6 tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan yang sangat jelas dan terang untuk dijadikan sebagai dasar hukum dalam mengambil kebijakan penanganan wabah Covid-19. Alasan mendesak pun tidak terpenuhi dalam perppu ini. Sebab DPR masih bersidang, belum memasuki masa reses, bahkan sampai hari ini masih membahas Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dan pemindahan Ibukota Negara. Artinya Pemegang Kekuasaan pembentuk undang-Undang masih berfungsi dalam menjalankan tugasnya;
Bahwa berdasarkan uraian di atas, maka disimpulkan bahwa ketentuan dalam Pasal 1 dan Pasal 2 Perpu Nomor 1 Tahun 2020, disamping secara terang dan jelas bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), (2), dan ayat (3) UUD 1945, juga tidak memiliki urgensi kegentingan yang memaksa sebagai 41 prasyarat penerbitkan sebuah Perppu sebagaimana Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009. C. Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 Bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 23, Pasal 23A, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Bahwa Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 pada pokoknya mengatur imunitas antara lain sebagai berikut: Pasal 27 (1) Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merrrpakan kerugian negara.
Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perrrndang- undangan.
Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.
Bahwa merujuk kepada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa “Indonesia adalah negara hukum”. Salah satu aspek makna negara hukum adalah adanya pembatasan kekuasaan. Adanya pembatasan kekuasaan Negara dan organ-organ Negara dilakukan dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara horizontal. Sesuai dengan hukum besi kekuasaan, setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenang- wenang, seperti dikemukakan oleh Lord Acton: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely” . Karena itu, kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang- cabang yang bersifat ‘checks and balances’ dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi dan mengendalikan satu sama lain. Pembatasan kekuasaan juga dilakukan dengan membagi-bagi kekuasaan 42 ke dalam beberapa organ yang tersusun secara vertical. Dengan begitu, kekuasaan tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu organ atau satu tangan yang memungkinkan terjadinya kesewenang-wenangan.
Bahwa Pasal 27 pada pokoknya mengatur mengenai hak imunnitas. Hak imunitas atau yang dikenal sebagai Sovereign Immunity merupakan turunan dari asumsi kekuasaan klasik di era Common Law yaitu raja tidak dapat salah ( King can do no wrong ). Prinsip klasik ini sudah muncul sejak Raja Edward I, yang berbunyi bahwa The Crown of England has not been sueable unless it has specifically consented to suit . Prinsip ini bertentangan dengan maxim utama dalam negara hukum yaitu: no one, not even the government, is above the law . Konsep Imunitas sendiri bahkan menurut Erwin Chemerinsky dalam karyanya yang berjudul “Against Sovereign Immunity” (Stanford Law Review, Vol 53 No 1201, 2001) dinyatakan olehnya bukan merupakan prinsip yang sesuai dengan konstitusionalisme. Bahkan menurutnya, konsep imunitas harus dianggap bukan sebagai prinsip hukum. hal ini sesungguhnya bersesuaian dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Pasal 27 dan Pasal 28D (1) UUD 1945 yang menentukan bahwa kedudukan setiap orang sama dihadapan hukum. berdasarkan communis opinio doctorum mengenai konsep immunitas yang tidak memiliki basis konstitusional yang jelas dan bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusionalisme maka Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Pasal 27 dan Pasal 28D (1) UUD 1945.
Bahwa Pasal 27 ayat 1 yang memungkinkan terjadinya potensi tindak pidana korupsi. Karena dalam pasal itu disebutkan biaya yang dikeluarkan pemerintah selama penanganan pandemi Covid-19 termasuk di dalamnya kebijakan bidang perpajakan keuangan daerah dan pemulihan ekonomi nasional bukan merupakan kerugian negara. Ketentuan ini juga bertentangan dengan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang menyatakan: ‘ Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda 43 paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)’. ayat (2) disebutkan ‘Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan’. Selanjutnya, dalam ayat (2) dijelaskan “yang dimaksud dengan ‘keadaan tertentu’ dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku , pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. ” Ketentuan ini menunjukan bahwa tindak pidana korupsi dalam keadaan bahaya justru mengalami pemberatan bahkan hukuman mati, namun Pasal 27 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 justru mengeyampingkan dan mengimunitaskan pejabat-pejabat tertentu.
Bahwa dalam upaya penagakkan hukum, terdapat Maxim Lucius Calpurnius Piso Caesoninus (43 SM) yang menyatakan bahwa “Fiat justitia ruat coelum” yang artinya tegakkan keadilan walaupun langit akan runtuh. Adagium tersebut dapat dimaknai bahwa dalam kondisi apapun hukum harus menjunjung tinggi kebenaran yang bernalar (orthos logos) dan keadilan, sehingga tidak ada kejadian atau kondisi apapun yang mentolerir ketidakadilan ada dalam rongga-rongga hukum. Ketentuan Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 memuat suatu rumusan norma yang menjadikan penegakkan hukum tidaklah adil. Sebab di dalam ketentuan Pasal 27 mengandung rumusan norma yang memberikan perlindungan bagi mereka yang berlaku tidak adil atau melakukan sesuatu yang dapat merugikan bangsa dan Negara. Konstruksi yang demikian ini jelas Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Pasal 27 dan Pasal 28D (1) UUD 1945.
Bahwa apabila merujuk kepada pasal 23E ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan ” Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri” ; selain itua apabila merujuk kepada Pasal 23E ayat (2) UUD 1945 yang menentukan “ hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan 44 Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan kewenangannya” maka apabila merujuk kepada Pasal 27 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 menujukan bahwa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diberi amanat oleh UUD untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara tidak dapat melakukan melaksanakan pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara dan secara otomatis DPR tidak dapat mengawasi penggunaan anggaran tersebut. Oleh karena itu jelas Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 ini selain melahirkan kebijakan yang berpotensi merugikan negara juga berpotensi melahirkan kebijakan ekonomi yang otoriter, sehingga pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 23E ayat (2) UUD 1945.
Bahwa Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 memiliki isi dan makna yang serupa dengan Pasal 29 Perppu Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan yang berbunyi “Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, dan/atau pihak yang melaksanakan tugas sesuai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini tidak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini”. Pada saat yang sama Perpu Nomor 4 Tahun 2008 juga dianggap memberi wewenang di sangat luar batas kepada Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam menetapkan status bank bermasalah dan penanganannya. KSSK hanya terdiri dari Menteri Keuangan sebagai ketua dan Gubernur BI sebagai anggota. Selain itu, kekuasaan yang sangat mutlak ada pada Menteri Keuangan. Karena kalau terjadi selisih pendapat antara Menteri Keuangan sebagai ketua KSSK dengan anggota KSSK yang lain, maka Menteri Keuangan dapat menetapkan keputusan sendiri. Perpu Nomor 4 Tahun 2008 juga dianggap memberi wewenang absolut kepada KSSK untuk menghilangkan fungsi dan wewenang DPR terkait keuangan negara. Karena Menteri Keuangan dapat mengeluarkan uang negara atas nama krisis tanpa minta persetujuan DPR. Padahal kewenangan DPR itu telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Akhirnya Dari 10 fraksi yang mengikuti Rapat Paripurna Pada Desember 2008, hanya 4 fraksi yang menyetujui RUU JPSK jadi undang- undang. Fraksi itu adalah Fraksi Demokrat, Fraksi Partai Persatuan 45 Pembangunan (FPPP), Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) dan Fraksi Partai Damai Sejahtera (FPDS). Sisanya, Fraksi Partai Golongkan Karya (F- Golkar), Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP), Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB), Fraksi Partai Amanat nasional (FPAN), Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi (FBPD) dan Fraksi Bintang Reformasi (FBR), menolak RUU tersebut menjadi undang-undang. Sekarang terbukti keputusan DPR ketika itu ternyata tepat. Dana pinjaman likuiditas yang diberikan kepada Bank Century ternyata bermasalah. Merugikan keuangan negara. Karena Perppu Nomor 4 Tahun 2008 tidak disahkan, maka tidak ada pihak yang kebal hukum. Beberapa pihak yang terlibat merugikan keuangan negara diproses secara hukum. Pengadilan menyatakan mereka bersalah, baik dari Bank Century maupun Bank Indonesia.
Bahwa sebagaimana terurai diatas bahwa pemberian hak imunitas sebagaimana dalam Pasal 29 Perpu Nomor 4 Tahun 2008 yang kemudian kembali diadopsi dalam Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 berpotensi terjadinya penyalahgunaan wewenang. Selain kasus century yang pernah terjadi, maka kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia pada masa krisis ekonomi tahun 1998 merupakan contoh kelam dari penyalahgunaan keadaan darurat. Ketika itu, Bank Indonesia dikuras untuk menyehatkan perbankan yang katanya mengalami rush tetapi kenyataannya cuma modus dari para pemilik bank untuk mendapatkan dana segar untuk menyelamatkan grup usahanya. Berdasarkan hal tersebut maka konstruksi yang demikian ini jelas Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Pasal 27 dan Pasal 28D (1) UUD 1945.
Bahwa berdasarkan uraian di atas, maka disimpulkan bahwa ketentuan dalam Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Pasal 27 dan Pasal 28D (1) UUD 1945. D. Pasal 28 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU- VII/2009 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Bahwa Pemerintah, dalam hal ini Presiden memiliki hak konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 untuk menerbitkan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa; 46 2. Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No 138/PUU- VII/2009, dalam pertimbangan Mahkamah pada halaman 19, telah memberikan kriteria diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) dan Mahkamah telah berpendapat tiga syarat diperlukan adanya suatu Perpu adalah syarat adanya kegentingan yang memaksa sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, apabila:
Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan;
Bahwa Pembentukan Perpu sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 dibolehkan ketika negara sedang menghadapi keadaan kegentingan yang memaksa. Namun demikian, hal ihwal kegentingan yang memaksa dalam menetapkan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 tidak memiliki arah yang jelas, yaitu apakah hal ihwal kegentingan yang memaksa tersebut terkait dengan ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan atau hal ihwal kegentingan yang memaksa tersebut adalah penanganan pandemi Covid-19; Muatan materi Perppu Nomor 1 Tahun 2020 terdiri dari 6 bab, tetapi tidak ada satu bab pun terkait dengan penanganan Pandemi Covid-19: Bab I. Ruang Lingkup Bab II. Kebijakan Keuangan Negara yang terdiri dari (1) Penganggaran dan Pembiayaan (2) Kebijakan di Bidang Keuangan Daerah (3) Kebijakan di bidang Perpajakan (4) Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (5) Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara (6) Pelaporan _Bab III. Kebijakan Stabilitas Sistem Keuangan, terdiri dari: _ (1) Kebijakan Stabilitas Sistem Keuangan 47 (2) Kewenangan dan Pelaksanaan Kebijakan oleh Bank Indonesia (3) Kewenangan dan Pelaksanaan Kebijakan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (4) Kewenangan dan Pelaksanaan Kebijakan oleh Otoritas Jasa Keuangan (5) Kewenangan dan Pelaksanaan Kebijakan oleh Pemerintah Bab IV. Ketentuan Sanksi Bab V. Ketentuan Penutup. 4. Bahwa Pasal 28 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 justru memuat ketentuan yang menyatakan tidak berlakunya 12 Undang-Undang sepanjang terkait dengan kebijakan yang ditentukan dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2020 tersebut. Ke- 12 Undang-Undang tersebut masih tetap ada dan berlaku, namun sebagian ketentuan pasal-pasal yang terdapat di dalamnya dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang ini. Artinya, dengan Perpu ini, ketentuan pasal- pasal yang tersebut dalam ke-12 Undang-Undang itu ditangguhkan atau dikesampingkan berlakunya untuk sementara waktu, hingga tujuan tercapai atau krisis Covid-19 dinyatakan sudah berakhir.
Bahwa 12 ketentuan itu antara lain:
ketentuan jangka waktu yang diatur dalam Pasal 11 ayat (21), Pasal 17b ayat (1), Pasal 25 ayat (3), Pasal 26 ayat (1), dan Pasal 36 ayat (1c) Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 32621 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang- Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 49991); 48 b. Pasal 55 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 2 tahun 2008 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 49621;
Pasal 12 ayat (3) beserta penjelasannya, Pasal 15 ayat (5), Pasal 22 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), dan Pasal 28 ayat (3) dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4286);
Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2oo4 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2004 nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 44201 sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang-Undang (lembaran negara Republik Indonesia tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 49631;
Pasal 27 ayat (1) beserta penjelasannya, Pasal 36, Pasal 83, dan Pasal 107 ayat (2) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438; 49 g. Pasal 171 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
Pasal 72 ayat (2) beserta penjelasannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495);
Pasal 316 dan Pasal 317 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679;
Pasal 177 huruf c angka 2, pasal 180 ayat (6), dan Pasal 182 Undang- Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 181, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6396);
Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5872); dan
Pasal 11 ayat (22), Pasal 40, Pasal 42, dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja 50 Negara Tahun Anggaran 2020 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 198, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6410).
Bahwa apabila merujuk kepada pengenyampingan yang ke-12 yaitu penangguhan untuk Undang-Undang APBN, maka ketentuan ini identik dengan perubahan anggaran, yang menyangkut kewenangan DPR untuk menyatakan setuju atau tidaknya. Presiden tidak boleh secara sepihak menentukan sendiri perubahan anggaran itu, hanya karena ada keadaan kegentingan yang memaksa yang ditafsirkan sendiri secara sepihak oleh Presiden. Pasal 28 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 menyatakan menangguhkan berlakunya 11 Undang-Undang untuk sementara waktu keadaan darurat Covid-19, dan sekaligus mengubah 1 Undang-Undang, yaitu Undang-Undang tentang APBN Tahun Anggaran 2020. Ketentuan ini jelas bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945, juga tidak memiliki urgensi kegentingan yang memaksa sebagai prasyarat penerbitkan sebuah Perppu sebagaimana Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009.
Bahwa Pasal 28 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 jelas menerapkan prinsip metode Omnibus. Apabila merujuk kepada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU- VII/2009 tidak memenuhi tiga unsur dan khususnya unsur “ Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum , atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai”; Undang-Undang yang telah ada saat ini sudah mumpuni untuk menyelesaikan persoalan darurat yang dihadapi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, Undang-Undang No 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, dan Undang-Undang No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Hal ini sesungguhnya sejalan dengan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Penetapan Darurat Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 ( Covid-19 ). Maka apabila lahirnya Pasal 28 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang justru menentukan pengeyampingan (tidak berlakunya) Undang-Undang tertentu, jelas bertentangan dengan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU- VII/2009. 51 8. Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, Presiden berwenang menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Namun, Perpu Nomor 1 Tahun 2020 ini ditetapkan hanya dengan mengingat ketentuan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Artinya, Perpu Nomor 1 Tahun 2020 berada dalam rezim hukum dalam keadaan biasa, bukan rezim hukum keadaan darurat atau keadaan bahaya sebagaimana dimaksud oleh Pasal 12 UUD 1945. Bahkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Karantina Kesehatan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana juga sama sekali tidak dikaitkan dengan atau dalam rangka pelaksanaan Pasal 12 UUD 1945 itu. Artinya, meskipun materi yang diaturkan berkenaan dengan pengggulangan bencana dan mengenai keadaan darurat kesehatan, tetapi tetap saja keduanya ditetapkan tidak dalam konteks kondisi negara dalam keadaan darurat bahaya sebagaimana sudah ditentukan dalam Pasal 12 UUD 1945. Oleh karena itu lahirnya Pasal 28 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang justru menentukan pengeyampingan (tidak berlakunya) Undang-Undang tertentu, jelas bertentangan dengan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU- VII/2009.
Apabila merujuk kepada prinsip hukum Islam Mengenai masalah batasan darurat yang memperbolehkan sesuatu yang diharamkan ini dikalangan para ulama ahli fiqh dan beberapa pendapat yang maknanya tidak jauh berbeda antara satu dan lainnya di antaranya sebagai berikut:
Menurut ulama dari mazhab Hanafi, makna darurat yang menyangkut rasa lapar ialah seandainya seseorang tidak mau mengkonsumsi barang yang diharamkan dikhawatirkan ia bisa meninggal dunia atau setidaknya ada anggota tubuh yang menjadi cacat. Seseorang yang dipaksa akan dibunuh atau dipotong salah satu anggota tubuhnya apabila ia tidak mau memakan atau meminum sesuatu yang di haramkan, itu berarti ia sedang dalam keadaan darurat yang memperbolehkan ia memakan bangkai, karena ia mengkhawatirkan nyawanya atau salah satu anggota tubuhnya. (Abdul Rosyad Sidiq, Fiqh Darurat, Jakarta, Pustaka Azzam, 2001. hal. 31). Dan berdasarkan syariat ia berdosa kalau memang ia tahu bahwa hal itu 52 sebenarnya bisa menggugurkan keharaman. Tetapi kalau memang ia tidak tahu bahwa hal itu merupakan keringanan baginya, ia masih bisa diharapkan tidak berdosa soalnya ia bermaksud menegakkan kebenaran syariat dengan cara tetap menjaga diri untuk tidak mau melanggar keharaman menurut anggapannya. Keharaman menjadi gugur kalau memang pemaksaannya disertai dengan ancaman yang beresiko sangat menyakitkan tetapi kalau ancamanannya tidak terlalu berat seperti hanya akan ditahan selama setahun atau dihukum dengan di ikat namun masih tetap diberi jatah makan dan minum itu berarti ia masih punya pilihan artinya ia tidak sedang dalam keadaan darurat. Firman Allah Swt dalam surat al- Baqarah: 173, Maka barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya serta tidak melampaui batas maka tiada dosa baginya . Melihat ayat di atas, tidak semua keterpaksaan itu membolehkan yang haram, namun keterpaksaan itu dibatasi dengan keterpaksaan yang benar- benar tiada jalan lain kecuali hanya melakukan itu dalam kondisi ini maka semua haram dapat diperbolehkan memakainya, misalkan seorang di hutan tiada makanan sama sekali kecuali ada babi hutan dan bila ia tidak makan menjadi mati, maka babi hutan itu boleh dimakan sebatas keperluannya.
Menurut ulama dari mazhab Maliki, darurat yang memperbolehkan mengkonsumsi sesuatu yang diharamkan ialah rasa takut akan keselamatan nyawa baik berdasarkan keyakinan atau sekadar dugaan namun ada juga yang berpendapat darurat ialah menjaga jiwa dari kematian atau dari bahaya yang sangat berat, menurut pendapat di atas hal itu tidak disyaratkan harus menunggu sampai benar-benar menjelang kematian, atau sudah dalam keadaan sakaratul maut , karena makan dalam keadaan seperti itu sudah tidak ada gunanya lagi.
Menurut ulama mazhab Syafi’i, sesungguhnya rasa lapar yang teramat sangat itu tidak cukup hanya diatasi dengan memakan bangkai dan sebagainya, seperti halnya ulama-ulama mazhab lain mereka semua sepakat tidak wajib harus menunggu sampai kematian itu sebentar lagi datang. Karena pada saat-saat kritis seperti itu tidak ada gunanya makan bahkan pada sampai batas seperti itu tidak dihalalkan makan karena ia memang tidak ada gunanya. Mereka juga sepakat bahwa seseorang 53 diperbolehkan makan kalau ia mengkhawatirkan dirinya bisa kelaparan, atau tidak kuat berjalan, atau kuat naik kendaraan atau terpisah dari rombongannya atau tersesat dan lain sebagainya, kalau sampai ia tidak makan kekhawatiran seseorang terhadap munculnya penyakit yang menakutkan adalah sama seperti kekhawatiran datangnya kematian, sekalipun ia merasa takut selama sakit.
Menurut para ulama dari mazhab Hambali, darurat yang memperbolehkan seseorang memakan sesuatu yang diharamkan adalah yang membuatnya merasa khawatir dan akan mati kalau sampai ia tidak memakannya. Sedangkan menurut Imam Ahmad, apabila seseorang hanya karena tidak mau makan barang yang haram merasa khawatir dirinya bisa kelaparan atau takut tidak kuat berjalan sehingga terpisah dari rombongannya atau tidak kuat naik kendaraan maka ia harus memakannya tanpa dibatasi waktu tertentu. (Abdul Rosyad Sidiq, Fiqh Darurat, Jakarta, Pustaka Azzam, 2001. hal. 34) Tiada keharaman bagi darurat dan tiada kemakmuran bagi kebutuhan . __ (Abdul Rosyad Sidiq, Fiqh Darurat, Jakarta, Pustaka Azzam, 2001. hal. 35). Apabila dua mafsadat bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih besar madaratnya dengan memilih yang lebih ringan madaratnya . __ Dari pendapat di atas yang menerangkan tentang batasan atau kriteria darurat yang memperbolehkan seseorang memakan sesuatu yang haram mempunyai pengertian yang mirip. Jadi seperti yang dikatakan oleh Imam Hambali, dharurat ialahlah posisi seseorang yang sudah berada dalam batasan maksimal dan tidak ada alternatif lain jika ia tidak mau mengkonsumsi yang dilarang agama ia bisa mati atau hampir mati. (Muhlis Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta, Raja Grafindo Persada, cet. Ke-4, 2002, hal. 134). Atau dikhawatirkan salah satu anggota tubuhnya bisa celaka. Pada dasarnya hal itu karena sesuatu yang diharamkan itu tidak boleh dilakukan dan diterjang kecuali karena ada alasan darurat. Darurat itu pun punya standar sendiri apabila seseorang sampai pada batas yang apabila ia tidak mau mengkonsumsi sesuatu yang diharamkan oleh agama ia bisa mati atau hampir mati. Maka itu artinya ia sudah berada pada batas puncak darurat yang berarti ia boleh memakan sesuatu yang diharamkan. 54 Bahwa apabila merujuk lahirnya Perpu Nomor 1 Tahun 2020 khususnya berkenaan dengan lahirnya Pasal 28 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang mengeyampingkan 12 Undang-Undang sekaligus tidak memenuhi keadaan darurat dikarenakan Pasal 28 justru seolah menyatakan tidak ada instrumen hukum sebagai tidak ada alternatif lain dan dalam kondisi maksimal. Padahal instrumen __ hukum yang ada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana serta Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 telah mengakomodir segala kehendak yang dimaksud dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2020.
Bahwa berdasarkan uraian diatas jelas telah Pasal 28 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 telah membuat Presiden berlebihan yang berpotensi berkembang menjadi kekuasaan absolut dan sewenang-wenang namun berlindung dari kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Potensi constitutional dictactorship dalam bentuknya yang negatif akan lebih muncul apabila bentuk pengabaian prinsip-prinsip negara hukum disampingkan dibandingkan merespon keadaan darurat kesehatan dengan mengunakan instrumen hukum yang telah ada yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana serta Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.
Bahwa berdasarkan uraian diatas, Para Pemohon beranggapan pola constitutional dictactorship dapat dihindari apabila beranggapan Pasal 28 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945 juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU- VII/2009 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Petitum Berdasarkan uraian-uraian sebagaimana disebutkan di atas, izinkanlah para Pemohon meminta kepada yang mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa dan mengadili permohonan ini untuk memutuskan hal-hal sebagai berikut:
Menerima dan mengabulkan Permohonan para Pemohon untuk Seluruhnya; 55 2. Menyatakan Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3, Pasal 27 dan Pasal 28 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 8), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. atau Jika Majelis Hakim Konstitusi Republik Indonesia mempunyai keputusan lain, mohon putusan yang seadil-adilnya, ex aequo et bono. [2.2] Menimbang bahwa untuk mendukung dalilnya, para Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-26 sebagai berikut:
Bukti P-1 : KTP M. Sirajuddin Syamsuddin;
Bukti P-2 : KTP dan NPWP Prof. Dr. Sri Edi Swasono;
Bukti P-3 : KTP dan NPWP Prof. Dr. HM. Amien Rais, MA;
Bukti P-4 : KTP dan NPWP Marwan Batubara;
Bukti P-5 : KTP dan NPWP M. Hatta Taliwang;
Bukti P-6 : KTP dan NPWP Taufan Maulamin;
Bukti P-7 : KTP dan NPWP Dr. Syamsulbalda, SE., MM., MBA;
Bukti P-8 : KTP dan NPWP Abdurrahman Syebubakar;
Bukti P-9 : KTP dan NPWP M. Ramli Kamidin;
Bukti P-10 : KTP dan NPWP Dr. H. MS. Kaban, S.E., M.Si.;
Bukti P-11 : KTP Darmayanto;
Bukti P-12 : KTP dan NPWP Ir. Gunawan Adji, M.Sc.;
Bukti P-13 : KTP Indra Wardhana;
Bukti P-14 : KTP dan NPWP Abdullah Hehamahua; 56 15. Bukti P-15 : KTP dan NPWP Adhie M. Masardi;
Bukti P-16 : KTP Agus Muhammad Mahsum;
Bukti P-17 : KTP dan NPWP Dr. Ahmad Redi, S.H., M.H.;
Bukti P-18 : KTP Bambang Soetedjo;
Bukti P-19 : KTP Dr. Ma’mun Murod;
Bukti P-20 : KTP dan NPWP Ir. Indra Adil;
Bukti P-21 : KTP dan NPWP Masri Sitanggang, Dr., Ir., MP.;
Bukti P-22 : KTP dan NPWP Ir. Sayuti Asyathri;
Bukti P-23 : KTP dan NPWP Muslim Arbi;
Bukti P-24 : KTP dan NPWP Roosalina Berlian;
Bukti P-25 : Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 8) 26. Bukti P-26 : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon tersebut, Presiden diwakili Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan keterangan secara lisan dalam persidangan 20 Mei 2020 yang pada pokoknya mengemukakan bahwa:
Dalam Rapat Paripurna ke-15 Masa Sidang III Tahun Sidang 2019-2020, pada Selasa, 12 Mei 2020, DPR memberikan persetujuan terhadap RUU tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 Menjadi Undang-Undang;
Presiden, pada 16 Mei 2020, menetapkan (menandatangani) RUU tersebut dan selanjutnya diundangkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia pada 18 Mei 2020 sebagai Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam 57 Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516). Untuk mendukung keterangannya, Presiden/Pemerintah menyerahkan dokumen berupa surat dari Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia Nomor B-184/Kemensetneg/D-1/HK.00.02/05/2020, bertanggal 18 Mei 2020 perihal “Permohonan Pengundangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia”, yang ditujukan kepada Menteri Hukum dan HAM up Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM. [2.4] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam Berita Acara Persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini.
PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), Mahkamah berwenang, antara lain, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945; [3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan para Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 58 Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan (selanjutnya disebut Perpu 1/2020) terhadap UUD 1945 maka Mahkamah perlu mengutip kembali Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009, bertanggal 8 Februari 2010, sebagaimana telah dipertimbangkan pula dalam Putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2014, bertanggal 13 Februari 2014. Mahkamah dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 yang dalam pertimbangannya, antara lain, pada paragraf [3.13] menyatakan, “...Perpu _melahirkan norma hukum dan sebagai norma hukum baru akan dapat menimbulkan: _ (a) status hukum baru, (b) hubungan hukum baru, dan (c) akibat hukum baru. Norma hukum tersebut lahir sejak Perpu disahkan dan nasib dari norma hukum tersebut tergantung kepada persetujuan DPR untuk menerima atau menolak norma hukum Perpu, namun demikian sebelum adanya pendapat DPR untuk menolak atau menyetujui Perpu, norma hukum tersebut adalah sah dan berlaku seperti Undang- Undang. Oleh karena dapat menimbulkan norma hukum yang kekuatan mengikatnya sama dengan Undang-Undang maka terhadap norma yang terdapat dalam Perpu tersebut Mahkamah dapat menguji apakah bertentangan secara materiil dengan UUD 1945. Dengan demikian Mahkamah berwenang untuk menguji Perpu terhadap UUD 1945 sebelum adanya penolakan atau persetujuan oleh DPR, dan setelah adanya persetujuan DPR karena Perpu tersebut telah menjadi Undang- Undang”. [3.3] Menimbang bahwa oleh karena permohonan yang diajukan dalam permohonan a quo adalah pengujian konstitusionalitas Perpu 1/2020 yang pada saat pengajuan permohonan dan pada sidang pertama Mahkamah dengan agenda pemeriksaan pendahuluan, Perpu 1/2020 belum disetujui atau tidak disetujui oleh DPR maka Mahkamah berwenang untuk menguji Perpu 1/2020. Kedudukan Hukum para Pemohon [3.4] Menimbang bahwa berkenaan dengan pengujian konstitusionalitas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), oleh karena Mahkamah telah berpendapat bahwa Mahkamah berwenang menguji konstitusionalitas Perpu maka ketentuan tentang kedudukan hukum para Pemohon dalam pengujian 59 konstitusionalitas undang-undang juga berlaku dalam pengujian konstitusionalitas Perpu; [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian undang-undang, in casu Perpu, terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai para Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a; [3.6] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya, telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh para Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; 60 c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.7] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut:
Bahwa norma Perpu 1/2020 yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh para Pemohon dalam permohonan a quo adalah Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3; Pasal 27; dan Pasal 28 yang menyatakan: Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3 Dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4), Pemerintah berwenang untuk:
menetapkan batasan defisit anggaran, dengan ketentuan sebagai berikut:
melampaui 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama masa penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022;
sejak Tahun Anggaran 2023 besaran defisit akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB); dan
penyesuaian besaran defisit sebagaimana dimaksud pada angka 1 menjadi sebagaimana dimaksud pada angka 2 dilakukan secara bertahap.
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 264/PMK.05/2014 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Belanja Subsidi. ...
Pengujian UU Nomor 28 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah ...
Relevan terhadap
Seseorang yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7 dianggap bukan sebagai seorang kuasa dan tidak dapat melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang memberikan kuasa. 26. Bahwa dengan adanya ketentuan dalam Pasal 32 ayat (3a) UU KUP yang dijabarkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.03/2014 tanggal 14 Desember 2014 telah menimbulkan Kerugian konstitusional Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 21 Pemohon yaitu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2) UUD 1945;
Bahwa rangkaian pelanggaran hak-hak konstitusional Pemohon yaitu menolak Pemohon untuk mendampingi, mewakili, memberikan bantuan hukum dan pembelaan kepada klien Pemohon dalam pemeriksaan di Kantor Pelayanan Pajak Bantul, mencerminkan bahwa Petugas Kantor Pelayanan Pajak Bantul, tidak profesional, berlaku diskriminatif, arogan, angkuh, bertindak berlebihan, tidak taat dan paham hak-hak konstitusional dan hak- hak hukum khususnya profesi Advokat dan Undang-Undang Bantuan Hukum dan penolakan Pemohon untuk mendampingi klien Pemohon bukan dalam rangka penegakan hukum tetapi demi kepentingan pribadi, mencari keuntungan atau tambahan rejeki bahkan lebih terkesan memeras Wajib Pajak, menawarkan penyelesaian kasus-kasus dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan Wajib Pajak yang tidak paham hukum; Penolakan Pemohon dengan dalil bahwa Pemohon bukan Konsultan Pajak dilakukan secara diskriminatif karena di lain kesempatan Petugas Kantor Pelayanan Pajak Bantul dapat menerima pihak lain yang bukan Konsultan Pajak untuk mengurus msalah-masalah pajak; Penolakan oleh Petugas Kantor Pelayanan Pajak Bantul selaku Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Direktorat Pajak, Kementerian Keuangan, tidak dalam rangka menjalankan tugas profesinya tetapi semat-mata demi kepentingan dan keuntungan pribadi sehingga Petugas Kantor Pelayanan Pajak Bantul harus bertanggung jawab secara pribadi atas tindakan yang arogan, angkuh, tidak profesional, dan diskriminatif terhadap Pemohon, apalagi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang gagal memahami peraturan Perundang-Undangan yaitu Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Undang-Undang Advokat dan Undang-Undang Bantuan Hukum; Dengan demikian, berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas, Pemohon memiliki Kedudukan Hukum (Legal Standing) untuk mengajukan permohonan uji materil ini ke Mahkamah Konstitusi karena telah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Pasal 51 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan: “ Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan _konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: _ Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 22 _a. perorangan warga negara Indonesia; _ b. kesatuan Masyarakat Hukum Adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan _Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; _ _c. badan hukum publik atau privat; atau _ d. lembaga negara. III. DALIL-DALIL PERMOHONAN 1. Bahwa negara hukum merupakan negara dimana penguasa atau pemerintah sebagai penyelenggara negara dalam melaksanakan tugas kenegaraannya terikat atau dibatasi pada peraturan/hukum yang berlaku. Pembatasan pelaksanaan kekuasaan ini merupakan perinsip utama dalam negara hukum. Adapun tujuannya yaitu untuk menghindari tindakan sewenang-wenang dari penguasa/pemerintahan. Ciri-ciri Negara hukum yaitu: adanya pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia, pemisahan kekuasaan, pemerintahan berdasarkan Undang-Undang, dan adanya peradilan administrasi. Negara Indonesia adalah negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi (P-1): “ Negara Indonesia adalah negara hukum.” Negara Indonesia sebagai wujud pelaksanaan prinsip-prinsip negara hukum mengakui, menjamin dan melindungi hak asasi manusia. Salah satu bentuk pengakuan, jaminan dan perlindungan hak asasi manusia yaitu menjamin persamaan atau sederajat bagi setiap orang di hadapan hukum ( Equality Before The Law ) sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi, “ Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” , Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 (P-1) yang berbunyi, “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”, Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, “ Tiap-tiap Warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan ” ; Pasal 28D ayat (2) UUD 1945, “ Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan _kerja”; _ Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 23 2. Bahwa dalam rangka usaha mewujudkan perinsip-perinsip Negara Hukum dan kedaulatan rakyat dalam pelaksanaan Perpajakan, konstitusi mengamanatkan dalam Pasal 23A UUD 1945 (P-1) yang berbunyi, “ pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan Undang-Undang”. Bahwa berdasarkan ketentuan ini, Perpajakan sebagai sumber pendapatan negara yang vital diatur oleh Undang-Undang. Hal ini bertujuan untuk menjamin pelaksanaan hak dan kewajiban baik Pemerintah maupun Wajib Pajak dalam melaksanakan Perpajakan. Karena sifat pungutan pajak yang memaksa tersebut, dapat menimbulkan penyalahgunaan kewenangan oleh pemerintah dalam pelaksanaan pemungutan pajak, sehingga harus diatur dalam ketentuan atau Undang- Undang khusus Perpajakan, tanpa menghilangkan unsur kedaulatan rakyat atau hak-hak konstitusional warga negara;
Bahwa dalam rangka pelaksanaan pemungutan pajak yang bersifat memaksa, tidak dapat dipungkiri atau dihindari akan timbul permasalahan atau sengketa di bidang Perpajakan. Adanya kekuasaan dan kepentingan bagi instansi yang mengeluarkan keputusan di bidang Perpajakan tersebut rawan atau berpotensi terjadi konflik kepentingan ( konflik interest ), rawan atau berpotensi timbulnya penyalahgunaan kewenangan, atau berpotensi menghilangkan unsure kedaulatan rakyat. Sementara di sisi lain Wajib Pajak kurang memiliki pengetahuan tentang hukum Perpajakan. Sehingga potensi terjadinya rasa ketidakadilan bagi Wajib Pajak akibat tindakan pemerintah di dalam pelaksanaan Undang-Undang Perpajakan harus diselesaikan melalui suatu Lembaga yang independen, bebas dari campur tangan pihak manapun yang khusus menangani perkara/sengketa pajak. Bahwa berdasarkan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP menyatakan: “ Persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan peraturan Menteri Keuangan.” adalah bersifat diskriminatif, tidak memberikan jaminan, pengakuan, perlindungan yang layak bagi kemanusiaan, tidak memberi jaminan untuk bekerja dan mendapatkan imbalan yang kesemuanya tersebut melanggar Konstitusi khsususnya Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2) UUD 1945; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 24 4. Bahwa dalam kenyataan sehari-hari Permohonan Wajib Pajak dan petugas pelaksana dari pemerintah tidak sepenuhnya mengetahui seluruh peraturan Perpajakan yang mengatur hak dan kewajibannya Wajib Pajak sehingga berpotensi menimbulkan kerugian di pihak Wajib Pajak. Untuk mewujudkan perlindungan kedaulatan rakyat, negara perlu melindungi dan menjamin, agar pelaksanaan hak dan kewajiban Pemohon/Wajib Pajak dapat terlaksana dengan baik yaitu dengan memberi hak bagi Wajib Pajak untuk menunjuk Kuasa, didampingi atau diwakili kuasa dalam melaksanakan hak dan kewajibannya di bidang Perpajakan. Hak menunjuk Kuasa bagi Wajib Pajak dapat dilihat pada Pasal 32 ayat (3) UU KUP yang menyebutkan, “ Orang Pribadi atau Badan dapat menunjuk Kuasa dengan Surat Kuasa Khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-Undangan Perpajakan”. Dan dalam Penjelasan Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyatakan, “ Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang Kuasa dengan surat Kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-Undangan Perpajakan.” Hal ini merupakan wujud pelaksanaan prinsip-prinsip Negara hukum dan pelaksanaan kedaulatan rakyat yang mengakui, menjamin, dan melindungi hak asasi manusia dan memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak;
Bahwa peran dan fungsi kuasa dalam mewakili Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban Perpajakan memiliki peran penting untuk melindungi dan menjaga keseimbangan pelaksanaan hak dan kewajiban Wajib Pajak sesuai peraturan Perundang-Undangan Perpajakan. Kuasa juga memberikan jasa konsultasi Perpajakan (Konsultan Pajak), sebagai salah satu usaha untuk memberdayakan masyarakat Wajib Pajak dalam memahami dan menyadarkan hak-hak dan kewajiban Wajib Pajak dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Oleh karena itu, peranan dan fungsi Kuasa tersebut juga membantu pemerintah atau Menteri Keuangan untuk memperlancar pelaksanaan pemungutan pajak. Di sisi lain, bahwa Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 25 Kuasa juga diharapkan untuk mencari dan menegakkan hak-hak Wajib Pajak, karena Kuasa yang memiliki pengetahuan dan keahlian di bidang Perpajakan diharapkan dapat mewakili dan melindungi hak dan kepentingan Pemberi Kuasa untuk mencari dan menegakkan keadilan sesuai dengan peraturan Perundang-Undangan. Sehingga Kuasa juga memiliki peran dan fungsi untuk mendampingi atau memberikan nasihat kepada Wajib Pajak atas hak dan kewajiban Wajib Pajak, sehingga hak-hak Wajib Pajak tidak dikurangi atau ditiadakan oleh pemerintah atau pejabat yang ditunjuk oleh Undang-Undang Perpajakan dan pelaksanaan kewajiban Perpajakan yang sesuai dengan ketentuan peraturan Perpajakan. Dengan adanya peranan penting dari Kuasa hukum tersebut, menurut Pemohon jelaslah bahwa Kuasa Wajib Pajak haruslah mandiri, bebas atau independen dalam melaksanakan Kuasa demi melindungi hak dan kepentingan Pemberi Kuasa, terhadap pihak manapun termasuk pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Pajak sebagai pelaksana tugas penerima atau pemungutan pajak;
Bahwa di balik adanya kepastian hukum atas penyelesaian sengketa pajak dan hak bagi Wajib Pajak untuk menunjuk Kuasa, didampingi, atau diwakili Kuasa dalam pelaksanaan hak dan kewajiban Perpajakannya atau kedaulatannya, timbul permasalahan bagi Pemohon yaitu adanya kewenangan Menteri Keuangan dalam menentukan Persyaratan Serta Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Kuasa. Menurut Pemohon, ketentuan yang diuji material Pemohon yaitu Pasal 32 ayat (3a) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan telah berpotensi merugikan hak-hak konstitusional Pemohon atau Wajib Pajak sesuai dengan pelaksanaan kedaulatan rakyat dan prinsip-prinsip Negara hukum yang melindungi hak-hak asasi manusia; Bahwa Pasal 32 ayat (3a) UU KUP Perpajakan berbunyi: “Persyaratan serta Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan peraturan Menteri Keuangan”, Kuasa yang dimaksud yaitu Pasal 32 ayat (3) UU KUP (P-2) berbunyi: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 26 “Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang Kuasa dengan Surat Kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-Undangan” 7. Bahwa menurut penafsiran Pemohon, ketentuan yang diuji Pemohon tersebut memberikan kewenangan mutlak/absolut kepada Menteri Keuangan untuk menentukan segala sesuatu yang berhubungan dengan persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa untuk melaksanakan kedaulatan Pemohon/Wajib Pajak. Pemberian kewenangan yang absolut kepada Menteri Keuangan untuk menentukan persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa untuk melaksanakan kedaulatan Pemohon berarti Menteri Keuangan berkedudukan lebih tinggi dari kedaulatan rakyat. Menteri Keuangan telah diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk membatasi pelaksanaan kedaulatan rakyat kepada Kuasa dengan cara Menteri Keuangan diberi kewenangan untuk membuat dan menentukan persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa dalam menerima dan menjalankan kedaulatan Pemohon. Pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan tersebut, telah mengakibatkan tidak terlaksananya kedulatan Pemohon/Wajib Pajak dalam menjalankan hak dan kewajiban Pemohon melalui Kuasa;
Bahwa mencermati Pasal 32 ayat (3a) UU KUP yang dijabarkan dalam Peraturan Menteri Keuangan tersebut membuktikan betapa absolutnya kewenangan Menteri Keuangan. Jika ditelaah lagi pasal per pasal, Peraturan Menteri Keuangan tersebut mengatur segala ketentuan yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa, baik dari segi syarat-syarat, ujian dan sertifikasi, menegur, membekukan ijin, mencabut izin Kuasa/ Konsultan Pajak, izin beracara di pengadilan (menolak, menerima dan mencabut Izin). Hal ini memperlihatkan kekuasaan dan kewenangan absolut yang jelas-jelas mengakibatkan Kuasa tidak memiliki kebebasan dalam melaksanakan hak dan kewajibannya untuk kepentingan hak-hak Pemohon/Wajib Pajak. Karena kedudukan Menteri Keuangan memilki kekuasaan/kewenangan yang superior dibanding dengan Kuasa Hukum dalam pelaksanaan hak dan kewajiban Perpajakan termasuk peradilan pajak. Sebagai contoh bukti bentuk kewenangan absolut Menteri Keuangan cq Direktorat Jenderal Pajak yaitu tentang Pencabutan izin Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 27 Praktek sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 111/PMK. 03/2014, Pasal 26 tentang Teguran, Pembekuan, dan Pencabutan Izin Praktik yang berbunyi: Direktorat Jenderal Pajak atau pejabat yang ditunjuk berwenang memberikan teguran tertulis, menetapkan pembekuan Izin Praktik, dan menetapkan pencabutan Izin Praktik" Pasa1 29 ayat (1) huruf j: "pencabutan Izin Praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ditetapkan dalam hal j. Konsultan Pajak memberikan Jasa Konsultasi di bidang Perpajakan tidak sesuai dengan peraturan Perundang-Undangan Perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf a, Pasal 23 huruf a: "Konsultan Pajak:
memberikan jasa konsultasi kepada Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban Perpajakan sesuai dengan peraturan Perundang-Undangan Perpajakan". Melihat pengaturan ketentuan tersebut, Direktorat Jenderal Pajak diberi kewenangan untuk mencabut Izin Konsultan Pajak, dalam hal Konsultan Pajak, tidak memberikan jasa konsultasi yang tidak sesuai dengan peraturan Perundang-Undangan. Pengaturan ini bersifat multitafsir dan cakupannya luas, dan tidak seharusnya Direktorat Jenderal Pajak yang menentukan sesuai atau tidaknya jasa konsultasi pajak yang diberikan. Bahwa yang bewenang menentukan sesuai atau tidaknya suatu tindakan atau perbuatan yang melanggar peraturan Perundang-Undang adalah lembaga peradilan karena perbuatan yang dianggap tidak sesuai tersebut haruslah dibuktikan terlebih dahulu. Hukum pembuktian hanya dapat dilaksanakan dalam suatu mekanisme atau sistem peradilan. Sementara dalam hal ini, Menteri Keuangan c.q . Direktorat Jenderal Pajak dapat dengan leluasa menyatakan suatu perbuatan yang dianggap melanggar peraturan Perundang-Undangan Perpajakan tanpa didasari suatu pembuktian. Sehingga menurut Pemohon hal ini berpotensi disalahgunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk mengintervensi Kuasa dalam pelaksanaan hak dan kewajibannya dan yang paling dirugikan adalah Pemohon/Wajib Pajak yang menunjuk dan mempercayakan kepada Kuasa dalam melaksanakan hak dan Kewajiban Perpajakannya;
Bahwa dalam sistem peradilan Indonesia, diakui keberadaan Kuasa Hukum yang memiliki profesionalisme dalam menjalankan fungsi dan peran dalam pelaksanaan peradilan yang diatur dalam ketentuan peraturan Perundang- Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 28 Undangan. Pemohon dalam perkara a quo membandingkan Kuasa Hukum Wajib Pajak dengan Profesi Kuasa Hukum yang diakui dalam sistem peradilan Indonesia, yaitu Advokat yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat;
Bahwa fungsi dan peran Profesi Advokat dengan Kuasa Wajib Pajak/Konsultan Pajak dalam pelaksanaan peradilan adalah sama yaitu bertindak untuk dan atas nama Pemberi Kuasa dan memberikan nasehat hukum tentang perkara yang dihadapi. Bahwa profesi Konsultan Pajak hanya khusus untuk beracara di Pengadilan Pajak, sementara Advokat dapat melaksanakan Kuasanya untuk setiap lembaga peradilan apapun termasuk setiap sengketa atau permasalahan hukum yang belum dibawa ke badan-badan peradilan. Posisi atau kedudukan, peran, dan fungsi Kuasa Wajib Pajak dan Advokat di hadapan persidangan pengadilan adalah sama yaitu memberikan pendampingan, bantuan hukum atau nasehat hukum mewakili Pemberi Kuasa atas perkara yang dihadapi Wajib Pajak, serta menjalankan Kuasa yang diberikan oleh Pemberi Kuasa;
Bahwa atas kesamaan fungsi dan peran profesi Advokat dengan Konsultan Pajak selaku Kuasa Hukum dalam pelaksanaan profesinya baik di dalam maupun di luar peradilan, maka kedudukan Kuasa atau profesi Konsultan Pajak haruslah sama dengan kedudukan Advokat dalam Sistem hukum Indonesia. Dengan memperhatikan pengaturan persyaratan untuk dapat menjadi Advokat dalam peradilan, berbeda dengan pengaturan persyaratan untuk dapat menjadi Kuasa Hukum atau Konsultan Pajak. Untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2, Pasal 3 dan, Pasal 4 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (P-28). Dengan memperhatikan ketentuan tersebut, tidak terdapat suatu unsur atau norma yang memberikan kewenangan kepada pihak manapun atau instansi pemerintahan seperti Menteri Hukum dan HAM, instansi penegak hukum seperti Mahkamah Agung, Kejaksaan, Kepolisian untuk menentukan persyaratan menjadi Kuasa Hukum/Advokat. Hal ini berbanding terbalik dengan profesi Konsultan Pajak/Kuasa Hukum Wajib Pajak, karena Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji materiil ini memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk menentukan persyaratan sebagai Kuasa Hukum Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 29 atau, Konsultan Pajak. Padahal Kuasa Hukum/Konsultan Pajak dan Menteri Keuangan adalah para pihak yang berperkara/bersengketa di Direktorat Jenderal Pajak dan/atau Pengadilan Pajak;
Bahwa Advokat sebagaimana disebutkan dalam Konsideran Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat menyebutkan: " Menimban g : b) memerlukan profesi Advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab, untuk terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil, dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia "; dan c) bahwa Advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab dalam menegakkan hukum, perlu dijamin dan dilindungi oleh Undang-Undang demi terselenggaranya upaya penegakan supremasi hukum”. Profesi Advokat ditempatkan sebagai profesi yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab dalam menegakkan hukum, dijamin dan dilindungi oleh Undang-Undang;
Bahwa berdasarkan alasan-alasan Pemohon tersebut Pengujian Pasal 32 ayat (3a) UU KUP mengenai kewenangan Menteri Keuangan berdasarkan pasal-pasal yang diajukan uji materiil oleh Pemohon, yaitu kewenangan Menteri Keuangan untuk mengatur dan menentukan persyaratan dan pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa, Pemohon merasa hak Pemohon sebagai Kuasa atau Advokat untuk menjalankan profesi sebagai Kuasa Hukum yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab dalam mewakili kepentingan Pemohon telah terciderai, karena kewenangan Menteri Keuangan tersebut adalah intervensi dan menempatkan kedudukan Menteri Keuangan yang lebih tinggi atau superior dibandingkan dengan Wajib Pajak/Kuasa. Sehingga menurut penalaran yang wajar dan masuk akal pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa Wajib Pajak dapat atau berpotensi menjadi tidak netral. Oleh karena itu, Ketentuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP yang diuji materiil oleh Pemohon mengenai kewenangan Menteri Keuangan untuk menentukan Persyaratan serta Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Kuasa, dalam rangka mewakili kepentingan Pemohon telah bertentangan dengan konstitusi yaitu norma Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (2), Pasal Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 30 28D ayat (1) UUD 1945. Bahwa dengan dikabulkannya permohonan ini, potensi kerugian Pemohon tidak akan terjadi dan semua orang yang menyandang profesi Advokat tidak dilanggar hak-hak konstitusionalnya;
Konklusi:
Pemohon memiliki Legal Standing selaku warga negara dan Wajib Pajak untuk mengajukan Uji Materi terhadap Pasal 32 ayat (3a) UU KUP khusus yang berbunyi, “Kuasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan”, padahal sebelumnya dalam Pasal 3, disebutkan bahwa: Orang atau Badan dapat menunjuk seorang Kuasa dengan Surat Kuasa Khusus untuk menjalankan hak dan kewajiban menurut Ketentuan Peraturan Perundang-undangan Perpajakan;
Telah terbukti adanya kerugian konstitusional Pemohon sebagaimana dimaksud dalam:
Bahwa ketentuan dalam Pasal 32 ayat (3a) UU KUP jelas telah merugikan Pemohon; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 31 IV. Petitum Berdasarkan alasan-alasan hukum yang konstitusionalitas yang telah diuraikan tersebut di atas, maka Pemohon memohon agar Maielis Hakim Mahkamah Konstitusi dapat mengabulkan hal-hal sebagai berikut:
Mengabulkan seluruh Permohonan Pengujian Undang-Undang yang diajukan oleh Pemohon;
Menyatakan Pasal 32 ayat (3a) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak mengikat;
Memerintahkan Amar Putusan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan pengujian Pasal 32 ayat (3a) Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999) untuk dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 32 Atau apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya – ex aequo et bono. [2.2] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalilnya, Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-16b, tanpa bukti P-9 yang telah disahkan dalam persidangan tanggal 2 Oktober 2017, sebagai berikut:
Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28D ayat (2);
Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Pasal 32 ayat (3a), yang berbunyi: “ Persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ;
Bukti P-3 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 24 ayat (2) yang menyatakan, “ Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh _sebuah Mahmakah Konstitusi; _ 4. Bukti P-4 : Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak/NPWP atas nama Pemohon dengan Nomor 07.283.5382-017.000;
Bukti P-5 : Fotokopi Keputusan Ketua Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor PTJ.PANKUM 143.671-1990;
Bukti P-6 : Fotokopi Keputusan Menteri Kehakiman Nomor D- 29.KP.04.13-Tahun 1993 tanggal 11 Agustus 1993 tentang Pengangkatan sebagai Penasihat Hukum; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 33 7. Bukti P-7 : Fotokopi Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU.AH.04.03-85 sebagai Kurator dan Pengurus;
Bukti P-8 : Fotokopi Surat Keputusan Nomor KEP-302/PP/IKH/2009 tanggal 30 Juni 2009 sebagai Kuasa Hukum Pengadilan Pajak;
Bukti P-10 : Fotokopi Keputusan Certified Legal Auditor tanggal 2 Juli 2014 sebagai Legal Auditor ;
