Pengujuan UU no. 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (Pasal 1 angka 1 dan angka 7, Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (1), Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6 ...
Pengujian UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan terhadap UUD Negara RI Tahun 1945
Relevan terhadap
(Pihak lain dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Bank Indonesia wajib menolak dan mengabaikan segala campur tangan dari pihak manapun dalam pelaksanaan tugasnya). Pasal 48 (Anggota Dewan Gubernur tidak dapat diberhentikan dalam masa jabatannya kecuali karena yang bersangkutan mengundurkan diri, terbukti melakukan tindak pidana kejahatan, atau berhalangan) dimaksudkan untuk memperkukuh Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 di atas. Ketika saya membaca Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 48 UU Nomor 23 Tahun 1999 itu, instinct saya mendorong saya untuk berkesimpulan negatif: "Ini negara di dalam negara!" Hal ini berdasar keraguan saya tentang bagaimana mungkin bisa menjadi sangat ekslusif, bahwa Bank Indonesia sekaligus menetapkan dan melaksanakan kebijaksaan moneter (secara independen). Ibaratnya pemerintah menjadi terbungkam, disisihkan peran aktifhya untuk mengatur kebijaksanaan ekonomi yang pasti selalu mengandung kebijaksanaan moneter sebagai derivatnya. Entah dari mana datangnya naskah Undang-Undang Bank Indonesia semacam itu. Pernah diberitakan naskah itu datang dari Jerman yang berhaluan Bundesbank. Kalau benar demikian memang tak mengherankan terasa benar adanya semacam "kediktatoran" ala Jerman. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 50 Dari pengantar di atas tentulah menjadi lumrah bahwa saat ini telah terjadi "kerunyaman" ( absurdity ) dalam hubungan antara Bank Indonesia dan Pemerintah. Kemelut besar yang saat ini melanda Bank Indonesia tak terlepas dari kedudukan independensinya yang tidak dapat diterima, baik oleh pemerintah maupun oleh sebagian masyarakat yang tidak menghendaki adanya dualisme soverenitas. Tentu kemelut besar di Bank Indonesia itu terjadi pula karena alasan intern. Kemelut semacam ini telah menjelaskan sendiri ( self-explanatory ), bahwa sebenamya Bank Indonesia telah gagal melaksanakan peran dan tugasnya secara optimal sebagaimana ditentukan oleh Penjelasan Pasal 23 UUD 1945, dan Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 UU Nomor 23 Tahun 1999. Bank Indonesia terbukti tidak mampu memelihara kestabilan nilai rupiah, tidak mampu menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter secara tepat. Mengatur dan menjaga kelancaran sistim pembayaran pun tidak jelas arah dan ujudnya. Lebih dari itu Bank Indonesia jelas telah gagal dalam mengatur dan mengawasi bank-bank. Perbankan Indonesia menjadi berantakan dan terpuruk seperti yang kita lihat saat ini tidak terlepas dari tidak efektifnya pengawasan Bank Indonesia. Undang-Undang tentang Bank Indonesia ini sudah berlaku satu setengah tahun, lebih tua dari usia pemerintahan Gus Dur, namun tidak ada tanda-tanda akan bisa efektif. Untuk sedikit lebih bersahabat dalam menanggapi independensi Bank Indonesia sebagaimana ditetapkan oleh UU Nomor 23 Tahun 1999, dapatlah kiranya dikemukakan sebagai berikut ini. Keinginan untuk memberikan kedudukan independensi kepada Bank Indonesia tentulah tidak terlepas dari pengalaman sejarah, betapapun pendek sejarah ini. Memang pemerintahan Orde Baru yang totalitarian telah menyalahgunakan kekuasaannya dan menjadikan Bank Indonesia sebagai suatu alat kekuasaan rezim. Bank Indonesia tidak lagi menjadi suatu lembaga terhormat untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya yang mulia demi kemaslahatan bangsa dan negara, tetapi telah menjadi alat kekuasaan bagi para penguasa negara. Jadi independensi bank dimaksudkan untuk menghindari dapat terjadinya campur tangan kotor dari pemerintahan yang tidak bersih, yang penuh dengan pelanggaran dan penyalah-gunaan kekuasaan. Dari sinilah lahir citacita independensi untuk bank sentral itu dan sekaligus melebar ke tingkat ekstrimitasnya, sehingga mengabaikan posisi sub-ordinasi terhadap pemeritahan negara. Sampai-sampai secara eksplisit tersurat ketentuan yang menetapkan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 51 bahwa "pihak lain dilarang melakukan segala macam campur tangan" dan juga bahwa "Bank Indonesia wajib menolak dan mengabaikan segala campur tangan dari pihak manapun ". Ini yang absurd sekali ! Di dalam independensi ini tersurat dan tersirat kuat adanya sikap apriori bahwa setiap pemerintah (pemerintahan negara) pastilah akan selalu kotor, akan selalu menyeleng dan menyalahgunakan kekuasaan serta korup. Seolah-olah tidak pernah terbayangkan bahwa suatu pemerintahan dapat pula akan baik, bersih dan berwibawa, sebagaimana reformasi mencita-citakannya. Sebaliknya, independensi itu dilandasi oleh suatu pandangan apriori menyakini bahwa bank sentral kita pastilah akan merupakan suatu lembaga yang tangguh, bersih, bebas dari penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaannya, serba baik, dan terhormat, patut diseganai dan profesional dan seterusnya, Andaikata demikian ini yang digambarkan tentang Bank Indonesia, dengan segala kepatutannya untuk menyandang independensi, maka kita tidak perlu terperanjat melihat kenyataan semrawut yang ada, yang pasti akan menjadi bahan tertawaan. Bank Indonesia telah kebobolan, kecolongan, telah menjadi "sarang penyamun" sebagaimana Anwar Nasution pernah menggambarkannya. Dengan independensinya itu, pimpinan Bank Indonesia bahkan cenderung arogan. Independensi Bank Indonesia terkesan telah menumbuhkan semacam superiority complex dan sekaligus mendorong pimpinan Bank Indonesia lebih berani ngawur dalam membuat pemyataan-pemyataan kebijaksanaan yang sebenamya memerlukan kedalaman pemikiran (misalnya saja mengenai pasar-bebas, spekulasi dan intervensi) belum lama ini. Dengan mutu profesionalisme dan kepemimpinan semacam itu independensi Bank Indonesia dapat saja berubah menjadi malapetaka nasional. Patut diragukan, mampukah Bank Indonesia membendung krisis moneter yang saat ini masih terus mengintai Indonesia. Ibaratnya Bank Indonesia, ataupun pihak-pihak yang menghendaki independensi Bank Indonesia, telah menuding kebobrokan pemerintah, tanpa mampu mawas diri bahwa Bank Indonesia sebenamya sedang menjadi tudingan masyarakat. Mengenai Presiden Abdurrahman Wahid dan gaya kepemimpinannya dalam penyelenggaraan pemerintahan negara yang "otoritarian". Dengan mudah dapat dipahami bahwa Presiden Abdurrahman Wahid pasti akan "berselisih" dengan Bank Indonesia berkaitan dengan independensi Bank Indonesia semacam itu. Memang untuk alasan apapun, tentu diharapkan alasan yang baik (reformasi), Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 52 independensi Bank Indonesia macam ini akan memasung dinamika dan kreativitas penyelenggaraan negara. Pemerintah akan merasakan, seperti diungkapkan di atas, adanya negara di dalam negara. Hal ini sempat ahli (sebagai pembicara utama) kemukakan dalam suatu diskusi reformatif yang diprakarsai oleh Salahuddin Wahid beberapa waktu yang lalu dan mendapat tanggapan positif dan kurang lebihnya afirmatif. Belum lagi kalau penyakit lama kambuh, bahwa pemerintah benar-benar akan main kayu, mencampuradukkan antara reformasi dan deformasi sekaligus, maka independensi Bank Indonesia akan merupakan sumber perselisihan yang akut. Seperti dapat diduga, inilah yang terjadi saat ini. Lebih dari itu, bukan saja tentang independensi Bank Indonesia yang kini dipermasalahkan, tetapi juga tentang posisi dan kekuasaan Bank Indonesia telah menjadi suatu perebutan yang memalukan. Independensi Bank Indonesia semacam itu tentu akan menarik bagi kekuatan (partai-partai) oposisi. Independensi akan bisa menjadi sarana perebutan kekuatan antara pemerintah dengan pihak oposisi, dengan menggunakan otoritas Bank Indonesia sebagai benteng perlawanan politik. Inipun kiranya sedang terjadi pada saat ini. Antara Pemerintah dan Bank Indonesia seharusnyalah terjadi suatu koordinasi integral. Indonesia menganut faham " Penta Politica ", pemisahan kekuasaan antara lima (penta) kekuasaan negara, yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, yudikatif, advisori (DPA) dan auditori (BPK). Bank Indonesia tidak ada kaitannya dengan penta politica ini. Dalam posisi semacam ini maka Bank Indonesia haruslah terkoordinasi dalam pemerintahan negara yang diselenggarakan oleh Pemerintah, di dalam suatu tingkat sub-ordinasi tertentu. Selanjutnya biarlah lembaga legislatif melakukan pengawasan efektifnya terhadap Pemerintah. Dengan kata lain independensi Bank Indonesia perlu di redefinisi, harus menjadi lebih supel dan fleksible, sehingga tidak terjadi dualisme otoritas dan kebijaksanaan antara pemerintah dan Bank Indonesia. Tanpa itu maka kemelut ekonomi dan moneter di lapangan akan sulit diatasi. Independensi yang menumbuhkan dualisme otoritas semacam itu memang peka akan pertarungan. Dalam pertarungan antara keduanya tentulah akan menguntungkan pihak ketiga yang dapat mempermainkan dan menggerogoti perekonomian nasional kita. Pertengkaran antara pemerintah dan Bank Indonesia saat ini pasti akan lebih Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 53 memperpuruk rupiah kita, mendorong capital flight, melambungkan tingkat suku bunga, menghambat investasi dan tentulah menunda pembukaan lapangan kerja bagi rakyat. Penyelewengan KLBI dan BLBI akan makin sulit terlacak, pencetakan uang palsu akan makin sukar diungkap. Sementara itu ahli menghargai sikap konsekuen dan taat hukum Syahril Sabirin sampai UU Nomor 23 Tahun 1999 itu di amendemen secara jujur (tanpa ada udang di balik batu). Saya pun menghargai sikap Pemerintah yang tidak menghendaki dualisme soverenitas, yang tidak mustahil dualisme ini merupakan suatu skenario politik besar terhadap Indonesia; Landasan hukum pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Pasal 34 (1) Tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang. (2) Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2002; Selanjutnya dalam UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bagian Menimbang: Butir a. menyatakan "bahwa untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, diperlukan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat". Boleh ditanyakan kepada jajaran pimpinan OJK yang ada di ruang ini, bagaimana melaksanakan tugas negara ini secara independen. Butir b. "Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam butir a, diperlukan otoritas jasa keuangan yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara terpadu, independen, dan akuntabel". Boleh ditanyakan pula kepada jajaran pimpinan OJK yang ada di ruang ini bagaimana OJK bisa akuntabel, terhadap siapa, terhadap Bank Indonesia, terhadap Kementerian Keuangan atau kepada DPR, atau kepada diri sendiri? Menurut website OJK, fungsi OJK adalah menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 54 sektor jasa keuangan. Mengulangi presentasi tertulis saya yang disampaikan di ruang ini pada tanggal 18 September 2014, saya ingin menegaskan ulang tentang OJK sebagai lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur-tangan oihak lain, yang menjadikannya sebagai super-body dalam dunia keuangan Indonesia. Peran OJK dalam perekonomian nasional adalah sangat sektoral, yaitu menyangkut sektor jasa keuangan saja. Selanjutnya sesuai dengan UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK tidak dipersoalkan kaitan OJK dengan tugas nasional sesuai dengan Pasal 33 dan Pasal 34 UUD 1945, serta masalah Sila ke-5 Pancasila, yaitu "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Tugas sektoral OJK di dalam sektor jasa keuangan yang adil, transparan dan akuntabel untuk mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat secara independen, sama sekali tidak menjamin dan bahkan dapat bertentangan dengan tugas-tugas spesifik sesuai dengan doktrin kebangsaan (nasionalisme) dan doktrin kerakyatan yang dianut oleh Negara Republik Indonesia; Memang barangkali OJK dapat melaksanakan tugas sektoralnya secara teratur, adil, transparan dan akuntabel serta mewujudkan sistem keuangan tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, namun tanpa merasa terikat (misalnya) dengan masalah riil yang dihadapi oleh bangsa Indonesia, yaitu makin melebarnya kesenjangan antara kaya dan miskin (Gini ratio 2005 0,34% dan sekarang 2014 0,46%), makin dominannya investasi asing terhadap perekonomian nasional dan makin terdesaknya investor nasional dan ekonomi rakyat. Lebih dari itu meskipun pertumbuhan ekonomi di atas 5,5% (ini pun tidak terlalu tinggi), namun Indonesia makin kehilangan kedaulatan ekonomi: kita makin tidak berdaulat dalam pertanian khususnya pangan dan bibit, obat-obat dasar, teknik industri, teknologi dan energi. Dan lebih hebat lagi kita tidak berdaulat dalam penguasaan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya [ayat (3) Pasal 33 UUD 1945] karena berlakunya sistem keuangan yang liberalistik dan kapitalistik, yang OJK berdasar tugasnya malahan dapat mengukuhkan penyelewengan konstitusional ini. Sektor keuangan dapat tetap adil, transparan dan akuntabel serta tumbuh berkelanjutan dan stabil serta melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat sesuai dengan konsideran UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK, namun Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 55 independensi yang menjadikan OJK " super body " tidak memungkinkan OJK dapat mengatasi tantangan-tantangan dan keprihatinan perekonomian di atas, bahkan dengan wewenangnya sebagai super body bisa malah mengabaikan dan membahayakan kepentingan nasional demi kestabilan sektor jasa keuangan belaka. Oleh karena itu, peran OJK hendaknya dikembalikan kepada Bank Indonesia atau ke Departemen Keuangan agar terkait dengan tugas-tugas menyelamatkan perekonomian nasional dan kepentingan nasional Indonesia. Janganlah sampai dengan tugas sektoral OJK tadi yang terjadi adalah pembangunan di Indonesia, dan bukan pembangunan Indonesia artinya bangsa Indonesia hanya menjadi penonton atau menjadi kuli di negeri sendiri. Demikian pula jangan sampai dengan pengutamaan kestabilan dan pertumbuhan jasa keuangan maka pembangunan menjadi penggusuran terhadap orang miskin, bukan penggusuran kemiskinan;
Dr. Margarito Kamis, S.H., M.H. Apabila Undang-Undang OJK dikenali secara utuh agak sulit untuk tidak berkesimpulan bahwa ini tampak seperti negara dalam negara. Ahli ingin mengatakan bahwa Pasal 23D UUD 1945 menyatakan, “Negara memiliki suatu Bank Central yang susunan kedudukan, kewenangan, tanggungjawab, dan independensi-nya diatur dengan undang-undang” , tidak dapat dan/atau tidak bermakna bahwa independensi atau Bank Indonesia atau Bank Central itu sebagian kewenangannya mesti diserahkan kepada organ lain yang tidak diperintahkan oleh konstitusi. Makna independensi dalam Pasal 23D UUD 1945 harus dimaknai sebagai patokan penentu relasi antar Bank Indonesia dengan Pemerintah. Jadi, derajat relasi hukum antara fungsi antara pemerintah dengan Bank Indonesia itu yang dimaksud dengan Pasal 23D UUD 1945 bukan mengurangi sebagian kewenangan Bank Indonesia dan kewenangan itu diserahkan kepada lembaga lain di luarnya. Itu sebabnya saya mengawali dengan mengatakan bahwa bila dikenali betul Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2012 ini secara konstitusional terlalu sulit untuk tidak menyatakan OJK tampak seperti negara dalam negara; Ahli ingin memperkuatnya dengan mengenali beberapa atau mengungkapkan beberapa saja diantaranya sebab tidak mungkin itu diungkapkan semua karena ahli yakin betul bahwa Majelis pun memiliki penilaian yang tidak mungkin dan/atau sebagaimana yang telah terefleksi dalam risalah sidang, tampak memiliki Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 56 kemiripan dengan apa yang ahli kemukakan; OJK dengan prinsip independensi melalui Undang-Undang ini dapat mengatur sendiri, membuat sendiri peraturan, dan melaksanakan Undang-Undang. Padahal mestinya ini dilaksanakan dengan Peraturan Pemerintah kecuali hal-hal lain yang memang tidak bisa diatur dan/atau tidak diatur dalam Undang-Undang. Karena keadaan hukum dengan fungsi mereka membutuhkan pengaturan barulah dilakukan, tetapi ini tidak dilakukan. Apa saja yang kan diatur dapat diatur dengan sendirinya oleh mereka tanpa bisa dicampuri oleh Pemerintah, tanpa dapat dicek (dikontrol) oleh DPR. Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung yang yang merupakan pelaksana kekuasan kehakiman pengaturan mengenai gaji pun diatur dengan Peraturan Presiden. Bagaimana OJK dapat mengatur dirinya sendiri, gaji pun diatur sendiri. Betapa luar biasanya OJK ini seperti lembaga negara di dalam negara; Menurut ahli tidak ada lembaga negara yang mempunyai 2 sumber keuangan pendanaan, namun OJK ini dibiayai dengan APBN dan pungutan yang dipungut sendiri dari bank dan jasa keuangan lainnya. Apa argumen konstitusionalnya sehingga dapat membenarkan tindakan tersebut? Siapa yang berani memastikan bahwa tidak ada potensi penyalahgunaan dan bagaimana mungkin bisa dipastikan akuntabilitas dan transparansi OJK dengan kewenangan seperti itu? Padahal bukankah negara hukum yang demokratis yang di atur dalam Undang-Undang Dasar 1945 menghendaki akuntabilitas dan transparansi dalam penyelenggaraan kekuasaan negara? Menurut ahli bahwa pengawasan oleh OJK dimaksudkan untuk perlindungan konsumen dan adanya independensi OJK tidak diperoleh titik relasi dengan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. Bagaimana dapat mengusahakan perekonomian nasional dengan prinsip kekeluargaan dan gotong royong, kalau salah satu organ negara (lembaga negara) mempunyai fungsi yang begitu strategis tidak dapat dicek (dikontrol), dan bekerja semau-maunya karena diatur dalam Undang-Undang. Dengan demikian keberadaan OJK bertentangan dengan prinsip negara hukum [Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 33 UUD 1945]; [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Presiden dalam persidangan tanggal 5 Mei 2014 menyampaikan keterangan lisan dan keterangan tertulis bertanggal 30 April 2014 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 21 Oktober 2014 yang menguraikan hal-hal sebagai berikut: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 57 I. Pokok Permohonan Bahwa para Pemohon mengajukan permohonan pengujian materiil Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK terhadap UUD 1945. Merujuk kepada permohonan para Pemohon, pada pokoknya para Pemohon menganggap hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya ketentuan UU OJK, khususnya ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
Pasal 1 angka 1 yang menyatakan "OJK, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini." b. Pasal 5 yang menyatakan "OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan." c. Pasal 34 yang menyatakan: (1) “Dewan Komisioner menyusun dan menetapkan rencana kerja dan anggaran OJK. (2) Anggaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau pungutan dari pihak lain yang melakukan kegiatan _di sektor jasa keuangan; _ (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana kerja dan anggaran OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Dewan Komisioner." d. Pasal 37 yang menyatakan:
“ OJK mengenakan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. (2) Pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan wajib membayar pungutan yang dikenakan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penerimaan OJK. (4) OJK menerima, mengelola, dan mengadministrasikan pungutan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 58 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) secara akuntabel dan mandiri. (5) Dalam hal pungutan yang diterima pada tahun berjalan melebihi kebutuhan OJK untuk tahun anggaran berikutnya, kelebihan tersebut disetorkan ke Kas Negara. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah." e. Frasa dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66 yang menyatakan "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." Merujuk pada dalil-dalil dalam permohonan, para Pemohon pada pokoknya menyatakan bahwa dengan diberlakukannya ketentuan-ketentuan a quo , telah mengakibatkan terjadinya kerugian konstitusional yang dialami oleh Para Pemohon, dengan alasan:
Pasal 23D UUD 1945 yang menyatakan, "Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan Undang-Undang ". Menurut para Pemohon hanya bank sentral yang dijelaskan secara eksplisit di UUD 1945 yang boleh independen, sehingga frasa independen OJK tidak menemukan pembenaran secara konstitusional.
Pasal 33 UUD 1945, yang menurut para Pemohon berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 OJK diharuskan untuk terintegrasi dengan sistem perekonomian yang diamanatkan konstitusi, sehingga tidak mungkin independen dan bebas dari campur tangan pihak lain. Dengan demikian, OJK dipaksa dan diarahkan untuk independen dan terpisah dari sistem besar ketatanegaraan yang termaktub dalam konstitusi.
Secara konstitusional aspek pengaturan dan pengawasan OJK juga tidak jelas di UUD 1945 mendapat mandat atau turunan dari pasal berapa, dimana masing-masing kewenangan yang diperoleh OJK berasal dari turunan yang asimetris. Pasal 5 UU OJK juga dapat menimbulkan konsekuensi adanya penumpukan kewenangan dalam satu badan sehingga dapat menimbulkan potensi moral hazard .
Penggunaan APBN yang digunakan sebagai biaya operasional secara konstitusional tidak memiliki landasan hukum dikarenakan OJK tidak berada dalam struktur ketatanegaraan yang rigid dan juga sifat OJK yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 59 independen sehingga terdapat potensi penyalahgunaan kewenangan keuangan negara. Selain itu, jika terjadi krisis di sektor industri keuangan, bukan tidak mungkin dana APBN akan dipakai untuk menalangi krisis dan seberapa banyak dana publik dan/atau APBN yang boleh dikucurkan masih belum diatur.
Pasal 37 UU OJK akan menimbulkan dampak: (a) mengurangi kemandirian OJK karena OJK merupakan badan publik dengan amanat yang diberikan oleh rakyat melalui DPR; (b) sumber pendanaan dari jasa keuangan di pihak lain juga akan membalik akuntabilitas substantif OJK dari kepentingan publik dan konsumen kepada kepentingan kepada kepentingan industri jasa dan keuangan, f. Para Pemohon menginginkan agar pungutan yang mengatasnamakan negara haruslah jelas dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 23A UUD 1945 yang menyatakan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dalam Undang-Undang. II. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dan Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Para Pemohon A. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Pembentukan OJK Merupakan Opened Legal Policy Berdasarkan Pasal 33 ayat (5) UUD 1945 Sebelum menanggapi lebih lanjut mengenai materi permohonan para Pemohon, Pemerintah akan terlebih dahulu membahas apakah terhadap ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU OJK ini telah tepat dan benar dapat diajukan pengujian konstitusional ( constitutional review ) ke Mahkamah Konstitusi. Mengingat pentingnya pengaturan mengenai sistem perekonomian nasional maka UUD 1945 mengatur mengenai perekonomian nasional diatur dalam Bab tersendiri yaitu Bab XIV Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Nasional. Bab XIV terdiri dari dua pasal yaitu Pasal 33 dan Pasal 34 UUD 1945, mengenai pengaturan Perekonomian Nasional diatur dalam Pasal 33 UUD 1945. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 60 Sebagaimana telah diketahui bersama prinsip-prinsip dasar pengelolaan perekonomian nasional terdapat dalam Pasal 33 UUD 1945 dan Pasal 33 ayat (5) UUD 1945 juga telah mengamanatkan kepada pembentuk Undang-Undang pengaturan lebih lanjut mengenai pelaksanaan prinsip- prinsip pada Pasal 33 UUD 1945 diatur dalam Undang-Undang. Oleh karena itu, dalam rangka menjalankan amanat konstitusi tersebut maka telah diterbitkan perundang-undangan mengenai pengelolaan perekonomian nasional berdasarkan prinsip-prinsip dasar sebagaimana termaktub dalam Pasal 33 UUD 1945, yang salah satunya adalah UU OJK. Pembentukan UU OJK secara keseluruhan oleh pembentuk Undang- Undang adalah dalam rangka mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh dengan stabil dan berkelanjutan, menciptakan kesempatan kerja yang luas dan seimbang di semua sektor perekonomian, serta memberikan kesejahteraan secara adil dan makmur kepada seluruh rakyat Indonesia. Sebagaimana amanat Pasal 33 ayat (5) UUD 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa "Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam Undang-Undang ", maka DPR bersama Pemerintah telah menyusun UU OJK sehingga pembentukan UU OJK merupakan suatu pilihan kebijakan yang bebas dan terbuka ( opened legal policy ) bagi pembuat Undang-Undang. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka pembentukan UU OJK adalah tepat berdasarkan amanat UUD 1945 khususnya pada Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 33 UUD 1945. Oleh karena itu, sudah sepatutnya permohonan uji materiil ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK tersebut tidak dapat diajukan pengujian materiil di Mahkamah Konstitusi. Hai ini sesuai dengan pendapat Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimuat dalam Putusan Nomor 26/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap UUD 1945 yang menyatakan sebagai berikut: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 61 "Bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan Undang-Undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang. Meskipun seandainya isi suatu Undang-Undang dinilai buruk, maka Mahkamah tidak dapat membatalkannya, sebab yang dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali kalau produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable . Sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk Undang-Undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah; dan Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap UUD 1945, yang menyatakan sebagai berikut: "Menimbang bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan Undang-Undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang. Pandangan hukum yang demikian sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 010/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk Undang- Undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah". Selain itu, pokok-pokok permasalahan yang diajukan oleh para Pemohon sangat tidak tepat diuji oleh Mahkamah Konstitusi, karena dalil-dalil permohonan menyangkut mengenai implementasi dari norma bukan kesalahan atau pertentangan norma dengan UUD 1945 sebagaimana disampaikan oleh Prof. Arief Hidayat dalam sidang pane! pemeriksaan pendahuluan tanggal 25 Maret 2014 yang pada pokoknya menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak memiliki kewenangan untuk mengadili apa yang dilakukan oleh suatu lembaga negara dalam suatu pengujian Undang-Undang tetapi mengadili norma yang bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, sudah sepatutnya permohonan pengujian Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 62 pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK yang diajukan oleh para Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard ). B. Tinjauan Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Para Pemohon Legal Standing Sebagai Pembayar Pajak Harus Dibuktikan Oleh Pemohon Dengan Menyertakan Bukti SPT Dan Bukti Pembayaran Kewajiban Pajak Pemohon Berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (untuk selanjutnya disebut "UU Mahkamah Konstitusi") disebutkan bahwa para Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang. Ketentuan tersebut dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan "hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945. Dengan demikian agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Para pemohon yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi;
hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang- Undang yang diuji;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para pemohon sebagai akibat berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, serta putusan-putusan selanjutnya, telah memberikan pengertian dan batasan secara kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:
adanya hak konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 63 1945;
hak konstitusional para Pemohon tersebut dianggap oleh para Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji;
bahwa kerugian konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Karena itu, Pemerintah berpendapat bahwa para Pemohon tidak memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing) dan tidak dirugikan hak konstitusionalnya oleh berlakunya Undang-Undang a quo , sehingga para Pemohon tidak memenuhi syarat sebagai pemohon uji materiil sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 51 UU Mahkamah Konstitusi tersebut. Menurut pendapat Pemerintah, legal standing sebagai pembayar pajak yang patuh, tidak dapat diterima begitu saja dengan memiliki dan melampirkan Nomor Pajak Wajib Pajak (NPWP) sebagai bukti. Dengan memiliki NPWP tidak secara serta merta para Pemohon telah membayar pajak, maka seharusnya para Pemohon juga turut menyertakan bukti Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak dan juga pembayaran kewajiban Pajak yang merupakan pelaporan perhitungan dan pembayaran pajak oleh, objek pajak, dan/atau bukan objek pajak dan/atau harta atau kewajiban, menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Tidak Ada Hak Konstitusional Pemohon Yang Dilanggar Dengan Berlakunya Ketentuan UU OJK Yang Diuji Selain itu, Pemerintah tidak melihat adanya pelanggaran hak konstitusional para Pemohon yang sebagaimana didalilkan dalam permohonan para Pemohon yaitu dengan berlakunya ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK telah merugikan hak Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 64 konstitusionalitasnya sebagai perserorangan warga negara Indonesia dengan didasarkan pada: Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan "Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat." dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya". Bahwa para Pemohon dalam permohonan uji materiilnya tidak secara jelas menguraikan mengenai kerugian konstitusional dan hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian konstitusional Pemohon secara spesifik, aktual atau setidaknya potensial yang dapat dipastikan akan terjadi dikarenakan berlakunya norma yang terkandung dalam ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK. Bahwa ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 bukan merupakan hak-hak dasar atau hak konstitusional warga negara in casu hak para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945. Hal ini dikarenakan ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 merupakan salah satu bentuk pelaksanaan kedaulatan rakyat. Penetapan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) setiap tahunnya dengan Undang-Undang mempunyai pengertian bahwa dalam penyusunan Undang-Undang APBN, haruslah mendapatkan persetujuan rakyat yang dalam hal ini diwakili oleh DPR. Selain itu, penggunaan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 sebagai batu uji permohonan a quo sangat tidak tepat dan tidak berdasar hukum. Ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 merupakan prinsip persamaan dalam hukum dan pemerintahan ( equality before the law ), prinsip kewajiban menjunjung hukum tidak hanya harus dilaksanakan oleh negara, namun juga wajib dijunjung tinggi oleh seluruh warga negara Indonesia. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 65 Bahwa penggunaan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 tidak dapat dijadikan dasar kedudukan hukum oleh para Pemohon dikarenakan bukan hak konstitusional para Pemohon, namun merupakan suatu kewajiban bagi seluruh rakyat Indonesia untuk menerapkan prinsip persamaan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dan sebagai pembayar pajak tidak serta merta dapat dasar dalam pengajuan uji materiil suatu Undang-Undang. Permohonan Pemohon merupakan permohonan yang Obscuur Libel Selain itu, permohonan para Pemohon merupakan permohonan yang obscuur libel yaitu nampak pada tidak sesuainya antara posita permohonan para Pemohon dan petitum yang dimintakan oleh para Pemohon dalam permohonannya. Para Pemohon tidak menjelaskan mengapa frasa "...tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan.." bertentangan dengan UUD 1945, namun tetap meminta petitum agar Mahkamah Konstitusi menyatakan frasa dimaksud bertentangan dengan UUD 1945. Para Pemohon juga telah melakukan kesalahan yang menyebabkan permohonan Para Pemohon menjadi tidak jelas dan tidak fokus ( obscuur libel ) yaitu pada angka 2 petitum permohonannya yang meminta agar Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34 dan Pasal 37 UU OJK bertentangan dengan UUD 1945, namun pada angka 3 para Pemohon meminta kepada Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 7, Pasal 34 dan Pasal 37 UU OJK tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Bahwa berdasarkan uraian di atas, Pemerintah berpendapat permohonan para Pemohon tidak jelas, tidak cermat, tidak fokus dan kabur ( obscuur libel ), utamanya dalam mengkonstruksikan kerugian konstitusional seperti apa yang dialami oleh para Pemohon sebagai individu perseorangan warga negara Indonesia. Oleh karena itu, Pemerintah memohon agar Ketua/Majelis Hakim Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Para pemohon ditolak atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard ). Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 66 III. Penjelasan Pemerintah Atas Permohonan Para Pemohon A. Penjelasan Pemerintah Atas Permohonan Putusan Provisi Para Pemohon Tidak Ada Alasan Yang Spesifik Dan Aktual Serta Penting Dan Mendesaknya Permohonan Provisi Pemohon Harus Dikabulkan Oleh Mahkamah Konstitusi Istilah provisionil dikenal luas dengan istilah "provisionllels vonnis", "provisoire", "voorlopige", "provisionaf, "voorlaufig", "provissorich ainstwelling", "bij vooraad' dan Iain-Iain. Istilah-istilah dimaksud pada pokoknya menjelaskan bahwa putusan provisi adalah putusan yang sifatnya sangat segera dan mendesak untuk dilakukan oleh hakim terhadap salah satu pihak dan bersifat sementara di samping adanya tuntutan pokok dalam surat gugatan. Dalam Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, putusan provisi hanya dikenal pada perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang diatur dalam Pasal 63 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang mengatur "Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan penetapan yang memerintahkan pada pemohon dan/atau termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi". Namun demikian, dalam sejarahnya Mahkamah Konstitusi pernah mengabulkan permohonan provisi yang diajukan oleh Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah dalam perkara Nomor 133/PUUA/1I/2009 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Permohonan provisi yang dikabulkan sebagian oleh Mahkamah Konstitusi terkait dengan penundaan penerapan Pasal 32 ayat (1) huruf c juncto Pasal 32 ayat (3) UU KPK oleh Presiden yakni mengenai tindakan administratif berupa penghentian pimpinan KPK yang menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan. Dalam Putusan Nomor 133/PUU-VII/2009, Mahkamah Konstitusi memberikan pendapat sebagai berikut: "Bahwa dalam praktik pemeriksaan perkara pengujian undang-undang seringkali untuk kasus-kasus tertentu dirasakan perlunya putusan sela dengan tujuan melindungi pihak yang hak konstitusionalnya amat sangat Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 67 terancam sementara pemeriksaan atas pokok pemohonan sedang berjalan". Berdasarkan pertimbangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana disebutkan di atas, maka terdapat unsur-unsur yang harus dapat dipenuhi dan dijelaskan secara spesifik dan aktual oleh para Pemohon dalam permohonannya. Terhadap permohonan provisi para Pemohon, Pemerintah berpendapat bahwa para Pemohon tidak dapat menjelaskan secara spesifik dan aktual terkait dengan alasan pentingnya dan mendesaknya mengapa permohonan provisi para Pemohon harus dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi dan akibatnya apabila permohonan provisi para Pemohon tidak dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Sampai dengan saat ini, OJK telah melakukan kewenangannya untuk melakukan pengaturan dan pengawasan dalam sektor jasa keuangan serta mengadvokasi kepentingan para konsumen. Dalam melakukan kewenangannya tersebut, tidak terdapat kendala yang berarti dan tidak ada hak konstitusional dari para Pemohon yang telah dilanggar atau terancam untuk dilanggar dengan adanya pelaksanaan kewenangan OJK dimaksud. Dikabulkannya permohonan provisi dapat menimbulkan kerancuan hukum bahkan ketidakpastian hukum di sektor jasa keuangan Selain itu, dalam Putusan Nomor 133/PUU-VI1/2009 Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan: "Bahwa Mahkamah berpendapat putusan sela perlu untuk diterapkan apabila dengan putusan tersebut tidak akan menimbulkan kerancuan hukum di satu pihak, sementara di pihak lain justru akan memperkuat perlindungan hukum". Dengan adanya pertimbangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana disebutkan di atas, maka sesungguhnya Mahkamah Konstitusi telah menetapkan batasan dikabulkannya permohonan provisi dari para Pemohon pengujian Undang-Undang yaitu apabila dengan putusan tersebut tidak akan menimbulkan kerancuan hukum di satu pihak. Pemerintah berpendapat bahwa apabila permohonan provisi para Pemohon dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi akan dapat menimbulkan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 68 kerancuan hukum bahkan ketidakpastian hukum bagi para pelaku pasar dan para konsumen di sektor jasa keuangan secara umum dan khususnya di pihak OJK. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka seyogianya Mahkamah Konstitusi menolak permohonan provisi dari para Pemohon dikarenakan tidak ada keadaan yang sangat mendesak untuk dikabulkannya permohonan provisi dimaksud dan apabila dikabulkan dapat menimbulkan kerancuan hukum dan ketidakpastian hukum bagi para pelaku pasar dan para konsumen di sektor jasa keuangan secara umum dan khususnya di pihak OJK. B. Penjelasan Pemerintah Atas Pendapat Para Pemohon Yang Menyatakan Pasal 1 Angka 1 UU OJK Bertentangan Dengan UUD 1945 OJK Merupakan Lembaga Negara Yang Memiliki Sifat Constitutional Importance Secara yuridis pembentukan UU OJK dilandasi oleh Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 33 UUD 1945. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD 1945 memberikan kewenangan konstitusional kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk membentuk suatu Undang- Undang, sedangkan Pasal 33 UUD 1945 merupakan landasan konstitusional dibentuknya UU OJK; Pembentukan UU OJK merupakan pengejawantahan tujuan konstitusional dibentuknya Negara Indonesia, yang terdapat dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945 yang menentukan salah satu tujuan negara ( common virtues ) yaitu memajukan kesejahteraan umum yang perlu diwujudkan melalui pelembagaan negara Indonesia, dan amanat konstitusional Pasal 33 UUD 1945, yaitu dalam rangka mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh dengan stabil dan berkelanjutan, menciptakan kesempatan kerja yang luas dan seimbang di semua sektor perekonomian dan memberikan kesejahteraan secara adil kepada seluruh rakyat Indonesia, maka program pembangunan nasional harus dilaksanakan secara komprehensif dan mampu menggerakkan kegiatan perekonomian nasional yang memiliki jangkauan yang luas dan menyentuh keseluruh sektor riil dari perekonomian masyarakat Indonesia. Pengaturan mengenai perekonomian nasional sebagaimana diamanatkan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 69 pada Pasal 33 UUD 1945 terkait erat dengan sistem keuangan untuk menunjang berbagai kegiatan produktif di dalam perekonomian nasional sehingga diperlukan lembaga-lembaga keuangan untuk menopang perekonomian nasional sehingga diperlukan lembaga yang memiliki fungsi pengaturan dan pengawasan lembaga-lembaga keuangan dimaksud dalam rangka menjalankan tujuan konstitusional dibentuknya Negara Indonesia dan amanat konstitusional Pasal 33 UUD 1945. Konstitusionalitas suatu norma dalam Undang-Undang tidak hanya dapat diukur melalui pasal-pasal yang terdapat dalam batang tubuh UUD 1945 melainkan juga melalui Pembukaan UUD 1945 yang mana di dalamnya terdapat tujuan dibentuknya Negara Indonesia. Mengingat konstitusionalitas suatu norma dalam Undang-Undang tidak hanya dapat diukur melalui pasal-pasal yang terdapat dalam batang tubuh UUD 1945 melainkan juga melalui Pembukaan UUD 1945 yang mana di dalamnya terdapat tujuan dibentuknya Negara Indonesia, maka berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas Pemerintah berpendapat bahwa OJK merupakan suatu lembaga negara independen yang memiliki sifat constitutional importance dikarenakan merupakan salah satu instrument untuk mencapai tujuan bernegara dan amanat konstitusional dalam Pembukaan dan Pasal 33 UUD 1945. Sebagaimana disampaikan oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dalam bukunya "Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi", bahwa ragam struktur organisasi kekuasaan negara dewasa ini sudah berkembang sangat bervariasi, sehingga yang dinamakan organ negara atau lembaga negara tidak lagi hanya terbatas pada tiga fungsi menurut doktrin klasik yang dikembangkan sejak abad ke-18. Lembaga-lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Penyiaran Indonesia, Badan Pengawas Pemilu, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, dan sebagainya merupakan contoh lembaga dan/atau komisi baru yang bersifat independen dan memiliki fungsi campuran dan dibentuk berdasarkan Undang-Undang, namun tetap memiliki sifat constitutional importance . Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 70 Sifat Independensi OJK Merupakan Hal Yang Tidak Terpisahkan Dengan Pembentukan OJK Selain itu, pembentukan UU OJK juga merupakan amanat Pasal 34 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 (selanjutnya disebut UU Bank Indonesia) yang mengamanatkan bahwa "(1) Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang". Lebih lanjut penjelasan Pasai 34 ayat (1) UU Bank Indonesia menyatakan "(1) Lembaga pengawasan jasa keuangan yang akan dibentuk melakukan pengawasan terhadap Bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat." Dengan adanya Pasal 34 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 34 ayat (1) UU Bank Indonesia sebagaimana disebutkan di atas, maka sejak semula independensi OJK merupakan hal yang tidak terpisahkan dengan pembentukan OJK. Namun demikian, meskipun dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di luar pemerintah OJK tetap berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan dan Dewan Perwakilan Rakyat. Independensi OJK merupakan suatu keharusan dan hal ini disadari oleh pembentuk Undang-Undang yaitu Pemerintah dan DPR, dikarenakan sebagai otoritas yang melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan OJK hams memiliki independensi. Hal ini disebabkan OJK mengawasi kegiatan jasa keuangan dan transaksi keuangan oleh entitas bisnis yang dapat berpotensi terjadinya benturan kepentingan serta berpotensi mempengaruhi kepentingan pihak-pihak tertentu, termasuk pihak Pemerintah dengan tetap berada dalam koridor hukum yang juga menjamin bahwa independensi tersebut dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Independensi OJK diwujudkan dalam 2 (dua) hal. Pertama, secara kelembagaan OJK tidak berada di bawah otoritas lain di dalam sistem Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 71 Pemerintah Negara Republik Indonesia yang dimaknai bahwa OJK tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah. Namun tidak menutup kemungkinan adanya unsur-unsur perwakilan Pemerintah karena pada hakikatnya Otortias Jasa Keuangan merupakan otoritas di sektor jasa keuangan yang memiliki relasi dan keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, dalam hal ini otoritas fiskal dan moneter. Oleh karena itu, OJK melibatkan keterwakilan unsur-unsur dari kedua otoritas dimaksud, secara Ex-Officio . Keberadaan Ex-Officio ini dimaksudkan dalam rangka koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi kebijakan di bidang fiscal, moneter, dan sektor jasa keuangan. Keberadaan Ex-Officio juga diperlukan guna memastikan terpeliharanya kepentingan nasional dalam rangka persaingan global dan kesepakatan internasional, kebutuhan koordinasi, dan pertukaran informasi dalam rangka menjaga dan memelihara stabilitas sistem keuangan. Kedua, independensi OJK tercermin dalam kepemimpinan OJK. Secara orang perseorangan, pimpinan OJK memiliki kepastian masa jabatan dan tidak dapat diberhentikan, kecuali memenuhi alasan yang secara tegas diatur dalam UU OJK. Di samping itu, untuk mendapatkan pimpinan OJK yang tepat, Undang-Undang OJK mengatur seleksi yang unsur-unsurnya terdiri atas Pemerintah, Bank Indonesia, dan masyarakat sektor jasa keuangan. C. Penjelasan Pemerintah Atas Pendapat Para Pemohon Yang Menyatakan Pasal 5 Dan Frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU OJK Bertentangan Dengan UUD 1945 Dalam posita permohonannya para Pemohon, tidak menjelaskan mengapa frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..." bertentangan dengan UUD 1945, namun para Pemohon tetap meminta petitum kepada Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan bahwa frasa dimaksud bertentangan dengan UUD 1945 sehingga menyebabkan permohonan para Pemohon menjadi tidak jelas dan tidak fokus ( Obscuur Libel ). Namun demikian Pemerintah tetap akan menjelaskan mengapa frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK tidak Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 72 bertentangan dengan UUD 1945 dengan digabungkan pada Penjelasan Pemerintah terkait Pasal 5 UU OJK dikarenakan memiliki keterkaitan yaitu mengenai kewenangan pengaturan dan pengawasan OJK yang terintegrasi terhadap seluruhh kegiatan di dalam sektor jasa keuangan termasuk tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan. Pengaturan dan Pengawasan Sektor Jasa Keuangan Yang Terintegrasi Merupakan Kebutuhan Untuk Meningkatkan Efektivitas Dan Efisiensi Dalam Menghadapi Globalisasi dan Konglomerasi Sektor Jasa Keuangan Secara historis pembentukan UU OJK didasarkan pada terjadinya Asian Financial Crisis tahun 1997-1998 yang berdampak sangat berat terhadap Indonesia, khususnya sektor perbankan. Krisis pada tahun 1997-1998 berawal dari krisis nilai tukar di Thailand, krisis tersebut menjalar dengan cepat ke negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Filipina, Indonesia, dan Korea Selatan serta berkembang menjadi krisis perbankan. Krisis perbankan yang melanda Indonesia diakibatkan karena banyak bank yang mengalami krisis likuiditas, yang kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi dan politik sehingga secara keseluruhan menjadi krisis multidimensi sehingga menyebabkan krisis di Indonesia beriangsung lebih lama dibandingkan negara-negara Asia lainnya dan menyebabkan beban fiskal yang sangat besar, mencapai Rp. 600 triliun. Tidak hanya Asian Financial Crisis tahun 1997-1998, Global Crisis pada tahun 2008 juga memiliki peran mengapa diperlukan pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi dalam sektor jasa keuangan. Pada saat krisis global tahun 2008, Indonesia sebagai salah satu negara yang sistem keuangannya berinteraksi di pasar global tidak luput dari tekanan dan ancaman krisis, sehingga menyebabkan salah satu bank di Indonesia harus di- bailout untuk menghindari pengulangan akibat-akibat yang disebabkan Asian Financial Crisis tahun 1997-1998. Krisis pada tahun 1997-1998 dan juga krisis pada tahun 2008 menunjukkan kelemahan dalam hal kelembagaan dan pengaturan pada sektor jasa keuangan bukan hanya dalam sektor perbankan saja. Reformasi di bidang hukum sektor jasa keuangan diharapkan menjadi salah satu solusi untuk menciptakan sistem penyelesaian dan pencegahan krisis keuangan di masa yang akan datang. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 73 Filosofi pembentukan UU OJK bertujuan agar kegiatan sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, akuntabel, mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat, mengingat sistem keuangan merupakan salah satu komponen penting dalam sistem perekonomian nasional dan seluruh kegiatan jasa keuangan yang menjalankan fungsi intermediasi bagi berbagai kegiatan produktif di dalam perekonomian nasional dan memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam penyediaan dana untuk pembiayaan pembangunan ekonomi nasional. Berdasarkan landasan filosofis dimaksud, perlu dilakukan penataan agar dapat tercapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif di dalam menangani permasalahan yang timbul dalam sistem keuangan sehingga dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan. Pengaturan dan pengawasan terhadap keseluruhan kegiatan jasa keuangan tersebut harus dilakukan secara terintegrasi. Oleh karena itu, Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah, memandang diperlukan OJK yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara terpadu, independen, dan akuntabel. Secara filosofi, OJK sebagai otoritas yang melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan harus memiliki independensi di dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini disebabkan OJK mengawasi kegiatan jasa keuangan dan transaksi keuangan oleh entitas bisnis yang dapat berpotensi terjadinya benturan kepentingan serta berpotensi mempengaruhi kepentingan pihak-pihak tertentu, termasuk pihak Pemerintah. Untuk itu, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, OJK harus independen atau bebas dari intervensi pihak- pihak berkepentingan, tentunya dalam koridor hukum yang juga menjamin bahwa independensi tersebut dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Mengenai landasan sosiologis dapat Pemerintah sampaikan bahwa pembentukan OJK dilatarbelakangi oleh fakta bahwa terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi dan inovasi finansial telah menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks, dinamis, dan saling terkait antar masing- Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 74 masing subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Di samping itu, adanya lembaga keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan (konglomerasi) telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antar lembaga-lembaga keuangan di dalam sistem keuangan. Kemudian, banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard , belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan semakin mendorong diperlukannya pembentukan lembaga pengawasan di sektor jasa keuangan yang terintegrasi. Berdasarkan fakta-fakta tersebut, pembentukan OJK didasarkan pula atas pertimbangan perlunya dilakukan penataan kembali struktur pengorganisasian dari lembaga-lembaga yang melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan di industri jasa keuangan yang mencakup bidang perbankan, pasar modal dan industri jasa keuangan non bank; Penataan dimaksud dilakukan agar dapat dicapai pengawasan sektor jasa keuangan menjadi terintegrasi dan koordinasi di antara subsektor jasa keuangan menjadi lebih mudah sehingga pengawasan dan regulasinya menjadi lebih efektif sehingga dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan dan juga perlindungan konsumen sektor jasa keuangan yang lebih kuat, mengingat semakin rumitnya transaksi dan interaksi antar lembaga-lembaga keuangan di dalam sistem keuangan. Pasal 23D UUD 1945 Merupakan Opened Legal Policy dari Pembuat Undang-Undang dan Pasal 5 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 64, Pasai 65 dan Pasal 66 UU OJK Tidak Bertentangan Dengan Konstitusi Terhadap dalil para Pemohon yang mendalilkan bahwa kewenangan pengaturan dan pengawasan perbankan merupakan turunan langsung dari Pasal 23D UUD 1945, menurut Pemerintah hal tersebut tidak beralasan dan tidak berdasar hukum dikarenakan sebagaimana disampaikan oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dalam bukunya "Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi" pada halaman 92 yang menyatakan: "Selain itu, nama dan kewenangan bank sentral juga tidak tercantum Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 75 eksplisit dalam UUD 1945. Ketentuan Pasal 23D UUD 1945 hanya menyatakan "Negara memiliki bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan Undang-Undang”. Bahwa bank sentral itu diberi nama seperti yang sudah dikenal seperti selama ini, yaitu "Bank Indonesia", maka hal itu adalah urusan pembentuk Undang-Undang. Demikian pula dengan kewenangan bank sentral itu, menurut Pasal 23D tersebut, akan diatur dengan Undang-Undang." maka kewenangan Bank Indonesia sebagai bank sentral dapat ditentukan oleh pembentuk Undang-Undang melalui Undang-Undang yang dibentuknya dikarenakan Pasal 23D UUD 1945 merupakan ketentuan open legal policy dari pembuat Undang-Undang. Oleh karena itu apabila pembentuk Undang-Undang merasa perlu ada yang diperbaharui dari sistem sektor jasa keuangan termasuk kewenangan suatu lembaga hal tersebut dapat saja dilakukan dan tidak bertentangan dengan konstitusi. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas dan mengingat pentingnya sektor jasa keuangan sebagai salah satu komponen penting dalam sistem perekonomian nasional yang menjalankan fungsi intermediasi dalam rangka pembiayaan pembangunan ekonomi nasional agar dapat tercapainya tujuan konstitusional dibentuknya Negara Indonesia dan amanat konstitusional Pasal 33 UUD 1945, maka menurut Pemerintah kewenangan OJK dalam melakukan pengaturan dan pengawasan dalam sektor jasa keuangan sebagaimana termaktub dalam Pasal 5 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK merupakan kewenangan yang tidak melanggar konstitusi dan kewenangan tersebut menunjukkan bahwa OJK memiliki sifat constitutional importance dikarenakan merupakan salah satu instrumen untuk mencapai tujuan dan amanat konstitusional dalam Pembukaan dan Pasal 33 UUD 1945. Apabila para Pemohon mengkhawatirkan adanya penumpukan kewenangan dalam OJK dan dapat menimbulkan potensi moral hazard , menurut pendapat Pemerintah hal tersebut tidak perlu dikhawatirkan dikarenakan UU OJK juga telah memisahkan fungsi pengaturan dengan pengawasan sebagai unsur check and balances di dalam OJK. Hal ini diwujudkan dengan melakukan pemisahan yang jelas antara fungsi pengaturan dan fungsi pengawasan. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 76 Fungsi pengaturan dilakukan oleh Dewan Komisioner (vide Pasal 8) sedangkan fungsi pengawasan dilakukan masing-masing oleh Pengawas Perbankan, Pengawas Pasar Modal dan Pengawas Industri Keuangan Non Bank (vide Pasal 9 huruf b). Dewan Komisioner sebagai organ tertinggi dalam OJK selain menjalankan fungsi pengaturan, juga berperan untuk memastikan masing-masing Pengawas melaksanakan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun demikian perlu dicatat bahwa Penjelasan Pasal 9 huruf b menyatakan bahwa pengawasan Dewan Komisioner terhadap pelaksanaan tugas Kepala Eksekutif ditujukan untuk mengevaluasi dan memperbaiki kinerja dari Kepala Eksekutif. Pengawasan tersebut tidak dimaksudkan untuk memberi kewenangan kepada Dewan Komisioner untuk mengintervensi atau turut campur terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang setiap Kepala Eksekutif. Lebih lanjut, dalam rangka check and balances, di internal OJK terdapat Komite Etik, yaitu organ pendukung Dewan Komisioner yang bertugas mengawasi kepatuhan Dewan Komisioner, pejabat dan pegawai OJK terhadap kode etik. (vide Pasal 1 angka 21). Anggota Dewan Komisioner melanggar kode etik dapat diberhentikan sebelum masa jabatannya berakhir. Pelanggaran kode etik dalam ketentuan ini adalah pelanggaran yang dikategorikan pelanggaran berat dan dilaporkan oleh Dewan Komisioner kepada Dewan Perwakilan Rakyat. (vide Pasal 17 ayat (1)). Dewan Komisioner menetapkan Peraturan Dewan Komisioner mengenai kode etik dan menegakkan kode etik OJK (vide Pasal 32). D. Penjelasan Pemerintah Atas Pendapat Para Pemohon Yang Menyatakan Pasal 34 dan Pasal 37 UU OJK Bertentangan Dengan UUD 1945 Pengaturan Pungutan OJK Dimaksud Telah Sejalan Dengan Ketentuan Pasal 23A UUD 1945 Pengembangan sektor jasa keuangan yang merupakan bagian dari upaya pembangunan nasional dalam rangka upaya peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia ditempuh melalui usaha mewujudkan keseluruhan kegiatan sektor jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 77 keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 UUD 1945. UU OJK dibentuk dengan tujuan sebagaimana disebutkan di atas, namun guna mencapai tujuan tersebut diperlukan adanya jaminan sumber pembiayaan yang mampu mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan fungsi sebagai salah satu unsur yang dapat menjadikan OJK sebagai lembaga yang independen dalam pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan. Berdasarkan hal tersebut, maka pembentuk Undang-Undang yaitu DPR dan Pemerintah sepakat dalam hal anggaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan sebagaimana termaktub dalam Pasal 34 ayat (2) UU OJK. Ketentuan tersebut bermakna bahwa pembiayaan kegiatan OJK, sewajarnya didanai secara mandiri yang pendanaannya bersumber dari pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Selain itu, dalam Pasal 37 UU OJK mengatur bahwa OJK mengenakan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan, dan pungutan tersebut merupakan penerimaan OJK. Sebagaimana telah dijelaskan pula dalam penjelasan pasal tersebut yang menyatakan bahwa pembiayaan kegiatan OJK sewajarnya didanai secara mandiri yang pendanaannya bersumber dari pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Penetapan besaran pungutan tersebut dilakukan dengan tetap memperhatikan kemampuan pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan serta kebutuhan pendanaan OJK. Pengaturan pungutan OJK dimaksud telah sejalan dengan ketentuan Pasal 23A UUD 1945 yang mengatur bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk kepentingan Negara diatur dengan undang- undang. Sejalan dengan hal tersebut, UU OJK memberikan kewenangan kepada OJK untuk memungut biaya dari industri jasa keuangan, pungutan tersebut merupakan penerimaan OJK dan OJK berwenang untuk menerima, mengelola, dan mengadministrasikan pungutan tersebut Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 78 secara akuntabel dan mandiri. Namun demikian, jika jumlah pungutan telah melebihi kebutuhan pembiayaan OJK, maka kelebihan tersebut disetor ke kas negara sebagai penerimaan negara. Praktik pungutan atau iuran dalam sistem hukum sektor jasa keuangan Indonesia juga telah dikenal sebelumnya dengan adanya Pasal 9 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang menyatakan (3) “Bursa Efek dapat menetapkan biaya pencatatan Efek, iuran keanggotaan, dan biaya transaksi berkenaan dengan jasa yang _diberikan; _ (4) Biaya dan iuran sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) disesuaikan menurut kebutuhan pelaksanaan fungsi Bursa Efek. Selain itu, pungutan, iuran atau premi juga dikenal di dalam Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan khususnya pada Bagian Ketiga mengenai Premi. Oleh karena itu, pungutan, iuran, atau premi yang dikenakan kepada para pelaku pasar merupakan praktik yang lazim dalam sistem hukum sektor jasa keuangan di Indonesia dan telah sejalan dengan ketentuan Pasal 23A UUD 1945. Oleh karena itu, Pemerintah berpendapat bahwa dalil Para Pemohon yang menyatakan Pungutan yang dilakukan oleh OJK tidak sesuai dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan dan tidak berdasar hukum dikarenakan telah sesuai dengan Pasal 23A UUD 1945. Mekanisme Penganggaran Dan Pungutan OJK Telah Akuntabel Dan Sesuai Dengan Konstitusi Mengingat pada masa awal pembentukan OJK memerlukan pembiayaan dan OJK masih dalam tahap membangun regulasi dan standard operating procedure dalam kelembagaannya, maka untuk memenuhi kebutuhan OJK diberikan alternatif sumber pembiayaan OJK dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Dalam Pasal 34 UU OJK telah menentukan bahwa penetapan rencana dan anggaran OJK oleh Dewan Komisioner harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Memperhatikan hal tersebut, maka sepanjang masih terdapat unsur APBN dalam pembiayaan kegiatan OJK, maka proses penyediaan APBN untuk Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 79 pembiayaan tersebut tidak dapat terlepas dari mekanisme penyusunan dan penetapan APBN yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, beserta peraturan pelaksanaannya. Mengenai penetapan besaran pungutan tersebut dilakukan dengan tetap memperhatikan kemampuan pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan serta kebutuhan pendanaan OJK dan harus dibebankan kepada pihak yang secara langsung menerima manfaat dari efektifnya fungsi pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan oleh OJK, serta standar biaya yang lazim digunakan oleh sektor jasa keuangan atau regulator sektor jasa keuangan sejenis, baik domestik maupun internasional. Hal ini dilakukan agar OJK dapat mengimbangi tuntutan dan dinamika sektor jasa keuangan, baik secara domestik maupun internasional. Pengaturan mengenai pelaporan dan akuntabilitas OJK telah diatur di dalam Pasal 38 UU OJK, yang mengatur bahwa OJK menyusun laporan keuangan dan kegiatan secara periodik atau insidentil apabila DPR memerlukan penjelasan. Terkait laporan keuangan, OJK diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan wajib diumumkan kepada publik melalui media cetak dan media elektronik. Selain pengawasan eksternal, mekanisme mengenai pengawasan internal OJK juga telah diatur dalam UU OJK dengan adanya dewan audit sebagai salah satu anggota dewan komisioner. Pungutan OJK Merupakan International Best Practices Agar OJK Dapat Mengimbangi Tuntutan Dan Dinamika Sektor Jasa Keuangan, Baik Secara Domestik Maupun Internasional Selain itu, dapat Pemerintah jelaskan pula bahwa pembiayaan kegiatan pengatur dan pengawas sektor jasa keuangan oleh industri jasa keuangan dalam bentuk pungutan merupakan praktik yang lazim di banyak negara. Sebagai contoh, Office of the Comptroler of the Currency (OCC) di Amerika Serikat (USA) memungut biaya dari bank secara semi-annuaily yang didasarkan pada skala usaha bank sesuai dengan total asetnya. Selain itu terdapat tambahan pungutan dengan persentase tertentu sesuai dengan peringkat risiko bank. Selain hal tersebut di atas, OCC Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 80 memperoleh pendapatan dari memproses aplikasi perusahaan, Investasi terutama pada US-Treasury, pungutan atas pemeriksaan khusus/investigasi tertentu ( special examination ), pungutan atas perizinan, serta pendapatan lainnya (kegiatan seminar, penjualan publikasi, dan sebagainya). Tidak terlalu berbeda dengan OCC, Office Of Superintendent Of Financial Institute (OSFI) di Kanada memiliki pendanaan bersumber dari pungutan atas penilaian terhadap lembaga keuangan yang diperhitungkan baik berbasis total aset, berbasis premi, maupun berbasis keanggotaan. Pungutan terhadap bank berbasis total aset, pungutan terhadap asuransi berbasis premi. pungutan terhadap loan company (seperti BPR) berbasis keanggotaan. Di samping itu, OSFI juga memperoleh bantuan dari Canadian International Development Agency (CIDA) terutama untuk asistensi internasional, pendapatan dari pemerintah daerah (dalam hal OSFI membantu melakukan pengawasan terhadap beberapa institusi di Pemerintah Daerah berdasarkan kontrak), dan pendapatan dari lembaga pemerintahan. Di belahan benua Asia, Financial Services Supervisory (FSS) Korea selatan memperoleh pendanaan dari Supervisory Fee , yaitu pungutan yang dikenakan kepada lembaga keuangan sehubungan dengan kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh FSS, termasuk pemeriksaan yang dilakukan oleh FSS selain Supervisory Fee , FSS juga memungut Issuer Regulatory Fee , yaitu pungutan yang dikenakan kepada Issuer ( Emiten ) sehubungan dengan pengajuan perizinan kepada FSC-Korea sesuai dengan Exchange Act ( Capital Market ). Supervisory Fee dikenakan berdasarkan pada kewajiban ( debt liabilities ) dari institusi lembaga keuangan, sementara Issuer Regulatory Fee dikenakan berdasarkan pada jumlah dan jenis dari surat berharga/sekuritas yang diterbitkan; Selain contoh negara-negara di atas, terdapat banyak contoh negara yang pembiayaan OJKnya sepenuhnya dilakukan melalui pungutan dari industri, misalnya Belgia, Bolivia, Bosnia, Ekuador, Jerman, Hungaria, Islandia, Latvia, Norwegia, Luxemburg, Malta, Mexico, Panama, Swedia, Peru, Switzerland, Turki dan Inggris; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 81 Sementara itu, terdapat juga regulator di beberapa negara yang kegiatannya dibiayai oleh industri dan anggaran negara, misalnya Austria, El-Salvador, Guatelama, Nikaragua, dan Venezuela. Sedangkan regulator yang sepenuhnya dibiayai oleh negara antara lain Chile, China, Costa Rica, Kazakhstan, Lebanon, Jepang dan Uruguay. IV. Dampak Jika Dikabulkannya Permohonan Para Pemohon Dikabulkannya Permohonan A Quo Dapat Mengganggu Pelaksanaan Tugas-Tugas Pengawasan Dan Pengaturan Di Sektor Jasa Keuangan Dan Akan Membahayakan Industri Perbankan Dan Kosumen Serta Perekonomian Nasional Berdasarkan penjelasan yang telah disampaikan di atas, dan mengingat peran penting Otoritas Jasa Keuangan sebagai pengatur dan pengawas sektor jasa keuangan yang merupakan salah satu komponen penting dalam sistem perekonomian nasional yang menjalankan fungsi intermediasi bagi berbagai kegiatan produktif di dalam perekonomian nasional dan memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam penyediaan dana untuk pembiayaan pembangunan ekonomi nasional terutama dalam rangka menjalankan tujuan konstitusional dibentuknya Negara Indonesia dan amanat konstitusional Pasal 33 UUD 1945. Oleh karena itu, apabila dikabulkannya permohonan a quo dan diterimanya argumentasi para Pemohon, maka hal tersebut akan mengganggu pelaksanaan tugas-tugas pengawasan di perbankan dan akan membahayakan industri perbankan dan kosumen. Selain itu, dikabulkannya permohonan a quo dapat menimbulkan risiko bagi perekonomian akibat lemahnya pengawasan terhadap konglomerasi sektor jasa keuangan dan produk-produk lintas sektor jasa keuangan, sehingga pada akhirnya perlindungan terhadap konsumen di sektor jasa keuangan menjadi terbengkalai. Selain itu berdasarkan ketentuan peralihan Pasal 55 UU Otoritas Jasa Keuangan, kewenangan pengaturan dan pengawasan di bidang pasar modal dan lembaga keuangan telah beralih dari Menteri Keuangan dan Bapepam-LK kepada Otoritas Jasa Keuangan sejak 31 Desember 2012 dan kewenangan pengaturan dan pengawasan di bidang perbankan telah beralih dari Bank Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan sejak 31 Desember 2013. Berdasarkan hal tersebut, apabila permohonan Pemohon dikabulkan maka Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 82 akan menghambat tugas dan fungsi pengawasan pasar modal, lembaga keuangan dan perbankan dikarenakan pengalihan kewenangan pengaturan dan pengawasan dari Otoritas Jasa Keuangan kepada Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan dapat menyebabkan kekosongan hukum di pengawasan dan pengaturan sektor jasa keuangan sehingga akan berdampak sangat negatif pada perekonomian nasional dan para pelaku pasar. Selain itu, dampak dikabulkannya permohonan Pemohon akan menimbulkan konsekuensi pengawasan sektor jasa keuangan akan kembali menjadi pengawasan sektoral yang tidak terintegrasi, yang berpotensi menimbulkan risiko bagi perekenomian akibat lemahnya pengawasan terhadap konglomerasi sektor jasa keuangan dan produk-produk lintas sektor jasa keuangan, sehingga pada akhirnya perlindungan terhadap konsumen di sektor jasa keuangan akan menjadi terbengkalai. V. Kesimpulan Berdasarkan keterangan dan argumentasi tersebut di atas, dapat Pemerintah sampaikan kesimpulan sebagai berikut:
Bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan pengujian ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasai 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK karena permohonan para Pemohon tidak terkait dengan konstitusionalitas norma.
Permohonan provisi para Pemohon tidak beralasan dan tidak berdasar hukum dikarenakan para Pemohon tidak dapat menjelaskan secara spesifik terkait keadaan yang mendesak mengapa Mahkamah Konstitusi harus mengeluarkan putusan provisi dalam perkara a quo . Selain itu, dikabulkannya permohonan provisi para Pemohon dapat menimbulkan kerancuan dan ketidakpastian hukum bagi para pelaku pasar di sektor jasa keuangan dan konsumen termasuk dalam OJK.
Ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 83 Oleh karena itu, Pemerintah memohon kepada yang terhormat Ketua/Majelis Hakim Konstitusi yang memeriksa dan memutus permohonan uji materiil Pasai 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menyatakan bahwa para pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( legal standing );
Menolak Permohonan Provisi para Pemohon untuk seluruhnya;
Menolak permohonan pengujian para Pemohon seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian para Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
Menyatakan ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37, dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan tetap berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; Namun demikian apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya ( ex aequo etbono ). [2.4] Menimbang bahwa untuk membuktikan keterangannya, Presiden dalam persidangan tanggal 8 Oktober 2014, tanggal 28 Oktober 2014, tanggal 12 November 2014, dan tanggal 1 Desember 2014 mengajukan 13 (tiga belas) ahli yakni Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., MPA., Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum., Dr. Maruarar Siahaan, S.H., Dr. Zainal Arifin Moechtar, S.H., LL.M., Prof. Erman Rajagukguk, S.H., LL.M., Ph.D., Dr. Sihabudin, S.H., M.H., Refly Harun, S.H., LL.M., Dr. Mulia P.Nasution, D.E.S.S., Dr. Harjono, S.H., MCL., Prof. Achmad Zen Umar Purba, S.H., LL.M, Prof. Dr. Yuliandri, S.H., M.H., Prof. Wihana Kirana Jaya, MsocSc., PhD, dan Prof. Dr. Nindyo Pramono, S.H., MS., yang memberikan keterangan lisan di bawah sumpah/janji dalam persidangan tersebut dan/atau menyerahkan keterangan tertulis yang mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., MPA Apabila hendak disederhanakan, pokok permohonan pengujian Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) adalah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 84 perihal konstitusionalitas kehadiran/keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai salah satu lembaga atau komisi negara independen. Sebagai lembaga negara baru yang secara umum diberi tugas melakukan pengawasan secara terintegrasi terhadap seluruh kegiatan pada sektor jasa keuangan, kehadiran OJK dinilai Pemohon (1) tidak memiliki landasan konstitusional (karena tidak memiliki cantolan di dalam UUD 1945), (2) kehadiran OJK hanya dimandatkan dalam UU tentang Bank Indonesia, (3) fungsi pengawasan Bank Indonesia terhadap bank direduksi oleh OJK, (4) independensi OJK, (5) terjadinya penumpukan kewenangan pada OJK sehingga akan menjadi lembaga super-body , dan (6) kehadiran OJK dinilai merugikan pihak yang meiakukan kegiatan di sektor jasa keuangan karena adanya pungutan. Semua alasan tersebutlah yang menjadi alasan atau dasar bagi Pemohon untuk mempersoalkan konstitusionalitas keberadaan OJK; Sehubungan dengan pokok permohonan pengujian ini, secara terbatas, saya hanya akan menjelaskan sisi kelembagaan yang meliputi:
kedudukan, (2) sumber kewenangan, (3) pemindahan fungsi pengawasan bank dari Bl ke OJK, dan terakhir (4) independensi OJK. Adapun perihal pungutan yang dilakukan OJK dalam rangka melaksanakan tugas dan kewenangannya sebagaimana juga dipersoalkan Pemohon tidak akan diulas. Sebab, menurut ahli masalah itu hanyalah sebuah konsekuensi dari kehadiran sebuah lembaga, di mana jika UU memberi kewenangan untuk itu, maka tidak beralasan untuk mempersoalkan konstitusionalitasnya. Lagi pula, apabila soal kelembagaan OJK telah diselesaikan, masalah kewenangan (termasuk melakukan pungutan) dengan sendirinya akan terurai; Sehubungan dengan masalah kelembagaan, saya akan menerangkan empat pokok pembahasan terkait OJK. Pertama, kedudukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga negara. OJK, sama halnya dengan Bank Indonesia berkedudukan sebagai lembaga negara. Dalam UU 21/2011 didefenisikan, OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan. Adapun Bank Indonesia didefenisikan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagai lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan Pemerintah dan atau pihak-pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 85 Undang-Undang ini; Dari sisi defenisi, memang terdapat sedikit perbedaan antara OJK dan Bank Indonesia terkait penggunaan kata "negara". Di mana, untuk defenisi Bank Indonesia digunakan frasa "lembaga negara" yang independen. Sedangkan OJK hanya disebut sebagai "lembaga" yang independen. Tanpa ada kata "negara"; Hanya saja, pendefenisian seperti itu (tanpa menggunakan frasa "lembaga negara") tidak saja untuk OJK, tetapi juga dipakai mendefenisikan lembaga- lembaga negara lain. Di antaranya, Komisi Pemilihan Umum didefenisikan sebagai, lembaga penyelenggara Pemilu...dst. Tanpa ada kata "negara". Demikian juga dengan Badan Pengawas Pemilu dalam UU 15/2011 yang didefenisikan sebagai, lembaga penyelenggara Pemilu...dst. Hal yang sama juga ditemukan dalam Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga didefenisikan sebagai dengan frasa lembaga mandiri...dst; Pertanyaannya, apakah defenisi yang menggunakan frasa "lembaga negara" atau hanya kata "lembaga" menunjukkan perbedaan status atau kedudukan lembaga tersebut? Dalam arti, hanya lembaga yang menggunakan frasa "lembaga negara" saja yang berkedudukan sebagai lembaga negara, sedangkan yang menggunakan kata "lembaga" tidak berkedudukan sebagai lembaga negara? Apakah demikian? Pada dasarnya adanya frasa "lembaga negara" atau hanya kata "lembaga" tidak mempengaruhi status dan kedudukan sebuah lembaga sebagai lembaga negara. Sebab, sepanjang suatu lembaga dibentuk untuk melaksanakan fungsi- fungsi negara mengamini pendapat Hans Kelsen-, maka lembaga dimaksud adalah lembaga negara. Sejalan dengan soal itu, mengutip Jimly Asshiddiqie, baik "lembaga pemerintahan", "lembaga non-pemerintahan", "lembaga negara" atau "lembaga" saja, semuanya termasuk dalam kategori lembaga negara; Oleh karena itu, sekalipun OJK hanya didefenisikan dengan kata "lembaga" saja, bukan berarti OJK tidak berkedudukan sebagai lembaga negara. Sebab, sudah sangat tegas dinyatakan dalam UU 21/2011 bahwa salah satu tujuan OJK adalah terselenggaranya sektor jasa keuangan secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel yang merupakan bagian dari fungsi negara. Adapun OJK dibentuk untuk menjalankan fungsi dimaksud, yaitu untuk mengawasi berjalannya sektor jasa keuangan. Sehingga tidak perlu diragukan lagi bahwa OJK berkedudukan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 86 sebagai lembaga negara, sama halnya dengan Bl yang juga berkedudukan sebagai lembaga negara; Walaupun sama-sama berkedudukan sebagai lembaga negara, OJK dan Bank Indonesia memiliki derajat kedudukan yang berbeda sebagai lembaga negara. Bank Indonesia merupakan lembaga yang dibentuk sebagai konsekuensi ketentuan Pasal 23D UUD 1945 yang menyatakan, negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan UU. Dalam hal ini, kehadiran bank sentral yang kemudian diberi nama dengan Bank Indonesia merupakan mandat UUD 1945. Artinya, sumber norma yang menjadi dasar keberadaan Bank Indonesia adalah UUD 1945; Sedangkan kehadiran OJK merupakan konsekuensi Pasal 34 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang menyatakan, tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang. Lalu, berdasarkan ketentuan tersebut dibentuklah lembaga pengawas sektor jasa keuangan yang diberi nama dengan OJK; Perbedaan dasar hukum pembentukan Bl dan OJK memiliki konsekuensi terhadap tidak samanya kekuatan keduanya. Dalam arti, karena dasar pembentukan Bl berasal dari UUD 1945, maka lembaga ini tidak dapat dibubarkan hanya karena kebijakan pembentuk Undang-Undang. Jika hendak membubarkan Bl atau bank sentral, harus melalui perubahan UUD 1945. Inilah yang menyebabkan keberadaan Bl menjadi kuat. Sementara kedudukan OJK tidak sekuat Bl. Sebab, kekuatan lembaga ini hanya berbasis pada Undang-Undang. Di mana, jika pembentuk Undang-Undang sepakat membubarkan OJK, maka cukup hanya melalui perubahan atau pencabutan Undang-Undang. Artinya, pembubaran OJK tidak harus melalui perubahan UUD 1945 yang jauh lebih sulit; Perbedaan sumber norma pembentukan dua lembaga tersebut tidak dapat dijadikan dasar penilaian konstitusionalitas atau tidaknya lembaga yang ada. Sebab, baik lembaga yang dibentuk karena perintah UUD 1945 maupun lembaga yang hadir karena perintah Undang-Undang sama-sama konstitusional sepanjang dibuat oleh lembaga yang berwenang dan sesuai wewenang yang dimilikinya. Jadi, perbedaan dasar hukum tidak menjadi alasan mempersoalkan konstitusionalitas sebuah lembaga atau komisi negara; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 87 Selain itu, apabila ukuran konstitusionalitas keberadaan sebuah lembaga negara hanya atas dasar ada tidaknya perintah UUD 1945 sebagaimana didalilkan Pemohon, tentunya bukan hanya OJK yang akan dikatakan inkonstitusional. Sebab, banyak lembaga/komisi negara lainnya yang kehadirannya tidak diperintahkan UUD 1945, melainkan hadir melalui sebuah UU atau bahkan hanya peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang. Misalnya KPK hadir berdasarkan UU No 30/2002 dan tidak satupun norma dalam UUD 1945 yang memerintahkan pembentukannya. Begitu juga dengan Bawaslu, tidak ditemukan adanya norma yang secara eksplit memerintahkan pembentukannya. Dua lembaga terakhir tersebut juga hadir atas dasar Undang-Undang dan bukan perintah langsung UUD 1945. Di mana, keberadaan dua lembaga tersebut adalah konstitusional. Jadi, akan menjadi sangat keliru jika dasar penilaian konstitusionalitas sebuah lembaga hanya atas kategori ada tidaknya perintah atau cantolan ketentuan UUD 1945 sebagai dasar membentuknya; Selanjutnya yang Kedua, sumber kewenangan Bl dan OJK. Baik Bl maupun OJK sama-sama lembaga negara yang kewenangannya diberikan melalui Undang-Undang, bukan UUD 1945. Terkait kewenangan bank sentral/BI, Pasal 23D UUD 1945 menyatakan, ...suatu bank sentral yang kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan Undang-Undang. Pasal 23D UUD 1945 mendelegasikan pengaturan tentang kewenangan Bl kepada Undang-Undang. Artinya, kewenangan Bl akan diatur dalam Undang-Undang yang mengatur tentang Bl. Dengan demikian, sumber kewenangan Bl adalah Undang-Undang, bukan UUD 1945. Dalam hal ihwal ini, Bl masuk dalam kategori lembaga negara yang keberadaanya diatur di dalam UUD 1945, tetapi kewenangannya diatur dalam UU, yaitu UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bl; Dalam konteks sumber kewenangan, derajat kedudukan OJK menyamai Bl. Sebab, kewenangan OJK juga berasal dari UU, yaitu UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK. Dalam hal ini, sekalipun pengakuan keberadaannya tidak bersumber dari UUD 1945, tetapi semua hal terkait keberadaan, kedudukan dan kewenangannya bersumber dari Undang-Undang. Dalam hal sumber kewenangan inilah posisi Bl dan OJK dapat disebandingkan; Ketiga, terkait keabsahan pemindahan fungsi pengaturan dan pengawasan bank dari Bl kepada OJK melalui UU Bank Indonesia. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, pengaturan segala tugas dan wewenang Bl diserahkan kepada Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 88 pembentuk Undang-Undang. Terkait hal itu, pembentuk UU berwenang menentukan apa saja yang akan diatur sebagai kewenangan Bl. Karena itu, tugas, wewenang dan fungsi Bl sebagai bank sentral sepenuhnya menjadi kewenangan DPR dan Presiden (sebagai pembentuk Undang-Undang) menentukannya. Artinya, bila terdapat wewenang yang diberikan kepada bank sentral, lalu kemudian wewenang tersebut diambil atau dialihkan kepada lembaga lain yang juga dibentuk berdasarkan kewenangan pembentuk Undang-Undang, maka hal itu tidak dapat dipersoalkan konstitusionalitasnya; Sehubungan dengan itu, dalam kaitannya dengan keberadaan Bl dan OJK, di mana Pemohon menilai bahwa Bl lebih memiliki landasan konstitusional dibanding-kan OJK dalam melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan bank adalah tidak tepat. Sebab, penentuan kewenangan bank sentral merupakan wewenang pembentuk Undang-Undang. Apakah wewenang tertentu diberikan kepada Bl atau mungkin dicabut atau dialihkan dari Bl, berdasarkan Pasal 23D UUD 1945 sepenuhnya menjadi hak DPR dan Presiden. Termasuk memindahkan sebagian kewenangan Bl kepada OJK yang dibentuk berdasarkan mandat Pasal 34 ayat (1) UU Bl; Oleh karena itu, pemindahan kewenangan tersebut konstitusional adanya. Apalagi pemindahan kewenangan dimaksud dilakukan melalui Undang-Undang. Keberadaan OJK yang dibentuk dengan Undang-Undang dan kedudukan Bl yang dibentuk berdasarkan UUD 1945 sama-sama konstitusional. Di mana, apapun kewenangan yang diberikan pada kedua lembaga negara tersebut tidak dapat dipersoalkan konstitusionalitasnya sepanjang dilakukan sesuai kewenang Presiden dan DPR sebagai primary legislator ; Terakhir atau yang Keempat adalah persoalan independensi OJK. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, OJK itu adalah sebuah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya...dst. Harus dipahami, bahwa frasa "independen" menunjuk pada kedudukan OJK sebagai lembaga negara yang berada di luar kekuasaan Pemerintah. Dalam hal ini, independensi OJK menunjukkan lembaga ini bukan institusi yang berada di bawah Presiden, melainkan sebuah lembaga negara yang diberikan kewenangan menjalankan fungsi negara yang diberikan kepadanya. Independensi OJK sama dengan Bl. Dalam hal ini, misalnya Bl, jika diletakkan dalam rumpun lembaga negara, Bl berada dalam rumpun eksekutif. Upaya memberikan label " independent " dilakukan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 89 untuk memberikan jarak dengan pemegang kekuasaan eksektif agar terhindar dari pengaruh dinamika politik. Jimly Asshiddiqie (2007) menggambarkan hal itu dilakukan sebagai bentuk kesengajaan melepaskan Bank Sentral dari kewenangan mutlak pemegang atau kepala pemerintahan. Karenanya, dengan memberi tambahan independen, BS hadir menjadi semacam a quasi executive entity . Begitu juga OJK, kehadirannya secara konstitusional didasarkan atas ketentuan 33 UUD 1945 dan UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang merupakan turunan dari Pasal 23D UUD 1945. Jadi, sifat independensi bank sentral juga dapat dilekatkan kepada OJK; Kehadiran berbagai komisi negara independen bukan fenomena yang hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga terjadi di banyak negara di dunia, seperti Inggris, Afrika Selatan, Thailand dan Amerika Serikat. Secara umum, hadirnya komisi negara independen ditujukan untuk menyempurnakan proses demo-kratisasi yang terus berkembang seiring dengan perubahan kondisi sosial politik yang terjadi; Di sisi lain, keberadaan lembaga negara atau komisi negara independen di berbagai negara juga merupakan bentuk koreksi atas kemapanan peng- klasifikasian kekuasaan pemerintah negara yang ada sebelumnya. Di mana, cabang kekuasaan negara hanya dikelompokkan menjadi tiga, yaitu kekuasaan membuat Undang-Undang (legislatif), kekuasaan pemerintah (eksekutif) dan kekuasaan kehakiman (yudisial). Ketika cabang kekuasaan yang telah ada tersebut dianggap tidak lagi mampu, bahkan sebagiannya dinilai menurun kredibilitasnya dalam melaksanakan tugasnya, sehingga membutuhkan institusi di luar cabang kekuasaan tersebut untuk menutupi kelemahan yang ada; Terkait dengan hal tersebut, Asimow dalam bukunya Administrative Law (2002) menyatakan most administrative agencies fall in the executive branch, but some important agencies are independent . Organ negara ( state organs ) yang diidealkan independen dan karenanya berada di luar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Dalam hal ini, William F. Funk & Richard H. Seamon mengatakan, lembaga independen itu tidak jarang mempunyai kekuasan " quasi legislative ", " quasi executive " dan " quasi judicial ". Sementara itu, komisi yang berada di bawah eksekutif sering disebut dengan executive agencies. Namun executive agencies tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai lembaga independen karena pada prinsipnya dibentuk menjalankan tugas-tugas eksekutif; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 90 Sebuah lembaga negara/komisi negara dikatakan independen bila dinyatakan secara tegas (eksplisit) dalam dasar hukum pembentukkannya, baik yang diatur dalam UUD atau Undang-Undang. Kemudian, pengisian pimpinan lembaga bersangkutan tidak dilakukan oleh satu lembaga saja. Selanjutnya, sebagaimana dikemukakan Asimov, dalam teori hukum tata negara, sebuah lembaga dikatakan independen apabila pemberhentian anggota lembaga yang hanya dapat dilakukan berdasarkan sebab-sebab yang diatur dalam Undang- Undang pembentukan lembaga yang bersangkutan Ciri lainnya menurut William J Fox Junior, presiden dibatasi untuk tidak secara bebas memutuskan ( discretionary decision ) pemberhentian sang pimpinan lembaga. Tidak hanya itu, Funk and Seamon menambahkan bahwa lembaga negara independen bila pimpinan yang kolektif, tidak dikuasai/mayoritas berasal dari partai politik tertentu; dan masa jabatan para pemimpin tidak habis secara bersamaan, tetapi bergantian ( staggered terms ); Dalam konsep atau teori itulah sebetulnya indepensi OJK harus dipahami. Independensi OJK bukan bermakna bahwa peran negara dalam penyelenggaraan perekonomian nasional menjadi berkurang. Sebab, kehadiran OJK bukan dalam rangka menarik keluar urusan yang seharusnya menjadi fungsi pemerintahan negara, melainkan tetap dilakukan oleh negara melalui pembagian urusan terkait perbankan dan perekonomian nasional kepada beberapa lembaga negara. Di mana, awalnya hanya menjadi kewenangan Bl semata, sekarang sebagiannya diserahkan kepada OJK; Selain itu, sekalipun ditempatkan sebagai lembaga negara independen, pelaksanaan tugas OJK juga tetap terikat dan terkait dengan pelaksanaan tugas pemerintah dan Bank Indonesia. Di mana, secara struktural keterkaitan pelaksanaan tugas OJK diwujudkan dalam bentuk dijabatnya dua Komisioner OJK secara ex-oficio oleh pejabat eleson I pada Kementerian Keuangan dan Anggota Dewan Gubernur Bl. Sedangkan 7 orang anggota Dewan Komisioner lainnya diisi melalui proses seleksi. Hal itu menunjukkan bahwa sifat independensi OJK tetap dalam kerangka keterkaitan tugasnya mengawal perekonomian nasional bersama Kementerian Keuangan dan Bl; Selanjutnya, posisi OJK sebagai sebuah lembaga negara yang independen juga memiliki konsekuensi logis terhadap kewenangan yang dimilikinya. Salah satunya, kewenangan membentuk atau menerbitkan berbagai peraturan yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 91 berkedudukan sebagai peraturan pelaksana Undang-Undang. Di mana, peraturan- peraturan yang dibuat mengikat seluruh pihak dan berlaku ke luar dan ke dalam. Bahkan merujuk pada sistem perundang-undangan kita, lembaga negara/komisi negara mempunyai ruang untuk membentuk peraturan yang sifatnya regeling ; Lalu, bagaimana indepensi OJK jika dikaitkan dengan Pasal 33 UUD 1945 sebagai dasar konstitusional pembentukannya? Karena terintegrasi dengan sistem perekonomian, apakah kemudian independensinya tidak akan terjaga? Dalam hal ini, dapat dipastikan bahwa tugas dan fungsi OJK terkait erat dengan penyelenggaraan perekonomian nasional. Namun bukan berarti hal itu secara serta merta akan merusak atau menghilangkan indenpendensi OJK. Harus diingat, independen adalah sifat objektif kelembagaan OJK dalam melaksanakan fungsinya sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Hanya saja, dalam pelaksanaan fungisnya tentu saja terbuka ruang untuk terjadi penyimpangan. Walaupun demikian, persoalan ini tentu bukan masalah konstitusionalitas norma Undang-Undang OJK, melainkan soal pelaksanaan norma oleh pejabat di lembaga tersebut; Sebelum mengakhiri keterangan ini, ahli juga akan menyinggung bagaimana hubungan antara Kementerian Keuangan, Bl, dan OJK. Di mana, tiga institusi tersebut memiliki kewenangan yang saling bersinggungan satu sama lain. Lebih-lebih lagi Bl dengan OJK. Secara struktural, Bl dan Kementerian Keuangan menjadi bagian dari Dewan Komisioner OJK. Dengan demikian, kedua institusi tersebut sekalipun bukan mayoritas di OJK, tetapi tetap memiliki kewenangan untuk turut mempengaruhi keputusan-keputusan yang akan dibuat OJK. Selain mempengaruhi, kehadiran Bl dan Kementerian Keuangan juga dapat memastikan langkah-langkah pengawasan jasa keuangan yang dilakukan OJK terintegrasi atau terkoordinasi dengan agenda-agenda urusan keuangan yang diurus oleh Pemerintah dan Bank Indonesia; Dari segi tujuan, Kementerian Keuangan bertujuan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. Adapun OJK hadir untuk teraturnya sektor jasa keuangan, terwujudnya sistem keuangan yang stabil serta terlindunginya kepentingan konsumen. Sedangkan Bl bertujuan untuk memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ketiga lembaga tersebut saling terkait satu sama lain. Di mana, semua akan mendukung pencapaian mewujudkan pemajuan kesejahteraan umum yang dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 92 Dengan tujuan yang saling berhubungan serta ada jaminan terkoordinasinya tugas tiga lembaga tersebut secara struktural, maka kehadiran OJK justru akan dapat menutupi berbagai kelemahan yang ada sebelumnya. Dengan begitu, pandangan yang menyatakan bahwa kehadiran OJK telah mereduksi dan melemahkan peran Bl justru kehilangan relevansinya. Hal yang terjadi justru sebaliknya, di mana kehadiran OJK akan dapat memperkuat pelaksanaan tugas pengawasan jasa keuangan yang ada. Pada saat bersamaan juga dapat membantu terselenggaranya urusan pemerintahan dibidang keuangan secara lebih baik;
Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.HUM Hadirnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam sistem tata kelola keuangan di Indonesia ( finance governance ) memberikan harapan positif terhadap upaya penguatan sektor jasa keuangan, agar dapat tumbuh menjadi sektor jasa yang profesional dan berorientasi untuk melayani serta melindungi masyarakat pengguna jasa keuangan secara lebih baik. Tugas pemerintah dalam negara hukum modern ( moderne rechsstaat ) menurut Hughes (1994:
meliputi 7 (tujuh) macam, yaitu: 1 . _Providing economic insfrastructure;
Provision of various_ _collectieve goods and service;
The resolution and adjustment of group conflicts; _ _4. The maintanance of competititon;
Protection of natural resources;
Provision_ _for minimum access by individuals to the goods and services of the economy;
_ Stabilisation of the economy. Jika merujuk pendapat tersebut, kehadiran OJK kiranya dapat memenuhi fungsi untuk mewujudkan stabilitas ekonomi melalui tujuan dari pembentukan OJK sebagaimana diatur pada Pasal 4 UU Nomor 21 Tahun 2011, yaitu agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:
terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
mampu melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat; Sesuai dengan amanah Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, telah lahir Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK). UU tersebut diberlakukan mulai 1 Januari 2013. Lembaga independen tersebut ditugaskan untuk mengatur dan mengawasi lembaga keuangan bank dan non-bank. Lembaga keuangan non-bank yang diawasi oleh OJK adalah Asuransi, Dana Pensiun, Bursa Effek/Pasar Modal, Modal Ventura, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 93 Perusahaan Anjak Piutang, reksadana, perusahaan pembiayaan. Dengan mulai beroperasinya Lembaga tersebut, maka sejak republik ini berdiri baru pertama kalinya lahir Lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mengawasi lembaga secara terintegrasi yaitu lembaga keuangan bank dan non bank. Lembaga independen tersebut mengambil alih tugas pengawasan lembaga keuangan bank dan non bank yang selama ini dilakukan oleh Bank Indonesia sebagai pengawas Bank dan Bapepam-LK untuk lembaga keuangan non bank. Pola pembentukan institusi OJK menyerupai pembentukan KPK dan cukup banyak state auxiliary agencies lain yang sifatnya constitutionally important. Artinya, dengan memahami hakikat makna ketentuan-ketentuan dalam konstitusi untuk mewujudkan sistem tatakelola perekonomian yang baik, maka hal itu mendasari konsiderasi pembentukan OJK. Meskipun, sama halnya dengan landasan eksistensi KPK dan beberapa state auxiliary agencies lain, tidak semua hal yang diperlukan dalam kehidupan ketatanegaraan dan pemerintahan harus diatur secara eksplisit dan rinci dalam konstitusi, mengingat cakupan ruang lingkup materi muatan konstitusi yang lazimnya bersifat terbatas sebagai norma dasar tertinggi dalam suatu negara. Namun, dalam suatu hal yang bersifat urgen terdapat hal-hal yang secara konstitusional dianggap penting untuk dibentuk/dilaksanakan dalam praksis ketatanegaraan; Kiranya, konsiderasi UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK sudah konsisten dengan dasar pengaturan bagi lahirnya OJK dan maksud pembentuk UUD Negara RI 1945 untuk mewujudkan tata kelola perekonomian yang baik sebagaimana diatur pada Pasal 34 UU Bank Indonesia yaitu:
. untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, diperlukan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat;
. berdasarkan pertimbangan tersebut, diperlukan otoritas jasa keuangan yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan serta pengawasan terhadap kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara terpadu, independen, dan akuntabel. Penjabaran kewenangan OJK dalam substansi UU OJK juga telah konsisten secara intensional maupun gramatikal dengan delegasi kewenangan yang diberikan terhadap UU Nomor 21 Tahun 2011; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 94 Urgensi OJK Krisis keuangan yang terjadi di Asia merupakan implikasi kelemahan kualitas sistem keuangan di Asia. Pada bulan Juli 1997, Indonesia mulai terkena dampaknya karena struktur ekonomi nasional Indonesia yang masih lemah untuk menghadapi krisis global tersebut. Hal itu menyebabkan kurs rupiah terhadap dolar AS melemah pada tanggal 1 Agustus 1997 dan diikuti penutupan 16 bank bermasalah oleh pemerintah pada bulan November 1997. Kemudian, pemerintah dan Bank Indonesia membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk mengawasi 40 bank bermasalah lainnya dan mengeluarkan kebijakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dalam rangka membantu bank-bank bermasalah tersebut. Kebijakan BLBI tersebut tidak berjalan efektif karena dana bantuan tersebut disalahgunakan oleh sejumlah pihak. Hal itu memperburuk citra perbankan dan sistem pengawasan perbankan yang dilakukan oleh BI. Bank Indonesia yang bertindak sebagai pengatur dan pengawas di sektor perbankan diarahkan untuk mengoptimalkan fungsi perbankan Indonesia agar tercipta sistem perbankan yang sehat secara menyeluruh maupun individual, dan mampu memelihara kepentingan masyarakat dengan baik, berkembang secara wajar serta bermanfaat bagi perekonomian nasional. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997-1998 yang dialami Indonesia mengharuskan pemerintah melakukan pembenahan di sektor perbankan dalam rangka melakukan stabilisasi sistem keuangan dan mencegah terulangnya krisis. Pada tahun 1999-2004, pemerintah melakukan program penyehatan perbankan, rekapitalisasi bank umum dan restrukturisasi kredit perbankan, serta pemantapan ketahanan sistem perbankan dan prinsip kehati-hatian bank, yang meliputi pengembangan infrastruktur perbankan, peningkatan Good Corporate Governance dan penyempurnaan pengaturan serta sistem pengawasan bank. Pada tahun 2004, pemerintah memulai implementasi Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang merupakan landasan dan arah kebijakan perbankan dalam jangka panjang serta beberapa program dalam Arsitektur Keuangan Indonesia (ASKI), guna menciptakan landasan dalam membangun sistem keuangan yang kokoh dan mampu menunjang kegiatan perekonomian nasional secara berkesinambungan (Herry Rocky, 2012, Perkembangan Perbankan 1990-2010 (http: //herryrocky.blogspot.com/2012/03/perkembangan-perbankan-1990- 2010.html, diakses 9 Juli 2012); Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 95 Pengalaman Indonesia menghadapi krisis ekonomi pada tahun 1997-1998 dan tahun 2008 yang mengakibatkan terjadinya krisis multidimensi yang berdampak sangat besar terhadap perekonomian nasional, memberikan gambaran pentingnya peranan jasa keuangan dalam mendukung perekonomian nasional. Oleh karena itu, pengelolaan sektor jasa keuangan yang baik menjadi penting untuk mencegah terjadinya krisis, sehingga krisis yang pernah dialami diharapkan tidak akan terjadi lagi. Untuk itu, diperlukan keberadaan Otoritas Jasa Keuangan dalam mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil. Best Practices OJK di Beberapa Negara Lain dan Kontribusinya bagi Pembentukan OJK di Indonesia Pembentukan OJK kiranya juga merupakan hasil belajar dari best practices sistem pengawasan oleh institusi tunggal dan independen di beberapa negara lain. Beberapa diantaranya dapat disebutkan disini; Pada tanggal 25 Januari 2001, Menteri Keuangan Jerman, Hans Eichel mengumumkan pembentukan otoritas pengawas keuangan terintegrasi, yaitu Bundesanstalt für Finanzdienstleistungsaufsicht (BaFin) dan mulai beroperasi pada tanggal 1 Mei 2002 berdasarkan hukum otoritas jasa keuangan pengawasan tunggal ( Gesetz über die integrierte Finanzdienstleistungsaufsicht ). BaFin merupakan gabungan dari lembaga pengawas terpisah untuk perbankan ( Bundesaufsichtsamt für das Kreditwesen -BAKred), asuransi ( Bundesaufsichtsamt für das VersicherungswesenB AV) dan sekuritas ( Bundesaufsichtsamt für den Wertpapierhandel -BAWe). BaFin memiliki wewenang terkait pengawasan lembaga kredit, perusahaan asuransi, perusahaan investasi dan lembaga keuangan lainnya. BaFin bertujuan untuk menjamin stabilitas dan integritas sistem keuangan Jerman secara menyeluruh, dengan dua tujuan utama yaitu menjaga solvabilitas bank, penyedia jasa keuangan dan perusahaan asuransi dan perlindungan konsumen dan investor. Setelah BaFin dibentuk, Deutsche Bundesbank (Bundesbank) bertugas sebagai otoritas moneter dan sistem pembayaran. Bundesbank merumuskan kebijakan moneter dan perbankan, menjaga nilai mata uang, mempertahankan tingkat kecukupan cadangan aset/siklus kas dan pengelolaan uang kertas, memantau perkembangan bisnis dan menganalisis spektrum yang luas dari masalah ekonomi, serta menjamin kelancaran fungsi pembayaran domestik dan asing dengan menyediakan layanan jasa kliring; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 96 Otoritas Jasa Keuangan di Australia diperankan oleh The Australian Prudential Regulation Authorihy (APRA). Lembaga-lembaga yang diatur oleh APRA diantaranya adalah bank, asuransi, penyedia retirement saving accounts, trustee of superannuation entity. Organisasi APRA terdiri dari sebuah dewan ( board ), seorang pemimpin operasi ( chief executive officer) didukung para staf. Di Australia, APRA dibiayai dari kontribusi (levy) lembaga yang diawasi. APRA mengambil alih tugas dari Reserve Bank of Australia (RBA) dan Insurance and Superannuation Committee (ISC). Lembaga yang dibentuk pada tanggal 1 Juli 1998 tersebut menjalankan fungsi pengawasan micro-prudential lembaga keuangan yang terdiri dari bank, credit union, building society dan perusahaan asuransi. Selain itu, APRA juga mengawasi industri dana pensiun ( superannuation Funds ); Krisis keuangan yang dialami oleh Korea pada tahun 1997-1998 mengakibatkan beberapa konglomerat bisnis besar mengalami kesulitan keuangan, kredit macet di bank-bank Korea meningkat tajam, sehingga melemahkan kesehatan keuangan lembaga perbankan domestik, yang berdampak pada ketidakstabilan keuangan Korea. Hal ini mendorong pemerintah Korea untuk melakukan reformasi kelembagaan dan kebijakan keuangan, maka dibentuklah Korea Deposit Insurance Corporation (KDIC), Financial Supervisory Commission (FSC)/ Financial Supervisory Services (FSS) yang memiliki wewenang sebagai lembaga pengawas tunggal untuk perbankan dan non-perbankan. Dengan perubahan ini Ministry of Finance and Economy (MOFE), FSC/FSS, Bank of Korea (BOK), dan KDIC adalah empat lembaga publik yang bertanggung jawab untuk menjaga stabilitas dan efisiensi sistem keuangan Korea; Masih cukup banyak negara lain yang juga membentuk institusi semacam OJK untuk melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan sektor keuangan secara terpadu. Meskipun latar belakang pendirian lembaga pengawas jasa keuangan terpadu berbeda di setiap negara, terdapat beberapa faktor yang memicu dilakukannya perubahan terhadap struktur kelembagaan pengawas jasa keuangan. Pertama, munculnya konglomerasi keuangan dan mulai diterapkannya universal banking di banyak negara. Kondisi ini menyebabkan regulasi yang didasarkan atas sektor menjadi tidak efektif karena terjadi gap dalam regulasi dan supervisi. Kedua, stabilitas sistem keuangan telah menjadi isu utama bagi lembaga pengawas (dan lembaga pengawas) yang awalnya belum memperhatikan masalah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 97 stabilitas sistem keuangan, mulai mencari struktur kelembagaan yang tepat untuk meningkatkan stabilitas sistem keuangan. Ketiga, kepercayaan dan keyakinan pasar terhadap lembaga pengawas menjadi komponen utama good governance. Guna __ meningkatkan good governance pada lembaga pengawas jasa keuangan, banyak negara melakukan revisi struktur lembaga pengawas jasa keuangannya; Adapun alasan pendirian OJK sebagaimana tercantum dalam penjelasan umum UU OJK adalah telah terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi serta inovasi finansial menciptakan sistem keuangan menjadi kompleks, dinamis, dan saling terkait antar- subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Di samping itu, adanya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan (konglomerasi) telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antarlembaga jasa keuangan di dalam sistem keuangan. Selain itu, banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard , belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan; Pembentukan Undang-Undang OJK ini dimaksudkan untuk memisahkan fungsi pengawasan perbankan dari bank sentral ke sebuah badan atau lembaga yang independen di luar bank sentral. Dasar hukum pemisahan fungsi pengawasan tesebut yaitu Pasal 34 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang menyatakan:
Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang. (2) Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010. Pengawasan tersebut dilakukan terhadap bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat. Lembaga ini bersifat independen dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di luar pemerintah serta berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan serta Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam melakukan tugasnya, lembaga yang dinisbatkan menjadi supervisory board ini melakukan koordinasi dan kerjasama dengan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang diatur dalam Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 98 Undang-Undang pembentukan lembaga pengawasan dimaksud. Lembaga pengawasan ini dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan Bank melalui koordinasi dengan Bank Indonesia dan meminta penjelasan dari Bank Indonesia terkait keterangan serta data makro yang diperlukan; Lahirnya Otoritas Jasa Keuangan sebagai amanat Pasal 34 Undang- undang Bank Indonesia didasarkan pada prinsip-prinsip reformasi keuangan, yaitu: independensi, terintegrasi dan menghindari benturan kepentingan. Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, OJK berlandaskan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik ( Good Coorporate Governance ). Bank Indonesia memberikan pengertian tentang pemerintahan yang baik tersebut adalah suatu hubungan yang sinergis dan konstruktif di antara negara, sektor swasta, dan masyarakat. Asas-asas tersebut adalah independensi, kepastian hukum, kepentingan umum, keterbukaan, profesionalitas, dan integritas. Perspektif Hukum Adminstrasi Negara Fungsi OJK Fungsi OJK tidak lepas dari fungsi pemerintahan ( sturen ) yang melekat pada wewenang pemerintah ( bestuursbevoegdheid ). Dalam melaksanakan fungsi sturen , pemerintah diberikan kewenangan untuk melaksanakan fungsi pengawasan dan penegakan hukum administrasi negara. Pengawasan dilaksanakan melalui kewenangan perijinan ( vergunning ) yang dilekatkan pada kewenangan OJK seperti yang diantaranya diatur pada Pasal 7 huruf h UU Nomor 21 Tahun 2011, yaitu memberikan dan/atau mencabut:
izin usaha;
izin orang perseorangan;
efektifnya pernyataan pendaftaran;
surat tanda terdaftar;
persetujuan melakukan kegiatan usaha;
pengesahan;
persetujuan atau penetapan pembubaran; dan
penetapan lain, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundangundangan di sektor jasa keuangan. Kewenangan tersebut dalam hukum administrasi diiperlukan sebagai upaya pentaatan terhadap norma hukum administrasi negara; Dimensi perlindungan hukum ( rechtsbescherming ) dalam pelaksanaan fungsi sturen ( sturende functie ) yang antara lain terdapat pada Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 UU Nomor 21 Tahun 2011, pada intinya dimaksudkan untuk melindungi rakyat yang menjadi konsumen/pengguna jasa sektor keuangan dari praktik-praktik yang melanggar prinsip-prinsip tatakelola keuangan perbankan dan non perbankan yang baik ( good financial governance ). Hal itu terlihat dari Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 99 kewenangan OJK untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:
kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;
kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan
kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (Pasal 6 UU Nomor 21 Tahun 2011). Kewenangan tersebut ditujukan guna mewujudkan tujuan pemerintahan ( bestuursdoeleinden ) sebagaimana diatur pada Pasal 4 UU Nomor 21 Tahun 2011, yaitu bahwa OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:
terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Tujuan tersebut selaras dengan konsiderasi pembentukan UU Nomor 21 Tahun 2011 sebagaimana telah diuraikan di atas. Kewenangan yang diatribusikan kepada OJK sebagaimana terdapat pada Padal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 UU Nomor 21 Tahun 2011 merupakan derivasi dari Pasal 34 ayat (1) UU BI Nomor 3 Tahun 2004 yang mengatur bahwa tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang. Dengan demikian, dalam isu konstitusionalitas, karakter constitutionally important dari UU OJK dapat ditelusuri melalui Pasal 34 UU BI yang bersumber pada Pasal 23D UUD 1945, yang mengatur bahwa negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan Undang-Undang. Bahkan, secara sistematik, dapat pula ditelusuri landasan konstitusionalnya dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang mengatur bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Atribusi kewenangan OJK dalam UU OJK dan pengaturan mengenai institusionalitas OJK merupakan manifestasi dari jiwa konstitusi, khususnya dengan memahami dialektika Pasal 23D dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945; Fungsi utama lembaga keuangan seperti OJK bertujuan untuk mencapai empat tujuan ( goals ) secara umum. Empat tujuan tersebut meliputi:
keamanan dan ketahanan ( safety and soundness ) lembaga keuangan;
pencegahan risiko sistemik;
keadilan dan efisiensi pasar;
perlindungan terhadap konsumen Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 100 dan investor. Tujuan pertama dicapai melalui penerapan peraturan yang ketat dan prinsip kehati-hatian yang mengedepankan pendekatan persuasi. Tujuan pencegahan risiko sistemik merupakan tantangan bagi pengawas yang diberi mandat karena penyebab risiko sistemik tidak dapat diprediksi. Walaupun demikian, pengawas tersebut dapat mengurangi kemungkinan risiko sistemik melalui penerapan aturan yang telah dibentuk. Pencapaian tujuan ketiga lebih kepada pendekatan penegakan aturan ( enforcements ) yang meliputi sanksi, denda, pembekuan usaha, pencabutan izin usaha, dan hukuman lainnya. Kiranya, tujuan tersebut selaras dengan Pasal 4 UU Nomor 21 Tahun 2011, yaitu OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:
terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat; Kewenangan pengaturan ( regelende bevoegdheid ) dan kewenangan pemerintahan ( besturende bevoegdheid ) yang tercermin dari kewenangan- kewenangan yang diatribusikan kepada OJK dalam teori hukum administrasi negara mencerminkan karakter hukum administrasi negara: norm (norma), instrument (sarana) dan waarborg (jaminan). Hal itu dapat dibandingkan dengan pendapat de Haan, dkk. (1986:
, bahwa: " Minstens zo nauw als het verband tussen norm en instrument is dat tussen norm en waarborg. Ook hier weer nemen wij achtereenvolgens de normering van het overherheidsgedraag en die van het gedrag van burgers tot uitgangspunt. De overheidsnormering vraagt primair om bestuurlijke waarborgen, terwijl de rechtsnormen die het gedrag van burgers beinvloden, rechtsbescerming noodzakelijk maken ". Pengaturan mengenai OJK dalam UU Nomor 21 Tahun 2011 telah memenuhi dimensi norma, sarana dan jaminan yang menjadi dimensi utama Hukum Administrasi Negara. Hal itu selain menjadi dasar teoretis bagi pengaturan kewenangan OJK, juga merupakan amanah konstitusi yang harus diwujudkan melalui fungsi dan kewenangan OJK. OJK dimaksudkan untuk memberikan jaminan pemerintah ( bestuurlijke waarborgen) terhadap masyarakat konsumen/pengguna OJK yang melakukan aktivitas di sektor jasa keuangan. Fungsi jaminan itu diwujudkan melalui instrumen perijinan terhadap aktivitas keuangan bagi penyelenggara jasa perbankan maupun non perbankan. Kewenangan penetapan peraturan perundang-undangan di sektor keuangan merupakan salah satu fungsi penormaan pemerintah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 101 ( bestuursnormering ) yang diarahkan pada upaya memberikan jaminan pemerintahan (bestuurlijke waarborg ) untuk memberikan petlindungan hukum ( rechtsbescherming ) terhadap masyarakat pengguna jasa keuangan; Perkembangan mutakhir dalam hukum administrasi negara menunjukkan adanya arah penyelenggaraan fungsi pemerintsh yang semakin berfokus pada pengguna pelayanan/konsumen. Dikatakan oleh John McMillan (2009) bahwa: "Compliance with legal standards is the starting premise in all codes of good administration, but the newer codes go further. An emerging principle or standard is the need for agencies to be customer focus delivery of citizen-centred services … Deliver high-quality programs and services that put the citizen first’.The reason for this new emphasis is that people now interact wiath government differently, more frequently, and with heightened expectations. This is a product of the expansion in government benefits, subsidies, licences, taxes, contracts, authorisations, sanctions, penalties, services and regulatory programs. People now relate to government in many ways – as citizens, clients, consumers and customersssed – or, as Prime Minister Rudd recently described it, to engage in." Hadirnya OJK bisa diharapkan akan menjafi institusi independen yang berfokus pada perlindungan masyarakat/ konsumen jasa keuangan. Hal itu juga dinyatakan melalui tujuan pembentukan OJK sebagaimana diatur pada Pasal 4 UU Nomor 21 Tahun 2011, yaitu agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:
terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
mampu melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat. Hal itu akan berimplikasi terhadap pelayanan publik pemerintah di sektor jasa keuangan yang semakin "customer focus delivery of citizen-centred services." Tujuan itu dilaksanakan melalui berbagai kewenangan pengawasan dan perijinan vide Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 UU Nomor 21 Tahun 2011, termasuk kewenangan pencabutan ijin yang merupakan salah satu bentuk sanksi dalam hukum administrasi negara, Hal itu diharapkan dapat memperkuat dan melindungi sektor keuangan Indonesia dari potensi terjadinya krisis keuangan melalui peranan OJK untuk mendorong penguatan fondasi sektor keuangan; Kedudukan Pungutan OJK Dalam Pasal 23A UUD 1945 diatur bahwa Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 102 Rumusan itu merupakan hasil dari Perubahan III UUD 1945 tanggal 9 November 2001. Berkaitan dengan keuangan guna membiayai operasional kinerja darI OJK, Pasal 37 UU Nomor 21 Tahun 2011 mengatur beberapa hal prinsip terkait keuangan OJK, sebagai berikut:
OJK mengenakan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan;
Pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan wajib membayar pungutan yang dikenakan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
Pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penerimaan OJK;
OJK menerima, mengelola, dan mengadministrasikan pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) secara akuntabel dan mandiri;
Dalam hal pungutan yang diterima pada tahun berjalan melebihi kebutuhan OJK untuk tahun anggaran berikutnya, kelebihan tersebut disetorkan ke Kas Negara. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah; UU OJK mengatur norma yang bersifat mandatory mengenai kewenangan OJK dalam melaksanakan kewenangan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Legalitas ( rechtsmatigheid ) pungutan tersebut dapat diukur dari sifat koherensi norma hukum UU OJK dengan Pasal 23 dan Pasal 23A UUD 1945. Kewenangan untuk melakukan pungutan tersebut merupakan implikasi pengaturan Pasal 34 ayat (2) UU OJK, yang mengatur bahwa Anggaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Sifat norma hukum tersebut pada hakikatnya merupakan legal policy yang memberikan kewenangan bagi OJK untuk melakukan pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor keuangan yang bisa bersifat tambahan dari keuangan yang bersumber dari APBN atau menjadi alternatif dari keuangan OJK yang diperoleh dari APBN. Jika dibandingkan dengan OJK di beberapa negara lain, sumber keuangan OJK-OJK tersebut pada umumnya bersumber dari pihak- pihak yang bergerak di sektor jasa keuangan atas konsiderasi untuk menumbuhkan kemandirian OJK; Jika Pasal 34 ayat (2) juncto Pasal 37 UU OJK ditarik koherensinya secara vertikal ke atas sampai di ranah konstruksi Pasal 23A UUD 1945, maka norma hukum mengenai pungutan dalam UU OJK tersebut memenuhi syarat dan kriteria Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 103 dari pungutan sebagaimana diatur pada Pasal 23A UUD 1945 tersebut. Selanjutnya, apabila Pasal 34 ayat (2) juncto Pasal 37 UU OJK dikaitkan dengan ketentuan-ketentuan berikutnya antara lain Pasal 38 UU OJK yang mengatur pelaporan dan akuntabilitas OJK, maka, pada hakikatnya pengaturan mengenai keuangan serta pungutan dalam UU OJK tetap memenuhi asas kelengkapan ( volledigheid , universalitas) dan asas berkala (periodisitas) sebagai asas-asas klasik yang diakui oleh UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; Asas kelengkapan ( volledigheid ) pada intinya merupakan asas yang mempertahankan hak budget parlemen secara lengkap sehingga penguasa publik tidak terlepas dari pengawasan DPR; Asas berkala (periodisitas) mengandung makna bahwa pemberian otorisasi dan pengawasan rakyat dengan perantaraanwakilnya secara berkala dalam kebijaksanaan pemerintah guna memenuhi fungsinya. Dengan periodisitas ini memungkinkan pemberian otorisasi dan pengawasan rakyat berjalan secara teratur. Periodisitas ini tidak menghilangkan pengawasan rakyat, tetapi juga harus diperhatikan agar kesempatan pemerintah untuk menjalankan rencananya tetap berlaku. Kedua hal ini merupakan persyaratan pencapaian tujuan demokrasi dalam hukum tata negara. Beberapa ketentuan dalam Pasal 38 UU Nomor 21 Tahun 2012 menunjukkan tetap dipenuhinya asas kelengkapan ( volledigheid ) dan asas berkala dalam pengaturan mengenai keuangan OJK;
OJK wajib menyusun laporan keuangan yang terdiri atas laporan keuangan semesteran dan tahunan;
OJK wajib menyusun laporan kegiatan yang terdiri atas laporan kegiatan bulanan, triwulanan, dan tahunan;
Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat memerlukan penjelasan, OJK wajib menyampaikan laporan;
Periode laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember;
OJK wajib menyampaikan laporan kegiatan triwulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat;
Laporan kegiatan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat; Pengaturan mengenai pengelolaan keuangan dalam OJK baik yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 104 bersumber dari APBN dan/atau pungutan dari masyarakat tersebut tetap memenuhi asas-asas yang terkandung dalam Pasal 23 UUD 1945. Pasal 23 UUD 1945 itu mengandung 3 (tiga) asas yang saling berkaitan secara erat, yaitu:
Asas berkala ( periodiciteit beginsel), yaitu anggaran negara tersebut dianggarkan untuk jangka waktu tertentu. 2. Asas terbuka ( openbaar beginsel), yaitu prosedur pembahasan anggaran negara oleh DPR dan Pemerintah dilakukan secara terbuka baik melalui sidang terbatas pemerintah dengan Komisi APBN maupun dalam sidang Pleno (mencerminkan pula asas demokrasi). 3. Asas kedaulatan ( souvereiniteit beginsel), yaitu unsur kedaulatan rakyat melalui perwakilannya merupakan syarat mutlak terciptanya rencana anggaran negara tahunan ( jaarlijke machtiging) ; Ditinjau dari segi pengelolaan keuangan negara yang dikelola oleh OJK, baik yang bersumber dari UU APBN maupun pungutan dari pihak pengelola jasa keuangan, juga sudah memenuhi standar pengelolaan keuangan negara dalam UU Keuangan Negara yang didasarkan atas-asas pengelolaan keuangan negara yang merupakan pencerminan best practices (penerapan kaidah-kaidah yang baik) dalam pengelolaan keuangan negara, antara lain: • akuntabilitas berorientasi pada hasil; • profesionalitas; • proporsionalitas; • keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara; • pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri PP Nomor 11 Tahun 2014 yang mengatur mengenai Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagai implementasi dari Pasal 37 ayat (6) UU OJK dimaksudkan untuk memenuhi asas-asas pengelolaan keuangan negara tersebut dalam pelaksanaan pungutan oleh OJK. Pada intinya, pungutan yang dilaksanakan dan dikelola oleh OJK tidak menyimpang dari kaidah pengelolaan keuangan negara dalam APBN, kecuali yang memang diatur secara khusus dalam UU OJK berkaitan dengan kedudukan dan kewenangan OJK yang bersifat khusus, sebagaimana diatur pada Pasal 35 UU OJK yang mengatur kekhususan berikut:
Anggaran OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat digunakan untuk membiayai kegiatan operasional, administratif, pengadaan aset serta kegiatan pendukung lainnya.
Anggaran dan penggunaan anggaran untuk membiayai kegiatan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 105 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan standar yang wajar di sektor jasa keuangan dan dikecualikan dari standar biaya umum, proses pengadaan barang dan jasa, dan sistem remunerasi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, pengadaan barang dan jasa Pemerintah, dan sistem remunerasi; Namun, kekhususan tersebut tidak menyebabkan terputusnya ikatan norma hukum tersebut dengan Pasal 23 dan Pasal 23A UUD 1945 sebagaimana juga diatur pada Pasal 38 ayat (8) UU OJK yang menentukan bahwa Laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan atau Kantor Akuntan Publik yang ditunjuk oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Dengan demikian, pengaturan mengenai keuangan dan pungutan dalam UU OJK tetap dilaksanakan berdasarkan sistem pengelolaan keuangan negara dalam sistem ketatanegaraan sebagaimana diatur dalam UUD 1945.
Dr. Maruarar Siahaan, S.H I. Legal Standing Pandangan kami tentang ketidak cukupan legal standing untuk menguji pasal-pasal dalam Undang-Undang Ototritas Jasa Keuangan, kami utarakan dalam hal-hal sebagai berikut:
Meskipun Pemohon telah mencoba menguraikan dasar argumen legal standing nya dalam permohonan pengujian ini, dapat dirasakan bahwa sesungguhnya dengan dasar bahwa Pemohon sebagai pembayar pajak dan aktivis yang juga melakukan advokasi di bidang APBN, tidak terlihat urgensi dan relevansinya. Dasar hukum legal standing harus dikembalikan kepada jurisprudensi tetap Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 006/PUU- III/2005 dengan 5 (lima) syarat yang memuat adanya hak konstitusional yang diberikan UUD 1945, dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, kerugiannya spesifik dan aktual, atau setidaknya bersifat potensial, yang terjadi karena ada hubungan kausal antara kerugian konstitusional dengan undang-undang yang diuji dan adanya kemungkinan jika permohonan dikabulkan, kerugian hak konstitusional tidak akan terjadi lagi. Norma dalam Putusan tersebutlah seharusnya yang digunakan sebagai dasar pengakuan legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian di MK, agar terdapat konsistensi dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 106 Pembayar pajak sebagai dasar hukum legal standing di MK, sesungguhnya baru berdasarkan putusan yang terbatas secara individual yang berdiri sendiri, yang masih diperdebatkan karena umumnya kedudukan demikian jikalau dikaitkan dengan jurisprudensi tetap MK soal legal standing , sesungguhnya masih diakui secara terbatas, dan belum merupakan jurisprudensi tetap yang mengikat;
Indikator bahwa standing untuk mengajukan pengujian dilihat dari aspek kerugian hak konstitusional khususnya jaminan hak atas rasa aman berdasar Pasal 27 UUD 1945, yang berbunyi “ Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan tanpa ada kecuali ” , dan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945: “ Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan Undang-Undang __ dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ”. Kedua pasal yang dikutip tidak merujuk tentang hak konstitusional, sebagai hak yang diberikan kepada warga negara oleh konstitusi, dan dengan demikian justru memberikan kewajiban pada negara untuk memenuhi hak konstitusional;
Seandainyapun permohonan Pemohon dikabulkan maka tidak tampak bahwa kerugian hak konstitusional yang disebut mempunyai causal verband dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang yang dimohon untuk diuji, karena menurut hemat kami, kerugian yang diklaim Pemohon, tetap akan terjadi jikalau persoalan tentang hak konstitusi yang disebut dalam UUD 1945, yaitu kerugian konstitutional dalam hubungan dengan hak atas persamaan di depan hukum dan pemerintahan serta hak konstitusi atas “ anggaran ditetapkan dengan Undang-Undang serta dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat ”, tetap terjadi, dan Pemohon tidak dapat menjelaskan dan menguraikan hilangnya kerugian konstitusional yang terjadi jika Undang-Undang OJK dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Petunjuk bahwa bukanlah para Pemohon yang seharusnya mempunyai legal standing untuk mengajukan pengujian atas UU OJK, dapat dilihat dari seluruh ukuran yang ditentukan dalam jurisprudensi tetap MK yang telah menjadi bagian dari hukum acara, khususnya causal verband antara kerugian Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 107 konstitusional Pemohon yang dinyatakan dalam permohonan dengan dibentuknya OJK. MK perlu menegaskan sikap dalam pendirian tentang legal standing berdasarkan dalih tax payer tersebut; II. Permohonan Putusan Provisi Dalam tahap pemeriksaan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 saat ini, terlepas dari ketiadaan norma hukum acara, baik dalam UU MK maupun dalam jurisprudensi MK yang mengenal pengaturan provisionel eis , baik karena sisi urgensi kepentingan konstitusional yang harus dilindungi oleh berlakunya satu norma, maupun karena pengaturan yang ada dalam UU MK sendiri yang memuat asas presumption of constitutionality , yang menentukan bahwa semua Undang-Undang yang telah diperlakukan harus dipandang konstitusional sampai dengan dibatalkannya Undang-Undang tersebut dengan alasan bertentangan dengan UUD 1945, maka tidak relevan lagi berbicara tentang provisi. Secara eksplisit diatur dalam Pasal 58 UU MK, yang menegaskan bahwa: “ Undang-Undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun _1945”; _ Dengan pengaturan demikian, memang jelas bahwa kepentingan konstitusional yang dijamin oleh UUD 1945 melalui cara bekerjanya lembaga- lembaga jasa keuangan dengan jumlah taruhan yang sungguh besar, suatu kemungkinan saja untuk menghentikan bekerjanya OJK tanpa melalui putusan provisi melainkan putusan akhir, tidak terbayangkan akibatnya, karena dapat menjadi kekacauan atau disaster yang berantai, yang dapat memicu krisis ekonomi. Jikalau lembaga baru i.c. OJK dihentikan sementara saja, akan menimbulkan kerugian yang jauh lebih besar, karena beragamnya produk jasa keuangan yang menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks dan saling terkait antara produk dan lembaga jasa keuangan, baik di bidang perbankan, asuransi, dana pensiun, modal ventura, obligasi, SUN dan lain-lain. Tanpa pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi, dengan jumlah dana besar yang bergulir, akan menimbulkan kekacauan besar-besaran, yang boleh jadi mengakibatkan kolapsnya sistem perekonomian dan keuangan Indonesia. Putusan yang bersifat sementara atau permanen demikian akan sangat berbahaya. Oleh karenanya, terkadang menyebabkan timbulnya pikiran bahwa dalam kebijakan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 108 publik dalam bentuk Undang-Undang yang menyangkut Undang-Undang dengan regulasi suatu bidang ekonomi dengan pengaruh yang mendasar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, tampaknya kemungkinan digunakannya mekanisme pengujian suatu RUU yang telah disetujui bersama sebelum diundangkan – mekanisme yang dikenal dengan judicial preview – di mana semua pihak dapat menumpahkan pikiran dan pendapatnya tentang suatu kebijakan publik yang mendasar, tidak dibayangi ketakutan akan dampak yang timbul secara dahsyat, seandainya suatu Undang-Undang tertentu dinyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dalam suatu proses judicial review ; III. Materi Muatan Konstitusi Sebagai Grundnorm dan Constitutional Boundaries Konstitusi modern yang menjadi hukum tertinggi dan menjadi pedoman dalam politik hukum penyelenggaraan negara, bukan hanya memuat norma-norma dasar yang secara kongkrit dirumuskan, melainkan juga memuat prinsip atau asas konstitusi yang terumuskan secara umum dan hanya dalam garis besar. Lebih dari sebagai suatu dokumen yang ringkas dan supel khususnya UUD 1945 – setelah perubahanpun – dengan pembukaan yang merupakan jiwa dan filosofi di atas mana negara Republik Indonesia dibentuk serta tujuan dibentuknya negara R.I. yang diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945, menunjukkan bahwa dia lebih dari sekedar dokumen juridis. Dari Pembukaan UUD 1945, yang menentukan arah dan tujuan dibentuknya negara R.I., sangat jelas bahwa tujuan tersebut didasari oleh suatu pandangan bangsa tentang suatu negara yang disebut sebagai negara kesejahteraan atau welfare state . Bertolak belakang dengan konsep negara dalam pemilikiran liberalisme, dengan peran negara yang terbatas dan bahkan dirumuskan dalam satu kurun waktu sejarah hanya sebagai penjaga malam, maka dalam konsep negara kesejahteraan, peran negara dalam mengupayakan kesejahteraan menjadi sedemikian luasnya, sehingga keberadaan lembaga negara yang ada dalam organisasi kekuasaan, menjadi tidak memadai lagi. Oleh karena besarnya peran negara dalam konsep negara kesejahteraan tersebut, muncul kebutuhan akan lembaga negara yang tidak dikenal dalam praktik semula, dan kemudian terbentuk dalam lembaga negara yang independen; Kebutuhan akan organ yang akan menjalankan kewenangan tertentu dalam rangka mencapai kesejahteraan rakyat mengalami perkembangan, sehingga untuk memenuhi hal itu berdasarkan organ-organ negara yang secara tradisional Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 109 ada, tidak lagi memadai. Akibatnya perkembangan organ atau lembaga yang independen merupakan kecenderungan yang terjadi secara universal, bahkan di negara-negara yang menganut paham liberalisme yang sangat mempraktikkan peran negara secara terbatas, justru mempelopori kelahiran lembaga-lembaga negara yang independen tersebut. Oleh karenanya, norma dasar konstitusi yang seyogianya mengatur pembentukan organ-organ negara secara ekplisit dan tegas sehingga dapat membentuk struktur organisasi kekuasaan negara dalam konstitusi sepanjang mengenai lembaga negara yang menerima kewenangannya langsung dari konstitusi, tidak lagi mampu memberi gambaran yang total tentang organ-organ yang menerima kewenangannya dari undang-undang dasar, dan berdasarkan delegated auhority of legislation dikuasakan pembentukannya dalam satu Undang-Undang. Secara analogis kita dapat melihat keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002; Dasar konstitusionalitas kelembagaan yang diperlukan untuk menyelenggarakan pemerintahan, dalam suatu negara kesejahteraan tidak selalu hanya merujuk kepada suatu norma fundamental konstitusi yang secara eksplisit ditemukan dalam UUD 1945, karena tugas, fungsi dan tujuan negara secara filosofis, sosiologis dan juridis dapat menjadi landasan pembentukan kebijakan dan peraturan perundangan yang diperlukan dalam penyelenggaran pemerintahan. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan secara jelas menyebut bahwa Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum. Jikalau norma fundamental dalam UUD 1945 menjadi sumber hukum dan validitas norma hukum dibawahnya yang diperlukan dalam penyelengaraan negara, maka norma fundamental tersebut bersumber pada Grundnorm yang menjadi landasan politik hukum yang selalu menjadi orientasi kedepan, upaya memperbaharui ius constitutum kearah _ius constituendum; _ Untuk menemukan landasan politik hukum dalam pembentukan organ negara yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas pemerintahan tertentu yang tidak memadai lagi untuk diserahkan kepada lembaga yang secara tradisional ada dalam organisasi kekuasaan negara, maka untuk mencegah atau mengantisipasi timbulnya kondisi atau keadaan yang dapat menimbulkan pelanggaran terhadap konstitusi ketika mandate konstitusi tidak dapat ditemukan secara tegas, maka melalui suatu naskah akademis, diperhitungkan adanya suatu ruang yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 110 memungkinkan diskresi pembuat kebijakan dapat terlaksana secara bebas dan baik. Dalam ruang lingkup demikian dengan batas-batas yang diperhitungkan tidak dapat dilanggar pembuat kebijakan, maka dengan konstruksi. Dapat dibangun apa yang disebut ruang dalam mana diskresi pembuat kebijakan bergerak secara bebas. Jikalau kebijakan atau politik hukum yang dipilih untuk dilaksanakan tersebut tampak melampaui batas konstitusi ( constitutional boundary) yang dirumuskan, maka kebijakan demikian dihindari, karena potensil diuji dan dapat dinyatakan bertentangan dengan konstitusi serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Indikator konstitusionalitas tersebut dapat dirumuskan melalui interpretasi, konstruksi dan penghalusan terhadap:
Pembukaan UUD 1945, yg memuat pandangan hidup bangsa dalam Pancasila;
Tujuan Bernegara dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945;
Norma Konstitusi yang bersifat HAM dan Bukan, dalam Batang Tubuh UUD 1945. Dengan pencarian makna melalui interpretasi dan konstruksi untuk membentuk ruang gerak dengan batas yang ditentukan untuk tidak dilampaui, maka dapat ditemukan suatu ruang yang bebas bagi diskresi pembuat Undang- Undang, untuk membentuk kebijakan publik berdasar politik hukum yang mengacu pada konstitusi sebagai hukum dasar. Undang-Undang OJK menurut pendapat saya masih dalam ruang yang tidak melanggar constitutional boundary tersebut; IV. Pokok Permohonan 1. Umum Setiap penyelenggara negara berhak dan wajib untuk menafsirkan konstitusi atau UUD 1945 sebelum melaksanakan tugasnya dalam penyelenggaraan Negara, baik sebagai legislator dalam pembuatan Undang- Undang atau dalam pengujian Undang-Undang tersebut. UUD 1945 sebagai konstitusi tertulis, menyiratkan adanya kostitusi yang tidak tertulis sebagai bagian yang dianggap tidak terpisah, yang ditemukan dalam Pembukaan UUD 1945, dalam filosofi kehidupan bernegara dan berbangsa serta dalam tujuan yang ditetapkan kearah mana suatu negara yang terbentuk itu akan berjalan. Seluruh konstitusi yang termuat dalam pembukaan dan batang tubuh tersebut juga memuat dan membentuk asas-asas konstitusi yang harus ditemukan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 111 dengan interpretasi, konstruksi dan penghalusan hukum ( rechtsverfijning ), untuk dapat dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan yang dipandang serasi dengan konstitusi, sebagai kebijakan yang sumber keabsahan atau validitas dan legitimasinya dapat ditetapkan tidak bertentangan dengan UUD 1945; Konsepsi negara kesejahteraan ( welfare state ) yang mewajibkan adanya state intervention dalam penyelenggaran negara untuk mencapai peningkatan kesejahteraan umum dan perlindungan segenap bangsa, merupakan hal yang sangat terbuka dalam mandat konstitusi bagi penyelenggara negara, sehingga lingkungan strategis lokal, nasional dan global harus menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan apakah suatu kebijakan harus dilakukan yang perlu dalam kerangka penyelenggaraan negara bagi kehidupan masyarakat dan bangsa, dan apakah kebijakan demikian masih dalam kerangka constitutional boundaries yang ditetapkan dalam UUD 1945. __ Ruang dalam kerangka constitutional boundaries tersebut akan memberi petunjuk seberapa jauh pembuat Undang-Undang boleh bergerak dalam melakukan regulasi yang diperlukan untuk menyesuaikan kondisi nasional dengan perkembangan global, yang tidak dapat dielakkan karena interdependensi bagian-bagian dari dunia dengan dunia luar, yang turut menentukan keberhasilan untuk perlindungan dan kesejahteraan warga negara. Diskresi pembuat Undang-Undang harus juga digunakan untuk bergerak dalam ruang constitutional boundaries yang disebut di atas. Keberadaan dan praktik BI dalam pengawasan jasa keuangan, telah menjadi titik tolak disekresi yang berada dalam constitutional boundaries yang dimaksud; Oleh karenanya menentukan mandate konstitusi tidak cukup hanya dengan merujuk suatu pasal tertentu dalam UUD 1945 sebagai dasar dalam menentukan konstitusionalitas norma atau kebijakan yang akan dibentuk, melainkan harus menemukannya dengan tafsir, hermeneutika, konstruksi dan penghalusan. Terlebih lagi bahwa suatu norma konstitusi yang telah memuat suatu perintah secara tegas dalam konstitusi pun memerlukan kehati-hatian, karena suatu norma konstitusi yang biasanya terumuskan secara general (umum) dan hanya mengandung asas, dalam implementasinya mengalirkan norma turunan secara derivative , yang meskipun tidak secara tegas disebut Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 112 sebagai norma konstitusi, tetapi merupakan hal yang tidak dapat dikesampingkan demikian saja sebagai bagian dari konstitusi, terutama jika ada delegated authority of legislation yang diberikan kepada pembuat Undang- Undang. Oleh karenanya apa yang disebut sebagai norma yang konstitusional tidak dapat dilihat secara tunggal melainkan harus secara integral dalam doktrin kesatuan konstitusi, dari pembukaan sampai batang tubuh secara tidak terpisah satu dengan yang lain; Pengalaman menunjukkan krisis perbankan yang terjadi bukan berasal dari perbankan, melainkan dari bidang-bidang lain yang merembet kepada perbankan. Produk-produk jasa keuangan yang sudah demikian besar (dari sisi size), dari sisi keterkaitan konglomerasi, dan terakhir dari sisi kompleksitas masalah jasa keuangan, tampaknya menyebabkan BI tidak lagi tepat dan tidak mampu melakukan hal itu semua secara sendirian. Ketidak mampuan BI merespon perkembangan yang pesat di bidang jasa keuangan sudah menjadi kenyataan yang menjadi pengalaman kita sehingga keberadaan BLBI dan lain- lainnya menjadi problem yang harus dipikul sekarang ini. Oleh karenanya membesarnya tugas yang timbul dalam penyelenggaraan negara, dibidang pengawasan dan pengaturan jasa keuangan menjadi keniscayaan.
