Pengujuan UU no. 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (Pasal 1 angka 1, Pasal 3 ayat (3), Pasal 4, Pasal 21 ayat (2), Pasal 22, dan pasal ayat (2 ...
Pengujuan UU no. 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (Pasal 1 angka 1 dan angka 7, Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (1), Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6 ...
Uji Materiil atas Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut UU OJK) te ...
Relevan terhadap
ayat (1) “Sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke OJK .” ayat (2) “Sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan beralih dari Bank Indonesia ke OJK .” __ 2. Kewenangan Penyidikan OJK a. Desain pembentukan OJK sebagai lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang terintegrasi (Unified Supervisiory Model) dilandasi pada kondisi sosiologis perkembangan sektor jasa keuangan seiring dengan perkembangan teknologi informasi di era globalisasi transaksi keuangan yang mendorong munculnya berbagai modus kejahatan yang lebih kompleks (tindak pidana yang melibatkan beberapa sektor keuangan sekaligus) sehingga sangat potensial mengganggu stabilitas sistem keuangan nasional. Dengan model pengawasan satu atap, pelanggaran yang terjadi pada satu sektor maupun lintas sektor dapat mudah terdeteksi dan diketahui oleh pengawas sehingga dapat dilakukan penindakan secara cepat dan komprehensif. Dengan terintegrasinya tahapan pengawasan dan penegakan hukum administratif dalam satu atap 95 OJK, maka pengawasan dapat lebih efektif dan efisien dalam memberikan efek jera tanpa mengabaikan unsur pembinaan.
Sebagaimana diketahui bersama bahwa sebelum dibentuknya OJK, Bapepam-LK sebagai Lembaga yang melakukan pengawasan di industri jasa keuangan non-bank juga telah diberikan kewenangan penyidikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Kewenangan penyidikan oleh PPNS sektoral (antara lain PPNS Bapepam-LK saat itu) dilandasi pertimbangan diperlukannya pemahaman teknis sektoral dalam melakukan upaya penegakan hukum administratif di sektor yang bersangkutan. Dengan demikian, dengan kedudukan kelembagaan OJK yang menjadi bagian dari penyelenggaraan urusan pemerintahan berupa pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan, pemberian kewenangan penyidikan sebagaimana yang diberikan kepada PPNS Bapepam merupakan hal yang berdasar hukum dan sebagai open legal policy yang memiliki dasar pertimbangan yang rasional, sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan perkembangan yang ada, tidak melanggar kewenangan pembentuk UU sesuai UUD 1945.
Terkait dengan kewenangan melaksanakan penyidikan oleh lembaga selain Kepolisian, berdasarkan Pasal 2 juncto Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Kepolisian RI), diatur instansi dan/atau badan Pemerintah dapat melaksanakan fungsi kepolisian sepanjang diberikan mandat oleh Undang Undang yang mendasarinya. Salah satu fungsi kepolisian adalah melakukan penyidikan. Instansi dan/atau badan Pemerintah yang melaksanakan penegakan hukum dipersamakan dengan menjalankan fungsi kepolisian khusus. Dengan kedudukan OJK yang tetap menjadi bagian dari sistem penyelenggaraan urusan pemerintahan (Penjelasan Pasal 1 angka 1 juncto paragraf 10 dan paragraf 11 Penjelasan Umum UU OJK), maka kewenangan penyidikan yang diberikan UU OJK sesuai dengan klasifikasi Pasal 2 juncto Pasal 3 ayat (1) UU Kepolisian RI.
Dari sisi jenis kelembagaan OJK sebagaimana diuraikan di atas, 96 sebagai lembaga negara mandiri ( Main organ ), Jimly Ashiddiqie dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara terbitan Rajawali Pers Jakarta tahun 2009 halaman 338-339 yang disampaikan oleh Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LL.M. dalam Keterangan Ahli untuk Permohonan Uji Materiil Nomor 25/PUU- XII/2014, berpendapat bahwa Lembaga Negara Independen yang menjalankan fungsi permanen ( State Independent Agencies ) maupun yang bersifat menunjang ( State Auxiliary Agencies ) disematkan kewenangan kelembagaan yang kuat untuk menjalankan fungsi campuran antara regulatif, administratif, pengawasan dan fungsi penegakan hukumnya .
Berdasarkan uraian kedudukan OJK dalam struktur kelembagaan negara yaitu main organ dan memperhatikan fungsi penyelenggaraan pemerintahan yang diemban oleh OJK untuk menjaga stabilitas keuangan nasional dan memberikan perlindungan kepada konsumen sektor jasa keuangan, maka Pemerintah meyakini sepenuhnya bahwa pemberian kewenangan penyidikan kepada OJK sebagai suatu lembaga Negara yang independen yang melaksanakan fungsi penegakan hukum administratif sektor jasa keuangan merupakan pilihan kebijakan ( open legal policy ) yang sangat tepat dan tidak dapat dianggap inkonstitusional.
Penyidikan OJK sebagai penegakan hukum adminitratif sektor jasa keuangan a. Wewenang penyidikan sebagai bagian dari proses penegakan hukum yang dilakukan OJK merupakan upaya terakhir (ultimum remedium) dalam upaya penegakan hukum administratif sektor jasa keuangan. Pada prinsipnya tugas OJK adalah menjaga ketaatan pelaku industri di sektor jasa keuangan terhadap ketentuan administratif yang diatur dalam berbagai UU sektor jasa keuangan. Dalam rangka penegakan hukum administrative sektpr jasa keuangan, berbagai UU sektor jasa keuangan telah menetapkan adanya sanksi pidana terhadap pelaku pelanggaran ketentuan administratif yang ditetapkan masing-masing 97 UU.
OJK menjalankan fungsi penegakan hukum sebagai penyidik adalah jalan terakhir jika ditemukan ketidaktaatan penyedia jasa keuangan terhadap peraturan perundang-undangan yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana. Dengan konsep pengawasan satu atap di bawah OJK, pengawasan di sektor jasa keuangan hendak mengutamakan prinsip pembinaan dan menempatkan penegakan hukum pidana di sektor jasa keuangan sebagai upaya terakhir ( ultimum remidium ). Namun demikian, dalam situasi tertentu penegakan hukum pidana di sektor jasa keuangan dapat diutamakan ( primum remedium) .
Bahwa sesuai penjelasan umum UU OJK, kedudukan UU OJK merupakan umbrella act bagi “pengawasan di sektor jasa keuangan” , yang menyebabkan kewenangan Penyidik OJK tidak terbatas pada delik-delik yang terdapat dalam UU OJK (UU No. 21 Tahun 2011), melainkan juga terhadap delik pidana pada Undang- Undang di sektor jasa keuangan di bawah pengawasan OJK (Perbankan, Peransuransian, Pasal Modal, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya) sebagaimana diatur dalam Pasal 70 UU OJK.
Bahwa kewenangan penyidikan oleh OJK diperkuat dalam Undang Undang sektoral seperti pada Undang Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (UU Perasuransian) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UU Pasar Modal). Dalam Pasal 57 ayat (1) dan Penjelasan UU Perasuransian disebutkan: “Pengaturan dan pengawasan kegiatan Usaha Perasuransian dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan”. Penjelasan: “Pengaturan dan pengawasan kegiatan Usaha Perasuransian oleh Otoritas Jasa Keuangan antara lain aspek tata kelola, perilaku usaha, dan kesehatan keuangan. Yang dimaksud dengan “pengawasan” antara lain analisis laporan, pemeriksaan, dan penyidika n” __ 98 e. Bahwa menghilangkan kewenangan penyidikan pada UU OJK juga memiliki konsekuensi menghapuskan kewenangan penyidikan pada UU Pasar Modal juga UU Perasuransian. Dibatalkannya Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK berakibat pada batal demi hukumnya Pasal 5 huruf e, Pasal 101 UU Pasar Modal dan Pasal 57 ayat (1) UU Perasuransian.
Sebagaimana diketahui bersama, kejahatan di sektor jasa keuangan mempunyai karakteristik tersendiri. Dari sisi Pelaku, pada umumnya pelaku memiliki kemampuan intelektualitas dan penguasaan teknologi yang canggih. Dari sisi perbuatan, kejahatan di sektor jasa keuangan memiliki kompleksitas yang tinggi karena bersifat lintas sektoral dengan melibatkan berbagai sektor di industri jasa keuangan. Dari sisi akibat yang ditimbulkan, kejahatan di sektor jasa keuangan memiliki dampak yang masif dan merusak kepercayaan masyarakat. Pada akhirnya kejahatan tersebut dapat menghambat peran industri jasa keuangan dalam mendukung pembangunan nasional, sehingga dibutuhkan penanganan yang cepat dan kemampuan sumber daya manusia yang handal dan memahami karakteristik di sektor jasa keuangan. Untuk itu integrasi antara fungsi pengaturan, pengawasan dan penyidikan dalam satu lembaga merupakan pilihan kebijakan didasari kebutuhan untuk melakukan penahanan secara efisien, mengurangi fungsi penyidikan, antara lain di bidang Pasar Modal merupakan pilihan yang mempunyai konsekuensi besar karena berkaitan dengan nature penegakan hukum pasar modal yang bersifat khusus.
Bahwa tindak pidana ( core crime ) di bidang pasar modal memiliki kekhususan ditunjukan dengan adanya pengaturan khusus pada Bab XI UU Pasar Modal yang mengatur tindak pidana Penipuan, Manipulasi Pasar, dan Perdagangan Orang Dalam. Dengan dialihkan kewenangan Bapepam-LK kepada OJK sesuai dengan ketentuan Pasal 55 UU OJK, maka kewenangan tersebut beralih ke OJK.
Bahwa urgensi pengklasifikasian tindak pidana khusus di sektor jasa 99 keuangan tersebut sangat dibutuhkan mengingat pembuktian tindak pidana tersebut memerlukan kompetensi dalam menganalisa kondisi pasar secara komprehensif dengan menggunakan data di sektor jasa keuangan yang valid dan akurat. Kompetensi tersebut saat ini hanya dimiliki oleh pengawas sektor jasa keuangan. Sebagai contoh, pengaturan tindak pidana dan pemberian kewenangan penyidikan di pasar modal secara khusus juga didasari pada salah satu tujuan utama yang hendak dijaga oleh UU Pasar Modal yaitu integritas dan kepercayaan pasar. Oleh karena itu, tidak semua pelanggaran terhadap UU Pasar Modal harus dilanjutkan ke tahap penyidikan karena dapat menghambat kegiatan penawaran dan atau perdagangan Efek secara keseluruhan.
Hal tersebut dapat dipahami mengingat pengawasan industri di sektor jasa keuangan mempunyai objektif dalam hal efisiensi pasar dan terselenggaranya sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan serta stabil (hal tersebut juga diadopsi dalam pembentukan OJK, lihat paragraf 8 Penjelasan Umum UU OJK) sehingga penegakan hukum secara seimbang menitikberatkan pada upaya pemulihan, perbaikan kondisi industri di sektor jasa keuangan, stabilitas perekonomian, dan mewujudkan efek jera bagi pelaku tindak pidana.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK), BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab Keuangan Negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola Keuangan Negara. Selain itu dalam Pasal 8 ayat (3) dan ayat (4) diatur bahwa apabila dalam pemeriksaan BPK ditemukan unsur pidana yang dituangkan dalam Laporan BPK, maka Laporan BPK tersebut dapat dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang- undangan. Sesuai dengan amanat UU BPK tersebut, BPK berfungsi 100 sebagai lembaga yang melaksanakan proses pemeriksaan terhadap lembaga/instansi yang diberikan tanggungjawab untuk melakukan pengelolaan Keuangan Negara. Di sisi OJK sesuai dengan amanat UU OJK merupakan lembaga yang diberikan wewenang untuk melakukan pengaturan, pengawasan dan perlindungan. Kewenangan tersebut dalam rangka mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil. Mengingat cakupan industri sektor jasa keuangan yang meliputi sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya, diperlukan kewenangan pengaturan dan pengawasan terhadap keseluruhan kegiatan jasa keuangan tersebut secara terintegrasi, sehingga dapat dicapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif di dalam menangani permasalahan yang timbul dalam sistem keuangan dan dapat menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan. Disamping hal tersebut di atas, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya OJK sebagai suatu lembaga yang dibentuk berdasarkan amanat UU dan menerima pengalihan kewenangan pengawasan dari Pemerintah (Bapepam-LK di bawah Kementerian Keuangan) dan BI, maka adalah tepat apabila kewenangan sebelumnya yang dimiliki oleh Bapepam-LK termasuk kewenangan penyidikan terhadap sektor pasar modal beralih kepada OJK. Demikian juga dengan kewenangan penyidikan terhadap sektor jasa keuangan lain, maka berdasarkan UU OJK selain Penyidik Kepolisian, PPNS di lingkungan OJK juga memiliki kewenangan penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan.
Bahwa terkait dengan prosedur penanganan perkara di sektor jasa keuangan untuk menghindari tumpang tindih kewenangan, OJK dan Kepolisian sebagai upaya penguatan koordinasi, telah melakukan penandatanganan Nota Kesepahaman antara OJK dengan Kepolisian Republik Indonesia Nomor PRJ-36/D.01/2014 Nomor: B/44/XI/2014 tentang Kerjasama Penanganan Tindak Pidana Di 101 Sektor Jasa Keuangan yang memuat mekanisme koordinasi dalam penanganan tindak pidana di sektor jasa keuangan, khususnya terkait dengan penanganan penyidikan bersama tindak pidana di sektor jasa keuangan ( join investigation ). Koordinasi tersebut melingkupi tukar-menukar informasi, penyediaan ahli, permintaan pembukaan rahasia bank, dan bantuan penangkapan. Dengan demikian, dapat dipastikan tidak terdapat tumpang-tindih kewenangan antara OJK dengan Kepolisian. Selain itu, Presiden mengajukan 2 orang ahli yaitu Bismar Nasution dan Atip Latipulhayat yang didengarkan keterangannya pada persidangan tanggal 1 April 2019 dan 2 orang saksi Warasman Marbun dan Johansyah yang didengarkan keterangannya pada persidangan tanggal 9 April 2019 dan pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut: Ahli Presiden 1. Bismar Nasution Di setiap negara, fungsi bank merupakan ”jantung” dari pasar uang dan fungsi pasar modal sebagai penyedia pembiayaan jangka panjang. Keduanya berfungsi dalam mendukung perekonomian negara. Fungsi bank misalnya, menurut Alexander Hamilton ”Menteri Keuangan” pertama Amerika Serikat adalah a necessary engines that ever were invented for advancing trade . Bahkan, Charles Himawan mengatakan, bank adalah badan untuk membuat suatu negara makmur. Persoalannya adalah bagaimana dan siapa yang mengendalikan dan melindungi bank. Dari kacamata hukum baik bank maupun nasabah (yaitu masyarakat) perlu dilindungi, karena keduanya adalah komponen terpenting dalam proses pembangunan ekonomi negara (Charles Himawan, Hukum Sebagai Panglima, 2003). Berdasarkan fungsi bank dan pasar modal yang sangat krusial bagi perekonomian suatu negara, maka keberadaan aset bank dan pasar modal dalam bentuk kepercayaan masyarakat sangat penting dijaga. Sebab kepercayaan masyarakat sangat penting misalnya bagi bank paling tidak karena dua alasan. Pertama, meningkatkan efisiensi penggunaan bank dan efisiensi intermediasi. Kedua, mencegah terjadinya bank runs and panics (Zulkarnain Sitompul, Lembaga Penjamin Simpanan Substansi dan 102 Permasalahan, 2007). Pentingnya kepercayaan masyarakat tersebut juga diamini Presiden Roosevelt. Sewaktu mengumumkan berakhirnya bank holiday di Amerika Serikat, Roosevelt mengatakan,” after all, there is an elemen in the readjustmen of our financial system more important than currency, more important than gold, and that is the confidence of the people ”. Kepercayaan masyarakat bagi pasar modal berkaitan dengan prinsip keterbukaan. Karena prinsip keterbukaan telah menjadi fokus sentral dari pasar modal. Setidaknya, terdapat tiga fungsi prinsip ketebukaan di pasar modal. Pertama, prinsip keterbukaan berfungsi untuk memelihara kepercayaan masyarakat. Kedua, prinsip keterbukaan berfungsi untuk menciptakan pasar yang efisien. Ketiga, prinsip keterbukaan penting mencegah penipuan atau fraud (Bismar Nasution, Keterbukaan Dalam Pasar Modal, 2001). Hal ini diatur dalam Securities Act 1933 dan Securities Exchange Act 1934. Kedua Undang-Undang tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat. Securities Act 1933 dan Securities Exchange Act 1934 telah mengatur lahirnya Securities and Exchange Commission (SEC). Tugas SEC adalah menegakkan, Securities Act 1933 dan Securities Exchange Act 1934 serta SEC mempunyai kewenangan investigasi atau penyidikan terhadap pelanggaran Securities Act 1933 dan Securities Exchange Act 1934 (David L. Ratner, Securities Regulation In A Nutshell, 1992). Kewenangan SEC dalam penyidikan atas pelanggaran peraturan pasar modal sebagaimana diatur dalam Securities Exchange Act 1934 merupakan suatu bentuk pengendalian sosial yang khusus mengatur masyarakat, agar terhindar dari perbuatan-perbuatan pernyataan menyesatkan ( misleiding statement ), manipulasi pasar ( cornering ), dan perdagangan orang dalam ( insider trading ) di pasar modal. Di sini hukum itu sebagai anti sosial, sebagaimana diamati oleh Roscoe Pound (Roscoe Pound, Social Through Law, 1942). Pemberian kewenangan penyidikan tersebut adalah salah satu cara untuk melindungi masyarakat dan memberikan rasa aman serta kemantapan bagi masyarakat dalam kegiatan pasar modal, yang pada gilirannya dapat menjadi suatu upaya meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada industri keuangan. Indonesia dalam menyusun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal telah mengambil pola undang-undang pasar modal 103 Amerika Serikat, sehingga Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) diberikan wewenang melakukan penyidikan, sebagaimana diatur dalam ketentuan Bab XII Penyidikan, Pasal 101 Undang-Undang Pasar Modal. Hal yang sama juga dilakukan oleh berbagai negara antara lain Korea Selatan, Filipina, Venezuela, Malaysia, Singapura, (Sumantoro, Aspek-Aspek Hukum dan Potensi Pasar Modal di Indonesia, 1988). Brazil misalnya mengadopsi peraturan prinsip keterbukaan peraturan pasar modal Amerika Serikat (Norman S. Poser, ”Securities Regulation In Developing Countries: The Brazilian Exprerience”, Virginia Law Review, 1966). Ahli sejarah mengajarkan kita, bahwa sejarah dipelajari bukan untuk membenarkan kekurangan kita hari ini, tetapi untuk mempersiapkan hari depan. Benjamin N. Cardozo juga mengajarkan bahwa sejarah dalam memerangi masa lalu menerangi masa sekarang, sehingga dalam menerangi masa sekarang dia menerangi masa depan (Benjamin Cardozo, The Nature of the Judicial Process, 1962). Bahkan, Bung Karno pernah berkata (17-8-1951): ”.....dari mempelajari sejarah orang bisa menemukan hukum-hukum yang menguasai kehidupan manusia” (Chales Himawan, Hukum Sebagai Suatu Panglima, 2003). Krisis tahun 1997-1998 yang meluluhlantakkan perekonomian Indonesia merupakan alasan lahirnya ”Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan” (”Undang-Undang OJK”). Desain pembentukan Undang-Undang OJK adalah untuk memenuhi tuntutan perubahan pada lembaga pengatur dan pengawas industri jasa keuangan yang menjadi salah satu penyebab krisis 1997-1998. Oliver Wendell Holmes mengingatkan ” The life of the Law has not been logic; it has been experience ” Objektif Undang-Undang OJK itu juga menjadi alat utama pemerintah untuk mempermudah akses masyarakat kepada industri jasa keuangan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat. Ann Seidman, Robert B. Siedman dan Nalin Abeyesekere mengatakan, bahwa dalam proses pembangunan undang-undang merupakan alat utama pemerintah melakukan perubahan pada lembaga-lembaga. Hal tersebut juga memperjelas tugas pembuat undang-undang, yaitu membuat undang-undang menjadi efektif dan mampu membawa perubahan. Sebab suatu undang-undang yang efektif pada keadaan khusus di suatu negara harus mampu mendorong suatu perilaku 104 yang dituju atau yang diaturnya (Ann Seidman, Robert B. Siedman dan Nalin Abeyesekere dalam bukunya ” Legislative Drafting for Democratic Social Change a Manual for Drafters ”, 2001) Undang-Undang OJK yang juga melahirkan OJK merupakan upaya mengatasi berbagai permasalahan yang mengemuka dalam lintas sektoral industri jasa keuangan, yang meliputi moral hazard, belum optimalnya perlindungan konsumen industri jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan (SSK). Pentingnya Undang-Undang OJK tidak cukup dilihat dari kacamata normatif, tetapi harus dikaji secara filosofis agar dapat memberi penjelasan mengenai gejala-gejala fisik atau sosial yang menjadi dasar perumusannya. Kajiannya harus melebihi substansi hukumnya sendiri, agar dapat memahami ” law behind law ” dari Undang-Undang OJK dan memahami alasan hukum yang mendasari Undang-Undang OJK. Cara pandang demikian itu yang membuat orang terhindar dari penafsiran hukum ”legalistik” atau ” black letter rules ” . Dalam konsideran Undang-Undang OJK dikatakan, bahwa untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, diperlukan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, diperlukan otoritas jasa keuangan yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara terpadu, independen, dan akuntabel. Hal tersebut masih relevan dengan ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang- Undang OJK setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25/PUU-XII/2014 menyatakan sebagai berikut: ”Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini”. Alasan dasar yang melatarbelakangi perubahan sistem pengawasan terhadap sektor jasa keuangan oleh OJK adalah perkembangan di sektor jasa keuangan 105 yaitu terjadinya konvergensi di antara lembaga-lembaga keuangan dan produk-produk jasa keuangan. Beberapa alasan yang memicu dilakukan perubahan terhadap kelembagaan pengawasan sektor jasa keuangan adalah: Pertama, munculnya konglomerasi keuangan dan mulai diterapkan universal banking di banyak negara. Kondisi ini menyebabkan regulasi yang didasarkan atas sektor keuangan menjadi tidak efisien karena gap dalam regulasi dan supervisi. Kedua, stabilitas sistem keuangan telah menjadi isu utama bagi lembaga pengawas (dan lembaga pengawas) yang awalnya belum memperhatikan masalah stabilitas sistem keuangan, mulai mencari struktur kelembagaan yang tepat untuk meningkatkan stabilitas sistem keuangan. Ketiga, kepercayaan dan keyakinan pasar terhadap lembaga pengawas menjadi komponen utama good governance . Untuk meningkatkan good governance pada lembaga pengawas jasa keuangan, banyak negara melakukan revisi struktur lembaga pengawas jasa keuangannya. Kehadiran OJK dalam rangka penataan sistem pengawasan industri keuangan tersebut harus memberikan manfaat kepada berbagai pihak, khususnya masyarakat, agar misalnya masyarakat secara maksimum memperoleh manfaat atau kebahagiaan dalam kegiatannya dalam industri jasa keuangan. Jeremy Bentham pelopor aliran utilitarian mengajarkan, bahwa yang menjadi dasar pengambilan keputusan etis dengan mempertimbangkan manfaat terbesar bagi banyak pihak sebagai hasil akhir dari tindakan atau kebijaksanaan tersebut atau the greatest happiness for the greatest numbers (Jeremy Bentham, ” An Introduction to the Principle of Moral and Legislation ”, 2000) Oleh karena itu, kewenangan OJK paling tidak meliputi lima sasaran. Pertama, melindungi investor untuk membangun kepercayaan terhadap pasar. Kedua, memastikan bahwa pasar yang terbentuk adalah pasar yang fair, efisien, dan transparan. Ketiga, mengurangi risiko sistemik. Keempat, melindungi lembaga keuangan dari penyalahgunaan atau malpraktek dari konsumen (seperti money laundering). Kelima, menjaga kepercayaan konsumen dalam sistem keuangan (Kenneth Kaoma Mwenda, ” Legal Aspects of Financial Services Regulation and the Concept of a Unified Regulator ” 2006). 106 Dalam dunia praktek, peroblema pokok yang lebih mendesak adalah problema metode yang memungkinkan penegak hukum sampai pada keseimbangan dan penilaian keseimbangan-keseimbangan dimaksud. Oleh karena itu, perlu menentukan situasi-situasi yang merupakan cara standar berfungsinya Undang-Undang OJK sebagai primary rule . H.L.A Hart mengatakan, bahwa jika pedoman-pedoman umum primer tidak dipatuhi oleh seorang individu, petugas bisa mengingatkan orang itu dan meminta agar undang-undang itu dipatuhi atau ketidakpatuhannya bisa secara resmi diidentifikasi dan dicatat lalu diberlakukan hukuman yang dikenakan padanya oleh pengadilan. Pentingnya peran sebuah struktur regulasi OJK membentuk kepercayaan dari pelaku pasar. Kepercayaan dari konsumen dan investor akan terbentuk apabila sebuah struktur regulasi dapat mengontrol penyalahgunaan pasar, seperti insider trading, money laundering atau jenis kejahatan keungan lainnya. Investor mempunyai kecenderungan untuk meletakkan investasinya pada pasar yang dapat mencapai objektif-objektif regulasi untuk melindungi mereka dari resiko. Sehingga, apabila ada peraturan yang jelas terhadap industri jasa keuangan, pelaku pasar dan investor melalui cara seperti effective Chinese walls dan kode etik yang jelas, pasar akan cenderung terlindungi dari pelaku penyalahgunaan dari pelaku pasar. Dapat dipahami mengapa pembuat undang-undang memberikan kewenangan penyidikan kepada OJK sebagaimana diamanatkan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c Undang-Undang OJK. Kewenangan OJK dalam penyidikan tersebut akan membuat penyidikan perkara yang jelas dan objektif, sehingga check and balances dari jalannya sebuah penyidikan dapat dengan mudah dilakukan dan diukur. OJK mempunyai standar pemeriksaan hingga penyidikan yang mengacu kepada KUHAP. Hal itu menjamin kepastian hukum dan menjaga agar masalah yang ada dapat diselesaikan secepat mungkin. Mengingat, bahwa sektor keuangan sangatlah dinamis. Keterlambatan penaganan atau proses yang terlalu berkepanjangan dapat menimbulkan permasalahan sistemik dan menimbulkan efek domino. Pengaturan standar penyidikan yang diatur dalam Peraturan OJK telah memenuhi unsur kualitas dari hukum yang harus dipenuhi agar sistem 107 ekonomi berfungsi. Unsur tersebut menurut Leonard J. Theberge. Pertama, unsur ”stabilitas” (” stability ”), dimana hukum berpotensi untuk menjaga keseimbangan dan mengakomodasi kepentingan yang saling bersaing. Kedua, unsur ”meramalkan” (” predictability ”), berfungsi meramalkan akibat dari suatu langkah-langkah yang diambil. Akhirnya, termasuk unsur ”keadilan” (” fairness ”, diperlukan untuk menjaga mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang berlebihan (Leonard J. Theberge, ”Law and Economic Development”, 1980). Sebagai tambahan, pemberian kewenangan penyidikan kepada OJK tersebut tidak terlepas kaitannya sebagaimana diuraikan Jimly Asshiddiqie, bahwa berkembangnya demikian banyak lembaga-lembaga yang bersifat independen mencerminkan adanya kebutuhan untuk mendekonsentrasikan kekuasaan dari tangan birokrasi ataupun organ-organ konvensional pemerintahan tempat kekuasaan selama masa-masa sebelumnya terkonsentrasi. Sebagai akibat tuntutan perkembangan yang semakin kompleks dan rumit, organisasi- organisasi kekuasaan yang birokratis, sentralis, dan terkonsentrasi tidak dapat lagi diandalkan. Karena itu, pada waktu yang hampir bersamaan muncul gelombang deregulasi, debirokratisasi, privatisasi, desetralisasi, dan dekonsentrasi. Salah satu akibatnya, fungsi-fungsi kekuasaan yang biasanya melekat dalam fungsi-fungsi lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif dialihkan menjadi fungsi organ tersendiri yang bersifat independen. Karena itu, kadang-kadang lembaga-lembaga baru tersebut menjalankan fungsi-fungsi yang bersifat campuran, dan masing-masing bersifat independen (Jimly Asshiddiqie, Perkembangan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, 2006) Tepatlah, pembuat undang-undang memberikan kewenangan kepada OJK untuk melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan. Seperti kegiatan jasa keuangan di sektor-sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. Karena regulasi di bidang keuangan memang harus didesain untuk memberi keleluasaan untuk OJK dalam membentuk kebijakan yang tepat dan haruslah memberi ruang dan fleksibilitas kepada OJK sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan ekonomi. 108 Dengan demikian kewenangan OJK dalam penyidikan tersebut harus dapat operasional di lapangan, agar OJK dapat menanggulangi kejahatan dalam sektor keuangan. Mengingat, munculnya berbagai kejahatan, termasuk kejahatan crime as business, yang dilakukan secara terorganisir oleh mereka yang mempunyai pengetahuan yang cukup dan memiliki kedudukan terpandang dalam masyarakat ( organized crime, white collar crime ). KESIMPULAN Kewenangan penyidikan oleh OJK punya peranan penting dalam menanggulangi kejahatan di sektor keuangan karena sebagai pengawas memiliki pengetahuan dan pengalamaan tentang modus operandi kejahatan di industri jasa keuangan. Oleh karena itu, penyidik OJK dapat memenuhi budaya hukum ( legal culture ) sebagai sub-sistem yang sangat penting dalam penegakan hukum. Itu alasannya pemberian kewenangan penyidikan kepada OJK tidak perlu dikhawatirkan menimbulkan tumpang tindih kewenangan, akan tetapi malah menciptakan Multi Investigator System . Suatu sistem yang dapat menciptakan semangat kompetisi diantara institusi penyidik. Sistem Multy Investigator System telah diterapkan negara lain, seperti Amerika Serikat yang mengatur berbagai institusi sebagai penyidik dalam kasus pasar modal penyidiknya adalah SEC ( Securities and Exchange Commission ) dan penyidik kasus money laundering antara lain, DEA ( Drugs Enforcement Administration ) dan IRS ( Internal Revenue Service ). Dengan demikian pemberian kewenangan penyidikan kepada OJK oleh pembuat undang-undang perlu didukung, sehingga keberadaan OJK dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada industri jasa keuangan sebagai syarat mutlak terciptanya stabilitas sistem keuangan.
Atip Latipulhayat Permohonan Pengujian Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan Nomor 102/PUU-XVI/2018 ini, pada pokoknya mendalilkan bahwa pemberian kewenangan penyidikan kepada OJK, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK), bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. 109 Isu utama dalam permohonan pengujian ini adalah tentang hak penyidikan yang dimiliki oleh OJK. Sesuai dengan kompetensi dan keahliannya Ahli menyatakan persoalan ini akan di tinjau dari praktik-praktik negara dalam pembentukan lembaga pengawas jasa keuangan. Pembentukan lembaga pengawas jasa keuangan ( Financial Supervisory Agency ) tidak bisa dilepaskan dari krisis keuangan global yang terjadi pada periode 2007-2009. Imbas dari krisis tersebut mendorong negara-negara untuk menata ulang regulasi keuangan termasuk pembentukan lembaga pengawasannya. Perubahan dan modifikasi regulasi keuangan dan pengawasannya merupakan elemen utama untuk menciptakan pasar uang domestik dan internasional yang stabil di masa depan. Dengan alasan ini pula para pemimpin G20 bertemu di London (London Summit) pada bulan April 2009 untuk memperkuat sistem regulasi dan pengawasan pasar uang global. Memperkuat regulasi dan supervisi selalu memantik potensi konflik dengan kebebasan esensial dari pasar uang. Oleh karenanya selalu diperlukan suatu formula yang seimbang antara dua elemen tersebut. Ketegangan antara regulasi dan supervisi di satu pihak dan kebebasan pasar ( freedom of financial markets ) di pihak lainnya bukan merupakan fenomena baru dalam hukum keuangan ( financial law ). Yang merupakan elemen atau unsur yang baru baru adalah penguatan regulasi dan supervisi tersebut harus mempertimbangkan adanya kebutuhan kerjasama dan koordinasi internasional. Latar belakang di atas menunjukkan bahwa regulasi dan supervisi jasa keuangan tidak bisa dipisahkan dan selalu memiliki elemen-elemen internasional dan transnasional. Meskipun pada akhirnya struktur, bentuk, fungsi dan tujuan dari lembaga pengawas jasa keuangan merupakan jurisdiksi dan kewenangan domestik masing-masing negara, namun memiliki jangkauan dan efek extra territorial tertentu ( extraterritorial reach and effect ) termasuk juga bentuk kejahatannya ( financial crimes ). Jasa keuangan atau produk- produk pasar uang lainnya memiliki karakteristik apa yang disebut sebagai “ high ‘exit’ potentials ”. Dalam konteks ini regulasi dan supervisi jasa keuangan domestik akan masuk pada area kompetisi dengan negara lainnya untuk menampilkan regulasi dan lembaga jasa keuangan yang kredibel. Hal ini bisa 110 kita lihat misalnya rivalitas antara Frankfurt dan London untuk menjadi sebagai pusat keuangan terbaik di Eropa. Menurut Ahli tidak ada ketentuan internasional yang mengikat ( hard international law on regulation and supervision ) mengenai jasa keuangan, melainkan dalam wujud instrumen hukum yang tidak mengikat ( soft law ) dalam bentuk standardisasi. Dalam konteks ini, maka hukum internasional harus menghadirkan apa yang disebut sebagai ‘meta norms”, yaitu aturan yang memungkinkan adanya regulasi dan institusi keuangan yang kompetitif pada level domestik. Meta norms ini adalah produk dari kerjasama internasional yang menghasilkan semacam nilai-nilai pokok ( core values ) dalam pembentukan dan regulasi lembaga jasa keuangan. Berdasarkan “ core values ” dalam pembentukan lembaga jasa keuangan di berbagai negara dapat diketahui ada 4 tujuan utama dalam pembentukan lembaga tersebut, yaitu:
Keselamatan dan kesehatan lembaga keuangan ( safety and soundness of financial institutions ), 2. Mitigasi risiko sistemik ( mitigation of systemic risk ), 3. Keadilan ( fairness ) dan efisiensi pasar ( fairness and efficiency of markets ), 4. Perlindungan konsumen dan investor ( the protection of customers and investors ). Selain mengacu kepada tujuan pokok di atas, dalam membentuk lembaga pengawas jasa keuangan, negara-negara juga akan memperhatikan sistem hukum domestiknya, sejarah, politik, budaya, perkembangan ekonomi, dan budaya bisnis setempat (lokal). Negara-negara memiliki keragaman dalam regulasi dan supervisi jasa keuangannya. Secara teoritis paling tidak ada 4 pendekatan yang digunakan negara-negara dalam melakukan supervisi terhadap jasa keuangannya, yaitu:
Pendekatan institusional. Pendekatan ini berbasis pada status kelembagaan (misalnya, bank atau perusahaan asuransi). Kemudian ditentukan regulator mana yang memiliki wewenang untuk mengawasi aktivitas lembaga pengawas jasa keuangan tersebut baik keselamatan dan kesehatannya maupun dari segi perilaku bisnisnya. Negara yang menggunakan pendekatan ini antara lain China. 111 Lembaga Pengawas Jasa Keuangan China beroperasi dengan pendekatan institusional, tapi juga menggunakan beberapa elemen dari pendekatan fungsional. Sementara negara-negara lain sudah bergeser dengan menggunakan pendekatan ‘ integrated” ( integrated approach ) atau “ Twin Peaks ”, China tetap konsisten dengan pendekatan institusional. Negara lainnya yang menggunakan pendekatan ini adalah Mexico. Di negara tersebut ada tiga lembaga pemerintah yang bertugas untuk mengatur dan mengawasi lembaga keuangan yaitu: the National Banking and Securities Commission (CNBV), the National Insurance and Bond Companies Commission (CNSF), and the National Commission for the Retirement Savings System (CONSAR).
Pendekatan Fungsional. Pendekatan Fungsional menekankan kepada fungsi pengawasan dimana fungsi pengawasan tersebut ditentukan oleh aktivitas bisnis dari suatu entitas tanpa secara khusus mempertimbangkan status kelembagaan dari lembaga pengawas tersebut. Masing-masing aktivitas bisnis tersebut memiliki badan pengatur sendiri-sendiri. Negara yang menggunakan pendekatan ini antara lain adalah Italia. Di negara tersebut, pengaturan jasa keuangan diatur berdasarkan fungsinya menjadi 4 kategori: perbankan, investasi, manajemen aset, dan asuransi. Masing-masing memiliki lembaga pengawas dan aturannya. Sejak tahun 2004 terjadi perdebatan di Itali mengenai perlunya reformasi struktural dari lembaga pengawas keuangan. Reformasi tersebut mengarah kepada pendekatan “ Twin Peaks ”. Negara lainnya yang menggunakan pendekatan ini adalah Perancis. Meskipun pendekatannya lebih mendekati “ Functional Approach ”, sebagaimana halnya Italia, dalam beberapa hal juga mengadopsi elemen-elemen dari pendekatan “ Twin Peaks ”.
Pendekatan integrated . Pendekatan ini menggunakan satu lembaga pengawas (single universal regulator) untuk melaksanakan fungsi pengawasan baik untuk aspek keselamatan dan kesehatan dan perilaku bisnisnya untuk seluruh sektor jasa keuangan. Negara yang menggunakan pendekatan ini antara lain Inggris. Dengan pendekatan ini Inggris membentuk Financial Service 112 Agency (FSA) untuk mengatur dan mengawasi hampir semua urusan jasa keuangan di Inggris termasuk perbankan, sekuritas, dan asuransi. Ada 4 tujuan yang ingin dicapai:
. Menjaga kepercayaan pasar, meningkatkan kesadaran publik mengenai jasa keuangan, melindungi konsumen, dan mengurangi kejahatan dibidang keuangan. FSA juga memiliki kewenangan penyidikan ( investigatory ), penegakan hukum, dan penuntutan. Negara lainnya yang menggunakan pendekatan ini adalah Jerman dengan beberapa perbedaan dari praktik di Inggris. Di Jerman, pengawasan asuransi dipisah antara pemerintah federal dengan negara bagian. 4. Twin Peaks Pendekatan ini menekankan kepada pengaturan berbasis tujuan (objective). Ada pemisahan fungsi pengaturan antara dua regulator yaitu yang mengatur mengenai keselamatan dan kesehatan jasa keuangan dan yang mengatur mengenai perilaku bisnis. Negara yang menggunakan pendekatan ini antara lain Australia sejak tahun 1997 yang memisahkan “regulatory oevrsight” dengan “ conduct-of-business regulation ” ( separates prudential regulatory oversight from conduct-of-business regulation ). Negara lainnya yang menggunakan pendekatan ini adalah Belanda. Agak berbeda dengan Australia, Bank Sentral Belanda juga berperan mengawasi jasa keuangan termasuk perbankan, asuransi, dana pensiun, dan sekuritas [ the central bank (DNB) also serves as the prudential and systemic risk supervisor of all financial services, including banking, insurance, pension funds, and securities ]. Kesimpulan 1. Tidak ada model yang dapat dijadikan acuan yang sepenuhnya dapat memenuhi tujuan dan kepentingan pembentukan lembaga pengawas keuangan di suatu negara ( No single model may be optimal on a “one size fits all” basis for all jurisdictions ).
Ada perbedaan dan kondisi tertentu yang menjadikan pengaturan dan pengawasan jasa keuangan dilakukan dengan model dan pendekatan yang berbeda. Masing-masing memiliki tujuan dan fungsi tersendiri. Untuk masalah tertentu lebih pas diatur dan diawasi dengan model tertentu, 113 sedangkan masalah lainnya lebih tepat untuk diatur dengan kewenangan tertentu.
Pengertian “Supervisi” atau pengawasan harus dibedakan dari “Regulasi”. Supervisi atau pengawasan lebih menitikberatkan kepada penegakan terhadap atauran atau standar-standar yang ditetapkan ( the enforcement of regulatory standards ).
Pengertian “Supervisi” atau “Pengawasan” dalam arti luas tidak hanya mengawasi dalam pengertian administratif, melainkan termasuk penegakan hukumnya yang didalamnya termasuk juga kewenangan untuk melakukan penyidikan.
Pengertian “Supervisi” dalam arti luas digunakan oleh negara-negara misalnya Inggris dalam rangka memenuhi ke 4 (empat) tujuan utama pembentukan lembaga pengawas jasa keuangan.
Kewenangan penyidikan yang dimiliki oleh Otoritas Jasa keuangan Indonesia harus dipahami dan diletakkan dalam konteks pemenuhan tujuan utama pembentukan lembaga pengawas jasa keuangan. Saksi Presiden 1. Kombespol Dr. Warasman Marbun, S. H. Menurut Saksi, penyidik OJK adalah penyidik yang bekerja di sektor jasa keuangan, apabila ada hasil investigasi, baik itu investigasi dari perbankan, pasar modal, maupun hasil investigasi industri keuangan nonbank yang kemudian ditujukan kepada OJK untuk dilakukan pemeriksaan, sudah ada tim yang akan menangani. Tim tersebut akan melakukan ekspos, yang menghadirkan pihak-pihak terkait dengan hasil investigasi seperti Departemen Pemeriksa Jasa Otoritas Jasa Keuangan, Departemen Hukum, dan tidak menutup kemungkinan satker-satker lain dihadirkan. Dengan tujuan agar hasil investigasi yang ditemukan atau hasil yang ditujukan itu kepada OJK jelas, langkah selanjutnya dilakukan pemeriksaan atau penelaahan atau yang lebih tren dikalangan PPNS disebut dengan penelitian. Penelitian yang dilakukan oleh penyidik OJK hampir sama dengan kepolisian namun di Kepolisian lebih dikenal dengan istilah penyelidikan. Menurut Saksi, dari segi etimologi pengertian penelitian lebih luas. Langkah selanjutnya, setelah memperoleh hasil dari telaahan dari tim yang terdiri dari berbagai satker, maupun dari departemen-departemen itu, dilakukan 114 semacam gelar perkara. Maksud dan tujuan gelar perkara untuk memastikan bahwa semua tahapan dilakukan sesuai hasil investigasi, tidak dilakukan secara serampangan, dan tidak sembrono, sehingga benar-benar dilakukan secara profesional dan akuntabel, dan jika dilanjutkan sampai ke tingkat penyidikan, hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Menurut Saksi, sebenarnya disinilah awal penegakan hukum atau due process of law , penegak hukum dipersilahkan menegakkan hukum, namun tidak boleh salah, tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, tidak boleh bertentangan dengan hak asasi manusia. Sehingg sangat jelas, dalam tataran gelar perkara itu, dapat dilihat bagaimana pertanggungjawaban yang akan dihasilkan. Gelar perkara hyang dilakukan akan menghasilkan sebuah keputusan apakah akan dilaksanakan penyidikan atau tidak. Jika ditemukan bukti permulaan yang cukup adanya penyimpangan dalam sektor jasa keuangan makan akan dilaksanakan penyidikan, namun jika itu tidak ditemukan maka tidak dilaksanakan penyidikan. Kemudian timbul pertanyaan bagaimana proses penyidikan dilakukan, Sudah pasti, ada dasar hukumnya yang disebut dengan laporan kejadian tindak pidana sektor jasa keuangan. Kalau di kepolisian disebut laporan polisi, laporan polisi terdiri atas 2 model yaitu laporan polisi model A dan laporan polisi model B. Perbedaan kedua laporan itu yaitu laporan polisi model A dilaporkan oleh polisi sendiri karena terjadi dugaan pidana. Kalau laporan polisi model B itu adalah dilaporkan oleh masyarakat. Laporan polisi ini untuk PPNS atau lembaga-lembaga di luar kepolisian, istilahnya adalah laporan kejadian. Jika ada laporan kejadian dari hasil dari tindak pidana sektor jasa keuangan, maka diterbitkan apa yang disebut Sprindik, Sprindik di OJK dilakukan menggabungkan PPNS dengan penyidik kepolisian yang ada atau yang bertugas di OJK. Alasan mengapa digabungkan yang pertama, untuk efisiensi, kedua, untuk lebih efektivitas. Dengan penggabungan tersebut diharapkan menjadi lebih cepat, lebih tepat, lebih baik. Sehingga, tidak lagi nanti saling menunggu karena dapat langsung bertukar data, langsung saling memberikan keahlian, sesuai dengan wujud dari penyidikan itu. 115 Selanjutnya, dengan adanya putusan MK bahwa SPDP itu apabila sudah terbit Sprindik paling lambat 7 hari, sudah harus dikirim ke jaksa penuntut umum, SPDP itu, dan dikirim tembusannya kepada pelapor maupun terlapor. Kemudian, sambil mengumpulkan alat-alat bukti dan barang bukti, maka dilakukan gelar perkara kembali oleh tim penyidik tadi. Tujuannya untuk memeriksa apakah alat bukti yang dikumpulkan itu didukung dengan barang bukti sudah benar-benar terang-benderang. Seperti doktrin hukum pidana mengatakan, “ In criminalibus probantiones beden profeci clarioles.” Artinya, begitu penegak hukum pidana menemukan alat bukti maupun barang bukti, maka barang bukti itu harus lebih terang dari cahaya. Sehingga dalam menetapkan tersangka nanti, kualitas alat bukti itu bisa bernilai, dan memiliki hubungan dengan perkara tersebut. Gelar perkara dilakukan beberapa kali dengan tujuan agar bisa mendapatkan kepastian hukum yang paling bagus, khususnya menetapkan tersangka. Dalam penetapan tersangka ini pun dilihat lagi apakah sudah diperiksa dia sebagai calon tersangka. Hal ini sangat penting, tidak dapat secara langsung menetapkan seseorang menjadi tersangka sekalipun didukung barang bukti yang kuat, calon tersangka ini harus diperiksa dulu sebagai saksi. Gunanya untuk calon terangka tersebut dapat menerangkan kejadiannya baik untuk dirinya sendiri, maupun untuk di luar sendiri. Sehingga nanti kelihatan dalam gelar perkara, apakah ditemukan alat bukti, kemudian didukung barang bukti melalui tahapan bukti permulaan yang cukup, bukti yang cukup dimaknai dua alat bukti. Dengan adanya penyidik polri yang bergabung dengan PPNS menjadi satu dalam satu rumah, penegakan hukum yang ditangani menjadi kuat, efektif, dan efisien, sehingga dalam penanganan perkara tidak mengalami kemunduran, keterlambatan, ataupun jeda waktu yang sangat lama. Jika dilihat dari KUHAP itu sampai sejauh mana batasan penyidikan, jawabannya tidak ada batasannya. Sehingga kadang-kadang sebuah perkara ulang tahun tiga kali, dalam arti tidak dapat diselesaikan dalam waktu tiga tahun. Menurut saksi, perlu adanya koordinasi, kerja sama terutama dalam satu tim, sehingga penanganan kasusnya itu berjalan baik. Jika kasusnya tidak dapat dibuktikan, maka dapat langsung dihentikan. Penghentian ini akan diberitahukan kepada pelapor, diberitahukan juga 116 kepada tersangka apabila sudah terlanjur ditetapkan tersangka, sehingga keadilan kepastian hukum itu menjadi bermanfaat bagi siapapun atau pencari keadilan. Jika ada yang menanyakan siapa yang berhak menerbitkan Sprindik dan asiapa yang berhak yang menerbitkan SPDP dan, jawabanya sebagai berikut sprindik lahir dari laporan kejadian tindak pidana sektor jasa keuangan yang dibuat oleh tim gabungan Penyidik OJK dengan Kepolisian. Kemudian, berdasarkan sprindik itu diterbitkanlah SPDP. Yang menerbitkan SPDP adalah penyidik OJK, Penyidik OJK mengirimkan SPDP ke Kejaksaan, paling lambat 7 hari, yang ditembuskan kepada pelapor maupun terlapor. Jika terjadi praperadilan, gugatannya dilayangkan kemana, jawabannya sudah pasti ke OJK karena penyidiknya ada di sana. Jadi, supaya tidak error in objec t, tidak salah alamat, ditujukan ke penyidik OJK. Untuk Tindak pidana sektor jasa keuangan, apabila itu dilaporkan ke kepolisian, jika dilaporkan ke Mabespolri maupun ke Polda akan ditangani oleh dir eksus (direktorat eksus). Sehingga tidak ada tumpang-tindih, tidak ada overlap karena tergantung dari mana laporannya itu. Kalau masyarakatnya lapor ke polisi, maka akan ditangani polisi. Kalau lapor ke OJK, akan ditangani oleh penyidik OJK. Bagaimana sinergitasnya agar supaya tidak tumpang-tindih disinilah pentingnya nota kesepahaman antara lembaga Polri maupun OJK. Dengan demikian, ya, penanganan perkaranya tergantung dari mana sumber penanganan perkara itu. Karena sumber-sumber menangani perkara dugaan pidana itu banyak. Dapat berdasarkan laporan, berdasarkan pengaduan, berdasarkan kalau umum tertangkap tangan, bisa karena surat, atau bisa karena SMS, bisa. Tapi nanti ditindaklanjuti dengan bukti tulisan. Jadi, inilah semua dasarnya untuk menindaklanjuti, apakah terjadi terutama dugaan penyimpangan, terutama mungkin indikasi tindak pidana di sektor jasa keuangan. Terhadap pernyataan yang menyatakan dengan adanya penyidik OJK menyebabkan kewenangan penyidik kepolisian berkurang. Menurut Saksi kewenangan penyidik kepolisian tidak berkurang, justru sebaliknya seharusnya penanganan tindak pidana di sektor jasa keuangan menumpuk di kepolisian, namun karena ada lembaga OJK yang mempunyai kewenangan khusus di bidang penyidikan penumpukan tindak pidana di sektor jasa keuangan di kepolisian tidak akan terjadi. 117 Sekarang terserah masyarakat, terserah masyarakat yang dirugikan mau lapor kemana mau ke Kepolisian maupun ke OJK. Bila perlu ketika gelar perkara akan saling mengundang. Bagaimana nanti pembuktiannya, bagaimana korelasi perbuatan dengan dugaan tindak pidana. Menurut Saksi, rekan-rekan dari OJK ini sangat berpengalaman di bidang otoritas jasa keuangan. Dari mana uang itu dapat, mau dikemanakan uang itu, lalu bagaimana mempermainkan uang ini sesuai dengan ketentuan, merekalah ahlinya. Bagaimana profesionalitas dari penyidik Polri terkait perbankan, keuangan, dan sebagainya. Profesionalitas itu harus didukung dengan SDM, terutama kemampuan hukum yang bagus di bidang keuangan agar penyidik ini lebih eksis, lebih akuntabel, lebih bisa memerankan hukum, menerapkan hukum yang adil, menerapkan hukum yang benar. Saksi berasal dari divisi hukum kepolisian, Saksi mengetahui divisi hukum dapat melakukan gelar perkara karena Pasal 69 sampai Pasal 74 Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 mengatur mengenai gelar perkara. Jadi, segala perkara, terutama yang dikomplain oleh pendumas[ Sic! ] itu selalu digelar di Biro Wassidik Mabes Polri. Jadi, sudah banyak sekalit pengalaman di dalam gelar perkara secara praktisi. Lalu agar kinerja ini bersinambungan dengan baik, dibuatlah MoU. Kemudian, dalam membuat MoU itu walaupun pengagas para pihak, namun Divisi Hukum Polri adalah pintu gerbang untuk membuat atau merancang yang disebut nota kesepahaman, atau perjanjian kerja sama, atau perjanjian kesepakatan. Selain bertugas di divisi hukum Kepolisian, Saksi juga sebagai pengajar atau dosen di Diklat Reserse Megamendung, khususnya mengajar mata kuliah perundang-undangan keterkaitan dengan penyidikan. Menurut Saksi, ada kurang- lebih 62 undang-undang yang mengatur tentang penyidikan, pengatur tentang materi ketentuan pidana. Jadi, dengan adanya data-data ini, Saksi mengetahui bagaimana korelasi atau kaitan-kaitan yang ditangani oleh penyidik di OJK. Mulai dari Tahun 2016 sampai dengan sekarang, kurang-lebih ada 23 kasus yang ditangani.
Johansyah Saksi adalah Pemimpin Divisi Hukum di PT Bank Negara Indonesia Persero Tbk, yang merupakan salah satu BUMN yang bergerak di bidang keuangan dan 118 tergabung di dalam Himbara. Himbara adalah badan hukum perkumpulan yang beranggotakan bank-bank milik negara yang antara lain beranggotakan bank-bank yang terdiri atas BNI, BTN, Bank Mandiri, dan Bank Rakyat Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa saat ini perkembangan perekonomian salah satu pranata kuncinya adalah sektor jasa keuangan dan kecenderungannya semakin mengarah ke arah globalisasi. Tentunya dengan kondisi ini memerlukan pengaturan, pengawasan yang sifatnya terintegrasi oleh sebuah lembaga, oleh sebuah otoritas yang dianggap objektif dan profesional itu niscaya diperlukan untuk menumbuhkembangkan kepercayaan dan keyakinan, bukan hanya dari para pelaku industri itu sendiri, tetapi juga dari para masyarakat pengguna jasa sektor keuangan. Saksi sebagai bagian dari Himbara menyatakan rumusan ketentuan mengenai penyidikan yang ada di dalam Undang-Undang OJK ini, baik dari sisi hukum materiilmaupun dari sisi hukum formilnya, sudah memberikan kepastian. Dalam artian bahwa dalam bidang perbankan, tindak pidana yang dapat disidik oleh OJK, hanya terbatas tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang OJK. Menurut Saksi, rumusan di Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang OJK, memuat mengenai penyidik OJK yang dalam melaksanakan tugas/wewenangnya merujuk kepada KUHAP. Sehingga menurut Saksi, OJK dalam menjalankan tugasnya sebagai penyidik mengacu pada ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang- Undang OJK itu sendiri. Namun jika tidak diatur tersendiri atau khusus dalam Undang-Undang OJK, maka akan mengacu kepada KUHAP sebagai lex generalis- nya. Selanjutnya Saksi menyatakan bahwa selain memiliki kewenangan penyidikan, OJK juga memiliki kewenangan selaku pengawas, yaitu pengawasan terhadap operasional jasa keuangan, termasuk di dalamnya pengawasan terhadap perbankan. Menurut kewenangan ini, dalam praktiknya mempermudah untuk mengindentifikasi hal-hal yang kemudian bisa dianggap sebagai tindak pidana. Berdasarkan pengalaman, Saksi mengetahui bahwa sudah ada memorandum atau nota kesepahaman antara kepolisian dengan OJK tentang bagaimana penyidikan itu dilakukan. Dalam praktik yang Saksi alami, dalam bidang perbankan pada saat penyidik Polri masuk menyidik suatu perkara dan kebetulan perkara tersebut sebelumnya sudah pernah diselidiki oleh OJK, 119 biasanya akan informasikan bahwa perkara ini sudah pernah masuk dalam area penyidikan di OJK ataupun sebaliknya. Dan terhadap hal-hal seperti itu, penyidik kepolisian akan mencatat keterangan itu dan biasanya akan dipertimbangkan di dalam pada saat gelar perkara. Proses penyidikan yang dilakukan oleh OJK, khususnya proses penyelidikannya, didahului dengan pemanggilan untuk memberikan bukti-bukti atau dokumen-dokumen tertulis. Proses diskusinya dapat dilakukan lebih awal dan proses ini melibatkan pengawas, sehingga, dapat langsung mengklarifikasi bagian yang dipertimbangkan oleh penyidik seperti misalnya area business judgment . Saksi melihat bahwa proses penyidikan yang dilakukan oleh OJK sudah mempertimbangkan banyak aspek seperti keterangan, dan posisi permasalahan, ataupun fakta yang perbankan sampaikan. Menurut saksi, melihat bahwa tidak ada hal yang memberikan ruang atau celah yang kami merasa bahwa ini hal-hal yang belum memberikan jaminan kepastian buat kami di industri keuangan maupun buat kami di praktiksi di lembaga keuangan. Saksi meyakini bahwa hukum pidana ini adalah ultimum remedium, selaku Pemimpin Divisi Hukum di BNI, salah satu tugas pokok-pokok dan fungsinya adalah menangani permasalahan-permasalahan dan perkara-perkara hukum, termasuk di antaranya perkara pidana. Dan salah satu perkara pidana yang pernah Saksi tangani adalah hasil penyelidikan yang dilakukan oleh pihak OJK. Saksi melihat dan mencermati prosesnya mulai dari surat panggilan yang disampaikan, tindak pidana yang tegas disebutkan bahwa tindak pidana yang dilakukan proses penyelidikan ini adalah tindak pidana perbankan, tidak memasukkan hal-hal lain di luar Undang-Undang Perbankan. Saksi meyakini bahwa tindak pidana yang dimasukkan sebagai hukum materi penyidikan OJK terbatas pada Undang-Undang Perbankan itu sendiri. Mengenai surat panggilan, Saksi mengetahui bahwa dasar-dasar pemanggilan yang OJK lakukan itu didasarkan pada KUHAP. Kemudian, proses yang Saksi alami pada saat menghadiri pemanggilan, menyampaikan bukti-bukti, masih bersesuaian dan sejalan dengan apa yang diatur di dalam ketentuan yang diatur di dalam KUHAP. Saksi merasa bahwa dalam proses penyelidikan yang dilakukan itu tidak ada hal yang menjadi tidak jelas, atau tidak pasti. 120 [2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat telah menyampaikan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 26 Februari 2019, yang pada pokoknya sebagai berikut: A. KETENTUAN UU OJK YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN TERHADAP UUD TAHUN 1945 Bahwa para Pemohon dalam permohonan a quo mengajukan pengujian ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK yang berketentuan sebagai berikut: Pasal 1 angka 1 UU OJK: Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain , yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Berdasarkan Putusan MK Nomor 25/PUU-XII/2014 Ketentuan Pasal 1 angka 1 UU OJK berubah menjadi: Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disebut OJK adalah lembaga yang independen yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Pasal 9 huruf c UU OJK: Untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, _OJK mempunyai wewenang: _ c. melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. 121 B. HAK DAN/ATAU KEWENANGAN KONSTITUSIONAL PARA PEMOHON YANG DIANGGAP DIRUGIKAN OLEH BERLAKUNYA PASAL 1 ANGKA 1 DAN PASAL 9 HURUF C UU OJK Bahwa para Pemohon dalam permohonannya mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya ketentuan pasal- pasal a quo sebagaimana dikemukakan dalam permohonannya yang pada intinya:
Bahwa frasa “dan penyidikan” dalam Pasal 1 angka 1 dan frasa “penyidikan” dalam Pasal 9 huruf c UU OJK dianggap merugikan Para Pemohon. Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV yang berprofesi sebagai dosen dan khusus Pemohon I yang merangkap dosen sekaligus advokat berpendapat bahwa mereka memilikikedudukan hukum yang dirugikan khususnya jika dilihat secara keilmuan hukum pidana . Sebagaimana dipelajari dan didalami oleh Para Pemohon dalam pemberian criminal justice system di Indonesia, yang juga sebagai negara yang mendeklarasikan diri sebagai negara hukum, maka asas due process of law merupakan proses yang harus dijalankan oleh negara cq aparat hukum yang telah diatur dalam KUHAP namun justru Para Pemohon beranggapan hal tersebut diabaikan oleh berlakunya UU OJK. (Vide perbaikan permohonan hlm. 8). 2. Bahwa selain Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, dan Pemohon IV yang berperan sebagai dosen, terdapat Pemohon V dan Pemohon VI yang berprofesi sebagai karyawan swasta yang juga beranggapan mengalami kerugian karena saat ini sedang menjalani masa tahanan sebagai pihak yang disangka melakukan tindak pidana dalam sektor jasa keuangan. Menurut Pemohon V dan Pemohon VI, hal ini disebabkan adanya tindakan sewenang- wenang dalam penyidikan OJK yang membuat pelaku usaha menjadi terhenti usahanya serta masyarakat menjadi tidak terlayani. (Vide perbaikan permohonan hlm. 12) Bahwa para Pemohon dalam permohonannya mengemukakan bahwa ketentuan dalam Undang-Undang a quo bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sebagai berikut:
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 __ “Negara Indonesia adalah negara hukum.” 122 2. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Bahwa berdasarkan uraian-uraian permohonannya, para Pemohon dalam Petitumnya memohon kepada Majelis Hakim sebagai berikut:
Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan Pasal 1 angka 1 terhadap kata “dan penyidikan” Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5.253) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
Menyatakan Pasal 9 huruf c terhadap kata “penyidikan” Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5.253) bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau apabila Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aquo et bono) . C. KETERANGAN DPR RI Terhadap dalil para Pemohon sebagaimana diuraikan dalam perbaikan permohonan a quo , DPR RI dalam penyampaian keterangannya terlebih dahulu menguraikan mengenai kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon sebagai berikut:
Kedudukan Hukum ( legal standing ) para Pemohon Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh para Pemohon sebagai Pihak telah diatur dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK), yang menyatakan bahwa “ Para Pemohon adalah 123 pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya _dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: _ _a. perorangan warga negara Indonesia; _ b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik _Indonesia yang diatur dalam undang-undang; _ _c. badan hukum publik atau privat; atau _ d. lembaga negara”. Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud ketentuan Pasal 51 ayat (1) tersebut, dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan “ hak konstitusional ” adalah “ hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 .” Ketentuan Penjelasan Pasal 51 ayat (1) ini menegaskan, bahwa hanya hak-hak yang secara eksplisit diatur dalam UUD 1945 saja yang termasuk “ hak konstitusional ”. Oleh karena itu, menurut UU MK, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai para Pemohon yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
Kualifikasinya sebagai para Pemohon dalam permohonan a quo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud dalam “Penjelasan Pasal 51 ayat (1)” dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang a quo . Mengenai batasan kerugian konstitusional, Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang harus memenuhi 5 (lima) syarat (vide Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 011/PUU-V/2007) yaitu sebagai berikut:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; 124 b. bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Jika kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh para Pemohon dalam perkara pengujian Undang-Undang a quo , maka para Pemohon tidak memiliki kualifikasi kedudukan hukum ( legal standing ) sebagai Pemohon. Bahwa terhadap kedudukan hukum (Legal Standing) Pemohon, DPR RI memberikan pandangan dengan berdasarkan 5 (lima) batasan kerugian konstitusional sebagai berikut:
Terkait dengan adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; Bahwa Para Pemohon mendalilkan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan melalui Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 pada intinya mengatur bahwa Indonesia adalah negara hukum. Adapun Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 mengatur bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tidak tepat dipertentangkan dengan ketentuan pasal a quo UU OJK karena ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tidak mengatur hak asasi manusia tetapi mengamanatkan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Bahwa terkait dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang dijadikan batu uji oleh para Pemohon, dalam perbaikan permohonan a quo , para Pemohon tidak menjelaskan dan tidak 125 dapat membuktikan adanya keterkaitan antara Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dengan pasal a quo UU OJK. Bahwa adapun Para Pemohon beranggapan adanya tumpang tindih kewenangan penyidik Polri, KPK dan OJK adalah tidak berdasar, karena dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP mengatur mengenai penyidik pejabat pegawai negeri sipil selain pejabat Polri. Dengan demikian, hak konstitusional yang dijadikan batu uji oleh para Pemohon sama sekali tidak ada relevansinya dengan ketentuan pasal a quo UU OJK. __ b. Terkait dengan hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon tersebut dianggap oleh para Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji; Bahwa Para Pemohon mendalilkan ketentuan pasal a quo UU OJK telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam proses penanganan tindak pidana di sektor Jasa Keuangan akibat adanya tumpang tindih kewenangan antara penyidik Polri, KPK, dan OJK ( vide perbaikan permohonan hal. 24). Bahwa terhadap dalil para Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan bahwa kerugian yang didalilkan Para Pemohon tersebut terkait dengan adanya tumpang tindih kewenangan penyidik antara Polri, KPK, dan OJK yang menimbulkan ketidakpastian hukum adalah anggapan yang tidak berdasar, karena ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP menyatakan penyidik adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi kewenangan khusus oleh undang-undang. Bahwa dengan demikian kerugian yang didalilkan para Pemohon hanya bersifat asumsi karenanya kerugian tersebut bukan akibat dari berlakunya ketentuan pasal a quo UU OJK yang dimohonkan pengujian.
Terkait dengan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; Bahwa Pemohon I sampai dengan Pemohon IV yang berprofesi sebagai dosen/advokat merasa dirugikan dengan adanya frasa “dan penyidikan” dalam Pasal 1 angka 1 dan frasa “penyidikan” dalam Pasal 9 126 huruf c UU OJK. Selanjutnya Pemohon V dan Pemohon VI yang berprofesi sebagai karyawan swasta yang juga beranggapan mengalami kerugian karena saat ini sedang menjalani masa tahanan sebagai pihak yang disangka melakukan tindak pidana dalam sektor jasa keuangan. Bahwa terhadap dalil para Pemohon, DPR RI berpandangan sebagaimana dikemukakan, tidak terdapat relevansi antara ketentuan pasal a quo UU OJK dengan UUD 1945 dan tidak terdapat kerugian konstitusional. Artinya kerugian yang didalilkan para Pemohon tidak disebabkan oleh karena berlakunya ketentuan pasal UU a quo . Bahwa kerugian yang didalilkan para Pemohon tersebut kabur dan tidak bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau tidak bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. DPR RI juga berpandangan bahwa Pemohon I sampai dengan Pemohon IV dalam kedudukannya sebagai dosen seharusnya mampu menjelaskan kepada mahasiswa bahwa adanya wewenang OJK tersebut merupakan hal yang wajar dalam perkembangan penegakan hukum pidana, dimana dalam tindak pidana khusus tertentu diperbolehkan dibentuk penyidik selain pejabat Polri (dalam hal ini OJK) yang dapat diberikan wewenang sesuai dengan undang-undang yang mengaturnya. Bahwa berdasarkan UU a quo , pembentukan OJK dilatarbelakangi karena banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard , belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan semakin mendorong diperlukannya pembentukan lembaga pengawasan di sektor jasa keuangan yang terintegrasi. Bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan kembali struktur pengorganisasian dari lembaga-lembaga yang melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan. Pengaturan dan pengawasan terhadap keseluruhan kegiatan jasa keuangan harus dilakukan secara terintegrasi. Oleh karenanya OJK diberi kewenangan untuk melaksanakan tugasnya dengan didukung keahlian khusus di bidang jasa keuangan. 127 Bahwa adanya salah satu wewenang penyidikan pada OJK diberikan untuk menjamin penegakan hukum pidana di sektor jasa keuangan sehingga tujuan dibentuknya OJK adalah agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan:
terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel dapat terwujud;
mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat ( vide Pasal 4 UU OJK). Dengan demikian, DPR RI berpandangan bahwa kerugian para Pemohon tidak bersifat spesifik dan tidak aktual, serta tidak bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
Terkait dengan adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang didalilkan Para Pemohon dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; Bahwa sebagaimana dikemukakan pada huruf a, b, c tersebut para Pemohon tidak memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional dalam pengujian UU a quo dan para Pemohon tidak mengalami kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran wajar dapat dipastikan akan terjadi. Bahwa atas dasar hal tersebut, sudah dapat dipastkan tidak ada hubungan sebab akibat antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan pasal yang dimohonkan pengujian. Bahwa para Pemohon tidak memiliki kepentingan hukum dalam norma mengenai pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan yang dilakukan oleh OJK, seperti Lembaga Jasa keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. Bahwa atas dasar itu para Pemohon tidak mengalami kerugian konstitusional yang terjadi karena pasal-pasal a quo . Bahwa Pemohon V dan Pemohon VI juga mendalilkan mengalami kerugian karena adanya wewenang penyidikan OJK terhadap kedua Pemohon yang disangka melakukan tindak pidana dalam sektor jasa 128 keuangan. DPR berpandangan bahwa hal tersebut merupakan permasalahan implementasi norma, bukan konstitusionalitas norma. Sehingga dengan demikian, kerugian yang didalilkan Pemohon V dan Pemohon VI tidak memiliki hubungan sebab akibat (causal verband) dengan pasal-pasal a quo . Bahwa ketentuan pasal a quo UU OJK tidak merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon, sebaliknya, ketentuan pasal a quo UU OJK telah memberikan jaminan kepastian hukum kepada para Pemohon sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Terkait dengan adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; Bahwa sebagaimana uraian di atas, tidak jelas apa kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang dialami oleh para Pemohon yang diasumsikan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Para Pemohon dalam menguraikan kerugiannya yang disebabkan pasal a quo hanyalah berdasarkan asumsi-asumsi subjektif, tidak menyangkut kepentingan umum dalam penegakan hukum pidana. Fungsi tersebut bagi OJK tentu dianggap penting, jika Permohonan para Pemohon dikabulkan justru akan merugikan kewenangan konstitusional pihak-pihak terkait lainnya dan merugikan kepentingan penegakan hukum pidana sektor perbankan bagi masyarakat. Bahwa karena tidak ada hubungan sebab akibat ( causal verband ) maka sudah dapat dipastikan bahwa pengujian a quo tidak akan berdampak apapun pada para Pemohon. Dengan demikian menjadi tidak relevan lagi bagi Mahkamah Konsitusi untuk memeriksa dan memutus permohonan a quo , karena para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan pokok perkara. Bahwa terkait dengan kedudukan hukum ( legal standing) para Pemohon, DPR RI juga memberikan pandangan sesuai dengan Putusan MK Nomor 22/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam Sidang Pleno MK 129 terbuka untuk umum pada hari tanggal 15 Juni 2016, yang pada pertimbangan hukum [3.5.2] MK menyatakan bahwa: …Dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’interest, point d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “tiada gugatan tanpa hubungan hukum” (no action without legal connection. Berdasarkan pada hal-hal yang telah disampaikan tersebut, DPR RI berpandangan bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, serta tidak memenuhi persyaratan kerugian konstitusional yang diputuskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu. Bahwa para Pemohon dalam permohonan a quo tidak menguraikan secara konkrit mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusionaInya yang dianggap dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, utamanya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian hak, kewenangan konstitusionaInya dan/atau adanya keterkaitan logis dan causal verband yang ditimbulkan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji tersebut. Berdasarkan pada hal-hal yang telah disampaikan tersebut, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK, Putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005, dan Putusan Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional.
Pengujian Atas Ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK Terhadap dalil-dalil yang dikemukakan para Pemohon, DPR RI berpandangan dengan memberikan keterangan/penjelasan sebagai berikut: 130 a. Pandangan Umum 1) Bahwa Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 berketentuan “Indonesia adalah Negara Hukum. ” Jimly Asshiddiqie menyebut bahwa gagasan Negara Hukum dibangun dengan mengembangkan perangkat hukum itu sendiri sebagai suatu sistem yang fungsional dan berkeadilan, dikembangkan dengan menata supra struktur dan infra struktur kelembagaan politik, ekonomi dan sosial yang tertib dan teratur, serta dibina dengan membangun budaya dan kesadaran hukum yang rasional dan impersonal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Untuk itu, sistem hukum itu perlu dibangun (law making) dan ditegakkan (law enforcing) sebagaimana mestinya. (Jimly Asshiddiqie, Gagasan Negara Hukum Indonesia dalam http: //www.jimly.com/makalah/namafile/135/Konsep_Negara_Hukum_I ndonesia.pdf, hlm. 1) 2) Bahwa Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 berbunyi, “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum ”. Ketentuan tersebut sudah jelas menegaskan bahwa setiap orang termasuk para Pemohon mendapatkan perlindungan jaminan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum. Bahwa berlakunya ketentuan pasal a quo UU OJK justru memberikan jaminan kepastian hukum dan perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana yang dituangkan dalam tujuan pembentukan OJK yang tertuang dalam ketentuan Pasal 4 UU OJK yang menyatakan OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:
terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.
Bahwa sebagai bentuk pengejawantahan negara hukum dan pentingnya pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, dibentuk UU OJK. Pembentukan UU OJK dilakukan untuk melancarkan tugas, 131 fungsi, dan tujuan dibentuknya OJK agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Dengan tujuan ini, OJK diharapkan dapat mendukung kepentingan sektor jasa keuangan nasional sehingga mampu meningkatkan daya saing nasional. Selain itu, OJK harus mampu menjaga kepentingan nasional, antara lain, meliputi sumber daya manusia, pengelolaan, pengendalian, dan kepemilikan di sektor jasa keuangan, dengan tetap mempertimbangkan aspek positif globalisasi. Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dan dilandasi dengan prinsip-prinsip tata kelola yang baik, yang meliputi independensi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, transparansi, dan kewajaran (fairness) .
Pandangan terhadap Pokok Permohonan 1) Bahwa para Pemohon mendalilkan bahwa ketentuan pasal-pasal a quo UU OJK telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam proses penanganan tindak pidana di sektor jasa keuangan akibat adanya tumpang tindih kewenangan antara pejabat Polri, KPK, dan OJK. ( vide Perbaikan Permohonan hal. 24). Bahwa terhadap dalil Para Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan sebagai berikut: a) Bahwa OJK diberi kewenangan khusus untuk melakukan penyidikan melalui Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengawasan sektor jasa keuangan. Bahwa adanya wewenang penyidikan oleh OJK merupakan hal lazim dan tidak bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menjamin bahwa Indonesia adalah negara hukum, serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengatur mengenai hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil . b) Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (2) KUHAP, penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b (PPNS) 132 mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a (Polri). Pengaturan mengenai penyidikan pada OJK muncul karena tindak pidana atau hal-hal yang menyangkut pelanggaran pidana atau tindak pidana di sektor jasa keuangan yang kompleks, dinamis, dan saling terkait antar-subsektor keuangan, baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Bahwa adanya kekhususan tersebut, maka permasalahan di sektor jasa keuangan perlu ditangani secara hati- hati oleh orang yang khusus dan ahli di bidangnya. Namun kewenangan tersebut tetap dilakukan di bawah koordinasi dan pengawasan kepolisian yang memiliki tugas penyidikan. Keberadaan PPNS OJK telah sesuai dengan tujuan dibentuknya UU OJK dan dibahas berulangkali dalam pembahasan pembentukan UU OJK (vide risalah pembahasan UU OJK). c) Bahwa sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (1) UU OJK, wewenang khusus sebagai PPNS OJK dilakukan sebagaimana diatur dalam KUHAP. Mengenai hal tersebut, di dalam KUHAP telah diatur bagaimana penyidikan yang dilakukan oleh PPNS agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan penyidikan dengan penyidik Polri, yang diatur antara lain: • Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b (PPNS) mempunyai wewenang sesuai dengan undang- undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a (Polri) (vide __ Pasal 7 KUHAP) • Untuk kepentingan penyidikan, penyidik Polri memberikan petunjuk kepada PPNS tertentu dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan [vide __ Pasal 107 ayat (1) KUHAP]. • PPNS tertentu, harus melaporkan kepada penyidik Polri tentang adanya suatu tindak pidana yang sedang disidik, jika 133 dari penyidikan itu oleh penyidik pegawai negeri sipil ditemukan bukti yang kuat untuk mengajukan tindak pidananya kepada penuntut umum [vide __ Pasal 107 ayat (2) KUHAP]. • Jika PPNS telah selesai melakukan penyidikan, hasil penyidikan tersebut harus diserahkan kepada penuntut umum. Cara penyerahan hasil penyidikan tersebut kepada penuntut umum dilakukan PPNS melalui penyidik Polri [vide __ Pasal 107 ayat (3) KUHAP]. • Bahwa permohonan Para Pemohon terkait pasal mana yang dianggap bertentangan dengan konstitusi menjadi obscuur libels (tidak jelas/kabur). Dalil para Pemohon tersebut bersifat asumtif karena tidak dilandasi argumentasi yuridis. Bahwa telah jelas ketentuan Pasal 49 ayat (1) UU OJK mengatur: Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya yang meliputi pengawasan sektor jasa keuangan di lingkungan OJK, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Dari pasal a quo, terdapat frasa unsur penyidik “ Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia” dan diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. __ Hal tersebut jelas menunjukkan adanya rujukan kepada KUHAP. Sehingga dapat dikatakan bahwa penyidik OJK bekerja berdasarkan prinsip-prinsip yang ada dalam KUHAP. d) Bahwa jika PPNS menghentikan penyidikan yang telah dilaporkan kepada penyidik Polri, penghentian penyidikan itu harus diberitahukan kepada penyidik Polri dan penuntut umum [vide __ Pasal 109 ayat (3) KUHAP]. Sehingga dari ketentuan tersebut jelas bahwa PPNS dalam menjalankan tugasnya sebagai penyidik harus 134 berkoordinasi dengan penyidik Polri sebelum melakukan penyidikan agar terjadi kesinkronan, kesatuan pemahaman,dan gerak, serta tindakan apa yang dilakukan dalam melakukan penyidikan. Oleh karenanya, penyidik Polri harus berperan aktif dalam memberikan bantuan serta petunjuk kepada PPNS dalam menjalankan tugasnya sebagai penyidik. Dengan demikian, dengan adanya koordinasi dan pengawasan dari penyidik Polri, diharapkan tidak menimbulkan suatu permasalahan dengan sistem peradilan pidana yang ada, yakni dalam hubungannya dengan penyidik Polri. e) Bahwa terkait kerangka sistem peradilan pidana (criminal justice system) , dimana aktivitas pelaksanaannya merupakan “fungsi gabungan” (collection of function) dari legislator, polisi, jaksa, pengadilan, dan penjara serta badan yang berkaitan, baik yang ada di lingkungan pemerintahan maupun di luar pemerintahan. Dengan demikian, kegiatan sistem peradilan pidana didukung dan dilaksanakan dengan empat fungsi utama, yaitu fungsi pembuat undang-undang, fungsi penegakan hukum, efek preventif, fungsi pemeriksaan persidangan pengadilan, dan fungsi memperbaiki terpidana. Dari gambaran singkat tersebut, dapat terlihat berhasil atau tidaknya fungsi proses pemeriksaan sidang pengadilan yang dilakukan Jaksa PU dan Hakim yang menyatakan terdakwa salah serta memidananya sangat tergantung atas hasil penyidikan Polri. (M. Yahya Harahap, 2000, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 90-91). 2) Bahwa Para Pemohon mendalilkan pemberian wewenang “penyidikan” yang merupakan suatu tindakan pro justitia kepada financial supervisory institution in casu OJK adalah sangat tidak lazim (vide Perbaikan Permohonan hal. 22-23). Bahwa dalil Para Pemohon tersebut tidak berdasar karena para Pemohon tidak mencermati ketentuan peraturan perundang-undangan 135 secara komprehensif. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan:
Bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, PPNS adalah salah satu pengemban fungsi kepolisian yang membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dan melaksanakan kewenangan berdasarkan Undang Undang masing-masing. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pelaksanaan Koordinasi, Pengawasan, dan Pembinaan Teknis terhadap Kepolisian Khusus, Penyidik Pegawai Negeri Sipil, dan Bentuk-Bentuk Pengamanan Swakarsa: PPNS adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang berdasarkan peraturan perundang-undangan ditunjuk selaku penyidik dan mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkup undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing- masing. Pejabat PPNS diangkat oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia ( cq Direktur Pidana Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum), dan diawasi dan dibina oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia ( cq Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS,Badan Reserse Kriminal) dan bertanggungjawab kepadaPimpinanKementerian/Lembaga/Daerah tempat PNS tersebut bernaung.
Bahwa eksistensi PPNS itu sendiri berasal dari ketentuan yang diatur dalam KUHAP. Bahwa Pasal 6 ayat (1) KUHAP mengatur bahwa _Penyidik adalah: _ _a. pejabat polisi negara Republik Indonesia; _ b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Rumusan Pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP merupakan ketentuan yang bersifat umum. Sementara pengaturan mengenai penyidikan dalam UU OJK merupakan lex specialis dari Pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP tersebut. 136 c. Bahwa keberadaan PPNS tidak hanya pada OJK, tapi juga terdapat pada beberapa lembaga negara lainnya. Beberapa contoh penyidik lainnya seperti PPNS Tata Ruang, PPNS Pajak, PPNS Imigrasi, PPNS Bea Cukai, PPNS Kehutanan, PPNS Pertanian, PPNS Kehutanan, dan lain-lain, yang dalam pelaksanaan fungsinya tetap merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Adapun pengaturan tentang keberadaan PPNS pada beberapa lembaga negara di Indonesia dapat dilihat melalui tabel berikut: __ No. PPNS UNDANG-UNDANG PASAL 1. PPNS pada Kementerian Perhubungan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 259 ayat (1): Penyidikan tindak pidana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dilakukan oleh:
Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus menurut Undang-Undang ini. Pasal 262 ayat (1): Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 259 ayat (1) huruf b berwenang untuk:
melakukan pemeriksaan atas pelanggaran persyaratan teknis dan laik jalan Kendaraan Bermotor yang pembuktiannya memerlukan keahlian dan peralatan khusus;
melakukan pemeriksaan atas pelanggaran perizinan angkutan orang dan/atau barang dengan Kendaraan Bermotor Umum;
melakukan pemeriksaan atas pelanggaran muatan dan/atau dimensi Kendaraan Bermotor di tempat penimbangan yang dipasang secara tetap;
melarang atau menunda pengoperasian Kendaraan 137 Bermotor yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan;
meminta keterangan dari Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, atau Perusahaan Angkutan Umum atas pelanggaran persyaratan teknis dan laik jalan, pengujian Kendaraan Bermotor, dan perizinan; dan/atau
melakukan penyitaan surat tanda lulus uji dan/atau surat izin penyelenggaraan angkutan umum atas pelanggaran sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c dengan membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan.
PPNS pada Kementerian Kehutanan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaim ana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2004 juncto Perpu Nomor 1 Tahun 2004 Pasal 77:
Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengurusan hutan, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimak-sud pada ayat (1), berwenang untuk:
melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana yang menyangkut hutan, 138 kawasan hutan, dan hasil hutan;
memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;
melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku;
meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
menangkap dan menahan dalam koordinasi dan pengawasan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai Kitab Undang- undang Hukum Acara Pidana;
membuat dan menandatangani berita acara;
menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.
Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum, sesuai 139 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
PPNS pada Kementerian Komunikasi dan Infor-matika Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi Pasal 44:
Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi b. melakukan pemeriksaan terhadap orang dan atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
menghentikan penggunaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku;
memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau ter- sangka;
melakukan pemeriksaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang diduga digunakan atau diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang tele-komunikasi; 140 f. menggeledah tempat yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
menyegel dan atau menyita alat dan atau perangkat telekomunikasi yang digunakan atau yang diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi, dan mengadakan penghentian penyidikan.
Kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Latar Belakang Pembahasan UU OJK Bahwa selain pandangan secara konstitusional, teoritis, dan yuridis, sebagaimana telah diuraikan di atas, dipandang perlu untuk melihat latar belakang perumusan dan pembahasan pasal-pasal terkait dalam undang- undang a quo sebagai berikut • Rapat Kerja (18 Agustus 2010) 1) Menteri Keuangan (Agus M.W.) __ Selanjutnya perkenankan kami untuk menjelaskan kembali secara umum hal-hal pokok yang tertuang dalam RUU OJK ini sebagai _berikut: _ Poin 7: Penegakan Hukum Dalam rangka penegakan hukum di sektor jasa keuangan, OJK memiliki kewenangan penyidikan terhadap pelaku tindak pidana di bidang perbankan, pasar modal dan industri keuangan non bank. Penyidikan ini antara lain dilakukan oleh pejabat penyidik Kepolisian 141 Negara RI dan pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup, tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengawasan industri jasa keuangan di lingkungan OJK. 2) Anggota F-PG (Edison Betaubun, S.H., M.H.) __ Terkait Rancangan Undang-undang Otoritas Jasa Keuangan, Fraksi _Partai Golkar DPR RI berpandangan bahwa: _ _1. Ruang lingkup lembaga yang dibentuk meliputi: _ a. Pengaturan Ini penting dimiliki agar dapat melakukan harmonisasi dan sinkronisasi peraturan di bidang jasa keuangan. b. Pengawasan terpadu dan lintas sub sektor agar dapat mendeteksi resiko finansial dari kegiatan yang berada di wilayah abu-abu dalam suatu kegiatan konglomerasi jasa keuangan. c. Penegakan hukum yang dipunyai mencakup penyelidikan dan penyidikan agar mempunyai kewenangan dan tanggung jawab yang utuh dalam proses penegakan hukum. • Rapat Dengar Pendapat Umum (19 Agustus 2010) 1) Anggota F-PDIP (Trimedya Panjaitan) __ Tapi saya coba mendalami apa yang ada di dalam RUU OJK ini utamanya Pasal 41 ayat (3) soal kewenangan penyidikan yang diberikan kepada lembaga ini seandainya lembaga ini akan berdiri nanti. Saya sesuai dengan core saya saja. Kalau orang bisnis harus punya core pak. Core saya di hukum, saya hukum saja. Nah, kalau kita lihat di sini kan memang spirit dari ini tentu Pasal 6 ayat (1) KUHAP bahwa PPNS tapi sebagaiman kita ketahui dan mungkin juga pihak Bapak tahu atau tidak sekarang ini menurut data dari Kapolri ada sekitar 650 PPNS di sekitar 43 kelembagaan. Nah, ini tidak jelas efektifitasnya. __ … Sebenernya dalam posisi ini apakah kita ingin membentuk lagi instrumen-instrumen hukum baru yang mempunya kewenangan di bidang penyelidikan. Dia ini kalau dari mulai menerima laporan sampai Surat Penghentian Penyidikan, kewenangan yang diberikan 142 pada OJK ini. Dengan posisi kewenangan yang luar biasa seperti ini, kami agak khawatir walaupun nanti ini pada saat pendalaman masuk kepada pasal-pasal nanti DIM-DIM itu kita baru diskusikan lebih detil. Jadi dalam posisi ini kami ingin menanyakan kepada bapak-bapak sekalian apakah orang Bapak setuju dengan kewenangan ini. Apakah negara kita ini tidak cukup dengan lembaga-lembaga hukum yang sudah ada kepolisian, kejaksaan.... • Rapat Dengar Pendapat Umum (23 September 2010) 1) Akademisi (Insukindro) __ Jadi OJK itu lembaga apa Pak? Dalam undang-undang itu tidak jelas, ini saya kira perlu dijelaskan juga lembaga negara atau bukan lembaga negara semacam itu. Juga terkait dengan penyidikan, kalau kita baca pasal berapa ya itukan pegawai OJK adalah pegawai OJK, apakah itu PNS. Di dalam Pasal 41 disebutkan kecuali kepolisian kan pegawai negeri sipil mempunyai hak. Berartikan bisa jaksa, bisa macam-macam di situ. Ini nanti mirip-mirip KPK lagi, ketergantungannya sangat tinggi, semacam itu. Ini juga problem nanti kalau BI digabungkan dengan OJK, kemudian pegawai BI itukan bukan PNS. Apakah dia punya hak untuk melakukan penyidikan semacam itu atau diangkat jadi PNS. Ini menurut saya perlu clear. 2) Akademisi (Himawan) __ Hal yang perlu kita lihat juga itu adalah pengawasan. Pengawasan itu sebenarnya ada empat pilar yaitu, pemantauan, pemeriksaan, penyidikan, dan penegakan hukum. Ini yang belum kami lihat di dalam RUU ini yang mungkin harusnya lebih detail, lebih banyak kita perdalam untuk masalah pengawasan ini. __ … Kemudian masalah penyidikan, penyidikan yang saya lihat di sini lebih bersifat pasif. Yaitu adalah menerima laporan dari masyarakat, padahal yang harus dilakukan itu adalah lebih pro aktif karena permasalahannya sekarang adalah seringkali kasus misalkan kasus emeron, kasus supreme mortgage dan lain sebagainya yang muncul kemudian kasus Antaboga dan sebagainya, ini tidak bisa kalau ditunggu sudah terlalu besar. Masalahnya sudah terlalu besar ketika 143 kita sudah mendapatkannya. Kita tidak ada istilah di sini melakukan prevention. Dalam masalah pengawasan, kalau saya menggunakan pendekatan economic, itu yang terpenting adalah bagaimana meningkatkan detaction rate, kemampuan untuk mendeteksi. Yang menjadi permasalahan selama ini adalah banyak unsure problem sebenarnya yang muncul, kasus-kasus seperti Antaboga yang itu di dalam nomenslan. Ini seharusnya yang menjadi perhatian kita itu adalah bagaimana menghilangkan atau meminimasi hal-hal seperti ini. Di dalam setiap crime itu ada yang disebut un recorded financis. Bagaimana menimalisasi un recorded financis ini yang saya pikir di dalam masalah penyidikan ini harus lebih jelas Pak untuk masuk ke sana. • Rapat Panja (21 Oktober 2010) 1) F-PG (Nusron Wahid) __ Nah saya setuju prinsipnya bahwa Undang-undang Otoritas Jasa Keuangan ini yang kita susun ini tidak hanya menjadi basis pondasi pendirian suatu lembaga yang lembaga itu bergerak di bidang otoritas jasa keuangan. Yang namanya otoritas itu di situ meliputi 3 kewenangan kalau saya baca dalam undang-undang ini; kewenangan pertama adalah pengaturan mikro prudensial di bidang perbankan dan pengaturan secara keseluruhan, kemudian pengawasan, sama low enforcement karena ada penyidikan di situ di dalamnya. • Rapat Panja (26 November 2010) 1) Pemerintah __ … Di Undang-undang Pasar Modal itu ada penyidikan oleh Bapepam yaitu PPNS. Kemudian untuk di Bank Indonesia tidak ada penyidikan ternyata dan itu masalah buat Bank Indonesia selama ini karena mereka tidak bisa melakukan penyidikan, sehingga selalu lempar ke polisi ya hilang saja. Maaf ini kalau direkam karena kenyataannya begitu. Jadi kemudian, asuransi juga demikian. Kami selama ini kalau sudah masuk asuransi walaupun Bapepam LK begitu case-nya asuransi, kita langsung lempar ke polisi. Jadi berarti Kepolisian ini Bareskrim ini harus menguasai banget tentang 144 perasuransian, dana pensiun, kalau pasar modal dia tidak perlu karena penyidikannya di kita tapi kalau fraud tetap ke polisi. Tapi sudah manipulasi biasanya di Bapepam. Jadi sebenarnya teman-teman di Bank Indonesia pun juga bilang kalau ini memang mereka masuk ke OJK, sebaiknya OJK secara keseluruhan punya penyidikan sehingga sudah berlaku juga untuk bank, pasar modal, asuransi, dana pensiun. Makanya kita sebut di sini OJK bisa punya penyidikan. Itu masalah penyidikan. Nanti masalahnya apakah PPNS. Memang saat ini karena pengaturan tentang PPNS itu diatur di Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, jadi kita belum berani menyebut kata-kata lain selain PPNS. Oleh sebab itu, di dalam bab nanti tentang pegawai kita sebut OJK ini bisa juga menerima, pegawainya bukan saja pegawai OJK tapi juga pegawai negeri. __ …. Di Kepolisian memang ada salah satu direktorat koordinasi pengawas Penyidik Pegawai Negeri Sipil jadi di Korwas, di sana juga ada satu direktorat pak di Bareskrim khusus memang mendidik dan melakukan koordinasi dengan penyidik-penyidik Pegawai Negeri Sipil. Tetapi tidak hanya Bapepam, dengan penyidik Bea Cukai, penyidik Pajak, penyidik Kehutanan, itu secara reguler tambahan pak. Jadi pendidikannya 3 bulan pak memang. Tapi karena kita lihat tindak pidananya itu adalah spesifik tindak pidana di bidang pasar modal yang memang sehari-harinya kita yang mengatur, jadi memang kita hanya belajar trik-trik pendidikannya; bagaimana membuat Berita Acaranya, bagaimana cara prosedur penyidikannya, bagaimana prosedur penyidikannya, itulah yang kita belajar di Kepolisian pak. __ …. Kami menyampaikan bahwa memang untuk penyidik ini diatur dalam Hukum Acara Pidana pak, di situ memang diatur penyidik itu ada 2 pak yang itu adalah pejabat Polisi Negara Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyelidikan. Artinya di sini selain Kepolisian ada juga PPNS-nya pak. Tapi PPNS ini harus diberi kewenangan oleh undang-undang. Jadi tidak bisa diberikan kewenangan selain diberikan oleh undangundang. Harus pegawai 145 negeri sipil. Di sini apakah bisa tidak di dalam RUU OJK ini bukan PPNS atau mungkin hal yang lain tadi berlaku lain dengan hatinya lex spesialis. Kami sependapat tadi sudah disampaikan oleh Pak Robin. Untuk lex spesialis itu harus mengatur rezim yang sama pengaturan hal yang sama. Jadi di sana kan hukum acara pidana di sini adalah Undang-undang OJK, jadi itu memang tidak bisa kita pakai azas itu. Kemudian juga azas post perior mengabaikan yang lama itu juga tidak bisa kita pakai juga seperti itu. Mungkin barangkali saat ini mungkin harus PPNS pak untuk sementara, tapi untuk rumusan mungkin kami belum bisa sampaikan atau nanti kita buat secara umum artinya apakah penyidik saja yang disebut di sini. Jadi tidak kita sebutkan PPNS atau mungkin nanti kami coba saja. 2) F-PG (Nusron Wahid) __ Tadi kita sudah brainstorming soal bab penyidikan, sudah panjang lebar tentang dua isu. Isu pertamakarena OJK itu nanti pegawainya tidak lagi Pegawai Negeri Sipil di convert menjadi OJK maka yang terjadiadalah tentang penyidikan ini OJK akan mengambil penyidik dari PPNS dan penyidik dari polisi sesuaidengan KUHAP. Itu pertama sudah diputus tinggal nanti turunannya. 3) F-PDIP (Nyoman Dhamantra) __ Saya setuju OJK itu diberikan kewenangan untuk itu asal ada kerja sama. Karena kalau tidak ini banyak kasus akan bias karena ditangani tidak proporsional. Maka itu saya katakan pertama pemeriksaan, lidik, baru sidik. Kalau dia pemeriksaan internal OJK saja kalau sekiranya kesalahannya itu hanya kesalahan yang sifatnya hanya administrasi, yang cukup diberikan denda atau diberikan sanksi yang sifatnya internal saja di antara OJK dan pihak anggotanya. Tapi kalau nanti persoalan lidik sidiknya kalau kita mau betul-betul ekslusif bahwa OJK punya ekslusifitas untuk itu harus duduk dengan kejaksaan dan dengan kepolisian supaya khusus. Jadi kalau di tempat lain itu ada yang namanya polisi keuangan. Khusus menyangkut perbankan apa itu hanya kepolisian keuangan ini sajalah yang boleh. Itu ditempatkan misalnya di OJK. 146 • Rapat Panja (1 Desember 2010) 1) F-PAN (H. Nasrullah) __ Yang menjadi problem berikutnya adalah nanti bisa disambung dengan yang lain, adalah terkait dengan hukum pidana ini adalah kewenangan penyidikan itu dalam satu kaitannya dengan semua tindak pidana yang dimuat di dalam undang-undang di bidang jasa keuangan. Pertanyaannya kalau undang-undang di bidang jasa keuangan itu ternyata penyidiknya bukan penyidik PNS, tetapi yang penyidiknya adalah polisi, apakah dia harus ditarik ke sini atau tetap dia berlaku penyidik polisi. Saya ingin tampilkan ini tadi undang- undangnya gitu pak ya, di dalam undang-undang kan disebutkan beberapa undang-undang ini saya ambil contoh Undang-undang Perbankan saya belum mengecek lagi di dalam itu apakah di sana itu mengatur penyidikannya oleh PPNS atau tidak. Kalau itu tidak apakah dengan Undang-undang OJK ini dengan mengatur penyidikan yang menjelaskan tentang tindak pidana di bidang jasa keuangan sehingga dengan demikian juga berlaku tindak pidana perbankan. 2) Pemerintah (Fuad Rahmani) __ Jadi persis seperti yang disampaikan Pak Muzakir tadi, jadi memang sebenarnya pak di sektor keuangan sekarang Undang- undang Pasar Modal itu ada penyidik PNS di mana sekarang itu Bapepam. Waktu itu sekarang membentuk OJK sementara sekarang di Bank Indonesia itu kan tidak ada penyidik, di Undang-undang Perbankan juga tidak ada penyidikan dari Bank Indonesia. Di OJK itu mau dikasih semua ada penyidikan. Oleh karena itu, nanti kan kita akan mengajukan lagi ini Undang-undang Pasar Modal, Manajemen Perbankan, Asuransi, Dana Pensiun itu semua akan disesuaikan dengan ini supaya nanti sinkron. 3) Bareskrim (Bung Jono) Iya, jadi arti dari korwas tadi sebetulnya pemberian bantuan penyidikan, bukan berarti PPNS tadi di bawah atau seperti anggotanya Penyidik Polri itu salah sekali pak. Tapi kalau korwas (koordinasi pengawasan) tadi sebetulnya mengawal PPNS di dalam melakukan 147 _penyidikan. Bentuk pengawalan tadi adalah bantuan penyidikan; _ bantuan taktis, bantuan teknis, bantuan upaya paksa. Karena PPNS tadi tidak mempunyai kewenangan seperti yang ada di Kepolisian, seperti penangkapan/penahanan walaupun PPNS yang sudah ingin menangkap/menahan. Tapi repot sendiri dia pak, kewalahan juga, tugas pokoknya tidak dilaksanakan ngurusin tahanan kan gitu pak. Tetapi itu tadi memberikan bantuan penyidikan kepada PPNS supaya hasil penyidikan berkas perkaranya tadi dapat memenuhi syarat formil dan materil. Muncul pertanyaan kapan dilakukan bantuan tadi pak, semenjak SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan). Kepada penuntut umum itulah makanya melalui penyidik Polri. Itulah ceritanya dalam rangka pemberian bantuan. Kemudian arti daripada korwas tadi pak yang saya sebutkan tadi, teknis dan pelaksanaannya sudah diatur di dalam KUHAP. Jadi PPNS Bapepam itu ya dalam kesehariannya kemarin gelar kami datang, mengundang Pak Jaksa juga datang, dalam keseharian sudah bersama. Karena memang Pasal 107 ayat (1), ayat (2), ayat (3) itu sudah mengatur mekanisme korwasnya di bantuan penyidikan tadi pak, sudah diatur di situ. Kembali ke rumusan yang tadi bahwa nanti penyidik di OJK ini di situ ada penyidik Bapepam, penyidik Polri dan penyidik jaksa gitu lho. Wah ini polanya seperti KPK sepintas gitu lho pak. Padahal pola penahanan di KPK dengan OJK itu lain. Pola penahanan koruptor dengan terorisme itu sama pak, karena koruptor itu hampir seluruh Indonesia mendukung, sama dengan penahanan terorisme semuanya mendukung. Kalau ketemu langsung hap, kalau bisa begitu pak. Di OJK ini tidak demikian makanya di sini ada kewenangan administratif, mencabut izin dan segala macam. OJK itu tadi kental dengan kehidupan sosial, dengan ekonomi, dengan ini pak. Kalau ada masalah juga harus melihat pajaknya di mana, perusahaan tadi ada tenaga kerjanya tidak, ini perputaran bagaimana dengan perputaran ekonomi di Indonesia, sehingga polanya tidak seperti KPK tidak langsung potong lehernya gitu pak. Itu supaya masuk kan ke kas negara kan begitu pak. 148 4) Jampidsus (M. Amari): __ Menyangkut masalah penyidik pak, ini saya sependapat dengan pak dari Polri, bahwa PPNS itu bisa dibentuk tapi itu syaratnya harus pegawai negeri sipil. Kalau badan ini dibentuk sebagai badan swasta atau bukan badan negara, maka susah kita untuk bisa membentuk PPNS karena salah satu syarat PPNS itu adalah dia pegawai negeri. Yang dari pegawai negeri kemungkinan dari Bapepam tapi tidak tahu bagaimana nanti membentuknya kalau memang keinginan untuk membentuk PPNS itu begitu kuat dan memang itu penting. Menurut hemat saya memang perlu karena polisi nanti yang akan membantu dalam penanganan mekanisme penyidikannya, PPNS itu nanti yang menguasai mengenai teknis perbankan atau teknis masalah keuangannya. Kalau jaksa jelas sama dengan polisi, ibara penyidik itu penyidik umum tahunya masalah umum, masalah-masalah khusus tentu harus belajar dulu atau paling tidak meminta bimbingan kepada mereka-mereka yang sudah spesialis. __ ... Mengenai batasan apakah lembaga ini OJK ini bisa melakukan penyidikan atau hanya penyelidikan. Kalau menurut hemat saya kita berkaca pada PPATK pak. PPATK tempo hari di dalam RUU-nya mengingingkan agar PPATK itu bisa ditingkatkan dari melakukan pemeriksaan, dari melakukan pemantauan penyelidik. Untuk menjadi penyelidik saja tempo hari itu tidak disetujui, hanya sebagai pemeriksa tugasnya melakukan pemeriksaan. Padahal kalau dia melakukan penyelidikan juga tidak terlalu bersinggungan, karena hasil penyelidikannya toh juga diteruskan kepada penyidik yang menjadi tindak pidana asap. Bahkan menurut hemat saya OJK ini kalau kita jadikan sebagai instansi penyidik agak repot ini. Karena yang pertama perangkat untuk ke sana itu seperti untuk menahan dan seterusnya kan tidak punya dan dia bukan ditugaskan untuk melakukan kegiatan penegakan hukum yang sebegitu drastis karena masih ada hal-hal lain yang perlu dilindungi yang perlu sentuhan-sentuhan yang lebih soft sifatnya dibanding dengan terorisme dan korupsi, sehingga PPATK pun juga kita bentuk seperti itu tempo hari itu. maka kalau ini juga 149 dikasih kekuasaan seperti polisi, seperti jaksa, nanti kabur orang yang mau bergerak di bidang keuangan ini. Makanya memang perlu lebih berhati-hati. Kemudian mengenai penyidik di Bapepam saya belum tahu persis pak mengenai penyidik Bapepam nanti barangkali bapak dari Bareskrim nanti yang bisa memberikan penjelasan. __ Menyangkut masalah ini bisa tidak OJK ini menjadi penyidik atau penyelidik atau pengawas, atau apa tadi itu pemeriksa. Kalau saya membaca namanya ini di dalam konsideran menimbang b bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana yang dimaksud dalam huruf a, diperlukan otoritas jasa keuangan yang bertugas melaksanakan pengawasan yang dapat mengeluarkan peraturan yang berkaitan dengan tugas pengawasan terhadap perbankan, pasar modal, dan industri jasa keuangan non bank secara terpadu, independen dan akuntabel. Kalau lihat namanya di sini pengawasan dan kalau memang betul ini yang dikehendaki pengawasan tentu kewenangannya bukan sampai pada penyidikan karena kalau sudah sampai pada penyidikan bukan sekedar pengawasan itu penegak hukum. Hasil dari pengawasan ini baru diberikan kepada penegak hukum, penegak hukum lah yang nanti akan menindaklanjuti sesuai dengan tugas dan fungsinya sebagai penegak hukum. Kalau saya lihat saya kembalikan kepada konsideran ini menurut hemat saya paling banter yang bisa dilaksanakan oleh OJK ini adalah penyelidikan tapi bukan penyidikan atau pemeriksaan tadi. Sebenarnya istilah pemeriksa dan penyelidik itu hampir sama pak, sama-sama belum boleh melakukan upaya paksa, belum boleh menahan, belum boleh menangkap tapi dia bisa melakukan investigasi yang hasilnya nanti dianalisis di dalam produk-produk pengawasan seperti yang dilakukan oleh BPKP, dilakukan oleh PPATK dan beberapa lembaga pengawasan semacam itu. • Rapat Kerja Panja (2 Desember 2010) 1) Pakar Hukum Tata Negara (Jimly Asshiddiqie) Kemudian yang selanjutnya itu soal penyidikan. Jadi Pak Harry mana tadi, jadi saya ingin menjelaskan di sini sekarang, instansi yang 150 menangani penyidikan itu sudah 55 instansi; ada polisi, ada KPK, ada Kejaksaan, ada PPNS itu banyak sekali. Dari segi undangundang yang boleh itu PPNS (Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Pertanyaan OJK ini PNS bukan. Kalau dia akan diberi fungsi penyidikan kayak KPK ini bisa masalah ini. Ini kan kita karena tidak percaya kepada kejaksaan, maka kita bikin KPK, tidak percaya polisi, tidak percaya. Tapi kalau begini terus kapan habisnya kita bikin lagi lembaga baru nanti fungsi penyidik lagi. Saya berharap kalau bisa janganlah ini, cukup penyelidikan saja tetapi ada rambu-rambu yang begitu jelas sehingga Kejaksaan itu tidak bisa misalnya bermain-main dengan jadwal, ditentukan lebih rinci gitu misalnya begitu. Dan partnership antara OJK ini langsung dengan Kejaksaan tidak usah dengan Kepolisian lagi, Kejaksaan. Jadi ini termasuk tindak pidana khusus. Kalau tindak pidana khusus tidak perlu lewat polisi jadi langsung dia. Tapi lembaga ini jangan diberi fungsi penyidikan cukup penyelidikan, walaupun di dalam fungsi penyidikan di Kejaksaan dia ikut nempel gitu, jadi dia ikut berperan, diatur saja begitu. Tanpa harus memberi kewenangan menyidik sendiri. Itu saya anjurkan demikian .