Bukti P-11 : Fotokopi Surat Kuasa yang diberikan oleh Klien Pemohon, Ny. Dra. Hj. Delia Murwihartini kepada Pemohon untuk mewakili/ mendampingi Klien tersebut sehubungan dengan proses hukum yang dihadapi oleh Klien Pemohon;
Bukti P-12 : Fotokopi Surat yang diajukan oleh Pemohon selaku Kuasa Hukum kepada Pejabat-pejabat/Petugas Pajak pada 28 Februari 2015 yang pada pokoknya menyampaikan keberatan dengan cara kerja KPP Bantul, dalam hal ini Pejabat- pejabat/Petugas Pajak yang memperlakukan Klien Pemohon dengan tidak adil;
Bukti P-13 : Fotokopi Tanggapan ke Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak tanggal 8 April 2015 dengan Nomor 008/THS/PBP/IV/2015 yang menanggapi Surat Petugas Kantor Pelayanan Pajak Bantul;
Bukti P-14 : Fotokopi Sertifikat Perpajakan Setara Brevet A-B yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Indonesia tanggal 10 Januari 2009-25 April 2009 dengan Nomor Sertifikat 032/LPLIH Perpajakan/IV/2009;
Bukti P-15 : Fotokopi Surat Perjanjian Penggunaan Jasa Hukum untuk mendampingi dan mengurus permasalahan Klien Pemohon dengan nilai kontrak sebesar Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah);
Bukti P-16 :
Fotokopi Akta Permohonan Banding Nomor 28/Pdt.G/2015/ PN.Btl tanggal 8 Desember 2015;
Fotokopi Akta Pencabutan Permohonan Banding Nomor 28/Pdt.G/2015/PN.Btl tanggal 17 Mei 2016; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 34 Selain itu, untuk menguatkan dalilnya, Pemohon dalam persidangan tanggal 14 November 2017, mengajukan satu orang ahli yakni DR.(Yuris), DR.(Mp), H. Teguh Samudera, S.H., M.H. yang menyampaikan keterangan lisan di bawah sumpah/janji dan dilengkapi keterangan tertulis yang diterima oleh Kepaniteraan Mahkamah tanggal 10 November 2017, pada pokoknya sebagai berikut:
PENDAHULUAN Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan secara tegas bahwa “ negara Indonesia adalah negara hukum ” [vide Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 -perubahan ketiga- disahkan MPR 10-11- 2001]. Prinsip negara hukum menuntut antara lain adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum ( equality before the law ). Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga menentukan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum; Guna memahami secara substansial terhadap pembahasan fungsi dan peran Advokat, maka ahli memandang perlu mengemukakan pengertian dari tiap-tiap kata pada bahasan ini sebagaimana dalam KBBI: 1997 yaitu: yang dimaksud dengan Fungsi : kegunaan suatu hal; berfungsi: berguna dalam menjalankan tugasnya; berfungsi sosial: berguna bagi kehidupan masyarakat; Peran : tingkah laku yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan/ berprofesi dalam masyarakat; Profesi : organisasi yang anggota-anggotanya adalah orang-orang yang mempunyai profesi sama; Advokat : orang yang berpraktik memberi jasa hukum, baik didalam maupun diluar Pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan Undang-undang yang berlaku, baik sebagai Advokat, pengacara, penasehat hukum, pengacara praktik ataupun sebagai konsultan hukum;
PERAN DAN FUNGSI ADVOKAT Ahli berpendapat, bahwa dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, peran dan fungsi Advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri dan bertanggungjawab adalah merupakan hal yang sangat penting , di samping lembaga peradilan dan instansi penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 35 Sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Advokat, melalui jasa hukum yang diberikan, Advokat menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan, termasuk usaha memberdayakan masyarakat dalam menyadari hak-hak fundamental mereka di depan hukum. Advokat sebagai salah satu unsur sistem peradilan merupakan salah satu pilar dalam menegakkan supremasi hukum dan hak asasi manusia. Selain dalam proses peradilan, peran Advokat juga terlihat di jalur profesi di luar peradilan. Kebutuhan jasa hukum Advokat di luar proses peradilan pada masa saat sekarang semakin meningkat, sejalan dengan berkembangnya kebutuhan hukum masyarakat terutama dalam memasuki kahidupan yang semakin terbuka dalam pergaulan antar bangsa di seluruh dunia. Melalui pemberian jasa konsultasi, negosiasi maupun dalam pembuatan kontrak-kontrak dagang, profesi Advokat ikut memberikan sumbangan berarti bagi pemberdayaan masyarakat serta pembaruan hukum nasional khususnya di bidang ekonomi dan perdagangan, termasuk dalam penyelesaian di luar pengadilan. Sebagai landasan kokoh pelaksanaan tugas pengabdian Advokat dalam kehidupan masyarakat itu dibentuklah Undang-undang Advokat sebagaimana diamanatkan pula dalam pasal 38 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, mengatur secara komprehensif berbagai ketentuan penting yang melingkupi profesi Advokat [ fungsinya ]: seperti dalam (1) pengangkatan, (2) pengawasan, dan (3) penindakan serta ketentuan bagi (4) pengembangan organisasi Advokat yang kuat di masa mendatang. Di samping itu juga diatur berbagai prinsip dalam penyelenggaraan tugas profesi Advokat khususnya dalam peranannya dalam (1) menegakkan keadilan serta (2) terwujudnya prinsip-prinsip negara hukum pada umumnya. Menurut pendapat ahli, tidak dapat kita pungkiri, bahwa saat ini profesi Advokat yang bebas dan mandiri serta bertanggung jawab itu sangat diperlukan untuk menjaga kekuasaan kehakiman yang bebas dari:
segala campur tangan dan (2) pengaruh dari luar. Karena kekuasaan kehakiman yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 36 independen itu semata-mata demi terselengaranya peradilan yang jujur, adil dan bersih demi kepastian hukum bagai semua pihak agar:
keadilan, (2) kebenaran dan (3) hak asasi manusia itu terwujud dengan kokoh dan tegak sebagaimana yang semestinya bagi kehidupan manusia; Advokat selain berperan:
memberi jasa hukum (baik di dalam maupun di luar pengadilan), juga wajib (2) memberi bantuan hukum secara cuma-cuma kepada masyarakat yang tidak mampu. Dengan demikian menurut ahli, Advokat itu:
tidak boleh melakukan diskriminasi, (2) tidak boleh mata duitan, (3) tidak boleh memegang jabatan lain yang bertentangan dengan tugas dan martabat profesinya maupun jabatan yang meminta pengabdian yang merugikan profesi Advokat atau mengurangi kebebasan dan kemerdekaan dalam menjalankan tugas profesinya. Sehingga Advokat yang menjadi pejabat negara, dilarang melaksanakan tugas profesinya alias cuti dengan menanggalkan segala atribut profesi keAdvokatannya; Tujuan utama UU Advokat adalah: perlindungan terhadap profesi Advokat, agar (1) bebas dan (2) mandiri serta (3) bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya, sesuai dengan:
kode etik maupun (2) peraturan perundang-undangan. Menurut Ahli, materi muatan pokok yang terpenting dalam Undang-undang Advokat adalah: tentang pengakuan bahwa Advokat adalah penegak hukum yang bebas dan mandiri dan dijamin oleh hukum dan perUndang- undangan [vide Pasal 5 ayat (1)]. Untuk menjaga kemandiriaannya, maka Advokat mengatur dan mengurus sendiri profesinya dalam satu organisasi profesi Advokat ( self governing body ), tanpa campur tangan atau kontrol dari kekuasaan pemerintah. Hal itu tercermin dari ketentuan bahwa organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini dengan maksud dan tujuan meningkatkan kualitas profesi Advokat [Pasal 28 ayat (1)]; Mengenai organisasi Advokat itu pun ditetapkan oleh para Advokat sendiri dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga [Pasal 28 ayat (2)]; Kemandirian tersebut dapat dilihat pada:
proses pendidikan khusus profesi;
ujian calon Advokat, (3) magang;
pengangkatan Advokat, (5) pengawasan, (6) penindakan sampai pemberhentian Advokat, semuanya Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 37 diatur dan diurus sendiri oleh organisasi Advokat [vide Pasal 2 ayat (2) juncto Pasal 9 ayat (1)]; Proses rekruitmen itu sendiri yang diberi kewajiban menerima calon–calon Advokat yang akan melakukan magang [Pasal 29 ayat (5)], dengan kewajiban memberikan bimbingan, pelatihan dan kesempatan praktek terhadap para calon Advokat [Pasal 29 ayat (6)] adalah para Advokat yang menjadi anggota organisasi profesinya; Dengan demikian menurut ahli, ada 2 (dua) prinsip (1) kebebasan dan kemandirian profesi Advokat dan (2) organisasi Advokat yang mengurus dirinya sendiri ( self governing body ) yang menjadi roh (jiwa) ataupun semangat (spirit) dari Undang-undang Advokat; yang notabene dua prinsip tersebut telah 39 tahun diperjuangkan tetapi tidak pernah dapat diterima oleh pemerintah Orde Lama maupun Orde Baru; Undang-undang Advokat itu merupakan hasil era reformasi di bidang hukum, berkat dukungan dari pembentuk Undang-undang dan pemerintah, termasuk para Advokat serta organisasi profesi Advokat. Dalam rangka perlindungan terhadap profesi Advokat yang bebas dalam menjalankan tugas profesi yang menjadi tanggung jawabnya (Pasal 15) dan khusus di muka pengadilan , Advokat bebas mengeluarkan pendapat dan pernyataan dengan tetap berpegang pada kode etik dan peraturan perUndang- undangan (Pasal 14), maka Advokat pun tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya, asalkan dengan itikad baik untuk kepentingan klien dalam persidangan (Pasal 16). Advokat juga mempunyai hak untuk memperoleh informasi, data, dan dokumen lainnya baik dari instansi pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan yang diperlukan untuk pembelaan kepentingan klien sesuai dengan peraturan perUndang-undangan (Pasal 17); Advokat juga berhak, bahwa dirinya wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh undang– undang. Dalam hubungan ini Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan klien, termasuk perlindungan atas dokumen terhadap penyitaan atau pemeriksaan. Begitu pula perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik Advokat (Pasal 19). Undang–undang menjamin pula, bahwa Advokat dalam menjalankan profesinya tidak dapat diidentikkan (baca: disamakan) dengan klienya dalam membela perkara klien oleh pihak yang berwenang maupun Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 38 masyarakat [Pasal 19 ayat (2)]. Karenanya menurut ahli, hal ini teramat penting dijaga, karena masih adanya kecenderungan disebagian penguasa maupun sebagian masyarakat yang menyamakakan Advokat atau sipembela sama dengan pihak yang dibelanya, baik klien perorangan, golongan ataupun pemerintah; Jikalau kecenderungan tersebut terjadi, akan sangat merugikan kebebasan profesi, karena Advokat akan ragu-ragu, bahkan takut membela kliennya dengan alasan khawatir akan diintimidasi, diteror dan lain-lainnya dari pihak yang merasa dirugikan atau pun pihak yang tidak senang; Padahal sebenarnya, hak membela diri adalah merupakan hak asasi dari seseorang dan juga merupakan hak hukumnya yang wajib dilindungi demi tegaknya proses peradilan yang objektif, jujur, dan adil ( fair trial ); Menurut Ahli, Advokat dalam melakukan pembelaan terhadap kliennya adalah merupakan sikap dan panggilan dalam profesi yang diyakini sebagai tugas yang mulia, luhur dan manusiawi ( officium nobiele ) yang telah melekat dan mendarah daging pada jiwanya yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan demi nama baiknya; Di dalam Undang- Undang Advokat juga telah menentukan bahwa dalam menjalankan tugas profesinya, Advokat dilarang membedakan perlakuan terhadap kliennya berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras, ataupun latar belakang sosial dan budaya [Pasal 19 ayat (1)]; Adanya aturan yang bersifat larangan memegang jabatan yang bertentangan dengan kepentingan, tugas dan martabat profesinya [Pasal 20 ayat (1)] ataupun memegang jabatan lain yang meminta pengabdian sedemikian rupa hingga merugikan profesi Advokat atau merugikan kebebasan dan kemerdekaan dalam menjalankan profesinya [Pasal 20 ayat (2)] adalah untuk menjaga kemurnian profesi Advokat [yang bebas dan mandiri serta bertanggung jawab] dari pengaruh kekuasaan ataupun pekerjaan lain yang bertentangan dengan kebebasan profesi ataupun yang merendahkan martabat profesi Advokat, yang nanti pada akhirnya dapat terjadi keadaan yang merugikan kepentingan klien maupun dirinya dalam menjalankan tugas profesinya sebagai Advokat; Jadi, sekalipun Advokat kemudian menjadi pejabat Negara, tetap saja Advokat tersebut tidak boleh melaksanakan tugas profesi Advokat selama memangku jabatan dimaksud [Pasal 20 ayat (3)]. Adanya larangan dalam hal ini Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 39 adalah semata menjaga agar dapat menghindari penyalahgunaan jabatan negara bagi pribadi si Advokat atau bagi kepentingan kliennya; Sesuai dengan asas hukum, asas keseimbangan, maka menurut ahli, hak-hak yang diberikan kepada profesi Advokat diimbangi pula dengan diberikan kewajiban hukum yaitu kewajiban untuk tunduk dan taat pada etika profesi maupun terhadap peraturan perundang-undangan demi melindungi masyarakat khususnya para pencari keadilan atau pengguna jasa Advokat;
PRINSIP-PRINSIP DASAR TENTANG PERAN ADVOKAT Sepengetahuan Ahli telah ada prinsip-prinsip dasar tentang perana advokat yang telah “disahkan” oleh KONGRES PERSERIKATAN BANGSA- BANGSA, Kedelapan tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan terhadap Pelaku Kejahatan, Havana, Kuba, 27 Agustus - 7 September 1990; Prinsip- prinsip tersebut telah diakui secara universal dan menjadi pedoman atau landasan berpikir dalam pembentukan hukum dan perilaku pemerintah dalam menjalankan wewenangnya yang menurut Ahli dipandang relevan dikutip dan dikemukakan disini yakni sebagai berikut: Akses kepada Advokat dan pelayanan hukum:
Semua orang berhak untuk minta bantuan seorang Advokat mengenai pilihan mereka untuk melindungi dan menetapkan hak-hak mereka dan untuk melindungi mereka pada semua dalam proses pengadilan pidana;
Pemerintah-pemerintah harus memastikan bahwa prosedur yang efisien mekanisme yang responsif untuk akses yang efektif dan setara kepada Advokat disediakan kepada semua orang di wilayahnya dan tunduk pada yurisdiksinya, tanpa pembedaan dalam hal apapun, seperti misalnya diskriminasi yang berdasarkan pada ras, warna kulit, asal-usul etnis, jenis kelamin, agama, pandangan politik atau lain-lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran, status ekonomi atau lainnya;
Pemerintah-pemerintah harus memastikan bersedianya dana dan sumber daya lainnya yang cukup untuk pelayanan hukum bagi orang-orang miskin dan, kalau perlu, kepada orang-orang lain yang kurang beruntung. Perhimpunan Advokat profesional harus bekerjasama dalam organisasi dan penyediaan pelayanan, fasilitas dan sumber daya lainnya; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 40 4. Pemerintah dan perhimpunan Advokat profesional akan memajukan program untuk memberi informasi kepada masyarakat tentang hak dan kewajiban mereka berdasarkan hukum dan peranan penting Advokat dalam melindungi kebebasan-kebebasan fundamental mereka. Perhatian khusus harus ditujukan kepada bantuan kepada orang-orang miskin dan orang- orang yang kurang mampu sehingga memungkinkan mereka untuk menyatakan hak-hak mereka dan untuk minta bantuan Advokat;
Pemerintah-pemerintah harus menjamin bahwa aparat yang berwenang akan memberitahukan hak Terdakwa untuk didampingi Advokat pada saat ditangkap atau ditahan atau apabila dituduh dengan pelanggaran pidana;
Orang yang tidak mempunyai Advokat, dalam hal bagaimanapun juga di mana kepentingan keadilan membutuhkan, berhak untuk mempunyai seorang Advokat yang mempunyai pengalaman dan kompetensi yang sesuai dengan sifat pelanggaran yang ditugaskan kepada mereka untuk memberikan bantuan hukum secara efektif, tanpa bayaran oleh mereka kalau kekurangan sarana yang cukup untuk membayar pelayanan tersebut;
Pemerintah-pemerintah selanjutnya harus memastikan bahwa semua orang yang ditangkap atau ditahan, dengan atau tanpa tujuan pidana, harus mempunyai akses dengan segera kepada seorang Advokat, dan dalam keadaan apapun tidak lebih lambat dari empatpuluh delapan jam dari waktu penangkapan atau penahanan;
Semua orang yang ditangkap, ditahan atau dipenjarakan harus diberi kesempatan, waktu dan fasilitas yang cukup untuk dikunjungi oleh Advokatnya untuk berkomunikasi dan berkonsultasi, tanpa penyadapan atau penyensoran dan dalam kerahasiaan sepenuhnya. Konsultasi tersebut dapat diawasi, tetapi tidak boleh didengar oleh para pejabat penegak hukum; Kualifikasi dan Latihan:
Pemerintah, perhimpunan Advokat profesional dan lembaga pendidikan harus memastikan bahwa para Advokat mendapat pendidikan dan latihan yang layak dan memperoleh kesadaran mengenai cita-cita dan kewajiban etis Advokat dan hak asasi manusia serta kebebasan dasar yang diakui oleh hukum nasional dan internasional; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 41 10. Pemerintah, perhimpunan Advokat profesional dan lembaga pendidikan harus menjamin bahwa tidak ada diskriminasi terhadap seseorang berkenaan dengan pemasukan atau kelanjutan praktek dalam rangka profesi hukum atas dasar ras, warna kulit, jenis atau sosial, kekayaan, kelahiran, status ekonomi atau lainnya, kecuali adanya suatu persyaratan, bahwa seorang Advokat haruslah warga negara dari negara yang bersangkutan, harus tidak dianggap diskriminatif;
Di negara-negara di mana ada kelompok, masyarakat atau daerah yang kebutuhannya akan pelayanan hukum tidak terpenuhi, terutama di mana kelompok-kelompok tersebut mempunyai kebudayaan, tradisi atau bahasa yang berbeda atau telah menjadi korban diskriminasi masa lalu. Pemerintah, perhimpunan Advokat profesional dan lembaga pendidikan harus mengambil tindakan khusus untuk memberi kesempatan kepada para calon dari kelompok-kelompok ini untuk memasuki profesi hukum dan harus memastikan bahwa mereka menerima latihan yang memadai bagi kebutuhan kelompok mereka; Kewajiban dan tanggung jawab:
Para Advokat setiap saat harus mempertahankan kehormatan dan martabat profesi mereka sebagai bagian yang amat penting dari pelaksanaan keadilan;
Kewajiban para Advokat terhadap klien-klien mereka harus mencakup: (a) Memberi nasehat kepada para klien mengenai hak dan kewajiban hukum mereka dan mengenai fungsi dari sistem hukum sejauh bahwa hal itu relevan dengan berfungsinya sistem hukum dan sejauh bahwa hal itu berkaitan dengan hak dan kewajiban hukum para klien; (b) Membantu para klien dengan setiap cara yang tepat, dan mengambil tindakan hukum untuk melindungi kepentingannya; (c) Membantu para klien di depan pengadilan, majelis atau pejabat pemerintahan, di mana sesuai.
Para Advokat dalam melindungi hak klien-klien mereka dan dalam memajukan kepentingan keadilan, akan berusaha untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar yang diakui oleh hukum nasional dan internasional dan setiap akan bertindak bebas dan tekun sesuai dengan hukum dan standar serta etika profesi hukum yang diakui; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 42 15. Para Advokat harus selalu menghormati dengan loyal kepentingan para klien. Jaminan-jaminan untuk berfungsinya para Advokat:
Pemerintah-pemerintah harus menjamin bahwa para Advokat: (a) Dapat melaksanakan semua fungsi profesional mereka tanpa intimidasi hambatan, gangguan atau campur tangan yang tidak selayaknya; (b) Dapat bepergian dan berkonsultasi dengan klien mereka secara bebas di negara mereka sendiri dan di luar negeri; (c) Tidak akan mengalami, atau diancam dengan penuntutan atau sanksi administratif, ekonomi atau lainnya untuk setiap tindakan yang diambil sesuai dengan kewajiban, standar dan etika profesional.
Apabila keselamatan para Advokat terancam sebagai akibat dari pelaksanaan fungsinya, mereka harus mendapat penjagaan secukupnya oleh para penguasa;
Para Advokat harus tidak diidentifikasi dengan klien atau perkara klien mereka sebagai akibat dari pelaksanaan fungsi mereka;
Tidak ada pengadilan atau pejabat pemerintah di mana hak untuk memberi nasehat hukum di mana hak untuk memberi nasehat itu diakui di hadapannya yang akan menolak untuk mengakui hak seorang Advokat untuk hadir di hadapannya untuk kliennya kecuali kalau Advokat itu telah didiskualifikasi sesuai dengan hukum dan kebiasaan nasional dan sesuai dengan prinsip-prinsip ini;
Para Advokat harus menikmati kekebalan perdata dan pidana untuk pernyataan-pernyataan terkait yang dikemukakan dengan niat baik dalam pembelaan secara tertulis atau lisan atau dalam penampilan profesionalnya di depan pengadilan, majelis atau pejabat hukum atau pemerintahan lainnya;
Merupakan tugas dari para pejabat yang berwenang untuk memastikan akses para Advokat kepada informasi, arsip dan dokumen yang layak yang dimiliki atau dikuasai dalam waktu yang cukup untuk memungkinkan para Advokat, memberikan bantuan hukum yang efektif kepada kliennya. Akses tersebut harus diberikan sedini mungkin; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 43 22. Pemerintah-pemerintah harus mengakui dan menghormati bahwa semua komunikasi dan konsultasi antara para Advokat dan klien mereka dalam rangka hubungan profesi mereka bersifat rahasia; Kebebasan berekspresi dan berserikat:
Para Advokat seperti warga negara lainnya berhak atas kebebasan berekspresi, mempunyai kepercayaan, berserikat dan berkumpul. Secara khusus, mereka harus mempunyai hak untuk ikut serta dalam diskusi umum mengenai hal-hal yang bersangkutan dengan hukum, pemerintahan dan keadilan dan memajukan serta melindungi hak asasi manusia dan memasuki atau membentuk organisasi lokal, nasional atau internasional dan menghadiri rapat-rapatnya, tanpa mengalami pembatasan profesional dengan dalih tindakan mereka yang sah atau keanggotaan mereka dalam suatu organisasi yang sah. Dalam melaksanakan hak-hak ini, para Advokat akan selalu mengendalikan dirinya sesuai dengan hukum dan standar serta etika yang diakui mengenai profesi hukum; Perhimpunan profesional Advokat:
Para Advokat berhak untuk membentuk dan bergabung dengan himpunan profesional yang berdiri sendiri untuk mewakili kepentingan-kepentingannya, memajukan kelanjutan pendidikan dan latihan mereka dan melindungi integritas profesional mereka. Badan eksekutif dari perhimpunan profesi itu dipilih oleh para anggota;
Perhimpunan profesional Advokat akan bekerja sama dengan Pemerintah untuk memastikan bahwa setiap orang mempunyai akses yang efektif dan setara kepada pelayanan hukum dan bahwa para Advokat dapat, tanpa campur tangan yang tak semestinya, untuk memberi nasehat dan membantu klien mereka sesuai dengan hukum dan standar dan etika profesional yang diakui; Proses persidangan disiplin:
Kode prilaku profesional bagi para Advokat akan ditetapkan oleh profesi hukum melalui badan yang layak, atau dengan perundangan, sesuai dengan hukum dan kebiasaan nasional dan standar dan norma internasional yang diakui; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 44 27. Tuduhan atau keluhan yang diajukan terhadap para Advokat dalam kapasitas profesionalnya akan diproses dengan segera dan adil berdasarkan prosedur yang benar. Para Advokat mempunyai hak atas pemeriksaan yang adil, termasuk hak untuk dibantu oleh seorang Advokat yang dipilihnya;
Proses persidangan disiplin terhadap Advokat akan dibawa ke depan komite disiplin tidak memihak yang dibentuk oleh profesi hukum, di depan suatu kewenangan yang mandiri berdasarkan undang-undang, atau di depan suatu pengadilan, dan tunduk pada suatu tinjauan yudisial mandiri;
Semua proses persidangan disipliner akan ditentukan sesuai dengan kode prilaku profesional dan standar serta etika yang diakui lainnya dari profesi hukum dan dengan mengingat prinsip-prinsip ini; Ditilik dari keberadaan Advokat dimasa romawi kuno yang berfungsi sosial karena kepedulian para bangsawan terhadap nasib kaum papa, maka sifat berbudi luhur yang harus diteladani hingga kini, adalah sebagaimana dimanifestasikan dari pergerakan pemberi bantuan hukum kepada rakyat miskin yang kemudian dilegalisasikan ke dalam Undang-Undang dengan “mewajibkan Advokat memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu” [Pasal 22 ayat (1)]. Dalam konteks ini relevan dikemukakan, bahwa para adavokat juga wajib : tunduk serta mematuhi kode etik Advokat yang sama yang dibuat oleh organisasi Advokat itu sendiri [vide Pasal 26 ayat (2)]; Kode etik Advokat adalah merupakan standar tingkah laku profesi yang menjadi parameter untuk mengukur dan menilai Advokat dalam perannya: menjalankan tugas dan tanggung jawab profesinya [Pasal 26 ayat (1)] hal ini juga berlaku bagi Advokat asing yang bekerja di indonesia (Pasal 24); Jika ada Advokat melangar kode etik, misalnya menelantarkan klien, berbuat atau bertingkah laku yang tidak patut terhadap lawan atau rekan seprofesinya, ataupun bersikap, bertingkah laku, bertutur kata ataupun mengeluarkan peryataan yang menunjukkan sikap tidak hormat terhadap hukum ataupun peraturan perUndang-undangan atau pengadilan, bahkan lebih luas lagi berbagi hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan atau harkat dan martabat profesinya dapat dikenai tindakan (Pasal 6 huruf a sampai dengan huruf d) selain itu Advokat juga tetap dapat sangsi hukum Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 45 apabila melakukan pelanggaran terhadap peraturan perUndang-undangan atau perbuatan tercela (Pasal 6 huruf c); Ada 2 (dua) lembaga yang dapat dijadikan sarana untuk melindungi kehormatan profesi Advokat dan kepentingan masyarakat, khususnya para pencari keadilan atau pengguna jasa Advokat, yaitu:
wewenang untuk mengawasi dan (2) mengambil tindakan terhadap Advokat yang melanggar kode etik profesi, yakni:
komisi pengawas dan (2) dewan kehormatan; Komisi pengawas dibentuk dengan tujuan agar Advokat dalam menjalankan profesinya selalu menjunjung tinggi kode etik profesi Advokat dan peraturan perundangan [Pasal 12 ayat (2)]; komisi pengawas menjalankan tugas pengawasan sehari- hari kepada para Advokat, susunan anggota komisi terdiri dari unsur:
Advokat senor, (2) para ahli atau akademisi dan (3) tokoh masyarakat; Dewan Kehormatan , sebagai lembaga independen dalam struktur organisasi Advokat, memiliki tugas dan wewenang:
menerima pengaduan;
memeriksa dan (3) mengadili para Advokat yang diadukan telah melanggar kode etik Advokat [Pasal 26 ayat (5)]; Susunan Dewan Kehormatan terdiri dari unsur Advokat sendiri [Pasal 27 ayat (3)], karena Advokat sendirilah yang dianggap paling memahami dunia profesi Advokat, hal itu sesuai pula dengan jiwa atau semangat kebebasan profesi, hanya saja untuk keperluan memeriksa dan mengadili Advokat, secara khusus dewan kehormatan akan membentuk Majelis Kehormatan , yang susunan anggotanya terdiri dari:
pakar di bidang hukum dan (2) tokoh masyarakat [Pasal 27 ayat (4)] agar dapat dijaga nilai-nilai objektivitas, kejujuran dan keadilan (fairness) serta transparansi maupun akuntabel; Dalam proses menggunakan wewenangnya tersebut, dewan kehormatan harus memperhatikan adanya ketentuan yang menunjukkan penghormatan bagi profesi Advokat yaitu adanya kesempatan bagi Advokat yang diadili oleh Dewan Kehormatan untuk membela diri, sebelum akhirnya Dewan Kehormatan akan menjatuhkan sanksi [Pasal 7 ayat (3)]; Sanksi yang dimiliki dan dapat dijatuhkan oleh Dewan Kehormatan adalah hukuman yang dapat berupa:
teguran lisan, (2) teguran tertulis, (3) pemberhentian sementara 3 sampai 12 bulan, dan (4) pemberhentian tetap [Pasal 7 ayat (1)]; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 46 Jadi hanya dewan kehormatan yang dapat menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara atau pemberhentian tetap, salinan putusan hukuman pemberhentian sementara tersebut disampaikan pula kepada Mahkamah Agung, akan tetapi apabila sangsinya berupa pemberhentian tetap, salinan putusannya selain disampaikan kepada Mahkamah Agung, juga disampaikan ke Pengadilan Tinggi dan lembaga penegak hukum lainnya (Polisi, Jaksa dan Pengadilan); [Sebagai catatan untuk melawan lupa, perlu diingat dan menjadi catatan sejarah perjuangan Advokat Indonesia dimasa mendatang, bahwa kini tidak ada lagi jaminan hukum bagi profesi Advokat, karena walaupun semula Undang-undang memberikan perlindungan berupa sanksi kepada setiap orang yang dengan sengaja menjalankan profesi Advokat dan bertindak seolah–olah sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat sebagaimana diatur dalam undang– undang ini , dipidana penjara paling lama 5 (lima ) tahun dan denda paling banyak lima puluh juta rupiah (Pasal 31), akan tetapi kemudian berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-II/2004 tgl 13-12-2004 , ketentuan dimaksud dinyatakan tidak berkekuatan hukum karena dinyatakan bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945 Pasal 28F; Padahal sebenarnya dalam proses persidangannya, penulis sebagai salah satu wakil dari organisasi profesi telah menjelaskan dengan gamblang tentang maksud dan makna ketentuan tersebut diatur (lihat pertimbangan hukum putusan a quo )];
TIDAK SEPATUTNYA ADA TINDAKAN PEJABAT PEMERINTAH MAUPUN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG MENOLAK PERAN ADVOKAT DALAM MENJALANKAN PROFESINYA Menurut Ahli, sekalipun pada mulanya profesi Advokat dimarjinalkan oleh penguasa atau pemerintah waktu itu, sehingga para Advokat perlu berjuang sampai setidaknya 39 tahun baru mendapatkan pengakuan dari Negara dengan adanya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, namun secara jujur, adil dan harus diterima pada kenyataannya, bahwa keberadaan dan peran profesi Advokat sangat diperlukan oleh semua kalangan baik warga Negara Indonesia, bahkan Negara atau pemerintah termasuk pejabatnya, dari Presiden, Menteri, Jenderal, Hakim, Jaksa, Polisi, pengusaha konglomerat sampai rakyat jelata, bahkan politikus maupun lembaga-lembaga negara ataupun lembaga swasta nasional maupun internasional, serta orang asing/WNA maupun perusahaan asing, saat ini banyak yang memerlukan jasa Advokat, terlepas dengan honorarium ataupun prodeo. Semua itu karena kebutuhan hidup dan tingkat kesadaran hukum Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 47 mereka yang tinggi serta pemahaman tentang hak-haknya yang dilindungi oleh hukum karena pergaulan hidup dalam Negara hukum; Oleh karena itu Ahli berpendapat, dengan mengkaji permohonan Pemohon yang nyata dalam realitanya mengalami sendiri adanya sikap tindak atau tindakan pejabat pemerintah menolak kehadiran Advokat yang mendampingi kliennya dengan dasar adanya surat kuasa [kuasa lisan pun sebenarnya sah dan dibenarkan di mata hukum], adalah suatu hal yang sangat menyakitkan dan mencederai demokrasi dan melanggar hak asasi manusia serta merobek asas persamaan didepan hukum. Ketidakpahaman pejabat yang hanya mampu berpegang pada aturan yang tidak adil dan bahkan diskriminatif tersebut adalah sangat tidak mencerminkan bahwa pejabat pemerintah adalah abdi Negara yang bertugas melayani kepada masyarakat warga negara, dan atas pelayanannya pun mendapat gaji dari uang negara yang didapat dari rakyat yang antara lain adalah Advokat dan kliennya yang menghadap dan ditolak oleh pejabat pemerintah dimaksud; Pejabat maupun aturan yang melarang atau berakibat meniadakan peran profesi Advokat adalah sangat kejam dan tidak manusiawi yang cenderung arogan dan piawai menunjukan otoritas kekuasaanya semata, hal tersebut patut dipahami sebagai adanya rasa takut akan diketahui perbuatan yang tidak baik pada dirinya atau setidaknya terbayang rasa takut yang amat dalam yang ada pada diri pejabat pemerintah, karena tidak bisa berbuat lain selain harus mengikuti dan taat pada aturan hukum yang tentu dikuasai dan dipahami oleh Advokat yang menghadap didepannya. Pejabat yang menolak tersebut patut diduga takut diketahui adanya kecenderungan kebiasaan berbuat tidak baik dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, dan lupa bahwa dirinya jika terkena atau mendapat atau terlibat masalah hukum pun akan minta atau setidaknya memerlukan bantuan atau peran Advokat untuk mendampingi atau mewakilinya; Sebagaimana telah dikemukakan ahli di atas, baik berdasarkan Undang- undang maupun prinsip-prinsip peran Advokat yang diakui secara universal, peran Advokat hanyalah memberi advise sesuai dengan hukum, tidak dapat menentukan kebijaksanaan, yang secara umum dapat dikatakan hanya bisa memohon atau mengajukan keberatan atau protes, itupun atas dasar apabila ada hal-hal yang dianggap tidak sesuai dengan hukum. Hal itu semua, semata Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 48 adalah supaya segala sesuatunya yang dihadapi adalah benar, sah serta sesuai dan secara atau menurut hukum, bukan menurut maunya sang pejabat/penguasa. Jadi singkatnya, peran Advokat adalah hanya sebagai penjaga hukum, penjaga konstitusi dan penjaga agar keadilan dapat tegak sekalipun langit akan runtuh; Karenanya tidak berlebihan apabila Ahli berpendapat, tidaklah berdasar pada rasa kemanusiaan yang beradab, transparansi, akuntabel dan asas kesetaraan maupun asas kesamaan di depan hukum, apabila seseorang yang mengalami masalah hukum pajak, dipanggil/diundang petugas/pejabat pajak, kemudian saat memenuhi panggilan/undangan didampingi dan/atau diwakili oleh Advokat, pejabat/petugas pajak menolak dan tidak mau menerima serta mengesampingkan peran dan fungsi profesi Advokat, baik dengan alasan formil karena adanya peraturan maupun Undang-undang atau Peraturan Menteri yang ditafsirkan menyimpang dari Pasal 32 ayat (3a) Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, perlunya Wajib Pajak memberikan Kuasa kepada seorang Kuasa untuk mewakili atau mendampingi dalam menghadapi atau menyelesaikan kasusnya; Maka menurut pendapat ahli, alasan adanya peraturan maupun Undang- undang yang melarang peran Advokat mendampingi dan/atau mewakili kliennya di depan pejabat/petugas dan/atau Kantor Pelayanan Pajak, selain melanggar Undang-Undang Advokat, adalah juga melanggar prinsip-prinsip peran Advokat yang telah disahkan PBB dan berlaku universal, serta melanggar hak asasi manusia [hak asasi diri Advokat maupun kliennya], karena terbukti sah bahwa Undang-undang yang dimohonkan pengujiannya kepada Mahkamah Konstitusi dalam perkara a quo yakni Pasal 32 ayat (3a) UU KUP adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 27 ayat (1) “Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”; Pasal 27 ayat (2) “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”; Pasal 28D ayat (2) “Setiap orang berhak untuk Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 49 bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”, dan Pasal 28D ayat (1) “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”; [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Presiden telah menyampaikan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah dan dibacakan dalam persidangan Mahkamah tanggal 16 Oktober 2017, yang pada pokoknya sebagai berikut: I. POKOK PERMOHONAN PEMOHON 1. Bahwa ketentuan Pasal 32 ayat (3a) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya disebut UU KUP) yang memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk mengatur persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Penerima Kuasa Wajib Pajak menurut Pemohon berpotensi merugikan hak konstitusi Pemohon karena bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yaitu hak atas pekerjaan penghidupan yang layak, hak untuk bekerja serta mendapat imbalan, hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum karena Pemohon yang berprofesi sebagai Advokat tidak dapat menjalankan pekerjaan selaku Kuasa dari Wajib Pajak;
Bahwa dalam kedudukannya sebagai Advokat, Pemohon merasa tidak dapat menjalankan pekerjaan, telah kehilangan hak untuk mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil serta hak atas pengakuan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil dalam menjalankan hak dan kewajiban sebagai penerima kuasa, karena adanya kewenangan mutlak dari Menteri Keuangan untuk menentukan persyaratan serta pelaksanaan sebagai penerima kuasa;
Bahwa Pemohon menganggap berlakunya ketentuan a quo juga melanggar Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat (selanjutnya disebut UU Advokat) dimana dalam Pasal 1 ayat (1) dinyatakan Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum baik di dalam maupun di Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 50 luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan undang-undang ini (UU Advokat). Persyaratan sebagai Advokat telah dipenuhi oleh Pemohon; II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON Terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) dari Pemohon, Pemerintah memberikan penjelasan sebagai berikut:
Bahwa dalam permohonannya, Pemohon bertindak dalam kedudukannya sebagai seorang Advokat dan Pembayar Pajak yang menganggap berlakunya ketentuan a quo menimbulkan kerugian bagi Pemohon karena tidak dapat melaksanakan pekerjaan sebagai Kuasa Wajib Pajak dimana hal tersebut disebabkan oleh ketentuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP yang mendelegasikan ketentuan mengenai persyaratan menjadi Kuasa Wajib Pajak dalam Peraturan Menteri Keuangan;
Bahwa menurut Pemerintah, tidak terdapat hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara keberlakuan ketentuan a quo dengan kerugian yang didalilkan dialami oleh Pemohon, karena:
Bahwa dalam memahami ketentuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP tidak dapat dilepaskan dari ketentuan Pasal 32 ayat (3) UU KUP dimana dalam Penjelasannya menyatakan bahwa: “Ayat ini memberikan kelonggaran dan kesempatan bagi Wajib Pajak untuk meminta bantuan pihak lain yang memahami masalah perpajakan sebagai kuasanya, untuk dan atas namanya, membantu melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak ….” Sehingga secara keseluruhan dapat diartikan bahwa UU KUP telah menetapkan bahwa Kuasa Wajib Pajak haruslah memahami masalah perpajakan;
Bahwa Pasal 32 ayat (3a) UU KUP yang dimohonkan pengujiannya oleh Pemohon merupakan norma tambahan pasca perubahan UU KUP yang memuat pendelegasian pengaturan lebih lanjut secara teknis mengenai persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa Wajib Pajak yang sekaligus juga menegaskan bahwa ketentuan Penjelasan Pasal 32 ayat (3) UU KUP masih memerlukan pengaturan lebih lanjut secara teknis; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 51 c. Bahwa berdasarkan pendelegasian tersebut, Menteri Keuangan kemudian menetapkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.03/ 2014 tentang Persyaratan serta Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Seorang Kuasa (selanjutnya disebut PMK 229/2014).
Bahwa keberatan Pemohon atas berlakunya ketentuan a quo karena dalam praktek yang dialaminya, Pemohon ditolak menjadi Kuasa Wajib Pajak karena bukan Konsultan Pajak berdasarkan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) PMK 229/2014 dimana hal tersebut tidaklah secara langsung disebabkan oleh ketentuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP yang hanya memuat norma pendelegasian saja.
Bahwa ketentuan-ketentuan dalam PMK 229/2014 semata-mata melaksanakan amanat Pasal 32 ayat (3) UU KUP yang menghendaki bahwa Kuasa Wajib Pajak haruslah mampu membantu melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak, sehingga tidak justru merugikan si Wajib Pajak itu sendiri. Oleh karena itu, muncullah open legal policy Pemerintah untuk mengatur bahwa Kuasa Wajib Pajak haruslah memahami masalah perpajakan dan menguasai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Bahwa permasalahan yang dikemukakan oleh Pemohon bukanlah isu konstitusionalitas melainkan isu penerapan norma dimana Pemohon sebagai seorang Advokat tidak dapat mewakili Wajib Pajak karena belum memenuhi persyaratan selaku Konsultan Pajak yang diatur lebih lanjut secara teknis dalam PMK 229/2014.
Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut diatas, berlakunya ketentuan a quo sama sekali tidak mengakibatkan kerugian konstitusional bagi siapapun termasuk Pemohon, karena Pasal 32 ayat (3a) UU KUP tidak memuat persyaratan yang membatasi seseorang untuk mendapat pekerjaan, melainkan hanya memuat norma pendelegasian saja. Oleh karena itu, menurut Pemerintah adalah tepat jika Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard/N.O. ). Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 52 III. KETERANGAN PEMERINTAH TERHADAP MATERI YANG DIMOHONKAN UNTUK DIUJI A. LANDASAN FILOSOFIS PENGATURAN BAGI PENERIMA KUASA 1. Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 23 UUD 1945, ditegaskan bahwa Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan undang-undang;
Bahwa sifat memaksa dari pelaksanaan pungutan pajak tersebut, dituangkan dalam undang-undang di bidang perpajakan, antara lain adanya kewajiban dari Wajib Pajak untuk:
Mendaftarkan diri dan melaporkan usahanya [vide Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU KUP];
Menghitung dan membayar pajak terhutang [vide Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 10 UU KUP];
Melaporkan pembayaran pajak [vide Pasal 3 ayat (1) UU KUP];
Bagi Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajibannya juga akan dikenakan sanksi mulai dari sanksi adminitrasi [vide Pasal 13 ayat (2)] (3) dan (7) UU KUP] sampai dengan sanksi pidana [vide Pasal 38-41c UU KUP].
Bahwa selain bersifat memaksa, pelaksanaan pemungutan pajak juga bersifat mengedepankan prinsip keseimbangan, yakni pembayar pajak mendapat perlindungan hak-haknya melalui undang-undang juga; __ 4. Oleh karena itu di dalam undang-undang di bidang perpajakan, selain dibebani kewajiban, Wajib Pajak juga diberikan hak antara lain:
Menerima pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak (vide Pasal 11 UU KUP);
Menerima imbalan bunga atas keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak [vide Pasal 11 ayat (3) UU KUP];
Mengajukan gugatan (vide Pasal 23 UU KUP);
Mengajukan keberatan dan banding atas surat ketetapan pajak (vide Pasal 25 UU KUP);
Mengajukan permohonan banding atas Surat Keputusan Keberatan (vide Pasal 27 UU KUP).
Bahwa hukum pajak juga bersifat imperatif , yakni pelaksanaanya tidak dapat ditunda, misalnya pelaksanaan penagihan pajak tidak tertunda Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 53 meskipun ada gugatan, atau adanya pembatasan waktu dalam hal pengajuan keberatan atas surat ketetapan pajak [vide Pasal 25 ayat (3) UU KUP];
Bahwa dari beberapa karakteristik atas pelaksanaan pemungutan pajak tersebut di atas, dapat disimpulkan dalam pemenuhan kewajiban dan pelaksanaan hak dibidang perpajakan, Warga Negara dalam hal ini Wajib Pajak perlu diberikan pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang hukum pajak, karena apabila tidak, akan dapat berakibat hukum sebagaimana telah disebutkan di atas;
Bahwa dalam rangka memberikan kemudahan dan kepastian hukum bagi Wajib Pajak untuk melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan, maka pembuat UU dalam hal ini UU KUP memandang perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai persyaratan/kriteria serta pelaksanaan hak dan kewajiban seorang kuasa yang akan mewakili Wajib Pajak, agar tidak merugikan Wajib Pajak;
Secara filosofis, pengaturan mengenai persyaratan/kriteria serta pelaksanaan hak dan kewajiban seorang kuasa yang akan mewakili seseorang di bidang tertentu hakekatnya agar penerima jasa dapat terlindungi hak-haknya. Hal ini juga tercermin dari berbagai ikatan profesi yang juga mewajibkan anggotanya untuk memiliki keahlian khusus;
Dengan demikian tidak berlebihan apabila terdapat pengaturan yang mewajibkan bagi Kuasa Wajib Pajak untuk memenuhi syarat tertentu; B. LANDASAN SOSIOLOGIS PENGATURAN BAGI PENERIMA KUASA __ 1. Bahwa berdasarkan pendapat Victor Thuronyi selaku Senior Councel Taxation IMF dan Frans Vanistendael selaku Head of European Tax Collage (Tax Law Design and Drafting,1996: Regulation of Tax Professionals), menyatakan bahwa sangat sulit untuk melaksanakan suatu sistem perpajakan dengan baik jika tidak melibatkan penasihat perpajakan. Hal ini disebabkan karena hampir sebagian besar Wajib Pajak sulit untuk memahami seluruh peraturan perpajakan dengan tepat karena dinamis dan rumitnya peraturan perpajakan tersebut. Dalam konteks ini diperlukan seorang penasihat perpajakan ( tax advisor) untuk Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 54 menjadi Kuasa Wajib Pajak agar Wajib Pajak dapat memenuhi kewajiban perpajakannnya dengan baik dan benar;
Dengan memberikan layanan konsultasi kepada Wajib Pajak agar pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakannya sesuai peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan maka keberadaan tax advisor menjadi bagian penting dari kepentingan publik. Oleh karena itu Victor Thuronyi dan Frans Vanistendael (1996) menyatakan negara memiliki kepentingan untuk memberikan perlindungan dan pengaturan atas keberadaan dan kegiatan tax advisor . Negara memiliki kewajiban untuk melindungi Wajib Pajak dari tax advisor yang tidak kompeten atau tidak memahami peraturan perpajakan. Dalam hal ini, kepentingan negara untuk melindungi Wajib Pajak sama dengan perlindungan atas kepentingan publik lainnya, seperti contohnya perlindungan atas konsumen;
Dengan mempertimbangkan kepentingan negara dan publik sebagaimana dimaksud pada angka 2, Pemerintah dan DPR melalui Pasal 32 ayat (3a) UU KUP Nomor 16 Tahun 2000 memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk mengatur lebih lanjut mengenai persyaratan menjadi Kuasa Wajib Pajak dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Pengaturan lebih lanjut dimaksud tentunya masih dalam koridor kepentingan negara untuk melindungi kepentingan Wajib Pajak, diantaranya untuk menentukan kualifikasi atau persyaratan yang diperlukan untuk menjadi kuasa sehingga setiap orang memiliki hak yang sama untuk menjadi Kuasa Wajib Pajak, hak dan kewajiban Kuasa Wajib Pajak serta pengaturan lebih lanjut dalam rangka profesionalisme dan akuntabilitas Kuasa Wajib Pajak; C. PENJELASAN PEMERINTAH ATAS PERMOHONAN UJI MATERIIL KETENTUAN PASAL 32 AYAT (3a) UU KUP TERHADAP UNDANG- UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 __ Sehubungan dengan dalil dan anggapan Pemohon dalam permohonannya, Pemerintah memberikan keterangan sebagai berikut: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 55 1. Bahwa pasal yang dimohonkan pengujiannya oleh Pemohon selengkapnya menyatakan: Pasal 32 ayat (3a) UU KUP: “Persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau _berdasarkan peraturan Menteri Keuangan”; _ 2. Bahwa Pasal 32 ayat (3a) UU KUP yang dimohonkan pengujiannya oleh Pemohon __ memberikan pendelegasian dalam Peraturan Menteri Keuangan __ untuk mengatur persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa Wajib Pajak. Oleh karena itu Wajib Pajak dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan (vide Pasal 2 ayat (1) PMK 229/2014);
Bahwa hierarki dan pendelegasian peraturan perundang-undangan diperlukan karena ketentuan yang lebih tinggi hanya mengatur ketentuan yang bersifat umum, sedangkan ketentuan yang bersifat teknis didelegasikan ke peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Pendelegasian tersebut diatur dalam lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan yang menyatakan bahwa pendelegasian kewenangan mengatur dari Undang-Undang kepada menteri , pemimpin lembaga pemerintah nonkementerian, atau pejabat yang setingkat dengan menteri dibatasi untuk peraturan yang bersifat teknis administratif;
Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusannya, antara lain Putusan Nomor 128/PUU-VII/2009, tanggal 11 Maret 2010 dan Putusan Nomor 12/PUU-XII/2014, tanggal 19 Maret 2015, pernah memutus konstitusionalitas mengenai pendelegasian wewenang undang-Undang untuk mengatur lebih lanjut oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Dalam beberapa putusannya tersebut Mahkamah Konstitusi, antara lain, mempertimbangkan sebagai berikut:
Bahwa pendelegasian wewenang undang-undang untuk mengatur lebih lanjut oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya adalah suatu kebijakan pembentuk undang-undang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 56 yakni DPR dengan persetujuan Pemerintah ( legal policy ), sehingga dari sisi kewenangan kedua lembaga itu tidak ada ketentuan UUD 1945 yang dilanggar, artinya produk hukumnya dianggap sah. Pengaturan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan, Keputusan Direktur Jenderal Pajak, disamping untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah dengan segera supaya ada landasan hukum yang lebih rinci dan operasional, sekaligus juga merupakan diskresi yang diberikan oleh Undang- Undang kepada Pemerintah yang dibenarkan oleh hukum administrasi __ (vide __ paragraf __ 3.15.1 Putusan Nomor 128/PUU- VII/2009, tanggal 11 Maret 2010 pada halaman 160);
Bahwa pengaturan dengan peraturan di bawah Undang-Undang dapat dibenarkan (konstitusional) apabila memenuhi syarat, yaitu delegasi kewenangan tersebut berasal dari undang-undang dan pengaturan dengan peraturan di bawah undang-undang tidak bersifat mutlak, melainkan hanya terbatas merinci dari hal-hal yang telah diatur oleh undang-undang __ (vide __ paragraf __ 3.14.2 __ Putusan Nomor 12/PUU-XII/2014, tanggal 19 Maret 2015 pada halaman 137);
Bahwa berdasarkan kewenangan tersebut, Menteri Keuangan menetapkan PMK 229/2014 tentang Persyaratan serta Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Kuasa yang mengatur mengenai Wajib Pajak yang dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang mana kuasa dimaksud meliputi Konsultan Pajak dan Karyawan Wajib Pajak [vide Pasal 2 ayat (4) PMK 229/2014];
Bahwa seorang kuasa harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
Menguasai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
Memiliki surat kuasa khusus dari Wajib Pajak yang memberi kuasa;
Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
Telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak terakhir, kecuali terhadap seorang kuasa yang Tahun Pajak terakhir belum memiliki kewajiban untuk Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 57 menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan; dan e. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan. (vide Pasal 4 PMK 229/2014).
Bahwa untuk menjadi kuasa dari Wajib Pajak, sangat wajar apabila dipersyaratkan Kuasa Wajib Pajak menguasai ketentuan antara lain peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, yang ditunjukkan dengan memiliki izin praktik konsultan pajak. Mengenai kewenangan Direktur Jenderal Pajak sebagai pejabat yang memberi izin praktek, hal itu logis dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan conflict of interest yang dikait-kaitkan dengan aspek pemeriksaan pajak (vide Pasal 5 ayat (1) PMK 229/2014);
Bahwa ketentuan a quo tidak hanya berlaku bagi Pemohon, namun berlaku untuk seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali, yakni seluruh Wajib Pajak yang menunjuk kuasa haruslah seorang yang memahami masalah perpajakan dan menguasai ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan atau disebut dengan Konsultan Pajak;
Penguasaan atas hukum dan teknis perpajakan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 PMK 229/2014 juga harus dipenuhi bukan hanya oleh Konsultan Pajak yang menjadi Kuasa Wajib Pajak namun juga bagi karyawan yang menjadi Kuasa Wajib Pajak. Bahwa Karyawan Wajib Pajak sebagai seorang kuasa dianggap menguasai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, apabila memiliki:
sertifikat brevet di bidang perpajakan yang diterbitkan oleh lembaga pendidikan kursus brevet pajak;
ijazah pendidikan formal di bidang perpajakan, sekurang- kurangnya tingkat Diploma III, yang diterbitkan oleh Perguruan Tinggi Negeri atau Swasta dengan status terakreditasi A; atau
sertifikat konsultan pajak yang diterbitkan oleh Panitia Penyelenggara Sertifikasi Konsultan Pajak. [vide Pasal 5 ayat (2) PMK 229/2014] Dengan demikian, sangat jelas bahwa pengaturan terkait Kuasa Wajib Pajak untuk memiliki kredibilitas keilmuan perpajakan berlaku bagi siapa Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 58 saja yang ingin menjadi Kuasa Wajib Pajak baik Konsultan maupun karyawan, yang dimaksudkan justru untuk menjaga kepentingan Wajib Pajak dengan benar;
Bahwa dengan menjalankan kewenangan tersebut, berarti Kementerian Keuangan telah melaksanakan asas umum pemerintahan yang baik yakni memberi kepastian hukum kepada Wajib Pajak;
Bahwa pengaturan persyaratan dalam ketentuan tersebut sama sekali tidak melanggar hak konstitusi Pemohon yang berprofesi sebagai Advokat. Pengaturan persyaratan bagi Kuasa Wajib Pajak dalam ketentuan a quo hanyalah persyaratan teknis yang dimaksudkan agar apabila Wajib Pajak dalam pemenuhan kewajiban dan melaksanakan haknya di bidang perpajakan diwakili oleh pihak yang benar-benar kompeten di bidang perpajakan , sehingga Wajib Pajak tidak dirugikan, mengingat segala tindakan penerima kuasa akibat hukumnya menjadi tanggung jawab Wajib Pajak yang bersangkutan;
Bahwa dengan demikian dapat disimpulkan, maksud dan tujuan pembuat undang-undang memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk mengatur lebih lanjut salah satu persyaratan untuk menjadai Kuasa Wajib Pajak yang telah dimuat secara umum dalam penjelasan Pasal 31 UU KUP. Dengan demikian sangat jelas bahwa pengaturan yang ditetapkan dalm PMK 229/2014 telah sejalan dengan Pasal 32 ayat (3) UU KUP dan dimaksudkan sebagai salah satu wujud perlindungan kepada Wajib Pajak. Apabila tidak dipersyaratkan yang demikian, maka dikhawatirkan penerima kuasa sama sekali tidak memiliki keahlian di bidang perpajakan, sehingga pada akhirnya yang dirugikan adalah Wajib Pajak;
Bahwa dapat Pemerintah sampaikan, ketentuan dalam PMK 229/2014 sebagai penjabaran dari Pasal 32 ayat (3) UU KUP memberi kesempatan yang sama kepada siapapun untuk dapat menjadi Konsultan Pajak asalkan telah memenuhi persyaratan yang sudah ditetapkan. Tidak ada pembatasan bagi siapapun untuk berprofesi sebagai Konsultan Pajak, tidak terkecuali pula Pemohon;
Bahwa apabila ketentuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP dinyatakan tidak berlaku sebagian atau seluruhnya, maka tujuan menambahkan ayat 3 Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 59 (a) dalam Pasal 32 menjadi tidak tercapai, sehingga pelaksanaan kesempatan Wajib Pajak menunjuk Kuasa tidak mempunyai aturan teknis yang sesungguhnya sangat diperlukan untuk memudahkan pelaksanaan hak dan kewajiban Wajib Pajak; IV. PETITUM Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian ( constitutional review ) ketentuan a quo terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( legal standing );
Menolak permohonan pengujian Pemohon ( void ) seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima ( niet onvankelijke verklaard );
Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
Menyatakan ketentuan ketentuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Presiden melengkapi keterangan tertulisnya dengan keterangan tambahan yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 November 2017 yang pada pokoknya menguraikan hal-hal sebagai berikut: I. POKOK-POKOK KETERANGAN TAMBAHAN PRESIDEN A. Bahwa pada persidangan hari Senin tanggal 16 Oktober 2017, Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi meminta kepada Pemerintah agar memberikan tambahan keterangan yang isinya menjelaskan Memorie van Toelichting (MvT) terkait dengan:
Pemberian kuasa yang merupakan hak individu baik bagi Pemberi maupun Penerima Kuasa, dalam perubahan UU KUP a quo pengaturannya didelegasikan kepada Menteri Keuangan.