Lembaga Negara Independen Ketika tugas negara yang terbagi dalam organisasi kekuasaan yang tradisional seperti eksekutif, legislatif dan judikatif dalam menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan dirasakan tidak mencukupi lagi, terasa kebutuhan untuk melakukan perluasan organ tersebut tetapi dengan membentuk badan- badan atau lembaga yang independen. Independensi lembaga tersebut terwujud dalam struktur yang berada di luar organisasi penyelenggara pemerintahan yaitu eksekutf, yudikatif dan legislatif. Kecenderungan untuk menetapkan organ baru yang muncul karena kebutuhan dalam penyelenggaraan pemerintahan, juga boleh lahir dari sikap yang ingin membebaskan lembaga baru dari keterpasungan birokrasi lama, melainkan memulai sesuatu yang baru, dengan ciri yaitu adanya kewenangan regulasi dan pengawasan dalam organ yang sama tetapi dalam mekanisme checks and balance ; Salah satu gejala yang sangat umum dewasa ini diseluruh dunia, adalah banyaknya lahir organ-organ atau lembaga baru yang menjalankan juga tugas Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 113 dan kewenangan pemerintahan dan penyelenggaraan negara, diluar organisasi atau struktur kekuasaan yang lazim atau utama, baik disebut secara khusus dalam UUD, maupun dalam Undang-Undang atau hanya dengan peraturan yang lebih rendah. Hal ini terjadi karena semakin luasnya tugas-tugas pemerintahan dalam penyelenggaraan kepentingan umum, akan tetapi yang dirasakan perlu dilakukan melalui partisipasi publik yang luas dan demokratis maupun sebagai mekanisme pengawasan yang lebih luas. Badan- atau organ yang bertumbuh tersebut sering disebut sebagai komisi negara atau lembaga negara pembantu (auxiliary state organ) . Bahkan sebelum reformasi pun, organ seperti ini, sudah sangat banyak dan sering dibentuk sebagai jawaban atas permasalahan yang dihadapi, meskipun dalam kenyataan jawaban dengan organ baru demikian, boleh jadi merupakan beban secara keuangan, justru menambah kerumitan dalam penyelesaian masalah. Organ atau badan atau lembaga-lembaga independen ini, baik di negara maju maupun negara berkembang, bertumbuh dengan kewenangan yang bersifat regulatif, pengawasan dan monitoring, bahkan tugas-tugas yang bersifat eksekutif. Bahkan kadang-kadang lembaga independen demikian menjalankan ketiga fungsi sekaligus. Hal ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan untuk merampingkan organisasi Pemerintahan akibat tuntutan zaman untuk mengurangi peran pemerintahan yang sentralistis tetapi penyelenggaran negara dan pemerintahan dapat berlangsung effektif, effisien dan demokratis dalam memenuhi pelayanan publik. Jimly Asshiddiqie mencatat bahwa di Amerika Serikat lembaga-lembaga independen dengan kewenangan regulasi, pengawasan atau monitoring ini lebih dari 30-an ( Jimly Asshidiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2006, hal 8) . Akan tetapi, seperti ditulis oleh Kenneth F. Warren, pada awal Pemerintahan di Amerika tidak ada badan independen yang memiliki kewenangan mengatur, namun karena sentimen masyarakat terhadap penyalahgunaan ekonomi pasar bebas yang terjadi pada 1800an, Pemerintah menjawab tuntutan masyarakat dengan pertama kalinya membentuk Interstate Commerce Commission, dan sejak itu sampai abad keduapuluh, badan-badan independen demikian telah bertumbuh seperti raksasa dan sangat berkuasa, yang mencerminkan problem dan tantangan yang kompleks dari satu perubahan masyarakat Amerika pada abad Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 114 baru ekplorasi ruang angkasa ( Kenneth F. Warren Administrative Law In The Political System,,Prentice hall, Upper Saddle River, New Jersey 07458, Third Edition, 1996, hal 78) . Indonesia menurut catatan kami memiliki kurang lebih 44 lembaga, badan atau komisi-komisi negara semacam ini, yang kemungkinan banyak diantaranya sudah tidak aktif lagi karena memang ada yang dibentuk oleh pemerintahan masa lalu, yang mungkin tidak memperoleh anggaran yang cukup lagi untuk mendukung kegiatannya, atau barangkali tidak dipandang relevan lagi; Semua badan, organ atau lembaga demikian, apakah bernama dewan, komisi atau badan, yang menyelenggarakan (sebagian) fungsi pemerintahaan, secara umum disebut juga lembaga negara, yang dibedakan dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang disebut juga non-govermental organization (NGO). Istilah-istilah lembaga, badan atau organ sering dianggap identik, sehingga meskipun sesungguhnya dapat berbeda makna dan hakikatnya satu sama lain, orang dapat menggunakan satu istilah untuk arti yang lain. Dalam pembicaraan kita sekarang ini, yang penting untuk dibedakan apakah lembaga atau badan itu merupakan lembaga yang dibentuk oleh dan untuk negara atau oleh dan untuk masyarakat. Lembaga apa saja yang dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat dapat kita sebut sebagai lembaga negara . Dalam ”Sengketa Kewenangan Lembaga Negara”, maka kata lembaga negara termuat hanya dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, yang mengatur tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi, dimana satu diantaranya adalah ” memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar”, hal mana dengan kata-kata yang sama diulangi lagi dalam Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 juncto UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. Kejelasan tentang organ mana yang disebut sebagai lembaga negara menurut UUD 1945 sebelum perubahan, baru dapat terlihat secara tegas dalam ketetapan MPRS, baik Nomor XX/MPRS/1966, Nomor XIV/MPRS/1966, Nomor X/MPRS/1969 dan Nomor III/MPR/1978. Dari ketetapan MPRS dan MPR tersebut kita dapat melihat adanya kualifikasi lembaga negara yang berbeda yaitu Lembaga Tertinggi Negara yang disebut MPR dan Lembaga Tinggi Negara yaitu Presiden, DPA, DPR, BPK, dan Mahkamah Agung. MPR dalam UUD 1945 sebelum perubahan adalah penjelmaan seluruh rakyat sebagai pemegang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 115 kedaulatan, dan dalam realitasnya MPRlah yang memegang kekuasaan negara yang tertinggi . Setelah UUD 1945 mengalami perubahan, kita juga tidak dapat menemukan kejelasan definisi lembaga negara. Kalau dilakukan inventarisasi dalam UUD 1945 setelah perubahan kita memang menemukan lembaga-lembaga negara yang disebut, baik secara tegas yang dibentuk dan menerima kewenangan dari UUD 1945, atau yang hanya disebut adanya satu lembaga untuk fungsi tertentu, yang kemudian nama dan wewenangnya diatur dalam Undang-Undang mengenai lembaga negara tersebut. Misalnya Pasal 22 ayat (5) yang mengatur bahwa ” pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri” dan ayat (6) menentukan bahwa ” ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang”. Demikian juga Pasal 23D UUD 1945 hanya menyebut adanya satu bank sentral, yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan Undang-Undang; Dari ketentuan tersebut juga dapat diketahui bahwa penyebutan adanya lembaga negara dalam UUD belum dengan sendiri menentukan bahwa lembaga yang akan dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD 1945. Ada kalanya penyebutan dalam UUD 1945 merupakan penugasan kepada pembuat Undang-Undang untuk membentuk lembaga negara, dan mengatur hal-hal yang menyangkut kewenangan, susunan, kedudukan dan tanggung jawabnya dalam satu Undang-Undang. Dalam hal demikian dia menjadi organ atau lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari Undang-Undang, namun tetap merupakan lembaga negara yang konstitusional. Konsep Independensi Independensi suatu lembaga sesungguhnya diberikan karena dibutuhkan untuk dijadikan dasar dari suatu sikap netral ( impartial ) dan boleh membebaskan diri dari kungkungan conflict of interest diantara subjek pengawasan dan yang memiliki kepentingan lain. Independensi, merupakan prasyarat bagi terwujudnya sikap netral dan merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan. Kemandirian dan kemerdekaan lembaga, dengan menempatkannya tidak dibawah kekuasaan eksekutif, legislatif __ maupun yudikatif, tidak menyebabkan bahwa lembaga tersebut menjadi superbody , karena mekanisme pengawasan secara hukum pidana, maupun administrasi Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 116 dan tatanegara, merupakan hal yang terjadi secara mekanis dalam proses checks and balances . Baik komisioner OJK sendiri-sendiri maupun sebagai institusi, independensi dirumuskan sebagai kebebasan dari pelbagai pengaruh, yang berasal dari luar diri lembaga, baik sebagai intervensi yang bersifat mempengaruhi secara langsung atau tidak langsung, maupun berupa bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman atau tindakan balasan karena kepentingan politik, atau ekonomi tertentu dari siapapun, dengan imbalan atau janji imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi atau bentuk lain; Mekanisme masa jabatan dan pemilihan pejabat yang duduk dalam lembaga independen tersebut umumnya menjadi metode yang sering digunakan untuk menunjukkan independensi lembaga tersebut, ysng akan terjamin jika secara konsisten dilaksanakan. Seorang yang diangkat dengan mekanisme pemilihan yang biasanya dilakukan oleh DPR, juga dijamin kedudukannya dalam masa jabatan tertentu tidak dapat dihentikan, kecuali karena adanya pelanggaran pidana yang berat menyebabkan pejabat yang bersangkutan harus diberhentikan dari jabatannya. Otoritas Jasa Keuangan yang dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011, memuat seluruh persyaratan sebagai lembaga Negara yang independen; Integrasi Kewenangan Regulasi dan Pengawasan. Tampaknya integrasi kewenangan regulasi dan pengawasan dalam satu lembaga merupakan ciri dari lembaga independen, di mana kewenangan eksekutif, legislatif dan yudikatifnya disatukan dalam satu lembaga. Jika hal demikian terdapat pada OJK, maka menurut hemat kami, tidak mengganggu derajat independensi lembaga induk (BI), yaitu kewenangan BI yang seharusnya tidak boleh diambil tetapi diambil, sehingga berkurang sentralitasnya, dan juga tidak mengurangi kewenangan lembaga induk serta ciri dan fungsi utama lembaga induk atau BI, tidak dikurangi dalam hal sentralitas BI dalam UUD. Sistem keuangan dan perekonomian nasional, terutama berkembangnya lembaga jasa keuangan dengan fungsi utama sebagai intermediasi dengan innovasi finansial, telah menciptakan sistem yang kompleks, dan dalam perkembangannya yang pesat didorong oleh proses globalisasi. Hal tersebut telah mengakibatkan tugas tersebut tidak lagi dapat diserahkan kepada BI sebagai Bank Sentral dengan tugas pokok sebagai Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 117 otoritas moneter. Pengalaman masa lalu ketika BI sebagai Bank Sentral menggunakan instrument moneter berupa bantuan liquiditas untuk menyehatkan kondisi bank yang diawasi adalah disebabkan karena bank sentral keinginannya menutupi kelemahan akibat pelanggaran terhadap prudential banking [Naskah Akademik Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hal. 10] . Hal ini telah mengakibatkan masalah yang tidak dapat dipandang selesai sampai saat ini; Adanya kewenangan yang meliputi fungsi regulasi dan pengawasan bahkan sering ajudikasi sebagai fungsi judikatif terjadi dalam lembaga Negara independen secara universal. Dengan kompleksitas masalah dalam bidang jasa keuangan dengan produknya yang beragam dan pemain yang meliputi asing dengan jumlah dana yang besar, menyebabkan perlunya dilakukan pengaturan dan pengawasan terhadap seluruh kegiatan jasa keuangan secara lebih terintegrasi ( ibid, hal.3) Kesewenang-wenangan yang mungkin dapat timbul dalam hal demikian, dapat dicegah dengan membangun system checks and balances baik secara internal maupun melalui lembaga lain secara eksternal dalam judicial review dan mekanisme hukum lain yang tersedia. Dampak Globalisasi Terhadap Ekonomi dan Keuangan Nasional Globalisasi, sebagai satu proses transformasi meliputi seluruh aspek kehidupan. Hal itu semakin dirasakan membawa pengaruh mendalam baik dalam kehidupan pribadi secara individual maupun secara kelembagaan dalam kehidupan negara dan masyarakat, ketika gagasan, dana dan nilai-nilai kultural masuk kedalam ruang-ruang kita secara mudah menembus batas ruang dan waktu. Komunikasi yang amat mudah dengan kecepatan tinggi dan transportasi yang murah membawa proses globalisasi tersebut mentransformasi kehidupan manusia dan lembaga yang dikenal dalam negara dan masyarakat. Interaksi sosial, politik, ekonomi, finansial, ilmu pengetahuan, teknologi dan kultural antara satu bagian dunia dengan bagian dunia lain, terjadi dan berlangsung demikian saja dengan satu tekanan klik pada perangkat elektronik. Akibatnya dikatakan bahwa dunia ini telah menjadi rata ( the world is flat ) [ Thomas L. Friedman, The World is Flat, The Globalized World in the Twenty First Century, Penguin Books 2006, hal 7 ]. Globalisasi ada kaitannya dengan dalil bahwa kita sekarang hidup dalam satu dunia ( Anthony Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 118 Giddens, Run Away World, How Globalisation is Reshaping Our Lives,Profile Books,h. 7 ). Dibawah pengaruh globalisasi, kedaulatan negara telah menjadi semakin kabur atau tidak jelas, karena kekuatan global dapat mempengaruhi kehidupan warganegara disatu teritorial tertentu; Meskipun begitu banyak dimensi yang dapat diperlihatkan oleh kata Globalisasi , dan dimana-mana orang mengatakan bahwa kita hidup dalam zaman dengan kehidupan sosial yang sebagian besar ditentukan oleh proses global, dimana garis batas budaya nasional, ekonomi nasional dan wilayah nasional yang semakin kabur, akan tetapi inti dari persepsi ini adalah terjadinya proses globalisasi ekonomi yang muncul dan berjalan dengan sangat cepat ( Paul Hirst & Grahame Thomson, Globalization in Question, dialih bahasakan P. Sumitro, Globalisasi Adalah Mitos: Sebuah Kesangsian Terhadap Konsep Globalisasi Ekonomi Dunia Dan Kemungkinan Aturan Mainnya, Yayasan Obor Indonesia 2001, hal 1 ). Dikatakan lebih lanjut, bahwa telah muncul, atau sedang muncul, suatu sistem ekonomi yang benar-benar global, dimana didalamnya tercakup ekonomi nasional dan, karena itu strategi pengelolaan ekonomi nasional, semakin memerlukan kreativitas untuk bertahan. Dinamika dasar ekonomi dunia telah mencakup seluruh dunia; ekonomi dunia dikuasai oleh kekuatan pasar bebas yang tak terkendali, dengan perusahaan-perusahaan transnasional sebagai pelaku utama dan pembawa perubahan ( ibid) . Satu ciri dari globalisasi ekonomi dapat ditunjuk kebebasan modal bergerak dari satu negara kenegara lain, sehingga dalam keadaan tertentu pergerakan jangka pendek modal memasuki satu negara, dan ketika kemudian tiba-tiba ditarik kembali, akan terjadi gangguan besar bagi sistem moneter negara tersebut. Meski kebijakan moneter Amerika tidak diterapkan keseluruh dunia akan tetapi mata uang dollar menjadi alat pembayaran utama dalam sistem perdagangan internasional. Sistim nilai tukar mengambang dan pusat pusat pasar modal di Amerika sangat berpengaruh pada pasar modal diseluruh dunia, sehingga fluktuasi yang terjadi secara berantai akan membawa dampak ke pasar modal negara lain ( Tetapi saat ini mata uang dollar tidak lagi perkasa, dan terutama karena krisis yang dipicu oleh prime mortgage, orang mulai beralih kemata uang euro (Harian Kompas Oktober 2007 ). Tidak ada pemerintah nasional yang dapat menjalankan dengan effektif Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 119 tata aturan ekonomi apapun, bila tata aturan itu menyimpang dari standar internasional dan merugikan kepentingan TNC yang beroperasi diwilayahnya (Paul Hirst & Grahame Thomson, op.cit hal 19 _); _ Satu transformasi, yaitu perubahan dalam struktur, tampilan atau karakter terjadi secara luas dan besar-besaran, sebagai akibat proses globalisasi. Semua negara, wilayah, lembaga, masyarakat dan individu terkena dampaknya, yang juga mengakibatkan terjadinya perubahan besar dalam interaksi dan interelasi secara kelembagaan, wilayah dan antar masyarakat serta individu. Respon yang memadai terhadapnya tidak dapat diabaikan sama sekali, karena penetrasi yang terjadi secara global telah melampaui dengan mudah batas-batas negara, bahkan-batas-batas yang ingin dijaga dalam rumah keluarga-keluarga. Meskipun proses globalisasi sesungguhnya mempunyai banyak dimensi-sebagaimana telah diuraikan dibagian awal-akan tetapi sesungguhnya orang lebih banyak berbicara tentang proses dan dampaknya dalam bidang ekonomi. Hal itu terjadi karena dampak globalisasi dibidang ekonomi dapat menyengsarakan rakyat diwilayah atau negara tertentu secara signifikan, karena tidak siap dan tidak mampu menghadapi perubahan yang terjadi secara global tersebut. Umumnya negara- negara yang miskin dan sedang berkembang, dengan kemampuan ekonomi dan teknologi yang rendah tidak siap menghadapinya. Apalagi jika kebijakan yang diambil tidak dapat memperhitungkan keadaan domestik secara sosial, ekonomi dan kultural yang tidak memiliki kesiapan yang memadai, diharuskan bersaing secara bebas dan terbuka dengan aktor asing yang lebih canggih. Sesungguhnya transformasi yang terjadi dengan globalisasi sekarang menyebabkan hampir seluruh dunia, sedikit banyak terhubung kedalam sistem dunia yang semakin terintegrasi, dimana parameter pasar mendominasi; Pasal 33 UUD 1945 dan Kebijakan Ekonomi Globalisasi dan integrasi dunia melalui perdagangan bebas dengan filosofi pasar bebas, mau tidak sangat mempengaruhi kondisi perekonomian dan keuangan Indonesia. Dalam hal demikian perlindungan yang diperlukan dalam menjaga segenap bangsa semakin menjadi besar. Memang kemungkinan UU OJK merupakan salah satu yang diajukan oleh IMF sebagai persyaratan untuk bantuan membenahi ekonomi Indonesia, tetapi tidak selalu Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 120 dapat disimpulkan secara sederhana bahwa hanya karena demikian saja UU OJK tersebut bertentangan dengan UUD 1945; UUD 1945, yang memuat konstitusi Ekonomi, yang telah beberapa kali dijadikan batu penguji terhadap kebijakan ekonomi yang tertuang dalam undang-undang yang dimohonkan review oleh Mahkamah Konstitusi. Pasal 33 UUD 1945 yang menentukan prinsip penguasaan negara, demokrasi ekonomi dan kebersamaan, effisiensi berkeadilan, dan pembangunan yang sustainable serta berwawasan lingkungan oleh Mahkamah diartikan bahwa penguasaan itu tidak selalu dalam arti mutlak 100%, sepanjang penguasaan atas pengelolalan tersebut memberi pada negara posisi yang menentukan dalam proses pengambilan keputusan untuk menentukan kebijakan, sehingga oleh karenanya juga divestasi ataupun privatisasi atas kepemilikan saham Pemerintah dalam BUMN yang mengelola sumber daya alam tidak dapat dianggap bertentangan dengan UUD 1945 [ _Pasal 33 ayat (4) UUD 1945: _ “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional] , sepanjang penguasaan negara efti atas cabang produksi strategis dan menguasai hajat hidup orang banyak, serta sumber daya alam, dan sepanjang Negara memiliki posisi dominan dalam policy making badan usaha melalui komposisi saham. Dengan kata lain dalam tafsiran Mahkamah, privatisasi dan kompetisi sepanjang tidak meniadakan penguasaan negara dalam arti posisi yang menentukan dalam pengambilan keputusan kebijakan tetap, dalam tangan negara, dapat diterima dan tidak bertentangan dengan UUD 1945 ( Ibid, hal 336-349 _); _ Dalam krisis keuangan yang dapat menimbulkan krisis global, yang dikatakan seperti tsunami, bagi Indonesia dampak ”globalisasi” secara buruk kelihatannya berjalan satu arah. Kita tidak mampu memberi perlawanan, dan menjadi korban. Sejak era Pemerintah Orde Baru, dua kekuatan utama telah menelan Indonesia, yaitu pertama ”kekuatan deregulasi” yang memaksa keterbukaan akses pasar nasional, yang awalnya hanya meliputi perdagangan, tetapi kemudian meliputi investasi asing. Kedua, pertumbuhan perjanjian dagang regional, ternyata telah menggeser proses regulasi kearah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 121 skala yang berbeda ( Kami menggunakan dua kekuatan itu dari Paul Dickens, op.cit hal 427 _); _ Kritik Stiglitz, yang mengecam pendekatan IMF “ one-size-fits-all”, yang dianggap memberikan solusi dengan cara yang sama dengan tidak mempertimbangkan keadaan nasional yang berbeda, menyatakan l dengan cara yang lugas: ”... Especially at the International Monetary Fund , decisions were made on the basis of what seemed a curious blend of ideology and bad economics, dogma that sometimes seemed to be thinly veiling special interest… While no one was happy about the suffering that often accompanied the IMF programs, inside the IMF, it was simply assumed that whatever suffering occurred was a necessary part of the pain countries had to experience on the way to becoming a successful market economy, and that the measures would, in fact reduced the pain the country would have to face in the long run. The hypocrisy of pretending to help developing countries by forcing them to open up their market to the goods of advanced industrial countries while keeping their own market protected, policies that make the rich richer and the poor more impoverished and increasingly angry (Joseph E. Stiglitz, Globalization And Its Discontents, Allen Lane Penguin Books 2002, hal xiii,xiv dan xv). Dibagian lain Siglitz menyebutkan bahwa kenyataan tidak adanya mekanisme pasar yang sempurna dapat disimak dari pernyataan Joseph Stiglitz : ” presumption that markets, by themselves, lead to efficient outcomes, failed to allow for desirable government interventions in the market and make everyone better off ” ( Putusan MK op.cit hal 330-331 ) _; _ Banyak dimensi yang dapat diperlihatkan oleh kata Globalisasi , dan dimana-mana orang mengatakan bahwa kita hidup dalam zaman dengan kehidupan sosial yang sebagian besar ditentukan oleh proses global, dimana garis batas budaya nasional, ekonomi nasional dan wilayah nasional yang semakin kabur, akan tetapi inti dari persepsi ini adalah terjadinya proses globalisasi ekonomi yang muncul dan berjalan dengan sangat cepat ( Paul Hirst & Grahame Thomson, Globalization in Question, dialih bahasakan P. Sumitro, Globalisasi Adalah Mitos: Sebuah Kesangsian Terhadap Konsep Globalisasi Ekonomi Dunia Dan Kemungkinan Aturan Mainnya, Yayasan Obor Indonesia 2001, hal 1) . Dikatakan lebih lanjut, bahwa telah muncul, atau Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 122 sedang muncul, suatu sistem ekonomi yang benar-benar global, dimana didalamnya ekonomi nasional dan, karena itu strategi pengelolaan ekonomi nasional, semakin terpengaruh. Dinamika dasar ekonomi dunia telah mencakup seluruh dunia; ekonomi dunia dikuasai oleh kekuatan pasar bebas yang tak terkendali, dengan perusahaan-perusahaan transnasional sebagai pelaku utama dan pembawa perubahan ( _ibid); _ Mahkamah Konstitusi yang diberi mandat untuk mengawal konstitusi, memberi tafsiran atas pasal 33 UUD 1945 sebagai batu ujian konstitusionalitas kebijakan ekonomi yang diadopsi dalam undang-undang yang dimohonkan pengujian, dengan memperhitungkan juga lingkungan strategis global yang berubah. Mahkamah Konstitusi secara khusus telah memberi pengertian ”penguasaan oleh negara” dalam putusan-putusannya sebagai berikut ini : ” ...dengan memandang UUD 1945 sebagai sebuah sistem...,maka penguasaan oleh negara dalam Pasal 33 memiliki pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas dari pada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata. Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik dibidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin ”dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Dalam pengertian kekuasaan tertinggi tersebut tercakup pula pengertian pemilikan publik oleh rakyat secara kolektif. Bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalam wilayah negara, pada hakikatnya adalah milik publik seluruh rakyat secara kolektif yang dimandatkan kepada negara untuk menguasainya guna dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran bersama. Karena itu Pasal 33 ayat (3) menentukan ”bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sesesar-besar kemakmuran rakyat”. ”...pengertian ”dikuasai negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan ”bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, termasuk pula didalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber sumber kekayaan yang dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 123 1945 memberikan mandat kepada negara untuk melakukan fungsinya dalam mengadakan kebijakan (beleid), tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad)” (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 01-02-022/PUU- I/2003 ). Ini memperkuat keyakinan kita akan apa yang disebut ketidak sempurnaan pasar dan perlunya intervensi Pemerintah sebagaimana disebut Joseph Stiglitz: ” Behind the free market ideology there is a model, often attributed to Adam Smith, which argues that market forces-the profit motive-drive the economy to efficient outcomes as if by invisible hand. One of the great achievements of modern economics is to show the sense in which, and the conditions under which Smith’s conclusion is correct. It turns out that these conditions are highly restrictive. Indeed, more recent advances in economic theory-ironically occurring precisely during the period of the most relentless pursuit of the Washington consensus policies-have shown that whenever information is imperfect and market incomplete, which is to say always, and especially in developing countries, then the invisible hand works most imperfectly. Significantly, there are desirable government interventions which, in principle, can improve upon the efficiency of the market. These restrictions on the conditions under which markets result in efficiency are important-many of the key activities of government can be understood as responses to the resulting market failure” (Joseph E. Stiglitz, op.cit hal 73-74 ). __ Oleh karenanya Pasal 33 UUD 1945 sebagai konstitusi ekonomi Indonesia yang membentuk paradigma negara kesejahteraan ( Kita tidak menyebut paradigma sosialis, untuk menghindari kesan kembali mempertahankan kebijakan ekonomi yang dianut negara-negara komunisme dalam masa perang dingin, yang secara mutlak telah mengalami kekalahan dari sistem kapitalisme) , dengan tafsir mutakhir yang dilakukan Mahkamah Konstitusi, kami yakini dapat diterapkan di Indonesia, dengan memperhatikan tingkat perkembangan kondisi sosial, kultural dan ekonomi dari Negara dan bangsa Indonesia. Dalam menata dan melaksanakan tugasnya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang didasarkan pada UUD 1945, kami melihat bahwa pemerintah pusat dan lokal dalam tugas pokoknya untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, ekonomi, dan pembangunan yang effektif dan effisien untuk mendukung terwujudnya Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 124 perekonomian nasional yang berfihak pada ekonomi kerakyatan, yang merata, mandiri, handal, berkeadilan dan mampu bersaing dikancah perekonomian Internasional harus dapat memperhatikan paradigma negara kesejahteraan ( welfare state). Pembentukan OJK hemat kami sesuai dengan konsep pengawasan dan intervensi yang dibutuhkan untuk melindungi rakyat dan perekonomian Indonesia dari praktik di bidang jasa keuangan yang merugikan perekonomian masyarakat dan negara, karena sebagai lembaga negara yang independen, OJK adalah bagian dari organ negara, yang memenuhi syarat dalam tugas pengawasan dan pengaturan lembaga jasa keuangan, yang didalilkan Pemohon bertentangan dengan UUD 1945. Justru dia menjadi bagian dari campur tangan negara untuk mengawasi dan mengatur jasa keuangan di Indonesia, dengan cara yang independen dan dibebaskan dari benturan kepentingan yang mungkin terjadi, yang menjadi amanat Pasal 33 UUD 1945 dan Pembukaan UUD 1945, sebagaimana telah ditasfirkan oleh Mahkamah Konstitusi; Sekali lagi kami memohon kehati-hatian Majelis yang Mulia Hakim MK, suatu putusan yang meniadakan lembaga OJK seperti yang terjadi pada BP Migas, membawa akibat yang sangat berbeda, karena akan menghilangkan kepastian hukum, kepercayaan investor asing, yang akan terdorong untuk menarik dana besar mereka secara mendadak, sehingga dapat menimbulkan panik dan kekacauan secara berantai, yang boleh menjadi krisis ekonomi; Kesimpulan 1. Pemohon tidak mempunyai dasar legal standing yang memadai untuk memohon pengujian UU OJK;
Karena keterkaitan ekonomi global dengan ekonomi Indonesia, maka Putusan MK, sekalipun hanya menghentikan untuk sementara kegiatan OJK, justru dapat menimbulkan krisis ekonomi di Indonesia;
UU OJK tidak melanggar constitutional boundary Dalam UUD 1945;
Dr. Zainal Arifin Moechtar, S.H., LL.M Pada dasarnya, pengujian atas UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (lebih lanjut disebut UU OJK) dilakukan oleh karena Pemohon menganggap bahwa; Pertama , OJK ini bukanlah lembaga yang sah secara konstitusional dan karenanya tidak dapat disematkan sifat keindependenan padanya. Kedua , OJK telah mengambil alih peran dan fungsi Bank Indonesia, padahal menurut Pemohon, hanya Bank Indonesia-lah yang memiliki sifat-sifat Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 125 sebagai bank sentral dengan segala tugas dan fungsinya sehingga tidaklah tepat jika OJK diperbolehkan untuk memiliki fungsi menyelenggarakan sistem pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana yang dimaksud di dalam UU OJK. Ketiga , pembentukan OJK menimbulkan banyak kerugian oleh karena OJK mengadakan pungutan terhadap perusahaan sektor jasa keuangan yang dijadikan sumber pendanaan OJK. Karena ini berarti entitas yang diawasi malah menjadi sumber dana dan akan mengganggu independensi OJK, khususnya OJK akan lebih memperhatikan industri jasa dan keuangan dibanding kepentingan publik; Dalam kapasitas sebagai ahli dan untuk merespon permohonan Pemohon tersebut, akan menjelaskan hal-hal sebagai berikut; Pertama, seperti apa sesungguhnya lembaga negara independen secara teoritik dan praktik. Kedua, makna relasi OJK dengan lembaga bank sentral; Ketiga, pungutan yang dilakukan terhadap jasa keuangan apakah dengan serta merta dapat dianggap melanggar prinsip Pasal 23A UUD 1945; Dalam kapasitas sebagai ahli dengan menyatakan sebagai berikut; Perihal Independensi OJK dan Lembaga Negara Independen Tentu saja tak dapat dimungkiri bahwa OJK adalah lembaga negara independen sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 1, UU OJK itu sendiri. Dapat digolongkan sebagai lembaga negara oleh karena merupakan lembaga yang dibentuk oleh negara dan dalam rangka menjalankan tugas negara di sektor pengawasan terhadap perbankan. Kemudian, diberikan sifat independen oleh karena diharapkan bebas dari campur tangan pihak lain. Oleh karena itu, OJK kemudian dijadikan lembaga negara yang bersifat independen; Lembaga negara independen seringkali diterjemahkan menjadi lembaga negara tersendiri yang terpisah dari cabang kekuasaan yang lainnya. Lembaga yang menjadi independen atas lembaga negara lainnya dan menjalankan fungsi- fungsi tertentu secara permanen (state independent agencies) , maupun yang hanya bersifat menunjang (state auxiliary agencies) , sehingga padanya disematkan kewenangan kelembagaan kuat untuk menjalankan fungsi campuran antara regulatif, administratif, pengawasan, dan fungsi penegakan hukumnya ( Lihat: Jimly Ashiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara , Rajawali Pers, Jakarta, 2009, halaman 338-339 _); _ Bahwa menurut Milakovich dan Gordon, komisi negara independen pada Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 126 hakikatnya memiliki karakter kepemimpinan yang bersifat kolegial, sehingga keputusan-keputusannya diambil secara kolektif. Selain itu, anggota atau para komisioner lembaga ini tidak melayani apa yang menjadi keinginan presiden sebagaimana jabatan yang dipilih oleh presiden lainnya ( Michael E.Milakovich, dan George J. Gordon , Public Administration in America , Seventh Edition, USA, Wadsworth and Thomson Learning, 2001 ). Perihal independen ini, Funk dan Seamon menjelaskannya dalam arti anggota bebas dari kontrol presiden, walaupun independensi itu sifatnya relatif, tidak mutlak ( William F Funk and Seamon, 2001 Administrative Law, Examples and Explanations , Aspen Law and Bussiness, New York _); _ Di samping itu, periode jabatannya bersifat ”staggered ”. Artinya, setiap tahun setiap komisioner berganti secara bertahap dan oleh karena itu, seorang presiden tidak bisa menguasai secara penuh kepemimpinan lembaga-lembaga terkait, karena periodesasi jabatan komisioner tidak mengikuti periodesasi politik kepresidenan. Demikian juga perihal jumlah anggota atau komisioner ini bersifat ganjil dan keputusan diambil secara majoritas suara. Selain itu, keanggotaan lembaga ini biasanya menjaga keseimbangan perwakilan yang bersifat partisan ( ibid). Dengan karakter seperti di atas, maka komisi independen relatif memiliki posisi yang leluasa dalam melakukan fungsinya karena tidak berada di bawah kontrol kekuasaan manapun secara mutlak; Ditambahkan Gordon dan Milakovich, perihal nomenklatur kelembagaan bisa ditarik dalam kesimpulan penggunaan istilah regulatory agencies merujuk kepada semua jenis dependent and independent regulatory boards , commissions, law enforcemen agencies dan executive department yang memiliki kewenangan pengaturan (Op.Cit Gordon and Milakovich). __ Lebih lanjut dijelaskan bahwa: The term of regulatory agencies will refer to a regulatory bodies headed by single individual (most commonly a director); a regulatory commissions is headed by group of commissioners (or sometimes, board member) and both regulatory bodies will refer to both kinds of structures (ibid) . Dikatakan, sebagai pembedaan yang akan menunjukkan perbedaan type of regulators, in their _operational as well as their formal structures (ibid); _ Masih dalam hal yang sama, Funk dan Seamon menjelaskan secara lebih rinci bahwa karakteristik lembaga independen ini adalah, Pertama , dikepalai oleh multi-member groups, yang berbeda dari yang mengepalai agency . Kedua , tidak Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 127 boleh dikuasai secara simple majority oleh partai tertentu, yang artinya bebas dari penguasaan partai tertentu. Ketiga , para komisionernya punya masa jabatan yang fixed dengan cara berjenjang ( staggered terms ), yang artinya mereka tidak berhenti secara bersamaan. Keempat , para anggota hanya bisa diberhentikan dari jabatan menurut apa yang ditentukan di dalam dalam aturan dan tidak dengan cara yang ditentukan oleh Presiden seperti di lembaga eksekutif ( Op.Cit., Funk dan Seamon _); _ Sementara itu, Michael R. Asimov, komisi negara disebutnya sebagai administrative agencies dengan pengertian sebagai units of government created by statute to carry out specific tasks in implementing the statute. Most administrative agencies fall in the executive branch, but some important agencies are independent ( Michael R. Asimov 2002, Administrative Law , Chicago: The BarBri Group ) . Mengenai watak dari sebuah komisi, apakah tergantung pada satu cabang kekuasaan tertentu, atau bersifat independen, Asimov melihatmya dari segi mekanisme pengangkatan dan pemberhentian anggota komisi negara tersebut. Menurutnya, pemberhentian anggota komisi negara independen hanya dapat dilakukan berdasarkan sebab-sebab yang diatur dalam Undang-Undang pembentukan komisi bersangkutan. Sedangkan anggota komisi negara biasa, sewaktu-waktu diberhentikan oleh presiden, melalui mekanisme pengaturan yang dimiliki presiden ( _bid); _ Sementara William F. Fox, Jr mengemukakan bahwa komisi negara adalah bersifat independen apabila dinyatakan secara tegas di dalam undang-undang komisi bersangkutan, yang dibuat oleh Congress . Atau, bilamana terdapat pembatasan kewenangan presiden untuk tidak bisa secara bebas memutuskan ( discretionary decision ) pemberhentian pimpinan komisi negara tersebut ( William F. Fox, Jr., Understanding Administrative Law , Danvers: Lexis Publishing, 2000 _); _ Sebuah komisi negara independen adalah lembaga publik yang memiliki independensi, otonomi dan kompetensi pengaturan dalam menjalankan ruang publik yang sensitif, seperti perlindungan persaingan, supervisi capital market , dan pengaturan pelayanan kepentingan ekonomi secara umum . Keberadaan komisi negara independen ini, dijustifikasi oleh adanya kompleksitas pengaturan hal-hal tertentu, serta tugas-tugas yang bersifat supervisory dan sangat membutuhkan keahlian khusus. Kebutuhan untuk Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 128 implementasi secara cepat kewenangan publik di sektor tertentu dan juga bebas dari campur tangan politik dalam pelaksanaan tugas. Bahwa dari berbagai pengertian tersebut, OJK menemukan fungsi independennya secara sangat kuat. Pertama, oleh karena adanya kepentingan dan tugas tertentu yang diinginkan negara untuk dijalankan secara lebih independen dan bebas dari campur tangan mana pun menjadi. Khususnya mengenai kepentingan untuk melakukan pengawasan perbankan secara independen. Dan oleh karena adanya kebutuhan untuk melakukan pengasan secara lebin independen itulah maka UU Bank Indonesia sendiri telah mengamanatkan dibentuknya lembaga tersendiri yang independen dalam melakukan pengawasan sektor jasa keuangan; Kedua , OJK telah memiliki hampir semua ciri keindependenan yang dimaksudkan sebagai ciri penegas dari keindependenan suatu lembaga negara independen. Tentu saja tidak semua, apalagi memang tidak satupun lembaga negara independen di Indonesia yang mengikuti berbagai ciri teoritik untuk lembaga negara independen tersebut. Misalnya soal pergantian yang berjenjang ( staggered terms ). Sampai saat ini, tidak satupun lembaga negara independen yang memiliki sifat pergantian berjenjang. Lagipula, kepentingan pergantian berjenjang adalah untuk mengecilkan kemungkinan penguasaan suatu lembaga negara independen oleh partai politik tertentu. Tetapi selebihnya, OJK dapat dikatakan menjalankan penuh sifat-sifat keindependenan sebagaimana ciri teoritik; Ketiga , haruslah diingat bahwa keindependenan dapat diukur kepentingan konstitusionalnya melalui fungsi yang ingin dikerjakan. Jika ada suatu tugas yang negara ingin lakukan, sangat penting, serta adanya kemungkinan conflict of interest dengan kepentingan Pemerintah, maka disitulah lahir kepentingan konstitusional untuk mengindependenkan tugas tersebut ke suatu lembaga tersendiri dengan harapan tidak akan dipengaruhi oleh cabang kekuasaan manapun. Bank Indonesia dan OJK Perihal OJK telah mengambil alih peran dan fungsi Bank Indonesia, memang merupakan hal yang menarik. Sesungguhnya harus diingat beberapa hal yang melatari lahirnya UU Bank Indonesia yang mencantumkan pemisahannya dari Bank Indonesia. Salah satunya krisis yang terjadi di tahun 1997-1998, dan menimbulkan kesimpulan kala itu bahwa terjadi ketidakefektifan pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Oleh karenanya, dipisahkanlah fungsi regulasi dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 129 pengawasannya. Pemisahan ini tentunya adalah open legal policy pembentuk Undang-Undang yang melihat adanya persoalan pengawasan perbankan. Karenanya, pembentukan OJK adalah bagian dari ijtihan negara untuk melakukan perbaikan sektor pengawasan jasa keuangan; Kedua , perihal makna terintegrasi. Makna kata terintegrasi secara hukum tidaklah dapat dikatakan bahwa terintegrasi itu haruslah dipegang oleh satu lembaga saja. Terintegrasi tentu saja bermakna dapatjuga dilakukan oleh multi-pihak, sepanjang dilakukan secara terkordinatif dengan relasi yang baik dan jelas. Sekedar mencontohkan, integrated criminal justice system menjelaskan bahwa sistem penegakan hukum pidana yang terintegrasi tidaklah berarti hanya harus ada satu lembaga yang mengerjakan penegakan hukum pidana. Tetapi dapat juga dengan beberapa lembaga yang diupayakan terformat secara terintegrasi. Inilah yang dapat dilihat dalam relasi antara Bank Indonesia dan OJK dalam pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan. Tidaklah harus dilakukan oleh satu lembaga saja, tetapi dapat juga dengan multi-pihak. Disinilah peran pembentuk Undang- Undang untuk merumuskan legal policy apa yang akan diambil dalam artian menjelaskan sistem perekonomian yang terintegrasi tersebut. Masih perihal terintegrasi tentunya tidak dapat diterjemahkan sebagai membiarkan adanya campur tangan satu pihak atas pihak yang lain sehingga mengganggu independensi. Terintegrasi memiliki makna kuat termasuk saling kontrol. Seperti layaknya suatu _checks and balances system; _ Karenanya, seharusnya dibalik logikanya bahwa dengan kehadiran OJK bukanlah memperlemah fungsi bank sentral yang sesungguhnya yakni memelihara kestabilan nilai rupiah dengan melaksanakan kebijakan moneter yang berkelanjutan, konsisten, transparan dan mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah dalam bidang perekonomian. Dalam tugas tersebut, OJK sangat berfungsi untuk membantu kebijakan secara keseluruhan dalam kaitan menjaga sistem perekonomian nasional yang dikerjakan oleh Pemerintah, OJK, maupun Lembaga Penjamin Simpanan yang memang penting untuk saling bahu-membahu menjaga kestabilan perekonomian nasional; Perihal Pungutan OJK Pada dasarnya, Pasal 34 ayat (2), Pasal 37 ayat (1) s.d. ayat (6) serta penjelasannya mengatur bahwa anggaran OJK bersumber dari APBN dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 130 kemudian juga diatur bahwa yang dimaksud dengan pungutan antara lain adalah pungutan untuk biaya perizinan, persetujuan, pendaftaran, dan pengesahan, biaya pengaturan, pengawasan, pemeriksaan serta penelitian dan transaksi perdagangan efek; Aturan ini bermakna banyak. Pertama , pendanaan OJK sesungguhnya dapat dilakukan dengan hanya menggunakan APBN. Dapat juga hanya menggunakan pungutan. Dapan juga dengan menggunakan keduanya. Hal yang sebagai konsekuensi dari penggunaan kata “dan/atau” dalam aturan sebagaimana yang dimaksud di atas. Hanya dibebankan ke APBN tentu tidak tepat oleh karena memang ada pungutan yang seharusnya dibayarkan oleh pihak yang berkepentingan seperti yang diatur di atas. Hanya menggunakan pungutan juga tidak mungkin oleh karena OJK harus beroperasi dari awal dan belum memiliki pendanaan. Maka yang paling mungkin adalah dengan menggabungkan kemungkinan keduanya digunakan. Oleh karena itulah hadir kata “dan/atau”; Kedua , tidaklah dapat dikatakan dengan serta merta bahwa dengan pungutan ini akan mengganggu independensi. Mencontohkan biaya-biaya persidangan perkara yang diatur di Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya. Hal tersebut diatur dalam Perma Nomor 3 Tahun 2012. Dalam Perma tersebut diatur secara jelas perihal biaya-biaya yang dimaksudkan untuk membayar kepentingan pencari keadilan khususnya untuk membiayai kepaniteraan; proses peradilan itu sendiri dan biaya pemberkasan. Bahkan diatur biaya penyelesaian perkara yang berkisar antara Rp. 250.000-Rp. 10.000.000,- Dan kemudian diatur disesuaikan dengan keadaan pengadilan setempat tersebut. Bahkan di beberapa pengadilan, jika ada yang tidak mampu membayar dengan membuktikan bahwa ia benar-benar tidak mampu membayar karena termasuk golongan miskin, maka pengadilan dapat membebaskan dari biaya perkara tersebut; Artinya, pada dasarnya tidaklah dapat dikatakan melakukan pembayaran untuk mengurus biaya perkara dalam proses peradilan dapat mengganggu independensi lembaga tersebut dalam menegakkan keadilan. Sepanjang, hal tersebit diatur dengan jelas dan terang sehingga tidak ada lagi biaya-biaya lain selain dari biaya yang diatur dalam peraturan yang mendasarinya. Hal yang sama dapat dilihat ke konteks OJK. Bahwa sesungguhnya apa yang dibayarkan oleh asa keuangan merupakan bagian dari yang tidak dapat dikatakan akan mengganggu independensi OJK dalam melaksanakan tugas. Hal tersebut bagian dari biaya Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 131 yang harus dibayarkan oleh pelaku jasa keuangan untuk membiayai proses yang dikerjakan OJK. Tentu tidak mengganggu independensi OJK sepanjang ditetapkan melalui biaya yang sudah diatur dengan detail, bahkan diguanakan untuk pembiayaan apa saja serta yang paling penting adalah transparansi penggunaannya; Ketiga , perihal pungutan ini melanggar ketentuan UUD 1945 terkhusus Pasal 23A yang menyatakan “pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang” , sesungguhnya tidak serta merta dapat dikatakan melanggar. Apalagi, aturan mengenai pajak dan pungutan bersifat memaksa di negara ini tidaklah diatur secara terkodifikasi dalam satu Undang- Undang yang khusus mengenai pajak dan pungutan bersifat memaksa. Jika dikatakan bahwa harus dengan Undang-Undang tersendiri juga akan sangat repot karena harus membuat begitu banyak Undang-Undang khusus dan tersendiri yang mengatur soal pungutan. Termasuk Undang-Undang khusus pungutan OJK maupun Mahkamah Agung, serta seluruh lembaga-lembaga lainnya yang menggunakan pungutan ataupun pajak; Karenanya, pengaturan lebih lanjut dengan menggunakan aturan pelaksana dari Undang-Undang yang membolehkan pungutan secara praktik masih dapat diterima dan menjadi open legal policy dalam besaran jumlah pungutan sepanjang, -mengutip Putusan MK No. 26/PUU-VII/2009 tentang sifat open legal policy , yakni sepanjang isinya tidak melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable (tidak dapat ditoleransi). Maka sepanjang pungutan tersebut tidak melanggar moralitas, masih rasional jumlahnya serta tidak menimbulkan ketidakdilan, maka masih dapat dibenarkan. Meskipun pada saat yang sama harus memperhatikan kondisi dari pihak yang dipunguti biaya tersebut. Seperti yang diatur dalam Perma untuk biaya perkara maupun Peraturan OJK untuk pungutan atas jasa keuangan; Keempat , jikalaupun dianggap melanggar prinsip Pasal 23A UUD 1945 yang mengamatkan harus diatur dalam Undang-Undang tersendiri, maka harus dapat dilakukan dengan mengupayakan adanya kodifikasi atas keseluruhan pajak dan pungutan bersifat memaksa lainnya. Atau sekurang-kurangnya semua pungutan yang terjadi di MA, LPS, Pemerintah melalui PNBP, maupun OJK dan berbagai lembaga lain haruslah dibuatkan Undang-Undang nya masing-masing. Hal yang tentu mustahil karena mengingat kompleksitas soal hal tersebut; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 132 5. Prof. Erman Rajagukguk, S.H., LL.M., PH.D Pertanyaan yang mendasar adalah, apakah Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa “… tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan...” dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 23A dan Pasal 34D Undang-Undang Dasar 1945 ? Dengan perkataan lain pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:
Apakah filosofi pemisahan kewenangan stabilitas moneter dan pengawasan perbankan? 2. Apakah filosofi penggabungan pengawasan perbankan dan lembaga keuangan non-bank? 3. Apakah artinya independensi dan bebas dari campur tangan pihak lain dalam kelembagaan OJK? 4. Bagaimanakah hubungan kelembagaan antara Pemerintah dalam hal ini Departemen Keuangan, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam sistem perekonomian Indonesia? 5. Apakah filosofi pembiayaan OJK dilakukan dengan pungutan dari para pelaku pasar? Pendapat Hukum ahli atas pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas adalah sebagai berikut ini: Filosofi pemisahan kewenangan menjaga stabilitas moneter dan pengawasan perbankan adalah agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang berkelanjutan dan stabil, mampu melindungi kepentingan konsumen atau masyarakat. Hal ini juga merupakan amanat Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang telah memperkirakan perkembangan transaksi sektor jasa keuangan yang tidak bisa dilakukan secara partial, namun harus secara terintegrasi dari berbagai sub sektor jasa keuangan; Filosofi penggabungan pengawasan perbankan dan lembaga keuangan non-bank adalah untuk melindungi kepentingan konsumen atau masyarakat. OJK sebagai otoritas yang melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan di sektor jasa Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 133 keuangan harus memiliki independensi didalam melaksanakan tugasnya. Hal ini disebabkan OJK mengawasi kegiatan jasa keuangan dan transaksi keuangan oleh entititas bisnis yang dapat berpotensi terjadinya benturan kepentingan serta berpotensi pula mempengaruhi pihak-pihak tertentu, termasuk pihak Pemerintah. Terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi dan informasi serta inovasi finansial telah menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks, dinamis dan saling terkait antar masing-masing sub sektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Disamping itu adanya lembaga keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai sub sektor keuangan (konglomerasi) telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antara lembaga-lembaga keuangan seperti bank, perusahaan- perusahaan yang go publik (sektor Pasar Modal), Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya; Independensi dan bebas dari campur tangan pihak lain dalam kelembagaan OJK tidak berarti independensi secara mutlak. Independensi tersebut harus diimbangi dengan check and balance , artinya bukan lembaga yang memiliki kebebasan yang tidak terbatas. Independensi dalam arti mengatur sendiri ( self-regulatory bodies ) seperti komisi lain yang ada: Komisi Penyiaran Indonesia, Komisi Pemilihan Umum, dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Independensi OJK artinya juga bahwa OJK tidak berada dibawah otoritas lain atau tidak menjadi bagian dari Pemerintah. Namun OJK tetap wajib menyusun laporan kegiatan secara berkala dan melaporkannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan OJK harus tetap memberikan laporan keuangan tahunannya serta diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Kantor Akuntan Publik yang ditunjuk oleh BPK. Selanjutnya OJK wajib mengumumkan laporan keuangan tersebut kepada publik melalui media cetak dan media elektronik; Dalam hal OJK mengidentifikasikan bank tertentu mengalami kesulitan likuiditas dan/atau kondisi kesehatan bank tersebut memburuk, maka OJK dapat mengajukan ke Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) untuk segera dilakukan rapat guna memutuskan langkah-langkah pencegahan atau penanganan krisis. Anggota FKSSK yaitu Menteri Keuangan, Bank Indonesia, OJK dan LPS melakukan pertukaran informasi terkait dengan tugas dan fungsi dari masing-masing lembaga; Filosofi pembiayaan OJK yang berasal dari APBN dan/atau pelaku pasar adalah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 134 sebagai pembiayaan bagi OJK karena bertugas mengatur dan mengawasi kegiatan jasa keuangan disektor perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya, dimana pelaku pasar juga akan memperoleh manfaat dari jasa pengawasan yang dilakukan oleh OJK; Berdasarkan uraian saya tersebut di atas, maka Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa “… tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan …” dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan tidak bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 23A dan Pasal 34D Undang- Undang Dasar 1945; Menurut Pendapat Hukum saya, apabila permohonan Pemohon dikabulkan mengembalikan semua kegiatan pengawasan perbankan kembali ke Bank Indonesia; tidak semudah membalikkan telapak tangan dan membawa implikasi yang besar dalam sektor jasa keuangan; Akan tetapi pengembalian kewenangan pengawasan perbankan tersebut membutuhkan pengaturan baru yang memakan waktu yang panjang sehingga terjadi kekosongan hukum yang mengakibatkan ketidakpastian hukum. Ketidakpastian hukum akan menyebabkan investor-investor melepaskan surat- surat berharga yang dimiliknya, hal ini dapat menyebabkan penjualan surat-surat berharga yang dimiliki oleh investor karena harganya yang akan terus merosot akibat adanya ketidakpastian hukum. Keadaan tersebut akan mempengaruhi kondisi fiskal perekonomian negara dikarenakan ABPN yang masih dalam keadaan defisit membutuhkan alternatif pembiayaan untuk menutupi defisit dimaksud dengan menerbitkan surat berharga negara, namun nilai surat berharga dimaksud menjadi berkurang, tidak laku dan pemerintah dapat mengalami keadaan default dalam arti pinjaman menjadi tidak terbayarkan dan defisit tidak dapat ditutup; Hal tersebut akan mengakibatkan krisis keuangan dan perekonomian yang pada akhirnya dapat menyebabkan krisis pemerintahan; Dengan perkataan lain, tindakan hukum yang demikian yaitu mengembalikan fungsi pengawasan perbankan akan membawa akibat negatif bagi ekonomi bangsa; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 135 6. Dr. Sihabudin, S.H., M.H I. Analisis Umum Ketentuan mengenai keuangan negara pertama kali diatur di dalam Konstitusi sejak 18 Agustus 1945 oleh BPUPKI. Namun belum ada satupun pasal yang membahas mengenai kedudukan apalagi kewenangan dari Bank Sentral maupun Bank Indonesia. Pada Pasal 23 UUD 1945 pada saat itu hanya berisi lima pasal mengenai APBN, perpajakan, mata uang, dan pembentukan lembaga tinggi Negara BPK-RI (Badan Pemeriksa Keuangan). Pada Konstitusi RIS Bab IV mengenai Pemerintahan Pasal 165 mulai mengatur mengenai BANK SIRKULASI yang diatur dalam undang-undang Federal dan hanya dibentuk satu di ibukota negara. Kemudian pada masa pemberlakuan UUDS 1950 pengaturan mengenai bank sentral mulai diatur pada Pasal 109 ayat (4) dan Pasal 110 , meski masih menggunakan nama BANK SIRKULASI ; Bank Indonesia mulai diberikan independensi dan diakui secara konstitusional sebagaimana hasil amandemen UUD 1945 pada era reformasi dan disahkannya UU Nomor. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Dalam Undang- Undang tersebut berisi penegasan BI sebagai bank sentral yang independen dan bebas dari campur tangan pemerintah maupun pihak lain. BI diberikan kewenangan pemberian izin usaha bank, pembinaan dan pengawasan perbankan, meski muncul perdebatan di MPR yang meminta fungsi pengawasan bank dialihkan pada lembaga terpisah dari BI (yang dalam UU BI disebut LPJK), sedangkan kewenangan perizinan dan pengaturan masih tetap di bawah BI, dan permintaan itu dikabulkan. Hal tersebut dalam pembahasan amandemen kedua UUD 1945 (6 Desember 1999) menjadi perdebatan anggota MPR, dimana saya kutip salah satu pendapat dari Jubir F-KB, Abdul Khaliq Ahmad: “sebagai Bank Sentral, BI memiliki kewenangan di bidang penetapan dan pelaksanaan kebijakan moneter. BI juga mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran serta pengaturan dan pengawasan bank. Dengan demikian, kedudukan BI akan menjadi lembaga tinggi Negara sederajat dengan lembaga-lembaga tinggi negara yang sudah ada.. Oleh karena itu dengan dimasukkannya pengaturan tentang BI dalam UUD, independensi BI sebagai Bank Sentral diharapkan akan semakin kukuh dan bebas dari intervensi kekuatan lain. Merebaknya kasus-kasus besar perbankan akhir- akhir ini makin menyadarkan kita bahwa saatnya sekarang meningkatkan kinerja BI dengan pengaturannya secara eksplisit dalam UUD”. Seiring dengan terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi dan inovasi finansial, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 136 menciptakan sistem keuangan yang kompleks, dinamis dan saling terkait antar masing-masing subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Di samping itu, adanya lembaga keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan atau yang disebut konglomerasi keuangan menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antar lembaga keuangan dalam sistem keuangan. Hal tersebut yang menyebabkan perlunya untuk membentuk lembaga baru agar keseluruhan pengawasan kegiatan keuangan dapat terintegrasi, meski dalam permohonan disebutkan kebutuhan membentuk OJK adalah karena desakan ekonomis dari IMF terhadap pemerintah Indonesia yang disebabkan BI dianggap gagal fungsi; Dasar pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK):
Landasan yuridis: Pasal 34 UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang mengamanatkan pembentukan lembaga pengawas sektor keuangan yang mencakup perbankan, lembaga keunagan non bank, perusahaan pembiayaan dan badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat;
Landasan filsafati: pemenuhan prinsip-prinsip good governance dengan menciptakan spesialisasi dalam pengawasan, pengembangan metode pengawasan yang tepat serta mengurangi luasnya rentang kendali pengawasan agar dalam pengambilan keputusan menjadi efisien dan efektif;
Landasan sosiologis: peran pengaturan dan pengawasan yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus diarahkan untuk menciptakan efisiensi, persaingan yang sehat, perlindungan konsumen, dan memelihara mekanisme pasar yang sehat melalui prinsip kesetaraan ( level playing field ); II. ANALISIS BUTIR-BUTIR PERMOHONAN 1. Mengenai kedudukan hukum atau legal standing Pemohon, sesuai ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi yang menyatakan: “ Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang ”. Dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi berbeda dengan hukum acara yang dikenal dan diberlakukan dalam praktik peradilan umum, karena hukum acara Mahkamah Konsitusi mengandung kekhususan-kekhusuan tertentu yang tidak ditemukan dalam praktik di peradilan umum. Salah satu kekhususan dalam hukum acara Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 137 Mahkamah Konstitusi, adalah adanya syarat kerugian konstitusional bagi Pemohon yang mengajukan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 45. Dalam pikiran saya, konsep kerugian pada dasarnya adalah domain hukum perdata ( private law ), bukan domain hukum konstitusi. Jika dalam hukum perdata kerugian dimaknai sebagai hilang atau terganggunya hak-hak perdata seseorang yang diakibatkan oleh perbuatan orang lain yang melanggar hak tersebut atau yang melawan hukum. Sedangkan dalam hukum konstitusi Pertama , adanya hak konstitusional yang bersangkutan yang diberikan oleh UUD 45, Kedua , hak konstitusional tersebut dianggap oleh yang bersangkutan telah dirugikan oleh Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. Ketiga , kerugian konstitusional tersebut bersifat khusus dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Keempat , adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian tersebut dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji. Terakhir, adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Walaupun sekilas tampak bahwa ‘penganuliran’ terhadap pasal atau materi tertentu dari suatu undang-undang merupakan remedy terhadap kerugian konstitusional yang terjadi sebagai akibat dari berlakunya pasal atau materi tertentu dari Undang-Undang tersebut, sesungguhnya ‘penganuliran’ tersebut bukanlah akibat langsung dari adanya kerugian konstitusional tersebut, melainkan akibat dari adanya pertentangan antara pasal atau materi tertentu dari undang-undang tersebut dengan UUD 45 [lihat Pasal 57 ayat (1)] Jika secara perdata, ada atau tidaknya kepentingan tersebut dapat dibuktikan secara formil berdasarkan, salah satunya, ada atau tidaknya hubungan hukum, maka bagaimana membuktikan adanya ‘kepentingan’ dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi. Dapat disimpulkan bahwa pemohon dapat dikatakan memenuhi legal standing dalam permohonan tersebut, meski masih menimbulkan multi tafsir dalam pemaknaan kerugian secara konstitusional. Dalam permohonan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 138 tersebut para penggugat juga belum menunjukkan secara jelas apa kerugian konstitusional yang mereka dapatkan, apakah unsur “kepentingan” sudah dianggap mewakili? Sehingga Pemohon hanya menjabarkan hak konstitusional yang belum sesuai dengan alasan mereka mengajukan permohonan (seperti: membayar pajak, pemberi aspirasi, kedudukan dalam hukum dan apa dasar OJK disebut melakukan pemborosan sehingga mereka mengalami kerugian secara konstitusional).
Pada angka 24 tidak perlu menyebutkan Undang-undang nomor 13 tahun 1968 khususnya di Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) mengenai kewenangan Pemerintah dan Dewan Moneter yang sudah dihapuskan sejak Undang- Undang tersebut dicabut dan digantikan dengan UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang BI. Sehingga tidak tepat apabila angka 24 dijadikan landasan yuridis permohonan oleh pemohon terhadap UU OJK;
Pada angka 25, memang dibentuknya OJK dalam rangka mengurangi tugas BI dan agar terjadinya distribusi tanggung jawab yang seimbang. BI sebagai Pembina jangan sekaligus menjadi pengawas. Harapannya Bank Sentral berfungsi sebagai lembaga moneter, sehingga terhindar konflik interest;
Pada angka 31, Pemohon menggunakan istilah “perkawinan” untuk memaknai konglomerasi keuangan, sehingga dalam legal drafter hal ini menyalahi interpretasi gramatikal. Pada butir ini juga menjelaskan mengenai unit link dan penggabungan produk bank dengan asuransi dan produk lembaga keuangan lain yang dikatakan belum ada dalam UU Asuransi dan RUU nya. Padahal terkait hal ini, perbankan diberikan kebebasan dengan membentuk self regulation terkait produknya akibat konglomerasi keuangan yang disebut bancassurance dan ini juga dasar dibentuknya UU OJK bukan sebaliknya. Pada ketentuan peralihan sudah diatur bahwa ‘saat OJK terbentuk, tugas dan wewenang Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam UU tentang Usaha Perasuransian menjadi tugas dan wewenang OJK, jadi hal ini secara legalitas telah memberikan peralihan kewenangan kepada OJK terkait usaha asuransi;
Pada angka 32, angka 38 dan angka 39, dikatakan secara konstitusional, cantolan OJK tidak jelas di UUD 1945 dan berasal dari turunan yang asimetris. Dalam UUD 1945, khususnya pada pasal 23D mengatur mengenai bank sentral yang tidak secara khusus menyebutkan BI atau OJK. Bunyi Pasal 23D, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 139 “ Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab dan independensinya diatur dengan undang-undang ”. Tidak ada kata “bank Indonesia” yang awalnya diperdebatkan dimasukkan atau cukup menggunakan kata “bank sentral”, dengan ketakutan apabila menggunakan langsung “bank Indonesia” apabila lembaga ini “sakit” akan terganggu kestabilan bank sentral. Jadi Pasal 23D UUD 45 memberikan kedudukan dan kewenangan bagi bank sentral yang nantinya muncul turunan dengan pengaturan di dalam UU bank sentral yang melahirkan UU Bank Indonesia. Perlu digarisbawahi juga adalah pendirian lembaga tinggi atau lembaga Negara tidak harus menggunakan konstitusi sebagai dasar pendirian atau pembentukannya, namun bisa menggunakan Undang-Undang. OJK pendiriannya didasarkan pada UU BI yang mendasarkan pada Pasal 23D UUD 1945. Mengenai OJK yang berasal dari turunan yang asimetris, yaitu OJK berdasarkan PasaL 34 UU BI hanya diberikan kewenangan untuk mengawasi perbankan mengambil alih kewenangan BI saja bukan Menkeu dan Bapepam- LK. Pasal 34 UU BI ayat (1) hanya berbunyi: Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen dan dibentuk dengan Undang-Undang . Dalam legal drafting , dalam pasal ini tidak disebutkan OJK secara langsung, tetapi karena penamaan lembaga menggunakan huruf kecil yakni “ lembaga pengawasan sector jasa keuangan ” dimaknai pembuat Undang-Undang tidak memberikan nama lembaga tertentu, sehingga penggunaan nama OJK diperkenankan. Kedua , Pasal 34 UU BI memang hanya menyebutkan bahwa pembentukan LPJK/OJK hanya untuk mengawasi bank yang awalnya kewenangan dari BI, namun di dalam penjelasan Pasal 34 UU BI ( penjelasan merupakan bagian dan satu kesatuan dengan batang tubuh sehingga tidak dapat dimaknai secara terpisah ) menjelaskan mengenai kewenangan OJK tidak hanya mengawasi bank tetapi juga mengawasi lembaga keuangan lainnya dan mengenai sifat independensi OJK.
Angka 37, munculnya mandat yuridis dalam Pasal 34 UU BI merupakan big planning dari IMF dan inspirasi dari FSA inggris ( Finantial Suoervisory Agency of United Kingdom ) yang gagal. Suatu catatan bahwa gagalnya FSA-UK bukan konsepnya yang salah, konsepnya sudah benar dan bagus, hanya persoalan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 140 menangani krisi tidak terjadi koordinasi yang baik dari pihak terkait. Perlu ditekankan bahwa Politik Hukum pembentukan OJK bukan murni dari “permintaan”, namun dari pendekatan historis, hal ini dipengaruhi keadaan politik hukum pada masa reformasi, yaitu muncul pada masa pemerintahan Presiden BJ. Habibie sebagai pengganti rezim Soeharto. BJ Habiibie yang menimba ilmu di Jerman tertarik dengan metode yang digunakan oleh Bundesanstalt fur finanzdienstleistungsaufsicht yang memiliki kewenangan mengawasi Bank, perusahaan asuransi, dan dealer sekuritas atas masukan dari Bundesbank (Bank sentral jerman) pada saat itu. Metode ini dikenal dengan metode integrated dengan pendekatan twin peaks . Ini juga bertujuan agar pengawasan berjalan efektif. Memang benar bahwa Financial supervisory authority (FSA) gagal di Inggris, namun percontohan model integrated di Indonesia meniru Jepang dan Korea Selatan, hal ini bisa dibuktikan dengan adanya dokumen kunjungan kerja delegasi pansus RUU OJK pada tanggal 31 Oktober s.d. 6 November 2010. Secara historis munculnya Pasal 34 UU BI ini sebenarnya bukan karena desakan IMF. IMF yang mempunyai anggota 168 (seratus enam puluh delapan) negara, berperan hanya memberi saran yang sifatnya umum, dan letter of intent dibuat oleh Indonesia sendiri, dan juga atas permitaan BI sejak diberikan independensi dalam UU Nomor 23 Tahun 1999.
Angka 40, perlu menjadi catatan bahwa tidak ada Undang-Undang di bidang ekonomi yang lebih kuat antara satu dengan lainnya, kecuali memiliki strata lebih tinggi ( stuffenbaw theory Hans Kelsen dan asas lex superiori derogate legi inferiori ). Namun apabila ada UU yang lebih khusus akan mengalahkan UU yang lebih umum ( lex specialis derogate legi generalis ). Perlu diingat, bahwa hirarkhi peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak mengenal yang disebut dengan Undang-Undang Payung yang dapat dijadikan dasar secara umum bagi Undang-Undang khusus di bawahnya. Meski pernah dalam prolegnas akan dibentuk RUU tentang Demokrasi Ekonomi namun sampai sekarang masih menjadi perdebatan. Jadi antara UU Perbankan, UU Asuransi, UU Pasar Modal dan sebagainya memiliki derajat yang sama. Pasal 34 UU BI sebagai landasan yuridis BI mengawasi perbankan karena merupakan turunan dari Pasal 23D UUD 1945 namun telah memberikan kewenangannya kepada Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 141 OJK melalui UU OJK pada Pasal 6, Pasal 7 hingga ketentuan peralihan dan penjelasan sebagai satu kesatuan norma.
Angka 44, isi permohonan tersebut kurang memahami perbedaan antara makroprudensial dan mikroprudensial. Meski kewenangan BI sebagian mengenai microprudensial telah diserahkan kepada OJK melalui UU OJK, namun BI masih tetap secara konstitusional merupakan Bank Sentral Republik Indonesia berdasarkan Pasal 23D UUD 1945 dan UU Nomor 23 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2004 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 6 Tahun 2009. Sehingga dalam forum bank sentral dunia dalam hal ini Basel Committee (BI sampai sekarang bukan anggota Basel Committee namun mengikuti ketentuan Basel Committee dalam hal pengawasan mulai Basel I hingga Basel III) masih tetap dipegang Bank Indonesia sebagai pemegang kewenangan Macroprudensial sebagai Bank Sentral.
Angka 46, pada Konsideran mengingat UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK disebutkan landasan yuridisnya adalah Pasal 33 UUD 1945. Tidak tepat kalau pemohon menghubungkan dengan Pasal 33 ayat (1) karena berbeda sistem dengan OJK, namun Pemohon melupakan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 dimana ditemukan ASAS KEMANDIRIAN, dimana kemandirian diartikan sebagai independensi. Hal ini yang dapat menjadi landasan yuridis pembentukan lembaga Negara yaitu OJK yang bersifat independen sebagaimana diatur dalam batang tubuh dan penjelasan Undang-Undang ini.
Angka 51, Pemohon belum memahamii perbedaan antara stabilitas moneter dengan stabilitas sistem keuangan, dimana keduanya memiliki perbedaan yang signifikan. Stabilitas moneter yang dipegang oleh BI merupakan kestabilan mata uang untuk mengendalikan inflasi, sedangkan stabilitas sistem keuangn yang dipegang OJK merupakan stabilitas institusi dan pasar uang untuk menghindari tekanan dan pergerakan harga yang menyebabkan guncangan ekonomi (Aspach O, et al tahun 2006 dalam searching for a metric for financial stability ). Sehingga dengan adanya pemisahan antara macro dan microprudensial mengembalikan fungsi BI sebagai otoritas moneter selaku Bank Sentral di Indonesia. Menurut Jordan (2010), tujuan dari bank sentral berfokus pada instrument makroprudensial dan moneter untuk stabilitas harga sebagaimana bagan berikut : Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 142 Dapat disimpulkan bahwa kewenangan OJK tidak akan bias karena OJK berperan dalam stabilitas sistem keuangan sedangkan BI akan fokus sebagai otoritas moneter dan stabilitas moneter.
Untuk permohonan mengenai Pasal 37 UU OJK, tentang pembiayaan OJK melalui APBN dan/atau pungutan terhadap bank dan lembaga keuangan, bahwa pungutan itu dalam ilmu ekonomi merupakan hal yang wajar, dimana pungutan itu merupakan pemberian atas jasa otoritas yang telah melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap lembaga keuangan tersebut, apalagi sistem pungutan ini diatur dan ditentukan oleh Pemerintah, bukan OJK yang menentukan. Ada informasi, bahwa ada 100 (seratus) negara yang memungut biaya untuk operasional kegiatan seperti OJK ini.
Hal yang masih sumir juga adalah mengenai pertanyaan: siapa yang akan mengawasi OJK? Sebenarnya itu pertanyaan klasik, dimana siapa yang akan mengawasi lembaga pengawas? Padahal BI sempat diragukan hingga dibentuklah Badan Supervisi BI di dalam tubuh BI. Pengawasan akan tetap dilakukan yang merupakan fungsi BPK. Sebenarnya Hal pengawasan OJK sudah diatur Pasal 38 UU 21/2011. Hal ini sekaligus menjawab bahwa indepensi OJK bukan bebas sebebas-bebasnya, melainkan ada tanggung jawab dan pengawasan.
Sebagai penutup tanggapan saya adalah jika pengawasan yang sudah berjalan dilakukan oleh OJK sebagai pengawas independen dihentikan beberapa waktu saja, maka akan terjadi dampak ketidak percayaan pada lembaga-lembaga keuangan yang ada, yang berakibat terjadinya gangguan geraknya lembaga keungan dan berdampak sistemik perekonomian dan keuangan nasional. Apalagi jika Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keungan yang dibatalkan, maka akan berdampak negatif (berisiko) yang sangat besar. Microprudential Policy Capital and Liquidity Buffer Macroprudential Risk and Monetary Policy 1. __ Countercylical Capital Buffer and new instruments 2. __ Interest Rate Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 143 7. Refly Harun, S.H., LL.M 1. Sepanjang yang dapat ahli catat, Pemohon dalam permohonan ini mempersoalkan tiga hal, yaitu (1) keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga independen, (2) kewenangan OJK, dan (3) sumber keuangan OJK;
Sebelum membahas lebih jauh mengenai ketentuan yang dipersoalkan tersebut, izinkanlah ahli mengemukakan pendapat yang terkait dengan legal standing Pemohon. Menurut ahli, Pemohon tidak memiliki kerugian konstitusional yang nyata, baik aktual maupun potensial. Seharusnya yang mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang adalah lembaga atau pihak-pihak yang secara konkret merasa dirugikan dengan ketentuan a quo baik secara potensial maupun aktual. Sepanjang yang dapat ahli simak, Mahkamah terlalu longgar memberikan legal standing terhadap permohonan-permohonan seperti ini. Namun, semua itu terpulang kepada Mahkamah untuk mempertimbangkan hal tersebut. Ahli tidak dalam kapasitas untuk masuk terlalu jauh dalam persoalan ini;
Pemohon mempersoalkan kata "independen" dalam Pasal 1 angka 1 UU OJK yang berbunyi, " Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini ";
Alasannya, antara lain, frase "independen" dan "independensi" hanya dikenal oleh UUD 1945 melalui ketentuan Pasal 23D yang berbunyi, " Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang ". Dengan demikian, menurut Pemohon, hanya bank sentral yang boleh independen;
Menurut ahli, tidak benar UUD 1945 hanya menyematkan kata "independen" kepada bank sentral. Dalam UUD 1945, kata yang maknanya setara dengan "independen" juga digunakan untuk lembaga-lembaga lain di UUD 1945, yaitu menggunakan kata "mandiri" atau "bebas" atau gabungan keduanya sebagaimana terlihat dalam pasal-pasal berikut: - Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 144 yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri [Pasal 22E ayat (5) Perubahan Ketiga]; - Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri [Pasal 23E ayat (1) Perubahan Ketiga]; - Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim [Pasal 24B ayat (1) Perubahan Ketiga].
Dilihat dari sifatnya, lembaga-lembaga negara di luar lembaga negara utama, yang kita kenal sebagai bagian dari sistem pembagian atau pemisahan kekuasaan negara (MPR, DPR, DPD, Presiden, MA, MK, dan BPK), dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu Dependent Regulatory Agencies dan Independent Regulatory Boards and Commissions (Michael E. Milakovich dan George J. Gordon);
Disebut Dependent Regulatory Agencies bila lembaga yang ada merupakan bagian dari departemen atau kabinet atau struktur eksekutif lainnya, seperti Komisi Hukum Nasional (KHN), Komisi Kepolisian, dan Komisi Kejaksaan, Dewan Riset Nasional, Badan Narkotika Nasional (BNN), Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah, dan Iain-Iain;
Disebut Independent Regulatory Boards and Commissions bila lembaga yang ada memiliki ciri-ciri sebagai lembaga yang independen atau mandiri, yaitu: (Michael E. Milakovich dan George J. Gordon) - Memiliki karakter kepemimpinan yang bersifat kolegial; - Anggota atau para komisioner tidak melayani keinginan presiden sebagaimana jabatan yang dipilih oleh presiden; - Bersifat independen, relatif bebas dari kontrol presiden; - Masa jabatan komisioner biasanya definitif dan cukup panjang; - Periode jabatan bersifat " staggered '. Komisioner berganti secara bertahap sehingga presiden tidak bisa menguasai secara penuh kepemimpinan lembaga tersebut. - Jumlah komisioner bersifat ganjil dan keputusan diambil secara mayoritas suara. - Keanggotaan lembaga biasanya menjaga keseimbangan perwakilan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 145 yang bersifat partisan.
Di Indonesia sejak era Reformasi telah bermunculan banyak lembaga independen, seperti Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Komisi Informasi Pusat (KIP), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi keuangan (PPATK), dan sebagainya;
Di antara lembaga-lembaga tersebut bahkan ada yang keberadaan dan kewenangannya disebut dalam UUD 1945 secara jelas dan tegas seperti KY. Ada yang keberadaannya saja yang disebut, tetapi kewenangannya tidak jelas disebut, seperti bank sentral. Ada pula yang sebaliknya, kewenangannya disebut tetapi keberadaannya tidak disebut secara tegas, seperti KPU yang disebut dengan hurup kecil dengan frase "suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri", yang dalam praktiknya memunculnya dua lembaga, yaitu KPU dan Bawaslu;
Namun, lebih banyak lagi lembaga-lembaga independen yang baik keberadaan maupun wewenangnya tidak disebut dalam UUD 1945, seperti DKPP, KIP, Komnas HAM, dan sebagainya. OJK termasuk salah satu di antaranya;
Lembaga-lembaga independen yang tidak disebut dalam UUD 1945, baik keberadaan maupun kewenangannya, tidak bisa dikatakan inkonstitusional sepanjang tidak ada pasal-pasal dalam UUD 1945 yang dilanggar. Dalam konteks OJK, misalnya, patut dipertanyakan apakah OJK mengambil alih fungsi bank sentral sebagaimana disebut dalam Pasal 23D yang berbunyi, " Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang ";
Perlu digarisbawahi bahwa UUD 1945 tidak menyebut secara eksplisit lembaga yang berfungsi sebagai bank sentral - dari sisi original intent ada penolakan untuk mempermanenkan Bank Indonesia dalam konstitusi. Bahkan, ketika pembahasan pasal tentang bank sentral dibahas ada suara-suara untuk membubarkan Bl dan menggantikannya dengan institusi Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 146 lain. Selain itu, UUD 1945 juga tidak mengatur kewenangan bank sentral, melainkan menyerahkannya kepada ketentuan Undang-Undang;
Merujuk pada ketentuan tentang "suatu komisi pemilihan umum" dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 yang melahirkan dua lembaga dalam praktiknya, yaitu KPU dan Bawaslu, hal yang sama bukan tidak mungkin diberlakukan pula pada ketentuan "suatu bank sentral" dalam Pasal 23D UUD 1945;
Secara teoretis dan didasarkan pada putusan Mahkamah terdahulu tentang frase "suatu komisi pemilihan umum" bisa saja fungsi bank sentral dijalankan lebih dari satu lembaga. Bisa pula bank sentral tersebut tidak bernama "Bank Indonesia". Hal-hal tersebut diserahkan kepada pembentuk Undang-Undang untuk mengaturnya. UUD 1945 hanya mengamanatkan bahwa harus ada bank sentral;
Munculnya lembaga-lembaga independen dalam dunia modem adalah suatu kondisi yang tak terelakkan. Paling tidak dua hal ini menjadi pertimbangan kuat bagi munculnya lembaga-lembaga independen tersebut, yaitu (1) karena pranata yang lama sudah tidak memuaskan kinerjanya, tidak independen, bahkan terlibat korupsi-kolusi;
Karena kebutuhan akan spesialisasi dan profesionalisme sebagai akibat bertambah kompleksnya tugas yang diemban;
Terkait dengan independensi suatu lembaga seperti OJK, terdapat dua aspek yang harus digarisbawahi, yaitu independen dari campur tangan politik dan independen dari industri finansial yang diawasi itu sendiri;
Pentingnya independensi pengaturan dan pengawasan finansial dapat dipelajari dari kasus Korea dan Jepang. Krisis tahun 1997 yang juga melanda Korea merupakan akibat dari tidak independennya pengawasan sektor finansial. Pengawasan bank khusus dan lembaga keuangan non- bank berada di bawah kewenangan langsung dari kementerian keuangan dan ekonomi (Lindgren dkk, " Financial Sector Crisis and Restructuring : Lesson from Asia ", IMF Occasional Paper, No. 188, 1999);
Di Jepang juga terjadi permasalahan serupa. Kekuasaan Kementerian Keuangan Jepang pada tahun 1995 sangat luas, mencakup perencanaan keuangan, kewenangan membuat aturan, inspeksi keuangan, dan pemeriksaan/ pengawasan lembaga keuangan. Hal ini menyebabkan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 147 rentan terjadinya korupsi oleh pejabatnya. Pada Juni 1998, Jepang mengeluarkan fungsi pengawas lembaga keuangan dari kementerian dan dialihkan kepada Financial Supervisory Authority (FSA), lembaga independen yang memiliki wewenang untuk mengatur dan mengawasi lembaga keuangan seperti perbankan, pasar modal, dan asuransi (Lihat Takeo Hoshi dan Takahisho Ito, Financial Regulation in Japan; Fifth Year Review of the Financial Services Agency , 2002, revised 2003 , hal 1-2);
Keberadaan suatu otoritas independen adalah salah satu faktor utama yang mempengaruhi keefektifan sistem pengawasan di sektor jasa keuangan. Argumen ini terkait dengan fungsi/kemampuan otoritas tersebut untuk melindungi diri baik dari intervensi pasar keuangan yang diawasinya maupun campur tangan politik. Hal ini diperlukan agar otoritas tersebut dapat mengembangkan fungsi dan tugasnya, mewujudkan transparansi dan pencapaian tujuan stabiltas keuangan ( Steeven Seelig and Alica Novoa, "Governance Practice at Financial Regulatory and Supervisory Agencies. IMF Working Paper Monitory and Capital Market Departements wp/09/135, Juli 2009 , hal.10);
Otoritas yang independen di sektor keuangan akan lebih mampu menghasilkan regulasi yang efektif, membuat operasi di dalam pasar menjadi lebih efisien, dan yang lebih penting menciptakan sistem dan fungsi pengawasan yang lebih baik dibandingkan ketika berada di bawah lembaga pemerintahan/kementerian (Kenneth Kaoma Mwenda, " Legal Aspects of Financial Services Regulation and The Concept of A United Regulator", the World Bank-Law Justice and Development Series 2006 , hal. 31);
Penting dicatat bahwa ada ketidakkonsistenan Pemohon ketika mempersoalkan kewenangan OJK dalam pengawasan lembaga keuangan bukan bank. Menurut Pemohon, mandat yang diberikan oleh Pasal 34 UU 23/1999 yang telah diubah dengan UU 3/2004 adalah pengawasan bank. Namun, dalam bagian petitum justru pengawasan bank itulah yang diminta untuk dibatalkan (dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat). Petitum itu justru menimbulkan tanda tanya mengenai siapa yang sesungguhnya berkepentingan terhadap permohonan ini; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 148 23. Dari sisi sejarah, pembentukan OJK sebenamya memang hasil kompromi untuk menghindari jalan buntu pembahasan Undang-Undang tentang Bank Indonesia oleh DPR. Pada awal pemerintahan Presiden Habibie, pemerintah mengajukan RUU Bank Indonesia yang memberikan independensi kepada bank sentral. Pada waktu RUU tersebut diajukan muncul penolakan dari Bl dan DPR. Sebagai kompromi maka disepakati bahwa lembaga yang akan menggantikan Bank Indonesia dalam mengawasi bank tersebut juga harus bertugas mengawasi lembaga keuangan lainnya. Hal ini agar tidak terlihat bahwa pemisahan fungsi pengawasan tersebut adalah memangkas kewenangan bank sentral (lihat Zulkarnain Sitompul, "Menyambut Kehadiran OJK", Pilars No. 02/Th. Vll/12-18 Januari 2004);
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, ahli menyatakan bahwa keberadaan OJK tidak bisa dikatakan bertentangan dengan UUD 1945;
Untuk menutup keterangan ini, ahli ingin mengutip Direktur Finance Research Eko B. Supriyanto dalam opini di Kompas tanggal 4 Maret 2014. "Jika ada pihak-pihak yang hendak melakukan uji materi terhadap UU OJK ke Mahkamah Konstitusi, di satu sisi ini merupakan kebebasan, tetapi di sisi lain ini "kegenitan" semata. Selama ini, proses pembentukan OJK sudah makan waktu teramat panjang sejak 1999 dengan naskah akademi yang memadai, dan pembahasan yang mendalam di DPR dan Pemerintah serta Bl sendiri; Jika uji materi diterima dan dikabulkan MK, akan menimbulkan kekacauan dalam industri keuangan dan perbankan yang melibatkan aset Rp 12.000 triliun. Harus diketahui, OJK bukan seperti SKK Migas yang dapat dimatikan begitu saja. Ini menyangkut sektor perbankan dan keuangan yang ada risiko sistemiknya. Lembaga kepercayaan yang harus dijaga. Saat ini, konglomerasi sektor keuangan butuh lembaga OJK yang independen, dan sudah sewajarnya kita semua mendorong kredibilitas OJK seperti layaknya KPK." 8. Dr. Mulia P. Nasution, D.E.S.S Sehubungan dengan permohonan pengujian ( constitutional review ) Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 34, Pasal 37, Pasal 55, Pasal 64,Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK terhadap UUD 1945" yang dimohonkan oleh para Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 149 Pemohon, yaitu Salamuddin, dkk, perkenankan kami menyampaikan Keterangan Ahli mengenai 2 hal, yaitu: pentingnya OJK sebagai lembaga yang menyelenggarakan pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di sektor keuangan dan pengelolaan keuangan OJK, sebagai berikut: I. Pentingnya Otoritas Jasa Keuangan Keberadaan OJK adalah suatu keniscayaan bagi negara kita pada masa kini. Pembentukan OJK adalah hasil dari suatu proses transformasi kelembagaan yang telah berlangsung dalam kurun waktu yang sangat panjang, yaitu lebih dari satu dekade (1998-2011) di negara kita. Berawal dari kelemahan pengawasan perbankan nasional yang sangat dirasakan pada saat terjadinya Asian Financial Crisis pada tahun 1997-1998, gagasan pembentukan suatu lembaga pengawas jasa keuangan yang independen muncul sebagai upaya memperbaiki penyelenggaraan pengaturan dan pengawasan terhadap industri jasa keuangan. Pelaksanaan transformasi kelembagaan tersebut diperlukan untuk mencegah agar tidak terulang kembali krisis seperti yang pernah terjadi pada masa yang lalu dan agar lebih mampu menghadapi berbagai permasalahan dan tantanganyang semakin berat sebagai akibat dari perkembangan dan dinamika di sektor industri jasa keuangandi masa depan; Pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan hanya dapat terlaksana secara profesional, apabila lembaga yang diberikan mandat untuk melaksanakan tugas tersebut bersifat mandiri, tidak berada di bawah kekuasaan dan pengaruh lembaga eksekutif maupun lembaga legislatif. Krisis perbankan yang melanda Indonesia yang kemudian meluas menjadi krisis ekonomi dan politik pada awal dekade yang lalu, menunjukkan kepada kita betapa pentingnya keberadaan suatu lembaga pengawas jasa keuangan yang independen dalam penyelenggaraan fungsi pengaturan dan fungsi pengawasan. Oleh karena itu, para pembuat Undang-Undang di negara kita persis 10 tahun yang lalu menyepakati untuk mencantumkan amanat pembentukan dengan undang-undang suatu lembaga pengawas sektor jasa keuangan yang independen dalam Pasal 34 Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia; Namun, proses pembentukan lembaga tersebut tidaklah berjalan mulus. Walaupun Undang-Undang telah mengamanatkan pembentukan lembaga Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 150 dimaksud akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010, urgensi untuk membentuk suatu lembaga pengawas perbankan yang independen di luar Bank Indonesia tidak sepenuhnya mendapat dukungan dari beragam pemangku kepentingan. Dari segi konsep, model lembaga independen yang akan dibentuk masih terus dalam pembahasan dan perdebatan, baik di kalangan akademisi, maupun di lingkungan pemerintah sendiri. Secara politik, walaupun proses konsolidasi fiskal, yang berjalan sejak tahun 2000 telah berhasil membawa stabilisasi di bidang perbankan dan keuangan negara, prioritas utama pemerintahan Presiden SBY pada awal periode 2004-2009 adalah melaksanakan berbagai kegiatan yang mendesak yang dapat menggerakkan kembali roda perekonomian, setelah 5 tahun mengalami stagnasi, bahkan sempat mengalami kemunduran, melalui program Pro-Growth, Pro-Job dan Pro-Poor yang dicanangkan oleh Pemerintah. Sampai terjadinya krisis keuangan global pada tahun 2008, konsep pembentukan OJK masih tetap dalam perdebatan. Perdebatan tersebut bukanlah mengenai perlunya independensi lembaga tersebut, karena sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999, Bank Indonesia telah menjadi lembaga yang independen, tetapi terutama urgensi keberadaan lembaga baru di luar Bank Indonesia untuk mengatur dan mengawasi sektor perbankan; Seiring dengan berjalannya waktu, sektor industri jasa keuangan semakin berkembang dan mengalami dinamika yang luar biasa. Tidak terkecuali di negara kita. Dalam kurun waktu tersebut, seiring dengan pemulihan ekonomi dan semakin berkembangnya kegiatan perekonomian di negara kita, produk-produk industri jasa keuangan muncul semakin beragam dan kompleks. Selain itu, sebagaimana juga di sektor industri yang lain, di sektor jasa keuangan juga terjadi konglomerasi, baik secara vertikal, maupun horizontal. Demikian pula, industri jasa keuangan mengalami proses globalisasi yang berdampak signifikan terhadap konsumen, pemilik modal, perekonomian dan publik. Proses globalisasi tersebut dipermudah terutama dengan kemajuan di bidang teknologi informasi dan komunikasi dan berlakunya norma dan standar yang bersifat internasional, terutama di sektor perbankan. Pada gilirannya, kemudahan untuk beroperasi secara global memperlancar langkah-langkah, konsolidasi, pembentukan holding company , mergers and acquisitions oleh para pelaku industri terutama yang berinduk di luar negeri untuk dapat meningkatkan efisiensi, memperbesar market share atau untuk Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 151 mendominasi pasar demi meraih pertumbuhan usaha dan memaksimalkan profit perusahaan mereka di Indonesia. Pengaturan dan pengawasan yang tidak dilakukan secara terintegrasi akan dapat menyulitkan upaya pencegahan dan penanganan kasus-kasus pelanggaran yang terjadi di sektor jasa keuangan; Sejalan dengan perkembangan tersebut, konsep pembentukan OJK mengalami dinamika, pergeseran, penyesuaian dan penyempurnaan. Menjadi penting agar seluruh sektor jasa keuangan dapat diatur dan diawasi secara terintegrasi. Agar lebih efektif, pengaturan dan pengawasan tersebut perlu dilakukan oleh satu lembaga, yaitu OJK. Dengan demikian, ruang lingkup OJK yang pembentukannya akan ditetapkan dengan Undang-Undang berkembang menjadi lebih luas, yaitu tidak hanya mencakup sektor perbankan, tetapi termasuk pengaturan dan pengawasan sektor industri jasa keuangan secara keseluruhan; Namun sampai terjadinya Global Crisis yang terutama melanda beberapa negara industri pada tahun 2008 yang berdampak terhadap sektor keuangan di Indonesia, agenda untuk menyatukan pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan di dalam satu lembaga belum menjadi prioritas nasional yang mendesak untuk dilaksanakan, walaupun sudah diamanatkan oleh undang-undang. Dalam dinamika proses perumusan dan penyiapan RUU OJK, pemikiran untuk tidak mengeluarkan fungsi pengaturan dan pengawasan mikro prudential dari Bank Indonesia memiliki alasan yang kuat. Pertama , melakukan transformasi kelembagaan sangat berisiko sehingga perlu dilakukan secara berhati-hati, karena dapat berdampak terhadap industri jasa keuangan yangberperan sangat strategis dalam sistem perekonomian nasional. Kedua , menyiapkan perangkat hukum, struktur organisasi baru, sumber daya manusiaakan membutuhkan waktu yang tidak sedikit, perencanaan yang matang dan pelaksanaan secara seksama. Setelah lembaga baru terbentuk, perlu disusun prosedur kerja ( Standard Operating Procedure atau SOP) dan disiapkan dukungan anggaran dan logistik yang diperlukan, agar organisasi tersebut dapat beroperasi secara penuh. Ketiga , pengalaman di beberapa negara lain menunjukkan bahwa keberadaan lembaga pengawas industri jasa keuangan yang independen di luar bank sentral atau di luar pemerintah tidaklahmenjadi jaminan tidak akan terjadi permasalahan atau kasus- kasus di sektor jasa keuangan. Contohnya, di Inggris dan di Amerika Serikat; Terjadinya krisis keuangan global pada tahun 2008 menyebabkan pentingnya memprioritaskan pembentukan OJK. Sementara itu, dari segi konsep, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 152 dalam kurun waktu 2004-2008, pembahasan mengenai kedudukan dan bentuk kelembagaan OJK telah melalui due process dan diskusi yang mendalam, baik di lingkungan pemerintah, maupun pada pertemuan-pertemuan ( public hearings ) yang diselenggarakan oleh tim pemerintah dengan berbagai pemangku kepentingan. Berbagai masukan telah diperoleh pemerintah untuk menyempurnakan naskah RUU OJK yang akan diajukan kepada DPR. Pertukaran informasi dan pengalaman mengenai sistem dan kelembagaan pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan di beberapa negara juga dilakukan oleh pemerintah untuk memperkaya referensi dan menjadi bahan pertimbangandalam penyusunan organisasi OJK; Kendati demikian, pembentukan OJK baru dapat terselesaikan pada tahun 2011 setelah krisis berlalu dan melalui proses pembahasan yang panjang dan meleiahkan. Namun ada hikmah dari proses pembahasan yang cukup lama tersebut. Pembahasan Undang-Undang yang dilakukan secara terburu-buru sering kurang mendalam.Sebaliknya pembentukan UU OJK yang menjadi salah satu proses legislasi terlama di negara kita, telah melalui proses diskusi yang mendalam dan pertimbangan yang matang, sehingga diharapkan dapat memenuhi kebutuhan negara akan suatu lembaga pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan secara terintegrasi. Pengaturan dan pengawasan secara terintegrasi tersebut sangat dibutuhkan pada masa ini dan di masa yang akan datang, karena:
koordinasi otoritas fiskal, moneter dan sektor keuangan perlu diperkuat;
ii. sumber krisis semakin beragam (perbankan, pasar modal, lembaga keuangan non-bank, fiskal; iii. sektor jasa keuangan saling berhubungan ( interconnected );
iv. konglomerasi keuangan semakin dominan;
struktur produk keuangan semakin kompleks ( hybrid products );
vi. fungsi pengawasan lembaga keuangan dengan fungsi pengelolaan moneter dan fiskal memiliki potensi konflik kepentingan; vii. pemisahan fungsi pengawasan sektor keuangan dari otoritas moneter dan otoritas fiskal sesuai dengan trend global terkini. II. Pengelolaan keuangan OJK OJK adalah lembaga yang dibentuk dan mendapatkan pelimpahan sebagian kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan ( pouvoir public ) untuk mengatur dan mengawasi sektor jasa keuangan. Pembentukan dan pelimpahan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 153 kekuasaan tersebut tidak tercantum dalam UUD, namun dari perjalanan panjang dan dinamika dalam penyelenggaraan pemerintahan di negara kita, keberadaan lembaga yang bertugas untuk mengatur dan mengawasi sektor jasa keuangan tersebut terbukti constitutionally important . Oleh karena itu, untuk memberikan landasan hukum yang kuat, pembentukan OJK tersebut ditetapkan dengan Undang-Undang; Sebagai bagian dari sistem pemerintahan negara, OJK diamanatkan untuk bertugas mengatur dan mengawasi sektor jasa keuangan. Untuk dapat melaksanakan tugas tersebut dengan sebaik-baiknya, OJK perlu diberikan kedudukan dan status hukum yang sepadan, serta kewenangan, prasarana dan sarana yang diperlukan. Salah satu sarana utama yang diperlukan oleh OJK adalah dana. Berbeda dengan bank sentral yang memiliki sumber pendapatan dari pengelolaan moneter dan sistem pembayaran, OJK tidak mempunyai sumber pendapatan sendiri. Oleh karena itu, OJK memerlukan sumber pendanaan dari iuar.Dana tersebut dapat bersumber dari APBN, maupun dari luar APBN, berupa iuran yang dipungut dari sektor industri yang diawasi oleh OJK; Berkenaan dengan sumber pendanaan OJK ini, setidaknya ada dua pertanyaan mendasar. Pertama, manakah yang lebih baik, apakah OJK dibiayai dari APBN atau semata-mata dari pungutan.Apabila OJK dibiayai dari APBN, alokasi anggaran bagi OJK tersebut akan mengurangi dana APBN yang sudah demikian terbatas untuk membiayai penyelenggaraan tugas kementerian negara dan lembaga pemerintahan lainnya. Sehingga apabila dimungkinkan untuk memperoleh pendanaan dari sumber lain, seyogianya OJK tidak tergantung dari sumber penerimaan dari APBN; Oleh karena itu, muncul pertanyaan kedua, yaitu apabila dana tersebut bersumber dari APBN, apakah pengelolaannya oleh OJK selaku Pengguna Anggaran, harus mengikuti pengelolaan anggaran yang berlaku pada umumnya seragam bagi setiap kementerian negara. Jawabannya adalah tidak harus selalu demikian. Sebagaimana kita fahami bersama bahwa dalam pengelolaan anggaran oleh kementerian negara dan lembaga pemerintahan ditetapkan ketentuan- ketentuan yang pada umumnya seragam mulai dari proses perencanaan dan penyusunan anggaran, sampai pada pelaporan dan pertanggungjawaban. Keseragaman dalam ketentuan pengelolaan keuangan APBN tersebut merupakan penerapan dari asas-asas umum yang dianut dalam Undang-Undang di bidang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 154 keuangan negara, yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan atas Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, yaitu Asas Tahunan, Asas Universalitas, Asas Kesatuan dan Asas Spesialitas; Namun di dalam doktrin hukum perbendaharaan negara yang juga dianut dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dikenal asas-asas umum lainnya, yaitu Asas Akuntabilitas berorientasi pada hasil, Asas Profesionalitas, dan Asas Proporsionalitas. Asas-asas ini pada hakekatnya memberikan fleksibilitas bagi pengguna anggaran untuk membelanjakan danayang telah diamanatkan kepadanya untuk menghasilkan ouput yang telah ditetapkan dengan cara yang sebaik-baiknya. Dengan demikian pemberian fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan yang bersumber dari APBN kepada OJK sebagaimana ditetapkan dalam UU OJK adalah sejalan dengan semangat anggaran berbasis kinerja yang dianut dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; Sebagai suatu organisasi yang dituntut untuk menjalankan tugasnya secara independen dengan standar profesionalitas yang tinggi, pemberlakuan aturan dan mekanisme yang seragam dengan yang berlaku bagi kementerian negara dapat menjadi kendala dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan kegiatan operasional OJK. Oleh karena itu prinsip " let manager manages " yang menjadi semangat dalam sistem pengelolaan keuangan negara sesudah dimulai reformasi pada tahun 2003 perlu benar-benar-benar dihayati dalam pengaturan pengelolaan keuangan OJK. Sehingga dalam dokumen usulan anggaran yang diajukan oleh OJK kepada pemerintah untuk memperoleh dana APBN, rencana pengeluaran yang akan dilakukan oleh OJK tidak perlu diuraikan secara terperinci seperti halnyauraian usulan anggaran yang diajukan oleh satuan kerja kementerian negara. Demikian pula pada tahap pelaksanaan anggaran, pencairan anggaran yang bersumber dari APBN dapat dilakukan secara berkala berdasarkan rencana penggunaan dana dan realisasi anggaran untuk masing-masing jenis belanja. Sudah barang tentu, hal ini akan mengurangi informasi yang diperoleh Bendahara Umum Negara atas pengelolaan dana APBN tersebut oleh OJK. Oleh karena itu sangat penting peranan pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan atas pengelolaan keuangan OJK. Karena dari laporan berkala yang wajib disampaikan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 155 oleh OJK kepada BPK sebagai auditor negara dan laporan pertanggungjawaban tahunan oleh OJK dapat diperoleh informasi mengenai berbagai pengeluaran- pengeluaran tersebut, dan BPK pada saat memeriksa laporan keuangan OJK, dapat melakukan penelusuran rincian dan bukti-bukti dari setiap pengeluaran. Fleksibilitas dalam proses pengusulan anggaran, pencairan dana, pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran yang demikian pada hakekatnya serupa dengan yang diterapkan kepada Badan Usaha Milik Negara yang mendapatkan dana untuk menyelenggarakan Public Service Obligation ; Apabila OJK membiayai dirinya dari pungutan, sudah barang tentu tidak diperlukan keterikatan kepada ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi kementerian negara. Penerimaan dan pengeluaran iuran dikelola oleh OJK terpisah dari APBN. OJK memiliki kewenangan untuk mengatur sistem pengelolaan keuangan yang berlaku. Namun demikian, gambaran secara ringkas mengenai kondisi keuangan OJK perlu disampaikan dalam Nota Keuangan sebagai bagian dari sistem pengelolaan keuangan negara dan informasi kepada publik yang mencerminkan asas keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara; Oleh karena itu, menyangkut pengenaan pungutan oleh OJK, hal utama yang perlu menjadi pertimbangan adalah kewajaran mengenai besarnya iuran tersebut, dan penerapan asas proporsionalitas dalam pengenaannya terhadap masing-masing sektor industri. Karena pada akhirnya setiap pungutan kepada sektor industri, akan menjadi tambahan biaya bagi industri yang dapat dialihkan menjadi beban konsumen. Penutup Sebagai ahli, berusaha untuk memberikan keterangan seobyektif mungkin. Walaupun sebagai mantan Ketua Tim Pelaksana Persiapan Pembentukan OJK, sulit bagi kami untuk tidak terpengaruh suasana hati dalam memberikan keterangan ini. Mengingat penyiapan organisasi OJK adalah tugas yang diamanahkan kepada kami menjelang akhir pengabdian di Kementerian Keuangan. Kami membayangkan, alangkah sedihnya apabila organisasi yang baru saja dibentuk harus dirombak, tanpa alasan yang kuat dan mendesak, padahal keberadaannya pada hakikatnya sejalan dengan semangat UUD untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan dapat berperan sangat positif untuk kemajuan sektor jasa keuangan di negara kita. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 156 Menurut ahli akan lebih baik, apabila kita memprioritaskan penuntasan proses transformasi kelembagaan dengan menyelesaikan agenda amandemen beberapa undang-undang di sektor keuanganyang sangat krusial untuk penataan dan harmonisasi pengaturan di sektor jasa keuangan. Demikian pula meiakukan secara internal, bagi OJK, menuntaskan proses transformasi kelembagaan, dengan melengkapi berbagai Peraturan OJK dan SOP yang diperlukan bagi pelaksanaan kegiatan operasional, manajemen SDM dan keuangan, serta sistem dan teknologi informasi dan komunikasi; Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta ke 9 (1966-1977) pernah mengatakan: "Manusia tanpa cita-cita adalah mati, cita-cita tanpa kerja adalah mimpi dan idaman yang menjadi kenyataan adalah kebahagian". Proses transformasi kelembagaan tidaklah mudah dan tidak ada organisasi yang sempurna, tidak terkecuali institusi OJK yang masih baru. Namun dengan bekerja, bekerja dan bekerja dengan sebaik-baiknya, niscaya OJK akan dapat menjadi lembaga idaman;
Dr. Harjono, S.H., MCL Keberadaan Otoritas Jasa Keuangan Dari Aspek Konstitusi OJK merupakan lembaga negara baru yang tugasnya melakukan pengaturan dan pengawasan pada lembaga keuangan, maka konstitusionalitasnya seringkali dikaitkan dengan independensi bank sentral, sebagaimana diatur oleh Pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945. Ahli berpendapat bahwa perlu untuk dikaji posisi bank sentral yang sebenarnya dalam Undang-Undang Dasar 1945 karena dengan diketahui posisi bank sentral, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 23D UUD 1945 maka secara langsung pula dapat diketahui kedudukan OJK secara hukum. Bahwa Undang-Undang Dasar 1945 mengatur lembaga negara di dalamnya, antara lain MPR, DPR, DPD, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, BPK, KY, KPU, yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Namun di samping itu, disebut juga adanya lembaga negara oleh Undang-Undang Dasar 1945 yang pembentukannya diserahkan kepada Presiden, yang akan diatur oleh Undang-Undang, yaitu Dewan Pertimbangan Presiden, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa negara memiliki sebuah bank sentral. Jadi hubungan antara bank sentral dengan negara adalah hubungan kepemilikan. Bank sentral tidak dimaksudkan sebagai lembaga Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 157 negara untuk melaksanakan fungsi utama kenegaraan, sebagaimana dikenal kekuasaan pembuat undang-undang legislatif, eksekutif, dan kekuasaan yudisial; Meskipun bank sentral adalah lembaga negara dalam pengertian lembaga yang dibentuk oleh kekuasaan negara, dan mempunyai kewenangan publik, namun kedudukannya berbeda dengan lembaga negara MPR, DPR, DPD, Mahkamah Konstitusi, KY, dan KPU. Sebagai Contoh untuk menyebut keberadaan Mahkamah Konstitusi lembaga negara yang melangsungkan fungsi utama kenegaraan lainnya, Undang-Undang Dasar tidak menggunakan kata memiliki Mahkamah Konstitusi, sebagaimana digunakan untuk menyebut bank sentral. Undang-Undang Dasar 1945 tidak menyatakan bahwa negara memiliki Mahkamah Konstitusi dan lain sebagainya. Bank sentral lebih sebagai lembaga yang kegiatannya dalam bidang perbankan yang susunan, kedudukan dan kewenangan, tanggung jawab, dan independency-nya diatur Undang-Undang. Artinya, bank sentral adalah lembaga bentukan negara yang kewenangan dan independency - nya ditentukan oleh Undang-Undang dan bukan Undang-Undang Dasar 1945, meskipun Undang-Undang Dasar 1945 menentukan hal apa saja yang perlu diatur dalam Undang-Undang tentang lembaga bank sentral tersebut; Frasa negara memiliki satu bank sentral dalam Pasal 23D UUD 1945 adalah tepat, tetapi tidak tepat untuk menyebut dalam Undang-Undang Dasar 1945 bahwa negara memiliki MPR, DPR, dan lain sebagainya. Berdasarkan hasil studi dengan memperbandingkan konstitusi negara-negara lain, tidak menemukan ketentuan sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945, yaitu pengaturan bank sentral yang dicantumkan dalam pasal konstitusi. Federal Reserve Bank of New York, bank terbesar di dunia yang sangat berpengaruh dalam perekonomian dunia tidak diatur dalam konstitusi Amerika Serikat. Bahkan untuk kurun waktu yang lama, Amerika Serikat tidak mempunyai bank sentral. Federal Reserve Bank of New York sebagai bank sentral Amerika Serikat baru dibentuk dengan undang-undang pada masa pemerintahan Presiden Woodrow Wilson tahun 1931, padahal sejak 1778 Konstitusi Amerika Serikat sudah berlaku; Dari kajian ini tampak jelas bahwa bank sensral meskipun statusnya adalah lembaga negara, artinya dibentuk oleh kewenangan publik dan untuk melaksanakan kekuasaan publik, namun bukanlah sebuah lembaga konstitusi yang diperlukan untuk melaksanakan fungsi utama alat kelengkapan negara. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 158 Independency bank sentral dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebut dalam Pasal 23D yang dari rumusan pasal tersebut sangat jelas bahwa isinya atau content -nya akan ditentukan oleh Undang-Undang dan bukan ditentukan Undang- Undang Dasar 1945; Undang-Undang Dasar 1945 mempunyai pilihan kata yang bervariasi untuk menggambarkan sifat kewenangan yang dimiliki oleh satu lembaga negara yang diatur di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 23D digunakan kata independency untuk bank sentral. Pasal 23E digunakan kata bebas dan mandiri untuk BPK. Pasal 24, kata kekuasaan yang merdeka atau kekuasaan kehakiman . Pasal 22E dengan kata mandiri untuk KPU dan Pasal 24 digunakan kata mandiri untuk KY. Dari pilihan kata yang berbeda-beda yang digunakan itu ada makna yang sama terkandung dalam kata pilihan, yaitu bahwa satu lembaga negara dalam menjalankan kewenangannya wajib untuk tidak dipengaruhi oleh pihak luar manapun dan pihak luar dilarang untuk memengaruhi lembaga negara tersebut ketika lembaga negara yang bersangkutan melaksanakan kewenangan. Kewenangan yang tidak boleh dipengaruhi oleh pihak luar tersebut adalah kewenangan inti, yaitu kewenangan fungsional, artinya kewenangan yang ditempatkan dalam relasi dengan kewenangan fungsional yang dimiliki oleh lembaga negara yang lain; Prinsip bahwa kewenangan adalah terbatas dan prinsip kemandirian dan kebebasan dalam menjalankan kewenangan fungsionalnya adalah prinsip yang mendasari good governance atau tata pemerintahan yang baik, yang tujuannya adalah untuk menghindari abuse of power pemegang kekuasaan dan untuk mempersempit moral hazard . Hal itu sangat sejalan dengan peringatan Lord Acton bahwa power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely ; Conselor democracy state ( negara hukum) good governance ( pemerintahan yang baik), itu semuanya adalah konsep yang di dalamnya mengandung unsur untuk menghindari konsentrasi kemenangan, yaitu dengan cara melakukan pendistribusian kewenangan fungsional sangat terbatas, serta untuk menjamin bahwa setiap produk kewenangan terhindar dari interact pihak tertentu; Apakah dari prinsip independency bank sentral, sebagaimana yang disebut dalam Pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945 tersebut harus melekat pada kewenangan bank sentral untuk melakukan pengawasan terhadap lembaga keuangan bank lainnya. Kewenangan tersebut merupakan kewenangan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 159 konstitusional, artinya kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana dimaksud oleh Pasal 51 Undang-Undang MK, sehingga akan menjadi kerugian konstitusional kalau pengawasan tersebut tidak dilaksanakan. Sebagaimana telah ternyata sebelumnya bahwa independency bank sentral menurut Pasal 23D akan diatur Undang-Undang, sehingga independency bukan hak konstitusional, dalam arti hak yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945, tetapi yang akan ditentukan dan diatur oleh Undang-Undang. Karenanya, kalaupun seandainya kewenangan pengawasan harus melekat kepada independency , maka yang akan mengatur adalah Undang-Undang dan bukan Undang-Undang Dasar 1945; Perbandingan Penguasaan Lembaga Keuangan Di Beberapa Negara Tentang pengaturan struktur pengawasan untuk industri keuangan, termasuk lembaga perbankan yang dipraktikkan oleh negara-negara di dunia, Federal Reserve Bank of San Fransisco membedakan dalam 3 pendekatan, yakni:
Single agent . Pengawas tunggal untuk mengawasi industri keuangan, termasuk bank, asuransi, dan pasar modal;
Separate agencies . Pengawas yang terpisah untuk setiap industri keuangan;
Pengawasan dengan struktur hybrid atau penggabungan antara pendekatan nomor 1 dan nomor 2; Dalam masing-masing pendekatan tersebut, peranan dari bank sentral negara bervariasi antara pendekatan yang satu dengan yang lain. Pendekatan pengawasan tunggal dilakukan oleh Jepang dan Singapura. Di Jepang pengawasan dilakukan oleh GPSA yang didirikan tahun 1998 setelah banyak bank besar yang gagal dan karena timbulnya ketidakpercayaan publik kepada kementerian keuangan. GPSA adalah otoritas pengawas keuangan yang utama yang berada di luar bank sentral dan kewenangannya semakin bertambah dan kuat semenjak tahun 2001; Singapura yang menganut otoritas tunggal yang dilaksanakan oleh Monetary Authority of Singapore , namun berbeda dengan Jepang, Monetary Authority of Singapore juga melakukan fungsi bank sentral. Pendekatan pengawasan oleh otoritas yang terpisah dipraktikkan di Tiongkok dan India. Industri keuangan bank, asuransi, dan pasar modal di India dan Tiongkok diawasi oleh otoritas yang berbeda-beda. Pendekatan hybrid mengombinasikan elemen pengawasan satu otoritas dan elemen pengawasan terpisah dipraktikkan di Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 160 Malaysia diawasi oleh otoritas yang sama. Sedangkan untuk industri pasar modal diawasi oleh otoritas yang lain; Pada tahun 1999, Korea Selatan mendirikan Korean Financial Supervisory Service (KFSS) melalui sebuah Undang-Undang. Setelah adanya krisis moneter yang melanda Asia. KFSS dibentuk dari kombinasi empat otoritas pengawas yang sebelumnya ada di Korea, yakni 1) banking supervisory authority ;
security supervisory board ;
insurance supervisory board ; dan
nonbank supervisory authority . Sejak tahun 2008 setelah melakukan reorganisasi, KFSS diawasi oleh financial service commission . Kewenangan financial service commission sebelumnya dimiliki oleh Kementerian Keuangan Korea. Berdasarkan KFSS, keberadaan KFSS berada di luar bank sentral; Dari uraian dan perbandingan dalam praktik negara lain dapat ditentukan fakta hukum sebagai berikut.
Menurut Undang-Undang Dasar 1945, bank sentral adalah suatu fungsi yang akan diatur oleh Undang-Undang;
Bank sentral adalah lembaga negara yang dimiliki oleh negara;
Sebagai lembaga negara, bank sentral kedudukannya sangat berbeda dengan lembaga negara utama yang kewenangannya diberikan Undang-Undang Dasar;
Independency bank sentral akan diatur dan ditentukan kontennya oleh Undang-Undang. Tidak terdapat ketentuan Undang-Undang Dasar bahwa independency bank sentral haruslah disertai hak pengawasan oleh bank sentral kepada lembaga keuangan bank. Undang-Undanglah yang akan mengatur, apakah bank sentral diberi kewenangan untuk melakukan pengawasan kepada lembaga keuangan bank atau tidak diberi kewenangan untuk melaksanakan pengawasan kepada lembaga keuangan bank; Penyatuan pengawasan atau pemisahan pengawasan terhadap lembaga keuangan, baik bank, asuransi, dan pasar modal adalah kewenangan pembuat Undang-Undang untuk mengaturnya. Pembuat Undang-Undang yang terdiri atas Presiden dan DPR adalah lembaga yang tepat untuk mengatur sistem pengawasan kepada lembaga keuangan karena kedua lembaga, yaitu Presiden dan DPR terlibat secara langsung dalam urusan bidang keuangan negara. Sehingga mempunyai informasi dan data yang akurat dan mengetahui pilihan yang baik untuk mengaturnya dan bukan ditentukan oleh lembaga peradilan; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 161 Pembuatan Undang-Undang berhak dan bahkan wajib untuk melakukan perubahan apabila ternyata dalam pelaksanaannya diperlukan perubahan pengaturan atas pengawasan lembaga keuangan agar supaya tercipta tata pengawasan yang lebih baik dalam pengelolaan lembaga keuangan demi terciptanya kestabilan keuangan dan perlindungan kepada konsumen; Perubahan tidak dapat dilakukan apabila peradilan yang menetapkan sistem pengawasan yang harus diterapkan karena dasarnya adalah sistem yang sah dan sistem yang melanggar hukum dan melakukan perubahan untuk penyempurnaan dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum. Perubahan sistem pengawasan dilakukan oleh banyak negara pada saat mengalami krisis keuangan global yang pernah terjadi di sekitar tahun 1997 dan di awal tahun 2000 sekitar tahun 2008; Kesimpulan Ahli berkesimpulan bahwa keberadaan OJK tidak bertentangan secara konstitusional dengan pengaturan bank sentral yang terdapat dalam Pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945 dan keberadaannya diberlakukan untuk menciptakan lembaga keuangan yang sehat serta diperlukan bagi perlindungan konsumen lembaga keuangan di Indonesia; Isu konstitusionalitas lainnya tentang OJK menyangkut kewenangan untuk melakukan pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan jasa keuangan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang OJK. Ketentuan Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.” Ahli berpendapat bahwa ketentuan pasal ini bermaksud untuk memberi dasar hukum yang jelas dan demi kepastian hukum atas pemungutan yang dilakukan dengan alasan untuk keperluan negara. Pasal ini tidak bermaksud untuk melarang negara melakukan... yang bersifat memaksa kalau memang negara memerlukannya. Dalam praktik, pemungutan ini memang telah dilakukan oleh negara dalam berbagai bentuk, sebagai contoh adalah apa yang disebut sebagai Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Dalam transaksi pemindahan hak atas tanah dan bangungan, nilai BPHTB ini dapat dikatakan sangatlah besar karena 5% dari nilai transaksi; Ketentuan Pasal 23A menggunakan rumusan diatur dengan undang- undang yang ditafsirkan harus ada Undang-Undang tersendiri atau khusus yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 162 mengaturnya yang berbeda dengan rumusan diatur dalam Undang-Undang yang pengaturannya dapat tersebar dalam berbagai Undang-Undang. Dalam kenyataannya sampai sekarang, belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur pungutan lain yang bersifat memaksa. Ahli berpendapat bahwa tujuan adanya Undang-Undang tersendiri tidaklah hanya bersifat membuat perbedaan formal belaka, yaitu apakah telah terpenuhinya adanya Undang-Undang tersendiri, tetapi juga menyangkut persoalan-persoalan substantif dari Undang-Undang tersebut; Undang-Undang OJK memungkinkan OJK untuk melakukan pungutan dan jelas bahwa pungutan digunakan untuk keperluan negara. Karena OJK dalam bernegara yang melakukan tugas negara, yaitu tugas yang tidak dapat secara hukum dilakukan oleh lembaga yang bukan lembaga negara; Dari segi kebutuhan, pungutan tersebut dibatasi jumlah yang diperlukan. Artinya, tidak memungut tanpa batas, tanpa dasar berapa jumlah yang akan dipungut. Karena jumlahnya sebatas jumlah yang diperlukan untuk anggaran tahunan yang harus disusun lebih dulu dan mendapat persetujuan DPR. Pasal 36 Undang-Undang OJK menegaskan apabila hasil pungutan melebihi kebutuhan OJK, maka kelebihan tersebut disetor ke kas negara. OJK sebagai lembaga negara harus membuat laporan keuangan secara transparan dan akuntabel, sebagaimana diharuskan oleh undang-undang; Secara substansi, aturan keuangan OJK telah mempertimbangkan pengelolaan keuangan negara yang baik. Ahli berpendapat bahwa Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 tidak hanya perlu formalitas adanya Undang-Undang tersendiri saja, tetapi juga substansi, yaitu menyangkut pengelolaan keuangan negara yang jelas peruntukannya, artinya transparan dan akuntabel. Undang- Undang OJK yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan telah mempertimbangkan transparansi, akuntabilitas, serta pembatasan yang rasional, proporsional tentang jumlah yang boleh dipungut; Dengan demikian, meskipun Undang-Undang yang dimaksud oleh Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 belum ada, namun substansi yang seharusnya terdapat pada undang-undang tersebut telah diakomodasi dalam Undang-Undang OJK. Apabila Mahkamah menetapkan bahwa pemungutan keuangan yang terdapat dalam Undang-Undang OJK dan pengelolaannya bertentangan dengan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 163 Undang-Undang Dasar 1945, hanya sekadar bahwa belum dibuatnya Undang- Undang secara khusus dan harus dibatalkan, maka akibatnya akan banyak pungutan-pungutan lainnya, antara lain BPHTB harus juga batal; Sebagaimana ahli uraikan di atas maka sebagai penafsir Konstitusi, Mahkamah dapat menambahkan hal-hal yang diperlukan agar ketentuan tentang keuangan yang terdapat dalam Undang-Undang OJK menjadi sempurna dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, atau melakukan penafsiran conditionally constitutional pada aspek substansinya. Sementara itu, Mahkamah dapat memberikan kriteria konstitusionalitas terhadap Undang-Undang yang diperlukan untuk melaksanakan Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 dan hal ini pernah dilakukan oleh Mahkamah dalam beberapa kali putusannya, termasuk mengenai BHP dan juga mengenai peradilan Tipikor;
Prof. Achmad Zen Umar Purba, S.H., LL.M. I. Ada empat isu pokok yang perlu ditanggapi terlebih dahulu, yaitu:
Pemisahan kewenangan stabilitas moneter dan pengawasan perbankan serta penggabungan pengawasan antara sistem perbankan dan lembaga keuangan non bank;
Independensi dan bebas dari campur tangan pihak lain dalam kelembagaan OJK;
Pembiayaan OJK (APBN dan pungutan dari pelaku pasar);
Pelaporan dan akuntabilitas OJK. II. Mengenai isu pertama, pemisahan kewenangan, secara mendasar kita harus memahami pertumbuhan sektor perbankan dan jasa keuangan sebagai sarana kebutuhan kehidupan modern yang berada pada era globalisasi. Lebih-lebih bagi Indonesia, karena tahun depan ia bersama dengan negara-negara ASEAN lain akan memasuki ASEAN Market Community . Sementara itu lahirnya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan konglomerasi kepemilikan di sektor keuangan telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antar lembaga jasa keuangan. Pembentukan OJK dilandasi dengan prinsip-prinsip tata kelola yang baik ( good governance ), yang meliputi independensi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, transparansi, dan kewajaran ( fairness ). Khusus mengenai pengawasan di bidang perbankan, OJK memiliki tugas yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 164 berbeda dari Bank Indonesia ("Bl") sebagai bank sentral seperti diamanatkan oleh UUD 1945, sebagaimana yang telah diubah ("UUD 1945"). Dalam situasi demikian, peran sektor perbankan dan keuangan menjadi amat penting. Oleh sebab itu diperlukan satu konsep yang jelas; Apa yang dilakukan UU OJK adalah melakukan pemisahan pengawasan terhadap bank, yang tidak lagi dilakukan oleh Bl. Pengawasan oleh pihak di luar bank sendiri dimaksudkan untuk menjaga kualitas pihak yang diawasi demi kepentingan masyarakat, termasuk kepentingan konsumen yang berurusan dengan bank. Perlindungan konsumen adalah salah satu fungsi pengawasan OJK; Selanjutnya jasa keuangan harus dibuat terintegrasi. Itulah filosofinya mengapa OJK bukan saja mengawasi bank, tetapi juga sektor-sektor non bank, dalam hal ini pasar modal asuransi, dana pensiun, lembaga pembiayaan serta lembaga keuangan lain; Jika sektor perbankan dan sektor keuangan non bank sehat, transaksi bisnis yang lain akan lancar pula, nasional maupun transnasional. Indonesia yang berekonomi kuat hanya akan lahir, jika sektor keuangan dan perbankan juga dilandasi sistem pengawasan yang kuat; III. Dalam masalah kedua, yang berkaitan dengan independensi, menurut Para Pemohon, hanya Bl yang berhak memakai status "independen" karena ada "cantolannya" ada di Pasal 23D UUD 1945. OJK samasekali tidak memiliki "cantolan" dalam UUD 1945. Pada hemat ahli, Pemohon telah menggunakan alurpikir yang salah. Sebab "independen" bukanlah istilah yang dapat dimonopoli. Jadi dapat saja satu lembaga menyatakan dirinya "independen" tanpa harus melihat ada pegangannya dalam UUD 1945. Komisi Pengawas Pesaingan Usaha, misalnya mendeklarasikan dirinya sebagai "suatu lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah serta pihak lain. [Pasal 30 ayat (2) UU No.5/1999] Demikian juga bagi OJK, independen di sini berarti bebas dari pengaruh siapapun, terutama Pemerintah; IV. Mengenai isu Pembiayaan (Penggunaan APBN dan Pungutan OJK), OJK sebagian dibiayai oleh dana dari APBN dan selebihnya dari dana yang dipungut dari masyarakat yang merupakan pengguna jasa OJK [Pasal (2) UU OJK]. Oleh Para Pemohon, aturan dalam UU OJK ini dipersoalkan karena Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 165 mereka khawatir akan terjadi " abuse of power " Sebagai WNI mereka tidak mau APBN menjadi tergerus akibat digunakan oleh OJK. Tentang hak OJK untuk memungut, para Pemohon bertanya*. "Bagaimana mungkin lembaga yang melakukan pengawasan memungut dari yang diawasinya?" (butir 66 Permohonan). Mengenai APBN, Pemohon tampak bersikap a priori , padahal kalau dibaca Pasal 38 UU OJK, jelas diatur tentang masalah pertanggungjawaban — yang akan diuraikan di bawah. Otoritas di beberapa negara antara lain di Hongkong, Estonia dan Slovakia juga menerapkan pungutan kepada para pelaku kegiatan di sektor jasa keuangan dalam rangka membiayai operasionalnya; Filosofi dari pendanaan ini adalah bahwa lembaga resmi negara, yang independen 1) dapat dibiayai dari APBN dan 2) dengan kekuatan Undang- Undang dibenarkan memungut dengan pertanggungjawaban dan akuntabilitas sebagaimana diatur dalam Pasal 38 UU OJK; Pungutan menjadi sumber dana operasional OJK, sehingga segala kegiatan yang berkaitan dengan pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan dapat dilakukan dengan lebih independen, mengingat secara kelembagaan, OJK berada di luar Pemerintah. Pungutan terhadap pihak yang melakukan kegiatan di sektor keuangan yang dilakukan OJK sudah sejalan dengan UUD 1945 karena pungutan tersebut didasarkan pada Undang- Undang. V. Isu terakhir berkaitan dengan sistem Pelaporan dan Akuntabilitas. Secara filosofis pelaporan dan akuntabilitas ini harus diikuti dengan ketentuan- ketentuan dalam Pasal 38 UU OJK yang dijabarkan dalam 10 ayat, menyangkut mengenai: - laporan keuangan serta laporan kegiatan; - laporan ke DPR dan Presiden Rl dengan standar dan kebijakan akuntansi yang ditetapkan OJK; - audit yang dilakukan oleh BPK; dan pengumuman laporan tahunan OJK kepada publik melalui media; Pengaturan rinci itu menurut saya telah cukup menjawab kekhawatiran para Pemohon dengan sekalian memahami filosofi konsep pelaporan dan akuntabilitas OJK tersebut; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 166 VI. Secara umum saya ingin menyampaikan bahwa permohonan tidak ditopang argumentasi yang kuat, juga tidak didukung bukti. Berbagai pernyataan yang terdapat dalam permohonan bersifat simplistik, menggampangkan persoalan, dangkal, a priori dan kategori lain semacam itu. Dengan demikian semua tuntutan dalam permohonan sangat patut untuk ditolak.
Pengujian UU Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dan UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi terhadap UUD Negara RI Tahun ...
Relevan terhadap
Pengguna spektrum frekuensi radio wajib membayar penggunaan frekuensi besarannya didasarkan atas penggunaan jenis dan lebar pita frekuensi;
Pengguna orbit satelit wajib membayar hak penggunaan orbit satelit. (3). Ketentuan mengenai biaya sebagaimana dimaksud pada (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah; Permasalahan 1. Apakah UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Pasal 16 ayat (2) dan (3); Pasal 26 ayat (2); serta Pasal 34 ayat (3) harus diselaraskan dengan asas keadilan ? 2. Apakah UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Pasal 16 ayat (2) dan (3); Pasal 26 ayat (2); serta Pasal 34 ayat (3) harus diselaraskan dengan kehendak Pasal 23A UUD 1945 ? Analisis 1. Karena pajak dan pungutan-pungutan lain untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang. Dan tujuan Undang-Undang adalah untuk menciptakan keadilan, maka Undang Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang telekomunikasi yang diberiakukan ini tentu tujuannya juga untuk menciptakan keadilan bagi masyarakat. Dalam hal yang diatur dalam Pasal 16 ayat (2) "Kontribusi pelayanan universal sebagai mana dimaksud pada ayat (1) berbentuk penyediaan sarana dan prasarana telekomunikasi dan atau kompensasi lain” . Apabila setelah wajib bayar melaksanakan kewajibannya membayar kontribusi pelayanan universal kemudian jumlah yang dibayarkan tidak diperhitungkan untuk mengurangkan penghasilan bruto wajib bayar sebagai Subjek Pajak Badan, maka akan terjadi pembayaran ganda yang dilakukan wajib bayar, yaitu bayar Pajak Penghasilan dan bayar kontribusi pelayanan universal. Maka ketentuan hukum yang menimbulkan kewajiban pembayaran ganda oleh masyarakat adalah jauh dari rasa keadilan;
Karena kehendak Pasal 23A UUD 1945, menghendaki pajak dan pungutan lain yang sifatnya memaksa untuk kepentingan negara diatur dengan Undang- Undang, sehingga dalam bidang telekomunikasi penentuan besaran prosentase tarip pungutan negara kepada masyarakat harus ditetapkan dalam Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 87 www.mahkamahkonstitusi.go.id Undang-Undang Telekomunikasi (seperti halnya dalam bidang pajak), tidak sepenuhnya pengaturan prosentase tarif pungutan diserahkan melalui produk hukum yang dinamakan Peraturan Pemerintah;
Prof. Dr. Dra. Haula Rosdiana, M. Si Undang-Undang PNBP ada pada tahun 1997 atau Undang-Undang PNBK itu sendiri ada amandemen ketiga Undang-Undang Dasar pada tahun 2001. Kelemahan UU PNBP adalah tidak membuat demarkasi yang jelas antara PNBP yang esensinya merupakan royalti dan fee/charges sehingga dalam implementasi UU PNBP, terdapat beberapa jenis PNBP yang esensinya merupakan quasi pajak/ pseudo tax . Diskresi yang terlalu luas kepada eksekutif untuk menetapkan objek dan tarif, bahkan pajak saja harus dipungut berdasarkan Undang-Undang ( no tax without representation, tax without representation is robbery ); Hukum pajak material dan hukum pajak formal tidak dipisahkan. Tidak ada mekanisme untuk bagi wajib bayar untuk mencari/mendapatkan. Keadilan secara optimal, karena dispute settelement tidak diatur dengan adil karena hanya ada mekanisme keberatan. Padahal keberatan hanya merupakan peradilan semu. Namun Pasal 119 ayat (5) menyatakan “Penetapan atas keberatan sebagaimana _dimaksud pada ayat (4) merupakan penetapan yang bersifat final”; _ Beberapa jenis PNBP (seperti BHP jastel) justru lebih berat dibandingkan pajak penghasilan, karena menggunakan gross base sebagai dasar pengenaan pajak Ada beberapa jenis pemungutan seperti BHP Jastel itu sebetulnya merupakan kuasi pajak karena ciri-cirinya sama dengan pajak. Artinya pembayar pakak tidak mendapatkan kontrapretasi yang langsung dirasakan sebab pajak itu digunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan secara keseluruhan; Apabila diperhatikan, penggunaan PNBP yang kembali ke Kominfo, seharusnya untuk cost recovery atau untuk penyelenggaraan telekomunikasi yang lebih baik, apalagi jika dikaitkan dengan MDGS terdapat target yang ingin dicapai dan jika bicara mengenai daya saing, itu tidak menjadi sesuatu yang mendukung karena yang kembali ke Kominfo hanya sekitar 26%-nan. Sedangkan yang berkaitan dengan frekuensi malah lebih kecil lagi sekitar 12%-nan, artinya ini sama dengan pajak; Pemungutan pajak pajak harus diatur dengan Undang-Undang, penetapan tarif, penetapan objeknya, namun untuk PNBP diskresi yang diberikan terlalu besar. Padahal pajak sangat menekankan no tax without representation . Ini Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 88 www.mahkamahkonstitusi.go.id menunjukkan posisinya jauh lebih tinggi, yang bukan hanya sekedar harus ada atau diatur dalam Undang-Undang, tetapi juga harus ada keterwakilan dari masyarakat di dalam penyusunan Undang-Undang tersebut; Otoritas pemungut pajak yang resmi, ada Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Bahkan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai pun sekarang sudah mulai ada pergeseran fungsinya yang lebih kepada arus lalu lintas barang. Sementara ini ada satu lembaga yang juga melakukan pemungutan negara, tetapi tidak dilengkapi dengan instrumen sebagaimana seharusnya pungutan negara secara komprehensif, misalnya dispute settlement . Bicara mengenai sengketa pajak, hanya berhenti pada keberatan saja dan putusan keberatan itu bersifat final. Padahal yang namanya keberatan, itu sebetulnya peradilan semu. Bagaimana mungkin dua orang yang saling bersengketa, yang salah satu pihak mempunyai otaritas penuh untuk memutuskan. Itu tidak bisa diajukan ke pengadilan pajak atau peninjauan kembali ke Mahkamah Agung; Ini yang menjadi persoalan, belum lagi kalau pajak diberikan instrument yang lengkap, mulai dari Undang-Undang Penagihan Pajak, Undang-Undang Pengadilan Pajak dengan surat paksa dan sebagainya. Menurut ahli, salah besar kalau PNBP tidak membebani konsumen karena PNBP adalah bagian dari cost . Jadi ketika ada pungutan negara sebetulnya itu menambah cost, sehingga ini akan berpengaruh terhadap price yang ditanggung oleh konsumen. Berbicara PPh (Pajak Penghasilan) base-nya adalah net income . Jadi, kalau rugi dia tidak bayar pajak, tetapi dalam PNBP, basisnya adalah gross ; Paradoks penerimaan dan jumlah lembaga pemungut Dari sisi nominal, pajak merupakan sumber dominan dan pungutan negara yang paling cenderung terus meningkat setiap tahunnya, sementara pungutan PNBP cenderung mengalami fluktuasi yang stokastik, namun dari sisi prosentase cenderung menurun. Ironisnya, paska Perubahan Ketiga UUD 1945, bertambahkan lembaga/kementerian yang memungut PNBP serta bertambahnya objek pemungutan PNBP tidak menambah pendapatan negara secara berarti, bahkan cenderung menurun secara prosentase; Rekontruksi kebijakan pungutan negara Supply side tax policy tidak identik dengan " tax cut" atau tax incentives. Supply side tax policy seharusnya dimaknai sebagai "setiap bentuk kebijakan pungutan negara yang bertujuan untuk mengurangi beban pungutan negara". Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 89 www.mahkamahkonstitusi.go.id Rekonstruksi "SSTP" lebih mengakomodir untuk menjaga keselarasan antara asas-asas pemungutan pajak ( revenue productivity - ease of administration - equality/ neutralit y); __ Rekontruksi konsepsi cost of taxation Beban Perpajakan pada hakekatnya merupakan semua semua beban (cost) dan biaya ( expense ), baik yang bersifat berwujud ( tangible ) maupun nirwujud ( intangible ), yang harus ditanggung oleh seluruh komponen Negara (baik Wajib Pajak, Rakyat, dan Pemerintah) sebagai implikasi suatu kebijakan pajak; Rekontruksi konsepsi beban perpajakan Beban Perpajakan yang harus ditanggung oleh Wajib Pajak, meliputi Beban Kepatuhan dalam berbagai pelaksanaan kewajiban dan pemenuhan berbagai hak perpajakan ( compliance costs ). Beban Perpajakan yang harus ditanggung oleh Pemerintah untuk melakukan administrasi dan tata kelola pemungutan pajak ( administrative costs ). Beban Perpajakan yang harus ditanggung oleh seluruh komponen Negara baik Pemerintah maupun rakyat, sebagai konsekuensi dari kebijakan perpajakan yang dipilih ( policy costs ); Kesimpulan Postur pungutan negara, khususnya PNBP saat ini memperberat cost of taxation , maupun cost of state levies yang harus ditanggung oleh pembayar pajak, rakyat dan negara. Hal ini berpotensi mengganggu daya saing nasional. Dalam perspektif supply side tax policy , PNBP quasi pajak dan quasi retribusi menambah cost of taxation yang harus ditanggung oleh pengusaha, sehingga dapat mengganggu produktivitas dan melemahkan daya saing nasional. PNBP bukan saja menambah biaya yang tangible yang harus dikeluarkan dalam bentuk rupiah, tetapi juga yang bersifat intangible seperti psycological costs dan time costs ; Regulatory Charges di Indonesia ditinjau dari konsepsi keuangan negara dan supply side policy Pada hakekatnya PNBP atas BHP frekuensi tidak ada bedanya dengan pajak. Sehingga tidak tepat apabila dipergunakan istilah PNBP untuk pungutan- pungutan tersebut. Selain itu, karena PNBP memiliki karakteristik yang sama dengan pajak, maka pada hakeikatnya telah terjadi pajak berganda atas penyelenggaraan jasa telekomunikasi; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 90 www.mahkamahkonstitusi.go.id PNBP seharusnya dipungut dengan menggunakan konsepsi charges Pemungutan dilakukan karena adanya services yang diberikan oleh government, misalnya dalam bentuk pengawasan, pemeliharaan pengaturan dan sebagainya. Sehingga dalam hal ini, dengan melakukan pungutan atas BHP frekuensi, pemerintah memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan kepada operator terkait dengan penggunaan spektrum frekuensi; Sebaiknya penentuan besarnya BHP frekuensi di Indonesia diperhitungkan berdasarkan cost recovery Pemerintah untuk mengelola spektrum. Penggunaan charges tersebut dilakukan dengan menggunakan konsepsi earmarking . Dengan demikian, seharusnya instansi yang memungut PNBP diberi kewenang yang besar untuk mengatur/menggunakan PNBP sesuai dengan visi, misi dan fungsi instansi yang bersangkutan. Bukan hanya memiliki kewenangan untuk mengelola sebagian kecil dari penerimaan BHP frekuensi seperti yang terjadi saat ini. PNBP berkaitan dengan telekomunikasi memang ada yang kaitannya yang termasuk ke dalam PNBP yang sifatnya sumber daya alam, seperti misalnya bandwitch. Kalau bicara Jastel seharusnya berkaitan dengan konsep cart atau di Indonesia semacam retribusi. Cartis , pertama bentuknya harus penetapannya cost recovery , kedua, untuk penggunaannya harus in marking . Apakah PNBP dipungut untuk kemakmuran rakyat, tetapi untuk telekomunikasi berkaitan dengan masalah- masalah telekomunikasi namun bagaimana dengan masalah teledensitas, akses internet di Indonesia. Jadi wajar jika di daerah terpencil sulit sekali mendapatkan akses. Seharusnya dengan banyaknya PNBP yang dipungut dapat membantu untuk mendorong target M digis yang spesifik dengan WSIS. Apabila berbicara mengenai konsep supply side tax policy maka ada yang disebut dengan cost of taxation . Khusus di Indonesia dapat dikembangkan, bukan lagi masalah cost of taxation tetapi mengenai cost of taxation karena ada beberapa pungutan yang pada hakikatnya adalah kuasi pajak. Jadi yang ingin dicapai adalah target M digis, bukan karena presiden sudah terlanjur teken kontrak tetapi bagaimana akses internet dapat mensejahterakan rakyat. Banyak penelitian menunjukkan bahwa satu persen pertumbuhan industri telekomunikasi itu three cordon effect -nya luar biasa terhadap perekonomian; Setelah amandemen UUD 1945 tahun 2001, namun justru Undang-Undang PNBP sama sekali belum ada pengganti (perubahan). Padahal lembaga yang memungut PNBP dan jenis PNBP bertambah banyak. Bicara penerimaan negara, Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 91 www.mahkamahkonstitusi.go.id itu masalah stokastik. Menjadi suatu keprihatinan tidak jelas kontribusi PNPB terhadap negara. Jika terjadi demikian maka siapa yang mengawasi PNBP. Berbeda pajak banyak yang mengawasi, misalnya komwas pajak, itjen dan sebagainya. Jadi pajak atau pungutan negara adalah sebagai bentuk hubungan antara negara dan rakyat. Seberapa besar legitimasi negara kepada rakyat dapat terlihat dari pembayaran atau pungutan oleh Negara; [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Presiden dalam sidang tanggal 10 April 2014 memberikan keterangan lisan dan keterangan tertulis tanggal 10 April 2014 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah 02 Juli 2014 yang menguraikan hal-hal sebagai berikut: I. POKOK PERMOHONAN 1. Bahwa menurut para Pemohon, Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) UU PNBP mengatur adanya wewenang luas dan tanpa batas yang dimiliki oleh Pemerintah untuk menambah jenis PNPB, di luar jenis PNBP yang sudah ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (1) UU PNBP dengan Peraturan Pemerintah.
Bahwa Pasal 3 ayat (2) UU PNBP yang mengatur tarif PNBP, di mana besaran tarif PNBP diatur dalam Peraturan Pemerintah, memberikan wewenang kepada Pemerintah untuk menentukan tarif sesukanya/sewenang-wenang.
Bahwa konstitusionalitas pengaturan pemisahan jenis dan besaran tarif PNBP yang diatur dengan regulasi yang berbeda, dimana jenis PNBP diatur dalam Undang-Undang (jenis PNBP dapat ditambah melalui Peraturan Pemerintah), sedangkan besaran tarif atas jenis PNBP diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bahwa Pasal 16 ayat (1) Pasal 26 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (1) UU Telekomunikasi mengatur kewajiban PNBP berupa Kewajiban Kontribusi Pelayanan Universal Telekomunikasi ( Universal Services Obligation ), Biaya Hak Penyelenggaraan (BHP) Telekomunikasi, dan Biaya Hak Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio, selanjutnya Pasal 16 ayat (3), Pasal 26 ayat (2), dan Pasal 34 ayat (3) UU Telekomunikasi mengatur besaran tarif jenis PNBP dimaksud diatur dengan Peraturan Pemerintah, menurut para Pemohon menjadi tidak terjamin haknya akibat pengaturan dengan Peraturan Pemerintah dimaksud.
Menurut para Pemohon bahwa konstitusi jelas mengatur agar pungutan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 92 www.mahkamahkonstitusi.go.id Negara memberikan kepastian dan keadilan hukum bagi warga negara, maka pungutan yang sifatnya memaksa haruslah diatur dalam Undang-Undang baik jenis dan tarifnya. Sehingga menurut para Pemohon pasal dalam UU a quo bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 23A dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. II. TENTANG KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) PARA PEMOHON Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2011, menyatakan bahwa Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia;
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara. Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan "hak konstitusiona!" adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan demikian, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945, maka terlebih dahulu Para Pemohon hams menjelaskan dan membuktikan:
Kualifikasi dalam permohonan a quo sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011;
Hak dan/atau kewajiban konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang diuji;
Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon sebagai akibat berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, serta putusan-putusan selanjutnya, telah memberikan pengertian dan batasan secara kumulatif tentang kerugian hak Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 93 www.mahkamahkonstitusi.go.id dan/atau kewenangan konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu:
Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
Bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji;
Bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
Adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji;
Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Sehubungan dengan kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon, Pemerintah menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
Bahwa Penyelenggara Jasa Internet berdasarkan Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (2) UU Telekomunikasi dikualifikasikan sebagai penyelenggara jasa telekomunikasi, yang dalam menyelenggarakan jasa telekomunikasinya menggunakan dan/atau menyewa jaringan telekomunikasi milik penyelenggara jaringan telekomunikasi.
Mengingat bahwa penggunaan spektrum frekuensi radio merupakan bagian dan penyelenggaraan jaringan telekomunikasi, maka Pemohon I sebagai asosiasi yang membawahi penyelenggara jasa telekomunikasi khususnya penyelenggara jasa internet maupun Pemohon II yang merupakan perseorangan warga negara Indonesia tidak pernah dibebankan kewajiban pembayaran Biaya Hak Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio sebagaimana diatur dalam Pasal 34 ayat (1) dan ayat (3) UU Telekomunikasi beserta peraturan pelaksanaannya.
Mengingat bahwa ketentuan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (3) UU Telekomunikasi beserta peraturan pelaksanaannya tidak pernah dibebankan kepada Para Pemohon maka menjadi sangat jelas tidak adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 94 www.mahkamahkonstitusi.go.id yang dimohonkan diuji. Berdasarkan hal tersebut di atas, Pemerintah perlu mempertanyakan kepentingan Para Pemohon apakah sudah tepat sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 3 ayat (2) UU PNBP dan Pasal 16, Pasal 26 ayat (2), Pasal 34 ayat (3) UU Telekomunikasi. Selain itu apakah terdapat kerugian konstitusional Para Pemohon yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, dan apakah ada hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji. Oleh karena itu, Presiden berpendapat Pemohon dalam permohonan ini tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dan adalah tepat jika Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard ). Namun demikian Presiden menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis hakim konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilainya apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) atau tidak, sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu (vide Putusan Nomor 006/PUU-IIl/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007). III. KETERANGAN PRESIDEN TERHADAP MATERI YANG DIMOHONKAN OLEH PARA PEMOHON Sebelum Presiden menyampaikan keterangan terkait norma materi muatan yang dimohonkan untuk diuji oleh para Pemohon, Presiden akan menyampaikan landasan filosofis pengenaan Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam UU PNBP, dan landasan filosofis pengenaan Kontribusi Kewajiban Pelayanan Universal, Biaya Hak Penyelenggaraan Telekomunikasi, dan Biaya Hak Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio sebagaimana dimaksud dalam UU Telekomunikasi, yakni sebagai berikut:
Penerimaan Negara Bukan Pajak Dalam rangka pencapaian tujuan bernegara sebagaimana tercantum dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945, dibentuk pemerintahan negara yang Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 95 www.mahkamahkonstitusi.go.id menyelenggarakan fungsi pemerintahan dalam berbagai bidang. Pembentukan pemerintahan negara tersebut menimbulkan hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang yang perlu dikelola dalam suatu sistem pengelolaan keuangan negara. Sebagai suatu negara yang berkedaulatan rakyat, berdasarkan hukum, dan menyelenggarakan pemerintahan negara berdasarkan konstitusi, sistem pengelolaan keuangan negara harus sesuai dengan aturan pokok yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar. Bahwa untuk melaksanakan tugas dan fungsi Pemerintah dalam pelayanan, pengaturan, dan periindungan masyarakat, pengelolaan kekayaan negara, serta pemanfaatan sumber daya alam dalam rangka pencapaian tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam UUD 1945, dapat mewujudkan suatu bentuk penerimaan negara yang disebut sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak. Bahwa pemberlakuan UU PNBP merupakan pelaksanaan amanat Pasal 23A UUD 1945 yang menyatakan bahwa "Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang". Berdasarkan ketentuan tersebut, untuk keperluan negara, pengenaan pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa harus didasarkan pada suatu Undang-Undang. UU PNBP sebagai salah satu perwujudan ketentuan Pasal 23A UUD 1945, di dalamnya mengatur mengenai tata cara yang dipilih oleh pembentuk Undang-Undang berupa penentuan siapa yang menjadi Wajib Bayar, tata cara pembayaran, dan prosedur penagihan pembayaran. Oleh karena UU PNBP berisi pengaturan mengenai tata cara untuk mencapai tujuan negara dalam rangka menghimpun Penerimaan Negara Bukan Pajak, dapat dikatakan bahwa UU PNBP merupakan kebijakan instrumental ( instrumental policy ) yang dipilih oleh pembentuk Undang-Undang sebagai penjabaran dari Pasal 23A UUD 1945. Bahwa dalam UU PNBP mengamanatkan tentang pembentukan peraturan pelaksanaan atau ketentuan lebih lanjut mengenai hal-hal yang perlu diatur kemudian, yang dalam hal ini peraturan pelaksanaan dimaksud berbentuk Peraturan Pemerintah. Bahwa hal tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) UU PNBP serta berpedoman pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 96 www.mahkamahkonstitusi.go.id Undangan. Penerimaan Negara Bukan Pajak pada prinsipnya memiliki dua fungsi yaitu fungsi budgetary dan fungsi regulatory . Selaku fungsi budgetary , Penerimaan Negara Bukan Pajak merupakan salah satu pilar pendapatan negara yang memiliki kontribusi cukup besar dalam menunjang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, melalui optimalisasi penerimaan negara. Selaku fungsi regulatory , Penerimaan Negara Bukan Pajak memegang peranan penting dan strategis dalam mendukung kebijakan Pemerintah dalam pengendalian dan pengelolaan kekayaan negara termasuk pemanfaatan sumber daya alam. Pengendalian dan pengelolaan tersebut sangat penting artinya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, kemandirian bangsa, dan pembangunan nasional yang berkelanjutan. Sejalan dengan meningkatnya pembangunan nasional di segala bidang, terdapat banyak bentuk penerimaan negara di luar penerimaan perpajakan. Penerimaan perpajakan meliputi penerimaan yang berasal dari Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Bea Masuk, Cukai, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Meterai, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan lainnya yang diatur dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Selain itu, penerimaan negara yang berasal dari minyak dan gas bumi, yang di dalamnya terkandung unsur pajak dan royalti, diperlakukan sebagai penerimaan perpajakan, mengingat unsur pajak lebih dominan. Dengan demikian pengertian Penerimaan Negara Bukan Pajak yang dirumuskan dalam UU PNBP mencakup segala penerimaan Pemerintah Pusat di luar penerimaan perpajakan tersebut. Dengan berpegang teguh pada prinsip kepastian hukum, keadilan dan kesederhanaan, maka arah dan tujuan pembentukan UU PNBP adalah:
menuju kemandirian bangsa dalam pembiayaan negara dan pembiayaan pembangunan melalui optimalisasi sumber-sumber Penerimaan Negara Bukan Pajak dan ketertiban administrasi pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak serta penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak ke Kas Negara;
lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat berpartisipasi dalam pembiayaan pembangunan sesuai dengan manfaat Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 97 www.mahkamahkonstitusi.go.id yang dinikmatinya dari kegiatan-kegiatan yang menghasilkan Penerimaan Negara Bukan Pajak;
menunjang kebijaksanaan Pemerintah dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya serta investasi di seluruh wilayah Indonesia;
menunjang upaya terciptanya aparat Pemerintah yang kuat, bersih dan berwibawa, penyederhanaan prosedur dan pemenuhan kewajiban, peningkatan tertib administrasi keuangan dan anggaran negara, serta peningkatan pengawasan.
Penerimaan Negara Bukan Pajak di Sektor Telekomunikasi Bahwa untuk melaksanakan ketentuan amanat Pasal 23A UUD 1945 dan UU PNBP, maka UU Telekomunikasi mengatur jenis PNBP di sektor telekomunikasi antara lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Pasal 26 dan Pasal 34 UU Telekomunikasi, antara lain:
Kontribusi Kewajiban Pelayanan Universal ( Universal Service Obligation ) Kewajiban Pelayanan Universal ( Universal Service Obligation ) merupakan kewajiban penyediaan jaringan telekomunikasi oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi agar kebutuhan masyarakat terutama di daerah terpencil dan atau belum berkembang untuk mendapatkan akses telepon dapat dipenuhi. Kewajiban pelayanan universal terutama untuk wilayah yang secara geografis terpencil dan yang secara ekonomi belum berkembang serta membutuhkan biaya pembangunan tinggi termasuk di daerah perintisan, pedalaman, pinggiran, terpencil dan atau daerah yang secara ekonomi kurang menguntungkan. Pasal 16 ayat (2) UU Telekomunikasi mengatur kontribusi pelayanan universal berbentuk penyediaan sarana dan prasarana telekomunikasi dan atau kompensasi lain. Selanjutnya sesuai dengan ketentuan Pasal 16 ayat (3) UU Telekomunikasi Pasal 26 PP Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi mengatur kontribusi pelayanan universal berupa: penyediaan jaringan dan atau jasa telekomunikasi, kontribusi dalam bentuk komponen biaya interkoneksi, atau kontribusi lainnya. Dalam pelaksanaan kontribusi kewajiban pelayanan universal Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 98 www.mahkamahkonstitusi.go.id penyelenggara telekomunikasi memilih bentuk kontribusi lainnya. Selanjutnya berdasarkan hasil pertemuan Pemerintah dengan penyelenggara telekomunikasi, disepakati bahwa kontribusi lainnya adalah biaya yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase tertentu dari pendapatan kotor ( gross revenue ) penyelenggara telekomunikasi, sebagai berikut:
Biaya Hak Penyelenggaraan Universal (BHP USO) sebesar 0,75% dari pendapatan kotor, sebagaimana tercantum dalam Risalah Rapat Penetapan Besaran Kontribusi Kewajiban Pelayanan Universal (USO) Bidang Telekomunikasi, tanggal 9 September 2003;
Biaya Hak Penyelenggaraan Universal (BHP USO) sebesar 1,25% dari pendapatan kotor, sebagaimana tercantum dalam Berita Acara Sosialisasi Perubahan Besaran Kontribusi Kewajiban Pelayanan Universal (USO) dan Biaya Hak Penyelenggaraan Telekomunikasi, tanggal 3 Mei 2007;
Biaya Hak Penyelenggaraan Telekomunikasi Biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi merupakan kewajiban yang dikenakan kepada penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi sebagai kompensasi atas perizinan yang diperolehnya dalam penyelenggaraan jaringan dan atau jasa telekomunikasi, yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari pendapatan penyelenggaraan jaringan dan atau jasa telekomunikasi serta merupakan Pendapatan Negara Bukan Pajak yang disetor ke Kas Negara.
ii. Biaya Hak Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio Sebagai pelaksanaan amanat UUD 1945 khususnya Pasal 33 ayat (3) yaitu bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat, maka hal-hal yang menyangkut pemanfaatan spektrum frekuensi radio yang merupakan sumber daya alam yang terbatas dikuasai oleh negara. Sebagai bentuk penguasaan oleh negara tersebut, dalam Pasal 33 ayat (1) serta Pasal 34 ayat (1) UU Telekomunikasi diatur ketentuan bahwa penggunaan spektrum frekuensi radio wajib Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 99 www.mahkamahkonstitusi.go.id mendapatkan izin Pemerintah, dimana atas penggunaannya wajib membayar biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio. Biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio dimaksud merupakan kompensasi atas penggunaan frekuensi radio sesuai izin yang diterima. Disamping itu, biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio dimaksudkan juga sebagai sarana pengawasan dan pengendalian agar frekuensi radio sebagai sumber daya alam terbatas yang bernilai ekonomis tinggi dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin; Sehubungan dengan anggapan para Pemohon dalam permohonannya yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 3 ayat (2) UU PNBP dan Pasal 16, Pasal 26 ayat (2), Pasal 34 ayat (3) UU Telekomunikasi yang menyatakan: Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) UU PNBP (2) Kecuali jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang ditetapkan dengan Undang-Undang, jenis Penerimaan Negara bukan Pajak yang tercakup dalam kelompok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. (3) Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang belum tercakup dalam kelompok Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 3 ayat (2) UU PNBP "Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah yang menetapkan jenis Penerimaan Negara bukan Pajak yang bersangkutan." Pasal 16 UU Telekomunikasi (1) Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib memberikan kontribusi dalam pelayanan universal. (2) Kontribusi pelayanan universal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk penyediaan sarana dan prasarana telekomunikasi dan atau kompensasi lain. (3) Ketentuan kontribusi pelayanan universal sebagaimana dimaksud Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 100 www.mahkamahkonstitusi.go.id pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 26 ayat (2) UU Telekomunikasi "Ketentuan mengenai biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah." Pasal 34 ayat (3) UU Telekomunikasi "Ketentuan mengenai biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah." Ketentuan di atas oleh para Pemohon dianggap bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 23A, dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan: Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 (2) Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut _Undang-Undang Dasar; _ (3) Negara Indonesia adalah negara hukum. Pasal 23A UUD 1945 "Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang". Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, periindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum" Sehubungan dengan anggapan para Pemohon tersebut, Pemerintah dapat menyampaikan keterangan sebagai berikut:
Terhadap dalil para Pemohon yang menganggap ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) UU PNBP bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, Pemerintah memberikan keterangannya sebagai berikut:
UU PNBP sebagai pelaksanaan dari amanat Pasal 23A UUD 1945 yang menyatakan "Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang ", telah mengatur Penerimaan Negara Bukan Pajak ke dalam beberapa kelompok jenis PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UU PNBP. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 101 www.mahkamahkonstitusi.go.id b. Bahwa untuk mengantisipasi adanya potensi dari Penerimaan Negara yang bisa menjadi Penerimaan Negara Bukan Pajak, maka Pemerintah selain menetapkan jenis kelompok Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU PNBP, juga mengatur bahwa jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak lainnya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah [vide Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) UU PNBP].
Bahwa dapat dijelaskan sifat dari Peraturan Pemerintah adalah untuk melaksanakan Undang-Undang sebagaimana mestinya yang artinya bahwa Peraturan Pemerintah adalah melaksanakan perintah Undang-Undang atau untuk menjalankan Undang-Undang sepanjang diperlukan dengan tidak menyimpang dari materi yang diatur dalam Undang-Undang yang bersangkutan (vide Pasal 12 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan beserta penjelasannya).
Bahwa Peraturan Pemerintah ditetapkan juga harus memperhatikan dampak pengenaan terhadap masyarakat dan kegiatan usahanya, biaya penyelenggaraan kegiatan Pemerintah sehubungan dengan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersangkutan, dan aspek keadilan dalam pengenaan beban kepada masyarakat.
Bahwa jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang akan ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah juga harus dikemukakan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Rl untuk dibahas dan disusun dalam Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara [vide Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU PNBP]. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas Pemerintah berkesimpulan penetapan Peraturan Pemerintah terhadap jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang diatur dalam ketentuan pasal a quo baik materi maupun sifatnya sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan substansi yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah juga sudah sesuai dengan aspek keadilan dan pengenaan beban kepada masyarakat mengingat jenisnya akan dikemukakan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 102 www.mahkamahkonstitusi.go.id kepada Dewan Perwakilan Rakyat Rl, sehingga pasal a quo tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 23A dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, terhadap dalil para Pemohon yang menganggap Pemerintah sewenang-wenang dan tanpa batas dengan menambah jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak dengan Peraturan Pemerintah, hal tersebut terbukti tidak benar dan tidak berdasar, karena justru dengan memberikan ketentuan lebih lanjut ke dalam Peraturan Pemerintah memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan dan pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Terhadap dalil para Pemohon yang menganggap pengaturan tentang tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak diatur dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) UU PNBP, memberikan wewenang Pemerintah untuk menentukan tarif sesukanya dan sewenang-wenang, Pemerintah memberikan keterangan sebagai berikut:
Bahwa kewenangan untuk menetapkan tarif dalam bentuk Peraturan Pemerintah sudah sesuai dengan Pasal 3 ayat (2) UU PNBP. Sebagaimana diketahui "materi Peraturan Pemerintah adalah untuk melaksanakan Undang-Undang sebagaimana mestinya" yang artinya bahwa Peraturan Pemerintah adalah melaksanakan perintah Undang-Undang atau untuk menjalankan Undang-Undang sepanjang diperlukan dengan tidak menyimpang dari materi yang diatur dalam Undang-Undang yang bersangkutan (vide Pasal 12 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan beserta penjelasannya).
Selain itu, pada saat UU PNBP dibentuk pada tahun 1997, potensi jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang belum dapat teridentifikasi sangat banyak (saat ini terdapat lebih dari 3000 jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak), dan mengingat penetapan tarif perlu mengikuti perubahan ekonomi yang sangat dinamis, sehingga perlu penyesuaian dan tidak mungkin semuanya diatur dalam Undang-Undang, oleh karena itu diatur lebih lanjut dalam Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 103 www.mahkamahkonstitusi.go.id Peraturan Pemerintah [vide penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU PNBP]. Pengaturan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak dalam Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (3) UU PNBP justru telah membuktikan adanya keterwakilan masyarakat melalui Dewan Perwakilan Rakyat Rl dalam pengaturan dimaksud; Berdasarkan hal tersebut di atas, jelas bahwa anggapan para Pemohon yang menyatakan Pemerintah sewenang-wenang dalam menetapkan tarif ke dalam Peraturan Pemerintah tidak benar dan tidak berdasar.
Terhadap anggapan para Pemohon yang menyatakan ketentuan Pasal 16, Pasal 26 ayat (3) dan Pasal 34 ayat (3) UU Telekomunikasi yang mengatur tentang Kontribusi Kewajiban Pelayanan Universal Telekomunikasi ( Universal Services Obligation ), Biaya Hak Penyelenggaraan (BHP) Telekomunikasi, dan Biaya Hak Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio di mana pengaturan besaran tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak mengenai hai tersebut berdasarkan pasal a quo diatur dalam Peraturan Pemerintah, menurut para Pemohon menjadi tidak terjamin haknya dengan pengaturan peraturan pemerintah tersebut. Pemerintah memberikan keterangan sebagai berikut:
Bahwa UU Telekomunikasi sebagai payung hukum penyelenggaraan telekomunikasi nasional antara lain mengatur kewajiban penyelenggara telekomunikasi, yang terdiri atas penyelenggara jaringan dan penyelenggara jasa telekomunikasi, untuk memberikan Kontribusi Kewajiban Pelayanan Universal, membayar Biaya Hak Penyelenggaraan Telekomunikasi yang diambil dari persentase pendapatan penyelenggaraan jaringan dan/atau jasa telekomunikasi, dan membayar Biaya Hak Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio sebagaimana diatur dalam Pasal 16, Pasal 26 dan Pasal 34 ayat (1) UU Telekomunikasi.
Bahwa pembebanan kewajiban dimaksud merupakan kompensasi atas hak penyelenggara telekomunikasi dalam menyelenggarakan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 104 www.mahkamahkonstitusi.go.id jaringan dan/atau jasa telekomunikasi berdasarkan instrumen perizinan sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1) UU Telekomunikasi dengan penjelasan sebagai berikut:
Pasal 16 UU Telekomunikasi mewajibkan penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi untuk memberikan Kontribusi Kewajiban Pelayanan Universal Telekomunikasi bagi terpenuhinya kebutuhan telekomunikasi masyarakat, khususnya di daerah terpencil dan belum berkembang.
Pasal 26 UU Telekomunikasi mewajibkan penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi untuk membayar biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi, yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari pendapatan dan merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang disetor ke Kas Negara.
Pasal 34 ayat (1) UU Telekomunikasi mewajibkan penyelenggara jaringan telekomunikasi untuk membayar biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio yang juga merupakan sarana pengawasan dan pengendalian agar frekuensi radio sebagai sumber daya alam terbatas yang bernilai ekonomis tinggi dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin.
Bahwa penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Pasal 26 dan Pasal 34 ayat (1) UU Telekomunikasi, dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin, sebagaimana diatur dalam Pasal 45 dan Pasal 46 UU Telekomunikasi. Artinya pengaturan kewajiban penyelenggara telekomunikasi, dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak dimaksud, merupakan alat ( tools ) bagi Pemerintah dalam melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap penyelenggaraan telekomunikasi;
Bahwa pengaturan kontribusi kewajiban pelayanan universal, biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi, dan biaya penggunaan frekuensi radio dalam UU Telekomunikasi telah membuktikan adanya keterwakilan (representasi) masyarakat Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 105 www.mahkamahkonstitusi.go.id melalui Dewan Perwakilan Rakyat Rl terhadap pengaturan Penerimaan Negara Bukan Pajak sektor telekomunikasi, sehingga pengaturan dimaksud telah konstitusional dengan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 23A dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Bahwa pengaturan besaran tarif kontribusi kewajiban pelayanan universal, biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi, dan biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio dalam Peraturan Pemerintah adalah untuk melaksanakan ketentuan Pasal 3 ayat (3) UU PNBP, sehingga pembebanan Penerimaan Negara Bukan Pajak kepada penyelenggara telekomunikasi, tetap dalam koridor UU PNBP yang konstitusional dengan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 23A dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
Bahwa Pemerintah tidak pernah bersikap semena-mena dalam menetapkan besaran tarif atas kontribusi kewajiban pelayanan universal, biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi, dan biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana didalilkan Para Pemohon dalam permohonannya karena penetapan dimaksud telah sesuai dengan Pasal 3 ayat (1) UU PNBP. Penetapan besaran tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak sektor telekomunikasi yang pernah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2005 sebagaimana telah dicabut dan diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak pada Departemen Komunikasi dan Informatika sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2010, jumlah total besaran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang dipungut dari kontribusi kewajiban pelayanan universal dan biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi adalah tetap sebesar 1,75% dari persentase pendapatan kotor penyelenggara telekomunikasi, dengan penjelasan sebagai berikut:
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2005 menetapkan besaran tarif atas kontribusi kewajiban pelayanan universal sebesar 0,75% dan besaran tarif atas biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi sebesar 1% dari pendapatan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 106 www.mahkamahkonstitusi.go.id kotor penyelenggara telekomunikasi;
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2009 menetapkan besaran tarif atas kontribusi kewajiban pelayanan universal sebesar 1,25% dan besaran tarif atas biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi sebesar 0,5% dari pendapatan kotor penyelenggara telekomunikasi.
