Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2024
Relevan terhadap
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2024. jdih.kemenkeu.go.id PRE SID.EN Agar setiap pengundangan penempatannya Indonesia. orang mengetahuinya, Undang-Undang dalam Lembaran memerintahkan ini dengan Negara Republik Disahkan di Jakarta pada tanggal 16 Oktober 2023 ttd. JOKO WIDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 16 Oktober 2023 MENTER! SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd. PRATIKNO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2023 NOMOR 140 I. UMUM PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2023 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2024 Pemulihan perekonomian Indonesia semakin menguat dan berkualitas pada tahun 2023. Pemerintah secara resmi mencabut kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat pada tanggal 30 Desember 2022, yang diikuti pencabutan status pandemi di Indonesia pada tanggal 21 Juni 2023. Pencabutan tersebut berdampak positif terhadap performa perekonomian domestik pada semester I tahun 2023 karena aktivitas perekonomian kembali berjalan seperti keadaan prapandemi. World Health Organization juga secara resmi mencabut status pandemi COVID-19 pada tanggal 5 Mei 2023 sehingga pemulihan ekonomi pascapandemi di harapkan akan lebih terakselerasi. Namun, berbagai risiko global masih tereskalasi. Tingkat inflasi di negara maju masih berada di atas target jangka menengah - panjang, sehingga tingkat suku bunga diperkirakan tetap berada di level tinggi untuk jangka waktu yang lama (higher for longery. Agresivitas pengetatan moneter terutama di negara maju berdampak pada volatilitas sektor keuangan, meningkatkan beban utang negara berkembang, serta menekan aktivitas ekonomi global. Kinerja pertumbuhan ekonomi beberapa negara pada triwulan II tahun 2023 cenderung menguat seperti Amerika Serikat dan Tiongkok, meskipun Eropa masih menunjukan kontraksi. Sementara itu, beberapa indikator terkini menunjukkan situasi yang belum membaik, seperti Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur dan perdagangan intemasional yang tertahan di zona kontraksi. Meskipun terdapat risiko transmisi dari tekanan ekonomi global kepada perekonomian domestik, fundamental ekonomi makro Indonesia masih sehat dan berdaya tahan di tengah gejolak global yang tengah terjadi. Laju inflasi Indonesia masih jauh lebih moderat dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Eropa, India, Australia, Filipina, dan Singapura. Indonesia mencatatkan laju pertumbuhan ekonomi lebih dari 5% (lima persen) dalam 7 (tujuh) kuartal berturut-turut. Bahkan neraca perdagangan mencatatkan surplus selama 38 (tiga puluh delapan) bulan berturut-turut. Pencapaian ini berhasil menempatkan Indonesia kembali sebagai negara berpenghasilan menengah ke atas yang sebelumnya dicapai di tahun 2020. Selain itu, Indonesia juga berhasil melakukan konsolidasi fiskal dengan kembali kepada defisit kurang dari 3% (tiga persen) Produk Domestik Bruto yang dapat dilakukan di tahun 2022 atau lebih cepat 1 (satu) tahun dari target semula di tahun 2023. Karena itu, arah dan strategi kebijakan APBN tahun 2024 didesain untuk mendorong reformasi struktural dalam rangka percepatan transformasi ekonomi. Dalam rangka mendukung transformasi tersebut, kebijakan APBN tahun 2024 didorong agar lebih sehat dan berkelanjutan melalui: (i) optimalisasi pendapatan dengan tetap menjaga iklim investasi dan keberlanjutan dunia usaha; (ii) penguatan kualitas belanja negara yang efisien, fokus terhadap program prioritas, dan berorientasi pada output/ outcome (spending _bettery; _ dan (iii) mendorong pembiayaan yang prudent, inovatif, dan berkelanjutan. Dengan berpijak pada kebijakan reformasi struktural dan transformasi ekonomi, serta memperhitungkan berbagai risiko ekonomi global dan potensi pertumbuhan ekonomi nasional di tahun depan, maka asumsi indikator ekonomi makro di tahun 2024 ditargetkan sebagai berikut. Pertumbuhan ekonomi tahun 2024 ditargetkan mencapai 5,2% (lima koma dua persen). Pertumbuhan ekonomi tahun depan akan ditopang oleh stabilitas perekonomian di tahun 2023 dan akselerasi transformasi ekonomi. Terjaganya konsumsi domestik serta kinerja perdagangan intemasional Indonesia diperkirakan akan menguat yang akan mendorong terjaganya pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2024. Daya beli masyarakat diharapkan tetap terjaga seiring dengan semakin terkendalinya laju inflasi domestik, sedangkan kinerja ekspor diharapkan menguat seiring dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi global serta kebijakan hilirisasi yang akan meningkatkan nilai tambah produk-produk eskpor Indonesia. Sementara itu, investasi diperkirakan tetap terjaga seiring dengan dukungan Pemerintah dalam mendukung sektor-sektor terkait termasuk kebijakan hilirisasi mineral. Stabilitas kondisi politik dan sosial di tengah gelaran Pemilu dan Pilkada serentak tahun 2024 akan berperan krusial dalam mendorong aktivitas investasi. Inflasi akan tetap terjaga pada tingkat 2,8% (dua koma delapan persen), didukung oleh daya beli masyarakat yang kuat dan kebijakan pengelolaan energi dan pangan yang semakin efisien. Rupiah diperkirakan akan mencapai RplS.000,00 (lima belas ribu rupiah) per dollar Amerika Serikat, dan suku bunga Surat Berharga Negara 10 tahun ditargetkan sebesar 6,7% (enam koma tujuh persen), didukung oleh perbaikan kondisi ekonomi global dan domestik yang mendorong kepercayaan asing dan arus modal masuk ke Indonesia. Harga minyak mentah Indonesia diperkirakan akan mencapai 82 (delapan puluh dua) dollar Amerika Serikat per barel. Lifting minyak dan gas bumi diperkirakan masing-masing mencapai 635.000 (enam ratus tiga puluh lima ribu) barel dan 1.033.000 (satu juta tiga puluh tiga ribu) barel setara minyak per hari. Pemerintah akan terus melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan produksi hulu migas nasional. Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2024 diposisikan untuk:
mencapai target-target pembangunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024, (2) menyukseskan rangkaian pemilihan umum tahun 2024, dan (3) menciptakan pembangunan yang lebih baik pada tahun akhir pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024 sebagai fondasi yang kokoh dalam melanjutkan estafet pembangunan pada periode 2025-2029. Terna Rencana Kerja Pemerintah diarahkan untuk menjaga kesinambungan dan konsistensi pembangunan tahunan, serta sebagai upaya untuk membaurkan dinamika perubahan lingkungan yang terjadi secara tahunan ke dalam scenario pembangunan dalam Rencana Kerja Pemerintah, dengan tetap memperhatikan koridor Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional. Pemerintah berkomitmen untuk mengembalikan trajectory pertumbuhan ekonomi dan indikator makro lainnya pada kondisi prapandemi COVID-19. Sebagai upaya mewujudkan hal tersebut, Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2024 tetap mendorong transformasi ekonomi sebagai game changer menuju Indonesia Maju. Transformasi ekonomi berorientasi pada peningkatan produktivitas, terutama dalam peningkatan nilai tambah di dalam dan antarsektor ekonomi, dan pergeseran tenaga kerja dari sektor informal yang bernilai tambah relative rendah menuju sektor formal yang bernilai tambah tinggi sehingga mendorong peningkatan pertumbuhan potensial jangka panjang. Peningkatan produktivitas juga diarahkan untuk menciptakan pembangunan inklusif dan berkelanjutan melalui pertumbuhan dan perkembangan ekonomi; pemerataan pendapatan dan pengurangan kemiskinan; dan perluasan akses dan kesempatan kerja. Penyusunan tema Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2024 dengan mempertimbangkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024, arahan Presiden, hasil evaluasi pembangunan tahun 2022, evaluasi kebijakan tahun 2023, forum konsultasi publik, kerangka ekonomi makro, agenda Pemilu Tahun 2024, dan dinamika ketidakpastian global serta isu strategis lainnya yang menjadi perhatian. Memperhatikan beberapa koridor tersebut maka tema pembangunan Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2024 ditetapkan, yaitu "Mempercepat Transformasi Ekonomi yang Inklusif dan Berkelanjutan". Berdasarkan tema dan sasaran pembangunan Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2024, ditetapkan delapan arah kebijakan pembangunan nasional tahun 2024, serta strategi yang melekat pada masing-masing arah kebijakan sebagai berikut:
Pengurangan kemiskinan dan penghapusan kemiskinan ekstrem, dilaksanakan melalui strategi: (a) memanfaatkan dan memutakhirkan data Registrasi Sosial Ekonomi untuk peningkatan akurasi program perlindungan sosial, (b) konvergensi pelaksanaan program-program perlindungan sosial, (c) intervensi kolaboratif untuk penanggulangan kemiskinan, (d) peningkatan kesejahteraan petani dan nelayan, dan (e) peningkatan kualitas konsumsi pangan;
Peningkatan kualitas pelayanan pendidikan dan kesehatan, dilaksanakan melalui strategi: (a) memperkuat penyelenggaraan tata kelola kependudukan, (b) reformasi sistem perlindungan sosial, (c) meningkatkan pelayanan kesehatan menuju cakupan kesehatan semesta, (d) meningkatkan pemerataan layanan pendidikan berkualitas, (e) meningkatkan kualitas anak, perempuan, dan pemuda, dan (f) meningkatkan produktivitas dan daya saing;
Revitalisasi industri dan penguatan riset terapan, dilaksanakan melalui strategi: (a) meningkatkan daya saing dan kompleksitas industri yang didukung percepatan hilirisasi dan penguatan rantai pasok, serta (b) menyediakan iklim yang kondusif dalam penyusunan riset nasional;
Penguatan daya saing usaha, dilaksanakan melalui strategi: (a) meningkatkan kualitas teknologi informasi, (b) meningkatkan nilai tambah dan daya saing ekonomi, (c) mewujudkan investasi yang berkualitas melalui penciptaan iklim investasi yang ramah dan kondusif, (d) meningkatkan daya saing Usaha Mikro Kecil dan Menengah dan Koperasi, serta (e) meningkatkan modernisasi dan penerapan korporasi untuk daya saing pertanian dan kelautan perikanan;
Pembangunan rendah karbon dan transisi energi, dilaksanakan melalui strategi: (a) melaksanakan pembangunan rendah karbon di lima sektor prioritas (energi berkelanjutan, pengelolaan lahan berkelanjutan, industri hijau, pengelolaan limbah dan ekonomi sirkular, serta karbon biru dan pesisir); (b) konservasi lahan produktif; (c) menguatkan transisi energi melalui pemerataan akses energi berkeadilan; serta (d) meningkatkan layanan tenaga listrik yang merata, berkualitas, berkelanjutan dan berkeadilan, serta perluasan pemanfaatan;
Percepatan pembangunan infrastruktur dasar dan konektivitas, dilaksanakan melalui strategi: (a) meningkatkan akses rumah tangga terhadap perumahan dan permukiman layak huni dan aman, dalam konteks pencegahan maupun pengentasan permukiman kumuh, (b) meningkatkan ketahanan air di tingkat wilayah sungai melalui penerapan pendekatan Simpan Air, Jaga Air, dan Hemat Air, (c) meningkatkan sinergi dan kolaborasi pengelolaan sumber daya air dengan berbagai agenda pembangunan ekonomi dan meningkatkan ketahanan kebencanaan di setiap wilayah, (d) meningkatkan SOM, sarana dan prasarana layanan keselamatan dan keamanan transportasi, dan (e) meningkatkan konektivitas untuk mendukung kegiatan ekonomi dan aksesibilitas menuju pusat pelayanan dasar dan daerah tertinggal, terluar, terdepan, dan perbatasan (3 TP);
Percepatan pembangunan lbu Kota Nusantara, dilaksanakan melalui strategi: (a) membangun gedung pemerintahan dan hunian, dan (b) membangun infrastruktur utama; dan