Mengapa Warga Negara yang memiliki kemampuan dan kecakapan dalam ilmu perpajakan, hanya karena ia bukan karyawan Wajib Pajak atau bukan Konsultan Pajak, tidak dapat menjadi kuasa Wajib Pajak? Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 60 3. Mengapa seorang advokat yang memiliki sertifikat brevet a dan brevet b perpajakan tidak dapat serta merta menjadi Kuasa Wajib Pajak? 4. Perbandingan pengaturan terkait atribusi kewenangan pengaturan Kuasa Wajib Pajak dan syarat-syarat menjadi Kuasa Wajib Pajak antara di Indonesia dengan beberapa negara lain. B. Guna memenuhi hal sebagaimana tersebut di atas, pada bagian II Tambahan Keterangan Pemerintah ini akan menjelaskan pokok-pokok permasalahan sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. II. TAMBAHAN KETERANGAN PEMERINTAH A. LANDASAN TEORITIS PENGATURAN PEMBERIAN KUASA 1. Bahwa Menurut M. Solly Lubis, yang dimaksud dengan peraturan negara ( staatsregelings ) adalah peraturan-peraturan tertulis yang diterbitkan oleh instansi resmi, baik dalam pengertian lembaga maupun dalam pengertian pejabat tertentu. Peraturan yang dimaksud meliputi Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah, Instruksi, Surat Edaran, Pengumuman, Surat Keputusan, dan lain-lain;
Bahwa sejalan dengan ajaran Rousseau, apabila dilihat dari kewenangan asalnya, pada hakikatnya pembentukan peraturan negara, yang mengikat warga negara dan penduduk secara umum, berasal dari fungsi legislatif;
Bahwa dalam perkembangan selanjutnya, ketika badan legislatif sering terlambat mengikuti perkembangan masyarakat, badan legislatif melimpahkan sebagian dari kewenangan legislatifnya kepada badan eksekutif, sehingga badan eksekutif ikut pula membentuk peraturan perundang-undangan. Hal ini merupakan perkembangan revolusioner dari teori Trias Politica Montesquieu yang menempatkan pemerintah hanya sebagai pelaksana (perintah) undang-undang; B. PENGATURAN PEMBERIAN KUASA DARI SISI HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 1. Bahwa pemberian kuasa dapat dilihat dari adanya pengaturan hierarki peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 7 Undang-Undang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 61 Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan (UU No. 12 Tahun 2011) dapat dilihat bahwa jenis peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh lembaga eksekutif juga diakui keberadaannya;
Bahwa pendelegasian kewenangan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dari lembaga legislatif (dalam hal ini DPR) kepada lembaga eksekutif (dalam hal ini Menteri), dimungkinkan dalam hal pendelegasian tersebut diperintahkan oleh undang-undang atau dibentuk berdasarkan kewenangan;
Bahwa UU No. 12 Tahun 2011 membatasi wilayah pendelegasian kewenangan mengatur dari undang-undang kepada Menteri dan/atau Kepala Lembaga yaitu hanya untuk peraturan yang bersifat teknis administratif;
Bahwa ruang lingkup pengaturan yang dapat dilakukan oleh Menteri dan/atau Kepala Lembaga yang sifatnya teknis adminsitratif terdiri dari: ketentuan terkait pemenuhan syarat dan kriteria tertentu; pedoman pengelolaan; tata cara pelaksanaan suatu tindakan; standardisasi pelaksanaan suatu kegiatan, prosedur penyelenggaraan dan hal-hal lainnya yang bersifat teknis administratif;
Bahwa contoh pengaturan yang dilakukan oleh Menteri dan/atau Kepala lembaga sebagaimana berlaku di Indonesia di antaranya:
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.Hh.01.Ah.02.12 Tahun 2010 tentang Persyaratan Menjalankan Jabatan Notaris dalam Bentuk Perserikatan Perdata. Bahwa kemerdekaan berserikat merupakan hak asasi yang dijamin melalui Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dan terkait hal tersebut melalui Pasal 28 UUD 1945 memerintahkan pengaturannya ke dalam bentuk undang-undang. Atas dasar hal tersebut dibentuklah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan sebagaimana telah diubah dengan Perpu Nomor 2 Tahun 2017, namun pengaturan khusus terkait persyaratan teknis adminsitratif yang harus dipenuhi seorang notaris untuk menjadi teman serikat dalam perserikatan dapat dilakukan melalui Peraturan Menteri; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 62 b. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.2.Pk.04-10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat. Bahwa kebebasan hidup/kemerdekaan seseorang merupakan hak asasi yang dijamin berdasarkan Pasal 28, Pasal 28A, dan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, namun pengaturan khusus terkait persyaratan teknis atas pelaksanaan asimilasi dan pembebasan bersyarat seorang narapidana yang sangat erat kaitannya dengan pemberian kembali hak asasi manusia berupa kebebasan atas pengekangan sementara waktu, dapat dilakukan melalui Peraturan Menteri;
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Nomor 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum; Bahwa kebebasan mengeluarkan pendapat merupakan hak asasi manusia yang dijamin berdasarkan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dan terkait hal tersebut melalui Pasal 28 UUD 1945 memerintahkan pengaturannya ke dalam bentuk undang-undang. Atas dasar hal tersebut dibentuklah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, namun pelaksanaan teknis penyelenggaraannya termasuk pengaturan hak, kewajiban, dan larangan warga negara dalam pelaksanaan kegiatan penyampaian pendapat tersebut diatur melalui Peraturan Kepala Kepolisian;
Bahwa begitu juga dengan pengaturan terkait persyaratan yang harus dipenuhi seseorang untuk menjadi kuasa Wajib Pajak sebagaimana diatur dalam Peratuan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.03/2014 tentang Persyaratan serta Pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa (selanjutnya disebut PMK 229/2014) masih termasuk ke dalam wilayah pengaturan administratif yang dapat dilakukan oleh Menteri; C. SUBSTANSI YANG DIATUR TERKAIT DENGAN PEMBERIAN KUASA KEPADA WAJIB PAJAK Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 63 1. Bahwa aturan umum terkait pemberian kuasa perpajakan masih mengacu kepada ketentuan sebagaimana diatur dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), misalnya:
ketentuan Pasal 1797 KUHPerdata yang menyatakan bahwa penerima kuasa tidak boleh melakukan apapun yang melampaui kuasanya, berlaku juga bagi kuasa Wajib Pajak;
ketentuan Pasal 1800 KUHPerdata yang menyatakan bahwa penerima kuasa, selama kuasanya belum dicabut, wajib melaksanakan kuasanya, berlaku juga bagi kuasa Wajib Pajak;
ketentuan Pasal 1801 KUHPerdata yang menyatakan bahwa penerima kuasa tidak hanya bertanggung jawab atas perbuatan- perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, melainkan juga atas kelalaian-kelalaian yang dilakukan dalam menjalankan kuasanya, berlaku juga bagi kuasa Wajib Pajak; dan
ketentuan umum lainnya terkait kuasa sebagaimana diatur dalam KUHPerdata.
Bahwa dalam pelaksanaan pemberian kuasa perpajakan walaupun secara umum mengacu pada ketentuan KUHPerdata, namun tentunya perlu diatur ketentuan khusus terkait persyaratan yang bersifat administratif yang harus dipenuhi oleh penerima kuasa, seperti sebagaimana diatur dalam Pasal 4 PMK 229/2014 yakni:
menguasai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
memiliki surat kuasa khusus dari Wajib Pajak yang memberi kuasa;
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak terakhir, kecuali terhadap seorang kuasa yang Tahun Pajak terakhirnya belum memiliki kewajiban untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan; dan e. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 64 3. Bahwa pengaturan yang bersifat administratif tersebut merupakan kewenangan pengaturan yang dapat didelegasikan kepada Menteri Keuangan;
Bahwa pembuat Undang-undang menyadari bahwa memberikan kuasa merupakan hak privat yang dilindungi oleh konstitusi. Namun Negara oleh konstitusi juga diberi kewajiban untuk melindungi segenap bangsa Indonesia. Wajib Pajak merupakan bagian dari Bangsa Indonesia yang juga memerlukan perlindungan dari Negara. Oleh karena itu tanpa bermaksud untuk membatasi profesi tertentu untuk mendapatkan hak-haknya secara ekonomis, pendelegasian kepada Menteri Keuangan dalam ketentuan a quo merupakan salah satu perwujudan dari kewajiban negara untuk melindungi bangsanya;
Bahwa perlindungan yang diberikan oleh Negara tersebut diimplementasikan oleh Menteri Keuangan dalam bentuk pemberian persyaratan-persyaratan yang secara nalar objektif dapat dipenuhi oleh seluruh warga negara Indonesia;
Bahwa pembuat undang-undang juga menyadari dalam suatu perikatan dalam hal ini perjanjian pemberian kuasa juga terdapat perselisihan yang kadangkala penyelesaiannya/pelanggarannya diluar ranah hukum tetapi lebih kepada pelanggaran etika. Oleh karena itu, salah satu syarat yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan agar dapat menjadi Kuasa Wajib Pajak harus tergabung dalam suatu asosiasi dengan tujuan agar mereka memiliki etika profesi;
Bahwa etika profesi merupakan bagian terpenting bagi suatu profesi tertentu karena didalamnya akan mengatur etika ketika yang bersangkutan menjalankan pekerjaannya, yang apabila etika tersebut dilanggar maka akan diberikan sanksi;
Bahwa etika profesi hanya ditemukan apabila suatu profesi tertentu menggabungkan diri dan membentuk suatu ikatan. Oleh karena itu, bagi yang bukan Karyawan Wajib Pajak dan bukan Konsultan Pajak dimana keduanya tidak memiliki induk organisasi maka tidak juga terikat dengan etika profesi. Apabila tidak diatur sedemikian rupa (oleh Menteri Keuangan), maka seandainya terdapat penyimpangan yang di luar ranah hukum oleh penerima kuasa, tidak ada sanksi yang dapat Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 65 diberikan kepada penerima kuasa sehingga yang dirugikan adalah Wajib Pajak itu sendiri. Pelanggaran atas kode etik tersebut akan memberikan efek jera bagi pelanggarnya;
Bahwa dengan demikian, mengingat pentingnya pelaksanaan hak dan kewajiban Wajib Pajak, maka Pemerintah berpendapat kecakapan/ kompetensi belum cukup tetapi juga harus ditambah dengan adanya etika profesi; D. TERKAIT DENGAN PENGATURAN BAGI KONSULTAN PAJAK DAN KARYAWAN WAJIB PAJAK SEBAGAI KUASA WAJIB PAJAK 1. Bahwa Konsultan Pajak merupakan orang yang memberikan jasa konsultasi perpajakan kepada Wajib Pajak dalam rangka melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan;
Bahwa dalam melaksanakan profesinya, seorang konsultan pajak terikat pada kewajiban-kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 23 PMK Nomor 111/2014 yakni:
memberikan jasa konsultasi kepada Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan;
mematuhi kode etik Konsultan Pajak dan berpedoman pada standar profesi Konsultan Pajak yang diterbitkan oleh Asosiasi Konsultan Pajak;
mengikuti kegiatan pengembangan profesional berkelanjutan yang diselenggarakan atau diakui oleh Asosiasi Konsultan Pajak dan memenuhi satuan kredit pengembangan profesional berkelanjutan;
menyampaikan laporan tahunan Konsultan Pajak; dan
memberitahukan secara tertulis setiap perubahan pada nama, alamat rumah dan kantor dengan melampirkan bukti perubahan dimaksud. Persyaratan-persyaratan tersebut gunanya adalah untuk menjamin kualitas, memberikan parameter standar praktek konsultan pajak yang baik dan benar, yang pada akhirnya akan memberikan perlindungan hukum bagi pengguna jasa konsultan tersebut yaitu Wajib Pajak; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 66 3. Bahwa seorang Konsultan Pajak juga harus menjadi anggota pada satu Asosiasi Konsultan Pajak. Asosiasi Konsultan Pajak ini menjalani fungsi kontrol/pengawasan atas pemenuhan kode etik dan standar profesi konsultan pajak. Dalam hal terjadi pelanggaran kode etik dan standar profesi konsultan pajak, maka Asosiasi Konsultan Pajak melakukan pemeriksaan dan penyelesaian atas dugaan pelanggaran tersebut;
Bahwa dalam hal penerima kuasa adalah karyawan Wajib Pajak, maka yang menjalankan fungsi kontrol terhadap karyawan Wajib Pajak yang menerima kuasa tersebut terletak pada Wajib Pajak itu sendiri. Wajib Pajak dalam kedudukannya sebagai pemberi kuasa tetap dapat mengendalikan karyawannya dalam kedudukan sebagai penerima kuasa. Karyawan dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang kuasa tetap memiliki batasan-batasan kode etik dan aturan-aturan yang berlaku dalam perusahaan tersebut. Dalam hal karyawan penerima kuasa tersebut melakukan tindakan di luar batas kewenangan atau melakukan tindakan lainnya yang merugikan Wajib Pajak, maka Wajib Pajak itu sendiri secara langsung dapat mengontrol dan menindak tegas karyawan tersebut, misalnya dengan memberikan sanksi sesuai dengan norma yang berlaku pada perusahaan tersebut;
Bahwa pengaturan terkait pemberian kuasa perpajakan dapat diserahkan kepada karyawan Wajib Pajak, tanpa mengharusnya menjadi seorang konsultan pajak, adalah dengan pertimbangan bahwa karyawan Wajib Pajak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan Wajib Pajak selaku Pemberi Kerja, yang paling mengetahui seluruh kondisi dan proses bisnis Wajib Pajak termasuk keadaan terkait pembukuan dan masalah perpajakan yang terdapat di perusahaan tersebut sehingga karyawan Wajib Pajak dimaksud merupakan pihak yang memiliki kualifikasi untuk mewakili Wajib Pajak;
Bahwa pembatasan terhadap pemberian kuasa yang hanya dapat diberikan kepada Konsultan Pajak dan karyawan Wajib Pajak semata- mata bertujuan untuk melindungi kepentingan Wajib Pajak. Apabila kuasa untuk melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dapat diberikan kepada orang lain (bukan karyawan Wajib Pajak) dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 67 juga bukan Konsultan Wajib Pajak, maka pelaksanaan hal tersebut sangat rentan menimbulkan akibat-akibat yang merugikan Wajib Pajak, karena tidak adanya fungsi kontrol atau pihak/lembaga yang dapat mengendalikan dan mengawasi orang-orang tersebut;
Bahwa apabila orang lain (bukan karyawan Wajib Pajak) dan juga bukan Konsultan Wajib Pajak, diperbolehkan menjadi kuasa perpajakan hanya karena memiliki sertifikat brevet di bidang perpajakan yang dapat diperoleh dengan mudah pada lembaga pendidikan kursus brevet, maka di kemudian hari sangat rentan timbul hal-hal yang dapat merugikan Wajib Pajak, apalagi dengan tidak adanya fungsi kontrol untuk memberikan sanksi berupa teguran atau mencabut ijin praktik atas kejadian tersebut, sehingga untuk selanjutnya sangat rentan terulang kembali kejadian yang sama untuk Wajib Pajak yang berbeda; E. TERKAIT DENGAN PENGATURAN BAGI ADVOKAT SEBAGAI KUASA WAJIB PAJAK 1. Bahwa terkait dengan advokat sebagai kuasa wajib pajak, secara umum dapat disampaikan bahwa pengaturan terhadap profesi advokat dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (Undang-Undang Advokat);
Bahwa advokat merupakan orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan tertentu berdasarkan ketentuan dalam undang-undang advokat (vide Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Advokat);
Bahwa ruang lingkup atau cakupan atas jasa hukum yang dapat diberikan oleh seorang Advokat adalah berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien (vide Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Advokat);
Bahwa terdapat perbedaan latar belakang keilmuan yang harus dipenuhi antara Konsultan Pajak dengan Advokat. Untuk dapat diangkat sebagai Advokat harus berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum (vide Pasal 3 ayat (1) Undang- Undang Advokat); Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 68 5. Bahwa perbedaan latar belakang keilmuan tersebut juga mengakibatkan adanya perbedaan objek pemberian jasa yang dilakukan antara profesi Advokat dengan profesi Konsultan Pajak. Advokat dalam menjalankan profesinya memberikan bantuan jasa hukum, sedangkan Konsultan Pajak dalam menjalankan profesinya memberikan bantuan berupa konsultasi perpajakan dalam rangka melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya yang aspeknya bukan hanya peraturan atau hukum terkait pajak, namun juga ada aspek keilmuan lain seperti misalnya akuntansi;
Bahwa perbedaan objek pemberian jasa dengan latar belakang keilmuan yang berbeda antara Konsultan Pajak dengan Advokat, menjadikan peranan kedua profesi tersebut tidak dapat saling menggantikan. Profesi Konsultan Pajak tidak dapat menggantikan peranan Advokat sebagai kuasa kliennya dalam beracara di Pengadilan, begitu juga dengan profesi Konsultan Pajak yang tidak dapat digantikan oleh Advokat dalam memberikan bantuan konsultasi dan sebagai penerima kuasa untuk melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan Wajib Pajak. Hal ini tentunya berbeda, tetapi dimungkinkan serta lazim ditemui, bagi mereka yang dapat memenuhi persyaratan di kedua profesi tersebut, sehingga memungkinkan bagi mereka untuk menjalankan praktek sebagai advokat maupun sebagai konsultan pajak;
Bahwa peran adanya organisasi yang menjaga kualitas sebuah profesi adalah sesuatu hal yang sangat penting. Kualitas disini bukan hanya dari aspek keilmuan, namun juga dari aspek etika. Nama baik profesi adalah nilai jual dari sebuah profesi. Dapat dibayangkan bilamana sebuah profesi, baik advokat, konsultan pajak dan atau profesi lainnya misalnya dokter, tidak memiliki organisasi profesi yang dapat menegakkan nilai etika kepada anggotanya dalam berpraktek dengan cara memberikan resiko dalam bentuk hukuman berupa pencabutan izin misalnya. Maka sangat dimungkinkan akan muncul oknum-oknum pencari keuntungan yang rela melakukan apa saja, selama tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, demi keuntungan pribadi. Hal tersebut dapat memupuskan kepercayaan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 69 masyarakat bukan hanya kepada oknumnya, namun juga kepada keseluruhan orang yang berprofesi tersebut;
Bahwa pembatasan, berupa kualifikasi keilmuan dan juga keharusan menjadi anggota pada suatu organisasi profesi, juga terjadi pada profesi advokat, dimana hanya orang yang merupakan Sarjana Hukum, telah mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat, lulus ujian profesi advokat serta menjadi anggota organisasi advokatlah yang dapat berprofesi sebagai Advokat, sehingga bisa menjadi kuasa hukum dalam beracara di dalam maupun di luar pengadilan, sementara orang yang misalnya hanya menguasai ilmu hukum, namun tidak mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat, tidak lulus ujian profesi advokat dan/atau tidak menjadi anggota organisasi advokat tentunya tidak diizinkan untuk mewakili seseorang di hadapan persidangan. Namun mengapa adanya ketentuan tersebut tidak menjadi terjadinya pelanggaran atas hak konstitusional warga negara? Seharusnya logika yang sama pun bisa diterapkan pada profesi konsultan pajak yang menjadi Kuasa Wajib Pajak;
Bahwa berlandaskan pemikiran yang sama, sesungguhnya adanya pembatasan dalam memasuki sebuah profesi, tidak menyebabkan pelanggaran hak konstitusional warga negara, karena pada hakikatnya setiap warga negara diberi kesempatan yang sama untuk berprofesi tertentu selama warga negara tersebut mau dan mampu memenuhi persyaratan yang ditentukan;
Bahwa dengan demikian, perlu juga kita sadari bersama bahwa sebenarnya tidak ada pembatasan kepada seorang advokat untuk menjadi Kuasa Wajib Pajak, yang diperlukan oleh seorang advokat untuk juga bisa menjadi Kuasa Wajib Pajak adalah memenuhi segala persyaratan menjadi konsultan pajak sebagaimana dijelaskan di atas. Secara a contrario , sebenarnya tidak ada pembatasan bagi konsultan pajak untuk dapat menjadi advokat selama konsultan pajak yang bersangkutan telah memenuhi semua syarat-syarat untuk menjadi advokat sebagaimana diatur di dalam peraturan perundang-undangan tentang itu; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 70 F. TUJUAN PENDELEGASIAN PENGATURAN PEMBERIAN KUASA KEPADA MENTERI KEUANGAN 1. Bahwa sejak reformasi perpajakan tahun 1983, sistem perpajakan di Indonesia didasarkan atas sistem self assessment , dimana sistem tersebut memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk menghitung dan membayar sendiri pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan di bidang perpajakan;
Keberhasilan sistem self assessment sangat bergantung pada kepatuhan sukarela Wajib Pajak dan pengawasan yang optimal dari aparat pajak. Wajib Pajak menghitung, memperhitungkan, dan membayar pajaknya sendiri, dan pajak yang dibayarkan tersebut dianggap benar sampai pemerintah dapat membuktikan sebaliknya;
Melalui sistem self assessment, Wajib Pajak ditempatkan sebagai pihak yang secara aktif melakukan berbagai kewajiban perpajakannya sebagaimana diatur peraturan perundang-undangan dibidang perpajakan, dengan menempatkan pemerintah sebagai pihak yang berkewajiban memberikan pembinaan, pelayanan, pengawasan, dan penegakan hukum terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam peraturan perundang- undangan perpajakan;
Sistem self assessment dimaksud, selanjutnya dirumuskan dalam beberapa ketentuan perpajakan antara lain dalam Pasal 12 ayat (1) dan (2) UU KUP:
Perubahan atas Pearturan Menteri Keuangan Nomor 231/PMK.02/2015 tentang Tata Cara Perencanaan, Penelaahan, dan Penetapan Alokasi Anggaran Bagian Angg ...
Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Transfer Ke Daerah dan Dana Desa.
Uji Materiil atas Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut UU OJK) te ...
Relevan terhadap
ayat (1) “Sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke OJK .” ayat (2) “Sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan beralih dari Bank Indonesia ke OJK .” __ 2. Kewenangan Penyidikan OJK a. Desain pembentukan OJK sebagai lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang terintegrasi (Unified Supervisiory Model) dilandasi pada kondisi sosiologis perkembangan sektor jasa keuangan seiring dengan perkembangan teknologi informasi di era globalisasi transaksi keuangan yang mendorong munculnya berbagai modus kejahatan yang lebih kompleks (tindak pidana yang melibatkan beberapa sektor keuangan sekaligus) sehingga sangat potensial mengganggu stabilitas sistem keuangan nasional. Dengan model pengawasan satu atap, pelanggaran yang terjadi pada satu sektor maupun lintas sektor dapat mudah terdeteksi dan diketahui oleh pengawas sehingga dapat dilakukan penindakan secara cepat dan komprehensif. Dengan terintegrasinya tahapan pengawasan dan penegakan hukum administratif dalam satu atap 95 OJK, maka pengawasan dapat lebih efektif dan efisien dalam memberikan efek jera tanpa mengabaikan unsur pembinaan.
Sebagaimana diketahui bersama bahwa sebelum dibentuknya OJK, Bapepam-LK sebagai Lembaga yang melakukan pengawasan di industri jasa keuangan non-bank juga telah diberikan kewenangan penyidikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Kewenangan penyidikan oleh PPNS sektoral (antara lain PPNS Bapepam-LK saat itu) dilandasi pertimbangan diperlukannya pemahaman teknis sektoral dalam melakukan upaya penegakan hukum administratif di sektor yang bersangkutan. Dengan demikian, dengan kedudukan kelembagaan OJK yang menjadi bagian dari penyelenggaraan urusan pemerintahan berupa pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan, pemberian kewenangan penyidikan sebagaimana yang diberikan kepada PPNS Bapepam merupakan hal yang berdasar hukum dan sebagai open legal policy yang memiliki dasar pertimbangan yang rasional, sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan perkembangan yang ada, tidak melanggar kewenangan pembentuk UU sesuai UUD 1945.
Terkait dengan kewenangan melaksanakan penyidikan oleh lembaga selain Kepolisian, berdasarkan Pasal 2 juncto Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Kepolisian RI), diatur instansi dan/atau badan Pemerintah dapat melaksanakan fungsi kepolisian sepanjang diberikan mandat oleh Undang Undang yang mendasarinya. Salah satu fungsi kepolisian adalah melakukan penyidikan. Instansi dan/atau badan Pemerintah yang melaksanakan penegakan hukum dipersamakan dengan menjalankan fungsi kepolisian khusus. Dengan kedudukan OJK yang tetap menjadi bagian dari sistem penyelenggaraan urusan pemerintahan (Penjelasan Pasal 1 angka 1 juncto paragraf 10 dan paragraf 11 Penjelasan Umum UU OJK), maka kewenangan penyidikan yang diberikan UU OJK sesuai dengan klasifikasi Pasal 2 juncto Pasal 3 ayat (1) UU Kepolisian RI.
Dari sisi jenis kelembagaan OJK sebagaimana diuraikan di atas, 96 sebagai lembaga negara mandiri ( Main organ ), Jimly Ashiddiqie dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara terbitan Rajawali Pers Jakarta tahun 2009 halaman 338-339 yang disampaikan oleh Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LL.M. dalam Keterangan Ahli untuk Permohonan Uji Materiil Nomor 25/PUU- XII/2014, berpendapat bahwa Lembaga Negara Independen yang menjalankan fungsi permanen ( State Independent Agencies ) maupun yang bersifat menunjang ( State Auxiliary Agencies ) disematkan kewenangan kelembagaan yang kuat untuk menjalankan fungsi campuran antara regulatif, administratif, pengawasan dan fungsi penegakan hukumnya .
Berdasarkan uraian kedudukan OJK dalam struktur kelembagaan negara yaitu main organ dan memperhatikan fungsi penyelenggaraan pemerintahan yang diemban oleh OJK untuk menjaga stabilitas keuangan nasional dan memberikan perlindungan kepada konsumen sektor jasa keuangan, maka Pemerintah meyakini sepenuhnya bahwa pemberian kewenangan penyidikan kepada OJK sebagai suatu lembaga Negara yang independen yang melaksanakan fungsi penegakan hukum administratif sektor jasa keuangan merupakan pilihan kebijakan ( open legal policy ) yang sangat tepat dan tidak dapat dianggap inkonstitusional.
Penyidikan OJK sebagai penegakan hukum adminitratif sektor jasa keuangan a. Wewenang penyidikan sebagai bagian dari proses penegakan hukum yang dilakukan OJK merupakan upaya terakhir (ultimum remedium) dalam upaya penegakan hukum administratif sektor jasa keuangan. Pada prinsipnya tugas OJK adalah menjaga ketaatan pelaku industri di sektor jasa keuangan terhadap ketentuan administratif yang diatur dalam berbagai UU sektor jasa keuangan. Dalam rangka penegakan hukum administrative sektpr jasa keuangan, berbagai UU sektor jasa keuangan telah menetapkan adanya sanksi pidana terhadap pelaku pelanggaran ketentuan administratif yang ditetapkan masing-masing 97 UU.
OJK menjalankan fungsi penegakan hukum sebagai penyidik adalah jalan terakhir jika ditemukan ketidaktaatan penyedia jasa keuangan terhadap peraturan perundang-undangan yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana. Dengan konsep pengawasan satu atap di bawah OJK, pengawasan di sektor jasa keuangan hendak mengutamakan prinsip pembinaan dan menempatkan penegakan hukum pidana di sektor jasa keuangan sebagai upaya terakhir ( ultimum remidium ). Namun demikian, dalam situasi tertentu penegakan hukum pidana di sektor jasa keuangan dapat diutamakan ( primum remedium) .
Bahwa sesuai penjelasan umum UU OJK, kedudukan UU OJK merupakan umbrella act bagi “pengawasan di sektor jasa keuangan” , yang menyebabkan kewenangan Penyidik OJK tidak terbatas pada delik-delik yang terdapat dalam UU OJK (UU No. 21 Tahun 2011), melainkan juga terhadap delik pidana pada Undang- Undang di sektor jasa keuangan di bawah pengawasan OJK (Perbankan, Peransuransian, Pasal Modal, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya) sebagaimana diatur dalam Pasal 70 UU OJK.
Bahwa kewenangan penyidikan oleh OJK diperkuat dalam Undang Undang sektoral seperti pada Undang Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (UU Perasuransian) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UU Pasar Modal). Dalam Pasal 57 ayat (1) dan Penjelasan UU Perasuransian disebutkan: “Pengaturan dan pengawasan kegiatan Usaha Perasuransian dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan”. Penjelasan: “Pengaturan dan pengawasan kegiatan Usaha Perasuransian oleh Otoritas Jasa Keuangan antara lain aspek tata kelola, perilaku usaha, dan kesehatan keuangan. Yang dimaksud dengan “pengawasan” antara lain analisis laporan, pemeriksaan, dan penyidika n” __ 98 e. Bahwa menghilangkan kewenangan penyidikan pada UU OJK juga memiliki konsekuensi menghapuskan kewenangan penyidikan pada UU Pasar Modal juga UU Perasuransian. Dibatalkannya Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK berakibat pada batal demi hukumnya Pasal 5 huruf e, Pasal 101 UU Pasar Modal dan Pasal 57 ayat (1) UU Perasuransian.
Sebagaimana diketahui bersama, kejahatan di sektor jasa keuangan mempunyai karakteristik tersendiri. Dari sisi Pelaku, pada umumnya pelaku memiliki kemampuan intelektualitas dan penguasaan teknologi yang canggih. Dari sisi perbuatan, kejahatan di sektor jasa keuangan memiliki kompleksitas yang tinggi karena bersifat lintas sektoral dengan melibatkan berbagai sektor di industri jasa keuangan. Dari sisi akibat yang ditimbulkan, kejahatan di sektor jasa keuangan memiliki dampak yang masif dan merusak kepercayaan masyarakat. Pada akhirnya kejahatan tersebut dapat menghambat peran industri jasa keuangan dalam mendukung pembangunan nasional, sehingga dibutuhkan penanganan yang cepat dan kemampuan sumber daya manusia yang handal dan memahami karakteristik di sektor jasa keuangan. Untuk itu integrasi antara fungsi pengaturan, pengawasan dan penyidikan dalam satu lembaga merupakan pilihan kebijakan didasari kebutuhan untuk melakukan penahanan secara efisien, mengurangi fungsi penyidikan, antara lain di bidang Pasar Modal merupakan pilihan yang mempunyai konsekuensi besar karena berkaitan dengan nature penegakan hukum pasar modal yang bersifat khusus.
Bahwa tindak pidana ( core crime ) di bidang pasar modal memiliki kekhususan ditunjukan dengan adanya pengaturan khusus pada Bab XI UU Pasar Modal yang mengatur tindak pidana Penipuan, Manipulasi Pasar, dan Perdagangan Orang Dalam. Dengan dialihkan kewenangan Bapepam-LK kepada OJK sesuai dengan ketentuan Pasal 55 UU OJK, maka kewenangan tersebut beralih ke OJK.
Bahwa urgensi pengklasifikasian tindak pidana khusus di sektor jasa 99 keuangan tersebut sangat dibutuhkan mengingat pembuktian tindak pidana tersebut memerlukan kompetensi dalam menganalisa kondisi pasar secara komprehensif dengan menggunakan data di sektor jasa keuangan yang valid dan akurat. Kompetensi tersebut saat ini hanya dimiliki oleh pengawas sektor jasa keuangan. Sebagai contoh, pengaturan tindak pidana dan pemberian kewenangan penyidikan di pasar modal secara khusus juga didasari pada salah satu tujuan utama yang hendak dijaga oleh UU Pasar Modal yaitu integritas dan kepercayaan pasar. Oleh karena itu, tidak semua pelanggaran terhadap UU Pasar Modal harus dilanjutkan ke tahap penyidikan karena dapat menghambat kegiatan penawaran dan atau perdagangan Efek secara keseluruhan.
Hal tersebut dapat dipahami mengingat pengawasan industri di sektor jasa keuangan mempunyai objektif dalam hal efisiensi pasar dan terselenggaranya sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan serta stabil (hal tersebut juga diadopsi dalam pembentukan OJK, lihat paragraf 8 Penjelasan Umum UU OJK) sehingga penegakan hukum secara seimbang menitikberatkan pada upaya pemulihan, perbaikan kondisi industri di sektor jasa keuangan, stabilitas perekonomian, dan mewujudkan efek jera bagi pelaku tindak pidana.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK), BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab Keuangan Negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola Keuangan Negara. Selain itu dalam Pasal 8 ayat (3) dan ayat (4) diatur bahwa apabila dalam pemeriksaan BPK ditemukan unsur pidana yang dituangkan dalam Laporan BPK, maka Laporan BPK tersebut dapat dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang- undangan. Sesuai dengan amanat UU BPK tersebut, BPK berfungsi 100 sebagai lembaga yang melaksanakan proses pemeriksaan terhadap lembaga/instansi yang diberikan tanggungjawab untuk melakukan pengelolaan Keuangan Negara. Di sisi OJK sesuai dengan amanat UU OJK merupakan lembaga yang diberikan wewenang untuk melakukan pengaturan, pengawasan dan perlindungan. Kewenangan tersebut dalam rangka mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil. Mengingat cakupan industri sektor jasa keuangan yang meliputi sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya, diperlukan kewenangan pengaturan dan pengawasan terhadap keseluruhan kegiatan jasa keuangan tersebut secara terintegrasi, sehingga dapat dicapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif di dalam menangani permasalahan yang timbul dalam sistem keuangan dan dapat menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan. Disamping hal tersebut di atas, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya OJK sebagai suatu lembaga yang dibentuk berdasarkan amanat UU dan menerima pengalihan kewenangan pengawasan dari Pemerintah (Bapepam-LK di bawah Kementerian Keuangan) dan BI, maka adalah tepat apabila kewenangan sebelumnya yang dimiliki oleh Bapepam-LK termasuk kewenangan penyidikan terhadap sektor pasar modal beralih kepada OJK. Demikian juga dengan kewenangan penyidikan terhadap sektor jasa keuangan lain, maka berdasarkan UU OJK selain Penyidik Kepolisian, PPNS di lingkungan OJK juga memiliki kewenangan penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan.
Bahwa terkait dengan prosedur penanganan perkara di sektor jasa keuangan untuk menghindari tumpang tindih kewenangan, OJK dan Kepolisian sebagai upaya penguatan koordinasi, telah melakukan penandatanganan Nota Kesepahaman antara OJK dengan Kepolisian Republik Indonesia Nomor PRJ-36/D.01/2014 Nomor: B/44/XI/2014 tentang Kerjasama Penanganan Tindak Pidana Di 101 Sektor Jasa Keuangan yang memuat mekanisme koordinasi dalam penanganan tindak pidana di sektor jasa keuangan, khususnya terkait dengan penanganan penyidikan bersama tindak pidana di sektor jasa keuangan ( join investigation ). Koordinasi tersebut melingkupi tukar-menukar informasi, penyediaan ahli, permintaan pembukaan rahasia bank, dan bantuan penangkapan. Dengan demikian, dapat dipastikan tidak terdapat tumpang-tindih kewenangan antara OJK dengan Kepolisian. Selain itu, Presiden mengajukan 2 orang ahli yaitu Bismar Nasution dan Atip Latipulhayat yang didengarkan keterangannya pada persidangan tanggal 1 April 2019 dan 2 orang saksi Warasman Marbun dan Johansyah yang didengarkan keterangannya pada persidangan tanggal 9 April 2019 dan pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut: Ahli Presiden 1. Bismar Nasution Di setiap negara, fungsi bank merupakan ”jantung” dari pasar uang dan fungsi pasar modal sebagai penyedia pembiayaan jangka panjang. Keduanya berfungsi dalam mendukung perekonomian negara. Fungsi bank misalnya, menurut Alexander Hamilton ”Menteri Keuangan” pertama Amerika Serikat adalah a necessary engines that ever were invented for advancing trade . Bahkan, Charles Himawan mengatakan, bank adalah badan untuk membuat suatu negara makmur. Persoalannya adalah bagaimana dan siapa yang mengendalikan dan melindungi bank. Dari kacamata hukum baik bank maupun nasabah (yaitu masyarakat) perlu dilindungi, karena keduanya adalah komponen terpenting dalam proses pembangunan ekonomi negara (Charles Himawan, Hukum Sebagai Panglima, 2003). Berdasarkan fungsi bank dan pasar modal yang sangat krusial bagi perekonomian suatu negara, maka keberadaan aset bank dan pasar modal dalam bentuk kepercayaan masyarakat sangat penting dijaga. Sebab kepercayaan masyarakat sangat penting misalnya bagi bank paling tidak karena dua alasan. Pertama, meningkatkan efisiensi penggunaan bank dan efisiensi intermediasi. Kedua, mencegah terjadinya bank runs and panics (Zulkarnain Sitompul, Lembaga Penjamin Simpanan Substansi dan 102 Permasalahan, 2007). Pentingnya kepercayaan masyarakat tersebut juga diamini Presiden Roosevelt. Sewaktu mengumumkan berakhirnya bank holiday di Amerika Serikat, Roosevelt mengatakan,” after all, there is an elemen in the readjustmen of our financial system more important than currency, more important than gold, and that is the confidence of the people ”. Kepercayaan masyarakat bagi pasar modal berkaitan dengan prinsip keterbukaan. Karena prinsip keterbukaan telah menjadi fokus sentral dari pasar modal. Setidaknya, terdapat tiga fungsi prinsip ketebukaan di pasar modal. Pertama, prinsip keterbukaan berfungsi untuk memelihara kepercayaan masyarakat. Kedua, prinsip keterbukaan berfungsi untuk menciptakan pasar yang efisien. Ketiga, prinsip keterbukaan penting mencegah penipuan atau fraud (Bismar Nasution, Keterbukaan Dalam Pasar Modal, 2001). Hal ini diatur dalam Securities Act 1933 dan Securities Exchange Act 1934. Kedua Undang-Undang tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat. Securities Act 1933 dan Securities Exchange Act 1934 telah mengatur lahirnya Securities and Exchange Commission (SEC). Tugas SEC adalah menegakkan, Securities Act 1933 dan Securities Exchange Act 1934 serta SEC mempunyai kewenangan investigasi atau penyidikan terhadap pelanggaran Securities Act 1933 dan Securities Exchange Act 1934 (David L. Ratner, Securities Regulation In A Nutshell, 1992). Kewenangan SEC dalam penyidikan atas pelanggaran peraturan pasar modal sebagaimana diatur dalam Securities Exchange Act 1934 merupakan suatu bentuk pengendalian sosial yang khusus mengatur masyarakat, agar terhindar dari perbuatan-perbuatan pernyataan menyesatkan ( misleiding statement ), manipulasi pasar ( cornering ), dan perdagangan orang dalam ( insider trading ) di pasar modal. Di sini hukum itu sebagai anti sosial, sebagaimana diamati oleh Roscoe Pound (Roscoe Pound, Social Through Law, 1942). Pemberian kewenangan penyidikan tersebut adalah salah satu cara untuk melindungi masyarakat dan memberikan rasa aman serta kemantapan bagi masyarakat dalam kegiatan pasar modal, yang pada gilirannya dapat menjadi suatu upaya meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada industri keuangan. Indonesia dalam menyusun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal telah mengambil pola undang-undang pasar modal 103 Amerika Serikat, sehingga Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) diberikan wewenang melakukan penyidikan, sebagaimana diatur dalam ketentuan Bab XII Penyidikan, Pasal 101 Undang-Undang Pasar Modal. Hal yang sama juga dilakukan oleh berbagai negara antara lain Korea Selatan, Filipina, Venezuela, Malaysia, Singapura, (Sumantoro, Aspek-Aspek Hukum dan Potensi Pasar Modal di Indonesia, 1988). Brazil misalnya mengadopsi peraturan prinsip keterbukaan peraturan pasar modal Amerika Serikat (Norman S. Poser, ”Securities Regulation In Developing Countries: The Brazilian Exprerience”, Virginia Law Review, 1966). Ahli sejarah mengajarkan kita, bahwa sejarah dipelajari bukan untuk membenarkan kekurangan kita hari ini, tetapi untuk mempersiapkan hari depan. Benjamin N. Cardozo juga mengajarkan bahwa sejarah dalam memerangi masa lalu menerangi masa sekarang, sehingga dalam menerangi masa sekarang dia menerangi masa depan (Benjamin Cardozo, The Nature of the Judicial Process, 1962). Bahkan, Bung Karno pernah berkata (17-8-1951): ”.....dari mempelajari sejarah orang bisa menemukan hukum-hukum yang menguasai kehidupan manusia” (Chales Himawan, Hukum Sebagai Suatu Panglima, 2003). Krisis tahun 1997-1998 yang meluluhlantakkan perekonomian Indonesia merupakan alasan lahirnya ”Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan” (”Undang-Undang OJK”). Desain pembentukan Undang-Undang OJK adalah untuk memenuhi tuntutan perubahan pada lembaga pengatur dan pengawas industri jasa keuangan yang menjadi salah satu penyebab krisis 1997-1998. Oliver Wendell Holmes mengingatkan ” The life of the Law has not been logic; it has been experience ” Objektif Undang-Undang OJK itu juga menjadi alat utama pemerintah untuk mempermudah akses masyarakat kepada industri jasa keuangan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat. Ann Seidman, Robert B. Siedman dan Nalin Abeyesekere mengatakan, bahwa dalam proses pembangunan undang-undang merupakan alat utama pemerintah melakukan perubahan pada lembaga-lembaga. Hal tersebut juga memperjelas tugas pembuat undang-undang, yaitu membuat undang-undang menjadi efektif dan mampu membawa perubahan. Sebab suatu undang-undang yang efektif pada keadaan khusus di suatu negara harus mampu mendorong suatu perilaku 104 yang dituju atau yang diaturnya (Ann Seidman, Robert B. Siedman dan Nalin Abeyesekere dalam bukunya ” Legislative Drafting for Democratic Social Change a Manual for Drafters ”, 2001) Undang-Undang OJK yang juga melahirkan OJK merupakan upaya mengatasi berbagai permasalahan yang mengemuka dalam lintas sektoral industri jasa keuangan, yang meliputi moral hazard, belum optimalnya perlindungan konsumen industri jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan (SSK). Pentingnya Undang-Undang OJK tidak cukup dilihat dari kacamata normatif, tetapi harus dikaji secara filosofis agar dapat memberi penjelasan mengenai gejala-gejala fisik atau sosial yang menjadi dasar perumusannya. Kajiannya harus melebihi substansi hukumnya sendiri, agar dapat memahami ” law behind law ” dari Undang-Undang OJK dan memahami alasan hukum yang mendasari Undang-Undang OJK. Cara pandang demikian itu yang membuat orang terhindar dari penafsiran hukum ”legalistik” atau ” black letter rules ” . Dalam konsideran Undang-Undang OJK dikatakan, bahwa untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, diperlukan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, diperlukan otoritas jasa keuangan yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara terpadu, independen, dan akuntabel. Hal tersebut masih relevan dengan ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang- Undang OJK setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25/PUU-XII/2014 menyatakan sebagai berikut: ”Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini”. Alasan dasar yang melatarbelakangi perubahan sistem pengawasan terhadap sektor jasa keuangan oleh OJK adalah perkembangan di sektor jasa keuangan 105 yaitu terjadinya konvergensi di antara lembaga-lembaga keuangan dan produk-produk jasa keuangan. Beberapa alasan yang memicu dilakukan perubahan terhadap kelembagaan pengawasan sektor jasa keuangan adalah: Pertama, munculnya konglomerasi keuangan dan mulai diterapkan universal banking di banyak negara. Kondisi ini menyebabkan regulasi yang didasarkan atas sektor keuangan menjadi tidak efisien karena gap dalam regulasi dan supervisi. Kedua, stabilitas sistem keuangan telah menjadi isu utama bagi lembaga pengawas (dan lembaga pengawas) yang awalnya belum memperhatikan masalah stabilitas sistem keuangan, mulai mencari struktur kelembagaan yang tepat untuk meningkatkan stabilitas sistem keuangan. Ketiga, kepercayaan dan keyakinan pasar terhadap lembaga pengawas menjadi komponen utama good governance . Untuk meningkatkan good governance pada lembaga pengawas jasa keuangan, banyak negara melakukan revisi struktur lembaga pengawas jasa keuangannya. Kehadiran OJK dalam rangka penataan sistem pengawasan industri keuangan tersebut harus memberikan manfaat kepada berbagai pihak, khususnya masyarakat, agar misalnya masyarakat secara maksimum memperoleh manfaat atau kebahagiaan dalam kegiatannya dalam industri jasa keuangan. Jeremy Bentham pelopor aliran utilitarian mengajarkan, bahwa yang menjadi dasar pengambilan keputusan etis dengan mempertimbangkan manfaat terbesar bagi banyak pihak sebagai hasil akhir dari tindakan atau kebijaksanaan tersebut atau the greatest happiness for the greatest numbers (Jeremy Bentham, ” An Introduction to the Principle of Moral and Legislation ”, 2000) Oleh karena itu, kewenangan OJK paling tidak meliputi lima sasaran. Pertama, melindungi investor untuk membangun kepercayaan terhadap pasar. Kedua, memastikan bahwa pasar yang terbentuk adalah pasar yang fair, efisien, dan transparan. Ketiga, mengurangi risiko sistemik. Keempat, melindungi lembaga keuangan dari penyalahgunaan atau malpraktek dari konsumen (seperti money laundering). Kelima, menjaga kepercayaan konsumen dalam sistem keuangan (Kenneth Kaoma Mwenda, ” Legal Aspects of Financial Services Regulation and the Concept of a Unified Regulator ” 2006). 106 Dalam dunia praktek, peroblema pokok yang lebih mendesak adalah problema metode yang memungkinkan penegak hukum sampai pada keseimbangan dan penilaian keseimbangan-keseimbangan dimaksud. Oleh karena itu, perlu menentukan situasi-situasi yang merupakan cara standar berfungsinya Undang-Undang OJK sebagai primary rule . H.L.A Hart mengatakan, bahwa jika pedoman-pedoman umum primer tidak dipatuhi oleh seorang individu, petugas bisa mengingatkan orang itu dan meminta agar undang-undang itu dipatuhi atau ketidakpatuhannya bisa secara resmi diidentifikasi dan dicatat lalu diberlakukan hukuman yang dikenakan padanya oleh pengadilan. Pentingnya peran sebuah struktur regulasi OJK membentuk kepercayaan dari pelaku pasar. Kepercayaan dari konsumen dan investor akan terbentuk apabila sebuah struktur regulasi dapat mengontrol penyalahgunaan pasar, seperti insider trading, money laundering atau jenis kejahatan keungan lainnya. Investor mempunyai kecenderungan untuk meletakkan investasinya pada pasar yang dapat mencapai objektif-objektif regulasi untuk melindungi mereka dari resiko. Sehingga, apabila ada peraturan yang jelas terhadap industri jasa keuangan, pelaku pasar dan investor melalui cara seperti effective Chinese walls dan kode etik yang jelas, pasar akan cenderung terlindungi dari pelaku penyalahgunaan dari pelaku pasar. Dapat dipahami mengapa pembuat undang-undang memberikan kewenangan penyidikan kepada OJK sebagaimana diamanatkan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c Undang-Undang OJK. Kewenangan OJK dalam penyidikan tersebut akan membuat penyidikan perkara yang jelas dan objektif, sehingga check and balances dari jalannya sebuah penyidikan dapat dengan mudah dilakukan dan diukur. OJK mempunyai standar pemeriksaan hingga penyidikan yang mengacu kepada KUHAP. Hal itu menjamin kepastian hukum dan menjaga agar masalah yang ada dapat diselesaikan secepat mungkin. Mengingat, bahwa sektor keuangan sangatlah dinamis. Keterlambatan penaganan atau proses yang terlalu berkepanjangan dapat menimbulkan permasalahan sistemik dan menimbulkan efek domino. Pengaturan standar penyidikan yang diatur dalam Peraturan OJK telah memenuhi unsur kualitas dari hukum yang harus dipenuhi agar sistem 107 ekonomi berfungsi. Unsur tersebut menurut Leonard J. Theberge. Pertama, unsur ”stabilitas” (” stability ”), dimana hukum berpotensi untuk menjaga keseimbangan dan mengakomodasi kepentingan yang saling bersaing. Kedua, unsur ”meramalkan” (” predictability ”), berfungsi meramalkan akibat dari suatu langkah-langkah yang diambil. Akhirnya, termasuk unsur ”keadilan” (” fairness ”, diperlukan untuk menjaga mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang berlebihan (Leonard J. Theberge, ”Law and Economic Development”, 1980). Sebagai tambahan, pemberian kewenangan penyidikan kepada OJK tersebut tidak terlepas kaitannya sebagaimana diuraikan Jimly Asshiddiqie, bahwa berkembangnya demikian banyak lembaga-lembaga yang bersifat independen mencerminkan adanya kebutuhan untuk mendekonsentrasikan kekuasaan dari tangan birokrasi ataupun organ-organ konvensional pemerintahan tempat kekuasaan selama masa-masa sebelumnya terkonsentrasi. Sebagai akibat tuntutan perkembangan yang semakin kompleks dan rumit, organisasi- organisasi kekuasaan yang birokratis, sentralis, dan terkonsentrasi tidak dapat lagi diandalkan. Karena itu, pada waktu yang hampir bersamaan muncul gelombang deregulasi, debirokratisasi, privatisasi, desetralisasi, dan dekonsentrasi. Salah satu akibatnya, fungsi-fungsi kekuasaan yang biasanya melekat dalam fungsi-fungsi lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif dialihkan menjadi fungsi organ tersendiri yang bersifat independen. Karena itu, kadang-kadang lembaga-lembaga baru tersebut menjalankan fungsi-fungsi yang bersifat campuran, dan masing-masing bersifat independen (Jimly Asshiddiqie, Perkembangan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, 2006) Tepatlah, pembuat undang-undang memberikan kewenangan kepada OJK untuk melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan. Seperti kegiatan jasa keuangan di sektor-sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. Karena regulasi di bidang keuangan memang harus didesain untuk memberi keleluasaan untuk OJK dalam membentuk kebijakan yang tepat dan haruslah memberi ruang dan fleksibilitas kepada OJK sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan ekonomi. 108 Dengan demikian kewenangan OJK dalam penyidikan tersebut harus dapat operasional di lapangan, agar OJK dapat menanggulangi kejahatan dalam sektor keuangan. Mengingat, munculnya berbagai kejahatan, termasuk kejahatan crime as business, yang dilakukan secara terorganisir oleh mereka yang mempunyai pengetahuan yang cukup dan memiliki kedudukan terpandang dalam masyarakat ( organized crime, white collar crime ). KESIMPULAN Kewenangan penyidikan oleh OJK punya peranan penting dalam menanggulangi kejahatan di sektor keuangan karena sebagai pengawas memiliki pengetahuan dan pengalamaan tentang modus operandi kejahatan di industri jasa keuangan. Oleh karena itu, penyidik OJK dapat memenuhi budaya hukum ( legal culture ) sebagai sub-sistem yang sangat penting dalam penegakan hukum. Itu alasannya pemberian kewenangan penyidikan kepada OJK tidak perlu dikhawatirkan menimbulkan tumpang tindih kewenangan, akan tetapi malah menciptakan Multi Investigator System . Suatu sistem yang dapat menciptakan semangat kompetisi diantara institusi penyidik. Sistem Multy Investigator System telah diterapkan negara lain, seperti Amerika Serikat yang mengatur berbagai institusi sebagai penyidik dalam kasus pasar modal penyidiknya adalah SEC ( Securities and Exchange Commission ) dan penyidik kasus money laundering antara lain, DEA ( Drugs Enforcement Administration ) dan IRS ( Internal Revenue Service ). Dengan demikian pemberian kewenangan penyidikan kepada OJK oleh pembuat undang-undang perlu didukung, sehingga keberadaan OJK dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada industri jasa keuangan sebagai syarat mutlak terciptanya stabilitas sistem keuangan.
Atip Latipulhayat Permohonan Pengujian Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan Nomor 102/PUU-XVI/2018 ini, pada pokoknya mendalilkan bahwa pemberian kewenangan penyidikan kepada OJK, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK), bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. 109 Isu utama dalam permohonan pengujian ini adalah tentang hak penyidikan yang dimiliki oleh OJK. Sesuai dengan kompetensi dan keahliannya Ahli menyatakan persoalan ini akan di tinjau dari praktik-praktik negara dalam pembentukan lembaga pengawas jasa keuangan. Pembentukan lembaga pengawas jasa keuangan ( Financial Supervisory Agency ) tidak bisa dilepaskan dari krisis keuangan global yang terjadi pada periode 2007-2009. Imbas dari krisis tersebut mendorong negara-negara untuk menata ulang regulasi keuangan termasuk pembentukan lembaga pengawasannya. Perubahan dan modifikasi regulasi keuangan dan pengawasannya merupakan elemen utama untuk menciptakan pasar uang domestik dan internasional yang stabil di masa depan. Dengan alasan ini pula para pemimpin G20 bertemu di London (London Summit) pada bulan April 2009 untuk memperkuat sistem regulasi dan pengawasan pasar uang global. Memperkuat regulasi dan supervisi selalu memantik potensi konflik dengan kebebasan esensial dari pasar uang. Oleh karenanya selalu diperlukan suatu formula yang seimbang antara dua elemen tersebut. Ketegangan antara regulasi dan supervisi di satu pihak dan kebebasan pasar ( freedom of financial markets ) di pihak lainnya bukan merupakan fenomena baru dalam hukum keuangan ( financial law ). Yang merupakan elemen atau unsur yang baru baru adalah penguatan regulasi dan supervisi tersebut harus mempertimbangkan adanya kebutuhan kerjasama dan koordinasi internasional. Latar belakang di atas menunjukkan bahwa regulasi dan supervisi jasa keuangan tidak bisa dipisahkan dan selalu memiliki elemen-elemen internasional dan transnasional. Meskipun pada akhirnya struktur, bentuk, fungsi dan tujuan dari lembaga pengawas jasa keuangan merupakan jurisdiksi dan kewenangan domestik masing-masing negara, namun memiliki jangkauan dan efek extra territorial tertentu ( extraterritorial reach and effect ) termasuk juga bentuk kejahatannya ( financial crimes ). Jasa keuangan atau produk- produk pasar uang lainnya memiliki karakteristik apa yang disebut sebagai “ high ‘exit’ potentials ”. Dalam konteks ini regulasi dan supervisi jasa keuangan domestik akan masuk pada area kompetisi dengan negara lainnya untuk menampilkan regulasi dan lembaga jasa keuangan yang kredibel. Hal ini bisa 110 kita lihat misalnya rivalitas antara Frankfurt dan London untuk menjadi sebagai pusat keuangan terbaik di Eropa. Menurut Ahli tidak ada ketentuan internasional yang mengikat ( hard international law on regulation and supervision ) mengenai jasa keuangan, melainkan dalam wujud instrumen hukum yang tidak mengikat ( soft law ) dalam bentuk standardisasi. Dalam konteks ini, maka hukum internasional harus menghadirkan apa yang disebut sebagai ‘meta norms”, yaitu aturan yang memungkinkan adanya regulasi dan institusi keuangan yang kompetitif pada level domestik. Meta norms ini adalah produk dari kerjasama internasional yang menghasilkan semacam nilai-nilai pokok ( core values ) dalam pembentukan dan regulasi lembaga jasa keuangan. Berdasarkan “ core values ” dalam pembentukan lembaga jasa keuangan di berbagai negara dapat diketahui ada 4 tujuan utama dalam pembentukan lembaga tersebut, yaitu:
Keselamatan dan kesehatan lembaga keuangan ( safety and soundness of financial institutions ), 2. Mitigasi risiko sistemik ( mitigation of systemic risk ), 3. Keadilan ( fairness ) dan efisiensi pasar ( fairness and efficiency of markets ), 4. Perlindungan konsumen dan investor ( the protection of customers and investors ). Selain mengacu kepada tujuan pokok di atas, dalam membentuk lembaga pengawas jasa keuangan, negara-negara juga akan memperhatikan sistem hukum domestiknya, sejarah, politik, budaya, perkembangan ekonomi, dan budaya bisnis setempat (lokal). Negara-negara memiliki keragaman dalam regulasi dan supervisi jasa keuangannya. Secara teoritis paling tidak ada 4 pendekatan yang digunakan negara-negara dalam melakukan supervisi terhadap jasa keuangannya, yaitu:
Pendekatan institusional. Pendekatan ini berbasis pada status kelembagaan (misalnya, bank atau perusahaan asuransi). Kemudian ditentukan regulator mana yang memiliki wewenang untuk mengawasi aktivitas lembaga pengawas jasa keuangan tersebut baik keselamatan dan kesehatannya maupun dari segi perilaku bisnisnya. Negara yang menggunakan pendekatan ini antara lain China. 111 Lembaga Pengawas Jasa Keuangan China beroperasi dengan pendekatan institusional, tapi juga menggunakan beberapa elemen dari pendekatan fungsional. Sementara negara-negara lain sudah bergeser dengan menggunakan pendekatan ‘ integrated” ( integrated approach ) atau “ Twin Peaks ”, China tetap konsisten dengan pendekatan institusional. Negara lainnya yang menggunakan pendekatan ini adalah Mexico. Di negara tersebut ada tiga lembaga pemerintah yang bertugas untuk mengatur dan mengawasi lembaga keuangan yaitu: the National Banking and Securities Commission (CNBV), the National Insurance and Bond Companies Commission (CNSF), and the National Commission for the Retirement Savings System (CONSAR).
