Pengujuan UU no. 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (Pasal 1 angka 1, Pasal 3 ayat (3), Pasal 4, Pasal 21 ayat (2), Pasal 22, dan pasal ayat (2 ...
Relevan terhadap
ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5); Pasal 4 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3); Pasal 21 ayat (2) dan ayat (3); Pasal 22; serta Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) UU 11/2016 bertentangan dengan UUD 1945. Norma dalam UU 11/2016 yang dimohonkan pengujian tersebut masing-masing selengkapnya berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 angka 1: Pengampunan Pajak adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap Harta dan membayar Uang Tebusan sebagaimana _diatur dalam Undang-Undang ini”; _ Pasal 3 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5): (1) Setiap Wajib Pajak berhak mendapatkan Pengampunan Pajak. (2) Pengampunan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Wajib Pajak melalui pengungkapan Harta yang dimilikinya dalam Surat Pernyataan. (3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu Wajib _Pajak yang sedang: _ a. dilakukan penyidikan dan berkas penyidikannya telah dinyatakan lengkap _oleh Kejaksaaan; _ _b. dalam proses peradilan; atau _ c. menjalani hukum pidana, atas Tindak Pidana di Bidang Perpajakan. (4) Pengampunan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengampunan atas kewajiban perpajakan sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir, yang belum atau belum sepenuhnya diselesaikan oleh Wajib Pajak. (5) Kewajiban Perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri atas _kewajiban: _ _a. Pajak Penghasilan; dan _ Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 331 b. Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Penjualan atas Barang Mewah. Pasal 4 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3): (1) Tarif Uang Tebusan atas Harta yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau Harta yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan diinvestasikan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu paling singkat 3 (tiga) _tahun terhitung sejak diahlihkan, adalah sebesar: _ a. 2% (dua persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan pertama sampai dengan akhir bulan ketiga terhitung sejak Undang- _Undang ini mulai berlaku; _ b. 3% (tiga persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan keempat terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku sampai _dengan tanggal 31 Desember 2016; dan _ c. 5% (lima persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan terhitung sejak tanggal 1 Januari 2017 sampai dengan tanggal 31 Maret 2017. (2) Tarif Uang Tebusan atas Harta yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan _Republik Indonesia adalah sebesar: _ a. 4% (empat persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan pertama sampai dengan akhir bulan ketiga terhitung sejak Undang- _Undang ini mulai berlaku; _ b. 6% (enam persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan keempat terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku sampai _dengan tanggal 31 Desember 2016; dan _ c. 10% (sepuluh persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan terhitung sejak tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Maret 2017. (3) Tarif Uang Tebusan bagi Wajib Pajak yang peredaran usahanya sampai dengan Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) pada _Tahun Pajak Terakhir adalah sebesar: _ Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 332 a. 0,5% (nol koma lima persen) bagi Wajib Pajak yang mengungkapkan nilai Harta sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dalam _Surat Pernyataan; atau _ b. 2% (dua persen) bagi Wajib Pajak yang mengungkapkan nilai Harta lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dalam Surat Pernyataan. Untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan pertama sejak Undang-Undang ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Maret 2017. Pasal 21 ayat (2) dan ayat (3): (1)..... (2) Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, dilarang membocorkan, menyebarluaskan, dan/atau memberitahukan data dan informasi yang diketahui atau diberitahukan oleh Wajib Pajak kepada pihak lain. (3) Data dan informasi yang disampaikan Wajib Pajak dalam rangka Pengampunan Pajak tidak dapat diminta oleh siapapun atau diberikan kepada pihak manapun berdasarkan peraturan perundang-undangan lain, kecuali atas persetujuan Wajib Pajak sendiri. Pasal 22: Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2): (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun. (2) Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar. Adapun alasan yang dikemukakan para Pemohon dalam mendalilkan pertentangan norma UU 11/2016 dengan UUD 1945 pada pokoknya adalah sebagai berikut (alasan selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara): Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 333 1. Bahwa Pasal 1 angka 1; Pasal 3 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5); Pasal 4 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3); Pasal 21 ayat (2) dan ayat (3); Pasal 22; dan Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) UU 11/2016 menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan dalam hukum perpajakan di Indonesia;
Bahwa dengan UU 11/2016, tindakan dan kesalahan wajib pajak bukannya diberi hukuman yang setimpal tetapi justru diberi kemudahan dengan tidak dikenai sanksi administratif dan sanksi pidana, bahkan utang pajaknya dapat ditebus dengan nilai yang jauh di bawah nilai yang seharusnya dibayar menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU 28/2007);
Bahwa Pasal 1 angka 1 UU 11/2016 adalah bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 23A UUD 1945;
Bahwa Pasal 3 ayat (3) huruf a UU 11/2016 bertentangan dengan prinsip negara hukum dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945;
Bahwa Pasal 4 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 11/2016 telah merugikan hak konstitusional para Pemohon yang tertib membayar pajak sehingga dengan demikian ketentuan a quo bertentangan dengan Pasal 23A dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945;
Bahwa Pasal 21 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 22, dan Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) UU 11/2016 bertentangan dengan hak konstitusional para Pemohon atas keterbukaan informasi sebagaimana diatur dalam Pasal 28F UUD 1945.