F-PG (Melchias Marcus Mekeng) __ Masalah penyidikan, Prof. Ya memang kalau penyidikan ini diberikan kepada OJK kelihatan menjadi super body lagi nanti, tetapi, Prof, faktanya di lapangan kasus-kasus pasar modal, kasus-kasus perbankan ini rasa keadilan sudah tidak ada lagi. Tadi Pak DR. Harry menyampaikan kasus Herman Ramly, banyak lagi pemain-pemain pasar modal yang tidak pernah ketangkap padahal mereka melakukan pelanggaran yang di depan mata kelihatan, nah, kalau ini diberikan katakanlah kepada Kejaksaan dari sisi kompetensi juga belum tentu orang di Jaksa mengerti pasar modal. Nah, ini apakah bisa dalam transisi ini diberikan ini sampai Kejaksaan kita ini benar-benar Kejaksaan yang kita harapkan atau Kepolisiannya itu. Kalau tidak, ini lembaga OJK ini lembaga setengah hati walaupun sudah diberi kekuasaan untuk mengawasi tetapi pada saat dia mengawasi dia menemukan sesuatu yang tidak benar dia tidak bisa lakukan apa-apa, 151 hanya kasih saja dibuat penyelidikan, kasih Kejaksaan, tidak pernah P21. Nah, artinya visi dan misi daripada OJK dari awal yang kita inginkan ini, itu tidak pernah akan berhasil. Nah, ini bagaimana, Prof, kalau fungsi penyidikan ini. 3) F-PD (I Wayan Gunastra) __ Lalu terkait dengan OJK, jadi untuk mencegah hal-hal seperti itu lalu kita bentuk OJK berdasarkan undang-undang. Kalau suatu lembaga yang dibentuk berdasarkan undangundang, tidakkah boleh lembaga itu punya penyidik sendiri. Sekarang salah satu lembaga yang akan diambil kekuasaannya oleh OJK yaitu Bapepam punya penyidik sendiri. Itu yang saya ingin tahu, punya penyidik sendiri. Apakah lembaga yang kita bentuk dengan undangundang yang juga perannya yang akan sangat penting untuk menjaga Negara ini jangan sampai rusak karena kriminal di bidang jasa keuangan itu, benar-benar tidak boleh mempunyai lembaga yang mempunyai penyidik sendiri dengan keahlian khusus itu karena tidak semua penyidik yang kita miliki akan mempunyai keahlian seperti ini terutama di bidang kejahatan keuangan. • Rapat Dengar Pendapat (2 Maret 2011) 1) Yusril Ihza Mahendra __ Kemudian ini ada yang agak serius pasal 41 mengenai penyidikan. Kalau saya baca disini pasal 41 ini mengatur selain penyidik polisi, pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang ruang lingkupnya meliputi pengawasan jasa keuangan di lingkungan jasa keuangan diberi kewenangan khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam kitab-kitab Undangundang hukum acara pidana. Yang diatur disini ada PPNS, penyidik pegawai negeri sipil selain penyidik polisi. Tidak disebut apa namanya penyidik dari kejaksaan tidak ada disini. Yang ada Cuma polisi, PPNS. Tapi yang diatur dalam pasal 1 ini hanya keberadaan mereka sebagai PPNS seperti disebutkan dalam KUHAP. Tapi bagaimanakah prosedur kerja dari…………………… __ ... Tapi tegas dikatakan bahwa KPK dalam melakukan penyidikan dan penyelidikan menggunakan KUHAP kecuali diatur secara khusus 152 di dalam Undang-undang ini. Misalnya menyimpang bahwa KPK itu tidak ada SP3. Itu menyimpang dari KUHAP tapi yang pokok adalah tetap KUHAP. Tapi disini tidak ada, dan ini bisa menyebabkan ini ada lembaga baru yang menakutkan semua orang. Ada pegawai negeri sipil yang diangkat. Kemudian penyidik esselon I berwenang. Kewenangannya ini memberikan laporan, melakukan penelitian kebenaran laporan, melakukan penelitian terhadap orang yang diduga melakukan atau tindak pidana dibidang jasa keuangan, memanggil, memeriksa, meminta keterangan dan barang bukti ke setiap orang, melakukan pemeriksaan atas pembukuan, meminta dokumen berkenaan dengan tindak pidana, melakukan pengeledahan, loh ngeri ini. tidak ada ini, tidak terikat KUHAP. Bisa dipanggil orang, bisa geledah DPR bisa geledah siapapun. Lebih dari KPK ini. Sedangkan polisi, kejaksaan mau menggeledah harus ijin pengadilan, bagaimana kacau balau ini dunia keuangan kita kalau lembaga ini penyidiknya diberikan otoritas yang cukup besar. Tidak tunduk pada KUHAP dan atur saja dia sendiri. 2) F-PG (DR. H. Harry Azhar Azis, MA) __ ... Soal penyidik ini menarik. Apakah dari pernyataan Pak Yusril itu artinya kita mesti mempertegas lama sebelum kita atur model tata cara penyidikan di Undang-undang ini, harus ditegaskan itu harus tunduk kepada KUHAP. 3) F-PD (Ir. Hj. A.P.A Timo Pangerang) __ Bagus sekali Pak Yusril tadi menyampaikan tentang Pasal 41 bahwa apa kalau kita bertanya bagaimana hukum acara yang digunakan. Saya kira Pak Yusril di sini disampaikan bahwa mereka mengacu pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Undang- undang 8 tahun 1981, dan kemudian PNS. Yang tadi disampaikan bahwa sepertinya ini berbahaya atau punya kewenangan yang besar PPNS ini. Nah, PPNS ini kan melakukan penyelidikan terhadap pegawai negeri sipilnya. Jadi di dalam lembaga OJK ini selain tadi beberapa orang dari para ahlinya di bidang asuransi, di bidang pasar modal, perbankan, juga boleh menerima pegawai negeri sipil yang 153 ingin masuk ke dalam lembaga ini. Tentu PPNS ini akan berperan ketika dia memeriksa pegawai negeri sipilnya kan Pak Yusril, bukan di luar non pegawai negeri sipil kalau non pegawai negeri sipil yang periksa tentu pejabat penyidik Kepolisian. Nah, pertanyaannya adalah kalau saya buka-buka undang-undang yang lain yang juga ada di penyidikan unsur pegawai negeri sipil, saya lihat sebenarnya intinya more or less kurang lebih sama pak, dia melakukan pemeriksaan, dia memanggil memeriksa terhadap pegawai negeri sipil yang diduga melakukan tindak pidana Jadi seperti ini, tapi karena saya dengar tadi Pak Yusril menyampaikan ini sangat berbahaya saya juga ingin mendapatkan gambaran di mana kira-kira pelanggaran daripada kewenangan PPNS ini. 4) Yusril Ihza Mahendra __ … Nah sebaiknya pasal 41 ini rumusannya, PPNS ini dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya ya itu menggunakan hukum acara sebagaimana diatur didalam KUHAP kecuali diatur tersendiri didalam Undang-undang ini, jadi ini mengandung satu hukum acara disini tapi sangat singkat ya, tapi memberikan kewenangan yang potensial bisa disalahgunakan oleh PPNS yang menjadi ini, seperti misalnya disebutkan disini dia punya kewenangan untuk melakukan pengeledahan, karena dia merasa tidak tunduk pada KUHAP, dihukum acara diberikan kewenangan, dia bisa mengeledah siapa saja tanpa ijin pengadilan dan itu bisa bahaya, apalagi dia bisa menyita, dia bisa memanggil orang. __ Nah jadi saya kira rumusan pasal 41 ini mesti dielaborasi agak rinci karena pedoman kita begini, inikan sebenarnya bukan menyangkut hukum pidana, ini kan hukum administrasi negara sebenarnya, tapi didalamnya ini ada aspek hukum acara pidana, hukum acara pidana itu harus strike, strike nggak bisa disamar-samar, karena sifat dari hukum pidana materiil maupun pidana formil itu akan bersentuhan langsung dengan hak asasi manusia. • Rapat Intern Pansus (24 Mei 2011) 1) F-PG (Nusron Wahid) 154 Baik, begini keputusan kita tentang masalah lidik-sidik ini penyelidikan dan penyidikan, itu kemarin dikembalikan ke dalam ranah undang-undang sektoral..... Nah persoalan yang muncul di dalam undang-undang OJK ini adalah kewenagan untuk sampai pada level penyidikan itu hanya terbatas pada level pasar modal. Karena di dalam klausulnya itu di dalam pasal-pasal itu dinyatakan sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku. Tidak diatur secara khusus. Jadi kewenangan untuk penuntutan eh penyidikan, itu hanya sampai khusus pada masalah pasar modal. Nah pada waktu pertimbangan, perdebatannya kalau ingin memberikan, mengurangi kewenangan atau ingin menambah kewenangan itu ini dikembalikan dalam kontek pembahasan waktu kita mengamandemen undang-undang sektoral apakah undang- undang perbankan, apakah undang-undang asuransi, apakah undang-undang industri pembiayaan maupun undang-undang tentang pasar modal nanti. • Rapat Panja (26 Mei 2011) 1) Menteri Keuangan (Agus M) __ Substansi ketiga yang berhasil disepakati adalah terkait dengan penegakan hukum.Dalam hal ini kewenangan pemeriksaan dan penyidikan di mana penegakan hukum di sektorjasa keuangan dilakukan di bawah payung Undang-undang OJK dan dikoordinasikan olehOJK, namun dengan tetap memperhatikan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum AcaraPidana. Lebih lanjut disepakati pula mekanisme pola rotasi serta mutasi penyidik, agarpenyidikan terhadap dugaan tindakan pidana di sektor jasa keuangan dapat dilaksanakandengan efektif. Aspek pemidanaan sebagai bagian dari penegakan hukum juga telahmemperoleh perhatian serius pada pembahasan sebelumnya. Sehingga tercapai kesepakatantentang ketentuan pidana baik tentang tindak pidana maupun ancaman pidananya . • Rapat Panja (10 Juni 2011) 1) F-PG (Nusron Wahid) 155 __ Terima kasih Pimpinan, perlu kami sampaikan bahwa penuntut umum memang hanya kejaksaan.Oleh karena itu yang tadi kami kemukakan, di Malaysiapun penuntut umumnya itu adalah dari jaksa yangdi seperti second man dimasukkan ke Securities Commission. Sekarang di KPK pun sebenarnya adalahpenuntut umumnya adalah kejaksaan yang punya private jaksa kemudian masuk di KPK. Bahkan diskhususKPK yang ingin punya penyidik sendiripun itu masih menjadi ramai karena penyidiknya sekarangpun masihmenyidik polisi. Dengan demikian Pimpinan atas ijin Ketua Bapepam LK bahwa kami masih berpendapatbahwa penuntutan hanya bisa dilakukan oleh jaksa penuntut umum yang punya private jaksa penuntutumum di kejaksaan agung yang nanti di second man kan atau ditugaskan di Otoritas Jasa Keuangan. 2) F-PKS (Kemal Azis Stamboel) __ Perlu kami sampaikan Negara yang basisnya pasarmodalnya, kami paham pasar modalnya bagus itu negara-negara common law seperti Amerika. Amerikamalah bahkan tidak punya kewenangan penyidikan. Inggris juga tidak punya kewenangan penyidikan.Kebetulan di negara common law yang kami sampaikan tadi Malaysia itu punya kewenangan baik kewenangan administrasi atau administrative Rosiding, punya kewenangan civil Rosiding atau perdata danpunya kewenangan pidana termasuk penuntutannya. Memang di negara-negara civil law seperti diIndonesia banyak sekali para juries yang tidak sepakat bahwa proses penyidikan dan penuntutan dalamsatu body, karena takut adanya kurang check in balance. Tetapi kenapa tadi disampaikan bahwa yangmana aja, memang sekarang ini komisi pemberantasan korupsi Pak yang punya kewenangan itu. Selain itu,kami tidak melihat atau sekurang- kurangnya belum melihat ada lembaga lain yang punya kewenangan proyustisia untuk penyidikan dan penuntutan dalam satu tubuh Pak. Bahwa dalam KPK itu pengadilannya punsudah sendiri, pengadilan tipikor. Karena memang dianggap kejahatan luar biasa. 3) F-PAN (PROF. DR. Ismed Ahmad) 156 __ Perdebatannya nanti kita lakukan di pansus, karena feeling saya, ini feeling, meskipun Pak Nyoman setuju tentang ini, ini di dalam anggota pansus kita ini ada beberapa anggota Komisi III yang saya tahu persis anggota Komisi III itu mempunyai semangat yang kuat terhadap proteksi terutama hal-hal yang menyangkut tentang kewenangan penyidikan polisi sama hal-hal yang menyangkut kewenangan penuntutan jaksa. Di cowel sedikit pasti akan halo-halo pasti itu akan nanti. Pasti itu akan nanti. Lebih baik energinya itu kita harapkan simpen lalu di pansus. Tapi yang penting pada rapat sore ini kita merumuskan pasal demi pasal yang itu menjadi amanat daripada rapat semalam. • Rapat Kerja (25 Oktober 2011) 1) F. PDIP (I.G.A. Rai Wirajaya, SE., MM) __ Terima kasih Pimpinan. Terkait dengan masalah sidik dan lidik ini kami sudah memberikan suatu catatan, bahwasanya masalah penyelidikan kami tetap pada berpegangan pada penyelidikan itu diberikan kepada PPNS, namun penyidikannya itu kembali ke kepolisian. 2) F-PG (Meutya Hafid) __ Poin ke enam, kewenangan pemeriksaan dan penyidikan. OJK memiliki alat kelengkapan sendiri dan mandiri dalam melakukan penegakan hukum, hal ini penting untuk mengatasi permasalahan yang timbul manakala melakukan tugas pengaturan dan pengawasan di sector jasa keuangan. Meskipun awalnya kami mengusulkan agar OJK memiliki kewenangan penuntutan namun fungsi penegakan hukum yang telah mencakup pemeriksaan dan penyidikan atau sidik kami pandang cukup dalam melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab yang utuh dalam proses penegakan hukum. 3) F-PKB (Otong Abdurrahman) __ Terakhir nomer 5, fraksi Partai kebangkitan bangsa berpendapat bahwa dengan adanya pengaturan mengenai perlindungan konsumen dan masyarakat serta ketentuan tentang pemeriksaan dan penyidikan dan ketentuan sanksi hukum baik administrative maupun pidana yang 157 tegas seperti yang diatur dalam RUU tentang otoritas jasa keuangan ini diharapkan dapat mendorong penegakan hukum di Indonesia menjadi berjalan lebih baik setidaknya bisa meminimalisir terjadinya tindakanmelawan hukum. 4) F-PDIP (I Nyoman Damantra) __ Ketiga menyangkut pelaksanaan penyidikan oleh penyidik pegawai negeri sipil PPNS dalam undang-undang ini jangan sampai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum AcaraPidana atau KUHAP .
F-PAN (PROF. DR. Ismed Ahmad) __ Kewenangan penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan oleh OJK namun kewajiban penuntutan dilakukan oleh lembaga berwenang lainnya yang diatur oleh perundang-undangan.... Keberhasilan Pansus OJK dalam menyelesaikan pasal-pasal yang controversial seperti pemeriksaan, penyelidikan, penyidikan dan penuntutan harus diberikan apresiasi yang sebesar-besarnya . Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, DPR RI memohon agar memberikan amar putusan sebagai berikut:
Menyatakan bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya atau setidak-setidaknya menyatakan permohonan a quo tidak dapat diterima;
Menerima Keterangan DPR RI secara keseluruhan;
Menyatakan Pasal 1 angka 1 terhadap kata “dan penyidikan ” dan Pasal 9 huruf c terhadap kata “penyidikan” Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Menyatakan Pasal 1 angka 1 terhadap kata “dan penyidikan ” dan Pasal 9 huruf c terhadap kata “penyidikan” Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat. 158 [2.5] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, OJK telah menyampaikan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 15 Februari 2019, yang pada pokoknya sebagai berikut: I. POKOK PERMOHONAN PARA PEMOHON Bahwa Para Pemohon berpendapat Pasal 1 angka 1 terhadap frasa “dan Penyidikan” dan Pasal 9 huruf c terhadap kata “Penyidikan” UU OJK yang memberikan kewenangan penyidikan kepada OJK bertentangan dengan asas “ due proccess of law ” dalam Sistem Penegakan Hukum Pidana ( Criminal Justice System ) sebagai jaminan yang harus ada dalam Negara Hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 , serta tidak memberikan kepastian hukum yang adil bagi seseorang yang disangka melakukan tindak pidana di sektor keuangan saat menjalankan proses penyidikan yang dilakukan oleh Lembaga OJK dimana seharusnya setiap warga negara mendapatkan jaminan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 . II. KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING) PARA PEMOHON. Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 (selanjutnya disebut UU MK), menyatakan bahwa para Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang- undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia;
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara. Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka para Pemohon terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan: 159 1. Kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK);
Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang diuji;
Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. Lebih lanjut, Mahkamah Konstitusi RI telah memberikan pengertian dan batasan kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi ( vide putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan putusan-putusan berikutnya), harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu:
adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945;
bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Atas hal-hal tersebut di atas, kiranya Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi perlu mempertimbangkan kembali persyaratan Para Pemohon sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan Pasal 1 angka 1 terhadap frasa ” dan Penyidikan ” dan Pasal 9 huruf c terhadap kata ” Penyidikan ” UU OJK terhadap Pasal 1 ayat (3) dan 28D ayat (1) UUD 1945. 160 Terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon, OJK menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
Berdasarkan Surat Permohonan dari para Pemohon pengujian a quo, identitas para Pemohon adalah sebagaimana tercantum dalam halaman 2 sampai dengan halaman 3 dan halaman 6 sampai dengan halaman 8 surat permohonan a quo yang pada pokoknya para Pemohon adalah Warga Negara Indonesia yang berprofesi sebagai advokat (Pemohon I), Dosen Universitas Surakarta (Pemohon I sampai Pemohon IV) dan karyawan di PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (Pemohon V dan Pemohon VI) . 2. Menurut OJK, hal yang disampaikan para Pemohon dalam permohonannya pada dasarnya merupakan permasalahan penerapan norma (implementasi), dan tidak terkait dengan konstitusionalitas norma yang dimohonkan untuk diuji. Hal ini telah disebutkan dalam beberapa pokok permohonan a quo , yaitu:
Pemohon I yang berprofesi sebagai Advokat, merasa akan mengalami kesulitan dalam melakukan pembelaan terhadap klien mengingat UU OJK tidak mengatur secara jelas hak-hak seorang tersangka dalam tindak pidana disektor jasa keuangan. Pemohon I menganggap tidak mendapatkan kepastian hukum atas proses hukum pidana di sektor jasa keuangan yang berada di lingkup kekuasaan lembaga OJK.
Pemohon I sampai dengan Pemohon IV yang berprofesi sebagai Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta yang merasa dirugikan dengan adanya ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK karena secara keilmuan hukum pidana yang dipelajari oleh Pemohon I, Pemohon II dan Pemohon III, dalam pemberlakuan “ criminal justice system ” di Indonesia yang mengakui asas “ due process of law ” sebagai suatu proses yang harus dijalankan oleh Negara cq. Aparat Penegak Hukum yang telah diatur dalam KUHAP, tetapi hal tersebut diabaikan dengan berlakunya UU OJK sehingga menderita mengalami kerugian konstitusional.
Pemohon V sampai dengan Pemohon VI yang berprofesi sebagai karyawan di PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (selanjutnya 161 disebut PT SNP) yang merasa dirugikan karena adanya laporan dari salah satu bank kreditur ke Kepolisian dan saat ini sedang dalam proses hukum di Kepolisian karena disangka melakukan tindak pidana di sektor jasa keuangan. Hal ini menurut Pemohon tidak akan terjadi apabila OJK tidak memiliki kewenangan penyidikan.
Alasan Pemohon I yang mendalilkan telah terjadi kerugian konsitusional karena tidak diaturnya secara jelas hak-hak tersangka dalam UU OJK kurang tepat jika kaitkan dengan pasal-pasal yang diujikan dalam perkara a quo . Ketidakjelasan hak-hak tersangka dalam UU OJK selayaknya mengacu pada ketentuan yang berkaitan dengan kewenangan OJK dalam pemenuhan hak-hak tersangka pada proses penyidikan yang dilakukan oleh OJK dan Pemohon seharusnya melihat bagaimana praktik yang dilakukan oleh OJK berkaitan dengan pemenuhan hak-hak para pihak pada proses penyidikan oleh Penyidik OJK.
Terhadap alasan Pemohon I sampai dengan Pemohon IV yang berprofesi sebagai dosen/pengajar pada perguruan tinggi, OJK berpendapat bahwa norma pasal-pasal yang dilakukan pengujian adalah berkaitan dengan apakah OJK sebagai lembaga independen layak untuk diberikan kewenangan penyidikan dalam tindak pidana di sektor jasa keuangan, sedangkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) adalah ketentuan yang berkaitan dengan bagaimana penyidik menerapkan kewenangan penyidikan yang dimiliki. Berdasarkan KUHAP penyidik wajib melakukan proses penyidikan sesuai dengan hukum acara pidana yang diatur dalam KUHAP dan hal ini tentu tidak berkaitan dengan pemberian kewenangan penyidikan oleh lembaga tertentu termasuk OJK.
Alasan Pemohon V dan Pemohon VI yang menganggap bahwa telah dirugikan sebagai akibat dari laporan bank kreditur PT SNP kepada pihak kepolisian sehingga Para Pemohon saat ini menjalani proses hukum sebagai tersangka dengan dugaan tindak pidana di sektor jasa keuangan tidaklah dapat dijadikan dasar dalam menyatakan adanya kerugian konstitusional dari pasal-pasal dalam UU OJK yang dilakukan pengujian pada perkara a quo . Berdasarkan informasi yang diperoleh oleh OJK, 162 Pemohon V dan Pemohon VI bukanlah pihak-pihak yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Penyidik OJK. Pemohon V dan Pemohon VI ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Bareskrim Mabes Polri dalam dugaan tindak pidana umum dan bukan karena dugaan tindak pidana di sektor jasa keuangan.
Dalam Persidangan Pendahuluan Permohonan a quo pada tanggal 18 Desember 2018, Yang Mulia Majelis Mahkamah Konstitusi telah memberikan saran dan kritik terhadap Permohonan dimaksud diantaranya terkait legal standing atau kedudukan hukum dari Para Pemohon (dalam hal ini Pemohon I sampai Pemohon IV) yang menurut Yang Mulia Majelis Mahkamah Konstitusi kurang spesifik karena tidak adanya kerugian konstitusional secara nyata terhadap Para Pemohon terkait dengan kewenangan penyidikan yang diatur dalam UU OJK.
Selain itu Yang Mulia Majelis Mahkamah Konstitusi juga berpendapat dalam permohonan a quo , para Pemohon tidak memberikan argumentasi yang eksplisit terkait dengan kondisi konkrit hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara posisi Pemohon sebagai akademisi dengan diberikannya kewenangan Penyidikan kepada OJK.
Selanjutnya, dalam persidangan perbaikan permohonan yang dibacakan oleh Pemohon pada tanggal 7 Januari 2019, Pemohon I sampai Pemohon IV tidak melakukan perubahan dalam menjelaskan kerugian konstitusional yang dialami Pemohon I sampai dengan Pemohon IV tetapi hanya menambahkan Pemohon V dan Pemohon VI yang menurut para Pemohon memiliki kerugian secara nyata terhadap kewenangan penyidikan yang diatur dalam UU OJK karena menjalani masa tahanan di Polda Metro Jaya.
Oleh karena itu, kiranya adalah tepat dan sudah sepatutnya jika Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan para Pemohon tidak memenuhi kualifikasi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 51 UU MK sehingga dengan demikian Permohonan Pemohon layak untuk dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard ). 163 10. Namun jika Yang Mulia Ketua/Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memberikan pendapat yang berbeda, maka OJK menyerahkan kepada Yang Mulia Ketua/Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) atau tidak, sebagaimana ditentukan oleh ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu (sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU- V/2007). III. PERMOHONAN PENGUJIAN YANG DIAJUKAN PARA PEMOHON TELAH DINILAI DAN DIPUTUS OLEH YANG MULIA MAJELIS MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PERKARA NOMOR 25/PUU-XII/2014 YANG BERSIFAT FINAL AND BINDING 1. Sesuai dengan ketentuan Pasal 60 UU MK menyatakan, ” Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam Undang- Undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. ” 2. Pada tanggal 14 Agustus 2015, Mahkamah Konstitusi telah memeriksa dan memutus rumusan keseluruhan Pasal 1 angka 1 UU OJK terhadap UUD 1945 dalam putusan perkara NOMOR 25/PUU-XII/2014, sehingga Pasal 1 angka 1 UU OJK selengkapnya menjadi berbunyi: “ Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah Lembaga yang Independen, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.” 3. Berdasarkan pendapat Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam persidangan tanggal 18 Desember 2018 yang dituangkan dalam halaman 13 risalah sidang perkara Nomor 102/PUU-XVI/2018, Yang Mulia Hakim Anggota Saldi Isra pada pokoknya menyatakan kewenangan penyidikan yang terdapat pada Pasal 1 angka 1 UU OJK telah dinyatakan konstitusional dalam Putusan sebelumnya dan apabila ketentuan tersebut hendak dikoreksi maka Pemohon harus memberikan argumentasi yang jauh lebih kuat. 164 4. Berdasarkan hal tersebut di atas, setelah mempelajari Permohonan a quo , baik pada Surat Permohonan pertama maupun pada Surat Perbaikan Permohonan, menurut pandangan Pihak Terkait, materi muatan ayat yang dimohonkan pengujian a quo telah diuji dan diputus berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XII/2014 sehingga __ tidak dapat dimohonkan pengujian __ kembali . Selain daripada itu, Pemohon belum memberikan argumentasi-argumentasi yang jauh lebih kuat atas permohonan pengujian Pasal 1 angka 1 UU OJK yang telah dinyatakan konstitusional dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU- XII/2014.
Selanjutnya, Putusan Mahkamah Konstitusi adalah bersifat final , yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat ( final and binding ). Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) UU MK dan penjelasannya.
Dengan demikian, permohonan a quo tidak memenuhi kriteria sebagai permohonan yang dapat dimohonkan kepada Mahkamah Konstitusi. IV. PENJELASAN OJK TERHADAP MATERI YANG DIMOHONKAN OLEH PARA PEMOHON Sebelum OJK menyampaikan penjelasan atas Materi Permohonan Para Pemohon, OJK terlebih dahulu akan menjelaskan tujuan pembentukan OJK dan dasar kewenangan penyidikan dalam UU OJK sebagai berikut:
Dasar Hukum dan Tujuan Pembentukan OJK 1.1. Pembentukan OJK melalui UU OJK disusun bersama antara Presiden (Pemerintah) sesuai kewenangan dalam Pasal 5 UUD 1945 dengan DPR-RI sesuai kewenangan dalam Pasal 20 UUD 1945.
Latar Belakang Kewenangan Penyidikan OJK 2.1. Pada prinsipnya, Pemerintah dan DPR selaku pembentuk undang- undang ( policy maker ) memiliki kewenangan yang disebut dengan open legal policy . Kewenangan tersebut memberikan kebebasan 168 kepada policy maker untuk membentuk norma tertentu sepanjang tidak bertentangan dengan konstitusi.
Pelaksanaan Kewenangan Penyidikan oleh OJK tetap Berlandaskan pada Asas Presumption of Innocence Dalam Koridor Due Process of Law serta Integrated Criminal Justice System. Setelah membaca dan mempelajari surat permohonan a quo , selain hal- hal yang berkaitan dengan keberatan pemohon atas pencantuman kewenangan penyidikan oleh OJK dalam UU OJK yang dianggap tidak sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D UUD 1945, terdapat beberapa keberatan pemohon yang berkaitan dengan pelaksanaan penyidikan yang dianggap sewenang-wenang dan melanggar asas presumption of innocence , keberadaan penyidik dari instansi lain yang bersifat sementara dan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, pelaksanaan penyidikan yang melanggar due process of law , dan mengaburkan integrated criminal justice system . Menanggapi hal-hal tersebut di atas, OJK memiliki beberapa pandangan sebagai berikut:
1.2. Dalam paham Negara Hukum, pada hakikatnya hukum sendirilah yang menjadi penentu segalanya sesuai dengan prinsip nomokrasi ( nomcrasy ) dan doktrin “ the Rule of Law and not of Man ”. Dalam kerangka ‘ the rule of Law’ , pengakuan bahwa hukum itu mempunyai kedudukan tertinggi ( supremacy of law ), adanya persamaan dalam hukum dan pemerintah ( equality before the law ), dan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya dalam kenyataan praktek ( due process of law ). 175 3.1.3. Gagasan Negara Hukum dibangun dengan mengembangkan perangkat hukum sebagai suatu sistem yang fungsional dan berkeadilan. Sehingga sistem hukum tersebut dibangun ( law making) dan ditegakkan ( law enforcing). 3.1.4. Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum memiliki empat ciri _penting yaitu: _ a) Perlindungan hak asasi manusia; b) Pembagian kekuasaan; c) Pemerintahan berdasarkan undang-undang; dan d) Peradilan tata usaha negara.
1.5. Sejalan dengan ciri Negara Hukum menurut Julius Stahl tersebut, dalam menjalankan pemerintahan, para aparatur negara harus berdasarkan pada undang-undang yang dibentuk sesuai dengan kewenangannya.
1.6. Sebagaimana dimuat dalam Naskah Akademik Pembentukan OJK dinyatakan bahwa OJK dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya harus berlandaskan asas-asas prinsipil yang harus diterapkan secara utuh dan konsekuen, salah satunya ialah asas kepastian hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan OJK.
1.7. Hal ini dituangkan ke dalam rumusan pasal-pasal yang ada dalam UU OJK, dimulai dari tujuan, fungsi, tugas, dan wewenang OJK untuk melakukan pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan, termasuk dengan batasan kewenangan yang jelas dalam melakukan pelaksanaannya. Kemudian, struktur peraturan pelaksanaan di OJK yang wajib dibuat sebagai dasar hukum setiap aturan main dan/atau keputusan yang diambil OJK demi terjaminnya tata cara pelaksanaan administrasi negara yang baik dan benar.
1.8. Demikian pula dengan kewenangan penyidikan yang diatur secara spesifik dimulai dari pengenalan kewenangan penyidikan yang merupakan fungsi pengawasan OJK di sektor jasa 176 keuangan (vide Pasal 9 huruf c UU OJK). Kemudian, dasar acuan kewenangan penyidikan OJK yang tunduk pada koridor hukum acara pidana yang diatur dalam KUHAP [vide Pasal 49 ayat (1) UU OJK] hingga formasi Penyidik OJK yang terdiri dari Penyidik Polri dan Penyidik PPNS berikut dengan masing- masing kewenangannya dan kewajiban koordinasi dengan instansi terkait (vide Pasal 49, Pasal 50, dan Pasal 51 UU OJK).
1.9. Berdasarkan uraian tersebut serta pendapat para filsuf ahli hukum di atas, menunjukkan bahwa pelaksanaan fungsi penyidikan OJK sejalan dengan asas supremasi hukum dimana pelaksanaannya didasarkan pada hukum (undang-undang) yang dibentuk oleh pemerintah dan DPR.
2.4. Dapat diinformasikan per tanggal 26 Januari 2019 ini pelaksanaan kewenangan penyidikan oleh OJK telah membuahkan 9 (sembilan) putusan inkracht dan 13 (tiga belas) perkara yang masih dalam proses di pengadilan. Dengan telah terdapatnya putusan-putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut berarti secara hukum formal dan material Majelis Hakim Pengadilan menerima, mengakui, dan memandang kesesuaian keseluruhan tindak pidana yang disangkakan, termasuk dengan kesesuaian proses penanganannya dengan koridor hukum peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga dapat dikatakan, kehadiran Penyidik OJK justru semakin menguatkan integrated criminal justice system di Indonesia pada kekhususan tindak pidana di sektor jasa keuangan . 3.2.5. Argumentasi para Pemohon yang menyatakan wewenang penyidik OJK secara khusus pada Pasal 49 ayat (3) huruf d, huruf f, dan huruf k melanggar asas ” due process of law ” dan dapat menimbulkan kesewenang-wenangan dari penyidik OJK karena sama sekali tidak mengaitkan pada KUHAP serta tidak berkoodinasi dengan aparat penegak hukum lainnya merupakan suatu yang tidak beralasan.
2.6. Sebagaimana diamanatkan dalam Naskah Akademik Pembentukan UU OJK dikatakan bahwa OJK berkoordinasi dengan penegak hukum dan instansi, lembaga dan/atau pihak lain yang memiliki kewenangan di bidang penegakan hukum 178 (vide angka 7 huruf b) halaman 23 sampai dengan halaman 24 Naskah Akademik Pembentukan OJK). Hal ini mengandung arti bahwa amanat koordinasi antara OJK dengan para penegak hukum pidana harus dilaksanakan. Sebagai contoh, OJK telah membuat landasan hukum terkait koordinasi dengan Jaksa selaku salah satu aparat penegak hukum melalui POJK Penyidikan (vide Pasal 6 Peraturan OJK Nomor 22/POJK.01/2015 tentang Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan ~ selanjutnya disebut POJK Penyidikan) dan tetap mengacu sebagaimana yang diatur dalam KUHAP.
2.7. Lebih lanjut, koordinasi penindakan tindak pidana di sektor jasa keuangan ditindaklanjuti oleh OJK dengan membuat berbagai Nota Kesepahaman diikuti dengan Perjanjian Kerjasama bersama dengan beberapa institusi/lembaga yang memiliki fungsi penyidikan, antara lain dengan: Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksanaan Agung Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pajak–Kementerian Keuangan, dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
2.8. Penting untuk digarisbawahi bahwa kerjasama yang telah terjalin ini dirasakan sangat mempermudah jalannya koordinasi pelaksanaan penyidikan sehingga penyidikan dapat dilaksanakan secara cepat, berbiaya ringan, dan sederhana.
2.9. Keuntungan dari lancarnya koordinasi antara Penyidik OJK, baik yang berasal dari Kepolisian Republik Indonesia maupun Penyidik Pegawai Negeri Sipil dari institusi lain dirasakan guna mewujudkan keadilan, kemanfaatan, kepastian hukum, serta menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sektor jasa keuangan dan stabilitas sistem keuangan yang menjadi marwah besar pembentukan OJK selaku regulator di sektor jasa keuangan.
2.10. Bahwa argumentasi para Pemohon yang menyatakan dalam UU OJK tidak terdapat adanya jaminan ” due process of law ” dalam proses penegakan hukum pidana (criminal justice 179 system) di sektor jasa keuangan telah melanggar adanya suatu jaminan atas kepastian hukum yang adil dalam penegakan hukum yang adil di negara Republik Indonesia yang dijamin dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tidak cukup bukti dan tidak beralasan karena OJK tetap mengacu pada KUHAP sebagaimana praktik yang selama ini telah dilaksanakan oleh Penyidik OJK.
2.11. Perlu Pihak Terkait informasikan bahwa OJK selama kurun waktu 7 (tujuh) tahun sejak berdiri telah menerima 3 (tiga) kali gugatan pra peradilan, yaitu di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Negeri Bandung, dan Pengadilan Negeri Palu. Hasilnya seluruh putusan pengadilan tersebut telah menyatakan menolak/tidak menerima gugatan pra peradilan, atau dengan kata lain Majelis Hakim Pengadilan telah memandang proses penanganan perkara pidana sektor jasa keuangan yang dilakukan oleh Penyidik OJK telah sesuai dengan prosedur sebagaimana telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, termasuk pula jaminan hak asasi manusia yang termaktub dalam due process of law .
2.12. Argumentasi yang didalilkan oleh Para Pemohon terkait OJK telah mengatur tentang acara sendiri, khususnya perihal penyidikan, melalui POJK Penyidikan adalah keliru. Pengertian dari Hukum Acara (dalam hal ini hukum acara formil) ialah “ Hukum Acara Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang memberi dasar- dasar dan aturan yang menentukan dengan cara dan prosedur macam apa ancaman pidana yang ada pada suatu perbuatan pidana dapat dilaksanakan apabila ada sangkaan bahwa orang telah melakukan delik tersebut ”. Hal ini tepat disandingkan pada KUHAP yang menyatakan ruang lingkup berlakunya KUHAP, yaitu untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan peradilan umum pada semua tingkat peradilan ( vide Pasal 2 KUHAP). 180 3.2.13. Sehingga apabila dibandingkan antara KUHAP dengan POJK Penyidikan adalah tidak sebanding dan salah alamat. POJK Penyidikan merupakan peraturan pelaksanaan tentang tindakan penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik OJK terkait adanya dugaan tindak pidana di bidang Perbankan, Pasar Modal, dan/atau Industri Keuangan Non-Bank. Kedudukan POJK Penyidikan ini sama halnya dengan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Polri sebagai pengaturan yang lebih teknis dari pelaksanaan kewenangannya, yaitu Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
3.1. Dalam rangka memenuhi kebutuhan penyidik OJK, berdasarkan ketentuan Pasal 27 ayat (2) UU OJK dan penjelasannya, OJK diberikan hak untuk mempekerjakan penyidik yang berasal dari Kepolisian Negara Republik Indonesia maupun Pegawai Negeri Sipil. Pasal 27 ayat (2) “ OJK dapat mempekerjakan pegawai negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. ” Penjelasan Pasal 27 ayat (2) “...Pegawai negeri yang bekerja pada OJK dapat berstatus dipekerjakan atau status lainnya dalam rangka menunjang kewenangan OJK di bidang pemeriksaan, penyidikan, atau tugas-tugas yang bersifat khusus. Pegawai negeri tersebut antara lain berasal dari pejabat penyidik pegawai negeri sipil dan/atau Pejabat Penyidik Kepolisian. Hak dan kewajiban pegawai negeri tersebut disetarakan dengan hak dan kewajiban pegawai OJK. ” 3.3.2. Dipekerjakannya penyidik Polri dan Penyidik PNS merupakan salah satu upaya OJK untuk memperkuat pelaksanaan fungsi 181 penyidikan di sektor jasa keuangan karena sudah barang tentu yang dapat menjadi penyidik sesuai dengan KUHAP hanya berasal dari 2 (dua) unsur, yaitu pejabat polisi negara Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang ( vide Pasal 6 ayat (1) KUHAP).
3.3. Adapun terkait dengan kewenangan Penyidik OJK diatur dalam 2 (dua) tempat, yaitu bagi Penyidik Polri telah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP dan bagi Penyidik PPNS diatur secara khusus dalam Pasal 49 ayat (3) UU OJK. Hal ini telah sesuai sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP yang berbunyi “Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat ( 1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang- undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a ”. Hal ini memiliki 2 (dua) arti, yaitu: Pertama, kewenangan Penyidik PPNS hanya sebatas kewenangan yang diatur dalam undang-undangnya masing-masing; dan Kedua, dalam pelaksanaan tugasnya, penyidik yang berasal dari PNS tetap berkoordinasi dengan penyidik Polri.
3.4. Sehubungan dengan dalil para Pemohon yang menyadur Pasal 109 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (selanjutnya disebut UU ASN), tentu saja UU ASN tidak tepat dijadikan dasar hukum pada permasalahan a quo . Status kepegawaian di OJK tidak tunduk pada UU ASN karena berdasarkan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU OJK, pihak yang bekerja di OJK berstatus sebagai pegawai OJK, bukan sebagai ASN. Begitu pula dengan seluruh penyidik Polri yang dipekerjakan OJK tidak tunduk pula dengan UU ASN, melainkan pada UU Nomor 2 Tahun 2002. Dengan begitu, penyidik Polri yang dipekerjakan di OJK tidak harus mengundurkan diri sebagaimana diatur dalam Pasal 109 ayat (2) UU ASN. 182 3.3.5. Bahwa argumentasi para Pemohon kata ”dapat” pada Pasal 27 ayat (2) UU OJK berarti bersifat sementara sehingga keberadaan PPNS di OJK tidak didasarkan pada kewenangan temporar pada suatu masa atau rentang waktu tertentu saja.
3.6. Dalam Pasal 51 UU OJK telah mengatur ketentuan minimal penarikan kembali para Penyidik PPNS tersebut, yaitu 6 (enam) bulan dan sedang tidak menangani perkara. Ketentuan yang diatur dalam UU OJK ini mengandung arti bahwa alasan penarikan Penyidik PPNS tersebut harus dilakukan dengan cermat dan dipastikan tidak menghalangi jalannya proses penyidikan yang sedang berlangsung di OJK.
4.2. Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, peran OJK sebagai pengatur dan pengawas sektor jasa keuangan merupakan komponen penting dalam sistem perekonomian nasional. Selain itu, OJK menjalankan fungsi intermediasi bagi pelbagai kegiatan produktif di perekonomian nasional dan memberikan kontribusi yang signifikan dalam penyediaan dana untuk pembiayaan pembangunan nasional, terutama dalam rangka menjalankan tujuan konstitusional dibentuknya negara Indonesia dalam Pasal 33 UUD 1945.
4.3. Oleh karena itu, apabila permohonan a quo __ dikabulkan dan diterimanya argumentasi Para Pemohon, maka hal tersebut akan mengganggu pelaksanaan tugas-tugas pengawasan dan penegakan hukum dalam sektor jasa keuangan.
4.4. Selain itu, manfaat penegakan hukum sektor jasa keuangan terintegrasi yang selama ini telah terlaksana dan efektifnya penegakan hukum sektor jasa keuangan tidak akan dilaksanakan lagi, sehingga pada akhirnya perlindungan 183 terhadap konsumen di sektor jasa keuangan akan menjadi terbengkalai. V. PERMOHONAN MENGENAI AMAR PUTUSAN Sebagai penutup, sebagaimana telah Pihak Terkait jabarkan melalui poin-poin di atas, Pihak Terkait berkesimpulan permohonan pengujian Pasal 1 angka 1 terhadap frasa “dan Penyidikan” dan Pasal 9 huruf c terhadap kata “Penyidikan” UU OJK yang bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 merupakan kekhawatiran yang sifatnya bukan merupakan persoalan konstitutional, melainkan hanya teknis pelaksanaan penyidikan di OJK. Dengan demikian Pihak Terkait mohon agar Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dapat memutuskan permohonan uji materi terhadap ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan terhadap ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan memberikan putusan sebagai berikut:
Menyatakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing .
Menolak permohonan para Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan Para Pemohon tidak dapat diterima.
Menyatakan, ketentuan UU OJK Pasal 1 angka 1 terhadap frasa ”...dan Penyidikan...” tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat.
Menyatakan, ketentuan UU OJK Pasal 9 huruf c terhadap kata “Penyidikan” tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat. Apabila Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya, ex aequo et bono . Selain itu, Pihak Terkait mengajukan 3 orang Ahli yaitu Mahmud Mulyadi, Yunus Husein, dan Zainal Arifin Mochtar yang didengarkan keterangannya pada persidangan tanggal 23 April 2019 dan 2 Orang Saksi yaitu I Gusti Agung Rai Wirajaya dan I Gede Hartadi Kurniawan yang didengarkan keterangannya pada 184 persidangan tanggal 8 Mei 2019 dan pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut: Keterangan Ahli 1. Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum A. “Esensi PPNS OJK dalam Kewenangan Penyidikan Tindak Pidana di bidang Jasa Keuangan: Suatu Sinthesa dari Indeterminisme dan Determinisme ” Peran dan fungsi negara dalam rangka criminal policy, khususnya dalam ruang lingkup penal policy (kebijakan hukum pidana), maka merupakan hak negara untuk “merumuskan dalam hukum pidana materill, perbuatan yang bertentangan nilai-nilai masyarakat dan mengancamkan hukumannya ( Ius Poenale ). Selain itu juga, terdapat hak negara untuk “menjatuhkan hukuman” yang mekanismenya dirumuskan dalam hukum pidana formil atau Hukum Acara Pidana( Ius Poeniendi ). Ius Poenale bermakna sebagai hak objektif negara untuk memasukkan atau membuat ancaman hukuman atas suatu perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma dalam masyarakat. Ancaman ini dirumuskan dalam undang-undang hukum pidana oleh negara sehingga bisa diberlakukan oleh negara melalui asas legalitas “ nullum delictum nulla poena sine prevea lege poenale” , tiada suatu perbuatan yang dapat dihukum kecuali telah diatur terlebih dahulu dalam peraturan perundang- undangan. Sedangkan “ Ius Puniendi” yaitu hak subjektif negara untuk menjatuhkan hukuman bagi pelaku kejahatan yang telah melanggar aturan hukum pidana ( Ius Poenale ). Ius Puniendi biasa juga disebut hukum pidana formiil (Hukum Acara Pidana). Menurut Jan Remmelink bahwa “ Ius Puniendi” ini sering dikaitkan dengan persoalan kekuasaan yang dimiliki oleh negara untuk menjatuhkan pidana ( strafgewalt ) dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan sebelumnya. Hak ini meliputi hak untuk menyidik, menuntut, penjatuhan pidana dan eksekusi pidana. Sehubungan dengan Ius Poenale dan Ius Puniendi di atas, maka telah melahirkan tiga aliran dalam hal pemidanaan, yaitu aliran klasik, aliran positif dan aliran neo-klasik. 185 Diskursus dari ketiga aliran di atas menyoal tentang pemidanaan dari sudut pandang paham indeterminisme (kehendak bebas) dan paham determinisme (tidak punya kehendak bebas). Penganut paham indeterminisme (kehendak bebas) berpendapat bahwa manusia mempunyai kehendak bebas yang tindakannya merupakan sebab dari segala keputusan kehendak tersebut. Sedangkan Penganut paham determinisme (tidak punya kehendak bebas) menyatakan bahwa orang tidak mempunyai kehendak bebas dalam melakukan suatu perbuatan karena dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor- faktor biologis dan faktor-faktor lingkungan kemasyarakatan. Dengan demikian kejahatan adalah manifestasi dari keadaan jiwa seseorang yang abnormal. Oleh karena itu pelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan atas perbuatan dan tidak dapat dikenakan pidana. Dalam kondisi ini, maka bukan pidana yang seharusnya dikenakan kepada pelaku, tetapi yang diperlukan adalah tindakan- tindakan perawatan yang bertujuan memperbaiki (Mahmud Mulyadi, Kuliah Umum di Progrma Magister Ilmu Hukum FH Unsri, 16 April 2016). Aliran Klasik (clasical school) melahirkan dua teori tujuan pemidanaan, yaitu teori retributif (teori absolut) dan teori relatif ( deterrence ). Teori Retributif dalam tujuan pemidanaan disandarkan pada alasan bahwa pemidanaan merupakan “ morally Justifed ” (pembenaran secara moral) karena pelaku kejahatan dapat dikatakan layak untuk menerimanya atas kejahatannya. Asumsi yang penting terhadap pembenaran untuk menghukum sebagai respon terhadap suatu kejahatan karena pelaku kejahatan telah melakukan pelanggaran terhadap norma moral tertentu yang mendasari aturan hukum yang dilakukannya secara sengaja dan sadar dan hal ini merupakan bentuk dari tanggung jawab moral dan kesalahan hukum si pelaku (Aleksandar Fatic: 1995:
. Ciri khas teori retributif ini terutama dari pandangan Immanuel Kant (1724-1804) dan Hegel (1770-1831), Kant melihat dalam pemidanaan terdapat suatu “ imperatif kategoris ”, yang merupakan tuntutan mutlak dipidananya seseorang karena telah melakukan kejahatan. Sedangkan Hegel memandang bahwa pemidanaan adalah hak dari pelaku kejahatan atas perbuatan yang dilakukannya berdasarkan kemauannya sendiri (J.G. Murphy: 1995:
. 186 Teori “ deterrence ”, Tujuan pemidanaan sebagai deterrence effect sebenarnya telah menjadi sarana yang cukup lama dalam kebijakan penanggulangan kejahatan karena tujuan deterrence ini berakar dari aliran klasik tentang pemidanaan, dengan dua orang tokoh utamanya, yaitu Cessare Beccaria bukunya yang berjudul dei Delitti e Delle Pene (1764) bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk mencegah seseorang supaya tidak melakukan kejahatan, dan bukan sebagai sarana balas dendam masyarakat (C. Ray Jeffery: 1977:
. Beccaria berpendapat bahwa hukum harus mampu menjamin kebahagian yang sejati dari sebagian besar masyarakat ( the greatest happiness of the great number ). Untuk menjamin kebahagiaan terbesar ini, maka pidana harus terlebih dahulu ditentukan di dalam undang- undang yang dibuat melalui kekuasaan legislatif, sebagai perwujudan dari prinsip kontrak sosial. Tujuan pemidanaan menurut Beccaria adalah mencegah seseorang untuk melakukan kejahatan, dan bukan menjadi sarana balas dendam masyarakat ( the purpose of punishment is to deter persons from the commission of crime and not to provide social revenge ). Oleh karena itu pidana yang kejam tidak membawa manfaat bagi kemananan dan ketertiban masyarakat. Upaya penanggulangan kejahatan menurut Beccaria lebih baik dengan melakukan upaya preventif daripada melakukan pemidanaan (J.M. van Bemmelen: 1991: 1-4). Aliran Positif, melihat kejahatan secara empiris dengan menggunakan metode ilmiah untuk mengkonfirmasi fakta-fakta di lapangan dalam kaitannya dengan terjadinya kejahatan. Aliran ini beralaskan paham determinisme yang menyatakan bahwa seseorang melakukan kejahatan bukan berdasarkan kehendaknya karena manusia tidak mempunyai kehendak bebas dan dibatasi oleh berbagai faktor, baik watak pribadinya, faktor biologis, maupun faktor lingkungan. Oleh karena itu pelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan dan dipidana, melainkan harus diberikan perlakuan ( treatment ) untuk resosialisasi dan perbaikan sipelaku. (Freda Adler et. al.: 1995: 59-61, lihat juga J. Robert Lilly et, al.: 1995: 22-25) Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif yang berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku 187 kejahatan, bukan pada perbuatannya. Namun pemidanaan yang dimaksudkan oleh aliran ini adalah untuk memberi tindakan perawatan ( treatment ) dan perbaikan ( rehabilitation ) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Argumen aliran positif ini dilandaskan pada alasan bahwa pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan ( treatment ) dan perbaikan ( rehabilitation ). Setiap aliran pemidaanaan di atas, sangat mempengarui kebijakan setiap negara dalam menyusun substansi hukum pidana materil dan perkembangan hukum Acara Pidananya sebagai hukum pidana formil. Pengaruh Aliran positif, menjadikan penegakan hukum pidana melalui Criminal Justice System , ke luar dari bingkai konvensionalnya. Betapa tidak, Aliran positif yang lahir dipenghujung abad ke-18, meletakkan kajian kejahatan secara praksis dari ilmu alam dan ilmu sosial. August Comte (1798-1857) seorang sosiolog berkebangsaan Perancis, menerapkan pendekatan metode ilmu pengetahuan alam kepada ilmu-ilmu sosial melalui bukunya yang berjudul “ Cours de Philosophie Positive ” atau “ Course in Positive Philosophy ”, diterbitkan antara tahun 1830 dan 1842. Comte menyatakan bahwa “ There could be no real knowledge of social phenomena unless it was based on a positivist (scientific) approach” . Perkembangan ilmu pengetahuan saat itu juga dipengaruhi oleh Charles Darwin (1809-1892) dengan teori evolusinya. Lombroso menyatukan pemikiran Comte dan Darwin untu menjelaskan hubungan antara kejahatan dengan bentuk tubuh manusia. Lombroso menerbitkan bukunya yang berjudul “ L’uomo Delinquente” atau “ The Criminal Man ” pada tahun 1876, yang menandai bahwa terjadinya transformasi kajian mengenai kejahatan dari tataran yang abstrak (philosopis) ke ranah yang lebih konkrit melalui pendekatan metode ilmiah. Rehabilitasi yang diusung oleh aliran positif terhadap pelaku kejahatan merupakan rehabilitasi medis atas nama treatment berupa tindakan perawatan medis. Hal ini menjadikan pendekatan ilmu kedokteran menjadi idola dalam penegakan hukum pidana (John M. Wilson: 1965:
. Dalam kontek penyidikan, maka selain aparat penegak hukum, maka petugas medis (dokter) menjadi komponen yang utama untuk menentukan tindakan bagi pelaku 188 kejahatan. Hal ini merupakan cikal bakal awal dari lahirnya peranan sipil (katakanlah penyidik sipil) di luar aparat penegak hukum. Beberapa tujuan dari pemidanaan seperti yang telah diuraikan di atas telah menjadi suatu dilema dalam hal pemidanaan. Tujuan pidana dalam pandangan retributif dianggap terlalu kejam dan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan tujuan pemidanaan sebagai deterrence dianggap telah gagal dengan fakta semakin meningkatnya jumlah pelaku yang menjadi residivis. Sementara tujuan pemidanaan rehabilitasi telah kehilangan arahnya. Paham rehabilitasi sebagai tujuan pemidanaan dalam perjalanannya tidak semulus yang diperkirakan karena paham ini juga banyak menuai kritikan. Kritikan pertama ditujukan pada kenyataannya bahwa hanya sedikit negara yang mempunyai fasilitas untuk menerapkan program rehabilitasi pada tingkat dan kebijakan yang menekankan penggunaan tindakan untuk memperbaiki ( treatment ) atas nama penahanan. Kritikan kedua, adanya tuduhan yang serius bahwa pendekatan yang digunakan oleh paham rehabilitasi adalah pendekatan yang mengundang tirani individu dan penolakan hak asasi manusia. Misalnya dalam hal proses pelaksanaan rehabilitasi ini tidak seseorang pun yang dapat memprediksi berapa lama pengobatan akan berlangsung ketika seorang tahanan segera diserahkan kepada dokter untuk disembuhkan atau diobati sebelum tahanan itu dibebaskan. Dalam hal ini juga sulit untuk mengontrol otonomi keputusan dokter. Menurut Lewis sebagaimana yang dikemukakan oleh Gerber McAnany bahwa sebagian besar metode treatment yang dilakukan dengan penuh kebaikan dan atas nama kemanusiaan, namun akhirnya tidak terkontrol (Jackson Toby: 1970:
. Upaya mengatasi dilema tujuan pemidanaan di atas, maka munculah aliran Neo klasik . Aliran ini berkembang pada Abad ke- 19 yang memusatkan perhatiannya tidak hanya pada perbuatan atau tindak pidana yang terjadi, tetapi juga terhadap aspek-aspek individual si pelaku tindak pidana ( Daad- dader Strafrecht) . Aliran Neo-Klasik ini lahir sebagai sinthesa dari aliran Klassik dan aliran Positif. Hal ini karena paham aliran Neo-klasik meyakini adanya kebebasan kehendak manusia ( free will/indeterminism ) dalam melakukan kejahatan, namun aliran Neo-Klasik melakukan beberapa perubahan dengan mulai mempertimbangkan adanya kebutuhan pembinaan 189 terhadap pelaku kejahatan ( Determinism ), disamping masih perlunya pemidanaan. Aliran Neo-Klasik mengakui bahwa kebebasan kehendak seseorang pelaku kejahatan untuk memilih sesuatu itu dipengaruhi oleh pathology , ketidakmampuan, gangguan kejiwaan dan kondisi lain yang memungkinkan seseorang melakukan kehendak secara bebas. Dalam hal pertanggungjawaban pidana, dipertimbangkan alasan bahwa si pelaku mengalami gangguan jiwa, di bawah umur dan keadaan-keadaan lain yang dapat mempengaruhi pengetahuan dan niat seseorang pada waktu melakukan kejahatan. Oleh karena itu aliran Neo Klasik menerima diberlakukannya keadaan-keadaan yang meringankan, baik dari kondisi fisik, lingkungan, maupun mental seseorang (Franks E. Hagan: 2013: 140-141). Perkembangan kejahatan saat ini begitu pesat, sehingga KUHP tidak mampu untuk menampung pengaturannya. Het recht hinkt achter de feiten aan . Sebuah ungkapan dalam Bahasa Belanda yang berarti hukum itu ketinggalan dari peristiwanya. Biasa juga dikenal dengan istilah moment opname, yaitu ketika suatu peraturan telah diundangkan, maka dengan sendirinya telah ketinggalan zaman. Ini menjadi alasan munculnya berbagai UU di luar KUHP, termasuk munculnya berbagai Peraturan Perundang-Undangan Administrasi yang juga mengatur ketentuan pidana di dalamnya ( administrative penal law ), sebagai sarana ultimum remedium untuk memastikan aturan norma-norma administratif tersebut ditaati. Kemunculan UU di Luar KUHP ini, alas filosofisnya sudah banyak yang mengarah ke aliran Neo Klasik . Misalnya UU Narkotika, selain penerapan pemidanaan, juga telah mengatur rehabilitasi terhadap pengguna dan pecandu. UU Tindak Pidana korupsi, selain penerapan pemidanaan yang ketat, juga telah mengatur treatment berupa rehabilitasi dalam bentuk pemulihan kerugian keuangan negara, dan lain sebagainya. UU OJK merupakan salah satu dari UU di luar KUHP yang juga merumuskan administratif penal law . Rumusan tindak pidananya melingkupi Pasal 52, Pasal 53 dan Pasal 54 UU OJK. Selain itu juga di dalam Pasal 9 huruf c UU OJK, meletakkan core crime -nya di lembaga jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. 190 Tidak hanya OJK, sebagai contoh, salah satu institusi yang telah menerapkan hal ini adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). UU KPK mengandung administratif penal law pada Pasal 65, 66, dan 67 serta core crime nya berada di UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Terlepas ada yang berpendapat yang membedakan Tindak Pidana Khusus dengan Tindak Pidana Administratif, menyatakan bahwa Tindak Pidana Korupsi adalah tindak pidana khusus, berbeda dengan tindak pidana di sektor jasa keuangan yang lebih bersifat administratif penal law , maka menurut pendapat Ahli, tidak perlu mendikotomi antara tindak pidana khusus dengan tindak pidana administratif. Hal ini karena akan mempersempit dan mempersulit upaya penanggulangan kejahatan dalam rangkaian criminal policy . Lagipula, dalam UU Khusus di luar KUHP yang memuat perumusan tindak pidana, maka juga akan mencantumkan delik yang domainnya kebanyakan berada pada wilayah pelanggaran administratif. Hal ini juga terdapat di rumusan Pasal 3 UU Tipikor, yang berbicara tentang penyalahgunaan kewenangan, yang sesungguhnya terminologi ini berada di wilayah kajian Hukum Administrasi Negara. Terminologi “Menyalahgunakan Kewenangan” tidak berada di dalam kajian hukum pidana, melainkan terminologi yang berada di bidang kajian Hukum Administrasi Negara. Oleh karena itu, untuk menentukan ada atau tidaknya suatu perbuatan penyalahgunaan wewenang yang dapat ditarik ke tindak pidana korupsi, maka hukum pidana dan aparat penegak hukum harus meminta bantuan Ahli Hukum Administrasi Negara (HAN) untuk dijadikan parameternya. Konsep wewenang dalam kajian hukum administrasi dan kaitannya dengan tindak pidana korupsi merupakan dua aspek hukum yang saling terkait. Menurut R. Kosim Adisapoetra dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Administrasi Negara, bahwa titik taut “hukum adminsistrasi” berada di antara norma-norma hukum pemerintahan dan hukum pidana. Oleh karena itu hampir setiap norma hukum pemerintahan yang berdasarkan Hukum Administrasi di akhiri “ in cauda venenum ” (ada racun dibuntut atau diekor) dengan sejumlah ketentuan pidana ( R. Kosim Adisapoetra: 1983:
. Bahkan pasal 2 UU Tipikor juga tidak luput dari pelanggaran UU Adminstratif karena dalam Pasal 2 UU Tipikor menyebut secara jelas tentang PMH, oleh 191 karena itu harus dibuktikan peraturan perundang-undangan yang mana yang telah dilanggar oleh seseorang sehingga bisa dituntut sebagai tindak pidana korupsi. Peraturan perundang-undangan ini merujuk kepada Pasal 7 dan Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang Undangan. Perkembangan Aliran Neo-Klasik dalam Hukum Pidana ini, membawa pengaruh yang sangat besar pada Pembaharuan Hukum Acara Pidana. Sehubungan dengan paham Aliran Neo-Klasik inilah, maka HIR yang merupakan Hukum Acara Pidana yang masih bernuansa Aliran Klasik, diganti dengan KUHAP berdasarkan UU No. 8 Tahun 1981 yang telah memperhatikan kesimbangan perbuatan dan hak-hak pelaku kejahatan. Walaupun KUHAP telah bercorak Neo-Klasik, namun tentunya KUHAP juga dihadapkan pada kenyataan moment opname. Hal ini terlihat di dalam berbagai UU Pidana Khusus, telah mengatur juga Hukuma Acara Pidana Sendiri secara Khusus yang menyimpang dari ketentuan KUHAP, misalnya mulai dari persoalan ruang lingkup kewenangan dan lembaga yang diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan, dikenalnya sistem pembuktian terbalik, peradilan in absensia sampai pada perluasan alat-alat bukti. KUHAP telah memprediksi hal demikian, sehingga di dalam Pasal 1 angka 1 KUHAP menegaskan bahwa penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia atau pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Kemudian ditegaskan kembali dalam Pasal 6 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa penyidik adalah (a) Pejabat polisi negara republik Indonesia; (b) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. KUHAP sebagai umbrella act Hukum Pidana Formil yang berfungsi menegakkan Hukum Pidana Materiil, maka sudah sejak awal pembentukannya telah melakukan prediksi atas berkembangnya UU di Luar KUHP, sehingga KUHAP secara konstitusional mengakui Hukum Acara Pidana khusus di atur dalam UU Pidana Khusus di luar KUHP. Hal ini di cantumkan dalam Bab XXI tentang Ketentuan Peralihan Pasal 284 ayat (2) bahwa “ Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara 192 diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi". Pasal 284 ayat (2) KUHAP di atas hadir untuk mengantisipasi perkembangan zaman bahwa tidaklah menutup kemungkinan timbulnya kejahatan-kejahatan baru yang sama sekali belum terpikirkan pada saat mengkodifikasi hukum pidana dalam suatu kitab undang-undang. Demikian pula dengan perkembangan zaman, banyak kejahatan konvensional dilakukan dengan modus operandi yang canggih sehingga dalam proses beracara diperlukan teknik atau prosedur khusus untuk mengungkap suatu kejahatan. ketentuan Pasal 284 ayat (2) secara eksplisit membenarkan proses beracara di luar KUHAP. Bahkan dalam RUU KUHAP yang lagi disusun, di Pasal 6 RUU telah mengatur 3 jenis penyidik, yaitu Penyidik Polri, PPNS dan Penyidik Kelembagaan tertentu. Begitu juga dengan tindak pidana di sektor jasa keuangan (Perbankan, Perasuransian, Pasar Modal, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya), banyak mengandung unsur-unsur deliknya yang mempunyai terminologi tersendiri yang bisa dipahami secara khusus oleh keilmuan dibidang masing-masing sektor jasa keuangan di atas. Oleh karena itu kebutuhan terhadap PPNS OJK yang profesional sesuai dengan bidangnya masing-masing merupakan sesuatu yang tidak terelakkan. Dengan demikian kewenangan penyidikan PPNS OJK dalam UU OJK merupakan suatu kebutuhan dan harus dipertahankan bahkan diperkuat, mengingat kejahatan di bidang jasa keuangan selalu melibatkan white collar crime , baik berupa corporate crime atau organized crime dalam rezim bussines related crime . Oleh karena itu lahirnya kewenangan penyidikan OJK terhadap tindak pidana di Bidang Jasa Keuangan ini, merupakan sebagai suatu konsekuensi logis dari perkembangan falsafah pemidanaan dalam Hukum Pidana yang bercorak Neo-Klasik , sehingga mempengaruhi perkembangan Hukum Acara Pidana yang secara khusus ditemukan dalam UU di Luar KUHP. Dengan demikian, kewenangan penyidikan OJK ini, bukan berada pada wilayah persoalan 193 konstitusional atau tidak konstitusional, melainkan suatu kebutuhan dalam Hukum Acara Pidana. B. Kewenangan Penyidikan OJK dalam kaitannya dengan Prinsip Due process of law dalam Sistem Peradilan Pidana. Terkait dengan perkembangan Aliran Neo-Klasik di atas, maka juga sangat berpengaruh terhadap mekanisme penegakan hukum dalam Sistem Peradilan Pidana. Komponen Sistem Peradilan Pidana yang dulu secara konvensional terdiri atas Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan, maka kini telah mengalami perluasan. Bahkan Ronal J. Waldron, selain mengakui Sistem Peradilan Pidana yang resmi sebagaimana terdiri atas sub- sub sistem di atas, juga menempatkan keikutsertaan masyarakat yang peduli membantu aparat penegak hukum sebagai bagian dari Sistem Peradilan Pidana dalam arti luas. Keikutsertaan masyarakat ini, baik melalui institusi sosial atau kelompok masyarakat yang melakukan tindakan formal ataupun informal dalam rangka penanggulangan kejahatan (Mahmud Mulyadi: 2008: 91-92). Oleh karena itu, banyak muncul Lembaga Negera Independen yang berfungsi sebagai lembaga pendukung dalam penegakan hukum, misalnya KPK, BNN, PPATK, KOMNAS HAM, KPAI, KPI, OJK dan lain sebagainya. Tentunya setiap lembaga ini mempunyai kewenangan masing-masing sesuai dengan lingkup tugas yang diamanahkan dalam UU, baik untuk fungsi penal polic , maupun fungsi non penal policy . OJK, KPK, BNN adalah contoh lembaga independen yang mengemban fungsi penal policy , berupa adanya kewenangan penyidikan. Eksistensi kewenangan penyidikan ini sangat bergantung pada kebutuhan yang dibawa oleh UU khusus masing-masing. Semua fungsi kelembagaan ini, diarahkan untuk mencapai Keterpaduan Sistem Peradilan Pidana ( Integrated Criminal Justice System ) dalam penanggulangan kejahatan, yang mengemban tugas untuk (Harkristuti Harkirnowo: 2003:
:
Melindungi masyarakat dengan melakukan penanganan dan pencegahan kejahatan, merehabilitasi pelaku kejahatan, serta melakukan tindakan terhadap orang yang merupakan ancaman bagi masyarakat; 194 2. Menegakan dan memajukan serta penghormatan terhadap hukum, dengan menjamin adanya proses yang manusiawi dan adil serta perlakukan yang wajar bagi tersangka, terdakwa dan terpidana. Kemudian melakukan penuntutan dan membebaskan orang yang tidak bersalah yang dituduh melakukan kejahatan;
Menjaga hukum dan ketertiban;
Menghukum pelaku kejahatan sesuai dengan falsafah pemidanaan yang dianut;
Membantu dan memberi nasihat kepada korban kejahatan. Kewenangan penyidikan oleh OJK terhadap tindak pidana di bidang jasa keuangan, merupakan bagian dari Integrated Criminal Justice System yang tujuannya sesuai dengan prinsip-prinsip Due process of law sebagaimana diuraikan di atas. Keberadaan kewenangan penyidikan PPNS OJK ini sebagai konsekuensi logis dari tiga titik perhatian dalam Sistem Peradilan Pidana ( criminal justice system ), yaitu hukum pidana secara materil ( criminal law ), hukum pidana formiil ( the law of criminal procedure ), dan hukum pelaksanaan pidana ( the enforcement of criminal laws ). Semua ini ditujukan sebagai usaha untuk memberikan perlakuan yang adil kepada semua orang yang dituduh telah melakukan kejahatan. Keadilan ( Fairness ) dalam peradilan pidana yang dimaksudkan bahwa orang yang dituduh melakukan kejahatan harus diperlakukan secara wajar dan sama ( equal treatment ), netral ( impartiality ), dan hak-haknya diberikan perlindungan oleh undang-undang ( due process of constitutional protections ). (Mahmud Mulyadi: 2008:
. Dengan demikian, kewenangan penyidikan PPNS OJK tidak bertentangan sama sekali dengan prinsip-prinsip Due process of law , karena dengan adanya kewenangan penyidikan OJK ini, maka justru bisa melindungi hak-hak individu dengan menempatkan hanya orang yang benar-benar terpenuhi unsur deliknya, untuk dihadapkan ke pengadilan. Dengan kata lain, secara keseluruhan kewenangan penyidikan OJK ini dapat mencegah orang yang tidak berbuat dan tidak bersalah tidak menjadi “korban salah penerapan hukum” karena ketidakpahaman dalam proses penyidikan kasus-kasus pidana di bidang jasa keuangan. Inilah wujud eksistensi kewenangan penyidikan OJK 195 yang secara keseluruhan dapat memberikan perlindungan Hak Asasi Manusia, sesuai dengan prinsip-prinsip Due process of law. Due process of law merupakan kerangka dasar bagi pendirian sistem peradilan pidana yang memberikan perlindungan terhadap HAM seseorang. Konsesp due process of law berasal dari Magna Charta 1215 di Inggris yang mulai membatasi kekuasaan raja yang absolut sehingga selama ini HAM warga tidak terlindungi secara adil. Selama berabad-abad, prinsip ini diperluas untuk melindungi kebebasan warga Inggris melawan penindasan pemerintah (Alfi Arifian: 2017:
. Macna Charta adalah hasil peselisihan antara Paus, Raja John (Inggris) dan para baron, atas hak-hak raja. Mereka menuntut pembatasan kekuasaan Raja yang absolut dan mengharuskan Raja untuk membatalkan beberapa haknya, menghargai prosedur hukum semua keinginan raja harus dibatasi oleh hukum. Ringkasan dari isi Macna Charta ini antara lain:
Polisi ataupun jaksa tidak bisa menuntut seseorang tanpa adanya bukti yang jelas dan saksi yang sah;
Seseorang tidak boleh ditahan, ditangkap dan dinyatakan bersalah tanpa perlindungan negara dan tanpa alas hukum sebagai dasar tindakannya;
Apabila seseorang tanpa perlindungan hukum sudah terlanjur di tahan, Raja berjanji akan mengkoreksi kesalahannya; C. Kewenangan Penyidikan OJK dalam kaitannya dengan Pencapaian Tujuan Hukum (keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan hukum) Asas kepastian hukum yang lahir dari aliran hukum positif (positivisme hukum) menyatakan bahwa hukum hanya bersangkut paut dengan hanya hukum positif saja. Pandangan ini dipengaruhi oleh pandangan John Austin dalam doktrin “ law is a command of the law giver ”. Maksudnya hukum adalah perintah dari kekuasaan tertingi atau dari yang memegang kedaulatan. Dalam penerpannya hukum yang dibuat oleh kekeuasaan tertinggi tersebut tidak harus didasarkan pada prinsip keadilan, prinsip moralitas baik dan buruk (W. Friedman: 1953:
. Hukum merupakan sistem logika yang bersifat tetap dan tertutup (closed logical system) , yang berarti bahwa keputusan-keputusan hukum yang tepat atau benar dapat diperoleh dengan alat-alat logika dari 196 peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan sebelumnya (Lili Rasjidi: 1993:
. Dengan demikian, maka kewenangan penyidikan oleh OJK sama sekali tidak bertentangan dengan asas kepastian hukum, walaupun dalam UU OJK tidak mencabut kewenangan penyidik Polri. Hal ini karena proses legislasi telah memberikan kewenangan penyidikan ini berdasar suatu peraturan perundang- undangan sebagai hukum positif. Sebenarnya terlalu parsial ketika hanya membicarakan kepastian hukum saja. Hal ini karena penegakan hukum pidana melalui Criminal Justice System tentunya diharapkan mencapai tujuan hukum berupa keadilan hukum, kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. Tujuan hukum merupakan sasaran antara untuk mencapai tujuan utama, yaitu perlindungan hukum bagi seluruh warga masyarakat, sehingga tercapai keamanan, ketertiban dan kenyamanan dalam kehidupan; Dalam kenyataannya, terjadi kekeliruan dalam memahami makna tujuan hukum ini, bahkan banyak yang menghadapkan antara kepastian hukum dengan keadilan hukum. Akibatnya penegakan hukum tercerabut dari nilai-nilai dasar perlindungan hukum yang hanya menyajikan secara parsial, sporadis dan tidak bermanfaat. Suatu tujuan hukum tidak tidak akan tercapai jika penegakan hukum hanya mencapai kepastian hukum saja, atau keadilan hukum saja, atau kemanfaatan hukum saja. Memisahkan ketiga bagian dari tujuan hukum ini menjadikan penegakan hukum kehilangan arah dan cenderung memaksakan selera kepentingan masing-masing. Keadilan hukum terlahir dari aliran hukum alam. Hukum alam merupakan bagian dari ajaran moral, yang berarti hukum merupakan bagian dari sistem moral (A.P. d’ Entreves: 1963:
. Tujuan hukum menurut perspektif ini, bukan hanya untuk menciptakan ketertiban dan ketentraman dalam masyarakat, tetapi juga untuk membentuk masyarakat yang baik dan anggota masyarakat yang baik secara moral. Dengan demikian, hukum merupakan instrument moral untuk membentuk masyarakat dan anggota masyarakat yang baik secara moral. Essensi dasar dari pandangan aliran hukum alam, diungkapkan dalam sebuah istilah “ ius quia iustum ” yang berarti hukum adalah keadilan atau hukum 197 adalah aturan yang adil. Keadilan dengan demikian adalah prasyarat suatu aturan agar bisa disebut sebagai hukum. Oleh karena itu, hukum yang tidak memenuhi cita rasa keadilan bukanlah sebuah hukum. Validitas hukum tidak terletak pada bentuknya, apakah undang-undang, peraturan pemerintah, dan lain-lain atau yurisprudensi, tetapi pada substansinya yang mengadopsi nilai- nilai keadilan (Van Aveldoorn: 1982: keadilan sebagai hukum tertinggi atau terakhir yang berkembang dari sifat alam semesta, Tuhan, dan akal manusia. Keadilan sebagai esensi yang ditegaskan dalam aliran hukum alam ini, memberikan arahan atau pedoman bagi pembentuk undang-undang dalam proses pembentukan hukum. Selain itu juga keadilan harus dijadikan alat uji keabsahan hukum positif untuk dapat disebut sebagai hukum yang valid. Sedangkan lahirnya kepastian hukum dari paham positivisme hukum tidak terlepas dari sejarah di abad ke-14 M. Pada akhir abad ke 14, kekuasaan gereja semakin melemah dengan dikuasainya kepausan oleh Raja Prancis. Pada akhir abad ke 16 kekuasaan Raja di Perancis secara utuh berhasil menggenggam kekuasaan di tangannya. Dengan demikian dimulailah kekuasaan absolut di tangan Raja. Hal ini ditandai dengan adanya doktrin “hanya rajalah yang berhak membuat undang-undang” dan “pembentukan UU ini adalah kekuasaan atau kewenangan yang tidak terbatas”, “Raja adalah UU yang hidup”. Hal ini karena Raja adalah wakil Tuhan dimuka bumi sehingga Raja berhak mengurus dan memerintah warga kerajaan. Pada abad ke 16 ini juga munculnya ajaran (doktrin) arbitrium judicis (Pendapat hakim) yang memberikan kewenangan kepada hakim untuk melakukan kualifikasi terhadap perbuatan pidana dan sanksi pidana menurut pendapatnya sendiri. Doktrin arbitrium judicis (Pendapat hakim) ini mendapat tentangan dan kritikan keras pada abad ke-18 di seluruh wilayah Perancis karena para hakim telah menjalankannya secara sewenang-wenang. Warga negara Perancis sangat mendambakan peradilan pidana yang didasarkan jaminan perlindungan hak-hak individu warga negara. Puncaknya adalah dengan terjadinya Revolusi Perancis pada tahun 1789. Hal ini mendakan berakhirnya peradilan pidana system “ arbitrium judicis (Pendapat hakim)” dan berakhirnya absolutisme kekuasaan Raja dan Hakim. 198 Salah seorang tokoh revolusi Prancis sekaligus pakar hukum pidana, yaitu Cesare Bonesana Marquise Beccaria (biasa dipanggil Cessare Beccaria) sangat keberatan dengan sifat semena-mena sistem yudisal dan pidana eropa pada saat itu, yang sangat kerasnya, mendapatkan pengakuan melalui penyiksaan dan benar-benar tergantung pada kehendak hati penguasa. Beccaria sangat berkepentingan merombak sifat kejam, berlebihan dan tidak bisa diperkirakannya hukuman. Menurutnya tidak masuk akal menghukum pelanggar hukum dengan hukuman yang tidak adil. Menurut Franks E. Hagan: 2013: 137-138, Beccaria berperan dalam penghapusan penyiksaan sebagai alat yang sah untuk mendapatkan pengakuan. Beccaria berpendapat “Hukuman harus sesuai dengan kejahatan”. Beccaria menawarkan prinsip-prinsip pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana:
UU harus dibuat oleh badan legislatif dan harus spesifik (lex scripta);
Peran hakim hanyalah menentukan kesalahan dan mengikuti dengan ketat pada ketentuan harfiah UU dalam menentukan hukuman. Hakim tidak boleh menafsirkan UU;
Tingkat kejahatan harus ditentukan berdasarkan bahaya yang ditimbulkan pada masyarakat dan didsarkan pada prisip kesenangan atau penderitaan;
Hukuman harus didasarkan pada tingkat keseriusan kejahatan dan kemampuannya mencegah kejahatan;
Hukuman tidak boleh melebihi apa yang diperlukan bagi pencegahan;
Berlebihnya bobot hukuman sering meningkatkan kejahatan yang dilakukan untuk menghindarkan hukuman;
Hukuman harus pasti, ketat dan jelas (lex scripta, lex stricta dan lex certa) 8) UU harus disusun dengan tujuan utama mencegah kejahatan. Lebih baik mencegah kejahatan dari pada menghukum;
Semua orang harus diperlakukan setara di hadapan hukum ( equality before the law ). Mountesqueu, teman Beccaria dan seorang tokoh revolusi Prancis, sejalan dengan Beccaria, menghendaki pemisahaan kekuasan fungsi-fungsi kelembagaan pembuat perundang-undangan (legislatif), fungsi pemerintahan (eksekutif), dan fungsi penegakan hukum (yudikatif). Ke tiga kekuasaan di atas 199 harus dipisahkan supaya hukum dan penegakannya tidak lagi terjebak dalam kekuasaan absolut kerajaan yang tirani, kejam, dan tidak manusiawi. Pengalaman pahit penegakan hukum dibawah doktrin Arbitrium Judicis, mempengaruhi pemahaman aliran hukum positif di dunia peradilan sehingga melahirkan aliran legisme, dimana hakim hanya dipandang sebagai sekedar “terompet undang-undang”. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Montesquieu bahwa hakim-hakim rakyat tidak lain hanyalah corong yang mengucapkan teks undang-undang saja. Jika teks itu tidak berjiwa dan tidak manusiawi, maka para hakim tidak berhak merubahnya, baik tentang kekuatannya, maupun tentang keketatannya (Ahmad Ali:
. Legisme muncul untuk mengantisipasi masih adanya pengaruh kekuasaan para hakim yang saat itu menjadi subordinasi kekuasaan raja. Pendapat di atas mucul karena para tokoh revolusi Prancis menghendaki dan meyakini bahwa para wakil-wakil rakyat yang ditunjuk mengemban fungsi legislatif merupakan orang-orang yang tepat, berintegritas, berkeilmuan dan mengedepankan kepentingan rakyat, sehingga hukum yan dibentuk adalah hukum-hukum yang adil dan berkepastian serta bermanfaat bagi pencapaian kesejahteraan rakyat. John Stuart Mill sependapat dengan Bentham bahwa hukum positif hendaklah ditujukan pada pencapaian kemanfaatan (kebahagiaan). Stuart Mill mengemukakan hukum positif hendaknya didasarkan pada kegunaannya sebagai suatu stadar keadilan. Hakikat keadilan dalam pegertian ini mencakup semua persyaratan moral yang hakiki bagi kesejahteraan umat manusia (Satjipto Rahardjo: 2000:
. Berdasarkan berbagai pandangan di atas maka sesungguhnya antara keadilan hukum dan kepastian hukum, bukanlah tujuan hukum yang saling berhadapan dan saling menegasikan. Keduanya tak terpisahkan satu sama lain, sehingga penyatuan keduanya akan melahirkan kemanfaatan dalam penegakan hukum. Pemahaman yang memversuskan antara keadilan hukum dan kepastian hukum merupakan pemahaman yang kurang tepat. Bahkan Gustav Radbruch dalam teori tentang Ajaran Cita Hukumnya ( Idee des Rechts ), menyatakan bahwa aturan hukum positif yang berkepastian hukum harus memuat ajaran- 200 ajaran moral yang bernilai keadilan dam substansinya. Sehingga penyatuan keduanya akan melahirkan kemanfaatan hukum. Dengan adanya kewenangan penyidikan oleh OJK terhadap tindak pidana di bidang jasa keuangan ini, maka selain telah memperoleh legitimasi dalam perundang-undangan, juga inheren telah mengadopsi nilai-nilai keadilan. Hal ini sesuai dengan kebutuhan dan spesialisasi bidang sebagai ranah awal yang memungkinkan munculnya perbuatan pidana. Oleh karena itu kehadiran kewenangan peyidikan yang memahami anatomy of crime dari kejahatan di bidang jasa keuangan ini telah menempatkan keselarasan antara kepastian hukum dengan keadilan hukum. Penegakan hukum melalui Integrated Criminal Justice System dengan yang mengedepankan prinsip-prinsip Due process of law , pada akhirnya dapat mencapai tujuan hukum berupa keadilan hukum, kepastian hukum dan kemanfaatan hukum bagi semua pihak. Dengan demikian, kewenangan penyidikan OJK tidak bertentangan sama sekali dengan keadilan hukum dan kepastian hukum. Sebagai contoh, untuk menyidik tindak pidana korupsi, maka ada tiga institusi yang berwenang, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK. Ternyata peran ketiga lembaga ini dalam menyidik tindak pidana korupsi berjalan dengan baik dan saling menghormati. Hal-hal berkaitan dengan koordinasi, tentunya itu menjadi masalah teknis koordinatif dan tidak perlu dipertentangkan soal konstitusionalitasnya. Sehubungan dengan hal di atas, maka pada tanggal 25 November 2014, OJK dan POLRI telah menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) tentang Kerjasama Penanganan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan. Ruang lingkup MoU ini, baik di bidang pencegahan, maupun di bidang penegakan hukum (termasuk persoalan penyidikan), bidang pendidikan dan pelatihan dan lain sebagainya. Pelaksanaan MoU ini, maka OJK dan POLRI bersama sama menyusun pedoman kerja yang dituangkan dalam berbagai bidang tadi. Hal inilah yang ahli maksudkan sebagai wujud dari Integrated Criminal Justice System sebagaimana telah Ahli kemukakan di atas. Kesimpulan dari keterangan diatas sebagai berikut:
Esensi kehadiran kewenangan penyidikan PPNS OJK terhadap tindak pidana di Bidang Jasa Keuangan ini, merupakan sebagai suatu konsekuensi logis dari perkembangan falsafah pemidanaan dalam Hukum 201 Pidana yang bercorak Neo-Klasik , sehingga mempengaruhi perkembangan Hukum Acara Pidana yang ditemukan dalam UU Khusus di Luar KUHP. Tindak pidana di sektor jasa keuangan sebagai tindak pidana khusus, banyak mengandung terminologi tersendiri sesuai dengan domainnya. Oleh karena itu kebutuhan terhadap kewenangan penyidikan PPNS OJK yang profesional sesuai dengan bidangnya masing-masing merupakan sesuatu yang tidak terelakkan. Dengan demikian kewenangan penyidikan PPNS OJK dalam UU OJK merupakan suatu kebutuhan dan harus dipertahankan bahkan diperkuat.
Kewenangan penyidikan yang diberikan kepada PPNS OJK, dapat memberikan perlindungan kepada hak-hak individu dan masyarakat. Kemampuan dan pemahaman yang valid terhadap delik-delik di bidang jasa keuangan oleh PPNS OJK, dapat mengeliminir resiko “salah penerapan hukum” dan error in persona . Dengan demikian Kewenangan penyidikan PPNS OJK tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Due process of law .
Kewenangan penyidikan oleh OJK terhadap tindak pidana di bidang jasa keuangan ini, selain telah memperoleh legitimasi dalam perundang- undangan, juga inheren telah mengadopsi nilai-nilai keadilan. Hal ini sesuai dengan kebutuhan dan spesialisasi di bidang jasa keuangan sebagai ranah awal yang memungkinkan munculnya perbuatan pidana. Oleh karena itu kehadiran kewenangan penyidikan yang memahami anatomy of crime dari kejahatan di bidang jasa keuangan ini telah menempatkan keselarasan antara kepastian hukum dengan keadilan hukum yang pada akhirnya membawa kemanfaatan hukum bagi semua pihak. Dengan demikian, kewenangan penyidikan OJK tidak bertentangan sama sekali dengan keadilan hukum dan kepastian hukum.