Bahwa perubahan komposisi persentase besaran tarif kontribusi kewajiban pelayanan universal dan biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2009 dilakukan dengan memperhatikan pertumbuhan industri telekomunikasi nasional dan kebutuhan masyarakat khususnya di daerah-daerah perbatasan dan terpencil terhadap akses telekomunikasi, sehingga penentuan besaran tarif dimaksud telah sesuai dengan Pasal 3 ayat (1) UU PNBP;
Terkait dengan penetapan tarif biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio dibedakan untuk setiap jenis penggunaan spektrum frekuensi radio yaitu:
Biaya Hak Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio untuk Izin Stasiun Radio sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Pada Departemen Komunikasi dan Informatika, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2010, yaitu dengan menggunakan formula sebagai berikut: BHP ISR = (lb x HDLP x b) + (Ip X HDDP X p) 2 2) Biaya Hak Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio untuk Izin Pita Spektrum Frekuensi Radio sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Pada Departemen Komunikasi dan Informatika, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2010, ditetapkan melalui: a) Mekanisme seleksi dengan memperhatikan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 107 www.mahkamahkonstitusi.go.id kewajaran dan kemampuan daya beli masyarakat; atau b) Mekanisme penghitungan dengan menggunakan formula, sebagai berikut: BHP IPSFR = N x K x I x C x B i. Bahwa dalam menetapkan Biaya Hak Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio menggunakan formula sebagaimana dimaksud pada huruf h angka 1) dan angka 2) di atas, Pemerintah tidak dimungkinkan sewenang-wenang menetapkan tarif mengingat kewajiban untuk memperhatikan komponen:
Jenis frekuensi radio;
Lebar pita dan/atau kanal frekuensi radio;
Luas cakupan layanan;
Lokasi pemancar frekuensi radio; dan
Minat pasar. (vide Pasal 29 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit);
Selain itu, proses penyusunan Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan Pasal 16, Pasal 26 ayat (2) dan Pasal 34 ayat (3) UU Telekomunikasi telah melalui tahap konsultasi publik untuk mendapatkan tanggapan dan masukan dari masyarakat dan penyelenggara telekomunikasi termasuk stakeholder lainnya, sehingga menurut hukum telah memenuhi persyaratan formal penyusunan peraturan perundang-undangan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Untuk itu dalil-dalil para Pemohon yang menyatakan Pemerintah bertindak semena-mena sangat tidak relevan dan tidak memiliki landasan hukum yang sah. IV. KESIMPULAN Berdasarkan keterangan pemerintah tersebut di atas, maka disimpulkan sebagai berikut:
Para Pemohon tidak pernah dibebankan kewajiban pembayaran Biaya Hak Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio sebagaimana diatur dalam Pasal 34 ayat (1) dan ayat (3) UU Telekomunikasi, sehingga sangat jelas tidak adanya Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 108 www.mahkamahkonstitusi.go.id hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang dirugikan oleh berlakunya UU PNBP dan UU Telekomunikasi;
UU PNBP merupakan pelaksanaan amanat Pasal 23A UUD 1945 yang menyatakan bahwa "Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang". Sebagai salah satu perwujudan Pasal 23A UUD 1945, UU PNBP mengatur tata cara yang dipilih oleh pembentuk Undang-Undang berupa penentuan siapa yang menjadi Wajib Bayar, tata cara pembayaran, dan prosedur penagihan pembayaran.
Pemberlakuan Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 3 ayat (2) UU PNBP serta Pasal 16, Pasal 26 ayat (2), dan Pasal 34 ayat (3) UU Telekomunikasi membuktikan bahwa negara telah memberikan pengakuan, jaminan, dan periindungan kepada para Pemohon dalam kedudukannya sebagai penyelenggara jasa internet akan kewajiban-kewajiban pembayaran PNBP yang harus dipenuhinya dalam menyelenggarakan layanan jasa internet.
Bahwa ketentuan Pasal 3 ayat (1) UU PNBP, mengamanatkan dengan tegas bahwa "Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak ditetapkan dengan memperhatikan dampak pengenaan terhadap masyarakat dan kegiatan usahanya, biaya penyelenggaraan kegiatan Pemerintah sehubungan dengan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersangkutan, dan aspek keadilan dalam pengenaan beban kepada masyarakat" 5. Bahwa pengaturan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sektor Telekomunikasi dalam Pasal 16, Pasal 26 dan Pasal 34 UU Telekomunikasi telah memenuhi amanat Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 23°, dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Bahwa pengaturan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak sektor Telekomunikasi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Pada Departemen Komunikasi dan Informatika, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2010 telah memenuhi amanat Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 serta Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 3 ayat (2) UU PNBP.
Dengan demikian anggapan para Pemohon dalam permohonannya yang menyatakan Pasal 16, Pasal 26 ayat (2), Pasal 34 ayat (3) UU Telekomunikasi telah menyebabkan tidak adanya keadilan dan kepastian adalah tidak benar Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 109 www.mahkamahkonstitusi.go.id dan tidak berdasar karena apabila pemungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak tidak diatur dalam suatu ketentuan peraturan perundang-undangan maka akan timbul ketidakpastian hukum.
Bahwa apabila permohonan pengujian Undang-Undang ini dikabulkan, menurut Pemerintah, negara tidak hanya berpotensi kehilangan Penerimaan Negara Bukan Pajak sebesar kurang lebih Rp. 13.590.235.630.364,- (tiga belas triliun lima ratus sembilan puluh miliar dua ratus tiga puluh lima juta enam ratus tiga puluh ribu tiga ratus enam puluh empat rupiah), yang merupakan total Penerimaan Negara Bukan Pajak Kementerian Komunikasi dan Informatika tahun 2013, melainkan berpotensi kehilangan seluruh Penerimaan Negara Bukan Pajak, karena pada hakikatnya seluruh tarif atas jenis PNBP yang berlaku diatur dengan Peraturan Pemerintah. V. PETITUM Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian ( constitutional review ) Undang- Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi terhadap Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menyatakan bahwa para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum;
Menolak permohonan pengujian para Pemohon ( void ) seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian para Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menerima Keterangan Pemerintah secara keseluruhan;
Menyatakan Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Pasal 16, Pasal 26 ayat (2), Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 23A, dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk membuktikan keterangannya, Presiden dalam persidangan dalam 22 Juli 2014 mengajukan dua orang ahli, yakni Jonathan Parapak dan M. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 110 www.mahkamahkonstitusi.go.id Fachruddin yang memberikan keterangan lisan dalam persidangan tersebut dan telah pula menyerahkan keterangan tertulis yang diterima dalam persidangan tanggal 22 Juli 2014, yang mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
Jonathan Parapak Pendahuluan Seperti telah ditegaskan dalam pertimbangan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, peran telekomunikasi sangat penting untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dan sangat strategis dalam upaya memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, memperlancar kegiatan pemerintahan, mendukung terciptanya pemerataan pembangunan dan hasil- hasilnya serta meningkatkan hubungan antar bangsa; Penyelenggaraan telekomunikasi sangat ditentukan oleh perkembangan yang sangat pesat dari teknologi telekomunikasi dan informasi, dan sudah memungkinkan perubahan dan perkembangan kehidupan manusia di segala bidang. Kekeliruan pembinaan telekomunikasi dan pengaturan teknologinya dan frekuensi dapat menjadi malapetaka kehidupan masyarakat, dan perekonomian negara. Kegiatan pertelekomunikasian sendiri telah merupakan salah satu komponen penting dan besar dari perekonomian nasional; Oleh karena pentingnya dan strategisnya telekomunikasi, maka pada mulanya di seluruh dunia telekomunikasi dikuasai dan diselenggarakan oleh negara dan langsung dibina oleh pemerintah; Dengan perkembangan teknologi dan kemasyarakatan serta kemajuan ekonomi, penyelenggaraan yang semula dimonopoli pemerintah berangsur mulai melibatkan peran swasta/masyarakat, namun peranan pembinaan oleh pemerintah/regulator akan semakin penting; Perkembangan Penyelenggaraan Telekomunikasi Perkembangan telekomunikasi sangat ditentukan oleh kemajuan teknologi Telekomunikasi yang pada umumnya dianggap mulai dengan penemuan Alexander Bell pada 1874, dengan teknologi telegraph yang sangat sederhana, berkembang pesat seperti yang kita saksikan sekarang seperti internet, satelit, telepon selular, dan lain-lain; Selama perkembangan penyelenggaraan yang semula semuanya bersifat Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 111 www.mahkamahkonstitusi.go.id monopoli baik diselenggarakan langsung oleh pemerintah maupun oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) diperhadapkan kepada berbagai tantangan antara lain kemajuan pesat teknologi, pemerataan layanan dan akses layanan, penataan/pengaturan pemakaian sumber alam yang terbatas serta partisipasi masyarakat. UU Nomor 36 Tahun 1999 adalah UU yang secara tegas telah memperluas partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan telekomunikasi; Dengan maraknya partisipasi masyarakat, maka berbagai aspek penting hams di atur untuk menjamin mutu dan akses layanan termasuk di daerah terpencil, pemanfaatan teknologi tepat guna, pemanfaatan sumber daya alam terbatas seperti frekuensi, orbit satelit, dll. Oleh karena kompleksnya pengaturan dari berbagai aspek seperti interkoneksi, persyaratan teknis, teknologi, maka sangat wajar adanya kontribusi para penyelenggara untuk optimalisasi dan peningkatan mutu layanan telekomunikasi bagi masyarakat; KPU/USO. BHP Frequency. Orbit Satellite. BHP Telekomunikasi Di seluruh dunia, penyelenggaraan telekomunikasi sudah diserahkan kepada badan usaha, baik perusahaan BUMN maupun swasta. Dalam pelaksanaan umumnya penyelenggaraan memusatkan penyediaan jasa dan akses di kota besar, yang menguntungkan, dan enggan bahkan tidak mau menyediakan layanan di daerah terpencil atau pedesaan. Oleh karena itulah muncul konsep USO ( Universal Service Obligation ) keharusan membangun atau berkontribusi untuk pembangunan telekomunikasi di daerah pedesaan/terpencil. UU Nomor 36 Tahun 1999, menegaskan di Indonesia, setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib memberikan kontribusi dalam pelayanan universal. Konsep USO ini sesungguhnya sudah mulai pada 1907 di Amerika oleh President AT&T, Theodore Voil dengan semboyan " One system, One policy, and Universal service ". Di Indonesia diatur dengan kontribusi dalam bentuk penyediaan prasarana telekomunikasi atau kontribusi dana yang diatur melalui Peraturan Pemerintah. Kewajiban kontribusi pelayanan umum ini diberlakukan di banyak negara dengan format yang berbeda - beda. Di Indonesia kontribusi ini dimanfaatkan untuk layanan telekomunikasi pedesaan dan pendidikan; Salah satu sumber daya yang sangat penting dalam penyelenggaraan telekomunikasi adalah "frekuensi radio". Karena sumber daya alam yang sangat terbatas ini, telah menjadi bagian yang sangat penting dan strategis dalam Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 112 www.mahkamahkonstitusi.go.id penyelenggaraan telekomunikasi, lebih khusus lagi dengan pesatnya perkembangan telekomunikasi selular/bergerak. Pemakaian satu bagian pita frekuensi berarti tidak dapat lagi dimanfaatkan oleh orang lain. Namun demikian teknologi dapat memungkinkan satu frekuensi dipakai lebih dari satu kali dengan pengaturan polarisasi, kekuatan pemancar dari teknologi antena yang dipakai. Oleh karena itu peranan regulator (Pemerintah) sangat penting untuk menjaga ketertiban pemakaian. frekuensi tertentu. Oleh karena pemancaran frekuensi terjadi di ruang udara/angkasa yang bebas dan terbuka, maka pemanfaatan/alokasi frekuensi diatur secara intemasional. Nilai ekonomi frekuensi tertentu telah meningkat sangat tinggi, oleh karena itu sangat wajar untuk nilai/harga dimanfaatkan untuk sebesar-besamya kesejahteraan rakyat. Sebagai ilustrasi adalah pemanfaatan tanah, termasuk harga NJOP, dan PBB, di daerah JI. Thamrin yang sangat berbeda dengan di daerah pedalaman Karawang. Oleh karena itulah ketentuan Pasal 32 sangat penting yang selanjutnya di atur dengan peraturan pemerintah. Pengaturan dan optimalisasi pemanfaatan frekuensi yang terbatas ini sangat kompleks dan memerlukan keahlian serta peralatan canggih. Oleh karena itu mustahil untuk menetapkan PNPB frekuensi pada tingkat Undang- Undang, bahkan demi kecepatan penyesuaian mengikuti perkembangan teknologi, sebaiknya ditetapkan pada tingkat keputusan Menteri; Serupa dengan frekuensi, penguasaan orbit satelitpun merupakan sumber daya terbatas. Oleh karena lintasan orbit satelit umumnya mencakup beberapa negara, maka pengaturannyapun bersifat intemasional melalui ITU. Yang berhak ikut dalam pengaturan international adalah negara. Oleh karena itu, siapapun yang akan memanfaatkan orbit satelit harus melalui pengaturan/persetujuan negara. Hal mana dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999, telah diatur dalam Pasal 33. Deregulasi atau pengikutsertaan masyarakat telah mulai dirintis melalui Undang- Undang Nomor 36 Tahun 1999. Secara historis penyelenggaraan telekomunikasi di Indonesia dimulai dari jawatan pemerintah PTT, kemudian P.N. Telekomunikasi, Perumtel, dan akhimya P.T. Telkom yang sudah " gopublic ". Partisipasi swasta dimulai 1967 dengan hadimya Indosat, sebagai PMA Nomor 2 di Indonesia yang kemudian menjadi BUMN di akhir tahun 1980 dan menjadi perusahaan publik pada 1994. Kini kondisi pertelekomunikasian kita di Indonesia memprihatinkan oleh karena penyelenggaraan telekomunikasi yang sangat strategis itu, sudah lebih banyak dimiliki/ dikendalikan oleh perusahaan asing, seperti Indosat, XI, dan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 113 www.mahkamahkonstitusi.go.id beberapa perusahaan lain. Transisi dari era monopoli ke partisipasi masyarakat di berbagai negara melalui berbagai pola. Ada yang melalui lelang dengan harga tinggi dengan kontribusi tahunan, ada yang hanya melalui mekanisme perizinan dan kontribusi tahunan dalam bentuk biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi. Di Indonesia, melalui Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999, Pasal 26, ditegaskan bahwa: setiap penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggaraan telekomunikasi wajib membayar biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi yang diambil dari prosentase pendapatan; Di beberapa negara seperti Amerika, Australia, ada semacam FCC, yang mengembangkan, mengawasi regulasi telekomunikasi. Di Indonesia telah dibentuk BRTI yang menjadi regulator telekomunikasi di Indonesia. Di beberapa negara, anggaran Badan Regulasi didanai oleh penyelenggaraan melalui ketentuan perundangan yang berlaku. Untuk maksud pendanaan berbagai aspek yang sangat kompleks itulah, partisipasi penyelenggaraan telekomunikasi melalui cara yang diatur dalam Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah dalam bentuk biaya hak penyelenggaraan. Ketentuan-ketentuan yang mengatur kontribusi USO, BHP frekuensi dan BHP, telah diatur dengan rapi baik melalui Undang-Undang maupun PP, sehingga baik secara filosofis, historis, teknis dan pengaturan, semuanya terarah pada penyelenggaraan telekomunikasi untuk sebesar-besamya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat; Oleh karena perkembangan teknologi yang begitu cepat, secara historis pengaturan/regulasi selalu terlambat, maka pendekatan yang bijaksana adalah "peranan pemerintah" yang diatur melalui Undang-Undang, untuk menetapkan komponen dn besm PNPB telekomunikasi dapat dapat diturunkan ke tingkat Menteri teknis, seperti yang terjadi disektor lain, sehingga manfaat kemajuan teknologi dapat secepatnya dinikmati oleh rakyat;
M. Fachruddien Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, telah mengatur sedemikian rupa perihal ikhwal pembentukan peraturan perundang-undangan, bentuk, asas, jenis, hierarki, materi muatan, perencanaa, penyusunan, pembahasan, pengesahan peraturan perundang-undangan; disertai pembahasan dan penetapan rancangan peraturan daerah Provinsi dan peraturan daerah Kabupaten/Kota. Serta lampiran yang terdiri atas teknik penyusunan naskah akademik dan teknik penyusunan teknik peraturan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 114 www.mahkamahkonstitusi.go.id perundang-undangan; Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dijelaskan dalam pasal 5 yang meliputi:
Kejelasan tujuan b. Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat c. Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan d. Dapat dilaksanakan e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan f. Kejelsan rumusan g. Keterbukaan Pasal 6 materi muatan peraturan perundang-undangan, harus mencerminkan asas:
Pengayoman;
Kemanusiaan;
Kebangsaan;
Kekeluargaan;
Kenusantaraan;
Bhinneka tunggal ika;
Keadilan;
Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
Ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan
Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2006.
Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga.
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. ...
Relevan terhadap
Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4737 A. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PENDIDIKAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Kebijakan 1. Kebijakan dan Standar 1.a.Penetapan kebijakan nasional pendidikan.
Koordinasi dan sinkronisasi kebijakan operasional dan program pendidikan antar provinsi.
Perencanaan strategis pendidikan nasional.
a.Penetapan kebijakan operasional pendidikan di provinsi sesuai dengan kebijakan nasional.
Koordinasi dan sinkronisasi kebijakan operasional dan program pendidikan antar kabupaten/kota.
Perencanaan strategis pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal sesuai dengan perencanaan strategis pendidikan nasional.
a. Penetapan kebijakan operasional pendidikan di kabupaten/kota sesuai dengan kebijakan nasional dan provinsi.
Ɇ c. Perencanaan operasional program pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal sesuai dengan perencanaan strategis tingkat provinsi dan nasional. LAMPIRAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 38 Tahun 2007 TANGGAL : 9 Juli 2007 SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2.a. Pengembangan dan penetapan standar nasional pendidikan (isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan).
Sosialisasi standar nasional pendidikan dan pelaksanaannya pada jenjang pendidikan tinggi.
Penetapan pedoman pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi, dan pendidikan nonformal.
a. Ɇ b. Sosialisasi dan pelaksanaan standar nasional pendidikan di tingkat provinsi.
Koordinasi atas pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas kabupaten/kota, untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah.
a. Ɇ b. Sosialisasi dan pelaksanaan standar nasional pendidikan di tingkat kabupaten/kota.
Pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Penetapan kebijakan tentang satuan pendidikan bertaraf internasional dan satuan pendidikan berbasis keunggulan lokal.
a.Pemberian izin pendirian serta pencabutan izin perguruan tinggi.
Pemberian izin pendirian serta pencabutan izin satuan pendidikan dan/atau program studi bertaraf internasional.
Penyelenggaraan dan/atau pengelolaan satuan pendidikan dan/atau program studi bertaraf internasional 4. — 5.a. Ɇ b.— c.Penyelenggaraan dan/atau pengelolaan satuan pendidikan dan/atau program studi bertaraf internasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
— 5.a.Pemberian izin pendirian serta pencabutan izin satuan pendidikan dasar, satuan pendidikan menengah dan satuan/penyelenggara pendidikan nonformal.
— c.Penyelenggaraan dan/atau pengelolaan satuan pendidikan sekolah dasar bertaraf internasional. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d. Ɇ e. Ɇ 6. Pengelolaan dan/atau penyelenggaraan pendidikan tinggi.
Pemantauan dan evaluasi satuan pendidikan bertaraf internasional.
Penyelenggaraan sekolah Indonesia di luar negeri.
Ɇ e. Ɇ 6. Pemberian dukungan sumber daya terhadap penyelenggaraan perguruan tinggi.
Pemantauan dan evaluasi satuan pendidikan bertaraf internasional.
Ɇ d.Pemberian izin pendirian serta pencabutan izin satuan pendidikan dasar dan menengah berbasis keunggulan lokal.
Penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan berbasis keunggulan lokal pada pendidikan dasar dan menengah.
Pemberian dukungan sumber daya terhadap penyelenggaraan perguruan tinggi.
Pemantauan dan evaluasi satuan pendidikan sekolah dasar bertaraf internasional.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Pemberian izin pendirian, pencabutan izin penyelenggaraan, dan pembinaan satuan pendidikan Asing di Indonesia.
a. Pengembangan sistem informasi manajemen pendidikan secara nasional. b. Peremajaan data dalam sistem informasi manajemen pendidikan nasional untuk tingkat nasional.
Ɇ 10. a. Ɇ b. Peremajaan data dalam sistem infomasi manajemen pendidikan nasional untuk tingkat provinsi.
Ɇ 10. a. Ɇ b. Peremajaan data dalam sistem infomasi manajemen pendidikan nasional untuk tingkat kabupaten/kota.
Pembiayaan 1.a.Penetapan pedoman pembiayaan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi, pendidikan nonformal.
a. Ɇ 1.a. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b.Penyediaan bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi sesuai kewenangannya.
Pembiayaan penjaminan mutu satuan pendidikan sesuai kewenangannya.
Penyediaan bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan bertaraf internasional sesuai kewenangannya.
Pembiayaan penjaminan mutu satuan pendidikan sesuai kewenangannya.
Penyediaan bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal sesuai kewenangannya.
Pembiayaan penjaminan mutu satuan pendidikan sesuai kewenangannya.
Kurikulum 1.a. Penetapan kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar dan pendidikan menengah.
Sosialisasi kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
a. Koordinasi dan supervisi pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan menengah.
Sosialisasi kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
a. Koordinasi dan supervisi pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan dasar.
Sosialisasi kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Penetapan standar isi dan standar kompetensi lulusan pendidikan dasar dan menengah, dan sosialisasinya.
a.Pengembangan model kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal.
Sosialisasi dan fasilitasi implementasi kurikulum tingkat satuan pendidikan.
Pengawasan pelaksanaan kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Sosialisasi dan implementasi standar isi dan standar kompetensi lulusan pendidikan menengah.
a. Ɇ b.Sosialisasi dan fasilitasi implementasi kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan menengah.
Pengawasan pelaksanaan kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan menengah.
Sosialisasi dan implementasi standar isi dan standar kompetensi lulusan pendidikan dasar.
a. Ɇ b.Sosialisasi dan fasilitasi implementasi kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan anak usia dini dan pendidikan dasar.
Pengawasan pelaksanaan kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan dasar. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Sarana dan Prasarana 1.a.Monitoring dan evaluasi pelaksanaan dan pemenuhan standar nasional sarana dan prasarana pendidikan.
Pengawasan pendayagunaan bantuan sarana dan prasarana pendidikan.
a.Pengawasan terhadap pemenuhan standar nasional sarana dan prasarana pendidikan menengah.
Pengawasan pendayagunaan bantuan sarana dan prasarana pendidikan.
a. Pengawasan terhadap pemenuhan standar nasional sarana dan prasarana pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal.
Pengawasan pendayagunaan bantuan sarana dan prasarana pendidikan.
a.Penetapan standar dan pengesahan kelayakan buku pelajaran.
Ɇ 2.a. Ɇ b. Pengawasan penggunaan buku pelajaran pendidikan menengah .
a. Ɇ b.Pengawasan penggunaan buku pelajaran pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pendidik dan Tenaga Kependidikan 1.a. Perencanaan kebutuhan dan pengadaan pendidik dan tenaga kependidikan secara nasional.
Ɇ 2. Pemindahan pendidik dan tenaga kependidikan PNS antar provinsi.
a. Perencanaan kebutuhan pendidik dan tenaga kependidikan untuk pendidikan bertaraf internasional sesuai kewenangannya.
Pengangkatan dan penempatan pendidik dan tenaga kependidikan PNS untuk satuan pendidikan bertaraf internasional.
Pemindahan pendidik dan tenaga kependidikan PNS antar kabupaten/kota.
a. Perencanaan kebutuhan pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal sesuai kewenangannya.
Pengangkatan dan penempatan pendidik dan tenaga kependidikan PNS untuk pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal sesuai kewenangannya 2. Pemindahan pendidik dan tenaga kependidikan PNS di kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Peningkatan kesejahteraan, penghargaan, dan perlindungan pendidik dan tenaga kependidikan.
a. Perencanaan kebutuhan, pengangkatan, dan penempatan pendidik dan tenaga kependidikan bagi unit organisasi di lingkungan departemen yang bertanggungjawab di bidang kependidikan.
Pemberhentian pendidik dan tenaga kependidikan PNS karena pelanggaran peraturan perundang- undangan.
Peningkatan kesejahteraan, penghargaan, dan perlindungan pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan bertaraf internasional.
a. Pembinaan dan pengembangan pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan bertaraf internasional.
Pemberhentian pendidik dan tenaga kependidikan PNS pada pendidikan bertaraf internasional selain karena alasan pelanggaran peraturan perundang- undangan 3. Peningkatan kesejahteraan, penghargaan, dan perlindungan pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal.
a. Pembinaan dan pengembangan pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal.
Pemberhentian pendidik dan tenaga kependidikan PNS pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal selain karena alasan pelanggaran peraturan perundang-undangan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Ɇ 6. Sertifikasi pendidik.
Pengalokasian tenaga potensial pendidik dan tenaga kependidikan di daerah.
Ɇ 5. Ɇ 6. Ɇ 6. Pengendalian Mutu Pendidikan 1. Penilaian Hasil Belajar 1. Penetapan pedoman, bahan ujian, pengendalian pemeriksaan, dan penetapan kriteria kelulusan ujian nasional.
Pelaksanaan ujian nasional pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal.
Koordinasi, fasilitasi, monitoring, dan evaluasi pelaksanaan ujian nasional.
Penyediaan blanko ijazah dan/atau sertifikat ujian nasional.
ɔ 2. Membantu pelaksanaan ujian nasional pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal.
Koordinasi, fasilitasi, monitoring, dan evaluasi pelaksanaan ujian sekolah skala provinsi.
Ɇ 1. ɔ 2. Membantu pelaksanaan ujian nasional pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal.
Koordinasi, fasilitasi, monitoring, dan evaluasi pelaksanaan ujian sekolah skala kabupaten/kota.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Penyediaan biaya penyelenggaraan ujian nasional.
Penyediaan biaya penyelenggaraan ujian sekolah skala provinsi.
Penyediaan biaya penyelenggaraan ujian sekolah skala kabupaten/kota.
Evaluasi 1.a.Penetapan pedoman evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang dan jenis pendidikan.
Pelaksanaan evaluasi nasional terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang dan jenis pendidikan.
a.Penetapan pedoman evaluasi pencapaian standar nasional pendidikan.
a. Ɇ b.Pelaksanaan evaluasi pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal skala provinsi.
a. Ɇ 1.a. Ɇ b.Pelaksanaan evaluasi pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal skala kabupaten/kota.
a. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Pelaksanaan evaluasi pencapaian standar nasional pendidikan.
Pelaksanaan evaluasi pencapaian standar nasional pendidikan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal skala provinsi.
Pelaksanaan evaluasi pencapaian standar nasional pendidikan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal skala kabupaten/kota.
Akreditasi 1.a.Penetapan pedoman akreditasi pendidikan jalur pendidikan formal dan non formal.
Pelaksanaan akreditasi pendidikan jalur pendidikan formal dan nonformal.
a. Ɇ b. Membantu pemerintah dalam pelaksanaan akreditasi pendidikan dasar dan menengah.
a. Ɇ b. Membantu pemerintah dalam akreditasi pendidikan nonformal.
Penjaminan Mutu 1. Penetapan pedoman penjaminan mutu satuan pendidikan.
a. Supervisi dan fasilitasi satuan pendidikan dalam pelaksanaan penjaminan mutu untuk memenuhi 1. ɔ 2.a. ɔ 1. ɔ 2.a. Supervisi dan fasilitasi satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA standar nasional pendidikan.
Supervisi dan fasilitasi satuan pendidikan bertaraf internasional dalam penjaminan mutu untuk memenuhi standar internasional.
ɔ d. Evaluasi pelaksanaan dan dampak penjaminan mutu satuan pendidikan skala nasional.
Supervisi dan fasilitasi satuan pendidikan bertaraf internasional dalam penjaminan mutu untuk memenuhi standar internasional.
ɔ d. Evaluasi pelaksanaan dan dampak penjaminan mutu satuan pendidikan skala provinsi. nonformal dalam penjaminan mutu untuk memenuhi standar nasional pendidikan.
Supervisi dan fasilitasi satuan pendidikan bertaraf internasional dalam penjaminan mutu untuk memenuhi standar internasional.
Supervisi dan Fasilitasi satuan pendidikan berbasis keunggulan lokal dalam penjaminan mutu.
Evaluasi pelaksanaan dan dampak penjaminan mutu satuan pendidikan skala kabupaten/kota. B. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KESEHATAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Upaya Kesehatan 1. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit 1. Pengelolaan survailans epidemiologi kejadian luar biasa skala nasional.
Pengelolaan pencegahan dan penanggulangan penyakit menular berpotensial wabah, dan yang merupakan komitmen global skala nasional dan internasional.
Pengelolaan pencegahan dan penanggulangan penyakit tidak menular tertentu skala nasional.
Penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana dan wabah skala nasional.
Penyelenggaraan survailans epidemiologi, penyelidikan kejadian luar biasa skala provinsi.
Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan penyakit menular skala provinsi.
Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan penyakit tidak menular tertentu skala provinsi.
Pengendalian operasional penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana dan wabah skala provinsi.
Penyelenggaraan survailans epidemiologi, penyelidikan kejadian luar biasa skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan penyakit menular skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan penyakit tidak menular tertentu skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan operasional penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana dan wabah skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pengelolaan karantina kesehatan skala nasional. 5. Ɇ 5. Ɇ 2. Lingkungan Sehat 1. Pengelolaan pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan skala nasional.
Ɇ 1. Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan skala provinsi.
Ɇ 1. Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan skala kabupaten/kota.
Penyehatan lingkungan.
Perbaikan Gizi Masyarakat 1. Pengelolaan survailans kewaspadaan pangan dan gizi buruk skala nasional.
a.Pengelolaan penanggulangan gizi buruk skala nasional.
Ɇ 1. Penyelenggaraan survailans gizi buruk skala provinsi.
a.Pemantauan penanggulangan gizi buruk skala provinsi.
Ɇ 1. Penyelenggaraan survailans gizi buruk skala kabupaten/ kota.
a.Penyelenggaraan penanggulangan gizi buruk skala kabupaten/kota.
Perbaikan gizi keluarga dan masyarakat. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pelayanan Kesehatan Perorangan dan Masyarakat 1. Pengelolaan pelayanan kesehatan haji skala nasional.
Pengelolaan upaya kesehatan dan rujukan nasional.
Pengelolaan upaya kesehatan pada daerah perbatasan, terpencil, rawan dan kepulauan skala nasional.
Bimbingan dan pengendalian pelayanan kesehatan haji skala provinsi.
Pengelolaan pelayanan kesehatan rujukan sekunder dan tersier tertentu.
Bimbingan dan pengendalian upaya kesehatan pada daerah perbatasan, terpencil, rawan dan kepulauan skala provinsi.
Penyelenggaraan pelayanan kesehatan haji skala kabupaten/kota.
Pengelolaan pelayanan kesehatan dasar dan rujukan sekunder skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan upaya kesehatan pada daerah perbatasan, terpencil, rawan dan kepulauan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Registrasi, akreditasi, sertifikasi sarana kesehatan sesuai peraturan perundang-undangan.
a.Pemberian izin sarana kesehatan tertentu.
Ɇ 4. Registrasi, akreditasi, sertifikasi sarana kesehatan sesuai peraturan perundang-undangan.
a.Pemberian rekomendasi izin sarana kesehatan tertentu yang diberikan oleh pemerintah.
Pemberian izin sarana kesehatan meliputi rumah sakit pemerintah Kelas B non pendidikan, rumah sakit khusus, rumah sakit swasta serta sarana kesehatan penunjang yang setara.
Registrasi, akreditasi, sertifikasi sarana kesehatan sesuai peraturan perundang-undangan.
a. Pemberian rekomendasi izin sarana kesehatan tertentu yang diberikan oleh pemerintah dan provinsi.
Pemberian izin sarana kesehatan meliputi rumah sakit pemerintah Kelas C, Kelas D, rumah sakit swasta yang setara, praktik berkelompok, klinik umum/spesialis, rumah bersalin, SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA klinik dokter keluarga/dokter gigi keluarga, kedokteran komplementer, dan pengobatan tradisional, serta sarana penunjang yang setara.
Pembiayaan Kesehatan 1. Pembiayaan Kesehatan Masyarakat 1.a.Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria bidang jaminan pemeliharaan kesehatan.
Pengelolaan jaminan pemeliharaan kesehatan nasional.
a.Pengelolaan/penyelenggara an, bimbingan, pengendalian jaminan pemeliharaan kesehatan skala provinsi.
Bimbingan dan pengendalian penyelenggaraan jaminan pemeliharaan kesehatan nasional (Tugas Pembantuan).
a.Pengelolaan/penyelenggara- an, jaminan pemeliharaan kesehatan sesuai kondisi lokal.
Penyelenggaraan jaminan pemeliharaan kesehatan nasional (Tugas Pembantuan). SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Sumber Daya Manusia Kesehatan 1. Peningkatan Jumlah, Mutu dan Penyebaran Tenaga Kesehatan 1. Pengelolaan tenaga kesehatan strategis.
Pendayagunaan tenaga kesehatan makro skala nasional.
Pembinaan dan pengawasan pendidikan dan pelatihan (diklat) dan Training Of Trainer (TOT) tenaga kesehatan skala nasional.
Penempatan tenaga kesehatan strategis, pemindahan tenaga tertentu antar kabupaten/kota skala provinsi.
Pendayagunaan tenaga kesehatan skala provinsi.
Pelatihan diklat fungsional dan teknis skala provinsi.
Pemanfaatan tenaga kesehatan strategis.
Pendayagunaan tenaga kesehatan skala kabupaten/kota.
Pelatihan teknis skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Registrasi, akreditasi, sertifikasi tenaga kesehatan skala nasional sesuai peraturan perundang- undangan.
Pemberian izin tenaga kesehatan asing sesuai peraturan perundang-undangan.
Registrasi, akreditasi, sertifikasi tenaga kesehatan tertentu skala provinsi sesuai peraturan perundang-undangan.
Pemberian rekomendasi izin tenaga kesehatan asing.
Registrasi, akreditasi, sertifikasi tenaga kesehatan tertentu skala kabupaten/kota sesuai peraturan perundang- undangan.
Pemberian izin praktik tenaga kesehatan tertentu.
Obat dan Perbekalan Kesehatan 1. Ketersediaan, Pemerataan, Mutu Obat dan Keterjangkauan Harga Obat Serta Perbekalan Kesehatan 1. Penyediaan dan pengelolaan bufferstock obat nasional, alat kesehatan tertentu, reagensia tertentu dan vaksin tertentu skala nasional.
Penyediaan dan pengelolaan bufferstock obat provinsi, alat kesehatan, reagensia dan vaksin lainnya skala provinsi.
Penyediaan dan pengelolaan obat pelayanan kesehatan dasar, alat kesehatan, reagensia dan vaksin skala kabupaten/kota SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2.a.Registrasi, akreditasi, sertifikasi komoditi kesehatan sesuai peraturan perundang-undangan.
— c.— d.— 3.a.Pemberian izin industri komoditi kesehatan, alat kesehatan dan Pedagang Besar Farmasi (PBF).
a.Sertifikasi sarana produksi dan distribusi alat kesehatan, Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT) Kelas II.
— c.— d.— 3.a.Pemberian rekomendasi izin industri komoditi kesehatan, PBF dan Pedagang Besar Alat Kesehatan (PBAK).
a.Pengambilan sampling/contoh sediaan farmasi di lapangan.
Pemeriksaan setempat sarana produksi dan distribusi sediaan farmasi.
Pengawasan dan registrasi makanan minuman produksi rumah tangga.
Sertifikasi alat kesehatan dan PKRT Kelas I.
a.Pemberian rekomendasi izin PBF Cabang, PBAK dan Industri Kecil Obat Tradisional (IKOT). SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Ɇ b.Pemberian izin PBF Cabang dan IKOT. b.Pemberian izin apotik, toko obat.
Pemberdayaan Masyarakat 1. Pemberdayaan Individu, Keluarga dan Masyarakat Berperilaku Hidup Sehat dan Pengembangan Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) 1. Pengelolaan promosi kesehatan skala nasional. 1. Penyelenggaraan promosi kesehatan skala provinsi. 1. Penyelenggaraan promosi kesehatan skala kabupaten/kota.
Manajemen Kesehatan 1. Kebijakan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria bidang kesehatan.
Bimbingan dan pengendalian norma, standar, prosedur, dan kriteria bidang kesehatan.
Penyelenggaraan, bimbingan dan pengendalian operasionalisasi bidang kesehatan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Penelitian dan Pengembangan Kesehatan 1.a.Pengelolaan penelitian dan pengembangan kesehatan strategis dan terapan, serta penapisan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) kesehatan skala nasional.
Ɇ c. Ɇ 1.a.Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan kesehatan yang mendukung perumusan kebijakan provinsi.
Pengelolaan survei kesehatan daerah (surkesda) skala provinsi.
Pemantauan pemanfaatan Iptek kesehatan skala provinsi.
a.Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan kesehatan yang mendukung perumusan kebijakan kabupaten/kota.
Pengelolaan surkesda skala kabupaten/kota.
Implementasi penapisan Iptek di bidang pelayanan kesehatan skala kabupaten/kota.
Kerjasama Luar Negeri 1. Pengelolaan kerjasama luar negeri di bidang kesehatan skala nasional.
Penyelenggaraan kerjasama luar negeri skala provinsi. 1. Penyelenggaraan kerjasama luar negeri skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas 1. Pembinaan, monitoring, evaluasi dan pengawasan skala nasional.
Pembinaan, monitoring, evaluasi dan pengawasan skala provinsi.
Pembinaan, monitoring, evaluasi dan pengawasan skala kabupaten/kota.
Pengembangan Sistem Informasi Kesehatan (SIK) 1. Pengelolaan dan pengembangan SIK skala nasional dan fasilitasi pengembangan sistem informasi kesehatan daerah.
Pengelolaan SIK skala provinsi. 1. Pengelolaan SIK skala kabupaten/kota. C. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PEKERJAAN UMUM SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Sumber Daya Air 1. Pengaturan 1. Penetapan kebijakan nasional sumber daya air. 1. Penetapan kebijakan pengelolaan sumber daya air provinsi.
Penetapan kebijakan pengelolaan sumber daya air kabupaten/kota.
Penetapan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional.
Penetapan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota.
Penetapan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota.
Penetapan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional.
Penetapan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai kabupaten/kota.
Penetapan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota.
Penetapan dan pengelolaan kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional.
Penetapan dan pengelolaan kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota.
Penetapan dan pengelolaan kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pembentukan Dewan Sumber Daya Air Nasional, wadah koordinasi sumber daya air wilayah sungai lintas provinsi, dan wadah koordinasi sumber daya air wilayah sungai strategis nasional.
Pembentukan wadah koordinasi sumber daya air di tingkat provinsi dan/atau pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota.
Pembentukan wadah koordinasi sumber daya air di tingkat kabupaten/kota dan/atau pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota.
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) pengelolaan sumber daya air.
— 6. — 7. Penetapan wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota, wilayah sungai lintas kabupaten/kota, wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional.
— 7. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Penetapan status daerah irigasi yang sudah dibangun yang menjadi wewenang dan tanggung jawab Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.
— 8. — 9. Pengesahan pembentukan komisi irigasi antar provinsi 9. Pembentukan komisi irigasi provinsi dan pengesahan pembentukan komisi irigasi antar kabupaten/kota.
Pembentukan komisi irigasi kabupaten/kota 2. Pembinaan 1. Penetapan dan pemberian izin atas penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional.
Penetapan dan pemberian izin atas penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota.
Penetapan dan pemberian izin atas penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Penetapan dan pemberian rekomendasi teknis atas penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan air tanah pada cekungan air tanah lintas provinsi dan cekungan air tanah lintas negara.
Penetapan dan pemberian rekomendasi teknis atas penyediaan, pengambilan, peruntukan, penggunaan dan pengusahaan air tanah pada cekungan air tanah lintas kabupaten/kota.
Penetapan dan pemberian izin penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan air tanah.
Menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional.
Menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota.
Menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota.
Pemberian bantuan teknis dalam pengelolaan sumber daya air kepada provinsi dan kabupaten/kota.
Pemberian bantuan teknis dalam pengelolaan sumber daya air kepada kabupaten/kota.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Fasilitasi penyelesaian sengketa antar provinsi dalam pengelolaan sumber daya air.
Fasilitasi penyelesaian sengketa antar kabupaten/kota dalam pengelolaan sumber daya air.
— 6. Pemberian izin pembangunan, pemanfaatan, pengubahan, dan/atau pembongkaran bangunan dan/atau saluran irigasi pada jaringan irigasi primer dan sekunder dalam daerah irigasi lintas provinsi, daerah irigasi lintas negara, dan daerah irigasi strategis nasional.
Pemberian izin pembangunan, pemanfaatan, pengubahan, dan/atau pembongkaran bangunan dan/atau saluran irigasi pada jaringan irigasi primer dan sekunder dalam daerah irigasi lintas kabupaten/kota.
Pemberian izin pembangunan, pemanfaatan, pengubahan, dan/atau pembongkaran bangunan dan/atau saluran irigasi pada jaringan irigasi primer dan sekunder dalam daerah irigasi yang berada dalam satu kabupaten/kota.
Pemberdayaan para pemilik kepentingan dalam pengelolaan sumber daya air tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.
Pemberdayaan para pemilik kepentingan dalam pengelolaan sumber daya air tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Pemberdayaan para pemilik kepentingan dalam pengelolaan sumber daya air tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Pemberdayaan kelembagaan sumber daya air tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota.
Pemberdayaan kelembagaan sumber daya air tingkat provinsi dan kabupaten/ kota.
Pemberdayaan kelembagaan sumber daya air tingkat kabupaten/kota.
Pembangunan/ Pengelolaan 1. Konservasi sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional.
Konservasi sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota.
Konservasi sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota.
Pendayagunaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi,wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional.
Pendayagunaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota.
Pendayagunaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota.
Pengendalian daya rusak air yang berdampak skala nasional.
Pengendalian daya rusak air yang berdampak skala provinsi.
Pengendalian daya rusak air yang berdampak skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan sistem informasi sumber daya air tingkat nasional.
Penyelenggaraan sistem informasi sumber daya air tingkat provinsi.
Penyelenggaraan sistem informasi sumber daya air tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pembangunan dan peningkatan sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi lintas provinsi, daerah irigasi lintas negara, dan daerah irigasi strategis nasional.
Pembangunan dan peningkatan sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi lintas kabupaten/kota.
Pembangunan dan peningkatan sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi dalam satu kabupaten/kota.
Operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi yang luasnya lebih dari 3.000 ha atau pada daerah irigasi lintas provinsi, daerah irigasi lintas negara, dan daerah irigasi strategis nasional.
Operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi yang luasnya 1.000 ha sampai dengan 3.000 ha atau pada daerah irigasi yang bersifat lintas kabupaten/kota.
Operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi dalam satu kabupaten/kota yang luasnya kurang dari 1.000 ha.
Operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi pada sungai, danau, waduk dan pantai pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara dan wilayah sungai strategis nasional.
Operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi pada sungai, danau, waduk dan pantai pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota.
Operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi pada sungai, danau, waduk dan pantai pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pengawasan dan Pengendalian 1. Pengawasan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional.
Pengawasan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota.
Pengawasan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam kabupaten/kota.
Bina Marga 1. Pengaturan 1. Pengaturan jalan secara umum:
Pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya.
Perumusan kebijakan perencanaan.
Pengendalian penyelenggaraan jalan secara makro.
— a. — b. — c. — 1. — a. — b. — c. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria pengaturan jalan.
Pengaturan jalan nasional:
— b.— d. — 2. Pengaturan jalan provinsi:
Perumusan kebijakan penyelenggaraan jalan provinsi berdasarkan kebijakan nasional di bidang jalan.
Penyusunan pedoman operasional penyelenggaraan jalan provinsi dengan memperhatikan keserasian antar wilayah provinsi.
— 2. Pengaturan jalan kabupaten/kota:
Perumusan kebijakan penyelenggaraan jalan kabupaten/desa dan jalan kota berdasarkan kebijakan nasional di bidang jalan dengan memperhatikan keserasian antar daerah dan antar kawasan.
Penyusunan pedoman operasional penyelenggaraan jalan kabupaten/desa dan jalan kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c.Penetapan fungsi jalan arteri dan jalan kolektor yang menghubungkan antar ibukota provinsi dalam sistem jaringan jalan primer.
Penetapan status jalan nasional.
Penyusunan perencanaan umum dan pembiayaan jaringan jalan nasional.
Penetapan fungsi jalan dalam sistem jaringan jalan sekunder dan jalan kolektor yang menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten, antar ibukota kabupaten, jalan lokal, dan jalan lingkungan dalam sistem jaringan jalan primer.
Penetapan status jalan provinsi.
Penyusunan perencanaan umum dan pembiayaan jaringan jalan provinsi.
— d.Penetapan status jalan kabupaten/desa dan jalan kota.
Penyusunan perencanaan umum dan pembiayaan jaringan jalan kabupaten/desa dan jalan kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pengaturan jalan tol:
Perumusan kebijakan perencanaan, penyusunan perencanaan umum, penetapan ruas jalan tol dan pembentukan peraturan perundang- undangan.
Pemberian rekomendasi tarif awal dan penyesuaiannya, serta pengambilalihan jalan tol pada akhir masa konsesi dan pemberian rekomendasi pengoperasian selanjutnya.
— a.— b.— 3. — a.— b.— 2. Pembinaan 1. Pembinaan jalan secara umum dan jalan nasional:
Pengembangan sistem bimbingan, penyuluhan serta pendidikan dan pelatihan di bidang jalan.
Pembinaan jalan provinsi:
— 1. Pembinaan jalan kabupaten/kota:
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Pemberian bimbingan, penyuluhan dan pelatihan para aparatur di bidang jalan.
Pengkajian serta penelitian dan pengembangan teknologi bidang jalan dan yang terkait.
Pemberian fasilitasi penyelesaian sengketa antar provinsi dalam penyelenggaraan jalan.
Penyusunan dan penetapan norma, standar, kriteria dan pedoman pembinaan jalan.
Pemberian bimbingan penyuluhan serta pendidikan dan pelatihan para aparatur penyelenggara jalan provinsi dan aparatur penyelenggara jalan kabupaten/kota.
Pengkajian serta penelitian dan pengembangan teknologi bidang jalan untuk jalan provinsi.
Pemberian fasilitasi penyelesaian sengketa antar kabupaten/kota dalam penyelenggaraan jalan.
— b. Pemberian bimbingan penyuluhan serta pendidikan dan pelatihan para aparatur penyelenggara jalan kabupaten/desa dan jalan kota.
— d. — e. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA f. — 2. Pengembangan teknologi terapan di bidang jalan untuk jalan kabupaten/kota.
Pembinaan jalan tol: Penyusunan pedoman dan standar teknis, pelayanan, pemberdayaan serta penelitian dan pengembangan.
— 2. Pengembangan teknologi terapan di bidang jalan untuk jalan kabupaten/desa dan jalan kota.
— f. Pemberian izin, rekomendasi, dispensasi dan pertimbangan pemanfaatan ruang manfaat jalan, ruang milik jalan, dan ruang pengawasan jalan.
Pengembangan teknologi terapan di bidang jalan untuk jalan kabupaten/desa dan jalan kota.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pembangunan dan Pengusahaan 1. Pembangunan jalan nasional:
Pembiayaan pembangunan jalan nasional.
Perencanaan teknis, pemrograman dan penganggaran, pengadaan lahan, serta pelaksanaan konstruksi jalan nasional.
Pengoperasian dan pemeliharaan jalan nasional.
Pengembangan dan pengelolaan sistem manajemen jalan nasional.
Pembangunan jalan provinsi:
Pembiayaan pembangunan jalan provinsi.
Perencanaan teknis, pemrograman dan penganggaran, pengadaan lahan, serta pelaksanaan konstruksi jalan provinsi.
Pengoperasian dan pemeliharaan jalan provinsi.
Pengembangan dan pengelolaan sistem manajemen jalan provinsi.
Pembangunan jalan kabupaten/kota:
Pembiayaan pembangunan jalan kabupaten/desa dan jalan kota.
Perencanaan teknis, pemrograman dan penganggaran, pengadaan lahan, serta pelaksanaan konstruksi jalan kabupaten/desa dan jalan kota.
Pengoperasian dan pemeliharaan jalan kabupaten/desa dan jalan kota.
Pengembangan dan pengelolaan manajemen jalan kabupaten desa dan jalan kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pengusahaan jalan tol:
Pengaturan pengusahaan jalan tol meliputi kegiatan pendanaan, perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi, pengoperasian, dan/atau pemeliharaan.
Persiapan pengusahaan jalan tol, pengadaan investasi dan pemberian fasilitas pembebasan tanah.
— a. — b. — 2. — a. — b. — 4. Pengawasan 1. Pengawasan jalan secara umum:
Evaluasi dan pengkajian pelaksanaan kebijakan penyelengaraan jalan.
— a. — 1. — a. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Pengendalian fungsi dan manfaat hasil pembangunan jalan.
Pengawasan jalan nasional:
Evaluasi kinerja penyelenggaraan jalan nasional.
Pengendalian fungsi dan manfaat hasil pembangunan jalan nasional.
Pengawasan jalan tol:
Pemantauan dan evaluasi pengaturan dan pembinaan jalan tol.
— 2. Pengawasan jalan provinsi:
Evaluasi kinerja penyelenggaraan jalan provinsi.
Pengendalian fungsi dan manfaat hasil pembangunan jalan provinsi.
— a. — b. — 2. Pengawasan jalan kabupaten/kota:
Evaluasi kinerja penyelenggaraan jalan kabupaten/desa dan jalan kota.
Pengendalian fungsi dan manfaat hasil pembangunan jalan kabupaten/desa dan jalan kota.
— a. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Pemantauan dan evaluasi pengusahaan jalan tol dan terhadap pelayanan jalan tol.
— b. — 1. Pengaturan 1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional pembangunan perkotaan dan perdesaan .
Penetapan kebijakan dan strategi wilayah provinsi dalam pembangunan perkotaan dan perdesaan (mengacu kebijakan nasional).
Penetapan kebijakan dan strategi pembangunan perkotaan dan perdesaan wilayah kabupaten/kota (mengacu kebijakan nasional dan provinsi).
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengembangan perkotaan dan perdesaan.
Penetapan peraturan daerah provinsi mengenai pengembangan perkotaan dan perdesaan mengacu NSPK nasional.
Penetapan peraturan daerah kabupaten/kota mengenai pengembangan perkotaan dan perdesaan berdasarkan NSPK.
Perkotaan dan Perdesaan 2. Pembinaan 1. Fasilitasi peningkatan kapasitas manajemen pembangunan dan pengelolaan Prasarana dan Sarana (PS) perkotaan dan pedesaan tingkat nasional.
Fasilitasi peningkatan kapasitas manajemen pembangunan dan pengelolaan PS perkotaan dan pedesaan tingkat provinsi.
Fasilitasi peningkatan kapasitas manajemen pembangunan dan pengelolaan PS perkotaan dan pedesaan tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Fasilitasi pemberdayaan masyarakat dan dunia usaha dalam pembangunan perkotaan dan perdesaan secara nasional.
Fasilitasi pemberdayaan masyarakat dan dunia usaha dalam pembangunan perkotaan dan perdesaan di wilayah provinsi.
Pemberdayaan masyarakat dan dunia usaha dalam pembangunan perkotaan dan perdesaan di wilayah kabupaten/kota.
Pembangunan 1. Fasilitasi perencanaan program pembangunan sarana dan prasarana perkotaan dan perdesaan jangka panjang dan jangka menengah.
Fasilitasi kerjasama/kemitraan tingkat nasional antara pemerintah/daerah dalam pengelolaan dan pembangunan sarana dan prasarana perkotaan dan perdesaan.
Fasilitasi penyiapan program pembangunan sarana dan prasarana perkotaan dan perdesaan jangka panjang dan jangka menengah kota/kabupaten di wilayah.
Fasilitasi kerjasama/ kemitraan antara pemerintah/daerah dalam pengelolaan dan pembangunan sarana dan prasarana perkotaan dan perdesaan di lingkungan provinsi.
Penyiapan program pembangunan sarana dan prasarana perkotaan dan perdesaan jangka panjang dan jangka menengah kabupaten/kota dengan mengacu pada RPJP dan RPJM nasional dan provinsi.
Penyelenggaraan kerjasama/ kemitraan antara pemerintah daerah/dunia usaha/ masyarakat dalam pengelolaan dan pembangunan sarana dan prasarana perkotaan dan perdesaan di lingkungan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penyelenggaraan pembangunan PS perkotaan dan perdesaan di kawasan strategis nasional.
— 3. Penyelenggaraan pembangunan PS perkotaan dan perdesaan lintas kabupaten/kota di lingkungan wilayah provinsi.
Fasilitasi pembentukan lembaga/badan pengelola pembangunan perkotaan dan perdesaan lintas kabupaten/kota.
Penyelenggaraan pembangunan PS perkotaan dan perdesaan di wilayah kabupaten/kota 4. Pembentukan lembaga/badan pengelola pembangunan perkotaan dan perdesaan di kabupaten/kota.
Pengawasan dan pengendalian program pembangunan dan pengelolaan kawasan perkotaan dan perdesaan secara nasional.
Pengawasan dan pengendalian terhadap pembangunan dan pengelolaan kawasan perkotaan dan perdesaan di provinsi.
Pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan kawasan perkotaan dan perdesaan di kabupaten/kota.
Pengawasan 2. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK. 2. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK 2. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Air Minum 1. Pengaturan 1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional pengembangan pelayanan air minum.
Penetapan peraturan daerah provinsi mengenai kebijakan dan strategi pengembangan air minum lintas kabupaten/kota di wilayahnya.
Penetapan peraturan daerah kabupaten/kota mengenai kebijakan dan strategi pengembangan air minum di daerah kabupaten/kota.
Pembentukan Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (BPP-SPAM).
— 2. — 3. Penetapan BUMN penyelenggara SPAM lintas provinsi.
Penetapan BUMD provinsi sebagai penyelenggara SPAM lintas kabupaten/kota.
Penetapan BUMD sebagai penyelenggara SPAM di kabupaten/kota.
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pelayanan PS air minum secara nasional termasuk penetapan Standar Pelayanan Minimal (SPM).
Penetapan peraturan daerah NSPK pelayanan PS air minum berdasarkan SPM yang disusun pemerintah.
Penetapan peraturan daerah NSPK pelayanan PS air minum berdasarkan SPM yang disusun pemerintah dan provinsi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Memberikan izin penyelenggaraan pelayanan PS air minum lintas provinsi.
Memberikan izin penyelenggaraan untuk lintas kabupaten/kota.
Memberikan izin penyelenggaraan pengembangan SPAM di wilayahnya.
Penentuan alokasi air baku untuk kebutuhan pengembangan SPAM.
— 6. — 2. Pembinaan 1. Fasilitasi penyelesaian masalah dan permasalahan antar provinsi, yang bersifat khusus, strategis, baik yang bersifat nasional maupun internasional.
Penyelesaian masalah dan permasalahan yang bersifat lintas kabupaten/kota.
Penyelesaian masalah dan permasalahannya di dalam wilayah kabupaten/kota.
Fasilitasi peningkatan kapasitas teknis dan manajemen pelayanan air minum secara nasional.
Peningkatan kapasitas teknis dan manajemen pelayanan air minum di lingkungan wilayah provinsi.
Peningkatan kapasitas teknis dan manajemen pelayanan air minum di wilayah kabupaten/kota termasuk kepada Badan Pengusahaan Pelayanan (operator) BUMD. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan standar kompetensi teknis SDM untuk kelompok ahli dan terampil bidang air minum.
— 3. — 3. Pembangunan 1. Fasilitasi pemenuhan kebutuhan air baku untuk kebutuhan pengembangan SPAM secara nasional.
Penetapan kebutuhan air baku untuk kebutuhan pengembangan SPAM di lingkungan wilayah provinsi.
Penetapan pemenuhan kebutuhan air baku untuk kebutuhan pengembangan SPAM di wilayah kabupaten/kota.
— 2. — 2. Pengembangan SPAM di wilayah kabupaten/kota untuk pemenuhan SPM.
Fasilitasi penyelenggaraan bantuan teknis penyelenggaraan pengembangan SPAM secara nasional.
Fasilitasi penyelenggaraan (bantuan teknis) penyelenggaraan pengembangan SPAM di wilayah provinsi.
Fasilitasi penyelenggaraan (bantuan teknis) kepada kecamatan, pemerintah desa, serta kelompok masyarakat di wilayahnya dalam penyelenggaraan pengembangan SPAM. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Penyusunan rencana induk pengembangan SPAM wilayah pelayanan lintas provinsi.
Penyusunan rencana induk pengembangan SPAM wilayah pelayanan lintas kabupaten/kota setelah berkoordinasi dengan daerah kabupaten/kota.
Penyusunan rencana induk pengembangan SPAM wilayah administrasi kabupaten/kota.
Fasilitasi penyediaan prasarana dan sarana air minum dalam rangka kepentingan strategis nasional.
Penyediaan PS air minum untuk daerah bencana dan daerah rawan air skala provinsi.
Penyediaan PS air minum untuk daerah bencana dan daerah rawan air skala kabupaten/kota.
Penanganan bencana alam tingkat nasional. 6. Penanganan bencana alam tingkat provinsi 6. Penanganan bencana alam tingkat kabupaten/kota.
Pengawasan 1. Pengawasan terhadap seluruh tahapan penyelenggaraan pengembangan SPAM secara nasional.
Pengawasan terhadap seluruh tahapan penyelenggaraan pengembangan SPAM yang berada di wilayah provinsi.
Pengawasan terhadap seluruh tahapan penyelenggaraan pengembangan SPAM yang berada di wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Evaluasi kinerja pelayanan penyelenggaraan pengembangan SPAM secara nasional.
Evaluasi kinerja pelayanan air minum di lingkungan wilayah provinsi.
Evaluasi terhadap penyelenggaraan pengembangan SPAM yang utuh di wilayahnya.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.
Pengaturan 1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional pengembangan PS air limbah.
Penetapan peraturan daerah kebijakan pengembangan PS air limbah di wilayah provinsi mengacu pada kebijakan nasional.
Penetapan peraturan daerah kebijakan pengembangan PS air limbah di wilayah kabupaten/kota mengacu pada kebijakan nasional dan provinsi.
Air Limbah 2. Pembentukan lembaga penyelenggara pelayanan PS air limbah lintas provinsi.
Pembentukan lembaga tingkat provinsi sebagai penyelenggara PS air limbah di wilayah provinsi.
Pembentukan lembaga tingkat kabupaten/kota sebagai penyelenggara PS air limbah di wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pelayanan PS air limbah secara nasional termasuk SPM.
Penetapan peraturan daerah NSPK berdasarkan SPM yang ditetapkan oleh pemerintah.
Penetapan peraturan daerah berdasarkan NSPK yang ditetapkan oleh pemerintah dan provinsi.
Memberikan izin penyelenggaraan PS air limbah yang bersifat lintas provinsi.
Memberikan izin penyelenggaraan PS air limbah lintas kabupaten/kota.
Memberikan izin penyelenggaraan PS air limbah di wilayah kabupaten/kota.
Penetapan standar kompetensi teknis SDM untuk kelompok ahli dan terampil bidang air limbah.
— 5. — 2. Pembinaan 1. Fasilitasi penyelesaian permasalahan antar provinsi yang bersifat khusus, strategis baik yang bersifat nasional maupun internasional.
Fasilitasi penyelesaian masalah yang bersifat lintas kabupaten/kota.
Penyelesaian masalah pelayanan di lingkungan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Fasilitasi peran serta dunia usaha tingkat nasional dalam penyelenggaraan pengembangan PS air limbah.
Fasilitasi peran serta dunia usaha dan masyarakat dalam penyelenggaraan pengembangan PS air limbah kabupaten/kota.
Pelaksanaan kerjasama dengan dunia usaha dan masyarakat dalam penyelenggaraan pengembangan PS air limbah kabupaten/kota.
Fasilitasi penyelenggaraan (bantek) pengembangan PS air limbah.
Fasilitasi penyelenggaraan (bantek) pengembangan PS air limbah lintas kabupaten/kota.
Penyelenggaraan (bantek) pada kecamatan, pemerintah desa, serta kelompok masyarakat di wilayahnya dalam penyelenggaraan PS air limbah.
Pembangunan 1. Fasilitasi pengembangan PS air limbah skala kota untuk kota-kota metropolitan dan kota besar dalam rangka kepentingan strategis nasional.
Fasilitasi pengembangan PS air limbah lintas kabupaten/kota di wilayah provinsi.
Penyelenggaraan pembangunan PS air limbah untuk daerah kabupaten/kota dalam rangka memenuhi SPM. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Penyusunan rencana induk pengembangan PS air limbah lintas provinsi.
Penyusunan rencana induk pengembangan PS air limbah lintas kabupaten/kota.
Penyusunan rencana induk pengembangan PS air limbah kabupaten/kota.
Penanganan bencana alam tingkat nasional. 3. Penanganan bencana alam tingkat provinsi. 3. Penanganan bencana alam tingkat lokal (kabupaten/kota).
Pengawasan 1. Pengendalian dan pengawasan atas penyelenggaraan pengembangan PS air limbah.
Melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan PS air limbah di wilayahnya.
Monitoring penyelenggaraan PS air limbah di kabupaten/kota.
Evaluasi atas kinerja pengelolaan PS air limbah secara nasional.
Evaluasi atas kinerja pengelolaan PS air limbah di wilayah provinsi lintas kabupaten/kota.
Evaluasi terhadap penyelenggaraan pengembangan air limbah di kabupaten/kota.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan SPM. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Pengaturan 1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional pengembangan PS persampahan.
Penetapan peraturan daerah kebijakan pengembangan PS persampahan lintas kabupaten/kota di wilayah provinsi mengacu pada kebijakan nasional.
Penetapan peraturan daerah kebijakan pengembangan PS persampahan di kabupaten/kota mengacu pada kebijakan nasional dan provinsi.
Penetapan lembaga tingkat nasional penyelenggara pengelolaan persampahan (bila diperlukan).
Penetapan lembaga tingkat provinsi penyelenggara pengelolaan persampahan lintas kabupaten/kota di wilayah provinsi.
Penetapan lembaga tingkat kabupaten/kota penyelenggara pengelolaan persampahan di wilayah kabupaten/kota.
Penetapan NSPK pengelolaan persampahan secara nasional termasuk SPM.
Penetapan peraturan daerah NSPK pengelolaan persampahan mengacu kepada SPM yang ditetapkan oleh pemerintah.
Penetapan peraturan daerah berdasarkan NSPK yang ditetapkan oleh pemerintah dan provinsi.
Persampahan 4. Memberikan izin penyelenggara pengelolaan persampahan lintas provinsi.
Memberikan izin penyelenggara pengelolaan persampahan lintas kabupaten/kota.
Pelayanan perizinan dan pengelolaan persampahan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pembinaan 1. Fasilitasi penyelesaian masalah dan permasalahan antar provinsi.
Fasilitasi penyelesaian masalah dan permasalahan antar kabupaten/kota.
— 2. Peningkatan kapasitas manajemen dan fasilitasi kerjasama pemda/dunia usaha dan masyarakat dalam penyelenggaraan pengembangan PS persampahan.
Peningkatan kapasitas manajemen dan fasilitasi kerjasama pemda/dunia usaha dan masyarakat dalam penyelenggaraan pengembangan PS persampahan lintas kabupaten/kota.
Peningkatan kapasitas manajemen dan fasilitasi kerjasama dunia usaha dan masyarakat dalam penyelenggaraan pengembangan PS persampahan kabupaten/kota.
Fasilitasi bantuan teknis penyelenggaraan pengembangan PS persampahan.
Memberikan bantuan teknis dan pembinaan lintas kabupaten/kota.
Memberikan bantuan teknis kepada kecamatan, pemerintah desa, serta kelompok masyarakat di kabupaten/kota.
Pembangunan 1. Fasilitasi penyelenggaraan dan pembiayaan pembangunan PS persampahan secara nasional (lintas provinsi).
Fasilitasi penyelenggaraan dan pembiayaan pembangunan PS persampahan secara nasional di wilayah provinsi.
Penyelengaraan dan pembiayaan pembangunan PS persampahan di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Penyusunan rencana induk pengembangan PS persampahan lintas provinsi.
Penyusunan rencana induk pengembangan PS persampahan lintas kabupaten/kota.
Penyusunan rencana induk pengembangan PS persampahan kabupaten/kota.
Pengawasan 1. Pengawasan dan pengendalian pengembangan persampahan secara nasional.
Pengawasan dan pengendalian pengembangan persampahan di wilayah provinsi.
Pengawasan terhadap seluruh tahapan pengembangan persampahan di wilayah kabupaten/kota.
Evaluasi kinerja penyelenggaraan PS persampahan secara nasional.
Evaluasi kinerja penyelenggaraan yang bersifat lintas kabupaten/kota.
Evaluasi kinerja penyelenggaraan di wilayah kabupaten/kota.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Pengaturan 1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan drainase dan pematusan genangan.
Penetapan peraturan daerah kebijakan dan strategi provinsi berdasarkan kebijakan dan strategi nasional.
Penetapan peraturan daerah kebijakan dan strategi kabupaten/kota berdasarkan kebijakan nasional dan provinsi.
Penetapan NSPK penyelenggaraan drainase dan pematusan genangan.
Penetapan peraturan daerah NSPK provinsi berdasarkan SPM yang ditetapkan oleh pemerintah di wilayah provinsi.
Penetapan peraturan daerah NSPK drainase dan pematusan genangan di wilayah kabupaten/kota berdasarkan SPM yang disusun pemerintah pusat dan provinsi.
Pembinaan 1. Fasilitasi bantuan teknis pembangunan, pemeliharaan dan pengelolaan drainase.
Bantuan teknis pembangunan, pemeliharaan dan pengelolaan).
— 7. Drainase 2. Peningkatan kapasitas teknik dan manajemen penyelenggara drainase dan pematusan genangan secara nasional.
Peningkatan kapasitas teknik dan manajemen penyelenggara drainase dan pematusan genangan di wilayah provinsi.
Peningkatan kapasitas teknik dan manajemen penyelenggara drainase dan pematusan genangan di wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pembangunan 1. Fasilitasi penyelesaian masalah dan permasalahan operasionalisasi sistem drainase dan penanggulangan banjir lintas provinsi.
Fasilitasi penyelesaian masalah dan permasalahan operasionalisasi sistem drainase dan penanggulangan banjir lintas kabupaten/kota.
Penyelesaian masalah dan permasalahan operasionalisasi sistem drainase dan penanggulangan banjir di wilayah kabupaten/kota serta koordinasi dengan daerah sekitarnya.
Fasilitasi penyelenggaraan pembangunan dan pemeliharaan PS drainase dan pengendalian banjir di kawasan khusus dan strategis nasional.
Fasilitasi penyelenggaraan pembangunan dan pemeliharaan PS drainase di wilayah provinsi.
Penyelenggaraan pembangunan dan pemeliharaan PS drainase di wilayah kabupaten/kota.
Fasilitasi penyusunan rencana induk penyelenggaraan prasarana sarana drainase dan pengendalian banjir skala nasional.
Penyusunan rencana induk PS drainase skala regional/lintas daerah.
Penyusunan rencana induk PS drainase skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pengawasan 1. Evaluasi kinerja penyelenggaraan sistem drainase dan pengendali banjir secara nasional.
Evaluasi di provinsi terhadap penyelenggaraan sistem drainase dan pengendali banjir di wilayah provinsi.
Evaluasi terhadap penyelenggaraan sistem drainase dan pengendali banjir di wilayah kabupaten/kota.
Pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan drainase dan pengendalian banjir secara lintas provinsi.
Pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan drainase dan pengendalian banjir lintas kabupaten/kota.
Pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan drainase dan pengendalian banjir di kabupaten/kota.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Permukiman 1. Kawasan Siap Bangun (Kasiba) dan Lingkungan Siap Bangun (Lisiba) yang berdiri sendiri:
Pengaturan 1. Penetapan kebijakan teknis Kasiba dan Lisiba nasional. 1. Penetapan peraturan daerah kebijakan dan strategi Kasiba/Lisiba di wilayah provinsi.
Penetapan peraturan daerah kebijakan dan strategi Kasiba/Lisiba di wilayah kabupaten/kota.
Penyusunan NSPK Kasiba dan Lisiba secara nasional. 2. Penetapan Peraturan Daerah NSPK Kasiba dan Lisiba di wilayah provinsi.
Penetapan Peraturan Daerah NSPK Kasiba dan Lisiba di wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan 1. Fasilitasi peningkatan kapasitas daerah dalam pembangunan Kasiba dan Lisiba.
Fasilitasi peningkatan kapasitas manajemen dalam pembangunan Kasiba dan Lisiba.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Fasilitasi penyelesaian masalah Kasiba/Lisiba yang terkait dengan pelaksanaan kebijakan nasional.
Fasilitasi penyelesaian pembangunan Kasiba/Lisiba antar kabupaten/kota.
— c.Pembangunan 1. Fasilitasi penyelenggaraan pembangunan Kasiba/Lisiba strategis nasional.
Fasilitasi penyelenggaraan pembangunan Kasiba/Lisiba lintas kabupaten/kota.
Penyelenggaraan pembangunan Kasiba/Lisiba di kabupaten/kota.
Fasilitasi kerjasama swasta, masyarakat tingkat nasional dalam pembangunan Kasiba/Lisiba.
Fasilitasi kerjasama swasta, masyarakat tingkat nasional dalam pembangunan Kasiba/Lisiba lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan kerjasama swasta, masyarakat tingkat nasional dalam pembangunan Kasiba/Lisiba.
— 3. Penetapan izin lokasi Kasiba/Lisiba lintas kabupaten/kota.
Penetapan izin lokasi Kasiba/Lisiba di kabupaten/kota.
Pengawasan 1. Pengawasan dan pengendalian kebijakan nasional penyelenggaraan Kasiba dan Lisiba.
Pengawasan pelaksanaan kelayakan program Kasiba dan Lisiba di provinsi.
Pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan Kasiba dan Lisiba di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Evaluasi kebijakan nasional penyelenggaraan pembangunan Kasiba dan Lisiba.
Evaluasi penyelenggaraan pembangunan Kasiba dan Lisiba di provinsi.
Evaluasi penyelenggaraan pembangunan Kasiba dan Lisiba di kabupaten/kota.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK di provinsi.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK di kabupaten/kota.
Permukiman Kumuh/ Nelayan:
Pengaturan 1. Penetapan kebijakan nasional tentang penanggulangan permukiman kumuh perkotaan dan nelayan.
— 1. Penetapan peraturan daerah kebijakan dan strategi penanggulangan permukiman kumuh/nelayan di wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Penyusunan NSPK kawasan permukiman. 2. — 2. Penetapan peraturan daerah tentang pencegahan timbulnya permukiman kumuh di wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan 1. Fasilitasi peningkatan kapasitas daerah dalam pembangunan dalam penanganan permukiman kumuh secara nasional. (bantuan teknis) 1. Fasilitasi peningkatan kapasitas manajemen dalam penanganan permukiman kumuh di wilayah provinsi.
— c. Pembangunan 1. Fasilitasi program penanganan permukiman kumuh bagi lokasi yang strategis secara nasional.
Fasilitasi penyelenggaraan penanganan permukiman kumuh di wilayahnya.
Penyelenggaraan penanganan kawasan kumuh perkotaan di kabupaten/kota.
Fasilitasi dan bantuan teknis untuk peremajaan/perbaikan permukiman kumuh/nelayan dengan Rumah Susun Sewa (RUSUNAWA).
Fasilitasi peremajaan/ perbaikan permukiman kumuh/nelayan.
Pengelolaan peremajaan/ perbaikan permukiman kumuh/nelayan dengan rusunawa. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d. Pengawasan 1. Melaksanakan pengawasan dan pengendalian penanganan permukiman kumuh nasional.
— 1. Melaksanakan pengawasan dan pengendalian permukiman kumuh di wilayah kabupaten/kota.
Evaluasi kebijakan nasional penanganan permukiman kumuh.
Monitoring evaluasi pelaksanaan program penanganan permukiman kumuh di wilayahnya.
Evaluasi pelaksanaan program penanganan permukiman kumuh di kabupaten/kota.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK .
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK di provinsi.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK di kabupaten/kota.
Pembangunan Kawasan a.Pengaturan 1. Penetapan kebijakan pembangunan kawasan strategis nasional.
— 1. Penetapan peraturan daerah kebijakan dan strategi pembangunan kawasan di wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Penyusunan NSPK pembangunan kawasan strategis nasional.
— 2. Penetapan peraturan daerah NSPK pembangunan kawasan di wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan 1. Fasilitasi peningkatan kapasitas daerah dalam pembangunan kawasan strategis nasional.
— 1. — 2. Fasilitasi penyelesaian masalah pembangunan kawasan yang terkait dengan pelaksanaan kebijakan nasional.
Fasilitasi penyelesaian masalah pembangunan kawasan di wilayah provinsi.
— c.Pembangunan 1. Fasilitasi penyelenggaraan pembangunan kawasan strategis nasional.
— 1. Penyelenggaraan pembangunan kawasan strategis nasional.
Pengawasan 1. Pengawasan dan pengendalian pembangunan kawasan strategis nasional.
Pengawasan dan pengendalian pembangunan kawasan di wilayah provinsi.
Melaksanakan pengawasan dan pengendalian pembangunan kawasan di wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Evaluasi kebijakan nasional program pembangunan kawasan nasional.
Evaluasi pelaksanaan program pembangunan kawasan di provinsi.
Evaluasi pelaksanaan program pembangunan kawasan di kabupaten/kota.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK di provinsi.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK di kabupaten/kota.
Pengaturan 1. Penetapan peraturan perundang-undangan, norma, standar, prosedur dan kriteria/bangunan gedung dan lingkungan 1. Penetapan peraturan daerah Provinsi, mengenai bangunan gedung dan lingkungan mengacu pada norma, standar, prosedur dan kriteria nasional.
Penetapan peraturan daerah kabupaten/kota, mengenai bangunan gedung dan lingkungan mengacu pada norma, standar, prosedur dan kriteria nasional.
Bangunan Gedung dan Lingkungan 2. Penetapan kebijakan dan strategi nasional bangunan gedung dan lingkungan.
Penetapan kebijakan dan strategi wilayah provinsi mengenai bangunan gedung dan lingkungan.
Penetapan kebijakan dan strategi kabupaten/kota mengenai bangunan gedung dan lingkungan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan kebijakan pembangunan dan pengelolaan gedung dan rumah negara.
— 3. Penetapan kelembagaan bangunan gedung di kabupaten/kota.
Penyelenggaraan IMB gedung fungsi khusus. 4. — 4. Penyelenggaraan IMB gedung.
— 5. — 5. Pendataan bangunan gedung.
— 6. — 6. Penetapan persyaratan administrasi dan teknis untuk bangunan gedung adat, semi permanen, darurat, dan bangunan gedung yang dibangun di lokasi bencana.
— 7. — 7. Penyusunan dan penetapan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL). SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pembinaan 1. Pemberdayaan kepada pemerintah daerah dan penyelenggara bangunan gedung dan lingkungannya.
Pemberdayaan kepada pemerintah daerah dan penyelenggara bangunan gedung dan lingkungannya.
Pemberdayaan kepada masyarakat dalam penyelenggaraan bangunan gedung dan lingkungannya.
Fasilitasi peningkatan kapasitas manajemen dan teknis Pemerintah daerah untuk bangunan gedung dan lingkungan.
Fasilitasi penyelenggaraan bangunan gedung dan lingkungan.
Pemberdayaan masyarakat dalam penyelenggaraan bangunan gedung dan lingkungan.
Pembangunan 1. Fasilitasi bantuan teknis penyelenggaraan bangunan gedung dan lingkungan.
Penyelenggaraan model bangunan gedung dan lingkungan.
Penyelenggaraan bangunan gedung dan lingkungan dengan berbasis pemberdayaan masyarakat.
Pembangunan dan pengelolaan bangunan gedung dan rumah negara yang menjadi aset pemerintah.
Pembangunan dan pengelolaan bangunan gedung dan rumah negara yang menjadi aset pemerintah provinsi.
Pembangunan dan pengelolaan bangunan gedung dan rumah negara yang menjadi aset pemerintah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan status bangunan gedung dan lingkungan yang dilindungi dan dilestarikan yang berskala nasional atau internasional.
Penetapan status bangunan gedung dan lingkungan yang dilindungi dan dilestarikan yang berskala provinsi atau lintas kabupaten/kota.
Penetapan status bangunan gedung dan lingkungan yang dilindungi dan dilestarikan yang berskala lokal.
Pengawasan 1. Pengawasan secara nasional terhadap pelaksanaan peraturan perundang- undangan, pedoman, dan standar teknis bangunan gedung dan lingkungannya, serta gedung dan rumah negara.
Pengawasan secara regional terhadap pelaksanaan peraturan perundang- undangan, pedoman dan standar teknis bangunan gedung dan lingkungannya gedung dan rumah negara.
Pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan, pedoman dan standar teknis dalam penyelenggaraan bangunan gedung dan lingkungannya.
Pengawasan dan penertiban pembangunan dan pemanfaatan bangunan gedung fungsi khusus.
— 2. Pengawasan dan penertiban pembangunan, pemanfaatan, dan pembongkaran bangunan gedung.
Pengawasan dan penertiban pelestarian bangunan gedung dan lingkungan yang 3. Pengawasan dan penertiban pelestarian bangunan gedung dan lingkungan yang 3. Pengawasan dan penertiban pelestarian bangunan gedung dan lingkungan yang SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA dilindungi dan dilestarikan yang berskala nasional atau internasional. dilindungi dan dilestarikan yang berskala provinsi atau lintas kabupaten/kota. dilindungi dan dilestarikan yang berskala lokal.
Jasa Konstruksi 1. Pengaturan 1. Penetapan dan penerapan kebijakan nasional pengembangan usaha, termasuk upaya mendorong kemitraan fungsional sinergis.
Fasilitasi untuk mendapatkan dukungan lembaga keuangan dalam memberikan prioritas pelayanan, kemudahan dan akses untuk memperoleh pendanaan.
Penetapan dan penerapan kebijakan nasional pengembangan penyelenggaraan konstruksi.
Fasilitasi untuk mendapatkan dukungan lembaga pertanggungan dalam memberikan prioritas, 1. Pelaksanaan kebijakan pembinaan jasa konstruksi yang telah ditetapkan.
— 3. — 4. — 1. Pelaksanaan kebijakan pembinaan jasa konstruksi yang telah ditetapkan.
— 3. — 4. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pelayanan, kemudahan dan akses untuk memperoleh jaminan pertanggungan resiko.
Penetapan dan penerapan kebijakan nasional pengembangan keahlian dan teknik konstruksi.
Penetapan dan penerapan kebijakan nasional pengembangan SDM bidang konstruksi.
— 6. — 5. — 6. — 2. Pemberdayaan 1. Pemberdayaan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) Nasional serta asosiasi badan usaha dan profesi tingkat nasional.
Peningkatan kemampuan teknologi, sistem informasi, penelitian dan 1. Pengembangan sistem informasi jasa konstruksi dalam wilayah provinsi yang bersangkutan.
Penelitian dan pengembangan jasa konstruksi dalam wilayah 1. Pengembangan sistem informasi jasa konstruksi dalam wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan.
Penelitian dan pengembangan jasa konstruksi dalam wilayah SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pengembangan teknologi bidang konstruksi.
Pemberdayaan penerapan keahlian dan teknik konstruksi kepada LPJK nasional serta asosiasi profesi tingkat nasional.
Perintisan penyelenggaraan pelatihan tenaga terampil konstruksi sebagai model.
Fasilitasi proses sertifikasi tenaga terampil konstruksi.
— provinsi yang bersangkutan.
Pengembangan sumber daya manusia bidang jasa konstruksi di tingkat provinsi.
Peningkatan kemampuan teknologi jasa konstruksi dalam wilayah provinsi yang bersangkutan.
Pelaksanaan pelatihan, bimbingan teknis dan penyuluhan dalam wilayah provinsi.
Pelaksanaan pemberdayaan terhadap LPJK daerah dan asosiasi di provinsi yang bersangkutan. kabupaten/kota yang bersangkutan.
Pengembangan sumber daya manusia bidang jasa konstruksi di tingkat kabupaten/kota.
Peningkatan kemampuan teknologi jasa konstruksi dalam wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan 5. Melaksanakan pelatihan, bimbingan teknis dan penyuluhan dalam wilayah kabupaten/kota.
Penerbitan perizinan usaha jasa konstruksi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pengawasan 1. Pengawasan guna tertib usaha mengenai persyaratan perizinan dan ketentuan ketenagakerjaan.
Pengawasan terhadap LPJK- Nasional serta asosiasi badan usaha dan profesi tingkat nasional.
Pengawasan guna tertib penyelenggaraan dan tertib pemanfaatan pekerjaan konstruksi (ketentuan keteknikan, K3, keselamatan umum,lingkungan, tata ruang, tata bangunan dan ketentuan lainnya yang berkaitan dengan penyelenggaraan konstruksi).
Pengawasan tata lingkungan yang bersifat lintas kabupaten/kota.
Pengawasan sesuai kewenangannya untuk terpenuhinya tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.
Pengawasan terhadap LPJK daerah dan asosiasi di provinsi yang bersangkutan.
Pengawasan tata lingkungan dalam wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan.
Pengawasan sesuai kewenangannya untuk terpenuhinya tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.
— D. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PERUMAHAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Pembiayaan 1. Pembangunan Baru 1. Penetapan kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang pembiayaan perumahan.
Penetapan kebijakan, strategi, dan program provinsi di bidang pembiayaan perumahan.
Penetapan kebijakan, strategi, dan program kabupaten/kota di bidang pembiayaan perumahan.
Penyusunan norma, standar, pedoman, dan manual (NSPM) nasional bidang pembiayaan perumahan.
Penyusunan NSPM provinsi bidang pembiayaan perumahan.
Penyusunan NSPM kabupaten/kota bidang pembiayaan perumahan.
Pengembangan sistem pembiayaan dan instrumen pembiayaan.
Koordinasi penyelenggaraan dan mendorong terciptanya pengaturan instrumen pembiayaan dalam rangka penerapan sistem pembiayaan perumahan.
Pelaksanaan, penerapan dan penyesuaian pengaturan instrumen pembiayaan dalam rangka penerapan sistem pembiayaan.
Fasilitasi bantuan teknis bidang pembiayaan perumahan kepada para pelaku di tingkat nasional.
Fasilitasi bantuan teknis bidang pembiayaan perumahan kepada para pelaku di tingkat provinsi.
Fasilitasi bantuan teknis bidang pembiayaan perumahan kepada para pelaku di tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pemberdayaan pelaku pasar dan pasar perumahan di tingkat nasional.
Pemberdayaan pelaku pasar dan pasar perumahan di tingkat provinsi.
Pemberdayaan pelaku pasar dan pasar perumahan di tingkat kabupaten/kota.
Fasilitasi bantuan pembiayaan pembangunan dan pemilikan rumah serta penyelenggaraan rumah sewa.
Fasilitasi bantuan pembiayaan pembangunan dan pemilikan rumah serta penyelenggaraan rumah sewa.
Fasilitasi bantuan pembiayaan pembangunan dan pemilikan rumah serta penyelenggaraan rumah sewa.
Pengendalian penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat nasional.
Pengendalian penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat provinsi.
Pengendalian penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat kabupaten/kota.
Melakukan evaluasi penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat nasional.
Melakukan evaluasi penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat provinsi.
Melakukan evaluasi penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Perbaikan 1. Penetapan kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang pembiayaan perumahan.
Penetapan kebijakan, strategi, dan program provinsi di bidang pembiayaan perumahan 1. Penetapan kebijakan, strategi, dan program kabupaten/kota di bidang pembiayaan perumahan.
Penyusunan NSPM nasional bidang pembiayaan perumahan.
Penyusunan NSPM provinsi bidang pembiayaan perumahan.
Penyusunan NSPM kabupaten/kota bidang pembiayaan perumahan.
Pengembangan sistem pembiayaan dan instrumen pembiayaan.
Koordinasi penyelenggaraan dan mendorong terciptanya pengaturan instrumen pembiayaan dalam rangka penerapan sistem pembiayaan perumahan.
Pelaksanaan, penerapan dan penyesuaian pengaturan instrumen pembiayaan dalam rangka penerapan sistem pembiayaan.
Fasilitasi bantuan teknis bidang pembiayaan perumahan kepada para pelaku di tingkat nasional.
Fasilitasi bantuan teknis bidang pembiayaan perumahan kepada para pelaku di tingkat provinsi.
Fasilitasi bantuan bidang pembiayaan perumahan kepada para pelaku di tingkat kabupaten/kota.
Pemberdayaan pelaku pasar dan pasar perumahan di tingkat nasional.
Pemberdayaan pelaku pasar dan pasar perumahan di tingkat provinsi.
Pemberdayaan pelaku pasar dan pasar perumahan di tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Fasilitasi bantuan pembiayaan perbaikan/pembangunan rumah swadaya milik.
Fasilitasi bantuan pembiayaan perbaikan/pembangunan rumah swadaya milik.
Fasilitasi bantuan pembiayaan perbaikan/pembangunan rumah swadaya milik.
Pengendalian penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat nasional.
Pengendalian penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat provinsi.
Pengendalian penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat kabupaten/kota.
Melakukan evaluasi penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat nasional.
Melakukan evaluasi penyelenggaraan bidang pembiyaan perumahan di tingkat provinsi.
Melakukan evaluasi penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat kabupaten/kota.
Pembinaan Perumahan Formal 1. Pembangunan Baru 1.a.Penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
a.Koordinasi masukan penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di kabupaten/kota.
a.Memberikan masukan penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b.— b.Koordinasi peninjauan kembali (review) kesesuaian dengan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait.
Peninjauan kembali kesesuaian peraturan perundang-undangan bidang perumahan di kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan di atasnya.
Perumusan kebijakan dan strategi nasional pembangunan dan pengembangan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional pembangunan dan pengembangan pada skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional pembangunan dan pengembangan pada skala kabupaten/kota.
Penyusunan pedoman efisiensi pasar dan industri perumahan.
Koordinasi upaya efisensi pasar dan industri perumahan skala provinsi.
Pelaksanaan upaya efisiensi pasar dan industri perumahan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Sosialisasi peraturan perundang-undangan, produk NSPM, serta kebijakan dan Strategi nasional perumahan.
Koordinasi pelaksanaan sosialisasi peraturan perundang-undangan, produk NSPM, serta kebijakan dan strategi nasional perumahan skala provinsi.
Pelaksanaan peraturan perundang-undangan, produk NSPM, serta kebijakan dan strategi nasional perumahan.
Bantuan teknis penyelenggaraan perumahan (basis kawasan, lembaga pendampingan, kelompok masyarakat).
Koordinasi pelaksanaan bantuan teknis penyelenggaraan perumahan.
Pelaksanaan teknis penyelenggaraan perumahan.
Fasilitasi terhadap badan usaha pembangunan perumahan, baik Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Koperasi, perorangan maupun swasta, yang bergerak di bidang usaha industri bahan bangunan, 6. Pembinaan terhadap badan usaha pembangunan perumahan, baik BUMD, koperasi, perorangan maupun swasta, yang bergerak di bidang usaha industri bahan bangunan, industri komponen bangunan, konsultan, kontraktor dan 6. Memanfaatkan badan usaha pembangunan perumahan, baik BUMN,BUMD, koperasi, perorangan maupun swasta, yang bergerak di bidang usaha industri bahan bangunan, industri komponen banguan, konsultan, kontraktor dan pengembang. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA industri komponen bangunan, konsultan, kontraktor dan pengembang. pengembang.
Penyusunan standar, pedoman dan manual (SPM) perencanaan, pembangunan dan pemeliharaan Prasarana, Sarana, Utilitas (PSU).
Penyusunan pedoman perencanaan, pembangunan dan pemeliharaan PSU lintas kabupaten/kota.
Penyusunan pedoman dan manual perencanaan, pembangunan dan pengelolaan PSU skala kabupaten/kota.
Sosialisasi peraturan perundang-undangan, produk SPM, serta kebijakan dan strategi nasional perumahan.
Koordinasi pelaksanaan sosialisasi peraturan perundang-undangan, produk SPM, serta kebijakan dan strategi nasional perumahan dan provinsi bersangkutan.
Melaksanakan hasil sosialisasi.
Fasilitasi peningkatan kapasitas penyelenggara dan pelaku pembangunan perumahan (pemerintah, swasta dan masyarakat).
Koordinasi pelaksanaan peningkatan kapasitas penyelenggara dan pelaku pembangunan perumahan.
Pelaksanaan kegiatan melalui pelaku pembangunan perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 10. Bantuan teknis penyelenggaraan perumahan (basis kawasan, lembaga pendampingan, kelompok masyarakat).
Koordinasi pelaksanaan bantuan teknis penyelenggaraan perumahan.
Penyelenggaraan perumahan sesuai teknik pembangunan.
Pembinaan terhadap badan usaha pembangunan perumahan, baik BUMN, BUMD, Koperasi, perorangan maupun swasta, yang bergerak di bidang usaha ngunan, industri komponen bangunan, konsultan, kontraktor dan pengembang tingkat nasional.
Pembinaan terhadap badan usaha pembangunan perumahan, baik BUMD, koperasi, perorangan maupun swasta, yang bergerak di bidang usaha industri bahan bangunan, industri komponen bangunan, konsultan, kontraktor dan pengembang di provinsi.
Pembinaan dan kerjasama dengan badan usaha pembangunan perumahan, baik BUMN,BUMD, koperasi, perorangan maupun swasta, yang bergerak di bidang usaha industri bahan bangunan, industri komponen bangunan, konsultan, kontraktor dan pengembang di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 12. Fasilitasi pelaksanaan tindakan turun tangan dalam penyelenggaraan pembangunan perumahan dan PSU yang berdampak regional.
Fasilitasi pelaksanaan tindakan turun tangan dalam penyelenggaraan pembangunan perumahan dan PSU yang berdampak lintas kabupaten/kota.
Fasilitasi pelaksanaan tindakan turun tangan dalam penyelenggaraan pembangunan perumahan dan PSU yang berdampak lokal.
Perumusan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) nasional.
Perumusan RPJP dan RPJM provinsi. 13. Perumusan RPJP dan RPJM kabupaten/kota.
Fasilitasi percepatan pembangunan perumahan secara nasional.
Fasilitasi percepatan pembangunan perumahan skala provinsi.
Fasilitasi percepatan pembangunan perumahan skala kabupaten/kota.
Pengalokasian pendanaan pembangunan Rumah Susun Sewa (Rusunawa) dan Rumah Susun Milik (Rusunami) sebagai stimulan di perkotaan, 15. Pelaksanaan pembangunan Rusunawa dan Rusunami sebagai stimulan di perkotaan, perbatasan internasional, pusat kegiatan 15. Pembangunan Rusunawa dan Rusunami lengkap dengan penyediaan tanah, PSU dan melakukan pengelolaan dan pemeliharaan diperkotaan, perbatasan internasional, SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA perbatasan internasional, pusat kegiatan perdagangan/produksi. perdagangan/produksi dan fasilitasi pengelolaan, pemeliharaan kepada kabupaten/kota. pusat kegiatan, perdagangan/produksi.
Pengalokasian pendanaan pembangunan prasarana, sarana dan utilitas umum sebagai stimulan di RSH, rumah susun (Rusun) dan rumah khusus (Rusus).
Pelaksanaan pembangunan prasarana, sarana dan utilitas umum sebagai stimulan di RSH, Rusun, Rusus dan fasilitasi pengelolaan, pemeliharaan kepada kabupaten/kota.
Pembangunan prasarana, sarana dan utilitas umum sebagai stimulan di RSH, Rusun dan Rusus dengan melaksanakan pengelolaan dan pemeliharaan.
Pengalokasian pendanaan untuk pembangunan rumah contoh (RSH) sebagai stimulan pada daerah terpencil dan uji coba.
Pelaksanaan pembangunan rumah contoh (RSH) sebagai stimulan pada daerah terpencil dan uji coba serta fasilitasi pengelolaan, pemeliharaan kepada kabupaten/kota.
Pembangunan rumah contoh (RSH) sebagai stimulan pada daerah terpencil dan uji coba serta fasilitasi pengelolaan, pemeliharaan kepada kabupaten/kota, penyediaan tanah, PSU umum. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 18. Pengalokasian pendanaan untuk pembangunan rumah untuk korban bencana dan khusus lainnya serta penyiapan depo pada daerah rawan bencana.
Pembangunan rumah untuk korban bencana dan khusus lainnya serta pengelolaan depo dan pendistribusiannya.
Pelaksanaan pembangunan rumah untuk korban bencana dan khusus lainnya serta pengelolaan depo dan pendistribusian logistik penyediaan lahan, pengaturan, pemanfaatan seluruh bantuan.
Perbaikan 1. Perumusan kebijakan dan strategi nasional pembangunan dan pengembangan perumahan.
Perumusan kebijakan dan strategi pembangunan dan pengembangan perumahan skala provinsi.
Perumusan kebijakan dan strategi pembangunan dan pengembangan perumahan skala kabupaten/kota.
Perumusan Standar, Prosedur dan Operasi (SPO) baku penanganan pengungsi akibat bencana nasional (alam maupun konflik sosial).
Perumusan SPO baku penanganan pengungsi akibat bencana skala provinsi.
Pelaksanaan SPO baku penanganan pengungsi akibat bencana skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Perumusan kebijakan Public Service Obligation (PSO) perumahan.
— 3. — 4. Penyusunan SPM perumahan dan PSU pesisir dan pantai serta pulau kecil, khususnya di perbatasan internasional.
Penyusunan SPM perumahan dan PSU pesisir dan pantai serta pulau kecil, khususnya di perbatasan antar kabupaten/kota.
Pelaksanaan SPM perumahan dan PSU pesisir dan pantai serta pulau kecil, di kabupaten/kota.
Penyusunan dan penyelenggaraan skema bantuan perumahan tidak susun, susun, khusus dan PSU.
Koordinasi penetapan sasaran penerima bantuan perumahan dan pengawasannya.
Pelaksanaan dan atau penerima bantuan perumahan.
Penyusunan pedoman pengendalian harga sewa rumah (tidak susun, susun khusus).
Koordinasi pengendalian penetapan harga sewa rumah.
Penetapan harga sewa rumah. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Fasilitasi pembangunan perumahan untuk penampungan pengungsi.
Koordinasi usulan pembangunan perumahan untuk penampungan pengungsi lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan pembangunan perumahan untuk penampungan pengungsi lintas kawasan se- kabupaten/kota.
Pemanfaatan 1. Penyelenggaraan bantuan pembangunan dan kelembagaan perumahan melalui format anggaran khusus (dana dekonsenterasi, dana tugas pembantuan dan dana alokasi khusus).
Koordinasi usulan penerima bantuan pembangunan dan kelembagaan perumahan di provinsi serta penyelenggaraan perumahan dengan dana dekonsentrasi.
Pelaksanaan bantuan pembangunan dan kelembagaan serta penyelenggaraan perumahan dengan dana tugas pembantuan.
Penyelenggaraan bantuan investasi rumah susun untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) rumah khusus, rumah nelayan, perbatasan internasional dan pulau-pulau kecil.
Koordinasi penetapan penerima bantuan investasi rumah susun untuk MBR dan rumah khusus, rumah nelayan, perbatasan internasional dan pulau-pulau kecil.
Pelaksanaan pembangunan rumah susun untuk MBR dan rumah khusus, rumah nelayan, perbatasan internasional dan pulau-pulau kecil. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penyelenggaraan bantuan pembangunan PSU. 3. Koordinasi penetapan penerima bantuan PSU. 3. Pengelolaan PSU bantuan pusat.
Fasilitasi pembentukan kelembagaan perumahan skala nasional.
Fasilitasi pembentukan kelembagaan perumahan skala provinsi.
Pembentukan kelembagaan perumahan kabupaten/kota.
Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional pengembangan perumahan.
Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional pengembangan perumahan di provinsi.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan pembangunan dan pengelolaan perumahan.
Penyusunan SPM pembangunan, penghunian dan pengelolaan perumahan nasional (Rumah Tidak Susun, Rusun, dan Rusus).
Koordinasi penyusunan pedoman pembangunan, penghunian dan pengelolaan perumahan lintas kabupaten/kota.
Penyusunan pedoman dan manual penghunian, dan pengelolaan perumahan setempat dengan acuan umum SPM nasional. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Monitoring dan evaluasi terhadap penghunian dan pengelolaan rusun dan rusus penerima bantuan investasi.
Pengawasan langsung terhadap penghunian dan pengelolaan rusun dan rusus penerima bantuan investasi ke kabupaten/kota.
Pengawasan dan pengendalian pengelolaan rusun dan rusus.
Pembinaan Perumahan Swadaya 1. Pembangunan Baru 1. Perumusan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Perumusan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Perumusan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM nasional tentang perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM provinsi tentang perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM kabupaten/kota tentang perumahan swadaya.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya tingkat nasional.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di tingkat pusat.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di pusat.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota.
Pengkajian kebijakan dan peraturan yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.
Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah provinsi yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.
Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah kabupaten/kota yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pemugaran 1. Perumusan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Perumusan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Perumusan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM nasional perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM provinsi perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM kabupaten/kota perumahan swadaya.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya tingkat nasional.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas 4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas 4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pelaku pembangunan perumahan swadaya. pelaku pembangunan perumahan swadaya. pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi Kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di tingkat pusat.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di tingkat provinsi.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di tingkat kabupaten/kota.
Pengkajian kebijakan dan peraturan yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.
Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah provinsi yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.
Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah kabupaten/kota yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.
Perbaikan 1. Perumusan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Perumusan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Perumusan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM nasional perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM provinsi perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM kabupaten/kota perumahan swadaya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya tingkat nasional.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di tingkat pusat.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota.
Pengkajian kebijakan dan peraturan yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.
Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah provinsi yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.
Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah kabupaten/kota yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Perluasan 1. Perumusan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Perumusan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Perumusan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM nasional perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM provinsi perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM kabupaten/kota perumahan swadaya.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya tingkat nasional.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya tingkat provinsi.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di tingkat pusat.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota.
Pengkajian kebijakan dan peraturan yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.
Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah provinsi yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.
Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah kabupaten/kota yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pemeliharaan 1. Perumusan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Perumusan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Perumusan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM nasional perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM provinsi perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM kabupaten/kota perumahan swadaya.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya tingkat nasional.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di tingkat pusat.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota.
Pengkajian kebijakan dan peraturan yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.
Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah provinsi yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.
Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah kabupaten/kota yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pemanfaatan 1. Perumusan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Perumusan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Perumusan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM nasional perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM provinsi perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM kabupaten/kota perumahan swadaya.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya tingkat nasional.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di tingkat pusat.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota.
Pengkajian kebijakan dan peraturan yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.
Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah provinsi yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.
Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah kabupaten/kota yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pengembangan Kawasan 1. Sistem Pengembangan Kawasan 1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional dan NSPM dalam pengembangan kawasan.
Penetapan kebijakan dan strategi provinsi dalam pengembangan kawasan.
Penetapan kebijakan dan strategi kabupaten/kota dalam pengembangan kawasan.
Penyusunan Rencana Nasional dalam Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman (RP4- Nasional).
Penyusunan Rencana Provinsi dalam Pembangunan Dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman Daerah (RP4D-Provinsi).
Penyusunan Rencana Kabupaten/Kota dalam Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman Daerah (RP4D-Kabupaten/Kota).
Pembinaan teknis penyusunan RP4D. 3. Pembinaan teknis penyusunan RP4D di wilayahnya.
Pembinaan teknis penyusunan RP4D di wilayahnya.
Fasilitasi dan bantuan teknis penyusunan RP4D. 4. Fasilitasi dan bantuan teknis penyusunan RP4D di wilayahnya.
Penyusunan RP4D di wilayahnya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional pengembangan kawasan dan RP4D.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi pengembangan kawasan dan RP4D skala provinsi.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi pengembangan kawasan dan RP4D di skala kabupaten/kota.
Pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam pengembangan kawasan dan penyusunan RP4D.
Pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi pengembangan kawasan dan RP4D di wilayahnya.
Pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi pengembangan kawasan dan RP4D di wilayahnya.
Kawasan Skala Besar 1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional dan NSPM dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar.
Penetapan kebijakan dan strategi provinsi dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar.
Penetapan kebijakan dan strategi kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar.
Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar di wilayahnya.
Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar di wilayahnya.
Fasilitasi, bantuan teknis dan bantuan stimulan pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar.
Fasilitasi, bantuan teknis dan bantuan stimulan pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar di wilayahnya.
Pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar di wilayahnya.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar di wilayahnya.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar di wilayahnya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar.
Pengendalian pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus di wilayahnya.
Pengendalian pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar di wilayahnya.
Kawasan Khusus 1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional dan NSPM dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus.
Penetapan kebijakan dan strategi provinsi dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus.
Penetapan kebijakan dan strategi kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus.
Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus.
Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala khusus di wilayahnya.
Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus di wilayahnya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Fasilitasi, bantuan teknis dan bantuan stimulan pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus.
Fasilitasi, bantuan teknis dan bantuan stimulan pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus di wilayahnya.
Pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus di wilayahnya.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus di wilayahnya.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus di wilayahnya.
Pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus.
Pengendalian pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus di wilayahnya.
Pengendalian pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus di wilayahnya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Keterpaduan Prasarana Kawasan 1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional dan NSPM dalam penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan.
Penetapan kebijakan dan strategi provinsi dalam penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan.
Penetapan kebijakan dan strategi kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan.
Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan.
Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan di wilayahnya.
Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan di wilayahnya.
Fasilitasi dan bantuan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan.
Fasilitasi dan bantuan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan di wilayahnya.
Pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan di wilayahnya.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan di wilayahnya.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan di wilayahnya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan.
Pengendalian pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan di wilayahnya.
Pengendalian pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan di wilayahnya.
Keserasian Kawasan 1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional dan NSPM dalam penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang.
Penetapan kebijakan dan strategi provinsi dalam penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang.
Penetapan kebijakan dan strategi kabupaten/kota dalam penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang.
Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang.
Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang di wilayahnya.
Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang di wilayahnya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Fasilitasi dan bantuan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang.
Fasilitasi dan bantuan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang di wilayahnya.
Pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang di wilayahnya.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang di wilayahnya.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang di wilayahnya.
Pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang.
Pengendalian pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang di wilayahnya.
Pengendalian pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang di wilayahnya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pembinaan Hukum, Peraturan Perundang- undangan dan Pertanahan untuk 1. Pembangunan Baru 1. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Koordinasi penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di tingkat provinsi.
Pelaksanaan penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota. Perumahan 2. Evaluasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Peninjauan kembali (review) kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan.
Pelaksanaan kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan.
Koordinasi dan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan dan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim.
Sosialisasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di provinsi.
Pelaksanaan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di provinsi.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di kabupaten/kota.
Pengkajian, perumusan kebijakan dan koordinasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi.
Pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.
Fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.
Koordinasi fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi.
Pelaksanaan fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat provinsi.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Penyusunan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan.
Koordinasi dan sosialiasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan tingkat provinsi lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan di kabupaten/kota.
Perumusan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan di kabupaten/kota.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan lintas provinsi.
Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan lintas kabupaten/kota.
Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pemugaran 1. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Koordinasi penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di tingkat provinsi.
Pelaksanaan penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota.
Evaluasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Peninjauan kembali (review) kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan.
Pelaksanaan kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan.
Koordinasi dan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan dan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim.
Sosialisasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di provinsi.
Pelaksanaan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastin hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di provinsi.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di kabupaten/kota.
Pengkajian, perumusan kebijakan dan koordinasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan penangangan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi.
Pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.
Fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.
Koordinasi fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi.
Pelaksanaan fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat provinsi.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat Kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Penyusunan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan.
Koordinasi dan sosialiasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan tingkat provinsi lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan di Kabupaten/kota.
Perumusan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan Kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan di kabupaten/kota.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pelaksanaan kebijakan Kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan Kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi penyelesaian eksternalitas pembangunan perumahan lintas provinsi.
Fasilitasi penyelesaian eksternalitas pembangunan perumahan lintas kabupaten/kota.
Fasilitasi penyelesaian eksternalitas pembangunan perumahan di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Perbaikan 1. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Koordinasi penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di tingkat provinsi.
Pelaksanaan penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota.
Evaluasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Peninjauan kembali (review) kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan.
Pelaksanaan kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan.
Koordinasi dan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan dan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim.
Sosialisasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di provinsi.
Pelaksanaan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastin hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di provinsi.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di kabupaten/kota.
Pengkajian, perumusan kebijakan dan koordinasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi.
Pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.
Fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.
Koordinasi fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi.
Pelaksanaan fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat provinsi.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Penyusunan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan.
Koordinasi dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan tingkat provinsi lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan di kabupaten/kota.
Perumusan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang Pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan di kabupaten/kota.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan lintas provinsi.
Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan lintas kabupaten/kota.
Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Perluasan 1. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Koordinasi penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di tingkat provinsi.
Pelaksanaan penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota.
Evaluasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Peninjauan kembali (review) kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan.
Pelaksanaan kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan.
Koordinasi dan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan dan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim.
Sosialisasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di provinsi.
Pelaksanaan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastin hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di provinsi.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di kabupaten/kota.
Pengkajian, perumusan kebijakan dan koordinasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi.
Pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.
Fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.
Koordinasi fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di Provinsi.
Pelaksanaan fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat provinsi.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Penyusunan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan.
Koordinasi dan sosialiasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan tingkat provinsi lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan di kabupaten/kota.
Perumusan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan di kabupaten/kota.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi penyelesaian eksternalitas pembangunan perumahan lintas provinsi.
Fasilitasi penyelesaian eksternalitas pembangunan perumahan lintas kabupaten/kota.
Fasilitasi penyelesaian eksternalitas pembangunan perumahan di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pemeliharaan 1. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Koordinasi penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di tingkat provinsi.
Pelaksanaan penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota.
Evaluasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Peninjauan kembali (review) kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan.
Pelaksanaan kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan.
Koordinasi dan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan dan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim.
Sosialisasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di provinsi.
Pelaksanaan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastin hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di provinsi.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di kabupaten/kota.
Pengkajian, perumusan kebijakan dan koordinasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan penangangan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi.
Pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.
Fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.
Koordinasi fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi.
Pelaksanaan fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat provinsi.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Penyusunan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan.
Koordinasi dan sosialiasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan tingkat provinsi lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan di kabupaten/kota.
Perumusan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan di kabupaten/kota.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan lintas provinsi.
Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan lintas kabupaten/kota.
Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pemanfaatan 1. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Koordinasi penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di tingkat provinsi.
Pelaksanaan penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota.
Evaluasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Peninjauan kembali (review) kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan.
Pelaksanaan kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan.
Koordinasi dan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan dan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim.
Sosialisasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di provinsi.
Pelaksanaan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di provinsi.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di kabupaten/kota.
Pengkajian, perumusan kebijakan dan koordinasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi.
Pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.
Fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.
Koordinasi fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi.
Pelaksanaan fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat provinsi.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Penyusunan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan.
Koordinasi dan sosialiasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan tingkat provinsi lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan di kabupaten/kota.
Perumusan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan Provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan di kabupaten/kota.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan lintas provinsi.
Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan lintas kabupaten/kota.
Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pembinaan Teknologi dan Industri 1. Pembangunan Baru 1. Perumusan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan pemanfaatan hasil teknologi bahan bangunan, sosial ekonomi budaya serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pemugaran 1. Perumusan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan pemanfaatan hasil teknologi bahan bangunan, sosial ekonomi budaya serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Perbaikan 1. Perumusan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan pemanfaatan hasil teknologi bahan bangunan, sosial ekonomi budaya serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pemeliharaan 1. Perumusan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan pemanfaatan hasil teknologi bahan bangunan, sosial ekonomi budaya serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pemanfaatan 1. Perumusan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan pemanfaatan hasil teknologi bahan bangunan, sosial ekonomi budaya serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Pengembangan Pelaku Pembangunan Perumahan, Peranserta Masyarakat dan 1. Pembangunan Baru 1. Perumusan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. Sosial Budaya 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Koordinasi fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah kabupaten/kota, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Melaksanakan kemitraan antara pemerintahan daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di tingkat provinsi.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pemugaran 1. Perumusan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan .
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Koordinasi fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah kabupaten/kota, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Melaksanakan kemitraan antara pemerintahan daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di tingkat provinsi.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Perbaikan 1. Perumusan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Koordinasi fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah kabupaten/kota, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Melaksanakan kemitraan antara pemerintahan daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di tingkat provinsi.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Perluasan 1. Perumusan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Koordinasi fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah kabupaten/kota, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Melaksanakan kemitraan antara pemerintahan daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di tingkat provinsi.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pemeliharaan 1. Perumusan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Koordinasi fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah kabupaten/kota, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Melaksanakan kemitraan antara pemerintahan daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di tingkat provinsi.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pemanfaatan 1. Perumusan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Koordinasi fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah kabupaten/kota, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Melaksanakan kemitraan antara pemerintahan daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di tingkat provinsi.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di kabupaten/kota. E. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PENATAAN RUANG SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Pengaturan 1. Penetapan peraturan perundang- undangan bidang penataan ruang 2. Penetapan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) bidang penataan ruang.
Penetapan penataan ruang perairan di luar 12 (dua belas) mil dari garis pantai.
Penetapan kriteria penentuan dan kriteria perubahan fungsi ruang suatu kawasan yang berskala besar dan berdampak penting dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang.
Penetapan peraturan daerah bidang penataan ruang tingkat provinsi 2. Penetapan pedoman pelaksanaan NSPK bidang penataan ruang.
Penetapan penataan ruang perairan di luar 4 (empat) mil sampai 12 (dua belas) mil dari garis pantai.
Penetapan kriteria penentuan dan perubahan fungsi ruang kawasan lintas kabupaten/kota dalam rangka penyusunan tata ruang khususnya untuk menjaga keseimbangan ekosistem, sesuai dengan kriteria yang ditentukan oleh pemerintah.
Penetapan peraturan daerah bidang penataan ruang di tingkat kabupaten/kota 2. — 3. Penetapan penataan ruang perairan sampai dengan 4 (empat) mil dari garis pantai.
Penetapan kriteria penentuan dan perubahan fungsi ruang kawasan/lahan wilayah dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Penetapan kawasan strategis nasional.
Penetapan kawasan-kawasan andalan.
Penetapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang penataan ruang.
Penetapan kawasan strategis provinsi.
Pemberian arahan pengelolaan kawasan andalan sebagai bagian RTRWP.
— 5. Penetapan kawasan strategis kabupaten/kota 6. — 7. — 2. Pembinaan 1. Koordinasi penyelenggaraan penataan ruang pada semua tingkatan wilayah.
Sosialisasi NSPK bidang penataan ruang.
Sosialisasi SPM bidang penataan ruang.
Koordinasi penyelenggaraan penataan ruang wilayah kabupaten/kota.
Sosialisasi NSPK bidang penataan ruang.
Sosialisasi SPM bidang penataan ruang.
— 2. Sosialisasi NSPK bidang penataan ruang.
Sosialisasi SPM bidang penataan ruang. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan penataan ruang terhadap pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.
Pendidikan dan pelatihan.
Penelitian dan pengembangan.
Pengembangan sistem informasi dan komunikasi penataan ruang nasional.
Penyebarluasan informasi penataan ruang kepada masyarakat.
Pengembangan kesadaran dan tanggungjawab masyarakat.
Koordinasi dan fasilitasi penataan ruang lintas provinsi.
Pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan penataan ruang terhadap kabupaten/kota.
Pendidikan dan pelatihan.
Penelitian dan pengembangan.
Pengembangan sistem informasi dan komunikasi penataan ruang provinsi.
Penyebarluasan informasi penataan ruang kepada masyarakat.
Pengembangan kesadaran dan tanggungjawab masyarakat.
Koordinasi dan fasilitasi penataan ruang lintas kabupaten/kota.
— 5. Pendidikan dan pelatihan.
Penelitian dan pengembangan.
Pengembangan sistem informasi dan komunikasi penataan ruang kabupaten/kota.
Penyebarluasan informasi penataan ruang kepada masyarakat.
Pengembangan kesadaran dan tanggungjawab masyarakat.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11. Pembinaan penataan ruang untuk lintas provinsi. 11.Pembinaan penataan ruang untuk lintas kabupaten/kota. 11. — 3. Pembangunan a. Perencanaan Tata Ruang 1. Penyusunan dan penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN).
Penyusunan dan penetapan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional.
Penetapan rencana detail tata ruang untuk RTRWN b. Pemanfaatan Ruang 1. Penyusunan program dan anggaran nasional di bidang penataan ruang, serta fasilitasi dan koordinasi antar provinsi.
Penyusunan dan penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP).
Penyusunan dan penetapan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Provinsi.
Penetapan rencana detail tata ruang untuk RTRWP.
Penyusunan program dan anggaran provinsi di bidang penataan ruang , serta fasilitasi dan koordinasi antar kabupaten/kota.
Penyusunan dan penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK).
Penyusunan dan penetapan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis kabupaten/kota.
Penetapan rencana detail tata ruang untuk RTRWK.
Penyusunan program dan anggaran kabupaten/kota di bidang penataan ruang. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pemanfaatan kawasan strategis nasional.
— 4. Pemanfaatan kawasan andalan sebagai bagian dari RTRWN 5. Pemanfaatan investasi di kawasan andalan dan kawasan strategis nasional serta kawasan lintas provinsi bekerjasama dengan pemerintah daerah, masyarakat dan dunia usaha.
Pemanfaatan SPM di bidang penataan ruang.
Pemanfaatan kawasan strategis provinsi.
— 4. Pemanfaatan kawasan andalan sebagai bagian dari RTRWP.
Pemanfaatan investasi di kawasan strategis provinsi dan kawasan lintas kabupaten/kota bekerjasama dengan pemerintah daerah, masyarakat dan dunia usaha.
Pemanfaatan SPM di bidang penataan ruang.
Pemanfaatan kawasan strategis kabupaten/kota.
Pemanfaatan NSPK bidang penataan ruang.
Pemanfaatan kawasan andalan sebagai bagian dari RTRWK.
Pemanfaatan investasi di kawasan strategis kabupaten/kota dan kawasan lintas kabupaten/kota bekerjasama dengan pemerintah daerah, masyarakat dan dunia usaha.
Pemanfaatan SPM di bidang penataan ruang. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Penyusunan neraca penatagunaan tanah, neraca penatagunaan sumber daya air, neraca penatagunaan udara, neraca penatagunaan sumberdaya alam lainnya.
Perumusan kebijakan strategis operasionalisasi RTRWN dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional.
Perumusan program sektoral dalam rangka perwujudan struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah nasional dan kawasan strategis nasional.
— 8. Perumusan kebijakan strategis operasionalisasi RTRWP dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Provinsi.
Perumusan program sektoral dalam rangka perwujudan struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah provinsi dan kawasan strategis provinsi.
— 8. Perumusan kebijakan strategis operasionalisasi RTRWK dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis kabupaten/kota.
Perumusan program sektoral dalam rangka perwujudan struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota dan kawasan strategis kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 10. Pelaksanaan pembangunan sesuai program pemanfaatan ruang wilayah nasional dan kawasan strategis nasional.
Pengendalian Pemanfaatan Ruang.
Pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional termasuk lintas provinsi.
Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional.
Penyusunan peraturan zonasi sebagai pedoman pengendalian pemanfaatan ruang nasional.
Pelaksanaan pembangunan sesuai program pemanfaatan ruang wilayah provinsi dan kawasan strategis provinsi.
Pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi termasuk lintas lintas kabupaten/kota.
Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi.
Penyusunan peraturan zonasi sebagai pedoman pengendalian pemanfaatan ruang provinsi.
Pelaksanaan pembangunan sesuai program pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota dan kawasan strategis kabupaten/kota.
Pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota.
Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis kabupaten/kota.
Penyusunan peraturan zonasi sebagai pedoman pengendalian pemanfaatan ruang kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pemberian izin pemanfaatan ruang yang sesuai dengan RTRWN.
Pembatalan izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan RTRWN.
Pengambilalihan kewenangan pemerintah provinsi dalam hal pemerintah provinsi tidak dapat memenuhi SPM di bidang penataan ruang.
Pemberian pertimbangan atau penyelesaian permasalahan penataan ruang yang tidak dapat diselesaikan pada tingkat provinsi.
Pemberian izin pemanfaatan ruang yang sesuai dengan RTRWP.
Pembatalan izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan RTRWP.
Pengambilalihan kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam hal pemerintah kabupaten/kota tidak dapat memenuhi SPM di bidang penataan ruang.
Pemberian pertimbangan atau penyelesaian permasalahan penataan ruang yang tidak dapat diselesaikan pada tingkat kabupaten/kota.
Pemberian izin pemanfaatan ruang yang sesuai dengan RTRWK.
Pembatalan izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan RTRWK.
— 7. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Fasilitasi penyelesaian perselisihan dalam pelaksanaan penataan antara provinsi dengan kabupaten/kota.
— 8. Fasilitasi penyelesaian perselisihan dalam pelaksanaan penataan antar kabupaten/kota.
Pembentukan lembaga yang bertugas melaksanakan pengendalian pemanfaatan ruang tingkat provinsi.
— 9. Pembentukan lembaga yang bertugas melaksanakan pengendalian pemanfaatan ruang tingkat kabupaten/kota.
Pengawasan 1. Pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang di wilayah nasional.
Pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang di wilayah provinsi.
Pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang di wilayah kabupaten/kota.
Pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang di wilayah provinsi.
Pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang di wilayah .
— 1. Pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang di wilayah kabupaten/kota.
— 3. — F. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PERENCANAAN PEMBANGUNAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan Daerah 1. Perumusan Kebijakan 1.a.Penetapan pedoman dan standar perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan daerah.
Ɇ c. Ɇ 2. Penetapan pedoman Standar Pelayanan Minimal (SPM).
a.Penetapan petunjuk pelaksanaan perencanaan pembangunan daerah pada skala provinsi.
Pelaksanaan perencanaan pembangunan daerah provinsi.
Ɇ 2. Pelaksanaan SPM provinsi.
a.Penetapan petunjuk pelaksanaan perencanaan dan pengendalian pembangunan daerah pada skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan perencanaan pembangunan daerah kabupaten/kota.
Penetapan pedoman dan standar perencanaan pembangunan daerah kecamatan/desa.
Pelaksanaan SPM kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan pedoman dan standar pelaksanaan kerjasama pembangunan antar daerah dan antara daerah dengan swasta, dalam dan luar negeri.
Penetapan pedoman dan standar pengelolaan data dan informasi pembangunan daerah skala nasional.
a.Penetapan pedoman dan standar pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala nasional.
— 3. Pelaksanaan kerjasama antara provinsi dengan swasta mengacu pada pedoman yang ditetapkan Pemerintah.
Pelaksanaan pengelolaan data dan informasi pembangunan daerah skala provinsi.
a.Penetapan petunjuk pelaksanaan pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala provinsi.
Pelaksanaan/penjabaran petunjuk pelaksanaan pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala provinsi.
Pelaksanaan kerjasama pembangunan antar daerah kabupaten/kota dan antara daerah kabupaten/kota dengan swasta, dalam dan luar negeri.
Pelaksanaan pengelolaan data dan informasi pembangunan daerah skala kabupaten/kota.
a.Penetapan petunjuk pelaksanaan pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala kabupaten/ kota.
Pelaksanaan petunjuk pelaksanaan pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6.a.Penetapan pedoman dan standar keserasian pengembangan perkotaan dan perdesaan skala nasional.
Ɇ 7. Penetapan pedoman dan standar manajemen dan kelembagaan pengembangan wilayah dan kawasan skala nasional.
a.Penetapan pedoman dan standar pelayanan perkotaan.
a.Penetapan pedoman dan standar keserasian pengembangan perkotaan dan pedesaan skala provinsi.
Pelaksanaan petunjuk pelaksanaan keserasian pengembangan perkotaan dan kawasan perdesaan skala provinsi.
Penetapan petunjuk pelaksanaan manajemen dan kelembagaan pengembangan wilayah dan kawasan skala provinsi.
a.Penetapan petunjuk pelaksanaan pelayanan perkotaan skala provinsi.
a.Penetapan keserasian pengambangan perkotaan dan perdesaan skala kabupaten/ kota.
Pelaksanaan petunjuk pelaksanaan keserasian pengembangan perkotaan dan kawasan perdesaan skala kabupaten/kota.
Penetapan petunjuk pelaksanaan manajemen dan kelembagaan pengembangan wilayah dan kawasan skala kabupaten/kota.
a.Pelaksanaan pedoman dan standar pelayanan perkotaan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Ɇ 9.a.Penetapan pedoman dan standar pengembangan pembangunan perwilayahan skala nasional.
Ɇ 10. Penetapan pedoman dan standar pengembangan wilayah tertinggal, perbatasan, pesisir dan pulau-pulau kecil skala nasional.
Pelaksanaan petunjuk pelaksanaan pelayanan perkotaan skala provinsi.
a.Penetapan petunjuk pelaksanaan pengembangan pembangunan perwilayahan skala provinsi.
Pelaksanaan pedoman dan standar pengembangan pembangunan perwilayahan skala provinsi.
Pengembangan wilayah tertinggal, perbatasan, pesisir dan pulau-pulau kecil skala provinsi.
Pelaksanaan petunjuk pelaksanaan pelayanan perkotaan skala kabupaten/ kota.
a.Penetapan petunjuk pelaksanaan pengembangan pembangunan perwilayahan skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan pedoman dan standar pengembangan pembangunan perwilayahan skala kabupaten/kota.
Pengembangan wilayah tertinggal, perbatasan, pesisir dan pulau-pulau kecil skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11. Penetapan pedoman dan standar pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala nasional.
Pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala provinsi.
Pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala kabupaten/ kota.
Bimbingan, Konsultasi dan Koordinasi 1. Koordinasi perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan daerah skala nasional.
Bimbingan, supervisi dan konsultasi perencanaan dan pengendalian pembangunan daerah skala nasional.
a.Bimbingan, supervisi dan konsultasi pelaksanaan kerjasama pembangunan antar daerah dan antara daerah dengan swasta, dalam dan luar negeri skala nasional.
Koordinasi perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan daerah skala provinsi.
Konsultasi perencanaan dan pengendalian pembangunan daerah skala provinsi.
a.Konsultasi pelaksanaan kerjasama pembangunan antar daerah dan antara daerah dengan swasta, dalam dan luar negeri skala provinsi.
Koordinasi perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan daerah skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan konsultasi perencanaan dan pengendalian pembangunan daerah skala kabupaten/kota.
a.Kerjasama pembangunan antar daerah dan antara daerah dengan swasta, dalam dan luar negeri skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Ɇ 4.a.Bimbingan, supervisi dan konsultasi pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala nasional.
Ɇ 5.a.Bimbingan supervisi dan konsultasi pelayanan perkotaan skala nasional.
Ɇ 4.a.Bimbingan, supervisi dan konsultasi pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala provinsi.
Ɇ 5.a.Konsultasi pelayanan perkotaan skala provinsi.
Bimbingan, supervisi dan konsultasi kerjasama pembangunan antar kecamatan/desa dan antara kecamatan/desa dengan swasta, dalam dan luar negeri skala kabupaten/kota.
a.Konsultasi pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala kabupaten/ kota.
Bimbingan, supervisi dan konsultasi pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan di daerah kecamatan/desa.
a.Konsultasi pelayanan perkotaan skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Ɇ 6.a.Bimbingan, supervisi dan konsultasi keserasian pengembangan perkotaan dan perdesaan skala nasional.
Ɇ 7. Bimbingan, supervisi dan konsultasi pengembangan wilayah tertinggal, pesisir dan pulau-pulau kecil skala nasional.
Ɇ 6.a.Pelaksanaan konsultasi keserasian pengembangan perkotaan dan perdesaan skala provinsi.
Ɇ 7. Pengembangan wilayah tertinggal, pesisir dan pulau- pulau kecil skala provinsi.
Bimbingan, supervisi dan konsultasi pelayanan perkotaan di kecamatan/ desa.
a.Konsultasi keserasian pengembangan perkotaan dan perdesaan skala kabupaten/ kota.
Bimbingan, supervisi dan konsultasi keserasian pengembangan perkotaan dan perdesaan di kecamatan/ desa.
Pengembangan wilayah tertinggal, pesisir dan pulau- pulau kecil skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8.a.Bimbingan, supervisi dan konsultasi pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala nasional.
Ɇ 9.a.Bimbingan, supervisi dan konsultasi terhadap kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan skala nasional.
Ɇ 8.a.Konsultasi pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala provinsi.
Ɇ 9.a.Konsultasi terhadap kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan skala provinsi.
Ɇ 8.a.Konsultasi pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala kabupaten/kota.
Perencanaan kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan di kecamatan/desa.
a.Konsultasi terhadap kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan skala kabupaten/ kota.
Perencanaan kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan di kecamatan/desa. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Monitoring dan Evaluasi (Monev) 1.a.Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pembangunan daerah skala nasional.
Ɇ c. Ɇ 2. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kerjasama pembangunan antar daerah dan antara daerah dengan swasta, dalam dan luar negeri skala nasional.
a.Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan pembangunan daerah skala provinsi.
Ɇ c. Ɇ 2. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kerjasama pembangunan antar daerah kabupaten/kota dan antara daerah kabupaten/kota dengan swasta, dalam dan luar negeri skala provinsi.
a.Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan pembangunan daerah skala kabupaten/kota.
Penetapan petunjuk teknis pembangunan skala kecamatan/desa.
Pelaksanaan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pembangunan daerah kecamatan/desa.
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kerjasama pembangunan antar kecamatan/desa dan antara kecamatan/desa dengan swasta, dalam dan luar negeri skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala nasional.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengembangan wilayah tertinggal, pesisir dan pulau-pulau kecil skala nasional.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala nasional.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala provinsi.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengembangan wilayah tertinggal, pesisir dan pulau-pulau kecil skala provinsi.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala provinsi.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala kabupaten/ kota.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengembangan wilayah tertinggal, pesisir dan pulau-pulau kecil skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan keserasian pengembangan perkotaan dan kawasan perdesaan skala nasional.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan terhadap kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan skala nasional.
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan keserasian pengembangan perkotaan dan kawasan perdesaan skala provinsi.
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan terhadap kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan skala provinsi.
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan keserasian pengembangan perkotaan dan kawasan perdesaan skala kabupaten/ kota.
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan terhadap kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Perhubungan Darat 1. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) 1. Pedoman dan penetapan tata cara penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan transportasi jalan.
— 1. — 2. Penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan transportasi jalan nasional.
Penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan transportasi jalan provinsi.
Penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan transportasi jalan kabupaten/kota.
Pedoman tata cara penyusunan dan penetapan kelas jalan. 3. — 3. — 4. Pedoman persyaratan penentuan lokasi, rancang bangun, dan penyelenggaraan terminal penumpang.
— 4. — 5. Pedoman tata cara penyusunan dan penetapan jaringan lintas angkutan barang.
— 5. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Penetapan persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan bermotor, kereta gandengan dan kereta tempelan.
— 6. — 7. Pedoman penetapan persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan tidak bermotor.
— 7. — 8. Pedoman tata cara pelaksanaan pengujian tipe kendaraan bermotor.
— 8. — 9. Pedoman tata cara penerbitan dan pencabutan sertifikat kompetensi penguji kendaraan bermotor.
— 9. — 10. Pedoman persyaratan dan kriteria teknis unit pengujian berkala kendaraan bermotor.
— 10. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11. Pedoman tata cara pelaksanaan pengujian berkala kendaraan bermotor.
— 11. — 12. Pedoman tata cara pelaksanaan kalibrasi peralatan uji kendaraan bermotor.
— 12. — 13. Pedoman tata cara pelaksanaan pemeriksaaan kendaraan bermotor di jalan.
— 13. — 14. Pedoman dan tata cara pelaksanaan pemeriksaan kendaraan bermotor (STNK dan BPKB).
— 14. — 15. Pedoman persyaratan teknis dan tata cara penyelenggaraan bengkel umum kendaraan bermotor.
— 15. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 16. Pedoman penyelenggaraan angkutan penumpang dengan kendaraan umum.
— 16. — 17. Pedoman penyelenggaraan angkutan barang. 17.— 17. — 18. Pedoman penyelenggaraan angkutan barang berbahaya, alat berat dan peti kemas serta angkutan barang khusus.
— 18. — 19. Pedoman perhitungan tarif angkutan penumpang. 19.— 19. — 20. Pedoman persyaratan teknis, rancang bangun, dan tata cara pengoperasian serta kalibrasi alat penimbangan kendaraan bermotor.
— 20. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 21. Pedoman persyaratan teknis, tata cara, penentuan lokasi, rancang bangun, dan pengoperasian fasilitas parkir untuk umum.
— 21 Pemberian izin penyelenggaraan dan pembangunan fasilitas parkir untuk umum.
Pedoman analisis dampak lalu lintas. 22. — 22. — 23. Pedoman tata cara penggunaan jalan selain untuk kepentingan lalu lintas. 23 — 23. — 24. — 24. Pengawasan dan pengendalian operasional terhadap penggunaan jalan selain untuk kepentingan lalu lintas di jalan nasional dan jalan provinsi.
Pengawasan dan pengendalian operasional terhadap penggunaan jalan selain untuk kepentingan lalu lintas di jalan kabupaten/kota.
Pedoman penyidikan pelanggaran lalu lintas dan angkutan jalan oleh PPNS.
— 25. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 26. Pedoman penyelenggaraan pendidikan dan latihan mengemudi. 26 — 26. Pengawasan penyelenggaraan pendidikan dan latihan mengemudi.
Pedoman penyelenggaraan dan tata cara memperoleh dan pencabutan Surat Izin Mengemudi (SIM).
— 27. — 28. Pedoman tata cara dan persyaratan penerbitan serta pencabutan sertifikat pengemudi angkutan penumpang umum dan barang tertentu.
— 28. — 29. Pedoman pengumpulan, pengolahan dan analisis kecelakaan lalu lintas.
— 29. — 30. Pedoman penyelenggaraan manajemen dan rekayasa lalu lintas.
— 30. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 31. Penetapan lokasi terminal penumpang Tipe A. 31. Penetapan lokasi terminal penumpang Tipe B. 31. Penetapan lokasi terminal penumpang Tipe C.
Penetapan norma, standar, kriteria, dan pengesahan rancang bangun terminal penumpang Tipe A.
Pengesahaan rancang bangun terminal penumpang Tipe B.
Pengesahaan rancang bangun terminal penumpang Tipe C.
Persetujuan pengoperasian terminal penumpang Tipe A. 33.Persetujuan pengoperasian terminal penumpang Tipe B.
Pembangunan pengoperasian terminal penumpang Tipe A, Tipe B, dan Tipe C.
Penetapan norma, standar, kriteria rancang bangun terminal angkutan barang.
— 34. — 35.— 35.— 35. Pembangunan terminal angkutan barang.
— 36.— 36. Pengoperasian terminal angkutan barang. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 37.Pelaksanaan uji tipe dan penerbitan sertifikat uji tipe kendaraan bermotor.
— 37. — 38.Registrasi uji tipe bagi kendaraan bermotor, serta penerbitan dan pencabutan sertifikat registrasi uji tipe bagi kendaraan bermotor yang tipenya sudah mendapatkan sertifikat uji tipe.
— 38. — 39.Penelitian dan pengesahan rancang bangun dan rekayasa kendaraan bermotor untuk karoseri, bak muatan, kereta gandengan, kereta tempelan dan kendaraan bermotor yang dimodifikasi berupa perubahan sumbu dan jarak sumbu.
— 39. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 40.Meregistrasi kendaraan bermotor dan menerbitkan sertifikat registrasi uji tipe bagi kendaraan bermotor yang dibuat berdasarkan rancang bangun yang sudah disahkan.
— 40. — 41.Penerbitan dan pencabutan sertifikat kompetensi penguji dan tanda kualifikasi teknis tenaga penguji.
— 41. — 42.Pembangunan fasilitas dan peralatan uji tipe. 42. — 42. — 43.Akreditasi unit pengujian berkala kendaraan bermotor. 43. — 43. — 44.Penerbitan sertifikat tanda lulus uji tipe. 44. — 44. — 45.Pelaksanaan kalibrasi peralatan uji kendaraan bermotor. 45. — 45. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 46.Akreditasi unit pelaksana pendaftaran kendaraan bermotor.
— 46. — 47.Penyusunan jaringan trayek dan penetapan kebutuhan kendaraan untuk angkutan yang wilayah pelayanannya melebihi satu wilayah provinsi atau lintas batas negara.
Penyusunan jaringan trayek dan penetapan kebutuhan kendaraan untuk angkutan yang wilayah pelayanannya melebihi wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi.
Penyusunan jaringan trayek dan penetapan kebutuhan kendaraan untuk kebutuhan angkutan yang wilayah pelayanannya dalam satu kabupaten/kota.
Penyusunan dan penetapan kelas jalan pada jaringan jalan nasional.
Penyusunan dan penetapan kelas jalan pada jaringan jalan provinsi.
Penyusunan dan penetapan kelas jalan pada jaringan jalan kabupaten/kota.
Pemberian izin trayek angkutan lintas batas negara dan antar kota antar provinsi.
Pemberian izin trayek angkutan antar kota dalam provinsi.
Pemberian izin trayek angkutan perdesaan/angkutan kota.
Penyusunan dan penetapan jaringan lintas angkutan barang pada jaringan jalan nasional.
Penyusunan dan penetapan jaringan lintas angkutan barang pada jaringan jalan provinsi.
Penyusunan dan penetapan jaringan lintas angkutan barang pada jaringan jalan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 51.Pemberian izin trayek angkutan perkotaan yang wilayah pelayanannya melebihi satu wilayah provinsi.
Pemberian izin trayek angkutan perkotaan yang wilayah pelayanannya melebihi satu wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi.
— 52.Penetapan wilayah operasi dan kebutuhan kendaraan untuk angkutan taksi yang melayani lebih dari satu wilayah provinsi.
Penetapan wilayah operasi dan kebutuhan kendaraan untuk angkutan taksi yang wilayah pelayanannya melebihi kebutuhan kabupaten/kota dalam satu provinsi.
Penetapan wilayah operasi dan kebutuhan kendaraan untuk angkutan taksi yang wilayah pelayanannya dalam satu kabupaten/kota.
Pemberian izin operasi angkutan taksi yang melayani khusus untuk pelayanan ke dan dari tempat tertentu yang memerlukan tingkat pelayanan tinggi/wilayah operasinya lebih dari satu provinsi.
Pemberian izin operasi angkutan taksi yang melayani khusus untuk pelayanan ke dan dari tempat tertentu yang memerlukan tingkat pelayanan tinggi/wilayah operasinya melebihi wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi.
Pemberian izin operasi angkutan taksi yang melayani wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 54.Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pemberian izin operasi angkutan sewa.
Pemberian izin operasi angkutan sewa. 54. Pemberian rekomendasi operasi angkutan sewa.
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pemberian izin operasi angkutan pariwisata.
Pemberian rekomendasi izin operasi angkutan pariwisata.
Pemberian izin usaha angkutan pariwisata.
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemberian izin usaha angkutan barang.
— 56. Pemberian izin usaha angkutan barang.
Pemberian persetujuan pengangkutan barang berbahaya, beracun dan alat berat.
— 57. — 58.Penetapan tarif dasar penumpang kelas ekonomi antar kota antar provinsi.
Penetapan tarif penumpang kelas ekonomi antar kota dalam provinsi.
Penetapan tarif penumpang kelas ekonomi angkutan dalam kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 59.Penetapan persyaratan teknis dan tata cara penempatan, pengadaan, pemasangan, pemeliharaan dan penghapusan rambu lalu lintas, marka jalan dan alat pemberi isyarat lalu lintas, alat pengendalian dan pengaman pemakai jalan, alat pengawasan dan pengamanan jalan serta fasilitas pendukung di jalan.
— 59. — 60.Penentuan lokasi, pengadaan, pemasangan, pemeliharaan dan penghapusan rambu lalu lintas, marka jalan dan alat pemberi isyarat lalu lintas, alat pengendali dan pengamanan pemakai jalan serta fasilitas pendukung di jalan nasional.
Penentuan lokasi, pengadaan, pemasangan, pemeliharaan dan penghapusan rambu lalu lintas, marka jalan dan alat pemberi isyarat lalu lintas, alat pengendali dan pengamanan pemakai jalan serta fasilitas pendukung di jalan provinsi.
Penentuan lokasi, pengadaan, pemasangan, pemeliharaan dan penghapusan rambu lalu lintas, marka jalan dan alat pemberi isyarat lalu lintas, alat pengendali dan pengamanan pemakai jalan serta fasilitas pendukung di jalan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 61.Penetapan lokasi alat pengawasan dan pengamanan jalan.
— 61. — 62.Akreditasi unit penimbangan kendaraan bermotor. 62. — 62. — 63.Sertifikasi petugas unit penimbangan kendaraan bermotor.
— 63. — 64.Kalibrasi alat penimbangan kendaraan bermotor. 64. — 64. — 65.Pengawasan terhadap pengoperasian unit penimbangan kendaraan bermotor.
Pengoperasian dan pemeliharaan unit penimbangan kendaraan bermotor.
— 66.Penyelenggaraan manajemen dan rekayasa lalu lintas di jalan nasional.
Penyelenggaraan manajemen dan rekayasa lalu lintas di jalan provinsi.
Penyelenggaraan manajemen dan rekayasa lalu lintas di jalan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 67.Penyelenggaraan analisis dampak lalu lintas (andalalin) di jalan nasional.
Penyelenggaraan andalalin di jalan provinsi. 67. Penyelenggaraan andalalin di jalan kabupaten/kota.
Sertifikasi kompentensi penilai andalalin. 68. — 68. — 69.Penetapan persyaratan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) bidang LLAJ.
— 69. — 70.Pengusulan pengangkatan dan pemberhentian PPNS bidang LLAJ.
— 70. — 71.Pengawasan pelaksanaan penyidikan bidang LLAJ. 71. — 71. — 72.Penetapan kualifikasi tenaga instruktur sekolah mengemudi. 72. — 72. — 73.Akreditasi pendidikan dan latihan mengemudi. 73. — 73. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 74.Penetapan kualifikasi pengemudi. 74. — 74. — 75.Akreditasi unit pelaksana penerbitan Surat Izin Mengemudi (SIM).
— 75. — 76.Penyelenggaraan pemberian SIM dan pendaftaran kendaraan bermotor.
— 76. — 77.Penyelenggaraan pemberian SIM internasional. 77. — 77. — 78.Akreditasi unit pelaksana penerbitan sertifikat kompetensi pengemudi angkutan penumpang umum dan barang tertentu.
— 78. — 79.Sertifikasi pengemudi angkutan penumpang umum. 79. — 79. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 80.Sertifikasi pengemudi dan pembantu pengemudi kendaraan pengangkut barang berbahaya dan beracun serta barang khusus.
— 80. — 81.Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan kecelakaan lalu lintas di jalan nasional dan jalan tol.
Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan kecelakaan lalu lintas di jalan provinsi.
Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan kecelakaan lalu lintas di jalan kabupaten/kota.
Penelitian dan pelaporan kecelakaan lalu lintas di jalan yang mengakibatkan korban meninggal dunia dan/atau yang menjadi isu nasional.
Penelitian dan pelaporan kecelakaan lalu lintas di jalan yang mengakibatkan korban meninggal dunia dan/atau yang menjadi isu provinsi.
Penelitian dan pelaporan kecelakaan lalu lintas di jalan yang mengakibatkan korban meninggal dunia dan/atau yang menjadi isu kabupaten/kota.
Pedoman persyaratan tenaga auditor keselamatan jalan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
— 83. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 84.Pedoman persyaratan tenaga investigator kecelakaan lalu lintas nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
— 84. — 85.Penerbitan dan pencabutan sertifikat tenaga auditor keselamatan jalan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
— 85. — 86.Penerbitan dan pencabutan sertifikat tenaga investigator kecelakaan lalu lintas jalan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
— 86. — 87.Penerbitan sertifikat registrasi uji tipe untuk rancang bangun kendaraan bermotor.
— 87. — 88.Pemeriksaan mutu rancang bangun kendaraan bermotor, kereta gandengan dan kereta tempelan.
— 88. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 89.Pengesahan modifikasi kendaraan bermotor dengan tidak mengubah tipe.
— 89. — 90.Penelitian dan penilaian kesesuaian fisik kendaraan bermotor, kereta gandengan, dan kereta tempelan dengan Surat Keputusan (SK) rancang bangun kendaraan bermotor yang diterbitkan oleh pemerintah.
— 90. — 91.Penerbitan surat keterangan bebas uji berkala pertama kali. 91. — 91. — 92.Pengawasan pelaksanaan pengujian berkala kendaraan bermotor.
— 92. Pelaksanaan pengujian berkala kendaraan bermotor.
Penilaian kinerja tenaga penguji berkala kendaraan bermotor. 93. — 93. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 94.Pemeriksaan kendaraan di jalan sesuai kewenangannya. 94. Pemeriksaan kendaraan di jalan sesuai kewenangannya.
Pemeriksaan kendaraan di jalan sesuai kewenangannya.
— 95. Pemberian izin operasi angkutan sewa berdasarkan kuota yang ditetapkan pemerintah.
— 96.— 96. Pengoperasian alat penimbang kendaraan bermotor di jalan.
— 97.Perizinan penggunaan jalan selain untuk kepentingan lalu lintas di jalan nasional kecuali jalan tol.
Perizinan penggunaan jalan selain untuk kepentingan lalu lintas di jalan provinsi.
Perizinan penggunaan jalan selain untuk kepentingan lalu lintas di jalan kabupaten/kota.
Pelaksanaan penyidikan pelanggaran ketentuan pidana Undang-undang tentang LLAJ.
Pelaksanaan penyidikan pelanggaran:
Perda provinsi bidang LLAJ.
Pelaksanaan penyidikan pelanggaran:
Perda kabupaten/kota bidang LLAJ. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Pemenuhan persyaratan teknis dan laik jalan.
Pelanggaran ketentuan pengujian berkala.
Perizinan angkutan umum.
Pemenuhan persyaratan teknis dan laik jalan.
Pelanggaran ketentuan pengujian berkala.
Perizinan angkutan umum.
Pengawasan pemberian SIM, pendaftaran kendaraan bermotor, dan sertifikat pengemudi angkutan penumpang umum dan barang tertentu.
— 99. — 100.Pengumpulan, pengolahan data, dan analisis kecelakaan lalu lintas tingkat nasional.
Pengumpulan, pengolahan data, dan analisis kecelakaan lalu lintas di wilayah provinsi.
Pengumpulan, pengolahan data, dan analisis kecelakaan lalu lintas di wilayah kabupaten/kota.
— 101. — 101.Pelaksanaan pengujian berkala kendaraan bermotor. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 102. — 102. — 102. Pemberian izin usaha bengkel umum kendaraan bemotor.
— 103. — 103. Pemberian izin trayek angkutan kota yang wilayah pelayanannya dalam satu wilayah kabupaten/kota.
— 104. — 104. Penentuan lokasi fasilitas parkir untuk umum di jalan kabupaten/kota.
— 105. — 105. Penentuan lokasi fasilitas parkir untuk umum di jalan kabupaten/kota.
— 106. — 106. Pengoperasian fasilitas parkir untuk umum di jalan kabupaten/kota.
— 107. — 107. Pemberian izin usaha mendirikan pendidikan dan latihan mengemudi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Lalu Lintas Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (LLASDP) 1. Penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan sungai dan danau antar provinsi.
Penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan sungai dan danau antar kabupaten/kota dalam provinsi.
Penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan sungai dan danau dalam kabupaten/kota.
Penyusunan dan penetapan rencana umum lintas penyeberangan yang terletak pada jaringan jalan nasional, dan antar negara, serta jaringan jalur kereta api nasional dan antar negara.
Penyusunan dan penetapan rencana umum lintas penyeberangan antar kabupaten/kota dalam provinsi yang terletak pada jaringan jalan provinsi.
Penyusunan dan penetapan rencana umum lintas penyeberangan dalam kabupaten/kota yang terletak pada jaringan jalan kabupaten/kota.
Pedoman penetapan lintas penyeberangan. 3. — 3. — 4. Penetapan lintas penyeberangan yang terletak pada jaringan jalan nasional, dan antar negara dan jaringan jalur kereta api dan antar negara.
Penetapan lintas penyeberangan antar kabupaten/kota dalam provinsi yang terletak pada jaringan jalan provinsi.
Penetapan lintas penyeberangan dalam kabupaten/kota yang terletak pada jaringan jalan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pedoman rancang bangun kapal Sungai, Danau, dan Penyeberangan (SDP).
— 5. — 6. Pengadaan kapal SDP. 6. Pengadaan kapal SDP. 6. Pengadaan kapal SDP.
Pedoman registrasi kapal sungai dan danau. 7. — 7. — 8. Pedoman pengoperasian kapal SDP. 8. — 8. — 9. Pedoman persyaratan pelayanan kapal SDP. 9. — 9. — 10. Pedoman pemeliharaan/ perawatan kapal SDP. 10.— 10.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11. Pedoman tata cara pengawasan terhadap pemberian surat ukur, surat tanda pendaftaran dan tanda pendaftaran, sertifikat kelaikan kapal, sertifikat pengawakan kapal, dan surat tanda kebangsaan kapal sungai dan danau.
— 11.— 12. Pengawasan terhadap pemberian surat ukur, surat tanda pendaftaran dan tanda pendaftaran, sertifikat kelaikan kapal, sertifikat pengawakan kapal, dan surat tanda kebangsaan kapal sungai dan danau 7 GT.
Pengawasan terhadap pemberian surat ukur, surat tanda pendaftaran dan tanda pendaftaran, sertifikat kelaikan kapal, sertifikat pengawakan kapal, dan surat tanda kebangsaan kapal sungai dan danau < 7 GT.
— 13. Pedoman penyelenggaraan pelabuhan SDP. 13.— 13.— 14. Pedoman penetapan lokasi pelabuhan SDP. 14.— 14.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 15. Penetapan lokasi pelabuhan penyeberangan. 15.Rekomendasi lokasi pelabuhan penyeberangan. 15.Rekomendasi lokasi pelabuhan penyeberangan.
— 16.— 16.Penetapan lokasi pelabuhan sungai dan danau.
Pedoman pembangunan pelabuhan SDP. 17.— 17.— 18. Pembangunan pelabuhan SDP. 18.Pembangunan pelabuhan SDP. 18.Pembangunan pelabuhan SDP.
Penyelenggaraan pelabuhan penyeberangan. 19.— 19.Penyelenggaraan pelabuhan penyeberangan.
Pengawasan penyelenggaraan pelabuhan penyeberangan pada jaringan jalan nasional dan antar negara serta jaringan jalur kereta api nasional dan antar negara.
— 20.— 21. — 21.— 21.Penyelenggaraan pelabuhan sungai dan danau. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 22. Pedoman penyusunan rencana induk, Daerah Lingkungan Kerja (DLKr)/Daerah Lingkungan Kepentingan (DLKp) pelabuhan SDP.
— 22. — 23. — 23.Pemberian rekomendasi rencana induk pelabuhan penyeberangan, DLKr/DLKp yang terletak pada jaringan jalan nasional dan antar negara serta jaringan jalur kereta api.
Pemberian rekomendasi rencana induk, DLKr/DLKp pelabuhan penyeberangan yang terletak pada jaringan jalan provinsi, nasional dan antar negara.
Penetapan rencana induk, DLKr/DLKp pelabuhan Penyeberangan yang terletak pada jaringan jalan nasional dan antar negara serta jaringan jalur kereta api nasional dan antar negara.
Penetapan rencana induk, DLKr/DLKp pelabuhan penyeberangan yang terletak pada jaringan jalan provinsi 24. Penetapan rencana induk, DLKr/DLKp pelabuhan SDP yang terletak pada jaringan jalan kabupaten/kota.