Bahwa selain alasan-alasan di atas, para Pemohon juga mengemukakan uraian, yang oleh para Pemohon disebut “Fakta Peristiwa Hukum”, yang intinya bahwa “Fakta Peristiwa Hukum” tersebut jika dihubungkan dengan berlakunya UU 11/2016 menjadikan para Pemohon yang selama ini taat membayar pajak merasa diperlakukan tidak sama di hadapan hukum, pemberlakuan Undang-Undang a quo bertentangan dengan gagasan negara hukum dan bertentangan dengan alinea keempat UUD 1945. [3.9] Menimbang bahwa untuk mendukung permohonannya, para Pemohon telah mengajukan bukti-bukti surat yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-2, (selengkapnya telah diuraikan pada bagian Duduk Perkara), dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 334 lampiran berupa Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga organisasi para Pemohon; [3.10] Menimbang bahwa Mahkamah telah pula mendengar keterangan DPR, Keterangan Presiden, ahli yang diajukan oleh Presiden, yaitu Dr. Muhamad Chatib Basri, S.E., M.Ec., Ph.D., Yustinus Prastowo, S.E, M.Hum, M.A., Prof. Dr. Gunadi, Darussalam, S.E., Ak., M.Si., LL.M., Int. Tax.,Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M., Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., MPA., Dr. Refli Harun, S.H., M.H., LL.M., Dr. Zaenal Arifin Mochtar, S.H., LL.M., serta empat keterangan tertulis ahli yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 17 November 2016, yaitu keterangan tertulis Prof. Dr. Eddy O.S. Hiariej, S.H., M.Hum., Prof. Wihana Kirana Jaya, Ph.D., Dr. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum., dan Dr. Maruarar Siahaan, S.H.dan ahli yang diajukan oleh para Pemohon yaitu Salamuddin Daeng, S.E.,, H. Makmur Amir, S.H., M.H., dan Akhmad Akbar Susamto, S.E., M. Phil., Ph.D. (yang keterangan selengkapnya telah diuraikan pada bagian Duduk Perkara). [3.11] Menimbang bahwa setelah membaca dengan saksama permohonan para Pemohon, Keterangan Presiden, Keterangan DPR, keterangan ahli para pihak, memeriksa bukti-bukti para Pemohon, dan kesimpulan para pihak, maka terhadap dalil-dalil para Pemohon Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: A. Pertama , sepanjang berkenaan dengan dasar pemikiran dan latar belakang serta tujuan diambilnya kebijakan pengampunan pajak melalui pengundangan UU 11/2016, yang sekaligus menjawab pertanyaan apakah secara doktriner kebijakan pengampunan pajak bertentangan dengan UUD 1945, Mahkamah telah mempertimbangkannya secara komprehensif dalam Putusan Nomor 57/PUU-XIV/2016, yang pada akhirnya Mahkamah berpendapat bahwa kebijakan tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dalam pertimbangan hukum putusan tersebut Mahkamah, antara lain, menyatakan: [3.14] __ Menimbang, berdasarkan seluruh penjelasan dan keterangan sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.13] di atas serta dengan _mempertimbangkan: _ (i) bahwa dampak krisis ekonomi global tahun 2008 yang berimbas pada perlemahan ekonomi negara-negara di dunia serta menurunnya harga komoditas dan perlemahan perdagangan internasional masih dirasakan hingga saat ini dan berdampak besar terhadap Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 335 perekonomian nasional Indonesia yang mengalami perlambatan di mana meskipun masih terdapat pertumbuhan namun _kecenderungannya terus menurun dari tahun ke tahun; _ (ii) bahwa keadaan sebagaimana diuraikan pada angka (i) di atas telah menyebabkan menurun drastisnya sumber pendapatan negara, khususnya dari sektor pajak, padahal pajak masih merupakan sektor penyumbang terbesar pendapatan negara guna membiayai program- program pembangunan untuk mewujudkan tujuan negara sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Keadaan demikian menjadikan negara, khususnya Pemerintah, dihadapkan pada situasi dilematis: tetap berpegang teguh hanya pada penegakan hukum di bidang perpajakan yang ada dengan risiko tidak tercapainya target pendapatan negara (khususnya dari sektor pajak yang disebabkan oleh terbatasnya akses terhadap harta atau kekayaan wajib pajak, baik karena hal itu tidak dilaporkan oleh wajib pajak maupun karena harta atau kekayaan wajib pajak itu berada di luar wilayah yurisdiksi Indonesia), di mana keadaan demikian lebih jauh akan berdampak pada mandegnya atau bahkan berhentinya program-program pembangunan, khususnya untuk mengentaskan kemiskinan dan menurunkan pengangguran; atau mengambil langkah khusus sebagai terobosan yang merupakan second best effort di luar penegakan hukum yang “normal” sehingga memungkinkan negara, in casu pemerintah, menjalankan dan melanjutkan program-program pembangunannya dalam mewujudkan tujuan negara yang dimanatkan _oleh Konstitusi; _ (iii) bahwa dengan memperhatikan keadaan sebagaimana disebutkan pada angka (i) dan (ii) di atas, pembentuk Undang-Undang memilih untuk menempuh langkah khusus atau terobosan dalam bentuk kebijakan pengampunan pajak yang hanya diberlakukan satu kali dalam satu periode (one shot opportunity) dan setelah periode itu berakhir akan diberlakukan pengenaan tarif normal yang disertai _dengan langkah-langkah penegakan hukum; _ (iv) bahwa tujuan diberlakukannya kebijakan pengampunan pajak, sebagaimana diatur dalam UU 11/2016, adalah pertama, merepatriasi dana yang ditempatkan warga negara Indonesia di luar negeri untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi; kedua, untuk meningkatkan basis perpajakan nasional di mana aset atau harta yang diungkapkan dalam permohonan pengampunan pajak dapat dimanfaatkan untuk pengenaan pajak di masa yang akan datang (disertai dengan perbaikan administrasi perpajakan); dan ketiga, untuk meningkatkan penerimaan pajak pada tahun diberlakukannya pengampuan pajak _tersebut yang diperoleh dari penerimaan uang tebusan; _ (v) bahwa dengan pemberlakuan kebijakan pengampunan pajak melalui UU 11/2016, dilihat dari perspektif filosofi keadilan substantif, di masa depan akan tercipta struktur perpajakan yang lebih adil, sebab dengan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 336 terbukanya data mengenai harta atau kekayaan para wajib pajak melalui pelaporan oleh wajib pajak sendiri, sebagaimana dipersyaratkan oleh Undang-Undang a quo untuk mendapatkan pengampuan, maka kontribusi dari PPh orang pribadi