Dr. Yunus Husein, S.H., LL.M A. Kewenangan penyidikan diluar penyidik Polri dan tindak pidana yang dapat disidik. Mengenai legitimasi pemberian kewenangan penyidikan kepada OJK. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-V/2007 tentang pengujian Undang-Undang Kejaksaan, Prof. Andi Hamzah menjabarkan bahwa secara historis, Pasal 141 SV KUHAP Belanda, yang menjadi 202 sumber dari KUHP dan KUHAP di Indonesia, mengatur bahwa penyidikan tindak pidana dibebankan kepada 10 pejabat, diantaranya selain Jaksa dan Polisi, juga pejabat penyidik dibidang tertentu seperti Perikanan dan Bea Cukai. Jadi pada dasarnya, secara historis, kewenangan penyidikan tidak hanya dimonopoli oleh satu institusi melainkan menjadi kewenangan dari berbagai institusi sesuai dengan kebutuhan dan kekhususannya masing- masing. Saat ini di Indonesia, paling tidak ada 50 PPNS yang diberikan kewenangan menyidik tindak pidana tertentu. Selanjutnya, masih dalam Putusan Nomor 28/PUU-V/2007, Mahkamah memberikan pandangannya mengenai pendapat yang menyebutkan bahwa kepolisian adalah penyidik tunggal. Dalam pertimbangannya, Mahkamah menjelaskan bahwa pada dasarnya kewenangan penyidikan yang dimiliki oleh kepolisian adalah amanat dari undang-undang, yaitu undang-undang kepolisian. Dan oleh karena itu, terdapat peluang bagi institusi lain untuk juga memiliki kewenangan penyidikan sepanjang diatur oleh Undang- Undang. Hal ini sejalan dengan amanat Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang mengatakan bahwa “Badan-Badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-Undang”. Begitupun halnya dengan adanya “diferensiasi fungsi” dalam hal ini kewenangan melakukan penyidikan, Mahkamah juga telah mengakui bahwa hal tersebut sepenuhnya diserahkan kepada pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden), baik sebelum adanya amandemen UUD 1945 dengan diakuinya penyidik pegawai negeri sipil didalam KUHAP, dan setelah adanya amandemen UUD 1945 dengan diberikannya fungsi penyidikan kepada beberapa institusi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi. Terkait hal ini, juga didukung dengan ketentuan dalam Undang-Undang Kepolisian, Pasal 2 juncto Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2002, yang menyebutkan bahwa Instansi dan/atau badan pemerintah, dalam hal ini OJK, dapat melaksanakan fungsi kepolisian sepanjang diberikan mandat oleh undang-undang yang mendasarinya. Salah satu konsekuensi logis dari praktik multi-penyidik atas suatu tindak pidana adalah kemungkinan beberapa penyidik melakukan penyidikan untuk suatu tindak pidana yang sama atau setidak-tidaknya saling berkaitan. 203 Terkait hal ini, saya berpandangan bahwa permasalahan ini dapat diantisipasi dengan adanya komunikasi antara penyidik diantaranya melalui wadah komunikasi seperti yang diatur dalam Pasal 107 KUHAP dan komunikasi antara penyidik dan penuntut umum, sebagai dominus litis atau pengendali perkara berdasarkan Pasal 109 KUHAP. Kemudian, mengenai tindak pidana apa yang dapat disidik oleh OJK? Dalam Pasal 49 ayat (3) huruf c disebutkan bahwa kewenangan penyidikan meliputi tindak pidana di sektor jasa keuangan. Untuk mengetahui apa saja tindak pidana di sektor jasa keuangan tersebut, dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 6 Jis Pasal 1 angka 5, 6, 7, 8, 9 dan 10 UU OJK yaitu kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Ketentuan ini cukup memberikan penjelasan mengenai ruang lingkup tindak pidana apa saja yang dapat disidik oleh OJK. Sebagai informasi tambahan, dalam praktik peradilan pun eksistensi penyidikan yang dilaksanakan oleh Otoritas Jasa Keuangan juga sudah diakui dengan ditolaknya beberapa permohonan praperadilan yang diajukan terhadap tindakan penyidikan OJK. Beberapa diantara permohonan praperadilan tersebut adalah Putusan Nomor 6/Pid.Pra/2019/PN.JKT.PST dengan pemohon M. Nuh Said dan Putusan Nomor 7/Pid.Pra/2018/Pn.Palu Oleh karena itu, Ahli berpendapat bahwa sepanjang undang-undang mengamanatkan kewenangan untuk melakukan penyidikan dan sudah diatur mengenai tindak pidana apa yang masuk kedalam ruang lingkup kewenangannya, maka kewenangan tersebut dapat dibenarkan. B. Kewajiban kordinasi dengan penyidik Polri, lembaga Praperadilan, penyerahan berkas perkara dan ketentuan lainnya mengenai hukum acara merujuk pada KUHAP Mengenai kekhawatiran berkenaan dengan hukum acara, mulai dari mekanisme kordinasi dengan penyidik Polri, penyerahan berkas perkara, sampai ketersediaan lembaga praperadilan sebagai sarana perlindungan hak dan kontrol terhadap penggunaan wewenang penyidik, perlu diperhatikan ketentuan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981, 204 dijelaskan bahwa undang-undang tersebut (KUHAP) berlaku untuk melaksanakan tatacara peradilan dalam lingkungan peradilan umum pada semua tingkat peradilan. Oleh karena itu, maka ketentuan-ketentuan dalam KUHAP tetap berlaku untuk penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh OJK, sepanjang tidak diatur secara khusus dalam undang-undang a quo. Lebih lanjut mengenai pembahasan poin-poin yang dikemukakan oleh pemohon, pertama, terkait hubungan antara PPNS dan Polri. Dalam KUHAP, pada pokoknya pola hubungan antara penyidik PPNS dan penyidik Polri dapat dikategorikan dalam beberapa bentuk. Pertama, memberikan petunjuk dan bantuan penyidikan. Kedua, kewajiban PPNS melaporkan penyidikan kepada Polri. Ketiga, adalah penyerahan berkas kepada penuntut umum melalui Polri. Keempat, kewajiban memberitahukan penghentian penyidikan kepada Polri dan penuntut umum. Dari poin-poin tersebut diatas, dapat dilihat bahwa relasi antara penyidik PPNS dan Polri bersifat kordinatif dan pengawasan guna kelancaran penyidikan yang dilakukan oleh penyidik PPNS. Oleh karena itu, apabila penyidik di lingkungan OJK dianggap sebagai penyidik PPNS, maka ketentuan dalam KUHAP tersebut juga berlaku bagi mereka. Sekalipun penyidik di lingkungan OJK tidak dianggap sama dengan penyidik PPNS, check and balance dalam penggunaan wewenangnya juga tetap merujuk pada KUHAP. Perlu dipahami bahwa check and balances terhadap rangkaian tindakan penyidikan baik oleh PPNS ataupun penyidik Polri pada dasarnya juga telah diatur dalam ketentuan-ketentuan lain dalam KUHAP. Beberapa contoh diantaranya adalah kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Kejaksaan, Pelapor, dan Terlapor paling lambat 7 hari setelah diterbitkannya surat perintah penyidikan sebagai bentuk perlindungan hak konstitusional pelapor dan terlapor. Contoh lainnya, kewajiban untuk memperoleh surat izin/ persetujuan penggeledahan dan atau penyitaan dari pengadilan dalam menjalankan kewenangan penggeledahan dan penyitaan juga merupakan bentuk check and balance dalam melaksanakan kewenangan penyidikan. 205 Kedua prosedur tersebut meskipun tidak diatur khusus dalam Undang- Undang OJK, tetapi berdasarkan Pasal 2 KUHAP, maka penyidik OJK tetap tunduk pada ketentuan-ketentuan tersebut. Sebagai contoh, dalam praktik penegakan hukum di bidang perikanan yang dilakukan oleh PPNS Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, dalam hal penyidik akan melakukan penggeledahan dan atau penyitaan, Undang- Undang Nomor 45 Tahun 2009 hanya menyebutkan bahwa penyidik berwenang melakukan penggeledahan dan atau penyitaan tanpa menjelaskan bagaimana prosedur dilakukannya penggeledahan dan penyitaan tersebut. Akan tetapi, merujuk pada Pasal 2 KUHAP, prosedur formal yang harus ditempuh oleh penyidik tetap merujuk ke prosedur penggeledahan dan penyitaan sebagaimana diatur oleh KUHAP, yaitu meminta izin/persetujuan dari ketua pengadilan negeri. Begitupun dengan tidak adanya pengaturan praperadilan dalam UU OJK yang dikhawatirkan pemohon bertentangan dengan prinsip negara hukum. Walaupun tidak diatur dalam UU OJK, bukan berarti dalam menjalankan kewenangan penyidikannya, penyidik OJK tidak dapat dipraperadilankan. Mekanisme praperadilan yang diatur dalam KUHAP tetap berlaku dalam penyidikan yang dilakukan oleh OJK atas dasar Pasal 2 Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana. Sebagai contoh, dalam UU Perikanan, yang menjadi dasar kewenangan PPNS KKP dan penyidik TNI AL untuk menyidik kejahatan perikanan juga tidak mengatur mengenai pranata Praperadilan. Akan tetapi, baik PPNS KKP dan Penyidik TNI AL juga beberapa kali pernah dipraperadilankan saat menyidik tindak pidana perikanan. Pengenyampingan ketentuan dalam KUHAP hanya dimungkinkan sepanjang undang-undang yang menjadi dasar pemberian kewenangan pada penyidik tertentu tersebut mengatur secara khusus. Contohnya mengenai kewenangan penggeledahan dan penyidikan KPK yang tidak memerlukan izin pengadilan. Kesimpulannya, (1) ketentuan mengenai upaya paksa, kewenangan terkait penyidikan, dan prosedur lain yang berkaitan, sepanjang tidak diatur secara khusus, prosedurnya tetap mengacu ke KUHAP. (2) mekanisme check and 206 balances terhadap tindakan penyidikan tetap ada dalam batas perlindungan yang telah diatur dalam KUHAP. C. Mengenai “status” penyidik di OJK Secara kelembagaan, merujuk pada Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, OJK dapat dikategorikan sebagai State Independent Agency , yang berperan untuk melakukan pengawasan kegiatan sektor jasa keuangan dan untuk mengefektifkan peran tersebut, OJK diberikan kewenangan untuk melakukan penyidikan. Oleh karena itu, status penyidik di lingkungan OJK juga bersifat khas. Untuk memahaminya, dapat dilihat dari ketentuan- ketentuan dan risalah rapat Rapat penyusunan RUU Tentang OJK Masa Persidangan II Tahun Sidang 2010-2011, hari Rabu, 1 Desember 2010 dengan Kemenkeu, Jampidsus, Bareskrim Polri dan BI dan hari Kamis, 2 Desember 2010 dengan Kepala Bapepam LK, dan Kementerian Hukum dan HAM sebagai berikut: Pertama, OJK dapat merekrut pegawai negeri, yang apabila merujuk pada ketentuan dalam Undang-Undang Kepegawaian, juga meliputi anggota Polri. Pasal 27 ayat (2) OJK dapat mempekerjakan pegawai negeri (termasuk pejabat penyidik pegawai negeri sipil dan/atau pejabat penyidik kepolisian) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Penjelasan Pasal 27 ayat (2) untuk mengefektifkan tugasnya, OJK dapat mempekerjakan pegawai negeri dari instansi lain atau dengan status lainnya. Pegawai negeri yang bekerja pada OJK dapat berstatus dipekerjakan atau status lainnya dalam rangka menunjang kewenangan OJK di bidang pemeriksaan, penyidikan, atau tugas-tugas yang bersifat khusus. Pegawai negeri tersebut antara lain berasal dari pejabat penyidik pegawai negeri sipil dan atau pejabat penyidik kepolisian. Hak dan kewajiban pegawai negeri tersebut disetarakan dengan hak dan kewajiban pegawai OJK. Dalam penjelasan pasal tersebut, dapat dipahami bahwa yang dimaksud sebagai Pegawai Negeri diantaranya adalah pejabat penyidik kepolisian (anggota Polri). Pandangan ini semakin jelas apabila merujuk pada maksud 207 pembuat undang-undang yang terdokumentasikan dalam risalah penyusunan undang-undang. Dalam risalah rapat tersebut, terlihat bahwa intensi pembentuk undang-undang untuk memberikan kewenangan penyidikan kepada OJK diikuti dengan maksud untuk merekrut pegawai negeri, baik pegawai negeri sipil ataupun anggota Polri, sebagai pelaksana kewenangan penyidikan. Perwakilan pemerintah menjelaskan terkait status PPNS berkaitan dengan pegawai OJK yang bukan pegawai negeri sipil bahwa untuk penyidik memang akan merekrut pegawai negeri untuk dipekerjakan di OJK, dan yang dimaksud pegawai negeri ini bisa dari sipil ataupun polisi. Terkait persoalan ini memang sempat memantik diskusi dari pembentuk undang-undang. Dalam suatu kesempatan, salah seorang anggota tim panja RUU OJK dari Fraksi Gerindra mengusulkan agar desain penyidik OJK dibuat seperti model Undang-Undang KPK dan tidak menggunakan terminologi PPNS, tetapi cukup penyidik. Pandangan ini juga direspon positif oleh ketua rapat dengan mengangkat isu mengenai mekanisme BKO, yang dirasanya kurang efektif karena anggota yang di BKO-kan bisa sewaktu-waktu ditarik oleh institusi asalnya. Pandangan ini direspon oleh pemerintah dengan menjelaskan bahwa terminologi PPNS digunakan agar pegawai negeri sipil yang memiliki kompetensi sebagai penyidik, tidak perlu keluar dari PNS apabila dipekerjakan sebagai penyidik oleh OJK. Begitupun halnya dengan kepolisian, pemerintah menggunakan terminologi pegawai negeri, daripada pegawai negeri sipil, untuk mengakomodir kepentingan mempekerjakan anggota Polri sebagai penyidik. “Usulan dari fraksi partai gerindra agar OJK dibuat seperti model undang- undang KPK. Lebih lanjut ia juga mengusulkan agar tidak memakai istilah PPNS, tapi cukup penyidik saja” “Ketua rapat menyinggung isu BKO yang dirasa kurang efektif karena bisa sewaktu-waktu ditarik oleh institusi asalnya” “Pemerintah menjelaskan bahwa sekalipun pegawai OJK bukan pegawai negeri sipil, tetapi payung hukum untuk (mempekerjakan) pegawai negeri sipil tetap dibuka karena ada kepentingan untuk membutuhkan PNS sebagai PPNS. Terminologi PPNS digunakan agar tidak perlu keluar dari 208 PNS namun tetap bisa menjadi penyidik di OJK. Begitupun Polisi yang akan dipekerjakan di OJK sebagai penyidik, itu juga memungkinkan. Oleh karenanya pasal itu kita sebut Pegawai Negeri, bukan Pegawai Negeri Sipil. (Halaman 732)” Kedua, anggota Polri dan Pegawai Negeri Sipil yang dipekerjakan di OJK sebagai penyidik ada dalam kerangka penyidik pegawai negeri sipil. Pasal 49 menekankan bahwa “pegawai negeri” dapat diangkat menjadi penyidik pegawai negeri sipil, yang dalam undang-undang OJK diberikan kewenangan-kewenangan khusus untuk melakukan tindakan tertentu dalam menjalankan fungsi penyidikan. Pasal 49 ayat (2) Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dapat diangkat menjadi penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Merujuk pada pasal tersebut, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan pegawai negeri dalam Pasal 49 ayat (2) adalah termasuk pejabat penyidik pegawai negeri sipil dan atau pejabat penyidik kepolisian yang dipekerjakan di OJK. Pendapat ini berdasarkan pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Kepegawaian yang mendefinisikan pegawai negeri termasuk didalamnya anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Selanjutnya mengenai frasa “dapat diangkat menjadi penyidik pegawai negeri sipil” dalam Pasal 42 ayat (2) UU OJK, dikaitkan dengan pengertian Pegawai Negeri diatas, maka dapat disimpulkan sepanjang ada pengangkatan sebagai penyidik pegawai negeri sipil, maka baik penyidik kepolisian dan atau penyidik pegawai negeri sipil yang dipekerjakan di OJK berdasarkan Pasal 27 ayat (2) dapat menjalankan fungsi penyidikan dan memiliki kewenangan sesuai dengan yang terdapat dalam Pasal 49 ayat (3) UU OJK. Pemahaman ini sejalan dengan maksud awal dari pembentuk undang- undang yang terdokumentasi dalam risalah rapat penyusunan undang- undang sebagai berikut: “Pemerintah: Ada pegawai OJK yang non-PNS ada pegawai OJK yang PNS. Nanti masalah administrasi kan bisa kita atur dengan Menpan, dengan 209 Kementerian Keuangan, apakah itu BKO selama 5 tahun, nanti diperpanjang lagi itu biasa pak” “Ketua Rapat: jadi intinya, kan dia PNS yang diperbantukan kedalam OJK, jadi intinya OJK membuat klausul bahwa dia siap, bisa menerima perbantuan dari PNS itu” “Pemerintah: kemudian tadi yang soal Polri tadi itu pak, sebenarnya juga kita membuka saja payung hukum kalau nanti anggota Polri yang juga bekerja di OJK sebagai penyidik. Itu juga memungkinkan, tetapi kalau nanti Polri ga kasih misalnya, yaudah ga ada masalah pak, gitu. Jadi Pasal itu tetap kita katakan pegawai negeri. Kita gak bilang pegawai negeri sipil pak, karena Polri itu pegawai negeri, bukan pegawai negeri sipil” “Ketua Rapat: penyidikan ini Ahli tawarkan konsep begini, kita kasih kewenangan penyidikan Bapepam kepada OJK, iya kan? Karena memang ada undang-undang sektoral yang memerintahkan untuk itu otoritasnya berpindah ke Pasar Modal. Tapi karena UU ini tidak hanya berlaku untuk Pasar Modal, tetapi juga yang lain, harapannya undang-undang yang lain bisa menyesuaikan. Langkah komprominya adalah dikasih penyidikan tapi dalam pelaksanaannya bekerjasama dengan instansi terkait”. “Pemerintah: memang begitu pak, memang sebagai PPNS tidak bisa jalan sendiri, harus dibawah kordinasi Polri. Yang kita maksud dengan kejaksaan itu juga harus melalui Polri”. Dari kutipan pasal-pasal dan pembahasan penyusunan RUU OJK diatas, maka Ahli berpandangan bahwa intensi pembuat undang-undang terkait pemberian kewenangan penyidikan kepada OJK dan keinginan agar pegawai negeri sipil dan anggota Polri menjadi pelaksana kewenangan penyidikan tersebut di institusi OJK sebagai penyidik pegawai negeri sipil. Akan tetapi, terkait dengan kewenangan yang dimiliki oleh PPNS dalam UU OJK, perlu diperhatikan beberapa isu mengenai apakah mungkin pejabat penyidik kepolisian dapat diangkat menjadi penyidik pegawai negeri sipil? Apabila dimungkinkan, siapa yang dapat mengangkat penyidik kepolisian sebagai penyidik pegawai negeri sipil? Apabila merujuk pada Peraturan Pemerintah 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Peraturan 210 Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan PP Nomor 27 Tahun 1983, anggota Polri tidak dapat diangkat menjadi PPNS karena terdapat beberapa persyaratan yang tidak kompatibel dengan kepangkatan dan/atau kepegawaian anggota Polri. Akan tetapi, menurut pendapat Ahli, persoalan ini dapat diselesaikan dengan menerbitkan atau menyesuaikan peraturan pemerintah terkait pengangkatan penyidik pegawai negeri sipil untuk untuk menjalankan ketentuan yang diatur dalam undang-undang OJK. D. Rasionalisasi dan Urgensi Penyidik Khusus Terdapat beberapa alasan dalam memberikan kewenangan penyidikan bagi institusi lain diluar institusi kepolisian. Sebagai contoh dan perbandingan, dapat kita lihat dalam rasionalitas pemberian kewenangan menyidik tindak pidana pencucian uang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Pertama, tingginya angka dugaan tindak pidana pencucian uang dan pada saat itu, tim perumus berpandangan bahwa satu institusi saja, dalam hal ini kepolisian, dirasa tidak sanggup untuk menindaklanjuti dugaan-dugaan tersebut. Kedua, multi-penyidik untuk tindak pidana tertentu juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas proses penegakan hukum. Dengan dibukanya peluang bagi beberapa institusi untuk menyidik suatu tindak pidana, diharapkan masing-masing institusi akan semakin terpacu untuk menegakkan hukum dan diharapkan dapat meningkatkan kualitas penegakan hukum itu sendiri. Ketiga, untuk tindak pidana tertentu dibutuhkan pemahaman dan keahlian khusus. Seperti halnya dalam tindak pidana yang menjadi tindak pidana asal pencucian uang seperti tindak pidana perbankan, pasar modal, kehutanan, perikanan dan lain sebagainya. Akan sulit untuk mengoptimalkan proses penegakan hukum apabila aparat penegak hukum itu sendiri tidak menguasai suatu bidang tertentu. Untuk itulah diperlukan penyidik khusus, karena dianggap memiliki pemahaman khusus mengenai bidang tertentu. Kemudian untuk mengoptimalkan kemampuan penyidikannya, diatur mengenai pola kordinasi antara penyidik khusus tersebut dengan penyidik polri yang secara umum lebih berpengalaman dalam menyidik tindak pidana. 211 Sejalan dengan alasan-alasan tersebut diatas, perlu pula diketahui terkait alasan yang mendasari para penyusun undang-undang untuk memberikan kewenangan penyidikan kepada OJK dengan merujuk pada risalah rapat penyusunan rancangan undang-undang tentang OJK sebagai berikut: Perwakilan dari pemerintah menjelaskan urgensi untuk memiliki penyidik sendiri adalah untuk meningkatkan efektifitas penegakan hukum (merujuk dari pengalaman Bank Indonesia yang melaporkan dugaan tindak pidana ke Kepolisian namun tidak ada tindak lanjutnya). Yang kita maksud disini itu penyidikan, kita penyidiknya pak. Karena pengalaman selama ini kita sudah kirim penyelidikan ke kepolisian, itu butuh waktu lagi. Karena disana untuk gelar perkaranya aja tuh kadang-kadang itu butuh pengertian dan pengetahuan mendalam terkait transaksi pasar modal yang kadang-kadang kalau kita lihat itu bisa pidana tapi kadang-kadang rekan-rekan kita disana bisa ga lihat itu pak. Jadi kalau misalnya OJK dalam hal ini bapepam tidak diberi kewenangan, nanti makin banyak white colar crimes Merujuk pada kutipan tersebut, dapat dipahami bahwa keinginan untuk memberikan kewenangan penyidikan kepada OJK adalah sebagai bentuk perbaikan dari pengalaman penegakan hukum di bidang jasa keuangan sebelum disahkannya Undang-Undang OJK, yang dirasa masih belum efektif, karena banyak dugaan tindak pidana yang dilaporkan ke Polri yang tidak berhasil mencapai hasil yang diharapkan. Dengan demikian, beradasarkan alasan-alasan tersebut diatas, mengingat luas dan kompleksnya permasalahan dilingkungan pengawasan sektor jasa keuangan, Ahli berpandangan bahwa diperlukan penyidik khusus di lingkungan OJK yang diharapkan mampu mendeteksi adanya dugaan tindak pidana dan melakukan penindakan dengan lebih baik.
Zainal Arifin Mochtar SEJARAH PENGATURAN OJK OJK—lebih spesifiknya UU OJK—tidak lahir dari ruang hampa. Pengaturan tentang OJK muncul dari pemikiran tentang efisiensi dan efektifitas pengawasan sektor keuangan. Asumsi yang dibangun adalah untuk menciptakan efisiensi dan efektifitas pengawasan sektor keuangan, maka 212 pengawasannya harus dibagi-pisah antara sektor keuangan makro dan sektor keuangan mikro. OJK kemudian difokuskan pada sektor keuangan mikro dengan spesifikasi sektor jasa keuangan. Sejarah pengaturan OJK dapat dirujuk pada ketentuan tentang Bank Indonesia. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia—selanjutnya ditulis UU BI—disebutkan bahwa salah satu tugas Bank Indonesia (BI) adalah mengatur dan mengawasi bank (vide Pasal 8 huruf c UU BI). Lebih lanjut, tugas pengawasan bank dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen dan selambat-lambatnya lembaga pengawasan bank tersebut harus dibentuk pada 31 Desember 2002 (vide Pasal 34 UU BI). Meskipun perintah yang dicantumkan dalam UU BI memerintahkan per 31 Desember 2002 harus ada sebuah lembaga khusus yang melakukan pengawasan terhadap Bank, akan tetapi faktanya lembaga tersebut tidak terbentuk sesuai jadwal. Namun demikian, tidak lantas kewenangan untuk pengawasan bank dicabut. Kewenangan itu tetap ada, tetapi lembaganya saja yang belum terbentuk. Bahkan perubahan UU BI (yakni Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004— selanjutnya ditulis UU No. 3 Tahun 2004) menegaskan eksistensi pengawasan bak oleh sebuah lembaga—yang belum dibentuk tersebut. Penjelasan Pasal 34 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2004 menyatakan, “lembaga pengawasan jasa keuangan yang akan dibentuk melakukan pengawasan terhadap bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat.” Demikian, telah jelas bahwa embrio OJK tidak lahir dari ruang yang hampa. Embrio OJK lahir dari perintah UU BI untuk mengawasi bank yang diatur secara khusus untuk mengawasi jasa keuangan. Lebih lanjut, OJK itu adalah gabungan antara “separuh” Bank Indonesia dan Bapepam KL. Maka, pemahaman yang paling awal adalah, OJK merupakan gabungan dari kewenangan yang telah dimiliki di Bank Indonesia dengan kewenangan yang sebelumnya telah dimiliki oleh Bapepam LK. Maka, OJK merupakan gabungan dari keseluruhan kewenangan pada kedua lembaga 213 tersebut, diimbuhi dengan kewenangan lainnya yang diberikan oleh UU. Maka menjadi wajar, jika OJK saat ini mengerjakan tugas yang dulunya dikerjakan oleh Bapepam LK, termasuk kewenangan dalam hal penyidikan perkara tertentu. FILOSOFI PEMBERIAN KEWENANGAN KE OJK Dalam Pasal 6 UU OJK disebutkan bahwa OJK memiliki tugas pengaturan dan pengawasan terhadap (a) kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan; (b) kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal; dan (c) kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Untuk menjalankan tugas pengawasan terhadap tiga hal di atas, OJK diberikan delapan bentuk kewenangan yang salah satunya adalah penyidikan atas kegiatan jasa keuangan (vide Pasal 9 UU OJK). Norma penyidikan atas kegiatan jasa keuangan tidak dapat dibaca terpisah dengan kewenangan lainnya yang masuk dalam rumpun kewenangan pengawasan OJK. Selain melakukan penyidikan, dalam rumpun kewenangan OJK untuk melakukan pengawasan jasa keuangan, terdapat pula kewenangan untuk melakukan (a) pengawasan; (b) pemeriksaan; (c) perlindungan konsumen; dan (d) tindakan-tindakan lainnya (vide Pasal 9 huruf c UU OJK). Artinya, kewenangan penyidikan OJK sebenarnya adalah bagian dari atau rangkaian dari jenis-jenis kewenangan pengawasan yang diberikan ke OJK untuk melaksanakan pengawasan kegiatan jasa keuangan. Di mana kewenangan tersebut berasal dari tugas BI untuk mengatur dan mengawasi bank sebagaimana yang diperintahkan oleh UU BI (vide Pasal 8 huruf c UU BI). Apakah kewenangan penyidikan sedemikian lazim diterapkan ke sebuah lembaga? Untuk menjawab hal ini, patutlah kiranya disampaikan contoh pemberian kewenangan yang diperintahkan oleh undang-undang. Sebagai contoh, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia— selanjutnya ditulis UU HAM—mencantumkan sebuah lembaga yang diberi nama Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnasham). Lembaga ini mempunyai fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi tentang hak asasi manusia [vide Pasal 76 ayat (1) UU HAM]. 214 Demi melaksanakan fungsi pemantauan, Komnasham diberikan wewenang oleh UU HAM untuk melakukan penyidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia (vide Pasal 89 angka 3 huruf b UU HAM). Berdasarkan UU HAM, diketahui bahwa pemberian kewenangan penyidikan—soal hak asasi manusia—ke Komnasham merupakan turunan dari tugas pemantauan pelaksanaan hak asasi manusia yang diberikan oleh UU HAM. Jika dibaca dengan seksama, norma tugas pemantauan pelaksanaan hak asasi manusia oleh Komnasham yang dinyatakan melalui kewenangan penyidikan selaras dengan tugas mengawasi bank/lembaga jasa keuangan yang dinyatakan dengan kewenangan penyidikan kegiatan jasa keuangan oleh OJK. Contoh kedua adalah penerapan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia—selanjutnya ditulis UU Kejaksaan. Sebagaimana diketahui secara umum bahwa tugas dan wewenang kejaksaan adalah melakukan penuntutan atas kasus pidana. Akan tetapi, UU Kejaksaan ternyata tidak hanya memberikan kewenangan penuntutan saja, melainkan tugas dan wewenang lainnya. Salah satunya adalah tugas dan wewenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang [vide Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan]. Berdasarkan norma yang dicantumkan dalam UU Kejaksaan, kewenangan penyidikan—yang mungkin saja oleh sebagian ahli hukum pidana dianggap bukan core bussines kejaksaan karena penyidikan adalah core bussines-nya kepolisian, misalnya—ternyata diberikan juga ke kejaksaan sepanjang dilakukan berdasarkan undang-undang. Dalam Penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan menyatakan, “kewenangan dalam ketentuan ini adalah kewenangan sebagaimana diatur misalnya adalah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”. 215 Pemberian kewenangan penyidikan tindak pidana tertentu ke kejaksaan adalah perintah dari UU Kejaksaan. Dan norma ini harus dijalankan. Jika pemberian kewenangan penyidikan tindak pidana tertentu ke kejaksaan dimungkinkan—dan sudah terjadi—meskipun core bussines kejaksaan adalah penuntutan kasus pidana, maka kejaksaan wajib melaksanakannya karena hal tersebut adalah turunan dari tugas kejaksaan yang diperintahkan oleh undang- undang. Kewenangan penyidikan tiga lembaga (OJK, Komnasham, dan Kejaksaan) dapat disampaikan dalam tabel di bawah ini. Tabel Kewenangan Penyidikan Lembaga Lembaga Kewenangan Objek Penyidikan Dasar Hukum OJK Penyidikan Kegiatan jasa keuangan Pasal 8 huruf c UU BI; Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK Komnasham Penyidikan Pelanggaran hak asasi manusia Pasal 89 angka 3 huruf b UU HAM Kejaksaan Penyidikan Tindak pidana tertentu Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan Selanjutnya, apakah pemberian kewenangan penyidikan terhadap lembaga- lembaga untuk objek penyidikan dianggap bertentangan dengan UUD 1945? Pertanyaan tersebut sebelumnya harus dimulai dulu dengan pernyataan sedemikian, “apakah pembentukan lembaga-lembaga tertentu dianggap bertentangan dengan UUD 1945? Pembentukan lembaga-lembaga tertentu—atau spesifiknya lembaga-lembaga negara tertentu saat ini tidak dapat dinafikan. Kebutuhan membuat lembaga- lembaga tersebut didasarkan pada kebutuhan untuk menjawab perkembangan hukum yang ada dalam masyarakat sehingga lembaga-lembaga wajar adanya dan bahkan diperintahkan oleh UUD 1945. Misalnya, untuk menyelenggarakan pemilihan umum, UUD 1945 memerintahkan dibentuk sebuah komisi pemilihan umum [vide Pasal Pasal 22E ayat (5) UUD 1945]. Atau untuk melakukan 216 pemeriksaan terhadap pengelolaan dan tanggung jawab negara dibentuk suatu Badan Pemeriksa Keuangan (vide Pasal 23E ayat (1) UUD 1945). Masih banyak lagi lembaga-lembaga yang dibentuk oleh undang-undang yang merupakan pengejawantahan dari UUD 1945. Pembentukan lembaga-lembaga tersebut adalah suatu kebutuhan yang eksis karena perkembangan hukum serta perkembangan kebutuhan manusia. Nyata sudah bahwa setiap lembaga juga dilekati dengan tugas dan kewenangan tertentu yang berkaitan dengan tugas dan kewenangan sebagaimana diperintahkan oleh UUD 1945 dan/atau undang-undang. Sehingga filosofi pemberian kewenangan—apapun jenis kewenangannya—ke lembaga- lembaga tersebut adalah pengejawantahan dari perintah peraturan perudang- undangan di mana konstitusi menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Berdasarkan uraian di atas, maka pemberian kewenangan penyidikan kegiatan jasa keuangan ke OJK (vide Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK) tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dengan alasan sebagai berikut:
Kewenangan penyidikan OJK atas kegiatan jasa keuangan tidak lahir dari ruang hampa. Ia diperintahkan oleh UU BI juncto UU OJK.
Kewenangan penyidikan OJK—dan kewenangan serupa yang diberikan ke lembaga-lembaga tertentu atas objek penyidikan tertentu—merupakan konsekuensi logis dari filosofi eksistensi lembaga-lembaga untuk menjawab kebutuhan perkembangan hukum dan perkembangan kebutuhan/kepentingan manusia yang sekaligus menjadi jaminan keselarasan dengan norma Negara Indonesia adalah negara hukum. Keterangan Saksi 1. I Gusti Agung Rai Wirajaya Saksi adalah salah satu anggota panitia khusus dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang OJK sekitar tahun 2009-2011. Berkaitan dengan Pokok Permohonan dalam Pengujian UndangUndang OJK ini, menurut hemat Saksi, sangat penting untuk memahami latar belakang pembentukan lembaga OJK. Pada saat itu, DPR dan pemerintah bersepakat untuk memberikan kewenangan penyidikan kepada OJK. 217 Sebagaimana diketahui bersama, pembentukan Undang-Undang OJK merupakan amanah dari Pasal 34 Undang-Undang Bank Indonesia. Selain itu pula, kita sadari bersama bahwa teknologi dan produk-produk jasa keuangan sangat berkembang pesat sedemikian kompleks, dinamis, dan saling terkait, sehingga banyak membawa dampak negatif apabila tidak segera diantisipasi dengan mengintegrasikan pengaturan dan pengawasan di seluruh industri jasa keuangan dalam sebuah lembaga yang independen. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, DPR dan pemerintah selaku pembentuk undang-undang, memberikan perhatian besar terhadap perkembangan sektor jasa keuangan dengan mengupayakan terbentuknya kerangka pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan yang terintegrasi dan komperhensif. Selain itu pula, pada saat pembahasan RUU OJK antara DPR dengan pemerintah telah disepakati bahwa Lembaga OJK haruslah mencakup pula fungsi perlindungan konsumen sektor jasa keuangan yang dirasakan sangat penting karena banyak dampak negatif dari perkembangan industri jasa keuangan yang menimpa masyarakat konsumen sektor jasa keuangan secara langsung. Dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi OJK dalam melakukan pengaturan dan pengawasan, serta perlindungan konsumen sektor jasa keuangan. Pada saat itu DPR dan pemerintah telah sepakat untuk memberikan kewenangan penyidikan kepada OJK guna memperkuat tugas dan fungsinya yang telah disepakati sebelumnya. Kewenangan penyidikan yang diberikan kepada OJK memang pada awalnya adalah mempertimbangkan adanya kewenangan penyidikan yang diberikan kepada Lembaga Badan Penanaman Pasar Modal berdasarkan Undang-Undang Pasar Modal. Namun demikian, dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan di DPR pada saat itu, tidak mungkin OJK yang telah memiliki kewenangan pengaturan dan pengawasan di seluruh industri jasa keuangan hanya diberikan kewenangan penyidikan di pasar modal. Sehingga dengan demikian, karena kewenangan OJK meliputi seluruh industri jasa keuangan yang di dalamnya meliputi perbankan, pasar modal, asuransi, industri keuangan nonbank, dan industri jasa keuangan lainnya, maka DPR dan pemerintah menggunakan open legal policy guna memberikan kewenangan penyidikan 218 kepada OJK yang sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, serta tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Berkaitan dengan kewenangan penyidikan yang diberikan kepada OJK berdasarkan Undang-Undang OJK, pada saat itu DPR bersama pemerintah telah mempertimbangkan dari berbagai aspek, termasuk mengenai pelaksanaan kewenangan penyidikan yang dilaksanakan berdasarkan KUHAP dan pelaksanaan kewenangan penuntutan yang tetap dilaksanakan oleh jaksa agung, sehingga hal ini tidak melanggar due process of law dalam sistem penegakan hukum tindak pidana di Indonesia. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, pemberian kewenangan penyidikan kepada OJK telah melalui serangkaian diskusi yang panjang antara DPR dengan pemerintah, serta melibatkan berbagai pihak terkait untuk memberikan pandangan-pandangan terkait diberikannya kewenangan penyidikan kepada OJK dan telah mempertimbangkan ketentuan-ketentuan yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan Undang- Undang Dasar 1945. Menurut saksi selama pembahasan kewenangan penyidikan, telah mengundang pihak kepolisian dan pihak kejaksaan sebanyak dua kali untuk berkoordinasi dan memberikan masukan. Dengan adanya kewenangan penyidikan bukan berarti melemahkan kepolisian karena ini kewenangan penyidikan menyangkut masalah keuangan, dan masih ada yang tidak sepenuhnya memahami posisi kewenangan ini pada saat itu, dan setelah didiskusikan dengan pihak kepolisian dan kejaksaan bisa diperbantukan dari pihak kepolisian untuk menindaklanjuti ketika terjadi permasalahan- permasalahan pidana, seperti kasus KLBI, BLBI, juga dengan kasus Century, dan bank Global. Nah, dimana kasus-kasusnya tidak bisa terselesaikan dengan baik. Agar latar belakang permasalahan tersebut bisa terurai dengan baik, sehingga sepakat bersama pemerintah untuk memasukkan penyidikan ini terbatas dalam rangka penyidikan terhadap kasus-kasus yang terjadi di bidang keuangan ini sendiri, tidak dalam rangka penuntutan. Jika ada permasalahan di perbankan, pasar modal, maupun industri keuangan nonbank, maupun asuransi tahapan-tahapan yang dilakukan dalam mengurai permasalahan yang terjadi tidak seperti di pidana umum. 219 Fakta selama ini, ketika penyidikan ini masuk ke Undang-Undang OJK, sebagian besar yang masuk sebagai PPNS di OJK adalah mantan-mantan pegawai yang bekerja di Bapepam-LK, yang dsepakati sebelum memulai berdirinya Otoritas Jasa Keuangan. Dalam perjalanannya, dapat kita lihat bahwa yang memimpin penyidikan itu berbintang tiga dari kepolisian, Kemudian yang saksi mendapat informasi bahwasannya terkait remunerasi di internal, sehingga diberikan kesempatan ada petugas-petugas penyidik yang dididik, walaupun sebelumnya sudah ada petugas PPNS yang ditugaskan untuk melakukan penyidikan di dalam kegiatan penyidikan di Otoritas Jasa Keuangan. Ketika ada permasalahan sebelum dilakukan pelimpahan ke kepolisian, tentunya pihak-pihak kepolisian sudah yang ada di OJK telah melakukan penyidikan di dalam OJK itu sendiri. Memang benar di Undang-Undang Bank Indonesia, tidak ada penyidikan, memang ada penugasan dari Undang-Undang Bank Indonesia untuk membentuk lembaga jasa keuangan yang independen. Undang-Undang OJK ini muncul memang atas dasar undang-undang tersebut. Namun, dalam perjalanannya, menginginkan adanya suatu lembaga yang terintegrasi, jika melihat, kasus Bank Global dan kasus Bank Century, Saksi menanyakan kepada Bank Indonesia dan Bapepam-LK, pada saat itu, yang dimiliki oleh Bank Global maupun Bank Century sebatas izin prinsip, izin prinsip keikutsertaan dalam investasi pasar modal karena Bank Global dan Bank Century ini hanya izinnya dari Bank Indonesia saja. Dalam rapat dengar pendapat di komisi, terkesan ada seperti pelepasan tanggung jawab antara Bank Indonesia dengan Bapepam-LK. Atas dasar inilah Saksi mengusulkan sebuah lembaga terintegrasi di bidang jasa keuangan yang kemudian diberi nama Otoritas Jasa Keuangan.
I Gede Hartadi Kurniawan Saksi adalah perwakilan dari Asosiasi Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Seluruh Indonesia, Saksi menjabat sebagai Ketua Bidang Organisasi dan Keanggotaan Dewan Pengurus Pusat Perbarindo periode 2018-2022. Sebagai salah satu praktisi dari industri bank perkreditan rakyat, Saksi mewakili dari industri BPR, berpendapat bahwa fungsi penyidikan pada 220 Otoritas Jasa Keuangan merupakan suatu kewenangan yang sangat membantu industri BPR apabila terjadi suatu permasalahan atau fraud yang terdapat di dalam industri BPR sebagai akibat kesalahan satu ataupun kesalahan beberapa oknum atau orang yang bekerja di dalam industri BPR, khususnya terhadap kasus-kasusnya yang berkaitan dengan tindak pidana. Hal ini karena penyidik-penyidik yang bekerja pada Otoritas Jasa Keuangan tentunya sangat paham terhadap perhitungan di dalam neraca serta perhitungan rugi, laba, dan juga dengan tingkat kesehatan bank pada suatu BPR, sehingga penanganan apabila terdapat suatu kasus pidana dan tentunya juga ada unsur pembinaan dan pengawasan terhadap industri BPR. Otoritas Jasa Keuangan dengan fungsi pembinaan terhadap industri BPR yang dimilikinya sudah tentu selalu berupaya menyelamatkan industri BPR itu sendiri dari kemungkinan tindak pidana yang dilakukan oleh oknum- oknum yang bekerja di dalam industri BPR. Hal ini tidak terlepas juga dengan efisiennya pengawasan, pembinaan dengan fungsi penyidikan di dalam tugas dan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan. Sehingga dengan satu atap, maka penanganan suatu kasus dapat dikerjakan dengan lebih efektif dan efisien. Saksipribadi juga pernah mengalami suatu penanganan kasus yang terindikasi tindak pidana pada era BPR masih di bawah pengawasan dan pembinaan Bank Indonesia dengan era sekarang di bawah pengawasan dan pembinaan Otoritas Jasa Keuangan. Pada waktu era Bank Indonesia yang tidak mempunyai fungsi penyidikan dirasakan bahwa dengan tidak satu atapnya fungsi pembinaan dan fungsi penyidikan, maka penanganan suatu kasus perkara yang terindikasi ada tindak pidana di industri BPR waktu penanganannya cenderung lebih lambat dan pada era sekarang ketika seorang penyidika yang bertugas di OJK, baik seorang pejabat dari kepolisian ataupun PPNS sudah pasti pejabat-pejabat tersebut sangat memahami alur laporan keuangan di industri BPR, serta bisa menyesuaikan dengan bijaksana dan dengan tujuan menyelamatkan industri- industri BPR itu sendiri demi stabilitas perokonomian di lingkungan BPR ataupun regional BPR tersebut, dan waktu penanganan juga lebih cepat karena lebih efisien di dalam satu atap. 221 [2.6] Menimbang bahwa Pemohon, Presiden dan Pihak Terkait menyampaikan kesimpulan tertulis masing-masing bertanggal 15 Mei 2019 dan 16 Mei 2019 yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 15 Mei 2019 dan 16 Mei 2019, yang pada pokoknya masing-masing tetap pada pendiriannya; [2.7] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini;
PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), Mahkamah berwenang, antara lain, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang- undang terhadap UUD 1945; [3.2] Menimbang bahwa permohonan para Pemohon adalah ihwal pengujian konstitusionalitas norma undang-undang, in casu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253, selanjutnya disebut UU 21/2011), sehingga sesuai dengan 222 ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo . Kedudukan Hukum Pemohon [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a; [3.4] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya, telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; 223 c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut:
Bahwa norma undang-undang yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya dalam permohonan a quo adalah Pasal 1 angka 1 setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XII/2014 dan Pasal 9 huruf c UU 21/2011 yang rumusannya masing-masing adalah sebagai berikut: Pasal 1 angka 1 Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU- XII/2014]. Pasal 9 huruf c Untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang:
...................... b....................... c. melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; terhadap Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Bahwa Pemohon I sampai dengan Pemohon IV dalam permohonannya menerangkan kualifikasinya sebagai perorangan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta dengan menyertakan bukti Nomor Induk Dosen Nasional 0608047501 untuk Pemohon 224 I (Bukti P-4), Nomor Induk Dosen Nasional 0601108501 untuk Pemohon II (Bukti P-9), Nomor Induk Dosen Nasional 0629017603 untuk Pemohon III (Bukti P-11), dan Nomor Induk Dosen Nasional 0604118703 untuk Pemohon IV (Bukti P-14);
Bahwa khusus Pemohon I selain menjadi Dosen juga berprofesi sebagai Advokat dengan Kartu Advokat dengan Nomor 17.01636 (Bukti P-6) dan juga merupakan anggota Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI) dengan Nomor Anggota H-68 01 17 (Bukti P-5). Sebagai seorang advokat, Pemohon I merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya ketentuan pasal a quo , karena menurut Pemohon I dengan berlakunya ketentuan a quo Pemohon I akan mengalami kesulitan memberikan bantuan hukum jika ada klien yang memiliki permasalahan di bidang jasa keuangan. Menurut Pemohon I, UU 21/2011 tidak mengatur dengan jelas mengenai hak-hak yang dimiliki oleh seseorang yang disangka melakukan dugaan tindak pidana di sektor keuangan, seharusnya dengan adanya asas presumption of innocent , sejak awal dimulainya penyidikan hak tersangka sudah diatur di dalam undang-undang sebagai wujud jaminan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia. Terhadap hal ini, Mahkamah berpendapat, kesulitan memberikan bantuan hukum ketika Pemohon I bertindak sebagai seorang advokat sebagaimana diuraikan di atas tidaklah menggambarkan kerugian hak konstitusional secara faktual atau potensial merugikan Pemohon I yang disebabkan oleh berlakunya Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU 21/2011. Sebab, keberlakuan ketentuan a quo sama sekali tidak menghalangi Pemohon I untuk memberikan bantuan hukum kepada seseorang yang disangkakan melakukan tindak pidana dalam sektor jasa keuangan;
Bahwa selain itu, Pemohon IV menguraikan pada saat menyelesaikan pendidikan Strata-2, Pemohon menyusun tesis mengenai lembaga OJK. Pemohon melakukan penelitian tahun 2013 pada saat sedang dirancangnya pembentukan lembaga OJK. Dari hasil penelitiannya, Pemohon tidak menemukan dalam rancangan pembentukan lembaga OJK yang menyatakan bahwa dalam melaksanakan fungsi pengawasannya lembaga OJK diberi wewenang untuk melakukan penyidikan. Namun dalam perkembangannya 225 lembaga OJK diberi kewenangan penyidikan seperti lembaga penegak hukum tanpa adanya penjelasan tujuan diberikannya wewenang Penyidikan tersebut. Pemberian kewenangan yang tanpa penjelasan ini menimbulkan kerugian bagi Pemohon, karena berakibat Pemohon tidak dapat menjelaskan latar belakang diberikan kewenangan penyidikan ini kepada Mahasiswa dan pada forum- forum akademis. Menurut Mahkamah apabila dikaitkan dengan kapasitas Pemohon IV yang juga merupakan dosen, seandainya memang benar tidak ditemukan penjelasan ihwal kewenangan penyidikan OJK tersebut, hal demikian bukanlah kerugian konstitusional sehingga tidak dapat dijadikan sebagai alasan kerugian konstitusional karena dengan tidak ditemukan penjelasan dimaksud, secara akademis, justru dapat menjadi bahan kajian dan penelitian lebih lanjut bagi Pemohon IV terutama terkait dengan proses pembentukan UU 21/2011.
Bahwa Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, dan Pemohon IV sebagai Dosen di Fakultas Hukum merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan adanya ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU 21/2011 karena berdasarkan hukum pidana yang dipelajari dan didalami oleh para Pemohon, pemberlakuan " criminal justice system " di Indonesia sebagai negara yang mendeklarasikan dirinya sebagai Negara Hukum maka proses penegakan hukum pidananya berdasarkan pada prinsip " due process of law " di mana penegakan hukum harus dilaksanakan oleh negara, dalam hal ini Aparat Penegak Hukum, yang telah diatur dalam KUHAP, namun ternyata hal tersebut diabaikan dengan berlakunya UU 21/2011. Untuk menguraikan adanya kedudukan hukum tersebut, para Pemohon mengutip Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011, di mana Pemohon di dalam putusan tersebut yang merupakan pengajar hukum tata negara yang dinyatakan memiliki legal standing dalam mengajukan permohonannya tersebut. Sehingga, menurut para Pemohon a quo karena para Pemohon pada prinsipnya memiliki profesi yang sama, yakni pengajar hukum pidana maka dengan merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011, para Pemohon memiliki kedudukan hukum. Terhadap penjelasan Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, dan Pemohon IV, Mahkamah berpendapat bahwa kesulitan dan kerugian yang dijelaskan oleh 226 para Pemohon di atas tidaklah menggambarkan adanya kerugian hak konstitusional yang disebabkan oleh berlakunya Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU 21/2011 sebab keberlakuan ketentuan a quo tidak menghalangi Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, dan Pemohon IV untuk menjalankan profesinya sebagai pengajar hukum pidana. Apalagi bila dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011, permohonan a quo memiliki karakteristik yang berbeda sehingga tidak serta-merta dapat dijadikan bangunan argumentasi untuk memberikan kedudukan hukum kepada para Pemohon. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III dan Pemohon IV tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo .
Bahwa Pemohon V dan Pemohon VI menerangkan kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagai perorangan warga negara Indonesia dan merupakan karyawan PT. Sunprima Nusantara Pembiayaan (selanjutnya disebut PT SNP). Pada saat permohonan ini diajukan Pemohon V dan Pemohon VI sedang menjalani masa tahanan di Polda Metro Jaya atas laporan salah satu bank kreditor ke kepolisian karena Pemohon V dan Pemohon VI diduga melakukan tindak pidana sektor jasa keuangan. Permasalahan ini terjadi karena OJK meminta salah satu bank yang merupakan kreditor PT SNP untuk melakukan degradasi collectibility terhadap PT SNP karena berdasarkan hasil audit OJK pada Tahun 2016 PT SNP sudah pernah direstrukturisasi namun tidak didegradasi. Atas permintaan dari OJK tersebut salah satu bank menerbitkan status Coll 2 terhadap PT SNP, sedangkan pada saat dijatuhkan status Coll 2 PT SNP tidak memiliki tunggakan nominal maupun jatuh tempo. Akibat dari penerbitan status Coll 2 tersebut menyebabkan seluruh bank yang menjadi kreditor PT. SNP menghentikan semua pinjaman dan berbalik melakukan penagihan terhadap pendanaan yang telah diberikan kepada PT SNP. Berdasarkan status Coll 2, OJK melakukan audit ke PT SNP Pusat dan cabang (Mataram, Yogyakarta, dan Semarang). Menurut para Pemohon, tindakan OJK mendesak bank memberikan status Coll 2 menyebabkan permasalahan yang seharusnya dapat diselesaikan secara administratif perbankan termasuk di dalamnya menempuh upaya melalui KPPU menjadi dikesampingkan sehingga 227 permasalahannya masuk ke dalam ranah tindak pidana dalam sektor jasa keuangan dan para Pemohon adalah 2 dari delapan pengurus yang kemudian dijadikan tersangka oleh kepolisian. Menurut para Pemohon, hal ini tidak akan terjadi jika Lembaga OJK tidak diberikan kewenangan penyidikan. Dengan adanya tindakan sewenang-wenang OJK maka pelaku usaha menjadi terhenti usahanya, masyarakat tidak akan terlayani, dan karyawan pun menjadi terjerumus ke dalam persoalan tindak pidana di sektor jasa keuangan. Menurut para Pemohon, seharusnya OJK mampu menjaga agar kegiatan di sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel, serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Terhadap penjelasan Pemohon V dan Pemohon VI dalam menerangkan kedudukan hukumnya tersebut, menurut Mahkamah, status Coll 2 yang diberikan oleh OJK terhadap PT SNP, sehingga pemberian status tersebut yang merupakan salah satu tahapan dalam proses penyidikan, baik wewenang yang dimiliki oleh Kepolisian maupun yang dimiliki OJK, telah berdampak pada disidiknya Pemohon V dan Pemohon VI oleh Polda Metro Jaya. Dengan demikian, terlepas dari terbukti atau tidaknya dalil Pemohon V dan Pemohon VI perihal inkonstitusionalitas norma pasal-pasal yang dimohonkan pengujian, Mahkamah berpendapat bahwa para Pemohon telah menguraikan hak-hak konstitusionalnya yang menurut anggapan mereka secara aktual dirugikan dengan berlakunya norma pasal dalam UU 21/2011. Kerugian tersebut tidak lagi terjadi jika permohonan a quo dikabulkan. Oleh karena itu, berdasarkan uraian kerugian konstitusional tersebut, Pemohon V dan Pemohon VI memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo . [3.6] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tertuang pada Paragraf [3.5] di atas ternyata bahwa hanya sebagian dari para Pemohon yang memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo , yaitu Pemohon V dan Pemohon VI (selanjutnya disebut para Pemohon), selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan. 228 Pokok Permohonan [3.7] Menimbang bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas norma Pasal 1 angka 1 frasa “dan penyidikan” dan Pasal 9 huruf c kata “penyidikan” UU 21/2011 para Pemohon mengemukakan argumentasi sebagaimana selengkapnya telah dimuat dalam bagian duduk perkara yang pada pokoknya sebagai berikut:
Bahwa, para Pemohon menyatakan Pasal 1 angka 1 UU 21/2011 pernah diajukan pengujian ke Mahkamah Konstitusi dan telah diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XII/2014 bertanggal 4 Agustus 2015 dengan amar mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian, menurut para Pemohon walaupun dalam permohonannya menguji pasal yang sama namun frasa yang diuji berbeda. Dalam perkara Nomor 25/PUU-XII/2014 yang diuji adalah frasa “dan bebas dari campur tangan pihak lain” yang mengikuti kata “independen” dalam Pasal 1 angka 1 UU 21/2011 sedangkan para Pemohon a quo menguji frasa “dan penyidikan” dalam Pasal 1 angka 1 serta kata “penyidikan” dalam Pasal 9 huruf c UU 21/2011 yang belum pernah diajukan pengujiannya di Mahkamah Konstitusi. Sehingga, menurut para Pemohon, permohonan a quo tidak nebis in idem dengan perkara Nomor 25/PUU-XII/2014;
Bahwa, menurut para Pemohon, dengan melihat tujuan, fungsi, dan tugas OJK maka OJK adalah lembaga administratif yang dapat melakukan penegakan hukum dalam lingkup hukum administrasi negara yang terbatas pada proses pemeriksaan dan/atau penyelidikan tentang adanya dugaan tindak pidana di sektor jasa keuangan dalam konteks fungsi administatif bukan pro justitia sebagaimana KUHAP, sebagaimana ditegaskan untuk kewenangan penyelidikan yang dilakukan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XIV/2016;
Bahwa, menurut para Pemohon, adanya wewenang "dan penyidikan" dalam Pasal 1 angka 1 UU 21/2011 dan wewenang "penyidikan" yang dimasukan ke dalam lingkup tugas pengawasan dalam Pasal 9 huruf c UU 21/2011 menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga mengaburkan Integrated Criminal Justice System karena penyidikan oleh penyidik OJK untuk tindak pidana yang sama dimiliki pula oleh penyidik lain yang telah ada sehingga 229 akan terjadi tumpang-tindih kewenangan antara Polri, KPK, dan OJK dalam proses penanganan tindak pidana di sektor jasa keuangan.
Bahwa, menurut para Pemohon, secara eksplisit UU 21/2011 menentukan penyidik OJK berstatus pegawai negeri sipil [Pasal 49 ayat (1) juncto ayat (3) UU 21/2011] maka OJK tidak dapat melibatkan penyidik kepolisian, namun dalam praktik OJK telah melantik pejabat kepolisian yang masih aktif menjadi penyidik di OJK sehingga, menurut para Pemohon, hal ini bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
Bahwa, menurut para Pemohon, dengan mengutip beberapa undang-undang yang mengatur mengenai Pegawai Negeri Sipil yang diberikan wewenang sebagai penyidik di antaranya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasal Modal, ternyata semua undang-undang tersebut menyatakan bahwa Pegawai Negeri Sipil yang diberikan kewenangan penyidikan melaksanakan penyidikannya berdasarkan ketentuan Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan memberitahukan hasil penyidikannya kepada penuntut umum sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau berkoordinasi dengan penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. Menurut para Pemohon, hal ini berbeda dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil di OJK karena tidak ada norma dalam UU 21/2011 yang mengatur bahwa Pegawai Negeri Sipil dalam menjalankan kewenangan penyidikannya harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau setidaknya menyatakan "penyidik pejabat pegawai negeri sipil berkoordinasi dengan penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia". Selain itu UU 21/2011 juga tidak mengatur jenis kejahatan yang menjadi ruang lingkup wewenang penyidik OJK yang berstatus Pegawai Negeri Sipil.
Bahwa, menurut para Pemohon, berdasarkan Pasal 49 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU 21/2011, status Penyidik yang ada di OJK adalah PNS. Jika dilihat dari filosofisnya keberadaan Penyidik PNS berasal dari PNS yang ada di dalam institusi suatu lembaga negara tersebut yang kemudian diberikan 230 pendidikan secara khusus mengenai ilmu penyidikan untuk menjadi seorang penyidik. Namun dalam lembaga OJK, status Pegawai OJK bukanlah PNS. Oleh karena itu Penyidik PNS yang ada di lembaga OJK diambil dari institusi- institusi yang ruang lingkupnya terkait di bidang sektor Jasa Keuangan sehingga hal ini, menurut para Pemohon, menimbulkan ketidakpastian hukum.
Bahwa, menurut para Pemohon, ketika wewenang "Penyidikan" yang merupakan suatu tindakan pro justitia diberikan kepada financial supervisiory institution, dalam hal ini __ OJK, menimbulkan ketidaklaziman. Karena, dengan merujuk pada lembaga sejenis di beberapa negara berkembang ataupun negara maju, tidak ada satupun lembaga sejenis OJK yang diberikan wewenang "penyidikan".
Bahwa, menurut para Pemohon, dengan mengutip pertimbangan hukum Paragraf [3.15] angka 2, halaman 142 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015 yang menguji Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang menyatakan jika melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya dapat dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh Undang- Undang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur dengan Undang- Undang kecuali dalam hal tertangkap tangan", para Pemohon membandingkannya dengan hukum acara penyidikan di lembaga OJK, di mana wewenang penyidikan tidak diatur secara rinci di dalam undang-undang melainkan diatur dalam peraturan OJK. Menurut para Pemohon, hal ini bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU- XIII/2015.
Berdasarkan seluruh alasan-alasan tersebut di atas para Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 1 angka 1 terhadap frasa "dan Penyidikan" dan Pasal 9 huruf c terhadap kata "Penyidikan" UU 21/2011 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. [3.8] Menimbang bahwa untuk mendukung dalil permohonannya, para Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang masing-masing diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-18 dan mengajukan 4 (empat) orang Ahli yaitu Prof. Drs. Ratno Lukito, MA., DCL. dan Prof. Dr. Nindyo Pramono, S.H., M.S., 231 yang didengarkan keterangannya pada persidangan tanggal 18 Februari 2019 dan Ahli Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, S.H., M.Hum (Eddy O.S Hiariej) dan Dr. Bernard L. Tanya, S.H.,M.H., yang didengarkan keterangannya pada persidangan tanggal 28 Februari 2019 (keterangan selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara); [3.9] Menimbang bahwa Mahkamah telah mendengar keterangan Presiden dalam sidang tanggal 7 Februari 2019 dan membaca keterangan tertulis dari yang bersangkutan. Mahkamah telah pula mendengar keterangan 4 (empat) orang ahli yaitu Ahli Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H. dan Prof. H. Atip Latipulhayat, LLM., Ph.D yang didengarkan keterangannya pada persidangan tanggal 1 April 2019 dan Prof. Denny Indrayana, S.H., LL.M.,Ph.D serta Dr. Chairul Huda, S.H., M.H., yang didengar keterangannya pada persidangan tanggal 12 Maret 2019 dan 2 (dua) orang saksi yaitu Kombespol Dr. Warasman Marbun, S. H. dan Johansyah yang didengarkan keterangannya pada persidangan tanggal 9 April 2019 (keterangan selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara); [3.10] Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat telah menyampaikan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 26 Februari 2019 (keterangan selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara); [3.11] Menimbang bahwa OJK telah menyampaikan keterangan tertulis dari OJK diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 15 Februari 2019 dan Pihak Terkait mengajukan 3 orang ahli yaitu Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M. Hum, Dr. Yunus Husein, S.H., LL.M, dan Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LL.M yang didengarkan keterangannya pada persidangan tanggal 23 April 2019 dan 2 orang saksi yaitu I Gusti Agung Rai Wirajaya, S.E., M.M., dan I Gede Hartadi Kurniawan, S.E. yang didengarkan keterangannya pada persidangan tanggal 8 Mei 2019 (keterangan selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara); [3.12] Menimbang bahwa setelah memeriksa dengan saksama dalil-dalil permohonan para Pemohon, bukti-bukti yang diajukan Pemohon dan mendengar keterangan pihak-pihak, saksi serta ahli yang diajukan sebagaimana disebutkan di atas, sebelum menilai konstitusionalitas Pasal 1 angka 1 UU 21/2011 terlebih 232 dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan permohonan para Pemohon berkaitan dengan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK. Bahwa terhadap persoalan tersebut di atas, setelah Mahkamah mencermati dalil permohonan para Pemohon, yang menyatakan pengujian norma a quo tidak nebis in idem karena para Pemohon menguji frasa yang berbeda Mahkamah berpendapat setelah dicermati telah ternyata meskipun pasal yang diujikan sama namun terhadap permohonan a quo hanya terbatas pada frasa “dan Penyidikan” serta menggunakan dasar pengujian yang berbeda. Sehingga dengan demikian, permohonan para Pemohon tidak tunduk pada ketentuan Pasal 60 UU MK dan oleh karenanya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan lebih lanjut. [3.13] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan dengan menyatakan OJK adalah lembaga penegak hukum dalam konteks hukum administratif negara bukan lembaga penegak hukum dalam konteks pro Justitia sebagaimana diatur dalam KUHAP seperti halnya kewenangan penyelidikan yang dimiliki oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah memandang penting untuk mengaitkan permohonan para Pemohon a quo dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XII/2014 yang menegaskan bahwa OJK adalah lembaga negara independen. Namun demikian, sebelum lebih jauh membahas kewenangan penyidikan yang dimiliki OJK, Mahkamah terlebih dahulu perlu menegaskan arti penting kehadiran OJK dalam desain besar perekonomian negara terutama dalam mewujudkan tujuan bernegara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Bahwa terkait dengan hal di atas, Konsiderans “Menimbang” huruf a UU 21/2011 menyatakan bahwa untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, diperlukan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Berkenaan dengan dasar pemikiran tersebut, menurut Mahkamah, seharusnya kewenangan yang dimiliki oleh OJK dimaksudkan untuk mencapai tujuan mewujudkan perekonomian nasional. Sehingga untuk mencapai tujuan 233 dimaksud diperlukan penegakan hukum, baik berupa hukum administrasi maupun penegakan hukum lainnya termasuk hukum pidana. Oleh karena itu sebelum sampai pada kesimpulan apakah OJK merupakan lembaga penegak hukum dalam konteks pro justitia ataukah penegakan hukum dalam konteks administratif semata maka Mahkamah perlu mempertimbangkan hal berikut: [3.13.1] Bahwa dalam sistem penegakan hukum di Indonesia, kewenangan untuk melakukan penyidikan tidak hanya dimiliki oleh lembaga penegak hukum saja tetapi juga dibuka kemungkinan dilakukan oleh lembaga-lembaga lain yang diberi kewenangan khusus untuk itu, sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon, misalnya kewenangan penyidikan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasal Modal. Artinya, dengan bukti tersebut, kewenangan penyidikan sangat mungkin diberikan kepada lembaga lain di luar lembaga penegak hukum sepanjang tidak bertentangan dengan kewenangan lembaga penegak hukum lainnya . [3.13.2] Bahwa berkenaan dengan pertimbangan di atas, apabila diletakkan dalam bingkai integrated criminal justice system harus ada keterpaduan penyidik bidang tindak pidana lainnya dengan penyidik Kepolisian. Keterpaduan demikian penting dilakukan agar tidak terjadi tumpang-tindih dalam penegakan hukum terutama dalam penegakan hukum pidana. Dalam konteks itu, setiap lembaga baik itu Kepolisian dan lembaga lain yang mempunyai kewenangan penyidikan masing- masing memiliki tugas dan wewenang yang berbeda sesuai dengan bidang kekhususan yang diberikan oleh undang-undang. Artinya sekalipun undang- undang dapat memberikan kewenangan penyidikan kepada lembaga negara lain, kewenangan dimaksud tidak boleh mengabaikan prinsip integrated criminal justice system . Prinsip demikian dilakukan dengan kewajiban membangun koordinasi antara penyidik lembaga negara yang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan sesuai dengan tugas dan wewenang masing-masing dengan penyidik Kepolisian. 234 [3.14] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan sebagaimana dikemukakan dalam Paragraf [3.13] di atas, sebelum lebih jauh menilai konstitusionalitas kewenangan penyidikan yang dimiliki oleh OJK penting bagi Mahkamah mempertimbangkan apakah kewenangan penyidikan yang dimiliki OJK dapat dibenarkan ataukah sebaliknya. Bahwa kewenangan OJK yang diberikan undang-undang tidak dapat dilepaskan dari politik hukum untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil. Oleh karenanya diperlukan piranti hukum yang memberikan kewenangan tertentu sehingga kegiatan dalam sektor jasa keuangan mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, serta mampu pula melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Berkenaan dengan dasar pemikiran tersebut, menurut Mahkamah, kewenangan penyidikan yang dimiliki OJK adalah merupakan bagian dari upaya mewujudkan tujuan perekonomian nasional. Artinya, penyidikan yang diberikan kepada OJK tidak dapat dilepaskan dari pencapaian tujuan dimaksud. Bahwa namun demikian apabila kewenangan penyidikan yang diberikan kepada OJK dilaksanakan tanpa mempersyaratkan koordinasi dengan penyidik Kepolisian, apakah berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan sehingga bertentangan dengan prinsip integrated criminal justice system , Mahkamah akan mempertimbangkan lebih lanjut. [3.15] Menimbang bahwa apabila diletakkan dalam perspektif kewenangan penyidikan yang dimiliki oleh OJK sebagai salah satu lembaga lain yang memiliki wewenang penyidikan selain penyidikan yang dimiliki oleh lembaga Kepolisian, kewenangan demikian dapat dibenarkan. Namun, jikalau kewenangan penyidikan yang dimiliki oleh OJK dilaksanakan tanpa koordinasi dengan penyidik Kepolisian sebagaimana dipersyaratkan terhadap penyidik lembaga lain selain Kepolisian berpotensi adanya kesewenang-wenangan dan tumpang-tindih dalam penegakan hukum pidana yang terpadu. Oleh karena itu, untuk menghindari potensi tersebut, kewajiban membangun koordinasi dengan penyidik Kepolisian juga merupakan kewajiban yang melekat pada penyidik OJK. Dasar pertimbangan demikian tidak terlepas dari semangat membangun sistem penegakan hukum yang terintegrasi sehingga tumpang-tindih kewenangan yang dapat berdampak adanya tindakan 235 kesewenang-wenangan oleh aparat penegak hukum maupun pejabat penyidik di masing-masing lembaga dalam proses penegakan hukum dapat dihindari. [3.16] Menimbang bahwa terhadap argumentasi para Pemohon bahwa kewenangan OJK dalam hal penyidikan dapat mengaburkan Integrated Criminal Justice System karena __ UU 21/2011 tidak mengatur jenis tindak Pidana dalam sektor Jasa Keuangan perbankan ataupun non-perbankan yang menjadi wewenang Penyidik lembaga OJK, Mahkamah berpendapat, tanpa dikaitkan dengan jenis tindak pidananya, kewenangan penyidikan OJK dapat dibenarkan dan adalah konstitusional sepanjang pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik Kepolisian. Dengan kata lain, terlepas dari jenis-jenis tindak pidana dalam sektor jasa keuangan yang sangat beragam, dengan mengingat tujuan dibentuknya OJK, Mahkamah memandang kewenangan penyidikan OJK adalah konstitusional. Artinya, telah ternyata bahwa kewenangan OJK bukanlah semata- mata dalam konteks penegakan hukum administratif semata tetapi dalam batas- batas dan syarat-syarat tertentu juga mencakup kewenangan penegakan hukum yang bersifat pro justitia, sebagaimana telah dipertimbangkan di atas. Tegasnya, demi kepastian hukum, koordinasi dengan penyidik kepolisian sebagaimana dimaksudkan di atas dilakukan sejak diterbitkannya surat pemberitahuan dimulainya penyidikan, pelaksanaan penyidikan, sampai dengan selesainya pemberkasan sebelum pelimpahan berkas perkara kepada jaksa penuntut umum. [3.17] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, di mana Mahkamah telah berkesimpulan bahwa kewenangan penyidikan OJK yang merupakan inti dari dalil para Pemohon adalah konstitusional sepanjang dikoordinasikan dengan penyidik Kepolisian, maka dalil para Pemohon selain dan selebihnya oleh karena tidak relevan, sehingga tidak dipertimbangkan lebih lanjut. [3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat, dalil permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum. 236 4. KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan _a quo; _ [4.2] Pemohon I sampai dengan Pemohon IV tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Pemohon V dan Pemohon VI memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.4] Pokok permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
AMAR PUTUSAN Mengadili:
Menyatakan permohonan Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, dan Pemohon IV tidak dapat diterima.
Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya. Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Arief Hidayat, Saldi Isra, Manahan M.P. Sitompul, Enny Nurbaningsih, I Dewa Gede Palguna, Suhartoyo, dan Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Senin, tanggal dua puluh lima , bulan November, tahun dua ribu sembilan belas , yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi 237 terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal delapan belas , bulan Desember , tahun dua ribu sembilan belas , selesai diucapkan pukul 12.23 WIB , oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Aswanto, Arief Hidayat, Saldi Isra, Manahan M.P. Sitompul, Enny Nurbaningsih, I Dewa Gede Palguna, Suhartoyo, dan Wahiduddin Adams, masing- masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Ria Indriyani sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon, Presiden atau yang mewakili, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan Pihak Terkait. KETUA, ttd. Anwar Usman ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Aswanto ttd. Arief Hidayat ttd. Saldi Isra ttd. Manahan MP Sitompul ttd. Enny Nurbaningsih ttd. I Dewa Gede Palguna ttd. Suhartoyo ttd. Wahiduddin Adams PANITERA PENGGANTI, ttd. Ria Indriyani
Ahli Teknologi Kekayaan Intelektual Serta Hasil Kegiatan Penelitian dan Pengembangan oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan. ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.
Standar kompetensi lulusan adalah kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
Standar isi adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
Standar proses adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satu satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi lulusan.
Standar pendidik dan tenaga kependidikan adalah kriteria pendidikan prajabatan dan kelayakan fisik maupun mental, serta pendidikan dalam jabatan.
Standar sarana dan prasarana adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan kriteria minimal tentang ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan berekreasi, serta sumber belajar lain, yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi.
Standar pengelolaan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, kabupaten/kota, provinsi, atau nasional agar tercapai efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan.
Standar pembiayaan adalah standar yang mengatur komponen dan besarnya biaya operasi satuan pendidikan yang berlaku selama satu tahun.
Standar penilaian pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik.
Biaya operasi satuan pendidikan adalah bagian dari dana pendidikan yang diperlukan untuk membiayai kegiatan operasi satuan pendidikan agar dapat berlangsungnya kegiatan pendidikan yang sesuai standar nasional pendidikan secara teratur dan berkelanjutan.
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Kerangka dasar kurikulum adalah rambu-rambu yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah ini untuk dijadikan pedoman dalam penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya pada setiap satuan pendidikan.
Kurikulum tingkat satuan pendidikan adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan.
Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.
Penilaian adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik.
Evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan.
Ulangan adalah proses yang dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik secara berkelanjutan dalam proses pembelajaran, untuk memantau kemajuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik .
Ujian adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik sebagai pengakuan prestasi belajar dan/atau penyelesaian dari suatu satuan pendidikan.
Akreditasi adalah kegiatan penilaian kelayakan program dan/atau satuan pendidikan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan.
Badan Standar Nasional Pendidikan yang selanjutnya disebut BSNP adalah badan mandiri dan independen yang bertugas mengembangkan, memantau pelaksanaan, dan mengevaluasi standar nasional pendidikan;
Departemen adalah departemen yang bertanggung jawab di bidang pendidikan;
Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan yang selanjutnya disebut LPMP adalah unit pelaksana teknis Departemen yang berkedudukan di provinsi dan bertugas untuk membantu Pemerintah Daerah dalam bentuk supervisi, bimbingan, arahan, saran, dan bantuan teknis kepada satuan pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan nonformal, dalam berbagai upaya penjaminan mutu satuan pendidikan untuk mencapai standar nasional pendidikan;
Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah yang selanjutnya disebut BAN-S/M adalah badan evaluasi mandiri yang menetapkan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah jalur formal dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan.
Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Non Formal yang selanjutnya disebut BAN-PNF adalah badan evaluasi mandiri yang menetapkan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan jalur pendidikan nonformal dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan.
Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi yang selanjutnya disebut BAN-PT adalah badan evaluasi mandiri yang menetapkan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan.
Menteri adalah menteri yang menangani urusan pemerintahan di bidang pendidikan.
Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2006.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2009.
Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga.
Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyarawatan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwak ...
Relevan terhadap
Presiden menyampaikan rancangan undang-undang tentang pertanggung jawaban pelaksanaan APBN kepada DPR berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh BPK paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir (2) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi realisasi APBN, neraca, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan yang dilampiri dengan laporan keuangan kementerian/ lembaga. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 28 www.mahkamahkonstitusi.go.id Bahwa pada Buku Panduan tentang Anggaran dan Pengawasan Keuangan yang diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal DPR-RI hasil kerjasama dengan United Nations Development Programe (UNDP) dapat ditemukan 11 (sebelas) tahapan Penyusunan, Pembahasan, dan Penetapan APBN, seperti terlihat pada tabel di bawah ini: (bukti P-12) Tabel: Timeline Penyusunan, Pembahasan dan Penetapan APBN Nomor Aktivitas Pelaksana Waktu Catatan 1. Penyiapan dokumen awal berupa rencana kegiatan kementerian/ lembaga negara untuk kemudian diserahkan pada Departemen Keuangan Kementerian/ Lembaga Negara Januari – Mei tahun sebelumnya 2. Pengolahan dokumen awal menjadi paket pokok- pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro Departemen Keuangan/ Bappenas Januari – Mei tahun sebelumnya 3. Rapat kabinet dihadiri seluruh menteri yang melahirkan RAPBN usulan pemerintah untuk tahun depan Jajaran kabinet Pertengahan Mei tahun sebelumnya 4. Penyerahan dan pembahasan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro untuk dijadikan bahan penyusun RUU APBN dan Nota Keuangan Panitia Anggaran, Menteri Keuangan, Menneg PPN/ Kepala Bappenas, Gubernur BI Pertengahan Mei tahun sebelumnya 5. Penyampaian pidato pengantar RUU APBN dan nota keuangan pemandangan umum dan jawaban pemerintah Presiden/ Kepala Negara, Paripurna DPR, fraksi-fraksi DPR 16 Agustus tahun sebelumnya 6. Pembicaraan tingkat I RUU APBN dan nota keuangan Panitia anggaran dan jajaran menteri/ Kepala Lembaga Negara September- Oktober tahun sebelumnya 7. Pembicaraan tingkat II dan pengambilan keputusan atas RUU APBN Panitia anggaran, fraksi-fraksi, jajaran pemerintah Akhir Oktober tahun sebelumnya 8. Pelaksanaan APBN Pemerintah dan DPR 1 Januari – 31 Desember Tahun berjalan 9. Laporan realisasi semester Pemerintah, cq. Akhir Juli Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 29 www.mahkamahkonstitusi.go.id I dan prognosis semester II Departemen Keuangan dan Panitia Anggaran tahun berjalan 10. Penyampaian RUU Pertanggungjawaban pelaksanaan APBN Presiden dan Paripurna DPR Akhir juli tahun selanjutnya 11. Pengajuan, pembahasan dan penetapan RUU APBN perubahan Pemerintah dan DPR Sewaktu- waktu pada tahun berjalan Jika diperlukan Bahwa pada Pasal 156 UU Nomor 27 Tahun 2009, diatur pelaksanaan kewenangan Pasal 71 huruf g UU 27 Tahun 2009 dilakukan dengan cara, DPR menyelenggarakan kegiatan sebagai berikut: a. Pembicaraan pendahuluan dengan Pemerintah dan Bank Indonesia dalam _rangka menyusun rancangan APBN; _ b. Pembahasan dan penetapan APBN yang didahului dengan penyampaian rancangan undang-undang tentang APBN beserta nota keuangannya oleh _Presiden; _ c. Pembahasan rencana perubahan UU APBN d. Pembahasan dan penetapan rancangan undang-undang tentang perubahan _atas undang-undang tentang APBN; dan _ e. Pembahasan dan penetapan rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN. __ Bahwa dalam Permohonan ini, Pemohon fokus pada tahapan pertama dan kedua, yaitu: Pembicaraan pendahuluan serta Pembahasan dan Penetapan APBN. Bahwa berdasarkan Pasal 157 ayat (1) UU Nomor 27 Tahun 2009: Pembicaraan pendahuluan dalam rangka penyusunan rancangan APBN dilakukan segera setelah Pemerintah menyampaikan bahan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal _pada pertengahan bulan Mei, yang meliputi: _ a. kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal tahun anggaran _berikutnya; _ b. kebijakan umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap _kementerian/lembaga dalam penyusunan usulan anggaran; dan _ c. rincian unit organisasi, fungsi, program, dan kegiatan. Bahwa kemudian dijelaskan pada Pasal 158, yaitu: Kegiatan dalam tahap Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 30 www.mahkamahkonstitusi.go.id _pembicaraan pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 meliputi: _ __ a. rapat kerja yang diadakan oleh komisi dengan Pemerintah untuk membahas alokasi anggaran menurut fungsi, program, dan kegiatan kementerian/ _lembaga; dan _ b. rapat kerja yang diadakan oleh Badan Anggaran dengan Pemerintah dan Bank Indonesia untuk penyelesaian akhir kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal, dengan memperhatikan pemandangan umum fraksi, jawaban Pemerintah, saran dan pendapat Badan Musyawarah, keputusan rapat kerja komisi dengan Pemerintah mengenai alokasi anggaran menurut fungsi, program, dan kegiatan kementerian/lembaga. Bahwa setelah proses Pembicaraan pendahuluan selesai, berdasarkan Pasal 159 ayat (1) UU Nomor 27 Tahun 2009: "Presiden mengajukan rancangan undang-undang tentang APBN, disertai nota keuangan dan dokumen pendukungnya kepada DPR pada bulan Agustus tahun sebelumnya" Bahwa proses pembahasan rancangan Undang-Undang tentang APBN dilakukan seperti halnya pembahasan rancangan Undang-Undang yang berasal dari Presiden atau DPR, yang diatur pada Pasal 148 sampai dengan Pasal 151 UU Nomor 27 Tahun 2009, yang pada prinsipnya dilakukan melalui dua (2) tingkat pembicaraan, yaitu:
Tingkat I dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat panitia khusus;
Tingkat II dalam rapat paripurna. Bahwa dalam Pembicaraan Tingkat I, DPR, Presiden dan Kementerian/Lembaga terkait melakukan Pembahasan lebih lanjut terhadap rancangan Undang-Undang APBN dan dokumen lainyang secara umum telah dibahas sebelumnya di pemeriksaan pendahuluan pada pertengahan bulan Mei; Bahwa pada Pembicaraan Tingkat II dalam Paripurna dilakukan PENGAMBILAN KEPUTUSAN berapa persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota secara lisan dan penyampaian pendapat akhir Presiden yang disampaikan oleh menteri yang mewakilinya. Pada pembicaraan Tingkat II dalam Paripurna ini tidak dimungkinkan lagi terjadinya pembahasan terhadap rancangan Undang-Undang tentang APBN. Bahwa idealnya, kewenangan pembahasan rancangan Undang-Undang Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 31 www.mahkamahkonstitusi.go.id APBN oleh DPR pada pembicaraan pendahuluan serta Pembahasan APBN hanya mencakup hal-hal yang bersifat makro-strategis, kebijakan umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan kementerian/lembaga, bukan bersifat rinci sampai pada rincian kegiatan seperti yang terjadi saat ini; Bahwa DPR memiliki tiga fungsi yang sangat luas, yaitu: fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. DPR juga memiliki kewenangan dan tugas yang kompleks. Dari aspek tugas dan wewenang yang kompleks tersebut, waktu yang tidak mencukupi untuk melakukan pembahasan rancangan UU tentang APBN, dan kompetensi anggota DPR, maka pembahasan anggaran yang sangat terperinci adalah sesuatu yang tidak mungkin bisa dilakukan DPR; Bahwa pada kenyataannya DPR memang tidak mampu membahas anggaran secara terperinci; Bahwa karena DPR tidak mampu membahas seluruh anggaran secara terperinci, maka potensi anggaran yang dibahas terperinci hanyalah anggaran yang terkait dengan kepentingan anggota DPR bukan kepentingan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan pada Pasal 23 ayat (1) UUD 1945, sehingga menimbulkan potensi konflik kepentingan. Potensi konflik kepentingan ini dapat memicu praktik calo anggaran dan korupsi; Bahwa namun demikian, untuk kepentingan transparansi, akuntabilitas dan pelaksanaan Fungsi pengawasan DPR, maka sebuah dokumen APBN harus termasuk dokumen anggaran yang rinci yang telah disiapkan sebelumnya oleh kementerian/lembaga berdasarkan pembahasan yang bersifat makro-strategis bersama DPR, dan kemudian disetujui dan ditetapkan oleh DPR pada Paripurna, sehingga publik dapat mengawasi pelaksanaan APBN dan DPR bisa menjalankan fungsi pengawasan terhadap Dokumen APBN yang rinci tersebut; Bahwa kewenangan DPR untuk membahas rancangan Undang-Undang tentang APBN sebagaimana diatur di Pasal 157 ayat (1) huruf c sepanjang frase "rincian" UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MD3 seharusnya dibatalkan dan dicabut karena bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945; Bahwa kewenangan DPR untuk menyetujui secara rinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja seperti diatur dalam Pasal 15 ayat (5) UU Nomor 17 Tahun 2003, dan Pasal 159 ayat (5) UU Nomor 27 Tahun 2009 haruslah dipahami bukan merupakan kewenangan untuk melakukan pembahasan secara terperinci sampai dengan jenis Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 32 www.mahkamahkonstitusi.go.id belanja; Bahwa ketentuan Pasal 15 ayat (5) UU Nomor 17 Tahun 2003 dan Pasal 159 ayat (5) UU Nomor 27 Tahun 2009 tersebut perlu dipahami dengan konstruksi logika sebagai berikut: I. SUDUT PANDANG KEWENANGAN ABSOLUT DPR Bahwa keberadaan Pasal 15 ayat (5) UU Nomor 17 Tahun 2003, Pasal 157 ayat (1) huruf c sepanjang frase "rincian" dan Pasal 159 ayat (5) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 telah memberikan kewenangan yang absolut kepada DPR dalam pembahasan keuangan negara. Segala hal-hal yang absolut dalam pengelolaan negara pada dasarnya tidak diperkenankan. Pembatasan- pembatasan kewenangan terhadap lembaga negara diperlukan sebagaimana digagas dalam konsep separation of power. Secara filosofis Lord Acton berujar bahwa; "power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely; " Bahwa kecenderungan menyimpangnya kekuasaan terhadap kekuasaan yang absolut merupakan kemutlakan. Acton memastikan bahwa setiap pemegang kekuasaan negara yang memiliki kewenangan mutlak dalam mengelola negara dapat dipastikan akan menyimpangkan kewenangannya. Itu sebabnya tidak satu wadah lembaga negara pun yang memiliki kewenangan mutlak. Satu sama lain memiliki kewenangan menyeimbangkan atau setidak-tidaknya kewenangan yang menyebabkan terhindarnya suatu lembaga negara dalam melakukan penyimpangan. Donald S Lutz menuturkan bahwa pembagian kekuasaan berkaitan dengan pemisahan fungsi (Donald S Lutz, Principles of Constitutional Design, Cambridge University Press, 2006, hlm. 112); Bahwa kewenangan DPR dalam mengelola keuangan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (5) UU Nomor 17 Tahun 2003 dan Pasal 159 ayat (5) UU Nomor 27 Tahun 2009 merupakan kewenangan yang mutlak. Hal itu disebabkan DPR berwenang menentukan anggaran dan pengelolaan anggaran dari hulu hingga hilir mata anggaran dalam keuangan negara. Pasal a quo memberikan kewenangan DPR untuk menyetujui APBN mulai dari unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, hingga jenis belanja dalam pengelolaan keuangan negara; Bahwa dalam studi mengenai reformasi pengelolaan anggaran yang dilakukan oleh Jun Ma dan Yilin Hou diketahui bahwa pengelolaan anggaran yang terfokus kepada lembaga legislatif dan melalui kewenangan pembentukan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 33 www.mahkamahkonstitusi.go.id Undang-Undang (baca: APBN) merupakan model pengelolaan keuangan Amerika pada era kolonial dan awal-awal kemerdekaan bangsa Amerika. Padahal di masa yang sama negara-negara Eropa sudah menerapkan sistem pengajuan anggaran dilakukan oleh eksekutif dengan merencanakan program dan kebutuhan anggarannya kepada legislatif untuk disetujui atau tidak disetujui. Sedangkan Amerika (hingga 1912) menentukan bahwa penentuan anggaran diserahkan kepada legislatif tanpa ada ruang untuk eksekutif (Jun Ma dan Yilin Hou, 2009, him. S 54-55). Sehingga dapat dipahami bahwa pola terfokus dalam pengelolaan anggaran kepada DPR yang diterapkan Indonesia saat ini bisa dipastikan merupakan model kuno yang tidak dipakai oleh negara-negara modern yang mengandalkan akuntabilitas anggaran. Bahwa berdasarkan pendapat Weber dan Wildaysky, pemerintah sebagai "kapten kapal" tidak mengendalikan pemerintahan secara menyeluruh. Bahwa kewenangan tersebut menciptakan keabsolutan penentuan mata anggaran dalam pengelolaan keuangan negara. DPR dapat menentukan siapa yang berhak menerima proyek hingga menentukan hal paling terkecil dalam belanja negara. Padahal semestinya DPR hanya menentukan anggaran makro bersama pemerintah dalam pengelolaan keuangan negara. DPR tidak semestinya terlibat dalam penentuan anggaran-anggaran teknis dalam belanja negara (mikro). Fakta hukum yang terjadi saat ini DPR menentukan anggaran makro hingga mikro dalam mata anggaran APBN. Padahal kekuasaan DPR di Indonesia sangat berbeda dengan kekuasaan parlemen di Ingris Raya. Roger Masterman mengutip pernyataan AV Dicey yang menjelaskan bahwa supremasi parlemen itu bermakna bahwa tidak satu pun yang bisa menghalangi parlemen dalam membentuk undang-undang (baca: Roger Masterman, The Separation of Powers in the Contemporary Constitution, Cambridge University Press, 2011, hlm. 20). Konteks kekuasaan parlemen di Inggris tidak dapat diterapkan di Indonesia yang menganut sistem pemerintahan presidensil yang memisahkan kekuasaan lebih murni antara DPR dan Pemerintah. Sehingga kewenangan DPR mengatur APBN hulu hingga hilir menurut Pemohon tidak tepat. Sehingga keabsolutan dalam pengaturan anggaran berada "di tangan" DPR digugat dalam permohonan ini di hadapan Majelis Mahkamah Konstitusi; Bahwa lebih jauh lagi, DPR dapat "sesuka hati" dalam penundaan penetapan mata anggaran dengan memberikan tanda bintang. Bahkan setelah Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 34 www.mahkamahkonstitusi.go.id persetujuan dalam rapat paripurna sekalipun, acapkali DPR dalam praktiknya memberikan tanda bintang terhadap unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Padahal secara umum mata anggaran telah disepakati dalam Rapat Paripurna; Bahwa pemberian tanda bintang tersebut tidak saja menyebabkan tertundanya pelaksanaan program pemerintah, tetapi juga telah menciptakan pelbagai kemungkinan transaksi-transaksi yang bertentangan dengan hukum. Jamak diketahui bahwa dalam praktiknya, pemberian tanda bintang telah menciptakan sarana korupsi barn antara anggota DPR dan lembaga-lembaga negara, perusahaan-perusahaan, maupun orang perorangan dalam penyelenggaraan mata anggaran keuangan negara; Bahwa kasus-kasus yang melibatkan anggota DPR dalam peradilan tindak pidana korupsi dan/atau yang sedang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi seringkali berkaitan dengan permainan mata anggafan oleh anggota DPR. Transaksi "liar" itu terjadi disebabkan oleh terlalu kuatnya kewenangan DPR dalam menentukan mata anggaran hingga satuan tiga (unit organisasi, fungsi, program, kegiatan dan jenis belanja); __ II. FUNGSI BUDGETING /ANGGARAN DPR BERSIFAT MAKRO Bahwa benar Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 mengatur: DPR memiliki fungsi _legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan; _ Bahwa berdasarkan ketentuan pada Pasal 70 ayat (2) UU Nomor 27 tahun 2009 diatur, fungsi anggaran DPP dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan Undang-Undang tentang APBN yang diajukan Presiden; __ Bahwa Fungsi Anggaran DPR, seperti disampaikan Ahli Hukum Keuangan Negara: ARIFIN P. SOERIA ATMADJA dalam persidangan MK dalam Perkara Nomor 2/SKLN-X/2012 adalah: "Menurut Jesse Burkhead dalam Goverment Budgeting, serta Robert D. Lee, Jr. dan Ronald W. dalam Public Budgeting Systems, menyatakan: fungsi hak atau fungsi anggaran hanya terbatas pada rencana pendapatan belanja dari organisasi dan fungsi saja tidak termasuk program kegiatan jenis belanja yang merupakan domain eksekutif dan sudah menjadi tugas pemerintah di bidang administrasi Negara... "(Risalah Sidang Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 35 www.mahkamahkonstitusi.go.id Perkara Nomor 2/SKLN-X/2012 tanggal 24 April 2012, halaman 27). (bukti P43) __ Bahwa menurut ahli hukum keuangan negara, SISWO SUJANTO mengungkapkan dalam tulisannya: "Hak parlemen di bidang keuangan negara, dalam perjalanan sejarahnya telah mengalami perubahan yang sangat signifikan. Pada awal kelahiran hak tersebut, lembaga legislatif memiliki kebebasan yang sangat luas dalam pembahasan dan penetapan anggaran yang diusulkan oleh pemerintah. Akan tetapi kebebasan lembaga legislatif dalam pembahasan dan penetapan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara secara signifikan telah semakin berkurang. Karena berbagai keterbatasan, kebebasan lembaga legislatif cenderung mengalami kemerosotan. Menurut teori, bila diamati, keterbatasan dimaksud dapat dilihat dari tiga hal. Pertama, keterbatasan waktu (time constraint), kedua, keterbatasan kompetensi (competency constraint), dan ketiga, keterbatasan pendidikan (educational constraint)." (sumber: http: //www.keuanganpublik.com/2008/01/hak- budget-danketerbatasan-lembaga.html) (bukti P-14) __ Bahwa terkait dengan ketentuan pada Pasal 15 ayat (5) UU Nomor 17 Tahun 2003 dan Pasal 159 ayat (5) UU Nomor 27 Tahun 2009, Ahli Hukum Keuangan Negara, SISWO SUJANTO mengungkapkan persetujuannya dengan APBN yang rinci untuk kepentingan pengawasan pelaksanaan nantinya. Akan tetapi, ahli ini memberikan penekanan pada kewenangan DPR tersebut, yaitu: "Namun demikian, ketentuan dalam Pasal 15 ayat (5) Undang-Undang Keuangan Negara yang menyatakan bahwa 'APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja' tidaklah harus disambut dengan euforia yang berlebihan oleh para anggota DPR. Dua hal perlu diperhatikan dalam masalah ini. Pertama, dari sudut kelembagaan, bahwa DPR merupakan lembaga pengambil kebijakan (policy making institution ), bukan lembaga pelaksana (executing institution). Oleh karena itu, lembaga tersebut harus memiliki kemampuan mengambil keputusan yang bersifat makro-strategis. Untuk itu, lembaga tersebut harus didukung oleh para anggota yang mampu berfikir konsepsional dan bersifat makro-strategis. Kedua, dari sudut individu, bahwa dengan mengacu keterbatasan ( constraint ) para anggota DPR sebagaimana dikemukakan di atas, para anggota DPR bukanlah individu-individu yang memiliki kemampuan pemikiran yang bersifat mikro- Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 36 www.mahkamahkonstitusi.go.id teknis sebagaimana layaknya para pejabat di lembaga eksekutif. Praktik yang selama ini dilakukan oleh para anggota DPR di berbagai Komisi Sektoral yang membahas rancangan anggaran kementerian/lembaga hingga rincian yang paling detil, yaitu proyek maupun kegiatan, layaknya para budgeter (pejabat penyusun anggaran) adalah euforia yang selayaknya harus segera dihentikan. Euforia tersebut tampaknya bersumber dari ketidakpahaman yang dikombinasikan dengan kepentingan masing-masing individu ataupun fraksi dalam lembaga legislatif." (sumber: http: //www.keuanganpublik.com/2008/01/hak-budget-dan- keterbatasan-lembaga.html) Bahwa keterbatasan DPR tersebut terlihat dari molornya pembahasan rincian anggaran APBN setiap tahunnya, yaitu seperti terlihat di tabel di bawah ini: __ Tahun Anggaran Rapat Paripurna Pengesahan APBN Batas Waktu Penyelesaian Pembahasan Rincian Anggaran APBNP 2010 03 Mei 2010 Pasal 16c UU Nomor APBNP 2010 : 15 Mei 2010 APBNP 2011 22 Juli 2011 SE-442/MK.02/2011 : 16 Agustus 2011 APBN 2011 26 Oktober 2010 SE-676/MK.02/2010: 12 November 2010 APBN 2012 28 Oktober 2011 SE-01 /MK.2/2011 : 14 November 2011 Bahwa pada praktiknya, hambatan waktu penyelesaian pembahasan rincian anggaran di kolom 3 tabel di atas masih mungkin diundur untuk jangka waktu yang tidak pasti. Hal ini terlihat dari praktik pemblokiran/perbintangan anggaran dengan alasan yang tidak jelas di DPR; Bahwa ketidakmampuan DPR untuk membahas secara rinci juga terlihat dalam data FITRA tentang adanya ribuan mata anggaran pemerintah pusat setiap tahunnya. Seperti terlihat pada tabel dibawah ini: (perihal pemblokiran atau perbintangan anggaran akan dibahas lebih rinci pada bagian berikutnya) Tahun Jumlah Mata Anggaran Nilai 2011 6.101 mata anggaran Rp. 63,4 Triliun 2012 Rp. 78.5 triliun Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 37 www.mahkamahkonstitusi.go.id Bahwa ketidakmampuan DPR untuk membahas secara rinci tersebut disebabkan oleh banyak faktor, seperti: waktu yang sempit (hanya sekitar dua bulan: September sampai akhir Oktober) sehingga akan mengakibatkan pembahasan makro-strategis juga tidak akan maksimal jika DPR masih memaksakan membahas secara rinci per mata anggaran hingga "jenis kegiatan". Masalah kemampuan teknis juga telah disinggung sebelumnya dari ahli hukum keuangan negara SISWO SUJANTO; Bahwa Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Busyro Muqodas mengungkapkan pembahasan anggaran di DPR sampai satuan yang terkecil (satuan 3) membuka peluang konflik kepentingan antara anggota DPR dan mata anggaran yang disusun. _(sumber: _ http.//nasional.kompas.com/read/2012/ 03/01/15543214/Pimpinan. KPK. Kritik. Pemba hasan.Anigaran.di.DPR) Hal ini kemudian berakibat pada tingginya potensi korupsi anggaran di DPR; (bukti P-15) Bahwa hal itu ditegaskan oleh Penasehat KPK Abdullah Hehamahua pada 30 September 2010. Berdasarkan hasil pengkajian KPK di tahun sebelumnya, ditemukan sejumlah potensi korupsi dalam penyusunan dan pembahasan anggaran, salah satu penyebabnya adalah pembahasan anggaran yang sangat rinci (sampai satuan 3). _(sumber: _ http: //international.okezone.com/read/ 2010/09/30/339/377871/kpkpembahasan -apbn- di-dpr-lahan-korupsi), Bahwa berdasarkan uraian di atas perlu dipisahkan antara kewenangan DPR melakukan Pembahasan di tingkat makro-strategis yang tidak sampai terperinci pada jenis belanja, dengan kewenangan DPR untuk menyetujui terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja; Bahwa semestinya dalam pengaturan anggaran modern, kewenangan untuk menentukan anggaran (baca: unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja) diserahkan kepada kekuasaan eksekutif. Sedangkan kewenangan legislatif adalah untuk memberikan masukan dan menyetujui penentuan anggaran tersebut (Jun Ma dan Yulin Hao, Budgeting for Accountability, A Comparative Study of Budget Reforms in the United States during the Progressive Era and in Contemporary China, Public Administration Review, Dec., 2009; 69, S1, ProQuest, hlm. S.55); Bahwa kewenangan yang diberikan UU Keuangan Negara dan MD3 kepada DPR telah membuka praktik "lobi politik" anggota DPR kepada pihak-pihak Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 38 www.mahkamahkonstitusi.go.id berkepentingan (eksekutif dan pihak ketiga lainnya). Hal itu dapat dibuktikan dari banyaknya kasus-kasus yang melibatkan anggota Badan Anggaran dan anggota DPR dalam kasus-kasus korupsi. Campos dan Giovannoni menyebutkan bahwa kewenangan yang menciptakan kekuatan lobi dapat berujung kepada penyuapan dan korupsi (Nauro F Campos dan Francesco Giovannoni, Lobbying, Corruption and Political Influence, Public Choice, Springer, Vol. 131, Nomor ''/2, Apr., 2007, hlm.2); Bahwa dengan demikian II. A. frase "rincian" pada Pasal 157 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah kewenangan yang berlebihan dan berpotensi menimbulkan penyimpangan anggaran dan korupsi, sehingga bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 II.B. Kewenangan DPR untuk menyetujui APBN secara terperinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja seperti diatur pada Pasal 15 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Pasal 159 ayat (5) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah KONSTITUSIONAL BERSYARAT (conditionaly constitutional) sepanjang memenuhi syarat: dokumen APBN yang terinci sampai unit organisasi, fungsi, program, kegiatan dan jenis belanja adalah kewenangan untuk menyetujui dan menetapkan dokumen APBN pada tahapan pembahasan tingkat II yaitu PARIPURNA, sehingga dokumen APBN tersebut bersifat terbuka dan dapat digunakan untuk menjalankan Fungsi Pengawasan DPR dan dapat diakses Publik. III. Perbintangan/Pemblokiran Anggaran Pasal 71 huruf g dan Pasal 156 huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengandung KETIDAKPASTIAN HUKUM Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 39 www.mahkamahkonstitusi.go.id sehingga bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; Bahwa Pasal 71 huruf g Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, mengatur: _DPR mempunyai tugas dan wewenang:
membahas bersama Presiden_ dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan memberikan persetujuan atas rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden Bahwa Pasal 156 huruf a dan b UU Nomor 27 tahun 2009, mengatur: Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam _Pasal 71 huruf g, DPR menyelenggarakan kegiatan sebagai berikut: _ a. Pembicaraan pendahuluan dengan Pemerintah dan Bank Indonesia _dalam rangka menyusun rancangan APBN; _ b. Pembahasan dan penetapan APBN yang didahului dengan penyampaian rancangan undang-undang tentang APBN beserta _nota keuangannya oleh Presiden; _ Bahwa pada kenyataannya terdapat perbedaan tafsir dalam penerapan Pasal 71 huruf g dan Pasal 156 huruf a dan huruf b UU Nomor 27 Tahun 2009 tersebut sehingga menimbulkan KETIDAKPASTIAN HUKUM; Bahwa praktik pemblokiran atau perbintangan anggaran terjadi setiap tahunnya, menurut catatan FITRA, pada tahun 2011 terdapat 6.101 mata anggaran sebesar Rp. 63,4 triliun dan pada tahun 2012 sebesar Rp. 78,5 triliun yang diblokir/diberikan tanda bintang; Bahwa rencana pembangunan Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi adalah salah satu mata anggaran yang menjadi korban praktik perbintangan/ pemblokiran anggaran oleh DPR-RI melalui Komisi III DPR-RI. Bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah mengatakan pada publik agar praktik perbintangan/pemblokiran anggaran dihentikan. (sumber: http: //www. republika. co. id/berita/nasional/umum/12/10/30/mcoo6 9- sbyjangan-lagiada-anggaran-tanda-bintang) (bukti P-17) Bahwa praktik perbintangan/pemblokiran anggaran adalah bukti adanya perbedaan tafsir terhadap Pasal 71 huruf g dan Pasal 156 huruf a dan huruf b UU Nomor 27 Tahun 2009; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 40 www.mahkamahkonstitusi.go.id Bahwa praktik perbintangan/pemblokiran anggaran akan membuka ruang percaloan anggaran antara oknum DPR dengan Kementerian/Lembaga karena proses pembahasan tersebut terjadi di luar rentang dan jangka waktu pembahasan rancangan Undang-Undang tentang APBN yang diatur oleh UU Nomor 27 Tahun 2009; Bahwa pemberian tanda bintang oleh DPR pada dasarnya menciptakan ketidakpastian hukum dalam penentuan mata anggaran dalam APBN. Hal itu terjadi disebabkan setelah rapat paripurna, DPR dapat kembali memberikan tanda bintang terhadap unit organisasi, fungsi, program, kegiatan dan jenis belanja APBN. Bahkan dalam kasus Hambalang, salah satu pagu anggaran APBN diberikan tanda bintang/diblokir. Padahal DPR tidak mempunyai kewenangan untuk memblokir setiap pagu anggaran yang telah diusulkan dan diajukan oleh Kementrian/Lembaga. DPR memang mempunyai kewenangan untuk mengkoreksi anggaran, namun tidak dengan semena-mena untuk membintangi/membokir; Bahwa sebagaimana dikemukakan Cristina Leston-Bandeira, meskipun kekuasaan mengubah budget merupakan kekuasaan amat penting dari parlemen, namun bukan berarti parlemen diberikan kekuasaan untuk mengubah anggaran berdasarkan kehendak pribadi dan kelompoknya (Cristina Leston-Bandeira, From Legislation to Legitimation, The Role of Portuguese Parliament, Routledge, 2004, him. 100); Bahwa penyebab adanya praktik perbintangan/pemblokiran anggaran sangat beragam: mulai dari belum lengkapnya rencana anggaran yang disiapkan, adanya ketentuan khusus dari DPR atau Kementerian Keuangan, hingga alasan yang dicari-cari untuk mengulur waktu pembahasan setelah paripurna dilakukan; Bahwa seharusnya Pemerintah telah menyusun dengan baik perencanaan anggaran sejak awal sehingga potensi penyimpangan atau anggaran titipan dalam proses pembahasan dapat diminimalisir; Bahwa perencanaan dan pelaksanaan anggaran haruslah mengacu pada prinsip anggaran berbasis kinerja dengan tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia; Bahwa jika perbedaan tafsir Pasal 71 huruf g dan Pasal 156 huruf a dan huruf b UU Nomor 27 Tahun 2009 dibiarkan, maka hal ini akan berakibat pada terus terjadinya tindakan-tindakan yang tidak konstitusional dan berpotensi penyimpangan anggaran serta korupsi; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 41 www.mahkamahkonstitusi.go.id Bahwa potensi penyimpangan dan percaloan anggaran tersebut bertentangan dengan tujuan penyusunan APBN yaitu untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat seperti diatur pada Pasal 23 ayat (1) UUD 1945; Bahwa praktik perbintangan/pemblokiran anggaran harus dihentikan; Bahwa dengan demikian Pasal 71 huruf g dan Pasal 156 huruf a dan huruf b UU Nomor 27 Tahun 2009 harus dinyatakan KONSTITUSIONAL BERSYARAT ( conditionally constitusional) sepaniang dimaknai: tidak ada lagi proses pembahasan setelah rapat paripurna penetapan rancangan Undang-Undang tentang APBN ditetapkan menjadi Undang-Undang APBN, sehingga praktik perbintangan atau pemblokiran anggaran yang dibahas setelah paripurna dilakukan TIDAK KONSTITUSIONAL; IV. Proses dan Ruang Lingkup Pembahasan APBN-P IV.A. Pasal 161 ayat (4) dan ayat (5) Undang-Undang 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah BERTENTANGAN dengan Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; IV.B. Pasal 156 butir c angka (2) dan Pasal 161 Undang-Undang 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menimbulkan KETIDAKPASTIAN HUKUM sehingga bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Bahwa Pasal 156 butir c angka (2) UU Nomor 27 Tahun 2009 mengatur: Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam _Pasal 71 huruf g, DPR menyelenggarakan kegiatan sebagai berikut: _ _c. pembahasan: _ (2) penyesuaian APBN dengan perkembangan dan/atau perubahan dalam rangka penyusunan prakiraan perubahan atas APBN tahun anggaran _yang bersangkutan, apabila terjadi: _ a) perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan _asumsi yang digunakan dalam APBN; _ _b) perubahan pokok-pokok kebijakan frskal; _ Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 42 www.mahkamahkonstitusi.go.id c) keadaan yang menyebabkan harus dilakukannya pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja; dan/atau d) keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembaayaan anggaran yang berjalan. Bahwa Pasal 161 UU Nomor 27 Tahun 2009 mengatur: (1) Dalam hal terjadi perubahan asumsi ekonomi makro dan/atau perubahan postur APBN yang sangat signifikan, Pemerintah mengajukan rancangan undang-undang tentang perubahan APBN tahun anggaran yang bersangkutan. (2) Perubahan asumsi ekonomi makro yang sangat signifikan sebagaimana _dimaksud pada ayat (1) berupa prognosis: _ a. penurunan pertumbuhan ekonomi, minimal I% (satu persen) di _bawah asumsi yang telah ditetapkan; dan/atau _ b. deviasi asumsi ekonomi makro lainnya minimal 10% (sepuluh persen) dari asumsi yang telah ditetapkan. (3) Perubahan postur APBN yang sangat signifikan sebagaimana dimaksud _pada ayat (1) berupa prognosis: _ a. Penurunan penerimaan perpajakan minimal 10% (sepuluh persen) _dari pagu yang telah ditetapkan; _ b. Kenaikan atau penurunan belanja kementerian/lembaga minimal _10% (sepuluh persen) dari pagu yang telah ditetapkan; _ c. kebutuhan belanja yang bersifat mendesak dan belum tersedia pagu _anggarannya; dan/atau _ d. Kenaikan defisit minimal 10% (sepuluh persen) dari rasio defisit APBN terhadap produk domestik bruto (PDB) yang telah ditetapkan (4) Pembahasan dan penetapan rancangan undang-undang tentang perubahan APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah bersama dengan Badan Anggaran dan komisi terkait dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan dalam masa sidang, setelah rancangan undang-undang tentang perubahan APBN diajukan oleh Pemerintah kepada DPR. (5) Dalam hal tidak terjadi perubahan asumsi ekonomi makro dan/atau perubahan postur APBN yang sangat signifikan sebagaimana dimaksud Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 43 www.mahkamahkonstitusi.go.id pada ayat (2) dan ayat (3), pembahasan perubahan APBN dilakukan dalam rapat Badan Anggaran dan pelaksanaannya disampaikan dalam laporan keuangan Pemerintah. __ Bahwa sejumlah kasus korupsi dan praktik mafia anggaran yang ditangani KPK adalah proyekproyek baru yang terdapat APBN Perubahan, di antaranya adalah:
Kasus suap terkait pembangunan Wisma Atlet senilai Rp.