Pedoman sertifikasi pelabuhan SDP. 25.— 25. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 26. Penetapan sertifikasi pelabuhan SDP. 26.— 26. — 27. Pedoman pemeliharaan/ perawatan pelabuhan SDP. 27.— 27. — 28. Pedoman penetapan kelas alur pelayaran sungai dan danau. 28.— 28. — 29. — 29.Penetapan kelas alur pelayaran sungai. 29. — 30. Pedoman tata cara berlalu lintas di sungai dan danau. 30.— 30. — 31. Pedoman perambuan sungai, danau dan penyeberangan. 31.— 31. — 32. Pengadaan, pemasangan dan pemeliharaan rambu penyeberangan.
Pengadaan, pemasangan dan pemeliharaan rambu penyeberangan.
Pengadaan, pemasangan dan pemeliharaan rambu penyeberangan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 33. — 33.— 33. Izin pembuatan tempat penimbunan kayu (logpon), jaring terapung dan kerambah di sungai dan danau.
Pemetaan alur sungai untuk kebutuhan transportasi. 34.Pemetaan alur sungai lintas kabupaten/kota dalam provinsi untuk kebutuhan transportasi.
Pemetaan alur sungai kabupaten/kota untuk kebutuhan transportasi.
Pembangunan, pemeliharaan, pengerukan alur pelayaran sungai dan danau.
Pembangunan, pemeliharaan, pengerukan alur pelayaran sungai dan danau.
Pembangunan, pemeliharaan, pengerukan alur pelayaran sungai dan danau kabupaten/kota.
— 36.Izin pembangunan prasarana yang melintasi alur sungai dan danau.
— 37. Pedoman penyelenggaraan angkutan SDP. 37.— 37. — 38. Pedoman tarif angkutan SDP. 38.— 38. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 39. Penetapan tarif angkutan penyeberangan kelas ekonomi pada lintas penyeberangan yang terletak pada jaringan jalan nasional dan antar negara, serta jaringan jalur kereta api nasional dan antar negara.
Penetapan tarif angkutan penyeberangan kelas ekonomi pada lintas penyeberangan yang terletak pada jaringan jalan provinsi.
Penetapan tarif angkutan penyeberangan kelas ekonomi pada lintas penyeberangan dalam kabupaten/kota yang terletak pada jaringan jalan kabupaten/kota.
Penetapan tarif angkutan sungai dan danau kelas ekonomi pada lintas antar provinsi dan antar negara.
Penetapan tarif angkutan sungai dan danau kelas ekonomi antar kabupaten/kota dalam provinsi.
Penetapan tarif angkutan sungai dan danau kelas ekonomi dalam kabupaten/kota.
Pengawasan pelaksanaan tarif angkutan SDP pada jaringan jalan nasional dan antar negara.
Pengawasan pelaksanaan tarif angkutan SDP antar kabupaten/kota dalam provinsi yang terletak pada jaringan jalan provinsi.
Pengawasan pelaksanaan tarif angkutan SDP dalam kabupaten/kota yang terletak pada jaringan jalan kabupaten/kota.
Pedoman tarif jasa kepelabuhanan SDP. 42. — 42. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 43. Penetapan tarif jasa pelabuhan SDP yang tidak diusahakan yang dikelola pemerintah.
— 43. Penetapan tarif jasa pelabuhan SDP yang tidak diusahakan yang dikelola kabupaten/kota.
Pedoman/persyaratan pelayanan angkutan SDP. 44. — 44. — 45. Pemberian persetujuan pengoperasian kapal untuk lintas penyeberangan pada jaringan jalan nasional dan antar negara.
Pemberian persetujuan pengoperasian kapal untuk lintas penyeberangan antar kabupaten/kota dalam provinsi pada jaringan jalan provinsi.
Pemberian persetujuan pengoperasian kapal untuk lintas penyeberangan dalam kabupaten/kota pada jaringan jalan kabupaten/kota 46. Pengawasan pengoperasian penyelenggaraan angkutan sungai dan danau.
Pengawasan pengoperasian penyelenggaraan angkutan sungai dan danau.
Pengawasan pengoperasian penyelenggaran angkutan sungai dan danau.
Pengawasan pengoperasian penyelenggaraan angkutan penyeberangan pada lintas antar provinsi dan antar negara.
Pengawasan pengoperasian penyelenggaraan angkutan penyeberangan antar kabupaten/kota dalam provinsi pada jaringan jalan provinsi.
Pengawasan pengoperasian penyelenggaraan angkutan penyeberangan dalam kabupaten/kota pada jaringan jalan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 48. Pengawasan angkutan barang berbahaya dan khusus melalui angkutan SDP.
Pengawasan angkutan barang berbahaya dan khusus melalui angkutan SDP.
— 2. Perkeretaapian 1. Penetapan rencana induk perkeretaapian nasional. 1. Penetapan rencana induk perkeretaapian provinsi;
Penetapan rencana induk perkeretaapian kabupaten/kota.
Pembinaan yang dilakukan oleh Pemerintah meliputi :
Penetapan sasaran dan arah kebijakan pengembangan sistem perkeretaapian tingkat nasional dan perkeretaapian lokal yang jaringannya melebihi satu provinsi;
Pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah provinsi meliputi:
Penetapan sasaran dan arah kebijakan pengembangan sistem perkeretaapian provinsi dan perkeretaapian kabupaten /kota yang jaringannya melebihi wilayah kabupaten /kota;
Pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota meliputi :
Penetapan sasaran dan arah kebijakan pengembangan sistem perkeretaapian kabupaten/kota yang jaringannya berada di wilayah kabupaten/kota; SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Penetapan persyaratan, norma, pedoman, standar, kriteria dan prosedur penyelenggaraan perkeretaapian yang berlaku secara nasional;
Pelaksanaan perwujudan pengembangan sistem perkeretaapian tingkat nasional;
Penetapan kompetensi Pejabat yang melaksanakan fungsi di bidang perkeretaapian, pemberian arahan, bimbingan, pelatihan, dan bantuan teknis kepada pemerintah daerah dan masyarakat;dan e. Pengawasan terhadap pelaksanaan norma, persyaratan, pedoman, b. Pemberian arahan, bimbingan, pelatihan dan bantuan teknis kepada kabupaten/kota, pengguna dan penyedia jasa; dan
Pengawasan terhadap pelaksanaan perkeretaapian provinsi.
— e.— b. Pemberian arahan, bimbingan, pelatihan dan bantuan teknis kepada pengguna dan penyedia jasa; dan
Pengawasan terhadap pelaksanaan perkeretaapian kabupaten /kota.
— e. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA standar, kriteria dan prosedur yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan masyarakat dan pengawasan terhadap pelaksanaan perwujudan pengembangan sistem perkeretaapian tingkat nasional.
Penetapan persyaratan kelaikan operasi prasarana kereta api umum.
— 3. — 4. Pengusahaan prasarana kereta api umum yang tidak dilaksanakan oleh badan usaha prasarana kereta api.
Pengusahaan prasarana kereta api umum yang tidak dilaksanakan oleh badan usaha prasarana kereta api.
Pengusahaan prasarana kereta api umum yang tidak dilaksanakan oleh badan usaha prasarana kereta api.
Penetapan persyaratan perawatan prasarana kereta api. 5. — 5. — 6. Penetapan persyaratan kelaikan operasi sarana kereta api. 6. — 6. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Penetapan izin penyelenggaraan perkeretaapian khusus yang jaringan jalurnya melebihi wilayah satu provinsi.
Penetapan izin penyelenggaraan perkeretaapian khusus yang jaringan jalurnya melebihi wilayah satu kabupaten/ kota dalam satu provinsi.
Penetapan izin penyelenggaraan perkeretaapian khusus yang jaringan jalurnya dalam kabupaten/kota.
Penetapan jalur kereta api khusus yang jaringan melebihi satu provinsi.
Penetapan jalur kereta api khusus yang jaringan melebihi satu wilayah kabupaten/kota dalam provinsi.
Penetapan jalur kereta api khusus yang jaringan dalam wilayah kabupaten /kota.
Pengujian prasarana kereta api. 9. — 9. — 10. Penetapan akreditasi atau lembaga penguji berkala prasarana kereta api.
— 10. — 11. Pemberian sertifikat prasarana kereta api yang telah dinyatakan lulus uji pertama dan uji berkala.
— 11. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 12. Pemberian sertifikat tenaga tanda kecakapan pengoperasian prasarana kereta api.
— 12. — 13. Penetapan penunjukan badan hukum atau lembaga lain yang menyelenggarakan pendidikan dan/atau pelatihan tenaga pengoperasian prasarana kereta api.
— 13. — 14.Penetapan persyaratan dan kualifikasi tenaga perawatan prasarana kereta api.
— 14. — 15. — 15. Penutupan perlintasan untuk keselamatan perjalanan kereta api dan pemakai jalan perlintasan sebidang yang tidak mempunyai izin dan tidak ada penanggungjawabnya, dilakukan oleh pemilik dan/atau Pemerintah Daerah.
Penutupan perlintasan untuk keselamatan perjalanan kereta api dan pemakai jalan perlintasan sebidang yang tidak mempunyai izin dan tidak ada penanggungjawabnya, dilakukan oleh pemilik dan/atau Pemerintah Daerah. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 16.Pelaksanaan uji pertama dan uji berkala sarana kereta api. 16. — 16. — 17. Pemberian sertifikat kelaikan sarana kereta api yang telah dinyatakan lulus uji pertama dan uji berkala.
— 17. — 18. Pelimpahan wewenang kepada badan usaha atau lembaga untuk melaksanakan pengujian berkala sarana kereta api.
— 18. — 19. Penerbitan sertifikat tenaga penguji sarana kereta api yang memenuhi persyaratan dan kualifikasi tertentu.
— 19. — 20. Penetapan persyaratan perawatan sarana kereta api. 20. — 20. — 21. Penetapan persyaratan dan kualifikasi tenaga perawatan 21. — 21. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA sarana kereta api.
Pemberian sertifikat tanda kecakapan awak kereta api. 22. — 22. — 23. Penunjukan untuk melaksanakan pendidikan dan/atau pelatihan awak sarana kereta api kepada badan hukum atau lembaga 23. — 23. — 24. Penetapan jaringan pelayanan kereta api antar kota lintas batas negara, antar kota melebihi satu provinsi.
Penetapan jaringan pelayanan kereta api antar kota melebihi satu kabupaten/kota dalam satu provinsi.
Penetapan jaringan pelayanan kereta api dalam satu kabupaten/ kota.
Penetapan jaringan pelayanan kereta api perkotaan melampaui satu provinsi.
Penetapan jaringan pelayanan kereta api perkotaan melampaui satu kabupaten/kota dalam satu provinsi.
Penetapan jaringan pelayanan kereta api perkotaan berada dalam kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 26. Penetapan persetujuan angkutan orang dengan menggunakan gerbong kereta api dalam kondisi tertentu.
Penetapan persetujuan angkutan orang dengan menggunakan gerbong kereta api dalam kondisi tertentu yang pengoperasian di dalam wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi.
Penetapan persetujuan angkutan orang dengan menggunakan gerbong kereta api dalam kondisi tertentu yang pengoperasian di dalam wilayah kabupaten/kota.
Pemberian izin usaha kegiatan angkutan orang dan/atau barang dengan kereta api umum.
— 27. — 28. Izin operasi kegiatan angkutan orang dan/atau barang dengan kereta api umum untuk pelayanan angkutan lintas batas negara berdasarkan perjanjian antar negara dan untuk pelayanan angkutan antar kota dan perkotaan yang melintas layanannya melebihi 28. Izin operasi kegiatan angkutan orang dan/atau barang dengan kereta api umum untuk pelayanan angkutan antar kota dan perkotaan yang lintas pelayanannya melebihi satu kabupaten/kota dalam satu provinsi.
Izin operasi kegiatan angkutan orang dan/atau barang dengan kereta api umum untuk pelayanan angkutan antar kota dan perkotaan yang lintas pelayanannya dalam satu kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA satu provinsi.
Penetapan tarif penumpang kereta api dalam hal pelayanan angkutan yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat dan pelayanan angkutan yang disediakan untuk pengembangan wilayah, untuk layanan angkutan lintas batas negara berdasarkan perjanjian antar negara dan untuk pelayanan angkutan antar kota dan perkotaan yang lintas pelayanannya melebihi satu provinsi.
Penetapan tarif penumpang kereta api dalam hal pelayanan angkutan yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat dan pelayanan angkutan yang disediakan untuk pengembangan wilayah, untuk pelayanan angkutan antar kota dan perkotaan yang lintas pelayanannya melebihi satu kabupaten/kota dalam satu provinsi.
Penetapan tarif penumpang kereta api dalam hal pelayanan angkutan yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat dan pelayanan angkutan yang disediakan untuk pengembangan wilayah, untuk pelayanan angkutan antar kota dan perkotaan yang lintas pelayanannya dalam satu kabupaten/kota.
Pembentukan badan untuk pemeriksaan dan penelitian mengenai penyebab setiap kecelakakaan kereta api.
— 30. — 31. Penetapan persyaratan PPNS bidang perkeretaapian. 31. — 31. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 32. Pengangkatan dan pemberhentian PPNS bidang perkeretaapian.
— 32. — 3. Perhubungan Laut 1. Kapal berukuran tonase kotor sama dengan atau lebih dari 7 (GT 7) yang berlayar hanya di perairan daratan (sungai dan danau):
Kapal berukuran tonase kotor sama dengan atau lebih dari 7 (GT 7) yang berlayar hanya di perairan daratan (sungai dan danau):
Kapal berukuran tonase kotor sama dengan atau lebih dari 7 (GT 7) yang berlayar hanya di perairan daratan (sungai dan danau):
Penetapan standar laik air serta pedoman keselamatan kapal.
— a. — b. Penetapan prosedur pengawasan keselamatan kapal.
— b. — c. Pemberian izin pembangunan dan pengadaan kapal di atas GT 300.
Pemberian izin pembangunan dan pengadaan kapal sampai dengan GT 300 ditugaspembantuankan c. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA kepada provinsi.
Pengaturan pengukuran kapal. d. Pelaksanaan pengukuran kapal sampai dengan GT 300 ditugaspembantuankan kepada provinsi.
— e. Pengaturan pendaftaran kapal. e. — e. — f. Pengaturan pas kapal perairan daratan. f. — f. — g. Menetapkan tanda panggilan ( call sign ) kapal. g. — g. — h. — h. Pelaksanaan pengawasan keselamatan kapal.
— i. — i. Pelaksanaan pemeriksaan radio/elektronika kapal.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA j. — j. Pelaksanaan pengukuran kapal. j. — k. — k. Penerbitan pas perairan daratan. k. — l. — l. Pencatatan kapal dalam buku register pas perairan daratan.
— m. — m. Pelaksanaan pemeriksaan konstruksi. m. — n. — n. Pelaksanaan pemeriksaan permesinan kapal.
— o. — o. Penerbitan sertifikat keselamatan kapal. o. — p. — p. Pelaksanaan pemeriksaan perlengkapan kapal.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA q. — q. Penerbitan dokumen pengawakan kapal. q. — r. — r. — r. Pemberian surat izin berlayar.
Kapal berukuran tonase kotor kurang dari 7 (GT <7) yang berlayar hanya di perairan daratan (sungai dan danau):
Kapal berukuran tonase kotor kurang dari 7 (GT <7) yang berlayar hanya di perairan daratan (sungai dan danau):
Kapal berukuran tonase kotor kurang dari 7 (GT <7) yang berlayar hanya di perairan daratan (sungai dan danau):
Penetapan standar laik air serta pedoman keselamatan kapal.
— a. — b. Penetapan prosedur pengawasan keselamatan kapal.
— b. — c. Pengaturan pengukuran kapal. c. — c. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d. Pengaturan pas kapal perairan daratan. d. — d. — e. — e. Pemberian izin pembangunan dan pengadaan kapal.
— f. — f. — f. Pelaksanaan pengawasan keselamatan kapal.
— g. — g. Pelaksanaan pengukuran kapal.
— h. — h. Penerbitan pas perairan daratan.
— i. — i. Pencatatan kapal dalam buku register pas perairan daratan.
— j. — j. Pelaksanaan pemeriksaan konstruksi kapal. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA k. — k. — k. Pelaksanaan pemeriksaan permesinan kapal.
— l. — l. Pelaksanaan pemeriksaan perlengkapan kapal.
— m. — m. Penerbitan sertifikat keselamatan kapal.
— n. — n. Penerbitan dokumen pengawakan kapal.
— o. — o. Pemberian surat izin berlayar.
Kapal berukuran tonase kotor lebih dari atau sama dengan GT 7 (GT 7) yang berlayar di laut:
Kapal berukuran tonase kotor lebih dari atau sama dengan GT 7 (GT 7) yang berlayar di laut:
Kapal berukuran tonase kotor lebih dari atau sama dengan GT 7 (GT 7) yang berlayar di laut:
Penetapan standar laik air serta pedoman keselamatan kapal.
— a. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Penetapan prosedur pengawasan keselamatan kapal.
— b. — c. Pemberian izin pembangunan dan pengadaan kapal. c. — c. — d. Pengawasan pelaksanaan keselamatan kapal. d. — d. — e. Pelaksanaan pengukuran kapal. e. — e. — f. Pelaksanaan pendaftaran kapal. f. — f. — g. Penetapan tanda panggilan ( call sign ) kapal. g. — g. — h. Penerbitan surat tanda kebangsaan kapal. h. — h. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA i. Pencatatan kapal dalam buku register surat tanda kebangsaan kapal.
— i. — j. Penerbitan pas kecil. j. — j. — k. Pencatatan kapal dalam buku register pas kecil. k. — k. — l. Pelaksanaan pemeriksaan konstruksi kapal. l. — l. — m. Pelaksanaan pemeriksaan permesinan kapal. m. — m. — n. Penerbitan sertifikat keselamatan kapal. n. — n. — o. Pelaksanaan pemeriksaan perlengkapan kapal. o. — o. — p. Pelaksanaan pemeriksaan radio/elektronika kapal. p. — p. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA q. Penerbitan dokumen pengawakan kapal. q. — q. — r. Pemberian surat izin berlayar. r. — r. — 4. Kapal berukuran tonase kotor kurang dari GT 7 (GT < 7) yang berlayar di laut:
Kapal berukuran tonase kotor kurang dari GT 7 (GT < 7) yang berlayar di laut:
Kapal berukuran tonase kotor kurang dari GT 7 (GT < 7) yg berlayar di laut:
Penetapan standar laik air serta pedoman keselamatan kapal.
— a. — b. Penetapan prosedur pengawasan keselamatan kapal.
— b. — c. Pengaturan pengukuran kapal. c. — c. — d. Pengaturan surat tanda kebangsaan kapal (pas kecil). d. — d. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e. — e. Pemberian izin pembangunan dan pengadaan kapal.
— f. — f. — f. Pelaksanaan pengawasan keselamatan kapal.
g. — g. Pelaksanaan pengukuran kapal.
— h. — h. Penerbitan pas kecil .
— i. — i. Pencatatan kapal dalam buku register pas kecil.
— j. — j. Pelaksanaan pemeriksaan konstruksi kapal.
— k. — k. Pelaksanaan pemeriksaan permesinan kapal.
— l. — l. Penerbitan sertifikat keselamatan kapal. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA m. — m. — m. Pelaksanaan pemeriksaan perlengkapan kapal.
— n. — n. Penerbitan dokumen pengawakan kapal.
Pemberian surat izin berlayar. o. — o. — 5. Persetujuan lokasi pelabuhan laut. 5. — 5. Penetapan penggunaan tanah lokasi pelabuhan laut.
Penetapan rencana induk pelabuhan laut internasional hub, internasional dan nasional.
— 6. — 7. Pengelolaan pelabuhan laut internasional hub, internasional dan nasional lama.
Pengelolaan pelabuhan regional lama. 7. Pengelolaan pelabuhan lokal lama.
Pengelolaan pelabuhan baru yang dibangun oleh pemerintah. 8. Pengelolaan pelabuhan baru yang dibangun oleh provinsi.
Pengelolaan pelabuhan baru yang dibangun oleh kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Penetapan daerah lingkungan kerja dan daerah lingkungan kepentingan pelabuhan laut internasional hub, internasional dan nasional.
— 9. — 10.Penetapan keputusan pelaksanaan pembangunan pelabuhan laut internasional hub, internasional dan nasional.
— 10. — 11.Penetapan keputusan pelaksanaan pengoperasian pelabuhan laut internasional hub, internasional dan nasional.
— 11. — 12.Pertimbangan teknis penambahan dan atau pengembangan fasilitas pokok pelabuhan laut internasional hub, internasional, dan nasional.
— 12. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 13.Penetapan pengoperasian 24 (dua puluh empat) jam pelabuhan laut internasional hub, internasional dan nasional.
— 13. — 14.Penetapan pelabuhan laut untuk melayani angkutan peti kemas. 14. — 14. — 15.Pertimbangan teknis penetapan pelabuhan laut untuk melayani curah kering dan curah cair.
— 15. — 16.Persetujuan pengelolaan Dermaga Untuk Kepentingan Sendiri (DUKS) yang berlokasi di dalam DLKr/DLKp pelabuhan laut internasional hub, internasional dan nasional.
— 16. — 17.Pemberian izin kegiatan pengerukan dan/atau reklamasi di dalam DLKr/DLKp pelabuhan laut internasional hub, 17. — 17. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA internasional dan nasional.
Penetapan pelabuhan yang terbuka bagi perdagangan luar negeri.
— 18. — 19.— 19. Rekomendasi penetapan rencana induk pelabuhan laut internasional hub, internasional dan nasional.
Rekomendasi penetapan rencana induk pelabuhan laut internasional hub, internasional dan nasional.
— 20. Penetapan rencana induk pelabuhan laut regional. 20. — 21.— 21. — 21. Penetapan rencana induk pelabuhan lokal.
— 22. Rekomendasi penetapan lokasi pelabuhan umum. 22. Rekomendasi penetapan lokasi pelabuhan umum.
— 23. Rekomendasi penetapan lokasi pelabuhan khusus. 23. Rekomendasi penetapan lokasi pelabuhan khusus.
— 24. Penetapan keputusan pelaksanaan pembangunan 24. Penetapan keputusan pelaksanaan pembangunan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pelabuhan laut regional. pelabuhan laut lokal.
— 25. Penetapan pelaksanaan pembangunan pelabuhan khusus regional.
Penetapan pelaksanaan pembangunan pelabuhan khusus lokal.
— 26. Penetapan keputusan pelaksanaan pengoperasian pelabuhan laut regional.
Penetapan keputusan pelaksanaan pengoperasian pelabuhan laut lokal.
— 27. Penetapan izin pengoperasian pelabuhan khusus regional.
Penetapan izin pengoperasian pelabuhan khusus lokal.
— 28. Rekomendasi penetapan DLKr/DLKp pelabuhan laut internasional hub.
Rekomendasi penetapan DLKr/DLKp pelabuhan laut internasional hub.
— 29. Rekomendasi penetapan DLKr/DLKp pelabuhan laut internasional.
Rekomendasi penetapan DLKr/DLKp pelabuhan laut internasional.
— 30. Rekomendasi penetapan DLKr/DLKp pelabuhan laut nasional.
Rekomendasi penetapan DLKr/DLKp pelabuhan laut nasional. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 31.— 31. — 31. Rekomendasi penetapan DLKr/DLKp pelabuhan laut regional.
— 32. Penetapan DLKr/DLKp pelabuhan laut regional. 32. Penetapan DLKr/DLKp pelabuhan laut lokal.
— 33. Izin kegiatan pengerukan di dalam DLKr/DLKp pelabuhan laut regional.
— 34.— 34. Izin reklamasi di dalam DLKr/DLKp pelabuhan laut regional.
— 35.— 35. Pertimbangan teknis terhadap penambahan dan/atau pengembangan fasilitas pokok pelabuhan laut regional.
— 36.— 36. — 36. Pertimbangan teknis terhadap penambahan dan/atau pengembangan fasilitas pokok SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pelabuhan laut lokal.
— 37. Penetapan pelayanan operasional 24 (dua puluh empat) jam pelabuhan laut regional.
— 38.— 38. Izin kegiatan pengerukan di wilayah perairan pelabuhan khusus regional.
Izin kegiatan pengerukan di wilayah perairan pelabuhan khusus lokal.
— 39. Izin kegiatan reklamasi di wilayah perairan pelabuhan khusus regional.
Izin kegiatan reklamasi di wilayah perairan pelabuhan khusus lokal.
— 40. Penetapan pelayanan operasional 24 (dua puluh empat) jam pelabuhan khusus regional.
— 41.— 41. Penetapan DUKS di pelabuhan regional. 41. Penetapan DUKS di pelabuhan lokal. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 42.— 42. — 42. Pelaksanaan rancang bangun fasilitas pelabuhan bagi pelabuhan dengan pelayaran lokal (kabupaten/kota).
— 43. — 43. Izin kegiatan pengerukan di dalam DLKr/DLKp pelabuhan laut lokal.
— 44. — 44. Izin kegiatan reklamasi di dalam DLKr/DLKp pelabuhan laut lokal.
— 45. — 45. Penetapan pelayanan operasional 24 (dua puluh empat) jam pelabuhan laut lokal.
— 46. — 46. Penetapan pelayanan operasional 24 (dua puluh empat) jam pelabuhan khusus lokal. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 47.— 47. Rekomendasi penetapan pelabuhan yang terbuka bagi perdagangan luar negeri.
Rekomendasi penetapan pelabuhan yang terbuka bagi perdagangan luar negeri.
— 48. — 48. Penetapan besaran tarif jasa kepelabuhanan pada pelabuhan lokal yang diselenggarakan oleh pemerintah kabupaten/kota.
Izin usaha perusahaan angkutan laut bagi perusahaan yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan antar provinsi dan internasional.
Izin usaha perusahaan angkutan laut bagi perusahaan yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan antar kabupaten/kota dalam wilayah provinsi setempat.
Izin usaha perusahaan angkutan laut bagi perusahaan yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan dalam kabupaten/kota setempat.
— 50. Izin usaha pelayaran rakyat bagi perusahaan yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan 50. Izin usaha pelayaran rakyat bagi perusahaan yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan dalam SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA antar kabupaten/kota wilayah kabupaten/kota dalam wilayah provinsi setempat, pelabuhan antar/provinsi dan internasional (lintas batas). setempat.
— 51. Pemberitahuan pembukaan kantor cabang perusahaan angkutan laut nasional yang lingkup kegiatannya melayani lintas pelabuhan antar kabupaten/kota dalam satu provinsi.
Pemberitahuan pembukaan kantor cabang perusahaan angkutan laut nasional yang lingkup kegiatannya melayani lintas pelabuhan dalam satu kabupaten/kota.
— 52. Pemberitahuan pembukaan kantor cabang perusahaan pelayaran rakyat yang lingkup kegiatannya 52. Pemberitahuan pembukaan kantor cabang perusahaan pelayaran rakyat yang lingkup kegiatannya melayani SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA melayani lintas pelabuhan antar kabupaten/kota dalam satu provinsi, lintas pelabuhan antar provinsi serta lintas pelabuhan internasional (lintas batas). lintas pelabuhan dalam satu kabupaten/kota.
— 53. Pelaporan pengoperasian kapal secara tidak tetap dan tidak teratur ( tramper ) bagi perusahaan angkutan laut yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan antar kabupaten/kota dalam satu provinsi.
Pelaporan pengoperasian kapal secara tidak tetap dan tidak teratur ( tramper ) bagi perusahaan angkutan laut yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan dalam wilayah kabupaten/kota setempat.
— 54. Pelaporan penempatan kapal dalam trayek tetap dan teratur ( liner ) dan pengoperasian kapal secara 54. Pelaporan penempatan kapal dalam trayek tetap dan teratur ( liner ) dan pengoperasian kapal secara SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA tidak tetap dan tidak teratur ( tramper ) bagi perusahaan pelayaran rakyat yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan antar kabupaten/kota dalam wilayah provinsi setempat, pelabuhan antar provinsi dan internasional (lintas batas). tidak tetap dan tidak teratur ( tramper ) bagi perusahaan pelayaran rakyat yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan dalam wilayah kabupaten/kota setempat.
Izin operasi angkutan laut khusus. 55. — 55. — 56. — 56. Izin usaha tally di pelabuhan. 56. Izin usaha tally di pelabuhan.
— 57. Izin usaha bongkar muat barang dari dan ke kapal. 57. Izin usaha bongkar muat barang dari dan ke kapal.
— 58. Izin usaha ekspedisi/ Freight 58. Izin usaha ekspedisi/ Freight Forwarder . SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA Forwarder .
— 59. Izin usaha angkutan perairan pelabuhan. 59. — 60. — 60. Izin usaha penyewaan peralatan angkutan laut/ peralatan penunjang angkutan laut.
— 61. — 61. Izin usaha depo peti kemas. 61. — 62. Penetapan tarif angkutan laut dalam negeri untuk penumpang kelas ekonomi.
— 62. — 63. Penyusunan jaringan trayek angkutan laut dalam negeri. 63. — 63. — 64. Penetapan trayek angkutan laut perintis dan penempatan kapalnya.
— 64. — 65. — 65. — 65. Penetapan lokasi pemasangan dan pemeliharaan alat SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pengawasan dan alat pengamanan (rambu-rambu), danau dan sungai lintas kabupaten/kota 66. — 66. — 66. Pemberian rekomendasi dalam penerbitan izin usaha dan kegiatan salvage serta persetujuan Pekerjaan Bawah Air (PBA) dan pengawasan kegiatannya dalam kabupaten/kota.
Penetapan perairan pandu luar biasa. 67. — 67. — 68. Penetapan perairan wajib pandu. 68. — 68. — 69. Pelimpahan kewenangan pemanduan. 69. — 69. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Perhubungan Udara 1. Angkutan Udara 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang angkutan udara.
Penerbitan izin usaha angkutan udara niaga.
Penerbitan izin kegiatan angkutan udara.
Penetapan persetujuan rute penerbangan.
— 1. — 2. Pemantauan terhadap pelaksanaan kegiatan izin usaha angkutan udara niaga dan melaporkan ke Pemerintah.
Pemantauan terhadap pelaksanaan kegiatan izin kegiatan angkutan udara dan melaporkan ke pemerintah.
Pemantauan terhadap pelaksanaan kegiatan Jaringan dan Rute Penerbangan dan melaporkan ke pemerintah.
Mengusulan rute penerbangan baru ke dari daerah yang bersangkutan.
— 2. — 3. — 4. — 5. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Persetujuan penambahan atau pengurangan kapasitas angkutan udara rute penerbangan.
— 8. Persetujuan terbang Flight Approval (FA) untuk:
Penerbangan ke dan/dari luar negeri.
Perubahan jadwal penerbangan dalam negeri bagi perusahaan angkutan 6. Pemantauan pelaksanaan persetujuan rute penerbangan dan melaporkan ke pemerintah.
Pemantauan terhadap pelaksanaan persetujuan penambahan atau pengurangan kapasitas angkutan udara dan melaporkan ke pemerintah.
Pemantauan terhadap pelaksanaan persetujuan izin terbang/FA yang dikeluarkan oleh pemerintah dan melaporkan ke pemerintah.
— 7. — 8. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA udara berjadwal.
Penerbangan dalam negeri bagi perusahaan angkutan udara tidak berjadwal antar provinsi dengan pesawat udara di atas 30 tempat duduk.
— 10. — 9. Persetujuan izin terbang/FA perusahaan angkutan udara tidak berjadwal antar kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi dengan pesawat udara di atas 30 tempat duduk dan melaporkan ke Pemerintah.
Pemantauan terhadap pelaksanaan persetujuan izin terbang/FA perusahaan angkutan udara non berjadwal antar kabupaten/kota dalam 1 9. — 10.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11. Penetapan tarif angkutan udara (batas atas) dan tarif referensi angkutan udara.
Pemberian Sertifikasi personil petugas pengamanan operator penerbangan.
Sertifikasi personil pasasi. (satu) provinsi dengan pesawat udara diatas 30 tempat duduk dan melaporkan ke pemerintah.
Pemantauan terhadap pelaksanaan tarif angkutan udara (batas atas) dan tarif referensi angkutan udara dan melaporkan ke pemerintah.
Pemantauan terhadap personil petugas pengamanan operator penerbangan dan personil petugas pasasi dan melaporkan ke pemerintah.
— 11.— 12.— 13.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 14. Penerbitan izin general sales agent .
— 16. — 17. — 18. — 14.Pemantauan terhadap pelaksanaan kegiatan general sales agent dan melaporkan ke pemerintah.
Pemberian izin Ekspedisi Muatan Pesawat Udara (EMPU).
Pemberian arahan dan petunjuk terhadap kegiatan Ekspedisi Muatan Pesawat Udara (EMPU).
Pemantauan, penilaian, dan tindakan korektif terhadap pelaksanaan kegiatan EMPU dan melaporkan kepada pemerintah.
Pengawasan dan pengendalian izin EMPU.
— 15.— 16.— 17.— 18.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 19. Penetapan standar dan persyaratan peralatan pelayanan keamanan dan keselamatan perusahaan angkutan udara.
Pengawasan dan pengendalian berlakunya standar dan persyaratan peralatan pelayanan keamanan dan keselamatan perusahaan angkutan udara:
Pemeriksaan secara berkala dan insidentil terhadap berlakunya standar dan persyaratan peralatan pelayanan keamanan dan keselamatan perusahaan angkutan udara;
Pemberian rekomendasi atau teguran apabila tidak sesuai dengan standar yang 19.— 20.— 19.— 20.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA telah ditetapkan;
Pemberian arahan, petunjuk pelaksanaan, bimbingan dan penyuluhan berlakunya standar dan persyaratan peralatan pelayanan keamanan dan keselamatan perusahaan angkutan udara;
— 21.Pengusulan bandar udara yang terbuka untuk melayani angkutan udara ke/dari luar negeri. Pengusulan bandar udara di wilayah kerjanya yang terbuka untuk angkutan udara ke/dari luar negeri disertai alasan dan data 21.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 22. Penetapan besaran tarif jasa kebandarudaraan pada bandar udara pusat penyebaran dan bandar udara bukan pusat penyebaran yang ruang udara disekitarnya dikendalikan.
Pengawasan tarif jasa kebandarudaraan pada bandar udara pusat penyebaran dan bandar udara bukan pusat penyebaran yang ruang udara di sekitarnya dikendalikan. Pemantauan penilaian dan tindakan korektif terhadap pelaksanaan tarif jasa bandar dukung yang memadai. Mengusulkan penetapan tersebut kepada pemerintah.
— 23.— 22.— 23.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pesawat Udara udara, bagi bandar udara di wilayah kerjanya. Memberikan laporan secara periodik kepada pemerintah atas hasil kegiatan pengawasan pelaksanaan tarif jasa bandar udara bagi bandar udara di wilayah kerjanya.
Pemberian tindakan korektif terhadap pelanggaran ketentuan-ketentuan di bidang angkutan udara.
Pemberian tanda kebangsaan dan pendaftaran pesawat udara.
— 2. — 1. — 2. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Sertifikasi kelaikan udara.
Sertifikasi tipe pesawat udara.
Sertifikasi tipe validasi pesawat udara.
Sertifikasi tipe tambahan pesawat udara.
Sertifikasi produksi.
Sertifikasi operator pesawat udara.
Sertifikasi pengoperasian pesawat udara.
Sertifikasi perekayasaan produk aeronautika.
Sertifikasi pendaftaran pesawat udara.
— 4. — 5. — 6. — 7. — 8. — 9. — 10. — 11. — 3. — 4. — 5. — 6. — 7. — 8. — 9. — 10. — 11. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 12. Dokumen limitasi produksi.
Sertifikasi distributor produk aeronautika.
Sertifikasi penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan penerbangan (penerbang, teknik, flight engineer, flight operation officer dan awak kabin).
Sertifikasi penerbang.
Sertifikasi teknik.
Sertifikasi juru mesin pesawat udara.
Sertifikasi navigasi pesawat udara.
Sertifikasi awak kabin.
— 13. — 14. — 15. — 16. — 17. — 18. — 19. — 12. — 13. — 14. — 15. — 16. — 17. — 18. — 19. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 20. Sertifikasi personil ahli perawatan pesawat udara.
Sertifikasi personil penunjang operasi pesawat udara/ Flight Operation Officer (FOO).
Sertifikasi Ground Support Equipment (GSE).
Penerbitan izin pengadaan pesawat udara.
Sertifikasi persetujuan izin organisasi perawatan pesawat udara.
Sertifikasi penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan penerbangan (penerbangan, teknik, flight engineer, flight operation officer dan awak 20. — 21. — 22. — 23. — 24. — 25. — 20. — 21. — 22. — 23. — 24. — 25. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA kabin).
Persetujuan rancang bangun komponen pesawat udara.
Persetujuan izin persetujuan rancang bangun perubahan pesawat udara.
Penetapan standar laik udara serta pedoman keselamatan pesawat udara, auditing management keselamatan udara, penyidikan, penanggulangan kecelakaan, bencana pesawat udara. 29. Pemeriksaan dokumen dan persyaratan administrasi pengoperasian pesawat udara sesuai CASR 21 meliputi pemeriksaan FA, C of A,C of R, flight plan , wether forcase , loading cargo , dispach report .
Membantu pelaksanaan ramp 26. — 27. — 28. — 29. — 30. — 26. — 27. — 28. — 29. — 30. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA check dengan persyaratan SDM sebagai berikut: Min. D-II penerbang, teknik pesawat udara, S-1 teknik aeronautika, mesin, umum dan telah mengikuti airworthiness course , mengikuti dasar penerbangan bagi S-1 umum.
Pemeriksaan dokumen dan persyaratan administrasi awak sesuai CASR 61 & 65 meliputi pemeriksaan:
Licensi Captain , Cockpit ;
Lisensi Pramugari dan Pramugara;
Manifest;
Fuel Quantity pesawat udara.
Membantu pelaksanaan ramp 31. — 32. — 31. — 32. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Bandar Udara check dengan persyaratan SDM sebagai berikut:
Min D-II penerbang, D-II teknik pesawat udara, S-1 teknik aeronautika, mesin umum;
Telah mengikuti airworthiness course , mengikuti dasar-dasar penerbangan bagi S-1 umum.
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang bandar udara.
Penetapan lokasi bandar udara umum.
— 1. — 2. Pemberian rekomendasi penetapan lokasi bandar udara umum.
Pemantauan terhadap 1. — 2. Pemberian rekomendasi penetapan lokasi bandar udara umum.
Pemantauan terhadap SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Penetapan/izin pembangunan bandar udara umum yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk.
— pelaksanaan keputusan penetapan lokasi bandar udara umum dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara.
Pemberian rekomendasi penetapan/izin pembangunan bandar udara umum yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk.
Pemantauan terhadap penetapan/izin pembangunan bandar udara umum yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk dan melaporkan ke pemerintah pada bandar udara yang belum terdapat kantor pelaksanaan keputusan penetapan lokasi bandar udara umum dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara.
Penetapan/izin pembangunan bandar udara umum yang melayani pesawat udara < 30 tempat duduk.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Penetapan/izin pembangunan bandar udara khusus yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk.
Pemberian sertifikat operasi bandar udara.
Sertifikasi pengatur pergerakan pesawat udara di appron. adbandara.
Pemantauan terhadap pelaksanaan penetapan/izin pembangunan bandar udara khusus yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk dan melaporkan kepada pemerintah.
— 8. Pemantauan terhadap pelaksanaan kegiatan pengatur pesawat udara di apron, Pertolongan Kecelakaan Penerbangan- Pemadam Kebakaran (PKP- PK), salvage , pengamanan bandar udara dan GSE, pada bandar udara yang 6. — 7. — 8. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Sertifikasi PKP-PK dan salvage .
Sertifikasi petugas pengamanan bandar udara.
Pemberian sertifikasi personil teknik bandar udara.
Penetapan bandar udara internasional.
Pengunaan bandar udara belum terdapat kantor adbandara.
— 10. — 11. Pemantauan terhadap personil teknik bandar udara dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara.
Pemantauan terhadap pelaksanaan penetapan bandar udara internasional dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara.
— 9. — 10. — 11. — 12. — 13. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA khusus untuk umum.
Pembentukan Komite Nasional Fasilitasi (KOMNASFAL) Udara.
Pembentukan Komite Fasilitasi (KOMFAL) bandar udara.
Penetapan batas-batas kawasan keselamatan operasi bandar udara umum yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk.
— 14. — 15. Dapat menjadi anggota KOMFAL apabila bandar udara berdekatan dengan wilayah kerjanya.
Pemantauan terhadap pelaksanaan penetapan batas-batas kawasan keselamatan operasi bandar udara umum yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara.
Pemantauan terhadap pelaksanaan penetapan 14. — 15. — 16. — 17. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 18. Pemberian tindakan korektif terhadap pelanggaran ketentuan-ketentuan di bidang bandar udara.
Penetapan standar dan persyaratan peralatan penunjang operasi pesawat udara.
Pengawasan dan pengendalian berlakunya standar dan persyaratan peralatan pengoperasian bandar udara: batas-batas kawasan keselamatan operasi bandar udara umum yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara.
— 19. — 20. — 18. — 19. — 20. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA a. Pemantauan terhadap kelengkapan sertifikat kelayakan operasi peralatan penunjang pelayanan darat pesawat udara.
Penilaian terhadap kemampuan peralatan penunjang operasi bandar udara.
Tindakan korektif terhadap peralatan penunjang operasi bandar udara dengan cara memberikan laporan kepada pemerintah.
Sertifikat kelaikan operasi peralatan penunjang pelayanan darat pesawat udara diterbitkan oleh pemerintah.
— b. — c. — d. — a. — b. — c. — d. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e. Pelaksanaan pemeriksaan terhadap peralatan pelayanan darat pesawat udara dapat dilaksanakan oleh badan hukum yang memenuhi persyaratan.
Pemberian arahan, petunjuk pelaksanaan, bimbingan dan penyuluhan berlakunya standar dan persyaratan peralatan pengoperasian bandar udara.
Penetapan standar dan persyaratan peralatan pengoperasian bandar udara.
Pengawasan dan pengendalian berlakunya standar dan persyaratan peralatan penunjang operasi pesawat udara:
— f. — 21. — 22. — e. — f. — 21. — 22. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA a. Pemeriksaan secara berkala dan insidentil terhadap berlakunya standar dan persyaratan peralatan penunjang operasi pesawat udara.
Pemberian rekomendasi atau teguran apabila tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Pemberian arahan dan petunjuk pelaksanaan berlakunya standar dan persyaratan peralatan penunjang operasi pesawat udara.
Pemberian bimbingan dan penyuluhan terhadap a. — b. — c. — d. — a. — b. — c. — d. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA berlakunya standar dan persyaratan peralatan penunjang operasi pesawat udara.
Pengawasan dan pengendalian berlakunya standar dan persyaratan peralatan pengoperasian bandar udara.
Pemantauan terhadap kelengkapan sertifikat kelayakan operasi peralatan penunjang pelayanan darat pesawat udara.
Penilaian terhadap kemampuan peralatan penunjang operasi bandar udara.
Tindakan korektif terhadap peralatan penunjang operasi bandar udara dengan cara memberikan laporan kepada 23. — a. — b. — c. — 23. — a. — b. — c. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pemerintah.
Sertifikat kelaikan operasi peralatan penunjang pelayanan darat pesawat udara diterbitkan oleh pemerintah.
Pelaksanaan pemeriksaan terhadap peralatan pelayanan darat pesawat udara dapat dilaksanakan oleh badan hukum yang memenuhi persyaratan.
Pemberian arahan, petunjuk pelaksanaan, bimbingan dan penyuluhan berlakunya standar dan persyaratan peralatan pengoperasian bandar udara.
— d. — e. — f. — 24. Ijin pembangunan bandar udara khusus yang d. — e. — f. — 24. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 25. Penetapan tatanan kebandarudaraan nasional.
Pengawasan dan pengendalian pembangunan bandar udara umum.
Tindakan korektif terhadap penyimpangan rencana melayani pesawat udara dengan kapasitas < 30 (tiga puluh) tempat duduk dan ruang udara disekitarnya tidak dikendalikan dan terletak dalam 2 (dua) kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi, sesuai dengan batas kewenangan wilayahnya. Pemberitahuan pemberian ijin pembangunan bandar udara khusus.
— 26. — 27. — 25. — 26. — 27. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pembangunan/pengembangan dari ketetapan tatanan kebandarudaraan.
— 29. Pengaturan sistem pendukung penerbangan di bandar udara 28. Pemberian arahan dan petunjuk pelaksanaan kepada penyelenggara bandar udara, serta kantor terkait lainnya tentang tatanan kebandarudaraan dan memberikan perlindungan hukum terhadap lokasi tanah dan/atau perairan serta ruang udara untuk penyelenggaraan bandar udara umum serta pengoperasian bandar udara dalam bentuk Peraturan Pemerintah Daerah.
— 28. — 29. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA (peralatan penunjang penerbangan dan penunjang operasi bandar udara).
Pengawasan dan pengendalian sistem pendukung penerbangan di bandar udara (peralatan penunjang penerbangan dan penunjang operasi bandar udara).
Pemeriksaan secara berkala dan insidentil terhadap sistem pendukung penerbangan di bandar udara (peralatan penunjang penerbangan dan penunjang operasi bandar udara).
Pemberian rekomendasi/ teguran apabila sistem pendukung penerbangan di bandar udara (peralatan penunjang penerbangan dan 30. — 31. — 32. — 30. — 31. — 32. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA penunjang operasi bandar udara) tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Pemberian arahan, petunjuk pelaksanaan, bimbingan dan penyuluhan berlakunya sistem pendukung penerbangan di bandar udara (peralatan penunjang penerbangan dan penunjang operasi bandar udara).
Penetapan standar rencana induk bandar udara, Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP) di sekitar bandar udara, kawasan kebisingan dan daerah lingkungan kerja di sekitar bandar udara.
— 34. — 33. — 34. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Keselamatan Penerbangan (Kespen) 35. Rekomendasi mendirikan bangunan pada rencana induk bandar udara, KKOP di sekitar bandar udara, kawasan kebisingan di sekitar bandar udara dan DLKr yang telah ditetapkan pada bandar udara pusat penyebaran dan bukan pusat penyebaran yang ruang udara di sekitarnya dikendalikan.
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang kespen.
Audit terkait dengan sertifikasi operasi bandar udara.
Sertifikasi personil fasilitas/peralatan elektronika dan listrik penerbangan.
— 1. — 2. — 3. Pemantauan terhadap personil fasilitas/peralatan elektonika dan listrik 35. — 1. — 2. — 3. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Sertifikasi fasilitas/peralatan elektronika dan listrik penerbangan.
Sertifikasi fasilitas/peralatan GSE.
Sertifikasi personil navigasi penerbangan. penerbangan dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara.
Pemantauan terhadap sertifikasi fasilitas/peralatan elektonika dan listrik penerbangan dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara. 5. Pemantauan terhadap kegiatan GSE dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara.
— 4. — 5. — 6. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Melakukan pemantauan terhadap personil navigasi penerbangan.
Sertifikasi personil GSE.
Penetapan persetujuan pemberian izin (pengangkutan angkutan bahan dan/atau barang berbahaya).
Penetapan standar persyaratan pengangkutan bahan dan/atau barang berbahaya.
Penetapan/izin operasi bandar 7. — 8. Pemantauan terhadap personil GSE dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara.
— 10. — 11. Pemantauan terhadap 7. — 8. — 9. — 10. — 11. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA udara umum yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk.
Penetapan/izin operasi bandar udara khusus yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk.
Penetapan standar operasi prosedur yang terkait dengan pengamanan bandar udara. pelaksanaan penetapan/izin operasi bandar udara umum yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara.
Pemantauan terhadap pelaksanaan penetapan/izin operasi bandar udara khusus yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara.
Pemantauan terhadap pelaksanaan standar operasi prosedur yang 12. — 13. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 14. Penetapan standar dan persyaratan peralatan pelayanan navigasi penerbangan.
Pengawasan dan pengendalian berlakunya standar dan persyaratan peralatan pelayanan navigasi penerbangan:
Pemeriksaan secara berkala dan insidentil terhadap berlakunya standar dan persyaratan peralatan pelayanan navigasi penerbangan. terkait dengan pengamanan bandar udara dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara.
— 15. — a. — 14. — 15. — a. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Pemberian rekomendasi atau teguran apabila tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Pemberian arahan, petunjuk pelaksanaan, bimbingan dan penyuluhan berlakunya standar dan persyaratan peralatan pelayanan navigasi penerbangan.
Penetapan pelayanan navigasi penerbangan di bandar udara.
Sertifikat personil pengangkutan bahan dan/atau barang berbahaya:
Pemerintah melakukan supervisi dalam proses b. — c. — 16. — 17. — a. — b. — c. — 16. — 17. — a. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pelaksanaan penerbitan sertifikat.
Pemerintah dapat melakukan tindakan korektif (peringatan, pembekuan atau pencabutan) bilamana terdapat pelanggaran dari kewenangan yang diberikan.
Dalam melakukan supervisi pemerintah dapat langsung berhubungan dengan Dinas Perhubungan Provinsi atau personil yang diberikan otorisasi.
Sertifikasi peralatan penunjang operasi pesawat udara.
Sertifikasi peralatan pengoperasian bandar udara.
— c. — 18. — 19. — b. — c. — 18. — 19. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 20. Sertifikasi peralatan pelayanan keamanan dan keselamatan perusahaan angkutan udara.
Sertifikasi personil operasi pesawat udara.
Sertifikasi personil pelayanan pengoperasian bandar udara.
Pemerintah melakukan supervisi dalam proses pelaksanaan penerbitan sertifikat.
Pemerintah dapat melakukan tindakan korektif (peringatan, pembekuan atau pencabutan) bilamana terdapat pelanggaran dari kewenangan yang diberikan.
Dalam melakukan supervisi pemerintah dapat langsung 20. — 21. — 22. — a. — b. — c. — 20. — 21. — 22. — a. — b. — c. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA berhubungan dengan Dinas Provinsi atau Personil yang diberikan otorisasi.
Sertifikasi personil pelayanan keamanan dan keselamatan perusahaan angkutan udara:
Pemerintah melakukan supervisi dalam proses pelaksanaan penerbitan sertifikat.
Pemerintah dapat melakukan tindakan korektif (peringatan, pembekuan atau pencabutan) bilamana terdapat pelanggaran dari kewenangan yang diberikan.
Dalam melakukan supervisi Pemerintah dapat langsung 23. — a. — b. — c. — 23. — a. — b. — c. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA berhubungan dengan Dinas Provinsi atau Personil yang diberikan otorisasi.
Pengesahan program penanggulangan gawat darurat di bandar udara:
Dalam melakukan supervisi Pemerintah dapat langsung berhubungan dengan Dinas Perhubungan Provinsi atau Personil yang diberikan otorisasi.
Personil yang memiliki kualifikasi yang dibuktikan dengan letter of authorization /sertifikat otorisasi pemerintah. Masa berlaku otorisasi 1 tahun dan dapat diperpanjang.
Pengesahan program 24. — a. — b. — 25. — 24. — a. — b. — 25. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pengamanan bandar udara:
Pemerintah melakukan supervisi dalam proses pelaksanaan pengesahan sertifikat.
Pemerintah dapat melakukan tindakan korektif (peringatan, pembekuan atau pencabutan) bilamana terdapat pelanggaran dari kewenangan yang diberikan.
Dalam melakukan supervisi pemerintah dapat langsung berhubungan dengan Dinas Perhubungan Provinsi atau Personil yang diberikan otorisasi.
Penelitian awal terhadap insiden di appron berdasarkan a. — b. — c. — 26. Membantu kelancaran pemeriksaan pendahuluan a. — b. — c. — 26. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA peraturan pemerintah. kecelakaan pesawat udara:
Membantu kelancaran Tim investigasi dalam pencapaian lokasi kecelakaan.
Membantu kelancaran dalam melaksanakan tugas monitor pesawat udara milik pemerintah dan dalam melaksanakan koordinasi dengan unit terkait.
Membantu kelancaran keimigrasian Tim Investigasi warga asing. H. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Pengendalian Dampak Lingkungan 1. Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) 1. Menetapkan kebijakan mengenai pengelolaan Limbah B3 yang antara lain mencakup:
Penetapan Limbah B3 berdasarkan sumber spesifik, karakteristik, Lethal Dose Fifty (LD50), Toxicity Characteristic Leaching Procedure (TCLP), kronis, dan list (daftar).
Penetapan status B3.
Tempat penyimpanan sementara, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan penimbunan limbah B3.
Ɇ a. — b. — c. — 1. Ɇ a. — b. — c. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d. Notifikasi B3 dan limbah B3.
Pengawasan pengelolaan limbah B3.
Pengawasan pelaksanaan sistem tanggap darurat skala nasional.
Pengawasan penanggulangan kecelakaan pengelolaan limbah B3 skala nasional.
Pengawasan pelaksanaan pengelolaan limbah B3.
Menyelenggarakan registrasi B3.
Pengawasan pengelolaan (B3).
— e. — f. — g. — 2. Pengawasan pelaksanaan pengelolaan limbah B3 skala provinsi.
— 4. — d. — e. — f. — g. — 2. Pengawasan pelaksanaan pengelolaan Limbah B3 skala kabupaten/kota.
— 4. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Memberikan rekomendasi pengangkutan limbah B3.
Izin pengumpulan limbah B3 skala nasional.
Izin pemanfaatan limbah B3.
Izin pengolahan limbah B3.
Izin operasi peralatan pengolahan limbah B3.
Izin operasi penimbunan limbah B3.
Pengawasan pelaksanaan pemulihan akibat pencemaran limbah B3 skala nasional.
— 6. Izin pengumpulan limbah B3 skala provinsi ( sumber limbah lintas kabupaten/kota) kecuali minyak pelumas/oli bekas.
— 8. — 9. — 10. — 11. Pengawasan pelaksanaan pemulihan akibat pencemaran limbah B3 pada skala provinsi.
— 6. Izin pengumpulan limbah B3 pada skala kabupaten/kota kecuali minyak pelumas/oli bekas.
— 8. — 9. — 10. — 11. Pengawasan pelaksanaan pemulihan akibat pencemaran limbah B3 pada skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 12. — 13. — 14. — 15. — 16. Ɇ 12. Rekomendasi izin pengumpulan limbah B3 skala nasional.
Pengawasan pelaksanaan sistem tanggap darurat skala provinsi.
Pengawasan penanggulangan kecelakaan pengelolaan limbah B3 skala provinsi.
— 16. Ɇ 12. — 13. Pengawasan pelaksanaan sistem tanggap darurat skala kabupaten/kota.
Pengawasan penanggulangan kecelakaan pengelolaan limbah B3 kabupaten/kota.
Izin lokasi pengolahan limbah B3.
Izin penyimpanan sementara limbah B3 di industri atau usaha suatu kegiatan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) 1. Pengaturan dan penetapan pedoman penerapan AMDAL dan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL/ UPL).
Penilaian AMDAL bagi jenis usaha dan/atau kegiatan:
Strategis dan/atau menyangkut pertahanan keamanan negara.
Berlokasi lebih dari satu wilayah provinsi.
Berlokasi di wilayah sengketa dengan negara lain.
Penilaian AMDAL bagi jenis usaha dan/atau kegiatan yang mempunyai dampak penting terhadap lingkungan hidup di provinsi, sesuai dengan standar, norma, dan prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah.
Pembinaan dan pengawasan terhadap penilaian AMDAL di kabupaten/kota.
— b. — c. — 1. Penilaian AMDAL bagi jenis usaha dan/atau kegiatan yang mempunyai dampak penting terhadap lingkungan hidup di kabupaten/ kota, sesuai dengan standar, norma, dan prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah.
Pemberian rekomendasi UKL dan UPL.
— b. — c. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d. Berlokasi di wilayah laut di luar kewenangan daerah.
Berlokasi di lintas batas Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pengawasan terhadap pelaksanaan penilaian AMDAL oleh provinsi dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup bagi usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi AMDAL dalam rangka uji petik.
Pembinaan terhadap pelaksanaan penilaian AMDAL dan pelaksanaan pengawasan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang dilakukan oleh provinsi.
— e. — 3. Pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup bagi jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi AMDAL dalam wilayah provinsi dalam rangka uji petik.
Pengawasan terhadap pelaksanaan pemberian rekomendasi UKL/UPL yang dilakukan oleh kabupaten/kota dalam wilayah Provinsi.
— e. — 3. Pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup bagi jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi AMDAL dalam wilayah kabupaten/kota.
Pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup bagi seluruh jenis usaha dan/atau kegiatan di luar usaha dan/atau kegiatan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pembinaan terhadap pelaksanaan pengawasan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang dilakukan oleh kabupaten/kota bagi usaha dan/atau yang wajib dilengkapi AMDAL yang menjadi urusan wajib pemerintah.
Pengaturan AMDAL, UKL dan UPL.
Pembinaan terhadap pelaksanaan pengawasan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang dilakukan oleh kabupaten/kota bagi jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi AMDAL dan UKL/UPL dalam wilayah provinsi.
Pembinaan terhadap pelaksanaan pemberian rekomendasi UKL/UPL yang dilakukan oleh kabupaten/kota dalam wilayah provinsi. yang wajib dilengkapi AMDAL dalam wilayah kabupaten/kota.
— 6. ² SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air 1. Pengelolaan kualitas air skala nasional dan/atau lintas batas negara.
Penetapan kelas air pada sumber air skala nasional dan/atau merupakan lintas batas wilayah negara.
Koordinasi dan pelaksanaan pemantauan kualitas air pada sumber air skala nasional dan/atau merupakan lintas batas negara.
Pengendalian pencemaran air pada sumber air skala nasional dan/atau lintas batas negara.
Koordinasi pengelolaan kualitas air skala provinsi.
Penetapan kelas air pada sumber air skala provinsi.
Koordinasi pemantauan kualitas air pada sumber air skala provinsi.
Penetapan pengendalian pencemaran air pada sumber air skala provinsi.
Pengelolaan kualitas air skala kabupaten/kota.
Penetapan kelas air pada sumber air skala kabupaten/kota.
Pemantauan kualitas air pada sumber air skala kabupaten/kota.
Pengendalian pencemaran air pada sumber air skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pengawasan pengendalian pencemaran air skala nasional.
Penetapan baku mutu air lebih ketat dan/atau penambahan parameter pada air skala nasional dan/atau lintas batas negara.
Penerapan paksaan pemerintahan atau uang paksa terhadap pelaksanaan penanggulangan pencemaran air skala nasional pada keadaan darurat dan/atau keadaan yang tidak terduga lainnya.
Pengawasan pelaksanaan pengendalian pencemaran air skala provinsi.
Penetapan baku mutu air lebih ketat dan/atau penambahan parameter dari kriteria mutu air skala provinsi.
Penerapan paksaan pemerintahan atau uang paksa terhadap pelaksanaan penanggulangan pencemaran air skala provinsi pada keadaan darurat dan/atau keadaan yang tidak terduga lainnya skala provinsi.
Pengawasan terhadap penaatan persyaratan yang tercantum dalam izin pembuangan air limbah ke air atau sumber air.
Penerapan paksaan pemerintahan atau uang paksa terhadap pelaksanaan penanggulangan pencemaran air skala kabupaten/kota pada keadaan darurat dan/atau keadaan yang tidak terduga lainnya.
Pengaturan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Pengaturan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.
Pengaturan baku mutu air limbah untuk berbagai kegiatan.
Penetapan baku mutu dan peruntukan sungai lintas provinsi.
Pengaturan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air skala provinsi.
Penetapan baku mutu air limbah untuk berbagai kegiatan sama atau lebih ketat dari pemerintah.
Pembinaan, pengawasan dan evaluasi pelaksanaan pemberian izin pembuangan limbah cair lintas kabupaten/kota.
Perizinan pembuangan air limbah ke air atau sumber air.
Perizinan pemanfaatan air limbah ke tanah untuk aplikasi pada tanah.
— 4. Pengelolaan Kualitas Udara dan Pengendalian Pencemaran Udara.
Pengelolaan Kualitas Udara skala Nasional dan/atau lintas batas negara.
Penetapan baku mutu udara ambien nasional, kebisingan dan getaran lingkungan.
Ɇ 2. Penetapan baku mutu udara ambien daerah lebih ketat atau sama dengan baku mutu udara ambien nasional.
Ɇ 2. Pemantauan kualitas udara ambien, emisi sumber bergerak dan tidak bergerak skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan baku mutu emisi udara sumber tidak bergerak, ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor lama.
Penetapan baku tingkat kebisingan dan getaran sumber tidak bergerak dan baku tingkat kebisingan kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor lama skala nasional.
Penetapan Indeks Standar Pencemar Udara.
Penetapan status mutu udara ambien daerah.
Penetapan baku mutu emisi udara sumber tidak bergerak, ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor lama dan penetapan baku tingkat kebisingan dan getaran sumber tidak bergerak dan baku tingkat kebisingan kendaraan bermotor lama skala provinsi.
Pelaksanaan koordinasi operasional pengendalian pencemaran udara skala provinsi.
Ɇ 4. Pengujian emisi gas buang dan kebisingan kendaraan bermotor lama secara berkala.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Koordinasi dan pelaksanaan pemantauan kualitas udara lintas provinsi atau lintas batas negara atau skala global (asap kebakaran hutan, hujan asam dan gas rumah kaca) skala nasional.
Pengaturan pengelolaan kualitas udara dan pengendalian pencemaran udara skala nasional.
Pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat menyebabkan terjadinya pencemaran 6. Koordinasi dan pelaksanaan pemantauan kualitas udara skala provinsi.
Pembinaan dan pengawasan baku mutu emisi udara sumber tidak bergerak, ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor lama dan penetapan baku tingkat kebisingan dan getaran sumber tidak bergerak dan baku tingkat kebisingan kendaraan bermotor lama skala provinsi.
Pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat menyebabkan terjadinya pencemaran udara skala 6. Koordinasi dan pelaksanaan pemantauan kualitas udara skala kabupaten/kota 7. — 8. Pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat menyebabkan terjadinya SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA udara.
Penetapan standar pengelolaan kualitas udara dalam ruangan. provinsi.
Pemantauan kualitas udara dalam ruangan. pencemaran udara dari sumber bergerak dan tidak bergerak skala kabupaten/kota.
Pemantauan kualitas udara ambien dan dalam ruangan.
Pengendalian Pencemaran dan/atau Kerusakan Pesisir dan Laut 1. Penetapan baku mutu air laut skala nasional.
Penetapan kriteria baku kerusakan lingkungan pesisir dan laut skala nasional.
Pemberian izin dumping ke laut.
Penetapan baku mutu air laut skala provinsi.
Penetapan kriteria baku kerusakan lingkungan pesisir dan laut skala provinsi.
Penetapan lokasi dalam pengelolaan konservasi laut skala provinsi.
Pengaturan terhadap pencegahan pencemaran dan perusakan wilayah pesisir dan laut skala kabupaten/kota.
Pengaturan terhadap pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan wilayah pesisir dan laut skala kabupaten/kota.
Penetapan lokasi untuk pengelolaan konservasi laut. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi dalam pengelolaan konservasi laut.
Pengawasan terhadap kegiatan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan oleh provinsi dan kabupaten/kota.
Pemantauan kualitas lingkungan wilayah pesisir dan laut skala nasional.
Pengaturan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan wilayah pesisir dan laut yang bersifat lintas provinsi atau lintas negara.
Pengawasan terhadap kegiatan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan oleh kabupaten/kota.
Pemantauan kualitas lingkungan wilayah pesisir dan laut skala provinsi.
Pengaturan pengendalian pencemaran dan kerusakan wilayah pesisir dan laut skala provinsi.
Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah provinsi atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah.
Pengawasan penaatan instrumen pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan skala kabupaten/kota. 5. Pemantauan kualitas lingkungan wilayah pesisir dan laut skala kabupaten/kota.
Pengaturan pelaksanaan terhadap monitoring kualitas lingkungan pesisir dan laut skala kabupaten/kota.
Penegakan hukum terhadap peraturan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan pesisir laut yang dikeluarkan oleh daerah kabupaten/kota atau yang dilimpahkan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA kewenangannya oleh pemerintah.
Pengendalian Pencemaran dan/atau Kerusakan Tanah Akibat Kebakaran Hutan dan/atau Lahan 1. Penetapan kriteria umum baku kerusakan lingkungan hidup nasional yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan.
Penetapan kriteria teknis baku kerusakan lingkungan hidup nasional yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan.
Pengkoordinasian penanggulangan dampak dan pemulihan dampak lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan skala nasional dan/atau lintas batas negara.
— 2. Penetapan kriteria teknis baku kerusakan lingkungan hidup skala provinsi yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan.
Pengkoordinasian penanggulangan kebakaran hutan dan/atau lahan skala provinsi.
— 2. Penetapan kriteria teknis baku kerusakan lingkungan hidup skala kabupaten/kota yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan.
Penanggulangan kebakaran hutan dan/atau lahan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pengawasan atas pelaksanaan pengendalian kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan yang berdampak atau diperkirakan dapat berdampak skala nasional.
— 4. Pengawasan atas pengendalian kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan yang berdampak atau diperkirakan dapat berdampak skala provinsi.
Pengendalian kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan yang dampaknya skala provinsi.
Pengawasan atas pengendalian kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan yang berdampak atau diperkirakan dapat berdampak skala kabupaten/kota.
Pengendalian kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan skala kabupaten/kota.
Pengendalian Pencemaran dan/atau Kerusakan Tanah Untuk Kegiatan 1. Penetapan kriteria nasional baku kerusakan lahan dan/atau tanah nasional untuk kegiatan pertanian, perkebunan dan hutan 1. Penetapan kriteria provinsi baku kerusakan lahan dan/atau tanah provinsi untuk kegiatan pertanian, perkebunan dan hutan 1. Penetapan kriteria kabupaten/kota baku kerusakan lahan dan/atau tanah kabupaten/kota untuk SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA Produksi Biomassa tanaman.
— 3. Pengawasan atas pelaksanaan pengendalian kerusakan tanah yang berdampak atau diperkirakan dapat berdampak skala nasional.
Pengaturan pengendalian kerusakan lahan dan/atau tanah untuk produksi biomassa skala nasional. tanaman berdasarkan kriteria baku kerusakan tanah nasional.
— 3. Pengawasan atas pengendalian kerusakan lahan dan/atau tanah akibat kegiatan yang berdampak atau yang diperkirakan dapat berdampak skala provinsi.
Pengaturan pengendalian kerusakan lahan dan/atau tanah untuk produksi biomassa skala provinsi. kegiatan pertanian, perkebunan dan hutan tanaman berdasarkan kriteria baku kerusakan tanah nasional.
Penetapan kondisi lahan dan/atau tanah.
Pengawasan atas pengendalian kerusakan lahan dan/atau tanah akibat kegiatan yang berdampak atau yang diperkirakan dapat berdampak skala kabupaten/kota.
Pengaturan pengendalian kerusakan lahan dan/atau tanah untuk produksi biomassa skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Penanggulangan Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Akibat Bencana 1. Penetapan pedoman mekanisme penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan akibat bencana.
— 3. — 1. Penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan akibat bencana skala provinsi.
Penetapan kawasan yang beresiko rawan bencana.
— 1. Penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan akibat bencana skala kabupaten/kota.
Penetapan kawasan yang beresiko rawan bencana skala kabupaten/kota.
Penetapan kawasan yang beresiko menimbulkan bencana lingkungan skala kabupaten/kota.
Standar Nasional Indonesia (SNI) dan Standar Kompetensi Personil Bidang Lingkungan Hidup 1. Penetapan kebijakan, koordinasi penerapan, pembinaan dan pengawasan umum dalam SNI dan standar kompetensi personil bidang pengelolaan lingkungan hidup.
Pembinaan dan pengawasan penerapan SNI dan standar kompetensi personil bidang pengelolaan lingkungan hidup pada skala provinsi.
Pembinaan dan pengawasan penerapan SNI dan standar kompetensi personil bidang pengelolaan lingkungan hidup pada skala kabupaten/kota.
Pengembangan Perangkat 1. Penetapan kebijakan pengembangan instrumen 1. Penetapan peraturan daerah di bidang penerapan 1. Penetapan peraturan daerah di bidang SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA Ekonomi Lingkungan ekonomi dan pedoman penerapannya dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan.
Pembinaan dan pengawasan penerapan instrumen ekonomi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan.
— instrumen ekonomi yang bersifat lintas kabupaten/kota dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan.
Pembinaan dan pengawasan penerapan instrumen ekonomi yang bersifat lintas kabupaten/kota dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan.
— penerapan instrumen ekonomi untuk pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengawasan penerapan instrumen ekonomi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan untuk daerah yang bersangkutan.
Penerapan instrumen ekonomi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan.
Penerapan Sistem Manajemen Lingkungan, Ekolabel, 1. Penetapan kebijakan, koordinasi penerapan, pembinaan dan pengawasan umum sistem manajemen lingkungan, ekolabel, 1. Pembinaan dan pengawasan penerapan sistem manajemen lingkungan, ekolabel, produksi bersih, dan teknologi berwawasan lingkungan yang 1. Pembinaan dan pengawasan penerapan sistem manajemen lingkungan, ekolabel, produksi bersih, dan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA Produksi Bersih, dan Teknologi Berwawasan Lingkungan produksi bersih, dan teknologi berwawasan lingkungan yang mendukung pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan. mendukung pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan pada skala provinsi. teknologi berwawasan lingkungan yang mendukung pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan pada skala kabupaten/kota.
Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) 1. Penetapan kebijakan diklat di bidang lingkungan hidup.
Penyelenggaraan diklat di bidang lingkungan hidup yang bersifat strategis.
Penetapan kurikulum/materi ajar di bidang lingkungan hidup yang berlaku secara nasional.
Penyelenggaraan diklat di bidang lingkungan hidup sesuai permasalahan lingkungan hidup skala provinsi.
Penetapan kurikulum/materi ajar tambahan di bidang lingkungan hidup sesuai dengan karakteristik dan permasalahan provinsi.
— 1. Evaluasi hasil pelaksanaan diklat di kabupaten/kota.
Penyelenggaraan diklat di bidang lingkungan hidup sesuai permasalahan lingkungan hidup skala kabupaten/kota.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Penetapan pedoman penyelenggaraan diklat. 4. — 4. — 13. Pelayanan Bidang Lingkungan Hidup 1. Penetapan standar pelayanan minimal di bidang pengendalian lingkungan hidup.
Penyelenggaraan pelayanan di bidang pengendalian lingkungan hidup skala provinsi.
Penyelenggaraan pelayanan di bidang pengendalian lingkungan hidup skala kabupaten/kota.
Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Otonomi Daerah Bidang Lingkungan 1. Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang pengendalian lingkungan hidup.
Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan daerah di bidang pengendalian lingkungan hidup.
Pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah di bidang pengendalian lingkungan hidup.
— 2. — 3. — 1. — 2. — 3. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 15. Penegakan Hukum Lingkungan 1. Penegakan hukum lingkungan. 1. Penegakan hukum lingkungan skala provinsi. 1. Penegakan hukum lingkungan skala kabupaten/kota.
Perjanjian Internasional di Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan 1. Pelaksanaan komitmen perjanjian internasional di bidang pengendalian dampak lingkungan yang meliputi pengesahan, pemantauan penaatan, serta dokumentasi dan diseminasi.
Pengawasan pengendalian pelaksanaan konvensi dan protokol.
Pelaksanaan dan pemantauan penaatan atas perjanjian internasional di bidang pengendalian dampak lingkungan skala provinsi.
Pemantauan pengendalian pelaksanaan konvensi dan protokol skala provinsi.
Pelaksanaan dan pemantauan penaatan atas perjanjian internasional di bidang pengendalian dampak lingkungan skala kabupaten/kota.
Pemantauan pengendalian pelaksanaan konvensi dan protokol skala kabupaten/kota.
Perubahan Iklim dan Perlindungan Atmosfir 1. Penetapan kebijakan pengendalian dampak perubahan iklim.
Penetapan kebijakan pelaksanaan pengendalian dampak perubahan iklim skala provinsi.
Penetapan kebijakan pelaksanaan pengendalian dampak perubahan iklim skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Penetapan kebijakan perlindungan lapisan ozon dan deposisi asam serta pemantauan.
— 2. Penetapan kebijakan perlindungan lapisan ozon dan pemantauan skala provinsi.
Pemantauan dampak deposisi asam skala provinsi.
Penetapan kebijakan perlindungan lapisan ozon dan pemantauan skala kabupaten/kota.
Pemantauan dampak deposisi asam skala kabupaten/kota.
Laboratorium Lingkungan 1. Penetapan kebijakan di bidang laboratorium lingkungan.
Pembinaan dan pengawasan terhadap laboratorium lingkungan.
Penunjukan laboratorium lingkungan yang telah diakreditasi/direkomendasi untuk melakukan analisis lingkungan.
Pembinaan laboratorium lingkungan.
Penyediaan laboratorium lingkungan sesuai dengan kebutuhan daerah.
— 2. Konservasi Sumber Daya Alam (SDA) 1. Keanekaragaman Hayati 1. Koordinasi dalam perencanaan konservasi keanekaragaman hayati skala nasional.
Koordinasi dalam perencanaan konservasi keanekaragaman hayati skala provinsi.
Koordinasi dalam perencanaan konservasi keanekaragaman hayati skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Penetapan kebijakan konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati skala nasional.
Penetapan kebijakan pengendalian kemerosotan keanekaragaman hayati skala nasional.
Pemantauan dan pengawasan pelaksanaan konservasi keanekaragaman hayati skala nasional.
Penetapan dan pelaksanaan kebijakan konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati skala provinsi.
Penetapan dan pelaksanaan pengendalian kemerosotan keanekaragaman hayati skala provinsi.
Pemantauan dan pengawasan pelaksanaan konservasi keanekaragaman hayati skala provinsi.
Penetapan dan pelaksanaan kebijakan konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati skala kabupaten/kota.
Penetapan dan pelaksanaan pengendalian kemerosotan keanekaragaman hayati skala kabupaten/kota.
Pemantauan dan pengawasan pelaksanaan konservasi keanekaragaman hayati skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pengaturan dan penyelesaian konflik dalam pemanfaatan keanekaragaman hayati skala nasional.
Pengembangan manajemen sistem informasi dan pengelolaan database keanekaragaman hayati skala nasional.
Penyelesaian konflik dalam pemanfaatan keanekaragaman hayati skala provinsi.
Pengembangan manajemen sistem informasi dan pengelolaan database keanekaragaman hayati skala provinsi.
Penyelesaian konflik dalam pemanfaatan keanekaragaman hayati skala kabupaten/kota.
Pengembangan manajemen sistem informasi dan pengelolaan database keanekaragaman hayati skala kabupaten/kota. I. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PERTANAHAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Izin Lokasi 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria izin lokasi.
a. Pemberian izin lokasi lintas provinsi.
Ɇ c. Ɇ d. Ɇ 1. Ɇ 2.a. Penerimaan permohonan dan pemeriksaan kelengkapan persyaratan.
Kompilasi bahan koordinasi.
Pelaksanaan rapat koordinasi.
Pelaksanaan peninjauan lokasi.
Ɇ 2.a. Penerimaan permohonan dan pemeriksaan kelengkapan persyaratan.
Kompilasi bahan koordinasi.
Pelaksanaan rapat koordinasi.
Pelaksanaan peninjauan lokasi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e. Ɇ f. Ɇ g. Ɇ h. Pembatalan ijin lokasi atas usulan pemerintah provinsi dengan pertimbangan kepala kantor wilayah BPN provinsi e. Penyiapan berita acara koordinasi berdasarkan pertimbangan teknis pertanahan dari kantor wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) provinsi dan pertimbangan teknis lainnya dari instansi terkait.
Pembuatan peta lokasi sebagai lampiran surat keputusan izin lokasi yang diterbitkan.
Penerbitan surat keputusan izin lokasi.
Pertimbangan dan usulan pencabutan izin dan pembatalan surat keputusan izin lokasi atas usulan kabupaten/kota e. Penyiapan berita acara koordinasi berdasarkan pertimbangan teknis pertanahan dari kantor pertanahan kabupaten/kota dan pertimbangan teknis lainnya dari instansi terkait.
Pembuatan peta lokasi sebagai lampiran surat keputusan izin lokasi yang diterbitkan.
Penerbitan surat keputusan izin lokasi.
Pertimbangan dan usulan pencabutan izin dan pembatalan surat keputusan izin lokasi dengan pertimbangan kepala kantor SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan izin lokasi. dengan pertimbangan kepala kantor wilayah BPN provinsi;
Monitoring dan pembinaan perolehan tanah.
Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria pengadaan tanah untuk kepentingan umum 2. Pengadaan tanah untuk pembangunan lintas provinsi.
Ɇ b. Ɇ 1. Ɇ 2. Pengadaan tanah untuk pembangunan lintas kabupaten/kota.
Penetapan lokasi.
Pembentukan panitia pengadaan tanah sesuai dengan peraturan 1. Ɇ 2.a. Penetapan lokasi.
Pembentukan panitia pengadaan tanah sesuai dengan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Ɇ d. Ɇ e. Ɇ f. Ɇ g. Ɇ h. Ɇ perundang-undangan.
Pelaksanaan penyuluhan.
Pelaksanaan inventarisasi.
Pembentukan Tim Penilai Tanah (khusus DKI).
Penerimaan hasil penaksiran nilai tanah dari Lembaga/Tim Penilai Tanah.
Pelaksanaan musyawarah.
Penetapan bentuk dan besarnya ganti kerugian. peraturan perundang- undangan.
Pelaksanaan penyuluhan.
Pelaksanaan inventarisasi.
Pembentukan Tim Penilai Tanah f. Penerimaan hasil penaksiran nilai tanah dari Lembaga/Tim Penilai Tanah.
Pelaksanaan musyawarah.
Penetapan bentuk dan besarnya ganti kerugian. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA i. Ɇ j. — k. — 3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
Pelaksanaan pemberian ganti kerugian.
Penyelesaian sengketa bentuk dan besarnya ganti kerugian.
Pelaksanaan pelepasan hak dan penyerahan tanah di hadapan kepala kantor pertanahan kabupaten/kota.
— i. Pelaksanaan pemberian ganti kerugian.
Penyelesaian sengketa bentuk dan besarnya ganti kerugian.
Pelaksanaan pelepasan hak dan penyerahan tanah di hadapan kepala kantor pertanahan kabupaten/kota.
— 3. Penyelesaian Sengketa Tanah Garapan 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelesaian 1. — 1. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA sengketa tanah garapan.
— 2. Penyelesaian sengketa tanah garapan lintas kabupaten/kota dan untuk Provinsi DKI Jakarta:
Penerimaan dan pengkajian laporan pengaduan sengketa tanah garapan.
Penelitian terhadap obyek dan subyek sengketa.
Pencegahan meluasnya dampak sengketa tanah garapan.
Koordinasi dengan instansi terkait untuk menetapkan langkah- langkah 2.a.Penerimaan dan pengkajian laporan pengaduan sengketa tanah garapan.
Penelitian terhadap obyek dan subyek sengketa.
Pencegahan meluasnya dampak sengketa tanah garapan.
Koordinasi dengan kantor pertanahan untuk menetapkan langkah-langkah SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan penanganan sengketa tanah garapan. penanganannya.
Fasilitasi musyawarah antar pihak yang bersengketa untuk mendapatkan kesepakatan para pihak.
— penanganannya.
Fasilitasi musyawarah antar pihak yang bersengketa untuk mendapatkan kesepakatan para pihak.
Ɇ 4. Penyelesaian Masalah Ganti Kerugian dan Santunan Tanah Untuk Pembangunan 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan.
Ɇ 1. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Ɇ 3. — 4. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan pemberian ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan.
— 3. Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan.
Pembinaan dan pengawasan pemberian ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan.
Pembentukan tim pengawasan pengendalian.
Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan.
— 5. Penetapan Subyek dan Obyek Redistribusi Tanah, serta Ganti Kerugian Tanah Kelebihan Maksimum dan Tanah Absentee 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah 1. — 1. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA kelebihan maksimum dan tanah absentee.
a.Pembentukan panitia pertimbangan landreform nasional.
Ɇ c. Ɇ d. Ɇ 2.a. Pembentukan panitia pertimbangan landreform provinsi.
Penyelesaian permasalahan penetapan subyek dan obyek tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee.
— d. — 2.a. Pembentukan panitia pertimbangan landreform dan sekretariat panitia.
Pelaksanaan sidang yang membahas hasil inventarisasi untuk penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee.
Pembuatan hasil sidang dalam berita acara.
Penetapan tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee sebagai obyek SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e. Ɇ f. Ɇ 3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan penetapan subyek dan obyek tanah, ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee.
— f. — 3. Pembinaan penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee. landreform berdasarkan hasil sidang panitia.
Penetapan para penerima redistribusi tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee berdasarkan hasil sidang panitia.
Penerbitan surat keputusan subyek dan obyek redistribusi tanah serta ganti kerugian.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Penetapan Tanah Ulayat 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat.
Ɇ 1. — 2.a. Pembentukan panitia peneliti lintas kabupaten/kota.
Penelitian dan kompilasi hasil penelitian.
Pelaksanaan dengar pendapat umum dalam rangka penetapan tanah ulayat.
Pengusulan rancangan peraturan daerah provinsi tentang penetapan tanah ulayat.
— 2.a. Pembentukan panitia peneliti.
Penelitian dan kompilasi hasil penelitian.
Pelaksanaan dengar pendapat umum dalam rangka penetapan tanah ulayat.
Pengusulan rancangan peraturan daerah tentang penetapan tanah ulayat. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat.
Penanganan masalah tanah ulayat melalui musyawarah dan mufakat.
Ɇ 3. — e. Pengusulan pemetaan dan pencatatan tanah ulayat dalam daftar tanah kepada kantor pertanahan kabupaten/kota.
Penanganan masalah tanah ulayat melalui musyawarah dan mufakat.
— 7. Pemanfaatan dan Penyelesaian Masalah Tanah Kosong 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pelaksanaan pembinaan dan pengendalian 1. — 1. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong.
Ɇ 2. Penyelesaian masalah tanah kosong. 2.a. Inventarisasi dan identifikasi tanah kosong untuk pemanfaatan tanaman pangan semusim.
Penetapan bidang- bidang tanah sebagai tanah kosong yang dapat digunakan untuk tanaman pangan semusim bersama dengan pihak lain berdasarkan perjanjian.
Penetapan pihak-pihak yang memerlukan tanah untuk tanaman pangan semusim dengan mengutamakan masyarakat setempat.
Fasilitasi perjanjian SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan 3. Pembinaan pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong. kerjasama antara pemegang hak tanah dengan pihak yang akan memanfaatkan tanah dihadapan/diketahui oleh kepala desa/lurah dan camat setempat dengan perjanjian untuk dua kali musim tanam.
Penanganan masalah yang timbul dalam pemanfaatan tanah kosong jika salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban dalam perjanjian.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong.
Izin Membuka Tanah 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pelaksanaan pembinaan dan pengendalian pemberian izin membuka tanah.
— 1. — 2. Penyelesaian permasalahan pemberian izin membuka tanah.
— 2.a. Penerimaan dan pemeriksaan permohonan.
Pemeriksaan lapang dengan memperhatikan kemampuan tanah, status tanah dan Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RTRW) kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan ijin membuka tanah.
Pengawasan dan pengendalian pemberian izin membuka tanah. (Tugas Pembantuan) c. Penerbitan izin membuka tanah dengan memperhatikan pertimbangan teknis dari kantor pertanahan kabupaten/kota.
Pengawasan dan pengendalian penggunaan izin membuka tanah.
— (Tugas Pembantuan) SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Perencanaan Penggunaan Tanah Wilayah Kabupaten/Kota 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria perencanaan penggunaan tanah di wilayah kabupaten/kota.
— 1. Perencanaan penggunaan tanah lintas kabupaten/kota yang berbatasan.
— 1. — 2.a. Pembentukan tim koordinasi tingkat kabupaten/kota.
Kompilasi data dan informasi yang terdiri dari :
Peta pola Penatagunaan tanah atau peta wilayah tanah usaha atau peta persediaan tanah dari kantor pertanahan setempat. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2) Rencana Tata Ruang Wilayah.
Rencana pembangunan yang akan menggunakan tanah baik rencana pemerintah, pemerintah kabupaten/kota, maupun investasi swasta.
Analisis kelayakan letak lokasi sesuai dengan ketentuan dan kriteria teknis dari instansi terkait.
Penyiapan draft rencana letak kegiatan penggunaan tanah.
Pelaksanaan rapat koordinasi terhadap draft rencana letak SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA kegiatan penggunaan tanah dengan instansi terkait.
Konsultasi publik untuk memperoleh masukan terhadap draft rencana letak kegiatan penggunaan tanah.
Penyusunan draft final rencana letak kegiatan penggunaan tanah.
Penetapan rencana letak kegiatan penggunaan tanah dalam bentuk peta dan penjelasannya dengan keputusan bupati/walikota.
Sosialisasi tentang rencana letak kegiatan penggunaan tanah kepada instansi terkait. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan perencanaan penggunaan tanah di wilayah kabupaten/ kota.
— j. Evaluasi dan penyesuaian rencana letak kegiatan penggunaan tanah berdasarkan perubahan RTRW dan perkembangan realisasi pembangunan.
— J. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEPENDUDUKAN DAN CATATAN SIPIL SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Kebijakan 1. Penetapan kebijakan pendaftaran penduduk skala nasional.
Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala nasional.
Penetapan kebijakan pendaftaran penduduk skala provinsi.
— 1. Penetapan kebijakan pendaftaran penduduk skala kabupaten/kota.
— 2. Sosialisasi 1. Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan pendaftaran penduduk dan pemutakhiran data penduduk skala nasional.
Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan pendaftaran penduduk dan pemutakhiran data penduduk skala provinsi.
Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan pendaftaran penduduk skala kabupaten/kota.
Pendaftaran Penduduk 3. Penyelenggaraan 1. Koordinasi penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala nasional.
Koordinasi penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala provinsi.
Koordinasi penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. — 2. — 2. Penyelenggaraan pelayanan pendaftaran penduduk dalam sistem administrasi kependudukan skala kabupaten/kota, meliputi:
Pencatatan dan pemutakhiran biodata penduduk serta penerbitan Nomor Induk Kependudukan (NIK);
Pendaftaran perubahan alamat;
Pendaftaran pindah datang penduduk dalam wilayah Republik Indonesia;
Pendaftaran Warga Negara Indonesia tinggal sementara;
Pendaftaran pindah datang Antarnegara; SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA f. Pendaftaran penduduk yang tinggal di perbatasan Antarnegara;
Pendataan penduduk rentan Administrasi Kependudukan;
Penerbitan dokumen kependudukan hasil pendaftaran penduduk;
Penatausahaan pendaftaran penduduk.
Pemantauan dan Evaluasi 1. Pemantauan, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala nasional.
Pemantauan, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala provinsi.
Pemantauan, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala kabupaten/kota.
Pembinaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia 1. Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola pendaftaran penduduk skala nasional.
Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola pendaftaran penduduk skala provinsi.
Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola pendaftaran penduduk skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pengawasan 1. Pengawasan atas penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala nasional.
Pengawasan atas penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala provinsi.
Pengawasan atas penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala kabupaten/kota.
Kebijakan 1. Penetapan kebijakan pencatatan sipil skala nasional.
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan pencatatan sipil skala nasional.
Penetapan kebijakan pencatatan sipil skala provinsi.
— 1. Penetapan kebijakan pencatatan sipil skala kabupaten/kota.
— 2. Sosialisasi 1. Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan pencatatan sipil skala nasional.
Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan pencatatan sipil skala provinsi.
Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan pencatatan sipil skala kabupaten/kota.
Pencatatan Sipil 3. Penyelenggaraan 1. Koordinasi penyelenggaraan pencatatan sipil skala nasional. 1. Koordinasi penyelenggaraan pencatatan sipil skala provinsi. 1. Koordinasi penyelenggaraan pencatatan sipil skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. — 2. — 2. Penyelenggaraan pelayanan pencatatan sipil dalam sistem administrasi kependudukan skala kabupaten/kota meliputi:
Pencatatan kelahiran;
Pencatatan lahir mati;
Pencatatan perkawinan;
Pencatatan perceraian;
Pencatatan kematian;
Pencatatan pengangkatan anak, pengakuan anak dan pengesahan anak;
Pencatatan perubahan nama;
Pencatatan perubahan status kewarganegaraan; SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA i. Pencatatan peristiwa penting lainnya;
Pencatatan perubahan dan pembatalan akta;
Penerbitan dokumen kependudukan hasil pencatatan sipil;
Penatausahaan dokumen pencatatan sipil.
Pemantauan dan Evaluasi 1. Pemantauan, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pencatatan sipil skala nasional.
Pemantauan, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pencatatan sipil skala provinsi.
Pemantauan, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pencatatan sipil skala kabupaten/kota.
Pembinaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia 1. Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola pencatatan sipil skala nasional.
Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola pencatatan sipil skala provinsi.
Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola pencatatan sipil skala kabupaten/kota.
Pengawasan 1. Pengawasan atas penyelenggaraan pencatatan sipil skala nasional. 1. Pengawasan atas penyelenggaraan pencatatan sipil skala provinsi.
Pengawasan atas penyelenggaraan pencatatan sipil skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Kebijakan 1. Penetapan kebijakan pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala nasional.
Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria penyelenggaraan pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala nasional.
Penetapan kebijakan pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala provinsi.
— 1. Penetapan kebijakan pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala kabupaten/kota.
— 2. Sosialisasi 1. Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala nasional.
Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala provinsi.
Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala kabupaten/kota.
Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan 3. Penyelenggaraan 1. Koordinasi penyelenggaraan pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala nasional.
Koordinasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala provinsi.
Koordinasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pembangunan dan pengembangan jaringan komunikasi data.
— 4. Penyelenggaraan komunikasi data kependudukan skala nasional.
Pembangunan dan pengembangan perangkat lunak.
a.Pembangunan bank data kependudukan nasional.
Pembangunan dan pengembangan jaringan komunikasi data skala provinsi.
Penyediaan perangkat keras dan perlengkapan lainnya serta sarana jaringan komunikasi data di provinsi.
Penyelenggaraan komunikasi data kependudukan skala provinsi.
Pembangunan replikasi data kependudukan di provinsi.
a.Pembangunan bank data kependudukan provinsi.
Pembangunan dan pengembangan jaringan komunikasi data skala kabupaten/kota.
Penyediaan perangkat keras dan perlengkapan lainnya serta jaringan komunikasi data sampai dengan tingkat kecamatan atau kelurahan sebagai tempat pelayanan dokumen penduduk.
Pelaksanaan sistem informasi administrasi kependudukan.
Pembangunan replikasi data kependudukan di kabupaten/kota.
a.Pembangunan bank data kependudukan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Ɇ 7. — 8. Penyajian dan diseminasi informasi penduduk skala nasional.
a.Perlindungan data pribadi penduduk pada bank data kependudukan nasional.
Ɇ b. Ɇ 7. Ɇ 8. Penyajian dan diseminasi informasi penduduk skala provinsi.
a.Perlindungan data pribadi penduduk pada bank data kependudukan provinsi.
Ɇ b. Pembangunan tempat perekaman data kependudukan di kecamatan.
Perekaman data hasil pelayanan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil serta pemutakhiran data penduduk menggunakan sistem informasi administrasi kependudukan.
Penyajian dan diseminasi informasi penduduk.
a.Perlindungan data pribadi penduduk pada bank data kependudukan kabupaten/ kota.
Perlindungan data pribadi penduduk dalam proses dan hasil pendaftaran penduduk serta pencatatan sipil. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pemantauan dan Evaluasi 1. Pemantauan dan evaluasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala nasional.
Pemantauan dan evaluasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala provinsi.
Pemantauan dan evaluasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala kabupaten/kota.
Pembinaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia 1. Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola informasi administrasi kependudukan skala nasional.
Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola informasi administrasi kependudukan skala provinsi.
Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola informasi administrasi kependudukan skala kabupaten/kota.
Pengawasan 1. Pengawasan atas pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala nasional.
Pengawasan atas pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala provinsi.
Pengawasan atas pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Kebijakan 1. Penetapan kebijakan perkembangan kependudukan skala nasional.
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan pengendalian kuantitas, pengembangan kualitas, pengarahan mobilitas dan persebaran penduduk serta perlindungan penduduk skala nasional.
Penetapan kebijakan perkembangan kependudukan skala provinsi.
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan pengendalian kuantitas, pengembangan kualitas, pengarahan mobilitas dan persebaran penduduk serta perlindungan penduduk skala provinsi.
Penetapan kebijakan perkembangan kependudukan skala kabupaten/kota.
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan pengendalian kuantitas, pengembangan kualitas, pengarahan mobilitas dan persebaran penduduk serta perlindungan penduduk skala kabupaten/ kota.
Perkembangan Kependudukan 2. Sosialisasi 1. Sosialisasi dan koordinasi pelaksanaan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan skala nasional.
Sosialisasi dan koordinasi pelaksanaan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan skala provinsi.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penyelenggaraan 1. Pengkajian efektivitas kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk dan perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan skala nasional.
— 1. Pengkajian efektivitas kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk dan perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan skala provinsi.
— 1. Pelaksanaan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/ penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk dalam konteks pembangunan berwawasan kependudukan skala kabupaten/kota.
Pembuatan analisis pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/ penataan persebaran penduduk dan perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. — 4. — 3. — 4. Pelaporan pelaksanaan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, dan perlindungan penduduk dalam konteks pembangunan berwawasan kependudukan skala provinsi.
Koordinasi dan kerjasama antar daerah dalam pelaksanaan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan.
Pelaporan pelaksanaan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/ penataan persebaran penduduk, dan perlindungan penduduk dalam konteks pembangunan berwawasan kependudukan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pemantauan dan Evaluasi 1. Pemantauan dan evaluasi kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan skala nasional.
Pemantauan dan evaluasi kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan skala provinsi.
Pemantauan dan evaluasi kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan skala kabupaten/kota.
Pembinaan dan Fasilitasi 1. Pembinaan dan fasilitasi kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan dan penyerasian penduduk dalam konteks pembangunan berwawasan kependudukan skala nasional.
Pembinaan dan pelaksanaan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk dalam konteks pembangunan berwawasan kependudukan skala provinsi.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pengawasan 1. Pengawasan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk, dan pembangunan berwawasan kependudukan skala nasional.
Pengawasan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk, dan pembangunan berwawasan kependudukan skala provinsi.
Pengawasan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk, dan pembangunan berwawasan kependudukan skala kabupaten/kota.
Perencanaan Kependudukan 1. Kebijakan 1. Penetapan kebijakan perencanaan kependudukan skala nasional.
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan.
Penetapan kebijakan perencanaan kependudukan skala provinsi.
— 1. Penetapan kebijakan perencanaan kependudukan skala kabupaten/kota.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Sosialisasi 1. Fasilitasi dan sosialisasi indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala nasional.
Fasilitasi dan sosialisasi indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala provinsi.
— 3. Penyelenggaraan 1.a.Penyerasian dan harmonisasi kebijakan kependudukan pada tataran horizontal, vertikal, dan diagonal antar lembaga pemerintah dan lembaga non pemerintah pengelola bidang kependudukan skala nasional.
— 1.a.Penyerasian dan harmonisasi kebijakan kependudukan pada tataran horizontal, vertikal, dan diagonal antar lembaga pemerintah dan lembaga non pemerintah pengelola bidang kependudukan skala provinsi.
— 1.a.Penyerasian dan harmonisasi kebijakan kependudukan antar dan dengan lembaga pemerintah dan non pemerintah pada skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan kerjasama dengan organisasi kemasyarakatan dalam rangka tertib administrasi kependudukan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Penetapan dan pengembangan indikator kependudukan, proyeksi penduduk, dan analisis dampak kependudukan skala nasional.
Koordinasi dan sosialisasi hasil penyusunan indikator, proyeksi, dan analisis dampak kependudukan serta kebijakan kependudukan kepada khalayak sasaran skala nasional.
Penilaian dan pelaporan kinerja pembangunan kependudukan secara periodik.
Penetapan indikator kependudukan, proyeksi penduduk, dan analisis dampak kependudukan skala provinsi.
Koordinasi dan sosialisasi hasil penyusunan indikator, proyeksi, dan analisis dampak kependudukan serta kebijakan kependudukan kepada khalayak sasaran skala provinsi.
Penilaian dan pelaporan kinerja pembangunan kependudukan secara periodik.
Penetapan indikator kependudukan, proyeksi penduduk, dan analisis dampak kependudukan skala kabupaten/kota.
Koordinasi dan sosialisasi hasil penyusunan indikator, proyeksi, dan analisis dampak kependudukan serta kebijakan kependudukan kepada khalayak sasaran.
Penilaian dan pelaporan kinerja pembangunan kependudukan secara periodik. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pendayagunaan informasi atas indikator kependudukan dan analisis dampak kependudukan untuk perencanaan pembangunan berbasis penduduk skala nasional.
Pendayagunaan informasi atas indikator kependudukan dan analisis dampak kependudukan untuk perencanaan pembangunan berbasis penduduk skala provinsi.
Pendayagunaan informasi atas indikator kependudukan dan analisis dampak kependudukan untuk perencanaan pembangunan berbasis penduduk skala kabupaten/kota.
Pemantauan dan Evaluasi 1. Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala nasional.
Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala provinsi.
Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala kabupaten/kota.
Pembinaan 1. Bimbingan teknis, advokasi, fasilitasi, dan sosialisasi indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala nasional.
Bimbingan teknis, advokasi, fasilitasi, dan sosialisasi indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala provinsi.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pengawasan 1. Pengawasan indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala nasional.
Pengawasan indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala provinsi.
Pengawasan indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala kabupaten/kota. K. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN\KOTA 1. Pengarusutamaan Gender (PUG) 1. Kebijakan Pelaksanaan PUG 1. Penetapan kebijakan nasional pelaksanaan PUG.
Koordinasi, fasilitasi, dan mediasi pelaksanaan kebijakan PUG skala nasional.
Penetapan kebijakan daerah pelaksanaan PUG di provinsi.
Koordinasi, fasilitasi dan mediasi pelaksanaan kebijakan PUG skala provinsi.
Penetapan kebijakan daerah pelaksanaan PUG di kabupaten/ kota.
Koordinasi, fasilitasi dan mediasi pelaksanaan PUG skala kabupaten/kota.
Kelembagaan PUG 1. Fasilitasi penguatan kelembagaan dan pengembangan mekanisme PUG pada lembaga pemerintahan, Pusat Studi Wanita (PSW), lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga non pemerintah skala nasional.
Fasilitasi penguatan kelembagaan dan pengembangan mekanisme PUG pada lembaga pemerintahan, PSW, lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga non pemerintah skala provinsi.
Fasilitasi penguatan kelembagaan dan pengembangan mekanisme PUG pada lembaga pemerintahan, PSW, lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga non pemerintah skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN\KOTA 2. Pengembangan dan fasilitasi pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan yang responsif gender skala nasional.
Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan PUG secara nasional dan provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan yang responsif gender skala provinsi.
Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan PUG skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi kebijakan, program dan kegiatan yang responsif gender skala kabupaten/kota.
Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan PUG skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan PUG 1. Pemberian bantuan teknis dan fasilitasi pelaksanaan PUG (penetapan panduan umum analisis gender , perencanaan anggaran yang responsif gender , materi Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) PUG) skala nasional.
Pemberian bantuan teknis, fasilitasi pelaksanaan PUG (analisis gender , perencanaan anggaran yang responsif gender , dan pengembangan materi KIE PUG) skala provinsi.
Pelaksanaan analisis gender , perencanaan anggaran yang responsif gender , dan pengembangan materi KIE PUG skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN\KOTA 2. Pelaksanaan PUG yang terkait dengan bidang pembangunan terutama di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) dan politik skala nasional.
Fasilitasi penyediaan data terpilah menurut jenis kelamin skala nasional.
Pelaksanaan PUG yang terkait dengan bidang pembangunan terutama di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM dan politik skala provinsi.
Fasilitasi penyediaan data terpilah menurut jenis kelamin skala provinsi.
Pelaksanaan PUG yang terkait dengan bidang pembangunan terutama di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM dan politik skala kabupaten/kota.
Fasilitasi penyediaan data terpilah menurut jenis kelamin skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN\KOTA 2. Kualitas Hidup dan Perlindungan Perempuan 1. Kebijakan Kualitas Hidup Perempuan 1.Penetapan kebijakan nasional peningkatan kualitas hidup perempuan yang terkait dengan bidang pembangunan terutama bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala nasional.
Penyelenggaraan kebijakan provinsi peningkatan kualitas hidup perempuan yang terkait dengan bidang pembangunan terutama bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala provinsi.
Penyelenggaraan kebijakan kabupaten/kota peningkatan kualitas hidup perempuan yang terkait dengan bidang pembangunan terutama dibidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala kabupaten/kota.
Pengintegrasian Kebijakan Kualitas Hidup Perempuan 1. Fasilitasi pengintegrasian isu gender dalam kebijakan bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala nasional.
Fasilitasi pengintegrasian upaya peningkatan kualitas hidup perempuan dalam kebijakan bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala provinsi.
Pengintegrasian upaya peningkatan kualitas hidup perempuan dalam kebijakan bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN\KOTA 3. Koordinasi Pelaksanaan Kebijakan Kualitas Hidup Perempuan 1. Koordinasi pelaksanaan kebijakan kualitas hidup perempuan dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala nasional.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan kualitas hidup perempuan dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala provinsi.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan kualitas hidup perempuan dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala kabupaten/kota.
Kebijakan Perlindungan Perempuan 1. Penetapan kebijakan nasional perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana.
Penyelengaraan kebijakan provinsi perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana skala provinsi.
Penyelenggaraan kebijakan kabupaten/kota perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN\KOTA 5. Pengintegrasian Kebijakan Perlindungan Perempuan 1. Fasilitasi pengintegrasian kebijakan nasional perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana.
Fasilitasi pengintegrasian kebijakan provinsi perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana skala provinsi.
Fasilitasi pengintegrasian kebijakan kabupaten/kota perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN\KOTA 6. Koordinasi Pelaksanaan Kebijakan Perlindungan Perempuan 1. Koordinasi pelaksanaan kebijakan perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana skala nasional.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana skala provinsi.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana skala kabupaten/kota.
Perlindungan Anak 1. Kebijakan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak 1. Penetapan kebijakan nasional dalam rangka kesejahteraan dan perlindungan anak.
Ɇ 1. Pelaksanaan kebijakan dalam rangka kesejahteraan dan perlindungan anak skala provinsi.
Penetapan kebijakan daerah tentang kesejahteraan dan perlindungan anak skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan dalam rangka kesejahteraan dan perlindungan anak skala kabupaten/kota.
Penetapan kebijakan daerah untuk kesejahteraan dan perlindungan anak skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN\KOTA 2. Pengintegrasian Hak-Hak Anak dalam Kebijakan dan Program Pembangunan 1. Pengintegrasian hak-hak anak dalam kebijakan dan program pembangunan nasional.
Pengintegrasian hak-hak anak dalam kebijakan dan program pembangunan skala provinsi.
Pengintegrasian hak-hak anak dalam kebijakan dan program pembangunan skala kabupaten/ kota.
Koordinasi Pelaksanaan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak 1. Koordinasi pelaksanaan kesejahteraan dan perlindungan anak skala nasional.
Koordinasi pelaksanaan kesejahteraan dan perlindungan anak skala provinsi.
Koordinasi pelaksanaan kesejahteraan dan perlindungan anak skala kabupaten/kota.
Pemberdayaan Lembaga Masyarakat dan Dunia Usaha 1. Penguatan Lembaga/ Organisasi Masyarakat dan Dunia Usaha untuk Pelaksanaan PUG dan Peningkatan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak 1. Fasilitasi penguatan lembaga/organisasi masyarakat dan dunia usaha untuk pelaksanaan PUG dan peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak skala nasional.
Fasilitasi penguatan lembaga/organisasi masyarakat dan dunia usaha untuk pelaksanaan PUG dan peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak skala provinsi.
Fasilitasi penguatan lembaga/organisasi masyarakat dan dunia usaha untuk pelaksanaan PUG dan peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN\KOTA 2. Pengembangan dan Penguatan Jaringan Kerja Lembaga Masyarakat dan Dunia Usaha untuk Pelaksanaan PUG, Kesejahteraan dan Perlindungan Anak 1. Fasilitasi pengembangan dan penguatan jaringan kerja lembaga masyarakat dan dunia usaha untuk pelaksanaan PUG, kesejahteraan dan perlindungan anak skala nasional.
Penetapan strategi rekayasa sosial untuk mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) dan perlindungan anak.
Fasilitasi pengembangan dan penguatan jaringan kerja lembaga masyarakat dan dunia usaha untuk pelaksanaan PUG, kesejahteraan dan perlindungan anak skala provinsi.
Fasilitasi lembaga masyarakat untuk melaksanakan rekayasa sosial untuk mewujudkan KKG dan perlindungan anak skala provinsi.
Fasilitasi pengembangan dan penguatan jaringan kerja lembaga masyarakat dan dunia usaha untuk pelaksanaan PUG, kesejahteraan dan perlindungan anak skala kabupaten/kota.
Fasilitasi lembaga masyarakat untuk melaksanakan rekayasa sosial untuk mewujudkan KKG dan perlindungan anak skala kabupaten/kota.
Data dan Informasi Gender dan Anak 1. Data Terpilah menurut Jenis Kelamin dari di Setiap Bidang Terkait 1. Pengembangan dan penetapan kebijakan nasional sistem informasi gender dan anak.
Penjabaran dan penetapan kebijakan sistem informasi gender dan anak skala provinsi dengan merujuk pada kebijakan nasional.
Penjabaran dan penetapan kebijakan sistem informasi gender dan anak skala kabupaten/kota dengan merujuk pada kebijakan nasional. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN\KOTA 2. Data dan Informasi Gender dan Anak 1. Pengembangan dan penyusunan panduan umum, mekanisme pengumpulan, pengolahan, analisis, diseminasi dan dokumentasi sistem informasi gender dan anak.
Advokasi, mediasi dan fasilitasi pelaksanaan sistem infomasi gender dan anak.
Koordinasi pelaksanaan sistem informasi gender dan anak skala provinsi.
Fasilitasi pelaksanaan sistem informasi gender dan anak.
Pelaksanaan pengumpulan, pengolahan dan analisis, pemanfaatan dan penyebarluasan sistem informasi gender dan anak skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan pengumpulan, pengolahan dan analisis, pemanfaatan dan penyebarluasan sistem informasi gender dan anak.
Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) 1. Promosi dan advokasi data dan informasi terpilah menurut jenis kelamin, khusus perempuan dan anak skala nasional.
Kompilasi data terpilah menurut jenis kelamin, khusus perempuan dan anak skala provinsi.
Analisis, pemanfaatan, penyebarluasan dan pendokumentasian data terpilah menurut jenis kelamin, khusus perempuan dan anak skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN\KOTA 2. Kompilasi data terpilah menurut jenis kelamin, khusus perempuan, dan anak skala nasional.
Pengembangan metode analisis gender dan penyusunan model informasi data skala nasional.
Analisis, pemanfaatan dan penyebarluasan, pendokumentasian data terpilah menurut jenis kelamin, khusus perempuan dan anak skala nasional.
Pemantauan dan evaluasi kebijakan dan pelaksanaan pendataan dan sistem informasi gender skala nasional.
Analisis, pemanfaatan dan penyebarluasan, pendokumentasian data terpilah menurut jenis kelamin, khusus perempuan dan anak skala provinsi.
Penyusunan model informasi data (mediasi dan advokasi) skala provinsi.
Pemantauan dan evaluasi serta pelaporan pelaksanaan pendataan dan sistem informasi gender dan anak skala provinsi.
Ɇ 2. Pemantauan dan evaluasi serta pelaporan pelaksanaan pendataan dan sistem informasi gender dan anak skala kabupaten/kota.
Penyusunan model informasi data (mediasi dan advokasi) skala kabupaten/kota.
Ɇ 5. Ɇ L. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KELUARGA BERENCANA DAN KELUARGA SEJAHTERA SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Pelayanan Keluarga Berencana (KB) dan Kesehatan Reproduksi 1. Kebijakan dan Pelaksanaan Jaminan dan Pelayanan KB, Peningkatan Partisipasi Pria, Penanggulangan Masalah Kesehatan Reproduksi, serta Kelangsungan Hidup Ibu, Bayi dan Anak 1.a.Penetapan kebijakan dan pengembangan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, dan kelangsungan hidup ibu, bayi, dan anak skala nasional.
Ɇ 1.a.Penetapan kebijakan jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi serta kelangsungan hidup ibu, bayi, dan anak skala provinsi.
Pemberian dukungan operasional jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala provinsi.
a. Penetapan kebijakan jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi, dan anak skala kabupaten/ kota.
Penyelenggaraan dukungan pelayanan rujukan KB dan kesehatan reproduksi, operasionalisasi jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Ɇ 2.a.Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria dan pengembangan jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala nasional.
Ɇ 2.a. Pemberian dukungan pelaksanaan pedoman upaya peningkatan jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala provinsi.
Penetapan dan pengembangan jaringan pelayanan KB dan kesehatan reproduksi, termasuk pelayanan KB di rumah sakit skala kabupaten/kota.
a. Penetapan perkiraan sasaran pelayanan KB, sasaran peningkatan perencanaan kehamilan, sasaran peningkatan partisipasi pria, sasaran “ Unmet Need ”, sasaran penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta sasaran kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Ɇ 3.a.Pengelolaan jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala nasional.
Ɇ b. Ɇ 3.a.Pengelolaan jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala provinsi.
Ɇ b. Penyerasian dan penetapan kriteria serta kelayakan tempat pelayanan KB dan kesehatan reproduksi, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala kabupaten/ kota.
a. Pelaksanaan jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala kabupaten/ kota.
Pemantauan tingkat drop out peserta KB. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Ɇ d. Ɇ e. Ɇ f. Ɇ g. Ɇ c. Ɇ d. Ɇ e. Ɇ f. Ɇ g. Ɇ c. Pengembangan materi penyelenggaraan jaminan dan pelayanan KB dan pembinaan penyuluh KB.
Perluasan jaringan dan pembinaan pelayanan KB.
Penyelenggaraan dukungan pelayanan rujukan KB dan kesehatan reproduksi.
Penyelenggaraan dan fasilitasi upaya peningkatan kesadaran keluarga berkehidupan seksual yang aman dan memuaskan, terbebas dari HIV/AIDS dan Infeksi Menular Seksual (IMS).
Pembinaan penyuluh KB. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA h. Ɇ 4.a. Penyediaan sarana, alat, obat, dan cara kontrasepsi skala nasional.
Ɇ c. Ɇ h. Ɇ 4.a. Penyediaan sarana, alat, obat, dan cara kontrasepsi skala provinsi.
Ɇ c. Ɇ h. Peningkatan kesetaraan dan keadilan gender terutama partisipasi KB pria dalam pelaksanaan program pelayanan KB dan kesehatan reproduksi.
a. Penyediaan sarana dan prasarana pelayanan kontrasepsi mantap dan kontrasepsi jangka panjang yang lebih terjangkau, aman, berkualitas dan merata skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan distribusi dan pengadaan sarana, alat, obat, dan cara kontrasepsi, dan pelayanannya dengan prioritas keluarga miskin dan kelompok rentan skala kabupaten/kota.
Penjaminan ketersediaan sarana, alat, obat, dan cara kontrasepsi bagi peserta mandiri skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5.a. Penetapan pedoman dan pengembangan model promosi pemenuhan hak-hak reproduksi dan promosi kesehatan reproduksi skala nasional.
Ɇ 5.a. Pemberian dukungan penyelenggaraan promosi pemenuhan hak-hak reproduksi dan promosi kesehatan reproduksi skala provinsi.
Ɇ 5.a. Pelaksanaan promosi pemenuhan hak-hak reproduksi dan promosi kesehatan reproduksi skala kabupaten/ kota.
Pelaksanaan informed choice dan informed consent dalam program KB.
Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) 1. Kebijakan dan Pelaksanaan KRR dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi 1.a.Penetapan kebijakan dan pengembangan KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) skala nasional.
Ɇ 1.a.Penetapan kebijakan KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala provinsi.
Pemberian dukungan operasional KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala provinsi.
a. Penetapan kebijakan KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala kabupaten/ kota.
Penyelenggaraan dukungan operasional KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan NAPZA skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2.a. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria dan pengembangan KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala nasional.
Ɇ 3.a. Pengelolaan KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala nasional.
a. Fasilitasi pelaksanaan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala provinsi.
Ɇ 3.a. Pengelolaan KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala provinsi.
a.Penetapan perkiraan sasaran pelayanan KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan NAPZA skala kabupaten/kota.
Penyerasian dan penetapan kriteria serta kelayakan tempat pelayanan KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala kabupaten/ kota.
a. Penyelenggaraan pelayanan KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Ɇ c. Ɇ d. Ɇ e. Ɇ b. Ɇ c. Ɇ d. Ɇ e. Ɇ b. Penyelenggaraan kemitraan pelaksanaan KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA baik antara sektor pemerintah dengan sektor Lembaga Swadaya Organisasi Masyarakat (LSOM) skala kabupaten/kota.
Penetapan fasilitas pelaksanaan KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA baik antara sektor pemerintah dengan sektor LSOM skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan NAPZA baik antara sektor pemerintah dengan sektor LSOM skala kabupaten/kota.
Penetapan sasaran KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA f. Ɇ 4. Pengembangan SDM pengelola, pendidik sebaya dan konselor sebaya KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA baik antara sektor pemerintah dengan sektor LSOM skala nasional.
Ɇ 4. Pendayagunaan SDM pengelola, pendidik sebaya dan konselor sebaya KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA baik antara sektor pemerintah dengan sektor LSOM skala provinsi. f .Penetapan prioritas kegiatan KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala kabupaten/kota.
Pemanfaatan tenaga SDM pengelola, pendidik sebaya dan konselor sebaya KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA baik antara sektor pemerintah dengan sektor LSOM skala kabupaten/kota.
Ketahanan dan Pemberdayaan Keluarga 1. Kebijakan dan Pelaksanaan Pengembangan Ketahanan dan Pemberdayaan Keluarga 1.a.Penetapan kebijakan dan pengembangan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala nasional.
Ɇ 1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala provinsi.
Ɇ 1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan dukungan pelayanan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2.a. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur, kriteria, dan pengembangan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala nasional.
Ɇ 3.a. Pengelolaan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala nasional.
Ɇ 2.a. Fasilitasi pelaksanaan pedoman, norma, standar, prosedur, kriteria, dan pengembangan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala provinsi.
Ɇ 3.a. Pengelolaan operasional ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala provinsi.
Ɇ 2.a. Penyerasian penetapan kriteria pengembangan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala kabupaten/kota.
Penetapan sasaran Bina Keluarga Balita (BKB), Bina Keluarga Remaja (BKR), dan Bina Keluarga Lansia (BKL) skala kabupaten/ kota.
a. Penyelenggaraan BKB, BKR, dan BKL termasuk pendidikan pra- melahirkan skala kabupaten/ kota.
Pelaksanaan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Ɇ d. Ɇ e. Ɇ f. Ɇ c. Ɇ d. Ɇ e. Ɇ f. Ɇ c. Pelaksanaan model-model kegiatan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala kabupaten/kota.
Pembinaan teknis peningkatan pengetahuan, keterampilan, kewirausahaan dan manajemen usaha bagi keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera I alasan ekonomi dalam kelompok Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS) skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan pendampingan/ magang bagi para kader/anggota kelompok UPPKS skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan kemitraan untuk aksesibilitas permodalan, teknologi, dan manajemen serta pemasaran guna peningkatan UPPKS skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA g. Ɇ g. Ɇ g. Peningkatan kualitas lingkungan keluarga skala kabupaten/kota.
Penguatan Pelembagaan Keluarga Kecil Berkualitas 1. Kebijakan dan Pelaksanaan Penguatan Pelembagaan Keluarga Kecil Berkualitas dan Jejaring Program 1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala nasional.
Ɇ 2.a. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria dan pengembangan penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala nasional.
a. Penetapan kebijakan dan pengembangan penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala provinsi.
Ɇ 2.a.Fasilitasi pelaksanaan pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala provinsi.
a. Penetapan kebijakan dan pengembangan penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan dukungan operasional penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala kabupaten/kota.
a.Penetapan perkiraan sasaran pengembangan penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Ɇ c. Ɇ d. Ɇ e. Ɇ f. Ɇ b. Ɇ c. Ɇ d. Ɇ e. Ɇ f. Ɇ b. Pemanfaatan pedoman pelaksanaan penilaian angka kredit jabatan fungsional penyuluh KB.
Penetapan petunjuk teknis pengembangan peran Institusi Masyarakat Pedesaan/Perkotaan (IMP) dalam program KB nasional.
Penetapan formasi dan sosialisasi jabatan fungsional penyuluh KB.
Pendayagunaan pedoman pemberdayaan dan penggerakan institusi masyarakat program KB nasional dalam rangka kemandirian.
Penetapan petunjuk teknis peningkatan peran serta mitra program KB nasional. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. a. Pengelolaan penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala nasional.
Ɇ c. Ɇ d. Ɇ e. Ɇ 3.a. Pengelolaan operasional penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala provinsi.
Penyiapan pelaksanaan pengkajian dan pengembangan program KB nasional, serta pemanfaatan hasil kajian dan penelitian.
Ɇ d. Ɇ e. Ɇ 3.a. Pelaksanaan pengelolaan personil, sarana dan prasarana dalam mendukung program KB nasional, termasuk jajaran medis teknis tokoh masyarakat dan tokoh agama.
Penyediaan dan pemberdayaan tenaga fungsional penyuluh KB.
Penyediaan dukungan operasional penyuluh KB.
Penyediaan dukungan operasional IMP dalam program KB nasional.
Pelaksanaan pembinaan teknis IMP dalam program KB nasional. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA f. Ɇ g. Ɇ h. Ɇ i. Ɇ j. Ɇ f. Ɇ g. Ɇ h. Ɇ i. Ɇ j. Ɇ f. Pelaksanaan peningkatan kerjasama dengan mitra kerja program KB nasional dalam rangka kemandirian.
Penyiapan pelaksanaan pengkajian dan pengembangan program KB nasional di kabupaten/kota.
Pemanfaatan hasil kajian dan penelitian.
Pendayagunaan kerjasama jejaring pelatih terutama pelatihan klinis kabupaten/kota.
Pendayagunaan SDM program terlatih, serta perencanaan dan penyiapan kompetensi SDM program yang dibutuhkan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA k. Ɇ k. Ɇ k. Pendayagunaan bahan pelatihan sesuai dengan kebutuhan program peningkatan kinerja SDM.
Advokasi dan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) 1. Kebijakan dan Pelaksanaan Advokasi dan KIE 1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan advokasi, KIE, serta konseling program KB nasional.
– 2.a. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria pengembangan advokasi dan KIE skala nasional.
Ɇ 1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan advokasi dan KIE skala provinsi.
Fasilitasi operasional advokasi dan KIE skala provinsi.
a. Fasilitasi pelaksanaan pedoman pengembangan advokasi dan KIE skala nasional.
Ɇ 1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan advokasi dan KIE skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan operasional advokasi KIE skala kabupaten/ kota.
a. Penetapan perkiraan sasaran advokasi dan KIE skala kabupaten/kota.
Penyerasian dan penetapan kriteria advokasi dan KIE skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3.a. Pengelolaan advokasi dan KIE skala nasional.
Ɇ c. Ɇ d. Ɇ 3.a. Pengelolaan pengembangan advokasi dan KIE skala provinsi.
Ɇ c. Ɇ d. Ɇ 3.a. Pelaksanaan advokasi, KIE, serta konseling program KB dan KRR.
Pelaksanaan KIE ketahanan dan pemberdayaan keluarga, penguatan kelembagaan dan jaringan institusi program KB.
Pemanfaatan prototipe program KB/Kesehatan Reproduksi (KR), KRR, ketahanan dan pemberdayaan keluarga, penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas.
Pelaksanaan promosi KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS, dan bahaya NAPZA dan perlindungan hak-hak reproduksi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Informasi dan Data Mikro Kependudukan dan Keluarga 1. Kebijakan dan Pelaksanaan Data Mikro Kependudukan dan Keluarga 1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala nasional.
Ɇ 2.a. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur, kriteria dan pengembangan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala nasional.
Ɇ 1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala provinsi.
Fasilitasi operasional pengelolaan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala provinsi.
a. Fasilitasi pelaksanaan pedoman pengembangan informasi dan data mikro kependudukan dan keluarga skala provinsi.
Ɇ 1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala kabupaten/kota.
a. Penetapan perkiraan sasaran pengembangan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala kabupaten/kota.
Informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3.a. Pengelolaan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala nasional.
Ɇ c. Ɇ d. Ɇ e. Ɇ 3.a. Pengelolaan pengembangan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala provinsi.
Ɇ c. Ɇ d. Ɇ e. Ɇ 3.a. Pelaksanaan operasional sistem informasi manajemen program KB nasional.
Pemutakhiran, pengolahan, dan penyediaan data mikro kependudukan dan keluarga.
Pengelolaan data dan informasi program KB nasional serta penyiapan sarana dan prasarana.
Pemanfaaan data dan informasi program KB nasional untuk mendukung pembangunan daerah.
Pemanfaatan operasional jaringan komunikasi data dalam pelaksanaan e-government dan melakukan diseminasi informasi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Keserasian Kebijakan Kependudukan 1. Penyerasian dan Keterpaduan Kebijakan Kependudukan 1. Penetapan kebijakan terpadu antara perkembangan kependudukan (aspek kuantitas, kualitas, dan mobilitas) dengan pembangunan di bidang ekonomi, sosial budaya dan lingkungan.
Pengkajian dan penyempurnaan peraturan perundang- undangan yang mengatur perkembangan dan dinamika kependudukan.
Pelaksanaan kebijakan terpadu antara perkembangan kependudukan (aspek kuantitas, kualitas, dan mobilitas) dengan pembangunan di bidang ekonomi, sosial budaya dan lingkungan.
Pengkajian dan penyempurnaan peraturan daerah yang mengatur perkembangan dan dinamika kependudukan di provinsi.
Penyelenggaraan kebijakan teknis operasional dan pelaksanaan program kependudukan terpadu antara perkembangan kependudukan (aspek kuantitas, kualitas, dan mobilitas) dengan pembangunan di bidang ekonomi, sosial budaya dan lingkungan di daerah kabupaten/kota.
Pengkajian dan penyempurnaan peraturan daerah yang mengatur perkembangan dan dinamika kependudukan di daerah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3.a. Pengelolaan dan penyerasian isu kependudukan ke dalam program pembangunan sektoral dan daerah.
Ɇ 3.a. Penyerasian isu kependudukan ke dalam program pembangunan di provinsi.
Ɇ 3.a. Penyerasian isu kependudukan ke dalam program pembangunan di daerah kabupaten/kota.
Pengkajian dan penyempurnaan peraturan daerah yang mengatur perkembangan dan dinamika kependudukan di daerah kabupaten/kota.
Pembinaan 1. Kebijakan dan Pelaksanaan Pembinaan 1. Pengembangan dan penetapan kebijakan pembinaan, dan penyelenggaraan monitoring, evaluasi, fasilitasi, asistensi, dan supervisi pelaksanaan program KB nasional.
Dukungan pelaksanaan monitoring, evaluasi, asistensi, fasilitasi, dan supervisi pelaksanaan program KB nasional.
Monitoring, evaluasi, asistensi, fasilitasi, dan supervisi pelaksanaan program KB nasional di kabupaten/kota. M. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG SOSIAL SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Kebijakan Bidang Sosial 1. Penetapan kebijakan bidang sosial skala nasional. 1. Penetapan kebijakan bidang sosial skala provinsi mengacu pada kebijakan nasional.
Penetapan kebijakan bidang sosial skala kabupaten/kota mengacu pada kebijakan provinsi dan/atau nasional.
Perencanaan Bidang Sosial 1. Penyusunan perencanaan bidang sosial skala nasional.
Penyusunan perencanaan bidang sosial skala provinsi.
Penyusunan perencanaan bidang sosial skala kabupaten/kota.
Kerjasama Bidang Sosial 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria kerjasama bidang sosial.
Penyelenggaraan kerjasama bidang sosial skala provinsi. 1. Penyelenggaraan kerjasama bidang sosial skala kabupaten/kota.
Pembinaan Bidang Sosial 1. Koordinasi pemerintahan di bidang sosial skala nasional.
Penetapan pedoman dan standarisasi.
Koordinasi pemerintahan di bidang sosial skala provinsi.
Sinkronisasi dan harmonisasi pelaksanaan pedoman dan standarisasi.
Koordinasi pemerintahan di bidang sosial skala kabupaten/kota.
Sinkronisasi dan harmonisasi pelaksanaan pedoman dan standarisasi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan akreditasi dan sertifikasi.
Pemberian bimbingan, monitoring, supervisi, konsultasi, dan fasilitasi bidang sosial skala nasional.
Pengajuan usulan dan rekomendasi untuk penetapan akreditasi dan sertifikasi.
Pemberian bimbingan, monitoring, supervisi, konsultasi, dan fasilitasi bidang sosial skala provinsi.
Seleksi dan kelengkapan bahan usulan untuk penetapan akreditasi dan sertifikasi.
Pemberian bimbingan, monitoring, supervisi, konsultasi, dan fasilitasi bidang sosial skala kabupaten/kota.
Identifikasi dan Penanganan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial 1. Penetapan jenis dan kriteria sasaran penanggulangan masalah sosial skala nasional.
Identifikasi sasaran penanggulangan masalah sosial skala provinsi.
Identifikasi sasaran penanggulangan masalah sosial skala kabupaten/kota.
Pengembangan dan Pendayagunaan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) 1. Penetapan pedoman, jenis, standar dan kriteria PSKS skala nasional.
Pengembangan dan pendayagunaan PSKS skala nasional.
Penggalian dan pendayagunaan PSKS skala provinsi.
Pengembangan dan pendayagunaan PSKS skala provinsi.
Penggalian dan pendayagunaan PSKS skala kabupaten/kota.
Pengembangan dan pendayagunaan PSKS skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Pelaksanaan Program/Kegiatan Bidang sosial 1. Pelaksanaan program/ kegiatan bidang sosial meliputi uji coba, percontohan, kerjasama luar negeri, dan penanggulangan masalah sosial skala nasional.
Pelaksanaan program/ kegiatan bidang sosial skala provinsi dan atau kerjasama antar kabupaten/kota.
Pelaksanaan program/ kegiatan bidang sosial skala kabupaten/kota.
Pengawasan Bidang Sosial 1. Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan, dan kebijakan bidang sosial.
Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan bidang sosial, dan kebijakan skala provinsi.
Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan bidang sosial skala kabupaten/ kota.
Pelaporan Pelaksanaan Program di Bidang Sosial 1. Pelaporan pelaksanaan program di bidang sosial skala nasional kepada Presiden.
Pelaporan pelaksanaan program bidang sosial skala provinsi kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri dengan tembusan kepada Menteri Sosial.
Pelaporan pelaksanaan program bidang sosial skala kabupaten/kota kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur dengan tembusan kepada Menteri Sosial. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 10. Sarana dan Prasarana Sosial 1. Penyediaan sarana dan prasarana sosial skala nasional.
Penyediaan sarana dan prasarana sosial skala provinsi.
Penyediaan sarana dan prasarana sosial skala kabupaten/kota.
Pembinaan Tenaga Fungsional Pekerja Sosial 1. Pengangkatan dan pemberhentian pejabat fungsional pekerja sosial skala nasional.
Penyelenggaraan pendidikan profesi pekerjaan sosial skala nasional.
Pendidikan dan pelatihan jabatan fungsional pekerja sosial skala nasional.
Pengangkatan dan pemberhentian pejabat fungsional pekerja sosial skala provinsi.
Pengusulan calon peserta pendidikan profesi pekerjaan sosial skala provinsi.
Pengusulan calon peserta pendidikan dan profesi pekerja sosial skala provinsi.
Pengangkatan dan pemberhentian pejabat fungsional pekerja sosial skala kabupaten/kota.
Pengusulan calon peserta pendidikan profesi pekerjaan sosial skala kabupaten/kota.
Pengusulan calon peserta pendidikan dan pelatihan pekerja sosial skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 12. Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial 1. Penetapan pedoman sistem informasi kesejahteraan sosial.
Pengembangan jaringan sistem informasi kesejahteraan sosial skala nasional.
— 2. Pengembangan jaringan sistem informasi kesejahteraan sosial skala provinsi.
— 2. Pengembangan jaringan sistem informasi kesejahteraan sosial skala kabupaten/kota.
Penganugerahan Tanda Kehormatan 1. Pengusulan dan pemberian rekomendasi kepada Presiden untuk penganugerahan satya lencana kebaktian sosial.
Penganugerahan penghargaan Menteri Sosial.
Pengusulan dan pemberian rekomendasi atas usulan penganugerahan satya lencana kebaktian sosial kepada Presiden melalui Menteri Sosial.
Pemberian penghargaan di bidang sosial skala provinsi.
Penyiapan bahan kelengkapan usulan penganugerahan satya lencana kebaktian sosial kepada Presiden melalui Gubernur dan Menteri Sosial.
Pemberian penghargaan di bidang sosial skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Pelestarian Nilai-Nilai 1. Penetapan pedoman pelestarian nilai-nilai kepahlawanan, keperintisan kejuangan dan kesetiakawanan sosial.
Pelestarian nilai-nilai kepahlawanan, keperintisan dan kejuangan serta nilai- nilai kesetiakawanan sosial sesuai pedoman skala provinsi.
Pelestarian nilai-nilai kepahlawanan, keperintisan dan kejuangan serta nilai-nilai kesetiakawanan sosial sesuai pedoman yang ditetapkan oleh pusat atau provinsi skala kabupaten/kota.
Pemeliharaan Taman Makam Pahlawan (TMP) 1. Standarisasi, pemeliharaan, dan perbaikan TMP Nasional.
Pembangunan, perbaikan, pemeliharaan, TMP di provinsi.
Pembangunan, perbaikan, pemeliharaan, TMP di kabupaten/kota.
Pemeliharaan Makam Pahlawan Nasional (MPN) 1. Standarisasi, pemeliharaan dan perbaikan MPN. 1. — 1. — 14. Nilai-nilai Kepahlawanan, Keperintisan Kejuangan dan Kesetiakawanan Sosial 4. Penganugerahan Gelar Pahlawan dan Perintis Kemerdekaan 1. Pengusulan dan pemberian rekomendasi kepada Presiden untuk penetapan dan penganugerahan gelar Pahlawan Nasional dan Perintis Kemerdekaan.
Pemberian rekomendasi atas usulan pengangkatan gelar Pahlawan Nasional dan Perintis Kemerdekaan.
Penyiapan bahan kelengkapan usulan penganugerahan gelar Pahlawan Nasional dan Perintis Kemerdekaan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Penyelenggaraan Peringatan Hari Pahlawan dan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional 1. Penanggungjawab penyelenggaraan Hari Pahlawan dan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional.
Penanggungjawab penyelenggaraan Hari Pahlawan dan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional tingkat provinsi.
Penanggungjawab penyelenggaraan Hari Pahlawan dan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional tingkat kabupaten/kota.
Penanggulangan Korban Bencana 1. Penetapan pedoman penanggulangan bencana.
Penanggulangan bencana skala dan/atau berdampak nasional.
Penanggulangan korban bencana skala provinsi.
— 1. Penanggulangan korban bencana skala kabupaten/kota.
— 16. Pengumpulan Uang atau Barang (Sumbangan Sosial) 1. Penetapan kebijakan dan pemberian izin pengumpulan uang atau barang skala nasional.
Pengendalian pengumpulan uang atau barang skala nasional.
Pemberian izin pengumpulan uang atau barang skala provinsi.
Pengendalian pengumpulan uang atau barang skala provinsi.
Pemberian izin pengumpulan uang atau barang skala kabupaten/kota.
Pengendalian pengumpulan uang atau barang skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pengelolaan (penerimaan dan penyaluran) sumbangan sosial masyarakat baik dalam maupun luar negeri.
— 3. — 17. Undian 1. Penetapan kebijakan dan pemberian izin undian skala nasional.
Pengendalian dan pengawasan serta pemantauan pelaksanaan undian di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota.
Pemberian rekomendasi izin undian skala provinsi.
Pengendalian dan pengawasan pelaksanaan undian di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Pemberian rekomendasi izin undian skala kabupaten/kota bila diperlukan.
Pengendalian dan pelaksanaan undian di tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 18. Jaminan Sosial bagi Penyandang Cacat Fisik dan Mental, dan Lanjut Usia Tidak Potensial Terlantar, yang berasal dari Masyarakat Rentan dan Tidak Mampu 1. Penetapan pedoman penyelenggaraan jaminan sosial.
Pelaksanaan pemberian jaminan sosial bagi penyandang cacat fisik dan mental, lanjut usia tidak potensial terlantar, yang berasal dari masyarakat rentan dan tidak mampu skala nasional.
— 2. Pelaksanaan dan pengembangan jaminan sosial bagi penyandang cacat fisik dan mental, lanjut usia tidak potensial terlantar yang berasal dari masyarakat rentan dan tidak mampu skala provinsi.
— 2. Pelaksanaan dan pengembangan jaminan sosial bagi penyandang cacat fisik dan mental, lanjut usia tidak potensial terlantar yang berasal dari masyarakat rentan dan tidak mampu skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 19. Pengasuhan dan Pengangkatan Anak 1. Penetapan organisasi sosial/yayasan yang diberi izin untuk pengasuhan anak.
Pemberian izin pengangkatan anak bagi anak yang berada dalam asuhan organisasi sosial antar Warga Negara Indonesia (WNI) dan antara WNI dengan Warga Negara Asing (WNA).
— 2. Pemberian izin pengangkatan anak antar WNI.
— 2. Pemberian rekomendasi pengangkatan anak skala kabupaten/kota. N. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Ketenagakerjaan 1. Kebijakan, Perencanaan, Pembinaan, dan Pengawasan 1. Penetapan dan pelaksanaan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala nasional.
Pembinaan (pengawasan, pengendalian, monitoring, evaluasi, dan pelaporan) penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala nasional.
Pelaksanaan kebijakan pusat dan penetapan kebijakan daerah serta pelaksanaan strategi penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala provinsi.
Pembinaan (pengawasan, pengendalian, monitoring, evaluasi, dan pelaporan) penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan pusat dan provinsi, penetapan kebijakan daerah dan pelaksanaan strategi penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.
Pembinaan (pengawasan, pengendalian, monitoring, evaluasi, dan pelaporan) penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Koordinasi dan pengintegrasian penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala nasional.
Penetapan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria pembentukan kelembagaan/Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) bidang ketenagakerjaan skala nasional.
Perencanaan tenaga kerja nasional, pembinaan perencanaan tenaga kerja daerah provinsi dan kabupaten/kota, 3. Penanggungjawab penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala provinsi.
Pembentukan kelembagaan SKPD bidang ketenagakerjaan di provinsi.
Perencanaan tenaga kerja daerah provinsi, pembinaan perencanaan tenaga kerja mikro, pembinaan dan penyelenggaraan sistem 3. Penanggungjawab penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.
Pembentukan kelembagaan SKPD bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota.
Perencanaan tenaga kerja daerah kabupaten/kota, pembinaan perencanaan tenaga kerja mikro pada instansi/tingkat perusahaan, pembinaan dan penyelenggaraan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA sektoral, dan mikro serta pembinaan dan pengembangan sistem informasi ketenagakerjaan nasional. informasi ketenagakerjaan, serta pembinaan perencanaan tenaga kerja dan sistem informasi ketenagakerjaan kabupaten/kota skala provinsi. sistem informasi ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.
Pembinaan Sumber Daya Manusia (SDM) Aparatur 1. Penetapan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria monitoring evaluasi pembinaan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala nasional.
Perencanaan formasi, karir, dan pendidikan dan pelatihan (diklat) 1. Pelaksanaan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria monitoring evaluasi pembinaan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala provinsi.
Perencanaan formasi, karir, dan diklat SDM aparatur pelaksana 1. Pelaksanaan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria monitoring evaluasi pembinaan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.
Perencanaan formasi, karir, dan diklat SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala nasional. urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan di provinsi. ketenagakerjaan di kabupaten/kota.
Pembinaan, penyelenggaraan, pengawasan, dan pengendalian, serta evaluasi pengembangan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala nasional.
Penetapan kriteria dan standar pemangku jabatan perangkat daerah yang melaksanakan urusan 3. Pembinaan, penyelenggaraan, pengawasan, dan pengendalian, serta evaluasi pengembangan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala provinsi.
Pengangkatan dan pemberhentian pejabat perangkat daerah yang menangani bidang ketenagakerjaan skala 3. Pembinaan, penyelenggaraan, pengawasan, pengendalian, serta evaluasi pengembangan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.
Pengangkatan dan pemberhentian pejabat perangkat daerah yang menangani bidang ketenagakerjaan skala SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pemerintahan bidang ketenagakerjaan.
Pembinaan, pengangkatan, dan pemberhentian pejabat fungsional bidang ketenagakerjaan di instansi pusat. provinsi.
Pembinaan, pengangkatan, dan pemberhentian pejabat fungsional bidang ketenagakerjaan di instansi provinsi. kabupaten/kota.
Pembinaan, pengangkatan, dan pemberhentian pejabat fungsional bidang ketenagakerjaan di instansi kabupaten/kota.
Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas Tenaga Kerja 1.a.Standarisasi kompetensi dan penyelenggaraan pelatihan kerja skala nasional.
— 2.a.Standarisasi, pelatihan dan pelaksanaan pengukuran 1.a.Pembinaan dan penyelenggaraan pelatihan kerja skala provinsi.
Pelatihan diseminasi program untuk kabupaten/kota di wilayah provinsi.
a.Pelaksanaan pelatihan dan pengukuran produktivitas skala 1.a.Pembinaan dan penyelenggaraan pelatihan kerja skala kabupaten/kota.
— 2.a.Pelaksanaan pelatihan dan pengukuran produktivitas skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA produktivitas skala nasional.
Pembinaan dan penyelenggaraan kerja sama internasional dalam rangka peningkatan produktivitas. provinsi.
Pelaksanaan program peningkatan produktivitas di wilayah provinsi.
Pelaksanaan program peningkatan produktivitas di wilayah kabupaten/kota.
Pengawasan pelaksanaan perizinan/ pendaftaran lembaga pelatihan kerja serta penerbitan perizinan magang ke luar negeri.
Pengawasan pelaksanaan sertifikasi kompetensi dan akreditasi lembaga 3. Pengawasan pelaksanaan perizinan/ pendaftaran lembaga pelatihan kerja serta penerbitan rekomendasi perizinan magang ke luar negeri.
Pengawasan pelaksanaan sertifikasi kompetensi dan akreditasi lembaga 3. Penyelenggaraan perizinan/ pendaftaran lembaga pelatihan serta pengesahan kontrak/perjanjian magang dalam negeri.
Koordinasi pelaksanaan sertifikasi kompetensi dan akreditasi lembaga pelatihan kerja skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA sertifikasi profesi dan lembaga pelatihan kerja skala nasional. pelatihan kerja skala provinsi.
Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri 1.a.Penyusunan sistem dan penyebarluasan informasi pasar kerja secara nasional.
Pemberian pelayanan informasi pasar kerja dan bimbingan jabatan kepada pencaker dan pengguna tenaga kerja skala nasional.
Pembinaan dan penyusunan sistem pemberdayaan pengantar kerja berskala nasional.
a.Penyusunan sistem dan penyebarluasan informasi pasar kerja di wilayah provinsi.
Pemberian pelayanan informasi pasar kerja dan bimbingan jabatan kepada pencaker dan pengguna tenaga kerja skala provinsi.
Pembinaan, monitoring, evaluasi, dan pendataan jabatan fungsional pengantar kerja tingkat provinsi.
a.Penyebarluasan informasi pasar kerja dan pendaftaran pencari kerja (pencaker) dan lowongan kerja.
Penyusunan, pengolahan dan penganalisisan data pencaker dan data lowongan kerja skala kabupaten/kota.
Pemberian pelayanan informasi pasar kerja, bimbingan jabatan kepada pencaker dan pengguna tenaga kerja skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d.Monitoring, evaluasi, dan sosialisasi jabatan fungsional pengantar kerja.
Penilaian angka kredit jabatan fungsional pengantar kerja berskala nasional.
— e.Penilaian angka kredit jabatan fungsional pengantar kerja tingkat provinsi.
Pembinaan pejabat fungsional pengantar kerja.
Penilaian angka kredit jabatan fungsional pengantar kerja di wilayah kerja kabupaten/kota.
a. Penerbitan dan pengendalian izin pendirian Lembaga Bursa Kerja/Lembaga Penempatan Tenaga Kerja Swasta (LPTKS) dan Lembaga Penyuluhan dan Bimbingan Jabatan lintas provinsi/berskala nasional.
a. Penerbitan dan pengendalian izin pendirian Lembaga Bursa Kerja/LPTKS dan Lembaga Penyuluhan dan Bimbingan Jabatan skala provinsi.
a.Penerbitan dan pengendalian izin pendirian Lembaga Bursa Kerja/LPTKS dan Lembaga Penyuluhan dan Bimbingan Jabatan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b.— 3. Pemberian rekomendasi kepada swasta dalam penyelenggaraan pameran bursa kerja/ job fair skala nasional.
Penerbitan rekomendasi untuk perizinan pendirian LPTKS dan lembaga penyuluhan dan bimbingan jabatan yang akan melakukan kegiatan skala provinsi.
Pemberian rekomendasi kepada swasta dalam penyelenggaraan pameran bursa kerja/ job fair skala provinsi.
Penerbitan rekomendasi untuk perizinan pendirian LPTKS dan lembaga penyuluhan dan bimbingan jabatan yang akan melakukan kegiatan skala kabupaten/kota.
Pemberikan rekomendasi kepada swasta dalam penyelenggaraan pameran bursa kerja/ job fair skala kabupaten/kota.
Sosialisasi dan evaluasi penempatan tenaga kerja penyandang cacat, lanjut usia (lansia) dan perempuan skala nasional.
Fasilitasi dan pembinaan penempatan bagi pencari kerja penyandang cacat, lansia dan perempuan skala provinsi.
Fasilitasi penempatan bagi pencari kerja penyandang cacat, lansia dan perempuan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5.a.Penerbitan Surat Persetujuan Penempatan (SPP) Antar Kerja Antar Daerah (AKAD) skala nasional.
— 6.a.Penerbitan izin operasional Tenaga Kerja Sukarela (TKS) Luar Negeri, TKS Indonesia, lembaga sukarela luar negeri dan lembaga sukarela Indonesia.
a.Penerbitan SPP AKAD skala provinsi.
— 6.a.Penerbitan rekomendasi izin operasional TKS Luar Negeri, TKS Indonesia, lembaga sukarela Indonesia yang akan beroperasi lebih dari 1 (satu) kabupaten/kota dalam satu provinsi.
a.Penyuluhan, Rekrutmen, seleksi dan pengesahan pengantar kerja, serta penempatan tenaga kerja AKAD/Antar Kerja Lokal (AKL).
Penerbitan SPP AKL skala kabupaten/kota.
a.Penerbitan rekomendasi izin operasional TKS Luar Negeri, TKS Indonesia, lembaga sukarela Indonesia yang akan beroperasi pada 1 (satu) kabupaten/kota.
Pembinaan, pengawasan, dan pengendalian pendayagunaan TKS, b.Pelaksanaan pembinaan, pengendalian, dan pengawasan b.Pelaksanaan pembinaan, pengendalian, dan pengawasan pendayagunaan TKS dan lembaga sukarela skala SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA Tenaga Kerja Mandiri (TKM), dan lembaga sukarela skala nasional.
— 7.a.Pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) baru.
Pengesahan RPTKA perpanjangan lintas provinsi. pendayagunaan TKS dan lembaga sukarela skala provinsi.
Koordinasi, integrasi dan sinkronisasi program pendayagunaan TKM skala provinsi.
a.— b.Pengesahan RPTKA perpanjangan yang tidak mengandung perubahan jabatan, jumlah orang, dan lokasi kerjanya dalam 1 (satu) wilayah provinsi. kabupaten/kota.
Pendaftaran dan fasilitasi pembentukan TKM.
a.— b.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c.Pengesahan RPTKA perubahan seperti perubahan jabatan, perubahan lokasi, perubahan jumlah Tenaga Kerja Asing (TKA) dan perubahan kewarganegaraan.
a. Pemberian rekomendasi visa kerja dan penerbitan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) baru.
Penerbitan IMTA perpanjangan untuk TKA yang lokasi kerjanya lebih dari 1 (satu) wilayah provinsi.
— 8.a. — b.Penerbitan IMTA perpanjangan untuk TKA yang lokasi kerjanya lintas kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi.
— 8.a. — b.Penerbitan IMTA perpanjangan untuk TKA yang lokasi kerjanya dalam wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c.Penyusunan jabatan terbuka atau tertutup bagi TKA.
— c.— 9. Pembinaan dan pengendalian penggunaan TKA skala nasional.
Pembinaan penerapan teknologi tepat guna skala nasional.
Pembinaan model-model perluasan dan pengembangan kesempatan secara nasional antara lain melalui usaha mandiri 9. Monitoring dan evaluasi penggunaan TKA yang lokasi kerjanya lebih dari 1 (satu) kabupaten/kota dalam wilayah provinsi.
Pembinaan dan penerapan teknologi tepat guna skala provinsi.
Koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi pelaksanaan program usaha mandiri dan sektor informal serta program padat karya 9. Monitoring dan evaluasi penggunaan TKA yang lokasi kerjanya dalam wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan.
Pelaksanaan pelatihan/bimbingan teknis, penyebarluasan dan penerapan teknologi tepat guna skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan program perluasan kerja melalui bimbingan usaha mandiri dan sektor informal serta program padat karya skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA dan sektor informal, serta program padat karya. skala provinsi.
Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri 1.a.Pembinaan, pengendalian, dan pengawasan penempatan TKI ke luar negeri.
Pelaksanaan penempatan TKI oleh pemerintah.
Pembuatan perjanjian/pelaksanaan kerjasama bilateral dan multilateral dengan negara-negara penempatan TKI.
a.Monitoring dan evaluasi penempatan TKI ke luar negeri yang berasal dari wilayah provinsi.
— 2. Fasilitasi pelaksanaan perjanjian kerjasama bilateral dan multilateral penempatan TKI yang pelaksanaannya di wilayah provinsi.
a.Pelaksanaan penyuluhan , pendaftaran dan seleksi calon TKI di wilayah kabupaten/kota.
Pengawasan pelaksanaan rekrutmen calon TKI di wilayah kabupaten/kota.
Fasilitasi pelaksanaan perjanjian kerjasama bilateral dan multilateral penempatan TKI yang pelaksanaannya di wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penerbitan Surat Izin Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (SIPPTKIS)/ Surat Izin Usaha Penempatan (SIUP)- Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) dan rekomendasi rekrutmen calon TKI serta Penerbitan Surat Izin Pengerahan (SIP).
Verifikasi dokumen TKI, penerbitan Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN), penerbitan rekomendasi paspor TKI yang bersifat khusus dan crash program .
Penerbitan perizinan pendirian kantor cabang di wilayah provinsi dan rekomendasi perpanjangan SIPPTKIS/PPTKIS.
Verifikasi dokumen TKI di wilayah provinsi.
Penerbitan rekomendasi izin pendirian kantor cabang PPTKIS di wilayah kabupaten/kota.