Pelaksanaan Pemilu tahun 2024, dilaksanakan melalui strategi: (a) mendorong terwujudnya tahapan pemilu/ pemilihan sesuai jadwal, (b) meningkatkan kualitas penyelenggaraan kepemiluan, (c) mengamankan penyelenggaraan Pemilu tahun 2024, dan (d) mendukung penyelenggaraan Pemilu di luar negeri. Prioritas Nasional (PN) dalam Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2024 adalah:
Memperkuat Ketahanan Ekonomi untuk Pertumbuhan yang Berkualitas dan Berkeadilan;
Mengembangkan Wilayah untuk Mengurangi Kesenjangan dan Menjamin Pemerataan;
Meningkatkan Sumber Daya Manusia Berkualitas dan Berdaya Saing;
Revolusi Mental dan Pembangunan Kebudayaan;
Memperkuat Infrastruktur untuk Mendukung Pengembangan Ekonomi dan Pelayanan Dasar;
Membangun Lingkungan Hidup, Meningkatkan Ketahanan Bencana dan Perubahan Iklim; serta (7) Memperkuat Stabilitas Polhukhankam dan Transforrnasi Pelayanan Publik. Prioritas Nasional ini dapat di jelaskan lebih lanjut sebagai berikut: Prioritas Nasional 1, Memperkuat Ketahanan Ekonomi untuk Pertumbuhan yang Berkualitas dan Berkeadilan diarahkan untuk mendorong peningkatan produktivitas untuk transformasi ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Pelaksanaannya difokuskan pada pemenuhan kebutuhan energi dengan mengutamakan peningkatan energi baru terbarukan; peningkatan kuantitas/ketahanan air untuk mendukung pertumbuhan ekonomi; peningkatan ketersediaan, akses, dan kualitas konsumsi pangan; peningkatan pengelolaan kemaritiman, perikanan dan kelautan; penguatan kewirausahaan, Usaha Mikro Kecil dan Menengah, dan koperasi; peningkatan nilai tambah, lapangan kerja, dan investasi di sektor riil, dan industrialisasi; peningkatan ekspor bernilai tambah tinggi dan penguatan tingkat komponen dalam negeri; serta penguatan pilar pertumbuhan dan daya saing ekonomi. Prioritas Nasional 2, Mengembangkan Wilayah untuk Mengurangi Kesenjangan dan Menjamin Pemerataan diarahkan untuk percepatan transformasi sosial dan ekonomi; penguatan rantai produksi dan rantai nilai di tingkat wilayah untuk meningkatkan .keunggulan kompetitif perekonomian wilayah; memperkuat integrasi perekonomian domestik dan meningkatkan kualitas pelayanan dasar untuk mengurangi ketimpangan pembangunan antarwilayah; serta meningkatkan sinergi pemanfaatan ruang wilayah melalui strategi pembangunan. Prioritas Nasional 3, Meningkatkan Sumber Daya Manusia Berkualitas dan Berdaya Saing merupakan kunci peningkatan produktivitas untuk mendukung transformasi ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Prioritas Nasional 3 pada tahun 2024 akan diarahkan pada memperkuat penyelenggaraan tata kelola kependudukan; reformasi sistem perlindungan sosial, terutama untuk percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem; meningkatkan pelayanan kesehatan menuju cakupan kesehatan semesta; meningkatkan pemerataan layanan pendidikan berkualitas; meningkatkan kualitas anak, perempuan dan pemuda; mengentaskan kemiskinan, difokuskan pada penguatan akses penduduk miskin dan rentan terhadap aset produktif, pemberdayaan usaha, dan akses pembiayaan untuk mendukung akselerasi peningkatan ekonomi bagi penduduk miskin dan rentan; serta meningkatkan produktivitas dan daya saing. Prioritas Nasional 4, Revolusi Mental dan Pembangunan Kebudayaan memiliki kedudukan penting dalam pembangunan nasional untuk mewujudkan negara-bangsa yang maju, modern, unggul, dan berdaya saing. Pelaksanaan Prioritas Nasional 4 akan difokuskan untuk: memperkuat pelaksanaan Gerakan Nasional Revolusi Mental dan pembinaan Ideologi Pancasila; memperkuat pemajuan kebudayaan untuk mengembangkan nilai luhur budaya bangsa dan meningkatkan kesejahteraan rakyat; mengembangkan moderasi beragama untuk memperkuat kerukunan dan harmoni sosial; serta mengembangkan budaya literasi, kreativitas, dan inovasi dalam upaya meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan. Prioritas Nasional 5, Memperkuat Infrastruktur untuk Mendukung Pengembangan Ekonomi dan Pelayanan Dasar difokuskan pada pemenuhan infrastruktur pelayanan dasar; peningkatan konektivitas untuk mendukung percepatan transformasi ekonomi; mendukung pembangunan inklusif dan berkelanjutan terutama di wilayah tertinggal, terpencil, · terluar dan perbatasan, serta penyediaan layanan dan pembangunan infrastruktur konektivitas yang merata; peningkatan layanan infrastruktur perkotaan; pembangunan energi dan ketenagalistrikan dalam mendukung transisi energi untuk menuju sistem energi rendah karbon; dan pembangunan dan pemanfaatan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi, serta pendorong ( enablery teknologi informasi dan komunikasi dalam pertumbuhan ekonomi sebagai bagian dari transformasi digital. Prioritas Nasional 6, Membangun Lingkungan Hidup, Meningkatkan Ketahanan Bencana, dan Perubahan Iklim difokuskan pada upaya menjaga kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk menopang produktivitas dan kualitas kehidupan masyarakat dalam rangka menuju transformasi ekonomi hijau yang inklusif dan berkelanjutan; serta pembangunan yang berorientasi pada pencegahan, pengurangan risiko, dan tangguh bencana. Pembangunan lingkungan hidup, ketahanan bencana, dan perubahan iklim diarahkan pada kebijakan pengurangan dan penanggulangan beban pencemaran untuk meningkatkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, terutama penanganan limbah bahan berbahaya dan beracun medis pascapandemi COVID-19; penguatan budaya dan kelembagaan yang bersifat antisipatif, responsif dan adaptif untuk membangun resiliensi berkelanjutan dalam menghadapi bencana; serta peningkatan capaian penurunan emisi dan intensitas emisi gas rumah kaca dengan fokus penurunan emisi gas rumah kaca di sektor lahan, industri, dan energi. Prioritas Nasional 7, Memperkuat Stabilitas Polhukhankam dan Transformasi Pelayanan Publik. Pembangunan bidang politik, hukum, pertahanan, dan keamanan diarahkan antara lain pada: pelaksanaan pemilihan umum dan pemilihan serentak tahun 2024 diarahkan pada penyelenggaraan pemilihan yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan jadwal; pembangunan kebebasan dan kesetaraan serta kapasitas lembaga demokrasi yang substantial; peningkatan kualitas komunikasi publik; mendukung pelaksanaan pembangunan bidang hukum untuk mewujudkan supremasi hukum dan peningkatan akses terhadap keadilan; mewujudkan pelayanan publik yang berkualitas, dilakukan perbaikan tata kelola dan birokra~i; serta pembangunan bidang pertahanan dan keamanan. Agar prioritas sasaran pembangunan nasional dan prioritas nasional lainnya tersebut dapat tercapai, Pemerintah perlu melakukan reformasi baik dari sisi pendapatan dan belanja, serta melakukan berbagai inovasi untuk pembiayaan defisit APBN Tahun Anggaran 2024. Oleh sebab itu, konsolidasi dan reformasi fiskal harus terus dilakukan secara menyeluruh, bertahap, dan terukur. Dimulai dari penguatan sisi penerimaan negara, perbaikan sisi belanja dan pengelolaan pembiayaan yang prudent dan hati- hati, untuk mewujudkan pengelolaan fiskal yang lebih sehat, berdaya tahan, dan mampu menjaga stabilitas perekonomian ke depan. Reformasi fiskal di sisi penerimaan dijalankan melalui optimalisasi pendapatan yang ditempuh melalui penggalian potensi, perluasan basis perpajakan, peningkatan kepatuhan wajib pajak, dan optimalisasi pengelolaan aset serta inovasi layanan. Dengan demikian, rasio perpajakan dapat meningkat untuk penguatan ruang fiskal, dengan tetap menjaga iklim investasi dan keberlanjutan dunia usaha serta melindungi daya beli masyarakat. Di sisi belanja, reformasi dijalankan melalui penguatan belanja agar lebih berkualitas dengan penguatan spending better. Upaya yang ditempuh melalui pengendalian belanja agar lebih efisien, lebih produktif, dan menghasilkan multiplier effect yang kuat terhadap perekonomian serta efektif untuk mendukung program-program pembangunan prioritas dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Inovasi di sisi pembiayaan difokuskan untuk mendorong pembiayaan yang kreatif dalam pembangunan infrastruktur dengan melibatkan partisipasi swasta melalui Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha, penguatan peran Lembaga Pengelola Investasi, serta pendalaman pasar obligasi negara yang mengedepankan prinsip kehati-hatian. Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang APBN Tahun Anggaran 2024 dilakukan Dewan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Nomor 1169 /DPD RI/I/2023-2024, tanggal 7 September 2023. Pembahasan Undang-Undang ini dilaksanakan oleh Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XI/2013 tanggal 22 Mei 2014. II. PASAL DEMI PASAL
Bea Meterai
Relevan terhadap
Ayat (1) Kondisi perekonomian nasional dan pendapatan masyarakat antara lain dapat ditunjukkan dari tingkat pertumbuhan ekonomi, inflasi, investasi, penerimaan negara, danf atau daya beli masyarakat. Ayat (2) Kondisi perekonomian nasional dan pendapatan masyarakat antara lain dapat ditunjukkan dari tingkat pertumbuhan ekonomi, inflasi, investasi, penerimaan negara, danf atau daya beli masyarakat. Ayat (3) Sebagai contoh pengenaan tarif tetap yang berbeda, misalnya atas Dokumen surat berharga dapat dikenai Bea Meterai dengan tarif tetap yang berbeda dari tarif yang berlaku berdasarkan kebutuhan pelaksanaan kebijakan sektor keuangan dalam rangka inklusi keuangan atau pendalaman pasar keuangan. Ayat (a) Yang dimaksud dengan "Dewan Perwakilan Ralryat Republik Indonesia" adalah komisi yang membidangi keuangan dan perbankan. Pasal 7 Huruf a Dalam rangka menunjang kegiatan lalu lintas orang dan barang, maka atas Dokumen-dokumen yang terkait lalu lintas orang dan barang tidak dikenai Bea Meterai. Angka 1 Cukup ^jelas. Angka 2 Konosemen adalah surat muatan kapal atau surat keterangan (pengantar) barang yang diangkut dengan kapal. Angka 3 Cukup ^jelas. Angka 4 Cukup ^jelas. Angka 5 Angka 5 Cukup ^jelas. Angka 6 Yang dimaksud dengan "surat lainnya" adalah surat yang tidak disebut pada angka 1 sampai dengan angka 5. Namun, karena isi dan kegunaannya dapat disamakan dengan surat dimaksud, maka surat yang demikian ini tidak dikenai Bea Meterai. Misalnya, surat titipan barang, ceel gudang, dan manifes penumpang. Huruf b Termasuk dalam pengertian ijazah adalah surat tanda tamat belajar, tanda lulus, surat keterangan telah mengikuti suatu pendidikan, pelatihan, kursus, penataran, dan yang sejenisnya. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Cukup ^jelas. Huruf f Cukup ^jelas. Huruf g Dokumen yang menyebutkan simpanan uang mencakup Dokumen yang berisi pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam simpanan nasabah di rekening di bank, koperasi, dan badan lainnya yang menYelenggarakan penyimpanan uang dan/atau berisi pemberitahuan saldo atas simpanan tersebut. Dokumen yang menyebutkan simpanan surat berharga mencakup pula Dokumen yang berisi pembukuan, penyimpanan, kepemilikan, atau pemberitahuan saldo surat berharga nasabah di kustodian. Yang dimaksud dengan "kustodian" adalah kustodian sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pasar modal. Contoh Dokumen simpanan uang di bank antara lain berrrpa tabungan dan giro. Contoh Dokumen simpanan surat berharga di kustodian antara lain statement of account. Huruf h Huruf h Cukup ^jelas. Huruf i Cukup ^jelas. Huruf j Yang dimaksud dengan "Dokumen yang diterbitkan atau dihasilkan oleh Bank Indonesia dalam rangka pelaksanaan kebijakan moneter" antara lain Dokumen penerbitan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Sertifikat Diskonto Bank Indonesia (SDBI), repurchase agreement (Repol dan reuerse repurchase agreement surat berharga, Dokumen swap termasuk swap lindung nilai, Dokumen transaksi USD Repo, Dokumen pembelian wesel ekspor berjangka, serta Dokumen penempatan bedangka.
Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Kebutuhan Mendesak yang Berlaku pada Badan Informasi Geospasial ...
Relevan terhadap
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG JENIS DAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK KEBUTUHAN MENDESAK YANG BERLAKU PADA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL. Pasal 1 (1) Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak kebutuhan mendesak yang berlaku pada Badan Informasi Geospasial meliputi penerimaan dari:
jasa pelatihan geospasial;
jasa penggunaan sarana dan prasarana pendidikan dan pelatihan geospasial;
jasa penggunaan infrastruktur teknologi informasi geospasial;
j asa penggunaan alat pengumpulan data geospasial;
jasa penyelenggaraan informasi geospasial; dan
layanan produk informasi geospasial.
Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 2 (1) Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari jasa pelatihan geospasial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a dan jasa penyelenggaraan informasi geospasial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf e tidak termasuk biaya akomodasi dan transportasi. (2) Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari jasa penggunaan alat pengumpulan data geospasial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf d tidak termasuk biaya asuransi peralatan, akomodasi dan transportasi. (3) Biaya asuransi peralatan, akomodasi dan transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dibebankan kepada wajib bayar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 3 (1) Jenis layanan produk informasi geospasial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf f selain yang ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Menteri ini, dapat berupa:
layanan penggunaan aplikasi berbasis informasi geospasial dasar;
layanan informasi geospasial tematik pada pemerintahan untuk melengkapi layanan pengurusan perizinan di kementerian/lembaga/ pemerintah daerah;
layanan informasi geospasial untuk pemutakhiran dan perhitungan pajak bumi dan bangunan pemerintah daerah; dan
data geospasial dasar yang digunakan untuk pembuatan peta dasar. (2) Formula untuk menghitung tarif layanan produk informasi geospasial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut:
layanan penggunaan aplikasi berbasis informasi geospasial dasar ( ( Y1 + Y2 + • • • + Yn))n = BM01GD X 1 + n b. layanan informasi geospasial tematik pada pemerintahan untuk melengkapi layanan pengurusan perizinan di kementerian/lembaga/ pemerintah daerah ( ( Y1 + Y2 + • • • Yn))n = BMOPTMK x LT x 1 + n c. layanan informasi geospasial untuk pemutakhiran dan perhitungan pajak bumi dan bangunan pemerintah daerah ( ( Y1 + Y2 + • .. _Y: _ ))n BMOPsAG X (LT+ LB) x 1 + n n d. data geospasial dasar yang digunakan untuk pembuatan peta dasar berupa data Receiver Independent Exchange Format (RINEX) Indonesia Continuously Operating Reference Station (Ina- CORS) dan data Real Time Kinematic (RTK) Online Correction ( ( Y1 + Y2 + • • • + Yn))n = BMOcoRs x 1 + n (3) Perhitungan formula sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
BM0 1 Gv merupakan biaya modal dan operasional yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan layanan penggunaan aplikasi berbasis informasi geospasial dasar. b. BMOPTMK merupakan biaya modal dan operasional yang dibu tuhkan dalam penyelenggaraan layanan informasi geospasial tematik pada pemerintahan untuk melengkapi layanan pengurusan perizinan di kementerian/lembaga/ pemerintah daerah. c. BMOPsAG merupakan biaya modal dan operasional yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan layanan informasi geospasial untuk pemutakhiran dan perhitungan pajak bumi dan bangunan pemerintah daerah. d. BMOcoRs merupakan biaya modal dan operasional yang dibutuhkan dalam pembuatan peta dasar berupa data Receiver Independent Exchange Format (RINEX) Indonesia Continuously Operating Reference Station (Ina-CORS) dan data Real Time Kinematic (RTK) Online Correction. e. Y 1 ^+ ^Y 2 ^+ · · · + Yn meru pakan nilai inflasi sebagaimana tercantum dalam undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara pada tahun pertama, kedua dan seterusnya. f. n merupakan selisih tahun penetapan tarif baru dengan tahun penetapan tarif terakhir. g. LT merupakan luas tanah berdasarkan data sertifikat tanah atau bukti kepemilikan tanah lainnya; dan
LB merupakan luas bangunan berdasarkan data informasi geospasial tematik. (4) Besaran BM0 1 Gv, BMOPTMK, BMOpsAG dan BMOcoRs sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Kepala Badan Informasi Geospasial. Pasal 4 (1) Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak berupa jasa penyelenggaraan informasi geospasial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf e dan layanan produk informasi geospasial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf f selain:
deskripsi jaring kontrol geodesi;
data hasil pengukuran pasang surut; dan
pengolahan data geospasial dapat dilaksanakan oleh Mitra Instansi Pengelola Penerimaan Negara Bukan Pajak yang ditunjuk sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Pendapatan yang berasal dari penyelenggaraan layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk pengembalian atas investasi Mitra Instansi Pengelola Penerimaan Negara Bukan Pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Dalam hal terdapat kelebihan pendapatan yang berasal dari penyelenggaraan layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah dikurangi pengembalian atas investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kelebihan pendapatan yang berasal dari penyelenggaraan layanan menjadi imbal jasa untuk Mitra Instansi Pengelola Penerimaan Negara Bukan Pajak dan bagian pemerintah yang merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak. (4) Penunjukan dan penugasan Mitra Instansi Pengelola Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk besaran pengembalian atas investasi sebagaiman~ dimaksud pada ayat (2), serta besaran imbal jasa untuk Mitra Instansi Pengelola Penerimaan Negara Bukan Pajak dan bagian pemerintah yang merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dalam bentuk perjanjian kerja sama antara Badan lnformasi Geospasial dengan Mitra Instansi Pengelola Penerimaan Negara Bukan Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan. Pasal 5 (1) Dengan pertimbangan tertentu, tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) dapat dikenakan tarif sampai dengan Rp0,00 (nol rupiah) atau 0% (nol persen). (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran, persyaratan dan tata cara pengenaan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 6 Seluruh Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Badan Informasi Geospasial wajib disetor ke Kas Negara. Pasal 7 Evaluasi atas tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak dilaksanakan berdasarkan:
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Penerimaan Negara Bukan Pajak; dan/atau
hasil reviu Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan terhadap kebutuhan biaya dan tren layanan selama masa penugasan Mitra Instansi Pengelola Penerimaan Negara Bukan Pajak. Pasal 8 Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan.