672.000.000,- yang bersumber dari APBN-Perubahan Tahun 2010 (proses: Putusan inkracht di Mahkamah Agung dengan terdakwa M. _Nazaruddin); _ 2. Kasus pengadaan, pemasangan, dan perawatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang merugikan keuangan Negara Rp. 2.729.473.128,- dan Rp. 173.514.818,- yang bersumber dari anggaran APBN-Perubahan tahun 2008 (proses: sudah divonis bersalah di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat _dengan terdakwa: Timas Ginting dan Neneng Sriwahyuni); _ 3. Pengadaan kitab suci Al Quran APBN-Perubahan 2011 dan APBN 2012 pada Direktorat Jenderal Bimas Islam Kementerian Agama _(proses: _ _persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat dengan terdakwa: _ _Dzulkarnain Djabar); _ 4. Dan lain-lain akan dikemukakan di persidangan. Bahwa perubahan terhadap APBN hanya dimungkinkan jika memenuhi syarat sebagaimana diatur pada Pasal 156 butir c angka (2) dan Pasal 161 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU Nomor 27 tahun 2009 dan turunannya, sehingga jika tidak memenuhi ketentuan tersebut, maka tidak perlu dilakukan perubahan pada APBN; Bahwa pada prinsipnya, APBN Perubahan adalah sama dengan APBN yang berbentuk undangundang, menggunakan keuangan negara, dan bertujuan seperti halnya diatur pada Pasal 23 ayat (1) UUD 1945, yaitu untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; Bahwa oleh karena APBN Perubahan sama dengan APBN, maka seharusnya proses pembahasan APBN-Perubahan juga harus memenuhi prinsip-prinsip seperti pada APBN, khususnya pada fase Pembahasan dan Penetapan APBN seperti diatur pada Pasal 71 huruf g dan Pasal 156 huruf a dan huruf b Undang- Undang Nomor 27 Tahun 2009; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 44 www.mahkamahkonstitusi.go.id Bahwa peluang korupsi pada proses pembahasan APBN-Perubahan tercipta karena singkatnya waktu pembahasan (maksimum hanya 1 bulan berdasarkan Pasal 161 ayat (4) UU Nomor 27 Tahun 2009), pihak yang terlibat terbatas yang bahkan dalam kondisi seperti Pasal 161 ayat (5) UU Nomor 27 Tahun 2009, pembahasan APBN-Perubahan dapat dilakukan hanya oleh Badan Anggaran dan pelaksanaannya disampaikan pada laporan keuangan pemerintah; Bahwa proses yang sangat singkat, tidak terbuka, tidak melibatkan pihak-pihak yang terkait dan bahkan tanpa perencanaan yang matang sangat potensial disimpangi dan potensial korup. Hal ini berakibat pada bocornya anggaran dan keuangan negara sehingga bertentangan dengan tujuan APBN sebagaimana dimaksud pada Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; Bahwa mata anggaran baru atau proyek-proyek baru seharusnya direncanakan dengan matang dan dibahas dalam rancangan undang-undang tentang APBN tahun berikutnya, karena kalau pun dalam APBN Perubahan dianggarkan proyek baru, hal ini akan memicu korupsi dan inefisiensi pada saat pencairan anggaran dan pelaksanaan kegiatan yang sangat singkat di akhir tahun berjalan; Bahwa dengan demikian: IV.A. Pasal 161 ayat (4) dan ayat (5) UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang Maielis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945; IV.B. Pasal 156 butir c angka (2) dan Pasal 161 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menimbulkan KETIDAKPASTIAN HUKUM sehingga hams dinyatakan KONSTITUSIONAL BERSYARAT (conditionals constitutional) sepanjang dimaknai: proses pembahasan dan penetapan Perubahan APBN harus sama dengan proses pembahasan dan penetapan APBN, dan Perubahan APBN hanya dapat dilakukan terhadap anggaran unit kegiatan dan jenis belanja yang telah ada, sehingga TIDAK MENGADAKAN mata anggaran baru/proyek-proyek baru yang sebelumnya tidak dianggarkan pada APBN. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 45 www.mahkamahkonstitusi.go.id D. PETITUM Berdasarkan alasan-alasan yang telah diuraikan di atas dan bukti-bukti terlampir, maka para Pemohon memohonkan kepada Majelis Hakim Konstitusi yang Terhormat pada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan memutus Uji Materil sebagai berikut: Dalam Pokok Perkara:
Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan Pengujian Undang- Undang yang diajukan para Pemohon;
Menyatakan: a) Pasal 104 sepanjang frase "yang bersifat tetap" dan Pasal 105 ayat (1) sepanjang frase "pada permulaan masa keanggotaan DPR dan" UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sepanjang frase "yang bersifat tetap" BERTENTANGAN dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945; b) Bahwa dengan demikian Mahkamah Konstitusi perlu menyatakan Pasal 107 ayat (1) huruf e UU MD3 konstitusional bersyarat (conditionaly constitutional) sepanjang memenuhi syarat: Badan Anggaran tidak mempunyai kewenangan untuk membahas rancangan Undang-Undang tentang APBN yang belum dibahas oleh komisi-komisi terkait di DPR dan kementerian/lembaga terkait. Sehingga Badan Anggaran hanya mempunyai kewenangan untuk melakukan singkronisasi hasil pembahasan Komisi terhadap alokasi anggaran untuk fungsi, program, dan kegiatan kementerian/lembaga dan rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga; c) Pasal 157 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sepanjang frase "rincian" adalah kewenangan yang berlebihan berpotensi menimbulkan penyimpangan anggaran dan korupsi, sehingga bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 46 www.mahkamahkonstitusi.go.id d) Pasal 15 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Pasal 159 ayat (5) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah KONSTITUSIONAL BERSYARAT (conditionaly constitutional), sepanjang memenuhi syarat: dokumen APBN yang terinci sampai unit organisasi, fungsi, program, kegiatan dan jenis belanja adalah kewenangan untuk menyetujui dan menetapkan dokumen APBN pada tahapan pembahasan Tingkat II yaitu PARIPURNA, sehingga dokumen APBN tersebut bersifat terbuka dan dapat digunakan untuk menjalankan Fungsi Pengawasan DPR dan dapat diakses Publik. e) Pasal 71 huruf g dan Pasal 156 huruf a dan huruf b UU Nomor 27 Tahun 2009 harus dinyatakan KONSTITUSIONAL BERSYARAT (conditionally constitusional), sepanjang dimaknai: tidak ada lagi proses pembahasan setelah rapat paripurna penetapan rancangan Undang- Undang tentang APBN ditetapkan menjadi Undang-Undang APBN, sehingga praktik perbintangan atau pemblokiran anggaran yang dibahas setelah paripurna dilakukan TIDAK KONSTITUSIONAL; f) Pasal 161 ayat (4) dan ayat (5) UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945; Pasal 156 butir c angka 2 dan Pasal 161 Undang-Undang 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menimbulkan KETIDAKPASTIAN HUKUM sehingga harus dinyatakan KONSTITUSIONAL BERSYARAT (conditionaly constitutional), sepanjang dimaknai: proses pembahasan dan penetapan perubahan APBN harus sama dengan proses pembahasan dan penetapan APBN, dan Perubahan APBN hanya dapat dilakukan terhadap anggaran unit kegiatan dan jenis belanja yang telah ada, sehingga TIDAK MENGADAKAN mata anggaran baru/proyek-proyek baru yang sebelumnya tidak dianggarkan pada APBN; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 47 www.mahkamahkonstitusi.go.id 3. Menyatakan: a) Pasal 104 sepanjang frase "yang bersifat tetap" dan Pasal 105 ayat (1) sepanjang frase "pada permulaan masa keanggotaan DPR dan" UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; b) Bahwa dengan demikian Mahkamah Konstitusi perlu menyatakan Pasal 107 ayat (1) huruf e UU MD3 konstitusional bersyarat (conditionaly constitutional), sepanjang memenuhi syarat: Badan Anggaran tidak mempunyai kewenangan untuk membahas rancangan Undang-Undang tentang APBN yang belum dibahas oleh komisi-komisi terkait di DPR dan kementerian/lembaga terkait. Sehingga Badan Anggaran hanya mempunyai kewenangan untuk melakukan singkronisasi hasil pembahasan komisi terhadap alokasi anggaran untuk fungsi, program, dan kegiatan kementerian/lembaga dan rencana kerja dan anggaran kementerian /lembaga; c) Pasal 157 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sepanjang frase "rincian" tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; d) Pasal 15 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Pasal 159 ayat (5) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah KONSTITUSIONAL BERSYARAT (conditionaly constitutional) sepanjang memenuhi syarat: dokumen APBN yang terinci sampai unit organisasi, fungsi, program, kegiatan dan jenis belanja adalah kewenangan untuk menyetujui dan menetapkan dokumen APBN pada tahapan pembahasan Tingkat II yaitu PARIPURNA, sehingga dokumen APBN tersebut bersifat terbuka dan dapat digunakan untuk menjalankan Fungsi Pengawasan DPR dan dapat diakses Publik. e) Pasal 71 huruf g dan Pasal 156 huruf a dan huruf b UU Nomor 27 Tahun 2009 harus dinyatakan KONSTITUSIONAL BERSYARAT (conditionally Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 48 www.mahkamahkonstitusi.go.id constitusional), sepanjang dimaknai: tidak ada lagi proses pembahasan setelah rapat paripurna penetapan rancangan Undang-Undang tentang APBN ditetapkan menjadi Undang-Undang APBN, sehingga praktik perbintangan atau pemblokiran anggaran yang dibahas setelah paripurna dilakukan TIDAK KONSTITUSIONAL; f) Pasal 161 ayat (4) dan ayat (5) UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; g) Pasal 156 butir c angka 2 dan Pasal 161 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menimbulkan KETIDAKPASTIAN HUKUM sehingga harus dinyatakan KONSTITUSIONAL BERSYARAT (conditionaly constitutional) sepanjang dimaknai: proses pembahasan dan penetapan perubahan APBN harus sama dengan proses pembahasan dan penetapan APBN, dan perubahan APBN hanya dapat dilakukan terhadap anggaran unit kegiatan dan jenis belanja yang telah ada, sehingga TIDAK MENGADAKAN mata anggaran baru/proyek-proyek baru yang sebelumnya tidak dianggarkan pada APBN.
Bilamana Majelis Hakim pada Mahkamah Konstitusi mempunyai keputusan lain, mohon putusan yang seadil-adilnya—ex _aequo et bono; _ [2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, para Pemohon mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-17, sebagai berikut:
Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
Bukti P-3 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
Bukti P-4 : Fotokopi Akte Notaris Nomor 186 tanggal 19 Oktober 2011 di Jakarta oleh Notaris Dr. Irawan Soerodjo, S.H., Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 49 www.mahkamahkonstitusi.go.id M.Si.
Bukti P-5 : Fotokopi Akte Notaris Nomor 6 tanggal 20 September 2006 di Jakarta oleh Notaris Henry Siregar, S.H., 6. Bukti P-6 : Fotokopi Akte Notaris Nomor 7 tanggal 19 September 2009 di Jakarta oleh Notaris R. Suryawan Budi Prasetiyanto, S.H., M.K., 7. Bukti P-7 : Fotokopi Akte Notaris Nomor 53 tanggal 11 Juni 2009 oleh Notaris H. Rizul Sudarmadi, S.H., 8. Bukti P-8 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) dengan nomor 1508130210800001 dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) 15.903.488.3-201.000;
Bukti P-9 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) dengan nomor 3510061601840004 dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) 44.416.936.1.542.000;
Bukti P-10 : Fotokopi Kompendium Bidang Hukum Keuangan Negara, disusun oleh Prof. Dr. Arifin Soeriaatmadja, S.H., diterbitkan oleh BPHN, 2010;
Bukti P-11 : Fotokopi kliping berita on-line berjudul, “PPATK Telusuri 2.000 Laporan Transaksi Mencurigakan Anggota DPR.” 12. Bukti P-12 : Fotokopi Buku Panduan tentang Anggaran dan Pengawasan Keuangan diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal DPR-RI hasil kerjasama dengan United Nations Development Programme (UNDP);
Bukti P-13 : Fotokopi Risalah Sidang MK Perkara Nomor 2/SKLN- X/2012, tanggal 24 April 2012;
Bukti P-14 : Fotokopi artikel on-line berjudul, “Hak Budget dan Keterbatasan Lembaga Legislatif” oleh ahli keuangan negara, Siswo Sujanto;
Bukti P-15 : Fotokopi berita on-line berjudul, “Pimpinan KPK Kritik Pembahasan Anggaran di DPR” 16. Bukti P-16 : Fotokopi berita on-line berjudul, “KPK: Pembahasan APBN di DPR, Lahan Korupsi” 17. Bukti P-17 : Fotokopi berita on-line berjudul, “SBY: Jangan Lagi ada Anggaran ‘Tanda Bintang’” Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 50 www.mahkamahkonstitusi.go.id Selain itu, Pemohon juga mengajukan 8 (delapan) orang ahli, yaitu Siswo Sujanto, Ahmad Erani Yustika, Ari Dwipayana, Kuskridho Ambardi, Saldi Isra, Zainal Arifin Mochtar, Iwan Gardono Sujatmiko, dan Rimawan Pradiptyo yang telah didengar keterangannya di bawah sumpah dalam persidangan tanggal 24 Juni 2013, 11 Juli 2013, 25 Juli 2013 dan 21 Agustus 2013, yang pada pokoknya sebagai berikut:
Siswo Sujanto - Kasus yang diajukan oleh Pemohon adalah sebuah kasus yang terjadi dalam lingkup hukum keuangan negara, yaitu yang terjadi dalam hubungan antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif dalam rangka penetapan Undang-Undang APBN, serta dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang APBN. Oleh karena itu tanpa memiliki pretensi yang berlebihan dan mengurangi arti penjelasan dari sudut disiplin ilmu lainnya, ahli berpendapat bahwa penjelasan dari sudut ilmu hukum keuangan negara sudah selayaknya dipandang memiliki relevansi yang relatif tinggi dibandingkan dengan penjelasan dari sudut disiplin ilmu lainnya. - Dengan mengacu pada asas proposionalitas, yaitu dengan menempatkan disiplin ilmu hukum keuangan negara sebagai instrumen untuk melakukan analisis terhadap permasalahan yang timbul dalam bidang hukum keuangan negara. Dalam praktik selama ini mengingat disiplin ilmu hukum keuangan negara di Indonesia belum berkembang sekedar untuk mencari pembenaran bahwa masalah-masalah keuangan negara telah dianalisis dari aspek hukum, kasus-kasus yang terjadi dalam lingkup keuangan negara sering kali dianalisis oleh berbagai pihak dengan menggunakan sudut pandang dari berbagai disiplin hukum lainnya. - Penjelasan yang akan disampaikan akan dibagi dalam 3 bagian, yaitu pertama terkait dengan konsepsi, kedua implementasi, dan ketiga pendapat dan kesimpulan. Menurut sudut ilmu hukum keuangan negara, pengelolaan keuangan negara terbagi dalam dua aspek, yaitu aspek politis dan aspek administratif. Dalam ilmu hukum keuangan negara aspek politik keuangan negara ini secara substansi mengatur hubungan hukum antara lembaga Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 51 www.mahkamahkonstitusi.go.id legislatif dan lembaga eksekutif dalam rangka penyusunan, dan penetapan anggaran pendapatan dan belanja negara. - Secara konkrit aspek politik keuangan negara tersebut terkait dengan pelaksanaan pemikiran atau ide yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar, yakni mengatur bagaimana amanah Undang-Undang Dasar yang meliputi penyelenggaraan pemerintah negara dan pemenuhan hak-hak asasi warga negara harus diwujudkan. Amanah Undang-Undang Dasar dimaksud diwujudkan dalam bentuk kegiatan pengelolaan rumah tangga negara, baik dari aspek kegiatan yang dilaksanakan, maupun dari aspek pembiayaannya. Dari aspek pembiayaan pada hakikatnya menjawab pertanyaan, bagaimana pemerintah dapat membiayai kegiatan pemerintah dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan dan pemenuhan hak-hak warga negara tersebut? Pertanyaan masyarakat awam terkait dengan masalah anggaran dan peran lembaga legislatif sebagai lembaga politik di suatu negara selalu berkisar pada, mengapa anggaran negara harus dibahas oleh lembaga legislatif? Mungkinkah lembaga legislatif menyusun anggaran negara untuk dilaksanakan oleh pemerintah? Sementara itu gagasan agar lembaga legislatif memiliki kewenangan untuk menyusun anggaran negara pernah berkembang di Indonesia. Pemikiran semacam itu muncul dari para anggota dewan ketika dewan perwakilan rakyat mengalami masa kebebasan dari keterhubungannya sebagai lembaga politik di masa lalu, yaitu sejak dicanangkannya reformasi di Indonesia. - Anggaran negara adalah sebuah kesepakatan politik. Tradisi pembahasan anggaran negara oleh lembaga legislatif secara historis dimulai di Inggris sekitar Tahun 1200-an ketika paham parlementarisme berkembang di negara tersebut dan juga di Perancis. Ide pembahasan di lembaga legislatif dimulai ketika masyarakat menolak untuk membayar pajak, ketika itu masyarakat menyatakan bahwa tidak akan membayar pajak kecuali rakyat memiliki wakil di parlemen yang akan membela kepentingannya. Pergolakan yang ditandai dengan lahirnya Magna Carta tersebut mengusung slogan yang terkenal pada saat itu, yaitu “No taxation without representation.” Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 52 www.mahkamahkonstitusi.go.id - Ide dasar yang berkembang pada masa itu adalah adanya keinginan rakyat untuk dapat mengetahui secara pasti kegunaan uang yang dipungut dari mereka dalam bentuk pungutan memaksa melalui suatu sistem perpajakan. Kendati keberhasilan perjuangan rakyat untuk dapat berperan dalam menentukan anggaran negara melalui lembaga perwakilan, ternyata baru sekitar 5 abad kemudian Tahun 1200-an tersebut dianggap sebagai tonggak sejarah kelahiran hak legislatif dalam penetapan anggaran negara yang kini dikenal secara luas dengan nama hak budget lembaga legislatif. - Dalam alur yang sederhana lahirnya hak budget lembaga legislatif dapat diilustrasikan seperti di bawah ini. Keinginan pemerintah untuk memungut sejumlah uang yang akan digunakan untuk membiayai berbagai kegiatan pemerintah direspon oleh rakyat melalui perwakilannya di lembaga legislatif dalam bentuk permintaan agar pemerintah secara transparan dapat menjelaskan program-program kegiatan yang akan dilaksanakan dalam kurun waktu setahun mendatang, dan juga rincian dana yang dibutuhkan yang nantinya akan dipungut dari masyarakat. Hal inilah yang memaksa pemerintah menyusun semacam proposal dalam bentuk rencana kerja yang selanjutnya diikuti dengan rincian pendanaannya, proposal tersebut selanjutnya dikaji oleh lembaga legislatif untuk kemudian diberikan persetujuan untuk dilaksanakan bilamana dipandang layak. - Namun demikian diterimanya rencana kerja pemerintah yang diikuti dengan rinciannya dalam bentuk uang dimaksud oleh lembaga legislatif tidak serta merta memberikan otorisasi kepada pemerintah untuk membebankan segala biaya kepada masyarakat dalam bentuk izin pemungutan pajak. Dengan pertimbangan besarnya penerimaan domanial yang berasal dari kekayaan kerajaan, lembaga legislatif kemudian dapat menyetujui besarnya dana yang akan ditarik pemerintah dari masyarakat. - Ilustrasi di atas kiranya dapat menjelaskan bahwa penyampaian rencana kerja yang disertai dengan rencana pembiayaan di satu sisi, dan rencana pendapatan di sisi lain, mengandung pengertian bahwa pemerintah wajib menyampaikan rencana anggaran negara kepada lembaga legislatif untuk dibahas. Sementara itu, lembaga legislatif memiliki kewenangan untuk melakukan pembahasan dan memberikan persetujuan sebelum rencana tersebut dilaksanakan. Selanjutnya, hasil pembahasan lembaga legislatif Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 53 www.mahkamahkonstitusi.go.id yang merupakan kesepakatan antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif dimaksud, kemudian dituangkan dalam suatu produk hukum yang dikenal dengan Undang-Undang. - Dengan demikian, dari sudut politik, anggaran negara adalah suatu bentuk kesepakatan politik antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif yang berisi persetujuan untuk melakukan pengeluaran pada suatu kurun waktu di masa yang akan datang untuk membiayai program kerja yang telah disetujui di satu sisi, dan persetujuan untuk mengupayakan pendanaan guna membiayai pengeluaran tersebut pada kurun waktu yang sama di sisi lain. - Sebagaimana layaknya suatu kesepakatan, kesepakatan antara kedua lembaga politik tersebut juga memiliki konsekuensi logis dalam bentuk hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Di sisi lembaga legislatif, hak yang timbul dengan adanya kesepakatan dimaksud adalah hak untuk melakukan pengawasan terhadap persetujuan yang telah dituangkan dalam suatu produk perundang-undangan. Hak pengawasan lembaga tersebut pada hakikatnya mencakup baik pada sisi pelaksanaan pengeluaran negara, maupun sisi penerimaan negara karena melalui kedua sisi itulah pelaksanaan persetujuan diwujudkan. - Hak lainnya yang sangat penting, artinya adalah untuk meminta pertanggungjawaban kepada eksekutif, terhadap pelaksanaan rencana kerja maupun rencana pembiayaannya. Sementara itu, kewajibannya adalah memberikan dukungan maupun konsultasi akan pelaksanaan kesepakatan tersebut dapat dilaksanakan dengan baik. - Seperti hakikat nama yang melekat, lembaga eksekutif pada prinsipnya adalah pelaksana dari persetujuan yang telah ditetapkan. Terkait dengan peran tersebut, semua kebijakan yang disusun oleh pemerintah adalah kebijakan operasional dalam rangka pelaksanaan kesepakatan. Di sisi lain kewajiban lembaga eksekutif adalah menyusun pertanggungjawaban pada akhir periode atas berbagai program dan kegiatan yang telah disetujui oleh lembaga legislatif. Pertanggungjawaban dimaksud di samping mencakup kinerja lembaga eksekutif dalam mewujudkan program-program kerja yang telah direncanakan, juga mencakup pertanggungjawaban keuangan yang terdiri dari pertanggungjawaban atas pemungutan dana-dana yang Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 54 www.mahkamahkonstitusi.go.id bersumber dari masyarakat dan penggunaan dana tersebut untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang telah direncanakan. - Dengan pola dan mekanisme sebagaimana diutarakan di atas, pembagian peran antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif dalam penyusunan anggaran negara menjadi jelas. Anggaran negara pada hakikatnya harus dipersiapkan oleh lembaga eksekutif dan selanjutnya dibahas untuk kemudian disetujui oleh lembaga eksekutif. Pembagian peran antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif sebagaimana dikemukakan di atas, telah memberikan inspirasi bagi lahirnya prinsip transparansi fiskal (fiscal transparency) di era modern. Prinsip tersebut pada intinya antara lain menekankan adanya kejelasan peran antara pihak yang mengusulkan dan pihak yang memutuskan, antara pengambil keputusan dan pihak pelaksana keputusan. - Selanjutnya, bila dicermati pola dan mekanisme yang berkembang dalam penyusunan anggaran antara dua lembaga politik tersebut, kemudian juga melahirkan berbagai prinsip dasar (golden principal) dalam pengelolaan anggaran negara yang hingga kini masih relevan. Prinsip-prinsip tersebut adalah prinsip unteoritas, prinsip periodesitas, prinsip spesialitas, prinsip unitas, dan terakhir prinsip universalitas. Prinsip unteoritas atau prinsip reabel menekankan bahwa anggaran negara harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari lembaga legislatif sebelum dilaksanakan. Yang penting dari beberapa prinsip tersebut, di samping prinsip unteoritas adalah prinsip spesialitas, yaitu prinsip yang menyatakan bahwa anggaran yang ditetapkan oleh lembaga legislatif harus bersifat spesifik. Dalam arti bahwa alokasi anggaran yang disediakan hanya diperuntukkan untuk suatu kegiatan yang telah ditetapkan, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang dan tidak dapat dipergunakan untuk tujuan lainnya. Prinsip-prinsip dimaksud kemudian melahirkan sejumlah ketentuan yang kini dapat ditemukan dalam berbagai pasal dalam ketentuan perundang-undangan, terkait dengan pengelolaan keuangan negara. - Haruskah lembaga legislatif melakukan pembahasan rancangan undang- undang anggaran yang diajukan oleh pemerintah hingga pada substansi yang demikian rinci? Perlukah ada pembatasan terhadap kewenangan lembaga legislatif dalam pembahasan rancangan Undang-Undang Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 55 www.mahkamahkonstitusi.go.id Anggaran? Pertanyaan semacam ini selalu muncul ketika masyarakat melihat bahwa lembaga legislatif mengajukan berbagai pertanyaan kepada kementerian lembaga yang sangat detail atau bahkan ketika lembaga legislatif tidak dapat menepati batas waktu pembahasan yang telah tersedia. Sehingga penetapan Undang-Undang APBN melampaui batas tanggal yang telah ditetapkan. Akibatnya sudah dapat diperkirakan, yaitu pemerintah tidak lagi memiliki waktu yang cukup untuk dapat melaksanakan berbagai kegiatan yang telah tertuang dalam Undang-Undang APBN. - Hal lembaga legislatif di bidang keuangan negara pada prinsipnya meliputi dua aspek. Yaitu Pertama , berupa pemberian persetujuan kepada pemerintah untuk melaksanakan pengeluaran negara dan untuk memungut penerimaan negara yang akan digunakan untuk membiayai pengeluaran yang telah disetujui dalam pembahasan bersama pemerintah. Kedua , berupa pemberian kewenangan kepada pemerintah untuk melaksanakan keputusan yang telah ditetapkan. - Aspek pertama yang kemudian dikenal dengan nama otorisasi parlemen atau otorisasi parlementer, menampilkan karakteristik yang berbeda di sisi penerimaan dan di sisi pengeluaran negara. Di bidang penerimaan negara, persetujuan yang diberikan oleh Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara merupakan pemberian kewenangan kepada pemerintah dalam arti sebenarnya, yaitu kewenangan untuk melaksanakan pemungutan penerimaan negara dan bersifat imperatif. Dalam hal ini, sesuai sifatnya dibedakan antara kewenangan pemungutan penerimaan yang bersifat dari pajak dan penerimaan yang berasal dari penerimaan bukan pajak. - Di sisi pengeluaran, kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara kepada pemerintah, dalam hal ini para menteri, pada hakikatnya bukan bersifat imperatif, kecuali untuk beberapa jenis pengeluaran wajib seperti misalnya gaji. Artinya, kendati alokasi anggaran untuk suatu kementerian telah ditetapkan oleh lembaga legislatif, Menteri Keuangan karena alasan ekonomi dapat saja menetapkan agar sebagian dana kementerian tersebut tidak dipergunakan. - Terkait dengan makna yang tersirat dalam hak pajak tersebut di atas, otorisasi parlemen kepada pemerintah selalu bersifat prealable atau bersifat Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 56 www.mahkamahkonstitusi.go.id mendahulu. Artinya, pemerintah tidak dapat melakukan pengeluaran maupun penerimaan negara tanpa terlebih dahulu memperoleh izin dari lembaga legislatif yang dituangkan dalam Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. - Pemikiran inilah yang kemudian melahirkan prinsip unteoritas dalam pengeluaran negara. Dalam kehidupan sehari-hari, prinsip dimaksud selanjutnya mendasari lahirnya berbagai ketentuan dalam pengelolaan keuangan negara, seperti misalnya larangan bagi semua pihak untuk melakukan pengeluaran bila terjadi alokasi anggaran dalam Undang- Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. - Hak parlemen di bidang keuangan negara dalam perjalanan sejarahnya telah mengalami perubahan yang sangat signifikan. Pada awal kelahiran, hak tersebut, lembaga legislatif memiliki kebebasan yang sangat luas dalam pembahasan dan penetapan anggaran yang diusulkan oleh pemerintah. Kebebesan tersebut tercermin dalam bentuk kewenangan lembaga legislatif untuk menetapkan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, kapan saja mereka pandang telah siap tanpa terikat pada batas waktu. - Para anggota lembaga legislatif berwenang untuk meminta penjelasan dalam bentuk apa pun kepada pemerintah bila penjelasan dimaksud dipandang akan diperlukan dalam rangka pengambilan keputusan untuk menetapkan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang sedang dalam pembahasan. Bahkan, para anggota legislatif dapat saja tidak menyetujui alokasi anggaran yang diusulkan oleh pemerintah walaupun hal ini akan berakibat terhadap batalnya kegiatan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah. - Dalam perjalanan sejarah kebebasan lembaga legislatif dalam pembahasan dan penetapan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, secara signifikan telah semakin berkurang. Berbagai keterbatasan (constrain) telah menyebabkan kebebasan lembaga legislatif cenderung mengalami kemerosotan. - Menurut teori, bila diamati, keterbatasan dimaksud dapat dilihat dari tiga hal. Pertama, keterbatasan waktu (time constrain) . Kedua, keterbatasan kompetensi (competency constrain) . Dan ketiga, keterbatasan pendidikan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 57 www.mahkamahkonstitusi.go.id (educational constrain) . Dengan mendasarkan pada prinsip prioditas anggaran yang membatasi pelaksanaan anggaran pada umumnya, hanya dalam kurun waktu satu tahun di satu sisi dan prinsip unteoritas yang menegaskan bahwa pemerintah tidak dapat melakukan tindakan apa pun dalam hal pengeluaran negara, kecuali telah ditetapkan dalam Undang- Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, kini lembaga legislatif berkewajiban memutuskan dan menetapkan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sesegera mungkin, yaitu sebelum tahun anggaran dimulai. - Kewajiban tersebut telah menempatkan lembaga legislatif pada posisi yang sangat sulit. Bila rata-rata lembaga eksekutif memiliki waktu yang cukup longgar dalam penyusunan kegiatan dan kemudian menuangkannya dalam rancangan anggaran, yaitu kurang-lebih sekitar 12 hingga 16 bulan sebelum dokumen rancangan anggaran tersebut disampaikan kepada lembaga legislatif untuk dibahas. Lembaga legislatif hanya memiliki waktu yang relatif pendek, yaitu kurang-lebih sekitar tiga bulan. - Kendati para anggota legislatif pada umumnya merasakan bahwa waktu yang disediakan untuk pembahasan terlalu pendek dan menginginkan seperti pada masa-masa lalu, keterbatasan dalam jadwal penyelenggaraan pemerintahan, dan juga pemikiran yang berkembang tentang tata kelola pemerintahan yang baik, termasuk dalam hal ini adalah tata kelola keuangan negara, memaksa lembaga legislatif untuk mematuhi jadwal yang telah ditetapkan. - Dari hasil penelitian, jadwal pembahasan penetapan anggaran di berbagai negara diatur dalam ketentuan yang berbeda. Di suatu negara, ketentuan tentang jadwal pembahasan dan penetapan anggaran negara dapat ditetapkan dalam Undang-Undang dasar karena pengaturan tersebut merupakan pengaturan hubungan antarlembaga politik, yaitu legislatif dan eksekutif. Namun di negara lain, termasuk Indonesia karena dianggap lebih bersifat teknis, pemberian waktu tersebut cukup diatur dalam undang- undang. - Keterbatasan lain dalam pembahasan dan penetapan anggaran bagi lembaga legislatif adalah keterbatasan kompetensi. Hal ini tentunya bukan ingin mengatakan bahwa para anggota lembaga yang merupakan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 58 www.mahkamahkonstitusi.go.id representasi rakyat tersebut tidak memiliki kompetensi untuk melakukan pembahasan terhadap program maupun kegiatan yang diusulkan oleh pemerintah, akan tetapi kompetensi yang dimiliki tidaklah dapat disebandingkan dengan kompetensi para pejabat publik di lingkup eksekutif. Keterbatasan kompetensi tersebut, antara lain disebabkan terutama karena para anggota legislatif adalah politisi yang tidak berkecimpung di dalam bidang-bidang yang menjadi objek pembahasan. - Selanjutnya, keterbatasan yang juga sering dipermasalahkan pada lembaga legislatif adalah keterbatasan di bidang pendidikan. Seperti halnya keterbatasan kompetensi, keterbatasan pendidikan ini juga terkait dengan kemampuan individu para anggota lembaga legislatif. Tentunya sebagaimana telah dikemukakan di atas, sudah disadari bahwa para anggota legislatif merupakan politisi yang lebih memfokuskan perhatiannya kepada masalah-masalah politik dan hukum. - Pemberian alokasi dana lembaga legislatif untuk suatu kegiatan diusulkan oleh lembaga eksekutif pada prinsipnya adalah definitif. Namun dalam hal- hal tertentu, pemerintah baru dapat menyampaikan rencana kegiatan dalam bentuk global tanpa mampu memberikan rincian kegiatan yang lebih detail. Dalam situasi seperti ini, sebenarnya lembaga eksekutif telah menempatkan lembaga legislatif dalam situasi yang sangat sulit. Untuk mengatasi situasi tersebut, kemudian ditempuhlah suatu langkah yaitu memberikan otorisasi anggaran dalam bentuk alokasi yang bersifat kondisional. - Selanjutnya tentang penerapan konsep pengelolaan keuangan sebagaimana dikemukakan dalam bagian terdahulu. Di Indonesia dapat ditelusuri sebagai berikut. - Pertama, hak budget dalam Undang-Undang Dasar 1945. Berbeda dengan undang-undang dasar beberapa negara termasuk Republik Indonesia Serikat yang mengatur hubungan politik antara lembaga legislatif dan eksekutif di bidang keuangan negara secara rinci, Undang-Undang Dasar 1945 hanya mengatur masalah tersebut dalam suatu ayat yaitu dalam Pasal 23 ayat (1) yang dituangkan dalm Bab VIII. Hal ini tampaknya terkait dengan pemikiran awal para penyusun bahwa Undang-Undang Dasar 1945 disusun dalam format yang singkat, akan tetapi harus fleksibel. Implementasi budget dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 59 www.mahkamahkonstitusi.go.id sebagai konsekuensi sifat Undang-Undang Dasar 1945 yang singkat, khususnya dalam pengaturan masalah keuangan negara mengharuskan adanya ketentuan lain yang tingkatannya lebih rendah yang mengatur secara lebih rinci berbagai prinsip maupun berbagai aspek dalam masa tersebut. Di samping itu, tampaknya perlu dipahami bahwa secara prinsip Undang-Undang Dasar 1945 hanya mengatur ketentuan dasar dan tidak bersifat operasional. - Praktik ketaatan negara di Indonesia khususnya di bidang penyusunan anggaran negara boleh dikatakan cukup unik, praktik ini tidak terlepas dari dasar filosofis bangsa Indonesia yang menginginkan cara hidup yang demokrasi dengan cara yang berbeda dibandingkan negara-negara demokrasi di belahan barat. Kendala waktu yang secara teori merupakan hambatan yang tidak terhindarkan dalam pembahasan usulan anggaran di lembaga legislatif disikapi dengan cara sederhana dan penuh kekeluargaan. Namun ditinjau dari aspek hukum keuangan negara, konvensi tersebut akan menimbulkan ganjalan dan akan tetap menyisihkan beberapa pertanyaan. - Sebagaimana dikemukakan yaitu apakah tahapan pembicaraan pendahuluan dimaksud merupakan tahapan administratif ataukan merupakan tahapan politik? Selanjutnya, apakah keputusan dibuat dalan pembicaraan pendahuluan tersebut mengikat kedua belah pihak ataupun tidak? - Berbagai pertanyaan tersebut perlu dikemukakan mengingat bahwa setelah selesai proses interaksi dalam masa pembicaraan pendahuluan tersebut, kementerian lembaga baru akan melaksanakan pembahasan anggaran dengan Kementerian Keuangan selaku pengelola fiskal budget authority . Hal ini menunjukkan bahwa hingga tahapan ini mestinya masih merupakan tahapan administratif. - Selanjutnya pertanyaan yang harus dijawab adalah kenapa ada pembintangan di dalam alokasi anggaran? Dengan memperhatikan maksud dan substansi pemberian otorisasi parlemen yang bersifat kondisional, praktik semacam itu dilakukan pula dalam sistem pengelolaan anggaran di Indonesia. Praktik pemberian alokasi kondisional tersebut di Indonesia dilakukan dengan membubuhkan tanda bintang pada alokasi anggaran yang bersangkutan. Pemberian tanda bintang ini pada prinsipnya untuk Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 60 www.mahkamahkonstitusi.go.id memberi perhatian kepada kementerian lembaga yang bersangkutan bahwa alokasi anggaran tersebut tidak dapat direalisasikan kecuali terpenuhi syarat yang telah ditetapkan pada saat penetapan Undang-Undang APBN oleh lembaga legislatif. - Berikutnya adalah terkait dengan masalah perubahan anggaran. Beranjak dari kelemahan sebagaimana dijadikan alasan lahirnya pemikiran tentang perubahan anggaran seperti yang diungkapkan di bagian-bagian sebelumnya, praktik perubahan anggaran dalam pengelolaan anggaran di Indonesia pun tidak dapat dihindarkan. - Berbeda dengan ide dasar yang seharusnya dijadikan acuan praktik di Indonesia ternyata jauh menyimpang. Berbagai pihak membuat penafsiran secara inkontekstual terhadap makna termonologi perubahan itu sendiri. Berbagai pihak-pihak tidak menggunakan filosofi maupun konsepsi disiplin ilmu hukum keuangan negara, ketika memutuskan melakukan perubahan terhadap Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dengan tanpa mengindahkan maksud dan tujuan perubahan itu sendiri, dari sudut filosofi maupun konsepsi disiplin ilmu hukum keuangan negara, berbagai pihak berpendapat bahwa perubahan undang-undang adalah merupakan sebagian isi Undang-Undang itu sendiri. Oleh karena itu dengan cara pikir salah tersebut, perubahan Undang-Undang APBN bukan dilakukan dengan cara mengkoreksi kegiatan yang telah ada melainkan dilakukan dengan mengganti kegiatan yang ada dengan kegiatan baru atau dengan jalan menambahkan kegiatan yang sama sekali belum pernah ada. - Berikutnya tentang keberadaan dan kewenangan badan anggaran dewan perwakilan rakyat. Ditinjau dari sudut hukum keuangan negara secara kelembagaan keberadaan badan anggaran DPR dan komisi dalam pengelolaan keuangan negara di sisi politis yaitu dalam penyusunan dan penetapan anggaran sebagai pokok poin lembaga perwakilan rakyat sangat penting. Oleh karena itu, keberadaan lembaga tersebut menurut Undang- Undang sudah sesuai dengan kebutuhan. Praktik yang berkembang yang didorong oleh kepentingan individu seyogianya tidak dijadikan pembenaran untuk melakukan penghapusan lembaga itu sendiri. Namun demikian berbagai ketentuan terkait yang melatarbelakangi kepentingan individu seharusnya dihapuskan. Hal ini terkait dengan hak budget DPR yang justru Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 61 www.mahkamahkonstitusi.go.id selalu memicu perdebatan antara badan anggaran dan komisi sektoral yaitu berupa kewenangan lembaga legislatif untuk dapat mengajukan usul yang dapat mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan maupun pengeluaran dalam RUU APBN terkait dengan pembahasan program kegiatan bersama kementerian lembaga. - Kedua tentang kewenangan DPR untuk membahas APBN secara terperinci. Persetujuan lembaga legislatif terhadap APBN harus dalam format yang sangat rinci. Hal ini didasarkan pada prinsip spesialitas anggaran yang pada hakikatnya memudahkan lembaga legislatif untuk mengawasi atau mengedalikan pemerintah agar tidak melakukan penyimpangan terhadap penggunaan alokasi anggaran. Rinci atau tidaknya penetapan anggaran memang sangat tergantung kepada kebutuhan dan kultur masing-masing negara. Namun sebagai gambaran dapat dikemukakan bahwa efektivitas pengawasan lembaga legislatif terhadap anggaran pendapatan dan belanja negara berbanding terbalik dengan rinci tidaknya anggaran yang ditetapkannya, artinya semakin rinci anggaran yang ditetapkan akan semakin efektif dan mudah bagi DPR untuk melakukan pengawasan dan semakin sulit lembaga eksekutif melakukan penyimpangan terhadap persetujuan yang telah diberikan. - Sebaliknya, bila alokasi anggaran diberikan tidak cukup rinci atau bahkan dalam bentuk global akan semakin sulit aspek pengawasan yang dilakukan oleh lembaga legislatif. Pemberian alokasi yang bersifat tidak rinci akan memberikan kemungkinan bagi lembaga eksekutif untuk melakukan penyimpangan terhadap persetujuan yang telah diberikan oleh lembaga legislatif karena berbagai penafsiran. Pemberian persetujuan yang tidak rinci seolah-olah dapat diibaratkan bahwa lembaga legislatif memberikan cek kosong kepada pihak lembaga eksekutif. Namun demikian ketentuan dalam Pasal 15 ayat (6) Undang-Undang Keuangan Negara yang menyatakan bahwa APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan dan jenis belanja tidaklah harus disambut dengan euforia yang berlebihan oleh para anggota dewan perwakilan rakyat. - Dua hal perlu diperhatikan dalam masalah ini. Pertama dari sudut kelembagaan bahwa DPR merupakan lembaga pengambil kebijakan atau Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 62 www.mahkamahkonstitusi.go.id policy making institution bukan lembaga pelaksana. Oleh karena itu lembaga tersebut harus memiliki kemampuan mengambil keputusan yang bersifat makro strategis untuk itu lembaga tersebut harus didukung oleh para anggota yang mampu berpikir konsepsional dan bersifat makro strategis. Kedua dari sudut individu bahwa dengan mengacu pada keterbatasan para anggota DPR sebagaimana dikemukakan di atas para anggota DPR bukanlah individu-individu yang memiliki kemampuan pemikiran yang bersifat mikro teknis sebagaimana layaknya para pejabat di lembaga tersebut. Praktik yang selama ini dilakukan oleh para anggota DPR di berbagai komisi sektoral yang membahas rancangan anggaran kementerian lembaga hingga rincian yang paling detail yaitu proyek maupun kegiatan layaknya para budgeter adalah euforia yang seharusnya segera dihentikan. Euforia tersebut tampaknya bersumber dari ketidakpahaman yang dikombinasikan dengan kepentingan masing-masing individu ataupun fraksi dalam lembaga legislatif. - Pembintangan dan pemblokiran anggaran dari sudut konsepsi langkah yang dilakukan lembaga legislatif justru memberikan kemudahan dan jaminan pendanaan terhadap kegiatan pemerintah yang karena satu dan lain hal belum secara konkret dituangkan dalam keputusan. - Ditiadakannya langkah pemberian tanda bintang terhadap alokasi anggaran dalam keadaan tertentu justru dapat menimbulkan hambatan program kerja lembaga eksekutif. Keempat program dan ruang lingkup pembahasan APBNP. Dari sudut konsep teoritik perubahan terhadap anggaran yang telah ditetapkan bersama antara eksekutif dan legislatif merupakan satu hal yang umum terjadi bahkan akan selalu terjadi. Dalam kaitan ini yang perlu dilakukan adalah membatasi substansi perubahan itu sendiri dengan mengembalikan pada makna yang terkandung dalam gagasan untuk melakukan perbuatan tersebut. - Kesimpulan: bahwa pengaturan hal-hal dalam ketentuan Undang-Undang khususnya Undang-Undang Keuangan Negara yang dimohonkan oleh para Pemohon untuk di-review Mahkamah Konstitusi sebagaimana tersebut di atas telah didasarkan pada historis filosofis yang mendasari konsepsi hukum keuangan negara yang sejalan dengan kaidah yang tertuang dalam hukum dasar yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 63 www.mahkamahkonstitusi.go.id pengaturan dimaksud tidak mengandung kesalahan sehingga tidak perlu dilakukan perubahan. Namun demikian pelaksanaan ketentuan tersebut dalam praktik yang didasarkan pada penafsiran yang kurang tepat yang perlu dilakukan perbaikan agar tidak menimbulkan moral hazard yang didasari pada kepentingan individu, atau penguasa, ataupun kelompok. - Saran: Agar disusun ketetapan supaya DPR sebagai lembaga legislatif lebih memfokuskan pada pemikiran yang bersifat makro strategis dalam penyusunan dan penetapan anggaran pendapatan dan belanja negara. - Pembahasan APBN hanya terbatas pada capaian di tingkat fungsi dan kelembagaan kementerian. - Rincian yang tertuang dalam RKAKL yang memuat kegiatan dan alokasi anggaran yang sangat rinci agar digunakan sebagai alat uji atau justifikasi bilamana memang diperlukan. - Lingkup perubahan APBN yang natinya dituangkan dalam Undang-Undang APBN-P agar dibatasi kegiatan pada kegiatan yang telah ada dan telah dituangkan dalam undang-undang APBN; - Pemerintah punya waktu sekitar 1 tahun, 12 sampai dengan 16 bulan untuk menyusun anggaran. Sementara Dewan Perwakilan Rakyat itu punya keterbatasan waktu, yaitu semenjak RUU APBN diserahkan, yaitu pertengahan Agustus hingga 31 Oktober atau sama dengan 2,5 bulan. Yang paling penting adalah bahwa sebenarnya pengkaitan antara kerincian anggara di dalam Undang-Undang APBN dibandingkan dengan tingkat pengawasannya itu berbanding terbalik. - Kalau pemerintah itu diberi anggaran dengan cara yang longgar, maka artinya pemerintah itu boleh menafsirkan apa saja ke tingkat yang peling detail. Bahwa ditetapkannya secara rinci itu memberikan batasan karena ada unsur yang atau ada prinsip yang disebut dengan prinsip spesialitas, maka setiap anggaran itu hanya bisa dikeluarkan untuk tujuan sebagaimana sudah ditetapkan. Sehingga dengan demikian, semakin longgar anggaran dalam pemberian alokasinya, artinya pada butir-butirannya itu akan menyebabkan pemerintah itu justru bisa melakukan untuk apa saja. - Bahwa satu keputusan yang sangat rinci akan mempermudah pengawasan, tetapi tidak berarti bahwa dengan merinci itu dominansi itu ada di tangan mereka. Keputusan harus dilakukan secara rinci demi kewenangan di dalam Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 64 www.mahkamahkonstitusi.go.id melakukan pengawasan agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan. Kemudian yang berikutnya adalah perubahan APBN. Kita menyadari APBN itu pasti akan berubah, sampai kapan pun yang namanya APBNP akan selalu ada. Hanya yang harus diperhatikan adalah kapan sebenarnya perubahan itu bisa dilakukan untuk suatu perencanaan yang baik. Anggaran itu akan dilaksanakan minimal setengah jalan. Oleh sebab itu, selalu dikatakan APBNP diajukan setelah 1 semester, dan 1 semester itu artinya setelah bulan Juni. Sehingga waktunya tinggal 6 bulan berikutnya ditambah dengan pembahasan-pembahasan, artinya tinggal 2-3 bulan. - Praktik yang berkembang sekarang di Indonesia adalah pemikiran melakukan perubahan anggaran itu dalam pengertian undang-undangnya yang diubah. Sehingga isinya boleh apa saja, sebagaimana tadi disampaikan kegiatan baru yang kemarin lupa atau belum sempat dipikirkan, dituangkan di situ. Padahal waktu yang tersisa tinggal 2-3 bulan. Dalam konsep teoritiknya, perubahan itu hanya boleh dilakukan terhadap sesuatu yang sudah pernah diusulkan, kecuali untuk kondisi-kondisi yang sangat luar biasa, kondisi darurat misalnya. Tetapi di luar itu yang disebut dengan APBNP harus berkaitan dengan sesuatu yang sudah ada karena terkait dengan ketidakmampuan, ketidakcermatan di dalam menyusun formula ataupun asumsi yang ada. Sehingga diperlukan ada perubahan- perubahan dalam volume, perubahan-perubahan dalam harga, perubahan- perubahan dalam penghitungan. - Hubungan eksekutif dan legislatif pada hakikatnya pembuatan kesepakatan dalam kondisi yang setara hanya di sana dikatakan, kesetaraan yang tidak setara. Karena lembaga legislatif adalah wakil rakyat. Eksekutif kemudian meminta uang. Permintaan uang inilah yang mengatakan berapa besarannya dan masyarakat akan memberikan izin, sehingga sebenarnya tidak terlihat di sini ada pengertian dominasi dan tidak dominasi, tapi apapun yang terjadi namanya lembaga legislatif mempunyai level yang lebih tinggi. Oleh sebab itu tidak salah kalau Undang-Undang Dasar 1945 pun mengatakan dalam hal penyusunan anggaran lembaga legislatif memiliki kekuatan atau level yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemerintah. Artinya dia memberikan persetujuan, dan di dalam prinsip unteoritas Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 65 www.mahkamahkonstitusi.go.id pemerintah tidak akan pernah bisa melaksanakan kegiatannya tanpa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Ahmad Erani Yustika - Pemerintah pada umumnya memiliki dua instrumen yang penting, yakni instrumen fiskal APBN dan instrumen moneter. Dalam instrument fiskal inilah kita harus memastikan bahwa APBN yang dikelola oleh pemerintah benar-benar bermanfaat bagi masyarakat. - Dalam salah satu agenda untuk membuat dan memastikan bahwa APBN yang dikelola oleh pemerintah itu betul-betul nantinya bermanfaat bagi masyarakat, maka DPR diberi kewenangan yang sangat luas untuk melakukan fungsi anggaran di luar fungsi pokok lainnya, yakni legislasi dan pengawasan. - Tidak ada celah untuk bisa menegasikan fungsi DPR untuk melakukan tugas dalam penganggaran ini, dan ini dijamin oleh Undang-Undang. Sekaligus dengan adanya fungsi anggaran DPR, maka DPR memiliki ruang yang sangat besar untuk terlibat dalam proses perumusan anggaran, dalam hal ini APBN. - Inilah yang sekarang ini menjadi bahan perdebatan karena dalam beberapa hal khususnya di level praktiknya, perumusan anggaran seperti yang diharapakan itu tidak sesuai dengan kenyataan, khususnya ketika DPR dan pemerintah melakukan koordinasi dan negoisasi untuk banyak aspek termasuk di dalam program pembangunan disini sudah didapatkan satu kejelasan bahwa fungsi penganggaran ini penting dan harus dimanfaatkan oleh DPR. - Bahwa keterlibatan DPR dalam perumusan anggaran itu adalah turut serta dalam menentukan politik anggaran dan ini yang sudah hilang pada saat berbicara mengenai fungsi perumusan anggaran DPR di dalam pembahasan APBN. - Selama ini yang terlihat pembahasan APBN itu lebih pada level yang sangat teknis berbicara mengenai program nanti dialokasikan untuk proyek-proyek seperti apa dan seterusnya. Tanpa diketahui sebetulnya substansi politik Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 66 www.mahkamahkonstitusi.go.id anggaran yang sudah dijalankan oleh pemerintah maupun DPR dalam anggaran yang akan datang itu wujudnya semacam apa. Inilah yang hilang. - Makna perumusan anggaran dalam konteks ini ahli maknai sebagai keikutsertaan parlemen untuk menentukan politik anggaran. Di dalam APBN itu ada banyak fungsi, tetapi tiga hal yang sangat penting dari APBN adalah fungsi stabilisasi, alokasi, dan distribusi. - Pada tiga hal inilah politik anggaran yang disampaikan oleh DPR itu harus nampak. Pada sisi stabilisasi politik anggaran yang diinginkan oleh DPR untuk menanggapi rancangan yang disampaikan DPR harus muncul. Demikian juga untuk alokasi. - Sebagai ilustrasi, jika pemerintah menyampaikan bahwa pembangunan Indonesia bagian timur tetinggal dibandingkan dengan pembangunan Indonesia bagian barat, maka anggaran seperti apa yang menunjukkan adanya alokasi untuk pembangunan Indonesia di bagian timur? Ini ilustrasi bagaimana alokasi itu mesti ada juga ada politik anggarannya. Bukan sekedar uang atau anggaran dibagi-bagi secara merata antarwilayah. - Dan yang ketiga adalah distribusi. Ketika misalnya pertumbuhan ekonomi hari ini tumbuh cukup tinggi, tapi di sisi lain diimbangi bahkan diikuti dengan ketimpangan pendapatan yang makin besar, maka fungsi distribusi seperti apa yang hendak dijalankan oleh pemerintah. Ruang semacam ini terbuka lebar bagi parlemen untuk melakukan tanggapan-tanggapan semacam itu. - Dengan demikian, fungsi anggaran dalam konteks ini pada titik ini adalah bagaimana parlemen memformulasikan politik anggaran, sehingga ketika berhadapan dengan pemerintah, itu memiliki pandangan yang kira-kira bisa “diadu” siapa yang lebih memiliki keberpihakan kepada masyarakat dalam menjalankan amanat pemanfaatan APBN tadi. - Secara definitif politik anggaran bisa diambil dari berbagai macam sudut pandang. Menurut ahli, yang pertama politik anggaran itu mestinya harus diihat sebagai bahwa APBN itu merupakan instrumen ideologis dan bukan sekadar instrumen teknokratis. - Artinya, konstitusi yang memiliki pesan-pesan penting itu tadi, secara ideologi harus termaktub di dalam fungsi stabilisasi, alokasi, maupun distribusi APBN. Jangan sampai kemudian kita memiliki dasar negara, Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 67 www.mahkamahkonstitusi.go.id mempunyai konstitusi yang berbeda dengan negara lain, tetapi format dan alokasi APBN itu sama saja dengan negara-negara tersebut. - Oleh karena itu, makna bahwa APBN itu sebagai politik anggaran itu pertama-tama harus ada cantolan di konstitusi maupun ideologi. - Pemerintah dan DPR selalu mengkonseptualisasikan anggaran defisit, tetapi dalam kenyataannya, itu dibangun di atas dua hal yang sama-sama eksis. Yang pertama adalah adanya inefisiensi dalam alokasi belanja, ada pemborosan, ada korupsi, marked up , dan seterusnya. Di sisi lain, ada inoptimalisasi penerimaan yang bisa dilihat dari tax ratio yang sangat rendah, kebocoran pajak, dan seterusnya, maupun pendapatan negara untuk pajak. - Di dalam teks mana pun, literatur mana pun, tidak ada kesalahan untuk mendesain anggaran defisit. Hanya kalau itu dilakukan di atas alas inefisiensi belanja dan inoptimalisasi penerimaan, maka itu secara moral, tidak absah. Ini penting untuk digarisbawahi dan politik anggaran berimbang harus dimaknai tadi itu bahwa selama memang sudah ada optimalisasi penerimaan dan efisiensi belanja, maka kekurangan itu boleh diambilkan dari sumber yang lain. Tetapi selama itu tidak diperbolehkan, maka anggaran defisit itu batal secara moral. - Yang ketiga adalah spirit keadilan. Penting untuk dipahami karena seluruh napas konstitusi kita berbicara mengenai aspek ini. - Kemudian, terdapat suatu kenyataan bahwa APBN dari sisi program- programnya, alokasi, hampir sama dari waktu ke waktu. Padahal, persoalan ekonomi yang muncul misalnya, itu ada perubahan-perubahan yang mendasar. Kalau dilihat alokasi persentase APBN dari tahun 1999 misalnya, pascakrisis ekonomi besar tahun 1997-1998 dengan hari ini, maka relatif sama. Padahal persoalan-persoalan dijumpai itu, sudah ada perbedaan. Mestinya APBN itu harus bisa beradaptasi, mengakomodasi persoalan- persoalan yang muncul, perubahan-perubahan yang terus terjadi tadi. - Yang terakhir adalah bahwa APBN harus menyantuni, harus menafkahi seluruh kewajiban yang dipenuhi dalam bentuk undang-undang. Sampai hari ini misalnya, APBN itu belum pernah bisa memenuhi mandat dalam Undang-Undang Kesehatan, di mana 5% dari anggaran itu dipakai untuk Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 68 www.mahkamahkonstitusi.go.id kesehatan. Selama ini masih sekitar di bawah 2,5%. Dari aspek itu, maka ada ketimpangan dalam memanfaatkan itu. - Ada dua hal, sebetulnya, bagi pemerintah untuk mendesain APBN. Yang pertama, yang disebut sebagai sistem anggaran konvensional ( conventional budgeting system ). Dalam model ini, pemerintah biasanya akan menentukan terlebih dahulu anggaran patokan selainnya. Misalnya pada tahun ini, pemerintah sudah menyiapkan RAPBN Tahun 2014. Yang dilakukan oleh pemerintah ialah menyiapkan dulu baseline anggarannya. Biasanya memakai patokan anggaran tahun 2013. Setelah itu, baru akan ditambahkan oleh empat faktor berikut ini. Yang pertama adalah inflasi. Misalnya, diasumsikan inflasi tahun depan katakanlah, 5%-6%, maka anggaran akan ditambah dengan 5%-6%. - Yang berikutnya, ada program-program inisiatif baru yang biasanya tidak terlalu banyak. Misalnya tahun 2014, pemerintah melihat ada problem krisis ekonomi yang belum selesai, akan ditambahkan untuk mencegah krisis; - Berikutnya adalah cash load programme , jadi untuk beban anggaran wajib, seperti Undang-Undang Kesehatan dan Undang-Undang Pendidikan, misalnya 20% dari APBN. Baru yang terakhir, induksi perubahan kebijakan untuk beberapa hal yang pokok. Apabila sebafai contoh, pemerintah berpikiran bahwa tahun depan, akibat dari adanya kenaikan harga BBM ini, dirasakan perlu untuk membantu beberapa kelompok masyarakat, misalnya UMKM, atau kelompok miskin lainnya, dilanjutkan dengan BLSM maupun yang lain, maka akan disampaikan di sini. Kurang-lebih, inilah model penyusunan anggaran konvensional yang ada. - Model yang kedua adalah memakai prinsip priority based budgeting system . Di dalam model ini, pemerintah fokus kepada output-nya dan tidak pada sumber dayanya seperti yang konvensional tadi itu. Pemerintah tidak melihat terlebih dahulu kira-kira anggaran yang dimiliki, sumber daya yang dipunyai seperti apa, caranya tetapi fungsi utama pemerintah, khususnya dalam perekonomian itu disusun terlebih dahulu, apakah pemerintah harus melakukan intervensi pada seluruh urusan ekonomi, atau hanya sekedar beberapa aspek terkait dengan mandat konstitusi, misalnya itu dirumuskan oleh pemerintah. Baru, apabila fungsi utama tadi itu sudah dirumuskan, Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 69 www.mahkamahkonstitusi.go.id maka pemerintah bergerak kepada level berikutnya, yakni menyusun program kepada prioritas yang ingin ditangani. - Ahli mengharapkan agar pemerintah lebih banyak mengadopsi kepada anggaran berbasis prioritas, meskipun kebetulan dalam beberapa hal sebagaian sudah dijalankan oleh pemerintah. Kalau kemudian ini dilakukan, maka sebetulnya DPR itu nanti akan lebih banyak fokus untuk mengindentifikasi fungsi yang mesti dijalankan oleh pemerintah tadi itu, dengan menggunakan APBN. Jadi, badan anggaran berbicara mengenai narasi-narasi besar tidak terjebak kepada program-program sangat detail yang jumlahnya ribuan, sehingga itu menutup isu besar yang disebut politik anggaran; - Masalah-masalah strategis, persoalan-persoalan prioritas itulah yang diharapkan hidup dibunyikan oleh parlemen badan anggaran. Misalnya isu mengenai ketimpangan pendapatan yang sekarang makin meningkat, kebutuhan reforma agraria karena petani kita lahannya makin lama makin sempit, sehingga mereka tidak bisa meningkatkan level kesejahteraannya. Kemudian apakah kebijakan perpajakan kita selama ini sudah sesuai dengan semangat keadilan sosial. Itu yang mestinya disampaikan, yang dinegosiasikan, didesakan oleh anggota parlemen lewat badan anggaran, kalau kemudian itu tadi yang dilakukan. - Ketiga. Sebagian besar dari isu strategis tadi, sebetulnya terpantul dari asumsi makro ekonomi yang ada di dalam pembukaan APBN, asumsi makro ekonomilah sebetulnya itu yang menjadi dasar terpenting dari yang disebut dengan politik anggaran tadi itu, dari tahun ke tahun asumsi makro ekonomi itu hanya berbicara pada hal-hal seperti: pertumbuhan ekonominya berapa, inflasinya berapa, tingkat suku bunganya berapa, nilai tukarnya berapa, ICP-nya berapa, berapa barell minyak, gas dan seterusnya. Tapi tidak pernah mencoba untuk melakukan hal yang lain. Bahkan kerap kali asumsi makro ekonomi itu tidak didasari oleh hal yang sama tapi sekedar negosiasi antara parlemen dan pemerintah, sebagai contoh, baru saja disetujui RAPBN-P Tahun 2013. Pemerintah ingin pertumbuhan ekonomi 6,2%, parlemen berharap agar itu bisa 6,5%. Akhirnya ada perbedaan, negosiasi, ditetapkan 6,3%. Dasar 6,3% itu hanya negosiasi saja tanpa ada dasar teknokratis untuk melakukan itu, sehingga wajar saja kalau kemudian Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 70 www.mahkamahkonstitusi.go.id asumsi makro ekonomi itu banyak meleset. Pengalaman di negara lain, asumsi makro ekonomi itu diberikan kepada orang atau lembaga yang lebih kredibel secara akademik, misalnya di Belanda ada biro perencanaan, di Australia itu diserahkan kepada para ekonom yang ditunjuk oleh pemerintah dan memiliki kredibilitas. Kemudian di Amerika Serikat diserahkan kepada Congressional Budget Office . Kanada itu diberikan kepada sektor privat, di Chili bahkan NGO yang diberi mandat untuk memfasilitasi para ekonom yang dianggap memiliki kredibilitas untuk menyampaikan pandangan mengenai asumsi makro ekonomi, dan itulah yang diambil oleh pemerintah. Itu untuk menghindari agar asumsi makro ekonomi itu tidak terlalu dibebani dengan aspek-aspek yang sangat politisi sekali, sehingga itu nanti di lapangan tidak banyak bisa dicapai, dan itu menganggu kredibilitas pemerintah baik dari kacamata luar negeri maupun investor domestik. - Perubahan APBN secara teknis, secara teoritis masih dimungkinkan untuk bisa dilakukan, hanya memang harus ada indikator-indikator yang terukur, sebelum tahun 1998-1999, jarang sekali ada APBN perubahan, tetapi dalam beberapa tahun terakhir ini hampir selalu itu menjadi tradisi pemerintah dan DPR melakukan APBN perubahan tadi itu. - Melihat urgensi dari APBN perubahan itu sebetulnya tidak terlalu kuat, kecuali kalau misalnya ada kasus-kasus tertentu katakanlah turbulensi ekonomi yang membuat seluruh ini tadi itu bisa dilakukan. Tetapi beberapa hal terakhir ini ahli melihat bahwa APBNP itu harus dilakukan karena lemahnya pemerintah dalam menyusun secara kredibel asumsi makro ekonomi. Sebetulnya akhir tahun yang lalu misalnya, pertumbuhan ekonomi itu hampir semua lembaga-lembaga internasional maupun lembaga kajian domestik menyampaikan bahwa paling tinggi pertumbuhan ekonomi hanya pada level 6,4% setahun ini. Tapi pemerintah tanpa diketahui berdasarkan negosiasi dengan DPR atau karena faktor apa, memberikan 6,8% dan begitu selesai triwulan pertama, diumumkan pertumbuhan ekonomi 6,02%, pemerintah terkesan panik, Sekarang dibikin, bertujuan untuk asumsi makro ekonomi pada angka 6,3%. Menurut ahli angka itu berat untuk dicapai, kalaupun dapat 6,1% saja. Perubahan APBN poinnya adalah bahwa itu harus dilakukan seandainya ada indikator-indikator terukur. Ahli sebutkan di Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 71 www.mahkamahkonstitusi.go.id sini boleh dilakukan seandainya ada indikasi nantinya batas defisit fiskal akan terlampaui, misalnya dengan menggunakan konsesus 3%. - Yang kedua, kalau misalnya ada masalah dengan keseimbangan primer antara penerimaan dikurangi dengan pengeluaran di luar utang luar negeri. Atau misalnya pertumbuhan ekonomi yang melesat, perbedaannya menjadi terlalu jauh. Tapi semuanya itu harus ada ukuran-ukuran yang pasti. Dengan menggunakan itu, maka perubahan APBN akan memiliki dasar yang kuat dan tidak dimungkinkan nanti akan muncul beberapa persoalan- persoalan moral hazard yang selama ini sering terjadi, misalnya seperti kasus TPIID yang beberapa waktu itu terjadi. - DPR harus dipahami sebagai institusi politik, lembaga politik yang tidak dalam banyak hal tidak memungkinkan untuk berbicara untuk berkerja dalam level yang sangat teknis. Apalagi ditambah dengan kenyataan ada time constraint, compentence constraint, dan seterusnya itu lebih tidak memungkinkan lagi mereka melakukan itu. - Bahwa kalau dlihat dari postur parlemen tadi, ditambah dengan beberapa concern tadi maka yang harus diperjuangkan oleh DPR dalam hal APBN inilah politik anggarannya. Jika itu sudah bisa dilakukan, maka akan mengubah secara mendasar dalam banyak hal. - Yang kedua, mengenai level yang sangat detail, program yang sangat terinci, maka itu akan paralel dengan konvensional budgeting system . Tetapi kalau berbicara atau pemerintah sudah mengadopsi periodic types budgeting yang orientasi ke output , maka fungsi DPR adalah melihat output - nya seperti apa, konsentrasinya ke sana, dan DPR memungkinkan untuk melakukan itu. Oleh karena itu asumsi makro ekonomi kan bagian dari output yang diharapkan. Kalau kemudian asusmsi makro ekonomi itu ternyata dalam realisasinya jauh sekali dibandingkan perencanaan, maka ada masalah banyak di situ, itulah yang harus dimasuki oleh DPR. - Rincian-rincian, program-program, dan seterusnya itu urusan lembaga yang lain kalau berbicara mengenai aspek efesiensi/efektivitas ada BPK dan seterusnya yang akan masuk ke sana. Mengenai APBN Perubahan, substansinya adalah dalam perencanaan pasti akan ada pergeseran dalam implementasi, tetapi apakan kemudian perencanaan harus dilakukan revisi di tengah perjalanan? Itu soal yang berbeda. Artinya misalnya ahli selama Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 72 www.mahkamahkonstitusi.go.id ini banyak bersinggungan dengan pekerjaan Bank Indonesia, dan mereka juga menyusun recana anggaran baik untuk kebijakan moneter maupun operasional. Hampir semuanya juga tidak bisa sesuai rinci dengan perencanaan, tetapi selama perubahan-perubahan tadi itu tidak mengganggu hal-hal yang mendasar, maka sebetulnya tidak diperlukan. Tinggal DPR nanti melakukan eveluasi antara perencanaan dan realisasi tidak sesuai masalahnya di mana? Itu akan menjadi perbaikan dalam negosiasi di masa yang akan datang itu ininya. - Atau yang kedua, perubahan APBN menyangkut kepada isu yang terkait dengan aspek-aspek yang strategis di asumsi makro ekonominya. Misalnya diubah asumsi pertumbuhan ekonomi dari 6,8% menjadi 6,3% sekarang. Tetapi rincian-rincian, gerbong-gerbong di balakangnya, proyek-proyek, dan lain sebagainya itu tidak perlu, kecuali dalam hal terjadi peristiwa ekonomi yang sangat besar seperti krisis ekonomi atau sejenisnya;
Ari Dwipayana - Demokrasi hari ini telah mencapai titik yang tidak mungkin kembali, Indonesia memilih jalan demokrasi sebagai pilihan sadar untuk mewujudkan pemerintahan dari, oleh, dan untuk mencapai kehendak rakyat. Dengan demikian demokrasi seharusnya dimaknai bukan semata-mata berhenti pada keberadaan pemerintahan yang dibentuk atas mandat elektoral rakyat secara prosedural oleh pemilihan umum. Demokrasi juga bukan sekedar diukur dari keberadaan institusi formal yang memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan atas nama rakyat. Namun demokrasi memiliki makna yang jauh lebih dalam sebagai jembatan emas untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. - Kehendak untuk mewujudkan kesejahteraan melalui jalan demokrasi, tentu bukan sesuatu yang mudah. Karena harus disadari bahwa demokrasi selalu memiliki sisi gelap. Berbagai studi empirik tentang demokrasi memperingatkan bahwa sisi gelap demokrasi itu ditandai dengan hadirnya fenomena korupsi politik di mana kekuasaan formal yang diperoleh melalui prosedural demokratis dimanfaatkan dan didayagunakan untuk melakukan aksi perburuan rente atau rent-seeking terhadap sumber dana negara maupun dimanfaatkan untuk memperdagangkan otoritas dan pengaruh. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 73 www.mahkamahkonstitusi.go.id Studi yang dilakukan oleh John Girling tahun 1997, Kang tahun 2002, dan Michael Johnston tahun 2005 memberikan gambaran sebagaimana fenomena political corruption, legalise corruption, atau lebih spesifik lagi political party corruption justru masih mendapatkan peluang dalam sistem dan institusi demokrasi yang sedang berkembang. - Singkatnya, ketiga studi itu meyakini bahwa korupsi politik bukan semata- mata persoalan moral individual, melainkan problem yang melekat dalam struktur peluang politik yang tersedia. Sehingga dalam banyak hal kehadiran struktur peluang itulah yang justru menyebabkan korupsi menjadi fungsional. - Berpijak pada pandangan sejumlah ahli di atas, fokus perhatian bersama seharusnya ditujukan pada upaya melihat kembali faktor pendorong dan struktur peluang politik yang memungkinkan tindakan perburuan rente atau korupsi politik itu bisa terjadi. Di sini ahli melihat arti penting dan urgensi apa yang disampaikan oleh Pemohon dalam permohonan pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan negara dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MD3 terhadap Undang- Undang Dasar 1945. - Pertanyaan pertama dan terutama adalah apa yang menjadi faktor pendorong dari maraknya perburuan rente dalam sistem demokrasi multipartai saat ini. Beberapa studi menunjukan bahwa faktor utama yang menjelaskan aksi perburuan rente adalah strategi partai untuk mencari pendanaan alternatif di tengah krisis finansial yang dihadapi partai-partai dalam konteks sistem demokrasi multipartai kompetitif. Dalam menghadapi proses kompetisi politik yang semakin berbiaya tinggi, partai-partai mengalami kesulitan untuk menggalang sumber pendanaan partai dari internal baik berbentuk iuran atau donasi anggota partai, sehingga tidak ada pilihan lain untuk mencari sumber pendanaan alternatif pada sumber- sumber eksternal. - Pada saat yang bersamaan, subsidi negara pada partai yang sering disebut bantuan keuangan partai politik yang merupakan dana resmi dari APBN atau sering disebut dengan dana budgeter cenderung mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Selain itu partai-partai juga dibatasi ruang geraknya sehingga tidak bisa mencari dana sendiri melalui badan usaha Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 74 www.mahkamahkonstitusi.go.id milik partai. Akhirnya sumber dana partai yang tersisa hanya dua sumber eksternal, yaitu donasi dari kelompok-kelompok bisnis baik perorangan maupun korporasi maupun melalui penggalangan sumber dana negara ilegal yang juga sering disebut sebagai penggalangan dana non-budgeter . - Dalam latar belakang seperti itu, partai-partai yang dalam Pemilu bersaing satu dengan yang lainnya, selanjutnya mempunyai kepentingan yang sama untuk menggalang sumber pendanaan alternatif melalui pendayagunaan kekuasaan formal di pemerintahan atau yang sering disebut dalam istilah ilmu politik, studi kepartaian sebagai partai in-public office baik di ranah eksekutif maupun di legislatif. Dengan demikian, kadar partai yang menduduki posisi strategis di parlemen, dalam hal ini wajah partai di public office menjadi sumber dana alternatif yang sangat penting. - Penelitian yang pernah ahli lakukan menggambarkan bahwa donasi yang dikumpulkan dari anggota DPR bukan semata-mata iuran atas kebijakan partai, melainkan donasi informal terhadap kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh partai. Mulai dari kegiatan fraksi, sayap partai, biaya konsolidasi, biaya pemenangan Pilkada, subsidi pada organisasi cabang partai di daerah serta biaya konstituen. - Berbagai jenis donasi informal ini kemudian menimbulkan ketimpangan antara penghasilan sebagai anggota DPR dengan berbagai jenis pengeluaran untuk kegiatan partai. Hal inilah yang kemudian ditutupi dengan bekerjanya praktik high rent-seeking . Fenomena semakin banyaknya donasi dan munculnya rent seeking ini seringkali menjadi wilayah “abu-abu”. Karena partai tidak pernah secara formal menginstruksikan pada anggota DPR untuk menggalang sumber dana untuk partai. Namun elit pengendali partai di central office memberikan semacam penugasan pada orang-orang “kepercayaan”. Atau sering disebut dalam istilah studi-studi politik dan juga kepartaian dan juga fenomena political corruption sebagai proksi untuk menduduki posisi strategis di DPR seperti badan anggaran, pimpinan komisi, dan alat kelengkapan lainnya. Dan orang-orang yang telah diberi kepercayaan itu memiliki tanggungan untuk menghidupi partai dan membiayai aktivitas partai seperti yang diminta oleh elit partai yang menugaskannya. Singkatnya, para proksi itulah ketika diberi kepercayaan untuk menduduki posisi strategis. Artinya, pada saat Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 75 www.mahkamahkonstitusi.go.id yang bersamaan mengemban tanggung jawab membiayai aktifitas-aktifitas yang diselenggarakan oleh partai. Hal inilah selanjutnya memunculkan fenomena perburuan rente melalui upaya pemanfaatan kewenangan formal yang dimiliki sebagai anggota DPR baik kuasa legislasi, kuasa penganggaran, kuasa pengawasan, maupun kuasa dalam rekrutmen pejabat publik. - Dalam konteks krisis finansial yang dihadapi oleh partai politik seperti digambarkan di atas yang mendorong partai-partai untuk menggalang sumber pendanaan alternatif dari dana non budgeter negara, maka struktur peluang justru muncul dari sistem dan desain kelembagaan di lembaga perwakilan itu sendiri yang membuka ruang lebar bagi aksi perburuan rente itu bisa terjadi. - Ada beberapa struktur peluang politik yang bisa diidentifikasikan dengan jelas. Pertama adalah keberadaan kelembagaan yang berkarakter oligarkis dalam sebuah institusi representasi politik. DPR memang memiliki alat kelengkapan seperti komisi-komisi yang menjalankan fungsinya mulai dari fungsi legislasi, penganggaran, pengawasan, dan rekrutmen pejabat publik. Namun dalam konteks menjalankan fungsi penganggaran, justru muncul badan anggaran yang mewujud menjadi lembaga suprakomisi yang memiliki kewenangan yang sangat kuat. - Badan anggaran bukan semata-mata sebagai institusi ad hoc yang menjalankan fungsi sinkronisasi terhadap hasil pembahasan di komisi mengenai rencana kerja anggaran kementerian dan lembaga, melainkan telah berkedudukan sebagai institusi yang bersifat tetap dan mempunyai kewenangan mambahas rancangan Undang-Undang tentang APBN bersama presiden yang dapat diwakili oleh menteri. - Dengan demikian, badan anggaran dapat berperan seperti lembaga suprakomisi-komisi dalam membahas rancangan Undang-Undang tentang APBN. Dalam posisi sebagai lembaga suprakomisi seperti itu, tidak aneh kemudian badan anggaran telah menjadi arena yang sangat strategis bagi partai-partai dalam menempatkan orang-orang kepercayaannya dalam proses penggalangan dana politik. Indikasinya sederhana, partai-partai cenderung menempatkan bendahara partai atau anggota-anggota partai yang dipandang bisa bermain anggaran di badan anggaran. Indikasi lain, Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 76 www.mahkamahkonstitusi.go.id bisa diperlihatkan melalui kasus-kasus yang menjerat anggota Badan Anggaran DPR-RI yang menunjukkan kekuasaan yang dimiliki oleh badan anggaran yang sangat besar dan bahkan bisa menentukan mata anggaran dalam APBN yang belum dibahas di komisi-komisi. Ini mempertegas kembali bahwa keberadaan institusi yang berkarakter oligarkis akan menciptakan peluang bagi aksi perburuan rente. - Struktur peluang politik yang kedua, terkait dengan soal kewenangan DPR untuk membahas APBN secara terperinci, praktik pembintangan dan ruang lingkup pembahasan APBN perubahan. Kekuasaan untuk membahas secara terperinci membuat DPR bukan hanya memiliki kewenangan yang bersifat makrostrategis, melainkan sampai pada jenisbelanja. Hal ini membuat ruang manuver politik yang cukup besar dari hulu sampai ke hilir, demikian pula dengan praktik penundaan penetapan mata anggaran dengan pemberian tanda bintang, pemberian ruang manuver yang besar tanpa adanya check and balances justru akan bisa membuka peluang terjadinya perburuan rente atau transaksi-transaksi yang bertentangan dengan hukum. Karena itu bagaimanapun prinsip dasar dalam politik bahwa kekuasaan cenderung disalahgunakan. - Semakin besar kekuasaan, maka makin besar peluang disalahgunakan. Hal ini juga berlaku pada ruang lingkup kewenangan yang sangat kuat atau bahkan mutlak yang diberikan pada DPR, serta tidak bisa di- check dan di- balances oleh institusi lain dan itu akan bisa disalahgunakan. Sedangkan peluang korupsi pada proses pembahasan APBN Perubahan muncul ketika proses pembahasan dilakukan dengan waktu yang sangat terbatas dan hanya melibatkan pihak-pihak yang terbatas. Tidak aneh kemudian dalam karakter oligarkis ini hanya segelintir pihak yang tahu mengenai berbagai proyek baru yang sebelumnya tidak dianggarkan pada APBN. Bahkan menariknya sampai ketua DPR terkesan di media terheran-heran ketika dana kompensasi Lapindo masuk dalam APBN Perubahan Tahun 2013. - Kalau kita ingin tetap menuju kesejahteraan melalui jalan demokrasi, tidak ada pilihan lain bagi kita untuk menata kembali kualitas demokrasi kita. Berbicara tentang penataan kualitas demokrasi, termasuk juga upaya mempersempit struktur peluang politik bagi tindakan perburuan rente. Untuk itu ada berapa agenda yang perlu didorong ke depan, pertama adalah Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 77 www.mahkamahkonstitusi.go.id mengatasi krisis finansial yang dialami oleh partai dengan cara mereformasi pembiayaan partai dengan mengenalkan konsep matching fund , yaitu model kombinasi antarpembiayaan negara dengan pembiayaan internal. Tentu saja model ini harus diikuti dengan tata kelola keuangan partai yang lebih transparan dan akuntabel, serta reformasi belanja politik yang lebih murah. - Kedua, mempersempit struktur peluang politik bagi upaya partai atau politisi untuk mencari sumber pendanaan alternatif secara ilegal. Agenda yang paling penting adalah rekonstruksi posisi kewenangan DPR RI dalam fungsi penganggaran, termasuk dalam rekonstruksi adalah badan anggaran dijadikan lembaga ad hoc yang mempunyai kewenangan sinkronisasi proses penganggaran di komisi-komisi. Kewenangan DPR-RI dalam penganggaran difokuskan pada hal-hal bersifat makrostrategis, sedangkan aspek perincian jenis belanja diserahkan sebagai ranah teknokratis yang menjadi kompetensi dari eksekutif. Namun demikian, kewenangan DPR-RI untuk pengawasan justru perlu ditingkatkan dengan berpijak pada hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan. - Korupsi politik adalah wajah gelap demokrasi. Hadirnya wajah gelap demokrasi inilah yang membuat jalan menuju kesejahteraan seluruh rakyat menjadi semakin berliku dan penuh jebakan. Proses dan institusi demokrasi bisa dibajak oleh sekelompok kecil elit yang selanjutnya elit oligarki tersebut memanfaatkan semua instrumen demokrasi bukan untuk mencapai tujuan kemakmuran seluruh rakyat, selain didayagunakan untuk kepentingan ekonomi, politik segelintir elit semata, dan itulah artinya tujuan mulia demokrasi sebagai jembatan emas untuk mewujudkan kesejahteraan akan sulit terwujud.
Kuskridho Ambardi - Ada satu hal yang harus dicermati di fungsi anggaran itu, yaitu umumnya adalah mulia pada awalnya, pada prinsipnya karena dari sana DPR bisa memberikan arah terhadap pembangunan di Republik ini, misalnya fungsi anggaran itu dengan memberikan satu arah alokasi anggaran tertentu, sehingga kemudian dalam sektor-sektor tertentu yang dianggap bahwa di sana itu ada kebutuhan untuk membangun, maka kemudian bisa dipenuhi. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 78 www.mahkamahkonstitusi.go.id - Dengan kekuasaan anggaran yang dimilikinya, maka kemudian DPR melalui Banggar bisa mengalokasikan anggaran untuk pembangunan infrastruktur, dan dengan sendirinya di sana karena ada banyak sektor dan kemudian dalam APBN itu ada 6.000-an item, maka ada semacam kekuasaan di mana DPR berfungsi sangat ideal. Infrastruktur misalnya diprioritaskan, pendidikan bisa diprioritaskan, militer bisa diprioritaskan. Di sana lah letak kemuliaan dari fungsi anggaran tersebut. - Akan tetapi, kemudian ada satu problem di sana dengan kekuasaan besar yang dimiliki oleh DPR, dan kemudian di sana lebih spesifik lagi itu dijalankan oleh Banggar, ada persoalan karena di sana ada gejala yang selama ini sudah berlangsung adanya pemusatan kekuasaan itu. - Banggar tidak hanya mengurusi hal-hal makro tetapi kemudian hal-hal mikro pun itu juga diurusi. Jadi misalnya kalau berbicara tentang alokasi anggaran yang bersifat makro, sektoral, dan seterusnya, dan kemudian Banggar mampu untuk bergerak ke hilirnya, maka di sana yang terjadi adalah pemusatan kekuasaan karena kekuasaan di tingkat hulu itu kemudian ditambah lagi sampai tingkat hilir. - Tidak saja mereka mengalokasikan budget itu secara prinsipil makro, tetapi juga kemudian sampai kepada organisasi, unit kegiatan, dan seterusnya, sehingga di sana ada pencampuran fungsi legislasi, fungsi sebagai lembaga legislator parlemen, dan kemudian juga fungsi sebagai eksekusi atau eksekutor, atau kemudian di sana juga bersentuhan dengan fungsi eksekutif. Di sana ada satu proses semacam pemusatan kekuasaan dalam satu tangan. - Kemudian yang kedua di sana ada juga terlihat semacam bahaya, ada yang dinamakan dalam leksikon ilmu politik dengan kekuasaan veto. Jadi kalau dalam aturannya itu kekuasaan anggaran itu dijalankan oleh Pemerintah bersama dengan DPR melalui komisi, tetapi setelah sidang komisi selesai dan pleno selesai, kemudian Banggar ini mempunyai kekuatan veto, kekuatan veto itu diwujudkan dalam hal-hal kecil, misalnya mengubah unit proyek, kemudian juga misalnya menambah hal-hal yang lain untuk menentukan proyek-proyek mana yang berhasil dan kemudian mana yang dibatalkan. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 79 www.mahkamahkonstitusi.go.id - Dan berikutnya, adalah istilah sistem bintang, sistem bintang itu memberikan kekuasaan kepada badan anggaran untuk memberikan catatan terhadap proyek-proyek tertentu, apakah itu dijalankan atau tidak. - Dengan adanya pemusatan kekuasaan itu maka kemudian akan terbuka peluang yang buruk karena kemudian menjadi kekuasaan Banggar menjadi berlipat atau dalam istilah super komisi atau suprakomisi, dia mengatasi komisi. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang mengontrol Badan Anggaran tersebut. Dalam dunia politik itu ketika itu berlipat-lipat maka di sana terbuka kemungkinan bahaya akan muncul dan biasanya itu akan di atasi dengan penerapan prinsip yang lain dalam dunia politik yang lain, yakni check and balances . Yang menjadi pertanyaan kemudian siapa yang akan mengecek badan anggaran ini dan kemudian kalau lebih besar lagi itu adalah DPR. - Misalnya kalau kemudian pemusatan kekuasaan itu begitu besarnya, yang satu-satunya mekanisme yang bisa dijalankan di sana untuk mengecek kekuasaan itu adalah Pemilu. Tetapi Pemilu tersebut berlangsung lima tahun sekali, sementara kegiatan APBN itu berlangsung tiap tahun dan tidak ada kontrol di sana. Oleh karena itu, muncul judicial review untuk melihat sumber-sumber kekuasaan Banggar tersebut. Misalnya tentang periode yang tetap lima tahun tanpa ada kontrol, kemudian pemusatan kekuasaan, yakni membikin keputusan dari hulu sampai hilir dan kemudian sistem bintang. Maka di sana sebetulnya terlihat adanya bahaya dan oleh karena itu kemudian perlu untuk mengeksplorasi pasal-pasal yang menjadi sumber kekuasaan anggaran dari Banggar tersebut karena di sana terbuka kemungkinan untuk melakukan abuse . - Selama tiga tahun, dari tahun 2005 sampai tahun 2008 ahli melakukan studi untuk melihat dari mana partai itu mendapatkan dananya. Tentu saja secara teoritis di sana itu anggaran yang didapat partai atau dana yang didapat partai, besumber dari sejumlah sumber. Misalnya iuran anggota yang sering disebut, kemudian sumbangan dari para pengurus, sumbangan dari luar yang tidak mengikat, itu biasanya pengusaha, kemudian dari sumber Pemerintah. - Mereka juga melakukan laporan itu secara formal ke KPU dengan pagu tertentu karena itu memang Undang-Undang mengharuskan atau peraturan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 80 www.mahkamahkonstitusi.go.id mengharuskan begitu. Tetapi dalam studi tiga tahun itu, ketika ahli merekonstruksi, apakah memang benar misalnya belanja yang dikeluarkan oleh partai itu sesuai dengan kenyataannya sebagaimana diberikan laporannya kepada KPU? Ternyata itu tidak seperti yang dituliskan. Itu hanya perkiraan mungkin sepertiga dari total anggaran yang dikeluarkan oleh partai. - Sisa anggaran itu yang jauh lebih besar didapatkan oleh partai kemungkinan didapatkan dari sumber non budgeter sifatnya, dana-dana yang ilegal yang itu diperoleh dengan cara rente. Dari rente itu misalnya dengan model penguasaan proyek hulu sampai hilir, eksekusinya di tangan mereka, ada sistem bintang. Dari sana kemudian mereka bisa memiliki kemampuan atau kekuasaan untuk memilih siapa yang menang dan siapa yang kalah dalam proyek. Dan kemudian berapa anggaran yang dikeluarkan dan termasuk di sana adalah yang informal itu adalah kickback - nya berapa? - Dengan studi ahli yang panjang selama tiga tahun, dengan banyak bukti- bukti yang kemudian muncul di media. Kasus ini menjadi bobotnya semakin besar. - korupsi politik yang dilakukan oleh para politisi yang berasal dari Banggar maupun bukan dari Banggar, itu pada dasarnya adalah karena ketidakjelasan dan kekuasaan dan batas kekuasaan tersebut dan kemudian kebutuhan bahwa mereka membutuhkan sejumlah dana untuk partainya. Mungkin sebagian di sana juga untuk pribadi. - Oleh karena itu di sana ada satu hal, satu poin utama. Banggar ini kemudian perlu dilihat lagi kekuasaannya dan setelah itu kemudian pasal- pasal yang menopang kekuasaan itu. Kalau seandainya ini dibandingkan dengan negara-negara lain, biasanya kekuasaan Banggar itu dibatasi melalui aturan hukum karena kemudian satu-satunya yang bisa mengontrol DPR dan Banggar adalah publik. Publik mempunyai keterbatasan melalui mekanisme Pemilu yang lima tahunan atau empat tahunan itu. - Karena kekuasaan itu begitu besar dan kemudian mekanisme untuk mengontrol kekuasaan itu terbatas dari segi waktu, dan kemudian dari segi detailnya, maka kemudian bagaimana kita mengontrol kekuasaan itu supaya tidak terjadi penyalahgunaan adalah dengan memperjernih sumber- Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 81 www.mahkamahkonstitusi.go.id sumber kekuasaan dan batas kewenangan yang bisa diperoleh oleh Banggar tersebut.
Saldi Isra - Dalam permohonan a quo , pada pokoknya yang dimohonkan diuji dan nilai konstitusionalitasnya oleh para Pemohon adalah pertama, keberadaan dan kewenangan Badan Anggaran DPR RI menyangkut Pasal 104 sepanjang frasa yang bersifat tetap dan Pasal 105 ayat (1) sepanjang frasa pada permulaan masa keanggotaan DPR, dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang DPR, DPRD, dan DPD, serta Pasal 107 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009. - Kedua, kewenangan DPR untuk membahas RAPBN secara terperinci sampai satuan tiga sebagaimana diatur dalam Pasal 157 ayat (1) huruf c sepanjang frasa rincian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009. Serta kewenangan DPR dalam Pasal 15 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Pasal 159 ayat (5) Undang- Undang Nomor 27 Tahun 2009. - Ketiga, tentang perbintangan atau pemblokiran anggaran dalam Pasal 71 huruf g, Pasal 156 huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004. Dan yang keempat, proses dan ruang lingkup pembahasan APBNP dalam Pasal 161 ayat (4) dan ayat (5), dan Pasal 156 butir c angka 2, dan Pasal 161 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009. - Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diajukan oleh presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah. Frasa dibahas bersama menunjukkan proses pembahasan dan persetujuan RAPBN sama-sama dengan pembahasan dan persetujuan sebuah Undang- Undang biasa. Walaupun demikian, RUU APBN selalu harus diajukan Pemerintah, tidak ada yang menjadi inisiatif DPR. Karena itu kalau dicermati dengan teliti struktur dan posisi Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, sekalipun dinyatakan tetap dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah dan DPR, ia tidak diletakkan dalam pasal proses legislasi biasa, yaitu Pasal 20 Undang-Undang Dasar 1945. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 82 www.mahkamahkonstitusi.go.id - Kalau kita lihat struktur Undang-Undang Dasar 1945 kita tahu bahwa pembentukan atau pembahasan RAPBN itu pada ujungnya akan berubah menjadi Undang-Undang. - Tetapi dalam struktur konstitusi kita, pasal untuk legislasi biasa berbeda dengan pasal legislasi untuk fungsi anggaran atau hal terkait dengan keuangan negara. Tentunya pemilihan struktur dan posisi yang begitu memiliki logika yang tidak sederhana. Dalam konteks ini, pada prinsipnya pembahasan RUU APBN oleh DPR lebih sebagai upaya untuk memberikan persetujuan atas rancangan APBN yang disusun oleh Pemerintah. Sebab pemerintahlah yang mengetahui secara detail itemitem pendapatan negara dan program-program yang mesti dilakukan untuk memajukan kesejahteraan rakyat. Sementara DPR berada lebih dalam posisi sebagai wakil rakyat yang harus mengetahui arah penyusunan rencana anggaran dalam tahun ke depan. - Dalam soal struktur dan posisi ini, sepanjang perjalanan praktik penyelenggaraan negara di bawah UUD 1945 tidak pernah terjadi perubahan cara pandang para penyusun Undang-Undang Dasar 1945. Ini dapat dilihat meskipun telah dilakukan perubahan Undang-Undang Dasar 1945 mulai tahun 1999 sampai 2002. Dan hal keuangan negara ini telah dilakukan penambahan sejumlah pasal baru dalam perubahan struktur dan posisinya masih tidak digabungkan dengan posisi legislasi biasa. Padahal, sebagaimana kita ketahui ketika perubahan dilakukan di antara semangat yang berada dalam suasana perubahan adalah bagaimana memperkuat peran DPR. - Dalam faktanya semangat tersebut tidak membuat posisi dan struktur pengaturan pasal-pasal yang menyangkut hal keuangan berubah atau digabungkan dengan pasal-pasal legislasi biasa. - Walaupun begitu, saat ini masih muncul pertanyaan, sampai di manakah batas kewenangan DPR dalam proses pembahasan APBN? Apakah hanya sampai pada level menetapkan pokok-pokok fiskal, kerangka ekonomi makro, dan penetapan prioritas anggaran, atau juga sampai pada level menentukan detail alokasi anggaran, program, dan kegiatan kementerian atau lembaga? Untuk menjawab pertanyaan di atas kiranya perlu membalik Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 83 www.mahkamahkonstitusi.go.id kembali risalah-risalah terkait dengan kelahiran Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, beserta risalah pembahasan perubahan pasal tersebut. - Jika ditilik dokumen pembahasan pembentukan Undang-Undang Dasar 1945 oleh BPUPK tidak terlalu banyak ditemukan ada komentar mengenai pembahasan terkait dengan batas pelaksanaan fungsi anggaran DPR. - Para pendiri negara yang terlibat aktif dalam perumusan UUD 1945 khususnya terkait dengan keuangan dan perekonomian, lebih banyak menghabiskan waktu mereka untuk membahas dan memperdebatkan sendi-sendi dasar perekonomian nasional. Misalnya, apakah menerapakan sistem ekonomi pasar atau sistem ekonomi kerakyatan. Sedangkan terkait dengan bagaimana anggaran disusun, hanya terbaca secara umum dari usul-usul yang dikemukakan anggota BPUPK, di antaranya adalah yang disampaikan Mohammad Hatta. - Hatta menyampaikan tahun keuangan berjalan, dari 1 April setiap tahun sampai 31 Maret tahun berikutnya, yang sekarang itu sudah diubah, rancangan belanja negara untuk tahun yang akan datang dimajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat paling lambat sebulan sebelumnya, sebelum tahun keuntungan yang akan datang itu bermula anggaran belanja ditetapkan dengan Undang-Undang. - Selain Hatta, juga ada pendapat Ulfah yang mengusulkan rencana keuangan negeri untuk satu tahun ditetapkan oleh badan perwakilan rakyat, tambah kepala negara, dan menteri-menteri. - Begitu juga dengan Soepomo ketika berbicara pembahasan dan penerapan pendapatan belanja negara, ia menegaskan peran persetujuan DPR terhadap anggaran pendapatan belanja Negara, Soepomo menyampaikan, “Jadi Pemerintah tiap-tiap tahun wajib minta persetujuan dari dewan perwakilan rakyat untuk menetapkan anggaran penghasilan dan belanja. Inilah yang dinamakan dengan begrotingsrecht dengan perwakilan rakyat.” - Sementara anggota BPUPK yang lain juga menyampaikan usul terkait perekonomian, tidak bicara tentang bagaimana anggaran dibahas dan ditetapkan. Melainkan lebih banyak membahas tentang sumber pendapatan negara, bank sentral, dan pemeriksaan keuangan. - Sebagaimana disinggung di atas, penekanan seperti yang disampaikan Soepomo bahwa peran DPR adalah memberikan persetujuan atas Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 84 www.mahkamahkonstitusi.go.id anggaran penghasilan dan belanja yang diajukan Pemerintah. Fungsi anggaran DPR berdasarkan pernyataan Soepomo di atas berada pada ranah memberikan persetujuan saja. Jika demikian, tentunya posisi DPR dalam membahas APBN hanya sampai pada tingkat memeriksa apakah anggaran yang diajukan Pemerintah telah sesuai atau tidak dengan kebijakan makro yang ditetapkan. Sebab dasar memberikan atau tidak memberikan persetujuan adalah kesesuaian anggaran pendapatan belanja negara dengan kebijakan umum negara yang telah disepakati DPR dan Pemerintah. - Kondisi yang tidak jauh berbeda juga terjadi dalam pembahasan perubahan Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945. Terkait dengan peran DPR dalam penyusunan anggaran karena APBN juga dituangkan dalam undang- undang, maka penyusunan atau pembahasan pun dilakukan secara bersama antara DPR dan Pemerintah. - Hanya saja para pengubah Undang-Undang Dasar tidak sampai membicarakan secara lebih jauh mengenai batas-batas peran DPR dan penyusun APBN. Kalau pun ada yang mengusulkan peran lebih detail sepanjang yang dapat dibaca dari risalah Undang-Undang Dasar 1945 terkait bab keuangan negara, hanya ada satu orang anggota DPR yang memberikan pendapatnya. - Pendapat dimaksud disampaikan oleh Amri Husni Siregar dari Fraksi Reformasi dalam Rapat Komisi A Sidang Tahunan MPR pada tanggal 6 November 2001. Ia berbicara tentang bagaimana meningkatkan peran DPR dalam proses pembahasan RUU APBN, sebab DPR dalam pengalaman yang ada sebelumnya belum sepenuhnya dapat melaksanakan hak budget- nya. - Untuk meningkatkan peran tersebut diperlukan keterlibatan lebih jauh dalam menyusun ABPN. Selengkapnya ia menyatakan, “Ada satu masalah di dalam penyusunan anggaran pendapatan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat senyata-nyatanya belum sepenuhnya bisa melaksankan hak budget-nya. Antara lain misalnya seperti pagu anggaran untuk setiap kementerian, artinya departemen atau tiap sektor masih ditentukan” - Ditambahkan oleh Amri Husni, “Saya punya obsesi dan mungkin kita sepakat bahwa sebetulnya yang namanya hak budget itu mencakup segala Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 85 www.mahkamahkonstitusi.go.id hal mengenai budget termasuk pagu anggaran, kita yang menetapkan. Misalnya sektor pendidikan itu berapa, sektor Departemen Diknas itu berapa, dari mana persentasenya keseluruhan total, baru itu diisi oleh Pemerintah setiap susunannya oleh DPR.” - Pendapat salah seorang MPR di atas setidaknya memberi titik terang atas pertanyaan sampai dimana batas-batas keterlibatan DPR dalam melaksanakan fungsi anggaran. Selain menentukan kerangka ekonomi mikro dan prioritas anggaran, keterlibatan DPR hanya sampai tingkat menentukan pagu anggaran dan/atau besaran alias persentase anggaran bagi masing-masing kementerian dan lembaga. - Membahas dan memberikan persetujuan sampai level menentukan pagu anggaran untuk masing-masing departemen atau kementerian dapat diletakan dalam kerangka bahwa DPR tidak boleh memberi cek kosong bagi Pemerintah atau kementerian dan lembaga. - Dalam hal ini, DPR mesti mengetahui dan menyetujui besaran anggaran masing-masing kementerian di lembaga. Hal ini sekaligus akan menjadi alat ukur bagi Badan Pemeriksa Keuangan dalam memeriksa atas pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara dan sekaligus menjadi basis pengawasan DPR. - Hanya saja menentukan pagu anggaran tidak berarti bahwa DPR juga dapat masuk pada ranah menentukan anggaran setiap program dan kegiatan di masing-masing kementerian atau lembaga. Sebab program dan kegiatan haruslah sepenuhnya dijadikan wewenang Pemerintah untuk menyusun menentukannya. Jika pun akan terlihat DPR harusnya cukup mengawasi apakah program dan kegiatan yang disusun sesuai atau tidak dengan kebijakan umum dan prioritas yang telah ditentukan. - Sebagai lembaga yang diberi fungsi pengawasan, pembahasan, dan persetujuan dalam legislasi RAPBN harus dimaknai secara tepat sesuai dengan fungsi konstitusional tersebut, keterlibatan DPR dalam pelaksanaan pembahasan dan persetujuan harus dimaknai sebagai pintu masuk untuk dapat melaksanakan fungsi pengawasan keuangan negara. - Dalam posisi itu sekiranya DPR ikut menentukan sampai detail anggaran di kementerian dan lembaga, DPR dapat dikatakan memosisikan diri sebagai Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 86 www.mahkamahkonstitusi.go.id Pemerintah atau eksekutif. Dengan posisi seperti itu, DPR sebetulnya menjadi kehilangan legitimasi untuk melaksanakan fungsi pengawasan - Kalau DPR sudah ikut menyusun sampai detail itu sebetulnya tidak lagi fungsi pengawasan, DPR sudah masuk ke ranah eksekutif, begitu dia masuk ke ranah eksekutif sebetulnya dia kehilangan legitimasi untuk meneruskan fungsi pengawasan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Karena itu untuk mempertahankan posisi dan fungsi pengawasan peran DPR dalam membahas persetujuan RAPBN harus dikembalikan kepada makna begrotingsrecht Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana yang dimaksudkan oleh para pendiri negara. - Bagaimana pun, semakin jauh DPR terlibat dalam proses penentuan anggaran, maka tindakan tersebut akan semakin merusak dan merobohkan prinsip check and balances antara DPR dan Pemerintah dalam proses penyusunan anggaran. - Ketiga, terkait dengan perencanaan pembangunan, sebagaimana kita ketahui perencanaan pembangunan dalam kurun waktu tertentu atau tahun tertentu dilakukan oleh Bappenas. Jadi kita tahu bagaimana pembangunan direncanakan itu disusun oleh Bappenas. Lalu perencanaan tersebut didesain dalam anggaran oleh Kementerian Keuangan dalam bentuk berapa uang yang harus dibelanjakan untuk memenuhi desain pembangunan yang telah dipersiapkan oleh Bappenas. - Dalam posisi seperti itu, dengan kewenangan DPR yang bisa masuk terlalu jauh, misalnya sampai kepada satuan tiga maka sangat mungkin terjadi penyimpangan atau disparitas antara apa yang didesain oleh Pemerintah, dalam hal ini Bappenas dan DPR dengan apa yang disepakati di Dewan Perwakilan Rakyat. - Tadi salah seorang Saksi sudah menjelaskan apa dampak dari ini terhadap proses atau perencanaan pembangunan nasional. Yang kita takutkan, semakin jauh pola pembangunan dari apa yang direncanakan maka itu berpotensi menegasikan atau melunturkan makna apa yang ada dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa penyusunan keuangan negara itu dimaksudkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Saya khawatir kalau kemudian DPR bisa mengubah sedemikian rupa apa yang direncanakan oleh Pemerintah Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 87 www.mahkamahkonstitusi.go.id - Yang keempat, terkait dengan legitimasi proses penyusunan APBN maupun APBN-Perubahan. Kita tahu di dalam banyak kasus, banyak mata anggaran karena DPR sudah masuk ke wilayah yang sangat detail yang kemudian diberi tanda bintang oleh DPR. - Lalu tanda bintang ini itu dibahas di luar jalur pembahasan APBN sebagaimana biasanya. Kalau ini mau disigi secara formal, harusnya apapun yang diubah di dalam struktur anggaran, besar anggaran, dan segala macamnya, termasuk menghilangkan tanda bintang, itu harus dilakukan dengan proses penyusunan Undang-Undang biasa. Yang terjadi selama ini adalah penghilangan atau perubahan tanda bintang itu tidak melalui proses penyusunan Undang-Undang biasa. - Jadi Ahli berpandangan, cara-cara seperti itu tidak sesuai dengan prinsip pembetukkan Undang-Undang. Yang kita ketahui karena ini disusun bersama, kalau ada perubahan mestinya juga hasil pembahasan dan persetujuan bersama. - Kalau ada kemudian item-item tertentu yang diubah atau diubah di luar struktur pembahasan biasa ini adalah tindakan yang tidak bisa diteruskan, alias adalah tindakan inkonstitusional.