Penerbitan rekomendasi paspor TKI di wilayah kabupaten/kota berdasarkan asal/alamat calon TKI. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Penyelenggaraan Sistem Komputerisasi Terpadu Penempatan TKI di Luar Negeri (SISKO TKLN) dan pengawasan penyetoran dana perlindungan TKI.
a.Penentuan standar perjanjian kerja, penelitian terhadap substansi perjanjian kerja serta pengesahan perjanjian kerja.
— 5. Penyebarluasan sistem informasi penempatan TKI dan pengawasan penyetoran dana perlindungan TKI di wilayah provinsi.
a.Sosialisasi substansi perjanjian kerja penempatan TKI ke luar negeri skala provinsi.
— 5. Penyebarluasan sistem informasi penempatan TKI dan pengawasan penyetoran dana perlindungan TKI di wilayah kabupaten/kota.
a.Sosialisasi terhadap substansi perjanjian kerja penempatan TKI ke luar negeri skala kabupaten/kota.
Penelitian dan pengesahan perjanjian penempatan TKI ke luar negeri. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Penyelenggaraan Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP) (pelaksanaannya dapat didekonsentrasikan kepada Gubernur).
a.Penyelenggaraan program perlindungan, pembelaan, dan advokasi TKI.
Penentuan standar tempat penampungan calon TKI dan Balai Latihan Kerja Luar Negeri (BLK-LN).
Penetapan standar dan penunjukan lembaga- lembaga yang terkait 7. Fasilitasi penyelenggaraan PAP.
a.Pembinaan, pengawasan penempatan dan perlindungan TKI di wilayah provinsi.
Penerbitan perizinan tempat penampungan di wilayah provinsi.
— 7. — 8.a.Pembinaan, pengawasan, dan monitoring penempatan maupun perlindungan TKI di kabupaten/kota.
Penerbitan rekomendasi perizinan tempat penampungan di wilayah kabupaten/kota.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA dengan program penempatan TKI (lembaga asuransi, perbankan, dan sarana kesehatan).
Fasilitasi kepulangan dan pemulanganTKI secara nasional.
Fasilitasi kepulangan TKI di pelabuhan debarkasi di wilayah provinsi.
Pelayanan kepulangan TKI yang berasal dari kabupaten/kota.
Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja 1.a.Fasilitasi penyusunan serta pengesahan peraturan perusahaan yang skala berlakunya lebih dari satu provinsi.
a.Fasilitasi penyusunan serta pengesahan peraturan perusahaan yang skala berlakunya lebih dari satu kabupaten/kota dalam satu provinsi.
a.Fasilitasi penyusunan serta pengesahan peraturan perusahaan yang skala berlakunya dalam satu wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b.Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama (PKB), yang skala berlakunya lebih dari 1 (satu) wilayah provinsi.
Pencatatan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) pada perusaha- an yang skala berlakunya lebih dari 1 (satu) provinsi.
Pendaftaran PKB, perjanjian pekerjaan antara perusahaan pemberi kerja dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang skala berlakunya lebih dari satu wilayah kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi.
Pencatatan PKWT pada perusahaan yang skala berlakunya lebih dari satu kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi.
Pendaftaran PKB, perjanjian pekerjaan antara perusahaan pemberi kerja dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang skala berlakunya pada 1 (satu) wilayah kabupaten/kota.
Pencatatan PKWT pada perusahaan yang skala berlakunya dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota.
a.Pendaftaran Perjanjian Pekerjaan antara Perusahaan Pemberi Kerja dengan 2.a.Pendaftaran Perjanjian Pekerjaan antara Perusahaan Pemberi Kerja dengan 2.a. Penerbitan izin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang berdomisili di kabupaten/kota dan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh yang skala berlakunya lebih dari 1 (satu) provinsi.
Penerbitan rekomendasi pencabutan izin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang skala berlakunya lebih dari 1 (satu) provinsi.
Pencegahan dan penyelesaian perselisih- an hubungan industrial, mogok kerja, dan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh yang skala berlakunya lebih dari 1 (satu) kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi.
Penerbitan rekomendasi pencabutan izin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang skala berlakunya lebih dari satu kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi.
Pencegahan dan penyelesaian perselisih- an hubungan indus- trial, mogok kerja, dan pendaftaran perjanjian pekerjaan antara perusahaan pemberi kerja dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang skala berlakunya dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota.
Pencabutan izin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang berdomisili di kabupaten/kota atas rekomendasi pusat dan atau provinsi.
Pencegahan dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial, mogok kerja, dan penutupan perusahaan di SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA penutupan perusahaan skala nasional.
Pembinaan SDM dan lembaga penyelesaian perselisihan di luar pengadilan skala nasional.
Koordinasi penyusunan formasi, pendaftaran dan seleksi calon arbiter dan konsiliator, pengangkatan dan pemberhentian serta penerbitan legitimasi mediator, konsiliator, dan arbiter. penutupan perusahaan skala provinsi.
Pembinaan SDM dan lembaga penyelesaian perselisihan di luar pengadilan skala provinsi.
Penyusunan formasi, pendaftaran dan seleksi calon mediator, arbiter, dan konsiliator di wilayah provinsi. wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan SDM dan lembaga penyelesaian perselisihan di luar pengadilan skala kabupaten/kota.
Penyusunan dan pengusulan formasi serta melakukan pembinaan mediator, konsiliator, arbiter di wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pendaftaran dan seleksi calon hakim ad-hoc hubungan industrial pada Mahkamah Agung.
a.Bimbingan aplikasi pengupahan skala nasional.
Penetapan kebijakan pengupahan nasional dan penelaahan terhadap upah minimum yang ditetapkan pemerintah provinsi.
Pendaftaran dan seleksi calon hakim ad-hoc pengadilan hubungan industrial yang wilayahnya meliputi provinsi.
a.Bimbingan aplikasi pengupahan lintas kabupaten/kota dalam satu provinsi.
Penyusunan dan penetapan upah minimum provinsi, kabupaten/kota, dan melaporkan kepada menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
Pendaftaran dan seleksi calon hakim ad-hoc pengadilan hubungan industrial yang wilayahnya meliputi kabupaten/ kota.
a.Bimbingan aplikasi pengupahan di perusahaan skala kabupaten/kota.
Penyusunan dan pengusulan penetapan upah minimum kabupaten/kota kepada gubernur. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8.a.Koordinasi pembinaan penyelenggaraan jaminan sosial, fasilitas, dan kesejahtaraan tenaga kerja/buruh skala nasional.
— 9. Pembinaan pelaksanaan sistem dan kelembagaan serta pelaku hubungan industrial skala nasional.
a.Koordinasi pembinaan kepesertaan jaminan sosial tenaga kerja skala provinsi.
Koordinasi pembinaan penyelenggaraan fasilitas dan kesejahteraan tenaga kerja skala provinsi.
Pembinaan pelaksanaan sistem dan kelembagaan serta pelaku hubungan industrial skala provinsi.
a.Pembinaan kepesertaan jaminan sosial tenaga kerja di wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan penyelenggaraan fasilitas dan kesejahteraan di perusahaan skala kabupaten/kota.
Pembinaan pelaksanaan sistem dan kelembagaan serta pelaku hubungan industrial skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 10. Koordinasi pelaksanaan verifikasi keanggotaan Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) skala nasional.
Koordinasi hasil pencatatan organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/buruh dari provinsi.
Penetapan organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/buruh untuk duduk dalam lembaga- lembaga ketenagakerjaan nasional berdasarkan 10. Koordinasi pelaksanaan verifikasi keanggotaan SP/SB skala provinsi.
Koordinasi hasil pencatatan organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/buruh skala provinsi dan melaporkannya kepada pemerintah.
Penetapan organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/buruh skala provinsi untuk duduk dalam lembaga-lembaga ketenagakerjaan provinsi berdasarkan 10. Verifikasi keanggotaan SP/SB skala kabupaten/kota.
Pencatatan organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/buruh skala kabupaten/kota dan melaporkannya kepada provinsi.
Penetapan organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/buruh untuk duduk dalam lembaga- lembaga ketenagakerjaan kabupaten/kota berdasarkan hasil verifikasi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA hasil verifikasi. hasil verifikasi.
Pembinaan Ketenagaker- jaan 1. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan norma ketenagakerjaan skala nasional.
Pemeriksaan/pengujian terhadap perusahaan dan obyek pengawasan ketenagakerjaan skala nasional.
Penerbitan/rekomendasi (izin) terhadap obyek pengawasan ketenagakerjaan skala nasional.
Penanganan kasus/melakukan penyidikan terhadap 1. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan norma ketenagakerjaan skala provinsi.
Pemeriksaan/pengujian terhadap perusahaan dan obyek pengawasan ketenagakerjaan skala provinsi.
Penerbitan/rekomendasi (izin) terhadap obyek pengawasan ketenagakerjaan skala provinsi.
Penanganan kasus/melakukan penyidikan terhadap 1. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan norma ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.
Pemeriksaan/pengujian terhadap perusahaan dan obyek pengawasan ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.
Penerbitan/rekomendasi (izin) terhadap obyek pengawasan ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.
Penanganan kasus/melakukan penyidikan terhadap SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pengusaha yang melanggar norma ketenagakerjaan skala nasional.
a.Penetapan rencana tahunan audit dan sertifikasi Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3).
— 6. Pengkajian dan perekayasaan bidang norma ketenagakerjaan, hygiene perusahaan, ergonomi, keselamatan dan kesehatan kerja pengusaha yang melanggar norma ketenagakerjaan skala provinsi.
a.Pelaksanaan penerapan SMK3 skala provinsi.
Pelaksanaan koordinasi dan audit SMK3 skala provinsi.
Pengkajian dan perekayasaan bidang norma ketenagakerjaan, hygiene perusahaan, ergonomi, kesehatan dan keselamatan kerja perusahaan dan pengusaha yang melanggar norma ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.
a.Pelaksanaan penerapan SMK3 skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan koordinasi dan audit SMK3 skala kabupaten/kota.
Pengkajian dan perekayasaan bidang norma ketenagakerjaan, hygiene perusahaan, ergonomi, keselamatan kerja yang bersifat strategis skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA yang bersifat strategis dan berskala nasional.
Pelayanan dan pelatihan serta pengembangan bidang norma ketenagakerjaan, hygiene perusahaan, ergonomi, keselamatan dan kesehatan kerja yang bersifat strategis dan berskala nasional.
Pemberdayaan fungsi dan kegiatan personil dan kelembagaan pengawasan ketenagakerjaan skala nasional. yang bersifat strategis skala provinsi.
Pelayanan dan pelatihan serta pengembangan bidang norma ketenagakerjaan, keselamatan dan kesehatan kerja yang bersifat strategis skala provinsi.
Pemberdayaan fungsi dan kegiatan personil dan kelembagaan pengawasan ketenagakerjaan skala provinsi.
Pelayanan dan pelatihan serta pengembangan bidang norma ketenagakerjaan, keselamatan dan kesehatan kerja yang bersifat strategis skala kabupaten/kota.
Pemberdayaan fungsi dan kegiatan personil dan kelembagaan pengawasan ketenagakerjaan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Fasilitasi pembinaan pengawasan ketenagakerjaan skala nasional.
Penyelenggaraan ketatalaksanaan pengawasan ketenagakerjaan skala nasional.
a. Penyelenggaraan diklat teknis/fungsional pengawasan ketenagakerjaan.
— 9. Fasilitasi penyelenggaraan pembinaan pengawasan ketenagakerjaan skala provinsi.
Penyelenggaraan ketatalaksanaan pengawasan ketenagakerjaan skala provinsi.
a. Pengusulan calon peserta diklat pengawasan ketenagakerjaan kepada pemerintah.
Bekerjasama dengan pusat menyelenggarakan diklat teknis 9. Fasilitasi pembinaan pengawasan ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan ketatalaksanaan pengawasan ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.
a. Pengusulan calon peserta diklat pengawasan ketenagakerjaan kepada pemerintah dan/atau pemerintah provinsi.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 12. Penunjukan, pengangkatan, dan pemberhentian pegawai pengawas ketenagakerjaan.
Penerbitan kartu legitimasi bagi pengawas ketenagakerjaan.
Penerbitan kartu Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) bidang ketenagakerjaan. pengawasan ketenagakerjaan.
Pengusulan calon pegawai pengawas ketenagakerjaan skala provinsi kepada pemerintah.
Pengusulan penerbitan kartu legitimasi bagi pengawas ketenagakerjaan skala provinsi kepada pemerintah.
Pengusulan kartu PPNS bidang ketenaga- kerjaan skala provinsi kepada pemerintah.
Pengusulan calon pegawai pengawas ketenagakerjaan skala kabupaten/kota kepada pemerintah.
Pengusulan penerbitan kartu legitimasi bagi pengawas ketenagakerjaan skala kabupaten/kota kepada pemerintah.
Pengusulan kartu PPNS bidang ketenagakerjaan skala kabupaten/kota kepada pemerintah. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 15. Penetapan sertifikasi, penunjukan, penerbitan lisensi bagi lembaga personil, dan kader ketenagakerjaan.
— 15. — 2. Ketransmigra- sian 1. Kebijakan, Perencanaan, Pembinaan, dan Pengawasan 1. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian.
Pembinaan (pengawasan, pengendalian, monitoring, evaluasi, dan pelaporan) penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang 1. Pelaksanaan kebijakan pusat dan perumusan kebijakan daerah serta pelaksanaan strategi penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala provinsi.
Pengendalian, evaluasi, dan pelaporan penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang ketransmigrasian skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan pusat dan provinsi, perumusan kebijakan daerah dan pelaksanaan strategi penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala kabupaten/kota.
Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang ketransmigrasian skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA ketransmigrasian skala nasional.
Koordinasi dan integrasi penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala nasional.
Perumusan kebijakan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria pembentukan kelembagaan SKPD bidang ketransmigrasian skala nasional.
Sinkronisasi dan pengendalian pelaksanaan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala provinsi.
Pembentukan kelembagaan SKPD bidang ketransmigrasian skala provinsi berdasarkan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan pemerintah.
Integrasi pelaksanaan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala kabupaten/kota.
Pembentukan kelembagaan SKPD bidang ketransmigrasian skala kabupaten/kota berdasarkan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan pemerintah. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Perancangan pembangunan transmigrasi nasional, serta pembinaan dan pengembangan sistem informasi ketransmigrasian skala nasional.
Pemberdayaan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian.
Perancangan pembangunan transmigrasi daerah provinsi, serta pembinaan dan penyelenggaraan sistem informasi ketransmigrasian skala provinsi.
Pemberdayaan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala provinsi.
Perancangan pembangunan transmigrasi daerah kabupaten/kota, serta pembinaan dan penyelenggaraan sistem informasi ketransmigrasian skala kabupaten/kota.
Peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala kabupaten/kota.
Pembinaan SDM Aparatur 1. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, 1. Pelaksanaan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, kriteria, dan monitoring, 1. Pelaksanaan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, kriteria, dan monitoring, evaluasi pembinaan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA kriteria, dan monitoring, evaluasi pembinaan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala nasional.
Perencanaan formasi, karir, dan diklat SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala nasional.
Pembinaan, penyelenggaraan, pengawasan, dan pengendalian, serta evaluasi pengembangan SDM aparatur evaluasi pembinaan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian di pemerintahan daerah provinsi.
Perencanaan formasi, karir, dan diklat SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian di pemerintah daerah provinsi.
Pembinaan, penyelenggaraan, pengawasan, dan pengendalian, serta evaluasi pengembangan SDM aparatur SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian di pemerintah daerah kabupaten/kota.
Perencanaan formasi, karir, dan diklat SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian di pemerintah daerah kabupaten/kota.
Pembinaan, penyelenggaraan, pengawasan, dan pengendalian, serta evaluasi pengembangan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian di pemerintah SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala nasional.
Perumusan kriteria dan standar pemangku jabatan perangkat daerah yang melaksanakan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian.
Pembinaan, pengangkatan, dan pemberhentian pejabat fungsional di bidang ketransmigrasian di instansi pusat. pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian di pemerintah daerah provinsi.
Pengangkatan dan pemberhentian pejabat perangkat daerah yang menangani bidang ketransmigrasian skala pemerintah daerah provinsi.
Pembinaan, pengangkatan, dan pemberhentian pejabat fungsional di bidang ketransmigrasian instansi provinsi. daerah kabupaten/kota.
Pengangkatan dan pemberhentian pejabat perangkat daerah yang menangani bidang ketransmigrasian skala pemerintah daerah kabupaten/kota.
Pembinaan, pengangkatan, dan pemberhentian pejabat fungsional di bidang ketransmigrasian instansi kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penyiapan Permukiman dan Penempatan 1.a.Perencanaan penyiapan permukiman dan penempatan transmigrasi untuk kepentingan nasional dan daerah.
— 1.a. Pengusulan rencana lokasi pembangunan Wilayah Pengembangan Transmigrasi (WPT) atau Lokasi Permukiman Transmigrasi (LPT) skala provinsi berdasarkan hasil pembahasan dengan pemerintah daerah kabupaten/kota.
Pengusulan rencana pengarahan, perpindahan, dan penempatan transmigrasi skala provinsi berdasarkan hasil pembahasan dengan pemerintah daerah kabupaten/kota.
a.Pengalokasian tanah untuk pembangunan WPT atau LPT di wilayah kabupaten/kota.
Pengusulan rencana lokasi pembangunan WPT atau LPT skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c.— d.— 2.a.Penyediaan tanah untuk pembangunan WPT atau LPT untuk kepentingan nasional dan daerah.
— c.— d.— 2.a.Koordinasi penyediaan tanah untuk pembangunan WPT atau LPT skala provinsi.
— c.Pengusulan rencana kebutuhan SDM untuk mendukung pembangunan WPT atau LPT skala kabupaten/kota.
Pengusulan rencana pengarahan dan perpindahan transmigrasi skala kabupaten/kota.
a.Penyelesaian legalitas tanah untuk rencana pembangunan WPT atau LPT skala kabupaten/kota.
Penetapan alokasi penyediaan tanah untuk rencana pembangunan WPT dan LPT skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penyusunan dan penetapan rencana teknis pembangunan WPT atau LPT dalam rangka kepentingan nasional dan daerah.
Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) ketransmigrasian dalam rangka kepentingan nasional dan daerah.
a.Pengembangan dan pelayanan investasi dan kemitraan dalam rangka pembangunan WPT atau LPT skala nasional dan daerah.
— 3. Pengusulan rancangan rencana teknis pembangunan WPT atau LPT skala provinsi.
KIE ketransmigrasian skala provinsi.
a.Penyediaan informasi pengembangan investasi dalam rangka pembangunan WPT atau LPT skala provinsi.
Mediasi dan koordinasi pelayanan investasi dalam rangka 3. Penyediaan data untuk penyusunan rencana teknis pembangunan WPT atau LPT skala kabupaten/kota.
KIE ketransmigrasian skala kabupaten/kota.
a.Penyediaan informasi pengembangan investasi dalam rangka pembangunan WPT atau LPT skala kabupaten/kota.
Pelayanan investasi dalam rangka pembangunan WPT atau LPT skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6.a.Pengembangan kerjasama antar daerah dalam perpindahan dan penempatan transmigrasi skala nasional.
— 7. Pembangunan WPT atau LPT dalam rangka kepentingan nasional dan daerah.
a.Penyiapan calon transmigran skala nasional. pembangunan WPT atau LPT skala provinsi.
a.Mediasi kerjasama antar daerah dalam perpindahan dan penempatan transmigrasi skala provinsi.
— 7. Koordinasi pelaksanaan pembangunan WPT atau LPT skala provinsi.
a.Koordinasi pelaksanaan penyiapan calon transmigran skala provinsi.
a.Penjajagan kerjasama dengan daerah kabupaten/kota lain.
Pembuatan naskah kerjasama antar daerah dalam perpindahan dan penempatan transmigrasi.
Sinkronisasi pembangunan WPT atau LPT dengan wilayah sekitar skala kabupaten/kota.
a.Pendaftaran dan seleksi calon transmigran skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. — 9. Peningkatan ketrampilan dan keahlian calon transmigran skala nasional.
Fasilitasi perpindahan dan penempatan transmigran skala nasional.
Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan penyiapan permukiman dan penempatan b. — 9. Koordinasi pelaksanaan peningkatan ketrampilan dan keahlian calon transmigran skala provinsi.
Koordinasi pelaksanaan pelayanan perpindahan dan penempatan transmigran skala provinsi.
Pengendalian dan supervisi penyiapan permukiman dan penempatan transmigran skala b.Penetapan status calon transmigran skala kabupaten/kota berdasarkan kriteria pemerintah.
Peningkatan ketrampilan dan keahlian calon transmigran skala kabupaten/kota.
Pelayanan penampungan calon transmigran skala kabupaten/kota.
Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan penyiapan permukiman dan penempatan transmigran di wilayah SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA transmigran skala nasional. provinsi. kabupaten/kota.
Pengembangan Masyarakat dan Kawasan Transmigrasi 1. Perencanaan pengembangan masyarakat dan kawasan transmigrasi skala nasional.
Peningkatan kapasitas SDM dan masyarakat di WPT atau LPT skala nasional.
Pengembangan usaha masyarakat di WPT atau LPT skala nasional.
Sinkronisasi dan pengusulan rencana pengembangan masyarakat dan kawasan transmigrasi skala provinsi.
Koordinasi pelaksanaan peningkatan kapasitas SDM dan masyarakat di WPT atau LPT skala provinsi.
Koordinasi pelaksanaan pengembangan usaha masyarakat di WPT atau LPT skala provinsi.
Pengusulan rencana pengembangan masyarakat dan kawasan transmigrasi skala kabupaten/kota.
Sinkronisasi peningkatan kapasitas SDM dan masyarakat di WPT atau LPT dengan wilayah sekitar dalam skala kabupaten/kota.
Sinkronisasi pengembangan usaha masyarakat di WPT atau LPT dengan wilayah sekitar dalam skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pemeliharaan dan pengembangan infrastruktur WPT atau LPT skala nasional.
Penyerasian pengembangan masyarakat dan kawasan WPT atau LPT dengan wilayah sekitar.
a.Evaluasi dan pengukuran tingkat keberhasilan pembangunan transmigrasi dan pengalihan 4. Koordinasi pelaksanaan pemeliharaan dan pengembangan infrastruktur WPT atau LPT skala provinsi.
Koordinasi pelaksanaan penyerasian pengembangan masyarakat dan kawasan WPT atau LPT dengan wilayah sekitar skala provinsi.
a.Koordinasi dan sinkronisasi penyajian data dan informasi tentang perkembangan WPT atau LPT skala provinsi.
Sinkronisasi pemeliharaan dan pengembangan infrastruktur WPT atau LPT dengan wilayah sekitar dalam skala kabupaten/kota.
Sinkronisasi penyerasian pengembangan masyarakat dan kawasan WPT atau LPT dengan wilayah sekitar skala kabupaten/kota.
a.Penyediaan data dan informasi tentang perkembangan WPT dan LPT skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA tanggungjawab pembinaan khusus WPT atau LPT skala nasional.
— 7. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan pengembangan masyarakat dan kawasan transmigrasi skala nasional.
Pengusulan calon WPT atau LPT yang dapat dialihkan tanggungjawab pembinaan khususnya dalam skala provinsi.
Pengendalian dan supervisi pelaksanaan pengembangan masyarakat dan kawasan transmigrasi skala provinsi.
Pengusulan calon WPT atau LPT yang dapat dialihkan tanggungjawab pembinaan khususnya dalam skala kabupaten/kota.
Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengembangan masyarakat dan kawasan transmigrasi di wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pengarahan Dan Fasilitasi Perpindahan Transmigrasi 1.a.Fasilitasi, bimbingan teknis, dan pelaksanaan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) ketransmigrasian skala nasional.
Penyediaan dan pelayanan informasi ketransmigrasian skala nasional.
— 1.a.Fasilitasi, bimbingan teknis, dan pelaksanaan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) ketransmigrasian skala provinsi.
Penyediaan dan pelayanan informasi ketransmigrasian skala provinsi.
— 1.a.Pelaksanaan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) ketransmigrasian skala kabupaten/kota.
Penyediaan dan pelayanan informasi ketransmigrasian skala kabupaten/kota.
Peningkatan motivasi perpindahan transmigrasi skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d.— 2.a.Fasilitasi, bimbingan teknis, dan penyerasian rencana pengarahan dan fasilitasi perpindahan transmigrasi lintas provinsi.
— d.— 2.a.Fasilitasi, bimbingan teknis, penyusunan dan penyerasian rencana pengarahan dan fasilitasi perpindahan transmigrasi skala provinsi.
— d.Penyamaan persepsi, kesepahaman, kesepakatan mengenai pembangunan ketransmigrasian skala kabupaten/kota.
a.Identifikasi dan analisis keserasian penduduk dengan daya dukung alam dan daya tampung lingkungan skala kabupaten/kota.
Pemilihan dan penetapan daerah dan kelompok sasaran perpindahan transmigrasi skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c.— c.— c.Penyusunan rencana pengarahan dan fasilitasi perpindahan transmigrasi skala kabupaten/kota.
Fasilitasi kerjasama perpindahan transmigrasi dan penataan persebaran transmigrasi yang serasi dan seimbang dengan daya dukung alam dan daya tampung skala nasional.
a.Fasilitasi, bimbingan teknis, dan pelayanan perpindahan transmigrasi skala nasional.
Mediasi kerjasama perpindahan transmigrasi dan penataan persebaran transmigrasi yang serasi dan seimbang dengan daya dukung alam dan daya tampung skala provinsi.
a.Fasilitasi, bimbingan teknis, dan pelayanan perpindahan transmigrasi skala provinsi.
Pelaksanaan kerjasama perpindahan transmigrasi dan penataan persebaran transmigrasi yang serasi dan seimbang skala kabupaten/kota.
a.Pelayanan pendaftaran dan seleksi perpindahan transmigrasi dan penataan persebaran transmigrasi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. — c. — d. — e. — b. — c. — d. — e. — b.Pelayanan pelatihan dalam rangka penyesuaian kompetensi perpindahan transmigrasi.
Pelayanan penampungan, permakanan, kesehatan, perbekalan, dan informasi perpindahan transmigrasi.
Pelayanan pengangkutan dalam proses perpindahan transmigrasi.
Pelayanan dan pengaturan penempatan, adaptasi lingkungan dan konsoliasi penempatan transmigrasi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan pengarahan dan fasilitasi perpindahan transmigrasi skala nasional.
Pengendalian dan supervisi pelaksanaan pengarahan dan fasilitasi perpindahan transmigrasi skala provinsi.
Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengarahan dan fasilitasi perpindahan transmigrasi di wilayah kabupaten/kota. O. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Kelembagaan Koperasi 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembentukan, penggabungan dan peleburan, serta pembubaran koperasi.
a.Pengesahan dan pengumuman akta pendirian koperasi.
— 3. Pengesahan dan perubahan Anggaran Dasar (AD) yang menyangkut penggabungan, pembagian dan perubahan bidang koperasi.
Pelaksanaan kebijakan pembentukan, penggabungan, dan peleburan, serta pembubaran koperasi.
a.Pengesahan pembentukan, penggabungan dan peleburan, serta penetapan pembubaran koperasi lintas kabupaten/kota. (Tugas Pembantuan) b.Fasilitasi pelaksanaan pengesahan dan pengumuman akta pendirian koperasi lintas kabupaten/kota.
Fasilitasi pelaksanaan pengesahan dan perubahan AD yang menyangkut penggabungan, pembagian dan perubahan bidang usaha koperasi lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan pembentukan, penggabungan, dan peleburan, serta pembubaran koperasi.
a.Pengesahan pembentukan, penggabungan dan peleburan, serta pembubaran koperasi dalam wilayah kabupaten/kota. (Tugas Pembantuan) b.Fasilitasi pelaksanaan pengesahan dan pengumuman akta pendirian koperasi dalam wilayah kabupaten/kota.
Fasilitasi pelaksanaan pengesahan perubahan AD yang menyangkut penggabungan, pembagian dan perubahan bidang usaha koperasi dalam wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Penetapan pembubaran koperasi.
a.Pembinaan dan Pengawasan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) dan Unit Simpan Pinjam (USP) Koperasi di tingkat nasional.
ɔ 4. Fasilitasi pelaksanaan pembubaran koperasi di tingkat provinsi.
a.Pembinaan dan pengawasan KSP dan USP koperasi di tingkat provinsi.
Fasilitasi pelaksanaan tugas dalam pengawasan KSP dan USP Koperasi di tingkat provinsi (Tugas Pembantuan) .
Fasilitasi pelaksanaan pembubaran koperasi di tingkat kabupaten/kota sesuai dengan pedoman pemerintah di tingkat kabupaten/kota.
a.Pembinaan dan pengawasan KSP dan USP koperasi di tingkat kabupaten/kota.
Fasilitasi pelaksanaan tugas dalam pengawasan KSP dan USP Koperasi di tingkat kabupaten/kota (Tugas Pembantuan).
Pemberdayaan Koperasi 1. Penetapan kebijakan pemberdayaan koperasi meliputi:
Prinsip kesehatan dan prinsip kehati-hatian usaha KSP dan USP;
Pelaksanaan kebijakan pemberdayaan koperasi meliputi:
Penciptaan usaha simpan pinjam yang sehat di tingkat provinsi sesuai dengan kebijakan pemerintah;
Pelaksanaan kebijakan pemberdayaan koperasi meliputi:
Penciptaan usaha simpan pinjam yang sehat di tingkat kabupaten/kota sesuai dengan kebijakan pemerintah; SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b.Tata cara penyampaian laporan tahunan bagi KSP dan USP;
Tata cara pembinaan KSP dan USP;
Pembubaran dan penyelesaian akibat pembubaran KSP dan USP;
Pemberian sanksi administratif kepada KSP dan USP yang tidak melaksanakan kewajibannya;
Bimbingan dan penyuluhan koperasi dalam pembuatan laporan tahunan KSP dan USP lintas kabupaten/kota;
Pembinaan KSP dan USP lintas kabupaten/kota;
Fasilitasi pelaksanaan pembubaran dan penyelesaian akibat pembubaran KSP dan USP lintas kabupaten/kota;
Pemberian sanksi administratif kepada KSP dan USP lintas kabupaten/kota yang tidak melaksanakan kewajibannya;
Bimbingan dan penyuluhan koperasi dalam pembuatan laporan tahunan KSP dan USP dalam wilayah kabupaten/kota;
Pembinaan KSP dan USP dalam wilayah kabupaten/kota;
Fasilitasi pelaksanaan pembubaran dan penyelesaian akibat pembubaran KSP dan USP dalam wilayah kabupaten/kota;
Pemberian sanksi administratif kepada KSP dan USP dalam wilayah kabupaten/kota yang tidak melaksanakan kewajibannya; SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pengembangan iklim serta kondisi yang mendorong pertumbuhan dan pemasyarakatan koperasi.
Pemberian bimbingan dan kemudahan koperasi.
Perlindungan kepada koperasi.
Pengembangan iklim serta kondisi yang mendorong pertumbuhan dan pemasyarakatan koperasi dalam wilayah provinsi.
Pemberian bimbingan dan kemudahan koperasi lintas kabupaten/kota.
Perlindungan kepada koperasi dalam wilayah provinsi.
Pengembangan iklim serta kondisi yang mendorong pertumbuhan dan pemasyarakatan koperasi dalam wilayah kabupaten/kota.
Pemberian bimbingan dan kemudahan koperasi dalam wilayah kabupaten/kota.
Perlindungan kepada koperasi dalam wilayah kabupaten/kota.
Pemberdayaan UKM 1. Penetapan kebijakan pemberdayaan UKM dalam penumbuhan iklim usaha bagi usaha kecil di tingkat nasional meliputi:
Pendanaan/penyediaan sumber dana, tata cara dan syarat pemenuhan kebutuhan dana;
Penetapan kebijakan pemberdayaan UKM dalam penumbuhan iklim usaha bagi usaha kecil di tingkat provinsi meliputi:
Pendanaan/penyediaan sumber dana, tata cara dan syarat pemenuhan kebutuhan dana;
Penetapan kebijakan pemberdayaan UKM dalam penumbuhan iklim usaha bagi usaha kecil di tingkat kabupaten/kota meliputi:
Pendanaan/penyediaan sumber dana, tata cara dan syarat pemenuhan kebutuhan dana; SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b.Persaingan;
Prasarana;
Informasi;
Kemitraan;
Perijinan;
Perlindungan.
Pembinaan dan pengembangan usaha kecil di tingkat nasional meliputi:
Produksi;
Pemasaran;
Sumber daya manusia;
Teknologi.
Persaingan;
Prasarana;
Informasi;
Kemitraan;
Perijinan;
Perlindungan.
Pembinaan dan pengembangan usaha kecil di tingkat provinsi meliputi:
Produksi;
Pemasaran;
Sumber daya manusia;
Teknologi.
Persaingan;
Prasarana;
Informasi;
Kemitraan;
Perijinan;
Perlindungan.
Pembinaan dan pengembangan usaha kecil di tingkat kabupaten/kota meliputi:
Produksi;
Pemasaran;
Sumber daya manusia;
Teknologi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Fasilitasi akses penjaminan dalam penyediaan pembiayaan bagi UKM di tingkat nasional meliputi:
Kredit perbankan;
Penjaminan lembaga bukan bank;
Modal ventura;
Pinjaman dari dana pengasihan sebagai laba BUMN;
Hibah;
Jenis pembiayaan lain.
Fasilitasi akses penjaminan dalam penyediaan pembiayaan bagi UKM di tingkat provinsi meliputi:
Kredit perbankan;
Penjaminan lembaga bukan bank;
Modal ventura;
Pinjaman dari dana pengasihan sebagai laba BUMN;
Hibah;
Jenis pembiayaan lain.
Fasilitasi akses penjaminan dalam penyediaan pembiayaan bagi UKM di tingkat kabupaten/kota meliputi:
Kredit perbankan;
Penjaminan lembaga bukan bank;
Modal ventura;
Pinjaman dari dana pengasihan sebagai laba BUMN;
Hibah;
Jenis pembiayaan lain.
Pengawasan, Monitoring, dan Evaluasi 1. Pengawasan, monitoring, dan evaluasi upaya pemberdayaan koperasi dan UKM.
Pengawasan, monitoring, dan evaluasi upaya pemberdayaan Koperasi dan UKM lintas kabupaten/kota.
Pengawasan, monitoring, dan evaluasi upaya pemberdayaan Koperasi dan UKM dalam wilayah kabupaten/kota. P. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PENANAMAN MODAL SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Kebijakan Penanaman Modal 1. Kebijakan Penanaman Modal 1. Menyusun dan menetapkan kebijakan pengembangan penanaman modal Indonesia dalam bentuk rencana umum penanaman modal nasional dan rencana strategis nasional sesuai dengan program pembangunan nasional.
Menyusun dan menetapkan kebijakan pengembangan penanaman modal daerah provinsi dalam bentuk rencana umum penanaman modal daerah dan rencana strategis daerah sesuai dengan program pembangunan daerah provinsi, berkoordinasi dengan Pemerintah.
Menyusun dan menetapkan kebijakan pengembangan penanaman modal daerah kabupaten/kota dalam bentuk rencana umum penanaman modal daerah dan rencana strategis daerah sesuai dengan program pembangunan daerah kabupaten/kota, berkoordinasi dengan pemerintah provinsi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Merumuskan dan menetapkan pedoman, pembinaan, dan pengawasan dalam skala nasional terhadap penyelenggaraan kebijakan dan perencanaan pengembangan penanaman modal.
Mengoordinasikan, merumuskan, menetapkan dan melaksanakan kebijakan nasional dibidang penanaman modal meliputi:
Merumuskan dan menetapkan pedoman, pembinaan, dan pengawasan dalam skala provinsi terhadap penyelenggaraan kebijakan dan perencanaan pengembangan penanaman modal, berkoordinasi dengan Pemerintah.
Mengoordinasikan, merumuskan, menetapkan dan melaksanakan kebijakan daerah provinsi di bidang penanaman modal meliputi:
Merumuskan dan menetapkan pedoman, pembinaan, dan pengawasan dalam skala kabupaten/kota terhadap penyelenggaraan kebijakan dan perencanaan pengembangan penanaman modal, berkoordinasi dengan pemerintah provinsi.
Mengoordinasikan, merumuskan, menetapkan dan melaksanakan kebijakan daerah kabupaten/kota di bidang penanaman modal meliputi: SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA (1) Bidang usaha yang tertutup.
Bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan.
Bidang usaha yang menjadi prioritas tinggi dalam skala nasional.
Penyiapan usulan bidang- bidang usaha yang perlu dipertimbangkan tertutup.
Penyiapan usulan bidang- bidang usaha yang perlu dipertimbangkan terbuka dengan persyaratan.
Penyiapan usulan bidang- bidang usaha yang perlu dipertimbangkan mendapat prioritas tinggi dalam skala provinsi.
Penyiapan usulan bidang-bidang usaha yang perlu dipertimbangkan tertutup.
Penyiapan usulan bidang-bidang usaha yang perlu dipertimbangkan terbuka dengan persyaratan.
Penyiapan usulan bidang-bidang usaha yang perlu dipertimbangkan mendapat prioritas tinggi di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA (4) Penyusunan peta investasi Indonesia, potensi sumber daya nasional termasuk pengusaha mikro, kecil, menengah, koperasi, dan besar.
Usulan pemberian fasilitas fiskal dan non fiskal.
Penyusunan peta investasi daerah provinsi dan potensi sumber daya daerah terdiri dari sumber daya alam, kelembagaan dan sumber daya manusia termasuk pengusaha mikro, kecil, menengah, koperasi, dan besar berdasarkan masukan dari daerah kabupaten/kota.
Usulan dan pemberian fasilitas penanaman modal di luar fasilitas fiskal dan non fiskal nasional yang menjadi (4) Penyusunan peta investasi daerah kabupaten/kota dan identifikasi potensi sumber daya daerah kabupaten/kota terdiri dari sumber daya alam, kelembagaan dan sumber daya manusia termasuk pengusaha mikro, kecil, menengah, koperasi, dan besar.
Usulan dan pemberian insentif penanaman modal di luar faslitas fiskal dan non fiskal nasional yang menjadi SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pelaksanaan Kebijakan Penanaman Modal 1. Kerjasama Penanaman Modal 4. Mengkaji, merumuskan dan menyusun, dan menetapkan kebijakan dan ketentuan peraturan perundang- undangan dibidang penanaman modal.
Mengkaji, merumuskan, menyusun kebijakan, mengoordinasikan dan melaksanakan kerjasama dengan dunia usaha di bidang penanaman modal. kewenangan provinsi.
Menetapkan peraturan daerah provinsi tentang penanaman modal dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku.
Mendorong, melaksanakan, mengajukan usulan materi dan memfasilitasi kerjasama dunia usaha di bidang penanaman modal di tingkat provinsi. kewenangan kabupaten/kota.
Menetapkan peraturan daerah kabupaten/kota tentang penanaman modal dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku.
Melaksanakan, mengajukan usulan materi dan memfasilitasi kerjasama dengan dunia usaha di bidang penanaman modal di tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Promosi Penanaman Modal 2. Mengkaji, merumuskan, menyusun kebijakan, mengoordinasikan dan melaksanakan kerjasama internasional di bidang penanaman modal.
Mengkaji, merumuskan dan menyusun kebijakan teknis pelaksanaan pemberian bimbingan dan pembinaan dalam promosi penanaman modal.
Mendorong, melaksanakan, mengajukan usulan materi dan memfasilitasi kerjasama internasional di bidang penanaman modal di tingkat provinsi.
Mengkaji, merumuskan, dan menyusun kebijakan teknis pelaksanaan pemberian bimbingan dan pembinaan promosi penanaman modal di tingkat provinsi.
Melaksanakan, mengajukan usulan materi dan memfasilitasi kerjasama internasional di bidang penanaman modal di tingkat kabupaten/kota.
Mengkaji, merumuskan, dan menyusun kebijakan teknis pelaksanaan pemberian bimbingan dan pembinaan promosi penanaman modal di tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pelayanan Penanaman Modal 2. Mengoordinasikan dan melaksanakan promosi penanaman modal baik di dalam negeri maupun ke luar negeri.
Mengoordinasikan, mengkaji, merumuskan dan menyusun materi promosi skala nasional.
Mengkaji, merumuskan, dan menyusun pedoman tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu kegiatan penanaman modal.
Mengoordinasikan dan melaksanakan promosi penanaman modal daerah Provinsi baik di dalam negeri maupun ke luar negeri yang melibatkan lebih dari satu kabupaten/kota.
Mengoordinasikan, mengkaji, merumuskan dan menyusun materi promosi skala Provinsi.
Mengkaji, merumuskan, dan menyusun pedoman tata cara dan pelaksanaan pela yananan terpadu satu pintu kegiatan penanaman modal 2. Melaksanakan promosi penanaman modal daerah kabupaten/kota baik di dalam negeri maupun ke luar negeri.
Mengkaji, merumuskan, dan menyusun materi promosi skala kabupaten/kota.
Mengkaji, merumuskan, dan menyusun pedoman tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu kegiatan penanaman SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Melayani dan memfasilitasi:
Penanaman modal terkait dengan sumber daya alam yang tidak terbarukan dengan tingkat resiko kerusakan lingkungan yang tinggi; yang bersifat lintas kabupaten/kota berdasarkan pedoman tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu kegiatan penanaman modal yang ditetapkan oleh Pemerintah.
— modal yang menjadi kewenangan kabupaten/kota berdasarkan pedoman tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu kegiatan penanaman modal yang ditetapkan oleh Pemerintah.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b.Penanaman modal pada bidang industri yang merupakan prioritas tinggi pada skala nasional;
Penanaman modal yang terkait pada fungsi pemersatu dan penghubung antar wilayah atau ruang lingkupnya lintas provinsi;
Penanaman modal yang terkait pada pelaksanaan strategi pertahanan dan keamanan nasional; SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e.Penanaman modal asing dan penanam modal yang menggunakan modal asing, yang berasal dari pemerintah negara lain, yang didasarkan perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah dan pemerintah negara lain; dan
Bidang penanaman modal lain yang menjadi urusan Pemerintah menurut undang-undang. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pemberian izin usaha kegiatan penanaman modal dan nonperizinan yang menjadi kewenangan Pemerintah.
Melaksanakan pelayanan terpadu satu pintu berdasarkan pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memeiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan yang menjadi kewenangan Pemerintah.
Pemberian izin usaha kegiatan penanaman modal dan nonperizinan yang menjadi kewenangan provinsi.
Melaksanakan pelayanan terpadu satu pintu berdasarkan pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan yang menjadi kewenangan provinsi.
Pemberian izin usaha kegiatan penanaman modal dan non perizinan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota.
Melaksanakan pelayanan terpadu satu pintu berdasarkan pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal 5. Pemberian persetujuan fasilitas fiskal nasional, bagi penanaman modal.
Mengkaji, merumuskan, dan menyusun kebijakan teknis pengendalian pelaksanaan penanaman modal skala nasional.
Melaksanakan pemantauan, bimbingan, dan pengawasan pelaksanaan penanaman modal, berkoordinasi dengan pemerintah provinsi atau 5. Pemberian usulan persetujuan fasilitas fiskal nasional, bagi penanaman modal yang menjadi kewenangan provinsi.
Mengkaji, merumuskan, dan menyusun kebijakan teknis pengendalian pelaksanaan penanaman modal di provinsi.
Melaksanakan pemantauan, bimbingan, dan pengawasan berkoordinasi dengan Pemerintah atau pemerintah 5. Pemberian usulan persetujuan fasilitas fiskal nasional, bagi penanaman modal yang menjadi kewenangan kabupaten/kota.
Mengkaji, merumuskan, dan menyusun kebijakan teknis pengendalian pelaksanaan penanaman modal di kabupaten/kota.
Melaksanakan pemantauan, bimbingan, dan pengawasan pelaksanaan penanaman modal, berkoordinasi dengan Pemerintah dan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pengelolaan Data dan Sistem Informasi Penanaman Modal pemerintah kabupaten/kota.
Mengkaji, merumuskan, dan menyusun pedoman tata cara pembangunan dan pengembangan sistem informasi penanaman modal skala nasional.
Membangun dan mengembangkan sistem informasi penanaman modal yang terintegrasi dengan sistem informasi penanaman modal pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. kabupaten/kota.
Mengkaji, merumuskan, dan menyusun pedoman tata cara pembangunan dan pengembangan sistem informasi penanaman modal skala provinsi.
Membangun dan mengembangkan sistem informasi penanaman modal yang terintegrasi dengan sistem informasi penanaman modal Pemerintah dan pemerintah kabupaten/kota. pemerintah provinsi.
Mengkaji, merumuskan dan menyusun pedoman tata cara pembangunan dan pengembangan sistem informasi penanaman modal skala kabupaten/kota.
Membangun dan mengembangkan sistem informasi penanaman modal yang terintegrasi dengan sistem informasi penanaman modal Pemerintah dan pemerintah provinsi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Penyebar- luasan, Pendidikan dan Pelatihan Penanaman Modal 3. Mengoordinasikan pengumpulan dan pengolahan data kegiatan usaha penanaman modal dan realisasi proyek penanaman modal skala nasional.
Memutakhirkan data dan informasi penanaman modal nasional.
Membina dan mengawasi pelaksanaan penanaman modal di tingkat provinsi dan kabupaten/kota di bidang sistem informasi penanaman modal.
Mengumpulkan dan mengolah data kegiatan usaha penanaman modal dan realisasi proyek penanaman modal skala provinsi.
Memutakhirkan data dan informasi penanaman modal daerah.
Membina dan mengawasi pelaksanaan instansi penanaman modal kabupaten/kota di bidang sistem informasi penanaman modal.
Mengumpulkan dan mengolah data kegiatan usaha penanaman modal dan realisasi proyek penanaman modal skala kabupaten/kota.
Memutakhirkan data dan informasi penanaman modal daerah.
Membina dan mengawasi pelaksanaan di bidang sistem informasi penanaman modal. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Mengoordinasikan pelaksanaan sosialisasi atas kebijakan dan perencanaan pengembangan, perjanjian kerjasama internasional di bidang penanaman modal baik kerjasama bilateral, sub regional, regional, dan multilateral, promosi, pemberian pelayanan perizinan, pengendalian pelaksanaan, dan sistem informasi penanaman modal skala nasional kepada aparatur pemerintah dan dunia usaha;
Mengoordinasikan pelaksanaan sosialisasi atas kebijakan dan perencanaan pengembangan, kerjasama luar negeri, promosi, pemberian pelayanan perizinan, pengendalian pelaksanaan, dan sistem informasi penanaman modal skala provinsi kepada aparatur pemerintah dan dunia usaha.
Melaksanakan sosialisasi atas kebijakan dan perencanaan pengembangan, kerjasama luar negeri, promosi, pemberian pelayanan perizinan, pengendalian pelaksanaan, dan sistem informasi penanaman modal skala kabupaten/ kota kepada aparatur pemerintah dan dunia usaha. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Mengoordinasikan dan melaksanakan pendidikan dan pelatihan penanaman modal skala nasional.
Mengoordinasikan dan melaksanakan pendidikan dan pelatihan penanaman modal skala provinsi.
Melaksanakan pendidikan dan pelatihan penanaman modal skala kabupaten/ kota. Q. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Kebijakan Bidang Kebudayaan 1. Kebudayaan 1. Rencana induk pengembangan kebudayaan nasional.
Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di bidang kebudayaan.
Kriteria nasional sistem pemberian penghargaan/anugerah bagi insan/lembaga yang berjasa di bidang kebudayaan.
Rencana induk pengembangan kebudayaan skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi mengenai perlindungan HKI bidang kebudayaan.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi mengenai kriteria sistem pemberian penghargaan/anugerah bagi insan/lembaga yang berjasa di bidang kebudayaan .
Rencana induk pengembangan kebudayaan skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota mengenai perlindungan HKI bidang kebudayaan.
Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota mengenai kriteria sistem pemberian penghargaan/anugerah bagi insan/lembaga yang berjasa di bidang kebudayaan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Kerjasama luar negeri bidang kebudayaan. 4. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi mengenai kerja sama luar negeri di bidang kebudayaan skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota mengenai kerja sama luar negeri di bidang kebudayaan skala kabupaten/ kota.
Tradisi 1. Penanaman nilai-nilai tradisi, pembinaan karakter dan pekerti bangsa.
Pembinaan lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat skala nasional.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi di bidang penanaman nilai-nilai tradisi, pembinaan karakter dan pekerti bangsa.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi dalam pembinaan lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi serta penetapan kebijakan kabupaten/kota di bidang penanaman nilai-nilai tradisi, pembinaan karakter dan pekerti bangsa.
Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota dalam pembinaan lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat skala kabupaten/kota . SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Perfilman 1. Penetapan kebijakan nasional bidang perfilman.
Pemberian izin usaha terhadap pembuatan film oleh tim asing.
Usaha perfilman, yang meliputi produksi, pengedaran, dan penayangan film.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan operasional perfilman skala provinsi.
Pemberian izin usaha terhadap pembuatan film oleh tim asing skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi di bidang usaha perfilman yang meliputi produksi, pengedaran, penayangan film.
Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan operasional perfilman skala kabupaten/kota.
Pemberian izin usaha terhadap pembuatan film oleh tim asing skala kabupaten/kota.
Pemberian perizinan usaha perfilman di bidang pembuatan film, pengedaran film, penjualan dan penyewaan film (VCD, DVD), pertunjukan film (bioskop), pertunjukan film keliling, penayangan film melalui media elektronik, dan tempat hiburan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Standarisasi di bidang profesi, dan teknologi perfilman.
Kerjasama luar negeri di bidang perfilman.
Kebijakan peredaran, pertunjukan dan penayangan film serta rekaman video.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi di bidang standarisasi profesi dan teknologi perfilman.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi mengenai kerjasama luar negeri di bidang perfilman.
Pengawasan peredaran film dan rekaman video (VCD/DVD) skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota di bidang kegiatan standarisasi profesi dan teknologi perfilman.
Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota mengenai kerjasama luar negeri di bidang perfilman.
Pengawasan dan pendataan film dan rekaman video yang beredar, perusahaan persewaan dan penjualan rekaman video serta kegiatan evaluasi dan laporan pelaksanaan kebijakan perfilman skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Standarisasi nasional di bidang peningkatan produksi dan apresiasi film.
Monitoring dan evaluasi pengembangan perfilman skala nasional.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi mengenai kegiatan standarisasi di bidang peningkatan produksi dan apresiasi film skala provinsi.
Monitoring dan evaluasi pengembangan perfilman skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota mengenai kegiatan standarisasi di bidang peningkatan produksi dan apresiasi film skala kabupaten/ kota.
Monitoring dan evaluasi pengembangan perfilman skala kabupaten/kota.
Kesenian 1. Standarisasi pemberian izin untuk pengiriman dan penerimaan delegasi asing di bidang kesenian.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi mengenai standarisasi pemberian izin pengiriman dan penerimaan delegasi asing di bidang kesenian.
Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota mengenai standarisasi pemberian izin pengiriman dan penerimaan delegasi asing di bidang kesenian. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Izin pengiriman/ penerimaan misi kesenian dalam rangka kerjasama luar negeri skala nasional.
Penetapan kriteria dan prosedur penyelenggaraan festival, pameran, dan lomba tingkat nasional dan internasional.
Standar Pelayanan Minimal (SPM) di bidang kesenian.
Penetapan pedoman dan pemberian penghargaan kepada seniman yang telah berjasa kepada bangsa dan negara.
Penerbitan rekomendasi pengiriman misi kesenian dalam rangka kerjasama luar negeri skala provinsi.
Penetapan kriteria dan prosedur penyelenggaraan festival, pameran, dan lomba tingkat provinsi.
Penerapan dan monitoring implementasi SPM bidang kesenian skala provinsi.
Pemberian penghargaan kepada seniman yang telah berjasa kepada bangsa dan negara skala provinsi.
Penerbitan rekomendasi pengiriman misi kesenian dalam rangka kerjasama luar negeri skala kabupaten/kota.
Penetapan kriteria dan prosedur penyelenggaraan festival, pameran, dan lomba tingkat kabupaten/kota.
Penerapan dan monitoring implementasi SPM bidang kesenian skala kabupaten/ kota.
Pemberian penghargaan kepada seniman yang telah berjasa kepada bangsa dan negara skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Penetapan pedoman penyelenggaraan kegiatan pendidikan dan pelatihan bidang kesenian skala nasional.
Penetapan prosedur perawatan dan pengamanan aset atau benda kesenian (karya seni).
Penetapan pedoman nasional pembentukan dan/atau pengelolaan infrastruktur bidang kesenian (misalnya galeri nasional Indonesia dan pusat kebudayaan Indonesia).
Penyelenggaraan kegiatan pendidikan dan pelatihan kesenian skala provinsi.
Penerapan dan pelaksanaan prosedur perawatan dan pengamanan aset atau benda kesenian (karya seni) skala provinsi.
Pelaksanaan pembentukan dan/atau pengelolaan pusat kegiatan kesenian skala provinsi (misalnya taman budaya).
Penyelenggaraan kegiatan pendidikan dan pelatihan kesenian skala kabupaten/ kota.
Penerapan dan pelaksanaan prosedur perawatan dan pengamanan aset atau benda kesenian (karya seni) skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan pembentukan dan/atau pengelolaan pusat kegiatan kesenian skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Penetapan kebijakan nasional peningkatan bidang apresiasi seni tradisional dan non tradisional.
Perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan kesenian skala nasional.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi peningkatan bidang apresiasi seni tradisional dan non tradisional.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi dalam rangka perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan kesenian skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota peningkatan bidang apresiasi seni tradisional dan non tradisional.
Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota dalam rangka perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan kesenian skala kabupaten/kota.
Sejarah 1. Penetapan pedoman penulisan sejarah nasional, sejarah wilayah, sejarah lokal, dan sejarah kebudayaan.
Pelaksanaan pedoman nasional dan penetapan kebijakan provinsi, di bidang penulisan sejarah lokal dan sejarah kebudayaan daerah skala provinsi.
Pelaksanaan pedoman nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota di bidang penulisan sejarah lokal dan sejarah kebudayaan daerah skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Penetapan pedoman pemahaman sejarah nasional, sejarah wilayah, sejarah lokal dan sejarah kebudayaan.
Penetapan pedoman inventarisasi dan dokumentasi sumber sejarah dan publikasi sejarah.
Penetapan pedoman pemberian penghargaan tokoh yang berjasa terhadap pengembangan sejarah tingkat nasional.
Pelaksanaan pedoman nasional dan penetapan kebijakan provinsi di bidang pemahaman sejarah nasional, sejarah wilayah, sejarah lokal dan sejarah kebudayaan daerah.
Pelaksanaan pedoman nasional dan penetapan kebijakan provinsi dan di bidang inventarisasi dan dokumentasi sumber sejarah dan publikasi sejarah.
Pelaksanaan pedoman nasional dan penetapan kebijakan provinsi pemberian penghargaan tokoh yang berjasa terhadap pengembangan sejarah.
Pelaksanaan pedoman nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota di bidang pemahaman sejarah nasional, sejarah wilayah, sejarah lokal dan sejarah kebudayaan daerah.
Pelaksanaan pedoman nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota di bidang inventarisasi dan dokumentasi sumber sejarah dan publikasi sejarah.
Pelaksanaan pedoman nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota pemberian penghargaan tokoh yang berjasa terhadap pengembangan sejarah. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Penetapan pedoman peningkatan pemahaman sejarah dan wawasan kebangsaan.
Penetapan pedoman penanaman nilai-nilai sejarah dan kepahlawanan nasional.
Penetapan pedoman database dan sistem informasi geografi sejarah.
Penetapan pedoman koordinasi dan kemitraan pemetaan sejarah.
Penerapan pedoman peningkatan pemahaman sejarah dan wawasan kebangsaan skala provinsi.
Pelaksanaan pedoman penanaman nilai-nilai sejarah dan kepahlawanan skala provinsi.
Pelaksanaan pedoman nasional dan penetapan kebijakan provinsi mengenai database dan sistem informasi geografi sejarah.
Pelaksanaan pedoman nasional dan penetapan kebijakan provinsi mengenai koordinasi dan kemitraan pemetaan sejarah skala provinsi.
Penerapan pedoman peningkatan pemahaman sejarah dan wawasan kebangsaan skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan pedoman penanaman nilai-nilai sejarah dan kepahlawanan skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan pedoman nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota mengenai database dan sistem informasi geografi sejarah.
Pelaksanaan pedoman nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota mengenai koordinasi dan kemitraan pemetaan sejarah skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Penetapan pedoman penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan (diklat) bidang sejarah.
Pelaksanaan pedoman dan penetapan kebijakan provinsi penyelenggaraan diklat bidang sejarah skala provinsi.
Pelaksanaan pedoman nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota penyelenggaraan diklat bidang sejarah skala kabupaten/kota.
Purbakala 1. Penetapan pedoman pelaksanaan hasil ratifikasi konvensi internasional "Cultural Diversity, Protection on Cultural Landscape, Protection on Cultural and Natural Heritage ".
Penetapan dan pelaksanaan kebijakan perlindungan, pemeliharaan, dan pemanfaatan Benda Cagar Budaya (BCB)/situs skala nasional.
Pelaksanaan pedoman mengenai hasil ratifikasi konvensi internasional "Cultural Diversity, Protection on Cultural Landscape, Protection on Cultural and Natural Heritage" skala provinsi.
Penerapan kebijakan perlindungan, pemeliharaan, dan pemanfaatan BCB/situs skala provinsi.
Pelaksanaan pedoman mengenai hasil ratifikasi konvensi internasional "Cultural Diversity, Protection on Cultural Landscape, Protection on Cultural and Natural Heritage" skala kabupaten/kota.
Penerapan kebijakan perlindungan, pemeliharaan, dan pemanfaatan BCB/situs skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan BCB/situs skala nasional.
Penetapan kebijakan permuseuman.
Penetapan pedoman penelitian arkeologi.
Penetapan pedoman pendirian museum.
Penetapan pedoman hasil pengangkatan peninggalan bawah air sesuai peraturan perundang- undangan.
Penetapan BCB/situs skala provinsi.
Penerapan kebijakan penyelenggaraan dan pengelolaan museum di provinsi.
Penerapan pedoman penelitian arkeologi.
Penerapan pedoman pendirian museum yang dimiliki provinsi.
Penerapan pedoman hasil pengangkatan peninggalan bawah air skala provinsi.
Penetapan BCB/situs skala kabupaten/kota.
Penerapan kebijakan penyelenggaraan dan pengelolaan museum di kabupaten/kota.
Penerapan pedoman penelitian arkeologi.
Penerapan pedoman pendirian museum yang dimiliki kabupaten/kota.
Penerapan pedoman hasil pengangkatan peninggalan bawah air skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pelaksanaan Bidang Kebudayaan 1. Penyelenggaraan 1. Penyelenggaraan perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan kebudayaan skala nasional, meliputi:
Penanaman nilai-nilai tradisi serta pembinaan watak dan pekerti bangsa.
Pembinaan lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat.
Pengembangan jaringan informasi kebudayaan.
Penyelenggaraan perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan kebudayaan skala provinsi, meliputi:
Penanaman nilai-nilai tradisi serta pembinaan watak dan pekerti bangsa.
Pembinaan lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat.
Pengembangan jaringan informasi kebudayaan.
Penyelenggaraan perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan kebudayaan skala kabupaten/kota, meliputi:
Penanaman nilai-nilai tradisi serta pembinaan watak dan pekerti bangsa.
Pembinaan lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat.
Pengembangan jaringan informasi kebudayaan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d. Peningkatan kemitraan dengan berbagai pihak terkait, lembaga kepercayaan dan lembaga adat.
Advokasi lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat.
Monitoring dan evaluasi kegiatan skala nasional meliputi:
Pelaksanaan dan hasil kegiatan.
Pengendalian dan pengawasan kegiatan.
Peningkatan kemitraan dengan berbagai pihak terkait, lembaga adat dan masyarakat.
Advokasi lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat.
Monitoring dan evaluasi kegiatan skala provinsi meliputi:
Pelaksanaan dan hasil kegiatan.
Pengendalian dan pengawasan kegiatan.
Peningkatan kemitraan dengan berbagai pihak terkait, lembaga adat dan masyarakat.
Advokasi lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat.
Monitoring dan evaluasi kegiatan skala kabupaten/kota meliputi:
Pelaksanaan dan hasil kegiatan.
Pengendalian dan pengawasan kegiatan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Pelaksanaan kebijakan nasional, norma dan standar serta pedoman penanaman nilai-nilai budaya bangsa di bidang tradisi pada masyarakat.
Peningkatan apresiasi seni tradisional dan non tradisional tingkat nasional.
Peningkatan produksi, peredaran, ekspor impor, festival, pekan film dan apresiasi film.
Pelaksanaan kebijakan sejarah nasional.
Pelaksanaan kebijakan nasional, norma dan standar serta pedoman penanaman nilai-nilai budaya bangsa di bidang tradisi pada masyarakat.
Pelaksanaan peningkatan apresiasi seni tradisional dan non tradisional tingkat provinsi.
Pelaksanaan peningkatan apresiasi film skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan sejarah daerah skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan nasional, norma dan standar serta pedoman penanaman nilai-nilai budaya bangsa di bidang tradisi pada masyarakat.
Pelaksanaan peningkatan apresiasi seni tradisional dan non tradisional tingkat kabupaten/kota.
Pelaksanaan peningkatan apresiasi film skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan sejarah lokal skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penerbitan rekomendasi pembebasan fiskal untuk kegiatan misi kesenian ke luar negeri.
Penyelenggaraan kegiatan revitalisasi dan kajian seni di berbagai daerah untuk kepentingan nasional dan internasional.
Koordinasi kegiatan peningkatan apresiasi seni tradisional dan modern secara nasional.
Koordinasi dan sinkronisasi kebijakan operasional dan program perfilman.
Pengajuan usul rekomendasi pembebasan fiskal untuk kegiatan misi kesenian Indonesia ke luar negeri dari provinsi.
Penyelenggaraan kegiatan revitalisasi dan kajian seni di provinsi.
Penyelenggaraan koordinasi kegiatan peningkatan apresiasi seni tradisional dan modern di provinsi.
Koordinasi dan sinkronisasi kebijakan operasional perfilman skala provinsi.
Pengajuan usul rekomendasi pembebasan fiskal untuk kegiatan misi kesenian Indonesia ke luar negeri dari kabupaten/kota.
Penyelenggaraan kegiatan revitalisasi dan kajian seni di kabupaten/kota.
Penyelenggaraan pembinaan dan pengembangan peningkatan apresiasi seni tradisional dan modern di kabupaten/kota.
Koordinasi dan sinkronisasi kebijakan operasional perfilman skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Penyelenggaraan kegiatan festival pameran dan lomba berskala nasional yang dilaksanakan secara berkala dan berkesinambungan.
Pemberian izin pembuatan film kepada tim produksi asing di Indonesia.
Pemberian rekomendasi penyelenggaraan festival film internasional dan festival film Indonesia.
Koordinasi dan fasilitasi organisasi/lembaga perfilman.
Penapisan dan pengawasan peredaran film dan rekaman video.
Penyelenggaraan kegiatan festival pameran dan lomba secara berjenjang dan berkala di tingkat provinsi.
Koordinasi dan pengawasan pembuatan film oleh tim asing di provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan kegiatan- kegiatan festival film dan pekan film daerah di provinsi.
Fasilitasi organisasi/lembaga perfilman di provinsi.
Penapisan dan pengawasan peredaran film dan rekaman video di provinsi.
Penyelenggaraan kegiatan festival pameran dan lomba secara berjenjang dan berkala di tingkat kabupaten/kota.
Pengawasan pembuatan film oleh tim asing di kabupaten/ kota.
Pemberian izin pelaksanaan kegiatan-kegiatan festival film dan pekan film di kabupaten/ kota.
Fasilitasi organisasi/lembaga perfilman di kabupaten/kota.
Penapisan dan pengawasan peredaran film dan rekaman video di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 12. Fasilitasi advokasi pengembangan perfilman.
Perizinan membawa BCB keluar wilayah Republik Indonesia.
Penyebarluasan informasi sejarah nasional.
Pemberian penghargaan bidang sejarah tingkat nasional.
Pelaksanaan kongres sejarah tingkat nasional.
Pelaksanaan lawatan sejarah tingkat nasional.
Fasilitasi advokasi pengembangan perfilman di tingkat provinsi.
Perizinan membawa BCB ke luar provinsi.
Penyebarluasan informasi sejarah lokal di provinsi.
Pelaksanaan pemberian penghargaan bidang sejarah lokal di provinsi.
Pelaksanaan kongres sejarah tingkat daerah di provinsi.
Pelaksanaan lawatan sejarah tingkat lokal di provinsi.
Fasilitasi advokasi pengembangan perfilman di tingkat kabupaten/kota.
Perizinan membawa BCB ke luar kabupaten/kota dalam satu provinsi.
Penyebarluasan informasi sejarah lokal di kabupaten/ kota.
Pelaksanaan pemberian penghargaan bidang sejarah lokal di kabupaten/kota.
Pelaksanaan kongres sejarah tingkat daerah di kabupaten/ kota.
Pelaksanaan lawatan sejarah tingkat lokal di kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 18. Pelaksanaan seminar dalam perspektif sejarah nasional.
Pelaksanaan musyawarah kerja nasional bidang sejarah.
Pengkajian dan penulisan sejarah nasional, sejarah kebudayaan dan sejarah wilayah.
Pemetaan sejarah nasional.
Koordinasi dan kemitraan bidang sejarah antar departemen/kementerian instansi pusat dan antar daerah.
Pelaksanaan seminar/ lokakarya sejarah lokal dalam perspektif nasional di provinsi.
Pelaksanaan musyawarah kerja daerah bidang sejarah skala provinsi.
Pengkajian dan penulisan sejarah daerah dan sejarah kebudayaan daerah di provinsi.
Pemetaan sejarah skala provinsi.
Koordinasi dan kemitraan bidang sejarah di provinsi.
Pelaksanaan seminar/ lokakarya sejarah lokal dalam perspektif nasional di kabupaten/kota.
Pelaksanaan musyawarah kerja daerah bidang sejarah skala kabupaten/kota.
Pengkajian dan penulisan sejarah daerah dan sejarah kebudayaan daerah di kabupaten/kota.
Pemetaan sejarah skala kabupaten/kota.
Koordinasi dan kemitraan bidang sejarah di kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 23. Penanganan perlindungan, pemeliharaan dan pemanfaatan BCB/situs warisan budaya dunia.
Registrasi BCB/situs dan kawasan skala nasional.
Pengusulan penetapan warisan budaya dunia dan penetapan BCB/situs skala nasional.
Penyelenggaraan kerjasama bidang perlindungan, pemanfaatan BCB/situs peringkat nasional dan warisan budaya dunia skala internasional.
Penanganan perlindungan, pemeliharaan dan pemanfaatan BCB/situs warisan budaya dunia skala provinsi.
Registrasi BCB/situs dan kawasan provinsi.
Pengusulan penetapan BCB/situs nasional kepada pusat dan penetapan BCB/situs skala provinsi.
Penyelenggaraan kerjasama bidang perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan BCB/situs skala provinsi.
Penanganan perlindungan, pemeliharaan dan pemanfaatan BCB/situs warisan budaya dunia skala kabupaten/kota.
Registrasi BCB/situs dan kawasan skala kabupaten/ kota.
Pengusulan penetapan BCB/situs provinsi kepada provinsi dan penetapan BCB/situs skala kabupaten/ kota.
Penyelenggaraan kerjasama bidang perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan BCB/situs skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 27. Koordinasi, dan peningkatan peranserta masyarakat dalam perlindungan, pemeliharaan dan pemanfaatan BCB/situs.
Perizinan survei dan pengangkatan BCB/situs bawah air lebih dari 12 (duabelas) mil laut.
Pengembangan dan pemanfaatan museum nasional.
Registrasi museum dan koleksi.
Penyelenggaraan akreditasi museum.
Koordinasi, dan fasilitasi peningkatan peranserta masyarakat dalam perlindungan pemeliharaan dan pemanfaatan BCB/situs skala provinsi.
Perizinan survei dan pengangkatan BCB/situs di atas 4 (empat) sampai dengan 12 (duabelas) mil laut dari garis pantai atas rekomendasi pemerintah.
Pengembangan dan pemanfaatan museum provinsi.
Registrasi museum dan koleksi di provinsi.
Penyelenggaraan akreditasi museum di provinsi.
Koordinasi, dan fasilitasi, peningkatan peranserta masyarakat dalam perlindungan pemeliharaan dan pemanfaatan BCB/situs skala kabupaten/kota.
Perizinan survei dan pengangkatan BCB/situs bawah air sampai dengan 4 (empat) mil laut dari garis pantai atas rekomendasi pemerintah.
Pengembangan dan pemanfaatan museum kabupaten/kota.
Registrasi museum dan koleksi di kabupaten/kota.
Penyelenggaraan akreditasi museum di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 32. Penambahan dan penyelamatan koleksi museum nasional.
Penambahan dan penyelamatan koleksi museum di provinsi.
Penambahan dan penyelamatan koleksi museum di kabupaten/kota.
Kebijakan Bidang Kepariwisa- taan 1. Kebijakan 1. Penetapan kebijakan:
Rencana Induk Pengembangan Pariwisata (RIPP) nasional.
Pengembangan sistem informasi pariwisata nasional.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan skala provinsi:
RIPP provinsi.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi dalam pengembangan sistem informasi pariwisata.
Pelaksanaan kebijakan nasional, provinsi dan penetapan kebijakan skala kabupaten/kota:
RIPP kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan nasional, provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota dalam pengembangan sistem informasi pariwisata. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Standarisasi bidang pariwisata.
Pedoman manajemen pengembangan destinasi pariwisata.
Pedoman pembinaan dan penyelenggaraan izin usaha pariwisata.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi dalam penerapan standarisasi bidang pariwisata.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan pedoman pengembangan destinasi pariwisata skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi dalam pembinaan usaha dan penyelenggaraan usaha pariwisata skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan provinsi serta penetapan kebijakan kabupaten/kota dalam penerapan standarisasi bidang pariwisata.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan provinsi serta penetapan pedoman pengembangan destinasi pariwisata skala kabupaten/ kota.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan provinsi serta penetapan kebijakan dalam pembinaan usaha dan penyelenggaraan usaha pariwisata skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA f. Pedoman perencanaan pemasaran.
Pedoman partisipasi dan penyelenggaraan pameran/ event budaya dan pariwisata.
Pedoman dan penyelenggaraan widya wisata (familiarization trip/tour). i. Pedoman kerjasama pemasaran nasional dan internasional.
Penetapan dan pelaksanaan pedoman perencanaan pemasaran skala provinsi.
Penetapan dan pelaksanaan pedoman partisipasi dan penyelenggaraan pameran/ event budaya dan pariwisata skala provinsi.
Penetapan dan pelaksanaan pedoman dan penyelenggaraan widya wisata skala provinsi.
Penetapan dan pelaksanaan pedoman kerjasama pemasaran skala provinsi.
Penetapan dan pelaksanaan pedoman perencanaan pemasaran skala kabupaten/kota.
Penetapan dan pelaksanaan pedoman partisipasi dan penyelenggaraan pameran/ event budaya dan pariwisata skala kabupaten/ kota.
Penetapan dan pelaksanaan pedoman dan penyelenggaraan widya wisata skala kabupaten/ kota.
Penetapan dan pelaksanaan pedoman kerjasama pemasaran skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pemberian izin usaha pariwisata skala nasional.
Fasilitasi kerjasama internasional pengembangan destinasi pariwisata.
Fasilitasi kerjasama pengembangan destinasi pariwisata skala nasional.
Monitoring dan evaluasi pengembangan pariwisata skala nasional.
Pemberian izin usaha pariwisata skala provinsi.
Pelaksanaan kerjasama internasional pengembangan destinasi pariwisata skala provinsi.
Fasilitasi kerjasama pengembangan destinasi pariwisata skala provinsi.
Monitoring dan evaluasi pengembangan pariwisata skala provinsi.
Pemberian izin usaha pariwisata skala kabupaten/ kota.
Pelaksanaan kerjasama internasional pengembangan destinasi pariwisata skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan kerjasama pengem-bangan destinasi pariwisata skala kabupaten/ kota.
Monitoring dan evaluasi pengembangan pariwisata skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan Bidang Kepariwisa- taan 1. Penyelenggaraan 1. Penyelenggaraan promosi skala nasional dan internasional :
Penyelenggaraan widya wisata (familiarization 1. Penyelenggaraan promosi skala provinsi :
Penyelenggaraan widya wisata skala provinsi serta 1. Penyelenggaraan promosi skala kabupaten/kota:
Penyelenggaraan widya wisata skala kabupaten/kota SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA trip/tour) skala nasional dan internasional.
Penyelenggaraan pameran/ event, roadshow skala nasional.
Pengadaan sarana pemasaran skala nasional/kawasan/ internasional.
Pembentukan perwakilan kantor promosi pariwisata di luar negeri.
Pembentukan pusat pelayanan informasi pariwisata skala nasional. mengirim dan menerima peserta grup widya wisata.
Peserta/penyelenggara pameran/ event, roadshow bekerja sama dengan pemerintah.
Pengadaan sarana pemasaran skala provinsi.
Pembentukan perwakilan kantor promosi pariwisata di dalam negeri skala provinsi.
Penyediaan informasi pariwisata ke pusat pelayanan informasi pariwisata nasional dan pembentukan pusat serta mengirim dan menerima peserta grup widya wisata.
Peserta/penyelenggara pameran/ event, roadshow bekerja sama dengan pemerintah/provinsi.
Pengadaan sarana pemasaran skala kabupaten/ kota.
Pembentukan perwakilan kantor promosi pariwisata di dalam negeri skala kabupaten/kota.
Penyediaan informasi pariwisata ke pusat pelayanan informasi pariwisata provinsi dan pembentukan pusat SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA f. Pelaksanaan event promosi di luar negeri.
Pengembangan sistem informasi pemasaran pariwisata skala nasional.
Penetapan branding pariwisata skala nasional. pelayanan informasi pariwisata skala provinsi.
Pelaksanaan event promosi di luar negeri dengan koordinasi pemerintah.
Pengembangan sistem informasi pemasaran pariwisata skala provinsi.
Penerapan branding pariwisata nasional dan penetapan tagline pariwisata skala provinsi. pelayanan informasi pariwisata skala kabupaten/ kota.
Pelaksanaan event promosi di luar negeri dengan koordinasi pemerintah dan provinsi.
Pengembangan sistem informasi pemasaran pariwisata skala kabupaten/kota.
Penerapan branding pariwisata nasional dan penetapan tagline pariwisata skala kabupaten/ kota.
Kebijakan Bidang Kebudayaan dan Pariwisata 1. Rencana induk pengembangan sumber daya kebudayaan dan pariwisata nasional.
Rencana induk pengembangan sumber daya kebudayaan dan pariwisata skala provinsi.
Rencana induk pengembangan sumber daya kebudayaan dan pariwisata nasional skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Kebijakan pengembangan sumber daya manusia kebudayaan dan pariwisata nasional.
Kebijakan penelitian kebudayaan dan pariwisata nasional.
Rancangan induk penelitian arkeologi nasional.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi dalam pengembangan sumber daya manusia kebudayaan dan pariwisata skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi penelitian kebudayaan dan pariwisata skala provinsi.
Pelaksanaan rancangan induk penelitian arkeologi nasional oleh provinsi berkoordinasi dengan Balai Arkeologi.
Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota dalam pengembangan sumber daya manusia kebudayaan dan pariwisata skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota penelitian kebudayaan dan pariwisata skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan rancangan induk penelitian arkeologi nasional oleh kabupaten/kota berkoordinasi dengan Balai Arkeologi. R. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEPEMUDAAN DAN OLAH RAGA SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Kepemudaan 1. Kebijakan di bidang Kepemudaan 1. Penetapan kebijakan di bidang kepemudaan skala nasional :
Pengembangan keserasian kebijakan dan pemberdayaan.
Pengembangan kemitraan pemerintah dengan masyarakat dalam pembangunan.
Peningkatan peranserta secara lintas bidang dan sektoral.
Pengembangan manajemen, wawasan dan kreativitas.
Penetapan kebijakan di bidang kepemudaan skala provinsi :
Pengembangan keserasian kebijakan dan pemberdayaan.
Pengembangan kemitraan pemerintah dengan masyarakat dalam pembangunan.
Peningkatan peranserta secara lintas bidang dan sektoral.
Pengembangan manajemen, wawasan dan kreativitas.
Penetapan kebijakan di bidang kepemudaan skala kabupaten/kota :
Pengembangan keserasian kebijakan dan pemberdayaan.
Pengembangan kemitraan pemerintah dengan masyarakat dalam pembangunan.
Peningkatan peranserta secara lintas bidang dan sektoral.
Pengembangan manajemen, wawasan dan kreativitas. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e. Kemitraan dan kewirausahaan.
Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dan keimanan ketaqwaan (IMTAQ).
Peningkatan profesionalisme, kepemimpinan dan kepeloporan.
Pengaturan sistem penganugerahan prestasi.
Peningkatan dan pembangunan prasarana dan sarana.
Pengembangan jaringan dan sistem informasi.
Kemitraan dan kewirausahaan.
Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dan keimanan ketaqwaan (IMTAQ).
Peningkatan profesionalisme, kepemimpinan dan kepeloporan.
Pengaturan sistem penganugerahan prestasi.
Peningkatan prasarana dan sarana.
Pengembangan jaringan dan sistem informasi.
Kemitraan dan kewirausahaan.
Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dan keimanan ketaqwaan (IMTAQ).
Peningkatan profesionalisme, kepemimpinan dan kepeloporan.
Pengaturan sistem penganugerahan prestasi.
Peningkatan prasarana dan sarana.
Pengembangan jaringan dan sistem informasi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pelaksanaan k. Kriteria dan standarisasi lembaga kepemudaan.
Pembangunan kapasitas dan kompetensi lembaga kepemudaan.
Pencegahan dan perlindungan bahaya distruktif.
Hubungan internasional.
Pelaksanaan kebijakan di bidang kepemudaan skala nasional :
Aktivitas kepemudaan yang berskala nasional dan internasional.
Kriteria dan standarisasi lembaga kepemudaan.
Pembangunan kapasitas dan kompetensi lembaga kepemudaan.
Pencegahan dan perlindungan bahaya distruktif.
Ɇ 1. Pelaksanaan kebijakan di bidang kepemudaan skala provinsi :
Aktivitas kepemudaan yang berskala provinsi.
Kriteria dan standarisasi lembaga kepemudaan.
Pembangunan kapasitas dan kompetensi lembaga kepemudaan.
Pencegahan dan perlindungan bahaya distruktif.
Ɇ 1. Pelaksanaan kebijakan di bidang kepemudaan skala kabupaten/kota :
Aktivitas kepemudaan yang berskala kabupaten/kota, provinsi, nasional dan internasional. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Fasilitasi dan dukungan aktivitas kepemudaan lintas provinsi.
Pembangunan pusat pemberdayaan pemuda berskala nasional.
Pendidikan dan pelatihan kepemudaan tingkat nasional.
Kerjasama antar provinsi dan internasional.
Fasilitasi dan dukungan aktivitas kepemudaan lintas kabupaten/kota.
Pembangunan pusat pemberdayaan pemuda.
Pendidikan dan pelatihan kepemudaan tingkat provinsi.
Kerjasama antar kabupaten/kota skala provinsi, pemerintah dan internasional b. Fasilitasi dan dukungan aktivitas kepemudaan lintas kecamatan skala kabupaten/kota.
Pembangunan pusat pemberdayaan pemuda.
Pendidikan dan pelatihan kepemudaan tingkat kabupaten/kota.
Kerjasama antar kecamatan skala kabupaten/kota, provinsi, pemerintah dan internasional. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Koordinasi 1. Koordinasi bidang kepemudaan skala nasional :
Koordinasi antar Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND).
Koordinasi dengan lembaga non pemerintah.
Koordinasi antar pemerintah dan daerah.
Koordinasi antar negara.
Koordinasi bidang ke- pemudaan skala provinsi :
Koordinasi antar dinas instansi terkait.
Koordinasi dengan lembaga non pemerintah.
Koordinasi antar provinsi dan kabupaten/kota.
Ɇ 1. Koordinasi bidang kepemudaan skala kabupaten/kota :
Koordinasi antar dinas instansi terkait.
Koordinasi dengan lembaga non pemerintah.
Koordinasi antar kecamatan skala kabupaten/kota.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pembinaan dan Pengawasan 1. Pembinaan dan pengawasan di bidang kepemudaan skala nasional:
Pembinaan terhadap organisasi kepemudaan.
Pembinaan terhadap kegiatan kepemudaan.
Pembinaan koordinasi pemerintahan antar susunan pemerintahan di bidang kepemudaan.
Pembinaan, penyusunan pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang kepemudaan.
Pembinaan dan pengawasan di bidang kepemudaan skala provinsi:
Pembinaan terhadap organisasi kepemudaan.
Pembinaan terhadap kegiatan kepemudaan.
Pembinaan koordinasi pemerintahan antar susunan pemerintahan di bidang kepemudaan.
Pembinaan, penyusunan pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang kepemudaan.
Pembinaan dan pengawasan di bidang kepemudaan skala kabupaten/kota:
Pembinaan terhadap organisasi kepemudaan.
Pembinaan terhadap kegiatan kepemudaan.
Pembinaan koordinasi pemerintahan antar susunan pemerintahan di bidang kepemudaan.
Pembinaan, penyusunan pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang kepemudaan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e. Pembinaan pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi urusan pemerintahan di bidang kepemudaan.
Pembinaan pendidikan dan pelatihan di bidang kepemudaan.
Pembinaan perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang kepemudaan.
Pembinaan pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi urusan pemerintahan di bidang kepemudaan.
Pembinaan pendidikan dan pelatihan di bidang kepemudaan.
Pembinaan perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang kepemudaan.
Pembinaan pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi urusan pemerintahan di bidang kepemudaan.
Pembinaan pendidikan dan pelatihan di bidang kepemudaan.
Pembinaan perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang kepemudaan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Olahraga 1. Kebijakan di Bidang Keolahragaan h. Pengaturan pengawasan terhadap pelaksanaan norma dan standar di bidang kepemudaan.
Penetapan kebijakan di bidang keolahragaan skala nasional :
Pengembangan dan keserasian kebijakan olahraga.
Penyelenggaraan keolahragaan.
Pembinaan dan pengembangan keolahragaan.
Pengelolaan keolahraagaan.
Pengaturan pengawasan terhadap pelaksanaan norma dan standar di bidang kepemudaan.
Penetapan kebijakan di bidang keolahragaan skala provinsi :
Pengembangan dan keserasian kebijakan olahraga.
Penyelenggaraan keolahragaan.
Pembinaan dan pengembangan keolahragaan.
Pengelolaan keolahragaan.
Pengaturan pengawasan terhadap pelaksanaan norma dan standar di bidang kepemudaan.
Penetapan kebijakan di bidang keolahragaan skala kabupaten/kota :
Pengembangan dan keserasian kebijakan olahraga.
Penyelenggaraan keolahragaan.
Pembinaan dan pengembangan keolahragaan.
Pengelolaan keolahragaan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e. Penyelenggaraan pekan dan kejuaraan olahraga.
Pembangunan dan peningkatan prasarana dan sarana olahraga.
Pendidikan dan pelatihan keolahragaan.
Pendanaan keolahragaan.
Pengembangan IPTEK keolahragaan.
Pengembangan kerjasama dan informasi keolahragaan.
Penyelenggaraan pekan dan kejuaraan olahraga.
Pembangunan dan peningkatan prasarana dan sarana olahraga.
Pendidikan dan pelatihan keolahragaan.
Pendanaan keolahragaan.
Pengembangan IPTEK keolahragaan.
Pengembangan kerjasama dan informasi keolahragaan.
Penyelenggaraan pekan dan kejuaraan olahraga.
Pembangunan dan peningkatan prasarana dan sarana olahraga.
Pendidikan dan pelatihan keolahragaan.
Pendanaan keolahragaan.
Pengembangan IPTEK keolahragaan.
Pengembangan kerjasama dan informasi keolahragaan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA k. Pengembangan kemitraan pemerintah dengan masyarakat dalam pembangunan olahraga.
Peningkatan peranserta secara lintas bidang dan sektoral serta masyarakat.
Pengembangan manajemen olahraga.
Kemitraan industri dan kewirausahaan olahraga.
Pengembangan IPTEK olahraga.
Pengembangan kemitraan pemerintah dengan masyarakat dalam pembangunan olahraga.
Peningkatan peranserta secara lintas bidang dan sektoral serta masyarakat.
Pengembangan manajemen olahraga.
Kemitraan industri dan kewirausahaan olahraga.
Pengembangan IPTEK olahraga.
Pengembangan kemitraan pemerintah dengan masyarakat dalam pembangunan olahraga.
Peningkatan peranserta secara lintas bidang dan sektoral serta masyarakat.
Pengembangan manajemen olahraga.
Kemitraan industri dan kewirausahaan olahraga.
Pengembangan IPTEK olahraga. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA p. Peningkatan profesionalisme atlit, pelatih, manager dan pembina olahraga.
Pembangunan dan pengembangan industri olahraga.
Pengaturan sistem penganugerahan, penghargaan dan kesejahteraan pelaku olahraga.
Pengaturan standarisasi, akreditasi dan sertifikat keolahragaan.
Peningkatan dan pembangunan prasarana dan sarana olahraga.
Peningkatan profesionalisme atlit, pelatih, manager dan pembina olahraga.
Pembangunan dan pengembangan industri olahraga.
Pengaturan sistem penganugerahan, penghargaan dan kesejahteraan pelaku olahraga.
Pengaturan pelaksanaan standarisasi, akreditasi dan sertifikat keolahragaan.
Peningkatan dan pembangunan prasarana dan sarana olahraga.
Peningkatan profesionalisme atlit, pelatih, manager dan pembina olahraga.
Pembangunan dan pengembangan industri olahraga.
Pengaturan sistem penganugerahan, penghargaan dan kesejahteraan pelaku olahraga.
Pengaturan pelaksanaan standarisasi, akreditasi dan sertifikat keolahragaan.
Peningkatan dan pembangunan prasarana dan sarana olahraga. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA u. Pengembangan jaringan dan sistem informasi keolahragaan.
Kriteria lembaga keolahragaan.
Pemberdayaan dan pemasyarakatan olahraga serta peningkatan kebugaran jasmani masyarakat.
Hubungan internasional di bidang keolahragaan.
Pengembangan jaringan dan sistem informasi keolahragaan.
Kriteria lembaga keolahragaan.
Pemberdayaan dan pemasyarakatan olahraga serta peningkatan kebugaran jasmani masyarakat.
Ɇ u. Pengembangan jaringan dan sistem informasi keolahragaan.
Kriteria lembaga keolahragaan.
Pemberdayaan dan pemasyarakatan olahraga serta peningkatan kebugaran jasmani masyarakat.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pelaksanaan 1. Pelaksanaan kebijakan di bidang keolahragaan skala nasional :
Aktivitas keolahragaan skala nasional dan internasional.
Fasilitasi dan dukungan aktivitas keolahragaan lintas provinsi.
Kerjasama antar provinsi dan internasional.
Pembangunan dan penyediaan prasarana dan sarana olahraga.
Pelaksanaan kebijakan di bidang keolahragaan skala provinsi :
Aktivitas keolahragaan skala provinsi, nasional dan internasional.
Fasilitasi dan dukungan aktivitas keolahragaan lintas kabupaten/kota.
Kerjasama antar kabupaten/kota skala provinsi, pemerintah dan internasional.
Pembangunan dan penyediaan prasarana dan sarana olahraga.
Pelaksanaan kebijakan di bidang keolahragaan skala kabupaten/kota :
Aktivitas keolahragaan skala kabupaten/kota, provinsi, nasional dan internasional.
Fasilitasi dan dukungan aktivitas keolahragaan lintas kecamatan skala kabupaten/kota.
Kerjasama antar kecamatan skala kabupaten/kota, provinsi, pemerintah dan internasional.
Pembangunan dan penyediaan prasarana dan sarana olahraga. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Koordinasi e. Pendanaan keolahragaan.
Pendidikan dan pelatihan keolahragaan.
Pembangunan sentra pembinaan prestasi olahraga.
Koordinasi bidang keolahragaan skala nasional :
Koordinasi antar Departemen/LPND.
Koordinasi dengan lembaga non pemerintah.
Pendanaan keolahragaan.
Pendidikan dan pelatihan keolahragaan.
Pembangunan sentra pembinaan prestasi olahraga.
Koordinasi bidang keolahragaan skala provinsi:
Koordinasi antar dinas/instansi terkait.
Koordinasi dengan lembaga non pemerintah dan masyarakat.
Pendanaan keolahragaan.
Pendidikan dan pelatihan keolahragaan.
Pembangunan sentra pembinaan prestasi olahraga.
Koordinasi bidang keolahragaan skala kabupaten/kota :
Koordinasi antar dinas/instansi terkait.
Koordinasi dengan lembaga non pemerintah dan masyarakat. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pembinaan dan Pengawasan c. Koordinasi antara pemerintah dan daerah serta masyarakat.
Koordinasi pihak luar negeri/internasional.
Pembinaan dan pengawasan di bidang keolahragaan skala nasional :
Pembinaan terhadap organisasi keolahragaan.
Pembinaan terhadap kegiatan keolahragaan.
Koordinasi antara provinsi dan kabupaten/kota.
Ɇ 1. Pembinaan dan pengawasan di bidang keolahragaan skala provinsi:
Pembinaan terhadap organisasi keolahragaan.
Pembinaan terhadap kegiatan keolahragaan.
Koordinasi antara kabupaten/kota dan kecamatan.
Ɇ 1. Pembinaan dan pengawasan di bidang keolahragaan skala kabupaten/kota :
Pembinaan terhadap organisasi keolahragaan.
Pembinaan terhadap kegiatan keolahragaan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Pembinaan pengelolaan olahraga dan tenaga keolahragaan.
Pembinaan dan pengembangan prestasi olahraga termasuk olahraga unggulan.
Pembinaan koordinasi pemerintahan antar pemerintah/ departemen, LPND dan daerah.
Pembinaan pendidikan dan pelatihan di bidang keolahragaan.
Pembinaan pengelolaan olahraga dan tenaga keolahragaan.
Pembinaan dan pengembangan prestasi olahraga termasuk olahraga unggulan.
Pembinaan koordinasi pemerintahan antar susunan pemerintahan di provinsi.
Pembinaan pendidikan dan pelatihan di bidang keolahragaan.
Pembinaan pengelolaan olahraga dan tenaga keolahragaan.
Pembinaan dan pengembangan prestasi olahraga termasuk olahraga unggulan.
Pembinaan koordinasi pemerintahan antar susunan pemerintahan di kabupaten/ kota.
Pembinaan pendidikan dan pelatihan di bidang keolahragaan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA g. Pembinaan perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang keolahragaan.
Pengaturan pengawasan terhadap pelaksanaan norma dan standar di bidang keolahragaan.
Pembinaan dan pengembangan industri olahraga.
Pengawasan terhadap penyelenggaraan olahraga.
Pembinaan perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang keolahragaan.
Pengaturan pengawasan terhadap pelaksanaan norma dan standar di bidang keolahragaan.
Pembinaan dan pengembangan industri olahraga.
Pengawasan terhadap penyelenggaraan olahraga. g Pembinaan perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang keolahragaan.
Pengaturan pengawasan terhadap pelaksanaan norma dan standar di bidang keolahragaan.
Pembinaan dan pengembangan industri olahraga.
Pengawasan terhadap penyelenggaraan olahraga. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA k. Pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran/dana.
Pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran/dana.
Pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran/dana. S. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KESATUAN BANGSA DAN POLITIK DALAM NEGERI SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Bina Ideologi dan Wawasan Kebangsaan 1. Penetapan Kebijakan Penyelenggaraan Pemerintahan 1. Penetapan kebijakan umum di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala nasional.
Penetapan kebijakan teknis (merujuk kepada kebijakan umum nasional) di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala provinsi.
Penetapan kebijakan operasional (merujuk kepada kebijakan umum nasional dan kebijakan teknis provinsi) di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan Kegiatan 1. Pelaksanaan dan fasilitasi kegiatan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala nasional.
Pelaksanaan dan fasilitasi kegiatan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala provinsi.
Pelaksanaan kegiatan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pembinaan Penyelenggaraan Pemerintahan 1. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala provinsi.
Pembinaan dan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala kabupaten/kota.
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan 1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan 1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan 1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA skala nasional. penghargaan kebangsaan skala provinsi. nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala kabupaten/kota.
Peningkatan Kapasitas Aparatur 1. Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesatuan bangsa dan politik (kesbangpol) di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala nasional.
Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala provinsi.
Peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala kabupaten/kota.
Kewaspadaan Nasional 1. Penetapan Kebijakan Penyelenggaraan Pemerintahan 1. Koordinasi penetapan kebijakan umum di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelijen keamanan (intelkam), bina masyarakat perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, 1. Koordinasi penetapan kebijakan teknis (merujuk kepada kebijakan umum nasional) di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat, perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik 1. Koordinasi penetapan kebijakan operasional (merujuk kepada kebijakan umum nasional dan kebijakan teknis provinsi) di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat, perbatasan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala nasional. pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala provinsi. dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan Kegiatan 1. Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala nasional.
Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala provinsi.
Pelaksanaan kegiatan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala kabupaten/kota.
Pembinaan Penyelenggaraan Pemerintahan 1. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan 1. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan 1. Pembinaan dan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat (koordinasi, bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA evaluasi) di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat, perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala nasional. evaluasi) di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat, perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala provinsi. pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat, perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala kabupaten/kota.
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan 1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing 1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing 1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA skala nasional. skala provinsi. penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala kabupaten/kota.
Peningkatan Kapasitas Aparatur 1. Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala nasional.
Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala provinsi.
Peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat, perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Penetapan Kebijakan Penyelenggaraan Pemerintahan 1. Koordinasi penetapan kebijakan umum di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala nasional.
Koordinasi penetapan kebijakan teknis (merujuk kepada kebijakan umum nasional) di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala provinsi.
Koordinasi penetapan kebijakan operasional (merujuk kepada kebijakan umum nasional dan kebijakan teknis provinsi) di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala kabupaten/kota.
Ketahanan Seni, Budaya, Agama dan Kemasyarakatan 2. Pelaksanaan Kegiatan 1. Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan 1. Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah 1. Pelaksanaan kegiatan di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA skala nasional/ internasional. sosial kemasyarakatan skala provinsi.
Pembinaan Penyelenggaraan Pemerintahan 1. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan dan penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan dan penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala provinsi.
Pembinaan dan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat (koordinasi, bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan dan penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan 1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala nasional.
Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala provinsi.
Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala kabupaten/kota.
Peningkatan Kapasitas Aparatur 1. Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan dan penanganan masalah sosial kemasyarakatan 1. Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan dan penanganan masalah sosial kemasyarakatan 1. Peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan dan penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA skala nasional. skala provinsi.
Politik Dalam Negeri 1. Penetapan Kebijakan Penyelenggaraan Pemerintahan 1. Koordinasi penetapan kebijakan umum di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilihan umum (pemilu), pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan kepala daerah (pilkada) skala nasional.
Koordinasi penetapan kebijakan teknis (merujuk kepada kebijakan umum nasional) di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala provinsi.
Koordinasi penetapan kebijakan operasional (merujuk kepada kebijakan umum nasional dan kebijakan teknis provinsi) sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan Kegiatan 1. Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan 1. Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan 1. Pelaksanaan kegiatan di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pendidikan politik, pemilu, pilpres dan pilkada skala nasional. pendidikan politik, pemilu, pilpres dan pilkada skala provinsi. fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala kabupaten/kota.
Pembinaan Penyelenggaraan Pemerintahan 1. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, pemilu, pilpres dan pilkada skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, pemilu, pilpres dan pilkada skala provinsi.
Pembinaan dan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat (koordinasi, bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan 1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala nasional.
Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan bidang kesbangpol dan sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala provinsi.
Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Peningkatan Kapasitas Aparatur 1. Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, pemilu, pilpres dan pilkada skala nasional.
Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, pemilu, pilpres dan pilkada skala provinsi.
Peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala kabupaten/kota.
Ketahanan Ekonomi 1. Penetapan Kebijakan Penyelenggaraan Pemerintahan 1. Koordinasi penetapan kebijakan umum di bidang ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan organisasi kemasyarakatan (ormas) perekonomian skala 1. Koordinasi penetapan kebijakan teknis (merujuk kepada kebijakan umum nasional) di bidang ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian 1. Koordinasi penetapan kebijakan operasional (merujuk kepada kebijakan umum nasional dan kebijakan teknis provinsi) di bidang ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA nasional. skala provinsi. kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan Kegiatan 1. Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala nasional/ internasional.
Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala provinsi.
Pelaksanaan kegiatan di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala kabupaten/kota.
Pembinaan Penyelenggaraan Pemerintahan 1. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, 1. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, 1. Pembinaan dan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat (koordinasi, bimbingan, supervisi dan konsultasi, SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pengembangan dan evaluasi) di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala nasional. pengembangan dan evaluasi) di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala provinsi. perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala kabupaten/kota.
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan 1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan bidang kebijakan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga 1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan bidang kebijakan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga 1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat bidang kebijakan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala nasional. usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala provinsi. perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala kabupaten/kota.
Peningkatan Kapasitas Aparatur 1. Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala nasional.
Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala provinsi.
Peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala kabupaten/kota. T. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG OTONOMI DAERAH, PEMERINTAHAN UMUM, ADMINISTRASI KEUANGAN DAERAH, PERANGKAT DAERAH, KEPEGAWAIAN, DAN PERSANDIAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Otonomi Daerah 1. Urusan Pemerintahan:
Kebijakan b. Pembinaan, Sosialisasi Bimbingan, Konsultasi, Supervisi, Koordinasi, Monitoring dan Evaluasi serta Pengawasan Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan 1. Penetapan kebijakan nasional pembagian urusan pemerintahan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria penyelenggaraan urusan pemerintahan skala nasional.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pembinaan, sosialisasi, bimbingan, konsultasi, supervisi, koordinasi, monitoring dan evaluasi serta pengawasan penyelenggaraan urusan pemerintahan.
Ɇ 2. Penetapan kebijakan penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pembinaan, sosialisasi, bimbingan, konsultasi, supervisi, koordinasi, monitoring dan evaluasi serta pengawasan penyelenggaraan urusan pemerintahan.
Ɇ 2. Penetapan kebijakan penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pembinaan, sosialisasi, bimbingan, konsultasi, supervisi, koordinasi, monitoring dan evaluasi serta pengawasan penyelenggaraan urusan pemerintahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Harmonisasi d. Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) 2. Penyelenggaraan pembinaan, sosialisasi, bimbingan, konsultasi, supervisi, koordinasi, monitoring dan evaluasi serta pengawasan urusan pemerintahan.
— 2. Harmonisasi antar bidang urusan pemerintahan pada masing-masing lintas Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND).
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria LPPD.
Penyelenggaraan pembinaan sosialisasi, bimbingan, konsultasi, supervisi, koordinasi, monitoring dan evaluasi serta pengawasan urusan pemerintahan di wilayah provinsi.
Harmonisasi peraturan daerah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Harmonisasi antar bidang urusan pemerintahan daerah provinsi dengan pemerintah.dan pemerintahan daerah kabupaten/kota.
Penyusunan LPPD provinsi.
Penyelenggaraan pembinaan sosialisasi, bimbingan, konsultasi, supervisi, koordinasi, monitoring dan evaluasi serta pengawasan urusan pemerintahan di wilayah kabupaten/kota.
Harmonisasi peraturan daerah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Harmonisasi antar bidang urusan pemerintahan dalam wilayah kabupaten/kota dengan pemerintah dan pemerintahan daerah provinsi.
Penyusunan LPPD kabupaten/kota SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e. Database 2. Ɇ 3. Evaluasi LPPD skala nasional.
Pengolahan database LPPD skala nasional.
Penyampaian LPPD provinsi kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.
Evaluasi LPPD kabupaten/kota.
Pengolahan database LPPD skala provinsi.
Penyampaian LPPD kabupaten/kota kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur.
Ɇ 1. Pengolahan database LPPD skala kabupaten/kota.
Penataan Daerah dan Otonomi Khusus (Otsus):
Kebijakan 1. Penetapan kebijakan penataan daerah dan otsus.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria perubahan batas, nama dan pemindahan ibukota provinsi dan/atau kabupaten.
Pengusulan penataan daerah dan otsus skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan perubahan batas, nama dan/atau pemindahan ibukota provinsi dan/atau kabupaten.
Pengusulan penataan daerah skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan perubahan batas, nama dan/atau pemindahan ibukota daerah dalam rangka penataan daerah. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Pembentukan Daerah 3. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah.
Pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pembentukan kecamatan.
a.Penetapan perubahan batas, nama, dan pemindahan ibukota daerah.
Ɇ 3. Pelaksanaan kebijakan pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah.
Pengusulan pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah.
Evaluasi terhadap rancangan peraturan daerah tentang pembentukan kecamatan.
a.Pengusulan perubahan batas provinsi, nama dan pemindahan ibukota daerah.
Pelaksanaan perubahan batas, nama dan pemindahan ibukota provinsi.
Pelaksanaan kebijakan pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah.
Pengusulan pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah.
Pembentukan kecamatan.
a.Pengusulan perubahan batas kabupaten/kota, nama dan pemindahan ibukota daerah.
Pelaksanaan perubahan batas, nama kabupaten/kota dan pemindahan ibukota kabupaten. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Pembinaan, Sosialisasi, Observasi dan Pengkajian Penataan Daerah dan Otsus d. Monitoring dan Evaluasi serta Pengawasan dan Pengendalian Penataan Daerah dan Otsus 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pembinaan, sosialisasi, observasi dan pengkajian penyelenggaraan penataan daerah dan otsus.
Penyelenggaraan pembinaan, sosialisasi, observasi dan pengkajian penyelenggaraan penataan daerah dan otsus.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria monitoring dan evaluasi serta pengawasan dan pengendalian penataan daerah dan otsus.
Penyelenggaraan monitoring dan evaluasi penataan daerah dan otsus.
Pelaksanaan kebijakan pembinaan, sosialisasi, observasi dan pengkajian penyelenggaraan penataan daerah dan otsus.
Penyelenggaraan pembinaan, sosialisasi, observasi dan pengkajian penyelenggaraan penataan daerah dan otsus dalam wilayah provinsi.
Ɇ 2. Penyelenggaraan monitoring dan evaluasi penataan daerah dan otsus dalam wilayah provinsi.
Pelaksanaan kebijakan pembinaan, sosialisasi, observasi dan pengkajian penyelenggaraan penataan daerah.
Penyelenggaraan pembinaan, sosialisasi, observasi dan pengkajian penyelenggaraan penataan daerah dan otsus.
Ɇ 2. Penyelenggaraan monitoring dan evaluasi penataan daerah dan otsus dalam wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e. Pembangunan Sistem ( Database ) Penataan Daerah dan Otsus f. Pelaporan 3. Penyelenggaraan pengawasan dan pengendalian penataan daerah dan otsus.
Pembangunan dan pengelolaan database penataan daerah dan otsus skala nasional.
Ɇ 1. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria laporan penataan daerah dan otsus.
Pengolahan data penataan daerah dan otsus skala nasional.
Penyelenggaraan pengawasan dan pengendalian penataan daerah dan otsus dalam wilayah provinsi.
Pembangunan dan pengelolaan database penataan daerah dan otsus skala provinsi.
Penyampaian data dan informasi penataan daerah skala provinsi ke pemerintah.
Menindaklanjuti pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria laporan penataan daerah dan otsus.
Pengolahan database laporan penataan daerah dan otsus skala provinsi.
Penyelenggaraan pengawasan dan pengendalian penataan daerah dan otsus dalam wilayah kabupaten/kota.
Pembangunan dan pengelolaan database penataan daerah dan otsus skala kabupaten/kota.
Penyampaian data dan informasi penataan daerah skala kabupaten/kota ke provinsi dan pemerintah.
Menindaklanjuti pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria laporan penataan daerah.
Pengolahan database laporan penataan daerah skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penyampaian laporan penataan daerah dan otsus skala nasional kepada Presiden.
Penyampaian laporan penataan daerah dan otsus skala provinsi kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.
Penyampaian laporan penataan daerah skala kabupaten/kota kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur.
Fasilitasi Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) dan Hubungan Antar Lembaga (HAL):
DPOD 1. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria berkaitan dengan DPOD.
Pertimbangan formulasi perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Penyiapan bahan masukan pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah provinsi untuk sidang DPOD.
Penyusunan tata tertib bahan masukan penetapan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) provinsi bagi sidang DPOD.
Penyiapan bahan masukan pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah kabupaten/kota untuk sidang DPOD.
Penyusunan tata tertib bahan masukan penetapan DAU dan DAK bagi sidang DPOD. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Penyusunan Peraturan Daerah (Perda) c. Fasilitasi Asosiasi Daerah/Badan Kerjasama Daerah 1. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria berkaitan dengan tata cara penyusunan Perda, Peraturan/Keputusan Kepala Daerah (KDH) dan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)/Pimpinan DPRD.
Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) provinsi tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang daerah.
Pengawasan Perda provinsi, kabupaten/kota.
Penetapan pembentukan Asosiasi/Badan Kerjasama Daerah.
Penyusunan Perda provinsi.
Pengajuan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) provinsi tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang daerah kepada pemerintah.
Penyampaian Perda kepada pemerintah untuk dievaluasi.
Membentuk Asosiasi/Badan Kerjasama Daerah.
Penyusunan Perda kabupaten/kota.
Pengajuan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) provinsi tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang daerah kepada gubernur.
Menyampaikan Perda kepada pemerintah untuk dievaluasi.
Membentuk Asosiasi Daerah/Badan Kerjasama Daerah. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Fasilitasi Pemberdayaan Asosiasi/Badan Kerjasama Daerah.
Fasilitasi pembentukan Asosiasi Daerah/Badan Kerjasama Daerah membentuk Asosiasi Daerah/Badan Kerjasama kabupaten/kota.
— 4. Pengembangan Kapasitas dan Evaluasi Kinerja Daerah:
Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) :
Kebijakan (2) Pembinaan 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria SPM.
Pembinaan penerapan SPM.
Penetapan perencanaan, penganggaran, dan penerapan SPM skala provinsi.
Monitoring dan evaluasi penerapan dan pencapaian SPM skala provinsi.
Penetapan perencanaan, penganggaran, dan penerapan SPM skala kabupaten/kota.
Penerapan SPM kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah:
Monitoring dan evaluasi penerapan dan pencapaian SPM.
Pengembangan kapasitas penerapan dan pencapaian SPM.
a.Penetapan kebijakan tentang norma, standar, prosedur dan kriteria evaluasi mengenai:
Pengukuran kinerja.
Pengembangan sistem informasi evaluasi.
Kriteria pembinaan evaluasi daerah.
Pelaksanaan evaluasi terhadap provinsi.
Monitoring dan evaluasi penerapan dan pencapaian SPM kabupaten/kota.
Fasilitasi dan supervisi penerapan dan pencapaian SPM kabupaten/kota.
a. Ɇ b. Pelaksanaan evaluasi terhadap kabupaten/kota mengenai:
— 3. — 1.a.— b. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Pengembangan Kapasitas Daerah :
Kebijakan (2) Pelaksanaan 1. Penetapan kerangka nasional pengembangan kapasitas daerah.
Pedoman penyusunan rencana tindak peningkatan kapasitas daerah.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan pengembangan kapasitas daerah.
Pengukuran kinerja.
Pengembangan sistem informasi evaluasi.
Kriteria pembinaan evaluasi daerah.
Penetapan perencanaan dan penganggaran pengembangan kapasitas daerah.
Penetapan rencana tindak peningkatan kapasitas provinsi.
Implementasi rencana tindak peningkatan kapasitas provinsi.
Penetapan perencanaan dan penganggaran pengembangan kapasitas daerah.
Penetapan rencana tindak peningkatan kapasitas kabupaten/kota.
Implementasi rencana tindak peningkatan kapasitas kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA (3) Pembinaan 2. Fasilitasi pedoman penyusunan rencana tindak peningkatan kapasitas daerah.
Monitoring dan evaluasi pengembangan kapasitas provinsi.
Koordinasi nasional pengembangan kapasitas daerah.
Fasilitasi implementasi rencana tindak provinsi.
Monitoring dan evaluasi pengembangan kapasitas kabupaten/kota.
Koordinasi pengembangan kapasitas provinsi.
Fasilitasi implementasi rencana tindak kabupaten/kota.
Ɇ 2. Koordinasi pengembangan kapasitas kabupaten/kota.
Pejabat Negara:
Tata Tertib DPRD:
Kebijakan (2) Pembinaan 1. Penetapan pedoman tata tertib DPRD.
Fasilitasi penyusunan tata tertib DPRD provinsi.
Monitoring dan evaluasi tata tertib DPRD provinsi.
Penetapan pedoman tata tertib DPRD provinsi.
Fasilitasi penyusunan tata tertib DPRD kabupaten/kota.
Monitoring dan evaluasi tata tertib DPRD kabupaten/kota.
Penetapan pedoman tata tertib DPRD kabupaten/kota.
— 2. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Peresmian Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota DPRD Provinsi/Kabupaten /Kota.
Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah (KDH) dan Wakil KDH:
Kebijakan (2) Pelaksanaan 1. Peresmian pengangkatan dan pemberhentian anggota DPRD provinsi.
Penetapan Pedoman Tata Cara Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian KDH dan Wakil KDH.
Pengesahan, pengangkatan, dan pemberhentian KDH dan Wakil KDH.
Peresmian pengangkatan dan pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota.
— 1. Fasilitasi pemilihan gubernur dan wakil gubernur.
— 1. — 1. Fasilitasi pemilihan bupati dan wakil bupati/walikota dan wakil walikota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d. Kedudukan Protokoler dan Keuangan DPRD:
Kebijakan (2) Pembinaan 2. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pemilihan KDH dan Wakil KDH.
Penetapan pedoman kedudukan protokoler dan keuangan DPRD.
Fasilitasi penyusunan kedudukan protokoler dan keuangan DPRD provinsi.
Monitoring dan evaluasi kedudukan protokoler dan keuangan DPRD provinsi.
Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pemilihan bupati dan wakil bupati/walikota dan wakil walikota.
Pelaksanaan pedoman kedudukan protokoler dan keuangan DPRD provinsi.
Fasilitasi penyusunan kedudukan protokoler dan keuangan DPRD kabupaten/kota.
Monitoring dan evaluasi kedudukan protokoler dan keuangan DPRD kabupaten/kota.
— 1. Pelaksanaan pedoman kedudukan protokoler dan keuangan DPRD kabupaten/kota.
Ɇ 2. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e. Kedudukan Keuangan KDH dan Wakil KDH:
Kebijakan (2) Pembinaan f. Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) KDH:
Kebijakan (2) Pembinaan 1. Penetapan pedoman kedudukan keuangan KDH dan Wakil KDH.
Fasilitasi kedudukan keuangan gubernur dan wakil gubernur.
Penetapan pedoman LKPJ.
Fasilitasi penyusunan LKPJ gubernur.
Pelaksanaan pedoman kedudukan keuangan gubernur dan wakil gubernur.
Fasilitasi kedudukan keuangan bupati dan wakil bupati/walikota dan wakil walikota.
Pelaksanaan pedoman LKPJ gubernur.
Fasilitasi penyusunan LKPJ bupati/walikota.
Pelaksanaan pedoman kedudukan keuangan bupati dan wakil bupati/walikota dan wakil walikota.
— 1. Pelaksanaan pedoman LKPJ bupati/walikota.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA g. Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah :
Kebijakan (2) Pembinaan 2. Monitoring dan evaluasi LKPJ gubernur.
Penetapan pedoman tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang serta kedudukan keuangan gubernur sebagai wakil pemerintah.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah.
Monitoring dan evaluasi LKPJ bupati/walikota.
Pelaksanaan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah.
— 2. — 1. — 1. — 2. Pemerintahan Umum 1. Fasilitasi Dekonsentrasi, Tugas Pembantuan dan Kerjasama: SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA a. Fasilitasi Dekonsentrasi b. Fasilitasi Tugas Pembantuan 1. Penetapan kebijakan nasional penyelenggaraan dekonsentrasi.
Koordinasi dan fasilitasi urusan pemerintahan dalam penyelenggaraan dekonsentrasi.
Ɇ 1. Penetapan kebijakan nasional penyelenggaraan tugas pembantuan.
Gubernur melaksanakan dan melaporkan penyelenggaraan urusan pemerintahan yang didekonsentrasikan.
Gubernur mengkoordinasikan penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah provinsi dan kabupaten/ kota.
Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan dekonsentrasi di daerah provinsi dan kabupaten/kota.
Pelaksanaan dan pelaporan penyelenggaraan urusan pemerintahan yang ditugaspembantuankan oleh pemerintah.
Ɇ 2. Ɇ 3. Ɇ 1. Pelaksanaan dan pelaporan penyelenggaraan tugas pembantuan oleh pemerintah dan/atau pemerintah provinsi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Fasilitasi Kerjasama Daerah dengan Pihak Ketiga 2. Koordinasi dan fasilitasi urusan pemerintahan yang ditugaspembantuankan kepada provinsi/kabupaten/kota/desa.
Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan dari provinsi kepada kabupaten/kota/desa.
Penetapan kebijakan nasional di bidang kerjasama dengan pihak ketiga.
Pelaksanaan kerjasama pemerintah dengan pihak ketiga.
Koordinasi dan fasilitasi urusan pemerintahan yang ditugaspembantuankan kepada kabupaten/kota/desa.
Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan dari kabupaten/kota kepada desa.
Penetapan kebijakan provinsi di bidang kerjasama dengan pihak ketiga.
Pelaksanaan kerjasama provinsi dengan pihak ketiga.
Koordinasi dan fasilitasi urusan pemerintahan yang ditugaspembantuankan kepada desa.
Ɇ 1. Penetapan kebijakan kabupaten/kota di bidang kerjasama dengan pihak ketiga.
Pelaksanaan kerjasama kabupaten/kota dengan pihak ketiga. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d. Kerjasama Antar Daerah 3. Koordinasi dan fasilitasi kerjasama provinsi dengan pihak ketiga.
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi kerjasama provinsi dengan pihak ketiga.
Ɇ 1. Penetapan kebijakan kerjasama antar daerah.
Fasilitasi kerjasama antar provinsi.
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan kerjasama antar daerah.
Koordinasi dan fasilitasi kerjasama kabupaten/kota dengan pihak ketiga.
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi kerjasama kabupaten/kota dengan pihak ketiga.
Pelaporan pelaksanaan kerjasama provinsi dengan pihak ketiga kepada pemerintah.
Pelaksanaan kerjasama antar provinsi.
Fasilitasi kerjasama antar kabupaten/kota.
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi kerjasama antar kabupaten/kota.
Ɇ 4. Ɇ 5. Pelaporan pelaksanaan kerjasama pemerintah kabupaten/kota dengan pihak ketiga kepada provinsi.
Pelaksanaan kerjasama antar kabupaten/kota.
Ɇ 3. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e. Pembinaan Wilayah 4. Ɇ 1. Penetapan kebijakan harmonisasi hubungan antar susunan pemerintahan.
Koordinasi dan fasilitasi harmonisasi hubungan antar susunan pemerintahan.
Koordinasi dan fasilitasi penyelesaian konflik antar provinsi.
Pelaporan pelaksanaan kerjasama antar provinsi kepada pemerintah.
Penetapan kebijakan harmonisasi hubungan antar susunan pemerintahan di provinsi dengan berpedoman kepada kebijakan pemerintah.
Koordinasi dan fasilitasi harmonisasi hubungan antar kabupaten/kota di wilayahnya.
Koordinasi dan fasilitasi penyelesaian konflik antar kabupaten/kota.
Pelaporan pelaksanaan kerjasama antar kabupaten/kota kepada provinsi.
Penetapan kebijakan harmonisasi hubungan antar susunan pemerintahan di kabupaten/kota dengan berpedoman kepada kebijakan pemerintah dan provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi harmonisasi hubungan antar kecamatan/desa/kelurahan di wilayahnya.
Koordinasi dan fasilitasi penyelesaian konflik antar kecamatan/desa/kelurahan di wilayahnya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA f. Koordinasi Pelayanan Umum 4. Koordinasi penetapan kebijakan dan fasilitasi usaha kecil dan menengah skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan urusan pemerintahan sisa.
Koordinasi dan fasilitasi kebijakan nasional dalam bidang pelayanan umum.
Pelaksanaan dan fasilitasi usaha kecil dan menengah skala provinsi.
Penyelenggaraan urusan pemerintahan sisa skala provinsi.
Pelaksanaan pelayanan umum skala provinsi.
Pelaksanaan dan fasilitasi kebijakan usaha kecil dan menengah skala kabupaten/kota.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan urusan pemerintahan sisa skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan pelayanan umum skala kabupaten/kota.
Trantibum dan Linmas a. Ketentraman, Ketertiban Umum, dan Perlindungan Masyarakat 1. Penetapan kebijakan nasional dalam bidang: (a) Ɇ 1. Penetapan kebijakan provinsi dengan merujuk kebijakan nasional dalam bidang: (a) Penegakan Perda/Peraturan Kepala Daerah.
Penetapan kebijakan kabupaten/kota dengan merujuk kebijakan nasional dalam bidang: (a) Penegakan Perda/Peraturan Kepala Daerah. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA (b) Ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. (c) Kepolisipamongprajaan dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). (d) Perlindungan masyarakat.
Pelaksanaan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat skala nasional.
Pembinaan kepolisipamongprajaan dan PPNS.
Pelaksanaan perlindungan masyarakat skala nasional. (b) Ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. (c) Kepolisipamongprajaan dan PPNS. (d) Perlindungan masyarakat.
Pelaksanaan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat skala provinsi.
Pelaksanaan kepolisipamongprajaan dan PPNS skala provinsi.
Pelaksanaan perlindungan masyarakat skala provinsi. (b) Ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. (c) Kepolisipamongprajaan dan PPNS. (d) Perlindungan masyarakat.
Pelaksanaan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan kepolisipamongprajaan dan PPNS skala kabupaten/ kota.
Pelaksanaan perlindungan masyarakat skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Koordinasi Perlindungan dan Penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) 3. Wilayah Perbatasan:
Pengelolaan Perbatasan Antar Negara 5. Koordinasi antar instansi terkait.
Koordinasi penegakan HAM skala nasional.
Penetapan kebijakan pengelolaan perbatasan antar negara.
Pelaksanaan pengelolaan perbatasan antar negara.
Koordinasi pengelolaan perbatasan antar negara.
Koordinasi dengan instansi terkait skala provinsi.
Koordinasi penegakan HAM skala provinsi.
– 2. Dukungan pelaksanaan kebijakan pengelolaan perbatasan antar negara.
Dukungan koordinasi antar kabupaten/kota yang berbatasan dengan negara lain.
Koordinasi dengan instansi terkait skala kabupaten/ kota.
Koordinasi penegakan HAM skala kabupaten/kota.
– 2. Dukungan pelaksanaan kebijakan pengelolaan perbatasan antar negara.
Dukungan koordinasi antar kecamatan/desa/kelurahan yang berbatasan dengan negara lain. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Perbatasan Daerah c. Toponimi dan Pemetaan Wilayah 4. Pelaksanaan penyelesaian perselisihan perbatasan antar negara.
Penetapan kebijakan, pelaksanaan, dan penegasan perbatasan daerah.
Penetapan kebijakan toponimi dan pemetaan wilayah.
Pengelolaan toponimi dan pemetaan skala nasional.
Inventarisasi laporan toponimi dan pemetaan.
– 1. Dukungan pelaksanaan penegasan perbatasan provinsi dan kabupaten/kota di wilayah provinsi.
Penetapan kebijakan provinsi mengacu pada kebijakan nasional mengenai toponimi dan pemetaan wilayah provinsi.
Pengelolaan toponimi dan pemetaan skala provinsi.
Inventarisasi dan laporan toponimi dan pemetaan skala provinsi.
Penetapan kebijakan dan pelaksanaan perbatasan kecamatan dan desa/kelurahan di kabupaten/kota.
Penetapan kebijakan kabupaten/kota mengacu pada kebijakan nasional mengenai toponimi dan pemetaan wilayah kabupaten/kota.
Pengelolaan toponimi dan pemetaan skala kabupaten/kota.
Inventarisasi dan laporan toponimi dan pemetaan skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d. Pengembangan Wilayah Perbatasan e. Penetapan Luas Wilayah 1. Penetapan kebijakan pengembangan wilayah perbatasan.
Pengelolaan pengembangan wilayah perbatasan antar negara dan antar provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pengembangan wilayah perbatasan antar negara dan antar provinsi.
Penetapan kebijakan luas wilayah.
Koordinasi dan fasilitasi penetapan luas wilayah provinsi, kabupaten/kota.
Penetapan kebijakan pengembangan wilayah perbatasan antar kabu- paten/kota skala provinsi.
Pengelolaan pengembangan wilayah perbatasan skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pengembangan wilayah perbatasan provinsi.
Inventarisasi perubahan luas wilayah provinsi yang diakibatkan oleh alam antara lain delta, abrasi.
Pemetaan luas wilayah sesuai peruntukannya.
Penetapan kebijakan pengembangan wilayah perbatasan skala kabupaten/kota.
Pengelolaan pengembangan wilayah perbatasan skala kabupaten/kota.
Koordinasi dan fasilitasi pengembangan wilayah perbatasan kabupaten/kota.
Inventarisasi perubahan luas wilayah kabupaten/kota yang diakibatkan oleh alam antara lain delta, abrasi.
Pemetaan luas wilayah sesuai peruntukannya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Kawasan Khusus:
Kawasan Sumber Daya Alam; Kehutanan, Energi dan Sumber Daya Mineral b. Kawasan Sumber Daya Buatan; Pelabuhan, Bandar Udara, Perkebunan, Peternakan, Industri, Pariwisata, Perdagangan, Otorita, Bendungan dan Sejenisnya 1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan sumber daya alam.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan sumber daya buatan.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan sumber daya alam skala provinsi.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan sumber daya buatan skala provinsi.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan sumber daya alam skala kabupaten/kota.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan sumber daya buatan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Kawasan Kepentingan Umum; Kawasan Fasilitas Sosial dan Umum d. Kawasan Kelautan dan Kedirgantaraan 1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan kepentingan umum.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan kelautan dan kedirgantaraan.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan kepentingan umum skala provinsi.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan kelautan dan kedirgantaraan skala provinsi.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan kepentingan umum skala kabupaten/kota.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan kelautan dan kedirgantaraan skala kabupaten/kota.
Manajemen Pencegahan dan Penanggulangan Bencana:
Mitigasi Pencegahan Bencana 1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan mitigasi/ pencegahan bencana.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan mitigasi/pencegahan bencana skala provinsi.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan mitigasi/pencegahan bencana skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Penanganan Bencana c. Penanganan Pasca Bencana d. Kelembagaan e. Penanganan Kebakaran 1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan penanganan bencana.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan pasca bencana.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi kelembagaan penanganan bencana.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan kebakaran.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan bencana skala provinsi.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan pasca bencana skala provinsi.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi kelembagaan penanganan bencana skala provinsi.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan kebakaran skala provinsi.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan bencana skala kabupaten/kota.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan pasca bencana skala kabupaten/kota.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi kelembagaan penanganan bencana skala kabupaten/ kota.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan kebakaran skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Organisasi dan Kelembagaan Pengelolaan Keuangan Daerah 1. Penetapan dan fasilitasi pelaksanaan kebijakan organisasi, kelembagaan dan pembinaan sumber daya aparatur pengelola keuangan daerah.
Pelaksanaan penataan organisasi, kelembagaan dan peningkatan kapasitas sumber daya aparatur pengelola keuangan daerah provinsi dan kabupaten/ kota.
Pelaksanaan penataan organisasi, kelembagaan dan peningkatan kapasitas sumber daya aparatur pengelola keuangan daerah kabupaten/kota.
Administrasi Keuangan Daerah 2. Anggaran Daerah 1. Penetapan pedoman rancangan peraturan daerah (Raperda) tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah.
Penetapan kebijakan standar satuan harga dan analisis standar belanja daerah.
Penetapan pedoman perencanaan anggaran penanganan urusan pemerintahan provinsi dan kabupaten/ kota.
Penetapan peraturan daerah (Perda) tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah.
Penetapan standar satuan harga dan analisis standar belanja daerah provinsi.
Perencanaan anggaran penanganan urusan pemerintahan provinsi.
Penetapan Perda tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah.
Penetapan standar satuan harga dan analisis standar belanja daerah kabupaten/kota.
Perencanaan anggaran penanganan urusan pemerintahan kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Penetapan pedoman penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan perubahan APBD.
Penetapan pedoman evaluasi APBD dan perubahan APBD provinsi.
Evaluasi Raperda tentang APBD, dan perubahan APBD provinsi.
Penetapan kebijakan keseimbangan fiskal antar provinsi.
Penetapan Perda tentang APBD dan perubahan APBD.
Penetapan pedoman evaluasi APBD dan perubahan APBD kabupaten/kota, sesuai dengan pedoman evaluasi yang ditetapkan pemerintah.
Evaluasi Raperda tentang APBD, dan perubahan APBD kabupaten/ kota.
Penetapan kebijakan keseimbangan fiskal antar kabupaten/kota.
Penetapan Perda tentang APBD dan perubahan APBD.
Penetapan pedoman evaluasi Anggaran Pendapatan dan Belanja (APB) Desa, sesuai dengan pedoman evaluasi yang ditetapkan pemerintah.
Evaluasi Rancangan Peraturan Desa (Raperdes) tentang APB Desa.
Penetapan kebijakan keseimbangan fiskal antar desa. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Penetapan kebijakan pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama (urusan concurrent ) antara pemerintah dan provinsi.
Penetapan kebijakan pendanaan kerjasama pemerintahan daerah antar provinsi.
Fasilitasi perencanaan dan penganggaran daerah.
Penetapan kebijakan pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama (urusan concurrent ) antara provinsi dan kabupaten/ kota.
Penetapan kebijakan pendanaan kerjasama pemerintahan daerah antar kabupaten/kota.
Fasilitasi perencanaan dan penganggaran daerah kabupaten/kota.
Penetapan kebijakan pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama (urusan concurrent ) antara kabupaten/kota dan desa.
Penetapan kebijakan pendanaan kerjasama pemerintahan antar desa.
Fasilitasi perencanaan dan penganggaran pemerintahan desa. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pendapatan dan Investasi Daerah :
Pajak dan Retribusi Daerah 1.a.Penetapan kebijakan umum dan khusus tentang norma, standar, prosedur dan kriteria pengelolaan pajak daerah, retribusi daerah dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) lainnya.
— c.Fasilitasi, supervisi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan umum dan khusus pajak dan retribusi daerah, serta PAD lainnya.
a.Penetapan kebijakan pengelolaan pajak dan retribusi daerah provinsi.
Pelaksanaan pengelolaan pajak dan retribusi daerah provinsi.
Fasilitasi, supervisi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan pajak dan retribusi daerah serta PAD lainnya kabupaten/kota.
a.Penetapan kebijakan pengelolaan pajak dan retribusi daerah kabupaten/kota.
Pelaksanaan pengelolaan pajak dan retribusi daerah kabupaten/ kota.
Fasilitasi, supervisi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan retribusi desa. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Investasi dan Aset Daerah 2. Pembinaan dan pengawasan pajak dan retribusi daerah.
Evaluasi Raperda pajak, retribusi daerah provinsi, dan Perda pajak dan retribusi daerah, dan pungutan lainnya provinsi dan kabupaten/kota.
Penetapan kebijakan umum dan khusus tentang norma, standar, prosedur dan kriteria pengelolaan investasi dan aset daerah.
Fasilitasi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan umum dan khusus tentang pengelolaan investasi dan aset daerah.
Pembinaan dan pengawasan pajak dan retribusi daerah skala provinsi.
Evaluasi Raperda pajak, retribusi daerah dan pungutan lainnya kabupaten/kota.
Penetapan kebijakan pengelolaan investasi dan aset daerah provinsi.
Pelaksanaan pengelolaan investasi dan aset daerah provinsi.
Pembinaan dan pengawasan pajak dan retribusi daerah skala kabupaten/kota.
Evaluasi Raperdes tentang retribusi dan pungutan lainnya.
Penetapan kebijakan pengelolaan investasi dan aset daerah kabupaten/kota.
Pelaksanaan pengelolaan investasi dan aset daerah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan Lembaga Keuangan Mikro 3. Pembinaan dan pengawasan pengelolaan investasi dan aset daerah provinsi.
Fasilitasi pengelolaan aset daerah pemekaran skala nasional.
Penetapan kebijakan umum dan khusus tentang norma, standar, prosedur dan kriteria pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro.
Fasilitasi, monitoring dan evaluasi, pelaksanaan kebijakan umum dan khusus pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro.
Pembinaan dan pengawasan pengelolaan investasi dan aset daerah kabupaten/ kota.
Fasilitasi pengelolaan aset daerah pemekaran skala provinsi.
Penetapan kebijakan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro provinsi.
Pelaksanaan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro provinsi.
Pengawasan pengelolaan investasi dan aset daerah kabupaten/kota.
Fasilitasi pengelolaan aset daerah pemekaran skala kabupaten/kota.
Penetapan kebijakan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro kabupaten/kota.
Pelaksanaan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro kabupaten/ kota, serta pembinaan dan pengawasan Badan Usaha Milik Desa. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d. Pinjaman Daerah 3. Pembinaan dan pengawasan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro provinsi.
Penetapan kebijakan umum tentang norma, standar, prosedur dan kriteria pengelolaan pinjaman dan obligasi daerah, serta Badan Layanan Umum (BLU) daerah.
Fasilitasi, monitoring, evaluasi dan pelaksanaan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU daerah.
Pembinaan dan pengawasan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU provinsi.
Pembinaan dan pengawasan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro kabupaten/kota.
Penetapan kebijakan pengelolaan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU provinsi.
Pelaksanaan pengelolaan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU provinsi.
Pembinaan dan pengawasan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU kabupaten/kota.
Pengawasan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro kabupaten/kota, serta pembinaan dan pengawasan Badan Usaha Milik Desa.
Penetapan kebijakan pengelolaan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU kabupaten/kota.
Pelaksanaan pengelolaan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU kabupaten/kota.
Pengawasan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Dana Perimbangan :
Dana Alokasi Umum (DAU) b. Dana Alokasi Khusus (DAK) 1. Penetapan formula penghitungan alokasi DAU provinsi/kabupaten/kota.
Penetapan pedoman umum pengelolaan DAU.
Monitoring dan evaluasi pengelolaan DAU.
Penetapan kebijakan DAK dan kriteria penghitungannya.
Penghitungan dan penetapan alokasi DAK.
Pengelolaan data dasar penghitungan alokasi DAU provinsi dan koordinasi data dasar penghitungan alokasi DAU kabupaten/kota.
Pengelolaan DAU provinsi.
Pelaporan pengelolaan DAU provinsi, dan monitoring serta evaluasi penggunaan DAU kabupaten/kota.
Usulan program dan kegiatan provinsi untuk didanai dari DAK serta koordinasi usulan DAK kabupaten/kota.
— 1. Pengelolaan data dasar penghitungan alokasi DAU kabupaten/kota.
Pengelolaan DAU kabupaten/ kota.
Pelaporan pengelolaan DAU kabupaten/kota.
Usulan program dan kegiatan kabupaten/kota untuk didanai dari DAK.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Dana Bagi Hasil (DBH) 3. Penetapan petunjuk teknis (juknis) pengelolaan DAK.
Monitoring dan evaluasi pengelolaan DAK provinsi dan kabupaten/kota.
Pengendalian dan pengkajian pengelolaan DAK provinsi dan kabupaten/kota 1. Penetapan kebijakan DBH.
Penetapan daerah penghasil Sumber Daya Alam (SDA).
Penghitungan dan penetapan alokasi DBH bagi provinsi dan kabupaten/kota.
Pengelolaan DAK (bagi provinsi yang menerima DAK).
Monitoring dan evaluasi pengelolaan DAK kabupaten/kota.
Pengendalian dan pelaporan pengelolaan DAK.
Penyiapan data realisasi penerima DBH provinsi.
Fasilitasi kabupaten/kota terhadap konflik penentuan daerah penghasil SDA.
Penetapan alokasi DBH di kabupaten/kota.
Pengelolaan DAK (bagi kabupaten/kota yang menerima DAK).
— 5. Pengendalian dan pelaporan pengelolaan DAK.
Penyiapan data realisasi penerima DBH kabupaten/kota.
— 3. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Evaluasi laporan pengelolaan DBH. 4. Pengendalian dan pelaporan pengelolaan DBH. 4. Pengendalian dan pelaporan pengelolaan DBH.
Pelaksanaan, Penatausahaan, Akuntansi dan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD 1. Penetapan kebijakan norma, standar prosedur dan kriteria pelaksanaan, penatausahaan, akuntansi pengelolaan keuangan daerah dan desa.
Penetapan pedoman penyusunan laporan keuangan daerah/desa dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD provinsi, kabupaten/kota dan APB desa.
Penetapan pedoman evaluasi laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD provinsi, kabupaten/kota dan APB desa.
Penetapan kebijakan tentang sistem dan prosedur akuntansi pengelolaan keuangan daerah provinsi.
Penyusunan laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD provinsi.
— 1. Penetapan kebijakan tentang sistem dan prosedur akuntansi pengelolaan keuangan daerah kabupaten/kota dan desa.
Penyusunan laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kabupaten/kota dan APB desa.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Evaluasi pertanggungjawaban pelaksanaan APBD provinsi.
Penetapan kebijakan laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama (urusan concurrent ).
Fasilitasi penyusunan laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD dan APB desa.
Evaluasi pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kabupaten/ kota.
Penetapan kebijakan laporan keuangan dan pertanggung-jawaban pelaksanaan pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama (urusan concurrent ).
Fasilitasi penyusunan laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kabupaten/kota.
Evaluasi laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APB desa.
Penetapan kebijakan laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama (urusan concurrent ).
Fasilitasi penyusunan laporan keuangan dan pelaksanaan APB desa. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Perangkat Daerah 1. Kebijakan 1. Penetapan pedoman umum tentang perangkat daerah.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pembentukan perangkat daerah.
Penetapan pedoman teknis perangkat daerah.
Penetapan pedoman tatalaksana perangkat daerah.
Penetapan pedoman analisis jabatan perangkat daerah.
Pelaksanaan pedoman umum tentang perangkat daerah provinsi.
Pelaksanaan kebijakan pembentukan perangkat daerah skala provinsi.
Pelaksanaan pedoman teknis perangkat daerah provinsi.
Pelaksanaan pedoman tatalaksana perangkat daerah provinsi.
Pelaksanaan pedoman analisis jabatan perangkat daerah provinsi.
Pelaksanaan pedoman umum tentang perangkat daerah kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan pembentukan perangkat daerah skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan pedoman teknis perangkat daerah kabupaten/kota.
Pelaksanaan pedoman tatalaksana perangkat daerah kabupaten/kota.
Pelaksanaan pedoman analisis jabatan perangkat daerah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pengembangan Kapasitas 1. Penetapan kebijakan tentang pengembangan kapasitas kelembagaan perangkat daerah.
Koordinasi pelaksanaan pengembangan kapasitas perangkat daerah.
Pelaksanaan pengembangan kapasitas kelembagaan perangkat daerah provinsi.
Koordinasi pelaksanaan pengembangan kapasitas perangkat daerah kabupaten/kota.
Pelaksanaan pengembangan kapasitas kelembagaan perangkat daerah kabupaten/kota.
Pelaksanaan pengembangan kapasitas perangkat daerah.
Fasilitasi 1. Penetapan kebijakan fasilitasi penataan kelembagaan perangkat daerah, yang meliputi pemberian bimbingan, supervisi, pelatihan, dan kerjasama.
Fasilitasi penataan kelembagaan perangkat daerah kabupaten/kota.
— 4. Pembinaan dan Pengendalian 1. Penetapan kebijakan pembinaan dan pengendalian organisasi perangkat daerah.
Pelaksanaan pembinaan dan pengendalian organisasi perangkat daerah provinsi.
Pelaksanaan pembinaan dan pengendalian organisasi perangkat daerah kabupaten/kota.
— 1. Penerapan dan pengendalian organisasi perangkat daerah.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pembatalan peraturan daerah tentang perangkat daerah. 3. — 3. — 5. Monitoring dan Evaluasi 1. Penetapan kebijakan monitoring dan evaluasi perangkat daerah.
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi perangkat daerah provinsi.
Penetapan databas e perangkat daerah skala nasional.
— 2. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi perangkat daerah kabupaten/kota.
Koordinasi penyusunan database perangkat daerah skala provinsi.
— 2. Penyediaan bahan monitoring dan evaluasi perangkat daerah.
Penyediaan bahan database perangkat daerah skala kabupaten/kota.
Kepegawaian 1. Formasi Pegawai Negeri Sipil (PNS) 1. Penetapan kebijakan formasi PNS secara nasional setiap tahun anggaran.
Penetapan persetujuan formasi Pegawai Negeri Sipil Pusat (PNSP) di lingkungan Departemen/LPND setiap tahun anggaran.
Penyusunan formasi Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD) di provinsi setiap tahun anggaran.
Penetapan formasi PNSD di provinsi setiap tahun anggaran.
Penyusunan formasi PNSD di kabupaten/kota setiap tahun anggaran.
Penetapan formasi PNSD di kabupaten/kota setiap tahun anggaran. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan formasi PNSP/Departemen/LPND/ Kesekretaritan lembaga dan Daerah setiap tahun anggaran.
Koordinasi usulan penetapan formasi PNSD di kabupaten/kota setiap tahun anggaran.
Usulan formasi PNSD di kabupaten/kota setiap tahun anggaran.
Pengadaan Pegawai Negeri Sipil (PNS) 1. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria pengadaan PNS.
Pelaksanaan pengadaan PNSP di lingkungan Departemen/LPND.
Koordinasi pelaksanaan pengadaan PNS secara nasional.
Pelaksanaan pengadaan PNSD Provinsi 2. Usulan penetapan Nomor Induk Pegawai (NIP) 3. Koordinasi pelaksanaan pengadaan PNSD kabupaten/kota.
Pelaksanaan pengadaan PNSD kabupaten/kota 2. Usulan penetapan NIP 3. Ɇ 3. Pengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) 1. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria pengangkatan CPNS.
Pelaksanaan pengangkatan CPNSP di lingkungan Departemen/LPND/ Kesekretaritan lembaga.
Pelaksanaan pengangkatan CPNSP di lingkungan provinsi.
Penempatan Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah (CPNSD) provinsi.
Penetapan kebijakan pengangkatan CPNSD di lingkungan kabupaten/kota.
Pelaksanaan pengangkatan CPNSP di lingkungan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Ɇ 3. Pelaksanaan orientasi tugas dan pra jabatan, sepanjang telah memiliki lembaga diklat yang telah terakreditasi.
Pelaksanaan orientasi tugas dan pra jabatan, sepanjang telah memiliki lembaga diklat yang telah terakreditasi.
Pengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pengangkatan CPNS menjadi PNS.
Penetapan CPNSP menjadi PNSP Departemen/LPND/ Kesekretaritan lembaga.
– 4. Penetapan menjadi PNSP dan PNSD bagi CPNSP dan CPNSD yang tewas atau cacat karena dinas 1. Ɇ 2. Penetapan CPNSD menjadi PNSD di lingkungan provinsi.
Koordinasi pelaksanaan pengangkatan CPNSD menjadi PNSD kabupaten/kota.
Ɇ 1. Ɇ 2. Penetapan CPNSD menjadi PNSD di lingkungan kabupaten/kota.
Ɇ 4. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) 1. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria diklat jabatan PNS.
Penetapan sertifikasi lembaga diklat pemerintah.
Koordinasi dan pelaksanaan diklat di lingkungan Departemen/LPND/ Kesekretaritan lembaga dan daerah.
Penetapan kebutuhan diklat PNSD provinsi.
Usulan penetapan sertifikasi lembaga diklat provinsi.
Koordinasi dan pelaksanaan diklat skala provinsi.
Penetapan kebutuhan diklat PNSD kabupaten/kota.
Usulan penetapan sertifikasi lembaga diklat kabupaten/ kota.
Pelaksanaan diklat skala kabupaten/kota.
Kenaikan Pangkat 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria kenaikan pangkat.
a.Penetapan kenaikan pangkat PNSP dan PNSD menjadi gol/ruang I/b s/d IV/b.
Ɇ 2.a.Penetapan kenaikan pangkat PNSD provinsi menjadi gol/ruang I/b s/d IV/b.
Ɇ 2.a.Penetapan kenaikan pangkat PNSD kabupaten/kota menjadi golongan ruang I/b s/d III/d. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Penetapan kenaikan pangkat PNSP dan PNSD menjadi golongan/ruang IV/c, IV/d, dan IV/e.
Koordinasi pelaksanaan kenaikan pangkat di lingkungan Departemen/LPND/ Kesekretaritan lembaga dan daerah.
Penetapan kenaikan pangkat anumerta dan pengabdian.
Penetapan kenaikan pangkat PNSD kabupaten/kota menjadi gol/ruang IV/a dan IV/b.
Koordinasi pelaksanaan kenaikan pangkat di lingkungan kabupaten/kota.
Usulan penetapan kenaikan pangkat PNSD provinsi/kab/kota menjadi golongan ruang IV/c, IV/d, dan IV/e dan kenaikan pangkat anumerta dan pengabdian.
Ɇ 3. Ɇ 4. Usulan penetapan kenaikan pangkat anumerta dan pengabdian.
Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian dalam dan dari Jabatan 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dalam dan dari jabatan.
Penetapan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian PNS provinsi dalam dan dari jabatan struktural eselon II kebawah atau jabatan 1. Penetapan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian PNS kabupaten/kota dalam dan dari jabatan struktural eselon II atau jabatan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Penetapan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dalam dan dari jabatan struktural eselon I PNSP dan PNSD dan jabatan fungsional jenjang utama.
Konsultasi/koordinasi pengangkatan sekda kabupaten/kota 4. Penetapan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dalam dan dari jabatan struktural eselon II ke bawah atau jabatan fungsional jenjang setingkat, PNSP fungsional yang jenjangnya setingkat.
a. Penetapan pengangkatan sekretaris daerah kabupaten/kota.
Usulan pengangkatan dan pemberhentian sekda provinsi 3. Usulan konsultasi pengangkatan dan pemberhentian sekda Kabupaten/kota 4. Koordinasi pengangkatan, pemindahan dalam dan dari jabatan struktural eselon II di lingkungan kabupaten/kota. fungsional yang jenjangnya setingkat, kecuali pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian sekda kabupaten/kota.
usulan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian sekda kabupaten/kota.
Usulan konsultasi pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian eselon II PNS kabupaten/kota 4. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA Departemen/LPND/ Kesekretariatan lembaga.
Perpindahan Pegawai Negeri Sipil (PNS) Antar Instansi 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria perpindahan PNS antar instansi.
Penetapan perpindahan PNS antar kabupaten/kota dan antar provinsi.
Penetapan perpindahan PNS provinsi/kabupaten/kota ke Departemen/LPND atau sebaliknya.
Penetapan perpindahan PNSP antar Departemen ke LPND/kesekretariatan lembaga atau sebaliknya.
Penetapan perpindahan PNSD antar kab/kota dalam satu provinsi.
Penetapan perpindahan PNSD dari kabupaten/kota ke provinsi atau sebaliknya dalam satu provinsi.
Penetapan perpindahan PNSD dilingkungan provinsi 4. Ɇ 1. Penetapan perpindahan PNSD kabupaten/kota.
Ɇ 3. Ɇ 4. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Pemberhentian Sementara dari Jabatan Negeri 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pemberhentian sementara dari jabatan negeri.
Penetapan pemberhentian sementara dari jabatan negeri bagi PNS yang menduduki jabatan struktural eselon I, jabatan fungsional jenjang utama, kecuali sekda provinsi.
Penetapan pemberhentian sementara bagi PNSP di lingkungannya yang menduduki jabatan struktural eselon II ke bawah atau jabatan fungsional setingkat.
Penetapan pemberhentian sementara dari jabatan negeri bagi PNSD provinsi yang menduduki jabatan struktural eselon I kebawah dan jabatan struktural eselon II ke bawah dan jabatan fungsional yang setingkat.
Ɇ 3. Ɇ 1. Penetapan pemberhentian sementara dari jabatan negeri bagi semua PNSD di kabupaten/kota.
Ɇ 3. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 10.Pemberhentian Sementara Pegawai Negeri Sipil (PNS) Akibat Tindak Pidana 1. Pemberhentian sementara PNS untuk golongan IV/c ke atas. 1. Pemberhentian sementara PNSD untuk golongan IV/c ke bawah.
Pemberhentian sementara PNSD untuk golongan III/d ke bawah.
Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pemberhentian PNS atau CPNS.
Penetapan pemberhetian PNS dan PNSD golongan ruang IV/c, IV/d dan IV/e.
Penetapan pemberhentian PNS yang tewas, cacat karena dinas atau mencapai batas usia pensiun gol/ruang IV/c, IV/d dan IV/e.
Penetapan pemberhentian PNSD provinsi gol/ruang IV/b ke bawah dan pemberhentian sebagai calon PNSD provinsi.
Penetapan pemberhentian PNSD kabupaten/kota Gol/ruang IV/a s/d IV/b dan pemberhentian dengan hormat sebagai calon PNSD provinsi yang tidak memenuhi syarat diangkat menjadi PNS.
Ɇ 1. Penetapan pemberhentian PNSD kabupaten/kota gol/ruang III/d ke bawah dan pemberhentian sebagai CPNSD kabupaten/kota.
Ɇ 3. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Penetapan pemberhentian PNSP gol/ruang IV/b ke bawah. pensiun.
Ɇ 4. Ɇ 12.Pemutakhiran Data Pegawai Negeri Sipil (PNS) 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pemutakhiran data PNS.
Penyelenggaraan dan pemiliharaan informasi kepegawaian.
Koordinasi pelaksanaan pemutakhiran data PNS secara nasional.
Pelaksanaan pemutakhiran data PNS di provinsi.
– 3. Koordinasi pelaksanaan pemutakhiran data PNS di kabupaten/kota.
Pelaksanaan pemutakhiran data PNSD di kabupaten/ kota.
Ɇ 3. Ɇ 13.Pengawasan dan Pengendalian 1. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria pengawasan dan pengendalian kepegawaian.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian skala provinsi.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.
Melakukan tindakan administratif atas pelanggaran pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.
Koordinasi dalam pelaksanaan tindakan administratif atas pelanggaran pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian di lingkungan kabupaten/ kota.
Ɇ 4. Ɇ 5. Ɇ 2. Ɇ 3. Ɇ 4. Ɇ 5. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Penetapan sangsi terhadap pelanggaran administrasi kepegawaian di daerah.
Ɇ 6. Ɇ 14.Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Manajemen Pegawai Negeri Sipil (PNS) 1. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan manajemen PNS.
Penyelenggaraan manajemen PNS meliputi perencaan, pengembangan kualitas sumber daya PNS, administrasi kepegawaian, pengawasan dan pengendalian.
Melakukan perumusan kesejahteraan PNS.
Koordinasi pembinaan dan pengawasan manajemen PNSP dan PNSD skala nasional.
Menyelenggarakan pembinaan dan pengawasan manajemen PNS dilingkungan provinsi.
Koordinasi pembinaan dan pengawasan manajemen PNSD skala provinsi.
Ɇ 4. Ɇ 1. Menyelenggarakan pembinaan dan pengawasan manajemen PNS dilingkungan kabupaten/ kota.
Ɇ 3. Ɇ 4. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Kebijakan 1. Penetapan kebijakan dan pembinaan SDM persandian nasional.