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan
Relevan terhadap
Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Penyelenggaraan Jalan Tol mempermudah mobilitas orang dan distribusi logistik, khususnya produk rakyat ke pusat industri dan pengolahan, baik di pusat maupun daerah. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Daerah potensial yang belum berkembang perlu diprioritaskan aksesibilitasnya sehingga perlu mengundang partisipasi Badan Usaha untuk berinvestasi. Huruf f Ayat (2) Untuk meningkatkan dan memberdayakan perekonomian masyarakat salah satunya dilakukan dengan mengakomodasi usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah dalam pengusahaan tern pat istirahat dan pelayanan Jalan Tol. Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan "pengembangan Jaringan Jalan Tol" adalah pembangunan ruas Jalan Tol baru dalam Jaringan Jalan Tol untuk mendukung pengembangan wilayah sesuai dengan rencana tata ruang wilayah. Ayat (5) Cukup jelas. jdih.kemenkeu.go.id Angka 31 Pasal 47 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dalam penetapan rencana umum Jaringan Jalan Tol diutamakan pengembangan wilayah dan peningkatan perekonomian daerah sehingga perencanaan pembangunan Jalan Tol harus dipersiapkan secara matang dan terstruktur, paling sedikit dalam bentuk koridor. Ayat (3) Penetapan suatu ruas Jalan Tol dilakukan oleh Pemerintah Pusat bersamaan dengan penandatanganan perjanjian pengusahaan Jalan Tol. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 32 Pasal 48 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Pengaruh laju inflasi digunakan perhitungan evaluasi dan penyesuaian dengan formula sebagai berikut: Tarif baru = tarif lama (1 +inflasi). Keterangan dalam tarif Tol Inflasi = data inflasi wilayah yang bersangkutan dari Badan Pusat Statistik. Penyesuaian tarif tol ditentukan 2 (dua) tahun sejak penetapan terakhir tarif Tol. Huruf b Cukup jelas. jdih.kemenkeu.go.id Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Angka 33 Pasal 50 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" adalah kondisi pada saat tidak ada Badan U saha yang berminat ikut dalam pengusahaan Jalan Tol, antara lain, disebabkan oleh ketidaklayakan pembangunan Jalan Tol secara finansial walaupun secara ekonomi layak. Yang dimaksud dengan "mengambil kebijakan" adalah pelaksanaan Pembangunan Jalan Tol seluruhnya atau sebagian oleh Pemerintah Pusat dan selanjutnya pengoperasian dan preservasi dilakukan oleh Badan Usaha. Ayat (8) Cukup jelas. jdih.kemenkeu.go.id Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) Cukup jelas. Ayat (11) Cukup jelas. Ayat (12) Cukup jelas. Ayat (13) Cukup jelas. Ayat (14) Cukup jelas. Ayat (15) Cukup jelas. Ayat (16) Cukup jelas. Angka 34 Pasal 51A Ayat (1) SPM Jalan Tol merupakan ukuran tingkat pelayanan keamanan dan kenyamanan yang harus selalu dipenuhi. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan "kondisi J alan Tol" adalah kondisi pada perkerasan jalur utama, drainase, median, bahu jalan, dan ketentuan lain yang terkait dengan persyaratan teknis Jalan Tol. Huruf b Yang dimaksud dengan "prasarana keselamatan dan keamanan" adalah petunjuk Jalan, penerangan Jalan Umum, antisilau, pagar ruang milik Jalan, pagar pengaman, fasilitas penanganan kecelakaan, fasilitas pengamanan dan penegakan hukum, dan segala sesuatu yang menunjang keselamatan dan keamanan. jdih.kemenkeu.go.id Huruf c Ayat (3) Yang dimaksud dengan "prasarana pendukung layanan" adalah unit pertolongan/penyelamatan dan bantuan pelayanan, tempat istirahat dan pelayanan, dan segala sesuatu yang mendukung layanan Jalan Tol, termasuk waktu tanggap dalam penanganan hambatan lalu lintas. Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 51B Cukup jelas. Angka 35 Pasal 52 SK No 134299 A Ayat (1) Ketentuan ini dimaksudkan bahwa keberadaan Jalan Tol yang berdampingan langsung dengan Jalan Umum yang ada pada salah satu sisi akan menyulitkan akses pengguha dalam memasuki Jalan Umum dari sisi Jalan Tol tersebut sehingga lebih efektif menempatkan Jalan Tol di tengah Jalan Umum yang ada. Badan Usaha menyediakan Jalan pengganti dengan kapasitas paling sedikit sama dengan kapasitas Jalan Umum sebelum Jalan Tol itu dibangun. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. jdih.kemenkeu.go.id Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 36 Pasal 52A Cukup jelas. Angka 37 Pasal 55 Cukup jelas. Angka 38 Pasal 56A Ayat (1) Yang dimaksud dengan "akses masuk dan keluar Jalan Tol" adalah Jalan penghubung dari Jalan utama pada Jalan Tol sampai dengan pertemuan Jalan non-Tol. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Angka 39 Pasal 57 Cukup jelas. Cukup jelas. Angka 40 Pasal 57A Ayat (1) Jalan khusus, antara lain, ialah:
Jalan dalam kawasan perkebunan;
Jalan dalam kawasan pertanian;
Jalan dalam kawasan kehutanan, termasuk Jalan dalam kawasan konservasi;
Jalan dalam kawasan peternakan;
Jalan dalam kawasan pertambangan;
Jalan dalam kawasan pengairan;
Jalan dalam kawasan pelabuhan laut, pelabuhan perikanan, dan bandar udara; jdih.kemenkeu.go.id h. Jalan dalam kawasan militer;
Jalan dalam kawasan industri;
Jalan dalam kawasan perdagangan;
Jalan dalam kawasan pariwisata;
Jalan dalam kawasan perkantoran;
Jalan dalam kawasan berikat;
Jalan dalam kawasan pendidikan;
Jalan dalam kawasan permukiman yang belum diserahkan kepada Penyelenggara Jalan Umum; dan
Jalan sementara pelaksanaan konstruksi. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "badan usaha tidak berbadan hukum" adalah commanditaire vennootschap (persekutuan komanditer), firma, dan persekutuan perdata. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 57B Ayat (1) Kewajiban membangun Jalan untuk mencegah kerusakan digunakan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Khusus dimaksudkan Jalan Umum yang jdih.kemenkeu.go.id Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 57C Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud "pembinaan teknis" adalah penjelasan tentang persyaratan teknis Jalan dan pedoman teknis pembangunan Jalan untuk Jalan Umum yang meliputi teknis geometrik Jalan, teknis perkerasan Jalan, teknis bangunan pelengkap Jalan, dan teknis perlengkapan Jalan. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 57D Ayat (1) Jalan Khusus dapat berubah menjadi Jalan Umum apabila memenuhi syarat sebagai Jalan Umum, seperti memenuhi kriteria geometrik dan perkerasan Jalan Umum, serta laik fungsi Jalan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan "ketentuan peraturan perundang-undangan" adalah ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keuangan dan perbendaharaan negara. jdih.kemenkeu.go.id
Tarif Tol dihitung berdasarkan kemampuan bayar pengguna Jalan, besar keuntungan biaya operasi kendaraan, dan kelayakan investasi.
TarifTol sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang besarannya tercantum dalam perjanjian pengusahaan Jalan Tol ditetapkan bersamaan dengan penetapan pengoperasian Jalan dimaksud sebagai Jalan Tol.
Evaluasi dan penyesuaian tarif Tol dilakukan setiap 2 (dua) tahun sekali berdasarkan:
pengaruh laju inflasi; dan
evaluasi terhadap pemenuhan SPM Jalan Tol. jdih.kemenkeu.go.id (4) Selain evaluasi dan penyesuaian tarif Tol yang dilakukan setiap 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (3), evaluasi dan penyesuaian dapat dilakukan dalam hal:
pemenuhan pelayanan lalu lintas pada sistem jaringan Jalan Tol di wilayah tertentu dengan memperhatikan kapasitas Jalan Tol;
terdapat penambahan lingkup di luar rencana usaha yang mempengaruhi kelayakan investasi; dan/atau
terdapat kebijakan Pemerintah Pusat yang mempengaruhi kelayakan investasi Jalan Tol.
Dalam hal tingkat kelayakan finansial Jalan Tol pada mas a operasi mele bihi tingkat kelayakan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, kelebihan tingkat kelayakan finansial merupakan penerimaan negara bukan pajak yang akan dipergunakan untuk pengembangan jaringan Jalan Tol sebagai bentuk pelayanan kepada masyarakat yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan setelah dilakukan audit oleh lembaga yang berwenang di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan.
Pemberlakuan tarif Tol sebagaimana dimaksud pada ayat (1), evaluasi dan penyesuaian tarif tol setiap 2 (dua) tahun sekali sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dan evaluasi dan penyesuaian tarif tol selain setiap 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan oleh Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tarif Tol dan penyesuaian tarif Tol sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (7) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pengelolaan Insentif Fiskal Tahun Anggaran 2024 untuk Penghargaan Kinerja Tahun Sebelumnya
Relevan terhadap
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENGELOLAAN INSENTIF FISKAL TAHUN ANGGARAN 2024 UNTUK PENGHARGAAN KINERJA TAHUN SEBELUMNYA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas- batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3. Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. 4. Kepala Daerah adalah gubernur bagi Daerah provinsi atau bupati bagi Daerah kabupaten atau wali kota bagi Daerah kota. 5. Daerah Tertinggal adalah Daerah kabupaten yang wilayah serta masyarakatnya kurang berkembang dibandingkan dengan Daerah lain dalam skala nasional. 6. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. 7. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang. selanjutnya disingkat APED adalah rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan dengan peraturan Daerah. 8. Transfer ke Daerah yang selanjutnya disingkat TKD adalah dana yang bersumber dari APBN dan merupakan bagian dari belanja negara yang dialokasikan dan disalurkan jdih.kemenkeu.go.id mendanai penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. 9. Insentif Fiskal adalah dana yang bersumber dari APBN yang diberikan kepada Daerah atas pencapaian Kinerja berdasarkan kriteria tertentu berupa perbaikan dan/atau pencapaian Kinerja pemerintahan daerah antara lain pengelolaan keuangan daerah, pelayanan umum pemerintahan, pelayanan dasar, dukungan terhadap kebijakan strategis nasional, dan/atau pelaksanaan kebijakan fiskal nasional. 10. Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi bendahara umum negara. 11. Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BA BUN adalah bagian anggaran yang tidak dikelompokkan dalam bagian anggaran kementerian negara/lembaga. 12. Rencana Kerja dan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKA BUN adalah dokumen rencana keuangan tahunan dari BUN yang memuat rincian kegiatan, anggaran, dan target kinerja dari pembantu pengguna anggaran BUN, yang disusun menurut BA BUN. 13. Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat PPA BUN adalah unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan bertanggungjawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN. 14. Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat KPA BUN adalah pejabat pada satuan kerja dari masing-masing PPA BUN baik di kantor pusat maupun kantor Daerah atau satuan kerja di kementerian negara/lembaga yang memperoleh penugasan dari Menteri Keuangan untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN. 15. Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat DIPA BUN adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh KPA BUN. 16. Indikasi Kebutuhan Dana Transfer ke Daerah yang selanjutnya disebut Indikasi Kebutuhan Dana TKD adalah indikasi dana yang perlu dianggarkan dalam rangka pelaksanaan TKD. 17. Rekening Kas Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKUN adalah rekening tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku BUN untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara pada bank sentral. 18. Rekening Kas Umum Daerah yang selanjutnya disingkat RKUD adalah rekening tempat penyimpanan uang Daerah yang ditentukan oleh Kepala Daerah untuk menampung seluruh penerimaan Daerah dan membayar seluruh pengeluaran Daerah pada bank yang ditetapkan. 19. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. jdih.kemenkeu.go.id 20. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat J enderal Perbendaharaan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada kepala kantor wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan. 21. Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh pejabat pembuat komitmen, yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara. 22. Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh pejabat penandatangan surat perintah membayar untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA. 23. Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku kuasa BUN untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM. 24. Verifikasi adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan dan kesesuaian formil dokumen persyaratan penyaluran Insentif Fiskal. 25. Administrator Pusat adalah pegawai negeri sipil yang bertugas untuk melakukan penelitian terhadap persyaratan penyaluran Insentif Fiskal. 26. Administrator Daerah adalah aparatur sipil negara Daerah yang ditugaskan untuk mengelola, menyusun, dan menyampaikan persyaratan penyaluran Insentif Fiskal. Pasal 2 Ruang lingkup Peraturan Menteri ini meliputi pengelolaan Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya. BAB II PEJABAT PERBENDAHARAAN NEGARA PENGELOLAAN INSENTIF FISKAL Pasal 3 (1) Dalam rangka pengelolaan Insentif Fiskal, Menteri selaku Pengguna Anggaran BUN Pengelola TKD menetapkan:
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan sebagai pemimpin PPA BUN Pengelola TKD;
Direktur Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sebagai KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan;
Kepala KPPN sebagai KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan; dan