Zainal Arifin Mochtar - Pada dasarnya, permohonan ini didasarkan atas dalil bahwa terjadi pelanggaran atas Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 oleh karena kewenangan DPR termasuk badan anggaran DPR RI yang terlalu besar dalam kedua Undang-Undang tersebut di atas. - Sehingga tercipta permainan politik transaksi kepentingan di luar kepentingan rakyat, serta menyebabkan praktik pelaksanaan pembahasan anggaran yang membengkakkan kewenangan DPR hingga satuan tiga. - Dalam perkara ini memang terlihat adanya pembengkakan kewenangan yang besar melalui aturan yang mengatur tentang peran DPR, serta implikasinya dalam sistem penganggaran keuangan negara. - Philip Bobbitt dalam cara pandang six modalities of constitutional argument . Yakni satu, cara pandang secara historis. Yang kedua, cara pandang secara tekstual. Yang ketiga, cara pandang secara struktural. Yang Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 88 www.mahkamahkonstitusi.go.id keempat, cara pandang secara doktrinal. Yang kelima, cara pandang secara etika dan yang keenam, adalah cara pandang secara prudential. - Jika dilihat secara historik, dibuka risalah Undang-Undang Dasar 1945. Terlihat jelas dari para pembentuk Undang-Undang ketika itu, perihal kewenangan DPR soal anggaran, yakni berada pada pengesahan atas anggaran yang diajukan oleh presiden yang kemudian beralih menjadi pembahasan bersama dengan DPR, dengan memperhatikan pertimbangan DPD. Hal ini terjadi memang karena kuatnya keinginan, agar DPR berperan lebih dibanding praktik yang terjadi di masa orde baru. Yang mana, pada masa orde baru, DPR sama sekali tidak mengutak-atik anggaran yang disampaikan oleh Pemerintah. Akan tetapi pada pembacaan di risalah ini, sama sekali tidak ditemukan pembicaraan soal batasan kewenangan DPR yang akan membahas hingga secara rinci, hingga sampai unit organisasi fungsi program kegiatan dan jenis belanja. - Bahwa karenanya dapat dimaknai pembahasan yang dilakukan DPR atas usulan Pemerintah setelah melalui pertimbangan DPD. Tidaklah dapat dikatakan hingga praktik satuan tiga. Bahwa artinya, praktik penganggaran yang terjadi di masa terdahulu lebih merupakan praktik yang hadir karena kemampuan penguasaan Pemerintah orde baru terhadap DPR dan bukanlah dikarenakan kelemahan aturan kewenangan anggaran DPR RI. Yang terjadi kemudian, perumusan Undang-Undang Keuangan Negara dan MD3 yang mengarah pada penerjemahan kewenangan DPR RI perihal pembahasan yang menuju ke arah kewenangan absolut. - Yang kedua, dari sudut pandang tekstual. Menarik untuk membahas struktur kalimat Undang-Undang Dasar Tahun 1945 khususnya bab kedelapan tentang hal keuangan. Yang mana pada ayat (2) diatur bahwa Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diajukan oleh Presiden Untuk dibahas bersama dengan DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD. Menariknya, pada ayat (3) yakni ketika DPR tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh presiden. Maka Pemerintah menjalankan APBN tahun berikutnya. Karenanya praktik pembahasan seharusnya dapat lebih diartikan sebagai upaya menuju ke persetujuan yang dilakukan oleh DPR. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 89 www.mahkamahkonstitusi.go.id - Bahwa yang menarik dari tekstual ini kemudian adalah kelahiran badan anggaran yang berperan atau menjadi mirip dengan pengejawantahan komisi-komisi di DPR yang lebih memiliki kewenangan untuk pembahasan terperinci atas anggaran. Apalagi praktik badan anggaran ikut membahas Rancangan Undang-Undang APBN yang belum dibahas, menimbulkan praktik penggelembungan kewenangan anggaran yang dimiliki oleh badan anggaran. Praktik komisi-komisi dan badan anggaran yang melakukan pembahasan hingga satuan tiga ini, tentu saja merupakan kewenangan yang terlampau jauh dibanding tekstual yang seharusnya dimiliki oleh DPR. - Yang ketiga, cara pandang struktural. Cara pandang inilah yang bisa menjelaskan bagaimana seharusnya bangunan sesungguhnya dari kewenangan DPR dalam wilayah anggaran. Bahwa tidak dapat dipungkiri peran parlemen dalam konteks negara demokrasi sangat penting, khususnya dalam melakukan pengawasan terhadap Pemerintah. Dalam hal keuangan, interparlementariunion pada tahun 1986 mengkomparasikan berbagai negara mencatatkan bahwa negara demokrasi di dunia ini pada dasarnya membedakan peran Pemerintah sebagai penginisiasi, dan mempersiapkan, kemudian mengusulkan rancangan Undang-Undang atau the right to initiate and prepare money bills . Perihal pendapatan dan belanja negara. Sedangkan peran parlemen berada pada pengawasan dan persetujuan atas usulan soal pendapatan dan belanja negara (the rights to exercise over side and to authorize the executive to raise revenue and spend money) - Bahwa dalam konteks check and balances , ada tiga tugas penting anggaran negara dalam formulasi anggaran. Persetujuan anggaran dan formulasi anggaran, persetujuan anggaran, dan pelaksanaan anggaran. Tugas formulasi dan persetujuan berada pada dua lembaga, yakni eksekutif dan legislatif. Sedangkan implementasi berada pada tugas birokrasi. Hal ini disebutkan oleh David Samuels dalam “Fiscal horizontal accountability? Toward a theory of budgetary “check and balances” in presidential system. - Bahwa dalam tugas dan fungsi itu, tidak ada satu pun yang bisa menegasikan peran DPR dalam mengubah anggaran yang diajukan Pemerintah. Meskipun ada juga negara seperti Brazil hingga tahun 2000 yang lebih banyak memberikan kewenangan kepada presiden dan tidak Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 90 www.mahkamahkonstitusi.go.id memberikan kewenangan kepada DPR untuk melakukan perubahan apa pun. Sehingga, ini yang sering disebut sebagai ahli, sebagai budget dictators . Tetapi pada dasarnya, DPR punya kewenangan tersebut. Akan tetapi, tidak berada pada wilayah teknis, lebih banyak berada pada wilayah menentukan agenda utama penerimaan dan belanja negara. Apalagi jika dibiarkan, maka legislatif akan kehilangan makna pengawasan contact check and balances karena di awal dia ikut menentukan belanja hingga satuan tiga. - Yang keempat. Secara sudut pandang doktrinal, penyusunan anggaran negara pada pola hubungan Pemerintah dan parlemen, ini menunjukkan adanya problem di wilayah teknis dan demokrasi. Apa yang dimaksudkan wilayah teknis? Sesungguhnya adalah bahwa sulit ditolak kapasitas teknis Pemerintah dalam penyusunan dan mempersiapkan anggaran jauh lebih baik dibanding kapasitas teknis yang dimiliki oleh DPR. Hal ini dikatakan misalnya oleh Warren Krafchik dan Joachim Wehner dalam The Role of Parliament in the Budget Process, Institute for democracy di South Afrika . Dia menyatakan bahwa Pemerintah diisi secara sistem yang merit dengan memperhatikan kapasitas-kapasitas kemampuan teknis, termasuk soal penyusunan anggaran. Sedangkan DPR, diisi melalui politis populis melalui jalur yang nonmerit. Pada konteks inilah, wilayah kewenangan doktrinal memang berada pada wilayah kekuasaan Pemerintah dalam mempersiapkan hal teknis keuangan negara, hingga hitungan teknis tentang belanja-belanja barang, hingga satuan yang paling mendasar. - Bahwa berbanding terbalik dengan DPR yang tidak memiliki kapasitas teknis tersebut, sehingga disematkan padanya lebih pada konteks demokrasi perwakilan rakyat Indonesia yang melakukan penentuan kebijakan makro ekonomi berdasarkan keinginan dan kondisi rakyat Indonesia. Makanya kemudian, dalam konteks tersebut DPR atau parlemen di negara mana pun, itu lebih berperan sebagai penentu arah kebijakan yang lebih bersifat makro dan tidak berada pada wilayah teknis administratif anggaran negara. - Yang kelima. Bahwa secara sudut pandang etik, kondisi DPR saat ini yang sedang mengalami begitu banyak sorotan oleh praktik-praktik kotor di parlemen membutuhkan tindakan negara untuk memperbaiki posisi Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 91 www.mahkamahkonstitusi.go.id tersebut. Praktik DPR yang banyak dikuasai oleh kepentingan elit partai politik maupun kepentingan pribadi dalam sistem pemilu berbiaya mahal membutuhkan pemikiran lebih mendalam perihal porsi yang sebaiknya disematkan kepada DPR. - Artinya, informasi soal kebutuhan rakyat berdasarkan realita sesungguhnya seringkali berbias dengan kepentingan nonrakyat atau kemudian menjadi kepentingan politik. Padahal, seperti yang dikatakan oleh Barry Anderson, legislature required reliable and unbiased information to be able to participate constructively in formulating the budget. - Bahwa sesungguhnya, legislatif sangat membutuhkan hal-hal yang tidak bias dan sangat reliable informasi untuk memberikan peran yang konstruktif di dalam formulasi budget . Ketika ketiadaan itu, maka itu bisa menjadi hambatan etis yang akan menjadi persoalan besar perihal kredibilitas dan akuntabilitas yang sangat diperlukan dalam kaitan keuangan negara. - Bahwa artinya, dengan ketiadaan prasyarat besar soal kemampuan menangkap kepentingan rakyat, maka secara etis sulit untuk menempatkan DPR memiliki kewenangan yang begitu luas. Karena dengan begitu, sangat mudah untuk menuju ke arah penyalahgunaan kewenangan. - Bahwa karenanya cita-cita besar yang diinginkan oleh pembentuk negara ini melalui Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, yakni APBN adalah wujud dari pengolaan keuangan negara dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat lagi-lagi sulit untuk bisa tercipta. - Yang keenam dan yang terakhir. Bahwa secara prudensial, sekian lama praktik sudah berlangsung hampir 10 tahun memberikan kewenangan besar ini telah menempatkan begitu banyak kerugian yang diderita oleh rakyat Indonesia. Praktik-praktik korupsi yang dipertontonkan secara telanjang telah menunjukkan bahwa model peraturan perundang-undangan yang memberikan kewenangan begitu besar kepada DPR, termasuk kepada badan anggaran telah menempatkan DPR menjadi lembaga yang sangat dipersepsikan korup. - Ini terbukti dari berbagai survei yang dilakukan oleh berbagai lembaga. Bahwa hal ini tentu saja merugikan sistem demokrasi itu sendiri karena berpotensi menggerus kepercayaan publik terhadap DPR dan merusak Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 92 www.mahkamahkonstitusi.go.id sistem ketatanegaraan dan demokrasi itu sendiri. Karenanya negara ini punya potensi besar untuk kemudian memperbaiki format dan sistem pelaksanaan penganggaran keuangan negara dengan pelibatan porsi yang terbatas, porsi yang dapat ditentukan secara lebih detail kepada DPR dan Pemerintah. - Oleh karenanya, sangat beralasan menurut saya, alasan Pemohon yang menghendaki dikoreksinya aturan-aturan yang menyebabkan begitu banyak terjadi praktik penyalahgunaan kewenangan tersebut dan karenanya memang segera harus diakhiri.
Iwan Gardono Sudjamitko - Reformasi telah menghasilkan perubahan seperti pergantian presiden, kebebasan bagi pers, parpol dan serikat buruh, Pemilu yang lebih bebas, otonomi daerah, dan amandemen UUD. Namun di era reformasi terjadi gejala negatif yang meningkat adalah korupsi seperti "mark-up" APBN/D, tender/lisensi sumber daya alam, penjualan aset, pembobolan bank, serta manipulasi pajak. Pada saat ini korupsi yang menonjol adalah tiga lembaga yakni DPR-parpol, Pemda, dan Polri yang telah meningkat kekuasaan dan kewenangan mereka setelah reformasi. Analisis sosiologi politik berikut akan membahas struktur dan dinamika kekuasaan antara negara dengan masyarakat dan menunjukkan bahwa: reformasi telah meningkatkan kekuasaan-kewenangan yang besar di ketiga lembaga tersebut namun tanpa kontrol dan akuntabilitas publik yang memadai sehingga meningkatkan korupsi. Hal ini sesuai dengan dalil Lord Acton, "Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely." - Realitas Korupsi: Analisis gambar besar korupsi akan lebih jelas jika dilihat dengan pendekatan realisme kritis yang melihat gejala berlapis, tiga dimana peristiwa ("event") berada di lapis atas, mekanisme di tengah, serta struktur di bawah (Danermark, dkk, 2002). Pada lapis atas atau permukaan terlihat pelaku yakni para elit DPR-parpol, Pemda (menurut Kemendagri, hampir 300 gubernur, bupati, walikota serta wakilnya), dan Polri. Namun kasus yang belum terungkap diketiga lembaga tersebut masih banyak. Pelaku korupsi ini merupakan luaran ("output") yang dihasilkan oleh "mekanisme negatif yang berada dilapis tengah yang terdiri dari kelompok dan jaringan seperti mafia yang canggih dan terorganisir serta lintas lembaga: DPR, Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 93 www.mahkamahkonstitusi.go.id khususnya Banggar, Kementerian, Polri, Pemda, pengusaha, parpol dan makelar. "Mekanisme negatif yang dominan adalah "mark-up" APBN/D dan bagi bagi proyek di ketiga lembaga tersebut dan pemberian lisensi (HPH, tambang) di Pemda. Keadaan ini disebabkan oleh kebutuhan akan dana pemilu dan pilkada ("politik uang") dan kas parpol selain untuk konsumsi (gaya hidup) pelakunya. Berbagai faktor mendukung hal ini seperti peraturan yang multitafsir atau "abu-abu" yang telah dirancang dengan sengaja serta kerahasiaan yang tinggi dalam pelaksaan kegiatan atau proyek. - "Mekanisme Positif ': Namun tidak semua anggota DPR, Polri dan Pemda berada di "mekanisme negatif karena ada juga "mekanisme positif yang fungsional sebagai koreksi terhadap korupsi. Di Pemda terdapat pimpinan (gubernur, bupati, walikota) yang berprestasi membangun daerah. Demikian juga di DPR dan Polri masih ada pejabat yang menghasilkan kebijakan dan tindakan yang reformis. Mereka yang melakukan koreksi ini dapat disebabkan oleh faktor moral, agama dan idealisme dan disini terlihat bahwa "kesempatan" korupsi tidak digunakan karena ada "niat" (kuat) yang menentangnya. Dalam beberapa kasus terdapat peran dari orang dalam atau " whistle-blowers " yang membantu membongkar korupsi merupakan mekanisme positif internal. - Perubahan Struktur: Mekanisme negatif disebabkan oleh perubahan struktur kekuasaan dan kewenangan, seperti UU tentang DPR, Otonomi Daerah, Polri, yang terjadi setelah reformasi. Keadaan ini "membebaskan" DPR yang hanya dianggap "stempel" dari pemeritah sehingga menjadi lembaga yang sangat kuat (" legislative-heavy "). Namun transparansi dan kontrol pada DPR tidak meningkat walaupun sudah ada UU Keterbukaan Informasi Publik sejak tahun 2010. Selain itu mayoritas warga dapil seringkali pasif dan tidak atau kurang peduli untuk mengontrol anggota DPR. Demikian pula desentralisasi dan otonomi daerah memperkuat Pemda karena "Iepas"nya mereka dari kontrol pusat (Kemendagri) tanpa penguatan masyarakat daerah sehingga terjadi kekuasaan-kewenangan berlebih (" power-authority surplus "). Di beberapa negara, masyarakat lokal diperkuat sebelum atau saat desentralisasi, misalnya pemberdayaan warga Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 94 www.mahkamahkonstitusi.go.id desa di India atau komunitas akar rumput di Bolivia sehingga kekuasaan pemda dapat diimbangi (" checks and balances ") dari bawah oleh masyarakat. Dalam kasus Polri, reformasi telah "membebaskan" Polri dari kontrol ABRI-TNI dimana sekarang mereka berada di bawah Presiden dan memperoleh anggaran yang sepuluh kali lebih besar dari Rp. 3.2. triliun di 1999 menjadi Rp. 39.8 triliun di 2012. Namun kontrol pada mereka (anggaran, penanganan kasus, promosi anggota) relatif lemah oleh Kompolnas yang memang tidak diberi kewenangan yang cukup; - Memberantas Korupsi: Pemberantasan korupsi diketiga lembaga tersebut dapat dilakukan dengan pengawasan dan penindakan pada pelaku atau aktor di lapisan atas dan kelompok dan jaringan di lapisan tengah. Pada lapisan bawah atau struktur diperlukan revisi atau pembatalan peraturan yang memberi peluang korupsi. Pada lapisan atas telah dilakukan koreksi ekstemal oleh warga, organisasi masyarakat serta lembaga seperti BPK, BPKP, PPATK, KPK dan pengadilan. Selain itu, koreksi ini dapat dilakukan secara internal oleh Badan Kehormatan DPR, Inspektorat di Pemda dan Polri. Selama ini telah terdapat tindakan, misalnya Badan Kehormatan DPR yang mengawasi perilaku anggota DPR. Pada Pemda telah dilakukan berbagai upaya transparansi dan koreksi, misalnya APBD Kabupaten harus disetujui Propinsi dan Propinsi oleh Kemendagri. Sementara itu, solusi yang ada di Polri sekarang adalah sosialisasi anti KKN dan peran Kompolnas. Peningkatan peran pimpinan DPR, Pemda dan Polri yang lebih tegas dan anti korupsi sebagai aktor kekuasaan sangat dibutuhkan sebagai agen pembaruan di ketiga lembaga tersebut. - Revisi oleh DPR, Pemda, Polri: Pada lapisan bawah atau struktur diperlukan revisi peraturan guna membatasi kekuasaan atau kewenangan pihak yang berpotensi mendukung korupsi. Revisi peraturan diketiga lembaga tersebut dapat dilakukan oleh mereka sendiri seperti UU oleh DPR dan Pemerintah, revisi Perda oleh Pemda dan berbagai aturan Polri oleh pimpinan Polri. Pemerintah (Kemendagri) perlu melanjutkan pembatalan Perda bermasalah dan rencana Kemenkeu memberi insentif dan disinsentif fiskal pada Pemda (Kompas, 1 Juli 2013). DPR dan pemerintah perlu merevisi UU Kepolisian sehingga terjadi kontrol yang lebih kuat yang perlu Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 95 www.mahkamahkonstitusi.go.id dilakukan oleh Kompolnas yang diperkuat dan Kompolda (Komisi Kepolisian Daerah). Demikian juga perlu dibentuk lembaga dengan kewenangan lebih besar setingkat kementerian (misalnya, Kementerian Kepolisian atau Keamanan Publik) seperti TNI yang dikontrol oleh Kemenhan, khususnya dalam anggaran. - Peran MK, MA , MPR: Selain itu peraturan di DPR, Pemda dan Polri dapat dibatalkan atau dikoreksi oleh MK untuk Undang-Undang dan MA untuk peraturan dibawah Undang-Undang jika ada yang memohon pengujian peraturan tersebut. Dalam hal ini MK sebagai " negative legislator " dapat melakukan koreksi Undang-Undang politik, Pemilu dan lembaga negara, agar mencegah kesempatan korupsi oleh anggota DPR. Demikian juga peran MA yang membatalkan berbagai aturan dibawah Undang-Undang yang memberi kesempatan korupsi. Memberantas korupsi perlu dilakukan pula oleh MPR dalam amandemen ke 5 dengan mencantumkan lembaga anti korupsi (KPK) dan korupsi di UUD seperti di Filipina. UUD bukan hanya berisi cita-cita bangsa namun harus juga mencantumkan hambatannya dan korupsi dianggap oleh 87% responden sebagai salah satu masalah besar di Indonesia (Roy Morgan Research, the Jakarta Post, June 25, 2013). - Peran negara dan Masyarakat: Upaya yang penting untuk memberantas korupsi adalah dengan diberiakukannya "portal transparansi" di DPR, Pemda dan Polri maupun lembaga negara lainnya. Hal ini berguna untuk menghilangkan kerahasiaan informasi yang sebenarnya bukan rahasia dan dapat diakses oleh publik. Kerahasiaan yang salah dan palsu ini menghasilkan kekuasaan dan kewenangan berlebih yang berpotensi besar untuk korupsi. Dengan "portal transparansi" ini kontrol oleh publik dapat dilakukan pada lapis atas (pelaku), tengah (jaringan) maupun bawah (peraturan yang ada). Peningkatan kontrol terhadap kewenangan ini akan mencegah kesewenangan dan korupsi. Pola seperti ini terdapat di Brazil dan Timor Leste, dimana semua data yang boleh diketahui publik disediakan secara sangat rinci dan sangat mudah diakses oleh warga melalui internet. Dengan sistem ini, penerimaan dan pengeluaran Pemerintah Federal Brazil atau proyek seperti pembangunan jembatan di Timor Leste dapat diakses melalui internet. Ketersediaan informasi ini dapat Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 96 www.mahkamahkonstitusi.go.id menginklusi dan memberdayakan masyarakat, khususnya warga, universitas, LSM, intelektual, dan media untuk melakukan kontrol dan koreksi secara masalyang berkelanjutan sehingga terjadi gerakan sosial memerangi korupsi. Upaya mengatasi korupsi yang dilakukan oleh negara dan masyarakat akan menghasilkan "Perang Rakyat Semesta" terhadap korupsi sehingga dapat mengurangi korupsi secara nyata dan hasilnya akan terlihat dalam berbagai indikator korupsi. Keberhasilan mengatasi korupsi akan meningkatkan kualitas masyarakat Indonesia menjadi lebih adil dan makmur, namun jika gagal akan terjadi keadaan yang sebaliknya. - Pembahasan terdahulu menunjukkan peningkatan penyimpangan yang terjadi pada DPR, khususnya Badan Anggaran, sehingga timbul pertanyaan apakah hal ini terjadi karena peran aktor dan jaringan atau peraturan/norma (UU Nomor 17/2005 dan UU Nomor 27/2009) yang memberi peluang dan bertentangan dengan UUD Pasal 23 ayat (1) UUD 1945? Hal ini menunjukkan bahwa kasus di Badan Anggaran DPR ini memang disatu pihak dapat disimpulkan merupakan pelanggaran norma yang dilakukan oleh beberapa anggota Badan Anggaran. Namun dilain pihak dapat juga dikatakan apakah aturan/norma yang ada kurang dapat mencegah penyimpangan yang ada? Apakah aturan (Undang-Undang) yang ada bersifat ambigu, kurang mencerminkan atau bertentangan dengan UUD? - Pembahasan dalam butir 8 menunjukkan bahwa salah satu faktor yang berperan mendukung korupsi adalah adanya "kerahasiaan palsu atau salah" mengenai sesuatu yang seharusnya tidak dirahasiakan. Dalam hal ini informasi mengenai proses dan hasil APBN seringkali tidak transparan seperti yang diajukan oleh Pemohon (Butir II.B. halaman 27 dan 28). Bahkan kerahasiaan ini terjadi didalam DPR sendiri dimana dalam satu kasus, pimpinan DPR serta Komisi (BUMN) kaget dengan adanya anggaran sebesar Rp. 5,75 triliun yang belum disetujui namun muncul dalam sidang paripuma. Hal ini disebut oleh seorang politikus sebagai "penyelundupan anggaran" (Tempo, 4 Agustus, 2013: 99-102). - Jelaslah bahwa "kerahasiaan palsu" ini telah berpotensi mendorong tindakan dan potensi korupsi seperti yang dibahas para pemohon (YLBHI, FITRA, IBC, ICW, Sdr Ferl Amsari, Sdr. Hifdzil Alim) yakni: (halaman 33-34). Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 97 www.mahkamahkonstitusi.go.id 11.1. Kewenangan membahas RUU APBN sebelum dibahas oleh Komisi- komisi.
Rimawan Pradiptyo - Melihat keberatan dari Pemohon ada beberapa poin, khususnya adalah pertama tentang kewenangan DPR untuk membahas RAPBN secara terperinci sampai satuan tiga, kemudian mekanisme perbintangan ataupun juga pemblokiran anggaran dan oleh banggar, yang ketiga adalah proses dan ruang lingkup pembahasan APBNP. - Sebagai peneliti di bidang crime economics atau law and economics , ahli banyak mendalami terkait dengan masalah korupsi dan korupsi yang ada di Indonesia, itu adalah sebenarnya bukan lagi korupsi yang sistemik; - Jadi kalau di Indonesia sebenarnya dari research yang kami lakukan sifat korupsi yang ada di Indonesia bukanlah korupsi yang sistemik, tidak lagi korupsi yang sistemik, tetapi merupakan korupsi yang bersifat struktural. Yaitu adalah korupsi yang terjadi akibat sistem yang berlaku di suatu negara cenderung memberikan insentif yang lebih tinggi untuk melakukan korupsi Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 99 www.mahkamahkonstitusi.go.id daripada insentif untuk mematuhi hukum, atau hukum sengaja dibuat agar tidak kredibel. - Hal ini disebabkan oleh perumusan kebijakan yang tidak berorientasi pada optimalisasi kemakmuran masyarakat, perumusan kebijakan yang mengedepankan rasionalitas pribadi daripada mengedepankan rasionalitas subjek, dan yang terakhir adalah perumusan kebijakan yang tidak didasarkan pada studi mendalam berdasarkan fakta atau hard evidence , namun lebih dipengaruhi oleh kepentingan politik jangka pendek. - Apa yang terjadi sekarang adalah terjadi perubahan struktural dari yang dahulu adalah kita sebenarnya pemerintahnya adalah otoriter, sekarang menjadi demokrasi dan kita menghadapi suatu paramida yang berbeda; - Peran politisi sangat besar sekali dan kekuasaan politisi sangat besar sekali. Berikutnya, namun kemudian yang kalau kita lihat, bangun yang kita miliki ini sebenarnya seolah-olah bisa diandaikan kita mesinnya itu adalah tetap mesin orde lama, tetapi bungkusnya itu adalah bungkus reformasi. Seperti halnya kalau kita ibaratkan kita memiliki Colt 120, mesinnya Col T 120 tetapi badannya itu adalah badan Alphard. Seolah-olah canggih, tapi sebenarnya di dalamnya itu terjadi permasalahan yang sangat mendasar. Bangun birokrasi masih didasarkan pada sistem orde baru, DPR masih minim fungsi legislasi, namun kuat di fungsi anggaran. Terdapat kecenderungan peningkatan peran DPR, seolah-olah DPR menjadi eksekutif; - Permasalahan yang mendasar di Indonesia adalah banyaknya kebijakan yang tidak didasarkan pada teori. Misalkan adalah optimalisasi anggaran oleh banggar, tidak ada optimalisasi anggaran oleh banggar. Yang ada adalah maksimalisasi anggaran, karena maksimalisasi anggaran nantinya akan dipergunakan untuk alokasi di bidang-bidang yang sebenarnya tidak optimal. - Berikutnya, yaitu adalah identifikasi tentang kompleksitas peraturan di Indonesia. Jadi kalau kita lihat di sini, banyak keanehan di Indonesia. Ada fenomena tetapi tidak ada peraturan, ada peraturan tetapi tanpa dasar teori. Contohnya adalah BBM bersubsidi, optimalisasi BBM oleh Banggar tidak ada teorinya. Peraturan dibuat tanpa memperhitungkan rasionalitas pelaku, Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 100 www.mahkamahkonstitusi.go.id yaitu adalah Undang-Undang MD3, kewenangan banggar hingga satuan tiga. - Boleh saja data ada di depan kita, tetapi sebesar apa pun kekuatan kita dalam melihat data itu sangat terpengaruh oleh kekuatan rasionalitas kita dan sudah banyak bukti yang ada di dalam behavior economics , bahwa manusia tidak memiliki rasionalitas yang terbatas tapi memiliki apa yang disebut dengan bounded rationality . - Apa sebenarnya peran dari APBN? Peran APBN itu sebenarnya ada tiga, yaitu adalah pembiayaan, penyediaan barang publik, dan layanan masyarakat. - Merupakan bentuk campur tangan Pemerintah mengatasi kegagalan pasar dan eksternalitas, serta stimulus ekonomi. - Berikutnya, permasalahan yang terjadi adalah setiap kali kita memiliki gelombang konjungtur di dalam perekonomian, pertanyaannya, apakah kita siap untuk kemudian menghadapi boom ataupun krisis? Problemnya adalah kita tidak memiliki dana cadangan untuk menghadapi krisis. Jadi kalau kita lihat, APBN tidak ada bedanya sebenarnya dengan bagaimana kita menganggarkan untuk rumah tangga kita. Itu sebabnya setiap rumah tangga mungkin memiliki Tahungan. Saving itu digunakan selain untuk pembelanjaan di masa depan, dan juga untuk berjaga-jaga, motif berjaga- jaga. Saat ini kita sedang menuju ke dalam kondisi depresi, kondisi krisis. - Pertanyaannya adalah adakah dana Pemerintah untuk menanggulangi krisis. Ini yang terlihat bahwa apa pun yang kita miliki itu selalu di- spend . Ketika kita dalam kondisi minyak satu, minyak dua; - Berapa pun yang kita pendapatan yang kita miliki itu semuanya digunakan untuk APBN. Hal yang sama juga terjadi dalam kondisi krisis moneter. Semuanya sama, tidak ada perbedaan. Idealnya kalau kita melakukan counter cyclical , maka dalam kondisi bum, maka akan lebih banyak dilakukan saving . Lalu ketika dalam kondisi krisis, dia akan dilakukan ekspansi fiskal, namun ini tidak terjadi. - Apa dampak dari Undang-Undang MD3? Pada tahun 2001, asumsi makro dibahas di rapat kerja banggar waktu itu dan hanya dibutuhkan waktu dua setengah jam dan tidak diperlukan seorang menteri untuk datang. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 101 www.mahkamahkonstitusi.go.id - Setelah adanya MD3, lalu kita mengalami tsunami Aceh dan juga peningkatan ICP yang sangat tinggi pada saat itu sehingga Pemerintah terpaksa harus berkonsultasi dengan DPR secara intensif dan dimungkinkan di sini diciptakanlah apa yang disebut dengan APBNP. Benar bahwa APBNP ada di dalam koridor MD3. Tapi pertanyaannya adalah mengapa APBNP harus digunakan? APBNP hanya bisa digunakan kalau memang ada shock yang dari eksternal maupun dari internal yang itu tidak sesuai dengan asumsi dasar yang awalnya itu ditetapkan. - Ketika ada tsunami Aceh, ada peningkatan ICP, wajar kemudian kalau kita memiliki APBNP. Pasca itu sampai tahun 2012 tidak ada tsunami, tidak ada gunung meletus, tetapi mengapa setiap tahun selalu ada APBNP? Ini adalah kesalahan sejarah; - Kita lihat tatib DPR 2005-2009 Pasal 39, Banggar membahas dan mengajukan usul penyempurnaan RAPBN dengan Pemerintah. Yang lebih dahsyat lagi adalah Tatib DPR Tahun 2010-2014 Pasal 61 dan Pasal 65, “Tugas Banggar, satu, bersama Pemerintah menentukan kebijakan fiskal dan prioritas anggaran tiap kementerian dan lembaga.” Ini adalah kewenangan yang sudah terlalu jauh, mengapa tidak ditambahkan saja kebijakan fiskal dan moneter? Sehingga kebijakan fiskal itu adalah kewenangan dari Pemerintah, terutama Kementerian Keuangan. Dengan demikian, sepertinya yang terjadi seperti ini, DPR itu sudah melangkah menjadi eksekutif. - Bahwa tata tertib DPR ini terkait dengan kepentingan internal, mengatur secara internal. Tapi ketika berhadapan dengan Pemerintah, tidak pelak lagi bahwa SOP internal ini akhirnya ditularkan ke eksternal. Ini yang menjadi masalah. - Permasalah yang lain adalah legislatif kurang memiliki informasi dan pengetahuan teknis terkait dengan penyusunan APBN, sehingga kita mendapatkan asymmetric information dan asymmetric capability . DPR tidak dibantu oleh lembaga dengan kapasitas memadai seperti OCB ataupun juga GAO yang ada di Amerika. DPR juga tidak dibantu lembaga independen yang paham tentang APBN. Masalahnya adalah seringkali asumsi makro sering menjadi altar message untuk evaluasi Pemerintah. Ini yang salah kaprah. Seperti kita ketahui, asumsi makro adalah asumsi untuk Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 102 www.mahkamahkonstitusi.go.id penerimaan dan asumsi tidak harus ditepati. Tetapi mengapa untuk membahas asumsi makro, seorang Kepala BKF harus menyisakan waktu 15 hari kerja untuk membicarakan asumsi makro. - Tentang optimalisasi anggaran, ini adalah teori ekonomi yang membicarakan optimalisasi anggaran. Ada dua hal, yaitu adalah maksimalisasi kesejahteraan atau meminimalisasi biaya. - Yang disebut dengan optimalisasi itu berbeda dengan maksimalisasi. Maksimalisasi itu tidak ada kaitannya dengan constraint , tidak ada pembatasnya, tetapi optimalisasi itu selalu ada batasnya. Yang satu bergerak ke kiri, yang satunya bergerak ke kanan. Itu yang akan kita lihat dari sini, yaitu adalah optimalisasi, maksimalisasi kesejahteraan, atau minimalisasi biaya. - Apa yang dilakukan Banggar adalah maksimalisasi biaya, maksimalisasi anggaran. Jadi, BL-1 itu adalah RAPBN dengan x itu adalah kondisi alokasi RAPBN. Kemudian Banggar melakukan permainan, mencoba menggeser yang namanya asumsi makro agar asumsi makro ini kelihatan optimal untuk didongkrak kemudian. - Perbedaan antara x-1 dengan x-2 yang ada di atas sana, itu akan digunakan nantinya untuk alokasi-alokasi yang sifatnya sebenarnya mungkin tidak diperlukan. Kasus-kasus seperti Hambalang, kasus-kasus seperti Wisma Atlet, kasus-kasus seperti pengadaan Al quran, ini terkait dengan masalah hal-hal seperti ini. Ini yang merupakan salah satu dari korupsi struktural. - Potensi korupsi di penganggaran itu ada di mana? DPR memiliki hak budget. Tapi, mengapa kalau DPR memiliki hak budget , DPR tidak memiliki kewajiban budget? Mengapa kewajiban budget ada di birokrat, namun hak budget ada di DPR? Bagaimana pertanggungan DPR dengan alokasi sumber daya melalui hak budget bahwa itu adalah yang terbaik bagi perekonomian? Masalah koordinasi antara komisi-komisi dan Banggar ini bermasalah. Komisi sudah melakukan pembahasan, tapi itu seringkali dianulir oleh Banggar dan demikian sebaliknya. - Konsep-konsep tentang dana aspirasi, ini juga bermasalah. Level pembahasan mengapa harus satuan III, kenapa tidak di satuan II seperti Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 103 www.mahkamahkonstitusi.go.id yang ada di negara-negara maju? Bagaimana DPR menindaklanjuti hasil dari BPK? Ini adalah hal yang lain. - Sistem pembahasan APBN kita adalah ultra myopic , kita hanya melihat APBN Tahun 2013 adalah APBN Tahun 2012 ditambah 10% sampai 15%. - Di negara lain, modelnya adalah tiga tahunan, itu sebabnya kemudian mereka memiliki APBNP. Tapi di Indonesia itu aneh, satu tahunan dan ada APBNP. Satu tahun itu adalah anggarannya, pelaksanaannya hanya enam bulan, proyek yang berjalan sebelum bulan Mei. Dan pada tanggal 14 Desember, seluruh proyek harus sudah tutup. - Ada enam asumsi makro, tiga di antaranya adalah faktor eksogen yang tidak bisa dikontrol sama sekali. Pertama ICP, lifting minyak, dan kurs ini adalah tidak bisa dikontrol tiga yang lainnya itu dikontrol itu adalah inflasi, pertumbuhan ekonomi dan tingkat bunga. - Problemnya adalah kemudian mengapa pembahasan asumsi makro sampai bertele-tele? Yang kedua adalah mengapa pertumbuhan ekonomi selalu di dorong agar tinggi karena dampaknya adalah mencari gap itu tadi dan ini tidak rasional, dalam kondisi sekarang, di dalam perekonomian di mana agregat demand itu turun karena resesi perekonomian dunia tidak logis untuk kemudian mematok pertumbuhan ekonomi 6,5%. Sangat tidak logis, tapi pertumbuhan ekonomi yang ada di APBN itu bukan merupakan estimasi yang terbaik dari para pakar yang paham di bidang APBN, tapi merupakan bargaining dari BKF dan kemudian Banggar dan Banggar selalu meminta yang lebih tinggi dari pada apa yang yang bisa di- achieved oleh perekonomian ini. Sehingga akan mengakibatkan apa yang disebut dengan over heating . - Pra 2005 dan pasca 2005 atau pun 2005, lima tahun-lima tahun ke depan, kalau kita lihat antara APBN dan realisasi tidak ada satu pun asumsi makro itu yang tepat karena memang ini adalah asumsi. - Dalam penyusunan APBN yang rasional berikutnya, berikutnya lagi, saya ingin masuk langsung kepada public choice theory . Bagaimanapun juga yang namanya partai politik itu memiliki tujuan memenangkan Pemilu, politisi itu menginginkan terpilih lagi sebagai anggota parlemen, dan pengambilan keputusan untuk kebijakan ekonomi selalu merupakan terdiri dari hubungan di antara kelima bidang ini. Di mana ke lima agen ini sering Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 104 www.mahkamahkonstitusi.go.id kali memiliki tujuan yang berbeda beda, sehingga di sini hasil dari kebijakan Pemerintah biasanya suboptimal ditinjau dari kacamata ekonomika, tetapi kebijakan akan semakin tidak optimal lagi jika legislatif berusaha berperan sebagai sang eksekutif atau sebaliknya. - Yang dilakukan selanjutnya adalah kita memunculkan apa yang disebut dengan evidence based policy yang terjadi di Indonesia adalah salah kaprah bahwa penyerapan itu menjadi key performance indicator dari Pemerintah. Selalu, ketika bulan Juli orang selalu mengatakan penyerapan baru 30%, penyerapan baru 20%. - Harusnya pertanyaan yang harus kita berikan adalah jika kita memiliki 1.500 triliun di bulan Januari, lalu pertanyaannya, setelah bulan Desember berikutnya kira-kira kesejahteraan masyarakat akan meningkat berapa persen? Itu yang disebut dengan evidence based policy yang didasarkan pada outcome measure dan bukan didasarkan pada output. - Penyerapan adalah output sementara kesejahteraan itu adalah outcome , kalau kita hanya berbicara outcome measure-nya adalah output tidak ada bedanya dengan di keluarga kita memiliki 4 ahli penyerapan, yaitu adalah anak-anak kami yang masih kecil sering kali minta Choki-Choki dan lain sebagainya, itulah ahli penyerapan. Apakah Pemerintah, kementerian dan lembaga disamakan dengan anak kecil? Ini yang menjadi masalah. Sehingga yang harus dimunculkan adalah evidence based policy dengan menggunakan economic evaluation yang gunanya untuk memonitoring pelaksanaan program kebijakan dan evaluasi dampak program dan kebijakan. - Berikutnya, sistem penyusunan anggaran yang rasional adalah terkait dengan optimalisasi alokasi sumber daya, bisa minimalisasi biaya, bisa maksimalisasi welfare , tetapi optimalisasi koordinasi lembaga ada legislatf aktif atau eksekutif aktif. Yang dimaksud dengan kata aktif adalah adanya koordinasi dan pembagian kerja yang jelas antara legislatif dan eksekutif. Pihak yang aktif adalah pihak yang memiliki informasi terbaik dan kapasitas sumber daya manusia yang terbaik dan sayangnya hal itu tidak berada pada banggar atau pun juga DPR. - Bahwa dari data mengenai distribusi pendidikan anggota DPR terdapat fakta bahwa di sana masih ada yang berpendidikan SLTA. Sementara kalau Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 105 www.mahkamahkonstitusi.go.id di BKF misalkan tidak ada staf BKF yang umurnya lebih dari 50 tahun dan sebagian besar mereka adalah doktor bahkan eselon IV pun itu adalah seorang doktor. Lalu pertanyaannya, bagaimana ketika mereka harus berinteraksi sementara hak anggaran itu sebagian besar ada di DPR? Ini yang menjadi asimetris sebenarnya. - Fakta menunjukan kapasitas SDM DPR lebih lemah dari pada eksekutif. Akses informasi anggota DPR tidak sebaik eksekutif. Kekuasaan eksekutif lebih terbatas dan lebih terkontrol atau lebih terkontrol dari pada DPR. Eksekutif tidak memiliki insentif untuk melakukan political business cycle . Rekomendasi kami adalah DPR dan eksekutif seharusnya menentukan kebijakan jangka panjang perekonomian. Misalkan, pernahkah kita berpikir bagaimana Indonesia 1.000 tahun yang akan datang? Kita tidak pernah berpikir seperti itu, karena yang kita pikirkan hanyalah enam bulanan dan bahkan hanya satu tahunan saja. - Kita tidak pernah berpikir bagaimana menciptakan Indonesia 300 tahun? Itu yang dilakukan oleh bangsa-bangsa besar seperti Inggris dan bahkan bangsa-bangsa tetangga kita seperti Malaysia dan Singapura. - Eksekutif diperkenankan menyusun RAPBN sampai satuan tiga dan legislatif memastikan atau mengawasi efektivitas dan efisiensi APBN, maksimal hingga ke satuan dua saja. Yang keempat adalah efisiensi dan efektivitas APBN, dimonitor dan dievaluasi dengan menggunakan analisis economy evaluation atau impact evaluation , sehingga yang diukur itu adalah bukan lagi penyerapan, tetapi adalah outcome measure -nya, yaitu adalah seberapa besar peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Pemohon juga mengajukan 1 (satu) orang saksi bernama Yuna Farhan yang didengar keterangannya di bawah sumpah dalam persidangan tanggal 25 Juli 2013, yang pada pokoknya sebagai berikut: - Saksi memaparkan kesaksian mengenai hasil pemantauan FITRA dalam proses pembahasan anggaran di DPR selama 10-12 tahun; - Hasil pemantauan dan kajian yang dilakukan FITRA terkait dengan fungsi anggaran DPR dalam melakukan pembahasan Undang-Undang APBN. Terdiri dari kewenangan fungsi anggaran DPR, khususnya pada Badan Anggaran. Kemudian pembahasan rincian anggaran, pembahasan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 106 www.mahkamahkonstitusi.go.id anggaran di luar siklus anggaran, blokir anggaran atau tanda bintang, dan perubahan anggaran. - Konstitusi menyatakan salah satu fungsi DPR adalah fungsi anggaran. Fungsi anggaran ini dijabarkan dalam kedua undang-undang, yaitu Undang- Undang Keuangan Negara dan Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Di mana salah satu yang diamanatkan adalah pembentukan alat kelengkapan Badan Anggaran, yang salah satu tugasnya adalah membahas kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok pembahasan pokok- pokok kebijakan fiskal. - Berdasarkan hasil pemantauan sejak diberlakukannya Badan Anggaran yang bersifat tetap, saksi melihat bahwa fungsi Badan Anggaran cenderung tumpang tindih, khususnya dengan tugas yang juga dimiliki oleh alat kelengkapan lain yang berada di DPR, yaitu Komisi XI yang juga membahas berkaitan dengan asumsi ekonomi makro dan juga dengan Komisi VII yang juga membahas soal ICP dan produksi minyak, yang ini juga terkait dengan asumsi ekonomi makro. - Pada praktiknya, asumsi ekonomi makro yang dibahas pada tingkat komisi ini juga masih dapat berubah pada pembahasan di tingkat Badan Anggaran. Saksi melihat ada dua kali pembahasan, yang pertama pembahasan di Komisi VII dan di Komisi XI. Kemudian nanti pada saat dibahas kembali pada saat pembahasan di Badan Anggaran dan ini juga masih dapat berubah. - Seperti kita ketahui banyak yang beranggapan, termasuk juga anggota DPR bahwa fungsi anggaran hanya melekat pada Badan Anggaran, padahal fungsi ini melekat pada setiap anggota DPR. Dalam dalam ketentuan, DPR dapat membahas anggaran yang mengakibatkan berubahnya anggaran. Baik pada sisi pendapatan maupun belanja, sepanjang tidak melebihi batasan defisit. Namun pada praktiknya, fungsi anggaran untuk mengubah pendapatan dan belanja terletak pada Badan Anggaran. - Pada saat Pemerintah mengajukan RAPBN kepada DPR, Badan Anggaran akan membahas secara agregat proyeksi kebijakan pendapatan belanja dan pembiayaan, dan juga asumsi ekonomi makro dimana hasil pembahasan pada asumsi ekonomi makro ini dapat menghasilkan sejumlah Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 107 www.mahkamahkonstitusi.go.id alokasi anggaran dari hasil optimalisasi, atau ini yang sering dikenal dengan dana optimalisasi. - Sebagai gambaran, jika Pemerintah mengajukan pendapatan Rp 1.000 triliun, kemudian mengajukan belanja Rp 1.100 triliun, DPR bisa melakukan perubahan pendapatan menjadi Rp 1.100 dan belanjanya misalnya berkurang menjadi Rp 1.000 triliun, maka akan diperoleh dana optimalisasi sebesar Rp 200 triliun. - Persoalannya tidak ada satu pun ketentuan yang mengatur bagaimana mekanisme pengalokasian dana optimalisasi ini. Meskipun dana optimalisasi juga dihasilkan pada saat pembicaraan pendahuluan APBN atau pembahasan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal pada bulan Mei dan Juni, namun dana hasil optimalisasi hasil pembicaraan pendahuluan ini juga masih dapat berubah kembali pada saat pembahasan anggaran pasca presiden menyampaikan nota keuangan dan RAPBN ke DPR. - Umumnya, dana optimalisasi ini baru diputuskan atau diketahui pada saat menjelang akhir pembahasan anggaran. Karena pembahasan anggaran dilakukan secara bersamaan antara Komisi dan Badan Anggaran. Akibatnya terjadi penambahan anggaran pada kementerian/lembaga, pada mitra-mitra komisi yang dimana mitra-mitra komisi dan kementerian/ lembaga ini harus segera membuat dan dibahas rincian kegiatannya, baik rincian kegiatan baru ataupun penambahan volume. - Seperti biasa dana optimalisasi ini juga sangat rawan terhadap penyimpangan karena pada praktiknya, beberapa tambahan anggaran seperti kasus-kasus praktik korupsi yang terjadi saat ini, dana optimalisasi, kemudian dana optimalisasi ini bisa digunakan sebagai dana penyesuaian. Kemudian Wisma Atlit, kasus Hambalang, dan pengadaan Al quran di mana semua ini diperoleh dari dana optimalisasi. - Sebagai gambaran, saksi memiliki data mengenai dana optimalisasi RAPBN dan APBN 2013. Sebagai gambaran misalnya pendapatan RAPBN yang diajukan Pemerintah 2013 adalah Rp1.500 triliun. Kemudian belanja Rp1.600 Triliun. Kemudian setelah dibahas oleh DPR, pendapatan dan belanja ini bisa bertambah atau pun berkurang. Jadi kita lihat dipendapatan itu berkurang dan di belanja itu mengalami penambahan. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 108 www.mahkamahkonstitusi.go.id - Kemudian juga saksi bisa melihat bahwa ada kementerian-kementerian lembaga yang mendapatkan dana optimalisasi besar. Jadi setelah DPR membahas RAPBN yang berdasarkan RKP, kementerian-kementerian lembaga ini hanya mengelompokkan lima, mendapatkan tambahan alokasi berdasarkan bersumber dari dana optimalisasi. Misalnya, Kementerian Pekerjaan Umum Rp 8,8 triliun, KPU Rp 7,3 triliun, Kemendikbud Rp 7 triliun, Kemenhub Rp 5,3 triliun, Kemenhan Rp 4,2 triliun. - Tambahan-tambahan anggaran pada saat pembahasan anggaran ini akan sangat menyulitkan kementerian lembaga, di mana mereka juga harus merumuskan kegiatan-kegiatan baru ataupun menambah, menambah anggaran yang sebelumnya mereka tidak rencanakan. Nah pada akhirnya, Rp 7 triliun ini menjadi perencanaan yang bisa dikatakan bahwa ini menjadi perencanaan yang tidak, tidak optimal. Dan ada juga kementerian lembaga yang dipangkas cukup besar, seperti Kementerian Pertanian, DPD, Seskab, termasuk MK, dan KPK. - Lima kementerian lembaga yang justru dipangkas terbesar dan kami juga melihat tidak ada informasi naik turunnya dari alokasi anggaran ini. Artinya tidak ada penjelasan mengapa alokasi anggaran kementerian lembaga ini naik dan kementerian lembaga yang lain turun? - Menurut hasil dari kajian Bappenas, kami melihatnya bahwa dana optimalisasi ini bisa menimbulkan terjadinya distorsi rencana dan anggaran. Bappenas mencoba membandingkan, misalnya antara rencana kerja Pemerintah 2012 dengan rencana kerja anggaran kementerian lembaga 2012 dimana terdapat penambahan jumlah indikator atau output, atau bisa katakan sub indikator atau sub kegiatan dari 1.715 menjadi 3.991. Dan tentunya ketika ada penambahan rincian atau sub dari kegiatan indikator ini, kementerian lembaga juga harus kembali bekerja keras untuk menyusun TOR dari rincian anggaran tersebut. - Bahwa dari hasil pemantauan yang saksi lakukan sangat tidak mungkin DPR, terutama komisi yang membahas anggaran bersama mitra atau kementerian lembaganya mampu membahas seluruh rincian anggaran. - Pertama, DPR tidak memiliki kapasitas dan cukup waktu untuk membahas puluhan ribu mata anggaran atau line item. Hal ini berakibat pada, pada akhirnya berakibat pada pemberian tanda bintang atau blokir anggaran Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 109 www.mahkamahkonstitusi.go.id karena belum selesai dibahas atau pada akhirnya paripurna anggaran hanya sekedar formalitas belaka. - Oleh karena itu, seharusnya DPR memiliki fokus pada kinerja dan hasil kegiatan yang bersifat inisiatif baru, serta prakiraan maju untuk menjaga konsistensi penerapan dari kerangka pengeluaran jangka menengah atau MTEF. - Bahwa sebetulnya APBN hanya formalitas, karena tidak, tidak memiliki cukup waktu dan harus membahas rincian anggaran. Pada akhirnya, ketika Undang-Undang mengamanatkan bahwa pembahasan APBN harus ditetapkan terinci sampai berdasarkan klasifikasi menurut fungsi ekonomi dan jenis belanjanya, pada akhirnya, rapat paripurna pengesahan APBN lebih sekedar formalitas belaka. Seperti bisa dilihat pada saat APBN perubahan 2010 dilakukan pengesahan APBN 3 Mei, pada tanggal 3 Mei 2010. Namun, kalau kita melihat batas waktu dari rincian anggaran itu baru diselesaikan pada 15 Mei. Begitu pula APBN 2011 diparipurnakan 26 Oktober, namun baru selesai finalnya 12 November 2010, dan selanjutnya. - Beberapa kelemahan yang kami lihat ketika pembahasan anggaran di luar Paripurna APBN, dimana tidak ada lagi pihak-pihak yang melakukan pengawasan dan pemantauan publik maupun media akan cenderung melihat bahwa pembahasan APBN sudah selesai. Namun pada praktiknya, sebetulnya pembahasan di luar siklus APBN masih terus terjadi. - Perubahan berkaitan dengan blokir anggaran, saksi melihat juga bahwa karena waktu tidak memiliki dan tidak cukup, maka DPR juga menggunakan salah satu kewenangannya yaitu melakukan blokir anggaran atau memberikan tanda bintang. Dari hasil catatan kami, pemantauan kami pada tahun 2011 misalnya ada 6.101 mata anggaran senilai Rp 63,4 triliun yang diblokir atau diberikan tanda bintang. Pada tahun 2012, ada Rp 78,5 triliun yang diblokir oleh DPR. Dan pada tahun 2013, ada Rp 163 triliun yang diblokir oleh DPR pertanggal 5 Desember. - Padahal rencana anggaran belanja Pemerintah Pusat itu sudah harus selesai 30 November dan saksi melihat bahwa blokir anggaran ini pada akhirnya akan dibahas atau didiskusikan di luar dari siklus pembahasan anggaran yang resmi. Saksi juga melihat proses pemblokiran anggaran ini menjadi ruang dari praktik perburuan rente atau praktik korupsi karena Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 110 www.mahkamahkonstitusi.go.id pemblokiran anggaran dicabut hanya dengan membutuhkan persetujuan pimpinan komisi atau banggar atau anggota banggar pada komisi tersebut, dan ini memberikan ruang lebih tertutup yang cenderung bersifat informal dan praktik-praktik korupsi yang telah terjadi saat ini mengonfirmasi terjadinya praktik pembintangan anggaran sebagai ruang atau titik rawan dari terjadinya praktik korupsi seperti kasus Hambalang, Wisma Atlet, dana penyesuaian, dan lain-lain. - Bahwa Undang-Undang memberikan jaminan bahwa perubahan anggaran dapat dilakukan sepanjang terjadi perubahan asumsi ekonomi makro dan pergeseran anggaran. Namun, pada praktiknya perubahan anggaran ini justru menjadi praktik yang wajib dilakukan setiap tahun. Padahal, jika kita melihat bahwa sebetulnya perubahan anggaran bisa saja tidak dilakukan apabila penyusunan atau perencanaan anggaran dilakukan secara presisi atau lebih tepat dalam memperkirakan terjadinya perubahan-perubahan asumsi. - Saksi melihat juga perubahan asumsi perubahan anggaran merupakan ruang yang sangat terbuka untuk terjadinya praktik korupsi. Pertama, waktu pembahasan. Hal ini terjadi karena waktu pembahasan yang relatif singkat dan membahas penambahan anggaran yang dalam jumlah yang relatif besar. Waktu pembahasan perubahan anggaran berbeda dengan waktu pembahasan APBN murni. Waktu pembahasan anggaran perubahan hanya satu bulan di mana DPR harus membahas perubahan-perubahan anggaran dalam jumlah yang relatif besar. - Pada tahun 2012 terjadi belanja pusat pada APBN Rp964 triliun, dan belanja pusat pada APBNP Rp1.069.534.000.000,00. Ini menunjukkan bahwa hampir terjadi penambahan anggaran Rp100 triliun di mana harus dibahas dalam waktu satu bulan. - Praktik ini yang menyebabkan pada akhirnya anggaran menjadi tidak efektif, tidak terserap, dan rawan mark-up . Salah satu contohnya adalah kasus Al- Quran di mana terjadi penambahan anggaran untuk pengadaan Al-Quran dalam jumlah yang relatif besar pada saat perubahan-perubahan anggaran. - DPR saat ini terjebak dalam euforia karena memiliki kewenangan yang besar dalam membahas anggaran namun tidak disertai dengan akuntabilitas yang memadai. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 111 www.mahkamahkonstitusi.go.id - Oleh karena itu, perlu ada kepastian hukum khususnya berkaitan dengan diskresi badan anggaran, terutama berkaitan dengan ketika ada dana optimalisasi dan juga berkaitan dengan blokir anggaran. Badan anggaran juga seharusnya bisa mengunci asumsi ekonomi makro dan pagu pendapatan dan belanja agar tidak berubah lagi pada saat pembahasan selanjutnya. - Pembatasan mengenai dana optimalisasi juga perlu dibatasi, khususnya hanya pada kegiatan-kegiatan yang memang tercantum dalam rencana kerja Pemerintah bersifat mendesak ataupun digunakan hanya untuk mengurangi defisit APBN. Fungsi anggaran DPR membahas pada level kebijakan anggaran dan capaian kinerja, hal ini mengingat bahwa DPR tidak akan mampu untuk membahas rincian seluruh anggaran. - Meminimalisir kegiatan perubahan anggaran hanya diperuntukkan untuk kegiatan-kegiatan yang sudah berada dalam RKP, kemudian yang bersifat bukan kegiatan baru dan hanya digunakan untuk menutup defisit. [2.3] Menimbang bahwa Pemerintah menyampaikan opening statement secara lisan dalam persidangan tanggal 5 Juni 2013, serta menyerahkan keterangan tertulis tanpa tanggal bulan Juni 2013 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 15 Agustus 2013 yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut : I. POKOK PERMOHONAN PEMOHON 1. Menurut para Pemohon ketentuan Pasal 104, Pasal 105 ayat (1) dan Pasal 107 ayat (1) huruf c UU MD3, yang mengatur mengenai keberadaan Badan Anggaran yang bersifat tetap akan berpotensi menimbulkan praktik oligarki dan berpotensi disimpangi baik untuk kepentingan perorangan, pebisnis bahkan pendanaan kegiatan partai politik;
Menurut para Pemohon ketentuan Pasal 107 ayat (1) huruf c sepanjang frase “membahas rancangan undang-undang tentang APBN bersama Presiden” dalam __ UU MD3 menimbulkan ketidakpastian hukum karena dapat ditafsirkan seolah-olah Badan Anggaran dapat berperan seperti komisi di DPR untuk membahas rancangan Undang-Undang tentang APBN;
Menurut para Pemohon, kewenangan DPR untuk membahas rancangan Undang-Undang tentang APBN sebagaimana diatur dalam Pasal 157 ayat Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 112 www.mahkamahkonstitusi.go.id (1) huruf c sepanjang frase “rincian” dalam UU MD3 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 4. Menurut para Pemohon, kewenangan DPR untuk menyetujui secara rinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (5) UU Keuangan Negara dan Pasal 159 ayat (5) UU MD3 haruslah dipahami bukan merupakan kewenangan untuk melakukan Pembahasan secara terperinci sampai dengan jenis belanja sebagaimana angka 3.
Bahwa pada intinya menurut Pemohon ketentuan Pasal 71 huruf g, Pasal 104, Pasal 105 ayat (1), Pasal 107 ayat (1) huruf c, Pasal 156 huruf a, huruf b dan huruf c angka 2, Pasal 157 ayat (1) huruf c, Pasal 161 ayat (4) dan ayat (5) UU MD3 dan Pasal 15 ayat (5) dan Pasal 159 ayat (5) UU Keuangan Negara bertentangan dengan ketentuan Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 II. TENTANG KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) PARA PEMOHON Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, menyatakan bahwa Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia;
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara. Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
Kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 113 www.mahkamahkonstitusi.go.id Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011;
Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang diuji;
Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi ( vide putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan putusan-putusan berikutnya), harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu:
adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Atas hal-hal tersebut di atas, kiranya perlu dipertanyakan kepentingan para Pemohon apakah sudah tepat sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan ketentuan Pasal 71 huruf g, Pasal 104, Pasal 105 ayat (1), Pasal 107 ayat (1) huruf, Pasal 156 huruf a, huruf b dan huruf c angka 2, Pasal 157 ayat (1) huruf c, Pasal 161 ayat (4) dan ayat (5) UU MD3 dan Pasal 15 ayat (5) dan Pasal 159 ayat (5) UU Keuangan Negara. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 114 www.mahkamahkonstitusi.go.id Terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon. Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Mahkamah untuk menilai dan memutuskannya. III. PENJELASAN PEMERINTAH ATAS MATERI PERMOHONAN YANG DIMOHONKAN UNTUK DIUJI 1. Bahwa tujuan bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dalam rangka pencapaian tujuan bernegara tersebut dibentuk pemerintahan negara yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan dalam berbagai bidang. Pembentukan pemerintahan negara tersebut menimbulkan hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang yang perlu dikelola dalam suatu sistem pengelolaan keuangan negara. Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan Undang-Undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat.
Pasal 23 UUD 1945 menyatakan bahwa “ Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah” bahwa penetapan APBN itu harus dilakukan dengan persetujuan para wakil rakyat, karena keuangan negara itu sendiri merupakan hak milik rakyat. Keterlibatan DPR dalam pembahasan APBN merupakan perwujudan dari fungsi DPR sebagaimana ditentukan dalam Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan: “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.” 3. Bahwa menurut Pemerintah, pembahasan Anggaran oleh DPR pada hakikatnya adalah pelaksanaan hak budget DPR guna menjamin bahwa RAPBN yang diajukan Pemerintah telah sesuai dengan Pasal 23 ayat (1) Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 115 www.mahkamahkonstitusi.go.id UUD 1945 yang menyatakan bahwa APBN digunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, dalam hal ini, pembahasan RAPBN oleh DPR merupakan pembicaraan yang bersifat strategis terkait fungsi anggaran untuk mencapai tujuan bernegara. RAPBN yang telah dibahas oleh DPR secara strategis tersebut selanjutnya dirinci menurut unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja untuk berbagai keperluan baik dalam kerangka pendekatan otorisasi maupun pendekatan analisis.
Bahwa makna, maksud dan tujuan penetapan susunan dan anggota Badan Anggaran pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan tahun sidang adalah justru untuk menjaga konsistensi dalam pelaksanaan tugas dan pertanggungjawaban badan anggaran dalam menentukan kebijakan fiskal secara umum dan prioritas, membahas Undang-Undang tentang APBN, melakukan sinkronisasi, membahas pokok-pokok penjelasan serta membahas rancangan Undang-Undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN.
Secara prinsip dalam melaksanakan tugasnya Badan Anggaran hanya membahas alokasi anggaran yang sudah diputuskan oleh komisi. Anggota komisi dalam Badan Anggaran harus mengupayakan alokasi anggaran yang diputuskan komisi dan menyampaikan hasil pelaksanaan tugas, hal ini menunjukkan bahwa dalam melaksanakan kewajibannya dibidang Anggaran telah memperhatikan semua komisi yang ada dalam DPR.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa fungsi anggaran DPR terkait erat dengan fungsi legislasi dan fungsi pengawasan. Fungsi legislasi menetapkan kebijakan yang harus dijadikan pegangan dalam penyusunan program dan anggaran. Sedangkan fungsi pengawasan bertindak mengawasi kualitas pelaksanaan APBN dan APBD. Dalam praktik, tentu diperlukan pembedaan yang jelas mengenai pengawasan terhadap pelaksanaan APBN dan APBD itu di lapangan, sampai sejauh mana kegiatan pengawasan dimaksud merupakan bagian dari fungsi pengawasan atau merupakan bagian dari fungsi anggaran. Sehingga menurut Pemerintah persetujuan DPR secara terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja, Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 116 www.mahkamahkonstitusi.go.id merupakan penerapan azas spesialitas anggaran yaitu kejelasan peruntukan suatu anggaran, yang pada dasarnya bertujuan untuk memberikan kemudahan bagi DPR dalam melaksanakan fungsi pengawasan kepada Pemerintah.
Bahwa fungsi Badan Anggaran DPR adalah berkenaan dengan pelaksanaan kebijakan dalam bentuk program-program kerja pemerintahan dan pembangunan untuk mencapai tujuan bernegara sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945. Oleh sebab itu, pelaksanaan fungsi anggaran DPR dimulai dengan penjabaran berbagai kebijakan- kebijakan yang tertuang berupa program-program kerja pemerintahan dan pembangunan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pelaksanaan fungsi anggaran DPR tidak hanya berkaitan dengan persoalan angka-angka anggaran pendapatan dan belanja negara/daerah serta bagaimana distribusi dan alokasinya untuk pelaksanaan program-program pemerintahan dan proyek-proyek pembangunan. Bahkan penyusunan angggaran pendapatan dan belanja tahunan itu harus pula mengacu kepada perencanaan yang dituangkan dalam bentuk Undang-Undang, yaitu UU tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang kemudian dijabarkan setiap tahunnya dengan UU tentang APBN.
Keseimbangan peran antara DPR dan Pemerintah haruslah ideal, dalam penyusunan anggaran, dari sisi Pemerintah, peran yang dilaksanakan oleh Badan Anggaran dilaksanakan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) yang menentukan aneka program dan proyek- proyek pembangunan untuk kepentingan rakyat dan selanjutnya menyusun program pembangunan dari kacamata pemerintahan.
Terkait dengan permohonan para Pemohon yang menguji kewenangan DPR yang tercantum dalam Pasal 71 huruf g dan Pasal 156 huruf a dan huruf b UU MD3 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menurut Pemerintah, RAPBN adalah satu-satunya RUU yang pengajuannya hanya bisa dilakukan oleh Pemerintah kepada Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 117 www.mahkamahkonstitusi.go.id DPR. Pembahasan antara Pemerintah dengan DPR mengenai APBN pada dasarnya untuk mendapat persetujuan/penolakan. Menurut Pemerintah, rapat paripurna merupakan forum tertinggi/terakhir pengambilan keputusan atas RAPBN yang diajukan oleh Pemerintah. Dalam hal DPR tidak menyetujui, maka digunakan anggaran tahun sebelumnya. Sejalan dengan pemikiran tersebut, bagi kesinambungan pemerintahan maka sesuai UU Keuangan Negara, APBN harus disetujui oleh DPR selambat-lambatnya 2 bulan sebelum tahun anggaran dimulai. Bahwa menurut Pemerintah, terjadinya pemblokiran anggaran yang dilakukan DPR, merupakan wujud dari persetujuan bersyarat terhadap suatu alokasi anggaran, terjadi karena alasan yang bersifat teknis, dikarenakan terkadang Pemerintah baru dapat menyampaikan rencana kegiatan secara garis besar, dan belum menyampaikan rincian kegiatan secara detail. Padahal di sisi lain, penetapan anggaran dan perumusannya menjadi Undang-Undang harus segera dilakukan. Pencantuman tanda bintang oleh DPR dapat dipertanggungjawabkan karena dari sisi legislatif, hal ini tidak mengurangi kewenangan DPR untuk melakukan pengawasan, sedangkan dari sisi eksekutif, memberikan jaminan pendanaan sehingga rencana kerja Pemerintah tidak terhambat.
Terkait dengan permohonan para Pemohon yang menguji proses dan ruang lingkup pembahasan APBN-P yang tercantum dalam Pasal 161 ayat (4) dan ayat (5) dan Pasal 156 butir c angka 2 UU MD3 menurut Pemerintah yang direncanakan dalam RAPBNP adalah suatu keadaan yang sangat mendesak dimana hal-hal yang dapat menyebabkan perubahan APBN sesuai Pasal 71 huruf g dikarenakan perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang digunakan dalam APBN, perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal, keadaan yang menyebabkan harus dilakukannya pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar kegiatan dan antar jenis belanja serta keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan.
Pemerintah berpandangan di masa mendatang, diharapkan peran Badan Anggaran DPR dapat diperkuat kapasitas kelembagaannya agar dapat Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 118 www.mahkamahkonstitusi.go.id mendukung upaya penguatan fungsi anggaran DPR dalam menjalankan tugas bersama Pemerintah. Meskipun yang mengajukan Rancangan APBN adalah Pemerintah, tetapi untuk membahas rancangan itu secara bersama guna mencapai persetujuan bersama atas materi dan dasar hukumnya dalam bentuk Undang-Undang, kapasitas DPR, khususnya Badan Anggaran haruslah cukup kuat dan memadai.
Pemerintah sangat menghargai usaha-usaha yang dilakukan oleh masyarakat dalam ikut memberikan sumbangan dan partisipasi pemikiran dalam membangun penguatan Badan Anggaran. Di masa depan pemikiran-pemikiran masyarakat tersebut akan menjadi sebuah rujukan yang sangat berharga bagi pembentuk Undang-Undang. IV. KESIMPULAN 1) Berdasarkan penjelasan tersebut, Pemerintah memohon kepada Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa permohonan pengujian Undang-Undang a quo berkenan untuk memberikan putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya (ex aequo et bono) . [2.4] Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR- RI) menyampaikan keterangan lisan dalam persidangan tanggal 5 Juni 2013, serta menyampaikan keterangan tertulis tertanggal 5 Juni 2013 yang diterima Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 19 September 2013, yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut: A. KETENTUAN UNDANG-UNDANG KEUANGAN NEGARA DAN UNDANG- UNDANG MPR, DPR, DPD, dan DPRD YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 Para Pemohon dalam permohonan a quo mengajukan pengujian materiil terhadap Pasal 15 ayat (5) UU Keuangan Negara, Pasal 71 huruf g, Pasal 104, Pasal 105 ayat (1), Pasal 107 ayat (1) huruf c, Pasal 156 huruf a dan huruf b dan huruf c angka 2, Pasal 157 ayat (1) huruf c, Pasal 159 ayat (5), dan Pasal 161 ayat (4) dan ayat (5) UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 119 www.mahkamahkonstitusi.go.id B. HAK DAN/ATAU KEWENANGAN KONSTITUSIONAL YANG DIANGGAP PARA PEMOHON TELAH DIRUGIKAN Para Pemohon dalam permohonan a quo , mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya pasal-pasal yang dimohonkan pengujian materill terhadap UUD 1945 yang pada pokoknya sebagaimana diuraikan dalam permohonan a quo C. KETERANGAN DPR RI Terhadap permohonan pengujian UU Keuangan dan UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD, DPR menyampaikan keterangan sebagai berikut: I. Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon, DPR menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulya untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) atau tidak sebagaimana yang diatur oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi. II. Pengujian UU Keuangan Negara dan UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD Terhadap pandangan-pandangan Pemohon dalam permohonan a quo , DPR memberi keterangan sebagai berikut:
Bahwa dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan negara, pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan secara profesional, terbuka, dan bertanggung jawab sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Bahwa dalam menciptakan pengelolaan keuangan negara yang profesional, khususnya dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tidak dapat terlepas dari keberadaan lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia selaku lembaga legislatif yang memiliki kewenangan terhadap fungsi anggaran sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 20A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi: “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan”. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 120 www.mahkamahkonstitusi.go.id 3. Dalam rangka melaksanakan fungsi anggaran sebagaimana tercantum dalam Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 tersebut, kemudian Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 telah mengamanatkan bahwa anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sebagai wujud pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan Undang-Undang dan yang kemudian ditentukan bahwa Rancangan UU APBN diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan dari DPD.
Bahwa untuk melaksanakan pelaksanaan fungsi anggaran sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 20A ayat (1) juncto Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 dan dalam rangka mewujudkan penguatan dan pengefektifan pelaksanaan fungsi anggaran, maka Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia membentuk Alat Kelengkapaan Dewan (AKD) yang mendukung fungsi anggaran dalam menyusun APBN tersebut, Pembentukan AKD dimaksud harus lebih baik dan bersifat professional baik dari segi kualitas maupun kedudukan yang ada dalam struktur Alat Kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Penguatan dimaksud dilakukan dengan mengubah nomenklatur Panitia Anggaran yang secara harfiah lebih bersifat atau paling tidak bermakna sementara menjadi Badan Anggaran yang lebih bersifat institusi yang tetap.
Bahwa Badan Anggaran yang bersifat tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (1) UU MPR, DPR, DPD dan DPRD, yang berbunyi “Badan Anggaran dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan yang besifat tetap”, dan yang selanjutnya bahwa “DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Badan Anggaran menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan tahun sidang,” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (1) Undang-Undang MPR, DPR, DPD dan DPRD, diatur dalam rangka memperkuat pengelolaan keuangan Negara yang dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab yang bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 121 www.mahkamahkonstitusi.go.id 6. Bahwa pengaturan mengenai belanja negara dan pembahasan APBN yang dibahas sampai dengan organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja, sebagaimana diatur dalam Pasal 107 ayat (1) huruf c: Pasal 157 ayat (1), Pasal 159 ayat (5) UU MPR, DPR, DPD dan DPRD serta Pasal 15 ayat (5) UU Keuangan Negara bertujuan agar Dewan Perwakilan Rakyat selaku lembaga legislatif yang memiliki fungsi anggaran, dapat mengetahui, menyetujui, dan menetapkan fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja pemerintah dan mencegah terjadi penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara khususnya APBN.
Bahwa terkait dengan tugas dan kewenangan DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 71 huruf g UU MPR, DPR, DPD dan DPRD yang berbunyi “ DPR mempunyai tugas dan wewenang membahas bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan memberikan persetujuan atas rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden ” yang selanjutnya diatur pelaksanaannya dalam Pasal 156 UU MPR, DPR, DPD dan DPRD yang berbunyi: ”Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf g, DPR menyelenggarakan kegiatan sebagai berikut:
pembicaraan pendahuluan dengan Pemerintah dan Bank Indonesia dalam rangka menyusun rancangan APBN;
pembahasan dan penetapan APBN yang didahului dengan penyampaian rancangan Undang-Undang tentang APBN beserta nota keuangannya oleh Presiden;
pembahasan:
laporan realisasi semester pertama dan prognosis 6 (enam) bulan berikutnya;
penyesuaian APBN dengan perkembangan dan/atau perubahan dalam rangka penyusunan prakiraan perubahan atas APBN tahun anggaran yang bersangkutan, apabila terjadi: a) perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang digunakan dalam APBN; b) perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 122 www.mahkamahkonstitusi.go.id c) keadaan yang menyebabkan harus dilakukannya pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja; dan/atau d) keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan; e) pembahasan dan penetapan rancangan Undang-Undang tentang perubahan atas Undang-Undang tentang APBN; dan f) pembahasan dan penetapan rancangan Undang-Undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN. pada prinsipnya ketentuan tersebut adalah telah sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “ Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja Negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakila Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah.” 8. Bahwa dalam pembahasan RUU APBN terdapat beberapa proses yang dilalui seperti pembicaraan pendahuluan dan penyampaian nota keuangan, merupakan suatu siklus pembahasan dan penetapan APBN yang bertujuan untuk menciptakan suatu pengelolaan keuangan Negara yang berorientasi pada prinsip akutabilitas, profesionalitas, proporsionalitas, keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara, dan pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri.
Bahwa pengaturan dalam Pasal 161 ayat (4) dan ayat (5) yang berbunyi sebagai berikut:
Pembahasan dan penetapan rancangan undang-undang tentang perubahan APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah bersama dengan Badan Anggaran dan komisi terkait dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan dalam masa sidang, setelah rancangan undang-undang tentang perubahan APBN diajukan oleh Pemerintah kepada DPR.
Dalam hal tidak terjadi perubahan asumsi ekonomi makro dan/atau perubahan postur APBN yang sangat signifikan sebagaimana Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 123 www.mahkamahkonstitusi.go.id dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), pembahasan perubahan APBN dilakukan dalam rapat Badan Anggaran dan pelaksanaannya disampaikan dalam laporan keuangan Pemerintah pada prinsipnya juga merupakan suatu siklus pembahasan dan penetapan APBN sebagaimana disebutkan dalam butir 7 di atas.
Bahwa dengan demikian terhadap pendapat para Pemohon yang menyatakan anggaran pendapatan dan belanja negara yang disahkan melalui Undang-Undang membuka ruang bagi DPR memainkan politik transaksi kepentingan diluar kepentingan rakyat dikaitkan dengan ketentuan yang mengatur pelaksanaan fungsi anggaran DPR RI sebagaimana diatur dalam pasal-pasal a quo , DPR RI berpandangan hal tersebut bukanlah persoalan konstitusionalitas norma, melainkan persoalan dalam penerapan norma, dan terhadap hal tersebut sudah ada mekanisme penanganannya yang selama ini telah dan sedang berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Demikian Keterangan DPR kami sampaikan sebagai bahan pertimbangan bagi Ketua/Majelis Hakim Konstitusi dalam mengambil putusan sebagai berikut:
Menyatakan Keterangan DPR diterima untuk seluruhnya;
Menyatakan ketentuan Pasal 15 ayat (5) UU Keuangan Negara, Pasal 71 huruf g, Pasal 104, Pasal 105 ayat (1), Pasal 107 ayat (1), Pasal 156, Pasal 157 ayat (1) huruf c, Pasal 159 ayat (5) dan Pasal 161 ayat (4) dan ayat (5) UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945.
Menyatakan ketentuan Pasal 15 ayat (5) UU Keuangan Negara, Pasal 71 huruf g, Pasal 104, Pasal 105 ayat (1), Pasal 107 ayat (1), Pasal 156, Pasal 157 ayat (1) huruf c, Pasal 159 ayat (5) dan Pasal 161 ayat (4) dan ayat (5) UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD tetap memiliki kekuatan hukum mengikat. [2.5] Menimbang bahwa Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) menyampaikan keterangan lisan dalam persidangan tanggal 21 Agustus 2013, serta menyerahkan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 22 Agustus 2013 yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut: Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 124 www.mahkamahkonstitusi.go.id A. Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi yang Terbukti Dilakukan oleh Anggota DPR-RI yang sebagiannya juga Merangkap sebagai Anggota Banggar DPR-RI Bahwa berdasarkan data penanganan perkara yang dilakukan KPK sejak Tahun 2004-2012, maka sebagaimana tercantum dalam Laporan Tahunan KPK Tahun 2012 menunjukkan dan dapat disimpulkan menjadi beberapa hal, yaitu sebagai berikut: Kesatu, pada katagorisasi perkara yang didasarkan atas jabatan, yaitu pelaku yang berasal dari kelompok penyelenggara negara maka anggota DPR-RI/DPRD menempati posisi terbesar (65 orang) dari seluruh perkara yang ditangani KPK; Kedua, pada katagorisasi kasus berdasarkan jenis perkara, tindak pidana korupsi yang terkait dengan penyalahgunaan anggaran menempati posisi 3 besar (38 perkara) dari seluruh pelaku yang berasal dari anggota dewan, setelah kasus penyuapan (116 perkara) dan kasus pengadaan barang dan jasa (107 perkara); Ketiga, berdasarkan butir kesatu dan kedua maka lebih dari 50% perkara tindak pidana korupsi yang ditangani KPK dilakukan oleh pelaku yang berasal dari anggota DPR-RI/DPRD berkaitan dengan penyalahgunaan anggaran. Berdasarkan jumlah, jenis, dan pelaku perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan anggota DPR-RI/DPRD, perbuatan yang dilakukan oleh para anggota parlemen tersebut berkaitan dan karenanya tidak dapat dipisahkan dari fakta dan indikasi penyalahgunaan kewenangan sebagai anggota DPR-RI/DPRD yang sebagiannya juga merupakan anggota Banggar DPR-RI. Kewenangan menjadi bersifat semacam transaksional karena kewenangan yang bersifat dan ditujukan bagi kepentingan publik digunakan untuk kepentingan pribadinya sendiri dan/atau orang lain, maupun kelompoknya. Hal ini menjadi salah satu sorotan dan perhatian publik, yaitu adanya sinyalemen atau dugaan kuat bekerjanya 'Mafia Anggaran' yang mampu mengatur alokasi anggaran APBN, serta mengutip fee atas pengaturan tersebut. Beberapa kasus tindak pidana korupsi yang menarik perhatian publik adalah tindak pidana korupsi yang melibatkan 3 (tiga) anggota Badan Anggaran DPR-RI, yaitu Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 125 www.mahkamahkonstitusi.go.id M. Nazaruddin, Angelina Sondakh, dan Wa Ode Nurhayati. Keseluruhan kasus di atas, modus operandinya hamper sama, yaitu dengan melibatkan aktor, atau 'oknum' yang berasal dari pihak legislatif, eksekutif (kementerian/Iembaga pusat dan pemerintah daerah), dan pengusaha serta pihak terkait lainnya. Dalam sidang perkara dengan Terdakwa M. Nazaruddin (sekarang sebagai terpidana dan tersangka kasus lain yang sedang dalam proses penyidikan) sebagai anggota DPR-RI dan anggota Banggar telah terbukti bahwa Terdakwa menerima hadiah berupa 5 (lima) lembar cek senilai Rp:
675.700.000,- dari Mohamad El Idris sekaligus Manager Marketing PT. Duta Graha Indah (PT. DGI) karena Terdakwa telah berhasil mengupayakan PT. DGI sebagai pemenang proyek pembangunan Wisma Atlet Jakabaring, Palembang, Sumatera Selatan. Pemberian tersebut diterima Terdakwa melalui staf bagian Keuangan PT. Anak Negeri milik Terdakwa sebagai fee 13% dari nilai kontrak proyek pembangunan Wisma Atlet tersebut. Selain Terdakwa, fee tersebut juga diberikan antara Iain kepada Wafid Muharam (Sesmenpora), Mindo Rosalina Manullang, dan Panitia Pengadaan. Keberhasilan Terdakwa mengupayakan PT. DGI sebagai pemenang proyek pembangunan Wisma Atlet tersebut adalah atas bantuan Angelina Sondakh selaku anggota Banggar dari Komisi X DPR Rl berdasarkan permintaan Terdakwa. Dalam persidangan juga terbukti bahwa pemberian fee tersebut di atas merupakan suap atau uang pelicin yang berasal dari penggelembungan nilai proyek (mark up). Upaya Terdakwa untuk menggolkan proyek tersebut dilakukan melalui jaringan informal, dimana Terdakwa adalah juga pemilik holding company korporasi di atas atau setidaknya pengendali perusahaan tersebut dan sekaligus berkedudukan dan menjabat sebagai Anggota Banggar DPR-RI. Pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam Putusan Nomor 69/Pid.B/TPK/2011/PN.JKT.PST dengan Terdakwa M. Nazaruddin (halaman 483 dan 487) menyebutkan: "Bahwa Terdakwa duduk sebagai anggota Badan Anggaran DPR Rl berdasarkan keputusan DPR Rl Nomor 48/DPR Rl/l/2009-2010 tentang Pembentukan dan Pengesahan Susunan Keanggotaan Badan Anggaran DPR Rl masa keanggotaan tahun 2009-2014 kemudian diperbaharui dengan Keputusan DPR Rl Nomor 01 A/PIMP/l/2010-2011 tentang Perubahan ketujuh atas Keputusan DPR Rl NoAQ/DPR Rl/l/2009-2010 tentang Pembentukan dan Pengesahan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 126 www.mahkamahkonstitusi.go.id Susunan Keanggotaan Badan Anggaran DPR Rl Masa Keanggotaan tahun 2009- 2014 Tahun Sidang 2009-2010." (Putusan hal 483) "Menimbang, bahwa dari rangkaian fakta-fakta hukum di atas dipandang telah cukup untuk membuktikan bahwa Terdakwa telah mengetahui atau patut menduga bahwa penerimaan hadiah berupa cheque tersebut terkait dengan kekuasaan dan kewenangannya serta pertemanan dengan anggota Komisi X DPR Rl yang mempunyai mitra kerja dengan Kemenpora, meskipun Terdakwa tetap menyangkal hingga dalam Pleidoinya mengatakan tidak mengetahui pemberian saksi Mohamad El Idris kepada saksi Yulianis tentang pemberian uang komisi tersebut dengan alasan karena Terdakwa telah melepaskan kepengurusan dan kepemilikan atas perusahaan yang ada di group Permai setelah menjadi anggota Komisi III DPR Rl, dimana Jabatan Terdakwa tidak terkait dengan penganggaran Kementerian Pemuda dan Olah Raga..." (Putusan hal 487) Hal ini juga terjadi dalam perkara dan persidangan tindak pidana korupsi yang dilakukan Terdakwa Wa Ode Nurhayati. Dalam kapasitasnya sebagai anggota Banggar DPR-RI, yang bersangkutan telah menggunakan pengaruh jabatannya terkait pengalokasian Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) tahun 2011 sebesar Rp 7,7 triliun untuk 524 daerah kabupaten dan kota yang dilakukan secara tidak transparan. Keadaan dimaksud mendorong berbagai daerah untuk berlomba-lomba "me-lobby" Banggar DPR-RI guna mendapatkan alokasi dana tersebut. Dalam persidangan terungkap bahwa Zamzami, Ketua Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Aceh Besar, bersama-sama dengan Taufik Reza, pengusaha Aceh Besar, dan Zoel Bahar Syah, Ketua KADIN Pidie Jaya, telah mengumpulkan sejumlah uang untuk menggolkan anggaran DPID untuk Aceh Besar, Pidie Jaya dan Bener Meriah. Dana itu diserahkan kepada Wa Ode Nurhayati melalui perantaraan Sefa Yolanda yang berasal dari Fahd A. Raflq dan Haris Andi Surahman. Penerimaan uang tersebut telah terbukti dalam persidangan perkara aquo sebagaimana disebutkan dalam pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam Putusan Nomor 30/Pid.B/TPK/2012/PN.JKT.PST dengan Terdakwa Wa Ode Nurhayati (halaman 432 dan 436) yang menyebutkan: "Menimbang, bahwa dari rangkaian fakta perbuatan Terdakwa Wa Ode Nurhayati, S.Sos. tersebut, yang telah menerima sejumlah uang hingga sebesar Rp. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 127 www.mahkamahkonstitusi.go.id 6.250.000.000,- (enam milyar dua ratus lima puluh juta rupiah), yang mana uang tersebut terkait dengan dana alokasi DPID untuk Aceh Besar, Bener Meriah, Pidie Jaya, dan dana penyesuaian bidang kesehatan Kabupaten Minahasa, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa perbuatan Terdakwa Wa Ode Nurhayati S.Sos, tersebut dapat dikualifisir sebagai perbuatan yang telah menerima hadiah sebagaimana dimaksud dalam unsur ke dua Pasal 12 huruf a, dengan demikian unsur menerima hadiah atau janji telah terpenuhi dan ada dalam perbuatan Terdakwa" (Putusan hal 432) Menimbang, bahwa dari rangkaian fakta hukum tersebut, maka Majelis Hakim berpendapat, bahwa perbuatan Terdakwa yang telah menerima sejumlah uang dari saksi Fahd El Fouz dan saksi Saul Paulus David Nelwan untuk mengurus dana DPID Tahun Anggaran 2011, yang mana Terdakwa Wa Ode Nurhayati, S.Sos, adalah sebagai Anggota DPR-RI dan juga sebagai Anggota Badan Anggaran DPR-RI, maka perbuatan Terdakwa tersebut dapat dikualifisir sebagai perbuatan diketahui bahwa pemberian uang tersebut merupakan hadiah atau janji untuk menggerakkan agar Terdakwa Wa Ode Nurhayati, S. Sos, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, dengan demikian unsur ketiga dari Pasal 12 huruf a yaitu padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya telah terpenuhi dan ada dalam perbuatan Terdakwa" (Putusan hal 436) Begitupun dengan perkara Tindak Pidana Korupsi lainnya, Terdakwa (sekarang Terpidana) Angelina Pingkan Sondakh telah terbukti menerima hadiah yang diakibatkan oleh tindakannya dalam melakukan sesuatu berkaitan dengan jabatannya selaku anggota DPR-RI dan Anggota Banggar. Hal dimaksud terkait dengan pengurusan anggaran pada Kementerian Pemuda dan Olahraga dan Kementerian Pendidikan Nasional antara tahun 2010-2011. Pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam Putusan Nomor 54/Pid.B.TPK/2012/PN. JKT.PST dengan Terdakwa Angelina Sondakh (halaman 324) menyebutkan: "Menimbang, bahwa dengan memperhatikan fakta-fakta sebagaimana diuraikan dalam pertimbangan unsur ke-2 dan ke-3 di atas dapat diketahui bahwa terdapat Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 128 www.mahkamahkonstitusi.go.id beberapa perbuatan yang tergolong sejenis yaitu perbuatan Terdakwa yang telah menerima dari Permai Grup yang seluruhnya berjumlah Rp. 2.500.000.000,- (dua milyar lima ratus juta rupiah) dan sebesar US$ 1.200.000,- (satu juta dua ratus ribu dollar Amerika Serikat) yang dilakukan secara berturut-turut, yakni kurang lebih sebanyak 4 kali penerimaan uang dalam kurun waktu 2010, yang merupakan pemujudan dari kehendak Terdakwa yang berhubungan dengan jabatannya, yakni sebagai anggota badan anggaran Komisi X DPR Rl, yang telah menyanggupi akan mengusahakan supaya anggaran yang dialokasikan untuk sejumlah proyek Universitas Negeri di Kemendiknas dapat disesuaikan dengan permintaan Permai Grup dengan meminta imbalah fee sebesar 5% dari nilai proyek yang akan digiring tersebut sebagaimana kesepakatan yang dibuat oleh Terdakwa dengan saksi Mindo Rosalina Manulang... dst". B. Kajian berupa Assessment KPK mengenai Pelaksanaan Fungsi dan Kewenangan DPR-RI/DPRD dalam Bidang Anggaran (budgeting) yang Berkaitan dengan Banggar serta Fungsi dan Kewenangan Pengawasan DPR-RI, Bahwa KPK telah melakukan kajian berupa assessment terkait Perencanaan dan Penyusunan APBN di DPR pada tahun 2009, yang pada pokoknya ditemukan adanya 3 (tiga) kelemahan dalam proses tersebut yaitu:
Potensi korupsi; Adanya kerawanan terjadinya korupsi pada saat dilakukan pembahasan Rancangan APBN di Banggar dan Komisi yang disebabkan adanya kewenangan yang begitu besar dari DPR dalam pembahasan rancangan anggaran.
Kelemahan proses kerja (business process) a. Pembahasan APBN di DPR berulang dalam satu siklus.
Kurangnya efisiensi dan efektivitas rapat pembahasan.
Kehadiran anggota DPR yang tidak optimal karena merangkap anggota Banggar dan Komisi.
Kelemahan kelembagaan.
Kurangnya dukungan riset dan informasi terhadap proses pembahasan APBN oleh anggota DPR.
Ruang lingkup dan pasangan kerja Komisi DPR masih perlu dispesialisasikan. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 129 www.mahkamahkonstitusi.go.id Berdasarkan uraian dalam perkara yang melibatkan anggota DPR-RI yang juga merupakan anggota Banggar DPR-RI dan kajian berupa assessment tersebut di atas, maka dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:
DPR-RI dan Banggar DPR-RI memiliki kewenangan yang sangat besar mengenai fungsi anggaran, namun pembahasannya seringkali dilaksanakan secara tertutup dan adanya pendekatan informal dalam kaitannya dengan pelaksanaan fungsi anggaran sehingga sulit untuk dilakukan pengawasan;
Keberadaan dan kewenangan Banggar DPR-RI serta kewenangan DPR-RI yang sangat besar tersebut juga menyebabkan fungsi pengawasan menjadi tak terkendali dan berpeluang menyebabkan terjadinya penyalahgunaan kewenangan karena pembahasan rancangan APBN dilakukan secara terperinci ("Satuan 3") yaitu untuk menyetujui APBN mulai dari unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, hingga jenis belanja dalam pengelolaan keuangan negara;
Selain itu juga terdapat potensi konflik kepentingan (conflict of interest) karena dengan pembahasan secara terperinci tersebut, maka tidak ada garis pemisah antara fungsi perencanaan, fungsi pelaksanaan, dan fungsi pengawasan, sehingga acapkali Para Anggota DPR-RI mempunyai peluang yang besar untuk menentukan, siapa yang dapat menerima proyek pemerintah dan siapa yang menjadi kontraktor untuk melaksanakan proyek tersebut.
Rapat-rapat pembahasan di Komisi dan Banggar DPR-RI dapat saja diwarnai dengan "perebutan" alokasi anggaran negara untuk kepentingan daerah pemilihannya, kelompok atau kepentingan yang memiliki akses. Juga disinyalir bisa lebih buruk lagi, adanya dugaan "pemerataan" atau "arisan" diantara kelompok kepentingan tersebut.
Adanya kelemahan-kelemahan dalam proses perencanaan dan penyusunan APBN di DPRI-RI yaitu terjadi potensi korupsi, kelemahan proses kerja (Business Process), dan kelemahan kelembagaan.
Pembahasan Anggaran Tambahan (ABT) yang saat ini disebut sebagai APBN-P, yang pengesahan oleh DPR kurang memperhatikan kewajaran, kemungkinan pelaksanaan dengan sisa tahun waktu anggaran yang ada, sehingga berpotensi menimbulkan korupsi pada saat pelaksanaan anggaran oleh Kementerian/Lembaga yaitu penyimpangan pelaksanaan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 130 www.mahkamahkonstitusi.go.id pengadaan dan pertanggungjawaban fiktif pelaksanaan pengadaan. De facto , kewenangan budgeting berhimpitan dengan kewenangan pengawasan DPR-RI. Yang menjadi masalah, tidak ada rumusan parameter dan indikator kinerja dalam melaksanakan kewenangan budgeting dan pengawasan. Kekuasaan DPR yang besar dalam rangka pelaksanaan fungsi budgeting dan pengawasan atas penggunaan anggaran tersebut akan bertemu dengan ketiadaan parameter dan indikator kinerja. Hal ini dapat “menimbulkan dan memperluas ruang abu-abu” yang bisa “dinegosiasikan” diantara para pihak yang mempunyai kepentingan sehingga menyebabkan potensi korupsi. Pihak yang diawasi bisa saja mempergunakan segala cara untuk tetap mendapatkan alokasi anggaran bagi proyek-proyek yang tidak diperlukan atau tidak efisien. Kondisi akan bertambah rumit bila disertai dengan tidak jelas pengukuran kinerja sehingga semakin luas "ruang abu-abu yang bisa dinegosiasikan". Kewenangan DPR dalam pengawasan yang sangat besar, tanpa mekanisme akuntabilitas kepada publik juga memberi ruang yang besar bagi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Platform Partai Politik yang tidak sepenuhnya jelas, menyebabkan sukar ditemukan politik anggaran seperti apa yang diperjuangkan oleh fraksi-fraksi yang ada di DPR. Kenyataan bahwa sebagian besar anggaran belanja negara sudah dikunci untuk pembayaran bunga hutang dan belanja pegawai, menyebabkan ruang fiskal untuk melaksanakan pemenuhan hak-hak rakyat seperti yang diamanatkan oleh konstitusi menjadi semakin terbatas. Perlu disampaikan pula, berdasarkan keseluruhan uraian di atas, pelaksanaan tugas dan kewenangan sebagai anggota DPR tersebut dapat bertentangan dengan hal-hal yang tersebut di dalam sumpah atau janjinya. Anggota DPR harus memegang sumpah atau janji berdasarkan Pasal 76 Undang- Undang Nomor 27 Tahun 2009, yang menyatakan sebagai berikut: _"Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji: _ bahwa saya, akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota/ketua/wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dengan berpedoman pada Pancasila dan _Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; _ Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 131 www.mahkamahkonstitusi.go.id bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh- sungguh, demi tegaknya kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan _bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan; _ bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia." Lebih lanjut dalam Pasal 5 angka 6 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang PENYELENGGARAAN NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI, DAN NEPOTISME yang mengatur bahwa selaku penyelenggara negara maka anggota DPR wajib “melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab dan tidak melakukan perbuatan tercela, tanpa pamrih baik untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni, maupun kelompok, dan tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Dengan demikian tindakan sebagian anggota DPR-RI/DPRD yang terlibat tindak pidana korupsi maupun tindakan/perilaku dalam pelaksanaan fungsi dan kewenangan budgeting dan pengawasan seperti diuraikan di atas dapat dianggap sebagai pelanggaran atas sumpah/janji dan kewajiban anggota DPR-RI/DPRD. Berdasarkan uraian tersebut di atas, KPK berpendapat bahwa kewenangan DPR-RI dan Badan Anggaran DPR-RI yang terlalu besar berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kewenangan/korupsi sehingga pengaturan kewenangan DPR-RI dalam fungsi anggaran (budgeting) harus diatur dan dilakukan secara transparan, akuntabel, memiliki rumusan paramater atau indikator yang jelas, tidak menimbulkan konflik kepentingan, tidak bersifat transaksional. [2.6] Menimbang bahwa para Pemohon telah menyampaikan kesimpulan tertulis bertanggal 28 Agustus 2013 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah juga pada tanggal 28 Agustus 2013, yang pada pokoknya para Pemohon tetap pada pendiriannya; [2.7] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 132 www.mahkamahkonstitusi.go.id 3. PERTIMBANGAN HUKUM [3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan a quo adalah pengujian konstitusionalitas Pasal 15 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286, selanjutnya disebut UU 17/2003), serta Pasal 71 huruf g, Pasal 104, Pasal 105 ayat (1), Pasal 107 ayat (1) huruf e, Pasal 156 huruf a, huruf b dan huruf c, Pasal 157 ayat (1) huruf c, Pasal 159 ayat (5) huruf g, dan Pasal 161 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043, selanjutnya disebut UU 27/2009), terhadap UUD 1945; [3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan a quo ;
kedudukan hukum ( legal standing) para Pemohon untuk mengajukan permohonan _a quo; _ __ Terhadap kedua hal tersebut di atas, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: Kewenangan Mahkamah [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), serta Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 133 www.mahkamahkonstitusi.go.id Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU 48/2009), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar; [3.4] Menimbang bahwa permohonan para Pemohon adalah untuk menguji konstitusionalitas norma Undang-Undang, in casu Pasal 15 ayat (5) UU 17/2003, Pasal 71 huruf g, Pasal 104, Pasal 105 ayat (1), Pasal 107 ayat (1) huruf c, Pasal 156 huruf a, huruf b, dan huruf c angka (2), Pasal 157 ayat (1), Pasal 159 ayat (5) dan Pasal 161 UU 27/2009 terhadap Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang menjadi salah satu kewenangan Mahkamah, sehingga oleh karenanya Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo ; Kedudukan Hukum (Legal Standing) para __ Pemohon [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 134 www.mahkamahkonstitusi.go.id [3.6] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005, bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal 20 September 2007, serta putusan- putusan selanjutnya berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; c kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat ( causal verband ) __ antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.7] Menimbang bahwa berdasarkan uraian sebagaimana tersebut pada paragraf [3.5] dan paragraf [3.6] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan mengenai kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon dalam permohonan a quo sebagai berikut: [3.7.1] Bahwa Pemohon I sampai dengan Pemohon IV adalah Organisasi Non Pemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tumbuh dan berkembang secara swadaya atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat yang didirikan atas dasar kepedulian untuk dapat memberikan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia di Indonesia yang memiliki kepedulian serta secara rutin melakukan pengawasan terhadap proses pembahasan dan penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN); melakukan pengawasan terhadap penggunaan APBN dan penganggaran secara umum di Indonesia; [3.7.2] Bahwa Pemohon V dan Pemohon VI adalah perseorangan warga negara Indonesia yang membayar pajak kepada negara, menganggap hak konstitusionalnya dirugikan atau setidaknya berpotensi dilanggar hak Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 135 www.mahkamahkonstitusi.go.id konstitusionalnya dengan berlakunya norma a quo karena keberadaan pasal tersebut menyebabkan penyusunan APBN disimpangi dan dikorupsi; [3.8] Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat- syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, menurut Mahkamah, para Pemohon setidaknya memiliki potensi kerugian hak-hak konstitusional akibat berlakunya norma a quo. Berlakunya norma a quo, menurut Mahkamah, __ berpotensi merugikan hak-hak konstitusional para Pemohon sebagai perseorangan warga negara (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama), khususnya dalam penetapan dan penggunaan anggaran negara dalam APBN. Dengan demikian, para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo ; [3.9] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo , dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo maka selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan; Pokok Permohonan [3.10] Menimbang bahwa para Pemohon pada pokoknya mendalilkan sebagai berikut:
Pasal 15 ayat (5) UU 17/2003 yang menyatakan, “APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja.” bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dengan alasan menimbulkan ketidakpastian hukum dan berpotensi mengakibatkan penyimpangan dalam penetapan anggaran;
Pasal 71 huruf (g) UU 27/2009 yang menyatakan, “DPR mempunyai tugas _dan wewenang:
.. g. membahas bersama Presiden dengan memperhatikan_ pertimbangan DPD dan memberikan persetujuan atas rancangan undang- undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden.” bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dengan alasan terdapat perbedaan tafsir dalam penerapannya sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum;
Frasa “yang bersifat tetap” dalam Pasal 104 UU 27/2009 yang selengkapnya menyatakan, “Badan Anggaran dibentuk oleh DPR dan merupakan alat Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 136 www.mahkamahkonstitusi.go.id kelengkapan DPR yang bersifat tetap” dan frasa “pada permulaan masa keanggotaan DPR dan...” dalam __ Pasal 105 ayat (1) UU 27/2009 yang selengkapnya menyatakan, “DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Badan Anggaran menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap- tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan tahun sidang” bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 dengan alasan bahwa pada tahapan pembahasan dan penetapan APBN, fungsi Badan Anggaran adalah untuk melakukan sinkronisasi hasil pembahasan komisi terhadap alokasi anggaran untuk fungsi, program, dan kegiatan kementerian/lembaga dan rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga. Menurut para Pemohon untuk pelaksanaan tugas tersebut, tidak diperlukan sebuah alat kelengkapan Badan Anggaran yang bersifat tetap, sehingga susunan keanggotaan tidak perlu ditetapkan pada awal masa keanggotaan DPR, melainkan dapat diganti setiap tahun pembahasan APBN dengan anggota yang juga bergantian;
Frasa “membahas rancangan undang-undang tentang APBN bersama Presiden” dalam Pasal 107 ayat (1) huruf c UU 27/2009 yang selengkapnya menyatakan, _“Badan Anggaran bertugas:
..c. membahas rancangan undang-_ undang tentang APBN bersama Presiden yang dapat diwakili oleh menteri dengan mengacu pada keputusan rapat kerja komisi dan Pemerintah mengenai alokasi anggaran untuk fungsi, program, dan kegiatan kementrian/lembaga” bertentangan dengan Pasal 20A ayat (1), Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dengan alasan memberikan ketidakpastian hukum karena dapat ditafsirkan seolah-olah Badan Anggaran dapat berperan seperti komisi-komisi di DPR untuk membahas rancangan Undang-Undang tentang APBN;
Pasal 156 huruf a dan huruf b UU 27/2009 yang menyatakan, “Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 _huruf g, DPR menyelenggarakan kegiatan sebagai berikut:
pembicaraan_ pendahuluan dengan Pemerintah dan Bank Indonesia dalam rangka _menyusun rancangan APBN;
pembahasan dan penetapan APBN yang_ didahului dengan penyampaian rancangan undang-undang tentang APBN beserta nota keuangannya oleh Presiden...” , dan Pasal 156 huruf c angka 2 UU 27/2009 yang menyatakan, “Dalam melaksanakan tugas dan wewenang Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 137 www.mahkamahkonstitusi.go.id sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf g, DPR menyelenggarakan _kegiatan sebagai berikut:
.. c. pembahasan:
.. 2) penyesuaian APBN dengan_ perkembangan dan/atau perubahan dalam rangka penyusunan prakiraan _perubahan atas APBN tahun anggaran yang bersangkutan, apabila terjadi: _ a) perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang _digunakan dalam APBN; _ _b) perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal; _ c) keadaan yang menyebabkan harus dilakukannya pergeseran anggaran _antar unit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja; dan/atau _ d) keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan; ” bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dengan alasan terdapat perbedaan tafsir dalam penerapannya sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum; __ 6. Frasa “rincian” dalam __ Pasal 157 ayat (1) huruf c UU 27/2009 yang selengkapnya menyatakan, “ Pembicaraan pendahuluan dalam rangka penyusunan rancangan APBN dilakukan segera setelah Pemerintah menyampaikan bahan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan _fiskal pada pertengahan bulan Mei, yang meliputi:
.. c. rincian unit organisasi,_ fungsi, program, dan kegiatan” bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 dengan alasan hal tersebut merupakan kewenangan yang berlebihan yang berpotensi menimbulkan penyimpangan anggaran dan korupsi;
Pasal 159 ayat (5) UU 27/2009 yang menyatakan, “APBN yang disetujui oleh DPR terperinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja” bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dengan alasan menimbulkan ketidakpastian hukum;
Pasal 161 ayat (1) sampai dengan ayat (5) UU 27/2009, yang menyatakan: (1) Dalam hal terjadi perubahan asumsi ekonomi makro dan/atau perubahan postur APBN yang sangat signifikan, Pemerintah mengajukan rancangan undang-undang tentang perubahan APBN tahun anggaran yang bersangkutan. (2) Perubahan asumsi ekonomi makro yang sangat signifikan sebagaimana _dimaksud pada ayat (1) berupa prognosis: _ Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 138 www.mahkamahkonstitusi.go.id a. penurunan pertumbuhan ekonomi, minimal 1% (satu persen) di _bawah asumsi yang telah ditetapkan; dan/atau _ b. deviasi asumsi ekonomi makro lainnya minimal 10% (sepuluh persen) dari asumsi yang telah ditetapkan. (3) Perubahan postur APBN yang sangat signifikan sebagaimana dimaksud _pada ayat (1) berupa prognosis: _ a. penurunan penerimaan perpajakan minimal 10% (sepuluh persen) _dari pagu yang telah ditetapkan; _ b. kenaikan atau penurunan belanja kementerian/lembaga minimal 10% _(sepuluh persen) dari pagu yang telah ditetapkan; _ c. kebutuhan belanja yang bersifat mendesak dan belum tersedia pagu _anggarannya; dan/atau _ d. kenaikan defisit minimal 10% (sepuluh persen) dari rasio defisit APBN terhadap produk domestik bruto (PDB) yang telah ditetapkan. (4) Pembahasan dan penetapan rancangan undang-undang tentang perubahan APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah bersama dengan Badan Anggaran dan komisi terkait dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan dalam masa sidang, setelah rancangan undang-undang tentang peru bahan APBN diajukan oleh Pemerintah kepada DPR. (5) Dalam hal tidak terjadi perubahan asumsi ekonomi makro dan/atau perubahan postur APBN yang sangat signifikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), pembahasan perubahan APBN dilakukan dalam rapat Badan Anggaran dan pelaksanaannya disampaikan dalam laporan keuangan Pemerintah.” bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) karena menimbulkan ketidakpastian hukum dan berpotensi melanggar prinsip untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat karena pembahasan APBN-P dilakukan dalam proses yang berbeda dengan pembahasan APBN; Untuk membuktikan dalil-dalilnya, para Pemohon mengajukan bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-17 serta mengajukan ahli-ahli yaitu Siswo Sujanto, Ahmad Erani Yustika, Ari Dwipayana, Kuskridho Ambadi, Saldi Isra , Zainal Arifin Mochtar, Iwan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 139 www.mahkamahkonstitusi.go.id Gardono Sudjatmiko dan Rimawan Pradiptyo serta saksi bernama Yuna Farhan yang telah memberikan keterangan dalam persidangan tanggal 24 Juni 2013, 11 Juli 2013, 25 Juli 2013, dan 21 Agustus 2013 dan telah dimuat lengkap pada bagian Duduk Perkara; [3.11] Menimbang bahwa Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat telah memberikan keterangan yang pada pokoknya menerangkan bahwa pasal-pasal yang dimohonkan pengujian merupakan pasal-pasal yang tidak bertentangan dengan konstitusi; [3.12] Menimbang bahwa Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) telah memberikan keterangan yang pada pokoknya menyatakan bahwa terdapat sejumlah besar kasus tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPK berasal dari permasalahan yang terjadi pada pembahasan dan penetapan anggaran di rapat-rapat komisi maupun di badan anggaran DPR RI. KPK menerangkan pada pokoknya bahwa kewenangan DPR RI dan Badan Anggaran DPR RI yang terlalu besar dalam konteks kewenangan budgeting berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kewenangan atau korupsi, sehingga pengaturan kewenangan DPR RI dalam fungsi anggaran harus diatur dan dilakukan secara transparan, akuntabel, memiliki rumusan parameter dan/atau indikator yang jelas, tidak menimbulkan konflik kepentingan, dan tidak bersifat transaksional. Keterangan selengkapnya dari Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, dan keterangan-keterangan lainnya telah diuraikan secara lengkap dalam bagian Duduk Perkara; Pendapat Mahkamah Pokok Permohonan [3.13] Menimbang bahwa setelah Mahkamah mendengar dan membaca dengan saksama permohonan dan keterangan para Pemohon, keterangan Pemerintah, keterangan DPR-RI, keterangan ahli dan saksi dari para Pemohon, keterangan KPK, memeriksa bukti surat/tulisan yang diajukan oleh para Pemohon, serta membaca kesimpulan para Pemohon dan kesimpulan Pemerintah, menurut Mahkamah, terdapat isu konstitusional yang harus dijawab Mahkamah dalam permohonan a quo , yaitu: Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 140 www.mahkamahkonstitusi.go.id 1. Apakah keberadaan Badan Anggaran DPR-RI yang bersifat tetap bertentangan dengan konstitusi, khususnya terhadap Pasal 23 ayat (1) UUD 1945? 2. Apakah kewenangan Badan Anggaran DPR-RI dalam membahas Rancangan Undang-Undang tentang APBN bersama Presiden dan kewenangan DPR dalam membahas Rancangan Undang-Undang APBN hingga rincian unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja bertentangan dengan konstitusi, khususnya terhadap Pasal 20A ayat (1), Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945? 3. Apakah tindakan DPR-RI untuk melakukan penundaan pencairan anggaran dengan memberikan tanda “bintang” bertentangan dengan konstitusi, khususnya terhadap Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945? 4. Apakah proses dan ruang lingkup pembahasan APBN Perubahan (APBN-P) oleh DPR-RI dalam Undang-Undang a quo bertentangan dengan konstitusi, khususnya terhadap Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945? [3.14] Menimbang bahwa sebelum menilai permohonan para Pemohon khususnya mengenai pengujian konstitusionalitas Pasal 107 ayat (1) huruf c UU 27/2009, Mahkamah mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: - Pasal 60 ayat (1) UU MK menyatakan, “ Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali ”, yang juga sejalan dengan ketentuan Pasal __ 42 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang __ Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (selanjutnya __ disebut PMK Nomor 06/PMK/2005) yang menyatakan, “ Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali ”; __ - Pasal 60 ayat (2) UU MK menyatakan , “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda”, yang juga sejalan dengan Pasal 42 ayat (2) PMK Nomor 06/PMK/2005 yang menyatakan, “Terlepas dari ketentuan ayat (1) di atas, permohonan pengujian UU terhadap muatan ayat, pasal, dan/atau bagian Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 141 www.mahkamahkonstitusi.go.id yang sama dengan perkara yang pernah diputus oleh Mahkamah dapat dimohonkan pengujian kembali dengan syarat-syarat konstitusionalitas yang _menjadi alasan permohonan yang bersangkutan berbeda”; _ - Bahwa mengenai konstitusionalitas Pasal 107 ayat (1) huruf c UU 27/2009 telah dipertimbangkan dan diputus Mahkamah pada Putusan Mahkamah Nomor 92/PUU-X/2012, tanggal 27 Maret 2013 dengan amar putusan khusus untuk norma a quo antara lain, “...Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya” - Bahwa para Pemohon perkara Nomor 92/PUU-X/2012 pada pokoknya mengemukakan dalam permohonannya bahwa Pasal 107 ayat (1) huruf c UU 27/2009 telah mereduksi kewenangan Pemohon (Dewan Perwakilan Daerah) untuk ikut serta dalam memberikan persetujuan suatu rancangan undang- undang yang terkait dengan kewenangannya. - Bahwa para Pemohon dalam perkara a quo antara lain mengemukakan dalam permohonannya bahwa Pasal 107 ayat (1) huruf c UU 27/2009 bertentangan dengan Pasal 20A ayat (1), Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dengan alasan frase “membahas rancangan undang-undang tentang APBN bersama Presiden” memberikan ketidakpastian hukum karena dapat ditafsirkan seolah-olah Badan Anggaran dapat berperan seperti Komisi-komisi di DPR untuk membahas rancangan undang-undang tentang APBN; Bahwa terhadap permohonan para Pemohon tersebut, menurut Mahkamah, terdapat perbedaan antara permohonan a quo dengan permohonan Nomor 92/PUU-X/2012 yang telah diputus oleh Mahkamah. Para Pemohon a quo antara lain memohon mengenai konstitusionalitas kewenangan dan masa keberlakuan badan anggaran di DPR RI, sedangkan dalam perkara yang telah diputus Mahkamah dalam Putusan Nomor 92/PUU-X/2012, tanggal 27 Maret 2013 adalah khusus mengenai tidak disebutkannya keikutsertaan DPD dalam pembahasan anggaran oleh Badan Anggaran di dalam norma a quo . Dengan demikian terdapat perbedaan alasan antara permohonan a quo dengan permohonan sebelumnya yang telah diputus Mahkamah, sehingga permohonan para Pemohon terhadap Pasal 107 ayat (1) huruf c akan dipertimbangkan pula dalam putusan ini; [3.15] Menimbang bahwa sebelum menilai isu konstitusional di atas, Mahkamah terlebih dahulu mengemukakan pendapat secara umum mengenai Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 142 www.mahkamahkonstitusi.go.id penyelenggaraan kekuasaan dalam penyusunan dan penetapan anggaran negara menurut konsititusi: Bahwa UUD 1945 mengatur mengenai proses pengajuan dan penetapan anggaran pendapatan dan belanja negara dalam Pasal 23 UUD 1945, yang menyatakan, (1) Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (2) Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah. (3) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu. Makna Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3), pada pokoknya berarti Presiden mengajukan anggaran dan DPR menyetujui anggaran tersebut. Pasal 23 ini memberikan satu deskripsi bahwa Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan negara yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pemerintahan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 4 UUD 1945 adalah yang paling mengetahui hal ihwal program pembangunan yang hendak dilaksanakannya sehingga oleh konstitusi diberikan kewenangan konstitusional yang bersifat eksklusif kepada Presiden untuk mengajukan rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara (RAPBN) yang kemudian dibahas bersama dan disetujui oleh DPR. Hal itu pulalah yang membedakan Rancangan Undang-Undang (RUU) lainnya yang dapat diajukan baik oleh DPR, Presiden, atau RUU tertentu oleh DPD dengan RUU APBN. Ketentuan tersebut sesuai dengan sistem pemerintahan negara yang dianut Indonesia, yaitu sistem presidensial. UUD 1945 memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menjalankan kekuasaan penggunaan anggaran, termasuk merencanakan program dan anggaran pemerintahan negara yang akan dilaksanakan setiap tahun. Anggaran tersebut diajukan oleh Presiden dalam bentuk RUU. Kewenangan DPR dalam hal ini adalah untuk memberikan persetujuan terhadap program maupun rencana anggaran yang diajukan Presiden tersebut, Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 143 www.mahkamahkonstitusi.go.id dalam hal ini memberikan persetujuan dan otorisasi terhadap rancangan anggaran yang diajukan oleh Presiden. Selanjutnya DPR selaku wakil rakyat melakukan kontrol dan pengawasan atas penggunaan anggaran yang telah disetujui bersama. Norma inilah yang pada hakikatnya menjelaskan makna dari fungsi anggaran DPR yang dinyatakan dalam Pasal 20A UUD 1945; Fungsi Anggaran DPR yang diatur dalam norma a quo sangat berkaitan dengan prinsip pembagian kekuasaan antar-lembaga negara yang berdasarkan UUD 1945 menganut prinsip checks and balances antar-lembaga negara yaitu bahwa hubungan satu lembaga negara dengan lembaga negara yang lain dilakukan berdasarkan prinsip kekuasaan dibatasi kekuasaan ( power limited by power) dan bukan kekuasaan mengawasi kekuasaan lain ( power supervises other powers ), apalagi kekuasaan dikontrol oleh kekuasaan lain ( power controls other powers ). Kekuasaan pemerintahan dipandang sebagai kekuasaan yang sangat besar yang harus dibatasi sehingga tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan ( abuse of power ). Checks and balances menjaga agar suatu cabang pemerintahan tidak terlalu kuat kekuasaannya. Pasal 20A UUD 1945 menyatakan bahwa, “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.” Berkaitan dengan penetapan anggaran dalam bentuk APBN, fungsi anggaran DPR tidak terlalu jauh ikut membuat perencanaan anggaran akan tetapi hanya memberikan persetujuan atas rencana yang diajukan oleh Presiden. Hal ini karena adanya prinsip pembagian kekuasaan dan checks and balances tersebut mengakibatkan kewenangan DPR dibatasi dan ditegaskan pada fungsi pengawasan jalannya pemerintahan, sedangkan fungsi perencanaan adalah termasuk pada fungsi eksekutif, yaitu merencanakan dan melaksanakan atau mengeksekusi jalannya pemerintahan. Pembahasan antara DPR dan Presiden sebagaimana dimaksud Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 adalah dalam rangka kewenangan DPR untuk memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap RUU yang diajukan oleh Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) UUD 1945. Dengan demikian, dalam hal ini kewenangan DPR adalah menyetujui atau tidak menyetujui RUU APBN yang diajukan oleh Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 adalah dalam rangka implementasi fungsi anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20A ayat (1) UUD 1945. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 144 www.mahkamahkonstitusi.go.id Berdasarkan pokok pertimbangan tersebut, Mahkamah selanjutnya akan mempertimbangkan setiap isu konstitusional di atas: Konstitusionalitas Badan Anggaran DPR yang Bersifat Tetap [3.16] Menimbang bahwa para Pemohon pada pokoknya mendalilkan frasa “yang bersifat tetap” dalam Pasal 104 UU 27/2009 yang selengkapnya menyatakan, “Badan Anggaran dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap”, dan frasa “pada permulaan masa keanggotaan DPR dan...” dalam Pasal 105 ayat (1) UU 27/2009 yang selengkapnya menyatakan, “DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Badan Anggaran menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap- tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan tahun sidang” bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945. Para Pemohon beralasan bahwa pada tahapan pembahasan dan penetapan APBN, fungsi Badan Anggaran adalah untuk melakukan sinkronisasi hasil pembahasan setiap Komisi DPR terhadap alokasi anggaran untuk setiap fungsi, program, dan kegiatan serta rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga. Untuk pelaksanaan tugas tersebut, tidak diperlukan sebuah alat kelengkapan Badan Anggaran yang bersifat tetap sehingga susunan keanggotaan Badan Anggaran tidak perlu ditetapkan pada awal masa keanggotaan DPR, melainkan dapat diganti setiap tahun pembahasan APBN dengan anggota yang juga bergantian; Bahwa UU 27/2009 menyatakan Badan Anggaran merupakan salah satu alat kelengkapan DPR. Keanggotaan Badan Anggaran berdasarkan Pasal 105 pada pokoknya menentukan bahwa anggota Badan Anggaran merupakan anggota DPR dari setiap komisi yang dipilih oleh komisi. Susunan dan keanggotaan Badan Anggaran ditetapkan oleh DPR dalam Rapat paripurna menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan tahun sidang. Sebuah komisi merupakan unit kerja utama yang membidangi masalah-masalah tertentu yang aktivitasnya berkaitan dengan fungsi-fungsi DPR, substansinya dikerjakan di dalam komisi. Dalam menjalankan fungsi anggaran, setiap komisi akan membahas rancangan anggaran yang diajukan oleh Pemerintah sesuai dengan bidang tugas masing-masing komisi. Pada masa sidang 2009-2014, komisi yang memiliki kekhususan di bidang keuangan, perencanaan pembangunan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 145 www.mahkamahkonstitusi.go.id nasional, perbankan, lembaga keuangan bukan bank adalah Komisi XI. Berkaitan dengan fungsi Badan Anggaran, Pasal 96 ayat (2) UU 27/2009 mengatur mengenai tugas komisi di bidang anggaran yang salah satunya adalah, “menyampaikan hasil pembicaraan pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan hasil pembahasan sebagaimana dimaksud dalam huruf b, huruf c, dan huruf d, kepada Badan Anggaran untuk sinkronisasi” . Dalam pembahasan APBN terutama yang berkaitan dengan pembahasan program dan kegiatan kementerian/lembaga, tidak hanya dibahas oleh Komisi XI, namun terkait juga dengan komisi lain, sehingga diperlukan pembahasan lebih lanjut di Badan Anggaran untuk melakukan sinkronisasi hasil pembahasan tersebut; Bahwa Pasal 107 ayat (1) menyatakan, Badan Anggaran DPR memiliki tugas: a. membahas bersama Pemerintah yang diwakili oleh menteri untuk menentukan pokok-pokok kebijakan fiskal secara umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian/lembaga dalam menyusun usulan _anggaran; _ b. menetapkan pendapatan negara bersama Pemerintah dengan mengacu pada _usulan komisi terkait; _ c. membahas rancangan undang-undang tentang APBN bersama Presiden yang dapat diwakili oleh menteri dengan mengacu pada keputusan rapat kerja komisi dan Pemerintah mengenai alokasi anggaran untuk fungsi, program, dan _kegiatan kementerian/lembaga; _ d. melakukan sinkronisasi terhadap hasil pembahasan di komisi mengenai rencana _kerja dan anggaran kementerian/lembaga; _ _e. membahas laporan realisasi dan prognosis yang berkaitan dengan APBN; dan _ f. membahas pokok-pokok penjelasan atas rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN. Dengan demikian, Badan Anggaran pada pokoknya bertugas melakukan sinkronisasi pembahasan anggaran yang dilakukan di setiap komisi. Hasil sinkronisasi tersebut kemudian disempurnakan lagi di komisi untuk kemudian diserahkan kembali kepada Badan Anggaran untuk bahan akhir penetapan APBN [ vide Pasal 96 ayat (2) UU 27/2009]; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 146 www.mahkamahkonstitusi.go.id Pasal 96 UU 27/2009 yang mengatur mengenai tugas komisi dan Pasal 107 UU 27/2009 yang mengatur mengenai tugas Badan Anggaran terdapat perbedaan antara tugas dan fungsi dari Badan Anggaran dan komisi. Keberadaan Badan Anggaran merupakan salah satu alat kelengkapan yang memegang fungsi penting dalam penyelenggaraan fungsi anggaran DPR. Pembahasan rancangan anggaran di setiap komisi membutuhkan proses sinkronisasi melalui suatu badan yang beranggotakan perwakilan dari setiap komisi. Pasal 20A ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan, “Ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat dan hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam undang-undang,” merupakan dasar konstitusional pembentukan alat kelengkapan DPR yang ketentuan lebih lanjutnya termasuk tata cara persidangan dan alat kelengkapan, diatur dalam UU 27/2009. Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah”, merupakan dasar konstitusional kewenangan DPR dalam menyetujui atau tidak menyetujui RAPBN sebagai salah satu perwujudan fungsi anggaran DPR. Dalam menjalankan fungsi tersebut, DPR memerlukan alat kelengkapan, yang di antaranya, adalah komisi dan Badan Anggaran. Mengenai sifat dan susunan keanggotaan Badan Anggaran, menurut Mahkamah, merupakan kebebasan dari pembentuk undang-undang untuk mengaturnya, karena konstitusi tidak mengatur apakah alat kelengkapan DPR termasuk Badan Anggaran harus bersifat tetap atau bersifat sementara (ad hoc) . Oleh karena itu, menurut Mahkamah, Pasal 104 UU 27/2009 yang menentukan Badan Anggaran sebagai alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, begitupula mengenai pembentukan Badan Anggaran di awal tahun sidang merupakan kebijakan pembentuk Undang-Undang yang bersifat terbuka. Permasalahan penyimpangan atau praktik korupsi yang dilakukan oleh oknum anggota Badan Anggaran dalam membahas APBN, menurut Mahkamah, tidak ditentukan oleh sifat tetap atau tidak tetapnya Badan Anggaran tersebut; Berdasarkan pertimbangan di atas, menurut Mahkamah dalil Pemohon mengenai konstitusionalitas sepanjang frasa “yang bersifat tetap” dalam Pasal Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 147 www.mahkamahkonstitusi.go.id 104 UU 27/2009 dan sepanjang frasa “pada permulaan masa keanggotaan DPR dan...” dalam Pasal 105 ayat (1) UU 27/2009 __ tidak beralasan menurut hukum; Kewenangan Badan Anggaran Membahas RUU APBN [3.17] Menimbang bahwa kewenangan konstitusional DPR untuk membahas APBN diatur dalam Pasal 23 ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan, “Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah” . Pasal tersebut menegaskan dua hal, yaitu: Pertama , dalam sistem checks and balances yang dianut oleh UUD 1945, hanya Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan negara, yang dapat mengajukan RUU APBN. Kedua , rancangan anggaran dalam bentuk Rancangan Undang-Undang tersebut dibahas oleh DPR bersama Presiden. Kewenangan DPR membahas rancangan APBN tersebut selain terkait dengan fungsi anggaran yaitu membahas rancangan anggaran dalam bentuk Rancangan Undang-Undang juga terkait dengan fungsi legislasi yang dimiliki DPR; Bahwa dalam melaksanakan fungsinya membahas RAPBN, DPR membentuk alat kelengkapan berupa komisi dan Badan Anggaran yang beranggotakan perwakilan dari setiap komisi. Fungsi utama Badan Anggaran adalah untuk melakukan sinkronisasi terhadap hasil pembahasan dari setiap Komisi. Pasal 107 ayat (1) huruf c UU 27/2009 menyatakan, “Badan Anggaran _bertugas:
..c. membahas rancangan undang-undang tentang APBN bersama_ Presiden yang dapat diwakili oleh menteri dengan mengacu pada keputusan rapat kerja komisi dan Pemerintah mengenai alokasi anggaran untuk fungsi, program, dan kegiatan kementrian/lembaga.” Menurut Pemohon, frasa “membahas rancangan undang-undang tentang APBN bersama Presiden” memberikan kesan seolah-olah Badan Anggaran diberikan kewenangan yang terlalu luas, yaitu membahas RAPBN, yang seharusnya kewenangan tersebut cukup dilaksanakan oleh DPR dan secara teknis dilaksanakan oleh masing-masing komisi. Menurut Mahkamah, komisi dan Badan Anggaran merupakan alat kelengkapan DPR yang masing-masing tugasnya diatur dalam Pasal 96 dan Pasal 107 UU 27/2009. Hubungan antara komisi dan Badan Anggaran juga diatur dalam pasal-pasal tersebut sebagai berikut: Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 148 www.mahkamahkonstitusi.go.id 1. Komisi bertugas menyampaikan hasil pembicaraan pendahuluan mengenai RAPBN, dan hasil pembahasan usul penyempurnaan RAPBN, alokasi anggaran untuk fungsi, program, dan kegiatan kementrian/lembaga, laporan keuangan negara dan pelaksanaan APBN kepada Badan Anggaran untuk sinkronisasi; [vide Pasal 96 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 27/2009];
Komisi bertugas menyempurnakan hasil sinkronisasi Badan Anggaran berdasarkan usul komisi dan komisi menyerahkan kembali kepada Badan Anggaran hasil pembahasan sebagai bahan akhir dalam penetapan APBN [vide Pasal 96 ayat (2) huruf f dan huruf g UU 27/2009];
Badan Anggaran bertugas menetapkan pendapatan negara bersama Pemerintah dengan mengacu pada usulan komisi terkait; [vide Pasal 107 ayat (1) huruf b UU 27/2009];
Badan Anggaran bertugas membahas RAPBN bersama Presiden yang dapat diwakili oleh menteri dengan mengacu pada keputusan rapat kerja komisi dan Pemerintah mengenai alokasi anggaran untuk fungsi, program, dan kegiatan kementrian/lembaga. [vide Pasal 107 ayat (1) huruf c UU 27/2009];
Badan Anggaran bertugas melakukan sinkronisasi terhadap hasil pembahasan di komisi mengenai rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga. [vide Pasal 107 ayat (1) huruf d UU 27/2009];
Badan Anggaran hanya membahas alokasi anggaran yang sudah diputuskan oleh komisi [vide Pasal 107 ayat (2) UU 27/2009]; Bahwa berdasarkan norma yang mengatur hubungan antara komisi dan Badan Anggaran tersebut, fungsi utama Badan Anggaran adalah untuk melakukan sinkronisasi pembahasan terkait anggaran yang telah dilakukan oleh masing- masing komisi. Pasal 107 ayat (2) juga membatasi alokasi anggaran apa saja yang dapat dibahas oleh Badan Anggaran, yaitu terbatas pada alokasi anggaran yang telah diputuskan oleh komisi. Oleh karena itu, tidak tepat apabila kemudian Badan Anggaran dianggap sebagai alat kelengkapan DPR yang kewenangannya melebihi komisi atau supra komisi. Pasal 23 UUD 1945 menentukan bahwa DPR memiliki kewenangan untuk membahas RAPBN bersama Presiden, namun tidak menentukan seperti apa mekanisme yang dapat digunakan oleh DPR dalam pembahasan tersebut. Pembagian tugas pembahasan RUU, khususnya RAPBN kepada komisi dan Badan Anggaran merupakan mekanisme yang dipilih Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 149 www.mahkamahkonstitusi.go.id pembentuk Undang-Undang dalam implementasi Pasal 23 UUD 1945 tersebut. Selama komisi dan Badan Anggaran yang dimaksud dalam Undang-Undang tersebut merupakan alat kelengkapan DPR, dan pengesahan RAPBN menjadi APBN tetap dilaksanakan dalam rapat paripurna DPR maka norma Pasal 107 ayat (1) huruf c UU 27/2009 tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak pula bertentangan dengan Pasal 23 UUD 1945; Kewenangan DPR Membahas RAPBN Secara Rinci Persoalan konstitusional selanjutnya yang harus dijawab adalah seberapa rinci rancangan anggaran yang harus diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama dengan DPR dan seberapa luas ruang lingkup kewenangan DPR dalam mengubah rencana anggaran yang telah diajukan oleh Presiden; Bahwa Pasal 71 huruf (g) UU 27/2009 menyatakan, “DPR mempunyai tugas dan _wewenang: _ ... g. membahas bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan memberikan persetujuan atas rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden.” Menurut Mahkamah Pasal a quo sesuai dengan rumusan Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Rancangan undang-undang anggaran dan pendapatan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah” . Pasal tersebut menentukan kewenangan DPR untuk membahas RAPBN bersama Presiden. Hal yang dipersoalkan oleh para Pemohon adalah berkaitan dengan seberapa rinci RAPBN harus diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama dan disetujui DPR. Pengaturan mengenai seberapa rinci pembahasan RAPBN tersebut kemudian dinyatakan oleh Pasal 15 ayat (5) UU 17/2003, dengan rumusan yang sama terdapat dalam Pasal 159 ayat (5) UU 27/2009, yang menyatakan, “APBN yang disetujui oleh DPR terperinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis _belanja”; _ Dengan memperhatikan pembagian dan pembatasan kewenangan melalui sistem checks and balances yang telah dipertimbangkan oleh Mahkamah di atas, pada pokoknya penetapan APBN dilakukan oleh dua pemegang cabang kekuasaan yaitu oleh Presiden dan DPR. Kedua lembaga tersebut memiliki peran dan batasan kewenangan yang berbeda. Presiden Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 150 www.mahkamahkonstitusi.go.id mengajukan RAPBN sebagai instrumen penyelenggaraan pemerintahan yang secara spesifik dilaksanakan oleh kementerian/lembaga. Sementara itu, DPR menjalankan fungsi anggaran, atau fungsi membahas dan menyetujui anggaran yang diajukan Presiden dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran yang sudah disetujui bersama. Menurut Mahkamah, berdasarkan prinsip pembatasan kekuasaan, kewenangan DPR terkait APBN adalah:
Membahas dan menyetujui bersama Presiden atas RAPBN yang telah diajukan Presiden;
Mengawasi pelaksanaan APBN yang sudah disetujui bersama tersebut; Dengan demikian DPR secara konstitusional memiliki wewenang membahas dan menyetujui RAPBN. Pasal 159 ayat (5) UU 27/2009 menyatakan, “ APBN yang disetujui oleh DPR terperinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja ”. Menurut ketentuan tersebut, pembahasan antara Presiden dan DPR dalam rangka persetujuan RAPBN meliputi unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Menurut Mahkamah, pembahasan terinci sampai pada tingkat kegiatan dan jenis belanja kementerian/lembaga dapat menimbulkan persoalan konstitusional apabila dilihat dari kewenangan konstitusional DPR sebagaimana telah diuraikan di atas. Persoalan tersebut bersumber dari keikutsertaan DPR dalam membahas RAPBN yang terperinci sampai dengan kegiatan dan jenis belanja. Hal tersebut tidak sesuai dengan fungsi dan kewenangan DPR sebagai lembaga perwakilan yang seharusnya tidak ikut menentukan perencanaan yang sifatnya sangat rinci sampai dengan tingkat kegiatan dan jenis belanja. Adapun kegiatan dan jenis belanja merupakan urusan penyelenggaraan pemerintahan negara yang dilaksanakan oleh Presiden sebagai perencana dan pelaksana APBN. Menurut Mahkamah, selain itu, pembahasan terperinci sampai pada tingkat kegiatan dan jenis belanja (satuan tiga) dalam APBN merupakan implementasi program atas perencanaan yang merupakan wilayah kewenangan Presiden, karena pelaksanaan rincian anggaran sangat terkait dengan situasi dan kondisi serta dinamika sosial ekonomi pada saat rencana tersebut di- implementasikan. Ketika DPR melalui Badan Anggaran memiliki kewenangan untuk membahas RAPBN secara terperinci sampai dengan tingkat kegiatan dan jenis belanja maka pada saat itu DPR telah melewati kewenangannya dalam Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 151 www.mahkamahkonstitusi.go.id melakukan fungsi anggaran dan telah terlalu jauh memasuki pelaksanaan perencanaan anggaran yang merupakan ranah kekuasaan eksekutif. Menurut Mahkamah harus ada batasan mengenai rincian anggaran yang dapat dibahas atau diubah oleh DPR. Selain itu, proses perencanaan anggaran adalah proses kerja yang sangat spesifik dan teknis, sehingga hanya dipahami secara mendetail dan terperinci oleh masing-masing penyelenggara negara tersebut; [3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas dalam kaitannya satu dengan yang lain, agar kewenangan DPR tersebut sesuai dengan batas-batas yang ditentukan oleh konstitusi dalam proses pembahasan dan penetapan APBN, Mahkamah perlu memberi penafsiran konstitusional terhadap Pasal 107 ayat (1), Pasal 157 ayat (1) huruf c, dan Pasal 159 ayat (5) UU 27/2009 serta Pasal 15 ayat (5) UU 17/2003 sebagaimana yang akan disebutkan dalam amar putusan di bawah; Konstitusionalitas Penundaan Pencairan (Pemberian Tanda Bintang) Anggaran oleh DPR [3.19] Menimbang bahwa menurut Pemohon, Pasal 71 huruf g UU 27/2009 yang menyatakan, _“DPR mempunyai tugas dan wewenang:
.. g. Membahas_ bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan memberikan persetujuan atas rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden”, dan Pasal 156 huruf a dan huruf b UU 27/2009 yang menyatakan, “Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal _71 huruf g, DPR menyelenggarakan kegiatan sebagai berikut:
Pembicaraan_ pendahuluan dengan Pemerintah dan Bank Indonesia dalam rangka menyusun _perancangan APBN;
Pembahasan dan penetapan APBN yang didahului dengan_ penyampaian rancangan undang-undang tentang APBN beserta nota keuangannya oleh Presiden”. Implementasi ketentuan tersebut, __ ditafsirkan oleh DPR dengan melakukan praktik pemblokiran atau pemberian tanda bintang terhadap mata anggaran kementerian/lembaga sehingga penafsiran tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Menurut Pemohon hal ini terjadi karena adanya pembahasan mata anggaran setelah rapat paripurna penetapan RAPBN ditetapkan menjadi Undang-Undang APBN; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 152 www.mahkamahkonstitusi.go.id Bahwa sesuai dengan pembagian kewenangan antara Presiden dan DPR dalam penyelenggaraan APBN seperti yang telah dipertimbangkan di atas, menurut Mahkamah, kewenangan DPR dalam melaksanakan fungsi anggaran adalah terbatas pada persetujuan dan pengawasan anggaran. Meskipun UU 27/2009 tidak secara eksplisit mengatur mengenai proses pembahasan dan penetapan RAPBN menjadi APBN di dalam Badan Anggaran maupun di dalam rapat paripurna, pengaturan tentang proses pembahasan dan penetapan RAPBN menjadi APBN tidak dibenarkan untuk menyalahi prinsip pembatasan kewenangan DPR dalam prinsip checks and balances yang dianut oleh konstitusi. Hal ini penting untuk menjamin adanya keseimbangan antara kekuasaan legislatif dan eksekutif sesuai dengan porsi masing-masing. Praktik penundaan pencairan (pemberian tanda bintang) anggaran pada mata anggaran oleh DPR yang mengakibatkan mata anggaran tersebut tidak mendapat otorisasi untuk digunakan sudah masuk pada pelaksanaan APBN yang telah ditetapkan sebelumnya, dan bukan termasuk pada salah satu fungsi pengawasan oleh DPR yang dimaksud oleh UUD 1945. Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, untuk adanya kejelasan dan ketegasan mengenai kewenangan DPR ketika menyelenggarakan fungsinya dalam penyusunan dan penetapan APBN maka Undang-Undang, dalam hal ini UU APBN, harus secara tegas menyetujui atau tidak menyetujui mata anggaran tertentu dengan tanpa persyaratan seperti dengan melakukan penundaan pencairan (pemberian tanda bintang). Dengan adanya persyaratan dalam pencairan APBN, sangat berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kewenangan. Oleh karena itu, Pasal 71 huruf (g) UU 27/2009 yang menyatakan, “DPR _mempunyai tugas dan wewenang:
Membahas bersama Presiden dengan_ memperhatikan pertimbangan DPD dan memberikan persetujuan atas rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden” dan Pasal 156 huruf a dan huruf b UU 27/2009 yang menyatakan, “Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf g, DPR _menyelenggarakan kegiatan sebagai berikut:
Pembicaraan pendahuluan_ dengan Pemerintah dan Bank Indonesia dalam rangka menyusun perancangan _APBN;
Pembahasan dan penetapan APBN yang didahului dengan_ penyampaian rancangan undang-undang tentang APBN beserta nota keuangannya oleh Presiden; ” bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 153 www.mahkamahkonstitusi.go.id dimaknai, “masih ada lagi proses pembahasan setelah RUU APBN diundangkan menjadi UU APBN”. Dengan demikian, permohonan Pemohon a quo beralasan menurut hukum _; _ Konstitusionalitas Proses dan Ruang Lingkup Pembahasan Perubahan APBN oleh DPR [3.20] Menimbang bahwa menurut Pemohon, ketentuan mengenai Perubahan APBN (APBN-P) yang diatur dalam Pasal 161 UU 27/2009, berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan berpotensi melanggar prinsip APBN untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat karena pembahasan APBN-P dilakukan dalam proses yang berbeda dengan pembahasan APBN; Bahwa Perubahan terhadap APBN yang terjadi di pertengahan tahun anggaran menurut Mahkamah merupakan hal yang tidak dapat dihindari karena dalam satu tahun anggaran terdapat kemungkinan perubahan terhadap kondisi perekonomian, baik secara nasional maupun global yang dapat mempengaruhi pengelolaan anggaran dan pendapatan belanja negara. Faktor yang dapat mendasari perubahan ini dinyatakan dalam undang-undang dalam bentuk: i) Perubahan asumsi ekonomi makro yang sangat signifikan; ii) Perubahan postur APBN yang sangat signifikan [vide Pasal 161 ayat (1) UU 27/2009]. Selanjutnya Pasal a quo menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Perubahan asumsi ekonomi makro yang sangat signifikan yaitu berupa prognosis: i) penurunan pertumbuhan ekonomi, minimal 1% (satu persen) di bawah asumsi yang telah ditetapkan; dan/atau ii) deviasi asumsi ekonomi makro lainnya minimal 10% (sepuluh persen) dari asumsi yang telah ditetapkan [vide Pasal 161 ayat (2) UU 27/2009]. Adapun yang dimaksud dengan perubahan postur APBN yang sangat signifikan yaitu berupa prognosis: i) penurunan penerimaan perpajakan minimal 10% (sepuluh persen) dari pagu yang telah ditetapkan; ii) kenaikan atau penurunan belanja kementerian/lembaga minimal 10% (sepuluh persen) dari pagu yang telah ditetapkan; iii) kebutuhan belanja yang bersifat mendesak dan belum tersedia pagu anggarannya; dan/atau iv) kenaikan defisit minimal 10% (sepuluh persen) dari rasio defisit APBN terhadap produk domestik bruto (PDB) yang telah ditetapkan [vide Pasal 161 ayat (3) UU 27/2009]; Selain itu, ketentuan mengenai perubahan APBN juga diatur dalam Pasal 156 huruf c angka 2 yang pada pokoknya menyatakan bahwa salah satu Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 154 www.mahkamahkonstitusi.go.id tugas DPR adalah melakukan pembahasan mengenai penyesuaian APBN dengan perkembangan dan/atau perubahan dalam rangka penyusunan prakiraan perubahan atas APBN tahun anggaran yang bersangkutan, apabila terjadi: i) perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang digunakan dalam APBN; ii) perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal; iii) keadaan yang menyebabkan harus dilakukannya pergeseran anggaran antar unit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja; dan/atau iv) keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan [vide Pasal 156 huruf c angka 2 UU 27/2009]; Menurut Mahkamah, UUD 1945 tidak mengatur mengenai alasan dan proses perubahan terhadap APBN dalam bentuk penetapan APBN-P, namun demikian Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 secara eksplisit menyatakan bahwa tujuan dari pengelolaan keuangan negara dalam bentuk APBN adalah untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat. Dengan berpegang pada prinsip konstitusi tersebut maka perubahan APBN di tengah tahun anggaran adalah konstitusional selama bertujuan untuk kepentingan kemakmuran rakyat; Bahwa mengenai proses perubahan APBN dalam bentuk penetapan APBN- P, pada prinsipnya harus berlaku sama sebagaimana halnya APBN, sehingga penetapan APBN-P haruslah dalam bentuk Undang-Undang. Proses ini diatur dalam Undang-Undang yang menyatakan bahwa perubahan APBN dilakukan oleh Pemerintah bersama dengan Badan Anggaran dan komisi terkait. Apabila tidak terjadi perubahan asumsi ekonomi makro dan/atau perubahan postur APBN yang sangat signifikan, pembahasan perubahan APBN dilakukan dalam rapat Badan Anggaran dan pelaksanaannya disampaikan dalam laporan keuangan Pemerintah [vide Pasal 161 ayat (4) dan ayat (5) UU 27/2009]. Menurut Mahkamah, apabila hanya mengenai pergeseran anggaran antarunit organisasi dan antarprogram maka hal tersebut tidaklah diperlukan perubahan APBN dalam bentuk perubahan Undang-Undang APBN karena tidak menambah, atau mengurangi pagu anggaran. Dengan demikian permohonan Pemohon mengenai Pasal 161 UU 27/2009 tidak beralasan menurut hukum; [3.21] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas maka segala ketentuan dalam UU 17/2003 dan UU 27/2009 yang didalamnya memuat Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 155 www.mahkamahkonstitusi.go.id frasa “ kegiatan dan jenis belanja “ harus dimaknai sama dengan pasal atau ketentuan yang telah dipertimbangkan sebelumnya; [3.22] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah berpendapat bahwa permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo ; [4.2] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Pokok permohonan beralasan menurut hukum untuk sebagian; Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), d a n Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
AMAR PUTUSAN Mengadili, Menyatakan : Dalam Pokok Permohonan:
Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
1.2. Frasa “ kegiatan, dan jenis belanja ” dalam Pasal 15 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4286] tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
1.3. Pasal 15 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4286] selengkapnya menjadi, “ APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, dan program ”;
2.1. Pasal 71 huruf g Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043] bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai, “masih ada lagi proses pembahasan setelah RUU _APBN diundangkan menjadi UU APBN”; _ 1.2.2. Pasal 71 huruf g Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 157 www.mahkamahkonstitusi.go.id 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043] tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai, “masih ada lagi proses pembahasan setelah RUU APBN diundangkan menjadi UU _APBN”; _ 1.2.3. Frasa “ dan kegiatan ” dalam Pasal 107 ayat (1) huruf c Undang- Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043] bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 _; _ 1.2.4. Frasa “ dan kegiatan ” dalam Pasal 107 ayat (1) huruf c Undang- Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043] tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
2.5. Pasal 107 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043] selengkapnya menjadi, “... c. membahas rancangan undang-undang tentang APBN bersama Presiden yang dapat diwakili oleh menteri dengan mengacu pada keputusan rapat kerja komisi dan Pemerintah mengenai alokasi anggaran untuk fungsi, dan program kementerian/lembaga ”;
2.6. Pasal 156 huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 158 www.mahkamahkonstitusi.go.id Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043] bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai, “masih ada lagi proses pembahasan _setelah RUU APBN diundangkan menjadi UU APBN”; _ 1.2.7. Pasal 156 huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043] tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai, “masih ada lagi proses pembahasan setelah RUU APBN diundangkan menjadi _UU APBN”; _ 1.2.8. Frasa “antarkegiatan, dan antarjenis belanja” dalam Pasal 156 huruf c angka 2 huruf (c) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043] bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.9. Frasa “antarkegiatan, dan antarjenis belanja” dalam Pasal 156 huruf c angka 2 huruf (c) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043] tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 159 www.mahkamahkonstitusi.go.id 1.2.10. Pasal 156 huruf c angka 2 huruf (c) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043] selengkapnya menjadi, “... c. keadaan yang menyebabkan harus dilakukannya _pergeseran anggaran antarunit organisasi; dan/atau _ ”;
2.11. Frasa “ dan kegiatan ” dalam Pasal 157 ayat (1) huruf c Undang- Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043] bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.12. Frasa “ dan kegiatan ” dalam Pasal 157 ayat (1) huruf c Undang- Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043] tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
2.13. Pasal 157 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043] selengkapnya menjadi, “... c. rincian unit organisasi, fungsi, dan program ”;
2.14. Frasa “ kegiatan, dan jenis belanja ” dalam Pasal 159 ayat (5) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 160 www.mahkamahkonstitusi.go.id Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043] bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.15. Frasa “ kegiatan, dan jenis belanja ” dalam Pasal 159 ayat (5) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043] tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
2.16. Pasal 159 ayat (5) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043] selengkapnya menjadi, “ ... (5) APBN yang disetujui oleh DPR terperinci sampai dengan unit _organisasi, fungsi, dan program”; _ 2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya. Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh delapan Hakim Konstitusi yaitu Hamdan Zoelva, selaku Ketua merangkap Anggota, Arief Hidayat, Anwar Usman, Ahmad Fadlil Sumadi, Maria Farida Indrati, Harjono, Muhammad Alim, dan Patrialis Akbar, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Selasa, tanggal dua puluh delapan, bulan Januari, tahun dua ribu empat belas, dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis, tanggal dua puluh dua, bulan Mei, tahun dua ribu empat belas, selesai diucapkan pukul 16.53 WIB , oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Hamdan Zoelva, selaku Ketua merangkap Anggota Arief Hidayat, Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 161 www.mahkamahkonstitusi.go.id Anwar Usman, Ahmad Fadlil Sumadi, Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, Patrialis Akbar, Aswanto, dan Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Ery Satria Pamungkas sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh para Pemohon atau kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili. KETUA, ttd Hamdan Zoelva ANGGOTA-ANGGOTA, ttd Arief Hidayat ttd Anwar Usman ttd Ahmad Fadlil Sumadi ttd Maria Farida Indrati ttd Muhammad Alim ttd Patrialis Akbar ttd Aswanto ttd Wahiduddin Adams PANITERA PENGGANTI, ttd Ery Satria Pamungkas Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
Pengujian UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan terhadap UUD Negara RI Tahun 1945
Relevan terhadap
(Pihak lain dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Bank Indonesia wajib menolak dan mengabaikan segala campur tangan dari pihak manapun dalam pelaksanaan tugasnya). Pasal 48 (Anggota Dewan Gubernur tidak dapat diberhentikan dalam masa jabatannya kecuali karena yang bersangkutan mengundurkan diri, terbukti melakukan tindak pidana kejahatan, atau berhalangan) dimaksudkan untuk memperkukuh Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 di atas. Ketika saya membaca Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 48 UU Nomor 23 Tahun 1999 itu, instinct saya mendorong saya untuk berkesimpulan negatif: "Ini negara di dalam negara!" Hal ini berdasar keraguan saya tentang bagaimana mungkin bisa menjadi sangat ekslusif, bahwa Bank Indonesia sekaligus menetapkan dan melaksanakan kebijaksaan moneter (secara independen). Ibaratnya pemerintah menjadi terbungkam, disisihkan peran aktifhya untuk mengatur kebijaksanaan ekonomi yang pasti selalu mengandung kebijaksanaan moneter sebagai derivatnya. Entah dari mana datangnya naskah Undang-Undang Bank Indonesia semacam itu. Pernah diberitakan naskah itu datang dari Jerman yang berhaluan Bundesbank. Kalau benar demikian memang tak mengherankan terasa benar adanya semacam "kediktatoran" ala Jerman. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 50 Dari pengantar di atas tentulah menjadi lumrah bahwa saat ini telah terjadi "kerunyaman" ( absurdity ) dalam hubungan antara Bank Indonesia dan Pemerintah. Kemelut besar yang saat ini melanda Bank Indonesia tak terlepas dari kedudukan independensinya yang tidak dapat diterima, baik oleh pemerintah maupun oleh sebagian masyarakat yang tidak menghendaki adanya dualisme soverenitas. Tentu kemelut besar di Bank Indonesia itu terjadi pula karena alasan intern. Kemelut semacam ini telah menjelaskan sendiri ( self-explanatory ), bahwa sebenamya Bank Indonesia telah gagal melaksanakan peran dan tugasnya secara optimal sebagaimana ditentukan oleh Penjelasan Pasal 23 UUD 1945, dan Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 UU Nomor 23 Tahun 1999. Bank Indonesia terbukti tidak mampu memelihara kestabilan nilai rupiah, tidak mampu menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter secara tepat. Mengatur dan menjaga kelancaran sistim pembayaran pun tidak jelas arah dan ujudnya. Lebih dari itu Bank Indonesia jelas telah gagal dalam mengatur dan mengawasi bank-bank. Perbankan Indonesia menjadi berantakan dan terpuruk seperti yang kita lihat saat ini tidak terlepas dari tidak efektifnya pengawasan Bank Indonesia. Undang-Undang tentang Bank Indonesia ini sudah berlaku satu setengah tahun, lebih tua dari usia pemerintahan Gus Dur, namun tidak ada tanda-tanda akan bisa efektif. Untuk sedikit lebih bersahabat dalam menanggapi independensi Bank Indonesia sebagaimana ditetapkan oleh UU Nomor 23 Tahun 1999, dapatlah kiranya dikemukakan sebagai berikut ini. Keinginan untuk memberikan kedudukan independensi kepada Bank Indonesia tentulah tidak terlepas dari pengalaman sejarah, betapapun pendek sejarah ini. Memang pemerintahan Orde Baru yang totalitarian telah menyalahgunakan kekuasaannya dan menjadikan Bank Indonesia sebagai suatu alat kekuasaan rezim. Bank Indonesia tidak lagi menjadi suatu lembaga terhormat untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya yang mulia demi kemaslahatan bangsa dan negara, tetapi telah menjadi alat kekuasaan bagi para penguasa negara. Jadi independensi bank dimaksudkan untuk menghindari dapat terjadinya campur tangan kotor dari pemerintahan yang tidak bersih, yang penuh dengan pelanggaran dan penyalah-gunaan kekuasaan. Dari sinilah lahir citacita independensi untuk bank sentral itu dan sekaligus melebar ke tingkat ekstrimitasnya, sehingga mengabaikan posisi sub-ordinasi terhadap pemeritahan negara. Sampai-sampai secara eksplisit tersurat ketentuan yang menetapkan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 51 bahwa "pihak lain dilarang melakukan segala macam campur tangan" dan juga bahwa "Bank Indonesia wajib menolak dan mengabaikan segala campur tangan dari pihak manapun ". Ini yang absurd sekali ! Di dalam independensi ini tersurat dan tersirat kuat adanya sikap apriori bahwa setiap pemerintah (pemerintahan negara) pastilah akan selalu kotor, akan selalu menyeleng dan menyalahgunakan kekuasaan serta korup. Seolah-olah tidak pernah terbayangkan bahwa suatu pemerintahan dapat pula akan baik, bersih dan berwibawa, sebagaimana reformasi mencita-citakannya. Sebaliknya, independensi itu dilandasi oleh suatu pandangan apriori menyakini bahwa bank sentral kita pastilah akan merupakan suatu lembaga yang tangguh, bersih, bebas dari penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaannya, serba baik, dan terhormat, patut diseganai dan profesional dan seterusnya, Andaikata demikian ini yang digambarkan tentang Bank Indonesia, dengan segala kepatutannya untuk menyandang independensi, maka kita tidak perlu terperanjat melihat kenyataan semrawut yang ada, yang pasti akan menjadi bahan tertawaan. Bank Indonesia telah kebobolan, kecolongan, telah menjadi "sarang penyamun" sebagaimana Anwar Nasution pernah menggambarkannya. Dengan independensinya itu, pimpinan Bank Indonesia bahkan cenderung arogan. Independensi Bank Indonesia terkesan telah menumbuhkan semacam superiority complex dan sekaligus mendorong pimpinan Bank Indonesia lebih berani ngawur dalam membuat pemyataan-pemyataan kebijaksanaan yang sebenamya memerlukan kedalaman pemikiran (misalnya saja mengenai pasar-bebas, spekulasi dan intervensi) belum lama ini. Dengan mutu profesionalisme dan kepemimpinan semacam itu independensi Bank Indonesia dapat saja berubah menjadi malapetaka nasional. Patut diragukan, mampukah Bank Indonesia membendung krisis moneter yang saat ini masih terus mengintai Indonesia. Ibaratnya Bank Indonesia, ataupun pihak-pihak yang menghendaki independensi Bank Indonesia, telah menuding kebobrokan pemerintah, tanpa mampu mawas diri bahwa Bank Indonesia sebenamya sedang menjadi tudingan masyarakat. Mengenai Presiden Abdurrahman Wahid dan gaya kepemimpinannya dalam penyelenggaraan pemerintahan negara yang "otoritarian". Dengan mudah dapat dipahami bahwa Presiden Abdurrahman Wahid pasti akan "berselisih" dengan Bank Indonesia berkaitan dengan independensi Bank Indonesia semacam itu. Memang untuk alasan apapun, tentu diharapkan alasan yang baik (reformasi), Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 52 independensi Bank Indonesia macam ini akan memasung dinamika dan kreativitas penyelenggaraan negara. Pemerintah akan merasakan, seperti diungkapkan di atas, adanya negara di dalam negara. Hal ini sempat ahli (sebagai pembicara utama) kemukakan dalam suatu diskusi reformatif yang diprakarsai oleh Salahuddin Wahid beberapa waktu yang lalu dan mendapat tanggapan positif dan kurang lebihnya afirmatif. Belum lagi kalau penyakit lama kambuh, bahwa pemerintah benar-benar akan main kayu, mencampuradukkan antara reformasi dan deformasi sekaligus, maka independensi Bank Indonesia akan merupakan sumber perselisihan yang akut. Seperti dapat diduga, inilah yang terjadi saat ini. Lebih dari itu, bukan saja tentang independensi Bank Indonesia yang kini dipermasalahkan, tetapi juga tentang posisi dan kekuasaan Bank Indonesia telah menjadi suatu perebutan yang memalukan. Independensi Bank Indonesia semacam itu tentu akan menarik bagi kekuatan (partai-partai) oposisi. Independensi akan bisa menjadi sarana perebutan kekuatan antara pemerintah dengan pihak oposisi, dengan menggunakan otoritas Bank Indonesia sebagai benteng perlawanan politik. Inipun kiranya sedang terjadi pada saat ini. Antara Pemerintah dan Bank Indonesia seharusnyalah terjadi suatu koordinasi integral. Indonesia menganut faham " Penta Politica ", pemisahan kekuasaan antara lima (penta) kekuasaan negara, yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, yudikatif, advisori (DPA) dan auditori (BPK). Bank Indonesia tidak ada kaitannya dengan penta politica ini. Dalam posisi semacam ini maka Bank Indonesia haruslah terkoordinasi dalam pemerintahan negara yang diselenggarakan oleh Pemerintah, di dalam suatu tingkat sub-ordinasi tertentu. Selanjutnya biarlah lembaga legislatif melakukan pengawasan efektifnya terhadap Pemerintah. Dengan kata lain independensi Bank Indonesia perlu di redefinisi, harus menjadi lebih supel dan fleksible, sehingga tidak terjadi dualisme otoritas dan kebijaksanaan antara pemerintah dan Bank Indonesia. Tanpa itu maka kemelut ekonomi dan moneter di lapangan akan sulit diatasi. Independensi yang menumbuhkan dualisme otoritas semacam itu memang peka akan pertarungan. Dalam pertarungan antara keduanya tentulah akan menguntungkan pihak ketiga yang dapat mempermainkan dan menggerogoti perekonomian nasional kita. Pertengkaran antara pemerintah dan Bank Indonesia saat ini pasti akan lebih Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 53 memperpuruk rupiah kita, mendorong capital flight, melambungkan tingkat suku bunga, menghambat investasi dan tentulah menunda pembukaan lapangan kerja bagi rakyat. Penyelewengan KLBI dan BLBI akan makin sulit terlacak, pencetakan uang palsu akan makin sukar diungkap. Sementara itu ahli menghargai sikap konsekuen dan taat hukum Syahril Sabirin sampai UU Nomor 23 Tahun 1999 itu di amendemen secara jujur (tanpa ada udang di balik batu). Saya pun menghargai sikap Pemerintah yang tidak menghendaki dualisme soverenitas, yang tidak mustahil dualisme ini merupakan suatu skenario politik besar terhadap Indonesia; Landasan hukum pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Pasal 34 (1) Tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang. (2) Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2002; Selanjutnya dalam UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bagian Menimbang: Butir a. menyatakan "bahwa untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, diperlukan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat". Boleh ditanyakan kepada jajaran pimpinan OJK yang ada di ruang ini, bagaimana melaksanakan tugas negara ini secara independen. Butir b. "Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam butir a, diperlukan otoritas jasa keuangan yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara terpadu, independen, dan akuntabel". Boleh ditanyakan pula kepada jajaran pimpinan OJK yang ada di ruang ini bagaimana OJK bisa akuntabel, terhadap siapa, terhadap Bank Indonesia, terhadap Kementerian Keuangan atau kepada DPR, atau kepada diri sendiri? Menurut website OJK, fungsi OJK adalah menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 54 sektor jasa keuangan. Mengulangi presentasi tertulis saya yang disampaikan di ruang ini pada tanggal 18 September 2014, saya ingin menegaskan ulang tentang OJK sebagai lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur-tangan oihak lain, yang menjadikannya sebagai super-body dalam dunia keuangan Indonesia. Peran OJK dalam perekonomian nasional adalah sangat sektoral, yaitu menyangkut sektor jasa keuangan saja. Selanjutnya sesuai dengan UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK tidak dipersoalkan kaitan OJK dengan tugas nasional sesuai dengan Pasal 33 dan Pasal 34 UUD 1945, serta masalah Sila ke-5 Pancasila, yaitu "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Tugas sektoral OJK di dalam sektor jasa keuangan yang adil, transparan dan akuntabel untuk mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat secara independen, sama sekali tidak menjamin dan bahkan dapat bertentangan dengan tugas-tugas spesifik sesuai dengan doktrin kebangsaan (nasionalisme) dan doktrin kerakyatan yang dianut oleh Negara Republik Indonesia; Memang barangkali OJK dapat melaksanakan tugas sektoralnya secara teratur, adil, transparan dan akuntabel serta mewujudkan sistem keuangan tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, namun tanpa merasa terikat (misalnya) dengan masalah riil yang dihadapi oleh bangsa Indonesia, yaitu makin melebarnya kesenjangan antara kaya dan miskin (Gini ratio 2005 0,34% dan sekarang 2014 0,46%), makin dominannya investasi asing terhadap perekonomian nasional dan makin terdesaknya investor nasional dan ekonomi rakyat. Lebih dari itu meskipun pertumbuhan ekonomi di atas 5,5% (ini pun tidak terlalu tinggi), namun Indonesia makin kehilangan kedaulatan ekonomi: kita makin tidak berdaulat dalam pertanian khususnya pangan dan bibit, obat-obat dasar, teknik industri, teknologi dan energi. Dan lebih hebat lagi kita tidak berdaulat dalam penguasaan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya [ayat (3) Pasal 33 UUD 1945] karena berlakunya sistem keuangan yang liberalistik dan kapitalistik, yang OJK berdasar tugasnya malahan dapat mengukuhkan penyelewengan konstitusional ini. Sektor keuangan dapat tetap adil, transparan dan akuntabel serta tumbuh berkelanjutan dan stabil serta melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat sesuai dengan konsideran UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK, namun Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 55 independensi yang menjadikan OJK " super body " tidak memungkinkan OJK dapat mengatasi tantangan-tantangan dan keprihatinan perekonomian di atas, bahkan dengan wewenangnya sebagai super body bisa malah mengabaikan dan membahayakan kepentingan nasional demi kestabilan sektor jasa keuangan belaka. Oleh karena itu, peran OJK hendaknya dikembalikan kepada Bank Indonesia atau ke Departemen Keuangan agar terkait dengan tugas-tugas menyelamatkan perekonomian nasional dan kepentingan nasional Indonesia. Janganlah sampai dengan tugas sektoral OJK tadi yang terjadi adalah pembangunan di Indonesia, dan bukan pembangunan Indonesia artinya bangsa Indonesia hanya menjadi penonton atau menjadi kuli di negeri sendiri. Demikian pula jangan sampai dengan pengutamaan kestabilan dan pertumbuhan jasa keuangan maka pembangunan menjadi penggusuran terhadap orang miskin, bukan penggusuran kemiskinan;
Dr. Margarito Kamis, S.H., M.H. Apabila Undang-Undang OJK dikenali secara utuh agak sulit untuk tidak berkesimpulan bahwa ini tampak seperti negara dalam negara. Ahli ingin mengatakan bahwa Pasal 23D UUD 1945 menyatakan, “Negara memiliki suatu Bank Central yang susunan kedudukan, kewenangan, tanggungjawab, dan independensi-nya diatur dengan undang-undang” , tidak dapat dan/atau tidak bermakna bahwa independensi atau Bank Indonesia atau Bank Central itu sebagian kewenangannya mesti diserahkan kepada organ lain yang tidak diperintahkan oleh konstitusi. Makna independensi dalam Pasal 23D UUD 1945 harus dimaknai sebagai patokan penentu relasi antar Bank Indonesia dengan Pemerintah. Jadi, derajat relasi hukum antara fungsi antara pemerintah dengan Bank Indonesia itu yang dimaksud dengan Pasal 23D UUD 1945 bukan mengurangi sebagian kewenangan Bank Indonesia dan kewenangan itu diserahkan kepada lembaga lain di luarnya. Itu sebabnya saya mengawali dengan mengatakan bahwa bila dikenali betul Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2012 ini secara konstitusional terlalu sulit untuk tidak menyatakan OJK tampak seperti negara dalam negara; Ahli ingin memperkuatnya dengan mengenali beberapa atau mengungkapkan beberapa saja diantaranya sebab tidak mungkin itu diungkapkan semua karena ahli yakin betul bahwa Majelis pun memiliki penilaian yang tidak mungkin dan/atau sebagaimana yang telah terefleksi dalam risalah sidang, tampak memiliki Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 56 kemiripan dengan apa yang ahli kemukakan; OJK dengan prinsip independensi melalui Undang-Undang ini dapat mengatur sendiri, membuat sendiri peraturan, dan melaksanakan Undang-Undang. Padahal mestinya ini dilaksanakan dengan Peraturan Pemerintah kecuali hal-hal lain yang memang tidak bisa diatur dan/atau tidak diatur dalam Undang-Undang. Karena keadaan hukum dengan fungsi mereka membutuhkan pengaturan barulah dilakukan, tetapi ini tidak dilakukan. Apa saja yang kan diatur dapat diatur dengan sendirinya oleh mereka tanpa bisa dicampuri oleh Pemerintah, tanpa dapat dicek (dikontrol) oleh DPR. Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung yang yang merupakan pelaksana kekuasan kehakiman pengaturan mengenai gaji pun diatur dengan Peraturan Presiden. Bagaimana OJK dapat mengatur dirinya sendiri, gaji pun diatur sendiri. Betapa luar biasanya OJK ini seperti lembaga negara di dalam negara; Menurut ahli tidak ada lembaga negara yang mempunyai 2 sumber keuangan pendanaan, namun OJK ini dibiayai dengan APBN dan pungutan yang dipungut sendiri dari bank dan jasa keuangan lainnya. Apa argumen konstitusionalnya sehingga dapat membenarkan tindakan tersebut? Siapa yang berani memastikan bahwa tidak ada potensi penyalahgunaan dan bagaimana mungkin bisa dipastikan akuntabilitas dan transparansi OJK dengan kewenangan seperti itu? Padahal bukankah negara hukum yang demokratis yang di atur dalam Undang-Undang Dasar 1945 menghendaki akuntabilitas dan transparansi dalam penyelenggaraan kekuasaan negara? Menurut ahli bahwa pengawasan oleh OJK dimaksudkan untuk perlindungan konsumen dan adanya independensi OJK tidak diperoleh titik relasi dengan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. Bagaimana dapat mengusahakan perekonomian nasional dengan prinsip kekeluargaan dan gotong royong, kalau salah satu organ negara (lembaga negara) mempunyai fungsi yang begitu strategis tidak dapat dicek (dikontrol), dan bekerja semau-maunya karena diatur dalam Undang-Undang. Dengan demikian keberadaan OJK bertentangan dengan prinsip negara hukum [Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 33 UUD 1945]; [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Presiden dalam persidangan tanggal 5 Mei 2014 menyampaikan keterangan lisan dan keterangan tertulis bertanggal 30 April 2014 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 21 Oktober 2014 yang menguraikan hal-hal sebagai berikut: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 57 I. Pokok Permohonan Bahwa para Pemohon mengajukan permohonan pengujian materiil Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK terhadap UUD 1945. Merujuk kepada permohonan para Pemohon, pada pokoknya para Pemohon menganggap hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya ketentuan UU OJK, khususnya ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
Pasal 1 angka 1 yang menyatakan "OJK, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini." b. Pasal 5 yang menyatakan "OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan." c. Pasal 34 yang menyatakan: (1) “Dewan Komisioner menyusun dan menetapkan rencana kerja dan anggaran OJK. (2) Anggaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau pungutan dari pihak lain yang melakukan kegiatan _di sektor jasa keuangan; _ (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana kerja dan anggaran OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Dewan Komisioner." d. Pasal 37 yang menyatakan:
“ OJK mengenakan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. (2) Pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan wajib membayar pungutan yang dikenakan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penerimaan OJK. (4) OJK menerima, mengelola, dan mengadministrasikan pungutan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 58 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) secara akuntabel dan mandiri. (5) Dalam hal pungutan yang diterima pada tahun berjalan melebihi kebutuhan OJK untuk tahun anggaran berikutnya, kelebihan tersebut disetorkan ke Kas Negara. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah." e. Frasa dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66 yang menyatakan "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." Merujuk pada dalil-dalil dalam permohonan, para Pemohon pada pokoknya menyatakan bahwa dengan diberlakukannya ketentuan-ketentuan a quo , telah mengakibatkan terjadinya kerugian konstitusional yang dialami oleh Para Pemohon, dengan alasan:
Pasal 23D UUD 1945 yang menyatakan, "Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan Undang-Undang ". Menurut para Pemohon hanya bank sentral yang dijelaskan secara eksplisit di UUD 1945 yang boleh independen, sehingga frasa independen OJK tidak menemukan pembenaran secara konstitusional.
Pasal 33 UUD 1945, yang menurut para Pemohon berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 OJK diharuskan untuk terintegrasi dengan sistem perekonomian yang diamanatkan konstitusi, sehingga tidak mungkin independen dan bebas dari campur tangan pihak lain. Dengan demikian, OJK dipaksa dan diarahkan untuk independen dan terpisah dari sistem besar ketatanegaraan yang termaktub dalam konstitusi.
Secara konstitusional aspek pengaturan dan pengawasan OJK juga tidak jelas di UUD 1945 mendapat mandat atau turunan dari pasal berapa, dimana masing-masing kewenangan yang diperoleh OJK berasal dari turunan yang asimetris. Pasal 5 UU OJK juga dapat menimbulkan konsekuensi adanya penumpukan kewenangan dalam satu badan sehingga dapat menimbulkan potensi moral hazard .
Penggunaan APBN yang digunakan sebagai biaya operasional secara konstitusional tidak memiliki landasan hukum dikarenakan OJK tidak berada dalam struktur ketatanegaraan yang rigid dan juga sifat OJK yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 59 independen sehingga terdapat potensi penyalahgunaan kewenangan keuangan negara. Selain itu, jika terjadi krisis di sektor industri keuangan, bukan tidak mungkin dana APBN akan dipakai untuk menalangi krisis dan seberapa banyak dana publik dan/atau APBN yang boleh dikucurkan masih belum diatur.
Pasal 37 UU OJK akan menimbulkan dampak: (a) mengurangi kemandirian OJK karena OJK merupakan badan publik dengan amanat yang diberikan oleh rakyat melalui DPR; (b) sumber pendanaan dari jasa keuangan di pihak lain juga akan membalik akuntabilitas substantif OJK dari kepentingan publik dan konsumen kepada kepentingan kepada kepentingan industri jasa dan keuangan, f. Para Pemohon menginginkan agar pungutan yang mengatasnamakan negara haruslah jelas dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 23A UUD 1945 yang menyatakan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dalam Undang-Undang. II. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dan Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Para Pemohon A. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Pembentukan OJK Merupakan Opened Legal Policy Berdasarkan Pasal 33 ayat (5) UUD 1945 Sebelum menanggapi lebih lanjut mengenai materi permohonan para Pemohon, Pemerintah akan terlebih dahulu membahas apakah terhadap ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU OJK ini telah tepat dan benar dapat diajukan pengujian konstitusional ( constitutional review ) ke Mahkamah Konstitusi. Mengingat pentingnya pengaturan mengenai sistem perekonomian nasional maka UUD 1945 mengatur mengenai perekonomian nasional diatur dalam Bab tersendiri yaitu Bab XIV Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Nasional. Bab XIV terdiri dari dua pasal yaitu Pasal 33 dan Pasal 34 UUD 1945, mengenai pengaturan Perekonomian Nasional diatur dalam Pasal 33 UUD 1945. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 60 Sebagaimana telah diketahui bersama prinsip-prinsip dasar pengelolaan perekonomian nasional terdapat dalam Pasal 33 UUD 1945 dan Pasal 33 ayat (5) UUD 1945 juga telah mengamanatkan kepada pembentuk Undang-Undang pengaturan lebih lanjut mengenai pelaksanaan prinsip- prinsip pada Pasal 33 UUD 1945 diatur dalam Undang-Undang. Oleh karena itu, dalam rangka menjalankan amanat konstitusi tersebut maka telah diterbitkan perundang-undangan mengenai pengelolaan perekonomian nasional berdasarkan prinsip-prinsip dasar sebagaimana termaktub dalam Pasal 33 UUD 1945, yang salah satunya adalah UU OJK. Pembentukan UU OJK secara keseluruhan oleh pembentuk Undang- Undang adalah dalam rangka mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh dengan stabil dan berkelanjutan, menciptakan kesempatan kerja yang luas dan seimbang di semua sektor perekonomian, serta memberikan kesejahteraan secara adil dan makmur kepada seluruh rakyat Indonesia. Sebagaimana amanat Pasal 33 ayat (5) UUD 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa "Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam Undang-Undang ", maka DPR bersama Pemerintah telah menyusun UU OJK sehingga pembentukan UU OJK merupakan suatu pilihan kebijakan yang bebas dan terbuka ( opened legal policy ) bagi pembuat Undang-Undang. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka pembentukan UU OJK adalah tepat berdasarkan amanat UUD 1945 khususnya pada Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 33 UUD 1945. Oleh karena itu, sudah sepatutnya permohonan uji materiil ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK tersebut tidak dapat diajukan pengujian materiil di Mahkamah Konstitusi. Hai ini sesuai dengan pendapat Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimuat dalam Putusan Nomor 26/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap UUD 1945 yang menyatakan sebagai berikut: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 61 "Bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan Undang-Undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang. Meskipun seandainya isi suatu Undang-Undang dinilai buruk, maka Mahkamah tidak dapat membatalkannya, sebab yang dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali kalau produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable . Sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk Undang-Undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah; dan Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap UUD 1945, yang menyatakan sebagai berikut: "Menimbang bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan Undang-Undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang. Pandangan hukum yang demikian sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 010/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk Undang- Undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah". Selain itu, pokok-pokok permasalahan yang diajukan oleh para Pemohon sangat tidak tepat diuji oleh Mahkamah Konstitusi, karena dalil-dalil permohonan menyangkut mengenai implementasi dari norma bukan kesalahan atau pertentangan norma dengan UUD 1945 sebagaimana disampaikan oleh Prof. Arief Hidayat dalam sidang pane! pemeriksaan pendahuluan tanggal 25 Maret 2014 yang pada pokoknya menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak memiliki kewenangan untuk mengadili apa yang dilakukan oleh suatu lembaga negara dalam suatu pengujian Undang-Undang tetapi mengadili norma yang bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, sudah sepatutnya permohonan pengujian Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 62 pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK yang diajukan oleh para Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard ). B. Tinjauan Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Para Pemohon Legal Standing Sebagai Pembayar Pajak Harus Dibuktikan Oleh Pemohon Dengan Menyertakan Bukti SPT Dan Bukti Pembayaran Kewajiban Pajak Pemohon Berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (untuk selanjutnya disebut "UU Mahkamah Konstitusi") disebutkan bahwa para Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang. Ketentuan tersebut dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan "hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945. Dengan demikian agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Para pemohon yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi;
hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang- Undang yang diuji;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para pemohon sebagai akibat berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, serta putusan-putusan selanjutnya, telah memberikan pengertian dan batasan secara kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:
adanya hak konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 63 1945;
hak konstitusional para Pemohon tersebut dianggap oleh para Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji;
bahwa kerugian konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Karena itu, Pemerintah berpendapat bahwa para Pemohon tidak memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing) dan tidak dirugikan hak konstitusionalnya oleh berlakunya Undang-Undang a quo , sehingga para Pemohon tidak memenuhi syarat sebagai pemohon uji materiil sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 51 UU Mahkamah Konstitusi tersebut. Menurut pendapat Pemerintah, legal standing sebagai pembayar pajak yang patuh, tidak dapat diterima begitu saja dengan memiliki dan melampirkan Nomor Pajak Wajib Pajak (NPWP) sebagai bukti. Dengan memiliki NPWP tidak secara serta merta para Pemohon telah membayar pajak, maka seharusnya para Pemohon juga turut menyertakan bukti Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak dan juga pembayaran kewajiban Pajak yang merupakan pelaporan perhitungan dan pembayaran pajak oleh, objek pajak, dan/atau bukan objek pajak dan/atau harta atau kewajiban, menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Tidak Ada Hak Konstitusional Pemohon Yang Dilanggar Dengan Berlakunya Ketentuan UU OJK Yang Diuji Selain itu, Pemerintah tidak melihat adanya pelanggaran hak konstitusional para Pemohon yang sebagaimana didalilkan dalam permohonan para Pemohon yaitu dengan berlakunya ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK telah merugikan hak Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 64 konstitusionalitasnya sebagai perserorangan warga negara Indonesia dengan didasarkan pada: Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan "Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat." dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya". Bahwa para Pemohon dalam permohonan uji materiilnya tidak secara jelas menguraikan mengenai kerugian konstitusional dan hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian konstitusional Pemohon secara spesifik, aktual atau setidaknya potensial yang dapat dipastikan akan terjadi dikarenakan berlakunya norma yang terkandung dalam ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK. Bahwa ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 bukan merupakan hak-hak dasar atau hak konstitusional warga negara in casu hak para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945. Hal ini dikarenakan ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 merupakan salah satu bentuk pelaksanaan kedaulatan rakyat. Penetapan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) setiap tahunnya dengan Undang-Undang mempunyai pengertian bahwa dalam penyusunan Undang-Undang APBN, haruslah mendapatkan persetujuan rakyat yang dalam hal ini diwakili oleh DPR. Selain itu, penggunaan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 sebagai batu uji permohonan a quo sangat tidak tepat dan tidak berdasar hukum. Ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 merupakan prinsip persamaan dalam hukum dan pemerintahan ( equality before the law ), prinsip kewajiban menjunjung hukum tidak hanya harus dilaksanakan oleh negara, namun juga wajib dijunjung tinggi oleh seluruh warga negara Indonesia. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 65 Bahwa penggunaan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 tidak dapat dijadikan dasar kedudukan hukum oleh para Pemohon dikarenakan bukan hak konstitusional para Pemohon, namun merupakan suatu kewajiban bagi seluruh rakyat Indonesia untuk menerapkan prinsip persamaan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dan sebagai pembayar pajak tidak serta merta dapat dasar dalam pengajuan uji materiil suatu Undang-Undang. Permohonan Pemohon merupakan permohonan yang Obscuur Libel Selain itu, permohonan para Pemohon merupakan permohonan yang obscuur libel yaitu nampak pada tidak sesuainya antara posita permohonan para Pemohon dan petitum yang dimintakan oleh para Pemohon dalam permohonannya. Para Pemohon tidak menjelaskan mengapa frasa "...tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan.." bertentangan dengan UUD 1945, namun tetap meminta petitum agar Mahkamah Konstitusi menyatakan frasa dimaksud bertentangan dengan UUD 1945. Para Pemohon juga telah melakukan kesalahan yang menyebabkan permohonan Para Pemohon menjadi tidak jelas dan tidak fokus ( obscuur libel ) yaitu pada angka 2 petitum permohonannya yang meminta agar Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34 dan Pasal 37 UU OJK bertentangan dengan UUD 1945, namun pada angka 3 para Pemohon meminta kepada Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 7, Pasal 34 dan Pasal 37 UU OJK tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Bahwa berdasarkan uraian di atas, Pemerintah berpendapat permohonan para Pemohon tidak jelas, tidak cermat, tidak fokus dan kabur ( obscuur libel ), utamanya dalam mengkonstruksikan kerugian konstitusional seperti apa yang dialami oleh para Pemohon sebagai individu perseorangan warga negara Indonesia. Oleh karena itu, Pemerintah memohon agar Ketua/Majelis Hakim Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Para pemohon ditolak atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard ). Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 66 III. Penjelasan Pemerintah Atas Permohonan Para Pemohon A. Penjelasan Pemerintah Atas Permohonan Putusan Provisi Para Pemohon Tidak Ada Alasan Yang Spesifik Dan Aktual Serta Penting Dan Mendesaknya Permohonan Provisi Pemohon Harus Dikabulkan Oleh Mahkamah Konstitusi Istilah provisionil dikenal luas dengan istilah "provisionllels vonnis", "provisoire", "voorlopige", "provisionaf, "voorlaufig", "provissorich ainstwelling", "bij vooraad' dan Iain-Iain. Istilah-istilah dimaksud pada pokoknya menjelaskan bahwa putusan provisi adalah putusan yang sifatnya sangat segera dan mendesak untuk dilakukan oleh hakim terhadap salah satu pihak dan bersifat sementara di samping adanya tuntutan pokok dalam surat gugatan. Dalam Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, putusan provisi hanya dikenal pada perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang diatur dalam Pasal 63 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang mengatur "Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan penetapan yang memerintahkan pada pemohon dan/atau termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi". Namun demikian, dalam sejarahnya Mahkamah Konstitusi pernah mengabulkan permohonan provisi yang diajukan oleh Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah dalam perkara Nomor 133/PUUA/1I/2009 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Permohonan provisi yang dikabulkan sebagian oleh Mahkamah Konstitusi terkait dengan penundaan penerapan Pasal 32 ayat (1) huruf c juncto Pasal 32 ayat (3) UU KPK oleh Presiden yakni mengenai tindakan administratif berupa penghentian pimpinan KPK yang menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan. Dalam Putusan Nomor 133/PUU-VII/2009, Mahkamah Konstitusi memberikan pendapat sebagai berikut: "Bahwa dalam praktik pemeriksaan perkara pengujian undang-undang seringkali untuk kasus-kasus tertentu dirasakan perlunya putusan sela dengan tujuan melindungi pihak yang hak konstitusionalnya amat sangat Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 67 terancam sementara pemeriksaan atas pokok pemohonan sedang berjalan". Berdasarkan pertimbangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana disebutkan di atas, maka terdapat unsur-unsur yang harus dapat dipenuhi dan dijelaskan secara spesifik dan aktual oleh para Pemohon dalam permohonannya. Terhadap permohonan provisi para Pemohon, Pemerintah berpendapat bahwa para Pemohon tidak dapat menjelaskan secara spesifik dan aktual terkait dengan alasan pentingnya dan mendesaknya mengapa permohonan provisi para Pemohon harus dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi dan akibatnya apabila permohonan provisi para Pemohon tidak dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Sampai dengan saat ini, OJK telah melakukan kewenangannya untuk melakukan pengaturan dan pengawasan dalam sektor jasa keuangan serta mengadvokasi kepentingan para konsumen. Dalam melakukan kewenangannya tersebut, tidak terdapat kendala yang berarti dan tidak ada hak konstitusional dari para Pemohon yang telah dilanggar atau terancam untuk dilanggar dengan adanya pelaksanaan kewenangan OJK dimaksud. Dikabulkannya permohonan provisi dapat menimbulkan kerancuan hukum bahkan ketidakpastian hukum di sektor jasa keuangan Selain itu, dalam Putusan Nomor 133/PUU-VI1/2009 Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan: "Bahwa Mahkamah berpendapat putusan sela perlu untuk diterapkan apabila dengan putusan tersebut tidak akan menimbulkan kerancuan hukum di satu pihak, sementara di pihak lain justru akan memperkuat perlindungan hukum". Dengan adanya pertimbangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana disebutkan di atas, maka sesungguhnya Mahkamah Konstitusi telah menetapkan batasan dikabulkannya permohonan provisi dari para Pemohon pengujian Undang-Undang yaitu apabila dengan putusan tersebut tidak akan menimbulkan kerancuan hukum di satu pihak. Pemerintah berpendapat bahwa apabila permohonan provisi para Pemohon dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi akan dapat menimbulkan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 68 kerancuan hukum bahkan ketidakpastian hukum bagi para pelaku pasar dan para konsumen di sektor jasa keuangan secara umum dan khususnya di pihak OJK. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka seyogianya Mahkamah Konstitusi menolak permohonan provisi dari para Pemohon dikarenakan tidak ada keadaan yang sangat mendesak untuk dikabulkannya permohonan provisi dimaksud dan apabila dikabulkan dapat menimbulkan kerancuan hukum dan ketidakpastian hukum bagi para pelaku pasar dan para konsumen di sektor jasa keuangan secara umum dan khususnya di pihak OJK. B. Penjelasan Pemerintah Atas Pendapat Para Pemohon Yang Menyatakan Pasal 1 Angka 1 UU OJK Bertentangan Dengan UUD 1945 OJK Merupakan Lembaga Negara Yang Memiliki Sifat Constitutional Importance Secara yuridis pembentukan UU OJK dilandasi oleh Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 33 UUD 1945. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD 1945 memberikan kewenangan konstitusional kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk membentuk suatu Undang- Undang, sedangkan Pasal 33 UUD 1945 merupakan landasan konstitusional dibentuknya UU OJK; Pembentukan UU OJK merupakan pengejawantahan tujuan konstitusional dibentuknya Negara Indonesia, yang terdapat dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945 yang menentukan salah satu tujuan negara ( common virtues ) yaitu memajukan kesejahteraan umum yang perlu diwujudkan melalui pelembagaan negara Indonesia, dan amanat konstitusional Pasal 33 UUD 1945, yaitu dalam rangka mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh dengan stabil dan berkelanjutan, menciptakan kesempatan kerja yang luas dan seimbang di semua sektor perekonomian dan memberikan kesejahteraan secara adil kepada seluruh rakyat Indonesia, maka program pembangunan nasional harus dilaksanakan secara komprehensif dan mampu menggerakkan kegiatan perekonomian nasional yang memiliki jangkauan yang luas dan menyentuh keseluruh sektor riil dari perekonomian masyarakat Indonesia. Pengaturan mengenai perekonomian nasional sebagaimana diamanatkan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 69 pada Pasal 33 UUD 1945 terkait erat dengan sistem keuangan untuk menunjang berbagai kegiatan produktif di dalam perekonomian nasional sehingga diperlukan lembaga-lembaga keuangan untuk menopang perekonomian nasional sehingga diperlukan lembaga yang memiliki fungsi pengaturan dan pengawasan lembaga-lembaga keuangan dimaksud dalam rangka menjalankan tujuan konstitusional dibentuknya Negara Indonesia dan amanat konstitusional Pasal 33 UUD 1945. Konstitusionalitas suatu norma dalam Undang-Undang tidak hanya dapat diukur melalui pasal-pasal yang terdapat dalam batang tubuh UUD 1945 melainkan juga melalui Pembukaan UUD 1945 yang mana di dalamnya terdapat tujuan dibentuknya Negara Indonesia. Mengingat konstitusionalitas suatu norma dalam Undang-Undang tidak hanya dapat diukur melalui pasal-pasal yang terdapat dalam batang tubuh UUD 1945 melainkan juga melalui Pembukaan UUD 1945 yang mana di dalamnya terdapat tujuan dibentuknya Negara Indonesia, maka berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas Pemerintah berpendapat bahwa OJK merupakan suatu lembaga negara independen yang memiliki sifat constitutional importance dikarenakan merupakan salah satu instrument untuk mencapai tujuan bernegara dan amanat konstitusional dalam Pembukaan dan Pasal 33 UUD 1945. Sebagaimana disampaikan oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dalam bukunya "Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi", bahwa ragam struktur organisasi kekuasaan negara dewasa ini sudah berkembang sangat bervariasi, sehingga yang dinamakan organ negara atau lembaga negara tidak lagi hanya terbatas pada tiga fungsi menurut doktrin klasik yang dikembangkan sejak abad ke-18. Lembaga-lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Penyiaran Indonesia, Badan Pengawas Pemilu, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, dan sebagainya merupakan contoh lembaga dan/atau komisi baru yang bersifat independen dan memiliki fungsi campuran dan dibentuk berdasarkan Undang-Undang, namun tetap memiliki sifat constitutional importance . Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 70 Sifat Independensi OJK Merupakan Hal Yang Tidak Terpisahkan Dengan Pembentukan OJK Selain itu, pembentukan UU OJK juga merupakan amanat Pasal 34 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 (selanjutnya disebut UU Bank Indonesia) yang mengamanatkan bahwa "(1) Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang". Lebih lanjut penjelasan Pasai 34 ayat (1) UU Bank Indonesia menyatakan "(1) Lembaga pengawasan jasa keuangan yang akan dibentuk melakukan pengawasan terhadap Bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat." Dengan adanya Pasal 34 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 34 ayat (1) UU Bank Indonesia sebagaimana disebutkan di atas, maka sejak semula independensi OJK merupakan hal yang tidak terpisahkan dengan pembentukan OJK. Namun demikian, meskipun dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di luar pemerintah OJK tetap berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan dan Dewan Perwakilan Rakyat. Independensi OJK merupakan suatu keharusan dan hal ini disadari oleh pembentuk Undang-Undang yaitu Pemerintah dan DPR, dikarenakan sebagai otoritas yang melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan OJK hams memiliki independensi. Hal ini disebabkan OJK mengawasi kegiatan jasa keuangan dan transaksi keuangan oleh entitas bisnis yang dapat berpotensi terjadinya benturan kepentingan serta berpotensi mempengaruhi kepentingan pihak-pihak tertentu, termasuk pihak Pemerintah dengan tetap berada dalam koridor hukum yang juga menjamin bahwa independensi tersebut dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Independensi OJK diwujudkan dalam 2 (dua) hal. Pertama, secara kelembagaan OJK tidak berada di bawah otoritas lain di dalam sistem Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 71 Pemerintah Negara Republik Indonesia yang dimaknai bahwa OJK tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah. Namun tidak menutup kemungkinan adanya unsur-unsur perwakilan Pemerintah karena pada hakikatnya Otortias Jasa Keuangan merupakan otoritas di sektor jasa keuangan yang memiliki relasi dan keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, dalam hal ini otoritas fiskal dan moneter. Oleh karena itu, OJK melibatkan keterwakilan unsur-unsur dari kedua otoritas dimaksud, secara Ex-Officio . Keberadaan Ex-Officio ini dimaksudkan dalam rangka koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi kebijakan di bidang fiscal, moneter, dan sektor jasa keuangan. Keberadaan Ex-Officio juga diperlukan guna memastikan terpeliharanya kepentingan nasional dalam rangka persaingan global dan kesepakatan internasional, kebutuhan koordinasi, dan pertukaran informasi dalam rangka menjaga dan memelihara stabilitas sistem keuangan. Kedua, independensi OJK tercermin dalam kepemimpinan OJK. Secara orang perseorangan, pimpinan OJK memiliki kepastian masa jabatan dan tidak dapat diberhentikan, kecuali memenuhi alasan yang secara tegas diatur dalam UU OJK. Di samping itu, untuk mendapatkan pimpinan OJK yang tepat, Undang-Undang OJK mengatur seleksi yang unsur-unsurnya terdiri atas Pemerintah, Bank Indonesia, dan masyarakat sektor jasa keuangan. C. Penjelasan Pemerintah Atas Pendapat Para Pemohon Yang Menyatakan Pasal 5 Dan Frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU OJK Bertentangan Dengan UUD 1945 Dalam posita permohonannya para Pemohon, tidak menjelaskan mengapa frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..." bertentangan dengan UUD 1945, namun para Pemohon tetap meminta petitum kepada Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan bahwa frasa dimaksud bertentangan dengan UUD 1945 sehingga menyebabkan permohonan para Pemohon menjadi tidak jelas dan tidak fokus ( Obscuur Libel ). Namun demikian Pemerintah tetap akan menjelaskan mengapa frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK tidak Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 72 bertentangan dengan UUD 1945 dengan digabungkan pada Penjelasan Pemerintah terkait Pasal 5 UU OJK dikarenakan memiliki keterkaitan yaitu mengenai kewenangan pengaturan dan pengawasan OJK yang terintegrasi terhadap seluruhh kegiatan di dalam sektor jasa keuangan termasuk tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan. Pengaturan dan Pengawasan Sektor Jasa Keuangan Yang Terintegrasi Merupakan Kebutuhan Untuk Meningkatkan Efektivitas Dan Efisiensi Dalam Menghadapi Globalisasi dan Konglomerasi Sektor Jasa Keuangan Secara historis pembentukan UU OJK didasarkan pada terjadinya Asian Financial Crisis tahun 1997-1998 yang berdampak sangat berat terhadap Indonesia, khususnya sektor perbankan. Krisis pada tahun 1997-1998 berawal dari krisis nilai tukar di Thailand, krisis tersebut menjalar dengan cepat ke negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Filipina, Indonesia, dan Korea Selatan serta berkembang menjadi krisis perbankan. Krisis perbankan yang melanda Indonesia diakibatkan karena banyak bank yang mengalami krisis likuiditas, yang kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi dan politik sehingga secara keseluruhan menjadi krisis multidimensi sehingga menyebabkan krisis di Indonesia beriangsung lebih lama dibandingkan negara-negara Asia lainnya dan menyebabkan beban fiskal yang sangat besar, mencapai Rp. 600 triliun. Tidak hanya Asian Financial Crisis tahun 1997-1998, Global Crisis pada tahun 2008 juga memiliki peran mengapa diperlukan pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi dalam sektor jasa keuangan. Pada saat krisis global tahun 2008, Indonesia sebagai salah satu negara yang sistem keuangannya berinteraksi di pasar global tidak luput dari tekanan dan ancaman krisis, sehingga menyebabkan salah satu bank di Indonesia harus di- bailout untuk menghindari pengulangan akibat-akibat yang disebabkan Asian Financial Crisis tahun 1997-1998. Krisis pada tahun 1997-1998 dan juga krisis pada tahun 2008 menunjukkan kelemahan dalam hal kelembagaan dan pengaturan pada sektor jasa keuangan bukan hanya dalam sektor perbankan saja. Reformasi di bidang hukum sektor jasa keuangan diharapkan menjadi salah satu solusi untuk menciptakan sistem penyelesaian dan pencegahan krisis keuangan di masa yang akan datang. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 73 Filosofi pembentukan UU OJK bertujuan agar kegiatan sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, akuntabel, mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat, mengingat sistem keuangan merupakan salah satu komponen penting dalam sistem perekonomian nasional dan seluruh kegiatan jasa keuangan yang menjalankan fungsi intermediasi bagi berbagai kegiatan produktif di dalam perekonomian nasional dan memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam penyediaan dana untuk pembiayaan pembangunan ekonomi nasional. Berdasarkan landasan filosofis dimaksud, perlu dilakukan penataan agar dapat tercapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif di dalam menangani permasalahan yang timbul dalam sistem keuangan sehingga dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan. Pengaturan dan pengawasan terhadap keseluruhan kegiatan jasa keuangan tersebut harus dilakukan secara terintegrasi. Oleh karena itu, Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah, memandang diperlukan OJK yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara terpadu, independen, dan akuntabel. Secara filosofi, OJK sebagai otoritas yang melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan harus memiliki independensi di dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini disebabkan OJK mengawasi kegiatan jasa keuangan dan transaksi keuangan oleh entitas bisnis yang dapat berpotensi terjadinya benturan kepentingan serta berpotensi mempengaruhi kepentingan pihak-pihak tertentu, termasuk pihak Pemerintah. Untuk itu, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, OJK harus independen atau bebas dari intervensi pihak- pihak berkepentingan, tentunya dalam koridor hukum yang juga menjamin bahwa independensi tersebut dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Mengenai landasan sosiologis dapat Pemerintah sampaikan bahwa pembentukan OJK dilatarbelakangi oleh fakta bahwa terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi dan inovasi finansial telah menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks, dinamis, dan saling terkait antar masing- Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 74 masing subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Di samping itu, adanya lembaga keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan (konglomerasi) telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antar lembaga-lembaga keuangan di dalam sistem keuangan. Kemudian, banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard , belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan semakin mendorong diperlukannya pembentukan lembaga pengawasan di sektor jasa keuangan yang terintegrasi. Berdasarkan fakta-fakta tersebut, pembentukan OJK didasarkan pula atas pertimbangan perlunya dilakukan penataan kembali struktur pengorganisasian dari lembaga-lembaga yang melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan di industri jasa keuangan yang mencakup bidang perbankan, pasar modal dan industri jasa keuangan non bank; Penataan dimaksud dilakukan agar dapat dicapai pengawasan sektor jasa keuangan menjadi terintegrasi dan koordinasi di antara subsektor jasa keuangan menjadi lebih mudah sehingga pengawasan dan regulasinya menjadi lebih efektif sehingga dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan dan juga perlindungan konsumen sektor jasa keuangan yang lebih kuat, mengingat semakin rumitnya transaksi dan interaksi antar lembaga-lembaga keuangan di dalam sistem keuangan. Pasal 23D UUD 1945 Merupakan Opened Legal Policy dari Pembuat Undang-Undang dan Pasal 5 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 64, Pasai 65 dan Pasal 66 UU OJK Tidak Bertentangan Dengan Konstitusi Terhadap dalil para Pemohon yang mendalilkan bahwa kewenangan pengaturan dan pengawasan perbankan merupakan turunan langsung dari Pasal 23D UUD 1945, menurut Pemerintah hal tersebut tidak beralasan dan tidak berdasar hukum dikarenakan sebagaimana disampaikan oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dalam bukunya "Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi" pada halaman 92 yang menyatakan: "Selain itu, nama dan kewenangan bank sentral juga tidak tercantum Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 75 eksplisit dalam UUD 1945. Ketentuan Pasal 23D UUD 1945 hanya menyatakan "Negara memiliki bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan Undang-Undang”. Bahwa bank sentral itu diberi nama seperti yang sudah dikenal seperti selama ini, yaitu "Bank Indonesia", maka hal itu adalah urusan pembentuk Undang-Undang. Demikian pula dengan kewenangan bank sentral itu, menurut Pasal 23D tersebut, akan diatur dengan Undang-Undang." maka kewenangan Bank Indonesia sebagai bank sentral dapat ditentukan oleh pembentuk Undang-Undang melalui Undang-Undang yang dibentuknya dikarenakan Pasal 23D UUD 1945 merupakan ketentuan open legal policy dari pembuat Undang-Undang. Oleh karena itu apabila pembentuk Undang-Undang merasa perlu ada yang diperbaharui dari sistem sektor jasa keuangan termasuk kewenangan suatu lembaga hal tersebut dapat saja dilakukan dan tidak bertentangan dengan konstitusi. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas dan mengingat pentingnya sektor jasa keuangan sebagai salah satu komponen penting dalam sistem perekonomian nasional yang menjalankan fungsi intermediasi dalam rangka pembiayaan pembangunan ekonomi nasional agar dapat tercapainya tujuan konstitusional dibentuknya Negara Indonesia dan amanat konstitusional Pasal 33 UUD 1945, maka menurut Pemerintah kewenangan OJK dalam melakukan pengaturan dan pengawasan dalam sektor jasa keuangan sebagaimana termaktub dalam Pasal 5 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK merupakan kewenangan yang tidak melanggar konstitusi dan kewenangan tersebut menunjukkan bahwa OJK memiliki sifat constitutional importance dikarenakan merupakan salah satu instrumen untuk mencapai tujuan dan amanat konstitusional dalam Pembukaan dan Pasal 33 UUD 1945. Apabila para Pemohon mengkhawatirkan adanya penumpukan kewenangan dalam OJK dan dapat menimbulkan potensi moral hazard , menurut pendapat Pemerintah hal tersebut tidak perlu dikhawatirkan dikarenakan UU OJK juga telah memisahkan fungsi pengaturan dengan pengawasan sebagai unsur check and balances di dalam OJK. Hal ini diwujudkan dengan melakukan pemisahan yang jelas antara fungsi pengaturan dan fungsi pengawasan. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 76 Fungsi pengaturan dilakukan oleh Dewan Komisioner (vide Pasal 8) sedangkan fungsi pengawasan dilakukan masing-masing oleh Pengawas Perbankan, Pengawas Pasar Modal dan Pengawas Industri Keuangan Non Bank (vide Pasal 9 huruf b). Dewan Komisioner sebagai organ tertinggi dalam OJK selain menjalankan fungsi pengaturan, juga berperan untuk memastikan masing-masing Pengawas melaksanakan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun demikian perlu dicatat bahwa Penjelasan Pasal 9 huruf b menyatakan bahwa pengawasan Dewan Komisioner terhadap pelaksanaan tugas Kepala Eksekutif ditujukan untuk mengevaluasi dan memperbaiki kinerja dari Kepala Eksekutif. Pengawasan tersebut tidak dimaksudkan untuk memberi kewenangan kepada Dewan Komisioner untuk mengintervensi atau turut campur terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang setiap Kepala Eksekutif. Lebih lanjut, dalam rangka check and balances, di internal OJK terdapat Komite Etik, yaitu organ pendukung Dewan Komisioner yang bertugas mengawasi kepatuhan Dewan Komisioner, pejabat dan pegawai OJK terhadap kode etik. (vide Pasal 1 angka 21). Anggota Dewan Komisioner melanggar kode etik dapat diberhentikan sebelum masa jabatannya berakhir. Pelanggaran kode etik dalam ketentuan ini adalah pelanggaran yang dikategorikan pelanggaran berat dan dilaporkan oleh Dewan Komisioner kepada Dewan Perwakilan Rakyat. (vide Pasal 17 ayat (1)). Dewan Komisioner menetapkan Peraturan Dewan Komisioner mengenai kode etik dan menegakkan kode etik OJK (vide Pasal 32). D. Penjelasan Pemerintah Atas Pendapat Para Pemohon Yang Menyatakan Pasal 34 dan Pasal 37 UU OJK Bertentangan Dengan UUD 1945 Pengaturan Pungutan OJK Dimaksud Telah Sejalan Dengan Ketentuan Pasal 23A UUD 1945 Pengembangan sektor jasa keuangan yang merupakan bagian dari upaya pembangunan nasional dalam rangka upaya peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia ditempuh melalui usaha mewujudkan keseluruhan kegiatan sektor jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 77 keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 UUD 1945. UU OJK dibentuk dengan tujuan sebagaimana disebutkan di atas, namun guna mencapai tujuan tersebut diperlukan adanya jaminan sumber pembiayaan yang mampu mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan fungsi sebagai salah satu unsur yang dapat menjadikan OJK sebagai lembaga yang independen dalam pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan. Berdasarkan hal tersebut, maka pembentuk Undang-Undang yaitu DPR dan Pemerintah sepakat dalam hal anggaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan sebagaimana termaktub dalam Pasal 34 ayat (2) UU OJK. Ketentuan tersebut bermakna bahwa pembiayaan kegiatan OJK, sewajarnya didanai secara mandiri yang pendanaannya bersumber dari pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Selain itu, dalam Pasal 37 UU OJK mengatur bahwa OJK mengenakan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan, dan pungutan tersebut merupakan penerimaan OJK. Sebagaimana telah dijelaskan pula dalam penjelasan pasal tersebut yang menyatakan bahwa pembiayaan kegiatan OJK sewajarnya didanai secara mandiri yang pendanaannya bersumber dari pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Penetapan besaran pungutan tersebut dilakukan dengan tetap memperhatikan kemampuan pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan serta kebutuhan pendanaan OJK. Pengaturan pungutan OJK dimaksud telah sejalan dengan ketentuan Pasal 23A UUD 1945 yang mengatur bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk kepentingan Negara diatur dengan undang- undang. Sejalan dengan hal tersebut, UU OJK memberikan kewenangan kepada OJK untuk memungut biaya dari industri jasa keuangan, pungutan tersebut merupakan penerimaan OJK dan OJK berwenang untuk menerima, mengelola, dan mengadministrasikan pungutan tersebut Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 78 secara akuntabel dan mandiri. Namun demikian, jika jumlah pungutan telah melebihi kebutuhan pembiayaan OJK, maka kelebihan tersebut disetor ke kas negara sebagai penerimaan negara. Praktik pungutan atau iuran dalam sistem hukum sektor jasa keuangan Indonesia juga telah dikenal sebelumnya dengan adanya Pasal 9 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang menyatakan (3) “Bursa Efek dapat menetapkan biaya pencatatan Efek, iuran keanggotaan, dan biaya transaksi berkenaan dengan jasa yang _diberikan; _ (4) Biaya dan iuran sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) disesuaikan menurut kebutuhan pelaksanaan fungsi Bursa Efek. Selain itu, pungutan, iuran atau premi juga dikenal di dalam Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan khususnya pada Bagian Ketiga mengenai Premi. Oleh karena itu, pungutan, iuran, atau premi yang dikenakan kepada para pelaku pasar merupakan praktik yang lazim dalam sistem hukum sektor jasa keuangan di Indonesia dan telah sejalan dengan ketentuan Pasal 23A UUD 1945. Oleh karena itu, Pemerintah berpendapat bahwa dalil Para Pemohon yang menyatakan Pungutan yang dilakukan oleh OJK tidak sesuai dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan dan tidak berdasar hukum dikarenakan telah sesuai dengan Pasal 23A UUD 1945. Mekanisme Penganggaran Dan Pungutan OJK Telah Akuntabel Dan Sesuai Dengan Konstitusi Mengingat pada masa awal pembentukan OJK memerlukan pembiayaan dan OJK masih dalam tahap membangun regulasi dan standard operating procedure dalam kelembagaannya, maka untuk memenuhi kebutuhan OJK diberikan alternatif sumber pembiayaan OJK dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Dalam Pasal 34 UU OJK telah menentukan bahwa penetapan rencana dan anggaran OJK oleh Dewan Komisioner harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Memperhatikan hal tersebut, maka sepanjang masih terdapat unsur APBN dalam pembiayaan kegiatan OJK, maka proses penyediaan APBN untuk Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 79 pembiayaan tersebut tidak dapat terlepas dari mekanisme penyusunan dan penetapan APBN yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, beserta peraturan pelaksanaannya. Mengenai penetapan besaran pungutan tersebut dilakukan dengan tetap memperhatikan kemampuan pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan serta kebutuhan pendanaan OJK dan harus dibebankan kepada pihak yang secara langsung menerima manfaat dari efektifnya fungsi pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan oleh OJK, serta standar biaya yang lazim digunakan oleh sektor jasa keuangan atau regulator sektor jasa keuangan sejenis, baik domestik maupun internasional. Hal ini dilakukan agar OJK dapat mengimbangi tuntutan dan dinamika sektor jasa keuangan, baik secara domestik maupun internasional. Pengaturan mengenai pelaporan dan akuntabilitas OJK telah diatur di dalam Pasal 38 UU OJK, yang mengatur bahwa OJK menyusun laporan keuangan dan kegiatan secara periodik atau insidentil apabila DPR memerlukan penjelasan. Terkait laporan keuangan, OJK diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan wajib diumumkan kepada publik melalui media cetak dan media elektronik. Selain pengawasan eksternal, mekanisme mengenai pengawasan internal OJK juga telah diatur dalam UU OJK dengan adanya dewan audit sebagai salah satu anggota dewan komisioner. Pungutan OJK Merupakan International Best Practices Agar OJK Dapat Mengimbangi Tuntutan Dan Dinamika Sektor Jasa Keuangan, Baik Secara Domestik Maupun Internasional Selain itu, dapat Pemerintah jelaskan pula bahwa pembiayaan kegiatan pengatur dan pengawas sektor jasa keuangan oleh industri jasa keuangan dalam bentuk pungutan merupakan praktik yang lazim di banyak negara. Sebagai contoh, Office of the Comptroler of the Currency (OCC) di Amerika Serikat (USA) memungut biaya dari bank secara semi-annuaily yang didasarkan pada skala usaha bank sesuai dengan total asetnya. Selain itu terdapat tambahan pungutan dengan persentase tertentu sesuai dengan peringkat risiko bank. Selain hal tersebut di atas, OCC Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 80 memperoleh pendapatan dari memproses aplikasi perusahaan, Investasi terutama pada US-Treasury, pungutan atas pemeriksaan khusus/investigasi tertentu ( special examination ), pungutan atas perizinan, serta pendapatan lainnya (kegiatan seminar, penjualan publikasi, dan sebagainya). Tidak terlalu berbeda dengan OCC, Office Of Superintendent Of Financial Institute (OSFI) di Kanada memiliki pendanaan bersumber dari pungutan atas penilaian terhadap lembaga keuangan yang diperhitungkan baik berbasis total aset, berbasis premi, maupun berbasis keanggotaan. Pungutan terhadap bank berbasis total aset, pungutan terhadap asuransi berbasis premi. pungutan terhadap loan company (seperti BPR) berbasis keanggotaan. Di samping itu, OSFI juga memperoleh bantuan dari Canadian International Development Agency (CIDA) terutama untuk asistensi internasional, pendapatan dari pemerintah daerah (dalam hal OSFI membantu melakukan pengawasan terhadap beberapa institusi di Pemerintah Daerah berdasarkan kontrak), dan pendapatan dari lembaga pemerintahan. Di belahan benua Asia, Financial Services Supervisory (FSS) Korea selatan memperoleh pendanaan dari Supervisory Fee , yaitu pungutan yang dikenakan kepada lembaga keuangan sehubungan dengan kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh FSS, termasuk pemeriksaan yang dilakukan oleh FSS selain Supervisory Fee , FSS juga memungut Issuer Regulatory Fee , yaitu pungutan yang dikenakan kepada Issuer ( Emiten ) sehubungan dengan pengajuan perizinan kepada FSC-Korea sesuai dengan Exchange Act ( Capital Market ). Supervisory Fee dikenakan berdasarkan pada kewajiban ( debt liabilities ) dari institusi lembaga keuangan, sementara Issuer Regulatory Fee dikenakan berdasarkan pada jumlah dan jenis dari surat berharga/sekuritas yang diterbitkan; Selain contoh negara-negara di atas, terdapat banyak contoh negara yang pembiayaan OJKnya sepenuhnya dilakukan melalui pungutan dari industri, misalnya Belgia, Bolivia, Bosnia, Ekuador, Jerman, Hungaria, Islandia, Latvia, Norwegia, Luxemburg, Malta, Mexico, Panama, Swedia, Peru, Switzerland, Turki dan Inggris; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 81 Sementara itu, terdapat juga regulator di beberapa negara yang kegiatannya dibiayai oleh industri dan anggaran negara, misalnya Austria, El-Salvador, Guatelama, Nikaragua, dan Venezuela. Sedangkan regulator yang sepenuhnya dibiayai oleh negara antara lain Chile, China, Costa Rica, Kazakhstan, Lebanon, Jepang dan Uruguay. IV. Dampak Jika Dikabulkannya Permohonan Para Pemohon Dikabulkannya Permohonan A Quo Dapat Mengganggu Pelaksanaan Tugas-Tugas Pengawasan Dan Pengaturan Di Sektor Jasa Keuangan Dan Akan Membahayakan Industri Perbankan Dan Kosumen Serta Perekonomian Nasional Berdasarkan penjelasan yang telah disampaikan di atas, dan mengingat peran penting Otoritas Jasa Keuangan sebagai pengatur dan pengawas sektor jasa keuangan yang merupakan salah satu komponen penting dalam sistem perekonomian nasional yang menjalankan fungsi intermediasi bagi berbagai kegiatan produktif di dalam perekonomian nasional dan memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam penyediaan dana untuk pembiayaan pembangunan ekonomi nasional terutama dalam rangka menjalankan tujuan konstitusional dibentuknya Negara Indonesia dan amanat konstitusional Pasal 33 UUD 1945. Oleh karena itu, apabila dikabulkannya permohonan a quo dan diterimanya argumentasi para Pemohon, maka hal tersebut akan mengganggu pelaksanaan tugas-tugas pengawasan di perbankan dan akan membahayakan industri perbankan dan kosumen. Selain itu, dikabulkannya permohonan a quo dapat menimbulkan risiko bagi perekonomian akibat lemahnya pengawasan terhadap konglomerasi sektor jasa keuangan dan produk-produk lintas sektor jasa keuangan, sehingga pada akhirnya perlindungan terhadap konsumen di sektor jasa keuangan menjadi terbengkalai. Selain itu berdasarkan ketentuan peralihan Pasal 55 UU Otoritas Jasa Keuangan, kewenangan pengaturan dan pengawasan di bidang pasar modal dan lembaga keuangan telah beralih dari Menteri Keuangan dan Bapepam-LK kepada Otoritas Jasa Keuangan sejak 31 Desember 2012 dan kewenangan pengaturan dan pengawasan di bidang perbankan telah beralih dari Bank Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan sejak 31 Desember 2013. Berdasarkan hal tersebut, apabila permohonan Pemohon dikabulkan maka Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 82 akan menghambat tugas dan fungsi pengawasan pasar modal, lembaga keuangan dan perbankan dikarenakan pengalihan kewenangan pengaturan dan pengawasan dari Otoritas Jasa Keuangan kepada Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan dapat menyebabkan kekosongan hukum di pengawasan dan pengaturan sektor jasa keuangan sehingga akan berdampak sangat negatif pada perekonomian nasional dan para pelaku pasar. Selain itu, dampak dikabulkannya permohonan Pemohon akan menimbulkan konsekuensi pengawasan sektor jasa keuangan akan kembali menjadi pengawasan sektoral yang tidak terintegrasi, yang berpotensi menimbulkan risiko bagi perekenomian akibat lemahnya pengawasan terhadap konglomerasi sektor jasa keuangan dan produk-produk lintas sektor jasa keuangan, sehingga pada akhirnya perlindungan terhadap konsumen di sektor jasa keuangan akan menjadi terbengkalai. V. Kesimpulan Berdasarkan keterangan dan argumentasi tersebut di atas, dapat Pemerintah sampaikan kesimpulan sebagai berikut:
Bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan pengujian ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasai 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK karena permohonan para Pemohon tidak terkait dengan konstitusionalitas norma.