Penetapan kebijakan dan pembinaan peralatan sandi (palsan) nasional.
Penetapan kebijakan dan pembinaan sistem sandi (sissan) nasional.
Penetapan kebijakan dan pembinaan kelembagaan persandian nasional.
Penyelenggaraan pembinaan SDM persandian skala provinsi.
Penyelenggaraan pembinaan palsan skala provinsi.
Penyelenggaraan pembinaan sissan skala provinsi.
Penyelenggaraan pembinaan kelembagaan persandian skala provinsi.
Penyelenggaraan persandian skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan palsan skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan sissan skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan kelembagaan persandian skala kabupaten/kota.
Persandian 2. Pembinaan SDM 1. Perencanaan kebutuhan SDM persandian nasional.
Rekrutmen SDM persandian nasional.
Perencanaan kebutuhan SDM persandian skala provinsi.
Rekrutmen calon SDM persandian skala provinsi.
Perencanaan kebutuhan SDM persandian skala kabupaten/kota.
Rekrutmen calon SDM persandian skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penyelenggaraan diklat sandi skala nasional.
Pemberian akreditasi lembaga diklat sandi:
Pemberian izin penyelenggaraan lembaga diklat sandi.
Persetujuan program diklat sandi.
Persetujuan SDM lermbaga diklat sandi.
Fasilitasi/persetujuan tenaga pengajar dan widyaiswara sandi.
Pemberian/pencabutan sertifikasi profesi/tenaga ahli:
Penentuan standar jabatan persandian.
Penyelenggaraan diklat sandi skala provinsi.
Usulan akreditasi lembaga diklat sandi:
Usulan izin penyelenggaraan lembaga diklat sandi.
Usulan program diklat sandi.
Usulan SDM lembaga diklat sandi.
Usulan persetujuan tenaga pengajar dan widyaiswara sandi.
Usulan sertifikasi profesi/tenaga ahli:
— 3. — 4. — a. — b. — c. — d. — 5. — a. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Penentuan dan penilaian jabatan fungsional (jabfung) sandiman/ Operator Transmisi Sandi (OTS).
Pemberian tanda penghargaan bidang persandian.
Pembinaan dan pengawasan bagi SDM purna tugas.
Pembentukan Tim Penilai Instansi untuk melakukan penilaian terhadap pejabat fungsional sandiman/OTS skala provinsi.
Usulan pemberian tanda penghargaan bidang persandian.
Pembinaan dan pengawasan bagi SDM purna tugas.
Ɇ 6. Usulan pemberian tanda penghargaan bidang persandian.
— 3. Pembinaan Palsan 1. Penentuan standarisasi dan perencanaan kebutuhan palsan skala nasional.
Pengkajian dan uji coba laboratorium dan lapangan.
Perencanaan kebutuhan palsan skala provinsi.
— 1. Perencanaan kebutuhan palsan skala kabupaten/kota.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penyelenggaraan pengadaan palsan melalui karya mandiri dan mitra skala nasional.
Pemeliharaan palsan tingkat II s/d tingkat III.
Penentuan penghapusan palsan skala nasional.
Penyelenggaraan pengadaan palsan melalui karya mandiri dan mitra skala provinsi.
Pemeliharaan palsan tingkat I.
Penghapusan palsan skala provinsi.
Penyelenggaraan pengadaan palsan melalui karya mandiri dan mitra skala kabupaten/kota.
Pemeliharaan palsan tingkat O.
Penghapusan palsan skala kabupaten/kota.
Pembinaan Sissan 1. Penentuan standarisasi dan perencanaan kebutuhan sissan skala nasional.
Penentuan prototype dan uji coba sissan.
Pengadaan sissan untuk jaring persandian nasional.
Penentuan prosedur tetap (protap) penyimpanan sissan skala nasional.
Perencanaan kebutuhan sissan skala provinsi.
— 3. Pengadaan sissan untuk jaring persandian skala provinsi.
Penyelenggaraan protap penyimpanan sissan skala provinsi.
Perencanaan kebutuhan sissan skala kabupaten/kota.
Ɇ 3.Pengadaan sissan untuk jaring persandian skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan protap penyimpanan sissan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Penentuan pemberlakuan/penggantian Sissan jaring persandian skala nasional.
Penentuan penghapusan palsan tingkat pusat.
Penentuan pemberlakuan/penggantian sissan jaring persandian skala provinsi.
Penyiapan palsan tingkat provinsi dan kabupaten/ kota untuk penghapusan.
Penentuan pemberlakuan/penggantian sissan jaring persandian skala kabupaten/kota.
— 5. Pembinaan Kelembagaan 1. Penetapan kebijakan kelembagaan dan pola hubungan komunikasi persandian antara instansi pemerintah.
Penetapan kebijakan pola hubungan komunikasi persandian pemerintah dengan daerah.
Penetapan kebijakan Jaring Komunikasi Sandi (JKS).
— 2. Penyelenggaraan hubungan komunikasi persandian antara pemerintah provinsi dengan pemerintah dan/atau kabupaten/kota.
— 1. — 2. Penyelenggaraan hubungan komunikasi persandian antara pemerintah provinsi dengan pemerintah dan/atau kabupaten/kota.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pengawasan dan Pengendalian (Wasdal) 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria wasdal persandian instansi pemerintah dan daerah.
Pengawasan dan pengendalian operasional persandian nasional dan provinsi.
— 2. Pengawasan operasional persandian bidang tertentu kabupaten/kota di wilayahnya.
— 2. — 7. Pengkajian 1. Pengkajian SDM persandian nasional meliputi palsan, sissan, dan kelembagaan persandian nasional.
— 1. — U. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN DESA SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Pemerintahan Desa dan Kelurahan 1. Kebijakan 1. Penetapan kebijakan nasional.
Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria penyelenggaraan pemerintahan desa dan kelurahan skala nasional.
Penetapan kebijakan daerah skala provinsi.
Penyelenggaraan pemerintahan desa dan kelurahan skala provinsi.
Penetapan kebijakan daerah skala kabupaten/ kota.
Penyelenggaraan pemerintahan desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.
Administrasi Pemerintahan Desa dan Kelurahan 1. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala nasional.
Pembinaan, pengawasan dan supervisi penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala provinsi.
Pembinaan, pengawasan dan supervisi penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Monitoring dan evaluasi penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala nasional.
Data base penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala nasional.
Monitoring dan evaluasi serta pelaporan penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala provinsi.
Data base penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala provinsi.
Monitoring dan evaluasi serta pelaporan penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.
Data base penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.
Pengembangan Desa dan Kelurahan 1. Penetapan pedoman pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan serta batas desa dan kelurahan skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala nasional.
Fasilitasi pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan, batas desa dan kelurahan skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala provinsi.
Penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan, batas desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pembinaan, pengawasan dan supervisi penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala nasional.
Monitoring dan evaluasi penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala nasional.
Pembinaan, pengawasan dan supervisi penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala provinsi.
Monitoring dan evaluasi serta penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala provinsi.
Pembinaan, pengawasan dan supervisi penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.
Monitoring dan evaluasi serta pelaporan penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) 1.a.Penetapan pedoman peran BPD dan kelurahan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.
a.Penetapan pedoman peran BPD dan kelurahan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa skala provinsi.
a.Penetapan pedoman peran BPD dan kelurahan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b.— 2. Pembinaan, pengawasan, supervisi dan fasilitasi BPD skala nasional.
Monitoring dan evaluasi peran BPD skala nasional.
— 2. Pembinaan, pengawasan, supervisi dan fasilitasi BPD skala provinsi.
Monitoring dan evaluasi serta pelaporan peran BPD skala provinsi.
Penyelenggaraan bimbingan, konsultasi, pelatihan dan pendidikan bagi anggota BPD.
Pembinaan, pengawasan, supervisi dan fasilitasi BPD skala kabupaten/ kota.
Monitoring dan evaluasi serta pelaporan peran BPD skala kabupaten/kota.
Keuangan dan Aset Desa 1. Penetapan pedoman pengelolaan keuangan dan aset desa.
Koordinasi dan fasilitasi pengelolaan keuangan dan aset desa skala nasional.
Penetapan pedoman pengelolaan keuangan dan aset desa skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pengelolaan keuangan dan aset desa skala provinsi.
Penetapan pedoman pengelolaan keuangan dan aset desa skala kabupaten/kota.
Koordinasi dan fasilitasi pengelolaan keuangan dan aset desa skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pembinaan, pengawasan dan supervisi pengelolaan keuangan dan aset desa skala nasional.
Monitoring dan evaluasi pengelolaan keuangan dan aset desa skala nasional.
Pembinaan, pengawasan dan supervisi pengelolaan keuangan dan aset desa skala provinsi.
Monitoring dan evaluasi serta pelaporan pengelolaan keuangan dan aset desa skala provinsi.
Pembinaan, pengawasan dan supervisi pengelolaan keuangan dan aset desa skala kabupaten/kota.
Monitoring dan evaluasi serta pelaporan pengelolaan keuangan dan aset desa skala kabupaten/kota.
Pengembangan Kapasitas Pemerintah Desa dan Kelurahan 1.a.Penetapan pedoman pengembangan kapasitas pemerintah desa dan kelurahan skala nasional.
— 1.a.Penetapan pedoman pengembangan kapasitas pemerintah desa dan kelurahan skala provinsi.
— 1.a.Penetapan pedoman pengembangan kapasitas pemerintah desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan bimbingan, konsultasi, pelatihan dan pendidikan bagi pemerintah desa dan kelurahan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan kapasitas pemerintah desa dan kelurahan skala nasional.
Monitoring dan evaluasi pengembangan kapasitas pemerintah desa dan kelurahan skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pengembangan kapasitas pemerintahan desa dan kelurahan skala provinsi.
Monitoring dan evaluasi serta pelaporan pengembangan kapasitas pemerintah desa dan kelurahan skala provinsi.
Pembinaan, pengawasan, supervisi dan fasilitasi pengembangan kapasitas pemerintah desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.
Monitoring dan evaluasi serta pelaporan pengembangan kapasitas pemerintah desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.
Penguatan Kelembagaan dan Pengembangan Partisipasi Masyarakat 1. Kebijakan 1. Penetapan kebijakan skala nasional.
Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang penguatan kelembagaan dan pengembangan partisipasi masyarakat skala nasional.
Penetapan kebijakan daerah skala provinsi.
Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang penguatan kelembagaan dan pengembangan partisipasi masyarakat skala provinsi.
Penetapan kebijakan daerah skala kabupaten/ kota.
Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang penguatan kelembagaan dan pengembangan partisipasi masyarakat skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pemantapan Data Profil Desa dan Profil Kelurahan 1. Koordinasi dan fasilitasi pemantapan data profil desa dan profil kelurahan skala nasional.
Pembinaan dan supervisi pemantapan data profil desa dan profil kelurahan skala nasional.
Monitoring dan evaluasi penyelenggaraan pemantapan data profil desa dan profil kelurahan skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pengolahan data profil desa dan profil kelurahan skala provinsi.
Pembinaan dan supervisi pengolahan data profil desa dan profil kelurahan skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pengolahan data profil desa dan profil kelurahan skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pengolahan data profil desa dan profil kelurahan skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan pegolahan data profil desa dan profil kelurahan skala kabupaten/kota.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pengolahan data profil desa dan profil kelurahan skala kabupaten/kota.
Penguatan Kelembagaan Masyarakat 1. Koordinasi dan fasilitasi penguatan kelembagaan masyarakat skala nasional.
Pembinaan dan supervisi penguatan kelembagaan masyarakat skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi penguatan kelembagaan masyarakat skala provinsi.
Pembinaan dan supervisi penguatan kelembagaan masyarakat skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi penguatan kelembagaan masyarakat skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan penguatan kelembagaan masyarakat skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Monitoring dan evaluasi penguatan kelembagaan masyarakat skala nasional.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan penguatan kelembagaan masyarakat skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan penguatan kelembagaan masyarakat skala kabupaten/kota.
Pelatihan Masyarakat 1. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pelatihan masyarakat skala nasional.
Pembinaan dan supervisi penyelenggaraan pelatihan masyarakat skala nasional.
Monitoring dan evaluasi penyelenggaraan pelatihan masyarakat skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pelatihan masyarakat skala provinsi.
Pembinaan dan supervisi penyelenggaraan pelatihan masyarakat skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pelatihan masyarakat skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan pelatihan masyarakat skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan pelatihan masyarakat skala kabupaten/kota.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pelatihan masyarakat skala kabupaten/kota.
Pengembangan Manajemen Pembangunan Partisipatif 1. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pengembangan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pengembangan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pembinaan dan supervisi pemantapan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala nasional.
Monitoring dan evaluasi pemantapan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala nasional.
Pembinaan dan supervisi pemantapan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pemantapan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala provinsi.
Pelaksanaan pengembangan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala kabupaten/kota.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pemantapan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala kabupaten/kota.
Peningkatan Peran Masyarakat dalam Penataan dan Pendayagunaan Ruang Kawasan Perdesaan 1. Koordinasi dan fasilitasi peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala nasional.
Pembinaan dan supervisi peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala provinsi.
Pembinaan dan supervisi peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Monitoring dan evaluasi peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala nasional.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala kabupaten/kota.
Pemberdayaan Adat dan Pengembangan Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat 1. Kebijakan 1. Penetapan kebijakan nasional.
Penetapan pedoman, norma, standar, kriteria dan prosedur di bidang pemberdayaan adat dan pengembangan kehidupan sosial budaya masyarakat skala nasional.
Penetapan kebijakan daerah skala provinsi.
Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pemberdayaan adat dan pengembangan kehidupan sosial budaya masyarakat skala provinsi.
Penetapan kebijakan daerah skala kabupaten/ kota.
Penetapan pedoman, norma, standar, kriteria dan prosedur di bidang pemberdayaan adat dan pengembangan kehidupan sosial budaya masyarakat skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pemberdayaan Adat Istiadat dan Budaya Nusantara 1. Koordinasi dan fasilitasi pemberdayaan adat istiadat dan budaya nusantara skala nasional.
Pembinaan dan supervisi pemberdayaan adat istiadat dan budaya nusantara skala nasional.
Monitoring dan evaluasi pemberdayaan adat istiadat dan budaya nusantara skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pemberdayaan lembaga adat dan budaya skala provinsi.
Pembinaan dan supervisi pemberdayaan lembaga adat dan budaya skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pemberdayaan lembaga adat dan budaya skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pemberdayaan lembaga adat dan budaya skala kabupaten/kota.
Pembinaan dan supervisi pemberdayaan lembaga adat dan budaya skala kabupaten/kota.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pemberdayaan lembaga adat dan budaya skala kabupaten/kota.
Pemberdayaan Perempuan 1. Koordinasi dan fasilitasi pemberdayaan perempuan skala nasional.
Pembinaan dan supervisi pemberdayaan perempuan skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan pemberdayaan perempuan skala provinsi.
Pembinaan dan supervisi pelaksanaan pemberdayaan perempuan skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan pemberdayaan perempuan skala kabupaten/kota.
Pembinaan dan supervisi pelaksanaan pemberdayaan perempuan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Monitoring dan evaluasi pemberdayaan perempuan skala nasional.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pemberdayaan perempuan skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pemberdayaan perempuan skala kabupaten/kota.
Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) 1. Koordinasi dan fasilitasi PKK skala nasional.
Pembinaan dan supervisi PKK skala nasional.
Monitoring dan evaluasi PKK skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan PKK skala provinsi.
Pembinaan dan supervisi pelaksanaan PKK skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan PKK skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan gerakan PKK skala kabupaten/kota.
Pembinaan dan supervisi pelaksanaan gerakan PKK skala kabupaten/kota.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan gerakan PKK skala kabupaten/kota.
Peningkatan Kesejahteraan Sosial 1. Koordinasi dan fasilitasi peningkatan kesejahteraan sosial skala nasional.
Pembinaan dan supervisi peningkatan kesejahteraan sosial skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi peningkatan kesejahteraan sosial skala provinsi.
Pembinaan dan supervisi peningkatan kesejahteraan sosial skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan peningkatan kesejahteraan sosial skala kabupaten/kota.
Pembinaan dan supervisi pelaksanaan peningkatan kesejahteraan sosial skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Monitoring dan evaluasi peningkatan kesejahteraan sosial skala nasional.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan peningkatan kesejahteraan sosial skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan peningkatan kesejahteraan sosial skala kabupaten/ kota.
Pengembangan dan Perlindungan Tenaga Kerja 1. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan dan perlindungan tenaga kerja skala nasional.
Pembinaan dan supervisi pengembangan dan perlindungan tenaga kerja skala nasional.
Monitoring dan evaluasi pengembangan dan perlindungan tenaga kerja skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pengembangan dan perlindungan tenaga kerja skala provinsi.
Pembinaan dan supervisi pengembangan dan perlindungan tenaga kerja skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pengembangan dan perlindungan tenaga kerja skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan perlindungan tenaga kerja skala kabupaten/kota.
Pembinaan dan supervisi pelaksanaan perlindungan tenaga kerja skala kabupaten/kota.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan perlindungan tenaga kerja skala kabupaten/kota.
Pemberdayaan Usaha Ekonomi Masyarakat 1. Kebijakan 1. Penetapan kebijakan nasional. 1. Penetapan kebijakan daerah skala provinsi. 1. Penetapan kebijakan daerah skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Penetapan pedoman, norma, stándar, prosedur dan kriteria pemberdayaan usaha ekonomi masyarakat skala nasional.
Penyelenggaraan pemberdayaan usaha ekonomi masyarakat skala provinsi.
Penyelenggaraan pemberdayaan usaha ekonomi masyarakat skala kabupaten/kota.
Pemberdayaan Ekonomi Penduduk Miskin 1. Koordinasi dan fasilitasi pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala nasional.
Pembinaan dan supervisi pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala nasional.
Monitoring dan evaluasi pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala provinsi.
Pembinaan dan supervisi penyelenggaraan pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala kabupaten/kota.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pengembangan Usaha Ekonomi Keluarga dan Kelompok Masyarakat 1. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala nasional.
Pembinaan dan supervisi pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala nasional.
Monitoring dan evaluasi pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala provinsi.
Pembinaan dan supervisi pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala provinsi.
Monitoring evaluasi dan pelaporan pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala kabupaten/kota.
Monitoring evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala kabupaten/ kota.
Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro Perdesaan 1. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pembinaan dan supervisi pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala nasional.
Monitoring dan evaluasi pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala nasional.
Pembinaan dan supervisi penyelenggaraan pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala provinsi.
Penyelenggaraan pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala kabupaten/kota.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala kabupaten/kota.
Pengembangan Produksi dan Pemasaran Hasil Usaha Masyarakat 1. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala nasional.
Pembinaan dan supervisi pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala provinsi.
Pembinaan dan supervisi penyelenggaraan pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Monitoring dan evaluasi pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala nasional.
Monitoring evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala provinsi.
Monitoring evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala kabupaten/kota.
Pengembangan Pertanian Pangan dan Peningkatan Ketahanan Pangan Masyarakat 1. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala nasional.
Pembinaan dan supervisi pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala provinsi.
Pembinaan dan supervisi pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Monitoring dan evaluasi pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala nasional.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala kabupaten/kota.
Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Teknologi Tepat Guna 1. Kebijakan 1. Penetapan kebijakan nasional.
Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan teknologi tepat guna skala nasional.
Penetapan kebijakan daerah skala provinsi.
Penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan teknologi tepat guna skala provinsi.
Penetapan kebijakan daerah skala kabupaten/ kota.
Penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan teknologi tepat guna skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Fasilitasi Konservasi dan Rehabilitasi Lingkungan 1. Koordinasi dan fasilitasi konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala nasional.
Pembinaan, pengawasan dan supervisi konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala nasional.
Monitoring dan evaluasi penyelengaraan konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala provinsi.
Pembinaan, pengawasan dan supervisi konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelengaraan konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan fasilitasi konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala kabupaten/kota.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan fasilitasi konservasi dan rehabilitasi lingkungan lingkup skala kabupaten/ kota.
Fasilitasi Pemanfataan Lahan dan Pesisir Pedesaan 1. Koordinasi dan fasilitasi terhadap fasilitasi pemanfataan lahan dan pesisir pedesaan skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pemanfataan lahan dan pesisir pedesaan skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan pemanfaatan lahan dan pesisir pedesaan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pembinaan, pengawasan dan supervisi peraturan kebijakan nasional dalam fasilitasi pemanfataan lahan dan pesisir pedesaan skala nasional.
Monitoring dan evaluasi penyelengaraan fasilitasi pemanfataan lahan dan pesisir pedesaan skala nasional.
Pembinaan, pengawasan dan supervisi pelaksanaan pemanfaatan lahan dan pesisir pedesaan skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelengaraan pemanfaatan lahan dan peisisr di pedesaan skala provinsi.
Pelaksanaan pemanfaatan lahan dan pesisir perdesaan skala kabupaten/kota.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelengaraan pemanfaatan lahan dan pesisir pedesaan skala kabupaten/kota.
Fasilitasi Prasarana dan Sarana Pedesaan 1. Koordinasi dan fasilitasi prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pembinaan, pengawasan dan supervisi fasilitasi pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala nasional.
Monitoring dan evaluasi fasilitasi pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala nasional.
Pembinaan, pengawasan dan supervisi pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelengaraan pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala provinsi.
Pembinaan, pengawasan dan supervisi pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala kabupaten/kota.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelengaraan fasilitasi pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala kabupaten/kota.
Fasilitasi Pemetaan Kebutuhan dan Pengkajian Teknologi Tepat Guna 1. Koordinasi dan fasilitasi pemetaan kebutuhan teknologi tepat guna dan pengkajian teknologi tepat guna skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pemetaan kebutuhan teknologi tepat guna dan pengkajian teknologi tepat guna skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi kebutuhan teknologi teknologi tepat guna skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pembinaan, pengawasan dan supervisi kebutuhan teknologi tepat guna skala nasional.
Monitoring dan evaluasi kebutuhan teknologi tepat guna skala nasional.
Pembinaan dan supervisi kebutuhan teknologi tepat guna skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan kebutuhan teknologi tepat guna skala provinsi.
Pembinaan dan supervisi pemanfaatan teknologi tepat guna skala kabupaten/kota.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pemanfaatan teknologi tepat guna skala kabupaten/kota.
Pemasyarakatan dan Kerjasama Teknologi Pedesaan 1. Koordinasi dan fasilitasi pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala nasional.
Pembinaan, pengawasan dan supervisi pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala nasional.
Monitoring dan evaluasi pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala provinsi.
Pembinaan, pengawasan dan supervisi pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala provinsi.
Monitoring evaluasi dan pelaporan pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala kabupaten/kota.
Monitoring evaluasi dan pelaporan pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala kabupaten/kota. V. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG STATISTIK SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAH DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Statistik Umum 1. Kebijakan 2. Pengawasan, Monitoring dan Evaluasi 3. Fasilitasi dan pembinaan 1. Penetapan pedoman sistem dan prosedur, norma, konsep, definisi, standarisasi, dan ukuran– ukuran.
Pelaksanaan pengawasan, monitoring dan evaluasi penyelenggaraan statistik daerah.
Pelaksanaan fasilitasi dan pembinaan penyelenggaraan statistik daerah.
Penyelenggaraan kerjasama antar lembaga untuk mengembangkan statistik skala provinsi.
Pelaksanaan pengawasan, monitoring dan evaluasi penyelenggaraan statistik skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan fasilitasi dan pembinaan penyelenggaraan statistik skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan kerjasama antar lembaga untuk mengembangkan statistik skala kabupaten/kota.
Ɇ 1. Ɇ 2. Statistik Dasar 1. Statistik dasar meliputi:
Sensus 1. Penyelenggaraan statistik dasar meliputi:
Sensus penduduk (akhiran angka nol).
Pemberian dukungan penyelenggaraan statistik dasar skala provinsi:
Ɇ 1. Pemberian dukungan penyelenggaraan statistik dasar skala kabupaten/kota:
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAH DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Survei Antar Sensus b. Sensus pertanian (akhiran angka tiga).
Sensus ekonomi (akhiran angka enam).
Penyelenggaraan survei antar sensus:
Survei penduduk antar sensus (akhiran angka lima).
Survei pertanian antar sensus (akhiran angka delapan).
Survei ekonomi antar sensus (akhiran angka satu).
Ɇ c. Ɇ 1. Pemberian dukungan penyelenggaraan survei antar sensus skala provinsi:
Ɇ b. Ɇ c. Ɇ b. Ɇ c. Ɇ 1. Pemberian dukungan penyelenggaraan survei antar sensus skala kabupaten/ kota:
Ɇ b. Ɇ c. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAH DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Survei Berskala Nasional d. Survei Sosial dan Ekonomi 2. Statistik Lintas Sektor Berskala Nasional 1. Penyelenggaraan survei berskala nasional:
Survei-survei bidang ekonomi.
Survei-survei bidang kesejahteraan rakyat.
Penyelenggaraan survei sosial dan ekonomi:
Survei-survei sosial dan ekonomi lain untuk memperoleh indikator- indikator sosial dan ekonomi.
Penyelenggaraan statistik lintas sektor berskala nasional.
Pemberian dukungan survei berskala nasional di tingkat provinsi di bidang ekonomi dan kesejahteraan rakyat:
Ɇ b. Ɇ 1. Pemberian dukungan survei sosial dan ekonomi:
— 1. — 1. Pemberian dukungan survei berskala nasional di tingkat kabupaten/kota di bidang ekonomi dan kesejahteraan rakyat:
Ɇ b. Ɇ 1. Pemberian dukungan survei sosial dan ekonomi:
— 1. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAH DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Statistik Sektoral 1. Koordinasi Statistik Antar Sektoral 1. Koordinasi statistik antar sektoral.
Pelaksanaan fasilitasi dan pembinaan penyelenggaraan statistik sektoral, provinsi dan kabupaten/kota.
Penyelenggaraan statistik sektoral skala provinsi.
— 1. Penyelenggaraan statistik sektoral skala kabupaten/ kota.
— 4. Statistik Khusus 1. Pengembangan Jejaring Statistik Khusus 1. Pengembangan jejaring statistik khusus. 1. Pengembangan jejaring statistik khusus skala provinsi. 1. Pengembangan jejaring statistik khusus skala kabupaten/kota. W. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEARSIPAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Kearsipan 1. Kebijakan 1. Penetapan norma, standar dan pedoman yang berisi kebijakan kearsipan secara nasional, meliputi :
Penetapan norma, standar dan pedoman penyelenggaraan kearsipan di lingkungan provinsi berdasarkan kebijakan kearsipan nasional meliputi :
Penetapan norma, standar dan pedoman penyelenggaraan kearsipan di lingkungan kabupaten/kota berdasarkan kebijakan kearsipan nasional, meliputi :
Penetapan norma, standar dan pedoman yang berisi kebijakan penyelenggaraan kearsipan dinamis secara nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan arsip dinamis di lingkungan provinsi sesuai dengan kebijakan nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan kearsipan dinamis di lingkungan kabupaten/kota sesuai dengan kebijakan nasional.
Penetapan norma, standar dan pedoman yang berisi kebijakan penyelenggaraan kearsipan secara statis.
Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan kearsipan statis di lingkungan provinsi sesuai dengan kebijakan nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan kearsipan statis di lingkungan kabupaten/kota sesuai dengan kebijakan nasional. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Penetapan kebijakan dan pengembangan sistem kearsipan secara nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan sistem kearsipan di lingkungan provinsi sesuai dengan kebijakan nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan sistem kearsipan di lingkungan kabupaten/kota sesuai dengan kebijakan nasional.
Penetapan kebijakan dan pengembangan jaringan kearsipan secara nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan jaringan kearsipan di lingkungan provinsi sesuai dengan kebijakan nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan jaringan kearsipan di lingkungan kabupaten/kota sesuai dengan kebijakan nasional.
Penetapan kebijakan dan pengembangan sumber daya manusia kearsipan secara nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan sumber daya manusia kearsipan di lingkungan provinsi sesuai dengan kebijakan nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan sumber daya manusia kearsipan di lingkungan kabupaten/ kota sesuai dengan kebijakan nasional.
Penetapan kebijakan pembentukan dan pengembangan organisasi kearsipan secara nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan organisasi kearsipan di lingkungan provinsi sesuai dengan kebijakan nasional.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA g. Penetapan kebijakan di bidang sarana dan prasarana kearsipan secara nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan penggunaan sarana dan prasarana kearsipan di lingkungan provinsi sesuai dengan kebijakan nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan penggunaan sarana dan prasarana kearsipan di lingkungan kabupaten/ kota sesuai dengan kebijakan nasional.
Pembinaan 1. Pembinaan kearsipan terhadap lembaga negara dan badan pemerintahan tingkat pusat, lembaga vertikal, provinsi dan kabupaten/ kota.
Pembinaan kearsipan terhadap perangkat daerah provinsi, badan usaha milik daerah provinsi dan kabupaten/kota.
Pembinaan kearsipan terhadap perangkat daerah kabupaten/kota, badan usaha milik daerah kabupaten/kota, kecamatan dan desa/kelurahan.
Penyelamatan, Pelestarian dan Pengamanan 1. Pemberian persetujuan jadwal retensi arsip. 1. Pemberian persetujuan jadwal retensi arsip kabupaten/kota terhadap arsip yang telah memiliki pedoman retensi.
— 2. Pemberian persetujuan pemusnahan arsip. 2. Pemberian persetujuan pemusnahan arsip kabupaten/kota terhadap arsip yang telah memiliki pedoman retensi.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pengelolaan arsip statis lembaga negara dan badan pemerintahan tingkat pusat, badan usaha milik negara, perusahaan swasta dan perorangan berskala nasional.
Pengelolaan arsip statis perangkat daerah provinsi, lintas daerah kabupaten/kota, badan usaha milik daerah provinsi serta swasta dan perorangan berskala provinsi.
Pengelolaan arsip statis perangkat daerah kabupaten/kota, badan usaha milik daerah kabupaten/kota, perusahaan swasta dan perorangan berskala kabupaten/kota.
Akreditasi dan Sertifikasi 1. Pemberian akreditasi dan sertifikasi kearsipan. 1. — 1. ³ 5. Pengawasan/Supervisi 1. Pengawasan/supervisi terhadap penyelenggaraan kearsipan lembaga negara dan badan pemerintahan tingkat pusat, lembaga vertikal serta provinsi.
Pengawasan/supervisi terhadap penyelenggaraan kearsipan perangkat daerah provinsi dan lembaga kearsipan kabupaten/kota.
Pengawasan/supervisi terhadap penyelenggaraan kearsipan perangkat daerah kabupaten/kota, kecamatan dan desa/kelurahan.
Pengawasan/supervisi terhadap penyelenggaraan pembinaan kearsipan oleh lembaga kearsipan provinsi.
Pengawasan/supervisi terhadap penyelenggaraan pembinaan oleh lembaga kearsipan kabupaten/kota.
— X. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PERPUSTAKAAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Perpustakaan 1. Kebijakan 1. Penetapan norma, standar dan pedoman yang berisi kebijakan perpustakaan secara nasional, meliputi :
Penetapan norma, standar dan pedoman yang berisi kebijakan penyelenggaraan perpustakaan.
Penetapan norma, standar dan pedoman yang berisi kebijakan dan pengembangan sistem perpustakaan secara nasional.
Penetapan norma, standar dan pedoman yang berisi kebijakan provinsi berpedoman kebijakan nasional, meliputi :
Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan perpustakaan di skala provinsi berdasarkan kebijakan nasional.
Ɇ 1. Penetapan norma, standar dan pedoman yang berisi kebijakan kabupaten/kota berpedoman kebijakan provinsi dan nasional, meliputi :
Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan perpustakaan di skala kabupaten/kota berdasarkan kebijakan nasional.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Penetapan kebijakan dan pengembangan jaringan perpustakaan secara nasional.
Penetapan kebijakan dan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) perpustakaan secara nasional.
Penetapan kebijakan pembentukan dan pengembangan organisasi perpustakaan secara nasional.
Penetapan kebijakan di bidang sarana dan prasarana perpustakaan secara nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan jaringan perpustakaan skala provinsi sesuai kebijakan nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan SDM perpustakaan skala provinsi sesuai kebijakan nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan organisasi perpustakaan skala provinsi sesuai kebijakan nasional.
Penetapan paraturan dan kebijakan di bidang sarana dan prasarana perpustakaan skala provinsi sesuai kebijakan nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan jaringan perpustakaan skala kabupaten/kota sesuai kebijakan nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan SDM perpustakaan skala kabupaten/kota sesuai kebijakan nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan organisasi perpustakaan skala kabupaten/kota sesuai kebijakan nasional.
Penetapan dan peraturan kebijakan di bidang sarana dan prasarana perpustakaan skala kabupaten/kota sesuai kebijakan nasional. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pembinaan Teknis Perpustakaan 1. Pembinaan teknis semua jenis perpustakaan :
Pengelolaan perpustakaan sesuai standar.
Pengembangan SDM.
Pengembangan sarana dan prasarana sesuai standar.
Kerjasama dan jaringan perpustakaan.
Pengembangan minat baca.
Pembinaan teknis semua jenis perpustakaan di wilayah provinsi :
Pengelolaan perpustakaan sesuai standar.
Pengembangan SDM.
Pengembangan sarana dan prasarana sesuai standar.
Kerjasama dan jaringan perpustakaan.
Pengembangan minat baca.
Pembinaan teknis semua jenis perpustakaan di wilayah kabupaten/kota :
Pengelolaan perpustakaan sesuai standar.
Pengembangan SDM.
Pengembangan sarana dan prasarana sesuai standar.
Kerjasama dan jaringan perpustakaan.
Pengembangan minat baca.
Penyelamatan dan Pelestarian Koleksi Nasional 1. Penetapan kebijakan pelestarian koleksi nasional. 1. Penetapan kebijakan pelestarian koleksi daerah provinsi berdasarkan kebijakan nasional.
Penetapan kebijakan pelestarian koleksi daerah kabupaten/kota berdasarkan kebijakan nasional. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pelestarian Karya Cetak dan Karya Rekam, terkait koleksi nasional.
Koordinasi pelestarian tingkat nasional, regional, dan internasional.
Pelaksanaan Serah-Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam, terkait koleksi daerah provinsi dan kabupaten/kota.
Koordinasi pelestarian tingkat daerah provinsi.
– 3. Koordinasi pelestarian tingkat daerah kabupaten/kota.
Pengembangan Jabatan Fugsional Pustakawan 1. Penetapan kebijakan pengembangan jabatan fungsional pustakawan secara nasional.
Penetapan kebijakan penilaian angka kredit pustakawan.
Penilaian dan penetapan angka kredit pustakawan madya dan pustakawan utama.
Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan jabatan fungsional pustakawan di skala provinsi sesuai kebijakan nasional.
Ɇ 3. Penilaian dan penetapan angka kredit pustakawan pelaksana sampai dengan pustakawan penyelia dan pustakawan pertama sampai dengan pustakawan muda.
Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan jabatan fungsional pustakawan di skala kabupaten/kota sesuai kebijakan nasional.
Ɇ 3. Penilaian dan penetapan angka kredit pustakawan pelaksana sampai dengan pustakawan penyelia dan pustakawan pertama sampai dengan pustakawan muda. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Penetapan standar kompetensi jabatan fungsional pustakawan.
Ɇ 4. Ɇ 5. Akreditasi Perpustakaan dan Sertifikasi Pustakawan 1. Pemberian akreditasi perpustakaan.
Pemberian sertifikasi pustakawan.
Pemberian akreditasi perpustakaan di wilayah provinsi.
Pemberian sertifikasi pustakawan di wilayah provinsi.
Ɇ 2. Ɇ 6. Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Teknis dan Fungsional Perpustakaan 1. Pengembangan dan penetapan kurikulum dan modul diklat teknis dan fungsional perpustakaan.
Pemberian akreditasi diklat teknis dan fungsional perpustakaan.
Penyelenggaraan diklat teknis dan fungsional perpustakaan.
Penyelenggaraan diklat teknis dan fungsional perpustakaan.
Ɇ 3. Ɇ 1. Penyelenggaraan diklat teknis dan fungsional perpustakaan.
Ɇ 3. Ɇ Y. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Pos dan Telekomunikasi 1. Pos 1. Perumusan kebijakan di bidang produk dan tarif pos, operasi pos, penyelenggara pos, prangko dan filateli.
— 1. — 2. Perumusan pengaturan norma, kriteria, pedoman dan prosedur di bidang produk dan tarif pos, operasi pos, penyelenggara pos, prangko dan filateli.
— 2. — 3. Pemberian bimbingan teknis bidang produk pos, operasi pos, penyelenggara pos, prangko dan filateli.
— 3. — 4. — 4.— 4. Penyelenggaraan pelayanan pos di perdesaan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. — 5.— 5. Pemberian rekomendasi untuk pendirian kantor pusat jasa titipan.
Pemberian perizinan penyelenggaraan jasa titipan.
Pemberian izin jasa titipan untuk kantor cabang.
Pemberian izin jasa titipan untuk kantor agen.
— 7. Penertiban jasa titipan untuk kantor cabang. 7. Penertiban jasa titipan untuk kantor agen.
Pelaksanaan analisa dan evaluasi penyelenggaraan kegiatan di bidang produk dan tarif pos, operasi pos, penyelenggara pos, prangko dan filateli serta penertiban penyelenggaraan pos dan jasa titipan.
— 8. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Telekomunikasi 1. Perumusan kebijakan di bidang tarif dan sarana telekomunikasi, pelayanan telekomunikasi, operasi telekomunikasi, telekomunikasi khusus dan kewajiban pelayanan universal.
— 1. — 2. Perumusan norma, kriteria, pedoman dan prosedur di bidang tarif dan sarana telekomunikasi, pelayanan telekomunikasi, operasi telekomunikasi, telekomunikasi khusus dan kewajiban pelayanan universal.
— 2. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pemberian bimbingan teknis di bidang tarif dan sarana telekomunikasi, pelayanan telekomunikasi, operasi telekomunikasi, telekomunikasi khusus dan kewajiban pelayanan universal.
Pemberian bimbingan teknis di bidang sarana telekomunikasi, pelayanan telekomunikasi, kinerja operasi telekomunikasi, telekomunikasi khusus dan kewajiban pelayanan universal skala wilayah.
— 4. Pemberian perizinan penyelenggaraan jaringan telekomunikasi, jasa telekomunikasi, telekomunikasi khusus dan penyelenggaraan kewajiban pelayanan universal.
— 4. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. — 5.Pemberian izin penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan pemerintah dan badan hukum yang cakupan areanya provinsi sepanjang tidak menggunakan spektrum frekuensi radio.
Pemberian izin penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan pemerintah dan badan hukum yang cakupan areanya kabupaten/kota sepanjang tidak menggunakan spektrum frekuensi radio.
— 6.Pengawasan layanan jasa telekomunikasi. 6. — 7. — 7. Pemberian rekomendasi terhadap permohonan izin penyelenggaraan jaringan tetap lokal wireline (end to end) cakupan provinsi.
Pemberian rekomendasi terhadap permohonan izin penyelenggaraan jaringan tetap tertutup lokal wireline (end to end) cakupan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. — 8. Koordinasi dalam rangka pembangunan kewajiban pelayanan universal di bidang telekomunikasi.
Pemberian rekomendasi wilayah prioritas untuk pembangunan kewajiban pelayanan universal di bidang telekomunikasi.
— 9. — 9. Pemberian izin terhadap Instalatur Kabel Rumah/Gedung (IKR/G).
Pelaksanaan evaluasi penyelenggaraan kegiatan di bidang tarif dan sarana telekomunikasi, pelayanan telekomunikasi, operasi telekomunikasi, telekomunikasi khusus dan kewajiban pelayanan universal dan teknologi informasi.
Pengawasan/ pengendalian terhadap penyelenggaraan telekomunikasi yang cakupan areanya provinsi.
Pengawasan/pengendalian terhadap penyelenggaraan telekomunikasi yang cakupan areanya kabupaten/kota, pelaksanaan pembangunan telekomunikasi perdesaan, penyelenggaraan warung telekomunikasi, warung seluler atau sejenisnya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11. Pemberian Izin Amatir Radio (IAR) dan Izin Penguasaan Perangkat Radio Amatir (IPPRA), termasuk untuk warga negara asing, Izin Komunikasi Radio Antar Penduduk (IKRAP) dan Izin Penguasaan Perangkat Komunikasi Radio Antar Penduduk (IPPKRAP).
— 11. — 12. Pelaksanaan penyelenggaraan ujian amatir radio.
— 12. — 13. — 13. Pemberian izin kantor cabang dan loket pelayanan operator.
Pemberian izin kantor cabang dan loket pelayanan operator. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 14. Pedoman penyelenggaraan warung telekomunikasi/ warung internet/ warung seluler atau sejenisnya.
— 14. — 15. Pedoman panggilan darurat telekomunikasi.
— 15. Penanggung jawab panggilan darurat telekomunikasi.
Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit (Orsat) 1. Perumusan kebijakan di bidang penataan, penetapan, operasi, sarana frekuensi radio dan orsat.
— 1. — 2. Perumusan norma, kriteria, pedoman dan prosedur di bidang penataan, penetapan, operasi, sarana frekuensi radio dan orsat.
— 2. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pelaksanaan penataan, penetapan, operasi, sarana frekuensi radio dan orsat.
— 3. — 4. Pemberian perizinan penggunaan frekuensi radio dan orsat.
— 4. — 5. Pelaksanaan analisa dan evaluasi di bidang operasi frekuensi radio dan orsat.
— 5. — 6. Perumusan rencana dan alokasi spektrum frekuensi radio dan orsat.
— 6. — 7. Penetapan tabel alokasi spektrum frekuensi radio Indonesia dan orsat.
— 7. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Penyusunan rencana induk frekuensi radio. 8. — 8. — 9. Penyusunan dan penetapan kajian teknis sistem alat dan atau perangkat yang menggunakan frekuensi radio.
— 9. — 10.Penetapkan persetujuan alokasi frekuensi radio (allotment). 10. — 10.— 11.Pelaksanaan koordinasi penggunaan spektrum frekuensi radio dan orsat dalam forum skala bilateral, regional dan internasional.
— 11.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 12.Perumusan hasil koordinasi forum tersebut untuk dapat dilaksanakan sesuai ketentuan internasional.
— 12.— 13.Penghimpunan dan tindak lanjut pengaduan negara lain tentang adanya gangguan interferensi frekuensi radio yang bersumber dari Indonesia.
— 13.— 14.Tindak lanjut pengaduan adanya interferensi yang bersumber dari negara lain.
— 14.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 15.Pelaksanaan penetapan (assignment) penggunaan frekuensi radio sesuai alokasi frekuensi radio.
— 15.— 16.Pelaksanaan teknikal analisis. 16.— 16.— 17.Pengelolaan loket penerimaan berkas izin frekuensi radio.
— 17.— 18.Penetapan ketentuan dan persyaratan perizinan frekuensi radio.
— 18.— 19.Pelaksanaan penetapan biaya hak penggunaan frekuensi radio.
— 19.— 20.Penerbitan izin stasiun radio. 20.— 20.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 21.Pelaksanaan verifikasi izin stasiun radio. 21.— 21.— 22.Pelaksanaan penugasan kepada unit pelaksana teknis untuk monitoring spektrum frekuensi radio.
— 22.— 23.Pelaksanaan inspeksi instalasi alat/perangkat yang menggunakan spektrum dan kesesuaian standarnya.
— 23.— 24.Pelaksanaan penegakan hukum. 24.— 24.— 25.Pelaksanaan rekayasa teknik spektrum. 25.— 25.— 26.Pengelolaan sarana dan prasarana monitoring frekuensi radio dan orsat.
— 26.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 27.Pengelolaan database frekuensi radio Indonesia.
— 27.— 28.Penetapan peraturan, standar pedoman penggunaan spektrum frekuensi radio dan orsat.
— 28.— 29.Pedoman pembangunan sarana dan prasarana menara telekomunikasi.
— 29.— 30.Penetapan pedoman kriteria pembuatan tower .
— 30.Pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB) menara telekomunikasi sebagai sarana dan prasarana telekomunikasi.
— 31.Pemberian izin galian untuk keperluan penggelaran kabel telekomunikasi lintas kabupaten/kota atau jalan provinsi.
Pemberian izin galian untuk keperluan penggelaran kabel telekomunikasi dalam satu kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 32.— 32. — 32.Pemberian izin Hinder Ordonantie (Ordonansi Gangguan).
— 33. — 33.Pemberian izin instalansi penangkal petir.
— 34. — 34. Pemberian izin instalansi genset.
Bidang Standarisasi Pos dan Telekomunikasi 1. Perumusan kebijakan di bidang teknik pos dan telekomunikasi, teknik komunikasi radio, pelayanan pos dan telekomunikasi, penerapan standar pos dan telekomunikasi.
— 1. — 2. Perumusan standar di bidang teknik pos dan telekomunikasi, teknik komunikasi radio, pelayanan pos dan telekomunikasi, penerapan standar pos dan telekomunikasi.
— 2. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pemberian bimbingan teknis di bidang standar pos dan telekomunikasi, standar teknik komunikasi radio, standar pelayanan pos dan telekomunikasi, penerapan standar pos dan telekomunikasi.
Pemberian bimbingan teknis di bidang standar pos dan telekomunikasi, standar teknik komunikasi radio, standar pelayanan pos dan telekomunikasi, penerapan standar pos dan telekomunikasi.
— 4. Pemantauan dan penertiban standar pos dan telekomunikasi.
— 4. — 5. Perumusan persyaratan teknis dan standar pelayanan alat/perangkat pos dan telekomunikasi.
— 5. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pengawasan penerapan standar teknis dan standar pelayanan alat/perangkat pos dan telekomunikasi skala nasional.
Pengawasan terhadap penerapan standar teknis dan standar pelayanan alat/ perangkat pos dan telekomunikasi skala provinsi.
Pengendalian dan penertiban terhadap pelanggaran standarisasi pos dan telekomunikasi.
Kerjasama standar teknik tingkat internasional.
— 7. — 8. — 8. — 8. Pemberian izin usaha perdagangan alat perangkat telekomunikasi.
Kelembagaan Internasional Pos dan Telekomunikasi 1. Perumusan kebijakan di bidang kelembagaan dan penanganan fora multilateral, regional dan bilateral di bidang pos, telekomunikasi, informatika, standarisasi serta frekuensi radio dan orsat.
— 1. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Perumusan pedoman, norma, kriteria dan prosedur di bidang kelembagaan dan penanganan fora multilateral, regional dan bilateral di bidang pos, telekomunikasi, informatika, standarisasi serta frekuensi radio dan orsat.
— 2. — 3. Pelaksanaan kerjasama kelembagaan multilateral, regional dan bilateral di bidang pos, telekomunikasi informatika, standarisasi serta frekuensi radio dan orsat.
— 3. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. — 4. Fasilitasi pelaksanaan koordinasi penyelenggaraan pos dan telekomunikasi serta penggunaan frekuensi radio di daerah perbatasan dengan negara tetangga.
Fasilitasi pelaksanaan koordinasi penyelenggaraan pos dan telekomunikasi serta penggunaan frekuensi radio di daerah perbatasan dengan negara tetangga.
Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi pelaksanaan kebijakan kelembagaan internasional dan kegiatan fora internasional di bidang pos, telekomunikasi informatika, standarisasi serta frekuensi radio dan orsat.
— 5. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Sarana Komunikasi Dan Diseminasi Informasi 1. Penyiaran 1. Penetapan arah kebijakan penyelenggaraan penyiaran dengan mempertimbangkan perkembangan teknologi penyiaran, kecenderungan permintaan pasar, ekonomi, sosial, budaya dan kondisi lingkungan lainnya.
— 1. — 2. Penetapan tata cara dan persyaratan perizinan penyelenggaraan penyiaran.
Evaluasi persyaratan administrasi dan data teknis terhadap permohonan izin penyelenggaraan penyiaran.
— 3. — 3. Pemberian rekomendasi persyaratan administrasi dan kelayakan data teknis terhadap permohonan izin penyelenggaraan televisi.
Pemberian rekomendasi persyaratan administrasi dan kelayakan data teknis terhadap permohonan izin penyelenggaraan radio. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Penerbitan izin penyelenggaraan penyiaran radio dan televisi bagi seluruh lembaga penyiaran.
— 4. Pemberian izin lokasi pembangunan studio dan stasiun pemancar radio dan/atau televisi.
Penetapan pedoman teknis pelaksanaan uji coba siaran radio dan televisi.
— 5. — 6. Penetapan kebijakan pemusatan kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran swasta dan lembaga penyiaran berlangganan oleh salah satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran.
— 6. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Penetapan kebijakan kepemilikan silang antara lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran radio, lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran televisi, perusahaan media cetak, dan lembaga penyiaran berlangganan baik langsung maupun tidak langsung.
— 7. — 8. Penetapan kebijakan kepemilikan modal asing pada lembaga penyiaran swasta dan lembaga penyiaran berlangganan.
— 8. — 9. Pemetaan usaha penyiaran radio dan televisi.
— 9. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 10.Penetapan wilayah layanan penyiaran radio dan televisi.
— 10. — 11.Pengaturan dan penetapan sistem stasiun jaringan penyiaran radio dan televisi.
— 11. — 12. Penetapan standar teknologi penyiaran radio dan televisi.
— 12. — 13. Penetapan pedoman teknis sarana dan prasarana penyiaran radio dan televisi.
— 13. — 2. Kelembagaan Komunikasi Sosial 1. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan di bidang lembaga media tradisional.
Koordinasi dan fasilitasi pemberdayaan komunikasi sosial skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pemberdayaan komunikasi sosial skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan di bidang lembaga komunikasi perdesaan.
— 2. — 3. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan di bidang lembaga profesi.
— 3. — 4. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan di bidang lembaga pemantau media.
— 4. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Kelembagaan Komunikasi Pemerintah 1. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi di bidang politik, hukum dan keamanan.
— 1. — 2. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi di bidang perekonomian.
— 2. — 3. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi di bidang kesejahteraan rakyat.
— 3. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi di bidang badan usaha milik negara.
— 4. — 4. Kelembagaan Komunikasi Pemerintah Daerah 1. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan kerjasama diseminasi informasi dengan lembaga komunikasi pemerintah daerah wilayah I.
— 1. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan kerjasama diseminasi informasi dengan lembaga komunikasi pemerintah daerah wilayah II.
— 2. — 3. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan kerjasama diseminasi informasi dengan lembaga komunikasi pemerintah daerah wilayah III.
— 3. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan kerjasama diseminasi informasi dengan lembaga komunikasi pemerintah daerah wilayah IV.
— 4. — 5. Penerbitan panduan paket informasi nasional.
Koordinasi dan pelaksanaan diseminasi informasi nasional.
Pelaksanaan diseminasi informasi nasional.
Kemitraan Media 1. Perumusan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan di bidang kemitraan media radio, media televisi dan media cetak.
— 1. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Perumusan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan di bidang kemitraan media komunitas.
Koordinasi dan fasilitasi pengembangan kemitraan media skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pengembangan kemitraan media skala kabupaten/kota. Z. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PERTANIAN DAN KETAHANAN PANGAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Lahan Pertanian 1. Penetapan kebijakan, pedoman dan bimbingan pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan pertanian tingkat nasional.
Penetapan kebijakan, pedoman dan bimbingan pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan pertanian tingkat provinsi.
Penetapan kebijakan, pedoman dan bimbingan pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan pertanian tingkat kabupaten/kota.
Penetapan peta pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan pertanian nasional (lintas provinsi).
Penyusunan peta pengembangan, rehabiltasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan pertanian wilayah provinsi (lintas kabupaten).
Penyusunan peta pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan pertanian wilayah kabupaten/kota.
Pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan pertanian nasional (lintas provinsi).
Pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan pertanian provinsi (lintas kabupaten).
Pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan pertanian wilayah kabupaten/kota.
Tanaman Pangan dan Hortikultura 4. Penetapan dan pengawasan tata ruang dan tata guna lahan pertanian nasional.
Penetapan dan pengawasan tata ruang dan tata guna lahan pertanian wilayah provinsi.
Penetapan dan pengawasan tata ruang dan tata guna lahan pertanian wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5.a. — b. — 6. — 7. — 8. Penetapan sasaran areal tanam nasional.
Penetapan luas baku lahan pertanian yang dapat diusahakan sesuai kemampuan sumberdaya lahan yang ada pada skala nasional .
a. Pemetaan potensi dan pengelolaan lahan pertanian wilayah provinsi.
— 6. Pengaturan dan penerapan kawasan pertanian terpadu wilayah provinsi.
Penetapan sentra komoditas pertanian wilayah provinsi.
Penetapan sasaran areal tanam wilayah provinsi.
Penetapan luas baku lahan pertanian yang dapat diusahakan sesuai kemampuan sumberdaya lahan yang ada pada skala provinsi.
a. Pemetaan potensi dan pengelolaan lahan pertanian wilayah kabupaten/ kota.
Pengembangan lahan pertanian wilayah kabupaten/kota.
Pengaturan dan penerapan kawasan pertanian terpadu wilayah kabupaten/kota.
Penetapan sentra komoditas pertanian wilayah kabupaten/kota.
Penetapan sasaran areal tanam wilayah kabupaten/kota.
Penetapan luas baku lahan pertanian yang dapat diusahakan sesuai kemampuan sumberdaya lahan yang ada pada skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Air Irigasi 1. Penetapan kebijakan, pedoman dan bimbingan pemanfaatan air irigasi.
a. — b.— 3. — 4.a. Penetapan kebijakan pengembangan dan pembinaan pemberdayaan kelembagaan petani pemakai air.
— 1. Bimbingan pengembangan jaringan irigasi.
a. Pemantauan dan evaluasi pemanfaatan air irigasi.
— 3. Bimbingan teknis pengelolaan sumber-sumber air dan air irigasi.
a. Pemantauan dan evaluasi pengembangan dan pembinaan pemberdayaan kelembagaan petani pemakai air.
— 1. Pembangunan dan rehabilitasi pemeliharaan jaringan irigasi di tingkat usaha tani dan desa.
a. Bimbingan dan pengawasan pemanfaatan dan pemeliharaan jaringan irigasi.
Bimbingan dan pengawasan pemanfaatan sumber-sumber air dan air irigasi.
— 4.a. Bimbingan pengembangan dan pemberdayaan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) dan Perkumpulan Petani Pemakai Air Tanah (P3AT).
Bimbingan dan pelaksanaan konservasi air irigasi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Penetapan kebijakan dan pengembangan teknologi optimalisasi pengelolaan dan pemanfaatan air untuk usaha tani dan desa.
Pemantauan dan evaluasi pengembangan teknologi optimalisasi pengelolaan air untuk usaha tani.
Bimbingan penerapan teknologi optimalisasi pengelolaan air untuk usaha tani.
Pupuk 1. Penetapan kebijakan dan pedoman penggunaan pupuk.
Pendaftaran dan pengawasan formula pupuk.
a.Penetapan pedoman pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pupuk.
— c. — 1. Pemantauan dan evaluasi penggunaan pupuk.
— 3.a.Pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pupuk wilayah provinsi.
— c. — 1. Bimbingan penggunaan pupuk.
— 3.a.Pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pupuk wilayah kabupaten/kota.
Pengembangan dan pembinaan unit usaha pelayanan pupuk.
Bimbingan penyediaan, penyaluran dan penggunaan pupuk. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. — 5. Penetapan standar mutu pupuk.
Pemantauan dan evaluasi ketersediaan pupuk.
Pengawasan standar mutu pupuk.
Pelaksanaan peringatan dini dan pengamanan terhadap ketersediaan pupuk.
Bimbingan penerapan standar mutu pupuk.
Pestisida 1. Penetapan kebijakan dan pedoman penggunaan pestisida.
Pendaftaran dan pengawasan formula pestisida.
a.Penetapan pedoman pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pestisida.
— c. — 1. Pelaksanaan kebijakan penggunaan pestisida wilayah provinsi.
— 3.a.Pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pestisida wilayah provinsi.
— c. — 1. Pelaksanaan kebijakan penggunaan pestisida wilayah kabupaten/kota.
— 3.a.Pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pestisida wilayah kabupaten/kota.
Pengembangan dan pembinaan unit pelayanan pestisida.
Bimbingan penyediaan, penyaluran dan penggunaan pestisida. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. — 5. Penetapan standar mutu pestisida.
Pemantauan dan evaluasi ketersediaan pestisida.
Pengawasan standar mutu pestisida.
Pelaksanaan peringatan dini dan pengamanan terhadap ketersediaan pestisida.
Bimbingan penerapan standar mutu pestisida.
Alat dan Mesin Pertanian 1. Penetapan kebijakan alat dan mesin pertanian.
— 3. Pendaftaran prototipe alat dan mesin pertanian.
Penetapan standar mutu alat dan mesin pertanian.
Pengujian mutu alat dan mesin pertanian dalam rangka standarisasi.
Pelaksanaan kebijakan alat dan mesin pertanian wilayah provinsi.
Identifikasi dan inventarisasi kebutuhan alat dan mesin pertanian wilayah provinsi.
Penentuan kebutuhan prototipe alat dan mesin pertanian.
Penerapan standar mutu alat dan mesin pertanian.
— 1. Pelaksanaan kebijakan alat dan mesin pertanian wilayah kabupaten/kota.
Identifikasi dan inventarisasi kebutuhan alat dan mesin pertanian di wilayah kabupaten/kota.
Pengembangan alat dan mesin pertanian sesuai standar.
Penerapan standar mutu alat dan mesin pertanian.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6.a.Penetapan pedoman pengawasan produksi, peredaran, penggunaan dan pengujian alat dan mesin pertanian.
— c. — d. — e. — f. — 6.a. Pembinaan dan pengawasan standar mutu alat dan mesin pertanian wilayah provinsi.
— c. — d. — e. — f. — 6.a. Pengawasan standar mutu dan alat mesin pertanian wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengembangan jasa alat dan mesin pertanian.
Pemberian izin pengadaan dan peredaran alat dan mesin pertanian.
Analisis teknis, ekonomis dan sosial budaya alat dan mesin pertanian sesuai kebutuhan lokalita.
Bimbingan penggunaan dan pemeliharaan alat dan mesin pertanian.
Pembinaan dan pengembangan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA bengkel/pengrajin alat dan mesin pertanian.
Benih Tanaman 1.a.Penetapan kebijakan dan pedoman perbenihan tanaman.
— 2. Pelepasan dan penarikan varietas tanaman.
Pengaturan pemasukan dan pengeluaran benih dari dan keluar wilayah negara RI.
Penetapan standar mutu dan pedoman pengawasan dan sertifikasi benih.
— 1.a.Pemantauan dan evaluasi penerapan pedoman perbenihan tanaman.
Penyusunan kebijakan benih antar lapang.
Identifikasi dan pengembangan varietas unggul lokal.
Pemantauan benih dari luar negeri di wilayah provinsi.
Pengawasan penerapan standar mutu benih wilayah provinsi.
Pengaturan penggunaan benih wilayah provinsi.
a. Bimbingan penerapan pedoman perbenihan tanaman wilayah kabupaten/kota.
Penyusunan kebijakan benih antar lapang wilayah kabupaten/kota.
— 3. Pemantauan benih dari luar negeri di wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penerapan standar mutu benih wilayah kabupaten/kota.
Pengaturan penggunaan benih wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6.a.— b.— c.— d.— e.— f. — g.— 6.a.Pengawasan dan sertifikasi benih.
— c. — d. — e. — f. — g. — 6.a.Pembinaan dan pengawasan penangkar benih.
Pembinaan dan pengawasan perbanyakan peredaran dan penggunaan benih.
Bimbingan dan pemantauan produksi benih.
Bimbingan penerapan standar teknis perbenihan yang meliputi sarana, tenaga dan metode.
Pemberian izin produksi benih.
Pengujian dan penyebarluasan benih varietas unggul spesifik lokasi.
Perbanyakan dan penyaluran mata tempel dan benih tanaman. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA h.— i. — j. — 7.a.— b.— h. — i. — j. — 7.a.Pembangunan dan pengelolaan balai benih wilayah provinsi.
— h. Pelaksanaan dan bimbingan dan distribusi pohon induk.
Penetapan sentra produksi benih tanaman.
Pengembangan sistem informasi perbenihan.
a.Pembangunan dan pengelolaan balai benih wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengawasan balai benih milik swasta.
Pembiayaan 1.a.Penetapan kebijakan dan pedoman pembiayaan dari lembaga keuangan perbankan, non perbankan dan dana yang bersumber dari masyarakat.
a.Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pedoman pembiayaan dari lembaga keuangan perbankan, non perbankan dan dana yang bersumber dari masyarakat wilayah provinsi.
a.Bimbingan pengembangan dan pemanfaatan sumber-sumber pembiayaan/kredit agribisnis. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b.— c.— d.— b.— c.— d.— b.Bimbingan penyusunan rencana usaha agribisnis.
Bimbingan pemberdayaan lembaga keuangan mikro pedesaan.
Pengawasan penyaluran, pemanfaatan dan pengendalian kredit wilayah kabupaten/kota.
Perlindungan Tanaman 1. Penetapan kebijakan perlindungan tanaman.
Pengaturan dan penetapan norma dan standar teknis pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) dan analisis mitigasi dampak fenomena iklim.
— 2. Pengamatan, identifikasi, pemetaan, pengendalian dan analisis dampak kerugian OPT/fenomena iklim wilayah provinsi.
— 2. Pengamatan, identifikasi, pemetaan, pengendalian dan analisis dampak kerugian OPT/fenomena iklim wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. — 4. — 5. — 6. — 7. — 3. Bimbingan pemantauan, pengamatan, dan peramalan OPT/fenomena iklim wilayah provinsi.
Penyebaran informasi keadaan serangan OPT/fenomena iklim dan rekomendasi pengendaliannya di wilayah provinsi.
Pemantauan dan pengamatan daerah yang diduga sebagai sumber OPT/fenomena iklim wilayah provinsi.
Penyediaan dukungan pengendalian, eradikasi tanaman dan bagian tanaman wilayah provinsi.
Pemantauan, peramalan, pengendalian dan penanggulangan eksplosi OPT/fenomena iklim wilayah 3. Bimbingan pemantauan, pengamatan, dan peramalan OPT/fenomena iklim wilayah kabupaten/kota.
Penyebaran informasi keadaan serangan OPT/fenomena iklim dan rekomendasi pengendaliannya di wilayah kabupaten/kota.
Pemantauan dan pengamatan daerah yang diduga sebagai sumber OPT/fenomena iklim wilayah kabupaten/kota.
Penyediaan dukungan pengendalian, eradikasi tanaman dan bagian tanaman wilayah kabupaten/kota.
Pemantauan, peramalan, pengendalian dan penanggulangan eksplosi OPT/fenomena iklim wilayah SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Penetapan dan penanggulangan wabah hama dan penyakit tanaman skala nasional. provinsi.
Pengaturan dan pelaksanaan penanggulangan wabah hama dan penyakit tanaman wilayah provinsi. kabupaten/kota.
Pengaturan dan pelaksanaan penanggulangan wabah hama dan penyakit tanaman wilayah kabupaten/kota.
Perizinan Usaha 1. Penetapan pedoman perizinan usaha tanaman pangan dan hortikultura.
— 1. Pemberian izin usaha tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
Pemantauan dan pengawasan izin usaha tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
Pemberian izin usaha tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.
Pemantauan dan pengawasan izin usaha tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.
Teknis Budidaya 1. Penetapan pedoman teknis budidaya tanaman pangan dan hortikultura.
— 1. Bimbingan penerapan pedoman teknis pola tanam, perlakuan terhadap tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
Bimbingan peningkatan mutu hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
Bimbingan penerapan pedoman teknis pola tanam, perlakuan terhadap tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan peningkatan mutu hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA kabupaten/kota.
Pembinaan Usaha 1. Penetapan pedoman pembinaan usaha tanaman pangan dan hortikultura.
— 3. — 1. Bimbingan kelembagaan usaha tani, manajemen usaha tani dan pencapaian pola kerjasama usaha tani wilayah provinsi.
Bimbingan pemantauan dan pemeriksaan hygiene dan sanitasi lingkungan usaha tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
Pelaksanaan studi analis mengenai dampak lingkungan (amdal)/Upaya Pengelolaan Lingkungan hidup (UKL)-Upaya Pemantauan Lingkungan hidup (UPL) di bidang tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
Bimbingan kelembagaan usaha tani, manajemen usaha tani dan pencapaian pola kerjasama usaha tani wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pemantauan dan pemeriksaan hygiene dan sanitasi lingkungan usaha tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan studi amdal/UKL- UPL di bidang tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. — 5. Penetapan pedoman kompensasi karena eradikasi dan jaminan penghasilan bagi petani yang mengikuti program pemerintah.
Penetapan program kerjasama/kemitraan usaha tanaman pangan dan hortikultura.
Bimbingan pelaksanaan amdal wilayah provinsi.
Bimbingan penerapan pedoman kompensasi karena eradikasi dan jaminan penghasilan bagi petani yang mengikuti program pemerintah wilayah provinsi.
Bimbingan penerapan pedoman/kerjasama kemitraan usaha tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
Bimbingan pelaksanaan amdal wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penerapan pedoman kompensasi karena eradikasi dan jaminan penghasilan bagi petani yang mengikuti program pemerintah wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penerapan pedoman/kerjasama kemitraan usaha tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.
Panen, Pasca Panen dan Pengolahan Hasil 1.a.Penetapan kebijakan penanganan panen, pasca panen dan pengolahan hasil tanaman pangan dan hortikultura.
— 1.a.Pemantauan dan evaluasi penanganan panen, pasca panen dan pengolahan hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
Bimbingan peningkatan mutu hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
a.Bimbingan penanganan panen, pasca panen dan pengolahan hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan peningkatan mutu hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Penetapan pedoman perkiraan kehilangan tanaman pangan dan hortikultura.
Penetapan standar unit pengolahan, alat transportasi, unit penyimpanan dan kemasan hasil tanaman pangan dan hortikultura.
a.Penetapan pedoman teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil.
— 2. Bimbingan penghitungan perkiraan kehilangan hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
Pengawasan standar unit pengolahan, alat transportasi, unit penyimpanan dan kemasan hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
a.Penyebarluasan dan pemantauan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil wilayah provinsi.
— kabupaten/kota.
Penghitungan perkiraan kehilangan hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penerapan standar unit pengolahan, alat transportasi, unit penyimpanan dan kemasan hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.
a.Penyebarluasan dan pemantauan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 13. Pemasaran 1. Penetapan pedoman pemasaran hasil tanaman pangan dan hortikultura.
Promosi komoditas tanaman pangan dan hortikultura tingkat nasional dan internasional.
Penyebarluasan informasi pasar dalam dan luar negeri.
Penetapan kebijakan harga komoditas tanaman pangan dan hortikultura.
Pemantauan dan evaluasi pemasaran hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
Promosi komoditas tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
Penyebarluasan informasi pasar wilayah provinsi.
Pemantauan dan evaluasi harga komoditas tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
Bimbingan pemasaran hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.
Promosi komoditas tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.
Penyebarluasan informasi pasar wilayah kabupaten/kota.
Pengawasan harga komoditas tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.
Sarana Usaha 1.a. Penetapan kebijakan dan pedoman pengembangan sarana usaha.
— 1.a.Pemantauan dan evaluasi pengembangan sarana usaha wilayah provinsi.
Bimbingan teknis pembangunan dan sarana 1.a.Bimbingan pengembangan sarana usaha wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan teknis pembangunan dan sarana fisik SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA fisik (bangunan) penyimpanan, pengolahan dan pemasaran sarana produksi serta pemasaran hasil tanaman pangan wilayah provinsi. (bangunan) penyimpanan, pengolahan dan pemasaran sarana produksi serta pemasaran hasil tanaman pangan wilayah kabupaten/ kota.
Pengembangan Statistik dan Sistem Informasi Tanaman Pangan dan Hortikultura 1. Penetapan kebijakan dan pedoman perstatistikan tanaman pangan dan hortikultura.
Pembinaan dan pengelolaan data dan statistik serta sistem informasi tanaman pangan dan hortikultura.
Penyusunan statistik tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
Bimbingan penerapan sistem informasi tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
Penyusunan statistik tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penerapan sistem informasi tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.
Pengawasan dan Evaluasi 1. Pengawasan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan, norma, standar, kriteria, pedoman dan prosedur di bidang tanaman pangan dan hortikultura.
— 1. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Perkebunan 1. Lahan Perkebunan 1.a.Penetapan kebijakan, pedoman dan bimbingan pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan perkebunan.
— c. — 2.a.Penetapan dan pengawasan tata ruang dan tata guna lahan perkebunan nasional.
a.Bimbingan dan pengawasan pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian perkebunan.
Penyusunan peta pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan perkebunan.
Pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan perkebunan.
a. Penetapan dan pengawasan tata ruang dan tata guna lahan perkebunan wilayah provinsi.
a.Penetapan kebutuhan dan pengembangan lahan perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Penyusunan peta pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi, dan pengendalian lahan perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan perkebunan wilayah kabupaten/kota.
a.Penetapan dan pengawasan tata ruang dan tata guna lahan perkebunan wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. — c. — d. — e. — 3. Penetapan sasaran areal tanam nasional.
Pemetaan potensi dan pengelolaan lahan perkebunan wilayah provinsi.
— d. Pengaturan dan penerapan kawasan perkebunan terpadu wilayah provinsi.
— 3. Penetapan sasaran areal tanam wilayah provinsi.
Pemetaan potensi dan pengelolaan lahan perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Pengembangan lahan perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Pengaturan dan penerapan kawasan perkebunan terpadu wilayah kabupaten/kota.
Penetapan sentra komoditas perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Penetapan sasaran areal tanam wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pemanfaatan Air Untuk Perkebunan 1.a.Penetapan kebijakan, pedoman, bimbingan dan evaluasi pemanfaatan air untuk perkebunan.
— c. — 2.a.Penetapan kebijakan pengembangan teknologi dan evaluasi pemanfaatan air untuk perkebunan.
— 1.a.Bimbingan pemanfaatan sumber-sumber air untuk perkebunan.
Bimbingan pemanfaatan air permukaan dan air tanah untuk perkebunan.
Pemantauan dan evaluasi pemanfaatan air untuk perkebunan.
a.Bimbingan pengembangan sumber-sumber air untuk perkebunan.
Bimbingan pengembangan teknologi irigasi air permukaan dan air bertekanan untuk perkebunan.
a.Pemanfaatan sumber-sumber air untuk perkebunan.
Pemanfaatan air permukaan dan air tanah untuk perkebunan.
Pemantauan dan evaluasi pemanfaatan air untuk perkebunan.
a.Pengembangan sumber- sumber air untuk perkebunan.
Pengembangan teknologi irigasi air permukaan dan irigasi bertekanan untuk perkebunan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. — c. Pemantauan dan evaluasi pengembangan air untuk perkebunan.
Pemantauan dan evaluasi pengembangan air untuk perkebunan.
Pupuk 1. Penetapan kebijakan dan pedoman penggunaan pupuk.
Pendaftaran dan pengawasan formula pupuk.
a.Penetapan pedoman pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pupuk.
Pemantauan dan evaluasi penggunaan pupuk.
— 3.a.Pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pupuk wilayah provinsi.
Bimbingan penggunaan pupuk.
— 3.a.Pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pupuk wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. — c. — d. — 4. Penetapan standar mutu pupuk.
— c. — d. Pemantauan dan evaluasi ketersediaan pupuk.
Pengawasan standar mutu pupuk.
Pengembangan dan pembinaan unit usaha pelayanan pupuk.
Bimbingan penyediaan, penyaluran dan penggunaan pupuk.
Pelaksanaan peringatan dini dan pengamanan terhadap ketersediaan pupuk.
Bimbingan penerapan standar mutu pupuk. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pestisida 1. Penetapan kebijakan dan pedoman penggunaan pestisida.
Pendaftaran dan pengawasan formula pestisida.
a.Penetapan pedoman pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pestisida.
— c. — d. — 4. Penetapan standar mutu pestisida.
Pelaksanaan kebijakan penggunaan pestisida wilayah provinsi.
— 3.a.Pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pestisida wilayah provinsi.
— c. — d. Pemantauan dan evaluasi ketersediaan pestisida.
Pengawasan standar mutu pestisida.
Pelaksanaan kebijakan penggunaan pestisida wilayah kabupaten/kota.
— 3.a.Pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pestisida wilayah kabupaten/kota.
Pengembangan unit usaha pelayanan pestisida.
Bimbingan penyediaan, penyaluran dan penggunaan pestisida.
Pelaksanaan peringatan dini dan pengamanan terhadap ketersediaan pestisida.
Bimbingan penerapan standar mutu pestisida. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Alat dan Mesin Perkebunan 1. Penetapan kebijakan alat dan mesin perkebunan.
— 3. Pendaftaran prototipe alat dan mesin perkebunan.
Penetapan kebijakan standar mutu alat dan mesin perkebunan.
Pengujian mutu alat dan mesin perkebunan dalam rangka standarisasi.
a.Penetapan pedoman pengawasan produksi, peredaran, penggunaan dan pengujian alat dan mesin 1. Pelaksanaan kebijakan alat dan mesin perkebunan wilayah provinsi.
Identifikasi dan inventarisasi kebutuhan alat dan mesin perkebunan wilayah provinsi.
Penentuan kebutuhan prototipe alat dan mesin perkebunan.
Penerapan standar mutu alat dan mesin perkebunan.
— 6.a.Pembinaan dan pengawasan standar mutu alat dan mesin perkebunan wilayah provinsi.
Pelaksanaan kebijakan alat dan mesin perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Identifikasi dan inventarisasi kebutuhan alat dan mesin perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Pengembangan alat dan mesin perkebunan sesuai standar.
Penerapan standar mutu alat dan mesin perkebunan.
— 6.a.Pengawasan standar mutu dan alat mesin perkebunan wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA perkebunan.
— c. — d. — e. — f. — b. — c. — d. — e. — f. — b. Pembinaan dan pengembangan jasa alat dan mesin perkebunan.
Pemberian izin pengadaan dan peredaran alat dan mesin perkebunan.
Analisis teknis, ekonomis dan sosial budaya alat dan mesin perkebunan sesuai kebutuhan lokalita.
Bimbingan penggunaan dan pemeliharaan alat dan mesin perkebunan.
Pembinaan dan pengembangan bengkel/pengrajin alat dan mesin perkebunan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Benih Perkebunan 1.a.Penetapan kebijakan dan pedoman perbenihan perkebunan.
— 2. Pelepasan dan penarikan varietas perkebunan.
Pengaturan pemasukan dan pengeluaran benih perkebunan dari dan keluar wilayah negara RI.
a.Penetapan standar mutu pengawasan dan sertifikasi benih perkebunan.
a.Pemantauan dan evaluasi penerapan pedoman perbenihan perkebunan.
Penyusunan kebijakan benih perkebunan antar lapang (antar kabupaten).
Identifikasi dan pengembangan varietas unggul lokal.
Pemantauan benih impor wilayah provinsi.
a.Pengawasan penerapan standar mutu benih perkebunan wilayah provinsi.
a.Bimbingan penerapan pedoman perbenihan perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Penerapan kebijakan dan pedoman perbenihan perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Identifikasi dan pengembangan varietas unggul lokal.
Pemantauan benih impor wilayah kabupaten/kota.
a.Bimbingan penerapan standar mutu benih perkebunan wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. — c. — d. — e. — f. — g. — h. — b. Pengaturan penggunaan benih perkebunan wilayah provinsi.
Pengawasan dan sertifikasi benih perkebunan.
— e. — f. — g. — h. — b. Pengaturan penggunaan benih perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengawasan penangkar benih perkebunan.
Pembinaan dan pengawasan perbanyakan peredaran dan penggunaan benih perkebunan.
Bimbingan dan pemantauan produksi benih perkebunan.
Bimbingan penerapan standar teknis perbenihan perkebunan yang meliputi sarana, tenaga dan metode.
Pemberian izin produksi benih perkebunan.
Pengujian dan penyebarluasan benih perkebunan varietas unggul spesifik lokasi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA i. — j. — k. — l. — m.— n. — i. — j. — k. — l. — m.Pembangunan dan pengelolaan balai benih wilayah provinsi.
— i. Perbanyakan dan penyaluran mata tempel dan benih perkebunan tanaman.
Pelaksanaan dan bimbingan dan distribusi pohon induk.
Penetapan sentra produksi benih perkebunan.
Pengembangan sistem informasi perbenihan perkebunan.
Pembangunan dan pengelolaan balai benih wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengawasan balai benih milik swasta. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Pembiayaan 1.a.Penetapan kebijakan dan pedoman pembiayaan bidang perkebunan dari lembaga keuangan perbankan, non perbankan dan dana yang bersumber dari masyarakat.
— c.— d.— 1.a.Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pedoman pembiayaan dari lembaga keuangan perbankan, non perbankan dan dana yang bersumber dari masyarakat wilayah provinsi.
— c.— d.— 1.a.Bimbingan pengembangan dan pemanfaatan sumber-sumber pembiayaan/kredit perkebunan.
Bimbingan penyusunan rencana usaha perkebunan.
Bimbingan pemberdayaan lembaga keuangan mikro pedesaan.
Pengawasan penyaluran, pemanfaatan dan pengendalian kredit wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Perlindungan Perkebunan 1. Penetapan kebijakan perlindungan perkebunan.
a.Pengaturan dan penetapan norma dan standar teknis pengendalian OPT dan analisis mitigasi dampak fenomena iklim.
— c. — d. — 1. — 2.a.Pengamatan, identifikasi, pemetaan, pengendalian dan analisis dampak kerugian OPT/fenomena iklim wilayah provinsi.
Bimbingan pemantauan, pengamatan, dan peramalan OPT/fenomena iklim wilayah provinsi.
Penyebaran informasi keadaan serangan OPT/fenomena iklim dan rekomendasi pengendaliannya di wilayah provinsi.
Pemantauan dan pengamatan daerah yang diduga sebagai sumber OPT/fenomena iklim wilayah provinsi.
— 2.a.Pengamatan, identifikasi, pemetaan, pengendalian dan analisis dampak kerugian OPT/fenomena iklim wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pemantauan, pengamatan, dan peramalan OPT/fenomena iklim wilayah kabupaten/kota.
Penyebaran informasi keadaan serangan OPT/fenomena iklim dan rekomendasi pengendaliannya di wilayah kabupaten/kota.
Pemantauan dan pengamatan daerah yang diduga sebagai sumber OPT/fenomena iklim wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e. — f. — 3. Penetapan dan penanggulangan wabah OPT skala nasional.
Penanganan gangguan usaha perkebunan skala nasional.
Penyediaan dukungan pengendalian, eradikasi tanaman dan bagian tanaman wilayah provinsi.
Pemantauan, peramalan, pengendalian dan penanggulangan eksplosi OPT/fenomena iklim wilayah provinsi.
Pengaturan dan pelaksanaan penanggulangan wabah hama dan penyakit menular tanaman wilayah provinsi.
Penanganan gangguan usaha perkebunan wilayah provinsi.
Penyediaan dukungan pengendalian, eradikasi tanaman dan bagian tanaman wilayah kabupaten/kota.
Pemantauan, peramalan, pengendalian dan penanggulangan eksplosi OPT/fenomena iklim wilayah kabupaten/kota.
Pengaturan dan pelaksanaan penanggulangan wabah hama dan penyakit menular tanaman wilayah kabupaten/kota.
Penanganan gangguan usaha perkebunan wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Perizinan Usaha 1.a.Penetapan pedoman perizinan usaha perkebunan (budidaya dan industri pengolahan).
— 1.a.Pemberian izin usaha perkebunan lintas kabupaten/kota.
Pemantauan dan pengawasan izin usaha perkebunan lintas kabupaten/kota.
a.Pemberian izin usaha perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Pemantauan dan pengawasan izin usaha perkebunan di wilayah kabupaten/kota.
Teknis Budidaya 1. Penetapan pedoman teknis budidaya perkebunan. 1. Bimbingan penerapan pedoman teknis budidaya perkebunan wilayah provinsi.
Bimbingan penerapan pedoman teknis budidaya perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan Usaha 1.a. Penetapan pedoman pembinaan usaha perkebunan.
— 1.a. Bimbingan kelembagaan usaha tani, manajemen usaha tani dan pencapaian pola kerjasama usaha tani wilayah provinsi.
Bimbingan pemantauan dan pemeriksaan hygiene dan sanitasi lingkungan usaha perkebunan wilayah provinsi.
a. Bimbingan kelembagaan usaha tani, manajemen usaha tani dan pencapaian pola kerjasama usaha tani wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pemantauan dan pemeriksaan hygiene dan sanitasi lingkungan usaha perkebunan wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. — d. — 2. Penetapan program kerjasama/kemitraan usaha perkebunan.
Pelaksanaan studi amdal/UKL- UPL di bidang perkebunan wilayah provinsi.
Bimbingan pelaksanaan amdal wilayah provinsi.
Bimbingan penerapan pedoman/kerjasama kemitraan usaha perkebunan wilayah provinsi.
Pelaksanaan studi amdal/UKL- UPL di bidang perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelaksanaan amdal wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penerapan pedoman/kerjasama kemitraan usaha perkebunan.
Panen, Pasca Panen dan Pengolahan Hasil 1.a.Penetapan kebijakan penanganan panen, pasca panen dan pengolahan hasil perkebunan.
— 2. Penetapan pedoman perkiraan kehilangan hasil perkebunan.
a.Pemantauan dan evaluasi penanganan panen, pasca panen dan pengolahan hasil perkebunan wilayah provinsi.
Bimbingan peningkatan mutu hasil perkebunan wilayah provinsi.
Bimbingan penghitungan perkiraan kehilangan hasil perkebunan wilayah provinsi.
a.Bimbingan penanganan panen, pasca panen dan pengolahan hasil perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan peningkatan mutu hasil perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Penghitungan perkiraan kehilangan hasil perkebunan wilayah kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan standar unit pengolahan, alat transportasi, unit penyimpanan dan kemasan hasil perkebunan.
a.Penetapan pedoman teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil.
— 3. Pengawasan standar unit pengolahan, alat transportasi, unit penyimpanan dan kemasan hasil perkebunan wilayah provinsi.
a.Penyebarluasan dan pemantauan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil wilayah provinsi.
— 3. Bimbingan penerapan standar unit pengolahan, alat transportasi, unit penyimpanan dan kemasan hasil perkebunan wilayah kabupaten/kota.
a.Penyebarluasan dan pemantauan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil wilayah kabupaten/kota.
Pemasaran 1. Penetapan pedoman pemasaran hasil perkebunan.
Promosi komoditas perkebunan tingkat nasional dan internasional.
Pemantauan dan evaluasi pemasaran hasil perkebunan wilayah provinsi.
Promosi komoditas perkebunan wilayah provinsi.
Bimbingan pemasaran hasil perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Promosi komoditas perkebunan wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penyebarluasan informasi pasar dalam dan luar negeri.
Penetapan kebijakan harga komoditas perkebunan.
Penyebarluasan informasi pasar wilayah provinsi.
Pemantauan dan evaluasi harga komoditas perkebunan wilayah provinsi.
Penyebarluasan informasi pasar wilayah kabupaten/kota.
Pengawasan harga komoditas perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Sarana Usaha 1.a.Penetapan kebijakan dan pedoman pengembangan sarana usaha.
— 1.a.Pemantauan dan evaluasi pengembangan sarana usaha wilayah provinsi.
Bimbingan teknis pembangunan dan sarana fisik (bangunan) penyimpanan, pengolahan dan pemasaran sarana produksi serta pemasaran hasil perkebunan wilayah provinsi.
a.Bimbingan pengembangan sarana usaha wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan teknis pembangunan dan sarana fisik (bangunan) penyimpanan, pengolahan dan pemasaran sarana produksi serta pemasaran hasil perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Pengembangan Statistik dan Sistem Informasi Perkebunan 1. Penetapan kebijakan dan pedoman perstatistikan perkebunan.
Pembinaan dan pengelolaan 1. Penyusunan statistik perkebunan wilayah provinsi.
Bimbingan penerapan sistem 1. Penyusunan statistik perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penerapan sistem SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA data dan statistik serta sistem informasi perkebunan. informasi perkebunan wilayah provinsi. informasi perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Pengawasan dan Evaluasi 1. Pengawasan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan, norma, standar, kriteria, pedoman dan prosedur di bidang perkebunan.
— 1. — 3. Peternakan dan Kesehatan Hewan 1. Kawasan Peternakan 1. Penetapan pedoman tata cara penetapan dan pengawasan kawasan peternakan.
a.Penetapan peta potensi peternakan.
— c.— 1. Penetapan dan pengawasan kawasan peternakan wilayah provinsi.
a.Penetapan peta potensi peternakan wilayah provinsi.
Penetapan dan pengawasan kawasan peternakan wilayah provinsi.
Penetapan peta potensi peternakan wilayah provinsi.
Penetapan dan pengawasan kawasan peternakan wilayah kabupaten/kota.
a.Penetapan peta potensi peternakan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penetapan kawasan industri peternakan rakyat.
Pengembangan lahan hijauan pakan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan pedoman penetapan padang pengembalaan. 3. Penerapan pedoman penetapan padang pengembalaan.
Penetapan padang pengembalaan.
Alat dan Mesin Peternakan dan Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) 1.a.Penetapan kebijakan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet.
— 2. Penetapan pedoman dan standar mutu kebijakan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet.
a.Penetapan pedoman pengawasan produksi, peredaran, penggunaan dan 1.a. Penerapan kebijakan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah provinsi.
Pemantauan, identifikasi dan inventarisasi kebutuhan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet.
Penerapan standar mutu dan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan Kesmavet wilayah provinsi.
a. Pembinaan dan pengawasan standar mutu alat dan mesin peternakan dan kesehatan 1.a.Penerapan kebijakan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah kabupaten/ kota.
Identifikasi dan inventarisasi kebutuhan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet.
Pengawasan penerapan standar mutu alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet.
a.Pengawasan penerapan standar mutu alat dan mesin peternakan dan kesehatan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pengujian alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet.
— c.— d.— hewan dan kesmavet wilayah provinsi.
Penerapan pedoman pengawasan produksi, peredaan, penggunaan dan pengujian alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah provinsi.
Pembinaan dan pengawasan kebijakan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah provinsi.
— hewan dan kesmavet wilayah kabupaten/kota.
Pengawasan produksi, peredaran, penggunaan dan pengujian alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengembangan pelayanan jasa alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah kabupaten/ kota.
Analisis teknis, ekonomis dan sosial budaya alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan sesuai kebutuhan lokalita wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e.— f. — g.— h.— e. Penerapan standar dukungan rekayasa teknologi peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah provinsi.
Pembinaan dan pengawasan penerapan standar teknis alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah provinsi.
Pembinaan dan pengawasan rekayasa dan pemeliharaan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah provinsi.
Pengawasan penerapan teknologi bidang peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah provinsi.
Bimbingan penggunaan dan pemeliharaan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengembangan bengkel/ pengrajin alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet kabupaten/kota.
Pelaksanaan temuan-temuan teknologi baru di bidang peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan kajian, pengenalan dan pengembangan teknologi tepat guna bidang peternakan dan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA i. — i. Pembinaan kerjasama teknologi bidang peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah provinsi. kesehatan hewan dan kesmavet wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan kerjasama dengan lembaga-lembaga teknologi peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet kabupaten/kota.
Pemanfaatan Air untuk Peternakan dan Kesehatan Hewan dan Kesmavet 1. Penetapan pedoman pemanfaatan air untuk usaha peternakan, kesehatan hewan dan kesmavet.
Penetapan kebijakan dan pengembangan teknologi optimalisasi pengelolaan pemanfaatan air untuk usaha peternakan, kesehatan hewan dan kesmavet.
Bimbingan pemanfaatan air untuk usaha peternakan, kesehatan hewan dan kesmavet wilayah provinsi.
Pemantauan dan evaluasi pengembangan teknologi optimalisasi pengelolaan pemanfaatan air untuk usaha peternakan, kesehatan hewan dan kesmavet.
Bimbingan pemanfaatan air untuk usaha peternakan, kesehatan hewan dan kesmavet wilayah kabupaten/ kota. 2. Bimbingan penerapan teknologi optimalisasi pengelolaan pemanfaatan air untuk usaha peternakan, kesehatan hewan dan kesmavet.
Obat hewan, Vaksin, Sera dan Sediaan 1. Penetapan kebijakan obat hewan. 1. Penerapan kebijakan obat hewan wilayah provinsi. 1. Penerapan kebijakan obat hewan wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA Biologis 2. Penerbitan sertifikat Cara Pembuatan Obat Hewan yang Baik (CPOHB).
a.Penetapan standar mutu obat hewan.
— c. — 4. Pengawasan produksi dan peredaran obat hewan di tingkat produsen dan importir.
Penetapan pedoman produksi, peredaran dan penggunaan obat hewan.
Pemetaan identifikasi dan inventarisasi kebutuhan obat hewan wilayah provinsi.
a. Penerapan dan pengawasan standar mutu obat hewan wilayah provinsi.
— c. — 4. Pembinaan dan pengawasan peredaran obat hewan di tingkat distributor.
Pembinaan dan pengawasan peredaran obat hewan di tingkat distributor.
Identifikasi dan inventarisasi kebutuhan obat hewan wilayah kabupaten/kota.
a.Penerapan standar mutu obat hewan wilayah kabupaten/kota.
Pengawasan peredaran dan penggunaan obat hewan tingkat depo, toko, kios dan pengecer obat hewan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pemakaian obat hewan di tingkat peternak.
Bimbingan peredaran obat hewan tingkat depo, toko, kios dan pengecer obat hewan wilayah kabupaten/kota.
Pemeriksaan, pengadaan, penyimpanan, pemakaian dan peredaran obat hewan wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6.a.Pengujian mutu dan sertifikasi obat hewan.
— c. — d. — e. — f. — 6.a. — b. — c. — d. — e. — f. — 6.a. Pelaksanaan pemeriksaan penanggung jawab wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penyimpanan dan pemakaian obat hewan.
Pelaksanaan penerbitan perizinan bidang obat hewan wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan penerbitan penyimpanan mutu dan perubahan bentuk obat hewan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelaksanaan pemeriksaan bahan produk asal hewan dari residu obat hewan (daging, telur dan susu) wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pemakaian, penyimpanan, penggunaan sediaan vaksin, sera dan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA g. — h. — i. — g. — h. — i. — bahan diagnostik biologis untuk hewan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelaksanaan pemeriksaan sediaan premik wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelaksanaan pendaftaran obat hewan tradisional/pabrikan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan kelembagaan/Asosiasi bidang Obat Hewan (ASOHI) wilayah kabupaten/kota.
Pakan Ternak 1. Penetapan kebijakan pakan ternak.
a.Penetapan pedoman produksi pakan ternak (konsentrat dan 1. Penerapan kebijakan pakan ternak di wilayah provinsi.
a. Bimbingan produksi pakan ternak dan bahan baku 1. Penerapan kebijakan pakan ternak wilayah kabupaten/kota.
a. Bimbingan produksi pakan dan bahan baku pakan ternak SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA hijauan pakan) dan bahan baku pakan.
— 3.a.Penetapan standar mutu pakan ternak.
— c. — 4.a.Penetapan pedoman pengawasan mutu pakan ternak.
— pakan ternak wilayah provinsi.
— 3.a. Penerapan standar mutu pakan ternak wilayah provinsi.
Pembinaan dan pengawasan labelisasi dan sertifikasi pakan ternak wilayah provinsi.
Labelisasi dan sertifikasi mutu pakan ternak.
a. Pengawasan mutu pakan dan bahan baku pakan wilayah provinsi.
Pengadaan, perbanyakan dan penyaluran benih hijauan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penerapan teknologi pakan ternak wilayah kabupaten/kota.
a. Bimbingan standar mutu pakan ternak wilayah kabupaten/kota.
— c. — 4.a. Pengawasan mutu pakan ternak wilayah kabupaten/kota.
Pengadaan, perbanyakan dan penyaluran benih hijauan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. — d.— e. — f. — g. — pakan wilayah provinsi.
— d. Pembinaan dan pengawasan produksi pakan dan bahan baku pakan wilayah provinsi.
— f. — g. — pakan wilayah kabupaten/kota.
Penyelenggaraan kebun benih hijauan pakan.
Bimbingan pembuatan, penggunaan dan peredaran pakan jadi wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pembuatan, penggunaan dan peredaran pakan konsentrat wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pembuatan, penggunaan dan peredaran pakan tambahan dan pelengkap pengganti (additive and supplement) wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan usaha mini feedmil pedesaan (home industry) SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA h.— i. — j. — k.— l. — h. — i. — j. — k. — l. — wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan pemeriksaan pakan jadi wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan pemeriksaan pakan konsentrat wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan pemeriksaan pakan tambahan dan pengganti (additive and supplement) wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan produksi benih hijauan pakan ternak wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan kerjasama perluasan produksi hijauan pakan ternak wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Bibit Ternak 1.a.Penetapan kebijakan perbibitan ternak.
— 2.a.Penetapan pedoman perbibitan (standar mutu, sertifikasi) dan plasma nutfah.
— c. — d. — 1.a. Penerapan dan pengawasan pelaksanaan kebijakan perbibitan ternak wilayah provinsi.
Penerapan dan pengawasan standar perbibitan ternak wilayah provinsi.
a. Pembinaan dan pengawasan produksi ternak bibit wilayah provinsi.
Penerapan dan pengawasan pedoman perbibitan (standar mutu) wilayah provinsi.
Penetapan sertifikasi dan penetapan standar mutu genetik bibit ternak wilayah provinsi.
— 1.a. — b. — 2.a. Bimbingan seleksi ternak bibit wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penerapan standar perbibitan dan plasma nutfah wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan registrasi/pencatatan ternak bibit wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pembuatan dan pengesahan silsilah ternak. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pengaturan pemasukan dan pengeluaran bibit/benih ternak.
a. Produksi ternak bibit murni dan unggul.
— 5. Penetapan pedoman dan pengaturan pengelolaan plasma nutfah peternakan.
a.Produksi semen beku dan embrio ternak bibit unggul.
— 3. Pengawasan peredaran lalu lintas bibit/benih ternak di wilayah provinsi.
a. Penetapan kabupaten/kota sebagai lokasi penyebaran ternak bibit wilayah provinsi.
Penetapan penggunaan bibit unggul wilayah provinsi.
Penerapan kebijakan konservasi (pelestarian) ternak bibit murni dan unggul/plasma nutfah peternakan wilayah provinsi.
a.Pembinaan dan pengadaan semen beku wilayah provinsi.
Pembinaan dan pemantauan pelaksanaan inseminasi buatan, progeny test dan 3. Pengawasan peredaran bibit/benih ternak wilayah kabupaten/kota.
a. Penetapan lokasi dan penyebaran bibit ternak wilayah kabupaten/kota.
Penetapan penggunaan bibit unggul wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelestarian plasma nutfah peternakan wilayah kabupaten/kota.
a.Pengadaan/produksi dan pengawasan semen beku wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan inseminasi buatan wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. — d. — e. — 7.a.Penetapan pedoman pengawasan dan produksi bibit ternak.
— transfer embrio wilayah provinsi.
— d. — e. Pembinaan distribusi mani beku (straw) wilayah provinsi.
a.Pemantauan dan pengawasan penerapan standar teknis mutu bibit Day Old Chick Final Stock wilayah provinsi.
Pemantauan dan pengawasan penerapan standar teknis mutu bibit ternak wilayah c. Bimbingan dan pengawasan pelaksanaan inseminasi buatan oleh masyarakat.
Produksi mani beku ternak lokal (lokal spesifik) wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan produksi mani beku lokal (lokal spesifik) untuk kabupaten/kota.
a.Bimbingan penerapan standar-standar teknis dan sertifikasi perbibitan meliputi sarana, tenaga kerja, mutu dan metode wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan peredaran mutu bibit wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. — d. — e. — f. — g. — provinsi.
Pengaturan kawasan sumber- sumber bibit dan plasma nutfah wilayah provinsi.
Pembinaan dan pengawasan sertifikasi produksi bibit ternak wilayah provinsi.
Penetapan sertifikasi rekayasa teknologi mutu genetik (inseminasi buatan, embrio transfer) wilayah provinsi.
Penetapan sertifikasi tenaga ahli perbibitan (surat ijin melakukan inseminasi buatan, pemeriksaan kebuntingan, asisten reproduksi) wilayah provinsi.
Pembinaan pembibitan ternak di unit pelaksana teknis dinas c. Pelaksanaan penetapan penyaluran ternak bibit yang dilakukan oleh swasta wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan registrasi hasil inseminasi buatan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan kastrasi ternak non bibit wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan perizinan produksi ternak bibit wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelaksanaan pengadaan dan/atau produksi SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA h. — i. — j. — k. — wilayah provinsi.
Pembinaan dan pengadaan bibit ternak wilayah provinsi.
Pembinaan mutu genetik ternak dengan rekayasa teknologi tepat guna (inseminasi buatan dan embrio transfer) wilayah provinsi.
Penetapan sertifikasi embrio ternak wilayah provinsi.
Penetapan sertifikasi embrio ternak wilayah provinsi. mudigah, alih mudigah serta pemantauan pelaksanaan dan registrasi hasil mudigah wilayah kabupaten/kota.
Pengadaan dan pengawasan bibit ternak wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelaksanaan inseminasi buatan yang dilakukan oleh swasta wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan sertifikasi pejantan unggul sebagai pemacek wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pemantauan produksi mani beku ternak lokal (lokal spesifik) wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA l. — m.— n. — o. — p. — l. Penetapan sertifikasi produksi benih mani beku wilayah provinsi.
Pembinaan sumber bibit ternak (hasil inseminasi buatan crossing ) wilayah provinsi.
Pembinaan sumber bibit ternak (hasil inseminasi buatan crossing ) wilayah provinsi.
Pembinaan dan pengawasan breeding replacement melalui rearing cool (mempercepat penyediaan bibit) wilayah provinsi.
Pembinaan dan pengawasan penyaringan bibit di kawasan produksi peternakan wilayah provinsi.
Bimbingan pengadaan produksi mani beku ternak produksi dalam negeri wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelaksanaan penyebaran bibit unggul wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelaksanaan penyebaran bibit unggul wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelaksanaan uji reformans recording dan seleksi wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelaksanaan identifikasi perbibitan wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Pembiayaan 1.a.Penetapan kebijakan dan pedoman pengembangan investasi dan permodalan melalui lembaga perbankan dan non perbankan dan dana yang bersumber dari masyarakat.
— c. — d. — e. — 1.a.Penerapan kebijakan dan pemantauan pengembangan investasi dan kebijakan permodalan melalui lembaga perbankan dan non perbankan wilayah provinsi.
— c. — d. — e. Pengawasan penyaluran, pemanfaatan dan kredit program wilayah provinsi.
a.Penerapan kebijakan dan pedoman pembiayaan dari lembaga keuangan perbankan dan non perbankan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pengembangan dan pemanfaatan sumber-sumber pembiayaan/kredit program wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penyusunan rencana usaha agribisnis wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pemberdayaan lembaga keuangan mikro pedesaan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan dan pengawasan penyaluran, pemanfaatan dan kredit program wilayah SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA f. — f. Pembinaan dan pengawasan penyaluran, pemanfaatan dan kredit program wilayah provinsi. kabupaten/kota.
— 8. Kesehatan Hewan (Keswan), Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan 1.a.Penetapan kebijakan dan pedoman keswan, kesmavet dan kesejahteraan hewan.
— c. — d. — 1.a.Penerapan kebijakan dan pedoman keswan, kesmavet dan kesejahteraan hewan wilayah provinsi.
Pembinaan dan pengawasan praktek hygiene -sanitasi produsen Produk Asal Hewan (PAH).
Sertifikasi dan surveilans Nomor Kontrol Veteriner (NKV) unit usaha PAH yang memenuhi syarat.
Pengawasan peredaran lalu lintas produk hewan dari/ke wilayah provinsi dan lintas kabupaten/kota.
a.Penerapan kebijakan dan pedoman keswan, kesmavet dan kesejahteraan hewan wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengawasan praktek hygiene -sanitasi pada produsen dan tempat penjajaan PAH.
Monitoring penerapan persyaratan hygiene -sanitasi pada unit usaha PAH yang mendapat NKV.
Pengawasan lalu lintas produk ternak dari/ke wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e. — f. — g. — 2.a.Pengamatan, penyidikan dan pemetaan penyakit hewan nasional.
— e. Pembinaan penerapan kesejahteraan hewan.
— g. — 2.a.Pengamatan, penyidikan dan pemetaan penyakit hewan wilayah provinsi.
— e. Bimbingan dan penerapan kesejahteraan hewan.
Bimbingan pembangunan dan pengelolaan pasar hewan dan unit-unit pelayanan keswan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pemantauan dan pengawasan pembangunan dan operasional pasar hewan dan unit-unit pelayanan keswan wilayah kabupaten/kota.
a.Pengamatan, penyidikan dan pemetaan penyakit hewan wilayah kabupaten/kota.
Pengawasan kesehatan masyarakat veteriner. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3.a.Pengaturan dan penetapan norma, standar teknis pelayanan keswan, kesmavet serta kesejahteraan hewan.
— 4. Pembinaan pembangunan dan pengelolaan laboratorium keswan dan laboratorium kesmavet skala nasional.
a.Penetapan dan penanggulangan wabah termasuk zoonosis tertentu berskala nasional.
— 3.a.Penerapan dan pengawasan norma standar teknis pelayanan keswan, kesmavet serta kesejahteraan hewan wilayah provinsi.
— 4. Pembangunan dan pengelolaan laboratorium keswan dan laboratorium kesmavet wilayah provinsi.
a.Penanggulangan wabah dan penyakit hewan menular wilayah provinsi.
Pemantauan dan pengawasan pelaksanaan penanggulangan wabah dan penyakit hewan menular wilayah provinsi.
a.Penerapan dan pengawasan norma, standar teknis pelayanan keswan, kesmavet serta kesejahteraan hewan wilayah kabupaten/kota.
Pengawasan urusan kesejahteraan hewan.
Bimbingan pembangunan dan pengelolaan laboratorium keswan dan laboratorium kesmavet wilayah kabupaten/kota.
a.Penanggulangan wabah dan penyakit hewan menular wilayah kabupaten/kota.
Pemantauan dan pengawasan pelaksanaan penanggulangan wabah dan penyakit hewan menular wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. — d. — e. — 6. Penetapan standar teknis minimal Rumah Potong Hewan (RPH) dan Rumah Potong Unggas (RPU) keamanan dan mutu produk hewan, laboratorium kesmavet, satuan pelayanan peternakan terpadu, rumah sakit hewan dan pelayanan keswan.
Pencegahan penyakit hewan menular wilayah provinsi.
Penutupan dan pembukaan kembali status daerah wabah tingkat provinsi.
Pengaturan dan pengawasan pelaksanaan pelarangan pemasukan hewan, bahan asal hewan ke/dari wilayah Indonesia antar provinsi di wilayah provinsi.
Penetapan dan identifikasi kebutuhan standar teknis minimal RPH/RPU, keamanan dan mutu produk hewan, laboratorium kesmavet, satuan pelayanan peternakan terpadu, rumah sakit hewan dan pelayanan keswan.
Pencegahan penyakit hewan menular wilayah kabupaten/kota.
Penutupan dan pembukaan kembali status daerah wabah kabupaten/kota.
Pengaturan dan pengawasan pelaksanaan pelarangan pemasukan hewan, bahan asal hewan ke/dari wilayah Indonesia antar provinsi di wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penerapan dan standar teknis minimal RPH/RPU, keamanan dan mutu produk hewan, laboratorium kesmavet, satuan pelayanan peternakan terpadu, rumah sakit hewan dan pelayanan keswan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Penetapan pedoman pengawasan lalu lintas ternak, produk ternak dan hewan kesayangan.
a.Penetapan pedoman pelayanan keswan.
— c.— 7. Pengawasan lalu lintas ternak, produk ternak dan hewan kesayangan dari/ke wilayah provinsi dan lintas kabupaten/kota.
a.Pembinaan dan pengawasan pelayanan keswan.
— c. — 7. Pengawasan lalu lintas ternak, produk ternak dan hewan kesayangan dari/ke wilayah kabupaten/kota.
a.Bimbingan pelaksanaan unit pelayanan keswan (pos keswan, praktek dokter hewan mandiri, klinik hewan).
Bimbingan dan pelaksanaan pengamatan, pemetaan, pencatatan kejadian dan penanggulangan penyakit hewan.
Bimbingan pelaksanaan penyidikan epidemiologi penyakit hewan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d.— e.— f. — g.— d. — e. Pembinaan dan pengawasan penerapan standar teknis RPH dan RPU, rumah sakit hewan/unit pelayanan keswan terpadu, pet shop , poultry shop dan distributor obat hewan.
— g. — d. Bimbingan pelayanan kesehatan hewan pada lembaga-lembaga maupun perorangan yang mendapat ijin konservasi satwa liar.
Bimbingan dan pengawasan pelayanan keswan, kesmavet di RPH, tempat pemotongan hewan sementara, tempat pemotongan hewan darurat dan usaha susu.
Bimbingan pengaturan pelayanan kesehatan hewan pada lalu lintas tata niaga hewan (hewan besar, sedang dan kecil).
Bimbingan pelaksanaan sosialisasi dan surveilance Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP). SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA h.— i. — j. — k.— l. — h. Pembinaan dan pengawasan RPH dan RPU.
— j. — k.Pemeriksaan dan pengawasan residu produk pangan asal hewan.
Pembinaan dan sertifikasi pelayanan medik veteriner (dokter hewan praktek, klinik hewan dan rumah sakit hewan).
Bimbingan pelaksanaan standarisasi jagal hewan.
Bimbingan pelaksanaan pelaporan dan pendataan penyakit individual/menular yang mewabah.
Bimbingan pelaksanaan penutupan wilayah pada penyakit hewan yang menular yang mewabah.
Bimbingan pelaksanaan pemeriksaan peredaran produk pangan asal hewan dan pengolahan produk pangan asal hewan.
Bimbingan pelaksanaan dan pengawasan larangan pemotongan ternak betina produktif. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA m. — n.— o.— p.— q.— m. Pembinaan, pengawasan dan pengujian ternak dan bahan asal hewan untuk tujuan ekspor (ternak, daging, susu, hewan kesayangan, hewan liar, dll).
— o. Pembinaan dan pengawasan penyidikan penyakit hewan.
Pembinaan penyidikan dan epidemiologi penyakit hewan, parasit, bakteri, virus dan penyakit hewan lainnya.
Pembinaan pemberantasan dan pencegahan wabah m.Bimbingan pelaksanaan pemantauan penyakit zoonosis.
Bimbingan pelaksaaan peredaran produk pangan asal hewan dan produk hewani non pangan.
Bimbingan pengamatan dan penyidikan epidemiologi penyakit hewan parasit, bakteri, virus dan penyakit hewan lainnya.
— q. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA r. — s.— t. — u. — v.— w. — penyakit hewan menular strategis mewabah.
Pembinaan peramalan wabah penyakit hewan menular wilayah provinsi.
Pembinaan penutupan dan pembukaan kembali wilayah penyakit hewan menular lintas kabupaten/kota.
Pembinaan pembuatan peta situasi penyebaran penyakit hewan di provinsi.
Pembinaan dan pengawasan dan pemantauan penyakit hewan zoonosis.
Pembinaan pelayanan dan pengamanan wilayah terpadu pada kejadian wabah/epidemik.
Pembinaan penerapan r. — s. Penutupan dan pembukaan kembali wilayah penyakit hewan menular skala kabupaten/kota.
— u. — v. — w. Bimbingan penerapan norma, SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA x.— y.— z. — 9.a.Penetapan pedoman dan standar dan sertifikasi pelayanan medik/paramedik veteriner.
— standar teknis pelayanan keswan, kesmavet serta kesejahteraan hewan wilayah provinsi.
— y. — z. — 9.a.Pembinaan dan pelaporan pelayanan medik/paramedik veteriner di lembaga-lembaga pemerintahan dan unit-unit pelayanan medik/paramedik veteriner di tingkat provinsi.
— standar teknis pelayanan keswan, kesmavet serta kesejahteraan hewan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan dan pengawasan urusan kesejahteraan hewan.
Sertifikasi keswan yang keluar/masuk wilayah kabupaten/kota.
Sertifikasi kesehatan bahan asal hewan yang keluar/masuk wilayah kabupaten/kota.
a.Pelaksanaan pelayanan medik/paramedik veteriner di kabupaten/kota.
Pelaporan pelayanan medik/ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 10.a. Pedoman, standar dan norma penyidikan penyakit hewan.
— c.— 10.a.Pembinaan dan pengawasan penyidikan penyakit hewan.
Pembinaan penyidikan dan epidemiologi penyakit hewan, parasit, bakteri dan penyakit hewan lainnya.
— paramedik veteriner dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit hewan menular/non menular, penyakit individual, penyakit parasiter, virus, bakteri, penyakit reproduksi dan gangguan reproduksi.
a.Bimbingan pengamatan dan penyidikan epidemiologi penyakit hewan parasit, bakteri, virus dan penyakit hewan lainnya.
Bimbingan penerapan norma, standar teknis pelayanan kesehatan hewan.
Sertifikasi kesehatan hewan yang keluar/masuk wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Penyebaran dan Pengembangan Peternakan 1.a.Penetapan kebijakan dan pedoman penyebaran dan pengembangan peternakan.
— 2.a.Penetapan pedoman lalu lintas ternak antar daerah.
— c. — 3.a. — 1.a.Penerapan dan pengawasan pelaksanaan kebijakan dan pedoman penyebaran dan pengembangan peternakan wilayah provinsi.
— 2.a.Pemantauan lalu lintas ternak wilayah provinsi.
— c. — 3.a. Pembinaan penetapan pedoman lalu lintas ternak bibit wilayah provinsi.
a.Pelaksanaan kebijakan penyebaran pengembangan peternakan wilayah kabupaten/kota.
Pemantauan penyebaran ternak yang dilakukan swasta wilayah kabupaten/kota.
a.Pemantauan lalu lintas ternak wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan melaksanakan kebijakan penyebaran dan pengembangan peternakan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pemantauan dan penyebaran ternak yang dilakukan swasta.
a. Bimbingan pelaksanaan penetapan penyebaran ternak wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. — 4. — 5. — 6. — 7. — 8. — b. — 4. — 5. — 6. — 7. — 8. — b. Bimbingan pelaksanaan penetapan penyebaran, registrasi dan redistribusi ternak wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelaksanaan identifikasi dan seleksi ternak wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelaksanaan identifikasi calon penggaduh wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelaksanaan seleksi lokasi.
Bimbingan pelaksanaan seleksi calon penggaduh.
Pelaksanaan identifikasi lokasi terhadap penyebaran ternak. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. — 10. — 9. — 10. — 9. Bimbingan pelaksanaan sistem dan pola penyebaran ternak.
Bimbingan pelaksanaan evaluasi pelaporan penyebaran dan pengembangan ternak.
Perizinan/ Rekomendasi 1.a.Penetapan pedoman pendaftaran perijinan usaha peternakan dan kesehatan hewan.
— c. — d. — e. — 1.a.Pembinaan pemberian perizinan usaha di bidang peternakan dan kesehatan hewan di wilayah provinsi.
— c. — d. — e. — 1.a.Pemberian izin usaha budidaya peternakan wilayah kabupaten/kota.
Pemberian izin rumah sakit hewan/pasar hewan.
Pemberian izin praktek dokter hewan.
Pemberian izin laboratorium keswan dan laboratorium kesmavet.
Pendaftaran usaha peternakan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA f. — g. — 2. Penetapan pedoman, norma dan standar pelayanan medik veteriner.
Pendaftaran mutu pakan.
a.Pendaftaran prototipe alat dan mesin peternakan dan keswan.
— f. — g. — 2. Pembinaan dan sertifikasi pelayanan medik veteriner (dokter hewan praktek, klinik hewan dan rumah sakit hewan).
Rekomendasi pendaftaran mutu pakan.
a.Penentuan kebutuhan prototipe alat dan mesin peternakan dan keswan wilayah provinsi.
— f. Pemberian izin usaha RPH/RPU.
Pemantauan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha peternakan.
— 3. — 4.a.Pemberian izin pengadaan dan peredaran alat dan mesin peternakan dan keswan wilayah kabupaten/kota.
Pengembangan alat dan mesin peternakan dan keswan sesuai standar wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pendaftaran obat hewan.
Pemberian izin usaha obat hewan sebagai produsen dan importir.
a.Pemberian izin pemasukan dan pengeluaran bibit ternak dari dan keluar negeri.
— 8.a.Pemberian persetujuan pemasukan hewan dan produk hewan dari luar negeri serta sertifikat pengeluaran dan produk hewan ke luar negeri.
— 5. — 6. Pemberian izin usaha obat hewan sebagai distributor wilayah provinsi.
a.Pemberian izin pengeluaran ternak bibit dan potong dari dan ke wilayah provinsi.
Pemantauan dan rekomendasi pemasukan dan pengeluaran dari dan keluar negeri.
a.Pemberian rekomendasi pemasukan/ pengeluaran hewan/ternak dan produk hewan dari dan antar provinsi/pulau.
— 5. — 6. Pemberian izin usaha obat hewan di tingkat depo, toko, kios dan pengecer obat hewan, poultry shop dan pet shop wilayah kabupaten/kota.
a.— b. Bimbingan dan pemantauan ternak bibit asal impor wilayah kabupaten/ kota.
a.Pemberian surat keterangan asal hewan dan produk hewan.
Pemberian surat keterangan asal/kesehatan bahan asal SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Penetapan instalasi karantina hewan sementara.
Penetapan pedoman usaha budidaya hewan kesayangan.
Penetapan pedoman, standar alat angkut/transportasi produk peternakan.
a.Penetapan pedoman pemberian NKV.
— 9. Pemberian rekomendasi instalasi karantina hewan di wilayah provinsi.
Pembinaan izin usaha budidaya hewan kesayangan wilayah provinsi.
Pembinaan usaha alat angkut/transportasi produk peternakan.
a.Pembinaan dan pemberian NKV untuk unit usaha produk pangan asal hewan wilayah provinsi.
— ternak dan hasil bahan asal ternak.
Pemberian rekomendasi instalasi karantina hewan di wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan izin usaha budidaya hewan kesayangan kabupaten/kota.
Pemberian izin usaha alat angkut/transportasi produk peternakan.
a.Bimbingan standar teknis unit usaha produk pangan asal hewan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelaksanaan penerapan NKV wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11.Pembinaan Usaha 1. Penetapan pedoman kerjasama/kemitraan usaha peternakan.
Penerapan dan pengawasan pelaksanaan pedoman kerjasama/kemitraan usaha peternakan wilayah provinsi.
Penerapan dan pengawasan pelaksanaan pedoman kerjasama/kemitraan usaha peternakan wilayah kabupaten/kota.
a.Penetapan pedoman pembinaan usaha peternakan yang meliputi budidaya pembinaan mutu, pengolahan hasil peternakan dan hasil bahan asal hewan, penetapan tarif pemasaran dan kelembagaan usaha.
a.Pembinaan dan pengawasan penerapan standar teknis pembinaan mutu dan pengolahan hasil peternakan dan hasil bahan asal hewan wilayah provinsi.
a.Bimbingan penerapan standar-standar teknis, pembinaan mutu dan pengolahan hasil peternakan wilayah kabupaten/kota.
— b. Pembinaan dan pengawasan lembaga sistem mutu produk peternakan dan hasil bahan asal hewan wilayah provinsi.
Bimbingan pemantauan dan pengawasan lembaga sistem mutu produk peternakan dan hasil bahan asal wilayah kabupaten/kota.
— c. Pembinaan dan pengawasan peningkatan mutu hasil peternakan dan hasil bahan asal hewan wilayah provinsi.
Bimbingan peningkatan mutu hasil peternakan dan hasil bahan asal hewan wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d. — d. Pembinaan dan pengawasan pengelolaan unit pengolahan alat transportasi, unit penyimpanan hasil bahan asal hewan wilayah provinsi.
Bimbingan pengelolaan unit pengolahan, alat transportasi, unit penyimpanan hasil bahan asal hewan wilayah kabupaten/kota.
— e. Promosi komoditas peternakan wilayah provinsi. e. Promosi komoditas peternakan wilayah kabupaten/kota.
— f. Pembinaan analisis usaha tani dan pemasaran hasil peternakan wilayah provinsi.
Bimbingan analisis usaha tani dan pemasaran hasil peternakan wilayah kabupaten/kota.
— g. Pembinaan kelembagaan usaha tani, manajemen usaha tani dan pencapaian pola kerjasama usaha tani wilayah provinsi.
Bimbingan kelembagaan usaha tani, manajemen usaha tani dan pencapaian pola kerjasama usaha tani wilayah kabupaten/kota.
— h. Pembinaan dan pengawasan penerapan standar teknis peternakan dan kesehatan hewan, pembinaan mutu dan pengelolaan hasil peternakan, h. Bimbingan pelaksanaan standardisasi teknis analisa usaha, pembinaan mutu dan pengolahan hasil serta pemasaran. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA i. — j. — k. — l. — kelembagaan usaha tani, pelayanan dan izin usaha.
— j. Pembinaan dan pengawasan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil peternakan wilayah provinsi.
Pembinaan dan pengawasan pemeriksaan hygiene dan sanitasi lingkungan usaha peternakan wilayah provinsi.
Pembinaan dan pelaksanaan studi amdal/UKL-UPL di bidang peternakan wilayah provinsi.
Pembinaan mutu dan pengelolaan hasil produk olahan peternakan dan keswan.
Bimbingan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil peternakan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pemantauan dan pemeriksaan hygiene dan sanitasi lingkungan usaha peternakan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan dan pelaksanaan studi amdal/UKL-UPL di bidang peternakan wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA m.— m.Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan amdal wilayah provinsi.
Bimbingan pelaksanaan amdal wilayah kabupaten/kota.
Penetapan pedoman kerjasama/kemitraan usaha peternakan.
Pembinaan dan pengawasan penerapan pedoman kerjasama/kemitraan usaha peternakan wilayah provinsi.
Bimbingan penerapan pedoman kerjasama/kemitraan usaha peternakan wilayah kabupaten/kota.
Sarana Usaha 1.a.Penetapan kebijakan, pedoman, norma dan standar sarana usaha.
— 1.a.Bimbingan penerapan pedoman, norma, standar sarana usaha wilayah provinsi.
Bimbingan teknis pembangunan sarana fisik (bangunan), penyimpanan, pengolahan dan pemasaran sarana produksi serta pemasaran hasil peternakan wilayah provinsi.
a.Bimbingan penerapan pedoman, norma, standar sarana usaha wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan teknis pembangunan sarana fisik (bangunan), penyimpanan, pengolahan dan pemasaran sarana produksi serta pemasaran hasil peternakan wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 13. Panen, Pasca Panen dan Pengolahan Hasil 1. Penetapan kebijakan penanganan panen, pasca panen dan pengolahan hasil peternakan.
Penetapan metode perkiraan kehilangan hasil budidaya peternakan.
Penetapan standar unit pengolahan, alat transportasi dan unit penyimpanan dan kemasan hasil peternakan.
a.Penetapan pedoman panen, pasca panen dan pengolahan hasil peternakan.
— 1. Pemantauan dan evaluasi penanganan panen, pasca panen dan pengolahan hasil peternakan wilayah provinsi.
Bimbingan perhitungan perkiraan kehilangan hasil budidaya peternakan wilayah provinsi.
Pengawasan standar unit pengolahan, alat transportasi dan unit penyimpanan dan kemasan hasil peternakan wilayah provinsi.
a.Penyebarluasan dan pemantauan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil peternakan wilayah provinsi.
— 1. Bimbingan penanganan panen, pasca panen dan pengolahan hasil peternakan wilayah kabupaten/kota.
Perhitungan perkiraan kehilangan hasil budidaya peternakan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penerapan standar unit pengolahan, alat transportasi dan unit penyimpanan dan kemasan hasil peternakan wilayah kabupaten/kota.
a.Penyebarluasan dan pemantauan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil peternakan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penerapan teknologi panen, pasca panen SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA dan pengolahan hasil peternakan wilayah kabupaten/kota.
Pemasaran 1. Penetapan pedoman pemasaran hasil peternakan.
Promosi komoditas peternakan nasional dan internasional.
Penyebarluasan informasi pasar dalam dan luar negeri.
Pemantauan dan evaluasi pemasaran hasil peternakan wilayah provinsi.
Promosi komoditas peternakan wilayah provinsi.
Penyebarluasan informasi pasar wilayah provinsi.
Bimbingan pemasaran hasil peternakan wilayah kabupaten/kota.
Promosi komoditas peternakan wilayah kabupaten/kota.
Penyebarluasan informasi pasar wilayah kabupaten/kota.
Pengembangan sistem statistik dan informasi peternakan dan keswan 1. Penetapan kebijakan pengembangan sistem statistik dan informasi peternakan nasional.
Bimbingan penerapan sistem perstatistikan dan informasi peternakan wilayah provinsi.
Penerapan sistem perstatistikan dan informasi peternakan wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengelolaan sistem statistik dan informasi peternakan nasional.
Pengolahan sistem statistik dan informasi peternakan wilayah provinsi.
Pengumpulan, pengolahan dan analisis data peternakan wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan kebijakan dan pedoman perstatistikan peternakan dan keswan nasional.
Pembinaan dan pengawasan penerapan perstatistikan peternakan dan keswan wilayah provinsi.
Bimbingan penerapan perstatistikan peternakan dan keswan wilayah kabupaten/kota.
a.Pembinaan dan pengelolaan sistem statistik dan informasi peternakan dan kesehatan hewan nasional.
a.Pembinaan dan pengawasan penerapan sistem informasi wilayah provinsi.
a.Bimbingan penerapan sistem informasi wilayah kabupaten/kota.
— b. Pembinaan dan pengawasan pengumpulan, pengelolaan, analisis, penyajian dan pelayanan data dan statistik peternakan dan kesehatan hewan wilayah provinsi.
— c. — c. Pembinaan dan pengawasan manajemen pengumpulan, pengolahan data komoditas/produksi peternakan dan sumberdaya strategis lintas kabupaten/kota.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d. — d. Pembinaan dan pengawasan pengumpulan, pengolahan, analisis, penyajian dan pelayanan data dan statistik komoditas strategis.
— e. — e. Pembinaan dan pengawasan pelayanan informasi pembangunan peternakan dan keswan wilayah provinsi.
— f. — g. — f. Pembinaan dan pengawasan terminal cyber space agribisnis peternakan dan keswan wilayah provinsi.
Pembinaan dan pengawasan pengumpulan, analisis dan informasi kebutuhan produk peternakan dan keswan wilayah provinsi.
— g. — 16. Pengawasan dan Evaluasi 1. Pengawasan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan, norma, standar, kriteria, pedoman dan 1. — 1. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA prosedur di bidang peternakan dan keswan dan kesmavet.
Ketahanan Pangan 1. Ketahanan Pangan 1.a.Pengaturan, pengawasan dan pembinaan peningkatan ketersediaan dan keragaman pangan.
— c. — d. — 2.a.Pengaturan dan koordinasi cadangan pangan pemerintah 1.a.Identifikasi ketersediaan dan keragaman produk pangan.
Identifikasi kebutuhan produksi dan konsumsi masyarakat.
Koordinasi pencegahan dan pengendalian masalah pangan sebagai akibat menurunnya ketersediaan pangan karena berbagai sebab.
— 2.a.Pembinaan cadangan pangan masyarakat.
a.Identifikasi potensi sumberdaya dan produksi pangan serta keragaman konsumsi pangan masyarakat.
Pembinaan peningkatan produksi dan produk pangan berbahan baku lokal.
Pembinaan pengembangan penganekaragaman produk pangan.
Pencegahan dan pengendalian masalah pangan sebagai akibat menurunnya ketersediaan pangan.
a.Identifikasi cadangan pangan masyarakat. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA dan pembinaan cadangan pangan masyarakat.
— c. — 3.a.Pengaturan dan pengawasan peningkatan akses pangan untuk masyarakat miskin dan rawan pangan.
— c. — b. Pengembangan dan pengaturan cadangan pangan pokok tertentu provinsi.
Koordinasi dan pengendalian cadangan pangan pemerintah dan masyarakat.
a.Koordinasi penanganan kerawanan pangan provinsi.
Koordinasi pencegahan dan penanggulangan masalah pangan sebagai akibat menurunnya mutu, gizi dan keamanan pangan.
Pengendalian kerawanan pangan wilayah provinsi.
Pengembangan dan pengaturan cadangan pangan pokok tertentu kabupaten/kota.
Pembinaan dan monitoring cadangan pangan masyarakat.
a.Penanganan dan penyaluran pangan untuk kelompok rawan pangan tingkat kabupaten/kota.
Pencegahan dan penanggulangan masalah pangan sebagai akibat menurunnya mutu, gizi dan keamanan pangan.
Identifikasi kelompok rawan pangan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4.a.Peningkatan infrastruktur distribusi dan koordinasi pengendalian stabilitas harga pangan strategis.
— c. — d. — e. — 4.a.Identifikasi infrastruktur distribusi pangan.
Pengembangan infrastruktur distribusi pangan provinsi dan koordinasi pengembangan infrastruktur provinsi.
Koordinasi pencegahan penurunan akses pangan masyarakat dan peningkatan akses pangan masyarakat.
Informasi harga di provinsi.
Pengembangan jaringan pasar di wilayah provinsi.
a.Identifikasi infrastruktur distribusi pangan kabupaten/kota.
Pengembangan infrastruktur distribusi pangan kabupaten/kota.
Pencegahan dan pengendalian masalah pangan sebagai akibat penurunan akses pangan.
Informasi harga di kabupaten/kota.
Pembangunan pasar untuk produk pangan yang dihasilkan masyarakat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5.a.Pembinaan peningkatan keragaman konsumsi serta mutu, gizi dan keamanan pangan.
— c. — d. — e. — f. — 5.a.Identifikasi pangan pokok masyarakat.
— c. Pembinaan peningkatan mutu konsumsi masyarakat menuju gizi seimbang berbasis bahan baku lokal.
Pembinaan mutu dan keamanan produk pangan pabrikan di provinsi.
— f. — 5.a.Identifikasi pangan pokok masyarakat.
Peningkatan mutu konsumsi masyarakat.
— d. Pembinaan dan pengawasan mutu dan keamanan produk pangan masyarakat.
Analisis mutu, gizi dan keamanan produk pangan masyarakat.
Analisis mutu dan gizi konsumsi masyarakat. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA g. — 6.a.Fasilitasi peran serta masyarakat dan bekerja sama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
— c. — d. — 7. Pengendalian pemantapan ketahanan pangan nasional.
Pengembangan kelembagaan sertifikasi produk pangan segar dan pabrikan skala kecil/rumah tangga.
a.Identifikasi LSM dan tokoh masyarakat provinsi.
Pengembangan dan fasilitasi forum masyarakat provinsi.
Pengembangan µ trust fund µ provinsi.
Pengalokasian APBD provinsi untuk ketahanan pangan.
Pengumpulan dan analisis informasi ketahanan pangan provinsi.
Pembinaan dan pengawasan produk pangan segar dan pabrikan skala kecil/rumah tangga.
a.Identifikasi LSM dan tokoh masyarakat kabupaten/kota.
Pengembangan dan fasilitasi forum masyarakat kabupaten/kota.
Pengembangan µ trust fund µ di kabupaten/kota.
Pengalokasian APBD kabupaten/kota untuk ketahanan pangan.
Pengumpulan dan analisis informasi ketahanan pangan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Keamanan Pangan 1. Perumusan standar Batas Minimum Residu (BMR).
Penyusunan modul pelatihan inspektur, fasilitator, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) keamanan pangan.
Pembinaan sistem manajemen laboratorium uji mutu dan keamanan pangan nasional.
a.Monitoring otoritas kompeten provinsi.
— 1. Pembinaan penerapan standar BMR wilayah provinsi.
Pelatihan inspektur, fasilitator, PPNS keamanan pangan wilayah provinsi.
Pembinaan sistem manajemen laboratorium uji mutu dan keamanan pangan provinsi.
a.Monitoring otoritas kompeten kabupaten/kota.
Pelaksanaan sertifikasi dan pelabelan prima wilayah provinsi.
Penerapan standar BMR wilayah kabupaten/kota.
Pelatihan inspektur, fasilitator, PPNS keamanan pangan wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan sistem manajemen laboratorium uji mutu dan keamanan pangan kabupaten/kota.
a.— b. Pelaksanaan sertifikasi dan pelabelan prima wilayah kabupaten/kota.
Penunjang 1. Karantina Pertanian 1. Penetapan kebijakan dan pedoman perkarantinaan pertanian (hewan dan tumbuhan).
— 1. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pelaksanaan perkarantinaan pertanian (hewan dan tumbuhan).
— 2. — 2. Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) Pertanian 1. Penetapan kebijakan SDM pertanian tingkat nasional.
Penetapan persyaratan jabatan pada institusi pertanian.
Perencanaan, pengembangan, mutasi jabatan fungsional (rumpun ilmu hayat dan non rumpun ilmu hayat) nasional.
Pengkajian SDM pertanian.
Penetapan norma, standarisasi kelembagaan pendidikan keahlian pertanian.
Penetapan kebijakan SDM pertanian tingkat provinsi.
Penerapan persyaratan jabatan pada institusi pertanian di wilayah provinsi.
Perencanaan, pengembangan, mutasi jabatan fungsional (rumpun ilmu hayat dan non rumpun ilmu hayat) wilayah provinsi.
— 5. — 1. Penetapan kebijakan SDM pertanian tingkat kabupaten/kota.
Penerapan persyaratan jabatan pada institusi pertanian di wilayah kabupaten/kota.
Perencanaan, pengembangan, mutasi jabatan fungsional (rumpun ilmu hayat dan non rumpun ilmu hayat) di wilayah kabupaten/kota.
— 5. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Penyelenggaraan pendidikan keahlian pertanian.
Penetapan norma, standar dan akreditasi kelembagaan pendidikan keterampilan pertanian.
Penetapan dan pelaksanaan persyaratan, sertifikasi dan akreditasi jabatan tenaga fungsional pendidikan keahlian dan keterampilan pertanian.
Penetapan standar dan prosedur sistem dan metode pendidikan dan keahlian dan keterampilan pertanian.
Penetapan norma dan standar kelembagaan pelatihan pertanian.
Penyelenggaraan pendidikan keterampilan pertanian.
Penerapan norma, standar dan akreditasi kelembagaan pendidikan keterampilan pertanian.
Penetapan sertifikasi dan akreditasi jabatan fungsional pendidikan keterampilan pertanian.
Penerapan standarisasi dan prosedur sistem dan metode pendidikan keterampilan.
Penerapan norma dan standar kelembagaan pelatihan pertanian.
Penyiapan tenaga didik/peserta pendidikan keahlian dan keterampilan.
— 8. — 9. — 10.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11. Penyelenggaraan pelatihan keahlian pertanian.
Penetapan dan pelaksanaan persyaratan, sertifikasi dan akreditasi jabatan tenaga fungsional widyaiswara pertanian.
Penetapan standar dan prosedur sistem dan metode pelatihan pertanian.
Penyelenggaraan pelatihan keterampilan pertanian.
Pelaksanaan akreditasi jabatan fungsional widyaiswara.
Perencanaan dan standarisasi dan prosedur sistem dan metode pelatihan pertanian.
— 12.— 13.— 3. Penyuluhan Pertanian 1. Penetapan kebijakan dan pedoman penyuluhan pertanian.
Pembinaan penyelenggaraan penyuluhan pertanian provinsi.
Penetapan, norma dan standar kelembagaan penyuluhan pertanian.
Penerapan kebijakan dan pedoman penyuluhan pertanian.
Pembinaan penyelenggaraan penyuluhan pertanian wilayah kabupaten/kota.
Penetapan kelembagaan penyuluhan pertanian di provinsi sesuai norma dan standar.
Penerapan kebijakan dan pedoman penyuluhan pertanian.
Pembinaan penyelenggaraan penyuluhan pertanian wilayah kecamatan/desa.
Penetapan kelembagaan penyuluhan pertanian di kabupaten/kota sesuai norma dan standar. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Penetapan persyaratan, sertifikasi dan akreditasi jabatan penyuluh pertanian.
a Penetapan standar dan prosedur sistem kerja penyuluhan pertanian.
— 6. Penyelenggaraan penyuluhan pertanian di tingkat nasional.
Penerapan persyaratan, sertifikasi dan akreditasi jabatan penyuluh pertanian.
a Penerapan standar dan prosedur sistem kerja penyuluhan pertanian.
— 6. Penyelenggaraan penyuluhan pertanian di tingkat provinsi.
Penerapan persyaratan, sertifikasi dan akreditasi jabatan penyuluh pertanian.
a Penerapan standar dan prosedur sistem kerja penyuluhan pertanian.
Perencanaan penyuluhan pertanian di tingkat desa, kecamatan dan kabupaten/kota.
Penyelenggaraan penyuluhan pertanian di tingkat kabupaten/kota.
Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 1. Penetapan kebijakan arah dan prioritas penelitian dan pengembangan pertanian.
Penelitian yang menghasilkan teknologi di bidang pertanian.
— 2. Pemantauan dan pengawasan penerapan teknologi pertanian spesifik lokasi.
— 2. Bimbingan, pendampingan dan pengawasan penerapan teknologi hasil penelitian dan pengkajian. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pembinaan, supervisi dan fasilitasi pengkajian, diseminasi dan penerapan teknologi/hasil pertanian.
Pembinaan, supervisi dan fasilitasi pengembangan dan penerapan hasil pengkajian teknologi spesifik lokasi.
— 5. Perlindungan Varietas 1. Pengawasan penerapan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di bidang Perlindungan Varietas Tanaman (PVT).
Pengaturan dan pemberian hak PVT kepada penemu varietas baru.
Pemberian nama dan pendaftaran varietas lokal yang sebaran geografisnya meliputi lintas provinsi.
Izin penggunaan varietas lokal untuk pembuatan varietas turunan esensial yang sebaran geografisnya meliputi lintas provinsi.
— 2. — 3. Pemberian nama dan pendaftaran varietas lokal yang sebaran geografisnya meliputi lintas kabupaten/kota.
Izin penggunaan varietas lokal untuk pembuatan varietas turunan esensial yang sebaran geografisnya meliputi lintas kabupaten/kota.
— 2. — 3. Pemberian nama dan pendaftaran varietas lokal yang sebaran geografisnya pada satu kabupaten/kota.
Izin penggunaan varietas lokal untuk pembuatan varietas turunan esensial yang sebaran geografisnya pada satu kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Sumber Daya Genetik (SDG) 1.a.Menetapkan kebijakan pengelolaan (pelestarian dan pemanfaatan) sumber daya genetik yang berkaitan dengan akses dan pembagian keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatan SDG secara berkelanjutan.
— 2. Pengaturan pemasukan dan pengeluaran plasma nutfah Convention on International Trade Endanger Species (CITES).
a.Pengaturan pembagian keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatan SDG yang terdapat di beberapa kabupaten/kota yang ada di provinsi tersebut.
Pengawasan penyusunan perjanjian akses terhadap pembagian keuntungan dari pemanfaatan SDG yang ada di provinsi tersebut (kalau satu jenis SDG terdapat di beberapa kabupaten/kota).
— 1.a.Pengaturan hasil pembagian keuntungan yang diperoleh untuk konservasi SDG dan kesejahteraan masyarakat.
Pengawasan penyusunan perjanjian akses terhadap pembagian keuntungan dari pemanfaatan SDG yang ada di wilayahnya.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Standarisasi dan Akreditasi 1. Perumusan kebijakan sektor pertanian di bidang standarisasi.
Penyusunan rencana dan penetapan program standarisasi sektor pertanian.
Koordinasi standarisasi nasional sektor pertanian.
Perumusan rancangan Standar Nasional Indonesia (SNI) sektor pertanian melalui konsensus untuk ditetapkan sebagai SNI.
Penetapan pemberlakuan SNI wajib.
Rekomendasi usulan kebijakan sektor pertanian di bidang standarisasi sesuai pengalaman di daerah.
Rekomendasi aspek teknis, sosial dan ekonomi dalam penyusunan rencana dan program standarisasi sektor pertanian.
Koordinasi standarisasi sektor pertanian di provinsi.
Koordinasi pengusulan kebutuhan standar yang akan dirumuskan sesuai kebutuhan daerah.
Rekomendasi aspek teknis, sosial dan bisnis dalam rencana pemberlakuan wajib SNI serta memberikan usulan pemberlakuan wajib SNI.
Rekomendasi usulan kebijakan sektor pertanian di bidang standarisasi sesuai pengalaman di daerah.
Rekomendasi aspek teknis, sosial dan ekonomi dalam penyusunan rencana dan program nasional di bidang standarisasi di daerah.
Koordinasi standarisasi sektor pertanian di kabupaten/kota.
Pengusulan kebutuhan standar yang akan dirumuskan.
Rekomendasi aspek teknis, sosial dan bisnis dalam rencana pemberlakuan wajib SNI serta mengusulkan usulan pemberlakuan wajib SNI. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Fasilitasi kelembagaan sektor pertanian yang akan mengajukan akreditasi.
Penilaian kesesuaian terhadap pemohon akreditasi di sektor pertanian.
Penetapan sistem dan pelaksanaan sertifikasi sektor pertanian.
Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan sistem sertifikasi sektor pertanian.
Pembinaan laboratorium penguji dan lembaga inspeksi dalam lingkungan pertanian.
Pembinaan dan pengawasan lembaga sertifikasi dan 6. Penerapan sistem manajemen mutu kelembagaan dalam rangka proses akreditasi di provinsi.
— 8. Penerapan sistem sertifikasi yang mendukung standarisasi sektor pertanian di provinsi.
— 10. Dukungan pengembangan laboratorium penguji dan lembaga inspeksi sektor pertanian di provinsi.
Kerjasama standarisasi dan penyampaian rekomendasi 6. Penerapan sistem manajemen mutu kelembagaan dalam rangka proses akreditasi di kabupaten/kota.
— 8. Penerapan sistem sertifikasi yang mendukung standarisasi sektor pertanian di kabupaten/kota.
— 10. Pengembangan pembinaan laboratorium penguji dan lembaga inspeksi sektor pertanian di kabupaten/kota.
Kerjasama standarisasi dalam rangka penerapan standar dan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA laboratorium penguji dalam mendukung penerapan standarisasi di sektor pertanian.
Pengembangan dokumentasi dan informasi standarisasi sektor pertanian.
Menyusun dan melaksanakan program pemasyarakatan standarisasi sektor pertanian.
Penyelenggaraan program pendidikan dan pelatihan standarisasi sektor pertanian. teknis dalam rangka penerapan standar dan peningkatan daya saing produk pertanian.
Fasilitasi penyebaran dokumentasi dan informasi standarisasi sektor pertanian di provinsi.
Fasilitasi pelaksanaan program pemasyarakatan standarisasi di provinsi.
Fasilitasi penyelenggaraan program pendidikan dan pelatihan standarisasi sektor pertanian sesuai kebutuhan di provinsi. peningkatan daya saing produk pertanian.
Fasilitasi penyebaran dokumentasi dan informasi standarisasi sektor pertanian di kabupaten/kota.
Fasilitasi pelaksanaan program pemasyarakatan standarisasi di kabupaten/kota.
Fasilitasi penyelenggaraan program pendidikan dan pelatihan standarisasi sektor pertanian sesuai kebutuhan di kabupaten/kota. AA. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEHUTANAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Inventarisasi Hutan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria inventarisasi hutan, dan inventarisasi hutan kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, taman buru dan inventarisasi hutan daerah aliran sungai (DAS) skala nasional.
Penyelenggaraan inventarisasi hutan produksi, hutan lindung dan taman hutan raya dan skala DAS lintas kabupaten/kota.
Penyelenggaraan inventarisasi hutan produksi dan hutan lindung dan skala DAS dalam wilayah kabupaten/kota.
Pengukuhan Kawasan Hutan Produksi, Hutan Lindung, Kawasan Pelestarian Alam, Kawasan Suaka Alam dan Taman Buru 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan produksi, hutan lindung, kawasan pelestarian alam, kawasan suaka alam dan taman buru.
— 1. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penunjukan Kawasan Hutan, Hutan Produksi, Hutan Lindung, Kawasan Pelestarian Alam, Kawasan Suaka Alam dan Taman Buru 1. Pelaksanaan penunjukan kawasan hutan produksi, hutan lindung, kawasan pelestarian alam, kawasan suaka alam dan taman buru.
Pemberian pertimbangan teknis penunjukan kawasan hutan produksi, hutan lindung, kawasan pelestarian alam, kawasan suaka alam dan taman buru.
Pengusulan penunjukan kawasan hutan produksi, hutan lindung, kawasan pelestarian alam, kawasan suaka alam dan taman buru.
Penataan Batas dan Pemetaan Kawasan Hutan Produksi, Hutan Lindung, Kawasan Pelestarian Alam, Kawasan Suaka Alam dan Taman Buru 1. Penyelenggaraan tata batas, penataan dan pemetaan kawasan hutan produksi, hutan lindung, kawasan pelestarian alam, kawasan suaka alam dan taman buru.
— 1. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Penetapan Kawasan Hutan Produksi, Hutan Lindung, Kawasan Pelestarian Alam, Kawasan Suaka Alam dan Taman Buru 1. Pelaksanaan penetapan kawasan hutan produksi, hutan lindung, kawasan pelestarian alam, kawasan suaka alam dan taman buru.
— 1. — 6. Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan penetapan pengelola kawasan hutan dengan tujuan khusus untuk masyarakat hukum adat, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan kehutanan, lembaga sosial dan keagamaan.
Pengusulan dan pertimbangan teknis pengelolaan kawasan hutan dengan tujuan khusus untuk masyarakat hukum adat, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan kehutanan, lembaga sosial dan keagamaan untuk skala provinsi.
Pengusulan pengelolaan kawasan hutan dengan tujuan khusus untuk masyarakat hukum adat, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan kehutanan, lembaga sosial dan keagamaan untuk skala kabupaten/kota dengan pertimbangan gubernur. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Penatagunaan Kawasan Hutan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria penatagunaan kawasan hutan, pelaksanaan penetapan fungsi, perubahan status dan fungsi hutan serta perubahan hak dari lahan milik menjadi kawasan hutan, pemberian perizinan penggunaan dan tukar menukar kawasan hutan.
Pertimbangan teknis perubahan status dan fungsi hutan, perubahan status dari lahan milik menjadi kawasan hutan, dan penggunaan serta tukar menukar kawasan hutan.
Pengusulan perubahan status dan fungsi hutan dan perubahan status dari lahan milik menjadi kawasan hutan, dan penggunaan serta tukar menukar kawasan hutan.
Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pelaksanaan penetapan pembentukan wilayah pengelolaan hutan, penetapan wilayah pengelolaan dan institusi wilayah pengelolaan, serta arahan pencadangan.
Pelaksanaan penyusunan rancang bangun, pembentukan dan pengusulan penetapan wilayah pengelolaan hutan lindung dan hutan produksi serta pertimbangan teknis institusi wilayah pengelolaan hutan.
Pertimbangan penyusunan rancang bangun dan pengusulan pembentukan wilayah pengelolaan hutan lindung dan hutan produksi, serta institusi wilayah pengelolaan hutan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Rencana Pengelolaan Jangka Panjang (Dua Puluh Tahunan) Unit Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana pengelolaan jangka panjang unit KPHP.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka panjang unit kesatuan pengelolaan hutan produksi KPHP.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka panjang unit KPHP.
Rencana Pengelolaan Jangka Menengah (Lima Tahunan) Unit KPHP 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana pengelolaan jangka menengah unit KPHP.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka menengah unit KPHP.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka menengah unit KPHP.
Rencana Pengelolaan Jangka Pendek (Tahunan) Unit KPHP 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria rencana pengelolaan jangka pendek unit KPHP.
Pengesahan rencana pengelolaan jangka pendek unit KPHP.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka pendek unit KPHP. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 12. Rencana Kerja Usaha Dua Puluh Tahunan Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Produksi 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria dan pengesahan rencana kerja usaha dua puluh tahunan unit usaha pemanfaatan hutan produksi.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana kerja usaha dua puluh tahunan unit usaha pemanfaatan hutan produksi.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana kerja usaha dua puluh tahunan unit usaha pemanfaatan hutan produksi.
Rencana Pengelolaan Lima Tahunan Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Produksi 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana kerja lima tahunan unit usaha pemanfaatan hutan produksi.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana kerja lima tahunan unit pemanfaatan hutan produksi.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana kerja lima tahunan unit pemanfaatan hutan produksi.
Rencana Pengelolaan Tahunan (Jangka Pendek) Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Produksi 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria rencana pengelolaan tahunan (jangka pendek) unit usaha pemanfaatan hutan produksi.
Penilaian dan pengesahan rencana pengelolaan tahunan (jangka pendek) unit usaha pemanfaatan hutan produksi.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan tahunan (jangka pendek) unit usaha pemanfaatan hutan produksi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 15. Penataan Batas Luar Areal Kerja Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Produksi 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan penataan batas luar areal kerja unit pemanfaatan hutan produksi.
— 1. Pertimbangan teknis untuk pengesahan, koordinasi dan pengawasan pelaksanaan penataan batas luar areal kerja unit pemanfaatan hutan produksi lintas kabupaten/kota.
Pengawasan terhadap pelaksanaan penataan batas luar areal kerja unit pemanfaatan hutan produksi dalam kabupaten/kota 1. Pertimbangan teknis untuk pengesahan, dan pengawasan pelaksanaan penataan batas luar areal kerja unit pemanfaatan hutan produksi dalam kabupaten/kota.
— 16. Rencana Pengelolaan Dua Puluh Tahunan (Jangka Panjang) Unit Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana pengelolaaan dua puluh tahunan (jangka panjang) unit KPHL.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaaan dua puluh tahunan (jangka panjang) unit KPHL.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaaan dua puluh tahunan (jangka panjang) unit KPHL. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 17. Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (Jangka Menengah) Unit KPHL 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana pengelolaan lima tahunan (jangka menengah) unit KPHL.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan lima tahunan (jangka menengah) unit KPHL.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan lima tahunan (jangka menengah) unit KPHL.
Rencana Pengelolaan Tahunan (Jangka Pendek) Unit KPHL 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria rencana pengelolaan tahunan (jangka pendek) unit KPHL.
Pengesahan rencana pengelolaan tahunan (jangka pendek) unit KPHL.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan tahunan (jangka pendek) unit KPHL.
Rencana Kerja Usaha (Dua Puluh Tahunan) Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Lindung 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana kerja usaha (dua puluh tahunan) unit usaha pemanfaatan hutan lindung.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana kerja usaha (dua puluh tahunan) unit usaha pemanfaatan hutan lindung.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana kerja usaha (dua puluh tahunan) unit usaha pemanfaatan hutan lindung. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 20. Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (Jangka Menengah) Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Lindung 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana pengelolaan lima tahunan (jangka menengah) unit usaha pemanfaatan hutan lindung.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan lima tahunan (jangka menengah) unit usaha pemanfaatan hutan lindung.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan lima tahunan (jangka menengah) unit usaha pemanfaatan hutan lindung.
Rencana Pengelolaan Tahunan (Jangka Pendek) Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Lindung 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria rencana pengelolaan tahunan (jangka pendek) unit usaha pemanfaatan hutan lindung.
Penilaian dan pengesahan rencana pengelolaan tahunan (jangka pendek) unit usaha pemanfaatan hutan lindung.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan tahunan (jangka pendek) unit usaha pemanfaatan hutan lindung.
Penataan Areal Kerja Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Lindung 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan penataan areal kerja unit usaha pemanfaatan hutan lindung.
Pertimbangan teknis pengesahan penataan areal kerja unit usaha pemanfaatan hutan lindung kepada pemerintah 1. Pertimbangan teknis pengesahan penataan areal kerja unit usaha pemanfaatan hutan lindung kepada provinsi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 23. Rencana Pengelolaan Dua Puluh Tahunan (Jangka Panjang) Unit Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK) 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana pengelolaan dua puluh tahunan (jangka panjang) unit KPHK.
Pertimbangan teknis rencana pengelolaan dua puluh tahunan (jangka panjang) unit KPHK.
Pertimbangan teknis rencana pengelolaan dua puluh tahunan (jangka panjang) unit KPHK.
Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (Jangka Menengah) Unit KPHK 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana pengelolaan lima tahunan (jangka menengah) unit KPHK.
Pertimbangan teknis rencana pengelolaan lima tahunan (jangka menengah) unit KPHK.
Pertimbangan teknis rencana pengelolaan lima tahunan (jangka menengah) unit KPHK.
Rencana Pengelolaan Jangka Pendek (Tahunan) Unit KPHK 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana pengelolaan jangka pendek (tahunan) unit KPHK.
Pertimbangan teknis rencana pengelolaan jangka pendek (tahunan) unit KPHK.
Pertimbangan teknis rencana pengelolaan jangka pendek (tahunan) unit KPHK. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 26. Rencana Pengelolaan Jangka Panjang (Dua Puluh Tahunan) Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Wisata Alam dan Taman Buru 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan penyusunan serta pengesahan rencana pengelolaan jangka panjang cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam dan taman buru.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka panjang (dua puluh tahunan) untuk cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam dan taman buru skala provinsi.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka panjang (dua puluh tahunan) untuk cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam dan taman buru skala kabupaten/kota.
Rencana Pengelolaan Jangka Menengah Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Wisata Alam dan Taman Buru 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan penyusunan serta pengesahan rencana pengelolaan jangka menengah untuk cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam dan taman buru.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka menengah untuk cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam dan taman buru skala provinsi.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka menengah untuk cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam dan taman buru skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 28. Rencana Pengelolaan Jangka Pendek Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Wisata Alam dan Taman Buru 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan penyusunan serta pengesahan rencana pengelolaan jangka pendek untuk cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam, dan taman buru.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka pendek untuk cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam, dan taman buru skala provinsi.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka pendek untuk cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam dan taman buru skala kabupaten/kota 29. Penataan Blok (Zonasi) Cagar Alam, Suaka Marga Satwa, Taman Nasional, Taman Wisata Alam dan Taman Buru 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pelaksanaan penataan blok (zonasi) cagar alam, suaka marga satwa, taman nasional, taman wisata alam dan taman buru.
— 1. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 30. Pengelolaan Taman Hutan Raya 1. Pengesahan rencana pengelolaan jangka menengah (lima tahunan) dan jangka panjang (dua puluh tahunan).
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria:
Pemanfaatan taman hutan raya b. Penataan blok c. Rehabilitasi 1. Pengelolaan taman hutan raya, penyusunan rencana pengelolaan (jangka menengah dan jangka panjang) dan pengesahan rencana pengelolaan jangka pendek serta penataan blok (zonasi) dan pemberian perizinan usaha pemanfaatan serta rehabilitasi di taman hutan raya skala provinsi.
— 1. Pengelolaan taman hutan raya, penyusunan rencana pengelolaan dan penataan blok (zonasi) serta pemberian perizinan usaha pariwisata alam dan jasa lingkungan serta rehabilitasi di taman hutan raya skala kabupaten/kota.
— 31. Rencana Kehutanan 1. Penetapan sistem perencanaan kehutanan dan penyusunan rencana-rencana kehutanan tingkat nasional.
Penyusunan rencana-rencana kehutanan tingkat provinsi.
Penyusunan rencana-rencana kehutanan tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 32. Sistem Informasi Kehutanan (Numerik dan Spasial) 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan penyusunan sistem informasi kehutanan (numerik dan spasial) tingkat nasional.
Penyusunan sistem informasi kehutanan (numerik dan spasial) tingkat provinsi.
Penyusunan sistem informasi kehutanan (numerik dan spasial) tingkat kabupaten/kota.
Pemanfaatan Hasil Hutan pada Hutan Produksi 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dan pemberian serta perpanjangan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan produksi.
Pertimbangan teknis kepada menteri untuk pemberian dan perpanjangan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan produksi kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja PERUM Perhutani.
Pertimbangan teknis kepada gubernur untuk pemberian dan perpanjangan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu serta pemberian perizinan usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada hutan produksi kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja PERUM Perhutani.
Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemberian izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu pada hutan produksi.
Pemberian perizinan pemungutan hasil hutan kayu dan pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan produksi skala provinsi kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja PERUM Perhutani.
Pemberian perizinan pemungutan hasil hutan kayu dan pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan produksi skala kabupaten/kota kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja PERUM Perhutani. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 35. Pemanfaatan Kawasan Hutan dan Jasa Lingkungan pada Hutan Produksi 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan hutan dan jasa lingkungan.
Pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan hutan dan jasa lingkungan skala provinsi kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja PERUM Perhutani.
Pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan hutan dan jasa lingkungan skala kabupaten/kota kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja PERUM Perhutani.
Industri Pengolahan Hasil Hutan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria industri primer hasil hutan dan pemberian izin industri primer hasil hutan kayu dengan kapasitas produksi > 6.000 m ^3 .
Pemberian izin industri primer hasil hutan kayu dengan kapasitas produksi 6.000 m ^3 serta pertimbangan teknis izin industri primer dengan kapasitas > 6.000 m ^3 .
Pertimbangan teknis pemberian izin industri primer hasil hutan kayu.
Penatausahaan Hasil Hutan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pelaksanaan pengaturan penatausahaan hasil hutan.
Pengawasan dan pengendalian penatausahaan hasil hutan skala provinsi.
Pengawasan dan pengendalian penatausahaan hasil hutan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 38. Pemanfaatan Kawasan Hutan pada Hutan Lindung 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan penyelenggaraan perizinan pemanfaatan kawasan hutan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu yang tidak dilindungi dan tidak termasuk ke dalam Lampiran (Appendix) Convention on International Trade Endangered Species (CITES) serta pemanfaatan jasa lingkungan skala nasional.
Pemberian perizinan pemanfaatan kawasan hutan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu yang tidak dilindungi dan tidak termasuk ke dalam Lampiran (Appendix) CITES, dan pemanfaatan jasa lingkungan skala provinsi kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja PERUM Perhutani.
Pemberian perizinan pemanfaatan kawasan hutan, pemungutan hasil hutan bukan kayu yang tidak dilindungi dan tidak termasuk ke dalam Lampiran (Appendix) CITES, dan pemanfaatan jasa lingkungan skala kabupaten/kota kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja PERUM Perhutani.
Penerimaan Negara Bukan Pajak Bidang Kehutanan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pemungutan penerimaan negara bukan pajak.
— 1. Pelaksanaan pemungutan penerimaan negara bukan pajak skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 40. Perencanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Termasuk Hutan Mangrove 1. Penetapan pola umum, norma, standar, prosedur, dan kriteria rehabilitasi hutan dan lahan serta lahan kritis.
Penetapan lahan kritis skala nasional.
Penyusunan dan penetapan rencana rehabilitasi hutan dan lahan DAS/Sub DAS.
Penetapan rencana pengelolaan rehabilitasi hutan dan lahan, rencana tahunan dan rancangan rehabilitasi hutan pada hutan konservasi kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional.
— 2. Penetapan lahan kritis skala provinsi.
Pertimbangan teknis rencana rehabilitasi hutan dan lahan DAS/Sub DAS.
Penetapan rencana pengelolaan rehabilitasi hutan, rencana tahunan dan rancangan rehabilitasi hutan pada taman hutan raya skala provinsi.
— 2. Penetapan lahan kritis skala kabupaten/kota.
Pertimbangan teknis rencana rehabilitasi hutan dan lahan DAS/Sub DAS.
Penetapan rencana pengelolaan, rencana tahunan dan rancangan rehabilitasi hutan pada hutan taman hutan raya skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 41. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai 5. Ɇ 1. Penetapan pola umum, norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan DAS, penetapan kriteria dan urutan DAS/Sub DAS prioritas serta penyusunan rencana pengelolaan DAS terpadu.
Penetapan rencana pengelolaan, rencana tahunan dan rancangan rehabilitasi hutan pada hutan produksi, hutan lindung yang tidak dibebani izin pemanfaatan/pengelolaan hutan dan lahan di luar kawasan hutan skala provinsi.
Pertimbangan teknis penyusunan rencana pengelolaan, penyelenggaraan pengelolaan DAS skala provinsi.
Penetapan rencana pengelolaan, rencana tahunan dan rancangan rehabilitasi hutan pada hutan produksi, hutan lindung yang tidak dibebani izin pemanfaatan/pengelolaan hutan dan lahan di luar kawasan hutan skala kabupaten/kota.
Pertimbangan teknis penyusunan rencana pengelolaan, penyelenggaraan pengelolaan DAS skala kabupatan/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 42. Pelaksanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Termasuk Hutan Mangrove 1. Pelaksanaan rehabilitasi dan pemeliharaan hasil rehabilitasi hutan konservasi kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional.
— 1. Pelaksanaan rehabilitasi hutan dan pemeliharaan hasil rehabilitasi hutan pada taman hutan raya skala provinsi.
Pelaksanaan rehabilitasi hutan dan pemeliharaan hasil rehabilitasi hutan pada hutan produksi, hutan lindung yang tidak dibebani izin pemanfaatan/pengelolaan hutan, dan lahan di luar kawasan hutan skala provinsi.
Pelaksanaan rehabilitasi hutan dan pemeliharaan hasil rehabilitasi hutan pada taman hutan raya skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan rehabilitasi hutan dan pemeliharaan hasil rehabilitasi hutan pada hutan produksi, hutan lindung yang tidak dibebani izin pemanfaatan/pengelolaan hutan, dan lahan di luar kawasan hutan skala kabupaten/kota.
Reklamasi Hutan pada Areal yang Dibebani Izin Penggunaan Kawasan Hutan 1. Penyusunan pola umum, norma, standar, prosedur, dan kriteria reklamasi hutan serta penilaian hasil reklamasi hutan.
Pengesahan rencana reklamasi hutan.
Pertimbangan teknis rencana reklamasi dan pemantauan pelaksanaan reklamasi hutan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 44. Reklamasi Hutan Areal Bencana Alam 1. Penyusunan pola umum, norma, standar, prosedur, dan kriteria reklamasi hutan serta penyelenggaraan reklamasi hutan pada areal bencana alam skala nasional.
Penyusunan rencana dan pelaksanaan reklamasi hutan pada areal bencana alam skala provinsi 1. Penyusunan rencana dan pelaksanaan reklamasi hutan pada areal bencana alam skala kabupaten/kota.
Pemberdayaan Masyarakat Se- tempat di Dalam dan di Sekitar Hutan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan di sekitar kawasan hutan.
Pemantauan, evaluasi dan fasilitasi pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan di sekitar kawasan hutan.
Bimbingan masyarakat, pengembangan kelembagaan dan usaha serta kemitraan masyarakat setempat di dalam dan di sekitar kawasan hutan.
Pengembangan Hutan Hak dan Aneka Usaha Kehutanan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengembangan hutan hak dan aneka usaha kehutanan.
Pemantauan, evaluasi dan fasilitasi hutan hak dan aneka usaha kehutanan.
Penyusunan rencana, pembinaan pengelolaan hutan hak dan aneka usaha kehutanan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 47. Hutan Kota 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria hutan kota.
Pembangunan, pengelolaan, pemeliharaan, pemanfaatan, perlindungan dan pengamanan hutan kota (khusus DKI), fasilitasi, pemantauan dan evaluasi hutan kota.
Pembangunan, pengelolaan, pemeliharaan, pemanfaatan, perlindungan dan pengamanan hutan kota.
Perbenihan Tanaman Hutan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria perbenihan tanaman hutan, penetapan dan pembangunan sumberdaya genetik, pemberian izin ekspor/impor, karantina dan sertifikasi sumber benih dan mutu benih/bibit serta akreditasi lembaga sertifikasi benih/bibit tanaman hutan.
Pertimbangan teknis calon areal sumber daya genetik, pelaksanaan sertifikasi sumber benih dan mutu benih/bibit tanaman hutan.
Inventarisasi dan identifikasi serta pengusulan calon areal sumberdaya genetik, pembinaan penggunaan benih/bibit, pelaksanaan sertifikasi sumber benih dan mutu benih/bibit tanaman hutan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 49. Pengusahaan Pariwisata Alam pada Kawasan Pelestarian Alam, dan Pengusahaan Taman Buru, Areal Buru dan Kebun Buru 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pemberian perizinan usaha pariwisata alam pada kawasan pelestarian alam dan pengusahaan taman buru.
Pertimbangan teknis pengusahaan pariwisata alam dan taman buru serta pemberian perizinan pengusahaan kebun buru skala provinsi.
Pertimbangan teknis pengusahaan pariwisata alam dan taman buru serta pemberian perizinan pengusahaan kebun buru skala kabupaten/kota.
Pengelolaan Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, dan Taman Buru 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pengelolaan kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam serta taman buru.
— 1. — 51. Pengawetan Tumbuhan dan Satwa Liar 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta penyelenggaraan pengawetan tumbuhan dan satwa liar dilindungi dan tidak dilindungi.
— 1. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 52. Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar.
Pemberian perizinan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi serta pengendalian pemanfaatan tumbuhan satwa liar yang tidak dilindungi skala nasional.
Pengawasan pemberian izin pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam Lampiran (Appendix) CITES.
— 1. Pemberian perizinan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam Lampiran (Appendix) CITES.
— 53. Lembaga Konservasi 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pemberian perizinan kegiatan lembaga konservasi (antara lain kebun binatang, taman safari).
Pertimbangan teknis izin kegiatan lembaga konservasi (antara lain kebun binatang, taman safari) skala provinsi.
Pertimbangan teknis izin kegiatan lembaga konservasi (antara lain kebun binatang, taman safari) skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 54. Perlindungan Hutan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta penyelenggaraan perlindungan hutan pada hutan negara skala nasional.
Pemberian fasilitasi, bimbingan dan pengawasan dalam kegiatan perlindungan hutan pada hutan yang dibebani hak dan hutan adat skala nasional.
Pelaksanaan perlindungan hutan pada hutan produksi, hutan lindung yang tidak dibebani hak dan hutan adat serta taman hutan raya skala provinsi.
Pemberian fasilitasi, bimbingan dan pengawasan dalam kegiatan perlindungan hutan pada hutan yang dibebani hak dan hutan adat skala provinsi.
Pelaksanaan perlindungan hutan pada hutan produksi, hutan lindung yang tidak dibebani hak dan hutan adat serta taman hutan raya skala kabupaten/kota.
Pemberian fasilitasi, bimbingan dan pengawasan dalam kegiatan perlindungan hutan pada hutan yang dibebani hak dan hutan adat skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 55. Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta penyelenggaraan penelitian dan pengembangan kehutanan, pemberian perizinan penelitian oleh lembaga asing, pemberian perizinan penelitian pada kawasan hutan konservasi dan kawasan hutan dengan tujuan khusus penelitian dan pengembangan, pemantauan dan evaluasi kegiatan penelitian yang dilakukan oleh asing, provinsi dan kabupaten/kota.
Koordinasi dan penyelenggaraan penelitian dan pengembangan kehutanan di tingkat provinsi dan/atau yang memiliki dampak antar kabupaten/kota dan pemberian perizinan penelitian pada hutan produksi dan hutan lindung yang tidak ditetapkan sebagai kawasan hutan dengan tujuan khusus skala provinsi.
Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan kehutanan di tingkat kabupaten/kota dan pemberian perizinan penelitian pada hutan produksi serta hutan lindung yang tidak ditetapkan sebagai kawasan hutan dengan tujuan khusus skala kabupaten/kota.
Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Kehutanan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta penyelenggaraan diklat teknis dan fungsional kehutanan serta akreditasi lembaga diklat kehutanan.
Pelaksanaan diklat teknis dan fungsional kehutanan skala provinsi.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 57. Penyuluhan Kehutanan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta penyelenggaraan penyuluhan kehutanan.
Penguatan kelembagaan dan penyelenggaraan penyuluhan kehutanan skala provinsi.
Penguatan kelembagaan dan penyelenggaraan penyuluhan kehutanan skala kabupaten/kota.
Pembinaan dan Pengendalian Bidang Kehutanan 1. Koordinasi, bimbingan, supervisi, konsultasi, pemantauan dan evaluasi bidang kehutanan skala nasional.
Koordinasi, bimbingan, supervisi, konsultasi, pemantauan dan evaluasi bidang kehutanan skala provinsi.
Bimbingan, supervisi, konsultasi, pemantauan dan evaluasi bidang kehutanan skala kabupaten/kota.
Pengawasan Bidang Kehutanan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta penyelenggaraan pengawasan terhadap tugas dekonsentrasi dan pembantuan, pinjaman dan hibah luar negeri serta efektivitas pelaksanaan pembinaan penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang kehutanan.
Pengawasan terhadap efektivitas pelaksanaan pembinaan penyelenggaraan oleh kabupaten/kota dan kinerja penyelenggara provinsi serta penyelenggaraan oleh kabupaten/kota di bidang kehutanan.
Pengawasan terhadap efektivitas pelaksanaan pembinaan penyelenggaraan oleh desa/masyarakat, kinerja penyelenggara kabupaten/kota dan penyelenggaraan oleh desa/masyarakat di bidang kehutanan. BB. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Mineral, Batu Bara, Panas Bumi, dan Air Tanah 1. Penetapan kebijakan pengelolaan mineral, batubara, panas bumi dan air tanah nasional.
Pembuatan peraturan perundang-undangan di bidang mineral, batubara, panas bumi, dan air tanah.
Pembuatan dan penetapan standar nasional, pedoman, dan kriteria di bidang pengelolaan pertambangan mineral, batubara, panas bumi dan air tanah serta kompetensi kerja pertambangan.
Ɇ 2. Pembuatan peraturan perundang-undangan daerah provinsi di bidang mineral, batubara, panas bumi, dan air tanah.
Ɇ 1. Ɇ 2. Pembuatan peraturan perundang-undangan daerah kabupaten/kota di bidang mineral, batubara, panas bumi, dan air tanah.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Penetapan kriteria kawasan pertambangan dan wilayah kerja usaha pertambangan mineral dan batubara serta panas bumi setelah mendapat pertimbangan dan/atau rekomendasi provinsi dan kabupaten/kota.
Penetapan cekungan air tanah setelah mendapat pertimbangan provinsi dan kabupaten/kota.
Pemberian rekomendasi teknis untuk izin pengeboran, izin penggalian dan izin penurapan mata air pada cekungan air tanah lintas provinsi.
Penyusunan data dan informasi usaha pertambangan mineral dan batubara serta panas bumi lintas kabupaten/kota.
Penyusunan data dan informasi cekungan air tanah lintas kabupaten/kota.
Pemberian rekomendasi teknis untuk izin pengeboran, izin penggalian dan izin penurapan mata air pada cekungan air tanah lintas kabupaten/kota.
Penyusunan data dan informasi wilayah kerja usaha pertambangan mineral dan batubara serta panas bumi skala kabupaten/kota.
Penyusunan data dan informasi cekungan air tanah skala kabupaten/kota.
Pemberian rekomendasi teknis untuk izin pengeboran, izin penggalian dan izin penurapan mata air pada cekungan air tanah pada wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Pemberian izin usaha pertambangan mineral dan batubara, panas bumi, pada wilayah lintas provinsi dan di wilayah laut dan di luar 12 (dua belas) mil.
Pemberian izin usaha pertambangan mineral, dan batubara untuk operasi produksi, yang berdampak lingkungan langsung lintas provinsi dan/atau dalam wilayah laut dan di luar 12 (dua belas) mil laut.
Pemberian izin usaha pertambangan mineral, batubara dan panas bumi pada wilayah lintas kabupaten/kota dan paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.
Pemberian izin usaha pertambangan mineral, dan batubara untuk operasi produksi, yang berdampak lingkungan langsung lintas kabupaten/kota dan paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.
Pemberian izin usaha pertambangan mineral, batubara dan panas bumi pada wilayah kabupaten/kota dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi.
Pemberian izin usaha pertambangan mineral, dan batubara untuk operasi produksi, yang berdampak lingkungan langsung pada wilayah kabupaten/kota dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi pada wilayah lintas provinsi dan di wilayah laut dan di luar 12 (dua belas) mil.
Pembuatan dan penetapan klasifikasi, kualifikasi serta pedoman usaha jasa pertambangan mineral, batubara, panas bumi dan air tanah.
Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha pertambangan mineral, batubara dan panas bumi pada wilayah lintas kabupaten/kota dan paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.
Ɇ 9. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha pertambangan mineral, batubara dan panas bumi, pada wilayah kabupaten/kota dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11. Pemberian izin badan usaha jasa pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi dalam rangka Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) serta yang mempunyai wilayah kerja lintas provinsi.
Pengelolaan, pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha jasa pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi dalam rangka penanaman modal.
Pemberian izin badan usaha jasa pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi dalam rangka PMA dan PMDN lintas kabupaten/kota.
Pengelolaan, pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha jasa pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi dalam rangka penanaman modal lintas kabupaten/kota.
Pemberian izin badan usaha jasa pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi dalam rangka PMA dan PMDN di wilayah kabupaten/kota.
Pengelolaan, pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha jasa pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi dalam rangka penanaman modal di wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 13. Pembinaan dan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan pertambangan termasuk reklamasi lahan pasca tambang, konservasi dan peningkatan nilai tambah terhadap usaha pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi, pada wilayah lintas provinsi atau yang berdampak nasional dan di wilayah laut.
Pembinaan dan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan pertambangan termasuk reklamasi lahan pasca tambang, konservasi dan peningkatan nilai tambah terhadap usaha pertambangan mineral, batubara dan panas bumi, pada wilayah lintas kabupaten/kota atau yang berdampak regional.
Pembinaan dan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan pertambangan termasuk reklamasi lahan pasca tambang, konservasi dan peningkatan nilai tambah terhadap usaha pertambangan mineral, batubara dan panas bumi, pada wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 14. Pembinaan dan pengawasan pengusahaan Kuasa Pertambangan (KP) lintas provinsi, Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang diterbitkan berdasarkan Undang- Undang tentang Ketentuan Pokok-Pokok Pertambangan.
Pembinaan dan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan pertambangan termasuk reklamasi lahan pasca tambang, konservasi dan peningkatan nilai tambah terhadap KK dan PKP2B yang telah 14. Pembinaan dan pengawasan pengusahaan KP lintas kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan pertambangan termasuk reklamasi lahan pasca tambang, konservasi dan peningkatan nilai tambah terhadap KP lintas kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengawasan pengusahaan KP dalam wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengawasan Keselamatan dan Kesehatan Kerja, lingkungan pertambangan termasuk reklamasi lahan pasca tambang, konservasi dan peningkatan nilai tambah terhadap KP dalam wilayah SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA dikeluarkan berdasarkan Undang-Undang tentang Ketentuan Pokok-Pokok Pertambangan.
Penetapan wilayah konservasi dan pencadangan sumber daya mineral, batubara dan panas bumi nasional serta air tanah.
Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha pertambangan mineral, dan batubara untuk operasi produksi, serta panas bumi yang berdampak lingkungan langsung lintas provinsi dan/atau dalam wilayah laut.
Penetapan wilayah konservasi air tanah lintas kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha pertambangan mineral, dan batubara untuk operasi produksi, serta panas bumi yang berdampak lingkungan langsung lintas kabupaten/kota. kabupaten/kota.
Penetapan wilayah konservasi air tanah dalam wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha pertambangan mineral, dan batubara untuk operasi produksi, serta panas bumi yang berdampak lingkungan langsung dalam wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 18. Pengelolaan, pembinaan, dan pengawasan wilayah kerja KP dan kontrak kerja sama pengusahaan pertambangan panas bumi yang dikeluarkan sebelum diterbitkannya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi yang berdampak nasional.
Penetapan kebijakan batasan produksi mineral, batubara dan panas bumi.
Penetapan kebijakan batasan pemasaran dan pemanfaatan mineral, batubara dan panas bumi.
Ɇ 19. Ɇ 20. Ɇ 18. Ɇ 19. Ɇ 20. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 21. Penetapan kebijakan kemitraan dan kerjasama serta pengembangan masyarakat dalam pengelolaan mineral, batubara dan panas bumi.
Perumusan dan penetapan tarif iuran tetap dan iuran produksi mineral, batubara dan panas bumi.
Penetapan kebijakan pemanfaatan dan penggunaan dana pengembangan batubara dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Ɇ 22. Ɇ 23. Ɇ 21. Ɇ 22. Ɇ 23. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 24. Penetapan pedoman nilai perolehan air tanah pada cekungan air tanah lintas provinsi dan lintas negara.
Pengelolaan data dan informasi mineral, batubara, panas bumi dan air tanah serta pengusahaan dan Sistem Informasi Geografis (SIG) wilayah kerja pertambangan nasional.
Penetapan potensi panas bumi dan air tanah serta neraca sumber daya dan cadangan mineral dan batubara nasional.
Penetapan nilai perolehan air tanah pada cekungan air tanah lintas kabupaten/kota.
Pengelolaan data dan informasi mineral, batubara, panas bumi dan air tanah serta pengusahaan dan SIG wilayah kerja pertambangan di wilayah provinsi.
Penetapan potensi panas bumi dan air tanah serta neraca sumber daya dan cadangan mineral dan batubara di wilayah provinsi.
Penetapan nilai perolehan air tanah pada cekungan air tanah dalam wilayah kabupaten/ kota.
Pengelolaan data dan informasi mineral, batubara, panas bumi dan air tanah serta pengusahaan dan SIG wilayah kerja pertambangan di wilayah kabupaten/kota.
Penetapan potensi panas bumi dan air tanah serta neraca sumber daya dan cadangan mineral dan batubara di wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 27. Pengangkatan dan pembinaan inspektur tambang serta pembinaan jabatan fungsional.
Pengangkatan dan pembinaan inspektur tambang serta pembinaan jabatan fungsional provinsi.
Pengangkatan dan pembinaan inspektur tambang serta pembinaan jabatan fungsional kabupaten/kota.
Geologi 1. Penetapan kebijakan nasional bidang geologi.
Pelaksanaan pemetaan geologi dan peta tematik, inventarisasi geologi dan sumber daya mineral, panas bumi, migas, air tanah nasional dan kawasan pengembangan yang bersifat strategis serta pelaksanaan eksplorasi panas bumi.
Penetapan kawasan karst dan kawasan lindung geologi nasional.
Ɇ 2. Pelaksanaan inventarisasi geologi dan sumber daya mineral, batubara, panas bumi, migas dan air tanah pada wilayah provinsi.
Pelaksanaan inventarisasi kawasan karst dan kawasan lindung geologi pada wilayah provinsi.
Ɇ 2. Pelaksanaan inventarisasi geologi dan sumber daya mineral, batubara, panas bumi, migas dan air tanah pada wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan inventarisasi kawasan karst dan kawasan lindung geologi pada wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Penetapan kriteria pemanfaatan kawasan karst dan kawasan lindung geologi.
Penetapan pedoman, kriteria norma, standar, prosedur geologi, lingkungan geologi, geologi teknik, kebencanaan dan kawasan lingkungan geologi.
Pelaksanaan inventarisasi geologi, lingkungan geologi, geologi teknik, kebencanaan dan kawasan lingkungan geologi secara nasional dan kawasan pengembangan strategis.
Penetapan zonasi pemanfaatan kawasan karst dan kawasan lindung geologi pada wilayah lintas kabupaten/kota.
Penetapan pengelolaan lingkungan geologi, geologi teknik, kawasan rawan bencana dan kawasan lingkungan geologi di wilayah lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan inventarisasi lingkungan geologi, geologi teknik, kawasan rawan bencana dan kawasan lingkungan geologi pada wilayah provinsi.
Penetapan zonasi pemanfaatan kawasan karst dan kawasan lindung geologi pada wilayah kabupaten/kota.
Penetapan pengelolaan lingkungan geologi, geologi teknik, kawasan rawan bencana dan kawasan lingkungan geologi di wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan inventarisasi lingkungan geologi, geologi teknik, kawasan rawan bencana dan kawasan lingkungan geologi pada wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Penetapan kebijakan dan pengaturan mitigasi bencana geologi serta pedoman pengelolaan kawasan lindung geologi dan kawasan rawan bencana.
Inventarisasi, pemetaan, pemeriksaan, pemantauan, penyelidikan dan penelitian, dan kawasan rawan bencana geologi daerah vital serta strategis dan/atau memiliki dampak nasional.
Pemberian peringatan dini bencana gunung api dan gempa bumi/tsunami dan penetapan langkah- langkah mitigasi untuk bencana geologi.
Pelaksanaan kebijakan mitigasi bencana geologi pada wilayah lintas kabupaten/kota.
Inventarisasi dan pengelolaan, kawasan rawan bencana geologi pada wilayah provinsi dan/atau memiliki dampak lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan koordinasi mitigasi bencana geologi pada wilayah lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan mitigasi bencana geologi pada wilayah kabupaten/kota.
Inventarisasi dan pengelolaan, kawasan rawan bencana geologi, pada wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan koordinasi mitigasi bencana geologi pada wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 10. Pengelolaan data dan informasi bencana geologi.
Pembinaan tenaga fungsional penyelidik bumi nasional dan pengamat gunung api.
Pengelolaan data dan informasi geologi nasional.
Pengelolaan informasi bencana geologi pada wilayah lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan pembinaan fungsional penyelidik bumi nasional pada wilayah provinsi.
Pengelolaan data dan informasi geologi pada wilayah provinsi.
Pengelolaan informasi bencana geologi pada wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan pembinaan fungsional penyelidik bumi nasional pada wilayah kabupaten/kota.
Pengelolaan data dan informasi geologi pada wilayah kabupaten/kota.
Ketenagalistrikan 1. Penetapan kebijakan pengelolaan energi dan ketenagalistrikan nasional.
Penetapan peraturan perundang-undangan di bidang energi dan ketenagalistrikan.
Ɇ 2. Penetapan peraturan daerah provinsi di bidang energi dan ketenagalistrikan.
Ɇ 2. Penetapan peraturan daerah kabupaten/kota di bidang energi dan ketenagalistrikan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan pedoman, standar dan kriteria pengelolaan energi dan ketenagalistrikan.
Penetapan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), dan Jaringan Transmisi Nasional (JTN).
Pemberian izin usaha ketenagalistrikan yang dilakukan Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK).
Ɇ 4. Penetapan Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah (RUKD) regional.
Ɇ 3. Ɇ 4. Penetapan Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah (RUKD) kabupaten/kota.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pemberian Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum (IUKU) yang sarana maupun energi listriknya lintas provinsi dan usaha penyediaan tenaga listrik yang terhubung ke dalam JTN.
Pengaturan harga jual tenaga listrik untuk konsumen PKUK dan pemegang IUKU yang izin usahanya dikeluarkan oleh pemerintah.
Pengaturan harga jual tenaga listrik kepada PKUK dan pemegang IUKU yang izinnya dikeluarkan oleh pemerintah.
Pemberian IUKU yang sarana maupun energi listriknya lintas kabupaten/kota.
Pengaturan harga jual tenaga listrik untuk konsumen pemegang IUKU yang izin usahanya dikeluarkan oleh provinsi.
Pengaturan harga jual tenaga listrik kepada pemegang IUKU yang izinnya dikeluarkan oleh provinsi.
Pemberian IUKU yang sarana maupun energi listriknya dalam kabupaten/kota.
Pengaturan harga jual tenaga listrik untuk konsumen pemegang IUKU yang izin usahanya dikeluarkan oleh kabupaten/kota.
Pengaturan harga jual tenaga listrik kepada pemegang IUKU yang izinnya dikeluarkan oleh kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Pemberian Izin Usaha penyediaan tenaga listrik untuk Kepentingan Sendiri (IUKS) yang sarana instalasinya mencakup lintas provinsi.
Pemberian persetujuan penjualan kelebihan tenaga listrik oleh pemegang IUKS kepada PKUK dan pemegang IUKU yang izinnya dikeluarkan oleh pemerintah.
Pemberian izin usaha jasa penunjang tenaga listrik bagi badan usaha asing/mayoritas sahamnya dimiliki oleh penanam modal asing.
Pemberian IUKS yang sarana instalasinya mencakup lintas kabupaten/kota.
Pemberian persetujuan penjualan kelebihan tenaga listrik oleh pemegang IUKS kepada pemegang IUKU yang izinnya dikeluarkan oleh provinsi.
Ɇ 9. Pemberian IUKS yang sarana instalasinya dalam kabupaten/kota.
Pemberian persetujuan penjualan kelebihan tenaga listrik oleh pemegang IUKS kepada pemegang IUKU yang izinnya dikeluarkan oleh kabupaten/kota.
Pemberian izin usaha jasa penunjang tenaga listrik bagi badan usaha dalam negeri/mayoritas sahamnya dimiliki oleh penanam modal dalam negeri. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 12. Pembinaaan dan pengawasan pelaksanaan sertifikasi bidang ketenagalistrikan dan pelaksanaan usaha ketenagalistrikan yang izinnya dikeluarkan oleh pemerintah.
Penetapan kebijakan dan penyediaan listrik pedesaan secara nasional.
Pengangkatan dan pembinaan inspektur ketenagalistrikan serta pembinaan jabatan fungsional.
Penetapan pedoman, standar dan kriteria penerangan jalan umum.
Pembinaaan dan pengawasan pelaksanaan usaha ketenagalistrikan yang izinnya diberikan oleh provinsi.
Koordinasi dan penyediaan listrik pedesaan pada wilayah regional.
Pengangkatan dan pembinaan inspektur ketenagalistrikan serta pembinaan jabatan fungsional provinsi.
Ɇ 12. Pembinaaan dan pengawasan pelaksanaan usaha ketenagalistrikan yang izinnya diberikan oleh kabupaten/kota.
Penyediaan listrik pedesaan di wilayah kabupaten/kota.
Pengangkatan dan pembinaan inspektur ketenagalistrikan serta pembinaan jabatan fungsional kabupaten/kota.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (Migas) 1. Penetapan mekanisme penyampaian laporan produksi penghitungan (lifting) bagian daerah.
Penetapan wilayah kerja kontrak kerja sama bidang minyak dan gas bumi.
Penetapan standar dan norma untuk izin pembukaan kantor perwakilan perusahaan.
Penghitungan produksi dan realisasi lifting minyak bumi dan gas bumi bersama pemerintah.
Pemberian rekomendasi penggunaan wilayah kerja kontrak kerja sama untuk kegiatan lain di luar kegiatan migas pada lintas kabupaten/kota.
Ɇ 1. Penghitungan produksi dan realisasi lifting minyak bumi dan gas bumi bersama pemerintah.
Pemberian rekomendasi penggunaan wilayah kerja kontrak kerja sama untuk kegiatan lain di luar kegiatan migas pada wilayah kabupaten/kota.
Pemberian izin pembukaan kantor perwakilan perusahaan di sub sektor migas.
Minyak dan Gas Bumi 2. Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi 1. Pemberian izin usaha pada kegiatan usaha hilir minyak dan gas bumi, yang terdiri dari kegiatan usaha pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan niaga.
Pengawasan jumlah armada pengangkut Bahan Bakar Minyak (BBM) di daerah provinsi yang meliputi jumlah armada dan kapasitas pengangkutan BBM.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Ɇ 3. Ɇ 4. Ɇ 2. Inventarisasi jumlah badan usaha kegiatan hilir yang beroperasi di daerah provinsi.
Penetapan harga bahan bakar minyak jenis minyak tanah pada tingkat konsumen rumah tangga dan usaha kecil.
Pengawasan pencantuman Nomor Pelumas Terdaftar (NPT) pada pelumas yang beredar di pasaran sesuai peraturan perundang-undangan.
Ɇ 3. Ɇ 4. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Ɇ 6.a.Pengaturan dan pelaksanaan penyediaan dan pendistribusian BBM di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ɇ 5. Koordinasi pengawasan pengendalian pendistribusian dan tata niaga bahan bakar minyak dari agen dan pangkalan dan sampai konsumen di wilayah provinsi.
a.Pemantauan dan inventarisasi penyediaan, penyaluran dan kualitas harga BBM serta melakukan analisa dan evaluasi terhadap kebutuhan/penyediaan BBM lintas kabupaten/kota.
Ɇ 5. Pengawasan pengendalian pendistribusian dan tata niaga bahan bakar minyak dari agen dan pangkalan dan sampai konsumen akhir di wilayah kabupaten/kota.
a.Pemantauan dan inventarisasi penyediaan, penyaluran dan kualitas harga BBM serta melakukan analisa dan evaluasi terhadap kebutuhan/penyediaan BBM di wilayah kabupaten/kota.
Pemberian rekomendasi lokasi pendirian kilang dan tempat penyimpanan migas. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Ɇ c. Ɇ c.Pemberian izin lokasi pendirian Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk Umum (SPBU).
Kegiatan Usaha Jasa Penunjang Minyak dan Gas Bumi 1. Pemberian rekomendasi Pembelian dan Penggunaan (P2) dan Pemilikan Penguasaan dan Penyimpanan (P3) bahan peledak untuk kegiatan migas.
Pemberian rekomendasi pendirian gudang bahan peledak dalam rangka kegiatan usaha migas di daerah operasi daratan dan di daerah operasi paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.
Pemberian rekomendasi pendirian gudang bahan peledak dalam rangka kegiatan usaha migas di daerah operasi daratan dan di daerah operasi pada wilayah kabupaten/kota dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha penunjang migas.
Pengangkatan dan pembinaan inspektur migas serta pembinaan jabatan fungsional.
Pengawasan terhadap kegiatan usaha perusahaan jasa penunjang minyak dan gas bumi untuk bidang usaha jasa penyediaan komoditi dan jasa boga dan bidang usaha jasa penyediaan material dan peralatan termasuk pelayanan purna jual yang berdomisili di provinsi yang bersangkutan.
Pengangkatan dan pembinaan inspektur migas serta pembinaan jabatan fungsional provinsi.
Ɇ 3. Pengangkatan dan pembinaan inspektur migas serta pembinaan jabatan fungsional kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) 1. Penetapan pedoman dan standar penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan teknis dan fungsional tertentu sektor energi dan sumber daya mineral.
Penetapan pedoman akreditasi bagi lembaga diklat penyelenggara diklat teknis dan fungsional tertentu sektor energi dan sumber daya mineral.
Penetapan standar kurikulum berbasis kompetensi diklat teknis dan fungsional tertentu sektor energi dan sumber daya mineral.
Ɇ 2. Pengusulan lembaga diklat provinsi agar terakreditasi sebagai penyelenggara pendidikan dan pelatihan teknis dan fungsional tertentu sektor energi dan sumber daya mineral.
Ɇ 1. Ɇ 2. Ɇ 3. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Fasilitasi penyelenggaraan assessment melalui lembaga assessment Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM) bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dinas daerah provinsi/kabupaten/ kota.
Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan teknis untuk kepala dinas provinsi dan kabupaten/kota yang mengelola sektor energi dan sumber daya mineral.
Penyertaan dan atau memfasilitasi penyelenggaraan assessment bekerjasama dengan lembaga assessment DESDM.
Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan teknis untuk kepala sub dinas kabupaten/kota dan kepala seksi dinas kabupaten/kota yang mengelola sektor energi dan sumber daya mineral setelah lembaga diklat terakreditasi.
Penyertaan dan atau memfasilitasi penyelenggaraan assessment bekerjasama dengan lembaga assessment DESDM.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan teknis sektor energi dan sumber daya mineral bagi perangkat daerah yang mengelola sektor energi dan sumber daya mineral.
Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan teknis sektor energi dan sumber daya mineral bagi perangkat daerah yang mengelola sektor energi dan sumber daya mineral berdasarkan pedoman dan standar penyelenggaraan, kurikulum/silabus dan lembaga diklat terakreditasi.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan fungsional tertentu untuk pengangkatan pertama kali dan jenjang madya inspektur tambang/ minyak dan gas bumi/ ketenagalistrikan/ penyelidik bumi.
Pemberian bimbingan dan konsultasi diklat teknis dan fungsional tertentu di sektor energi dan sumber daya mineral lingkup nasional, provinsi dan kabupaten/kota.
Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan fungsional tertentu untuk pengangkatan pertama kali dan jenjang muda inspektur tambang/ minyak dan gas bumi/ ketenagalistrikan/ penyelidik bumi berdasarkan pedoman dan standar penyelenggaraan, kurikulum/silabus dan lembaga pendidikan dan pelatihan (diklat) terakreditasi.
Pemberian bimbingan dan konsultasi diklat teknis dan fungsional tertentu di sektor energi dan sumber daya mineral lingkup provinsi dan kabupaten/kota.
Ɇ 8. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Koordinasi penyusunan kebutuhan dan penyelenggaraan diklat teknis dan fungsional tertentu sektor energi dan sumber daya mineral dalam skala nasional.
Pembinaan dan pemantauan dan evaluasi lembaga diklat daerah dalam penyelenggaraan diklat sektor ESDM.
Koordinasi penyusunan kebutuhan dan penyelenggaraan diklat teknis dan fungsional tertentu sektor energi dan sumber daya mineral dalam skala provinsi.
Ɇ 9. Penyusunan kebutuhan dan penyelenggaraan diklat teknis dan fungsional tertentu sektor energi dan sumber daya mineral dalam skala kabupaten/kota.
Ɇ CC. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Kelautan 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan sumberdaya kelautan dan ikan di wilayah laut nasional, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) dan landas kontinen serta sumberdaya alam yang ada di bawahnya meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian dan pengawasan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penataan ruang laut sesuai dengan peta potensi laut.
Pelaksanaan kebijakan pengelolaan sumberdaya kelautan dan ikan di wilayah laut kewenangan provinsi.
Pelaksanaan dan koordinasi kebijakan penataan ruang laut sesuai dengan peta potensi laut di wilayah laut kewenangan provinsi.
Pelaksanaan kebijakan pengelolaan sumberdaya kelautan dan ikan di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota.
Pelaksanaan penataan ruang laut sesuai dengan peta potensi laut di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil termasuk sumberdaya alam yang ada di dalamnya.
Penetapan kebijakan, norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan dan penegakan hukum di wilayah laut nasional, ZEEI dan landas kontinen.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan terpadu sumberdaya laut antar daerah.
Pelaksanaan dan koordinasi kebijakan dalam rangka pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil termasuk sumberdaya alam di wilayah laut kewenangan provinsi.
Pelaksanaan pengawasan dan penegakan hukum di wilayah laut kewenangan provinsi dan pemberian informasi apabila terjadi pelanggaran di luar batas kewenangan provinsi.
Pelaksanaan kebijakan pengelolaan terpadu dan pemanfaatan sumberdaya laut antar kabupaten/kota dalam wilayah kewenangan provinsi.
Pelaksanaan kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil termasuk sumberdaya alam di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota.
Pelaksanaan pengawasan dan penegakan hukum di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota dan pemberian informasi apabila terjadi pelanggaran di luar batas kewenangan kabupaten/kota.
Koordinasi pengelolaan terpadu dan pemanfaatan sumberdaya laut di wilayah kewenangan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria perizinan terpadu pengelolaan dan pemanfaatan wilayah laut dan sumberdaya alam yang ada di dalamnya.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemberdayaan masyarakat pesisir.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyerasian riset kelautan meliputi riset, survei dan eksplorasi sumberdaya hayati dan non hayati, teknologi dan pengembangan jasa kelautan.
Pelaksanaan kebijakan perizinan terpadu pengelolaan dan pemanfaatan wilayah laut kewenangan provinsi.
Pelaksanaan kebijakan dalam rangka pemberdayaan masyarakat pesisir antar kabupaten/kota dalam wilayah kewenangan provinsi.
Pelaksanaan dan koordinasi penyerasian riset kelautan di wilayah kewenangan laut provinsi dalam rangka pengembangan jasa kelautan.
Pelaksanaan dan koordinasi perizinan terpadu pengelolaan dan pemanfaatan wilayah laut.
Pemberdayaan masyarakat pesisir di wilayah kewenangan kabupaten/kota.
Pelaksanaan sistem perencanaan dan pemetaan serta riset potensi sumberdaya dalam rangka optimalisasi pemanfaatan sumberdaya kelautan di wilayah kewenangan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan, pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya alam kelautan termasuk benda berharga dari kapal tenggelam.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan dan konservasi sumberdaya alam hayati dan perairan laut.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria peningkatan kapasitas kelembagaan dan Sumberdaya Manusia (SDM) bidang kelautan dan perikanan.
Pelaksanaan pengawasan pemanfaatan benda berharga dari kapal tenggelam berdasarkan wilayah kewenangannya dengan pemerintah dan kabupaten/kota.
Penetapan kebijakan dan pengaturan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut di wilayah laut kewenangan provinsi.
Pelaksanaan kebijakan peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM di bidang kelautan dan perikanan.
Pelaksanaan koordinasi pengawasan dan pemanfaatan benda berharga dari kapal tenggelam berdasarkan wilayah kewenangannya dengan pemerintah dan provinsi.
Pemberian bimbingan teknis pelaksanaan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota.
Peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM di bidang kelautan dan perikanan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 12.Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria reklamasi pantai dan mitigasi bencana alam di wilayah pesisir dan laut.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria batas-batas wilayah maritim yang meliputi batas-batas wilayah laut pengelolaan daerah dan batas-batas wilayah laut antar negara.
Pengesahan pemberlakuan perjanjian internasional di bidang kelautan.
Penetapan dan pelaksanaan kebijakan reklamasi pantai dan mitigasi bencana alam di wilayah pesisir dan laut dalam kewenangan provinsi.
Pelaksanaan koordinasi dalam hal pengaturan batas-batas wilayah maritim yang berbatasan dengan wilayah antar negara di perairan laut dalam kewenangan provinsi.
— 12. Pelaksanaan kebijakan reklamasi pantai dan mitigasi bencana alam di wilayah pesisir dan laut dalam kewenangan kabupaten/kota.
Pelaksanaan koordinasi dan kerjasama dengan daerah lain terutama dengan wilayah yang berbatasan dalam rangka pengelolaan laut terpadu.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 15. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemetaan potensi wilayah dan sumberdaya kelautan nasional.
Pengharmonisasian peraturan pengelolaan wilayah dan sumberdaya laut.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan wilayah laut di luar 12 (dua belas) mil.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pencegahan pencemaran dan kerusakan sumberdaya ikan serta lingkungannya.
Pelaksanaan dan koordinasi pemetaan potensi sumberdaya kelautan di wilayah perairan laut kewenangan provinsi.
Pelaksanaan penyerasian dan pengharmonisasian pengelolaan wilayah dan sumberdaya laut kewenangan provinsi.
Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan wilayah laut di dalam kewenangan provinsi.
Pelaksanaan dan koordinasi pencegahan pencemaran dan kerusakan sumberdaya ikan serta lingkungannya.
Pelaksanaan pemetaan potensi sumberdaya kelautan di wilayah perairan laut kewenangan kabupaten/kota.
Pelaksanaan penyerasian dan pengharmonisasian pengelolaan wilayah dan sumberdaya laut kewenangan kabupaten/kota.
Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan wilayah laut di dalam kewenangan kabupaten/kota.
Pelaksanaan pencegahan pencemaran dan kerusakan sumberdaya ikan serta lingkungannya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 19. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria rehabilitasi dan peningkatan sumberdaya ikan serta lingkungannya.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan dan dikeluarkan ke dan dari wilayah Republik Indonesia.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria jenis ikan yang dilindungi.
Pelaksanaan kebijakan rehabilitasi dan peningkatan sumberdaya ikan serta lingkungannya antar kabupaten/kota di wilayah laut provinsi.
Pelaksanaan dan koordinasi penetapan jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan dan dikeluarkan ke dan dari wilayah Republik Indonesia.
Pelaksanaan dan koordinasi penetapan jenis ikan yang dilindungi.
Pelaksanaan koordinasi antar kabupaten/kota dalam hal pelaksanaan rehabilitasi dan peningkatan sumberdaya ikan serta lingkungannya.
Pelaksanaan penetapan jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan dan dikeluarkan ke dan dari wilayah Republik Indonesia.
Pelaksanaan perlindungan jenis ikan yang dilindungi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 22. Pelaksanaan mitigasi kerusakan lingkungan pesisir dan laut.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan jasa kelautan dan kemaritiman.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan dan konservasi plasma nutfah spesifik lokasi.
Pelaksanaan dan koordinasi mitigasi kerusakan lingkungan pesisir dan laut di wilayah laut kewenangan provinsi.
Pelaksanaan koordinasi pengelolaan jasa kelautan dan kemaritiman di wilayah laut kewenangan provinsi.
Pelaksanaan koordinasi pengelolaan dan konservasi plasma nutfah spesifik lokasi di wilayah laut kewenangan provinsi.
Pelaksanaan mitigasi kerusakan lingkungan pesisir dan laut di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota.
Pengelolaan jasa kelautan dan kemaritiman di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota.
Pengelolaan dan konservasi plasma nutfah spesifik lokasi di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 25. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemanfaatan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan perairan danau, sungai, rawa dan wilayah perairan lainnya.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyusunan zonasi dan tata ruang perairan di wilayah laut nasional.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, kriteria, dan pengelolaan kawasan konservasi perairan dan rehabilitasi perairan di wilayah laut nasional.
Pelaksanaan koordinasi eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan perairan danau, sungai, rawa dan wilayah perairan lainnya di wilayah provinsi.
Pelaksanaan dan koordinasi penyusunan zonasi dan tata ruang perairan dalam wilayah kewenangan provinsi.
Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan kawasan konservasi perairan dan rehabilitasi perairan di wilayah kewenangan provinsi.
Pelaksanaan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan perairan danau, sungai, rawa dan wilayah perairan lainnya di wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan dan koordinasi penyusunan zonasi dan tata ruang perairan dalam wilayah kewenangan kabupaten/kota.
Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan kawasan konservasi perairan dan rehabilitasi perairan di wilayah kewenangan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 28. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian tata ruang laut nasional.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan konservasi sumberdaya ikan dan lingkungan sumberdaya ikan di perairan laut nasional dan ZEEI.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria rehabilitasi sumberdaya pesisir, pulau-pulau kecil dan laut.
Perencanaan, pemanfaatan pengawasan dan pengendalian tata ruang laut wilayah kewenangan provinsi.
Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan konservasi sumberdaya ikan dan lingkungan sumberdaya ikan kewenangan provinsi.
Rehabilitasi sumberdaya pesisir, pulau-pulau kecil dan laut di wilayah kewenangan provinsi.
Perencanaan, pemanfaatan pengawasan dan pengendalian tata ruang laut wilayah kewenangan kabupaten/kota.
Pelaksanaan pengelolaan konservasi sumberdaya ikan dan lingkungan sumberdaya ikan kewenangan kabupaten/kota.
Rehabilitasi kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang mengalami kerusakan (kawasan mangrove, lamun dan terumbu karang). SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Umum 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, kriteria dan pelaksanaan perkarantinaan ikan domestik dan internasional.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan skala nasional.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan program, pelaksanaan penelitian dan pengembangan teknologi di bidang perikanan.
Perencanaan pembangunan perikanan skala nasional.
— 2. Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dalam wilayah kewenangan provinsi.
Koordinasi penyelenggaraan program, pelaksanaan penelitian dan pengembangan teknologi di bidang perikanan skala provinsi.
Perencanaan pembangunan perikanan skala provinsi.
— 2. Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dalam wilayah kewenangan kabupaten/kota.
Koordinasi penyelenggaraan program, pelaksanaan penelitian dan pengembangan teknologi di bidang perikanan skala kabupaten/kota.
Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan perikanan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria akreditasi lembaga sertifikasi sistem mutu hasil perikanan dan fasilitasi teknis.
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pola kerjasama pemanfaatan terpadu sumberdaya ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria zonasi lahan dan perairan untuk kepentingan perikanan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, kriteria, dan pelaksanaan kerjasama internasional di bidang perikanan skala nasional.
Bimbingan teknis pelaksanaan standarisasi, akreditasi lembaga sertifikasi sistem mutu hasil perikanan.
Bimbingan teknis kerjasama pemanfaatan terpadu sumberdaya ikan antar kabupaten/kota.
Penyusunan zonasi lahan dan perairan untuk kepentingan perikanan dalam wilayah provinsi.
Penyusunan rencana dan pelaksanaan kerjasama internasional bidang perikanan skala provinsi.
Pelaksanaan teknis standarisasi, akreditasi lembaga sertifikasi sistem mutu hasil perikanan.
Pelaksanaan kerjasama pemanfaatan terpadu sumberdaya ikan dalam wilayah kabupaten/kota.
Pemberian bimbingan teknis pelaksanaan penyusunan zonasi lahan dan perairan untuk kepentingan perikanan dalam wilayah kabupaten/kota.
Penyusunan rencana dan pelaksanaan kerjasama internasional bidang perikanan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Pengembangan sistem, pengumpulan, analisis, penyajian dan penyebaran data informasi statistik perikanan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM bidang kelautan dan perikanan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengembangan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Bimbingan dan pelaksanaan pengumpulan, pengolahan, analisis dan penyajian data dan statistik serta informasi bidang perikanan di wilayah laut kewenangan provinsi.
Peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM bidang kelautan dan perikanan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan pengembangan wilayah pesisir dan pulau- pulau kecil.
Pelaksanaan sistem informasi perikanan di wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan bimbingan teknis dalam peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM bidang kelautan dan perikanan di wilayah kewenangan kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan pengembangan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 12. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pelaksanaan penelitian dan pengembangan sumberdaya kelautan dan perikanan.
Peragaan, penyebarluasan dan bimbingan penerapan teknologi perikanan.
Koordinasi pelaksanaan penelitian dan pengembangan sumberdaya kelautan dan perikanan di wilayah perairan kewenangan provinsi.
Peragaan, penyebarluasan dan bimbingan penerapan teknologi perikanan.
Pelaksanaan penelitian dan pengembangan sumberdaya kelautan dan perikanan di wilayah perairan kabupaten/kota.
Peragaan, penyebarluasan dan bimbingan penerapan teknologi perikanan.
Perikanan Tangkap 1. Pengelolaan dan pemanfaatan perikanan di wilayah laut di luar 12 mil.
Estimasi stok ikan nasional dan jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan (JTB).
Pengelolaan dan pemanfaatan perikanan di wilayah laut kewenangan provinsi.
Koordinasi dan pelaksanaan estimasi stok ikan di wilayah perairan kewenangan provinsi.
Pengelolaan dan pemanfaatan perikanan di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota.
Koordinasi dan pelaksanaan estimasi stok ikan di wilayah perairan kewenangan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Fasilitasi kerjasama pengelolaan dan pemanfaatan perikanan antar provinsi.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan plasma nutfah sumberdaya ikan.
Pembuatan dan penyebarluasan peta pola migrasi dan penyebaran ikan di perairan nasional termasuk ZEEI dan landas kontinen.
Fasilitasi kerjasama pengelolaan dan pemanfaatan perikanan antar kabupaten/kota.
Pelaksanaan dan koordinasi perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan plasma nutfah sumberdaya ikan kewenangan provinsi.
Dukungan pembuatan dan penyebarluasan peta pola migrasi dan penyebaran ikan di perairan wilayah kewenangan provinsi.
— 4. Pelaksanaan dan koordinasi perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan plasma nutfah sumberdaya ikan kewenangan kabupaten/kota.
Dukungan pembuatan dan penyebarluasan peta pola migrasi dan penyebaran ikan di perairan wilayah kewenangan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pemberian izin penangkapan dan/atau pengangkutan ikan yang menggunakan kapal perikanan berukuran di atas 30 GT dan di bawah 30 GT yang menggunakan tenaga kerja asing.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, kriteria, dan pelaksanaan pungutan perikanan kewenangan pemerintah.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria usaha perikanan tangkap.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemberdayaan nelayan kecil.
Pemberian izin penangkapan dan/atau pengangkutan ikan yang menggunakan kapal perikanan berukuran di atas 10 GT sampai dengan 30 GT serta tidak menggunakan tenaga kerja asing.
Penetapan kebijakan dan pelaksanaan pungutan perikanan kewenangan provinsi.
Pelaksanaan kebijakan usaha perikanan tangkap dalam wilayah kewenangan provinsi.
Pelaksanaan kebijakan pemberdayaan nelayan kecil.
Pemberian izin penangkapan dan/atau pengangkutan ikan yang menggunakan kapal perikanan sampai dengan 10 GT serta tidak menggunakan tenaga kerja asing.
Penetapan kebijakan dan pelaksanaan pungutan perikanan kewenangan kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan usaha perikanan tangkap dalam wilayah kewenangan kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan pemberdayaan nelayan kecil. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 10. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria peningkatan kelembagaan dan ketenagakerjaan perikanan tangkap.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria sistem permodalan, promosi, dan investasi di bidang perikanan tangkap.
a.Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penetapan lokasi pembangunan serta pengelolaan pelabuhan perikanan.
Pelaksanaan kebijakan peningkatan kelembagaan dan ketenagakerjaan perikanan tangkap kewenangan provinsi.
Pelaksanaan kebijakan sistem permodalan, promosi, dan investasi di bidang perikanan tangkap kewenangan provinsi.
a.Pelaksanaan dan koordinasi kebijakan penetapan lokasi pembangunan serta pengelolaan pelabuhan perikanan kewenangan provinsi.
Pelaksanaan kebijakan peningkatan kelembagaan dan ketenagakerjaan perikanan tangkap kewenangan kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan sistem permodalan, promosi, dan investasi di bidang perikanan tangkap kewenangan kabupaten/kota.
a.Pelaksanaan dan koordinasi kebijakan penetapan lokasi pembangunan serta pengelolaan pelabuhan perikanan kewenangan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Ɇ 13. Pembangunan dan pengelolaan pelabuhan perikanan pada wilayah perbatasan dengan negara lain.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria operasional dan penempatan Syahbandar di pelabuhan perikanan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembangunan kapal perikanan.
Ɇ 13. Dukungan pembangunan dan pengelolaan pelabuhan perikanan pada wilayah perbatasan dengan negara lain.
— 15. Pelaksanaan kebijakan pembangunan kapal perikanan.
Pengelolaan dan penyelenggaraan pelelangan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI).
Dukungan pembangunan dan pengelolaan pelabuhan perikanan pada wilayah perbatasan dengan negara lain.
— 15. Pelaksanaan kebijakan pembangunan kapal perikanan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 16. Pelaksanaan pendaftaran kapal perikanan di atas 30 GT.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembuatan alat penangkapan ikan.
Pemberian persetujuan pengadaan, pembangunan dan pemasukan kapal perikanan dari luar negeri (impor).
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria produktivitas kapal penangkap ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penggunaan peralatan bantu dan penginderaan jauh untuk penangkapan ikan.
Pendaftaran kapal perikanan di atas 10 GT sampai dengan 30 GT.
Pelaksanaan kebijakan pembuatan alat penangkap ikan.
— 19. Dukungan dalam penetapan kebijakan produktivitas kapal penangkap ikan.
Pelaksanaan kebijakan penggunaan peralatan bantu dan penginderaan jauh untuk penangkapan ikan.
Pendaftaran kapal perikanan sampai dengan 10 GT.
Pelaksanaan kebijakan pembuatan alat penangkap ikan.
— 19. Dukungan dalam penetapan kebijakan produktivitas kapal penangkap ikan.
Pelaksanaan kebijakan penggunaan peralatan bantu dan penginderaan jauh untuk penangkapan ikan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 21. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemeriksaan fisik kapal perikanan serta pelaksanaan pemeriksaan fisik kapal perikanan berukuran di atas 30 GT.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria kelaikan kapal perikanan dan penggunaan alat tangkap ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemanfaatan dan penempatan rumpon di perairan laut nasional.
Pelaksanaan kebijakan pemeriksaaan fisik kapal perikanan berukuran di atas 10 GT sampai dengan 30 GT.
Pelaksanaan kebijakan dan standarisasi kelaikan kapal perikanan dan penggunaan alat tangkap ikan yang menjadi kewenangan provinsi.
Pelaksanaan dan koordinasi kebijakan pemanfaatan dan penempatan rumpon di perairan laut kewenangan provinsi.
Pelaksanaan kebijakan pemeriksaan fisik kapal perikanan berukuran sampai dengan 10 GT.
Pelaksanaan kebijakan dan standarisasi kelaikan kapal perikanan dan penggunaan alat tangkap ikan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota.
Pelaksanaan dan koordinasi kebijakan pemanfaatan dan penempatan rumpon di perairan laut kewenangan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 24. Rekayasa dan teknologi penangkapan ikan. 24. Dukungan rekayasa dan pelaksanaan teknologi penangkapan ikan.
Dukungan rekayasa dan pelaksanaan teknologi penangkapan ikan.
Perikanan Budidaya 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembudidayaan ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria produk pembenihan perikanan di air tawar, air payau dan laut.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria mutu benih/induk ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria balai benih ikan air tawar, air payau dan laut.
Pelaksanaan kebijakan pembudidayaan ikan.
Pelaksanaan kebijakan produk pembenihan perikanan di air tawar, air payau dan laut.
Pelaksanaan kebijakan mutu benih/induk ikan.
Pelaksanaan kebijakan, pembangunan dan pengelolaan balai benih ikan air tawar, air payau dan laut.
Pelaksanaan kebijakan pembudidayaan ikan.
Pelaksanaan kebijakan produk pembenihan perikanan di air tawar, air payau dan laut.
Pelaksanaan kebijakan mutu benih/induk ikan.
Pelaksanaan kebijakan, pembangunan dan pengelolaan balai benih ikan air tawar, air payau dan laut. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengadaan, penggunaan dan peredaran serta pengawasan obat ikan, bahan kimia, bahan biologis dan pakan ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria akreditasi lembaga sertifikasi perbenihan ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembinaan tata pemanfaatan air dan tata lahan pembudidayaan ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan penggunaan sarana dan prasarana pembudidayaan ikan.
Pelaksanaan kebijakan pengadaan, penggunaan dan peredaran serta pengawasan obat ikan, bahan kimia, bahan biologis dan pakan ikan.
Pelaksanaan kebijakan akreditasi lembaga sertifikasi perbenihan ikan.
Pelaksanaan kebijakan pembinaan tata pemanfaatan air dan tata lahan pembudidayaan ikan.
Pelaksanaan kebijakan pengelolaan penggunaan sarana dan prasarana pembudidayaan ikan.
Pelaksanaan kebijakan pengadaan, penggunaan dan peredaran serta pengawasan obat ikan, bahan kimia, bahan biologis dan pakan ikan.
Pelaksanaan kebijakan akreditasi lembaga sertifikasi perbenihan ikan.
Pelaksanaan kebijakan pembinaan tata pemanfaatan air dan tata lahan pembudidayaan ikan.
Pelaksanaan kebijakan pengelolaan penggunaan sarana dan prasarana pembudidayaan ikan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria rekomendasi ekspor, impor, induk dan benih ikan.
Penetapan potensi dan alokasi lahan pembudidayaan ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria teknis pelepasan dan penarikan varietas induk/benih ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria teknis perbanyakan dan pengelolaan induk penjenis, induk dasar dan benih alam.
Pelaksanaan kebijakan rekomendasi ekspor, impor, induk dan benih ikan.
Pelaksanaan potensi dan alokasi lahan pembudidayaan ikan.
Pelaksanaan teknis pelepasan dan penarikan varietas induk/benih ikan.
Pelaksanaan teknis perbanyakan dan pengelolaan induk penjenis, induk dasar dan benih alam.
Pelaksanaan kebijakan rekomendasi ekspor, impor, induk dan benih ikan.
Pelaksanaan potensi dan alokasi lahan pembudidayaan ikan.
Pelaksanaan teknis pelepasan dan penarikan varietas induk/benih ikan.
Pelaksanaan teknis perbanyakan dan pengelolaan induk penjenis, induk dasar dan benih alam. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 13. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria perizinan usaha perikanan serta penerbitan Izin Usaha Perikanan (IUP) di bidang pembudidayaan ikan menggunakan tenaga kerja asing.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemasukan, pengeluaran, pengadaan, pengedaran dan/atau pemeliharaan ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembudidayaan ikan dan perlindungannya.
Pelaksanaan kebijakan perizinan dan penerbitan IUP di bidang pembudidayaan ikan yang tidak menggunakan tenaga kerja asing di wilayah provinsi.
Pelaksanaan kebijakan pemasukan, pengeluaran, pengadaan, pengedaran dan/atau pemeliharaan ikan.
Pelaksanaan kebijakan pembudidayaan ikan dan perlindungannya.
Pelaksanaan kebijakan perizinan dan penerbitan IUP di bidang pembudidayaan ikan yang tidak menggunakan tenaga kerja asing di wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan pemasukan, pengeluaran, pengadaan, pengedaran dan/atau pemeliharaan ikan.
Pelaksanaan kebijakan pembudidayaan ikan dan perlindungannya SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 16. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan alat pengangkut, unit penyimpanan hasil produksi budidaya ikan dan unit pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya serta pelaksanaan pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria wabah dan wilayah wabah penyakit ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria sistem informasi benih ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria teknologi pembudidayaan ikan.
Pelaksanaan kebijakan pengawasan alat pengangkut, unit penyimpanan hasil produksi budidaya ikan dan unit pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya serta pelaksanaan pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya.
Koordinasi dan pelaksanaan kebijakan wabah dan wilayah wabah penyakit ikan.
Koordinasi dan pelaksanaan sistem informasi benih ikan lintas kabupaten/kota.
Koordinasi dan pelaksanaan teknologi pembudidayaan ikan.
Pelaksanaan kebijakan pengawasan alat pengangkut, unit penyimpanan hasil produksi budidaya ikan dan unit pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya serta pelaksanaan pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya.
Koordinasi dan pelaksanaan kebijakan wabah dan wilayah wabah penyakit ikan.
Pelaksanaan sistem informasi benih ikan di wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan teknologi pembudidayaan ikan spesifik lokasi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 20. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria higienitas dan sanitasi lingkungan usaha pembudidayaan ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria kerja sama kemitraan usaha pembudidayaan ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria keramba jaring apung.
Koordinasi dan pelaksanaan kebijakan higienitas dan sanitasi lingkungan usaha pembudidayaan ikan.
Koordinasi dan pelaksanaan kebijakan kerja sama kemitraan usaha pembudidayaan ikan.
Pelaksanaan kebijakan keramba jaring apung di perairan umum lintas kabupaten/kota dan wilayah laut kewenangan provinsi.
Pemberian bimbingan, pemantauan dan pemeriksaan higienitas dan sanitasi lingkungan usaha pembudidayaan ikan.
Pembinaan dan pengembangan kerja sama kemitraan usaha pembudidayaan ikan.
Pelaksanaan kebijakan keramba jaring apung di perairan umum dan wilayah laut kewenangan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pengawasan dan Pengendalian 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan pemanfaatan dan perlindungan plasma nutfah perikanan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan perbenihan, pembudidayaan ikan dan sistem pengendalian hama dan penyakit ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembinaan, pemantauan dan pengawasan lembaga sertifikasi perbenihan ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan mutu benih dan induk, pakan ikan, obat ikan dan bahan bakunya.
Pengawasan pemanfaatan dan perlindungan plasma nutfah perikanan.
Pengawasan perbenihan, pembudidayaan ikan dan sistem pengendalian hama dan penyakit ikan.
Pembinaan, pemantauan dan pengawasan lembaga sertifikasi perbenihan ikan.
Pengawasan mutu benih dan induk, pakan ikan, obat ikan dan bahan bakunya.
Pengawasan pemanfaatan dan perlindungan plasma nutfah perikanan.
Pengawasan perbenihan, pembudidayaan ikan dan sistem pengendalian hama dan penyakit ikan.
Pembinaan, pemantauan dan pengawasan lembaga sertifikasi perbenihan ikan.
Pengawasan mutu benih dan induk, pakan ikan, obat ikan dan bahan bakunya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan Penerapan Manajemen Mutu Terpadu (PMMT) atau Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) di unit pengolahan hasil perikanan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan mutu ekspor hasil perikanan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya di pulau-pulau kecil.
Pengawasan PMMT atau HACCP di unit pengolahan hasil perikanan.
Pengawasan mutu ekspor hasil perikanan.
Koordinasi pelaksanaan pengawasan pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya di pulau- pulau kecil di wilayah kewenangan provinsi.
Pengawasan PMMT atau HACCP di unit pengolahan, alat transportasi dan unit penyimpanan hasil perikanan.
Pemantauan mutu ekspor hasil perikanan.
Pengawasan pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya di pulau- pulau kecil di wilayah kewenangan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah laut 8. Pengawasan pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah laut kewenangan provinsi.
Pengawasan pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota.
Pengolahan dan Pemasaran 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengolahan hasil perikanan dan pemasarannya.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembangunan dan pengelolaan pusat pemasaran ikan.
a.Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria akreditasi pengawasan mutu dan pengolahan hasil perikanan.
Pelaksanaan kebijakan pengolahan hasil perikanan dan pemasarannya.
Pelaksanaan kebijakan pembangunan dan pengelolaan pusat pemasaran ikan.
a.Pelaksanaan kebijakan penerbitan sertifikat kesehatan dan/atau sertifikat mutu terhadap produk perikanan dalam rangka jaminan mutu dan jaminan pangan.
Pelaksanaan kebijakan pengolahan hasil perikanan dan pemasarannya.
Pembangunan, perawatan dan pengelolaan pasar ikan.
a.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b.Pembinaan pengujian mutu secara laboratoris terhadap produk hasil perikanan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengendalian mutu di unit pengolahan, alat transportasi dan unit penyimpanan hasil perikanan sesuai prinsip PMMT atau HACCP.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembangunan dan pengelolaan laboratorium pengujian dan pengolahan mutu hasil perikanan.
Pelaksanaan pengujian mutu secara laboratoris terhadap produk hasil perikanan.
Pelaksanaan kebijakan pengendalian mutu di unit pengolahan, alat transportasi dan unit penyimpanan hasil perikanan sesuai prinsip PMMT atau HACCP.
Pelaksanaan kebijakan pembangunan dan pengelolaan laboratorium pengujian dan pengolahan mutu hasil perikanan.
— 4. Pelaksanaan pengendalian mutu di unit pengolahan, alat transportasi dan unit penyimpanan hasil perikanan sesuai prinsip PMMT atau HACCP.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan monitoring residu antibiotik dan cemaran mikroba dan bahan berbahaya lainnya serta perairan/lingkungan tempat ikan hidup.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria investasi dan pengembangan usaha hasil perikanan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria perizinan usaha pengolahan dan pemasaran hasil perikanan.
Bimbingan pengawasan monitoring residu antibiotik dan cemaran mikroba dan bahan berbahaya lainnya serta perairan/lingkungan tempat ikan hidup.
Pelaksanaan kebijakan dan bimbingan investasi dan pengembangan usaha hasil perikanan.
Pelaksanaan kebijakan dan bimbingan perizinan usaha pengolahan dan pemasaran hasil perikanan di provinsi.
Pelaksanaan kebijakan pengawasan monitoring residu antibiotik dan cemaran mikroba dan bahan berbahaya lainnya serta perairan/lingkungan tempat ikan hidup.
Pelaksanaan kebijakan investasi dan pengembangan usaha hasil perikanan.
Pelaksanaan kebijakan perizinan usaha pengolahan dan pemasaran hasil perikanan di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Penyuluhan dan Pendidikan 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembinaan serta penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan (diklat) fungsional, teknis, keahlian, manajemen dan kepemimpinan di bidang kelautan dan perikanan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyuluhan kelautan dan perikanan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria akreditasi dan sertifikasi diklat bidang kelautan dan perikanan.
Pelaksanaan kebijakan pembinaan serta penyelenggaraan diklat fungsional, teknis, keahlian, manajemen dan kepemimpinan bidang kelautan dan perikanan di provinsi.
Pelaksanaan kebijakan dan bimbingan penyuluhan kelautan dan perikanan di provinsi.
Pelaksanaan kebijakan akreditasi dan sertifikasi diklat bidang kelautan dan perikanan di provinsi.
Pelaksanaan kebijakan pembinaan serta penyelenggaraan diklat fungsional, teknis, keahlian, manajemen dan kepemimpinan bidang kelautan dan perikanan di kabupaten/kota.
Pelaksanaan penyuluhan kelautan dan perikanan di kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan akreditasi dan sertifikasi diklat bidang kelautan dan perikanan di kabupaten/kota. DD. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PERDAGANGAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Perdagangan Dalam Negeri 1. Penetapan pedoman serta pembinaan dan pengawasan pemberian izin usaha perdagangan (SIUP).
Penetapan pedoman dan fasilitasi serta pemberian izin perdagangan jasa bisnis (survey, broker, properti), jasa distribusi (waralaba, penjualan langsung, keagenan/distributor, perwakilan perusahaan perdagangan asing) dan jasa lainnya di bidang perdagangan tertentu.
Pembinaan dan pengawasan dalam pelaksanaan pemberian izin usaha perdagangan.
Pembinaan dan pengawasan perdagangan jasa bisnis, jasa distribusi dan jasa lainnya di bidang perdagangan di wilayah provinsi.
Pemberian izin usaha perdagangan di wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin/pendaftaran jasa bisnis dan jasa distribusi di wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan pedoman, pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi, serta pemberian izin perdagangan barang kategori dalam pengawasan skala nasional (SIUP Minuman Beralkohol golongan B dan C untuk Importir, Distributor dan Subdistributor, SIUP Bahan Berbahaya untuk Distributor, Pengakuan Pedagang Gula dan Kayu antar Pulau, serta komoditi lain yang akan ditetapkan sebagai barang yang perdagangannya diawasi atau diatur tataniaganya).
Pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi serta pemberian izin perdagangan barang kategori dalam pengawasan skala provinsi (SIUP Minuman Beralkohol golongan B dan C untuk Toko Bebas Bea, SIUP Bahan Berbahaya untuk Pengecer dan Rekomendasi SIUP Minuman Beralkohol untuk Distributor dan Subdistributor, Rekomendasi SIUP Bahan Berbahaya untuk Distributor).
Pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi serta pemberian izin perdagangan barang kategori dalam pengawasan skala kabupaten/kota (SIUP Minuman Beralkohol golongan B dan C untuk Pengecer, Penjualan Langsung untuk diminum di tempat, Pengecer dan Penjualan Langsung untuk diminum di tempat untuk Minuman Beralkohol mengandung Rempah sampai dengan 15%, Rekomendasi SIUP Bahan Berbahaya, Rekomendasi Pengakuan Pedagang Kayu antar Pulau). SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Penetapan pedoman, pembinaan Sumber Daya Manusia (SDM), koordinasi, pengendalian, pengawasan penyelenggaraan dan penyajian informasi wajib daftar perusahaan skala nasional.
Penetapan pedoman, pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi serta fasilitasi kegiatan perdagangan di wilayah perbatasan, pedalaman, terpencil dan pulau terluar.
Koordinasi, pengendalian, pengawasan, pelaporan dan penyajian informasi hasil penyelenggaraan wajib daftar perusahaan skala provinsi.
Koordinasi, dukungan pelaksanaan, pembinaan dan pengawasan, fasilitasi, monitoring dan evaluasi kegiatan perdagangan di wilayah perbatasan, pedalaman, terpencil dan pulau terluar di provinsi.
Pengawasan, pelaporan pelaksanaan dan penyelenggaraan serta penyajian informasi pelaksanaan wajib daftar perusahaan skala kabupaten/kota.
Dukungan pelaksanaan, pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi kegiatan perdagangan di daerah perbatasan, pedalaman, terpencil dan pulau terluar di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Penetapan pedoman pembinaan dan pengawasan, pemberian izin, monitoring, evaluasi; pemberian izin sarana perdagangan (pasar/toko modern) dan sarana penunjang perdagangan (jasa pameran, konvensi, dan seminar dagang) tertentu skala nasional dan internasional.
Penetapan pedoman, pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi kegiatan informasi pasar dan stabilisasi harga.
Koordinasi, pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi sarana perdagangan (pasar/toko modern dan gudang) dan persetujuan penyelenggaraan sarana penunjang perdagangan (jasa pameran, konvensi, dan seminar dagang) skala nasional.
Penyelenggaraan, pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi kegiatan informasi pasar dan stabilisasi harga di provinsi.
Pembinaan dan pengawasan, pemberian izin dan rekomendasi skala tertentu, monitoring dan evaluasi sarana perdagangan (pasar/toko modern dan gudang) dan sarana penunjang perdagangan (jasa pameran, konvensi, dan seminar dagang) skala lokal.
Penyelenggaraan, pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi kegiatan informasi pasar dan stabilisasi harga di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Penetapan pedoman, pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi kegiatan peningkatan penggunaan produksi dalam negeri skala nasional.
Penetapan pedoman dan petunjuk teknis pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen.
Sosialisasi, informasi dan publikasi tentang perlindungan konsumen.
Pelayanan dan penanganan penyelesaian sengketa konsumen skala nasional.
Pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi kegiatan peningkatan penggunaan produksi dalam negeri skala provinsi.
Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen di provinsi.
Sosialisasi, informasi dan publikasi tentang perlindungan konsumen.
Pelayanan dan penanganan penyelesaian sengketa konsumen skala provinsi.
Pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi kegiatan peningkatan penggunaan produksi dalam negeri skala kabupaten/kota.
Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen di kabupaten/kota.
Sosialisasi, informasi dan publikasi tentang perlindungan konsumen.
Pelayanan dan penanganan penyelesaian sengketa konsumen skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 12.Pembinaan dan Pemberdayaan Motivator dan Mediator Perlindungan Konsumen Skala Nasional.
Fasilitasi operasional Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN).
Fasilitasi pembentukan Perwakilan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (PBPKN) provinsi.
Penetapan kebijakan dan pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
Pembinaan dan Pemberdayaan Motivator dan Mediator Perlindungan Konsumen skala provinsi.
— 14.Koordinasi pembentukan dan fasilitasi operasional PBPKN provinsi.
Koordinasi pembentukan BPSK dengan kabupaten/kota di wilayah provinsi.
Pembinaan dan Pemberdayaan Motivator dan Mediator Perlindungan Konsumen skala kabupaten/kota.
— 14.— 15.Pengusulan pembentukan BPSK di kabupaten/kota kepada pemerintah berkoordinasi dengan provinsi dan fasilitasi operasional BPSK. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 16.Penetapan kebijakan dan petunjuk teknis pembinaan Lembaga Pemberdayaan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM).
Koordinasi dan kerjasama internasional serta lintas sektoral dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen.
Pengkajian dan evaluasi implementasi penyelenggaraan perlindungan konsumen.
Penetapan kebijakan, pedoman, petunjuk pelaksanaan/petunjuk teknis dan atau tatacara pengawasan barang beredar dan jasa.
Koordinasi kegiatan LPKSM dengan kabupaten/kota di wilayah provinsi.
Koordinasi dan kerjasama dengan instansi terkait skala provinsi dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen.
Koordinasi evaluasi implementasi penyelenggaraan perlindungan konsumen.
Pelaksanaan kebijakan, pedoman, petunjuk pelaksanaan/petunjuk teknis pengawasan barang beredar dan jasa.
Pendaftaran dan pengembangan LPKSM.
Koordinasi dan kerjasama dengan instansi terkait skala kabupaten/kota dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen.
Evaluasi implementasi penyelenggaraan perlindungan konsumen.
Pelaksanaan kebijakan, pedoman, petunjuk pelaksanaan/petunjuk teknis pengawasan barang beredar dan jasa. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 20.Pembinaan dan pengawasan barang beredar dan jasa serta penegakan hukum skala nasional.
Koordinasi pengawasan barang beredar dan jasa skala nasional.
Sosialisasi kebijakan pengawasan barang beredar dan jasa skala nasional.
Pembinaan dan pemberdayaan Petugas Pengawas Barang Beredar dan Jasa (PPBJ) skala nasional.
Pembinaan dan pengawasan barang beredar dan jasa serta penegakan hukum skala provinsi.
Koordinasi pelaksanaan pengawasan barang beredar dan jasa skala provinsi.
Sosialisasi kebijakan pengawasan barang beredar dan jasa skala provinsi.
Pembinaan dan pemberdayaan PPBJ skala provinsi.
Pengawasan barang beredar dan jasa serta penegakan hukum skala kabupaten/kota.
Koordinasi pelaksanaan pengawasan barang beredar dan jasa skala kabupaten/kota.
Sosialisasi kebijakan pengawasan barang beredar dan jasa skala kabupaten/kota.
Pembinaan dan pemberdayaan PPBJ skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 24.Pembinaan dan pemberdayaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perlindungan Konsumen (PPNS-PK) skala nasional.
Penetapan dan penyelenggaraan pendaftaran petunjuk penggunaan (manual) dan kartu jaminan/garansi dalam bahasa Indonesia bagi produk teknologi informasi dan elektronika skala nasional.
Pembinaan dan pemberdayaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Wajib Daftar Perusahaan (PPNS- WDP) skala nasional.
Pembinaan dan pemberdayaan PPNS-PK skala provinsi.
Koordinasi, penyelenggaraan dan pelaporan pemberian rekomendasi atas pendaftaran petunjuk penggunaan (manual) dan kartu jaminan/garansi dalam bahasa Indonesia bagi produk teknologi informasi dan elektronika skala provinsi.
Pembinaan dan pemberdayaan PPNS-WDP skala provinsi.
Pembinaan dan pemberdayaan PPNS-PK skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan, pelaporan dan rekomendasi atas pendaftaran petunjuk penggunaan (manual) dan kartu jaminan/garansi dalam bahasa Indonesia bagi produk teknologi informasi dan elektronika skala kabupaten/kota.
Pembinaan dan pemberdayaan PPNS- WDP skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 27.Penetapan pedoman dan fasilitasi sistem informasi perdagangan, dan penyusunan potensi usaha di sektor perdagangan skala nasional.
Fasilitasi dan pelaporan pelaksanaan sistem informasi perdagangan dan penyusunan potensi usaha di sektor perdagangan skala provinsi.
Pelaksanaan dan pelaporan sistem informasi perdagangan dan penyusunan potensi usaha di sektor perdagangan skala kabupaten/kota.
Metrologi Legal 1. Penetapan dan pembinaan sistem metrologi legal.
Pembinaan dan pengembangan SDM metrologi legal.
Pembinaan dan pengendalian pembangunan metrologi legal skala provinsi.
Fasilitasi, koordinasi, penyelenggaraan, pengawasan dan pengendalian SDM metrologi skala provinsi.
Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan metrologi legal setelah memperoleh penilaian dari pemerintah yang didasarkan rekomendasi provinsi.
Fasilitasi dan pembinaan serta pengendalian SDM metrologi skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3.a.Pengelolaan dan penilaian standar ukuran dan laboratorium metrologi legal.
Ɇ c. Ɇ 4. Pelaksanaan kegiatan metrologi legal yang memerlukan penanganan khusus.
a.Koordinasi, rekomendasi penilaian standar ukuran dan laboratorium metrologi legal kabupaten/kota.
Pelaksanaan verifikasi standar satuan ukuran milik provinsi dan kabupaten/kota.
Penyelenggaraan interkomparasi skala provinsi.
Koordinasi dan pelaksanaan kegiatan tera dan tera ulang alat-alat Ukur, Takar, Timbang, dan Perlengkapannya (UTTP) di wilayah kabupaten/kota.
a.Fasilitasi standar ukuran dan laboratorium metrologi legal.
Ɇ c. Ɇ 4. Pelayanan tera dan tera ulang UTTP setelah melalui penilaian standar ukuran dan laboratorium metrologi legal oleh pemerintah. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Penyelenggaraan kerjasama internasional metrologi legal.
Fasilitasi penyuluhan dan pengamatan UTTP, Barang Dalam Kemasan Terbungkus (BDKT) dan Satuan Internasional (SI).
Pembinaan dan penerbitan izin tipe UTTP, izin tanda pabrik UTTP.
Fasilitasi dan penyelenggaraan kerjasama metrologi legal skala provinsi.
Fasilitasi dan penyelenggaraan penyuluhan dan pengamatan UTTP, BDKT dan SI.
Koordinasi dan pembinaan pembuat UTTP, importir UTTP dan merekomendasikan pelaksanaan permohonan izin tipe dan izin tanda pabrik serta menerbitkan perpanjangan izin tanda pabrik dan izin reparatir UTTP.
Fasilitasi penyelenggaraan kerjasama metrologi legal skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan penyuluhan dan pengamatan UTTP, BDKT dan SI.
Pembinaan operasional reparatir UTTP. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Pengawasan dan penyidikan tindak pidana Undang- Undang Metrologi Legal (UUML).
Penetapan dan pembinaan sistem metrologi legal untuk pemerintah daerah khusus yang ditunjuk berdasarkan peraturan perundang- undangan.
Pengawasan dan penyidikan tindak pidana UUML.
Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang ditunjuk secara khusus oleh undang-undang maka koordinasi, fasilitasi dan penyelenggaraan metrologi legal menjadi urusan provinsi.
Pengawasan dan penyidikan tindak pidana UUML.
— 3. Perdagangan Luar Negeri 1. Penetapan kebijakan dan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria bidang ekspor meliputi:
Barang yang diatur ekspornya;
Barang yang diawasi ekspornya;
Penyediaan bahan masukan sebagai bahan pertimbangan perumusan kebijakan bidang ekspor.
Penyediaan bahan masukan sebagai bahan pertimbangan perumusan kebijakan bidang ekspor. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Barang yang dilarang ekspornya.
Koordinasi dan sosialisasi kebijakan bidang ekspor skala nasional.
Pelaksanaan kebijakan bidang ekspor meliputi:
Barang yang diatur ekspornya;
Barang yang diawasi ekspornya;
Barang yang dilarang ekspornya.
Penetapan kebijakan dan pedoman pelaksanaan bidang impor meliputi:
Koordinasi dan sosialisasi kebijakan bidang ekspor skala provinsi.
Monitoring dan pelaporan pelaksanaan kebijakan bidang ekspor.
Penyediaan bahan masukan untuk perumusan kebijakan bidang impor.
Koordinasi dan sosialisasi kebijakan bidang ekspor skala kabupaten/kota.
Monitoring dan pelaporan pelaksanaan kebijakan bidang ekspor.
Penyediaan bahan masukan untuk perumusan kebijakan bidang impor. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA a. Barang yang diatur tata niaganya;
Barang yang dilarang impornya.
Pelaksanaan kebijakan bidang impor meliputi:
Barang yang diatur tata niaganya;
Barang yang dilarang impornya.
Koordinasi dan sosialisasi kebijakan bidang impor skala nasional.
Pengawasan dan pengendalian mutu barang meliputi:
Penyediaan bahan masukan sebagai bahan pertimbangan perumusan kebijakan bidang impor.
Koordinasi dan pelaksanaan kebijakan bidang impor skala provinsi.
Pengambilan contoh, pengujian, inspeksi teknis dan sertifikasi mutu barang meliputi:
Penyediaan bahan masukan sebagai bahan pertimbangan perumusan kebijakan bidang impor.
Koordinasi dan pelaksanaan kebijakan bidang impor skala kabupaten/kota.
Pengambilan contoh, pengujian, inspeksi teknis dan sertifikasi mutu barang meliputi: SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA a. Penetapan kebijakan dan mekanisme pengawasan untuk membuktikan kesesuaian barang terhadap standar;
Penelusuran teknis terhadap penilaian kesesuaian yang dilaksanakan oleh lembaga penguji, inspeksi teknis dan sertifikasi;
Registrasi terhadap lembaga penilaian kesesuaian.
Pengambilan contoh yang dilakukan oleh Petugas Pengambil Contoh (PPC) yang teregistrasi;
Pengujian, inspeksi teknis dan sertifikasi dilakukan oleh lembaga uji, inspeksi teknis, sertifikasi yang terakreditasi dan teregistrasi.
— a. Pengambilan contoh yang dilakukan oleh PPC yang teregistrasi;
Pengujian, inspeksi teknis dan sertifikasi dilakukan oleh lembaga uji, inspeksi teknis, sertifikasi yang terakreditasi dan teregistrasi.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Pembinaan dan pengembangan SDM Penguji Mutu Barang (PMB) meliputi pengaturan, penentuan kriteria, uji kompetensi, registrasi, pendidikan dan latihan, penilaian dan penetapan angka kredit, bimbingan teknis, monitoring dan evaluasi PMB.
Penetapan kebijakan, petunjuk pelaksanaan penerbitan Surat Keterangan Asal (SKA) barang ekspor, penunjukan instansi penerbitan SKA dan penelusuran asal barang, pelatihan dan sertifikasi petugas penandatangan SKA.
Penilaian dan pelaporan angka kredit PMB tingkat provinsi.
Penyediaan bahan masukan untuk perumusan kebijakan penerbitan SKA dan penelusuran asal barang.
Penilaian dan pelaporan angka kredit PMB tingkat kabupaten/kota.
Penyediaan bahan masukan untuk perumusan kebijakan penerbitan SKA dan penelusuran asal barang. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 10.Sosialisasi, evaluasi, penerbitan SKA dan penelusuran asal barang oleh daerah.
Penetapan kebijakan penerbitan Angka Pengenal Importir (API).
Sosialisasi kebijakan, monitoring dan evaluasi penerbitan API.
Sosialisasi, penerbitan dan pelaporan penerbitan SKA penelusuran asal barang di tingkat provinsi yang ditunjuk.
Penerbitan API.
Sosialisasi kebijakan dan pelaporan penerbitan API.
Sosialisasi, penerbitan dan pelaporan penerbitan SKA penelusuran asal barang di tingkat kabupaten/kota yang ditunjuk.
Penyediaan bahan masukan untuk penerbitan API.
Sosialisasi kebijakan dan pelaporan penerbitan API. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 13.Penetapan kebijakan dan fasilitasi ekspor dan impor, sosialisasi, koordinasi pelaksanaan, monitoring dan evaluasi.
Partisipasi dan penetapan kesepakatan dalam sidang komoditi internasional.
Sosialisasi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan kesepakatan.
Penyediaan bahan masukan, sosialisasi, fasilitasi, koordinasi pelaksanaan, monitoring dan pelaporan, penyediaan informasi potensi ekspor daerah sebagai bahan pertimbangan perumusan kebijakan.
Penyediaan bahan masukan dalam rangka penetapan kesepakatan dalam sidang komoditi internasional.
Sosialisasi, monitoring dan evaluasi, pelaporan pelaksanaan kesepakatan skala provinsi.
Penyediaan bahan masukan, sosialisasi, fasilitasi, koordinasi pelaksanaan monitoring dan pelaporan, penyediaan informasi potensi ekspor daerah sebagai bahan pertimbangan perumusan kebijakan.
Penyediaan bahan masukan dalam rangka penetapan kesepakatan dalam sidang komoditi internasional.
Sosialisasi, monitoring dan evaluasi, pelaporan pelaksanaan kesepakatan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 16.Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perdagangan luar negeri.
Fasilitasi pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perdagangan luar negeri.
Fasilitasi pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perdagangan luar negeri.
Kerjasama Perdagangan Internasional 1. Penetapan kebijakan, kesepakatan, pelaksanaan, koordinasi, sosialisasi, monitoring dan evaluasi kerjasama perdagangan multilateral.
Penetapan kebijakan, kesepakatan, pelaksanaan, koordinasi, sosialisasi, monitoring dan evaluasi kerjasama perdagangan regional seperti: kerjasama Association of South East Asian Nation (ASEAN), Asia Pasific Economic Conference (APEC), Asia Europe Meeting (ASEM), dan kerjasama ekonomi sub regional.
Monitoring dan sosialisasi hasil-hasil kesepakatan kerjasama perdagangan internasional.
Monitoring dan sosialisasi hasil-hasil kesepakatan kerjasama perdagangan internasional dan koordinasi kerjasama ekonomi sub regional.
Monitoring dan sosialisasi hasil-hasil kesepakatan kerjasama perdagangan internasional.
Monitoring dan sosialisasi hasil-hasil kesepakatan kerjasama perdagangan internasional. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pengaturan, penetapan kebijakan, kesepakatan, pelaksanaan, koordinasi, sosialisasi, monitoring dan evaluasi kerjasama perdagangan bilateral, seperti:
Free Trade Agreement (FTA);
Economic Partnership Agreement (EPA) ;
Comprehensive Trade and Economic Partnership (CTEP);
Comprehensive Economic Partnership (CEP);
Trade and Investment Framework (TIF);
Trade and Investment Council (TIC);
Monitoring dan sosialisasi hasil-hasil kesepakatan kerjasama perdagangan bilateral dan sosialisasi kerjasama perdagangan lintas batas.
Monitoring dan sosialisasi hasil-hasil kesepakatan kerjasama perdagangan bilateral. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA g. Trade and Investment Framework Agreement (TIFA);
Pengaturan, penetapan kebijakan, kesepakatan, pelaksanaan, koordinasi, sosialisasi, monitoring dan evaluasi pengamanan perdagangan meliputi: dumping , subsidi, dan safeguard .
Monitoring dan sosialisasi dumping , subsidi, dan safeguard .
Monitoring dan sosialisasi dumping , subsidi, dan safeguard. 5. Pengembangan Ekspor Nasional 1. Penetapan kebijakan bidang pengembangan ekspor secara nasional.
Pelaksanaan kegiatan pengembangan ekspor skala nasional maupun internasional.
Penyediaan bahan kebijakan pengembangan ekspor skala provinsi.
Pelaksanaan kegiatan pengembangan ekspor skala provinsi.
Penyediaan bahan kebijakan pengembangan ekspor skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan kegiatan pengembangan ekspor skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Perdagangan Berjangka Komoditi, Alternatif Pembiayaan Sistem Resi Gudang, Pasar Lelang 1. Pembinaan, pengaturan dan pengawasan perdagangan berjangka komoditi.
Pembinaan, pengaturan dan pengawasan sistem resi gudang.
Pembinaan, pengaturan dan pengawasan penyelenggaraan pasar lelang.
Koordinasi dengan aparat penegak hukum dalam penanganan kasus-kasus yang berkaitan dengan perdagangan berjangka komoditi.
Pembinaan komoditas dalam rangka memperoleh akses pembiayaan resi gudang.
Pembinaan, pengaturan dan pengawasan yang bersifat teknis terhadap penyelenggaraan dan pelaku pasar lelang skala provinsi.
Koordinasi dengan aparat penegak hukum dalam penanganan kasus-kasus yang berkaitan dengan perdagangan berjangka komoditi.
Pembinaan komoditas dalam rangka memperoleh akses pembiayaan resi gudang.
Pembinaan, pengaturan dan pengawasan yang bersifat teknis terhadap penyelenggaraan dan pelaku pasar lelang skala kabupaten/kota. EE. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PERINDUSTRIAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Perizinan 1. Penetapan kebijakan Izin Usaha Industri (IUI) dan kawasan industri.
Penerbitan IUI bagi industri yang mengolah dan menghasilkan Bahan Beracun Berbahaya (B3), industri minuman beralkohol, industri teknologi tinggi yang strategis, industri kertas berharga, industri senjata dan amunisi.
Penerbitan IUI yang lokasinya lintas provinsi.
Penerbitan izin kawasan industri yang lokasinya lintas provinsi.
— 2. Penerbitan IUI skala investasi di atas Rp 10 milyar tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
Penerbitan rekomendasi IUI yang diterbitkan oleh pemerintah.
Penerbitan izin kawasan industri yang lokasinya lintas kabupaten/kota.
— 2. Penerbitan tanda daftar industri dan IUI skala investasi s/d Rp 10 miliar tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
Penerbitan berita acara pemeriksaan dalam rangka penerbitan IUI oleh pemerintah dan provinsi.
Penerbitan izin usaha kawasan industri yang lokasinya di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Usaha Industri 1. Penetapan bidang usaha industri prioritas nasional, cabang industri yang penting dan strategis bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Penetapan pengelompokan bidang usaha industri atau skala usaha.
Penetapan bidang usaha industri yang terbuka dan tertutup untuk penanaman modal dan yang dicadangkan untuk industri kecil.
Penetapan bidang usaha industri prioritas provinsi.
— 3. — 1. Penetapan bidang usaha industri prioritas kabupaten/kota.
— 3. — 3. Fasilitas Usaha Industri 1. Penetapan kebijakan pemberian fasilitas/insentif fiskal dan moneter dalam rangka pengembangan industri tertentu.
Pemberian fasilitas usaha dalam rangka pengembangan Industri Kecil Menengah (IKM).
— 2. Pemberian fasilitas usaha dalam rangka pengembangan IKM di provinsi.
— 2. Pemberian fasilitas usaha dalam rangka pengembangan IKM di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Perlindung- an Usaha Industri 1. Perumusan kebijakan dan penetapan tarif bea masuk impor.
Perumusan dan penetapan kebijakan perlindungan bagi industri.
— 2. Pemberian perlindungan kepastian berusaha terhadap usaha industri lintas kabupaten/kota.
— 2. Pemberian perlindungan kepastian berusaha terhadap usaha industri di kabupaten/kota.
Perencana- an dan Program 1. Penyusunan rencana jangka panjang pembangunan industri nasional.
Penyusunan Rencana Strategis (Renstra) di bidang industri.
Penyusunan rencana pembangunan tahunan industri nasional.
Penyusunan rencana jangka panjang pembangunan industri provinsi.
Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) provinsi di bidang industri.
Penyusunan rencana kerja provinsi di bidang industri.
Penyusunan rencana jangka panjang pembangunan industri kabupaten/kota.
Penyusunan RPJM SKPD kabupaten/kota di bidang industri.
Penyusunan rencana kerja kabupaten/kota di bidang industri. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pemasaran 1. Penetapan kebijakan peningkatan pemasaran produk industri dalam negeri.
Promosi produk industri nasional.
— 2. Promosi produk industri provinsi .
— 2. Promosi produk industri kabupaten/kota.
Teknologi 1. Penetapan kebijakan penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri.
Pelaksanaan penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri.
— 1. — 2. Pelaksanaan penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri di provinsi.
Fasilitasi pemanfaatan hasil penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri termasuk lintas kabupaten/kota.
— 2. Pelaksanaan penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri di kabupaten/kota.
Fasilitasi pemanfaatan hasil penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Sosialisasi hasil penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri.
Sosialisasi hasil penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri.
Sosialisasi hasil penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri.
Standarisasi 1. Penetapan kebijakan standarisasi berdasarkan sistem standarisasi nasional.
Perumusan, fasilitasi penerapan dan pengawasan standar.
Kerjasama nasional, regional dan internasional bidang standarisasi.
— 2. Fasilitasi dan pengawasan terhadap penerapan standar yang akan dikembangkan di provinsi.
Kerjasama bidang standarisasi tingkat provinsi.
— 2. Fasilitasi dan pengawasan terhadap penerapan standar yang akan dikembangkan di kabupaten/kota.
Kerjasama bidang standarisasi tingkat kabupaten/kota.
Sumber Daya Manusia (SDM) 1. Penetapan kebijakan pembinaan dan pengembangan SDM industri dan aparatur pembina industri.
— 1. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Penetapan standar kompetensi dan kurikulum pendidikan dan pelatihan (diklat) SDM industri dan aparatur pembina industri.
Pelaksanaan diklat SDM industri dan aparatur pembina industri lintas provinsi.
Penerapan standar kompetensi SDM industri dan aparatur pembina industri di provinsi.
Pelaksanaan diklat SDM industri dan aparatur pembina industri lintas kabupaten/kota.
Penerapan standar kompetensi SDM industri dan aparatur pembina industri di kabupaten/kota.
Pelaksanaan diklat SDM industri dan aparatur pembina industri di kabupaten/kota.
Permodalan 1. Perumusan kebijakan bantuan pendanaan untuk pemberdayaan industri melalui bank dan lembaga keuangan bukan bank.
Fasilitasi akses permodalan bagi industri melalui bank dan lembaga keuangan bukan bank di provinsi.
Fasilitasi akses permodalan bagi industri melalui bank dan lembaga keuangan bukan bank di kabupaten/kota.
Lingkungan Hidup 1. Penetapan kebijakan pembinaan industri yang berwawasan lingkungan dan pengawasan pencemaran yang diakibatkan oleh industri.
Pemberian bantuan teknis kepada kabupaten/kota dalam rangka pencegahan pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh industri.
Pembinaan industri dalam rangka pencegahan pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh industri tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Fasilitasi kerjasama internasional di bidang industri yang terkait dengan lingkungan hidup.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pembinaan industri bersih yang dilakukan oleh kabupaten/kota dalam rangka pencegahan pencemaran lingkungan.
Pengawasan terhadap pencemaran lingkungan yang diakibatkan kegiatan industri di kabupaten/kota.
Kerjasama Industri 1. Penetapan kebijakan untuk peningkatan kemitraan antara industri kecil, menengah dan industri besar serta sektor ekonomi lainnya.
Penetapan pola kemitraan antara industri dengan sektor ekonomi lainnya.
Koordinasi dan fasilitasi kemitraan antara industri kecil, menengah dan industri besar serta sektor ekonomi lainnya lintas kabupaten/kota.
Koordinasi dan fasilitasi kerjasama pengembangan industri melalui pola kemitraan usaha lintas kabupaten/kota.
Fasilitasi kemitraan antara industri kecil, menengah dan industri besar serta sektor ekonomi lainnya di kabupaten/kota.
Fasilitasi kerjasama pengembangan industri melalui pola kemitraan usaha di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan kebijakan kerjasama luar negeri, kerjasama lintas sektoral dan regional bidang industri.
Koordinasi dan fasilitasi kerjasama luar negeri, kerjasama lintas sektoral dan regional untuk pemberdayaan industri lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan hasil-hasil kerjasama luar negeri, kerjasama lintas sektoral dan regional untuk pemberdayaan industri di kabupaten/kota.
Kelembaga- an 1. Pembinaan asosiasi industri/dewan tingkat nasional dan internasional.
Penetapan kebijakan pengembangan lembaga pendukung/unit pelaksana teknis penelitian dan pengembangan (litbang), diklat dan pelayanan pada IKM.
Pembentukan dan pembinaan unit pelaksana teknis tingkat nasional dan membantu unit pelaksana teknis tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Pembinaan asosiasi industri/dewan tingkat provinsi.
— 3. Pembentukan dan pembinaan unit pelaksana teknis tingkat provinsi dan membantu unit pelaksana teknis tingkat kabupaten/kota.
Pembinaan asosiasi industri/dewan tingkat kabupaten/kota.
— 3. Pembentukan dan pembinaan unit pelaksana teknis tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 14. Sarana dan Prasarana 1. Penetapan kebijakan pengembangan wilayah-wilayah pusat pertumbuhan industri dan lokasi pembangunan industri termasuk kawasan industri dan sentra industri kecil.
Penyusunan tata ruang provinsi industri dalam rangka pengembangan pusat- pusat industri yang terintegrasi serta koordinasi penyediaan sarana dan prasarana (jalan, air, listrik, telepon, unit pengolahan limbah IKM) untuk industri yang mengacu pada tata ruang nasional.
Penyusunan tata ruang kabupaten/kota industri dalam rangka pengembangan pusat-pusat industri yang terintegrasi serta koordinasi penyediaan sarana dan prasarana (jalan, air, listrik, telepon, unit pengolahan limbah IKM) untuk industri yang mengacu pada tata ruang regional (provinsi).
Informasi Industri 1. Penetapan kebijakan informasi industri.
Penyusunan pedoman dan pengumpulan, analisis dan diseminasi data nasional bidang industri.
— 2. Pengumpulan, analisis dan diseminasi data bidang industri tingkat provinsi dan pelaporan kepada pemerintah.
— 2. Pengumpulan, analisis dan diseminasi data bidang industri tingkat kabupaten/kota dan pelaporan kepada provinsi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 16. Pengawasan Industri 1. Pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan industri dalam rangka desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan di daerah.
Perumusan sistem, pembinaan dan pengaturan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang industri.
Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas desentralisasi bidang industri tingkat provinsi.
— 1. Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas desentralisasi bidang industri tingkat kabupaten/kota.
— 17. Monitoring, Evaluasi, dan Pelaporan 1. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang perindustrian nasional.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang perindustrian di provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang perindustrian di kabupaten/kota. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Pengujian UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan [Pasal 113 ayat (2)]
Relevan terhadap
Pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan.
Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya.
Produksi, peredaran, dan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditetapkan. Keberadaan Pasal 113 ayat (1) di atas secara tegas telah menguraikan tujuan yang ingin dicapai dari pengaturan zat adiktif. Dan pengaturan secara tegas lingkup zat adiktif telah dituangkan dalam ayat (2). Selanjutnya mengenai standar dan persyaratan yang harus dipenuhi dalam produksi, peredaran, dan penggunaan diatur dalam ayat (3) dengan tujuan agar zat adiktif yang dikandung oleh bahan tersebut dapat ditekan dan ditujukan untuk menekan dan mencegah penggunaan yang mengganggu atau merugikan kesehatan. 48 4. Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, menurut Pemerintah keberadaan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang a quo merupakan suatu conditio sine qua non karena merupakan fundamen yang kuat untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan pada umumnya. Dengan demikian menurut Pemerintah pengaturan Pengamanan Zat Adiktif dalam undang-undang a quo telah sesuai dengan amanat konstitusi utamanya dalam rangka meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari tujuan pembangunan nasional sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. B. Mengapa diperlukan pengaturan secara khusus mengenai zat adiktif dalam Undang-Undang a quo ; __ 1. Pengertian Zat Adiktif __ a. Bahwa menurut ketentuan dalam Internasional Statistical Classification Of Diseases And Related Health Problems (ICD 10 WHO, Tahun 1992 halaman 321), pengertian adiksi atau ketergantungan adalah suatu kumpulan perilaku, kognitif dan fenomena fisiologis yang terjadi setelah penggunaan berulang suatu bahan tertentu dan ditandai oleh keinginan kuat untuk mengonsumsi bahan tersebut, kesulitan dalam mengendalikan penggunaannya, walaupun dapat mengakibatkan bahaya, memberi prioritas pada penggunaan bahan tersebut dari pada kegiatan lain, meningkatnya toleransi dan kadang-kadang menyebabkan keadaan gejala putus zat ( withdrawal ). __ b. Bahwa zat adiktif adalah obat serta bahan-bahan aktif yang apabila dikonsumsi oleh organisme hidup dapat menyebabkan kerja biologi serta menimbulkan ketergantungan atau adiksi yang sulit dihentikan dan berefek ingin menggunakannya secara terus-menerus yang jika 49 dihentikan dapat memberi efek lelah luar biasa atau rasa sakit luar biasa. __ Sumber: __ http: //www.scribd.com/doc/17633440/Pengertian-Zat-Adiktif __ c. Bahwa zat adiktif merupakan zat atau bahan kimia yang bisa membanjiri sel saraf di otak khususnya "Reward Circuit' atau jalur kesenangan dengan dopamine, yaitu zat kimia yang mengatur sifat senang, perhatian, kesadaran, dan fungsi lainnya. Sumber: __ http: //www.anneahira.com/narkoba/zat-adiktif.htm __ d. Bahwa zat adiktif adalah bahan yang menyebabkan perilaku penggunaan yang ditandai oleh rasa ketagihan, upaya untuk memperolehnya dan adanya kecenderungan kambuh yang tinggi setelah penghentian penggunaan. Misalnya gol. opiat, barbiturat, alkohol, anestetika, pelarut mudah menguap, stimulansia SSP, nikotin dan kafein. Sumber: __ http: //dinkes.acehprov.go.id/dinkes/uploadfiles/data2006/kamus_Dink es/z.pdf e. Bahwa zat adiktif adalah istilah untuk zat-zat yang pemakaiannya dapat menimbulkan ketergantungan fisik yang kuat dan ketergantungan psikologis yang panjang ( drug dependence ) . Bahwa karena mengandung nikotin, semua tembakau dan produk tembakau menyebabkan keadaan adiksi. Proses perilaku dan farmakologi yang menentukan adiksi pada tembakau, sama dengan proses penentuan adiksi pada narkotik, heroin, dan kokain. Sumber: USDHHS. The health consequences of smoking: nicotine addiction. A report of the Surgeon General. Rockville MD: USDHHS, Public Health Service, CDC, Center for Health Promotion and Education, Office of 50 Smoking and Health, 1988. DHHS publication no. (CDC) 88 - 8406 Smokeless Tobacco Products Bahwa tembakau pada sirih, tembakau dengan jeruk dan berbagai kombinasi di Asia Selatan dan USA, meningkatkan risiko terjadinya kanker. Sumber: World Health Organization (2007), The Scientific Basis of Tobacco Product Regulation, Report of a WHO Study Group, WHO Technical _Report Series:
_ Penambahan zat adiktif. Bahwa penambahan cengkeh dan mentol pada rokok kretek akan mengurangi efek asap dan memungkinkan perokok mengisap lebih dalam sehingga meningkatkan toksisitas. Sumber: World Health Organization (2007), The Scientific Basis of Tobacco Product Regulation, Report of a WHO Study Group, WHO Technical _Report Series:
_ 2. Tembakau termasuk kategori zat adiktif Bahwa tembakau sebagai komponen utama rokok mengandung nikotin yang merupakan stimulan sistem saraf pusat (SSP) yang mengganggu keseimbangan neuropemancar. Mengisap produk yang mengandung tembakau menghasilkan efek nikotin pada SSP dalam waktu kurang-lebih sepuluh detik. Jika tembakau dikunyah, efek pada SSP dialami dalam waktu 3-5 menit. Efek nikotin dalam tembakau yang dipakai dengan cara dihisap, dikunyah atau dihirup, menyebabkan penyempitan pembuluh darah, peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, nafsu makan berkurang, menimbulkan emfisema (gangguan pada paru-paru), sebagian menghilangkan perasaan cita rasa dan penciuman serta dapat menimbulkan rasa perih paru-paru. Penggunaan produk tembakau dalam jangka panjang dapat menyebabkan kerusakan pada paru-paru, jantung dan pembuluh darah, dan menyebabkan kanker. 51 Ketergantungan pada nikotin berkembang dengan cepat, terutama ketergantungan secara psikologis. Efek psikoaktif nikotin bekerja dengan cara yang sama di otak sebagaimana jenis-jenis zat adiktif lainnya. Ketika nikotin mencapai otak, perokok mengalami perasaan "high", yaitu suatu perasaan seperti menurunnya ketegangan atau kemungkinan adanya perasaan senang yang berlebihan ( euphoria ). Bahwa nikotin telah dikenal dan dipakai oleh penduduk asli Amerika pada upacara keagamaan dan peristiwa sosial seribu tahun lalu. Dikenal di Eropa pada abad ke-17, nikotin telah dipakai untuk maksud hiburan dan pengobatan. Pemakaian tembakau diperluas dengan diperkenalkannya jenis tembakau yang lebih ringan, mesin penggulung rokok otomatis, kampanye iklan secara besar-besaran dan ketika pemerintah melihat ini sebagai sumber pajak. Bahwa Organisasi Kesehatan Dunia ( World Health Organization- WHO) dalam penelitiannya menyatakan bahwa satu dari lima kematian disebabkan oleh rokok dan lebih dari 50 persen perokok meninggal dunia sebelum waktunya sebagai akibat langsung dari penyakit yang disebabkan produk tembakau. Selain hal tersebut di atas, toleransi pada efek nikotin berkembang dengan cepat, lebih cepat dibanding heroin dan kokain. Lebih lanjut gejala putus zat setelah penggunaan jangka panjang dapat mengakibatkan sakit kepala, sifat lekas marah yang parah, ketidakmampuan berkonsentrasi, gelisah, dan gangguan tidur. Ketagihan pada nikotin mungkin bertahan seumur hidup setelah berhenti memakai tembakau. Nikotin dengan cepat masuk ke dalam otak begitu seseorang merokok. Kadar nikotin yang diisap akan mampu menyebabkan kematian apabila kadarnya lebih dari 30 mg. Farmakologi nikotin dalam produk tembakau/rokok bersifat kompleks. Menurut Jaffe (1990), faktor ini mencakup: a). komposisi tembakau yang digunakan, b). tingkat kepadatan tembakau yang digunakan dalam rokok, 52 c). panjangnya rokok atau cerutu, d). karakteristik filter yang digunakan, e). kertas yang digunakan dan f). temperatur tembakau itu dibakar. Produk tembakau/rokok mengandung 2550 zat aktif dan akan meningkat menjadi lebih dari 4000 (empat ribu) apabila penggunaannya dibakar. Menurut Burn (1991), bahwa 1.450 jenis zat lain datang dari berbagai zat tambahan ( additive ), __ pestisida dan organik atau zat metal yang dengan sengaja atau tidak disengaja ditambahkan pada komposisi rokok tersebut. Nikotin merupakan komponen utama dalam produk tembakau yang bersifat sangat adiktif. 80% dari seluruh perokok tetap ingin berhenti merokok, sebagian besar dari mereka telah berusaha namun gagal. Hanya 2.5% dari orang yang berusaha berhenti merokok tanpa bantuan yang berhasil. Oleh karena sifat adiktif nikotin yang sangat kuat, maka hanya 20% dari orang yang mencobanya untuk pertama kali sanggup untuk menghentikan kebiasaan merokok. (Sumber: Kecanduan Merokok Peranan Dan Mekanisme Kerja Nikotin-Tena Djuartina dan Yovan Hendriek ). Setiap batang rokok rata-rata mengandung nikotin 0.1-1.2 mg nikotin. Dari jumlah tersebut, kadar nikotin yang masuk dalam peredaran darah tinggal 25%, namun jumlah yang kecil itu mampu mencapai otak dalam waktu 15 detik Tar bukanlah zat tunggal, terdiri atas ratusan bahan kimia gelap dan lengket, dan tergolong sebagai racun pembuat kanker. (Sumber: http: //arsanasv.co.cc/nikotin-dalam-tembakau-dan-bahaya- merokok-bagi-kesehatan/ ) World Health Organization (WHO) menggolongkan kebiasaan merokok sebagai ketagihan ( Tobacco Dependence syndrome: Classification F17. 2 dalam International Classification of Diseases. Tenth Revision ). Laporan US Surgeon General 1988 berkesimpulan bahwa rokok dan semua bentuk penggunaan tembakau membuat pemakainya ketagihan. Pola penggunaan tembakau bersifat tetap, kompulsif, dan sindrom putus zat (dalam hal ini tembakau) biasanya menyertai penghentian penggunaan tembakau. Proses farmakologis dan perilaku yang menentukan ketagihan pada obat seperti heroin dan kokain. Nikotin mempunyai pengaruh pada 53 sistem dopamin otak, sama dengan apa yang ada pada heroin, amphetamine, dan kokain. Dalam urutan sifat ketagihan obat yang psikoaktif, nikotin ditetapkan sebagai lebih menimbulkan ketagihan dibanding heroin, kokain, alkohol, kafein, dan marijuana. Farmakologis nikotin lebih banyak bersifat rangsangan, dengan efek aktivasi elektrokortis, jantung dan sistem endokrin. Nikotin yang diterima dalam tubuh melalui rokok, mempengaruhi hampir semua sistem neurotransmitter dan neuroendoorine. Pemajanan kronik terhadap nikotin melalui rokok menyebabkan perubahan struktural pada otak dengan peningkatan jumlah reseptor nikotin. Akibat akut penggunaan nikotin menyebabkan peningkatan denyut jantung, tekanan darah, dan aliran dari jantung dan penyempitan pembuluh darah. Pengaruh lainnya yang dapat ditimbulkan terutama oleh komponen asap, juga dapat menurunkan kadar oksigen di dalam darah karena naiknya kadar karbon monoksida, juga dapat meningkatkan jumlah asam lemak, glukosa, kortisol, dan hormon lainnya di dalam darah dan peningkatan risiko mengerasnya pembuluh darah arteri dan pengentalan darah (yang berkembang menjadi serangan jantung, stroke) dan karsinogenesis. Akibat kronik yang paling gawat dari penggunaan nikotin adalah ketergantungan, karena sekali seorang menjadi perokok akan sulit mengakhiri kebiasaan itu baik secara fisik atau psikologis. Selain menjadi ketagihan secara fisiologis, merokok dapat juga memenuhi hasrat psikologis yang dirasakan. Proses ini bersama dengan upacara menyalakan rokok dan menghembuskan asap yang dilakukan berulang- ulang, menjadikan merokok suatu perilaku yang amat kompulsif. Merokok dikenal sebagai kebiasaan yang sulit untuk dihentikan dan hanya sedikit sekali perokok yang berhasil menghentikan kebiasaan mereka sebelum beberapa kali mencoba berupaya serius. Sebagai contoh di Republik Dominika, hasil studi menunjukkan bahwa sebagian besar perokok (87%) ingin berhenti, sementara 67.5% menyatakan telah berusaha melakukan dengan bersungguh-sungguh sekurang-kurangnya satu kali. Kemungkinan berhasil dalam upaya tanpa bantuan dinyatakan 54 tidak lebih dari 1 dari 100. Para peneliti menemukan bahwa pengamatan klinis yang menentukan dalam upaya menghentikan kebiasaan merokok adalah bahwa upaya itu bersifat siklik (kambuhan), sehingga para perokok yang berhenti menghadapi risiko kembali pada kebiasaan semula.
Tingkat bahaya pemakaian zat adiktif Bahwa nikotin memiliki tingkat ketergantungan (dependence) paling kuat dibandingkan dengan heroin, kokain, alkohol, kafein dan marijuana. Sedangkan tingkat toleransi nikotin adalah yang ke-2 setelah heroin. Bahwa parameter kualitas adiktif suatu zat dapat dijelaskan sebagai berikut: Withdrawal : __ Tingkat keparahan gejala yang timbul akibat menghentikan penggunaan zat tersebut. Reinforcement : Kecenderungan zat untuk mendorong pengguna untuk memakai lagi dan lagi. Tolerance : Kebutuhan pengguna untuk memiliki dosis yang semakin meningkat untuk mendapatkan efek yang sama. Dependence : __ Kesulitan untuk berhenti. Intoxication : Tingkat kemabukan yang dihasilkan oleh zat yang digunakan. Sumber: ( http: //www.druglibrary.org/SCHAFFER/library/basicfax5.htm ) __ Berikut ini dapat digambarkan 2 (dua) orang pakar obat Amerika Serikat yang menilai berbagai obat berdasarkan faktor individual yang dipertimbangkan oleh WHO pada saat menentukan sifat adiktif. Kedua pakar di atas melakukan penelitian untuk menilai 6 jenis recreational drug yang paling umum berdasarkan faktor risiko, mulai dengan angka 1 untuk yang paling berisiko dan angka 6 untuk yang paling kurang berisiko, seperti di bawah ini: Rating oleh Dr. Jack Henningfield, National Institute on Drug Abuse (NIDA) 55 Substance withdrawal Reinforcement Tolerance Dependence Intoxication Nicotine 3 4 2 1 5 Heroin 2 2 1 2 2 Cocaine 4 1 4 3 3 Alcohol 1 3 3 4 1 Caffeine 5 6 5 5 6 Marijuana 6 5 6 6 4 Keterangan : 1 = paling berat 6 = paling ringan Berdasarkan rating tersebut, tingkat ketergantungan nikotin lebih tinggi dari heroin, sedangkan alkohol dinilai paling berbahaya dalam hal withdrawal karena penghentian tiba-tiba dapat menghasilkan efek yang mengancam nyawa pecandu alkohol. Alkohol dinilai paling memabukkan di antara semua obat dalam table sedangkan ketergantungan nikotin dinilai lebih parah dari heroin. Rating oleh Dr. Neal L. Benowitz, University of California, San Francisco: Substance withdrawal Reinforcement Tolerance Dependence Intoxication Nicotine 3 4 4 1 6 Heroin 2 2 2 2 2 Cocaine 3 1 1 3 3 Alcohol 1 3 4 4 1 Caffeine 5 5 3 5 5 Marijuana 6 6 6 6 4 Keterangan : 1 = paling berat 6 = paling ringan Rating menurut Dr. Benowitz sedikit berbeda, tetapi peringkatnya pada dasarnya sama, nikotin memiliki tingkat ketergantungan ( dependence ) __ yang paling tinggi. http: //www.a1b2c3.com/drugs/gen007.htm Pada rata-rata orang dewasa yang sehat, dosis letal dari nikotin diperkirakan adalah dosis tunggal nikotin 60 mg (Ashton, 1992). Pada umumnya rokok mengandung 6-11 mg nikotin (Henningfield, 1995), namun nikotin yang dapat diserap oleh tubuh pada tiap batang sekitar 3% 56 hingga 40% (Benowitz & Henningfield, 1994). Karena nikotin tidak dapat pindah dengan mudah dari alveoli di paru ke pembuluh darah, seorang perokok umumnya menyerap sekitar 1 - 3 mg nikotin dari tiap batang (Henningfield, 1994). Jadi perokok aktif menerima sekitar 1/60 hingga 1/24 dari dosis letal nikotin di atas, setiap kali mereka merokok sebatang. Dalam satu hah perokok yang merokok sebanyak 1 bungkus rata-rata menyerap dosis nikotin secara kumulatif sekitar 20 - 40 mg. Begitu sampai ke dalam tubuh, nikotin secara cepat didistribusi ke setiap jaringan di tubuh yang kaya akan darah, termasuk otak (Henningfield & Nemeth-Coslett, 1988). Nikotin adalah zat yang larut dalam air dan larut dalam lemak jadi mampu masuk pada otak secara cepat. Otak memang menjadi organ tubuh yang paling banyak mengandung nikotin yang terakumulasi akibat penggunaan yang kronis. Nikotin yang terkandung di otak bisa dua kali lebih besar daripada yang ada di bagian tubuh lainnya (Fiore, et al, 1992). Pada otak, nikotin juga diketahui memiliki perangkat sebagaimana yang ada pada zat kokain dan amfetamin (Rustin, 1988).
Bahan berbahaya selain nikotin yang terkandung dalam produk tembakau/rokok yang dibakar. Asap rokok terdiri dari berbagai macam campuran bahan kimia kompleks yang merupakan produk non-spesifik dari hasil pembakaran bahan organik (seperti asetaldehid dan formaldehid), dan bahan kimia yang spesifik dari pembakaran tembakau dan komponen lain rokok (misalnya nitrosamine spesifik tembakau). Berikut ini rincian singkat dari beberapa komponen atas produk tembakau/rokok yang dibakar:
Karsinogen International Agency for Research on Cancer (IARC) telah membuat daftar 36 bahan kimia yang "diketahui menyebabkan kanker" (Group 1) pada manusia (IARC, 1999). Asap rokok mengandung sedikitnya 10 macam dari ke-36 bahan kimia tersebut, dan banyak bahan kimia mutagenik lain yang termasuk kategori "probably carcinogenic" atau "possibly carcinogenic" (IARC Group 2). 57 b. Tar Tar merupakan bagian dari asap tembakau yang berupa massa partikulat kering dan bebas nitrogen (U.S. Surgeon General, 1988). Fraksi partikulat dari asap rokok mengandung banyak konstituen karsinogenik yang berbahaya, di antaranya logam, PAH, dioksin, dan beberapa nitrosamine nonvolatile. Kandungan tar pada rokok secara tradisional diukur dengan metode terstandardisasi dengan bantuan smoking machine. Kadar tar digunakan untuk pengukuran tingkat toksisitas relatif produk tembakau, sehingga terdapat klasifikasi rokok dengan kadar tar tinggi, sedang, dan rendah.
Gas Di samping fase partikulat (tar), pada asap tembakau ditemukan banyak bahan kimia pada fase gas. Gas yang paling banyak dilaporkan adalah karbon monoksida (CO) dengan kadar hingga ratusan ppm. Toksisitas karbon monoksida adalah karena kemampuannya membentuk karboksihemoglobin, suatu kompleks kimia stabil dengan hemoglobin. Kompleks ini secara efektif menghilangkan molekul pembawa oksigen, hemoglobin, dari peredaran darah dan organ vital. Konsentrasi karboksihemoglobin darah sekitar 2% atau lebih dari kadar hemoglobin terkait dengan sakit angina pada orang dengan penyakit kardiovaskular dan dapat menyebabkan ischemia jantung serta mengurangi aliran darah ke jantung.
Nitrosamine Nitrosamine merupakan amin organic yang mengandung sebuah gugus nitro ( -NO ) __ yang terikat pada gugus amin melalui reaksi nitrosasi. Sebagian besar senyawa amin yang diteliti terbukti menyebabkan mutasi DNA. Nitrosamine nonspesifik pada tembakau di antaranya N- nitrosodimetilamin (NDMA), N-nitrosodietilamin (NDEA), N- nitrosoetilmetilamin, N-nitrosodietanolamin, N-nitrosopirolidin (NP), dan N-nitroso-n-butilamin (NBA) (Mitacek et al., 1999). 58 Senyawa-senyawa yang spesifik tembakau secara umum disebut non-volatile Tobacco-Specific Nitrosamines (TSNA). Terdapat 4 macam TSNA yang secara luas dilaporkan dalam literature yaitu: N- nitrosoanabasin (NAB), N-nitrosoanabatin (NAT), 4-metil- (metilnitrosoamino)-1-(3-piridil)-1-butanon (NNK) dan nitrosonomikotin (NNN). NNK dan NNN memiliki potensi mutagenic yang paling besar. NNK dan NNN terbukti menyebabkan DNA adduct terkait tumor pada rodensia dan diklasifikasikan menjadi probable human carcinogens oleh IARC (Hecht, 1999; IARC 1999). Badan regulasi seperti USFDA dan USEPA menganggap nitrosamine jenis apapun memiliki potensi mutagen dan bahaya kanker hanya dilihat melalui struktur kimianya. Penelitian menyimpulkan bahwa pengurangan penggunaan pupuk kaya nitrat dan logam berat akan dengan signifikan mengurangi karsinogenitas asap rokok dengan cara penurunan kadar nitrosamine, cadmium, nikei, krom, berilium, arsen, 2-naftilamin, dan 4- aminobifenil. e. Polynuclear __ Aromatic Hydrocarbon __ ( PAH ) Senyawa Polinuclear Aromatic Hydrocarbon ( PAH ) __ terbentuk melalui pembakaran setiap senyawa organik. Benzo(a)piren ( BaP ) __ merupakan zat yang paling banyak dipelajari dan merupakan salah satu zat yang secara toksikologi paling kuat pada kelompok senyawa ini. Analisis kadar BaP pada Canadian cigarette menunjukkan bahwa kadar rata-ratanya adalah 17 ng/cigarette, tetapi untuk brand yang ultra dan ekstra low tar memiliki nilai rata-rata setengah dari nilai tersebut dengan pengukuran di bawah kondisi standar merokok (Kaiserman and Rickert, 1992).
Dioksin Terklorinasi dan Furan Dioksin terklorinasi dan furan __ merupakan kontaminan __ yang terbentuk melalui reaksi antara senyawa/organik dengan klorin, biasanya pada kondisi pembakaran. Laporan menunjukkan kadar kontaminan dioksin __ pada rokok di New Zealand rendah dibandingkan dengan standar dunia. Kandungan dioksin pada asap rokok dapat karena 59 keberadaannya pada rokok itu sendiri atau hasil reaksi antara klorin dengan senyawa organik selama proses pembakaran. Laporan di Swedia menunjukkan kadar dioksin sebesar 1490 pg/ aliran asap rokok (Lofroth and Zebuhr, 1992). _Source: _ _The Chemical Constituents in Cigarettes and Cigarette Smoke: _ Priorities for Harm Reduction, A Report to the New Zealand Ministry of Health, March 2000 http: //www.moh.govt.nz/moh.nsf/pagescm/1003/$File/chemicalconstitu entsciqarettespriorities.pdf 5. Pengaturan zat adiktif di berbagai negara Di Amerika, tembakau sebagai zat adiktif diatur dalam Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act, legislasi landmark yang memberikan kewenangan pada USFDA untuk mengatur manufacturing dan marketing tembakau dengan tujuan untuk melindungi kesehatan masyarakat. http: //www.americanheart.org/presenter.jhtmI?identifier=11223 Di Eropa terdapat Tobacco legislation, regulation and voluntary agreements (England and European Union) Action on Smoking on Health http: //old.ash.org.uk/html/policy/legislation.html Kafein yang memiliki sifat adiktif, di Amerika diatur melalui mekanisme Dual Regulation yaitu Kafein sebagai Obat dan Kafein sebagai Makanan. http: //leda.law.harvard.edu/leda/data/642/Mrazik.html Selain keterangan tersebut di atas, Pemerintah dapat menjelaskan hal-hal sebagai berikut:
Pengaturan mengenai Pengamanan Zat Adiktif dalam Undang- Undang a quo telah memenuhi prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan benar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pengaturan Pengamanan Zat Adiktif dalam Undang-Undang a quo tidak dilakukan secara tergesa-gesa, terburu-terburu atau dipaksakan, justru pengaturan mengenai pengamanan zat adiktif dalam Undang- 60 Undang a quo telah mempertimbangkan berbagai aspek utamanya aspek kesehatan masyarakat pada umumnya.
Pengaturan Pengamanan Zat Adiktif dalam Undang-Undang a quo telah sesuai (sinkron) dengan Undang-Undang terkait lainnya. Pengaturan Zat Adiktif dalam Undang-Undang a quo tidak bersifat tumpang tindih dengan peraturan perundang-undangan yang lainnya, misalnya yang berkaitan dengan Narkotika diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Psikotropika telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, sehingga pengaturan pengamanan zat adiktif dalam Undang-Undang a quo saling melengkapi. Bahwa Pemerintah tidak sependapat dengan alasan Pemohon yang menyatakan bahwa menanam tembakau dan merokok khususnya kretek merupakan suatu budaya dan budaya kerja, dengan penjelasan sebagai berikut:
Pengertian Budaya dan Kebudayaan a) Budaya secara harfiah berasal dari Bahasa Latin yaitu Colere yang memiliki arti mengerjakan tanah, mengolah, memelihara ladang (Soerjanto Poespowardojo, 1993). b) Menurut The American Herritage Dictionary mengartikan kebudayaan adalah sebagai suatu keseluruhan dari pola perilaku yang dikirimkan melalui kehidupan sosial, seni agama, kelembagaan, dan semua hasil kerja dan pemikiran manusia dari suatu kelompok manusia. c) Menurut Koentjaraningrat budaya adalah keseluruhan sistem gagasan tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan miliki diri manusia dengan cara belajar.
Pengertian Budaya Kerja Budaya Kerja adalah suatu falsafah dengan didasari pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan juga pendorong yang dibudayakan dalam suatu kelompok dan tercermin dalam sikap 61 menjadi perilaku, cita-cita, pendapat, pandangan serta tindakan yang terwujud sebagai kerja. (Sumber: Drs. Gering Supriyadi, MM dan Drs. Tri Guno, LLM) 3. Tujuan Atau Manfaat Budaya Kerja Budaya kerja memiliki tujuan untuk mengubah sikap dan juga perilaku SDM yang ada agar dapat meningkatkan produktivitas kerja untuk menghadapi berbagai tantangan di masa yang akan datang.
Manfaat dari penerapan budaya kerja yang baik:
Meningkatkan jiwa gotong royong b. Meningkatkan kebersamaan c. Saling terbuka satu sama lain d. Meningkatkan jiwa kekeluargaan e. Meningkatkan rasa kekeluargaan f. Membangun komunikasi yang lebih baik g. Meningkatkan produktivitas kerja h. Tanggap dengan perkembangan dunia luar, dll. Budaya adalah Definisi Budaya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia 1 Pikiran; akal budi: hasil -- _; _ 2 Adat istiadat: menyelidiki bahasa dan _--; _ 3 Sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju): jiwa yang --; 4 Cak sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sudah sukar diubah. Definisi Budaya menurut Wikipedia Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosial-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia. Dengan demikian budaya harus memiliki nilai positif bagi perilaku masyarakat yang harus dilestarikan, sedangkan perilaku merokok (kretek) dari sudut pandang kesehatan tidak memiliki nilai positif bahkan mengganggu dan merugikan kesehatan. 62 Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, menurut Pemerintah ketentuan yang dimohonkan untuk diuji oleh Pemohon, justru bertujuan untuk memberikan perlindungan umum ( general protection ) terhadap setiap orang akan dampak buruk penggunaan zat adiktif, dan karenanya menurut Pemerintah ketentuan a quo tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 27, Pasal 28A, Pasal 28 I UUD 1945. KESIMPULAN Berdasarkan penjelasan di atas, Pemerintah memohon kepada yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, memutus dan mengadili permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( legal standing );
Menolak permohonan pengujian Pemohon untuk seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menerima Keterangan Pemerintah secara keseluruhan;
Menyatakan ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28A, dan Pasal 28 I serta Pembukaan ( preambule ) __ Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun demikian apabila Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). Selain mengajukan keterangan, Pemerintah juga mengajukan 3 (tiga) orang Saksi dan 6 (enam) orang Ahli, yang telah didengar keterangannya pada persidangan hari Kamis, tanggal 2 Juni 2010 dan Rabu, 5 Januari 2011 yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: 63 Saksi Pemerintah 1. Rima Melati y Saksi seorang perokok dan akibat dari ketergantungan rokok, saksi sakit kanker stadium akhir. __ 2. Yanti Sampurna y Suami saksi meninggal telah merokok 40 tahun dan tidak dapat berhenti merokok sampai wafatnya. Suami saksi menderita kanker paru dengan diketemukannya sel-sel yang khas sebagai sel kanker akibat rokok; __ 3. Pa Iswanto __ y Saksi adalah petani tembakau sejak tahun 1970 dan telah menikmati hasil tembakau tersebut dengan mendirikan rumah dan mempunyai sepeda motor; __ y Saksi sebagai petani tembakau kwatir apabila tembakau disingkirkan yang mana akan mengakibatkan akan mengadu nasib ke kota besar. __ Ahli Pemerintah 1. Prof. Dr. Amir Syarief y Nikotin tergolong zat adiktif karena bila nikotin dikonsumsi maka dapat menimbulkan ketergantungan psikologis, fisik, dan toleransi, serta sulit menghentikannya meskipun zat tersebut dapat menimbulkan masalah bagi dirinya; y Ketergantungan psikologis bila seseorang mengkonsumsi suatu zat dan berkeinginan menggunakannya kembali berulang-ulang untuk memperoleh efek yang menimbulkan suatu perasaan nyaman, senang, bergairah, bersemangat yang bila keinginannya tidak terlaksana akan menimbulkan perasaan sebaliknya menjadi lesu, tidak bergairah; y Ketergantungan fisik bila seseorang telah mengkonsumsi suatu zat dalam jangka tertentu dan menghentikannya atau menguranginya secara tiba- tiba, maka akan menimbulkan tanda-tanda gangguan fisik; y Ketergantungan toleransi bila seseorang telah mengkonsumsi suatu zat dalam jangka tertentu dan memerlukan peningkatan takaran, atau dosis untuk memperoleh efek yang sama seperti sebelumnya; 64 y Gejala putus obat adalah gejala yang ditimbulkan oleh seseorang yang telah mengalami ketergantungan, yang menghentikan akan mengurangi pemakaiannya secara tiba-tiba. Gejala putus dari nikotin adanya tersinggung, menjadi seseorang yang tidak sabar, memiliki sifat bermusuhan, merasa cemas, merasa tidak nyaman, tidak enak, sulit berkonsentrasi, gelisah, denyut jantungnya menurun, selera makannya bertambah, berat badannya meningkat; y Setelah merokok tembakau terdapat nikotin di dalam darah. Merokok tembakau dapat menimbulkan gangguan kesehatan yang menimbulkan kanker pada paru, rongga mulut, faring, laring dan isofagus yang dapat menimbulkan masalah pada pembuluh darah jantung dan otak. Wanita hamil terjadi arbortus, kelainan kongenital pada janin; y Nikotin tergolong zat adiktif. Nikotin terdapat dalam tembakau, dalam kadar yang cukup besar. Rokok tembakau mengandung nikotin sehingga merokok tembakau dapat menimbulkan ketergantungan psikologis fisik dan toleransi. Asap rokok tembakau mengandung bahan kimia yang dapat memicu terjadinya penyakit kanker, penyakit paru-paru serta gangguan kesehatan lainnya.
Dr. Widyastuti Soerojo y Bahwa Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan memberikan perlindungan bagi seluruh warga masyarakat tanpa kecuali sesuai mandat UUD 1945; y Perlindungan terhadap produk tembakau sebagai zat adiktif tidak melarang usaha pertanian tembakau apalagi mematikan mata pencaharian petani dan tidak bertentangan dengan UUD 1945; y Sifat adiktif pada nikotin sangat kuat, studi menunjukan bahwa berhentinya merokok lebih sulit daripada menghentikan ketagihan heroin dan kokain. Adanya 60 juta perokok aktif yang ada di Indonesia saat ini sudah mengindikasikan jaminan kelangsungan pertanian tembakau beberapa dekade mendatang; 65 3. Ahmad Hudoyo y Tembakau dapat dijadikan zat pengawet yaitu pengawet untuk bumbu, untuk kayu dan dapat mewarnai sutera; y Daun Tembakau dari hasil penelitian dapat sebagai obat kencing manis dan direkayasa genetik dapat dijadikan obat anti kanker; y Daun tembakau dapat menjadi idola para dokter karena ahli genetika dan ahli biologi populer merupakan daun yang paling mudah direkayasa, cepat berubah DNA sifatnya sehingga sangat efesien untuk penelitian-penelitian.
Arini Setiawati y Nikotin dalam rokok tidak begitu berbahaya jauh lebih aman daripada merokok, keracunan nikotin dalam jumlah kecil jauh lebih aman dibandingkan merokok. Zat-zat dalam asap tembakau itulah yang berbahaya, toksik dan menyebabkan kanker; y Perokok pasif menghisap asap rokok yang berbahaya tetapi tidak mendapatkan pleasure yang dialami oleh perokok aktif, sehingga alangkah tidak adilnya kalau seseorang bapak merokok sedangkan istrinya dan anak-anaknya harus menghisap asap rokok tersebut, karena dapat menimbulkan bahaya bagi wanita dan anak-anak; y Perokok aktif harus berhenti merokok agar tidak mengalami penyakit yang berbahaya karena perokok ringan dan sedang kematiannya sama saja dengan perokok berat karena merokok dengan 4 batang sehari dengan lebih 20 batang sehari sama penyakitnya dan kematian yang ditimbulkannya.
Abdillah Ahsan y Bahwa ahli telah melakukan studi di Kendal, Bojonegoro dan Lombok Timur dan ahli telah mewawancarai responden buruh tani sebanyak 450 orang dan telah mewawancarai 66 pengelola petani yang pada pokoknya sebagai berikut: - Mereka mengeluh bahwa risiko, usaha perkebunan tembakau itu sangat berisiko, yaitu perubahan cuaca karena tembakau di tanam adalah tanaman semusim, di tanam pada musim kemarau atau musim 66 penghujan. Kalaupun ditanam pada musim kemarau, ketika panen turun hujan maka rusak kualitasnya; - Perubahan harga, harga ditentukan oleh tengkulak, grader; - Hama tanaman; - Turunnya pembelian, karena pembeli utama daun tembakau adalah industri rokok. Apabila industri rokok tidak mau membeli maka tembakau belum diketahui untuk apa penggunaannya.