Pendekatan Fungsional. Pendekatan Fungsional menekankan kepada fungsi pengawasan dimana fungsi pengawasan tersebut ditentukan oleh aktivitas bisnis dari suatu entitas tanpa secara khusus mempertimbangkan status kelembagaan dari lembaga pengawas tersebut. Masing-masing aktivitas bisnis tersebut memiliki badan pengatur sendiri-sendiri. Negara yang menggunakan pendekatan ini antara lain adalah Italia. Di negara tersebut, pengaturan jasa keuangan diatur berdasarkan fungsinya menjadi 4 kategori: perbankan, investasi, manajemen aset, dan asuransi. Masing-masing memiliki lembaga pengawas dan aturannya. Sejak tahun 2004 terjadi perdebatan di Itali mengenai perlunya reformasi struktural dari lembaga pengawas keuangan. Reformasi tersebut mengarah kepada pendekatan “ Twin Peaks ”. Negara lainnya yang menggunakan pendekatan ini adalah Perancis. Meskipun pendekatannya lebih mendekati “ Functional Approach ”, sebagaimana halnya Italia, dalam beberapa hal juga mengadopsi elemen-elemen dari pendekatan “ Twin Peaks ”.
Pendekatan integrated . Pendekatan ini menggunakan satu lembaga pengawas (single universal regulator) untuk melaksanakan fungsi pengawasan baik untuk aspek keselamatan dan kesehatan dan perilaku bisnisnya untuk seluruh sektor jasa keuangan. Negara yang menggunakan pendekatan ini antara lain Inggris. Dengan pendekatan ini Inggris membentuk Financial Service 112 Agency (FSA) untuk mengatur dan mengawasi hampir semua urusan jasa keuangan di Inggris termasuk perbankan, sekuritas, dan asuransi. Ada 4 tujuan yang ingin dicapai:
. Menjaga kepercayaan pasar, meningkatkan kesadaran publik mengenai jasa keuangan, melindungi konsumen, dan mengurangi kejahatan dibidang keuangan. FSA juga memiliki kewenangan penyidikan ( investigatory ), penegakan hukum, dan penuntutan. Negara lainnya yang menggunakan pendekatan ini adalah Jerman dengan beberapa perbedaan dari praktik di Inggris. Di Jerman, pengawasan asuransi dipisah antara pemerintah federal dengan negara bagian. 4. Twin Peaks Pendekatan ini menekankan kepada pengaturan berbasis tujuan (objective). Ada pemisahan fungsi pengaturan antara dua regulator yaitu yang mengatur mengenai keselamatan dan kesehatan jasa keuangan dan yang mengatur mengenai perilaku bisnis. Negara yang menggunakan pendekatan ini antara lain Australia sejak tahun 1997 yang memisahkan “regulatory oevrsight” dengan “ conduct-of-business regulation ” ( separates prudential regulatory oversight from conduct-of-business regulation ). Negara lainnya yang menggunakan pendekatan ini adalah Belanda. Agak berbeda dengan Australia, Bank Sentral Belanda juga berperan mengawasi jasa keuangan termasuk perbankan, asuransi, dana pensiun, dan sekuritas [ the central bank (DNB) also serves as the prudential and systemic risk supervisor of all financial services, including banking, insurance, pension funds, and securities ]. Kesimpulan 1. Tidak ada model yang dapat dijadikan acuan yang sepenuhnya dapat memenuhi tujuan dan kepentingan pembentukan lembaga pengawas keuangan di suatu negara ( No single model may be optimal on a “one size fits all” basis for all jurisdictions ).
Ada perbedaan dan kondisi tertentu yang menjadikan pengaturan dan pengawasan jasa keuangan dilakukan dengan model dan pendekatan yang berbeda. Masing-masing memiliki tujuan dan fungsi tersendiri. Untuk masalah tertentu lebih pas diatur dan diawasi dengan model tertentu, 113 sedangkan masalah lainnya lebih tepat untuk diatur dengan kewenangan tertentu.
Pengertian “Supervisi” atau pengawasan harus dibedakan dari “Regulasi”. Supervisi atau pengawasan lebih menitikberatkan kepada penegakan terhadap atauran atau standar-standar yang ditetapkan ( the enforcement of regulatory standards ).
Pengertian “Supervisi” atau “Pengawasan” dalam arti luas tidak hanya mengawasi dalam pengertian administratif, melainkan termasuk penegakan hukumnya yang didalamnya termasuk juga kewenangan untuk melakukan penyidikan.
Pengertian “Supervisi” dalam arti luas digunakan oleh negara-negara misalnya Inggris dalam rangka memenuhi ke 4 (empat) tujuan utama pembentukan lembaga pengawas jasa keuangan.
Kewenangan penyidikan yang dimiliki oleh Otoritas Jasa keuangan Indonesia harus dipahami dan diletakkan dalam konteks pemenuhan tujuan utama pembentukan lembaga pengawas jasa keuangan. Saksi Presiden 1. Kombespol Dr. Warasman Marbun, S. H. Menurut Saksi, penyidik OJK adalah penyidik yang bekerja di sektor jasa keuangan, apabila ada hasil investigasi, baik itu investigasi dari perbankan, pasar modal, maupun hasil investigasi industri keuangan nonbank yang kemudian ditujukan kepada OJK untuk dilakukan pemeriksaan, sudah ada tim yang akan menangani. Tim tersebut akan melakukan ekspos, yang menghadirkan pihak-pihak terkait dengan hasil investigasi seperti Departemen Pemeriksa Jasa Otoritas Jasa Keuangan, Departemen Hukum, dan tidak menutup kemungkinan satker-satker lain dihadirkan. Dengan tujuan agar hasil investigasi yang ditemukan atau hasil yang ditujukan itu kepada OJK jelas, langkah selanjutnya dilakukan pemeriksaan atau penelaahan atau yang lebih tren dikalangan PPNS disebut dengan penelitian. Penelitian yang dilakukan oleh penyidik OJK hampir sama dengan kepolisian namun di Kepolisian lebih dikenal dengan istilah penyelidikan. Menurut Saksi, dari segi etimologi pengertian penelitian lebih luas. Langkah selanjutnya, setelah memperoleh hasil dari telaahan dari tim yang terdiri dari berbagai satker, maupun dari departemen-departemen itu, dilakukan 114 semacam gelar perkara. Maksud dan tujuan gelar perkara untuk memastikan bahwa semua tahapan dilakukan sesuai hasil investigasi, tidak dilakukan secara serampangan, dan tidak sembrono, sehingga benar-benar dilakukan secara profesional dan akuntabel, dan jika dilanjutkan sampai ke tingkat penyidikan, hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Menurut Saksi, sebenarnya disinilah awal penegakan hukum atau due process of law , penegak hukum dipersilahkan menegakkan hukum, namun tidak boleh salah, tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, tidak boleh bertentangan dengan hak asasi manusia. Sehingg sangat jelas, dalam tataran gelar perkara itu, dapat dilihat bagaimana pertanggungjawaban yang akan dihasilkan. Gelar perkara hyang dilakukan akan menghasilkan sebuah keputusan apakah akan dilaksanakan penyidikan atau tidak. Jika ditemukan bukti permulaan yang cukup adanya penyimpangan dalam sektor jasa keuangan makan akan dilaksanakan penyidikan, namun jika itu tidak ditemukan maka tidak dilaksanakan penyidikan. Kemudian timbul pertanyaan bagaimana proses penyidikan dilakukan, Sudah pasti, ada dasar hukumnya yang disebut dengan laporan kejadian tindak pidana sektor jasa keuangan. Kalau di kepolisian disebut laporan polisi, laporan polisi terdiri atas 2 model yaitu laporan polisi model A dan laporan polisi model B. Perbedaan kedua laporan itu yaitu laporan polisi model A dilaporkan oleh polisi sendiri karena terjadi dugaan pidana. Kalau laporan polisi model B itu adalah dilaporkan oleh masyarakat. Laporan polisi ini untuk PPNS atau lembaga-lembaga di luar kepolisian, istilahnya adalah laporan kejadian. Jika ada laporan kejadian dari hasil dari tindak pidana sektor jasa keuangan, maka diterbitkan apa yang disebut Sprindik, Sprindik di OJK dilakukan menggabungkan PPNS dengan penyidik kepolisian yang ada atau yang bertugas di OJK. Alasan mengapa digabungkan yang pertama, untuk efisiensi, kedua, untuk lebih efektivitas. Dengan penggabungan tersebut diharapkan menjadi lebih cepat, lebih tepat, lebih baik. Sehingga, tidak lagi nanti saling menunggu karena dapat langsung bertukar data, langsung saling memberikan keahlian, sesuai dengan wujud dari penyidikan itu. 115 Selanjutnya, dengan adanya putusan MK bahwa SPDP itu apabila sudah terbit Sprindik paling lambat 7 hari, sudah harus dikirim ke jaksa penuntut umum, SPDP itu, dan dikirim tembusannya kepada pelapor maupun terlapor. Kemudian, sambil mengumpulkan alat-alat bukti dan barang bukti, maka dilakukan gelar perkara kembali oleh tim penyidik tadi. Tujuannya untuk memeriksa apakah alat bukti yang dikumpulkan itu didukung dengan barang bukti sudah benar-benar terang-benderang. Seperti doktrin hukum pidana mengatakan, “ In criminalibus probantiones beden profeci clarioles.” Artinya, begitu penegak hukum pidana menemukan alat bukti maupun barang bukti, maka barang bukti itu harus lebih terang dari cahaya. Sehingga dalam menetapkan tersangka nanti, kualitas alat bukti itu bisa bernilai, dan memiliki hubungan dengan perkara tersebut. Gelar perkara dilakukan beberapa kali dengan tujuan agar bisa mendapatkan kepastian hukum yang paling bagus, khususnya menetapkan tersangka. Dalam penetapan tersangka ini pun dilihat lagi apakah sudah diperiksa dia sebagai calon tersangka. Hal ini sangat penting, tidak dapat secara langsung menetapkan seseorang menjadi tersangka sekalipun didukung barang bukti yang kuat, calon tersangka ini harus diperiksa dulu sebagai saksi. Gunanya untuk calon terangka tersebut dapat menerangkan kejadiannya baik untuk dirinya sendiri, maupun untuk di luar sendiri. Sehingga nanti kelihatan dalam gelar perkara, apakah ditemukan alat bukti, kemudian didukung barang bukti melalui tahapan bukti permulaan yang cukup, bukti yang cukup dimaknai dua alat bukti. Dengan adanya penyidik polri yang bergabung dengan PPNS menjadi satu dalam satu rumah, penegakan hukum yang ditangani menjadi kuat, efektif, dan efisien, sehingga dalam penanganan perkara tidak mengalami kemunduran, keterlambatan, ataupun jeda waktu yang sangat lama. Jika dilihat dari KUHAP itu sampai sejauh mana batasan penyidikan, jawabannya tidak ada batasannya. Sehingga kadang-kadang sebuah perkara ulang tahun tiga kali, dalam arti tidak dapat diselesaikan dalam waktu tiga tahun. Menurut saksi, perlu adanya koordinasi, kerja sama terutama dalam satu tim, sehingga penanganan kasusnya itu berjalan baik. Jika kasusnya tidak dapat dibuktikan, maka dapat langsung dihentikan. Penghentian ini akan diberitahukan kepada pelapor, diberitahukan juga 116 kepada tersangka apabila sudah terlanjur ditetapkan tersangka, sehingga keadilan kepastian hukum itu menjadi bermanfaat bagi siapapun atau pencari keadilan. Jika ada yang menanyakan siapa yang berhak menerbitkan Sprindik dan asiapa yang berhak yang menerbitkan SPDP dan, jawabanya sebagai berikut sprindik lahir dari laporan kejadian tindak pidana sektor jasa keuangan yang dibuat oleh tim gabungan Penyidik OJK dengan Kepolisian. Kemudian, berdasarkan sprindik itu diterbitkanlah SPDP. Yang menerbitkan SPDP adalah penyidik OJK, Penyidik OJK mengirimkan SPDP ke Kejaksaan, paling lambat 7 hari, yang ditembuskan kepada pelapor maupun terlapor. Jika terjadi praperadilan, gugatannya dilayangkan kemana, jawabannya sudah pasti ke OJK karena penyidiknya ada di sana. Jadi, supaya tidak error in objec t, tidak salah alamat, ditujukan ke penyidik OJK. Untuk Tindak pidana sektor jasa keuangan, apabila itu dilaporkan ke kepolisian, jika dilaporkan ke Mabespolri maupun ke Polda akan ditangani oleh dir eksus (direktorat eksus). Sehingga tidak ada tumpang-tindih, tidak ada overlap karena tergantung dari mana laporannya itu. Kalau masyarakatnya lapor ke polisi, maka akan ditangani polisi. Kalau lapor ke OJK, akan ditangani oleh penyidik OJK. Bagaimana sinergitasnya agar supaya tidak tumpang-tindih disinilah pentingnya nota kesepahaman antara lembaga Polri maupun OJK. Dengan demikian, ya, penanganan perkaranya tergantung dari mana sumber penanganan perkara itu. Karena sumber-sumber menangani perkara dugaan pidana itu banyak. Dapat berdasarkan laporan, berdasarkan pengaduan, berdasarkan kalau umum tertangkap tangan, bisa karena surat, atau bisa karena SMS, bisa. Tapi nanti ditindaklanjuti dengan bukti tulisan. Jadi, inilah semua dasarnya untuk menindaklanjuti, apakah terjadi terutama dugaan penyimpangan, terutama mungkin indikasi tindak pidana di sektor jasa keuangan. Terhadap pernyataan yang menyatakan dengan adanya penyidik OJK menyebabkan kewenangan penyidik kepolisian berkurang. Menurut Saksi kewenangan penyidik kepolisian tidak berkurang, justru sebaliknya seharusnya penanganan tindak pidana di sektor jasa keuangan menumpuk di kepolisian, namun karena ada lembaga OJK yang mempunyai kewenangan khusus di bidang penyidikan penumpukan tindak pidana di sektor jasa keuangan di kepolisian tidak akan terjadi. 117 Sekarang terserah masyarakat, terserah masyarakat yang dirugikan mau lapor kemana mau ke Kepolisian maupun ke OJK. Bila perlu ketika gelar perkara akan saling mengundang. Bagaimana nanti pembuktiannya, bagaimana korelasi perbuatan dengan dugaan tindak pidana. Menurut Saksi, rekan-rekan dari OJK ini sangat berpengalaman di bidang otoritas jasa keuangan. Dari mana uang itu dapat, mau dikemanakan uang itu, lalu bagaimana mempermainkan uang ini sesuai dengan ketentuan, merekalah ahlinya. Bagaimana profesionalitas dari penyidik Polri terkait perbankan, keuangan, dan sebagainya. Profesionalitas itu harus didukung dengan SDM, terutama kemampuan hukum yang bagus di bidang keuangan agar penyidik ini lebih eksis, lebih akuntabel, lebih bisa memerankan hukum, menerapkan hukum yang adil, menerapkan hukum yang benar. Saksi berasal dari divisi hukum kepolisian, Saksi mengetahui divisi hukum dapat melakukan gelar perkara karena Pasal 69 sampai Pasal 74 Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 mengatur mengenai gelar perkara. Jadi, segala perkara, terutama yang dikomplain oleh pendumas[ Sic! ] itu selalu digelar di Biro Wassidik Mabes Polri. Jadi, sudah banyak sekalit pengalaman di dalam gelar perkara secara praktisi. Lalu agar kinerja ini bersinambungan dengan baik, dibuatlah MoU. Kemudian, dalam membuat MoU itu walaupun pengagas para pihak, namun Divisi Hukum Polri adalah pintu gerbang untuk membuat atau merancang yang disebut nota kesepahaman, atau perjanjian kerja sama, atau perjanjian kesepakatan. Selain bertugas di divisi hukum Kepolisian, Saksi juga sebagai pengajar atau dosen di Diklat Reserse Megamendung, khususnya mengajar mata kuliah perundang-undangan keterkaitan dengan penyidikan. Menurut Saksi, ada kurang- lebih 62 undang-undang yang mengatur tentang penyidikan, pengatur tentang materi ketentuan pidana. Jadi, dengan adanya data-data ini, Saksi mengetahui bagaimana korelasi atau kaitan-kaitan yang ditangani oleh penyidik di OJK. Mulai dari Tahun 2016 sampai dengan sekarang, kurang-lebih ada 23 kasus yang ditangani.
Johansyah Saksi adalah Pemimpin Divisi Hukum di PT Bank Negara Indonesia Persero Tbk, yang merupakan salah satu BUMN yang bergerak di bidang keuangan dan 118 tergabung di dalam Himbara. Himbara adalah badan hukum perkumpulan yang beranggotakan bank-bank milik negara yang antara lain beranggotakan bank-bank yang terdiri atas BNI, BTN, Bank Mandiri, dan Bank Rakyat Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa saat ini perkembangan perekonomian salah satu pranata kuncinya adalah sektor jasa keuangan dan kecenderungannya semakin mengarah ke arah globalisasi. Tentunya dengan kondisi ini memerlukan pengaturan, pengawasan yang sifatnya terintegrasi oleh sebuah lembaga, oleh sebuah otoritas yang dianggap objektif dan profesional itu niscaya diperlukan untuk menumbuhkembangkan kepercayaan dan keyakinan, bukan hanya dari para pelaku industri itu sendiri, tetapi juga dari para masyarakat pengguna jasa sektor keuangan. Saksi sebagai bagian dari Himbara menyatakan rumusan ketentuan mengenai penyidikan yang ada di dalam Undang-Undang OJK ini, baik dari sisi hukum materiilmaupun dari sisi hukum formilnya, sudah memberikan kepastian. Dalam artian bahwa dalam bidang perbankan, tindak pidana yang dapat disidik oleh OJK, hanya terbatas tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang OJK. Menurut Saksi, rumusan di Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang OJK, memuat mengenai penyidik OJK yang dalam melaksanakan tugas/wewenangnya merujuk kepada KUHAP. Sehingga menurut Saksi, OJK dalam menjalankan tugasnya sebagai penyidik mengacu pada ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang- Undang OJK itu sendiri. Namun jika tidak diatur tersendiri atau khusus dalam Undang-Undang OJK, maka akan mengacu kepada KUHAP sebagai lex generalis- nya. Selanjutnya Saksi menyatakan bahwa selain memiliki kewenangan penyidikan, OJK juga memiliki kewenangan selaku pengawas, yaitu pengawasan terhadap operasional jasa keuangan, termasuk di dalamnya pengawasan terhadap perbankan. Menurut kewenangan ini, dalam praktiknya mempermudah untuk mengindentifikasi hal-hal yang kemudian bisa dianggap sebagai tindak pidana. Berdasarkan pengalaman, Saksi mengetahui bahwa sudah ada memorandum atau nota kesepahaman antara kepolisian dengan OJK tentang bagaimana penyidikan itu dilakukan. Dalam praktik yang Saksi alami, dalam bidang perbankan pada saat penyidik Polri masuk menyidik suatu perkara dan kebetulan perkara tersebut sebelumnya sudah pernah diselidiki oleh OJK, 119 biasanya akan informasikan bahwa perkara ini sudah pernah masuk dalam area penyidikan di OJK ataupun sebaliknya. Dan terhadap hal-hal seperti itu, penyidik kepolisian akan mencatat keterangan itu dan biasanya akan dipertimbangkan di dalam pada saat gelar perkara. Proses penyidikan yang dilakukan oleh OJK, khususnya proses penyelidikannya, didahului dengan pemanggilan untuk memberikan bukti-bukti atau dokumen-dokumen tertulis. Proses diskusinya dapat dilakukan lebih awal dan proses ini melibatkan pengawas, sehingga, dapat langsung mengklarifikasi bagian yang dipertimbangkan oleh penyidik seperti misalnya area business judgment . Saksi melihat bahwa proses penyidikan yang dilakukan oleh OJK sudah mempertimbangkan banyak aspek seperti keterangan, dan posisi permasalahan, ataupun fakta yang perbankan sampaikan. Menurut saksi, melihat bahwa tidak ada hal yang memberikan ruang atau celah yang kami merasa bahwa ini hal-hal yang belum memberikan jaminan kepastian buat kami di industri keuangan maupun buat kami di praktiksi di lembaga keuangan. Saksi meyakini bahwa hukum pidana ini adalah ultimum remedium, selaku Pemimpin Divisi Hukum di BNI, salah satu tugas pokok-pokok dan fungsinya adalah menangani permasalahan-permasalahan dan perkara-perkara hukum, termasuk di antaranya perkara pidana. Dan salah satu perkara pidana yang pernah Saksi tangani adalah hasil penyelidikan yang dilakukan oleh pihak OJK. Saksi melihat dan mencermati prosesnya mulai dari surat panggilan yang disampaikan, tindak pidana yang tegas disebutkan bahwa tindak pidana yang dilakukan proses penyelidikan ini adalah tindak pidana perbankan, tidak memasukkan hal-hal lain di luar Undang-Undang Perbankan. Saksi meyakini bahwa tindak pidana yang dimasukkan sebagai hukum materi penyidikan OJK terbatas pada Undang-Undang Perbankan itu sendiri. Mengenai surat panggilan, Saksi mengetahui bahwa dasar-dasar pemanggilan yang OJK lakukan itu didasarkan pada KUHAP. Kemudian, proses yang Saksi alami pada saat menghadiri pemanggilan, menyampaikan bukti-bukti, masih bersesuaian dan sejalan dengan apa yang diatur di dalam ketentuan yang diatur di dalam KUHAP. Saksi merasa bahwa dalam proses penyelidikan yang dilakukan itu tidak ada hal yang menjadi tidak jelas, atau tidak pasti. 120 [2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat telah menyampaikan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 26 Februari 2019, yang pada pokoknya sebagai berikut: A. KETENTUAN UU OJK YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN TERHADAP UUD TAHUN 1945 Bahwa para Pemohon dalam permohonan a quo mengajukan pengujian ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK yang berketentuan sebagai berikut: Pasal 1 angka 1 UU OJK: Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain , yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Berdasarkan Putusan MK Nomor 25/PUU-XII/2014 Ketentuan Pasal 1 angka 1 UU OJK berubah menjadi: Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disebut OJK adalah lembaga yang independen yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Pasal 9 huruf c UU OJK: Untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, _OJK mempunyai wewenang: _ c. melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. 121 B. HAK DAN/ATAU KEWENANGAN KONSTITUSIONAL PARA PEMOHON YANG DIANGGAP DIRUGIKAN OLEH BERLAKUNYA PASAL 1 ANGKA 1 DAN PASAL 9 HURUF C UU OJK Bahwa para Pemohon dalam permohonannya mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya ketentuan pasal- pasal a quo sebagaimana dikemukakan dalam permohonannya yang pada intinya:
Bahwa frasa “dan penyidikan” dalam Pasal 1 angka 1 dan frasa “penyidikan” dalam Pasal 9 huruf c UU OJK dianggap merugikan Para Pemohon. Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV yang berprofesi sebagai dosen dan khusus Pemohon I yang merangkap dosen sekaligus advokat berpendapat bahwa mereka memilikikedudukan hukum yang dirugikan khususnya jika dilihat secara keilmuan hukum pidana . Sebagaimana dipelajari dan didalami oleh Para Pemohon dalam pemberian criminal justice system di Indonesia, yang juga sebagai negara yang mendeklarasikan diri sebagai negara hukum, maka asas due process of law merupakan proses yang harus dijalankan oleh negara cq aparat hukum yang telah diatur dalam KUHAP namun justru Para Pemohon beranggapan hal tersebut diabaikan oleh berlakunya UU OJK. (Vide perbaikan permohonan hlm. 8). 2. Bahwa selain Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, dan Pemohon IV yang berperan sebagai dosen, terdapat Pemohon V dan Pemohon VI yang berprofesi sebagai karyawan swasta yang juga beranggapan mengalami kerugian karena saat ini sedang menjalani masa tahanan sebagai pihak yang disangka melakukan tindak pidana dalam sektor jasa keuangan. Menurut Pemohon V dan Pemohon VI, hal ini disebabkan adanya tindakan sewenang- wenang dalam penyidikan OJK yang membuat pelaku usaha menjadi terhenti usahanya serta masyarakat menjadi tidak terlayani. (Vide perbaikan permohonan hlm. 12) Bahwa para Pemohon dalam permohonannya mengemukakan bahwa ketentuan dalam Undang-Undang a quo bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sebagai berikut:
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 __ “Negara Indonesia adalah negara hukum.” 122 2. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Bahwa berdasarkan uraian-uraian permohonannya, para Pemohon dalam Petitumnya memohon kepada Majelis Hakim sebagai berikut:
Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan Pasal 1 angka 1 terhadap kata “dan penyidikan” Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5.253) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
Menyatakan Pasal 9 huruf c terhadap kata “penyidikan” Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5.253) bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau apabila Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aquo et bono) . C. KETERANGAN DPR RI Terhadap dalil para Pemohon sebagaimana diuraikan dalam perbaikan permohonan a quo , DPR RI dalam penyampaian keterangannya terlebih dahulu menguraikan mengenai kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon sebagai berikut:
Kedudukan Hukum ( legal standing ) para Pemohon Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh para Pemohon sebagai Pihak telah diatur dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK), yang menyatakan bahwa “ Para Pemohon adalah 123 pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya _dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: _ _a. perorangan warga negara Indonesia; _ b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik _Indonesia yang diatur dalam undang-undang; _ _c. badan hukum publik atau privat; atau _ d. lembaga negara”. Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud ketentuan Pasal 51 ayat (1) tersebut, dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan “ hak konstitusional ” adalah “ hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 .” Ketentuan Penjelasan Pasal 51 ayat (1) ini menegaskan, bahwa hanya hak-hak yang secara eksplisit diatur dalam UUD 1945 saja yang termasuk “ hak konstitusional ”. Oleh karena itu, menurut UU MK, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai para Pemohon yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
Kualifikasinya sebagai para Pemohon dalam permohonan a quo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud dalam “Penjelasan Pasal 51 ayat (1)” dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang a quo . Mengenai batasan kerugian konstitusional, Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang harus memenuhi 5 (lima) syarat (vide Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 011/PUU-V/2007) yaitu sebagai berikut:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; 124 b. bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Jika kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh para Pemohon dalam perkara pengujian Undang-Undang a quo , maka para Pemohon tidak memiliki kualifikasi kedudukan hukum ( legal standing ) sebagai Pemohon. Bahwa terhadap kedudukan hukum (Legal Standing) Pemohon, DPR RI memberikan pandangan dengan berdasarkan 5 (lima) batasan kerugian konstitusional sebagai berikut:
Terkait dengan adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; Bahwa Para Pemohon mendalilkan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan melalui Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 pada intinya mengatur bahwa Indonesia adalah negara hukum. Adapun Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 mengatur bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tidak tepat dipertentangkan dengan ketentuan pasal a quo UU OJK karena ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tidak mengatur hak asasi manusia tetapi mengamanatkan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Bahwa terkait dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang dijadikan batu uji oleh para Pemohon, dalam perbaikan permohonan a quo , para Pemohon tidak menjelaskan dan tidak 125 dapat membuktikan adanya keterkaitan antara Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dengan pasal a quo UU OJK. Bahwa adapun Para Pemohon beranggapan adanya tumpang tindih kewenangan penyidik Polri, KPK dan OJK adalah tidak berdasar, karena dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP mengatur mengenai penyidik pejabat pegawai negeri sipil selain pejabat Polri. Dengan demikian, hak konstitusional yang dijadikan batu uji oleh para Pemohon sama sekali tidak ada relevansinya dengan ketentuan pasal a quo UU OJK. __ b. Terkait dengan hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon tersebut dianggap oleh para Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji; Bahwa Para Pemohon mendalilkan ketentuan pasal a quo UU OJK telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam proses penanganan tindak pidana di sektor Jasa Keuangan akibat adanya tumpang tindih kewenangan antara penyidik Polri, KPK, dan OJK ( vide perbaikan permohonan hal. 24). Bahwa terhadap dalil para Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan bahwa kerugian yang didalilkan Para Pemohon tersebut terkait dengan adanya tumpang tindih kewenangan penyidik antara Polri, KPK, dan OJK yang menimbulkan ketidakpastian hukum adalah anggapan yang tidak berdasar, karena ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP menyatakan penyidik adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi kewenangan khusus oleh undang-undang. Bahwa dengan demikian kerugian yang didalilkan para Pemohon hanya bersifat asumsi karenanya kerugian tersebut bukan akibat dari berlakunya ketentuan pasal a quo UU OJK yang dimohonkan pengujian.
Terkait dengan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; Bahwa Pemohon I sampai dengan Pemohon IV yang berprofesi sebagai dosen/advokat merasa dirugikan dengan adanya frasa “dan penyidikan” dalam Pasal 1 angka 1 dan frasa “penyidikan” dalam Pasal 9 126 huruf c UU OJK. Selanjutnya Pemohon V dan Pemohon VI yang berprofesi sebagai karyawan swasta yang juga beranggapan mengalami kerugian karena saat ini sedang menjalani masa tahanan sebagai pihak yang disangka melakukan tindak pidana dalam sektor jasa keuangan. Bahwa terhadap dalil para Pemohon, DPR RI berpandangan sebagaimana dikemukakan, tidak terdapat relevansi antara ketentuan pasal a quo UU OJK dengan UUD 1945 dan tidak terdapat kerugian konstitusional. Artinya kerugian yang didalilkan para Pemohon tidak disebabkan oleh karena berlakunya ketentuan pasal UU a quo . Bahwa kerugian yang didalilkan para Pemohon tersebut kabur dan tidak bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau tidak bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. DPR RI juga berpandangan bahwa Pemohon I sampai dengan Pemohon IV dalam kedudukannya sebagai dosen seharusnya mampu menjelaskan kepada mahasiswa bahwa adanya wewenang OJK tersebut merupakan hal yang wajar dalam perkembangan penegakan hukum pidana, dimana dalam tindak pidana khusus tertentu diperbolehkan dibentuk penyidik selain pejabat Polri (dalam hal ini OJK) yang dapat diberikan wewenang sesuai dengan undang-undang yang mengaturnya. Bahwa berdasarkan UU a quo , pembentukan OJK dilatarbelakangi karena banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard , belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan semakin mendorong diperlukannya pembentukan lembaga pengawasan di sektor jasa keuangan yang terintegrasi. Bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan kembali struktur pengorganisasian dari lembaga-lembaga yang melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan. Pengaturan dan pengawasan terhadap keseluruhan kegiatan jasa keuangan harus dilakukan secara terintegrasi. Oleh karenanya OJK diberi kewenangan untuk melaksanakan tugasnya dengan didukung keahlian khusus di bidang jasa keuangan. 127 Bahwa adanya salah satu wewenang penyidikan pada OJK diberikan untuk menjamin penegakan hukum pidana di sektor jasa keuangan sehingga tujuan dibentuknya OJK adalah agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan:
terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel dapat terwujud;
mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat ( vide Pasal 4 UU OJK). Dengan demikian, DPR RI berpandangan bahwa kerugian para Pemohon tidak bersifat spesifik dan tidak aktual, serta tidak bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
Terkait dengan adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang didalilkan Para Pemohon dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; Bahwa sebagaimana dikemukakan pada huruf a, b, c tersebut para Pemohon tidak memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional dalam pengujian UU a quo dan para Pemohon tidak mengalami kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran wajar dapat dipastikan akan terjadi. Bahwa atas dasar hal tersebut, sudah dapat dipastkan tidak ada hubungan sebab akibat antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan pasal yang dimohonkan pengujian. Bahwa para Pemohon tidak memiliki kepentingan hukum dalam norma mengenai pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan yang dilakukan oleh OJK, seperti Lembaga Jasa keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. Bahwa atas dasar itu para Pemohon tidak mengalami kerugian konstitusional yang terjadi karena pasal-pasal a quo . Bahwa Pemohon V dan Pemohon VI juga mendalilkan mengalami kerugian karena adanya wewenang penyidikan OJK terhadap kedua Pemohon yang disangka melakukan tindak pidana dalam sektor jasa 128 keuangan. DPR berpandangan bahwa hal tersebut merupakan permasalahan implementasi norma, bukan konstitusionalitas norma. Sehingga dengan demikian, kerugian yang didalilkan Pemohon V dan Pemohon VI tidak memiliki hubungan sebab akibat (causal verband) dengan pasal-pasal a quo . Bahwa ketentuan pasal a quo UU OJK tidak merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon, sebaliknya, ketentuan pasal a quo UU OJK telah memberikan jaminan kepastian hukum kepada para Pemohon sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Terkait dengan adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; Bahwa sebagaimana uraian di atas, tidak jelas apa kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang dialami oleh para Pemohon yang diasumsikan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Para Pemohon dalam menguraikan kerugiannya yang disebabkan pasal a quo hanyalah berdasarkan asumsi-asumsi subjektif, tidak menyangkut kepentingan umum dalam penegakan hukum pidana. Fungsi tersebut bagi OJK tentu dianggap penting, jika Permohonan para Pemohon dikabulkan justru akan merugikan kewenangan konstitusional pihak-pihak terkait lainnya dan merugikan kepentingan penegakan hukum pidana sektor perbankan bagi masyarakat. Bahwa karena tidak ada hubungan sebab akibat ( causal verband ) maka sudah dapat dipastikan bahwa pengujian a quo tidak akan berdampak apapun pada para Pemohon. Dengan demikian menjadi tidak relevan lagi bagi Mahkamah Konsitusi untuk memeriksa dan memutus permohonan a quo , karena para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan pokok perkara. Bahwa terkait dengan kedudukan hukum ( legal standing) para Pemohon, DPR RI juga memberikan pandangan sesuai dengan Putusan MK Nomor 22/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam Sidang Pleno MK 129 terbuka untuk umum pada hari tanggal 15 Juni 2016, yang pada pertimbangan hukum [3.5.2] MK menyatakan bahwa: …Dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’interest, point d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “tiada gugatan tanpa hubungan hukum” (no action without legal connection. Berdasarkan pada hal-hal yang telah disampaikan tersebut, DPR RI berpandangan bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, serta tidak memenuhi persyaratan kerugian konstitusional yang diputuskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu. Bahwa para Pemohon dalam permohonan a quo tidak menguraikan secara konkrit mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusionaInya yang dianggap dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, utamanya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian hak, kewenangan konstitusionaInya dan/atau adanya keterkaitan logis dan causal verband yang ditimbulkan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji tersebut. Berdasarkan pada hal-hal yang telah disampaikan tersebut, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK, Putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005, dan Putusan Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional.
Pengujian Atas Ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK Terhadap dalil-dalil yang dikemukakan para Pemohon, DPR RI berpandangan dengan memberikan keterangan/penjelasan sebagai berikut: 130 a. Pandangan Umum 1) Bahwa Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 berketentuan “Indonesia adalah Negara Hukum. ” Jimly Asshiddiqie menyebut bahwa gagasan Negara Hukum dibangun dengan mengembangkan perangkat hukum itu sendiri sebagai suatu sistem yang fungsional dan berkeadilan, dikembangkan dengan menata supra struktur dan infra struktur kelembagaan politik, ekonomi dan sosial yang tertib dan teratur, serta dibina dengan membangun budaya dan kesadaran hukum yang rasional dan impersonal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Untuk itu, sistem hukum itu perlu dibangun (law making) dan ditegakkan (law enforcing) sebagaimana mestinya. (Jimly Asshiddiqie, Gagasan Negara Hukum Indonesia dalam http: //www.jimly.com/makalah/namafile/135/Konsep_Negara_Hukum_I ndonesia.pdf, hlm. 1) 2) Bahwa Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 berbunyi, “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum ”. Ketentuan tersebut sudah jelas menegaskan bahwa setiap orang termasuk para Pemohon mendapatkan perlindungan jaminan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum. Bahwa berlakunya ketentuan pasal a quo UU OJK justru memberikan jaminan kepastian hukum dan perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana yang dituangkan dalam tujuan pembentukan OJK yang tertuang dalam ketentuan Pasal 4 UU OJK yang menyatakan OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:
terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.
Bahwa sebagai bentuk pengejawantahan negara hukum dan pentingnya pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, dibentuk UU OJK. Pembentukan UU OJK dilakukan untuk melancarkan tugas, 131 fungsi, dan tujuan dibentuknya OJK agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Dengan tujuan ini, OJK diharapkan dapat mendukung kepentingan sektor jasa keuangan nasional sehingga mampu meningkatkan daya saing nasional. Selain itu, OJK harus mampu menjaga kepentingan nasional, antara lain, meliputi sumber daya manusia, pengelolaan, pengendalian, dan kepemilikan di sektor jasa keuangan, dengan tetap mempertimbangkan aspek positif globalisasi. Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dan dilandasi dengan prinsip-prinsip tata kelola yang baik, yang meliputi independensi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, transparansi, dan kewajaran (fairness) .
Pandangan terhadap Pokok Permohonan 1) Bahwa para Pemohon mendalilkan bahwa ketentuan pasal-pasal a quo UU OJK telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam proses penanganan tindak pidana di sektor jasa keuangan akibat adanya tumpang tindih kewenangan antara pejabat Polri, KPK, dan OJK. ( vide Perbaikan Permohonan hal. 24). Bahwa terhadap dalil Para Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan sebagai berikut: a) Bahwa OJK diberi kewenangan khusus untuk melakukan penyidikan melalui Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengawasan sektor jasa keuangan. Bahwa adanya wewenang penyidikan oleh OJK merupakan hal lazim dan tidak bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menjamin bahwa Indonesia adalah negara hukum, serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengatur mengenai hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil . b) Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (2) KUHAP, penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b (PPNS) 132 mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a (Polri). Pengaturan mengenai penyidikan pada OJK muncul karena tindak pidana atau hal-hal yang menyangkut pelanggaran pidana atau tindak pidana di sektor jasa keuangan yang kompleks, dinamis, dan saling terkait antar-subsektor keuangan, baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Bahwa adanya kekhususan tersebut, maka permasalahan di sektor jasa keuangan perlu ditangani secara hati- hati oleh orang yang khusus dan ahli di bidangnya. Namun kewenangan tersebut tetap dilakukan di bawah koordinasi dan pengawasan kepolisian yang memiliki tugas penyidikan. Keberadaan PPNS OJK telah sesuai dengan tujuan dibentuknya UU OJK dan dibahas berulangkali dalam pembahasan pembentukan UU OJK (vide risalah pembahasan UU OJK). c) Bahwa sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (1) UU OJK, wewenang khusus sebagai PPNS OJK dilakukan sebagaimana diatur dalam KUHAP. Mengenai hal tersebut, di dalam KUHAP telah diatur bagaimana penyidikan yang dilakukan oleh PPNS agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan penyidikan dengan penyidik Polri, yang diatur antara lain: • Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b (PPNS) mempunyai wewenang sesuai dengan undang- undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a (Polri) (vide __ Pasal 7 KUHAP) • Untuk kepentingan penyidikan, penyidik Polri memberikan petunjuk kepada PPNS tertentu dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan [vide __ Pasal 107 ayat (1) KUHAP]. • PPNS tertentu, harus melaporkan kepada penyidik Polri tentang adanya suatu tindak pidana yang sedang disidik, jika 133 dari penyidikan itu oleh penyidik pegawai negeri sipil ditemukan bukti yang kuat untuk mengajukan tindak pidananya kepada penuntut umum [vide __ Pasal 107 ayat (2) KUHAP]. • Jika PPNS telah selesai melakukan penyidikan, hasil penyidikan tersebut harus diserahkan kepada penuntut umum. Cara penyerahan hasil penyidikan tersebut kepada penuntut umum dilakukan PPNS melalui penyidik Polri [vide __ Pasal 107 ayat (3) KUHAP]. • Bahwa permohonan Para Pemohon terkait pasal mana yang dianggap bertentangan dengan konstitusi menjadi obscuur libels (tidak jelas/kabur). Dalil para Pemohon tersebut bersifat asumtif karena tidak dilandasi argumentasi yuridis. Bahwa telah jelas ketentuan Pasal 49 ayat (1) UU OJK mengatur: Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya yang meliputi pengawasan sektor jasa keuangan di lingkungan OJK, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Dari pasal a quo, terdapat frasa unsur penyidik “ Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia” dan diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. __ Hal tersebut jelas menunjukkan adanya rujukan kepada KUHAP. Sehingga dapat dikatakan bahwa penyidik OJK bekerja berdasarkan prinsip-prinsip yang ada dalam KUHAP. d) Bahwa jika PPNS menghentikan penyidikan yang telah dilaporkan kepada penyidik Polri, penghentian penyidikan itu harus diberitahukan kepada penyidik Polri dan penuntut umum [vide __ Pasal 109 ayat (3) KUHAP]. Sehingga dari ketentuan tersebut jelas bahwa PPNS dalam menjalankan tugasnya sebagai penyidik harus 134 berkoordinasi dengan penyidik Polri sebelum melakukan penyidikan agar terjadi kesinkronan, kesatuan pemahaman,dan gerak, serta tindakan apa yang dilakukan dalam melakukan penyidikan. Oleh karenanya, penyidik Polri harus berperan aktif dalam memberikan bantuan serta petunjuk kepada PPNS dalam menjalankan tugasnya sebagai penyidik. Dengan demikian, dengan adanya koordinasi dan pengawasan dari penyidik Polri, diharapkan tidak menimbulkan suatu permasalahan dengan sistem peradilan pidana yang ada, yakni dalam hubungannya dengan penyidik Polri. e) Bahwa terkait kerangka sistem peradilan pidana (criminal justice system) , dimana aktivitas pelaksanaannya merupakan “fungsi gabungan” (collection of function) dari legislator, polisi, jaksa, pengadilan, dan penjara serta badan yang berkaitan, baik yang ada di lingkungan pemerintahan maupun di luar pemerintahan. Dengan demikian, kegiatan sistem peradilan pidana didukung dan dilaksanakan dengan empat fungsi utama, yaitu fungsi pembuat undang-undang, fungsi penegakan hukum, efek preventif, fungsi pemeriksaan persidangan pengadilan, dan fungsi memperbaiki terpidana. Dari gambaran singkat tersebut, dapat terlihat berhasil atau tidaknya fungsi proses pemeriksaan sidang pengadilan yang dilakukan Jaksa PU dan Hakim yang menyatakan terdakwa salah serta memidananya sangat tergantung atas hasil penyidikan Polri. (M. Yahya Harahap, 2000, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 90-91). 2) Bahwa Para Pemohon mendalilkan pemberian wewenang “penyidikan” yang merupakan suatu tindakan pro justitia kepada financial supervisory institution in casu OJK adalah sangat tidak lazim (vide Perbaikan Permohonan hal. 22-23). Bahwa dalil Para Pemohon tersebut tidak berdasar karena para Pemohon tidak mencermati ketentuan peraturan perundang-undangan 135 secara komprehensif. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan:
Bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, PPNS adalah salah satu pengemban fungsi kepolisian yang membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dan melaksanakan kewenangan berdasarkan Undang Undang masing-masing. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pelaksanaan Koordinasi, Pengawasan, dan Pembinaan Teknis terhadap Kepolisian Khusus, Penyidik Pegawai Negeri Sipil, dan Bentuk-Bentuk Pengamanan Swakarsa: PPNS adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang berdasarkan peraturan perundang-undangan ditunjuk selaku penyidik dan mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkup undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing- masing. Pejabat PPNS diangkat oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia ( cq Direktur Pidana Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum), dan diawasi dan dibina oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia ( cq Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS,Badan Reserse Kriminal) dan bertanggungjawab kepadaPimpinanKementerian/Lembaga/Daerah tempat PNS tersebut bernaung.
Bahwa eksistensi PPNS itu sendiri berasal dari ketentuan yang diatur dalam KUHAP. Bahwa Pasal 6 ayat (1) KUHAP mengatur bahwa _Penyidik adalah: _ _a. pejabat polisi negara Republik Indonesia; _ b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Rumusan Pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP merupakan ketentuan yang bersifat umum. Sementara pengaturan mengenai penyidikan dalam UU OJK merupakan lex specialis dari Pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP tersebut. 136 c. Bahwa keberadaan PPNS tidak hanya pada OJK, tapi juga terdapat pada beberapa lembaga negara lainnya. Beberapa contoh penyidik lainnya seperti PPNS Tata Ruang, PPNS Pajak, PPNS Imigrasi, PPNS Bea Cukai, PPNS Kehutanan, PPNS Pertanian, PPNS Kehutanan, dan lain-lain, yang dalam pelaksanaan fungsinya tetap merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Adapun pengaturan tentang keberadaan PPNS pada beberapa lembaga negara di Indonesia dapat dilihat melalui tabel berikut: __ No. PPNS UNDANG-UNDANG PASAL 1. PPNS pada Kementerian Perhubungan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 259 ayat (1): Penyidikan tindak pidana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dilakukan oleh:
Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus menurut Undang-Undang ini. Pasal 262 ayat (1): Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 259 ayat (1) huruf b berwenang untuk:
melakukan pemeriksaan atas pelanggaran persyaratan teknis dan laik jalan Kendaraan Bermotor yang pembuktiannya memerlukan keahlian dan peralatan khusus;
melakukan pemeriksaan atas pelanggaran perizinan angkutan orang dan/atau barang dengan Kendaraan Bermotor Umum;
melakukan pemeriksaan atas pelanggaran muatan dan/atau dimensi Kendaraan Bermotor di tempat penimbangan yang dipasang secara tetap;
melarang atau menunda pengoperasian Kendaraan 137 Bermotor yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan;
meminta keterangan dari Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, atau Perusahaan Angkutan Umum atas pelanggaran persyaratan teknis dan laik jalan, pengujian Kendaraan Bermotor, dan perizinan; dan/atau
melakukan penyitaan surat tanda lulus uji dan/atau surat izin penyelenggaraan angkutan umum atas pelanggaran sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c dengan membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan.
PPNS pada Kementerian Kehutanan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaim ana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2004 juncto Perpu Nomor 1 Tahun 2004 Pasal 77:
Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengurusan hutan, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimak-sud pada ayat (1), berwenang untuk:
melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana yang menyangkut hutan, 138 kawasan hutan, dan hasil hutan;
memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;
melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku;
meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
menangkap dan menahan dalam koordinasi dan pengawasan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai Kitab Undang- undang Hukum Acara Pidana;
membuat dan menandatangani berita acara;
menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.
Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum, sesuai 139 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
PPNS pada Kementerian Komunikasi dan Infor-matika Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi Pasal 44:
Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi b. melakukan pemeriksaan terhadap orang dan atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
menghentikan penggunaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku;
memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau ter- sangka;
melakukan pemeriksaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang diduga digunakan atau diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang tele-komunikasi; 140 f. menggeledah tempat yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
menyegel dan atau menyita alat dan atau perangkat telekomunikasi yang digunakan atau yang diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi, dan mengadakan penghentian penyidikan.
Kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Latar Belakang Pembahasan UU OJK Bahwa selain pandangan secara konstitusional, teoritis, dan yuridis, sebagaimana telah diuraikan di atas, dipandang perlu untuk melihat latar belakang perumusan dan pembahasan pasal-pasal terkait dalam undang- undang a quo sebagai berikut • Rapat Kerja (18 Agustus 2010) 1) Menteri Keuangan (Agus M.W.) __ Selanjutnya perkenankan kami untuk menjelaskan kembali secara umum hal-hal pokok yang tertuang dalam RUU OJK ini sebagai _berikut: _ Poin 7: Penegakan Hukum Dalam rangka penegakan hukum di sektor jasa keuangan, OJK memiliki kewenangan penyidikan terhadap pelaku tindak pidana di bidang perbankan, pasar modal dan industri keuangan non bank. Penyidikan ini antara lain dilakukan oleh pejabat penyidik Kepolisian 141 Negara RI dan pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup, tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengawasan industri jasa keuangan di lingkungan OJK. 2) Anggota F-PG (Edison Betaubun, S.H., M.H.) __ Terkait Rancangan Undang-undang Otoritas Jasa Keuangan, Fraksi _Partai Golkar DPR RI berpandangan bahwa: _ _1. Ruang lingkup lembaga yang dibentuk meliputi: _ a. Pengaturan Ini penting dimiliki agar dapat melakukan harmonisasi dan sinkronisasi peraturan di bidang jasa keuangan. b. Pengawasan terpadu dan lintas sub sektor agar dapat mendeteksi resiko finansial dari kegiatan yang berada di wilayah abu-abu dalam suatu kegiatan konglomerasi jasa keuangan. c. Penegakan hukum yang dipunyai mencakup penyelidikan dan penyidikan agar mempunyai kewenangan dan tanggung jawab yang utuh dalam proses penegakan hukum. • Rapat Dengar Pendapat Umum (19 Agustus 2010) 1) Anggota F-PDIP (Trimedya Panjaitan) __ Tapi saya coba mendalami apa yang ada di dalam RUU OJK ini utamanya Pasal 41 ayat (3) soal kewenangan penyidikan yang diberikan kepada lembaga ini seandainya lembaga ini akan berdiri nanti. Saya sesuai dengan core saya saja. Kalau orang bisnis harus punya core pak. Core saya di hukum, saya hukum saja. Nah, kalau kita lihat di sini kan memang spirit dari ini tentu Pasal 6 ayat (1) KUHAP bahwa PPNS tapi sebagaiman kita ketahui dan mungkin juga pihak Bapak tahu atau tidak sekarang ini menurut data dari Kapolri ada sekitar 650 PPNS di sekitar 43 kelembagaan. Nah, ini tidak jelas efektifitasnya. __ … Sebenernya dalam posisi ini apakah kita ingin membentuk lagi instrumen-instrumen hukum baru yang mempunya kewenangan di bidang penyelidikan. Dia ini kalau dari mulai menerima laporan sampai Surat Penghentian Penyidikan, kewenangan yang diberikan 142 pada OJK ini. Dengan posisi kewenangan yang luar biasa seperti ini, kami agak khawatir walaupun nanti ini pada saat pendalaman masuk kepada pasal-pasal nanti DIM-DIM itu kita baru diskusikan lebih detil. Jadi dalam posisi ini kami ingin menanyakan kepada bapak-bapak sekalian apakah orang Bapak setuju dengan kewenangan ini. Apakah negara kita ini tidak cukup dengan lembaga-lembaga hukum yang sudah ada kepolisian, kejaksaan.... • Rapat Dengar Pendapat Umum (23 September 2010) 1) Akademisi (Insukindro) __ Jadi OJK itu lembaga apa Pak? Dalam undang-undang itu tidak jelas, ini saya kira perlu dijelaskan juga lembaga negara atau bukan lembaga negara semacam itu. Juga terkait dengan penyidikan, kalau kita baca pasal berapa ya itukan pegawai OJK adalah pegawai OJK, apakah itu PNS. Di dalam Pasal 41 disebutkan kecuali kepolisian kan pegawai negeri sipil mempunyai hak. Berartikan bisa jaksa, bisa macam-macam di situ. Ini nanti mirip-mirip KPK lagi, ketergantungannya sangat tinggi, semacam itu. Ini juga problem nanti kalau BI digabungkan dengan OJK, kemudian pegawai BI itukan bukan PNS. Apakah dia punya hak untuk melakukan penyidikan semacam itu atau diangkat jadi PNS. Ini menurut saya perlu clear. 2) Akademisi (Himawan) __ Hal yang perlu kita lihat juga itu adalah pengawasan. Pengawasan itu sebenarnya ada empat pilar yaitu, pemantauan, pemeriksaan, penyidikan, dan penegakan hukum. Ini yang belum kami lihat di dalam RUU ini yang mungkin harusnya lebih detail, lebih banyak kita perdalam untuk masalah pengawasan ini. __ … Kemudian masalah penyidikan, penyidikan yang saya lihat di sini lebih bersifat pasif. Yaitu adalah menerima laporan dari masyarakat, padahal yang harus dilakukan itu adalah lebih pro aktif karena permasalahannya sekarang adalah seringkali kasus misalkan kasus emeron, kasus supreme mortgage dan lain sebagainya yang muncul kemudian kasus Antaboga dan sebagainya, ini tidak bisa kalau ditunggu sudah terlalu besar. Masalahnya sudah terlalu besar ketika 143 kita sudah mendapatkannya. Kita tidak ada istilah di sini melakukan prevention. Dalam masalah pengawasan, kalau saya menggunakan pendekatan economic, itu yang terpenting adalah bagaimana meningkatkan detaction rate, kemampuan untuk mendeteksi. Yang menjadi permasalahan selama ini adalah banyak unsure problem sebenarnya yang muncul, kasus-kasus seperti Antaboga yang itu di dalam nomenslan. Ini seharusnya yang menjadi perhatian kita itu adalah bagaimana menghilangkan atau meminimasi hal-hal seperti ini. Di dalam setiap crime itu ada yang disebut un recorded financis. Bagaimana menimalisasi un recorded financis ini yang saya pikir di dalam masalah penyidikan ini harus lebih jelas Pak untuk masuk ke sana. • Rapat Panja (21 Oktober 2010) 1) F-PG (Nusron Wahid) __ Nah saya setuju prinsipnya bahwa Undang-undang Otoritas Jasa Keuangan ini yang kita susun ini tidak hanya menjadi basis pondasi pendirian suatu lembaga yang lembaga itu bergerak di bidang otoritas jasa keuangan. Yang namanya otoritas itu di situ meliputi 3 kewenangan kalau saya baca dalam undang-undang ini; kewenangan pertama adalah pengaturan mikro prudensial di bidang perbankan dan pengaturan secara keseluruhan, kemudian pengawasan, sama low enforcement karena ada penyidikan di situ di dalamnya. • Rapat Panja (26 November 2010) 1) Pemerintah __ … Di Undang-undang Pasar Modal itu ada penyidikan oleh Bapepam yaitu PPNS. Kemudian untuk di Bank Indonesia tidak ada penyidikan ternyata dan itu masalah buat Bank Indonesia selama ini karena mereka tidak bisa melakukan penyidikan, sehingga selalu lempar ke polisi ya hilang saja. Maaf ini kalau direkam karena kenyataannya begitu. Jadi kemudian, asuransi juga demikian. Kami selama ini kalau sudah masuk asuransi walaupun Bapepam LK begitu case-nya asuransi, kita langsung lempar ke polisi. Jadi berarti Kepolisian ini Bareskrim ini harus menguasai banget tentang 144 perasuransian, dana pensiun, kalau pasar modal dia tidak perlu karena penyidikannya di kita tapi kalau fraud tetap ke polisi. Tapi sudah manipulasi biasanya di Bapepam. Jadi sebenarnya teman-teman di Bank Indonesia pun juga bilang kalau ini memang mereka masuk ke OJK, sebaiknya OJK secara keseluruhan punya penyidikan sehingga sudah berlaku juga untuk bank, pasar modal, asuransi, dana pensiun. Makanya kita sebut di sini OJK bisa punya penyidikan. Itu masalah penyidikan. Nanti masalahnya apakah PPNS. Memang saat ini karena pengaturan tentang PPNS itu diatur di Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, jadi kita belum berani menyebut kata-kata lain selain PPNS. Oleh sebab itu, di dalam bab nanti tentang pegawai kita sebut OJK ini bisa juga menerima, pegawainya bukan saja pegawai OJK tapi juga pegawai negeri. __ …. Di Kepolisian memang ada salah satu direktorat koordinasi pengawas Penyidik Pegawai Negeri Sipil jadi di Korwas, di sana juga ada satu direktorat pak di Bareskrim khusus memang mendidik dan melakukan koordinasi dengan penyidik-penyidik Pegawai Negeri Sipil. Tetapi tidak hanya Bapepam, dengan penyidik Bea Cukai, penyidik Pajak, penyidik Kehutanan, itu secara reguler tambahan pak. Jadi pendidikannya 3 bulan pak memang. Tapi karena kita lihat tindak pidananya itu adalah spesifik tindak pidana di bidang pasar modal yang memang sehari-harinya kita yang mengatur, jadi memang kita hanya belajar trik-trik pendidikannya; bagaimana membuat Berita Acaranya, bagaimana cara prosedur penyidikannya, bagaimana prosedur penyidikannya, itulah yang kita belajar di Kepolisian pak. __ …. Kami menyampaikan bahwa memang untuk penyidik ini diatur dalam Hukum Acara Pidana pak, di situ memang diatur penyidik itu ada 2 pak yang itu adalah pejabat Polisi Negara Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyelidikan. Artinya di sini selain Kepolisian ada juga PPNS-nya pak. Tapi PPNS ini harus diberi kewenangan oleh undang-undang. Jadi tidak bisa diberikan kewenangan selain diberikan oleh undangundang. Harus pegawai 145 negeri sipil. Di sini apakah bisa tidak di dalam RUU OJK ini bukan PPNS atau mungkin hal yang lain tadi berlaku lain dengan hatinya lex spesialis. Kami sependapat tadi sudah disampaikan oleh Pak Robin. Untuk lex spesialis itu harus mengatur rezim yang sama pengaturan hal yang sama. Jadi di sana kan hukum acara pidana di sini adalah Undang-undang OJK, jadi itu memang tidak bisa kita pakai azas itu. Kemudian juga azas post perior mengabaikan yang lama itu juga tidak bisa kita pakai juga seperti itu. Mungkin barangkali saat ini mungkin harus PPNS pak untuk sementara, tapi untuk rumusan mungkin kami belum bisa sampaikan atau nanti kita buat secara umum artinya apakah penyidik saja yang disebut di sini. Jadi tidak kita sebutkan PPNS atau mungkin nanti kami coba saja. 2) F-PG (Nusron Wahid) __ Tadi kita sudah brainstorming soal bab penyidikan, sudah panjang lebar tentang dua isu. Isu pertamakarena OJK itu nanti pegawainya tidak lagi Pegawai Negeri Sipil di convert menjadi OJK maka yang terjadiadalah tentang penyidikan ini OJK akan mengambil penyidik dari PPNS dan penyidik dari polisi sesuaidengan KUHAP. Itu pertama sudah diputus tinggal nanti turunannya. 3) F-PDIP (Nyoman Dhamantra) __ Saya setuju OJK itu diberikan kewenangan untuk itu asal ada kerja sama. Karena kalau tidak ini banyak kasus akan bias karena ditangani tidak proporsional. Maka itu saya katakan pertama pemeriksaan, lidik, baru sidik. Kalau dia pemeriksaan internal OJK saja kalau sekiranya kesalahannya itu hanya kesalahan yang sifatnya hanya administrasi, yang cukup diberikan denda atau diberikan sanksi yang sifatnya internal saja di antara OJK dan pihak anggotanya. Tapi kalau nanti persoalan lidik sidiknya kalau kita mau betul-betul ekslusif bahwa OJK punya ekslusifitas untuk itu harus duduk dengan kejaksaan dan dengan kepolisian supaya khusus. Jadi kalau di tempat lain itu ada yang namanya polisi keuangan. Khusus menyangkut perbankan apa itu hanya kepolisian keuangan ini sajalah yang boleh. Itu ditempatkan misalnya di OJK. 146 • Rapat Panja (1 Desember 2010) 1) F-PAN (H. Nasrullah) __ Yang menjadi problem berikutnya adalah nanti bisa disambung dengan yang lain, adalah terkait dengan hukum pidana ini adalah kewenangan penyidikan itu dalam satu kaitannya dengan semua tindak pidana yang dimuat di dalam undang-undang di bidang jasa keuangan. Pertanyaannya kalau undang-undang di bidang jasa keuangan itu ternyata penyidiknya bukan penyidik PNS, tetapi yang penyidiknya adalah polisi, apakah dia harus ditarik ke sini atau tetap dia berlaku penyidik polisi. Saya ingin tampilkan ini tadi undang- undangnya gitu pak ya, di dalam undang-undang kan disebutkan beberapa undang-undang ini saya ambil contoh Undang-undang Perbankan saya belum mengecek lagi di dalam itu apakah di sana itu mengatur penyidikannya oleh PPNS atau tidak. Kalau itu tidak apakah dengan Undang-undang OJK ini dengan mengatur penyidikan yang menjelaskan tentang tindak pidana di bidang jasa keuangan sehingga dengan demikian juga berlaku tindak pidana perbankan. 2) Pemerintah (Fuad Rahmani) __ Jadi persis seperti yang disampaikan Pak Muzakir tadi, jadi memang sebenarnya pak di sektor keuangan sekarang Undang- undang Pasar Modal itu ada penyidik PNS di mana sekarang itu Bapepam. Waktu itu sekarang membentuk OJK sementara sekarang di Bank Indonesia itu kan tidak ada penyidik, di Undang-undang Perbankan juga tidak ada penyidikan dari Bank Indonesia. Di OJK itu mau dikasih semua ada penyidikan. Oleh karena itu, nanti kan kita akan mengajukan lagi ini Undang-undang Pasar Modal, Manajemen Perbankan, Asuransi, Dana Pensiun itu semua akan disesuaikan dengan ini supaya nanti sinkron. 3) Bareskrim (Bung Jono) Iya, jadi arti dari korwas tadi sebetulnya pemberian bantuan penyidikan, bukan berarti PPNS tadi di bawah atau seperti anggotanya Penyidik Polri itu salah sekali pak. Tapi kalau korwas (koordinasi pengawasan) tadi sebetulnya mengawal PPNS di dalam melakukan 147 _penyidikan. Bentuk pengawalan tadi adalah bantuan penyidikan; _ bantuan taktis, bantuan teknis, bantuan upaya paksa. Karena PPNS tadi tidak mempunyai kewenangan seperti yang ada di Kepolisian, seperti penangkapan/penahanan walaupun PPNS yang sudah ingin menangkap/menahan. Tapi repot sendiri dia pak, kewalahan juga, tugas pokoknya tidak dilaksanakan ngurusin tahanan kan gitu pak. Tetapi itu tadi memberikan bantuan penyidikan kepada PPNS supaya hasil penyidikan berkas perkaranya tadi dapat memenuhi syarat formil dan materil. Muncul pertanyaan kapan dilakukan bantuan tadi pak, semenjak SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan). Kepada penuntut umum itulah makanya melalui penyidik Polri. Itulah ceritanya dalam rangka pemberian bantuan. Kemudian arti daripada korwas tadi pak yang saya sebutkan tadi, teknis dan pelaksanaannya sudah diatur di dalam KUHAP. Jadi PPNS Bapepam itu ya dalam kesehariannya kemarin gelar kami datang, mengundang Pak Jaksa juga datang, dalam keseharian sudah bersama. Karena memang Pasal 107 ayat (1), ayat (2), ayat (3) itu sudah mengatur mekanisme korwasnya di bantuan penyidikan tadi pak, sudah diatur di situ. Kembali ke rumusan yang tadi bahwa nanti penyidik di OJK ini di situ ada penyidik Bapepam, penyidik Polri dan penyidik jaksa gitu lho. Wah ini polanya seperti KPK sepintas gitu lho pak. Padahal pola penahanan di KPK dengan OJK itu lain. Pola penahanan koruptor dengan terorisme itu sama pak, karena koruptor itu hampir seluruh Indonesia mendukung, sama dengan penahanan terorisme semuanya mendukung. Kalau ketemu langsung hap, kalau bisa begitu pak. Di OJK ini tidak demikian makanya di sini ada kewenangan administratif, mencabut izin dan segala macam. OJK itu tadi kental dengan kehidupan sosial, dengan ekonomi, dengan ini pak. Kalau ada masalah juga harus melihat pajaknya di mana, perusahaan tadi ada tenaga kerjanya tidak, ini perputaran bagaimana dengan perputaran ekonomi di Indonesia, sehingga polanya tidak seperti KPK tidak langsung potong lehernya gitu pak. Itu supaya masuk kan ke kas negara kan begitu pak. 148 4) Jampidsus (M. Amari): __ Menyangkut masalah penyidik pak, ini saya sependapat dengan pak dari Polri, bahwa PPNS itu bisa dibentuk tapi itu syaratnya harus pegawai negeri sipil. Kalau badan ini dibentuk sebagai badan swasta atau bukan badan negara, maka susah kita untuk bisa membentuk PPNS karena salah satu syarat PPNS itu adalah dia pegawai negeri. Yang dari pegawai negeri kemungkinan dari Bapepam tapi tidak tahu bagaimana nanti membentuknya kalau memang keinginan untuk membentuk PPNS itu begitu kuat dan memang itu penting. Menurut hemat saya memang perlu karena polisi nanti yang akan membantu dalam penanganan mekanisme penyidikannya, PPNS itu nanti yang menguasai mengenai teknis perbankan atau teknis masalah keuangannya. Kalau jaksa jelas sama dengan polisi, ibara penyidik itu penyidik umum tahunya masalah umum, masalah-masalah khusus tentu harus belajar dulu atau paling tidak meminta bimbingan kepada mereka-mereka yang sudah spesialis. __ ... Mengenai batasan apakah lembaga ini OJK ini bisa melakukan penyidikan atau hanya penyelidikan. Kalau menurut hemat saya kita berkaca pada PPATK pak. PPATK tempo hari di dalam RUU-nya mengingingkan agar PPATK itu bisa ditingkatkan dari melakukan pemeriksaan, dari melakukan pemantauan penyelidik. Untuk menjadi penyelidik saja tempo hari itu tidak disetujui, hanya sebagai pemeriksa tugasnya melakukan pemeriksaan. Padahal kalau dia melakukan penyelidikan juga tidak terlalu bersinggungan, karena hasil penyelidikannya toh juga diteruskan kepada penyidik yang menjadi tindak pidana asap. Bahkan menurut hemat saya OJK ini kalau kita jadikan sebagai instansi penyidik agak repot ini. Karena yang pertama perangkat untuk ke sana itu seperti untuk menahan dan seterusnya kan tidak punya dan dia bukan ditugaskan untuk melakukan kegiatan penegakan hukum yang sebegitu drastis karena masih ada hal-hal lain yang perlu dilindungi yang perlu sentuhan-sentuhan yang lebih soft sifatnya dibanding dengan terorisme dan korupsi, sehingga PPATK pun juga kita bentuk seperti itu tempo hari itu. maka kalau ini juga 149 dikasih kekuasaan seperti polisi, seperti jaksa, nanti kabur orang yang mau bergerak di bidang keuangan ini. Makanya memang perlu lebih berhati-hati. Kemudian mengenai penyidik di Bapepam saya belum tahu persis pak mengenai penyidik Bapepam nanti barangkali bapak dari Bareskrim nanti yang bisa memberikan penjelasan. __ Menyangkut masalah ini bisa tidak OJK ini menjadi penyidik atau penyelidik atau pengawas, atau apa tadi itu pemeriksa. Kalau saya membaca namanya ini di dalam konsideran menimbang b bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana yang dimaksud dalam huruf a, diperlukan otoritas jasa keuangan yang bertugas melaksanakan pengawasan yang dapat mengeluarkan peraturan yang berkaitan dengan tugas pengawasan terhadap perbankan, pasar modal, dan industri jasa keuangan non bank secara terpadu, independen dan akuntabel. Kalau lihat namanya di sini pengawasan dan kalau memang betul ini yang dikehendaki pengawasan tentu kewenangannya bukan sampai pada penyidikan karena kalau sudah sampai pada penyidikan bukan sekedar pengawasan itu penegak hukum. Hasil dari pengawasan ini baru diberikan kepada penegak hukum, penegak hukum lah yang nanti akan menindaklanjuti sesuai dengan tugas dan fungsinya sebagai penegak hukum. Kalau saya lihat saya kembalikan kepada konsideran ini menurut hemat saya paling banter yang bisa dilaksanakan oleh OJK ini adalah penyelidikan tapi bukan penyidikan atau pemeriksaan tadi. Sebenarnya istilah pemeriksa dan penyelidik itu hampir sama pak, sama-sama belum boleh melakukan upaya paksa, belum boleh menahan, belum boleh menangkap tapi dia bisa melakukan investigasi yang hasilnya nanti dianalisis di dalam produk-produk pengawasan seperti yang dilakukan oleh BPKP, dilakukan oleh PPATK dan beberapa lembaga pengawasan semacam itu. • Rapat Kerja Panja (2 Desember 2010) 1) Pakar Hukum Tata Negara (Jimly Asshiddiqie) Kemudian yang selanjutnya itu soal penyidikan. Jadi Pak Harry mana tadi, jadi saya ingin menjelaskan di sini sekarang, instansi yang 150 menangani penyidikan itu sudah 55 instansi; ada polisi, ada KPK, ada Kejaksaan, ada PPNS itu banyak sekali. Dari segi undangundang yang boleh itu PPNS (Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Pertanyaan OJK ini PNS bukan. Kalau dia akan diberi fungsi penyidikan kayak KPK ini bisa masalah ini. Ini kan kita karena tidak percaya kepada kejaksaan, maka kita bikin KPK, tidak percaya polisi, tidak percaya. Tapi kalau begini terus kapan habisnya kita bikin lagi lembaga baru nanti fungsi penyidik lagi. Saya berharap kalau bisa janganlah ini, cukup penyelidikan saja tetapi ada rambu-rambu yang begitu jelas sehingga Kejaksaan itu tidak bisa misalnya bermain-main dengan jadwal, ditentukan lebih rinci gitu misalnya begitu. Dan partnership antara OJK ini langsung dengan Kejaksaan tidak usah dengan Kepolisian lagi, Kejaksaan. Jadi ini termasuk tindak pidana khusus. Kalau tindak pidana khusus tidak perlu lewat polisi jadi langsung dia. Tapi lembaga ini jangan diberi fungsi penyidikan cukup penyelidikan, walaupun di dalam fungsi penyidikan di Kejaksaan dia ikut nempel gitu, jadi dia ikut berperan, diatur saja begitu. Tanpa harus memberi kewenangan menyidik sendiri. Itu saya anjurkan demikian .
F-PG (Melchias Marcus Mekeng) __ Masalah penyidikan, Prof. Ya memang kalau penyidikan ini diberikan kepada OJK kelihatan menjadi super body lagi nanti, tetapi, Prof, faktanya di lapangan kasus-kasus pasar modal, kasus-kasus perbankan ini rasa keadilan sudah tidak ada lagi. Tadi Pak DR. Harry menyampaikan kasus Herman Ramly, banyak lagi pemain-pemain pasar modal yang tidak pernah ketangkap padahal mereka melakukan pelanggaran yang di depan mata kelihatan, nah, kalau ini diberikan katakanlah kepada Kejaksaan dari sisi kompetensi juga belum tentu orang di Jaksa mengerti pasar modal. Nah, ini apakah bisa dalam transisi ini diberikan ini sampai Kejaksaan kita ini benar-benar Kejaksaan yang kita harapkan atau Kepolisiannya itu. Kalau tidak, ini lembaga OJK ini lembaga setengah hati walaupun sudah diberi kekuasaan untuk mengawasi tetapi pada saat dia mengawasi dia menemukan sesuatu yang tidak benar dia tidak bisa lakukan apa-apa, 151 hanya kasih saja dibuat penyelidikan, kasih Kejaksaan, tidak pernah P21. Nah, artinya visi dan misi daripada OJK dari awal yang kita inginkan ini, itu tidak pernah akan berhasil. Nah, ini bagaimana, Prof, kalau fungsi penyidikan ini. 3) F-PD (I Wayan Gunastra) __ Lalu terkait dengan OJK, jadi untuk mencegah hal-hal seperti itu lalu kita bentuk OJK berdasarkan undang-undang. Kalau suatu lembaga yang dibentuk berdasarkan undangundang, tidakkah boleh lembaga itu punya penyidik sendiri. Sekarang salah satu lembaga yang akan diambil kekuasaannya oleh OJK yaitu Bapepam punya penyidik sendiri. Itu yang saya ingin tahu, punya penyidik sendiri. Apakah lembaga yang kita bentuk dengan undangundang yang juga perannya yang akan sangat penting untuk menjaga Negara ini jangan sampai rusak karena kriminal di bidang jasa keuangan itu, benar-benar tidak boleh mempunyai lembaga yang mempunyai penyidik sendiri dengan keahlian khusus itu karena tidak semua penyidik yang kita miliki akan mempunyai keahlian seperti ini terutama di bidang kejahatan keuangan. • Rapat Dengar Pendapat (2 Maret 2011) 1) Yusril Ihza Mahendra __ Kemudian ini ada yang agak serius pasal 41 mengenai penyidikan. Kalau saya baca disini pasal 41 ini mengatur selain penyidik polisi, pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang ruang lingkupnya meliputi pengawasan jasa keuangan di lingkungan jasa keuangan diberi kewenangan khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam kitab-kitab Undangundang hukum acara pidana. Yang diatur disini ada PPNS, penyidik pegawai negeri sipil selain penyidik polisi. Tidak disebut apa namanya penyidik dari kejaksaan tidak ada disini. Yang ada Cuma polisi, PPNS. Tapi yang diatur dalam pasal 1 ini hanya keberadaan mereka sebagai PPNS seperti disebutkan dalam KUHAP. Tapi bagaimanakah prosedur kerja dari…………………… __ ... Tapi tegas dikatakan bahwa KPK dalam melakukan penyidikan dan penyelidikan menggunakan KUHAP kecuali diatur secara khusus 152 di dalam Undang-undang ini. Misalnya menyimpang bahwa KPK itu tidak ada SP3. Itu menyimpang dari KUHAP tapi yang pokok adalah tetap KUHAP. Tapi disini tidak ada, dan ini bisa menyebabkan ini ada lembaga baru yang menakutkan semua orang. Ada pegawai negeri sipil yang diangkat. Kemudian penyidik esselon I berwenang. Kewenangannya ini memberikan laporan, melakukan penelitian kebenaran laporan, melakukan penelitian terhadap orang yang diduga melakukan atau tindak pidana dibidang jasa keuangan, memanggil, memeriksa, meminta keterangan dan barang bukti ke setiap orang, melakukan pemeriksaan atas pembukuan, meminta dokumen berkenaan dengan tindak pidana, melakukan pengeledahan, loh ngeri ini. tidak ada ini, tidak terikat KUHAP. Bisa dipanggil orang, bisa geledah DPR bisa geledah siapapun. Lebih dari KPK ini. Sedangkan polisi, kejaksaan mau menggeledah harus ijin pengadilan, bagaimana kacau balau ini dunia keuangan kita kalau lembaga ini penyidiknya diberikan otoritas yang cukup besar. Tidak tunduk pada KUHAP dan atur saja dia sendiri. 2) F-PG (DR. H. Harry Azhar Azis, MA) __ ... Soal penyidik ini menarik. Apakah dari pernyataan Pak Yusril itu artinya kita mesti mempertegas lama sebelum kita atur model tata cara penyidikan di Undang-undang ini, harus ditegaskan itu harus tunduk kepada KUHAP. 3) F-PD (Ir. Hj. A.P.A Timo Pangerang) __ Bagus sekali Pak Yusril tadi menyampaikan tentang Pasal 41 bahwa apa kalau kita bertanya bagaimana hukum acara yang digunakan. Saya kira Pak Yusril di sini disampaikan bahwa mereka mengacu pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Undang- undang 8 tahun 1981, dan kemudian PNS. Yang tadi disampaikan bahwa sepertinya ini berbahaya atau punya kewenangan yang besar PPNS ini. Nah, PPNS ini kan melakukan penyelidikan terhadap pegawai negeri sipilnya. Jadi di dalam lembaga OJK ini selain tadi beberapa orang dari para ahlinya di bidang asuransi, di bidang pasar modal, perbankan, juga boleh menerima pegawai negeri sipil yang 153 ingin masuk ke dalam lembaga ini. Tentu PPNS ini akan berperan ketika dia memeriksa pegawai negeri sipilnya kan Pak Yusril, bukan di luar non pegawai negeri sipil kalau non pegawai negeri sipil yang periksa tentu pejabat penyidik Kepolisian. Nah, pertanyaannya adalah kalau saya buka-buka undang-undang yang lain yang juga ada di penyidikan unsur pegawai negeri sipil, saya lihat sebenarnya intinya more or less kurang lebih sama pak, dia melakukan pemeriksaan, dia memanggil memeriksa terhadap pegawai negeri sipil yang diduga melakukan tindak pidana Jadi seperti ini, tapi karena saya dengar tadi Pak Yusril menyampaikan ini sangat berbahaya saya juga ingin mendapatkan gambaran di mana kira-kira pelanggaran daripada kewenangan PPNS ini. 4) Yusril Ihza Mahendra __ … Nah sebaiknya pasal 41 ini rumusannya, PPNS ini dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya ya itu menggunakan hukum acara sebagaimana diatur didalam KUHAP kecuali diatur tersendiri didalam Undang-undang ini, jadi ini mengandung satu hukum acara disini tapi sangat singkat ya, tapi memberikan kewenangan yang potensial bisa disalahgunakan oleh PPNS yang menjadi ini, seperti misalnya disebutkan disini dia punya kewenangan untuk melakukan pengeledahan, karena dia merasa tidak tunduk pada KUHAP, dihukum acara diberikan kewenangan, dia bisa mengeledah siapa saja tanpa ijin pengadilan dan itu bisa bahaya, apalagi dia bisa menyita, dia bisa memanggil orang. __ Nah jadi saya kira rumusan pasal 41 ini mesti dielaborasi agak rinci karena pedoman kita begini, inikan sebenarnya bukan menyangkut hukum pidana, ini kan hukum administrasi negara sebenarnya, tapi didalamnya ini ada aspek hukum acara pidana, hukum acara pidana itu harus strike, strike nggak bisa disamar-samar, karena sifat dari hukum pidana materiil maupun pidana formil itu akan bersentuhan langsung dengan hak asasi manusia. • Rapat Intern Pansus (24 Mei 2011) 1) F-PG (Nusron Wahid) 154 Baik, begini keputusan kita tentang masalah lidik-sidik ini penyelidikan dan penyidikan, itu kemarin dikembalikan ke dalam ranah undang-undang sektoral..... Nah persoalan yang muncul di dalam undang-undang OJK ini adalah kewenagan untuk sampai pada level penyidikan itu hanya terbatas pada level pasar modal. Karena di dalam klausulnya itu di dalam pasal-pasal itu dinyatakan sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku. Tidak diatur secara khusus. Jadi kewenangan untuk penuntutan eh penyidikan, itu hanya sampai khusus pada masalah pasar modal. Nah pada waktu pertimbangan, perdebatannya kalau ingin memberikan, mengurangi kewenangan atau ingin menambah kewenangan itu ini dikembalikan dalam kontek pembahasan waktu kita mengamandemen undang-undang sektoral apakah undang- undang perbankan, apakah undang-undang asuransi, apakah undang-undang industri pembiayaan maupun undang-undang tentang pasar modal nanti. • Rapat Panja (26 Mei 2011) 1) Menteri Keuangan (Agus M) __ Substansi ketiga yang berhasil disepakati adalah terkait dengan penegakan hukum.Dalam hal ini kewenangan pemeriksaan dan penyidikan di mana penegakan hukum di sektorjasa keuangan dilakukan di bawah payung Undang-undang OJK dan dikoordinasikan olehOJK, namun dengan tetap memperhatikan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum AcaraPidana. Lebih lanjut disepakati pula mekanisme pola rotasi serta mutasi penyidik, agarpenyidikan terhadap dugaan tindakan pidana di sektor jasa keuangan dapat dilaksanakandengan efektif. Aspek pemidanaan sebagai bagian dari penegakan hukum juga telahmemperoleh perhatian serius pada pembahasan sebelumnya. Sehingga tercapai kesepakatantentang ketentuan pidana baik tentang tindak pidana maupun ancaman pidananya . • Rapat Panja (10 Juni 2011) 1) F-PG (Nusron Wahid) 155 __ Terima kasih Pimpinan, perlu kami sampaikan bahwa penuntut umum memang hanya kejaksaan.Oleh karena itu yang tadi kami kemukakan, di Malaysiapun penuntut umumnya itu adalah dari jaksa yangdi seperti second man dimasukkan ke Securities Commission. Sekarang di KPK pun sebenarnya adalahpenuntut umumnya adalah kejaksaan yang punya private jaksa kemudian masuk di KPK. Bahkan diskhususKPK yang ingin punya penyidik sendiripun itu masih menjadi ramai karena penyidiknya sekarangpun masihmenyidik polisi. Dengan demikian Pimpinan atas ijin Ketua Bapepam LK bahwa kami masih berpendapatbahwa penuntutan hanya bisa dilakukan oleh jaksa penuntut umum yang punya private jaksa penuntutumum di kejaksaan agung yang nanti di second man kan atau ditugaskan di Otoritas Jasa Keuangan. 2) F-PKS (Kemal Azis Stamboel) __ Perlu kami sampaikan Negara yang basisnya pasarmodalnya, kami paham pasar modalnya bagus itu negara-negara common law seperti Amerika. Amerikamalah bahkan tidak punya kewenangan penyidikan. Inggris juga tidak punya kewenangan penyidikan.Kebetulan di negara common law yang kami sampaikan tadi Malaysia itu punya kewenangan baik kewenangan administrasi atau administrative Rosiding, punya kewenangan civil Rosiding atau perdata danpunya kewenangan pidana termasuk penuntutannya. Memang di negara-negara civil law seperti diIndonesia banyak sekali para juries yang tidak sepakat bahwa proses penyidikan dan penuntutan dalamsatu body, karena takut adanya kurang check in balance. Tetapi kenapa tadi disampaikan bahwa yangmana aja, memang sekarang ini komisi pemberantasan korupsi Pak yang punya kewenangan itu. Selain itu,kami tidak melihat atau sekurang- kurangnya belum melihat ada lembaga lain yang punya kewenangan proyustisia untuk penyidikan dan penuntutan dalam satu tubuh Pak. Bahwa dalam KPK itu pengadilannya punsudah sendiri, pengadilan tipikor. Karena memang dianggap kejahatan luar biasa. 3) F-PAN (PROF. DR. Ismed Ahmad) 156 __ Perdebatannya nanti kita lakukan di pansus, karena feeling saya, ini feeling, meskipun Pak Nyoman setuju tentang ini, ini di dalam anggota pansus kita ini ada beberapa anggota Komisi III yang saya tahu persis anggota Komisi III itu mempunyai semangat yang kuat terhadap proteksi terutama hal-hal yang menyangkut tentang kewenangan penyidikan polisi sama hal-hal yang menyangkut kewenangan penuntutan jaksa. Di cowel sedikit pasti akan halo-halo pasti itu akan nanti. Pasti itu akan nanti. Lebih baik energinya itu kita harapkan simpen lalu di pansus. Tapi yang penting pada rapat sore ini kita merumuskan pasal demi pasal yang itu menjadi amanat daripada rapat semalam. • Rapat Kerja (25 Oktober 2011) 1) F. PDIP (I.G.A. Rai Wirajaya, SE., MM) __ Terima kasih Pimpinan. Terkait dengan masalah sidik dan lidik ini kami sudah memberikan suatu catatan, bahwasanya masalah penyelidikan kami tetap pada berpegangan pada penyelidikan itu diberikan kepada PPNS, namun penyidikannya itu kembali ke kepolisian. 2) F-PG (Meutya Hafid) __ Poin ke enam, kewenangan pemeriksaan dan penyidikan. OJK memiliki alat kelengkapan sendiri dan mandiri dalam melakukan penegakan hukum, hal ini penting untuk mengatasi permasalahan yang timbul manakala melakukan tugas pengaturan dan pengawasan di sector jasa keuangan. Meskipun awalnya kami mengusulkan agar OJK memiliki kewenangan penuntutan namun fungsi penegakan hukum yang telah mencakup pemeriksaan dan penyidikan atau sidik kami pandang cukup dalam melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab yang utuh dalam proses penegakan hukum. 3) F-PKB (Otong Abdurrahman) __ Terakhir nomer 5, fraksi Partai kebangkitan bangsa berpendapat bahwa dengan adanya pengaturan mengenai perlindungan konsumen dan masyarakat serta ketentuan tentang pemeriksaan dan penyidikan dan ketentuan sanksi hukum baik administrative maupun pidana yang 157 tegas seperti yang diatur dalam RUU tentang otoritas jasa keuangan ini diharapkan dapat mendorong penegakan hukum di Indonesia menjadi berjalan lebih baik setidaknya bisa meminimalisir terjadinya tindakanmelawan hukum. 4) F-PDIP (I Nyoman Damantra) __ Ketiga menyangkut pelaksanaan penyidikan oleh penyidik pegawai negeri sipil PPNS dalam undang-undang ini jangan sampai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum AcaraPidana atau KUHAP .
F-PAN (PROF. DR. Ismed Ahmad) __ Kewenangan penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan oleh OJK namun kewajiban penuntutan dilakukan oleh lembaga berwenang lainnya yang diatur oleh perundang-undangan.... Keberhasilan Pansus OJK dalam menyelesaikan pasal-pasal yang controversial seperti pemeriksaan, penyelidikan, penyidikan dan penuntutan harus diberikan apresiasi yang sebesar-besarnya . Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, DPR RI memohon agar memberikan amar putusan sebagai berikut:
Menyatakan bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya atau setidak-setidaknya menyatakan permohonan a quo tidak dapat diterima;
Menerima Keterangan DPR RI secara keseluruhan;
Menyatakan Pasal 1 angka 1 terhadap kata “dan penyidikan ” dan Pasal 9 huruf c terhadap kata “penyidikan” Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Menyatakan Pasal 1 angka 1 terhadap kata “dan penyidikan ” dan Pasal 9 huruf c terhadap kata “penyidikan” Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat. 158 [2.5] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, OJK telah menyampaikan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 15 Februari 2019, yang pada pokoknya sebagai berikut: I. POKOK PERMOHONAN PARA PEMOHON Bahwa Para Pemohon berpendapat Pasal 1 angka 1 terhadap frasa “dan Penyidikan” dan Pasal 9 huruf c terhadap kata “Penyidikan” UU OJK yang memberikan kewenangan penyidikan kepada OJK bertentangan dengan asas “ due proccess of law ” dalam Sistem Penegakan Hukum Pidana ( Criminal Justice System ) sebagai jaminan yang harus ada dalam Negara Hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 , serta tidak memberikan kepastian hukum yang adil bagi seseorang yang disangka melakukan tindak pidana di sektor keuangan saat menjalankan proses penyidikan yang dilakukan oleh Lembaga OJK dimana seharusnya setiap warga negara mendapatkan jaminan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 . II. KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING) PARA PEMOHON. Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 (selanjutnya disebut UU MK), menyatakan bahwa para Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang- undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia;
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara. Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka para Pemohon terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan: 159 1. Kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK);
Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang diuji;
Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. Lebih lanjut, Mahkamah Konstitusi RI telah memberikan pengertian dan batasan kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi ( vide putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan putusan-putusan berikutnya), harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu:
adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945;
bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Atas hal-hal tersebut di atas, kiranya Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi perlu mempertimbangkan kembali persyaratan Para Pemohon sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan Pasal 1 angka 1 terhadap frasa ” dan Penyidikan ” dan Pasal 9 huruf c terhadap kata ” Penyidikan ” UU OJK terhadap Pasal 1 ayat (3) dan 28D ayat (1) UUD 1945. 160 Terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon, OJK menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
Berdasarkan Surat Permohonan dari para Pemohon pengujian a quo, identitas para Pemohon adalah sebagaimana tercantum dalam halaman 2 sampai dengan halaman 3 dan halaman 6 sampai dengan halaman 8 surat permohonan a quo yang pada pokoknya para Pemohon adalah Warga Negara Indonesia yang berprofesi sebagai advokat (Pemohon I), Dosen Universitas Surakarta (Pemohon I sampai Pemohon IV) dan karyawan di PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (Pemohon V dan Pemohon VI) . 2. Menurut OJK, hal yang disampaikan para Pemohon dalam permohonannya pada dasarnya merupakan permasalahan penerapan norma (implementasi), dan tidak terkait dengan konstitusionalitas norma yang dimohonkan untuk diuji. Hal ini telah disebutkan dalam beberapa pokok permohonan a quo , yaitu:
Pemohon I yang berprofesi sebagai Advokat, merasa akan mengalami kesulitan dalam melakukan pembelaan terhadap klien mengingat UU OJK tidak mengatur secara jelas hak-hak seorang tersangka dalam tindak pidana disektor jasa keuangan. Pemohon I menganggap tidak mendapatkan kepastian hukum atas proses hukum pidana di sektor jasa keuangan yang berada di lingkup kekuasaan lembaga OJK.
Pemohon I sampai dengan Pemohon IV yang berprofesi sebagai Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta yang merasa dirugikan dengan adanya ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK karena secara keilmuan hukum pidana yang dipelajari oleh Pemohon I, Pemohon II dan Pemohon III, dalam pemberlakuan “ criminal justice system ” di Indonesia yang mengakui asas “ due process of law ” sebagai suatu proses yang harus dijalankan oleh Negara cq. Aparat Penegak Hukum yang telah diatur dalam KUHAP, tetapi hal tersebut diabaikan dengan berlakunya UU OJK sehingga menderita mengalami kerugian konstitusional.
Pemohon V sampai dengan Pemohon VI yang berprofesi sebagai karyawan di PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (selanjutnya 161 disebut PT SNP) yang merasa dirugikan karena adanya laporan dari salah satu bank kreditur ke Kepolisian dan saat ini sedang dalam proses hukum di Kepolisian karena disangka melakukan tindak pidana di sektor jasa keuangan. Hal ini menurut Pemohon tidak akan terjadi apabila OJK tidak memiliki kewenangan penyidikan.
Alasan Pemohon I yang mendalilkan telah terjadi kerugian konsitusional karena tidak diaturnya secara jelas hak-hak tersangka dalam UU OJK kurang tepat jika kaitkan dengan pasal-pasal yang diujikan dalam perkara a quo . Ketidakjelasan hak-hak tersangka dalam UU OJK selayaknya mengacu pada ketentuan yang berkaitan dengan kewenangan OJK dalam pemenuhan hak-hak tersangka pada proses penyidikan yang dilakukan oleh OJK dan Pemohon seharusnya melihat bagaimana praktik yang dilakukan oleh OJK berkaitan dengan pemenuhan hak-hak para pihak pada proses penyidikan oleh Penyidik OJK.
Terhadap alasan Pemohon I sampai dengan Pemohon IV yang berprofesi sebagai dosen/pengajar pada perguruan tinggi, OJK berpendapat bahwa norma pasal-pasal yang dilakukan pengujian adalah berkaitan dengan apakah OJK sebagai lembaga independen layak untuk diberikan kewenangan penyidikan dalam tindak pidana di sektor jasa keuangan, sedangkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) adalah ketentuan yang berkaitan dengan bagaimana penyidik menerapkan kewenangan penyidikan yang dimiliki. Berdasarkan KUHAP penyidik wajib melakukan proses penyidikan sesuai dengan hukum acara pidana yang diatur dalam KUHAP dan hal ini tentu tidak berkaitan dengan pemberian kewenangan penyidikan oleh lembaga tertentu termasuk OJK.
Alasan Pemohon V dan Pemohon VI yang menganggap bahwa telah dirugikan sebagai akibat dari laporan bank kreditur PT SNP kepada pihak kepolisian sehingga Para Pemohon saat ini menjalani proses hukum sebagai tersangka dengan dugaan tindak pidana di sektor jasa keuangan tidaklah dapat dijadikan dasar dalam menyatakan adanya kerugian konstitusional dari pasal-pasal dalam UU OJK yang dilakukan pengujian pada perkara a quo . Berdasarkan informasi yang diperoleh oleh OJK, 162 Pemohon V dan Pemohon VI bukanlah pihak-pihak yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Penyidik OJK. Pemohon V dan Pemohon VI ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Bareskrim Mabes Polri dalam dugaan tindak pidana umum dan bukan karena dugaan tindak pidana di sektor jasa keuangan.
Dalam Persidangan Pendahuluan Permohonan a quo pada tanggal 18 Desember 2018, Yang Mulia Majelis Mahkamah Konstitusi telah memberikan saran dan kritik terhadap Permohonan dimaksud diantaranya terkait legal standing atau kedudukan hukum dari Para Pemohon (dalam hal ini Pemohon I sampai Pemohon IV) yang menurut Yang Mulia Majelis Mahkamah Konstitusi kurang spesifik karena tidak adanya kerugian konstitusional secara nyata terhadap Para Pemohon terkait dengan kewenangan penyidikan yang diatur dalam UU OJK.
Selain itu Yang Mulia Majelis Mahkamah Konstitusi juga berpendapat dalam permohonan a quo , para Pemohon tidak memberikan argumentasi yang eksplisit terkait dengan kondisi konkrit hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara posisi Pemohon sebagai akademisi dengan diberikannya kewenangan Penyidikan kepada OJK.
Selanjutnya, dalam persidangan perbaikan permohonan yang dibacakan oleh Pemohon pada tanggal 7 Januari 2019, Pemohon I sampai Pemohon IV tidak melakukan perubahan dalam menjelaskan kerugian konstitusional yang dialami Pemohon I sampai dengan Pemohon IV tetapi hanya menambahkan Pemohon V dan Pemohon VI yang menurut para Pemohon memiliki kerugian secara nyata terhadap kewenangan penyidikan yang diatur dalam UU OJK karena menjalani masa tahanan di Polda Metro Jaya.
Oleh karena itu, kiranya adalah tepat dan sudah sepatutnya jika Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan para Pemohon tidak memenuhi kualifikasi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 51 UU MK sehingga dengan demikian Permohonan Pemohon layak untuk dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard ). 163 10. Namun jika Yang Mulia Ketua/Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memberikan pendapat yang berbeda, maka OJK menyerahkan kepada Yang Mulia Ketua/Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) atau tidak, sebagaimana ditentukan oleh ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu (sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU- V/2007). III. PERMOHONAN PENGUJIAN YANG DIAJUKAN PARA PEMOHON TELAH DINILAI DAN DIPUTUS OLEH YANG MULIA MAJELIS MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PERKARA NOMOR 25/PUU-XII/2014 YANG BERSIFAT FINAL AND BINDING 1. Sesuai dengan ketentuan Pasal 60 UU MK menyatakan, ” Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam Undang- Undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. ” 2. Pada tanggal 14 Agustus 2015, Mahkamah Konstitusi telah memeriksa dan memutus rumusan keseluruhan Pasal 1 angka 1 UU OJK terhadap UUD 1945 dalam putusan perkara NOMOR 25/PUU-XII/2014, sehingga Pasal 1 angka 1 UU OJK selengkapnya menjadi berbunyi: “ Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah Lembaga yang Independen, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.” 3. Berdasarkan pendapat Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam persidangan tanggal 18 Desember 2018 yang dituangkan dalam halaman 13 risalah sidang perkara Nomor 102/PUU-XVI/2018, Yang Mulia Hakim Anggota Saldi Isra pada pokoknya menyatakan kewenangan penyidikan yang terdapat pada Pasal 1 angka 1 UU OJK telah dinyatakan konstitusional dalam Putusan sebelumnya dan apabila ketentuan tersebut hendak dikoreksi maka Pemohon harus memberikan argumentasi yang jauh lebih kuat. 164 4. Berdasarkan hal tersebut di atas, setelah mempelajari Permohonan a quo , baik pada Surat Permohonan pertama maupun pada Surat Perbaikan Permohonan, menurut pandangan Pihak Terkait, materi muatan ayat yang dimohonkan pengujian a quo telah diuji dan diputus berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XII/2014 sehingga __ tidak dapat dimohonkan pengujian __ kembali . Selain daripada itu, Pemohon belum memberikan argumentasi-argumentasi yang jauh lebih kuat atas permohonan pengujian Pasal 1 angka 1 UU OJK yang telah dinyatakan konstitusional dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU- XII/2014.
Selanjutnya, Putusan Mahkamah Konstitusi adalah bersifat final , yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat ( final and binding ). Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) UU MK dan penjelasannya.
Dengan demikian, permohonan a quo tidak memenuhi kriteria sebagai permohonan yang dapat dimohonkan kepada Mahkamah Konstitusi. IV. PENJELASAN OJK TERHADAP MATERI YANG DIMOHONKAN OLEH PARA PEMOHON Sebelum OJK menyampaikan penjelasan atas Materi Permohonan Para Pemohon, OJK terlebih dahulu akan menjelaskan tujuan pembentukan OJK dan dasar kewenangan penyidikan dalam UU OJK sebagai berikut:
Dasar Hukum dan Tujuan Pembentukan OJK 1.1. Pembentukan OJK melalui UU OJK disusun bersama antara Presiden (Pemerintah) sesuai kewenangan dalam Pasal 5 UUD 1945 dengan DPR-RI sesuai kewenangan dalam Pasal 20 UUD 1945.
Latar Belakang Kewenangan Penyidikan OJK 2.1. Pada prinsipnya, Pemerintah dan DPR selaku pembentuk undang- undang ( policy maker ) memiliki kewenangan yang disebut dengan open legal policy . Kewenangan tersebut memberikan kebebasan 168 kepada policy maker untuk membentuk norma tertentu sepanjang tidak bertentangan dengan konstitusi.
Pelaksanaan Kewenangan Penyidikan oleh OJK tetap Berlandaskan pada Asas Presumption of Innocence Dalam Koridor Due Process of Law serta Integrated Criminal Justice System. Setelah membaca dan mempelajari surat permohonan a quo , selain hal- hal yang berkaitan dengan keberatan pemohon atas pencantuman kewenangan penyidikan oleh OJK dalam UU OJK yang dianggap tidak sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D UUD 1945, terdapat beberapa keberatan pemohon yang berkaitan dengan pelaksanaan penyidikan yang dianggap sewenang-wenang dan melanggar asas presumption of innocence , keberadaan penyidik dari instansi lain yang bersifat sementara dan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, pelaksanaan penyidikan yang melanggar due process of law , dan mengaburkan integrated criminal justice system . Menanggapi hal-hal tersebut di atas, OJK memiliki beberapa pandangan sebagai berikut:
1.2. Dalam paham Negara Hukum, pada hakikatnya hukum sendirilah yang menjadi penentu segalanya sesuai dengan prinsip nomokrasi ( nomcrasy ) dan doktrin “ the Rule of Law and not of Man ”. Dalam kerangka ‘ the rule of Law’ , pengakuan bahwa hukum itu mempunyai kedudukan tertinggi ( supremacy of law ), adanya persamaan dalam hukum dan pemerintah ( equality before the law ), dan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya dalam kenyataan praktek ( due process of law ). 175 3.1.3. Gagasan Negara Hukum dibangun dengan mengembangkan perangkat hukum sebagai suatu sistem yang fungsional dan berkeadilan. Sehingga sistem hukum tersebut dibangun ( law making) dan ditegakkan ( law enforcing). 3.1.4. Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum memiliki empat ciri _penting yaitu: _ a) Perlindungan hak asasi manusia; b) Pembagian kekuasaan; c) Pemerintahan berdasarkan undang-undang; dan d) Peradilan tata usaha negara.
1.5. Sejalan dengan ciri Negara Hukum menurut Julius Stahl tersebut, dalam menjalankan pemerintahan, para aparatur negara harus berdasarkan pada undang-undang yang dibentuk sesuai dengan kewenangannya.
1.6. Sebagaimana dimuat dalam Naskah Akademik Pembentukan OJK dinyatakan bahwa OJK dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya harus berlandaskan asas-asas prinsipil yang harus diterapkan secara utuh dan konsekuen, salah satunya ialah asas kepastian hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan OJK.
1.7. Hal ini dituangkan ke dalam rumusan pasal-pasal yang ada dalam UU OJK, dimulai dari tujuan, fungsi, tugas, dan wewenang OJK untuk melakukan pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan, termasuk dengan batasan kewenangan yang jelas dalam melakukan pelaksanaannya. Kemudian, struktur peraturan pelaksanaan di OJK yang wajib dibuat sebagai dasar hukum setiap aturan main dan/atau keputusan yang diambil OJK demi terjaminnya tata cara pelaksanaan administrasi negara yang baik dan benar.
1.8. Demikian pula dengan kewenangan penyidikan yang diatur secara spesifik dimulai dari pengenalan kewenangan penyidikan yang merupakan fungsi pengawasan OJK di sektor jasa 176 keuangan (vide Pasal 9 huruf c UU OJK). Kemudian, dasar acuan kewenangan penyidikan OJK yang tunduk pada koridor hukum acara pidana yang diatur dalam KUHAP [vide Pasal 49 ayat (1) UU OJK] hingga formasi Penyidik OJK yang terdiri dari Penyidik Polri dan Penyidik PPNS berikut dengan masing- masing kewenangannya dan kewajiban koordinasi dengan instansi terkait (vide Pasal 49, Pasal 50, dan Pasal 51 UU OJK).
1.9. Berdasarkan uraian tersebut serta pendapat para filsuf ahli hukum di atas, menunjukkan bahwa pelaksanaan fungsi penyidikan OJK sejalan dengan asas supremasi hukum dimana pelaksanaannya didasarkan pada hukum (undang-undang) yang dibentuk oleh pemerintah dan DPR.
2.4. Dapat diinformasikan per tanggal 26 Januari 2019 ini pelaksanaan kewenangan penyidikan oleh OJK telah membuahkan 9 (sembilan) putusan inkracht dan 13 (tiga belas) perkara yang masih dalam proses di pengadilan. Dengan telah terdapatnya putusan-putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut berarti secara hukum formal dan material Majelis Hakim Pengadilan menerima, mengakui, dan memandang kesesuaian keseluruhan tindak pidana yang disangkakan, termasuk dengan kesesuaian proses penanganannya dengan koridor hukum peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga dapat dikatakan, kehadiran Penyidik OJK justru semakin menguatkan integrated criminal justice system di Indonesia pada kekhususan tindak pidana di sektor jasa keuangan . 3.2.5. Argumentasi para Pemohon yang menyatakan wewenang penyidik OJK secara khusus pada Pasal 49 ayat (3) huruf d, huruf f, dan huruf k melanggar asas ” due process of law ” dan dapat menimbulkan kesewenang-wenangan dari penyidik OJK karena sama sekali tidak mengaitkan pada KUHAP serta tidak berkoodinasi dengan aparat penegak hukum lainnya merupakan suatu yang tidak beralasan.
2.6. Sebagaimana diamanatkan dalam Naskah Akademik Pembentukan UU OJK dikatakan bahwa OJK berkoordinasi dengan penegak hukum dan instansi, lembaga dan/atau pihak lain yang memiliki kewenangan di bidang penegakan hukum 178 (vide angka 7 huruf b) halaman 23 sampai dengan halaman 24 Naskah Akademik Pembentukan OJK). Hal ini mengandung arti bahwa amanat koordinasi antara OJK dengan para penegak hukum pidana harus dilaksanakan. Sebagai contoh, OJK telah membuat landasan hukum terkait koordinasi dengan Jaksa selaku salah satu aparat penegak hukum melalui POJK Penyidikan (vide Pasal 6 Peraturan OJK Nomor 22/POJK.01/2015 tentang Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan ~ selanjutnya disebut POJK Penyidikan) dan tetap mengacu sebagaimana yang diatur dalam KUHAP.
2.7. Lebih lanjut, koordinasi penindakan tindak pidana di sektor jasa keuangan ditindaklanjuti oleh OJK dengan membuat berbagai Nota Kesepahaman diikuti dengan Perjanjian Kerjasama bersama dengan beberapa institusi/lembaga yang memiliki fungsi penyidikan, antara lain dengan: Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksanaan Agung Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pajak–Kementerian Keuangan, dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
2.8. Penting untuk digarisbawahi bahwa kerjasama yang telah terjalin ini dirasakan sangat mempermudah jalannya koordinasi pelaksanaan penyidikan sehingga penyidikan dapat dilaksanakan secara cepat, berbiaya ringan, dan sederhana.
2.9. Keuntungan dari lancarnya koordinasi antara Penyidik OJK, baik yang berasal dari Kepolisian Republik Indonesia maupun Penyidik Pegawai Negeri Sipil dari institusi lain dirasakan guna mewujudkan keadilan, kemanfaatan, kepastian hukum, serta menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sektor jasa keuangan dan stabilitas sistem keuangan yang menjadi marwah besar pembentukan OJK selaku regulator di sektor jasa keuangan.
2.10. Bahwa argumentasi para Pemohon yang menyatakan dalam UU OJK tidak terdapat adanya jaminan ” due process of law ” dalam proses penegakan hukum pidana (criminal justice 179 system) di sektor jasa keuangan telah melanggar adanya suatu jaminan atas kepastian hukum yang adil dalam penegakan hukum yang adil di negara Republik Indonesia yang dijamin dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tidak cukup bukti dan tidak beralasan karena OJK tetap mengacu pada KUHAP sebagaimana praktik yang selama ini telah dilaksanakan oleh Penyidik OJK.
2.11. Perlu Pihak Terkait informasikan bahwa OJK selama kurun waktu 7 (tujuh) tahun sejak berdiri telah menerima 3 (tiga) kali gugatan pra peradilan, yaitu di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Negeri Bandung, dan Pengadilan Negeri Palu. Hasilnya seluruh putusan pengadilan tersebut telah menyatakan menolak/tidak menerima gugatan pra peradilan, atau dengan kata lain Majelis Hakim Pengadilan telah memandang proses penanganan perkara pidana sektor jasa keuangan yang dilakukan oleh Penyidik OJK telah sesuai dengan prosedur sebagaimana telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, termasuk pula jaminan hak asasi manusia yang termaktub dalam due process of law .
2.12. Argumentasi yang didalilkan oleh Para Pemohon terkait OJK telah mengatur tentang acara sendiri, khususnya perihal penyidikan, melalui POJK Penyidikan adalah keliru. Pengertian dari Hukum Acara (dalam hal ini hukum acara formil) ialah “ Hukum Acara Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang memberi dasar- dasar dan aturan yang menentukan dengan cara dan prosedur macam apa ancaman pidana yang ada pada suatu perbuatan pidana dapat dilaksanakan apabila ada sangkaan bahwa orang telah melakukan delik tersebut ”. Hal ini tepat disandingkan pada KUHAP yang menyatakan ruang lingkup berlakunya KUHAP, yaitu untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan peradilan umum pada semua tingkat peradilan ( vide Pasal 2 KUHAP). 180 3.2.13. Sehingga apabila dibandingkan antara KUHAP dengan POJK Penyidikan adalah tidak sebanding dan salah alamat. POJK Penyidikan merupakan peraturan pelaksanaan tentang tindakan penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik OJK terkait adanya dugaan tindak pidana di bidang Perbankan, Pasar Modal, dan/atau Industri Keuangan Non-Bank. Kedudukan POJK Penyidikan ini sama halnya dengan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Polri sebagai pengaturan yang lebih teknis dari pelaksanaan kewenangannya, yaitu Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
3.1. Dalam rangka memenuhi kebutuhan penyidik OJK, berdasarkan ketentuan Pasal 27 ayat (2) UU OJK dan penjelasannya, OJK diberikan hak untuk mempekerjakan penyidik yang berasal dari Kepolisian Negara Republik Indonesia maupun Pegawai Negeri Sipil. Pasal 27 ayat (2) “ OJK dapat mempekerjakan pegawai negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. ” Penjelasan Pasal 27 ayat (2) “...Pegawai negeri yang bekerja pada OJK dapat berstatus dipekerjakan atau status lainnya dalam rangka menunjang kewenangan OJK di bidang pemeriksaan, penyidikan, atau tugas-tugas yang bersifat khusus. Pegawai negeri tersebut antara lain berasal dari pejabat penyidik pegawai negeri sipil dan/atau Pejabat Penyidik Kepolisian. Hak dan kewajiban pegawai negeri tersebut disetarakan dengan hak dan kewajiban pegawai OJK. ” 3.3.2. Dipekerjakannya penyidik Polri dan Penyidik PNS merupakan salah satu upaya OJK untuk memperkuat pelaksanaan fungsi 181 penyidikan di sektor jasa keuangan karena sudah barang tentu yang dapat menjadi penyidik sesuai dengan KUHAP hanya berasal dari 2 (dua) unsur, yaitu pejabat polisi negara Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang ( vide Pasal 6 ayat (1) KUHAP).