akan menjadi penyumbang terbesar pendapatan dari sektor pajak, bukan lagi dari PPN dan PPh badan sebagaimana keadaan yang berlangsung selama ini. Hal ini sejalan dengan prinsip ability to pay dalam filosofi keadilan perpajakan di mana mereka yang lebih kaya membayar pajak lebih besar, sehingga dengan demikian pajak akan benar-benar berperan sebagai instrumen redistribusi pendapatan yang selanjutnya _akan memperkecil ketimpangan; _ (vi) bahwa diberlakukannya kebijakan pengampunan pajak bukanlah berarti negara melindungi kejahatan yang dilakukan oleh wajib pajak dalam bidang perpajakan melainkan hal itu semata-semata sebagai insentif yang hanya berlaku selama berlangsungnya periode pengampunan pajak tersebut dan untuk selanjutnya akan _diberlakukan penegakan hukum; _ (vii) bahwa kebijakan pengampunan pajak tetap penting dan urgen untuk diambil meskipun di masa yang akan datang akan diberlakukan perjanjian Automatic Exchange of Information dengan alasan di samping bahwa perjanjian itu baru akan berlaku pada tahun 2018 juga untuk mengantisipasi bahwa tidak semua negara menjadi pihak atau peserta dalam perjanjian dimaksud, maka Mahkamah berpendapat bahwa terdapat alasan urgen dan mendasar bagi pembentuk Undang-Undang untuk mengambil kebijakan pengampunan pajak melalui pemberlakuan UU 11/2016 a quo sehingga, secara prinsip, pengampunan pajak yang esensinya adalah berupa pelepasan hak negara untuk menagih pajak yang seharusnya terutang atau mengenakan pajak dalam suatu periode tertentu, dihubungkan dengan tujuan diambilnya kebijakan itu, tidaklah bertentangan dengan UUD 1945. [vide lebih jauh pertimbangan hukum paragraf [3.11] sampai dengan paragraf [3.14] dalam Putusan Nomor 57/PUU-XIV/2016]. Dengan pertimbangan Mahkamah sebagaimana diuraikan dalam Putusan Nomor 57/PUU-XIV/2016 tersebut maka Mahkamah dengan sendirinya telah mempertimbangkan keterangan ahli yang diajukan oleh para dan Akhmad Akbar Susamto, S.E., M.Phil., Ph.D, yang pada prinsipnya menyoroti dasar pemikiran atau latar belakang dan tujuan diberlakukannya UU 11/2016. Ahli Salamuddin Daeng pada pokoknya menerangkan bahwa alasan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 337 diberlakukannya kebijakan pengampunan pajak melalui UU 11/2016 tidak terlepas dari perencanaan pengeluaran anggaran yang sangat ambisius guna membiayai proyek-proyek infrastruktur yang memerlukan biaya sangat besar yang sulit dicapai dalam situasi ekonomi global dan nasional yang sedang lesu, sementara penerimaan dari sektor pajak melalui intensifikasi dan ekstensifikasi pajak tidak mencapai target yang diharapkan. Ahli juga menilai bahwa pemberlakuan UU 11/2016 merupakan legalisasi kejahatan karena uang yang diperoleh dari pengampunan pajak tersebut bukan semata-mata dari pengemplang pajak tetapi boleh jadi juga berasal dari hasil bisnis illegal. Selain itu, menurut ahli, tax amnesty di berbagai negara adalah ditujukan dalam rangka menggerakkan perekonomian, membangkitkan semangat dunia usaha dan meningkatkan daya beli masyarakat, sedangkan melalui UU 11/2016 Pemerintah justru menjadikan tax amnesty untuk mengumpulkan uang untuk mengatasi defisit besar dalam APBN yang seharusnya merupakan dampak jangka panjang stimulus fiskal dan tax amnesty . Sementara itu, ahli Akhmad Akbar Susamto, S.E., M.Phil., Ph.D, pada pokoknya menilai UU 11/2016 merupakan produk dari kekeliruan berpikir. Pertama , menjadikan kurangnya kesadaran dan kepatuhan membayar pajak sebagai alasan membentuk UU 11/2016 adalah keliru sebab, meskipun kesadaran dan kepatuhan tersebut diperlukan, hal itu bukanlah yang utama karena pemungutan pajak bukan didasarkan pada kesukarelaan. Kedua , mengingat sifat memaksa dari pajak sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 23A UUD 1945 maka tatkala pemerintah mengakui bahwa terdapat harta yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan, adalah kewajiban pemerintah untuk mengejar tunggakan pajak dari harta tersebut. Ketiga , ada hal yang tidak dapat disebutkan secara eksplisit oleh pembentuk Undang-Undang sebagai dasar pemikiran lahirnya UU 11/2016, yaitu pemerintah tidak mempunyai cukup kemampuan untuk menegakkan perundang-undangan yang menyangkut pemungutan pajak dan ada kepentingan besar yang berhasil “mengambil kesempatan dalam kesempitan”. Hal ini dikaitkan dengan akan berlakunya kesepakatan Sistem Pertukaran Informasi Otomatis atau Automatic Exchange System of Information (AEoL) pada Tahun 2018 di mana ketika kesepakatan ini Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 338 mulai berlaku semua rekening wajib pajak akan langsung terlacak oleh otoritas pajak negara asal. Melalui pertimbangan hukum dalam Putusan Nomor 57/PUU-XIV/2016, khususnya pada paragraf [3.11] sampai dengan paragraf [3.14] , kedua pendapat ahli dari para Pemohon tersebut secara tidak langsung telah dipertimbangkan. Dengan demikian, sepanjang berkenaan dengan dasar pemikiran atau latar belakang dan tujuan diberlakukannya UU 11/2016, pertimbangan dalam putusan sebagaimana disebutkan di atas, juga berlaku sebagai tanggapan dan pertimbangan Mahkamah terhadap keterangan kedua ahli para Pemohon a quo sebagaimana diuraikan di atas. Adapun keterangan ahli lainnya yang juga diajukan oleh para Pemohon dalam permohonan a quo , yaitu H. Makmur Amir, S.H., M.H., karena khusus menerangkan kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon, dengan sendirinya telah terjawab dengan diterimanya oleh Mahkamah kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon. B. Kedua , sepanjang berkenaan dengan dalil-dalil para Pemohon yang secara spesifik mempersoalkan konstitusionalitas sejumlah norma UU 11/2016 sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.8] di atas, Mahkamah berpendapat bahwa oleh karena seluruh norma tersebut juga telah dipertimbangkan dalam Putusan Nomor 57/PUU-XIV/2016 [vide lebih jauh pertimbangan hukum paragraf [3.16] angka 1 sampai dengan angka 6 dalam Putusan Nomor 57/PUU-XIV/2016], maka seluruh pertimbangan Mahkamah dalam putusan dimaksud juga berlaku terhadap permohonan a quo . [3.12] Menimbang, berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat bahwa permohonan para Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima.