Ahmad Fattah Wibisono y Bahwa kata merokok atau rokok tidak tercantum dalam Al Qur’an dan As- sunah kata tadkhin tidak ada dalam kitab suci tersebut; y Makruh maupun yang haram, titik temunya adalah sama-sama menginginkan aktivitas merokok dihentikan; y Apabila orang masih mau merokok artinya orang tersebut tidak menjaga kesehatannya, tidak menjaga jiwanya seperti yang menjadi tujuan utama syariat, tujuan utama islam; [2.4] Menimbang bahwa untuk menanggapi dalil-dalil permohonan Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat telah mengajukan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada Jumat 23 Juli 2010 yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: A. KETENTUAN PASAL UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian atas Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan terhadap UUD 1945. Adapun bunyi Pasal 113 Undang-Undang a quo adalah sebagai berikut: (5) Pengamanan penggunaan bahan mengandung zat adiktif diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perorangan, keluarga, masyarakat dan lingkungan. 67 (6) Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya. (7) Produksi, pengedaran dan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditetapkan. Pemohon beranggapan ketentuan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pembukaan (Preambule), Pasal 27, Pasal 28A, dan Pasal 28 I UUD Tahun 1945. B. HAK DAN/ATAU KEWENANGAN KONSTITUSIONAL YANG DIANGGAP PEMOHON DIRUGIKAN OLEH BERLAKUNYA PASAL 113 AYAT (1), AYAT (2), DAN AYAT (3) UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN Pemohon dalam permohonan a quo mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan oleh berlakunya Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yaitu pada pokoknya sebagai berikut:
Bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 113 Undang-Undang a quo bertentangan dengan asas keadilan, karena hanya mencantumkan satu jenis tanaman pertanian yaitu tanaman tembakau yang dianggap menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya, sedangkan tanaman ganja, yang dilarang tidak dimasukan dalam Undang-Undang a quo dan juga masih banyak jenis tanaman pertanian iainnya yang juga berdampak tidak baik bagi kesehatan dan Pasal 113 Undang-Undang a quo juga dijadikan payung hukum atau landasan hukum bagi Pemerintah untuk melahirkan RPP tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif tanpa melihat dampak kerugian yang dialami oleh para petani tembakau dan cengkeh Indonesia (vide Permohonan a quo halaman 13 paragraf ke-2 dan paragraf ke-3 dan halaman 16 paragraf 1); 68 2. Bahwa Pemohon mendalilkan dengan berlakunya Pasal 113 Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, maka akan berdampak psikologis dan akan mengakibatkan kerugian materiil serta tidak adanya kepastian hukum dalam keberlangsungan kehidupan para petani tembakau dan cengkeh Indonesia, berkurangnya tenaga kerja sektor pertanian, tenaga kerja/buruh pabrik rokok, dan pihak terkait Iainnya ( vide permohonan halaman 19 paragraf ke-2);
Bahwa Pemohon dalam permohonan a quo juga mendalilkan, Pasal 113 paragraf a quo tidak berpihak kepada kepentingan petani tembakau yaitu hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupan dalam hal ini kehidupan para petani tembakau, cengkeh, dan para buruh pabrik Indonesia serta pihak lain yang terkait dengan pertembakauan juga mempunyai hak hidup yang sama sehingga menanam tembakau atau cengkeh merupakan suatu kewajiban petani untuk melangsungkan kehidupannya. Di samping itu menanam jenis tanaman tembakau dan cengkeh di Indonesia tidak hanya untuk kehidupannya saja tetapi sudah merupakan budaya menanam karena sudah turun-temurun dari generasi ke generasi di mana identitas budaya dan keberadaan masyarakat tradisional juga dilindungi oleh UUD 1945 ( vide permohonan halaman 22-23); Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, Pemohon dalam permohonan a quo berpendapat Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), bertentangan dan tidak sejalan dengan Pembukaan ( Preambule ) dan pasal-pasal UUDn 1945, sebagai berikut: Pasal 27 UUD 1945 menyatakan: (1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. (2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. __ __ 69 Pasal 28A UUD 1945 menyatakan: Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya . Pasal 28 I UUD 1945 menyatakan: (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. (2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. (3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan jaman dan peradaban. (4) Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah. (5) Untuk menegakan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang- undangan. C. KETERANGAN DPR Rl Bahwa terhadap dalil-dalil Pemohon sebagaimana diuraikan dalam permohonan a quo , pada kesempatan ini DPR dalam penyampaian pandangannya terlebih dahulu menguraikan mengenai kedudukan hukum ( legal standing ) dapat dijelaskan sebagai berikut:
Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Pemohon. Sesuai dengan Ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU Mahkamah Konstitusi), menyatakan bahwa Pemohon adalah pihak yang menganggap hak/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu: 70 a. perorangan warga negara Indonesia;
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
badan Hukum publik atau privat; atau
lembaga Negara; Ketentuan tersebut dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945; Penjelasan Pasal 51 ayat (1) ini menyatakan, bahwa hanya hak-hak yang secara eksplisit diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 saja yang termasuk “hak konstitusional”; Oleh karena itu, menurut UU Mahkamah Konstitusi, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pihak Pemohon yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam Permohonan Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud “Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasan UU Mahkamah Konstitusi" yang dianggapnya telah dirugikan oleh berlakunya suatu Undang- Undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat dari berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; Bahwa mengenai batasan-batasan tentang kerugian konstitusional, Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu Undang- Undang berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi, harus memenuhi 5 (lima) syarat sebagaimana telah dibatasi oleh Putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu ( vide Putusan Perkara Nomor 006/PUU- III/2005 dan Putusan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007), yaitu sebagai berikut: 71 a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat ( casual verband ) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan Pemohon dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; Apabila kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh Pemohon dalam mengajukan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945, maka Pemohon tidak memiliki kualifikasi kedudukan hukum ( legal standing ) sebagai Pihak Pemohon; Berdasarkan pada Ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasan UU Mahkamah Konstitusi dan persyaratan menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007 DPR Rl berpendapat bahwa tidak ada kerugian konstitusional Pemohon atau kerugian yang bersifat potensial akan terjadi dengan berlakunya Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan penjelasan sebagai berikut:
bahwa Pemohon a quo dalam permohonannya mengemukakan berkedudukan sebagai warga negara Indonesia bertmdak untuk dan atas nama sendiri sebagai penanam tembakau maupun mewakili beberapa Kepala Desa beserta warga Desa Kabupaten Temanggung yang mempunyai kepentingan yang sama; 72 2. bahwa dalam permohonan a quo , Pemohon tidak mengemukakan secara jelas dan konkrit mengenai kerugian hak konstitusional yang bersifat spesifik dan secara aktual dialami langsung oleh Pemohon sebagai akibat berlakunya ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang a quo , tetapi hanya berupa asumsi dan kekhawatiran Pemohon yang beranggapan berpotensi menghilangkan hak konstitusionalnya untuk hidup dengan menanam tembakau;
bahwa DPR tidak sependapat dengan dalil Pemohon tersebut, karena apabila mencermati ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang a quo , memberikan pengertian bahwa materi norma Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sama sekali bukan merupakan norma yang melarang untuk menanam tembakau, melainkan suatu norma yang mengandung pengertian bahwa zat adiktif adalah zat kimia yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat, sehingga penggunaan zat adiktif harus dilakukan secara hati-hati sesuai dengan standar yang telah ditetapkan, agar tidak menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya, serta tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perorangan, keluarga, masyarakat dan lingkungan yang merupakan bagian dari tujuan dibuatnya Undang-Undang a quo sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang a quo yang berbunyi: "Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis." ;
Bahwa kalaupun tembakau menurut ketentuan Pasal 113 ayat (2) Undang-Undang a quo mengandung zat adiktif, tidak berarti ketentuan Pasal 113 ayat (2) Undang-Undang a quo telah menghalangi atau mengurangi hak konstitusional Pemohon untuk menanam tembakau Dengan kata lain bahwa ketentuan Pasal 113 ayat (2) Undang-Undang 73 a quo sama sekali tidak menghalangi atau mengurangi hak konstitusional Pemohon untuk menanam dan mengembangkan tembakau sehingga tidak berpotensi menimbulkan kerugian konstilusional bagi Pemohon Oleh karena pada kenyataannya Pemohon dan masyarakat pelani tembakau masih tetap dapat melakukan aktivitasnya sebagai petani tembakau tanpa terhalang atau terkurangi dengan berlakunya ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang a quo ;
Bahwa dengan demikian kekuatiran Pemohon akan hilangnya identitas budaya menanam tembakau pada masyarakat tradisional petani tembakau menjadi tidak beralasan dan berdasar, mengingat ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang a quo sama sekali tidak melarang dan menghalangi atau mengurangi hak konstitusional bagi Pemohon dan masyarakat Petani Tembakau untuk menanam tembakau;
Bahwa kekuatiran Pemohon akan terbitnya Peraturan Pemerintah tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif yang dianggapnya dapat menimbulkan kerugian bagi Pemohon dan petani tembakau adalah sangat prematur karena sampai saat ini belum terbit Peraturan Pemerintah a quo , tetapi masih dalam bentuk Rancangan Peraturan Pemerintah. Oleh karena itu, DPR berpandangan bahwa persoalan yang didalilkan Pemohon terhadap pengujian ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang a quo , bukan persoalan konstitusionalitas, melainkan persoalan penerapan norma ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang- Undang a quo yang dijadikan dasar untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah a quo . Seandainyapun Peraturan Pemerintah a quo ternyata merugikan kepentingan Pemohon, maka yang berwenang untuk menguji Peraturan Pemerintah tersebut bukan Mahkamah Konstitusi tetapi merupakan kewenangan Mahkamah Agung untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang. 74 Berdasarkan pada uraian-uraian tersebut, DPR berpendapat bahwa Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ), sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasan UU Mahkamah Konstitusi, serta batasan kerugian konstitusional yang harus dipenuhi sesuai dengan Putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu. Oleh karena itu DPR mohon agar Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia secara bijaksana menyatakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ), sehingga permohonan Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard ); Namun jika Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia berpendapat lain, berikut ini disampaikan Keterangan DPR mengenai materi pengujian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
Pengujian Materiil atas Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Terhadap dalil-dalil yang dikemukakan Pemohon sebagaimana diuraikan di atas, DPR memberi keterangan sebagai berikut:
Bahwa dasar filosofi dan konstitusional dan pembuatan UU Kesehatan adalah bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan ata- ata bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, oleh karena itu, setiap kegiatan dan segala upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya perlu dilakukan semaksimal mungkin guna pembentukan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas, dengan demikian dapat meningkatkan daya saing bangsa;
Bahwa salah satu upaya untuk mewujudkan hal tersebut di atas, dibentuklah Undang-Undang 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang bertujuan sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang a quo yaitu "Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, 75 sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis" ;
Bahwa salah satu upaya untuk mewujudkan tujuan sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang a quo , maka dalam ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang a quo diatur secara tegas pengaturan mengenai pengamanan penggunaan bahan zat adiktif yang meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya. Oleh karena itu, pengaturan mengenai tanaman tembakau dalam Undang-Undang Kesehatan ditujukan untuk melindungi hak orang lain termasuk anak dan kesehatan masyarakat, terutama masyarakat yang akan terkena dampak negatif penggunaan tembakau dalam bentuk rokok. Undang- Undang Kesehatan sesungguhnya bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap anak dari penyalahgunaan zat adiktif seperti rokok yang sejalan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mewajibkan kepada Pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada kesehatan anak;
Bahwa zat adiktif yang terkandung dalam tembakau atau produk- produk yang mengandung tembakau mempunyai sifat adiksi yang sangat tinggi jika dibandingkan sifat adiksi yang ada dalam bahan- bahan Iainnya, yang akan membawa akibat kecanduan yang sangat sulit dilepaskan oleh para pemakainya. Hal tersebut tentunya akan membawa efek yang sangat berbahaya bagi kesehatan din dan lingkungan sekitarnya, sedangkan Zat adiktif itu sendiri mengandung makna bahan-bahan aktif yang apabila dikonsumsi secara terus- menerus akan menyebabkan ketergantungan atau adiksi yang sangat sulit untuk dilepaskan yang jika dihentikan penggunaan secara mendadak akan memberi dampak yang sangat besar bagi tubuh manusia; 76 5. Bahwa tanaman tembakau dimasukan sebagai salah satu zat adiktif dalam Undang-Undang Kesehatan tidak dapat dipandang sebagai bentuk ketidakadilan alau menghalangi dan mengurangi hak konstitusional Pemohon, karena zat adiktif Iainnya seperti yang terkandung dalam tanaman ganja dikategorikan sebagai narkotika telah diatur khusus dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Begitu pula zat adiktif psikotropika telah diatur tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Oleh karena itu ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang a quo tidak bertentangan dengan asas keadilan, mengingat Undang-Undang Kesehatan hanya berupaya untuk memberikan penekanan dalam bidang kesehatan masyarakat terutama memberikan perlindungan terhadap penggunaan tembakau yang mengandung tingkat adiksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman Iainnya;
Bahwa tanaman tembakau mengandung zat adiktif yang perlu diatur penggunaannya sebagaimana dimaksud pada Pasal 113 ayat (2) Undang-Undang a quo adalah sudah melalui kajian yang cukup panjang dan terdapat referensi internasional yang diakui diseluruh dunia agar produksi, peredarannya, dan penggunaannya harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditetapkan. Pengendalian tembakau melalui pemenuhan standar dan/atau syarat penggunaannya telah cukup diakui dunia, hal tersebut terlihat dari data pada tahun 2008 sudah ada 160 negara yang telah meratifikasi Freamework Convention on Tobacco Control (FCTC) ;
Bahwa perlu dicermati dalam penjelasan Pasal 113 ayat (3) Undang- Undang a quo menyebutkan penetapan standar dan syarat penggunaan zat adiktif tersebut diarahkan agar zat adiktif yang dikandung oleh bahan tersebut dapat ditekan untuk mencegah beredarnya bahan palsu dan mencegah penggunaan yang menggangu atau merugikan kesehatan. Oleh karena itu perlu dipandang bahwa dampak dan penggunaan zat adiktif ini diupayakan tidak menimbulkan 77 kerugian yang lebih besar kepada kesehatan masyarakat, anak-anak dan lingkungan sekitarnya;
Bahwa DPR berpandangan ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang a quo , telah sejalan dengan UUD 1945 dan tidak ada pertentangan dengan asas keadilan, kepastian, dan kemanfaatan, mengingat masih ada unsur keadilan yang diberikan untuk kepentingan orang yang lebih banyak terutama perlindungan kesehatan masyarakat, anak dan bangsa, serta asas kepastian hukum karena Undang-Undang ini mengatur mengenai peran pemerintah sebagai regulator untuk mengatur pengamanan bahaya penggunaan zat adiktif bagi kesehatan, dan kemanfaatan bagi kesehatan masyarakat;
Bahwa Undang-Undang Kesehatan juga tidak bertentangan dengan Pasal 28A UUD 1945 yang terkait dengan hak hidup, karena Undang- Undang ini tidak melarang sama sekali bagi petani tembakau untuk menanam tembakau sebagai mata pencaharian untuk kelangsungan hidupnya, DPR berpandangan bahwa pada pokoknya Undang-Undang ini mengatur mengenai perlindungan kesehatan masyarakat dan bangsa pada umumnya dari dampak negatif penggunaan tembakau. Dengan demikian sudah sangat jelas dan terang bahwa ketentuan Pasal 113 ayat (1) ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, sama sekali tidak dimaksudkan untuk melarang pertani tembakau untuk menanam tembakau, melainkan dimaksudkan untuk mengatur penggunaan zat adiktif yang menggangu atau merugikan kesehatan anak, masyarakat, dan lingkungan sekitarnya. Di samping itu juga dimaksudkan untuk melindungi masa depan generasi muda dari dampak negatif tembakau;
Bahwa berdasarkan pada uraian-uraian tersebut, DPR berpandangan ketentuan Pasal 113 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah sejalan dengan tujuan bangsa Indonesia yaitu untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang merupakan bagian dari hak asasi manusia dan merupakan salah satu unsur 78 kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sama sekali tidak bertentangan dengan Pembukaan ( Preambule ), Pasal 27, Pasal 28A dan Pasal 28 I Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Bahwa berdasarkan pada dalil-dalil tersebut di atas, DPR memohon kiranya Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang terhormat memberikan amar utusan sebagai berikut:
Menyatakan Pemohon a quo tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ), sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menyatakan permohonan a quo ditolak untuk seluruhnya atau setidak- tidaknya permohonan a quo tidak dapat diterima;
Menyatakan Keterangan DPR diterima untuk seluruhnya;
Menyatakan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tidak bertentangan dengan Pembukaan (Preambule), Pasal 27, Pasal 28A, dan Pasal 28 I Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Menyatakan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat; [2.5] Menimbang bahwa Mahkamah juga telah mendengar dan membaca keterangan Pihak Terkait yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: [2.5.1] Bahwa dr. drh. Mangku Sitepoe mengajukan diri sebagai Pihak Terkait dan telah memberikan keterangan lisan pada persidangan hari Kamis, 20 Mei 2010 dan memberikan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada hari Jumat 22 Oktober 2010, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: • Bahwa yang berbahaya bagi kesehatan adalah asap rokok bukan tembakau; 79 • Penyusunan Undang-Undang tidak membedakan antara tembakau dengan asap rokok; • Rokok terdiri dari rokok putih dan rokok kretek yang mana rokok putih sebagai standar untuk bahaya terhadap kesehatan yang mengandung 100% tembakau sedangkan rokok kretek mengandung 60% tembakau dan 40% cengkeh; • Perokok ada 2 macam yaitu mainstream asapnya dan side stream yang dikeluarkan. Side stream perokok pasif dan mainstream merupakan perokok aktif; • Untuk asap rokok digunakan pemeriksaan smoking machine dan untuk memeriksa kadar nikotin di dalam tembakau menggunakan pemeriksaan kimia biasa; • Bahwa merokok bukan this is not the cause of death dan bukan penyebab kematian tetapi menstimulasi penyakit tertentu yang dapat menyebabkan kematian; • Tidak semua zat adiktif berbahaya umpamanya teobromin di dalam coklat tidak berbahaya; • Menurut kamus kedokteran di Indonesia zat adiktif adalah suatu substansi atau zat yang menyebebabkan kebutuhan fisiologis yang menimbulkan ketergantungan. Tetapi zat adiktif menurut salah satu buku yang Pihak Terkait baca adalah obat atau zat apabila dikomsumsi oleh mahluk hidup menyebabkan aktifitas biologis, mendorong ketergantungan dan adiksi, sukar diberhentikan dan bila diberhentikan memberikan dampak keletihan dan rasa sakit yang diluar kebiasaan; • Pasal 113 ayat (1) tidak membedakan bahaya zat adiktif di dalam tembakau dengan di dalam rokok. Kata zat adiktif seharusnya diganti dengan zat berbahaya di dalam rokok. [2.5.2] Bahwa Tobacco Control Support Center – Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC-IAKMI) mengajukan sebagai Pihak Terkait dan memberikan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada hari Selasa, 29 Juni 2010, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: 80 • Bahwa draft perubahan Undang-Undang tersebut disetujui dan/atau tepatnya pada tanggal 16 September 2009, Pihak Terkait bersama dengan beberapa organisasi kemasyarakatan mengetahui jika draft yang seyogyanya akan dikirimkan ke Sekretariat Negara untuk diperiksa sebelum ditandatangani oleh Presiden, pada Pasal 113 tidak mencantumkan ayat (2) yang berbunyi ”zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau padat, cairan, dan gas, yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya”; __ • Bahwa Pihak Terkait beranggapan jika ketentuan Pasal 113 ayat (2) ini merupakan bukti keseriusan dan bentuk tanggung jawab konkrit dari pemerintah untuk melindungi warga negaranya secara umum dan memberikan perlindungan yang maksimal bagi anak dan remaja Indonesia dari bahaya zat adiktif khususnya tembakau dan produk turunannya, sehingga dengan menghilangkan ayat-ayat tembakau ini merupakan suatu tindak pidana; __ • Bahwa dikarenakan pentingnya keberadaan ketentuan Pasal 113 ayat (2) ini bagi upaya perlindungan anak dan remaja dari bahaya zat adiktif khususnya bahya rokok, maka Pihak terkait bersama-sama dengan beberapa organisasi yang tergabung dalam koali anti korupsi ayat rokok, diantaranya Komnas Perlindungan Anak, ICW, dan YLKI mengadakan press conference terkait dengan adanya upaya yang teratur dan sistematis dari beberapa oknum untuk menghilangkan ayat tembakau tersebut; __ • Bahwa sebagai bentuk tanggung jawab moril, Pihak Terkait dan Koalisi Anti Korupsi Ayat Rokok kemudian melaporkan secara resmi ke Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat dan juga ke Polda Metro Jaya. __ [2.5.3] Bahwa Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mengajukan sebagai Pihak Terkait dan telah memberikan keterangan lisan dan keterangan tertulis pada persidangan hari Selasa, 14 Desember 2010, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: • Bahwa rokok bermula dari sumber produk tembakau yang mengakibatkan korelasi langsung dengan anak karena prevalensi perokok pemula meningkat terbukti dengan data survei di mana prevalensi anak-anak usia 15 tahun 81 sampai 19 tahun yang merokok tahun 2001 meningkat dibandingkan tahun 2004; • Bahwa rokok itu adalah zat adiktif telah bermetamorfosis menjadi barang yang seakan-akan normal; • Bahwa rokok adalah sebuah epidemik global dan bukan barang normal dan karena bukan barang normal adalah tidak patut untuk dianggap seperti halnya barang-barang yang dapat diperjual belikan; • Ketentuan Pasal 113 ayat (2) yang menggunakan frasa ”pengamanan penggunaan” bukan ”penghapusan” dan karena itu yang dimaksudkan adalah untuk perlindungan atau di dalam bahasa konvensi disebut sebagai ”pengamanan penggunaan” atau ” tobacco control ”; • Bahwa merokok secara quo scientific maupun normatif telah terbukti bahwa merokok berbahaya bahkan mengancam kehidupan. __ Bahwa pada keterangan tertulisnya Komnas PA menerangkan sebagai berikut: A. TIDAK ADA DISKRIMINASI DALAM PASAL 113 AYAT (1), (2), (3) UU KESEHATAN JUSTRU PERLINDUNGAN HAK KONSTITUSIONAL SELURUH RAKYAT TERMASUK HAK KONSTITUSIONAL ANAK. Ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan ("UU Kesehatan") adalah sebagai bentuk pemenuhan kewajiban negara terhadap rakyatnya dari ancaman bahaya kesehatan, berbagai penyakit dan kecacatan dan kematian yang ditimbulkan akibat tembakau dan produk tembakau, yang secara keilmuan sudah terbukti kebenarannya. Ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU Kesehatan merupakan realisasi hak konstitusional seluruh rakyat, oleh karena:
Perlindungan dan pemenuhan hak seluruh rakyat ( right to health ) __ atas kesehatan dan hak seluruh rakyat atas standar kesehatan tertinggi, yang dijamin dalam UUD 1945;
Perlindung dan pemenuhan serta jawaban atas epidemi global tembakau ( the globalization of the tobacco epidemic ), sehingga kehadiran Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kesehatan sebagai wujud tanggung jawab negara atas pemenuhan hak kesehatan yang dijamin dalam UUD 1945; 82 (3) Perlindungan dan pemenuhan hak seluruh rakyat atas hidup ( right to life ) __ dan hak kelangsungan hidup ( right to survival ) __ yang tidak lain merupakan hak utama ( supreme rights ) __ yang dijamin dalam Pasal 28A UUD 1945, oleh karena berdasarkan bukti-bukti ilmiah bahwa konsumsi produk tembakau dan keterpaparan asap rokok merupakan penyebab kematian dan menimbulkan berbagai penyakit;
Perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak ( rights of the child ) __ atas hidup, kelangsungan hidup, dan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi yang dijamin dalam Pasal 28A dan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Demikian maka, ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kesehatan sama sekali tidak dapat dikualifikasi sebagai norma yang bersifat diskriminatif dan tidak merupakan pelanggaran atas hak atas keadilan, oleh karena memang secara substansial tembakau dan produk tembakau bersifat adiktif dan membahayakan kesehatan bahkan terbukti secara keilmuan mengakibatkan kematian. Perlindungan seluruh rakyat dari zat adiktif yang berbahaya bagi kesehatan melalui Pasal 113 UU Kesehatan tidak tepat dilekatkan dengan dimensi diskriminasi, namun justru wujud realisasi hak konstitusional atas kesehatan, hak hidup dan hak-hak anak yang dijamin dalam UUD 1945. Amat janggal menurut rasional dan logika, bahwa upaya perlindungan rakyat termasuk perlindungan anak dari zat berbahaya didalilkan diskriminatif. Dalam hal ini, patut diduga bahwa Pemohon tidak mampu memahami hak konstitusional perlindungan seluruh rakyat atas hak kesehatan dan hak hidup, kelangsungan hidup dan hak tumbuh dan berkembang, termasuk anak-anak dari bahaya tembakau dan produk tembakau. Kehadiran Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kesehatan justru dalam rangka melaksanakan kewajiban negara melindungi seluruh rakyat dan perlindungan anak. Dalam hal penggunaan frasa atau istilah tembakau dalam Pasal 113 ayat (2) UU Kesehatan, sama sekali tidak relevan dipahami sebagai bentuk norma yang diskriminatif atau pembedaan perlakuan terhadap satu jenis tumbuhan, dalam hal ini tembakau, oleh karena:
Tembakau dan produk tembakau berdasarkan bukti ilmiah merupakan zat bersifat adiktif, dan karenanya sepatutnya dilakukan pengendalian ( tobacco 83 control ) . Dalam ketentuan Pasal 113 UU Kesehatan sama sekali tidak ada norma yang mencantumkan secara tekstual sebagai upaya memberangus tanaman tembakau, mengeliminir petani tembakau atau industrinya. Frasa yang digunakan justru "pengamanan penggunaan" bukan penghapusan penggunaan, sehingga tidak benar sama sekali ada diskriminasi, justru yang benar adalah perlindungan ( protection ). Kekuatiran dan ilusi mengenai penghapusan pertanian tembakau atau menghilangkan pendapatan petani tembakau adalah terlalu berlebihan dan hiperbolis oleh karena kua-normatif Pasal 113 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU Kesehatan sama sekali tidak mengandung norma atau maksud asli menghapuskan tembakau ataupun mengeliminir petani tembakau, akan tetapi yang benar bahwa norma Pasal 113 UU Kesehatan adalah norma pengendalian dampak tembakau ( tobacco control ). Sangat jauh korelasi ataupun causal verband antara pengendalian tembakau dengan ketakutan penghapusan pertanian tembakau. Pendekatan data statistik ekonomi sebenarnya sudah dapat menjelaskan mengapa berkurangnya areal lahan tembakau, minimalnya pendapatan petani tembakau, padahal pendapatan pemilik usaha rokok paling jumbo dalam relasi industri tembakau. Ada kesenjangan logika dan rasionalitas Pemohon yang secara tidak cermat mengkaitkan seakan-akan Pasal 113 UU Kesehatan secara causal verband menghilangkan pertanian tembakau, menurunkan pendapatan petani tembakau dan mengurangi areal lahan tembakau, menaikkan pengangguran tenagakerja akibat pengurangan produk rokok. Bahkan ironisnya, dengan terlatu berlebihan Pemohon menjadikan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kesehatan seakan-akan sebagai causal verband dari indikasi unsur kriminalisasi. Sungguh logika yang terlalu dipaksakan untuk membenarkan suatu ilusi dan spekulasi.
Istilah yang dipergunakan dalam konvensi internasional sebagaimana FCTC ( Framework Convention on Tobacco Control ) __ adalah tobacco (tembakau) sehingga penggunaan istilah tembakau dalam Pasal 113 ayat (2) UU Kesehatan sudah sesuai dengan norma hukum internasional dan karenanya 84 tidak diskriminatif akan tetapi justru protektif bagi perlindungan dan pemenuhan hak kesehatan dan hak hidup, hak kelangsungan hidup, hak tumbuh dan berkembang;
Secara yuridis formal, penggunaan istilah tembakau bukan hal baru dan telah dipergunakan dalam PP Nomor 19 Tahun 2003, yakni Pasal 1 butir 1 yang menyatakan tembakau mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan" ; __ Pasal 1 butir 2 menyatakan " Nikotin adalah zat, atau bahan senyawa pirrolidin yang terdapat dalam Nikotiana Tabacum, Nicotiana Rustica dan spesies lainnya atau sintetisnya yang bersifat adiktif dapat mengakibatkan ketergantungan”. Dengan demikian penggunaan frasa/istilah tembakau bukan hal baru dan yang pasti bukan diskriminatif dan tidak melanggar keadilan hukum, oleh karena pengaturan pengendalian tembakau adalah pro hak konstitusional atas kesehatan, hak hidup, hak kelangsungan hidup dan hak tumbuh kembang anak. Padahal Pemohon sangat mengakomodir dan mempertahankan PP Nomor 19 Tahun 2003 [ vide halaman 18 permohonan Pemohon], walaupun Pasal 116 UU Kesehatan mengamanatkan pembuatan Peraturan Pemerintah (PP) yang baru menggantikan PP Nomor 19 Tahun 2003 sebagai pelaksanaan Pasal 113 s.d. Pasal 115 UU Kesehatan.
Penggunaan istilah tembakau pada Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kesehatan tidak diskriminatif oleh karena peneraannya dimaksudkan untuk pengendalian ( tobacco control ) , yang dalam Pasal 113 ayat (1) UU Kesehatan disebut dengan frasa "pengamanan penggunaan". Penggunaan nama atau istilah tembakau juga diterima sebagai norma universal karena dipergunakan dalam term FCTC dan juga dalam International Classification of Disease and Related Heart Problem (ISCD 10 WHO 1992) dalam F 17 code yang berbunyi ^ “mental and behavior disorder due to use of tobacco”. Sehingga penggunaan nama/istilah tembakau sama sekali bukan diskriminasi namun perlindungan dari bahaya adiksinya;
Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kesehatan justru tidak ada norma melarang 85 penggunaan tembakau atau produk tembakau sebagai zat adiktif, akan tetapi: (a) Melakukan "pengamanan penggunaan" agar tidak menggangu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat dan lingkungan [Pasal 113 ayat (1)]; (b) Melakukan pengendalian atas "produksi, peredaran dan penggunaan ...yang harus memenuhi standar dan atau persyaratan” [Pasal 113 ayat (3)];
Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kesehatan justru upaya perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional atas kesehatan dan hak hidup, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, oleh karena dalam konteks hak ekosob (ekonomi soal dan budaya), Negara menjamin ( shall ensure ) __ dengan segala upaya maksimal yang mungkin dilakukan negara memenuhi hak-hak anak ( the maximum extent possible the survival and development ), sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) KHA. Dengan alasan tersebut di atas maka tidak terdapat diskriminasi atau pelanggaran keadilan ataupun pelanggaran hak hidup petani tembakau, dan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak yang didalilkan Pemohon. Justru sebaliknya ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU Kesehatan adalah wujud pelindung dan pemenuhan hak seluruh rakyat atas kesehatan, hak atas standar kesehatan, dan hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Dengan kata lain, Pasal 113 UU Kesehatan jelas dimaksudkan untuk pengendalian tembakau ( tobacco control ), __ dan sama sekali tidak ada norma yang menghapuskan tembakau ( tobacco abolition ). __ Keduanya sangat berbeda dan sangat jelas kualifikasi yuridisnya. Maksud asli dan tekstual Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kesehatan sebagai pengendalian tembakau, sebenarnya sudah dengan jujur diakui dan dibenarkan Pemohon yang dalam Permohonan (halaman18-19) menyatakan bahwa “ …bahan yang mengandung zat adiktif penanganannya dilakukan dengan proses pengendalian sedangkan terhadap Narkotlka dan Pslkotropika 86 Pernyataan Pemohon tersebut sangat jelas bahwa benar tidak adanya penghapusan dan diskriminasi terhadap tanaman tembakau, namun hanya pengendalian tembakau yang dirumuskan ke dalam Pasal 113 ayat (1) UU Kesehatan sebagai "pengamanan penggunaan", dan dirumuskan Pasal 113 ayat (3) UU Kesehatan mengharuskan standardisasi dan/atau persyaratan dalam produksi, peredaran dan penggunaan bahan zat adiktif. Komnas PA sebagai Pihak Terkait memberi penekanan pada jaminan dan perlindungan hak-hak konstitusional anak. Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 sebagai reformasi konstitusi merupakan pengakuan dan penjaminan serta perlindungan hak-hak anak ke dalam konstitusi, yang tentunya menjadi hukum dasar untuk mengubah keadaan dan perlindungan anak yang lebih progresif sebelum adanya Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Tak berlebihan jika amandemen UUD 1945 tersebut semakin pro hak-hak anak, dan pada gilirannya derifasi hak-hak anak ke dalam Undang-Undang merupakan bentuk kepatuhan konstitusional dan menjadi ciri konstitusionalisme di negeri ini. Oleh karena itu, perkenankan Pihak Terkait memohon agar pengujian materil atas Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kesehatan mempertimbangkan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, yang secara substantif dimaksudkan guna melindungi hak- hak anak atas kesehatan, dan hak-hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang dan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dalam konteks perlindungan anak, hak kelangsungan hidup dan tumbuh kembang adalah sisi yang tak terpisahkan dan ada dalam satu tarikan nafas dengan hak hidup ( right to life ) __ yang merupakan hak utama ( supreme rights ) __ yang tidak bisa dikurangi, walaupun hanya sedikit saja. Mengapa diperlukan dan absah secara konstitusional Pasal 113 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU Kesehatan khususnya bagi perlindungan hak-hak anak? Oleh karena anak-anak sebagai kelompok rentan ( vulnerable group ) __ paling berisiko terhadap bahaya zat adiktif. Dalam berbagai data resmi, prevalensi perokok anak semakin meningkat. Konsideran FCTC meyakini bahwa terdapat bukti penelitian yang jelas pengaruh asap rokok pada bayi dalam kandungan dapat mempengaruhi kesehatan dan pertumbuhannya. Hal ini bersesuaian dengan kebenaran yang 87 kemudian dinormakan dalam Pasal 8 ayat (2) PP Nomor 19 Tahun 2003, mengakui merokok dapat menyebabkan ... gangguan kehamilan dan janin. Konsideran FCTC juga meyakini adanya fakta eskalasi merokok dan konsumsi tembakau oleh anak-anak dan remaja di seluruh dunia terutama merokok pada usia muda cenderung meningkat. Secara substansinya, tembakau dan produk tembakau mengandung zat adiktif, yang karenanya bukan barang bebas ( free goods ) akan tetapi zat yang mengandung zat kimia berbahaya yang karsinogenik. Oleh karena itu muskil memosikannya sebagai barang bebas yang dikonsumsi tanpa pengamanan penggunaan atau dalam term FCTC disebut sebagai pengendalian ( tobacco control ) . Tidak masuk akal sehat jika memosisikan tembakau dan produk tembakau yang merupakan zat adiktif [Pasal 113 ayat (2) UU Kesehatan] sebagai barang bebas seperti misalnya buah pisang atau jeruk manis, atau air aqua . Sehingga pisang, jeruk atau aqua sebagai bahan yang dibutuhkan tepat dikualifikasi sebagai barang bebas, dan karenanya tidak perlu pengendalian. Sangat berbeda bahkan bertolak belakang dengan zat adiktif dalam hal ini tembakau atau produk tembakau yang berbahaya bagi kesehatan dengan segala akibatnya yang terbukti secara keilmuan, sehingga tembakau atau produk tembakau yang berbahaya tersebut absah dan tepat jika dilakukan pengendalian atau dalam Pasal 113 ayat (1) UU Kesehatan dikenal sebagai "pengamanan penggunaan". Sebaliknya tidak tepat jika membiarkan penggunaan tembakau dan produk tembakau sebagai zat adiktif tanpa karena hal itu melanggar hak konstitusional atas kesehatan serta hak atas hidup, hak kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak. Dengan kata lain tidak tepat menggunakan asas Pilihan Bebas tiap personal ( Free of Choise) terhadap penggunaan tembakau dan produk tembakau karena Negara wajib memberikan perlindungan pada rakyatnya dari bahaya zat adiktif. Pada kesempatan ini, perkenankan kami sekilas mengulas kualifikasi tembakau sebagai zat adiktif sudah terbukti secara keilmuan dan bahkan industri tembakau sendiri mengakui bahwa tidak ada rokok yang aman ( there are no such think as safe cigarettes ) . Stanton A. Glantz dalam " The Cigarette Papers" menyebutkan "Moreover, nicotine is addictive. We are, then, in the bussines of selling 88 nicotine, an addictive drug effective in the release of stress mechanisms. Of the thousand of chemical in tobacco smoke, nicotine is the most important. Nicotine makes tobacco addictive". [Stanton A. Glantz, Cs., "The Cigarette Papers", sub judul "Addiction and Cigarettes as Nicotine Delivery Devices", University of California Press, 1996, hal. 58]. Dalam hukum positif, kualifikasi zat adiktif penormaannya senantiasa dimasukkan ke dalam kelompok yang sama seperti halnya minuman keras, narkotika dan psikotropika. (a) Pasal 74 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003 (“UU Ketenagakerjaan") menormakan bahwa "Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan yang terburuk”. Selanjutnya Pasal 74 ayat (2) menormakan bahwa "Pekerjaan-pekerjaan yang _terburuk yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
...;
..;
segala_ pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; dan/atau ; d…. “. Dari Pasal 74 ayat (2) UU Ketenagakerjaan disimpulkan bahwa hukum positif menormakan bahwa "minuman keras", "narkotika", "psikotropika", dan "zat adiktif lainnya" adalah termasuk dalam satu kualifikasi (bahan atau zat) yang sama yakni bahan atau zat yang dilarang, dan dinormakan sebagai dilarang dalam kaitan pekerjaan; (b) Pasal 59 dan Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Anak, anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus termasuk anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika. alkohol. psikotropika. dan zat adiktif lainnya (napza). Dengan demikian Undang-Undang Perlindungan Anak menormakan bahan atau zat narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), termasuk dalam kualifikasi jenis yang sama. Oleh karena tembakau dan produk tembakau sebagai zat adiktif yang perlu pengendalian atau pengamanan penggunaannya [Pasal 113 ayat (1)] dan 89 menormakan standardisasi dan/atau persyaratan dalam hal produksi, peredaran dan penggunaan bahan zat adiktif dimaksud, maka tepat jika upaya mengajak orang lain menggunakan, memasarkan atau mengenalkan produk tembakau juga tidak dibenarkan. Rasio legis dalam Pasal 113 UU Kesehatan sangat jelas dan kuat untuk menjustifikasi pelarangan iklan, promosi dan pemberian sponsor rokok, seperti halnya pelarangan iklan minuman keras dan zat adiktif dalam norma Pasal 46 ayat (3) huruf b UU Penyiaran. Musykil sekali jika rokok sebagai zat adiktif dan karsinogenik masih dibenarkan diiklankan. Urgensi perlindungan anak dari bahaya tembakau dan produk tembakau yang bersifat adiktif, secara faktual didasarkan kepada beberapa hal:
PREVALENSI PEROKOK PEMULA MENINGKAT. Bahwa berdasarkan data Survey Sosial Ekonomi (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2001 dan tahun 2004 maka telah terjadi peningkatan prevalensi anak-anak usia 15-19 tahun yang merokok dari tahun 2001 (sebelum adanya UU Penyiaran) dibandingkan dengan tahun 2004 (setelah adanya UU Penyiaran). Berdasarkan data Susenas tersebut di atas, terbukti prevalensi perokok kelompok umur 15-19 tahun pada tahun 2001 sebesar 12,7%, meningkat menjadi 17,3% pada tahun 2004, Selain itu juga terjadi penurunan usia inisiasi merokok ke usia yang semakin muda, yakni pada kelompok umur 15-19 tahun pada tahun 2001 mulai merokok (rata-rata) pada umur 15,4 tahun, tetapi pada tahun 2004 usia mulai merokok semakin muda (rendah) yakni pada umur 15,0 tahun;
PEROKOK ANAK MENURUT SURVEY GLOBAL. Berdasarkan data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) 2006 yang diselenggarakan oleh Badan Kesehatan Dunia ( World Health Organization ) __ menunjukkan jika 24,5% anak laki-laki dan 2,3% anak perempuan usia 13-15 tahun di Indonesia adalah perokok, di mana 3,2% dari jumlah tersebut telah berada dalam kondisi ketagihan dan/atau kecanduan; 90 (3) SUSENAS BPS: PENINGKATAN PREVALENSI PEROKOK PEMULA Adanya peningkatan anak-anak merokok pada usia dini terbukti dari fakta dan data dari pertanyaan "pada umur berapa anda merokok?” , __ yang diperoleh fakta (jawaban), orang/anak yang mulai merokok pada umur 5-9 tahun, pada tahun 2001 sebesar 0,4%, sedangkan pada tahun 2004 meningkat menjadi 1,7%. Jadi ada peningkatan anak- anak merokok mulai usia 5-9 tahun sebanyak lebih dari 400%. Selanjutnya orang/anak mulai merokok pada umur 10-14 tahun, pada tahun 2001 sebesar 9,5%, sedangkan pada tahun 2004 meningkat menjadi 12,6%. Kemudian, orang/anak merokok pada umur 15-19 tahun, pada tahun 2001 sebesar 58,9%, sedangkan pada tahun 2004 meningkat menjadi 63,7%;
IKLAN ROKOK BERMETAMORFOSA DARI ZAT ADIKTIF DAN KARSINOGENIK MENJADI SEAKAN-AKAN BARANG NORMAL. Bahwa dengan adanya siaran iklan niaga promosi rokok (sebagai suatu bentuk informasi maupun produk seni) yang justru tidak benar atau setidaknya misleading, di mana kebenaran ilmiah dan fakta yang sebenarnya bahwa rokok terdiri atas 4.000 jenis zat kimia beracun dan sebanyak 69 zat di antaranya bersifat karsinogenik, dan bersifat adiktif. Hakekat maupun defenisi yuridis-formil siaran iklan niaga rokok yang memang dimaksudkan untuk membujuk konsumen memakai rokok yang bersifat adiktif dan mengandung zat karsinogenik, dalam berbagai bentuk isi dan pesan iklan rokok, sudah bermetamorfosa dan secara tidak disadari telah menelusup ke pusat kesadaran konsumen (khususnya anak dan remaja) seakan-akan merokok dicitrakan sebagai suatu yang normal atau biasa. Sehingga tidak lagi dianggap zat berbahaya yang mengancam kesehatan dan kehidupan, dan bahkan lebih dari itu merokok dicitrakan secara curang ( fraudulent ) dan tidak adil, sebagai citra "kejantanan", "kegagahan", "persahabatan", "citra eksklusif", kebenaran yang "bukan basa basi", dan Iain-Iain; 91 Padahal, yang sebenarnya konsumsi rokok tersebut baik secara fakta empiris, ilmiah ( scientific ) , maupun kebenaran formil-yuridis, sudah tidak terbantahkan lagi mengakibatkan serangan penyakit kanker, berbagai penyakit dan gangguan kesehatan, gangguan kehamilan dan janin sehingga adanya kausalitas atau causal verband menyebabkan timbulnya berbagai kerugian hak-hak konstitusional setiap orang termasuk anak-anak yakni hak hidup, hak kelangsungan hidup, dan hak tumbuh dan berkembang.
IKLAN ROKOK YANG MENJERAT ANAK. Bahwa industri rokok dalam praktiknya kerap kali menggunakan mekanisme subliminal advertising yaitu sebuah teknik mengekspose individu (dalam hal ini adalah anak dan remaja) tanpa individu tersebut mengetahui hal tersebut mengingat isi pesan (message content) tersebut dilakukan secara berulang-ulang (terjadi repetisi) yang pada akhirnya akan membentuk sebuah hubungan yang bersifat kuat namun irrasional antara emosi dengan produk yang diiklankan. [Presentasi Dr. Mary Lisa Japrie, "Iklan dan Anak", disampaikan pada workshop pembentukan Aliansi Total Ban, tanggal. 29 Oktober -1 November 2008, di Depok, diselenggarakan Komnas Perlindungan Anak];
MEROKOK MENYEBABKAN PENYAKIT. Bahwa, dari berbagai sumber laporan ilmiah tersebut telah mengungkapkan aneka ancaman berbahaya dari kegiatan merokok di antaranya, penyebab 90% kanker paru pada laki-laki dan 70% pada perempuan; penyebab 22% dari penyakit jantung dan pembuluh darah (kardiovaskular); penyebab kematian yang berkembang paling cepat di dunia bersamaan dengan HIV/AIDS; dan sebanyak 70.000 artikel ilmiah menunjukkan bahwa merokok menyebabkan kanker, mulai dari kanker mulut sampai kanker kandung kemih, penyakit jantung dan pembuluh darah, penyakit pembuluh darah otak, bronkitis kronis, asma, dan penyakit saluran nafas lainnya; [ Tobacco Control Support Center (TCSC) - Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat 92 Indonesia (IAKMI), "Profil Tembakau Indonesia", Jakarta, 2008, halaman 16];
ROKOK ADALAH EPIDEMI GLOBAL. Bahkan berdasarkan catatan Badan Kesehatan Dunia ( World Health Organization ), __ merokok merupakan penyebab kematian yang utama terhadap 7 dari 8 penyebab kematian terbesar di dunia [WHO Report on The Global Tobacco Epidemic, "M-Power Package", 2008, halaman 15]. Lebih dari itu, rokok yang sudah ditetapkan badan kesehatan sedunia ( World Health Organization-WHO ) __ sebagai epidemi global ( global epidemic ) yang bukan hanya mengancam kesehatan dan penyebab penyakit, namun yang paling mengerikan konsumsi rokok adalah penyebab dari sampai 200.000 kematian setiap tahunnya . [Sarah Barber; Sri Moertiningsih Adioetomo; Abdillah Ahsan; Diahhadi Setyonaluri, "Ekonomi Tembakau di Indonesia" , Lembaga Demografi Fakulas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta 2008, halaman12]. Terkait dengan global epidemic tembakau, WHO juga mencatat terdapat tidak kurang dari 100 juta kematian akibat tembakau yang terjadi pada abad ke-20, yang jika tidak dilakukan upaya pencegahan akan meningkat drastis menjadi 1 miiyar angka kematian akibat tembakau pada abad 21. [WHO Report on The Global Tobacco Epidemic,"M-Power Package", 2008, halaman 2 dan halaman 4]. Oleh karena alasan dan data hasil studi ilmiah tersebut maka sudah terbukti secara faktual maupun rasional kausalitas atau causal verband munculnya kematian dan/atau ancaman kematian yang nyata dan serius termasuk terhadap anak dan remaja, sehingga merupakan fakta adanya pelanggaran hak hidup, hak kelangsungan hidup, dan hak tumbuh dan berkembang yang tidak lain adalah hak konstitusional yang dijamin dalam Pasal 28A, Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Lebih jauh lagi, kebenaran bahaya merokok merupakan kebenaran formil-yuridis sebagaimana PP Nomor 19 Tahun 2003 yang di dalam 93 Pasal 8 ayat (2) mengakui bahaya merokok, yakni "merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin”. Ketentuan Pasal 8 ayat (2) PP Nomor 19/2003 tersebut merupakan norma hukum ( legal norm ) __ yang mengakui bahaya merokok bagi kesehatan dan ancaman bagi kehamilan dan janin. Oleh karenanya bahaya merokok tersebut merupakan kebenaran faktual yang notoire feiten, sekaligus merupakan curia novit ius ( the court knows the law ) . B. KETENTUAN PASAL 113 UU KESEHATAN MERUPAKAN DERIFASI HAK HIDUP, HAK KELANGSUNGAN HIDUP, HAK TUMBUH DAN BERKEMBANG ANAK YANG DIJAMIN DALAM PASAL 28B AYAT (2) UUD 1945. Bahwa, UUD 1945 sebagai hukum tertinggi menjadi acuan dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk dalam kaitan pengakuan, penghormatan dan perlindungan hak-hak anak. Setelah amandemen maka dalam Pasal 28 ayat (2) UUD 1945 secara ekplisit telah menegaskan hak-hak konstitusional anak yang berbunyi: "setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, dan perlindungan dari berbagai bentuk kekerasan dan diskrimlnasi” . Oleh karena itu, Negara Republik Indonesia secara eksplisit mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak konstitusional anak yakni:
hak atas kelangsungan hidup;
hak atas tumbuh dan berkembang; dan
hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Bahwa, dengan disahkannya Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 yang secara khusus menegaskan mengenai hak-hak anak di atas, maka Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 itu menjamin, menghormati dan melindungi hak-hak konstitusional anak untuk kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang dan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Bahwa oleh karena Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 merupakan hasil amandemen konstitusi dan reformasi ketatanegaraan maka dengan demikian jaminan, 94 penghormatan dan perlindungan hak-hak anak berdasarkan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 sudah diterima dan menjadi hak konstitusional yang merupakan arah baru, keputusan politik tertinggi dan hukum dasar (satat fundamental norm) dalam pemenuhan hak anak dan karenanya absah dan sangat rasional apabila memberikan fokus dan perhatian secara konsititusional kepada hak-hak anak. Di sisi lain, Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, dalam satu ayat dan pasal yang terintegrasi dan tidak terpisahkan menjamin hak anak atas kelangsungan hidup ( rights to survival ) __ dan hak tumbuh dan berkembang ( rights to development ) __ dan hak perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi ( rights to protection ) , mesti dipahami dalam satu kesatuan yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan. Bahwa, oleh karena " anak" bukan "orang dewasa dalam ukuran mini" melainkan "anak" merupakan subjek yang masih rawan dalam tahap perkembangan kapasitas ( evolving capacities ) , yang sangat erat kaitannya dengan kausalitas antara pemenuhan dan perlindungan atas hak hidup dan hak kelangsungan hidupnya, hak atas tumbuh dan berkembang anak serta hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dalam keadaan konkrit, misalnya gangguan atau pelanggaran atas pengabaian atas hak tumbuh dan berkembang anak yang tidak memperoleh gizi baik, malnutrisi, busung lapar, terserang epidemi penyakit menular dan berbahaya, termasuk serangan dari epidemi tembakau dan bahaya merokok yang mematikan ( tobacco kills ) __ secara yuridis konstitusional tidak hanya bisa dipahami dalam konteks hak atas pelayanan sosial dan pelayanan kesehatan saja, namun dipahami sebagai pengabaian atas hak-hak konstitusional anak untuk kelangsungan hidup dan hak tumbuh dan berkembang anak. Bahwa, perlu ditegaskan bahwasanya hak hidup ( rights to life ) __ tidak dapat dilepaskan dengan hak kelangsungan hidup ( right to survival ) , dan hak tumbuh dan berkembang ( rights to development ) . Apalagi terhadap anak yang masih dalam masa pertumbuhan dan perkembangan, di mana setiap pencideraan, perusakan, atau pengurangan atas hak kelangsungan hidup anak akan berakibat serius dan fatal bagi hak hidup anak. 95 Berdasarkan Konvensi PBB tentang Hak Anak [ United Nation’s Convention on the Rights of the Child (CRC)/Konvensi Hak Anak (KHA)], secara konseptual tidak memisahkan antara hak hidup dengan hak kelangsungan hidup anak dan hak tumbuh dan berkembang anak yang dirumuskan dalam satu pasal dan ayat yang bersamaan. Bahkan, pengakuan atas hak hidup anak tersebut dipertegas dengan pengakuan hak atas kelangsungan hidup ( rights to survival ) __ dan hak atas tumbuh kembang ( rights to development ) . Lebih dari itu, terhadap integrasi antara hak hidup anak, hak kelangsungan hidup anak dan hak tumbuh dan kembang anak tersebut, negara menjamin ( shall ensure ) __ dengan segala upaya maksimal yang mungkin dilakukan negara ( the maximum extent possible the survival and development ) , sebagai-mana diatur dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) CRC. Sebagai Negara Hukum ( rechtstaat ) __ yang menghormati dan menjadikan supremasi hukum sebagai orientasi, maka harmonisasi terhadap instrumen internasional atau konvensi internasional bukan hanya sebagai bentuk harmonisasi hukum saja. UUD 1945 telah meresepsi prinsip-prinsip dasar Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai salah satu syarat dari negara hukum, khususnya prinsip dasar HAM yang terkait dengan hidup dan kehidupan dan merupakan simbol atau ikhtiar bangsa Indonesia dalam konteks menjadikan UUD 1945 menjadi UUD yang makin modern dan makin demokratis; [Panduan Pemasyarakatan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hal 144, diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal Majelis Pemusyawaratan Rakyat, Jakarta, 2005]. Dengan demikian perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi anak yang terkandung dalam Konvensi Hak Anak dan Framework on Convention on Tobacco Control (FCTC) adalah dimaksudkan konstitusi sebagai suatu syarat negara hukum. Oleh karena itu, resepsi hak-hak anak dalam mempertahankan Pasal 113 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU Kesehatan merupakan suatu upaya melaksanakan misi Negara Hukum yang dianut dalam UUD 1945. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas perkenankan kami memohon agar Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia menolak seluruh petitum Pemohon. 96 Untuk memperkuat keterangannya, Pihak Terkait Komnas PA mengajukan bukti PT-1 sampai dengan bukti PT-21 sebagai berikut:
Bukti PT-1 : Fotokopi Akta Pendirian Komisi Nasional Perlindungan Anak tertanggal 17 Februari 1999;
Bukti PT-2 : Fotokopi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan;
Bukti PT-3 : Fotokopi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan;
Bukti PT-4 : Fotokopi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan;
Bukti PT-5 : Fotokopi halaman 16 Profil Tembakau Indonesia yang diterbitkan oleh Tobacco Control Support Centre (TCSC)- IAKMI bekerjasama dengan South East Tobacco Control Alliance (SEATCA) dan WHO Indonesia;
Bukti PT-6 : Fotokopi halaman 17 Profil Tembakau Indonesia yang diterbitkan oleh Tobacco Control Support Centre (TCSC)- IAKMI bekerjasama dengan South East Tobacco Control Alliance (SEATCA) dan WHO Indonesia;
Bukti PT-7 : Fotokopi halaman 13 buku yang berjudul ”Fakta Tembakau Permasalahannya di Indonesia” yang diterbitkan oleh Tobacco Control Support Centre (TCSC)- IAKMI-Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekologi Status Kesehatan;
Bukti PT-8 : Fotokopi halaman 14 buku yang berjudul ”Fakta Tembakau Permasalahannya di Indonesia” yang diterbitkan oleh Tobacco Control Support Centre (TCSC)- IAKMI-Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekologi Status Kesehatan;
Bukti PT-9 : Fotokopi halaman 5-6 buku yang berjudul ”Fakta Tembakau Permasalahannya di Indonesia” yang diterbitkan oleh Tobacco Control Support Centre (TCSC)- IAKMI-Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekologi Status Kesehatan;
Bukti PT-10 : Fotokopi buku karya Stanton A Glantz, CS, ” The Cigarette Papers” sub judul ”Addiction and Ciggarets as Nicotine 97 Delivery Device ” University of California Press, 1996. halaman 58;
Bukti PT-11 : Fotokopi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) ;
Bukti PT-12 : Fotokopi peringatan kesehatan yang berada di bungkus rokok;
Bukti PT-13 : Fotokopi website resmi Philip Morris Internasional;
Bukti PT-14 : Fotokopi website resmi PT. HM Sampoerna;
Bukti PT-15 : Fotokopi website resmi PT. HM Sampoerna;
Bukti PT-16 : Fotokopi Surat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Nomor 1.842/K/PMT/VIII/2010;
Bukti PT-17 : _Video Baby Smoker; _ 18.Bukti PT-18 : Road Map Industri Pengolahan Tembakau;
Bukti PT-19 : BFotokopi kliping koran Kontan tentang Buruh Rokok Kretek ”Buruh Rokok Kretek Tangan Terancam” Senin 18 Oktober 2010;
Bukti PT-20 : Buku Mardiah Chamim berjudul “Kemunafikan dan Mitos di balik kedigdayaan Industri Rokok”;
Bukti PT-21 : Presentasi Ibu Harkristuti Harkrisnowo berjudul ”Larangan Merokok: Hak Asasi Manusia?”; Selain itu, Pihak Terkait Komnas PA juga mengajukan 4 (empat) orang saksi yang telah disumpah dan didengar keterangannya pada sidang hari Rabu, 5 Januari 2011, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:
Tony Karundeng • Saksi mulai merokok di usia 15 tahun; • Saksi sempat mengalami stroke ringan dan tahun 2010 kena kanker paru akibat rokok dan saksi tidak dapat berhenti merokok. Rokok mempunyai dampak racun dan adiktif;
Yanti Koorompis • Saksi mulai merokok umur 13 tahun dan pernah menderita kanker stadium 3B; • Merokok itu sangat adiktif dan anak-anak saksi menjadi ikut merokok. 98 3. Nani Rohayani • Saksi adalah perokok di usia 17 tahun dan sampai sekarang untuk menghilangkan rokok bagi Saksi sangat sulit karena tanpa rokok Saksi tidak dapat bekerja; • Saksi kena penyakit penyempitan pembuluh darah dan ingin sekali untuk berhenti merokok tetapi tidak dapat.
Fuad Baradja • Saksi aktif di yayasan yang bergerak di bidang penanggulangan masalah merokok yaitu Yayasan Lembaga Menanggulangi Masalah merokok yang menjabat sebagai Ketua Bidang Penyuluhan dan pendidikan; • Anak saksi mulai merokok di usia 13 tahun sampai sekarang tidak dapat berhenti merokok walaupun telah dilakukan dengan terapi berhenti merokok. [2.6.4] Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Yayasan Jantung Indonesia, dan Yayasan Kanker Indonesia telah memberikan keterangan tertulis dan alat bukti tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada hari Kamis, 30 Desember 2010, dan telah memberikan keterangan lisan pada persidangan hari Rabu, 5 Januari 2011, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: Keterangan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia • Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia mengajukan permohonan sebagai Pihak Terkait karena untuk melindungi hak konstitusional warga negara yang dijamin Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 dan melindungi penerapan hukum Pasal 113 ayat (2) UU Kesehatan yang dimaksudkan juga melindungi konsumen dari bahaya adiksi rokok yang bahan bakunya berasal dari tembakau; • Bahwa Konsumen berhak untuk mendapatkan informasi yang jelas, jujur, utuh, terkait dengan bahaya merokok, bahaya tembakau bagi konsumen yang telah menjadi perokok aktif, perokok pasif maupun calon konsumen (calon perokok baru); • Selama ini, informasi yang disajikan industri rokok melalui berbagai iklan, promosi, dan berbagai upaya penjualan lainnya tidak memberikan informasi 99 yang cukup perihal bahaya produk tembakau (rokok). Melalui iklan yang intensif dan masif tersebut, secara psikologis dan sosiologis, akhirnya cara pandang konsumen terhadap rokok mengalami ”jungkir balik” karena rokok dianggap sebagai produk yang tidak berbahaya dikonsumsi; • Akibat pengaruh iklan dan promosi tersebut, konsumen justru berpandangan bahwa orang yang merokok adalah keren, gagah, tampan, cantik, perkasa, berprestasi dalam olahraga, dan hal-hal positif lainnya. Sementara itu, informasi tentang bahaya rokok hanya disajikan dalam suatu narasi kalimat yang sangat kecil, sehingga tidak mudah dibaca dan ditangkap maknanya oleh konsumen; • Oleh karenanya, Pasal 113 UU Kesehatan merupakan dasar normatif yang sangat kuat bagi konsumen untuk mendapatkan informasi yang jelas, jujur, utuh tentang bahaya rokok bagi kesehatan. __ Pihak Terkait Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia juga mengajukan alat bukti tertulis yang diberi tanda bukti bukti PT-1 sampai dengan bukti PT-9 sebagai berikut:
Bukti PT-1 : Fotokopi Akte Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Nomor 22, tanggal 25 April 2008;
Bukti PT-2 : Fotokopi Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-2554.AH.01.02.Tahun 2008 tentang Pengesahan Yayasan;
Bukti PT-3 : Fotokopi Tanda Daftar Lembaga Perlindungan Konsumen (TDLPK) Nomor 4470/1.824.221, tanggal 31 Agustus 2005;
Bukti PT-4 : Fotokopi Keputusan Pembina Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Nomor 02/Pembina/YLKI/2010 tentang Pergantian Antar Waktu Pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Periode 2009-2014;
Bukti PT-5 : Fotokopi Surat Nomor AHU-AH.01.08-573, perihal Yayasan lembaga Konsumen Indonesia;
Bukti PT-6 : Fotokopi Salinan Putusan Nomor 05 P/HUM/2005 Perkara Hak Uji Materiil;
Bukti PT-7 : Fotokopi klipping Koran Tempo, tanggal 2 Februari 2011 ”Belanja Iklan Telekomunikasi Tumbuh Tertinggi”; 100 8. Bukti PT-8 : Fotokopi klipping koran Kompas, tanghgal 4 Februari 2011 ”Buruh Jambu Bol, Kemennakertrans diminta turun tangan”;
Bukti PT-9 : Fotokopi ”Buruh Rokok Kretek Tangan Terancam”. Keterangan Yayasan Jantung Indonesia __ • Yayasan Jantung Indonesia mengajukan sebagai Pihak Terkait karena untuk melindungi hak-hak konstitusional warga negara yang dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 dan melindungi penerapan hukum Pasal 113 ayat (2) UU Kesehatan yang dimaksudkan juga melindungi masyarakat konsumen dari bahaya adiksi rokok yang bahan bakunya berasal dari tembakau; __ • Yayasan Jantung Indonesia sangat berkepentingan terhadap keberadaan UU Kesehatan, khususnya Pasal 113 ayat (2), karena secara global produk tembakau bertanggung jawab terhadap 22% dari seluruh penyakit jantung dan pembuluh darah cardiovaskular. Tembakau juga dihubungkan dengan kejadian arteriosclerosis, hipertensi, dan gangguan pembuluh darah otak. Efek rokok terhadap jantung dan pembuluh darah adalah meningkatkan denyut jantung, meningkatkan tekanan darah, menyempitkan pembuluh darah, mengentalkan darah, dan bahkan penyebab 75% serangan jantung koroner yang telah terbukti secara ilmiah dan karena merupakan fakta yang tidak dapat ditolak lagi kebenarannya ( notoir feiten ); __ Pihak Terkait Yayasan Jantung Indonesia juga mengajukan alat bukti tertulis yang diberi tanda bukti PT-1 sampai dengan bukti PT-9 sebagai berikut:
Bukti PT-1 : Fotokopi Akte Nomor 1, tanggal 2 Juni 2008, Pernyataan Keputusan Rapat;
Bukti PT-2 : Fotokopi Surat Nomor AHU-AH.01.08-562, perihal Yayasan Jantung Indonesia Dalam Bahasa Inggris Indonesia Heart Foundation, tanggal 29 Agustus 2008;
Bukti PT-3 : Fotokopi Tambahan Berita Negara, tanggal 7/7-2009 Nomor 54;
Bukti PT-4 : Fotokopi Surat Tanda Daftar Yayasan/Badan Sosial Nomor 31.71.06.1004, tanggal 25 Juni 2008 dari Surat Suku Dinas 101 Bina Mental Spritual dan Kesejahteraan Sosial Pemerintah Kotamadya Jakarta Pusat Provinsi DKI Jakarta;
Bukti PT-5 : Fotokopi Surat Keputusan Pembina Pusat Yayasan Jantung Indonesia Nomor 40/YJI/SK/IV/2008 tanggal 15 April 2008 tentang Pengukuhan Badan Pengurus Pusat Yayasan Jantung Indonesia masa bakti 2008-2012;
Bukti PT-6 : Fotokopi klipping koran Tempo, tanggal 2 Februari 2011, ”Belanja Iklan Telekomunikasi Tumbuh Tertinggi”;
Bukti PT-7 : Fotokopi klipping koran Kompas, tanggal 4 Februari 2011, ”Buruh Jambu Bol, Kemennakertrans diminta turun tangan”;
Bukti PT-8 : Fotokopi klipping Koran ”Buruh Rokok Kretek Tangan Terancam”;
Bukti PT-9 : Fotokopi Kegiatan promotif-Preventif Yayasan Jantung Indonesia 2006-2010. Keterangan Yayasan Kanker Indonesia • Yayasan Kanker Indonesia mengajukan sebagai Pihak Terkait karena untuk melindungi hak-hak konstitusional warga negara yang dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 dan melindungi penerapan hukum Pasal 113 ayat (2) UU Kesehatan yang dimaksudkan juga melindungi masyarakat konsumen dari bahaya adiksi rokok yang bahan bakunya berasal dari tembakau; __ • Sudah seharusnya konsumen dilindungi dari bahaya adiksi rokok yang bersifat adiktif, karsinogenik (merangsang tumbuhnya kanker), dan membahayakan kesehatan bahkan mengakibatkan kematian akibat penyakit yang ditimbulkanya. Hal ini telah terbukti secara ilmiah dan karena merupakan fakta yang tidak dapat ditolak lagi kebenarannya ( notoir feiten ); __ • Menurut data statistik yang diambil dari berbagai data rumah sakit di Indonesia, menunjukkan bahwa 9 (sembilan) dari 10 (sepuluh) penderita kanker paru adalah perokok berat. Hal in menunjukkan dengan tegas bahwa pengaruh rokok/tembakau bagi penyakit kanker (terutama kanker paru) adalah sangat kuat. __ 102 Selain itu Pihak Terkait Yayasan Kanker Indonesia juga mengajukan alat bukti tertulis yang diberi tanda bukti PT-1 sampai dengan bukti PT-7 yang masing- masing sebagai berikut:
Bukti PT-1 : Fotokopi Akta Perubahan Anggaran Dasar Yayasan Kanker Indonesia Nomor 5, tanggal 3 Juni 2008 dibuat di hadapan Notaris Ati Mulyati, S.H.,M.Kn.
Bukti PT-2 : Fotokopi Surat Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementrian Hukum dan HAM melalui Surat Nomor AHU-AH 01.08-597, tanggal 10 September 2008, perihal Yayasan Kanker Indonesia disingkat YKI dalam Bahasa Inggris disebut The Indonesian Cancer Foundation;
Bukti PT-3 : Fotokopi Surat Keputusan Dewan Pembina Yayasan Kanker Indonesia Nomor 002/SK/Pemb/YKI/IV/2006 tentang Pengangkatan Anggota Pengurus Yayasan Kanker Indonesia Periode 2006-2011;
Bukti PT-4 : Fotokopi klipping Koran Tempo, 2 Februari 2011, ”Belanja Iklan Telekomunikasi Tumbuh Tertinggi”;
Bukti PT-5 : Fotokopi klipping Koran Kompas, tanggal 4 Februari 2011, ”Buruh Jambu Bol, Kemennakertrans diminta turun tangan”;
Bukti PT-6 : Fotokopi ”Buruh Rokok Kretek Tangan Terancam”;
Bukti PT-7 : Fotokopi Daftar Kegiatan ”Kegiatan Penanggulangan Tembakau Yayasan Kanker Indonesia (YKI)”. [2.6.5] Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 5 Januari 2011, Mahkamah telah mendengar keterangan Pihak Terkait Forum Warga Kota Jakarta , yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: • Pihak Terkait sebuah lembaga swadaya masyarakat yang memiliki badan hukum yang merupakan perkumpulan Forum Warga Kota Jakarta; • Pihak Terkait sebagai lembaga swadaya masyarakat memiliki kepedulian khusus atau special interest terhadap kota Jakarta dan permasalahan kebijakan pembangunan di kota Jakarta serta penghormatan dan pengakuan pemenuhan hak asasi manusia; 103 • Bahwa Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan merupakan sebuah produk hukum yang Pihak Terkait nyatakan telah memberikan pengakuan secara legal , tentang keberadaan rokok sebagai zat adiktif. Undang-Undang Kesehatan juga merupakan bukti bahwa negara telah serius melindungi warga negaranya, terutama dalam memberikan perlindungan sebagai wujud pelaksanaan yang diamanatkan oleh konstitusi, Undang-Undang Dasar 1945; • Bahwa dalam sebuah fakta, dalam proses pembuatan Undang-Undang Kesehatan tersebut, yang sudah disahkan oleh presiden dalam perjalanannya ada pihak-pihak yang dengan sengaja ingin menghilangkan isi ketentuan yang tertuang dalam Pasal 113 ayat (2) yang berbunyi ”zat adiktif” dalam Undang- Undang tersebut; • Pihak Terkait memiliki kepedulian, perhatian, serta keprihatinan tentang niat adanya sejumlah pihak untuk menghilangkan Pasal 113 ayat (2) tersebut. Pihak Terkait bersama dengan jaringan LSM yang tergabung dalam Koalisi Anti Korupsi Ayat Rokok atau KAKAR, telah melaporkan kejadian tersebut, yakni kejadian hilangnya Pasal 113 ayat (2) kepada Badan Kehormatan DPR dan kepada Polda Metro Jaya. Di mana Badan Kehormatan DPR menyimpulkan, jika menghilangnya Pasal 113 ayat (2), bukanlah sekadar kesalahan administrasi semata, namun patut diduga merupakan upaya terstruktur dan terencana dari berbagai banyak oknum. Selain itu Pihak Terkait Forum Warga Kota Jakarta mengajukan bukti tertulis yang diberi tanda bukti PT-1 sampai dengan bukti PT-15 sebagai berikut:
Bukti PT-1 : Fotokopi Akta Pendirian san Perubahan Perkumpulan Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) dibuat di hadapan Notaris Ny. Siti Meinar Brillianty;
Bukti PT-2 : Buku Undang-Undang Dasar Negara Republik Insdonesia Tahun 1945;
Bukti PT-3 : Fotokopi Pasal 2 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
Bukti PT-4 : Fotokopi Peraturan Pemerintah tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan Bab I Ketentuan umum; 104 5. Bukti PT-5 : Fotokopi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan;
Bukti PT-6 : Fotokopi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan;
Bukti PT-7 : Fotokopi Profil Tembakau Indonesia;
Bukti PT-8 : Fotokopi Profil Tembakau Indonesia;
Bukti PT-9 : Fotokopi halaman 13 buku yang berjudul ”Fakta Tembakau Permasalahannya di Indonesia Tahun 2009”;
Bukti PT-10 : Fotokopi halaman 14 buku yang berjudul ”Fakta Tembakau Permasalahannya di Indonesia Tahun 2009;
Bukti PT-11 : Fotokopi halaman 5-6 buku yang berjudul ”Fakta Tembakau Permasalahannya di Indonesia Tahun 2009;
Bukti PT-12 : Lembar Fakta ”Dampak Tembakau dan Pengendaliannya di Indonesia;
Bukti PT-13 : Fotokopi website resmi HM. Sampoerna;
Bukti PT-14 : Fotokopi Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 88 Tahun 2010 tentang Kawasan Tanpa Rokok, Pasal 1 ayat (21);
Bukti PT-15 : Fotokopi Seruan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 6 Tahun 2010 tentang Mengurangi Konsumsi Rokok. [2.6.6] Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 5 Januari 2011, Mahkamah telah mendengar keterangan Pihak Terkait ad informandum Hakim Sorimuda Pohan, PT. Djarum, PT. H.M Sampoerna, PT. Gudang Garam dan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:
Hakim Sorimuda Pohan • Yang bersangkutan pada tahun 2004-2009 sebagai anggota DPR dan anggota Pansus Rancangan Undang-Undang tentang Kesehatan. Dan terlibat karena pada waktu itu Undang-Undang tentang Kesehatan sudah selayaknya dilakukan amandemen oleh karena sudah terlalu banyak 105 perubahan sejak Undang-Undang yang pertama yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992; • Bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia, salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud di dalam Pancasila dan UUD 1945; • Bahwa kebiasaan merokok merupakan kebutuhan individual, tidak digolongkan pada hak asasi manusia; • Setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan dengan prinsip non diskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia serta meningkatkan ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan nasional; • Bahwa setiap hal yang menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan pada masyarakat Indonesia, tentu akan menimbulkan kerugian ekonomi yang besar bagi negara, dan setiap upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga diartikan sebagai inverstasi bagi pembangunan negara. Para ahli ekonomi kesehatan di tanah air sudah menghitung dan sejak lama mempublikasikan bahwa kerugian yang dapat ditimbulkan akibat rokok 4 sampai 5 kali besaran penerimaan cukai oleh negara; • Bahwa setiap upaya pembangunan harus dilandasi dengan wawasan kesehatan, dalam arti pembangunan nasional harus memerhatikan kesehatan masyarakat merupakan tanggung jawab semua pihak, baik industriawan, petani, tenaga-tenaga kesehatan, pemerintah maupun masyarakat.
PT. Djarum • PT. Djarum adalah sebagai perusahaan swasta nasional yang berdiri berdasarkan hukum negara Republik Indonesia dan berdomisili hukum di Indonesia; • PT. Djarum merasa diperlakukan seolah-olah sebagai industri ilegal . Sehingga dengan diberlakukannya pasal a quo membuat dunia industri tembakau merasa was-was, terancam, cemas dan berakibat tidak nyaman dalam melaksanakan usaha; 106 • Pasal 113 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan bagi PT. Djarum akan mengancam, merugikan dan tidak menutup kemungkinan akan berdampak terhadap kelangsungan usaha dan pekerja PT.Djarum.
PT. H.M Sampoerna • PT. H.M Sampoerna tidak sepenuhnya mendukung ketentuan tembakau Undang-Undang Nomor 36/2009 tentang Kesehatan yang disisipkan pada saat-saat terakhir persidangan DPR Tahun 2004-2009, karena ketentuan tersebut tidak mempertimbangkan kepentingan seluruh pihak yang terkait. Oleh karena itu PT. Sampoerna menyambut gembira keputusan DPR untuk menjawab beberapa kekurangan dari Undang-Undang Kesehatan dengan memasukkan Undang-Undang Pengendalian Dampak Produk Tembakau dalam prioritas prolegnas untuk persidangan tahun 2011; • PT. H.M Sampoerna maupun induk perusahaannya telah menyatakan dan mengkomunikasikan secara terbuka bahwa produk tembakau bersifat adiktif; • Setelah Pasal 113 disahkan melalui Undang-Undang Kesehatan, saat ini Kementrian Kesehatan sedang menyusun peraturan pemerintah yang salah satu ketentuannya akan melarang industri tembakau secara total untuk mengkomunikasikan produknya kepada para konsumen dewasa. Padahal sebagai produk yang legal , industri tembakau memiliki hak untuk berkomunikasi kepada konsumen melalui saluran dan media komunikasi yang tersedia; • Pasal 113 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dapat dikategorikan diskriminatif karena hanya menyebutkan tembakau sebagai zat adiktif yang harus diatur oleh Pemerintah.
PT. Gudang Garam • PT. Gudang Garam mempekerjakan 37.000 karyawan dan apapun keputusan yang dikeluarkan oleh Pemerintah supaya memperhatikan nasib karyawan tersebut; 107 • Apabila pengiklanan industri tembakau dilarang akan menimbulkan suatu status quo buat brand-brand yang sudah ada dalam artian akan sulit sekali buat brand-brand baru muncul apakah itu perusahaan besar ataupun perusahaan kecil;
Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) • Fakta sejarah, sudah 100 tahun perjalanan kretek; • Kretek memiliki pengaruh kuat terhadap ketahanan sosial, politik, ekonomi secara merata; • Gappi adalah asosiasi yang sangat bertanggung jawab terhadap kelangsungan dari pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Namun secara material tidak dapat dibantah masih banyak kelompok-kelompok dominan baik domistik maupun internasional yang mampu memonopoli jalan suatu kekuasaan. Kelompok-kelompok dominan ini mempunyai banyak akses yang luas, pada sumber daya ekonomi dan politik yang acap memustahilkan perwujudan kedaulatan hukum; • Gappi khawatir adanya tiga pilar nasional yang dipertaruhkan; Kedaulatan politik hukum di mana kelompok-kelompok dominan baik domestik maupun internasional yang mampu memonopoli jalan menuju kekuasaan yang dapat mempengaruhi regulasi. Kemandirian ekonomi, mencari industri dalam negeri yang kemandirian ekonominya dapat disejajarkan dengan kretek saat ini sulit ditemukan bahkan andaikan penerimaan cukai dapat disisihkan 10 tahun dan 15 tahun, utang negara dapat dibayar. Kretek wujud karya kearifan lokal pengusaha bangsa Indonesia yang dulu dijajah, ditindas, kemudian mampu meneruskan usaha dari aktor-aktor ekonomi kaum kolonial yang terdahulu, kemudian sekarang akan dicampakkan begitu saja membuat sangat resah; Selain itu, Pihak Terkait GAPPRI juga mengajukan alat bukti tertulis berupa bukti PT-1 sampai dengan bukti PT-8 sebagai berikut:
Bukti PT-1 : Fotokopi _leave the pack behind; _ 2. Bukti PT-2 : Fotokopi USA Nicorette Sales ;
Bukti PT-3 : Fotokopi Nicotine Replacement Therapy ;
Bukti PT-4 : Fotokopi World Smoking-Cessation Drug Market 2010-2025; 108 5. Bukti PT-5 : Fotokopi Are Public Smoking Bans Necessary ;
Bukti PT-6 : Fotokopi Smoking Out The Truth ;
Bukti PT-7 : Fotokopi prejudice dan propaganda;
Bukti PT-8 : Fotokopi what we fund . [2.7] Menimbang bahwa Mahkamah pada persidangan hari Selasa, 8 Februari 2011, telah menyatakan kepada Pemohon, Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, dan para Pihak Terkait untuk menyampaikan kesimpulan tertulis paling lambat 1 (satu) minggu sejak persidangan hari Selasa, 8 Februari 2011, dimaksud; Bahwa Pemohon menyampaikan Kesimpulan Tertulis bertanggal 14 Februari 2011, yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada hari Selasa, 15 Maret 2011 yang pada pokoknya tetap dengan pendiriannya; Bahwa Pemerintah menyampaikan Kesimpulan Tertulis bertanggal 30 Juni 2011 untuk perkara Pemohon dalam perkara Nomor 19/PUU-VIII/2010, yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada hari Kamis, 21 Juli 2011 yang pada pokoknya tetap dengan pendiriannya; Bahwa Pihak Terkait Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Yayasan Jantung Indonesia, dan Yayasan Kanker Indonesia menyampaikan kesimpulan tertulis bertanggal 14 Februari 2011 yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada hari Rabu, 16 Februari 2011, yang pada pokoknya tetap dengan pendiriannya; Bahwa Pihak Terkait Komisi Nasional Perlindungan Anak menyampaikan Kesimpulan Tertulis bertanggal 16 Februari 2011, yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada hari Senin, 21 Februari 2011, yang pada pokoknya tetap dengan pendiriannya; Bahwa Pihak Terkait Forum Warga Kota Jakarta menyampaikan Kesimpulan Tertulis bertanggal 17 Februari 2011, yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada hari Kamis, 17 Februari 2011, yang pada pokoknya tetap dengan pendiriannya; 109 [2.8] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, maka segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari putusan ini; 3 . PERTIMBANGAN HUKUM [3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah mengenai pengujian materiil Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063, selanjutnya disebut UU 36/2009) terhadap Pembukaan (preambule), Pasal 27, Pasal 28A, dan Pasal 28 I Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945); [3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) akan mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal berikut:
kewenangan Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo ; __ b. kedudukan hukum ( legal standing ) Pemohon; Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: Kewenangan Mahkamah [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang disebutkan lagi dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK) dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik 110 Indonesia Nomor 5076), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945; [3.4] Menimbang bahwa permohonan a quo adalah mengenai pengujian Undang- Undang dalam hal ini UU 36/2009 terhadap UUD 1945, sehingga Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo ; Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Pemohon [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat bertindak sebagai Pemohon dalam pengujian suatu Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/ atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK;
adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; [3.6] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU- III/2005, bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal 111 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.7] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan sebagai perorangan warga negara Indonesia yang hak-hak konstitusionalnya telah dirugikan oleh berlakunya Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 36/2009, yang menyatakan: Pasal 113 (1) Pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan. (2) Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya. (3) Produksi, peredaran, dan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditetapkan. Bahwa Pemohon selanjutnya mendalilkan yang pada pokoknya sebagai berikut: 112 • Pemohon selaku orang yang peduli terhadap masalah pertembakauan dan cengkeh Indonesia dan mendapat mandat untuk mewakili beberapa kepala desa serta warga desa Kabupaten Temanggung yang latar belakang kehidupannya sebagai penghasil tembakau dan cengkeh yang menjadi tumpuan dan harapan serta penggerak roda perekonomian masyarakat Kabupaten Temanggung; • Pemohon telah memberikan mandatnya kepada Anggota DPR ang salah satu tugasnya adalah membuat Undang-Undang. Dengan tidak dilakukannya tugas dan kewajiban Anggota DPR dalam proses yang benar dan baik terkait dengan pembentukan UU 36/2009 a quo , maka Pemohon berpotensi dirugikan hak konstitusionalnya; • Pemohon merupakan warga negara pembayar pajak, sehingga hak dan kepentingan Pemohon terpaut pula dengan proses pembahasan UU Kesehatan a quo yang proses penyusunannya dibiayai oleh negara yang berasal dari pemasukan pajak yang telah dibayar Pemohon termasuk juga cukai rokok dan pajak hasil keringat petani tembakau dan cengkeh Indonesia serta para buruh pabrik rokok serta pihak terkait lainnya; • Pemohon mendalilkan memiliki lahan persawahan sekitar 2 Ha yang oleh para penggarap sawah sering ditanami tanaman jenis Tembakau Sawah. Oleh karenanya, dengan berlakunya Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kesehatan a quo , menurut Pemohon, memunculkan ketidakpastian hukum dan perasaan was-was mengalami kerugian materiil apabila tidak menanam tembakau; • Hak untuk hidup dilindungi dalam Pasal 27 ayat (2), Pasal 28A, dan Pasal 28 I UUD 1945. Oleh karenanya, para petani tembakau, para petani cengkeh, dan para buruh pabrik di Indonesia serta pihak-pihak lain yang terkait dengan pertembakauan juga mempunyai hak hidup yang sama sehingga menanam tembakau dan cengkeh merupakan suatu kewajiban petani untuk melangsungkan kehidupannya; Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon sebagai perorangan warga negara 113 Indonesia mempunyai hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (2), Pasal 28A, dan Pasal 28 I UUD 1945 yang menurut Pemohon, dirugikan oleh berlakunya Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 36/2009. Oleh karenanya, Pemohon prima facie memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo ; [3.8] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo, serta Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing ) maka Mahkamah selanjutnya akan mempertimbangkan pokok permohonan; Pokok Permohonan [3.9] Menimbang bahwa Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian materiil Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 36/2009, yang pada pokoknya mempersoalkan konstitusionalitas pasal-pasal UU 36/2009 tersebut yang mengatur dan menetapkan tembakau dan produk yang mengandung tembakau sebagai zat adiktif yang dapat menimbulkan kerugian sehingga harus diatur produksi, peredaran, dan penggunaannya; [3.10] Menimbang bahwa Mahkamah telah memeriksa bukti-bukti tertulis yang diajukan oleh Pemohon (Bukti P-1 sampai dengan Bukti P-9) untuk membuktikan dalil-dalilnya yang daftar lengkapnya telah diuraikan dalam bagian Duduk Perkara di atas; Bahwa Mahkamah telah mendengar keterangan saksi yang diajukan oleh Pemohon, yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut:
H. Parmuji y Tembakau telah menjadi tumpuan hidup sejak nenek moyang dan merupakan sumber pencarian utama ekonomi; __ y Budidaya tembakau melibatkan banyak pihak, tidak hanya petani tembakau; __ 2. H. Mulyono y Saksi merasa prihatin karena mata pencaharian utama sebagai petani tembakau terancam; __ 114 3. Tri Yuwono y Mayoritas penduduk di Desa Kledung sebagai petani tembakau akan terancam kehilangan mata pencarian dengan berlakunya Pasal 113 UU 36/2009 dan hal ini bertentangan dengan program pengentasan kemiskinan Pemerintah; __ 4. Karyanto y Di Kabupaten Pamekasan 35.000 hektar lahan ditanami tembakau. Di Kabupaten Sumenep 28.000 hektar lahan ditanami tembakau. Di Kabupaten Sampang 18.000 hektar lahan ditanami tembakau; y Di Kabupaten Pamekasan, Sumenep, dan Sampang, tembakau adalah suatu tanaman komoditi yang sudah lama dan menjadi tanaman turun- temurun yang tidak dapat dipisahkan dengan petani yang hidup-matinya bergantung pada tanaman tembakau; y Berkat menanam tembakau, petani tembakau dapat menyekolahkan anaknya dan mencukupi kehidupannya; y Apabila petani tembakau tidak dapat atau tidak boleh menanam tembakau akan membuat perekonomian lebih buruk lagi;
Sumadi Danartono y Bahwa Saksi selaku Kepala Desa Wonolelo, Sawangan, Magelang. Saksi menerangkan bahwa di desa Saksi, 95% penduduk adalah petani dan pada waktu musim kering, tanaman yang dapat hidup adalah tanaman tembakau yang merupakan tanaman tulang punggung ekonomi masyarakat;
Udi Wahyu y Saksi selaku Kepala Desa Pagerejo, Kabupaten Wonosobo, yang menerangkan bahwa di daerah Saksi, tembakau merupakan komoditi unggulan yang 50% hasil produknya masuk ke pabrikan dan 50% lainnya merupakan kerajinan dalam bentuk tembakau garangan atau tembakau asapan;
Subakir y Seluruh warga desa di tempat Saksi adalah petani tembakau yang memiliki luas areal lebih-kurang 400 hektar; 115 y Tanaman tembakau menghasilkan mutu tembakau terbaik di dunia yang dinamakan tembakau serintil; y Tembakau serintil sangat dibutuhkan oleh pabrik-pabrik rokok kretek asli Indonesia;
Agus Setyawan y Saksi selaku Kepala Desa Tretep. Saksi lahir dan dibesarkan dari hasil tembakau yang ditanam oleh bapaknya selaku petani tembakau; y Saksi merasa dirugikan ketika Pasal 113 UU 36/2009 hanya menyebutkan tembakau sebagai zat adiktif;
dr. Subagyo y Saksi pernah menderita benjolan di rahang bawah yang dioperasi dengan hasil suatu limfoma maligna atau kanker kelenjar limfe; y Saksi mengetahui adanya informasi penanganan atau pengobatan balur nano terapi dengan define cigarette ;
Allan Sulistiono y Saksi didiagnosa menderita kanker hati stadium 3; y Saksi melakukan terapi balur dengan memakai tembakau dan hasilnya telah normal. Bahwa Mahkamah telah mendengar dan membaca keterangan Ahli yang diajukan oleh Pemohon, yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut:
Josi Ali Arifandi y Bahwa penanaman tembakau di Indonesia telah berlangsung di areal yang lokasinya spesifik sehingga memiliki ciri kualitas spesifik yang dikenal pasar dan konsumennya yang tidak bisa digantikan dengan produk tembakau dari hasil penanaman di lokasi lahan lainnya; y Bahwa tembakau merupakan sumber pendapatan yang sangat besar bagi petani/pekebun di lahan marginal yaitu pada saat musim tanam tertentu (musim kemarau) ketika tanaman lain sudah tidak dapat berproduksi atau nilai ekonomisnya berada di bawah tembakau; y Bahwa bagi negara, industri tembakau memiliki kontribusi cukai, pajak, dan devisa yang meningkat terus dari tahun ke tahun, yang pada tahun 2008 mencapai kisaran Rp. 57 triliun; 116 2. Mukti Ali Imran y Bahwa zat adiktif diklasifikasikan atau dikelompokkan ke dalam jenis narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya atau yang sering disebut napza; y Bahwa Pasal 113 ayat (2) UU 36/2009 secara tidak langsung telah mereduksi makna zat adiktif yang terbatas hanya pada tembakau semata dan produk turunannya dalam semua fasa (padat, cair, dan gas). Padahal tembakau bukanlah satu-satunya zat yang memiliki sifat adiktif. Hal ini memberikan pengertian yang bias; y Bahwa untuk mengetahui pengaruh atau perbandingan adiksi suatu bahan terhadap adiksi bahan lainnya, harus melalui studi empiris yang menggabungkan pendekatan data faktual-kualitatif-kuantitatif; y Penggunaan kata ”zat adiktif” pada suatu bahan, sebaiknya atau seharusnya disertai dengan klasifikasi terhadap jenis adiktif tersebut, apakah stimulan, depressant, halusinogen, dan lain-lainnya sehingga jelas bagi konsumen;
Gabriel Mahal y Nikotin dari tembakau tidak dapat dipatenkan karena berasal dari alam. Yang dapat dipatenkan adalah alat pengantar nikotin ( nicotine delivery device ) dan senyawa terapi yang mengandung nikotin sebagai bahan utama yang dihasilkan oleh korporasi-korporasi farmasi multinasional. Di sinilah letak salah satu kepentingan untuk mengontrol atau mematikan tembakau dan rokok itu; y Ketentuan Pasal 113 UU 36/2009 merupakan salah satu bentuk dari pelaksanaan Proyek Prakarsa Bebas Tembakau dengan agenda anti tembakau global, dalam hukum nasional Indonesia; y Membunuh tembakau dengan segala industrinya di Indonesia, termasuk industri terkait lainnya, akan menyebabkan naiknya angka pengangguran rakyat Indonesia. Setiap 10% kenaikan penganggur menyebabkan kematian naik menjadi 1,2%, serangan jantung 1,7% dan harapan hidup berkurang 7 tahun; __ __ 117 4. Rinaldo Prima y Bahwa Pasal 113 UU 36/2009 dapat memberikan pemahaman yang ”menyesatkan”, karena secara tendensius dapat membentuk opini dan sekaligus memberikan stigma bahwa hanya tembakau yang mengandung zat adiktif, padahal masih sangat banyak jenis-jenis tanaman dan produk yang mengandung zat adiktif; y Bahwa Pasal 113 Undang-Undang a quo menjadi bersifat diskriminatif dan sekaligus dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, sehingga bertentangan dengan asas keadilan dan asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; y Sangat besar kemungkinan ketentuan Pasal 113 Undang-Undang a quo bertentangan atau setidak-tidaknya kurang sejalan dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; y Bahwa Pasal 113 Undang-Undang a quo berisikan rumusan yang sama sekali tidak memberikan ”perlindungan hukum” bagi petani tembakau. Sebaliknya, secara diskriminatif, telah memberikan memberikan perlindungan hukum kepada petani yang menanam jenis tanaman lain yang mengandung zat adiktif; y Bahwa ketentuan Pasal 113 UU 36/2009 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28F, dan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945;
Prof. dr. Moch Aris Widodo MS., SpFK., PH.D y Merokok, berdasarkan bukti eksperimental dan bukti klinik, tidak dapat dituduh sebagai penyebab tunggal kesakitan, oleh karena tidak semua perokok menderita penyakit kanker paru atau jantung koroner, sedang yang tidak merokok pun dapat terkena kedua penyakit tersebut; y Tembakau dalam beberapa hal mirip dengan alkohol. Kedua bahan tersebut boleh beredar bebas di pasaran. Yang berbeda adalah efek alkohol dapat menimbulkan keracunan akut yang sering mematikan bahkan kematian dapat terjadi bukan karena alkoholnya tetapi oleh karena kecelakaan lalu lintas; 118 y Pembakaran daun tembakau pada rokok menghasilkan 4.000 bahan kimia, termasuk nikotin. Nikotin menimbulkan efek pada neuron atau saraf otak sehingga menyebabkan seseorang ingin menghisap rokok kembali, yang dikenal sebagai adiksi. Nikotin juga menyebabkan peningkatan kontraksi dan frekuensi jantung dan peningkatan tekanan darah;
Sutiman B. Sumitro y Ahli mengkhawatirkan isu rokok kretek merupakan bagian dari skenario perusahaan multinasional, yang aktivitas jangka pendeknya adalah fokus untuk mencaplok industri rokok lokal yang mulai ancang-ancang pindah core business . Oleh karenanya, Ahli mengusulkan yang pada pokoknya sebagai berikut:
Melakukan penelitian sungguh-sungguh untuk menakar dampak rokok khususnya kretek;
Industri rokok harus didorong memiliki unit penelitian dan pengembangan yang memadai dengan tujuan untuk mengembangkan teknologi rokok kretek yang lebih sehat dan menyehatkan;
Dr. dr. Jack Roebijoso, MSc y Tembakau dan nikotin dikelompokkan pada bahan yang dapat menimbulkan efek adiktif, namun dampak adiktif terhadap kesehatan (medis, psikologik, dan sosial), tergolong masih mudah diatasi dan tidak menimbulkan efek ”kecanduan” seperti zat narkotika; y Penemuan dan kemajuan teknologi pengendalian dampak kesehatan dari rokok (nano teknologi pada filter rokok) dan model pelayanan kesehatan yang memberdayakan masyarakat (dokter keluarga ala Indonesia), akan menjadi komoditi yang berharga bagi kemajuan pembangunan teknologi fabrikasi rokok, kedokteran, dan kesehatan di masa depan bagi kepentingan ekonomi dan pembangunan kesehatan/kedokteran di Indonesia; y Faktor resiko kesehatan tidak pernah tunggal dan selalu multifaktor, sehingga tembakau atau merokok bukan merupakan penyebab utama ( causal factor ) bagi timbulnya berbagai penyakit dan kematian; 119 y Masih ada kesempatan melakukan edukasi dan advokasi kesehatan untuk mengurangi atau meniadakan dampak faktor resiko kesehatan untuk tujuan mencegah kejadian sakit dan kematian dari suatu penyakit tertentu; y Pasal 113 UU 36/2009 yang menjadi dasar kebijakan menghapus komiditi tembakau dan rokok, belum menjadi kebijakan yang tepat sasaran untuk Indonesia saat ini; y Tembakau, rokok, dan teknologi pengendalian dampak kesehatan justru akan menjadi andalan ekspor Indonesia, di kemudian hari. [3.11] Menimbang bahwa Mahkamah telah mendengar dan membaca keterangan pemerintah yang pada pokoknya menerangkan bahwa keberadaan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 36/2009 a quo merupakan suatu conditio sine qua non karena merupakan fundamen yang kuat untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan pada umumnya. Pengaturan Pengamanan Zat Adiktif dalam UU 36/2009 a quo telah sesuai dengan amanat konstitusi, utamanya dalam rangka meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi- tingginya sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari tujuan pembangunan nasional sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945; Bahwa Mahkamah telah mendengar keterangan saksi yang diajukan oleh Pemerintah, yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut:
Rima Melati y Saksi seorang perokok dan akibat dari ketergantungan rokok, saksi sakit kanker stadium akhir; __ 2. Yanti Sampurna y Suami Saksi meninggal setelah merokok selama 40 tahun dan tidak dapat berhenti merokok sampai wafatnya. Suami Saksi menderita kanker paru- paru dengan diketemukannya sel-sel yang khas sebagai sel kanker akibat merokok; __ 120 3. Pa Iswanto __ y Saksi adalah petani tembakau sejak tahun 1970 dan telah menikmati hasil tembakau tersebut dengan mendirikan rumah dan mempunyai sepeda motor; __ y Saksi sebagai petani tembakau khawatir apabila tembakau disingkirkan, maka akan kehilangan mata pencariannya; __ __ Bahwa Mahkamah telah mendengar dan membaca keterangan Ahli yang diajukan oleh Pemerintah, yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut: __ 1. Prof. Dr. Amir Syarief y Setelah merokok tembakau, terdapat nikotin di dalam darah. Merokok tembakau dapat menimbulkan gangguan kesehatan yang menimbulkan kanker pada paru, rongga mulut, faring, laring, dan isofagus yang dapat menimbulkan masalah pada pembuluh darah jantung dan otak. Wanita hamil dapat mengalami abortus dan kelainan kongenital pada janin; y Nikotin tergolong zat adiktif. Nikotin terdapat dalam tembakau, dalam kadar yang cukup besar. Rokok tembakau mengandung nikotin sehingga merokok tembakau dapat menimbulkan ketergantungan psikologis, fisik, dan toleransi. Asap rokok tembakau mengandung bahan kimia yang dapat memicu terjadinya penyakit kanker, penyakit paru-paru, serta gangguan kesehatan lainnya;
Dr. Widyastuti Soerojo y Bahwa UU 36/2009 memberikan perlindungan bagi seluruh warga masyarakat tanpa kecuali sesuai mandat UUD 1945; y Perlindungan terhadap produk tembakau sebagai zat adiktif tidak melarang usaha pertanian tembakau, apalagi mematikan mata pencaharian petani dan tidak bertentangan dengan UUD 1945; y Sifat adiktif pada nikotin sangat kuat. Studi menunjukkan bahwa berhentinya merokok lebih sulit daripada menghentikan ketagihan heroin dan kokain. Adanya 60 juta perokok aktif di Indonesia saat ini, sudah mengindikasikan jaminan kelangsungan pertanian tembakau beberapa dekade mendatang. 121 3. Ahmad Hudoyo y Tembakau dapat dijadikan zat pengawet yaitu pengawet untuk bumbu, untuk kayu, dan dapat dipakai untuk mewarnai sutera; y Daun tembakau, dari hasil penelitian, dapat dipergunakan sebagai obat kencing manis, dan apabila direkayasa genetik dapat dijadikan obat anti kanker; y Daun tembakau dapat menjadi idola para dokter ahli genetika dan ahli biologi populer karena merupakan daun yang paling mudah direkayasa, cepat berubah DNA sifatnya, sehingga sangat efisien untuk penelitian- penelitian.
Arini Setiawati y Nikotin dalam rokok tidak begitu berbahaya dan jauh lebih aman daripada merokok. Keracunan nikotin dalam jumlah kecil, jauh lebih aman dibandingkan merokok. Zat-zat dalam asap tembakau itulah yang berbahaya karena mengandung toksik dan menyebabkan kanker; y Perokok pasif menghisap asap rokok yang berbahaya, tetapi tidak mendapatkan pleasure sebagaimana yang dialami oleh perokok aktif, sehingga alangkah tidak adilnya jika seorang bapak merokok, sedangkan istrinya dan anak-anaknya harus menghisap asap rokok tersebut; y Perokok aktif harus berhenti merokok agar tidak mengalami penyakit yang berbahaya, karena perokok ringan dan sedang, kematiannya sama saja dengan perokok berat.
Abdillah Ahsan y Bahwa ahli telah melakukan studi di Kendal, Bojonegoro, dan Lombok Timur. Ahli telah mewawancarai responden buruh tani sebanyak 450 orang dan telah mewawancarai 66 pengelola petani yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut: - Mereka mengeluh bahwa usaha perkebunan tembakau sangat beresiko karena tembakau adalah tanaman semusim yang ditanam pada musim kemarau atau musim penghujan. Jika ditanam pada musim kemarau, dan panen ketika musim hujan, hal itu dapat merusak kualitas tembakau; 122 - Terdapat perubahan harga yang ditentukan oleh tengkulak, grader; - Terdapat hama tanaman; - Terjadi penurunan pembelian, karena pembeli utama daun tembakau adalah industri rokok. Apabila industri rokok tidak mau membeli, maka tembakau belum diketahui untuk apa penggunaannya.
Ahmad Fattah Wibisono y Bahwa kata merokok atau rokok tidak tercantum dalam Al Quran; y Baik yang mendalilkan makruh maupun yang mendalilkan haram, titik temunya adalah sama-sama menginginkan aktivitas merokok dihentikan; y Apabila orang masih mau merokok, artinya orang tersebut tidak menjaga kesehatannya, tidak menjaga jiwanya, seperti yang menjadi tujuan utama syariat, tujuan utama Islam; [3.12] Menimbang bahwa Mahkamah telah membaca keterangan DPR yang pada pokoknya menyatakan bahwa Pasal 113 UU 36/2009 telah sejalan dengan tujuan bangsa Indonesia yaitu untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang merupakan bagian dari hak asasi manusia dan merupakan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 113 UU 36/2009 sama sekali tidak bertentangan dengan Pembukaan ( preambule ), Pasal 27, Pasal 28A, dan 28 I UUD 1945; [3.13] Menimbang bahwa Mahkamah juga telah mendengar dan membaca keterangan Pihak Terkait, serta memeriksa alat bukti tertulis yang diajukan oleh Pihak Terkait, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:
dr. drh. Mangku Sitepoe • Bahwa yang berbahaya bagi kesehatan adalah asap rokop bukan tembakau; • Penyusunan Undang-Undang tidak membedakan antara tembakau dengan asap rokok; • Rokok terdiri dari rokok putih dan rokok kretek yang mana rokok putih sebagai standar untuk bahaya terhadap kesehatan yang mengandung 123 100% tembakau sedangkan rokok kretek mengandung 60% tembakau dan 40% cengkeh; • Bahwa merokok bukan penyebab kematian tetapi menstimulasi penyakit tertentu yang dapat menyebabkan kematian; • Tidak semua zat adiktif berbahaya, contohnya, teobromin di dalam coklat; • Menurut kamus kedokteran di Indonesia, zat adiktif adalah suatu substansi atau zat yang menyebabkan kebutuhan fisiologis yang menimbulkan ketergantungan. Pengertian lainnya, zat adiktif adalah obat atau zat apabila dikomsumsi oleh makhluk hidup menyebabkan aktivitas biologis, mendorong ketergantungan, dan adiksi yang sukar diberhentikan, dan bila diberhentikan memberikan dampak keletihan dan rasa sakit di luar kebiasaan; • Pasal 113 ayat (1) tidak membedakan bahaya zat adiktif di dalam tembakau dengan zat adiktif di dalam rokok. Kata ”zat adiktif” seharusnya diganti dengan ”zat berbahaya di dalam rokok”.
Tobacco Control Support Center – Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC-IAKMI) • Ketentuan Pasal 113 ayat (2) UU 36/2009 merupakan bukti keseriusan dan bentuk tanggung jawab konkrit dari Pemerintah untuk melindungi warga negaranya secara umum dan memberikan perlindungan yang maksimal bagi anak dan remaja Indonesia dari bahaya zat adiktif khususnya tembakau dan produk turunannya, sehingga dengan menghilangkan ayat- ayat tembakau ini merupakan suatu tindak pidana.
Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) • Bahwa rokok bermula dari sumber produk tembakau yang mengakibatkan korelasi langsung dengan anak karena prevalensi perokok pemula meningkat terbukti dengan data survei di mana prevalensi anak-anak usia 15 sampai 19 tahun yang merokok tahun 2001 menjadi meningkat pada tahun 2004; • Bahwa rokok adalah zat adiktif yang telah bermetamorfosis menjadi barang yang seakan-akan normal; 124 • Ketentuan Pasal 113 ayat (2) Undang-Undang a quo yang menggunakan frasa ”pengamanan penggunaan” bukan ”penghapusan” yang dimaksudkan adalah untuk melindungi, atau di dalam bahasa konvensi disebut ” tobacco control ”; • Bahwa merokok secara quo scientific maupun normatif telah terbukti berbahaya bahkan mengancam kehidupan; • Bahwa Pasal 113 Undang-Undang a quo adalah sebagai bentuk pemenuhan kewajiban negara terhadap rakyatnya dari ancaman bahaya kesehatan, berbagai penyakit, dan kecacatan serta kematian yang ditimbulkan akibat tembakau dan produk tembakau, yang secara keilmuan sudah terbukti kebenarannya; • Pasal 113 ayat Undang-Undang a quo sama sekali tidak bersifat diskriminatif dan tidak merupakan pelanggaran hak atas keadilan, namun justru wujud realisasi hak konstitusional atas kesehatan, hak hidup, dan hak-hak anak yang dijamin dalam UUD 1945; Selain itu Pihak Terkait Komisi Nasional Perlindungan Anak mengajukan alat bukti tertulis berupa Bukti PT-1 sampai dengan Bukti PT-21 yang secara lengkap telah tertera dalam bagian Duduk Perkara dan juga mengajukan 4 (empat) orang Saksi yang telah disumpah dan didengar keterangannya dalam persidangan, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: I. Tony Karundeng • Saksi mulai merokok di usia 15 tahun; • Saksi sempat mengalami stroke ringan dan tahun 2010 kena kanker paru- paru akibat rokok dan Saksi tidak dapat berhenti merokok. Rokok mempunyai dampak racun dan adiktif; II. Yanti Koorompis • Saksi mulai merokok umur 13 tahun dan pernah menderita kanker stadium 3B; • Merokok itu sangat adiktif dan anak-anak Saksi menjadi ikut merokok. 125 III. Nani Rohayani • Saksi adalah perokok di usia 17 tahun dan sampai sekarang untuk menghilangkan rokok bagi Saksi sangat sulit karena tanpa rokok Saksi tidak dapat bekerja; • Saksi kena penyakit penyempitan pembuluh darah dan ingin sekali berhenti merokok, tetapi tidak dapat. IV. Fuad Baradja • Anak saksi mulai merokok di usia 13 tahun sampai sekarang, dan tidak dapat berhenti merokok walaupun telah melakukan terapi berhenti merokok.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia • Bahwa Konsumen berhak untuk mendapatkan informasi yang jelas, jujur, dan utuh, terkait dengan bahaya merokok, bahaya tembakau bagi konsumen yang telah menjadi perokok aktif, perokok pasif maupun calon konsumen (calon perokok baru); • Selama ini, informasi yang disajikan industri rokok melalui berbagai iklan, promosi, dan berbagai upaya penjualan lainnya tidak memberikan informasi yang cukup perihal bahaya produk tembakau (rokok). Melalui iklan yang intensif dan masif tersebut, secara psikologis dan sosiologis, akhirnya cara pandang konsumen terhadap rokok mengalami ”jungkir balik” karena rokok dianggap sebagai produk yang tidak berbahaya dikonsumsi; • Akibat pengaruh iklan dan promosi tersebut, konsumen justru berpandangan bahwa orang yang merokok adalah keren, gagah, tampan, cantik, perkasa, berprestasi dalam olahraga, dan hal-hal positif lainnya. Sementara itu, informasi tentang bahaya rokok hanya disajikan dalam suatu narasi kalimat yang sangat kecil, sehingga tidak mudah dibaca dan ditangkap maknanya oleh konsumen; • Oleh karenanya, Pasal 113 UU 36/2009 merupakan dasar normatif yang sangat kuat bagi konsumen untuk mendapatkan informasi yang jelas, jujur, dan utuh tentang bahaya rokok bagi kesehatan. Bahwa selain itu, Pihak Terkait Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia juga mengajukan alat bukti tertulis berupa Bukti PT-1 sampai dengan Bukti PT-9 yang secara lengkap telah tercantum dalam bagian Duduk Perkara; 126 5. Yayasan Jantung Indonesia __ • Bahwa secara global produk tembakau bertanggung jawab terhadap 22% dari seluruh penyakit jantung dan pembuluh darah cardiovaskular. Tembakau juga dihubungkan dengan kejadian arteriosclerosis, hipertensi, dan gangguan pembuluh darah otak. Efek rokok terhadap jantung dan pembuluh darah adalah meningkatkan denyut jantung, meningkatkan tekanan darah, menyempitkan pembuluh darah, mengentalkan darah, dan bahkan penyebab 75% serangan jantung koroner yang telah terbukti secara ilmiah dan karena merupakan fakta yang tidak dapat ditolak lagi kebenarannya _(notoir feiten); _ Bahwa selain itu, Pihak Terkait Yayasan Jantung Indonesia juga mengajukan alat bukti tertulis berupa Bukti PT-1 sampai dengan Bukti PT-9 yang secara lengkap telah tercantum dalam bagian Duduk Perkara;
Yayasan Kanker Indonesia • Bahwa sudah seharusnya konsumen dilindungi dari bahaya adiksi rokok yang bersifat adiktif, karsinogenik (merangsang tumbuhnya kanker), dan membahayakan kesehatan bahkan mengakibatkan kematian akibat penyakit yang ditimbulkannya. Hal ini telah terbukti secara ilmiah dan karena merupakan fakta yang tidak dapat ditolak lagi kebenarannya _(notoir feiten); _ • Menurut data statistik yang diambil dari berbagai data rumah sakit di Indonesia, menunjukkan bahwa 9 (sembilan) dari 10 (sepuluh) penderita kanker paru-paru adalah perokok berat. Hal in menunjukkan dengan tegas bahwa pengaruh rokok/tembakau bagi penyakit kanker (terutama kanker paru-paru) adalah sangat kuat. Bahwa selain itu, Pihak Terkait Yayasan Kanker Indonesia juga mengajukan alat bukti tertulis berupa Bukti PT-1 sampai dengan Bukti PT-7 yang secara lengkap telah tercantum dalam bagian Duduk Perkara;
Forum Warga Kota Jakarta • Bahwa UU 36/2009 merupakan sebuah produk hukum yang telah memberikan pengakuan secara legal, tentang keberadaan rokok sebagai zat adiktif dan juga merupakan bukti bahwa negara telah serius melindungi warga negaranya sebagaimana diamanatkan UUD 1945; 127 • Bahwa fakta, dalam proses pembuatan Undang-Undang a quo yang sudah disahkan oleh Presiden, ada pihak-pihak yang dengan sengaja menghilangkan isi ketentuan yang tertuang dalam Pasal 113 ayat (2) yang berbunyi ”zat adiktif”. Pihak Terkait bersama dengan jaringan LSM yang tergabung dalam Koalisi Anti Korupsi Ayat Rokok atau KAKAR, telah melaporkan kejadian tersebut kepada Badan Kehormatan DPR dan Polda Metro Jaya. Badan Kehormatan DPR menyimpulkan, jika menghilangnya Pasal 113 ayat (2) bukanlah sekedar kesalahan administrasi semata, namun patut diduga merupakan upaya terstruktur dan terencana dari berbagai banyak oknum. Bahwa selain itu, Pihak Terkait Forum Warga Kota Jakarta mengajukan alat bukti tertulis berupa Bukti PT-1 sampai dengan Bukti PT-15 yang secara lengkap telah tercantum dalam bagian Duduk Perkara; [3.14] Menimbang bahwa Mahkamah telah mendengar keterangan Pihak Terkait ad informandum yaitu Hakim Sorimuda Pohan, PT. Djarum, PT. H.M Sampoerna, PT. Gudang Garam dan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:
Hakim Sorimuda Pohan • Bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia, salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud di dalam Pancasila dan UUD 1945; • Bahwa kebiasaan merokok merupakan kebutuhan individual, tidak digolongkan pada hak asasi manusia; • Setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan dengan prinsip non diskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia serta meningkatkan ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan nasional; • Bahwa setiap hal yang menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan pada masyarakat Indonesia, tentu akan menimbulkan kerugian ekonomi yang besar bagi negara, dan setiap upaya peningkatan derajat kesehatan 128 masyarakat juga diartikan sebagai inverstasi bagi pembangunan negara. Para ahli ekonomi kesehatan di tanah air sudah menghitung dan sejak lama mempublikasikan bahwa kerugian yang dapat ditimbulkan akibat rokok adalah empat sampai lima kali besaran penerimaan cukai oleh negara; • Bahwa setiap upaya pembangunan harus dilandasi dengan wawasan kesehatan, dalam arti pembangunan nasional harus memerhatikan kesehatan masyarakat merupakan tanggung jawab semua pihak, baik industriawan, petani, tenaga-tenaga kesehatan, pemerintah maupun masyarakat.
PT. Djarum • PT. Djarum adalah sebagai perusahaan swasta nasional yang berdiri berdasarkan hukum negara Republik Indonesia dan berdomisili hukum di Indonesia; • PT. Djarum merasa diperlakukan seolah-olah sebagai industri illegal. Sehingga dengan diberlakukannya pasal a quo membuat dunia industri tembakau merasa was-was, terancam, cemas, dan berakibat tidak nyaman dalam melaksanakan usaha; • Pasal 113 ayat (2) UU 36/2009 bagi PT. Djarum akan mengancam, merugikan dan tidak menutup kemungkinan akan berdampak terhadap kelangsungan usaha dan pekerja PT.Djarum.
PT. H.M Sampoerna • PT. H.M Sampoerna tidak sepenuhnya mendukung ketentuan tembakau UU 36/2009 yang disisipkan pada saat-saat terakhir persidangan DPR Tahun 2004-2009, karena ketentuan tersebut tidak mempertimbangkan Sampoerna menyambut gembira keputusan DPR untuk menjawab beberapa kekurangan dari Undang-Undang Kesehatan dengan memasukkan Undang-Undang Pengendalian Dampak Produk Tembakau dalam prioritas prolegnas untuk persidangan tahun 2011; 129 • PT. H.M Sampoerna maupun induk perusahaannya telah menyatakan dan mengkomunikasikan secara terbuka bahwa produk tembakau bersifat adiktif; • Setelah Pasal 113 Undang-Undang a quo disahkan, saat ini Kementrian Kesehatan sedang menyusun Peraturan Pemerintah yang salah satu ketentuannya akan melarang industri tembakau secara total untuk mengkomunikasikan produknya kepada para konsumen dewasa. Padahal sebagai produk yang legal , industri tembakau memiliki hak untuk berkomunikasi kepada konsumen melalui saluran dan media komunikasi yang tersedia; • Pasal 113 UU 36/2009 dapat dikategorikan diskriminatif karena hanya menyebutkan tembakau sebagai zat adiktif, yang harus diatur oleh Pemerintah.
PT. Gudang Garam • PT. Gudang Garam mempekerjakan 37.000 karyawan dan apapun keputusan yang dikeluarkan oleh Pemerintah supaya memperhatikan nasib karyawan tersebut; • Apabila pengiklanan industri tembakau dilarang akan menimbulkan suatu status quo buat brand-brand yang sudah ada dalam artian akan sulit sekali buat brand-brand baru muncul apakah itu perusahaan besar ataupun perusahaan kecil;
Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) • Fakta sejarah, sudah 100 tahun rokok kretek diproduksi. Kretek memiliki pengaruh kuat terhadap ketahanan sosial, politik, dan ekonomi secara merata; • GAPPRI adalah asosiasi yang sangat bertanggung jawab terhadap kelangsungan dari pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Namun secara material tidak dapat dibantah masih banyak kelompok-kelompok dominan baik domestik maupun internasional yang mampu memonopoli jalannya suatu kekuasaan. Kelompok-kelompok dominan ini mempunyai 130 banyak akses yang luas pada sumber daya ekonomi dan politik yang acap memustahilkan perwujudan kedaulatan hukum; • GAPPRI khawatir adanya tiga pilar nasional yang dipertaruhkan:
Kedaulatan politik hukum, di mana terdapat kelompok-kelompok dominan, baik domestik maupun internasional, yang mampu memonopoli jalan menuju kekuasaan yang dapat mempengaruhi regulasi. (2) Kemandirian ekonomi, mencari industri dalam negeri yang kemandirian ekonominya dapat disejajarkan dengan kretek saat ini sulit ditemukan. Bahkan andaikan penerimaan cukai dapat disisihkan 10 dan 15 tahun, utang negara dapat dibayar. (3) Kretek merupakan wujud karya kearifan lokal pengusaha bangsa Indonesia yang dulu dijajah dan ditindas, kemudian mampu meneruskan usaha dari aktor-aktor ekonomi kaum kolonial yang terdahulu, kemudian sekarang akan dicampakan begitu saja, sehingga membuat sangat resah; Bahwa selain itu GAPPRI juga mengajukan alat bukti tertulis berupa Bukti PT-1 sampai dengan Bukti PT-8 yang secara lengkap telah tercantum dalam bagian Duduk Perkara; Pendapat Mahkamah [3.15] Menimbang bahwa setelah mendengar dan membaca keterangan dan kesimpulan Pemohon, mendengar dan membaca keterangan Pemerintah, keterangan DPR, keterangan Pihak Terkait, keterangan Pihak Terkait ad informandum , keterangan para saksi yang diajukan oleh Pemohon, keterangan para Ahli yang diajukan oleh Pemohon, keterangan para saksi yang diajukan oleh Pemerintah, dan keterangan para Ahli yang diajukan Pemerintah, serta alat bukti tertulis yang diajukan Pemohon dan Pihak Terkait, sebagaimana telah diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: [3.15.1] Bahwa masalah utama yang harus dipertimbangkan dan diputuskan oleh Mahkamah dalam permohonan ini adalah mengenai konstitusionalitas Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 36/2009 yang didalilkan bertentangan terhadap Pembukaan, Pasal 27, Pasal 28A, dan Pasal 28 I UUD 1945; 131 [3.15.2] Bahwa dari uraian dalil-dalil permohonan Pemohon, keterangan Pemerintah, keterangan DPR, dan keterangan Pihak Terkait serta fakta-fakta hukum yang terungkap dalam persidangan, ada persoalan konstitusional yang harus dijawab oleh Mahkamah, yang pada pokoknya, yaitu apakah Pasal 113 UU 36/2009 yang menyatakan tembakau dan produk yang mengandung tembakau (padat, cair, dan gas) digolongkan sebagai zat adiktif adalah bersifat diskriminatif dan melanggar hak konstitusional Pemohon serta melanggar asas kepastian hukum, asas keadilan, dan asas kemanfaatan, sehingga bertentangan dengan konstitusi; [3.15.3] Bahwa terhadap dalil Pemohon di atas, Mahkamah berpendapat, terhadap diskriminasi yang selalu dihubungkan dengan adanya perlakuan yang berbeda terhadap sesuatu hal, tidaklah berarti bahwa secara serta-merta perlakuan yang berbeda tersebut akan menimbulkan diskriminasi hukum. Suatu pembedaan yang menimbulkan diskriminasi hukum, haruslah dipertimbangkan menyangkut pembedaan apa dan atas dasar apa pembedaan tersebut dilakukan. Pembedaan yang akan menimbulkan status hukum yang berbeda tentulah akan diikuti oleh hubungan hukum dan akibat hukum yang berbeda pula antara yang dibedakan. Dari pembedaan-pembedaan yang timbul dalam hubungan hukum dan akibat hukum karena adanya pembedaan status hukum akan tergambar aspek diskriminasi hukum dari suatu pembedaan, karena daripadanya akan diketahui adanya pembedaan hak-hak yang ditimbulkan oleh diskriminasi. Oleh karena itu, pembedaan yang dapat mengakibatkan diskriminasi hukum adalah pembedaan yang dapat menimbulkan hak yang berbeda di antara pihak yang dibedakan. Dengan demikian, hanya pembedaan yang melahirkan hak dan/atau kewajiban yang berbeda saja yang dapat menimbulkan diskriminasi hukum. Karena pendukung hak dan/atau kewajiban adalah subjek hukum, maka hanya pembedaan yang menimbulkan kedudukan hukum yang berbeda terhadap subjek hukum saja yang dapat menimbulkan diskriminasi hukum. Tembakau bukanlah subjek hukum karena tembakau bukanlah pemangku hak, melainkan hanya sebagai objek hukum yang dalam Pasal 113 Undang-Undang a quo menurut Pemohon dibedakan dengan produk lainnya, karena disebutkan sebagai zat adiktif sedangkan barang dan produk lain yang juga mengandung zat adiktif tidak 132 disebutkan dalam pasal a quo . Hal demikian sejalan dengan UUD 1945 yang melindungi setiap orang dari perbuatan diskriminatif, yaitu setiap orang sebagai subjek hukum; [3.15.4] Bahwa tembakau bukan subjek hukum tetapi sebagai objek hak yang berupa benda ( ius ad rem ). Hukum justru telah sejak lama mengadakan pembedaan terhadap objek hak. Perbedaan antara benda publik dan benda privat dalam hukum administrasi negara tidak didasarkan atas wujud bendanya tetapi lebih kepada peruntukannya. Tanah yang digunakan jalan umum termasuk dalam pengertian benda publik sementara tanah yang digunakan sebagai jalan dalam lingkungan perumahan pribadi termasuk benda privat yang oleh karenanya dapat menjadi objek hukum perdata secara penuh. Padahal, bentuk fisik keduanya adalah sama. Demikian juga kapal dengan tonase tertentu termasuk sebagai benda tidak bergerak yang terhadapnya dapat dijadikan objek hipotek sedangkan perahu atau kendaraan darat seperti truk yang secara fungsi dan teknologi tidak banyak berbeda dengan fungsi dan aspek teknologi kapal, namun termasuk sebagai benda bergerak yang berbeda dengan kapal. Meskipun wujudnya sama tetapi hukum juga memperlakukan berbeda. Sebagai contoh, dalam aturan lalu lintas dapat ditetapkan untuk satu jalan tertentu kendaraan umum dilarang masuk, sedangkan kendaraan pribadi tidak dilarang. Mobil dengan merek dan kapasitas yang sama dibedakan oleh hukum, yaitu yang satu sebagai mobil angkutan umum sedangkan yang lain sebagai mobil pribadi. Dengan demikian, pembedaan yang dapat menimbulkan diskriminasi hukum adalah pembedaan terhadap subjek hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban, bukan pembedaan terhadap objek hak; [3.15.5] Bahwa Kantor Komisi Tinggi untuk Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Komentar Umum (General Comment Nomor 18 Non- _discrimination: _ 10/11/89) dari Covenant on Civil and Political Rights pada angka 1 menyatakan, “ Non-discrimination, together with equality before the law and equal protection of the law without any discrimination, constitute a basic and general principle relating to the protection of human rights ”. Selanjutnya dinyatakan, “Thus, article 2 paragraph 1 of the International Covenant on Civil and Political Rights 133 obligates each State party to respect and ensure to all persons within its territory …” . Dengan demikian, larangan diskriminasi adalah ditujukan kepada “ persons ” dan berkaitan dengan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Dalam beberapa Konvensi Internasional jelas bahwa diskriminasi yang dilarang adalah diskriminasi terhadap manusia atau person sebagai subjek hukum dan tidak pernah ada larangan diskriminasi terhadap objek hak. Deklarasi umum PBB tanggal 20 November 1963 mengenai United Nations Declaration of All Forms of Racial Discrimination menegaskan larangan diskriminasi atas dasar ras, jenis kelamin, bahasa, agama, warna kulit, bangsa, dan suku bangsa. International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination yang diadopsi oleh PBB tanggal 21 Desember 1965 menyebutkan larangan diskriminasi atas dasar ras, warna kulit, bangsa, dan suku. International Convention on the Suppression and Punishment of Crime of Apartheid yang diadopsi tanggal 30 November 1973 melarang segregasi sosial dan apartheid di dalam praktik-praktik olah raga; [3.15.6] Bahwa dari konvensi-konvensi internasional tersebut jelas bahwa larangan diskriminasi tidak pernah ditujukan kepada objek hak tetapi kepada manusia yang diakui sebagai subjek hukum pemegang hak. Dalam International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights ditemukan ada sepuluh dasar diskriminasi yaitu race, colour, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or other status yang kesemuanya berkaitan dengan person sebagai subjek hukum dan tidak berkaitan dengan objek hak. Perbedaan dalam menikmati hak-hak yang dipunyai oleh seseorang terhadap satu objek hak tertentu dibandingkan dengan objek hak yang lain mempunyai implikasi dalam bidang ekonomi. Hal demikian tidak dapat dielakkan dan tidak melanggar larangan diskriminasi. Seseorang yang mempunyai tanah dengan status hak milik pasti akan berakibat secara ekonomis atas haknya dibandingkan dengan mereka yang misalnya hanya memiliki hak guna bangunan, karena lebih tinggi nilai ekonomi yaitu menjadikan harga tanah tersebut lebih mahal. Pengusaha angkutan umum pada jurusan atau trayek tertentu dapat saja lebih kecil pendapatannya dibandingkan dengan angkutan umum jurusan lainnya, tetapi perbedaan penghasilan tersebut tidak berarti telah mendiskriminasikan antar pengusaha angkutan. Pemerintah sebagai regulator dapat melakukan kebijakan-kebijakan 134 tertentu dan bahkan harus mengambil kebijakan apabila ternyata terdapat perbedaan penghasilan yang sangat mencolok apalagi mengarah pada kerugian bagi pengusaha angkutan. Penetapan beras sebagai bahan sembako (sembilan bahan kebutuhan pokok) menjadikan Pemerintah perlu untuk menyediakan stok beras nasional yang cukup, sebab apabila tidak, maka akan terjadi kelangkaan beras nasional. Jika terjadi kelangkaan beras, dapat dipastikan harga beras akan naik. Secara ekonomi, kenaikan beras akan mempengaruhi juga kenaikan pendapatan petani dan semakin langka beras akan mendorong kenaikan harga beras semakin tinggi. Kenaikan harga beras yang sangat tinggi justru tidak dikehendaki oleh Pemerintah, oleh karenanya untuk menjaga stok beras nasional dilakukan impor beras. Dengan dimasukkannya beras menjadi sembako, petani padi tidak akan mungkin menikmati kenaikan pendapatan yang disebabkan oleh kenaikan harga beras dikarenakan kekurangan persediaan beras nasional, sebab Pemerintah selalu menjaga kecukupan persediaan beras sebagai salah satu bahan sembako dan mengadakan usaha-usaha agar harga beras stabil murah. Keputusan pemerintah untuk menetapkan beras sebagai salah satu bahan sembako adalah membedakan beras dengan bahan makanan lain, yang penetapan demikian mengakibatkan adanya pengendalian harga beras di pasar agar tidak menjadi terlalu mahal. Secara langsung, akibatnya petani padi tidak akan pernah mendapatkan keuntungan ekonomi yang cukup besar dari hasil tanaman padinya karena beras dimasukkan dalam kategori bahan sembako. Hal demikian, tidaklah dapat dijadikan dasar bahwa telah terjadi diskriminasi karena Pemerintah menetapkan beras sebagai bahan sembako. Demikian juga adanya pembedaan antara kendaraan bermotor yang dibedakan antara jenis kendaraan mewah dan bukan kendaraan mewah sebagai dasar pengenaan pajak, tidaklah termasuk sebagai perlakuan diskriminatif sebagaimana dimaksud oleh Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945 karena yang dibedakan adalah objek hak dan bukan subjek hukumnya. Apabila hak atas non-diskriminasi sebagai hak asasi manusia diterapkan kepada benda sebagai objek hak, maka akan merusak sendi-sendi hukum karena hukum justru membeda-bedakan benda atas dasar status hukumnya meskipun wujud dari benda tersebut sama; 135 [3.15.7] Bahwa Pemohon lebih lanjut mendalilkan tidaklah adil Pasal 113 UU 36/2009 a quo hanya mencantumkan tembakau sebagai zat adiktif, sedangkan ganja tidak dimasukkan sebagai zat adiktif padahal ganja nyata-nyata sebagai zat adiktif. Terhadap dalil tersebut, Mahkamah berpendapat, bahwa adanya ketentuan Pasal 113 Undang-Undang a quo yang hanya menyebutkan tembakau sebagai zat adiktif tidaklah berarti bahwa jenis tanaman lain yang tidak disebutkan dalam Pasal a quo , secara serta-merta tidak termasuk zat adiktif, kalau memang nyata-nyata mengandung zat adiktif. Pasal 113 UU 36/2009 tidak menutup Undang-Undang lain untuk menyebutkan ada zat adiktif lain selain tembakau. Jauh sebelum UU 36/2009 diundangkan, pada 1976 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. Dalam UU Narkotika 1976 tersebut, diatur antara lain: • Pasal 2 menyatakan bahwa Menteri Kesehatan berwenang menetapkan: (i) alat-alat penyalahgunaan narkotika; (ii) bahan-bahan yang dapat dipakai sebagai bahan dalam pembuatan narkotika sebagai barang di bawah pengawasan; • Pasal 3 menyatakan bahwa narkotika hanya digunakan untuk kepentingan pengobatan dan/atau tujuan ilmu pengetahuan dan terhadap narkotika tertentu yang sangat berbahaya dilarang digunakan untuk kepentingan pengobatan dan/atau tujuan ilmu pengetahuan; • Pasal 4 menyatakan bahwa untuk kepentingan pengobatan dan/atau tujuan ilmu pengetahuan kepada lembaga ilmu pengetahuan dan/atau lembaga pendidikan dapat diberi izin oleh Menteri Kesehatan untuk membeli, menanam, menyimpan untuk memiliki atau untuk persediaan ataupun menguasai tanaman papaver, koka , dan ganja . Lembaga yang menanam papaver, koka , dan ganja wajib membuat laporan tentang luas tanaman, hasil tanaman, dan sebagainya, yang akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. [3.15.8] Bahwa meskipun dalam UU Narkotika 1976 belum digunakan penyebutan zat adiktif, tetapi dalam bagian ”Menimbang huruf b” Undang-Undang tersebut dinyatakan, ”bahwa sebaliknya, narkotika dapat pula menimbulkan 136 ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa pembatasan dan pengawasan yang saksama”. Dengan demikian dasar pengaturan terhadap narkotika sama dengan dasar pengaturan terhadap tembakau dalam UU 36/2009 yaitu, ”dapat menimbulkan ketergantungan yang merugikan” yang artinya sebagai zat adiktif. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 huruf a UU Narkotika 1976, narkotika adalah bahan yang disebutkan pada Pasal 1 angka 2 sampai dengan angka 13, dan dalam angka 12 disebutkan, ”tanaman ganja adalah semua bagian dari semua tanaman genus Cannabis, termasuk biji dan buahnya”. Dengan demikian, terhadap tanaman ganja telah dilakukan pengawasan dan bahkan larangan penanaman jauh sebelum UU 36/2009 diundangkan, yaitu sejak tahun 1976. UU Narkotika 1976 digantikan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dan terakhir digantikan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, yang dalam Undang- Undang terbaru ini, pengawasan dan larangan terhadap tanaman ganja masih tetap diberlakukan. Dengan demikian ternyata bahwa terhadap tanaman ganja telah diatur pengawasannya sejak tahun 1976. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penyebutan tembakau sebagai zat adiktif pada Pasal 113 UU 36/2009 tidak menjadikan hanya tembakau saja yang termasuk sebagai zat adiktif secara eksklusif. Berdasarkan uraian tersebut di atas, ketentuan Pasal 113 UU 36/2009 tersebut tidak melanggar larangan diskriminatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945; [3.15.9] Bahwa dalam persidangan terdapat ahli yang menyatakan bahwa penempatan pengaturan tembakau dalam Pasal 113 UU 36/2009 a quo adalah tidak tepat berdasarkan teori pembentukan Undang-Undang yang baik dan UU 36/2009 tersebut kurang sempurna pembuatannya karena Pasal 113 UU 36/2009 a quo terkesan tiba-tiba saja diatur, yang tidak terkait secara sistematis dengan materi lain yang diatur oleh UU 36/2009 sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Terhadap hal tersebut, Mahkamah dalam beberapa putusannya telah menyatakan bahwa terhadap dalil bahwa sebuah norma adalah kabur yang dapat menimbulkan multitafsir, tidaklah serta-merta diputus sebagai norma yang tidak menjamin kepastian hukum sebagaimana dimaksud oleh Pasal 28D UUD 1945, tetapi Mahkamah menyatakan hal demikian termasuk dalam implementasi dari 137 norma tersebut sehingga tidak bertentangan dengan asas kepastian hukum yang dimaksud oleh Pasal 28D UUD 1945. Dalam putusan-putusan yang lain, Mahkamah juga menyatakan bahwa apabila suatu norma yang dimohonkan untuk diuji ternyata dapat ditafsirkan secara berbeda dan perbedaan tafsir tersebut menyebabkan ketidakpastian hukum yang menyebabkan dilanggarnya hak konstitusi warga negara, maka Mahkamah memberi putusan conditionally constitutional yaitu dengan memberi penafsiran tertentu supaya tidak menimbulkan ketidakpastian hukum atau terlanggarnya hak-hak warga negara. Dalam Pasal 113 a quo sama sekali tidak bersangkut paut dengan soal diskriminasi terhadap subjek hukum, termasuk Pemohon, melainkan berkaitan dengan tembakau sebagai objek yang diatur oleh hukum sebagai zat adiktif. Dengan demikian, maka dikabulkan atau ditolaknya permohonan pengujian mengenai Pasal 113 Undang-Undang a quo tidak ada subjek hukum yang diuntungkan ataupun dirugikan secara konstitusional. Jaminan dan perlindungan yang dimaksud oleh Pasal 28D UUD 1945 adalah jaminan terhadap pengakuan serta perlindungan hukum kepada Pemohon, sedangkan Pasal 113 UU 36/2009 a quo sama sekali tidak mengubah pengakuan terhadap Pemohon. Dan juga pasal a quo tidak bersangkut paut dengan larangan untuk menanam tembakau. Sekiranya sekarang terdapat anjuran untuk beralih dari tanaman tembakau sebagaimana terjadi di wilayah Pemohon, hal demikian merupakan kebijakan yang tidak berkaitan dengan ketentuan Pasal 113 UU 36/2009; [3.15.10] Bahwa pembentukan Pasal 113 UU 36/2009 a quo dimaksudkan untuk menyatakan bahwa tembakau adalah termasuk zat adiktif, dan karena termasuk zat adiktif, maka akan diatur produksi, peredaran, dan penggunaannya, sebagaimana kemudian ditentukan dalam Pasal 114, Pasal 115, dan Pasal 116 UU 36/2009. Apabila Pasal 113 Undang-Undang a quo dipandang kurang tepat penempatannya di dalam UU 36/2009, dan seandainya pun kemudian ditempatkan dalam Undang-Undang lain, hal demikian tidak akan mengubah daya berlaku dari substansi Pasal 113 tersebut. Artinya, substansi tersebut tetap menjadi sah meskipun tidak dicantumkan dalam UU 36/2009. Bahkan seandainyapun frasa ”zat 138 adiktif” dalam Pasal 113 Undang-Undang dihilangkan, hal demikian tidak akan mengubah fakta bahwa senyatanya tembakau memang mengandung zat adiktif; [3.15.11] Bahwa jaminan dan perlindungan hukum oleh Pasal 27 ayat (2) juncto Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 tidaklah dimaksudkan bahwa negara harus menjamin penghasilan setiap warga negara, yang dalam perkara ini, melindungi penghasilan yang didapatkan dari harga jual tanaman tembakau. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa petani padilah yang sangat rentan terhadap rendahnya penghasilan karena harga beras yang tinggi tidak diinginkan terjadi karena Pemerintah dengan segala kewenangannya harus menjaga agar harga beras, yang termasuk bagian dari sembako, tidak terlalu tinggi. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 27 ayat (2) juncto Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 adalah termasuk hak asasi dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya yaitu generasi kedua dari hak asasi manusia. Terhadap hak untuk bekerja ini perlu kiranya dikutip apa yang disampaikan oleh Matthew Craven dalam “ The International Convention On Economic, Social and Cultural Rights. A Perspective on its Development ”, bahwa, “….any States would not accept an obligation to “guarantee” the right to work in the sense of ensuring full employment or eliminating unemployment. In particular, it was feared that such a guarantee would bind States to a centralized system of government and require that all labour be under the direct control of the State.” Dengan demikian, pengertian bahwa setiap orang berhak atas pekerjaan tidaklah dimaksudkan bahwa negara harus menyediakan lapangan kerja untuk seluruh warganya, karena jika hal demikian dilakukan, maka akan terjadi sentralisasi pemerintahan dan bahwa semua warga harus tunduk kepada pemerintah untuk bekerja dalam bidang yang disediakan oleh Pemerintah, padahal setiap warga negara mempunyai hak konstitusi untuk memilih lapangan kerja yang disukainya. Menyediakan lapangan kerja sesuai dengan keinginan setiap warga adalah sesuatu hal yang tidak mungkin dipenuhi oleh pemerintahan manapun juga. Kewajiban Pemerintah terhadap hak asasi ekonomi, sosial, dan budaya adalah untuk mengusahakan kesempatan seluas mungkin dengan cara bersungguh- sungguh agar setiap warga negara dapat menikmati hak tersebut dan bukannya negara harus bisa menyediakan lapangan kerja untuk setiap warga negaranya; 139 [3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, permohonan Pemohon tidak beralasan hukum.
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo ; [4.2] Pemohon mempunyai kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Pokok permohonan Pemohon tidak beralasan hukum. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), serta Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
AMAR PUTUSAN Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh Sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Hamdan Zoelva, Maria Farida Indrati, M. Akil Mochtar dan Muhammad Alim, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Selasa tanggal delapan belas bulan Oktober tahun dua ribu sebelas dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Selasa tanggal satu bulan November tahun dua 140 ribu sebelas oleh delapan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Maria Farida Indrati, M. Akil Mochtar, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, dan Hamdan Zoelva, masing- masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Ida Ria Tambunan sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon, Pemerintah atau yang mewakili, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan Pihak Terkait atau yang mewakili. KETUA, ttd Moh. Mahfud MD ANGGOTA-ANGGOTA, ttd Achmad Sodiki ttd Harjono ttd Ahmad Fadlil Sumadi ttd Anwar Usman ttd Hamdan Zoelva ttd Maria Farida Indrati ttd M. Akil Mochtar 141 6. PENDAPAT BERBEDA (DISSENTING OPINION) DAN ALASAN BERBEDA (CONCURRING OPINION) Terhadap putusan perkara ini terdapat 2 (dua) orang Hakim Konstitusi yang pendapat berbeda (dissenting opinion), yaitu Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar dan Hakim Konstitusi Hamdam Zoelva serta 1 (satu) orang Hakim Konstitusi yang memiliki alasan berbeda ( concurring opinion ) yaitu Hakim Konstitusi Achmad Sodiki sebagai berikut: [6.1] Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion) Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar Bahwa pasal 113 termasuk dalam Bagian Ketujuh Belas UU 36/2009 yang mengatur tentang Pengamanan Zat Adiktif. Bagian Ketujuh Belas UU 36/2009 terdiri dari 4 (empat) pasal yaitu Pasal 113 sampai dengan Pasal 116. Dari bagian yang mengatur tentang zat adiktif tersebut, kata “tembakau”, “produk yang mengandung tembakau”, dan “rokok” dapat ditemukan pada Pasal 113 ayat (2), Pasal 114 dan Pasal 115. Sedangkan bentuk zat adiktif lain tidak disebut secara khusus dalam Bagian Ketujuh Belas UU a quo . Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “adiktif” berarti (1) bersifat kecanduan atau (2) bersifat menimbulkan ketergantungan pada pemakainya. Dengan demikian, yang termasuk zat adiktif tidak hanya terdiri atas tembakau dan produk yang mengandung tembakau sebagaimana disebut pada Pasal 113 ayat (2) UU Kesehatan. Terdapat beragam jenis zat yang masuk dalam kategori “zat adiktif” misalnya Narkotika dan Psikotropika. Oleh karena itu, terdapat inkonsistensi antara judul bagian ketujuh belas UU a quo yang bertujuan mengatur tentang Pengamanan Zat Adiktif dengan isi ( content ) pasal yang terdapat dalam bagian ketujuh belas UU a quo yang memberikan porsi lebih besar dengan mengatur secara khusus mengenai rokok dan tembakau tanpa mengatur zat adiktif lainnya secara spesifik. Selain itu, terdapat inkonsistensi dari ketentuan Pasal 116 UU Kesehatan yang menyebutkan bahwa pengamanan zat adiktif lainnya agar diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Padahal, pengaturan zat adiktif lain, selain rokok dan tembakau, telah 142 diatur dalam Undang-Undang dan tidak dengan Peraturan Pemerintah, yaitu zat adiktif berupa psikotropika diatur dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Zat Adiktif berupa Narkotika diatur dengan Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Melalui penalaran semantik dapat disimpulkan bahwa, sejatinya, Bagian Ketujuh Belas UU 36/2009 adalah mengatur secara khusus mengenai Pengamanan Zat Adiktif berupa rokok dan tembakau. Setiap frasa “bahan yang mengandung zat adiktif” pada pasal yang berada dalam Bagian Ketujuh Belas UU 36/2009 cenderung mengarah pada rokok dan produk yang mengandung tembakau. Secara semantik, penyusunan bagian ketujuhbelas memiliki inkonsistensi karena penyebutan frasa “bahan yang mengandung zat adiktif”. Pembentuk Undang-Undang telah mempersempit makna zat adiktif yaitu hanya meliputi tembakau dan produk-produk tembakau, namun frasa ini mengandung pengertian luas yang juga mencakup zat adiktif lain, seperti psikotropika dan narkotika. Pengaturan yang tidak konsistens dalam UU 36/2009 serta dibaca dalam konteks semantik dipastikan menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan konstitusi. Pandangan masyarakat mengenai tembakau berbeda dengan zat adiktif lainnya. Secara umum, masyarakat melihat Psikotropika dan Narkotika sebagai zat adiktif adalah barang ilegal yang tidak boleh dikonsumsi terkecuali bila digunakan untuk kepentingan tertentu dan oleh pihak yang berwenang seperti untuk pengobatan oleh para dokter. Lain halnya dengan rokok atau produk tembakau yang dapat dengan mudah ditemui atau diperoleh secara bebas. Rokok atau produk tembakau lainnya bukanlah barang ilegal. Sehingga, pandangan masyarakat tentang tembakau atau rokok sangat terbelah. Faktor kesehatan menjadi salah satu alasan yang menyebabkan perbedaan pandangan di masyarakat soal rokok dan produk tembakau. Setidaknya perubahan paradigma yang menekankan pada faktor demi melindungi kesehatan masyarakat dari bahaya rokok dan tembakau tergambarkan pada kalangan masyarakat 143 internasional yang diwakili oleh World Health Organization yang mengeluarkan kerangka kerja konvensi mengenai pengendalian tembakau ( Framework Convention on Tobacco Control -FCTC) dan berlaku sejak 27 Februari 2005. FCTC dinyatakan sebagai global trendsetter yang mengubah pandangan masyarakat akan bahaya rokok dan produk tembakau lainnya. Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia Tenggara yang belum meratifikasi konvensi ini. Dalam UU 36/2009 sangat terlihat adanya pengaruh FCTC dalam pengaturan mengenai pengendalian atau pengamanan rokok dan produk tembakau pada UU Kesehatan. Pasal 114 UU 36/2009 yang mewajibkan pencantuman peringatan kesehatan selaras dengan article 11 FCTC yang mengatur tentang Packaging and Labelling of Tobacco Products , dan Pasal 115 UU 36/2009 yang menetapkan kawasan tanpa rokok sejalan dengan article 8 FCTC yang menetapkan Protection from Exposure to Tobacco Smoke . Pengaturan ketentuan pada bagian ketujuh belas UU Kesehatan yang mengatur mengenai pengamanan zat adiktif menjadi dasar untuk mengatur lebih lanjut tentang rokok dan produk tembakau dengan Peraturan Pemerintah. Pengaturan mengenai rokok dan produk tembakau menjadi hal yang tidak mudah karena melibatkan industri rokok yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar, dari mulai sektor pertanian tembakau hingga produksi rokok. Selain itu, bagi masyarakat Indonesia rokok menjadi bagian dari warisan tradisi budaya masyarakat, terutama rokok kretek dari sebagian daerah di Indonesia. Sehingga kebijakan pemerintah dalam menetapkan pengaturan tentang rokok dan produk tembakau harus mampu melindungi hak konstitusional warga negara antara menikmati lingkungan yang sehat dan menjaga kelestarian warisan budaya masyarakat sekaligus mengakomodasi kepentingan petani tembakau dan tenaga kerja yang terlibat pada industri rokok dan produk tembakau. Memperhatikan ketentuan yang termuat di dalam Bagian Ke Tujuh Belas UU 36/2009 jelas terlihat kepentingan tersembunyi yang bertujuan agar tanaman termbakau yang merupakan bahan baku utama dari industri rokok adalah satu- satunya zat yang mengandung adiktif, yaitu kepentingan bisnis perdagangan produk-produk Nicotine Replacement Therapy (NRT) dan tanpa memperhatikan 144 dampak yang akan terjadi kepada petani tembakau yang memiliki hak ekonomi sosial dan budaya yang dijamin oleh UUD 1945; Pembatasan tembakau sebagai zat adiktif telah tidak memperhatikan fakta bahwa ada kurang lebih 6 juta rakyat Indonesia yang hidup dan perikehidupannya bergantung pada tembakau dengan segala industrinya. Apalagi industri tembakau merupakan salah satu kontributor terbesar pendanaan APBN. Pembatasan dapat saja dilakukan asalkan dalam kerangka untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain ( vide Pasal 28J ayat (2) UUD 1945). Jangan hanya demi satu kepentingan kemudian mengabaikan hak warga negara Indonesia, karena jika demikian maka telah terjadi pengingkaran terhadap nilai-nilai yang terdapat dalam UUD 1945; Dengan memperhatikan uraian di atas, menurut pendapat saya, seharusnya Mahkamah mengabulkan sebagian permohonan Pemohon, yaitu menyatakan sepanjang frasa ”tembakau” dan ”produk yang mengandung tembakau” pada Pasal 113 ayat (2) UU 36/2009 tentang Kesehatan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; [6.2] Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion) Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva Pokok persoalan yang dimohonkan para Pemohon kepada Mahkamah adalah dicantumkannya secara spesifik tembakau dan produk yang mengandung tembakau dalam rangka pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif agar tidak menganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan dalam Pasal 113 UU 36/2009. Keresahan Pemohon beserta para petani tembakau atas adanya ketentuan tersebut seharusnya dapat dipahami oleh Mahkamah mengapa hanya tembakau dan produk tembakau yang disebutkan secara kongkrit sebagai zat adiktif yang menganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat dan lingkungan, dan sama sekali tidak menyinggung zat adiktif lainya. Hal itu 145 menimbulkan rasa ketidakadilan oleh Pemohon dan para petani tembakau yang seharusnya dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan rasa kekhawatiran akan terancamnya sumber kehidupan mereka yang secara turun temurun menanam tembakau untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya seperti yang dijamin dalam Pasal 28A UUD 1945. Benar, rokok mengganggu kesehatan bagi para penggunanya. Tetapi apakah dengan sendirinya tembakau dan produk lainnya membahayakan bagi perseorangan, keluarga, masyarakat dan lingkungan adalah sesuatu yang masih perlu penelitian lebih lanjut. Oleh karena itu, yang seharusnya dikendalikan dan dibatasi adalah produk rokok yang sudah jelas membahayakan bagi kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat dan lingkungan, dan bukan tembakau. Tembakau sudah merupakan bagian kehidupan para petani yang secara turun temurun mengantungkan hidupnya dari hasil tanaman tembakau. Apabila tembakau dikendalikan, dan dibatasi produknya pasti akan mengancam kelangsungan kehidupan ekonomi dari para petani tembakau yang mencederai jaminan konstitusi kepada setiap orang untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya berdasarkan Pasal 28A UUD 1945. Hal itu, juga mencederai rasa keadilan para petani tembakau yang hanya menyebutkan tembakau dan segala produk tembakau sebagai zat adiktif, tanpa menyebutkan zat adiktif yang bersumber dari produk lain yang menurut berbagai penelitian terkandung dalam banyak sekali jenis tanaman. Dengan adanya kewenangan pengendalian dalam pasal a quo, tanpa batasan oleh undang-undang, akan memungkinkan pemerintah membatasi penanaman tembakau, serta jumlah produksi tembakau yang dapat dipastikan akan merugikan para petani yang menggantungkan ekonominya pada produksi tanaman tembakau. Untuk memulihkan rasa ketidakadilan dari para petani tembakau dan menjamin kelangsungan kehidupan ekonomi masyarakat sebagai petani tembakau seharusnya Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian, yaitu dengan menyatakan Pasal 113 ayat (2) UU 36/2009 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dihilangkannya Pasal 113 ayat (2) Undang-Undang a quo tidak dengan sendirinya menghilangkan kewenangan pemerintah untuk melakukan pengendalian terhadap tembakau dan 146 segala produknya karena kewenangannya masih dimungkinkan berdasarkan Pasal 116 UU 36/2009. Dengan dikabulkannya Pasal 113 ayat (2) Undang-Undang a quo , Mahkamah memberikan keadilan kepada para petani tembakau, sehingga yang dikendalikan oleh Pemerintah tidak hanya zat adiktif dari tembakau dan segala produknya, tetapi juga seluruh zat adiktif yang bersumber dari bahan-bahan lainnya. [6.3] Alasan Berbeda (Concurring Opinion) Hakim Konstitusi Achmad Sodiki Persoalan yang dikemukakan oleh Pemohon adalah menguji konstitusionalitas Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 36/2009. Alasannya karena: • Pertama pasal tersebut hanya mencantumkan tanaman tembakau sebagai zat adiktif , sedangkan tanaman lainnya misalnya ganja tidak, padahal ganja mempunyai dampak tidak baik terhadap kesehatan. Tembakau yang disebut zat adiktif dianggap bertentangan dengan asas keadilan karena hanya mencantumkan tanaman tembakau sedangkan tanaman lainnya seperti ganja yang mengandung juga zat adiktif dan dilarang tidak dimasukkan dalam Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009. • Kedua dengan dicantumkannya tembakau sebagai zat adiktif memunculkan ketidakpastian hukum dan perasaan was was mengalami kerugian materiil apabila menanam tembakau. Dengan demikian Pasal 113 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU 36/2009 bertentangan dengan Pasal 27, Pasal 28A dan Pasal 28 I UUD 1945. Pemohon juga mengingatkan adanya Putusan Mahkamah Nomor 6 PUU/VII/2009 tentang pengujian Pasal 46 ayat (3) huruf c sepanjang frasa “yang memperagakan wujud rokok” yang telah ditolak oleh Mahkamah untuk dibatalkan. • Tentang dimasukkannya tembakau sebagai zat adiktif. Tembakau merupakan produk pertanian yang di dalamnya termuat hak Pemohon yakni kepentingannya guna memenuhi kebutuhannya sebagai petani. Hak merupakan kepentingan yang dilindungi ( das subjective Recht ist rechtlich geschutztes Interesse” ). Bahkan Van Appeldoorn beranggapan hak adalah 147 suatu kekuatan yang diatur oleh hukum ( Het objective recht is een ordende macht, het subjective recht is een door objective recht geordende macht. Recht is macht) . Oleh sebab itu gangguan apapun bentuknya atas hak dapat berarti gangguan atas kepentingan subjek hukum. Jika kepentingan itu demikian kuat peranannya dalam kehidupan orang yang empunya hak, maka perubahan hak akan berpengaruh juga terhadap orang yang mempunyai hak tersebut, yang bisa bersifat menguntungkan dan dapat pula bersifat merugikan si empunya hak. Jika kepentingannya berupa kepentingan ekonomi, maka perlakuan yang berbeda atas kepentingan ekonomi tersebut dapat merugikan yang bersangkutan. Terlebih lagi jika kepentingan ekonomi tersebut berupa kepentingan yang menyangkut hajat hidup seseorang atau orang banyak. Hak tersebut berkaitan dengan objek hukum yakni segala sesuatu yang berguna bagi subyek hukum dan yang dapat menjadi pokok (objek) perhubungan hukum. Jika pembedaan itu sekedar ingin membedakan antara jenis benda misalnya benda bergerak dengan benda tidak bergerak, hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan tidaklah akan merugikan siapapun. Tetapi yang menjadi persoalan seringkali adanya perubahan dari status hak milik menjadi hak yang dikuasai langsung oleh negara atau sebaliknya hal ini menyangkut kepentingan yang mempunyai hak. Di dunia ini hampir tidak ada sejengkal tanahpun yang tidak ada pemilik atau penguasanya, sehingga mustahil memisahkan suatu benda/hak dengan pemiliknya atau antara subjek hukum dengan haknya. Hal itu hanya terjadi pada zaman perbudakan tatkala sebagian manusia dianggap tidak mempunyai hak yakni menjadi budak. Budak disamakan dengan barang atau binatang karena diambil tenaga kerjanya, yang dapat dihaki dan dapat dijual belikan oleh yang empunya budak. Hanya manusia yang mempunyai hak yang disebut orang ( person atau persoon). Sekarang semua manusia adalah subjek hukum, oleh sebab itu ia merupakan pendukung hak, maka memisahkan dan tidak mengaitkan antara subjek hukum dengan objek hukum (hak) tidaklah tepat, karena zaman perbudakan telah berakhir. Penggolongan suatu benda dapat menimbulkan kerugian apabila benda tersebut yang semula tidak digolongkan sebagai benda yang dilarang menjadi 148 benda yang dilarang, misalnya daun ganja semula bukan merupakan barang yang dilarang tetapi kemudian dimasukkan sebagai barang yang dilarang mengedarkan, mengkonsumsi dan menjual belikan. Jadi terjadi politik kriminalisasi terhadap benda tersebut, karena bagi siapa yang mengedarkan, mengkonsumsi dan menjual belikan dikenakan ancaman pidana. Dampaknya, bagi masyarakat yang secara tradisi mengkonsumsi daun ganja menjadi tidak bebas lagi menggunakannya. Dalam dunia perdagangan juga terjadi hal demikian, dapat terjadi suatu benda yang semula dapat masuk bebas ke Indonesia menjadi benda yang dilarang masuk. Misalnya import daging sapi yang tadinya tidak terkena syarat halal .Karena diadakan klasifikasi daging yang halal dengan daging yang tidak halal terpaksa jika daging sapi diimport harus mendapatkan sertifikasi halal. Dengan demikian tidak semua daging sapi dapat diimport ke Indonesia, sehingga dapat merugikan para importer daging sapi, sebaliknya hal demikian menguntungkan pihak konsumen yang menghendaki kehalalan daging sapi. Dengan demikian pembedaan perlakuan yang didasarkan pada kepentingan secara langsung dapat berakibat merugikan suatu kelompok masyarakat tetapi dapat pula menguntungkan kelompok masyarakat lainnya. Hal inilah yang menyebabkan tidak mungkin dipisahkan antara subjek hukum yang berupa orang/badan hukum dengan kepentingan yang dimiliki oleh subjek hukum tersebut. • Pemohon mempersoalkan penggolongan tembakau sebagai zat adiktif dengan kepentingannya yang dengan digolongkan menjadi/ termasuk zat adiktif akan berakibat merugikannya, sedangkan zat lain yang juga mengandung zat adiktif tidak dimasukkan dalam pasal ganja, yaitu Pasal 113 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU 36/2009. Pasal ini tidak mengandung maksud bahwa zat lain dengan sendirinya yang tidak disebut dalam pasal a quo dikecualikan sebagai zat adiktif misalnya ganja dan sebagainya. Pasal ini hanya menyatakan, zat adiktif meliputi tembakau dan seterusnya yang dihubungkan dengan ayat (1) nya diperlukan pengamanan dalam penggunaannya yakni tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat dan 149 lingkungan. Ada perbedaan antara tembakau dan ganja sekalipun ada persamaannya yaitu sebagai zat adiktif. Tembakau dan produk rokok masih bersifat legal dijual bebas dan boleh dikonsumsi secara umum (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-VI/2008, terbukti dengan dikenakannya cukai terhadap rokok daan tembakau), sekalipun terdapat pembatasannya seperti yang dimaksud oleh ayat (1) dan ayat (3) pasal a quo . Sedangkan ganja jelas bukan merupakan produk yang legal untuk dijual dan dikonsumsi oleh masyarakat, maka tidak bisa disamakan kedudukannya antara tembakau dengan ganja. Di sini tidak ada persoalan kepastian hukum karena permohonan Pemohon sekarang tidak termasuk persoalan yang dimohonkan pengujiannya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-VI/2008 sekalipun menyinggung masalah tembakau. Dalam dunia modern dengan kemajuan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan nampak upaya manusia untuk hidup sehat bukan hanya untuk diri sendiri tetapi juga bagi orang lain. Produk-produk yang dikonsumsi oleh manusia juga semakin beragam, sehingga kontrol terhadap bahaya yang ditimbulkan oleh beragamnya zat-zat yang dikandung oleh makanan tersebut tidak mungkin dilakukan sendiri oleh perseorangan. Hal itu merupakan tugas negara untuk melindungi kepentingan kesehatan orang banyak. Sudah menjadi keyakinan dunia modern bahwa merokok dapat membahayakan kesehatan.Oleh sebab itu meningkatnya jumlah perokok juga akan meningkatkan potensi kerugian yang akan diderita baik di bidang kesehatan, produktivitas kerja, sekalipun negara memperoleh pajak yang diambil dari produk rokok (tembakau). Kesadaran untuk menghindari rokok justru lebih banyak dari kalangan yang cukup berpendidikan dari pada dari kalangan yang berpendidikan rendah atau tidak berpendidikan. Akan tetapi membatasi meluasnya bahaya merokok tidak mungkin hanya digantungkan pada kesadaran dari mereka yang terdidik, tetapi negara harus melakukan tindakan antisipatif agar dengan demikian kita akan mewarisi generasi yang sehat. Justru kebijakan yang dilakukan saat sekarang ini akan menjadi tidak adil jika tidak berdampak baik bagi generasi yang akan datang, karena generasi yang akan datang tidak dapat ikut serta menentukan kebijakan yang sekarang diambil oleh negara. Tidak dapat dipertanggung 150 jawabkan secara moral, generasi yang akan datang menderita karena kesalahan kebijakan generasi sekarang. Lagi pula seseorang tidak boleh menarik keuntungan dari perbuatannya yang nyata-nyata membahayakan orang lain. Tembakau sebagai zat adiktif sekaligus merupakan bahan rokok utama tidak dapat disangkal dapat menyebabkan penyakit kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan serta janin sebagaimana dicantumkan pada label peringatan setiap bungkus rokok. Oleh sebab itu maka permohonan Pemohon sudah tepat ditolak oleh Mahkamah. PANITERA PENGGANTI, ttd Ida Ria Tambunan
Pengujian UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan [Pasal 4 ayat (2), Pasal 7 ayat (3), Pasal 14 ayat (1), (7), Pasal 17 ayat (2), huruf a, c, d ...
Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga dan Penyusunan, Penelaahan, Pengesahan dan Pelaksanaan Daftar ...