Direktur Pelaksanaan Anggaran sebagai koordinator KPA BUN Penyaluran TKD. (2) Kepala KPPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan Kepala KPPN yang wilayah kerjanya meliputi Daerah provinsi/kabupaten/kota penerima alokasi Insentif Fiskal. jdih.kemenkeu.go.id (3) Dalam ha! pejabat yang ditetapkan sebagai KPA BUN Pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berhalangan, Menteri menunjuk Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai pelaksana tugas KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan. (4) Dalam ha! pejabat yang ditetapkan sebagai KPA BUN Penyaluran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berhalangan, Menteri menunjuk pejabat pelaksana tugas/pelaksana harian Kepala KPPN sebagai pelaksana tugas KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan. (5) Keadaan berhalangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), merupakan suatu keadaan yang menyebabkan pejabat definitifyang ditetapkan sebagai KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan/atau KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c:
tidak terisi dan menimbulkan lowongan jabatan. b. masih terisi namun pejabat definitif yang ditetapkan sebagai KPA BUN tidak dapat melaksanakan tugas. (6) Pejabat pelaksana tugas KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan Pejabat pelaksana tugas KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), memiliki kewenangan dan tanggung jawab yang sama dengan KPA definitif. (7) Penunjukan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir dalam ha! Direktur Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan/atau Kepala KPPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c telah terisi kembali oleh pejabat definitif atau dapat melaksanakan tugas kembali sebagai KPABUN. (8) Pemimpin PPA BUN Pengelola TKD dapat mengusulkan penggantian KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan. (9) Penggantian KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) ditetapkan dengan Keputusan Menteri. jdih.kemenkeu.go.id (1) (2) Pasal 4 KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut:
mengajukan usulan Indikasi Kebutuhan Dana TKD untuk Insentif Fiskal kepada pemimpin PPA BUN Pengelola TKD yang dilengkapi dengan dokumen pendukung;
menyusun RKA BUN TKD untuk Insentif Fiskal beserta dokumen pendukung yang berasal dari pihak terkait;
menyampaikan RKA BUN TKD untuk Insentif Fiskal beserta dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam huruf b kepada Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan untuk direviu;
menandatangani RKA BUN TKD untuk Insentif Fiskal yang telah direviu oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan dan menyampaikannya kepada pemimpin PPA BUN Pengelola TKD; menyusun DIPA BUN TKD untuk Insentif Fiskal; dan menyusun dan menyampaikan rekomendasi penyaluran dan/atau penundaan Insentif Fiskal e. f. kepada KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan melalui koordinator KPA BUN Penyaluran TKD. KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut:
menetapkan pejabat pembuat komitmen dan pejabat penandatangan SPM;
menyusun proyeksi penyaluran dan rencana penarikan dana TKD untuk Insentif Fiskal;
mengawasi penatausahaan dokumen dan transaksi yang berkaitan dengan pelaksanaan penyaluran Insentif Fiskal;
menyusun dan menyampaikan laporan keuangan atas penyaluran Insentif Fiskal kepada PPA BUN Pengelola TKD melalui koordinator KPA BUN Penyaluran TKD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan;
melakukan verifikasi terhadap rekomendasi BUN Pengelola Khusus, dan f. penyaluran Insentif Fiskal dari KPA Dana Desa, Insentif, Otonomi Keistimewaan; melaksanakan penyaluran InsentifFiskal berdasarkan rekomendasi penyaluran dari KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
menyusun dan menyampaikan laporan realisasi penyaluran Insentif Fiskal kepada PPA BUN Pengelola TKD melalui koordinator KPA BUN Penyaluran TKD jdih.kemenkeu.go.id menggunakan aplikasi online monitoring sistem perbendaharaan dan anggaran negara; dan
melakukan pengisian dan menyampaikan capaian kinerja penyaluran Insentif Fiskal melalui aplikasi sistem monitoring dan evaluasi kinerja terpadu BUN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (3) Koordinator KPA BUN Penyaluran TKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut:
menyusun dan menyampaikan laporan realisasi penyaluran Insentif Fiskal kepada PPA BUN Pengelola TKD melalui aplikasi online monitoring sistem perbendaharaan dan anggaran negara;
menyusun proyeksi penyaluran Insentif Fiskal sampai dengan akhir tahun berdasarkan rekapitulasi laporan dari KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan melalui aplikasi cash planning _information network; _ dan c. menyusun dan menyampaikan konsolidasi laporan keuangan atas pelaksanaan anggaran kepada PPA BUN Pengelola TKD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 5 Pemimpin PPA BUN Pengelola TKD, KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan, KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan, serta koordinator KPA BUN Penyaluran TKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) tidak bertanggung jawab atas penggunaan Insentif Fiskal oleh Pemerintah Daerah. BAB III PENGANGGARAN Pasal 6 (1) KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan mengusulkan Indikasi Kebutuhan Dana TKD untuk Insentif Fiskal kepada pemimpin PPA BUN Pengelola TKD. (2) Indikasi Kebutuhan Dana TKD untuk Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan memperhatikan:
perkembangan dana insentif daerah dan/atau Insentif Fiskal dalam 3 (tiga) tahun terakhir;
arah kebijakan Insentif Fiskal; dan/atau
kemampuan keuangan negara. (3) Berdasarkan usulan Indikasi Kebutuhan Dana TKD untuk Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemimpin PPA BUN Pengelola TKD menyusun Indikasi Kebutuhan Dana TKD untuk Insentif Fiskal. (4) Pemimpin PPA BUN Pengelola TKD menyampaikan Indikasi Kebutuhan Dana TKD sebagaimana dimaksud pada ayat jdih.kemenkeu.go.id (2) kepada Direktur Jenderal Anggaran paling lambat bulan Februari tahun anggaran sebelumnya. (5) Penyusunan dan penyampaian Indikasi Kebutuhan Dana TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) berdasarkan Peraturan Menteri mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan. (6) Menteri menetapkan pagu indikatif Insentif Fiskal dengan mempertimbangkan Indikasi Kebutuhan Dana TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (3). BAB IV PENGALOKASIAN Pasal 7 (1) Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan penghitungan alokasi Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya berdasarkan pagu indikatif Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6). (2) Penghitungan alokasi Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan penilaian kinerja Daerah. (3) Penilaian kinerja Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada:
nilai peningkatan kinerja; dan / a tau b. nilai capaian kinerja tahun terakhir. (4) Alokasi Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibagikan kepada Daerah yang berkinerja baik. Pasal 8 Pengalokasian Insentif Fiskal setiap Daerah untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) berdasarkan:
klaster Daerah;
kriteria utama; dan
kategori kinerja. Pasal 9 (1) Klaster Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a terdiri atas:
klaster A, merupakan Daerah dengan kapasitas fiskal sangat tinggi dan tinggi menurut provinsi/kabupaten/kota, dan tidak termasuk kategori Daerah Tertinggal;
klaster B, merupakan Daerah dengan kapasitas fiskal sedang menurut provinsi/kabupaten/kota, dan tidak termasuk kategori Daerah Tertinggal;
klaster C, merupakan Daerah dengan kapasitas fiskal rendah dan sangat rendah menurut provinsi/kabupaten/kota, dan tidak termasuk kategori Daerah Tertinggal; dan jdih.kemenkeu.go.id d. klaster D, merupakan Daerah dengan kategori Daerah Tertinggal. (2) Kapasitas fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c sesuai Peraturan Menteri mengenai kapasitas fiskal Daerah. (3) Daerah Tertinggal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d sesuai Peraturan Presiden mengenai Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2020-2024. Pasal 10 (1) Kriteria utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b diatur dengan ketentuan:
klaster A menggunakan indikator:
opini wajar tanpa pengecualian atas laporan keuangan Pemerintah Daerah 5 (lima) tahun terakhir; dan
ketepatan waktu atas penetapan Peraturan Daerah mengenai APBD dalam 1 (satu) tahun terakhir. b. klaster B menggunakan indikator:
opini wajar tanpa pengecualian atas laporan keuangan Pemerintah Daerah untuk 2 (dua) tahun terakhir; dan
ketepatan waktu atas penetapan Peraturan Daerah mengenai APBD, dalam 1 (satu) tahun terakhir. c. klaster C menggunakan indikator ketepatan waktu atas penetapan Peraturan Daerah mengenai APBD, dalam 1 (satu) tahun terakhir. d. klaster D tidak menggunakan kriteria utama. (2) Ketepatan waktu atas penetapan Peraturan Daerah mengenai APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 2, huruf b angka 2, dan huruf c paling lambat tanggal 31 Desember tahun anggaran sebelumnya. Pasal 11 (1) Kategori kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c terdiri atas:
kinerja pengelolaan keuangan pemerintah;
kinerja pelayanan dasar;
kinerja dukungan terhadap fokus kebijakan nasional; dan
kinerja sinergi kebijakan pemerintah. (2) Kategori kinerja pengelolaan keuangan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri atas variabel:
tingkat kemandirian Daerah yang didasarkan pada perbandingan realisasi penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah terhadap produk domestik regional bruto non minyak dan gas bumi;
interkoneksi sistem informasi keuangan daerah; dan
sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintahan. (3) Kategori kinerja pelayanan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdiri atas variabel: jdih.kemenkeu.go.id a. bayi dibawah 2 (dua) tahun yang mendapat imunisasi lengkap;
indeks standar pelayanan minimal pendidikan;
akses sanitasi layak;
pengelolaan air minum;
penurunan tingkat pengangguran terbuka; dan
indeks pembangunan manusia. (4) Kategori kinerja dukungan terhadap fokus kebijakan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, terdiri atas variabel:
penurunan prevalensi _stunting; _ b. penurunan presentase penduduk miskin; dan
pengendalian inflasi daerah. (5) Kategori kinerja sinergi kebijakan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, terdiri atas:
kelompok inovasi, meliputi variabel:
inovasi Daerah;
inovasi pelayanan publik; dan
pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan;
kelompok pelayanan, meliputi variabel:
penghargaan pembangunan daerah;
pelayanan terpadu satu pintu dan percepatan pelaksanaan berusaha; dan
percepatan dan perluasan digitalisasi daerah; dan
kelompok integritas meliputi variabel tingkat persepsi korupsi. Pasal 12 (1) Data indikator opini wajar tanpa pengecualian atas laporan keuangan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a angka 1 dan huruf b angka 1 bersumber dari Badan Pemeriksa Keuangan. (2) Data:
indikator penetapan Peraturan Daerah mengenai APBD tepat waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a angka 2, huruf b angka 2, dan huruf c; dan
realisasi penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a bersumber dari Kementerian Keuangan. (3) Data interkoneksi sistem informasi keuangan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b merupakan hasil penilaian dari Kementerian Keuangan. (4) Data:
produk domestik regional bruto non minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a;
akses sanitasi layak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) huruf c;
penurunan tingkat pengangguran terbuka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) huruf e;
indeks pembangunan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) huruf f; dan jdih.kemenkeu.go.id e. penurunan persentase penduduk miskin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) buruf b, bersumber dari Badan Pusat Statistik. (5) Data sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) buruf c dan data inovasi pelayanan publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) buruf a angka 2 merupakan basil penilaian dari Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. (6) Data bayi di bawah 2 (dua) tabun yang mendapat imunisasi lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) buruf a dan penurunan prevalensi stunting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) buruf a bersumber dari Kementerian Kesebatan. (7) Data indeks standar pelayanan minimal pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) buruf b merupakan basil penilaian dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. (8) Data pengelolaan air minum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) buruf d merupakan basil penilaian dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. (9) Data pengendalian inflasi Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) buruf c merupakan basil penilaian Tim Pengendali Inflasi Daerab dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. (10) Data inovasi Daerab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) buruf a angka 1 merupakan basil penilaian dari Kementerian Dalam Negeri. (11) Data pengelolaan lingkungan bidup dan kebutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) buruf a angka 3 merupakan basil penilaian dari Kementerian Kebutanan dan Lingkungan Hidup. (12) Data pengbargaan pembangunan Daerab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) buruf b angka 1 merupakan basil penilaian dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. (13) Data pelayanan terpadu satu pintu dan percepatan pelaksanaan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) buruf b angka 2 merupakan basil penilaian dari Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal. (14) Data tingkat persepsi korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) buruf c merupakan basil survei penilaian integritas dari Komisi Pemberantasan Korupsi.