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo ; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 339 [4.2] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Pokok permohonan tidak dapat diterima. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
AMAR PUTUSAN Mengadili, Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima. Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Arief Hidayat selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, I Dewa Gede Palguna, Aswanto, Manahan M.P Sitompul, Maria Farida Indrati, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, dan Patrialis Akbar masing-masing sebagai Anggota, pada hari Rabu, tanggal dua puluh tiga, bulan November, tahun dua ribu enam belas, dan pada hari Selasa, tanggal tiga belas, bulan Desember, tahun dua ribu enam belas , yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal empat belas, bulan Desember, tahun dua ribu enam belas , selesai diucapkan pukul 15.52 WIB , oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Arief Hidayat selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, I Dewa Gede Palguna, Aswanto, Manahan M.P Sitompul, Maria Farida Indrati, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, dan Patrialis Akbar, masing- masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Saiful Anwar sebagai Panitera Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 340 Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon/kuasanya, Presiden atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili. KETUA, ttd. Arief Hidayat ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Anwar Usman ttd. I Dewa Gede Palguna ttd. Aswanto ttd. Manahan M.P Sitompul ttd. Maria Farida Indrati ttd. Wahiduddin Adams ttd. Suhartoyo ttd. Patrialis Akbar PANITERA PENGGANTI, ttd. Saiful Anwar Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak.
Relevan terhadap
bahwa ketentuan mengenai besarnya penghasilan tidak kena pajak telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 162/PMK.011/2012 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak;
bahwa dengan mempertimbangkan perkembangan di bidang ekonomi dan moneter serta perkembangan harga kebutuhan pokok yang semakin meningkat, perlu melakukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai besarnya penghasilan tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a;
bahwa dalam rangka penyesuaian terhadap besarnya penghasilan tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada huruf b di atas, Menteri Keuangan telah mengadakan pertemuan konsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada tanggal 25 Juni 2015;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak;
Pengujian UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan terhadap UUD Negara RI Tahun 1945 ...
Relevan terhadap 8 lainnya
www.mahkamahkonstitusi.go.id sebagainya. Ini justru menimbulkan kerugian bagi banyak pihak terutama bagi pihak pemotong yang membantu pemerintah. Seharusnya pemerintah, dalam ini otoritas perpajakan, yang saat ini disebut Direktorat Jendral Pajak tetapi harapan saya tahun depan berganti nama menjadi Badan Penerimaan Negara, mereka berlaku sebagai yang membantu. Akan tetapi karena regulasinya tidak jelas, tiba- tiba dianggap melanggar, kemudian dikenakan sanksi. Ini akan menyebabkan orang akan semakin antipati terhadap pajak. Kemudian dari sisi penerima penghasilan, mereka dirugikan. Kalau tadi Pasal 15 yang menerima penghasilam, mereka jauh lebih simpel karena presumptive scheduler urusan selesai. Kalau dilihat, mengapa diberikan semacam seolah-olah (as if) itu adalah insentif pajak karena memang kalau kita bicara rate - nya adalah lebih rendah, jangan lupa pemerintah juga diuntungkan karena perusahaan tersebut tetap ada pembayaran pajak itulah trade off -nya. Kalau kemudian ada dualisme, ini berarti harus tetap melakukan kewajiban dualisme perpajakan, yang dikenakan presumptive scheduler dan juga yang dikenakan global dengan withholding tax . Ini justru mengingkari dari apa yang dicita-citakan di dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan itu sendiri. Ahli mengkhawatirkan pemerintah selaku yang pro dengan pasar, pemerintah ingin mendorong pelaku dunia usaha bahkan sering kali mendengarkan inspirasi, kira-kira insentif pajak apa yang dibutuhkan. Menurut pendapat ahli percuma memberikan insentif pajak yang didesain sedemikian rupa tanpa membenahi regulasinya itu sendiri. Yang harus diperhatikan adalah sering kali kita terjebak, terutama di Kementerian Keuangan, seolah-olah supply side tax policy , itu semata-mata hanya berupa tax intensif atau tax itu salah besar. Jadi bisa ditunjukkan bahwa pemerintah melakukan reregulasi, melakukan deregulasi, atau meregulasi sehingga menurunkan cost of taxation itu juga sama dengan supply side tax policy . Sehingga setiap bentuk dan kebijakan yang pada akhirnya mengurangi beban pajak, itulah supply side tax policy . Berbicara mengenai implikasi, seperti yang kita ketahui telah terjadi kegaduhan politik, di satu sisi sebagai wajib pajak yang baik, diskresi yang berlebihan tetapi juga bukan berarti menenangkan. Karena kita tidak mengetahui bagaimana sebetulnya fenomena gunung es, bagaimana sebetulnya akar masalah yang sebenarnya, sehingga apakah selama 12 tahun hanya tiga kali penerimaan pajak itu dapat mencapai target, salah satunya disebabkan oleh ketidakjelasan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
www.mahkamahkonstitusi.go.id Badan/Lembaga yang berkompeten dalam pengaturan kegiatan jasa dimaksud. ii Tujuan mencantumkan frasa jasa lain diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan pada Pasal 23 ayat (2) adalah: a. Untuk mengantisipasi perubahan sosial ekonomi dan tehnologi yang tumbuh berkembang dengan cepat dalam bermacam corak kegiatan masyarakat yang berpotensi timbulnya jasa baru, agar jangan menimbulkan ketidakadilan; misalnya karena belum tercantum dalam Undang-Undang , maka ketentuan pajak terkait tidak dapat diterapkan. b. Jika dicantumkan lengkap dalam pasal-pasal Undang-Undang , apabila ada perubahan/penambahan jenis jasa, maka untuk menampungnya harus dengan mengubah Undang-Undang . Sedangkan untuk proses penyelesaian pembuatan Undang-Undang memerlukan waktu cukup lama. Sebagai contoh, Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009, setelah 3 tahun baru dapat diselesaikan. Dengan penjelasan tersebut di atas, dibukanya kesempatan menentukan jenis jasa lain dalam Pasal 23 ayat (2) adalah untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan bahwa terhadap semua jasa yang belum disebut dalam pasal terkait, dapat segera diberlakukan kewajiban pajak sama dengan yang diberlakukan terhadap jasa lain yang sudah disebut sebelumnya dalam pasal Undang-Undang. Resume-6; Pada prinsipnya semua penghasilan atau setiap tambahan kemampuan ekonomi yang diterima Wajib Pajak adalah objek pajak [Pasal 4 ayat (1)], termasuk atas pemakaian jasa yang mendapat imbalan dan menjadi penghasilan bagi pemberi jasa adalah objek Pajak Penghasilan, kecuali yang dikecualikan berdasarkan Pasal 3, Pasal 4 atau pasal lain dalam UU Pajak Penghasilan. Pengenaan pajak dengan ketentuan Pasal 23 ayat (2) adalah cara memotong pajak dan tidak menambah jumlah beban pajak bagi wajib pajak. Dalam hal pelaksanaan Pasal 23 ayat (2) yang dikemukakan Pemohon menimbulkan kerugian bagi Pemohon, hal ini tidak akan terjadi sepanjang Pemohon Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
www.mahkamahkonstitusi.go.id pembayar pajak, DPR memberikan persetujuan atas RUU Pajak melalui prosedur rapat dan sidang resmi. Persetujuan itu mencerminkan kemauan dan kesanggupan rakyat atas pungutan pajak. PPh dipungut berdasar UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 36 Tahun 2008 (UUPPh). Dipungut dengan UU artinya telah disetujui para wakil rakyat (termasuk pemohon uji materi). Agar selalu dinamis dan aplikabel, dari Undang-Undang harus fleksibel dapat disesuaikan dengan kegiatan ekonomi dan bisnis, hukum, akuntansi, teknologi informasi dan administrasi pemerintahan yang berkembang terus, dinamis selalu berubah. Kriteria dinamis dan fleksibel menimbulkan hambatan pengaturan segala sesuatu secara rinci dan detil tentang pajak dalam dari Undang-Undang yang memerlukan waktu mengubahnya. Penyesuaian UU pajak dengan dinamika ekonomi dari ekstraktif, ke manufaktur, jasa, teknologi informasi, knowhow dan digitalisasi, dimensi lokal, regional dan global perlu waktu, biaya, sumber daya dan proses politik; Ketentuan dalam UU Pajak merupakan rumusan umum suatu aturan. Sebagai manusia biasa, para perumus tentu kurang mampu memprediksi apa yang akan terjadi dalam kehidupan ekonomi, sosial, budaya dan politik yang penuh perubahan dan perkembangan secara cepat di kemudian hari sehingga menyisakan celah pengaturan yang dapat dimanfaatkan pemburu rente pajak dengan berbagai rekayasa transaksi, legal artifisial, dan akuntansi yang kurang sejalan dengan maksud dan tujuan UU (Mertokusumo, 1985). Wiarda dan Portalis (disitir Irfan Fachrudin, 2004) menyatakan bahwa dari Undang-Undang selalu tidak sempurna karena pembuatnya tidak dapat mengestimasi segala sesuatu yang akan terjadi di kemudian hari. Walaupun nampak lengkap, dari Undang-Undang tidak pernah rampung karena ribuan masalah dapat saja diajukan ke pengadilan (Mertokusumo, 1985). Demikian pula, walaupun nampak jelas, dari Undang- Undang dapat saja tidak lengkap dan tuntas dalam mengatur segala sesuatu dan hal ikhwal perpajakan, karena jumlah teknik, metode, sifat, jenis dan variasi kegiatan subjek pajak tidak terbilang, berubah terus, dan kadang penuh rekayasa. dari Undang-Undang yang sudah ditetapkan tidak dapat diubah dengan cepat menyesuaikan dinamika alamiah subjek pajak yang tidak pernah berhenti mengembangkan kegiatan ekonomi, sosial budaya yang akan selalu menimbulkan subjek, objek, hal ikhwal, dan fenomena perpajakan baru. Dalam rangka efisiensi beban pajak, beberapa WP mencari loopholes ketentuan pajak; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
Pengujian Pasal 27 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan ...
Relevan terhadap
dilaksanakan, sehingga Pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya dalam melaksanakan fungsi pemerintahan. - Berdasarkan dari pengertian pajak, sebagaimana diuraikan oleh banyak ahli. Intinya, harus dipenuhi beberapa unsur, yang ini sifatnya adalah compulsory payment . Pertama , pajak dipungut oleh negara, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah berdasarkan Undang-Undang serta peraturan pelaksanaannya. Kedua , pungutan pajak mengisyaratkan adanya alih dana atau sumber daya dari sektor swasta atau wajib pajak, pembayar pajak ke sektor negara atau pemungut pajak, atau administrator pajak. Pungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan Pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun bangunan. Kemudian, tidak dapat ditunjukkan adanya imbalan atau kontra prestasi individual oleh Pemerintah terhadap pembayar pajak yang dilakukan oleh para wajib pajak. Berfungsi budgete r untuk mengisi kas negara atau anggaran negara yang diperoleh untuk menutup pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan. Pajak juga berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi dan sosial. - Sehubungan dengan tipologi pajak yang telah diuraikan di atas maka kewajiban pembayaran kepabeanan berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan oleh subjek hukum privat, baik itu orang ( natuurlijke persoon ) maupun badan hukum perdata ( rechtspersoon ) memiliki karakter sebagai pajak. - Pemungutan bea masuk adalah pemungutan pajak negara terhadap barang-barang yang dimasukkan ke dalam daerah pabean, atau impor, atau kegiatan pemasukan barang-barang yang melintasi batas wilayah negara atau pabean. Mengutip tesis Edi Sutarto dari Undip, ketentuan atau peraturan yang mengatur tentang pemungutan tersebut merupakan ketentuan perpajakan. Kewajiban kepabeanan yang memiliki karakter sebagai suatu pajak, tentunya memerlukan pengaturan dalam suatu norma hukum khusus yang bersifat komprehensif dalam Undang-Undang Kepabeanan. Namun sekaligus, norma hukum di bidang kepabeanan yang diatur di dalamnya harus bersifat koheren dan memiliki sinkronisasi dengan berbagai peraturan perundang-undangan lain, khususnya di bidang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
Pengujuan UU 47 tahun 2009 tentang APBN TA 2010 terhadap UUD 1945
Relevan terhadap
bunga kredit program sebesar Rp.16.474,5 miliar; (6) subsidi pajak ditanggung pemerintah (DTP) sebesar Rp.8.183,6 miliar. Catatan: Menurut pemerintah, subsidi adalah alokasi anggaran yang diberikan kepada perusahaan/lembaga yang memproduksi, menjual, mengekspor, atau mengimpor barang dan jasa, yang memenuhi hajat hidup orang banyak sedemikian rupa, sehingga harga jualnya dapat dijangkau oleh masyarakat. Subsidi energi adalah alokasi anggaran yang diberikan kepada bahan-bakar minyak dan tenaga listrik, sehingga harga jualnya terjangkau masyarakat yang membutuhkan. B. NORMA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 SEBAGAI ALAT UJI Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. IV. ALASAN PERMOHONAN (posita): (1) Penjelasan kerugian hak konstitusional Pemohon . Sumber : LKPP APBN 2004-2014 Dep. Keuangan (Bukti P-5) Walaupun sebagian besar “masyarakat” tidak setuju kalau subsidi BBM dan subsidi listrik dicabut, tetapi Pemohon melihat kebijakan subsidi BBM dan subsidi listrik sejak tahun 2004 sampai sekarang tahun 2016 (12 tahun) tidak memberikan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
Pengembalian Bea Masuk yang Telah Dibayar atas Impor Barang dan Bahan untuk Diolah, Dirakit, atau Dipasang pada Barang Lain dengan Tujuan untuk Dieksp ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Undang-Undang Kepabeanan adalah Undang-Undang Nomor 1 0 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 7 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 0 Tahun 1 995 tentang Kepabeanan.
Undang-Undang Cukai adalah Undang-Undang Nomor 1 1 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.
Kemudahan Impor Tujuan Ekspor Pengembalian, yang selanjutnya disebut KITE Pengembalian adalah pengembalian Bea Masuk yang telah dibayar atas impor a.tau pemasukan Barang dan Bahan yang berasal dari luar daerah pabean untuk Diolah, Dirakit, atau Dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor. t www.jdih.kemenkeu.go.id 4. Kemudahan Impor Tujuan Ekspor Pembebasan, yang selanjutnya disebut KITE Pembebasan, adalah pembebasan Bea Masuk, serta Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai clan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terutang tidak dipungut atas impor atau pemasukan Barang dan Bahan yang berasal dari luar daerah pabean untuk Diolah, Dirakit, atau Dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor.
Bea Masuk adalah pungutan Negara berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan yang dikenakan terhadap barang yang diim por.
Bea Masuk Tambahan adalah tambahan atas Bea Masuk seperti Bea Masuk antidumping, Bea Masuk imbalan, Bea Masuk tindakan pengamanan, dan Bea Masuk pembalasan.
Perusahaan KITE Pengembalian adalah badan usaha yang ditetapkan sebagai penenma fasilitas KITE Pen gem balian.
Perusahaan KITE Pembebasan adalah badan usaha yang ditetapkan sebagai penerima fasilitas KITE Pembebasan.
Barang dan Bahan adalah barang dan bahan baku, termasuk bahan penolong dan bahan pengemas yang:
diimpor; atau
dimasukkan dari Tempat Penimbunan Berikat, Kawasan Be bas dan/atau kawasan ekonomi khusus yang berasal dari luar daerah pabean, dengan fasilitas KITE Pengembalian, untuk Diolah, Dirakit, atau Dipasang pada barang lain untuk menjadi barang Hasil Produksi yang mempunyai nilai tambah. 1 0. Diolah adalah dilakukan pengolahan untuk menghasilkan barang Hasil Produksi yang mempunym nilai tambah. 1 1. Dirakit adalah dilakukan perakitan dan/atau penyatuan sehingga menghasilkan barang Hasil Produksi yang mempunyai nilai tambah.
Dipasang adalah dilakukan pemasangan, pelekatan, dan/atau penggabungan dengan barang lain sehingga menghasilkan barang Hasil Produksi yang mempunyai nilai tambah. 1 3. Hasil Produksi adalah hasil pengolahan, perakitan, atau pemasangan Barang dan Bahan.
Konversi adalah suatu pernyataan dari Perusahaan KITE Pengembalian mengenai komposisi pemakaian Barang dan Bahan untuk setiap satuan Hasil Produksi. 1 5. Tempat Penimbunan Berikat adalah bangunan, tempat, atau kawasan yang memenuhi persyaratan tertentu yang digunakan untuk menimbun barang dengan tujuan tertentu dengan mendapatkan penangguhan Bea Masuk.
Gudang Berikat adalah Tempat Penimbunan Berikat untuk menimbun barang impor, dapat disertai 1 (satu) atau lebih kegiatan berupa pengemasan/pengemasan kembali, penyortiran, penggabungan (kitting), pengepakan, penyetelan, pemotongan, atas barang barang tertentu dalam jangka waktu tertentu untuk dikeluarkan kembali. 1 7. Kawasan Berikat adalah Tempat Penimbunan Berikat untuk menimbun barang impor dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah pabean guna Diolah atau digabungkan sebelum cliekspor atau diimpor untuk dipakai.
Tempat Penyelenggaraan Pameran Berikat adalah Tempat Penimbunan Berikat untuk menimbun barang impor dalam jangka waktu tertentu, dengan atau tanpa barang dari dalam Daerah Pabean untuk dipamerkan. 1 9. Pusat Logistik Berikat adalah Tempat Penimbunan Berikat untuk menimbun barang asal luar daerah pabean dan/atau barang yang berasal dari tern pat lain dalam daerah pabean, dapat disertai 1 (satu) atau lebih kegiatan sederhana dalam jangka waktu tertentu untuk dikeluarkan kembali. 2 0. Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, yang selanjutnya disebut Kawasan Bebas adalah suatu I www.jdih.kemenkeu.go.id kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari daerah pabean sehingga bebas dari Bea Masuk, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Cukai.
Mitra Utama Kepabeanan yang selanjutnya disebut MITA Kepabeanan adalah importir dan/atau eksportir yang diberikan pelayanan khusus di bidang kepabeanan.
Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan dan Undang-Undang Cukai.
Kantor Wilayah adalah Kantor Wilayah di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Kantor Pelayanan Utama yang selanjutnya disingkat KPU adalah Kantor Pelayanan Utama di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean sesuai dengan ketentuan Undang Undang Kepabeanan dan Undang-Undang Cukai.
Sistem Komputer Pelayanan adalah sistem komputer yang digunakan oleh Kantor Wilayah, KPU, dan Kantor Pabean dalam rangka pengawasan dan pelayanan kepabeanan.