Permohonan provisi para Pemohon tidak beralasan dan tidak berdasar hukum dikarenakan para Pemohon tidak dapat menjelaskan secara spesifik terkait keadaan yang mendesak mengapa Mahkamah Konstitusi harus mengeluarkan putusan provisi dalam perkara a quo . Selain itu, dikabulkannya permohonan provisi para Pemohon dapat menimbulkan kerancuan dan ketidakpastian hukum bagi para pelaku pasar di sektor jasa keuangan dan konsumen termasuk dalam OJK.
Ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 83 Oleh karena itu, Pemerintah memohon kepada yang terhormat Ketua/Majelis Hakim Konstitusi yang memeriksa dan memutus permohonan uji materiil Pasai 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menyatakan bahwa para pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( legal standing );
Menolak Permohonan Provisi para Pemohon untuk seluruhnya;
Menolak permohonan pengujian para Pemohon seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian para Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
Menyatakan ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37, dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan tetap berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; Namun demikian apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya ( ex aequo etbono ). [2.4] Menimbang bahwa untuk membuktikan keterangannya, Presiden dalam persidangan tanggal 8 Oktober 2014, tanggal 28 Oktober 2014, tanggal 12 November 2014, dan tanggal 1 Desember 2014 mengajukan 13 (tiga belas) ahli yakni Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., MPA., Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum., Dr. Maruarar Siahaan, S.H., Dr. Zainal Arifin Moechtar, S.H., LL.M., Prof. Erman Rajagukguk, S.H., LL.M., Ph.D., Dr. Sihabudin, S.H., M.H., Refly Harun, S.H., LL.M., Dr. Mulia P.Nasution, D.E.S.S., Dr. Harjono, S.H., MCL., Prof. Achmad Zen Umar Purba, S.H., LL.M, Prof. Dr. Yuliandri, S.H., M.H., Prof. Wihana Kirana Jaya, MsocSc., PhD, dan Prof. Dr. Nindyo Pramono, S.H., MS., yang memberikan keterangan lisan di bawah sumpah/janji dalam persidangan tersebut dan/atau menyerahkan keterangan tertulis yang mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., MPA Apabila hendak disederhanakan, pokok permohonan pengujian Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) adalah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 84 perihal konstitusionalitas kehadiran/keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai salah satu lembaga atau komisi negara independen. Sebagai lembaga negara baru yang secara umum diberi tugas melakukan pengawasan secara terintegrasi terhadap seluruh kegiatan pada sektor jasa keuangan, kehadiran OJK dinilai Pemohon (1) tidak memiliki landasan konstitusional (karena tidak memiliki cantolan di dalam UUD 1945), (2) kehadiran OJK hanya dimandatkan dalam UU tentang Bank Indonesia, (3) fungsi pengawasan Bank Indonesia terhadap bank direduksi oleh OJK, (4) independensi OJK, (5) terjadinya penumpukan kewenangan pada OJK sehingga akan menjadi lembaga super-body , dan (6) kehadiran OJK dinilai merugikan pihak yang meiakukan kegiatan di sektor jasa keuangan karena adanya pungutan. Semua alasan tersebutlah yang menjadi alasan atau dasar bagi Pemohon untuk mempersoalkan konstitusionalitas keberadaan OJK; Sehubungan dengan pokok permohonan pengujian ini, secara terbatas, saya hanya akan menjelaskan sisi kelembagaan yang meliputi:
kedudukan, (2) sumber kewenangan, (3) pemindahan fungsi pengawasan bank dari Bl ke OJK, dan terakhir (4) independensi OJK. Adapun perihal pungutan yang dilakukan OJK dalam rangka melaksanakan tugas dan kewenangannya sebagaimana juga dipersoalkan Pemohon tidak akan diulas. Sebab, menurut ahli masalah itu hanyalah sebuah konsekuensi dari kehadiran sebuah lembaga, di mana jika UU memberi kewenangan untuk itu, maka tidak beralasan untuk mempersoalkan konstitusionalitasnya. Lagi pula, apabila soal kelembagaan OJK telah diselesaikan, masalah kewenangan (termasuk melakukan pungutan) dengan sendirinya akan terurai; Sehubungan dengan masalah kelembagaan, saya akan menerangkan empat pokok pembahasan terkait OJK. Pertama, kedudukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga negara. OJK, sama halnya dengan Bank Indonesia berkedudukan sebagai lembaga negara. Dalam UU 21/2011 didefenisikan, OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan. Adapun Bank Indonesia didefenisikan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagai lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan Pemerintah dan atau pihak-pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 85 Undang-Undang ini; Dari sisi defenisi, memang terdapat sedikit perbedaan antara OJK dan Bank Indonesia terkait penggunaan kata "negara". Di mana, untuk defenisi Bank Indonesia digunakan frasa "lembaga negara" yang independen. Sedangkan OJK hanya disebut sebagai "lembaga" yang independen. Tanpa ada kata "negara"; Hanya saja, pendefenisian seperti itu (tanpa menggunakan frasa "lembaga negara") tidak saja untuk OJK, tetapi juga dipakai mendefenisikan lembaga- lembaga negara lain. Di antaranya, Komisi Pemilihan Umum didefenisikan sebagai, lembaga penyelenggara Pemilu...dst. Tanpa ada kata "negara". Demikian juga dengan Badan Pengawas Pemilu dalam UU 15/2011 yang didefenisikan sebagai, lembaga penyelenggara Pemilu...dst. Hal yang sama juga ditemukan dalam Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga didefenisikan sebagai dengan frasa lembaga mandiri...dst; Pertanyaannya, apakah defenisi yang menggunakan frasa "lembaga negara" atau hanya kata "lembaga" menunjukkan perbedaan status atau kedudukan lembaga tersebut? Dalam arti, hanya lembaga yang menggunakan frasa "lembaga negara" saja yang berkedudukan sebagai lembaga negara, sedangkan yang menggunakan kata "lembaga" tidak berkedudukan sebagai lembaga negara? Apakah demikian? Pada dasarnya adanya frasa "lembaga negara" atau hanya kata "lembaga" tidak mempengaruhi status dan kedudukan sebuah lembaga sebagai lembaga negara. Sebab, sepanjang suatu lembaga dibentuk untuk melaksanakan fungsi- fungsi negara mengamini pendapat Hans Kelsen-, maka lembaga dimaksud adalah lembaga negara. Sejalan dengan soal itu, mengutip Jimly Asshiddiqie, baik "lembaga pemerintahan", "lembaga non-pemerintahan", "lembaga negara" atau "lembaga" saja, semuanya termasuk dalam kategori lembaga negara; Oleh karena itu, sekalipun OJK hanya didefenisikan dengan kata "lembaga" saja, bukan berarti OJK tidak berkedudukan sebagai lembaga negara. Sebab, sudah sangat tegas dinyatakan dalam UU 21/2011 bahwa salah satu tujuan OJK adalah terselenggaranya sektor jasa keuangan secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel yang merupakan bagian dari fungsi negara. Adapun OJK dibentuk untuk menjalankan fungsi dimaksud, yaitu untuk mengawasi berjalannya sektor jasa keuangan. Sehingga tidak perlu diragukan lagi bahwa OJK berkedudukan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 86 sebagai lembaga negara, sama halnya dengan Bl yang juga berkedudukan sebagai lembaga negara; Walaupun sama-sama berkedudukan sebagai lembaga negara, OJK dan Bank Indonesia memiliki derajat kedudukan yang berbeda sebagai lembaga negara. Bank Indonesia merupakan lembaga yang dibentuk sebagai konsekuensi ketentuan Pasal 23D UUD 1945 yang menyatakan, negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan UU. Dalam hal ini, kehadiran bank sentral yang kemudian diberi nama dengan Bank Indonesia merupakan mandat UUD 1945. Artinya, sumber norma yang menjadi dasar keberadaan Bank Indonesia adalah UUD 1945; Sedangkan kehadiran OJK merupakan konsekuensi Pasal 34 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang menyatakan, tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang. Lalu, berdasarkan ketentuan tersebut dibentuklah lembaga pengawas sektor jasa keuangan yang diberi nama dengan OJK; Perbedaan dasar hukum pembentukan Bl dan OJK memiliki konsekuensi terhadap tidak samanya kekuatan keduanya. Dalam arti, karena dasar pembentukan Bl berasal dari UUD 1945, maka lembaga ini tidak dapat dibubarkan hanya karena kebijakan pembentuk Undang-Undang. Jika hendak membubarkan Bl atau bank sentral, harus melalui perubahan UUD 1945. Inilah yang menyebabkan keberadaan Bl menjadi kuat. Sementara kedudukan OJK tidak sekuat Bl. Sebab, kekuatan lembaga ini hanya berbasis pada Undang-Undang. Di mana, jika pembentuk Undang-Undang sepakat membubarkan OJK, maka cukup hanya melalui perubahan atau pencabutan Undang-Undang. Artinya, pembubaran OJK tidak harus melalui perubahan UUD 1945 yang jauh lebih sulit; Perbedaan sumber norma pembentukan dua lembaga tersebut tidak dapat dijadikan dasar penilaian konstitusionalitas atau tidaknya lembaga yang ada. Sebab, baik lembaga yang dibentuk karena perintah UUD 1945 maupun lembaga yang hadir karena perintah Undang-Undang sama-sama konstitusional sepanjang dibuat oleh lembaga yang berwenang dan sesuai wewenang yang dimilikinya. Jadi, perbedaan dasar hukum tidak menjadi alasan mempersoalkan konstitusionalitas sebuah lembaga atau komisi negara; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 87 Selain itu, apabila ukuran konstitusionalitas keberadaan sebuah lembaga negara hanya atas dasar ada tidaknya perintah UUD 1945 sebagaimana didalilkan Pemohon, tentunya bukan hanya OJK yang akan dikatakan inkonstitusional. Sebab, banyak lembaga/komisi negara lainnya yang kehadirannya tidak diperintahkan UUD 1945, melainkan hadir melalui sebuah UU atau bahkan hanya peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang. Misalnya KPK hadir berdasarkan UU No 30/2002 dan tidak satupun norma dalam UUD 1945 yang memerintahkan pembentukannya. Begitu juga dengan Bawaslu, tidak ditemukan adanya norma yang secara eksplit memerintahkan pembentukannya. Dua lembaga terakhir tersebut juga hadir atas dasar Undang-Undang dan bukan perintah langsung UUD 1945. Di mana, keberadaan dua lembaga tersebut adalah konstitusional. Jadi, akan menjadi sangat keliru jika dasar penilaian konstitusionalitas sebuah lembaga hanya atas kategori ada tidaknya perintah atau cantolan ketentuan UUD 1945 sebagai dasar membentuknya; Selanjutnya yang Kedua, sumber kewenangan Bl dan OJK. Baik Bl maupun OJK sama-sama lembaga negara yang kewenangannya diberikan melalui Undang-Undang, bukan UUD 1945. Terkait kewenangan bank sentral/BI, Pasal 23D UUD 1945 menyatakan, ...suatu bank sentral yang kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan Undang-Undang. Pasal 23D UUD 1945 mendelegasikan pengaturan tentang kewenangan Bl kepada Undang-Undang. Artinya, kewenangan Bl akan diatur dalam Undang-Undang yang mengatur tentang Bl. Dengan demikian, sumber kewenangan Bl adalah Undang-Undang, bukan UUD 1945. Dalam hal ihwal ini, Bl masuk dalam kategori lembaga negara yang keberadaanya diatur di dalam UUD 1945, tetapi kewenangannya diatur dalam UU, yaitu UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bl; Dalam konteks sumber kewenangan, derajat kedudukan OJK menyamai Bl. Sebab, kewenangan OJK juga berasal dari UU, yaitu UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK. Dalam hal ini, sekalipun pengakuan keberadaannya tidak bersumber dari UUD 1945, tetapi semua hal terkait keberadaan, kedudukan dan kewenangannya bersumber dari Undang-Undang. Dalam hal sumber kewenangan inilah posisi Bl dan OJK dapat disebandingkan; Ketiga, terkait keabsahan pemindahan fungsi pengaturan dan pengawasan bank dari Bl kepada OJK melalui UU Bank Indonesia. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, pengaturan segala tugas dan wewenang Bl diserahkan kepada Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 88 pembentuk Undang-Undang. Terkait hal itu, pembentuk UU berwenang menentukan apa saja yang akan diatur sebagai kewenangan Bl. Karena itu, tugas, wewenang dan fungsi Bl sebagai bank sentral sepenuhnya menjadi kewenangan DPR dan Presiden (sebagai pembentuk Undang-Undang) menentukannya. Artinya, bila terdapat wewenang yang diberikan kepada bank sentral, lalu kemudian wewenang tersebut diambil atau dialihkan kepada lembaga lain yang juga dibentuk berdasarkan kewenangan pembentuk Undang-Undang, maka hal itu tidak dapat dipersoalkan konstitusionalitasnya; Sehubungan dengan itu, dalam kaitannya dengan keberadaan Bl dan OJK, di mana Pemohon menilai bahwa Bl lebih memiliki landasan konstitusional dibanding-kan OJK dalam melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan bank adalah tidak tepat. Sebab, penentuan kewenangan bank sentral merupakan wewenang pembentuk Undang-Undang. Apakah wewenang tertentu diberikan kepada Bl atau mungkin dicabut atau dialihkan dari Bl, berdasarkan Pasal 23D UUD 1945 sepenuhnya menjadi hak DPR dan Presiden. Termasuk memindahkan sebagian kewenangan Bl kepada OJK yang dibentuk berdasarkan mandat Pasal 34 ayat (1) UU Bl; Oleh karena itu, pemindahan kewenangan tersebut konstitusional adanya. Apalagi pemindahan kewenangan dimaksud dilakukan melalui Undang-Undang. Keberadaan OJK yang dibentuk dengan Undang-Undang dan kedudukan Bl yang dibentuk berdasarkan UUD 1945 sama-sama konstitusional. Di mana, apapun kewenangan yang diberikan pada kedua lembaga negara tersebut tidak dapat dipersoalkan konstitusionalitasnya sepanjang dilakukan sesuai kewenang Presiden dan DPR sebagai primary legislator ; Terakhir atau yang Keempat adalah persoalan independensi OJK. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, OJK itu adalah sebuah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya...dst. Harus dipahami, bahwa frasa "independen" menunjuk pada kedudukan OJK sebagai lembaga negara yang berada di luar kekuasaan Pemerintah. Dalam hal ini, independensi OJK menunjukkan lembaga ini bukan institusi yang berada di bawah Presiden, melainkan sebuah lembaga negara yang diberikan kewenangan menjalankan fungsi negara yang diberikan kepadanya. Independensi OJK sama dengan Bl. Dalam hal ini, misalnya Bl, jika diletakkan dalam rumpun lembaga negara, Bl berada dalam rumpun eksekutif. Upaya memberikan label " independent " dilakukan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 89 untuk memberikan jarak dengan pemegang kekuasaan eksektif agar terhindar dari pengaruh dinamika politik. Jimly Asshiddiqie (2007) menggambarkan hal itu dilakukan sebagai bentuk kesengajaan melepaskan Bank Sentral dari kewenangan mutlak pemegang atau kepala pemerintahan. Karenanya, dengan memberi tambahan independen, BS hadir menjadi semacam a quasi executive entity . Begitu juga OJK, kehadirannya secara konstitusional didasarkan atas ketentuan 33 UUD 1945 dan UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang merupakan turunan dari Pasal 23D UUD 1945. Jadi, sifat independensi bank sentral juga dapat dilekatkan kepada OJK; Kehadiran berbagai komisi negara independen bukan fenomena yang hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga terjadi di banyak negara di dunia, seperti Inggris, Afrika Selatan, Thailand dan Amerika Serikat. Secara umum, hadirnya komisi negara independen ditujukan untuk menyempurnakan proses demo-kratisasi yang terus berkembang seiring dengan perubahan kondisi sosial politik yang terjadi; Di sisi lain, keberadaan lembaga negara atau komisi negara independen di berbagai negara juga merupakan bentuk koreksi atas kemapanan peng- klasifikasian kekuasaan pemerintah negara yang ada sebelumnya. Di mana, cabang kekuasaan negara hanya dikelompokkan menjadi tiga, yaitu kekuasaan membuat Undang-Undang (legislatif), kekuasaan pemerintah (eksekutif) dan kekuasaan kehakiman (yudisial). Ketika cabang kekuasaan yang telah ada tersebut dianggap tidak lagi mampu, bahkan sebagiannya dinilai menurun kredibilitasnya dalam melaksanakan tugasnya, sehingga membutuhkan institusi di luar cabang kekuasaan tersebut untuk menutupi kelemahan yang ada; Terkait dengan hal tersebut, Asimow dalam bukunya Administrative Law (2002) menyatakan most administrative agencies fall in the executive branch, but some important agencies are independent . Organ negara ( state organs ) yang diidealkan independen dan karenanya berada di luar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Dalam hal ini, William F. Funk & Richard H. Seamon mengatakan, lembaga independen itu tidak jarang mempunyai kekuasan " quasi legislative ", " quasi executive " dan " quasi judicial ". Sementara itu, komisi yang berada di bawah eksekutif sering disebut dengan executive agencies. Namun executive agencies tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai lembaga independen karena pada prinsipnya dibentuk menjalankan tugas-tugas eksekutif; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 90 Sebuah lembaga negara/komisi negara dikatakan independen bila dinyatakan secara tegas (eksplisit) dalam dasar hukum pembentukkannya, baik yang diatur dalam UUD atau Undang-Undang. Kemudian, pengisian pimpinan lembaga bersangkutan tidak dilakukan oleh satu lembaga saja. Selanjutnya, sebagaimana dikemukakan Asimov, dalam teori hukum tata negara, sebuah lembaga dikatakan independen apabila pemberhentian anggota lembaga yang hanya dapat dilakukan berdasarkan sebab-sebab yang diatur dalam Undang- Undang pembentukan lembaga yang bersangkutan Ciri lainnya menurut William J Fox Junior, presiden dibatasi untuk tidak secara bebas memutuskan ( discretionary decision ) pemberhentian sang pimpinan lembaga. Tidak hanya itu, Funk and Seamon menambahkan bahwa lembaga negara independen bila pimpinan yang kolektif, tidak dikuasai/mayoritas berasal dari partai politik tertentu; dan masa jabatan para pemimpin tidak habis secara bersamaan, tetapi bergantian ( staggered terms ); Dalam konsep atau teori itulah sebetulnya indepensi OJK harus dipahami. Independensi OJK bukan bermakna bahwa peran negara dalam penyelenggaraan perekonomian nasional menjadi berkurang. Sebab, kehadiran OJK bukan dalam rangka menarik keluar urusan yang seharusnya menjadi fungsi pemerintahan negara, melainkan tetap dilakukan oleh negara melalui pembagian urusan terkait perbankan dan perekonomian nasional kepada beberapa lembaga negara. Di mana, awalnya hanya menjadi kewenangan Bl semata, sekarang sebagiannya diserahkan kepada OJK; Selain itu, sekalipun ditempatkan sebagai lembaga negara independen, pelaksanaan tugas OJK juga tetap terikat dan terkait dengan pelaksanaan tugas pemerintah dan Bank Indonesia. Di mana, secara struktural keterkaitan pelaksanaan tugas OJK diwujudkan dalam bentuk dijabatnya dua Komisioner OJK secara ex-oficio oleh pejabat eleson I pada Kementerian Keuangan dan Anggota Dewan Gubernur Bl. Sedangkan 7 orang anggota Dewan Komisioner lainnya diisi melalui proses seleksi. Hal itu menunjukkan bahwa sifat independensi OJK tetap dalam kerangka keterkaitan tugasnya mengawal perekonomian nasional bersama Kementerian Keuangan dan Bl; Selanjutnya, posisi OJK sebagai sebuah lembaga negara yang independen juga memiliki konsekuensi logis terhadap kewenangan yang dimilikinya. Salah satunya, kewenangan membentuk atau menerbitkan berbagai peraturan yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 91 berkedudukan sebagai peraturan pelaksana Undang-Undang. Di mana, peraturan- peraturan yang dibuat mengikat seluruh pihak dan berlaku ke luar dan ke dalam. Bahkan merujuk pada sistem perundang-undangan kita, lembaga negara/komisi negara mempunyai ruang untuk membentuk peraturan yang sifatnya regeling ; Lalu, bagaimana indepensi OJK jika dikaitkan dengan Pasal 33 UUD 1945 sebagai dasar konstitusional pembentukannya? Karena terintegrasi dengan sistem perekonomian, apakah kemudian independensinya tidak akan terjaga? Dalam hal ini, dapat dipastikan bahwa tugas dan fungsi OJK terkait erat dengan penyelenggaraan perekonomian nasional. Namun bukan berarti hal itu secara serta merta akan merusak atau menghilangkan indenpendensi OJK. Harus diingat, independen adalah sifat objektif kelembagaan OJK dalam melaksanakan fungsinya sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Hanya saja, dalam pelaksanaan fungisnya tentu saja terbuka ruang untuk terjadi penyimpangan. Walaupun demikian, persoalan ini tentu bukan masalah konstitusionalitas norma Undang-Undang OJK, melainkan soal pelaksanaan norma oleh pejabat di lembaga tersebut; Sebelum mengakhiri keterangan ini, ahli juga akan menyinggung bagaimana hubungan antara Kementerian Keuangan, Bl, dan OJK. Di mana, tiga institusi tersebut memiliki kewenangan yang saling bersinggungan satu sama lain. Lebih-lebih lagi Bl dengan OJK. Secara struktural, Bl dan Kementerian Keuangan menjadi bagian dari Dewan Komisioner OJK. Dengan demikian, kedua institusi tersebut sekalipun bukan mayoritas di OJK, tetapi tetap memiliki kewenangan untuk turut mempengaruhi keputusan-keputusan yang akan dibuat OJK. Selain mempengaruhi, kehadiran Bl dan Kementerian Keuangan juga dapat memastikan langkah-langkah pengawasan jasa keuangan yang dilakukan OJK terintegrasi atau terkoordinasi dengan agenda-agenda urusan keuangan yang diurus oleh Pemerintah dan Bank Indonesia; Dari segi tujuan, Kementerian Keuangan bertujuan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. Adapun OJK hadir untuk teraturnya sektor jasa keuangan, terwujudnya sistem keuangan yang stabil serta terlindunginya kepentingan konsumen. Sedangkan Bl bertujuan untuk memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ketiga lembaga tersebut saling terkait satu sama lain. Di mana, semua akan mendukung pencapaian mewujudkan pemajuan kesejahteraan umum yang dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 92 Dengan tujuan yang saling berhubungan serta ada jaminan terkoordinasinya tugas tiga lembaga tersebut secara struktural, maka kehadiran OJK justru akan dapat menutupi berbagai kelemahan yang ada sebelumnya. Dengan begitu, pandangan yang menyatakan bahwa kehadiran OJK telah mereduksi dan melemahkan peran Bl justru kehilangan relevansinya. Hal yang terjadi justru sebaliknya, di mana kehadiran OJK akan dapat memperkuat pelaksanaan tugas pengawasan jasa keuangan yang ada. Pada saat bersamaan juga dapat membantu terselenggaranya urusan pemerintahan dibidang keuangan secara lebih baik;
Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.HUM Hadirnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam sistem tata kelola keuangan di Indonesia ( finance governance ) memberikan harapan positif terhadap upaya penguatan sektor jasa keuangan, agar dapat tumbuh menjadi sektor jasa yang profesional dan berorientasi untuk melayani serta melindungi masyarakat pengguna jasa keuangan secara lebih baik. Tugas pemerintah dalam negara hukum modern ( moderne rechsstaat ) menurut Hughes (1994:
meliputi 7 (tujuh) macam, yaitu: 1 . _Providing economic insfrastructure;
Provision of various_ _collectieve goods and service;
The resolution and adjustment of group conflicts; _ _4. The maintanance of competititon;
Protection of natural resources;
Provision_ _for minimum access by individuals to the goods and services of the economy;
_ Stabilisation of the economy. Jika merujuk pendapat tersebut, kehadiran OJK kiranya dapat memenuhi fungsi untuk mewujudkan stabilitas ekonomi melalui tujuan dari pembentukan OJK sebagaimana diatur pada Pasal 4 UU Nomor 21 Tahun 2011, yaitu agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:
terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
mampu melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat; Sesuai dengan amanah Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, telah lahir Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK). UU tersebut diberlakukan mulai 1 Januari 2013. Lembaga independen tersebut ditugaskan untuk mengatur dan mengawasi lembaga keuangan bank dan non-bank. Lembaga keuangan non-bank yang diawasi oleh OJK adalah Asuransi, Dana Pensiun, Bursa Effek/Pasar Modal, Modal Ventura, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 93 Perusahaan Anjak Piutang, reksadana, perusahaan pembiayaan. Dengan mulai beroperasinya Lembaga tersebut, maka sejak republik ini berdiri baru pertama kalinya lahir Lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mengawasi lembaga secara terintegrasi yaitu lembaga keuangan bank dan non bank. Lembaga independen tersebut mengambil alih tugas pengawasan lembaga keuangan bank dan non bank yang selama ini dilakukan oleh Bank Indonesia sebagai pengawas Bank dan Bapepam-LK untuk lembaga keuangan non bank. Pola pembentukan institusi OJK menyerupai pembentukan KPK dan cukup banyak state auxiliary agencies lain yang sifatnya constitutionally important. Artinya, dengan memahami hakikat makna ketentuan-ketentuan dalam konstitusi untuk mewujudkan sistem tatakelola perekonomian yang baik, maka hal itu mendasari konsiderasi pembentukan OJK. Meskipun, sama halnya dengan landasan eksistensi KPK dan beberapa state auxiliary agencies lain, tidak semua hal yang diperlukan dalam kehidupan ketatanegaraan dan pemerintahan harus diatur secara eksplisit dan rinci dalam konstitusi, mengingat cakupan ruang lingkup materi muatan konstitusi yang lazimnya bersifat terbatas sebagai norma dasar tertinggi dalam suatu negara. Namun, dalam suatu hal yang bersifat urgen terdapat hal-hal yang secara konstitusional dianggap penting untuk dibentuk/dilaksanakan dalam praksis ketatanegaraan; Kiranya, konsiderasi UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK sudah konsisten dengan dasar pengaturan bagi lahirnya OJK dan maksud pembentuk UUD Negara RI 1945 untuk mewujudkan tata kelola perekonomian yang baik sebagaimana diatur pada Pasal 34 UU Bank Indonesia yaitu:
. untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, diperlukan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat;
. berdasarkan pertimbangan tersebut, diperlukan otoritas jasa keuangan yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan serta pengawasan terhadap kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara terpadu, independen, dan akuntabel. Penjabaran kewenangan OJK dalam substansi UU OJK juga telah konsisten secara intensional maupun gramatikal dengan delegasi kewenangan yang diberikan terhadap UU Nomor 21 Tahun 2011; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 94 Urgensi OJK Krisis keuangan yang terjadi di Asia merupakan implikasi kelemahan kualitas sistem keuangan di Asia. Pada bulan Juli 1997, Indonesia mulai terkena dampaknya karena struktur ekonomi nasional Indonesia yang masih lemah untuk menghadapi krisis global tersebut. Hal itu menyebabkan kurs rupiah terhadap dolar AS melemah pada tanggal 1 Agustus 1997 dan diikuti penutupan 16 bank bermasalah oleh pemerintah pada bulan November 1997. Kemudian, pemerintah dan Bank Indonesia membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk mengawasi 40 bank bermasalah lainnya dan mengeluarkan kebijakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dalam rangka membantu bank-bank bermasalah tersebut. Kebijakan BLBI tersebut tidak berjalan efektif karena dana bantuan tersebut disalahgunakan oleh sejumlah pihak. Hal itu memperburuk citra perbankan dan sistem pengawasan perbankan yang dilakukan oleh BI. Bank Indonesia yang bertindak sebagai pengatur dan pengawas di sektor perbankan diarahkan untuk mengoptimalkan fungsi perbankan Indonesia agar tercipta sistem perbankan yang sehat secara menyeluruh maupun individual, dan mampu memelihara kepentingan masyarakat dengan baik, berkembang secara wajar serta bermanfaat bagi perekonomian nasional. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997-1998 yang dialami Indonesia mengharuskan pemerintah melakukan pembenahan di sektor perbankan dalam rangka melakukan stabilisasi sistem keuangan dan mencegah terulangnya krisis. Pada tahun 1999-2004, pemerintah melakukan program penyehatan perbankan, rekapitalisasi bank umum dan restrukturisasi kredit perbankan, serta pemantapan ketahanan sistem perbankan dan prinsip kehati-hatian bank, yang meliputi pengembangan infrastruktur perbankan, peningkatan Good Corporate Governance dan penyempurnaan pengaturan serta sistem pengawasan bank. Pada tahun 2004, pemerintah memulai implementasi Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang merupakan landasan dan arah kebijakan perbankan dalam jangka panjang serta beberapa program dalam Arsitektur Keuangan Indonesia (ASKI), guna menciptakan landasan dalam membangun sistem keuangan yang kokoh dan mampu menunjang kegiatan perekonomian nasional secara berkesinambungan (Herry Rocky, 2012, Perkembangan Perbankan 1990-2010 (http: //herryrocky.blogspot.com/2012/03/perkembangan-perbankan-1990- 2010.html, diakses 9 Juli 2012); Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 95 Pengalaman Indonesia menghadapi krisis ekonomi pada tahun 1997-1998 dan tahun 2008 yang mengakibatkan terjadinya krisis multidimensi yang berdampak sangat besar terhadap perekonomian nasional, memberikan gambaran pentingnya peranan jasa keuangan dalam mendukung perekonomian nasional. Oleh karena itu, pengelolaan sektor jasa keuangan yang baik menjadi penting untuk mencegah terjadinya krisis, sehingga krisis yang pernah dialami diharapkan tidak akan terjadi lagi. Untuk itu, diperlukan keberadaan Otoritas Jasa Keuangan dalam mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil. Best Practices OJK di Beberapa Negara Lain dan Kontribusinya bagi Pembentukan OJK di Indonesia Pembentukan OJK kiranya juga merupakan hasil belajar dari best practices sistem pengawasan oleh institusi tunggal dan independen di beberapa negara lain. Beberapa diantaranya dapat disebutkan disini; Pada tanggal 25 Januari 2001, Menteri Keuangan Jerman, Hans Eichel mengumumkan pembentukan otoritas pengawas keuangan terintegrasi, yaitu Bundesanstalt für Finanzdienstleistungsaufsicht (BaFin) dan mulai beroperasi pada tanggal 1 Mei 2002 berdasarkan hukum otoritas jasa keuangan pengawasan tunggal ( Gesetz über die integrierte Finanzdienstleistungsaufsicht ). BaFin merupakan gabungan dari lembaga pengawas terpisah untuk perbankan ( Bundesaufsichtsamt für das Kreditwesen -BAKred), asuransi ( Bundesaufsichtsamt für das VersicherungswesenB AV) dan sekuritas ( Bundesaufsichtsamt für den Wertpapierhandel -BAWe). BaFin memiliki wewenang terkait pengawasan lembaga kredit, perusahaan asuransi, perusahaan investasi dan lembaga keuangan lainnya. BaFin bertujuan untuk menjamin stabilitas dan integritas sistem keuangan Jerman secara menyeluruh, dengan dua tujuan utama yaitu menjaga solvabilitas bank, penyedia jasa keuangan dan perusahaan asuransi dan perlindungan konsumen dan investor. Setelah BaFin dibentuk, Deutsche Bundesbank (Bundesbank) bertugas sebagai otoritas moneter dan sistem pembayaran. Bundesbank merumuskan kebijakan moneter dan perbankan, menjaga nilai mata uang, mempertahankan tingkat kecukupan cadangan aset/siklus kas dan pengelolaan uang kertas, memantau perkembangan bisnis dan menganalisis spektrum yang luas dari masalah ekonomi, serta menjamin kelancaran fungsi pembayaran domestik dan asing dengan menyediakan layanan jasa kliring; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 96 Otoritas Jasa Keuangan di Australia diperankan oleh The Australian Prudential Regulation Authorihy (APRA). Lembaga-lembaga yang diatur oleh APRA diantaranya adalah bank, asuransi, penyedia retirement saving accounts, trustee of superannuation entity. Organisasi APRA terdiri dari sebuah dewan ( board ), seorang pemimpin operasi ( chief executive officer) didukung para staf. Di Australia, APRA dibiayai dari kontribusi (levy) lembaga yang diawasi. APRA mengambil alih tugas dari Reserve Bank of Australia (RBA) dan Insurance and Superannuation Committee (ISC). Lembaga yang dibentuk pada tanggal 1 Juli 1998 tersebut menjalankan fungsi pengawasan micro-prudential lembaga keuangan yang terdiri dari bank, credit union, building society dan perusahaan asuransi. Selain itu, APRA juga mengawasi industri dana pensiun ( superannuation Funds ); Krisis keuangan yang dialami oleh Korea pada tahun 1997-1998 mengakibatkan beberapa konglomerat bisnis besar mengalami kesulitan keuangan, kredit macet di bank-bank Korea meningkat tajam, sehingga melemahkan kesehatan keuangan lembaga perbankan domestik, yang berdampak pada ketidakstabilan keuangan Korea. Hal ini mendorong pemerintah Korea untuk melakukan reformasi kelembagaan dan kebijakan keuangan, maka dibentuklah Korea Deposit Insurance Corporation (KDIC), Financial Supervisory Commission (FSC)/ Financial Supervisory Services (FSS) yang memiliki wewenang sebagai lembaga pengawas tunggal untuk perbankan dan non-perbankan. Dengan perubahan ini Ministry of Finance and Economy (MOFE), FSC/FSS, Bank of Korea (BOK), dan KDIC adalah empat lembaga publik yang bertanggung jawab untuk menjaga stabilitas dan efisiensi sistem keuangan Korea; Masih cukup banyak negara lain yang juga membentuk institusi semacam OJK untuk melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan sektor keuangan secara terpadu. Meskipun latar belakang pendirian lembaga pengawas jasa keuangan terpadu berbeda di setiap negara, terdapat beberapa faktor yang memicu dilakukannya perubahan terhadap struktur kelembagaan pengawas jasa keuangan. Pertama, munculnya konglomerasi keuangan dan mulai diterapkannya universal banking di banyak negara. Kondisi ini menyebabkan regulasi yang didasarkan atas sektor menjadi tidak efektif karena terjadi gap dalam regulasi dan supervisi. Kedua, stabilitas sistem keuangan telah menjadi isu utama bagi lembaga pengawas (dan lembaga pengawas) yang awalnya belum memperhatikan masalah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 97 stabilitas sistem keuangan, mulai mencari struktur kelembagaan yang tepat untuk meningkatkan stabilitas sistem keuangan. Ketiga, kepercayaan dan keyakinan pasar terhadap lembaga pengawas menjadi komponen utama good governance. Guna __ meningkatkan good governance pada lembaga pengawas jasa keuangan, banyak negara melakukan revisi struktur lembaga pengawas jasa keuangannya; Adapun alasan pendirian OJK sebagaimana tercantum dalam penjelasan umum UU OJK adalah telah terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi serta inovasi finansial menciptakan sistem keuangan menjadi kompleks, dinamis, dan saling terkait antar- subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Di samping itu, adanya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan (konglomerasi) telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antarlembaga jasa keuangan di dalam sistem keuangan. Selain itu, banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard , belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan; Pembentukan Undang-Undang OJK ini dimaksudkan untuk memisahkan fungsi pengawasan perbankan dari bank sentral ke sebuah badan atau lembaga yang independen di luar bank sentral. Dasar hukum pemisahan fungsi pengawasan tesebut yaitu Pasal 34 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang menyatakan:
Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang. (2) Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010. Pengawasan tersebut dilakukan terhadap bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat. Lembaga ini bersifat independen dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di luar pemerintah serta berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan serta Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam melakukan tugasnya, lembaga yang dinisbatkan menjadi supervisory board ini melakukan koordinasi dan kerjasama dengan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang diatur dalam Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 98 Undang-Undang pembentukan lembaga pengawasan dimaksud. Lembaga pengawasan ini dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan Bank melalui koordinasi dengan Bank Indonesia dan meminta penjelasan dari Bank Indonesia terkait keterangan serta data makro yang diperlukan; Lahirnya Otoritas Jasa Keuangan sebagai amanat Pasal 34 Undang- undang Bank Indonesia didasarkan pada prinsip-prinsip reformasi keuangan, yaitu: independensi, terintegrasi dan menghindari benturan kepentingan. Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, OJK berlandaskan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik ( Good Coorporate Governance ). Bank Indonesia memberikan pengertian tentang pemerintahan yang baik tersebut adalah suatu hubungan yang sinergis dan konstruktif di antara negara, sektor swasta, dan masyarakat. Asas-asas tersebut adalah independensi, kepastian hukum, kepentingan umum, keterbukaan, profesionalitas, dan integritas. Perspektif Hukum Adminstrasi Negara Fungsi OJK Fungsi OJK tidak lepas dari fungsi pemerintahan ( sturen ) yang melekat pada wewenang pemerintah ( bestuursbevoegdheid ). Dalam melaksanakan fungsi sturen , pemerintah diberikan kewenangan untuk melaksanakan fungsi pengawasan dan penegakan hukum administrasi negara. Pengawasan dilaksanakan melalui kewenangan perijinan ( vergunning ) yang dilekatkan pada kewenangan OJK seperti yang diantaranya diatur pada Pasal 7 huruf h UU Nomor 21 Tahun 2011, yaitu memberikan dan/atau mencabut:
izin usaha;
izin orang perseorangan;
efektifnya pernyataan pendaftaran;
surat tanda terdaftar;
persetujuan melakukan kegiatan usaha;
pengesahan;
persetujuan atau penetapan pembubaran; dan
penetapan lain, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundangundangan di sektor jasa keuangan. Kewenangan tersebut dalam hukum administrasi diiperlukan sebagai upaya pentaatan terhadap norma hukum administrasi negara; Dimensi perlindungan hukum ( rechtsbescherming ) dalam pelaksanaan fungsi sturen ( sturende functie ) yang antara lain terdapat pada Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 UU Nomor 21 Tahun 2011, pada intinya dimaksudkan untuk melindungi rakyat yang menjadi konsumen/pengguna jasa sektor keuangan dari praktik-praktik yang melanggar prinsip-prinsip tatakelola keuangan perbankan dan non perbankan yang baik ( good financial governance ). Hal itu terlihat dari Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 99 kewenangan OJK untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:
kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;
kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan
kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (Pasal 6 UU Nomor 21 Tahun 2011). Kewenangan tersebut ditujukan guna mewujudkan tujuan pemerintahan ( bestuursdoeleinden ) sebagaimana diatur pada Pasal 4 UU Nomor 21 Tahun 2011, yaitu bahwa OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:
terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Tujuan tersebut selaras dengan konsiderasi pembentukan UU Nomor 21 Tahun 2011 sebagaimana telah diuraikan di atas. Kewenangan yang diatribusikan kepada OJK sebagaimana terdapat pada Padal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 UU Nomor 21 Tahun 2011 merupakan derivasi dari Pasal 34 ayat (1) UU BI Nomor 3 Tahun 2004 yang mengatur bahwa tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang. Dengan demikian, dalam isu konstitusionalitas, karakter constitutionally important dari UU OJK dapat ditelusuri melalui Pasal 34 UU BI yang bersumber pada Pasal 23D UUD 1945, yang mengatur bahwa negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan Undang-Undang. Bahkan, secara sistematik, dapat pula ditelusuri landasan konstitusionalnya dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang mengatur bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Atribusi kewenangan OJK dalam UU OJK dan pengaturan mengenai institusionalitas OJK merupakan manifestasi dari jiwa konstitusi, khususnya dengan memahami dialektika Pasal 23D dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945; Fungsi utama lembaga keuangan seperti OJK bertujuan untuk mencapai empat tujuan ( goals ) secara umum. Empat tujuan tersebut meliputi:
keamanan dan ketahanan ( safety and soundness ) lembaga keuangan;
pencegahan risiko sistemik;
keadilan dan efisiensi pasar;
perlindungan terhadap konsumen Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 100 dan investor. Tujuan pertama dicapai melalui penerapan peraturan yang ketat dan prinsip kehati-hatian yang mengedepankan pendekatan persuasi. Tujuan pencegahan risiko sistemik merupakan tantangan bagi pengawas yang diberi mandat karena penyebab risiko sistemik tidak dapat diprediksi. Walaupun demikian, pengawas tersebut dapat mengurangi kemungkinan risiko sistemik melalui penerapan aturan yang telah dibentuk. Pencapaian tujuan ketiga lebih kepada pendekatan penegakan aturan ( enforcements ) yang meliputi sanksi, denda, pembekuan usaha, pencabutan izin usaha, dan hukuman lainnya. Kiranya, tujuan tersebut selaras dengan Pasal 4 UU Nomor 21 Tahun 2011, yaitu OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:
terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat; Kewenangan pengaturan ( regelende bevoegdheid ) dan kewenangan pemerintahan ( besturende bevoegdheid ) yang tercermin dari kewenangan- kewenangan yang diatribusikan kepada OJK dalam teori hukum administrasi negara mencerminkan karakter hukum administrasi negara: norm (norma), instrument (sarana) dan waarborg (jaminan). Hal itu dapat dibandingkan dengan pendapat de Haan, dkk. (1986:
, bahwa: " Minstens zo nauw als het verband tussen norm en instrument is dat tussen norm en waarborg. Ook hier weer nemen wij achtereenvolgens de normering van het overherheidsgedraag en die van het gedrag van burgers tot uitgangspunt. De overheidsnormering vraagt primair om bestuurlijke waarborgen, terwijl de rechtsnormen die het gedrag van burgers beinvloden, rechtsbescerming noodzakelijk maken ". Pengaturan mengenai OJK dalam UU Nomor 21 Tahun 2011 telah memenuhi dimensi norma, sarana dan jaminan yang menjadi dimensi utama Hukum Administrasi Negara. Hal itu selain menjadi dasar teoretis bagi pengaturan kewenangan OJK, juga merupakan amanah konstitusi yang harus diwujudkan melalui fungsi dan kewenangan OJK. OJK dimaksudkan untuk memberikan jaminan pemerintah ( bestuurlijke waarborgen) terhadap masyarakat konsumen/pengguna OJK yang melakukan aktivitas di sektor jasa keuangan. Fungsi jaminan itu diwujudkan melalui instrumen perijinan terhadap aktivitas keuangan bagi penyelenggara jasa perbankan maupun non perbankan. Kewenangan penetapan peraturan perundang-undangan di sektor keuangan merupakan salah satu fungsi penormaan pemerintah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 101 ( bestuursnormering ) yang diarahkan pada upaya memberikan jaminan pemerintahan (bestuurlijke waarborg ) untuk memberikan petlindungan hukum ( rechtsbescherming ) terhadap masyarakat pengguna jasa keuangan; Perkembangan mutakhir dalam hukum administrasi negara menunjukkan adanya arah penyelenggaraan fungsi pemerintsh yang semakin berfokus pada pengguna pelayanan/konsumen. Dikatakan oleh John McMillan (2009) bahwa: "Compliance with legal standards is the starting premise in all codes of good administration, but the newer codes go further. An emerging principle or standard is the need for agencies to be customer focus delivery of citizen-centred services … Deliver high-quality programs and services that put the citizen first’.The reason for this new emphasis is that people now interact wiath government differently, more frequently, and with heightened expectations. This is a product of the expansion in government benefits, subsidies, licences, taxes, contracts, authorisations, sanctions, penalties, services and regulatory programs. People now relate to government in many ways – as citizens, clients, consumers and customersssed – or, as Prime Minister Rudd recently described it, to engage in." Hadirnya OJK bisa diharapkan akan menjafi institusi independen yang berfokus pada perlindungan masyarakat/ konsumen jasa keuangan. Hal itu juga dinyatakan melalui tujuan pembentukan OJK sebagaimana diatur pada Pasal 4 UU Nomor 21 Tahun 2011, yaitu agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:
terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
mampu melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat. Hal itu akan berimplikasi terhadap pelayanan publik pemerintah di sektor jasa keuangan yang semakin "customer focus delivery of citizen-centred services." Tujuan itu dilaksanakan melalui berbagai kewenangan pengawasan dan perijinan vide Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 UU Nomor 21 Tahun 2011, termasuk kewenangan pencabutan ijin yang merupakan salah satu bentuk sanksi dalam hukum administrasi negara, Hal itu diharapkan dapat memperkuat dan melindungi sektor keuangan Indonesia dari potensi terjadinya krisis keuangan melalui peranan OJK untuk mendorong penguatan fondasi sektor keuangan; Kedudukan Pungutan OJK Dalam Pasal 23A UUD 1945 diatur bahwa Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 102 Rumusan itu merupakan hasil dari Perubahan III UUD 1945 tanggal 9 November 2001. Berkaitan dengan keuangan guna membiayai operasional kinerja darI OJK, Pasal 37 UU Nomor 21 Tahun 2011 mengatur beberapa hal prinsip terkait keuangan OJK, sebagai berikut:
OJK mengenakan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan;
Pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan wajib membayar pungutan yang dikenakan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
Pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penerimaan OJK;
OJK menerima, mengelola, dan mengadministrasikan pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) secara akuntabel dan mandiri;
Dalam hal pungutan yang diterima pada tahun berjalan melebihi kebutuhan OJK untuk tahun anggaran berikutnya, kelebihan tersebut disetorkan ke Kas Negara. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah; UU OJK mengatur norma yang bersifat mandatory mengenai kewenangan OJK dalam melaksanakan kewenangan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Legalitas ( rechtsmatigheid ) pungutan tersebut dapat diukur dari sifat koherensi norma hukum UU OJK dengan Pasal 23 dan Pasal 23A UUD 1945. Kewenangan untuk melakukan pungutan tersebut merupakan implikasi pengaturan Pasal 34 ayat (2) UU OJK, yang mengatur bahwa Anggaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Sifat norma hukum tersebut pada hakikatnya merupakan legal policy yang memberikan kewenangan bagi OJK untuk melakukan pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor keuangan yang bisa bersifat tambahan dari keuangan yang bersumber dari APBN atau menjadi alternatif dari keuangan OJK yang diperoleh dari APBN. Jika dibandingkan dengan OJK di beberapa negara lain, sumber keuangan OJK-OJK tersebut pada umumnya bersumber dari pihak- pihak yang bergerak di sektor jasa keuangan atas konsiderasi untuk menumbuhkan kemandirian OJK; Jika Pasal 34 ayat (2) juncto Pasal 37 UU OJK ditarik koherensinya secara vertikal ke atas sampai di ranah konstruksi Pasal 23A UUD 1945, maka norma hukum mengenai pungutan dalam UU OJK tersebut memenuhi syarat dan kriteria Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 103 dari pungutan sebagaimana diatur pada Pasal 23A UUD 1945 tersebut. Selanjutnya, apabila Pasal 34 ayat (2) juncto Pasal 37 UU OJK dikaitkan dengan ketentuan-ketentuan berikutnya antara lain Pasal 38 UU OJK yang mengatur pelaporan dan akuntabilitas OJK, maka, pada hakikatnya pengaturan mengenai keuangan serta pungutan dalam UU OJK tetap memenuhi asas kelengkapan ( volledigheid , universalitas) dan asas berkala (periodisitas) sebagai asas-asas klasik yang diakui oleh UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; Asas kelengkapan ( volledigheid ) pada intinya merupakan asas yang mempertahankan hak budget parlemen secara lengkap sehingga penguasa publik tidak terlepas dari pengawasan DPR; Asas berkala (periodisitas) mengandung makna bahwa pemberian otorisasi dan pengawasan rakyat dengan perantaraanwakilnya secara berkala dalam kebijaksanaan pemerintah guna memenuhi fungsinya. Dengan periodisitas ini memungkinkan pemberian otorisasi dan pengawasan rakyat berjalan secara teratur. Periodisitas ini tidak menghilangkan pengawasan rakyat, tetapi juga harus diperhatikan agar kesempatan pemerintah untuk menjalankan rencananya tetap berlaku. Kedua hal ini merupakan persyaratan pencapaian tujuan demokrasi dalam hukum tata negara. Beberapa ketentuan dalam Pasal 38 UU Nomor 21 Tahun 2012 menunjukkan tetap dipenuhinya asas kelengkapan ( volledigheid ) dan asas berkala dalam pengaturan mengenai keuangan OJK;
OJK wajib menyusun laporan keuangan yang terdiri atas laporan keuangan semesteran dan tahunan;
OJK wajib menyusun laporan kegiatan yang terdiri atas laporan kegiatan bulanan, triwulanan, dan tahunan;
Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat memerlukan penjelasan, OJK wajib menyampaikan laporan;
Periode laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember;
OJK wajib menyampaikan laporan kegiatan triwulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat;
Laporan kegiatan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat; Pengaturan mengenai pengelolaan keuangan dalam OJK baik yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 104 bersumber dari APBN dan/atau pungutan dari masyarakat tersebut tetap memenuhi asas-asas yang terkandung dalam Pasal 23 UUD 1945. Pasal 23 UUD 1945 itu mengandung 3 (tiga) asas yang saling berkaitan secara erat, yaitu:
Asas berkala ( periodiciteit beginsel), yaitu anggaran negara tersebut dianggarkan untuk jangka waktu tertentu. 2. Asas terbuka ( openbaar beginsel), yaitu prosedur pembahasan anggaran negara oleh DPR dan Pemerintah dilakukan secara terbuka baik melalui sidang terbatas pemerintah dengan Komisi APBN maupun dalam sidang Pleno (mencerminkan pula asas demokrasi). 3. Asas kedaulatan ( souvereiniteit beginsel), yaitu unsur kedaulatan rakyat melalui perwakilannya merupakan syarat mutlak terciptanya rencana anggaran negara tahunan ( jaarlijke machtiging) ; Ditinjau dari segi pengelolaan keuangan negara yang dikelola oleh OJK, baik yang bersumber dari UU APBN maupun pungutan dari pihak pengelola jasa keuangan, juga sudah memenuhi standar pengelolaan keuangan negara dalam UU Keuangan Negara yang didasarkan atas-asas pengelolaan keuangan negara yang merupakan pencerminan best practices (penerapan kaidah-kaidah yang baik) dalam pengelolaan keuangan negara, antara lain: • akuntabilitas berorientasi pada hasil; • profesionalitas; • proporsionalitas; • keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara; • pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri PP Nomor 11 Tahun 2014 yang mengatur mengenai Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagai implementasi dari Pasal 37 ayat (6) UU OJK dimaksudkan untuk memenuhi asas-asas pengelolaan keuangan negara tersebut dalam pelaksanaan pungutan oleh OJK. Pada intinya, pungutan yang dilaksanakan dan dikelola oleh OJK tidak menyimpang dari kaidah pengelolaan keuangan negara dalam APBN, kecuali yang memang diatur secara khusus dalam UU OJK berkaitan dengan kedudukan dan kewenangan OJK yang bersifat khusus, sebagaimana diatur pada Pasal 35 UU OJK yang mengatur kekhususan berikut:
Anggaran OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat digunakan untuk membiayai kegiatan operasional, administratif, pengadaan aset serta kegiatan pendukung lainnya.
Anggaran dan penggunaan anggaran untuk membiayai kegiatan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 105 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan standar yang wajar di sektor jasa keuangan dan dikecualikan dari standar biaya umum, proses pengadaan barang dan jasa, dan sistem remunerasi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, pengadaan barang dan jasa Pemerintah, dan sistem remunerasi; Namun, kekhususan tersebut tidak menyebabkan terputusnya ikatan norma hukum tersebut dengan Pasal 23 dan Pasal 23A UUD 1945 sebagaimana juga diatur pada Pasal 38 ayat (8) UU OJK yang menentukan bahwa Laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan atau Kantor Akuntan Publik yang ditunjuk oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Dengan demikian, pengaturan mengenai keuangan dan pungutan dalam UU OJK tetap dilaksanakan berdasarkan sistem pengelolaan keuangan negara dalam sistem ketatanegaraan sebagaimana diatur dalam UUD 1945.
Dr. Maruarar Siahaan, S.H I. Legal Standing Pandangan kami tentang ketidak cukupan legal standing untuk menguji pasal-pasal dalam Undang-Undang Ototritas Jasa Keuangan, kami utarakan dalam hal-hal sebagai berikut:
Meskipun Pemohon telah mencoba menguraikan dasar argumen legal standing nya dalam permohonan pengujian ini, dapat dirasakan bahwa sesungguhnya dengan dasar bahwa Pemohon sebagai pembayar pajak dan aktivis yang juga melakukan advokasi di bidang APBN, tidak terlihat urgensi dan relevansinya. Dasar hukum legal standing harus dikembalikan kepada jurisprudensi tetap Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 006/PUU- III/2005 dengan 5 (lima) syarat yang memuat adanya hak konstitusional yang diberikan UUD 1945, dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, kerugiannya spesifik dan aktual, atau setidaknya bersifat potensial, yang terjadi karena ada hubungan kausal antara kerugian konstitusional dengan undang-undang yang diuji dan adanya kemungkinan jika permohonan dikabulkan, kerugian hak konstitusional tidak akan terjadi lagi. Norma dalam Putusan tersebutlah seharusnya yang digunakan sebagai dasar pengakuan legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian di MK, agar terdapat konsistensi dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 106 Pembayar pajak sebagai dasar hukum legal standing di MK, sesungguhnya baru berdasarkan putusan yang terbatas secara individual yang berdiri sendiri, yang masih diperdebatkan karena umumnya kedudukan demikian jikalau dikaitkan dengan jurisprudensi tetap MK soal legal standing , sesungguhnya masih diakui secara terbatas, dan belum merupakan jurisprudensi tetap yang mengikat;
Indikator bahwa standing untuk mengajukan pengujian dilihat dari aspek kerugian hak konstitusional khususnya jaminan hak atas rasa aman berdasar Pasal 27 UUD 1945, yang berbunyi “ Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan tanpa ada kecuali ” , dan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945: “ Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan Undang-Undang __ dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ”. Kedua pasal yang dikutip tidak merujuk tentang hak konstitusional, sebagai hak yang diberikan kepada warga negara oleh konstitusi, dan dengan demikian justru memberikan kewajiban pada negara untuk memenuhi hak konstitusional;
Seandainyapun permohonan Pemohon dikabulkan maka tidak tampak bahwa kerugian hak konstitusional yang disebut mempunyai causal verband dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang yang dimohon untuk diuji, karena menurut hemat kami, kerugian yang diklaim Pemohon, tetap akan terjadi jikalau persoalan tentang hak konstitusi yang disebut dalam UUD 1945, yaitu kerugian konstitutional dalam hubungan dengan hak atas persamaan di depan hukum dan pemerintahan serta hak konstitusi atas “ anggaran ditetapkan dengan Undang-Undang serta dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat ”, tetap terjadi, dan Pemohon tidak dapat menjelaskan dan menguraikan hilangnya kerugian konstitusional yang terjadi jika Undang-Undang OJK dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Petunjuk bahwa bukanlah para Pemohon yang seharusnya mempunyai legal standing untuk mengajukan pengujian atas UU OJK, dapat dilihat dari seluruh ukuran yang ditentukan dalam jurisprudensi tetap MK yang telah menjadi bagian dari hukum acara, khususnya causal verband antara kerugian Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 107 konstitusional Pemohon yang dinyatakan dalam permohonan dengan dibentuknya OJK. MK perlu menegaskan sikap dalam pendirian tentang legal standing berdasarkan dalih tax payer tersebut; II. Permohonan Putusan Provisi Dalam tahap pemeriksaan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 saat ini, terlepas dari ketiadaan norma hukum acara, baik dalam UU MK maupun dalam jurisprudensi MK yang mengenal pengaturan provisionel eis , baik karena sisi urgensi kepentingan konstitusional yang harus dilindungi oleh berlakunya satu norma, maupun karena pengaturan yang ada dalam UU MK sendiri yang memuat asas presumption of constitutionality , yang menentukan bahwa semua Undang-Undang yang telah diperlakukan harus dipandang konstitusional sampai dengan dibatalkannya Undang-Undang tersebut dengan alasan bertentangan dengan UUD 1945, maka tidak relevan lagi berbicara tentang provisi. Secara eksplisit diatur dalam Pasal 58 UU MK, yang menegaskan bahwa: “ Undang-Undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun _1945”; _ Dengan pengaturan demikian, memang jelas bahwa kepentingan konstitusional yang dijamin oleh UUD 1945 melalui cara bekerjanya lembaga- lembaga jasa keuangan dengan jumlah taruhan yang sungguh besar, suatu kemungkinan saja untuk menghentikan bekerjanya OJK tanpa melalui putusan provisi melainkan putusan akhir, tidak terbayangkan akibatnya, karena dapat menjadi kekacauan atau disaster yang berantai, yang dapat memicu krisis ekonomi. Jikalau lembaga baru i.c. OJK dihentikan sementara saja, akan menimbulkan kerugian yang jauh lebih besar, karena beragamnya produk jasa keuangan yang menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks dan saling terkait antara produk dan lembaga jasa keuangan, baik di bidang perbankan, asuransi, dana pensiun, modal ventura, obligasi, SUN dan lain-lain. Tanpa pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi, dengan jumlah dana besar yang bergulir, akan menimbulkan kekacauan besar-besaran, yang boleh jadi mengakibatkan kolapsnya sistem perekonomian dan keuangan Indonesia. Putusan yang bersifat sementara atau permanen demikian akan sangat berbahaya. Oleh karenanya, terkadang menyebabkan timbulnya pikiran bahwa dalam kebijakan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 108 publik dalam bentuk Undang-Undang yang menyangkut Undang-Undang dengan regulasi suatu bidang ekonomi dengan pengaruh yang mendasar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, tampaknya kemungkinan digunakannya mekanisme pengujian suatu RUU yang telah disetujui bersama sebelum diundangkan – mekanisme yang dikenal dengan judicial preview – di mana semua pihak dapat menumpahkan pikiran dan pendapatnya tentang suatu kebijakan publik yang mendasar, tidak dibayangi ketakutan akan dampak yang timbul secara dahsyat, seandainya suatu Undang-Undang tertentu dinyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dalam suatu proses judicial review ; III. Materi Muatan Konstitusi Sebagai Grundnorm dan Constitutional Boundaries Konstitusi modern yang menjadi hukum tertinggi dan menjadi pedoman dalam politik hukum penyelenggaraan negara, bukan hanya memuat norma-norma dasar yang secara kongkrit dirumuskan, melainkan juga memuat prinsip atau asas konstitusi yang terumuskan secara umum dan hanya dalam garis besar. Lebih dari sebagai suatu dokumen yang ringkas dan supel khususnya UUD 1945 – setelah perubahanpun – dengan pembukaan yang merupakan jiwa dan filosofi di atas mana negara Republik Indonesia dibentuk serta tujuan dibentuknya negara R.I. yang diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945, menunjukkan bahwa dia lebih dari sekedar dokumen juridis. Dari Pembukaan UUD 1945, yang menentukan arah dan tujuan dibentuknya negara R.I., sangat jelas bahwa tujuan tersebut didasari oleh suatu pandangan bangsa tentang suatu negara yang disebut sebagai negara kesejahteraan atau welfare state . Bertolak belakang dengan konsep negara dalam pemilikiran liberalisme, dengan peran negara yang terbatas dan bahkan dirumuskan dalam satu kurun waktu sejarah hanya sebagai penjaga malam, maka dalam konsep negara kesejahteraan, peran negara dalam mengupayakan kesejahteraan menjadi sedemikian luasnya, sehingga keberadaan lembaga negara yang ada dalam organisasi kekuasaan, menjadi tidak memadai lagi. Oleh karena besarnya peran negara dalam konsep negara kesejahteraan tersebut, muncul kebutuhan akan lembaga negara yang tidak dikenal dalam praktik semula, dan kemudian terbentuk dalam lembaga negara yang independen; Kebutuhan akan organ yang akan menjalankan kewenangan tertentu dalam rangka mencapai kesejahteraan rakyat mengalami perkembangan, sehingga untuk memenuhi hal itu berdasarkan organ-organ negara yang secara tradisional Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 109 ada, tidak lagi memadai. Akibatnya perkembangan organ atau lembaga yang independen merupakan kecenderungan yang terjadi secara universal, bahkan di negara-negara yang menganut paham liberalisme yang sangat mempraktikkan peran negara secara terbatas, justru mempelopori kelahiran lembaga-lembaga negara yang independen tersebut. Oleh karenanya, norma dasar konstitusi yang seyogianya mengatur pembentukan organ-organ negara secara ekplisit dan tegas sehingga dapat membentuk struktur organisasi kekuasaan negara dalam konstitusi sepanjang mengenai lembaga negara yang menerima kewenangannya langsung dari konstitusi, tidak lagi mampu memberi gambaran yang total tentang organ-organ yang menerima kewenangannya dari undang-undang dasar, dan berdasarkan delegated auhority of legislation dikuasakan pembentukannya dalam satu Undang-Undang. Secara analogis kita dapat melihat keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002; Dasar konstitusionalitas kelembagaan yang diperlukan untuk menyelenggarakan pemerintahan, dalam suatu negara kesejahteraan tidak selalu hanya merujuk kepada suatu norma fundamental konstitusi yang secara eksplisit ditemukan dalam UUD 1945, karena tugas, fungsi dan tujuan negara secara filosofis, sosiologis dan juridis dapat menjadi landasan pembentukan kebijakan dan peraturan perundangan yang diperlukan dalam penyelenggaran pemerintahan. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan secara jelas menyebut bahwa Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum. Jikalau norma fundamental dalam UUD 1945 menjadi sumber hukum dan validitas norma hukum dibawahnya yang diperlukan dalam penyelengaraan negara, maka norma fundamental tersebut bersumber pada Grundnorm yang menjadi landasan politik hukum yang selalu menjadi orientasi kedepan, upaya memperbaharui ius constitutum kearah _ius constituendum; _ Untuk menemukan landasan politik hukum dalam pembentukan organ negara yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas pemerintahan tertentu yang tidak memadai lagi untuk diserahkan kepada lembaga yang secara tradisional ada dalam organisasi kekuasaan negara, maka untuk mencegah atau mengantisipasi timbulnya kondisi atau keadaan yang dapat menimbulkan pelanggaran terhadap konstitusi ketika mandate konstitusi tidak dapat ditemukan secara tegas, maka melalui suatu naskah akademis, diperhitungkan adanya suatu ruang yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 110 memungkinkan diskresi pembuat kebijakan dapat terlaksana secara bebas dan baik. Dalam ruang lingkup demikian dengan batas-batas yang diperhitungkan tidak dapat dilanggar pembuat kebijakan, maka dengan konstruksi. Dapat dibangun apa yang disebut ruang dalam mana diskresi pembuat kebijakan bergerak secara bebas. Jikalau kebijakan atau politik hukum yang dipilih untuk dilaksanakan tersebut tampak melampaui batas konstitusi ( constitutional boundary) yang dirumuskan, maka kebijakan demikian dihindari, karena potensil diuji dan dapat dinyatakan bertentangan dengan konstitusi serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Indikator konstitusionalitas tersebut dapat dirumuskan melalui interpretasi, konstruksi dan penghalusan terhadap:
Pembukaan UUD 1945, yg memuat pandangan hidup bangsa dalam Pancasila;
Tujuan Bernegara dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945;
Norma Konstitusi yang bersifat HAM dan Bukan, dalam Batang Tubuh UUD 1945. Dengan pencarian makna melalui interpretasi dan konstruksi untuk membentuk ruang gerak dengan batas yang ditentukan untuk tidak dilampaui, maka dapat ditemukan suatu ruang yang bebas bagi diskresi pembuat Undang- Undang, untuk membentuk kebijakan publik berdasar politik hukum yang mengacu pada konstitusi sebagai hukum dasar. Undang-Undang OJK menurut pendapat saya masih dalam ruang yang tidak melanggar constitutional boundary tersebut; IV. Pokok Permohonan 1. Umum Setiap penyelenggara negara berhak dan wajib untuk menafsirkan konstitusi atau UUD 1945 sebelum melaksanakan tugasnya dalam penyelenggaraan Negara, baik sebagai legislator dalam pembuatan Undang- Undang atau dalam pengujian Undang-Undang tersebut. UUD 1945 sebagai konstitusi tertulis, menyiratkan adanya kostitusi yang tidak tertulis sebagai bagian yang dianggap tidak terpisah, yang ditemukan dalam Pembukaan UUD 1945, dalam filosofi kehidupan bernegara dan berbangsa serta dalam tujuan yang ditetapkan kearah mana suatu negara yang terbentuk itu akan berjalan. Seluruh konstitusi yang termuat dalam pembukaan dan batang tubuh tersebut juga memuat dan membentuk asas-asas konstitusi yang harus ditemukan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 111 dengan interpretasi, konstruksi dan penghalusan hukum ( rechtsverfijning ), untuk dapat dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan yang dipandang serasi dengan konstitusi, sebagai kebijakan yang sumber keabsahan atau validitas dan legitimasinya dapat ditetapkan tidak bertentangan dengan UUD 1945; Konsepsi negara kesejahteraan ( welfare state ) yang mewajibkan adanya state intervention dalam penyelenggaran negara untuk mencapai peningkatan kesejahteraan umum dan perlindungan segenap bangsa, merupakan hal yang sangat terbuka dalam mandat konstitusi bagi penyelenggara negara, sehingga lingkungan strategis lokal, nasional dan global harus menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan apakah suatu kebijakan harus dilakukan yang perlu dalam kerangka penyelenggaraan negara bagi kehidupan masyarakat dan bangsa, dan apakah kebijakan demikian masih dalam kerangka constitutional boundaries yang ditetapkan dalam UUD 1945. __ Ruang dalam kerangka constitutional boundaries tersebut akan memberi petunjuk seberapa jauh pembuat Undang-Undang boleh bergerak dalam melakukan regulasi yang diperlukan untuk menyesuaikan kondisi nasional dengan perkembangan global, yang tidak dapat dielakkan karena interdependensi bagian-bagian dari dunia dengan dunia luar, yang turut menentukan keberhasilan untuk perlindungan dan kesejahteraan warga negara. Diskresi pembuat Undang-Undang harus juga digunakan untuk bergerak dalam ruang constitutional boundaries yang disebut di atas. Keberadaan dan praktik BI dalam pengawasan jasa keuangan, telah menjadi titik tolak disekresi yang berada dalam constitutional boundaries yang dimaksud; Oleh karenanya menentukan mandate konstitusi tidak cukup hanya dengan merujuk suatu pasal tertentu dalam UUD 1945 sebagai dasar dalam menentukan konstitusionalitas norma atau kebijakan yang akan dibentuk, melainkan harus menemukannya dengan tafsir, hermeneutika, konstruksi dan penghalusan. Terlebih lagi bahwa suatu norma konstitusi yang telah memuat suatu perintah secara tegas dalam konstitusi pun memerlukan kehati-hatian, karena suatu norma konstitusi yang biasanya terumuskan secara general (umum) dan hanya mengandung asas, dalam implementasinya mengalirkan norma turunan secara derivative , yang meskipun tidak secara tegas disebut Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 112 sebagai norma konstitusi, tetapi merupakan hal yang tidak dapat dikesampingkan demikian saja sebagai bagian dari konstitusi, terutama jika ada delegated authority of legislation yang diberikan kepada pembuat Undang- Undang. Oleh karenanya apa yang disebut sebagai norma yang konstitusional tidak dapat dilihat secara tunggal melainkan harus secara integral dalam doktrin kesatuan konstitusi, dari pembukaan sampai batang tubuh secara tidak terpisah satu dengan yang lain; Pengalaman menunjukkan krisis perbankan yang terjadi bukan berasal dari perbankan, melainkan dari bidang-bidang lain yang merembet kepada perbankan. Produk-produk jasa keuangan yang sudah demikian besar (dari sisi size), dari sisi keterkaitan konglomerasi, dan terakhir dari sisi kompleksitas masalah jasa keuangan, tampaknya menyebabkan BI tidak lagi tepat dan tidak mampu melakukan hal itu semua secara sendirian. Ketidak mampuan BI merespon perkembangan yang pesat di bidang jasa keuangan sudah menjadi kenyataan yang menjadi pengalaman kita sehingga keberadaan BLBI dan lain- lainnya menjadi problem yang harus dipikul sekarang ini. Oleh karenanya membesarnya tugas yang timbul dalam penyelenggaraan negara, dibidang pengawasan dan pengaturan jasa keuangan menjadi keniscayaan.