3.3. Adapun terkait dengan kewenangan Penyidik OJK diatur dalam 2 (dua) tempat, yaitu bagi Penyidik Polri telah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP dan bagi Penyidik PPNS diatur secara khusus dalam Pasal 49 ayat (3) UU OJK. Hal ini telah sesuai sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP yang berbunyi “Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat ( 1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang- undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a ”. Hal ini memiliki 2 (dua) arti, yaitu: Pertama, kewenangan Penyidik PPNS hanya sebatas kewenangan yang diatur dalam undang-undangnya masing-masing; dan Kedua, dalam pelaksanaan tugasnya, penyidik yang berasal dari PNS tetap berkoordinasi dengan penyidik Polri.
3.4. Sehubungan dengan dalil para Pemohon yang menyadur Pasal 109 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (selanjutnya disebut UU ASN), tentu saja UU ASN tidak tepat dijadikan dasar hukum pada permasalahan a quo . Status kepegawaian di OJK tidak tunduk pada UU ASN karena berdasarkan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU OJK, pihak yang bekerja di OJK berstatus sebagai pegawai OJK, bukan sebagai ASN. Begitu pula dengan seluruh penyidik Polri yang dipekerjakan OJK tidak tunduk pula dengan UU ASN, melainkan pada UU Nomor 2 Tahun 2002. Dengan begitu, penyidik Polri yang dipekerjakan di OJK tidak harus mengundurkan diri sebagaimana diatur dalam Pasal 109 ayat (2) UU ASN. 182 3.3.5. Bahwa argumentasi para Pemohon kata ”dapat” pada Pasal 27 ayat (2) UU OJK berarti bersifat sementara sehingga keberadaan PPNS di OJK tidak didasarkan pada kewenangan temporar pada suatu masa atau rentang waktu tertentu saja.
3.6. Dalam Pasal 51 UU OJK telah mengatur ketentuan minimal penarikan kembali para Penyidik PPNS tersebut, yaitu 6 (enam) bulan dan sedang tidak menangani perkara. Ketentuan yang diatur dalam UU OJK ini mengandung arti bahwa alasan penarikan Penyidik PPNS tersebut harus dilakukan dengan cermat dan dipastikan tidak menghalangi jalannya proses penyidikan yang sedang berlangsung di OJK.
4.2. Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, peran OJK sebagai pengatur dan pengawas sektor jasa keuangan merupakan komponen penting dalam sistem perekonomian nasional. Selain itu, OJK menjalankan fungsi intermediasi bagi pelbagai kegiatan produktif di perekonomian nasional dan memberikan kontribusi yang signifikan dalam penyediaan dana untuk pembiayaan pembangunan nasional, terutama dalam rangka menjalankan tujuan konstitusional dibentuknya negara Indonesia dalam Pasal 33 UUD 1945.
4.3. Oleh karena itu, apabila permohonan a quo __ dikabulkan dan diterimanya argumentasi Para Pemohon, maka hal tersebut akan mengganggu pelaksanaan tugas-tugas pengawasan dan penegakan hukum dalam sektor jasa keuangan.
4.4. Selain itu, manfaat penegakan hukum sektor jasa keuangan terintegrasi yang selama ini telah terlaksana dan efektifnya penegakan hukum sektor jasa keuangan tidak akan dilaksanakan lagi, sehingga pada akhirnya perlindungan 183 terhadap konsumen di sektor jasa keuangan akan menjadi terbengkalai. V. PERMOHONAN MENGENAI AMAR PUTUSAN Sebagai penutup, sebagaimana telah Pihak Terkait jabarkan melalui poin-poin di atas, Pihak Terkait berkesimpulan permohonan pengujian Pasal 1 angka 1 terhadap frasa “dan Penyidikan” dan Pasal 9 huruf c terhadap kata “Penyidikan” UU OJK yang bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 merupakan kekhawatiran yang sifatnya bukan merupakan persoalan konstitutional, melainkan hanya teknis pelaksanaan penyidikan di OJK. Dengan demikian Pihak Terkait mohon agar Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dapat memutuskan permohonan uji materi terhadap ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan terhadap ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan memberikan putusan sebagai berikut:
Menyatakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing .
Menolak permohonan para Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan Para Pemohon tidak dapat diterima.
Menyatakan, ketentuan UU OJK Pasal 1 angka 1 terhadap frasa ”...dan Penyidikan...” tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat.
Menyatakan, ketentuan UU OJK Pasal 9 huruf c terhadap kata “Penyidikan” tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat. Apabila Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya, ex aequo et bono . Selain itu, Pihak Terkait mengajukan 3 orang Ahli yaitu Mahmud Mulyadi, Yunus Husein, dan Zainal Arifin Mochtar yang didengarkan keterangannya pada persidangan tanggal 23 April 2019 dan 2 Orang Saksi yaitu I Gusti Agung Rai Wirajaya dan I Gede Hartadi Kurniawan yang didengarkan keterangannya pada 184 persidangan tanggal 8 Mei 2019 dan pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut: Keterangan Ahli 1. Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum A. “Esensi PPNS OJK dalam Kewenangan Penyidikan Tindak Pidana di bidang Jasa Keuangan: Suatu Sinthesa dari Indeterminisme dan Determinisme ” Peran dan fungsi negara dalam rangka criminal policy, khususnya dalam ruang lingkup penal policy (kebijakan hukum pidana), maka merupakan hak negara untuk “merumuskan dalam hukum pidana materill, perbuatan yang bertentangan nilai-nilai masyarakat dan mengancamkan hukumannya ( Ius Poenale ). Selain itu juga, terdapat hak negara untuk “menjatuhkan hukuman” yang mekanismenya dirumuskan dalam hukum pidana formil atau Hukum Acara Pidana( Ius Poeniendi ). Ius Poenale bermakna sebagai hak objektif negara untuk memasukkan atau membuat ancaman hukuman atas suatu perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma dalam masyarakat. Ancaman ini dirumuskan dalam undang-undang hukum pidana oleh negara sehingga bisa diberlakukan oleh negara melalui asas legalitas “ nullum delictum nulla poena sine prevea lege poenale” , tiada suatu perbuatan yang dapat dihukum kecuali telah diatur terlebih dahulu dalam peraturan perundang- undangan. Sedangkan “ Ius Puniendi” yaitu hak subjektif negara untuk menjatuhkan hukuman bagi pelaku kejahatan yang telah melanggar aturan hukum pidana ( Ius Poenale ). Ius Puniendi biasa juga disebut hukum pidana formiil (Hukum Acara Pidana). Menurut Jan Remmelink bahwa “ Ius Puniendi” ini sering dikaitkan dengan persoalan kekuasaan yang dimiliki oleh negara untuk menjatuhkan pidana ( strafgewalt ) dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan sebelumnya. Hak ini meliputi hak untuk menyidik, menuntut, penjatuhan pidana dan eksekusi pidana. Sehubungan dengan Ius Poenale dan Ius Puniendi di atas, maka telah melahirkan tiga aliran dalam hal pemidanaan, yaitu aliran klasik, aliran positif dan aliran neo-klasik. 185 Diskursus dari ketiga aliran di atas menyoal tentang pemidanaan dari sudut pandang paham indeterminisme (kehendak bebas) dan paham determinisme (tidak punya kehendak bebas). Penganut paham indeterminisme (kehendak bebas) berpendapat bahwa manusia mempunyai kehendak bebas yang tindakannya merupakan sebab dari segala keputusan kehendak tersebut. Sedangkan Penganut paham determinisme (tidak punya kehendak bebas) menyatakan bahwa orang tidak mempunyai kehendak bebas dalam melakukan suatu perbuatan karena dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor- faktor biologis dan faktor-faktor lingkungan kemasyarakatan. Dengan demikian kejahatan adalah manifestasi dari keadaan jiwa seseorang yang abnormal. Oleh karena itu pelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan atas perbuatan dan tidak dapat dikenakan pidana. Dalam kondisi ini, maka bukan pidana yang seharusnya dikenakan kepada pelaku, tetapi yang diperlukan adalah tindakan- tindakan perawatan yang bertujuan memperbaiki (Mahmud Mulyadi, Kuliah Umum di Progrma Magister Ilmu Hukum FH Unsri, 16 April 2016). Aliran Klasik (clasical school) melahirkan dua teori tujuan pemidanaan, yaitu teori retributif (teori absolut) dan teori relatif ( deterrence ). Teori Retributif dalam tujuan pemidanaan disandarkan pada alasan bahwa pemidanaan merupakan “ morally Justifed ” (pembenaran secara moral) karena pelaku kejahatan dapat dikatakan layak untuk menerimanya atas kejahatannya. Asumsi yang penting terhadap pembenaran untuk menghukum sebagai respon terhadap suatu kejahatan karena pelaku kejahatan telah melakukan pelanggaran terhadap norma moral tertentu yang mendasari aturan hukum yang dilakukannya secara sengaja dan sadar dan hal ini merupakan bentuk dari tanggung jawab moral dan kesalahan hukum si pelaku (Aleksandar Fatic: 1995:
. Ciri khas teori retributif ini terutama dari pandangan Immanuel Kant (1724-1804) dan Hegel (1770-1831), Kant melihat dalam pemidanaan terdapat suatu “ imperatif kategoris ”, yang merupakan tuntutan mutlak dipidananya seseorang karena telah melakukan kejahatan. Sedangkan Hegel memandang bahwa pemidanaan adalah hak dari pelaku kejahatan atas perbuatan yang dilakukannya berdasarkan kemauannya sendiri (J.G. Murphy: 1995:
. 186 Teori “ deterrence ”, Tujuan pemidanaan sebagai deterrence effect sebenarnya telah menjadi sarana yang cukup lama dalam kebijakan penanggulangan kejahatan karena tujuan deterrence ini berakar dari aliran klasik tentang pemidanaan, dengan dua orang tokoh utamanya, yaitu Cessare Beccaria bukunya yang berjudul dei Delitti e Delle Pene (1764) bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk mencegah seseorang supaya tidak melakukan kejahatan, dan bukan sebagai sarana balas dendam masyarakat (C. Ray Jeffery: 1977:
. Beccaria berpendapat bahwa hukum harus mampu menjamin kebahagian yang sejati dari sebagian besar masyarakat ( the greatest happiness of the great number ). Untuk menjamin kebahagiaan terbesar ini, maka pidana harus terlebih dahulu ditentukan di dalam undang- undang yang dibuat melalui kekuasaan legislatif, sebagai perwujudan dari prinsip kontrak sosial. Tujuan pemidanaan menurut Beccaria adalah mencegah seseorang untuk melakukan kejahatan, dan bukan menjadi sarana balas dendam masyarakat ( the purpose of punishment is to deter persons from the commission of crime and not to provide social revenge ). Oleh karena itu pidana yang kejam tidak membawa manfaat bagi kemananan dan ketertiban masyarakat. Upaya penanggulangan kejahatan menurut Beccaria lebih baik dengan melakukan upaya preventif daripada melakukan pemidanaan (J.M. van Bemmelen: 1991: 1-4). Aliran Positif, melihat kejahatan secara empiris dengan menggunakan metode ilmiah untuk mengkonfirmasi fakta-fakta di lapangan dalam kaitannya dengan terjadinya kejahatan. Aliran ini beralaskan paham determinisme yang menyatakan bahwa seseorang melakukan kejahatan bukan berdasarkan kehendaknya karena manusia tidak mempunyai kehendak bebas dan dibatasi oleh berbagai faktor, baik watak pribadinya, faktor biologis, maupun faktor lingkungan. Oleh karena itu pelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan dan dipidana, melainkan harus diberikan perlakuan ( treatment ) untuk resosialisasi dan perbaikan sipelaku. (Freda Adler et. al.: 1995: 59-61, lihat juga J. Robert Lilly et, al.: 1995: 22-25) Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif yang berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku 187 kejahatan, bukan pada perbuatannya. Namun pemidanaan yang dimaksudkan oleh aliran ini adalah untuk memberi tindakan perawatan ( treatment ) dan perbaikan ( rehabilitation ) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Argumen aliran positif ini dilandaskan pada alasan bahwa pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan ( treatment ) dan perbaikan ( rehabilitation ). Setiap aliran pemidaanaan di atas, sangat mempengarui kebijakan setiap negara dalam menyusun substansi hukum pidana materil dan perkembangan hukum Acara Pidananya sebagai hukum pidana formil. Pengaruh Aliran positif, menjadikan penegakan hukum pidana melalui Criminal Justice System , ke luar dari bingkai konvensionalnya. Betapa tidak, Aliran positif yang lahir dipenghujung abad ke-18, meletakkan kajian kejahatan secara praksis dari ilmu alam dan ilmu sosial. August Comte (1798-1857) seorang sosiolog berkebangsaan Perancis, menerapkan pendekatan metode ilmu pengetahuan alam kepada ilmu-ilmu sosial melalui bukunya yang berjudul “ Cours de Philosophie Positive ” atau “ Course in Positive Philosophy ”, diterbitkan antara tahun 1830 dan 1842. Comte menyatakan bahwa “ There could be no real knowledge of social phenomena unless it was based on a positivist (scientific) approach” . Perkembangan ilmu pengetahuan saat itu juga dipengaruhi oleh Charles Darwin (1809-1892) dengan teori evolusinya. Lombroso menyatukan pemikiran Comte dan Darwin untu menjelaskan hubungan antara kejahatan dengan bentuk tubuh manusia. Lombroso menerbitkan bukunya yang berjudul “ L’uomo Delinquente” atau “ The Criminal Man ” pada tahun 1876, yang menandai bahwa terjadinya transformasi kajian mengenai kejahatan dari tataran yang abstrak (philosopis) ke ranah yang lebih konkrit melalui pendekatan metode ilmiah. Rehabilitasi yang diusung oleh aliran positif terhadap pelaku kejahatan merupakan rehabilitasi medis atas nama treatment berupa tindakan perawatan medis. Hal ini menjadikan pendekatan ilmu kedokteran menjadi idola dalam penegakan hukum pidana (John M. Wilson: 1965:
. Dalam kontek penyidikan, maka selain aparat penegak hukum, maka petugas medis (dokter) menjadi komponen yang utama untuk menentukan tindakan bagi pelaku 188 kejahatan. Hal ini merupakan cikal bakal awal dari lahirnya peranan sipil (katakanlah penyidik sipil) di luar aparat penegak hukum. Beberapa tujuan dari pemidanaan seperti yang telah diuraikan di atas telah menjadi suatu dilema dalam hal pemidanaan. Tujuan pidana dalam pandangan retributif dianggap terlalu kejam dan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan tujuan pemidanaan sebagai deterrence dianggap telah gagal dengan fakta semakin meningkatnya jumlah pelaku yang menjadi residivis. Sementara tujuan pemidanaan rehabilitasi telah kehilangan arahnya. Paham rehabilitasi sebagai tujuan pemidanaan dalam perjalanannya tidak semulus yang diperkirakan karena paham ini juga banyak menuai kritikan. Kritikan pertama ditujukan pada kenyataannya bahwa hanya sedikit negara yang mempunyai fasilitas untuk menerapkan program rehabilitasi pada tingkat dan kebijakan yang menekankan penggunaan tindakan untuk memperbaiki ( treatment ) atas nama penahanan. Kritikan kedua, adanya tuduhan yang serius bahwa pendekatan yang digunakan oleh paham rehabilitasi adalah pendekatan yang mengundang tirani individu dan penolakan hak asasi manusia. Misalnya dalam hal proses pelaksanaan rehabilitasi ini tidak seseorang pun yang dapat memprediksi berapa lama pengobatan akan berlangsung ketika seorang tahanan segera diserahkan kepada dokter untuk disembuhkan atau diobati sebelum tahanan itu dibebaskan. Dalam hal ini juga sulit untuk mengontrol otonomi keputusan dokter. Menurut Lewis sebagaimana yang dikemukakan oleh Gerber McAnany bahwa sebagian besar metode treatment yang dilakukan dengan penuh kebaikan dan atas nama kemanusiaan, namun akhirnya tidak terkontrol (Jackson Toby: 1970:
. Upaya mengatasi dilema tujuan pemidanaan di atas, maka munculah aliran Neo klasik . Aliran ini berkembang pada Abad ke- 19 yang memusatkan perhatiannya tidak hanya pada perbuatan atau tindak pidana yang terjadi, tetapi juga terhadap aspek-aspek individual si pelaku tindak pidana ( Daad- dader Strafrecht) . Aliran Neo-Klasik ini lahir sebagai sinthesa dari aliran Klassik dan aliran Positif. Hal ini karena paham aliran Neo-klasik meyakini adanya kebebasan kehendak manusia ( free will/indeterminism ) dalam melakukan kejahatan, namun aliran Neo-Klasik melakukan beberapa perubahan dengan mulai mempertimbangkan adanya kebutuhan pembinaan 189 terhadap pelaku kejahatan ( Determinism ), disamping masih perlunya pemidanaan. Aliran Neo-Klasik mengakui bahwa kebebasan kehendak seseorang pelaku kejahatan untuk memilih sesuatu itu dipengaruhi oleh pathology , ketidakmampuan, gangguan kejiwaan dan kondisi lain yang memungkinkan seseorang melakukan kehendak secara bebas. Dalam hal pertanggungjawaban pidana, dipertimbangkan alasan bahwa si pelaku mengalami gangguan jiwa, di bawah umur dan keadaan-keadaan lain yang dapat mempengaruhi pengetahuan dan niat seseorang pada waktu melakukan kejahatan. Oleh karena itu aliran Neo Klasik menerima diberlakukannya keadaan-keadaan yang meringankan, baik dari kondisi fisik, lingkungan, maupun mental seseorang (Franks E. Hagan: 2013: 140-141). Perkembangan kejahatan saat ini begitu pesat, sehingga KUHP tidak mampu untuk menampung pengaturannya. Het recht hinkt achter de feiten aan . Sebuah ungkapan dalam Bahasa Belanda yang berarti hukum itu ketinggalan dari peristiwanya. Biasa juga dikenal dengan istilah moment opname, yaitu ketika suatu peraturan telah diundangkan, maka dengan sendirinya telah ketinggalan zaman. Ini menjadi alasan munculnya berbagai UU di luar KUHP, termasuk munculnya berbagai Peraturan Perundang-Undangan Administrasi yang juga mengatur ketentuan pidana di dalamnya ( administrative penal law ), sebagai sarana ultimum remedium untuk memastikan aturan norma-norma administratif tersebut ditaati. Kemunculan UU di Luar KUHP ini, alas filosofisnya sudah banyak yang mengarah ke aliran Neo Klasik . Misalnya UU Narkotika, selain penerapan pemidanaan, juga telah mengatur rehabilitasi terhadap pengguna dan pecandu. UU Tindak Pidana korupsi, selain penerapan pemidanaan yang ketat, juga telah mengatur treatment berupa rehabilitasi dalam bentuk pemulihan kerugian keuangan negara, dan lain sebagainya. UU OJK merupakan salah satu dari UU di luar KUHP yang juga merumuskan administratif penal law . Rumusan tindak pidananya melingkupi Pasal 52, Pasal 53 dan Pasal 54 UU OJK. Selain itu juga di dalam Pasal 9 huruf c UU OJK, meletakkan core crime -nya di lembaga jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. 190 Tidak hanya OJK, sebagai contoh, salah satu institusi yang telah menerapkan hal ini adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). UU KPK mengandung administratif penal law pada Pasal 65, 66, dan 67 serta core crime nya berada di UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Terlepas ada yang berpendapat yang membedakan Tindak Pidana Khusus dengan Tindak Pidana Administratif, menyatakan bahwa Tindak Pidana Korupsi adalah tindak pidana khusus, berbeda dengan tindak pidana di sektor jasa keuangan yang lebih bersifat administratif penal law , maka menurut pendapat Ahli, tidak perlu mendikotomi antara tindak pidana khusus dengan tindak pidana administratif. Hal ini karena akan mempersempit dan mempersulit upaya penanggulangan kejahatan dalam rangkaian criminal policy . Lagipula, dalam UU Khusus di luar KUHP yang memuat perumusan tindak pidana, maka juga akan mencantumkan delik yang domainnya kebanyakan berada pada wilayah pelanggaran administratif. Hal ini juga terdapat di rumusan Pasal 3 UU Tipikor, yang berbicara tentang penyalahgunaan kewenangan, yang sesungguhnya terminologi ini berada di wilayah kajian Hukum Administrasi Negara. Terminologi “Menyalahgunakan Kewenangan” tidak berada di dalam kajian hukum pidana, melainkan terminologi yang berada di bidang kajian Hukum Administrasi Negara. Oleh karena itu, untuk menentukan ada atau tidaknya suatu perbuatan penyalahgunaan wewenang yang dapat ditarik ke tindak pidana korupsi, maka hukum pidana dan aparat penegak hukum harus meminta bantuan Ahli Hukum Administrasi Negara (HAN) untuk dijadikan parameternya. Konsep wewenang dalam kajian hukum administrasi dan kaitannya dengan tindak pidana korupsi merupakan dua aspek hukum yang saling terkait. Menurut R. Kosim Adisapoetra dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Administrasi Negara, bahwa titik taut “hukum adminsistrasi” berada di antara norma-norma hukum pemerintahan dan hukum pidana. Oleh karena itu hampir setiap norma hukum pemerintahan yang berdasarkan Hukum Administrasi di akhiri “ in cauda venenum ” (ada racun dibuntut atau diekor) dengan sejumlah ketentuan pidana ( R. Kosim Adisapoetra: 1983:
. Bahkan pasal 2 UU Tipikor juga tidak luput dari pelanggaran UU Adminstratif karena dalam Pasal 2 UU Tipikor menyebut secara jelas tentang PMH, oleh 191 karena itu harus dibuktikan peraturan perundang-undangan yang mana yang telah dilanggar oleh seseorang sehingga bisa dituntut sebagai tindak pidana korupsi. Peraturan perundang-undangan ini merujuk kepada Pasal 7 dan Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang Undangan. Perkembangan Aliran Neo-Klasik dalam Hukum Pidana ini, membawa pengaruh yang sangat besar pada Pembaharuan Hukum Acara Pidana. Sehubungan dengan paham Aliran Neo-Klasik inilah, maka HIR yang merupakan Hukum Acara Pidana yang masih bernuansa Aliran Klasik, diganti dengan KUHAP berdasarkan UU No. 8 Tahun 1981 yang telah memperhatikan kesimbangan perbuatan dan hak-hak pelaku kejahatan. Walaupun KUHAP telah bercorak Neo-Klasik, namun tentunya KUHAP juga dihadapkan pada kenyataan moment opname. Hal ini terlihat di dalam berbagai UU Pidana Khusus, telah mengatur juga Hukuma Acara Pidana Sendiri secara Khusus yang menyimpang dari ketentuan KUHAP, misalnya mulai dari persoalan ruang lingkup kewenangan dan lembaga yang diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan, dikenalnya sistem pembuktian terbalik, peradilan in absensia sampai pada perluasan alat-alat bukti. KUHAP telah memprediksi hal demikian, sehingga di dalam Pasal 1 angka 1 KUHAP menegaskan bahwa penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia atau pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Kemudian ditegaskan kembali dalam Pasal 6 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa penyidik adalah (a) Pejabat polisi negara republik Indonesia; (b) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. KUHAP sebagai umbrella act Hukum Pidana Formil yang berfungsi menegakkan Hukum Pidana Materiil, maka sudah sejak awal pembentukannya telah melakukan prediksi atas berkembangnya UU di Luar KUHP, sehingga KUHAP secara konstitusional mengakui Hukum Acara Pidana khusus di atur dalam UU Pidana Khusus di luar KUHP. Hal ini di cantumkan dalam Bab XXI tentang Ketentuan Peralihan Pasal 284 ayat (2) bahwa “ Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara 192 diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi". Pasal 284 ayat (2) KUHAP di atas hadir untuk mengantisipasi perkembangan zaman bahwa tidaklah menutup kemungkinan timbulnya kejahatan-kejahatan baru yang sama sekali belum terpikirkan pada saat mengkodifikasi hukum pidana dalam suatu kitab undang-undang. Demikian pula dengan perkembangan zaman, banyak kejahatan konvensional dilakukan dengan modus operandi yang canggih sehingga dalam proses beracara diperlukan teknik atau prosedur khusus untuk mengungkap suatu kejahatan. ketentuan Pasal 284 ayat (2) secara eksplisit membenarkan proses beracara di luar KUHAP. Bahkan dalam RUU KUHAP yang lagi disusun, di Pasal 6 RUU telah mengatur 3 jenis penyidik, yaitu Penyidik Polri, PPNS dan Penyidik Kelembagaan tertentu. Begitu juga dengan tindak pidana di sektor jasa keuangan (Perbankan, Perasuransian, Pasar Modal, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya), banyak mengandung unsur-unsur deliknya yang mempunyai terminologi tersendiri yang bisa dipahami secara khusus oleh keilmuan dibidang masing-masing sektor jasa keuangan di atas. Oleh karena itu kebutuhan terhadap PPNS OJK yang profesional sesuai dengan bidangnya masing-masing merupakan sesuatu yang tidak terelakkan. Dengan demikian kewenangan penyidikan PPNS OJK dalam UU OJK merupakan suatu kebutuhan dan harus dipertahankan bahkan diperkuat, mengingat kejahatan di bidang jasa keuangan selalu melibatkan white collar crime , baik berupa corporate crime atau organized crime dalam rezim bussines related crime . Oleh karena itu lahirnya kewenangan penyidikan OJK terhadap tindak pidana di Bidang Jasa Keuangan ini, merupakan sebagai suatu konsekuensi logis dari perkembangan falsafah pemidanaan dalam Hukum Pidana yang bercorak Neo-Klasik , sehingga mempengaruhi perkembangan Hukum Acara Pidana yang secara khusus ditemukan dalam UU di Luar KUHP. Dengan demikian, kewenangan penyidikan OJK ini, bukan berada pada wilayah persoalan 193 konstitusional atau tidak konstitusional, melainkan suatu kebutuhan dalam Hukum Acara Pidana. B. Kewenangan Penyidikan OJK dalam kaitannya dengan Prinsip Due process of law dalam Sistem Peradilan Pidana. Terkait dengan perkembangan Aliran Neo-Klasik di atas, maka juga sangat berpengaruh terhadap mekanisme penegakan hukum dalam Sistem Peradilan Pidana. Komponen Sistem Peradilan Pidana yang dulu secara konvensional terdiri atas Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan, maka kini telah mengalami perluasan. Bahkan Ronal J. Waldron, selain mengakui Sistem Peradilan Pidana yang resmi sebagaimana terdiri atas sub- sub sistem di atas, juga menempatkan keikutsertaan masyarakat yang peduli membantu aparat penegak hukum sebagai bagian dari Sistem Peradilan Pidana dalam arti luas. Keikutsertaan masyarakat ini, baik melalui institusi sosial atau kelompok masyarakat yang melakukan tindakan formal ataupun informal dalam rangka penanggulangan kejahatan (Mahmud Mulyadi: 2008: 91-92). Oleh karena itu, banyak muncul Lembaga Negera Independen yang berfungsi sebagai lembaga pendukung dalam penegakan hukum, misalnya KPK, BNN, PPATK, KOMNAS HAM, KPAI, KPI, OJK dan lain sebagainya. Tentunya setiap lembaga ini mempunyai kewenangan masing-masing sesuai dengan lingkup tugas yang diamanahkan dalam UU, baik untuk fungsi penal polic , maupun fungsi non penal policy . OJK, KPK, BNN adalah contoh lembaga independen yang mengemban fungsi penal policy , berupa adanya kewenangan penyidikan. Eksistensi kewenangan penyidikan ini sangat bergantung pada kebutuhan yang dibawa oleh UU khusus masing-masing. Semua fungsi kelembagaan ini, diarahkan untuk mencapai Keterpaduan Sistem Peradilan Pidana ( Integrated Criminal Justice System ) dalam penanggulangan kejahatan, yang mengemban tugas untuk (Harkristuti Harkirnowo: 2003:
:
Melindungi masyarakat dengan melakukan penanganan dan pencegahan kejahatan, merehabilitasi pelaku kejahatan, serta melakukan tindakan terhadap orang yang merupakan ancaman bagi masyarakat; 194 2. Menegakan dan memajukan serta penghormatan terhadap hukum, dengan menjamin adanya proses yang manusiawi dan adil serta perlakukan yang wajar bagi tersangka, terdakwa dan terpidana. Kemudian melakukan penuntutan dan membebaskan orang yang tidak bersalah yang dituduh melakukan kejahatan;
Menjaga hukum dan ketertiban;
Menghukum pelaku kejahatan sesuai dengan falsafah pemidanaan yang dianut;
Membantu dan memberi nasihat kepada korban kejahatan. Kewenangan penyidikan oleh OJK terhadap tindak pidana di bidang jasa keuangan, merupakan bagian dari Integrated Criminal Justice System yang tujuannya sesuai dengan prinsip-prinsip Due process of law sebagaimana diuraikan di atas. Keberadaan kewenangan penyidikan PPNS OJK ini sebagai konsekuensi logis dari tiga titik perhatian dalam Sistem Peradilan Pidana ( criminal justice system ), yaitu hukum pidana secara materil ( criminal law ), hukum pidana formiil ( the law of criminal procedure ), dan hukum pelaksanaan pidana ( the enforcement of criminal laws ). Semua ini ditujukan sebagai usaha untuk memberikan perlakuan yang adil kepada semua orang yang dituduh telah melakukan kejahatan. Keadilan ( Fairness ) dalam peradilan pidana yang dimaksudkan bahwa orang yang dituduh melakukan kejahatan harus diperlakukan secara wajar dan sama ( equal treatment ), netral ( impartiality ), dan hak-haknya diberikan perlindungan oleh undang-undang ( due process of constitutional protections ). (Mahmud Mulyadi: 2008:
. Dengan demikian, kewenangan penyidikan PPNS OJK tidak bertentangan sama sekali dengan prinsip-prinsip Due process of law , karena dengan adanya kewenangan penyidikan OJK ini, maka justru bisa melindungi hak-hak individu dengan menempatkan hanya orang yang benar-benar terpenuhi unsur deliknya, untuk dihadapkan ke pengadilan. Dengan kata lain, secara keseluruhan kewenangan penyidikan OJK ini dapat mencegah orang yang tidak berbuat dan tidak bersalah tidak menjadi “korban salah penerapan hukum” karena ketidakpahaman dalam proses penyidikan kasus-kasus pidana di bidang jasa keuangan. Inilah wujud eksistensi kewenangan penyidikan OJK 195 yang secara keseluruhan dapat memberikan perlindungan Hak Asasi Manusia, sesuai dengan prinsip-prinsip Due process of law. Due process of law merupakan kerangka dasar bagi pendirian sistem peradilan pidana yang memberikan perlindungan terhadap HAM seseorang. Konsesp due process of law berasal dari Magna Charta 1215 di Inggris yang mulai membatasi kekuasaan raja yang absolut sehingga selama ini HAM warga tidak terlindungi secara adil. Selama berabad-abad, prinsip ini diperluas untuk melindungi kebebasan warga Inggris melawan penindasan pemerintah (Alfi Arifian: 2017:
. Macna Charta adalah hasil peselisihan antara Paus, Raja John (Inggris) dan para baron, atas hak-hak raja. Mereka menuntut pembatasan kekuasaan Raja yang absolut dan mengharuskan Raja untuk membatalkan beberapa haknya, menghargai prosedur hukum semua keinginan raja harus dibatasi oleh hukum. Ringkasan dari isi Macna Charta ini antara lain:
Polisi ataupun jaksa tidak bisa menuntut seseorang tanpa adanya bukti yang jelas dan saksi yang sah;
Seseorang tidak boleh ditahan, ditangkap dan dinyatakan bersalah tanpa perlindungan negara dan tanpa alas hukum sebagai dasar tindakannya;
Apabila seseorang tanpa perlindungan hukum sudah terlanjur di tahan, Raja berjanji akan mengkoreksi kesalahannya; C. Kewenangan Penyidikan OJK dalam kaitannya dengan Pencapaian Tujuan Hukum (keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan hukum) Asas kepastian hukum yang lahir dari aliran hukum positif (positivisme hukum) menyatakan bahwa hukum hanya bersangkut paut dengan hanya hukum positif saja. Pandangan ini dipengaruhi oleh pandangan John Austin dalam doktrin “ law is a command of the law giver ”. Maksudnya hukum adalah perintah dari kekuasaan tertingi atau dari yang memegang kedaulatan. Dalam penerpannya hukum yang dibuat oleh kekeuasaan tertinggi tersebut tidak harus didasarkan pada prinsip keadilan, prinsip moralitas baik dan buruk (W. Friedman: 1953:
. Hukum merupakan sistem logika yang bersifat tetap dan tertutup (closed logical system) , yang berarti bahwa keputusan-keputusan hukum yang tepat atau benar dapat diperoleh dengan alat-alat logika dari 196 peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan sebelumnya (Lili Rasjidi: 1993:
. Dengan demikian, maka kewenangan penyidikan oleh OJK sama sekali tidak bertentangan dengan asas kepastian hukum, walaupun dalam UU OJK tidak mencabut kewenangan penyidik Polri. Hal ini karena proses legislasi telah memberikan kewenangan penyidikan ini berdasar suatu peraturan perundang- undangan sebagai hukum positif. Sebenarnya terlalu parsial ketika hanya membicarakan kepastian hukum saja. Hal ini karena penegakan hukum pidana melalui Criminal Justice System tentunya diharapkan mencapai tujuan hukum berupa keadilan hukum, kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. Tujuan hukum merupakan sasaran antara untuk mencapai tujuan utama, yaitu perlindungan hukum bagi seluruh warga masyarakat, sehingga tercapai keamanan, ketertiban dan kenyamanan dalam kehidupan; Dalam kenyataannya, terjadi kekeliruan dalam memahami makna tujuan hukum ini, bahkan banyak yang menghadapkan antara kepastian hukum dengan keadilan hukum. Akibatnya penegakan hukum tercerabut dari nilai-nilai dasar perlindungan hukum yang hanya menyajikan secara parsial, sporadis dan tidak bermanfaat. Suatu tujuan hukum tidak tidak akan tercapai jika penegakan hukum hanya mencapai kepastian hukum saja, atau keadilan hukum saja, atau kemanfaatan hukum saja. Memisahkan ketiga bagian dari tujuan hukum ini menjadikan penegakan hukum kehilangan arah dan cenderung memaksakan selera kepentingan masing-masing. Keadilan hukum terlahir dari aliran hukum alam. Hukum alam merupakan bagian dari ajaran moral, yang berarti hukum merupakan bagian dari sistem moral (A.P. d’ Entreves: 1963:
. Tujuan hukum menurut perspektif ini, bukan hanya untuk menciptakan ketertiban dan ketentraman dalam masyarakat, tetapi juga untuk membentuk masyarakat yang baik dan anggota masyarakat yang baik secara moral. Dengan demikian, hukum merupakan instrument moral untuk membentuk masyarakat dan anggota masyarakat yang baik secara moral. Essensi dasar dari pandangan aliran hukum alam, diungkapkan dalam sebuah istilah “ ius quia iustum ” yang berarti hukum adalah keadilan atau hukum 197 adalah aturan yang adil. Keadilan dengan demikian adalah prasyarat suatu aturan agar bisa disebut sebagai hukum. Oleh karena itu, hukum yang tidak memenuhi cita rasa keadilan bukanlah sebuah hukum. Validitas hukum tidak terletak pada bentuknya, apakah undang-undang, peraturan pemerintah, dan lain-lain atau yurisprudensi, tetapi pada substansinya yang mengadopsi nilai- nilai keadilan (Van Aveldoorn: 1982: keadilan sebagai hukum tertinggi atau terakhir yang berkembang dari sifat alam semesta, Tuhan, dan akal manusia. Keadilan sebagai esensi yang ditegaskan dalam aliran hukum alam ini, memberikan arahan atau pedoman bagi pembentuk undang-undang dalam proses pembentukan hukum. Selain itu juga keadilan harus dijadikan alat uji keabsahan hukum positif untuk dapat disebut sebagai hukum yang valid. Sedangkan lahirnya kepastian hukum dari paham positivisme hukum tidak terlepas dari sejarah di abad ke-14 M. Pada akhir abad ke 14, kekuasaan gereja semakin melemah dengan dikuasainya kepausan oleh Raja Prancis. Pada akhir abad ke 16 kekuasaan Raja di Perancis secara utuh berhasil menggenggam kekuasaan di tangannya. Dengan demikian dimulailah kekuasaan absolut di tangan Raja. Hal ini ditandai dengan adanya doktrin “hanya rajalah yang berhak membuat undang-undang” dan “pembentukan UU ini adalah kekuasaan atau kewenangan yang tidak terbatas”, “Raja adalah UU yang hidup”. Hal ini karena Raja adalah wakil Tuhan dimuka bumi sehingga Raja berhak mengurus dan memerintah warga kerajaan. Pada abad ke 16 ini juga munculnya ajaran (doktrin) arbitrium judicis (Pendapat hakim) yang memberikan kewenangan kepada hakim untuk melakukan kualifikasi terhadap perbuatan pidana dan sanksi pidana menurut pendapatnya sendiri. Doktrin arbitrium judicis (Pendapat hakim) ini mendapat tentangan dan kritikan keras pada abad ke-18 di seluruh wilayah Perancis karena para hakim telah menjalankannya secara sewenang-wenang. Warga negara Perancis sangat mendambakan peradilan pidana yang didasarkan jaminan perlindungan hak-hak individu warga negara. Puncaknya adalah dengan terjadinya Revolusi Perancis pada tahun 1789. Hal ini mendakan berakhirnya peradilan pidana system “ arbitrium judicis (Pendapat hakim)” dan berakhirnya absolutisme kekuasaan Raja dan Hakim. 198 Salah seorang tokoh revolusi Prancis sekaligus pakar hukum pidana, yaitu Cesare Bonesana Marquise Beccaria (biasa dipanggil Cessare Beccaria) sangat keberatan dengan sifat semena-mena sistem yudisal dan pidana eropa pada saat itu, yang sangat kerasnya, mendapatkan pengakuan melalui penyiksaan dan benar-benar tergantung pada kehendak hati penguasa. Beccaria sangat berkepentingan merombak sifat kejam, berlebihan dan tidak bisa diperkirakannya hukuman. Menurutnya tidak masuk akal menghukum pelanggar hukum dengan hukuman yang tidak adil. Menurut Franks E. Hagan: 2013: 137-138, Beccaria berperan dalam penghapusan penyiksaan sebagai alat yang sah untuk mendapatkan pengakuan. Beccaria berpendapat “Hukuman harus sesuai dengan kejahatan”. Beccaria menawarkan prinsip-prinsip pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana:
UU harus dibuat oleh badan legislatif dan harus spesifik (lex scripta);
Peran hakim hanyalah menentukan kesalahan dan mengikuti dengan ketat pada ketentuan harfiah UU dalam menentukan hukuman. Hakim tidak boleh menafsirkan UU;
Tingkat kejahatan harus ditentukan berdasarkan bahaya yang ditimbulkan pada masyarakat dan didsarkan pada prisip kesenangan atau penderitaan;
Hukuman harus didasarkan pada tingkat keseriusan kejahatan dan kemampuannya mencegah kejahatan;
Hukuman tidak boleh melebihi apa yang diperlukan bagi pencegahan;
Berlebihnya bobot hukuman sering meningkatkan kejahatan yang dilakukan untuk menghindarkan hukuman;
Hukuman harus pasti, ketat dan jelas (lex scripta, lex stricta dan lex certa) 8) UU harus disusun dengan tujuan utama mencegah kejahatan. Lebih baik mencegah kejahatan dari pada menghukum;
Semua orang harus diperlakukan setara di hadapan hukum ( equality before the law ). Mountesqueu, teman Beccaria dan seorang tokoh revolusi Prancis, sejalan dengan Beccaria, menghendaki pemisahaan kekuasan fungsi-fungsi kelembagaan pembuat perundang-undangan (legislatif), fungsi pemerintahan (eksekutif), dan fungsi penegakan hukum (yudikatif). Ke tiga kekuasaan di atas 199 harus dipisahkan supaya hukum dan penegakannya tidak lagi terjebak dalam kekuasaan absolut kerajaan yang tirani, kejam, dan tidak manusiawi. Pengalaman pahit penegakan hukum dibawah doktrin Arbitrium Judicis, mempengaruhi pemahaman aliran hukum positif di dunia peradilan sehingga melahirkan aliran legisme, dimana hakim hanya dipandang sebagai sekedar “terompet undang-undang”. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Montesquieu bahwa hakim-hakim rakyat tidak lain hanyalah corong yang mengucapkan teks undang-undang saja. Jika teks itu tidak berjiwa dan tidak manusiawi, maka para hakim tidak berhak merubahnya, baik tentang kekuatannya, maupun tentang keketatannya (Ahmad Ali:
. Legisme muncul untuk mengantisipasi masih adanya pengaruh kekuasaan para hakim yang saat itu menjadi subordinasi kekuasaan raja. Pendapat di atas mucul karena para tokoh revolusi Prancis menghendaki dan meyakini bahwa para wakil-wakil rakyat yang ditunjuk mengemban fungsi legislatif merupakan orang-orang yang tepat, berintegritas, berkeilmuan dan mengedepankan kepentingan rakyat, sehingga hukum yan dibentuk adalah hukum-hukum yang adil dan berkepastian serta bermanfaat bagi pencapaian kesejahteraan rakyat. John Stuart Mill sependapat dengan Bentham bahwa hukum positif hendaklah ditujukan pada pencapaian kemanfaatan (kebahagiaan). Stuart Mill mengemukakan hukum positif hendaknya didasarkan pada kegunaannya sebagai suatu stadar keadilan. Hakikat keadilan dalam pegertian ini mencakup semua persyaratan moral yang hakiki bagi kesejahteraan umat manusia (Satjipto Rahardjo: 2000:
. Berdasarkan berbagai pandangan di atas maka sesungguhnya antara keadilan hukum dan kepastian hukum, bukanlah tujuan hukum yang saling berhadapan dan saling menegasikan. Keduanya tak terpisahkan satu sama lain, sehingga penyatuan keduanya akan melahirkan kemanfaatan dalam penegakan hukum. Pemahaman yang memversuskan antara keadilan hukum dan kepastian hukum merupakan pemahaman yang kurang tepat. Bahkan Gustav Radbruch dalam teori tentang Ajaran Cita Hukumnya ( Idee des Rechts ), menyatakan bahwa aturan hukum positif yang berkepastian hukum harus memuat ajaran- 200 ajaran moral yang bernilai keadilan dam substansinya. Sehingga penyatuan keduanya akan melahirkan kemanfaatan hukum. Dengan adanya kewenangan penyidikan oleh OJK terhadap tindak pidana di bidang jasa keuangan ini, maka selain telah memperoleh legitimasi dalam perundang-undangan, juga inheren telah mengadopsi nilai-nilai keadilan. Hal ini sesuai dengan kebutuhan dan spesialisasi bidang sebagai ranah awal yang memungkinkan munculnya perbuatan pidana. Oleh karena itu kehadiran kewenangan peyidikan yang memahami anatomy of crime dari kejahatan di bidang jasa keuangan ini telah menempatkan keselarasan antara kepastian hukum dengan keadilan hukum. Penegakan hukum melalui Integrated Criminal Justice System dengan yang mengedepankan prinsip-prinsip Due process of law , pada akhirnya dapat mencapai tujuan hukum berupa keadilan hukum, kepastian hukum dan kemanfaatan hukum bagi semua pihak. Dengan demikian, kewenangan penyidikan OJK tidak bertentangan sama sekali dengan keadilan hukum dan kepastian hukum. Sebagai contoh, untuk menyidik tindak pidana korupsi, maka ada tiga institusi yang berwenang, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK. Ternyata peran ketiga lembaga ini dalam menyidik tindak pidana korupsi berjalan dengan baik dan saling menghormati. Hal-hal berkaitan dengan koordinasi, tentunya itu menjadi masalah teknis koordinatif dan tidak perlu dipertentangkan soal konstitusionalitasnya. Sehubungan dengan hal di atas, maka pada tanggal 25 November 2014, OJK dan POLRI telah menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) tentang Kerjasama Penanganan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan. Ruang lingkup MoU ini, baik di bidang pencegahan, maupun di bidang penegakan hukum (termasuk persoalan penyidikan), bidang pendidikan dan pelatihan dan lain sebagainya. Pelaksanaan MoU ini, maka OJK dan POLRI bersama sama menyusun pedoman kerja yang dituangkan dalam berbagai bidang tadi. Hal inilah yang ahli maksudkan sebagai wujud dari Integrated Criminal Justice System sebagaimana telah Ahli kemukakan di atas. Kesimpulan dari keterangan diatas sebagai berikut:
Esensi kehadiran kewenangan penyidikan PPNS OJK terhadap tindak pidana di Bidang Jasa Keuangan ini, merupakan sebagai suatu konsekuensi logis dari perkembangan falsafah pemidanaan dalam Hukum 201 Pidana yang bercorak Neo-Klasik , sehingga mempengaruhi perkembangan Hukum Acara Pidana yang ditemukan dalam UU Khusus di Luar KUHP. Tindak pidana di sektor jasa keuangan sebagai tindak pidana khusus, banyak mengandung terminologi tersendiri sesuai dengan domainnya. Oleh karena itu kebutuhan terhadap kewenangan penyidikan PPNS OJK yang profesional sesuai dengan bidangnya masing-masing merupakan sesuatu yang tidak terelakkan. Dengan demikian kewenangan penyidikan PPNS OJK dalam UU OJK merupakan suatu kebutuhan dan harus dipertahankan bahkan diperkuat.
Kewenangan penyidikan yang diberikan kepada PPNS OJK, dapat memberikan perlindungan kepada hak-hak individu dan masyarakat. Kemampuan dan pemahaman yang valid terhadap delik-delik di bidang jasa keuangan oleh PPNS OJK, dapat mengeliminir resiko “salah penerapan hukum” dan error in persona . Dengan demikian Kewenangan penyidikan PPNS OJK tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Due process of law .
Kewenangan penyidikan oleh OJK terhadap tindak pidana di bidang jasa keuangan ini, selain telah memperoleh legitimasi dalam perundang- undangan, juga inheren telah mengadopsi nilai-nilai keadilan. Hal ini sesuai dengan kebutuhan dan spesialisasi di bidang jasa keuangan sebagai ranah awal yang memungkinkan munculnya perbuatan pidana. Oleh karena itu kehadiran kewenangan penyidikan yang memahami anatomy of crime dari kejahatan di bidang jasa keuangan ini telah menempatkan keselarasan antara kepastian hukum dengan keadilan hukum yang pada akhirnya membawa kemanfaatan hukum bagi semua pihak. Dengan demikian, kewenangan penyidikan OJK tidak bertentangan sama sekali dengan keadilan hukum dan kepastian hukum.
Dr. Yunus Husein, S.H., LL.M A. Kewenangan penyidikan diluar penyidik Polri dan tindak pidana yang dapat disidik. Mengenai legitimasi pemberian kewenangan penyidikan kepada OJK. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-V/2007 tentang pengujian Undang-Undang Kejaksaan, Prof. Andi Hamzah menjabarkan bahwa secara historis, Pasal 141 SV KUHAP Belanda, yang menjadi 202 sumber dari KUHP dan KUHAP di Indonesia, mengatur bahwa penyidikan tindak pidana dibebankan kepada 10 pejabat, diantaranya selain Jaksa dan Polisi, juga pejabat penyidik dibidang tertentu seperti Perikanan dan Bea Cukai. Jadi pada dasarnya, secara historis, kewenangan penyidikan tidak hanya dimonopoli oleh satu institusi melainkan menjadi kewenangan dari berbagai institusi sesuai dengan kebutuhan dan kekhususannya masing- masing. Saat ini di Indonesia, paling tidak ada 50 PPNS yang diberikan kewenangan menyidik tindak pidana tertentu. Selanjutnya, masih dalam Putusan Nomor 28/PUU-V/2007, Mahkamah memberikan pandangannya mengenai pendapat yang menyebutkan bahwa kepolisian adalah penyidik tunggal. Dalam pertimbangannya, Mahkamah menjelaskan bahwa pada dasarnya kewenangan penyidikan yang dimiliki oleh kepolisian adalah amanat dari undang-undang, yaitu undang-undang kepolisian. Dan oleh karena itu, terdapat peluang bagi institusi lain untuk juga memiliki kewenangan penyidikan sepanjang diatur oleh Undang- Undang. Hal ini sejalan dengan amanat Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang mengatakan bahwa “Badan-Badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-Undang”. Begitupun halnya dengan adanya “diferensiasi fungsi” dalam hal ini kewenangan melakukan penyidikan, Mahkamah juga telah mengakui bahwa hal tersebut sepenuhnya diserahkan kepada pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden), baik sebelum adanya amandemen UUD 1945 dengan diakuinya penyidik pegawai negeri sipil didalam KUHAP, dan setelah adanya amandemen UUD 1945 dengan diberikannya fungsi penyidikan kepada beberapa institusi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi. Terkait hal ini, juga didukung dengan ketentuan dalam Undang-Undang Kepolisian, Pasal 2 juncto Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2002, yang menyebutkan bahwa Instansi dan/atau badan pemerintah, dalam hal ini OJK, dapat melaksanakan fungsi kepolisian sepanjang diberikan mandat oleh undang-undang yang mendasarinya. Salah satu konsekuensi logis dari praktik multi-penyidik atas suatu tindak pidana adalah kemungkinan beberapa penyidik melakukan penyidikan untuk suatu tindak pidana yang sama atau setidak-tidaknya saling berkaitan. 203 Terkait hal ini, saya berpandangan bahwa permasalahan ini dapat diantisipasi dengan adanya komunikasi antara penyidik diantaranya melalui wadah komunikasi seperti yang diatur dalam Pasal 107 KUHAP dan komunikasi antara penyidik dan penuntut umum, sebagai dominus litis atau pengendali perkara berdasarkan Pasal 109 KUHAP. Kemudian, mengenai tindak pidana apa yang dapat disidik oleh OJK? Dalam Pasal 49 ayat (3) huruf c disebutkan bahwa kewenangan penyidikan meliputi tindak pidana di sektor jasa keuangan. Untuk mengetahui apa saja tindak pidana di sektor jasa keuangan tersebut, dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 6 Jis Pasal 1 angka 5, 6, 7, 8, 9 dan 10 UU OJK yaitu kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Ketentuan ini cukup memberikan penjelasan mengenai ruang lingkup tindak pidana apa saja yang dapat disidik oleh OJK. Sebagai informasi tambahan, dalam praktik peradilan pun eksistensi penyidikan yang dilaksanakan oleh Otoritas Jasa Keuangan juga sudah diakui dengan ditolaknya beberapa permohonan praperadilan yang diajukan terhadap tindakan penyidikan OJK. Beberapa diantara permohonan praperadilan tersebut adalah Putusan Nomor 6/Pid.Pra/2019/PN.JKT.PST dengan pemohon M. Nuh Said dan Putusan Nomor 7/Pid.Pra/2018/Pn.Palu Oleh karena itu, Ahli berpendapat bahwa sepanjang undang-undang mengamanatkan kewenangan untuk melakukan penyidikan dan sudah diatur mengenai tindak pidana apa yang masuk kedalam ruang lingkup kewenangannya, maka kewenangan tersebut dapat dibenarkan. B. Kewajiban kordinasi dengan penyidik Polri, lembaga Praperadilan, penyerahan berkas perkara dan ketentuan lainnya mengenai hukum acara merujuk pada KUHAP Mengenai kekhawatiran berkenaan dengan hukum acara, mulai dari mekanisme kordinasi dengan penyidik Polri, penyerahan berkas perkara, sampai ketersediaan lembaga praperadilan sebagai sarana perlindungan hak dan kontrol terhadap penggunaan wewenang penyidik, perlu diperhatikan ketentuan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981, 204 dijelaskan bahwa undang-undang tersebut (KUHAP) berlaku untuk melaksanakan tatacara peradilan dalam lingkungan peradilan umum pada semua tingkat peradilan. Oleh karena itu, maka ketentuan-ketentuan dalam KUHAP tetap berlaku untuk penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh OJK, sepanjang tidak diatur secara khusus dalam undang-undang a quo. Lebih lanjut mengenai pembahasan poin-poin yang dikemukakan oleh pemohon, pertama, terkait hubungan antara PPNS dan Polri. Dalam KUHAP, pada pokoknya pola hubungan antara penyidik PPNS dan penyidik Polri dapat dikategorikan dalam beberapa bentuk. Pertama, memberikan petunjuk dan bantuan penyidikan. Kedua, kewajiban PPNS melaporkan penyidikan kepada Polri. Ketiga, adalah penyerahan berkas kepada penuntut umum melalui Polri. Keempat, kewajiban memberitahukan penghentian penyidikan kepada Polri dan penuntut umum. Dari poin-poin tersebut diatas, dapat dilihat bahwa relasi antara penyidik PPNS dan Polri bersifat kordinatif dan pengawasan guna kelancaran penyidikan yang dilakukan oleh penyidik PPNS. Oleh karena itu, apabila penyidik di lingkungan OJK dianggap sebagai penyidik PPNS, maka ketentuan dalam KUHAP tersebut juga berlaku bagi mereka. Sekalipun penyidik di lingkungan OJK tidak dianggap sama dengan penyidik PPNS, check and balance dalam penggunaan wewenangnya juga tetap merujuk pada KUHAP. Perlu dipahami bahwa check and balances terhadap rangkaian tindakan penyidikan baik oleh PPNS ataupun penyidik Polri pada dasarnya juga telah diatur dalam ketentuan-ketentuan lain dalam KUHAP. Beberapa contoh diantaranya adalah kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Kejaksaan, Pelapor, dan Terlapor paling lambat 7 hari setelah diterbitkannya surat perintah penyidikan sebagai bentuk perlindungan hak konstitusional pelapor dan terlapor. Contoh lainnya, kewajiban untuk memperoleh surat izin/ persetujuan penggeledahan dan atau penyitaan dari pengadilan dalam menjalankan kewenangan penggeledahan dan penyitaan juga merupakan bentuk check and balance dalam melaksanakan kewenangan penyidikan. 205 Kedua prosedur tersebut meskipun tidak diatur khusus dalam Undang- Undang OJK, tetapi berdasarkan Pasal 2 KUHAP, maka penyidik OJK tetap tunduk pada ketentuan-ketentuan tersebut. Sebagai contoh, dalam praktik penegakan hukum di bidang perikanan yang dilakukan oleh PPNS Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, dalam hal penyidik akan melakukan penggeledahan dan atau penyitaan, Undang- Undang Nomor 45 Tahun 2009 hanya menyebutkan bahwa penyidik berwenang melakukan penggeledahan dan atau penyitaan tanpa menjelaskan bagaimana prosedur dilakukannya penggeledahan dan penyitaan tersebut. Akan tetapi, merujuk pada Pasal 2 KUHAP, prosedur formal yang harus ditempuh oleh penyidik tetap merujuk ke prosedur penggeledahan dan penyitaan sebagaimana diatur oleh KUHAP, yaitu meminta izin/persetujuan dari ketua pengadilan negeri. Begitupun dengan tidak adanya pengaturan praperadilan dalam UU OJK yang dikhawatirkan pemohon bertentangan dengan prinsip negara hukum. Walaupun tidak diatur dalam UU OJK, bukan berarti dalam menjalankan kewenangan penyidikannya, penyidik OJK tidak dapat dipraperadilankan. Mekanisme praperadilan yang diatur dalam KUHAP tetap berlaku dalam penyidikan yang dilakukan oleh OJK atas dasar Pasal 2 Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana. Sebagai contoh, dalam UU Perikanan, yang menjadi dasar kewenangan PPNS KKP dan penyidik TNI AL untuk menyidik kejahatan perikanan juga tidak mengatur mengenai pranata Praperadilan. Akan tetapi, baik PPNS KKP dan Penyidik TNI AL juga beberapa kali pernah dipraperadilankan saat menyidik tindak pidana perikanan. Pengenyampingan ketentuan dalam KUHAP hanya dimungkinkan sepanjang undang-undang yang menjadi dasar pemberian kewenangan pada penyidik tertentu tersebut mengatur secara khusus. Contohnya mengenai kewenangan penggeledahan dan penyidikan KPK yang tidak memerlukan izin pengadilan. Kesimpulannya, (1) ketentuan mengenai upaya paksa, kewenangan terkait penyidikan, dan prosedur lain yang berkaitan, sepanjang tidak diatur secara khusus, prosedurnya tetap mengacu ke KUHAP. (2) mekanisme check and 206 balances terhadap tindakan penyidikan tetap ada dalam batas perlindungan yang telah diatur dalam KUHAP. C. Mengenai “status” penyidik di OJK Secara kelembagaan, merujuk pada Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, OJK dapat dikategorikan sebagai State Independent Agency , yang berperan untuk melakukan pengawasan kegiatan sektor jasa keuangan dan untuk mengefektifkan peran tersebut, OJK diberikan kewenangan untuk melakukan penyidikan. Oleh karena itu, status penyidik di lingkungan OJK juga bersifat khas. Untuk memahaminya, dapat dilihat dari ketentuan- ketentuan dan risalah rapat Rapat penyusunan RUU Tentang OJK Masa Persidangan II Tahun Sidang 2010-2011, hari Rabu, 1 Desember 2010 dengan Kemenkeu, Jampidsus, Bareskrim Polri dan BI dan hari Kamis, 2 Desember 2010 dengan Kepala Bapepam LK, dan Kementerian Hukum dan HAM sebagai berikut: Pertama, OJK dapat merekrut pegawai negeri, yang apabila merujuk pada ketentuan dalam Undang-Undang Kepegawaian, juga meliputi anggota Polri. Pasal 27 ayat (2) OJK dapat mempekerjakan pegawai negeri (termasuk pejabat penyidik pegawai negeri sipil dan/atau pejabat penyidik kepolisian) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Penjelasan Pasal 27 ayat (2) untuk mengefektifkan tugasnya, OJK dapat mempekerjakan pegawai negeri dari instansi lain atau dengan status lainnya. Pegawai negeri yang bekerja pada OJK dapat berstatus dipekerjakan atau status lainnya dalam rangka menunjang kewenangan OJK di bidang pemeriksaan, penyidikan, atau tugas-tugas yang bersifat khusus. Pegawai negeri tersebut antara lain berasal dari pejabat penyidik pegawai negeri sipil dan atau pejabat penyidik kepolisian. Hak dan kewajiban pegawai negeri tersebut disetarakan dengan hak dan kewajiban pegawai OJK. Dalam penjelasan pasal tersebut, dapat dipahami bahwa yang dimaksud sebagai Pegawai Negeri diantaranya adalah pejabat penyidik kepolisian (anggota Polri). Pandangan ini semakin jelas apabila merujuk pada maksud 207 pembuat undang-undang yang terdokumentasikan dalam risalah penyusunan undang-undang. Dalam risalah rapat tersebut, terlihat bahwa intensi pembentuk undang-undang untuk memberikan kewenangan penyidikan kepada OJK diikuti dengan maksud untuk merekrut pegawai negeri, baik pegawai negeri sipil ataupun anggota Polri, sebagai pelaksana kewenangan penyidikan. Perwakilan pemerintah menjelaskan terkait status PPNS berkaitan dengan pegawai OJK yang bukan pegawai negeri sipil bahwa untuk penyidik memang akan merekrut pegawai negeri untuk dipekerjakan di OJK, dan yang dimaksud pegawai negeri ini bisa dari sipil ataupun polisi. Terkait persoalan ini memang sempat memantik diskusi dari pembentuk undang-undang. Dalam suatu kesempatan, salah seorang anggota tim panja RUU OJK dari Fraksi Gerindra mengusulkan agar desain penyidik OJK dibuat seperti model Undang-Undang KPK dan tidak menggunakan terminologi PPNS, tetapi cukup penyidik. Pandangan ini juga direspon positif oleh ketua rapat dengan mengangkat isu mengenai mekanisme BKO, yang dirasanya kurang efektif karena anggota yang di BKO-kan bisa sewaktu-waktu ditarik oleh institusi asalnya. Pandangan ini direspon oleh pemerintah dengan menjelaskan bahwa terminologi PPNS digunakan agar pegawai negeri sipil yang memiliki kompetensi sebagai penyidik, tidak perlu keluar dari PNS apabila dipekerjakan sebagai penyidik oleh OJK. Begitupun halnya dengan kepolisian, pemerintah menggunakan terminologi pegawai negeri, daripada pegawai negeri sipil, untuk mengakomodir kepentingan mempekerjakan anggota Polri sebagai penyidik. “Usulan dari fraksi partai gerindra agar OJK dibuat seperti model undang- undang KPK. Lebih lanjut ia juga mengusulkan agar tidak memakai istilah PPNS, tapi cukup penyidik saja” “Ketua rapat menyinggung isu BKO yang dirasa kurang efektif karena bisa sewaktu-waktu ditarik oleh institusi asalnya” “Pemerintah menjelaskan bahwa sekalipun pegawai OJK bukan pegawai negeri sipil, tetapi payung hukum untuk (mempekerjakan) pegawai negeri sipil tetap dibuka karena ada kepentingan untuk membutuhkan PNS sebagai PPNS. Terminologi PPNS digunakan agar tidak perlu keluar dari 208 PNS namun tetap bisa menjadi penyidik di OJK. Begitupun Polisi yang akan dipekerjakan di OJK sebagai penyidik, itu juga memungkinkan. Oleh karenanya pasal itu kita sebut Pegawai Negeri, bukan Pegawai Negeri Sipil. (Halaman 732)” Kedua, anggota Polri dan Pegawai Negeri Sipil yang dipekerjakan di OJK sebagai penyidik ada dalam kerangka penyidik pegawai negeri sipil. Pasal 49 menekankan bahwa “pegawai negeri” dapat diangkat menjadi penyidik pegawai negeri sipil, yang dalam undang-undang OJK diberikan kewenangan-kewenangan khusus untuk melakukan tindakan tertentu dalam menjalankan fungsi penyidikan. Pasal 49 ayat (2) Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dapat diangkat menjadi penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Merujuk pada pasal tersebut, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan pegawai negeri dalam Pasal 49 ayat (2) adalah termasuk pejabat penyidik pegawai negeri sipil dan atau pejabat penyidik kepolisian yang dipekerjakan di OJK. Pendapat ini berdasarkan pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Kepegawaian yang mendefinisikan pegawai negeri termasuk didalamnya anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Selanjutnya mengenai frasa “dapat diangkat menjadi penyidik pegawai negeri sipil” dalam Pasal 42 ayat (2) UU OJK, dikaitkan dengan pengertian Pegawai Negeri diatas, maka dapat disimpulkan sepanjang ada pengangkatan sebagai penyidik pegawai negeri sipil, maka baik penyidik kepolisian dan atau penyidik pegawai negeri sipil yang dipekerjakan di OJK berdasarkan Pasal 27 ayat (2) dapat menjalankan fungsi penyidikan dan memiliki kewenangan sesuai dengan yang terdapat dalam Pasal 49 ayat (3) UU OJK. Pemahaman ini sejalan dengan maksud awal dari pembentuk undang- undang yang terdokumentasi dalam risalah rapat penyusunan undang- undang sebagai berikut: “Pemerintah: Ada pegawai OJK yang non-PNS ada pegawai OJK yang PNS. Nanti masalah administrasi kan bisa kita atur dengan Menpan, dengan 209 Kementerian Keuangan, apakah itu BKO selama 5 tahun, nanti diperpanjang lagi itu biasa pak” “Ketua Rapat: jadi intinya, kan dia PNS yang diperbantukan kedalam OJK, jadi intinya OJK membuat klausul bahwa dia siap, bisa menerima perbantuan dari PNS itu” “Pemerintah: kemudian tadi yang soal Polri tadi itu pak, sebenarnya juga kita membuka saja payung hukum kalau nanti anggota Polri yang juga bekerja di OJK sebagai penyidik. Itu juga memungkinkan, tetapi kalau nanti Polri ga kasih misalnya, yaudah ga ada masalah pak, gitu. Jadi Pasal itu tetap kita katakan pegawai negeri. Kita gak bilang pegawai negeri sipil pak, karena Polri itu pegawai negeri, bukan pegawai negeri sipil” “Ketua Rapat: penyidikan ini Ahli tawarkan konsep begini, kita kasih kewenangan penyidikan Bapepam kepada OJK, iya kan? Karena memang ada undang-undang sektoral yang memerintahkan untuk itu otoritasnya berpindah ke Pasar Modal. Tapi karena UU ini tidak hanya berlaku untuk Pasar Modal, tetapi juga yang lain, harapannya undang-undang yang lain bisa menyesuaikan. Langkah komprominya adalah dikasih penyidikan tapi dalam pelaksanaannya bekerjasama dengan instansi terkait”. “Pemerintah: memang begitu pak, memang sebagai PPNS tidak bisa jalan sendiri, harus dibawah kordinasi Polri. Yang kita maksud dengan kejaksaan itu juga harus melalui Polri”. Dari kutipan pasal-pasal dan pembahasan penyusunan RUU OJK diatas, maka Ahli berpandangan bahwa intensi pembuat undang-undang terkait pemberian kewenangan penyidikan kepada OJK dan keinginan agar pegawai negeri sipil dan anggota Polri menjadi pelaksana kewenangan penyidikan tersebut di institusi OJK sebagai penyidik pegawai negeri sipil. Akan tetapi, terkait dengan kewenangan yang dimiliki oleh PPNS dalam UU OJK, perlu diperhatikan beberapa isu mengenai apakah mungkin pejabat penyidik kepolisian dapat diangkat menjadi penyidik pegawai negeri sipil? Apabila dimungkinkan, siapa yang dapat mengangkat penyidik kepolisian sebagai penyidik pegawai negeri sipil? Apabila merujuk pada Peraturan Pemerintah 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Peraturan 210 Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan PP Nomor 27 Tahun 1983, anggota Polri tidak dapat diangkat menjadi PPNS karena terdapat beberapa persyaratan yang tidak kompatibel dengan kepangkatan dan/atau kepegawaian anggota Polri. Akan tetapi, menurut pendapat Ahli, persoalan ini dapat diselesaikan dengan menerbitkan atau menyesuaikan peraturan pemerintah terkait pengangkatan penyidik pegawai negeri sipil untuk untuk menjalankan ketentuan yang diatur dalam undang-undang OJK. D. Rasionalisasi dan Urgensi Penyidik Khusus Terdapat beberapa alasan dalam memberikan kewenangan penyidikan bagi institusi lain diluar institusi kepolisian. Sebagai contoh dan perbandingan, dapat kita lihat dalam rasionalitas pemberian kewenangan menyidik tindak pidana pencucian uang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Pertama, tingginya angka dugaan tindak pidana pencucian uang dan pada saat itu, tim perumus berpandangan bahwa satu institusi saja, dalam hal ini kepolisian, dirasa tidak sanggup untuk menindaklanjuti dugaan-dugaan tersebut. Kedua, multi-penyidik untuk tindak pidana tertentu juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas proses penegakan hukum. Dengan dibukanya peluang bagi beberapa institusi untuk menyidik suatu tindak pidana, diharapkan masing-masing institusi akan semakin terpacu untuk menegakkan hukum dan diharapkan dapat meningkatkan kualitas penegakan hukum itu sendiri. Ketiga, untuk tindak pidana tertentu dibutuhkan pemahaman dan keahlian khusus. Seperti halnya dalam tindak pidana yang menjadi tindak pidana asal pencucian uang seperti tindak pidana perbankan, pasar modal, kehutanan, perikanan dan lain sebagainya. Akan sulit untuk mengoptimalkan proses penegakan hukum apabila aparat penegak hukum itu sendiri tidak menguasai suatu bidang tertentu. Untuk itulah diperlukan penyidik khusus, karena dianggap memiliki pemahaman khusus mengenai bidang tertentu. Kemudian untuk mengoptimalkan kemampuan penyidikannya, diatur mengenai pola kordinasi antara penyidik khusus tersebut dengan penyidik polri yang secara umum lebih berpengalaman dalam menyidik tindak pidana. 211 Sejalan dengan alasan-alasan tersebut diatas, perlu pula diketahui terkait alasan yang mendasari para penyusun undang-undang untuk memberikan kewenangan penyidikan kepada OJK dengan merujuk pada risalah rapat penyusunan rancangan undang-undang tentang OJK sebagai berikut: Perwakilan dari pemerintah menjelaskan urgensi untuk memiliki penyidik sendiri adalah untuk meningkatkan efektifitas penegakan hukum (merujuk dari pengalaman Bank Indonesia yang melaporkan dugaan tindak pidana ke Kepolisian namun tidak ada tindak lanjutnya). Yang kita maksud disini itu penyidikan, kita penyidiknya pak. Karena pengalaman selama ini kita sudah kirim penyelidikan ke kepolisian, itu butuh waktu lagi. Karena disana untuk gelar perkaranya aja tuh kadang-kadang itu butuh pengertian dan pengetahuan mendalam terkait transaksi pasar modal yang kadang-kadang kalau kita lihat itu bisa pidana tapi kadang-kadang rekan-rekan kita disana bisa ga lihat itu pak. Jadi kalau misalnya OJK dalam hal ini bapepam tidak diberi kewenangan, nanti makin banyak white colar crimes Merujuk pada kutipan tersebut, dapat dipahami bahwa keinginan untuk memberikan kewenangan penyidikan kepada OJK adalah sebagai bentuk perbaikan dari pengalaman penegakan hukum di bidang jasa keuangan sebelum disahkannya Undang-Undang OJK, yang dirasa masih belum efektif, karena banyak dugaan tindak pidana yang dilaporkan ke Polri yang tidak berhasil mencapai hasil yang diharapkan. Dengan demikian, beradasarkan alasan-alasan tersebut diatas, mengingat luas dan kompleksnya permasalahan dilingkungan pengawasan sektor jasa keuangan, Ahli berpandangan bahwa diperlukan penyidik khusus di lingkungan OJK yang diharapkan mampu mendeteksi adanya dugaan tindak pidana dan melakukan penindakan dengan lebih baik.
Zainal Arifin Mochtar SEJARAH PENGATURAN OJK OJK—lebih spesifiknya UU OJK—tidak lahir dari ruang hampa. Pengaturan tentang OJK muncul dari pemikiran tentang efisiensi dan efektifitas pengawasan sektor keuangan. Asumsi yang dibangun adalah untuk menciptakan efisiensi dan efektifitas pengawasan sektor keuangan, maka 212 pengawasannya harus dibagi-pisah antara sektor keuangan makro dan sektor keuangan mikro. OJK kemudian difokuskan pada sektor keuangan mikro dengan spesifikasi sektor jasa keuangan. Sejarah pengaturan OJK dapat dirujuk pada ketentuan tentang Bank Indonesia. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia—selanjutnya ditulis UU BI—disebutkan bahwa salah satu tugas Bank Indonesia (BI) adalah mengatur dan mengawasi bank (vide Pasal 8 huruf c UU BI). Lebih lanjut, tugas pengawasan bank dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen dan selambat-lambatnya lembaga pengawasan bank tersebut harus dibentuk pada 31 Desember 2002 (vide Pasal 34 UU BI). Meskipun perintah yang dicantumkan dalam UU BI memerintahkan per 31 Desember 2002 harus ada sebuah lembaga khusus yang melakukan pengawasan terhadap Bank, akan tetapi faktanya lembaga tersebut tidak terbentuk sesuai jadwal. Namun demikian, tidak lantas kewenangan untuk pengawasan bank dicabut. Kewenangan itu tetap ada, tetapi lembaganya saja yang belum terbentuk. Bahkan perubahan UU BI (yakni Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004— selanjutnya ditulis UU No. 3 Tahun 2004) menegaskan eksistensi pengawasan bak oleh sebuah lembaga—yang belum dibentuk tersebut. Penjelasan Pasal 34 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2004 menyatakan, “lembaga pengawasan jasa keuangan yang akan dibentuk melakukan pengawasan terhadap bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat.” Demikian, telah jelas bahwa embrio OJK tidak lahir dari ruang yang hampa. Embrio OJK lahir dari perintah UU BI untuk mengawasi bank yang diatur secara khusus untuk mengawasi jasa keuangan. Lebih lanjut, OJK itu adalah gabungan antara “separuh” Bank Indonesia dan Bapepam KL. Maka, pemahaman yang paling awal adalah, OJK merupakan gabungan dari kewenangan yang telah dimiliki di Bank Indonesia dengan kewenangan yang sebelumnya telah dimiliki oleh Bapepam LK. Maka, OJK merupakan gabungan dari keseluruhan kewenangan pada kedua lembaga 213 tersebut, diimbuhi dengan kewenangan lainnya yang diberikan oleh UU. Maka menjadi wajar, jika OJK saat ini mengerjakan tugas yang dulunya dikerjakan oleh Bapepam LK, termasuk kewenangan dalam hal penyidikan perkara tertentu. FILOSOFI PEMBERIAN KEWENANGAN KE OJK Dalam Pasal 6 UU OJK disebutkan bahwa OJK memiliki tugas pengaturan dan pengawasan terhadap (a) kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan; (b) kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal; dan (c) kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Untuk menjalankan tugas pengawasan terhadap tiga hal di atas, OJK diberikan delapan bentuk kewenangan yang salah satunya adalah penyidikan atas kegiatan jasa keuangan (vide Pasal 9 UU OJK). Norma penyidikan atas kegiatan jasa keuangan tidak dapat dibaca terpisah dengan kewenangan lainnya yang masuk dalam rumpun kewenangan pengawasan OJK. Selain melakukan penyidikan, dalam rumpun kewenangan OJK untuk melakukan pengawasan jasa keuangan, terdapat pula kewenangan untuk melakukan (a) pengawasan; (b) pemeriksaan; (c) perlindungan konsumen; dan (d) tindakan-tindakan lainnya (vide Pasal 9 huruf c UU OJK). Artinya, kewenangan penyidikan OJK sebenarnya adalah bagian dari atau rangkaian dari jenis-jenis kewenangan pengawasan yang diberikan ke OJK untuk melaksanakan pengawasan kegiatan jasa keuangan. Di mana kewenangan tersebut berasal dari tugas BI untuk mengatur dan mengawasi bank sebagaimana yang diperintahkan oleh UU BI (vide Pasal 8 huruf c UU BI). Apakah kewenangan penyidikan sedemikian lazim diterapkan ke sebuah lembaga? Untuk menjawab hal ini, patutlah kiranya disampaikan contoh pemberian kewenangan yang diperintahkan oleh undang-undang. Sebagai contoh, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia— selanjutnya ditulis UU HAM—mencantumkan sebuah lembaga yang diberi nama Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnasham). Lembaga ini mempunyai fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi tentang hak asasi manusia [vide Pasal 76 ayat (1) UU HAM]. 214 Demi melaksanakan fungsi pemantauan, Komnasham diberikan wewenang oleh UU HAM untuk melakukan penyidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia (vide Pasal 89 angka 3 huruf b UU HAM). Berdasarkan UU HAM, diketahui bahwa pemberian kewenangan penyidikan—soal hak asasi manusia—ke Komnasham merupakan turunan dari tugas pemantauan pelaksanaan hak asasi manusia yang diberikan oleh UU HAM. Jika dibaca dengan seksama, norma tugas pemantauan pelaksanaan hak asasi manusia oleh Komnasham yang dinyatakan melalui kewenangan penyidikan selaras dengan tugas mengawasi bank/lembaga jasa keuangan yang dinyatakan dengan kewenangan penyidikan kegiatan jasa keuangan oleh OJK. Contoh kedua adalah penerapan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia—selanjutnya ditulis UU Kejaksaan. Sebagaimana diketahui secara umum bahwa tugas dan wewenang kejaksaan adalah melakukan penuntutan atas kasus pidana. Akan tetapi, UU Kejaksaan ternyata tidak hanya memberikan kewenangan penuntutan saja, melainkan tugas dan wewenang lainnya. Salah satunya adalah tugas dan wewenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang [vide Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan]. Berdasarkan norma yang dicantumkan dalam UU Kejaksaan, kewenangan penyidikan—yang mungkin saja oleh sebagian ahli hukum pidana dianggap bukan core bussines kejaksaan karena penyidikan adalah core bussines-nya kepolisian, misalnya—ternyata diberikan juga ke kejaksaan sepanjang dilakukan berdasarkan undang-undang. Dalam Penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan menyatakan, “kewenangan dalam ketentuan ini adalah kewenangan sebagaimana diatur misalnya adalah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”. 215 Pemberian kewenangan penyidikan tindak pidana tertentu ke kejaksaan adalah perintah dari UU Kejaksaan. Dan norma ini harus dijalankan. Jika pemberian kewenangan penyidikan tindak pidana tertentu ke kejaksaan dimungkinkan—dan sudah terjadi—meskipun core bussines kejaksaan adalah penuntutan kasus pidana, maka kejaksaan wajib melaksanakannya karena hal tersebut adalah turunan dari tugas kejaksaan yang diperintahkan oleh undang- undang. Kewenangan penyidikan tiga lembaga (OJK, Komnasham, dan Kejaksaan) dapat disampaikan dalam tabel di bawah ini. Tabel Kewenangan Penyidikan Lembaga Lembaga Kewenangan Objek Penyidikan Dasar Hukum OJK Penyidikan Kegiatan jasa keuangan Pasal 8 huruf c UU BI; Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK Komnasham Penyidikan Pelanggaran hak asasi manusia Pasal 89 angka 3 huruf b UU HAM Kejaksaan Penyidikan Tindak pidana tertentu Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan Selanjutnya, apakah pemberian kewenangan penyidikan terhadap lembaga- lembaga untuk objek penyidikan dianggap bertentangan dengan UUD 1945? Pertanyaan tersebut sebelumnya harus dimulai dulu dengan pernyataan sedemikian, “apakah pembentukan lembaga-lembaga tertentu dianggap bertentangan dengan UUD 1945? Pembentukan lembaga-lembaga tertentu—atau spesifiknya lembaga-lembaga negara tertentu saat ini tidak dapat dinafikan. Kebutuhan membuat lembaga- lembaga tersebut didasarkan pada kebutuhan untuk menjawab perkembangan hukum yang ada dalam masyarakat sehingga lembaga-lembaga wajar adanya dan bahkan diperintahkan oleh UUD 1945. Misalnya, untuk menyelenggarakan pemilihan umum, UUD 1945 memerintahkan dibentuk sebuah komisi pemilihan umum [vide Pasal Pasal 22E ayat (5) UUD 1945]. Atau untuk melakukan 216 pemeriksaan terhadap pengelolaan dan tanggung jawab negara dibentuk suatu Badan Pemeriksa Keuangan (vide Pasal 23E ayat (1) UUD 1945). Masih banyak lagi lembaga-lembaga yang dibentuk oleh undang-undang yang merupakan pengejawantahan dari UUD 1945. Pembentukan lembaga-lembaga tersebut adalah suatu kebutuhan yang eksis karena perkembangan hukum serta perkembangan kebutuhan manusia. Nyata sudah bahwa setiap lembaga juga dilekati dengan tugas dan kewenangan tertentu yang berkaitan dengan tugas dan kewenangan sebagaimana diperintahkan oleh UUD 1945 dan/atau undang-undang. Sehingga filosofi pemberian kewenangan—apapun jenis kewenangannya—ke lembaga- lembaga tersebut adalah pengejawantahan dari perintah peraturan perudang- undangan di mana konstitusi menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Berdasarkan uraian di atas, maka pemberian kewenangan penyidikan kegiatan jasa keuangan ke OJK (vide Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK) tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dengan alasan sebagai berikut:
Kewenangan penyidikan OJK atas kegiatan jasa keuangan tidak lahir dari ruang hampa. Ia diperintahkan oleh UU BI juncto UU OJK.
Kewenangan penyidikan OJK—dan kewenangan serupa yang diberikan ke lembaga-lembaga tertentu atas objek penyidikan tertentu—merupakan konsekuensi logis dari filosofi eksistensi lembaga-lembaga untuk menjawab kebutuhan perkembangan hukum dan perkembangan kebutuhan/kepentingan manusia yang sekaligus menjadi jaminan keselarasan dengan norma Negara Indonesia adalah negara hukum. Keterangan Saksi 1. I Gusti Agung Rai Wirajaya Saksi adalah salah satu anggota panitia khusus dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang OJK sekitar tahun 2009-2011. Berkaitan dengan Pokok Permohonan dalam Pengujian UndangUndang OJK ini, menurut hemat Saksi, sangat penting untuk memahami latar belakang pembentukan lembaga OJK. Pada saat itu, DPR dan pemerintah bersepakat untuk memberikan kewenangan penyidikan kepada OJK. 217 Sebagaimana diketahui bersama, pembentukan Undang-Undang OJK merupakan amanah dari Pasal 34 Undang-Undang Bank Indonesia. Selain itu pula, kita sadari bersama bahwa teknologi dan produk-produk jasa keuangan sangat berkembang pesat sedemikian kompleks, dinamis, dan saling terkait, sehingga banyak membawa dampak negatif apabila tidak segera diantisipasi dengan mengintegrasikan pengaturan dan pengawasan di seluruh industri jasa keuangan dalam sebuah lembaga yang independen. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, DPR dan pemerintah selaku pembentuk undang-undang, memberikan perhatian besar terhadap perkembangan sektor jasa keuangan dengan mengupayakan terbentuknya kerangka pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan yang terintegrasi dan komperhensif. Selain itu pula, pada saat pembahasan RUU OJK antara DPR dengan pemerintah telah disepakati bahwa Lembaga OJK haruslah mencakup pula fungsi perlindungan konsumen sektor jasa keuangan yang dirasakan sangat penting karena banyak dampak negatif dari perkembangan industri jasa keuangan yang menimpa masyarakat konsumen sektor jasa keuangan secara langsung. Dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi OJK dalam melakukan pengaturan dan pengawasan, serta perlindungan konsumen sektor jasa keuangan. Pada saat itu DPR dan pemerintah telah sepakat untuk memberikan kewenangan penyidikan kepada OJK guna memperkuat tugas dan fungsinya yang telah disepakati sebelumnya. Kewenangan penyidikan yang diberikan kepada OJK memang pada awalnya adalah mempertimbangkan adanya kewenangan penyidikan yang diberikan kepada Lembaga Badan Penanaman Pasar Modal berdasarkan Undang-Undang Pasar Modal. Namun demikian, dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan di DPR pada saat itu, tidak mungkin OJK yang telah memiliki kewenangan pengaturan dan pengawasan di seluruh industri jasa keuangan hanya diberikan kewenangan penyidikan di pasar modal. Sehingga dengan demikian, karena kewenangan OJK meliputi seluruh industri jasa keuangan yang di dalamnya meliputi perbankan, pasar modal, asuransi, industri keuangan nonbank, dan industri jasa keuangan lainnya, maka DPR dan pemerintah menggunakan open legal policy guna memberikan kewenangan penyidikan 218 kepada OJK yang sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, serta tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Berkaitan dengan kewenangan penyidikan yang diberikan kepada OJK berdasarkan Undang-Undang OJK, pada saat itu DPR bersama pemerintah telah mempertimbangkan dari berbagai aspek, termasuk mengenai pelaksanaan kewenangan penyidikan yang dilaksanakan berdasarkan KUHAP dan pelaksanaan kewenangan penuntutan yang tetap dilaksanakan oleh jaksa agung, sehingga hal ini tidak melanggar due process of law dalam sistem penegakan hukum tindak pidana di Indonesia. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, pemberian kewenangan penyidikan kepada OJK telah melalui serangkaian diskusi yang panjang antara DPR dengan pemerintah, serta melibatkan berbagai pihak terkait untuk memberikan pandangan-pandangan terkait diberikannya kewenangan penyidikan kepada OJK dan telah mempertimbangkan ketentuan-ketentuan yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan Undang- Undang Dasar 1945. Menurut saksi selama pembahasan kewenangan penyidikan, telah mengundang pihak kepolisian dan pihak kejaksaan sebanyak dua kali untuk berkoordinasi dan memberikan masukan. Dengan adanya kewenangan penyidikan bukan berarti melemahkan kepolisian karena ini kewenangan penyidikan menyangkut masalah keuangan, dan masih ada yang tidak sepenuhnya memahami posisi kewenangan ini pada saat itu, dan setelah didiskusikan dengan pihak kepolisian dan kejaksaan bisa diperbantukan dari pihak kepolisian untuk menindaklanjuti ketika terjadi permasalahan- permasalahan pidana, seperti kasus KLBI, BLBI, juga dengan kasus Century, dan bank Global. Nah, dimana kasus-kasusnya tidak bisa terselesaikan dengan baik. Agar latar belakang permasalahan tersebut bisa terurai dengan baik, sehingga sepakat bersama pemerintah untuk memasukkan penyidikan ini terbatas dalam rangka penyidikan terhadap kasus-kasus yang terjadi di bidang keuangan ini sendiri, tidak dalam rangka penuntutan. Jika ada permasalahan di perbankan, pasar modal, maupun industri keuangan nonbank, maupun asuransi tahapan-tahapan yang dilakukan dalam mengurai permasalahan yang terjadi tidak seperti di pidana umum. 219 Fakta selama ini, ketika penyidikan ini masuk ke Undang-Undang OJK, sebagian besar yang masuk sebagai PPNS di OJK adalah mantan-mantan pegawai yang bekerja di Bapepam-LK, yang dsepakati sebelum memulai berdirinya Otoritas Jasa Keuangan. Dalam perjalanannya, dapat kita lihat bahwa yang memimpin penyidikan itu berbintang tiga dari kepolisian, Kemudian yang saksi mendapat informasi bahwasannya terkait remunerasi di internal, sehingga diberikan kesempatan ada petugas-petugas penyidik yang dididik, walaupun sebelumnya sudah ada petugas PPNS yang ditugaskan untuk melakukan penyidikan di dalam kegiatan penyidikan di Otoritas Jasa Keuangan. Ketika ada permasalahan sebelum dilakukan pelimpahan ke kepolisian, tentunya pihak-pihak kepolisian sudah yang ada di OJK telah melakukan penyidikan di dalam OJK itu sendiri. Memang benar di Undang-Undang Bank Indonesia, tidak ada penyidikan, memang ada penugasan dari Undang-Undang Bank Indonesia untuk membentuk lembaga jasa keuangan yang independen. Undang-Undang OJK ini muncul memang atas dasar undang-undang tersebut. Namun, dalam perjalanannya, menginginkan adanya suatu lembaga yang terintegrasi, jika melihat, kasus Bank Global dan kasus Bank Century, Saksi menanyakan kepada Bank Indonesia dan Bapepam-LK, pada saat itu, yang dimiliki oleh Bank Global maupun Bank Century sebatas izin prinsip, izin prinsip keikutsertaan dalam investasi pasar modal karena Bank Global dan Bank Century ini hanya izinnya dari Bank Indonesia saja. Dalam rapat dengar pendapat di komisi, terkesan ada seperti pelepasan tanggung jawab antara Bank Indonesia dengan Bapepam-LK. Atas dasar inilah Saksi mengusulkan sebuah lembaga terintegrasi di bidang jasa keuangan yang kemudian diberi nama Otoritas Jasa Keuangan.
I Gede Hartadi Kurniawan Saksi adalah perwakilan dari Asosiasi Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Seluruh Indonesia, Saksi menjabat sebagai Ketua Bidang Organisasi dan Keanggotaan Dewan Pengurus Pusat Perbarindo periode 2018-2022. Sebagai salah satu praktisi dari industri bank perkreditan rakyat, Saksi mewakili dari industri BPR, berpendapat bahwa fungsi penyidikan pada 220 Otoritas Jasa Keuangan merupakan suatu kewenangan yang sangat membantu industri BPR apabila terjadi suatu permasalahan atau fraud yang terdapat di dalam industri BPR sebagai akibat kesalahan satu ataupun kesalahan beberapa oknum atau orang yang bekerja di dalam industri BPR, khususnya terhadap kasus-kasusnya yang berkaitan dengan tindak pidana. Hal ini karena penyidik-penyidik yang bekerja pada Otoritas Jasa Keuangan tentunya sangat paham terhadap perhitungan di dalam neraca serta perhitungan rugi, laba, dan juga dengan tingkat kesehatan bank pada suatu BPR, sehingga penanganan apabila terdapat suatu kasus pidana dan tentunya juga ada unsur pembinaan dan pengawasan terhadap industri BPR. Otoritas Jasa Keuangan dengan fungsi pembinaan terhadap industri BPR yang dimilikinya sudah tentu selalu berupaya menyelamatkan industri BPR itu sendiri dari kemungkinan tindak pidana yang dilakukan oleh oknum- oknum yang bekerja di dalam industri BPR. Hal ini tidak terlepas juga dengan efisiennya pengawasan, pembinaan dengan fungsi penyidikan di dalam tugas dan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan. Sehingga dengan satu atap, maka penanganan suatu kasus dapat dikerjakan dengan lebih efektif dan efisien. Saksipribadi juga pernah mengalami suatu penanganan kasus yang terindikasi tindak pidana pada era BPR masih di bawah pengawasan dan pembinaan Bank Indonesia dengan era sekarang di bawah pengawasan dan pembinaan Otoritas Jasa Keuangan. Pada waktu era Bank Indonesia yang tidak mempunyai fungsi penyidikan dirasakan bahwa dengan tidak satu atapnya fungsi pembinaan dan fungsi penyidikan, maka penanganan suatu kasus perkara yang terindikasi ada tindak pidana di industri BPR waktu penanganannya cenderung lebih lambat dan pada era sekarang ketika seorang penyidika yang bertugas di OJK, baik seorang pejabat dari kepolisian ataupun PPNS sudah pasti pejabat-pejabat tersebut sangat memahami alur laporan keuangan di industri BPR, serta bisa menyesuaikan dengan bijaksana dan dengan tujuan menyelamatkan industri- industri BPR itu sendiri demi stabilitas perokonomian di lingkungan BPR ataupun regional BPR tersebut, dan waktu penanganan juga lebih cepat karena lebih efisien di dalam satu atap. 221 [2.6] Menimbang bahwa Pemohon, Presiden dan Pihak Terkait menyampaikan kesimpulan tertulis masing-masing bertanggal 15 Mei 2019 dan 16 Mei 2019 yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 15 Mei 2019 dan 16 Mei 2019, yang pada pokoknya masing-masing tetap pada pendiriannya; [2.7] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini;
PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), Mahkamah berwenang, antara lain, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang- undang terhadap UUD 1945; [3.2] Menimbang bahwa permohonan para Pemohon adalah ihwal pengujian konstitusionalitas norma undang-undang, in casu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253, selanjutnya disebut UU 21/2011), sehingga sesuai dengan 222 ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo . Kedudukan Hukum Pemohon [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a; [3.4] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya, telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; 223 c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut:
Bahwa norma undang-undang yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya dalam permohonan a quo adalah Pasal 1 angka 1 setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XII/2014 dan Pasal 9 huruf c UU 21/2011 yang rumusannya masing-masing adalah sebagai berikut: Pasal 1 angka 1 Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU- XII/2014]. Pasal 9 huruf c Untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang:
...................... b....................... c. melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; terhadap Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Bahwa Pemohon I sampai dengan Pemohon IV dalam permohonannya menerangkan kualifikasinya sebagai perorangan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta dengan menyertakan bukti Nomor Induk Dosen Nasional 0608047501 untuk Pemohon 224 I (Bukti P-4), Nomor Induk Dosen Nasional 0601108501 untuk Pemohon II (Bukti P-9), Nomor Induk Dosen Nasional 0629017603 untuk Pemohon III (Bukti P-11), dan Nomor Induk Dosen Nasional 0604118703 untuk Pemohon IV (Bukti P-14);
Bahwa khusus Pemohon I selain menjadi Dosen juga berprofesi sebagai Advokat dengan Kartu Advokat dengan Nomor 17.01636 (Bukti P-6) dan juga merupakan anggota Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI) dengan Nomor Anggota H-68 01 17 (Bukti P-5). Sebagai seorang advokat, Pemohon I merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya ketentuan pasal a quo , karena menurut Pemohon I dengan berlakunya ketentuan a quo Pemohon I akan mengalami kesulitan memberikan bantuan hukum jika ada klien yang memiliki permasalahan di bidang jasa keuangan. Menurut Pemohon I, UU 21/2011 tidak mengatur dengan jelas mengenai hak-hak yang dimiliki oleh seseorang yang disangka melakukan dugaan tindak pidana di sektor keuangan, seharusnya dengan adanya asas presumption of innocent , sejak awal dimulainya penyidikan hak tersangka sudah diatur di dalam undang-undang sebagai wujud jaminan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia. Terhadap hal ini, Mahkamah berpendapat, kesulitan memberikan bantuan hukum ketika Pemohon I bertindak sebagai seorang advokat sebagaimana diuraikan di atas tidaklah menggambarkan kerugian hak konstitusional secara faktual atau potensial merugikan Pemohon I yang disebabkan oleh berlakunya Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU 21/2011. Sebab, keberlakuan ketentuan a quo sama sekali tidak menghalangi Pemohon I untuk memberikan bantuan hukum kepada seseorang yang disangkakan melakukan tindak pidana dalam sektor jasa keuangan;
Bahwa selain itu, Pemohon IV menguraikan pada saat menyelesaikan pendidikan Strata-2, Pemohon menyusun tesis mengenai lembaga OJK. Pemohon melakukan penelitian tahun 2013 pada saat sedang dirancangnya pembentukan lembaga OJK. Dari hasil penelitiannya, Pemohon tidak menemukan dalam rancangan pembentukan lembaga OJK yang menyatakan bahwa dalam melaksanakan fungsi pengawasannya lembaga OJK diberi wewenang untuk melakukan penyidikan. Namun dalam perkembangannya 225 lembaga OJK diberi kewenangan penyidikan seperti lembaga penegak hukum tanpa adanya penjelasan tujuan diberikannya wewenang Penyidikan tersebut. Pemberian kewenangan yang tanpa penjelasan ini menimbulkan kerugian bagi Pemohon, karena berakibat Pemohon tidak dapat menjelaskan latar belakang diberikan kewenangan penyidikan ini kepada Mahasiswa dan pada forum- forum akademis. Menurut Mahkamah apabila dikaitkan dengan kapasitas Pemohon IV yang juga merupakan dosen, seandainya memang benar tidak ditemukan penjelasan ihwal kewenangan penyidikan OJK tersebut, hal demikian bukanlah kerugian konstitusional sehingga tidak dapat dijadikan sebagai alasan kerugian konstitusional karena dengan tidak ditemukan penjelasan dimaksud, secara akademis, justru dapat menjadi bahan kajian dan penelitian lebih lanjut bagi Pemohon IV terutama terkait dengan proses pembentukan UU 21/2011.
Bahwa Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, dan Pemohon IV sebagai Dosen di Fakultas Hukum merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan adanya ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU 21/2011 karena berdasarkan hukum pidana yang dipelajari dan didalami oleh para Pemohon, pemberlakuan " criminal justice system " di Indonesia sebagai negara yang mendeklarasikan dirinya sebagai Negara Hukum maka proses penegakan hukum pidananya berdasarkan pada prinsip " due process of law " di mana penegakan hukum harus dilaksanakan oleh negara, dalam hal ini Aparat Penegak Hukum, yang telah diatur dalam KUHAP, namun ternyata hal tersebut diabaikan dengan berlakunya UU 21/2011. Untuk menguraikan adanya kedudukan hukum tersebut, para Pemohon mengutip Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011, di mana Pemohon di dalam putusan tersebut yang merupakan pengajar hukum tata negara yang dinyatakan memiliki legal standing dalam mengajukan permohonannya tersebut. Sehingga, menurut para Pemohon a quo karena para Pemohon pada prinsipnya memiliki profesi yang sama, yakni pengajar hukum pidana maka dengan merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011, para Pemohon memiliki kedudukan hukum. Terhadap penjelasan Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, dan Pemohon IV, Mahkamah berpendapat bahwa kesulitan dan kerugian yang dijelaskan oleh 226 para Pemohon di atas tidaklah menggambarkan adanya kerugian hak konstitusional yang disebabkan oleh berlakunya Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU 21/2011 sebab keberlakuan ketentuan a quo tidak menghalangi Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, dan Pemohon IV untuk menjalankan profesinya sebagai pengajar hukum pidana. Apalagi bila dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011, permohonan a quo memiliki karakteristik yang berbeda sehingga tidak serta-merta dapat dijadikan bangunan argumentasi untuk memberikan kedudukan hukum kepada para Pemohon. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III dan Pemohon IV tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo .
Bahwa Pemohon V dan Pemohon VI menerangkan kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagai perorangan warga negara Indonesia dan merupakan karyawan PT. Sunprima Nusantara Pembiayaan (selanjutnya disebut PT SNP). Pada saat permohonan ini diajukan Pemohon V dan Pemohon VI sedang menjalani masa tahanan di Polda Metro Jaya atas laporan salah satu bank kreditor ke kepolisian karena Pemohon V dan Pemohon VI diduga melakukan tindak pidana sektor jasa keuangan. Permasalahan ini terjadi karena OJK meminta salah satu bank yang merupakan kreditor PT SNP untuk melakukan degradasi collectibility terhadap PT SNP karena berdasarkan hasil audit OJK pada Tahun 2016 PT SNP sudah pernah direstrukturisasi namun tidak didegradasi. Atas permintaan dari OJK tersebut salah satu bank menerbitkan status Coll 2 terhadap PT SNP, sedangkan pada saat dijatuhkan status Coll 2 PT SNP tidak memiliki tunggakan nominal maupun jatuh tempo. Akibat dari penerbitan status Coll 2 tersebut menyebabkan seluruh bank yang menjadi kreditor PT. SNP menghentikan semua pinjaman dan berbalik melakukan penagihan terhadap pendanaan yang telah diberikan kepada PT SNP. Berdasarkan status Coll 2, OJK melakukan audit ke PT SNP Pusat dan cabang (Mataram, Yogyakarta, dan Semarang). Menurut para Pemohon, tindakan OJK mendesak bank memberikan status Coll 2 menyebabkan permasalahan yang seharusnya dapat diselesaikan secara administratif perbankan termasuk di dalamnya menempuh upaya melalui KPPU menjadi dikesampingkan sehingga 227 permasalahannya masuk ke dalam ranah tindak pidana dalam sektor jasa keuangan dan para Pemohon adalah 2 dari delapan pengurus yang kemudian dijadikan tersangka oleh kepolisian. Menurut para Pemohon, hal ini tidak akan terjadi jika Lembaga OJK tidak diberikan kewenangan penyidikan. Dengan adanya tindakan sewenang-wenang OJK maka pelaku usaha menjadi terhenti usahanya, masyarakat tidak akan terlayani, dan karyawan pun menjadi terjerumus ke dalam persoalan tindak pidana di sektor jasa keuangan. Menurut para Pemohon, seharusnya OJK mampu menjaga agar kegiatan di sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel, serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Terhadap penjelasan Pemohon V dan Pemohon VI dalam menerangkan kedudukan hukumnya tersebut, menurut Mahkamah, status Coll 2 yang diberikan oleh OJK terhadap PT SNP, sehingga pemberian status tersebut yang merupakan salah satu tahapan dalam proses penyidikan, baik wewenang yang dimiliki oleh Kepolisian maupun yang dimiliki OJK, telah berdampak pada disidiknya Pemohon V dan Pemohon VI oleh Polda Metro Jaya. Dengan demikian, terlepas dari terbukti atau tidaknya dalil Pemohon V dan Pemohon VI perihal inkonstitusionalitas norma pasal-pasal yang dimohonkan pengujian, Mahkamah berpendapat bahwa para Pemohon telah menguraikan hak-hak konstitusionalnya yang menurut anggapan mereka secara aktual dirugikan dengan berlakunya norma pasal dalam UU 21/2011. Kerugian tersebut tidak lagi terjadi jika permohonan a quo dikabulkan. Oleh karena itu, berdasarkan uraian kerugian konstitusional tersebut, Pemohon V dan Pemohon VI memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo . [3.6] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tertuang pada Paragraf [3.5] di atas ternyata bahwa hanya sebagian dari para Pemohon yang memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo , yaitu Pemohon V dan Pemohon VI (selanjutnya disebut para Pemohon), selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan. 228 Pokok Permohonan [3.7] Menimbang bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas norma Pasal 1 angka 1 frasa “dan penyidikan” dan Pasal 9 huruf c kata “penyidikan” UU 21/2011 para Pemohon mengemukakan argumentasi sebagaimana selengkapnya telah dimuat dalam bagian duduk perkara yang pada pokoknya sebagai berikut:
Bahwa, para Pemohon menyatakan Pasal 1 angka 1 UU 21/2011 pernah diajukan pengujian ke Mahkamah Konstitusi dan telah diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XII/2014 bertanggal 4 Agustus 2015 dengan amar mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian, menurut para Pemohon walaupun dalam permohonannya menguji pasal yang sama namun frasa yang diuji berbeda. Dalam perkara Nomor 25/PUU-XII/2014 yang diuji adalah frasa “dan bebas dari campur tangan pihak lain” yang mengikuti kata “independen” dalam Pasal 1 angka 1 UU 21/2011 sedangkan para Pemohon a quo menguji frasa “dan penyidikan” dalam Pasal 1 angka 1 serta kata “penyidikan” dalam Pasal 9 huruf c UU 21/2011 yang belum pernah diajukan pengujiannya di Mahkamah Konstitusi. Sehingga, menurut para Pemohon, permohonan a quo tidak nebis in idem dengan perkara Nomor 25/PUU-XII/2014;
Bahwa, menurut para Pemohon, dengan melihat tujuan, fungsi, dan tugas OJK maka OJK adalah lembaga administratif yang dapat melakukan penegakan hukum dalam lingkup hukum administrasi negara yang terbatas pada proses pemeriksaan dan/atau penyelidikan tentang adanya dugaan tindak pidana di sektor jasa keuangan dalam konteks fungsi administatif bukan pro justitia sebagaimana KUHAP, sebagaimana ditegaskan untuk kewenangan penyelidikan yang dilakukan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XIV/2016;
Bahwa, menurut para Pemohon, adanya wewenang "dan penyidikan" dalam Pasal 1 angka 1 UU 21/2011 dan wewenang "penyidikan" yang dimasukan ke dalam lingkup tugas pengawasan dalam Pasal 9 huruf c UU 21/2011 menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga mengaburkan Integrated Criminal Justice System karena penyidikan oleh penyidik OJK untuk tindak pidana yang sama dimiliki pula oleh penyidik lain yang telah ada sehingga 229 akan terjadi tumpang-tindih kewenangan antara Polri, KPK, dan OJK dalam proses penanganan tindak pidana di sektor jasa keuangan.
Bahwa, menurut para Pemohon, secara eksplisit UU 21/2011 menentukan penyidik OJK berstatus pegawai negeri sipil [Pasal 49 ayat (1) juncto ayat (3) UU 21/2011] maka OJK tidak dapat melibatkan penyidik kepolisian, namun dalam praktik OJK telah melantik pejabat kepolisian yang masih aktif menjadi penyidik di OJK sehingga, menurut para Pemohon, hal ini bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
Bahwa, menurut para Pemohon, dengan mengutip beberapa undang-undang yang mengatur mengenai Pegawai Negeri Sipil yang diberikan wewenang sebagai penyidik di antaranya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasal Modal, ternyata semua undang-undang tersebut menyatakan bahwa Pegawai Negeri Sipil yang diberikan kewenangan penyidikan melaksanakan penyidikannya berdasarkan ketentuan Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan memberitahukan hasil penyidikannya kepada penuntut umum sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau berkoordinasi dengan penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. Menurut para Pemohon, hal ini berbeda dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil di OJK karena tidak ada norma dalam UU 21/2011 yang mengatur bahwa Pegawai Negeri Sipil dalam menjalankan kewenangan penyidikannya harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau setidaknya menyatakan "penyidik pejabat pegawai negeri sipil berkoordinasi dengan penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia". Selain itu UU 21/2011 juga tidak mengatur jenis kejahatan yang menjadi ruang lingkup wewenang penyidik OJK yang berstatus Pegawai Negeri Sipil.
Bahwa, menurut para Pemohon, berdasarkan Pasal 49 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU 21/2011, status Penyidik yang ada di OJK adalah PNS. Jika dilihat dari filosofisnya keberadaan Penyidik PNS berasal dari PNS yang ada di dalam institusi suatu lembaga negara tersebut yang kemudian diberikan 230 pendidikan secara khusus mengenai ilmu penyidikan untuk menjadi seorang penyidik. Namun dalam lembaga OJK, status Pegawai OJK bukanlah PNS. Oleh karena itu Penyidik PNS yang ada di lembaga OJK diambil dari institusi- institusi yang ruang lingkupnya terkait di bidang sektor Jasa Keuangan sehingga hal ini, menurut para Pemohon, menimbulkan ketidakpastian hukum.
Bahwa, menurut para Pemohon, ketika wewenang "Penyidikan" yang merupakan suatu tindakan pro justitia diberikan kepada financial supervisiory institution, dalam hal ini __ OJK, menimbulkan ketidaklaziman. Karena, dengan merujuk pada lembaga sejenis di beberapa negara berkembang ataupun negara maju, tidak ada satupun lembaga sejenis OJK yang diberikan wewenang "penyidikan".
Bahwa, menurut para Pemohon, dengan mengutip pertimbangan hukum Paragraf [3.15] angka 2, halaman 142 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015 yang menguji Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang menyatakan jika melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya dapat dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh Undang- Undang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur dengan Undang- Undang kecuali dalam hal tertangkap tangan", para Pemohon membandingkannya dengan hukum acara penyidikan di lembaga OJK, di mana wewenang penyidikan tidak diatur secara rinci di dalam undang-undang melainkan diatur dalam peraturan OJK. Menurut para Pemohon, hal ini bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU- XIII/2015.
Berdasarkan seluruh alasan-alasan tersebut di atas para Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 1 angka 1 terhadap frasa "dan Penyidikan" dan Pasal 9 huruf c terhadap kata "Penyidikan" UU 21/2011 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. [3.8] Menimbang bahwa untuk mendukung dalil permohonannya, para Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang masing-masing diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-18 dan mengajukan 4 (empat) orang Ahli yaitu Prof. Drs. Ratno Lukito, MA., DCL. dan Prof. Dr. Nindyo Pramono, S.H., M.S., 231 yang didengarkan keterangannya pada persidangan tanggal 18 Februari 2019 dan Ahli Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, S.H., M.Hum (Eddy O.S Hiariej) dan Dr. Bernard L. Tanya, S.H.,M.H., yang didengarkan keterangannya pada persidangan tanggal 28 Februari 2019 (keterangan selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara); [3.9] Menimbang bahwa Mahkamah telah mendengar keterangan Presiden dalam sidang tanggal 7 Februari 2019 dan membaca keterangan tertulis dari yang bersangkutan. Mahkamah telah pula mendengar keterangan 4 (empat) orang ahli yaitu Ahli Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H. dan Prof. H. Atip Latipulhayat, LLM., Ph.D yang didengarkan keterangannya pada persidangan tanggal 1 April 2019 dan Prof. Denny Indrayana, S.H., LL.M.,Ph.D serta Dr. Chairul Huda, S.H., M.H., yang didengar keterangannya pada persidangan tanggal 12 Maret 2019 dan 2 (dua) orang saksi yaitu Kombespol Dr. Warasman Marbun, S. H. dan Johansyah yang didengarkan keterangannya pada persidangan tanggal 9 April 2019 (keterangan selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara); [3.10] Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat telah menyampaikan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 26 Februari 2019 (keterangan selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara); [3.11] Menimbang bahwa OJK telah menyampaikan keterangan tertulis dari OJK diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 15 Februari 2019 dan Pihak Terkait mengajukan 3 orang ahli yaitu Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M. Hum, Dr. Yunus Husein, S.H., LL.M, dan Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LL.M yang didengarkan keterangannya pada persidangan tanggal 23 April 2019 dan 2 orang saksi yaitu I Gusti Agung Rai Wirajaya, S.E., M.M., dan I Gede Hartadi Kurniawan, S.E. yang didengarkan keterangannya pada persidangan tanggal 8 Mei 2019 (keterangan selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara); [3.12] Menimbang bahwa setelah memeriksa dengan saksama dalil-dalil permohonan para Pemohon, bukti-bukti yang diajukan Pemohon dan mendengar keterangan pihak-pihak, saksi serta ahli yang diajukan sebagaimana disebutkan di atas, sebelum menilai konstitusionalitas Pasal 1 angka 1 UU 21/2011 terlebih 232 dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan permohonan para Pemohon berkaitan dengan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK. Bahwa terhadap persoalan tersebut di atas, setelah Mahkamah mencermati dalil permohonan para Pemohon, yang menyatakan pengujian norma a quo tidak nebis in idem karena para Pemohon menguji frasa yang berbeda Mahkamah berpendapat setelah dicermati telah ternyata meskipun pasal yang diujikan sama namun terhadap permohonan a quo hanya terbatas pada frasa “dan Penyidikan” serta menggunakan dasar pengujian yang berbeda. Sehingga dengan demikian, permohonan para Pemohon tidak tunduk pada ketentuan Pasal 60 UU MK dan oleh karenanya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan lebih lanjut. [3.13] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan dengan menyatakan OJK adalah lembaga penegak hukum dalam konteks hukum administratif negara bukan lembaga penegak hukum dalam konteks pro Justitia sebagaimana diatur dalam KUHAP seperti halnya kewenangan penyelidikan yang dimiliki oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah memandang penting untuk mengaitkan permohonan para Pemohon a quo dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XII/2014 yang menegaskan bahwa OJK adalah lembaga negara independen. Namun demikian, sebelum lebih jauh membahas kewenangan penyidikan yang dimiliki OJK, Mahkamah terlebih dahulu perlu menegaskan arti penting kehadiran OJK dalam desain besar perekonomian negara terutama dalam mewujudkan tujuan bernegara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Bahwa terkait dengan hal di atas, Konsiderans “Menimbang” huruf a UU 21/2011 menyatakan bahwa untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, diperlukan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Berkenaan dengan dasar pemikiran tersebut, menurut Mahkamah, seharusnya kewenangan yang dimiliki oleh OJK dimaksudkan untuk mencapai tujuan mewujudkan perekonomian nasional. Sehingga untuk mencapai tujuan 233 dimaksud diperlukan penegakan hukum, baik berupa hukum administrasi maupun penegakan hukum lainnya termasuk hukum pidana. Oleh karena itu sebelum sampai pada kesimpulan apakah OJK merupakan lembaga penegak hukum dalam konteks pro justitia ataukah penegakan hukum dalam konteks administratif semata maka Mahkamah perlu mempertimbangkan hal berikut: [3.13.1] Bahwa dalam sistem penegakan hukum di Indonesia, kewenangan untuk melakukan penyidikan tidak hanya dimiliki oleh lembaga penegak hukum saja tetapi juga dibuka kemungkinan dilakukan oleh lembaga-lembaga lain yang diberi kewenangan khusus untuk itu, sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon, misalnya kewenangan penyidikan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasal Modal. Artinya, dengan bukti tersebut, kewenangan penyidikan sangat mungkin diberikan kepada lembaga lain di luar lembaga penegak hukum sepanjang tidak bertentangan dengan kewenangan lembaga penegak hukum lainnya . [3.13.2] Bahwa berkenaan dengan pertimbangan di atas, apabila diletakkan dalam bingkai integrated criminal justice system harus ada keterpaduan penyidik bidang tindak pidana lainnya dengan penyidik Kepolisian. Keterpaduan demikian penting dilakukan agar tidak terjadi tumpang-tindih dalam penegakan hukum terutama dalam penegakan hukum pidana. Dalam konteks itu, setiap lembaga baik itu Kepolisian dan lembaga lain yang mempunyai kewenangan penyidikan masing- masing memiliki tugas dan wewenang yang berbeda sesuai dengan bidang kekhususan yang diberikan oleh undang-undang. Artinya sekalipun undang- undang dapat memberikan kewenangan penyidikan kepada lembaga negara lain, kewenangan dimaksud tidak boleh mengabaikan prinsip integrated criminal justice system . Prinsip demikian dilakukan dengan kewajiban membangun koordinasi antara penyidik lembaga negara yang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan sesuai dengan tugas dan wewenang masing-masing dengan penyidik Kepolisian. 234 [3.14] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan sebagaimana dikemukakan dalam Paragraf [3.13] di atas, sebelum lebih jauh menilai konstitusionalitas kewenangan penyidikan yang dimiliki oleh OJK penting bagi Mahkamah mempertimbangkan apakah kewenangan penyidikan yang dimiliki OJK dapat dibenarkan ataukah sebaliknya. Bahwa kewenangan OJK yang diberikan undang-undang tidak dapat dilepaskan dari politik hukum untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil. Oleh karenanya diperlukan piranti hukum yang memberikan kewenangan tertentu sehingga kegiatan dalam sektor jasa keuangan mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, serta mampu pula melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Berkenaan dengan dasar pemikiran tersebut, menurut Mahkamah, kewenangan penyidikan yang dimiliki OJK adalah merupakan bagian dari upaya mewujudkan tujuan perekonomian nasional. Artinya, penyidikan yang diberikan kepada OJK tidak dapat dilepaskan dari pencapaian tujuan dimaksud. Bahwa namun demikian apabila kewenangan penyidikan yang diberikan kepada OJK dilaksanakan tanpa mempersyaratkan koordinasi dengan penyidik Kepolisian, apakah berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan sehingga bertentangan dengan prinsip integrated criminal justice system , Mahkamah akan mempertimbangkan lebih lanjut. [3.15] Menimbang bahwa apabila diletakkan dalam perspektif kewenangan penyidikan yang dimiliki oleh OJK sebagai salah satu lembaga lain yang memiliki wewenang penyidikan selain penyidikan yang dimiliki oleh lembaga Kepolisian, kewenangan demikian dapat dibenarkan. Namun, jikalau kewenangan penyidikan yang dimiliki oleh OJK dilaksanakan tanpa koordinasi dengan penyidik Kepolisian sebagaimana dipersyaratkan terhadap penyidik lembaga lain selain Kepolisian berpotensi adanya kesewenang-wenangan dan tumpang-tindih dalam penegakan hukum pidana yang terpadu. Oleh karena itu, untuk menghindari potensi tersebut, kewajiban membangun koordinasi dengan penyidik Kepolisian juga merupakan kewajiban yang melekat pada penyidik OJK. Dasar pertimbangan demikian tidak terlepas dari semangat membangun sistem penegakan hukum yang terintegrasi sehingga tumpang-tindih kewenangan yang dapat berdampak adanya tindakan 235 kesewenang-wenangan oleh aparat penegak hukum maupun pejabat penyidik di masing-masing lembaga dalam proses penegakan hukum dapat dihindari. [3.16] Menimbang bahwa terhadap argumentasi para Pemohon bahwa kewenangan OJK dalam hal penyidikan dapat mengaburkan Integrated Criminal Justice System karena __ UU 21/2011 tidak mengatur jenis tindak Pidana dalam sektor Jasa Keuangan perbankan ataupun non-perbankan yang menjadi wewenang Penyidik lembaga OJK, Mahkamah berpendapat, tanpa dikaitkan dengan jenis tindak pidananya, kewenangan penyidikan OJK dapat dibenarkan dan adalah konstitusional sepanjang pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik Kepolisian. Dengan kata lain, terlepas dari jenis-jenis tindak pidana dalam sektor jasa keuangan yang sangat beragam, dengan mengingat tujuan dibentuknya OJK, Mahkamah memandang kewenangan penyidikan OJK adalah konstitusional. Artinya, telah ternyata bahwa kewenangan OJK bukanlah semata- mata dalam konteks penegakan hukum administratif semata tetapi dalam batas- batas dan syarat-syarat tertentu juga mencakup kewenangan penegakan hukum yang bersifat pro justitia, sebagaimana telah dipertimbangkan di atas. Tegasnya, demi kepastian hukum, koordinasi dengan penyidik kepolisian sebagaimana dimaksudkan di atas dilakukan sejak diterbitkannya surat pemberitahuan dimulainya penyidikan, pelaksanaan penyidikan, sampai dengan selesainya pemberkasan sebelum pelimpahan berkas perkara kepada jaksa penuntut umum. [3.17] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, di mana Mahkamah telah berkesimpulan bahwa kewenangan penyidikan OJK yang merupakan inti dari dalil para Pemohon adalah konstitusional sepanjang dikoordinasikan dengan penyidik Kepolisian, maka dalil para Pemohon selain dan selebihnya oleh karena tidak relevan, sehingga tidak dipertimbangkan lebih lanjut. [3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat, dalil permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum. 236 4. KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan _a quo; _ [4.2] Pemohon I sampai dengan Pemohon IV tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Pemohon V dan Pemohon VI memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.4] Pokok permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
AMAR PUTUSAN Mengadili:
Menyatakan permohonan Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, dan Pemohon IV tidak dapat diterima.
Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya. Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Arief Hidayat, Saldi Isra, Manahan M.P. Sitompul, Enny Nurbaningsih, I Dewa Gede Palguna, Suhartoyo, dan Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Senin, tanggal dua puluh lima , bulan November, tahun dua ribu sembilan belas , yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi 237 terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal delapan belas , bulan Desember , tahun dua ribu sembilan belas , selesai diucapkan pukul 12.23 WIB , oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Aswanto, Arief Hidayat, Saldi Isra, Manahan M.P. Sitompul, Enny Nurbaningsih, I Dewa Gede Palguna, Suhartoyo, dan Wahiduddin Adams, masing- masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Ria Indriyani sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon, Presiden atau yang mewakili, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan Pihak Terkait. KETUA, ttd. Anwar Usman ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Aswanto ttd. Arief Hidayat ttd. Saldi Isra ttd. Manahan MP Sitompul ttd. Enny Nurbaningsih ttd. I Dewa Gede Palguna ttd. Suhartoyo ttd. Wahiduddin Adams PANITERA PENGGANTI, ttd. Ria Indriyani
Pengujian UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang perbendaharaan negara terhadap UUD Negara RI 1945
Relevan terhadap
Hak tagih mengenai utang atas beban negara/daerah kedaluwarsa setelah 5 (lima) tahun sejak utang tersebut jatuh tempo, kecuali ditetapkan lain oleh undang-undang.
Kedaluwarsaa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertunda apabila pihak yang berpiutang mengajukan tagihan kepada negara/daerah sebelum berakhirnya masa kedaluwarsa (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk pembayaran kewajiban bunga dan pokok pinjaman negara/daerah. Penjelasan Pasal 40 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Kedaluwarsa sebagaimana dimaksud ayat ini dihitung sejak tanggal 1 Januari tahun berikutnya. Ayat (3) Cukup jelas. Sehubungan dengan permohonan Pemohon tersebut, ahli menyampaikan keterangan/pendapat hukum sebagai berikut:
Bahwa guna menentukan status seseorang sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang merupakan unsur Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam hukum kepegawaian dipergunakan 2 (dua) kriteria, yaitu:
berdasarkan adanya hubungan dinas publik, yaitu manakala seseorang mengikatkan diri untuk tunduk pada pemerintah dan melakukan tugas jabatan tertentu; dan
berdasarkan pengangkatan ( aanstelling ), yaitu diangkat melalui surat keputusan ( beschikking ) guna ditetapkan secara sah sebagai pegawai negeri. Jika dikaitkan dengan teori penentuan status seseorang sebagai PNS tersebut, UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Kepegawaian sebagaimana telah diubah oleh UU Nomor 43 Tahun 1999 dan kini diganti dengan UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara cenderung menggunakan kedua kriteria tersebut sekaligus dalam menentukan status kedudukan seseorang sebagai pegawai negeri. Hal ini sebagai terlihat dari definisi PNS yang disebutkan secara stipulatif dalam Pasal 1 angka 3 UU Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 64 Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara bahwa PNS adalah Warga Negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai pegawai ASN secara tetap oleh pejabat Pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan. Rumusan ketentuan tentang pengertian PNS tersebut berakar pada ketentuan yang pernah terdapat dalam Ambtenaren Wet Nederland yang pernah menguraikan definisi dari pegawai negeri sebagai berikut: ambtenaren is degene die is aangesteld om in openbare dienst werkzaam te zijn, met uitzondering van degene met wie een arbeidsovereenkomst naar burgerlijk recht is gesloten .” Makna dari uraian ini adalah bahwa untuk bisa mendapatkan status sebagai PNS harus ada inisiatif dari kedua pihak, yaitu warga masyarakat yang dapat memenuhi syarat untuk bisa ditetapkan sebagai PNS sesuai dengan permohonan/lamaran yang diajukannya kepada pemerintah dalam seleksi penerimaan CPNS dan selanjutnya ditetapkan melalui Surat Keputusan pengangkatan PNS ( aanstelling ) oleh pejabat yang berwenang untuk mengangkat.
Pola yang sama dengan penentuan kedudukan seseorang sebagai PNS kiranya juga berlaku dalam proses pensiun seseorang sebagai PNS serta pengurusan jaminan pensiun sebagaimana pengertian dari pensiun adalah jaminan hari tua dan sebagai balas jasa terhadap Pegawai Negeri yang telah bertahun-tahun mengabdikan dirinya kepada negara. Artinya, pemerintan/negara menetapkan sejumlah persyaratan untuk pensiun dan mendapatkan jaminan pensiun melalui berbagai peraturan perundang- undangan maupun peraturan kebijaksanaan yang berlaku dan seseorang PNS yang telah memenuhi persyaratan pensiun tersebut harus mengikuti serangkaian prosedur yang ditentukan bagi terpenuhinya sejumlah persyaratan untuk mendapatkan jaminan pensiun sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku maupun kebijakan pemerintah. Pemerintah memiliki kewenangan untuk mengatur secara normatif maupun administratif terpenuhinya hak pensiun bagi seorang PNS.
Sehubungan dengan permohonan dari pemohon yang mengaitkan kerugian konstitusional Pemohon akibat tidak bisa menerima kekurangan jaminan pensiun selama 16 (enam belas) bulan dari PT Taspen yang disebabkan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 65 hak tagih pemohon dianggap kadaluarsa karena melampaui tenggang waktu 5 (lima tahun) sebagaimana diatur pada Pasal 40 ayat (1) UU PN merupakan isu legalitas (bukan isu konstitusionalitas) yang jika mengacu pada norma hukum sebagai dirumuskan pada Pasal 40 UU Nomor 1 Tahun 2004 terjadi karena penerapan norma yang terdapat pada Pasal 40 UU Nomor 1 Tahun 2004 yang dimaksud sebagai sebuah norma pengaturan mengenai hak tagih mengenai utang atas beban negara/daerah yang kedaluwarsa ke dalam sebuah kasus konkrit yang bermula dari proses administrasi pengurusan jaminan hari tua dan membutukan pengaturan lebih rinci melalui peraturan pelaksanaan maupun peraturan operasional ( policy rules, beleidsregel ) yang mampu menjembatani kebutuhan pengaturan antara norma dan fakta sesuai dengan kewenangan administratif pemerintah.
Dalam teori hukum administrasi negara, dikenal adanya 3 (tiga) tingkat uji materi yaitu pertama , pengujian norma hukum yang bersifat penetapan terhadap peraturan dasar/peraturan perundang-undangan yang mendasarinya; kedua , pengujian norma hukum yang bersifat pengaturan sebagai pelaksanaan sebuah Undang-Undang terhadap Undang-Undang; dan ketiga , pengujian norma hukum yang diatur dalam undang-undang terhadap UUD. Ketiganya bertitiktolak dari 3 (tiga) titik pijakan yang berbeda, yaitu beschikkingsnorm untuk kategori yang pertama, regelende norm untuk kategori yang kedua dan wettelijke norm untuk kategori yang ketiga. Kategori yang pertama dan kedua berada dalam isu legalitas ( rehtsmatigheid ), sedangkan untuk kategori yang ketiga berada dalam bingkai isu konstitusionalitas. Hal itu menurut pendapat ahli perlu dikaitkan dengan subjek yang menerapkan sebuah norma, objek yang terhadapnya sebuah norma diterapkan dan sasaran/jangkauan dari pemberlakuan sebuah norma serta karakter dari norma itu sendiri. Tentunya, jika dikaitkan dengan fondasi pengujiannya juga perlu dikategorikan menjadi wettelijke atau regelende basis (untuk kategori norma yang pertama dan kedua) serta grondwetelijke bahkan staatsfundamentalnorm basis (untuk kategori yang ketiga). Sesuai dengan kategorisasi tersebut, ahli berpendapat bahwa pokok permohonan dari pemohon sebagaimana telah disebutkan di atas Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 66 pada prinsipnya adalah menyangkut tingkat pertama dan kedua uji yang harus ditujukan kepada Peradilan Tata Usaha Negara/Ombudsman atau hak inspraak yang diajukan kepada pemerintah dari penerapan norma hukum akibat pelaksanaan Undang Undang (vide Pasal 40 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara) yang bertitik tolak dari regelende basis atau wettelijke basis namun bukan bertitik tolak dari grondwetelijke atau staatsfundamentalnorm basis. (5) Pembatalan norma hukum sebagaimana dirumuskan pada Pasal 40 UU Nomor 1 Tahun 2004 yang jika dikaitkan dengan isu hukum yang diangkat dalam permohonan pemohon yang sesungguhnya bertitik tolak dari titik pijak persoalan belum adanya sebuah pengaturan operasional mengenai syarat, kriteria dan prosedur penerapan norma yang dimasudkan untuk mengatur daluarsa hak tagih utang atas beban negara/daerah yang bersifat umum/komprehensif (artinya tidak secara khusus hanya untuk persoalan daluarsa bagi permohonan jaminan pensiun bagi PNS) berdasarkan asas- asas hukum keuangan negara (sebagai asas-asas hukum administrasi sektoral) dan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (sebagai asas- asas hukum administrasi umum). Salah satunya terkait dengan kewenangan negara mengatur masa daluarsa hak tagih utang atas beban negara/daerah yang bersifat umum/komprehensif adalah keharusan negara mengatur penerapan asas kepastian hukum dan asas ketertiban penyelenggaraan negara agar terdapat kepastian atas penguasaan negara terhadap keuangan negara sebagaimana dirumuskan pada Pasal 1 angka 1 UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pada prinsipnya, selalu ditekankan oleh berbagai undangundang yang terkait dengan pengelolaan keuangan negara agar demi kepentingan pembiayaan program/kegiatan untuk memberikan pelayanan kepada rakyat selalu dihindarkan terjadinya kerugian negara. Oleh karena itu pengertian dari Utang Negara yang dirumuskan sebagai jumlah uang yang wajib dibayar Pemerintah Pusat dan/atau kewajiban Pemerintah Pusat yang dapat dinilai dengan uang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, perjanjian, atau berdasarkan sebab lainnya yang sah. (vide Pasal 1 angka 8 UU PN) dan pengertian Utang Daerah yang dirumuskan sebagai jumlah uang yang wajib Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 67 dibayar Pemerintah Daerah dan/atau kewajiban Pemerintah Daerah yang dapat dinilai dengan uang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, perjanjian, atau berdasarkan sebab lainnya yang sah (Pasal 1 angka 9 UU PN) yang memiliki karakter pengaturan sebagai norma umum tetap harus dikaitkan dengan sasaran dari pengaturan itu untuk mengatur pengamanan atas Perbendaharaan Negara yaitu pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan, yang ditetapkan dalam APBN dan APBD (vide Pasal 1 angka 1 UU PN). Penerapan norma hukum yang berkarakter umum untuk melaksanakan tugas sektoral pemerintah (cq melayani pengaturan di bidang kepegawaian khususnya daluarsa pensiun) memerlukan adanya tindakan hukum pengaturan ( regelendehandeling ) maupun kebijakan operasional melalui peraturan kebijakan (beleidsregel) seperti pedoman, juklak/juknis ( richtlijn ), Surat Edaran, dan lain-lain yang bertujuan menampakkan keluar kebijakan yang bersifat tertulis ( naar buiten gebraak schriftelijke beleid) yang berada di ranah kegiatan pemerintahan ( besturen ) dalam rangka memenuhi 3 (tiga) fungsi Hukum Administrasi Negara, yaitu: norma ( norm ), sarana ( instrument ) dan jaminan ( waarborg ).
Mengaitkan kerugian konstitusional dengan berlakunya sebuah norma hukum sebagaimana disebutkan dalam permohonan dari pemohon kiranya perlu dikaitkan dengan konsep mengenai tiga tingkat uji materi dan basis keberlakuan suatu norma tersebut serta dampak dari pemberlakuan/ pencabutan sebuah norma hukum, terlebih yang diatur dalam sebuah undangundang (khususnya Pasal 40 UU PN). Pembatalan norma hukum sebagaima yang diatur pada Pasal 40 UU PN cq . ketentuan yang mengatur masalah daluarsa hak tagih utang negara/daerah jika ditarik ke atas dengan mengacu pada UUD 1945 justru bisa bertentangan dengan prinsip negara hukum yang menjadi landasan kepastian hukum dan ketertiban penyelenggaraan negara dalam pengelolaan APBN yang diatur pada Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang mengatur bahwa Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan Undang-Undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 68 rakyat anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang- undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Berdasarkan norma konstitusional itulah diderivasikan asas-asas hukum keuangan negara yang terdiri dari asas-asas: akuntabilitas berorientasi pada hasil, profesionalitas, proporsionalitas, keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara dan pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa keuangan yang bebas dan mandiri beserta asas-asas klasik yang juga masih berlaku yang meliputi asas-asas: asas kelengkapan ( volledigheid , universilitas), asas spesialitas/spesifikasi (spesialitas kualitatif, spesialitas kuantitatif dan spesialitas menurut urutan waktu), asas berkala (periodisitas), asas formil (bentuk tertentu) dan asas publisitas (keterbukaan). Karena norma konstitusional merupakan sebuah unsur dari sistem norma konstitusional yang saling berkaitan, maka norma konstitusional yang terkandung dalam Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 juga bertujuan untuk terwujudnya norma-norma konstitusional lainnya, termasuk norma-norma dalam UUD 1945 yang disebutkan dalam permohonan Pemohon.
Dikaitkan dengan ketentuan sebagaimana dirumuskan pada Pasal 40 ayat (1) UU PN yang mengatur bahwa “Hak tagih mengenai utang atas beban negara/daerah kedaluwarsa setelah 5 (lima) tahun sejak utang tersebut jatuh tempo, kecuali ditetapkan lain oleh undang-undang” mengandung beberapa elemen norma pokok, yang terdiri atas: siapa yang berwenang menetapkan masa kedaluarsa 5 (lima) tahun sejak utang tersebut jatuh tempo, kriteria penerapan utang atas beban negara/daerah, prosedur penetapan daluarsa hak tagih dan pengecualian berlakunya norma hukum itu melalui undang-undang. Elemen-elemen dari norma hukum itu memenuhi 3 (tiga) landasan Hukum Administrasi Negara, yaitu: wewenang ( bevoegdheid ), prosedur dan substansi. Dengan demikian, diperlukan adanya pengaturan operasional untuk memenuhi elemen-elemen pokok dari norma hukum tersebut agar permohonan Pemohon dapat dipenuhi dalam pelaksanaan norma hukum itu yang berada di ranah pelaksanaan fungsi Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 69 pemerintahan ( sturende functie ) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang mengatur fungsi pemerintahan yang meliputi fungsi pengaturan, fungsi pelayanan, fungsi pembangunan, fungsi pemberdayaan dan fungsi perlindungan, namun tentunya bukan justru dengan cara membatalkan keberlakuan norma hukum tersebut yang akan berpotensi masifnya tuntutan pembayaran utang atas beban negara/daerah kepada pemerintah yang melampaui maksud permohonan dan tuntutan permohonan dari pemohon yang hanya menyangkut jaminan pensiun dan mengganggu terwujudnya asas kepastian hukum dan tertib penyelenggaraan negara yang juga bersumber dari nilai-nilai konstitusional sebagaimana terkandung dalam UUD 1945. Kondisi kekosongan norma hukum ( leemten in het recht ) mengenai daluarsa hak tagih mengenai utang atas beban negara/daerah bisa berdampak terjadinya kekacauan ( chaos ) perbendaharaan negara yang dalam skala yang kian meluas bisa berujung pada terjadinya kerugian negara yang masif yang justru “dilegalisasi” oleh pembatalan norma yang terdapat pada Pasal 40 UU Nomor 1 Tahun 2004.
Sehubungan dengan uraian ahli di atas, ahli berpendapat bahwa permohonan dari Pemohon merupakan isu legalitas penerapan suatu norma hukumdalam undang-undang (vide Pasal 40 UU PN), namun, tak memadai untuk digunakan sebagai argumentasi untuk menjadikannya sebagai isu konstitusionalitas berlakunya sebuah norma hukum dalam Undang-Undang (vide Pasal 40 UU PN). Dengan demikian, ahli memperkuat permohonan dari jawaban Presiden pada persidangan di Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 18/PUU-XV/2017 agar permohonan dari pemohon ditolak seluruhnya. [2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Pihak Terkait PT Taspen memberi keterangan pada persidangan tanggal 31 Juli 2017, sebagai berikut: I. Badan Hukum 1. PT Taspen adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berbentuk Persero, didirikan pada tanggal 17 April 1963 berdasarkan Peraturan Pemerintah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 70 Nomor 15 Tahun 1963 dan terakhir diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1981 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri menjadi Perusahaan Perseroan (Persero). Selanjutnya sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1981 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2013, mendapatkan tugas atau amanat dari Pemerintah untuk menyelenggarakan Asuransi Sosial Pegawai Negeri Sipil, meliputi program pensiun dan program tabungan hari tua. Di samping itu sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2015, terhitung 1 Juli 2015, diberikan amanat untuk menyelenggarakan Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM) Bagi Pegawai Aparatur Sipil Negara dan Pejabat Negara.
Visi, Misi dan Nilai-Nilai 1) Visi: Menjadi Pengelola Dana Pensiun Dan Tabungan Hari Tua (THT) Serta Jaminan Sosial Lainnya Yang Terpercaya 2) Misi: Mewujudkan Manfaat Dan Pelayanan Yang Semakin Baik Bagi Peserta Dan Stakeholder Lainnya Secara Profesional Dan Akuntabel, Berlandaskan Integritas Dan Etika Yang Tinggi 3) Nilai-nilai: Integritas, Profesional, Kempetitif, Inovatif dan Tumbuh. II. Kepesertaan __ 1. Seluruh pegawai negeri sipil termasuk Pemohon adalah peserta asuransi sosial pegawai negeri, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1981 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2013 menyatakan, “ Semua pegawai negeri sipil kecuali pegawai negeri sipil di lingkungan Departemen Pertahanan Keamanan adalah peserta dari asuransi sosial .” Dengan demikian, kepersertaan PNS termasuk Pemohon dalam peran tersebut adalah bersifat wajib atau mandatory . PP Nomor 25 Tahun 1981 merupakan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 71 2. Kewajiban PNS selaku peserta termasuk Pemohon adalah membayar iuran sebesar 8% (delapan persen) dari gaji pokok dan tunjangan keluarga setiap bulannya. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1981 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2013 menyatakan, Iuran sejumlah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) peruntukannya ditentukan sebagai _berikut:
_ 4 3/4% (empat tiga per empat persen) untuk pensiun dan b. 3 1/4% (tiga satu per empat persen) untuk tabungan hari tua .
Iuran pensiun sebesar 4 3/4% (empat tiga per empat persen) tersebut sejak tahun 1985 berdasarkan surat Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor S-244/MK/.011/1985, tanggal 21 Februari 1985 yang juga merupakan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1981 dialihkan ke PT Taspen Persero untuk dikelola dan dikembangkan dalam rangka pembentukan dana pensiun PNS sebagaimana amanat Undang- Undang Nomor 11 Tahun 1969, Pasal 2 huruf a. Khusus untuk program tabungan hari tua yang telah dikelola oleh PT Taspen (Persero) sejak tahun 1961 sepenuhnya telah fully funded dengan kata lain pembayaran klaim THT beserta pengembangannya dibiayai oleh dana THT tersebut. III. Pengadministrasian dan Tatakelola Dana Iuran Pensiun/Akumulasi Iuran Pensiun.
Bahwa sebagai tindak lanjut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai, Dan Janda/Duda Pegawai, Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1981 tentang Asuransi Sosial Pegawai Negeri Sipil, dan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1981 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum Dan Dana Tabungan Dan Asuransi Pegawai Negeri, Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero). PT Taspen Persero melakukan pengelolaan Dana Iuran Pensiun untuk dikembangkan dalam rangka pemupukan Dana Iuran Pensiun secara fully funded . Hal ini diatur dalam Pasal 2 huruf a Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969 sebagai berikut:
Bagi pegawai negeri/bekas pegawai negeri, atau meninggal dunia berhak menerima gaji atas beban Anggaran Pendapatan Dan Belanja Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 72 Negara menjelang pembentukan dan penyelenggaraan suatu dana pensiun yang akan diatur dengan peraturan pemerintah, dibiayai sepenuhnya oleh negara , sedangkan pengeluaran-pengeluaran untuk pembiayaan itu dibebankan atas anggaran dimaksud .
Sejalan dengan hal tersebut, serta dalam rangka meningkatkan efisiensi, efektifitas, pengawasan, dan akuntabilitas tatakelola Dana Iuran Pensiun, Menteri Keuangan telah menetapkan kebijakan yang tertuang dalam peraturan Menteri Keuangan Nomor 20/PMK.1/2007, tanggal 22 Februari 2007 tentang Pengadministrasian, Pelaporan, dan Pengawasan, Penitipan Dana Iuran Pensiun Pegawai Negeri Sipil dan Pejabat Negara. Selanjutnya, PT Taspen (Persero) sebagai pelaksana pengadministrasian dana iuran pensiun tersebut, secara berkala, berkewajiban untuk melaporkan perkembangan portofolio Dana Iuran Pensiun kepada Menteri Keuangan. Dana Iuran Pensiun dimaksud dengan ditempatkan dalam bank pemerintah dengan akun rekening atas nama PT Taspen (Persero) qq . Menteri Keuangan, DPPNS (Dana Pensiun Pegawai Negeri Sipil) .
Pengelolaan Dana Iuran Pensiun yang bersumber dari iuran peserta sebesar 4 3/4% (empat tiga per empat persen) telah diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 201/PMK.02/2015, tanggal 11 November 2015, sebagaimana diubah dengan Nomor 23/PMK.02/2016, tanggal 19 Februari 2016, tentang Pengelolaan Akumulasi Iuran Pensiun Pegawai Negeri Sipil, sedangkan tata kelola pembayaran manfaat pensiun beban APBN, diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.02/2015, tanggal 23 April 2015. Mekanisme tata kelola penggunaan pengembangan Dana Iuran Pensiun dilakukan secara maksimal, dan optimal dengan mempertimbangkan aspek-aspek: likuiditas, soal probabilitas kehati-hatiaan, keamanan dana, dan hasil yang memadai, serta memperhatikan prinsip-prinsip tata kelola korporasi yang baik ( good corporate governance) , yaitu Transparansi, Akuntabilitas, Responsibilitas, Independen, Fairness . Dengan tata kelola tersebut, diharapkan dapat mempercepat pembentukan Dana Pensiun menuju fully funded sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 73 4. Perlu Pihak Terkait sampaikan bahwa apabila pegawai negeri sipil (PNS) diberhentikan tanpa hak pensiun, baik dengan hormat atau tidak dengan hormat, berhak atas nilai tunai yang merupakan bagian dari iuran pensiun dan pengembangannya. Ketentuan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/MK.02/2008, tanggal 8 Mei 2008, dan untuk realisasi pembayaran nilai tunai iuran pensiun tersebut dibebankan sepenuhnya pada dana iuran pensiun yang bersumber dari iuran peserta sebesar 4 3/4% (empat tiga per empat persen) dan tidak mengenal kedaluwarsa. Sedangkan untuk pengembalian nilai tunai tabungaan hari tua (THT) yang iurannya sebesar 3 1/4% (tiga satu per empat persen) , sepenuhnya dibebankan atau ditanggung oleh PT Taspen Persero. IV. Dalil Pemohon 1. Pemohon pada pokoknya mendalilkan bahwa Pasal 40 ayat (1) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, dikarenakan Pemohon berdasarkan surat keputusan Kepada Badan Kepegawaian Negara diberikan hak pensiun terhitung mulai tanggal pensiun 01 Julu 2010, dengan hak pensiun selama 76 (tujuh puluh enam) bulan, hanya dibayarkan selama 60 (enam puluh) bulan. Dengan berlakunya ketentuan tersebut menimbulkan kerugian materiil bagi Pemohon yang nilainya sebesar 16 (enam belas) bulan hak pensiun.
Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004, menyatakan:
Hak tagih mengenai utang atas beban negara/daerah kedaluwarsa setelah 5 (lima) tahun sejak jatuh tempo, kecuali ditetapkan lain oleh undang-undang. V. Pembayaran Pensiun Beban Anggaran Pendapatan Belanja APBN.
Skema pembayaran dan pembayaran Pensiun Pegawai Sipil (PNS), termasuk kepada Pemohon, sampai saat ini menggunakan skema manfaat pasti dengan pola pendanaan pay as you go . Hal ini dikarenakan mekanisme pembayaran dan skema pendanaan pensiun seluruhnya atau sepenuhnya dibebankan atau dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), bukan dibiayai dari Dana Iuran Pensiun yang akumulasi iuran 4 3/4% (empat tiga per empat persen). Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 74 2. Ketentuan tersebut diatur jelas dalam Pasal 2 huruf a Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969, yang pada pokok menyatakan, “ Pensiun pegawai, pensiun janda/duda, dan tunjangan-tunjangan, serta bantuan-bantuan di _atas pensiun yang dapat diberikan berdasarkan dalam undang-undang ini: _ a. bagi pegawai negeri, bekas pegawai negeri, atau meninggal dunia, berhak menerima gaji atau beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, menjelang pembentukan dan penyelenggaraan suatu Dana Pensiun yang akan diatur dengan Peraturan Pemerintah, dibiayai sepenuhnya oleh Negara, sedangkan pengeluran-pengeluaran untuk pembiayaan itu dibebankan atas anggaran dimaksud ”.
Ketentuan tersebut di atas juga dipertegas Pasal 7 ayat (2) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1981 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2013 menyatakan, Dengan mendasarkan pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a, Pemerintah tetap menanggung beban sebagai berikut:
Pembayaran pensiun dari seluruh penerima pensiun yang telah ada pada saat peraturan pemerintah ini diundangkan. Selanjutnya, pemerintah mengatur tentang cara perhitungan, penyediaan, pencairan, dan pertanggungjawaban dana belanja pensiun yang dilakukan oleh PT Taspen (Persero) dan PT Asabri (Persero) melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82 PMK.02/2015, tanggal 23 April 2015, secara lebih teknis dikeluarkan tata cara pencairan dan pertanggungjawaban dana belanja pensiun yang dilaksanakan oleh PT Taspen (Persero) dan PT Asabri (Persero) melalui Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Negara Nomor PER-19/PB/2015, tanggal 19 Agustus 2015.
Selanjutnya, terkait dengan dalil Pemohon , pada pokoknya menyatakan pemberlakukan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Perbendaharaan Negara mengakibatkan atau menimbulkan kerugian bagi Pemohon, karena Pemohon hanya menerima pensiun selama 60 (enam puluh) bulan dan tidak bisa menerima kekurangan jaminan pensiun selama 16 (enam belas) bulan, atas hal-hal tersebut, Pihak Terkait menjelaskan sebagai berikut. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 75 1) bahwa Pemohon berdasarkan Surat Keputusan Badan Kepegawaian Negara Nomor 05087/KEP/AV13016/10, tanggal 14 Oktober 2010, terhitung mulai tanggal Pensiun 01 Juli 2010 diberikan hak pensiun dan pada tanggal 6 Oktober 2016 baru melengkapi surat keterangan penghentian pembayaran (SKPP). Selanjutnya atas hal tersebut, PT Taspen (Persero) telah membayarkan pensiun selama 60 (enam puluh) bulan, terhitung mulai tanggal 1 November 2011 sampai dengan 1 Oktober 2016, dan pensiun ke-13 kepada Pemohon melalui transfer bank.
bahwa sesuai Pasal 238 Peraturan Direksi Nomor PD 12/Dir/2012, yang terakhir diubah dengan Peraturan Direksi Nomor PD 19/Dir/2016, persyaratan pembayaran pensiun pertama antara lain adalah surat keterangan penghentian pembayaran dan ternyata SKPP Pemohon baru diterbitkan pada tanggal 13 September 2016, dan disahkan pada tanggal 22 September 2016, sebagaimana Surat Pengantar Nomor SP-9261/WPB.12/KP.0321/2016, tanggal 22 September 2016.
bahwa untuk hal pensiun selama 16 bulan, yaitu mulai 1 Juli 2010 sampai dengan 1 Oktober 2011, belum atau tidak dapat dibayarkan karena kedaluwarsa atau karena belum ada peraturan perundang- undangan di bawah undang-undang yang mengatur tentang kedaluwarsa sebagai tindak lanjut dari UU Perbendaharaan Negara.
bahwa Pasal 1 angka 8 UU Perbendaharaan Negara menyatakan, Utang negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar Pemerintah Pusat dan/atau kewajiban Pemerintah Pusat yang dapat dinilai dengan uang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, perjanjian, atau berdasarkan sebab lain yang sah.
Bahwa pengaturan kedaluwarsa amat penting hal ini dimaksudkan guna adanya kepastian hukum dalam tata kelola keuangan negara karena ketentuan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Perbendaharaan Negara berlaku bagi Pemohon .
Pembayaran pensiun kepada Pemohon dilakukan dengan skema pay as you go , dimana semua pembayaran pensiun PNS bersumber seluruhnya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 76 bukan bersumber dari akumulasi dana iuran pensiun sebesar 4 3/4% (empat tiga per empat persen) yang dipungut dari Pemohon . Hal ini dikarenakan akumulasi iuran pensiun PNS belum dapat membiayai pembayaran pensiun, sebagai contoh, disampaikan dalam lampiran, dalam keterangan ini akumulasi iuran pensiun dari Pemohon , sejak Pemohon diangkat sebagai PNS, sehingga dinyatakan memasuki masa pensiun.
Atas dasar tersebut, menurut hemat Pihak Terkait, ketentuan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Perbendaharaan Negara tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana yang didalikan oleh Pemohon .
Bahwa sebagai informasi tambahan, sesuai laporan keuangan audited consolidated per 31 Desember 2006, akumulasi iuran pensiun (dana iuran pension) PNS sebesar Rp102.693.565.000.026,00 (seratus dua triliun enam ratus sembilan puluh tiga miliar lima ratus enam puluh lima juta rupiah koma dua puluh enam sen) dan pembayaran pensiun per tahun sebesar Rp76.032.000.128.038,00 (tujuh puluh enam triliun tiga puluh dua miliar seratus dua puluh delapan juta rupiah koma tiga puluh delapan sen) 6. Bahwa hakikat mendasar atau filosofi jaminan pensiun atau hak pensiun yang diberikan kepada pegawai negeri sipil termasuk kepada Pemohon adalah sebagai perlindungan kesinambungan penghasilan hari tua, jaminan hari tua sebagai hak dan sebagai penghargaan atas jasa-jasa, serta pengabdian Pegawai Negeri Sipil (PNS) selama bertahun-tahun bekerja atau mengabdi dalam dinas pemerintah.
Bahwa sejalan dengan hal tersebut, maka PT Taspen (Persero) yang diberikan amanat atau ditugasi oleh pemerintah untuk melakukan pembayaran pensiun kepada seluruh pegawai negeri sipil termasuk Pemohon, dalam pelaksanaan pembayaran jaminan hak pensiun, secara prinsip, sepenuhnya merujuk atau mengikuti kebijakan dan ketentuan yang ditentukan oleh Pemerintah selaku pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara/APBN. Oleh karenanya guna memberikan perlindungan dan kepastian hukum serta untuk menghindari timbulnya permasalahan atau menghindari kesalahan penerapan ketentuan kedaluwarsa khususnya Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 77 terhadap jaminan pensiun, diperlukan ketentuan atau regulasi yang bersifat teknis sebagai tindak lanjut dari ketentuan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Perbendaharaan Negara dimaksud, baik dalam bentuk peraturan pemerintah (PP), atau peraturan presiden (Perpres), atau Peraturan Menteri Keuangan, atau peraturan perundangan di bawahnya.
Bahwa mengingat serta memperhatikan sampai selama ini belum ada ketentuan, atau regulasi, atau petunjuk teknis sebagai tindak lanjut ketentuan kedaluwarsa, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Perbendaharaan Negara. Oleh karenanya memperhatikan Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara secara yuridis verbal, menteri keuangan selaku pengelola fiskal atau bendaharawan umum negara serta regulator berwenang menetapkan atau mengatur terhadap ketentuan atau regulasi yang merupakan ketentuan lebih lanjut yang mengatur secara teknis atas pelaksanaan Undang-Undang Perbendaharaan Negara, Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur lebih lanjut tentang ketentuan kedaluwarsa atas Undang-Undang Perbendaharaan Negara, sangat diperlukan dengan pertimbangan antara lain:
keuangan Negara/APBN harus dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
belum ada regulasi atau ketentuan yang mengatur tentang kedaluwarsa atas jaminan/hak pensiun atas beban APBN.
untuk menghindari adanya multitafsir atas ketentuan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Perbendaharaan Negara.
untuk kepastian hukum dan tertib administrasi pengelolaan keuangan Negara/APBN.
untuk memberikan landasan hukum apakah jaminan pension/hak pensiun yang bersumber APBN, tunduk pada ketentuan UU Perbendaharaan Negara.
untuk kepastian hukum, serta memberikan rasa keadilan atas tata kelola jaminan pensiun serta memberikan perlindungan jaminan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 78 pensiun yang merupakan hak, kesinambungan dan penghargaan PNS atas pengabdiannya. [2.5] Menimbang bahwa untuk menguatkan keterangannya, Pihak Terkait PT Taspen mengajukan alat bukti yang diberi tandan bukti PT-1 sampai dengan PT-19, sebagai berikut: 1 Bukti PT - 1 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan Janda/Duda Pegawai 2 Bukti PT - 2 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara 3 Bukti PT - 3 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara 4 Bukti PT - 4 : Fotokopi Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1963 tentang Pendirian Perusahaan Negara Dana Tabungan Dan Asuransi Pegawai Negeri dan terakhir diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1981 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri menjadi Perusahaan Perseroan (PERSERO) 5 Bukti PT - 5 : Fotokopi Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1981 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2013 tentang Auransi Sosial Pegawai Negeri Sipil. 6 Bukti PT - 6 : Fotokopi Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2015 tentang Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM) Bagi Pegawai Aparatur Sipil Negara dan Pejabat Negara. 7 Bukti PT - 7 : Fotokopi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 20/PMK.01/ 2007 tentang Pengadministrasian, Pelaporan Dan Pengawasan Penitipan Dana Iuran Pensiun Pegawai Negeri Sipil Dan Pejabat Negara. 8 Bukti PT - 8 : Fotokopi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.02/ 2008 tentang Pengembalian Nilai Tunai Iuran Pensiun Pegawai Negeri Sipil Yang Diberhentikan Tanpa Hak Pensiun. 9 Bukti PT - 9 Fotokopi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.02/ 2015 tentang Tata Cara Perhitungan, Penyediaan, Pencairan Dan Pertanggungjawaban Dana Belanja Pensiun Yang Dilakasanakan Oleh PT TASPEN (PERSERO) Dan PT ASABRI Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 79 (PERSERO). 10 Bukti PT - 10 Fotokopi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 201/PMK.02/ 2015 sebagaimana diubah dengan Nomor 23/ PMK.02/2016 tentang Pengelolaan Akumulasi Iuran Pensiun Pegawai Negeri Sipil. 11 Bukti PT - 11 Fotokopi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.02/ 2016 tentang Persyaratan dan Besar Manfaat Tabungan Hari Tua Bagi Pegawai Negeri Sipil. 12 Bukti PT - 12 Fotokopi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 241/PMK.02/ 2016 tentang Tata Cara Pengelolaan Iuran dan Pelaporan Penyelenggaraan Program Tabungan Hari Tua Pegawai Negeri Sipil dan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian Aparatur Sipil Negara. 13 Bukti PT - 13 : Fotokopi Keputusan Menteri Keuangan Nomor 500/KMK.06/ 2004 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 478/KMK.06/2002 tentang Persyaratan dan Besaran Manfaat Tabungan Hari Tua Bagi Pegawai Negeri Sipil. 14 Bukti PT - 14 : Fotokopi Surat Menteri Keuangan Nomor S- 244/MK.011/ 1985 tanggal 21 Februari 1985 perihal Penempatan Dana Pensiun Pegawai Negeri Sipil pada P.T. (Persero) Taspen 15 Bukti PT - 15 : Fotokopi Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-19/PB/2015 tentang Tata Cara Pencairan dan Pertanggungjawaban dan Belanja Pensiun Yang Dilaksanakan oleh PT Taspen (Persero) dan PT Asabri (Persero). 16 Bukti PT - 16 : Fotokopi Surat Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor S-6622/PB/2017 tanggal 27 Juli 2017 perihal Penegasan tentang Kedaluwarsa Dalam Pembayaran Pensiun 17 Bukti PT – 17 : Fotokopi Peraturan Direksi Nomor PD- 19/DIR/2016 tentang Perubahan Kelima Peraturan Direksi Nomor PD-12/DIR/2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Pelayanan Program Tabungan Hari Tua. Program Pensiun, dan Manajemen Data Peserta. 18 Bukti PT – 18 : Fotokopi SOP Penyelesaian SPP Klaim Program Asuransi dan Pensiun Nomor TSP/PLY/PK/05 dengan Instruksi Kerja Nomor TSP/PLY/IK/05/01B 19 Bukti PT – 19 : Fotokopi Surat Dekan Fakultas Teknik Universitas Indonesia Nomor 220/UN2.F4.D/SDM.04/2017 Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 80 tanggal 28 Juli 2017 perihal Permohonan Usulan selisih pembayaran SKPP a.n sdr. Ir. Sri Bintang Pamungkas, M.Si, SE,PH.D periode Juli 2015 – September 2016 dan Voucher Klim Program Pensiun Uang Kekurangan Pensiun Nomor Voucher 012710-2017 dengan tanggal rencana bayar 31 Juli 2017. [2.6] Menimbang bahwa Pemohon dan Pemerintah telah mengajukan kesimpulan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 8 Agustus 2017 yang pada pokoknya tetap pada pendiriannya; [2.7] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian Putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan ditunjuk dalam Berita Acara Persidangan, dan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan Putusan;
PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar; [3.2] Menimbang bahwa karena yang dimohonkan Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas Undang-Undang in casu Pasal 40 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 81 Indonesia Nomor 4355, selanjutnya disebut UU Perbendaharaan Negara) terhadap UUD 1945, maka Mahkamah berwenang mengadili permohonan _a quo; _ Kedudukan hukum ( legal standing ) Pemohon [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap Undang- Undang Dasar adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, dalam kedudukannya sebagaimana dimaksud pada huruf a; [3.4] Menimbang pula bahwa mengenai kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK, Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005, tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, tanggal 20 September 2007 serta putusan selanjutnya telah berpendirian adanya 5 (lima) syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 82 c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.5] Menimbang bahwa mengenai kedudukan hukum ( legal standing ), Pemohon mendalilkan yang pada pokoknya sebagai berikut:
Bahwa menurut Pemohon Pasal 40 UU Perbendaharaan Negara, perlu diuji secara materiil karena bertentangan dengan UUD 1945. Sebagai akibat dari diberlakukannya ketentuan itu, Pemohon menderita kerugian materiil yang nilainya sebesar 16 bulan pensiun, nilai mana seharusnya diterima oleh Pemohon.
Bahwa sebagai warga negara Indonesia, Pemohon mempunyai hak dan/atau kewenangan konstitusionil sebagaimana diatur dalam UUD 1945, yang meliputi: a) Bidang hukum khususnya, seperti perlindungan hukum, serta jaminan atas perlakuan hukum yang adil dan jaminan atas kepastian hukum. b) Bidang-bidang lain, seperti sosial, ekonomi, politik, budaya, pertahanan dan keamanan.
Hak memperoleh Pensiun dan Jaminan Hari Tua mana diulang lagi melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara pada Pasal 21 butir c.; dan pada Pasal 91 ayat (3) yang berbunyi: Jaminan Pensiun PNS dan Jaminan Hari Tua PNS diberikan sebagai perlindungan kesinambungan penghasilan hari tua, sebagai hak dan sebagai penghargaan atas pengabdian PNS . Oleh sebab itu, pemberlakuan Pasal 40 UU Perbendaharaan Negara terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 juga merupakan pelanggaran terhadap hak dan/atau kewenangan Pemohon untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 83 4. Kerugian ekonomi yang sifatnya materiil adalah yang paling segera dirasakan Pemohon, yaitu ketika mendengar:
Bahwa selama 66 (enam puluh enam) bulan sejak pensiun, Pemohon tidak pernah mendapatkan pembayaran bulanan uang pensiunnya.
Sebagai akibat diterapkannya Pasal 40 UU Perbendaharaan Negara tersebut, pembayaran Rapel Pensiun selama lebih-kurang 66 (enam puluh enam) bulan yang seharusnya diterima Pemohon itu ternyata dipotong 16 (enam belas) bulan, atau identik dengan 60-an juta rupiah.
Kerugian secara materiil tersebut berdampak segera pada hal-hal yang berkaitan dengan pengeluaran Pemohon dan keluarganya untuk kehidupan sehari-hari, dan lain-lain pengeluaran dalam rangka mewujudkan tujuan penyelenggaraan program pensiun dan jaminan hari tuanya. [3.6] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan pada paragraf [3.3] sampai dengan paragraf [3.5] di atas, Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon memiliki hak konstitusional yang dijamin oleh UUD 1945, hak konstitusional tersebut dirugikan oleh berlakunya Pasal 40 UU Perbendaharaan Negara dan kerugian tesebut bersifat spesifik dan aktual yang memiliki hubungan sebab akibat antara kerugian hak konstitusional dengan berlakunya pasal yang dimohonkan pengujian, sehingga apabila permohonan Pemohon dikabulkan maka kerugian hak konstitusional Pemohon tidak lagi terjadi. Dengan demikian, menurut Mahkamah Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo ; [3.7] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan Pemohon dan Pemohon memiliki kedudukan hukum ( Iegal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan; Pokok Permohonan [3.8] Menimbang bahwa pokok permohonan Pemohon adalah mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 40 UU Perbendaharaan Negara, khususnya diberlakukannya ketentuan kedaluwarsa terhadap pembayaran pensiun bagi PNS, dan terhadap Pasal 40 UU Perbendaharaan Negara, khususnya Pasal 40 ayat (1), telah pernah diuji dan diputus oleh Mahkamah sebagaimana tertuang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 84 dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XIV/2016, bertanggal 28 September 2017. [3.9] Menimbang bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XIV/2016, amarnya pada angka 2 menyatakan, 1. ... 2. Menyatakan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004, Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai diberlakukan terhadap jaminan pensiun dan jaminan hari tua;
...;
... Oleh karena itu, terhadap permohonan Pemohon yang pada hakikatnya objeknya sama yaitu mempersoalkan konstitusionalitas berlakunya ketentuan kedaluwarsa terhadap pembayaran Pensiun bagi PNS, sebagaimana diatur dalam Pasal 40 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara, menjadi kehilangan objek; [3.10] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon berkenaan dengan konstitusionalitas Pasal 40 ayat (2) UU Perbendaharaan Negara, Mahkamah berpendapat oleh karena ketentuan tentang kedaluwarsa yang dimaksud dalam norma a quo adalah karena berkenaan dengan persoalan utang negara, sementara jaminan pensiun dan jaminan hari tua telah dinyatakan bukan sebagai utang negara tetapi merupakan kewajiban negara, sehingga tidak tunduk pada ketentuan kedaluwarsa, sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XIV/2016, maka norma Pasal 40 ayat (2) a quo tidak berlaku terhadap jaminan pensiun dan jaminan hari tua. Dengan demikian, permohonan Pemohon sepanjang berkenaan dengan inkonstitusionalitas Pasal 40 ayat (2) UU Perbendaharaan Negara adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian. [3.11] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon berkenaan dengan konstitusionalitas Pasal 40 ayat (3) UU Perbendaharaan Negara, karena ketentuan a quo menyangkut soal pembayaran kewajiban bunga dan pokok pinjaman negara/daerah, Mahkamah berpendapat tidak terdapat persoalan konstitusionalitas dalam rumusan norma a quo. Sebaliknya, keberadaan norma a quo justru sangat Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 85 diperlukan guna memberi kepastian hukum terhadap pembayaran kewajiban bunga dan pokok pinjaman negara/daerah. Dengan demikian dalil Pemohon sepanjang berkenaan dengan Pasal 40 ayat (3) UU Perbendaharaan Negara tidak beralasan menurut hukum. [3.12] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon sebagian telah kehilangan objek, sebagian beralasan menurut hukum, dan selebihnya tidak beralasan menurut hukum.
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan _a quo; _ [4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan _a quo; _ [4.3] Permohonan Pemohon:
sepanjang berkenaan dengan Pasal 40 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara kehilangan objek;
sepanjang berkenaan dengan Pasal 40 ayat (2) UU Perbendaharaan Negara beralasan menurut hukum untuk sebagian;
sepanjang berkenaan dengan Pasal 40 ayat (3) UU Perbendaharaan Negara tidak beralasan menurut hukum. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negera Republik Indonesia Nomor 5226), serta Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indoensia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negera Republik Indonesia Nomor 5076); Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 86 5. AMAR PUTUSAN Mengadili, 1. Menyatakan permohonan Pemohon sepanjang berkenaan dengan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004, Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355) tidak dapat diterima;
a. Mengabulkan permohonan Pemohon sepanjang berkenaan dengan Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004, Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355) untuk sebagian;
Menyatakan Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004, Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang dimaknai berlaku terhadap jaminan pensiun dan jaminan hari tua;
Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu, Arief Hidayat selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, Aswanto, Suhartoyo, Maria Farida Indrati, Wahiduddin Adams, I Dewa Gede Palguna, Manahan MP. Sitompul, dan Saldi Isra, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Selasa, tanggal dua puluh enam, bulan September, tahun dua ribu tujuh belas , dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis, tanggal dua puluh delapan, bulan September, tahun dua ribu tujuh belas , selesai diucapkan pukul 09.37 WIB , oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu, Arief Hidayat selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, Aswanto, Suhartoyo, Maria Farida Indrati, Wahiduddin Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 87 Adams, I Dewa Gede Palguna, Manahan MP. Sitompul, dan Saldi Isra, masing- masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Cholidin Nasir sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh Pemohon atau kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan Pihak Terkait. KETUA, ttd Arief Hidayat ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Anwar Usman ttd. Aswanto ttd. Suhartoyo ttd. Maria Farida Indrati ttd. Wahiduddin Adams ttd. I Dewa Gede Palguna ttd. Manahan M.P Sitompul ttd. Saldi Isra PANITERA PENGGANTI, ttd. Cholidin Nasir Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.02/2017 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negar ...
Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pengelolaan Penerusan Pinjaman.
Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Investasi Pemerintah.