Perusahaan KITE Pengembalian da pat mensubkontrakka n seb agian dari kegiatan pengol ahan, perakitai1, d an/ at.au pemaSaI1g an Bar ang d an B ahan kepada penerima subkontrak y ang tercantum d al am data kepu tusan penetapan seba g ai Perusahaan KITE Pengembalian.
Atas pengeluaran Barang dan Bahan dalam rangka subkontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (3) pemasukan kembali hasil peker j aan subkontrak ke Perusahaan, tidak dikenai Paj ak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pa j ak Pen j ualan atas Barang Mewah. Perusahaan KITE mensubkontrakkan seluruh Pengem balian dapat kegiatan pengolahan, perakitan, dan/atau pemasangan atas kelebihan kontrak yang tidak dapat diker j akan karena keterbatasan kapasitas pro duksi kepada penerima subkontrak yang tercantum dalam data keputusan penetapan sebagai Perusahaan KITE Pengembalian, dengan ketentuan:
berstatus perusahaan terbuka yang sebagian atau seluruh sahamnya dimiliki oleh masyarakat;
telah mendapatkan pengakuan sebagai operator ekonomi bersertifikat (authoriz ed economic oper a tor );
merupakan importir yang telah ditetapkan sebagai MITA Kepabeanan; atau
selain sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf c, dengan kategori risiko rendah, dengan persetujuan kepala Kantor Wilayah atau KPU penerbit keputusan penetapan sebagai Perusahaan KITE Pen gem balian.
Dalam hal Perusahaan KITE Pen gem balian mensubkontrakkan kegiatan pengolahan, perakitan, dan/atau pemasangan kepada penerima subkontrak yang belum tercantum dalam keputusan penetapan sebagai Perusahaan KITE Pengembalian, Perusahaan KITE Pengembalian wa j ib:
menga jukan permohonan terlebih dahulu kepada kepala Kantor Wilayah atau KPU yang menerbitkan keputusan penetapan sebagai Perusahaan KITE Pengembalian; atau
menyampaikan pemberitahuan penambahan penerima subkontrak kepada kepala Kantor Wilayah atau KPU yang menerbitkan keputusan penetapan sebagai Perusahaan KITE Pengembalian, bagi perusahaan KITE Pengem balian yang telah mendapatkan pengakuan sebagai operator ekonomi bersertifikat (author iz ed economic oper ator) dan / a tau importir yang telah ditetapkan sebagai MITA Kepabeanan.
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b disampaikan secara elektronik.
Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a atau pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b tidak dapat disampaikan secara elektronik, permohonan atau disampaikan secara tertulis kepada Wilayah atau KPU. pemberitahuan kepala Kantor (7) Atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a, kepala Kantor Wilayah atau KPU memberikan persetujuan atau penolakan paling lama:
5 (lima) jam setelah permohonan diterima secara lengkap, dalam hal permohonan disampaikan secara elektronik; atau
3 (tiga) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap, dalam hal permohonan disampaikan secara tertulis.
Persetujuan kegiatan subkontrak kepada penerima subkontrak yang belum tercantum dalam keputusan penetapan sebagai Perusahaan KITE Pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a atau pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b hanya berlaku untuk 1 (satu) kali kontrak.
Dalam hal subkontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) akan dilakukan secara tetap dan/atau berulang, Perusahaan KITE Pengembalian harus mengajukan perubahan data penerima subkontrak dalam keputusan penetapan sebagai Perusahaan KITE Pengembalian. I www.jdih.kemenkeu.go.id Pasal 1 3 (1) Perusahaan KITE Pengembalian dapat mensubkontrakkan kegiatan pengolahan, perakitan, dan/atau pemasangan kepada penerima subkontrak di luar daerah pabean, dengan persetu j uan kepala Kantor Wilayah atau KPU yang menerbitkan keputusan penetapan sebagai Perusahaan KITE Pengembalian.
Kegiatan subkontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam hal secara teknis pekerjaan subkontrak tersebut tidak dapat dikerjakan di dalam daerah pabean atau tidak dapat memenuhi standar mutu apabila dikerjakan di dalam daerah pabean, yang dibuktikan dengan surat pernyataan dari perusahaan.
Atas impor kembali hasil pekerj aan subkontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
dilakukan pemeriksaan fisik;
diberikan fasilitas KITE Pengembalian dalam hal dapat dibuktikan barang yang diimpor kembali merupakan barang yang disubkontrakkan ke luar daerah pabean; dan
atas bagian-bagian (parts) pengganti atau ditambahkan, serta biaya penger j aannya termasuk ongkos angkutan dan asuransi, berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai impor kembali barang yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerJ aan, dan penguJian.
Ekspor untuk kegiatan subkontrak kepada penenma subkontrak di luar daerah pabean dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai ekspor.
I mpor kembali hasil pekerjaan subkontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengeluaran barang impor untuk dipakai.
Alokasi Kurang Bayar dan Lebih Bayar Dana Bagi Hasil Pajak Tahun Anggaran 2011 dan Tahun Anggaran 2012. ...
Relevan terhadap
Alokasi Lebih Bayar Dana Bagi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan Tahun Anggaran 2012 sebesar Rp19.125.683.866,00 (sembilan belas miliar seratus dua puluh lima juta enam ratus delapan puluh tiga ribu delapan ratus enam puluh enam rupiah), terdiri atas:
Alokasi Lebih Bayar Dana Bagi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan Bagian Pemerintah Pusat yang dibagikan secara merata kepada seluruh kabupaten dan kota sebesar Rp15.415.370.257,00 (lima belas miliar empat ratus lima belas juta tiga ratus tujuh puluh ribu dua ratus lima puluh tujuh rupiah); dan
Alokasi Lebih Bayar Dana Bagi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan yang dibagikan sebagai Insentif kepada kabupaten dan kota sebesar Rp3.710.313.609,00 (tiga miliar tujuh ratus sepuluh juta tiga ratus tiga belas ribu enam ratus sembilan rupiah).