Lembaga Negara Independen Ketika tugas negara yang terbagi dalam organisasi kekuasaan yang tradisional seperti eksekutif, legislatif dan judikatif dalam menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan dirasakan tidak mencukupi lagi, terasa kebutuhan untuk melakukan perluasan organ tersebut tetapi dengan membentuk badan- badan atau lembaga yang independen. Independensi lembaga tersebut terwujud dalam struktur yang berada di luar organisasi penyelenggara pemerintahan yaitu eksekutf, yudikatif dan legislatif. Kecenderungan untuk menetapkan organ baru yang muncul karena kebutuhan dalam penyelenggaraan pemerintahan, juga boleh lahir dari sikap yang ingin membebaskan lembaga baru dari keterpasungan birokrasi lama, melainkan memulai sesuatu yang baru, dengan ciri yaitu adanya kewenangan regulasi dan pengawasan dalam organ yang sama tetapi dalam mekanisme checks and balance ; Salah satu gejala yang sangat umum dewasa ini diseluruh dunia, adalah banyaknya lahir organ-organ atau lembaga baru yang menjalankan juga tugas Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 113 dan kewenangan pemerintahan dan penyelenggaraan negara, diluar organisasi atau struktur kekuasaan yang lazim atau utama, baik disebut secara khusus dalam UUD, maupun dalam Undang-Undang atau hanya dengan peraturan yang lebih rendah. Hal ini terjadi karena semakin luasnya tugas-tugas pemerintahan dalam penyelenggaraan kepentingan umum, akan tetapi yang dirasakan perlu dilakukan melalui partisipasi publik yang luas dan demokratis maupun sebagai mekanisme pengawasan yang lebih luas. Badan- atau organ yang bertumbuh tersebut sering disebut sebagai komisi negara atau lembaga negara pembantu (auxiliary state organ) . Bahkan sebelum reformasi pun, organ seperti ini, sudah sangat banyak dan sering dibentuk sebagai jawaban atas permasalahan yang dihadapi, meskipun dalam kenyataan jawaban dengan organ baru demikian, boleh jadi merupakan beban secara keuangan, justru menambah kerumitan dalam penyelesaian masalah. Organ atau badan atau lembaga-lembaga independen ini, baik di negara maju maupun negara berkembang, bertumbuh dengan kewenangan yang bersifat regulatif, pengawasan dan monitoring, bahkan tugas-tugas yang bersifat eksekutif. Bahkan kadang-kadang lembaga independen demikian menjalankan ketiga fungsi sekaligus. Hal ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan untuk merampingkan organisasi Pemerintahan akibat tuntutan zaman untuk mengurangi peran pemerintahan yang sentralistis tetapi penyelenggaran negara dan pemerintahan dapat berlangsung effektif, effisien dan demokratis dalam memenuhi pelayanan publik. Jimly Asshiddiqie mencatat bahwa di Amerika Serikat lembaga-lembaga independen dengan kewenangan regulasi, pengawasan atau monitoring ini lebih dari 30-an ( Jimly Asshidiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2006, hal 8) . Akan tetapi, seperti ditulis oleh Kenneth F. Warren, pada awal Pemerintahan di Amerika tidak ada badan independen yang memiliki kewenangan mengatur, namun karena sentimen masyarakat terhadap penyalahgunaan ekonomi pasar bebas yang terjadi pada 1800an, Pemerintah menjawab tuntutan masyarakat dengan pertama kalinya membentuk Interstate Commerce Commission, dan sejak itu sampai abad keduapuluh, badan-badan independen demikian telah bertumbuh seperti raksasa dan sangat berkuasa, yang mencerminkan problem dan tantangan yang kompleks dari satu perubahan masyarakat Amerika pada abad Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 114 baru ekplorasi ruang angkasa ( Kenneth F. Warren Administrative Law In The Political System,,Prentice hall, Upper Saddle River, New Jersey 07458, Third Edition, 1996, hal 78) . Indonesia menurut catatan kami memiliki kurang lebih 44 lembaga, badan atau komisi-komisi negara semacam ini, yang kemungkinan banyak diantaranya sudah tidak aktif lagi karena memang ada yang dibentuk oleh pemerintahan masa lalu, yang mungkin tidak memperoleh anggaran yang cukup lagi untuk mendukung kegiatannya, atau barangkali tidak dipandang relevan lagi; Semua badan, organ atau lembaga demikian, apakah bernama dewan, komisi atau badan, yang menyelenggarakan (sebagian) fungsi pemerintahaan, secara umum disebut juga lembaga negara, yang dibedakan dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang disebut juga non-govermental organization (NGO). Istilah-istilah lembaga, badan atau organ sering dianggap identik, sehingga meskipun sesungguhnya dapat berbeda makna dan hakikatnya satu sama lain, orang dapat menggunakan satu istilah untuk arti yang lain. Dalam pembicaraan kita sekarang ini, yang penting untuk dibedakan apakah lembaga atau badan itu merupakan lembaga yang dibentuk oleh dan untuk negara atau oleh dan untuk masyarakat. Lembaga apa saja yang dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat dapat kita sebut sebagai lembaga negara . Dalam ”Sengketa Kewenangan Lembaga Negara”, maka kata lembaga negara termuat hanya dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, yang mengatur tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi, dimana satu diantaranya adalah ” memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar”, hal mana dengan kata-kata yang sama diulangi lagi dalam Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 juncto UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. Kejelasan tentang organ mana yang disebut sebagai lembaga negara menurut UUD 1945 sebelum perubahan, baru dapat terlihat secara tegas dalam ketetapan MPRS, baik Nomor XX/MPRS/1966, Nomor XIV/MPRS/1966, Nomor X/MPRS/1969 dan Nomor III/MPR/1978. Dari ketetapan MPRS dan MPR tersebut kita dapat melihat adanya kualifikasi lembaga negara yang berbeda yaitu Lembaga Tertinggi Negara yang disebut MPR dan Lembaga Tinggi Negara yaitu Presiden, DPA, DPR, BPK, dan Mahkamah Agung. MPR dalam UUD 1945 sebelum perubahan adalah penjelmaan seluruh rakyat sebagai pemegang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 115 kedaulatan, dan dalam realitasnya MPRlah yang memegang kekuasaan negara yang tertinggi . Setelah UUD 1945 mengalami perubahan, kita juga tidak dapat menemukan kejelasan definisi lembaga negara. Kalau dilakukan inventarisasi dalam UUD 1945 setelah perubahan kita memang menemukan lembaga-lembaga negara yang disebut, baik secara tegas yang dibentuk dan menerima kewenangan dari UUD 1945, atau yang hanya disebut adanya satu lembaga untuk fungsi tertentu, yang kemudian nama dan wewenangnya diatur dalam Undang-Undang mengenai lembaga negara tersebut. Misalnya Pasal 22 ayat (5) yang mengatur bahwa ” pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri” dan ayat (6) menentukan bahwa ” ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang”. Demikian juga Pasal 23D UUD 1945 hanya menyebut adanya satu bank sentral, yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan Undang-Undang; Dari ketentuan tersebut juga dapat diketahui bahwa penyebutan adanya lembaga negara dalam UUD belum dengan sendiri menentukan bahwa lembaga yang akan dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD 1945. Ada kalanya penyebutan dalam UUD 1945 merupakan penugasan kepada pembuat Undang-Undang untuk membentuk lembaga negara, dan mengatur hal-hal yang menyangkut kewenangan, susunan, kedudukan dan tanggung jawabnya dalam satu Undang-Undang. Dalam hal demikian dia menjadi organ atau lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari Undang-Undang, namun tetap merupakan lembaga negara yang konstitusional. Konsep Independensi Independensi suatu lembaga sesungguhnya diberikan karena dibutuhkan untuk dijadikan dasar dari suatu sikap netral ( impartial ) dan boleh membebaskan diri dari kungkungan conflict of interest diantara subjek pengawasan dan yang memiliki kepentingan lain. Independensi, merupakan prasyarat bagi terwujudnya sikap netral dan merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan. Kemandirian dan kemerdekaan lembaga, dengan menempatkannya tidak dibawah kekuasaan eksekutif, legislatif __ maupun yudikatif, tidak menyebabkan bahwa lembaga tersebut menjadi superbody , karena mekanisme pengawasan secara hukum pidana, maupun administrasi Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 116 dan tatanegara, merupakan hal yang terjadi secara mekanis dalam proses checks and balances . Baik komisioner OJK sendiri-sendiri maupun sebagai institusi, independensi dirumuskan sebagai kebebasan dari pelbagai pengaruh, yang berasal dari luar diri lembaga, baik sebagai intervensi yang bersifat mempengaruhi secara langsung atau tidak langsung, maupun berupa bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman atau tindakan balasan karena kepentingan politik, atau ekonomi tertentu dari siapapun, dengan imbalan atau janji imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi atau bentuk lain; Mekanisme masa jabatan dan pemilihan pejabat yang duduk dalam lembaga independen tersebut umumnya menjadi metode yang sering digunakan untuk menunjukkan independensi lembaga tersebut, ysng akan terjamin jika secara konsisten dilaksanakan. Seorang yang diangkat dengan mekanisme pemilihan yang biasanya dilakukan oleh DPR, juga dijamin kedudukannya dalam masa jabatan tertentu tidak dapat dihentikan, kecuali karena adanya pelanggaran pidana yang berat menyebabkan pejabat yang bersangkutan harus diberhentikan dari jabatannya. Otoritas Jasa Keuangan yang dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011, memuat seluruh persyaratan sebagai lembaga Negara yang independen; Integrasi Kewenangan Regulasi dan Pengawasan. Tampaknya integrasi kewenangan regulasi dan pengawasan dalam satu lembaga merupakan ciri dari lembaga independen, di mana kewenangan eksekutif, legislatif dan yudikatifnya disatukan dalam satu lembaga. Jika hal demikian terdapat pada OJK, maka menurut hemat kami, tidak mengganggu derajat independensi lembaga induk (BI), yaitu kewenangan BI yang seharusnya tidak boleh diambil tetapi diambil, sehingga berkurang sentralitasnya, dan juga tidak mengurangi kewenangan lembaga induk serta ciri dan fungsi utama lembaga induk atau BI, tidak dikurangi dalam hal sentralitas BI dalam UUD. Sistem keuangan dan perekonomian nasional, terutama berkembangnya lembaga jasa keuangan dengan fungsi utama sebagai intermediasi dengan innovasi finansial, telah menciptakan sistem yang kompleks, dan dalam perkembangannya yang pesat didorong oleh proses globalisasi. Hal tersebut telah mengakibatkan tugas tersebut tidak lagi dapat diserahkan kepada BI sebagai Bank Sentral dengan tugas pokok sebagai Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 117 otoritas moneter. Pengalaman masa lalu ketika BI sebagai Bank Sentral menggunakan instrument moneter berupa bantuan liquiditas untuk menyehatkan kondisi bank yang diawasi adalah disebabkan karena bank sentral keinginannya menutupi kelemahan akibat pelanggaran terhadap prudential banking [Naskah Akademik Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hal. 10] . Hal ini telah mengakibatkan masalah yang tidak dapat dipandang selesai sampai saat ini; Adanya kewenangan yang meliputi fungsi regulasi dan pengawasan bahkan sering ajudikasi sebagai fungsi judikatif terjadi dalam lembaga Negara independen secara universal. Dengan kompleksitas masalah dalam bidang jasa keuangan dengan produknya yang beragam dan pemain yang meliputi asing dengan jumlah dana yang besar, menyebabkan perlunya dilakukan pengaturan dan pengawasan terhadap seluruh kegiatan jasa keuangan secara lebih terintegrasi ( ibid, hal.3) Kesewenang-wenangan yang mungkin dapat timbul dalam hal demikian, dapat dicegah dengan membangun system checks and balances baik secara internal maupun melalui lembaga lain secara eksternal dalam judicial review dan mekanisme hukum lain yang tersedia. Dampak Globalisasi Terhadap Ekonomi dan Keuangan Nasional Globalisasi, sebagai satu proses transformasi meliputi seluruh aspek kehidupan. Hal itu semakin dirasakan membawa pengaruh mendalam baik dalam kehidupan pribadi secara individual maupun secara kelembagaan dalam kehidupan negara dan masyarakat, ketika gagasan, dana dan nilai-nilai kultural masuk kedalam ruang-ruang kita secara mudah menembus batas ruang dan waktu. Komunikasi yang amat mudah dengan kecepatan tinggi dan transportasi yang murah membawa proses globalisasi tersebut mentransformasi kehidupan manusia dan lembaga yang dikenal dalam negara dan masyarakat. Interaksi sosial, politik, ekonomi, finansial, ilmu pengetahuan, teknologi dan kultural antara satu bagian dunia dengan bagian dunia lain, terjadi dan berlangsung demikian saja dengan satu tekanan klik pada perangkat elektronik. Akibatnya dikatakan bahwa dunia ini telah menjadi rata ( the world is flat ) [ Thomas L. Friedman, The World is Flat, The Globalized World in the Twenty First Century, Penguin Books 2006, hal 7 ]. Globalisasi ada kaitannya dengan dalil bahwa kita sekarang hidup dalam satu dunia ( Anthony Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 118 Giddens, Run Away World, How Globalisation is Reshaping Our Lives,Profile Books,h. 7 ). Dibawah pengaruh globalisasi, kedaulatan negara telah menjadi semakin kabur atau tidak jelas, karena kekuatan global dapat mempengaruhi kehidupan warganegara disatu teritorial tertentu; Meskipun begitu banyak dimensi yang dapat diperlihatkan oleh kata Globalisasi , dan dimana-mana orang mengatakan bahwa kita hidup dalam zaman dengan kehidupan sosial yang sebagian besar ditentukan oleh proses global, dimana garis batas budaya nasional, ekonomi nasional dan wilayah nasional yang semakin kabur, akan tetapi inti dari persepsi ini adalah terjadinya proses globalisasi ekonomi yang muncul dan berjalan dengan sangat cepat ( Paul Hirst & Grahame Thomson, Globalization in Question, dialih bahasakan P. Sumitro, Globalisasi Adalah Mitos: Sebuah Kesangsian Terhadap Konsep Globalisasi Ekonomi Dunia Dan Kemungkinan Aturan Mainnya, Yayasan Obor Indonesia 2001, hal 1 ). Dikatakan lebih lanjut, bahwa telah muncul, atau sedang muncul, suatu sistem ekonomi yang benar-benar global, dimana didalamnya tercakup ekonomi nasional dan, karena itu strategi pengelolaan ekonomi nasional, semakin memerlukan kreativitas untuk bertahan. Dinamika dasar ekonomi dunia telah mencakup seluruh dunia; ekonomi dunia dikuasai oleh kekuatan pasar bebas yang tak terkendali, dengan perusahaan-perusahaan transnasional sebagai pelaku utama dan pembawa perubahan ( ibid) . Satu ciri dari globalisasi ekonomi dapat ditunjuk kebebasan modal bergerak dari satu negara kenegara lain, sehingga dalam keadaan tertentu pergerakan jangka pendek modal memasuki satu negara, dan ketika kemudian tiba-tiba ditarik kembali, akan terjadi gangguan besar bagi sistem moneter negara tersebut. Meski kebijakan moneter Amerika tidak diterapkan keseluruh dunia akan tetapi mata uang dollar menjadi alat pembayaran utama dalam sistem perdagangan internasional. Sistim nilai tukar mengambang dan pusat pusat pasar modal di Amerika sangat berpengaruh pada pasar modal diseluruh dunia, sehingga fluktuasi yang terjadi secara berantai akan membawa dampak ke pasar modal negara lain ( Tetapi saat ini mata uang dollar tidak lagi perkasa, dan terutama karena krisis yang dipicu oleh prime mortgage, orang mulai beralih kemata uang euro (Harian Kompas Oktober 2007 ). Tidak ada pemerintah nasional yang dapat menjalankan dengan effektif Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 119 tata aturan ekonomi apapun, bila tata aturan itu menyimpang dari standar internasional dan merugikan kepentingan TNC yang beroperasi diwilayahnya (Paul Hirst & Grahame Thomson, op.cit hal 19 _); _ Satu transformasi, yaitu perubahan dalam struktur, tampilan atau karakter terjadi secara luas dan besar-besaran, sebagai akibat proses globalisasi. Semua negara, wilayah, lembaga, masyarakat dan individu terkena dampaknya, yang juga mengakibatkan terjadinya perubahan besar dalam interaksi dan interelasi secara kelembagaan, wilayah dan antar masyarakat serta individu. Respon yang memadai terhadapnya tidak dapat diabaikan sama sekali, karena penetrasi yang terjadi secara global telah melampaui dengan mudah batas-batas negara, bahkan-batas-batas yang ingin dijaga dalam rumah keluarga-keluarga. Meskipun proses globalisasi sesungguhnya mempunyai banyak dimensi-sebagaimana telah diuraikan dibagian awal-akan tetapi sesungguhnya orang lebih banyak berbicara tentang proses dan dampaknya dalam bidang ekonomi. Hal itu terjadi karena dampak globalisasi dibidang ekonomi dapat menyengsarakan rakyat diwilayah atau negara tertentu secara signifikan, karena tidak siap dan tidak mampu menghadapi perubahan yang terjadi secara global tersebut. Umumnya negara- negara yang miskin dan sedang berkembang, dengan kemampuan ekonomi dan teknologi yang rendah tidak siap menghadapinya. Apalagi jika kebijakan yang diambil tidak dapat memperhitungkan keadaan domestik secara sosial, ekonomi dan kultural yang tidak memiliki kesiapan yang memadai, diharuskan bersaing secara bebas dan terbuka dengan aktor asing yang lebih canggih. Sesungguhnya transformasi yang terjadi dengan globalisasi sekarang menyebabkan hampir seluruh dunia, sedikit banyak terhubung kedalam sistem dunia yang semakin terintegrasi, dimana parameter pasar mendominasi; Pasal 33 UUD 1945 dan Kebijakan Ekonomi Globalisasi dan integrasi dunia melalui perdagangan bebas dengan filosofi pasar bebas, mau tidak sangat mempengaruhi kondisi perekonomian dan keuangan Indonesia. Dalam hal demikian perlindungan yang diperlukan dalam menjaga segenap bangsa semakin menjadi besar. Memang kemungkinan UU OJK merupakan salah satu yang diajukan oleh IMF sebagai persyaratan untuk bantuan membenahi ekonomi Indonesia, tetapi tidak selalu Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 120 dapat disimpulkan secara sederhana bahwa hanya karena demikian saja UU OJK tersebut bertentangan dengan UUD 1945; UUD 1945, yang memuat konstitusi Ekonomi, yang telah beberapa kali dijadikan batu penguji terhadap kebijakan ekonomi yang tertuang dalam undang-undang yang dimohonkan review oleh Mahkamah Konstitusi. Pasal 33 UUD 1945 yang menentukan prinsip penguasaan negara, demokrasi ekonomi dan kebersamaan, effisiensi berkeadilan, dan pembangunan yang sustainable serta berwawasan lingkungan oleh Mahkamah diartikan bahwa penguasaan itu tidak selalu dalam arti mutlak 100%, sepanjang penguasaan atas pengelolalan tersebut memberi pada negara posisi yang menentukan dalam proses pengambilan keputusan untuk menentukan kebijakan, sehingga oleh karenanya juga divestasi ataupun privatisasi atas kepemilikan saham Pemerintah dalam BUMN yang mengelola sumber daya alam tidak dapat dianggap bertentangan dengan UUD 1945 [ _Pasal 33 ayat (4) UUD 1945: _ “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional] , sepanjang penguasaan negara efti atas cabang produksi strategis dan menguasai hajat hidup orang banyak, serta sumber daya alam, dan sepanjang Negara memiliki posisi dominan dalam policy making badan usaha melalui komposisi saham. Dengan kata lain dalam tafsiran Mahkamah, privatisasi dan kompetisi sepanjang tidak meniadakan penguasaan negara dalam arti posisi yang menentukan dalam pengambilan keputusan kebijakan tetap, dalam tangan negara, dapat diterima dan tidak bertentangan dengan UUD 1945 ( Ibid, hal 336-349 _); _ Dalam krisis keuangan yang dapat menimbulkan krisis global, yang dikatakan seperti tsunami, bagi Indonesia dampak ”globalisasi” secara buruk kelihatannya berjalan satu arah. Kita tidak mampu memberi perlawanan, dan menjadi korban. Sejak era Pemerintah Orde Baru, dua kekuatan utama telah menelan Indonesia, yaitu pertama ”kekuatan deregulasi” yang memaksa keterbukaan akses pasar nasional, yang awalnya hanya meliputi perdagangan, tetapi kemudian meliputi investasi asing. Kedua, pertumbuhan perjanjian dagang regional, ternyata telah menggeser proses regulasi kearah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 121 skala yang berbeda ( Kami menggunakan dua kekuatan itu dari Paul Dickens, op.cit hal 427 _); _ Kritik Stiglitz, yang mengecam pendekatan IMF “ one-size-fits-all”, yang dianggap memberikan solusi dengan cara yang sama dengan tidak mempertimbangkan keadaan nasional yang berbeda, menyatakan l dengan cara yang lugas: ”... Especially at the International Monetary Fund , decisions were made on the basis of what seemed a curious blend of ideology and bad economics, dogma that sometimes seemed to be thinly veiling special interest… While no one was happy about the suffering that often accompanied the IMF programs, inside the IMF, it was simply assumed that whatever suffering occurred was a necessary part of the pain countries had to experience on the way to becoming a successful market economy, and that the measures would, in fact reduced the pain the country would have to face in the long run. The hypocrisy of pretending to help developing countries by forcing them to open up their market to the goods of advanced industrial countries while keeping their own market protected, policies that make the rich richer and the poor more impoverished and increasingly angry (Joseph E. Stiglitz, Globalization And Its Discontents, Allen Lane Penguin Books 2002, hal xiii,xiv dan xv). Dibagian lain Siglitz menyebutkan bahwa kenyataan tidak adanya mekanisme pasar yang sempurna dapat disimak dari pernyataan Joseph Stiglitz : ” presumption that markets, by themselves, lead to efficient outcomes, failed to allow for desirable government interventions in the market and make everyone better off ” ( Putusan MK op.cit hal 330-331 ) _; _ Banyak dimensi yang dapat diperlihatkan oleh kata Globalisasi , dan dimana-mana orang mengatakan bahwa kita hidup dalam zaman dengan kehidupan sosial yang sebagian besar ditentukan oleh proses global, dimana garis batas budaya nasional, ekonomi nasional dan wilayah nasional yang semakin kabur, akan tetapi inti dari persepsi ini adalah terjadinya proses globalisasi ekonomi yang muncul dan berjalan dengan sangat cepat ( Paul Hirst & Grahame Thomson, Globalization in Question, dialih bahasakan P. Sumitro, Globalisasi Adalah Mitos: Sebuah Kesangsian Terhadap Konsep Globalisasi Ekonomi Dunia Dan Kemungkinan Aturan Mainnya, Yayasan Obor Indonesia 2001, hal 1) . Dikatakan lebih lanjut, bahwa telah muncul, atau Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 122 sedang muncul, suatu sistem ekonomi yang benar-benar global, dimana didalamnya ekonomi nasional dan, karena itu strategi pengelolaan ekonomi nasional, semakin terpengaruh. Dinamika dasar ekonomi dunia telah mencakup seluruh dunia; ekonomi dunia dikuasai oleh kekuatan pasar bebas yang tak terkendali, dengan perusahaan-perusahaan transnasional sebagai pelaku utama dan pembawa perubahan ( _ibid); _ Mahkamah Konstitusi yang diberi mandat untuk mengawal konstitusi, memberi tafsiran atas pasal 33 UUD 1945 sebagai batu ujian konstitusionalitas kebijakan ekonomi yang diadopsi dalam undang-undang yang dimohonkan pengujian, dengan memperhitungkan juga lingkungan strategis global yang berubah. Mahkamah Konstitusi secara khusus telah memberi pengertian ”penguasaan oleh negara” dalam putusan-putusannya sebagai berikut ini : ” ...dengan memandang UUD 1945 sebagai sebuah sistem...,maka penguasaan oleh negara dalam Pasal 33 memiliki pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas dari pada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata. Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik dibidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin ”dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Dalam pengertian kekuasaan tertinggi tersebut tercakup pula pengertian pemilikan publik oleh rakyat secara kolektif. Bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalam wilayah negara, pada hakikatnya adalah milik publik seluruh rakyat secara kolektif yang dimandatkan kepada negara untuk menguasainya guna dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran bersama. Karena itu Pasal 33 ayat (3) menentukan ”bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sesesar-besar kemakmuran rakyat”. ”...pengertian ”dikuasai negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan ”bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, termasuk pula didalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber sumber kekayaan yang dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 123 1945 memberikan mandat kepada negara untuk melakukan fungsinya dalam mengadakan kebijakan (beleid), tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad)” (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 01-02-022/PUU- I/2003 ). Ini memperkuat keyakinan kita akan apa yang disebut ketidak sempurnaan pasar dan perlunya intervensi Pemerintah sebagaimana disebut Joseph Stiglitz: ” Behind the free market ideology there is a model, often attributed to Adam Smith, which argues that market forces-the profit motive-drive the economy to efficient outcomes as if by invisible hand. One of the great achievements of modern economics is to show the sense in which, and the conditions under which Smith’s conclusion is correct. It turns out that these conditions are highly restrictive. Indeed, more recent advances in economic theory-ironically occurring precisely during the period of the most relentless pursuit of the Washington consensus policies-have shown that whenever information is imperfect and market incomplete, which is to say always, and especially in developing countries, then the invisible hand works most imperfectly. Significantly, there are desirable government interventions which, in principle, can improve upon the efficiency of the market. These restrictions on the conditions under which markets result in efficiency are important-many of the key activities of government can be understood as responses to the resulting market failure” (Joseph E. Stiglitz, op.cit hal 73-74 ). __ Oleh karenanya Pasal 33 UUD 1945 sebagai konstitusi ekonomi Indonesia yang membentuk paradigma negara kesejahteraan ( Kita tidak menyebut paradigma sosialis, untuk menghindari kesan kembali mempertahankan kebijakan ekonomi yang dianut negara-negara komunisme dalam masa perang dingin, yang secara mutlak telah mengalami kekalahan dari sistem kapitalisme) , dengan tafsir mutakhir yang dilakukan Mahkamah Konstitusi, kami yakini dapat diterapkan di Indonesia, dengan memperhatikan tingkat perkembangan kondisi sosial, kultural dan ekonomi dari Negara dan bangsa Indonesia. Dalam menata dan melaksanakan tugasnya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang didasarkan pada UUD 1945, kami melihat bahwa pemerintah pusat dan lokal dalam tugas pokoknya untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, ekonomi, dan pembangunan yang effektif dan effisien untuk mendukung terwujudnya Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 124 perekonomian nasional yang berfihak pada ekonomi kerakyatan, yang merata, mandiri, handal, berkeadilan dan mampu bersaing dikancah perekonomian Internasional harus dapat memperhatikan paradigma negara kesejahteraan ( welfare state). Pembentukan OJK hemat kami sesuai dengan konsep pengawasan dan intervensi yang dibutuhkan untuk melindungi rakyat dan perekonomian Indonesia dari praktik di bidang jasa keuangan yang merugikan perekonomian masyarakat dan negara, karena sebagai lembaga negara yang independen, OJK adalah bagian dari organ negara, yang memenuhi syarat dalam tugas pengawasan dan pengaturan lembaga jasa keuangan, yang didalilkan Pemohon bertentangan dengan UUD 1945. Justru dia menjadi bagian dari campur tangan negara untuk mengawasi dan mengatur jasa keuangan di Indonesia, dengan cara yang independen dan dibebaskan dari benturan kepentingan yang mungkin terjadi, yang menjadi amanat Pasal 33 UUD 1945 dan Pembukaan UUD 1945, sebagaimana telah ditasfirkan oleh Mahkamah Konstitusi; Sekali lagi kami memohon kehati-hatian Majelis yang Mulia Hakim MK, suatu putusan yang meniadakan lembaga OJK seperti yang terjadi pada BP Migas, membawa akibat yang sangat berbeda, karena akan menghilangkan kepastian hukum, kepercayaan investor asing, yang akan terdorong untuk menarik dana besar mereka secara mendadak, sehingga dapat menimbulkan panik dan kekacauan secara berantai, yang boleh menjadi krisis ekonomi; Kesimpulan 1. Pemohon tidak mempunyai dasar legal standing yang memadai untuk memohon pengujian UU OJK;
Karena keterkaitan ekonomi global dengan ekonomi Indonesia, maka Putusan MK, sekalipun hanya menghentikan untuk sementara kegiatan OJK, justru dapat menimbulkan krisis ekonomi di Indonesia;
UU OJK tidak melanggar constitutional boundary Dalam UUD 1945;
Dr. Zainal Arifin Moechtar, S.H., LL.M Pada dasarnya, pengujian atas UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (lebih lanjut disebut UU OJK) dilakukan oleh karena Pemohon menganggap bahwa; Pertama , OJK ini bukanlah lembaga yang sah secara konstitusional dan karenanya tidak dapat disematkan sifat keindependenan padanya. Kedua , OJK telah mengambil alih peran dan fungsi Bank Indonesia, padahal menurut Pemohon, hanya Bank Indonesia-lah yang memiliki sifat-sifat Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 125 sebagai bank sentral dengan segala tugas dan fungsinya sehingga tidaklah tepat jika OJK diperbolehkan untuk memiliki fungsi menyelenggarakan sistem pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana yang dimaksud di dalam UU OJK. Ketiga , pembentukan OJK menimbulkan banyak kerugian oleh karena OJK mengadakan pungutan terhadap perusahaan sektor jasa keuangan yang dijadikan sumber pendanaan OJK. Karena ini berarti entitas yang diawasi malah menjadi sumber dana dan akan mengganggu independensi OJK, khususnya OJK akan lebih memperhatikan industri jasa dan keuangan dibanding kepentingan publik; Dalam kapasitas sebagai ahli dan untuk merespon permohonan Pemohon tersebut, akan menjelaskan hal-hal sebagai berikut; Pertama, seperti apa sesungguhnya lembaga negara independen secara teoritik dan praktik. Kedua, makna relasi OJK dengan lembaga bank sentral; Ketiga, pungutan yang dilakukan terhadap jasa keuangan apakah dengan serta merta dapat dianggap melanggar prinsip Pasal 23A UUD 1945; Dalam kapasitas sebagai ahli dengan menyatakan sebagai berikut; Perihal Independensi OJK dan Lembaga Negara Independen Tentu saja tak dapat dimungkiri bahwa OJK adalah lembaga negara independen sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 1, UU OJK itu sendiri. Dapat digolongkan sebagai lembaga negara oleh karena merupakan lembaga yang dibentuk oleh negara dan dalam rangka menjalankan tugas negara di sektor pengawasan terhadap perbankan. Kemudian, diberikan sifat independen oleh karena diharapkan bebas dari campur tangan pihak lain. Oleh karena itu, OJK kemudian dijadikan lembaga negara yang bersifat independen; Lembaga negara independen seringkali diterjemahkan menjadi lembaga negara tersendiri yang terpisah dari cabang kekuasaan yang lainnya. Lembaga yang menjadi independen atas lembaga negara lainnya dan menjalankan fungsi- fungsi tertentu secara permanen (state independent agencies) , maupun yang hanya bersifat menunjang (state auxiliary agencies) , sehingga padanya disematkan kewenangan kelembagaan kuat untuk menjalankan fungsi campuran antara regulatif, administratif, pengawasan, dan fungsi penegakan hukumnya ( Lihat: Jimly Ashiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara , Rajawali Pers, Jakarta, 2009, halaman 338-339 _); _ Bahwa menurut Milakovich dan Gordon, komisi negara independen pada Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 126 hakikatnya memiliki karakter kepemimpinan yang bersifat kolegial, sehingga keputusan-keputusannya diambil secara kolektif. Selain itu, anggota atau para komisioner lembaga ini tidak melayani apa yang menjadi keinginan presiden sebagaimana jabatan yang dipilih oleh presiden lainnya ( Michael E.Milakovich, dan George J. Gordon , Public Administration in America , Seventh Edition, USA, Wadsworth and Thomson Learning, 2001 ). Perihal independen ini, Funk dan Seamon menjelaskannya dalam arti anggota bebas dari kontrol presiden, walaupun independensi itu sifatnya relatif, tidak mutlak ( William F Funk and Seamon, 2001 Administrative Law, Examples and Explanations , Aspen Law and Bussiness, New York _); _ Di samping itu, periode jabatannya bersifat ”staggered ”. Artinya, setiap tahun setiap komisioner berganti secara bertahap dan oleh karena itu, seorang presiden tidak bisa menguasai secara penuh kepemimpinan lembaga-lembaga terkait, karena periodesasi jabatan komisioner tidak mengikuti periodesasi politik kepresidenan. Demikian juga perihal jumlah anggota atau komisioner ini bersifat ganjil dan keputusan diambil secara majoritas suara. Selain itu, keanggotaan lembaga ini biasanya menjaga keseimbangan perwakilan yang bersifat partisan ( ibid). Dengan karakter seperti di atas, maka komisi independen relatif memiliki posisi yang leluasa dalam melakukan fungsinya karena tidak berada di bawah kontrol kekuasaan manapun secara mutlak; Ditambahkan Gordon dan Milakovich, perihal nomenklatur kelembagaan bisa ditarik dalam kesimpulan penggunaan istilah regulatory agencies merujuk kepada semua jenis dependent and independent regulatory boards , commissions, law enforcemen agencies dan executive department yang memiliki kewenangan pengaturan (Op.Cit Gordon and Milakovich). __ Lebih lanjut dijelaskan bahwa: The term of regulatory agencies will refer to a regulatory bodies headed by single individual (most commonly a director); a regulatory commissions is headed by group of commissioners (or sometimes, board member) and both regulatory bodies will refer to both kinds of structures (ibid) . Dikatakan, sebagai pembedaan yang akan menunjukkan perbedaan type of regulators, in their _operational as well as their formal structures (ibid); _ Masih dalam hal yang sama, Funk dan Seamon menjelaskan secara lebih rinci bahwa karakteristik lembaga independen ini adalah, Pertama , dikepalai oleh multi-member groups, yang berbeda dari yang mengepalai agency . Kedua , tidak Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 127 boleh dikuasai secara simple majority oleh partai tertentu, yang artinya bebas dari penguasaan partai tertentu. Ketiga , para komisionernya punya masa jabatan yang fixed dengan cara berjenjang ( staggered terms ), yang artinya mereka tidak berhenti secara bersamaan. Keempat , para anggota hanya bisa diberhentikan dari jabatan menurut apa yang ditentukan di dalam dalam aturan dan tidak dengan cara yang ditentukan oleh Presiden seperti di lembaga eksekutif ( Op.Cit., Funk dan Seamon _); _ Sementara itu, Michael R. Asimov, komisi negara disebutnya sebagai administrative agencies dengan pengertian sebagai units of government created by statute to carry out specific tasks in implementing the statute. Most administrative agencies fall in the executive branch, but some important agencies are independent ( Michael R. Asimov 2002, Administrative Law , Chicago: The BarBri Group ) . Mengenai watak dari sebuah komisi, apakah tergantung pada satu cabang kekuasaan tertentu, atau bersifat independen, Asimov melihatmya dari segi mekanisme pengangkatan dan pemberhentian anggota komisi negara tersebut. Menurutnya, pemberhentian anggota komisi negara independen hanya dapat dilakukan berdasarkan sebab-sebab yang diatur dalam Undang-Undang pembentukan komisi bersangkutan. Sedangkan anggota komisi negara biasa, sewaktu-waktu diberhentikan oleh presiden, melalui mekanisme pengaturan yang dimiliki presiden ( _bid); _ Sementara William F. Fox, Jr mengemukakan bahwa komisi negara adalah bersifat independen apabila dinyatakan secara tegas di dalam undang-undang komisi bersangkutan, yang dibuat oleh Congress . Atau, bilamana terdapat pembatasan kewenangan presiden untuk tidak bisa secara bebas memutuskan ( discretionary decision ) pemberhentian pimpinan komisi negara tersebut ( William F. Fox, Jr., Understanding Administrative Law , Danvers: Lexis Publishing, 2000 _); _ Sebuah komisi negara independen adalah lembaga publik yang memiliki independensi, otonomi dan kompetensi pengaturan dalam menjalankan ruang publik yang sensitif, seperti perlindungan persaingan, supervisi capital market , dan pengaturan pelayanan kepentingan ekonomi secara umum . Keberadaan komisi negara independen ini, dijustifikasi oleh adanya kompleksitas pengaturan hal-hal tertentu, serta tugas-tugas yang bersifat supervisory dan sangat membutuhkan keahlian khusus. Kebutuhan untuk Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 128 implementasi secara cepat kewenangan publik di sektor tertentu dan juga bebas dari campur tangan politik dalam pelaksanaan tugas. Bahwa dari berbagai pengertian tersebut, OJK menemukan fungsi independennya secara sangat kuat. Pertama, oleh karena adanya kepentingan dan tugas tertentu yang diinginkan negara untuk dijalankan secara lebih independen dan bebas dari campur tangan mana pun menjadi. Khususnya mengenai kepentingan untuk melakukan pengawasan perbankan secara independen. Dan oleh karena adanya kebutuhan untuk melakukan pengasan secara lebin independen itulah maka UU Bank Indonesia sendiri telah mengamanatkan dibentuknya lembaga tersendiri yang independen dalam melakukan pengawasan sektor jasa keuangan; Kedua , OJK telah memiliki hampir semua ciri keindependenan yang dimaksudkan sebagai ciri penegas dari keindependenan suatu lembaga negara independen. Tentu saja tidak semua, apalagi memang tidak satupun lembaga negara independen di Indonesia yang mengikuti berbagai ciri teoritik untuk lembaga negara independen tersebut. Misalnya soal pergantian yang berjenjang ( staggered terms ). Sampai saat ini, tidak satupun lembaga negara independen yang memiliki sifat pergantian berjenjang. Lagipula, kepentingan pergantian berjenjang adalah untuk mengecilkan kemungkinan penguasaan suatu lembaga negara independen oleh partai politik tertentu. Tetapi selebihnya, OJK dapat dikatakan menjalankan penuh sifat-sifat keindependenan sebagaimana ciri teoritik; Ketiga , haruslah diingat bahwa keindependenan dapat diukur kepentingan konstitusionalnya melalui fungsi yang ingin dikerjakan. Jika ada suatu tugas yang negara ingin lakukan, sangat penting, serta adanya kemungkinan conflict of interest dengan kepentingan Pemerintah, maka disitulah lahir kepentingan konstitusional untuk mengindependenkan tugas tersebut ke suatu lembaga tersendiri dengan harapan tidak akan dipengaruhi oleh cabang kekuasaan manapun. Bank Indonesia dan OJK Perihal OJK telah mengambil alih peran dan fungsi Bank Indonesia, memang merupakan hal yang menarik. Sesungguhnya harus diingat beberapa hal yang melatari lahirnya UU Bank Indonesia yang mencantumkan pemisahannya dari Bank Indonesia. Salah satunya krisis yang terjadi di tahun 1997-1998, dan menimbulkan kesimpulan kala itu bahwa terjadi ketidakefektifan pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Oleh karenanya, dipisahkanlah fungsi regulasi dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 129 pengawasannya. Pemisahan ini tentunya adalah open legal policy pembentuk Undang-Undang yang melihat adanya persoalan pengawasan perbankan. Karenanya, pembentukan OJK adalah bagian dari ijtihan negara untuk melakukan perbaikan sektor pengawasan jasa keuangan; Kedua , perihal makna terintegrasi. Makna kata terintegrasi secara hukum tidaklah dapat dikatakan bahwa terintegrasi itu haruslah dipegang oleh satu lembaga saja. Terintegrasi tentu saja bermakna dapatjuga dilakukan oleh multi-pihak, sepanjang dilakukan secara terkordinatif dengan relasi yang baik dan jelas. Sekedar mencontohkan, integrated criminal justice system menjelaskan bahwa sistem penegakan hukum pidana yang terintegrasi tidaklah berarti hanya harus ada satu lembaga yang mengerjakan penegakan hukum pidana. Tetapi dapat juga dengan beberapa lembaga yang diupayakan terformat secara terintegrasi. Inilah yang dapat dilihat dalam relasi antara Bank Indonesia dan OJK dalam pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan. Tidaklah harus dilakukan oleh satu lembaga saja, tetapi dapat juga dengan multi-pihak. Disinilah peran pembentuk Undang- Undang untuk merumuskan legal policy apa yang akan diambil dalam artian menjelaskan sistem perekonomian yang terintegrasi tersebut. Masih perihal terintegrasi tentunya tidak dapat diterjemahkan sebagai membiarkan adanya campur tangan satu pihak atas pihak yang lain sehingga mengganggu independensi. Terintegrasi memiliki makna kuat termasuk saling kontrol. Seperti layaknya suatu _checks and balances system; _ Karenanya, seharusnya dibalik logikanya bahwa dengan kehadiran OJK bukanlah memperlemah fungsi bank sentral yang sesungguhnya yakni memelihara kestabilan nilai rupiah dengan melaksanakan kebijakan moneter yang berkelanjutan, konsisten, transparan dan mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah dalam bidang perekonomian. Dalam tugas tersebut, OJK sangat berfungsi untuk membantu kebijakan secara keseluruhan dalam kaitan menjaga sistem perekonomian nasional yang dikerjakan oleh Pemerintah, OJK, maupun Lembaga Penjamin Simpanan yang memang penting untuk saling bahu-membahu menjaga kestabilan perekonomian nasional; Perihal Pungutan OJK Pada dasarnya, Pasal 34 ayat (2), Pasal 37 ayat (1) s.d. ayat (6) serta penjelasannya mengatur bahwa anggaran OJK bersumber dari APBN dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 130 kemudian juga diatur bahwa yang dimaksud dengan pungutan antara lain adalah pungutan untuk biaya perizinan, persetujuan, pendaftaran, dan pengesahan, biaya pengaturan, pengawasan, pemeriksaan serta penelitian dan transaksi perdagangan efek; Aturan ini bermakna banyak. Pertama , pendanaan OJK sesungguhnya dapat dilakukan dengan hanya menggunakan APBN. Dapat juga hanya menggunakan pungutan. Dapan juga dengan menggunakan keduanya. Hal yang sebagai konsekuensi dari penggunaan kata “dan/atau” dalam aturan sebagaimana yang dimaksud di atas. Hanya dibebankan ke APBN tentu tidak tepat oleh karena memang ada pungutan yang seharusnya dibayarkan oleh pihak yang berkepentingan seperti yang diatur di atas. Hanya menggunakan pungutan juga tidak mungkin oleh karena OJK harus beroperasi dari awal dan belum memiliki pendanaan. Maka yang paling mungkin adalah dengan menggabungkan kemungkinan keduanya digunakan. Oleh karena itulah hadir kata “dan/atau”; Kedua , tidaklah dapat dikatakan dengan serta merta bahwa dengan pungutan ini akan mengganggu independensi. Mencontohkan biaya-biaya persidangan perkara yang diatur di Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya. Hal tersebut diatur dalam Perma Nomor 3 Tahun 2012. Dalam Perma tersebut diatur secara jelas perihal biaya-biaya yang dimaksudkan untuk membayar kepentingan pencari keadilan khususnya untuk membiayai kepaniteraan; proses peradilan itu sendiri dan biaya pemberkasan. Bahkan diatur biaya penyelesaian perkara yang berkisar antara Rp. 250.000-Rp. 10.000.000,- Dan kemudian diatur disesuaikan dengan keadaan pengadilan setempat tersebut. Bahkan di beberapa pengadilan, jika ada yang tidak mampu membayar dengan membuktikan bahwa ia benar-benar tidak mampu membayar karena termasuk golongan miskin, maka pengadilan dapat membebaskan dari biaya perkara tersebut; Artinya, pada dasarnya tidaklah dapat dikatakan melakukan pembayaran untuk mengurus biaya perkara dalam proses peradilan dapat mengganggu independensi lembaga tersebut dalam menegakkan keadilan. Sepanjang, hal tersebit diatur dengan jelas dan terang sehingga tidak ada lagi biaya-biaya lain selain dari biaya yang diatur dalam peraturan yang mendasarinya. Hal yang sama dapat dilihat ke konteks OJK. Bahwa sesungguhnya apa yang dibayarkan oleh asa keuangan merupakan bagian dari yang tidak dapat dikatakan akan mengganggu independensi OJK dalam melaksanakan tugas. Hal tersebut bagian dari biaya Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 131 yang harus dibayarkan oleh pelaku jasa keuangan untuk membiayai proses yang dikerjakan OJK. Tentu tidak mengganggu independensi OJK sepanjang ditetapkan melalui biaya yang sudah diatur dengan detail, bahkan diguanakan untuk pembiayaan apa saja serta yang paling penting adalah transparansi penggunaannya; Ketiga , perihal pungutan ini melanggar ketentuan UUD 1945 terkhusus Pasal 23A yang menyatakan “pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang” , sesungguhnya tidak serta merta dapat dikatakan melanggar. Apalagi, aturan mengenai pajak dan pungutan bersifat memaksa di negara ini tidaklah diatur secara terkodifikasi dalam satu Undang- Undang yang khusus mengenai pajak dan pungutan bersifat memaksa. Jika dikatakan bahwa harus dengan Undang-Undang tersendiri juga akan sangat repot karena harus membuat begitu banyak Undang-Undang khusus dan tersendiri yang mengatur soal pungutan. Termasuk Undang-Undang khusus pungutan OJK maupun Mahkamah Agung, serta seluruh lembaga-lembaga lainnya yang menggunakan pungutan ataupun pajak; Karenanya, pengaturan lebih lanjut dengan menggunakan aturan pelaksana dari Undang-Undang yang membolehkan pungutan secara praktik masih dapat diterima dan menjadi open legal policy dalam besaran jumlah pungutan sepanjang, -mengutip Putusan MK No. 26/PUU-VII/2009 tentang sifat open legal policy , yakni sepanjang isinya tidak melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable (tidak dapat ditoleransi). Maka sepanjang pungutan tersebut tidak melanggar moralitas, masih rasional jumlahnya serta tidak menimbulkan ketidakdilan, maka masih dapat dibenarkan. Meskipun pada saat yang sama harus memperhatikan kondisi dari pihak yang dipunguti biaya tersebut. Seperti yang diatur dalam Perma untuk biaya perkara maupun Peraturan OJK untuk pungutan atas jasa keuangan; Keempat , jikalaupun dianggap melanggar prinsip Pasal 23A UUD 1945 yang mengamatkan harus diatur dalam Undang-Undang tersendiri, maka harus dapat dilakukan dengan mengupayakan adanya kodifikasi atas keseluruhan pajak dan pungutan bersifat memaksa lainnya. Atau sekurang-kurangnya semua pungutan yang terjadi di MA, LPS, Pemerintah melalui PNBP, maupun OJK dan berbagai lembaga lain haruslah dibuatkan Undang-Undang nya masing-masing. Hal yang tentu mustahil karena mengingat kompleksitas soal hal tersebut; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 132 5. Prof. Erman Rajagukguk, S.H., LL.M., PH.D Pertanyaan yang mendasar adalah, apakah Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa “… tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan...” dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 23A dan Pasal 34D Undang-Undang Dasar 1945 ? Dengan perkataan lain pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:
Apakah filosofi pemisahan kewenangan stabilitas moneter dan pengawasan perbankan? 2. Apakah filosofi penggabungan pengawasan perbankan dan lembaga keuangan non-bank? 3. Apakah artinya independensi dan bebas dari campur tangan pihak lain dalam kelembagaan OJK? 4. Bagaimanakah hubungan kelembagaan antara Pemerintah dalam hal ini Departemen Keuangan, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam sistem perekonomian Indonesia? 5. Apakah filosofi pembiayaan OJK dilakukan dengan pungutan dari para pelaku pasar? Pendapat Hukum ahli atas pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas adalah sebagai berikut ini: Filosofi pemisahan kewenangan menjaga stabilitas moneter dan pengawasan perbankan adalah agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang berkelanjutan dan stabil, mampu melindungi kepentingan konsumen atau masyarakat. Hal ini juga merupakan amanat Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang telah memperkirakan perkembangan transaksi sektor jasa keuangan yang tidak bisa dilakukan secara partial, namun harus secara terintegrasi dari berbagai sub sektor jasa keuangan; Filosofi penggabungan pengawasan perbankan dan lembaga keuangan non-bank adalah untuk melindungi kepentingan konsumen atau masyarakat. OJK sebagai otoritas yang melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan di sektor jasa Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 133 keuangan harus memiliki independensi didalam melaksanakan tugasnya. Hal ini disebabkan OJK mengawasi kegiatan jasa keuangan dan transaksi keuangan oleh entititas bisnis yang dapat berpotensi terjadinya benturan kepentingan serta berpotensi pula mempengaruhi pihak-pihak tertentu, termasuk pihak Pemerintah. Terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi dan informasi serta inovasi finansial telah menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks, dinamis dan saling terkait antar masing-masing sub sektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Disamping itu adanya lembaga keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai sub sektor keuangan (konglomerasi) telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antara lembaga-lembaga keuangan seperti bank, perusahaan- perusahaan yang go publik (sektor Pasar Modal), Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya; Independensi dan bebas dari campur tangan pihak lain dalam kelembagaan OJK tidak berarti independensi secara mutlak. Independensi tersebut harus diimbangi dengan check and balance , artinya bukan lembaga yang memiliki kebebasan yang tidak terbatas. Independensi dalam arti mengatur sendiri ( self-regulatory bodies ) seperti komisi lain yang ada: Komisi Penyiaran Indonesia, Komisi Pemilihan Umum, dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Independensi OJK artinya juga bahwa OJK tidak berada dibawah otoritas lain atau tidak menjadi bagian dari Pemerintah. Namun OJK tetap wajib menyusun laporan kegiatan secara berkala dan melaporkannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan OJK harus tetap memberikan laporan keuangan tahunannya serta diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Kantor Akuntan Publik yang ditunjuk oleh BPK. Selanjutnya OJK wajib mengumumkan laporan keuangan tersebut kepada publik melalui media cetak dan media elektronik; Dalam hal OJK mengidentifikasikan bank tertentu mengalami kesulitan likuiditas dan/atau kondisi kesehatan bank tersebut memburuk, maka OJK dapat mengajukan ke Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) untuk segera dilakukan rapat guna memutuskan langkah-langkah pencegahan atau penanganan krisis. Anggota FKSSK yaitu Menteri Keuangan, Bank Indonesia, OJK dan LPS melakukan pertukaran informasi terkait dengan tugas dan fungsi dari masing-masing lembaga; Filosofi pembiayaan OJK yang berasal dari APBN dan/atau pelaku pasar adalah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 134 sebagai pembiayaan bagi OJK karena bertugas mengatur dan mengawasi kegiatan jasa keuangan disektor perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya, dimana pelaku pasar juga akan memperoleh manfaat dari jasa pengawasan yang dilakukan oleh OJK; Berdasarkan uraian saya tersebut di atas, maka Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa “… tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan …” dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan tidak bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 23A dan Pasal 34D Undang- Undang Dasar 1945; Menurut Pendapat Hukum saya, apabila permohonan Pemohon dikabulkan mengembalikan semua kegiatan pengawasan perbankan kembali ke Bank Indonesia; tidak semudah membalikkan telapak tangan dan membawa implikasi yang besar dalam sektor jasa keuangan; Akan tetapi pengembalian kewenangan pengawasan perbankan tersebut membutuhkan pengaturan baru yang memakan waktu yang panjang sehingga terjadi kekosongan hukum yang mengakibatkan ketidakpastian hukum. Ketidakpastian hukum akan menyebabkan investor-investor melepaskan surat- surat berharga yang dimiliknya, hal ini dapat menyebabkan penjualan surat-surat berharga yang dimiliki oleh investor karena harganya yang akan terus merosot akibat adanya ketidakpastian hukum. Keadaan tersebut akan mempengaruhi kondisi fiskal perekonomian negara dikarenakan ABPN yang masih dalam keadaan defisit membutuhkan alternatif pembiayaan untuk menutupi defisit dimaksud dengan menerbitkan surat berharga negara, namun nilai surat berharga dimaksud menjadi berkurang, tidak laku dan pemerintah dapat mengalami keadaan default dalam arti pinjaman menjadi tidak terbayarkan dan defisit tidak dapat ditutup; Hal tersebut akan mengakibatkan krisis keuangan dan perekonomian yang pada akhirnya dapat menyebabkan krisis pemerintahan; Dengan perkataan lain, tindakan hukum yang demikian yaitu mengembalikan fungsi pengawasan perbankan akan membawa akibat negatif bagi ekonomi bangsa; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 135 6. Dr. Sihabudin, S.H., M.H I. Analisis Umum Ketentuan mengenai keuangan negara pertama kali diatur di dalam Konstitusi sejak 18 Agustus 1945 oleh BPUPKI. Namun belum ada satupun pasal yang membahas mengenai kedudukan apalagi kewenangan dari Bank Sentral maupun Bank Indonesia. Pada Pasal 23 UUD 1945 pada saat itu hanya berisi lima pasal mengenai APBN, perpajakan, mata uang, dan pembentukan lembaga tinggi Negara BPK-RI (Badan Pemeriksa Keuangan). Pada Konstitusi RIS Bab IV mengenai Pemerintahan Pasal 165 mulai mengatur mengenai BANK SIRKULASI yang diatur dalam undang-undang Federal dan hanya dibentuk satu di ibukota negara. Kemudian pada masa pemberlakuan UUDS 1950 pengaturan mengenai bank sentral mulai diatur pada Pasal 109 ayat (4) dan Pasal 110 , meski masih menggunakan nama BANK SIRKULASI ; Bank Indonesia mulai diberikan independensi dan diakui secara konstitusional sebagaimana hasil amandemen UUD 1945 pada era reformasi dan disahkannya UU Nomor. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Dalam Undang- Undang tersebut berisi penegasan BI sebagai bank sentral yang independen dan bebas dari campur tangan pemerintah maupun pihak lain. BI diberikan kewenangan pemberian izin usaha bank, pembinaan dan pengawasan perbankan, meski muncul perdebatan di MPR yang meminta fungsi pengawasan bank dialihkan pada lembaga terpisah dari BI (yang dalam UU BI disebut LPJK), sedangkan kewenangan perizinan dan pengaturan masih tetap di bawah BI, dan permintaan itu dikabulkan. Hal tersebut dalam pembahasan amandemen kedua UUD 1945 (6 Desember 1999) menjadi perdebatan anggota MPR, dimana saya kutip salah satu pendapat dari Jubir F-KB, Abdul Khaliq Ahmad: “sebagai Bank Sentral, BI memiliki kewenangan di bidang penetapan dan pelaksanaan kebijakan moneter. BI juga mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran serta pengaturan dan pengawasan bank. Dengan demikian, kedudukan BI akan menjadi lembaga tinggi Negara sederajat dengan lembaga-lembaga tinggi negara yang sudah ada.. Oleh karena itu dengan dimasukkannya pengaturan tentang BI dalam UUD, independensi BI sebagai Bank Sentral diharapkan akan semakin kukuh dan bebas dari intervensi kekuatan lain. Merebaknya kasus-kasus besar perbankan akhir- akhir ini makin menyadarkan kita bahwa saatnya sekarang meningkatkan kinerja BI dengan pengaturannya secara eksplisit dalam UUD”. Seiring dengan terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi dan inovasi finansial, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 136 menciptakan sistem keuangan yang kompleks, dinamis dan saling terkait antar masing-masing subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Di samping itu, adanya lembaga keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan atau yang disebut konglomerasi keuangan menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antar lembaga keuangan dalam sistem keuangan. Hal tersebut yang menyebabkan perlunya untuk membentuk lembaga baru agar keseluruhan pengawasan kegiatan keuangan dapat terintegrasi, meski dalam permohonan disebutkan kebutuhan membentuk OJK adalah karena desakan ekonomis dari IMF terhadap pemerintah Indonesia yang disebabkan BI dianggap gagal fungsi; Dasar pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK):
Landasan yuridis: Pasal 34 UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang mengamanatkan pembentukan lembaga pengawas sektor keuangan yang mencakup perbankan, lembaga keunagan non bank, perusahaan pembiayaan dan badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat;
Landasan filsafati: pemenuhan prinsip-prinsip good governance dengan menciptakan spesialisasi dalam pengawasan, pengembangan metode pengawasan yang tepat serta mengurangi luasnya rentang kendali pengawasan agar dalam pengambilan keputusan menjadi efisien dan efektif;
Landasan sosiologis: peran pengaturan dan pengawasan yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus diarahkan untuk menciptakan efisiensi, persaingan yang sehat, perlindungan konsumen, dan memelihara mekanisme pasar yang sehat melalui prinsip kesetaraan ( level playing field ); II. ANALISIS BUTIR-BUTIR PERMOHONAN 1. Mengenai kedudukan hukum atau legal standing Pemohon, sesuai ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi yang menyatakan: “ Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang ”. Dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi berbeda dengan hukum acara yang dikenal dan diberlakukan dalam praktik peradilan umum, karena hukum acara Mahkamah Konsitusi mengandung kekhususan-kekhusuan tertentu yang tidak ditemukan dalam praktik di peradilan umum. Salah satu kekhususan dalam hukum acara Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 137 Mahkamah Konstitusi, adalah adanya syarat kerugian konstitusional bagi Pemohon yang mengajukan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 45. Dalam pikiran saya, konsep kerugian pada dasarnya adalah domain hukum perdata ( private law ), bukan domain hukum konstitusi. Jika dalam hukum perdata kerugian dimaknai sebagai hilang atau terganggunya hak-hak perdata seseorang yang diakibatkan oleh perbuatan orang lain yang melanggar hak tersebut atau yang melawan hukum. Sedangkan dalam hukum konstitusi Pertama , adanya hak konstitusional yang bersangkutan yang diberikan oleh UUD 45, Kedua , hak konstitusional tersebut dianggap oleh yang bersangkutan telah dirugikan oleh Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. Ketiga , kerugian konstitusional tersebut bersifat khusus dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Keempat , adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian tersebut dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji. Terakhir, adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Walaupun sekilas tampak bahwa ‘penganuliran’ terhadap pasal atau materi tertentu dari suatu undang-undang merupakan remedy terhadap kerugian konstitusional yang terjadi sebagai akibat dari berlakunya pasal atau materi tertentu dari Undang-Undang tersebut, sesungguhnya ‘penganuliran’ tersebut bukanlah akibat langsung dari adanya kerugian konstitusional tersebut, melainkan akibat dari adanya pertentangan antara pasal atau materi tertentu dari undang-undang tersebut dengan UUD 45 [lihat Pasal 57 ayat (1)] Jika secara perdata, ada atau tidaknya kepentingan tersebut dapat dibuktikan secara formil berdasarkan, salah satunya, ada atau tidaknya hubungan hukum, maka bagaimana membuktikan adanya ‘kepentingan’ dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi. Dapat disimpulkan bahwa pemohon dapat dikatakan memenuhi legal standing dalam permohonan tersebut, meski masih menimbulkan multi tafsir dalam pemaknaan kerugian secara konstitusional. Dalam permohonan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 138 tersebut para penggugat juga belum menunjukkan secara jelas apa kerugian konstitusional yang mereka dapatkan, apakah unsur “kepentingan” sudah dianggap mewakili? Sehingga Pemohon hanya menjabarkan hak konstitusional yang belum sesuai dengan alasan mereka mengajukan permohonan (seperti: membayar pajak, pemberi aspirasi, kedudukan dalam hukum dan apa dasar OJK disebut melakukan pemborosan sehingga mereka mengalami kerugian secara konstitusional).
Pada angka 24 tidak perlu menyebutkan Undang-undang nomor 13 tahun 1968 khususnya di Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) mengenai kewenangan Pemerintah dan Dewan Moneter yang sudah dihapuskan sejak Undang- Undang tersebut dicabut dan digantikan dengan UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang BI. Sehingga tidak tepat apabila angka 24 dijadikan landasan yuridis permohonan oleh pemohon terhadap UU OJK;
Pada angka 25, memang dibentuknya OJK dalam rangka mengurangi tugas BI dan agar terjadinya distribusi tanggung jawab yang seimbang. BI sebagai Pembina jangan sekaligus menjadi pengawas. Harapannya Bank Sentral berfungsi sebagai lembaga moneter, sehingga terhindar konflik interest;
Pada angka 31, Pemohon menggunakan istilah “perkawinan” untuk memaknai konglomerasi keuangan, sehingga dalam legal drafter hal ini menyalahi interpretasi gramatikal. Pada butir ini juga menjelaskan mengenai unit link dan penggabungan produk bank dengan asuransi dan produk lembaga keuangan lain yang dikatakan belum ada dalam UU Asuransi dan RUU nya. Padahal terkait hal ini, perbankan diberikan kebebasan dengan membentuk self regulation terkait produknya akibat konglomerasi keuangan yang disebut bancassurance dan ini juga dasar dibentuknya UU OJK bukan sebaliknya. Pada ketentuan peralihan sudah diatur bahwa ‘saat OJK terbentuk, tugas dan wewenang Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam UU tentang Usaha Perasuransian menjadi tugas dan wewenang OJK, jadi hal ini secara legalitas telah memberikan peralihan kewenangan kepada OJK terkait usaha asuransi;
Pada angka 32, angka 38 dan angka 39, dikatakan secara konstitusional, cantolan OJK tidak jelas di UUD 1945 dan berasal dari turunan yang asimetris. Dalam UUD 1945, khususnya pada pasal 23D mengatur mengenai bank sentral yang tidak secara khusus menyebutkan BI atau OJK. Bunyi Pasal 23D, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 139 “ Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab dan independensinya diatur dengan undang-undang ”. Tidak ada kata “bank Indonesia” yang awalnya diperdebatkan dimasukkan atau cukup menggunakan kata “bank sentral”, dengan ketakutan apabila menggunakan langsung “bank Indonesia” apabila lembaga ini “sakit” akan terganggu kestabilan bank sentral. Jadi Pasal 23D UUD 45 memberikan kedudukan dan kewenangan bagi bank sentral yang nantinya muncul turunan dengan pengaturan di dalam UU bank sentral yang melahirkan UU Bank Indonesia. Perlu digarisbawahi juga adalah pendirian lembaga tinggi atau lembaga Negara tidak harus menggunakan konstitusi sebagai dasar pendirian atau pembentukannya, namun bisa menggunakan Undang-Undang. OJK pendiriannya didasarkan pada UU BI yang mendasarkan pada Pasal 23D UUD 1945. Mengenai OJK yang berasal dari turunan yang asimetris, yaitu OJK berdasarkan PasaL 34 UU BI hanya diberikan kewenangan untuk mengawasi perbankan mengambil alih kewenangan BI saja bukan Menkeu dan Bapepam- LK. Pasal 34 UU BI ayat (1) hanya berbunyi: Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen dan dibentuk dengan Undang-Undang . Dalam legal drafting , dalam pasal ini tidak disebutkan OJK secara langsung, tetapi karena penamaan lembaga menggunakan huruf kecil yakni “ lembaga pengawasan sector jasa keuangan ” dimaknai pembuat Undang-Undang tidak memberikan nama lembaga tertentu, sehingga penggunaan nama OJK diperkenankan. Kedua , Pasal 34 UU BI memang hanya menyebutkan bahwa pembentukan LPJK/OJK hanya untuk mengawasi bank yang awalnya kewenangan dari BI, namun di dalam penjelasan Pasal 34 UU BI ( penjelasan merupakan bagian dan satu kesatuan dengan batang tubuh sehingga tidak dapat dimaknai secara terpisah ) menjelaskan mengenai kewenangan OJK tidak hanya mengawasi bank tetapi juga mengawasi lembaga keuangan lainnya dan mengenai sifat independensi OJK.
Angka 37, munculnya mandat yuridis dalam Pasal 34 UU BI merupakan big planning dari IMF dan inspirasi dari FSA inggris ( Finantial Suoervisory Agency of United Kingdom ) yang gagal. Suatu catatan bahwa gagalnya FSA-UK bukan konsepnya yang salah, konsepnya sudah benar dan bagus, hanya persoalan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 140 menangani krisi tidak terjadi koordinasi yang baik dari pihak terkait. Perlu ditekankan bahwa Politik Hukum pembentukan OJK bukan murni dari “permintaan”, namun dari pendekatan historis, hal ini dipengaruhi keadaan politik hukum pada masa reformasi, yaitu muncul pada masa pemerintahan Presiden BJ. Habibie sebagai pengganti rezim Soeharto. BJ Habiibie yang menimba ilmu di Jerman tertarik dengan metode yang digunakan oleh Bundesanstalt fur finanzdienstleistungsaufsicht yang memiliki kewenangan mengawasi Bank, perusahaan asuransi, dan dealer sekuritas atas masukan dari Bundesbank (Bank sentral jerman) pada saat itu. Metode ini dikenal dengan metode integrated dengan pendekatan twin peaks . Ini juga bertujuan agar pengawasan berjalan efektif. Memang benar bahwa Financial supervisory authority (FSA) gagal di Inggris, namun percontohan model integrated di Indonesia meniru Jepang dan Korea Selatan, hal ini bisa dibuktikan dengan adanya dokumen kunjungan kerja delegasi pansus RUU OJK pada tanggal 31 Oktober s.d. 6 November 2010. Secara historis munculnya Pasal 34 UU BI ini sebenarnya bukan karena desakan IMF. IMF yang mempunyai anggota 168 (seratus enam puluh delapan) negara, berperan hanya memberi saran yang sifatnya umum, dan letter of intent dibuat oleh Indonesia sendiri, dan juga atas permitaan BI sejak diberikan independensi dalam UU Nomor 23 Tahun 1999.
Angka 40, perlu menjadi catatan bahwa tidak ada Undang-Undang di bidang ekonomi yang lebih kuat antara satu dengan lainnya, kecuali memiliki strata lebih tinggi ( stuffenbaw theory Hans Kelsen dan asas lex superiori derogate legi inferiori ). Namun apabila ada UU yang lebih khusus akan mengalahkan UU yang lebih umum ( lex specialis derogate legi generalis ). Perlu diingat, bahwa hirarkhi peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak mengenal yang disebut dengan Undang-Undang Payung yang dapat dijadikan dasar secara umum bagi Undang-Undang khusus di bawahnya. Meski pernah dalam prolegnas akan dibentuk RUU tentang Demokrasi Ekonomi namun sampai sekarang masih menjadi perdebatan. Jadi antara UU Perbankan, UU Asuransi, UU Pasar Modal dan sebagainya memiliki derajat yang sama. Pasal 34 UU BI sebagai landasan yuridis BI mengawasi perbankan karena merupakan turunan dari Pasal 23D UUD 1945 namun telah memberikan kewenangannya kepada Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 141 OJK melalui UU OJK pada Pasal 6, Pasal 7 hingga ketentuan peralihan dan penjelasan sebagai satu kesatuan norma.
Angka 44, isi permohonan tersebut kurang memahami perbedaan antara makroprudensial dan mikroprudensial. Meski kewenangan BI sebagian mengenai microprudensial telah diserahkan kepada OJK melalui UU OJK, namun BI masih tetap secara konstitusional merupakan Bank Sentral Republik Indonesia berdasarkan Pasal 23D UUD 1945 dan UU Nomor 23 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2004 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 6 Tahun 2009. Sehingga dalam forum bank sentral dunia dalam hal ini Basel Committee (BI sampai sekarang bukan anggota Basel Committee namun mengikuti ketentuan Basel Committee dalam hal pengawasan mulai Basel I hingga Basel III) masih tetap dipegang Bank Indonesia sebagai pemegang kewenangan Macroprudensial sebagai Bank Sentral.
Angka 46, pada Konsideran mengingat UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK disebutkan landasan yuridisnya adalah Pasal 33 UUD 1945. Tidak tepat kalau pemohon menghubungkan dengan Pasal 33 ayat (1) karena berbeda sistem dengan OJK, namun Pemohon melupakan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 dimana ditemukan ASAS KEMANDIRIAN, dimana kemandirian diartikan sebagai independensi. Hal ini yang dapat menjadi landasan yuridis pembentukan lembaga Negara yaitu OJK yang bersifat independen sebagaimana diatur dalam batang tubuh dan penjelasan Undang-Undang ini.
Angka 51, Pemohon belum memahamii perbedaan antara stabilitas moneter dengan stabilitas sistem keuangan, dimana keduanya memiliki perbedaan yang signifikan. Stabilitas moneter yang dipegang oleh BI merupakan kestabilan mata uang untuk mengendalikan inflasi, sedangkan stabilitas sistem keuangn yang dipegang OJK merupakan stabilitas institusi dan pasar uang untuk menghindari tekanan dan pergerakan harga yang menyebabkan guncangan ekonomi (Aspach O, et al tahun 2006 dalam searching for a metric for financial stability ). Sehingga dengan adanya pemisahan antara macro dan microprudensial mengembalikan fungsi BI sebagai otoritas moneter selaku Bank Sentral di Indonesia. Menurut Jordan (2010), tujuan dari bank sentral berfokus pada instrument makroprudensial dan moneter untuk stabilitas harga sebagaimana bagan berikut : Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 142 Dapat disimpulkan bahwa kewenangan OJK tidak akan bias karena OJK berperan dalam stabilitas sistem keuangan sedangkan BI akan fokus sebagai otoritas moneter dan stabilitas moneter.
Untuk permohonan mengenai Pasal 37 UU OJK, tentang pembiayaan OJK melalui APBN dan/atau pungutan terhadap bank dan lembaga keuangan, bahwa pungutan itu dalam ilmu ekonomi merupakan hal yang wajar, dimana pungutan itu merupakan pemberian atas jasa otoritas yang telah melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap lembaga keuangan tersebut, apalagi sistem pungutan ini diatur dan ditentukan oleh Pemerintah, bukan OJK yang menentukan. Ada informasi, bahwa ada 100 (seratus) negara yang memungut biaya untuk operasional kegiatan seperti OJK ini.
Hal yang masih sumir juga adalah mengenai pertanyaan: siapa yang akan mengawasi OJK? Sebenarnya itu pertanyaan klasik, dimana siapa yang akan mengawasi lembaga pengawas? Padahal BI sempat diragukan hingga dibentuklah Badan Supervisi BI di dalam tubuh BI. Pengawasan akan tetap dilakukan yang merupakan fungsi BPK. Sebenarnya Hal pengawasan OJK sudah diatur Pasal 38 UU 21/2011. Hal ini sekaligus menjawab bahwa indepensi OJK bukan bebas sebebas-bebasnya, melainkan ada tanggung jawab dan pengawasan.
Sebagai penutup tanggapan saya adalah jika pengawasan yang sudah berjalan dilakukan oleh OJK sebagai pengawas independen dihentikan beberapa waktu saja, maka akan terjadi dampak ketidak percayaan pada lembaga-lembaga keuangan yang ada, yang berakibat terjadinya gangguan geraknya lembaga keungan dan berdampak sistemik perekonomian dan keuangan nasional. Apalagi jika Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keungan yang dibatalkan, maka akan berdampak negatif (berisiko) yang sangat besar. Microprudential Policy Capital and Liquidity Buffer Macroprudential Risk and Monetary Policy 1. __ Countercylical Capital Buffer and new instruments 2. __ Interest Rate Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 143 7. Refly Harun, S.H., LL.M 1. Sepanjang yang dapat ahli catat, Pemohon dalam permohonan ini mempersoalkan tiga hal, yaitu (1) keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga independen, (2) kewenangan OJK, dan (3) sumber keuangan OJK;
Sebelum membahas lebih jauh mengenai ketentuan yang dipersoalkan tersebut, izinkanlah ahli mengemukakan pendapat yang terkait dengan legal standing Pemohon. Menurut ahli, Pemohon tidak memiliki kerugian konstitusional yang nyata, baik aktual maupun potensial. Seharusnya yang mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang adalah lembaga atau pihak-pihak yang secara konkret merasa dirugikan dengan ketentuan a quo baik secara potensial maupun aktual. Sepanjang yang dapat ahli simak, Mahkamah terlalu longgar memberikan legal standing terhadap permohonan-permohonan seperti ini. Namun, semua itu terpulang kepada Mahkamah untuk mempertimbangkan hal tersebut. Ahli tidak dalam kapasitas untuk masuk terlalu jauh dalam persoalan ini;
Pemohon mempersoalkan kata "independen" dalam Pasal 1 angka 1 UU OJK yang berbunyi, " Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini ";
Alasannya, antara lain, frase "independen" dan "independensi" hanya dikenal oleh UUD 1945 melalui ketentuan Pasal 23D yang berbunyi, " Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang ". Dengan demikian, menurut Pemohon, hanya bank sentral yang boleh independen;
Menurut ahli, tidak benar UUD 1945 hanya menyematkan kata "independen" kepada bank sentral. Dalam UUD 1945, kata yang maknanya setara dengan "independen" juga digunakan untuk lembaga-lembaga lain di UUD 1945, yaitu menggunakan kata "mandiri" atau "bebas" atau gabungan keduanya sebagaimana terlihat dalam pasal-pasal berikut: - Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 144 yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri [Pasal 22E ayat (5) Perubahan Ketiga]; - Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri [Pasal 23E ayat (1) Perubahan Ketiga]; - Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim [Pasal 24B ayat (1) Perubahan Ketiga].
Dilihat dari sifatnya, lembaga-lembaga negara di luar lembaga negara utama, yang kita kenal sebagai bagian dari sistem pembagian atau pemisahan kekuasaan negara (MPR, DPR, DPD, Presiden, MA, MK, dan BPK), dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu Dependent Regulatory Agencies dan Independent Regulatory Boards and Commissions (Michael E. Milakovich dan George J. Gordon);
Disebut Dependent Regulatory Agencies bila lembaga yang ada merupakan bagian dari departemen atau kabinet atau struktur eksekutif lainnya, seperti Komisi Hukum Nasional (KHN), Komisi Kepolisian, dan Komisi Kejaksaan, Dewan Riset Nasional, Badan Narkotika Nasional (BNN), Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah, dan Iain-Iain;
Disebut Independent Regulatory Boards and Commissions bila lembaga yang ada memiliki ciri-ciri sebagai lembaga yang independen atau mandiri, yaitu: (Michael E. Milakovich dan George J. Gordon) - Memiliki karakter kepemimpinan yang bersifat kolegial; - Anggota atau para komisioner tidak melayani keinginan presiden sebagaimana jabatan yang dipilih oleh presiden; - Bersifat independen, relatif bebas dari kontrol presiden; - Masa jabatan komisioner biasanya definitif dan cukup panjang; - Periode jabatan bersifat " staggered '. Komisioner berganti secara bertahap sehingga presiden tidak bisa menguasai secara penuh kepemimpinan lembaga tersebut. - Jumlah komisioner bersifat ganjil dan keputusan diambil secara mayoritas suara. - Keanggotaan lembaga biasanya menjaga keseimbangan perwakilan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 145 yang bersifat partisan.
Di Indonesia sejak era Reformasi telah bermunculan banyak lembaga independen, seperti Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Komisi Informasi Pusat (KIP), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi keuangan (PPATK), dan sebagainya;
Di antara lembaga-lembaga tersebut bahkan ada yang keberadaan dan kewenangannya disebut dalam UUD 1945 secara jelas dan tegas seperti KY. Ada yang keberadaannya saja yang disebut, tetapi kewenangannya tidak jelas disebut, seperti bank sentral. Ada pula yang sebaliknya, kewenangannya disebut tetapi keberadaannya tidak disebut secara tegas, seperti KPU yang disebut dengan hurup kecil dengan frase "suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri", yang dalam praktiknya memunculnya dua lembaga, yaitu KPU dan Bawaslu;
Namun, lebih banyak lagi lembaga-lembaga independen yang baik keberadaan maupun wewenangnya tidak disebut dalam UUD 1945, seperti DKPP, KIP, Komnas HAM, dan sebagainya. OJK termasuk salah satu di antaranya;
Lembaga-lembaga independen yang tidak disebut dalam UUD 1945, baik keberadaan maupun kewenangannya, tidak bisa dikatakan inkonstitusional sepanjang tidak ada pasal-pasal dalam UUD 1945 yang dilanggar. Dalam konteks OJK, misalnya, patut dipertanyakan apakah OJK mengambil alih fungsi bank sentral sebagaimana disebut dalam Pasal 23D yang berbunyi, " Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang ";
Perlu digarisbawahi bahwa UUD 1945 tidak menyebut secara eksplisit lembaga yang berfungsi sebagai bank sentral - dari sisi original intent ada penolakan untuk mempermanenkan Bank Indonesia dalam konstitusi. Bahkan, ketika pembahasan pasal tentang bank sentral dibahas ada suara-suara untuk membubarkan Bl dan menggantikannya dengan institusi Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 146 lain. Selain itu, UUD 1945 juga tidak mengatur kewenangan bank sentral, melainkan menyerahkannya kepada ketentuan Undang-Undang;
Merujuk pada ketentuan tentang "suatu komisi pemilihan umum" dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 yang melahirkan dua lembaga dalam praktiknya, yaitu KPU dan Bawaslu, hal yang sama bukan tidak mungkin diberlakukan pula pada ketentuan "suatu bank sentral" dalam Pasal 23D UUD 1945;
Secara teoretis dan didasarkan pada putusan Mahkamah terdahulu tentang frase "suatu komisi pemilihan umum" bisa saja fungsi bank sentral dijalankan lebih dari satu lembaga. Bisa pula bank sentral tersebut tidak bernama "Bank Indonesia". Hal-hal tersebut diserahkan kepada pembentuk Undang-Undang untuk mengaturnya. UUD 1945 hanya mengamanatkan bahwa harus ada bank sentral;
Munculnya lembaga-lembaga independen dalam dunia modem adalah suatu kondisi yang tak terelakkan. Paling tidak dua hal ini menjadi pertimbangan kuat bagi munculnya lembaga-lembaga independen tersebut, yaitu (1) karena pranata yang lama sudah tidak memuaskan kinerjanya, tidak independen, bahkan terlibat korupsi-kolusi;
Karena kebutuhan akan spesialisasi dan profesionalisme sebagai akibat bertambah kompleksnya tugas yang diemban;
Terkait dengan independensi suatu lembaga seperti OJK, terdapat dua aspek yang harus digarisbawahi, yaitu independen dari campur tangan politik dan independen dari industri finansial yang diawasi itu sendiri;
Pentingnya independensi pengaturan dan pengawasan finansial dapat dipelajari dari kasus Korea dan Jepang. Krisis tahun 1997 yang juga melanda Korea merupakan akibat dari tidak independennya pengawasan sektor finansial. Pengawasan bank khusus dan lembaga keuangan non- bank berada di bawah kewenangan langsung dari kementerian keuangan dan ekonomi (Lindgren dkk, " Financial Sector Crisis and Restructuring : Lesson from Asia ", IMF Occasional Paper, No. 188, 1999);
Di Jepang juga terjadi permasalahan serupa. Kekuasaan Kementerian Keuangan Jepang pada tahun 1995 sangat luas, mencakup perencanaan keuangan, kewenangan membuat aturan, inspeksi keuangan, dan pemeriksaan/ pengawasan lembaga keuangan. Hal ini menyebabkan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 147 rentan terjadinya korupsi oleh pejabatnya. Pada Juni 1998, Jepang mengeluarkan fungsi pengawas lembaga keuangan dari kementerian dan dialihkan kepada Financial Supervisory Authority (FSA), lembaga independen yang memiliki wewenang untuk mengatur dan mengawasi lembaga keuangan seperti perbankan, pasar modal, dan asuransi (Lihat Takeo Hoshi dan Takahisho Ito, Financial Regulation in Japan; Fifth Year Review of the Financial Services Agency , 2002, revised 2003 , hal 1-2);
Keberadaan suatu otoritas independen adalah salah satu faktor utama yang mempengaruhi keefektifan sistem pengawasan di sektor jasa keuangan. Argumen ini terkait dengan fungsi/kemampuan otoritas tersebut untuk melindungi diri baik dari intervensi pasar keuangan yang diawasinya maupun campur tangan politik. Hal ini diperlukan agar otoritas tersebut dapat mengembangkan fungsi dan tugasnya, mewujudkan transparansi dan pencapaian tujuan stabiltas keuangan ( Steeven Seelig and Alica Novoa, "Governance Practice at Financial Regulatory and Supervisory Agencies. IMF Working Paper Monitory and Capital Market Departements wp/09/135, Juli 2009 , hal.10);
Otoritas yang independen di sektor keuangan akan lebih mampu menghasilkan regulasi yang efektif, membuat operasi di dalam pasar menjadi lebih efisien, dan yang lebih penting menciptakan sistem dan fungsi pengawasan yang lebih baik dibandingkan ketika berada di bawah lembaga pemerintahan/kementerian (Kenneth Kaoma Mwenda, " Legal Aspects of Financial Services Regulation and The Concept of A United Regulator", the World Bank-Law Justice and Development Series 2006 , hal. 31);
Penting dicatat bahwa ada ketidakkonsistenan Pemohon ketika mempersoalkan kewenangan OJK dalam pengawasan lembaga keuangan bukan bank. Menurut Pemohon, mandat yang diberikan oleh Pasal 34 UU 23/1999 yang telah diubah dengan UU 3/2004 adalah pengawasan bank. Namun, dalam bagian petitum justru pengawasan bank itulah yang diminta untuk dibatalkan (dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat). Petitum itu justru menimbulkan tanda tanya mengenai siapa yang sesungguhnya berkepentingan terhadap permohonan ini; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 148 23. Dari sisi sejarah, pembentukan OJK sebenamya memang hasil kompromi untuk menghindari jalan buntu pembahasan Undang-Undang tentang Bank Indonesia oleh DPR. Pada awal pemerintahan Presiden Habibie, pemerintah mengajukan RUU Bank Indonesia yang memberikan independensi kepada bank sentral. Pada waktu RUU tersebut diajukan muncul penolakan dari Bl dan DPR. Sebagai kompromi maka disepakati bahwa lembaga yang akan menggantikan Bank Indonesia dalam mengawasi bank tersebut juga harus bertugas mengawasi lembaga keuangan lainnya. Hal ini agar tidak terlihat bahwa pemisahan fungsi pengawasan tersebut adalah memangkas kewenangan bank sentral (lihat Zulkarnain Sitompul, "Menyambut Kehadiran OJK", Pilars No. 02/Th. Vll/12-18 Januari 2004);
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, ahli menyatakan bahwa keberadaan OJK tidak bisa dikatakan bertentangan dengan UUD 1945;
Untuk menutup keterangan ini, ahli ingin mengutip Direktur Finance Research Eko B. Supriyanto dalam opini di Kompas tanggal 4 Maret 2014. "Jika ada pihak-pihak yang hendak melakukan uji materi terhadap UU OJK ke Mahkamah Konstitusi, di satu sisi ini merupakan kebebasan, tetapi di sisi lain ini "kegenitan" semata. Selama ini, proses pembentukan OJK sudah makan waktu teramat panjang sejak 1999 dengan naskah akademi yang memadai, dan pembahasan yang mendalam di DPR dan Pemerintah serta Bl sendiri; Jika uji materi diterima dan dikabulkan MK, akan menimbulkan kekacauan dalam industri keuangan dan perbankan yang melibatkan aset Rp 12.000 triliun. Harus diketahui, OJK bukan seperti SKK Migas yang dapat dimatikan begitu saja. Ini menyangkut sektor perbankan dan keuangan yang ada risiko sistemiknya. Lembaga kepercayaan yang harus dijaga. Saat ini, konglomerasi sektor keuangan butuh lembaga OJK yang independen, dan sudah sewajarnya kita semua mendorong kredibilitas OJK seperti layaknya KPK." 8. Dr. Mulia P. Nasution, D.E.S.S Sehubungan dengan permohonan pengujian ( constitutional review ) Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 34, Pasal 37, Pasal 55, Pasal 64,Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK terhadap UUD 1945" yang dimohonkan oleh para Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 149 Pemohon, yaitu Salamuddin, dkk, perkenankan kami menyampaikan Keterangan Ahli mengenai 2 hal, yaitu: pentingnya OJK sebagai lembaga yang menyelenggarakan pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di sektor keuangan dan pengelolaan keuangan OJK, sebagai berikut: I. Pentingnya Otoritas Jasa Keuangan Keberadaan OJK adalah suatu keniscayaan bagi negara kita pada masa kini. Pembentukan OJK adalah hasil dari suatu proses transformasi kelembagaan yang telah berlangsung dalam kurun waktu yang sangat panjang, yaitu lebih dari satu dekade (1998-2011) di negara kita. Berawal dari kelemahan pengawasan perbankan nasional yang sangat dirasakan pada saat terjadinya Asian Financial Crisis pada tahun 1997-1998, gagasan pembentukan suatu lembaga pengawas jasa keuangan yang independen muncul sebagai upaya memperbaiki penyelenggaraan pengaturan dan pengawasan terhadap industri jasa keuangan. Pelaksanaan transformasi kelembagaan tersebut diperlukan untuk mencegah agar tidak terulang kembali krisis seperti yang pernah terjadi pada masa yang lalu dan agar lebih mampu menghadapi berbagai permasalahan dan tantanganyang semakin berat sebagai akibat dari perkembangan dan dinamika di sektor industri jasa keuangandi masa depan; Pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan hanya dapat terlaksana secara profesional, apabila lembaga yang diberikan mandat untuk melaksanakan tugas tersebut bersifat mandiri, tidak berada di bawah kekuasaan dan pengaruh lembaga eksekutif maupun lembaga legislatif. Krisis perbankan yang melanda Indonesia yang kemudian meluas menjadi krisis ekonomi dan politik pada awal dekade yang lalu, menunjukkan kepada kita betapa pentingnya keberadaan suatu lembaga pengawas jasa keuangan yang independen dalam penyelenggaraan fungsi pengaturan dan fungsi pengawasan. Oleh karena itu, para pembuat Undang-Undang di negara kita persis 10 tahun yang lalu menyepakati untuk mencantumkan amanat pembentukan dengan undang-undang suatu lembaga pengawas sektor jasa keuangan yang independen dalam Pasal 34 Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia; Namun, proses pembentukan lembaga tersebut tidaklah berjalan mulus. Walaupun Undang-Undang telah mengamanatkan pembentukan lembaga Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 150 dimaksud akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010, urgensi untuk membentuk suatu lembaga pengawas perbankan yang independen di luar Bank Indonesia tidak sepenuhnya mendapat dukungan dari beragam pemangku kepentingan. Dari segi konsep, model lembaga independen yang akan dibentuk masih terus dalam pembahasan dan perdebatan, baik di kalangan akademisi, maupun di lingkungan pemerintah sendiri. Secara politik, walaupun proses konsolidasi fiskal, yang berjalan sejak tahun 2000 telah berhasil membawa stabilisasi di bidang perbankan dan keuangan negara, prioritas utama pemerintahan Presiden SBY pada awal periode 2004-2009 adalah melaksanakan berbagai kegiatan yang mendesak yang dapat menggerakkan kembali roda perekonomian, setelah 5 tahun mengalami stagnasi, bahkan sempat mengalami kemunduran, melalui program Pro-Growth, Pro-Job dan Pro-Poor yang dicanangkan oleh Pemerintah. Sampai terjadinya krisis keuangan global pada tahun 2008, konsep pembentukan OJK masih tetap dalam perdebatan. Perdebatan tersebut bukanlah mengenai perlunya independensi lembaga tersebut, karena sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999, Bank Indonesia telah menjadi lembaga yang independen, tetapi terutama urgensi keberadaan lembaga baru di luar Bank Indonesia untuk mengatur dan mengawasi sektor perbankan; Seiring dengan berjalannya waktu, sektor industri jasa keuangan semakin berkembang dan mengalami dinamika yang luar biasa. Tidak terkecuali di negara kita. Dalam kurun waktu tersebut, seiring dengan pemulihan ekonomi dan semakin berkembangnya kegiatan perekonomian di negara kita, produk-produk industri jasa keuangan muncul semakin beragam dan kompleks. Selain itu, sebagaimana juga di sektor industri yang lain, di sektor jasa keuangan juga terjadi konglomerasi, baik secara vertikal, maupun horizontal. Demikian pula, industri jasa keuangan mengalami proses globalisasi yang berdampak signifikan terhadap konsumen, pemilik modal, perekonomian dan publik. Proses globalisasi tersebut dipermudah terutama dengan kemajuan di bidang teknologi informasi dan komunikasi dan berlakunya norma dan standar yang bersifat internasional, terutama di sektor perbankan. Pada gilirannya, kemudahan untuk beroperasi secara global memperlancar langkah-langkah, konsolidasi, pembentukan holding company , mergers and acquisitions oleh para pelaku industri terutama yang berinduk di luar negeri untuk dapat meningkatkan efisiensi, memperbesar market share atau untuk Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 151 mendominasi pasar demi meraih pertumbuhan usaha dan memaksimalkan profit perusahaan mereka di Indonesia. Pengaturan dan pengawasan yang tidak dilakukan secara terintegrasi akan dapat menyulitkan upaya pencegahan dan penanganan kasus-kasus pelanggaran yang terjadi di sektor jasa keuangan; Sejalan dengan perkembangan tersebut, konsep pembentukan OJK mengalami dinamika, pergeseran, penyesuaian dan penyempurnaan. Menjadi penting agar seluruh sektor jasa keuangan dapat diatur dan diawasi secara terintegrasi. Agar lebih efektif, pengaturan dan pengawasan tersebut perlu dilakukan oleh satu lembaga, yaitu OJK. Dengan demikian, ruang lingkup OJK yang pembentukannya akan ditetapkan dengan Undang-Undang berkembang menjadi lebih luas, yaitu tidak hanya mencakup sektor perbankan, tetapi termasuk pengaturan dan pengawasan sektor industri jasa keuangan secara keseluruhan; Namun sampai terjadinya Global Crisis yang terutama melanda beberapa negara industri pada tahun 2008 yang berdampak terhadap sektor keuangan di Indonesia, agenda untuk menyatukan pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan di dalam satu lembaga belum menjadi prioritas nasional yang mendesak untuk dilaksanakan, walaupun sudah diamanatkan oleh undang-undang. Dalam dinamika proses perumusan dan penyiapan RUU OJK, pemikiran untuk tidak mengeluarkan fungsi pengaturan dan pengawasan mikro prudential dari Bank Indonesia memiliki alasan yang kuat. Pertama , melakukan transformasi kelembagaan sangat berisiko sehingga perlu dilakukan secara berhati-hati, karena dapat berdampak terhadap industri jasa keuangan yangberperan sangat strategis dalam sistem perekonomian nasional. Kedua , menyiapkan perangkat hukum, struktur organisasi baru, sumber daya manusiaakan membutuhkan waktu yang tidak sedikit, perencanaan yang matang dan pelaksanaan secara seksama. Setelah lembaga baru terbentuk, perlu disusun prosedur kerja ( Standard Operating Procedure atau SOP) dan disiapkan dukungan anggaran dan logistik yang diperlukan, agar organisasi tersebut dapat beroperasi secara penuh. Ketiga , pengalaman di beberapa negara lain menunjukkan bahwa keberadaan lembaga pengawas industri jasa keuangan yang independen di luar bank sentral atau di luar pemerintah tidaklahmenjadi jaminan tidak akan terjadi permasalahan atau kasus- kasus di sektor jasa keuangan. Contohnya, di Inggris dan di Amerika Serikat; Terjadinya krisis keuangan global pada tahun 2008 menyebabkan pentingnya memprioritaskan pembentukan OJK. Sementara itu, dari segi konsep, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 152 dalam kurun waktu 2004-2008, pembahasan mengenai kedudukan dan bentuk kelembagaan OJK telah melalui due process dan diskusi yang mendalam, baik di lingkungan pemerintah, maupun pada pertemuan-pertemuan ( public hearings ) yang diselenggarakan oleh tim pemerintah dengan berbagai pemangku kepentingan. Berbagai masukan telah diperoleh pemerintah untuk menyempurnakan naskah RUU OJK yang akan diajukan kepada DPR. Pertukaran informasi dan pengalaman mengenai sistem dan kelembagaan pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan di beberapa negara juga dilakukan oleh pemerintah untuk memperkaya referensi dan menjadi bahan pertimbangandalam penyusunan organisasi OJK; Kendati demikian, pembentukan OJK baru dapat terselesaikan pada tahun 2011 setelah krisis berlalu dan melalui proses pembahasan yang panjang dan meleiahkan. Namun ada hikmah dari proses pembahasan yang cukup lama tersebut. Pembahasan Undang-Undang yang dilakukan secara terburu-buru sering kurang mendalam.Sebaliknya pembentukan UU OJK yang menjadi salah satu proses legislasi terlama di negara kita, telah melalui proses diskusi yang mendalam dan pertimbangan yang matang, sehingga diharapkan dapat memenuhi kebutuhan negara akan suatu lembaga pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan secara terintegrasi. Pengaturan dan pengawasan secara terintegrasi tersebut sangat dibutuhkan pada masa ini dan di masa yang akan datang, karena:
koordinasi otoritas fiskal, moneter dan sektor keuangan perlu diperkuat;
ii. sumber krisis semakin beragam (perbankan, pasar modal, lembaga keuangan non-bank, fiskal; iii. sektor jasa keuangan saling berhubungan ( interconnected );
iv. konglomerasi keuangan semakin dominan;
struktur produk keuangan semakin kompleks ( hybrid products );
vi. fungsi pengawasan lembaga keuangan dengan fungsi pengelolaan moneter dan fiskal memiliki potensi konflik kepentingan; vii. pemisahan fungsi pengawasan sektor keuangan dari otoritas moneter dan otoritas fiskal sesuai dengan trend global terkini. II. Pengelolaan keuangan OJK OJK adalah lembaga yang dibentuk dan mendapatkan pelimpahan sebagian kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan ( pouvoir public ) untuk mengatur dan mengawasi sektor jasa keuangan. Pembentukan dan pelimpahan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 153 kekuasaan tersebut tidak tercantum dalam UUD, namun dari perjalanan panjang dan dinamika dalam penyelenggaraan pemerintahan di negara kita, keberadaan lembaga yang bertugas untuk mengatur dan mengawasi sektor jasa keuangan tersebut terbukti constitutionally important . Oleh karena itu, untuk memberikan landasan hukum yang kuat, pembentukan OJK tersebut ditetapkan dengan Undang-Undang; Sebagai bagian dari sistem pemerintahan negara, OJK diamanatkan untuk bertugas mengatur dan mengawasi sektor jasa keuangan. Untuk dapat melaksanakan tugas tersebut dengan sebaik-baiknya, OJK perlu diberikan kedudukan dan status hukum yang sepadan, serta kewenangan, prasarana dan sarana yang diperlukan. Salah satu sarana utama yang diperlukan oleh OJK adalah dana. Berbeda dengan bank sentral yang memiliki sumber pendapatan dari pengelolaan moneter dan sistem pembayaran, OJK tidak mempunyai sumber pendapatan sendiri. Oleh karena itu, OJK memerlukan sumber pendanaan dari iuar.Dana tersebut dapat bersumber dari APBN, maupun dari luar APBN, berupa iuran yang dipungut dari sektor industri yang diawasi oleh OJK; Berkenaan dengan sumber pendanaan OJK ini, setidaknya ada dua pertanyaan mendasar. Pertama, manakah yang lebih baik, apakah OJK dibiayai dari APBN atau semata-mata dari pungutan.Apabila OJK dibiayai dari APBN, alokasi anggaran bagi OJK tersebut akan mengurangi dana APBN yang sudah demikian terbatas untuk membiayai penyelenggaraan tugas kementerian negara dan lembaga pemerintahan lainnya. Sehingga apabila dimungkinkan untuk memperoleh pendanaan dari sumber lain, seyogianya OJK tidak tergantung dari sumber penerimaan dari APBN; Oleh karena itu, muncul pertanyaan kedua, yaitu apabila dana tersebut bersumber dari APBN, apakah pengelolaannya oleh OJK selaku Pengguna Anggaran, harus mengikuti pengelolaan anggaran yang berlaku pada umumnya seragam bagi setiap kementerian negara. Jawabannya adalah tidak harus selalu demikian. Sebagaimana kita fahami bersama bahwa dalam pengelolaan anggaran oleh kementerian negara dan lembaga pemerintahan ditetapkan ketentuan- ketentuan yang pada umumnya seragam mulai dari proses perencanaan dan penyusunan anggaran, sampai pada pelaporan dan pertanggungjawaban. Keseragaman dalam ketentuan pengelolaan keuangan APBN tersebut merupakan penerapan dari asas-asas umum yang dianut dalam Undang-Undang di bidang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 154 keuangan negara, yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan atas Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, yaitu Asas Tahunan, Asas Universalitas, Asas Kesatuan dan Asas Spesialitas; Namun di dalam doktrin hukum perbendaharaan negara yang juga dianut dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dikenal asas-asas umum lainnya, yaitu Asas Akuntabilitas berorientasi pada hasil, Asas Profesionalitas, dan Asas Proporsionalitas. Asas-asas ini pada hakekatnya memberikan fleksibilitas bagi pengguna anggaran untuk membelanjakan danayang telah diamanatkan kepadanya untuk menghasilkan ouput yang telah ditetapkan dengan cara yang sebaik-baiknya. Dengan demikian pemberian fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan yang bersumber dari APBN kepada OJK sebagaimana ditetapkan dalam UU OJK adalah sejalan dengan semangat anggaran berbasis kinerja yang dianut dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; Sebagai suatu organisasi yang dituntut untuk menjalankan tugasnya secara independen dengan standar profesionalitas yang tinggi, pemberlakuan aturan dan mekanisme yang seragam dengan yang berlaku bagi kementerian negara dapat menjadi kendala dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan kegiatan operasional OJK. Oleh karena itu prinsip " let manager manages " yang menjadi semangat dalam sistem pengelolaan keuangan negara sesudah dimulai reformasi pada tahun 2003 perlu benar-benar-benar dihayati dalam pengaturan pengelolaan keuangan OJK. Sehingga dalam dokumen usulan anggaran yang diajukan oleh OJK kepada pemerintah untuk memperoleh dana APBN, rencana pengeluaran yang akan dilakukan oleh OJK tidak perlu diuraikan secara terperinci seperti halnyauraian usulan anggaran yang diajukan oleh satuan kerja kementerian negara. Demikian pula pada tahap pelaksanaan anggaran, pencairan anggaran yang bersumber dari APBN dapat dilakukan secara berkala berdasarkan rencana penggunaan dana dan realisasi anggaran untuk masing-masing jenis belanja. Sudah barang tentu, hal ini akan mengurangi informasi yang diperoleh Bendahara Umum Negara atas pengelolaan dana APBN tersebut oleh OJK. Oleh karena itu sangat penting peranan pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan atas pengelolaan keuangan OJK. Karena dari laporan berkala yang wajib disampaikan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 155 oleh OJK kepada BPK sebagai auditor negara dan laporan pertanggungjawaban tahunan oleh OJK dapat diperoleh informasi mengenai berbagai pengeluaran- pengeluaran tersebut, dan BPK pada saat memeriksa laporan keuangan OJK, dapat melakukan penelusuran rincian dan bukti-bukti dari setiap pengeluaran. Fleksibilitas dalam proses pengusulan anggaran, pencairan dana, pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran yang demikian pada hakekatnya serupa dengan yang diterapkan kepada Badan Usaha Milik Negara yang mendapatkan dana untuk menyelenggarakan Public Service Obligation ; Apabila OJK membiayai dirinya dari pungutan, sudah barang tentu tidak diperlukan keterikatan kepada ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi kementerian negara. Penerimaan dan pengeluaran iuran dikelola oleh OJK terpisah dari APBN. OJK memiliki kewenangan untuk mengatur sistem pengelolaan keuangan yang berlaku. Namun demikian, gambaran secara ringkas mengenai kondisi keuangan OJK perlu disampaikan dalam Nota Keuangan sebagai bagian dari sistem pengelolaan keuangan negara dan informasi kepada publik yang mencerminkan asas keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara; Oleh karena itu, menyangkut pengenaan pungutan oleh OJK, hal utama yang perlu menjadi pertimbangan adalah kewajaran mengenai besarnya iuran tersebut, dan penerapan asas proporsionalitas dalam pengenaannya terhadap masing-masing sektor industri. Karena pada akhirnya setiap pungutan kepada sektor industri, akan menjadi tambahan biaya bagi industri yang dapat dialihkan menjadi beban konsumen. Penutup Sebagai ahli, berusaha untuk memberikan keterangan seobyektif mungkin. Walaupun sebagai mantan Ketua Tim Pelaksana Persiapan Pembentukan OJK, sulit bagi kami untuk tidak terpengaruh suasana hati dalam memberikan keterangan ini. Mengingat penyiapan organisasi OJK adalah tugas yang diamanahkan kepada kami menjelang akhir pengabdian di Kementerian Keuangan. Kami membayangkan, alangkah sedihnya apabila organisasi yang baru saja dibentuk harus dirombak, tanpa alasan yang kuat dan mendesak, padahal keberadaannya pada hakikatnya sejalan dengan semangat UUD untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan dapat berperan sangat positif untuk kemajuan sektor jasa keuangan di negara kita. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 156 Menurut ahli akan lebih baik, apabila kita memprioritaskan penuntasan proses transformasi kelembagaan dengan menyelesaikan agenda amandemen beberapa undang-undang di sektor keuanganyang sangat krusial untuk penataan dan harmonisasi pengaturan di sektor jasa keuangan. Demikian pula meiakukan secara internal, bagi OJK, menuntaskan proses transformasi kelembagaan, dengan melengkapi berbagai Peraturan OJK dan SOP yang diperlukan bagi pelaksanaan kegiatan operasional, manajemen SDM dan keuangan, serta sistem dan teknologi informasi dan komunikasi; Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta ke 9 (1966-1977) pernah mengatakan: "Manusia tanpa cita-cita adalah mati, cita-cita tanpa kerja adalah mimpi dan idaman yang menjadi kenyataan adalah kebahagian". Proses transformasi kelembagaan tidaklah mudah dan tidak ada organisasi yang sempurna, tidak terkecuali institusi OJK yang masih baru. Namun dengan bekerja, bekerja dan bekerja dengan sebaik-baiknya, niscaya OJK akan dapat menjadi lembaga idaman;
Dr. Harjono, S.H., MCL Keberadaan Otoritas Jasa Keuangan Dari Aspek Konstitusi OJK merupakan lembaga negara baru yang tugasnya melakukan pengaturan dan pengawasan pada lembaga keuangan, maka konstitusionalitasnya seringkali dikaitkan dengan independensi bank sentral, sebagaimana diatur oleh Pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945. Ahli berpendapat bahwa perlu untuk dikaji posisi bank sentral yang sebenarnya dalam Undang-Undang Dasar 1945 karena dengan diketahui posisi bank sentral, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 23D UUD 1945 maka secara langsung pula dapat diketahui kedudukan OJK secara hukum. Bahwa Undang-Undang Dasar 1945 mengatur lembaga negara di dalamnya, antara lain MPR, DPR, DPD, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, BPK, KY, KPU, yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Namun di samping itu, disebut juga adanya lembaga negara oleh Undang-Undang Dasar 1945 yang pembentukannya diserahkan kepada Presiden, yang akan diatur oleh Undang-Undang, yaitu Dewan Pertimbangan Presiden, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa negara memiliki sebuah bank sentral. Jadi hubungan antara bank sentral dengan negara adalah hubungan kepemilikan. Bank sentral tidak dimaksudkan sebagai lembaga Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 157 negara untuk melaksanakan fungsi utama kenegaraan, sebagaimana dikenal kekuasaan pembuat undang-undang legislatif, eksekutif, dan kekuasaan yudisial; Meskipun bank sentral adalah lembaga negara dalam pengertian lembaga yang dibentuk oleh kekuasaan negara, dan mempunyai kewenangan publik, namun kedudukannya berbeda dengan lembaga negara MPR, DPR, DPD, Mahkamah Konstitusi, KY, dan KPU. Sebagai Contoh untuk menyebut keberadaan Mahkamah Konstitusi lembaga negara yang melangsungkan fungsi utama kenegaraan lainnya, Undang-Undang Dasar tidak menggunakan kata memiliki Mahkamah Konstitusi, sebagaimana digunakan untuk menyebut bank sentral. Undang-Undang Dasar 1945 tidak menyatakan bahwa negara memiliki Mahkamah Konstitusi dan lain sebagainya. Bank sentral lebih sebagai lembaga yang kegiatannya dalam bidang perbankan yang susunan, kedudukan dan kewenangan, tanggung jawab, dan independency-nya diatur Undang-Undang. Artinya, bank sentral adalah lembaga bentukan negara yang kewenangan dan independency - nya ditentukan oleh Undang-Undang dan bukan Undang-Undang Dasar 1945, meskipun Undang-Undang Dasar 1945 menentukan hal apa saja yang perlu diatur dalam Undang-Undang tentang lembaga bank sentral tersebut; Frasa negara memiliki satu bank sentral dalam Pasal 23D UUD 1945 adalah tepat, tetapi tidak tepat untuk menyebut dalam Undang-Undang Dasar 1945 bahwa negara memiliki MPR, DPR, dan lain sebagainya. Berdasarkan hasil studi dengan memperbandingkan konstitusi negara-negara lain, tidak menemukan ketentuan sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945, yaitu pengaturan bank sentral yang dicantumkan dalam pasal konstitusi. Federal Reserve Bank of New York, bank terbesar di dunia yang sangat berpengaruh dalam perekonomian dunia tidak diatur dalam konstitusi Amerika Serikat. Bahkan untuk kurun waktu yang lama, Amerika Serikat tidak mempunyai bank sentral. Federal Reserve Bank of New York sebagai bank sentral Amerika Serikat baru dibentuk dengan undang-undang pada masa pemerintahan Presiden Woodrow Wilson tahun 1931, padahal sejak 1778 Konstitusi Amerika Serikat sudah berlaku; Dari kajian ini tampak jelas bahwa bank sensral meskipun statusnya adalah lembaga negara, artinya dibentuk oleh kewenangan publik dan untuk melaksanakan kekuasaan publik, namun bukanlah sebuah lembaga konstitusi yang diperlukan untuk melaksanakan fungsi utama alat kelengkapan negara. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 158 Independency bank sentral dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebut dalam Pasal 23D yang dari rumusan pasal tersebut sangat jelas bahwa isinya atau content -nya akan ditentukan oleh Undang-Undang dan bukan ditentukan Undang- Undang Dasar 1945; Undang-Undang Dasar 1945 mempunyai pilihan kata yang bervariasi untuk menggambarkan sifat kewenangan yang dimiliki oleh satu lembaga negara yang diatur di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 23D digunakan kata independency untuk bank sentral. Pasal 23E digunakan kata bebas dan mandiri untuk BPK. Pasal 24, kata kekuasaan yang merdeka atau kekuasaan kehakiman . Pasal 22E dengan kata mandiri untuk KPU dan Pasal 24 digunakan kata mandiri untuk KY. Dari pilihan kata yang berbeda-beda yang digunakan itu ada makna yang sama terkandung dalam kata pilihan, yaitu bahwa satu lembaga negara dalam menjalankan kewenangannya wajib untuk tidak dipengaruhi oleh pihak luar manapun dan pihak luar dilarang untuk memengaruhi lembaga negara tersebut ketika lembaga negara yang bersangkutan melaksanakan kewenangan. Kewenangan yang tidak boleh dipengaruhi oleh pihak luar tersebut adalah kewenangan inti, yaitu kewenangan fungsional, artinya kewenangan yang ditempatkan dalam relasi dengan kewenangan fungsional yang dimiliki oleh lembaga negara yang lain; Prinsip bahwa kewenangan adalah terbatas dan prinsip kemandirian dan kebebasan dalam menjalankan kewenangan fungsionalnya adalah prinsip yang mendasari good governance atau tata pemerintahan yang baik, yang tujuannya adalah untuk menghindari abuse of power pemegang kekuasaan dan untuk mempersempit moral hazard . Hal itu sangat sejalan dengan peringatan Lord Acton bahwa power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely ; Conselor democracy state ( negara hukum) good governance ( pemerintahan yang baik), itu semuanya adalah konsep yang di dalamnya mengandung unsur untuk menghindari konsentrasi kemenangan, yaitu dengan cara melakukan pendistribusian kewenangan fungsional sangat terbatas, serta untuk menjamin bahwa setiap produk kewenangan terhindar dari interact pihak tertentu; Apakah dari prinsip independency bank sentral, sebagaimana yang disebut dalam Pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945 tersebut harus melekat pada kewenangan bank sentral untuk melakukan pengawasan terhadap lembaga keuangan bank lainnya. Kewenangan tersebut merupakan kewenangan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 159 konstitusional, artinya kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana dimaksud oleh Pasal 51 Undang-Undang MK, sehingga akan menjadi kerugian konstitusional kalau pengawasan tersebut tidak dilaksanakan. Sebagaimana telah ternyata sebelumnya bahwa independency bank sentral menurut Pasal 23D akan diatur Undang-Undang, sehingga independency bukan hak konstitusional, dalam arti hak yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945, tetapi yang akan ditentukan dan diatur oleh Undang-Undang. Karenanya, kalaupun seandainya kewenangan pengawasan harus melekat kepada independency , maka yang akan mengatur adalah Undang-Undang dan bukan Undang-Undang Dasar 1945; Perbandingan Penguasaan Lembaga Keuangan Di Beberapa Negara Tentang pengaturan struktur pengawasan untuk industri keuangan, termasuk lembaga perbankan yang dipraktikkan oleh negara-negara di dunia, Federal Reserve Bank of San Fransisco membedakan dalam 3 pendekatan, yakni:
Single agent . Pengawas tunggal untuk mengawasi industri keuangan, termasuk bank, asuransi, dan pasar modal;
Separate agencies . Pengawas yang terpisah untuk setiap industri keuangan;
Pengawasan dengan struktur hybrid atau penggabungan antara pendekatan nomor 1 dan nomor 2; Dalam masing-masing pendekatan tersebut, peranan dari bank sentral negara bervariasi antara pendekatan yang satu dengan yang lain. Pendekatan pengawasan tunggal dilakukan oleh Jepang dan Singapura. Di Jepang pengawasan dilakukan oleh GPSA yang didirikan tahun 1998 setelah banyak bank besar yang gagal dan karena timbulnya ketidakpercayaan publik kepada kementerian keuangan. GPSA adalah otoritas pengawas keuangan yang utama yang berada di luar bank sentral dan kewenangannya semakin bertambah dan kuat semenjak tahun 2001; Singapura yang menganut otoritas tunggal yang dilaksanakan oleh Monetary Authority of Singapore , namun berbeda dengan Jepang, Monetary Authority of Singapore juga melakukan fungsi bank sentral. Pendekatan pengawasan oleh otoritas yang terpisah dipraktikkan di Tiongkok dan India. Industri keuangan bank, asuransi, dan pasar modal di India dan Tiongkok diawasi oleh otoritas yang berbeda-beda. Pendekatan hybrid mengombinasikan elemen pengawasan satu otoritas dan elemen pengawasan terpisah dipraktikkan di Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 160 Malaysia diawasi oleh otoritas yang sama. Sedangkan untuk industri pasar modal diawasi oleh otoritas yang lain; Pada tahun 1999, Korea Selatan mendirikan Korean Financial Supervisory Service (KFSS) melalui sebuah Undang-Undang. Setelah adanya krisis moneter yang melanda Asia. KFSS dibentuk dari kombinasi empat otoritas pengawas yang sebelumnya ada di Korea, yakni 1) banking supervisory authority ;
security supervisory board ;
insurance supervisory board ; dan
nonbank supervisory authority . Sejak tahun 2008 setelah melakukan reorganisasi, KFSS diawasi oleh financial service commission . Kewenangan financial service commission sebelumnya dimiliki oleh Kementerian Keuangan Korea. Berdasarkan KFSS, keberadaan KFSS berada di luar bank sentral; Dari uraian dan perbandingan dalam praktik negara lain dapat ditentukan fakta hukum sebagai berikut.
Menurut Undang-Undang Dasar 1945, bank sentral adalah suatu fungsi yang akan diatur oleh Undang-Undang;
Bank sentral adalah lembaga negara yang dimiliki oleh negara;
Sebagai lembaga negara, bank sentral kedudukannya sangat berbeda dengan lembaga negara utama yang kewenangannya diberikan Undang-Undang Dasar;
Independency bank sentral akan diatur dan ditentukan kontennya oleh Undang-Undang. Tidak terdapat ketentuan Undang-Undang Dasar bahwa independency bank sentral haruslah disertai hak pengawasan oleh bank sentral kepada lembaga keuangan bank. Undang-Undanglah yang akan mengatur, apakah bank sentral diberi kewenangan untuk melakukan pengawasan kepada lembaga keuangan bank atau tidak diberi kewenangan untuk melaksanakan pengawasan kepada lembaga keuangan bank; Penyatuan pengawasan atau pemisahan pengawasan terhadap lembaga keuangan, baik bank, asuransi, dan pasar modal adalah kewenangan pembuat Undang-Undang untuk mengaturnya. Pembuat Undang-Undang yang terdiri atas Presiden dan DPR adalah lembaga yang tepat untuk mengatur sistem pengawasan kepada lembaga keuangan karena kedua lembaga, yaitu Presiden dan DPR terlibat secara langsung dalam urusan bidang keuangan negara. Sehingga mempunyai informasi dan data yang akurat dan mengetahui pilihan yang baik untuk mengaturnya dan bukan ditentukan oleh lembaga peradilan; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 161 Pembuatan Undang-Undang berhak dan bahkan wajib untuk melakukan perubahan apabila ternyata dalam pelaksanaannya diperlukan perubahan pengaturan atas pengawasan lembaga keuangan agar supaya tercipta tata pengawasan yang lebih baik dalam pengelolaan lembaga keuangan demi terciptanya kestabilan keuangan dan perlindungan kepada konsumen; Perubahan tidak dapat dilakukan apabila peradilan yang menetapkan sistem pengawasan yang harus diterapkan karena dasarnya adalah sistem yang sah dan sistem yang melanggar hukum dan melakukan perubahan untuk penyempurnaan dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum. Perubahan sistem pengawasan dilakukan oleh banyak negara pada saat mengalami krisis keuangan global yang pernah terjadi di sekitar tahun 1997 dan di awal tahun 2000 sekitar tahun 2008; Kesimpulan Ahli berkesimpulan bahwa keberadaan OJK tidak bertentangan secara konstitusional dengan pengaturan bank sentral yang terdapat dalam Pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945 dan keberadaannya diberlakukan untuk menciptakan lembaga keuangan yang sehat serta diperlukan bagi perlindungan konsumen lembaga keuangan di Indonesia; Isu konstitusionalitas lainnya tentang OJK menyangkut kewenangan untuk melakukan pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan jasa keuangan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang OJK. Ketentuan Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.” Ahli berpendapat bahwa ketentuan pasal ini bermaksud untuk memberi dasar hukum yang jelas dan demi kepastian hukum atas pemungutan yang dilakukan dengan alasan untuk keperluan negara. Pasal ini tidak bermaksud untuk melarang negara melakukan... yang bersifat memaksa kalau memang negara memerlukannya. Dalam praktik, pemungutan ini memang telah dilakukan oleh negara dalam berbagai bentuk, sebagai contoh adalah apa yang disebut sebagai Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Dalam transaksi pemindahan hak atas tanah dan bangungan, nilai BPHTB ini dapat dikatakan sangatlah besar karena 5% dari nilai transaksi; Ketentuan Pasal 23A menggunakan rumusan diatur dengan undang- undang yang ditafsirkan harus ada Undang-Undang tersendiri atau khusus yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 162 mengaturnya yang berbeda dengan rumusan diatur dalam Undang-Undang yang pengaturannya dapat tersebar dalam berbagai Undang-Undang. Dalam kenyataannya sampai sekarang, belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur pungutan lain yang bersifat memaksa. Ahli berpendapat bahwa tujuan adanya Undang-Undang tersendiri tidaklah hanya bersifat membuat perbedaan formal belaka, yaitu apakah telah terpenuhinya adanya Undang-Undang tersendiri, tetapi juga menyangkut persoalan-persoalan substantif dari Undang-Undang tersebut; Undang-Undang OJK memungkinkan OJK untuk melakukan pungutan dan jelas bahwa pungutan digunakan untuk keperluan negara. Karena OJK dalam bernegara yang melakukan tugas negara, yaitu tugas yang tidak dapat secara hukum dilakukan oleh lembaga yang bukan lembaga negara; Dari segi kebutuhan, pungutan tersebut dibatasi jumlah yang diperlukan. Artinya, tidak memungut tanpa batas, tanpa dasar berapa jumlah yang akan dipungut. Karena jumlahnya sebatas jumlah yang diperlukan untuk anggaran tahunan yang harus disusun lebih dulu dan mendapat persetujuan DPR. Pasal 36 Undang-Undang OJK menegaskan apabila hasil pungutan melebihi kebutuhan OJK, maka kelebihan tersebut disetor ke kas negara. OJK sebagai lembaga negara harus membuat laporan keuangan secara transparan dan akuntabel, sebagaimana diharuskan oleh undang-undang; Secara substansi, aturan keuangan OJK telah mempertimbangkan pengelolaan keuangan negara yang baik. Ahli berpendapat bahwa Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 tidak hanya perlu formalitas adanya Undang-Undang tersendiri saja, tetapi juga substansi, yaitu menyangkut pengelolaan keuangan negara yang jelas peruntukannya, artinya transparan dan akuntabel. Undang- Undang OJK yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan telah mempertimbangkan transparansi, akuntabilitas, serta pembatasan yang rasional, proporsional tentang jumlah yang boleh dipungut; Dengan demikian, meskipun Undang-Undang yang dimaksud oleh Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 belum ada, namun substansi yang seharusnya terdapat pada undang-undang tersebut telah diakomodasi dalam Undang-Undang OJK. Apabila Mahkamah menetapkan bahwa pemungutan keuangan yang terdapat dalam Undang-Undang OJK dan pengelolaannya bertentangan dengan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 163 Undang-Undang Dasar 1945, hanya sekadar bahwa belum dibuatnya Undang- Undang secara khusus dan harus dibatalkan, maka akibatnya akan banyak pungutan-pungutan lainnya, antara lain BPHTB harus juga batal; Sebagaimana ahli uraikan di atas maka sebagai penafsir Konstitusi, Mahkamah dapat menambahkan hal-hal yang diperlukan agar ketentuan tentang keuangan yang terdapat dalam Undang-Undang OJK menjadi sempurna dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, atau melakukan penafsiran conditionally constitutional pada aspek substansinya. Sementara itu, Mahkamah dapat memberikan kriteria konstitusionalitas terhadap Undang-Undang yang diperlukan untuk melaksanakan Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 dan hal ini pernah dilakukan oleh Mahkamah dalam beberapa kali putusannya, termasuk mengenai BHP dan juga mengenai peradilan Tipikor;
Prof. Achmad Zen Umar Purba, S.H., LL.M. I. Ada empat isu pokok yang perlu ditanggapi terlebih dahulu, yaitu:
Pemisahan kewenangan stabilitas moneter dan pengawasan perbankan serta penggabungan pengawasan antara sistem perbankan dan lembaga keuangan non bank;
Independensi dan bebas dari campur tangan pihak lain dalam kelembagaan OJK;
Pembiayaan OJK (APBN dan pungutan dari pelaku pasar);
Pelaporan dan akuntabilitas OJK. II. Mengenai isu pertama, pemisahan kewenangan, secara mendasar kita harus memahami pertumbuhan sektor perbankan dan jasa keuangan sebagai sarana kebutuhan kehidupan modern yang berada pada era globalisasi. Lebih-lebih bagi Indonesia, karena tahun depan ia bersama dengan negara-negara ASEAN lain akan memasuki ASEAN Market Community . Sementara itu lahirnya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan konglomerasi kepemilikan di sektor keuangan telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antar lembaga jasa keuangan. Pembentukan OJK dilandasi dengan prinsip-prinsip tata kelola yang baik ( good governance ), yang meliputi independensi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, transparansi, dan kewajaran ( fairness ). Khusus mengenai pengawasan di bidang perbankan, OJK memiliki tugas yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 164 berbeda dari Bank Indonesia ("Bl") sebagai bank sentral seperti diamanatkan oleh UUD 1945, sebagaimana yang telah diubah ("UUD 1945"). Dalam situasi demikian, peran sektor perbankan dan keuangan menjadi amat penting. Oleh sebab itu diperlukan satu konsep yang jelas; Apa yang dilakukan UU OJK adalah melakukan pemisahan pengawasan terhadap bank, yang tidak lagi dilakukan oleh Bl. Pengawasan oleh pihak di luar bank sendiri dimaksudkan untuk menjaga kualitas pihak yang diawasi demi kepentingan masyarakat, termasuk kepentingan konsumen yang berurusan dengan bank. Perlindungan konsumen adalah salah satu fungsi pengawasan OJK; Selanjutnya jasa keuangan harus dibuat terintegrasi. Itulah filosofinya mengapa OJK bukan saja mengawasi bank, tetapi juga sektor-sektor non bank, dalam hal ini pasar modal asuransi, dana pensiun, lembaga pembiayaan serta lembaga keuangan lain; Jika sektor perbankan dan sektor keuangan non bank sehat, transaksi bisnis yang lain akan lancar pula, nasional maupun transnasional. Indonesia yang berekonomi kuat hanya akan lahir, jika sektor keuangan dan perbankan juga dilandasi sistem pengawasan yang kuat; III. Dalam masalah kedua, yang berkaitan dengan independensi, menurut Para Pemohon, hanya Bl yang berhak memakai status "independen" karena ada "cantolannya" ada di Pasal 23D UUD 1945. OJK samasekali tidak memiliki "cantolan" dalam UUD 1945. Pada hemat ahli, Pemohon telah menggunakan alurpikir yang salah. Sebab "independen" bukanlah istilah yang dapat dimonopoli. Jadi dapat saja satu lembaga menyatakan dirinya "independen" tanpa harus melihat ada pegangannya dalam UUD 1945. Komisi Pengawas Pesaingan Usaha, misalnya mendeklarasikan dirinya sebagai "suatu lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah serta pihak lain. [Pasal 30 ayat (2) UU No.5/1999] Demikian juga bagi OJK, independen di sini berarti bebas dari pengaruh siapapun, terutama Pemerintah; IV. Mengenai isu Pembiayaan (Penggunaan APBN dan Pungutan OJK), OJK sebagian dibiayai oleh dana dari APBN dan selebihnya dari dana yang dipungut dari masyarakat yang merupakan pengguna jasa OJK [Pasal (2) UU OJK]. Oleh Para Pemohon, aturan dalam UU OJK ini dipersoalkan karena Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 165 mereka khawatir akan terjadi " abuse of power " Sebagai WNI mereka tidak mau APBN menjadi tergerus akibat digunakan oleh OJK. Tentang hak OJK untuk memungut, para Pemohon bertanya*. "Bagaimana mungkin lembaga yang melakukan pengawasan memungut dari yang diawasinya?" (butir 66 Permohonan). Mengenai APBN, Pemohon tampak bersikap a priori , padahal kalau dibaca Pasal 38 UU OJK, jelas diatur tentang masalah pertanggungjawaban — yang akan diuraikan di bawah. Otoritas di beberapa negara antara lain di Hongkong, Estonia dan Slovakia juga menerapkan pungutan kepada para pelaku kegiatan di sektor jasa keuangan dalam rangka membiayai operasionalnya; Filosofi dari pendanaan ini adalah bahwa lembaga resmi negara, yang independen 1) dapat dibiayai dari APBN dan 2) dengan kekuatan Undang- Undang dibenarkan memungut dengan pertanggungjawaban dan akuntabilitas sebagaimana diatur dalam Pasal 38 UU OJK; Pungutan menjadi sumber dana operasional OJK, sehingga segala kegiatan yang berkaitan dengan pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan dapat dilakukan dengan lebih independen, mengingat secara kelembagaan, OJK berada di luar Pemerintah. Pungutan terhadap pihak yang melakukan kegiatan di sektor keuangan yang dilakukan OJK sudah sejalan dengan UUD 1945 karena pungutan tersebut didasarkan pada Undang- Undang. V. Isu terakhir berkaitan dengan sistem Pelaporan dan Akuntabilitas. Secara filosofis pelaporan dan akuntabilitas ini harus diikuti dengan ketentuan- ketentuan dalam Pasal 38 UU OJK yang dijabarkan dalam 10 ayat, menyangkut mengenai: - laporan keuangan serta laporan kegiatan; - laporan ke DPR dan Presiden Rl dengan standar dan kebijakan akuntansi yang ditetapkan OJK; - audit yang dilakukan oleh BPK; dan pengumuman laporan tahunan OJK kepada publik melalui media; Pengaturan rinci itu menurut saya telah cukup menjawab kekhawatiran para Pemohon dengan sekalian memahami filosofi konsep pelaporan dan akuntabilitas OJK tersebut; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 166 VI. Secara umum saya ingin menyampaikan bahwa permohonan tidak ditopang argumentasi yang kuat, juga tidak didukung bukti. Berbagai pernyataan yang terdapat dalam permohonan bersifat simplistik, menggampangkan persoalan, dangkal, a priori dan kategori lain semacam itu. Dengan demikian semua tuntutan dalam permohonan sangat patut untuk ditolak.