Penilaian kinerja untuk:
kinerja pengelolaan keuangan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) buruf a;
variabel bayi di bawab 2 (dua) tabun yang mendapat imunisasi lengkap tingkat provinsi, indeks standar pelayanan minimal pendidikan, akses sanitasi layak, pengelolaan air m1num, penurunan tingkat jdih.kemenkeu.go.id (2) (3) (4) pengangguran terbuka, dan indeks pembangunan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) huruf a sampai dengan huruf f;
variabel penurunan prevalensi stunting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) huruf a dan penurunan persentase penduduk miskin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) huruf b; dan
variabel pelayanan terpadu satu pintu dan percepatan pelaksanaan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) huruf b angka 2 dan variabel tingkat persepsi korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) huruf c, dihitung berdasarkan nilai peningkatan kinerja dan nilai capaian kinerja tahun terakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf a dan huruf b. Penilaian kinerja untuk:
variabel bayi di bawah 2 (dua) tahun yang mendapat imunisasi lengkap tingkat kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) huruf a;
variabel pengendalian inflasi daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) huruf c; dan
variabel inovasi daerah, inovasi pelayanan publik, pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan, penghargaan pembangunan daerah, dan percepatan dan perluasan digitalisasi daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) huruf a angka 1, angka 2, angka 3, huruf b angka 1, dan angka 3, dihitung berdasarkan nilai capaian kinerja tahun terakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf b. Penghitungan nilai kinerja Daerah pada kategori kinerja:
pengelolaan keuangan pemerintah variabel interkoneksi sistem informasi keuangan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b dilakukan untuk Daerah yang mendapatkan nilai capaian tahun terakhir paling rendah 95 (sembilan puluh lima). b. sinergi kebijakan pemerintah variabel pelayanan terpadu 1 (satu) pintu dan percepatan pelaksanaan berusaha sebagaimana dimaksud pada Pasal 11 ayat (5) huruf b angka 2 dilakukan terhadap Daerah yang mendapatkan nilai capaian tahun terakhir paling • rendah 80 (delapan puluh). Nilai peningkatan kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf a, dihitung sebagai berikut:
menghitung nilai peningkatan kinerja dengan rumus:
..(Data t - Data t-1) mla1 penmgkatan kinerja = . 1 . . 1 ( Keterangan: Datat Data t-1 Nilai maksimal nil a1 ma s1ma - Data t-1) data capaian tahun terakhir = data 1 (satu) tahun atau lebih sebelum Data t nilai capaian maksimal dari variabel jdih.kemenkeu.go.id (5) (6) (7) b. nilai maksimal sebagaimana dimaksud dalam huruf a untuk variabel:
tingkat kemandirian Daerah, sistem informasi keuangan daerah, sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintahan, bayi di bawah 2 (dua) tahun yang mendapat imunisasi lengkap untuk tingkat provinsi, indeks standar pelayanan minimal pendidikan, akses sanitasi layak, pengelolaan air minum, indeks pembangunan manusia, pelayanan terpadu satu pintu dan percepatan pelaksanaan berusaha, dan tingkat persepsi korupsi sebesar 100 (seratus);
penurunan prevalensi stunting, penurunan persentase penduduk miskin, dan penurunan tingkat pengangguran terbuka sebesar 0 (nol). Nilai capaian kinerja tahun terakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf b merupakan nilai capaian kinerja paling mutakhir yang tersedia untuk setiap variabel. Nilai capaian kinerja tahun terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (5) untuk variabel penurunan tingkat pengangguran terbuka, penurunan prevalensi stunting, penurunan persentase penduduk miskin, dan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) huruf e, ayat (4) huruf a, dan huruf b, dilakukan standarisasi dengan rumus: variabelii - variabelmaks ii Std variabelii = . . + 1 vanabelminij - vanabelmaksij Keterangan: Std variabelii variabelii variabelmaks ij variabelmin ij 1 J nilai standar Daerah tiap-tiap variabel dalam Klaster A/Klaster B/Klaster C/Klaster D = nilai variabel Daerah provinsi/kabupaten/kota dalam Klaster A/Klaster B/Klaster C/Klaster D = nilai maksimal Daerah provinsi/kabupaten/kota tiap-tiap variabel dalam Klaster A/Klaster B/Klaster C/Klaster D = nilai minimal provinsi/kabupaten/kota variabel dalam Klaster B/Klaster C/Klaster D = tingkat pemerintahan provinsi/kabupaten/kota Daerah tiap-tiap A/Klaster daerah = jenis Klaster A/Klaster B/Klaster C/Klaster D Nilai capaian kinerja tahun terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (5) untuk variabel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2), ayat (3) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf f, ayat (4) huruf c, dan ayat (5) dilakukan standarisasi dengan rumus: jdih.kemenkeu.go.id (8) (9) (10) . variabelij - variabelmin ij Std vanabelii = . . +1 Keterangan: Std variabelii = vanabelmaksij - vanabelminij nilai standar Daerah tiap-tiap kategori/variabel dalam 'Klaster A/Klaster B/Klaster C variabelii = nilai kategori/variabel Daerah variabelmaks ij = variabelmin ii 1 J Nilai kinerja ketentuan: provinsi/kabupaten/kota dalam Klaster A/Klaster B/Klaster C nilai maksimal provinsi/ kabupaten / kota variabel dalam Klaster B/Klaster C/Klaster D nilai minimal provinsi/ kabupaten/ kota variabel dalam Klaster B/Klaster C/Klaster D tingkat pemerintahan provinsi/ kabupaten/ kota jenis Klaster A/Klaster Daerah tiap-tiap A/Klaster Daerah tiap-tiap A/Klaster daerah B/Klaster C/Klaster D Daerah setiap variabel dihitung dengan a. variabel bayi di bawah 2 (dua) tahun yang mendapat imunisasi lengkap tingkat kabupaten/kota, pengendalian inflasi daerah, inovasi daerah, inovasi pelayanan publik, pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan, penghargaan pembangunan daerah, dan percepatan dan perluasan digitalisasi daerah dihitung dengan menggunakan nilai standar capaian kinerja tahun terakhir;
variabel tingkat kemandirian Daerah, sistem informasi keuangan daerah, sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintahan, bayi di bawah 2 (dua) tahun yang mendapat imunisasi lengkap tingkat provinsi, indeks standar pelayanan minimal pendidikan, akses sanitasi layak, pengelolaan air minum, penurunan tingkat pengangguran terbuka, indeks pembangunan manusia, penurunan prevalensi stunting, penurunan persentase penduduk miskin, pelayanan terpadu satu pintu dan percepatan pelaksanaan berusaha, dan tingkat persepsi korupsi dihitung dengan menggunakan rata-rata jumlah nilai standar peningkatan kinerja dan nilai standar capaian kinerja tahun terakhir. Nilai kategori kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c merupakan penjumlahan nilai kinerja Daerah tiap-tiap variabel pada kategori kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) sampai dengan ayat (4). Nilai kinerja tiap-tiap kelompok variabel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) dihitung dengan tahapan:
Penjumlahan nilai kinerja tiap variabel; dan jdih.kemenkeu.go.id b. Melakukan normalisasi dengan membagi nilai penjumlahan sebagaimana dimaksud pada huruf a dengan nilai maksimal penjumlahan sebagaimana dimaksud pada huruf a per klaster per provinsi/kabupaten/kota. (11) Nilai kategori kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) dihitung dengan menggunakan rumus: Nilai kategori kinerja = (30% x (nilai kinerja kelompok variabel inovasi)) + (30% x (nilai kinerja kelompok variabel pelayanan)) + (40% x (nilai kinerja kelompok variabel integritas)) Pasal 14 (1) Dalam ha! Pemerintah Daerah memiliki nilai data capaian tahun terakhir dan nilai data 1 (satu) tahun atau lebih sebelum data capaian tahun terakhir sebesar nilai maksimal pada variabel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), nilai peningkatan kinerja diberi nilai sebesar 2 (dua). (2) Dalam ha! Pemerintah Daerah memiliki nilai data capaian tahun terakhir sebesar nilai maksimal dan nilai data 1 (satu) tahun atau lebih sebelum data capaian tahun terakhir sebesar kurang dari nilai maksimal pada variabel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), nilai peningkatan kinerja diberi nilai sebesar 1 (satu). (3) Dalam ha! Pemerintah Daerah tidak memiliki data capaian tahun terakhir dan/atau nilai data 1 (satu) tahun atau lebih sebelum data capaian tahun terakhir untuk variabel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), tidak diperhitungkan nilai peningkatan kinerja. (4) Dalam ha! Pemerintah Daerah tidak memiliki nilai data capaian tahun terakhir perhitungan untuk variabel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), tidak diperhitungkan nilai capaian tahun terakhir. Pasal 15 Daerah yang mendapatkan alokasi Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 merupakan Daerah yang memenuhi ketentuan sebagai berikut:
memenuhi kriteria utama untuk klaster A, klaster B, dan klaster C sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a, huruf b dan huruf c;
mendapatkan nilai kinerja Daerah dengan peringkat terbaik untuk tiap-tiap kategori sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11;
jumlah daerah dengan peringkat terbaik untuk tiap klaster per kategori kinerja didasarkan pada proporsi jumlah daerah di tiao klaster d engan rincian: Klaster Proporsi Jumlah Daerah Jumlah Daerah Peringkat Terbaik A 30% 9 Provinsi 3 Provinsi 44 Kota 13 Kota jdih.kemenkeu.go.id 91 Kabupaten 27 Kabupaten B 25% 9 Pravinsi 2 Pravinsi 19 Kata 5 Kata 77 Kabuoaten 19 Kabuoaten C 20% 16 Pravinsi 3 Pravinsi 30 Kata 6 Kata 185 Kabuoaten 37 Kabuoaten D 30% 62 Kabupaten 19 Kabupaten Pasal 16 Penentuan alakasi Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 per Daerah dihitung dengan tahapan sebagai berikut:
nilai kinerja daerah dengan peringkat terbaik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf c dilakukan standardisasi untuk tiap klaster per kategari kinerja per daerah pravinsi/kabupaten/kata dengan menggunakan rumus:
C. nilai daerahij - nilai terendahij nilai tertinggiij - nilai terendahij Keterangan: X 0,3 + 1 1 = tingkat pemerintahan daerah pravinsi/kabupaten/ kata j = jenis Klaster A/Klaster B/Klaster C/Klaster D pagu per kategari kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pagu Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya; pagu per klaster per pravinsi/kabupaten/kata untuk tiap kategari kinerja dihitung dengan menggunakan rumus: Pagu per klaster per provinsi/kabupaten/kota Keterangan: jumlah Daerah peringkat terbaikij jumlah Daerah terbaik kategori kinerja X pagu kategori kinerja 1 = tingkat pemerintahan daerah pravinsi/kabupaten/ kata j = jenis Klaster A/Klaster B/Klaster C/Klaster D d. alakasi per Daerah per kategari kinerja dihitung dengan menggunakan rumus: Nilai kinerja daerah Pagu per I k . ah dengan peringkat terbaiku [ klaster per ) a o as, per Daer . 1 ^h .1 . ki . X . . 1 k t • ki • = JUm a m a1 nerJa prov1ns1 per a egon nerJa Daerah dengan peringkat kabupaten/ terbaikij kota Keterangan: 1 = tingkat pemerintahan daerah pravinsi/kabupaten/ kata j = jenis Klaster A/Klaster B/Klaster C/Klaster D e. alakasi Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya per Daerah merupakan penjumlahan alakasi kategari kinerja untuk tiap daerah sebagaimana dimaksud pada huruf d. jdih.kemenkeu.go.id BABV PENYALURAN Pasal 17 (1) KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan menyusun DIPA BUN TKD untuk Insentif Fiskal atau perubahan DIPA BUN TKD untuk Ins en tif Fiskal. (2) Penyusunan DIPA BUN TKD untuk Insentif Fiskal atau perubahan DIPA BUN TKD untuk Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan. Pasal 18 (1) Dalam rangka penyaluran Insentif Fiskal, KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan menyusun dan menyampaikan rekomendasi penyaluran Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f kepada KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan melalui Koordinator KPA BUN Penyaluran TKD. (2) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dengan mempertimbangkan waktu proses penerbitan SPP/SPM/SP2D BUN serta ketentuan rencana penarikan dana. (3) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan dasar bagi pejabat pembuat komitmen dan pejabat penandatangan SPM untuk melakukan penerbitan SPP atau SPM BUN penyaluran Insentif Fiskal. (4) Penerbitan SPP, SPM, dan SP2D dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri mengenai tata cara pencairan APBN bagian atas beban anggaran BUN pada KPPN. Pasal 19 (1) Penyaluran Insentif Fiskal dilaksanakan dengan cara pemindahbukuan dari RKUN ke RKUD. (2) Dalam hal terdapat perubahan atas RKUD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Daerah wajib menyampaikan permohonan perubahan RKUD kepada Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dengan dilampiri:
asli rekening koran dari RKUD; dan
salinan keputusan Kepala Daerah mengenai penunjukan bank tempat menampung RKUD. Pasal 20 (1) Penyaluran Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan secara bertahap, dengan ketentuan sebagai berikut: jdih.kemenkeu.go.id a. tahap I, disalurkan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pagu alokasi dan dilakukan paling cepat bulan Februari tahun anggaran berjalan; dan
tahap II, disalurkan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pagu alokasi dan dilakukan paling cepat bulan Juli tahun anggaran berjalan. (2) Penyaluran Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya tahap I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan setelah Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menerima:
Peraturan Daerah mengenai APBD tahun anggaran berjalan;
rencana penggunaan Insentif Fiskal; dan
laporan realisasi penyerapan Insentif Fiskal bagi Daerah yang mendapatkan Insentif Fiskal pada tahun anggaran sebelumnya, dari Pemerintah Daerah paling lambat tanggal 20 Juni tahun anggaran berjalan. (3) Penyaluran Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya tahap II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan setelah Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menerima laporan realisasi penyerapan Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya tahap I dari Pemerintah Daerah paling lambat tanggal 20 November tahun anggaran berjalan. (4) Laporan realisasi penyerapan Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya tahap I sebagaimana dimaksud pada ayat (3), menunjukkan penyerapan paling rendah 70% (tujuh puluh persen) dari dana yang diterima di RKUD. (5) Rencana penggunaan Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b ditandatangani oleh Kepala Daerah, wakil Kepala Daerah atau sekretaris Daerah. (6) Laporan realisasi penyerapan dana insentif daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan laporan realisasi penyerapan Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditandatangani oleh Kepala Daerah, wakil Kepala Daerah atau pejabat pengelola keuangan Daerah. (7) Dalam hal persyaratan penyaluran Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya belum diterima sampai dengan batas waktu tanggal 20 Juni tahun anggaran berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tanggal 20 November tahun anggaran berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya tidak disalurkan. (8) Dalam ha! tanggal 20 Juni tahun anggaran berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tanggal 20 November tahun anggaran berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bertepatan dengan hari libur atau hari yang diliburkan, penyampaian persyaratan penyaluran Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya dilakukan pada hari kerja berikutnya. jdih.kemenkeu.go.id (9) Rencana penggunaan Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, laporan realisasi penyerapan Insentif Fiskal bagi Daerah yang mendapatkan Insentif Fiskal tahun anggaran sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, dan laporan realisasi penyerapan Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya tahap I sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disusun dalam format yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 21 (1) Pemerintah Daerah menyusun dan menyampaikan laporan bulanan realisasi penyerapan Insentif Fiskal kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat tanggal 14 pada bulan berikutnya. (2) Penyampaian laporan bulanan realisasi penyerapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh pejabat pengelola keuangan Daerah. (3) Dalam hal tanggal penyampaian laporan bulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertepatan dengan hari libur atau hari yang diliburkan, penyampaian laporan bulanan dilakukan pada hari kerja berikutnya. (4) Laporan bulanan realisasi penyerapan Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dalam format yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 22 (1) Dalam rangka monitoring penggunaan sisa dana insentif daerah sampai dengan tahun anggaran 2022 dan/atau sisa Insentif Fiskal tahun anggaran 2023, Pemerintah Daerah menyampaikan laporan rencana penggunaan dan laporan realisasi penyerapan sisa dana insentif daerah dan/atau Insentif Fiskal kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan c.q. Direktur Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan. (2) Laporan rencana penggunaan dan laporan realisasi penyerapan sisa dana insentif daerah dan/ a tau Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dalam format yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 23 Dokumen:
laporan persyaratan penyaluran Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf b dan huruf c dan ayat (4);
laporan bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1); dan/atau jdih.kemenkeu.go.id C. laporan rencana penggunaan dan penyerapan sisa dana insentif daerah Fiskal laporan realisasi dan/atau Insentif disusun dan disampaikan melalui portal pada laman http: I I sikd.djpk.kemenkeu.go.idl did Pasal 24 (1) Pemerintah Daerah penerima Insentif Fiskal menyampaikan surat usulan Administrator Daerah yang memuat data pegawai yang ditugaskan untuk mengelola, menyusun, dan menyampaikan laporan pelaksanaan Insentif Fiskal kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan c.q. Direktur Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan. (2) Administrator Daerah menyusun dan menyampaikan laporan pelaksanaan Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui aplikasi sistem informasi keuangan Daerah. (3) Laporan pelaksanaan Insentif Fiskal yang telah disusun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicetak dan ditandangani dengan ketentuan sebagai berikut:
laporan rencana penggunaan Insentif Fiskal ditandangani oleh Kepala Daerah, wakil Kepala Daerah atau sekretaris Daerah;
laporan realisasi penyerapan Insentif Fiskal ditandangani oleh Kepala Daerah, wakil Kepala Daerah atau pejabat pengelola keuangan Daerah; dan
laporan bulanan realisasi penyerapan Insentif Fiskal ditandatangani oleh pejabat pengelola keuangan Daerah. (4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat ditandatangani dengan menggunakan tanda tangan elektronik atau tanda tangan basah. (5) Dalam hal laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan tanda tangan basah, laporan dimaksud dibubuhi cap dinas. (6) Laporan pelaksanaan Insentif Fiskal yang telah ditandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipindai dan diunggah dalam bentuk arsip data komputer dengan format portable document format melalui aplikasi sistem informasi keuangan Daerah. (7) Laporan yang diunggah melalui aplikasi sistem informasi keuangan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (6) selanjutnya dilakukan Verifikasi oleh Administrator Pusat. (8) Dalam hal hasil Verifikasi sebagai dimaksud pada ayat (7) menunjukkan bahwa laporan pelaksanaan Insentif Fiskal belum sesuai, Pemerintah Daerah melakukan perbaikan laporan pelaksanaan Insentif Fiskal sesuai dengan catatan Administrator Pusat. (9) Perbaikan laporan pelaksanaan Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diunggah kembali melalui aplikasi sistem informasi keuangan Daerah. (10) Laporan pelaksanaan Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan perbaikan laporan pelaksanaan Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud pada jdih.kemenkeu.go.id ayat (9) diterima paling lambat pukul 17.00 Waktu Indonesia Barat, sesuai dengan ketentuan batas waktu penyampaian tiap-tiap laporan pelaksanaan Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) serta pasal 21 ayat (1). BAB VI PENGGUNAAN Pasal 25 (1) Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 digunakan untuk mendanai kegiatan sesuai dengan prioritas dan kebutuhan Daerah yang manfaatnya diterima dan/atau dirasakan langsung oleh masyarakat dan mendukung:
pengendalian inflasi;
penurunan _stunting; _ c. peningkatan investasi; dan/atau
penurunan kemiskinan. (2) Sisa dana insentif daerah sampai dengan tahun anggaran 2022 dan/atau Insentif Fiskal Tahun Anggaran 2023 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, digunakan untuk mendanai kegiatan sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerah yang manfaatnya diterima dan/atau dirasakan langsung oleh masyarakat dan mendukung:
pengendalian inflasi Daerah;
penurunan prevalensi _stunting; _ c. peningkatan investasi;
penurunan kemiskinan;
pelayanan pendidikan; dan / a tau f. pelayanan kesehatan. (3) Dalam hal daerah:
belum memenuhi penggunaan dana insentif daerah tahun 2021 sebesar 30% bidang kesehatan dan 10% bidang pendidikan; dan/atau
belum memenuhi penggunaan dana insentif daerah tahun 2022 se besar 21 % bi dang kesehatan dan 10% bidang Pendidikan sisa dana insentif daerah tahun 2021 dan/atau tahun 2022 harus digunakan terlebih dahulu untuk memenuhi kewajiban tersebut. (4) Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan sisa dana insentif daerah dan/atau Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat digunakan untuk mendanai:
gaji, tambahan penghasilan, dan honorarium; dan
perjalanan dinas. jdih.kemenkeu.go.id BAB VII PENATAUSAHAAN,PELAPORAN,DAN PERTANGGUNGJAWABAN Pasal 26 (1) Dalam rangka pertanggungjawaban pengelolaan BA BUN TKD, pemimpin PPA Pengelolaan BUN menyusun laporan keuangan TKD sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai sistem akuntansi dan pelaporan keuangan TKD. (2) Laporan keuangan TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup pertanggungjawaban pengelolaan Insentif Fiskal. (3) Laporan keuangan TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh unit eselon II Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan yang ditunjuk selaku unit akuntansi dan pelaporan keuangan PPA BUN Pengelola TKD menggunakan sistem aplikasi terintegrasi. (4) Penatausahaan, akuntansi, dan pertanggungjawaban atas pelaksanaan anggaran, KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan menyusun laporan keuangan tingkat KPA dan menyampaikan kepada pemimpin PPA BUN Pengelola TKD melalui koordinator KPA BUN Penyaluran TKD, dengan ketentuan sebagai berikut:
laporan keuangan tingkat KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan disusun setelah dilakukan rekonsiliasi data realisasi anggaran transfer dengan KPPN selaku Kuasa BUN dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pedoman rekonsiliasi dalam rangka penyusunan laporan keuangan; dan
laporan keuangan tingkat KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan disampaikan secara berjenjang kepada PPA BUN Pengelola TKD melalui koordinator KPA BUN Penyaluran TKD sesuai dengan jadwal penyampaian laporan keuangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara penyusunan dan penyampaian laporan keuangan BUN. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan dan penyampaian laporan keuangan tingkat KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterbitkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan. (6) Dalam rangka penyusunan laporan keuangan TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), koordinator KPA BUN Penyaluran TKD menyusun dan menyampaikan laporan keuangan tingkat Koordinator KPA BUN Penyaluran TKD dengan ketentuan sebagai berikut:
laporan keuangan tingkat koordinator KPA BUN Penyaluran TKD disusun setelah dilakukan penyampaian data elektronik akrual transaksi Insentif Fiskal selain transaksi realisasi anggaran transfer ke dalam sistem aplikasi terintegrasi; dan jdih.kemenkeu.go.id b. laporan keuangan tingkat koordinator KPA BUN Penyaluran TKD disampaikan kepada PPA BUN Pengelola TKD sesuai dengan jadwal penyampaian laporan keuangan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan dengan memperhatikan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara dan penyampaian laporan keuangan BUN. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian data elektronik akrual transaksi Insentif Fiskal selain transaksi realisasi anggaran transfer, penyusunan dan penyampaian laporan keuangan tingkat Koordinator KPA BUN Penyaluran TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diterbitkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan.