Rincian alokasi Lebih Bayar Dana Bagi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk masing-masing kabupaten/kota tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Alokasi Kurang Bayar Dana Bagi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan Tahun Anggaran 2012 sebesar Rp16.506.819.828,00 (enam belas miliar lima ratus enam juta delapan ratus sembilan belas ribu delapan ratus dua puluh delapan rupiah), terdiri atas:
Alokasi Kurang Bayar Dana Bagi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan Bagian Pemerintah Pusat yang dibagikan secara merata kepada seluruh kabupaten dan kota, dan yang dibagikan sebagai Insentif kepada kabupaten dan kota sebesar Rp2.557.561.679,00 (dua miliar lima ratus lima puluh tujuh juta lima ratus enam puluh satu ribu enam ratus tujuh puluh sembilan rupiah);
Alokasi Kurang Bayar Dana Bagi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan Bagian Daerah sebesar Rp12.867.771.177,00 (dua belas miliar delapan ratus enam puluh tujuh juta tujuh ratus tujuh puluh satu ribu seratus tujuh puluh tujuh rupiah); dan
Alokasi Kurang Bayar Dana Bagi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan untuk Biaya Pemungutan Bagian Daerah sebesar Rp1.081.846.972,00 (satu miliar delapan puluh satu juta delapan ratus empat puluh enam ribu sembilan ratus tujuh puluh dua rupiah).
Rincian alokasi Kurang Bayar Dana Bagi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan Bagian Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a untuk masing-masing kabupaten/kota tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Tahun, No.1852 5 (3) Rincian alokasi Kurang Bayar Dana Bagi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan Bagian Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b untuk masing-masing provinsi dan kabupaten/kota tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Rincian alokasi Kurang Bayar Dana Bagi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan untuk Biaya Pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c untuk masing-masing provinsi dan kabupaten/kota tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pedoman Pelaksanaan Analisis Jabatan di Lingkungan Kementerian Keuangan
Pengurangan Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Penundaan Pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 Tahun 2013 Bagi Wajib Pajak Industri Tertentu. ...
Relevan terhadap
bahwa dalam rangka menjaga stabilitas ekonomi makro dan mendorong pertumbuhan ekonomi pada tingkat yang realistis sehubungan dengan terjadinya gejolak pada pasar keuangan dan nilai tukar rupiah, dan untuk meningkatkan daya saing industri nasional baik yang berorientasi domestik maupun ekspor, serta untuk mendukung program Pemerintah dalam upaya penciptaan dan penyerapan lapangan kerja, perlu diberikan kebijakan Pajak Penghasilan untuk meringankan dan menjaga likuiditas bagi Wajib Pajak industri tertentu;
bahwa sesuai ketentuan Pasal 25 ayat (6) huruf f Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan dalam hal terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak;
bahwa sesuai ketentuan Pasal 9 ayat (4) Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat memberikan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran Pajak termasuk kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, yang pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu ditetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pengurangan Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Penundaan Pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 Tahun 2013 Bagi Wajib Pajak Industri Tertentu;
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.05/2012 tentang Mekanisme Pengelolaan Hibah Millennium Challenge Corporation ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Millennium Challenge Corporation Amerika Serikat yang selanjutnya disingkat MCC adalah sebuah lembaga yang dibentuk Pemerintah Amerika Serikat untuk menyalurkan hibah dengan misi mengurangi kemiskinan global melalui pendekatan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Hibah Millennium Challenge Corporation yang selanjutnya disebut Hibah MCC adalah hibah yang diberikan oleh MCC kepada Pemerintah Indonesia berdasarkan Grant Agreement Millennium Challenge Compact between The United States of America acting through the Millennium Challenge Corporation and The Republic of Indonesia dengan Nomor Register 72200201.
Satuan Kerja Pengelola Hibah MCC adalah satuan kerja di lingkungan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang mengelola dana Hibah MCC.
Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga yang selanjutnya disingkat RKA K/L adalah dokumen rencana keuangan tahunan kementerian negara/lembaga yang disusun menurut Bagian Anggaran kementerian negara/lembaga. 5. Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya clisingkat DIPA aclalah clokumen pelaksanaan anggaran yang digunakan se bagai acuan Pengguna Anggaran dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan sebagai pelaksanaan Anggaran Penclapatan dan Belanja Negara (APBN).
Kantor Pelayanan Perbenclaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jencleral Perbendaharaan yang memperoleh kuasa dari Bendahara Umum Negara untuk melaksanakan fungsi kuasa Benclahara Umum Negara.
Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran kementerian negara/lembaga.
Kuasa PA yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa clari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan clan tanggung jawab penggunaan anggaran pacla kementerian negara/lembaga yang bersangkutan.
Pengelola Barang aclalah pejabat yang berwenang clan bertanggung jawab menetapkan kebijakan clan pecloman serta melakukan pengelolaan Barang Milik Negara.
Pengguna Barang aclalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan Barang Milik Negara.
Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya clisingkat PPK aclalah pejabat yang cliberi kewenangan oleh KPA untuk mengambil keputusan clan/ atau tinclakan yang clapat mengakibatkan pengeluaran atas be ban APBN.
Pejabat Penancla Tangan Surat Perintah Membayar yang selanjutnya clisebut PPSPM aclalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk melakukan pengujian atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah pembayaran. t'v 13. Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah suatu dokumen yang diterbitkan oleh PPK yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara.
Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA.
Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disebut SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku kuasa Bendahara Umum Negara untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM.
Surat Pernyataan Tanggung Jawab Belanja yang selanjutnya disebut SPTB adalah pernyataan tanggung jawab belanja yang dibuat oleh PA/KPA atas transaksi belanja sampai dengan jumlah tertentu.
Surat Ketetapan Penggantian di Bidang Pajak dan/atau Kepabeanan yang selanjutnya disebut SKP2K adalah surat yang ditetapkan oleh KPA sebagai dasar pembayaran penggantian di bidang pajak dan/atau kepabeanan.
Kontraktor Utama adalah kontraktor penyedia jasa konsultan dan pemasok (supplier) utama dari pekerjaan yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan kegiatan pemerintah yang dibiayai dengan dana Hibah MCC.
Kementerian Negara/Lembaga adalah kementerian negara/lembaga pemerintah non kementerian negara/lembaga negara.
Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
Organisasi Non Pemerintah adalah lembaga swadaya masyarakat yang melaksanakan kegiatan yang bersifat nirlaba dan berkedudukan di Indonesia. ft 2. Diantara ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 5 disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (la) dan ayat (2) diubah, sehingga Pasal 5 berbunyi sebagai berikut :