(2) (3) (4) BAB VIII PEMANTAUAN DAN EVALUASI Pasal 27 Jenderal Jenderal Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Perimbangan Keuangan dan Direktorat Perbendaharaan melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pengelolaan Insentif Fiskal. Pemantauan terhadap pengelolaan Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
laporan rencana penggunaan;
penyaluran dari RKUN ke RKUD; dan
laporan realisasi penyerapan anggaran dan realisasi keluaran. Evaluasi terhadap pengelolaan Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap:
kebijakan pengalokasian Insentif Fiskal;
mekanisme penyaluran Insentif Fiskal;
realisasi penyaluran Insentif Fiskal; dan
penggunaan dan basil keluaran Insentif Fiskal. Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk penyusunan kebijakan Insentif Fiskal tahun anggaran berikutnya. BAB IX PENUNDAAN DAN/ATAU PENGHENTIAN PENYALURAN INSENTIF FISKAL Pasal 28 (1) Dalam hal Kepala Daerah penerima Insentif Fiskal melakukan tindak pidana korupsi, Menteri dapat mengajukan surat permohonan kepada lembaga penegak hukum mengenai status hukum Kepala Daerah. (2) Dalam hal Kepala Daerah ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi oleh lembaga penegak hukum, Menteri dapat:
melakukan penundaan penyaluran Insentif Fiskal pada tahun anggaran berjalan yang belum disalurkan; dan/atau jdih.kemenkeu.go.id b. melakukan penghentian penyaluran Insentif Fiskal pada tahun anggaran berjalan sebesar pagu alokasi Insentif Fiskal yang belum disalurkan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Penundaan dan/atau penghentian penyaluran Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Menteri yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan atas nama Menteri. (4) Dalam hal status tersangka Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicabut, Menteri dapat melakukan penyaluran kembali atas penundaan dan/atau penghentian penyaluran Insentif Fiskal. (5) Pencabutan status tersangka Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) didasarkan pada keterangan/penjelasan yang disampaikan oleh lembaga penegak hukum yang disampaikan sebelum tanggal 20 November tahun anggaran berjalan. (6) Dalam hal keterangan/penjelasan yang disampaikan oleh lembaga penegak hukum yang disampaikan setelah tanggal 20 November tahun anggaran berjalan, tidak dapat dilakukan penyaluran kembali atas penundaan dan/atau penghentian penyaluran Insentif Fiskal. BABX KETENTUANPENUTUP Pasal 29 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 160/PMK.07/2021 tentang Pengelolaan Dana Insentif Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1282), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 30 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. jdih.kemenkeu.go.id
Pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ...
Relevan terhadap 2 lainnya
terjadi inflasi yang tinggi yang ekses nya berupa naiknya harga kebutuhan sehari-hari hingga mengurangi saya beli masyarakat termasuk dalam hal ini Pemohon. Bila kemudian kondisi ini berlanjut dalam rentang waktu yang lama dapat berakibat pada bencana nasional berupa demo hesar-besaran seperti kejadian tahun 1965 dan 1998 yang pada akhirnya menimbulkan kekeacauan pada semua aspek bidang kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Belum juga jelas apakah negara mendapatkan sumber keuangan baru untuk pengalokasian tersebut, atau hanya mengutak-atik dana stagnan yang ada dengan arti mengurangi sana-sini sehingga berdampak langsung pada kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara daerah lain. Undang-undang ini harus dibatalkan dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum karena akan berimpikasi pada semua aspek kehidupan ditandai dengan naiknya harga barang. Kerugian Konstitusional Pemohon: Pasal 27 ayat (3) a) Aktual : Berlakunya Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36 undang-undang a quo telah nyata secara terang bertentangan dengan UUD 1945 sehingga telah menggangu hak bela negara Pemohon dalam menjamin peri-kehidupan bangsa yang selaras dengan dasar hukum negara. Dengan dibatalkannya Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35 dan Pasal 36 undang-undang a quo dapat menjadi solusi hilang nya beban negara dalam hal keuangan dan dana tersebut dapat dipakai untuk menjaga kestabilan semua nilai, semua aspek, menjaga ketangguhan uang negara, menjaga ketentraman masyarakat sehingga menghilangkan potensial inflasi yang merugikan masyarakat, bangsa dan negara. 24. PUU Pasal 37, Pasal 38 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Pasal 37 Masyarakat dapat berpartisipasi dalam proses persiapan, pembangunan, pemindahan, dan pengelolaan Ibu Kota Negara.(2) Partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan dalam bentuk: a. konsultasi publik;
Kerugian Konstitusional Pemohon: Pasal 27 ayat (3) a) Aktual: Berlakunya Pasal 5 ayat (1), ayat (2, ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6) undang-undang a quo telah nyata secara terang bertentangan dengan UUD 1945 sehingga telah menggangu hak bela negara Pemohon dalam menjamin peri-kehidupan bangsa yang selaras dengan dasar hukum negara. Dengan kabulnya Permohonan Pemohon sehingga Pasal 5 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6) dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat maka resiko kedepan terjadinya inflasi akibat pendanaan yang redundan oleh berlakunya Pasal 5 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6) undang-undang a quo bisa dicegah dan tidak akan membebani Pemohon akibat adanya pendanaan ganda berupa naiknya harga barang. 7. PUU Pasal 5 ayat (7) bertentangan dengan Pasal 5 ayat (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan dan tata cara penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara, pembentukan peraturan Ibu Kota Negara selain mengenai pajak dan pungutan lain, sertapelaksanaan kegiatan persiapan, pembangunan, danpemindahan Ibu Kota Negara oleh Otorita Ibu Kota Nusantara diatur dengan Peraturan Presiden. Penetapan Peraturan Presiden sebagai pelaksana indang-undang adalah menyalahi aturan hierarki peraturan perundang-undangan. Seharusnya pengaturan dilakukan melalui Peraturan Pemerintah. Kerugian konstitusi Pemohon : Pasal 27 ayat (3). a. Aktual: Berlakunya Pasal 6 ayat (1) undang-undang a quo telah nyata secara terang bertentangan dengan UUD 1945 sehingga telah menggangu hak bela negara Pemohon dalam menjamin Dengan kabulnya Permohonan Pemohon sehingga Pasal 5 ayat (7) dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat maka resiko kedepan terjadinya inflasi akibat pendanaan yang redundan oleh berlakunya Pasal 5 ayat (7) undang-undang a quo bisa dicegah dan tidak akan menyebabkab benturan kepemerintahan serta untuk menjaga tertib hukum. 8. Pasal 6 ayat (1) bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) Pasal 6 ayat (1) ; Posisi Ibu Kota Nusantara secara geografis terletak pada:
menggangu hak bela negara Pemohon dalam menjamin peri- kehidupan bangsa yang selaras dengan dasar hukum negara. Dengan tidak berlakunya dan tidak mempunyai kedudukan hukum mengikatnya Pasal 22 dan Pasal 23 pada undang-undang a quo akan menghilangkan hak Pemohon untuk menjamin peri-kehidupan berbagsa dan negara tetap selaras dengan dasar negara dan hukum dasar negara. 20. PUU Pasal 24 bertentangan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Pasal 24 Pendanaan untuk persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara bersumber dari: a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; dan/atau b. sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dalam jumlah fantastis seperti pada realisasi undang-undang a quo seharusnya disertai dengan kalkulasi yang rinci yang disebarluaskan pada masyarakat melalui media-media serta mudah akses untuk mengetahuinya tentang ketangguhan keuangan negara, keuntungan signikannya bagi masyarakat, bangsa dan negara berkenaan pembiayaannya. Kalkulasi ini pula perlu diuji melalui pembahasan bersama antara Presiden, DPR dan masyarakat yang menyertakan para ahli sebagai wakil masyarakatnya sehingga masyarakat dapat gambaran yang utuh bahwa kalkulasi dapat dipertanggungjawabkan akurasinya untuk menentramkan. Sampai saat ini Pemohon belum mengetahui di mana info tersebut bisa didapatkan sehingga memunculkan dugaan akan terjadinya inflasi tinggi akibat pembiayaan ini. a) Aktual: Berlakunya Pasal 24 ayat (1) undang-undang a quo telah nyata secara terang bertentangan dengan UUD 1945 sehingga telah menggangu hak bela negara Pemohon dalam menjamin peri- kehidupan bangsa yang selaras dengan dasar hukum Negara Dengan dibatalkannya Pasal 24 undang-undang a quo harus dilakukan untuk menghilangkan beban negara dalam hal keuangan dan dana tersebut dapat dipakai untuk menjaga potensial inflasi yang merugikan masyarakat, bangsa dan negara dan berdampak pada kenaikan harga barang. 21. PUU Pasal 25, Pasal 26 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945
Petunjuk Teknis Akuntansi Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi
Pedoman Penetapan Penghasilan Direksi dan Dewan Komisaris Perusahaan Perseroan (Persero) di Bawah Pembinaan dan Pengawasan Menteri Keuangan ...
Relevan terhadap
Penetapan penghasilan Direksi dan Dewan Komisaris harus memenuhi prinsip-prinsip dasar dengan ketentuan sebagai berikut:
penetapan Penghasilan berupa Gaji dan/atau Honorarium, Tunjangan, dan Fasilitas yang bersifat tetap dilakukan dengan mempertimbangkan faktor-faktor antara lain:
penghasilan tahun sebelumnya;
tingkat inflasi;
kinerja keuangan perusahaan;
kinerja operasional perusahaan;
kondisi dan kemampuan keuangan Persero; dan
peraturan perundang-undangan.
penetapan Penghasilan berupa Gaji dan/atau Honorarium dapat pula mempertimbangkan tingkat Penghasilan yang berlaku umum dalam industri yang sejenis.
penetapan Penghasilan berupa Tantiem/Insentif Kinerja yang bersifat variabel ( merit rating ) dilakukan dengan mempertimbangkan faktor kinerja, kenaikan laba perusahaan, dan kemampuan keuangan Persero.
kenaikan perhitungan Gaji dan/atau Honorarium dilakukan dengan mempertimbangkan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b, ditetapkan paling tinggi sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari Gaji dan/atau Honorarium tahun sebelumnya.
penghasilan Direksi dan Dewan Komisaris Persero dianggarkan sebagai biaya dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan, kecuali diatur lain di dalam Peraturan Menteri ini.
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2016 tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2017. ...
Besar Santunan dan Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan.
Relevan terhadap
bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1965 tentang Ketentuan-Ketentuan Pelaksanaan Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan, telah ditetapkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 36/PMK.010/2008 tentang Besar Santunan dan Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan;
bahwa dalam rangka memenuhi kecukupan sosial ( social adequacy ) dalam pemberian perlindungan dasar kepada masyarakat yang menjadi korban kecelakaan alat angkutan lalu lintas jalan dan dengan mempertimbangkan peningkatan kebutuhan hidup dan tingkat inflasi, perlu melakukan penyesuaian terhadap besarnya santunan kecelakaan lalu lintas jalan dengan melakukan penyempurnaan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Besar Santunan dan Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan;